..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 10 Januari 2025

PENDEKAR KELANA SAKTI EPISODE BIDADARI KUIL NERAKA

matjenuh

 

Cerita ini adalah fiktif. 

Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan be-

laka.

BIDADARI 

KUIL

NERAKA

Oleh Buce L. Hadi

© Penerbit Mutiara, Jakarta 

Setting Oleh: Trias Typesetting 

Cetakan Pertama


SATU


Ki Rondo Mayit mengamuk kalap ketika ia 

mendengar berita kematian putranya. Tidak ada seo-

rang pun yang dapat meredakan amarahnya. Karena 

dalam ruangan itu memang hanya dia sendiri. Seluruh 

ruangan itu berderak-derak. Apa yang ada di hada-

pannya dihancurkan. Meja yang penuh dengan perala-

tan terbalik hancur belah hanya dengan sekali ten-

dang. Termasuk juga dua buah peti yang bersandar di 

dinding batu. Kedua peti yang tingginya hampir sama 

dengan tubuh Ki Rondo Mayit tidak luput dari kemur-

kaannya. Peti-peti hancur, ia menghentikan amukan-

nya. Nafasnya masih memburu menahan amarah. Lalu 

ia melangkah ke luar. Rambutnya yang putih kusut 

sebatas bahu bergerak-gerak saat ia melangkah.

Udara dingin menghembus tubuhnya saat ia 

berdiri di tengah pintu bangunan yang hampir ambruk 

itu. Matanya memerah menatap jauh cakrawala. Kedua 

telapak tangannya mengepal erat. Terdengar bunyi 

gemeretak tulang-tulang jarinya.

"Manusia mana yang mampu membunuh 

anakku...! Siapa dia gerangan...! Aku tidak yakin kalau 

Raden Mas Kinanjar Swantaka yang melakukannya. 

Kematian Wadak Keling maupun dua mayat hidup itu, 

aku tak perduli!" katanya geram setelah berada di luar 

bangunan.

"Tapi untuk kematian anakku, orang itu harus 

menerima balasannya!" Tiba-tiba saja kakinya menen-

dang hancur batu yang menonjol di permukaan tanah. 

Lalu tubuhnya melesat berlari kencang. Sebentar saja 

manusia berambut putih itu sudah jauh menghilang 

dari pandangan mata. Namun teriakannya masih saja 

menggelegar terdengar.


"Raden keparat! Orang-orang pilihan keparat! 

Kalian tunggu pembalasanku!"

*

* *

Pagar bambu yang setinggi tiga tombak itu rapi 

berderet membatasi tanah lapang yang cukup luas. 

Padahal beberapa hari yang lalu tempat itu sempat po-

rak poranda. Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada 

waktu itu sudah tidak nampak lagi. Orang-orang Ra-

den Mas Kinanjar Swantaka cepat memperbaiki pagar 

bambu itu meskipun keadaan mereka banyak yang lu-

ka-luka. Dan Raden Mas Kinanjar Swantaka sendiri 

cukup prihatin terhadap keadaan mereka. Sebelumnya 

jumlah mereka lebih banyak dari yang sekarang. Ham-

pir separuh dari mereka tewas akibat serangan men-

dadak yang terjadi di tempat itu.

Meski mereka kehilangan hampir separuh dari 

jumlah mereka. Orang-orang itu tetap gigih memban-

gun benteng pertahanan di daerah itu. Mereka setuju 

sekali kalau setiap sudut tanah Rogojembangan didiri-

kan benteng-benteng pertahanan. Dengan adanya ben-

teng pertahanan, Rogojembangan akan tetap aman dan 

tentram.

Tenda-tenda besar masih berdiri di tengah-

tengah lapangan itu. Di sana sini terdapat bangunan 

yang hampir jadi. Meskipun bangunan itu terbuat dari

kayu dan setengah batu, bangunan itu nampak kokoh 

dan kuat. Tapi yang jelas pondokan-pondokan yang 

hampir jadi itu sudah bisa ditempati. Malah lebih 

nyaman daripada di dalam tenda. Di antara sekian ba-

nyak berderetnya pondokan-pondokan, ada sebuah 

podokan yang sudah betul-betul rampung.

Raden Mas Kinanjar Swantaka bersama orang


orangnya berada di situ. Mereka dalam keadaan aman. 

Beberapa prajurit menjaganya di luar. Lalu sisanya 

meneruskan pekerjaan mereka membangun benteng. 

Nampak sekali kesibukan-kesibukan mereka. Raden 

Mas Kinanjar Swantaka duduk berderet melihat dari 

dalam ruangan pondokan itu. Juga termasuk beberapa 

orang yang duduk berderet melingkar ke arahnya. Me-

reka tidak lain adalah Wintara, Umbara Komang dan 

Pendekar Wanita Kembar Cambuk Seriti. Beberapa 

prajurit berdiri juga di dalam ruangan itu.

Dari kancing bajunya yang terbuka nampak je-

las balutan-balutan yang melilit di tubuh Raden Mas 

Kinanjar Swantaka. Sedari tadi pula Wintara memper-

hatikan luka-lukanya. Nampaknya luka-luka itu sudah 

berangsur membaik. Umbara Komang duduk bersila 

bersandar pada dinding, kedua matanya terpejam 

sambil mendengkur. Tapi orang-orang yang ada di 

ruangan itu tidak memperdulikannya. Apalagi wanita 

kembar yang bersila di sebelahnya, mereka bersikap 

masa bodoh terhadap Umbara Komang. "Semestinya 

kita sudah harus ada di kerajaan untuk membawa 

upeti-upeti ke sana. Tapi mengingat saudara Tangan 

Besi dan temannya belum sampai ke sini, kita terpaksa 

menunggu mereka...." kata Raden Mas Kinanjar Swan-

taka mengawali pembicaraan.

"Tapi mereka sudah melewati batas perjanjian, 

Raden. Kami khawatir saudara Tangan Besi dan Lang-

kung Daro tewas dalam melakukan tugasnya...." Cam-

buk Kembar Seriti Kuni memberikan pendapat.

"Jangan berperasaan khawatir seperti itu, Seriti 

Kuni.... Mereka berdua bukan termasuk orang-orang 

yang mudah diperdaya." jawab Raden Mas Kinanjar 

Swantaka.

"Memang betul, Raden... Menurut perintah dalam tiga hari mereka harus kembali ke sini. Tapi serang sudah telat lima hari.... Halangan apa yang mem-

buat mereka begitu telat.... Kalau Raden Mas sengaja 

menunggu mereka, apa kata orang-orang kerajaan 

nanti? Paling tidak mereka akan khawatir juga terha-

dap kita. Tidak pantas kalau orang-orang kerajaan da-

tang ke mari yang mengambil upeti...." ujar Seriti Kuni 

yang tidak berbeda dengan Seriti Wuni. Keduanya me-

natap Raden Mas Kinanjar Swantaka.

"Jadi bagaimana menurutmu jalan yang ter-

baik...?"

"Secepatnya kita berangkat ke kerajaan, kalau-

pun saudara Tangan Besi dan saudara Langkung Daro 

masih hidup mereka pasti datang ke sini lagi. Lagipula 

tanpa mereka apa halangannya...? Raden Mas Kinanjar 

Swantaka orang kepercayaan kerajaan, jangan sampai 

Raden kehilangan muka." jawab Seriti Kuni.

"Apa yang dikatakan Seriti Kuni adalah benar. 

Upeti harus secepatnya sampai ke kerajaan...." Wintara 

ikut angkat bicara. Umbara Komang masih tetap men-

dengkur.

"Raden Mas Kinanjar Swantaka tak usah ce-

mas! Tentunya Pendekar Kembar Seriti akan bersedia 

mengawal, bukankah begitu...?" kata Wintara lagi, ma-

tanya berkedip ke arah wanita kembar itu.

"Kau pun harus ikut serta, Pendekar Muda!" 

sahut Seriti Wuni.

"Jangan lupa ajak temanmu itu." Seriti Kuni 

menunjuk Umbara Komang. Pandangan Raden Mas 

Kinanjar Swantaka mengarah ke situ pula, maka ia 

tersenyum.

Umbara Komang tetap mendengkur pulas. Su-

dah tentu ia tidak mendengar apa yang mereka bicara-

kan.

Raden Mas Kinanjar Swantaka mengancingkan 

bajunya. Balutan-balutan yang melilit di tubuhnya ter



tutup. Luka-luka itu masih terasa sakit. Tapi tidak 

apa-apa. Hanya luka luar.

"Bukan aku tak percaya dengan kalian...." kata 

Raden Mas Kinanjar Swantaka, ia bangkit berdiri. Yang 

lain tetap bersila pada tempatnya. Lalu....

"Kalau saja Pendekar Tangan Besi dan Lang-

kung Daro ada di sini, kekuatan kita akan lebih terja-

min lagi. Sebab daerah yang akan kita lewati amatlah 

berbahaya. Tidak ada jalan lain selain melintasi perbu-

kitan tandus yang memanjang sampai ke Ungaran. 

Bukit tersebut telah dikuasai oleh perampok-perampok 

yang tidak kenal ampun. Apalagi mereka tahu kita 

membawa upeti yang tidak sedikit jumlahnya."

"Raden, kita-kita ini bertugas demi kerajaan... 

Demi tanah air!. Apapun halangannya kita harus beru-

saha menghadapi. Lebih baik kita mati dalam tugas 

daripada diam berpangku tangan di sini." kata Seriti 

Kuni. Adiknya, Seriti Wuni diam berpikir.

"Aku mengerti.... Kalian memang bermaksud 

baik." kata Raden Mas Kinanjar Swantaka, sambil ke-

dua matanya memandang orang-orang yang bekerja di 

luar sana. Kemudian ia berkata lagi,

"Kalau kita-kita semua berangkat, siapa yang 

akan mengawasi orang-orang bekerja di sini, siapa pu-

la yang akan menjamin bila terjadi sesuatu...? 

Haaaaaaah," Raden Mas Kinanjar Swantaka menarik 

nafas. Pembicaraan mereka putus. Ucapan Raden Mas 

Kinanjar Swantaka memang betul. Kedua-duanya sa-

ma penting. Orang-orang yang ada di situ dan upeti 

yang akan diantar sama-sama memerlukan pengawal.

"Siapa di antara kalian yang mau mengawal 

upeti dan mengawal di sini...?"

"Aku...!" jawab mereka serempak. Hanya Umba-

ra Komang yang tetap mendengkur.

"Ah! Itu sama bodohnya...! Dalam hal ini kalian


akan ku bagi menjadi dua bagian. Hanya itu jalan ter-

baik. Kalian tinggal mencari keputusan." kata Raden 

Mas Kinanjar Swantaka tersenyum ramah. Semuanya 

diam. Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah me-

nuju ke sudut ruangan. Di situ terdapat sebuah meja. 

Di atasnya terdapat empat buah peti ukuran kecil. 

Orang itu mengusap-usap salah satu peti.

"Kalau kalian tetap diam biarlah aku yang akan 

memberi keputusan... Menurut pemikiran ku, Pende-

kar Cambuk Seriti Kembar tetaplah di sini. Sebenarnya 

bukan aku merendahkan kalian. Bukan sama sekali... 

Dalam hal ini aku sengaja memilih Wintara dan saha-

bat silumannya...."

"Apa? Aku bukan siluman! Aku Umbara Ko-

mang!" Tiba-tiba saja Umbara Komang bangkit. Setelah 

ia berkata begitu, ia meneruskan tidurnya.

*

* *

DUA



Panas terik matahari menggarang ketiga orang 

yang menunggangi kuda menyusuri lembah sunyi. Ke-

tiga ekor kuda itu berjalan tenang membawa tuannya. 

Paling tengah duduk tegak sosok Raden Mas Kinanjar 

Swantaka. Tubuhnya bergoyang-goyang saat kuda-

kudanya melangkah tenang menyusuri jalan itu. Win-

tara dan Umbara Komang mengiringi di samping kiri 

dan kanan Masing-masing kuda mereka membawa dua 

buah peti. Peti-peti diikat erat menyatu dengan pelana. 

Tebing-tebing curam di kedua sisi jalan. Umbara Ko-

mang tidak bisa diam di atas pelananya.

"Dewa.... Sebenarnya mau ke mana kita ini?


Rasanya kita menyusuri lorong maut yang sangat pan-

jang." kata Umbara Komang kesal. Tingkah lakunya 

sangat aneh.

"Tenanglah, Umbara.... Akan kubawa kau ke 

sarang siluman jahat. Pasti kau akan senang...." kata 

Wintara menghibur.

"Apa? Mendengar adanya siluman jahat tan-

ganku jadi gatal...! Di mana mereka?"

"Masih jauh... Tenang saja jangan ribut! Pelan-

pelan saja kita berjalan... Awas jangan sampai mereka 

terbangun, kita akan celaka...." Raden Mas Kinanjar 

Swantaka menakut-nakuti. Tapi Umbara Komang ma-

lah kegirangan.

"Siluman-siluman jahat mesti dimusnahkan! 

Biar saja mereka bangun semua! kenapa harus ta-

kut...!" Lalu Umbara Komang memacu kudanya berja-

lan paling depan. Sebentar saja kuda itu berada jauh. 

Nampak kuda itu berputar-putar ke sekeliling lembah.

"Keluar siluman...! Keluar! Ayo keluar kalian 

semua! Aku siluman, Eh bukan! Aku bukan siluman! 

Tapi Umbara Komang raja dari para siluman akan 

menggorok leher kalian!" Umbara Komang berteriak-

teriak. Tidak ada jawaban. Hanya suaranya yang ber-

gema di sekeliling lembah. Umbara Komang berhenti 

berteriak. Lalu ia memberi aba-aba pada Wintara dan 

Raden Mas Kinanjar Swantaka yang mulai mendeka-

tinya.

"Sssst... Siluman-siluman itu benar ada. Mere-

ka bersembunyi di sekeliling sini! Kalian dengar tadi 

mereka mengikuti suara ku!" katanya sambil menutup 

bibirnya dengan jari telunjuk. Kedua orang yang 

menghampiri hanya tersenyum. Mereka mengerti apa 

yang dimaksudkan Umbara Komang. Laki-laki berpe-

nyakit saraf itu mengira gema suaranya adalah suara

para siluman. Mereka berjalan beriringan lagi.


"Biar saja mereka bersembunyi.... Itu karena 

mereka takut!" ujar Wintara.

"Siluman yang suka sembunyi adalah siluman 

yang baik!" Raden Mas Kinanjar Swantaka menimpali. 

Umbara Komang manggut-manggut sok mengerti. Kini 

ia duduk dengan gagah di atas kudanya. Memandang 

ke atas penuh keangkuhan.

"Siluman jahat tidak ada yang berkeliaran di 

sini... Nanti tak lama kita akan menjumpai siluman-

siluman jahat... Tapi aku rasa mereka takut melihat 

kita. Karena raja dari para siluman ada di sini...!" kata 

Raden Mas Kinanjar Swantaka lagi. Umbara Komang 

makin kembang kempis hidungnya. Bibirnya mencibir 

sombong.

Mereka kembali berjalan dengan menunggangi 

kuda-kudanya. Lembah-lembah di situ tidak begitu cu-

ram lagi. Udara masih dapat berhembus meski mata-

hari bersinar terik. Mereka baru merasakan kalau hari 

itu begitu cerah. Namun begitu mereka tetap waspada 

akan bahaya yang bakal dari kedua sisi jeram. Para 

perampok biasanya di sana. Dan mereka memang te-

lah memastikan wilayah rawan.

Mereka bertiga mendadak berhenti ketika men-

dengar banyak derap kaki kuda dari arah belakang. 

Ketiganya serempak menoleh ke arah kuda-kuda yang 

berlarian di belakangnya. Kuda-kuda itu makin lama 

makin dekat. Nampak dua ekor kuda menarik sebuah 

kereta yang amat bagus. Kuda-kuda lainnya mengirin-

gi berderet di depan dan belakang.

Melihat kuda-kuda yang begitu banyak, Winta-

ra segera menepi ke pinggir jalan. Umbara Komang 

maupun Raden Mas Kinanjar Swantaka mengikuti. 

Kuda-kuda mereka berjajar di pinggiran jalan. Mereka 

memberi jalan kepada belasan kuda yang berlari terbu-

ru-buru. Kereta kuda yang berada paling tengah pada


barisan itu nampak tenang melaju. Di dalam kereta itu 

nampak jelas sekali seorang perempuan muda duduk 

sendirian. Mereka melaju terus tidak memperdulikan 

ketiga orang yang menunggangi kudanya di pinggiran 

jalan.

Ketiga orang itu pun dapat melihat wajah pe-

rempuan muda di dalam kereta itu. Wajah yang ayu 

nan anggun. Sinar matanya penuh kelembutan yang 

jarang dimiliki oleh perempuan manapun. Siapa saja 

yang melihatnya pasti tergetar. Begitu juga dengan Ra-

den Mas Kinanjar Swantaka saat itu. Kedua matanya 

tidak berkedip ketika mereka beradu pandang.

Umbara Komang hampir melompat menyerang 

mereka, tapi cepat Wintara dapat menahannya.

"Mereka bukan siluman jahat, Umbara... Mere-

ka siluman baik-baik!" sergah Wintara. Umbara Ko-

mang tenang kembali. Rombongan kuda itu telah men-

jauh. Yang mereka lihat hanyalah segumpalan asap 

mengepul di antara kaki-kaki kuda mereka.

Raden Mas Kinanjar Swantaka masih meman-

dangi kepergian kereta yang kian lama kian jauh 

menghilang. Sedari tadi ia tidak berkedip. Wintara da-

pat memperhatikannya, betapa Raden Mas Kinanjar 

Swantaka terpesona pada perempuan muda itu.

Wintara pun mengakui akan keanggunannya, 

kecantikannya bahkan kelembutan yang memancar 

dari kedua sinar mata yang indah. Tapi bagi Wintara 

hanya cukup untuk mengagumi saja. Lain tidak!

"Dia memang sangat cantik, Raden... Dan pan-

tas untuk dijadikan selir." Wintara menggoda. Raden 

Mas Kinanjar Swantaka tersentak dari lamunannya. Ia 

sudah merasa dengan sindiran itu. Maka ia cepat-

cepat mengendalikan kudanya meneruskan perjala-

nan. Namun dalam hatinya masih membayang seraut 

wajah yang sangat menawan.


"Begitu banyak para pengawalnya, pastilah ga-

dis itu bukan orang sembarangan. Apalagi berani me-

lintasi lembah ini. Bagaimana kalau sampai di bukit 

sana?" kata Wintara yang menyusul di belakang ber-

sama Umbara Komang.

"Mudah-mudahan saja mereka selamat dalam 

perjalanan... Kuharap sekali...." Raden Mas Kinanjar 

Swantaka berkata pelan.

Ketiganya tidak lagi berjalan perlahan. Raden 

Mas Kinanjar Swantaka yang memimpin di depan me-

macu kudanya lebih cepat. Wintara maupun Umbara 

Komang hanya mengikuti berusaha mengimbangi. 

Sengaja Wintara membiarkan orang ningrat itu berja-

lan paling dulu. Membiarkan dirinya bersama angan-

nya yang kasmaran.

Setengah harian penuh sudah mereka melintasi 

daerah lembah. Kini mereka mengarungi dataran ker-

ing berbatu. Di mana pada dataran itu banyak meng-

hampar tulang belulang berserakan. Namun bagi me-

reka bertiga pemandangan semacam itu tidak berarti 

sama sekali. Malah tulang berulang itu hancur berde-

rak-derak terinjak oleh kaki-kaki kuda mereka.

Pandangan mereka membentur pada sebuah 

bangunan yang hampir roboh. Bangunan itu pula yang 

bakal mereka lewati. Setelah mereka menyeberangi se-

buah jembatan kayu yang menghubungkan ke mulut 

jurang yang membentang di hadapan mereka, barulah 

mereka dapat melihat jelas bangunan yang telah ter-

makan usia. Perlahan sekali mereka melintasi halaman 

muka bangunan tersebut.

Mata Raden Mas Kinanjar Swantaka terbelalak 

ketika ia melihat ke bawah di depan pintu. Sosok tu-

buh terkapar membiru dan menyebarkan bau busuk. 

Tubuh itu penuh dengan pisau-pisau kecil menembus 

di kulitnya. Ia langsung turun dari kuda yang di tunggangi. Wintara dan Umbara Komang hanya memperha-

tikan.

"Langkung Daro! Astaga...!" Keluar pekikan dari 

mulut Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia sendiri tidak 

percaya dengan apa yang dilihatnya. Wintara turun da-

ri kudanya mendekat. Tapi Raden Mas Kinanjar Swan-

taka melangkah lebih dulu masuk ke dalam bangunan 

itu. Sebelum orang itu masuk, tubuh Umbara Komang 

melesat dan tiba-tiba saja menghalangi langkah Raden 

Mas Kinanjar Swantaka....

"Tahan.... Jangan masuk ke sini! Aku tahu be-

tul kalau di sini sarang siluman jahat!" Begitu katanya. 

Melihat tindakan Umbara Komang, orang ningrat itu 

hampir marah. Tapi ia segera dapat menguasai ama-

rahnya....

"Justru itu, Umbara... Kita mesti membasminya 

sekarang!" kata Raden Mas Kinanjar Swantaka sambil 

menyingkirkan tubuh Umbara Komang yang mengha-

langi langkahnya. Umbara Komang membiarkan orang 

itu masuk tapi ia sendiri pun ikut masuk pula ke da-

lam. Pada ruangan pertama mereka tidak melihat apa-

apa. Namun pada ruangan kedua, mereka hanya meli-

hat barang-barang serta papan-papan yang telah han-

cur berkeping-keping. Tidak ada satu manusiapun di 

dalam sana. Lalu mereka keluar lagi. Wintara masih 

menunggu di luar.

