..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 07 Februari 2025

DEWA ARAK EPISODE MAUT DARI HUTAN RANGKONG

Maut Dari Hutan Rangkong

 

Maut Dari Hutan Rangkong 
Seri Dewa Arak 
Karya : Aji Saka 
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Puji S. 
Gambar sampul oleh Pro's 
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau 
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin 
tertulis dari penerbit 
Aji Saka 
Serial Dewa Arak dalam episode: Maut dari Hutan 
Rangkong 128 hal. ; 12 x 18 cm 


SATU

 
Kepak kelelawar terdengar memecah keheningan malam 
yang sepi. Bulan penuh yang nampak di langit,perlahan-lahan 
mulai tertutup awan hitam tebal yang berarak. Angin dingin 
yang berhembus dan sesekali keras itu semakin memperkuat 
dugaan kalau hujan akan turun. 
Benar saja. Beberapa saat kemudian, hujan mulai turun. 
Mula-mula berupa gerimis kecil, dan satu-satu. Tapi semakin 
lama semakin besar. Hingga akhirnya benar-benar lebat. Air

yang jatuh bagai ditumpahkan dari langit. Langit yang gelap 
itu sesekali dibelah oleh halilintar yang menggelegar. Untuk 
sesaat lamanya, suasana malam jadi terang benderang. 
Dan dalam suasana terang yang sekejap seperti itulah, 
tampak sesosok bayangan berkelebat dari dalam sebuah 
bangunan yang dikelilingi pagar kayu bulat tinggi. Bangunan 
itu tampak besar dan megah, serta memiliki halaman luas. 
"Hih...!" 
Sosok bayangan itu melesat cepat melompati pagar kayu 
bulat yang tinggi. Indah dan manis sekali gerakannya. Baik 
ketika melompati pagar kayu, maupun ketika mendaratkan 
kedua kakinya di luar pagar. 
Pyarrr...! 
Genangan air memercik ke sana kemari ketika sepasang 
kaki itu menjejak tanah yang dibasahi hujan. Glarrr! 
Halilintar menyambar kembali. Dan untuk sesaat suasana 
malam jadi terang benderang kembali. Meskipun begitu, sudah 
cukup jelas untuk mengenali wajah sosok bayangan itu. 
Dia ternyata adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima 
puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar, dan berpakaian hitam. 
Wajahnya kasar dan sebuah penutup kepala yang berbentuk 
setengah tempurung kelapa bertengger di atas kepalanya. 
Secepat kedua kakinya mendarat di luar pagar kayu, 
secepat itu pula dia melesat dari situ. Gerakannya cukup 
cepat. Jelas, kalau laki-laki tinggi besar ini memiliki 
kepandaian tidak rendah. 
Tanpa menghiraukan suasana malam yang gelap, angin 
dingin yang berhembus keras menusuk tulang, dan curahan 
hujan lebat yang menyiram tubuhnya, sosok bayangan itu 
terus saja berlari cepat. 
Glarrr!

Halilintar kembali menggelegar membelah angkasa. Lagi-
lagi keadaan alam kembali terang benderang sekejap. Saat 
itu, di atas pintu gerbang bangunan besar berpagar kayu bulat 
tinggi, terlihat sebuah kayu lebar tidak begitu tebal yang 
terukir halus. Tampak jelas huruf-huruf yang tertera di papan 
itu, Perkumpulan Pedang Perak. 
Sosok bayangan itu terus saja berlari dengan kecepatan 
tinggi. Sama sekali tidak diperlambat larinya, meskipun 
berkali-kali tergelincir dan hampir jatuh karena jalan yang 
ditempuh demikian licin. 
Lari bayangan itu baru diperlambat ketika telah memasuki 
mulut sebuah hutan. Dan akhirnya berhenti sama sekali ketika 
telah berada di dalamnya. 
Dengan napas terengah-engah, laki-laki berpakaian serba 
hitam itu berteduh di bawah sebatang pohon yang berdaun 
rindang. Kedua tangannya nampak bersedakap di depan dada. 
Rupanya angin yang berhembus cukup kencang membuat 
tubuhnya kedinginan. 
Sebentar sosok itu mengeringkan tangannya, lalu 
memasukkannya ke balik baju. Sesaat kemudian telah keluar 
lagi, bersama sebuah kitab di tangannya. 
Glarrr...! 
Halilintar kembali menyambar. Seketika itu juga sana di 
sekitar tempat itu jadi terang benderang. Sehingga huruf-
huruf yang tertera di kulit kitab itu tampak cukup jelas 
terbaca, 'Ilmu Tangan Racun Pasir Merah'. 
Tampak seulas senyuman menghiasi wajah laki-laki 
bertubuh tinggi besar itu. Sebentar kemudian kitab itu 
dimasukkan kembali ke balik bajunya. Dan kini kedua 
tangannya kembali disedakapkan di depan dada. 
Tak lama kemudian hujan mulai mereda, hingga akhirnya 
tinggal gerimis kecil yang jatuh satu persatu ke bumi


Di saat itulah, laki-laki berpakaian hitam ini melanjutkan 
perjalanannya kembali. Melesat cepat menembus kepekatan 
malam. Rintik hujan yang mengenai tubuhnya sama sekali 
tidak dihiraukan. 
*** 
Matahari sudah cukup lama menampakkan diri. Suara cicit 
burung pun sudah tidak terdengar lagi. Bahkan angin yang 
berhembus sudah tidak terlalu nikmat untuk dihirup. Ketika 
itu, tampak dua sosok tubuh tengah melangkah bergegas 
menuju mulut Hutan Rangkong. 
Dari bentuk tubuh mereka yang kekar dan kuat, jelas kalau 
kedua orang itu sudah terbiasa bekerja berat . Wajahnya pun 
terlihat keras. Hanya saja saat itu, mereka tampak penuh 
diliputi kecemasan. 
"Aku khawatir akan keselamatan Guradi, Kang Banyupaksi," 
ucap salah seorang dari dua sosok itu. Wajahnya yang berkulit 
coklat, dan penuh bercak putih yang lebar-lebar, terlihat 
menyiratkan perasaan cemas yang tidak terkira. 
"Mudah-mudahan saja dia selamat, Jatmika," sahut orang 
yang dipanggil Banyupaksi bernada menghibur. Dia bertubuh 
kekar, berkumis, dan berjenggot yang terawat baik 
Suasana hening sejenak begitu Banyupaksi menghentikan 
ucapannya. Kini yang terdengar hanyalah gemerisik 
rerumputan yang terpijak kaki mereka. 
"Kang...," kembali Jatmika membuka suara, seraya 
menoleh. 
Menilik dari ucapannya yang terhenti di tengah Jalan, jelas 
kalau laki-laki berwajah penuh bercak-bercak putih ini merasa 
ragu-ragu melanjutkan ucapannya. 
"Ada apa lagi, Jatmika?" tanya Banyupaksi sabar.

"Rasanya..., aku tidak yakin kalau Guradi masih hidup, 
Kang...." 
"Hm.... Mengapa kau berkata seperti itu, Jatmika?" tegur 
Banyupaksi. Sepasang mata laki-laki bertubuh kekar ini 
menatap penuh teguran. "Apakah kau tidak ingin anakmu 
selamat?" 
"Bukan begitu maksudku, Kang," sahut Jatmika huru-buru. 
"Tapi, kenapa justru kau mengharapkan yang bukan-
bukan?" 
"Aku sama sekali tidak berharap begitu." 
"Hm...," Banyupaksi hanya menggumam tidak jelas. 
"Tapi..., kenyataan yang kuterima kali ini membuatku 
ragu," sambung Jatmika lagi. 
"Maksudmu?" tanya Banyupaksi dengan dahi berkernyit. 
Jelas kalau dia masih belum mengerti maksud Jatmika. 
"Tidak biasanya Guradi pergi selama ini. Dia sudah sering 
mencari kayu bakar atau berburu di hutan. Tapi tidak pernah 
sampai selama ini. Bayangkan, Kang. Guradi pergi kemarin 
pagi. Dan sampai sekarang belum pulang...!" 
Banyupaksi mengangguk-anggukkan kepala. Cerita 
mengenai kepergian Guradi ke Hutan Rangkong dan belum 
kembali memang sudah didengarnya dari mulut Jatmika 
sendiri. Dan hal inilah yang membuatnya terpaksa ikut 
mencari orang yang bernama Guradi itu. 
"Berdoalah agar dia selamat," hanya itu kata-kata bernada 
menghibur dari Banyupaksi. "Aku percaya Guradi bisa menjaga 
diri. Mungkin dia hanya tersesat.” 
"Aku juga berharap begitu, Kang. Tapi rasanya tidak 
mungkin, Kang. Guradi telah puluhan kali keluar masuk hutan. 
Atau..., jangan-jangan dia diterkam binatang buas."

Banyupaksi menatap wajah Jatmika tajam-tajam. 
"Kalau begitu..., kau meremehkan kemampuanku, Jatmika." 
"Maksudmu, Kang?" 
"Aku yang mendidik dan mengajarkannya ilmu silat. 
Bertahun-tahun aku melatihnya. Dan kau enak saja 
mengatakan kalau Guradi mati diterkam binatang buas. Itu 
sama sekali tidak memandang kepadaku, Jatmika!" 
Berubah wajah Jatmika seketika mendengar ucapan 
bernada keras dari laki-laki bertubuh kekar itu. 
"Maafkan aku, Kang. Aku.... Aku tidak bermaksud begitu. 
Sungguh...!" sahut laki-laki berwajah penuh bercak-bercak 
putih itu terbata-bata. 
"Hhh...!" Banyupaksi menghela napas panjang. 
Amarah laki-laki berkumis rapi yang mulai bangkit perlahan 
mengendur kembali mendengar permintaan maaf Jatmika. Dia 
tahu kalau laki-laki di sampingnya ini tidak bermaksud 
merendahkan. Jatmika mengatakannya tanpa sadar, karena 
didorong kecemasan menggelegak. 
"Lupakanlah, Jatmika," sahut Banyupaksi berdesah. "Tapi 
perlu kau ketahui, Jatmika. Jangankan hanya satu, dua 
binatang buas pun, aku yakin Guradi mampu 
menghadapinya!" 
Jatmika hanya mengangguk-anggukkan kepala. 
Kembali keheningan menyelimuti mereka berdua. Kini 
Jatmika dan Banyupaksi melanjutkan langkah menuju Hutan 
Rangkong yang sudah semakin dekat tanpa berkata-kata lagi. 
*** 
Begitu memasuki hutan, Jatmika dan Banyupaksi 
mengedarkan pandangan berkeliling. Dengan ranting yang 
ditemukan, mereka menguak kerimbunan semak-semak. Hati

mereka berharap, barangkali saja orang yang dicari berada di 
situ. 
"Guradi...!" 
Jatmika yang sudah tidak kuat lagi menahan cemas dan 
tidak sabar, berteriak memanggil. Kini mereka sudah cukup 
jauh masuk ke dalam hutan. Tapi, sama sekali tidak terlihat 
tanda-tanda adanya Guradi. Baik Jatmika maupun Banyupaksi 
langsung berdiam diri. Pendengaran mereka ditajamkan agar 
apabila Guradi menjawab, dapat terdengar. 
Tapi sampai lelah berdiam diri, tak juga terdengar sahutan 
yang dinantikan, kecuali cicit burung yang selalu mengusik 
telinga. 
Jatmika dan Banyupaksi terus melangkah sambil 
menyibakkan semak-semak. Sepasang mata mereka 
berkeliaran ke sana kemari, sambil sesekali diselingi 
panggilan-panggilan terhadap Guradi. 
Dan begitu akan memanggil lagi, mendadak langkah kedua 
orang itu terhenti. Wajah mereka pucat seketika. Sepasang 
mata mereka menatap membelalak ke depan, seakan-akan 
tidak percaya akan apa yang dilihat. 
Sekitar lima tombak di hadapan Banyupaksi dan Jatmika, 
terpampang pemandangan menggiriskan hati. Tampak 
seorang remaja berusia belasan tahun tengah tergantung di 
atas cabang pohon dengan leher terjerat seutas tambang. 
Dadanya telanjang, tak tertutup baju. Sehingga, terlihat jelas 
luka-luka yang memenuhi sekujur tubuhnya. 
Dengan sekali lihat saja, baik Jatmika maupun Banyupaksi 
bisa mengetahui kalau remaja itu telah tewas. Dan beberapa 
saat lamanya, mereka hanya mampu berdiri terpaku. Lidah 
pun terasa kelu. Suara seperti tercekat di tenggorokan. Hanya 
sepasang mata mereka saja yang seolah-olah ingin 
mengungkapkan sesuatu.

"Guradi...!" 
Terdengar teriakan keras dari mulut Jatmika setelahh 
beberapa saat lamanya berdiri terpaku. Laki-laki berwajah 
penuh bercak putih ini memerlukan waktu beberapa saat 
lamanya untuk dapat mengetahui kalau orang yang 
tergantung di atas pohon itu adalah putranya. 
Seiring panggilannya, tubuh Jatmika berlari berhambur ke 
arah sosok yang tergantung itu. Kemudian Banyupaksi pun 
ikut bergerak mengikuti. Dia pun cepat mengenali pula kalau 
sosok tubuh itu benar-benar Guradi. Orang yang mereka cari-
cari. 
"Guradi..., Guradi...," panggil Jatmika pilu. Kedua 
tangannya sibuk memeluki tubuh yang tergantung itu. 
Banyupaksi menggertakkan gigi. Seketika dadanya terasa 
sesak oleh amarah dan sedih yang meng-gayut Tapi laki-laki 
berkumis rapi ini berusaha menahan diri. Pikirannya berusaha 
dibuat setenang mungkin. Seketika tenaganya dikempos, dan 
sesaat kemudian, tubuhnya melesat ke atas. Dan sekali 
tangannya bergerak, tali yang menggantung tubuh Guradi pun 
putus. 
Untungnya Jatmika tengah memeluk tubuh putranya, 
sehingga tubuh itu tidak sampai terbanting keras ke tanah. 
Jatmika sempat menangkapnya. Tapi akibatnya, dia ikut 
terjatuh terbawa beban tubuh Guradi. 
Berbareng tergulingnya tubuh Guradi dan Jatmika ke tanah, 
sepasang kaki Banyupaksi pun hinggap. Kemudian, laki-laki 
berkumis rapi ini menyarungkan kembali golok yang tadi 
dicabutnya sewaktu memutuskan tambang yang mengikat 
tubuh Guradi. 
"Hentikan segala kecengengan Ini, Jatmika," tegur 
Banyupaksi, kemudian sepasang matanya menatap penuh 
teguran pada laki-laki yang wajahnya penuhi bercak putih itu.

Sambil tetap memeluk tubuh putranya, Jatmika beranjak 
bangkit. Sepasang matanya balas menatapi tak kalah tajam. 
"Tapi, Kang. Dia anakku satu-satunya! Dosakah aku 
bersedih hati melihat kematiannya?" bantah Jatmika. Suaranya 
pelan, tapi penuh tuntutan. 
"Aku tidak melarangmu, Jatmika," sahut Banyupaksi 
dengan suara tetap lembut. Tapi tetap penuh wibawa. "Aku 
hanya tidak suka melihat kesedihanmu yang terlalu 
berlebihan." 
"Tapi, Kang...," Jatmika masih mencoba membantah. 
"Guradi tidak akan hidup kembali, sekalipun tangisanmu 
berupa darah sampai empat puluh hari.”potong Banyupaksi 
tanpa menghiraukan bantahan Jatmika. 
Seketika Jatmika terdiam. Bukan karena nasihat 
Banyupaksi, tapi karena rasa segannya pada laki-laki berkumis 
tipis itu. 
"Sekarang yang paling penting adalah mencari pelaku 
pembunuhan ini," sambung Banyupaksi ketika Jatmika tampak 
terdiam. 
Terdengar suara gemeretak dari mulut Jatmika begitu 
mendengar ucapan ini. Banyupaksi benar. Yang paling penting 
sekarang adalah mencari pembunuh putranya. Tapi, tentu saja 
sehabis mengebumikan Guradi secara layak. 
"Menilik dari luka-luka yang diderita Guradi, aku yakin kalau 
pelakunya adalah seorang tokoh aliran hitam yang berjiwa luar 
biasa kejam," duga Banyupaksi. Sementara sepasang matanya 
terus menyelusuri sekujur tubuh Guradi yang penuh luka-luka. 
"Ke mana pun..., aku akan mencarinya Dan..., seluruh 
tubuhnya akan kulumatkan!" desis Jatmika penuh dendam. 
Tangan kanannya mengepal keras dan kepalanya mendongak 
ke atas ketika kata-kata itu diucapkan.

Banyupaksi tidak menanggapi. Dia yakin kalau Jatmika 
bukan tandingan pembunuh Guradi. Jatmika memang tidak 
memiliki kepandaian sedikit pun. Lalu, bagaimana akan bisa 
membalas dendam? Oleh karena itu Banyupaksi bertekad akan 
ikut mencari pembunuh Guradi. 
"Sekarang mari kita kembali dulu ke desa, Jatmika," ajak 
Banyupaksi pelan. Dipegangnya bahu kanan laki-laki berwajah 
bercak-bercak putih itu, kemudian ditepuk-tepuknya. 
Jatmika menatap Banyupaksi penuh tanda tanya. 
"Kita kuburkan dulu mayat Guradi...," sambung Banyupaksi. 
Kali ini Jatmika tidak membantah lagi. Perlahan kakinya 
melangkah meninggalkan hutan itu. Sementara Banyupaksi 
mengikuti di belakangnya. Laki-laki berkumis rapi ini segera 
mengedarkan pandangannya berrkeliling, memperhatikan 
suasana di sekitarnya. Masalahnya bukan tidak mungkin kalau 
pembunuh itu masih berada di situ. 
Tapi tidak ada sesuatu pun yang mencurigakan. Keadaan di 
sekitar tempat itu sepi-sepi saja. Yang terdengar hanyalah 
suara cicit burung dan binatang-binatang hutan. 
Baru juga kedua orang itu melangkah beberapa tindak, 
terdengar suara tawa menggelegar laksana guntur. Suaranya 
menggema di sekitar tempat itu. 
"Ha ha ha...!" 
Hebat bukan main akibat yang ditimbulkan tawa itu. Tubuh 
Jatmika seketika terbungkuk. Terdengar keluhan keras keluar 
dari mulutnya. Pegangannya pada tubuh putranya pun 
terlepas, sehingga Guradi terjatuh di tanah. 
Bukan hanya itu saja akibatnya. Jatmika pun merasa 
dadanya sakit bukan main, seperti diseruduk kerbau liar. 
Bahkan telinganya seperti akan pecah. Betapapun laki-laki 
berwajah penuh bercak-bercak itu berusaha bertahan dan

mendekap kedua telinganya, tak urung tubuhnya terguling 
jatuh. 
Jatmika bukan satu-satunya orang yang menerima 
serangan suara tawa dahsyat itu. Banyupaksi pun mengalami 
hal yang serupa. Dada laki-laki berkumis rapi ini terasa 
terguncang hebat. Telinganya pun terasa berdengung keras. 
Sebagai ahli silat, dia tahu kalau ada orang yang tengah 
menyerang dengan suara tawa yang mengandung pengerahan 
tenaga dalam tinggi. Tentu saja hal ini membuat Banyupaksi 
kaget. 
Bukan main. Dari cara penyerangan ini saja sudah 
menandakan kelihaian lawan. Jelas orang itu memiliki tingkat 
tenaga dalam tinggi. Dan dia merasa bukan tandingan orang 
itu. Ciut hati Banyupaksi membayangkan kalau seandainya 
pemilik tawa itu adalah orang yang telah membunuh Guradi. 
Karena bila hal itu benar, sampai kapan pun mereka tidak 
akan bisa membalas dendam. 
Kalau saja suara tawa itu terus berlangsung, mungkin 
Jatmika dan Banyupaksi tidak akan tahan. Kedua orang itu 
akan tewas dengan dada pecah dan gendang telinga hancur. 
Tapi untungnya, tawa itu kemudian berhenti. 
Dan begitu tawa itu berhenti, berkelebat sesosok bayangan 
hitam. Gerakannya cepat bukan main. Maka tahu-tahu saja, di 
depan Banyupaksi dan Jatmika telah berrdiri sosok tubuh 
tinggi besar. 
Banyupaksi dan Jatmika menatap sosok tubuh yang telah 
berdiri di hadapan mereka. Sosok tubuh berpakaian hitam. 
Wajahnya kasar, dipenuhi cambang bauk lebat. Menilik dari 
keadaannya, usia laki-laki itu tak kurang dari lima puluh tahun. 
Sebuah penutup kepala berbentuk setengah tempurung kelapa 
menutupi kepalanya. Matanya menatap tajam ke arah 
Jatmika.

"Kudengar kau hendak mencari pembunuh anak itu," kata 
laki-laki bercambang bauk lebat itu, kalem. "Akulah 
pembunuhnya." 
Seketika itu pula Jatmika bangkit berdiri. Wajahnya 
langsung beringas. Sepasang matanya menatap tajam, penuh 
pancaran hawa membunuh. Kedua tangannya yang mengepal 
itu nampak mengejang keras "Kau...?!" suara Jatmika tercekat 
di tenggorokan karena saking besarnya amarah yang bergolak 
dalam dadanya. 
Laki-laki berpakaian hitam itu hanya tersenyum mengejek. 
Wajah dan sorot matanya tampak jelas memandang rendah 
Jatmika. 
"Kubunuh kau...!" teriak Jatmika keras. 
Dan berbareng dengan ucapan itu, Jatmika melompat 
menyerang. Kedua tangnnya yang terkepal, dipukulkan 
bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh laki-laki bercambang 
lebat itu. 
"Jatmika...! Tahan...!" teriak Banyupaksi mencegah. Tapi 
terlambat Serangan Jatmika tidak mungkin ditarik kembali. 
Maka Banyupaksi tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dan hanya 
bisa bersikap waspada kalau- kalau jiwa laki-laki berwajah 
bercak-bercak putih itu terancam. 
Laki-laki berpakaian hitam itu tertawa mengejeki. Bahkan 
tidak terlihat kalau akan mengelak atau menangkis. Sampai 
akhirnya semua serangan Jatmika telak mengenai sasarannya. 
Buk, buk, bukkk...! 
Suara berdebukan keras terdengar berkali-kali ketika 
pukulan-pukulan Jatmika mengenai dada, perut, dan ulu hati 
laki-laki berpakaian hitam itu. 
Akibatnya sungguh aneh. Bukan laki-laki bercambang bauk 
lebat itu yang merasa kesakitan. Bahkan ia hanya terkekeh 
penuh ejekan. Suara jerit kesakitan justru terdengar dari

mulut Jatmika. Bahkan sampai-mpai membelalakkan mata 
ketika kedua tangannya jadi bengkak-bengkak. 
Jatmika menggeram keras. Amarah yang tidak 
terlampiaskan, membuat sekujur tubuhnya menggigil keras. 
Kedua kepalannya seperti bukan memukul tubuh manusia 
yang terdiri dari daging dan tulang, tapi gundukan besi! 
Srattt..! 
Sinar terang berpendar ketika Jatmika yang tengah kalap 
itu mencabut goloknya. Dan seiring tercabutnya senjata itu, 
Jatmika kembali menerjang. Golok di tangannya langsung 
ditusukkan cepat ke arah perut. 
Banyupaksi tahu, 
Jatmika sudah tidak bisa 
dicegah lagi. Maka dia pun 
segera membantunya. Laki-
laki berkumis rapi ini tahu, 
Jatmika sama sekali bukan 
tandingan orang itu. 
Srattt..! 
Sinar terang kembali 
berkilatan ketika 
Banyupaksi menghunus 
goloknya. Dan secepat 
senjata itu terhunus, 
secepat itu pula diputar-
putarkan di depan dada. 
Baru kemudian, senjata itu 
meluncur deras ke arah ulu 
hati laki-laki berpakaian 
hitam. 
Meskipun Banyupaksi menyerang belakangan, namun 
karena kelihaiannya, serangannya menjadi bersamaan

datangnya dengan Jatmika. Padahal, laki-laki berrwajah 
bercak-bercak putih itu lebih dulu menyerang 
Takkk! Takkk! 
Suara berderak keras terdengar ketika dua batang golok itu 
mengenai sasaran. Tetapi akibatnya luar biasa. Dua batang 
golok itu terpental balik, sementara laki-laki berpakaian hitam 
itu seperti tidak merasakan apa-apa. Bahkan kedua tangan 
penyerangnya yang terasa seperti lumpuh. 
"Hmh...!" 
Laki-laki berpakaian hitam itu mendengus. Sama sekali 
tidak dipedulikannya serangan yang mengancam. 
Takkk, takkk...! 
Suara berdetak keras seperti ada dua benda logam 
berbenturan, terdengar ketika dua batang golok itu mengenai 
sasaran. Akibatnya luar biasa. Dua batang golok itu jadi 
terpental balik. Bahkan sekujur tangan kedua penyerangnya 
seperti lumpuh. Dan tanpa dapat dicegah lagi, senjata itu 
terlepas dari pegangan. 
Dan belum sempat Banyupaksi dan Jatmika berbuat 
sesuatu, tangan laki-laki berpakaian hitam itu cpat bagai kilat 
bergerak. Cepat sekali gerakannya, hingga kedua orang itu 
tidak sempat mengelak lagi. 
Terdengar suara berderak keras ketika kedua tangan laki-
laki berpakaian hitam itu mengenai ubun-ubun mereka, hingga 
pecah. Cairan merah kental bercampur otak seketika muncrat-
muncrat. Banyupaksi dan Jatmika limbung sebentar, kemudian 
hampir sama-sama ambruk di tanah. Sebentar mereka 
meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi. Mati. 
"Ha ha ha...!" 
Laki-laki berpakaian hitam itu kembali tertawa tergelak. 
Keras dan panjang, hampir tidak putus-putus.

