Maut Dari Hutan Rangkong
Seri Dewa Arak
Karya : Aji Saka
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit
Aji Saka
Serial Dewa Arak dalam episode: Maut dari Hutan
Rangkong 128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Kepak kelelawar terdengar memecah keheningan malam
yang sepi. Bulan penuh yang nampak di langit,perlahan-lahan
mulai tertutup awan hitam tebal yang berarak. Angin dingin
yang berhembus dan sesekali keras itu semakin memperkuat
dugaan kalau hujan akan turun.
Benar saja. Beberapa saat kemudian, hujan mulai turun.
Mula-mula berupa gerimis kecil, dan satu-satu. Tapi semakin
lama semakin besar. Hingga akhirnya benar-benar lebat. Air
yang jatuh bagai ditumpahkan dari langit. Langit yang gelap
itu sesekali dibelah oleh halilintar yang menggelegar. Untuk
sesaat lamanya, suasana malam jadi terang benderang.
Dan dalam suasana terang yang sekejap seperti itulah,
tampak sesosok bayangan berkelebat dari dalam sebuah
bangunan yang dikelilingi pagar kayu bulat tinggi. Bangunan
itu tampak besar dan megah, serta memiliki halaman luas.
"Hih...!"
Sosok bayangan itu melesat cepat melompati pagar kayu
bulat yang tinggi. Indah dan manis sekali gerakannya. Baik
ketika melompati pagar kayu, maupun ketika mendaratkan
kedua kakinya di luar pagar.
Pyarrr...!
Genangan air memercik ke sana kemari ketika sepasang
kaki itu menjejak tanah yang dibasahi hujan. Glarrr!
Halilintar menyambar kembali. Dan untuk sesaat suasana
malam jadi terang benderang kembali. Meskipun begitu, sudah
cukup jelas untuk mengenali wajah sosok bayangan itu.
Dia ternyata adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima
puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar, dan berpakaian hitam.
Wajahnya kasar dan sebuah penutup kepala yang berbentuk
setengah tempurung kelapa bertengger di atas kepalanya.
Secepat kedua kakinya mendarat di luar pagar kayu,
secepat itu pula dia melesat dari situ. Gerakannya cukup
cepat. Jelas, kalau laki-laki tinggi besar ini memiliki
kepandaian tidak rendah.
Tanpa menghiraukan suasana malam yang gelap, angin
dingin yang berhembus keras menusuk tulang, dan curahan
hujan lebat yang menyiram tubuhnya, sosok bayangan itu
terus saja berlari cepat.
Glarrr!
Halilintar kembali menggelegar membelah angkasa. Lagi-
lagi keadaan alam kembali terang benderang sekejap. Saat
itu, di atas pintu gerbang bangunan besar berpagar kayu bulat
tinggi, terlihat sebuah kayu lebar tidak begitu tebal yang
terukir halus. Tampak jelas huruf-huruf yang tertera di papan
itu, Perkumpulan Pedang Perak.
Sosok bayangan itu terus saja berlari dengan kecepatan
tinggi. Sama sekali tidak diperlambat larinya, meskipun
berkali-kali tergelincir dan hampir jatuh karena jalan yang
ditempuh demikian licin.
Lari bayangan itu baru diperlambat ketika telah memasuki
mulut sebuah hutan. Dan akhirnya berhenti sama sekali ketika
telah berada di dalamnya.
Dengan napas terengah-engah, laki-laki berpakaian serba
hitam itu berteduh di bawah sebatang pohon yang berdaun
rindang. Kedua tangannya nampak bersedakap di depan dada.
Rupanya angin yang berhembus cukup kencang membuat
tubuhnya kedinginan.
Sebentar sosok itu mengeringkan tangannya, lalu
memasukkannya ke balik baju. Sesaat kemudian telah keluar
lagi, bersama sebuah kitab di tangannya.
Glarrr...!
Halilintar kembali menyambar. Seketika itu juga sana di
sekitar tempat itu jadi terang benderang. Sehingga huruf-
huruf yang tertera di kulit kitab itu tampak cukup jelas
terbaca, 'Ilmu Tangan Racun Pasir Merah'.
Tampak seulas senyuman menghiasi wajah laki-laki
bertubuh tinggi besar itu. Sebentar kemudian kitab itu
dimasukkan kembali ke balik bajunya. Dan kini kedua
tangannya kembali disedakapkan di depan dada.
Tak lama kemudian hujan mulai mereda, hingga akhirnya
tinggal gerimis kecil yang jatuh satu persatu ke bumi
Di saat itulah, laki-laki berpakaian hitam ini melanjutkan
perjalanannya kembali. Melesat cepat menembus kepekatan
malam. Rintik hujan yang mengenai tubuhnya sama sekali
tidak dihiraukan.
***
Matahari sudah cukup lama menampakkan diri. Suara cicit
burung pun sudah tidak terdengar lagi. Bahkan angin yang
berhembus sudah tidak terlalu nikmat untuk dihirup. Ketika
itu, tampak dua sosok tubuh tengah melangkah bergegas
menuju mulut Hutan Rangkong.
Dari bentuk tubuh mereka yang kekar dan kuat, jelas kalau
kedua orang itu sudah terbiasa bekerja berat . Wajahnya pun
terlihat keras. Hanya saja saat itu, mereka tampak penuh
diliputi kecemasan.
"Aku khawatir akan keselamatan Guradi, Kang Banyupaksi,"
ucap salah seorang dari dua sosok itu. Wajahnya yang berkulit
coklat, dan penuh bercak putih yang lebar-lebar, terlihat
menyiratkan perasaan cemas yang tidak terkira.
"Mudah-mudahan saja dia selamat, Jatmika," sahut orang
yang dipanggil Banyupaksi bernada menghibur. Dia bertubuh
kekar, berkumis, dan berjenggot yang terawat baik
Suasana hening sejenak begitu Banyupaksi menghentikan
ucapannya. Kini yang terdengar hanyalah gemerisik
rerumputan yang terpijak kaki mereka.
"Kang...," kembali Jatmika membuka suara, seraya
menoleh.
Menilik dari ucapannya yang terhenti di tengah Jalan, jelas
kalau laki-laki berwajah penuh bercak-bercak putih ini merasa
ragu-ragu melanjutkan ucapannya.
"Ada apa lagi, Jatmika?" tanya Banyupaksi sabar.
"Rasanya..., aku tidak yakin kalau Guradi masih hidup,
Kang...."
"Hm.... Mengapa kau berkata seperti itu, Jatmika?" tegur
Banyupaksi. Sepasang mata laki-laki bertubuh kekar ini
menatap penuh teguran. "Apakah kau tidak ingin anakmu
selamat?"
"Bukan begitu maksudku, Kang," sahut Jatmika huru-buru.
"Tapi, kenapa justru kau mengharapkan yang bukan-
bukan?"
"Aku sama sekali tidak berharap begitu."
"Hm...," Banyupaksi hanya menggumam tidak jelas.
"Tapi..., kenyataan yang kuterima kali ini membuatku
ragu," sambung Jatmika lagi.
"Maksudmu?" tanya Banyupaksi dengan dahi berkernyit.
Jelas kalau dia masih belum mengerti maksud Jatmika.
"Tidak biasanya Guradi pergi selama ini. Dia sudah sering
mencari kayu bakar atau berburu di hutan. Tapi tidak pernah
sampai selama ini. Bayangkan, Kang. Guradi pergi kemarin
pagi. Dan sampai sekarang belum pulang...!"
Banyupaksi mengangguk-anggukkan kepala. Cerita
mengenai kepergian Guradi ke Hutan Rangkong dan belum
kembali memang sudah didengarnya dari mulut Jatmika
sendiri. Dan hal inilah yang membuatnya terpaksa ikut
mencari orang yang bernama Guradi itu.
"Berdoalah agar dia selamat," hanya itu kata-kata bernada
menghibur dari Banyupaksi. "Aku percaya Guradi bisa menjaga
diri. Mungkin dia hanya tersesat.”
"Aku juga berharap begitu, Kang. Tapi rasanya tidak
mungkin, Kang. Guradi telah puluhan kali keluar masuk hutan.
Atau..., jangan-jangan dia diterkam binatang buas."
Banyupaksi menatap wajah Jatmika tajam-tajam.
"Kalau begitu..., kau meremehkan kemampuanku, Jatmika."
"Maksudmu, Kang?"
"Aku yang mendidik dan mengajarkannya ilmu silat.
Bertahun-tahun aku melatihnya. Dan kau enak saja
mengatakan kalau Guradi mati diterkam binatang buas. Itu
sama sekali tidak memandang kepadaku, Jatmika!"
Berubah wajah Jatmika seketika mendengar ucapan
bernada keras dari laki-laki bertubuh kekar itu.
"Maafkan aku, Kang. Aku.... Aku tidak bermaksud begitu.
Sungguh...!" sahut laki-laki berwajah penuh bercak-bercak
putih itu terbata-bata.
"Hhh...!" Banyupaksi menghela napas panjang.
Amarah laki-laki berkumis rapi yang mulai bangkit perlahan
mengendur kembali mendengar permintaan maaf Jatmika. Dia
tahu kalau laki-laki di sampingnya ini tidak bermaksud
merendahkan. Jatmika mengatakannya tanpa sadar, karena
didorong kecemasan menggelegak.
"Lupakanlah, Jatmika," sahut Banyupaksi berdesah. "Tapi
perlu kau ketahui, Jatmika. Jangankan hanya satu, dua
binatang buas pun, aku yakin Guradi mampu
menghadapinya!"
Jatmika hanya mengangguk-anggukkan kepala.
Kembali keheningan menyelimuti mereka berdua. Kini
Jatmika dan Banyupaksi melanjutkan langkah menuju Hutan
Rangkong yang sudah semakin dekat tanpa berkata-kata lagi.
***
Begitu memasuki hutan, Jatmika dan Banyupaksi
mengedarkan pandangan berkeliling. Dengan ranting yang
ditemukan, mereka menguak kerimbunan semak-semak. Hati
mereka berharap, barangkali saja orang yang dicari berada di
situ.
"Guradi...!"
Jatmika yang sudah tidak kuat lagi menahan cemas dan
tidak sabar, berteriak memanggil. Kini mereka sudah cukup
jauh masuk ke dalam hutan. Tapi, sama sekali tidak terlihat
tanda-tanda adanya Guradi. Baik Jatmika maupun Banyupaksi
langsung berdiam diri. Pendengaran mereka ditajamkan agar
apabila Guradi menjawab, dapat terdengar.
Tapi sampai lelah berdiam diri, tak juga terdengar sahutan
yang dinantikan, kecuali cicit burung yang selalu mengusik
telinga.
Jatmika dan Banyupaksi terus melangkah sambil
menyibakkan semak-semak. Sepasang mata mereka
berkeliaran ke sana kemari, sambil sesekali diselingi
panggilan-panggilan terhadap Guradi.
Dan begitu akan memanggil lagi, mendadak langkah kedua
orang itu terhenti. Wajah mereka pucat seketika. Sepasang
mata mereka menatap membelalak ke depan, seakan-akan
tidak percaya akan apa yang dilihat.
Sekitar lima tombak di hadapan Banyupaksi dan Jatmika,
terpampang pemandangan menggiriskan hati. Tampak
seorang remaja berusia belasan tahun tengah tergantung di
atas cabang pohon dengan leher terjerat seutas tambang.
Dadanya telanjang, tak tertutup baju. Sehingga, terlihat jelas
luka-luka yang memenuhi sekujur tubuhnya.
Dengan sekali lihat saja, baik Jatmika maupun Banyupaksi
bisa mengetahui kalau remaja itu telah tewas. Dan beberapa
saat lamanya, mereka hanya mampu berdiri terpaku. Lidah
pun terasa kelu. Suara seperti tercekat di tenggorokan. Hanya
sepasang mata mereka saja yang seolah-olah ingin
mengungkapkan sesuatu.
"Guradi...!"
Terdengar teriakan keras dari mulut Jatmika setelahh
beberapa saat lamanya berdiri terpaku. Laki-laki berwajah
penuh bercak putih ini memerlukan waktu beberapa saat
lamanya untuk dapat mengetahui kalau orang yang
tergantung di atas pohon itu adalah putranya.
Seiring panggilannya, tubuh Jatmika berlari berhambur ke
arah sosok yang tergantung itu. Kemudian Banyupaksi pun
ikut bergerak mengikuti. Dia pun cepat mengenali pula kalau
sosok tubuh itu benar-benar Guradi. Orang yang mereka cari-
cari.
"Guradi..., Guradi...," panggil Jatmika pilu. Kedua
tangannya sibuk memeluki tubuh yang tergantung itu.
Banyupaksi menggertakkan gigi. Seketika dadanya terasa
sesak oleh amarah dan sedih yang meng-gayut Tapi laki-laki
berkumis rapi ini berusaha menahan diri. Pikirannya berusaha
dibuat setenang mungkin. Seketika tenaganya dikempos, dan
sesaat kemudian, tubuhnya melesat ke atas. Dan sekali
tangannya bergerak, tali yang menggantung tubuh Guradi pun
putus.
Untungnya Jatmika tengah memeluk tubuh putranya,
sehingga tubuh itu tidak sampai terbanting keras ke tanah.
Jatmika sempat menangkapnya. Tapi akibatnya, dia ikut
terjatuh terbawa beban tubuh Guradi.
Berbareng tergulingnya tubuh Guradi dan Jatmika ke tanah,
sepasang kaki Banyupaksi pun hinggap. Kemudian, laki-laki
berkumis rapi ini menyarungkan kembali golok yang tadi
dicabutnya sewaktu memutuskan tambang yang mengikat
tubuh Guradi.
"Hentikan segala kecengengan Ini, Jatmika," tegur
Banyupaksi, kemudian sepasang matanya menatap penuh
teguran pada laki-laki yang wajahnya penuhi bercak putih itu.
Sambil tetap memeluk tubuh putranya, Jatmika beranjak
bangkit. Sepasang matanya balas menatapi tak kalah tajam.
"Tapi, Kang. Dia anakku satu-satunya! Dosakah aku
bersedih hati melihat kematiannya?" bantah Jatmika. Suaranya
pelan, tapi penuh tuntutan.
"Aku tidak melarangmu, Jatmika," sahut Banyupaksi
dengan suara tetap lembut. Tapi tetap penuh wibawa. "Aku
hanya tidak suka melihat kesedihanmu yang terlalu
berlebihan."
"Tapi, Kang...," Jatmika masih mencoba membantah.
"Guradi tidak akan hidup kembali, sekalipun tangisanmu
berupa darah sampai empat puluh hari.”potong Banyupaksi
tanpa menghiraukan bantahan Jatmika.
Seketika Jatmika terdiam. Bukan karena nasihat
Banyupaksi, tapi karena rasa segannya pada laki-laki berkumis
tipis itu.
"Sekarang yang paling penting adalah mencari pelaku
pembunuhan ini," sambung Banyupaksi ketika Jatmika tampak
terdiam.
Terdengar suara gemeretak dari mulut Jatmika begitu
mendengar ucapan ini. Banyupaksi benar. Yang paling penting
sekarang adalah mencari pembunuh putranya. Tapi, tentu saja
sehabis mengebumikan Guradi secara layak.
"Menilik dari luka-luka yang diderita Guradi, aku yakin kalau
pelakunya adalah seorang tokoh aliran hitam yang berjiwa luar
biasa kejam," duga Banyupaksi. Sementara sepasang matanya
terus menyelusuri sekujur tubuh Guradi yang penuh luka-luka.
"Ke mana pun..., aku akan mencarinya Dan..., seluruh
tubuhnya akan kulumatkan!" desis Jatmika penuh dendam.
Tangan kanannya mengepal keras dan kepalanya mendongak
ke atas ketika kata-kata itu diucapkan.
Banyupaksi tidak menanggapi. Dia yakin kalau Jatmika
bukan tandingan pembunuh Guradi. Jatmika memang tidak
memiliki kepandaian sedikit pun. Lalu, bagaimana akan bisa
membalas dendam? Oleh karena itu Banyupaksi bertekad akan
ikut mencari pembunuh Guradi.
"Sekarang mari kita kembali dulu ke desa, Jatmika," ajak
Banyupaksi pelan. Dipegangnya bahu kanan laki-laki berwajah
bercak-bercak putih itu, kemudian ditepuk-tepuknya.
Jatmika menatap Banyupaksi penuh tanda tanya.
"Kita kuburkan dulu mayat Guradi...," sambung Banyupaksi.
Kali ini Jatmika tidak membantah lagi. Perlahan kakinya
melangkah meninggalkan hutan itu. Sementara Banyupaksi
mengikuti di belakangnya. Laki-laki berkumis rapi ini segera
mengedarkan pandangannya berrkeliling, memperhatikan
suasana di sekitarnya. Masalahnya bukan tidak mungkin kalau
pembunuh itu masih berada di situ.
Tapi tidak ada sesuatu pun yang mencurigakan. Keadaan di
sekitar tempat itu sepi-sepi saja. Yang terdengar hanyalah
suara cicit burung dan binatang-binatang hutan.
Baru juga kedua orang itu melangkah beberapa tindak,
terdengar suara tawa menggelegar laksana guntur. Suaranya
menggema di sekitar tempat itu.
"Ha ha ha...!"
Hebat bukan main akibat yang ditimbulkan tawa itu. Tubuh
Jatmika seketika terbungkuk. Terdengar keluhan keras keluar
dari mulutnya. Pegangannya pada tubuh putranya pun
terlepas, sehingga Guradi terjatuh di tanah.
Bukan hanya itu saja akibatnya. Jatmika pun merasa
dadanya sakit bukan main, seperti diseruduk kerbau liar.
Bahkan telinganya seperti akan pecah. Betapapun laki-laki
berwajah penuh bercak-bercak itu berusaha bertahan dan
mendekap kedua telinganya, tak urung tubuhnya terguling
jatuh.
Jatmika bukan satu-satunya orang yang menerima
serangan suara tawa dahsyat itu. Banyupaksi pun mengalami
hal yang serupa. Dada laki-laki berkumis rapi ini terasa
terguncang hebat. Telinganya pun terasa berdengung keras.
Sebagai ahli silat, dia tahu kalau ada orang yang tengah
menyerang dengan suara tawa yang mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi. Tentu saja hal ini membuat Banyupaksi
kaget.
Bukan main. Dari cara penyerangan ini saja sudah
menandakan kelihaian lawan. Jelas orang itu memiliki tingkat
tenaga dalam tinggi. Dan dia merasa bukan tandingan orang
itu. Ciut hati Banyupaksi membayangkan kalau seandainya
pemilik tawa itu adalah orang yang telah membunuh Guradi.
Karena bila hal itu benar, sampai kapan pun mereka tidak
akan bisa membalas dendam.
Kalau saja suara tawa itu terus berlangsung, mungkin
Jatmika dan Banyupaksi tidak akan tahan. Kedua orang itu
akan tewas dengan dada pecah dan gendang telinga hancur.
Tapi untungnya, tawa itu kemudian berhenti.
Dan begitu tawa itu berhenti, berkelebat sesosok bayangan
hitam. Gerakannya cepat bukan main. Maka tahu-tahu saja, di
depan Banyupaksi dan Jatmika telah berrdiri sosok tubuh
tinggi besar.
Banyupaksi dan Jatmika menatap sosok tubuh yang telah
berdiri di hadapan mereka. Sosok tubuh berpakaian hitam.
Wajahnya kasar, dipenuhi cambang bauk lebat. Menilik dari
keadaannya, usia laki-laki itu tak kurang dari lima puluh tahun.
Sebuah penutup kepala berbentuk setengah tempurung kelapa
menutupi kepalanya. Matanya menatap tajam ke arah
Jatmika.
"Kudengar kau hendak mencari pembunuh anak itu," kata
laki-laki bercambang bauk lebat itu, kalem. "Akulah
pembunuhnya."
Seketika itu pula Jatmika bangkit berdiri. Wajahnya
langsung beringas. Sepasang matanya menatap tajam, penuh
pancaran hawa membunuh. Kedua tangannya yang mengepal
itu nampak mengejang keras "Kau...?!" suara Jatmika tercekat
di tenggorokan karena saking besarnya amarah yang bergolak
dalam dadanya.
Laki-laki berpakaian hitam itu hanya tersenyum mengejek.
Wajah dan sorot matanya tampak jelas memandang rendah
Jatmika.
"Kubunuh kau...!" teriak Jatmika keras.
Dan berbareng dengan ucapan itu, Jatmika melompat
menyerang. Kedua tangnnya yang terkepal, dipukulkan
bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh laki-laki bercambang
lebat itu.
"Jatmika...! Tahan...!" teriak Banyupaksi mencegah. Tapi
terlambat Serangan Jatmika tidak mungkin ditarik kembali.
Maka Banyupaksi tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dan hanya
bisa bersikap waspada kalau- kalau jiwa laki-laki berwajah
bercak-bercak putih itu terancam.
Laki-laki berpakaian hitam itu tertawa mengejeki. Bahkan
tidak terlihat kalau akan mengelak atau menangkis. Sampai
akhirnya semua serangan Jatmika telak mengenai sasarannya.
Buk, buk, bukkk...!
Suara berdebukan keras terdengar berkali-kali ketika
pukulan-pukulan Jatmika mengenai dada, perut, dan ulu hati
laki-laki berpakaian hitam itu.
Akibatnya sungguh aneh. Bukan laki-laki bercambang bauk
lebat itu yang merasa kesakitan. Bahkan ia hanya terkekeh
penuh ejekan. Suara jerit kesakitan justru terdengar dari
mulut Jatmika. Bahkan sampai-mpai membelalakkan mata
ketika kedua tangannya jadi bengkak-bengkak.
Jatmika menggeram keras. Amarah yang tidak
terlampiaskan, membuat sekujur tubuhnya menggigil keras.
Kedua kepalannya seperti bukan memukul tubuh manusia
yang terdiri dari daging dan tulang, tapi gundukan besi!
Srattt..!
Sinar terang berpendar ketika Jatmika yang tengah kalap
itu mencabut goloknya. Dan seiring tercabutnya senjata itu,
Jatmika kembali menerjang. Golok di tangannya langsung
ditusukkan cepat ke arah perut.
Banyupaksi tahu,
Jatmika sudah tidak bisa
dicegah lagi. Maka dia pun
segera membantunya. Laki-
laki berkumis rapi ini tahu,
Jatmika sama sekali bukan
tandingan orang itu.
Srattt..!
Sinar terang kembali
berkilatan ketika
Banyupaksi menghunus
goloknya. Dan secepat
senjata itu terhunus,
secepat itu pula diputar-
putarkan di depan dada.