"Tidak ada tanda-tanda orang tinggal di sini.... 

Apa sebenarnya yang terjadi pada Langkung Daro!" 

Raden Mas Kinanjar Swantaka menatap mayat itu. 

Umbara Komang termangu. Sepertinya ia teringat akan 

sesuatu yang pernah dialaminya. Terbayang sekali wa-

jah seram seseorang berambut putih kusut dengan gu-

si tanpa gigi di saat menyeringai. Wajah itu kian 

menghantui perasaannya. Membuat dirinya kalap. Ti-

ba-tiba saja ia berteriak dan mengamuk seperti ingin

menghancurkan bangunan itu.

*

* *

TIGA


Setiap pukulan Umbara Komang mampu 

menghancurkan dinding batu. Tendangannya pun de-

mikian. Kalau saja Wintara tidak cepat menahannya, 

mungkin bangunan itu akan hancur. Terhadap Winta-

ra, Umbara Komang sangat takluk. Ia menghentikan 

amukannya.

"Kau melakukan tindakan yang salah, Umbara 

Komang. Kalau kau menghancurkan bangunan ini, sa-

lah-salah kau sendiri yang akan terkubur hidup-hidup 

di sini!" bentak Wintara. Umbara Komang tertunduk, 

sepertinya ia menyesali perbuatannya. Tidak terasa 

kedua tinjunya mengalirkan darah.

Sekarang ia menatap angkuh ke arah bangu-

nan itu. Kedua matanya memancarkan sinar keben-

cian. Wintara dan Raden Mas Kinanjar Swantaka me-

mandang aneh. "Aku ingat sekarang. Istana ini tempat 

berdiamnya Siluman Berambut Putih! Hati-hati terha-

dap dirinya! Dia banyak menguasai siluman!" kata 

Umbara Komang dengan tiba-tiba.

"Siluman Berambut Putih?" Wintara bergumam.

"Yahhhh. Nanti kalau ketemu Siluman Putih ki-

ta bereskan dia! Sekarang kita kubur saja jasad Lang-

kung Daro ini...."Raden Mas Kinanjar Swantaka mulai 

menggali lubang, sebelumnya ia meraih tonggak kayu 

yang digunakan untuk menggali. Wintara datang 

membantu. Umbara Komang tidak berdiam diri. Kedua 

tangannya ikut membantu menggali tanah. Maka dengan sebentar saja lubang itu sudah siap.

Selesai menguburkan jasad Langkung Daro, 

mereka meneruskan perjalanan. Kali ini mereka nam-

pak serius. Ketiganya nampak hanyut dengan pikiran 

masing-masing. Apalagi sekarang mereka melewati pa-

dang tandus. Angin yang berhembus bercampur den-

gan debu. Keringat mereka berbaur dengan debu-debu 

yang beterbangan.

Perjalanan mereka memang masih sangat jauh. 

Untuk mencapai daerah kerajaan mereka harus me-

nempuh setengah harian lagi. Untunglah mereka 

membawa banyak perbekalan. Tiap-tiap kuda mereka 

terdapat kantong perbekalan. Mereka lebih banyak 

membawa persediaan air. Nampak pula mereka sese-

kali meneguk pundi-pundi air mereka.

Tebing-tebing tegar nampak menakutkan. Tidak 

ada tumbuhan yang kelihatan menghijau. Semuanya 

kering serba tandus. Batang-batang pohon banyak 

tumbuh di atas tebing-tebing itu. Cabang-cabangnya 

yang plontos tanpa daun bagai cakar-cakar makhluk 

yang amat mengerikan. Dari situ pula, tiba-tiba saja 

berjatuhan batu-batu sebesar kepala menghujani keti-

ga orang yang berjalan menunggangi kuda.

Batu-batu tersebut menggelinding bersuara ba-

gai gemuruh. Ketiga orang yang berada di bawahnya 

cepat menoleh ke atas. Lalu dengan sigap mereka 

menghindari hujan batu yang datangnya dari atas teb-

ing. Kuda-kuda mereka meringkik ketakutan. Debu-

debu pasir menutup bagai asap tebal. Dan ketika batu-

batu itu berhenti menghujani mereka. Asap debu per-

lahan pudar.

Pandangan mereka masih samar tertutup asap 

debu. Meskipun demikian mereka dapat melihat pulu-

han sosok berdiri di atas tebing menatap garang ke 

bawah.


Puluhan orang itu melihat betapa repotnya me-

reka menghindari batu-batu yang masih menggelinding 

nyaris menimpa. Tidak satupun batu-batu itu yang 

berhasil menyentuhnya. Ketiga orang itu meskipun 

duduk di atas kuda dapat menghindarinya dengan 

mudah.

Separuh dari orang-orang yang berdiri di atas 

tebing meluruk turun ke arah tiga orang yang masih 

berusaha menghindari hujan batu. Suara-suara mere-

ka begitu ribut, mendengar dari nada teriakan mereka 

pastilah mereka akan menyerang. Mereka juga nampak 

mengacung-acungkan senjatanya! Dari pisau, golok, 

pedang, bahkan panah sekalipun nampak jelas di tan-

gan mereka. "Tangkap mereka hidup-hidup dan ambil 

semua upeti yang mereka bawa...!" terdengar teriakan 

seseorang dari atas tebing sana. Sosok itu berdiri pada 

tonjolan batu yang paling tinggi. Tubuh hitam itu ber-

diri tegak menyaksikan anak buahnya menyerang keti-

ga orang yang berada di bawahnya. "Kita juga perlu 

kuda-kuda mereka!" Sosok yang berdiri paling tinggi 

teriak lagi.

"Itu perampok-perampok yang kuceritakan 

tempo hari, Wintara... Dan kita memang memasuki wi-

layah kekuasaannya. Mereka pasti menginginkan upe-

ti-upeti yang kita bawa...." Raden Mas Kinanjar Swan-

taka melirik peti-peti kecil di belakang kuda Wintara 

dan Umbara Komang. Ia khawatir dan tidak ingin upe-

ti-upeti itu jatuh ke tangan mereka. Wintara tetap te-

nang menatap para perampok itu mendekat berdatan-

gan.

"Wueeeeh...! Inikah siluman-siluman jahil itu? 

Bagus!" kata Umbara Komang ia membawa kudanya 

maju ke depan. Wintara membiarkannya, ia melihat 

Umbara Komang melompat dari kudanya dan maju 

menyerang para perampok yang sudah turun. Tendangannya menjatuhkan tiga orang sekaligus....

"Hayo kalian turun semua...! Siluman-siluman 

jelek yang jahat harus lenyap dari muka bumi...! 

Heaaaaaaat!" Lengannya berputar. Kembali dua orang 

bergelimpangan dengan muka yang berlumuran darah.

Para perampok itu tidak hanya menyerang Um-

bara Komang, mereka berpencar mencari sasaran lain. 

Wintara dan Raden Mas Kinanjar Swantaka mulai tu-

run menyambut serangan-serangan mereka. Senjata-

senjata mereka berkelebat, namun Wintara dapat den-

gan mudah mengatasi. Bahkan setiap kali Wintara me-

lakukan serangan balasan, tubuh-tubuh banyak yang 

berpentalan.

Begitu juga dengan Raden Mas Kinanjar Swan-

taka, meskipun ia dalam keadaan yang terluka ia ma-

sih bisa menyambut serangan-serangan itu. Sekalipun 

para perampok itu tahu tiga orang itu memiliki ilmu 

yang sangat luar biasa, mereka tidak gentar sedikit-

pun.

"Bantu mereka. Cepat.... Tangkap mereka hi-

dup-hidup!" Terdengar lagi teriakan sosok yang berdiri 

tegap. Maka menghamburanlah sisa orang-orang yang 

masih berdiri atas tebing. Mereka meluruk ke bawah 

bagai air bah. Dengan disertai suara-suara teriakan 

orang-orang itu maju menerjang. Beberapa orang be-

rusaha mendekati dua ekor kuda yang membawa peti-

peti kecil. Tapi Raden Mas Kinanjar Swantaka yang 

sempat melihat mereka langsung melompat dan me-

lancarkan tendangan...

"Deeeeees."

Orang-orang yang baru saja mengambil peti-

peti itu memekik dengan tubuh-tubuh yang terbanting 

keras. Namun masih saja orang-orang berwajah garang 

datang merebut peti-peti itu. Sudah tentu Raden Mas 

Kinanjar Swantaka tidak akan mengijinkannya. Orang


orang itupun harus menyingkirkannya lebih dahulu. 

Tapi mana mampu mereka menyingkirkan Raden Mas 

Kinanjar Swantaka?

Para perampok itu berdatangan seperti tidak 

pernah ada habisnya. Mereka memang berilmu tinggi, 

tapi menghadapi puluhan orang secara keroyokan ma-

na mungkin mereka bisa bertahan lama. Wintara sen-

diri selalu mundur-mundur mengatur siasat. Setiap ia 

mundur melangkah, hantamannya selalu memakan 

korban. Selalu saja begitu. Karena Wintara tidak 

mungkin berdiri di situ terus menghadapi para peram-

pok-perampok itu, sementara mereka menyerang dari 

segala arah.

"Kau raja siluman keparat...! Akulah lawan-

mu...!" Umbara Komang berlari menanjak ke atas teb-

ing. Namun tidak mudah! para perampok berdatangan 

menghalanginya. Babatan-babatan senjata mereka 

hampir merencah tubuhnya. Sosok hitam berdiri te-

nang melihat pertempuran itu. Sinar ma tanya me-

mancar sinar amarah yang luar biasa terhadap Umba-

ra Komang. Maka ia pun melesat ke bawah ke arah 

Umbara Komang. Laki-laki itu tidak tahu sama sekali 

bahaya yang akan datang. Karena Umbara Komang 

tengah sibuk menghadapi lawan-lawannya. Sampai-

sampai ia lalai. Dan tahu-tahu saja sebuah tendan-

gan menghantam kepalanya... "Der!" 

Sudah tentu Umbara Komang memekik berge-

lintingan. Setelah melancarkan tendangan, sosok hi-

tam itu melesat lagi. Gerakannya cepat bagai kilat. Ia 

tidak lagi naik ke atas tebing. Tubuhnya yang gesit me-

luncur deras ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka. 

Ringan sekali ia melesat di udara, sebelah tangannya 

berkelebat menyambar... 

Saat Raden Mas Kinanjar Swantaka membe-

reskan lawan-lawannya, matanya sempat melihat sosok hitam berkelebat melancarkan serangan... 

"Weeees!" Serangan itu luput. Karena Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka keburu merunduk. Dalam keadaan 

tubuh masih di udara sosok hitam itu masih sempat 

melancarkan tendangannya.... "Deeees!" 

Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak sempat 

menghindar lagi. Tubuhnya bergulingan. Mulutnya 

mengeluarkan darah. Sosok hitam itu tidak berhenti 

menyerang, sekali kakinya menghentak tubuhnya me-

lesat lagi dan tahu-tahu tubuh Raden Mas Kinanjar 

Swantaka dalam bekukannya. Sebelah lengannya 

mengarahkan pedang pendek ke tenggorokkan laki-laki 

ningrat itu. Ujung pedangnya menggores kulit leher. 

Terasa sekali perihnya.

"Hentikan...! Kalian lihat ke mari!" teriak sosok 

hitam itu. Maka segera saja Wintara melompat jauh 

menghindari serangan-serangan dan melihat keadaan 

Raden Mas Kinanjar Swantaka terancam. Umbara Ko-

mang masih sibuk menjatuhkan lawan-lawannya...

"Hei manusia gila...! Kau ingin majikan mu ini 

mampus?" teriak sosok hitam lagi.

*

* *

EMPAT


Kuil itu berdiri kokoh pada dataran berbatu. 

Setiap sudut-sudutnya terdapat nyala api yang berko-

bar-kobar. Membuat seluruh kuil itu nampak terang 

benderang. Kuil itu hampir mirip dengan sebuah can-

di. Bentuknya bertingkat-tingkat. Dan pada tingkat 

paling atas berdiri sebuah patung. Entah patung apa. 

Bentuknya sudah tidak karuan lagi. Kepala patung


itupun sudah tidak ada. Pada tingkat atas tersebut 

nampak sebuah ruangan yang sangat terang. Belasan 

pelita dari kuningan tergantung pada tiap-tiap tiang 

penyanggah. Dalam ruangan itu pula ada dua orang 

duduk bersila saling berhadapan.

Di luar sangat dingin dan gelap. Terdengar 

sayup-sayup rintih kesakitan. Suara itu berasal dari 

halaman kuil di mana banyak berdiri tonggak-tonggak 

kayu tinggi yang berderet mengelilingi halaman terse-

but. Tiap-tiap tonggak itu pula terikat sosok-sosok tu-

buh yang sudah berlumuran darah. Dari situ rintihan 

kesakitan berasal. Pada tingkat kedua ruangan itu mi-

rip sebuah tempat persembahan korban, sekeliling 

ruangan itu terdapat altar-altar yang berukuran cukup 

besar. Di atas altar itu masing-masing terdapat sosok 

tubuh seorang perempuan telanjang bulat. Mereka ter-

lentang pasrah dengan kedua lengan dan kaki terikat 

rantai mengangkang.

Pada beberapa altar yang sudah tak tampak te-

rurus, nampak beberapa kerangka tulang manusia 

yang terlentang dengan rantai-rantai yang erat membe-

lenggu. Ruangan itu nampak suram. Seluruhnya ham-

pir dipenuhi dengan asap keputihan. Namun tempat 

itu tetap dingin dan selalu terdengar dari mulut-mulut 

para wanita yang terbelenggu membugil.

Rintihan-rintihan kesakitan yang sangat meng-

ganggu itu sama sekali tidak mempunyai pengaruh 

apa-apa bagi kedua orang-orang yang tetap duduk ber-

sila berhadapan. Satu dari kedua orang itu berambut 

putih kusut. Satu lagi seorang lelaki berambut meng-

gulung di atas kepalanya, ia mengenakan jubah pan-

jang berwarna hitam. Keduanya terlibat satu pembica-

raan yang serius. Beberapa pelayan yang mengenakan 

pakaian serba hitam pula datang menghidangkan ma-

kanan. Setelah itu mereka ke luar lagi. Lalu kedua


orang ini melanjutkan pembicaraannya.

"Bukannya aku tak mau membantu mu, Ki 

Rondo Mayit.... Masalahnya sangat berbahaya. Kau 

terlalu berangan-angan muluk. Kita-kita ini berdiri pa-

da jalan hitam, siapapun tidak ada yang akan mendu-

kung kita. Apalagi dengan caramu yang tidak benar 

itu... Pantas saja putra mu tewas di tangan orang-

orang Raden Mas Kinanjar Swantaka." kata orang ber-

jubah hitam sambil meraih pundi arak. Diapun me-

nenggaknya.

"Semua yang telah terjadi ya memang harus 

terjadi. Tapi paling tidak aku harus membalas dendam. 

Raden keparat itu harus mampus di tanganku... Kare-

na dia harus membayar darah anakku yang tertum-

pah!

Aku harap kau mau membantuku, Kama Lo-

dra!" Ki Rondo Mayit menatap orang yang duduk bersi-

la di hadapannya. Setelah meminum beberapa kali 

tenggakan Kama Lodra menjawab.

"Aku bersedia membantumu, tapi ada satu 

permintaanku... Aku tidak mau berurusan dengan 

orang-orang kerajaan!"

"Berarti kau takut!" Ki Rondo Mayit mencela. 

Kama Lodra tersenyum, lalu....

"Bukannya takut.... Kehidupan di sini serba 

cukup! Aku tidak kurang satu apapun! Dan aku cukup 

mengerti apa yang tengah kau pikirkan sekarang. Ten-

tunya kau sendiri yang merasa takut terhadap orang-

orang yang melindungi Raden Mas Kinanjar Swanta-

ka... Bukankah begitu...?" jawab Kama Lodra.

"Kau salah! Pendapatmu sangat salah! Terha-

dap siapapun aku tidak takut! Apalagi hanya membu-

nuh raden keparat itu, Huh! Apa susahnya.... Aku 

hanya kurang dukungan..."

"Lalu kau akan meminta dukungan kepada


ku...? Ha ha ha ha sungguh cerdik kau Ki Rondo 

Mayit. Aku mengakui pernah berutang budi padamu... 

Kau memojokkan aku...! Ha ha ha ha. Kelak kalau su-

dah menguasai Rogojembangan jangan melupakan 

aku!" Keduanya tertawa. Ruangan tingkat atas jadi 

riuh oleh tawa-tawa mereka.

*

* *

Sementara itu di luar kuil nampak puluhan 

kuda berjalan mendekat. Suara derap kaki kuda mere-

ka memecah kesunyian malam yang gelap dan dingin. 

Seseorang bertopeng hitam dan berpakaian serba hi-

tam pula berjalan membawa kudanya paling depan. 

Beberapa anak buahnya di belakang mengiring tiga 

orang tawanan yang terikat dengan tambang berhu-

bungan. Rombongan memasuki halaman kuil yang pe-

nuh dengan sosok-sosok tubuh terikat pada sebatang 

tonggak yang mengelilingi halaman itu.

Ketiga tawanan itu dapat melihat tubuh-tubuh 

tergantung bermandikan darah sambil mengerang-

erang menahan sakit. Pastilah mereka korban-korban

dari perampokan mereka. Sungguh biadab, pikir Ra-

den Mas Kinanjar Swantaka yang terikat paling tengah. 

Di lehernya mengancam sebilah dang yang setiap saat 

dapat merenggut nyawa.

Wintara dan Umbara Komang tak dapat ber-

buat apa-apa. Mereka bertiga terdorong terus oleh be-

berapa mata tombak yang mengarah di punggung.

"Ra-ra-raden...." Terdengar rintihan dari sosok 

tubuh yang tergantung di antara tiang tonggak. Merasa 

ada yang memanggilnya Raden Mas Kinanjar Swantaka 

menoleh ke arah suara itu, dan bukan main terkejut-

nya. Sosok tubuh itu nampak jelas diterangi dengan


api yang berkobar-kobar di sudut kuil.

"Pendekar Tangan Besi...!" Raden Mas Kinanjar 

Swantaka memekik tak percaya.

"Maafkan aku, Raden.... aku gagal dalam men-

jalankan tugas.... Mereka menghadang dalam perjala-

nan," suara itu lemah sekali. Begitu juga dengan tu-

buhnya yang tergantung.

"Kau tidak gagal, Pendekar Tangan Besi.... Bala 

Tlenges sudah tewas di tangan kita...! Sekarang dibu-

nuh mereka pun aku puas!" jawab Raden Mas Kinanjar 

Swantaka menatap iba.

Sebatang tombak mendorong punggung, Raden 

Mas Kinanjar Swantaka melangkah lagi. Tapi baru saja 

ia melangkah tiga kali matanya tertuju pada sebuah 

kereta yang amat bagus. Ia masih ingat betul kereta 

tadi yang dijumpainya dalam perjalanan. Ia pun belum 

lupa dengan wanita muda yang berada dalam kereta 

itu. Apakah ia juga telah tertawan di sini? Kalau ya 

wanita muda itu tentunya akan celaka. Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka sudah membayangkan kengerian 

yang pasti akan dialami si cantik jelita itu. Ia tidak me-

rasakan tusukan-tusukan mata tombak di punggung-

nya. Rasa sakit itu seakan-akan tak berarti setelah me-

lihat kereta kuda diam berdiri tak bergeming. Wintara 

yang memperhatikannya langsung menarik tali pengi-

katnya. Wintara tidak ingin tombak itu menembus le-

bih dalam di tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka.

Para perampok itu turun dari kuda-kudanya 

dan langsung menambatkannya berjajar di halaman 

kuil yang sangat luas. Suara-suara mereka ribut dan 

tempat itupun menjadi gaduh. Setelah menambatkan 

kudanya sosok bertopeng itu melepaskan ikatan-

ikatan tali yang mengikat empat buah peti berukir. Me-

reka pun menaiki anak tangga memasuki ruangan. 

Anak buah yang lain menggiring ketiga tawanan memasuki ruangan bawah.

Dari luar pintu yang terkunci ketiga tawanan 

mendengar rintihan-rintihan beberapa perempuan. 

Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah lebih cepat 

mendekati ruangan itu. Pintu dengan gembok sebesar 

kepalan tangan itu dibuka, maka ketiganya melihat al-

tar-altar yang berderet di sekeliling ruangan. Mereka 

melihat pula sosok-sosok perempuan bugil terlentang 

terbelenggu rantai di atasnya. Para perampok mendo-

rong tubuh ketiganya masuk ke dalam. Kemudian 

mengunci kembali pintu itu.

"Di mana ini... Di mana...?" Umbara Komang 

celingukkan.

"Di istana siluman! Kita jadi tawanan mereka. 

Lihat itu para siluman baik pun tertawan di sini ber-

sama kita...." jawab Wintara sambil memoncongkan 

mulutnya ke arah wanita-wanita yang terlentang di 

atas pilar. Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah 

mengitari seluruh altar. Matanya menatapi satu persa-

tu wajah wanita-wanita itu. Mereka memang rata-rata 

berwajah menarik. Bentuk tubuh mereka pun aduhai. 

tapi tidak satupun wanita yang mirip dalam angan-

angannya. Sampai ia melangkah ke ruangan sudut, ia 

melihat di atas altar seonggrokan kerangka tulang ter-

belenggu rantai. Dan wanita yang ditemuinya tadi 

siang betul-betul tidak ada. Raden Mas Kinanjar Swan-

taka makin cemas. Wintara melangkah mendekat.