Setelah puas tertawa, laki-laki bercambang bauk itu 
melangkah meninggalkan kedua mayat yang telah menjadi 
korbannya 
Sesaat kemudian, suasana hening kembali menyelimuti 
Hutan Rangkong. Tidak terdengar lagi jeritan keras, tawa, 
ataupun teriakan menyayat Kini yang terdengar hanyalah cicit 
burung yang berkicau riang di dahan. 
*** 
DUA


"Hhh...! Mengapa Jatmika dan Banyupaksi belum juga 
muncul, Ki?" tanya seorang laki-laki bertubuh kecil kurus. 
Matanya tetap menatap wajah seorang laki-laki setengah baya 
berpakaian abu-abu dan berkumis tebal. 
Laki-laki berpakaian abu-abu yang sebenarnya bernama Ki 
Saketi, dan menjabat sebagai Kepala Desa Kangkong itu 
mengalihkan pandangan yang sejak tadi tertuju ke Hutan 
Rangkong. Menilik dari sikap dan wajahnya, jelas memang ada 
yang ditunggunya 
Ternyata bukan hanya laki-laki berpakaian abu-abu itu saja 
yang mengalihkan pandangan. Belasan orang laki-laki dewasa 
lain yang berdiri di mulut desa itu pun menatap ke arah laki-
laki bertubuh kecil kurus ini. Kemudian mereka memandang 
harap-harap cemas ke arah Hutan Rangkong. Menilik dari 
pakaian, jelas kalau belasan orang itu adalah penduduk Desa 
Kangkong. Mereka semua menanti kembalinya Jatmika dan 
Banyupaksi yang telah pergi ke Hutan Rangkong 
"Mana aku tahu, Wadira," jawab Ki Saketi seraya 
menggelengkan kepala. "Aku juga heran, apakah mereka 
mendapat kesulitan di sana? Sebenarnya, aku munyesalkan 
kepergian mereka berdua yang tanpa pemberitahuan terlebih


dahulu. Dan sayangnya lagi, Nyi Jatmika pun memberi tahu 
kita setelah kedua orang itu telah pergi...." 
"Aku yakin, Banyupaksi akan mampu mengatasi kesulitan 
itu, Ki," duga salah seorang penduduk lain yang bertubuh 
pendek gemuk. "Dia kan, guru silat kenamaan desa kita. 
Bahkan kepandaiannya terkenal sampai ke desa-desa sekitar." 
"Hhh...!" 
Ki Saketi menghela napas berat. Sama sekali tidak 
disambutnya ucapan yang bernada penuh keyakinan itu. 
Sementara para penduduk yang lain mengangguk-anggukkan 
kepala. Jelas kalau mereka semua membenarkan ucapan laki-
laki bertubuh pendek gemuk itu. 
"Kalau begitu, kita tunggu sampai besok pagi," Kepala Desa 
Rangkong itu mengambil keputusan."Kalau sampai besok 
mereka berdua belum kembali terpaksa akan kusuruh 
beberapa orang di antara kalian untuk mencari mereka. 
Bagaimana? Kalian bersedia?" 
Setelah berkata demikian, laki-laki berkumis tebal ini 
mengedarkan pandangan ke arah belasan orang yang berdiri 
di sekelilingnya. 
"Bersedia, Ki...!" 
Laki-laki bertubuh kecil kurus bergegas menyahuti. 
Memang di antara belasan orang penduduk di situ, hanya 
dialah yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi. 
"Kalian semua, bagaimana?" Ki Saketi mengalihkan 
perhatian ke arah belasan orang lainnya. 
Namun belasan penduduk itu hanya saling pandang satu 
sama lain. Tidak ada satu pun kepala yang langsung 
mengangguk. Jelas kalau mereka merasa ragu untuk 
menerima perintah itu.

"Aku butuh enam orang lagi di antara kalian untuk 
menemani Wadira," sambung Kepala Desa Rangkong cepat 
"Aku tidak akan membiarkan Wadira pergi sendiri ke sana. 
Tapi kalau kalian semua tidak bersedia, biar aku sendiri yang 
akan menemani Wadira ke sana." 
Tegas dan mantap sekali kata-kata yang keluar dari mulut 
Kepala Desa Rangkong itu. 
Kembali belasan orang penduduk itu saling pandang 
dengan wajah memerah. Mereka malu mendengar laki-laki 
berkumis tebal itu akan pergi ke hutan apabila mereka tidak 
bersedia menemani Wadira. 
"Aku bersedia, Ki," laki-laki bertubuh pendek gemuk 
menyahuti seraya mengacungkan tangan. 
"Hm.... Siapa lagi?" 
"Aku, Ki," sambut laki-laki berkumis jarang-jarang tak mau 
kalah. 
"Aku juga, Ki," yang lainnya ikut menyambut. "Aku ikut..!" 
Ki Saketi mengangguk-anggukkan kepala begitu 
mendengar kesediaan enam orang penduduk lainnya. 
"Bagus...!" puji laki-laki berpakaian abu-abu ini "Aku hargai 
kesediaan kalian. Pesanku, berhati-hati Dan kalian pergi 
setelah Banyupaksi dan Jatmika tidak kembali besok pagi. 
Mengerti?" 
"Mengerti, Ki...l" sahut tujuh orang itu serempak. 
"Bagus...! Sekarang mari kita kembali ke desa....'"I ajak Ki 
Saketi seraya melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara 
di belakangnya berjalan belasan orang warganya. Enam orang 
di antara mereka, tampak beri jalan lesu. Merekalah yang 
menyatakan diri bersedia menemani Wadira pergi ke Hutan 
Rangkong. 
***
Matahari pagi sudah sejak tadi menampakkan diri ketika 
beberapa orang penduduk Desa Rangkong bergerak menuju 
Hutan Rangkong. Berjalan paling depan adalah seorang laki-
laki bertubuh kurus. Sedangkan di belakangnya, enam orang 
penduduk lainnya mengikuti. 
Dan memang, mau tak mau rombongan penduduk yang 
berjumlah tujuh orang ini bergerak menuju ke dalam Hutan 
Rangkong. Karena, sampai menjelang pagi Banyupaksi dan 
Jatmika belum kembali. Dan sesuai perintah Kepala Desa 
Rangkong, mereka harus, menyusul kedua orang itu. 
"Bagaimana menurutmu, Wadira? Apakah kau juga punya 
perasaan seperti Ki Saketi?" tanya laki-laki berkumis jarang-
jarang, memecahkan keheningan yang terjadi di antara 
mereka. Memang, sejak tadi ke tujuh orang itu berjalan tanpa 
berkata-kata. 
"Aku belum mengerti maksud pertanyaanmu, Kang?" sahut 
orang yang dipanggil Wadira seraya mengernyitkan alisnya. 
Rupanya Wadira belum mengetahui arah pertanyaan laki-
laki berkumis jarang-jarang yang jelas-jelas terlihat jauh lebih 
tua darinya. Itulah sebabnya, ia memanggil laki-laki berkumis 
jarang-jarang itu dengan sebutan kakang. 
"Hm.... Maksudku..., apakah kau juga mempunyai dugaan 
yang sama dengan Ki Saketi, kalau Banyupaksi dan Jatmika 
mendapat kesulitan di perjalanan sehingga tidak bisa kembali 
ke desa?" 
Laki-laki berkumis jarang-jarang yang bernama Jampa 
tercenung sejenak. Tapi seperti juga enam orang lainnya, 
kakinya segera melangkah. Sementara yang lainnya 
mendengarkan saja pembicaraan itu. "Kalau pertanyaan itu 
kau ajukan kemarin, pasti jawaban yang kuberikan akan lain, 
Kang," kata Wadira sambil sedikit berputar. 
"Maksudmu...?" Jampa mengernyitkan alisnya.

"Kalau pertanyaan itu kau ajukan kemarin, dengan tegas 
dan tanpa ragu akan kujawab kalau aku tidak percaya orang 
seperti Kakang Banyupaksi akan mendapat kesulitan. Kita 
semua tahu, siapa Kakang Banyupaksi. Dia adalah orang yang 
memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di desa kita!" 
"Jadi..., sekarang kau tidak yakin kalau Banyupaksi akan 
mampu mengatasi kesulitan yang menghadangnya?" desak 
laki-laki berkumis jarang-jarang. Nada suara maupun sikapnya 
menampakkan penasaran yang amat sangat 
"Yahhh... kira-kira begitu. Kang. Kenyataan telah 
menunjukkan, Kakang Banyupaksi dan Kakang Jatmika belum 
kembali. Apakah kau mengira mereka akan menginap di 
hutan?" 
Jampa menarik napas dalam-dalam, lalu 
menghembuskannya kuat-kuat. Alasan yang dikemukakan 
Wadira memang kuat dan beralasan, dan sulit dibantai lagi 
Suasana menjadi hening ketika Wadira menghentikan 
ucapannya. Dan tak lama kemudian, mereka telah sampai 
tidak jauh dari mulut hutan. Baik Wadira maupun keenam 
orang lainnya merasakan jantung mereka berdebar tegang. 
Seketika ada perasaan genta yang melanda hati tatkala 
melihat mulut hutan itu. Perasaan yang tidak pernah dirasakan 
sebelumnya. Tapi kejadian demi kejadian dengan lenyapnya 
satu-persatu para penduduk Desa Rangkong, membuat hati 
mereka ciut seketika. 
Itulah sebabnya, untuk beberapa saat lamanya mereka 
semua terpaku di tempat itu. Mereka hanya berdiri diam 
sambil memperhatikan Hutan Rangkon dari kejauhan. 
Wadira menggertakkan gigi untuk lebih menguatkan hati 
dan menghilangkan rasa takut yang melanda. Kemudian 
dengan langkah lebar-lebar, laki-laki bertubuh kecil kurus ini 
melangkah maju.

Melihat Wadira telah melangkah maju, keenam orang 
lainnya mau tak mau ikut melangkah maju. Dan kini selangkah 
demi selangkah, jarak antara rombongan itu dengan mulut 
Hutan Rangkong semakin dekat bahkan kini tinggal sekitar 
lima tombak lagi. 
Srattt..! 
Wadira langsung mencabut goloknya. Diputarnya golok itu 
sebentar di atas kepala, baru kemudian kakinya melangkah 
mendekati mulut hutan. Sikap laki-laki bertubuh kecil kurus ini 
terlihat waspada, dengan sepasang mata merayapi sekeliling. 
Perbuatan Wadira ditiru rekan-rekannya, yang juga segera 
mencabut senjata masing-masing. Rupanya mereka semua 
berbekal senjata yang sama berupa golok. Sinar-sinar 
berkilatan nampak berpendar ketika senjata-senjata tajam itu 
keluar dari sarungnya. 
Seperti juga halnya Wadira, enam orang itu pun 
mengedarkan pandangan ke sana kemari. Menilik dari putaran 
tangan yang menggenggam golok, jelas terlihat ketegangan 
yang melanda hati mereka. Tubuh mereka seperti menggigil, 
menanti sesuatu yang bakal terjadi. 
Kini ketujuh orang penduduk Desa Rangkong itu mulai 
memasuki mulut hutan. Dan seiring masuknya ke dalam, 
perasaan tegang semakin jelas terlihat di wajah mereka. 
Srakkk...! 
Suara berkerosakan terdengar berkali-kali begitu golok-
golok di tangan ketujuh orang itu silih berganti menguak 
kerimbunan semak. Tapi sampai beberapa kali menguak 
semak-semak, tetap saja yang dicari tidak diketemukan. Dan 
semakin lama, langkah kaki mereka semakin masuk ke dalam 
hutan. 
"Bagaimana kalau kita memanggil-manggil nama mereka, 
Wadira?" usul Jampa berbisik pelan.

"Sebaiknya jangan. Kang," sahut Wadira. Nada suaranya 
terdengar gemetar sekalipun berbisik. Memang, hati laki-laki 
bertubuh kecil kurus ini tegang bukan main. 
Jampa pun terdiam. Tadi pun sewaktu mengajukan usul, 
sebenarnya tidak begitu bersungguh-sung guh. Usul itu 
diajukan hanya sekadar untuk menghilangkan rasa takut saja. 
Sekarang ketujuh orang itu kembali melanjutkan langkah. 
Tapi baru juga beberapa tindak, langkah mereka terhenti. 
Ketujuh orang itu langsung saling pandang. Jelas ada sesuatu 
yang menyebabkan mereka bertindak seperti itu. 
"Kau dengar suara itu, Kang Jampa?" tanya Wadira pelan. 
Laki-laki berkumis jarang-jarang itu mengangguk-
anggukkan kepala. Ternyata bukan hanya dia saja yang 
mengangguk, tapi juga yang lainnya. 
"Kau bisa mengira-ngira suara apa Itu, Kang? tanya Wadira 
iagi. Masih berbisik. 
Hanya gelengan kepala pertanda tidak tahu yang 
menyambut! pertanyaan laki-laki bertubuh kecil kurus itu. 
"Suara itu aneh sekali, Wadira," sahut salah seorang 
penduduk membuka suara. Rupanya, dia juga tidak betah 
hanya bertindak sebagai pendengar saja. 
Orang itu menganggukkan kepalanya. Memang, suara itu 
juga terdengar olehnya Suara angin mendecit nyaring, seperti 
ada benda tajam. Tapi tak jarang terdengar mengaung, 
sepertinya ada puluhan ekor lebah mengamuk. 
"Bagaimana menurutmu. Kang?" tanya Wadira seraya 
memandang wajah Jampa. 
"Bagaimana apanya, Wadira?" Jampa malah bahu bertanya. 
"Kita selidiki asal suara itu..., atau tidak?"

Jampa mengangkat bahu. "Kuserahkan keputusan itu 
padamu, Wadira." 
"Kalau begitu, kita cari pemilik suara itu!" Tegas dan 
mantap jawaban yang terdengar dari mulut Wadira, 
sungguhpun dengan berbisik. Jawaban itu pun dikeluarkan 
setelah beberapa saat lamanya tercenung. 
Setelah berkata demikian, Wadira segera melangkah 
menuju ke arah asal suara. Mau tak mau, keenam orang 
rekannya mengikuti. 
Kembali keheningan menyelimuti mereka. Kini yang 
terdengar hanyalah kerosak suara rerumputan yang terlanda 
kaki mereka, atau suara semak-semak yang tersibak golok. 
Semakin rombongan penduduk Desa Rangkong itu 
menerobos masuk ke dalam hutan, suara yang terdengar tadi 
semakin jelas. Memang apa yang didengar semula tidak salah. 
Suara yang terdengar adalah suara angin yang terkadang 
mencicit, tapi tak jarang pula mengaung. 
Srakkk...! 
Wadira menyibak kerimbunan semak di hadapannya. Suara 
yang didengarnya, jelas-jelas terdengar dari balik kerimbunan 
semak itu. Maka bergegas kembali disibaknya semak-semak di 
depannya. 
Begitu kerimbunan semak-semak itu tersibak, Wadira 
menjulurkan kepala. Dia ingin tahu, 'makhluk' apa yang 
bersuara aneh itu. 
"Akh...!" 
Laki-laki bertubuh kecil kurus ini memekik tertahan. Betapa 
tidak? Begitu kepalanya dijulurkan,tahu-tahu ada sebuah 
tangan kuat mencekal lehernya dari batik kerimbunan semak-
semak. Keras bukan main cekalan tangan itu. 
"Ha ha ha...!"

Sebuah suara tawa keras bernada menyeramkan terdengar 
begitu pekikan Wadira usai. 
Karuan saja kejadian tidak disangka-sangka itu bukan 
hanya Wadira yang kaget, tapi juga keenam orang rekannya. 
Memang, sejak tadi hati mereka telah dilanda ketegangan. 
Tentu saja kejadian mengejutkan itu membuat mereka 
serentak melompat ke belakang dengan raut wajah sepucat 
mayat 
Sebelum mereka semua sempat berbuat sesuatu, tangan 
kekar yang mencekal leher Wadira telah bergerak 
mencengkeram. 
Krrrkh...! 
Suara bergemeretak tulang leher yang patah terdengar 
seiring remasan tangan yang mencekal. Tanpa sempat 
berteriak lagi, Wadira tewas seketika. Tubuhnya pun ambruk 
ke tanah ketika tangan kekar itu melepaskan cekatannya. 
Keenam orang penduduk desa itu menatap wajah Wadira 
dengan pandangan ngeri. Apalagi ketika melihat darah segar 
yang memancur deras dari mulut, hidung, dan telinga laki-laki 
bertubuh kecil kurus itu. 
Tapi pandangan mereka semua lalu beralih begitu, 
terdengar suara berkerosakan keras diiringi tersibaknya semak 
yang tadi disibak oleh Wadira. Dan tak lama, keluarlah sosok 
tubuh tinggi besar dan berpakaian hitam. 
Jampa dan kelima orang rekannya menatap sosok tubuh 
yang baru saja keluar dari balik semak-semak. 
Sosok tubuh itu tampaknya benar-benar mengiriskan. 
Sekujur tubuhnya dipenuhi bulu hitam. Wajahnya- kasar, dan 
ditumbuhi cambang bauk yang lebat. Dan pada bagian atas 
kepalanya bertengger sebuah penutup kepala yang terbuat 
dari setengah tempurung kelapa.

"ha ha ha...! Sungguh tidak kusangka masih ada monyet-
monyet kecil yang mau mengantarkan nyawa," kata laki-laki 
berpakaian hitam itu dengan suara khasnya yang keras dan 
menggelegar. 
Keenam orang penduduk Desa Rangkong itu sama sekali 
tidak menyambut ucapan itu. Perasaan tegang dan ngeri 
melihat kematian Wadira yang mengerikan, serta perbawa 
laki-laki bercambang bauk lebat itu membuat lidah mereka 
seperti kelu. Tak mampu mengeluarkan kata-kata sedikit pun. 
"Kalian ingin melihat monyet-monyet kecil yang telah 
mendahului kalian?" 
Setelah berkata demikian, laki-laki bertubuh tinggi besar itu 
menggerak-gerakkan tangannya ke arah kerimbunan semak 
tempat dirinya keluar tadi. 
Hebat luar biasa akibatnya. Padalah jelas terlihat kalau laki-
laki berpakaian hitam itu hanya mengibaskan tangan secara 
sembarangan saja ke arah kerimbunan semak-semak tadi. 
Tapi akibatnya semak-semak itu terlempar jauh ke belakang, 
tercabut hingga ke akar-akarnya. 
Tindakan yang baru disaksikan itu saja, sudah membuat 
bulu tengkuk mereka merinding. Tapi, pemandangan yang 
tampak di balik kerimbunan semak-semak lebih membuat 
mereka dilanda rasa ngeri. 
Tampak di atas pepohonan, di balik semak-semak itu 
tergantung tiga sosok tubuh. Walaupun keadaannya sudah 
tidak karuan lagi, tetapi masih dapat dikenali. Tiga sosok 
tubuh itu bukan lain dari Banyupaksi, Jatmika, dan Guradi. 
Memang, semula laki-laki berpakaian hitam itu 
meninggalkan ketiga mayat itu. Tapi akhirnya berubah pikiran, 
dan mengambilnya.

"Banyupaksi, Jatmika, dan Guradi...," desah Jampa dengan 
bibir bergetar. Suaranya terdengar serak karena dilanda 
ketegangan yang memuncak. 
Tanpa diberi tahu pun, kelima orang penduduk yang lain 
bisa mengenali orang-orang yang tergantung di atas pohon 
 "Ha ha ha...!” 
Laki-laki bercambang bauk lebat tertawa bergelak-gelak 
melihat wajah keenam orang penduduk itu pucat pasi bagai 
tak pernah dialiri darah. 
"Semula aku sudah merasa kebingungan mencari orang 
untuk kujadikan kelinci percobaan atas ilmu baru vang tengah 
kupelajari. Dan sungguh tidak kusangka kalian datang. Ha ha 
ha...! Nasibku memang benar-benar baik. Aku tidak perlu 
susah-susah mencari, buktinya sudah ada ikan kena 
umpanku!" 
Keenam orang penduduk Desa Rangkong sudah bisa 
menebak kalau laki-laki berpakaian serba hitam itu memiliki 
ilmu dahsyat. Dan mereka semua merasa kalau bukan 
tandingan orang itu. Melawan sama saja membuang nyawa 
percuma. Melihat dari mayat Banyupaksi, sudah bisa 
diperkirakan kesaktian laki-laki yang menyeramkan ini. Belum 
lagi saat dia membongkar kerimbunan semak-semak dengan 
sebuah kibasan lengan sembarangan saja. Sukar untuk 
dibayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu kepandaian 
kakek tinggi besar ini. 
Seperti telah disepakati saja, mendadak mereka 
membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat 
itu. 
"Ha ha ha...!" 
Laki-laki berpakaian serba hitam itu tertawa bergelak. Dan 
sekali bergerak, tubuhnya telah berada di hadapan enam 
orang penduduk Desa Rangkong itu.