Baru kemudian, senjata itu
meluncur deras ke arah ulu
hati laki-laki berpakaian
hitam.
Meskipun Banyupaksi menyerang belakangan, namun
karena kelihaiannya, serangannya menjadi bersamaan
datangnya dengan Jatmika. Padahal, laki-laki berrwajah
bercak-bercak putih itu lebih dulu menyerang
Takkk! Takkk!
Suara berderak keras terdengar ketika dua batang golok itu
mengenai sasaran. Tetapi akibatnya luar biasa. Dua batang
golok itu terpental balik, sementara laki-laki berpakaian hitam
itu seperti tidak merasakan apa-apa. Bahkan kedua tangan
penyerangnya yang terasa seperti lumpuh.
"Hmh...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu mendengus. Sama sekali
tidak dipedulikannya serangan yang mengancam.
Takkk, takkk...!
Suara berdetak keras seperti ada dua benda logam
berbenturan, terdengar ketika dua batang golok itu mengenai
sasaran. Akibatnya luar biasa. Dua batang golok itu jadi
terpental balik. Bahkan sekujur tangan kedua penyerangnya
seperti lumpuh. Dan tanpa dapat dicegah lagi, senjata itu
terlepas dari pegangan.
Dan belum sempat Banyupaksi dan Jatmika berbuat
sesuatu, tangan laki-laki berpakaian hitam itu cpat bagai kilat
bergerak. Cepat sekali gerakannya, hingga kedua orang itu
tidak sempat mengelak lagi.
Terdengar suara berderak keras ketika kedua tangan laki-
laki berpakaian hitam itu mengenai ubun-ubun mereka, hingga
pecah. Cairan merah kental bercampur otak seketika muncrat-
muncrat. Banyupaksi dan Jatmika limbung sebentar, kemudian
hampir sama-sama ambruk di tanah. Sebentar mereka
meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi. Mati.
"Ha ha ha...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu kembali tertawa tergelak.
Keras dan panjang, hampir tidak putus-putus.
Setelah puas tertawa, laki-laki bercambang bauk itu
melangkah meninggalkan kedua mayat yang telah menjadi
korbannya
Sesaat kemudian, suasana hening kembali menyelimuti
Hutan Rangkong. Tidak terdengar lagi jeritan keras, tawa,
ataupun teriakan menyayat Kini yang terdengar hanyalah cicit
burung yang berkicau riang di dahan.
***
DUA
"Hhh...! Mengapa Jatmika dan Banyupaksi belum juga
muncul, Ki?" tanya seorang laki-laki bertubuh kecil kurus.
Matanya tetap menatap wajah seorang laki-laki setengah baya
berpakaian abu-abu dan berkumis tebal.
Laki-laki berpakaian abu-abu yang sebenarnya bernama Ki
Saketi, dan menjabat sebagai Kepala Desa Kangkong itu
mengalihkan pandangan yang sejak tadi tertuju ke Hutan
Rangkong. Menilik dari sikap dan wajahnya, jelas memang ada
yang ditunggunya
Ternyata bukan hanya laki-laki berpakaian abu-abu itu saja
yang mengalihkan pandangan. Belasan orang laki-laki dewasa
lain yang berdiri di mulut desa itu pun menatap ke arah laki-
laki bertubuh kecil kurus ini. Kemudian mereka memandang
harap-harap cemas ke arah Hutan Rangkong. Menilik dari
pakaian, jelas kalau belasan orang itu adalah penduduk Desa
Kangkong. Mereka semua menanti kembalinya Jatmika dan
Banyupaksi yang telah pergi ke Hutan Rangkong
"Mana aku tahu, Wadira," jawab Ki Saketi seraya
menggelengkan kepala. "Aku juga heran, apakah mereka
mendapat kesulitan di sana? Sebenarnya, aku munyesalkan
kepergian mereka berdua yang tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu. Dan sayangnya lagi, Nyi Jatmika pun memberi tahu
kita setelah kedua orang itu telah pergi...."
"Aku yakin, Banyupaksi akan mampu mengatasi kesulitan
itu, Ki," duga salah seorang penduduk lain yang bertubuh
pendek gemuk. "Dia kan, guru silat kenamaan desa kita.
Bahkan kepandaiannya terkenal sampai ke desa-desa sekitar."
"Hhh...!"
Ki Saketi menghela napas berat. Sama sekali tidak
disambutnya ucapan yang bernada penuh keyakinan itu.
Sementara para penduduk yang lain mengangguk-anggukkan
kepala. Jelas kalau mereka semua membenarkan ucapan laki-
laki bertubuh pendek gemuk itu.
"Kalau begitu, kita tunggu sampai besok pagi," Kepala Desa
Rangkong itu mengambil keputusan."Kalau sampai besok
mereka berdua belum kembali terpaksa akan kusuruh
beberapa orang di antara kalian untuk mencari mereka.
Bagaimana? Kalian bersedia?"
Setelah berkata demikian, laki-laki berkumis tebal ini
mengedarkan pandangan ke arah belasan orang yang berdiri
di sekelilingnya.
"Bersedia, Ki...!"
Laki-laki bertubuh kecil kurus bergegas menyahuti.
Memang di antara belasan orang penduduk di situ, hanya
dialah yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi.
"Kalian semua, bagaimana?" Ki Saketi mengalihkan
perhatian ke arah belasan orang lainnya.
Namun belasan penduduk itu hanya saling pandang satu
sama lain. Tidak ada satu pun kepala yang langsung
mengangguk. Jelas kalau mereka merasa ragu untuk
menerima perintah itu.
"Aku butuh enam orang lagi di antara kalian untuk
menemani Wadira," sambung Kepala Desa Rangkong cepat
"Aku tidak akan membiarkan Wadira pergi sendiri ke sana.
Tapi kalau kalian semua tidak bersedia, biar aku sendiri yang
akan menemani Wadira ke sana."
Tegas dan mantap sekali kata-kata yang keluar dari mulut
Kepala Desa Rangkong itu.
Kembali belasan orang penduduk itu saling pandang
dengan wajah memerah. Mereka malu mendengar laki-laki
berkumis tebal itu akan pergi ke hutan apabila mereka tidak
bersedia menemani Wadira.
"Aku bersedia, Ki," laki-laki bertubuh pendek gemuk
menyahuti seraya mengacungkan tangan.
"Hm.... Siapa lagi?"
"Aku, Ki," sambut laki-laki berkumis jarang-jarang tak mau
kalah.
"Aku juga, Ki," yang lainnya ikut menyambut. "Aku ikut..!"
Ki Saketi mengangguk-anggukkan kepala begitu
mendengar kesediaan enam orang penduduk lainnya.
"Bagus...!" puji laki-laki berpakaian abu-abu ini "Aku hargai
kesediaan kalian. Pesanku, berhati-hati Dan kalian pergi
setelah Banyupaksi dan Jatmika tidak kembali besok pagi.
Mengerti?"
"Mengerti, Ki...l" sahut tujuh orang itu serempak.
"Bagus...! Sekarang mari kita kembali ke desa....'"I ajak Ki
Saketi seraya melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara
di belakangnya berjalan belasan orang warganya. Enam orang
di antara mereka, tampak beri jalan lesu. Merekalah yang
menyatakan diri bersedia menemani Wadira pergi ke Hutan
Rangkong.
***
Matahari pagi sudah sejak tadi menampakkan diri ketika
beberapa orang penduduk Desa Rangkong bergerak menuju
Hutan Rangkong. Berjalan paling depan adalah seorang laki-
laki bertubuh kurus. Sedangkan di belakangnya, enam orang
penduduk lainnya mengikuti.
Dan memang, mau tak mau rombongan penduduk yang
berjumlah tujuh orang ini bergerak menuju ke dalam Hutan
Rangkong. Karena, sampai menjelang pagi Banyupaksi dan
Jatmika belum kembali. Dan sesuai perintah Kepala Desa
Rangkong, mereka harus, menyusul kedua orang itu.
"Bagaimana menurutmu, Wadira? Apakah kau juga punya
perasaan seperti Ki Saketi?" tanya laki-laki berkumis jarang-
jarang, memecahkan keheningan yang terjadi di antara
mereka. Memang, sejak tadi ke tujuh orang itu berjalan tanpa
berkata-kata.
"Aku belum mengerti maksud pertanyaanmu, Kang?" sahut
orang yang dipanggil Wadira seraya mengernyitkan alisnya.
Rupanya Wadira belum mengetahui arah pertanyaan laki-
laki berkumis jarang-jarang yang jelas-jelas terlihat jauh lebih
tua darinya. Itulah sebabnya, ia memanggil laki-laki berkumis
jarang-jarang itu dengan sebutan kakang.
"Hm.... Maksudku..., apakah kau juga mempunyai dugaan
yang sama dengan Ki Saketi, kalau Banyupaksi dan Jatmika
mendapat kesulitan di perjalanan sehingga tidak bisa kembali
ke desa?"
Laki-laki berkumis jarang-jarang yang bernama Jampa
tercenung sejenak. Tapi seperti juga enam orang lainnya,
kakinya segera melangkah. Sementara yang lainnya
mendengarkan saja pembicaraan itu. "Kalau pertanyaan itu
kau ajukan kemarin, pasti jawaban yang kuberikan akan lain,
Kang," kata Wadira sambil sedikit berputar.
"Maksudmu...?" Jampa mengernyitkan alisnya.
"Kalau pertanyaan itu kau ajukan kemarin, dengan tegas
dan tanpa ragu akan kujawab kalau aku tidak percaya orang
seperti Kakang Banyupaksi akan mendapat kesulitan. Kita
semua tahu, siapa Kakang Banyupaksi. Dia adalah orang yang
memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di desa kita!"
"Jadi..., sekarang kau tidak yakin kalau Banyupaksi akan
mampu mengatasi kesulitan yang menghadangnya?" desak
laki-laki berkumis jarang-jarang. Nada suara maupun sikapnya
menampakkan penasaran yang amat sangat
"Yahhh... kira-kira begitu. Kang. Kenyataan telah
menunjukkan, Kakang Banyupaksi dan Kakang Jatmika belum
kembali. Apakah kau mengira mereka akan menginap di
hutan?"
Jampa menarik napas dalam-dalam, lalu
menghembuskannya kuat-kuat. Alasan yang dikemukakan
Wadira memang kuat dan beralasan, dan sulit dibantai lagi
Suasana menjadi hening ketika Wadira menghentikan
ucapannya. Dan tak lama kemudian, mereka telah sampai
tidak jauh dari mulut hutan. Baik Wadira maupun keenam
orang lainnya merasakan jantung mereka berdebar tegang.
Seketika ada perasaan genta yang melanda hati tatkala
melihat mulut hutan itu. Perasaan yang tidak pernah dirasakan
sebelumnya. Tapi kejadian demi kejadian dengan lenyapnya
satu-persatu para penduduk Desa Rangkong, membuat hati
mereka ciut seketika.
Itulah sebabnya, untuk beberapa saat lamanya mereka
semua terpaku di tempat itu. Mereka hanya berdiri diam
sambil memperhatikan Hutan Rangkon dari kejauhan.
Wadira menggertakkan gigi untuk lebih menguatkan hati
dan menghilangkan rasa takut yang melanda. Kemudian
dengan langkah lebar-lebar, laki-laki bertubuh kecil kurus ini
melangkah maju.
Melihat Wadira telah melangkah maju, keenam orang
lainnya mau tak mau ikut melangkah maju. Dan kini selangkah
demi selangkah, jarak antara rombongan itu dengan mulut
Hutan Rangkong semakin dekat bahkan kini tinggal sekitar
lima tombak lagi.
Srattt..!
Wadira langsung mencabut goloknya. Diputarnya golok itu
sebentar di atas kepala, baru kemudian kakinya melangkah
mendekati mulut hutan. Sikap laki-laki bertubuh kecil kurus ini
terlihat waspada, dengan sepasang mata merayapi sekeliling.
Perbuatan Wadira ditiru rekan-rekannya, yang juga segera
mencabut senjata masing-masing. Rupanya mereka semua
berbekal senjata yang sama berupa golok. Sinar-sinar
berkilatan nampak berpendar ketika senjata-senjata tajam itu
keluar dari sarungnya.
Seperti juga halnya Wadira, enam orang itu pun
mengedarkan pandangan ke sana kemari. Menilik dari putaran
tangan yang menggenggam golok, jelas terlihat ketegangan
yang melanda hati mereka. Tubuh mereka seperti menggigil,
menanti sesuatu yang bakal terjadi.
Kini ketujuh orang penduduk Desa Rangkong itu mulai
memasuki mulut hutan. Dan seiring masuknya ke dalam,
perasaan tegang semakin jelas terlihat di wajah mereka.
Srakkk...!
Suara berkerosakan terdengar berkali-kali begitu golok-
golok di tangan ketujuh orang itu silih berganti menguak
kerimbunan semak. Tapi sampai beberapa kali menguak
semak-semak, tetap saja yang dicari tidak diketemukan. Dan
semakin lama, langkah kaki mereka semakin masuk ke dalam
hutan.
"Bagaimana kalau kita memanggil-manggil nama mereka,
Wadira?" usul Jampa berbisik pelan.
"Sebaiknya jangan. Kang," sahut Wadira. Nada suaranya
terdengar gemetar sekalipun berbisik. Memang, hati laki-laki
bertubuh kecil kurus ini tegang bukan main.
Jampa pun terdiam. Tadi pun sewaktu mengajukan usul,
sebenarnya tidak begitu bersungguh-sung guh. Usul itu
diajukan hanya sekadar untuk menghilangkan rasa takut saja.
Sekarang ketujuh orang itu kembali melanjutkan langkah.
Tapi baru juga beberapa tindak, langkah mereka terhenti.
Ketujuh orang itu langsung saling pandang. Jelas ada sesuatu
yang menyebabkan mereka bertindak seperti itu.
"Kau dengar suara itu, Kang Jampa?" tanya Wadira pelan.
Laki-laki berkumis jarang-jarang itu mengangguk-
anggukkan kepala. Ternyata bukan hanya dia saja yang
mengangguk, tapi juga yang lainnya.
"Kau bisa mengira-ngira suara apa Itu, Kang? tanya Wadira
iagi. Masih berbisik.
Hanya gelengan kepala pertanda tidak tahu yang
menyambut! pertanyaan laki-laki bertubuh kecil kurus itu.
"Suara itu aneh sekali, Wadira," sahut salah seorang
penduduk membuka suara. Rupanya, dia juga tidak betah
hanya bertindak sebagai pendengar saja.
Orang itu menganggukkan kepalanya. Memang, suara itu
juga terdengar olehnya Suara angin mendecit nyaring, seperti
ada benda tajam. Tapi tak jarang terdengar mengaung,
sepertinya ada puluhan ekor lebah mengamuk.
"Bagaimana menurutmu. Kang?" tanya Wadira seraya
memandang wajah Jampa.
"Bagaimana apanya, Wadira?" Jampa malah bahu bertanya.
"Kita selidiki asal suara itu..., atau tidak?"
Jampa mengangkat bahu. "Kuserahkan keputusan itu
padamu, Wadira."
"Kalau begitu, kita cari pemilik suara itu!" Tegas dan
mantap jawaban yang terdengar dari mulut Wadira,
sungguhpun dengan berbisik. Jawaban itu pun dikeluarkan
setelah beberapa saat lamanya tercenung.
Setelah berkata demikian, Wadira segera melangkah
menuju ke arah asal suara. Mau tak mau, keenam orang
rekannya mengikuti.
Kembali keheningan menyelimuti mereka. Kini yang
terdengar hanyalah kerosak suara rerumputan yang terlanda
kaki mereka, atau suara semak-semak yang tersibak golok.
Semakin rombongan penduduk Desa Rangkong itu
menerobos masuk ke dalam hutan, suara yang terdengar tadi
semakin jelas. Memang apa yang didengar semula tidak salah.
Suara yang terdengar adalah suara angin yang terkadang
mencicit, tapi tak jarang pula mengaung.
Srakkk...!
Wadira menyibak kerimbunan semak di hadapannya. Suara
yang didengarnya, jelas-jelas terdengar dari balik kerimbunan
semak itu. Maka bergegas kembali disibaknya semak-semak di
depannya.
Begitu kerimbunan semak-semak itu tersibak, Wadira
menjulurkan kepala. Dia ingin tahu, 'makhluk' apa yang
bersuara aneh itu.
"Akh...!"
Laki-laki bertubuh kecil kurus ini memekik tertahan. Betapa
tidak? Begitu kepalanya dijulurkan,tahu-tahu ada sebuah
tangan kuat mencekal lehernya dari batik kerimbunan semak-
semak. Keras bukan main cekalan tangan itu.
"Ha ha ha...!"
Sebuah suara tawa keras bernada menyeramkan terdengar
begitu pekikan Wadira usai.
Karuan saja kejadian tidak disangka-sangka itu bukan
hanya Wadira yang kaget, tapi juga keenam orang rekannya.
Memang, sejak tadi hati mereka telah dilanda ketegangan.
Tentu saja kejadian mengejutkan itu membuat mereka
serentak melompat ke belakang dengan raut wajah sepucat
mayat
Sebelum mereka semua sempat berbuat sesuatu, tangan
kekar yang mencekal leher Wadira telah bergerak
mencengkeram.
Krrrkh...!
Suara bergemeretak tulang leher yang patah terdengar
seiring remasan tangan yang mencekal. Tanpa sempat
berteriak lagi, Wadira tewas seketika. Tubuhnya pun ambruk
ke tanah ketika tangan kekar itu melepaskan cekatannya.
Keenam orang penduduk desa itu menatap wajah Wadira
dengan pandangan ngeri. Apalagi ketika melihat darah segar
yang memancur deras dari mulut, hidung, dan telinga laki-laki
bertubuh kecil kurus itu.
Tapi pandangan mereka semua lalu beralih begitu,
terdengar suara berkerosakan keras diiringi tersibaknya semak
yang tadi disibak oleh Wadira. Dan tak lama, keluarlah sosok
tubuh tinggi besar dan berpakaian hitam.
Jampa dan kelima orang rekannya menatap sosok tubuh
yang baru saja keluar dari balik semak-semak.
Sosok tubuh itu tampaknya benar-benar mengiriskan.
Sekujur tubuhnya dipenuhi bulu hitam. Wajahnya- kasar, dan
ditumbuhi cambang bauk yang lebat. Dan pada bagian atas
kepalanya bertengger sebuah penutup kepala yang terbuat
dari setengah tempurung kelapa.
"ha ha ha...! Sungguh tidak kusangka masih ada monyet-
monyet kecil yang mau mengantarkan nyawa," kata laki-laki
berpakaian hitam itu dengan suara khasnya yang keras dan
menggelegar.
Keenam orang penduduk Desa Rangkong itu sama sekali
tidak menyambut ucapan itu. Perasaan tegang dan ngeri
melihat kematian Wadira yang mengerikan, serta perbawa
laki-laki bercambang bauk lebat itu membuat lidah mereka
seperti kelu. Tak mampu mengeluarkan kata-kata sedikit pun.
"Kalian ingin melihat monyet-monyet kecil yang telah
mendahului kalian?"
Setelah berkata demikian, laki-laki bertubuh tinggi besar itu
menggerak-gerakkan tangannya ke arah kerimbunan semak
tempat dirinya keluar tadi.
Hebat luar biasa akibatnya. Padalah jelas terlihat kalau laki-
laki berpakaian hitam itu hanya mengibaskan tangan secara
sembarangan saja ke arah kerimbunan semak-semak tadi.
Tapi akibatnya semak-semak itu terlempar jauh ke belakang,
tercabut hingga ke akar-akarnya.
Tindakan yang baru disaksikan itu saja, sudah membuat
bulu tengkuk mereka merinding. Tapi, pemandangan yang
tampak di balik kerimbunan semak-semak lebih membuat
mereka dilanda rasa ngeri.
Tampak di atas pepohonan, di balik semak-semak itu
tergantung tiga sosok tubuh. Walaupun keadaannya sudah
tidak karuan lagi, tetapi masih dapat dikenali. Tiga sosok
tubuh itu bukan lain dari Banyupaksi, Jatmika, dan Guradi.
Memang, semula laki-laki berpakaian hitam itu
meninggalkan ketiga mayat itu. Tapi akhirnya berubah pikiran,
dan mengambilnya.
"Banyupaksi, Jatmika, dan Guradi...," desah Jampa dengan
bibir bergetar. Suaranya terdengar serak karena dilanda
ketegangan yang memuncak.
Tanpa diberi tahu pun, kelima orang penduduk yang lain
bisa mengenali orang-orang yang tergantung di atas pohon
"Ha ha ha...!”
Laki-laki bercambang bauk lebat tertawa bergelak-gelak
melihat wajah keenam orang penduduk itu pucat pasi bagai
tak pernah dialiri darah.
"Semula aku sudah merasa kebingungan mencari orang
untuk kujadikan kelinci percobaan atas ilmu baru vang tengah
kupelajari. Dan sungguh tidak kusangka kalian datang. Ha ha
ha...! Nasibku memang benar-benar baik. Aku tidak perlu
susah-susah mencari, buktinya sudah ada ikan kena
umpanku!"
Keenam orang penduduk Desa Rangkong sudah bisa
menebak kalau laki-laki berpakaian serba hitam itu memiliki
ilmu dahsyat. Dan mereka semua merasa kalau bukan
tandingan orang itu. Melawan sama saja membuang nyawa
percuma. Melihat dari mayat Banyupaksi, sudah bisa
diperkirakan kesaktian laki-laki yang menyeramkan ini. Belum
lagi saat dia membongkar kerimbunan semak-semak dengan
sebuah kibasan lengan sembarangan saja. Sukar untuk
dibayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu kepandaian
kakek tinggi besar ini.
Seperti telah disepakati saja, mendadak mereka
membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat
itu.
"Ha ha ha...!"
Laki-laki berpakaian serba hitam itu tertawa bergelak. Dan
sekali bergerak, tubuhnya telah berada di hadapan enam
orang penduduk Desa Rangkong itu.
Enam orang penduduk Desa Rangkong tadi hanya melihat
sekelebatan bayangan hitam saja yang melewati mereka. Dan
kini tahu-tahu laki-laki bertubuh tinggi besar itu telah berada
di hadapan mereka. Karuan saja hal ini membuat mereka
terkejut bukan main dan langsung menghentikan langkah.
Rasa gentar yang amat sangat merayapi hati mereka semua.
Tanpa pikir panjang lagi mereka membalikkan tubuh
kembali dan berlari ke arah yang berlawanan dari arah tujuan
semula. Kini mereka berlari kian masuk ke dalam hutan.
"Ha ha ha...! Jangan mimpi bisa lolos dari Raja Iblis Baju
Hitam..!"
Diiringi tawa bergelak yang memekakkan telinga laki-laki
bercambang bauk lebat yang ternyata berjuluk Raja Iblis Baju
Hitam itu berseru sombong.
Untung bagi keenam orang penduduk Desa Rangkong itu.
Sebab laki-laki bertubuh tinggi besar itu tidak mengerahkan
tenaga dalam pada suaranya. Kalau saja dikerahkan, pasti
semuanya akan tewas dengan dada pecah.
Setelah beberapa kali mencoba tanpa hasil, keenam orang
penduduk desa itu pun tahu kalau tidak ada gunanya
berusaha melarikan diri. Maka diputuskanlah untuk melawan
mati-matian. Keenam orang ini tahu kalau Raja Iblis Baju
Hitam tidak akan mengampuni.
"Hiaaat...!"
Diiringi teriakan keras menggelegar, Jampa melompat
menerjang. Golok di tangannya dibabatkan cepat ke arah
leher.
Melihat rekan mereka telah bergerak menyerang, lima
orang lainnya pun ikut menyerang pula. Dalam sekejapan
saja, enam batang golok telah menyambar ke berbagai bagian
tubuh laki-laki berpakaian hitam. "Hmh...!"
Raja Iblis Baju Hitam hanya mendengus. Tidak tampak
tanda-tanda kalau akan mengelak atau menangkis serangan
itu. Sekali lihat saja, telah diketahui kalau enam orang itu
hanya sekadarnya saja menguasai Ilmu silat. Tenaga dalam
mereka pun amat rendah. Maka, dibiarkannya saja enam
batang golok itu menyambar sasaran. Laki-laki bercambang
bauk lebat ini hanya mengerahkan tenaga dalam untuk
melindungi kulit tubuhnya. Tak, tak, tak...!
Suara berdetak keras seperti beradunya logam-logam keras
terdengar berulang-ulang ketika enam batang golok mengenai
tubuhnya.
Enam orang penduduk Desa Rangkong itu terpekik kaget
ketika menyadari serangan golok mereka sama sekali tidak
mampu melukai tubuh lawan. Malah sebaliknya, golok di
tangan mereka terpental balik, bukan hanya itu saja. Tangan
yang menggenggam senjata itu pun terasa sakit bukan main.
Sebelum keenam orang penduduk itu sadar dari
keterkejutannya, tangan Raja Iblis Baju Hitam telah bergerak.
Cepat bukan main gerakannya, sehingga para penduduk desa
yang hanya mempunyai kemampuan sekadarnya tak
menyadari hal itu. Mereka semua hanya melihat seleret sinar
kehitaman menyambar, dan tahu-tahu golok di tangan mereka
telah terlepas dari pegangan.
Jampa dan kelima orang temannya memandang dengan
mata terbelalak lebar melihat kenyataan . Dan kini di kedua
tangan tokoh sesat yang menggiriskan itu tergenggam enam
batang golok. Entah bagaimana caranya, senjata-senjata itu
berpindah tangan. Bahkan enam orang penduduk itu sama
sekali tidak mengetahuinya.
Sambil tertawa terbahak-bahak, Raja Iblis Baju Hitam
menggerakkan jari-jari tangannya. Perlahan saja kelihatannya,
tapi akibatnya luar biasa. Suara gema retak keras terdengar,
diikuti berpatahannya golok-golok itu.
"Ilmu iblis...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu mendesis penuh kengerian.
Memang cara Raja Iblis Baju Hitam mema tah-matahkan
keenam golok itu luar biasa sekali. Padahal, semua senjata itu
terbuat dari logam keras, Tapi dia ternyata mampu
mematahkannya seperti mematahkan lidi!
"Sekarang saatnya aku mencoba ilmu yang selama ini
kulatlh...."
Setelah berkata demikian, Raja Iblis Baju Hitam
mendorongkan kedua tangan dengan jari-jarinya terbuka, ke
depan. Pelan gerakannya, tapi penuh tenaga. Suara
berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang patah mengiringi
gerakannya. Dan begitu kedua tangan itu telah terjulur ke
depan, kedua telapak tangan itu berubah merah seperti darah.
Seketika tercium bau amis yang memualkan perut, seiring
berubahnya warna telapak tangan itu. Jelas kalau Raja Iblis
Baju Hitam menggunakan ilmu yang mengandung racun.
"Hih...!"
Mendadak tubuh Raja Iblis Baju Hitam melesat cepat ke
depan. Enam orang penduduk itu terkejut, iktn sebisa-bisanya
berusaha mengelak. Tapi...
Plak, plak, plak...!
Enam kali berturut-turut telapak tangan laki-laki
bercambang bauk lebat itu menyentuh tubuh enam orang
penduduk Desa Rangkong. Pelan saja gerakannya. Memang,
Raja Iblis Baju Hitam hanya mengerahkan sebagian kecil
tenaga dalamnya. Dia memang tidak berniat membunuh atau
menyiksa dengan tenaga dalamnya. Tapi hanya sekadar
mencoba keampuhan ilmu racun yang beberapa lama ini
dipelajarinya.
Akibatnya luar biasa. Begitu kedua telapak tangan Raja Iblis
Baju Hitam menyentuh, enam orang penduduk itu menggeliat
geliat. Rasa gatal dan panas yang amat sangat seketika
menyerang tubuh mereka. Mula-mula hanya melanda bagian
yang tersentuh, tapi cepat kali menyebar ke seluruh bagian
tubuh. Enam orang penduduk itu menjerit melolong-lolong.
Rasa gatal yang tidak terkira membuat mereka tanpa pikir
panjang lagi menggaruk keras-keras. Anehnya semakin
digaruk, rasa gatal itu semakin menyiksa. Maka mereka pun
menggaruk semakin membabi-buta.
"Ha ha ha...!"
Raja Iblis Baju Hitam tertawa bergelak-gelak melihat
pemandangan di hadapannya. Memang, tokoh sesat yang
menggiriskan ini memiliki kebiasaan. Hatinya merasa senang
melihat orang lain tersiksa menderita. Semakin tersiksa dan
menderita, semakin gembira hatinya. Tak heran bila
menyaksikan penderitaan enam orang penduduk Desa
Rangkong dia malah tertawa-tawa gembira.
Sementara enam orang penduduk desa itu saja menggaruk
sekujur tubuh. Karena rasa gatal menyebar ke seluruh tubuh,
maka garukan tangan mereka pun menjarah sekujur tubuh.
Tak lama kemudian, sekujur kulit tubuh mereka mulai
hancur. Di samping akibat pengaruh racun juga akibat
garukan tangan mereka sendiri.
Cukup lama juga pemandangan mengerikan berlangsung,
sebelum akhirnya mereka tidak bergerak lagi untuk selama-
lamanya. Tewas dalam keadaan tubuh tercabik-cabik tangan
sendiri.
"Ha ha ha...! Tidak sia-sia rupanya aku mempelajari ilmu
'Tangan Racun Pasir Merah'. Memang luar biasa akibatnya. Ha
ha ha...! Bidadari Sabuk Emas. Kita buktikan, siapa di antara
kita yang paling jago kini! Ha ha ha...!"
Masih dengan suara tawa yang tidak putus, Raja Iblis Baju
Hitam meninggalkan mayat enam orang penduduk itu.
***
TIGA
Senandung kecil terdengar meningkahi cicit riang ini urung-
burung menyambut datangnya pagi. Bola api raksasa
berwarna merah muncul di ufuk Timur, mengulir kabut yang
masih tertinggal di lereng Gunung Rangkong.
Sesosok tubuh renta milik seorang kakek kecil kurus,
bergerak lincah menuruni lereng gunung itu. Mulutnya agak
meruncing ke depan, menyiutkan senandung tak jelas
iramanya. Rupanya dari mulut kakek inilah senandung itu
berasal.
Kakek Itu mengenakan pakaian berwarna kuning.
Wajahnya nampak segar kemerahan, seperti bukan wajah
seorang kakek. Padahal menilik dari rambut, aliss, kumis, dan
jenggotnya yang telah memutih, bisa diperkirakan kalau
usianya sudah lebih enam puluh Inhun. Di tangan kanannya
terjinjing sebuah keranjang intan.
Sambil terus bersiul-siul, kakek ini bergerak lincah. Dia
melompat dari satu batu ke batu lainnya. Gerakannya cukup
cepat dan lincah. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya telah
begitu tinggi.
Bola api raksasa di ufuk Timur, sudah tidak berwarna
kemerahan lagi. Bahkan sinarnya pun sudah mulai
menyilaukan mata, ketika kakek berpakaian kuning ini tiba di
mulut Hutan Rangkong. Di sini, baru kakek itu menghentikan
larinya.
Kini kakek berpakaian kuning itu melangkahkan kakinya
lambat-lambat Sedangkan sepasang matanya beredar
mengawasi sekelilingnya. Jelas, ada sesuatu yang dicarinya.
Beberapa kali kakek ini melangkah menghampiri ketika
melihat apa yang dicarinya. Ternyata dia tengah mencari
tumbuh-tumbuhan. Beberapa kali, dicabutnya beberapa
tanaman yang memang dicarinya, lalu diambil akarnya.
Terkadang pula bijinya. Tapi, tak jarang daun atau kulit
batangnya.
Matahari telah berada di atas kepala, ketika akhirnya
keranjang rotan kakek itu telah penuh segala macam
tanaman.
Sambil bersiul-siul, kakek berpakaian kuning ini kembali
melangkahkan kakinya kembali ke lereng gunung. Tidak
nampak ada kelelahan pada wajahnya, walaupun telah
berputar putar di dalam Hutan Rangkong selama setengah
hari.
Tapi gerakannya langsung terhenti ketika sepasang
matanya melihat serombongan orang bergerak mendaki
lereng. Menilik dari pakaian dan gerakan,bisa diduga kalau
rombongan itu adalah para penduduk desa di sekitar Gunung
Rangkong.
Kakek berpakaian kuning itu diam-diam menghitung jumlah
mereka dengan matanya. Ada delapan orang. Dua di
antaranya nampak lemas dan dipapah. Dari sini bisa
diperkirakan kalau mereka menderita sakit.
Setelah mengamati beberapa saat, kakek berpakaian
kuning ini lalu melesat ke arah mereka. Cepat bukan main
gerakannya, sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan sinar
berwarna kekuningan.
Sesaat kemudian, kakek berpakaian kuning itu telah berada
di depan delapan orang penduduk Desa Rangkong. Begitu
mendadak kehadirannya, sehingga membuat delapan orang
itu berjingkat kaget Tapi, raut kagetan segera lenyap begitu
mengenali sosok tubuh yang tahu-tahu berada di depan
mereka.
"Eyang Balunglaga...," sebut salah seorang dari mereka
yang berjenggot hitam panjang.
"Siapa kalian? Dan ada keperluan apa mendaki lereng ini?"
tanya kakek berpakaian kuning yang ternyata bernama Eyang
Balunglaga. Sekilas, ditatapnya wajah dua orang yang dipapah
mereka. Kemudian, pandangannya beralih ke arah laki-laki
berjenggot panjang.
"Kami adalah penduduk Desa Rangkong, Eyang," jawab
laki-laki berjenggot panjang yang rupanya menjadi juru bicara
rombongan itu.
Eyang Balunglaga hanya mengangguk-anggukkan kepala.
Kakek ini tahu, Desa Rangkong adalah salah satu desa yang
terletak di kaki Gunung Rangkong. Pandangannya kembali
dialihkan ke arah wajah dua inang yang dipapah, seorang laki-
laki dan seorang wanita.
"Maksud kami mendaki lereng ini untuk mencari eyang,"
sambung laki-laki berjenggot panjang. "Kami ingin meminta
pertolongan."
Sambil berkata demikian, pandangan mata laki laki
berjenggot panjang itu berpindah ke arah dua orang yang
dipapah. Tanpa sadar, Eyang Balunglaga juga mengedarkan
pandangan ke arah yang sama. Memang, kakek berpakaian
kuning ini sangat ahli dalam ilmu pengobatan. Keahliannya
bahkan telah tersebar ke seluruh desa di kaki Gunung
Rangkong.
"Inikah orang yang butuh pertolongan itu?" tanya Eyang
Balunglaga sambil melangkah menghampiri. Ditatapnya wajah
kedua orang laki-laki itu, lalu diperiksa panas tubuhnya.
"Mereka keracunan...," jelas kakek berpakaian kuning itu
pelan. "Ceritakan, bagaimana hal ini bisa terjadi?"
Laki-laki berjenggot panjang mengangkat bahu pertanda
tidak mengetahuinya. Kemudian pandangannya dialihkan ke
arah rekannya, seorang laki-laki muda bertubuh kekar berotot.
"Aku juga tidak mengerti, Eyang," kata laki-laki bertubuh
kekar itu. "Hanya yang kutahu, sebelumnya Paman dan Bibi
memakan ikan hasil tangkapan Paman."
"Hm.... Lalu?" desak Eyang Balunglaga.
'Tak lama kemudian.... Paman dan Bibi muntah-muntah.
Tubuhnya pun kejang. Dari mulut mereka keluar buih berbau
busuk. Maka segera kupanggil mereka semua untuk
menolongku membawa dua orang ini kemari."
"Kau tahu, ikan apa yang dimakannya?" tanya Eyang
Balunglaga.
Karena sebagai seorang ahli pengobatan, kakek ini tahu
kalau ada beberapa jenis ikan yang memang mengandung
racun. Ikan buntal misalnya. Tapi ikan jenis itu hanya hidup di
laut.
"Ikan air tawar biasa, Eyang."
"Aneh," ucap Eyang Balunglaga dengan dahi berkernyit
dalam.
Jelas ada sesuatu yang dipikirkan laki-laki tua itu.
Sementara delapan orang penduduk Desa Rangkong diam
saja. Mereka tidak mau mengganggu pikiran kakek berpakaian
kuning itu.
"Bawa mereka ke pondokku," ujar Eyang Balunglaga,
seraya melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu,
mendahului mereka menuju ke lereng.
Enam orang penduduk Desa Rangkong membaringkan dua
sosok tubuh yang mereka papah ke dipan bambu. Kemudian,
mereka duduk diam menunggu.
Sementara di dalam, Eyang Balunglaga sibuk memeriksa
luka-luka dua orang penduduk yang keracunan itu.
"Hhh...l"
Kakek berpakaian kuning itu menghela napas berat, setelah
memeriksa luka-luka kedua orang itu berapa saat lamanya.
Menilik dari sikap dan raut wajahnya, jelas ada sesuatu yang
tidak menyenangkan hati kakek kecil kurus ini.
Dengan langkah lambat dan raut wajah lesu. Eyang
Balunglaga melangkah ke luar.
"Bagaimana, Eyang?" tanya pemuda bertubuh kekar penuh
gairah.
Saking tegangnya menunggu nasib kedua orang
keluarganya, dia tidak sempat memperhatikan wajah dan
sikap Eyang Balunglaga yang lesu.
"Sayang sekali, Anak Muda," sahut kakek bertubuh kecil
kurus itu pelan. Tampak kalau dia merem berat hati untuk
menyampaikannya.
"Maksud, Eyang?" tanya laki-laki bertubuh kekar itu kalap.
"Racun yang menyerang mereka tidak kukenal," sahut
Eyang Balunglaga bernada keluhan. "Terus terang, aku tidak
mampu menolong mereka."
"Jadi...?!" suara laki-laki bertubuh kekar itu terdengar
gemetar.
"Kita serahkan semuanya pada kekuasaan Tuhan...," hanya
itu yang bisa diucapkan Eyang Balunglaga.
"Ohhh...!"
Seraya mengeluarkan keluhan putus asa, laki-laki bertubuh
kekar itu melesat cepat ke ruang dalam. Eyang Balunglaga
sama sekali tidak mencegahnya. Hatinya merasa terpukul
karena tidak mampu mengobati luka kedua orang itu. Untuk
pertama kali Eyang Balunglaga gagal dalam mengobati orang.
Perlahan kakek bertubuh kecil kurus ini mengalihkan
perhatian pada penduduk lain yang ikut mengantar kedua
orang yang keracunan itu. Perasaan terpukul yang
melandanya pun semakin besar. Dilihatnya satu-persatu
kepala penduduk itu tertunduk Sepertinya, mereka semua
menyalahkan kakek itu karena tidak mampu mengobati
penduduk Desa Rangkong Itu. "Paman...! Bibi...!"
Mendadak dari ruangan dalam terdengar teriakan keras,
namun lebih patut disebut lolong kesedihan, serentak empat
orang penduduk lainnya itu berlomba masuk ke dalam.
Meskipun sudah dapat menduga apa yang terjadi, tapi tak
urung mereka ingin menyaksikannya juga.
Eyang Balunglaga tak ketinggalan pula. Kakek berpakaian
kuning ini melangkah masuk paling akhir.
Tapi langkah Eyang Balunglaga berhenti di depan pintu,
seperti juga empat orang penduduk itu begitu melihat
pemandangan di hadapan mereka.
Tampak di pinggir pembaringan, pemuda bertubuh kekar
itu duduk sambil menelungkupkan wajah. Sementara di balai-
balai bambu, tergolek diam dua sosok tubuh.
Tanpa melihat dari dekat pun, Eyang Balunglaga sudah bisa
mengetahui kalau kedua orang itu sudah tewas. Tanpa sadar,
sebuah helaan napas berat keluar dari mulutnya.
Tanpa berkata-kata, laki-laki bertubuh kekar itu
mengangkat salah satu mayat dan membawanya ke luar.
Bagai kucing ditakut-takuti lidi, para penduduk dan Eyang
Balunglaga yang berdiri di ambang pintu bergerak menyingkir.
Masih dengan tanpa suara, laki-laki bertubuh kekar itu
melangkah melewati ambang pintu. Jangankan bicara,
menoleh pun tidak. Pandangan matanya menatap kosong ke
depan. Jelas kalau hatinya merasa terpukul menerima
kenyataan ini.
Melihat laki-laki bertubuh kekar itu telah melangkah ke luar,
laki-laki berjenggot panjang memberi isyarat pada salah satu
dari tiga orang penduduk
Tanpa menunggu diperintah dua kali, penduduk yang
bertubuh pendek menghampiri balai-balai bambu.
Diangkatnya tubuh penduduk desa mereka yang telah menjadi
mayat.
Laki-laki berjenggot panjang menunggu, hingga laki-laki
bertubuh pendek itu melewati ambang pintu. Setelah lewat,
baru dia bersama dua orang penduduk lainnya bergerak
meninggalkan ruangan itu. Tak lupa sebelum meninggalkan
tempat itu, laki-laki berjenggot panjang menoleh ke arah
Eyang Balunglaga.
"Maafkan atas sikap kami semua, Eyang. Biar
bagaimanapun juga, Eyang telah berusaha sekuat tenaga.
Tapi, yahhh.... Tuhan telah berkehendak lain."
Hanya senyum getir tersungging di mulut Eyang Balunglaga
yang menyambuti ucapan laki-laki berjenggot panjang itu.
Mata laki-laki tua itu kemudian menatap enam sosok tubuh
yang semakin lama semakin mengecil dan akhirnya lenyap
ditelan jalan.
***
Tok, tok, tok...!
Seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus mengetuk daun
pintu sebuah rumah. Menilik dari ketukannya yang berturut-
turut, bisa diperkirakan kalau dia tengah terburu-buru.
"Ki...! Ki Saketi...!"
Sambil terus mengetuk-ngetukkan tangan pada daun pintu,
laki-laki bertubuh tinggi kurus itu berteriak-teriak memanggil.
Jelas kalau dia terburu-buru sekali. Panggilannya berhenti
setelah terdengar langkah kaki diseret mendekati pintu.
Suara derit pelan terdengat ketika daun pintu itu tergerak
membuka.
"Hm.... Kau rupanya, Tirta?" sapa orang yang dipanggil Ki
Saketi tadi.
Kepala Desa Rangkong ini tampak berwajah kuyu dan
lusuh. Kejadian demi kejadian yang menimpa desanya
membuat laki-laki berkumis tebal ini menjadi berwajah
demikian. Dia yakin, pasti ada kejadian lagi. Sehingga orang
yang dipanggil Tirta bertindak begitu kalap.
"Ada apa, Tirta?"
"Anu, Ki...," masih dengan napas memburu. Tirta mencoba
bercerita.
"Lebih baik kita masuk dulu dan bicara di dalam,"ujar Ki
Saketi.
Kepala desa itu mengajak Tirta masuk. Dia tahu, laki-laki
kurus itu butuh ketenangan untuk bercerita. Tapi, perasaan
terburu-burunya untuk menyampaikan sesuatu sudah tidak
bisa ditahan lagi. Daripada mendengar cerita yang terputus-
putus, Kepala DesaRang kong ini mengajak Tirta masuk ke
rumahnya.
Laki-laki tinggi kurus itu tidak bisa membantah lagi karena
Ki Saketi telah mendahului melangkah masuk
"Minumlah dulu agar hatimu tenang," Ki Saketi
mempersilakan, begitu mereka berdua telah duduk di dalam.
Lagi-lagi Tirta tidak membantah ucapan laki-laki berpakaian
abu-abu itu. Segera tangannya diulurkan untuk mengambil
minuman yang disediakan.
"Nah, Sekarang, katakanlah apa yang ingin kau ceritakan
padaku!" tagih Kepala Desa Rangkong begi tu Tirta telah
meletakkan kembali gelas bambu di meja
"Celaka, Ki!" belum apa-apa laki-laki bertubuh tinggi kurus
itu sudah kalap.
'Tenanglah, Tirta," ujar Ki Saketi menasihati.
"Para penduduk yang mandi di sungai, terserang penyakit
aneh, Ki," lanjut Tirta.
'Penyakit aneh?" Ki Saketi mengernyitkan dahinya.
"Benar, Ki. Penyakit aneh," ulang Tirta menguatkan ucapan
sebelumnya. "Begitu selesai mandi, sekujur tubuh mereka
terasa gatal-gatal amat luar biasa Mereka merasa tidak tahan
untuk tidak menggaruk."
Tirta mengatur napasnya sejenak. Caranya bercerita yang
terlalu berapi-api, membuat napasnya tersengal-sengal.
Sementara Ki Saketi langsung mengerutkan alisnya
mendengar cerita laki-laki bertubuh tinggi kurus itu.
"Tak lama kemudian, di sekujur tubuh mereka timbul
bintik-bintik. Lalu, kulit mereka seperti hancur,
Sampai di sini Tirta menghentikan ceritanya, lalu
menutupkan muka dengan kedua telapak tangannya.