"Keparat! Mereka pasti telah berbuat kotor atau 

membunuhnya!"

"Belum tentu, Raden... Wanita itu teramat isti-

mewa. Mungkin mereka menawannya di ruangan lain. 

Berdoa saja, mudah mudahan dia tak kurang satu apa 

pun!" ujar Wintara di sebelahnya. Umbara Komang

nampak mengelilingi melihat satu persatu wanita-

wanita yang terlentang di atas altar Iapun bergidik.

Namun ia masih saja berkeliling menatap tubuh-tubuh 

bugil itu.

*

* *

LIMA


Esok paginya ketika matahari menyembul dari 

balik bukit, ketiga tawanan itu diseret ke luar. Hala-

man kuil telah penuh dengan perampok. Namun saat 

tiga tawanan memasuki halaman, mereka semua me-

nyingkir ke pinggir. Membiarkan ketiganya berdiri di 

tengah-tengah halaman. Tak lama muncul pula sosok 

hitam bertopeng menuruni anak tangga. Ia bersama 

dua orang laki-laki yang setengah tua. Mereka pun 

memasuki halaman kuil.

"Ayah, Paman... Itulah tawanan-tawanan kita 

yang baru." kata sosok hitam bertopeng. Kedua orang 

yang berjalan di sebelahnya membelalakkan mata. Ter-

lebih-lebih pada seorang yang berambut putih kusut. 

Ia tidak percaya melihat Raden Mas Kinanjar Swantaka 

dan Umbara Komang berada di situ terikat. Ki Rondo 

Mayit segera melompat. Dan ketika ia berada dekat 

Raden Mas Kinanjar Swantaka, lengannya siap terang-

kat memecahkan kepala. Namun cepat sosok berto-

peng itu menepis.... "Plaak!" Hantaman Ki Rondo Mayit 

melenceng.

"Apa yang hendak Paman lakukan...?" Sosok 

bertopeng itu menggenggam lengan Ki Rondo Mayit.

"Serahkan manusia keparat ini padaku! Juga 

manusia gila yang di sebelahnya!"Ki Rondo Mayit ge-

ram. Sebelah tangannya bergerak lagi siap menghan-

tam.

"Tunggu, Paman! Mereka tawananku! Paman 

tidak bisa berbuat semaunya di sini! Paman hanya ta-

mu, kami akan menghormati jika Paman bersikap so-

pan terhadap tuan rumah." Mereka saling tatap. Ki 

Rondo Mayit makin geram. Lalu ia menoleh ke arah 

Kama Lodra.

"Aku tak bisa berbuat apa-apa! Di sini anakku 

yang berkuasa." jawab Kama Lodra sambil mengangkat 

bahu. Tiba-tiba saja Umbara Komang berteriak....

"Hey... Kerak Neraka! Siluman ompong, kita ke-

temu lagi... He he he he...." ucapan itu tertuju pada Ki 

Rondo Mayit. "Anjing-anjing siluman mu sudah jadi 

abu semua. Apa kau tidak ingin menyusul mereka? He 

he he he... Aku khawatir mereka tidak bisa nenen!" 

ejek Umbara Komang. Muka Ki Rondo Mayit memerah. 

Sosok bertopeng berjalan mengelilingi kereta kuda 

yang masih berada di pinggir halaman. Umbara Ko-

mang bersikap aneh memandang sosok bertopeng yang 

berjalan mengelilingi mereka. Manusia bertopeng itu 

berdiri di hadapan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia 

menatap dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

"Mana gadis itu.... Kau boleh berbuat sesuka 

hatimu, asal kau bebaskan dia!" Kata Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka. Manusia bertopeng mengangkat wa-

jahnya.

"Boleh saja! Tapi langkahi dulu mayat ku...!"

"Jangan percaya, Raden.... Mereka semua pe-

rampok laknat!" Beberapa orang yang tergantung di 

tiang nampak berteriak-teriak. Mereka masih hidup 

meskipun telah berlumuran darah.

"Siapapun tak ada yang hidup di sini! Mereka 

akan membantai kita satu persatu!" Pendekar Tangan 

Besi yang ikut tergantung itu ikut berteriak. Menden-

gar teriak-teriakan itu sosok bertopeng menghentak-

kan kedua kakinya, maka tubuhnya lentur berputar di


udara. Dalam pada itu ia menarik gagang pedangnya. 

Lalu.... "

Breeet..! Breet!" 

Kepala dua orang yang tergantung menggelind-

ing di tanah bersamaan dengan hinggapnya kedua ka-

ki manusia bertopeng. Tubuh-tubuh tanpa kepala yang 

tergantung kelojotan. Dari leher mereka yang kutung 

memancur deras darah merah bagai air mancur.

Bagi para perampok kejadian semacam itu ada-

lah hal yang biasa. Tapi bagi ketiga tawanan ini, tinda-

kan itu sangatlah di luar kemanusiaan. Ketiganya 

nampak diam saat sosok bertopeng mendekati lagi.

"Aku pun hendak melakukan hal yang sama 

terhadap kalian!" kata manusia bertopeng.

"Tentunya kau pun telah membunuh gadis itu! 

Biadab!" Kinanjar Swantaka geram.

"Yang kau tanyakan selalu gadis itu, kau cem-

buru?" Umbara Komang menyahut. Manusia bertopeng 

itu gelagapan, Lalu tangannya melayang menampar pi-

pi Umbara Komang. Terasa sekali tamparan itu. Tapi 

Umbara Komang malah mencibir. Nampak sosok ber-

topeng itu mengangkat pedangnya lagi, lalu dengan se-

cepat kilat....

"Treeees!" Ia membabat ke arah Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka. Semua orang termasuk anak buah-

nya berdecak kagum. Tubuh Raden Mas Kinanjar 

Swantaka maupun pakaiannya tidak robek segores-

pun. Padahal tadi babatannya sangat kencang dan te-

rarah. Hanya tambang-tambang pengikat tubuhnya sa-

ja yang putus. Itu bukan berarti Raden Mas Kinanjar 

Swantaka memiliki ilmu kebal. Bukan sama sekali.

Sosok bertopeng sengaja memutuskan tambang 

pengikat dengan cara itu. Hal itu berarti ia menunjuk-

kan ilmu pedang yang sangat luar biasa. Dan tanpa 

basa basi ia melangkah ke arah salah seorang anak


buahnya yang berdiri di pinggir halaman. Sebelum so-

sok bertopeng mendekat, anak buahnya itu menyerah-

kan pedangnya. Sosok bertopeng menerimanya lalu 

melemparkan pedang itu ke arah Raden Mas Kinanjar 

Swantaka. Dengan sigap pula laki-laki itu menyam-

barnya. Pedang itu telah terhunus dalam genggaman-

nya.

"Aku akan membebaskan kalian ke luar dari 

sini bila kau mampu melumpuhkan aku, Raden. Per-

gunakanlah pedang itu baik-baik! Nyawa kedua 

orangmu itu berada di tanganmu...!" kata sosok berto-

peng yang sudah mulai mengeluarkan jurus pedang-

nya. "Bagaimana dengan gadis itu? Apakah kau juga 

akan membebaskannya?" jawab Raden Mas Kinanjar 

Swantaka.

"Jangan kau pikirkan gadis itu, Raden. Dia ti-

dak apa-apa.... Pikirkan saja bagaimana caranya kau 

dapat melumpuhkan aku! Ayo kita mulai!"

Keduanya berhadapan. Raden Mas Kinanjar 

Swantaka belum mengeluarkan jurusnya. Wintara me-

narik tubuh Umbara Komang ke samping halaman. 

Mereka bersatu dengan para perampok. Kama Lodra 

dan Ki Rondo Mayit menyaksikan di atas deretan anak 

tangga.... Dan tanah lapang itu menjadi sunyi dengan 

seketika. Di tengah-tengah halaman berdiri dua sosok 

tubuh menggenggam pedang. Mereka siap bertarung. 

Kedua mata Raden Mas Kinanjar Swantaka menatap 

pedang lawannya berkilat bergerak-gerak. Kini iapun 

mulai mengeluarkan jurus pedangnya.

Dengan garang sosok bertopeng maju. Pedang-

nya menjurus ke depan.... "Traaaang!" Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka bergeser menyambar tusukan itu 

dengan pedangnya. Lalu pedang itu berkelebat di atas 

kepalanya menangkis sinar yang siap membelah

kepalanya.... "Traaang." Kembali pedang mereka beradu.

Cukup kewalahan juga ia menghadapi seran-

gan-serangan sosok bertopeng yang datang bertubi-

tubi. Kalau saja ia lengah sedikit, sudah pasti tubuh-

nya akan mendapat luka yang tidak ringan. Apalagi 

sekarang pedang itu berputar-putar deras bagai selaret 

sinar yang amat menyilaukan. Dan babatan-babatan 

pedang itu menjurus ke bagian-bagian lemah Raden 

Mas Kinanjar Swantaka. Lelaki itupun dengan sigap

menyambar babatan-babatan pedang itu.

Setiap gerakan pedangnya disertai teriakan-

teriakan nyaring. Begitu juga dengan dentingan bera-

dunya senjata mereka. Benturan itu sampai mengelua-

rkan percikan- percikan api. Gerakan mereka sendiri 

terlihat seperti dua ekor harimau yang saling terjang 

menjatuhkan. Bukan hanya pedang mereka yang ber-

gerak, tangan serta kaki mereka pun mencari sasaran. 

Hantaman- hantaman mereka tidak jarang saling be-

radu.

Sosok hitam menghantam keras pedangnya, 

namun dengan sekali samber Raden Mas Kinanjar 

Swantaka berhasil menepisnya. Karena babatan pe-

dang itu keras, tubuhnya sampai terhuyung sewaktu 

menangkis. Kesempatan itu digunakan baik-baik oleh 

sosok bertopeng. Tendangannya berhasil menjatuhkan 

lawan. Raden Mas Kinanjar Swantaka belum sempat 

bangkit, sosok bertopeng datang lagi dengan seran-

gannya yang lebih gencar. Babatan pedangnya me-

nyambar bagai kilatan sinar. Namun Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka cepat menghentakkan tubuhnya. Se-

hingga babatan pedang itu luput. Saat tubuh itu mele-

sat ke atas, ia membalas serangan.... "Deees!" Hanta-

man itu telak mengena bagian punggung sosok berto-

peng. Tubuhnya terhuyung.

Melihat hantaman yang begitu dahsyat, para


anak buahnya beringsut hendak menyerang. Tapi me-

reka segera menghentikan langkah-langkahnya saat 

melihat sosok hitam itu bergerak maju dengan disertai 

babatan pedang lebih keras. Sambil menjatuhkan tu-

buhnya Raden Mas Kinanjar Swantaka menyambar 

babatan pedang itu dengan pedangnya.... "Trlaaak"! 

Benturan itu sangat keras, pedang mereka terlepas. 

Tubuh mereka pun bergulingan di tanah.

Keduanya sama-sama bangkit berbareng. Kini 

mereka bertarung tanpa senjata. Hantaman-hantaman 

mereka berkelebat.

Teriakan mereka pun makin menggelegar. Ra-

den Mas Kinanjar Swantaka cepat menunduk saat so-

sok bertopeng mengarahkan tendangannya ke arah 

kepala. Ia cepat pula menangkis dengan kedua tan-

gannya... "Plaak!" Namun ketika laki-laki itu bangkit 

berdiri untuk membalas serangan, tahu-tahu sebuah 

jotosan mengenai dadanya. Raden Mas Kinanjar Swan-

taka terjungkal ke belakang, pada saat itu kakinya 

masih sempat menyambar keras ke wajah sosok berto-

peng. Tubuh itupun nampak sempoyongan.

Namun ia masih saja maju menyerang. Kedua 

lengannya bergerak cepat menghantam.

Raden Mas Kinanjar Swantaka bergulingan 

menghindarinya.

*

* *

ENAM


Asap-asap debu mengepul saat tubuh Raden 

Mas Kinanjar Swantaka bergulingan. Namun seran-

gan-serangan sosok bertopeng belum juga berhenti,


manakala lelaki yang bergulingan itu semakin terde-

sak. Tidak ada kesempatan sama sekali untuk bangkit 

berdiri. Ia hanya menangkis serangan-serangan itu 

dengan kedua kakinya.

Wintara yang masih terikat menganggap perta-

rungan itu seimbang. Sosok bertopeng maupun Raden 

Mas Kinanjar Swantaka sama-sama mengeluarkan il-

mu andalan mereka. Dalam mengeluarkan ilmu-ilmu 

pukulannya sosok bertopeng tidak tanggung-tanggung 

lagi. Meski dalam keadaan bergulingan di tanah, tubuh 

Raden Mas Kinanjar Swantaka dapat menghindar den-

gan gesit. Dan sungguh di luar dugaan saat ada ke-

renggangan di antara mereka, Raden Mas Kinanjar 

Swantaka menghentakkan kedua lengannya. Maka se-

bentar saja ia sudah bersalto di udara. Keadaan seperti 

itu pula tidak di-sia-siakan oleh sosok bertopeng. Den-

gan tiba-tiba tendangannya memutar ke belakang ke 

arah tubuh lelaki yang baru menginjak tanah... 

"Deees!" Tepat mengenai bagian pinggang. Ra-

den Mas Kinanjar Swantaka memekik. Tubuhnya tetap 

tegar berdiri menanti serangan berikutnya.

Terdengar lagi suara teriakan dari sosok berto-

peng. Tubuhnya melesat menerjang. Sebelah lengan-

nya menyambar lalu sebelah lagi bergantian menye-

rang. Raden Mas Kinanjar Swantaka menangkis berka-

li-kali serangan itu sampai terasa berdenyut seluruh 

tulang lengannya. Iapun tidak tinggal diam. Saat-saat 

ia menangkis ia sempat melancarkan jotosannya. 

Meskipun tidak mengenai, cukup membuat sosok ber-

topeng kehilangan kontrol. Maka cepat sekali tubuh 

Raden Mas Kinanjar Swantaka memutar. Telapak tan-

gannya menampar keras ke muka. Lalu dengan bahu 

dan bermaksud akan membanting. Namun sosok ber-

topeng keburu me runduk. Raden Mas Kinanjar Swan-

taka tidak dapat mencekal kedua bahu itu. Kesepuluh


jarinya hanya dapat menarik topeng penutup wajah-

nya.

Wintara tersentak kaget, apalagi Umbara Ko-

mang. Tampangnya yang blo'on menganga lebar. Ra-

den Mas Kinanjar Swantaka sendiri hampir tak per-

caya dengan penglihatannya. Darahnya seperti terke-

siap melihat sosok berpakaian hitam tanpa topeng. 

Berdiri di hadapan dengan rambut yang tergerai ter-

tiup angin. Wajahnya yang anggun jelita menatap jelas 

ke arahnya.

Mimpikah ia? Kenapa justru lawannya seorang 

perempuan cantik. Perempuan itu tidak lain penum-

pang kereta kuda yang di temuinya kemarin siang. As-

taga...! Si cantik yang anggun mempesona kini berha-

dapan dengannya. Perempuan muda itu tersenyum. 

Betapa trenyuh hati Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia 

masih memandangi tidak percaya. Tahu-tahu saja ga-

dis itu melancarkan serangan paling dahsyat... Der! 

Tendangan memutarnya menggedor dada. Lalu me-

nyusul lengannya menghantam tulang tenggorokan... 

"Des!" Raden Mas Kinanjar Swantaka jatuh 

dengan seketika. Kedua matanya masih memandang 

wajah anggun

Wintara dan Umbara Komang berontak. Tapi 

beberapa bilah pedang telah menempel di leher mereka 

terlebih dahulu. Mereka diam kembali. Tak mampu 

berbuat apa-apa. Mereka tak dapat menolong Raden 

Mas Kinanjar Swantaka. Keduanya memalingkan mu-

ka ia tidak berani menatapnya. Manakala kaki perem-

puan itu telah menginjak tubuh yang masih terlentang 

menahan sakit.

"Kau sudah kalah, Raden... Itu berarti menetap 

tinggal di sini untuk kemudian kukirim ke akherat se-

perti lainnya!" kata gadis itu menyeringai. Lalu ia 

memberi aba-aba pada seluruh anak buahnya. Mereka

cukup mengerti dan patuh. Serempak mereka memba-

wa tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka. Wintara dan 

Umbara Komang di giring kembali ke dalam ruangan di 

mana banyak altar berderet dengan tubuh-tubuh pe-

rempuan bugil di atasnya.

"Untuk yang satu ini... Pisahkan dari mereka!" 

Sebelum Raden Mas Kinanjar Swantaka dibawa, gadis 

itu memberi perintah. Orang-orang yang membawa 

Raden Mas Kinanjar Swantaka membelok ke kiri. Di 

sana ada lagi sebuah ruangan. Nampaknya ruangan 

itu cukup bersih terawat.

Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit masih berdiri 

pada anak tangga yang berderet ke atas. Mereka me-

nunggu kedatangan gadis itu yang melangkah ke arah 

mereka. Setelah dekat mereka, gadis itu memeluk Ka-

ma Lodra.

"Kau hampir saja celaka, Dewi Rakuntili... Un-

tunglah kau cerdik!" sapa Kama Lodra.

"Dan nampaknya ia terpesona sekali dengan 

kecantikanmu itu." katanya lagi.

"Dewi Rakuntili... Aku mengerti akan kekerasan 

watak mu. Tapi kuharap kau mau mengerti... Raden 

Mas Kinanjar Swantaka adalah musuhku. Ia telah 

membunuh anak ku. Aku harus membalaskan dendam 

mumpung ia ada di sini...." Ki Rondo yang berdiri di 

sebelah Kama Lodra angkat bicara. Mendengar ucapan 

itu Dewi Rakuntili cemberut lalu....

"Ucapan Paman seperti seorang pengecut! Ke-

napa Paman tidak melaksanakannya sewaktu dia be-

lum jadi tawananku! Tidak bisa, Paman! Sudah kubi-

lang, Paman hanya seorang tamu di sini dan tidak da-

pat sewenang-wenang kalau masih di mau hormati...!" 

Setelah berkata begitu Dewi Rakuntili menanjak ke 

atas. Langkah-langkahnya cepat menjajaki tiap-tiap 

anak tangga.


"Dewi!" Kama Lodra, ayahnya memekik me-

manggil. Namun Dewi Rakuntili tidak peduli. Ia mema-

suki ruangan paling atas. Kama Lodra menggelengkan 

kepala.

"Kalau ia mempertahankan tawanannya, berarti 

ia mendapatkannya dengan susah payah juga. Penda-

patnya memang benar. Aku tidak bisa menyalahkan 

anakku." kata Kama Lodra. Ki Rondo Mayit tertunduk. 

Sejak tadi ia memang sudah dibuat malu oleh seorang 

gadis yang muda belia.

"Beginikah caranya membantu diriku...? Tidak 

sangka kau pandai mendidik anak!" kata Ki Rondo 

menyindir. Lalu keduanya melangkah ke atas. Kama 

Lodra hanya diam. Mereka berjalan berdampingan. Tak 

berapa lama sampailah mereka pada ruangan atas. 

Dewi Rakuntili sudah berada di situ. Pakaiannya su-

dah tidak serba hitam lagi. Kini ia mengenakan pa-

kaian sebagaimana layaknya seorang perempuan. 

Rambutnya yang tadi kusut kini rapi terjuntai sebatas 

pinggang. Setelah ia menatap Ki Rondo Mayit, ia mem-

buang muka lagi.

"Hasil rampokan ada di sana... Rupanya mere-

ka hendak mengantarkan upeti. Isinya pun lumayan, 

aku sudah melihatnya." Kata Dewi Rakuntili sikapnya 

acuh di hadapan cermin. Kedua tangannya sibuk me-

masang anting-anting di kedua daun telinganya. Ia 

pun dapat menatap kedua orang itu lewat cermin.

"Ayah pasti tidak percaya kalau kukatakan 

uang emas semua." katanya lagi.

"Ayah percaya." jawab Kama Lodra sambil tu-

run duduk bersila di lantai yang berlapis karpet sula-

man indah. Ki Rondo Mayit mengikuti.

"Lalu kenapa ayah nampak murung? Kurang 

puaskah atas hasil yang kudapatkan kemarin?" Dewi 

Rakuntili selesai berdandan. Ia pun melangkah mendekati ke arah mereka yang duduk bersila saling ber-

hadapan. Kama Lodra tersenyum saat putrinya yang 

tangguh itu duduk di sebelahnya. Tercium aroma yang 

sangat harum.

"Kau telah membuat Ki Rondo Mayit kehilangan 

muka, Anakku... Aku yang merasa tidak enak. Apalah 

artinya segelintir nyawa untukmu. Serahkan saja Ra-

den Mas Kinanjar Swantaka pada Ki Rondo Mayit. Di 

tanganmu atau di tangan Ki Rondo Mayit akan sama 

saja hasilnya. Laki-laki itu pasti mati...." Suara Kama 

Lodra datar. Mata Dewi Rakuntili membelalak.

"Itukah yang membuat ayah nampak murung 

hari ini? Kalau hanya untuk menguasai tanah Rogo-

jembangan sekarang sudah sangat mudah. Raden Mas 

Kinanjar Swantaka sudah berada di sini. Apa lagi yang 

menjadi halangan?" jawab Dewi Rakuntili.