Enam orang penduduk Desa Rangkong tadi hanya melihat 
sekelebatan bayangan hitam saja yang melewati mereka. Dan 
kini tahu-tahu laki-laki bertubuh tinggi besar itu telah berada 
di hadapan mereka. Karuan saja hal ini membuat mereka 
terkejut bukan main dan langsung menghentikan langkah. 
Rasa gentar yang amat sangat merayapi hati mereka semua. 
Tanpa pikir panjang lagi mereka membalikkan tubuh 
kembali dan berlari ke arah yang berlawanan dari arah tujuan 
semula. Kini mereka berlari kian masuk ke dalam hutan. 
"Ha ha ha...! Jangan mimpi bisa lolos dari Raja Iblis Baju 
Hitam..!" 
Diiringi tawa bergelak yang memekakkan telinga laki-laki 
bercambang bauk lebat yang ternyata berjuluk Raja Iblis Baju 
Hitam itu berseru sombong. 
Untung bagi keenam orang penduduk Desa Rangkong itu. 
Sebab laki-laki bertubuh tinggi besar itu tidak mengerahkan 
tenaga dalam pada suaranya. Kalau saja dikerahkan, pasti 
semuanya akan tewas dengan dada pecah. 
Setelah beberapa kali mencoba tanpa hasil, keenam orang 
penduduk desa itu pun tahu kalau tidak ada gunanya 
berusaha melarikan diri. Maka diputuskanlah untuk melawan 
mati-matian. Keenam orang ini tahu kalau Raja Iblis Baju 
Hitam tidak akan mengampuni. 
"Hiaaat...!" 
Diiringi teriakan keras menggelegar, Jampa melompat 
menerjang. Golok di tangannya dibabatkan cepat ke arah 
leher. 
Melihat rekan mereka telah bergerak menyerang, lima 
orang lainnya pun ikut menyerang pula. Dalam sekejapan 
saja, enam batang golok telah menyambar ke berbagai bagian 
tubuh laki-laki berpakaian hitam. "Hmh...!"

Raja Iblis Baju Hitam hanya mendengus. Tidak tampak 
tanda-tanda kalau akan mengelak atau menangkis serangan 
itu. Sekali lihat saja, telah diketahui kalau enam orang itu 
hanya sekadarnya saja menguasai Ilmu silat. Tenaga dalam 
mereka pun amat rendah. Maka, dibiarkannya saja enam 
batang golok itu menyambar sasaran. Laki-laki bercambang 
bauk lebat ini hanya mengerahkan tenaga dalam untuk 
melindungi kulit tubuhnya. Tak, tak, tak...! 
Suara berdetak keras seperti beradunya logam-logam keras 
terdengar berulang-ulang ketika enam batang golok mengenai 
tubuhnya. 
Enam orang penduduk Desa Rangkong itu terpekik kaget 
ketika menyadari serangan golok mereka sama sekali tidak 
mampu melukai tubuh lawan. Malah sebaliknya, golok di 
tangan mereka terpental balik, bukan hanya itu saja. Tangan 
yang menggenggam senjata itu pun terasa sakit bukan main. 
Sebelum keenam orang penduduk itu sadar dari 
keterkejutannya, tangan Raja Iblis Baju Hitam telah bergerak. 
Cepat bukan main gerakannya, sehingga para penduduk desa 
yang hanya mempunyai kemampuan sekadarnya tak 
menyadari hal itu. Mereka semua hanya melihat seleret sinar 
kehitaman menyambar, dan tahu-tahu golok di tangan mereka 
telah terlepas dari pegangan. 
Jampa dan kelima orang temannya memandang dengan 
mata terbelalak lebar melihat kenyataan . Dan kini di kedua 
tangan tokoh sesat yang menggiriskan itu tergenggam enam 
batang golok. Entah bagaimana caranya, senjata-senjata itu 
berpindah tangan. Bahkan enam orang penduduk itu sama 
sekali tidak mengetahuinya. 
Sambil tertawa terbahak-bahak, Raja Iblis Baju Hitam 
menggerakkan jari-jari tangannya. Perlahan saja kelihatannya, 
tapi akibatnya luar biasa. Suara gema retak keras terdengar, 
diikuti berpatahannya golok-golok itu.

"Ilmu iblis...!" 
Laki-laki berpakaian hitam itu mendesis penuh kengerian. 
Memang cara Raja Iblis Baju Hitam mema tah-matahkan 
keenam golok itu luar biasa sekali. Padahal, semua senjata itu 
terbuat dari logam keras, Tapi dia ternyata mampu 
mematahkannya seperti mematahkan lidi! 
"Sekarang saatnya aku mencoba ilmu yang selama ini 
kulatlh...." 
Setelah berkata demikian, Raja Iblis Baju Hitam 
mendorongkan kedua tangan dengan jari-jarinya terbuka, ke 
depan. Pelan gerakannya, tapi penuh tenaga. Suara 
berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang patah mengiringi 
gerakannya. Dan begitu kedua tangan itu telah terjulur ke 
depan, kedua telapak tangan itu berubah merah seperti darah. 
Seketika tercium bau amis yang memualkan perut, seiring 
berubahnya warna telapak tangan itu. Jelas kalau Raja Iblis 
Baju Hitam menggunakan ilmu yang mengandung racun. 
"Hih...!" 
Mendadak tubuh Raja Iblis Baju Hitam melesat cepat ke 
depan. Enam orang penduduk itu terkejut, iktn sebisa-bisanya 
berusaha mengelak. Tapi... 
Plak, plak, plak...! 
Enam kali berturut-turut telapak tangan laki-laki 
bercambang bauk lebat itu menyentuh tubuh enam orang 
penduduk Desa Rangkong. Pelan saja gerakannya. Memang, 
Raja Iblis Baju Hitam hanya mengerahkan sebagian kecil 
tenaga dalamnya. Dia memang tidak berniat membunuh atau 
menyiksa dengan tenaga dalamnya. Tapi hanya sekadar 
mencoba keampuhan ilmu racun yang beberapa lama ini 
dipelajarinya. 
Akibatnya luar biasa. Begitu kedua telapak tangan Raja Iblis 
Baju Hitam menyentuh, enam orang penduduk itu menggeliat

geliat. Rasa gatal dan panas yang amat sangat seketika 
menyerang tubuh mereka. Mula-mula hanya melanda bagian 
yang tersentuh, tapi cepat kali menyebar ke seluruh bagian 
tubuh. Enam orang penduduk itu menjerit melolong-lolong. 
Rasa gatal yang tidak terkira membuat mereka tanpa pikir 
panjang lagi menggaruk keras-keras. Anehnya semakin 
digaruk, rasa gatal itu semakin menyiksa. Maka mereka pun 
menggaruk semakin membabi-buta. 
"Ha ha ha...!" 
Raja Iblis Baju Hitam tertawa bergelak-gelak melihat 
pemandangan di hadapannya. Memang, tokoh sesat yang 
menggiriskan ini memiliki kebiasaan. Hatinya merasa senang 
melihat orang lain tersiksa menderita. Semakin tersiksa dan 
menderita, semakin gembira hatinya. Tak heran bila 
menyaksikan penderitaan enam orang penduduk Desa 
Rangkong dia malah tertawa-tawa gembira. 
Sementara enam orang penduduk desa itu saja menggaruk 
sekujur tubuh. Karena rasa gatal menyebar ke seluruh tubuh, 
maka garukan tangan mereka pun menjarah sekujur tubuh. 
Tak lama kemudian, sekujur kulit tubuh mereka mulai 
hancur. Di samping akibat pengaruh racun juga akibat 
garukan tangan mereka sendiri. 
Cukup lama juga pemandangan mengerikan berlangsung, 
sebelum akhirnya mereka tidak bergerak lagi untuk selama-
lamanya. Tewas dalam keadaan tubuh tercabik-cabik tangan 
sendiri. 
"Ha ha ha...! Tidak sia-sia rupanya aku mempelajari ilmu 
'Tangan Racun Pasir Merah'. Memang luar biasa akibatnya. Ha 
ha ha...! Bidadari Sabuk Emas. Kita buktikan, siapa di antara 
kita yang paling jago kini! Ha ha ha...!" 
Masih dengan suara tawa yang tidak putus, Raja Iblis Baju 
Hitam meninggalkan mayat enam orang penduduk itu.


***

TIGA


Senandung kecil terdengar meningkahi cicit riang ini urung-
burung menyambut datangnya pagi. Bola api raksasa 
berwarna merah muncul di ufuk Timur, mengulir kabut yang 
masih tertinggal di lereng Gunung Rangkong. 
Sesosok tubuh renta milik seorang kakek kecil kurus, 
bergerak lincah menuruni lereng gunung itu. Mulutnya agak 
meruncing ke depan, menyiutkan senandung tak jelas 
iramanya. Rupanya dari mulut kakek inilah senandung itu 
berasal. 
Kakek Itu mengenakan pakaian berwarna kuning. 
Wajahnya nampak segar kemerahan, seperti bukan wajah 
seorang kakek. Padahal menilik dari rambut, aliss, kumis, dan 
jenggotnya yang telah memutih, bisa diperkirakan kalau 
usianya sudah lebih enam puluh Inhun. Di tangan kanannya 
terjinjing sebuah keranjang intan. 
Sambil terus bersiul-siul, kakek ini bergerak lincah. Dia 
melompat dari satu batu ke batu lainnya. Gerakannya cukup 
cepat dan lincah. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya telah 
begitu tinggi. 
Bola api raksasa di ufuk Timur, sudah tidak berwarna 
kemerahan lagi. Bahkan sinarnya pun sudah mulai 
menyilaukan mata, ketika kakek berpakaian kuning ini tiba di 
mulut Hutan Rangkong. Di sini, baru kakek itu menghentikan 
larinya. 
Kini kakek berpakaian kuning itu melangkahkan kakinya 
lambat-lambat Sedangkan sepasang matanya beredar 
mengawasi sekelilingnya. Jelas, ada sesuatu yang dicarinya.


Beberapa kali kakek ini melangkah menghampiri ketika 
melihat apa yang dicarinya. Ternyata dia tengah mencari 
tumbuh-tumbuhan. Beberapa kali, dicabutnya beberapa 
tanaman yang memang dicarinya, lalu diambil akarnya. 
Terkadang pula bijinya. Tapi, tak jarang daun atau kulit 
batangnya. 
Matahari telah berada di atas kepala, ketika akhirnya 
keranjang rotan kakek itu telah penuh segala macam 
tanaman. 
Sambil bersiul-siul, kakek berpakaian kuning ini kembali 
melangkahkan kakinya kembali ke lereng gunung. Tidak 
nampak ada kelelahan pada wajahnya, walaupun telah 
berputar putar di dalam Hutan Rangkong selama setengah 
hari. 
Tapi gerakannya langsung terhenti ketika sepasang 
matanya melihat serombongan orang bergerak mendaki 
lereng. Menilik dari pakaian dan gerakan,bisa diduga kalau 
rombongan itu adalah para penduduk desa di sekitar Gunung 
Rangkong. 
Kakek berpakaian kuning itu diam-diam menghitung jumlah 
mereka dengan matanya. Ada delapan orang. Dua di 
antaranya nampak lemas dan dipapah. Dari sini bisa 
diperkirakan kalau mereka menderita sakit. 
Setelah mengamati beberapa saat, kakek berpakaian 
kuning ini lalu melesat ke arah mereka. Cepat bukan main 
gerakannya, sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan sinar 
berwarna kekuningan. 
Sesaat kemudian, kakek berpakaian kuning itu telah berada 
di depan delapan orang penduduk Desa Rangkong. Begitu 
mendadak kehadirannya, sehingga membuat delapan orang 
itu berjingkat kaget Tapi, raut kagetan segera lenyap begitu 
mengenali sosok tubuh yang tahu-tahu berada di depan 
mereka.

"Eyang Balunglaga...," sebut salah seorang dari mereka 
yang berjenggot hitam panjang. 
"Siapa kalian? Dan ada keperluan apa mendaki lereng ini?" 
tanya kakek berpakaian kuning yang ternyata bernama Eyang 
Balunglaga. Sekilas, ditatapnya wajah dua orang yang dipapah 
mereka. Kemudian, pandangannya beralih ke arah laki-laki 
berjenggot panjang. 
"Kami adalah penduduk Desa Rangkong, Eyang," jawab 
laki-laki berjenggot panjang yang rupanya menjadi juru bicara 
rombongan itu. 
Eyang Balunglaga hanya mengangguk-anggukkan kepala. 
Kakek ini tahu, Desa Rangkong adalah salah satu desa yang 
terletak di kaki Gunung Rangkong. Pandangannya kembali 
dialihkan ke arah wajah dua inang yang dipapah, seorang laki-
laki dan seorang wanita. 
"Maksud kami mendaki lereng ini untuk mencari eyang," 
sambung laki-laki berjenggot panjang. "Kami ingin meminta 
pertolongan." 
Sambil berkata demikian, pandangan mata laki laki 
berjenggot panjang itu berpindah ke arah dua orang yang 
dipapah. Tanpa sadar, Eyang Balunglaga juga mengedarkan 
pandangan ke arah yang sama. Memang, kakek berpakaian 
kuning ini sangat ahli dalam ilmu pengobatan. Keahliannya 
bahkan telah tersebar ke seluruh desa di kaki Gunung 
Rangkong. 
"Inikah orang yang butuh pertolongan itu?" tanya Eyang 
Balunglaga sambil melangkah menghampiri. Ditatapnya wajah 
kedua orang laki-laki itu, lalu diperiksa panas tubuhnya. 
"Mereka keracunan...," jelas kakek berpakaian kuning itu 
pelan. "Ceritakan, bagaimana hal ini bisa terjadi?"

Laki-laki berjenggot panjang mengangkat bahu pertanda 
tidak mengetahuinya. Kemudian pandangannya dialihkan ke 
arah rekannya, seorang laki-laki muda bertubuh kekar berotot. 
"Aku juga tidak mengerti, Eyang," kata laki-laki bertubuh 
kekar itu. "Hanya yang kutahu, sebelumnya Paman dan Bibi 
memakan ikan hasil tangkapan Paman." 
"Hm.... Lalu?" desak Eyang Balunglaga. 
'Tak lama kemudian.... Paman dan Bibi muntah-muntah. 
Tubuhnya pun kejang. Dari mulut mereka keluar buih berbau 
busuk. Maka segera kupanggil mereka semua untuk 
menolongku membawa dua orang ini kemari." 
"Kau tahu, ikan apa yang dimakannya?" tanya Eyang 
Balunglaga. 
Karena sebagai seorang ahli pengobatan, kakek ini tahu 
kalau ada beberapa jenis ikan yang memang mengandung 
racun. Ikan buntal misalnya. Tapi ikan jenis itu hanya hidup di 
laut. 
"Ikan air tawar biasa, Eyang." 
"Aneh," ucap Eyang Balunglaga dengan dahi berkernyit 
dalam. 
Jelas ada sesuatu yang dipikirkan laki-laki tua itu. 
Sementara delapan orang penduduk Desa Rangkong diam 
saja. Mereka tidak mau mengganggu pikiran kakek berpakaian 
kuning itu. 
"Bawa mereka ke pondokku," ujar Eyang Balunglaga, 
seraya melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu, 
mendahului mereka menuju ke lereng. 
Enam orang penduduk Desa Rangkong membaringkan dua 
sosok tubuh yang mereka papah ke dipan bambu. Kemudian, 
mereka duduk diam menunggu.

Sementara di dalam, Eyang Balunglaga sibuk memeriksa 
luka-luka dua orang penduduk yang keracunan itu. 
"Hhh...l" 
Kakek berpakaian kuning itu menghela napas berat, setelah 
memeriksa luka-luka kedua orang itu berapa saat lamanya. 
Menilik dari sikap dan raut wajahnya, jelas ada sesuatu yang 
tidak menyenangkan hati kakek kecil kurus ini. 
Dengan langkah lambat dan raut wajah lesu. Eyang 
Balunglaga melangkah ke luar. 
"Bagaimana, Eyang?" tanya pemuda bertubuh kekar penuh 
gairah. 
Saking tegangnya menunggu nasib kedua orang 
keluarganya, dia tidak sempat memperhatikan wajah dan 
sikap Eyang Balunglaga yang lesu. 
"Sayang sekali, Anak Muda," sahut kakek bertubuh kecil 
kurus itu pelan. Tampak kalau dia merem berat hati untuk 
menyampaikannya. 
"Maksud, Eyang?" tanya laki-laki bertubuh kekar itu kalap. 
"Racun yang menyerang mereka tidak kukenal," sahut 
Eyang Balunglaga bernada keluhan. "Terus terang, aku tidak 
mampu menolong mereka." 
"Jadi...?!" suara laki-laki bertubuh kekar itu terdengar 
gemetar. 
"Kita serahkan semuanya pada kekuasaan Tuhan...," hanya 
itu yang bisa diucapkan Eyang Balunglaga. 
"Ohhh...!" 
Seraya mengeluarkan keluhan putus asa, laki-laki bertubuh 
kekar itu melesat cepat ke ruang dalam. Eyang Balunglaga 
sama sekali tidak mencegahnya. Hatinya merasa terpukul


karena tidak mampu mengobati luka kedua orang itu. Untuk 
pertama kali Eyang Balunglaga gagal dalam mengobati orang. 
Perlahan kakek bertubuh kecil kurus ini mengalihkan 
perhatian pada penduduk lain yang ikut mengantar kedua 
orang yang keracunan itu. Perasaan terpukul yang 
melandanya pun semakin besar. Dilihatnya satu-persatu 
kepala penduduk itu tertunduk Sepertinya, mereka semua 
menyalahkan kakek itu karena tidak mampu mengobati 
penduduk Desa Rangkong Itu. "Paman...! Bibi...!" 
Mendadak dari ruangan dalam terdengar teriakan keras, 
namun lebih patut disebut lolong kesedihan, serentak empat 
orang penduduk lainnya itu berlomba masuk ke dalam. 
Meskipun sudah dapat menduga apa yang terjadi, tapi tak 
urung mereka ingin menyaksikannya juga. 
Eyang Balunglaga tak ketinggalan pula. Kakek berpakaian 
kuning ini melangkah masuk paling akhir. 
Tapi langkah Eyang Balunglaga berhenti di depan pintu, 
seperti juga empat orang penduduk itu begitu melihat 
pemandangan di hadapan mereka. 
Tampak di pinggir pembaringan, pemuda bertubuh kekar 
itu duduk sambil menelungkupkan wajah. Sementara di balai-
balai bambu, tergolek diam dua sosok tubuh. 
Tanpa melihat dari dekat pun, Eyang Balunglaga sudah bisa 
mengetahui kalau kedua orang itu sudah tewas. Tanpa sadar, 
sebuah helaan napas berat keluar dari mulutnya. 
Tanpa berkata-kata, laki-laki bertubuh kekar itu 
mengangkat salah satu mayat dan membawanya ke luar. 
Bagai kucing ditakut-takuti lidi, para penduduk dan Eyang 
Balunglaga yang berdiri di ambang pintu bergerak menyingkir. 
Masih dengan tanpa suara, laki-laki bertubuh kekar itu 
melangkah melewati ambang pintu. Jangankan bicara, 
menoleh pun tidak. Pandangan matanya menatap kosong ke

depan. Jelas kalau hatinya merasa terpukul menerima 
kenyataan ini. 
Melihat laki-laki bertubuh kekar itu telah melangkah ke luar, 
laki-laki berjenggot panjang memberi isyarat pada salah satu 
dari tiga orang penduduk 
Tanpa menunggu diperintah dua kali, penduduk yang 
bertubuh pendek menghampiri balai-balai bambu. 
Diangkatnya tubuh penduduk desa mereka yang telah menjadi 
mayat. 
Laki-laki berjenggot panjang menunggu, hingga laki-laki 
bertubuh pendek itu melewati ambang pintu. Setelah lewat, 
baru dia bersama dua orang penduduk lainnya bergerak 
meninggalkan ruangan itu. Tak lupa sebelum meninggalkan 
tempat itu, laki-laki berjenggot panjang menoleh ke arah 
Eyang Balunglaga. 
"Maafkan atas sikap kami semua, Eyang. Biar 
bagaimanapun juga, Eyang telah berusaha sekuat tenaga. 
Tapi, yahhh.... Tuhan telah berkehendak lain." 
Hanya senyum getir tersungging di mulut Eyang Balunglaga 
yang menyambuti ucapan laki-laki berjenggot panjang itu. 
Mata laki-laki tua itu kemudian menatap enam sosok tubuh 
yang semakin lama semakin mengecil dan akhirnya lenyap 
ditelan jalan. 
*** 
Tok, tok, tok...! 
Seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus mengetuk daun 
pintu sebuah rumah. Menilik dari ketukannya yang berturut-
turut, bisa diperkirakan kalau dia tengah terburu-buru. 
"Ki...! Ki Saketi...!" 
Sambil terus mengetuk-ngetukkan tangan pada daun pintu, 
laki-laki bertubuh tinggi kurus itu berteriak-teriak memanggil.

Jelas kalau dia terburu-buru sekali. Panggilannya berhenti 
setelah terdengar langkah kaki diseret mendekati pintu. 
Suara derit pelan terdengat ketika daun pintu itu tergerak 
membuka. 
"Hm.... Kau rupanya, Tirta?" sapa orang yang dipanggil Ki 
Saketi tadi. 
Kepala Desa Rangkong ini tampak berwajah kuyu dan 
lusuh. Kejadian demi kejadian yang menimpa desanya 
membuat laki-laki berkumis tebal ini menjadi berwajah 
demikian. Dia yakin, pasti ada kejadian lagi. Sehingga orang 
yang dipanggil Tirta bertindak begitu kalap. 
"Ada apa, Tirta?" 
"Anu, Ki...," masih dengan napas memburu. Tirta mencoba 
bercerita. 
"Lebih baik kita masuk dulu dan bicara di dalam,"ujar Ki 
Saketi. 
Kepala desa itu mengajak Tirta masuk. Dia tahu, laki-laki 
kurus itu butuh ketenangan untuk bercerita. Tapi, perasaan 
terburu-burunya untuk menyampaikan sesuatu sudah tidak 
bisa ditahan lagi. Daripada mendengar cerita yang terputus-
putus, Kepala DesaRang kong ini mengajak Tirta masuk ke 
rumahnya. 
Laki-laki tinggi kurus itu tidak bisa membantah lagi karena 
Ki Saketi telah mendahului melangkah masuk 
"Minumlah dulu agar hatimu tenang," Ki Saketi 
mempersilakan, begitu mereka berdua telah duduk di dalam. 
Lagi-lagi Tirta tidak membantah ucapan laki-laki berpakaian 
abu-abu itu. Segera tangannya diulurkan untuk mengambil 
minuman yang disediakan.

"Nah, Sekarang, katakanlah apa yang ingin kau ceritakan 
padaku!" tagih Kepala Desa Rangkong begi tu Tirta telah 
meletakkan kembali gelas bambu di meja 
"Celaka, Ki!" belum apa-apa laki-laki bertubuh tinggi kurus 
itu sudah kalap. 
'Tenanglah, Tirta," ujar Ki Saketi menasihati. 
"Para penduduk yang mandi di sungai, terserang penyakit 
aneh, Ki," lanjut Tirta. 
'Penyakit aneh?" Ki Saketi mengernyitkan dahinya. 
"Benar, Ki. Penyakit aneh," ulang Tirta menguatkan ucapan 
sebelumnya. "Begitu selesai mandi, sekujur tubuh mereka 
terasa gatal-gatal amat luar biasa Mereka merasa tidak tahan 
untuk tidak menggaruk." 
Tirta mengatur napasnya sejenak. Caranya bercerita yang 
terlalu berapi-api, membuat napasnya tersengal-sengal. 
Sementara Ki Saketi langsung mengerutkan alisnya 
mendengar cerita laki-laki bertubuh tinggi kurus itu. 
"Tak lama kemudian, di sekujur tubuh mereka timbul 
bintik-bintik. Lalu, kulit mereka seperti hancur, 
Sampai di sini Tirta menghentikan ceritanya, lalu 
menutupkan muka dengan kedua telapak tangannya. 
"Di mana mereka sekarang?" tanya Ki Saketi dengan suara 
bergetar menahan perasaan ngeri. Sepercik ucapan terbetik di 
hatinya. Apa dosa penduduk Desa Rangkong, sehingga sampai 
menerima malapetaka beruntun ini? Padahal tujuh orang 
penduduk ynng tiga hari lalu pergi menyusul Banyupaksi dan 
.latmika pun belum ketahuan kabarnya. Kini sudah muncul lagi 
masalah baru. 
"Masih di pinggir sungai, Ki," pelan dan tidak bersemangat 
jawaban Tirta. Sungguh berbeda dengan ucapan sebelumnya 
yang begitu berapi-api. "Kalau begitu, mari kita ke sana!"

