• Jumat, 07 Februari 2025

    Maut Dari Hutan Rangkong

     

    Maut Dari Hutan Rangkong 
    Seri Dewa Arak 
    Karya : Aji Saka 
    Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta 
    Penyunting : Puji S. 
    Gambar sampul oleh Pro's 
    Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau 
    memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin 
    tertulis dari penerbit 
    Aji Saka 
    Serial Dewa Arak dalam episode: Maut dari Hutan 
    Rangkong 128 hal. ; 12 x 18 cm 


    SATU

     
    Kepak kelelawar terdengar memecah keheningan malam 
    yang sepi. Bulan penuh yang nampak di langit,perlahan-lahan 
    mulai tertutup awan hitam tebal yang berarak. Angin dingin 
    yang berhembus dan sesekali keras itu semakin memperkuat 
    dugaan kalau hujan akan turun. 
    Benar saja. Beberapa saat kemudian, hujan mulai turun. 
    Mula-mula berupa gerimis kecil, dan satu-satu. Tapi semakin 
    lama semakin besar. Hingga akhirnya benar-benar lebat. Air

    yang jatuh bagai ditumpahkan dari langit. Langit yang gelap 
    itu sesekali dibelah oleh halilintar yang menggelegar. Untuk 
    sesaat lamanya, suasana malam jadi terang benderang. 
    Dan dalam suasana terang yang sekejap seperti itulah, 
    tampak sesosok bayangan berkelebat dari dalam sebuah 
    bangunan yang dikelilingi pagar kayu bulat tinggi. Bangunan 
    itu tampak besar dan megah, serta memiliki halaman luas. 
    "Hih...!" 
    Sosok bayangan itu melesat cepat melompati pagar kayu 
    bulat yang tinggi. Indah dan manis sekali gerakannya. Baik 
    ketika melompati pagar kayu, maupun ketika mendaratkan 
    kedua kakinya di luar pagar. 
    Pyarrr...! 
    Genangan air memercik ke sana kemari ketika sepasang 
    kaki itu menjejak tanah yang dibasahi hujan. Glarrr! 
    Halilintar menyambar kembali. Dan untuk sesaat suasana 
    malam jadi terang benderang kembali. Meskipun begitu, sudah 
    cukup jelas untuk mengenali wajah sosok bayangan itu. 
    Dia ternyata adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima 
    puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar, dan berpakaian hitam. 
    Wajahnya kasar dan sebuah penutup kepala yang berbentuk 
    setengah tempurung kelapa bertengger di atas kepalanya. 
    Secepat kedua kakinya mendarat di luar pagar kayu, 
    secepat itu pula dia melesat dari situ. Gerakannya cukup 
    cepat. Jelas, kalau laki-laki tinggi besar ini memiliki 
    kepandaian tidak rendah. 
    Tanpa menghiraukan suasana malam yang gelap, angin 
    dingin yang berhembus keras menusuk tulang, dan curahan 
    hujan lebat yang menyiram tubuhnya, sosok bayangan itu 
    terus saja berlari cepat. 
    Glarrr!

    Halilintar kembali menggelegar membelah angkasa. Lagi-
    lagi keadaan alam kembali terang benderang sekejap. Saat 
    itu, di atas pintu gerbang bangunan besar berpagar kayu bulat 
    tinggi, terlihat sebuah kayu lebar tidak begitu tebal yang 
    terukir halus. Tampak jelas huruf-huruf yang tertera di papan 
    itu, Perkumpulan Pedang Perak. 
    Sosok bayangan itu terus saja berlari dengan kecepatan 
    tinggi. Sama sekali tidak diperlambat larinya, meskipun 
    berkali-kali tergelincir dan hampir jatuh karena jalan yang 
    ditempuh demikian licin. 
    Lari bayangan itu baru diperlambat ketika telah memasuki 
    mulut sebuah hutan. Dan akhirnya berhenti sama sekali ketika 
    telah berada di dalamnya. 
    Dengan napas terengah-engah, laki-laki berpakaian serba 
    hitam itu berteduh di bawah sebatang pohon yang berdaun 
    rindang. Kedua tangannya nampak bersedakap di depan dada. 
    Rupanya angin yang berhembus cukup kencang membuat 
    tubuhnya kedinginan. 
    Sebentar sosok itu mengeringkan tangannya, lalu 
    memasukkannya ke balik baju. Sesaat kemudian telah keluar 
    lagi, bersama sebuah kitab di tangannya. 
    Glarrr...! 
    Halilintar kembali menyambar. Seketika itu juga sana di 
    sekitar tempat itu jadi terang benderang. Sehingga huruf-
    huruf yang tertera di kulit kitab itu tampak cukup jelas 
    terbaca, 'Ilmu Tangan Racun Pasir Merah'. 
    Tampak seulas senyuman menghiasi wajah laki-laki 
    bertubuh tinggi besar itu. Sebentar kemudian kitab itu 
    dimasukkan kembali ke balik bajunya. Dan kini kedua 
    tangannya kembali disedakapkan di depan dada. 
    Tak lama kemudian hujan mulai mereda, hingga akhirnya 
    tinggal gerimis kecil yang jatuh satu persatu ke bumi


    Di saat itulah, laki-laki berpakaian hitam ini melanjutkan 
    perjalanannya kembali. Melesat cepat menembus kepekatan 
    malam. Rintik hujan yang mengenai tubuhnya sama sekali 
    tidak dihiraukan. 
    *** 
    Matahari sudah cukup lama menampakkan diri. Suara cicit 
    burung pun sudah tidak terdengar lagi. Bahkan angin yang 
    berhembus sudah tidak terlalu nikmat untuk dihirup. Ketika 
    itu, tampak dua sosok tubuh tengah melangkah bergegas 
    menuju mulut Hutan Rangkong. 
    Dari bentuk tubuh mereka yang kekar dan kuat, jelas kalau 
    kedua orang itu sudah terbiasa bekerja berat . Wajahnya pun 
    terlihat keras. Hanya saja saat itu, mereka tampak penuh 
    diliputi kecemasan. 
    "Aku khawatir akan keselamatan Guradi, Kang Banyupaksi," 
    ucap salah seorang dari dua sosok itu. Wajahnya yang berkulit 
    coklat, dan penuh bercak putih yang lebar-lebar, terlihat 
    menyiratkan perasaan cemas yang tidak terkira. 
    "Mudah-mudahan saja dia selamat, Jatmika," sahut orang 
    yang dipanggil Banyupaksi bernada menghibur. Dia bertubuh 
    kekar, berkumis, dan berjenggot yang terawat baik 
    Suasana hening sejenak begitu Banyupaksi menghentikan 
    ucapannya. Kini yang terdengar hanyalah gemerisik 
    rerumputan yang terpijak kaki mereka. 
    "Kang...," kembali Jatmika membuka suara, seraya 
    menoleh. 
    Menilik dari ucapannya yang terhenti di tengah Jalan, jelas 
    kalau laki-laki berwajah penuh bercak-bercak putih ini merasa 
    ragu-ragu melanjutkan ucapannya. 
    "Ada apa lagi, Jatmika?" tanya Banyupaksi sabar.

    "Rasanya..., aku tidak yakin kalau Guradi masih hidup, 
    Kang...." 
    "Hm.... Mengapa kau berkata seperti itu, Jatmika?" tegur 
    Banyupaksi. Sepasang mata laki-laki bertubuh kekar ini 
    menatap penuh teguran. "Apakah kau tidak ingin anakmu 
    selamat?" 
    "Bukan begitu maksudku, Kang," sahut Jatmika huru-buru. 
    "Tapi, kenapa justru kau mengharapkan yang bukan-
    bukan?" 
    "Aku sama sekali tidak berharap begitu." 
    "Hm...," Banyupaksi hanya menggumam tidak jelas. 
    "Tapi..., kenyataan yang kuterima kali ini membuatku 
    ragu," sambung Jatmika lagi. 
    "Maksudmu?" tanya Banyupaksi dengan dahi berkernyit. 
    Jelas kalau dia masih belum mengerti maksud Jatmika. 
    "Tidak biasanya Guradi pergi selama ini. Dia sudah sering 
    mencari kayu bakar atau berburu di hutan. Tapi tidak pernah 
    sampai selama ini. Bayangkan, Kang. Guradi pergi kemarin 
    pagi. Dan sampai sekarang belum pulang...!" 
    Banyupaksi mengangguk-anggukkan kepala. Cerita 
    mengenai kepergian Guradi ke Hutan Rangkong dan belum 
    kembali memang sudah didengarnya dari mulut Jatmika 
    sendiri. Dan hal inilah yang membuatnya terpaksa ikut 
    mencari orang yang bernama Guradi itu. 
    "Berdoalah agar dia selamat," hanya itu kata-kata bernada 
    menghibur dari Banyupaksi. "Aku percaya Guradi bisa menjaga 
    diri. Mungkin dia hanya tersesat.” 
    "Aku juga berharap begitu, Kang. Tapi rasanya tidak 
    mungkin, Kang. Guradi telah puluhan kali keluar masuk hutan. 
    Atau..., jangan-jangan dia diterkam binatang buas."

    Banyupaksi menatap wajah Jatmika tajam-tajam. 
    "Kalau begitu..., kau meremehkan kemampuanku, Jatmika." 
    "Maksudmu, Kang?" 
    "Aku yang mendidik dan mengajarkannya ilmu silat. 
    Bertahun-tahun aku melatihnya. Dan kau enak saja 
    mengatakan kalau Guradi mati diterkam binatang buas. Itu 
    sama sekali tidak memandang kepadaku, Jatmika!" 
    Berubah wajah Jatmika seketika mendengar ucapan 
    bernada keras dari laki-laki bertubuh kekar itu. 
    "Maafkan aku, Kang. Aku.... Aku tidak bermaksud begitu. 
    Sungguh...!" sahut laki-laki berwajah penuh bercak-bercak 
    putih itu terbata-bata. 
    "Hhh...!" Banyupaksi menghela napas panjang. 
    Amarah laki-laki berkumis rapi yang mulai bangkit perlahan 
    mengendur kembali mendengar permintaan maaf Jatmika. Dia 
    tahu kalau laki-laki di sampingnya ini tidak bermaksud 
    merendahkan. Jatmika mengatakannya tanpa sadar, karena 
    didorong kecemasan menggelegak. 
    "Lupakanlah, Jatmika," sahut Banyupaksi berdesah. "Tapi 
    perlu kau ketahui, Jatmika. Jangankan hanya satu, dua 
    binatang buas pun, aku yakin Guradi mampu 
    menghadapinya!" 
    Jatmika hanya mengangguk-anggukkan kepala. 
    Kembali keheningan menyelimuti mereka berdua. Kini 
    Jatmika dan Banyupaksi melanjutkan langkah menuju Hutan 
    Rangkong yang sudah semakin dekat tanpa berkata-kata lagi. 
    *** 
    Begitu memasuki hutan, Jatmika dan Banyupaksi 
    mengedarkan pandangan berkeliling. Dengan ranting yang 
    ditemukan, mereka menguak kerimbunan semak-semak. Hati

    mereka berharap, barangkali saja orang yang dicari berada di 
    situ. 
    "Guradi...!" 
    Jatmika yang sudah tidak kuat lagi menahan cemas dan 
    tidak sabar, berteriak memanggil. Kini mereka sudah cukup 
    jauh masuk ke dalam hutan. Tapi, sama sekali tidak terlihat 
    tanda-tanda adanya Guradi. Baik Jatmika maupun Banyupaksi 
    langsung berdiam diri. Pendengaran mereka ditajamkan agar 
    apabila Guradi menjawab, dapat terdengar. 
    Tapi sampai lelah berdiam diri, tak juga terdengar sahutan 
    yang dinantikan, kecuali cicit burung yang selalu mengusik 
    telinga. 
    Jatmika dan Banyupaksi terus melangkah sambil 
    menyibakkan semak-semak. Sepasang mata mereka 
    berkeliaran ke sana kemari, sambil sesekali diselingi 
    panggilan-panggilan terhadap Guradi. 
    Dan begitu akan memanggil lagi, mendadak langkah kedua 
    orang itu terhenti. Wajah mereka pucat seketika. Sepasang 
    mata mereka menatap membelalak ke depan, seakan-akan 
    tidak percaya akan apa yang dilihat. 
    Sekitar lima tombak di hadapan Banyupaksi dan Jatmika, 
    terpampang pemandangan menggiriskan hati. Tampak 
    seorang remaja berusia belasan tahun tengah tergantung di 
    atas cabang pohon dengan leher terjerat seutas tambang. 
    Dadanya telanjang, tak tertutup baju. Sehingga, terlihat jelas 
    luka-luka yang memenuhi sekujur tubuhnya. 
    Dengan sekali lihat saja, baik Jatmika maupun Banyupaksi 
    bisa mengetahui kalau remaja itu telah tewas. Dan beberapa 
    saat lamanya, mereka hanya mampu berdiri terpaku. Lidah 
    pun terasa kelu. Suara seperti tercekat di tenggorokan. Hanya 
    sepasang mata mereka saja yang seolah-olah ingin 
    mengungkapkan sesuatu.

    "Guradi...!" 
    Terdengar teriakan keras dari mulut Jatmika setelahh 
    beberapa saat lamanya berdiri terpaku. Laki-laki berwajah 
    penuh bercak putih ini memerlukan waktu beberapa saat 
    lamanya untuk dapat mengetahui kalau orang yang 
    tergantung di atas pohon itu adalah putranya. 
    Seiring panggilannya, tubuh Jatmika berlari berhambur ke 
    arah sosok yang tergantung itu. Kemudian Banyupaksi pun 
    ikut bergerak mengikuti. Dia pun cepat mengenali pula kalau 
    sosok tubuh itu benar-benar Guradi. Orang yang mereka cari-
    cari. 
    "Guradi..., Guradi...," panggil Jatmika pilu. Kedua 
    tangannya sibuk memeluki tubuh yang tergantung itu. 
    Banyupaksi menggertakkan gigi. Seketika dadanya terasa 
    sesak oleh amarah dan sedih yang meng-gayut Tapi laki-laki 
    berkumis rapi ini berusaha menahan diri. Pikirannya berusaha 
    dibuat setenang mungkin. Seketika tenaganya dikempos, dan 
    sesaat kemudian, tubuhnya melesat ke atas. Dan sekali 
    tangannya bergerak, tali yang menggantung tubuh Guradi pun 
    putus. 
    Untungnya Jatmika tengah memeluk tubuh putranya, 
    sehingga tubuh itu tidak sampai terbanting keras ke tanah. 
    Jatmika sempat menangkapnya. Tapi akibatnya, dia ikut 
    terjatuh terbawa beban tubuh Guradi. 
    Berbareng tergulingnya tubuh Guradi dan Jatmika ke tanah, 
    sepasang kaki Banyupaksi pun hinggap. Kemudian, laki-laki 
    berkumis rapi ini menyarungkan kembali golok yang tadi 
    dicabutnya sewaktu memutuskan tambang yang mengikat 
    tubuh Guradi. 
    "Hentikan segala kecengengan Ini, Jatmika," tegur 
    Banyupaksi, kemudian sepasang matanya menatap penuh 
    teguran pada laki-laki yang wajahnya penuhi bercak putih itu.

    Sambil tetap memeluk tubuh putranya, Jatmika beranjak 
    bangkit. Sepasang matanya balas menatapi tak kalah tajam. 
    "Tapi, Kang. Dia anakku satu-satunya! Dosakah aku 
    bersedih hati melihat kematiannya?" bantah Jatmika. Suaranya 
    pelan, tapi penuh tuntutan. 
    "Aku tidak melarangmu, Jatmika," sahut Banyupaksi 
    dengan suara tetap lembut. Tapi tetap penuh wibawa. "Aku 
    hanya tidak suka melihat kesedihanmu yang terlalu 
    berlebihan." 
    "Tapi, Kang...," Jatmika masih mencoba membantah. 
    "Guradi tidak akan hidup kembali, sekalipun tangisanmu 
    berupa darah sampai empat puluh hari.”potong Banyupaksi 
    tanpa menghiraukan bantahan Jatmika. 
    Seketika Jatmika terdiam. Bukan karena nasihat 
    Banyupaksi, tapi karena rasa segannya pada laki-laki berkumis 
    tipis itu. 
    "Sekarang yang paling penting adalah mencari pelaku 
    pembunuhan ini," sambung Banyupaksi ketika Jatmika tampak 
    terdiam. 
    Terdengar suara gemeretak dari mulut Jatmika begitu 
    mendengar ucapan ini. Banyupaksi benar. Yang paling penting 
    sekarang adalah mencari pembunuh putranya. Tapi, tentu saja 
    sehabis mengebumikan Guradi secara layak. 
    "Menilik dari luka-luka yang diderita Guradi, aku yakin kalau 
    pelakunya adalah seorang tokoh aliran hitam yang berjiwa luar 
    biasa kejam," duga Banyupaksi. Sementara sepasang matanya 
    terus menyelusuri sekujur tubuh Guradi yang penuh luka-luka. 
    "Ke mana pun..., aku akan mencarinya Dan..., seluruh 
    tubuhnya akan kulumatkan!" desis Jatmika penuh dendam. 
    Tangan kanannya mengepal keras dan kepalanya mendongak 
    ke atas ketika kata-kata itu diucapkan.

    Banyupaksi tidak menanggapi. Dia yakin kalau Jatmika 
    bukan tandingan pembunuh Guradi. Jatmika memang tidak 
    memiliki kepandaian sedikit pun. Lalu, bagaimana akan bisa 
    membalas dendam? Oleh karena itu Banyupaksi bertekad akan 
    ikut mencari pembunuh Guradi. 
    "Sekarang mari kita kembali dulu ke desa, Jatmika," ajak 
    Banyupaksi pelan. Dipegangnya bahu kanan laki-laki berwajah 
    bercak-bercak putih itu, kemudian ditepuk-tepuknya. 
    Jatmika menatap Banyupaksi penuh tanda tanya. 
    "Kita kuburkan dulu mayat Guradi...," sambung Banyupaksi. 
    Kali ini Jatmika tidak membantah lagi. Perlahan kakinya 
    melangkah meninggalkan hutan itu. Sementara Banyupaksi 
    mengikuti di belakangnya. Laki-laki berkumis rapi ini segera 
    mengedarkan pandangannya berrkeliling, memperhatikan 
    suasana di sekitarnya. Masalahnya bukan tidak mungkin kalau 
    pembunuh itu masih berada di situ. 
    Tapi tidak ada sesuatu pun yang mencurigakan. Keadaan di 
    sekitar tempat itu sepi-sepi saja. Yang terdengar hanyalah 
    suara cicit burung dan binatang-binatang hutan. 
    Baru juga kedua orang itu melangkah beberapa tindak, 
    terdengar suara tawa menggelegar laksana guntur. Suaranya 
    menggema di sekitar tempat itu. 
    "Ha ha ha...!" 
    Hebat bukan main akibat yang ditimbulkan tawa itu. Tubuh 
    Jatmika seketika terbungkuk. Terdengar keluhan keras keluar 
    dari mulutnya. Pegangannya pada tubuh putranya pun 
    terlepas, sehingga Guradi terjatuh di tanah. 
    Bukan hanya itu saja akibatnya. Jatmika pun merasa 
    dadanya sakit bukan main, seperti diseruduk kerbau liar. 
    Bahkan telinganya seperti akan pecah. Betapapun laki-laki 
    berwajah penuh bercak-bercak itu berusaha bertahan dan

    mendekap kedua telinganya, tak urung tubuhnya terguling 
    jatuh. 
    Jatmika bukan satu-satunya orang yang menerima 
    serangan suara tawa dahsyat itu. Banyupaksi pun mengalami 
    hal yang serupa. Dada laki-laki berkumis rapi ini terasa 
    terguncang hebat. Telinganya pun terasa berdengung keras. 
    Sebagai ahli silat, dia tahu kalau ada orang yang tengah 
    menyerang dengan suara tawa yang mengandung pengerahan 
    tenaga dalam tinggi. Tentu saja hal ini membuat Banyupaksi 
    kaget. 
    Bukan main. Dari cara penyerangan ini saja sudah 
    menandakan kelihaian lawan. Jelas orang itu memiliki tingkat 
    tenaga dalam tinggi. Dan dia merasa bukan tandingan orang 
    itu. Ciut hati Banyupaksi membayangkan kalau seandainya 
    pemilik tawa itu adalah orang yang telah membunuh Guradi. 
    Karena bila hal itu benar, sampai kapan pun mereka tidak 
    akan bisa membalas dendam. 
    Kalau saja suara tawa itu terus berlangsung, mungkin 
    Jatmika dan Banyupaksi tidak akan tahan. Kedua orang itu 
    akan tewas dengan dada pecah dan gendang telinga hancur. 
    Tapi untungnya, tawa itu kemudian berhenti. 
    Dan begitu tawa itu berhenti, berkelebat sesosok bayangan 
    hitam. Gerakannya cepat bukan main. Maka tahu-tahu saja, di 
    depan Banyupaksi dan Jatmika telah berrdiri sosok tubuh 
    tinggi besar. 
    Banyupaksi dan Jatmika menatap sosok tubuh yang telah 
    berdiri di hadapan mereka. Sosok tubuh berpakaian hitam. 
    Wajahnya kasar, dipenuhi cambang bauk lebat. Menilik dari 
    keadaannya, usia laki-laki itu tak kurang dari lima puluh tahun. 
    Sebuah penutup kepala berbentuk setengah tempurung kelapa 
    menutupi kepalanya. Matanya menatap tajam ke arah 
    Jatmika.

    "Kudengar kau hendak mencari pembunuh anak itu," kata 
    laki-laki bercambang bauk lebat itu, kalem. "Akulah 
    pembunuhnya." 
    Seketika itu pula Jatmika bangkit berdiri. Wajahnya 
    langsung beringas. Sepasang matanya menatap tajam, penuh 
    pancaran hawa membunuh. Kedua tangannya yang mengepal 
    itu nampak mengejang keras "Kau...?!" suara Jatmika tercekat 
    di tenggorokan karena saking besarnya amarah yang bergolak 
    dalam dadanya. 
    Laki-laki berpakaian hitam itu hanya tersenyum mengejek. 
    Wajah dan sorot matanya tampak jelas memandang rendah 
    Jatmika. 
    "Kubunuh kau...!" teriak Jatmika keras. 
    Dan berbareng dengan ucapan itu, Jatmika melompat 
    menyerang. Kedua tangnnya yang terkepal, dipukulkan 
    bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh laki-laki bercambang 
    lebat itu. 
    "Jatmika...! Tahan...!" teriak Banyupaksi mencegah. Tapi 
    terlambat Serangan Jatmika tidak mungkin ditarik kembali. 
    Maka Banyupaksi tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dan hanya 
    bisa bersikap waspada kalau- kalau jiwa laki-laki berwajah 
    bercak-bercak putih itu terancam. 
    Laki-laki berpakaian hitam itu tertawa mengejeki. Bahkan 
    tidak terlihat kalau akan mengelak atau menangkis. Sampai 
    akhirnya semua serangan Jatmika telak mengenai sasarannya. 
    Buk, buk, bukkk...! 
    Suara berdebukan keras terdengar berkali-kali ketika 
    pukulan-pukulan Jatmika mengenai dada, perut, dan ulu hati 
    laki-laki berpakaian hitam itu. 
    Akibatnya sungguh aneh. Bukan laki-laki bercambang bauk 
    lebat itu yang merasa kesakitan. Bahkan ia hanya terkekeh 
    penuh ejekan. Suara jerit kesakitan justru terdengar dari

    mulut Jatmika. Bahkan sampai-mpai membelalakkan mata 
    ketika kedua tangannya jadi bengkak-bengkak. 
    Jatmika menggeram keras. Amarah yang tidak 
    terlampiaskan, membuat sekujur tubuhnya menggigil keras. 
    Kedua kepalannya seperti bukan memukul tubuh manusia 
    yang terdiri dari daging dan tulang, tapi gundukan besi! 
    Srattt..! 
    Sinar terang berpendar ketika Jatmika yang tengah kalap 
    itu mencabut goloknya. Dan seiring tercabutnya senjata itu, 
    Jatmika kembali menerjang. Golok di tangannya langsung 
    ditusukkan cepat ke arah perut. 
    Banyupaksi tahu, 
    Jatmika sudah tidak bisa 
    dicegah lagi. Maka dia pun 
    segera membantunya. Laki-
    laki berkumis rapi ini tahu, 
    Jatmika sama sekali bukan 
    tandingan orang itu. 
    Srattt..! 
    Sinar terang kembali 
    berkilatan ketika 
    Banyupaksi menghunus 
    goloknya. Dan secepat 
    senjata itu terhunus, 
    secepat itu pula diputar-
    putarkan di depan dada. 
    Baru kemudian, senjata itu 
    meluncur deras ke arah ulu 
    hati laki-laki berpakaian 
    hitam. 
    Meskipun Banyupaksi menyerang belakangan, namun 
    karena kelihaiannya, serangannya menjadi bersamaan

    datangnya dengan Jatmika. Padahal, laki-laki berrwajah 
    bercak-bercak putih itu lebih dulu menyerang 
    Takkk! Takkk! 
    Suara berderak keras terdengar ketika dua batang golok itu 
    mengenai sasaran. Tetapi akibatnya luar biasa. Dua batang 
    golok itu terpental balik, sementara laki-laki berpakaian hitam 
    itu seperti tidak merasakan apa-apa. Bahkan kedua tangan 
    penyerangnya yang terasa seperti lumpuh. 
    "Hmh...!" 
    Laki-laki berpakaian hitam itu mendengus. Sama sekali 
    tidak dipedulikannya serangan yang mengancam. 
    Takkk, takkk...! 
    Suara berdetak keras seperti ada dua benda logam 
    berbenturan, terdengar ketika dua batang golok itu mengenai 
    sasaran. Akibatnya luar biasa. Dua batang golok itu jadi 
    terpental balik. Bahkan sekujur tangan kedua penyerangnya 
    seperti lumpuh. Dan tanpa dapat dicegah lagi, senjata itu 
    terlepas dari pegangan. 
    Dan belum sempat Banyupaksi dan Jatmika berbuat 
    sesuatu, tangan laki-laki berpakaian hitam itu cpat bagai kilat 
    bergerak. Cepat sekali gerakannya, hingga kedua orang itu 
    tidak sempat mengelak lagi. 
    Terdengar suara berderak keras ketika kedua tangan laki-
    laki berpakaian hitam itu mengenai ubun-ubun mereka, hingga 
    pecah. Cairan merah kental bercampur otak seketika muncrat-
    muncrat. Banyupaksi dan Jatmika limbung sebentar, kemudian 
    hampir sama-sama ambruk di tanah. Sebentar mereka 
    meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi. Mati. 
    "Ha ha ha...!" 
    Laki-laki berpakaian hitam itu kembali tertawa tergelak. 
    Keras dan panjang, hampir tidak putus-putus.