"Ini bukan soal menguasai daerah, Dewi. Tapi 

soal dendam!" Kama Lodra mendelik.

"Apa ayah pikir Ki Rondo Mayit mampu meng-

hadapi Raden Mas Kinanjar Swantaka?" Mendengar itu 

Ki Rondo Mayit hampir bangkit dari duduknya. Tapi ia 

cepat menguasai diri. Ia berusaha tetap tenang sekali-

pun ucapan itu sangat menyakitkan. Dewi Rakuntili 

tersenyum sinis. Kama Lodra menghela nafas.

"Berfikirlah yang matang, Anakku... Ayah per-

nah berhutang budi pada Ki Rondo Mayit. Sekaranglah 

saatnya untuk membalasnya...." kata Kama Lodra. 

Dewi Rakuntili mengernyitkan alis seperti tidak men-

gerti dengan apa yang diucapkan ayahnya.

"Hutang budi...? Hutang budi apa? Kupikir se-

lama ini Ayah tidak pernah berhutang budi terhadap 

siapapun...."

"Ada anakku! Dulu sewaktu ibumu hendak me-

lahirkan kau, aku titipkan ibumu ke pada Ki Rondo 

Mayit agar bisa mengurusnya.... Sementara itu aku


melanglang buana untuk mencari daerah kekuasaan... 

Aku sudah bayangkan betapa repotnya Ki Rondo Mayit 

mengurus ibumu saat itu dan aku menganggap tidak 

akan pernah melupakan budinya...." tutur Kama Lo-

dra. Dewi Rakuntili diam. Dalam pikirannya berkeca-

muk selaksa uneg-unegnya yang tak terpecahkan. Ke-

dua bola matanya menatap nanar ke arah laki-laki be-

rambut putih tak terurus. Lalu ia bangkit berdiri me-

nunjukkan wataknya yang keras.

"Baik. Sebagai balas budi aku serahkan Raden 

Mas Kinanjar Swantaka padamu! Tapi dengan satu 

syarat, kau harus membunuh laki-laki itu di hadapan-

ku. Itupun setelah ia sembuh dari luka-lukanya... Ku-

rasa itu cukup adil!" Setelah bicara lantang begitu ia 

melangkah masuk ke dalam kamarnya. Pintu kamar 

itu berderak menutup.

*

* *

TUJUH


Dewi Rakuntili melangkah menuju sebuah 

ruangan di mana Raden Mas Kinanjar Swantaka terku-

rung. Ia membawa sebuah cawan dari batok kelapa 

yang telah hitam mengkilat. Dalam batok itu terisi pe-

nuh cairan berwarna kehitaman. Melihat pintu terkuak 

lebar, Raden Mas Kinanjar Swantaka menoleh ke arah 

pintu. Ia melihat gadis yang telah menghajarnya sam-

pai luka-luka begini. Pandangannya tidak lepas mena-

tap wajah yang demikian anggunnya. Gadis itu mema-

suki ruangan. Pakaiannya yang gemerlapan membuat 

gadis itu seperti lemah lembut. Tidak ada tanda-tanda 

bahwa ia gadis yang sangat sadis dan liar. Semuanya


tidak nampak pada dirinya. Walaupun baru saja ia 

menghadapi seorang gadis berilmu tinggi yang nyaris 

merenggut nyawanya. Gadis itu menatap tajam menye-

rahkan batok hitam berkilat. Mereka saling tatap. Se-

perti ada getaran....

"Borehkan seluruh luka-lukamu dengan ini...."

"Aneh! Kenapa tidak dengan mata pedang kau 

mengobati luka-luka ini. Bukankah kau menginginkan 

nyawaku...." Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak mau 

menerima batok kelapa itu. Dewi Rakuntili tidak me-

maksa, ia meletakkannya di atas meja.

"Bagianmu memang harus mati. Tapi jangan 

harap kau akan mendapat kematian dengan mudah. 

Sekarang kau sudah mengenalku, bukan? Bagaimana 

menurut pendapatmu?"

"Bagiku kau tidak lebih iblis jahanam berkedok 

bidadari. Tapi aku yakin bahwa kau masih punya pe-

rasaan. Terbukti sekarang kau memberi aku ramuan 

obat untuk luka-lukaku."

"Lalu kau pikir aku berbaik hati terhadapmu...? 

Hih! Lucu...! Sekalipun kau sembuh dari luka-lukamu 

mana mungkin aku membiarkan kau pergi begitu saja. 

Itu perbuatan tolol! Kalau kau lepas dari sini, tentunya 

kau akan datang kembali bersama pasukanmu ke ma-

ri...!"

"Sudah tahu akan bahayanya, kenapa tidak 

langsung membunuhku saja!" jawab Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka cepat.

"Sekarang jangan banyak tanya! Borehi saja lu-

ka-lukamu itu. Nanti setelah kau sembuh kau akan 

tahu sendiri...." Dewi Rakuntili bicara pelan.

"Sama sekali tak akan kusentuh ramuan obat 

itu! Biar aku cepat-cepat mati!"

"Keras kepala...! Heaaat...!" Tiba-tiba saja Dewi 

Rakuntili menghantam bagian belakang kepala...


"Deees!" Tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka ambruk 

tak sadarkan diri di atas tumpukan rumput kering se-

bagai alas tidur. Dewi Rakuntili membuka baju yang 

dikenakan laki-laki yang terbaring pingsan. Cepat pula 

ia memborehi tubuh kekar Raden Mas Kinanjar Swan-

taka dengan cairan kental kehitaman. Telapak tangan-

nya yang halus itu menyusuri seluruh tubuh yang ter-

baring itu. Setelah selesai ia sengaja tidak menutup 

baju itu kembali. Lalu ia pun keluar dan mengunci 

pintu ruangan. la tidak langsung melangkah, Dewi Ra-

kuntili berdiri di balik pintu itu dengan kedua lengan 

merapat di dada.

"Kau jangan pura-pura pingsan, Raden.., Kan-

cingkan kembali bajumu itu, nanti masuk angin...!" 

Dewi Rakuntili membentak. Di dalam ruangan Raden 

Mas Kinanjar Swantaka memicingkan matanya. Lalu....

"Aku pura-pura pingsan, karena ingin mem-

buktikan bahwa kau gadis yang lembut! Ternyata du-

gaanku semua benar! Kalau boleh ku tahu, siapa na-

mamu...!" Terdengar jawaban dari dalam ruangan itu. 

Dewi Rakuntili tidak menjawab. Ia tertunduk menden-

gar ucapan itu. Kemudian ia melangkah meninggalkan 

ruangan yang mengurung Raden Mas Kinanjar Swan-

taka.

Di ruangan bawah semua anak buahnya sudah 

lama menunggu. Mereka semua menunduk hormat ke-

tika Dewi Rakuntili melewati. Langkahnya semakin te-

nang saat ia mendekati pintu ruangan. Ia dapat meli-

hat keadaan di dalam ruangan bawah melalui lubang 

berterali besi pada pintu. Wintara nampak duduk di 

lantai. Umbara Komang berjalan berkeliling menatap 

perempuan-perempuan yang tidak pernah berhenti 

merintih di atas altar-altar.

"Langit mau runtuh! Bumi bakal goncang! 

Sayang aku tidak dapat membebaskan bidadari


bidadari yang tertawan ini... Menyebalkan !" Umbara 

Komang menggerutu.

Bagi Wintara ini merupakan suatu pengalaman 

pahit. Selama ia mendapatkan julukan Pendekar Kela-

na Sakti baru kali ini merasa terkurung begini. Apalagi 

harus bercampur dengan para tawanan wanita bugil. 

Tidak adakah ruangan yang lebih pantas untuk mere-

ka berdua...? 

Wintara mengawasi setiap sudut ruangan itu. 

Ia tidak menyadari kalau Dewi Rakuntili mengawasi 

pula dari lubang pengintai pada pintu. Mereka masih 

nampak terikat dengan tambang sebesar ibu jari melilit 

di sekujur tubuh.

*

* *

Menjelang gelap kedua orang dalam ruangan 

itu nampak duduk bersandar pada dinding. Umbara 

Komang tidak bisa memejamkan matanya, karena se-

dari tadi perutnya sudah keroncongan minta diisi. 

Nampak pula ia menggaruk-garuk perutnya. Tiba-tiba 

saja Wintara bangkit berdiri. Ia melangkah menuju 

pintu yang terkunci dari luar. Dari lubang pengintai ia 

dapat melihat beberapa orang berjaga di luar. Dan di 

halaman yang diterangi api unggun berkobar-kobar 

nampak pula puluhan orang berpesta pora. Kemudian 

matanya mengarah pada Umbara Komang. Ia seperti 

duduk serba salah.

"Kita harus melakukan sesuatu, Umbara Ko-

mang... Cepat berbaring." bisik Wintara sambil me-

langkah mendekati. Umbara Komang dapat menden-

gar, namun ia tidak bereaksi.

"Sebentar lagi mereka datang ke mari untuk 

mengantarkan makanan... Cepat berbaring." bisik Wintara lagi. Kali ini ia harus mendorong tubuh sahabat-

nya sampai terguling.

"Diam dan jangan mengeluarkan suara...." Um-

bara Komang masih belum mengerti. Wintara ikut ber-

baring di belakangnya. Mulutnya mengarah pada ika-

tan yang ada di belakang Umbara Komang. Gigi-giginya 

berusaha membuka ikatan-ikatan itu. Memang tidak 

gampang melakukannya. Apalagi ikatan itu demikian 

kuat. Namun berkat usaha yang gigih Wintara berhasil 

juga membuka ikatan-ikatan itu. Tulang rahangnya te-

rasa kaku. Umbara Komang baru mengerti. Ia pun 

bangkit melepaskan diri dari lilitan tambang. Lalu me-

reka bergantian melepaskan ikatan-ikatan itu.

"Cepat...! Raden Mas Kinanjar Swantaka dalam 

bahaya...." Wintara tidak sabar. Dari luar ruangan ter-

dengar langkah beberapa orang mendekati ruangan di 

mana Wintara dan Umbara Komang berusaha membu-

ka tambang-tambang yang membelit sekujur tubuh 

mereka. Terdengar pula langkah-langkah itu berhenti 

di depan pintu, lalu suara gembok yang gemeretak 

berbarengan dengan itu pintupun membuka lebar. 

Nampaklah tiga orang memasuki ruangan. Dua orang 

masuk dengan membawa dua buah nampan berisi 

makanan. Seorang lagi berkacak pinggang sambil me-

mainkan anak kunci.

Ruangan itu tetap sepi. Tubuh-tubuh bugil di 

atas tiap-tiap altar nampak lemas. Ada yang sudah 

membiru, mungkin mati. Wintara dan Umbara Komang 

duduk seolah-olah tenang bersandar pada dinding. 

Umbara Komang cengengesan. Tapi ketika kedua 

orang itu merunduk meletakkan makan di atas lantai, 

tahu-tahu... "Bleduk...! Bleduk!" Kedua kepala mereka 

beradu dengan lutut Umbara Komang. Kedua orang 

itupun langsung menggelosoh pingsan dengan masing-

masing kepala retak. Seorang lagi yang tadi asyik memainkan anak kunci, membelalakkan mata. Ia berjing-

kat langsung kabur. Mulutnya hampir membuka, tapi 

sebelum ia berteriak.... Sebuah pukulan menghantam 

di belakang kepalanya... "Deer!" Orang itu langsung 

mati.

"Ambil kunci-kuncinya...." teriak Wintara. Ter-

nyata Wintara belum terbebas dari ikatan-ikatan tam-

bangnya. Tanpa buang waktu Umbara Komang meraih 

kunci-kunci yang berkumpul jadi satu itu di lantai. 

Sebelum Umbara Komang menyerahkan kunci-kunci 

itu, Wintara berjalan mendekat. Ia membalikkan tu-

buhnya di hadapan Umbara Komang. Laki-laki berpe-

nyakit saraf itu mengerti maksudnya. Maka ia menggi-

git gantungan kunci-kunci itu. Kedua tangannya sibuk 

membuka tambang-tambang pengikat yang membelit 

di tubuh Wintara. Sekarang Umbara Komang dapat

membuka ikatan-ikatan itu dengan cepat. Setelah Win-

tara terbebas ia cepat menyambar gantungan kunci 

dari mulut lelaki itu.

Wintara mendekati salah satu perempuan bugil 

yang nampak merintih-rintih terlentang di atas altar. 

Dan ia berusaha membuka gembok yang mengunci 

rantai-rantai itu.

"Buka juga gembok-gembok yang membelenggu 

teman-temanmu, Ingat jangan ribut! Di sana ada ma-

kanan." kata Wintara setelah membuka belenggu ran-

tai salah seorang tawanan perempuan. Telunjuknya 

mengarah pada dua buah nampan berisi makanan 

yang tergeletak di atas lantai. Wanita itu mengangguk. 

Iapun menerima kunci dan langsung bangkit menuju 

ke sebelah altar. Iapun mulai membuka gembok yang 

membelenggu teman-teman senasibnya.

"Kalian tetap diam di sini. Sampai aku kembali 

baru aku membawa kalian ke luar." kata Wintara 

memperingatkan. Umbara Komang berjaga-jaga di balik pintu. Di luar halaman memang banyak para pe-

rampok yang tengah berpesta pora. Dan sekeliling 

tempat itu cukup terang.

Wintara menutup pintu tahanan itu dan mem-

biarkan para perempuan-perempuan bugil terkurung 

di dalamnya. Lalu keduanya berjalan perlahan-lahan 

di samping dinding. Langkah mereka hati-hati sekali. 

Dan hampir tidak mengeluarkan suara.

*

* *

DELAPAN


Di depan halaman kuil itu terang benderang 

oleh api unggun yang meletup-letup berkobar. Begitu 

juga dengan suara-suara tawa mereka. Seluruh hala-

man jadi riuh. Ada juga beberapa wanita penghibur 

yang menjadi sasaran utama mereka. Yang lain me-

nyantap daging panggang atau menenggak arak. Obro-

lan mereka simpang siur tidak jelas terdengar.

Sementara itu dua sosok terus mengendap-

endap berjalan menyusuri dinding. Mereka menuju se-

buah ruangan di mana Raden Mas Kinanjar Swantaka 

tersekap. Untunglah tadi siang Wintara sempat melihat 

di mana Raden Mas Kinanjar Swantaka dipisahkan. 

Jadi mereka tidak perlu lagi susah-sudah

mencari. Mereka cepat menyelinap saat mende-

kati ruangan itu. Dua orang penjaga nampak berdiri di 

depan pintu ruangan. Senjata-senjata mereka nampak 

berkilat tertimpa sinar api. Begitu juga dengan kunci 

yang tergantung di pinggang salah seorang itu. Dari 

balik tembok Wintara sudah yakin pasti pintu ruangan 

terkunci. Manakala dua penjaga itu terus mengawasi


setiap pelosok. Keduanya berjalan hilir mudik. Telapak 

tangan mereka siap menggenggam gagang pedang.

Tidak ada cara lain. Wintara maupun Umbara 

Komang harus menyingkirkan mereka. Maka dengan 

tiba-tiba Wintara menghantam punggung Umbara Ko-

mang. Begitu kaget Umbara Komang memekik terta-

han. Tapi suara itu dapat didengar oleh dua penjaga 

tawanan.

"Hei! Siapa itu...!" Salah seorang dari mereka 

membentak. Ia mulai curiga dan melangkah ke balik 

dinding. Satu orang lagi mengikuti di belakang.

"Ah, paling-paling tikus berkelahi berebut 

bangkai!" Orang yang berjalan belakangan berjalan 

santai. Tapi ia sempat terbengong saat melihat teman-

nya hilang be gitu cepat menyelinap ke balik tembok. 

Rupanya Wintara cepat menarik dan memuntir leher 

seorang penjaga. Umbara Komang siap menyambut 

seorang lagi. Begitu kepala seorang penjaga itu me-

nyembul dari ujung tembok, ia melihat sosok teman-

nya sudah terlentang kaku, dan tahu-tahu... "Deeeos!" 

Tinju Umbara Komang bersarang di tenggorokan. 

Orang itupun ambruk tak sadarkan diri karena tulang 

lehernya remuk!

Sigap sekali Wintara merampas kunci dari 

pinggang orang yang sudah tak sadarkan diri itu. Lalu 

dengan hati-hati keduanya berlari ke arah pintu.

"Raden...." Wintara berbisik sambil mengetuk 

pintu besi. Umbara Komang berjaga-jaga mengawasi 

orang-orang yang berkumpul di halaman.

"Siapa...!" jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka 

sambil bangkit dari tumpukan jerami kering sebagai 

alas tidur. Ia melangkah ke balik pintu membalas 

mengetuk. "Aku! Wintara dan Umbara Komang! Ber-

siap-siaplah kita harus lari malam ini Wintara menya-

hut. Tangannya cepat membuka gembok. Umbara Komang melihat beberapa orang akan melewati tempat 

itu jadi serba salah!

"Waaaaah...! Siluman-siluman jahat keburu da-

tang...! Wei! Wei! Sana pergi...! Pergi...!" Umbara Ko-

mang teriak-teriak. Suaranya kencang sekali. Keempat 

orang yang baru datang itu langsung menoleh. Dan 

mereka pun segera berlarian menuju ke ruang taha-

nan. Semuanya mencabut senjata. Wintara belum juga 

membuka gembok, karena kunci itu agak kaget sedikit. 

"Ada orang...! Ada orang...!" Mereka berteriak. Orang-

orang yang berada di halaman kuil menoleh ke arah te-

riakan. Maka mereka semua bangkit. Mereka melihat 

empat orang temannya menghadapi seorang berilmu 

tinggi di depan ruang tawanan. Wintara masih juga 

mengutak-atik gembok. Umbara Komang sigap me-

nyambut keempat penyerangnya yang bersenjata.

Pedang maupun golok berkelebat ke sana ke 

mari ke setiap Umbara Komang menghindar. Kedua 

lengannya berputar-putar menangkis serangan-

serangan mereka. Salah satu dari mereka berlarian ke 

arah Wintara yang masih sibuk. Orang itu mengangkat 

pedangnya siap mengarah ke punggung. Umbara Ko-

mang yang sempat melihat itu langsung melompat dan 

menendang orang itu.... "Deeees!" Sampai terpental. 

Saat itupun Wintara sudah berhasil membuka pintu. 

Dan orang yang terpental itu langsung masuk ke da-

lam menimpa tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka.

Orang-orang yang tadi berkumpul di halaman 

meluruk menerjang ke arah itu. Senjata-senjata mere-

ka mencereng siap men jemput maut. Umbara Komang 

mempercepat gerakannya melancarkan serangan ke 

arah tiga orang itu. Kakinya menendang keras... 

"Deees!" Gerakan tubuhnya lentur menghindari baba-

tan pedang. Lalu tangannya bergerak ke atas meng-

hantam kepala.


Wintara juga melancarkan serangan menjatuh-

kan satu demi satu orang-orang yang mulai berdatan-

gan menyerbu. Raden Mas Kinanjar Swantaka keluar 

dari ruangan. Ia melihat betapa semrawut pemandan-

gan di hadapannya. Ia pun melihat Wintara bersama 

Umbara Komang dengan gigih menghadapi para pe-

rampok itu.

"Raden...! Cepat tinggalkan tempat ini! Biar 

kami berdua yang menghadapi mereka...!" teriak Win-

tara. Lengannya menghantam batok kepala salah seo-

rang musuhnya "Cepat, Raden...!" Wintara berteriak 

lagi, kali ini tendangannya menjatuhkan dua

orang sekaligus. Umbara Komang tidak kalah 

gesit! Orang-orang yang berdatangan itu dibuatnya 

bergelimpangan. Tapi Raden Mas Kinanjar Swantaka 

masih tetap diam di tengah-tengah pintu. Bagaimana 

ia harus pergi dari situ? Semua jalannya tertutup oleh 

pertempuran mereka. Sebenarnya ia pun sudah gatal 

ingin ikut membantu menghabisi para perampok itu. 

Namun setiap orang yang berusaha mendekatinya, 

Wintara lebih dulu memberinya sebuah hantaman. Ti-

dak memberi kesempatan untuk Raden Mas Kinanjar 

Swantaka menunjukkan kebolehannya.

"Hematlah tenagamu, Raden. Dan cepat pergi 

dari sini!" Wintara bergeser hampir saja kepalanya ter-

belah oleh babatan pedang, tapi ia cepat membalas se-

rangan itu dengan tendangan. Dalam pada itu, Raden 

Mas Kinanjar Swantaka menerjang menerobos gempu-

ran itu. Semua yang dikatakan Wintara memang be-

nar. Ia mesti pergi dari situ. Dan ia percaya kalau Win-

tara bersama Umbara Komang dapat mengatasi seran-

gan-serangan itu, meskipun jumlah mereka lebih ba-

nyak dan tak dapat dihitung dengan jari.

Untuk menerobos ke luar tidaklah mudah. Ra-

den Mas Kinanjar Swantaka harus menerjang sambil


melancarkan serangan. Dari tangan sampai kaki terus 

bergerak menyingkirkan orang-orang yang menghalan-

gi jalan. Ia tidak perduli lagi senjata-senjata mereka 

berkelebat ke sana ke mari memburunya. Menghadapi 

dengan tangan kosong amatlah berbahaya. Maka se-

waktu Raden Mas Kinanjar Swantaka berhasil me-

nangkis babatan pedang, ia cepat meraih pedang itu 

dari tangan lawannya.

Maka seleret sinar putih berputar berkilat men-

jatuhkan beberapa orang dengan bergelimangan darah. 

Teriak kesakitan mereka menggelegar. Begitu juga te-

riakan-teriakan Wintara dan Umbara Komang yang 

berbarengan dengan gerakan-gerakan mereka di saat 

melancarkan serangan. Mereka berdua sama sekali ti-

dak merasa kesulitan menghadapi para pengeroyok 

yang demikian banyaknya. Setiap babatan senjata me-

reka dapat dengan mudah dihindari.

Benturan-benturan senjata terdengar nyaring 

di saat Raden Mas Kinanjar Swantaka memutar pe-

dangnya melindungi diri. Puluhan orang yang membu-

runya dapat terdorong menyingkir. Ada juga yang ter-

guling dan terkena pedang teman sendiri. Sampai

betul-betul di hadapannya tidak ada lagi yang 

menghalangi. Pada gerakan yang terakhir Raden Mas 

Kinanjar Swantaka memutar pedangnya ke belakang... 

"Breeeeert!" Lima orang yang masih mengejarnya di be-

lakang ambruk kelojotan dengan masing-masing perut 

mereka robek!

Setelah itupun Raden Mas Kinanjar Swantaka 

melesat melarikan diri dari kepungan orang-orang 

penghuni kuil. Namun orang-orang itu masih saja te-

rus mengejar. Wintara yang sempat melihat langsung 

menarik tangan lengan Umbara Komang ke atas, ke-

duanya beterbangan di udara. Lalu berlari menginjak-

injak kepala yang bergerombol menyerang. Keduanya



sama-sama menghentakkan kakinya dan tahu-tahu 

saja hinggap di hadapan orang-orang yang mengejar 

Raden Mas Kinanjar Swantaka. Mereka pun tidak 

sempat lagi menghindari serangan kedua orang itu.

Kini halaman itu jadi kacau balau. Semuanya 

mengepung Wintara dan Umbara Komang. Dua orang 

ini betul-betul alot. Meskipun tanpa menggunakan 

senjata, para penyerang itu sulit sekali menyentuh 

senjatanya ke arah mereka. Saat itupun jumlah mere-

ka sudah berkurang banyak. Di sana sini telah berge-

limpangan sosok-sosok tubuh berlumuran darah. 

Nampak pula Umbara Komang dan Wintara semakin 

gigih menjatuhkan lawan-lawannya. Meskipun kedua-

nya sudah benar-benar terkepung. Tidak mungkin lagi 

dapat ke luar.

"Ha ha ha ha...! Siluman-siluman keparat ma-

cam kalian tidak pantas mengisi istana ini...! Hayo ma-

ju semua! Biar kalian cepat kukirim ke dasar nera-

ka...!" Umbara Komang menerjang sambil berteriak. 

Kedua lengannya bergerak menjatuhkan satu demi sa-

tu orang-orang itu. Wintara maju terus menyambut se-

rangan-serangan mereka.

"Sekarang kalian baru tahu rasa! Aku raja si-

luman yang bakal menghancurkan batok kepala ka-

lian...!" Sambil berkata demikian, Umbara Komang me-

lesat sambil menendangi gerombolan itu. Tangannya 

bergerak menghantam kepala-kepala yang berada di 

bawahnya.

*

* *


SEMBILAN


Ki Rondo Mayit bangkit dari pembaringannya 

sewaktu mendengar suara ribut-ribut di halaman luar 

kuil. Ia langsung keluar dari kamarnya. Saat itu Kama 

Lodra juga bermaksud keluar. Keduanya berlari ke 

arah jendela dan melihat peristiwa yang terjadi di ba-

wah. Bukan main terkejutnya mereka. Mereka melihat 

para tawanan berontak melarikan diri.

Kama Lodra melangkah cepat ke arah kamar 

Dewi Rakuntili. Ia langsung mengetuk pintu kamar 

kuat-kuat. Dewi Rakuntili yang berada di dalam terti-

dur pulas tersentak bangun.

"Dewi... Cepat bangun! Para tawanan melarikan 

diri!" Kama Lodra berteriak lantang. Mendengar itu 

Dewi Rakuntili cepat bangun. Tanpa mengganti pa-

kaian tidurnya yang sangat tipis ia melangkah mem-

buka pintu. Ki Rondo Mayit masih mengawasi pertem-

puran dari atas jendela.

"Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak ada di an-

tara mereka!" katanya setelah Dewi Rakuntili mende-

kat ke jendela. Dewi Rakuntili langsung melesat mene-

robos jendela. Tubuhnya melayang ke bawah. Dia 

hinggap di lantai dasar tanpa mengeluarkan suara. Ia 

terus berlari menuju ke sebuah ruangan. Dan ia men-

jadi geram sekali ketika tiba di ruangan itu. Pintu ta-

hanan yang tadi menyekap Raden Mas Kinanjar Swan-

taka telah terbuka lebar. Beberapa belas anak buah-

nya bergelimpangan tak karuan. Di dalam ruangan 

itupun sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah 

raib.

Dengan geram ia keluar lagi dari ruangan itu. 

Keduanya menatap nanar ke arah pertempuran. Di si-

tupun ia tidak melihat Raden Mas Kinanjar Swantaka,


kecuali Umbara Komang dan Wintara mengamuk dah-

syat menjatuhkan para anak buahnya.

Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit terjun dari 

tingkat atas ke lantai dasar. Gerakannya ringan sekali. 

Mereka hinggap di lantai bagaikan dua helai daun ker-

ing yang tertiup

"Raden Mas Kinanjar Swantaka benar-benar te-

lah kabur! Ayah dan Paman tolong awasi mereka! Biar 

aku yang mengejar raden keparat itu! Pasti dia belum 

jauh dari sini!" Dewi Rakuntili berlari kencang. Gerak 

tubuhnya yang gempal nampak jelas menembus dari 

pakaiannya yang tipis membayang. Tubuhnya gesit 

melompati tiap-tiap kepala anak buahnya. Kepala-

kepala itu tidak ubahnya bagai batu loncatan. Maka 

sebentar saja ia sudah melewati arena pertarungan. Ia 

tidak lagi memperdulikan Wintara dan Umbara Ko-

mang mengatasi anak buahnya. Karena ia sudah dapat 

melihat Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit maju mem-

bantu anak buahnya.

Wintara dan Umbara Komang merasa aneh me-

lihat para pengeroyoknya segera minggir semua. Dan 

tahu-tahu saja mereka melihat dua sosok berdiri di 

hadapan dengan wajah angker. Mereka langsung me-

lancarkan serangan. Gerak-gerak jurus mereka nam-

pak aneh. Sudah pasti mereka bukan orang semba-

rangan.

"Kau bagianku, siluman bule! Kenapa tidak dari 

tadi kau menampakkan diri!" kata Umbara Komang 

menyambut serangan Ki Rondo Mayit. Kedua hanta-

man mereka membledar beradu. Begitu juga dengan 

Wintara. Kama Lodra mengeluarkan tenaga dalam 

yang sangat dahsyat. Setiap pukulannya menimbulkan 

suara angin yang bergemuruh. Menerpa seluruh tubuh 

Wintara. Mana mau Wintara diperlakukan begitu, ia-

pun segera menghimpun tenaga dalamnya. Lalu dengan suara teriakan yang dahsyat ia melancarkan se-

rangan balasan. "Dueeees!" Hantaman mereka beradu. 

Keduanya sama-sama terdorong oleh pukulan-pukulan 

tenaga dalam mereka sendiri.

Orang-orang yang tadi menyingkir datang lagi 

menyerang. Senjata-senjata mereka berkelebat mence-

car! Wintara berlompatan di udara menghindari. Na-

mun kedua matanya tidak lepas mengawasi sosok Ka-

ma Lodra yang diam-diam datang melancarkan sebuah 

pukulan. Begitu pukulan itu datang, Wintara melom-

pat lagi. Maka hantaman itu hanya mengenai sasaran 

lain.

Di lain pihak, Umbara Komang masih mengha-

dapi Ki Rondo Mayit. Merekapun tidak luput dari ser-

buan para perampok. Sambil menangkis serangan Ki 

Rondo Mayit, Umbara Komang memutar tangannya ke 

belakang... "Deeees!" Beberapa orang pembopong ber-

gulingan dengan darah menyembur dari mulut mere-

ka. Saat itu pula Ki Rondo Mayit tidak menyia-nyiakan 

kesempatan. saat Umbara Komang melancarkan han-

taman ke belakang. Tendangan Ki Rondo Mayit masuk 

menghantam dadanya. Umbara Komang mundur se-

loyongan. Sudut bibirnya mengalir darah. Tapi ia tidak 

membiarkan darah itu mengalir. Umbara Komang 

menghisap kembali ke dalam perutnya.

Dengan gerakan yang deras ia maju membalas 

melancarkan dua pukulannya sekaligus. Ki Rondo 

Mayit cepat merunduk sambil sebelah kakinya menya-

pu bagian bawah... "Bug!" Umbara Komang yang ku-

rang hati-hati itu terpaksa terpelanting jatuh. Melihat 

itu para penyerang lainnya meluruk menerjang tubuh 

Umbara Komang yang masih bergulingan di tanah. Ki 

Rondo Mayit membiarkan orang-orang itu. Baginya 

Umbara Komang tidaklah begitu penting. Ia yakin Um-

bara Komang tidak mungkin mampu menghindari serangan-serangan penghuni kuil. Apalagi sekarang Um-

bara Komang dalam keadaan yang tidak memungkin-

kan lagi.

Ki Rondo Mayit tersenyum sinis melihat Umba-

ra Komang bergelintingan menghindari serbuan-

serbuan orang-orang yang bersenjata. Setiap kali sen-

jata-senjata mereka hampir mengena di tubuh Umbara 

Komang. Ada juga yang hanya menyerempet pakaian-

nya hingga robek. Kelihatannya memang sangat sukar 

untuknya lolos dari kepungan itu. Terbukti Umbara 

Komang tidak sempat bangkit berdiri. Ia hanya berge-

lintingan menghindar atau membalas serangan.

Wintara sendiri setengah mati menghadapi ke-

pungan-kepungan itu. Apalagi setiap saat yang tak 

terduga Kama Lodra melancarkan serangan yang tidak 

kepalang tanggung mendera di tubuhnya. Ia sudah be-

berapa kali terkena hantamannya. Mulutnya-pun su-

dah berlumuran darah.

Sekali waktu ia mengerahkan seluruh tena-

ganya dengan di barengi kedua lengan yang berputar 

keras. Maka orang-orang yang berada di dekatnya 

menghambur berpentalan. Setelah sekelilingnya agak 

renggang, Wintara melesat ke atas dan bersalto di uda-

ra. Tubuhnya menjurus ke arah Umbara Komang yang 

telah berlumuran darah akibat babatan-babatan senja-

ta yang menyerempet di tubuhnya. Tiba-tiba saja para 

pengeroyok itu jatuh bergelimpangan. Wintara lang-

sung melancarkan tendangan maupun pukulan sete-

lah tiba di tempat itu. Umbara Komang cepat bangkit 

saat Wintara berada di hadapannya. Para pengeroyok 

itu berdatangan lagi menerjang.

Sebelum para penghuni kuil mendekat menye-

rang, Wintara langsung menarik tubuh Umbara Ko-

mang. Ia memapahnya dan membawa lari dari tempat 

itu.


"Kejar! Jangan sampai mereka lolos!!" bentak 

Kama Lodra. Para anak buahnya berlarian mengejar. 

Senjata mereka mengacung-acung mengancam. Begitu 

juga dengan Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit. Kedua-

nya sama-sama lari mengejar. Kecepatan lari mereka 

memang lebih cepat dibanding dengan sisa-sisa anak 

buahnya yang kurang lebih kini berjumlah tiga puluh 

orang.

Sebentar saja kedua orang tua itu sudah bera-

da jauh di depan orang-orang yang masih berlari men-

gejar. Sebentar-sebentar Kama Lodra menoleh ke bela-

kang.

"Ayo cepat kejar...! Kejar...! Lari kalian seperti 

keong!" Bentaknya sambil berlari. Mendengar bentakan 

yang demikian orang-orang itu memacu kecepatan la-

rinya. Sampai ada yang terbatuk-batuk. Sebenarnya 

bisa saja mereka mengejar dengan menunggangi kuda. 

Tapi mana sempat lagi mereka mengambil kuda se-

dangkan keadaannya sudah mendadak begitu. Dengan 

terpaksa pula mereka sekarang berlari.

Suasana malam yang gelap menguntungkan 

bagi Wintara yang membawa tubuh Umbara Komang. 

Ia dapat berlari tanpa kelihatan. Hanya sayang daerah 

itu merupakan dataran padang batu yang sangat luas. 

Tidak ada tempat satu pun untuk bersembunyi. Mere-

ka memang berada jauh dari kejaran orang-orang 

penghuni kuil. Umbara Komang malah cengar-cengir 

dalam papahan Wintara. Tawanya malah lebih keras 

sewaktu Wintara menggerutu. Dengan kesal Wintara 

melepaskan papahannya... "Bruugg!" Tubuh Umbara 

Komang terbanting.

"Kalau mau cepat berada di akherat tetap diam 

di sini! Tapi kalau mau selamat ikuti aku!" bentak Win-

tara. Umbara Komang menoleh ke belakang. Samar-

samar melihat puluhan orang mengejar. Dengan mata


yang membelalak Umbara Komang bangkit sendiri, lalu 

ngacir....

"Hiiiiy... Siluman-siluman jahat itu sangat ba-

nyak, aku tidak sanggup menghadapinya. Kita pasti 

tewas di rencah oleh mereka, Dewa...!" Katanya sambil 

berlari terengah-engah menyusul langkah-langkah ce-

pat Wintara.

"Apakah kau terluka?" kata Wintara setelah 

Umbara Komang berhasil membayanginya.

"Entahlah! Yang ku rasakan seluruh punggung 

terasa perih...! Sebenarnya aku tidak takut terhadap 

mereka, sayang siluman berambut kusut ada di situ!" 

jawab Umbara Komang. "Kau kenal pada siluman be-

rambut kusut itu?"

"Siapa yang tidak kenal padanya! Dialah Silu-

man penguasa yang pernah bersarang di Rogojemban-

gan!" jawab Umbara Komang cepat. Wintara menang-

gapi serius. Mereka makin cepat berlari mendahului 

para pengejarnya di belakang yang jauh tertinggal.

Sementara itu Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit 

tetap berada paling depan dari ketiga puluh orang 

anak buahnya. Mereka dapat mengetahui ke mana 

arah Wintara dan Umbara Komang melarikan diri. Me-

reka dapat melihat tapak-tapak kakinya yang menyep-

lak di dataran berpasir. Dengan begitu mereka sangat 

mudah mencari tawanan mereka.

*

* *

SEPULUH


"Raden...!" Teriakan Dewi Rakuntili bergema. 

Suasana gelap pekat dan dingin.


"Kau tak dapat lolos dari sini, Raden! Aku bakal 

mendapatkan kau kembali!" Teriakannya selalu meng-

gema. Tapi tidak pernah ada jawaban. Sukar sekali 

menentukan di mana adanya Raden Mas Kinanjar 

Swantaka berada. Kedua matanya yang jeli benar-

benar seperti buta. Dan dirasakannya debu pasir me-

nerpa kulitnya yang mulus saat angin berhembus ken-

cang.

"Raden...! Aku tak segan-segan lagi membu-

nuhmu jika kau kutemui!" Kembali gema-gema suara 

Dewi Rakuntili memenuhi malam yang gelap. Larinya 

nampak cepat sekali. Langkah-langkahnya bersuara 

bagai derap kaki kuda.

Sebenarnya Raden Mas Kinanjar Swantaka bisa 

mendengar teriakan-teriakan Dewi Rakuntili yang 

menggema-gema itu. Ia sengaja tidak menjawabnya 

agar tidak diketahui di mana ia berada. Padahal jarak 

mereka tidak begitu jauh dan Dewi Rakuntili menge-

jarnya dengan benar. Hanya saja suasana yang gelap 

itu membuat ia tidak dapat memastikan buruannya. 

Raden Mas Kinanjar Swantaka yang mengetahui Dewi 

Rakuntili mengejarnya makin lama makin dekat, 

mempercepat larinya. Kain bajunya berderap tertiup 

angin dan gesekan gerakannya. Cepat Dewi Rakuntili 

menoleh ke arah suara itu. Ia yakin di situlah Raden 

Mas Kinanjar Swantaka. Maka dengan mengerahkan 

seluruh tenaganya ia lari mengejar.

"Kau sudah kudapatkan, Raden...! Kau pasti 

mati!" teriaknya.

Laki-laki yang berlari di depannya tidak perduli. 

Meskipun ia cukup yakin ia masih dalam buruannya. 

Sebab itu laki-laki itu tidak pernah berhenti dari lang-

kah-langkahnya yang bergerak cepat.

Saat itu udara makin dingin dan malam tetap 

gelap. Angin pasir menderu-deru menakutkan. Debudebu pasir beterbangan menerpa tubuh mereka. Ke-

ringat mereka sudah lengket bercampur dengan debu-

debu itu. Yang terlihat dari kejauhan hanyalah dua so-

sok saling lari mengejar. Keduanya nampak telah lelah. 

Lari mereka tidak secepat seperti tadi. Keduanya ka-

dang berlari kadang pula berjalan. Begitu seterusnya.

Tidak terasa pula hari hampir pagi. Langit yang 

semula hitam kelam, kini nampak kebiruan mengam-

bang di atas cakrawala. Raden Mas Kinanjar Swantaka 

sudah beberapa kali terjatuh. Manakala pasir telah 

membenam kedua telapak kakinya.

Dewi Rakuntili berjalan perlahan menatap laki-

laki itu jatuh bangun dari permukaan pasir yang luas 

menghampar. Langkah-langkahnya demikian pasti 

meskipun nampak terhuyung menahan lelah. Seman-

gatnya timbul kembali saat dirinya mendekati sosok 

tubuh lelaki merangkak menyeret diri. Kedua kaki De-

wi Rakuntili yang gemetar mendadak melangkah cepat. 

Pasir-pasir yang membenam sampai semata kaki ber-

hamburan saat ia melarikan diri mengejar sosok Raden 

Mas Kinanjar Swantaka. Jejak-jejaknya bagaikan lu-

bang-lubang yang sangat dalam yang kemudian hilang 

kembali seperti pasir-pasir yang longsor dari atas bukit 

pasir.

Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah bangkit 

dan berusaha berlari lagi. Tapi teriakan Dewi Rakuntili 

yang menggelegar itu mengagetkannya. Laki-laki itu 

menoleh ke belakang dan ia tidak sempat lagi meng-

hindari terkaman yang datang dari arah belakang. Ke-

duanya jatuh bergulingan. Sebelah tangan Dewi Ra-

kuntili menghantam dada. Tapi untuk hantaman yang 

kedua, Raden mas Kinanjar Swantaka berhasil me-

nangkisnyaa. Gerakannya yang sangat lemah mem-

buat mereka nampak seperti berpelukan.

Dalam dekapan yang begitu erat, Dewi Rakuntili tidak dapat melancarkan hantaman-hantamannya. 

Gadis itu meronta-ronta sekuat tenaga. Rontaan itu 

demikian lemas. Sekali Raden Mas Kinanjar Swantaka 

mendorong kedua lengannya. Tubuh Dewi Rakuntili 

terdorong bergulingan. Laki-laki itu cepat bangkit dan 

melangkah dengan lunglai meninggalkan Dewi Rakun-

tili yang berusaha bangkit lagi. Wajahnya sudah tidak 

karuan tertutup debu. Bentuk keanggunannya seperti 

hilang. Hanya kedua matanya yang nanar memerah 

nampak jelas membelalak.

Namun begitu Dewi Rakuntili masih terus be-

rusaha mengejar. Raden Mas Kinanjar Swantaka beru-

saha tidak perduli. Tapi lagi-lagi terjangan Dewi Ra-

kuntili datang menerkam. Kembali keduanya bergu-

lingan. Raden Mas Kinanjar Swantaka berusaha 

menghindari hantaman Dewi Rakuntili. Sebelum han-

tamannya mengena laki-laki itu memutar tubuhnya. 

Membuat posisi Dewi Rakuntili berada di bawah. Sigap 

sekali Raden Mas Kinanjar Swantaka membekap dari 

atas. Lelaki itu hanya menamparnya kuat-kuat. Dan 

Dewi Rakuntili memekik! Tubuhnya terlentang seperti 

tak bertenaga. Tapi begitu Raden Mas Kinanjar Swan-

taka beringsut bangun, kaki Dewi menendang ke 

atas... "Bug!" 

Lelaki itu terbanting ke belakang. Dadanya te-

rasa ngilu. Kedua-duanya nampak bangkit terduduk 

saling berhadapan. Nafas mereka memburu menun-

jukkan wajah-wajah yang amat menyeramkan.

"Kau akan mampus di sini, Raden.... Kita akan 

mengadu jiwa!"

"Aku akan lebih suka kalau kita mati bersama!" 

jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka.

Dewi Rakuntili bangkit dengan geram. Lang-

kahnya yang sempoyongan dipaksakan menerjang laki-

laki di hadapannya menyamping. Kedua lengannya


bersiap ke atas. Maka hantaman itu beradu. Raden 

Mas Kinanjar Swantaka membalas dengan tendangan-

nya. Tapi sebelum tendangan itu bergerak Dewi Ra-

kuntili menjatuhkan diri. Sebelah lengannya menang-

kis tendangan.... 