Setelah berkata demikian, Kepala Desa Rangkong Ini bergegas 
bangkit dari duduknya. Mau tidak mau, Tirta pun bergerak 
bangkit mengikuti laki-laki berkumis lebal yang terus saja 
melangkah ke luar. 
Tapi sesampainya di luar, Ki Saketi terpaksa menunggu 
Tirta karena memang dialah yang mengetahui di sungai 
sebelah mana para penduduk yang keracunan itu. 
Seperti semula sewaktu datang, kali ini pun Tirta berlari-lari 
bagai dikejar hantu. Mau tak mau, Ki Saketi terpaksa berlari-
lari juga kalau tidak ingin tertinggal. 
Kepala Desa Rangkong ini tidak bisa menyalahkan Tirta 
karena dia pun ingin buru-buru melihat kenyataan ucapan 
warganya itu. 
Masih cukup jauh jarak yang dimaksud Tirta, namun Ki 
Saketi sudah bisa mengetahui tempat pastinya. Kerumunan 
para penduduk yang merubungi sebuah tempat, sudah 
merupakan jawaban pertanyaannya. 
Melihat hal itu, Tirta dan Ki Saketi semaki mempercepat 
langkahnya. 
Sebelum kedua orang itu tiba, seorang penduduk yang 
wajahnya penuh panu sudah melihat kedatangan mereka. 
"Minggir...! Menyingkir semua...! Beri jalan pada Ki 
Saketi...!" teriak laki-laki berwajah penuh panu seraya 
menepuk-nepuk bahu beberapa orang penduduk untuk lebih 
memperjelas pemberitahuannya. Maka kerumunan para 
penduduk itu pun menyeruak, memberi jalan pada Ki Saketi. 
Kepala Desa Rangkong ini menganggukkan kepala kepada 
para warganya, kemudian bergegas menghampiri sosok-sosok 
tubuh yang tergolek dengan sekujur kulit memerah seperti 
darah.

Dengan pandangan matanya, Ki Saketi menghitung jumlah 
mereka. Ada enam orang. Dan semuanya tergolek diam. 
Matikah mereka? 
Laki-laki berpakaian abu-abu ini buru-buru berjongkok. 
Melihat keadaan tubuh mereka, Ki Saketi sama sekali tidak 
berani menyentuhnya. Dia tahu keenam orang penduduknya 
itu keracunan hebat 
"Hhh...!" 
Kepala Desa Rangkong ini menghela napas berat. Melihat 
tidak adanya perut yang bergerak turun naik, bisa diperkirakan 
kalau mereka yang terbaring sudah lewas. Keadaan mereka 
begitu mengerikan. Sekujur kulit memerah seperti udang 
rebus. 
Yang lebih mengerikan lagi, sekujur kulit tubuh mereka pun 
seperti hancur. Jadi lunak seperti telah membusuk. Luka-luka 
bekas garukan tangan akibat rasa gatal yang mendera, 
nampak di sekujur kulit yang merah dan lunak itu. 
Perlahan-lahan Ki Saketi bangkit berdiri. Wajahnya penuh 
diliputi kengerian. Memang, laki-laki berpakaian abu-abu ini 
merasa ngeri bukan main melihat keadaan mayat-mayat para 
warganya. 
Bukan hanya di wajah Ki Saketi saja yang menampakkan 
kengerian. Di wajah para penduduk yang lainnya pun 
demikian pula. 
"Apa yang harus kita lakukan dengan mayat mereka, Ki?" 
tanya penduduk yang bertubuh pendek. Suaranya terdengar 
serak. Jelas kalau dia belum bisa menata dirinya dari perasaan 
terkejut yang melanda hati. 
Ki Saketi tercenung sesaat lamanya, sambil menatap wajah 
orang yang bertanya sejenak. Kemudian perlahan-lahan 
kepalanya menggeleng.

"Aku pun tidak tahu...," jawab orang nomor satu di Desa 
Rangkong ini. "Rasanya sulit bagi kita untuk 
menguburkannya...." 
"Mengapa, Ki?" tanya Tirta. 
Bodoh benar pertanyaan itu. Padahal sebetulnya laki-laki 
bertubuh tinggi kurus ini bukan orang bodoh. Tapi kenyataan 
yang disaksikan membuat pikiran jernihnya menguap entah ke 
mana. Hanya kebuntuan yang mencekam di benaknya. 
"Bagaimana kita bisa menguburkannya, Tirta?" Ki Saketi 
mulai menjawab dengan mengajukan pertanyaan lebih dulu. 
Nada suaranya terdengar lesu, selesu wajahnya. "Aku yakin, 
sekujur tubuh keenam orang ini telah mengandung racun 
yang mengerikan. Bukan tidak mungkin kita akan ketularan 
kalau menyentuh mereka." 
Tirta mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda mengerti. 
Suasana menjadi hening sejenak begitu Ki Saketi 
menghentikan ucapannya. Keheningan yang mencekam, 
karena hati semua penduduk diliputi kengerian. Jelas mereka 
takut akan kembali terjadi peristiwa mengerikan di desa 
mereka. 
"Mayat-mayat itu harus dibakar." 
Sebuah suara pelan tapi mengandung getaran yang cukup 
kuat terdengar. Meskipun hanya pelan saja, tapi karena saat 
itu suasana di tempat itu heningi maka suara itu jadi 
terdengar jelas. 
Bagai diberi aba-aba, kepala semua penduduk itu menoleh 
ke arah asal suara, tak terkecuali Ki Saketi sendiri. 
Ternyata dua tombak jaraknya dari mereka telah berdiri 
seorang kakek berwajah segar. Sehelai pakaian yang 
berwarna kuning membungkus tubuhnya yang kecil kurus.

"Ah.... Rupanya Eyang Balunglaga...," sapa Ki Saketi 
dengan wajah berseri-seri. Ada perasaan lega -yang 
menyeruak di harinya melihat kedatangan kakek ahli 
pengobatan itu. 
Meskipun Kepala Desa Rangkong ini telah mendengar akan 
kegagalan kakek kecil kurus ini mengobati paman dan bibi 
salah seorang warganya, namun rasa hormatnya pada Eyang 
Balunglaga tidak sirna karenanya. 
Laki-laki berkumis tebal ini tahu, meskipun Eyang 
Balunglaga selama ini mampu mengobati luka-luka keracunan, 
tapi keracunan yang tidak berat. Bukan keracunan akibat 
tindakan seseorang yang terbiasa bermain racun. Apalagi 
racun ganas. Sementara racun yang menyerang warga Desa 
Rangkong adalah racun yang dibuat orang yang terbiasa main 
racun. Tidak aneh kalau kakek kecil kurus itu tidak mampu 
mengobatinya. 
"Jadi jalan satu-satunya untuk mencegah penularan racun 
ini, mayat-mayat ini harus dibakar, Eyang?" tanya Kepala Desa 
Rangkong untuk memastikan ucapan yang tadi terdengar 
telinganya. "Benar!" jawab Eyang Balunglaga pelan. Ki Saketi 
menoleh ke arah Tirta. "Uruslah mayat-mayat ini." 
"Baik, Ki," laki-laki bertubuh tinggi kurus itu sigap 
menjawab. 
"Ajak beberapa orang untuk mengumpulkan ranting-ranting 
kering!" 
"Baik, Ki." 
Tirta dan beberapa orang penduduk lainnya beri gegas 
meninggalkan tempat itu untuk melaksanakan tugas yang 
diberikan kepala desanya. 
Eyang Balunglaga melangkah menghampiri mayat-mayat 
yang tergolek di tanah. Raut wajah maupun sepasang 
matanya menyiratkan penyesalan yang mendalam.

Memang, kakek bertubuh kecil kurus ini merasa penasaran 
bukan kepalang akibat ketidakmampuannya mengenali racun 
yang menyerang para penduduk Desa Rangkong. 
Eyang Balunglaga adalah seorang pandai obat sejati Tidak 
ada kebahagiaan yang lebih besar dari pada melihat 
kesembuhan orang yang berobat padanya. Sebaliknya, tidak 
ada kesedihan yang lebih besar selain melihat orang yang 
sakit, tewas di hadapannya.Dan perasaan itulah yang melanda 
hatinya sekarang ini. 
Kakek bertubuh kecil kurus ini berjongkok. Sepasang 
matanya merayapi sekujur tubuh mayat-mayat itu. Helaan 
napas beratnya selalu terdengar keluar dari mulutnya. 
Sementara para penduduk hanya memperhatikan semua 
kelakuan kakek ahli pengobatan itu. 
"Menurut berita yang kudapat, sehabis mandi di sungai 
sekujur tubuh mereka gatal-gatal dan panas.... Apakah 
mereka tewas karena mandi di sungai ini, Eyang?" Ki Saketi 
mulai mengajukan pertanyaan. 
"Kalau melihat dari keadaan mereka, jelas itu akibat 
keracunan. Tapi kebenaran akan dugaan kalau racun itu 
berasal dari sungai perlu dibuktikan." 
Eyang Balunglaga menghentikan ceritanya sejenak untuk 
mengambil napas. 
"Bila benar sungai ini adalah penyebabnya berarti ada 
orang yang baik sengaja atau tidak, telah membuang racun ke 
sungai itu. O, ya. Apakah penduduk yang keracunan akibat 
makan ikan waktu itu, ikannya diambil dari sungai ini?" 
"Tidak, Eyang," laki-laki berjenggot panjang yang 
menjawab pertanyaan itu "Mereka menangkapnya di danau 
dekat pinggir hutan." 
Eyang Balunglaga mengangguk-anggukkan kepala, 
kemudian bangkit berdiri dan berjalan menghampiri pinggir

sungai. Diperhatikannya sejenak air sungai Itu. Baik warna 
maupun baunya. "Hhh...!" 
Sebuah helaan napas berat terdengar dari mulut kakek 
bertubuh kecil kurus ini. 
"Bagaimana, Eyang?" Ki Saketi yang berdiri di belakang 
kakek berpakaian kuning itu tidak sabar lagi bertanya. 
"Sungai ini memang telah mengandung racun ganas," 
sahut Eyang Balunglaga setengah mengeluh. "Jadi...?" 
"Jangan gunakan lagi air sungai ini untuk mandi atau 
mencuci. Apalagi untuk minum," Eyang Balunglaga 
memperingatkan. 
Ki Saketi mengerutkan alisnya. Jelas kalau tengah dilanda 
perasaan bingung. Maklum, sungai ini memang satu-satunya 
sumber kehidupan penduduk Desa Rang kong. Memang ada 
mata air lainnya, tapi letaknya terlalu jauh dari desa mereka. 
Tapi, hal ini akan dikatakannya nanti pada para penduduknya. 
"Aku yakin, peristiwa keracunan ini ada hubungannya 
dengan kejadian-kejadian sebelumnya," duga Ki Saketi 
"Kejadian apa, Ki?" tanya Eyang Balunglaga. 
Memang, kakek ahli pengobatan ini belum mendengar 
tentang peristiwa beruntun yang terjadi atas penduduk Desa 
Rangkong. 
Ki Saketi pun menceritakan semua kejadian itu dari awal. 
Dengan seksama, Eyang Balunglaga mendengarkannya. Kakek 
berpakaian kuning ini sama sekati tidak menyelak cerita Ki 
Saketi sedikit pun. 
"Mungkin dugaanmu benar, Ki," dukung kakek bertubuh 
kecil kurus ini. "Kalau tidak salah, bukankah sungai ini berhulu 
dari dalam Hutan Rangkong?" 
Ki Saketi mengangguk.

"Dan penduduk Desa Rangkong semuanya hilang di dalam 
hutan itu," sambung kakek bertubuh kecil kurus penuh 
semangat "Jelas, pokok pangkal semu masalah ini berasal dari 
Hutan Rangkong." 
"Itulah yang menyebabkanku menduga demikian pula, 
Eyang," sambut Ki Saketi berapi-api. "Jadi, kesimpulanmu 
bagaimana, Ki?" Kepala Desa Rangkong terdiam sejenak, tidak 
langsung menjawab pertanyaan itu. 
"Kalau menurut dugaanku, ada seorang tokoh aliran hitam 
yang bertempat tinggal di hutan itu. Tapi, dia tidak ingin 
diketahui orang lain. Atau juga tidak senang diganggu. Maka 
setiap penduduk yang bertemu dengannya di dalam hutan, 
langsung dibunuhnya," Jelas laki-laki berpakaian abu-abu itu 
panjang lebar. 
"Ada yang janggal dalam penjelasanmu, Ki," selak Eyang 
Balunglaga. "Kalau dia tidak ingin diketahui orang, kenapa 
menaburkan racun di sungai ini?" 
Ki Saketi menarik napas panjang-panjang dan 
menghembuskannya kuat-kuat 
"Itulah yang membuatku bingung, Eyang." Pembicaraan 
kedua orang itu berhenti ketika terdengar langkah-langkah 
kaki mendekati tempat itu. Langkah kaki yang tampaknya 
bertubi-tubi menghantam bumi dengan cepatnya. Jelas kalau 
ada orang yang tengah berlari. 
Eyang Balunglaga dan Ki Saketi menoleh. Tampak Tirta dan 
beberapa orang penduduk lain telah datang membawa banyak 
ranting kering. 
Tanpa menunggu diperintah, semua penduduk yang sejak 
tadi diam mendengarkan pembicaraan antara kepala desa 
mereka dengan Eyang Balunglaga, bergegas mengambil 
ranting-ranting kering itu. Kemudian ranting-ranting itu 
diletakkan di sekeliling mayat enam orang rekan mereka.

Setelah mendapatkan perintah dari Ki Saketi, baru mereka 
semua menyalakan api. Sesaat kemudian, api pun 
membumbung tinggi membakar mayat-mayat orang yang 
keracunan. 
Semakin lama, api yang menyala semakin membesar. Dan 
dengan sendirinya, suasana di sekitar tempat itu mulai terasa 
panas. Maka, semua yang berada di situ bergegas melangkah 
mundur. 
Kini mereka semua memperhatikan api yang melahap 
ranting dan mayat rekan-rekan mereka. Menilik dari 
pandangan yang tertuju pada satu titik, bisa diketahui kalau 
mereka semua terlibat dalam lamunan masing-masing. 
Dan memang hal itu benar. Dalam hati mereka semua, 
timbul pertanyaan. Bencana apa lagi yang akan menimpa 
mereka? Dan siapa nanti yang akan mendapat giliran? 
Perlahan api mulai mengecil, suara letupan-letupan api 
mulai jarang. Dan seiring matinya api, habislah mayat-mayat 
itu dan juga ranting keringnya. Yang tinggal hanyalah 
onggokan tulang yang habis terbakar dan onggokan sisa 
pembakaran. 
*** 
EMPAT


Hari sudah begitu siang. Sinar matahari pun sudah tidak 
terasa nikmat lagi di kulit. Saat itu seorang I perempuan tua 
berpakaian merah muda dan berambut panjang terurai tengah 
melangkah perlahan-lahan memasuki tembok batas Desa 
Layur. Dia seperti tidak mempedulikan teriknya sengatan 
matahari. 
Kalau melihat wajah dan perawakannya, tidak nampak 
adanya sesuatu yang mengerikan pada nenek ini. Bahkan

perasaan kasihan yang timbul begitu melihat nenek yang 
begitu ringkih ini berjalan. Mulutnya yang sudah tidak bergigi 
lagi, dan rambutnya yang seluruhnya telah berwarna putih 
semakin menambah keringkihannya. Dari sini, bisa ditaksir 
usianya. Paling tidak, tak kurang dari tujuh puluh tahun. 
Tapi jika melihat sorot matanya, orang akan bergidik ngeri. 
Sorot matanya mencorong tajam dan berwarna kehijauan, 
seperti sinar mata seekor kucing dalam gelap. Dan yang lebih 
mengerikan lagi, ada sinar kekejaman yang membayang 
dalam matanya. 
Begitu memasuki mulut desa, pandangan mata nenek 
berambut putih panjang itu menatap ke sekeliling. Tapi, hanya 
kesunyian saja yang ditemuinya. Apalagi saat itu hari sudah 
siang. Jadi, sebagian besar penduduk memang tengah sibuk di 
sawah atau di kebun. Hanya sebagian kecil saja yang tinggal 
di rumah. 
Hanya sebentar saja nenek berpakaian merah muda itu 
menatap ke sekeliling. Pandangannya kemu dian tertumbuk 
pada sebuah pondok yang terletak agak terpisah dari pondok-
pondok lainnya 
Mendadak sepasang mata nenek itu berkilat menyiratkan 
kekejaman. Seringai menyeramkan pun tampak di mulutnya 
yang telah mengeriput. Tapi seringai itu hanya timbul sesaat 
saja, kemudian lenyap. Dan seiring dengan lenyap 
seringainya, nenek berpakaian merah muda itu bergerak 
menghampiri pondok. 
Luar biasa. Gerakan nenek berambut panjang itu cepat 
bukan main. Sungguh tidak sesuai dengan keadaan tubuhnya 
yang terlihat. Hanya sekali langkah saja, jarak tujuh tombak 
telah terlampaui. 
Sekejap kemudian nenek berpakaian merah mudai itu telah 
berada di depan pintu pondok yang tertutup rapat 
"Hi hi hi...l"

Nenek berambut panjang terurai itu tertawa, sehingga 
terdengar mengerikan sekali. Suara tawa itu tak ubahnya 
keluar dari mulut kuntilanak. 
Seiring lenyap gema suara tawanya, tangan kanan nenek 
itu menepak daun pintu. Kelihatannya perlahan saja, tapi 
akibatnya.... 
Brakkk.l 
Suara berderak keras terdengar ketika daun pintu pondok 
itu hancur berkeping-keping. Seolah-olah, bukan tepakan 
halus tangan keriput seorang nenek yang menghantamnya, 
melainkan serudukan seekor kerbau liar. 
Tentu saja suara berderak ribut itu membuat pemilik 
pondok terperanjat. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh 
kekar dan berkulit coklat. Suatu kebetulan dia tidak pergi ke 
sawah, karena giginya sakit 
Dapat dibayangkan, betapa gusarnya hati laki-laki bertubuh 
kekar ini begitu mendengar suara berisik dari arah depan. 
Dengan amarah menggelegak, dia bergegas ke luar. Tak lupa 
disambarnya golok yang tergantung di dinding. 
Kemarahannya kembali bergolak begitu melihat pintu 
pondoknya hancur berantakan. Suara gemeretak keras 
terdengar dari mulutnya karena perasaan geram melihat 
rumahnya dirusak. 
Perasaan amarah yang melanda membuat pikiran laki-laki 
bertubuh kekar ini seperti buntu. Yang ada di benaknya hanya 
satu. Memberi pelajaran pada orang yang telah mengganggu 
ketenangannya, dan sekaligus merusak pintu rumahnya. 
Kalau saja laki-laki bertubuh kekar ini mau menggunakan 
akal sehat sedikit saja, tentu sudah bisa memperkirakan 
kepandaian orang yang telah mampu menghancurkan 
pintunya. Jelas orang itu bukanlah orang sembarangan. 
Namun hal itu sama sekali belum terpikirkan olehnya.

Kemarahan yang melandanya baru menciut begitu melihat 
sosok yang berdiri di ambang pintu. Tampak di matanya 
seorang nenek tua renta yang bertubuh ringkih. 
"Nenek inikah yang telah menghancurkan pintu rumahku?" 
tanya pemilik pondok dalam hati dengan, perasaan tidak 
percaya. "Tapi kaiau bukan nenek ini, siapa lagi? Buktinya 
tidak nampak ada orang lain lagi di sekitar sini." 
Maka meskipun dengan perasaan ragu, dihampirinya nenek 
berpakaian merah muda itu. Hanya saja kemarahan yang 
melandanya sebagian besar telah menguap. Kini yang tinggal 
hanyalah perasaan penasaran dan rasa sakit yang mendera 
giginya. 
"Siapa kau, Nek? Mengapa merusak pintu rumahku?" tanya 
laki-laki berkulit coklat itu. Sengaja pertanyaan itu diajukan, 
meskipun yakin nenek itu bukan pelakunya. Sudah dapat 
diterka, nenek itu pasti akan menyangkal. 
"Bukan hanya pintu pondok ini saja yang kuhancurkan. Tapi 
juga kau!" 
Dapat dibayangkan, betapa kaget hati milik pondok itu 
begitu mendengar jawaban yang keluar dari mulut nenek 
berpakaian merah muda ini. 
Seiring ucapan Itu tadi, sepasang mata nenek Itu 
mencorong seperti memancarkan sinar berapi. Karuan saja hal 
ini membuat laki-laki bertubuh kekar itu terperanjat. Seketika 
itu pula disadari kalau nenek di hadapannya bukan orang 
sembarangan. 
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, pemilik pondok 
itu melompat menerjang. Golok di tangannya berkelebat 
membacok dari atas ke bawah. Rupanya, dia bermaksud 
membelah tubuh nenek itu. 
"Hmh...!"

Nenek berpakaian merah muda itu hanya mendengus. 
Tidak tampak ada tanda-tanda kalau akan menangkis atau 
mengelak Jelas, nenek itu tidak memandang serangan itu 
sebagai sesuatu yang berbahaya. 
Baru setelah serangan itu menyambar dekat, tangan nenek 
berpakaian merah muda itu terjulur ke depan. Luar biasa. 
Serangan golok itu disambut dengan tangannya. 
Laki-laki bertubuh kekar itu terkejut melihat hal ini. Gilakah 
sebenarnya nenek ini? Kalau tidak gila, mengapa hendak 
mengadu golok itu dengan tangannya yang kurus kering dan 
keriput? 
Mau tak mau, perasaan ragu-ragu laki-laki itu membuat 
tenaganya yang mengayunkan golok jadi mengendur. 
Meskipun begitu, tetap saja ayunan golok itu cukup untuk 
memutuskan tangan. Apalagi kelihatannya tangan nenek 
berambut panjang itu terlihat lemah. 
Takkk...! 
Suara berdetak keras seperti dua benda kuat berbenturan 
terdengar ketika golok itu beradu dengan tangan nenek 
berpakaian merah muda. Luar biasa. Tangan nenek itu sama 
sekali tidak putus. Bahkan sebaliknya, tangan pemilik pondok 
itu yang bergetar hebat. Tangannya terasa seolah-olah 
lumpuh. Terutama, jari-jari tangannya yang menggenggam. 
Tanpa dapat dicegahnya lagi, golok itu terlepas dari cekalan 
tangannya. 
Dan sebelum laki-laki bertubuh kekar itu sempat berbuat 
sesuatu, tangan nenek itu kembali bergerak. Cepat bukan 
main gerakannya. Dan.... 
Tappp...! 
Tak pelak lagi, tangan laki-laki bertubuh kekar itu tercekal 
tangan keriput nenek berpakaian merah muda. Dan dengan 
cepat, tangan nenek itu bergerak meremas.

Krrrkkk...! 
Suara bergemeretak keras terdengar ketika tulang-tulang 
tangan pemilik pondok itu hancur berantakan. Seakan-akan 
tangan itu terbuat dari tahu. 
Laki-laki berkulit coklat itu seketika menjerit memilukan, 
seiring gerakan meremas tangan nenek berambut panjang. 
Rasa sakit tak tertahankan yang melanda, membuatnya tak 
kuasa menahan jeritan. 
Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, tangan nenek 
berpakaian merah muda Itu sudah kembali bergerak. 
Langsung disampoknya pelipis laki-laki kekar itu. 
Prakkk! 
Tanpa sempat mengeluarkan suara lagi, tubuh laki-laki 
berkulit coklat Itu ambruk ke tanah dengan pelipis pecah. 
Sebentar dia menggelepar, lalu tewas tanpa bersambat lagi. 
Darah nampak menggenang di lantai rumahnya. 
"Hi hi hi...! Orang sepertimu berani menantang Bidadari 
Sabuk Emas?! Cuhhh...!" dengan kasar, nenek berambut 
panjang yang ternyata berjuluk Bidadari Sabuk Emas itu 
meludahi wajah mayat pemilik rumah Itu. 
Sambil tertawa terkikih, nenek berpakaian merah muda itu 
lalu melangkah meninggalkan mayat yang membujur 
tergenang darah. Suasana sekitar tempat Itu memang sepi, 
sehingga keributan kecil itu sama - sekali tidak mengundang 
penduduk lain. Apalagi, rumah penduduk yang malang itu 
terpisah jauh dari rumah penduduk lainnya. 
"Hi hi hi...!" 
Kembali Bidadari Sabuk Emas tertawa terkikih ketika 
langkah kakinya berhenti di depan sebuah pintu rumah yang 
tertutup rapat

Masih dengan suara tawa mengikik, nenek berpakaian 
merah muda ini mengeluarkan sebuah sabuk berwarna kuning 
keemasan dari pinggang, kemudian melecutkannya. 
Ctarrr...! Brakkk..! 
Suara hiruk pikuk diiringi hancurnya daun pintu hingga 
berkeping-keping terdengar ketika ujung sabuk itu 
melecutnya. 
Suara hiruk pikuk itu membuat penghuninya yang berada di 
dalam rumah melangkah keluar dengan takut-takut. Mereka 
adalah seorang nenek dan kakek yang tua dan ringkih. Jelas 
kedua orang itu adalah sepasang suami istri yang telah 
berusia lanjut. Bahkan sang Kakek telah agak bungkuk 
tubuhnya. 
 "Hi hi hi...!" 
Nenek berpakaian merah muda yang berjuluk Bidadari 
Sabuk Emas itu tertawa terkikih. Kembali sabuk di tangannya 
digerakkan. Sabuk itu lemah gemulai melenggak-lenggok, ke 
kanan dan ke kiri. Lalu mendadak.... 
Rrrttt..! 
Laksana seekor ular sanca, sabuk itu melilit pinggang nenek 
pemilik rumah. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, tangan 
Bidadari Sabuk Emas bergerak 
Terdengar jerit kengerian dari mulut nenek pemilik rumah 
ketika tubuhnya terlempar ke depan. "Nyi...." 
Kakek pemilik rumah memekik keras ketika melihat istrinya 
terlempar ke atas. Dengan tertatih-tatih 1 kakinya melangkah 
keluar karena khawatir dengan keselamatan istrinya 
Tapi baru beberapa tindak melangkah, Bidadari Sabuk 
Emas telah menggerakkan kembali sabuknya. Dan.... 
Ctarrr...!

Suara lecutan cukup keras terdengar ketika ujung sabuk 
yang berwarna kuning keemasan itu menyengat dada kakek 
bertubuh agak bungkuk itu. 
Hebat akibatnya. Tubuh kakek pemilik rumah itu terjajar ke 
belakang. Untung baginya, nenek berpakaian merah muda itu 
hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalam. Kalau tidak, 
tentu seluruh isi dadanya pasti hancur lebur. 
Meskipun begitu, tak urung darah segar memercik dari 
sudut-sudut mulut kakek bungkuk itu. Tubuhnya pun cukup 
keras menghantam dinding rumah. 
Tubuh kakek bungkuk itu merosot perlahan-lahan ke lantai. 
Untuk beberapa saat lamanya dia berdiam diri saja dengan 
sikap tubuh terduduk. Keadaan tubuhnyalah yang 
membuatnya tidak dapat segera bangkit, walaupun keinginan 
itu begitu besar. 
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Bidadari Sabuk 
Emas. Tanpa mengenal rasa kasihan, kembali tabuk di 
tangannya dilecutkan. Ctar, ctar, ctar...! 
Bertubi-tubi ujung sabuk itu kini menghujani berbagai 
bagian tubuh nenek pemilik rumah. Seketika itu pula jeritan 
menyayat kembali terdengar saling susul diiringi menggebat-
geliatnya tubuh nenek pemilik rumah itu. 
"Hi hi hi...!" 
Nenek berambut panjang itu tertawa terkikih-kikih melihat 
calon korbannya menggeliat-geliat kesakitan. Memang, 
Bidadari Sabuk Emas bermaksud menyiksa nenek bertahi lalat 
besar itu. Maka, lecutan-lecutan sabuknya yang bertubi-tubi 
ditujukan hanya untuk menimbulkan rasa sakit Sakit, pedih, 
dan panas mendera nenek pemilik rumah. 
Pakaian nenek bertahi lalat besar itu sudah koyak-koyak di 
sana-sini. Bahkan kulit tubuhnya pun pecahpecah sehingga 
darah segar pun merembes ke luar.

Rupanya pemandangan yang menyayat hati Itu amat 
menyenangkan Bidadari Sabuk Emas. Ini terbukti dari tawanya 
yang tak putus-putus mengiringi lecutan sabuknya. 
"Iblis biadab...!" 
Kakek pemilik rumah berseru keras melihat penderitaan 
istrinya. Dia menggeram marah, sambil ber. usaha 
menguatkan diri untuk bangkit Dan dia berhasil. 
Secepat tubuhnya telah berdiri, secepat itu pula kakek 
bungkuk ini berlari menuju ke arah tempat istrinya disiksa! 
"Hmh...!" 
Bidadari Sabuk Emas mendengus. Kini sabuk di tangannya 
digerakkan untuk menyerang kakek bertubuh bungkuk itu. 
Wuttt..! Tukkk! 
"Akh...!" 
Telak dan keras sekali ujung sabuk yang tiba-tiba 
mengejang kaku laksana tombak Itu menyengat lutut sebelah 
kanan si kakek. Terdengar suara berderak keras mengiringi 
robohnya tubuh kakek pemilik rumah di tanah. 
Kini Bidadari Sabuk Emas mengalihkan penyiksaannya. 
Lecutan-lecuan sabuknya kini meluncur deras dan bertubi-tubi 
ke arah berbagai bagian tubuh si kakek. 
Akibatnya sudah bisa diduga! Setiap kali ujung sabuk itu 
melecut, tubuh kakek bungkuk Itu menggeliat. Beberapa kali 
tubuhnya mengejang kaku bila ujung sabuk itu mengenal 
sasaran. Keluhan diiringi seringai kesakitan selalu terdengar 
dan terlihat tatkala ujung sabuk itu menemui sasarannya. 
"Iblis keji! Hentikan...!" 
Bentakan keras menggelegar pertanda didukung tenaga 
dalam cukup tinggi, membuat Bidadari Sabuk Emas 
menghentikan penyiksaannya. Dengan wajah merah padam


menahan amarah, tubuhnya berbalik ke arah belakangnya. 
Dari situlah suara itu berasal. 
Kini di hadapannya dalam jarak empat tombak, berdiri tiga 
sosok tubuh berpakaian biru yang rata-rata berusia muda. Di 
dada kiri mereka terdapat gambar sepasang pedang yang 
disulam dari benang perak. 
"Hmh...! Tikus-tikus kecil dari Perkumpulan Pedang Perak 
rupanya...," dengus Bidadari Sabuk Emas. Nada suara dan 
sikapnya terlihat jelas memandang rendah. 
Tiga orang berpakaian biru yang ternyata murid 
Perkumpulan Pedang Perak itu menggertakkan gigi. Memang 
mereka merasa tersinggung mendengar hinaan yang keluar 
dari mulut nenek berpakaian merah muda itu. Ucapan yang 
jelas-jelas menghina dan merendahkan! 
'Tutup mulutmu, Nenek Peot...!" bentak salah seorang dari 
murid Perkumpulan Pedang Perak yang bercambang lebat 
"Keparat..! Berani kau membentakku, Tikus Kecil? Apa kau 
sudah mempunyai nyawa rangkap sehingga berani berkata 
seperti itu pada Bidadari Sabuk Emas?! Jangan harap kalian 
semua akan bisa lolos dari sini dalam keadan hidup!" 
Wajah ketiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak 
seketika berubah begitu mendengar nenek berpakaian merah 
muda itu menyebut julukannya. Memang, mereka semua telah 
mendengar julukan itu. Bidadari Sabuk Emas adalah salah 
seorang tokoh sesat dunia persilatan. Kegemarannya adalah 
menyiksa orang sampai mati! 
"Kalau begitu, sudah menjadi kewajiban kami untuk 
melenyapkan tokoh berhati iblis sepertimu...!" tegas murid 
Perkumpulan Pedang Perak yang wajahnya penuh jerawat 
Srat, srat, srattt..! 
Sinar terang berkelebat ketika ketiga orang itu menghunus 
pedang yang tersampir di pinggang. Begitu mengetahui siapa

adanya nenek berpakaian merah muda itu, mereka tidak 
berani bersikap main-main lagi Dengan langkah menggeser 
tanah, mereka melangkah maju, dan langsung menyebar. 
Mengurung nenek berambut panjang itu dari segala arah. 
"Hi hi hi...!" 
Bidadari Sabuk Emas tertawa terkikih melihat ketiga orang 
lawannya menghunus senjata. Nenek itu sama sekali tidak 
tampak waspada, sekalipun ketiga orang lawannya telah siap 
dengan senjata terhunus. I 
"Serbu...!" 
Laki-laki yang bercambang lebat berseru keras. 
Sambil melompat menerjang, pedangnya ditusukkan rapat 
ke arah leher Bidadari Sabuk Emas. 
Pada saat yang bersamaan, kedua orang rekannyajuga 
segera menyerang. Pedang laki-laki berwajah penuh jerawat 
itu membabat cepat ke arah leher. Sementara rekan yang 
satunya lagi menusukkan peningnya ke arah punggung. 
Suara angin mencicit mengiringi tibanya serangan itu. Dari 
serangan ini saja bisa diketahui kalau ketiga orang berpakaian 
biru ini bukan tokoh sembarangan. Memang di Perkumpulan 
Pedang Perak, ketiga orang ini memiliki tingkat kepandaian 
sedikit di bawah murid-murid kepala. Padahal, Perkumpulan 
Pedang Perak adalah sebuah perkumpulan aliran putih yang 
besar. Tingkat kepandaian ketuanya, dikabarkan tidak di 
bawah tingkat datuk-datuk dunia persilatan. Jadi, bisa 
diperkirakan, kelihaian ketiga orang ini. 
Bidadari Sabuk Emas pun menyadari hal itu. Maka, dia tidak 
berani menerima serangan lawan dengan tubuhnya. Cepat 
laksana kilat kakinya menjejak tanah. Sesaat kemudian, 
tubuhnya melayang ke atas. 
Hasilnya, semua serangan itu hanya menyambar tempat 
kosong, jauh di bawah kakinya.

Tidak hanya itu saja yang dilakukan nenek berambut 
panjang itu. Tatkala rubuhnya berada di udara, sabuk di 
tangannya mematuk ke arah ubun-ubun laki-laki bercambang 
lebat. 
Namun laki-laki bercambang lebat tidak gugup melihat hal 
ini. Dia memang sudah bersiap siaga untuk menghadapi 
serangan mendadak, begitu diketahui kalau lawannya adalah 
tokoh sesat yang menggiriskan. Buru-buru tubuhnya dilempar 
ke belakang. Ctarrr...! 
Ledakan keras seperti ada halilintar menyambal terdengar 
ketika sabuk itu melecut tempat kosong. 
Kedua orang rekan laki-laki bercambang lebat tidak tinggal 
diam begitu melihat rekannya didesak Bidadari Sabuk Emas. 
Bergegas mereka bergerak membantu, menghujani lawan 
dengan serangan-serangan maut. Sehingga, Bidadari Sabuk 
Emas terpaksa menghentikan desakannya pada laki-laki 
bercambang lebat 
Pertarungan sengit pun tidak bisa dihindari lagi. Bidadari 
Sabuk Emas yang memang sudah berniat membunuh ketiga 
murid Perkumpulan Pedang Perak tidak tanggung-tanggung 
lagi menyerang. Kedua belah pihak pun mengerahkan seluruh 
kemampuan masing-masing. 
Sebenarnya kalau dibuat perbandingan, kepandaian 
masing-masing murid Perkumpulan Pedang Perak itu masih 
amat jauh di bawah Bidadari Sabuk Emas. Tapi karena ketiga 
orang ini maju bersama-sama, tambahan lagi ketiganya 
mampu bekerja sama, untuk beberapa saat lamanya 
pertarungan berjalan seimbang. 
Suara riuh rendah menyemaraki pertarungan antara 
seorang nenek yang terlihat ringkih menghadapi ketiga orang 
lawan yang masih muda-muda dan terlihat kuat. Desingan 
pedang ketiga murid Perkumpulan Pedang Perak, diiringi

ledakan-ledakan sabuk Bidadari Sabuk Emas menambah 
ramainya pertarungan. 
Ctarrr...! 
Untuk yang kesekian karinya ujung sabuk Bidadari Sabuk 
Emas menghantam tanah. Kontan hasilnya menambah 
banyaknya lubang besar yang terbentuk akibat lecutan 
cambuk pada tanah. 
Tapi ketiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak hanya 
mampu bertahan sampai tiga puluh jurus saja. Ketika 
memasuki jurus ketiga puluh satu, nenek berpakaian merah 
muda itu mulai dapat mendesak lawan-lawannya. 
Bahkan Bidadari Sabuk Emas kini sudah bisa membuat 
kerja sama ketiga orang lawannya berantakan. Serangan-
serangan murid Perkumpulan Pedang Perak itu semakin 
jarang, dan kini lebih sering mengelak 
Sebaliknya, serangan-serangan Bidadari Sabuk Emas 
datang semakin bertubi-tubi. Sabuknya menghujani berbagai 
bagian yang berbahaya di tubuh ketiga orang lawannya. 
Mendadak pada jurus yang keempat puluh satu, gerakan 
sabuk nenek berpakaian merah muda Itu berubah cepat. Kini 
sabuk itu bergerak meliuk-liuk seperti seekor ular. Kemudian, 
secara tidak terduga-duga mematuk salah satu bagian 
mematikan di tubuh lawan. 
Memang, Bidadari Sabuk Emas kini sudah mengeluarkan 
jurus-jurus sabuk andalannya. Dan akibatnya, ketiga orang 
lawan itu kebingungan melihat gerakan sabuk yang meliuk-liuk 
seperti ular sehingga sulit diduga arahnya. 
Prattt..! 
Laki-laki bercambang lebat terjengkang ke belakang dan 
jatuh berdebuk di tanah. Tanpa bersuara sedikit pun, dia tidak 
bangun lagi untuk selamanya ketika sabuk itu menotok keras

lehernya. Dia tewas karena tulang lehernya hancur 
berentakan. 
Hampir berbarengan dengan robohnya laki-laki bercambang 
lebat, kedua orang rekannya pun roboh pula. Laki-laki 
berwajah penuh jerawat tewas dengan pelipis pecah. 
Sedangkan rekannya terkena totokan keras pada dadanya. 
"Hi hi hi...!" 
Sambil tertawa terkikih, Bidadari Sabuk Emai melesat pergi 
dari situ. Tak dipedulikannya lagi lima sosok tubuh yang 
tergeletak di tanah. Hanya dalam beberapa kali lompat saja, 
tubuhnya sudah berubah menjadi sebuah titik di kejauhan. 
Semakin lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap ditelan 
jalan. 

LIMA


Ah... 
Seruan kaget terdengar dari mulut seorang pemuda 
berwajah tampan berambut putih keperakan. Pakaiannya 
berwarna ungu, membungkus tubuhnya yang tegap berisi, 
dibanduli sebuah guci arak dari perak. Sepasang matanya 
menatap ke depan. Memang, pemandangan yang terpampang 
di hadapannyalah membuat hatinya terkejut. Betapa tidak? 
Dalam jarak sekitar tujuh tombak darinya, terlihat lima sosok 
tubuh bergeletakan di tanah. Pemuda berpakaian ungu itu 
melesat cepat menghampiri. Sambil terus menatap, 
dihapusnya keringat yang membasahi wajahnya dengan 
punggung tangan. Saat ini, matahari memang tepat di atas 
kepalanya. Sinarnya memancar terik ke bumi, seperti hendak 
membakar seluruh makhluk yang ada.

Hanya sekali lesat saja, tubuh pemuda berpakaian ungu itu 
telah berada di hadapan lima sosok tubuh yang tergolek. 
Perlahan-lahan tubuhnya dibungkukkan dan berjongkok 
Kemudian diperhatikannya satu persatu sosok-sosok tubuh 
yang membujur tak tentu arah. "Hhh...!" 
Pemuda berambut putih keperakan itu menghela napas 
berat Kepalanya digeleng-gelengkan ketika melihat keadaan 
mereka. 
Lima sosok tubuh itu terdiri dari tiga orang pemuda 
berpakaian biru, yang di dada kirinya terdapat gambar 
sebatang pedang yang disulam dari benang perak. Sedangkan 
dua orang lagi adalah kakek dan nenek yang telah tewas. 
Sekujur tubuh mereka penuh luka luka lecutan. 
Pemuda berpakaian ungu itu memeriksa tubuh tubuh yang 
tergolek satu persatu. Beberapa kali kepalanya menggeleng 
setiap kali menyadari kalau orang yang diperiksa telah tewas. 
Tapi pada saat memeriksa sosok tubuh yang berpakaian 
biru, wajah pemuda berambut putih keperakan ini berseri. Ada 
denyut halus di pergelangan tangan pemuda berkulit putih itu. 
Ternyata dia masih hidup. 
Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau nyawa 
pemuda berkulit putih ini tidak bisa diselamatkan lagi. 
Memang, luka pada dadanya terlampau parah. Tapi melihat 
kenyataan kalau pemuda yang tergolek ini masih hidup, 
betapa gembiranya hati pemuda berambut putih keperakan 
itu. Hal ini setidak-tidaknya bisa diketahui dari mulutnya yang 
bergerak-gerak sedikit. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut 
putih keperakan itu menotok beberapa bagian tubuh sosok 
yang tergolek ini. 
"Katakan, siapa yang telah melakukan semua ini?" tanya 
pemuda berpakaian ungu itu, tergesa-gesa. Dia tahu, kalau

tidak cepat-cepat, nyawa pemuda berpakaian biru itu telah 
lebih dulu melayang meninggalkan raganya. 
"B.... Bi.,., Bidadari Sabuk Emas...," jawab murid 
Perkumpulan Pedang Perak itu terputus-putus. 
"Ha.... Bidadari Sabuk Emas...," ulang pemuda berambut 
putih keperakan itu seraya mengernyitkan dahi. Memang, dia 
belum pernah mendengar julukan Itu, karena baru pertama 
kali tiba di daerah ini. 
"Kami.... Diutus ketua kami dari Perkumpulan Pedang Perak 
untuk mencari pencuri kitab pusaka perkumpulan kami.... 
Kitab itu berisi ilmu yang terlarang untuk dipelajari. Ilmu 
Tangan Racun Pasir Merah... Dan..., ah...!" 
Sebelum berhasil menyelesaikan ucapannya, kepala murid 
Perkumpulan Pedang Perak itu telah lebih dulu terkulai. 
Nyawanya telah melayang meninggalkan raganya.' 
"Hhh...!" 
Seraya menghembuskan napas berat, pemuda berambut 
putih keperakan itu bangkit berdiri. Kini masalah Itu telah 
sedikit dimengerti. Rupanya ketiga orang gagah itu diutus 
gurunya untuk mencari pencuri kitab pusaka perkumpulan 
mereka. Tapi, mereka semua tewas di tangan Bidadari Sabuk 
Emas. 
"Hm.... Tokoh itukah yang mencurinya?" tanyanya dalam 
hari. 
'Pembunuh keparat! Rasakan pembalasanku...!" 
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring diiringi suara desing 
tajam yang menyakitkan telinga. Seketika pemuda berpakaian 
ungu itu menghentikan jalan pikirannya. Apalagi tatkala terasa 
ada desir angin tajam yang meluruk cepat ke arahnya. 
Suaranya mendecit, seperti ada puluhan ekor tikus mencicit

Buru-buru pemuda berambut putih keperakan ini 
melakukan lompatan harimau. Tubuhnya melambung ke 
depan setinggi setengah tombak, lalu mendarat di tanah 
bertumpu dengan kedua tangannya. Sesaat kemudian, 
tubuhnya bergulingan di tanah beberapa kati, lalu berdiri 
tegak menghadap orang yang membokongnya. 
Pemuda berpakaian ungu itu menatap ke arah seorang 
gadis berwajah cantik jelita dan berpakaian biru. Matanya 
merayapi tiga sosok mayat murid Perkumpulan Pedang Perak 
Raut wajah maupun sinar matanya menyiratkan kemarahan 
hebat. 
Begitu melihat pakaian gadis itu, pemuda berambut putih 
keperakan ini jadi cemas juga. Hatinya khawatir kalau gadis 
itu adalah rekan tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak 
yang tewas. Dan menilik dari makian yang tadi sempat 
didengarnya, bisa diterka kalau gadis itu menuduhnya sebagai 
pelaku pembantaian ini. 
Kekhawatiran pemuda berambut putih keperakan itu 
ternyata terbukti. Setelah memperhatikan mayat-mayat itu 
beberapa saat lamanya, perhatian gadis berpakaian biru ini 
beralih ke arah pemuda berpakaian ungu. Dan memang, pada 
dada sebelah kiri pakaiannya terdapat gambar sebatang 
pedang yang disulam dari benang perak. Jelas, gadis ini 
adalah kawan tiga mayat pemuda itu. 
Diam-diam, pemuda berpakaian ungu ini harus mengakui 
kalau wajah gadis berpakaian biru itu amat cantik laksana 
bidadari. Rambutnya yang hitam, halus, dan dikepang dua 
semakin memperjelas kecantikannya. Meskipun tengah marah, 
kecantikannya sama kali tidak berkurang. Bahkan justru lebih 
terlihat menarik. 
Kulit wajahnya nampak memerah seperti tomat masak. 
Sementara, sepasang matanya yang bersinar-sinar, tampak 
semakin nyata keindahannya sewaktu melotot.

"Jangan harap bisa lolos dari tanganku, Pembunuh Keji...!" 
desis gadis berambut kepang itu tajam. Ada ancaman maut 
yang tersembunyi di dalam ucapannya. 
Setelah berkata demikian, gadis itu langsung melompat 
menerjang. Pedang di tangannya menusuk cepat ke arah 
leher. Suara mengaung keras terdengar seiring tibanya 
serangan. Jelas, serangan itu mengandung pengerahan 
tenaga dalam kuat. 
Pemuda berambut putih keperakan itu seketika terperanjat. 
Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam gadis itu demikian 
kuat. Suara mengaung keras yang mengiringi serangan 
pedang itulah yang membuktikannya. 
Meskipun begitu, pemuda berpakaian ungu ini bersikap 
tenang. Walaupan agak bergegas, buru-buru kaki kirinya 
melangkah ke samping kiri seraya mendoyongkan tubuh 
sehingga tusukan pedang itu hanya mengenai tempat kosong, 
lewat sekitar setengah Jeng kal di sebelah kanan lehernya. 
Luar biasa. Hampir pemuda berambut putih keperakan ini 
tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Begitu serangan 
berhasil dielakkan, pedang gadis berpakaian biru itu melingkar 
melewati atas kepalanya. Kemudian, dari samping kanan 
membabat cepat ke arah leher. 
Pemuda berpakaian ungu itu tidak punya pilihan lain lagi. 
Segera kedua, kakinya dijejakkan ke tanah, sesaat kemudian 
melempar tubuhnya ke belakang. 
Wunggg...! 
Suara mengaung keras terdengar begitu babatan pedang 
lewat di bawah kaki pemuda berambut putih keperakan itu. 
Sebenarnya bukan hanya pemuda berambut putih 
keperakan itu saja yang terkejut melihat kehebatan lawan. 
Gadis berpakaian biru ini pun begitu terperanjat melihat 
serangannya bisa dihindari pemuda di hadapannya. Padahal,

datangnya serangan begitu tiba-tiba. Lagi pula, lawan tengah 
dalam keadaan tidak menguntungkan. Dari sini saja, dia sudah 
bisa memperkirakan kalau lawannya bukan orang 
sembarangan. 
Tapi gadis berpakaian biru ini tidak membiarkan benaknya 
dipenuhi pikiran itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi 
tubuhnya segera melompat mengejar pemuda berambut putih 
keperakan yang masih berada di udara. Pedang di tangannya 
meluncur deras mengeluarkan suara mengaung keras. 
Pemuda berpakaian ungu itu terkejut bukan main. 
Serangan susulan yang dilakuan lawan datang begitu tiba-tiba. 
Tidak ada lagi kesmpatan baginya untuk mengelak. Apalagi 
tubuhnya tengah berada di udara. Segera dijumput guci 
araknya yang tersampir di punggung, kemudian disorongkan 
ke arah pedang yang tengah meluncur deras ke dada. 
Klanggg...! 
Suara berdentang nyaris terdengar begitu kedua benda 
yang berbeda jenis itu berbenturan. "Hup...!" 
Gadis berpakaian biru mendaratkan kedua kakinya di tanah. 
Sekujur tanganya yang menggenggam pedang terasa bergetar 
hebat hampir lumpuh. Jelas, tenaga dalam lawan masih di 
atasnya. 
"Nisanak...! Tunggu sebentar...! Kau salah paham....Aku 
Arya Buana. Aku sama sekali tidak tahu-menahu dengan 
pembunuhan ini!" cegah pemuda berambut putih keperakan 
yang memang tidak lain Arya Buana alias Dewa Arak, begitu 
kedua kakinya mendarat di tanah. Tangan kanannya pun 
langsung dijulurkan ke depan. 
"Tidak usah berbasa-basi, Pengecut! Aku, Ranti. Bukan 
termasuk orang yang suka berbasa-basi.' Bersiaplah menerima 
pembalasanku!"

Setelah berkata demilan, gadis berpakaian biru yang 
ternyata bernama Ranti kembali menyerang. Mau tak mau, 
Arya meladeninya. Tentu saja Dewa Arak tidak sudi mati 
secara sia-sia. Menghadapi orang selihai Ranti tanpa 
melakukan perlawanan, adalah suatu perbuatan bodoh. Bukan 
tidak mungkin dirinya akan tewas di tangan lawannya ini. 
Maka tanpa ragu-ragu lagi, guci araknya segera dituang ke 
dalam mulurnya. 
 Gluk... gluk... gluk...! 
Terdengar suara tegukan ketika cairan arak melewati 
tenggorokannya. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut 
putih keperakan itu mulai limbung ketika hawa hangat yang 
semula merayapi perut naik ke atas kepalanya. Arya kini 
sudah siap menggunakan ilmu andalannya, ilmu 'Belalang 
Sakti'. 
Pertarungan tidak bisa dihindari lagi. Kemarahan gadis 
berpakaian biru itu rupanya memang sudah tidak bisa dicegah 
lagi. Diserangnya Dewa Arak selalu dengan bertubi-tubi ke 
bagian-bagian tubuh yang mematikan. 
Diam-diam Arya merasa kagum melihat kepandaian yang 
dimiliki gadis berambut kepang ini. Serangan-serangan 
pedangnya datang susul-menyusul laksana gelombang laut. 
Suara mengaung keras mengiringi setiap kibasan pedang itu. 
Jelas kalau Ranti memiliki ilmu pedang yang patut 
diperhitungkan. 
Tapi yang dihadapinya kali ini adalah Dewa Arak. Seorang 
tokoh yang walaupun masih muda, tapi mengukir nama besar 
dalam rimba persilatan. Dengan jurus 'Delapan Langkah 
Belalang' yang aneh, pemuda berambut putih keperakan itu 
tidak mengalami kesulitan untuk menghindari setiap serangan 
yang dilancarkan Ranti.

Ranti menggertakkan gigi tatkala mengetahui semua 
serangannya mudah sekali dielakkan lawan. Bahkan dengan 
gerakan aneh, yang lebih mirip orang mabuk. 
Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan memang, kedua orang 
yang bertarung itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang 
tinggi. Tak terasa, empat puluh jurus telah berlalu. Tapi 
sampai sekian lamanya, tetap saja Ranti tidak mampu 
mendesak Dewa Arak. Padahal, seluruh kemampuan yang 
dimilikinya telah dikerahkan. 
Hal ini membuat Ranti geram bukan kepalang. Padahal di 
Perkumpulan Pedang Perak, dialah satu-satunya murid yang 
kepandaiannya telah mencapai tingkat tertinggi. Bahkan hanya 
berada sedikit di bawah sang Ketua sendiri. 
Kini kepandaian yang telah dilatihnya secara susah payah, 
sama sekali tidak berarti ketika menghadapi pemuda berambut 
putih keperakan ini. Lalu, bagaimana bila bertemu tokoh-tokoh 
dunia persilatan? 
Yang lebih menyakitkan hati Ranti, ternyata lawannya sama 
sekali belum balas menyerang. Selama lebih dari empat puluh 
jurus menyerang, lawan hanya mengelak saja. Tak sekali pun 
pemuda berambut putih keperakan itu melancarkan serangan 
balasan. Jelas, Dewa Arak tidak bersungguh-sungguh 
menghadapinya. Dan bagi Ranti, ini berarti kepandaian yang 
dimilikinya sama sekali tidak dianggap. 
Pikiran seperti itu membuat Ranti menyerang lebih gencar 
lagi. Sama sekali gadis ini tidak tahu kalau Arya bukan 
menganggap rendah kepandaiannya. Tapi, Dewa Arak tidak 
ingin keadaan jadi semakin bertambah buruk, bila melakukan 
serangan balasan. 
Maka Arya menggunakan keanehan jurus 'Delapan Langkah 
Belalang' untuk melakukan perlawanan tanpa balas 
menyerang. Dengan keistimewaan jurusnya, tidak sulit

baginya untuk mengelakkan setiap serangan yang datang 
bertubi-tubi. 
Beberapa kali sewaktu Ranti menyerang, Arya menuangkan 
arak ke mulutnya. Dan itu memang me rupakan salah satu 
gerakan dalam ilmu 'Belalang Sakti'. Tapi gadis berambut 
kepang itu tidak menganggapnya demikian. Dewa Arak 
berbuat seperti itu dikira untuk menunjukkan keunggulannya. 
Dan sebagai akibatnya, serangan Ranti semakin menggebu-
gebu. 
Suara mengaung keras dan mencicit menyakitkan telinga, 
diselingi tegukan ketika Arya menenggak araknya, 
menyemaraki jalannya pertarungan. 
Puluhan jurus telah kembali berlalu. Hingga kini, 
pertarungan tengah berlangsung hampir seratus jurus. Dan 
selama itu Ranti tetap saja belum mampu mendesak Dewa 
Arak. 
Kesabaran Arya akhirnya habis juga. Sungguh tidak 
disangka kalau Ranti akan begitu keras kepala. Maka terpaksa 
Dewa Arak memutuskan untuk menundukkannya dengan 
kekerasan. 
Setelah memutuskan demikian, Dewa Arak mulai 
menggunakan jurus 'Belalang Mabuk'. Dan kini otot-otot 
tubuhnya mengejang, serta melemas secara mendadak. 
Sementara Ranti menggertakkan giginya. Begitu Dewa Arak 
mulai menyerang, baru dirasakan kehebatannya. Serangan-
serangan Arya yang dilakukan dengan gerakan-gerakan aneh 
itu membuat Ranti bingung. 
Tapi meskipun terlihat aneh, Ranti merasakan beratnya 
tekanan setiap serangan Arya. Tak sampai dua puluh jurus 
saja, gadis itu sudah terdesak hebat. Memang, dia belum 
berpengalaman menghadapi berbagai jenis ilmu silat. Maka 
menghadapi ilmu semacam yang dimiliki Dewa Arak, jelas jadi 
kebingungan.

Tambahan lagi, Dewa Arak telah cukup mengetahui 
perkembangan ilmu lawannya. Maka, bukanlah suatu hal yang 
sulit untuk menekan lawan. Gerakan-gerakan tangan yang 
meliuk-liuk aneh, ditambah serangan guci membuat Ranti 
pusing. Belum lagi semburah-semburan arak yang keluar dari 
mulut Arya. Itu semua membuat Ranti kewalahan bukan main. 
Kini serangan pedang Ranti tidak lagi menggebu-gebu 
seperti semula. Ganti Dewa Arak yang melakukan desakan-
desakan. Ranti kini lebih banyak mengelak, ketimbang 
menyerang. Bahkan menangkis pun hampir tidak 
dilakukannya. Karena setiap kali berbenturan, tangannya 
selalu kesemutan hebat. 
Menjelang jurus keempat puluh, gadis berambut kepang ini 
sudah pontang-panting ke sana kemari untuk mengelakkan 
serangan Arya. Sudah bisa diperkirakan kalau robohnya gadis 
ini hanya tinggal menunggu saat saja. 
Pada jurus keempat puluh tiga, saat naas Ranti pun tiba. 
Sebuah totokan jari tangan Dewa Arak tak mampu dielakkan 
lagi. Tak pelak lagi, tubuh gadis itu roboh ke tanah. Lemas 
tanpa tenaga. "Hhh...!" 
Dewa Arak menghembuskan napas lega ketika lawannya 
yang keras kepala itu berhasil dilumpuhkan Perlahan-lahan 
tubuhnya dibungkukkan, lalu berjongkok. 
"Mau apa kau?!" tanya Ranti. Suaranya jelas menunjukkan 
rasa takut yang hebat. Bahkan wajahnya yang cantik jelita itu 
terlihat tegang. 
Namun, Arya sama sekali tidak menyambutnya. Pemuda 
berambut putih keperakan itu hanya terse nyum lebar. 
"Kalau berani bertindak macam-macam, kubunuh kau...!" 
ancam Ranti, di tengah-tengah ketidakberdayaannya. Namun 
ucapan maupun raut wajahnya menyiratkan kesungguhan 
hati.


Merah wajah Dewa Arak mendengar ucapan itu. Meskipun 
gadis berambut kepang ini baru mengatakannya sampai di 
situ, tapi sudah bisa ditangkap maksudnya. Ranti mengira, 
lawannya akan bertindak tidak senonoh. 
"Lebih baik jaga mulutmu, Nisanak!" sentak Arya 
Ucapan dan juga nada suara Dewa Arak menyiratkan kalau 
dia merasa tersinggung atas ucapan Ranti. Dan itu memang 
tidak salah. Dewa Arak memang sangat tersinggung bila 
dituduh melakukan tindakan kotor. Apakah orang seperti 
dirinya mirip penjahat pemerkosa wanita?!Keterlaluan sekali 
gadis berpakaian biru ini! Mulutnya terlalu keji! 
Ranti terdiam begitu mendengar sentakan keras Arya. 
Gadis itu bukan orang bodoh. Maka dia bisa tahu, pemuda 
berambut putih keperakan yang mempunyai kepandaian luar 
biasa ini merasa tersinggung. 
"Perlu kau ketahui, aku bukan orang yang berwatak rendah 
seperti dugaanmu, Nisanak," jelas Arya penuh ketegasan. 
"Aku bukan pembunuh lima orang Itu!" 
Ranti tersentak mendengar ucapan Arya Benarkah pemuda 
berambut putih keperakan ini bukan pembunuh ketiga orang 
rekannya? 
"Sayang, aku tidak tahu siapa pembunuh mereka," keluh 
Dewa Arak. "Sewaktu aku tiba, mereka semuanya telah 
bergeletakan. Tapi begitu kuperiksa, ternyata ada salah 
seorang di antara mereka yang belum tewas. Untungnya dia 
sempat memberitahuku lebih dahulu, siapa orang yang telah 
melakukan semua ini." 
Wajah Ranti berubah begitu mendengar penegasan Dewa 
Arak. 
"Siapa orang yang telah melakukannya...?" tanya Ranti, 
mulai lembut suaranya.

Kini gadis itu mulai meragu kalau pelaku pembunuhan Itu 
adalah Dewa Arak. Meskipun begitu, tetap saja perasaan 
curiga masih berkecamuk dalam hatinya. Dia masih belum 
percaya sepenuhnya terhadap pemuda di depannya. 
"Kalau tidak salah..., pelaku pembunuhan itu adalah 
Bidadari Sabuk Emas...." "Bidadari Sabuk Emas...?!" "Benar," 
Dewa Arak menganggukkan kepala "Itulah julukan yang 
kudengar dari mulut orang yang tadi masih hidup!" jelas Dewa 
Arak sambil menudingkan telunjuk tangan kanannya ke arah 
murid Perkumpulan Pedang Perak yang berkulit putih. 
"Pantas saja, setelah kitab itu dicuri, Bidadari Sabuk Emas 
juga menyatroni perkumpulan kami. Rupanya, dia juga 
berminat pada kitab itu. Dan begitu tahu kalau kitab itu telah 
dicuri, dia pun membunuhi murid-murid Perkumpulan Pedang 
Perak," jelas Ranti. 
Dugaan Ranti sebenarnya ada benarnya. Sewaktu Bidadari 
Sabuk Emas membunuh kakek dan nenek penduduk Desa 
Rangkong, kebetulan memang ada tiga orang murid 
Perkumpulan Pedang Perak. Dan alasan membunuh suami istri 
lanjut usia itu, sebenarnya hanya kekesalan Bidadari Sabuk 
Emas, karena Kitab Tangan Racun Pasir Merah telah dicuri. 
Kekesalan itu kemudian dilampiaskan pada penduduk tak 
berdosa. Melihat pembantaian itu, maka tentu saja tiga orang 
murid Perkumpulan Pedang Perak tidak membiarkan begitu 
saja. Namun akhirnya, mereka harus rela mengorbankan 
nyawa. 
"Kalau kau benar bukan orang jahat.., cepat bebaskan 
totokanmu...," pinta Ranti dengan wajah merah padam karena 
malu. Dewa Arak tersenyum lebar. 
"Aku berjanji akan memunahkan tatokan itu, dengan 
syarat..." 
"Apa syaratnya?" selak Ranti dengan perasaan geram 
ditahan.

Perasaan curiga kembali muncul di hati gadis itu. Dan 
sudah bersiap-siap mengucapkan makian, apabila pemuda 
berambut putih keperakan itu mengajukan syarat yang kurang 
ajar. 
"Kau tidak lagi menyerang membabi buta seperti tadi," 
jawab Arya kalem. 
Plong...! 
Lega hati gadis berambut kepang itu mendengar jawaban 
Dewa Arak. Diam-diam, Ranti memaki dirinya sendiri. 
Mengapa dia terlalu menyangka buruk terhadap pemuda 
berambut putih keperakan itu? Apakah karena rambutnya 
yang mengerikan? Mendapat dugaan seperti itu, membuat 
Ranti berpikir. Apa yang menyebabkan rambut pemuda di 
hadapannya ini jadi seperti itu? Kalau karena pengalaman, 
bisa dibayangkan betapa mengerikannya pengalaman itu. 
Ataukah karena pukulan batin yang hebat sehingga membuat 
rambutnya jadi berwarna seperti itu? Berbagai macam 
pertanyaan terus bergayut di dalam hati Ranti. 
"Bagaimana, Ranti?" tanya Arya begitu gadis itu malah 
terdiam, jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Atau, tengah 
mempertimbangkan syarat yang diajukannya? 
"Nggg..., baik! Aku bersedia!" jawab Ranti agak terbata-
bata. 
Dalam hati, Ranti memaki dirinya sendiri. Mengapa dirinya 
begitu bodoh, sehingga sampai melamun di depan Dewa 
Arak? Dan karena sibuk memaki dirinya sendiri, Ranti sampai 
tidak memperhatikan kalau Arya telah memanggilnya dengan 
namanya. 
"Betul?" tanya Arya lagi memastikan. 
Pemuda berambut putih keperakan itu memang kurang 
percaya atas jawaban yang diberikan Ranti, Apalagi gadis 
berpakaian biru itu sepertinya ragu-ragu menjawabnya.

Kontan wajah gadis berambut kepang itu memerah. 
"Kau kira, aku orang macam apa? Aku bukan orang yang 
suka menjilat ludah sendiri!" tegas Ranti. 
Dewa Arak terperanjat mendengar ucapan berapi- api gadis 
itu. Sungguh tidak disangka kalau Ranti memiliki sifat yang 
demikian keras. Mirip Melati, kekasihnya. Lalu, di manakah 
Melati kini? Teringat akan Melati, rindu Dewa Arak kembali 
menyeruak. 
"Maaf...! Maaf...!" sahut Arya buru-buru. "Bukannya aku 
tidak percaya. Tapi, aku tidak ingin mandi keringat apabila kau 
nanti mengamuk lagi." 
Mau tak mau, Ranti merasa geli mendengar ucapan Arya. 
Tapi dengan sekuat tenaga, perasaan geli itu ditahannya. 
Sehingga pada wajahnya yang cantik, sama sekali tidak 
tampak tersirat perasaan apa-apa. 
Sehabis berkata demikian, Dewa Arak segera mengulurkan 
tangan dan bergerak menepuk. Seketika 
Ranti telah bebas dari pengaruh totokan. 
Gadis berpakaian biru itu segera bangkit berdiri. Kini rasa 
percayanya semakin besar, bahwa Dewa Arak bukan pelaku 
pembunuhan terhadap ketiga orang murid Perkumpulan 
Pedang Perak. Jelas, kalau pemuda itu tidak bermaksud jahat 
padanya. Kini dia mengerti, mengapa sampai puluhan jurus 
lamanya pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali 
tidak melawannya. 
Meskipun begitu, Ranti tetap tidak meninggalkan 
kewaspadaannya. Kecurigaannya pada Dewa Arak masih 
terselip di hatinya. 
"Kalau boleh tahu, apa hubunganmu dengan ketiga orang 
itu?" tanya Arya sambil menudingkan telunjuk kanannya ke 
arah tubuh tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak yang 
tergeletak tanpa nyawa di tanah.


"Mereka adalah tiga orang saudara seperguruanku," jawab 
Ranti, sendu. Sebenarnya dia merasa terpukul melihat 
tewasnya ketiga rekannya itu. 
"Sukar kubayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu yang 
dimiliki Bidadari Sabuk Emas yang telah mampu membunuh 
ketiga orang saudara seperguruanmu itu. Padahal, 
mengalahkanmu saja aku sudah susah payah," kata Dewa 
Arak setelah sekian lamanya tercenung. 
"Kepandaian mereka tidak setinggi kepandaianku' jawab 
Ranti cepat. "Hm...," hanya gumaman perlahan Arya yang 
menyambut ucapan gadis berpakaian biru itu. 
"Sejak masih kecil, aku dididik langsung olah guruku. 
Bahkan diperbolehkan mempelajari kitab-kitab yang ada di 
perpustakaan. Sementara, mereka hanya dididik oleh murid 
kepala perkumpulan kami. Kau tidak usah heran. Kepandaian 
mereka bertiga, sekalipun digabung, masih belum menyamai 
kepandaianku. Jadi, janganlah merasa bingung 
membayangkan kepandaian Bidadari Sabuk Emas." 
Arya menganggukkan kepala pertanda mengerti. Kini 
pemuda berambut putih keperakan ini tahu, mengapa Bidadari 
Sabuk Emas mampu membinasakan mereka semua. 
"Apakah kau juga mempunyai tugas yang sama dengan 
mereka?" tanya Arya lagi. 
"Hm.... Maksudmu?" Ranti mengerutkan alisnya. 
"Mencari kitab pusaka perkumpulan kalian yang dicuri 
orang," jelas Dewa Arak. 
"Dari mana kau tahu tentang hal itu?" tanya Ranti penuh 
selidik. 
Sikap Ranti mendadak tegang lagi. Perasaan curiganya 
kembali timbul. Dia memang belum sepenuhnya percaya 
terhadap Arya. Maka begitu mendengar ucapan yang 
mengetahui tugas yang diberikan gurunya, dia kembali merasa

curiga. Masalahnya, peristiwa pencurian kitab pusaka itu 
memang amat dirahasiakan. Di Perkumpulan Pedang Perak 
sendiri, tidak semua murid perkumpulan mengetahuinya. Jadi, 
wajar saja kalau Ranti merasa curiga tatkala pemuda di 
hadapannya ini tahu tentang tugasnya. 
"Kau tidak usah bersikap setegang itu, Ranti," sergah Arya 
sambil tersenyum lebar. Kembali dipanggilnya gadis 
berpakaian biru itu dengan namanya. "Aku mengetahui dari 
mulut temanmu sebelum dia tewas." 
Mendengar jawaban itu, seluruh urat-urat tubuh Ranti yang 
tadi mengejang, kembali mengendur. 
"Apa saja yang dikatakannya padamu?" tanya Ranti lagi, 
ingin tahu. Dia masih belum mau memanggil Dewa Arak 
dengan namanya saja. "Hanya dua masalah itu saja." Gadis 
berambut kepang itu mengangguk-anggukkan kepalanya 
Sementara suasana menjadi hening sejenak begitu Dewa Arak 
menghentikan ucapannya. Apalagi, .Ranti juga tidak 
melanjutkan pertanyaannya. Kini kedua orang itu sama-sama 
berdiam diri. Masing-masing tenggelam dalam lamunannya 
sendiri-sendiri. 