    Setelah puas tertawa, laki-laki bercambang bauk itu 
    melangkah meninggalkan kedua mayat yang telah menjadi 
    korbannya 
    Sesaat kemudian, suasana hening kembali menyelimuti 
    Hutan Rangkong. Tidak terdengar lagi jeritan keras, tawa, 
    ataupun teriakan menyayat Kini yang terdengar hanyalah cicit 
    burung yang berkicau riang di dahan. 
    *** 
    DUA


    "Hhh...! Mengapa Jatmika dan Banyupaksi belum juga 
    muncul, Ki?" tanya seorang laki-laki bertubuh kecil kurus. 
    Matanya tetap menatap wajah seorang laki-laki setengah baya 
    berpakaian abu-abu dan berkumis tebal. 
    Laki-laki berpakaian abu-abu yang sebenarnya bernama Ki 
    Saketi, dan menjabat sebagai Kepala Desa Kangkong itu 
    mengalihkan pandangan yang sejak tadi tertuju ke Hutan 
    Rangkong. Menilik dari sikap dan wajahnya, jelas memang ada 
    yang ditunggunya 
    Ternyata bukan hanya laki-laki berpakaian abu-abu itu saja 
    yang mengalihkan pandangan. Belasan orang laki-laki dewasa 
    lain yang berdiri di mulut desa itu pun menatap ke arah laki-
    laki bertubuh kecil kurus ini. Kemudian mereka memandang 
    harap-harap cemas ke arah Hutan Rangkong. Menilik dari 
    pakaian, jelas kalau belasan orang itu adalah penduduk Desa 
    Kangkong. Mereka semua menanti kembalinya Jatmika dan 
    Banyupaksi yang telah pergi ke Hutan Rangkong 
    "Mana aku tahu, Wadira," jawab Ki Saketi seraya 
    menggelengkan kepala. "Aku juga heran, apakah mereka 
    mendapat kesulitan di sana? Sebenarnya, aku munyesalkan 
    kepergian mereka berdua yang tanpa pemberitahuan terlebih


    dahulu. Dan sayangnya lagi, Nyi Jatmika pun memberi tahu 
    kita setelah kedua orang itu telah pergi...." 
    "Aku yakin, Banyupaksi akan mampu mengatasi kesulitan 
    itu, Ki," duga salah seorang penduduk lain yang bertubuh 
    pendek gemuk. "Dia kan, guru silat kenamaan desa kita. 
    Bahkan kepandaiannya terkenal sampai ke desa-desa sekitar." 
    "Hhh...!" 
    Ki Saketi menghela napas berat. Sama sekali tidak 
    disambutnya ucapan yang bernada penuh keyakinan itu. 
    Sementara para penduduk yang lain mengangguk-anggukkan 
    kepala. Jelas kalau mereka semua membenarkan ucapan laki-
    laki bertubuh pendek gemuk itu. 
    "Kalau begitu, kita tunggu sampai besok pagi," Kepala Desa 
    Rangkong itu mengambil keputusan."Kalau sampai besok 
    mereka berdua belum kembali terpaksa akan kusuruh 
    beberapa orang di antara kalian untuk mencari mereka. 
    Bagaimana? Kalian bersedia?" 
    Setelah berkata demikian, laki-laki berkumis tebal ini 
    mengedarkan pandangan ke arah belasan orang yang berdiri 
    di sekelilingnya. 
    "Bersedia, Ki...!" 
    Laki-laki bertubuh kecil kurus bergegas menyahuti. 
    Memang di antara belasan orang penduduk di situ, hanya 
    dialah yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi. 
    "Kalian semua, bagaimana?" Ki Saketi mengalihkan 
    perhatian ke arah belasan orang lainnya. 
    Namun belasan penduduk itu hanya saling pandang satu 
    sama lain. Tidak ada satu pun kepala yang langsung 
    mengangguk. Jelas kalau mereka merasa ragu untuk 
    menerima perintah itu.

    "Aku butuh enam orang lagi di antara kalian untuk 
    menemani Wadira," sambung Kepala Desa Rangkong cepat 
    "Aku tidak akan membiarkan Wadira pergi sendiri ke sana. 
    Tapi kalau kalian semua tidak bersedia, biar aku sendiri yang 
    akan menemani Wadira ke sana." 
    Tegas dan mantap sekali kata-kata yang keluar dari mulut 
    Kepala Desa Rangkong itu. 
    Kembali belasan orang penduduk itu saling pandang 
    dengan wajah memerah. Mereka malu mendengar laki-laki 
    berkumis tebal itu akan pergi ke hutan apabila mereka tidak 
    bersedia menemani Wadira. 
    "Aku bersedia, Ki," laki-laki bertubuh pendek gemuk 
    menyahuti seraya mengacungkan tangan. 
    "Hm.... Siapa lagi?" 
    "Aku, Ki," sambut laki-laki berkumis jarang-jarang tak mau 
    kalah. 
    "Aku juga, Ki," yang lainnya ikut menyambut. "Aku ikut..!" 
    Ki Saketi mengangguk-anggukkan kepala begitu 
    mendengar kesediaan enam orang penduduk lainnya. 
    "Bagus...!" puji laki-laki berpakaian abu-abu ini "Aku hargai 
    kesediaan kalian. Pesanku, berhati-hati Dan kalian pergi 
    setelah Banyupaksi dan Jatmika tidak kembali besok pagi. 
    Mengerti?" 
    "Mengerti, Ki...l" sahut tujuh orang itu serempak. 
    "Bagus...! Sekarang mari kita kembali ke desa....'"I ajak Ki 
    Saketi seraya melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara 
    di belakangnya berjalan belasan orang warganya. Enam orang 
    di antara mereka, tampak beri jalan lesu. Merekalah yang 
    menyatakan diri bersedia menemani Wadira pergi ke Hutan 
    Rangkong. 
    ***
    Matahari pagi sudah sejak tadi menampakkan diri ketika 
    beberapa orang penduduk Desa Rangkong bergerak menuju 
    Hutan Rangkong. Berjalan paling depan adalah seorang laki-
    laki bertubuh kurus. Sedangkan di belakangnya, enam orang 
    penduduk lainnya mengikuti. 
    Dan memang, mau tak mau rombongan penduduk yang 
    berjumlah tujuh orang ini bergerak menuju ke dalam Hutan 
    Rangkong. Karena, sampai menjelang pagi Banyupaksi dan 
    Jatmika belum kembali. Dan sesuai perintah Kepala Desa 
    Rangkong, mereka harus, menyusul kedua orang itu. 
    "Bagaimana menurutmu, Wadira? Apakah kau juga punya 
    perasaan seperti Ki Saketi?" tanya laki-laki berkumis jarang-
    jarang, memecahkan keheningan yang terjadi di antara 
    mereka. Memang, sejak tadi ke tujuh orang itu berjalan tanpa 
    berkata-kata. 
    "Aku belum mengerti maksud pertanyaanmu, Kang?" sahut 
    orang yang dipanggil Wadira seraya mengernyitkan alisnya. 
    Rupanya Wadira belum mengetahui arah pertanyaan laki-
    laki berkumis jarang-jarang yang jelas-jelas terlihat jauh lebih 
    tua darinya. Itulah sebabnya, ia memanggil laki-laki berkumis 
    jarang-jarang itu dengan sebutan kakang. 
    "Hm.... Maksudku..., apakah kau juga mempunyai dugaan 
    yang sama dengan Ki Saketi, kalau Banyupaksi dan Jatmika 
    mendapat kesulitan di perjalanan sehingga tidak bisa kembali 
    ke desa?" 
    Laki-laki berkumis jarang-jarang yang bernama Jampa 
    tercenung sejenak. Tapi seperti juga enam orang lainnya, 
    kakinya segera melangkah. Sementara yang lainnya 
    mendengarkan saja pembicaraan itu. "Kalau pertanyaan itu 
    kau ajukan kemarin, pasti jawaban yang kuberikan akan lain, 
    Kang," kata Wadira sambil sedikit berputar. 
    "Maksudmu...?" Jampa mengernyitkan alisnya.

    "Kalau pertanyaan itu kau ajukan kemarin, dengan tegas 
    dan tanpa ragu akan kujawab kalau aku tidak percaya orang 
    seperti Kakang Banyupaksi akan mendapat kesulitan. Kita 
    semua tahu, siapa Kakang Banyupaksi. Dia adalah orang yang 
    memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di desa kita!" 
    "Jadi..., sekarang kau tidak yakin kalau Banyupaksi akan 
    mampu mengatasi kesulitan yang menghadangnya?" desak 
    laki-laki berkumis jarang-jarang. Nada suara maupun sikapnya 
    menampakkan penasaran yang amat sangat 
    "Yahhh... kira-kira begitu. Kang. Kenyataan telah 
    menunjukkan, Kakang Banyupaksi dan Kakang Jatmika belum 
    kembali. Apakah kau mengira mereka akan menginap di 
    hutan?" 
    Jampa menarik napas dalam-dalam, lalu 
    menghembuskannya kuat-kuat. Alasan yang dikemukakan 
    Wadira memang kuat dan beralasan, dan sulit dibantai lagi 
    Suasana menjadi hening ketika Wadira menghentikan 
    ucapannya. Dan tak lama kemudian, mereka telah sampai 
    tidak jauh dari mulut hutan. Baik Wadira maupun keenam 
    orang lainnya merasakan jantung mereka berdebar tegang. 
    Seketika ada perasaan genta yang melanda hati tatkala 
    melihat mulut hutan itu. Perasaan yang tidak pernah dirasakan 
    sebelumnya. Tapi kejadian demi kejadian dengan lenyapnya 
    satu-persatu para penduduk Desa Rangkong, membuat hati 
    mereka ciut seketika. 
    Itulah sebabnya, untuk beberapa saat lamanya mereka 
    semua terpaku di tempat itu. Mereka hanya berdiri diam 
    sambil memperhatikan Hutan Rangkon dari kejauhan. 
    Wadira menggertakkan gigi untuk lebih menguatkan hati 
    dan menghilangkan rasa takut yang melanda. Kemudian 
    dengan langkah lebar-lebar, laki-laki bertubuh kecil kurus ini 
    melangkah maju.

    Melihat Wadira telah melangkah maju, keenam orang 
    lainnya mau tak mau ikut melangkah maju. Dan kini selangkah 
    demi selangkah, jarak antara rombongan itu dengan mulut 
    Hutan Rangkong semakin dekat bahkan kini tinggal sekitar 
    lima tombak lagi. 
    Srattt..! 
    Wadira langsung mencabut goloknya. Diputarnya golok itu 
    sebentar di atas kepala, baru kemudian kakinya melangkah 
    mendekati mulut hutan. Sikap laki-laki bertubuh kecil kurus ini 
    terlihat waspada, dengan sepasang mata merayapi sekeliling. 
    Perbuatan Wadira ditiru rekan-rekannya, yang juga segera 
    mencabut senjata masing-masing. Rupanya mereka semua 
    berbekal senjata yang sama berupa golok. Sinar-sinar 
    berkilatan nampak berpendar ketika senjata-senjata tajam itu 
    keluar dari sarungnya. 
    Seperti juga halnya Wadira, enam orang itu pun 
    mengedarkan pandangan ke sana kemari. Menilik dari putaran 
    tangan yang menggenggam golok, jelas terlihat ketegangan 
    yang melanda hati mereka. Tubuh mereka seperti menggigil, 
    menanti sesuatu yang bakal terjadi. 
    Kini ketujuh orang penduduk Desa Rangkong itu mulai 
    memasuki mulut hutan. Dan seiring masuknya ke dalam, 
    perasaan tegang semakin jelas terlihat di wajah mereka. 
    Srakkk...! 
    Suara berkerosakan terdengar berkali-kali begitu golok-
    golok di tangan ketujuh orang itu silih berganti menguak 
    kerimbunan semak. Tapi sampai beberapa kali menguak 
    semak-semak, tetap saja yang dicari tidak diketemukan. Dan 
    semakin lama, langkah kaki mereka semakin masuk ke dalam 
    hutan. 
    "Bagaimana kalau kita memanggil-manggil nama mereka, 
    Wadira?" usul Jampa berbisik pelan.

    "Sebaiknya jangan. Kang," sahut Wadira. Nada suaranya 
    terdengar gemetar sekalipun berbisik. Memang, hati laki-laki 
    bertubuh kecil kurus ini tegang bukan main. 
    Jampa pun terdiam. Tadi pun sewaktu mengajukan usul, 
    sebenarnya tidak begitu bersungguh-sung guh. Usul itu 
    diajukan hanya sekadar untuk menghilangkan rasa takut saja. 
    Sekarang ketujuh orang itu kembali melanjutkan langkah. 
    Tapi baru juga beberapa tindak, langkah mereka terhenti. 
    Ketujuh orang itu langsung saling pandang. Jelas ada sesuatu 
    yang menyebabkan mereka bertindak seperti itu. 
    "Kau dengar suara itu, Kang Jampa?" tanya Wadira pelan. 
    Laki-laki berkumis jarang-jarang itu mengangguk-
    anggukkan kepala. Ternyata bukan hanya dia saja yang 
    mengangguk, tapi juga yang lainnya. 
    "Kau bisa mengira-ngira suara apa Itu, Kang? tanya Wadira 
    iagi. Masih berbisik. 
    Hanya gelengan kepala pertanda tidak tahu yang 
    menyambut! pertanyaan laki-laki bertubuh kecil kurus itu. 
    "Suara itu aneh sekali, Wadira," sahut salah seorang 
    penduduk membuka suara. Rupanya, dia juga tidak betah 
    hanya bertindak sebagai pendengar saja. 
    Orang itu menganggukkan kepalanya. Memang, suara itu 
    juga terdengar olehnya Suara angin mendecit nyaring, seperti 
    ada benda tajam. Tapi tak jarang terdengar mengaung, 
    sepertinya ada puluhan ekor lebah mengamuk. 
    "Bagaimana menurutmu. Kang?" tanya Wadira seraya 
    memandang wajah Jampa. 
    "Bagaimana apanya, Wadira?" Jampa malah bahu bertanya. 
    "Kita selidiki asal suara itu..., atau tidak?"

    Jampa mengangkat bahu. "Kuserahkan keputusan itu 
    padamu, Wadira." 
    "Kalau begitu, kita cari pemilik suara itu!" Tegas dan 
    mantap jawaban yang terdengar dari mulut Wadira, 
    sungguhpun dengan berbisik. Jawaban itu pun dikeluarkan 
    setelah beberapa saat lamanya tercenung. 
    Setelah berkata demikian, Wadira segera melangkah 
    menuju ke arah asal suara. Mau tak mau, keenam orang 
    rekannya mengikuti. 
    Kembali keheningan menyelimuti mereka. Kini yang 
    terdengar hanyalah kerosak suara rerumputan yang terlanda 
    kaki mereka, atau suara semak-semak yang tersibak golok. 
    Semakin rombongan penduduk Desa Rangkong itu 
    menerobos masuk ke dalam hutan, suara yang terdengar tadi 
    semakin jelas. Memang apa yang didengar semula tidak salah. 
    Suara yang terdengar adalah suara angin yang terkadang 
    mencicit, tapi tak jarang pula mengaung. 
    Srakkk...! 
    Wadira menyibak kerimbunan semak di hadapannya. Suara 
    yang didengarnya, jelas-jelas terdengar dari balik kerimbunan 
    semak itu. Maka bergegas kembali disibaknya semak-semak di 
    depannya. 
    Begitu kerimbunan semak-semak itu tersibak, Wadira 
    menjulurkan kepala. Dia ingin tahu, 'makhluk' apa yang 
    bersuara aneh itu. 
    "Akh...!" 
    Laki-laki bertubuh kecil kurus ini memekik tertahan. Betapa 
    tidak? Begitu kepalanya dijulurkan,tahu-tahu ada sebuah 
    tangan kuat mencekal lehernya dari batik kerimbunan semak-
    semak. Keras bukan main cekalan tangan itu. 
    "Ha ha ha...!"

    Sebuah suara tawa keras bernada menyeramkan terdengar 
    begitu pekikan Wadira usai. 
    Karuan saja kejadian tidak disangka-sangka itu bukan 
    hanya Wadira yang kaget, tapi juga keenam orang rekannya. 
    Memang, sejak tadi hati mereka telah dilanda ketegangan. 
    Tentu saja kejadian mengejutkan itu membuat mereka 
    serentak melompat ke belakang dengan raut wajah sepucat 
    mayat 
    Sebelum mereka semua sempat berbuat sesuatu, tangan 
    kekar yang mencekal leher Wadira telah bergerak 
    mencengkeram. 
    Krrrkh...! 
    Suara bergemeretak tulang leher yang patah terdengar 
    seiring remasan tangan yang mencekal. Tanpa sempat 
    berteriak lagi, Wadira tewas seketika. Tubuhnya pun ambruk 
    ke tanah ketika tangan kekar itu melepaskan cekatannya. 
    Keenam orang penduduk desa itu menatap wajah Wadira 
    dengan pandangan ngeri. Apalagi ketika melihat darah segar 
    yang memancur deras dari mulut, hidung, dan telinga laki-laki 
    bertubuh kecil kurus itu. 
    Tapi pandangan mereka semua lalu beralih begitu, 
    terdengar suara berkerosakan keras diiringi tersibaknya semak 
    yang tadi disibak oleh Wadira. Dan tak lama, keluarlah sosok 
    tubuh tinggi besar dan berpakaian hitam. 
    Jampa dan kelima orang rekannya menatap sosok tubuh 
    yang baru saja keluar dari balik semak-semak. 
    Sosok tubuh itu tampaknya benar-benar mengiriskan. 
    Sekujur tubuhnya dipenuhi bulu hitam. Wajahnya- kasar, dan 
    ditumbuhi cambang bauk yang lebat. Dan pada bagian atas 
    kepalanya bertengger sebuah penutup kepala yang terbuat 
    dari setengah tempurung kelapa.

    "ha ha ha...! Sungguh tidak kusangka masih ada monyet-
    monyet kecil yang mau mengantarkan nyawa," kata laki-laki 
    berpakaian hitam itu dengan suara khasnya yang keras dan 
    menggelegar. 
    Keenam orang penduduk Desa Rangkong itu sama sekali 
    tidak menyambut ucapan itu. Perasaan tegang dan ngeri 
    melihat kematian Wadira yang mengerikan, serta perbawa 
    laki-laki bercambang bauk lebat itu membuat lidah mereka 
    seperti kelu. Tak mampu mengeluarkan kata-kata sedikit pun. 
    "Kalian ingin melihat monyet-monyet kecil yang telah 
    mendahului kalian?" 
    Setelah berkata demikian, laki-laki bertubuh tinggi besar itu 
    menggerak-gerakkan tangannya ke arah kerimbunan semak 
    tempat dirinya keluar tadi. 
    Hebat luar biasa akibatnya. Padalah jelas terlihat kalau laki-
    laki berpakaian hitam itu hanya mengibaskan tangan secara 
    sembarangan saja ke arah kerimbunan semak-semak tadi. 
    Tapi akibatnya semak-semak itu terlempar jauh ke belakang, 
    tercabut hingga ke akar-akarnya. 
    Tindakan yang baru disaksikan itu saja, sudah membuat 
    bulu tengkuk mereka merinding. Tapi, pemandangan yang 
    tampak di balik kerimbunan semak-semak lebih membuat 
    mereka dilanda rasa ngeri. 
    Tampak di atas pepohonan, di balik semak-semak itu 
    tergantung tiga sosok tubuh. Walaupun keadaannya sudah 
    tidak karuan lagi, tetapi masih dapat dikenali. Tiga sosok 
    tubuh itu bukan lain dari Banyupaksi, Jatmika, dan Guradi. 
    Memang, semula laki-laki berpakaian hitam itu 
    meninggalkan ketiga mayat itu. Tapi akhirnya berubah pikiran, 
    dan mengambilnya.

    "Banyupaksi, Jatmika, dan Guradi...," desah Jampa dengan 
    bibir bergetar. Suaranya terdengar serak karena dilanda 
    ketegangan yang memuncak. 
    Tanpa diberi tahu pun, kelima orang penduduk yang lain 
    bisa mengenali orang-orang yang tergantung di atas pohon 
     "Ha ha ha...!” 
    Laki-laki bercambang bauk lebat tertawa bergelak-gelak 
    melihat wajah keenam orang penduduk itu pucat pasi bagai 
    tak pernah dialiri darah. 
    "Semula aku sudah merasa kebingungan mencari orang 
    untuk kujadikan kelinci percobaan atas ilmu baru vang tengah 
    kupelajari. Dan sungguh tidak kusangka kalian datang. Ha ha 
    ha...! Nasibku memang benar-benar baik. Aku tidak perlu 
    susah-susah mencari, buktinya sudah ada ikan kena 
    umpanku!" 
    Keenam orang penduduk Desa Rangkong sudah bisa 
    menebak kalau laki-laki berpakaian serba hitam itu memiliki 
    ilmu dahsyat. Dan mereka semua merasa kalau bukan 
    tandingan orang itu. Melawan sama saja membuang nyawa 
    percuma. Melihat dari mayat Banyupaksi, sudah bisa 
    diperkirakan kesaktian laki-laki yang menyeramkan ini. Belum 
    lagi saat dia membongkar kerimbunan semak-semak dengan 
    sebuah kibasan lengan sembarangan saja. Sukar untuk 
    dibayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu kepandaian 
    kakek tinggi besar ini. 
    Seperti telah disepakati saja, mendadak mereka 
    membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat 
    itu. 
    "Ha ha ha...!" 
    Laki-laki berpakaian serba hitam itu tertawa bergelak. Dan 
    sekali bergerak, tubuhnya telah berada di hadapan enam 
    orang penduduk Desa Rangkong itu.