"Plaak!" Akibat tepisan yang demikian kuat, la-

ki-laki itu terbanting. Tubuhnya berdegum mengelua-

rkan asap-asap debu. Bersamaan dengan itu pula De-

wi Rakuntili menerjang menerjang tubuh Raden Mas 

Kinanjar Swantaka yang masih bergulingan. Keduanya 

jatuh menggelinding saling hantam. Mereka baru me-

nyadari kalau matahari mulai menampakkan diri di 

balik pasir memancarkan sinar keperakan. Namun 

demikian udara masih menyebarkan hawa dingin. Di 

luar dugaan pasir di atas mereka meluruk menimbun. 

Keduanya cepat-cepat bangkit sebelum mereka tertim-

bun. 

Dewi Rakuntili yang nampak lemas itu terpele-

set jatuh. Melihat itu Raden Mas Kinanjar Swantaka 

menendang keras ke arah tubuh ramping Dewi Rakun-

tili. Semua itu dilakukan semata-mata agar gadis be-

ringas selamat dari timbunan pasir yang datang bak 

air bah. Dan tindakan Raden Mas Kinanjar Swantaka 

ternyata tidak sia-sia. Dewi Rakuntili selamat dari ba-

dai pasir yang tiba-tiba datang melanda. Laki-laki itu 

berhasil menyelamatkan orang lain, tapi dirinya diri ti-

dak dapat menghindari saat pasir menimbun seluruh 

tubuhnya.

Dengan pandangan yang samar, Dewi Rakuntili 

dapat melihat bagaimana saat ia diselamatkan dan ba-

gaimana juga saat Raden Mas Kinanjar Swantaka me-

ronta-ronta di kala pasir-pasir menimbuninya hidup-

hidup. Ia sendiri tidak dapat bangun akibat tendangan 

yang sangat keras tadi. Dia hanya menatap pasir-pasir 

mulai rata dengan permukaan tanah bersama angin


yang membuat debu-debu beterbangan.

Sambil menahan sakit ia beringsut bangun, 

kemudian menyeret tubuhnya ke arah di mana tadi 

Raden Mas Kinanjar Swantaka tertimbun. Susah sekali 

ia mencapainya, karena padang pasir yang membukit 

ini membuatnya harus merosot ke bawah lagi. Dan ia 

tidak henti-hentinya mendaki. Namun tetap saja. Tu-

buhnya yang lemah tak berdaya selalu merosot ke ba-

wah. Dalam keputusasaannya, tiba-tiba saja kedua 

matanya membelalak lebar....

Ia hampir tidak percaya dengan penglihatan-

nya. Di atas sana, dari permukaan bukit pasir me-

nyembul sebelah lengan. Lengan itu nampak bergerak-

gerak menyingkirkan pasir-pasir yang terkuak semakin 

membesar. Lalu muncul lagi sebelah lengan lainnya. 

Gadis itu makin tak percaya. Apalagi saat ia melihat 

sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka menyembul. Ben-

tuknya sudah tidak karuan lagi. Seluruh tubuhnya te-

lah penuh dengan pasir. Sosok itu bergerak-gerak be-

rusaha ke luar dari timbunan. Untuk mengangkat tu-

buhnya saja laki-laki itu sudah tidak sanggup. Ia 

hanya mengandalkan kedua lengannya yang memba-

wanya keluar dari timbunan itu.

Matanya menatap nanar ke arah perempuan 

yang juga nampak kepayahan di bawahnya. Perem-

puan itu balas menatap sambil duduk dengan kedua 

lengan yang menahan tubuhnya di atas permukaan 

pasir. Dan saat Raden Mas Kinanjar Swantaka benar-

benar ke luar dari timbunan pasir, Dewi Rakuntili am-

bruk pingsan. Begitu juga dengan laki-laki itu yang 

berjalan tersaruk-saruk. Dengan tiba-tiba pandangan-

nya berputar. Ia tidak kuat lagi untuk melangkah.

Maka tubuh itu menggelosoh ambruk! Tubuh-

nya menggelinding deras... akhirnya ia pun jatuh ter-

lentang tak sadarkan diri tidak jauh dari sosok Dewi


Rakuntili. Keduanya sama-sama terlentang menantang 

matahari yang kian lama semakin tinggi mencorot.

*

* *

SEBELAS


"Itu mereka! Lekas kejar!" teriak Kama Lodra 

melihat sosok Wintara dan Umbara Komang berjalan 

tenang, maka ketiga puluh anak buahnya berlarian. 

Wintara dan Umbara Komang yang mendengar teria-

kan itu langsung menoleh ke belakang.

"Astaga! Mereka masih saja mengejar!" Wintara 

kaget. Umbara Komang melotot.

Keparat! Siluman-siluman itu punya tenaga 

apa!" Umbara Komang ketakutan menatap kedua 

orang yang berlari paling depan.

"Itu siluman rambut kusut kenapa tidak mau 

mampus saja!" gerutunya lagi. Wintara segera menarik 

lengan Umbara Komang mengajaknya berlari lagi. Me-

reka memang nampak sudah tak bertenaga, tapi meli-

hat para pengejarnya demikian gigih membuat mereka 

memeras tenaganya.

Sementara itu di belakang mereka Kama Lodra 

dan Ki Rondo Mayit meninggalkan jauh orang-orang 

yang berlari mengikuti. Ketiga puluh orang itu larinya 

sudah simpang siur. Banyak juga di antaranya yang 

jatuh bangun. Ada juga yang tidak kuat meneruskan 

larinya. Yang jelas mereka semua tidak bakal sanggup 

lagi mengikuti cara lari kedua orang yang mendahului 

di depan. Percuma saja Kama Lodra memberinya se-

mangat. Belum-belum mereka ada yang bergelintingan 

pingsan. Perjalanan yang mereka tempuh tidaklah


memakan tenaga yang sedikit. Mereka telah menem-

puh semalaman penuh. Sampai sekarang matahari 

mulai tinggi di ufuk Timur.

Bagi Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit sebenar-

nya sama-sama lelah dan telah kehabisan tenaga. 

Hanya mereka berusaha menyembunyikannya. Kalau 

saja mereka sanggup berlarian semalam suntuk, ada-

lah wajar! Karena mereka berdua memang memiliki il-

mu kecepatan lari yang sangat luar biasa. Kedua bu-

ruannya yang berada di depan hampir terkejar.

Wintara dan Umbara Komang sudah tidak da-

pat menambah kecepatan larinya. Apalagi sekarang 

mereka mengarungi lautan padang pasir yang sangat 

luas. Setiap kakinya melangkah, padang pasir membe-

nam ke mata kaki. Mereka betul-betul terdesak. Beru-

saha tetap lari adalah percuma dan bukan jalan satu-

satunya yang terbaik. Lambat laun tenaga mereka 

akan habis, dan para pengejarnya akan mendapatkan 

mereka pula. Maka dengan bringas Wintara membalik-

kan tubuhnya berdiri menantang. Umbara Komang 

yang terlanjur berlari terpaksa pula berhenti menatap 

ke arah Wintara tidak mengerti. Ia balik lagi melang-

kah mendekat Wintara.

"Dewa akan bunuh diri! Mereka akan merencah 

kita!" kata Umbara Komang. Wintara tersenyum. Ia 

seolah-olah berdiri menantang kedua orang yang berla-

ri makin dekat.

"Bukan bunuh diri, Umbara! Tapi kita yang 

akan membunuh siluman-siluman itu!"

"Oh, iya iya.... Mereka memang siluman-

siluman yang mesti di berantas!"

"Awaas!" Wintara mendorong tubuh Umbara 

Komang saat Kama Lodra datang melancarkan tendan-

gan terbangnya ke arah mereka. Umbara Komang ke 

pinggir sempoyongan. Wintara juga. Tapi ia cepat di


sambut oleh Ki Rondo Mayit dengan sebuah jotosan.... 

"Des!" Tepat mengenai muka. Sehabis menghantam 

begitu tampak sekali tubuh Ki Rondo Mayit terhuyung, 

maka Wintara membalas dengan tendangannya. 

Meskipun agak terhuyung Ki Rondo Mayit masih dapat 

menangkis tendangan itu. Malah Wintara yang jatuh 

tergelincir.

Melihat Wintara terguling ke arah Kama Lodra. 

Umbara Komang menahan gerakan Kama Lodra yang 

berniat melancarkan serangan ke bawah. Tendangan 

Umbara Komang mengenai kedua lengan lelaki tua 

yang mengenakan jubah serba hitam. Mendapat ke-

sempatan itu Wintara cepat bangkit dan melancarkan 

sabetan lengannya. "Des!" tubuh Kama Lodra terbant-

ing.

Saat itu ketiga puluh orang anak buah Kama 

Lodra sudah berdatangan. Mereka tidak perlu diberi 

komando lagi. Dengan serempak mereka mencabut 

senjata dan menyerang Wintara. Umbara Komang ter-

belalak melihat senjata-senjata mereka nampak putih 

berkilat menyilaukan. Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit 

segera menyingkir membiarkan anak buahnya menge-

pung dua orang buruannya. Saat-saat itu mereka ber-

dua berusaha menghimpun tenaga.

Menghadapi kepungan itu Wintara maupun 

Umbara Komang tidak mengalami kesulitan. Para pe-

nyerang itu melancarkan serangan tanpa tenaga. Ba-

batan-babatan senjata mereka nampak lamban, malah 

lebih cepat dibanding dengan gerak hantaman Wintara 

atau tendangan Umbara Komang. Sungguh-sungguh 

menghajar mereka. Wintara sengaja membuat para pe-

nyerangnya jatuh pingsan, Tapi untuk Umbara Ko-

mang, ia tidak pernah tanggung-tanggung melancar-

kan hantamannya. Kalau lawan-lawannya tidak patah 

tulang atau batok kepala mereka tidak remuk, Umbara


Komang kurang puas. Untuk itulah ia nampak mulai 

kehabisan tenaga. Sementara itupun Kama Lodra dan 

Ki Rondo Mayit sudah dapat melihat dan mengukur 

kekuatan kedua orang itu. Kama Lodra beringsut me-

langkah bermaksud ikut menyerang. Tapi Ki Rondo 

Mayit segera menahannya. Kama Lodra berhenti me-

langkah, saat itupun ia sempat melihat Umbara Ko-

mang jatuh terkena babatan pedang.

"Putri mu telah mengecewakan aku, Kama Lo-

dra! Ia telah mengingkari janji! Sampai sekarang ia be-

lum kembali. Pastilah ia sudah tewas di tangan raden 

keparat itu!"

"Kau bicara apa, Ki Rondo Mayit! Dua orang 

buruan kita sudah ada di sini! Kenapa berbicara soal 

putri ku! Hancurkan saja mereka dulu, setelah itu kita 

berdua mencari mereka!"

"Ah tidak perlu! Itu urusanmu! Bagiku kedua 

orang itu tidak begitu penting! Yang kuperlukan nyawa 

raden sial itu! Aku pergi sekarang mencari mereka! 

Urus saja kedua orang itu olehmu!" Setelah berkata 

begitu Ki Rondo Mayit melesat meninggalkan tempat 

itu. Kama Lodra tidak dapat menghalanginya. Matanya 

hanya menatap kepergian Ki Rondo Mayit yang berlalu 

menjauh. Kemudian beralih ke arah pertarungan. Di 

situ ia melihat Umbara Komang mengamuk menjatuh-

kan satu demi satu para anak buahnya. Padahal darah 

telah mengucur deras dari luka di pinggangnya. Begitu 

juga dengan Wintara. Ia sudah semakin kalap meng-

hantam lawan-lawannya. Babatan-babatan senjata 

yang begitu banyak berkelebat sama sekali tidak ada 

yang mengena di tubuh Wintara.

Sekalipun Wintara nampak keteter. Kama Lo-

dra berbalik mundur, bukan karena takut menghadapi 

kedua orang buruannya itu. Tapi ia merasa khawatir 

akan nasib putrinya. Ia takut kalau putrinya betul


betul tewas di tangan Raden Mas Kinanjar Swantaka. 

Sebab sampai sesiang ini belum juga kembali. Menurut 

sepengetahuannya, ia selalu berhasil dalam bidang 

apapun. Dan dapat kembali lebih awal. Apalagi Ki 

Rondo Mayit sekarang pergi menyusul. Bagaimana ka-

lau Dewi Rakuntili berhasil membawa Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka? Tentunya Ki Rondo Mayit akan me-

rampasnya dari tangan Dewi Rakuntili. Ia tahu benar 

watak anak perempuan tunggalnya. Watak yang keras 

dan tidak bakal dengan mudah menyerahkan miliknya 

yang sudah didapat. Dia memang pernah berjanji akan 

menyerahkan Raden Mas Kinanjar Swantaka pada Ki 

Rondo Mayit. Tapi sekarang suasananya lain...! Kama 

Lodra berpikir panjang. Lalu dengan tiba-tiba saja ia 

menghentakkan kedua kakinya berlari meninggalkan 

pertarungan. Membiarkan para anak buahnya mati-

matian menggempur dua pendekar perkasa.

"Weiiii! Siluman tengik! Mau lari ke mana kau!" 

bentak Umbara Komang sambil melancarkan hanta-

mannya ke dada lawan. Darah menyembur bagai air 

mancur! Umbara Komang melangkah cepat, tapi bebe-

rapa orang menghadangnya. Dua orang lagi melompat 

memegangi kedua kakinya.

"Ha ha ha ha cecoro-cecoro busuk! Apa-apaan 

kalian! Lepas!" Umbara Komang berteriak-teriak. Win-

tara jadi geli melihatnya. Melihat kelucuan itu, tenaga 

Wintara seperti muncul kembali. Terbukti sekali han-

tamannya bergerak menjatuhkan tiga orang sekaligus. 

Memang tidak telak, tapi cukup membuat ketiganya 

menjerit-jerit!

Dua orang itu masih memegangi kaki Umbara 

Komang manakala di hadapannya berdatangan orang-

orang membabatkan senjatanya. Sebelum senjata-

senjata itu berkelebat, Umbara Komang melesat ke 

atas. Dua orang yang memegangi kakinya sampai ikut


terbang ke atas. Maka babatan-babatan senjata itu 

hanya mengenai kedua orang itu sampai salah satu 

dari tubuh mereka ada yang hampir putus. Dan Um-

bara Komang sendiri yang masih berada di udara 

menghantam kepala mereka satu persatu.

Wintara bertambah yakin akan kehebatan Um-

bara Komang. Tapi sedikitnya ia masih khawatir akan 

keadaan tubuhnya yang

banyak mengeluarkan darah. Setelah Wintara 

berhasil menjatuhkan dua orang penyerang, ia melom-

pat ke arah Umbara Komang....

"Dewa jangan khawatir! Aku tidak apa-apa! Li-

hat...." Umbara Komang memutar lengannya. Dan seo-

rang pembokong itu terlentang ambruk menyembur-

kan darah. Saat Umbara Komang menghantam, Winta-

ra dapati mimik yang menyeringai menahan sakit.

"Kau memang hebat, Umbara! Tapi bagaimana 

pun aku harus membantumu! Kau tidak perlu meng-

hajar mereka sampai tewas! Itu akan membuang tena-

gamu saja... "Seperti ini saja!" Wintara menendang ke 

depan... "Der!" Perlahan tapi pasti. Dan dua orang ber-

gulingan dengan kelojotan untuk kemudian diam tak 

berkutik.

"Dengan begitu kita sudah mengurangi lawan-

lawan brengsek itu! Cepat menyingkir! Urusi saja luka 

di pinggangmu, Umbara... Mereka tinggal sedikit, aku 

sanggup menghabisi mereka!" Wintara melancarkan 

tendangan memutar ke depan menghantam pergelan-

gan tangan hingga senjata-senjata mereka mental ber-

bareng. Lalu sebelah kakinya menyambar lagi berun-

tun membuat orang-orang itu jatuh bergelimpangan.

*

* *

DUA BELAS


Matahari bergeser semakin tinggi dengan me-

nyebarkan panas teriknya ke setiap permukaan tanah 

berpasir yang menghampar itu. Dua sosok tubuh ma-

sih terlentang menantang matahari dengan nafas yang 

tersendat-sendat perlahan. Tubuh mereka telah berla-

pis pasir yang berwarna coklat kehitaman. Rambut ke-

duanya sudah nampak kaku penuh debu.

Sesekali angin berhembus meniup mereka. Dan 

Dewi Rakuntili berusaha membuka kedua kelopak ma-

tanya yang sayu menatap panas menyilaukan. Bibir-

nya yang pucat retak bergetar. Lemah sekali ia meno-

leh ke samping kiri di mana sosok Raden Mas Kinanjar 

Swantaka terkapar mulai sadar. Gadis itu berusaha 

bangkit, tapi tubuhnya yang lemah membuat ia tidak 

mampu bergerak lagi. Matanya terpejam.

"A-a-air.... Air.... hhhhhh" Gadis itu merintih. 

Raden Mas Kinanjar Swantaka mendengar itu. Ia pun 

segera menoleh ke samping. Sosok Dewi Rakuntili ter-

lentang lemas dengan nafas yang terputus-putus. Le-

laki itu merangkak bangun. Akan tetapi ia terjatuh lagi 

berguling. Ia pun telah benar-benar kehabisan tena-

ganya. Sekali lagi ia merangkak bangun. Lalu berjalan 

ke arah Dewi Rakuntili.

Ia menatap gadis itu mengucurkan keringat 

dengan wajah yang pucat serta bibir yang kering retak. 

Tubuhnya nampak gemetar. Ia tetap terlentang saat 

Raden Mas Kinanjar Swantaka di sampingnya. Tangan 

lelaki itu gemetar menarik gagang pedang pendek yang 

terselip di pinggang Dewi Rakuntili. Gadis itu hanya 

diam pasrah.

"Kau menang, Raden.... hhhhhhh. Kau boleh 

membunuhku!" Suara Dewi Rakuntili lirih. Raden Mas



Kinanjar Swantaka mengangkat pedang pendek tinggi-

tinggi. Mata pedang itu berkilat tertimpa sinar mataha-

ri Dewi Rakuntili menatap mata pedang dengan tak 

berkedip. Di luar dugaan, Raden

Mas Kinanjar Swantaka menghantam pedang 

itu ke arah lengannya sendiri. Pedang pendek menan-

cap dalam di lengannya. Darahpun menetes ke luar. 

Tetesan darah itu sengaja diarahkan ke mulut Dewi 

Rakuntili.

Lelaki itu mengangkat kepala Dewi Rakuntili 

agak berdiri. Kemudian ia melekatkan luka yang masih 

mengalirkan darah ke mulut. Membiarkan gadis itu 

menghisapnya. Tanpa setetes darahpun yang terbuang 

percuma. Bibir mungil itu kini basah lagi dengan cai-

ran merah.

Entah sampai berapa lamanya, tubuh lelaki itu 

ambruk lagi ke tanah. Dewi Rakuntili terduduk mena-

tap sosok yang ambruk terlentang. Ia menyeka cairan 

merah yang tersisa di sekitar bibirnya. Tubuhnya ma-

sih gemetar, dan berusaha meraih pedang pendek yang 

masih dalam genggaman Raden Mas Kinanjar Swanta-

ka. Lelaki itu diam tak bergeming. Dewi Rakuntili 

mengarahkan mata pedang pendek ke dada lelaki itu. 

Nafasnya kian memburu. Pedang pendek berkilat siap 

menembus dada. Tapi apa yang akan dilakukan Dewi 

Rakuntili tidaklah sekejam itu! Gadis itu melempar-

kan pedangnya jauh-jauh....

"Bagus, Dewi Rakuntili! Nyawa anjingnya me-

mang bagianku...!" Tiba-tiba saja terdengar suara yang 

amat berat dari belakang. Dewi Rakuntili menoleh....

"Ki Rondo Mayit...!" Dewi Rakuntili menatap so-

sok tubuh berambut putih kusut menyeringai menye-

ramkan. Laki-laki setengah tua itu melangkah dekat.

"Tidak, Ki Rondo Mayit! Kau tidak boleh mem-

bunuhnya!" Dewi Rakuntili menghalangi dengan kedua


lengannya. Ki Rondo Mayit berhenti melangkah.

"Kau sudah berjanji padaku, Dewi." jawabnya 

tenang.

"Betul! Tentunya kau masih ingat dengan janji

ku itu. Kau boleh membalas dendammu, asalkan Ra-

den Mas Kinanjar Swantaka telah sembuh betul!"

"Hm... Lalu membiarkan keparat itu melarikan 

diri lagi...? Tidak bisa, Dewi! Sekarang saatnya yang 

tepat, kau tidak bisa menunda-nunda lagi!" Ki Rondo 

Mayit melangkah kian dekat.

"Diam di tempat, Ki! Sekali lagi melangkah aku 

tidak segan-segan menghadapimu!" Dewi Rakuntili 

mengancam. Ki Rondo Mayit tertawa mengekeh....

"He he he he.... Kau pikir aku ini apa dapat di-

gertak macam itu? Hah! Di sini kau bukan seorang 

penguasa, Dewi. Kau tidak punya wewenang apapun 

terhadapku. Menyingkirlah kalau masih ingin hidup 

lama!" Kedua lengan Ki Rondo Mayit siap-siap menge-

luarkan jurus.

Melihat itu Dewi Rakuntili berdiri cepat meng-

hadapi laki-laki setengah tua berambut putih kusut. 

Kedua matanya menatap liar bagaikan betina yang 

haus darah. Ki Rondo Mayit bergidik melihat sosok 

ramping berlapis debu. Wajah anggunnya tidak nam-

pak sama sekali.

"Jangan heran kalau sekarang aku menolong-

nya, Ki.... Dia tidak patut kubunuh atau kuserahkan 

padamu! Karena dia telah menyelamatkan nyawaku!"

"Oh pantas sekarang telah menjadi anjing penji-

lat!"

"Tutup mulutmu!" Bersamaan dengan itu, Dewi 

Rakuntili melancarkan tinjunya ke arah muka Ki Ron-

do Mayit. Lelaki setengah tua itu hanya bergeser sedi-

kit, maka serangan itu meleset ke samping. Dengan 

mudahlah bagi Ki Rondo Mayit membalas serangan.


"Des!" 

Tubuh ramping itu bergulingan. Hantaman ke-

ras itu membuat Dewi Rakuntili menyemburkan darah.

"Bukan salahku, Dewi! Kau sendiri yang me-

maksa aku bertindak kejam!"

"Bangsat! Jangan sombong tua bangka kepa-

rat!" Dewi Rakuntili bangkit lagi. Kali ini hantamannya 

bergerak cepat. Dan hantaman itu hampir mengenai 

kepala Ki Rondo Mayit, untunglah lelaki itu cepat me-

runduk. Tapi tiba-tiba saja Ki Rondo Mayit memekik 

hebat dan terhuyung mundur. Ternyata dalam kesem-

patan itu Raden Mas Kinanjar Swantaka yang baru sa-

ja siuman dari pingsannya langsung melancarkan han-

taman keras. Kesempatan itu pula Dewi Rakuntili ikut 

ambil bagian.... Sewaktu Ki Rondo Mayit mundur ter-

huyung, gadis itu melancarkan tendangan. Tepat men-

genai punggung dan sampai memuntahkan darah. 

Dewi Rakuntili cepat berlari melindungi Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka yang nampak bangkit berdiri.

Dengan geram pula Ki Rondo Mayit maju me-

nerjang, kedua lengannya berputar di barengi dengan 

tendangan yang sangat keras. Untuk menghadapi pu-

kulan-pukulan itu mereka dapat menangkisnya, tapi 

tendangan yang sangat keras itu sama sekali tidak da-

pat di-bendung. Kedua-duanya jatuh bergulingan.

Dewi Rakuntili dan Raden Mas Kinanjar Swan-

taka belum sempat bangun, Ki Rondo Mayit menerjang 

lagi dengan serentetan serangan. "Sudah kepalang 

tanggung, Dewi! Rupanya kalian berdua memang ha-

rus mampus di tanganku... Hreaaaaaa!" 

Angin pukulan ki Rondo Mayit bergulung-

gulung. Kedua sasarannya belingsatan menghindar. 

Mereka yakin hantaman yang bertubi-tubi itu sudah 

tentu di sertai tenaga dalam yang dahsyat. Kalau saja 

sampai terkena, pastilah mereka akan tamat riwayat


nya.

Sekalipun Dewi Rakuntili dan Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka telah kehabisan tenaga, mereka ma-

sih dapat menghindari serangan-serangan maut itu. 

Mereka berdua bergantian saling melindungi. Bahkan 

menangkis saling bergantian. Namun sekuat-

kuatnya mereka, bagi Ki Rondo Mayit tidaklah 

berarti. Sekali Ki Rondo Mayit kerahkan tendangan-

nya.... "Des!" Raden Mas Kinanjar Swantaka yang ber-

maksud menyambut tendangan itu tidak sempat me-

nangkis lagi. Terasa sekali dadanya rontok. Ia mundur 

terhuyung dengan darah menyembur. Dewi Rakuntili 

datang membalas. Teriakannya menggelegar berbareng 

dengan sambaran lengan kanannya yang menghantam 

deras, Ki Rondo Mayit hanya menepak dengan telapak 

tangannya lalu kakinya naik ke atas menendang pe-

rut.... "Der!" 

Dewi Rakuntili terlempar melintir! Begitu tu-

buhnya jatuh di tanah, debu-debu pasir berdegum 

mengepul. Seluruh tulang-tulang sendinya rontok. Ia 

berusaha bangkit sambil menahan rasa sakit.

Ki Rondo Mayit menyeringai. Kedua tangannya 

mengepal erat dan siap menghantam lagi. Raden Mas 

Kinanjar Swantaka sudah bangkit meskipun dengan 

gerakan yang lunglai. Ia bersiap-siap menghalangi bi-

lamana laki-laki setengah tua berambut putih kusut 

melancarkan serangan. Dewi Rakuntili menatap ngeri. 

Saat Ki Rondo Mayit maju menerjang ke arah Dewi Ra-

kuntili, cepat sekali Raden Mas Kinanjar Swantaka 

bergerak menghalangi, tapi lelaki berambut putih ku-

sut tidak kalah sigap. Sebelum ia melancarkan hanta-

man ke arah Dewi Rakuntili, ia menghantam perut Ra-

den Mas Kinanjar Swantaka terlebih dahulu. Tubuh itu 

terbanting di samping Dewi Rakuntili. Dan ki Rondo 

Mayit tetap meneruskan niatnya...


Hantamannya berkelebat menyambar batok ke-

pala gadis itu, tapi.... 

"Plaaaak!" Sosok bayangan lain muncul meng-

gagalkan hantaman itu. Ki Rondo Mayit mundur se-

langkah, dirasakan kedua pergelangan tangannya ber-

denyut.

Dan di saat ia menoleh ke arah sosok bayangan 

tadi, mata Ki Rondo Mayit terbelalak! Begitu juga den-

gan Dewi Rakuntili dan Raden Mas Kinanjar Swantaka. 

Sosok Kama Lodra berdiri tenang dengan tatapan pe-

nuh amarah ke arah Ki Rondo Mayit. "Sudah kuduga 

kedatanganmu ini ke sini pasti akan membawa benca-

na, Ki! Untung aku cepat datang ke sini!" kata Kama 

Lodra yang mulai melangkah.

"Itu lebih bagus, Ki! Biar kau saksikan kema-

tian putri mu akibat keangkuhan wataknya yang kele-

wat sombong! Tapi setelah memandang kau, aku ma-

sih memberi kesempatan untuk kau membawanya pu-

lang!" Ki Rondo Mayit berkata sinis.

"Kau meremehkan aku, Ki Rondo Mayit!

Aku memilih kita bertarung saja. Aku rasa kau 

tidak keberatan, bukan?" jawab Kama Lodra sambil 

membantu putrinya bangkit.

*

* *

TIGA BELAS


"Aku setuju! Dan itu berarti akan ada tiga 

mayat bergelimpangan tanpa kubur di sini... Mari Ka-

ma Lodra, kita yang sama-sama tua ini belum pernah 

saling menjajal ilmu!" Ki Rondo Mayit menantang. Ka-

ma Lodra tetap tenang. Ia melihat putrinya membantu


Raden Mas Kinanjar Swantaka bangkit berdiri.

"Jangan khawatir, Kama Lodra. Aku tidak akan 

menyentuh putri mu sebelum mengirimmu ke neraka. 

Dan juga jangan coba-coba melarikan diri dari sini ka-

lau tidak ingin ku sebut sebagai pengecut!" Ki Rondo 

Mayit membetulkan ikat pinggangnya, lalu ia bersiap-

siap mengeluarkan jurus-jurus maut. Kama Lodra 

membuka jubah hitamnya.

Maka terlihatlah tubuhnya yang setengah telan-

jang itu nampak kekar dan berisi. Rambut hitamnya 

tetap tergulung di atas kepala. Ia pun tidak kalah dah-

syat menunjukkan jurus- jurusnya.

Ki Rondo Mayit tidak membuang-buang waktu. 

Teriakannya menggelegar, bersamaan dengan lesatan 

tubuhnya menerjang Kama Lodra. Kedua lengannya 

berputar menimbulkan suara angin yang bergemuruh 

bergulung-gulung. Kama Lodra menyambut dengan 

kedua telapak tangannya yang mendorong keras ke 

depan. Sampai akhirnya hantaman mereka beradu 

dahsyat.... Suara benturan itu membledar nyaring 

memecah kesunyian gurun tandus berpasir.

"Tidak kusangka kau sehebat ini, Kama Lodra!" 

kata Ki Rondo Mayit sambil melancarkan tendangan 

memutar dengan kedua kaki yang menghantam ber-

gantian.

"Kau menghina, Ki.... Heaaat!" Kama Lodra me-

lesat ke atas menghindari tendangan yang beruntun 

itu. Dan ia sempat terkesiap karena tahu-tahu saja se-

belah jotosan Ki Rondo Mayit nyaris menghantam jan-

tungnya. Untunglah Kama Lodra cepat memutar len-

gannya ke depan melindungi. Dan cepat menangkap 

lengan Ki Rondo Mayit.

Secepat itulah Kama Lodra melancarkan puku-

lannya menghantam punggung... "Bug!" Ki Rondo 

Mayit memekik. Kama Lodra membiarkan lawannya


terhuyung maju. Saat itu Kama Lodra sudah hinggap 

di tanah. Lelaki tua berambut putih kusut membalik-

kan tubuhnya. Ia menatap geram.

"Pukulanmu hebat, Ki.... Tapi jangan senang 

dulu, sambut ini.... 

Haaaaat!" Tubuh ki Rondo Mayit melesat. Ke-

dua kakinya tidak menyentuh tanah seakan-akan di-

rinya terbang menjurus ke arah Kama Lodra. Gerakan 

kedua tangannya sukar untuk dipastikan. Namun be-

gitu Kama Lodra tetap berhati-hati, karena ia yakin se-

rangan yang dilancarkannya pasti lebih dahsyat dari 

yang sudah-sudah. Ketika hantaman-hantaman itu 

menjurus ke arahnya, Kama Lodra melesat ke atas la-

gi. Sambil berjumpalitan di udara Kama Lodra menepis 

hantaman-hantaman itu dengan kedua telapak tan-

gannya... "Bledaaaar!" 

Serangan itu luput, tapi Kama Lodra tidak me-

nyangka sama sekali akan tendangan yang bergerak 

menyerbu. Sebelum Dewi Rakuntili melancarkan se-

rangan, Kama Lodra menahannya. Gadis itu hanya 

berdiri di belakang ayahnya dengan nafas yang mem-

buru. Kama Lodra berdiri dengan sikap bersiap-siap 

menghadapi......

"Menyingkirlah, Dewi.... Dia bukan tandingan

mu!" Bisiknya. Dewi Rakuntili mundur....

Setelah berkata begitu, Kama Lodra maju ke 

depan menyambut hantaman Ki Rondo Mayit yang da-

tang dengan tiba-tiba. Kembali hantaman-hantaman 

mereka bergulung-gulung. Tubuh kedua orang tua itu 

saling kelit melancarkan serangan. Tendangan mau-

pun hantaman mereka saling bentrok hingga menim-

bulkan suara-suara yang memekakkan telinga.

Dua sosok tubuh tua itu bertarung bagai dua 

ekor harimau lapar. Meraung-raung saat melancarkan 

serangan. Kama Lodra tidak tanggung-tanggung lagi


mengerahkan seluruh kemampuannya. Setiap hanta-

mannya selalu berisi tenaga penuh. Hal itu membuat 

Ki Rondo Mayit gelagapan dibuatnya. Dan harus pula 

menangkis hantaman-hantaman Kama Lodra.

Namun semua denyutan di lengannya itu sama 

sekali tidak dirasakannya. Walaupun Kama Lodra ma-

sih melancarkan pukulan-pukulan maut beruntun. 

Jago tua Ki Rondo Mayit memang sangat sukar untuk 

dijatuhkan. Ia masih bisa bertahan dari hantaman-

hantaman yang mendera di tubuhnya. Apalagi seran-

gan-serangan Kama Lodra tidak pernah berhenti dan 

selalu mengincar.

Di luar dugaan tubuh Ki Rondo Mayit melayang 

ke atas. Tahu-tahu kedua telapak tangannya men-

cengkeram lengan-lengan Kama Lodra. Lalu begitu ia 

menjatuhkan diri, sebelah kaki Ki Rondo Mayit masih

menggedor dada Kama Lodra. Kama Lodra menyem-

burkan darah. Dan posisinya masih dalam cengkera-

man Ki Rondo Mayit. Setelah menendang, laki-laki be-

rambut putih kusut menghantam kepalanya dengan 

sabetan lengannya.... "Des!" Tulang leher Kama Lodra 

terasa copot! Ia terhuyung mundur kemudian jatuh 

ambruk!

"Ayah...!" Pekik Dewi Rakuntili berlari ke arah 

Kama Lodra.

"Tenang, Dewi. Aku tidak apa-apa. Kau me-

nyingkirlah...!" jawab Kama Lodra sembari berusaha 

bangkit.

"Heh! Kenapa musti sok pahlawan, Kama Lo-

dra.... Biarkan putri mu itu ikut menyerang. Atau ka-

lau perlu sekalian dengan Raden keparat itu! Kalian 

boleh maju semua!" Ki Rondo Mayit melangkah maju. 

Raden Mas Kinanjar Swantaka kepalang maju, ia maju 

lebih dulu. Tapi disambut oleh tendangan Ki Rondo 

Mayit.... "Weeees!"


Untunglah Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat 

menarik kembali tubuhnya ke belakang. Namun untuk 

tendangan yang kedua, laki-laki itu tidak dapat meng-

hindarinya lagi... "Des!" Tubuhnya terlempar deras dan 

hampir menimpa tubuh Dewi Rakuntili. Gadis itu tidak 

menghindar, malah menjaganya sehingga tubuh Raden 

Mas Kinanjar Swantaka tidak terbanting. Setelah itu 

Dewi Rakuntili lompat menerjang.

Amarahnya telah meluap. Dan juga ia tidak 

mengontrol dirinya...

Setelah merebahkan diri menghindari serangan 

gadis itu, Ki Rondo Mayit membalas dengan tendan-

gan... "Deeeeer! 

Dewi Rakuntili memekik. Tubuhnya terbanting 

berdegum di tanah berpasir. Darah mengalir dari mu-

lutnya. Ki Rondo Mayit menatap puas melihat gadis itu 

tidak dapat bangkit lagi.

Saat itu tubuh Kama Lodra berjumpalitan di 

udara. Bersamaan dengan itu pula Raden Mas Kinan-

jar Swantaka juga melesat dari arah lain, Ki Rondo 

Mayit yang mengetahui adanya serangan dari dua arah 

langsung merentangkan kedua tangannya.

Kedua lengan itu menyambut tendangan dan 

hantaman dari arah yang berlawanan. Dan ternyata 

serangan-serangan dari arah yang berlawanan itu 

hanya sampai di situ. Kama Lodra dan Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka masih terus mencecar Ki Rondo 

Mayit. Merasa tidak sanggup mengatasinya, Ki Rondo 

Mayit sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan men-

jauh. Tapi mana mau dua orang itu membiarkan Ki 

Rondo Mayit bergeser dari tempatnya. Maka keduanya 

datang lagi menerjang.

Raden Mas Kinanjar Swantaka melesat ke atas, 

tendangannya cepat menyambar. Begitu juga dengan 

Kama Lodra, hantamannya yang berkelebat beruntun


sukar diikuti oleh pandangan mata.... Namun hanya 

dengan sekali sentak, Ki Rondo Mayit dapat menepis 

tendangan itu yang hampir menghantam kepalanya. 

Lalu sambil mundur ia menangkis hantaman-

hantaman yang mendesak ke dada.

Kurang lebih mereka sudah mengeluarkan dua 

puluh jurus. Namun tidak ada tanda-tanda bagi mere-

ka dapat menjatuhkan Ki Rondo Mayit. Laki-laki be-

rambut putih kusut yang sangat luar biasa itu selalu 

dapat menghindar atau menangkis hantaman-

hantaman mereka. Sekalipun mereka tahu kalau la-

wan yang dihadapinya itu memiliki ilmu yang sangat 

tangguh, Kama Lodra maupun Raden Mas Kinanjar 

Swantaka tidak mundur dalam selangkah.

*

* *

Saat itu Wintara dan Umbara Komang telah 

menjatuhkan lawan-lawannya. Kini mereka yang tadi 

berjumlah tiga puluh orang, sekarang tinggal empat 

orang. Keempat orang itu pun seperti ragu-ragu me-

nyerang. Mereka telah kehilangan kekuatan. Seluruh 

permukaan dataran berpasir telah bergelimpangan so-

sok-sosok penghuni kuil.

Wintara dan Umbara Komang yang sudah ber-

lumuran darah menatap keempat orang itu dengan so-

rot mata yang menakutkan. Pedang-pedang mereka 

memang masih tergenggam, tapi pedang-pedang itu 

seperti gemetar menahan takut. Umbara Komang maju 

menyeringai. Dan keempat orang itu mundur berba-

reng. Umbara Komang tertawa mengekeh!

"Sudah tahu takut masih saja berdiri di situ! 

Ayo merat...! Kalau masih mau mampus cepat ke mari 

maju!" bentak Umbara Komang menunjukkan wajah


yang amat mengerikan. Keempat lawannya saling pan-

dang. Lalu sambil melemparkan pedang-pedang mere-

ka, kemudian berbalik lari pontang panting. Wintara 

menatap mereka menggelengkan kepalanya.

"Dasar dungu! Kembali ke kuil pun mereka per-

cuma! Mereka akan memakan waktu yang sangat la-

ma! Dia kira gampang mengarungi padang pasir sede-

mikian luasnya? Kita berduapun pasti mati kehausan 

di sini...." kata Wintara setelah Umbara Komang berja-

lan mendekatinya.

"Lalu bagaimana dengan Raden Mas Kinanjar 

Swantaka? Aku rasa ia pun sudah jadi santapan para 

siluman padang pasir!" sahut Umbara Komang yang 

berjalan lunglai. Keduanya sama-sama lemas seperti 

kehabisan tenaga. Angin-angin makin kencang ber-

hembus.

*

* *

EMPAT BELAS


Namun dengan tiba-tiba saja Wintara dan Um-

bara Komang menoleh ke belakang. Ia mendengar sua-

ra teriak-teriak. Tampaklah empat sosok tubuh berla-

rian mendekat ke arah mereka. Salah seorang dari 

keempat orang itu jatuh dan tidak bangkit lagi, lalu 

yang tiga berlari terus. Umbara Komang menatap tak 

mengerti.

"Ada apa gerangan, sehingga mereka berlari ba-

lik ke mari...?" Wintara heran. Tapi sebelum mereka 

berfikir, mereka menemukan jawabannya. Jauh di be-

lakang orang-orang itu telah mengejar segerombolan 

kuda dengan penunggang-penunggangnya. Jumlahnya


hampir belasan.

"Sekarang mati kita! Musuh-musuh berdatan-

gan lagi!" kata Wintara.

"Apakah mereka siluman-siluman jahat juga?" 

Umbara Komang mempertajam penglihatannya. Winta-

ra memeluk bahu Umbara Komang sebelah tangan.

"Di neraka ini mana ada yang berpihak kepada 

kita. Kecuali muzizat dari Tuhan."

"Tuhan.... Kenapa Dewa mengharapkan keajai-

ban Tuhan? Bukankah Dewa bisa berbuat apa saja?" 

Umbara Komang menatap ketiga orang yang hampir 

mendekati mereka. Orang-orang itu lari tunggang 

langgang.

"Tuhan itu ada di mana-mana, Goblok! Semua 

makhluk ciptaan-Nya kebanyakan memohon pada-

Nya...! Kau juga makhluk ciptaan-Nya. Aku juga...." 

Wintara menjelaskan dengan kesal.

"Dan juga aku bukan dewa yang patut kau 

sembah! Aku juga siluman. Sayang kita berdua di sini 

bakal mampus!" kata Wintara lagi.

"Heh, suara apa itu...?" Umbara Komang men-

dengar sesuatu yang lain. Di antara suara deru derap 

kaki belasan kuda, mereka mendengar suara gletar-

gletar cambuk yang tidak pernah berhenti. Manakala 

gerombolan berkuda itu semakin dekat mendatangi ke-

tiga orang yang lari tunggang langgang itu telah berja-

tuhan kehabisan nafas. Apa yang membuat mereka 

nampak ketakutan sekali...?

"Mereka.... Mereka...." Tiba-tiba saja Umbara 

Komang berjingkrak-jingkrak. Wintara baru tersadar 

dengan apa yang dilihatnya. Kedua perempuan yang 

menunggangi kudanya paling tengah nampak jelas se-

kali....

"Astaga.... Mereka Pendekar Kembar Cambuk 

Seriti!" Seru Wintara. Lalu keduanya melompat-lompat



sambil melambai-lambaikan kedua tangannya. 

"Hooy...! Hooy...!" teriak mereka. Gerombolan kuda itu 

datang mendekat. Mereka memang gerombolan perem-

puan yang dipimpin oleh Pendekar Kembar Cambuk 

Seriti. Dan kedua wanita kembar ini tidak percaya pula 

dengan apa yang mereka lihat.

"Wintara...! Umbara Komang...!" Kedua wanita 

kembar itu berteriak.

"Aku mengira kalian berdua mayat-mayat hi-

dup. Lihat saja rupa kalian sudah tidak nampak." Gu-

rau Seriti Kuni. Wintara memperhatikan perempuan-

perempuan itu. Ternyata mereka adalah para tawanan 

di kuil yang pernah mereka bebaskan.

"Kalian dari sana?" Tanya Wintara, Seriti Wuni 

turun dari kudanya setelah mendekati kedua lelaki 

yang tetap berdiri.

"Ya, tidak satu orang pun yang hidup di sana!" 

Kata Seriti Kuni, ia melemparkan dua pundi air ke 

arah Wintara. Lelaki berbaju kulit binatang itu me-

nangkapnya sekaligus, kemudian melemparkan satu 

pundi air pada Umbara Komang. Mereka langsung 

meminum air itu. Seriti Kuni meneruskan pembica-

raannya.

"Aku menemukan mereka dalam sebuah ruang 

tahanan. Mereka menceritakan bahwa kalian yang me-

lepaskan dari belenggu-belenggu rantai. Di kuil itu pu-

la kutemukan empat buah peti berisi upeti yang kalian 

bawa tempo hari. Dari situ kami memilih kesimpulan 

bahwa kalian mendapat kesulitan.... Mana Raden Mas 

Kinanjar Swantaka?" Seriti Kuni membetulkan letak 

empat buah peti kecil yang agak miring. Wintara tidak 

menjawab, ia masih menenggak air minum. Begitu ju-

ga Umbara Komang. Lama sekali mereka menunggu 

jawaban Wintara. Belasan perempuan yang di bela-

kangnya diam di atas kuda. Dan setiap kuda membawa perbekalan air dalam pundi.

"Seperti katamu tadi.... Raden Mas Kinanjar 

Swantaka mendapat kesulitan dan repotnya aku sendi-

ri tidak tahu di mana dia berada." jawab Wintara sam-

bil menyiram kepalanya dengan sisa air minum. Um-

bara Komang mengikuti.

"Bagaimana kalian berdua sampai punya niat 

menyusul kami?" Wintara balik bertanya.

"Di Rogojembangan cukup aman. Lagi pula sia-

pa yang betah berdiam diri di sana... Apa kalian kira 

kedatangan kami ini bermanfaat?" Jawab Seriti Wuni. 

Umbara Komang nyengir. Ia tidak berani menatap ga-

dis itu.

"Ooow... Jelas kedatangan kalian ini bagaikan 

utusan-utusan dari surga." kata Wintara serius. Ia 

menyerahkan kembali pundi air yang telah kosong.

"Kalau begitu, kenapa kalian masih berdiam di-

ri di sini. Bukankah lebih baik kita langsung mencari 

Raden Mas Kinanjar Swantaka...?" kata Seriti Wuni 

menyeret kudanya ke hadapan Wintara dan ia sendiri 

melangkah ke arah kuda yang ditunggangi Seriti Kuni.

"Aku khawatir telah terjadi sesuatu atas di-

rinya." katanya lagi sambil naik duduk di belakang Se-

riti Kuni. Dengan sigap pula

Wintara langsung melompat ke punggung kuda 

yang diserahkan tadi. Tanpa diperintah Umbara Ko-

mang langsung naik ke belakang Wintara. Lalu Winta-

ra memacu kudanya memimpin mereka berjalan paling 

dulu... "Hreaaaaa...! Hreaaaaaa!" Maka gerombolan pe-

nunggang kuda itu bergerak lagi. Dan asap-asap debu 

mengepul-ngepul bertebaran di atas permukaan tanah 

berpasir.

*

* *


Teriakan Ki Rondo Mayit menggelegar bersa-

maan dengan itu hantamannya maju ke depan... 

"Des!" 

Raden Mas Kinanjar Swantaka memekik. Tu-

buhnya terhuyung mundur. Namun ia masih bisa ber-

tahan untuk tetap tidak jatuh. Kama Lodra cepat 

menghalangi saat Ki Rondo Mayit melancarkan seran-

gannya lagi. Hantamannya membentur lengan Ki Ron-

do Mayit dengan keras. Mendapat serangan seperti itu, 

Ki Rondo Mayit berbalik menghadapi Kama Lodra. Se-

belah lengannya memutar, Kama Lodra cepat menang-

kis. Maka terlihatlah gaya-gaya jurus mereka seperti 

dua sosok bayangan hitam yang melintir saling melan-

carkan pukulan. Gerak-gerak hantaman mereka tidak 

jelas terlihat. Tahu-tahu saja lengan mereka saling be-

radu dan menimbulkan suara yang membledar nyar-

ing.

Gigih sekali Kama Lodra melancarkan seran-

gan. Hantaman-hantamannya menjurus ke bagian ba-

wah dan atas. Sedikitnya Ki Rondo Mayit merasa kewa-

lahan menghadapinya. Kedua matanya tidak berkedip 

sedikit pun. Pandangannya yang jeli terus mengawasi

setiap gerakan Kama Lodra.

Bahkan ketika tendangan Kama Lodra menju-

rus ke depan, Ki Rondo Mayit hanya bergeser mundur 

ke belakang. Kedua telapak tangannya menepis ten-

dangan itu. Di luar dugaan, tubuhnya yang lentur 

mendadak berguling berjumpalitan di tanah. Kama Lo-

dra melesat menyusul Ki Rondo Mayit dengan berjum-

palitan di udara. Dalam keadaan seperti itu kedua len-

gan Kama Lodra beruntun menghantam. Ki Rondo 

Mayit yang masih bergulingan di tanah sama sekali ti-

dak dapat disentuh. Malah ketika ia membalas dengan 

tendangan yang mengarah ke atas. Tiba-tiba saja Ka


ma Lodra memekik hebat...! "Deeeer!" 

Tendangan itu mengena telak di dada. Tubuh 

Kama Lodra langsung berdegum di tanah. Bagai air 

mancur, darah menyembur dari mulutnya. Belum 

sempat ia bangun, Ki Rondo Mayit datang melompat 

dan tahu-tahu saja jotosannya menghantam tenggoro-

kannya.

Kama Lodra mengejang hebat. Tubuhnya 

menggelepar-gelepar. Saat itu Raden Mas Kinanjar 

Swantaka melesat melancarkan serangan. Suara teria-

kan itu dapat di dengar. Maka dengan cepat Ki Rondo 

Mayit mencengkeram tubuh Kama Lodra dan melem-

parkan ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka yang 

mulai mendekat. Langkah lelaki muda itu terhalang. 

Saat tubuh mereka saling tabrak, Ki Rondo Mayit me-

lancarkan tendangannya ke arah mereka. "Deeeer!" 

Tendangan itu menghantam punggung Kama 

Lodra. Dengan demikian ambruklah tubuh Kama Lo-

dra bersama tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka.

Ki Rondo Mayit makin garang menyerang. Ra-

den Mas Kinanjar Swantaka cepat bergeser dari tindi-

han tubuh Kama Lodra. Sambil mundur sempoyongan, 

lelaki muda itu menghindari hantaman Ki Rondo 

Mayit. Sudah tentu Raden Mas Kinanjar Swantaka ke-

walahan. Melihat itu Kama Lodra cepat bangkit mener-

jang, meskipun tubuhnya telah terluka parah ia masih 

mampu mengalihkan serangan-serangan Ki Rondo 

Mayit. Tapi tindakannya itu hanya berlanjut sebentar, 

karena dengan telengas Ki Rondo Mayit menghantam 

kepala itu hancur berderak, kemudian menyusul den-

gan berdegumnya tubuh telanjang dada ke tanah den-

gan nyawa melayang.

*

* *


LIMA BELAS


Raden Mas Kinanjar Swantaka menoleh ketika 

mendengar suara rintihan Dewi Rakuntili. Dan ia me-

lihat gadis itu mulai bangkit berdiri. Sesaat kemudian 

ia berpaling lagi ke arah Ki Rondo Mayit yang tertawa 

menyeringai. Rambut putih kusutnya bergerak kaku 

tertiup angin. Mulutnya yang tanpa gigipun menganga 

menyeramkan. Langkahnya kian dekat bergeser.

Dewi Rakuntili melangkah berjalan ke hadapan 

Raden Mas Kinanjar Swantaka Wajahnya tetap mena-

tap Ki Rondo Mayit penuh amarah. Ki Rondo Mayit te-

rus menyeringai bagai melihat mangsa yang siap di 

mangsa.

Ketika Ki Rondo Mayit bergerak maju, Raden 

Mas Kinanjar Swantaka yang berada di belakang Dewi 

Rakuntili langsung menarik lengan gadis itu. Kemu-

dian kakinya maju ke depan menendang....."Des!" Te-

pat mengenai perut. Saat itu pun Dewi Rakuntili tidak 

tinggal diam. Meski pun berada dalam pelukan Raden 

Mas Kinanjar Swantaka, sempat pula melancarkan 

tendangan... "Deer!" Ki Rondo Mayit makin terdorong 

mundur. Namun setelah ia merentangkan kedua tan-

gannya lalu berputar di atas rasa sakit itu seperti hi-

lang. Ki Rondo Mayit makin maju menunjukkan wajah 

yang garang. Tapi baru saja ia melangkah ke depan, 

pendengarannya yang tajam mendengar sesuatu. Ia 

cepat menoleh memandang jauh. Dilihatnya belasan 

kuda berlari kencang. Terdengar pula gletar-gletar 

cambuk dan helaan-helaan para penunggang kuda itu.

Ki Rondo Mayit mempertajam penglihatannya. 

Belasan kuda itu berhenti, tapi dua ekor kuda di anta-

ranya bergerak maju terus. Gletar cambuk makin ke-

ras. Ki Rondo Mayit dapat melihat dengan jelas. Tiap



tiap kuda ditunggangi oleh dua orang. Salah satu kuda 

itu ditunggangi oleh dua wanita kembar memainkan 

cambuk-cambuknya. Dan satu lagi, dua orang laki-laki 

yang ditemuinya di kuil. Laki-laki berambut putih ku-

sut itu tidak perduli melihat kedatangan mereka. Ia 

kembali menghadapi Raden Mas Kinanjar Swantaka 

dan Dewi Rakuntili. Langkahnya yang secepat kilat 

berbareng dengan hantaman-hantaman yang keras 

mendera, Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat me-

nangkis. Tapi Dewi Rakuntili tidak sempat lagi menge-

lak. Lengan kiri Ki Rondo Mayit cepat berkelebat 

menghantam dadanya. Sebelum hantaman kedua me-

nyambar lagi, Raden Mas Kinanjar Swantaka mengha-

langi dengan tubuhnya. Dengan telak punggungnya 

menerima hantaman itu. Keduanya jatuh bergulingan 

di tanah berpasir. Ki Rondo Mayit masih mengejar dan 

siap melancarkan hantaman-hantaman.

Raden Mas Kinanjar Swantaka maupun Dewi 

Rakuntili diam terlentang menatap Ki Rondo Mayit da-

tang dengan lengan siap menghantam. Tiba-tiba saja 

terdengar gletar cambuk. Dan mendadak saja lengan-

nya yang siap menghantam itu tertahan oleh lilitan 

cambuk. Pendekar Kembar Cambuk Seriti sudah bera-

da di situ. Dengan garam pula Ki Rondo Mayit menarik 

lengannya. Tanpa diduga pula, Seriti Kuni yang melan-

carkan cambuknya tertarik sampai jatuh terguling. Se-

riti Wuni yang duduk di belakangnya tidak sempat 

menahan, karena lengan itu menarik dengan disertai 

tenaga luar biasa. Saat itu pula Wintara dan Umbara 

Komang turun dari kudanya langsung meluruk berla-

rian ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka.

Tapi sebelum mereka mendekati, sebuah ten-

dangan memutar Ki Rondo Mayit menyambut. Cepat 

keduanya menarik mundur. Seriti Wuni dan Seriti Ku-

ni berdatangan melancarkan cambuk-cambuknya. Se


bentar saja tubuh Ki Rondo Mayit telah terbelit oleh 

kedua cambuk itu. Namun laki-laki berambut putih 

kusut itu tetap tak menghiraukan lilitan cambuk. Tu-

buhnya masih saja maju menerjang Wintara dan Um-

bara Komang.

"Siluman kusut! Aku pikir kau telah mampus 

jadi kerak pasir!" gerutu Umbara Komang. Tubuhnya 

melesat ke atas sambil menghantam. Ki Rondo Mayit

menyambut dengan kedua lengannya. Hantaman itu 

beradu. Sekalipun tubuhnya terbelit dua utas cambuk, 

Ki Rondo Mayit masih bisa melancarkan tendangannya 

ke atas. Maka Umbara Komang yang masih berada di 

udara memekik sambil memegangi dadanya yang tera-

sa remuk!

"Cecurut sableng! Kau boleh mampus lebih du-

lu!" Ketika Umbara Komang jatuh ke tanah, Ki Rondo 

Mayit langsung menginjak dadanya. Umbara Komang 

kelojotan. lalu Ki Rondo Mayit menghentakkan kedua 

tangannya menarik kedua cambuk yang melilit di tu-

buhnya. Maka dua wanita kembali itu tertarik ke atas 

dan mereka tidak dapat menghindari, kepala mereka 

saling bentur. Seriti Kuni maupun Seriti Wuni jatuh 

bergulingan sambil memegangi kepala masing-masing. 

Wintara cepat menarik tubuh Umbara Komang yang 

masih terlentang menahan sakit. Dan berusaha me-

nangkis serangan-serangan Ki Rondo Mayit yang di-

arahkan pada Umbara Komang.

Serangan Ki Rondo Mayit kini beralih pada Win-

tara. Laki-laki setengah tua itu memiliki ilmu dan daya 

tahan tubuh yang sangat kuat. Maka sebelum Ki Ron-

do Mayit melancarkan serangannya, Wintara lebih du-

lu menyambut dengan sodokan lengannya dengan tu-

buhnya merunduk ke tanah. Jotosan yang mengarah 

tepat ke ulu hati itu membuat Ki Rondo Mayit tersen-

tak kaget. Dan tiba-tiba saja kaki Wintara naik ke atas


menghantam muka. Kontan Ki Rondo Mayit ambruk 

celentang. Saat itu pun Wintara berjingkat bangun. 

Umbara Komang masih terbaring lemas. Dua pendekar 

Kembar Cambuk Seriti berusaha bangun meski dengan 

kepala pusing.

Mendapat tendangan yang menghantam keras 

di bagian muka, Ki Rondo Mayit merasakan pandan-

gannya berputar. Ia melihat sosok Wintara berdiri ber-

deret lebih dari satu. Keadaan seperti itu ia tidak me-

nyia-nyiakan kesempatan. Mendadak saja tubuh Win-

tara maju menerjang melancarkan hantaman yang be-

runtun. Beberapa hantaman Wintara bersarang telak. 

Tapi saat Ki Rondo Mayit memutar lengannya ke de-

pan, Wintara gelagapan menyambutnya. Ki Rondo 

Mayit sengaja melancarkan serangan membabi buta. 

Namun begitu salah satu hantamannya berhasil men-

jatuhkan Wintara. Anak muda itu sendiri merasakan 

kerasnya hantaman itu.

Pandangan Ki Rondo Mayit masih membayang. 

Ia sempat menoleh ke samping melihat dua wajah 

kembar datang menyerang. Sosok-sosok itu begitu ba-

nyak berdatangan. Sukar sekali bagi Ki Rondo Mayit 

untuk menentukan yang asli. Maka sebelum wanita 

kembar itu mendekat, Ki Rondo Mayit mengerahkan 

seluruh tenaganya menghantami setiap bayangan yang 

ada dalam pandangan matanya. Sudah tentu dua pen-

dekar kembar sukar mengatasi hantaman-hantaman 

yang datang bertubi-tubi. Keduanya bergulingan sam-

bil menyemburkan darah. Mereka ambruk seperti tidak 

dapat bangkit lagi.

Wintara melompat cepat menangkis hantaman 

Ki Rondo Mayit yang nyaris mengenai kedua wanita 

kembar yang berusaha bangkit berdiri. Melihat adanya 

seseorang yang menghalangi niatnya, Ki Rondo Mayit 

segera membalikkan hantamannya terhadap orang itu.


Wintara gelagapan dan tidak sempat menghindari han-

taman yang melanda di dadanya. Pada saat yang sama 

pun ketika Wintara mencelat, ia sempat melancarkan 

tendangannya. Dan tendangan itu menghantam keras 

Ki Rondo Mayit sampai jatuh terduduk.

Wintara yang jatuh terlentang cepat bangun 

bersila. Kedua telapak tangannya nampak menyatu di 

depan dada. Lalu dalam posisi seperti itu tubuh Winta-

ra melesat maju menerjang. Kedua kakinya yang bersi-

la tidak menyentuh tanah. Ki Rondo Mayit masih ter-

duduk menghimpun tenaga dalamnya. Dan tahu-tahu 

saja Wintara sudah berada di depannya mendorong 

kedua telapak tangannya..... "Dueeeeer!"

Ki Rondo Mayit terpekik dengan tubuh yang 

terlempar ke belakang. Wintara masih mendorong te-

rus dengan telapak tangannya. Sampai keduanya 

nampak terpaku diam duduk saling berhadapan.

Raden Mas Kinanjar Swantaka menatap tajam 

sambil memeluk tubuh Dewi Rakuntili. Umbara Ko-

mang bangkit menyeringai menahan sakit. Begitu juga 

Pendekar Kembar Cambuk Seriti yang menatap nanar. 

Mereka semua membelalakkan mata ketika melihat so-

sok Ki Rondo Mayit yang berdiri terhuyung. Wintara 

duduk bersila menunduk. Tiba-tiba saja sosok Ki Ron-

do Mayit yang berdiri di hadapan Wintara menyembur-

kan darah. Lalu dengan lunglai tubuh renta itu am-

bruk untuk selama-lamanya. Wintara tetap duduk ber-

sila.

Melihat itu Pendekar Kembar Cambuk Seriti 

berlari ke arahnya. Sebelum mereka mendekat, Winta-

ra sudah bangkit terlebih dahulu. Keringatnya mengu-

cur deras di sekujur tubuhnya. Rupanya ketika tadi 

Wintara melancarkan kedua telapak tangannya, ia 

mengerahkan semua tenaga inti secara menyeluruh. 

Dengan cara itu ia sengaja mengadu nyawa dengan Ki


Rondo Mayit.

"Apakah kau terluka?" Seriti Wuni khawatir. 

Wintara tersenyum menggeleng.

"Ah, syukurlah! Aku melihat benturan tenaga 

dalam tadi begitu dahsyat. Semula aku begitu takut 

akan celaka." Seriti Kuni mendekati.

"Tidak. Aku tidak apa-apa. Hanya sekujur tu-

buhku terasa ngilu." jawab Wintara. Lalu ketiganya 

menatap Raden Mas Kinanjar Swantaka memapah tu-

buh Dewi Rakuntili melangkah mendekati mereka. 

Langkah-langkah Raden Mas Kinanjar Swantaka sen-

diri nampak limbung.

Dewi Rakuntili membuka matanya perlahan, ia 

merasa tubuhnya melayang dalam papahan seseorang. 

Dan saat kedua matanya membuka lebar, ia melihat 

jelas seseorang itu tidak lain Raden Mas Kinanjar 

Swantaka.

"Ayahmu tewas, Dewi.... Kami tidak bisa me-

nyelamatkannya." kata Raden Mas Kinanjar Swantaka 

pelan.

"Tapi musuhnya itu telah tewas pula." bisik le-

laki itu lagi. Dewi Rakuntili mengawasi sekitar permu-

kaan hamparan pasir. Sosok Ki Rondo Mayit terkapar 

kaku tanpa nyawa masih mengeluarkan darah dari 

mulutnya.

"Kau pun akan membunuhku, bukan.... Bunuh 

saja sekarang...." kata Dewi Rakuntili.

"Kami akan membawa dirimu ke Rogojemban-

gan."

"Aku memang bersalah. Dan pantas menerima 

hukuman apa saja.... Sekalipun hukuman mati yang 

kuterima." Kedua lengan Dewi Rakuntili melingkar erat 

di leher Raden Mas Kinanjar Swantaka. Keduanya sal-

ing pandang.

"Sebelum aku menerima hukuman mati, aku


minta makamkan ayahku sebagaimana layaknya.... 

Hanya itu, Raden.... Aku harap kau mau memenuhi 

permintaanku."

"Ayahmu memang akan kami kuburkan secara 

baik-baik.... Dan lagi di Rogojembangan, kau tidak 

akan dihukum. Apalagi sampai dihukum mati...."

"Lalu...?" Dewi Rakuntili heran.

"Kau akan kujadikan selir ku!"

"Hah...?!"

Wintara maupun Pendekar Kembar Cambuk 

Seriti tertawa malu mendengar ucapan Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka. Mereka bertiga serempak tertunduk. 

Tapi tiba-tiba saja ia tersentak kaget. Begitu juga den-

gan Raden Mas Kinanjar Swantaka....

"Ha ha ha ha.... Siluman rambut kusut telah 

mampus! Siluman penghuni kuil juga telah modar...! 

Sekarang aku bebas...! Bebas...! Hua ha ha ha ha ha.... 

Aku mau pergi ke mana aku suka! Dan...." Umbara 

Komang berhenti berteriak. Sorot matanya memandang 

tajam ke arah orang-orang yang berdiri di situ. Wintara 

hanya tersenyum saja....

"Aku tidak mau lagi mengikuti kalian!" kata 

Umbara Komang lagi. Lalu dengan sombong Umbara 

Komang melompat ke atas kuda.

"Aku tidak mau lagi menempuh bahaya.... Re-

pot kalau sampai berurusan dengan siluman-siluman 

lagi...." Setelah berkata begitu Umbara Komang mema-

cu kudanya.

Sementara itu belasan orang yang menunggangi 

kuda berdatangan menuju tempat itu. Beberapa orang 

turun dari kudanya menyerahkan pundi-pundi air ke-

pada Raden Mas Kinanjar Swantaka. Dewi Rakuntili 

meraih pundi air itu dan langsung menenggaknya. 

Kemudian sisa air minum di siramkan ke wajah Raden 

Mas Kinanjar Swantaka. Maka berderailah tawa mereka.....



                                    TAMAT




Share:

0 comments:

Posting Komentar