ENAM


Mendadak Arya dan Ranti menolehkan kepala ke satu arah. 
Dan memang terdengar suara banyak langkah kaki yang 
menuju ke tempat mereka. Mendengar langkah-langkah yang 
berat, jelas kalau mereka sama sekali tidak memiliki ilmu 
meringankan tubuh. 
Benar saja. Di kejauhan, dalam jarak lebih dari dua puluh 
tombak dari tempat Dewa Arak dan Ranti berdiri, nampak 
berjalan puluhan, bahkan mungkin seratus orang. Menilik dari

pakaian yang dikenakan, nampaknya mereka adalah para 
penduduk desa. 
Arya dan Ranti saling pandang dengan sinar mata 
memancarkan keheranan. Memang kedua orang itu merasa 
heran, karena di bahu dan tangan para penduduk itu tidak 
kosong. Mereka semua membawa barang-barang maupun 
perbekalan. Bisa diperkirakan, rombongan orang itu hendak 
pergi jauh. Ataukah hendak pindah? 
Arya dan Ranti semakin heran ketika rombongan itu 
menghentikan langkah. Sepasang mata puluhan orang itu 
menatap ke arah mereka berdua tanpa berkedip. Jelas, kalau 
keberadaan Arya dan Ranti di situlah yang membuat 
rombongan itu menghentikan perjalanan. 
Seperti diberi aba-aba, Dewa Arak dan Ranti melangkah 
menghampiri rombongan yang berada dalam jarak sekitar 
delapan tombak di depan mereka. Kedua muda-muda itu ingin 
tahu, mengapa penduduk desa itu beramai-ramai melakukan 
perjalanan, atau lebih tepatnya lagi ingin pindah. Apalagi 
dalam rombongan itu terdapat anak kecil, wanita, dan orang-
orang lanjut usia. Bahkan ada yang tengah menggendong 
bayinya. 
Kecurigaan Dewa Arak dan Ranti semakin besar begitu 
melihat tanggapan rombongan penduduk begitu dihampiri. 
Beberapa orang yang masih muda dan gagah melangkah 
maju. Sikap mereka jelas terlihat melindungi anggota 
rombongan yang lain. Mereka berdiri di hadapan wanita, anak-
anak, dan orang-orang lanjut usia. 
Srat, srat, srattt...! 
Sinar-sinar terang berkilauan berkelebat ketika belasan 
orang laki-laki muda dan gagah itu mencabut senjata masing-
masing. Jelas, kalau mereka telah siap bertempur.


Melihat sikap mereka, Arya dan Ranti jadi semakin heran. 
Kalau tidak ada kejadian yang menimpa, tak mungkin mereka 
akan bersikap seperti itu. 
Arya bergegas memberi isyarat pada Ranti untuk 
menghentikan langkah. Sekali lihat saja, sudah diketahuinya 
kalau belasan orang itu telah kalap. Kalau mereka berdua 
terus bergerak mendekat, tidak mustahil akan diserang. 
Untungnya, Ranti bisa diatur. Gadis itu seketika 
menghentikan langkahnya begitu pemuda berambut Putih 
keperakan itu menghentikan langkahnya. Kini mereka berdiri 
berhadapan dengan rombongan itu dalam jarak sekitar lima 
tombak. 
“Kisanak semua!" kata Arya disertai pengerahan tenaga 
dalam sehingga terdengar sampai ke tempat jauh “Mengapa 
kalian menghunus senjata? Kami berdua bukan orang jahat!" 
Seorang laki-laki berkumis tebal dan berpakaian abu-abu, 
dan berusia sekitar empat puluh lima tahun melangkah maju 
beberapa langkah. Jelas, dia adalah pemimpin rombongan itu. 
Dan memang, dia adalah kepala desa. Laki-laki berkumis tebal 
itu tak lain adalah Ki Saketi, Kepala Desa Rangkong. 
Sementara rombongan yang berada di belakangnya adalah 
penduduk Desa Rangkong. Di antara mereka ada pula Eyang 
Balunglaga. Ternyata dia ikut juga mengungsi. Memang kakek 
ini hanya memiliki ilmu pengobatan dan ilmu meringankan 
tubuh yang cukup tinggi. Sementara ilmu silat dan tenaga 
dalam hanya dikuasai sekadarnya saja. 
'Tidak usah berbasa-basi, anak muda," sambut Ki Saketi. 
Datar dan dingin suaranya. "Kami bukan anak kecil yang 
mudah dibodohi. Bukti mayat-mayat yang berada di belakang 
kalian telah menunjukkan semuanya." 
Sambil berkata demikian, laki-laki berpakaian abu-abu ini 
menudingkan telunjuknya ke arah mayat murid-murid

Perkumpulan Pedang Perak dan sepasang suami istri yang 
telah berusia lanjut. 
Mendengar ucapan ini Arya terdiam. Disadari kalau 
kenyataan yang terlihat, telah menyudutkan mereka berdua. 
Sesaat lamanya dia tercenung bingung. Benaknya berputar 
keras mencari bantahan untuk menolak tuduhan yang 
dilontarkan Ki Saketi. 
"Bagaimana, Anak Muda?" tanya Kepala Desa Rangkong 
yang merasa telah menang. "Masih mau mungkir lagi? 
Bicaralah semaumu. Tapi perlu kau ketahui, kami sama sekali 
tidak akan terpengaruh. Semua ucapan yang keluar dari 
mulutmu, tak ubahnya dengan angin busuk yang keluar dari 
lubang pantatmu!" 
Keras dan tajam sekali ucapan Ki Saketi sehingga wajah 
Dewa Arak sampai merah padam karenanya. 
Tapi walaupun kemarahan yang hebat melanda hatinya, 
Arya berusaha menahan diri. Dia tahu, laki-laki berkumis tebal 
ini salah paham. Dan kalau dihadapi dengan kemarahan pula, 
keadaan jadi semakin berlarut-larut. 
Pemuda berambut putih keperakan ini menarik napas 
dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat untuk 
menenangkan perasaannya yang mulai bergolak. 
Berbeda dengan Arya, Ranti sama sekali tidak mampu 
menahan kesabarannya mendengar ucapan itu. Meskipun 
sebenarnya makian tadi ditujukan pada Dewa Arak, tapi tak 
urung gadis ini jadi tersinggung juga. Karena, mau tak mau 
hinaan itu tidak hanya ditujukan pada Arya, tapi juga padanya. 
"Mulutmu kotor sekali, Tua Bangka...!" desis Ranti tajam. 
Sepasang mata gadis itu menyorotkan ancaman. Terdengar 
suara berkerotokan keras ketika seluruh tenaga dalam gadis 
ini menyebar ke seluruh tubuh. Semua urat syaraf dan ototnya 
pun mengejang keras "Sabar, Ranti...," bujuk Arya sambil

menoleh ke arah gadis berkepang itu. "Dalam menghadapi 
setiap persoalan, jangan tempatkan perasaan di depan. 
Tempatkanlah di belakang. Pikiran sehatlah yang harus 
ditempatkan di depan. Hati boleh panas, tapi kepala mesti 
dingin agar tetap dapat berpikir jernih. Tahu mana yang salah, 
dan yang benar." 
Bagai bara api yang disiram air es, amarah Ranti langsung 
menguap. Apa yang dikatakan pemuda berambut putih 
keperakan itu memang mengandung kebenaran yang tidak 
dibantah lagi. Kontan percayanya pada Arya semakin menebal. 
Seiring semakin menebalnya rasa percayanya pada pemuda 
berambut putih keperakan itu, rasa curiganya pun semakin 
menyusut. Dewa Arak benar-benar seorang pemuda yang 
berpikiran seperti orang tua. Bijaksana, tidak hanya menuruti 
hawa nafsu semata-mata. "Hmh...!" 
Ki Saketi mendengus mendengar ucapan Arya. Memang, 
dia juga mendengar ucapan yang ditujukan pada gadis itu. 
Pemuda berpakaian ungu itu memang cukup keras bicaranya. 
Tidak cukup hanya dengan dengusan dan raut wajah yang 
mengejek, laki-laki berpakaian abu-abu ini terus menyambung 
dengan ucapannya. 
"Luar biasa...! Ada Iblis kotor yang mengucapkan kata-kata 
seperti malaikat Lucu! Lucu sekali...!" 
Amarah Ranti yang tadi sudah mulai surut, kembari bangkit 
mendengar hinaan Ki Saketi. Aneh! Kini gadis itu tidak senang 
mendengar Arya dihina! Pemuda berpakaian ungu itu 
membiarkan saja orang menghinanya! Padahal, dengan 
kepandaian yang dimiliki, hanya sekali kibas pasti nyawa 
Kepala Desa Rangkong itu akan melayang ke alam baka. Tapi, 
Arya tidak melakukannya! Bahkan Dewa Arak menelan 
mentah-mentah saja semua hinaan itu. 
Ternyata bukan hanya Ranti saja yang menjadi bangkit 
amarahnya. Dewa Arak pun demikian pula. Ki Saketi sudah


terlalu menghinanya. Tapi meskipun begitu, dia masih 
mencoba bersabar. Pasti ada alasan kuat sehingga membuat 
laki-laki berkumis tebal itu bersikap demikian. 
Lagi-lagi Arya menarik napas dalam-dalam dan 
menghembuskannya kuat-kuat untuk meredakan amarah yang 
menyesakkan dada. 
Ranti tahu, Arya berbuat seperti itu untuk meredakan 
amarahnya. Maka, dia pun ikut-ikutan bertindak serupa. Dan 
memang setelah berkali-kali hal itu dilakukan, amarahnya 
mulai turun kembali. Cara itu ternyata manjur juga! Apakah 
amarah itu keluar bersama dengan keluarnya napas yang 
dihembuskan, Ranti sama sekali tidak tahu. 
Berbeda dengan sebelumnya, kini Ranti sama sekali tidak 
berani bertindak lancang. Dia tahu, dirinya belum tentu bisa 
menahan amarah. Maka diputuskan untuk menyerahkan saja 
masalah itu pada Dewa Arak 
"Kau boleh memakiku apa saja, Ki," kata Arya datar, tapi 
dengan suara bergetar. 
Dari sini saja sudah bisa diterka kalau Dewa Arak dilanda 
amarah. Sehingga walaupun bisa menahannya, tapi tetap saja 
tidak bisa mengatur suaranya. "Yang jelas, kami bukan pelaku 
pembunuhan itu,"sambung Dewa Arak. 
Arya menghentikan ucapannya sejenak, untuk meredakan 
napasnya yang memburu. Ternyata dalam keadaan dikuasai 
amarah, deru napasnya jadi seperti orang habis berlari jauh. 
"Perlu kau ketahui, Ki," sambung Dewa Arak lagi, "Kami 
sendiri tengah mencari pelaku pembunuhan ini, karena tiga di 
antara lima orang itu adalah saudara seperguruan kami." 
Meskipun ucapan Arya ada bohongnya, tapi Ranti sama 
sekali tidak menyelak. Dia tahu, kalau ucapan itu Arya 
mewakili dirinya pula. Maka pemuda berambut putih 
keperakan itu terpaksa berbohong dengan mengatakan tiga


orang murid Perkumpulan Pedang Perak sebagai saudara 
seperguruannya. 
Hanya senyum mengejek dan pandang mata penuh 
penghinaan yang menyambut ucapan Dewa Arak. Dan itu 
tidak hanya dilakukan Ki Saketi saja, tapi semua penduduk 
yang berada di belakangnya. 
"Kalau kau masih tidak percaya, perhatikan saja pakaian 
yang dikenakan sahabatku ini." 
Sambil berkata demikian, Arya menudingkan telunjuknya ke 
arah Ranti. Mau tak mau, Ki Saketi dan rombongan penduduk 
Itu mengarahkan perhatian ke arah yang sama. Dan memang, 
pakaian yang dikenakan gadis berambut kepang itu ternyata 
sama dengan pakaian tiga orang yang tergolek di tanah. 
"Apa susahnya memalsukan pakaian seperti itu, Iblis Keji?!" 
Tirta ikut angkat suara. 
"Kalau kami ingin membunuh kalian semua, sama 
mudahnya dengan membuang ludah ke tanah!" Ranti yang 
sudah memutuskan untuk tidak ikut campur, jadi tak tahan 
juga. 
"Mengapa kalian tidak lakukan?!" tantang Ki Saketi tak 
kalah keras. 
"Karena kami bukan pembunuhnya, Ki...!" sahut Arya, 
cepat Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir, .Ranti 
akan meluap amarahnya. 
"Keparat..!" Ranti menggeram. 
Dan begitu ucapannya selesai, kedua tangannya 
dihentakkan ke samping. 
Wuttt..! 
Hembusan angin keras meluruk dari kedua tangan yang 
dihentakkan itu, dan.... Blarrr...!

Suara keras terdengar begitu tanah yang terkena pukulan 
jarak jauh itu terbongkar. Debu seketika mengepul tinggi ke 
udara. Dan begitu kumpulan debu itu sirna, terbentuk sebuah 
lubang yang cukup untuk mengubur mayat lima orang 
sekaligus! 
Semula Arya terkejut begitu melihat Ranti terlihat seperti 
akan melakukan sesuatu, dan sudah bersiap-siap mencegah. 
Tapi begitu dilihatnya sasaran yang dituju gadis berpakaian 
biru itu, gerakannya cepat di tahan. 
Ki Saketi dan seluruh rombongan penduduk Desa Rangkong 
terbelalak melihat hal itu. Tanpa sadar, mereka semua 
melangkah mundur dua tindak. Seketika ciut hati mereka 
melihat hasil tindakan gadis berpakaian biru itu. 
"Apakah tubuh kalian lebih keras daripada itu?!" ejek Ranti 
keras. "Ketahuilah.... Hanya empat kali kulepaskan pukulan 
seperti itu, kalian semua sudah tewas dengan tubuh hancur 
lebur! Apalagi kawanku ini! Kepandaiannya jauh berada di 
atasku! Mungkin hanya sekali hentakan tangan, kalian semua 
sudah tewas dengan seluruh tubuh tercerai berai!" 
Tidak terdengar lagi adanya sambutan dari mulut para 
penduduk Desa Rangkong. Bahkan Ki Saketi pun kali ini tidak 
mengucapkan separah kata pun. Laki-laki berpakaian abu-abu 
ini memang terkejut bukan main melihat pertunjukan yang 
terjadi di hadapannya. 
"Apa yang dikatakan kawanku itu benar, Ki," sambung 
Dewa Arak "Kalau kami ingin membunuh, sama mudahnya 
dengan membuang ludah ke tanah. Tapi kami bukan orang 
seperti itu. Justru kami tengah mencari orang yang telah 
melakukan pembunuhan terhadap kawan kami. Percayalah, Ki. 
Kami bukan orang jahat" 
Kali ini tidak ada alasan bagi Ki Saketi untuk tidak percaya. 
Telah terlihat bukti kehebatan gadis berpakaian biru. Ngeri 
juga membayangkan, bagaimana seandainya pukulan itu

diarahkan pada mereka semua. Belum lagi kalau yang 
melakukannya adalah pemuda berambut putih keperakan itu. 
Bukankah gadis berambut kepang itu mengatakan kalau 
kawannya memiliki kepandaian jauh di atasnya? 
"Maafkan, kami telah salah menduga, Anak Muda," ucap 
Kepala Desa Rangkong terbata-bata. "Maklum, kami telah 
berkali-kali dilanda musibah. Sehingga, maklumlah kalau kami 
mencurigai kalian berdua. Apalagi, kalian berada di antara 
mayat-mayat itu!" Sambil berkata demikian, Ki Saketi 
menudingkan telunjuk ke arah mayat-mayat yang tergolek di 
belakang Dewa Arak dan Ranti. Tampak kalau tangan laki-laki 
berkumis tebal itu menggigil, karena jelas tengah dilanda 
perasaan ngeri yang amat sangat. 
Meskipun merasa geli melihat hal itu, Dewa Arak mampu 
menutupinya sehingga tidak tampak pada raut wajahnya. Raut 
wajah pemuda berambut putih keperakan itu tetap tenang, 
tidak tampak adanya gambaran perasaan apa pun. 
Namun tidak demikian halnya dengan Ranti. Gadis 
berpakaian biru itu merasa geli bukan main. Betapapun telah 
diusahakan untuk tidak menampakkannya, tapi tetap saja 
tidak mampu. Mulutnya yang berbentuk indah itu 
mengembangkan senyum. Itulah sebabnya kepalanya 
ditundukkan sehingga senyuman itu tidak terlihat. 
"Kalau boleh kami tahu, apa yang terjadi di desamu, Ki? 
Dan mengapa kalian semua pergi berbondong-bondong 
begini? Apakah kalian semua hendak mengungsi?” tanya Arya 
sambil mengedarkan pandangan ke arah rombongan 
penduduk yang berdiri belakang Ki Saketi. 
“Hhh …” 
Laki-laki berpakaian abu-abu itu tidak langsung menjawab 
pertanyaan Arya. Ki Saketi lebih dulu menghela napas berat, 
seperti hendak membuang masalah yang memberatkan 
dadanya.


“Desa kami telah dilanda musibah, Anak Muda’ tutur Kepala 
Desa Rangkong itu pelan. Kemudian secara gamblang 
diceritakannya pada Dewa Arak, akan apa yang terjadi di 
desanya. 
Arya mendengarkannya penuh perhatian. Sama sekali 
cerita Kepala Desa Rangkong Itu tidak diselaknya. Beberapa 
kali dahinya berkernyit begitu mendengar cerita demi cerita 
yang keluar dan mulut Ki Saketi. 
“Begitulah ceritanya, Anak Muda,” kata Iaki-laki berpakaian 
abu-abu ini menutup ceritanya. “Sehingga, mau tak mau kami 
terpaksa mengungsi kalau tidak ingin mati konyol. Padahal, 
sebenarya kami merasa berat hati untuk meninggalkan tempat 
tinggal kami.” 
“Bisa kau ceritakan, bagaimana keadaan tubuh penduduk 
yang keracunan air sungai itu, Ki?” Ranti yang diam-diam 
mendengarkan cerita Ki Saketi buru-buru bertanya. Nada 
suaranya terdengar tegang, setegang raut wajahnya. 
Ki Saketi mengernyitkan alisnya mendengar nada tegang, 
baik dalam suara maupun raut wajah gadis berpakaian biru 
itu. Memang Kepala Desa Rangkong itu merasa heran juga. 
Semula, Arya pun merasa heran ketika Ranti menanyakan 
hal itu. Tapi ketika teringat kalau gadis berpakaian biru ini 
tengah mencari jejak orang yang telah membawa Iari kitab 
pusaka perkumpulannya dia tidak merasa heran lagi. Bahkan 
jadi ikut mendengarkan jawaban yang akan diberikan Ki 
Saketi. 
“Sekujur kulit mereka memerah, seperti udang rebus. 
Merah dan hancur seperti membusuk. Dan lagi, sepertinya 
racun itu gatal bukan main. Karena kulihat sebelum tewas, 
tangan mereka semua sibuk mencakar sekujr kulit” 
“Ilmu ‘Tangan Racun Pasir Merah’,..,” desis Ranti tajam. 
“Kau tidak keliru, Ranti?” desak Dewa Arak

“Tidak” sahut gadis berambut kepang itu yakin. “Memang 
begitu akibat yang ditimbulkannya.” 
“Kalau begitu, kita harus cepat ke sana, Ranti..!” ajak Dewa 
Arak memutuskan. “Sebelum malapetaka ini menjalar ke desa-
desa sekitar.” 
“Kau benar, Arya.” 
Untuk pertama kalinya, gadis berpakaian biru ini memanggil 
nama pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi karena 
perasaan tegang yang melanda, baik Dewa Arak maupun 
Ranti sama sekali tidak memperhatikan perubahan panggilan 
itu. 
“Ki! Kami akan pergi untuk mencari mereka. Tolong 
kuburkan mayat-mayat itu...!" 
Tanpa menunggu jawaban Kepala Desa Rangkong, Dewa 
Arak dan Ranti melesat meninggalkan tempat itu. Tujuan 
mereka sudah jelas. Hutan Rankong. 
Dewa Arak dan Ranti berlari cepat mengerahkan Ilmu 
meringankan tubuh yang dimiliki untuk tiba di Hutan 
Rangkong secepatnya. 
Berkat ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai 
tingkat tinggi, Dewa Arak tidak begitu kesulitan mengimbangi 
lari Ranti. Bahkan kalau mau, akan mampu melewatinya. 
Dalam waktu tak lama, Hutan Rangkong kini telah tampak di 
depan mata. 
Tanpa mengurangi kecepatan sedikit pun, Arya dan Ranti 
terus berlari. Dan sesaat kemudian, mereka telah memasuki 
mulut Hutan Rangkong. 
Sesampainya di sini, Dewa Arak dan Ranti menghentikan 
larinya. Mereka lalu melangkah perlahan-lahan seraya 
mengedarkan pandang ke sekeliling. Sekujur otot dan urat 
syaraf di tubuh sepasang muda-mudi itu menegang waspada, 
bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Selangkah demi selangkah Dewa Arak dan Ranti semakin 
jauh masuk ke dalam hutan. Dan selama itu, tidak tampak 
adanya sesuatu yang mencurigakan. Padahal, telah tak 
terhitung lagi semak-semak dan pepohonan yang disibak 
dalam usaha menemukan tokoh yang telah menimbulkan 
kekacauan itu. 
"Kau dengar suara itu, Ranti?" tanya Dewa Arak ketika 
samar-samar telinganya menangkap adanya suara. 
Ranti menggelengkan kepala. "Apakah kau 
mendengarnya?" 
Arya mengangguk 
"Arahnya dari sebelah sana...!" sahut Dewa Arak sambil 
menudingkan telunjuknya ke arah Timur. 
"Kalau begitu, mari kita ke sana..!" Ranti menanggapi 
penuh semangat. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya dan gadis 
berambut kepang itu melangkah cepat ke arah Timur. 
"Kau benar, Arya...!" kata Ranti tiba-tiba. 
"Kau juga mendengar suara itu, Ranti?" 
"Ya. Sekarang aku mendengarnya," jawab gadis berpakaian 
biru itu seraya mempercepat langkahnya 
Semakin lama, suara yang terdengar semakin jelas. 
"Suara itu berasal dari balik semak-semak itu. Kang Arya." 
Tanpa sadar, lagi-lagi Ranti merubah panggilannya. Dan 
seperti juga sebelumnya, Dewa Arak sama sekali tidak 
menyadarinya. 
Dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara, Arya dan 
Ranti menghampiri kerimbunan semak-semak Masih bersikap 
hati-hati pula. Dewa Arak menyibaknya. Lalu bersama-sama, 
sepasang muda-mudi itu mengintai dari kerimbunan semak

semak yang dikuak Arya. Begitu dekatnya wajah-wajah 
mereka, sampai-sampai kedua pipi sepasang muda-mudi itu 
hampir bersentuhan. 
Dada Arya seketika berdebar keras. Hidungnya mencium 
adanya bau harum yang menebar dari tubuh gadis berpakaian 
biru itu. Seketika itu juga wajahnya memerah. Terus terang, 
ada keinginan yang mendorongnya untuk memeluk tubuh 
Ranti. Dan itu wajar saja, karena Arya adalah seorang pemuda 
yang masih berdarah panas. 
Perasaan yang bergolak akibat pipinya bersentuhan dengan 
pipi gadis berambut kepang itu membuat pikiran Arya buntu. 
Hampir-hampir pembicaraan dua sosok tubuh di balik semak-
semak yang tengah berdiri berhadapan dalam jarak sekitar 
dua tombak tidak bisa ditangkapnya. 
"Sekarang, jangan harap kau akan bisa mengalahkanku 
lagi, Bidadari Sabuk Emas...!" teriak seorang laki-laki bertubuh 
tinggi besar berpakaian serba hitam dan bercambang bauk 
lebat. Sebuah topi berbentuk setengah tempurung kelapa 
bertengger di alas kepalanya. 
Arya dan Ranti yang mendengar julukan yang disebut 
kakek tinggi besar itu merasa geli bercampur heran. Mengapa 
orang setua nenek itu berjuluk bidadari? Sama sekali 
keduanya tidak tahu kalau julukan itu didapat waktu nenek itu 
masih muda dan cantik jelita. 
"Ha ha ha...! Jangan besar kepala karena telah berhasil 
mempelajari ilmu curian itu, Raja Iblis Baju Hitam!" sambut 
nenek berpakaian merah muda dan berambut panjang yang 
memang Bidadari Sebuk Emas. "Akan kubuktikan kalau dalam 
pertemuan kali ini, akulah yang akan memenangkan 
pertarungan. Dan, kau terpaksa harus berlatih keras lagi." 
"Akan kau lihat sendiri buktinya, Bidadari Sabuk Emas! Kita 
buktikan, siapa di antara kita yang patut bergelar datuk!"

Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu sudah 
siap untuk bergebrak Tapi.... 
"Tunggu dulu, Raja Iblis!" Bidadari Sabuk Emas 
menjulurkan kedua tangannya ke depan. "Aku mendengar ada 
suara aneh. Jangan-jangan, ada orang yang tengah mengintai 
kita." 
Raja Iblis Baju Hitam pun menghentikan gerakannya. 
Kepalanya pun ditolehkan ke arah yang sama dengan 
pandangan Bidadari Sabuk Emas. Dia memang tidak 
mendengar suara apa pun, karena tadi tengah berteriak-
teriak. 
Melihat kedua tokoh sesat itu telah mengetahui tempat 
persembunyian mereka, mau tak mau Dewa Arak keluar dari 
tempat persembunyiannya. Kemudian dihampirinya kedua 
tokoh sesat yang berdiri diam menunggu. 
Ranti pun terpaksa mengikuti. Diam-diam gadis berpakaian 
biru itu merasa heran, mengapa Arya sampai mengeluarkan 
suara napas menderu yang membuat tempat persembunyian 
mereka diketahui? Memang, deru napas Dewa Araklah yang 
membuat persembunyian mereka diketahui. 
"Kau kenal kedua tokoh itu, Ranti?" tanya Arya pelan untuk 
menutup perasaan malunya. Diam-diam dia memaki dirinya 
sendiri, mengapa sampai bisa terpengaruh? 
"Kenal sih, tidak. Tapi guruku telah menceritakan siapa 
adanya mereka," jawab gadis berambut kepang itu. "Mereka 
adalah datuk-datuk dunia persilatan. Tapi sekitar dua tahun 
yang lalu, Raja Iblis Baju Hitam menghilang dari dunia 
persilatan, dan tidak terdengar beritanya lagi. Orang mengira 
dia telah mati." 
"Rupanya dia mengasingkan diri untuk memperdalam 
ilmunya, karena telah dikalahkan Bidadari Sabuk Emas. 
Bahkan sampai-sampai mencuri kitab pusaka 
perkumpulanmu," tambah Dewa Arak.


Ranti hanya menganggukkan kepala pertanda 
membenarkan ucapan Dewa Arak. 
"Bagaimana dia bisa masuk ke perkumpulanmu dan 
mencuri kitab?" tanya Arya sambil terus melangkah 
menghampiri kedua tokoh sesat itu dengan sikap waspada. 
"Menerobos masuk ke dalam perkumpulan dengan 
menewaskan beberapa orang penjaga, tanpa ada seorang pun 
yang tahu," keluh Ranti. "Baru pada pagi harinya, kami semua 
mengetahuinya Maka guru cepat-cepat memerintahkan untuk 
mencari pencuri itu." 
"Hi hi hi...! Dewa Arak rupanya telah menjadi pengintai 
hina?!" Bidadari Sabuk Emas langsung mengejek. 
Nenek ini memang telah lama mendengar semua tentang 
Arya. Baik mengenai ciri-cirinya, maupun sepak terjangnya. 
Maka bisa langsung ditebak tepat, siapa pemuda berambut 
putih keperakan itu. 
"Dewa Arak...?!" 
Hampir berbareng Ranti dan Raja Iblis Baju Hitam 
menggumamkan nama itu, sama-sama dengan nada 
keterkejutan. Ranti memang sama sekali tidak menduga kalau 
pemuda yang selama ini berada bersamanya adalah pemuda 
yang menggemparkan dunia persilatan itu. Padahal, semua 
tokoh persilatan telah didengar dari gurunya. Dan Dewa Arak 
adalah salah satu di antara orang yang disebut gurunya. 
"Tapi, benarkah Arya adalah Dewa Arak? Ah! Mengapa aku 
begitu pelupa! Bukankah guru telah mengatakan kalau nama 
asli Dewa Arak adalah Arya Buana. Dan pemuda berambut 
putih keperakan itu pun telah menyebutkan namanya. Arya 
Buana! Mengapa aku jadi begitu bodoh?" maki Ranti dalam 
hati. 
Ranti terdiam, seperti mengutuk diri sendiri. Dia 
sebenarnya ingin memperjelas keingintahuannya tentang

Dewa Arak. Tapi saat ini mereka tengah bersikap waspada 
terhadap dua tokoh sesat yang selama ini dicari-cari. Ranti 
hanya memendam pertanyaan itu dalam hati. Rasanya 
memang tidak pantas untuk menanyakannya. 
Sementara Ranti masih terpaku dengan kekagumannya 
pada Dewa Arak, maka Arya sendiri telah berada sekitar dua 
tombak di depan Bidadari Sabuk Emas dan Raja Iblis Baju 
Hitam. Begitu sadar, gadis itu segera menghampiri Dewa Arak. 
Dewa Arak sengaja membiarkan Ranti memilih lawannya. 
Gadis berpakaian biru itu lalu bergerak menghampiri Raja Iblis 
Baju Hitam. Jadi, Arya terpaksa melangkah menghampiri 
Bidadari Sabuk Emas. 
Nenek berpakaian merah muda itu tertawa terkekeh. 
"Sudah lama aku berniat menjajal kepandaianmu, Dewa 
Arak! Sungguh tidak kusangka kalau akhirnya bisa bertemu 
denganmu...!" 
Arya hanya tersenyum getir. "Bidadari Sabuk Emas...! Kau 
harus mempertanggungjawabkan perbuatan kejimu yang telah 
membunuh tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak!" 
kata Dewa Arak keras, Dia memang ingin membuktikan pada 
Ranti kalau pembunuh itu bukan dia! 
Memang, begitu mendengar ucapan itu Ranti menoleh. 
Gadis itu ingin mendengar jawaban nenek berpakaian merah 
muda itu. 
"Hi hi hi...! Bukan hanya mereka saja yang kubunuh! Tapi 
kau juga akan kubunuh, Dewa Arak...! Kau akan menemani 
tiga orang monyet kecil yang berani menantangku!" 
Mendengar ucapan ini, hati Dewa Arak lega. Dia telah 
berhasil membuktikan kalau dia sama sekali tidak bersalah. 
"Bersiaplah kau, Dewa Arak...!" dengan bersikap 
sebagaimana layaknya orang gagah. Bidadari Sabuk Emas 
berseru memperingatkan Lalu....

"Haaat..!" 
Sambil berteriak melengking nyaring, Bidadari Sabuk Emas 
mencabut sabuknya. Dan secepat senjata andalannya 
tercabut, secepat itu pula dilecutkannya ke arah ubun-ubun 
Dewa Arak. 
Dewa Arak sejak tadi sudah bersiap siaga. Maka begitu 
metihat sabuk yang meluncur deras ke arah ubun-ubunnya, 
cepat dia melompat ke belakang. Langsung dijumputnya guci 
arak yang bertengger di punggung. 
Ctaar...! 
Ledakan keras terdengar begitu ujung sabuk Bidadari 
Sabuk Emas mengenai tempat kosong. 
Pada saat yang sama ketika kedua kakinya hinggap di 
tanah, Dewa Arak menuangkan arak ke dalam mulutnya. 
Gluk... gluk... gluk..! 
Suara tegukan yang cukup nyaring terdengar ketika arak 
itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga ada 
hawa hangat yang berputar di dalam perut Arya, kemudian 
merayap naik ke atas kepala. Sekejap saja, kedua kaki Dewa 
Arak pun oleng. 
Di saat itulah, serangan sabuk nenek berambut panjang ini 
kembali menyambar ke arah Dewa Arak. Tapi dengan jurus 
'Delapan Langkah Belalang', pemuda berambut putih 
keperakan itu berhasil mengelakkannya 
Sesaat kemudian, keduanya sudah terlibat dalam sebuah 
pertarungan sengit dan menarik. Kedua gerakan itu sama-
sama meliuk-liuk. Baik gerakan sabuk Bidadari Sabuk Emas, 
maupun gerakan Dewa Arak yang sempoyongan ke sana 
kemari dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakti'. 
Sementara itu, Ranti telah berdiri berhadapan dengan Raja 
Iblis Baju Hitam.

"Jadi, rupanya kau yang telah mencuri kitab pusaka 
perkumpulan kami, Raja Iblis!" desah Ranti penuh geram. 
"Ha ha ha...! Kalau benar begitu, kau mau apa, Bocah?!" 
sahut Raja Iblis Baju Hitam kalem. Nada suaranya-terdengar 
meremehkan sekali. 
"Membunuhmu!" 
Setelah berkata demikian, Ranti langsung mencabut 
pedangnya. Dan secepat pedang itu tercabut, secepat itu pula 
dibabatkan cepat ke arah leher. 
Ngunggg...! 
Suara mengaung keras terdengar mengiringi tibanya 
serangan pedang itu. 
Raja Iblis Baju Hitam terperanjat melihat hal ini. Sungguh 
tidak disangka kalau serangan gadis berpakaian biru itu begitu 
dahsyat. Suara mengaung keras yang mengiringi tibanya 
serangan telah menunjukkan kekuatan tenaga dalam yang 
terkandung di dalamnya. Maka laki-laki berpakaian hitam ini 
tidak berani bertindak main-main Cepat-cepat tubuhnya 
direndahkan. Dan.... Wusss...! 
Pedang Ranti menyambar lewat di atas kepalanya, hanya 
berjarak setengah jengkal. Rambut dan sekujur pakaian yang 
dikenakan Raja Iblis Baju Hitam ini sampai berkibar keras. Dari 
sini saja sudah bisa diperkirakan betapa kuatnya tenaga dalam 
yang terkandung dalam serangan itu. 
Serangan gadis berambut kepang ini ternyata tidak hanya 
sampai di situ saja. Begitu babatannya berhasil dielakkan, kaki 
kanannya langsung mencuat ke arah perut Dan karena sikap 
tubuh laki-laki bercambang bauk lebat Itu tengah menunduk, 
serangan kaki itu jadi mengancam dada. 
Wuttt...! 
Deru angin keras mengiringi tibanya serangan Ranti.

Raja Iblis Baju Hitam terperanjat. Tokoh sesat yang 
menggiriskan ini memang tidak menyangka kalau serangan 
susulan lawan akan datang begitu cepat. Maka tanpa 
membuang-buang waktu lagi, tubuhnya dilempar ke belakang. 
Lalu, dia bersalto beberapa kali di udara, dan mendarat 
beberapa tombak dari tempatnya semula. 
Ranti sama sekali tidak memberi lawan kesempatan. Begitu 
lawan melempar tubuh ke belakang, tubuhnya segera melesat 
memburu. Pedang di tangannya meluncur cepat ke arah 
lawan, diiringi suara mengaung menggetarkan jantung. 
Berbahaya sekali serangan yang dilancarkan gadis 
berpakaian biru itu. Apalagi, saat itu tubuh Raja Iblis Baju 
Hitam tengah berada di udara. 
Meskipun begitu, tidak percuma laki-laki berpakaian hitam 
ini menjadi seorang datuk sesat. Di saat yang berbahaya ini 
serangan itu masih sanggup dielakkan. Tubuhnya menggeliat 
di udara, sehingga serangan itu tidak mengenai sasaran. 
Berbareng hinggapnya kedua kaki Ranti di tanah, Raja Iblis 
Baju Hitam pun mendaratkan kakinya pula di tanah. Dan 
secepat kedua pihak berada di tanah, secepat itu pula saling 
menyerang dahsyat Pertarungan sengit dan mati-matian pun 
terjadi. 
Di arena lain, Dewa Arak pun tengah berjuang keras 
menaklukkan lawannya. Ilmu 'Belalang Sakti' miliknya 
dikeluarkan sampai ke tingkat akhir. Kedua tangannya, guci, 
dan juga semburan-semburan araknya dikeluarkan. Beberapa 
kali sambil mengelakkan serangan lawan, Dewa Arak 
menenggak araknya. Suara tegukan pun kembali terdengar di 
sela-sela ledakan sabuk Bidadari Sabuk Emas. 
Memang, pertarungan yang berlangsung antara Dewa Arak 
dan Bidadari Sabuk Emas berlangsung seru dan menarik. 
Perempuan tua itu memang telah mendengar kelihaian 
lawannya. Maka sudah sejak semula senjata andalannya

dikeluarkan. Bahkan langsung menyerang dengan 
mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki. 
Karena kedua belah pihak sama-sama memiliki ilmu 
meringankan tubuh yang tinggi pertarungan yang terjadi pun 
berlangsung cepat. Yang tampak hanyalah kelebatan 
bayangan kemerahan dan ungu, yanq terkadangg saling belit 
Tapi, tak jarang pula saling pisah. 
Di antara kelebatan cahaya ungu dan merah, tampak 
meliuk-liuk sabuk yang berwarna kuning keemasan. 
Memang luar biasa permainan sabuk nenek berpakaian 
merah muda itu. Terkadang sabuk itu melecut mengeluarkan 
ledakan nyaring seperti gelegar halilintar, tapi tak jarang pula 
menegang kaku seperti sebatang tombak dan meluncur cepat 
ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Bahkan tak kalah 
seringnya pula sabuk itu meliuk-liuk laksana seekor ular, 
sehingga sukar diterka ke mana arah yang dituju. 
Perubahan permainan sabuk itulah yang merepotkan Dewa 
Arak. Sehingga sampai puluhan jurus berlangsung, lawannya 
belum mampu didesak. Perubahan permainan sabuk itu 
berlangsung secara tiba-tiba dan tak terduga sehingga 
menyulitkannya. Dan inilah yang membuat Arya kewalahan 
menghadapinya. 
Bukan hanya Arya saja yang merasa penasaran Bidadari 
Sabuk Emas pun dilanda perasaan yang sama. Seluruh 
kemampuannya dalam memainkan sabuk telah dikerahkan, 
tapi tetap saja tidak satu pun serangannya yang berhasil 
mengenai tubuh lawan. Jangankan mengenai, mendesak pun 
tidak mampu. 
Tak terasa puluhan jurus telah berlalu. Kini pertarungan 
telah menginjak jurus keseratus. Tapi sampai selama itu, 
pertarungan masih berlangsung seimbang. 
Tidak nampak ada tanda-tanda, siapa yang akan keluar 
sebagai pemenang. Wuttt..!


Pada jurus yang keseratus dua puluh tujuh, untuk yang 
kesekian kalinya sabuk di tangan Bidadari Sabuk Emas meliuk-
liuk. Kemudian secara tidak terduga-duga, menotok ke arah 
pelipis seperti ular mematuk. 
Cepat gerakan sabuk itu, tapi masih lebih cepat lagi 
gerakan Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu 
memiringkan kepalanya sehingga patukan sabuk itu mengenai 
tempat kosong. Dan... 
Prrruh...! 
Arya menyemburkan arak yang sejak tadi berada dalam 
mulutnya Seketika Itu juga, butiran-butiran arak itu meluncur 
cepat ke arah Bidadari Sabuk Emas. 
Nenek berpakaian merah muda Itu terkejut bukan main 
mendapat serangan yang tidak disangka-sangka. Tak terpikir 
olehnya akan serangan itu, karena Arya tidak terlihat 
meminum araknya. Sama sekali tidak disangka kalau Arya 
memang sengaja menyimpannya. 
Dengan agak gugup, Bidadari Sabuk Emas menundukkan 
kepalanya. Meskipun begitu, dia berhasil pula menyelamatkan 
diri. Dia tahu, arak yang disemburkan Dewa Arak tidak bisa 
dibuat main-main. Semburannya tak ubahnya luncuran panah! 
Bila terkena kulit, pasti akan luka-luka. Bahkan bila terkena 
mata, pasti akan hancur. 
Dan nenek berambut panjang Ini sama sekali tidak 
menyangka kalau serangan itu hanya pancingan saja. 
Tappp...! Ujung sabuk itu berhasil ditangkap Dewa Arak, 
dan pemuda itu langsung membetotnya. 
"Ah...!" Bidadari Sabuk Emas menjerit kaget ketika 
tubuhnya tertarik ke depan dan melayang di udara. 
Perempuan tua itu memang tidak menyangka kalau Dewa 
Arak mampu menangkap sabuknya!

Dewa Arak sengaja melakukannya untuk mengalihkan 
perhatian nenek itu dari sabuknya. Dan mendadak.... Tappp...! 
Ujung sabuk itu telah berhasil ditangkap Dewa Arak yang 
langsung membetotnya begitu sabuk itu telah 
dicengkeramnya. 
"Ah...!" 
Bidadari Sabuk Emas 
menjerit kaget ketika 
tubuhnya tertarik ke depan 
dan melayang di udara. 
Perempuan tua itu memang 
tidak bersiap 
menghadapinya. 
Dan di saat tubuh nenek 
berpakaian merah muda itu 
tengah berada di udara, Arya 
melepaskan pegangan 
tangannya. Dan dengan 
gerakan sukar diikuti mata, 
gucinya disampirkan kembali 
di punggung. Dan secepat 
guci itu tersampir, secepat itu 
pula Arya menghentakkan kedua tangannya ke depan. Inilah 
jurus 'Pukulan Belalang'. Wusss...! 
Angin keras berhawa panas menyengat meluncur ke arah 
tubuh Bidadari Sabuk Emas. Seketika nenek berpakaian merah 
muda itu terperanjat dan berusaha mengelak sebisa-bisanya. 
Tapi.... 
Bressss… 
Jeritan menyayat keluar dari mulut nenek berambut 
panjang itu, tatkala angin pukulan Dewa Arak menghantam, 
telak dan keras dadanya. Seketika itu juga, tubuh Bidadari 
Sabuk Emas terlempar jauh ke belakang . Nenek berambut

panjang ini gagaI menyelamatkan diri. Keadaan tubuhnya 
yang tengah berada di udara menyulitkannya untuk mengelak. 
Tambahan lagi, dia masih terbawa tarikan Dewa Arak tadi. 
Brukkk..! 
Suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh Bidadari 
Sabuk Emas menghantam tanah. Seketika itu juga nyawanya 
terlepas dari raga. Dia kini tewas dalam keadaan 
menyedihkan. Sekujur tubuhnya hangus terbakar. Samar-
samar tercium bau sangit daging terbakar. 
Sementara itu jerit kematian Bidadari Sabuk Emas 
membuat Raja Iblis Baju Hitam terperanjat. Seketika itu juga 
perhatiannya terpecah. Padahal bagi seorang tokoh tingkat 
tinggi yang tengah bertarung, kelengahan lawan betapapun 
kecilnya, adalah sebuah kesempatan untuk memasukkan 
serangan. 
Apalagi pertarungan antara Raja Iblis Baju Hitam dan Ranti 
memang berjalan seimbang sejak tadi Maka ketika laki-laki 
berpakaian hitam itu lengah, pedang di tangan Ranti meluncur 
cepat ke arah dadanya. Dan.... 
Cappp...! 
Pedang Ranti menghunjam dalam di perut laki-laki 
berpakaian hitam itu hingga tembus ke punggung. Kontan 
darah segar muncrat dari bagian tubuh yang terluka. 
"Hih...!" 
Ranti segera mencabut pedangnya. Maka darah segar 
kembali berhamburan dari bagian tubuh yang terluka. Dan 
bukan hanya itu saja yang dilakukannya. Kakinya pun 
menendang cepat ke arah dada Raja Iblis Baju Hitam. 
Desss...! 
Suara berderak keras terdengar ketika tulang-tulang dada 
laki-laki berbaju hitam itu hancur berantakan. Seketika


nyawanya pun melayang seiring melayangnya tubuhnya ke 
belakang. 
Ranti bergegas menghampiri mayat Raja Iblis Baju Hitam. 
Segera disobeknya bagian baju tokoh sesat itu. Dugaannya 
ternyata benar. Kitab pusaka perkumpulannya berada di balik 
baju Raja Iblis Baju Hitam. 
Gadis berpakaian biru ini tersenyum gembira. Semua jerih 
payahnya ternyata tidak sia-sia. Diperhatikannya kitab yang 
bertuliskan Ilmu Tangan Racun Pasir Merah, dengan pandang 
mata berbinar-binar. Kemudian kepalanya menoleh untuk 
memberi tahu Dewa Arak. 
Tapi tidak ada seorang pun yang dijumpainya di situ. 
Suasana di sekeliling tempat itu sepi-sepi saja. Walau Ranti 
telah mengedarkan pandangan ke sekeliling, tetap saja 
bayangan tubuh Dewa Arak tidak terlihat 
Karuan saja hal ini membuat Ranti merasa cemas bukan 
main. Segumpal perasaan cemas menyeruak. Segumpal 
perasaan cemas menyeruak di hatinya, karena takut Dewa 
Arak telah pergi meninggalkannya. 
"Kang Arya...!" 
Dalam puncak kecemasan yang menggelegak Ranti 
berteriak memanggil. Tak tanggung-tanggung lagi seluruh 
tenaga dalamnya dikerahkan sewaktu memanggil. Akibatnya 
sudah bisa diduga. Suara keras yang memekakkan telinga 
terdengar mengoyak kesunyian Hutan Rangkong. 
Ranti menunggu sesaat Tapi sampai jemu menanti, orang 
yang diharapkan tidak juga kunjung datang. Hanya gema 
suaranya yang bersahut-sahutan menyambut panggilannya. 
"Kang Arya...!" 
Ranti memanggil lagi dengan suara lebih keras, tapi tetap 
saja orang yang dipanggilnya tak kunjung

Baru saja hendak memanggil lagi, gadis berpakaian biru ini 
segera mengurungkan niatnya. Pandangannya tertumbuk 
pada sebuah benda yang terpacak di pohon. 
Benda itu adalah selembar kain yang menempel di batang 
pohon, karena ditusuk sebatang ranting kecil. Jelas 
membutuhkan tenaga dalam tinggi untuk membuat ranting 
kecil yang lemah itu mampu menembus batang pohon yang 
demikian keras. 
Ranti segera menghampiri. Dan seperti yang sudah diduga, 
ada deretan huruf-huruf yang tertera di atasnya. Dengan agak 
tergesa-gesa dibacanya huruf-huruf itu. 
Ranti.... 
Aku ikut merasa gembira, karena kau telah berhasil 
menunaikan tugas yang diberikan gurumu. Aku pergi dulu. 
kelak kita akan bertemu kembali. 
Ranti segera mencampakkan ranting itu, dan meremas kain 
yang bertuliskan pesan Arya hingga hancur luluh. Kemudian 
sekali menggerakkan kaki, tubuhnya telah melesat pergi dari 
situ. 
Sementara di kejauhan, Dewa Arak tengah melangkah 
perlahan-lahan dengan perasaan lega. Kembali sebuah tugas 
menentang kejahatan telah berhasil diselesaikannya dengan 
baik 


                                SELESAI 


Serial Dewa Arak 
dalam episode 
Maut dari Hutan Rangkong 
"Guradi...!" Jatmika menjerit keras begitu melihat putranya 
tergantung di atas pohon. Sementara Banyupaksi hanya diam 
terpaku

Ternyata musibah itu tidak sampai di situ saja. Kematian 
demi kematian dalam keadaan mengerikan terus menimpa 
penduduk Desa Rangkong. 
Ranti, seorang murid wanita utusan Perkumpulan Pedang 
Perak berusaha menyingkap rahasia pembunuhan ini. Gadis 
cantik jelita itu memang tengah mencari kitab pusaka 
perkumpulannya. Kitab yang berisikan ilmu 'Tangan Racun 
Pasir Merah'. 
Siapakah orang yang telah mencuri kitab perkumpulannya? 
Dan siapa pula orang yang menyebar Maut dari Hutan 
Rongkong? Lalu mengapa Dewa Arak dituduh sebagai 
pembunuhnya oleh Ranti?!




Share:

0 comments:

Posting Komentar