    Enam orang penduduk Desa Rangkong tadi hanya melihat 
    sekelebatan bayangan hitam saja yang melewati mereka. Dan 
    kini tahu-tahu laki-laki bertubuh tinggi besar itu telah berada 
    di hadapan mereka. Karuan saja hal ini membuat mereka 
    terkejut bukan main dan langsung menghentikan langkah. 
    Rasa gentar yang amat sangat merayapi hati mereka semua. 
    Tanpa pikir panjang lagi mereka membalikkan tubuh 
    kembali dan berlari ke arah yang berlawanan dari arah tujuan 
    semula. Kini mereka berlari kian masuk ke dalam hutan. 
    "Ha ha ha...! Jangan mimpi bisa lolos dari Raja Iblis Baju 
    Hitam..!" 
    Diiringi tawa bergelak yang memekakkan telinga laki-laki 
    bercambang bauk lebat yang ternyata berjuluk Raja Iblis Baju 
    Hitam itu berseru sombong. 
    Untung bagi keenam orang penduduk Desa Rangkong itu. 
    Sebab laki-laki bertubuh tinggi besar itu tidak mengerahkan 
    tenaga dalam pada suaranya. Kalau saja dikerahkan, pasti 
    semuanya akan tewas dengan dada pecah. 
    Setelah beberapa kali mencoba tanpa hasil, keenam orang 
    penduduk desa itu pun tahu kalau tidak ada gunanya 
    berusaha melarikan diri. Maka diputuskanlah untuk melawan 
    mati-matian. Keenam orang ini tahu kalau Raja Iblis Baju 
    Hitam tidak akan mengampuni. 
    "Hiaaat...!" 
    Diiringi teriakan keras menggelegar, Jampa melompat 
    menerjang. Golok di tangannya dibabatkan cepat ke arah 
    leher. 
    Melihat rekan mereka telah bergerak menyerang, lima 
    orang lainnya pun ikut menyerang pula. Dalam sekejapan 
    saja, enam batang golok telah menyambar ke berbagai bagian 
    tubuh laki-laki berpakaian hitam. "Hmh...!"

    Raja Iblis Baju Hitam hanya mendengus. Tidak tampak 
    tanda-tanda kalau akan mengelak atau menangkis serangan 
    itu. Sekali lihat saja, telah diketahui kalau enam orang itu 
    hanya sekadarnya saja menguasai Ilmu silat. Tenaga dalam 
    mereka pun amat rendah. Maka, dibiarkannya saja enam 
    batang golok itu menyambar sasaran. Laki-laki bercambang 
    bauk lebat ini hanya mengerahkan tenaga dalam untuk 
    melindungi kulit tubuhnya. Tak, tak, tak...! 
    Suara berdetak keras seperti beradunya logam-logam keras 
    terdengar berulang-ulang ketika enam batang golok mengenai 
    tubuhnya. 
    Enam orang penduduk Desa Rangkong itu terpekik kaget 
    ketika menyadari serangan golok mereka sama sekali tidak 
    mampu melukai tubuh lawan. Malah sebaliknya, golok di 
    tangan mereka terpental balik, bukan hanya itu saja. Tangan 
    yang menggenggam senjata itu pun terasa sakit bukan main. 
    Sebelum keenam orang penduduk itu sadar dari 
    keterkejutannya, tangan Raja Iblis Baju Hitam telah bergerak. 
    Cepat bukan main gerakannya, sehingga para penduduk desa 
    yang hanya mempunyai kemampuan sekadarnya tak 
    menyadari hal itu. Mereka semua hanya melihat seleret sinar 
    kehitaman menyambar, dan tahu-tahu golok di tangan mereka 
    telah terlepas dari pegangan. 
    Jampa dan kelima orang temannya memandang dengan 
    mata terbelalak lebar melihat kenyataan . Dan kini di kedua 
    tangan tokoh sesat yang menggiriskan itu tergenggam enam 
    batang golok. Entah bagaimana caranya, senjata-senjata itu 
    berpindah tangan. Bahkan enam orang penduduk itu sama 
    sekali tidak mengetahuinya. 
    Sambil tertawa terbahak-bahak, Raja Iblis Baju Hitam 
    menggerakkan jari-jari tangannya. Perlahan saja kelihatannya, 
    tapi akibatnya luar biasa. Suara gema retak keras terdengar, 
    diikuti berpatahannya golok-golok itu.

    "Ilmu iblis...!" 
    Laki-laki berpakaian hitam itu mendesis penuh kengerian. 
    Memang cara Raja Iblis Baju Hitam mema tah-matahkan 
    keenam golok itu luar biasa sekali. Padahal, semua senjata itu 
    terbuat dari logam keras, Tapi dia ternyata mampu 
    mematahkannya seperti mematahkan lidi! 
    "Sekarang saatnya aku mencoba ilmu yang selama ini 
    kulatlh...." 
    Setelah berkata demikian, Raja Iblis Baju Hitam 
    mendorongkan kedua tangan dengan jari-jarinya terbuka, ke 
    depan. Pelan gerakannya, tapi penuh tenaga. Suara 
    berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang patah mengiringi 
    gerakannya. Dan begitu kedua tangan itu telah terjulur ke 
    depan, kedua telapak tangan itu berubah merah seperti darah. 
    Seketika tercium bau amis yang memualkan perut, seiring 
    berubahnya warna telapak tangan itu. Jelas kalau Raja Iblis 
    Baju Hitam menggunakan ilmu yang mengandung racun. 
    "Hih...!" 
    Mendadak tubuh Raja Iblis Baju Hitam melesat cepat ke 
    depan. Enam orang penduduk itu terkejut, iktn sebisa-bisanya 
    berusaha mengelak. Tapi... 
    Plak, plak, plak...! 
    Enam kali berturut-turut telapak tangan laki-laki 
    bercambang bauk lebat itu menyentuh tubuh enam orang 
    penduduk Desa Rangkong. Pelan saja gerakannya. Memang, 
    Raja Iblis Baju Hitam hanya mengerahkan sebagian kecil 
    tenaga dalamnya. Dia memang tidak berniat membunuh atau 
    menyiksa dengan tenaga dalamnya. Tapi hanya sekadar 
    mencoba keampuhan ilmu racun yang beberapa lama ini 
    dipelajarinya. 
    Akibatnya luar biasa. Begitu kedua telapak tangan Raja Iblis 
    Baju Hitam menyentuh, enam orang penduduk itu menggeliat

    geliat. Rasa gatal dan panas yang amat sangat seketika 
    menyerang tubuh mereka. Mula-mula hanya melanda bagian 
    yang tersentuh, tapi cepat kali menyebar ke seluruh bagian 
    tubuh. Enam orang penduduk itu menjerit melolong-lolong. 
    Rasa gatal yang tidak terkira membuat mereka tanpa pikir 
    panjang lagi menggaruk keras-keras. Anehnya semakin 
    digaruk, rasa gatal itu semakin menyiksa. Maka mereka pun 
    menggaruk semakin membabi-buta. 
    "Ha ha ha...!" 
    Raja Iblis Baju Hitam tertawa bergelak-gelak melihat 
    pemandangan di hadapannya. Memang, tokoh sesat yang 
    menggiriskan ini memiliki kebiasaan. Hatinya merasa senang 
    melihat orang lain tersiksa menderita. Semakin tersiksa dan 
    menderita, semakin gembira hatinya. Tak heran bila 
    menyaksikan penderitaan enam orang penduduk Desa 
    Rangkong dia malah tertawa-tawa gembira. 
    Sementara enam orang penduduk desa itu saja menggaruk 
    sekujur tubuh. Karena rasa gatal menyebar ke seluruh tubuh, 
    maka garukan tangan mereka pun menjarah sekujur tubuh. 
    Tak lama kemudian, sekujur kulit tubuh mereka mulai 
    hancur. Di samping akibat pengaruh racun juga akibat 
    garukan tangan mereka sendiri. 
    Cukup lama juga pemandangan mengerikan berlangsung, 
    sebelum akhirnya mereka tidak bergerak lagi untuk selama-
    lamanya. Tewas dalam keadaan tubuh tercabik-cabik tangan 
    sendiri. 
    "Ha ha ha...! Tidak sia-sia rupanya aku mempelajari ilmu 
    'Tangan Racun Pasir Merah'. Memang luar biasa akibatnya. Ha 
    ha ha...! Bidadari Sabuk Emas. Kita buktikan, siapa di antara 
    kita yang paling jago kini! Ha ha ha...!" 
    Masih dengan suara tawa yang tidak putus, Raja Iblis Baju 
    Hitam meninggalkan mayat enam orang penduduk itu.


    ***

    TIGA


    Senandung kecil terdengar meningkahi cicit riang ini urung-
    burung menyambut datangnya pagi. Bola api raksasa 
    berwarna merah muncul di ufuk Timur, mengulir kabut yang 
    masih tertinggal di lereng Gunung Rangkong. 
    Sesosok tubuh renta milik seorang kakek kecil kurus, 
    bergerak lincah menuruni lereng gunung itu. Mulutnya agak 
    meruncing ke depan, menyiutkan senandung tak jelas 
    iramanya. Rupanya dari mulut kakek inilah senandung itu 
    berasal. 
    Kakek Itu mengenakan pakaian berwarna kuning. 
    Wajahnya nampak segar kemerahan, seperti bukan wajah 
    seorang kakek. Padahal menilik dari rambut, aliss, kumis, dan 
    jenggotnya yang telah memutih, bisa diperkirakan kalau 
    usianya sudah lebih enam puluh Inhun. Di tangan kanannya 
    terjinjing sebuah keranjang intan. 
    Sambil terus bersiul-siul, kakek ini bergerak lincah. Dia 
    melompat dari satu batu ke batu lainnya. Gerakannya cukup 
    cepat dan lincah. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya telah 
    begitu tinggi. 
    Bola api raksasa di ufuk Timur, sudah tidak berwarna 
    kemerahan lagi. Bahkan sinarnya pun sudah mulai 
    menyilaukan mata, ketika kakek berpakaian kuning ini tiba di 
    mulut Hutan Rangkong. Di sini, baru kakek itu menghentikan 
    larinya. 
    Kini kakek berpakaian kuning itu melangkahkan kakinya 
    lambat-lambat Sedangkan sepasang matanya beredar 
    mengawasi sekelilingnya. Jelas, ada sesuatu yang dicarinya.


    Beberapa kali kakek ini melangkah menghampiri ketika 
    melihat apa yang dicarinya. Ternyata dia tengah mencari 
    tumbuh-tumbuhan. Beberapa kali, dicabutnya beberapa 
    tanaman yang memang dicarinya, lalu diambil akarnya. 
    Terkadang pula bijinya. Tapi, tak jarang daun atau kulit 
    batangnya. 
    Matahari telah berada di atas kepala, ketika akhirnya 
    keranjang rotan kakek itu telah penuh segala macam 
    tanaman. 
    Sambil bersiul-siul, kakek berpakaian kuning ini kembali 
    melangkahkan kakinya kembali ke lereng gunung. Tidak 
    nampak ada kelelahan pada wajahnya, walaupun telah 
    berputar putar di dalam Hutan Rangkong selama setengah 
    hari. 
    Tapi gerakannya langsung terhenti ketika sepasang 
    matanya melihat serombongan orang bergerak mendaki 
    lereng. Menilik dari pakaian dan gerakan,bisa diduga kalau 
    rombongan itu adalah para penduduk desa di sekitar Gunung 
    Rangkong. 
    Kakek berpakaian kuning itu diam-diam menghitung jumlah 
    mereka dengan matanya. Ada delapan orang. Dua di 
    antaranya nampak lemas dan dipapah. Dari sini bisa 
    diperkirakan kalau mereka menderita sakit. 
    Setelah mengamati beberapa saat, kakek berpakaian 
    kuning ini lalu melesat ke arah mereka. Cepat bukan main 
    gerakannya, sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan sinar 
    berwarna kekuningan. 
    Sesaat kemudian, kakek berpakaian kuning itu telah berada 
    di depan delapan orang penduduk Desa Rangkong. Begitu 
    mendadak kehadirannya, sehingga membuat delapan orang 
    itu berjingkat kaget Tapi, raut kagetan segera lenyap begitu 
    mengenali sosok tubuh yang tahu-tahu berada di depan 
    mereka.

    "Eyang Balunglaga...," sebut salah seorang dari mereka 
    yang berjenggot hitam panjang. 
    "Siapa kalian? Dan ada keperluan apa mendaki lereng ini?" 
    tanya kakek berpakaian kuning yang ternyata bernama Eyang 
    Balunglaga. Sekilas, ditatapnya wajah dua orang yang dipapah 
    mereka. Kemudian, pandangannya beralih ke arah laki-laki 
    berjenggot panjang. 
    "Kami adalah penduduk Desa Rangkong, Eyang," jawab 
    laki-laki berjenggot panjang yang rupanya menjadi juru bicara 
    rombongan itu. 
    Eyang Balunglaga hanya mengangguk-anggukkan kepala. 
    Kakek ini tahu, Desa Rangkong adalah salah satu desa yang 
    terletak di kaki Gunung Rangkong. Pandangannya kembali 
    dialihkan ke arah wajah dua inang yang dipapah, seorang laki-
    laki dan seorang wanita. 
    "Maksud kami mendaki lereng ini untuk mencari eyang," 
    sambung laki-laki berjenggot panjang. "Kami ingin meminta 
    pertolongan." 
    Sambil berkata demikian, pandangan mata laki laki 
    berjenggot panjang itu berpindah ke arah dua orang yang 
    dipapah. Tanpa sadar, Eyang Balunglaga juga mengedarkan 
    pandangan ke arah yang sama. Memang, kakek berpakaian 
    kuning ini sangat ahli dalam ilmu pengobatan. Keahliannya 
    bahkan telah tersebar ke seluruh desa di kaki Gunung 
    Rangkong. 
    "Inikah orang yang butuh pertolongan itu?" tanya Eyang 
    Balunglaga sambil melangkah menghampiri. Ditatapnya wajah 
    kedua orang laki-laki itu, lalu diperiksa panas tubuhnya. 
    "Mereka keracunan...," jelas kakek berpakaian kuning itu 
    pelan. "Ceritakan, bagaimana hal ini bisa terjadi?"

    Laki-laki berjenggot panjang mengangkat bahu pertanda 
    tidak mengetahuinya. Kemudian pandangannya dialihkan ke 
    arah rekannya, seorang laki-laki muda bertubuh kekar berotot. 
    "Aku juga tidak mengerti, Eyang," kata laki-laki bertubuh 
    kekar itu. "Hanya yang kutahu, sebelumnya Paman dan Bibi 
    memakan ikan hasil tangkapan Paman." 
    "Hm.... Lalu?" desak Eyang Balunglaga. 
    'Tak lama kemudian.... Paman dan Bibi muntah-muntah. 
    Tubuhnya pun kejang. Dari mulut mereka keluar buih berbau 
    busuk. Maka segera kupanggil mereka semua untuk 
    menolongku membawa dua orang ini kemari." 
    "Kau tahu, ikan apa yang dimakannya?" tanya Eyang 
    Balunglaga. 
    Karena sebagai seorang ahli pengobatan, kakek ini tahu 
    kalau ada beberapa jenis ikan yang memang mengandung 
    racun. Ikan buntal misalnya. Tapi ikan jenis itu hanya hidup di 
    laut. 
    "Ikan air tawar biasa, Eyang." 
    "Aneh," ucap Eyang Balunglaga dengan dahi berkernyit 
    dalam. 
    Jelas ada sesuatu yang dipikirkan laki-laki tua itu. 
    Sementara delapan orang penduduk Desa Rangkong diam 
    saja. Mereka tidak mau mengganggu pikiran kakek berpakaian 
    kuning itu. 
    "Bawa mereka ke pondokku," ujar Eyang Balunglaga, 
    seraya melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu, 
    mendahului mereka menuju ke lereng. 
    Enam orang penduduk Desa Rangkong membaringkan dua 
    sosok tubuh yang mereka papah ke dipan bambu. Kemudian, 
    mereka duduk diam menunggu.

    Sementara di dalam, Eyang Balunglaga sibuk memeriksa 
    luka-luka dua orang penduduk yang keracunan itu. 
    "Hhh...l" 
    Kakek berpakaian kuning itu menghela napas berat, setelah 
    memeriksa luka-luka kedua orang itu berapa saat lamanya. 
    Menilik dari sikap dan raut wajahnya, jelas ada sesuatu yang 
    tidak menyenangkan hati kakek kecil kurus ini. 
    Dengan langkah lambat dan raut wajah lesu. Eyang 
    Balunglaga melangkah ke luar. 
    "Bagaimana, Eyang?" tanya pemuda bertubuh kekar penuh 
    gairah. 
    Saking tegangnya menunggu nasib kedua orang 
    keluarganya, dia tidak sempat memperhatikan wajah dan 
    sikap Eyang Balunglaga yang lesu. 
    "Sayang sekali, Anak Muda," sahut kakek bertubuh kecil 
    kurus itu pelan. Tampak kalau dia merem berat hati untuk 
    menyampaikannya. 
    "Maksud, Eyang?" tanya laki-laki bertubuh kekar itu kalap. 
    "Racun yang menyerang mereka tidak kukenal," sahut 
    Eyang Balunglaga bernada keluhan. "Terus terang, aku tidak 
    mampu menolong mereka." 
    "Jadi...?!" suara laki-laki bertubuh kekar itu terdengar 
    gemetar. 
    "Kita serahkan semuanya pada kekuasaan Tuhan...," hanya 
    itu yang bisa diucapkan Eyang Balunglaga. 
    "Ohhh...!" 
    Seraya mengeluarkan keluhan putus asa, laki-laki bertubuh 
    kekar itu melesat cepat ke ruang dalam. Eyang Balunglaga 
    sama sekali tidak mencegahnya. Hatinya merasa terpukul


    karena tidak mampu mengobati luka kedua orang itu. Untuk 
    pertama kali Eyang Balunglaga gagal dalam mengobati orang. 
    Perlahan kakek bertubuh kecil kurus ini mengalihkan 
    perhatian pada penduduk lain yang ikut mengantar kedua 
    orang yang keracunan itu. Perasaan terpukul yang 
    melandanya pun semakin besar. Dilihatnya satu-persatu 
    kepala penduduk itu tertunduk Sepertinya, mereka semua 
    menyalahkan kakek itu karena tidak mampu mengobati 
    penduduk Desa Rangkong Itu. "Paman...! Bibi...!" 
    Mendadak dari ruangan dalam terdengar teriakan keras, 
    namun lebih patut disebut lolong kesedihan, serentak empat 
    orang penduduk lainnya itu berlomba masuk ke dalam. 
    Meskipun sudah dapat menduga apa yang terjadi, tapi tak 
    urung mereka ingin menyaksikannya juga. 
    Eyang Balunglaga tak ketinggalan pula. Kakek berpakaian 
    kuning ini melangkah masuk paling akhir. 
    Tapi langkah Eyang Balunglaga berhenti di depan pintu, 
    seperti juga empat orang penduduk itu begitu melihat 
    pemandangan di hadapan mereka. 
    Tampak di pinggir pembaringan, pemuda bertubuh kekar 
    itu duduk sambil menelungkupkan wajah. Sementara di balai-
    balai bambu, tergolek diam dua sosok tubuh. 
    Tanpa melihat dari dekat pun, Eyang Balunglaga sudah bisa 
    mengetahui kalau kedua orang itu sudah tewas. Tanpa sadar, 
    sebuah helaan napas berat keluar dari mulutnya. 
    Tanpa berkata-kata, laki-laki bertubuh kekar itu 
    mengangkat salah satu mayat dan membawanya ke luar. 
    Bagai kucing ditakut-takuti lidi, para penduduk dan Eyang 
    Balunglaga yang berdiri di ambang pintu bergerak menyingkir. 
    Masih dengan tanpa suara, laki-laki bertubuh kekar itu 
    melangkah melewati ambang pintu. Jangankan bicara, 
    menoleh pun tidak. Pandangan matanya menatap kosong ke

    depan. Jelas kalau hatinya merasa terpukul menerima 
    kenyataan ini. 
    Melihat laki-laki bertubuh kekar itu telah melangkah ke luar, 
    laki-laki berjenggot panjang memberi isyarat pada salah satu 
    dari tiga orang penduduk 
    Tanpa menunggu diperintah dua kali, penduduk yang 
    bertubuh pendek menghampiri balai-balai bambu. 
    Diangkatnya tubuh penduduk desa mereka yang telah menjadi 
    mayat. 
    Laki-laki berjenggot panjang menunggu, hingga laki-laki 
    bertubuh pendek itu melewati ambang pintu. Setelah lewat, 
    baru dia bersama dua orang penduduk lainnya bergerak 
    meninggalkan ruangan itu. Tak lupa sebelum meninggalkan 
    tempat itu, laki-laki berjenggot panjang menoleh ke arah 
    Eyang Balunglaga. 
    "Maafkan atas sikap kami semua, Eyang. Biar 
    bagaimanapun juga, Eyang telah berusaha sekuat tenaga. 
    Tapi, yahhh.... Tuhan telah berkehendak lain." 
    Hanya senyum getir tersungging di mulut Eyang Balunglaga 
    yang menyambuti ucapan laki-laki berjenggot panjang itu. 
    Mata laki-laki tua itu kemudian menatap enam sosok tubuh 
    yang semakin lama semakin mengecil dan akhirnya lenyap 
    ditelan jalan. 
    *** 
    Tok, tok, tok...! 
    Seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus mengetuk daun 
    pintu sebuah rumah. Menilik dari ketukannya yang berturut-
    turut, bisa diperkirakan kalau dia tengah terburu-buru. 
    "Ki...! Ki Saketi...!" 
    Sambil terus mengetuk-ngetukkan tangan pada daun pintu, 
    laki-laki bertubuh tinggi kurus itu berteriak-teriak memanggil.

    Jelas kalau dia terburu-buru sekali. Panggilannya berhenti 
    setelah terdengar langkah kaki diseret mendekati pintu. 
    Suara derit pelan terdengat ketika daun pintu itu tergerak 
    membuka. 
    "Hm.... Kau rupanya, Tirta?" sapa orang yang dipanggil Ki 
    Saketi tadi. 
    Kepala Desa Rangkong ini tampak berwajah kuyu dan 
    lusuh. Kejadian demi kejadian yang menimpa desanya 
    membuat laki-laki berkumis tebal ini menjadi berwajah 
    demikian. Dia yakin, pasti ada kejadian lagi. Sehingga orang 
    yang dipanggil Tirta bertindak begitu kalap. 
    "Ada apa, Tirta?" 
    "Anu, Ki...," masih dengan napas memburu. Tirta mencoba 
    bercerita. 
    "Lebih baik kita masuk dulu dan bicara di dalam,"ujar Ki 
    Saketi. 
    Kepala desa itu mengajak Tirta masuk. Dia tahu, laki-laki 
    kurus itu butuh ketenangan untuk bercerita. Tapi, perasaan 
    terburu-burunya untuk menyampaikan sesuatu sudah tidak 
    bisa ditahan lagi. Daripada mendengar cerita yang terputus-
    putus, Kepala DesaRang kong ini mengajak Tirta masuk ke 
    rumahnya. 
    Laki-laki tinggi kurus itu tidak bisa membantah lagi karena 
    Ki Saketi telah mendahului melangkah masuk 
    "Minumlah dulu agar hatimu tenang," Ki Saketi 
    mempersilakan, begitu mereka berdua telah duduk di dalam. 
    Lagi-lagi Tirta tidak membantah ucapan laki-laki berpakaian 
    abu-abu itu. Segera tangannya diulurkan untuk mengambil 
    minuman yang disediakan.

    "Nah, Sekarang, katakanlah apa yang ingin kau ceritakan 
    padaku!" tagih Kepala Desa Rangkong begi tu Tirta telah 
    meletakkan kembali gelas bambu di meja 
    "Celaka, Ki!" belum apa-apa laki-laki bertubuh tinggi kurus 
    itu sudah kalap. 
    'Tenanglah, Tirta," ujar Ki Saketi menasihati. 
    "Para penduduk yang mandi di sungai, terserang penyakit 
    aneh, Ki," lanjut Tirta. 
    'Penyakit aneh?" Ki Saketi mengernyitkan dahinya. 
    "Benar, Ki. Penyakit aneh," ulang Tirta menguatkan ucapan 
    sebelumnya. "Begitu selesai mandi, sekujur tubuh mereka 
    terasa gatal-gatal amat luar biasa Mereka merasa tidak tahan 
    untuk tidak menggaruk." 
    Tirta mengatur napasnya sejenak. Caranya bercerita yang 
    terlalu berapi-api, membuat napasnya tersengal-sengal. 
    Sementara Ki Saketi langsung mengerutkan alisnya 
    mendengar cerita laki-laki bertubuh tinggi kurus itu. 
    "Tak lama kemudian, di sekujur tubuh mereka timbul 
    bintik-bintik. Lalu, kulit mereka seperti hancur, 
    Sampai di sini Tirta menghentikan ceritanya, lalu 
    menutupkan muka dengan kedua telapak tangannya. 
    "Di mana mereka sekarang?" tanya Ki Saketi dengan suara 
    bergetar menahan perasaan ngeri. Sepercik ucapan terbetik di 
    hatinya. Apa dosa penduduk Desa Rangkong, sehingga sampai 
    menerima malapetaka beruntun ini? Padahal tujuh orang 
    penduduk ynng tiga hari lalu pergi menyusul Banyupaksi dan 
    .latmika pun belum ketahuan kabarnya. Kini sudah muncul lagi 
    masalah baru. 
    "Masih di pinggir sungai, Ki," pelan dan tidak bersemangat 
    jawaban Tirta. Sungguh berbeda dengan ucapan sebelumnya 
    yang begitu berapi-api. "Kalau begitu, mari kita ke sana!"