"Di mana mereka sekarang?" tanya Ki Saketi dengan suara
bergetar menahan perasaan ngeri. Sepercik ucapan terbetik di
hatinya. Apa dosa penduduk Desa Rangkong, sehingga sampai
menerima malapetaka beruntun ini? Padahal tujuh orang
penduduk ynng tiga hari lalu pergi menyusul Banyupaksi dan
.latmika pun belum ketahuan kabarnya. Kini sudah muncul lagi
masalah baru.
"Masih di pinggir sungai, Ki," pelan dan tidak bersemangat
jawaban Tirta. Sungguh berbeda dengan ucapan sebelumnya
yang begitu berapi-api. "Kalau begitu, mari kita ke sana!"
Setelah berkata demikian, Kepala Desa Rangkong Ini bergegas
bangkit dari duduknya. Mau tidak mau, Tirta pun bergerak
bangkit mengikuti laki-laki berkumis lebal yang terus saja
melangkah ke luar.
Tapi sesampainya di luar, Ki Saketi terpaksa menunggu
Tirta karena memang dialah yang mengetahui di sungai
sebelah mana para penduduk yang keracunan itu.
Seperti semula sewaktu datang, kali ini pun Tirta berlari-lari
bagai dikejar hantu. Mau tak mau, Ki Saketi terpaksa berlari-
lari juga kalau tidak ingin tertinggal.
Kepala Desa Rangkong ini tidak bisa menyalahkan Tirta
karena dia pun ingin buru-buru melihat kenyataan ucapan
warganya itu.
Masih cukup jauh jarak yang dimaksud Tirta, namun Ki
Saketi sudah bisa mengetahui tempat pastinya. Kerumunan
para penduduk yang merubungi sebuah tempat, sudah
merupakan jawaban pertanyaannya.
Melihat hal itu, Tirta dan Ki Saketi semaki mempercepat
langkahnya.
Sebelum kedua orang itu tiba, seorang penduduk yang
wajahnya penuh panu sudah melihat kedatangan mereka.
"Minggir...! Menyingkir semua...! Beri jalan pada Ki
Saketi...!" teriak laki-laki berwajah penuh panu seraya
menepuk-nepuk bahu beberapa orang penduduk untuk lebih
memperjelas pemberitahuannya. Maka kerumunan para
penduduk itu pun menyeruak, memberi jalan pada Ki Saketi.
Kepala Desa Rangkong ini menganggukkan kepala kepada
para warganya, kemudian bergegas menghampiri sosok-sosok
tubuh yang tergolek dengan sekujur kulit memerah seperti
darah.
Dengan pandangan matanya, Ki Saketi menghitung jumlah
mereka. Ada enam orang. Dan semuanya tergolek diam.
Matikah mereka?
Laki-laki berpakaian abu-abu ini buru-buru berjongkok.
Melihat keadaan tubuh mereka, Ki Saketi sama sekali tidak
berani menyentuhnya. Dia tahu keenam orang penduduknya
itu keracunan hebat
"Hhh...!"
Kepala Desa Rangkong ini menghela napas berat. Melihat
tidak adanya perut yang bergerak turun naik, bisa diperkirakan
kalau mereka yang terbaring sudah lewas. Keadaan mereka
begitu mengerikan. Sekujur kulit memerah seperti udang
rebus.
Yang lebih mengerikan lagi, sekujur kulit tubuh mereka pun
seperti hancur. Jadi lunak seperti telah membusuk. Luka-luka
bekas garukan tangan akibat rasa gatal yang mendera,
nampak di sekujur kulit yang merah dan lunak itu.
Perlahan-lahan Ki Saketi bangkit berdiri. Wajahnya penuh
diliputi kengerian. Memang, laki-laki berpakaian abu-abu ini
merasa ngeri bukan main melihat keadaan mayat-mayat para
warganya.
Bukan hanya di wajah Ki Saketi saja yang menampakkan
kengerian. Di wajah para penduduk yang lainnya pun
demikian pula.
"Apa yang harus kita lakukan dengan mayat mereka, Ki?"
tanya penduduk yang bertubuh pendek. Suaranya terdengar
serak. Jelas kalau dia belum bisa menata dirinya dari perasaan
terkejut yang melanda hati.
Ki Saketi tercenung sesaat lamanya, sambil menatap wajah
orang yang bertanya sejenak. Kemudian perlahan-lahan
kepalanya menggeleng.
"Aku pun tidak tahu...," jawab orang nomor satu di Desa
Rangkong ini. "Rasanya sulit bagi kita untuk
menguburkannya...."
"Mengapa, Ki?" tanya Tirta.
Bodoh benar pertanyaan itu. Padahal sebetulnya laki-laki
bertubuh tinggi kurus ini bukan orang bodoh. Tapi kenyataan
yang disaksikan membuat pikiran jernihnya menguap entah ke
mana. Hanya kebuntuan yang mencekam di benaknya.
"Bagaimana kita bisa menguburkannya, Tirta?" Ki Saketi
mulai menjawab dengan mengajukan pertanyaan lebih dulu.
Nada suaranya terdengar lesu, selesu wajahnya. "Aku yakin,
sekujur tubuh keenam orang ini telah mengandung racun
yang mengerikan. Bukan tidak mungkin kita akan ketularan
kalau menyentuh mereka."
Tirta mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda mengerti.
Suasana menjadi hening sejenak begitu Ki Saketi
menghentikan ucapannya. Keheningan yang mencekam,
karena hati semua penduduk diliputi kengerian. Jelas mereka
takut akan kembali terjadi peristiwa mengerikan di desa
mereka.
"Mayat-mayat itu harus dibakar."
Sebuah suara pelan tapi mengandung getaran yang cukup
kuat terdengar. Meskipun hanya pelan saja, tapi karena saat
itu suasana di tempat itu heningi maka suara itu jadi
terdengar jelas.
Bagai diberi aba-aba, kepala semua penduduk itu menoleh
ke arah asal suara, tak terkecuali Ki Saketi sendiri.
Ternyata dua tombak jaraknya dari mereka telah berdiri
seorang kakek berwajah segar. Sehelai pakaian yang
berwarna kuning membungkus tubuhnya yang kecil kurus.
"Ah.... Rupanya Eyang Balunglaga...," sapa Ki Saketi
dengan wajah berseri-seri. Ada perasaan lega -yang
menyeruak di harinya melihat kedatangan kakek ahli
pengobatan itu.
Meskipun Kepala Desa Rangkong ini telah mendengar akan
kegagalan kakek kecil kurus ini mengobati paman dan bibi
salah seorang warganya, namun rasa hormatnya pada Eyang
Balunglaga tidak sirna karenanya.
Laki-laki berkumis tebal ini tahu, meskipun Eyang
Balunglaga selama ini mampu mengobati luka-luka keracunan,
tapi keracunan yang tidak berat. Bukan keracunan akibat
tindakan seseorang yang terbiasa bermain racun. Apalagi
racun ganas. Sementara racun yang menyerang warga Desa
Rangkong adalah racun yang dibuat orang yang terbiasa main
racun. Tidak aneh kalau kakek kecil kurus itu tidak mampu
mengobatinya.
"Jadi jalan satu-satunya untuk mencegah penularan racun
ini, mayat-mayat ini harus dibakar, Eyang?" tanya Kepala Desa
Rangkong untuk memastikan ucapan yang tadi terdengar
telinganya. "Benar!" jawab Eyang Balunglaga pelan. Ki Saketi
menoleh ke arah Tirta. "Uruslah mayat-mayat ini."
"Baik, Ki," laki-laki bertubuh tinggi kurus itu sigap
menjawab.
"Ajak beberapa orang untuk mengumpulkan ranting-ranting
kering!"
"Baik, Ki."
Tirta dan beberapa orang penduduk lainnya beri gegas
meninggalkan tempat itu untuk melaksanakan tugas yang
diberikan kepala desanya.
Eyang Balunglaga melangkah menghampiri mayat-mayat
yang tergolek di tanah. Raut wajah maupun sepasang
matanya menyiratkan penyesalan yang mendalam.
Memang, kakek bertubuh kecil kurus ini merasa penasaran
bukan kepalang akibat ketidakmampuannya mengenali racun
yang menyerang para penduduk Desa Rangkong.
Eyang Balunglaga adalah seorang pandai obat sejati Tidak
ada kebahagiaan yang lebih besar dari pada melihat
kesembuhan orang yang berobat padanya. Sebaliknya, tidak
ada kesedihan yang lebih besar selain melihat orang yang
sakit, tewas di hadapannya.Dan perasaan itulah yang melanda
hatinya sekarang ini.
Kakek bertubuh kecil kurus ini berjongkok. Sepasang
matanya merayapi sekujur tubuh mayat-mayat itu. Helaan
napas beratnya selalu terdengar keluar dari mulutnya.
Sementara para penduduk hanya memperhatikan semua
kelakuan kakek ahli pengobatan itu.
"Menurut berita yang kudapat, sehabis mandi di sungai
sekujur tubuh mereka gatal-gatal dan panas.... Apakah
mereka tewas karena mandi di sungai ini, Eyang?" Ki Saketi
mulai mengajukan pertanyaan.
"Kalau melihat dari keadaan mereka, jelas itu akibat
keracunan. Tapi kebenaran akan dugaan kalau racun itu
berasal dari sungai perlu dibuktikan."
Eyang Balunglaga menghentikan ceritanya sejenak untuk
mengambil napas.
"Bila benar sungai ini adalah penyebabnya berarti ada
orang yang baik sengaja atau tidak, telah membuang racun ke
sungai itu. O, ya. Apakah penduduk yang keracunan akibat
makan ikan waktu itu, ikannya diambil dari sungai ini?"
"Tidak, Eyang," laki-laki berjenggot panjang yang
menjawab pertanyaan itu "Mereka menangkapnya di danau
dekat pinggir hutan."
Eyang Balunglaga mengangguk-anggukkan kepala,
kemudian bangkit berdiri dan berjalan menghampiri pinggir
sungai. Diperhatikannya sejenak air sungai Itu. Baik warna
maupun baunya. "Hhh...!"
Sebuah helaan napas berat terdengar dari mulut kakek
bertubuh kecil kurus ini.
"Bagaimana, Eyang?" Ki Saketi yang berdiri di belakang
kakek berpakaian kuning itu tidak sabar lagi bertanya.
"Sungai ini memang telah mengandung racun ganas,"
sahut Eyang Balunglaga setengah mengeluh. "Jadi...?"
"Jangan gunakan lagi air sungai ini untuk mandi atau
mencuci. Apalagi untuk minum," Eyang Balunglaga
memperingatkan.
Ki Saketi mengerutkan alisnya. Jelas kalau tengah dilanda
perasaan bingung. Maklum, sungai ini memang satu-satunya
sumber kehidupan penduduk Desa Rang kong. Memang ada
mata air lainnya, tapi letaknya terlalu jauh dari desa mereka.
Tapi, hal ini akan dikatakannya nanti pada para penduduknya.
"Aku yakin, peristiwa keracunan ini ada hubungannya
dengan kejadian-kejadian sebelumnya," duga Ki Saketi
"Kejadian apa, Ki?" tanya Eyang Balunglaga.
Memang, kakek ahli pengobatan ini belum mendengar
tentang peristiwa beruntun yang terjadi atas penduduk Desa
Rangkong.
Ki Saketi pun menceritakan semua kejadian itu dari awal.
Dengan seksama, Eyang Balunglaga mendengarkannya. Kakek
berpakaian kuning ini sama sekati tidak menyelak cerita Ki
Saketi sedikit pun.
"Mungkin dugaanmu benar, Ki," dukung kakek bertubuh
kecil kurus ini. "Kalau tidak salah, bukankah sungai ini berhulu
dari dalam Hutan Rangkong?"
Ki Saketi mengangguk.
"Dan penduduk Desa Rangkong semuanya hilang di dalam
hutan itu," sambung kakek bertubuh kecil kurus penuh
semangat "Jelas, pokok pangkal semu masalah ini berasal dari
Hutan Rangkong."
"Itulah yang menyebabkanku menduga demikian pula,
Eyang," sambut Ki Saketi berapi-api. "Jadi, kesimpulanmu
bagaimana, Ki?" Kepala Desa Rangkong terdiam sejenak, tidak
langsung menjawab pertanyaan itu.
"Kalau menurut dugaanku, ada seorang tokoh aliran hitam
yang bertempat tinggal di hutan itu. Tapi, dia tidak ingin
diketahui orang lain. Atau juga tidak senang diganggu. Maka
setiap penduduk yang bertemu dengannya di dalam hutan,
langsung dibunuhnya," Jelas laki-laki berpakaian abu-abu itu
panjang lebar.
"Ada yang janggal dalam penjelasanmu, Ki," selak Eyang
Balunglaga. "Kalau dia tidak ingin diketahui orang, kenapa
menaburkan racun di sungai ini?"
Ki Saketi menarik napas panjang-panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat
"Itulah yang membuatku bingung, Eyang." Pembicaraan
kedua orang itu berhenti ketika terdengar langkah-langkah
kaki mendekati tempat itu. Langkah kaki yang tampaknya
bertubi-tubi menghantam bumi dengan cepatnya. Jelas kalau
ada orang yang tengah berlari.
Eyang Balunglaga dan Ki Saketi menoleh. Tampak Tirta dan
beberapa orang penduduk lain telah datang membawa banyak
ranting kering.
Tanpa menunggu diperintah, semua penduduk yang sejak
tadi diam mendengarkan pembicaraan antara kepala desa
mereka dengan Eyang Balunglaga, bergegas mengambil
ranting-ranting kering itu. Kemudian ranting-ranting itu
diletakkan di sekeliling mayat enam orang rekan mereka.
Setelah mendapatkan perintah dari Ki Saketi, baru mereka
semua menyalakan api. Sesaat kemudian, api pun
membumbung tinggi membakar mayat-mayat orang yang
keracunan.
Semakin lama, api yang menyala semakin membesar. Dan
dengan sendirinya, suasana di sekitar tempat itu mulai terasa
panas. Maka, semua yang berada di situ bergegas melangkah
mundur.
Kini mereka semua memperhatikan api yang melahap
ranting dan mayat rekan-rekan mereka. Menilik dari
pandangan yang tertuju pada satu titik, bisa diketahui kalau
mereka semua terlibat dalam lamunan masing-masing.
Dan memang hal itu benar. Dalam hati mereka semua,
timbul pertanyaan. Bencana apa lagi yang akan menimpa
mereka? Dan siapa nanti yang akan mendapat giliran?
Perlahan api mulai mengecil, suara letupan-letupan api
mulai jarang. Dan seiring matinya api, habislah mayat-mayat
itu dan juga ranting keringnya. Yang tinggal hanyalah
onggokan tulang yang habis terbakar dan onggokan sisa
pembakaran.
***
EMPAT
Hari sudah begitu siang. Sinar matahari pun sudah tidak
terasa nikmat lagi di kulit. Saat itu seorang I perempuan tua
berpakaian merah muda dan berambut panjang terurai tengah
melangkah perlahan-lahan memasuki tembok batas Desa
Layur. Dia seperti tidak mempedulikan teriknya sengatan
matahari.
Kalau melihat wajah dan perawakannya, tidak nampak
adanya sesuatu yang mengerikan pada nenek ini. Bahkan
perasaan kasihan yang timbul begitu melihat nenek yang
begitu ringkih ini berjalan. Mulutnya yang sudah tidak bergigi
lagi, dan rambutnya yang seluruhnya telah berwarna putih
semakin menambah keringkihannya. Dari sini, bisa ditaksir
usianya. Paling tidak, tak kurang dari tujuh puluh tahun.
Tapi jika melihat sorot matanya, orang akan bergidik ngeri.
Sorot matanya mencorong tajam dan berwarna kehijauan,
seperti sinar mata seekor kucing dalam gelap. Dan yang lebih
mengerikan lagi, ada sinar kekejaman yang membayang
dalam matanya.
Begitu memasuki mulut desa, pandangan mata nenek
berambut putih panjang itu menatap ke sekeliling. Tapi, hanya
kesunyian saja yang ditemuinya. Apalagi saat itu hari sudah
siang. Jadi, sebagian besar penduduk memang tengah sibuk di
sawah atau di kebun. Hanya sebagian kecil saja yang tinggal
di rumah.
Hanya sebentar saja nenek berpakaian merah muda itu
menatap ke sekeliling. Pandangannya kemu dian tertumbuk
pada sebuah pondok yang terletak agak terpisah dari pondok-
pondok lainnya
Mendadak sepasang mata nenek itu berkilat menyiratkan
kekejaman. Seringai menyeramkan pun tampak di mulutnya
yang telah mengeriput. Tapi seringai itu hanya timbul sesaat
saja, kemudian lenyap. Dan seiring dengan lenyap
seringainya, nenek berpakaian merah muda itu bergerak
menghampiri pondok.
Luar biasa. Gerakan nenek berambut panjang itu cepat
bukan main. Sungguh tidak sesuai dengan keadaan tubuhnya
yang terlihat. Hanya sekali langkah saja, jarak tujuh tombak
telah terlampaui.
Sekejap kemudian nenek berpakaian merah mudai itu telah
berada di depan pintu pondok yang tertutup rapat
"Hi hi hi...l"
Nenek berambut panjang terurai itu tertawa, sehingga
terdengar mengerikan sekali. Suara tawa itu tak ubahnya
keluar dari mulut kuntilanak.
Seiring lenyap gema suara tawanya, tangan kanan nenek
itu menepak daun pintu. Kelihatannya perlahan saja, tapi
akibatnya....
Brakkk.l
Suara berderak keras terdengar ketika daun pintu pondok
itu hancur berkeping-keping. Seolah-olah, bukan tepakan
halus tangan keriput seorang nenek yang menghantamnya,
melainkan serudukan seekor kerbau liar.
Tentu saja suara berderak ribut itu membuat pemilik
pondok terperanjat. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh
kekar dan berkulit coklat. Suatu kebetulan dia tidak pergi ke
sawah, karena giginya sakit
Dapat dibayangkan, betapa gusarnya hati laki-laki bertubuh
kekar ini begitu mendengar suara berisik dari arah depan.
Dengan amarah menggelegak, dia bergegas ke luar. Tak lupa
disambarnya golok yang tergantung di dinding.
Kemarahannya kembali bergolak begitu melihat pintu
pondoknya hancur berantakan. Suara gemeretak keras
terdengar dari mulutnya karena perasaan geram melihat
rumahnya dirusak.
Perasaan amarah yang melanda membuat pikiran laki-laki
bertubuh kekar ini seperti buntu. Yang ada di benaknya hanya
satu. Memberi pelajaran pada orang yang telah mengganggu
ketenangannya, dan sekaligus merusak pintu rumahnya.
Kalau saja laki-laki bertubuh kekar ini mau menggunakan
akal sehat sedikit saja, tentu sudah bisa memperkirakan
kepandaian orang yang telah mampu menghancurkan
pintunya. Jelas orang itu bukanlah orang sembarangan.
Namun hal itu sama sekali belum terpikirkan olehnya.
Kemarahan yang melandanya baru menciut begitu melihat
sosok yang berdiri di ambang pintu. Tampak di matanya
seorang nenek tua renta yang bertubuh ringkih.
"Nenek inikah yang telah menghancurkan pintu rumahku?"
tanya pemilik pondok dalam hati dengan, perasaan tidak
percaya. "Tapi kaiau bukan nenek ini, siapa lagi? Buktinya
tidak nampak ada orang lain lagi di sekitar sini."
Maka meskipun dengan perasaan ragu, dihampirinya nenek
berpakaian merah muda itu. Hanya saja kemarahan yang
melandanya sebagian besar telah menguap. Kini yang tinggal
hanyalah perasaan penasaran dan rasa sakit yang mendera
giginya.
"Siapa kau, Nek? Mengapa merusak pintu rumahku?" tanya
laki-laki berkulit coklat itu. Sengaja pertanyaan itu diajukan,
meskipun yakin nenek itu bukan pelakunya. Sudah dapat
diterka, nenek itu pasti akan menyangkal.
"Bukan hanya pintu pondok ini saja yang kuhancurkan. Tapi
juga kau!"
Dapat dibayangkan, betapa kaget hati milik pondok itu
begitu mendengar jawaban yang keluar dari mulut nenek
berpakaian merah muda ini.
Seiring ucapan Itu tadi, sepasang mata nenek Itu
mencorong seperti memancarkan sinar berapi. Karuan saja hal
ini membuat laki-laki bertubuh kekar itu terperanjat. Seketika
itu pula disadari kalau nenek di hadapannya bukan orang
sembarangan.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, pemilik pondok
itu melompat menerjang. Golok di tangannya berkelebat
membacok dari atas ke bawah. Rupanya, dia bermaksud
membelah tubuh nenek itu.
"Hmh...!"
Nenek berpakaian merah muda itu hanya mendengus.
Tidak tampak ada tanda-tanda kalau akan menangkis atau
mengelak Jelas, nenek itu tidak memandang serangan itu
sebagai sesuatu yang berbahaya.
Baru setelah serangan itu menyambar dekat, tangan nenek
berpakaian merah muda itu terjulur ke depan. Luar biasa.
Serangan golok itu disambut dengan tangannya.
Laki-laki bertubuh kekar itu terkejut melihat hal ini. Gilakah
sebenarnya nenek ini? Kalau tidak gila, mengapa hendak
mengadu golok itu dengan tangannya yang kurus kering dan
keriput?
Mau tak mau, perasaan ragu-ragu laki-laki itu membuat
tenaganya yang mengayunkan golok jadi mengendur.
Meskipun begitu, tetap saja ayunan golok itu cukup untuk
memutuskan tangan. Apalagi kelihatannya tangan nenek
berambut panjang itu terlihat lemah.
Takkk...!
Suara berdetak keras seperti dua benda kuat berbenturan
terdengar ketika golok itu beradu dengan tangan nenek
berpakaian merah muda. Luar biasa. Tangan nenek itu sama
sekali tidak putus. Bahkan sebaliknya, tangan pemilik pondok
itu yang bergetar hebat. Tangannya terasa seolah-olah
lumpuh. Terutama, jari-jari tangannya yang menggenggam.
Tanpa dapat dicegahnya lagi, golok itu terlepas dari cekalan
tangannya.
Dan sebelum laki-laki bertubuh kekar itu sempat berbuat
sesuatu, tangan nenek itu kembali bergerak. Cepat bukan
main gerakannya. Dan....
Tappp...!
Tak pelak lagi, tangan laki-laki bertubuh kekar itu tercekal
tangan keriput nenek berpakaian merah muda. Dan dengan
cepat, tangan nenek itu bergerak meremas.
Krrrkkk...!
Suara bergemeretak keras terdengar ketika tulang-tulang
tangan pemilik pondok itu hancur berantakan. Seakan-akan
tangan itu terbuat dari tahu.
Laki-laki berkulit coklat itu seketika menjerit memilukan,
seiring gerakan meremas tangan nenek berambut panjang.
Rasa sakit tak tertahankan yang melanda, membuatnya tak
kuasa menahan jeritan.
Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, tangan nenek
berpakaian merah muda Itu sudah kembali bergerak.
Langsung disampoknya pelipis laki-laki kekar itu.
Prakkk!
Tanpa sempat mengeluarkan suara lagi, tubuh laki-laki
berkulit coklat Itu ambruk ke tanah dengan pelipis pecah.
Sebentar dia menggelepar, lalu tewas tanpa bersambat lagi.
Darah nampak menggenang di lantai rumahnya.
"Hi hi hi...! Orang sepertimu berani menantang Bidadari
Sabuk Emas?! Cuhhh...!" dengan kasar, nenek berambut
panjang yang ternyata berjuluk Bidadari Sabuk Emas itu
meludahi wajah mayat pemilik rumah Itu.
Sambil tertawa terkikih, nenek berpakaian merah muda itu
lalu melangkah meninggalkan mayat yang membujur
tergenang darah. Suasana sekitar tempat Itu memang sepi,
sehingga keributan kecil itu sama - sekali tidak mengundang
penduduk lain. Apalagi, rumah penduduk yang malang itu
terpisah jauh dari rumah penduduk lainnya.
"Hi hi hi...!"
Kembali Bidadari Sabuk Emas tertawa terkikih ketika
langkah kakinya berhenti di depan sebuah pintu rumah yang
tertutup rapat
Masih dengan suara tawa mengikik, nenek berpakaian
merah muda ini mengeluarkan sebuah sabuk berwarna kuning
keemasan dari pinggang, kemudian melecutkannya.
Ctarrr...! Brakkk..!
Suara hiruk pikuk diiringi hancurnya daun pintu hingga
berkeping-keping terdengar ketika ujung sabuk itu
melecutnya.
Suara hiruk pikuk itu membuat penghuninya yang berada di
dalam rumah melangkah keluar dengan takut-takut. Mereka
adalah seorang nenek dan kakek yang tua dan ringkih. Jelas
kedua orang itu adalah sepasang suami istri yang telah
berusia lanjut. Bahkan sang Kakek telah agak bungkuk
tubuhnya.
"Hi hi hi...!"
Nenek berpakaian merah muda yang berjuluk Bidadari
Sabuk Emas itu tertawa terkikih. Kembali sabuk di tangannya
digerakkan. Sabuk itu lemah gemulai melenggak-lenggok, ke
kanan dan ke kiri. Lalu mendadak....
Rrrttt..!
Laksana seekor ular sanca, sabuk itu melilit pinggang nenek
pemilik rumah. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, tangan
Bidadari Sabuk Emas bergerak
Terdengar jerit kengerian dari mulut nenek pemilik rumah
ketika tubuhnya terlempar ke depan. "Nyi...."
Kakek pemilik rumah memekik keras ketika melihat istrinya
terlempar ke atas. Dengan tertatih-tatih 1 kakinya melangkah
keluar karena khawatir dengan keselamatan istrinya
Tapi baru beberapa tindak melangkah, Bidadari Sabuk
Emas telah menggerakkan kembali sabuknya. Dan....
Ctarrr...!
Suara lecutan cukup keras terdengar ketika ujung sabuk
yang berwarna kuning keemasan itu menyengat dada kakek
bertubuh agak bungkuk itu.
Hebat akibatnya. Tubuh kakek pemilik rumah itu terjajar ke
belakang. Untung baginya, nenek berpakaian merah muda itu
hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalam. Kalau tidak,
tentu seluruh isi dadanya pasti hancur lebur.
Meskipun begitu, tak urung darah segar memercik dari
sudut-sudut mulut kakek bungkuk itu. Tubuhnya pun cukup
keras menghantam dinding rumah.
Tubuh kakek bungkuk itu merosot perlahan-lahan ke lantai.
Untuk beberapa saat lamanya dia berdiam diri saja dengan
sikap tubuh terduduk. Keadaan tubuhnyalah yang
membuatnya tidak dapat segera bangkit, walaupun keinginan
itu begitu besar.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Bidadari Sabuk
Emas. Tanpa mengenal rasa kasihan, kembali tabuk di
tangannya dilecutkan. Ctar, ctar, ctar...!
Bertubi-tubi ujung sabuk itu kini menghujani berbagai
bagian tubuh nenek pemilik rumah. Seketika itu pula jeritan
menyayat kembali terdengar saling susul diiringi menggebat-
geliatnya tubuh nenek pemilik rumah itu.
"Hi hi hi...!"
Nenek berambut panjang itu tertawa terkikih-kikih melihat
calon korbannya menggeliat-geliat kesakitan. Memang,
Bidadari Sabuk Emas bermaksud menyiksa nenek bertahi lalat
besar itu. Maka, lecutan-lecutan sabuknya yang bertubi-tubi
ditujukan hanya untuk menimbulkan rasa sakit Sakit, pedih,
dan panas mendera nenek pemilik rumah.
Pakaian nenek bertahi lalat besar itu sudah koyak-koyak di
sana-sini. Bahkan kulit tubuhnya pun pecahpecah sehingga
darah segar pun merembes ke luar.
Rupanya pemandangan yang menyayat hati Itu amat
menyenangkan Bidadari Sabuk Emas. Ini terbukti dari tawanya
yang tak putus-putus mengiringi lecutan sabuknya.
"Iblis biadab...!"
Kakek pemilik rumah berseru keras melihat penderitaan
istrinya. Dia menggeram marah, sambil ber. usaha
menguatkan diri untuk bangkit Dan dia berhasil.
Secepat tubuhnya telah berdiri, secepat itu pula kakek
bungkuk ini berlari menuju ke arah tempat istrinya disiksa!
"Hmh...!"
Bidadari Sabuk Emas mendengus. Kini sabuk di tangannya
digerakkan untuk menyerang kakek bertubuh bungkuk itu.
Wuttt..! Tukkk!
"Akh...!"
Telak dan keras sekali ujung sabuk yang tiba-tiba
mengejang kaku laksana tombak Itu menyengat lutut sebelah
kanan si kakek. Terdengar suara berderak keras mengiringi
robohnya tubuh kakek pemilik rumah di tanah.
Kini Bidadari Sabuk Emas mengalihkan penyiksaannya.
Lecutan-lecuan sabuknya kini meluncur deras dan bertubi-tubi
ke arah berbagai bagian tubuh si kakek.
Akibatnya sudah bisa diduga! Setiap kali ujung sabuk itu
melecut, tubuh kakek bungkuk Itu menggeliat. Beberapa kali
tubuhnya mengejang kaku bila ujung sabuk itu mengenal
sasaran. Keluhan diiringi seringai kesakitan selalu terdengar
dan terlihat tatkala ujung sabuk itu menemui sasarannya.
"Iblis keji! Hentikan...!"
Bentakan keras menggelegar pertanda didukung tenaga
dalam cukup tinggi, membuat Bidadari Sabuk Emas
menghentikan penyiksaannya. Dengan wajah merah padam
menahan amarah, tubuhnya berbalik ke arah belakangnya.
Dari situlah suara itu berasal.
Kini di hadapannya dalam jarak empat tombak, berdiri tiga
sosok tubuh berpakaian biru yang rata-rata berusia muda. Di
dada kiri mereka terdapat gambar sepasang pedang yang
disulam dari benang perak.
"Hmh...! Tikus-tikus kecil dari Perkumpulan Pedang Perak
rupanya...," dengus Bidadari Sabuk Emas. Nada suara dan
sikapnya terlihat jelas memandang rendah.
Tiga orang berpakaian biru yang ternyata murid
Perkumpulan Pedang Perak itu menggertakkan gigi. Memang
mereka merasa tersinggung mendengar hinaan yang keluar
dari mulut nenek berpakaian merah muda itu. Ucapan yang
jelas-jelas menghina dan merendahkan!
'Tutup mulutmu, Nenek Peot...!" bentak salah seorang dari
murid Perkumpulan Pedang Perak yang bercambang lebat
"Keparat..! Berani kau membentakku, Tikus Kecil? Apa kau
sudah mempunyai nyawa rangkap sehingga berani berkata
seperti itu pada Bidadari Sabuk Emas?! Jangan harap kalian
semua akan bisa lolos dari sini dalam keadan hidup!"
Wajah ketiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak
seketika berubah begitu mendengar nenek berpakaian merah
muda itu menyebut julukannya. Memang, mereka semua telah
mendengar julukan itu. Bidadari Sabuk Emas adalah salah
seorang tokoh sesat dunia persilatan. Kegemarannya adalah
menyiksa orang sampai mati!
"Kalau begitu, sudah menjadi kewajiban kami untuk
melenyapkan tokoh berhati iblis sepertimu...!" tegas murid
Perkumpulan Pedang Perak yang wajahnya penuh jerawat
Srat, srat, srattt..!
Sinar terang berkelebat ketika ketiga orang itu menghunus
pedang yang tersampir di pinggang. Begitu mengetahui siapa
adanya nenek berpakaian merah muda itu, mereka tidak
berani bersikap main-main lagi Dengan langkah menggeser
tanah, mereka melangkah maju, dan langsung menyebar.
Mengurung nenek berambut panjang itu dari segala arah.
"Hi hi hi...!"
Bidadari Sabuk Emas tertawa terkikih melihat ketiga orang
lawannya menghunus senjata. Nenek itu sama sekali tidak
tampak waspada, sekalipun ketiga orang lawannya telah siap
dengan senjata terhunus. I
"Serbu...!"
Laki-laki yang bercambang lebat berseru keras.
Sambil melompat menerjang, pedangnya ditusukkan rapat
ke arah leher Bidadari Sabuk Emas.
Pada saat yang bersamaan, kedua orang rekannyajuga
segera menyerang. Pedang laki-laki berwajah penuh jerawat
itu membabat cepat ke arah leher. Sementara rekan yang
satunya lagi menusukkan peningnya ke arah punggung.
Suara angin mencicit mengiringi tibanya serangan itu. Dari
serangan ini saja bisa diketahui kalau ketiga orang berpakaian
biru ini bukan tokoh sembarangan. Memang di Perkumpulan
Pedang Perak, ketiga orang ini memiliki tingkat kepandaian
sedikit di bawah murid-murid kepala. Padahal, Perkumpulan
Pedang Perak adalah sebuah perkumpulan aliran putih yang
besar. Tingkat kepandaian ketuanya, dikabarkan tidak di
bawah tingkat datuk-datuk dunia persilatan. Jadi, bisa
diperkirakan, kelihaian ketiga orang ini.
Bidadari Sabuk Emas pun menyadari hal itu. Maka, dia tidak
berani menerima serangan lawan dengan tubuhnya. Cepat
laksana kilat kakinya menjejak tanah. Sesaat kemudian,
tubuhnya melayang ke atas.
Hasilnya, semua serangan itu hanya menyambar tempat
kosong, jauh di bawah kakinya.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan nenek berambut
panjang itu. Tatkala rubuhnya berada di udara, sabuk di
tangannya mematuk ke arah ubun-ubun laki-laki bercambang
lebat.
Namun laki-laki bercambang lebat tidak gugup melihat hal
ini. Dia memang sudah bersiap siaga untuk menghadapi
serangan mendadak, begitu diketahui kalau lawannya adalah
tokoh sesat yang menggiriskan. Buru-buru tubuhnya dilempar
ke belakang. Ctarrr...!
Ledakan keras seperti ada halilintar menyambal terdengar
ketika sabuk itu melecut tempat kosong.
Kedua orang rekan laki-laki bercambang lebat tidak tinggal
diam begitu melihat rekannya didesak Bidadari Sabuk Emas.
Bergegas mereka bergerak membantu, menghujani lawan
dengan serangan-serangan maut. Sehingga, Bidadari Sabuk
Emas terpaksa menghentikan desakannya pada laki-laki
bercambang lebat
Pertarungan sengit pun tidak bisa dihindari lagi. Bidadari
Sabuk Emas yang memang sudah berniat membunuh ketiga
murid Perkumpulan Pedang Perak tidak tanggung-tanggung
lagi menyerang. Kedua belah pihak pun mengerahkan seluruh
kemampuan masing-masing.
Sebenarnya kalau dibuat perbandingan, kepandaian
masing-masing murid Perkumpulan Pedang Perak itu masih
amat jauh di bawah Bidadari Sabuk Emas. Tapi karena ketiga
orang ini maju bersama-sama, tambahan lagi ketiganya
mampu bekerja sama, untuk beberapa saat lamanya
pertarungan berjalan seimbang.
Suara riuh rendah menyemaraki pertarungan antara
seorang nenek yang terlihat ringkih menghadapi ketiga orang
lawan yang masih muda-muda dan terlihat kuat. Desingan
pedang ketiga murid Perkumpulan Pedang Perak, diiringi
ledakan-ledakan sabuk Bidadari Sabuk Emas menambah
ramainya pertarungan.
Ctarrr...!
Untuk yang kesekian karinya ujung sabuk Bidadari Sabuk
Emas menghantam tanah. Kontan hasilnya menambah
banyaknya lubang besar yang terbentuk akibat lecutan
cambuk pada tanah.
Tapi ketiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak hanya
mampu bertahan sampai tiga puluh jurus saja. Ketika
memasuki jurus ketiga puluh satu, nenek berpakaian merah
muda itu mulai dapat mendesak lawan-lawannya.
Bahkan Bidadari Sabuk Emas kini sudah bisa membuat
kerja sama ketiga orang lawannya berantakan. Serangan-
serangan murid Perkumpulan Pedang Perak itu semakin
jarang, dan kini lebih sering mengelak
Sebaliknya, serangan-serangan Bidadari Sabuk Emas
datang semakin bertubi-tubi. Sabuknya menghujani berbagai
bagian yang berbahaya di tubuh ketiga orang lawannya.
Mendadak pada jurus yang keempat puluh satu, gerakan
sabuk nenek berpakaian merah muda Itu berubah cepat. Kini
sabuk itu bergerak meliuk-liuk seperti seekor ular. Kemudian,
secara tidak terduga-duga mematuk salah satu bagian
mematikan di tubuh lawan.
Memang, Bidadari Sabuk Emas kini sudah mengeluarkan
jurus-jurus sabuk andalannya. Dan akibatnya, ketiga orang
lawan itu kebingungan melihat gerakan sabuk yang meliuk-liuk
seperti ular sehingga sulit diduga arahnya.
Prattt..!
Laki-laki bercambang lebat terjengkang ke belakang dan
jatuh berdebuk di tanah. Tanpa bersuara sedikit pun, dia tidak
bangun lagi untuk selamanya ketika sabuk itu menotok keras
lehernya. Dia tewas karena tulang lehernya hancur
berentakan.
Hampir berbarengan dengan robohnya laki-laki bercambang
lebat, kedua orang rekannya pun roboh pula. Laki-laki
berwajah penuh jerawat tewas dengan pelipis pecah.
Sedangkan rekannya terkena totokan keras pada dadanya.
"Hi hi hi...!"
Sambil tertawa terkikih, Bidadari Sabuk Emai melesat pergi
dari situ. Tak dipedulikannya lagi lima sosok tubuh yang
tergeletak di tanah. Hanya dalam beberapa kali lompat saja,
tubuhnya sudah berubah menjadi sebuah titik di kejauhan.
Semakin lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap ditelan
jalan.
LIMA
Ah...
Seruan kaget terdengar dari mulut seorang pemuda
berwajah tampan berambut putih keperakan. Pakaiannya
berwarna ungu, membungkus tubuhnya yang tegap berisi,
dibanduli sebuah guci arak dari perak. Sepasang matanya
menatap ke depan. Memang, pemandangan yang terpampang
di hadapannyalah membuat hatinya terkejut. Betapa tidak?
Dalam jarak sekitar tujuh tombak darinya, terlihat lima sosok
tubuh bergeletakan di tanah. Pemuda berpakaian ungu itu
melesat cepat menghampiri. Sambil terus menatap,
dihapusnya keringat yang membasahi wajahnya dengan
punggung tangan. Saat ini, matahari memang tepat di atas
kepalanya. Sinarnya memancar terik ke bumi, seperti hendak
membakar seluruh makhluk yang ada.
Hanya sekali lesat saja, tubuh pemuda berpakaian ungu itu
telah berada di hadapan lima sosok tubuh yang tergolek.
Perlahan-lahan tubuhnya dibungkukkan dan berjongkok
Kemudian diperhatikannya satu persatu sosok-sosok tubuh
yang membujur tak tentu arah. "Hhh...!"
Pemuda berambut putih keperakan itu menghela napas
berat Kepalanya digeleng-gelengkan ketika melihat keadaan
mereka.
Lima sosok tubuh itu terdiri dari tiga orang pemuda
berpakaian biru, yang di dada kirinya terdapat gambar
sebatang pedang yang disulam dari benang perak. Sedangkan
dua orang lagi adalah kakek dan nenek yang telah tewas.
Sekujur tubuh mereka penuh luka luka lecutan.
Pemuda berpakaian ungu itu memeriksa tubuh tubuh yang
tergolek satu persatu. Beberapa kali kepalanya menggeleng
setiap kali menyadari kalau orang yang diperiksa telah tewas.
Tapi pada saat memeriksa sosok tubuh yang berpakaian
biru, wajah pemuda berambut putih keperakan ini berseri. Ada
denyut halus di pergelangan tangan pemuda berkulit putih itu.
Ternyata dia masih hidup.
Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau nyawa
pemuda berkulit putih ini tidak bisa diselamatkan lagi.
Memang, luka pada dadanya terlampau parah. Tapi melihat
kenyataan kalau pemuda yang tergolek ini masih hidup,
betapa gembiranya hati pemuda berambut putih keperakan
itu. Hal ini setidak-tidaknya bisa diketahui dari mulutnya yang
bergerak-gerak sedikit.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut
putih keperakan itu menotok beberapa bagian tubuh sosok
yang tergolek ini.
"Katakan, siapa yang telah melakukan semua ini?" tanya
pemuda berpakaian ungu itu, tergesa-gesa. Dia tahu, kalau
tidak cepat-cepat, nyawa pemuda berpakaian biru itu telah
lebih dulu melayang meninggalkan raganya.
"B.... Bi.,., Bidadari Sabuk Emas...," jawab murid
Perkumpulan Pedang Perak itu terputus-putus.
"Ha.... Bidadari Sabuk Emas...," ulang pemuda berambut
putih keperakan itu seraya mengernyitkan dahi. Memang, dia
belum pernah mendengar julukan Itu, karena baru pertama
kali tiba di daerah ini.
"Kami.... Diutus ketua kami dari Perkumpulan Pedang Perak
untuk mencari pencuri kitab pusaka perkumpulan kami....
Kitab itu berisi ilmu yang terlarang untuk dipelajari. Ilmu
Tangan Racun Pasir Merah... Dan..., ah...!"
Sebelum berhasil menyelesaikan ucapannya, kepala murid
Perkumpulan Pedang Perak itu telah lebih dulu terkulai.
Nyawanya telah melayang meninggalkan raganya.'
"Hhh...!"
Seraya menghembuskan napas berat, pemuda berambut
putih keperakan itu bangkit berdiri. Kini masalah Itu telah
sedikit dimengerti. Rupanya ketiga orang gagah itu diutus
gurunya untuk mencari pencuri kitab pusaka perkumpulan
mereka. Tapi, mereka semua tewas di tangan Bidadari Sabuk
Emas.
"Hm.... Tokoh itukah yang mencurinya?" tanyanya dalam
hari.
'Pembunuh keparat! Rasakan pembalasanku...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring diiringi suara desing
tajam yang menyakitkan telinga. Seketika pemuda berpakaian
ungu itu menghentikan jalan pikirannya. Apalagi tatkala terasa
ada desir angin tajam yang meluruk cepat ke arahnya.
Suaranya mendecit, seperti ada puluhan ekor tikus mencicit
Buru-buru pemuda berambut putih keperakan ini
melakukan lompatan harimau. Tubuhnya melambung ke
depan setinggi setengah tombak, lalu mendarat di tanah
bertumpu dengan kedua tangannya. Sesaat kemudian,
tubuhnya bergulingan di tanah beberapa kati, lalu berdiri
tegak menghadap orang yang membokongnya.
Pemuda berpakaian ungu itu menatap ke arah seorang
gadis berwajah cantik jelita dan berpakaian biru. Matanya
merayapi tiga sosok mayat murid Perkumpulan Pedang Perak
Raut wajah maupun sinar matanya menyiratkan kemarahan
hebat.
Begitu melihat pakaian gadis itu, pemuda berambut putih
keperakan ini jadi cemas juga. Hatinya khawatir kalau gadis
itu adalah rekan tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak
yang tewas. Dan menilik dari makian yang tadi sempat
didengarnya, bisa diterka kalau gadis itu menuduhnya sebagai
pelaku pembantaian ini.
Kekhawatiran pemuda berambut putih keperakan itu
ternyata terbukti. Setelah memperhatikan mayat-mayat itu
beberapa saat lamanya, perhatian gadis berpakaian biru ini
beralih ke arah pemuda berpakaian ungu. Dan memang, pada
dada sebelah kiri pakaiannya terdapat gambar sebatang
pedang yang disulam dari benang perak. Jelas, gadis ini
adalah kawan tiga mayat pemuda itu.
Diam-diam, pemuda berpakaian ungu ini harus mengakui
kalau wajah gadis berpakaian biru itu amat cantik laksana
bidadari. Rambutnya yang hitam, halus, dan dikepang dua
semakin memperjelas kecantikannya. Meskipun tengah marah,
kecantikannya sama kali tidak berkurang. Bahkan justru lebih
terlihat menarik.
Kulit wajahnya nampak memerah seperti tomat masak.
Sementara, sepasang matanya yang bersinar-sinar, tampak
semakin nyata keindahannya sewaktu melotot.
"Jangan harap bisa lolos dari tanganku, Pembunuh Keji...!"
desis gadis berambut kepang itu tajam. Ada ancaman maut
yang tersembunyi di dalam ucapannya.
Setelah berkata demikian, gadis itu langsung melompat
menerjang. Pedang di tangannya menusuk cepat ke arah
leher. Suara mengaung keras terdengar seiring tibanya
serangan. Jelas, serangan itu mengandung pengerahan
tenaga dalam kuat.
Pemuda berambut putih keperakan itu seketika terperanjat.
Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam gadis itu demikian
kuat. Suara mengaung keras yang mengiringi serangan
pedang itulah yang membuktikannya.
Meskipun begitu, pemuda berpakaian ungu ini bersikap
tenang. Walaupan agak bergegas, buru-buru kaki kirinya
melangkah ke samping kiri seraya mendoyongkan tubuh
sehingga tusukan pedang itu hanya mengenai tempat kosong,
lewat sekitar setengah Jeng kal di sebelah kanan lehernya.
Luar biasa. Hampir pemuda berambut putih keperakan ini
tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Begitu serangan
berhasil dielakkan, pedang gadis berpakaian biru itu melingkar
melewati atas kepalanya. Kemudian, dari samping kanan
membabat cepat ke arah leher.
Pemuda berpakaian ungu itu tidak punya pilihan lain lagi.
Segera kedua, kakinya dijejakkan ke tanah, sesaat kemudian
melempar tubuhnya ke belakang.
Wunggg...!
Suara mengaung keras terdengar begitu babatan pedang
lewat di bawah kaki pemuda berambut putih keperakan itu.
Sebenarnya bukan hanya pemuda berambut putih
keperakan itu saja yang terkejut melihat kehebatan lawan.
Gadis berpakaian biru ini pun begitu terperanjat melihat
serangannya bisa dihindari pemuda di hadapannya. Padahal,
datangnya serangan begitu tiba-tiba. Lagi pula, lawan tengah
dalam keadaan tidak menguntungkan. Dari sini saja, dia sudah
bisa memperkirakan kalau lawannya bukan orang
sembarangan.
Tapi gadis berpakaian biru ini tidak membiarkan benaknya
dipenuhi pikiran itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi
tubuhnya segera melompat mengejar pemuda berambut putih
keperakan yang masih berada di udara. Pedang di tangannya
meluncur deras mengeluarkan suara mengaung keras.
Pemuda berpakaian ungu itu terkejut bukan main.
Serangan susulan yang dilakuan lawan datang begitu tiba-tiba.
Tidak ada lagi kesmpatan baginya untuk mengelak. Apalagi
tubuhnya tengah berada di udara. Segera dijumput guci
araknya yang tersampir di punggung, kemudian disorongkan
ke arah pedang yang tengah meluncur deras ke dada.
Klanggg...!
Suara berdentang nyaris terdengar begitu kedua benda
yang berbeda jenis itu berbenturan. "Hup...!"
Gadis berpakaian biru mendaratkan kedua kakinya di tanah.
Sekujur tanganya yang menggenggam pedang terasa bergetar
hebat hampir lumpuh. Jelas, tenaga dalam lawan masih di
atasnya.
"Nisanak...! Tunggu sebentar...! Kau salah paham....Aku
Arya Buana. Aku sama sekali tidak tahu-menahu dengan
pembunuhan ini!" cegah pemuda berambut putih keperakan
yang memang tidak lain Arya Buana alias Dewa Arak, begitu
kedua kakinya mendarat di tanah. Tangan kanannya pun
langsung dijulurkan ke depan.
"Tidak usah berbasa-basi, Pengecut! Aku, Ranti. Bukan
termasuk orang yang suka berbasa-basi.' Bersiaplah menerima
pembalasanku!"
Setelah berkata demilan, gadis berpakaian biru yang
ternyata bernama Ranti kembali menyerang. Mau tak mau,
Arya meladeninya. Tentu saja Dewa Arak tidak sudi mati
secara sia-sia. Menghadapi orang selihai Ranti tanpa
melakukan perlawanan, adalah suatu perbuatan bodoh. Bukan
tidak mungkin dirinya akan tewas di tangan lawannya ini.
Maka tanpa ragu-ragu lagi, guci araknya segera dituang ke
dalam mulurnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika cairan arak melewati
tenggorokannya. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut
putih keperakan itu mulai limbung ketika hawa hangat yang
semula merayapi perut naik ke atas kepalanya. Arya kini
sudah siap menggunakan ilmu andalannya, ilmu 'Belalang
Sakti'.
Pertarungan tidak bisa dihindari lagi. Kemarahan gadis
berpakaian biru itu rupanya memang sudah tidak bisa dicegah
lagi. Diserangnya Dewa Arak selalu dengan bertubi-tubi ke
bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Diam-diam Arya merasa kagum melihat kepandaian yang
dimiliki gadis berambut kepang ini. Serangan-serangan
pedangnya datang susul-menyusul laksana gelombang laut.
Suara mengaung keras mengiringi setiap kibasan pedang itu.
Jelas kalau Ranti memiliki ilmu pedang yang patut
diperhitungkan.
Tapi yang dihadapinya kali ini adalah Dewa Arak. Seorang
tokoh yang walaupun masih muda, tapi mengukir nama besar
dalam rimba persilatan. Dengan jurus 'Delapan Langkah
Belalang' yang aneh, pemuda berambut putih keperakan itu
tidak mengalami kesulitan untuk menghindari setiap serangan
yang dilancarkan Ranti.
Ranti menggertakkan gigi tatkala mengetahui semua
serangannya mudah sekali dielakkan lawan. Bahkan dengan
gerakan aneh, yang lebih mirip orang mabuk.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan memang, kedua orang
yang bertarung itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang
tinggi. Tak terasa, empat puluh jurus telah berlalu. Tapi
sampai sekian lamanya, tetap saja Ranti tidak mampu
mendesak Dewa Arak. Padahal, seluruh kemampuan yang
dimilikinya telah dikerahkan.
Hal ini membuat Ranti geram bukan kepalang. Padahal di
Perkumpulan Pedang Perak, dialah satu-satunya murid yang
kepandaiannya telah mencapai tingkat tertinggi. Bahkan hanya
berada sedikit di bawah sang Ketua sendiri.
Kini kepandaian yang telah dilatihnya secara susah payah,
sama sekali tidak berarti ketika menghadapi pemuda berambut
putih keperakan ini. Lalu, bagaimana bila bertemu tokoh-tokoh
dunia persilatan?
Yang lebih menyakitkan hati Ranti, ternyata lawannya sama
sekali belum balas menyerang. Selama lebih dari empat puluh
jurus menyerang, lawan hanya mengelak saja. Tak sekali pun
pemuda berambut putih keperakan itu melancarkan serangan
balasan. Jelas, Dewa Arak tidak bersungguh-sungguh
menghadapinya. Dan bagi Ranti, ini berarti kepandaian yang
dimilikinya sama sekali tidak dianggap.
Pikiran seperti itu membuat Ranti menyerang lebih gencar
lagi. Sama sekali gadis ini tidak tahu kalau Arya bukan
menganggap rendah kepandaiannya. Tapi, Dewa Arak tidak
ingin keadaan jadi semakin bertambah buruk, bila melakukan
serangan balasan.
Maka Arya menggunakan keanehan jurus 'Delapan Langkah
Belalang' untuk melakukan perlawanan tanpa balas
menyerang. Dengan keistimewaan jurusnya, tidak sulit
baginya untuk mengelakkan setiap serangan yang datang
bertubi-tubi.
Beberapa kali sewaktu Ranti menyerang, Arya menuangkan
arak ke mulutnya. Dan itu memang me rupakan salah satu
gerakan dalam ilmu 'Belalang Sakti'. Tapi gadis berambut
kepang itu tidak menganggapnya demikian. Dewa Arak
berbuat seperti itu dikira untuk menunjukkan keunggulannya.
Dan sebagai akibatnya, serangan Ranti semakin menggebu-
gebu.
Suara mengaung keras dan mencicit menyakitkan telinga,
diselingi tegukan ketika Arya menenggak araknya,
menyemaraki jalannya pertarungan.
Puluhan jurus telah kembali berlalu. Hingga kini,
pertarungan tengah berlangsung hampir seratus jurus. Dan
selama itu Ranti tetap saja belum mampu mendesak Dewa
Arak.
Kesabaran Arya akhirnya habis juga. Sungguh tidak
disangka kalau Ranti akan begitu keras kepala. Maka terpaksa
Dewa Arak memutuskan untuk menundukkannya dengan
kekerasan.
Setelah memutuskan demikian, Dewa Arak mulai
menggunakan jurus 'Belalang Mabuk'. Dan kini otot-otot
tubuhnya mengejang, serta melemas secara mendadak.
Sementara Ranti menggertakkan giginya. Begitu Dewa Arak
mulai menyerang, baru dirasakan kehebatannya. Serangan-
serangan Arya yang dilakukan dengan gerakan-gerakan aneh
itu membuat Ranti bingung.
Tapi meskipun terlihat aneh, Ranti merasakan beratnya
tekanan setiap serangan Arya. Tak sampai dua puluh jurus
saja, gadis itu sudah terdesak hebat. Memang, dia belum
berpengalaman menghadapi berbagai jenis ilmu silat. Maka
menghadapi ilmu semacam yang dimiliki Dewa Arak, jelas jadi
kebingungan.
Tambahan lagi, Dewa Arak telah cukup mengetahui
perkembangan ilmu lawannya. Maka, bukanlah suatu hal yang
sulit untuk menekan lawan. Gerakan-gerakan tangan yang
meliuk-liuk aneh, ditambah serangan guci membuat Ranti
pusing. Belum lagi semburah-semburan arak yang keluar dari
mulut Arya. Itu semua membuat Ranti kewalahan bukan main.
Kini serangan pedang Ranti tidak lagi menggebu-gebu
seperti semula. Ganti Dewa Arak yang melakukan desakan-
desakan. Ranti kini lebih banyak mengelak, ketimbang
menyerang. Bahkan menangkis pun hampir tidak
dilakukannya. Karena setiap kali berbenturan, tangannya
selalu kesemutan hebat.
Menjelang jurus keempat puluh, gadis berambut kepang ini
sudah pontang-panting ke sana kemari untuk mengelakkan
serangan Arya. Sudah bisa diperkirakan kalau robohnya gadis
ini hanya tinggal menunggu saat saja.
Pada jurus keempat puluh tiga, saat naas Ranti pun tiba.
Sebuah totokan jari tangan Dewa Arak tak mampu dielakkan
lagi. Tak pelak lagi, tubuh gadis itu roboh ke tanah. Lemas
tanpa tenaga. "Hhh...!"
Dewa Arak menghembuskan napas lega ketika lawannya
yang keras kepala itu berhasil dilumpuhkan Perlahan-lahan
tubuhnya dibungkukkan, lalu berjongkok.
"Mau apa kau?!" tanya Ranti. Suaranya jelas menunjukkan
rasa takut yang hebat. Bahkan wajahnya yang cantik jelita itu
terlihat tegang.
Namun, Arya sama sekali tidak menyambutnya. Pemuda
berambut putih keperakan itu hanya terse nyum lebar.
"Kalau berani bertindak macam-macam, kubunuh kau...!"
ancam Ranti, di tengah-tengah ketidakberdayaannya. Namun
ucapan maupun raut wajahnya menyiratkan kesungguhan
hati.
Merah wajah Dewa Arak mendengar ucapan itu. Meskipun
gadis berambut kepang ini baru mengatakannya sampai di
situ, tapi sudah bisa ditangkap maksudnya. Ranti mengira,
lawannya akan bertindak tidak senonoh.
"Lebih baik jaga mulutmu, Nisanak!" sentak Arya
Ucapan dan juga nada suara Dewa Arak menyiratkan kalau
dia merasa tersinggung atas ucapan Ranti. Dan itu memang
tidak salah. Dewa Arak memang sangat tersinggung bila
dituduh melakukan tindakan kotor. Apakah orang seperti
dirinya mirip penjahat pemerkosa wanita?!Keterlaluan sekali
gadis berpakaian biru ini! Mulutnya terlalu keji!
Ranti terdiam begitu mendengar sentakan keras Arya.
Gadis itu bukan orang bodoh. Maka dia bisa tahu, pemuda
berambut putih keperakan yang mempunyai kepandaian luar
biasa ini merasa tersinggung.
"Perlu kau ketahui, aku bukan orang yang berwatak rendah
seperti dugaanmu, Nisanak," jelas Arya penuh ketegasan.
"Aku bukan pembunuh lima orang Itu!"
Ranti tersentak mendengar ucapan Arya Benarkah pemuda
berambut putih keperakan ini bukan pembunuh ketiga orang
rekannya?
"Sayang, aku tidak tahu siapa pembunuh mereka," keluh
Dewa Arak. "Sewaktu aku tiba, mereka semuanya telah
bergeletakan. Tapi begitu kuperiksa, ternyata ada salah
seorang di antara mereka yang belum tewas. Untungnya dia
sempat memberitahuku lebih dahulu, siapa orang yang telah
melakukan semua ini."
Wajah Ranti berubah begitu mendengar penegasan Dewa
Arak.
"Siapa orang yang telah melakukannya...?" tanya Ranti,
mulai lembut suaranya.
Kini gadis itu mulai meragu kalau pelaku pembunuhan Itu
adalah Dewa Arak. Meskipun begitu, tetap saja perasaan
curiga masih berkecamuk dalam hatinya. Dia masih belum
percaya sepenuhnya terhadap pemuda di depannya.
"Kalau tidak salah..., pelaku pembunuhan itu adalah
Bidadari Sabuk Emas...." "Bidadari Sabuk Emas...?!" "Benar,"
Dewa Arak menganggukkan kepala "Itulah julukan yang
kudengar dari mulut orang yang tadi masih hidup!" jelas Dewa
Arak sambil menudingkan telunjuk tangan kanannya ke arah
murid Perkumpulan Pedang Perak yang berkulit putih.
"Pantas saja, setelah kitab itu dicuri, Bidadari Sabuk Emas
juga menyatroni perkumpulan kami. Rupanya, dia juga
berminat pada kitab itu. Dan begitu tahu kalau kitab itu telah
dicuri, dia pun membunuhi murid-murid Perkumpulan Pedang
Perak," jelas Ranti.
Dugaan Ranti sebenarnya ada benarnya. Sewaktu Bidadari
Sabuk Emas membunuh kakek dan nenek penduduk Desa
Rangkong, kebetulan memang ada tiga orang murid
Perkumpulan Pedang Perak. Dan alasan membunuh suami istri
lanjut usia itu, sebenarnya hanya kekesalan Bidadari Sabuk
Emas, karena Kitab Tangan Racun Pasir Merah telah dicuri.
Kekesalan itu kemudian dilampiaskan pada penduduk tak
berdosa. Melihat pembantaian itu, maka tentu saja tiga orang
murid Perkumpulan Pedang Perak tidak membiarkan begitu
saja. Namun akhirnya, mereka harus rela mengorbankan
nyawa.
"Kalau kau benar bukan orang jahat.., cepat bebaskan
totokanmu...," pinta Ranti dengan wajah merah padam karena
malu. Dewa Arak tersenyum lebar.
"Aku berjanji akan memunahkan tatokan itu, dengan
syarat..."
"Apa syaratnya?" selak Ranti dengan perasaan geram
ditahan.
Perasaan curiga kembali muncul di hati gadis itu. Dan
sudah bersiap-siap mengucapkan makian, apabila pemuda
berambut putih keperakan itu mengajukan syarat yang kurang
ajar.
"Kau tidak lagi menyerang membabi buta seperti tadi,"
jawab Arya kalem.
Plong...!
Lega hati gadis berambut kepang itu mendengar jawaban
Dewa Arak. Diam-diam, Ranti memaki dirinya sendiri.
Mengapa dia terlalu menyangka buruk terhadap pemuda
berambut putih keperakan itu? Apakah karena rambutnya
yang mengerikan? Mendapat dugaan seperti itu, membuat
Ranti berpikir. Apa yang menyebabkan rambut pemuda di
hadapannya ini jadi seperti itu? Kalau karena pengalaman,
bisa dibayangkan betapa mengerikannya pengalaman itu.
Ataukah karena pukulan batin yang hebat sehingga membuat
rambutnya jadi berwarna seperti itu? Berbagai macam
pertanyaan terus bergayut di dalam hati Ranti.
"Bagaimana, Ranti?" tanya Arya begitu gadis itu malah
terdiam, jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Atau, tengah
mempertimbangkan syarat yang diajukannya?
"Nggg..., baik! Aku bersedia!" jawab Ranti agak terbata-
bata.
Dalam hati, Ranti memaki dirinya sendiri. Mengapa dirinya
begitu bodoh, sehingga sampai melamun di depan Dewa
Arak? Dan karena sibuk memaki dirinya sendiri, Ranti sampai
tidak memperhatikan kalau Arya telah memanggilnya dengan
namanya.
"Betul?" tanya Arya lagi memastikan.
Pemuda berambut putih keperakan itu memang kurang
percaya atas jawaban yang diberikan Ranti, Apalagi gadis
berpakaian biru itu sepertinya ragu-ragu menjawabnya.
Kontan wajah gadis berambut kepang itu memerah.
"Kau kira, aku orang macam apa? Aku bukan orang yang
suka menjilat ludah sendiri!" tegas Ranti.
Dewa Arak terperanjat mendengar ucapan berapi- api gadis
itu. Sungguh tidak disangka kalau Ranti memiliki sifat yang
demikian keras. Mirip Melati, kekasihnya. Lalu, di manakah
Melati kini? Teringat akan Melati, rindu Dewa Arak kembali
menyeruak.
"Maaf...! Maaf...!" sahut Arya buru-buru. "Bukannya aku
tidak percaya. Tapi, aku tidak ingin mandi keringat apabila kau
nanti mengamuk lagi."
Mau tak mau, Ranti merasa geli mendengar ucapan Arya.
Tapi dengan sekuat tenaga, perasaan geli itu ditahannya.
Sehingga pada wajahnya yang cantik, sama sekali tidak
tampak tersirat perasaan apa-apa.
Sehabis berkata demikian, Dewa Arak segera mengulurkan
tangan dan bergerak menepuk. Seketika
Ranti telah bebas dari pengaruh totokan.
Gadis berpakaian biru itu segera bangkit berdiri. Kini rasa
percayanya semakin besar, bahwa Dewa Arak bukan pelaku
pembunuhan terhadap ketiga orang murid Perkumpulan
Pedang Perak. Jelas, kalau pemuda itu tidak bermaksud jahat
padanya. Kini dia mengerti, mengapa sampai puluhan jurus
lamanya pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali
tidak melawannya.
Meskipun begitu, Ranti tetap tidak meninggalkan
kewaspadaannya. Kecurigaannya pada Dewa Arak masih
terselip di hatinya.
"Kalau boleh tahu, apa hubunganmu dengan ketiga orang
itu?" tanya Arya sambil menudingkan telunjuk kanannya ke
arah tubuh tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak yang
tergeletak tanpa nyawa di tanah.
"Mereka adalah tiga orang saudara seperguruanku," jawab
Ranti, sendu. Sebenarnya dia merasa terpukul melihat
tewasnya ketiga rekannya itu.
"Sukar kubayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu yang
dimiliki Bidadari Sabuk Emas yang telah mampu membunuh
ketiga orang saudara seperguruanmu itu. Padahal,
mengalahkanmu saja aku sudah susah payah," kata Dewa
Arak setelah sekian lamanya tercenung.
"Kepandaian mereka tidak setinggi kepandaianku' jawab
Ranti cepat. "Hm...," hanya gumaman perlahan Arya yang
menyambut ucapan gadis berpakaian biru itu.
"Sejak masih kecil, aku dididik langsung olah guruku.
Bahkan diperbolehkan mempelajari kitab-kitab yang ada di
perpustakaan. Sementara, mereka hanya dididik oleh murid
kepala perkumpulan kami. Kau tidak usah heran. Kepandaian
mereka bertiga, sekalipun digabung, masih belum menyamai
kepandaianku. Jadi, janganlah merasa bingung
membayangkan kepandaian Bidadari Sabuk Emas."
Arya menganggukkan kepala pertanda mengerti. Kini
pemuda berambut putih keperakan ini tahu, mengapa Bidadari
Sabuk Emas mampu membinasakan mereka semua.
"Apakah kau juga mempunyai tugas yang sama dengan
mereka?" tanya Arya lagi.
"Hm.... Maksudmu?" Ranti mengerutkan alisnya.
"Mencari kitab pusaka perkumpulan kalian yang dicuri
orang," jelas Dewa Arak.
"Dari mana kau tahu tentang hal itu?" tanya Ranti penuh
selidik.
Sikap Ranti mendadak tegang lagi. Perasaan curiganya
kembali timbul. Dia memang belum sepenuhnya percaya
terhadap Arya. Maka begitu mendengar ucapan yang
mengetahui tugas yang diberikan gurunya, dia kembali merasa
curiga. Masalahnya, peristiwa pencurian kitab pusaka itu
memang amat dirahasiakan. Di Perkumpulan Pedang Perak
sendiri, tidak semua murid perkumpulan mengetahuinya. Jadi,
wajar saja kalau Ranti merasa curiga tatkala pemuda di
hadapannya ini tahu tentang tugasnya.
"Kau tidak usah bersikap setegang itu, Ranti," sergah Arya
sambil tersenyum lebar. Kembali dipanggilnya gadis
berpakaian biru itu dengan namanya. "Aku mengetahui dari
mulut temanmu sebelum dia tewas."
Mendengar jawaban itu, seluruh urat-urat tubuh Ranti yang
tadi mengejang, kembali mengendur.
"Apa saja yang dikatakannya padamu?" tanya Ranti lagi,
ingin tahu. Dia masih belum mau memanggil Dewa Arak
dengan namanya saja. "Hanya dua masalah itu saja." Gadis
berambut kepang itu mengangguk-anggukkan kepalanya
Sementara suasana menjadi hening sejenak begitu Dewa Arak
menghentikan ucapannya. Apalagi, .Ranti juga tidak
melanjutkan pertanyaannya. Kini kedua orang itu sama-sama
berdiam diri. Masing-masing tenggelam dalam lamunannya
sendiri-sendiri.
ENAM
Mendadak Arya dan Ranti menolehkan kepala ke satu arah.
Dan memang terdengar suara banyak langkah kaki yang
menuju ke tempat mereka. Mendengar langkah-langkah yang
berat, jelas kalau mereka sama sekali tidak memiliki ilmu
meringankan tubuh.
Benar saja. Di kejauhan, dalam jarak lebih dari dua puluh
tombak dari tempat Dewa Arak dan Ranti berdiri, nampak
berjalan puluhan, bahkan mungkin seratus orang. Menilik dari
pakaian yang dikenakan, nampaknya mereka adalah para
penduduk desa.
Arya dan Ranti saling pandang dengan sinar mata
memancarkan keheranan. Memang kedua orang itu merasa
heran, karena di bahu dan tangan para penduduk itu tidak
kosong. Mereka semua membawa barang-barang maupun
perbekalan. Bisa diperkirakan, rombongan orang itu hendak
pergi jauh. Ataukah hendak pindah?
Arya dan Ranti semakin heran ketika rombongan itu
menghentikan langkah. Sepasang mata puluhan orang itu
menatap ke arah mereka berdua tanpa berkedip. Jelas, kalau
keberadaan Arya dan Ranti di situlah yang membuat
rombongan itu menghentikan perjalanan.
Seperti diberi aba-aba, Dewa Arak dan Ranti melangkah
menghampiri rombongan yang berada dalam jarak sekitar
delapan tombak di depan mereka. Kedua muda-muda itu ingin
tahu, mengapa penduduk desa itu beramai-ramai melakukan
perjalanan, atau lebih tepatnya lagi ingin pindah. Apalagi
dalam rombongan itu terdapat anak kecil, wanita, dan orang-
orang lanjut usia. Bahkan ada yang tengah menggendong
bayinya.
Kecurigaan Dewa Arak dan Ranti semakin besar begitu
melihat tanggapan rombongan penduduk begitu dihampiri.
Beberapa orang yang masih muda dan gagah melangkah
maju. Sikap mereka jelas terlihat melindungi anggota
rombongan yang lain. Mereka berdiri di hadapan wanita, anak-
anak, dan orang-orang lanjut usia.
Srat, srat, srattt...!
Sinar-sinar terang berkilauan berkelebat ketika belasan
orang laki-laki muda dan gagah itu mencabut senjata masing-
masing. Jelas, kalau mereka telah siap bertempur.
Melihat sikap mereka, Arya dan Ranti jadi semakin heran.
Kalau tidak ada kejadian yang menimpa, tak mungkin mereka
akan bersikap seperti itu.
Arya bergegas memberi isyarat pada Ranti untuk
menghentikan langkah. Sekali lihat saja, sudah diketahuinya
kalau belasan orang itu telah kalap. Kalau mereka berdua
terus bergerak mendekat, tidak mustahil akan diserang.
Untungnya, Ranti bisa diatur. Gadis itu seketika
menghentikan langkahnya begitu pemuda berambut Putih
keperakan itu menghentikan langkahnya. Kini mereka berdiri
berhadapan dengan rombongan itu dalam jarak sekitar lima
tombak.
“Kisanak semua!" kata Arya disertai pengerahan tenaga
dalam sehingga terdengar sampai ke tempat jauh “Mengapa
kalian menghunus senjata? Kami berdua bukan orang jahat!"
Seorang laki-laki berkumis tebal dan berpakaian abu-abu,
dan berusia sekitar empat puluh lima tahun melangkah maju
beberapa langkah. Jelas, dia adalah pemimpin rombongan itu.
Dan memang, dia adalah kepala desa. Laki-laki berkumis tebal
itu tak lain adalah Ki Saketi, Kepala Desa Rangkong.
Sementara rombongan yang berada di belakangnya adalah
penduduk Desa Rangkong. Di antara mereka ada pula Eyang
Balunglaga. Ternyata dia ikut juga mengungsi. Memang kakek
ini hanya memiliki ilmu pengobatan dan ilmu meringankan
tubuh yang cukup tinggi. Sementara ilmu silat dan tenaga
dalam hanya dikuasai sekadarnya saja.
'Tidak usah berbasa-basi, anak muda," sambut Ki Saketi.
Datar dan dingin suaranya. "Kami bukan anak kecil yang
mudah dibodohi. Bukti mayat-mayat yang berada di belakang
kalian telah menunjukkan semuanya."
Sambil berkata demikian, laki-laki berpakaian abu-abu ini
menudingkan telunjuknya ke arah mayat murid-murid
Perkumpulan Pedang Perak dan sepasang suami istri yang
telah berusia lanjut.
Mendengar ucapan ini Arya terdiam. Disadari kalau
kenyataan yang terlihat, telah menyudutkan mereka berdua.
Sesaat lamanya dia tercenung bingung. Benaknya berputar
keras mencari bantahan untuk menolak tuduhan yang
dilontarkan Ki Saketi.
"Bagaimana, Anak Muda?" tanya Kepala Desa Rangkong
yang merasa telah menang. "Masih mau mungkir lagi?
Bicaralah semaumu. Tapi perlu kau ketahui, kami sama sekali
tidak akan terpengaruh. Semua ucapan yang keluar dari
mulutmu, tak ubahnya dengan angin busuk yang keluar dari
lubang pantatmu!"
Keras dan tajam sekali ucapan Ki Saketi sehingga wajah
Dewa Arak sampai merah padam karenanya.
Tapi walaupun kemarahan yang hebat melanda hatinya,
Arya berusaha menahan diri. Dia tahu, laki-laki berkumis tebal
ini salah paham. Dan kalau dihadapi dengan kemarahan pula,
keadaan jadi semakin berlarut-larut.
Pemuda berambut putih keperakan ini menarik napas
dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat untuk
menenangkan perasaannya yang mulai bergolak.
Berbeda dengan Arya, Ranti sama sekali tidak mampu
menahan kesabarannya mendengar ucapan itu. Meskipun
sebenarnya makian tadi ditujukan pada Dewa Arak, tapi tak
urung gadis ini jadi tersinggung juga. Karena, mau tak mau
hinaan itu tidak hanya ditujukan pada Arya, tapi juga padanya.
"Mulutmu kotor sekali, Tua Bangka...!" desis Ranti tajam.
Sepasang mata gadis itu menyorotkan ancaman. Terdengar
suara berkerotokan keras ketika seluruh tenaga dalam gadis
ini menyebar ke seluruh tubuh. Semua urat syaraf dan ototnya
pun mengejang keras "Sabar, Ranti...," bujuk Arya sambil
menoleh ke arah gadis berkepang itu. "Dalam menghadapi
setiap persoalan, jangan tempatkan perasaan di depan.
Tempatkanlah di belakang. Pikiran sehatlah yang harus
ditempatkan di depan. Hati boleh panas, tapi kepala mesti
dingin agar tetap dapat berpikir jernih. Tahu mana yang salah,
dan yang benar."
Bagai bara api yang disiram air es, amarah Ranti langsung
menguap. Apa yang dikatakan pemuda berambut putih
keperakan itu memang mengandung kebenaran yang tidak
dibantah lagi. Kontan percayanya pada Arya semakin menebal.
Seiring semakin menebalnya rasa percayanya pada pemuda
berambut putih keperakan itu, rasa curiganya pun semakin
menyusut. Dewa Arak benar-benar seorang pemuda yang
berpikiran seperti orang tua. Bijaksana, tidak hanya menuruti
hawa nafsu semata-mata. "Hmh...!"
Ki Saketi mendengus mendengar ucapan Arya. Memang,
dia juga mendengar ucapan yang ditujukan pada gadis itu.
Pemuda berpakaian ungu itu memang cukup keras bicaranya.
Tidak cukup hanya dengan dengusan dan raut wajah yang
mengejek, laki-laki berpakaian abu-abu ini terus menyambung
dengan ucapannya.
"Luar biasa...! Ada Iblis kotor yang mengucapkan kata-kata
seperti malaikat Lucu! Lucu sekali...!"
Amarah Ranti yang tadi sudah mulai surut, kembari bangkit
mendengar hinaan Ki Saketi. Aneh! Kini gadis itu tidak senang
mendengar Arya dihina! Pemuda berpakaian ungu itu
membiarkan saja orang menghinanya! Padahal, dengan
kepandaian yang dimiliki, hanya sekali kibas pasti nyawa
Kepala Desa Rangkong itu akan melayang ke alam baka. Tapi,
Arya tidak melakukannya! Bahkan Dewa Arak menelan
mentah-mentah saja semua hinaan itu.
Ternyata bukan hanya Ranti saja yang menjadi bangkit
amarahnya. Dewa Arak pun demikian pula. Ki Saketi sudah
terlalu menghinanya. Tapi meskipun begitu, dia masih
mencoba bersabar. Pasti ada alasan kuat sehingga membuat
laki-laki berkumis tebal itu bersikap demikian.
Lagi-lagi Arya menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat untuk meredakan amarah yang
menyesakkan dada.
Ranti tahu, Arya berbuat seperti itu untuk meredakan
amarahnya. Maka, dia pun ikut-ikutan bertindak serupa. Dan
memang setelah berkali-kali hal itu dilakukan, amarahnya
mulai turun kembali. Cara itu ternyata manjur juga! Apakah
amarah itu keluar bersama dengan keluarnya napas yang
dihembuskan, Ranti sama sekali tidak tahu.
Berbeda dengan sebelumnya, kini Ranti sama sekali tidak
berani bertindak lancang. Dia tahu, dirinya belum tentu bisa
menahan amarah. Maka diputuskan untuk menyerahkan saja
masalah itu pada Dewa Arak
"Kau boleh memakiku apa saja, Ki," kata Arya datar, tapi
dengan suara bergetar.
Dari sini saja sudah bisa diterka kalau Dewa Arak dilanda
amarah. Sehingga walaupun bisa menahannya, tapi tetap saja
tidak bisa mengatur suaranya. "Yang jelas, kami bukan pelaku
pembunuhan itu,"sambung Dewa Arak.
Arya menghentikan ucapannya sejenak, untuk meredakan
napasnya yang memburu. Ternyata dalam keadaan dikuasai
amarah, deru napasnya jadi seperti orang habis berlari jauh.
"Perlu kau ketahui, Ki," sambung Dewa Arak lagi, "Kami
sendiri tengah mencari pelaku pembunuhan ini, karena tiga di
antara lima orang itu adalah saudara seperguruan kami."
Meskipun ucapan Arya ada bohongnya, tapi Ranti sama
sekali tidak menyelak. Dia tahu, kalau ucapan itu Arya
mewakili dirinya pula. Maka pemuda berambut putih
keperakan itu terpaksa berbohong dengan mengatakan tiga
orang murid Perkumpulan Pedang Perak sebagai saudara
seperguruannya.
Hanya senyum mengejek dan pandang mata penuh
penghinaan yang menyambut ucapan Dewa Arak. Dan itu
tidak hanya dilakukan Ki Saketi saja, tapi semua penduduk
yang berada di belakangnya.
"Kalau kau masih tidak percaya, perhatikan saja pakaian
yang dikenakan sahabatku ini."
Sambil berkata demikian, Arya menudingkan telunjuknya ke
arah Ranti. Mau tak mau, Ki Saketi dan rombongan penduduk
Itu mengarahkan perhatian ke arah yang sama. Dan memang,
pakaian yang dikenakan gadis berambut kepang itu ternyata
sama dengan pakaian tiga orang yang tergolek di tanah.
"Apa susahnya memalsukan pakaian seperti itu, Iblis Keji?!"
Tirta ikut angkat suara.
"Kalau kami ingin membunuh kalian semua, sama
mudahnya dengan membuang ludah ke tanah!" Ranti yang
sudah memutuskan untuk tidak ikut campur, jadi tak tahan
juga.
"Mengapa kalian tidak lakukan?!" tantang Ki Saketi tak
kalah keras.
"Karena kami bukan pembunuhnya, Ki...!" sahut Arya,
cepat Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir, .Ranti
akan meluap amarahnya.
"Keparat..!" Ranti menggeram.
Dan begitu ucapannya selesai, kedua tangannya
dihentakkan ke samping.
Wuttt..!
Hembusan angin keras meluruk dari kedua tangan yang
dihentakkan itu, dan.... Blarrr...!
Suara keras terdengar begitu tanah yang terkena pukulan
jarak jauh itu terbongkar. Debu seketika mengepul tinggi ke
udara. Dan begitu kumpulan debu itu sirna, terbentuk sebuah
lubang yang cukup untuk mengubur mayat lima orang
sekaligus!
Semula Arya terkejut begitu melihat Ranti terlihat seperti
akan melakukan sesuatu, dan sudah bersiap-siap mencegah.
Tapi begitu dilihatnya sasaran yang dituju gadis berpakaian
biru itu, gerakannya cepat di tahan.
Ki Saketi dan seluruh rombongan penduduk Desa Rangkong
terbelalak melihat hal itu. Tanpa sadar, mereka semua
melangkah mundur dua tindak. Seketika ciut hati mereka
melihat hasil tindakan gadis berpakaian biru itu.
"Apakah tubuh kalian lebih keras daripada itu?!" ejek Ranti
keras. "Ketahuilah.... Hanya empat kali kulepaskan pukulan
seperti itu, kalian semua sudah tewas dengan tubuh hancur
lebur! Apalagi kawanku ini! Kepandaiannya jauh berada di
atasku! Mungkin hanya sekali hentakan tangan, kalian semua
sudah tewas dengan seluruh tubuh tercerai berai!"
Tidak terdengar lagi adanya sambutan dari mulut para
penduduk Desa Rangkong. Bahkan Ki Saketi pun kali ini tidak
mengucapkan separah kata pun. Laki-laki berpakaian abu-abu
ini memang terkejut bukan main melihat pertunjukan yang
terjadi di hadapannya.
"Apa yang dikatakan kawanku itu benar, Ki," sambung
Dewa Arak "Kalau kami ingin membunuh, sama mudahnya
dengan membuang ludah ke tanah. Tapi kami bukan orang
seperti itu. Justru kami tengah mencari orang yang telah
melakukan pembunuhan terhadap kawan kami. Percayalah, Ki.
Kami bukan orang jahat"
Kali ini tidak ada alasan bagi Ki Saketi untuk tidak percaya.
Telah terlihat bukti kehebatan gadis berpakaian biru. Ngeri
juga membayangkan, bagaimana seandainya pukulan itu
diarahkan pada mereka semua. Belum lagi kalau yang
melakukannya adalah pemuda berambut putih keperakan itu.
Bukankah gadis berambut kepang itu mengatakan kalau
kawannya memiliki kepandaian jauh di atasnya?
"Maafkan, kami telah salah menduga, Anak Muda," ucap
Kepala Desa Rangkong terbata-bata. "Maklum, kami telah
berkali-kali dilanda musibah. Sehingga, maklumlah kalau kami
mencurigai kalian berdua. Apalagi, kalian berada di antara
mayat-mayat itu!" Sambil berkata demikian, Ki Saketi
menudingkan telunjuk ke arah mayat-mayat yang tergolek di
belakang Dewa Arak dan Ranti. Tampak kalau tangan laki-laki
berkumis tebal itu menggigil, karena jelas tengah dilanda
perasaan ngeri yang amat sangat.
Meskipun merasa geli melihat hal itu, Dewa Arak mampu
menutupinya sehingga tidak tampak pada raut wajahnya. Raut
wajah pemuda berambut putih keperakan itu tetap tenang,
tidak tampak adanya gambaran perasaan apa pun.
Namun tidak demikian halnya dengan Ranti. Gadis
berpakaian biru itu merasa geli bukan main. Betapapun telah
diusahakan untuk tidak menampakkannya, tapi tetap saja
tidak mampu. Mulutnya yang berbentuk indah itu
mengembangkan senyum. Itulah sebabnya kepalanya
ditundukkan sehingga senyuman itu tidak terlihat.
"Kalau boleh kami tahu, apa yang terjadi di desamu, Ki?
Dan mengapa kalian semua pergi berbondong-bondong
begini? Apakah kalian semua hendak mengungsi?” tanya Arya
sambil mengedarkan pandangan ke arah rombongan
penduduk yang berdiri belakang Ki Saketi.
“Hhh …”
Laki-laki berpakaian abu-abu itu tidak langsung menjawab
pertanyaan Arya. Ki Saketi lebih dulu menghela napas berat,
seperti hendak membuang masalah yang memberatkan
dadanya.
“Desa kami telah dilanda musibah, Anak Muda’ tutur Kepala
Desa Rangkong itu pelan. Kemudian secara gamblang
diceritakannya pada Dewa Arak, akan apa yang terjadi di
desanya.
Arya mendengarkannya penuh perhatian. Sama sekali
cerita Kepala Desa Rangkong Itu tidak diselaknya. Beberapa
kali dahinya berkernyit begitu mendengar cerita demi cerita
yang keluar dan mulut Ki Saketi.
“Begitulah ceritanya, Anak Muda,” kata Iaki-laki berpakaian
abu-abu ini menutup ceritanya. “Sehingga, mau tak mau kami
terpaksa mengungsi kalau tidak ingin mati konyol. Padahal,
sebenarya kami merasa berat hati untuk meninggalkan tempat
tinggal kami.”
“Bisa kau ceritakan, bagaimana keadaan tubuh penduduk
yang keracunan air sungai itu, Ki?” Ranti yang diam-diam
mendengarkan cerita Ki Saketi buru-buru bertanya. Nada
suaranya terdengar tegang, setegang raut wajahnya.
Ki Saketi mengernyitkan alisnya mendengar nada tegang,
baik dalam suara maupun raut wajah gadis berpakaian biru
itu. Memang Kepala Desa Rangkong itu merasa heran juga.
Semula, Arya pun merasa heran ketika Ranti menanyakan
hal itu. Tapi ketika teringat kalau gadis berpakaian biru ini
tengah mencari jejak orang yang telah membawa Iari kitab
pusaka perkumpulannya dia tidak merasa heran lagi. Bahkan
jadi ikut mendengarkan jawaban yang akan diberikan Ki
Saketi.
“Sekujur kulit mereka memerah, seperti udang rebus.
Merah dan hancur seperti membusuk. Dan lagi, sepertinya
racun itu gatal bukan main. Karena kulihat sebelum tewas,
tangan mereka semua sibuk mencakar sekujr kulit”
“Ilmu ‘Tangan Racun Pasir Merah’,..,” desis Ranti tajam.
“Kau tidak keliru, Ranti?” desak Dewa Arak
“Tidak” sahut gadis berambut kepang itu yakin. “Memang
begitu akibat yang ditimbulkannya.”
“Kalau begitu, kita harus cepat ke sana, Ranti..!” ajak Dewa
Arak memutuskan. “Sebelum malapetaka ini menjalar ke desa-
desa sekitar.”
“Kau benar, Arya.”
Untuk pertama kalinya, gadis berpakaian biru ini memanggil
nama pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi karena
perasaan tegang yang melanda, baik Dewa Arak maupun
Ranti sama sekali tidak memperhatikan perubahan panggilan
itu.
“Ki! Kami akan pergi untuk mencari mereka. Tolong
kuburkan mayat-mayat itu...!"
Tanpa menunggu jawaban Kepala Desa Rangkong, Dewa
Arak dan Ranti melesat meninggalkan tempat itu. Tujuan
mereka sudah jelas. Hutan Rankong.
Dewa Arak dan Ranti berlari cepat mengerahkan Ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki untuk tiba di Hutan
Rangkong secepatnya.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai
tingkat tinggi, Dewa Arak tidak begitu kesulitan mengimbangi
lari Ranti. Bahkan kalau mau, akan mampu melewatinya.
Dalam waktu tak lama, Hutan Rangkong kini telah tampak di
depan mata.
Tanpa mengurangi kecepatan sedikit pun, Arya dan Ranti
terus berlari. Dan sesaat kemudian, mereka telah memasuki
mulut Hutan Rangkong.
Sesampainya di sini, Dewa Arak dan Ranti menghentikan
larinya. Mereka lalu melangkah perlahan-lahan seraya
mengedarkan pandang ke sekeliling. Sekujur otot dan urat
syaraf di tubuh sepasang muda-mudi itu menegang waspada,
bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Selangkah demi selangkah Dewa Arak dan Ranti semakin
jauh masuk ke dalam hutan. Dan selama itu, tidak tampak
adanya sesuatu yang mencurigakan. Padahal, telah tak
terhitung lagi semak-semak dan pepohonan yang disibak
dalam usaha menemukan tokoh yang telah menimbulkan
kekacauan itu.
"Kau dengar suara itu, Ranti?" tanya Dewa Arak ketika
samar-samar telinganya menangkap adanya suara.
Ranti menggelengkan kepala. "Apakah kau
mendengarnya?"
Arya mengangguk
"Arahnya dari sebelah sana...!" sahut Dewa Arak sambil
menudingkan telunjuknya ke arah Timur.
"Kalau begitu, mari kita ke sana..!" Ranti menanggapi
penuh semangat.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya dan gadis
berambut kepang itu melangkah cepat ke arah Timur.
"Kau benar, Arya...!" kata Ranti tiba-tiba.
"Kau juga mendengar suara itu, Ranti?"
"Ya. Sekarang aku mendengarnya," jawab gadis berpakaian
biru itu seraya mempercepat langkahnya
Semakin lama, suara yang terdengar semakin jelas.
"Suara itu berasal dari balik semak-semak itu. Kang Arya."
Tanpa sadar, lagi-lagi Ranti merubah panggilannya. Dan
seperti juga sebelumnya, Dewa Arak sama sekali tidak
menyadarinya.
Dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara, Arya dan
Ranti menghampiri kerimbunan semak-semak Masih bersikap
hati-hati pula. Dewa Arak menyibaknya. Lalu bersama-sama,
sepasang muda-mudi itu mengintai dari kerimbunan semak
semak yang dikuak Arya. Begitu dekatnya wajah-wajah
mereka, sampai-sampai kedua pipi sepasang muda-mudi itu
hampir bersentuhan.
Dada Arya seketika berdebar keras. Hidungnya mencium
adanya bau harum yang menebar dari tubuh gadis berpakaian
biru itu. Seketika itu juga wajahnya memerah. Terus terang,
ada keinginan yang mendorongnya untuk memeluk tubuh
Ranti. Dan itu wajar saja, karena Arya adalah seorang pemuda
yang masih berdarah panas.
Perasaan yang bergolak akibat pipinya bersentuhan dengan
pipi gadis berambut kepang itu membuat pikiran Arya buntu.
Hampir-hampir pembicaraan dua sosok tubuh di balik semak-
semak yang tengah berdiri berhadapan dalam jarak sekitar
dua tombak tidak bisa ditangkapnya.
"Sekarang, jangan harap kau akan bisa mengalahkanku
lagi, Bidadari Sabuk Emas...!" teriak seorang laki-laki bertubuh
tinggi besar berpakaian serba hitam dan bercambang bauk
lebat. Sebuah topi berbentuk setengah tempurung kelapa
bertengger di alas kepalanya.
Arya dan Ranti yang mendengar julukan yang disebut
kakek tinggi besar itu merasa geli bercampur heran. Mengapa
orang setua nenek itu berjuluk bidadari? Sama sekali
keduanya tidak tahu kalau julukan itu didapat waktu nenek itu
masih muda dan cantik jelita.
"Ha ha ha...! Jangan besar kepala karena telah berhasil
mempelajari ilmu curian itu, Raja Iblis Baju Hitam!" sambut
nenek berpakaian merah muda dan berambut panjang yang
memang Bidadari Sebuk Emas. "Akan kubuktikan kalau dalam
pertemuan kali ini, akulah yang akan memenangkan
pertarungan. Dan, kau terpaksa harus berlatih keras lagi."
"Akan kau lihat sendiri buktinya, Bidadari Sabuk Emas! Kita
buktikan, siapa di antara kita yang patut bergelar datuk!"
Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu sudah
siap untuk bergebrak Tapi....
"Tunggu dulu, Raja Iblis!" Bidadari Sabuk Emas
menjulurkan kedua tangannya ke depan. "Aku mendengar ada
suara aneh. Jangan-jangan, ada orang yang tengah mengintai
kita."
Raja Iblis Baju Hitam pun menghentikan gerakannya.
Kepalanya pun ditolehkan ke arah yang sama dengan
pandangan Bidadari Sabuk Emas. Dia memang tidak
mendengar suara apa pun, karena tadi tengah berteriak-
teriak.
Melihat kedua tokoh sesat itu telah mengetahui tempat
persembunyian mereka, mau tak mau Dewa Arak keluar dari
tempat persembunyiannya. Kemudian dihampirinya kedua
tokoh sesat yang berdiri diam menunggu.
Ranti pun terpaksa mengikuti. Diam-diam gadis berpakaian
biru itu merasa heran, mengapa Arya sampai mengeluarkan
suara napas menderu yang membuat tempat persembunyian
mereka diketahui? Memang, deru napas Dewa Araklah yang
membuat persembunyian mereka diketahui.
"Kau kenal kedua tokoh itu, Ranti?" tanya Arya pelan untuk
menutup perasaan malunya. Diam-diam dia memaki dirinya
sendiri, mengapa sampai bisa terpengaruh?
"Kenal sih, tidak. Tapi guruku telah menceritakan siapa
adanya mereka," jawab gadis berambut kepang itu. "Mereka
adalah datuk-datuk dunia persilatan. Tapi sekitar dua tahun
yang lalu, Raja Iblis Baju Hitam menghilang dari dunia
persilatan, dan tidak terdengar beritanya lagi. Orang mengira
dia telah mati."
"Rupanya dia mengasingkan diri untuk memperdalam
ilmunya, karena telah dikalahkan Bidadari Sabuk Emas.
Bahkan sampai-sampai mencuri kitab pusaka
perkumpulanmu," tambah Dewa Arak.
Ranti hanya menganggukkan kepala pertanda
membenarkan ucapan Dewa Arak.
"Bagaimana dia bisa masuk ke perkumpulanmu dan
mencuri kitab?" tanya Arya sambil terus melangkah
menghampiri kedua tokoh sesat itu dengan sikap waspada.
"Menerobos masuk ke dalam perkumpulan dengan
menewaskan beberapa orang penjaga, tanpa ada seorang pun
yang tahu," keluh Ranti. "Baru pada pagi harinya, kami semua
mengetahuinya Maka guru cepat-cepat memerintahkan untuk
mencari pencuri itu."
"Hi hi hi...! Dewa Arak rupanya telah menjadi pengintai
hina?!" Bidadari Sabuk Emas langsung mengejek.
Nenek ini memang telah lama mendengar semua tentang
Arya. Baik mengenai ciri-cirinya, maupun sepak terjangnya.
Maka bisa langsung ditebak tepat, siapa pemuda berambut
putih keperakan itu.
"Dewa Arak...?!"
Hampir berbareng Ranti dan Raja Iblis Baju Hitam
menggumamkan nama itu, sama-sama dengan nada
keterkejutan. Ranti memang sama sekali tidak menduga kalau
pemuda yang selama ini berada bersamanya adalah pemuda
yang menggemparkan dunia persilatan itu. Padahal, semua
tokoh persilatan telah didengar dari gurunya. Dan Dewa Arak
adalah salah satu di antara orang yang disebut gurunya.
"Tapi, benarkah Arya adalah Dewa Arak? Ah! Mengapa aku
begitu pelupa! Bukankah guru telah mengatakan kalau nama
asli Dewa Arak adalah Arya Buana. Dan pemuda berambut
putih keperakan itu pun telah menyebutkan namanya. Arya
Buana! Mengapa aku jadi begitu bodoh?" maki Ranti dalam
hati.
Ranti terdiam, seperti mengutuk diri sendiri. Dia
sebenarnya ingin memperjelas keingintahuannya tentang
Dewa Arak. Tapi saat ini mereka tengah bersikap waspada
terhadap dua tokoh sesat yang selama ini dicari-cari. Ranti
hanya memendam pertanyaan itu dalam hati. Rasanya
memang tidak pantas untuk menanyakannya.
Sementara Ranti masih terpaku dengan kekagumannya
pada Dewa Arak, maka Arya sendiri telah berada sekitar dua
tombak di depan Bidadari Sabuk Emas dan Raja Iblis Baju
Hitam. Begitu sadar, gadis itu segera menghampiri Dewa Arak.
Dewa Arak sengaja membiarkan Ranti memilih lawannya.
Gadis berpakaian biru itu lalu bergerak menghampiri Raja Iblis
Baju Hitam. Jadi, Arya terpaksa melangkah menghampiri
Bidadari Sabuk Emas.
Nenek berpakaian merah muda itu tertawa terkekeh.
"Sudah lama aku berniat menjajal kepandaianmu, Dewa
Arak! Sungguh tidak kusangka kalau akhirnya bisa bertemu
denganmu...!"
Arya hanya tersenyum getir. "Bidadari Sabuk Emas...! Kau
harus mempertanggungjawabkan perbuatan kejimu yang telah
membunuh tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak!"
kata Dewa Arak keras, Dia memang ingin membuktikan pada
Ranti kalau pembunuh itu bukan dia!
Memang, begitu mendengar ucapan itu Ranti menoleh.
Gadis itu ingin mendengar jawaban nenek berpakaian merah
muda itu.
"Hi hi hi...! Bukan hanya mereka saja yang kubunuh! Tapi
kau juga akan kubunuh, Dewa Arak...! Kau akan menemani
tiga orang monyet kecil yang berani menantangku!"
Mendengar ucapan ini, hati Dewa Arak lega. Dia telah
berhasil membuktikan kalau dia sama sekali tidak bersalah.
"Bersiaplah kau, Dewa Arak...!" dengan bersikap
sebagaimana layaknya orang gagah. Bidadari Sabuk Emas
berseru memperingatkan Lalu....
"Haaat..!"
Sambil berteriak melengking nyaring, Bidadari Sabuk Emas
mencabut sabuknya. Dan secepat senjata andalannya
tercabut, secepat itu pula dilecutkannya ke arah ubun-ubun
Dewa Arak.
Dewa Arak sejak tadi sudah bersiap siaga. Maka begitu
metihat sabuk yang meluncur deras ke arah ubun-ubunnya,
cepat dia melompat ke belakang. Langsung dijumputnya guci
arak yang bertengger di punggung.
Ctaar...!
Ledakan keras terdengar begitu ujung sabuk Bidadari
Sabuk Emas mengenai tempat kosong.
Pada saat yang sama ketika kedua kakinya hinggap di
tanah, Dewa Arak menuangkan arak ke dalam mulutnya.
Gluk... gluk... gluk..!
Suara tegukan yang cukup nyaring terdengar ketika arak
itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga ada
hawa hangat yang berputar di dalam perut Arya, kemudian
merayap naik ke atas kepala. Sekejap saja, kedua kaki Dewa
Arak pun oleng.
Di saat itulah, serangan sabuk nenek berambut panjang ini
kembali menyambar ke arah Dewa Arak. Tapi dengan jurus
'Delapan Langkah Belalang', pemuda berambut putih
keperakan itu berhasil mengelakkannya
Sesaat kemudian, keduanya sudah terlibat dalam sebuah
pertarungan sengit dan menarik. Kedua gerakan itu sama-
sama meliuk-liuk. Baik gerakan sabuk Bidadari Sabuk Emas,
maupun gerakan Dewa Arak yang sempoyongan ke sana
kemari dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakti'.
Sementara itu, Ranti telah berdiri berhadapan dengan Raja
Iblis Baju Hitam.
"Jadi, rupanya kau yang telah mencuri kitab pusaka
perkumpulan kami, Raja Iblis!" desah Ranti penuh geram.
"Ha ha ha...! Kalau benar begitu, kau mau apa, Bocah?!"
sahut Raja Iblis Baju Hitam kalem. Nada suaranya-terdengar
meremehkan sekali.
"Membunuhmu!"
Setelah berkata demikian, Ranti langsung mencabut
pedangnya. Dan secepat pedang itu tercabut, secepat itu pula
dibabatkan cepat ke arah leher.
Ngunggg...!
Suara mengaung keras terdengar mengiringi tibanya
serangan pedang itu.
Raja Iblis Baju Hitam terperanjat melihat hal ini. Sungguh
tidak disangka kalau serangan gadis berpakaian biru itu begitu
dahsyat. Suara mengaung keras yang mengiringi tibanya
serangan telah menunjukkan kekuatan tenaga dalam yang
terkandung di dalamnya. Maka laki-laki berpakaian hitam ini
tidak berani bertindak main-main Cepat-cepat tubuhnya
direndahkan. Dan.... Wusss...!
Pedang Ranti menyambar lewat di atas kepalanya, hanya
berjarak setengah jengkal. Rambut dan sekujur pakaian yang
dikenakan Raja Iblis Baju Hitam ini sampai berkibar keras. Dari
sini saja sudah bisa diperkirakan betapa kuatnya tenaga dalam
yang terkandung dalam serangan itu.
Serangan gadis berambut kepang ini ternyata tidak hanya
sampai di situ saja. Begitu babatannya berhasil dielakkan, kaki
kanannya langsung mencuat ke arah perut Dan karena sikap
tubuh laki-laki bercambang bauk lebat Itu tengah menunduk,
serangan kaki itu jadi mengancam dada.
Wuttt...!
Deru angin keras mengiringi tibanya serangan Ranti.
Raja Iblis Baju Hitam terperanjat. Tokoh sesat yang
menggiriskan ini memang tidak menyangka kalau serangan
susulan lawan akan datang begitu cepat. Maka tanpa
membuang-buang waktu lagi, tubuhnya dilempar ke belakang.
Lalu, dia bersalto beberapa kali di udara, dan mendarat
beberapa tombak dari tempatnya semula.
Ranti sama sekali tidak memberi lawan kesempatan. Begitu
lawan melempar tubuh ke belakang, tubuhnya segera melesat
memburu. Pedang di tangannya meluncur cepat ke arah
lawan, diiringi suara mengaung menggetarkan jantung.
Berbahaya sekali serangan yang dilancarkan gadis
berpakaian biru itu. Apalagi, saat itu tubuh Raja Iblis Baju
Hitam tengah berada di udara.
Meskipun begitu, tidak percuma laki-laki berpakaian hitam
ini menjadi seorang datuk sesat. Di saat yang berbahaya ini
serangan itu masih sanggup dielakkan. Tubuhnya menggeliat
di udara, sehingga serangan itu tidak mengenai sasaran.
Berbareng hinggapnya kedua kaki Ranti di tanah, Raja Iblis
Baju Hitam pun mendaratkan kakinya pula di tanah. Dan
secepat kedua pihak berada di tanah, secepat itu pula saling
menyerang dahsyat Pertarungan sengit dan mati-matian pun
terjadi.
Di arena lain, Dewa Arak pun tengah berjuang keras
menaklukkan lawannya. Ilmu 'Belalang Sakti' miliknya
dikeluarkan sampai ke tingkat akhir. Kedua tangannya, guci,
dan juga semburan-semburan araknya dikeluarkan. Beberapa
kali sambil mengelakkan serangan lawan, Dewa Arak
menenggak araknya. Suara tegukan pun kembali terdengar di
sela-sela ledakan sabuk Bidadari Sabuk Emas.
Memang, pertarungan yang berlangsung antara Dewa Arak
dan Bidadari Sabuk Emas berlangsung seru dan menarik.
Perempuan tua itu memang telah mendengar kelihaian
lawannya. Maka sudah sejak semula senjata andalannya
dikeluarkan. Bahkan langsung menyerang dengan
mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Karena kedua belah pihak sama-sama memiliki ilmu
meringankan tubuh yang tinggi pertarungan yang terjadi pun
berlangsung cepat. Yang tampak hanyalah kelebatan
bayangan kemerahan dan ungu, yanq terkadangg saling belit
Tapi, tak jarang pula saling pisah.
Di antara kelebatan cahaya ungu dan merah, tampak
meliuk-liuk sabuk yang berwarna kuning keemasan.
Memang luar biasa permainan sabuk nenek berpakaian
merah muda itu. Terkadang sabuk itu melecut mengeluarkan
ledakan nyaring seperti gelegar halilintar, tapi tak jarang pula
menegang kaku seperti sebatang tombak dan meluncur cepat
ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Bahkan tak kalah
seringnya pula sabuk itu meliuk-liuk laksana seekor ular,
sehingga sukar diterka ke mana arah yang dituju.
Perubahan permainan sabuk itulah yang merepotkan Dewa
Arak. Sehingga sampai puluhan jurus berlangsung, lawannya
belum mampu didesak. Perubahan permainan sabuk itu
berlangsung secara tiba-tiba dan tak terduga sehingga
menyulitkannya. Dan inilah yang membuat Arya kewalahan
menghadapinya.
Bukan hanya Arya saja yang merasa penasaran Bidadari
Sabuk Emas pun dilanda perasaan yang sama. Seluruh
kemampuannya dalam memainkan sabuk telah dikerahkan,
tapi tetap saja tidak satu pun serangannya yang berhasil
mengenai tubuh lawan. Jangankan mengenai, mendesak pun
tidak mampu.
Tak terasa puluhan jurus telah berlalu. Kini pertarungan
telah menginjak jurus keseratus. Tapi sampai selama itu,
pertarungan masih berlangsung seimbang.
Tidak nampak ada tanda-tanda, siapa yang akan keluar
sebagai pemenang. Wuttt..!
Pada jurus yang keseratus dua puluh tujuh, untuk yang
kesekian kalinya sabuk di tangan Bidadari Sabuk Emas meliuk-
liuk. Kemudian secara tidak terduga-duga, menotok ke arah
pelipis seperti ular mematuk.
Cepat gerakan sabuk itu, tapi masih lebih cepat lagi
gerakan Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu
memiringkan kepalanya sehingga patukan sabuk itu mengenai
tempat kosong. Dan...
Prrruh...!
Arya menyemburkan arak yang sejak tadi berada dalam
mulutnya Seketika Itu juga, butiran-butiran arak itu meluncur
cepat ke arah Bidadari Sabuk Emas.
Nenek berpakaian merah muda Itu terkejut bukan main
mendapat serangan yang tidak disangka-sangka. Tak terpikir
olehnya akan serangan itu, karena Arya tidak terlihat
meminum araknya. Sama sekali tidak disangka kalau Arya
memang sengaja menyimpannya.
Dengan agak gugup, Bidadari Sabuk Emas menundukkan
kepalanya. Meskipun begitu, dia berhasil pula menyelamatkan
diri. Dia tahu, arak yang disemburkan Dewa Arak tidak bisa
dibuat main-main. Semburannya tak ubahnya luncuran panah!
Bila terkena kulit, pasti akan luka-luka. Bahkan bila terkena
mata, pasti akan hancur.
Dan nenek berambut panjang Ini sama sekali tidak
menyangka kalau serangan itu hanya pancingan saja.
Tappp...! Ujung sabuk itu berhasil ditangkap Dewa Arak,
dan pemuda itu langsung membetotnya.
"Ah...!" Bidadari Sabuk Emas menjerit kaget ketika
tubuhnya tertarik ke depan dan melayang di udara.
Perempuan tua itu memang tidak menyangka kalau Dewa
Arak mampu menangkap sabuknya!
Dewa Arak sengaja melakukannya untuk mengalihkan
perhatian nenek itu dari sabuknya. Dan mendadak.... Tappp...!
Ujung sabuk itu telah berhasil ditangkap Dewa Arak yang
langsung membetotnya begitu sabuk itu telah
dicengkeramnya.
"Ah...!"
Bidadari Sabuk Emas
menjerit kaget ketika
tubuhnya tertarik ke depan
dan melayang di udara.
Perempuan tua itu memang
tidak bersiap
menghadapinya.
Dan di saat tubuh nenek
berpakaian merah muda itu
tengah berada di udara, Arya
melepaskan pegangan
tangannya. Dan dengan
gerakan sukar diikuti mata,
gucinya disampirkan kembali
di punggung. Dan secepat
guci itu tersampir, secepat itu
pula Arya menghentakkan kedua tangannya ke depan. Inilah
jurus 'Pukulan Belalang'. Wusss...!
Angin keras berhawa panas menyengat meluncur ke arah
tubuh Bidadari Sabuk Emas. Seketika nenek berpakaian merah
muda itu terperanjat dan berusaha mengelak sebisa-bisanya.
Tapi....
Bressss…
Jeritan menyayat keluar dari mulut nenek berambut
panjang itu, tatkala angin pukulan Dewa Arak menghantam,
telak dan keras dadanya. Seketika itu juga, tubuh Bidadari
Sabuk Emas terlempar jauh ke belakang . Nenek berambut
panjang ini gagaI menyelamatkan diri. Keadaan tubuhnya
yang tengah berada di udara menyulitkannya untuk mengelak.
Tambahan lagi, dia masih terbawa tarikan Dewa Arak tadi.
Brukkk..!
Suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh Bidadari
Sabuk Emas menghantam tanah. Seketika itu juga nyawanya
terlepas dari raga. Dia kini tewas dalam keadaan
menyedihkan. Sekujur tubuhnya hangus terbakar. Samar-
samar tercium bau sangit daging terbakar.
Sementara itu jerit kematian Bidadari Sabuk Emas
membuat Raja Iblis Baju Hitam terperanjat. Seketika itu juga
perhatiannya terpecah. Padahal bagi seorang tokoh tingkat
tinggi yang tengah bertarung, kelengahan lawan betapapun
kecilnya, adalah sebuah kesempatan untuk memasukkan
serangan.
Apalagi pertarungan antara Raja Iblis Baju Hitam dan Ranti
memang berjalan seimbang sejak tadi Maka ketika laki-laki
berpakaian hitam itu lengah, pedang di tangan Ranti meluncur
cepat ke arah dadanya. Dan....
Cappp...!
Pedang Ranti menghunjam dalam di perut laki-laki
berpakaian hitam itu hingga tembus ke punggung. Kontan
darah segar muncrat dari bagian tubuh yang terluka.
"Hih...!"
Ranti segera mencabut pedangnya. Maka darah segar
kembali berhamburan dari bagian tubuh yang terluka. Dan
bukan hanya itu saja yang dilakukannya. Kakinya pun
menendang cepat ke arah dada Raja Iblis Baju Hitam.
Desss...!
Suara berderak keras terdengar ketika tulang-tulang dada
laki-laki berbaju hitam itu hancur berantakan. Seketika
nyawanya pun melayang seiring melayangnya tubuhnya ke
belakang.
Ranti bergegas menghampiri mayat Raja Iblis Baju Hitam.
Segera disobeknya bagian baju tokoh sesat itu. Dugaannya
ternyata benar. Kitab pusaka perkumpulannya berada di balik
baju Raja Iblis Baju Hitam.
Gadis berpakaian biru ini tersenyum gembira. Semua jerih
payahnya ternyata tidak sia-sia. Diperhatikannya kitab yang
bertuliskan Ilmu Tangan Racun Pasir Merah, dengan pandang
mata berbinar-binar. Kemudian kepalanya menoleh untuk
memberi tahu Dewa Arak.
Tapi tidak ada seorang pun yang dijumpainya di situ.
Suasana di sekeliling tempat itu sepi-sepi saja. Walau Ranti
telah mengedarkan pandangan ke sekeliling, tetap saja
bayangan tubuh Dewa Arak tidak terlihat
Karuan saja hal ini membuat Ranti merasa cemas bukan
main. Segumpal perasaan cemas menyeruak. Segumpal
perasaan cemas menyeruak di hatinya, karena takut Dewa
Arak telah pergi meninggalkannya.
"Kang Arya...!"
Dalam puncak kecemasan yang menggelegak Ranti
berteriak memanggil. Tak tanggung-tanggung lagi seluruh
tenaga dalamnya dikerahkan sewaktu memanggil. Akibatnya
sudah bisa diduga. Suara keras yang memekakkan telinga
terdengar mengoyak kesunyian Hutan Rangkong.
Ranti menunggu sesaat Tapi sampai jemu menanti, orang
yang diharapkan tidak juga kunjung datang. Hanya gema
suaranya yang bersahut-sahutan menyambut panggilannya.
"Kang Arya...!"
Ranti memanggil lagi dengan suara lebih keras, tapi tetap
saja orang yang dipanggilnya tak kunjung
Baru saja hendak memanggil lagi, gadis berpakaian biru ini
segera mengurungkan niatnya. Pandangannya tertumbuk
pada sebuah benda yang terpacak di pohon.
Benda itu adalah selembar kain yang menempel di batang
pohon, karena ditusuk sebatang ranting kecil. Jelas
membutuhkan tenaga dalam tinggi untuk membuat ranting
kecil yang lemah itu mampu menembus batang pohon yang
demikian keras.
Ranti segera menghampiri. Dan seperti yang sudah diduga,
ada deretan huruf-huruf yang tertera di atasnya. Dengan agak
tergesa-gesa dibacanya huruf-huruf itu.
Ranti....
Aku ikut merasa gembira, karena kau telah berhasil
menunaikan tugas yang diberikan gurumu. Aku pergi dulu.
kelak kita akan bertemu kembali.
Ranti segera mencampakkan ranting itu, dan meremas kain
yang bertuliskan pesan Arya hingga hancur luluh. Kemudian
sekali menggerakkan kaki, tubuhnya telah melesat pergi dari
situ.
Sementara di kejauhan, Dewa Arak tengah melangkah
perlahan-lahan dengan perasaan lega. Kembali sebuah tugas
menentang kejahatan telah berhasil diselesaikannya dengan
baik
SELESAI
Serial Dewa Arak
dalam episode
Maut dari Hutan Rangkong
"Guradi...!" Jatmika menjerit keras begitu melihat putranya
tergantung di atas pohon. Sementara Banyupaksi hanya diam
terpaku
Ternyata musibah itu tidak sampai di situ saja. Kematian
demi kematian dalam keadaan mengerikan terus menimpa
penduduk Desa Rangkong.
Ranti, seorang murid wanita utusan Perkumpulan Pedang
Perak berusaha menyingkap rahasia pembunuhan ini. Gadis
cantik jelita itu memang tengah mencari kitab pusaka
perkumpulannya. Kitab yang berisikan ilmu 'Tangan Racun
Pasir Merah'.
Siapakah orang yang telah mencuri kitab perkumpulannya?
Dan siapa pula orang yang menyebar Maut dari Hutan
Rongkong? Lalu mengapa Dewa Arak dituduh sebagai
pembunuhnya oleh Ranti?!
0 comments:
Posting Komentar