    Setelah berkata demikian, Kepala Desa Rangkong Ini bergegas 
    bangkit dari duduknya. Mau tidak mau, Tirta pun bergerak 
    bangkit mengikuti laki-laki berkumis lebal yang terus saja 
    melangkah ke luar. 
    Tapi sesampainya di luar, Ki Saketi terpaksa menunggu 
    Tirta karena memang dialah yang mengetahui di sungai 
    sebelah mana para penduduk yang keracunan itu. 
    Seperti semula sewaktu datang, kali ini pun Tirta berlari-lari 
    bagai dikejar hantu. Mau tak mau, Ki Saketi terpaksa berlari-
    lari juga kalau tidak ingin tertinggal. 
    Kepala Desa Rangkong ini tidak bisa menyalahkan Tirta 
    karena dia pun ingin buru-buru melihat kenyataan ucapan 
    warganya itu. 
    Masih cukup jauh jarak yang dimaksud Tirta, namun Ki 
    Saketi sudah bisa mengetahui tempat pastinya. Kerumunan 
    para penduduk yang merubungi sebuah tempat, sudah 
    merupakan jawaban pertanyaannya. 
    Melihat hal itu, Tirta dan Ki Saketi semaki mempercepat 
    langkahnya. 
    Sebelum kedua orang itu tiba, seorang penduduk yang 
    wajahnya penuh panu sudah melihat kedatangan mereka. 
    "Minggir...! Menyingkir semua...! Beri jalan pada Ki 
    Saketi...!" teriak laki-laki berwajah penuh panu seraya 
    menepuk-nepuk bahu beberapa orang penduduk untuk lebih 
    memperjelas pemberitahuannya. Maka kerumunan para 
    penduduk itu pun menyeruak, memberi jalan pada Ki Saketi. 
    Kepala Desa Rangkong ini menganggukkan kepala kepada 
    para warganya, kemudian bergegas menghampiri sosok-sosok 
    tubuh yang tergolek dengan sekujur kulit memerah seperti 
    darah.

    Dengan pandangan matanya, Ki Saketi menghitung jumlah 
    mereka. Ada enam orang. Dan semuanya tergolek diam. 
    Matikah mereka? 
    Laki-laki berpakaian abu-abu ini buru-buru berjongkok. 
    Melihat keadaan tubuh mereka, Ki Saketi sama sekali tidak 
    berani menyentuhnya. Dia tahu keenam orang penduduknya 
    itu keracunan hebat 
    "Hhh...!" 
    Kepala Desa Rangkong ini menghela napas berat. Melihat 
    tidak adanya perut yang bergerak turun naik, bisa diperkirakan 
    kalau mereka yang terbaring sudah lewas. Keadaan mereka 
    begitu mengerikan. Sekujur kulit memerah seperti udang 
    rebus. 
    Yang lebih mengerikan lagi, sekujur kulit tubuh mereka pun 
    seperti hancur. Jadi lunak seperti telah membusuk. Luka-luka 
    bekas garukan tangan akibat rasa gatal yang mendera, 
    nampak di sekujur kulit yang merah dan lunak itu. 
    Perlahan-lahan Ki Saketi bangkit berdiri. Wajahnya penuh 
    diliputi kengerian. Memang, laki-laki berpakaian abu-abu ini 
    merasa ngeri bukan main melihat keadaan mayat-mayat para 
    warganya. 
    Bukan hanya di wajah Ki Saketi saja yang menampakkan 
    kengerian. Di wajah para penduduk yang lainnya pun 
    demikian pula. 
    "Apa yang harus kita lakukan dengan mayat mereka, Ki?" 
    tanya penduduk yang bertubuh pendek. Suaranya terdengar 
    serak. Jelas kalau dia belum bisa menata dirinya dari perasaan 
    terkejut yang melanda hati. 
    Ki Saketi tercenung sesaat lamanya, sambil menatap wajah 
    orang yang bertanya sejenak. Kemudian perlahan-lahan 
    kepalanya menggeleng.

    "Aku pun tidak tahu...," jawab orang nomor satu di Desa 
    Rangkong ini. "Rasanya sulit bagi kita untuk 
    menguburkannya...." 
    "Mengapa, Ki?" tanya Tirta. 
    Bodoh benar pertanyaan itu. Padahal sebetulnya laki-laki 
    bertubuh tinggi kurus ini bukan orang bodoh. Tapi kenyataan 
    yang disaksikan membuat pikiran jernihnya menguap entah ke 
    mana. Hanya kebuntuan yang mencekam di benaknya. 
    "Bagaimana kita bisa menguburkannya, Tirta?" Ki Saketi 
    mulai menjawab dengan mengajukan pertanyaan lebih dulu. 
    Nada suaranya terdengar lesu, selesu wajahnya. "Aku yakin, 
    sekujur tubuh keenam orang ini telah mengandung racun 
    yang mengerikan. Bukan tidak mungkin kita akan ketularan 
    kalau menyentuh mereka." 
    Tirta mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda mengerti. 
    Suasana menjadi hening sejenak begitu Ki Saketi 
    menghentikan ucapannya. Keheningan yang mencekam, 
    karena hati semua penduduk diliputi kengerian. Jelas mereka 
    takut akan kembali terjadi peristiwa mengerikan di desa 
    mereka. 
    "Mayat-mayat itu harus dibakar." 
    Sebuah suara pelan tapi mengandung getaran yang cukup 
    kuat terdengar. Meskipun hanya pelan saja, tapi karena saat 
    itu suasana di tempat itu heningi maka suara itu jadi 
    terdengar jelas. 
    Bagai diberi aba-aba, kepala semua penduduk itu menoleh 
    ke arah asal suara, tak terkecuali Ki Saketi sendiri. 
    Ternyata dua tombak jaraknya dari mereka telah berdiri 
    seorang kakek berwajah segar. Sehelai pakaian yang 
    berwarna kuning membungkus tubuhnya yang kecil kurus.

    "Ah.... Rupanya Eyang Balunglaga...," sapa Ki Saketi 
    dengan wajah berseri-seri. Ada perasaan lega -yang 
    menyeruak di harinya melihat kedatangan kakek ahli 
    pengobatan itu. 
    Meskipun Kepala Desa Rangkong ini telah mendengar akan 
    kegagalan kakek kecil kurus ini mengobati paman dan bibi 
    salah seorang warganya, namun rasa hormatnya pada Eyang 
    Balunglaga tidak sirna karenanya. 
    Laki-laki berkumis tebal ini tahu, meskipun Eyang 
    Balunglaga selama ini mampu mengobati luka-luka keracunan, 
    tapi keracunan yang tidak berat. Bukan keracunan akibat 
    tindakan seseorang yang terbiasa bermain racun. Apalagi 
    racun ganas. Sementara racun yang menyerang warga Desa 
    Rangkong adalah racun yang dibuat orang yang terbiasa main 
    racun. Tidak aneh kalau kakek kecil kurus itu tidak mampu 
    mengobatinya. 
    "Jadi jalan satu-satunya untuk mencegah penularan racun 
    ini, mayat-mayat ini harus dibakar, Eyang?" tanya Kepala Desa 
    Rangkong untuk memastikan ucapan yang tadi terdengar 
    telinganya. "Benar!" jawab Eyang Balunglaga pelan. Ki Saketi 
    menoleh ke arah Tirta. "Uruslah mayat-mayat ini." 
    "Baik, Ki," laki-laki bertubuh tinggi kurus itu sigap 
    menjawab. 
    "Ajak beberapa orang untuk mengumpulkan ranting-ranting 
    kering!" 
    "Baik, Ki." 
    Tirta dan beberapa orang penduduk lainnya beri gegas 
    meninggalkan tempat itu untuk melaksanakan tugas yang 
    diberikan kepala desanya. 
    Eyang Balunglaga melangkah menghampiri mayat-mayat 
    yang tergolek di tanah. Raut wajah maupun sepasang 
    matanya menyiratkan penyesalan yang mendalam.

    Memang, kakek bertubuh kecil kurus ini merasa penasaran 
    bukan kepalang akibat ketidakmampuannya mengenali racun 
    yang menyerang para penduduk Desa Rangkong. 
    Eyang Balunglaga adalah seorang pandai obat sejati Tidak 
    ada kebahagiaan yang lebih besar dari pada melihat 
    kesembuhan orang yang berobat padanya. Sebaliknya, tidak 
    ada kesedihan yang lebih besar selain melihat orang yang 
    sakit, tewas di hadapannya.Dan perasaan itulah yang melanda 
    hatinya sekarang ini. 
    Kakek bertubuh kecil kurus ini berjongkok. Sepasang 
    matanya merayapi sekujur tubuh mayat-mayat itu. Helaan 
    napas beratnya selalu terdengar keluar dari mulutnya. 
    Sementara para penduduk hanya memperhatikan semua 
    kelakuan kakek ahli pengobatan itu. 
    "Menurut berita yang kudapat, sehabis mandi di sungai 
    sekujur tubuh mereka gatal-gatal dan panas.... Apakah 
    mereka tewas karena mandi di sungai ini, Eyang?" Ki Saketi 
    mulai mengajukan pertanyaan. 
    "Kalau melihat dari keadaan mereka, jelas itu akibat 
    keracunan. Tapi kebenaran akan dugaan kalau racun itu 
    berasal dari sungai perlu dibuktikan." 
    Eyang Balunglaga menghentikan ceritanya sejenak untuk 
    mengambil napas. 
    "Bila benar sungai ini adalah penyebabnya berarti ada 
    orang yang baik sengaja atau tidak, telah membuang racun ke 
    sungai itu. O, ya. Apakah penduduk yang keracunan akibat 
    makan ikan waktu itu, ikannya diambil dari sungai ini?" 
    "Tidak, Eyang," laki-laki berjenggot panjang yang 
    menjawab pertanyaan itu "Mereka menangkapnya di danau 
    dekat pinggir hutan." 
    Eyang Balunglaga mengangguk-anggukkan kepala, 
    kemudian bangkit berdiri dan berjalan menghampiri pinggir

    sungai. Diperhatikannya sejenak air sungai Itu. Baik warna 
    maupun baunya. "Hhh...!" 
    Sebuah helaan napas berat terdengar dari mulut kakek 
    bertubuh kecil kurus ini. 
    "Bagaimana, Eyang?" Ki Saketi yang berdiri di belakang 
    kakek berpakaian kuning itu tidak sabar lagi bertanya. 
    "Sungai ini memang telah mengandung racun ganas," 
    sahut Eyang Balunglaga setengah mengeluh. "Jadi...?" 
    "Jangan gunakan lagi air sungai ini untuk mandi atau 
    mencuci. Apalagi untuk minum," Eyang Balunglaga 
    memperingatkan. 
    Ki Saketi mengerutkan alisnya. Jelas kalau tengah dilanda 
    perasaan bingung. Maklum, sungai ini memang satu-satunya 
    sumber kehidupan penduduk Desa Rang kong. Memang ada 
    mata air lainnya, tapi letaknya terlalu jauh dari desa mereka. 
    Tapi, hal ini akan dikatakannya nanti pada para penduduknya. 
    "Aku yakin, peristiwa keracunan ini ada hubungannya 
    dengan kejadian-kejadian sebelumnya," duga Ki Saketi 
    "Kejadian apa, Ki?" tanya Eyang Balunglaga. 
    Memang, kakek ahli pengobatan ini belum mendengar 
    tentang peristiwa beruntun yang terjadi atas penduduk Desa 
    Rangkong. 
    Ki Saketi pun menceritakan semua kejadian itu dari awal. 
    Dengan seksama, Eyang Balunglaga mendengarkannya. Kakek 
    berpakaian kuning ini sama sekati tidak menyelak cerita Ki 
    Saketi sedikit pun. 
    "Mungkin dugaanmu benar, Ki," dukung kakek bertubuh 
    kecil kurus ini. "Kalau tidak salah, bukankah sungai ini berhulu 
    dari dalam Hutan Rangkong?" 
    Ki Saketi mengangguk.

    "Dan penduduk Desa Rangkong semuanya hilang di dalam 
    hutan itu," sambung kakek bertubuh kecil kurus penuh 
    semangat "Jelas, pokok pangkal semu masalah ini berasal dari 
    Hutan Rangkong." 
    "Itulah yang menyebabkanku menduga demikian pula, 
    Eyang," sambut Ki Saketi berapi-api. "Jadi, kesimpulanmu 
    bagaimana, Ki?" Kepala Desa Rangkong terdiam sejenak, tidak 
    langsung menjawab pertanyaan itu. 
    "Kalau menurut dugaanku, ada seorang tokoh aliran hitam 
    yang bertempat tinggal di hutan itu. Tapi, dia tidak ingin 
    diketahui orang lain. Atau juga tidak senang diganggu. Maka 
    setiap penduduk yang bertemu dengannya di dalam hutan, 
    langsung dibunuhnya," Jelas laki-laki berpakaian abu-abu itu 
    panjang lebar. 
    "Ada yang janggal dalam penjelasanmu, Ki," selak Eyang 
    Balunglaga. "Kalau dia tidak ingin diketahui orang, kenapa 
    menaburkan racun di sungai ini?" 
    Ki Saketi menarik napas panjang-panjang dan 
    menghembuskannya kuat-kuat 
    "Itulah yang membuatku bingung, Eyang." Pembicaraan 
    kedua orang itu berhenti ketika terdengar langkah-langkah 
    kaki mendekati tempat itu. Langkah kaki yang tampaknya 
    bertubi-tubi menghantam bumi dengan cepatnya. Jelas kalau 
    ada orang yang tengah berlari. 
    Eyang Balunglaga dan Ki Saketi menoleh. Tampak Tirta dan 
    beberapa orang penduduk lain telah datang membawa banyak 
    ranting kering. 
    Tanpa menunggu diperintah, semua penduduk yang sejak 
    tadi diam mendengarkan pembicaraan antara kepala desa 
    mereka dengan Eyang Balunglaga, bergegas mengambil 
    ranting-ranting kering itu. Kemudian ranting-ranting itu 
    diletakkan di sekeliling mayat enam orang rekan mereka.

    Setelah mendapatkan perintah dari Ki Saketi, baru mereka 
    semua menyalakan api. Sesaat kemudian, api pun 
    membumbung tinggi membakar mayat-mayat orang yang 
    keracunan. 
    Semakin lama, api yang menyala semakin membesar. Dan 
    dengan sendirinya, suasana di sekitar tempat itu mulai terasa 
    panas. Maka, semua yang berada di situ bergegas melangkah 
    mundur. 
    Kini mereka semua memperhatikan api yang melahap 
    ranting dan mayat rekan-rekan mereka. Menilik dari 
    pandangan yang tertuju pada satu titik, bisa diketahui kalau 
    mereka semua terlibat dalam lamunan masing-masing. 
    Dan memang hal itu benar. Dalam hati mereka semua, 
    timbul pertanyaan. Bencana apa lagi yang akan menimpa 
    mereka? Dan siapa nanti yang akan mendapat giliran? 
    Perlahan api mulai mengecil, suara letupan-letupan api 
    mulai jarang. Dan seiring matinya api, habislah mayat-mayat 
    itu dan juga ranting keringnya. Yang tinggal hanyalah 
    onggokan tulang yang habis terbakar dan onggokan sisa 
    pembakaran. 
    *** 
    EMPAT


    Hari sudah begitu siang. Sinar matahari pun sudah tidak 
    terasa nikmat lagi di kulit. Saat itu seorang I perempuan tua 
    berpakaian merah muda dan berambut panjang terurai tengah 
    melangkah perlahan-lahan memasuki tembok batas Desa 
    Layur. Dia seperti tidak mempedulikan teriknya sengatan 
    matahari. 
    Kalau melihat wajah dan perawakannya, tidak nampak 
    adanya sesuatu yang mengerikan pada nenek ini. Bahkan

    perasaan kasihan yang timbul begitu melihat nenek yang 
    begitu ringkih ini berjalan. Mulutnya yang sudah tidak bergigi 
    lagi, dan rambutnya yang seluruhnya telah berwarna putih 
    semakin menambah keringkihannya. Dari sini, bisa ditaksir 
    usianya. Paling tidak, tak kurang dari tujuh puluh tahun. 
    Tapi jika melihat sorot matanya, orang akan bergidik ngeri. 
    Sorot matanya mencorong tajam dan berwarna kehijauan, 
    seperti sinar mata seekor kucing dalam gelap. Dan yang lebih 
    mengerikan lagi, ada sinar kekejaman yang membayang 
    dalam matanya. 
    Begitu memasuki mulut desa, pandangan mata nenek 
    berambut putih panjang itu menatap ke sekeliling. Tapi, hanya 
    kesunyian saja yang ditemuinya. Apalagi saat itu hari sudah 
    siang. Jadi, sebagian besar penduduk memang tengah sibuk di 
    sawah atau di kebun. Hanya sebagian kecil saja yang tinggal 
    di rumah. 
    Hanya sebentar saja nenek berpakaian merah muda itu 
    menatap ke sekeliling. Pandangannya kemu dian tertumbuk 
    pada sebuah pondok yang terletak agak terpisah dari pondok-
    pondok lainnya 
    Mendadak sepasang mata nenek itu berkilat menyiratkan 
    kekejaman. Seringai menyeramkan pun tampak di mulutnya 
    yang telah mengeriput. Tapi seringai itu hanya timbul sesaat 
    saja, kemudian lenyap. Dan seiring dengan lenyap 
    seringainya, nenek berpakaian merah muda itu bergerak 
    menghampiri pondok. 
    Luar biasa. Gerakan nenek berambut panjang itu cepat 
    bukan main. Sungguh tidak sesuai dengan keadaan tubuhnya 
    yang terlihat. Hanya sekali langkah saja, jarak tujuh tombak 
    telah terlampaui. 
    Sekejap kemudian nenek berpakaian merah mudai itu telah 
    berada di depan pintu pondok yang tertutup rapat 
    "Hi hi hi...l"

    Nenek berambut panjang terurai itu tertawa, sehingga 
    terdengar mengerikan sekali. Suara tawa itu tak ubahnya 
    keluar dari mulut kuntilanak. 
    Seiring lenyap gema suara tawanya, tangan kanan nenek 
    itu menepak daun pintu. Kelihatannya perlahan saja, tapi 
    akibatnya.... 
    Brakkk.l 
    Suara berderak keras terdengar ketika daun pintu pondok 
    itu hancur berkeping-keping. Seolah-olah, bukan tepakan 
    halus tangan keriput seorang nenek yang menghantamnya, 
    melainkan serudukan seekor kerbau liar. 
    Tentu saja suara berderak ribut itu membuat pemilik 
    pondok terperanjat. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh 
    kekar dan berkulit coklat. Suatu kebetulan dia tidak pergi ke 
    sawah, karena giginya sakit 
    Dapat dibayangkan, betapa gusarnya hati laki-laki bertubuh 
    kekar ini begitu mendengar suara berisik dari arah depan. 
    Dengan amarah menggelegak, dia bergegas ke luar. Tak lupa 
    disambarnya golok yang tergantung di dinding. 
    Kemarahannya kembali bergolak begitu melihat pintu 
    pondoknya hancur berantakan. Suara gemeretak keras 
    terdengar dari mulutnya karena perasaan geram melihat 
    rumahnya dirusak. 
    Perasaan amarah yang melanda membuat pikiran laki-laki 
    bertubuh kekar ini seperti buntu. Yang ada di benaknya hanya 
    satu. Memberi pelajaran pada orang yang telah mengganggu 
    ketenangannya, dan sekaligus merusak pintu rumahnya. 
    Kalau saja laki-laki bertubuh kekar ini mau menggunakan 
    akal sehat sedikit saja, tentu sudah bisa memperkirakan 
    kepandaian orang yang telah mampu menghancurkan 
    pintunya. Jelas orang itu bukanlah orang sembarangan. 
    Namun hal itu sama sekali belum terpikirkan olehnya.

    Kemarahan yang melandanya baru menciut begitu melihat 
    sosok yang berdiri di ambang pintu. Tampak di matanya 
    seorang nenek tua renta yang bertubuh ringkih. 
    "Nenek inikah yang telah menghancurkan pintu rumahku?" 
    tanya pemilik pondok dalam hati dengan, perasaan tidak 
    percaya. "Tapi kaiau bukan nenek ini, siapa lagi? Buktinya 
    tidak nampak ada orang lain lagi di sekitar sini." 
    Maka meskipun dengan perasaan ragu, dihampirinya nenek 
    berpakaian merah muda itu. Hanya saja kemarahan yang 
    melandanya sebagian besar telah menguap. Kini yang tinggal 
    hanyalah perasaan penasaran dan rasa sakit yang mendera 
    giginya. 
    "Siapa kau, Nek? Mengapa merusak pintu rumahku?" tanya 
    laki-laki berkulit coklat itu. Sengaja pertanyaan itu diajukan, 
    meskipun yakin nenek itu bukan pelakunya. Sudah dapat 
    diterka, nenek itu pasti akan menyangkal. 
    "Bukan hanya pintu pondok ini saja yang kuhancurkan. Tapi 
    juga kau!" 
    Dapat dibayangkan, betapa kaget hati milik pondok itu 
    begitu mendengar jawaban yang keluar dari mulut nenek 
    berpakaian merah muda ini. 
    Seiring ucapan Itu tadi, sepasang mata nenek Itu 
    mencorong seperti memancarkan sinar berapi. Karuan saja hal 
    ini membuat laki-laki bertubuh kekar itu terperanjat. Seketika 
    itu pula disadari kalau nenek di hadapannya bukan orang 
    sembarangan. 
    Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, pemilik pondok 
    itu melompat menerjang. Golok di tangannya berkelebat 
    membacok dari atas ke bawah. Rupanya, dia bermaksud 
    membelah tubuh nenek itu. 
    "Hmh...!"

    Nenek berpakaian merah muda itu hanya mendengus. 
    Tidak tampak ada tanda-tanda kalau akan menangkis atau 
    mengelak Jelas, nenek itu tidak memandang serangan itu 
    sebagai sesuatu yang berbahaya. 
    Baru setelah serangan itu menyambar dekat, tangan nenek 
    berpakaian merah muda itu terjulur ke depan. Luar biasa. 
    Serangan golok itu disambut dengan tangannya. 
    Laki-laki bertubuh kekar itu terkejut melihat hal ini. Gilakah 
    sebenarnya nenek ini? Kalau tidak gila, mengapa hendak 
    mengadu golok itu dengan tangannya yang kurus kering dan 
    keriput? 
    Mau tak mau, perasaan ragu-ragu laki-laki itu membuat 
    tenaganya yang mengayunkan golok jadi mengendur. 
    Meskipun begitu, tetap saja ayunan golok itu cukup untuk 
    memutuskan tangan. Apalagi kelihatannya tangan nenek 
    berambut panjang itu terlihat lemah. 
    Takkk...! 
    Suara berdetak keras seperti dua benda kuat berbenturan 
    terdengar ketika golok itu beradu dengan tangan nenek 
    berpakaian merah muda. Luar biasa. Tangan nenek itu sama 
    sekali tidak putus. Bahkan sebaliknya, tangan pemilik pondok 
    itu yang bergetar hebat. Tangannya terasa seolah-olah 
    lumpuh. Terutama, jari-jari tangannya yang menggenggam. 
    Tanpa dapat dicegahnya lagi, golok itu terlepas dari cekalan 
    tangannya. 
    Dan sebelum laki-laki bertubuh kekar itu sempat berbuat 
    sesuatu, tangan nenek itu kembali bergerak. Cepat bukan 
    main gerakannya. Dan.... 
    Tappp...! 
    Tak pelak lagi, tangan laki-laki bertubuh kekar itu tercekal 
    tangan keriput nenek berpakaian merah muda. Dan dengan 
    cepat, tangan nenek itu bergerak meremas.

    Krrrkkk...! 
    Suara bergemeretak keras terdengar ketika tulang-tulang 
    tangan pemilik pondok itu hancur berantakan. Seakan-akan 
    tangan itu terbuat dari tahu. 
    Laki-laki berkulit coklat itu seketika menjerit memilukan, 
    seiring gerakan meremas tangan nenek berambut panjang. 
    Rasa sakit tak tertahankan yang melanda, membuatnya tak 
    kuasa menahan jeritan. 
    Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, tangan nenek 
    berpakaian merah muda Itu sudah kembali bergerak. 
    Langsung disampoknya pelipis laki-laki kekar itu. 
    Prakkk! 
    Tanpa sempat mengeluarkan suara lagi, tubuh laki-laki 
    berkulit coklat Itu ambruk ke tanah dengan pelipis pecah. 
    Sebentar dia menggelepar, lalu tewas tanpa bersambat lagi. 
    Darah nampak menggenang di lantai rumahnya. 
    "Hi hi hi...! Orang sepertimu berani menantang Bidadari 
    Sabuk Emas?! Cuhhh...!" dengan kasar, nenek berambut 
    panjang yang ternyata berjuluk Bidadari Sabuk Emas itu 
    meludahi wajah mayat pemilik rumah Itu. 
    Sambil tertawa terkikih, nenek berpakaian merah muda itu 
    lalu melangkah meninggalkan mayat yang membujur 
    tergenang darah. Suasana sekitar tempat Itu memang sepi, 
    sehingga keributan kecil itu sama - sekali tidak mengundang 
    penduduk lain. Apalagi, rumah penduduk yang malang itu 
    terpisah jauh dari rumah penduduk lainnya. 
    "Hi hi hi...!" 
    Kembali Bidadari Sabuk Emas tertawa terkikih ketika 
    langkah kakinya berhenti di depan sebuah pintu rumah yang 
    tertutup rapat

    Masih dengan suara tawa mengikik, nenek berpakaian 
    merah muda ini mengeluarkan sebuah sabuk berwarna kuning 
    keemasan dari pinggang, kemudian melecutkannya. 
    Ctarrr...! Brakkk..! 
    Suara hiruk pikuk diiringi hancurnya daun pintu hingga 
    berkeping-keping terdengar ketika ujung sabuk itu 
    melecutnya. 
    Suara hiruk pikuk itu membuat penghuninya yang berada di 
    dalam rumah melangkah keluar dengan takut-takut. Mereka 
    adalah seorang nenek dan kakek yang tua dan ringkih. Jelas 
    kedua orang itu adalah sepasang suami istri yang telah 
    berusia lanjut. Bahkan sang Kakek telah agak bungkuk 
    tubuhnya. 
     "Hi hi hi...!" 
    Nenek berpakaian merah muda yang berjuluk Bidadari 
    Sabuk Emas itu tertawa terkikih. Kembali sabuk di tangannya 
    digerakkan. Sabuk itu lemah gemulai melenggak-lenggok, ke 
    kanan dan ke kiri. Lalu mendadak.... 
    Rrrttt..! 
    Laksana seekor ular sanca, sabuk itu melilit pinggang nenek 
    pemilik rumah. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, tangan 
    Bidadari Sabuk Emas bergerak 
    Terdengar jerit kengerian dari mulut nenek pemilik rumah 
    ketika tubuhnya terlempar ke depan. "Nyi...." 
    Kakek pemilik rumah memekik keras ketika melihat istrinya 
    terlempar ke atas. Dengan tertatih-tatih 1 kakinya melangkah 
    keluar karena khawatir dengan keselamatan istrinya 
    Tapi baru beberapa tindak melangkah, Bidadari Sabuk 
    Emas telah menggerakkan kembali sabuknya. Dan.... 
    Ctarrr...!

    Suara lecutan cukup keras terdengar ketika ujung sabuk 
    yang berwarna kuning keemasan itu menyengat dada kakek 
    bertubuh agak bungkuk itu. 
    Hebat akibatnya. Tubuh kakek pemilik rumah itu terjajar ke 
    belakang. Untung baginya, nenek berpakaian merah muda itu 
    hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalam. Kalau tidak, 
    tentu seluruh isi dadanya pasti hancur lebur. 
    Meskipun begitu, tak urung darah segar memercik dari 
    sudut-sudut mulut kakek bungkuk itu. Tubuhnya pun cukup 
    keras menghantam dinding rumah. 
    Tubuh kakek bungkuk itu merosot perlahan-lahan ke lantai. 
    Untuk beberapa saat lamanya dia berdiam diri saja dengan 
    sikap tubuh terduduk. Keadaan tubuhnyalah yang 
    membuatnya tidak dapat segera bangkit, walaupun keinginan 
    itu begitu besar. 
    Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Bidadari Sabuk 
    Emas. Tanpa mengenal rasa kasihan, kembali tabuk di 
    tangannya dilecutkan. Ctar, ctar, ctar...! 
    Bertubi-tubi ujung sabuk itu kini menghujani berbagai 
    bagian tubuh nenek pemilik rumah. Seketika itu pula jeritan 
    menyayat kembali terdengar saling susul diiringi menggebat-
    geliatnya tubuh nenek pemilik rumah itu. 
    "Hi hi hi...!" 
    Nenek berambut panjang itu tertawa terkikih-kikih melihat 
    calon korbannya menggeliat-geliat kesakitan. Memang, 
    Bidadari Sabuk Emas bermaksud menyiksa nenek bertahi lalat 
    besar itu. Maka, lecutan-lecutan sabuknya yang bertubi-tubi 
    ditujukan hanya untuk menimbulkan rasa sakit Sakit, pedih, 
    dan panas mendera nenek pemilik rumah. 
    Pakaian nenek bertahi lalat besar itu sudah koyak-koyak di 
    sana-sini. Bahkan kulit tubuhnya pun pecahpecah sehingga 
    darah segar pun merembes ke luar.

    Rupanya pemandangan yang menyayat hati Itu amat 
    menyenangkan Bidadari Sabuk Emas. Ini terbukti dari tawanya 
    yang tak putus-putus mengiringi lecutan sabuknya. 
    "Iblis biadab...!" 
    Kakek pemilik rumah berseru keras melihat penderitaan 
    istrinya. Dia menggeram marah, sambil ber. usaha 
    menguatkan diri untuk bangkit Dan dia berhasil. 
    Secepat tubuhnya telah berdiri, secepat itu pula kakek 
    bungkuk ini berlari menuju ke arah tempat istrinya disiksa! 
    "Hmh...!" 
    Bidadari Sabuk Emas mendengus. Kini sabuk di tangannya 
    digerakkan untuk menyerang kakek bertubuh bungkuk itu. 
    Wuttt..! Tukkk! 
    "Akh...!" 
    Telak dan keras sekali ujung sabuk yang tiba-tiba 
    mengejang kaku laksana tombak Itu menyengat lutut sebelah 
    kanan si kakek. Terdengar suara berderak keras mengiringi 
    robohnya tubuh kakek pemilik rumah di tanah. 
    Kini Bidadari Sabuk Emas mengalihkan penyiksaannya. 
    Lecutan-lecuan sabuknya kini meluncur deras dan bertubi-tubi 
    ke arah berbagai bagian tubuh si kakek. 
    Akibatnya sudah bisa diduga! Setiap kali ujung sabuk itu 
    melecut, tubuh kakek bungkuk Itu menggeliat. Beberapa kali 
    tubuhnya mengejang kaku bila ujung sabuk itu mengenal 
    sasaran. Keluhan diiringi seringai kesakitan selalu terdengar 
    dan terlihat tatkala ujung sabuk itu menemui sasarannya. 
    "Iblis keji! Hentikan...!" 
    Bentakan keras menggelegar pertanda didukung tenaga 
    dalam cukup tinggi, membuat Bidadari Sabuk Emas 
    menghentikan penyiksaannya. Dengan wajah merah padam


    menahan amarah, tubuhnya berbalik ke arah belakangnya. 
    Dari situlah suara itu berasal. 
    Kini di hadapannya dalam jarak empat tombak, berdiri tiga 
    sosok tubuh berpakaian biru yang rata-rata berusia muda. Di 
    dada kiri mereka terdapat gambar sepasang pedang yang 
    disulam dari benang perak. 
    "Hmh...! Tikus-tikus kecil dari Perkumpulan Pedang Perak 
    rupanya...," dengus Bidadari Sabuk Emas. Nada suara dan 
    sikapnya terlihat jelas memandang rendah. 
    Tiga orang berpakaian biru yang ternyata murid 
    Perkumpulan Pedang Perak itu menggertakkan gigi. Memang 
    mereka merasa tersinggung mendengar hinaan yang keluar 
    dari mulut nenek berpakaian merah muda itu. Ucapan yang 
    jelas-jelas menghina dan merendahkan! 
    'Tutup mulutmu, Nenek Peot...!" bentak salah seorang dari 
    murid Perkumpulan Pedang Perak yang bercambang lebat 
    "Keparat..! Berani kau membentakku, Tikus Kecil? Apa kau 
    sudah mempunyai nyawa rangkap sehingga berani berkata 
    seperti itu pada Bidadari Sabuk Emas?! Jangan harap kalian 
    semua akan bisa lolos dari sini dalam keadan hidup!" 
    Wajah ketiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak 
    seketika berubah begitu mendengar nenek berpakaian merah 
    muda itu menyebut julukannya. Memang, mereka semua telah 
    mendengar julukan itu. Bidadari Sabuk Emas adalah salah 
    seorang tokoh sesat dunia persilatan. Kegemarannya adalah 
    menyiksa orang sampai mati! 
    "Kalau begitu, sudah menjadi kewajiban kami untuk 
    melenyapkan tokoh berhati iblis sepertimu...!" tegas murid 
    Perkumpulan Pedang Perak yang wajahnya penuh jerawat 
    Srat, srat, srattt..! 
    Sinar terang berkelebat ketika ketiga orang itu menghunus 
    pedang yang tersampir di pinggang. Begitu mengetahui siapa

    adanya nenek berpakaian merah muda itu, mereka tidak 
    berani bersikap main-main lagi Dengan langkah menggeser 
    tanah, mereka melangkah maju, dan langsung menyebar. 
    Mengurung nenek berambut panjang itu dari segala arah. 
    "Hi hi hi...!" 
    Bidadari Sabuk Emas tertawa terkikih melihat ketiga orang 
    lawannya menghunus senjata. Nenek itu sama sekali tidak 
    tampak waspada, sekalipun ketiga orang lawannya telah siap 
    dengan senjata terhunus. I 
    "Serbu...!" 
    Laki-laki yang bercambang lebat berseru keras. 
    Sambil melompat menerjang, pedangnya ditusukkan rapat 
    ke arah leher Bidadari Sabuk Emas. 
    Pada saat yang bersamaan, kedua orang rekannyajuga 
    segera menyerang. Pedang laki-laki berwajah penuh jerawat 
    itu membabat cepat ke arah leher. Sementara rekan yang 
    satunya lagi menusukkan peningnya ke arah punggung. 
    Suara angin mencicit mengiringi tibanya serangan itu. Dari 
    serangan ini saja bisa diketahui kalau ketiga orang berpakaian 
    biru ini bukan tokoh sembarangan. Memang di Perkumpulan 
    Pedang Perak, ketiga orang ini memiliki tingkat kepandaian 
    sedikit di bawah murid-murid kepala. Padahal, Perkumpulan 
    Pedang Perak adalah sebuah perkumpulan aliran putih yang 
    besar. Tingkat kepandaian ketuanya, dikabarkan tidak di 
    bawah tingkat datuk-datuk dunia persilatan. Jadi, bisa 
    diperkirakan, kelihaian ketiga orang ini. 
    Bidadari Sabuk Emas pun menyadari hal itu. Maka, dia tidak 
    berani menerima serangan lawan dengan tubuhnya. Cepat 
    laksana kilat kakinya menjejak tanah. Sesaat kemudian, 
    tubuhnya melayang ke atas. 
    Hasilnya, semua serangan itu hanya menyambar tempat 
    kosong, jauh di bawah kakinya.

    Tidak hanya itu saja yang dilakukan nenek berambut 
    panjang itu. Tatkala rubuhnya berada di udara, sabuk di 
    tangannya mematuk ke arah ubun-ubun laki-laki bercambang 
    lebat. 
    Namun laki-laki bercambang lebat tidak gugup melihat hal 
    ini. Dia memang sudah bersiap siaga untuk menghadapi 
    serangan mendadak, begitu diketahui kalau lawannya adalah 
    tokoh sesat yang menggiriskan. Buru-buru tubuhnya dilempar 
    ke belakang. Ctarrr...! 
    Ledakan keras seperti ada halilintar menyambal terdengar 
    ketika sabuk itu melecut tempat kosong. 
    Kedua orang rekan laki-laki bercambang lebat tidak tinggal 
    diam begitu melihat rekannya didesak Bidadari Sabuk Emas. 
    Bergegas mereka bergerak membantu, menghujani lawan 
    dengan serangan-serangan maut. Sehingga, Bidadari Sabuk 
    Emas terpaksa menghentikan desakannya pada laki-laki 
    bercambang lebat 
    Pertarungan sengit pun tidak bisa dihindari lagi. Bidadari 
    Sabuk Emas yang memang sudah berniat membunuh ketiga 
    murid Perkumpulan Pedang Perak tidak tanggung-tanggung 
    lagi menyerang. Kedua belah pihak pun mengerahkan seluruh 
    kemampuan masing-masing. 
    Sebenarnya kalau dibuat perbandingan, kepandaian 
    masing-masing murid Perkumpulan Pedang Perak itu masih 
    amat jauh di bawah Bidadari Sabuk Emas. Tapi karena ketiga 
    orang ini maju bersama-sama, tambahan lagi ketiganya 
    mampu bekerja sama, untuk beberapa saat lamanya 
    pertarungan berjalan seimbang. 
    Suara riuh rendah menyemaraki pertarungan antara 
    seorang nenek yang terlihat ringkih menghadapi ketiga orang 
    lawan yang masih muda-muda dan terlihat kuat. Desingan 
    pedang ketiga murid Perkumpulan Pedang Perak, diiringi

    ledakan-ledakan sabuk Bidadari Sabuk Emas menambah 
    ramainya pertarungan. 
    Ctarrr...! 
    Untuk yang kesekian karinya ujung sabuk Bidadari Sabuk 
    Emas menghantam tanah. Kontan hasilnya menambah 
    banyaknya lubang besar yang terbentuk akibat lecutan 
    cambuk pada tanah. 
    Tapi ketiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak hanya 
    mampu bertahan sampai tiga puluh jurus saja. Ketika 
    memasuki jurus ketiga puluh satu, nenek berpakaian merah 
    muda itu mulai dapat mendesak lawan-lawannya. 
    Bahkan Bidadari Sabuk Emas kini sudah bisa membuat 
    kerja sama ketiga orang lawannya berantakan. Serangan-
    serangan murid Perkumpulan Pedang Perak itu semakin 
    jarang, dan kini lebih sering mengelak 
    Sebaliknya, serangan-serangan Bidadari Sabuk Emas 
    datang semakin bertubi-tubi. Sabuknya menghujani berbagai 
    bagian yang berbahaya di tubuh ketiga orang lawannya. 
    Mendadak pada jurus yang keempat puluh satu, gerakan 
    sabuk nenek berpakaian merah muda Itu berubah cepat. Kini 
    sabuk itu bergerak meliuk-liuk seperti seekor ular. Kemudian, 
    secara tidak terduga-duga mematuk salah satu bagian 
    mematikan di tubuh lawan. 
    Memang, Bidadari Sabuk Emas kini sudah mengeluarkan 
    jurus-jurus sabuk andalannya. Dan akibatnya, ketiga orang 
    lawan itu kebingungan melihat gerakan sabuk yang meliuk-liuk 
    seperti ular sehingga sulit diduga arahnya. 
    Prattt..! 
    Laki-laki bercambang lebat terjengkang ke belakang dan 
    jatuh berdebuk di tanah. Tanpa bersuara sedikit pun, dia tidak 
    bangun lagi untuk selamanya ketika sabuk itu menotok keras

    lehernya. Dia tewas karena tulang lehernya hancur 
    berentakan. 
    Hampir berbarengan dengan robohnya laki-laki bercambang 
    lebat, kedua orang rekannya pun roboh pula. Laki-laki 
    berwajah penuh jerawat tewas dengan pelipis pecah. 
    Sedangkan rekannya terkena totokan keras pada dadanya. 
    "Hi hi hi...!" 
    Sambil tertawa terkikih, Bidadari Sabuk Emai melesat pergi 
    dari situ. Tak dipedulikannya lagi lima sosok tubuh yang 
    tergeletak di tanah. Hanya dalam beberapa kali lompat saja, 
    tubuhnya sudah berubah menjadi sebuah titik di kejauhan. 
    Semakin lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap ditelan 
    jalan. 

    LIMA


    Ah... 
    Seruan kaget terdengar dari mulut seorang pemuda 
    berwajah tampan berambut putih keperakan. Pakaiannya 
    berwarna ungu, membungkus tubuhnya yang tegap berisi, 
    dibanduli sebuah guci arak dari perak. Sepasang matanya 
    menatap ke depan. Memang, pemandangan yang terpampang 
    di hadapannyalah membuat hatinya terkejut. Betapa tidak? 
    Dalam jarak sekitar tujuh tombak darinya, terlihat lima sosok 
    tubuh bergeletakan di tanah. Pemuda berpakaian ungu itu 
    melesat cepat menghampiri. Sambil terus menatap, 
    dihapusnya keringat yang membasahi wajahnya dengan 
    punggung tangan. Saat ini, matahari memang tepat di atas 
    kepalanya. Sinarnya memancar terik ke bumi, seperti hendak 
    membakar seluruh makhluk yang ada.

    Hanya sekali lesat saja, tubuh pemuda berpakaian ungu itu 
    telah berada di hadapan lima sosok tubuh yang tergolek. 
    Perlahan-lahan tubuhnya dibungkukkan dan berjongkok 
    Kemudian diperhatikannya satu persatu sosok-sosok tubuh 
    yang membujur tak tentu arah. "Hhh...!" 
    Pemuda berambut putih keperakan itu menghela napas 
    berat Kepalanya digeleng-gelengkan ketika melihat keadaan 
    mereka. 
    Lima sosok tubuh itu terdiri dari tiga orang pemuda 
    berpakaian biru, yang di dada kirinya terdapat gambar 
    sebatang pedang yang disulam dari benang perak. Sedangkan 
    dua orang lagi adalah kakek dan nenek yang telah tewas. 
    Sekujur tubuh mereka penuh luka luka lecutan. 
    Pemuda berpakaian ungu itu memeriksa tubuh tubuh yang 
    tergolek satu persatu. Beberapa kali kepalanya menggeleng 
    setiap kali menyadari kalau orang yang diperiksa telah tewas. 
    Tapi pada saat memeriksa sosok tubuh yang berpakaian 
    biru, wajah pemuda berambut putih keperakan ini berseri. Ada 
    denyut halus di pergelangan tangan pemuda berkulit putih itu. 
    Ternyata dia masih hidup. 
    Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau nyawa 
    pemuda berkulit putih ini tidak bisa diselamatkan lagi. 
    Memang, luka pada dadanya terlampau parah. Tapi melihat 
    kenyataan kalau pemuda yang tergolek ini masih hidup, 
    betapa gembiranya hati pemuda berambut putih keperakan 
    itu. Hal ini setidak-tidaknya bisa diketahui dari mulutnya yang 
    bergerak-gerak sedikit. 
    Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut 
    putih keperakan itu menotok beberapa bagian tubuh sosok 
    yang tergolek ini. 
    "Katakan, siapa yang telah melakukan semua ini?" tanya 
    pemuda berpakaian ungu itu, tergesa-gesa. Dia tahu, kalau

    tidak cepat-cepat, nyawa pemuda berpakaian biru itu telah 
    lebih dulu melayang meninggalkan raganya. 
    "B.... Bi.,., Bidadari Sabuk Emas...," jawab murid 
    Perkumpulan Pedang Perak itu terputus-putus. 
    "Ha.... Bidadari Sabuk Emas...," ulang pemuda berambut 
    putih keperakan itu seraya mengernyitkan dahi. Memang, dia 
    belum pernah mendengar julukan Itu, karena baru pertama 
    kali tiba di daerah ini. 
    "Kami.... Diutus ketua kami dari Perkumpulan Pedang Perak 
    untuk mencari pencuri kitab pusaka perkumpulan kami.... 
    Kitab itu berisi ilmu yang terlarang untuk dipelajari. Ilmu 
    Tangan Racun Pasir Merah... Dan..., ah...!" 
    Sebelum berhasil menyelesaikan ucapannya, kepala murid 
    Perkumpulan Pedang Perak itu telah lebih dulu terkulai. 
    Nyawanya telah melayang meninggalkan raganya.' 
    "Hhh...!" 
    Seraya menghembuskan napas berat, pemuda berambut 
    putih keperakan itu bangkit berdiri. Kini masalah Itu telah 
    sedikit dimengerti. Rupanya ketiga orang gagah itu diutus 
    gurunya untuk mencari pencuri kitab pusaka perkumpulan 
    mereka. Tapi, mereka semua tewas di tangan Bidadari Sabuk 
    Emas. 
    "Hm.... Tokoh itukah yang mencurinya?" tanyanya dalam 
    hari. 
    'Pembunuh keparat! Rasakan pembalasanku...!" 
    Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring diiringi suara desing 
    tajam yang menyakitkan telinga. Seketika pemuda berpakaian 
    ungu itu menghentikan jalan pikirannya. Apalagi tatkala terasa 
    ada desir angin tajam yang meluruk cepat ke arahnya. 
    Suaranya mendecit, seperti ada puluhan ekor tikus mencicit

    Buru-buru pemuda berambut putih keperakan ini 
    melakukan lompatan harimau. Tubuhnya melambung ke 
    depan setinggi setengah tombak, lalu mendarat di tanah 
    bertumpu dengan kedua tangannya. Sesaat kemudian, 
    tubuhnya bergulingan di tanah beberapa kati, lalu berdiri 
    tegak menghadap orang yang membokongnya. 
    Pemuda berpakaian ungu itu menatap ke arah seorang 
    gadis berwajah cantik jelita dan berpakaian biru. Matanya 
    merayapi tiga sosok mayat murid Perkumpulan Pedang Perak 
    Raut wajah maupun sinar matanya menyiratkan kemarahan 
    hebat. 
    Begitu melihat pakaian gadis itu, pemuda berambut putih 
    keperakan ini jadi cemas juga. Hatinya khawatir kalau gadis 
    itu adalah rekan tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak 
    yang tewas. Dan menilik dari makian yang tadi sempat 
    didengarnya, bisa diterka kalau gadis itu menuduhnya sebagai 
    pelaku pembantaian ini. 
    Kekhawatiran pemuda berambut putih keperakan itu 
    ternyata terbukti. Setelah memperhatikan mayat-mayat itu 
    beberapa saat lamanya, perhatian gadis berpakaian biru ini 
    beralih ke arah pemuda berpakaian ungu. Dan memang, pada 
    dada sebelah kiri pakaiannya terdapat gambar sebatang 
    pedang yang disulam dari benang perak. Jelas, gadis ini 
    adalah kawan tiga mayat pemuda itu. 
    Diam-diam, pemuda berpakaian ungu ini harus mengakui 
    kalau wajah gadis berpakaian biru itu amat cantik laksana 
    bidadari. Rambutnya yang hitam, halus, dan dikepang dua 
    semakin memperjelas kecantikannya. Meskipun tengah marah, 
    kecantikannya sama kali tidak berkurang. Bahkan justru lebih 
    terlihat menarik. 
    Kulit wajahnya nampak memerah seperti tomat masak. 
    Sementara, sepasang matanya yang bersinar-sinar, tampak 
    semakin nyata keindahannya sewaktu melotot.

    "Jangan harap bisa lolos dari tanganku, Pembunuh Keji...!" 
    desis gadis berambut kepang itu tajam. Ada ancaman maut 
    yang tersembunyi di dalam ucapannya. 
    Setelah berkata demikian, gadis itu langsung melompat 
    menerjang. Pedang di tangannya menusuk cepat ke arah 
    leher. Suara mengaung keras terdengar seiring tibanya 
    serangan. Jelas, serangan itu mengandung pengerahan 
    tenaga dalam kuat. 
    Pemuda berambut putih keperakan itu seketika terperanjat. 
    Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam gadis itu demikian 
    kuat. Suara mengaung keras yang mengiringi serangan 
    pedang itulah yang membuktikannya. 
    Meskipun begitu, pemuda berpakaian ungu ini bersikap 
    tenang. Walaupan agak bergegas, buru-buru kaki kirinya 
    melangkah ke samping kiri seraya mendoyongkan tubuh 
    sehingga tusukan pedang itu hanya mengenai tempat kosong, 
    lewat sekitar setengah Jeng kal di sebelah kanan lehernya. 
    Luar biasa. Hampir pemuda berambut putih keperakan ini 
    tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Begitu serangan 
    berhasil dielakkan, pedang gadis berpakaian biru itu melingkar 
    melewati atas kepalanya. Kemudian, dari samping kanan 
    membabat cepat ke arah leher. 
    Pemuda berpakaian ungu itu tidak punya pilihan lain lagi. 
    Segera kedua, kakinya dijejakkan ke tanah, sesaat kemudian 
    melempar tubuhnya ke belakang. 
    Wunggg...! 
    Suara mengaung keras terdengar begitu babatan pedang 
    lewat di bawah kaki pemuda berambut putih keperakan itu. 
    Sebenarnya bukan hanya pemuda berambut putih 
    keperakan itu saja yang terkejut melihat kehebatan lawan. 
    Gadis berpakaian biru ini pun begitu terperanjat melihat 
    serangannya bisa dihindari pemuda di hadapannya. Padahal,

    datangnya serangan begitu tiba-tiba. Lagi pula, lawan tengah 
    dalam keadaan tidak menguntungkan. Dari sini saja, dia sudah 
    bisa memperkirakan kalau lawannya bukan orang 
    sembarangan. 
    Tapi gadis berpakaian biru ini tidak membiarkan benaknya 
    dipenuhi pikiran itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi 
    tubuhnya segera melompat mengejar pemuda berambut putih 
    keperakan yang masih berada di udara. Pedang di tangannya 
    meluncur deras mengeluarkan suara mengaung keras. 
    Pemuda berpakaian ungu itu terkejut bukan main. 
    Serangan susulan yang dilakuan lawan datang begitu tiba-tiba. 
    Tidak ada lagi kesmpatan baginya untuk mengelak. Apalagi 
    tubuhnya tengah berada di udara. Segera dijumput guci 
    araknya yang tersampir di punggung, kemudian disorongkan 
    ke arah pedang yang tengah meluncur deras ke dada. 
    Klanggg...! 
    Suara berdentang nyaris terdengar begitu kedua benda 
    yang berbeda jenis itu berbenturan. "Hup...!" 
    Gadis berpakaian biru mendaratkan kedua kakinya di tanah. 
    Sekujur tanganya yang menggenggam pedang terasa bergetar 
    hebat hampir lumpuh. Jelas, tenaga dalam lawan masih di 
    atasnya. 
    "Nisanak...! Tunggu sebentar...! Kau salah paham....Aku 
    Arya Buana. Aku sama sekali tidak tahu-menahu dengan 
    pembunuhan ini!" cegah pemuda berambut putih keperakan 
    yang memang tidak lain Arya Buana alias Dewa Arak, begitu 
    kedua kakinya mendarat di tanah. Tangan kanannya pun 
    langsung dijulurkan ke depan. 
    "Tidak usah berbasa-basi, Pengecut! Aku, Ranti. Bukan 
    termasuk orang yang suka berbasa-basi.' Bersiaplah menerima 
    pembalasanku!"

    Setelah berkata demilan, gadis berpakaian biru yang 
    ternyata bernama Ranti kembali menyerang. Mau tak mau, 
    Arya meladeninya. Tentu saja Dewa Arak tidak sudi mati 
    secara sia-sia. Menghadapi orang selihai Ranti tanpa 
    melakukan perlawanan, adalah suatu perbuatan bodoh. Bukan 
    tidak mungkin dirinya akan tewas di tangan lawannya ini. 
    Maka tanpa ragu-ragu lagi, guci araknya segera dituang ke 
    dalam mulurnya. 
     Gluk... gluk... gluk...! 
    Terdengar suara tegukan ketika cairan arak melewati 
    tenggorokannya. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut 
    putih keperakan itu mulai limbung ketika hawa hangat yang 
    semula merayapi perut naik ke atas kepalanya. Arya kini 
    sudah siap menggunakan ilmu andalannya, ilmu 'Belalang 
    Sakti'. 
    Pertarungan tidak bisa dihindari lagi. Kemarahan gadis 
    berpakaian biru itu rupanya memang sudah tidak bisa dicegah 
    lagi. Diserangnya Dewa Arak selalu dengan bertubi-tubi ke 
    bagian-bagian tubuh yang mematikan. 
    Diam-diam Arya merasa kagum melihat kepandaian yang 
    dimiliki gadis berambut kepang ini. Serangan-serangan 
    pedangnya datang susul-menyusul laksana gelombang laut. 
    Suara mengaung keras mengiringi setiap kibasan pedang itu. 
    Jelas kalau Ranti memiliki ilmu pedang yang patut 
    diperhitungkan. 
    Tapi yang dihadapinya kali ini adalah Dewa Arak. Seorang 
    tokoh yang walaupun masih muda, tapi mengukir nama besar 
    dalam rimba persilatan. Dengan jurus 'Delapan Langkah 
    Belalang' yang aneh, pemuda berambut putih keperakan itu 
    tidak mengalami kesulitan untuk menghindari setiap serangan 
    yang dilancarkan Ranti.

    Ranti menggertakkan gigi tatkala mengetahui semua 
    serangannya mudah sekali dielakkan lawan. Bahkan dengan 
    gerakan aneh, yang lebih mirip orang mabuk. 
    Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan memang, kedua orang 
    yang bertarung itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang 
    tinggi. Tak terasa, empat puluh jurus telah berlalu. Tapi 
    sampai sekian lamanya, tetap saja Ranti tidak mampu 
    mendesak Dewa Arak. Padahal, seluruh kemampuan yang 
    dimilikinya telah dikerahkan. 
    Hal ini membuat Ranti geram bukan kepalang. Padahal di 
    Perkumpulan Pedang Perak, dialah satu-satunya murid yang 
    kepandaiannya telah mencapai tingkat tertinggi. Bahkan hanya 
    berada sedikit di bawah sang Ketua sendiri. 
    Kini kepandaian yang telah dilatihnya secara susah payah, 
    sama sekali tidak berarti ketika menghadapi pemuda berambut 
    putih keperakan ini. Lalu, bagaimana bila bertemu tokoh-tokoh 
    dunia persilatan? 
    Yang lebih menyakitkan hati Ranti, ternyata lawannya sama 
    sekali belum balas menyerang. Selama lebih dari empat puluh 
    jurus menyerang, lawan hanya mengelak saja. Tak sekali pun 
    pemuda berambut putih keperakan itu melancarkan serangan 
    balasan. Jelas, Dewa Arak tidak bersungguh-sungguh 
    menghadapinya. Dan bagi Ranti, ini berarti kepandaian yang 
    dimilikinya sama sekali tidak dianggap. 
    Pikiran seperti itu membuat Ranti menyerang lebih gencar 
    lagi. Sama sekali gadis ini tidak tahu kalau Arya bukan 
    menganggap rendah kepandaiannya. Tapi, Dewa Arak tidak 
    ingin keadaan jadi semakin bertambah buruk, bila melakukan 
    serangan balasan. 
    Maka Arya menggunakan keanehan jurus 'Delapan Langkah 
    Belalang' untuk melakukan perlawanan tanpa balas 
    menyerang. Dengan keistimewaan jurusnya, tidak sulit

    baginya untuk mengelakkan setiap serangan yang datang 
    bertubi-tubi. 
    Beberapa kali sewaktu Ranti menyerang, Arya menuangkan 
    arak ke mulutnya. Dan itu memang me rupakan salah satu 
    gerakan dalam ilmu 'Belalang Sakti'. Tapi gadis berambut 
    kepang itu tidak menganggapnya demikian. Dewa Arak 
    berbuat seperti itu dikira untuk menunjukkan keunggulannya. 
    Dan sebagai akibatnya, serangan Ranti semakin menggebu-
    gebu. 
    Suara mengaung keras dan mencicit menyakitkan telinga, 
    diselingi tegukan ketika Arya menenggak araknya, 
    menyemaraki jalannya pertarungan. 
    Puluhan jurus telah kembali berlalu. Hingga kini, 
    pertarungan tengah berlangsung hampir seratus jurus. Dan 
    selama itu Ranti tetap saja belum mampu mendesak Dewa 
    Arak. 
    Kesabaran Arya akhirnya habis juga. Sungguh tidak 
    disangka kalau Ranti akan begitu keras kepala. Maka terpaksa 
    Dewa Arak memutuskan untuk menundukkannya dengan 
    kekerasan. 
    Setelah memutuskan demikian, Dewa Arak mulai 
    menggunakan jurus 'Belalang Mabuk'. Dan kini otot-otot 
    tubuhnya mengejang, serta melemas secara mendadak. 
    Sementara Ranti menggertakkan giginya. Begitu Dewa Arak 
    mulai menyerang, baru dirasakan kehebatannya. Serangan-
    serangan Arya yang dilakukan dengan gerakan-gerakan aneh 
    itu membuat Ranti bingung. 
    Tapi meskipun terlihat aneh, Ranti merasakan beratnya 
    tekanan setiap serangan Arya. Tak sampai dua puluh jurus 
    saja, gadis itu sudah terdesak hebat. Memang, dia belum 
    berpengalaman menghadapi berbagai jenis ilmu silat. Maka 
    menghadapi ilmu semacam yang dimiliki Dewa Arak, jelas jadi 
    kebingungan.

    Tambahan lagi, Dewa Arak telah cukup mengetahui 
    perkembangan ilmu lawannya. Maka, bukanlah suatu hal yang 
    sulit untuk menekan lawan. Gerakan-gerakan tangan yang 
    meliuk-liuk aneh, ditambah serangan guci membuat Ranti 
    pusing. Belum lagi semburah-semburan arak yang keluar dari 
    mulut Arya. Itu semua membuat Ranti kewalahan bukan main. 
    Kini serangan pedang Ranti tidak lagi menggebu-gebu 
    seperti semula. Ganti Dewa Arak yang melakukan desakan-
    desakan. Ranti kini lebih banyak mengelak, ketimbang 
    menyerang. Bahkan menangkis pun hampir tidak 
    dilakukannya. Karena setiap kali berbenturan, tangannya 
    selalu kesemutan hebat. 
    Menjelang jurus keempat puluh, gadis berambut kepang ini 
    sudah pontang-panting ke sana kemari untuk mengelakkan 
    serangan Arya. Sudah bisa diperkirakan kalau robohnya gadis 
    ini hanya tinggal menunggu saat saja. 
    Pada jurus keempat puluh tiga, saat naas Ranti pun tiba. 
    Sebuah totokan jari tangan Dewa Arak tak mampu dielakkan 
    lagi. Tak pelak lagi, tubuh gadis itu roboh ke tanah. Lemas 
    tanpa tenaga. "Hhh...!" 
    Dewa Arak menghembuskan napas lega ketika lawannya 
    yang keras kepala itu berhasil dilumpuhkan Perlahan-lahan 
    tubuhnya dibungkukkan, lalu berjongkok. 
    "Mau apa kau?!" tanya Ranti. Suaranya jelas menunjukkan 
    rasa takut yang hebat. Bahkan wajahnya yang cantik jelita itu 
    terlihat tegang. 
    Namun, Arya sama sekali tidak menyambutnya. Pemuda 
    berambut putih keperakan itu hanya terse nyum lebar. 
    "Kalau berani bertindak macam-macam, kubunuh kau...!" 
    ancam Ranti, di tengah-tengah ketidakberdayaannya. Namun 
    ucapan maupun raut wajahnya menyiratkan kesungguhan 
    hati.


    Merah wajah Dewa Arak mendengar ucapan itu. Meskipun 
    gadis berambut kepang ini baru mengatakannya sampai di 
    situ, tapi sudah bisa ditangkap maksudnya. Ranti mengira, 
    lawannya akan bertindak tidak senonoh. 
    "Lebih baik jaga mulutmu, Nisanak!" sentak Arya 
    Ucapan dan juga nada suara Dewa Arak menyiratkan kalau 
    dia merasa tersinggung atas ucapan Ranti. Dan itu memang 
    tidak salah. Dewa Arak memang sangat tersinggung bila 
    dituduh melakukan tindakan kotor. Apakah orang seperti 
    dirinya mirip penjahat pemerkosa wanita?!Keterlaluan sekali 
    gadis berpakaian biru ini! Mulutnya terlalu keji! 
    Ranti terdiam begitu mendengar sentakan keras Arya. 
    Gadis itu bukan orang bodoh. Maka dia bisa tahu, pemuda 
    berambut putih keperakan yang mempunyai kepandaian luar 
    biasa ini merasa tersinggung. 
    "Perlu kau ketahui, aku bukan orang yang berwatak rendah 
    seperti dugaanmu, Nisanak," jelas Arya penuh ketegasan. 
    "Aku bukan pembunuh lima orang Itu!" 
    Ranti tersentak mendengar ucapan Arya Benarkah pemuda 
    berambut putih keperakan ini bukan pembunuh ketiga orang 
    rekannya? 
    "Sayang, aku tidak tahu siapa pembunuh mereka," keluh 
    Dewa Arak. "Sewaktu aku tiba, mereka semuanya telah 
    bergeletakan. Tapi begitu kuperiksa, ternyata ada salah 
    seorang di antara mereka yang belum tewas. Untungnya dia 
    sempat memberitahuku lebih dahulu, siapa orang yang telah 
    melakukan semua ini." 
    Wajah Ranti berubah begitu mendengar penegasan Dewa 
    Arak. 
    "Siapa orang yang telah melakukannya...?" tanya Ranti, 
    mulai lembut suaranya.

    Kini gadis itu mulai meragu kalau pelaku pembunuhan Itu 
    adalah Dewa Arak. Meskipun begitu, tetap saja perasaan 
    curiga masih berkecamuk dalam hatinya. Dia masih belum 
    percaya sepenuhnya terhadap pemuda di depannya. 
    "Kalau tidak salah..., pelaku pembunuhan itu adalah 
    Bidadari Sabuk Emas...." "Bidadari Sabuk Emas...?!" "Benar," 
    Dewa Arak menganggukkan kepala "Itulah julukan yang 
    kudengar dari mulut orang yang tadi masih hidup!" jelas Dewa 
    Arak sambil menudingkan telunjuk tangan kanannya ke arah 
    murid Perkumpulan Pedang Perak yang berkulit putih. 
    "Pantas saja, setelah kitab itu dicuri, Bidadari Sabuk Emas 
    juga menyatroni perkumpulan kami. Rupanya, dia juga 
    berminat pada kitab itu. Dan begitu tahu kalau kitab itu telah 
    dicuri, dia pun membunuhi murid-murid Perkumpulan Pedang 
    Perak," jelas Ranti. 
    Dugaan Ranti sebenarnya ada benarnya. Sewaktu Bidadari 
    Sabuk Emas membunuh kakek dan nenek penduduk Desa 
    Rangkong, kebetulan memang ada tiga orang murid 
    Perkumpulan Pedang Perak. Dan alasan membunuh suami istri 
    lanjut usia itu, sebenarnya hanya kekesalan Bidadari Sabuk 
    Emas, karena Kitab Tangan Racun Pasir Merah telah dicuri. 
    Kekesalan itu kemudian dilampiaskan pada penduduk tak 
    berdosa. Melihat pembantaian itu, maka tentu saja tiga orang 
    murid Perkumpulan Pedang Perak tidak membiarkan begitu 
    saja. Namun akhirnya, mereka harus rela mengorbankan 
    nyawa. 
    "Kalau kau benar bukan orang jahat.., cepat bebaskan 
    totokanmu...," pinta Ranti dengan wajah merah padam karena 
    malu. Dewa Arak tersenyum lebar. 
    "Aku berjanji akan memunahkan tatokan itu, dengan 
    syarat..." 
    "Apa syaratnya?" selak Ranti dengan perasaan geram 
    ditahan.

    Perasaan curiga kembali muncul di hati gadis itu. Dan 
    sudah bersiap-siap mengucapkan makian, apabila pemuda 
    berambut putih keperakan itu mengajukan syarat yang kurang 
    ajar. 
    "Kau tidak lagi menyerang membabi buta seperti tadi," 
    jawab Arya kalem. 
    Plong...! 
    Lega hati gadis berambut kepang itu mendengar jawaban 
    Dewa Arak. Diam-diam, Ranti memaki dirinya sendiri. 
    Mengapa dia terlalu menyangka buruk terhadap pemuda 
    berambut putih keperakan itu? Apakah karena rambutnya 
    yang mengerikan? Mendapat dugaan seperti itu, membuat 
    Ranti berpikir. Apa yang menyebabkan rambut pemuda di 
    hadapannya ini jadi seperti itu? Kalau karena pengalaman, 
    bisa dibayangkan betapa mengerikannya pengalaman itu. 
    Ataukah karena pukulan batin yang hebat sehingga membuat 
    rambutnya jadi berwarna seperti itu? Berbagai macam 
    pertanyaan terus bergayut di dalam hati Ranti. 
    "Bagaimana, Ranti?" tanya Arya begitu gadis itu malah 
    terdiam, jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Atau, tengah 
    mempertimbangkan syarat yang diajukannya? 
    "Nggg..., baik! Aku bersedia!" jawab Ranti agak terbata-
    bata. 
    Dalam hati, Ranti memaki dirinya sendiri. Mengapa dirinya 
    begitu bodoh, sehingga sampai melamun di depan Dewa 
    Arak? Dan karena sibuk memaki dirinya sendiri, Ranti sampai 
    tidak memperhatikan kalau Arya telah memanggilnya dengan 
    namanya. 
    "Betul?" tanya Arya lagi memastikan. 
    Pemuda berambut putih keperakan itu memang kurang 
    percaya atas jawaban yang diberikan Ranti, Apalagi gadis 
    berpakaian biru itu sepertinya ragu-ragu menjawabnya.

    Kontan wajah gadis berambut kepang itu memerah. 
    "Kau kira, aku orang macam apa? Aku bukan orang yang 
    suka menjilat ludah sendiri!" tegas Ranti. 
    Dewa Arak terperanjat mendengar ucapan berapi- api gadis 
    itu. Sungguh tidak disangka kalau Ranti memiliki sifat yang 
    demikian keras. Mirip Melati, kekasihnya. Lalu, di manakah 
    Melati kini? Teringat akan Melati, rindu Dewa Arak kembali 
    menyeruak. 
    "Maaf...! Maaf...!" sahut Arya buru-buru. "Bukannya aku 
    tidak percaya. Tapi, aku tidak ingin mandi keringat apabila kau 
    nanti mengamuk lagi." 
    Mau tak mau, Ranti merasa geli mendengar ucapan Arya. 
    Tapi dengan sekuat tenaga, perasaan geli itu ditahannya. 
    Sehingga pada wajahnya yang cantik, sama sekali tidak 
    tampak tersirat perasaan apa-apa. 
    Sehabis berkata demikian, Dewa Arak segera mengulurkan 
    tangan dan bergerak menepuk. Seketika 
    Ranti telah bebas dari pengaruh totokan. 
    Gadis berpakaian biru itu segera bangkit berdiri. Kini rasa 
    percayanya semakin besar, bahwa Dewa Arak bukan pelaku 
    pembunuhan terhadap ketiga orang murid Perkumpulan 
    Pedang Perak. Jelas, kalau pemuda itu tidak bermaksud jahat 
    padanya. Kini dia mengerti, mengapa sampai puluhan jurus 
    lamanya pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali 
    tidak melawannya. 
    Meskipun begitu, Ranti tetap tidak meninggalkan 
    kewaspadaannya. Kecurigaannya pada Dewa Arak masih 
    terselip di hatinya. 
    "Kalau boleh tahu, apa hubunganmu dengan ketiga orang 
    itu?" tanya Arya sambil menudingkan telunjuk kanannya ke 
    arah tubuh tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak yang 
    tergeletak tanpa nyawa di tanah.


    "Mereka adalah tiga orang saudara seperguruanku," jawab 
    Ranti, sendu. Sebenarnya dia merasa terpukul melihat 
    tewasnya ketiga rekannya itu. 
    "Sukar kubayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu yang 
    dimiliki Bidadari Sabuk Emas yang telah mampu membunuh 
    ketiga orang saudara seperguruanmu itu. Padahal, 
    mengalahkanmu saja aku sudah susah payah," kata Dewa 
    Arak setelah sekian lamanya tercenung. 
    "Kepandaian mereka tidak setinggi kepandaianku' jawab 
    Ranti cepat. "Hm...," hanya gumaman perlahan Arya yang 
    menyambut ucapan gadis berpakaian biru itu. 
    "Sejak masih kecil, aku dididik langsung olah guruku. 
    Bahkan diperbolehkan mempelajari kitab-kitab yang ada di 
    perpustakaan. Sementara, mereka hanya dididik oleh murid 
    kepala perkumpulan kami. Kau tidak usah heran. Kepandaian 
    mereka bertiga, sekalipun digabung, masih belum menyamai 
    kepandaianku. Jadi, janganlah merasa bingung 
    membayangkan kepandaian Bidadari Sabuk Emas." 
    Arya menganggukkan kepala pertanda mengerti. Kini 
    pemuda berambut putih keperakan ini tahu, mengapa Bidadari 
    Sabuk Emas mampu membinasakan mereka semua. 
    "Apakah kau juga mempunyai tugas yang sama dengan 
    mereka?" tanya Arya lagi. 
    "Hm.... Maksudmu?" Ranti mengerutkan alisnya. 
    "Mencari kitab pusaka perkumpulan kalian yang dicuri 
    orang," jelas Dewa Arak. 
    "Dari mana kau tahu tentang hal itu?" tanya Ranti penuh 
    selidik. 
    Sikap Ranti mendadak tegang lagi. Perasaan curiganya 
    kembali timbul. Dia memang belum sepenuhnya percaya 
    terhadap Arya. Maka begitu mendengar ucapan yang 
    mengetahui tugas yang diberikan gurunya, dia kembali merasa

    curiga. Masalahnya, peristiwa pencurian kitab pusaka itu 
    memang amat dirahasiakan. Di Perkumpulan Pedang Perak 
    sendiri, tidak semua murid perkumpulan mengetahuinya. Jadi, 
    wajar saja kalau Ranti merasa curiga tatkala pemuda di 
    hadapannya ini tahu tentang tugasnya. 
    "Kau tidak usah bersikap setegang itu, Ranti," sergah Arya 
    sambil tersenyum lebar. Kembali dipanggilnya gadis 
    berpakaian biru itu dengan namanya. "Aku mengetahui dari 
    mulut temanmu sebelum dia tewas." 
    Mendengar jawaban itu, seluruh urat-urat tubuh Ranti yang 
    tadi mengejang, kembali mengendur. 
    "Apa saja yang dikatakannya padamu?" tanya Ranti lagi, 
    ingin tahu. Dia masih belum mau memanggil Dewa Arak 
    dengan namanya saja. "Hanya dua masalah itu saja." Gadis 
    berambut kepang itu mengangguk-anggukkan kepalanya 
    Sementara suasana menjadi hening sejenak begitu Dewa Arak 
    menghentikan ucapannya. Apalagi, .Ranti juga tidak 
    melanjutkan pertanyaannya. Kini kedua orang itu sama-sama 
    berdiam diri. Masing-masing tenggelam dalam lamunannya 
    sendiri-sendiri. 

    ENAM


    Mendadak Arya dan Ranti menolehkan kepala ke satu arah. 
    Dan memang terdengar suara banyak langkah kaki yang 
    menuju ke tempat mereka. Mendengar langkah-langkah yang 
    berat, jelas kalau mereka sama sekali tidak memiliki ilmu 
    meringankan tubuh. 
    Benar saja. Di kejauhan, dalam jarak lebih dari dua puluh 
    tombak dari tempat Dewa Arak dan Ranti berdiri, nampak 
    berjalan puluhan, bahkan mungkin seratus orang. Menilik dari

    pakaian yang dikenakan, nampaknya mereka adalah para 
    penduduk desa. 
    Arya dan Ranti saling pandang dengan sinar mata 
    memancarkan keheranan. Memang kedua orang itu merasa 
    heran, karena di bahu dan tangan para penduduk itu tidak 
    kosong. Mereka semua membawa barang-barang maupun 
    perbekalan. Bisa diperkirakan, rombongan orang itu hendak 
    pergi jauh. Ataukah hendak pindah? 
    Arya dan Ranti semakin heran ketika rombongan itu 
    menghentikan langkah. Sepasang mata puluhan orang itu 
    menatap ke arah mereka berdua tanpa berkedip. Jelas, kalau 
    keberadaan Arya dan Ranti di situlah yang membuat 
    rombongan itu menghentikan perjalanan. 
    Seperti diberi aba-aba, Dewa Arak dan Ranti melangkah 
    menghampiri rombongan yang berada dalam jarak sekitar 
    delapan tombak di depan mereka. Kedua muda-muda itu ingin 
    tahu, mengapa penduduk desa itu beramai-ramai melakukan 
    perjalanan, atau lebih tepatnya lagi ingin pindah. Apalagi 
    dalam rombongan itu terdapat anak kecil, wanita, dan orang-
    orang lanjut usia. Bahkan ada yang tengah menggendong 
    bayinya. 
    Kecurigaan Dewa Arak dan Ranti semakin besar begitu 
    melihat tanggapan rombongan penduduk begitu dihampiri. 
    Beberapa orang yang masih muda dan gagah melangkah 
    maju. Sikap mereka jelas terlihat melindungi anggota 
    rombongan yang lain. Mereka berdiri di hadapan wanita, anak-
    anak, dan orang-orang lanjut usia. 
    Srat, srat, srattt...! 
    Sinar-sinar terang berkilauan berkelebat ketika belasan 
    orang laki-laki muda dan gagah itu mencabut senjata masing-
    masing. Jelas, kalau mereka telah siap bertempur.


    Melihat sikap mereka, Arya dan Ranti jadi semakin heran. 
    Kalau tidak ada kejadian yang menimpa, tak mungkin mereka 
    akan bersikap seperti itu. 
    Arya bergegas memberi isyarat pada Ranti untuk 
    menghentikan langkah. Sekali lihat saja, sudah diketahuinya 
    kalau belasan orang itu telah kalap. Kalau mereka berdua 
    terus bergerak mendekat, tidak mustahil akan diserang. 
    Untungnya, Ranti bisa diatur. Gadis itu seketika 
    menghentikan langkahnya begitu pemuda berambut Putih 
    keperakan itu menghentikan langkahnya. Kini mereka berdiri 
    berhadapan dengan rombongan itu dalam jarak sekitar lima 
    tombak. 
    “Kisanak semua!" kata Arya disertai pengerahan tenaga 
    dalam sehingga terdengar sampai ke tempat jauh “Mengapa 
    kalian menghunus senjata? Kami berdua bukan orang jahat!" 
    Seorang laki-laki berkumis tebal dan berpakaian abu-abu, 
    dan berusia sekitar empat puluh lima tahun melangkah maju 
    beberapa langkah. Jelas, dia adalah pemimpin rombongan itu. 
    Dan memang, dia adalah kepala desa. Laki-laki berkumis tebal 
    itu tak lain adalah Ki Saketi, Kepala Desa Rangkong. 
    Sementara rombongan yang berada di belakangnya adalah 
    penduduk Desa Rangkong. Di antara mereka ada pula Eyang 
    Balunglaga. Ternyata dia ikut juga mengungsi. Memang kakek 
    ini hanya memiliki ilmu pengobatan dan ilmu meringankan 
    tubuh yang cukup tinggi. Sementara ilmu silat dan tenaga 
    dalam hanya dikuasai sekadarnya saja. 
    'Tidak usah berbasa-basi, anak muda," sambut Ki Saketi. 
    Datar dan dingin suaranya. "Kami bukan anak kecil yang 
    mudah dibodohi. Bukti mayat-mayat yang berada di belakang 
    kalian telah menunjukkan semuanya." 
    Sambil berkata demikian, laki-laki berpakaian abu-abu ini 
    menudingkan telunjuknya ke arah mayat murid-murid

    Perkumpulan Pedang Perak dan sepasang suami istri yang 
    telah berusia lanjut. 
    Mendengar ucapan ini Arya terdiam. Disadari kalau 
    kenyataan yang terlihat, telah menyudutkan mereka berdua. 
    Sesaat lamanya dia tercenung bingung. Benaknya berputar 
    keras mencari bantahan untuk menolak tuduhan yang 
    dilontarkan Ki Saketi. 
    "Bagaimana, Anak Muda?" tanya Kepala Desa Rangkong 
    yang merasa telah menang. "Masih mau mungkir lagi? 
    Bicaralah semaumu. Tapi perlu kau ketahui, kami sama sekali 
    tidak akan terpengaruh. Semua ucapan yang keluar dari 
    mulutmu, tak ubahnya dengan angin busuk yang keluar dari 
    lubang pantatmu!" 
    Keras dan tajam sekali ucapan Ki Saketi sehingga wajah 
    Dewa Arak sampai merah padam karenanya. 
    Tapi walaupun kemarahan yang hebat melanda hatinya, 
    Arya berusaha menahan diri. Dia tahu, laki-laki berkumis tebal 
    ini salah paham. Dan kalau dihadapi dengan kemarahan pula, 
    keadaan jadi semakin berlarut-larut. 
    Pemuda berambut putih keperakan ini menarik napas 
    dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat untuk 
    menenangkan perasaannya yang mulai bergolak. 
    Berbeda dengan Arya, Ranti sama sekali tidak mampu 
    menahan kesabarannya mendengar ucapan itu. Meskipun 
    sebenarnya makian tadi ditujukan pada Dewa Arak, tapi tak 
    urung gadis ini jadi tersinggung juga. Karena, mau tak mau 
    hinaan itu tidak hanya ditujukan pada Arya, tapi juga padanya. 
    "Mulutmu kotor sekali, Tua Bangka...!" desis Ranti tajam. 
    Sepasang mata gadis itu menyorotkan ancaman. Terdengar 
    suara berkerotokan keras ketika seluruh tenaga dalam gadis 
    ini menyebar ke seluruh tubuh. Semua urat syaraf dan ototnya 
    pun mengejang keras "Sabar, Ranti...," bujuk Arya sambil

    menoleh ke arah gadis berkepang itu. "Dalam menghadapi 
    setiap persoalan, jangan tempatkan perasaan di depan. 
    Tempatkanlah di belakang. Pikiran sehatlah yang harus 
    ditempatkan di depan. Hati boleh panas, tapi kepala mesti 
    dingin agar tetap dapat berpikir jernih. Tahu mana yang salah, 
    dan yang benar." 
    Bagai bara api yang disiram air es, amarah Ranti langsung 
    menguap. Apa yang dikatakan pemuda berambut putih 
    keperakan itu memang mengandung kebenaran yang tidak 
    dibantah lagi. Kontan percayanya pada Arya semakin menebal. 
    Seiring semakin menebalnya rasa percayanya pada pemuda 
    berambut putih keperakan itu, rasa curiganya pun semakin 
    menyusut. Dewa Arak benar-benar seorang pemuda yang 
    berpikiran seperti orang tua. Bijaksana, tidak hanya menuruti 
    hawa nafsu semata-mata. "Hmh...!" 
    Ki Saketi mendengus mendengar ucapan Arya. Memang, 
    dia juga mendengar ucapan yang ditujukan pada gadis itu. 
    Pemuda berpakaian ungu itu memang cukup keras bicaranya. 
    Tidak cukup hanya dengan dengusan dan raut wajah yang 
    mengejek, laki-laki berpakaian abu-abu ini terus menyambung 
    dengan ucapannya. 
    "Luar biasa...! Ada Iblis kotor yang mengucapkan kata-kata 
    seperti malaikat Lucu! Lucu sekali...!" 
    Amarah Ranti yang tadi sudah mulai surut, kembari bangkit 
    mendengar hinaan Ki Saketi. Aneh! Kini gadis itu tidak senang 
    mendengar Arya dihina! Pemuda berpakaian ungu itu 
    membiarkan saja orang menghinanya! Padahal, dengan 
    kepandaian yang dimiliki, hanya sekali kibas pasti nyawa 
    Kepala Desa Rangkong itu akan melayang ke alam baka. Tapi, 
    Arya tidak melakukannya! Bahkan Dewa Arak menelan 
    mentah-mentah saja semua hinaan itu. 
    Ternyata bukan hanya Ranti saja yang menjadi bangkit 
    amarahnya. Dewa Arak pun demikian pula. Ki Saketi sudah


    terlalu menghinanya. Tapi meskipun begitu, dia masih 
    mencoba bersabar. Pasti ada alasan kuat sehingga membuat 
    laki-laki berkumis tebal itu bersikap demikian. 
    Lagi-lagi Arya menarik napas dalam-dalam dan 
    menghembuskannya kuat-kuat untuk meredakan amarah yang 
    menyesakkan dada. 
    Ranti tahu, Arya berbuat seperti itu untuk meredakan 
    amarahnya. Maka, dia pun ikut-ikutan bertindak serupa. Dan 
    memang setelah berkali-kali hal itu dilakukan, amarahnya 
    mulai turun kembali. Cara itu ternyata manjur juga! Apakah 
    amarah itu keluar bersama dengan keluarnya napas yang 
    dihembuskan, Ranti sama sekali tidak tahu. 
    Berbeda dengan sebelumnya, kini Ranti sama sekali tidak 
    berani bertindak lancang. Dia tahu, dirinya belum tentu bisa 
    menahan amarah. Maka diputuskan untuk menyerahkan saja 
    masalah itu pada Dewa Arak 
    "Kau boleh memakiku apa saja, Ki," kata Arya datar, tapi 
    dengan suara bergetar. 
    Dari sini saja sudah bisa diterka kalau Dewa Arak dilanda 
    amarah. Sehingga walaupun bisa menahannya, tapi tetap saja 
    tidak bisa mengatur suaranya. "Yang jelas, kami bukan pelaku 
    pembunuhan itu,"sambung Dewa Arak. 
    Arya menghentikan ucapannya sejenak, untuk meredakan 
    napasnya yang memburu. Ternyata dalam keadaan dikuasai 
    amarah, deru napasnya jadi seperti orang habis berlari jauh. 
    "Perlu kau ketahui, Ki," sambung Dewa Arak lagi, "Kami 
    sendiri tengah mencari pelaku pembunuhan ini, karena tiga di 
    antara lima orang itu adalah saudara seperguruan kami." 
    Meskipun ucapan Arya ada bohongnya, tapi Ranti sama 
    sekali tidak menyelak. Dia tahu, kalau ucapan itu Arya 
    mewakili dirinya pula. Maka pemuda berambut putih 
    keperakan itu terpaksa berbohong dengan mengatakan tiga


    orang murid Perkumpulan Pedang Perak sebagai saudara 
    seperguruannya. 
    Hanya senyum mengejek dan pandang mata penuh 
    penghinaan yang menyambut ucapan Dewa Arak. Dan itu 
    tidak hanya dilakukan Ki Saketi saja, tapi semua penduduk 
    yang berada di belakangnya. 
    "Kalau kau masih tidak percaya, perhatikan saja pakaian 
    yang dikenakan sahabatku ini." 
    Sambil berkata demikian, Arya menudingkan telunjuknya ke 
    arah Ranti. Mau tak mau, Ki Saketi dan rombongan penduduk 
    Itu mengarahkan perhatian ke arah yang sama. Dan memang, 
    pakaian yang dikenakan gadis berambut kepang itu ternyata 
    sama dengan pakaian tiga orang yang tergolek di tanah. 
    "Apa susahnya memalsukan pakaian seperti itu, Iblis Keji?!" 
    Tirta ikut angkat suara. 
    "Kalau kami ingin membunuh kalian semua, sama 
    mudahnya dengan membuang ludah ke tanah!" Ranti yang 
    sudah memutuskan untuk tidak ikut campur, jadi tak tahan 
    juga. 
    "Mengapa kalian tidak lakukan?!" tantang Ki Saketi tak 
    kalah keras. 
    "Karena kami bukan pembunuhnya, Ki...!" sahut Arya, 
    cepat Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir, .Ranti 
    akan meluap amarahnya. 
    "Keparat..!" Ranti menggeram. 
    Dan begitu ucapannya selesai, kedua tangannya 
    dihentakkan ke samping. 
    Wuttt..! 
    Hembusan angin keras meluruk dari kedua tangan yang 
    dihentakkan itu, dan.... Blarrr...!

    Suara keras terdengar begitu tanah yang terkena pukulan 
    jarak jauh itu terbongkar. Debu seketika mengepul tinggi ke 
    udara. Dan begitu kumpulan debu itu sirna, terbentuk sebuah 
    lubang yang cukup untuk mengubur mayat lima orang 
    sekaligus! 
    Semula Arya terkejut begitu melihat Ranti terlihat seperti 
    akan melakukan sesuatu, dan sudah bersiap-siap mencegah. 
    Tapi begitu dilihatnya sasaran yang dituju gadis berpakaian 
    biru itu, gerakannya cepat di tahan. 
    Ki Saketi dan seluruh rombongan penduduk Desa Rangkong 
    terbelalak melihat hal itu. Tanpa sadar, mereka semua 
    melangkah mundur dua tindak. Seketika ciut hati mereka 
    melihat hasil tindakan gadis berpakaian biru itu. 
    "Apakah tubuh kalian lebih keras daripada itu?!" ejek Ranti 
    keras. "Ketahuilah.... Hanya empat kali kulepaskan pukulan 
    seperti itu, kalian semua sudah tewas dengan tubuh hancur 
    lebur! Apalagi kawanku ini! Kepandaiannya jauh berada di 
    atasku! Mungkin hanya sekali hentakan tangan, kalian semua 
    sudah tewas dengan seluruh tubuh tercerai berai!" 
    Tidak terdengar lagi adanya sambutan dari mulut para 
    penduduk Desa Rangkong. Bahkan Ki Saketi pun kali ini tidak 
    mengucapkan separah kata pun. Laki-laki berpakaian abu-abu 
    ini memang terkejut bukan main melihat pertunjukan yang 
    terjadi di hadapannya. 
    "Apa yang dikatakan kawanku itu benar, Ki," sambung 
    Dewa Arak "Kalau kami ingin membunuh, sama mudahnya 
    dengan membuang ludah ke tanah. Tapi kami bukan orang 
    seperti itu. Justru kami tengah mencari orang yang telah 
    melakukan pembunuhan terhadap kawan kami. Percayalah, Ki. 
    Kami bukan orang jahat" 
    Kali ini tidak ada alasan bagi Ki Saketi untuk tidak percaya. 
    Telah terlihat bukti kehebatan gadis berpakaian biru. Ngeri 
    juga membayangkan, bagaimana seandainya pukulan itu

    diarahkan pada mereka semua. Belum lagi kalau yang 
    melakukannya adalah pemuda berambut putih keperakan itu. 
    Bukankah gadis berambut kepang itu mengatakan kalau 
    kawannya memiliki kepandaian jauh di atasnya? 
    "Maafkan, kami telah salah menduga, Anak Muda," ucap 
    Kepala Desa Rangkong terbata-bata. "Maklum, kami telah 
    berkali-kali dilanda musibah. Sehingga, maklumlah kalau kami 
    mencurigai kalian berdua. Apalagi, kalian berada di antara 
    mayat-mayat itu!" Sambil berkata demikian, Ki Saketi 
    menudingkan telunjuk ke arah mayat-mayat yang tergolek di 
    belakang Dewa Arak dan Ranti. Tampak kalau tangan laki-laki 
    berkumis tebal itu menggigil, karena jelas tengah dilanda 
    perasaan ngeri yang amat sangat. 
    Meskipun merasa geli melihat hal itu, Dewa Arak mampu 
    menutupinya sehingga tidak tampak pada raut wajahnya. Raut 
    wajah pemuda berambut putih keperakan itu tetap tenang, 
    tidak tampak adanya gambaran perasaan apa pun. 
    Namun tidak demikian halnya dengan Ranti. Gadis 
    berpakaian biru itu merasa geli bukan main. Betapapun telah 
    diusahakan untuk tidak menampakkannya, tapi tetap saja 
    tidak mampu. Mulutnya yang berbentuk indah itu 
    mengembangkan senyum. Itulah sebabnya kepalanya 
    ditundukkan sehingga senyuman itu tidak terlihat. 
    "Kalau boleh kami tahu, apa yang terjadi di desamu, Ki? 
    Dan mengapa kalian semua pergi berbondong-bondong 
    begini? Apakah kalian semua hendak mengungsi?” tanya Arya 
    sambil mengedarkan pandangan ke arah rombongan 
    penduduk yang berdiri belakang Ki Saketi. 
    “Hhh …” 
    Laki-laki berpakaian abu-abu itu tidak langsung menjawab 
    pertanyaan Arya. Ki Saketi lebih dulu menghela napas berat, 
    seperti hendak membuang masalah yang memberatkan 
    dadanya.


    “Desa kami telah dilanda musibah, Anak Muda’ tutur Kepala 
    Desa Rangkong itu pelan. Kemudian secara gamblang 
    diceritakannya pada Dewa Arak, akan apa yang terjadi di 
    desanya. 
    Arya mendengarkannya penuh perhatian. Sama sekali 
    cerita Kepala Desa Rangkong Itu tidak diselaknya. Beberapa 
    kali dahinya berkernyit begitu mendengar cerita demi cerita 
    yang keluar dan mulut Ki Saketi. 
    “Begitulah ceritanya, Anak Muda,” kata Iaki-laki berpakaian 
    abu-abu ini menutup ceritanya. “Sehingga, mau tak mau kami 
    terpaksa mengungsi kalau tidak ingin mati konyol. Padahal, 
    sebenarya kami merasa berat hati untuk meninggalkan tempat 
    tinggal kami.” 
    “Bisa kau ceritakan, bagaimana keadaan tubuh penduduk 
    yang keracunan air sungai itu, Ki?” Ranti yang diam-diam 
    mendengarkan cerita Ki Saketi buru-buru bertanya. Nada 
    suaranya terdengar tegang, setegang raut wajahnya. 
    Ki Saketi mengernyitkan alisnya mendengar nada tegang, 
    baik dalam suara maupun raut wajah gadis berpakaian biru 
    itu. Memang Kepala Desa Rangkong itu merasa heran juga. 
    Semula, Arya pun merasa heran ketika Ranti menanyakan 
    hal itu. Tapi ketika teringat kalau gadis berpakaian biru ini 
    tengah mencari jejak orang yang telah membawa Iari kitab 
    pusaka perkumpulannya dia tidak merasa heran lagi. Bahkan 
    jadi ikut mendengarkan jawaban yang akan diberikan Ki 
    Saketi. 
    “Sekujur kulit mereka memerah, seperti udang rebus. 
    Merah dan hancur seperti membusuk. Dan lagi, sepertinya 
    racun itu gatal bukan main. Karena kulihat sebelum tewas, 
    tangan mereka semua sibuk mencakar sekujr kulit” 
    “Ilmu ‘Tangan Racun Pasir Merah’,..,” desis Ranti tajam. 
    “Kau tidak keliru, Ranti?” desak Dewa Arak

    “Tidak” sahut gadis berambut kepang itu yakin. “Memang 
    begitu akibat yang ditimbulkannya.” 
    “Kalau begitu, kita harus cepat ke sana, Ranti..!” ajak Dewa 
    Arak memutuskan. “Sebelum malapetaka ini menjalar ke desa-
    desa sekitar.” 
    “Kau benar, Arya.” 
    Untuk pertama kalinya, gadis berpakaian biru ini memanggil 
    nama pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi karena 
    perasaan tegang yang melanda, baik Dewa Arak maupun 
    Ranti sama sekali tidak memperhatikan perubahan panggilan 
    itu. 
    “Ki! Kami akan pergi untuk mencari mereka. Tolong 
    kuburkan mayat-mayat itu...!" 
    Tanpa menunggu jawaban Kepala Desa Rangkong, Dewa 
    Arak dan Ranti melesat meninggalkan tempat itu. Tujuan 
    mereka sudah jelas. Hutan Rankong. 
    Dewa Arak dan Ranti berlari cepat mengerahkan Ilmu 
    meringankan tubuh yang dimiliki untuk tiba di Hutan 
    Rangkong secepatnya. 
    Berkat ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai 
    tingkat tinggi, Dewa Arak tidak begitu kesulitan mengimbangi 
    lari Ranti. Bahkan kalau mau, akan mampu melewatinya. 
    Dalam waktu tak lama, Hutan Rangkong kini telah tampak di 
    depan mata. 
    Tanpa mengurangi kecepatan sedikit pun, Arya dan Ranti 
    terus berlari. Dan sesaat kemudian, mereka telah memasuki 
    mulut Hutan Rangkong. 
    Sesampainya di sini, Dewa Arak dan Ranti menghentikan 
    larinya. Mereka lalu melangkah perlahan-lahan seraya 
    mengedarkan pandang ke sekeliling. Sekujur otot dan urat 
    syaraf di tubuh sepasang muda-mudi itu menegang waspada, 
    bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.

    Selangkah demi selangkah Dewa Arak dan Ranti semakin 
    jauh masuk ke dalam hutan. Dan selama itu, tidak tampak 
    adanya sesuatu yang mencurigakan. Padahal, telah tak 
    terhitung lagi semak-semak dan pepohonan yang disibak 
    dalam usaha menemukan tokoh yang telah menimbulkan 
    kekacauan itu. 
    "Kau dengar suara itu, Ranti?" tanya Dewa Arak ketika 
    samar-samar telinganya menangkap adanya suara. 
    Ranti menggelengkan kepala. "Apakah kau 
    mendengarnya?" 
    Arya mengangguk 
    "Arahnya dari sebelah sana...!" sahut Dewa Arak sambil 
    menudingkan telunjuknya ke arah Timur. 
    "Kalau begitu, mari kita ke sana..!" Ranti menanggapi 
    penuh semangat. 
    Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya dan gadis 
    berambut kepang itu melangkah cepat ke arah Timur. 
    "Kau benar, Arya...!" kata Ranti tiba-tiba. 
    "Kau juga mendengar suara itu, Ranti?" 
    "Ya. Sekarang aku mendengarnya," jawab gadis berpakaian 
    biru itu seraya mempercepat langkahnya 
    Semakin lama, suara yang terdengar semakin jelas. 
    "Suara itu berasal dari balik semak-semak itu. Kang Arya." 
    Tanpa sadar, lagi-lagi Ranti merubah panggilannya. Dan 
    seperti juga sebelumnya, Dewa Arak sama sekali tidak 
    menyadarinya. 
    Dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara, Arya dan 
    Ranti menghampiri kerimbunan semak-semak Masih bersikap 
    hati-hati pula. Dewa Arak menyibaknya. Lalu bersama-sama, 
    sepasang muda-mudi itu mengintai dari kerimbunan semak

    semak yang dikuak Arya. Begitu dekatnya wajah-wajah 
    mereka, sampai-sampai kedua pipi sepasang muda-mudi itu 
    hampir bersentuhan. 
    Dada Arya seketika berdebar keras. Hidungnya mencium 
    adanya bau harum yang menebar dari tubuh gadis berpakaian 
    biru itu. Seketika itu juga wajahnya memerah. Terus terang, 
    ada keinginan yang mendorongnya untuk memeluk tubuh 
    Ranti. Dan itu wajar saja, karena Arya adalah seorang pemuda 
    yang masih berdarah panas. 
    Perasaan yang bergolak akibat pipinya bersentuhan dengan 
    pipi gadis berambut kepang itu membuat pikiran Arya buntu. 
    Hampir-hampir pembicaraan dua sosok tubuh di balik semak-
    semak yang tengah berdiri berhadapan dalam jarak sekitar 
    dua tombak tidak bisa ditangkapnya. 
    "Sekarang, jangan harap kau akan bisa mengalahkanku 
    lagi, Bidadari Sabuk Emas...!" teriak seorang laki-laki bertubuh 
    tinggi besar berpakaian serba hitam dan bercambang bauk 
    lebat. Sebuah topi berbentuk setengah tempurung kelapa 
    bertengger di alas kepalanya. 
    Arya dan Ranti yang mendengar julukan yang disebut 
    kakek tinggi besar itu merasa geli bercampur heran. Mengapa 
    orang setua nenek itu berjuluk bidadari? Sama sekali 
    keduanya tidak tahu kalau julukan itu didapat waktu nenek itu 
    masih muda dan cantik jelita. 
    "Ha ha ha...! Jangan besar kepala karena telah berhasil 
    mempelajari ilmu curian itu, Raja Iblis Baju Hitam!" sambut 
    nenek berpakaian merah muda dan berambut panjang yang 
    memang Bidadari Sebuk Emas. "Akan kubuktikan kalau dalam 
    pertemuan kali ini, akulah yang akan memenangkan 
    pertarungan. Dan, kau terpaksa harus berlatih keras lagi." 
    "Akan kau lihat sendiri buktinya, Bidadari Sabuk Emas! Kita 
    buktikan, siapa di antara kita yang patut bergelar datuk!"

    Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu sudah 
    siap untuk bergebrak Tapi.... 
    "Tunggu dulu, Raja Iblis!" Bidadari Sabuk Emas 
    menjulurkan kedua tangannya ke depan. "Aku mendengar ada 
    suara aneh. Jangan-jangan, ada orang yang tengah mengintai 
    kita." 
    Raja Iblis Baju Hitam pun menghentikan gerakannya. 
    Kepalanya pun ditolehkan ke arah yang sama dengan 
    pandangan Bidadari Sabuk Emas. Dia memang tidak 
    mendengar suara apa pun, karena tadi tengah berteriak-
    teriak. 
    Melihat kedua tokoh sesat itu telah mengetahui tempat 
    persembunyian mereka, mau tak mau Dewa Arak keluar dari 
    tempat persembunyiannya. Kemudian dihampirinya kedua 
    tokoh sesat yang berdiri diam menunggu. 
    Ranti pun terpaksa mengikuti. Diam-diam gadis berpakaian 
    biru itu merasa heran, mengapa Arya sampai mengeluarkan 
    suara napas menderu yang membuat tempat persembunyian 
    mereka diketahui? Memang, deru napas Dewa Araklah yang 
    membuat persembunyian mereka diketahui. 
    "Kau kenal kedua tokoh itu, Ranti?" tanya Arya pelan untuk 
    menutup perasaan malunya. Diam-diam dia memaki dirinya 
    sendiri, mengapa sampai bisa terpengaruh? 
    "Kenal sih, tidak. Tapi guruku telah menceritakan siapa 
    adanya mereka," jawab gadis berambut kepang itu. "Mereka 
    adalah datuk-datuk dunia persilatan. Tapi sekitar dua tahun 
    yang lalu, Raja Iblis Baju Hitam menghilang dari dunia 
    persilatan, dan tidak terdengar beritanya lagi. Orang mengira 
    dia telah mati." 
    "Rupanya dia mengasingkan diri untuk memperdalam 
    ilmunya, karena telah dikalahkan Bidadari Sabuk Emas. 
    Bahkan sampai-sampai mencuri kitab pusaka 
    perkumpulanmu," tambah Dewa Arak.


    Ranti hanya menganggukkan kepala pertanda 
    membenarkan ucapan Dewa Arak. 
    "Bagaimana dia bisa masuk ke perkumpulanmu dan 
    mencuri kitab?" tanya Arya sambil terus melangkah 
    menghampiri kedua tokoh sesat itu dengan sikap waspada. 
    "Menerobos masuk ke dalam perkumpulan dengan 
    menewaskan beberapa orang penjaga, tanpa ada seorang pun 
    yang tahu," keluh Ranti. "Baru pada pagi harinya, kami semua 
    mengetahuinya Maka guru cepat-cepat memerintahkan untuk 
    mencari pencuri itu." 
    "Hi hi hi...! Dewa Arak rupanya telah menjadi pengintai 
    hina?!" Bidadari Sabuk Emas langsung mengejek. 
    Nenek ini memang telah lama mendengar semua tentang 
    Arya. Baik mengenai ciri-cirinya, maupun sepak terjangnya. 
    Maka bisa langsung ditebak tepat, siapa pemuda berambut 
    putih keperakan itu. 
    "Dewa Arak...?!" 
    Hampir berbareng Ranti dan Raja Iblis Baju Hitam 
    menggumamkan nama itu, sama-sama dengan nada 
    keterkejutan. Ranti memang sama sekali tidak menduga kalau 
    pemuda yang selama ini berada bersamanya adalah pemuda 
    yang menggemparkan dunia persilatan itu. Padahal, semua 
    tokoh persilatan telah didengar dari gurunya. Dan Dewa Arak 
    adalah salah satu di antara orang yang disebut gurunya. 
    "Tapi, benarkah Arya adalah Dewa Arak? Ah! Mengapa aku 
    begitu pelupa! Bukankah guru telah mengatakan kalau nama 
    asli Dewa Arak adalah Arya Buana. Dan pemuda berambut 
    putih keperakan itu pun telah menyebutkan namanya. Arya 
    Buana! Mengapa aku jadi begitu bodoh?" maki Ranti dalam 
    hati. 
    Ranti terdiam, seperti mengutuk diri sendiri. Dia 
    sebenarnya ingin memperjelas keingintahuannya tentang

    Dewa Arak. Tapi saat ini mereka tengah bersikap waspada 
    terhadap dua tokoh sesat yang selama ini dicari-cari. Ranti 
    hanya memendam pertanyaan itu dalam hati. Rasanya 
    memang tidak pantas untuk menanyakannya. 
    Sementara Ranti masih terpaku dengan kekagumannya 
    pada Dewa Arak, maka Arya sendiri telah berada sekitar dua 
    tombak di depan Bidadari Sabuk Emas dan Raja Iblis Baju 
    Hitam. Begitu sadar, gadis itu segera menghampiri Dewa Arak. 
    Dewa Arak sengaja membiarkan Ranti memilih lawannya. 
    Gadis berpakaian biru itu lalu bergerak menghampiri Raja Iblis 
    Baju Hitam. Jadi, Arya terpaksa melangkah menghampiri 
    Bidadari Sabuk Emas. 
    Nenek berpakaian merah muda itu tertawa terkekeh. 
    "Sudah lama aku berniat menjajal kepandaianmu, Dewa 
    Arak! Sungguh tidak kusangka kalau akhirnya bisa bertemu 
    denganmu...!" 
    Arya hanya tersenyum getir. "Bidadari Sabuk Emas...! Kau 
    harus mempertanggungjawabkan perbuatan kejimu yang telah 
    membunuh tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak!" 
    kata Dewa Arak keras, Dia memang ingin membuktikan pada 
    Ranti kalau pembunuh itu bukan dia! 
    Memang, begitu mendengar ucapan itu Ranti menoleh. 
    Gadis itu ingin mendengar jawaban nenek berpakaian merah 
    muda itu. 
    "Hi hi hi...! Bukan hanya mereka saja yang kubunuh! Tapi 
    kau juga akan kubunuh, Dewa Arak...! Kau akan menemani 
    tiga orang monyet kecil yang berani menantangku!" 
    Mendengar ucapan ini, hati Dewa Arak lega. Dia telah 
    berhasil membuktikan kalau dia sama sekali tidak bersalah. 
    "Bersiaplah kau, Dewa Arak...!" dengan bersikap 
    sebagaimana layaknya orang gagah. Bidadari Sabuk Emas 
    berseru memperingatkan Lalu....

    "Haaat..!" 
    Sambil berteriak melengking nyaring, Bidadari Sabuk Emas 
    mencabut sabuknya. Dan secepat senjata andalannya 
    tercabut, secepat itu pula dilecutkannya ke arah ubun-ubun 
    Dewa Arak. 
    Dewa Arak sejak tadi sudah bersiap siaga. Maka begitu 
    metihat sabuk yang meluncur deras ke arah ubun-ubunnya, 
    cepat dia melompat ke belakang. Langsung dijumputnya guci 
    arak yang bertengger di punggung. 
    Ctaar...! 
    Ledakan keras terdengar begitu ujung sabuk Bidadari 
    Sabuk Emas mengenai tempat kosong. 
    Pada saat yang sama ketika kedua kakinya hinggap di 
    tanah, Dewa Arak menuangkan arak ke dalam mulutnya. 
    Gluk... gluk... gluk..! 
    Suara tegukan yang cukup nyaring terdengar ketika arak 
    itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga ada 
    hawa hangat yang berputar di dalam perut Arya, kemudian 
    merayap naik ke atas kepala. Sekejap saja, kedua kaki Dewa 
    Arak pun oleng. 
    Di saat itulah, serangan sabuk nenek berambut panjang ini 
    kembali menyambar ke arah Dewa Arak. Tapi dengan jurus 
    'Delapan Langkah Belalang', pemuda berambut putih 
    keperakan itu berhasil mengelakkannya 
    Sesaat kemudian, keduanya sudah terlibat dalam sebuah 
    pertarungan sengit dan menarik. Kedua gerakan itu sama-
    sama meliuk-liuk. Baik gerakan sabuk Bidadari Sabuk Emas, 
    maupun gerakan Dewa Arak yang sempoyongan ke sana 
    kemari dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakti'. 
    Sementara itu, Ranti telah berdiri berhadapan dengan Raja 
    Iblis Baju Hitam.

    "Jadi, rupanya kau yang telah mencuri kitab pusaka 
    perkumpulan kami, Raja Iblis!" desah Ranti penuh geram. 
    "Ha ha ha...! Kalau benar begitu, kau mau apa, Bocah?!" 
    sahut Raja Iblis Baju Hitam kalem. Nada suaranya-terdengar 
    meremehkan sekali. 
    "Membunuhmu!" 
    Setelah berkata demikian, Ranti langsung mencabut 
    pedangnya. Dan secepat pedang itu tercabut, secepat itu pula 
    dibabatkan cepat ke arah leher. 
    Ngunggg...! 
    Suara mengaung keras terdengar mengiringi tibanya 
    serangan pedang itu. 
    Raja Iblis Baju Hitam terperanjat melihat hal ini. Sungguh 
    tidak disangka kalau serangan gadis berpakaian biru itu begitu 
    dahsyat. Suara mengaung keras yang mengiringi tibanya 
    serangan telah menunjukkan kekuatan tenaga dalam yang 
    terkandung di dalamnya. Maka laki-laki berpakaian hitam ini 
    tidak berani bertindak main-main Cepat-cepat tubuhnya 
    direndahkan. Dan.... Wusss...! 
    Pedang Ranti menyambar lewat di atas kepalanya, hanya 
    berjarak setengah jengkal. Rambut dan sekujur pakaian yang 
    dikenakan Raja Iblis Baju Hitam ini sampai berkibar keras. Dari 
    sini saja sudah bisa diperkirakan betapa kuatnya tenaga dalam 
    yang terkandung dalam serangan itu. 
    Serangan gadis berambut kepang ini ternyata tidak hanya 
    sampai di situ saja. Begitu babatannya berhasil dielakkan, kaki 
    kanannya langsung mencuat ke arah perut Dan karena sikap 
    tubuh laki-laki bercambang bauk lebat Itu tengah menunduk, 
    serangan kaki itu jadi mengancam dada. 
    Wuttt...! 
    Deru angin keras mengiringi tibanya serangan Ranti.

    Raja Iblis Baju Hitam terperanjat. Tokoh sesat yang 
    menggiriskan ini memang tidak menyangka kalau serangan 
    susulan lawan akan datang begitu cepat. Maka tanpa 
    membuang-buang waktu lagi, tubuhnya dilempar ke belakang. 
    Lalu, dia bersalto beberapa kali di udara, dan mendarat 
    beberapa tombak dari tempatnya semula. 
    Ranti sama sekali tidak memberi lawan kesempatan. Begitu 
    lawan melempar tubuh ke belakang, tubuhnya segera melesat 
    memburu. Pedang di tangannya meluncur cepat ke arah 
    lawan, diiringi suara mengaung menggetarkan jantung. 
    Berbahaya sekali serangan yang dilancarkan gadis 
    berpakaian biru itu. Apalagi, saat itu tubuh Raja Iblis Baju 
    Hitam tengah berada di udara. 
    Meskipun begitu, tidak percuma laki-laki berpakaian hitam 
    ini menjadi seorang datuk sesat. Di saat yang berbahaya ini 
    serangan itu masih sanggup dielakkan. Tubuhnya menggeliat 
    di udara, sehingga serangan itu tidak mengenai sasaran. 
    Berbareng hinggapnya kedua kaki Ranti di tanah, Raja Iblis 
    Baju Hitam pun mendaratkan kakinya pula di tanah. Dan 
    secepat kedua pihak berada di tanah, secepat itu pula saling 
    menyerang dahsyat Pertarungan sengit dan mati-matian pun 
    terjadi. 
    Di arena lain, Dewa Arak pun tengah berjuang keras 
    menaklukkan lawannya. Ilmu 'Belalang Sakti' miliknya 
    dikeluarkan sampai ke tingkat akhir. Kedua tangannya, guci, 
    dan juga semburan-semburan araknya dikeluarkan. Beberapa 
    kali sambil mengelakkan serangan lawan, Dewa Arak 
    menenggak araknya. Suara tegukan pun kembali terdengar di 
    sela-sela ledakan sabuk Bidadari Sabuk Emas. 
    Memang, pertarungan yang berlangsung antara Dewa Arak 
    dan Bidadari Sabuk Emas berlangsung seru dan menarik. 
    Perempuan tua itu memang telah mendengar kelihaian 
    lawannya. Maka sudah sejak semula senjata andalannya

    dikeluarkan. Bahkan langsung menyerang dengan 
    mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki. 
    Karena kedua belah pihak sama-sama memiliki ilmu 
    meringankan tubuh yang tinggi pertarungan yang terjadi pun 
    berlangsung cepat. Yang tampak hanyalah kelebatan 
    bayangan kemerahan dan ungu, yanq terkadangg saling belit 
    Tapi, tak jarang pula saling pisah. 
    Di antara kelebatan cahaya ungu dan merah, tampak 
    meliuk-liuk sabuk yang berwarna kuning keemasan. 
    Memang luar biasa permainan sabuk nenek berpakaian 
    merah muda itu. Terkadang sabuk itu melecut mengeluarkan 
    ledakan nyaring seperti gelegar halilintar, tapi tak jarang pula 
    menegang kaku seperti sebatang tombak dan meluncur cepat 
    ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Bahkan tak kalah 
    seringnya pula sabuk itu meliuk-liuk laksana seekor ular, 
    sehingga sukar diterka ke mana arah yang dituju. 
    Perubahan permainan sabuk itulah yang merepotkan Dewa 
    Arak. Sehingga sampai puluhan jurus berlangsung, lawannya 
    belum mampu didesak. Perubahan permainan sabuk itu 
    berlangsung secara tiba-tiba dan tak terduga sehingga 
    menyulitkannya. Dan inilah yang membuat Arya kewalahan 
    menghadapinya. 
    Bukan hanya Arya saja yang merasa penasaran Bidadari 
    Sabuk Emas pun dilanda perasaan yang sama. Seluruh 
    kemampuannya dalam memainkan sabuk telah dikerahkan, 
    tapi tetap saja tidak satu pun serangannya yang berhasil 
    mengenai tubuh lawan. Jangankan mengenai, mendesak pun 
    tidak mampu. 
    Tak terasa puluhan jurus telah berlalu. Kini pertarungan 
    telah menginjak jurus keseratus. Tapi sampai selama itu, 
    pertarungan masih berlangsung seimbang. 
    Tidak nampak ada tanda-tanda, siapa yang akan keluar 
    sebagai pemenang. Wuttt..!


    Pada jurus yang keseratus dua puluh tujuh, untuk yang 
    kesekian kalinya sabuk di tangan Bidadari Sabuk Emas meliuk-
    liuk. Kemudian secara tidak terduga-duga, menotok ke arah 
    pelipis seperti ular mematuk. 
    Cepat gerakan sabuk itu, tapi masih lebih cepat lagi 
    gerakan Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu 
    memiringkan kepalanya sehingga patukan sabuk itu mengenai 
    tempat kosong. Dan... 
    Prrruh...! 
    Arya menyemburkan arak yang sejak tadi berada dalam 
    mulutnya Seketika Itu juga, butiran-butiran arak itu meluncur 
    cepat ke arah Bidadari Sabuk Emas. 
    Nenek berpakaian merah muda Itu terkejut bukan main 
    mendapat serangan yang tidak disangka-sangka. Tak terpikir 
    olehnya akan serangan itu, karena Arya tidak terlihat 
    meminum araknya. Sama sekali tidak disangka kalau Arya 
    memang sengaja menyimpannya. 
    Dengan agak gugup, Bidadari Sabuk Emas menundukkan 
    kepalanya. Meskipun begitu, dia berhasil pula menyelamatkan 
    diri. Dia tahu, arak yang disemburkan Dewa Arak tidak bisa 
    dibuat main-main. Semburannya tak ubahnya luncuran panah! 
    Bila terkena kulit, pasti akan luka-luka. Bahkan bila terkena 
    mata, pasti akan hancur. 
    Dan nenek berambut panjang Ini sama sekali tidak 
    menyangka kalau serangan itu hanya pancingan saja. 
    Tappp...! Ujung sabuk itu berhasil ditangkap Dewa Arak, 
    dan pemuda itu langsung membetotnya. 
    "Ah...!" Bidadari Sabuk Emas menjerit kaget ketika 
    tubuhnya tertarik ke depan dan melayang di udara. 
    Perempuan tua itu memang tidak menyangka kalau Dewa 
    Arak mampu menangkap sabuknya!

    Dewa Arak sengaja melakukannya untuk mengalihkan 
    perhatian nenek itu dari sabuknya. Dan mendadak.... Tappp...! 
    Ujung sabuk itu telah berhasil ditangkap Dewa Arak yang 
    langsung membetotnya begitu sabuk itu telah 
    dicengkeramnya. 
    "Ah...!" 
    Bidadari Sabuk Emas 
    menjerit kaget ketika 
    tubuhnya tertarik ke depan 
    dan melayang di udara. 
    Perempuan tua itu memang 
    tidak bersiap 
    menghadapinya. 
    Dan di saat tubuh nenek 
    berpakaian merah muda itu 
    tengah berada di udara, Arya 
    melepaskan pegangan 
    tangannya. Dan dengan 
    gerakan sukar diikuti mata, 
    gucinya disampirkan kembali 
    di punggung. Dan secepat 
    guci itu tersampir, secepat itu 
    pula Arya menghentakkan kedua tangannya ke depan. Inilah 
    jurus 'Pukulan Belalang'. Wusss...! 
    Angin keras berhawa panas menyengat meluncur ke arah 
    tubuh Bidadari Sabuk Emas. Seketika nenek berpakaian merah 
    muda itu terperanjat dan berusaha mengelak sebisa-bisanya. 
    Tapi.... 
    Bressss… 
    Jeritan menyayat keluar dari mulut nenek berambut 
    panjang itu, tatkala angin pukulan Dewa Arak menghantam, 
    telak dan keras dadanya. Seketika itu juga, tubuh Bidadari 
    Sabuk Emas terlempar jauh ke belakang . Nenek berambut

    panjang ini gagaI menyelamatkan diri. Keadaan tubuhnya 
    yang tengah berada di udara menyulitkannya untuk mengelak. 
    Tambahan lagi, dia masih terbawa tarikan Dewa Arak tadi. 
    Brukkk..! 
    Suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh Bidadari 
    Sabuk Emas menghantam tanah. Seketika itu juga nyawanya 
    terlepas dari raga. Dia kini tewas dalam keadaan 
    menyedihkan. Sekujur tubuhnya hangus terbakar. Samar-
    samar tercium bau sangit daging terbakar. 
    Sementara itu jerit kematian Bidadari Sabuk Emas 
    membuat Raja Iblis Baju Hitam terperanjat. Seketika itu juga 
    perhatiannya terpecah. Padahal bagi seorang tokoh tingkat 
    tinggi yang tengah bertarung, kelengahan lawan betapapun 
    kecilnya, adalah sebuah kesempatan untuk memasukkan 
    serangan. 
    Apalagi pertarungan antara Raja Iblis Baju Hitam dan Ranti 
    memang berjalan seimbang sejak tadi Maka ketika laki-laki 
    berpakaian hitam itu lengah, pedang di tangan Ranti meluncur 
    cepat ke arah dadanya. Dan.... 
    Cappp...! 
    Pedang Ranti menghunjam dalam di perut laki-laki 
    berpakaian hitam itu hingga tembus ke punggung. Kontan 
    darah segar muncrat dari bagian tubuh yang terluka. 
    "Hih...!" 
    Ranti segera mencabut pedangnya. Maka darah segar 
    kembali berhamburan dari bagian tubuh yang terluka. Dan 
    bukan hanya itu saja yang dilakukannya. Kakinya pun 
    menendang cepat ke arah dada Raja Iblis Baju Hitam. 
    Desss...! 
    Suara berderak keras terdengar ketika tulang-tulang dada 
    laki-laki berbaju hitam itu hancur berantakan. Seketika


    nyawanya pun melayang seiring melayangnya tubuhnya ke 
    belakang. 
    Ranti bergegas menghampiri mayat Raja Iblis Baju Hitam. 
    Segera disobeknya bagian baju tokoh sesat itu. Dugaannya 
    ternyata benar. Kitab pusaka perkumpulannya berada di balik 
    baju Raja Iblis Baju Hitam. 
    Gadis berpakaian biru ini tersenyum gembira. Semua jerih 
    payahnya ternyata tidak sia-sia. Diperhatikannya kitab yang 
    bertuliskan Ilmu Tangan Racun Pasir Merah, dengan pandang 
    mata berbinar-binar. Kemudian kepalanya menoleh untuk 
    memberi tahu Dewa Arak. 
    Tapi tidak ada seorang pun yang dijumpainya di situ. 
    Suasana di sekeliling tempat itu sepi-sepi saja. Walau Ranti 
    telah mengedarkan pandangan ke sekeliling, tetap saja 
    bayangan tubuh Dewa Arak tidak terlihat 
    Karuan saja hal ini membuat Ranti merasa cemas bukan 
    main. Segumpal perasaan cemas menyeruak. Segumpal 
    perasaan cemas menyeruak di hatinya, karena takut Dewa 
    Arak telah pergi meninggalkannya. 
    "Kang Arya...!" 
    Dalam puncak kecemasan yang menggelegak Ranti 
    berteriak memanggil. Tak tanggung-tanggung lagi seluruh 
    tenaga dalamnya dikerahkan sewaktu memanggil. Akibatnya 
    sudah bisa diduga. Suara keras yang memekakkan telinga 
    terdengar mengoyak kesunyian Hutan Rangkong. 
    Ranti menunggu sesaat Tapi sampai jemu menanti, orang 
    yang diharapkan tidak juga kunjung datang. Hanya gema 
    suaranya yang bersahut-sahutan menyambut panggilannya. 
    "Kang Arya...!" 
    Ranti memanggil lagi dengan suara lebih keras, tapi tetap 
    saja orang yang dipanggilnya tak kunjung

    Baru saja hendak memanggil lagi, gadis berpakaian biru ini 
    segera mengurungkan niatnya. Pandangannya tertumbuk 
    pada sebuah benda yang terpacak di pohon. 
    Benda itu adalah selembar kain yang menempel di batang 
    pohon, karena ditusuk sebatang ranting kecil. Jelas 
    membutuhkan tenaga dalam tinggi untuk membuat ranting 
    kecil yang lemah itu mampu menembus batang pohon yang 
    demikian keras. 
    Ranti segera menghampiri. Dan seperti yang sudah diduga, 
    ada deretan huruf-huruf yang tertera di atasnya. Dengan agak 
    tergesa-gesa dibacanya huruf-huruf itu. 
    Ranti.... 
    Aku ikut merasa gembira, karena kau telah berhasil 
    menunaikan tugas yang diberikan gurumu. Aku pergi dulu. 
    kelak kita akan bertemu kembali. 
    Ranti segera mencampakkan ranting itu, dan meremas kain 
    yang bertuliskan pesan Arya hingga hancur luluh. Kemudian 
    sekali menggerakkan kaki, tubuhnya telah melesat pergi dari 
    situ. 
    Sementara di kejauhan, Dewa Arak tengah melangkah 
    perlahan-lahan dengan perasaan lega. Kembali sebuah tugas 
    menentang kejahatan telah berhasil diselesaikannya dengan 
    baik 


                                    SELESAI 


    Serial Dewa Arak 
    dalam episode 
    Maut dari Hutan Rangkong 
    "Guradi...!" Jatmika menjerit keras begitu melihat putranya 
    tergantung di atas pohon. Sementara Banyupaksi hanya diam 
    terpaku

    Ternyata musibah itu tidak sampai di situ saja. Kematian 
    demi kematian dalam keadaan mengerikan terus menimpa 
    penduduk Desa Rangkong. 
    Ranti, seorang murid wanita utusan Perkumpulan Pedang 
    Perak berusaha menyingkap rahasia pembunuhan ini. Gadis 
    cantik jelita itu memang tengah mencari kitab pusaka 
    perkumpulannya. Kitab yang berisikan ilmu 'Tangan Racun 
    Pasir Merah'. 
    Siapakah orang yang telah mencuri kitab perkumpulannya? 
    Dan siapa pula orang yang menyebar Maut dari Hutan 
    Rongkong? Lalu mengapa Dewa Arak dituduh sebagai 
    pembunuhnya oleh Ranti?!




    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • - Copyright © matjenuhkhairil.blogspot.com - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -