Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan be-
laka.
BIDADARI
KUIL
NERAKA
Oleh Buce L. Hadi
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama
SATU
Ki Rondo Mayit mengamuk kalap ketika ia
mendengar berita kematian putranya. Tidak ada seo-
rang pun yang dapat meredakan amarahnya. Karena
dalam ruangan itu memang hanya dia sendiri. Seluruh
ruangan itu berderak-derak. Apa yang ada di hada-
pannya dihancurkan. Meja yang penuh dengan perala-
tan terbalik hancur belah hanya dengan sekali ten-
dang. Termasuk juga dua buah peti yang bersandar di
dinding batu. Kedua peti yang tingginya hampir sama
dengan tubuh Ki Rondo Mayit tidak luput dari kemur-
kaannya. Peti-peti hancur, ia menghentikan amukan-
nya. Nafasnya masih memburu menahan amarah. Lalu
ia melangkah ke luar. Rambutnya yang putih kusut
sebatas bahu bergerak-gerak saat ia melangkah.
Udara dingin menghembus tubuhnya saat ia
berdiri di tengah pintu bangunan yang hampir ambruk
itu. Matanya memerah menatap jauh cakrawala. Kedua
telapak tangannya mengepal erat. Terdengar bunyi
gemeretak tulang-tulang jarinya.
"Manusia mana yang mampu membunuh
anakku...! Siapa dia gerangan...! Aku tidak yakin kalau
Raden Mas Kinanjar Swantaka yang melakukannya.
Kematian Wadak Keling maupun dua mayat hidup itu,
aku tak perduli!" katanya geram setelah berada di luar
bangunan.
"Tapi untuk kematian anakku, orang itu harus
menerima balasannya!" Tiba-tiba saja kakinya menen-
dang hancur batu yang menonjol di permukaan tanah.
Lalu tubuhnya melesat berlari kencang. Sebentar saja
manusia berambut putih itu sudah jauh menghilang
dari pandangan mata. Namun teriakannya masih saja
menggelegar terdengar.
"Raden keparat! Orang-orang pilihan keparat!
Kalian tunggu pembalasanku!"
*
* *
Pagar bambu yang setinggi tiga tombak itu rapi
berderet membatasi tanah lapang yang cukup luas.
Padahal beberapa hari yang lalu tempat itu sempat po-
rak poranda. Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada
waktu itu sudah tidak nampak lagi. Orang-orang Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka cepat memperbaiki pagar
bambu itu meskipun keadaan mereka banyak yang lu-
ka-luka. Dan Raden Mas Kinanjar Swantaka sendiri
cukup prihatin terhadap keadaan mereka. Sebelumnya
jumlah mereka lebih banyak dari yang sekarang. Ham-
pir separuh dari mereka tewas akibat serangan men-
dadak yang terjadi di tempat itu.
Meski mereka kehilangan hampir separuh dari
jumlah mereka. Orang-orang itu tetap gigih memban-
gun benteng pertahanan di daerah itu. Mereka setuju
sekali kalau setiap sudut tanah Rogojembangan didiri-
kan benteng-benteng pertahanan. Dengan adanya ben-
teng pertahanan, Rogojembangan akan tetap aman dan
tentram.
Tenda-tenda besar masih berdiri di tengah-
tengah lapangan itu. Di sana sini terdapat bangunan
yang hampir jadi. Meskipun bangunan itu terbuat dari
kayu dan setengah batu, bangunan itu nampak kokoh
dan kuat. Tapi yang jelas pondokan-pondokan yang
hampir jadi itu sudah bisa ditempati. Malah lebih
nyaman daripada di dalam tenda. Di antara sekian ba-
nyak berderetnya pondokan-pondokan, ada sebuah
podokan yang sudah betul-betul rampung.
Raden Mas Kinanjar Swantaka bersama orang
orangnya berada di situ. Mereka dalam keadaan aman.
Beberapa prajurit menjaganya di luar. Lalu sisanya
meneruskan pekerjaan mereka membangun benteng.
Nampak sekali kesibukan-kesibukan mereka. Raden
Mas Kinanjar Swantaka duduk berderet melihat dari
dalam ruangan pondokan itu. Juga termasuk beberapa
orang yang duduk berderet melingkar ke arahnya. Me-
reka tidak lain adalah Wintara, Umbara Komang dan
Pendekar Wanita Kembar Cambuk Seriti. Beberapa
prajurit berdiri juga di dalam ruangan itu.
Dari kancing bajunya yang terbuka nampak je-
las balutan-balutan yang melilit di tubuh Raden Mas
Kinanjar Swantaka. Sedari tadi pula Wintara memper-
hatikan luka-lukanya. Nampaknya luka-luka itu sudah
berangsur membaik. Umbara Komang duduk bersila
bersandar pada dinding, kedua matanya terpejam
sambil mendengkur. Tapi orang-orang yang ada di
ruangan itu tidak memperdulikannya. Apalagi wanita
kembar yang bersila di sebelahnya, mereka bersikap
masa bodoh terhadap Umbara Komang. "Semestinya
kita sudah harus ada di kerajaan untuk membawa
upeti-upeti ke sana. Tapi mengingat saudara Tangan
Besi dan temannya belum sampai ke sini, kita terpaksa
menunggu mereka...." kata Raden Mas Kinanjar Swan-
taka mengawali pembicaraan.
"Tapi mereka sudah melewati batas perjanjian,
Raden. Kami khawatir saudara Tangan Besi dan Lang-
kung Daro tewas dalam melakukan tugasnya...." Cam-
buk Kembar Seriti Kuni memberikan pendapat.
"Jangan berperasaan khawatir seperti itu, Seriti
Kuni.... Mereka berdua bukan termasuk orang-orang
yang mudah diperdaya." jawab Raden Mas Kinanjar
Swantaka.
"Memang betul, Raden... Menurut perintah dalam tiga hari mereka harus kembali ke sini. Tapi serang sudah telat lima hari.... Halangan apa yang mem-
buat mereka begitu telat.... Kalau Raden Mas sengaja
menunggu mereka, apa kata orang-orang kerajaan
nanti? Paling tidak mereka akan khawatir juga terha-
dap kita. Tidak pantas kalau orang-orang kerajaan da-
tang ke mari yang mengambil upeti...." ujar Seriti Kuni
yang tidak berbeda dengan Seriti Wuni. Keduanya me-
natap Raden Mas Kinanjar Swantaka.
"Jadi bagaimana menurutmu jalan yang ter-
baik...?"
"Secepatnya kita berangkat ke kerajaan, kalau-
pun saudara Tangan Besi dan saudara Langkung Daro
masih hidup mereka pasti datang ke sini lagi. Lagipula
tanpa mereka apa halangannya...? Raden Mas Kinanjar
Swantaka orang kepercayaan kerajaan, jangan sampai
Raden kehilangan muka." jawab Seriti Kuni.
"Apa yang dikatakan Seriti Kuni adalah benar.
Upeti harus secepatnya sampai ke kerajaan...." Wintara
ikut angkat bicara. Umbara Komang masih tetap men-
dengkur.
"Raden Mas Kinanjar Swantaka tak usah ce-
mas! Tentunya Pendekar Kembar Seriti akan bersedia
mengawal, bukankah begitu...?" kata Wintara lagi, ma-
tanya berkedip ke arah wanita kembar itu.
"Kau pun harus ikut serta, Pendekar Muda!"
sahut Seriti Wuni.
"Jangan lupa ajak temanmu itu." Seriti Kuni
menunjuk Umbara Komang. Pandangan Raden Mas
Kinanjar Swantaka mengarah ke situ pula, maka ia
tersenyum.
Umbara Komang tetap mendengkur pulas. Su-
dah tentu ia tidak mendengar apa yang mereka bicara-
kan.
Raden Mas Kinanjar Swantaka mengancingkan
bajunya. Balutan-balutan yang melilit di tubuhnya ter
tutup. Luka-luka itu masih terasa sakit. Tapi tidak
apa-apa. Hanya luka luar.
"Bukan aku tak percaya dengan kalian...." kata
Raden Mas Kinanjar Swantaka, ia bangkit berdiri. Yang
lain tetap bersila pada tempatnya. Lalu....
"Kalau saja Pendekar Tangan Besi dan Lang-
kung Daro ada di sini, kekuatan kita akan lebih terja-
min lagi. Sebab daerah yang akan kita lewati amatlah
berbahaya. Tidak ada jalan lain selain melintasi perbu-
kitan tandus yang memanjang sampai ke Ungaran.
Bukit tersebut telah dikuasai oleh perampok-perampok
yang tidak kenal ampun. Apalagi mereka tahu kita
membawa upeti yang tidak sedikit jumlahnya."
"Raden, kita-kita ini bertugas demi kerajaan...
Demi tanah air!. Apapun halangannya kita harus beru-
saha menghadapi. Lebih baik kita mati dalam tugas
daripada diam berpangku tangan di sini." kata Seriti
Kuni. Adiknya, Seriti Wuni diam berpikir.
"Aku mengerti.... Kalian memang bermaksud
baik." kata Raden Mas Kinanjar Swantaka, sambil ke-
dua matanya memandang orang-orang yang bekerja di
luar sana. Kemudian ia berkata lagi,
"Kalau kita-kita semua berangkat, siapa yang
akan mengawasi orang-orang bekerja di sini, siapa pu-
la yang akan menjamin bila terjadi sesuatu...?
Haaaaaaah," Raden Mas Kinanjar Swantaka menarik
nafas. Pembicaraan mereka putus. Ucapan Raden Mas
Kinanjar Swantaka memang betul. Kedua-duanya sa-
ma penting. Orang-orang yang ada di situ dan upeti
yang akan diantar sama-sama memerlukan pengawal.
"Siapa di antara kalian yang mau mengawal
upeti dan mengawal di sini...?"
"Aku...!" jawab mereka serempak. Hanya Umba-
ra Komang yang tetap mendengkur.
"Ah! Itu sama bodohnya...! Dalam hal ini kalian
akan ku bagi menjadi dua bagian. Hanya itu jalan ter-
baik. Kalian tinggal mencari keputusan." kata Raden
Mas Kinanjar Swantaka tersenyum ramah. Semuanya
diam. Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah me-
nuju ke sudut ruangan. Di situ terdapat sebuah meja.
Di atasnya terdapat empat buah peti ukuran kecil.
Orang itu mengusap-usap salah satu peti.
"Kalau kalian tetap diam biarlah aku yang akan
memberi keputusan... Menurut pemikiran ku, Pende-
kar Cambuk Seriti Kembar tetaplah di sini. Sebenarnya
bukan aku merendahkan kalian. Bukan sama sekali...
Dalam hal ini aku sengaja memilih Wintara dan saha-
bat silumannya...."
"Apa? Aku bukan siluman! Aku Umbara Ko-
mang!" Tiba-tiba saja Umbara Komang bangkit. Setelah
ia berkata begitu, ia meneruskan tidurnya.
*
* *
DUA
Panas terik matahari menggarang ketiga orang
yang menunggangi kuda menyusuri lembah sunyi. Ke-
tiga ekor kuda itu berjalan tenang membawa tuannya.
Paling tengah duduk tegak sosok Raden Mas Kinanjar
Swantaka. Tubuhnya bergoyang-goyang saat kuda-
kudanya melangkah tenang menyusuri jalan itu. Win-
tara dan Umbara Komang mengiringi di samping kiri
dan kanan Masing-masing kuda mereka membawa dua
buah peti. Peti-peti diikat erat menyatu dengan pelana.
Tebing-tebing curam di kedua sisi jalan. Umbara Ko-
mang tidak bisa diam di atas pelananya.
"Dewa.... Sebenarnya mau ke mana kita ini?
Rasanya kita menyusuri lorong maut yang sangat pan-
jang." kata Umbara Komang kesal. Tingkah lakunya
sangat aneh.
"Tenanglah, Umbara.... Akan kubawa kau ke
sarang siluman jahat. Pasti kau akan senang...." kata
Wintara menghibur.
"Apa? Mendengar adanya siluman jahat tan-
ganku jadi gatal...! Di mana mereka?"
"Masih jauh... Tenang saja jangan ribut! Pelan-
pelan saja kita berjalan... Awas jangan sampai mereka
terbangun, kita akan celaka...." Raden Mas Kinanjar
Swantaka menakut-nakuti. Tapi Umbara Komang ma-
lah kegirangan.
"Siluman-siluman jahat mesti dimusnahkan!
Biar saja mereka bangun semua! kenapa harus ta-
kut...!" Lalu Umbara Komang memacu kudanya berja-
lan paling depan. Sebentar saja kuda itu berada jauh.
Nampak kuda itu berputar-putar ke sekeliling lembah.
"Keluar siluman...! Keluar! Ayo keluar kalian
semua! Aku siluman, Eh bukan! Aku bukan siluman!
Tapi Umbara Komang raja dari para siluman akan
menggorok leher kalian!" Umbara Komang berteriak-
teriak. Tidak ada jawaban. Hanya suaranya yang ber-
gema di sekeliling lembah. Umbara Komang berhenti
berteriak. Lalu ia memberi aba-aba pada Wintara dan
Raden Mas Kinanjar Swantaka yang mulai mendeka-
tinya.
"Sssst... Siluman-siluman itu benar ada. Mere-
ka bersembunyi di sekeliling sini! Kalian dengar tadi
mereka mengikuti suara ku!" katanya sambil menutup
bibirnya dengan jari telunjuk. Kedua orang yang
menghampiri hanya tersenyum. Mereka mengerti apa
yang dimaksudkan Umbara Komang. Laki-laki berpe-
nyakit saraf itu mengira gema suaranya adalah suara
para siluman. Mereka berjalan beriringan lagi.
"Biar saja mereka bersembunyi.... Itu karena
mereka takut!" ujar Wintara.
"Siluman yang suka sembunyi adalah siluman
yang baik!" Raden Mas Kinanjar Swantaka menimpali.
Umbara Komang manggut-manggut sok mengerti. Kini
ia duduk dengan gagah di atas kudanya. Memandang
ke atas penuh keangkuhan.
"Siluman jahat tidak ada yang berkeliaran di
sini... Nanti tak lama kita akan menjumpai siluman-
siluman jahat... Tapi aku rasa mereka takut melihat
kita. Karena raja dari para siluman ada di sini...!" kata
Raden Mas Kinanjar Swantaka lagi. Umbara Komang
makin kembang kempis hidungnya. Bibirnya mencibir
sombong.
Mereka kembali berjalan dengan menunggangi
kuda-kudanya. Lembah-lembah di situ tidak begitu cu-
ram lagi. Udara masih dapat berhembus meski mata-
hari bersinar terik. Mereka baru merasakan kalau hari
itu begitu cerah. Namun begitu mereka tetap waspada
akan bahaya yang bakal dari kedua sisi jeram. Para
perampok biasanya di sana. Dan mereka memang te-
lah memastikan wilayah rawan.
Mereka bertiga mendadak berhenti ketika men-
dengar banyak derap kaki kuda dari arah belakang.
Ketiganya serempak menoleh ke arah kuda-kuda yang
berlarian di belakangnya. Kuda-kuda itu makin lama
makin dekat. Nampak dua ekor kuda menarik sebuah
kereta yang amat bagus. Kuda-kuda lainnya mengirin-
gi berderet di depan dan belakang.
Melihat kuda-kuda yang begitu banyak, Winta-
ra segera menepi ke pinggir jalan. Umbara Komang
maupun Raden Mas Kinanjar Swantaka mengikuti.
Kuda-kuda mereka berjajar di pinggiran jalan. Mereka
memberi jalan kepada belasan kuda yang berlari terbu-
ru-buru. Kereta kuda yang berada paling tengah pada
barisan itu nampak tenang melaju. Di dalam kereta itu
nampak jelas sekali seorang perempuan muda duduk
sendirian. Mereka melaju terus tidak memperdulikan
ketiga orang yang menunggangi kudanya di pinggiran
jalan.
Ketiga orang itu pun dapat melihat wajah pe-
rempuan muda di dalam kereta itu. Wajah yang ayu
nan anggun. Sinar matanya penuh kelembutan yang
jarang dimiliki oleh perempuan manapun. Siapa saja
yang melihatnya pasti tergetar. Begitu juga dengan Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka saat itu. Kedua matanya
tidak berkedip ketika mereka beradu pandang.
Umbara Komang hampir melompat menyerang
mereka, tapi cepat Wintara dapat menahannya.
"Mereka bukan siluman jahat, Umbara... Mere-
ka siluman baik-baik!" sergah Wintara. Umbara Ko-
mang tenang kembali. Rombongan kuda itu telah men-
jauh. Yang mereka lihat hanyalah segumpalan asap
mengepul di antara kaki-kaki kuda mereka.
Raden Mas Kinanjar Swantaka masih meman-
dangi kepergian kereta yang kian lama kian jauh
menghilang. Sedari tadi ia tidak berkedip. Wintara da-
pat memperhatikannya, betapa Raden Mas Kinanjar
Swantaka terpesona pada perempuan muda itu.
Wintara pun mengakui akan keanggunannya,
kecantikannya bahkan kelembutan yang memancar
dari kedua sinar mata yang indah. Tapi bagi Wintara
hanya cukup untuk mengagumi saja. Lain tidak!
"Dia memang sangat cantik, Raden... Dan pan-
tas untuk dijadikan selir." Wintara menggoda. Raden
Mas Kinanjar Swantaka tersentak dari lamunannya. Ia
sudah merasa dengan sindiran itu. Maka ia cepat-
cepat mengendalikan kudanya meneruskan perjala-
nan. Namun dalam hatinya masih membayang seraut
wajah yang sangat menawan.
"Begitu banyak para pengawalnya, pastilah ga-
dis itu bukan orang sembarangan. Apalagi berani me-
lintasi lembah ini. Bagaimana kalau sampai di bukit
sana?" kata Wintara yang menyusul di belakang ber-
sama Umbara Komang.
"Mudah-mudahan saja mereka selamat dalam
perjalanan... Kuharap sekali...." Raden Mas Kinanjar
Swantaka berkata pelan.
Ketiganya tidak lagi berjalan perlahan. Raden
Mas Kinanjar Swantaka yang memimpin di depan me-
macu kudanya lebih cepat. Wintara maupun Umbara
Komang hanya mengikuti berusaha mengimbangi.
Sengaja Wintara membiarkan orang ningrat itu berja-
lan paling dulu. Membiarkan dirinya bersama angan-
nya yang kasmaran.
Setengah harian penuh sudah mereka melintasi
daerah lembah. Kini mereka mengarungi dataran ker-
ing berbatu. Di mana pada dataran itu banyak meng-
hampar tulang belulang berserakan. Namun bagi me-
reka bertiga pemandangan semacam itu tidak berarti
sama sekali. Malah tulang berulang itu hancur berde-
rak-derak terinjak oleh kaki-kaki kuda mereka.
Pandangan mereka membentur pada sebuah
bangunan yang hampir roboh. Bangunan itu pula yang
bakal mereka lewati. Setelah mereka menyeberangi se-
buah jembatan kayu yang menghubungkan ke mulut
jurang yang membentang di hadapan mereka, barulah
mereka dapat melihat jelas bangunan yang telah ter-
makan usia. Perlahan sekali mereka melintasi halaman
muka bangunan tersebut.
Mata Raden Mas Kinanjar Swantaka terbelalak
ketika ia melihat ke bawah di depan pintu. Sosok tu-
buh terkapar membiru dan menyebarkan bau busuk.
Tubuh itu penuh dengan pisau-pisau kecil menembus
di kulitnya. Ia langsung turun dari kuda yang di tunggangi. Wintara dan Umbara Komang hanya memperha-
tikan.
"Langkung Daro! Astaga...!" Keluar pekikan dari
mulut Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia sendiri tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya. Wintara turun da-
ri kudanya mendekat. Tapi Raden Mas Kinanjar Swan-
taka melangkah lebih dulu masuk ke dalam bangunan
itu. Sebelum orang itu masuk, tubuh Umbara Komang
melesat dan tiba-tiba saja menghalangi langkah Raden
Mas Kinanjar Swantaka....
"Tahan.... Jangan masuk ke sini! Aku tahu be-
tul kalau di sini sarang siluman jahat!" Begitu katanya.
Melihat tindakan Umbara Komang, orang ningrat itu
hampir marah. Tapi ia segera dapat menguasai ama-
rahnya....
"Justru itu, Umbara... Kita mesti membasminya
sekarang!" kata Raden Mas Kinanjar Swantaka sambil
menyingkirkan tubuh Umbara Komang yang mengha-
langi langkahnya. Umbara Komang membiarkan orang
itu masuk tapi ia sendiri pun ikut masuk pula ke da-
lam. Pada ruangan pertama mereka tidak melihat apa-
apa. Namun pada ruangan kedua, mereka hanya meli-
hat barang-barang serta papan-papan yang telah han-
cur berkeping-keping. Tidak ada satu manusiapun di
dalam sana. Lalu mereka keluar lagi. Wintara masih
menunggu di luar.
"Tidak ada tanda-tanda orang tinggal di sini....
Apa sebenarnya yang terjadi pada Langkung Daro!"
Raden Mas Kinanjar Swantaka menatap mayat itu.
Umbara Komang termangu. Sepertinya ia teringat akan
sesuatu yang pernah dialaminya. Terbayang sekali wa-
jah seram seseorang berambut putih kusut dengan gu-
si tanpa gigi di saat menyeringai. Wajah itu kian
menghantui perasaannya. Membuat dirinya kalap. Ti-
ba-tiba saja ia berteriak dan mengamuk seperti ingin
menghancurkan bangunan itu.
*
* *
TIGA
Setiap pukulan Umbara Komang mampu
menghancurkan dinding batu. Tendangannya pun de-
mikian. Kalau saja Wintara tidak cepat menahannya,
mungkin bangunan itu akan hancur. Terhadap Winta-
ra, Umbara Komang sangat takluk. Ia menghentikan
amukannya.
"Kau melakukan tindakan yang salah, Umbara
Komang. Kalau kau menghancurkan bangunan ini, sa-
lah-salah kau sendiri yang akan terkubur hidup-hidup
di sini!" bentak Wintara. Umbara Komang tertunduk,
sepertinya ia menyesali perbuatannya. Tidak terasa
kedua tinjunya mengalirkan darah.
Sekarang ia menatap angkuh ke arah bangu-
nan itu. Kedua matanya memancarkan sinar keben-
cian. Wintara dan Raden Mas Kinanjar Swantaka me-
mandang aneh. "Aku ingat sekarang. Istana ini tempat
berdiamnya Siluman Berambut Putih! Hati-hati terha-
dap dirinya! Dia banyak menguasai siluman!" kata
Umbara Komang dengan tiba-tiba.
"Siluman Berambut Putih?" Wintara bergumam.
"Yahhhh. Nanti kalau ketemu Siluman Putih ki-
ta bereskan dia! Sekarang kita kubur saja jasad Lang-
kung Daro ini...."Raden Mas Kinanjar Swantaka mulai
menggali lubang, sebelumnya ia meraih tonggak kayu
yang digunakan untuk menggali. Wintara datang
membantu. Umbara Komang tidak berdiam diri. Kedua
tangannya ikut membantu menggali tanah. Maka dengan sebentar saja lubang itu sudah siap.
Selesai menguburkan jasad Langkung Daro,
mereka meneruskan perjalanan. Kali ini mereka nam-
pak serius. Ketiganya nampak hanyut dengan pikiran
masing-masing. Apalagi sekarang mereka melewati pa-
dang tandus. Angin yang berhembus bercampur den-
gan debu. Keringat mereka berbaur dengan debu-debu
yang beterbangan.
Perjalanan mereka memang masih sangat jauh.
Untuk mencapai daerah kerajaan mereka harus me-
nempuh setengah harian lagi. Untunglah mereka
membawa banyak perbekalan. Tiap-tiap kuda mereka
terdapat kantong perbekalan. Mereka lebih banyak
membawa persediaan air. Nampak pula mereka sese-
kali meneguk pundi-pundi air mereka.
Tebing-tebing tegar nampak menakutkan. Tidak
ada tumbuhan yang kelihatan menghijau. Semuanya
kering serba tandus. Batang-batang pohon banyak
tumbuh di atas tebing-tebing itu. Cabang-cabangnya
yang plontos tanpa daun bagai cakar-cakar makhluk
yang amat mengerikan. Dari situ pula, tiba-tiba saja
berjatuhan batu-batu sebesar kepala menghujani keti-
ga orang yang berjalan menunggangi kuda.
Batu-batu tersebut menggelinding bersuara ba-
gai gemuruh. Ketiga orang yang berada di bawahnya
cepat menoleh ke atas. Lalu dengan sigap mereka
menghindari hujan batu yang datangnya dari atas teb-
ing. Kuda-kuda mereka meringkik ketakutan. Debu-
debu pasir menutup bagai asap tebal. Dan ketika batu-
batu itu berhenti menghujani mereka. Asap debu per-
lahan pudar.
Pandangan mereka masih samar tertutup asap
debu. Meskipun demikian mereka dapat melihat pulu-
han sosok berdiri di atas tebing menatap garang ke
bawah.
Puluhan orang itu melihat betapa repotnya me-
reka menghindari batu-batu yang masih menggelinding
nyaris menimpa. Tidak satupun batu-batu itu yang
berhasil menyentuhnya. Ketiga orang itu meskipun
duduk di atas kuda dapat menghindarinya dengan
mudah.
Separuh dari orang-orang yang berdiri di atas
tebing meluruk turun ke arah tiga orang yang masih
berusaha menghindari hujan batu. Suara-suara mere-
ka begitu ribut, mendengar dari nada teriakan mereka
pastilah mereka akan menyerang. Mereka juga nampak
mengacung-acungkan senjatanya! Dari pisau, golok,
pedang, bahkan panah sekalipun nampak jelas di tan-
gan mereka. "Tangkap mereka hidup-hidup dan ambil
semua upeti yang mereka bawa...!" terdengar teriakan
seseorang dari atas tebing sana. Sosok itu berdiri pada
tonjolan batu yang paling tinggi. Tubuh hitam itu ber-
diri tegak menyaksikan anak buahnya menyerang keti-
ga orang yang berada di bawahnya. "Kita juga perlu
kuda-kuda mereka!" Sosok yang berdiri paling tinggi
teriak lagi.
"Itu perampok-perampok yang kuceritakan
tempo hari, Wintara... Dan kita memang memasuki wi-
layah kekuasaannya. Mereka pasti menginginkan upe-
ti-upeti yang kita bawa...." Raden Mas Kinanjar Swan-
taka melirik peti-peti kecil di belakang kuda Wintara
dan Umbara Komang. Ia khawatir dan tidak ingin upe-
ti-upeti itu jatuh ke tangan mereka. Wintara tetap te-
nang menatap para perampok itu mendekat berdatan-
gan.
"Wueeeeh...! Inikah siluman-siluman jahil itu?
Bagus!" kata Umbara Komang ia membawa kudanya
maju ke depan. Wintara membiarkannya, ia melihat
Umbara Komang melompat dari kudanya dan maju
menyerang para perampok yang sudah turun. Tendangannya menjatuhkan tiga orang sekaligus....
"Hayo kalian turun semua...! Siluman-siluman
jelek yang jahat harus lenyap dari muka bumi...!
Heaaaaaaat!" Lengannya berputar. Kembali dua orang
bergelimpangan dengan muka yang berlumuran darah.
Para perampok itu tidak hanya menyerang Um-
bara Komang, mereka berpencar mencari sasaran lain.
Wintara dan Raden Mas Kinanjar Swantaka mulai tu-
run menyambut serangan-serangan mereka. Senjata-
senjata mereka berkelebat, namun Wintara dapat den-
gan mudah mengatasi. Bahkan setiap kali Wintara me-
lakukan serangan balasan, tubuh-tubuh banyak yang
berpentalan.
Begitu juga dengan Raden Mas Kinanjar Swan-
taka, meskipun ia dalam keadaan yang terluka ia ma-
sih bisa menyambut serangan-serangan itu. Sekalipun
para perampok itu tahu tiga orang itu memiliki ilmu
yang sangat luar biasa, mereka tidak gentar sedikit-
pun.
"Bantu mereka. Cepat.... Tangkap mereka hi-
dup-hidup!" Terdengar lagi teriakan sosok yang berdiri
tegap. Maka menghamburanlah sisa orang-orang yang
masih berdiri atas tebing. Mereka meluruk ke bawah
bagai air bah. Dengan disertai suara-suara teriakan
orang-orang itu maju menerjang. Beberapa orang be-
rusaha mendekati dua ekor kuda yang membawa peti-
peti kecil. Tapi Raden Mas Kinanjar Swantaka yang
sempat melihat mereka langsung melompat dan me-
lancarkan tendangan...
"Deeeeees."
Orang-orang yang baru saja mengambil peti-
peti itu memekik dengan tubuh-tubuh yang terbanting
keras. Namun masih saja orang-orang berwajah garang
datang merebut peti-peti itu. Sudah tentu Raden Mas
Kinanjar Swantaka tidak akan mengijinkannya. Orang
orang itupun harus menyingkirkannya lebih dahulu.
Tapi mana mampu mereka menyingkirkan Raden Mas
Kinanjar Swantaka?
Para perampok itu berdatangan seperti tidak
pernah ada habisnya. Mereka memang berilmu tinggi,
tapi menghadapi puluhan orang secara keroyokan ma-
na mungkin mereka bisa bertahan lama. Wintara sen-
diri selalu mundur-mundur mengatur siasat. Setiap ia
mundur melangkah, hantamannya selalu memakan
korban. Selalu saja begitu. Karena Wintara tidak
mungkin berdiri di situ terus menghadapi para peram-
pok-perampok itu, sementara mereka menyerang dari
segala arah.
"Kau raja siluman keparat...! Akulah lawan-
mu...!" Umbara Komang berlari menanjak ke atas teb-
ing. Namun tidak mudah! para perampok berdatangan
menghalanginya. Babatan-babatan senjata mereka
hampir merencah tubuhnya. Sosok hitam berdiri te-
nang melihat pertempuran itu. Sinar ma tanya me-
mancar sinar amarah yang luar biasa terhadap Umba-
ra Komang. Maka ia pun melesat ke bawah ke arah
Umbara Komang. Laki-laki itu tidak tahu sama sekali
bahaya yang akan datang. Karena Umbara Komang
tengah sibuk menghadapi lawan-lawannya. Sampai-
sampai ia lalai. Dan tahu-tahu saja sebuah tendan-
gan menghantam kepalanya... "Der!"
Sudah tentu Umbara Komang memekik berge-
lintingan. Setelah melancarkan tendangan, sosok hi-
tam itu melesat lagi. Gerakannya cepat bagai kilat. Ia
tidak lagi naik ke atas tebing. Tubuhnya yang gesit me-
luncur deras ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Ringan sekali ia melesat di udara, sebelah tangannya
berkelebat menyambar...
Saat Raden Mas Kinanjar Swantaka membe-
reskan lawan-lawannya, matanya sempat melihat sosok hitam berkelebat melancarkan serangan...
"Weeees!" Serangan itu luput. Karena Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka keburu merunduk. Dalam keadaan
tubuh masih di udara sosok hitam itu masih sempat
melancarkan tendangannya.... "Deeees!"
Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak sempat
menghindar lagi. Tubuhnya bergulingan. Mulutnya
mengeluarkan darah. Sosok hitam itu tidak berhenti
menyerang, sekali kakinya menghentak tubuhnya me-
lesat lagi dan tahu-tahu tubuh Raden Mas Kinanjar
Swantaka dalam bekukannya. Sebelah lengannya
mengarahkan pedang pendek ke tenggorokkan laki-laki
ningrat itu. Ujung pedangnya menggores kulit leher.
Terasa sekali perihnya.
"Hentikan...! Kalian lihat ke mari!" teriak sosok
hitam itu. Maka segera saja Wintara melompat jauh
menghindari serangan-serangan dan melihat keadaan
Raden Mas Kinanjar Swantaka terancam. Umbara Ko-
mang masih sibuk menjatuhkan lawan-lawannya...
"Hei manusia gila...! Kau ingin majikan mu ini
mampus?" teriak sosok hitam lagi.
*
* *
EMPAT
Kuil itu berdiri kokoh pada dataran berbatu.
Setiap sudut-sudutnya terdapat nyala api yang berko-
bar-kobar. Membuat seluruh kuil itu nampak terang
benderang. Kuil itu hampir mirip dengan sebuah can-
di. Bentuknya bertingkat-tingkat. Dan pada tingkat
paling atas berdiri sebuah patung. Entah patung apa.
Bentuknya sudah tidak karuan lagi. Kepala patung
itupun sudah tidak ada. Pada tingkat atas tersebut
nampak sebuah ruangan yang sangat terang. Belasan
pelita dari kuningan tergantung pada tiap-tiap tiang
penyanggah. Dalam ruangan itu pula ada dua orang
duduk bersila saling berhadapan.
Di luar sangat dingin dan gelap. Terdengar
sayup-sayup rintih kesakitan. Suara itu berasal dari
halaman kuil di mana banyak berdiri tonggak-tonggak
kayu tinggi yang berderet mengelilingi halaman terse-
but. Tiap-tiap tonggak itu pula terikat sosok-sosok tu-
buh yang sudah berlumuran darah. Dari situ rintihan
kesakitan berasal. Pada tingkat kedua ruangan itu mi-
rip sebuah tempat persembahan korban, sekeliling
ruangan itu terdapat altar-altar yang berukuran cukup
besar. Di atas altar itu masing-masing terdapat sosok
tubuh seorang perempuan telanjang bulat. Mereka ter-
lentang pasrah dengan kedua lengan dan kaki terikat
rantai mengangkang.
Pada beberapa altar yang sudah tak tampak te-
rurus, nampak beberapa kerangka tulang manusia
yang terlentang dengan rantai-rantai yang erat membe-
lenggu. Ruangan itu nampak suram. Seluruhnya ham-
pir dipenuhi dengan asap keputihan. Namun tempat
itu tetap dingin dan selalu terdengar dari mulut-mulut
para wanita yang terbelenggu membugil.
Rintihan-rintihan kesakitan yang sangat meng-
ganggu itu sama sekali tidak mempunyai pengaruh
apa-apa bagi kedua orang-orang yang tetap duduk ber-
sila berhadapan. Satu dari kedua orang itu berambut
putih kusut. Satu lagi seorang lelaki berambut meng-
gulung di atas kepalanya, ia mengenakan jubah pan-
jang berwarna hitam. Keduanya terlibat satu pembica-
raan yang serius. Beberapa pelayan yang mengenakan
pakaian serba hitam pula datang menghidangkan ma-
kanan. Setelah itu mereka ke luar lagi. Lalu kedua
orang ini melanjutkan pembicaraannya.
"Bukannya aku tak mau membantu mu, Ki
Rondo Mayit.... Masalahnya sangat berbahaya. Kau
terlalu berangan-angan muluk. Kita-kita ini berdiri pa-
da jalan hitam, siapapun tidak ada yang akan mendu-
kung kita. Apalagi dengan caramu yang tidak benar
itu... Pantas saja putra mu tewas di tangan orang-
orang Raden Mas Kinanjar Swantaka." kata orang ber-
jubah hitam sambil meraih pundi arak. Diapun me-
nenggaknya.
"Semua yang telah terjadi ya memang harus
terjadi. Tapi paling tidak aku harus membalas dendam.
Raden keparat itu harus mampus di tanganku... Kare-
na dia harus membayar darah anakku yang tertum-
pah!
Aku harap kau mau membantuku, Kama Lo-
dra!" Ki Rondo Mayit menatap orang yang duduk bersi-
la di hadapannya. Setelah meminum beberapa kali
tenggakan Kama Lodra menjawab.
"Aku bersedia membantumu, tapi ada satu
permintaanku... Aku tidak mau berurusan dengan
orang-orang kerajaan!"
"Berarti kau takut!" Ki Rondo Mayit mencela.
Kama Lodra tersenyum, lalu....
"Bukannya takut.... Kehidupan di sini serba
cukup! Aku tidak kurang satu apapun! Dan aku cukup
mengerti apa yang tengah kau pikirkan sekarang. Ten-
tunya kau sendiri yang merasa takut terhadap orang-
orang yang melindungi Raden Mas Kinanjar Swanta-
ka... Bukankah begitu...?" jawab Kama Lodra.
"Kau salah! Pendapatmu sangat salah! Terha-
dap siapapun aku tidak takut! Apalagi hanya membu-
nuh raden keparat itu, Huh! Apa susahnya.... Aku
hanya kurang dukungan..."
"Lalu kau akan meminta dukungan kepada
ku...? Ha ha ha ha sungguh cerdik kau Ki Rondo
Mayit. Aku mengakui pernah berutang budi padamu...
Kau memojokkan aku...! Ha ha ha ha. Kelak kalau su-
dah menguasai Rogojembangan jangan melupakan
aku!" Keduanya tertawa. Ruangan tingkat atas jadi
riuh oleh tawa-tawa mereka.
*
* *
Sementara itu di luar kuil nampak puluhan
kuda berjalan mendekat. Suara derap kaki kuda mere-
ka memecah kesunyian malam yang gelap dan dingin.
Seseorang bertopeng hitam dan berpakaian serba hi-
tam pula berjalan membawa kudanya paling depan.
Beberapa anak buahnya di belakang mengiring tiga
orang tawanan yang terikat dengan tambang berhu-
bungan. Rombongan memasuki halaman kuil yang pe-
nuh dengan sosok-sosok tubuh terikat pada sebatang
tonggak yang mengelilingi halaman itu.
Ketiga tawanan itu dapat melihat tubuh-tubuh
tergantung bermandikan darah sambil mengerang-
erang menahan sakit. Pastilah mereka korban-korban
dari perampokan mereka. Sungguh biadab, pikir Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka yang terikat paling tengah.
Di lehernya mengancam sebilah dang yang setiap saat
dapat merenggut nyawa.
Wintara dan Umbara Komang tak dapat ber-
buat apa-apa. Mereka bertiga terdorong terus oleh be-
berapa mata tombak yang mengarah di punggung.
"Ra-ra-raden...." Terdengar rintihan dari sosok
tubuh yang tergantung di antara tiang tonggak. Merasa
ada yang memanggilnya Raden Mas Kinanjar Swantaka
menoleh ke arah suara itu, dan bukan main terkejut-
nya. Sosok tubuh itu nampak jelas diterangi dengan
api yang berkobar-kobar di sudut kuil.
"Pendekar Tangan Besi...!" Raden Mas Kinanjar
Swantaka memekik tak percaya.
"Maafkan aku, Raden.... aku gagal dalam men-
jalankan tugas.... Mereka menghadang dalam perjala-
nan," suara itu lemah sekali. Begitu juga dengan tu-
buhnya yang tergantung.
"Kau tidak gagal, Pendekar Tangan Besi.... Bala
Tlenges sudah tewas di tangan kita...! Sekarang dibu-
nuh mereka pun aku puas!" jawab Raden Mas Kinanjar
Swantaka menatap iba.
Sebatang tombak mendorong punggung, Raden
Mas Kinanjar Swantaka melangkah lagi. Tapi baru saja
ia melangkah tiga kali matanya tertuju pada sebuah
kereta yang amat bagus. Ia masih ingat betul kereta
tadi yang dijumpainya dalam perjalanan. Ia pun belum
lupa dengan wanita muda yang berada dalam kereta
itu. Apakah ia juga telah tertawan di sini? Kalau ya
wanita muda itu tentunya akan celaka. Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka sudah membayangkan kengerian
yang pasti akan dialami si cantik jelita itu. Ia tidak me-
rasakan tusukan-tusukan mata tombak di punggung-
nya. Rasa sakit itu seakan-akan tak berarti setelah me-
lihat kereta kuda diam berdiri tak bergeming. Wintara
yang memperhatikannya langsung menarik tali pengi-
katnya. Wintara tidak ingin tombak itu menembus le-
bih dalam di tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Para perampok itu turun dari kuda-kudanya
dan langsung menambatkannya berjajar di halaman
kuil yang sangat luas. Suara-suara mereka ribut dan
tempat itupun menjadi gaduh. Setelah menambatkan
kudanya sosok bertopeng itu melepaskan ikatan-
ikatan tali yang mengikat empat buah peti berukir. Me-
reka pun menaiki anak tangga memasuki ruangan.
Anak buah yang lain menggiring ketiga tawanan memasuki ruangan bawah.
Dari luar pintu yang terkunci ketiga tawanan
mendengar rintihan-rintihan beberapa perempuan.
Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah lebih cepat
mendekati ruangan itu. Pintu dengan gembok sebesar
kepalan tangan itu dibuka, maka ketiganya melihat al-
tar-altar yang berderet di sekeliling ruangan. Mereka
melihat pula sosok-sosok perempuan bugil terlentang
terbelenggu rantai di atasnya. Para perampok mendo-
rong tubuh ketiganya masuk ke dalam. Kemudian
mengunci kembali pintu itu.
"Di mana ini... Di mana...?" Umbara Komang
celingukkan.
"Di istana siluman! Kita jadi tawanan mereka.
Lihat itu para siluman baik pun tertawan di sini ber-
sama kita...." jawab Wintara sambil memoncongkan
mulutnya ke arah wanita-wanita yang terlentang di
atas pilar. Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah
mengitari seluruh altar. Matanya menatapi satu persa-
tu wajah wanita-wanita itu. Mereka memang rata-rata
berwajah menarik. Bentuk tubuh mereka pun aduhai.
tapi tidak satupun wanita yang mirip dalam angan-
angannya. Sampai ia melangkah ke ruangan sudut, ia
melihat di atas altar seonggrokan kerangka tulang ter-
belenggu rantai. Dan wanita yang ditemuinya tadi
siang betul-betul tidak ada. Raden Mas Kinanjar Swan-
taka makin cemas. Wintara melangkah mendekat.
"Keparat! Mereka pasti telah berbuat kotor atau
membunuhnya!"
"Belum tentu, Raden... Wanita itu teramat isti-
mewa. Mungkin mereka menawannya di ruangan lain.
Berdoa saja, mudah mudahan dia tak kurang satu apa
pun!" ujar Wintara di sebelahnya. Umbara Komang
nampak mengelilingi melihat satu persatu wanita-
wanita yang terlentang di atas altar Iapun bergidik.
Namun ia masih saja berkeliling menatap tubuh-tubuh
bugil itu.
*
* *
LIMA
Esok paginya ketika matahari menyembul dari
balik bukit, ketiga tawanan itu diseret ke luar. Hala-
man kuil telah penuh dengan perampok. Namun saat
tiga tawanan memasuki halaman, mereka semua me-
nyingkir ke pinggir. Membiarkan ketiganya berdiri di
tengah-tengah halaman. Tak lama muncul pula sosok
hitam bertopeng menuruni anak tangga. Ia bersama
dua orang laki-laki yang setengah tua. Mereka pun
memasuki halaman kuil.
"Ayah, Paman... Itulah tawanan-tawanan kita
yang baru." kata sosok hitam bertopeng. Kedua orang
yang berjalan di sebelahnya membelalakkan mata. Ter-
lebih-lebih pada seorang yang berambut putih kusut.
Ia tidak percaya melihat Raden Mas Kinanjar Swantaka
dan Umbara Komang berada di situ terikat. Ki Rondo
Mayit segera melompat. Dan ketika ia berada dekat
Raden Mas Kinanjar Swantaka, lengannya siap terang-
kat memecahkan kepala. Namun cepat sosok berto-
peng itu menepis.... "Plaak!" Hantaman Ki Rondo Mayit
melenceng.
"Apa yang hendak Paman lakukan...?" Sosok
bertopeng itu menggenggam lengan Ki Rondo Mayit.
"Serahkan manusia keparat ini padaku! Juga
manusia gila yang di sebelahnya!"Ki Rondo Mayit ge-
ram. Sebelah tangannya bergerak lagi siap menghan-
tam.
"Tunggu, Paman! Mereka tawananku! Paman
tidak bisa berbuat semaunya di sini! Paman hanya ta-
mu, kami akan menghormati jika Paman bersikap so-
pan terhadap tuan rumah." Mereka saling tatap. Ki
Rondo Mayit makin geram. Lalu ia menoleh ke arah
Kama Lodra.
"Aku tak bisa berbuat apa-apa! Di sini anakku
yang berkuasa." jawab Kama Lodra sambil mengangkat
bahu. Tiba-tiba saja Umbara Komang berteriak....
"Hey... Kerak Neraka! Siluman ompong, kita ke-
temu lagi... He he he he...." ucapan itu tertuju pada Ki
Rondo Mayit. "Anjing-anjing siluman mu sudah jadi
abu semua. Apa kau tidak ingin menyusul mereka? He
he he he... Aku khawatir mereka tidak bisa nenen!"
ejek Umbara Komang. Muka Ki Rondo Mayit memerah.
Sosok bertopeng berjalan mengelilingi kereta kuda
yang masih berada di pinggir halaman. Umbara Ko-
mang bersikap aneh memandang sosok bertopeng yang
berjalan mengelilingi mereka. Manusia bertopeng itu
berdiri di hadapan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia
menatap dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Mana gadis itu.... Kau boleh berbuat sesuka
hatimu, asal kau bebaskan dia!" Kata Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka. Manusia bertopeng mengangkat wa-
jahnya.
"Boleh saja! Tapi langkahi dulu mayat ku...!"
"Jangan percaya, Raden.... Mereka semua pe-
rampok laknat!" Beberapa orang yang tergantung di
tiang nampak berteriak-teriak. Mereka masih hidup
meskipun telah berlumuran darah.
"Siapapun tak ada yang hidup di sini! Mereka
akan membantai kita satu persatu!" Pendekar Tangan
Besi yang ikut tergantung itu ikut berteriak. Menden-
gar teriak-teriakan itu sosok bertopeng menghentak-
kan kedua kakinya, maka tubuhnya lentur berputar di
udara. Dalam pada itu ia menarik gagang pedangnya.
Lalu.... "
Breeet..! Breet!"
Kepala dua orang yang tergantung menggelind-
ing di tanah bersamaan dengan hinggapnya kedua ka-
ki manusia bertopeng. Tubuh-tubuh tanpa kepala yang
tergantung kelojotan. Dari leher mereka yang kutung
memancur deras darah merah bagai air mancur.
Bagi para perampok kejadian semacam itu ada-
lah hal yang biasa. Tapi bagi ketiga tawanan ini, tinda-
kan itu sangatlah di luar kemanusiaan. Ketiganya
nampak diam saat sosok bertopeng mendekati lagi.
"Aku pun hendak melakukan hal yang sama
terhadap kalian!" kata manusia bertopeng.
"Tentunya kau pun telah membunuh gadis itu!
Biadab!" Kinanjar Swantaka geram.
"Yang kau tanyakan selalu gadis itu, kau cem-
buru?" Umbara Komang menyahut. Manusia bertopeng
itu gelagapan, Lalu tangannya melayang menampar pi-
pi Umbara Komang. Terasa sekali tamparan itu. Tapi
Umbara Komang malah mencibir. Nampak sosok ber-
topeng itu mengangkat pedangnya lagi, lalu dengan se-
cepat kilat....
"Treeees!" Ia membabat ke arah Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka. Semua orang termasuk anak buah-
nya berdecak kagum. Tubuh Raden Mas Kinanjar
Swantaka maupun pakaiannya tidak robek segores-
pun. Padahal tadi babatannya sangat kencang dan te-
rarah. Hanya tambang-tambang pengikat tubuhnya sa-
ja yang putus. Itu bukan berarti Raden Mas Kinanjar
Swantaka memiliki ilmu kebal. Bukan sama sekali.
Sosok bertopeng sengaja memutuskan tambang
pengikat dengan cara itu. Hal itu berarti ia menunjuk-
kan ilmu pedang yang sangat luar biasa. Dan tanpa
basa basi ia melangkah ke arah salah seorang anak
buahnya yang berdiri di pinggir halaman. Sebelum so-
sok bertopeng mendekat, anak buahnya itu menyerah-
kan pedangnya. Sosok bertopeng menerimanya lalu
melemparkan pedang itu ke arah Raden Mas Kinanjar
Swantaka. Dengan sigap pula laki-laki itu menyam-
barnya. Pedang itu telah terhunus dalam genggaman-
nya.
"Aku akan membebaskan kalian ke luar dari
sini bila kau mampu melumpuhkan aku, Raden. Per-
gunakanlah pedang itu baik-baik! Nyawa kedua
orangmu itu berada di tanganmu...!" kata sosok berto-
peng yang sudah mulai mengeluarkan jurus pedang-
nya. "Bagaimana dengan gadis itu? Apakah kau juga
akan membebaskannya?" jawab Raden Mas Kinanjar
Swantaka.
"Jangan kau pikirkan gadis itu, Raden. Dia ti-
dak apa-apa.... Pikirkan saja bagaimana caranya kau
dapat melumpuhkan aku! Ayo kita mulai!"
Keduanya berhadapan. Raden Mas Kinanjar
Swantaka belum mengeluarkan jurusnya. Wintara me-
narik tubuh Umbara Komang ke samping halaman.
Mereka bersatu dengan para perampok. Kama Lodra
dan Ki Rondo Mayit menyaksikan di atas deretan anak
tangga.... Dan tanah lapang itu menjadi sunyi dengan
seketika. Di tengah-tengah halaman berdiri dua sosok
tubuh menggenggam pedang. Mereka siap bertarung.
Kedua mata Raden Mas Kinanjar Swantaka menatap
pedang lawannya berkilat bergerak-gerak. Kini iapun
mulai mengeluarkan jurus pedangnya.
Dengan garang sosok bertopeng maju. Pedang-
nya menjurus ke depan.... "Traaaang!" Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka bergeser menyambar tusukan itu
dengan pedangnya. Lalu pedang itu berkelebat di atas
kepalanya menangkis sinar yang siap membelah
kepalanya.... "Traaang." Kembali pedang mereka beradu.
Cukup kewalahan juga ia menghadapi seran-
gan-serangan sosok bertopeng yang datang bertubi-
tubi. Kalau saja ia lengah sedikit, sudah pasti tubuh-
nya akan mendapat luka yang tidak ringan. Apalagi
sekarang pedang itu berputar-putar deras bagai selaret
sinar yang amat menyilaukan. Dan babatan-babatan
pedang itu menjurus ke bagian-bagian lemah Raden
Mas Kinanjar Swantaka. Lelaki itupun dengan sigap
menyambar babatan-babatan pedang itu.
Setiap gerakan pedangnya disertai teriakan-
teriakan nyaring. Begitu juga dengan dentingan bera-
dunya senjata mereka. Benturan itu sampai mengelua-
rkan percikan- percikan api. Gerakan mereka sendiri
terlihat seperti dua ekor harimau yang saling terjang
menjatuhkan. Bukan hanya pedang mereka yang ber-
gerak, tangan serta kaki mereka pun mencari sasaran.
Hantaman- hantaman mereka tidak jarang saling be-
radu.
Sosok hitam menghantam keras pedangnya,
namun dengan sekali samber Raden Mas Kinanjar
Swantaka berhasil menepisnya. Karena babatan pe-
dang itu keras, tubuhnya sampai terhuyung sewaktu
menangkis. Kesempatan itu digunakan baik-baik oleh
sosok bertopeng. Tendangannya berhasil menjatuhkan
lawan. Raden Mas Kinanjar Swantaka belum sempat
bangkit, sosok bertopeng datang lagi dengan seran-
gannya yang lebih gencar. Babatan pedangnya me-
nyambar bagai kilatan sinar. Namun Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka cepat menghentakkan tubuhnya. Se-
hingga babatan pedang itu luput. Saat tubuh itu mele-
sat ke atas, ia membalas serangan.... "Deees!" Hanta-
man itu telak mengena bagian punggung sosok berto-
peng. Tubuhnya terhuyung.
Melihat hantaman yang begitu dahsyat, para
anak buahnya beringsut hendak menyerang. Tapi me-
reka segera menghentikan langkah-langkahnya saat
melihat sosok hitam itu bergerak maju dengan disertai
babatan pedang lebih keras. Sambil menjatuhkan tu-
buhnya Raden Mas Kinanjar Swantaka menyambar
babatan pedang itu dengan pedangnya.... "Trlaaak"!
Benturan itu sangat keras, pedang mereka terlepas.
Tubuh mereka pun bergulingan di tanah.
Keduanya sama-sama bangkit berbareng. Kini
mereka bertarung tanpa senjata. Hantaman-hantaman
mereka berkelebat.
Teriakan mereka pun makin menggelegar. Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka cepat menunduk saat so-
sok bertopeng mengarahkan tendangannya ke arah
kepala. Ia cepat pula menangkis dengan kedua tan-
gannya... "Plaak!" Namun ketika laki-laki itu bangkit
berdiri untuk membalas serangan, tahu-tahu sebuah
jotosan mengenai dadanya. Raden Mas Kinanjar Swan-
taka terjungkal ke belakang, pada saat itu kakinya
masih sempat menyambar keras ke wajah sosok berto-
peng. Tubuh itupun nampak sempoyongan.
Namun ia masih saja maju menyerang. Kedua
lengannya bergerak cepat menghantam.
Raden Mas Kinanjar Swantaka bergulingan
menghindarinya.
*
* *
ENAM
Asap-asap debu mengepul saat tubuh Raden
Mas Kinanjar Swantaka bergulingan. Namun seran-
gan-serangan sosok bertopeng belum juga berhenti,
manakala lelaki yang bergulingan itu semakin terde-
sak. Tidak ada kesempatan sama sekali untuk bangkit
berdiri. Ia hanya menangkis serangan-serangan itu
dengan kedua kakinya.
Wintara yang masih terikat menganggap perta-
rungan itu seimbang. Sosok bertopeng maupun Raden
Mas Kinanjar Swantaka sama-sama mengeluarkan il-
mu andalan mereka. Dalam mengeluarkan ilmu-ilmu
pukulannya sosok bertopeng tidak tanggung-tanggung
lagi. Meski dalam keadaan bergulingan di tanah, tubuh
Raden Mas Kinanjar Swantaka dapat menghindar den-
gan gesit. Dan sungguh di luar dugaan saat ada ke-
renggangan di antara mereka, Raden Mas Kinanjar
Swantaka menghentakkan kedua lengannya. Maka se-
bentar saja ia sudah bersalto di udara. Keadaan seperti
itu pula tidak di-sia-siakan oleh sosok bertopeng. Den-
gan tiba-tiba tendangannya memutar ke belakang ke
arah tubuh lelaki yang baru menginjak tanah...
"Deees!" Tepat mengenai bagian pinggang. Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka memekik. Tubuhnya tetap
tegar berdiri menanti serangan berikutnya.
Terdengar lagi suara teriakan dari sosok berto-
peng. Tubuhnya melesat menerjang. Sebelah lengan-
nya menyambar lalu sebelah lagi bergantian menye-
rang. Raden Mas Kinanjar Swantaka menangkis berka-
li-kali serangan itu sampai terasa berdenyut seluruh
tulang lengannya. Iapun tidak tinggal diam. Saat-saat
ia menangkis ia sempat melancarkan jotosannya.
Meskipun tidak mengenai, cukup membuat sosok ber-
topeng kehilangan kontrol. Maka cepat sekali tubuh
Raden Mas Kinanjar Swantaka memutar. Telapak tan-
gannya menampar keras ke muka. Lalu dengan bahu
dan bermaksud akan membanting. Namun sosok ber-
topeng keburu me runduk. Raden Mas Kinanjar Swan-
taka tidak dapat mencekal kedua bahu itu. Kesepuluh
jarinya hanya dapat menarik topeng penutup wajah-
nya.
Wintara tersentak kaget, apalagi Umbara Ko-
mang. Tampangnya yang blo'on menganga lebar. Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka sendiri hampir tak per-
caya dengan penglihatannya. Darahnya seperti terke-
siap melihat sosok berpakaian hitam tanpa topeng.
Berdiri di hadapan dengan rambut yang tergerai ter-
tiup angin. Wajahnya yang anggun jelita menatap jelas
ke arahnya.
Mimpikah ia? Kenapa justru lawannya seorang
perempuan cantik. Perempuan itu tidak lain penum-
pang kereta kuda yang di temuinya kemarin siang. As-
taga...! Si cantik yang anggun mempesona kini berha-
dapan dengannya. Perempuan muda itu tersenyum.
Betapa trenyuh hati Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia
masih memandangi tidak percaya. Tahu-tahu saja ga-
dis itu melancarkan serangan paling dahsyat... Der!
Tendangan memutarnya menggedor dada. Lalu me-
nyusul lengannya menghantam tulang tenggorokan...
"Des!" Raden Mas Kinanjar Swantaka jatuh
dengan seketika. Kedua matanya masih memandang
wajah anggun
Wintara dan Umbara Komang berontak. Tapi
beberapa bilah pedang telah menempel di leher mereka
terlebih dahulu. Mereka diam kembali. Tak mampu
berbuat apa-apa. Mereka tak dapat menolong Raden
Mas Kinanjar Swantaka. Keduanya memalingkan mu-
ka ia tidak berani menatapnya. Manakala kaki perem-
puan itu telah menginjak tubuh yang masih terlentang
menahan sakit.
"Kau sudah kalah, Raden... Itu berarti menetap
tinggal di sini untuk kemudian kukirim ke akherat se-
perti lainnya!" kata gadis itu menyeringai. Lalu ia
memberi aba-aba pada seluruh anak buahnya. Mereka
cukup mengerti dan patuh. Serempak mereka memba-
wa tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka. Wintara dan
Umbara Komang di giring kembali ke dalam ruangan di
mana banyak altar berderet dengan tubuh-tubuh pe-
rempuan bugil di atasnya.
"Untuk yang satu ini... Pisahkan dari mereka!"
Sebelum Raden Mas Kinanjar Swantaka dibawa, gadis
itu memberi perintah. Orang-orang yang membawa
Raden Mas Kinanjar Swantaka membelok ke kiri. Di
sana ada lagi sebuah ruangan. Nampaknya ruangan
itu cukup bersih terawat.
Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit masih berdiri
pada anak tangga yang berderet ke atas. Mereka me-
nunggu kedatangan gadis itu yang melangkah ke arah
mereka. Setelah dekat mereka, gadis itu memeluk Ka-
ma Lodra.
"Kau hampir saja celaka, Dewi Rakuntili... Un-
tunglah kau cerdik!" sapa Kama Lodra.
"Dan nampaknya ia terpesona sekali dengan
kecantikanmu itu." katanya lagi.
"Dewi Rakuntili... Aku mengerti akan kekerasan
watak mu. Tapi kuharap kau mau mengerti... Raden
Mas Kinanjar Swantaka adalah musuhku. Ia telah
membunuh anak ku. Aku harus membalaskan dendam
mumpung ia ada di sini...." Ki Rondo yang berdiri di
sebelah Kama Lodra angkat bicara. Mendengar ucapan
itu Dewi Rakuntili cemberut lalu....
"Ucapan Paman seperti seorang pengecut! Ke-
napa Paman tidak melaksanakannya sewaktu dia be-
lum jadi tawananku! Tidak bisa, Paman! Sudah kubi-
lang, Paman hanya seorang tamu di sini dan tidak da-
pat sewenang-wenang kalau masih di mau hormati...!"
Setelah berkata begitu Dewi Rakuntili menanjak ke
atas. Langkah-langkahnya cepat menjajaki tiap-tiap
anak tangga.
"Dewi!" Kama Lodra, ayahnya memekik me-
manggil. Namun Dewi Rakuntili tidak peduli. Ia mema-
suki ruangan paling atas. Kama Lodra menggelengkan
kepala.
"Kalau ia mempertahankan tawanannya, berarti
ia mendapatkannya dengan susah payah juga. Penda-
patnya memang benar. Aku tidak bisa menyalahkan
anakku." kata Kama Lodra. Ki Rondo Mayit tertunduk.
Sejak tadi ia memang sudah dibuat malu oleh seorang
gadis yang muda belia.
"Beginikah caranya membantu diriku...? Tidak
sangka kau pandai mendidik anak!" kata Ki Rondo
menyindir. Lalu keduanya melangkah ke atas. Kama
Lodra hanya diam. Mereka berjalan berdampingan. Tak
berapa lama sampailah mereka pada ruangan atas.
Dewi Rakuntili sudah berada di situ. Pakaiannya su-
dah tidak serba hitam lagi. Kini ia mengenakan pa-
kaian sebagaimana layaknya seorang perempuan.
Rambutnya yang tadi kusut kini rapi terjuntai sebatas
pinggang. Setelah ia menatap Ki Rondo Mayit, ia mem-
buang muka lagi.
"Hasil rampokan ada di sana... Rupanya mere-
ka hendak mengantarkan upeti. Isinya pun lumayan,
aku sudah melihatnya." Kata Dewi Rakuntili sikapnya
acuh di hadapan cermin. Kedua tangannya sibuk me-
masang anting-anting di kedua daun telinganya. Ia
pun dapat menatap kedua orang itu lewat cermin.
"Ayah pasti tidak percaya kalau kukatakan
uang emas semua." katanya lagi.
"Ayah percaya." jawab Kama Lodra sambil tu-
run duduk bersila di lantai yang berlapis karpet sula-
man indah. Ki Rondo Mayit mengikuti.
"Lalu kenapa ayah nampak murung? Kurang
puaskah atas hasil yang kudapatkan kemarin?" Dewi
Rakuntili selesai berdandan. Ia pun melangkah mendekati ke arah mereka yang duduk bersila saling ber-
hadapan. Kama Lodra tersenyum saat putrinya yang
tangguh itu duduk di sebelahnya. Tercium aroma yang
sangat harum.
"Kau telah membuat Ki Rondo Mayit kehilangan
muka, Anakku... Aku yang merasa tidak enak. Apalah
artinya segelintir nyawa untukmu. Serahkan saja Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka pada Ki Rondo Mayit. Di
tanganmu atau di tangan Ki Rondo Mayit akan sama
saja hasilnya. Laki-laki itu pasti mati...." Suara Kama
Lodra datar. Mata Dewi Rakuntili membelalak.
"Itukah yang membuat ayah nampak murung
hari ini? Kalau hanya untuk menguasai tanah Rogo-
jembangan sekarang sudah sangat mudah. Raden Mas
Kinanjar Swantaka sudah berada di sini. Apa lagi yang
menjadi halangan?" jawab Dewi Rakuntili.
"Ini bukan soal menguasai daerah, Dewi. Tapi
soal dendam!" Kama Lodra mendelik.
"Apa ayah pikir Ki Rondo Mayit mampu meng-
hadapi Raden Mas Kinanjar Swantaka?" Mendengar itu
Ki Rondo Mayit hampir bangkit dari duduknya. Tapi ia
cepat menguasai diri. Ia berusaha tetap tenang sekali-
pun ucapan itu sangat menyakitkan. Dewi Rakuntili
tersenyum sinis. Kama Lodra menghela nafas.
"Berfikirlah yang matang, Anakku... Ayah per-
nah berhutang budi pada Ki Rondo Mayit. Sekaranglah
saatnya untuk membalasnya...." kata Kama Lodra.
Dewi Rakuntili mengernyitkan alis seperti tidak men-
gerti dengan apa yang diucapkan ayahnya.
"Hutang budi...? Hutang budi apa? Kupikir se-
lama ini Ayah tidak pernah berhutang budi terhadap
siapapun...."
"Ada anakku! Dulu sewaktu ibumu hendak me-
lahirkan kau, aku titipkan ibumu ke pada Ki Rondo
Mayit agar bisa mengurusnya.... Sementara itu aku
melanglang buana untuk mencari daerah kekuasaan...
Aku sudah bayangkan betapa repotnya Ki Rondo Mayit
mengurus ibumu saat itu dan aku menganggap tidak
akan pernah melupakan budinya...." tutur Kama Lo-
dra. Dewi Rakuntili diam. Dalam pikirannya berkeca-
muk selaksa uneg-unegnya yang tak terpecahkan. Ke-
dua bola matanya menatap nanar ke arah laki-laki be-
rambut putih tak terurus. Lalu ia bangkit berdiri me-
nunjukkan wataknya yang keras.
"Baik. Sebagai balas budi aku serahkan Raden
Mas Kinanjar Swantaka padamu! Tapi dengan satu
syarat, kau harus membunuh laki-laki itu di hadapan-
ku. Itupun setelah ia sembuh dari luka-lukanya... Ku-
rasa itu cukup adil!" Setelah bicara lantang begitu ia
melangkah masuk ke dalam kamarnya. Pintu kamar
itu berderak menutup.
*
* *
TUJUH
Dewi Rakuntili melangkah menuju sebuah
ruangan di mana Raden Mas Kinanjar Swantaka terku-
rung. Ia membawa sebuah cawan dari batok kelapa
yang telah hitam mengkilat. Dalam batok itu terisi pe-
nuh cairan berwarna kehitaman. Melihat pintu terkuak
lebar, Raden Mas Kinanjar Swantaka menoleh ke arah
pintu. Ia melihat gadis yang telah menghajarnya sam-
pai luka-luka begini. Pandangannya tidak lepas mena-
tap wajah yang demikian anggunnya. Gadis itu mema-
suki ruangan. Pakaiannya yang gemerlapan membuat
gadis itu seperti lemah lembut. Tidak ada tanda-tanda
bahwa ia gadis yang sangat sadis dan liar. Semuanya
tidak nampak pada dirinya. Walaupun baru saja ia
menghadapi seorang gadis berilmu tinggi yang nyaris
merenggut nyawanya. Gadis itu menatap tajam menye-
rahkan batok hitam berkilat. Mereka saling tatap. Se-
perti ada getaran....
"Borehkan seluruh luka-lukamu dengan ini...."
"Aneh! Kenapa tidak dengan mata pedang kau
mengobati luka-luka ini. Bukankah kau menginginkan
nyawaku...." Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak mau
menerima batok kelapa itu. Dewi Rakuntili tidak me-
maksa, ia meletakkannya di atas meja.
"Bagianmu memang harus mati. Tapi jangan
harap kau akan mendapat kematian dengan mudah.
Sekarang kau sudah mengenalku, bukan? Bagaimana
menurut pendapatmu?"
"Bagiku kau tidak lebih iblis jahanam berkedok
bidadari. Tapi aku yakin bahwa kau masih punya pe-
rasaan. Terbukti sekarang kau memberi aku ramuan
obat untuk luka-lukaku."
"Lalu kau pikir aku berbaik hati terhadapmu...?
Hih! Lucu...! Sekalipun kau sembuh dari luka-lukamu
mana mungkin aku membiarkan kau pergi begitu saja.
Itu perbuatan tolol! Kalau kau lepas dari sini, tentunya
kau akan datang kembali bersama pasukanmu ke ma-
ri...!"
"Sudah tahu akan bahayanya, kenapa tidak
langsung membunuhku saja!" jawab Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka cepat.
"Sekarang jangan banyak tanya! Borehi saja lu-
ka-lukamu itu. Nanti setelah kau sembuh kau akan
tahu sendiri...." Dewi Rakuntili bicara pelan.
"Sama sekali tak akan kusentuh ramuan obat
itu! Biar aku cepat-cepat mati!"
"Keras kepala...! Heaaat...!" Tiba-tiba saja Dewi
Rakuntili menghantam bagian belakang kepala...
"Deees!" Tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka ambruk
tak sadarkan diri di atas tumpukan rumput kering se-
bagai alas tidur. Dewi Rakuntili membuka baju yang
dikenakan laki-laki yang terbaring pingsan. Cepat pula
ia memborehi tubuh kekar Raden Mas Kinanjar Swan-
taka dengan cairan kental kehitaman. Telapak tangan-
nya yang halus itu menyusuri seluruh tubuh yang ter-
baring itu. Setelah selesai ia sengaja tidak menutup
baju itu kembali. Lalu ia pun keluar dan mengunci
pintu ruangan. la tidak langsung melangkah, Dewi Ra-
kuntili berdiri di balik pintu itu dengan kedua lengan
merapat di dada.
"Kau jangan pura-pura pingsan, Raden.., Kan-
cingkan kembali bajumu itu, nanti masuk angin...!"
Dewi Rakuntili membentak. Di dalam ruangan Raden
Mas Kinanjar Swantaka memicingkan matanya. Lalu....
"Aku pura-pura pingsan, karena ingin mem-
buktikan bahwa kau gadis yang lembut! Ternyata du-
gaanku semua benar! Kalau boleh ku tahu, siapa na-
mamu...!" Terdengar jawaban dari dalam ruangan itu.
Dewi Rakuntili tidak menjawab. Ia tertunduk menden-
gar ucapan itu. Kemudian ia melangkah meninggalkan
ruangan yang mengurung Raden Mas Kinanjar Swan-
taka.
Di ruangan bawah semua anak buahnya sudah
lama menunggu. Mereka semua menunduk hormat ke-
tika Dewi Rakuntili melewati. Langkahnya semakin te-
nang saat ia mendekati pintu ruangan. Ia dapat meli-
hat keadaan di dalam ruangan bawah melalui lubang
berterali besi pada pintu. Wintara nampak duduk di
lantai. Umbara Komang berjalan berkeliling menatap
perempuan-perempuan yang tidak pernah berhenti
merintih di atas altar-altar.
"Langit mau runtuh! Bumi bakal goncang!
Sayang aku tidak dapat membebaskan bidadari
bidadari yang tertawan ini... Menyebalkan !" Umbara
Komang menggerutu.
Bagi Wintara ini merupakan suatu pengalaman
pahit. Selama ia mendapatkan julukan Pendekar Kela-
na Sakti baru kali ini merasa terkurung begini. Apalagi
harus bercampur dengan para tawanan wanita bugil.
Tidak adakah ruangan yang lebih pantas untuk mere-
ka berdua...?
Wintara mengawasi setiap sudut ruangan itu.
Ia tidak menyadari kalau Dewi Rakuntili mengawasi
pula dari lubang pengintai pada pintu. Mereka masih
nampak terikat dengan tambang sebesar ibu jari melilit
di sekujur tubuh.
*
* *
Menjelang gelap kedua orang dalam ruangan
itu nampak duduk bersandar pada dinding. Umbara
Komang tidak bisa memejamkan matanya, karena se-
dari tadi perutnya sudah keroncongan minta diisi.
Nampak pula ia menggaruk-garuk perutnya. Tiba-tiba
saja Wintara bangkit berdiri. Ia melangkah menuju
pintu yang terkunci dari luar. Dari lubang pengintai ia
dapat melihat beberapa orang berjaga di luar. Dan di
halaman yang diterangi api unggun berkobar-kobar
nampak pula puluhan orang berpesta pora. Kemudian
matanya mengarah pada Umbara Komang. Ia seperti
duduk serba salah.
"Kita harus melakukan sesuatu, Umbara Ko-
mang... Cepat berbaring." bisik Wintara sambil me-
langkah mendekati. Umbara Komang dapat menden-
gar, namun ia tidak bereaksi.
"Sebentar lagi mereka datang ke mari untuk
mengantarkan makanan... Cepat berbaring." bisik Wintara lagi. Kali ini ia harus mendorong tubuh sahabat-
nya sampai terguling.
"Diam dan jangan mengeluarkan suara...." Um-
bara Komang masih belum mengerti. Wintara ikut ber-
baring di belakangnya. Mulutnya mengarah pada ika-
tan yang ada di belakang Umbara Komang. Gigi-giginya
berusaha membuka ikatan-ikatan itu. Memang tidak
gampang melakukannya. Apalagi ikatan itu demikian
kuat. Namun berkat usaha yang gigih Wintara berhasil
juga membuka ikatan-ikatan itu. Tulang rahangnya te-
rasa kaku. Umbara Komang baru mengerti. Ia pun
bangkit melepaskan diri dari lilitan tambang. Lalu me-
reka bergantian melepaskan ikatan-ikatan itu.
"Cepat...! Raden Mas Kinanjar Swantaka dalam
bahaya...." Wintara tidak sabar. Dari luar ruangan ter-
dengar langkah beberapa orang mendekati ruangan di
mana Wintara dan Umbara Komang berusaha membu-
ka tambang-tambang yang membelit sekujur tubuh
mereka. Terdengar pula langkah-langkah itu berhenti
di depan pintu, lalu suara gembok yang gemeretak
berbarengan dengan itu pintupun membuka lebar.
Nampaklah tiga orang memasuki ruangan. Dua orang
masuk dengan membawa dua buah nampan berisi
makanan. Seorang lagi berkacak pinggang sambil me-
mainkan anak kunci.
Ruangan itu tetap sepi. Tubuh-tubuh bugil di
atas tiap-tiap altar nampak lemas. Ada yang sudah
membiru, mungkin mati. Wintara dan Umbara Komang
duduk seolah-olah tenang bersandar pada dinding.
Umbara Komang cengengesan. Tapi ketika kedua
orang itu merunduk meletakkan makan di atas lantai,
tahu-tahu... "Bleduk...! Bleduk!" Kedua kepala mereka
beradu dengan lutut Umbara Komang. Kedua orang
itupun langsung menggelosoh pingsan dengan masing-
masing kepala retak. Seorang lagi yang tadi asyik memainkan anak kunci, membelalakkan mata. Ia berjing-
kat langsung kabur. Mulutnya hampir membuka, tapi
sebelum ia berteriak.... Sebuah pukulan menghantam
di belakang kepalanya... "Deer!" Orang itu langsung
mati.
"Ambil kunci-kuncinya...." teriak Wintara. Ter-
nyata Wintara belum terbebas dari ikatan-ikatan tam-
bangnya. Tanpa buang waktu Umbara Komang meraih
kunci-kunci yang berkumpul jadi satu itu di lantai.
Sebelum Umbara Komang menyerahkan kunci-kunci
itu, Wintara berjalan mendekat. Ia membalikkan tu-
buhnya di hadapan Umbara Komang. Laki-laki berpe-
nyakit saraf itu mengerti maksudnya. Maka ia menggi-
git gantungan kunci-kunci itu. Kedua tangannya sibuk
membuka tambang-tambang pengikat yang membelit
di tubuh Wintara. Sekarang Umbara Komang dapat
membuka ikatan-ikatan itu dengan cepat. Setelah Win-
tara terbebas ia cepat menyambar gantungan kunci
dari mulut lelaki itu.
Wintara mendekati salah satu perempuan bugil
yang nampak merintih-rintih terlentang di atas altar.
Dan ia berusaha membuka gembok yang mengunci
rantai-rantai itu.
"Buka juga gembok-gembok yang membelenggu
teman-temanmu, Ingat jangan ribut! Di sana ada ma-
kanan." kata Wintara setelah membuka belenggu ran-
tai salah seorang tawanan perempuan. Telunjuknya
mengarah pada dua buah nampan berisi makanan
yang tergeletak di atas lantai. Wanita itu mengangguk.
Iapun menerima kunci dan langsung bangkit menuju
ke sebelah altar. Iapun mulai membuka gembok yang
membelenggu teman-teman senasibnya.
"Kalian tetap diam di sini. Sampai aku kembali
baru aku membawa kalian ke luar." kata Wintara
memperingatkan. Umbara Komang berjaga-jaga di balik pintu. Di luar halaman memang banyak para pe-
rampok yang tengah berpesta pora. Dan sekeliling
tempat itu cukup terang.
Wintara menutup pintu tahanan itu dan mem-
biarkan para perempuan-perempuan bugil terkurung
di dalamnya. Lalu keduanya berjalan perlahan-lahan
di samping dinding. Langkah mereka hati-hati sekali.
Dan hampir tidak mengeluarkan suara.
*
* *
DELAPAN
Di depan halaman kuil itu terang benderang
oleh api unggun yang meletup-letup berkobar. Begitu
juga dengan suara-suara tawa mereka. Seluruh hala-
man jadi riuh. Ada juga beberapa wanita penghibur
yang menjadi sasaran utama mereka. Yang lain me-
nyantap daging panggang atau menenggak arak. Obro-
lan mereka simpang siur tidak jelas terdengar.
Sementara itu dua sosok terus mengendap-
endap berjalan menyusuri dinding. Mereka menuju se-
buah ruangan di mana Raden Mas Kinanjar Swantaka
tersekap. Untunglah tadi siang Wintara sempat melihat
di mana Raden Mas Kinanjar Swantaka dipisahkan.
Jadi mereka tidak perlu lagi susah-sudah
mencari. Mereka cepat menyelinap saat mende-
kati ruangan itu. Dua orang penjaga nampak berdiri di
depan pintu ruangan. Senjata-senjata mereka nampak
berkilat tertimpa sinar api. Begitu juga dengan kunci
yang tergantung di pinggang salah seorang itu. Dari
balik tembok Wintara sudah yakin pasti pintu ruangan
terkunci. Manakala dua penjaga itu terus mengawasi
setiap pelosok. Keduanya berjalan hilir mudik. Telapak
tangan mereka siap menggenggam gagang pedang.
Tidak ada cara lain. Wintara maupun Umbara
Komang harus menyingkirkan mereka. Maka dengan
tiba-tiba Wintara menghantam punggung Umbara Ko-
mang. Begitu kaget Umbara Komang memekik terta-
han. Tapi suara itu dapat didengar oleh dua penjaga
tawanan.
"Hei! Siapa itu...!" Salah seorang dari mereka
membentak. Ia mulai curiga dan melangkah ke balik
dinding. Satu orang lagi mengikuti di belakang.
"Ah, paling-paling tikus berkelahi berebut
bangkai!" Orang yang berjalan belakangan berjalan
santai. Tapi ia sempat terbengong saat melihat teman-
nya hilang be gitu cepat menyelinap ke balik tembok.
Rupanya Wintara cepat menarik dan memuntir leher
seorang penjaga. Umbara Komang siap menyambut
seorang lagi. Begitu kepala seorang penjaga itu me-
nyembul dari ujung tembok, ia melihat sosok teman-
nya sudah terlentang kaku, dan tahu-tahu... "Deeeos!"
Tinju Umbara Komang bersarang di tenggorokan.
Orang itupun ambruk tak sadarkan diri karena tulang
lehernya remuk!
Sigap sekali Wintara merampas kunci dari
pinggang orang yang sudah tak sadarkan diri itu. Lalu
dengan hati-hati keduanya berlari ke arah pintu.
"Raden...." Wintara berbisik sambil mengetuk
pintu besi. Umbara Komang berjaga-jaga mengawasi
orang-orang yang berkumpul di halaman.
"Siapa...!" jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka
sambil bangkit dari tumpukan jerami kering sebagai
alas tidur. Ia melangkah ke balik pintu membalas
mengetuk. "Aku! Wintara dan Umbara Komang! Ber-
siap-siaplah kita harus lari malam ini Wintara menya-
hut. Tangannya cepat membuka gembok. Umbara Komang melihat beberapa orang akan melewati tempat
itu jadi serba salah!
"Waaaaah...! Siluman-siluman jahat keburu da-
tang...! Wei! Wei! Sana pergi...! Pergi...!" Umbara Ko-
mang teriak-teriak. Suaranya kencang sekali. Keempat
orang yang baru datang itu langsung menoleh. Dan
mereka pun segera berlarian menuju ke ruang taha-
nan. Semuanya mencabut senjata. Wintara belum juga
membuka gembok, karena kunci itu agak kaget sedikit.
"Ada orang...! Ada orang...!" Mereka berteriak. Orang-
orang yang berada di halaman kuil menoleh ke arah te-
riakan. Maka mereka semua bangkit. Mereka melihat
empat orang temannya menghadapi seorang berilmu
tinggi di depan ruang tawanan. Wintara masih juga
mengutak-atik gembok. Umbara Komang sigap me-
nyambut keempat penyerangnya yang bersenjata.
Pedang maupun golok berkelebat ke sana ke
mari ke setiap Umbara Komang menghindar. Kedua
lengannya berputar-putar menangkis serangan-
serangan mereka. Salah satu dari mereka berlarian ke
arah Wintara yang masih sibuk. Orang itu mengangkat
pedangnya siap mengarah ke punggung. Umbara Ko-
mang yang sempat melihat itu langsung melompat dan
menendang orang itu.... "Deeees!" Sampai terpental.
Saat itupun Wintara sudah berhasil membuka pintu.
Dan orang yang terpental itu langsung masuk ke da-
lam menimpa tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Orang-orang yang tadi berkumpul di halaman
meluruk menerjang ke arah itu. Senjata-senjata mere-
ka mencereng siap men jemput maut. Umbara Komang
mempercepat gerakannya melancarkan serangan ke
arah tiga orang itu. Kakinya menendang keras...
"Deees!" Gerakan tubuhnya lentur menghindari baba-
tan pedang. Lalu tangannya bergerak ke atas meng-
hantam kepala.
Wintara juga melancarkan serangan menjatuh-
kan satu demi satu orang-orang yang mulai berdatan-
gan menyerbu. Raden Mas Kinanjar Swantaka keluar
dari ruangan. Ia melihat betapa semrawut pemandan-
gan di hadapannya. Ia pun melihat Wintara bersama
Umbara Komang dengan gigih menghadapi para pe-
rampok itu.
"Raden...! Cepat tinggalkan tempat ini! Biar
kami berdua yang menghadapi mereka...!" teriak Win-
tara. Lengannya menghantam batok kepala salah seo-
rang musuhnya "Cepat, Raden...!" Wintara berteriak
lagi, kali ini tendangannya menjatuhkan dua
orang sekaligus. Umbara Komang tidak kalah
gesit! Orang-orang yang berdatangan itu dibuatnya
bergelimpangan. Tapi Raden Mas Kinanjar Swantaka
masih tetap diam di tengah-tengah pintu. Bagaimana
ia harus pergi dari situ? Semua jalannya tertutup oleh
pertempuran mereka. Sebenarnya ia pun sudah gatal
ingin ikut membantu menghabisi para perampok itu.
Namun setiap orang yang berusaha mendekatinya,
Wintara lebih dulu memberinya sebuah hantaman. Ti-
dak memberi kesempatan untuk Raden Mas Kinanjar
Swantaka menunjukkan kebolehannya.
"Hematlah tenagamu, Raden. Dan cepat pergi
dari sini!" Wintara bergeser hampir saja kepalanya ter-
belah oleh babatan pedang, tapi ia cepat membalas se-
rangan itu dengan tendangan. Dalam pada itu, Raden
Mas Kinanjar Swantaka menerjang menerobos gempu-
ran itu. Semua yang dikatakan Wintara memang be-
nar. Ia mesti pergi dari situ. Dan ia percaya kalau Win-
tara bersama Umbara Komang dapat mengatasi seran-
gan-serangan itu, meskipun jumlah mereka lebih ba-
nyak dan tak dapat dihitung dengan jari.
Untuk menerobos ke luar tidaklah mudah. Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka harus menerjang sambil
melancarkan serangan. Dari tangan sampai kaki terus
bergerak menyingkirkan orang-orang yang menghalan-
gi jalan. Ia tidak perduli lagi senjata-senjata mereka
berkelebat ke sana ke mari memburunya. Menghadapi
dengan tangan kosong amatlah berbahaya. Maka se-
waktu Raden Mas Kinanjar Swantaka berhasil me-
nangkis babatan pedang, ia cepat meraih pedang itu
dari tangan lawannya.
Maka seleret sinar putih berputar berkilat men-
jatuhkan beberapa orang dengan bergelimangan darah.
Teriak kesakitan mereka menggelegar. Begitu juga te-
riakan-teriakan Wintara dan Umbara Komang yang
berbarengan dengan gerakan-gerakan mereka di saat
melancarkan serangan. Mereka berdua sama sekali ti-
dak merasa kesulitan menghadapi para pengeroyok
yang demikian banyaknya. Setiap babatan senjata me-
reka dapat dengan mudah dihindari.
Benturan-benturan senjata terdengar nyaring
di saat Raden Mas Kinanjar Swantaka memutar pe-
dangnya melindungi diri. Puluhan orang yang membu-
runya dapat terdorong menyingkir. Ada juga yang ter-
guling dan terkena pedang teman sendiri. Sampai
betul-betul di hadapannya tidak ada lagi yang
menghalangi. Pada gerakan yang terakhir Raden Mas
Kinanjar Swantaka memutar pedangnya ke belakang...
"Breeeeert!" Lima orang yang masih mengejarnya di be-
lakang ambruk kelojotan dengan masing-masing perut
mereka robek!
Setelah itupun Raden Mas Kinanjar Swantaka
melesat melarikan diri dari kepungan orang-orang
penghuni kuil. Namun orang-orang itu masih saja te-
rus mengejar. Wintara yang sempat melihat langsung
menarik tangan lengan Umbara Komang ke atas, ke-
duanya beterbangan di udara. Lalu berlari menginjak-
injak kepala yang bergerombol menyerang. Keduanya
sama-sama menghentakkan kakinya dan tahu-tahu
saja hinggap di hadapan orang-orang yang mengejar
Raden Mas Kinanjar Swantaka. Mereka pun tidak
sempat lagi menghindari serangan kedua orang itu.
Kini halaman itu jadi kacau balau. Semuanya
mengepung Wintara dan Umbara Komang. Dua orang
ini betul-betul alot. Meskipun tanpa menggunakan
senjata, para penyerang itu sulit sekali menyentuh
senjatanya ke arah mereka. Saat itupun jumlah mere-
ka sudah berkurang banyak. Di sana sini telah berge-
limpangan sosok-sosok tubuh berlumuran darah.
Nampak pula Umbara Komang dan Wintara semakin
gigih menjatuhkan lawan-lawannya. Meskipun kedua-
nya sudah benar-benar terkepung. Tidak mungkin lagi
dapat ke luar.
"Ha ha ha ha...! Siluman-siluman keparat ma-
cam kalian tidak pantas mengisi istana ini...! Hayo ma-
ju semua! Biar kalian cepat kukirim ke dasar nera-
ka...!" Umbara Komang menerjang sambil berteriak.
Kedua lengannya bergerak menjatuhkan satu demi sa-
tu orang-orang itu. Wintara maju terus menyambut se-
rangan-serangan mereka.
"Sekarang kalian baru tahu rasa! Aku raja si-
luman yang bakal menghancurkan batok kepala ka-
lian...!" Sambil berkata demikian, Umbara Komang me-
lesat sambil menendangi gerombolan itu. Tangannya
bergerak menghantam kepala-kepala yang berada di
bawahnya.
*
* *
SEMBILAN
Ki Rondo Mayit bangkit dari pembaringannya
sewaktu mendengar suara ribut-ribut di halaman luar
kuil. Ia langsung keluar dari kamarnya. Saat itu Kama
Lodra juga bermaksud keluar. Keduanya berlari ke
arah jendela dan melihat peristiwa yang terjadi di ba-
wah. Bukan main terkejutnya mereka. Mereka melihat
para tawanan berontak melarikan diri.
Kama Lodra melangkah cepat ke arah kamar
Dewi Rakuntili. Ia langsung mengetuk pintu kamar
kuat-kuat. Dewi Rakuntili yang berada di dalam terti-
dur pulas tersentak bangun.
"Dewi... Cepat bangun! Para tawanan melarikan
diri!" Kama Lodra berteriak lantang. Mendengar itu
Dewi Rakuntili cepat bangun. Tanpa mengganti pa-
kaian tidurnya yang sangat tipis ia melangkah mem-
buka pintu. Ki Rondo Mayit masih mengawasi pertem-
puran dari atas jendela.
"Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak ada di an-
tara mereka!" katanya setelah Dewi Rakuntili mende-
kat ke jendela. Dewi Rakuntili langsung melesat mene-
robos jendela. Tubuhnya melayang ke bawah. Dia
hinggap di lantai dasar tanpa mengeluarkan suara. Ia
terus berlari menuju ke sebuah ruangan. Dan ia men-
jadi geram sekali ketika tiba di ruangan itu. Pintu ta-
hanan yang tadi menyekap Raden Mas Kinanjar Swan-
taka telah terbuka lebar. Beberapa belas anak buah-
nya bergelimpangan tak karuan. Di dalam ruangan
itupun sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah
raib.
Dengan geram ia keluar lagi dari ruangan itu.
Keduanya menatap nanar ke arah pertempuran. Di si-
tupun ia tidak melihat Raden Mas Kinanjar Swantaka,
kecuali Umbara Komang dan Wintara mengamuk dah-
syat menjatuhkan para anak buahnya.
Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit terjun dari
tingkat atas ke lantai dasar. Gerakannya ringan sekali.
Mereka hinggap di lantai bagaikan dua helai daun ker-
ing yang tertiup
"Raden Mas Kinanjar Swantaka benar-benar te-
lah kabur! Ayah dan Paman tolong awasi mereka! Biar
aku yang mengejar raden keparat itu! Pasti dia belum
jauh dari sini!" Dewi Rakuntili berlari kencang. Gerak
tubuhnya yang gempal nampak jelas menembus dari
pakaiannya yang tipis membayang. Tubuhnya gesit
melompati tiap-tiap kepala anak buahnya. Kepala-
kepala itu tidak ubahnya bagai batu loncatan. Maka
sebentar saja ia sudah melewati arena pertarungan. Ia
tidak lagi memperdulikan Wintara dan Umbara Ko-
mang mengatasi anak buahnya. Karena ia sudah dapat
melihat Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit maju mem-
bantu anak buahnya.
Wintara dan Umbara Komang merasa aneh me-
lihat para pengeroyoknya segera minggir semua. Dan
tahu-tahu saja mereka melihat dua sosok berdiri di
hadapan dengan wajah angker. Mereka langsung me-
lancarkan serangan. Gerak-gerak jurus mereka nam-
pak aneh. Sudah pasti mereka bukan orang semba-
rangan.
"Kau bagianku, siluman bule! Kenapa tidak dari
tadi kau menampakkan diri!" kata Umbara Komang
menyambut serangan Ki Rondo Mayit. Kedua hanta-
man mereka membledar beradu. Begitu juga dengan
Wintara. Kama Lodra mengeluarkan tenaga dalam
yang sangat dahsyat. Setiap pukulannya menimbulkan
suara angin yang bergemuruh. Menerpa seluruh tubuh
Wintara. Mana mau Wintara diperlakukan begitu, ia-
pun segera menghimpun tenaga dalamnya. Lalu dengan suara teriakan yang dahsyat ia melancarkan se-
rangan balasan. "Dueeees!" Hantaman mereka beradu.
Keduanya sama-sama terdorong oleh pukulan-pukulan
tenaga dalam mereka sendiri.
Orang-orang yang tadi menyingkir datang lagi
menyerang. Senjata-senjata mereka berkelebat mence-
car! Wintara berlompatan di udara menghindari. Na-
mun kedua matanya tidak lepas mengawasi sosok Ka-
ma Lodra yang diam-diam datang melancarkan sebuah
pukulan. Begitu pukulan itu datang, Wintara melom-
pat lagi. Maka hantaman itu hanya mengenai sasaran
lain.
Di lain pihak, Umbara Komang masih mengha-
dapi Ki Rondo Mayit. Merekapun tidak luput dari ser-
buan para perampok. Sambil menangkis serangan Ki
Rondo Mayit, Umbara Komang memutar tangannya ke
belakang... "Deeees!" Beberapa orang pembopong ber-
gulingan dengan darah menyembur dari mulut mere-
ka. Saat itu pula Ki Rondo Mayit tidak menyia-nyiakan
kesempatan. saat Umbara Komang melancarkan han-
taman ke belakang. Tendangan Ki Rondo Mayit masuk
menghantam dadanya. Umbara Komang mundur se-
loyongan. Sudut bibirnya mengalir darah. Tapi ia tidak
membiarkan darah itu mengalir. Umbara Komang
menghisap kembali ke dalam perutnya.
Dengan gerakan yang deras ia maju membalas
melancarkan dua pukulannya sekaligus. Ki Rondo
Mayit cepat merunduk sambil sebelah kakinya menya-
pu bagian bawah... "Bug!" Umbara Komang yang ku-
rang hati-hati itu terpaksa terpelanting jatuh. Melihat
itu para penyerang lainnya meluruk menerjang tubuh
Umbara Komang yang masih bergulingan di tanah. Ki
Rondo Mayit membiarkan orang-orang itu. Baginya
Umbara Komang tidaklah begitu penting. Ia yakin Um-
bara Komang tidak mungkin mampu menghindari serangan-serangan penghuni kuil. Apalagi sekarang Um-
bara Komang dalam keadaan yang tidak memungkin-
kan lagi.
Ki Rondo Mayit tersenyum sinis melihat Umba-
ra Komang bergelintingan menghindari serbuan-
serbuan orang-orang yang bersenjata. Setiap kali sen-
jata-senjata mereka hampir mengena di tubuh Umbara
Komang. Ada juga yang hanya menyerempet pakaian-
nya hingga robek. Kelihatannya memang sangat sukar
untuknya lolos dari kepungan itu. Terbukti Umbara
Komang tidak sempat bangkit berdiri. Ia hanya berge-
lintingan menghindar atau membalas serangan.
Wintara sendiri setengah mati menghadapi ke-
pungan-kepungan itu. Apalagi setiap saat yang tak
terduga Kama Lodra melancarkan serangan yang tidak
kepalang tanggung mendera di tubuhnya. Ia sudah be-
berapa kali terkena hantamannya. Mulutnya-pun su-
dah berlumuran darah.
Sekali waktu ia mengerahkan seluruh tena-
ganya dengan di barengi kedua lengan yang berputar
keras. Maka orang-orang yang berada di dekatnya
menghambur berpentalan. Setelah sekelilingnya agak
renggang, Wintara melesat ke atas dan bersalto di uda-
ra. Tubuhnya menjurus ke arah Umbara Komang yang
telah berlumuran darah akibat babatan-babatan senja-
ta yang menyerempet di tubuhnya. Tiba-tiba saja para
pengeroyok itu jatuh bergelimpangan. Wintara lang-
sung melancarkan tendangan maupun pukulan sete-
lah tiba di tempat itu. Umbara Komang cepat bangkit
saat Wintara berada di hadapannya. Para pengeroyok
itu berdatangan lagi menerjang.
Sebelum para penghuni kuil mendekat menye-
rang, Wintara langsung menarik tubuh Umbara Ko-
mang. Ia memapahnya dan membawa lari dari tempat
itu.
"Kejar! Jangan sampai mereka lolos!!" bentak
Kama Lodra. Para anak buahnya berlarian mengejar.
Senjata mereka mengacung-acung mengancam. Begitu
juga dengan Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit. Kedua-
nya sama-sama lari mengejar. Kecepatan lari mereka
memang lebih cepat dibanding dengan sisa-sisa anak
buahnya yang kurang lebih kini berjumlah tiga puluh
orang.
Sebentar saja kedua orang tua itu sudah bera-
da jauh di depan orang-orang yang masih berlari men-
gejar. Sebentar-sebentar Kama Lodra menoleh ke bela-
kang.
"Ayo cepat kejar...! Kejar...! Lari kalian seperti
keong!" Bentaknya sambil berlari. Mendengar bentakan
yang demikian orang-orang itu memacu kecepatan la-
rinya. Sampai ada yang terbatuk-batuk. Sebenarnya
bisa saja mereka mengejar dengan menunggangi kuda.
Tapi mana sempat lagi mereka mengambil kuda se-
dangkan keadaannya sudah mendadak begitu. Dengan
terpaksa pula mereka sekarang berlari.
Suasana malam yang gelap menguntungkan
bagi Wintara yang membawa tubuh Umbara Komang.
Ia dapat berlari tanpa kelihatan. Hanya sayang daerah
itu merupakan dataran padang batu yang sangat luas.
Tidak ada tempat satu pun untuk bersembunyi. Mere-
ka memang berada jauh dari kejaran orang-orang
penghuni kuil. Umbara Komang malah cengar-cengir
dalam papahan Wintara. Tawanya malah lebih keras
sewaktu Wintara menggerutu. Dengan kesal Wintara
melepaskan papahannya... "Bruugg!" Tubuh Umbara
Komang terbanting.
"Kalau mau cepat berada di akherat tetap diam
di sini! Tapi kalau mau selamat ikuti aku!" bentak Win-
tara. Umbara Komang menoleh ke belakang. Samar-
samar melihat puluhan orang mengejar. Dengan mata
yang membelalak Umbara Komang bangkit sendiri, lalu
ngacir....
"Hiiiiy... Siluman-siluman jahat itu sangat ba-
nyak, aku tidak sanggup menghadapinya. Kita pasti
tewas di rencah oleh mereka, Dewa...!" Katanya sambil
berlari terengah-engah menyusul langkah-langkah ce-
pat Wintara.
"Apakah kau terluka?" kata Wintara setelah
Umbara Komang berhasil membayanginya.
"Entahlah! Yang ku rasakan seluruh punggung
terasa perih...! Sebenarnya aku tidak takut terhadap
mereka, sayang siluman berambut kusut ada di situ!"
jawab Umbara Komang. "Kau kenal pada siluman be-
rambut kusut itu?"
"Siapa yang tidak kenal padanya! Dialah Silu-
man penguasa yang pernah bersarang di Rogojemban-
gan!" jawab Umbara Komang cepat. Wintara menang-
gapi serius. Mereka makin cepat berlari mendahului
para pengejarnya di belakang yang jauh tertinggal.
Sementara itu Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit
tetap berada paling depan dari ketiga puluh orang
anak buahnya. Mereka dapat mengetahui ke mana
arah Wintara dan Umbara Komang melarikan diri. Me-
reka dapat melihat tapak-tapak kakinya yang menyep-
lak di dataran berpasir. Dengan begitu mereka sangat
mudah mencari tawanan mereka.
*
* *
SEPULUH
"Raden...!" Teriakan Dewi Rakuntili bergema.
Suasana gelap pekat dan dingin.
"Kau tak dapat lolos dari sini, Raden! Aku bakal
mendapatkan kau kembali!" Teriakannya selalu meng-
gema. Tapi tidak pernah ada jawaban. Sukar sekali
menentukan di mana adanya Raden Mas Kinanjar
Swantaka berada. Kedua matanya yang jeli benar-
benar seperti buta. Dan dirasakannya debu pasir me-
nerpa kulitnya yang mulus saat angin berhembus ken-
cang.
"Raden...! Aku tak segan-segan lagi membu-
nuhmu jika kau kutemui!" Kembali gema-gema suara
Dewi Rakuntili memenuhi malam yang gelap. Larinya
nampak cepat sekali. Langkah-langkahnya bersuara
bagai derap kaki kuda.
Sebenarnya Raden Mas Kinanjar Swantaka bisa
mendengar teriakan-teriakan Dewi Rakuntili yang
menggema-gema itu. Ia sengaja tidak menjawabnya
agar tidak diketahui di mana ia berada. Padahal jarak
mereka tidak begitu jauh dan Dewi Rakuntili menge-
jarnya dengan benar. Hanya saja suasana yang gelap
itu membuat ia tidak dapat memastikan buruannya.
Raden Mas Kinanjar Swantaka yang mengetahui Dewi
Rakuntili mengejarnya makin lama makin dekat,
mempercepat larinya. Kain bajunya berderap tertiup
angin dan gesekan gerakannya. Cepat Dewi Rakuntili
menoleh ke arah suara itu. Ia yakin di situlah Raden
Mas Kinanjar Swantaka. Maka dengan mengerahkan
seluruh tenaganya ia lari mengejar.
"Kau sudah kudapatkan, Raden...! Kau pasti
mati!" teriaknya.
Laki-laki yang berlari di depannya tidak perduli.
Meskipun ia cukup yakin ia masih dalam buruannya.
Sebab itu laki-laki itu tidak pernah berhenti dari lang-
kah-langkahnya yang bergerak cepat.
Saat itu udara makin dingin dan malam tetap
gelap. Angin pasir menderu-deru menakutkan. Debudebu pasir beterbangan menerpa tubuh mereka. Ke-
ringat mereka sudah lengket bercampur dengan debu-
debu itu. Yang terlihat dari kejauhan hanyalah dua so-
sok saling lari mengejar. Keduanya nampak telah lelah.
Lari mereka tidak secepat seperti tadi. Keduanya ka-
dang berlari kadang pula berjalan. Begitu seterusnya.
Tidak terasa pula hari hampir pagi. Langit yang
semula hitam kelam, kini nampak kebiruan mengam-
bang di atas cakrawala. Raden Mas Kinanjar Swantaka
sudah beberapa kali terjatuh. Manakala pasir telah
membenam kedua telapak kakinya.
Dewi Rakuntili berjalan perlahan menatap laki-
laki itu jatuh bangun dari permukaan pasir yang luas
menghampar. Langkah-langkahnya demikian pasti
meskipun nampak terhuyung menahan lelah. Seman-
gatnya timbul kembali saat dirinya mendekati sosok
tubuh lelaki merangkak menyeret diri. Kedua kaki De-
wi Rakuntili yang gemetar mendadak melangkah cepat.
Pasir-pasir yang membenam sampai semata kaki ber-
hamburan saat ia melarikan diri mengejar sosok Raden
Mas Kinanjar Swantaka. Jejak-jejaknya bagaikan lu-
bang-lubang yang sangat dalam yang kemudian hilang
kembali seperti pasir-pasir yang longsor dari atas bukit
pasir.
Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah bangkit
dan berusaha berlari lagi. Tapi teriakan Dewi Rakuntili
yang menggelegar itu mengagetkannya. Laki-laki itu
menoleh ke belakang dan ia tidak sempat lagi meng-
hindari terkaman yang datang dari arah belakang. Ke-
duanya jatuh bergulingan. Sebelah tangan Dewi Ra-
kuntili menghantam dada. Tapi untuk hantaman yang
kedua, Raden mas Kinanjar Swantaka berhasil me-
nangkisnyaa. Gerakannya yang sangat lemah mem-
buat mereka nampak seperti berpelukan.
Dalam dekapan yang begitu erat, Dewi Rakuntili tidak dapat melancarkan hantaman-hantamannya.
Gadis itu meronta-ronta sekuat tenaga. Rontaan itu
demikian lemas. Sekali Raden Mas Kinanjar Swantaka
mendorong kedua lengannya. Tubuh Dewi Rakuntili
terdorong bergulingan. Laki-laki itu cepat bangkit dan
melangkah dengan lunglai meninggalkan Dewi Rakun-
tili yang berusaha bangkit lagi. Wajahnya sudah tidak
karuan tertutup debu. Bentuk keanggunannya seperti
hilang. Hanya kedua matanya yang nanar memerah
nampak jelas membelalak.
Namun begitu Dewi Rakuntili masih terus be-
rusaha mengejar. Raden Mas Kinanjar Swantaka beru-
saha tidak perduli. Tapi lagi-lagi terjangan Dewi Ra-
kuntili datang menerkam. Kembali keduanya bergu-
lingan. Raden Mas Kinanjar Swantaka berusaha
menghindari hantaman Dewi Rakuntili. Sebelum han-
tamannya mengena laki-laki itu memutar tubuhnya.
Membuat posisi Dewi Rakuntili berada di bawah. Sigap
sekali Raden Mas Kinanjar Swantaka membekap dari
atas. Lelaki itu hanya menamparnya kuat-kuat. Dan
Dewi Rakuntili memekik! Tubuhnya terlentang seperti
tak bertenaga. Tapi begitu Raden Mas Kinanjar Swan-
taka beringsut bangun, kaki Dewi menendang ke
atas... "Bug!"
Lelaki itu terbanting ke belakang. Dadanya te-
rasa ngilu. Kedua-duanya nampak bangkit terduduk
saling berhadapan. Nafas mereka memburu menun-
jukkan wajah-wajah yang amat menyeramkan.
"Kau akan mampus di sini, Raden.... Kita akan
mengadu jiwa!"
"Aku akan lebih suka kalau kita mati bersama!"
jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Dewi Rakuntili bangkit dengan geram. Lang-
kahnya yang sempoyongan dipaksakan menerjang laki-
laki di hadapannya menyamping. Kedua lengannya
bersiap ke atas. Maka hantaman itu beradu. Raden
Mas Kinanjar Swantaka membalas dengan tendangan-
nya. Tapi sebelum tendangan itu bergerak Dewi Ra-
kuntili menjatuhkan diri. Sebelah lengannya menang-
kis tendangan....
"Plaak!" Akibat tepisan yang demikian kuat, la-
ki-laki itu terbanting. Tubuhnya berdegum mengelua-
rkan asap-asap debu. Bersamaan dengan itu pula De-
wi Rakuntili menerjang menerjang tubuh Raden Mas
Kinanjar Swantaka yang masih bergulingan. Keduanya
jatuh menggelinding saling hantam. Mereka baru me-
nyadari kalau matahari mulai menampakkan diri di
balik pasir memancarkan sinar keperakan. Namun
demikian udara masih menyebarkan hawa dingin. Di
luar dugaan pasir di atas mereka meluruk menimbun.
Keduanya cepat-cepat bangkit sebelum mereka tertim-
bun.
Dewi Rakuntili yang nampak lemas itu terpele-
set jatuh. Melihat itu Raden Mas Kinanjar Swantaka
menendang keras ke arah tubuh ramping Dewi Rakun-
tili. Semua itu dilakukan semata-mata agar gadis be-
ringas selamat dari timbunan pasir yang datang bak
air bah. Dan tindakan Raden Mas Kinanjar Swantaka
ternyata tidak sia-sia. Dewi Rakuntili selamat dari ba-
dai pasir yang tiba-tiba datang melanda. Laki-laki itu
berhasil menyelamatkan orang lain, tapi dirinya diri ti-
dak dapat menghindari saat pasir menimbun seluruh
tubuhnya.
Dengan pandangan yang samar, Dewi Rakuntili
dapat melihat bagaimana saat ia diselamatkan dan ba-
gaimana juga saat Raden Mas Kinanjar Swantaka me-
ronta-ronta di kala pasir-pasir menimbuninya hidup-
hidup. Ia sendiri tidak dapat bangun akibat tendangan
yang sangat keras tadi. Dia hanya menatap pasir-pasir
mulai rata dengan permukaan tanah bersama angin
yang membuat debu-debu beterbangan.
Sambil menahan sakit ia beringsut bangun,
kemudian menyeret tubuhnya ke arah di mana tadi
Raden Mas Kinanjar Swantaka tertimbun. Susah sekali
ia mencapainya, karena padang pasir yang membukit
ini membuatnya harus merosot ke bawah lagi. Dan ia
tidak henti-hentinya mendaki. Namun tetap saja. Tu-
buhnya yang lemah tak berdaya selalu merosot ke ba-
wah. Dalam keputusasaannya, tiba-tiba saja kedua
matanya membelalak lebar....
Ia hampir tidak percaya dengan penglihatan-
nya. Di atas sana, dari permukaan bukit pasir me-
nyembul sebelah lengan. Lengan itu nampak bergerak-
gerak menyingkirkan pasir-pasir yang terkuak semakin
membesar. Lalu muncul lagi sebelah lengan lainnya.
Gadis itu makin tak percaya. Apalagi saat ia melihat
sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka menyembul. Ben-
tuknya sudah tidak karuan lagi. Seluruh tubuhnya te-
lah penuh dengan pasir. Sosok itu bergerak-gerak be-
rusaha ke luar dari timbunan. Untuk mengangkat tu-
buhnya saja laki-laki itu sudah tidak sanggup. Ia
hanya mengandalkan kedua lengannya yang memba-
wanya keluar dari timbunan itu.
Matanya menatap nanar ke arah perempuan
yang juga nampak kepayahan di bawahnya. Perem-
puan itu balas menatap sambil duduk dengan kedua
lengan yang menahan tubuhnya di atas permukaan
pasir. Dan saat Raden Mas Kinanjar Swantaka benar-
benar ke luar dari timbunan pasir, Dewi Rakuntili am-
bruk pingsan. Begitu juga dengan laki-laki itu yang
berjalan tersaruk-saruk. Dengan tiba-tiba pandangan-
nya berputar. Ia tidak kuat lagi untuk melangkah.
Maka tubuh itu menggelosoh ambruk! Tubuh-
nya menggelinding deras... akhirnya ia pun jatuh ter-
lentang tak sadarkan diri tidak jauh dari sosok Dewi
Rakuntili. Keduanya sama-sama terlentang menantang
matahari yang kian lama semakin tinggi mencorot.
*
* *
SEBELAS
"Itu mereka! Lekas kejar!" teriak Kama Lodra
melihat sosok Wintara dan Umbara Komang berjalan
tenang, maka ketiga puluh anak buahnya berlarian.
Wintara dan Umbara Komang yang mendengar teria-
kan itu langsung menoleh ke belakang.
"Astaga! Mereka masih saja mengejar!" Wintara
kaget. Umbara Komang melotot.
Keparat! Siluman-siluman itu punya tenaga
apa!" Umbara Komang ketakutan menatap kedua
orang yang berlari paling depan.
"Itu siluman rambut kusut kenapa tidak mau
mampus saja!" gerutunya lagi. Wintara segera menarik
lengan Umbara Komang mengajaknya berlari lagi. Me-
reka memang nampak sudah tak bertenaga, tapi meli-
hat para pengejarnya demikian gigih membuat mereka
memeras tenaganya.
Sementara itu di belakang mereka Kama Lodra
dan Ki Rondo Mayit meninggalkan jauh orang-orang
yang berlari mengikuti. Ketiga puluh orang itu larinya
sudah simpang siur. Banyak juga di antaranya yang
jatuh bangun. Ada juga yang tidak kuat meneruskan
larinya. Yang jelas mereka semua tidak bakal sanggup
lagi mengikuti cara lari kedua orang yang mendahului
di depan. Percuma saja Kama Lodra memberinya se-
mangat. Belum-belum mereka ada yang bergelintingan
pingsan. Perjalanan yang mereka tempuh tidaklah
memakan tenaga yang sedikit. Mereka telah menem-
puh semalaman penuh. Sampai sekarang matahari
mulai tinggi di ufuk Timur.
Bagi Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit sebenar-
nya sama-sama lelah dan telah kehabisan tenaga.
Hanya mereka berusaha menyembunyikannya. Kalau
saja mereka sanggup berlarian semalam suntuk, ada-
lah wajar! Karena mereka berdua memang memiliki il-
mu kecepatan lari yang sangat luar biasa. Kedua bu-
ruannya yang berada di depan hampir terkejar.
Wintara dan Umbara Komang sudah tidak da-
pat menambah kecepatan larinya. Apalagi sekarang
mereka mengarungi lautan padang pasir yang sangat
luas. Setiap kakinya melangkah, padang pasir membe-
nam ke mata kaki. Mereka betul-betul terdesak. Beru-
saha tetap lari adalah percuma dan bukan jalan satu-
satunya yang terbaik. Lambat laun tenaga mereka
akan habis, dan para pengejarnya akan mendapatkan
mereka pula. Maka dengan bringas Wintara membalik-
kan tubuhnya berdiri menantang. Umbara Komang
yang terlanjur berlari terpaksa pula berhenti menatap
ke arah Wintara tidak mengerti. Ia balik lagi melang-
kah mendekat Wintara.
"Dewa akan bunuh diri! Mereka akan merencah
kita!" kata Umbara Komang. Wintara tersenyum. Ia
seolah-olah berdiri menantang kedua orang yang berla-
ri makin dekat.
"Bukan bunuh diri, Umbara! Tapi kita yang
akan membunuh siluman-siluman itu!"
"Oh, iya iya.... Mereka memang siluman-
siluman yang mesti di berantas!"
"Awaas!" Wintara mendorong tubuh Umbara
Komang saat Kama Lodra datang melancarkan tendan-
gan terbangnya ke arah mereka. Umbara Komang ke
pinggir sempoyongan. Wintara juga. Tapi ia cepat di
sambut oleh Ki Rondo Mayit dengan sebuah jotosan....
"Des!" Tepat mengenai muka. Sehabis menghantam
begitu tampak sekali tubuh Ki Rondo Mayit terhuyung,
maka Wintara membalas dengan tendangannya.
Meskipun agak terhuyung Ki Rondo Mayit masih dapat
menangkis tendangan itu. Malah Wintara yang jatuh
tergelincir.
Melihat Wintara terguling ke arah Kama Lodra.
Umbara Komang menahan gerakan Kama Lodra yang
berniat melancarkan serangan ke bawah. Tendangan
Umbara Komang mengenai kedua lengan lelaki tua
yang mengenakan jubah serba hitam. Mendapat ke-
sempatan itu Wintara cepat bangkit dan melancarkan
sabetan lengannya. "Des!" tubuh Kama Lodra terbant-
ing.
Saat itu ketiga puluh orang anak buah Kama
Lodra sudah berdatangan. Mereka tidak perlu diberi
komando lagi. Dengan serempak mereka mencabut
senjata dan menyerang Wintara. Umbara Komang ter-
belalak melihat senjata-senjata mereka nampak putih
berkilat menyilaukan. Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit
segera menyingkir membiarkan anak buahnya menge-
pung dua orang buruannya. Saat-saat itu mereka ber-
dua berusaha menghimpun tenaga.
Menghadapi kepungan itu Wintara maupun
Umbara Komang tidak mengalami kesulitan. Para pe-
nyerang itu melancarkan serangan tanpa tenaga. Ba-
batan-babatan senjata mereka nampak lamban, malah
lebih cepat dibanding dengan gerak hantaman Wintara
atau tendangan Umbara Komang. Sungguh-sungguh
menghajar mereka. Wintara sengaja membuat para pe-
nyerangnya jatuh pingsan, Tapi untuk Umbara Ko-
mang, ia tidak pernah tanggung-tanggung melancar-
kan hantamannya. Kalau lawan-lawannya tidak patah
tulang atau batok kepala mereka tidak remuk, Umbara
Komang kurang puas. Untuk itulah ia nampak mulai
kehabisan tenaga. Sementara itupun Kama Lodra dan
Ki Rondo Mayit sudah dapat melihat dan mengukur
kekuatan kedua orang itu. Kama Lodra beringsut me-
langkah bermaksud ikut menyerang. Tapi Ki Rondo
Mayit segera menahannya. Kama Lodra berhenti me-
langkah, saat itupun ia sempat melihat Umbara Ko-
mang jatuh terkena babatan pedang.
"Putri mu telah mengecewakan aku, Kama Lo-
dra! Ia telah mengingkari janji! Sampai sekarang ia be-
lum kembali. Pastilah ia sudah tewas di tangan raden
keparat itu!"
"Kau bicara apa, Ki Rondo Mayit! Dua orang
buruan kita sudah ada di sini! Kenapa berbicara soal
putri ku! Hancurkan saja mereka dulu, setelah itu kita
berdua mencari mereka!"
"Ah tidak perlu! Itu urusanmu! Bagiku kedua
orang itu tidak begitu penting! Yang kuperlukan nyawa
raden sial itu! Aku pergi sekarang mencari mereka!
Urus saja kedua orang itu olehmu!" Setelah berkata
begitu Ki Rondo Mayit melesat meninggalkan tempat
itu. Kama Lodra tidak dapat menghalanginya. Matanya
hanya menatap kepergian Ki Rondo Mayit yang berlalu
menjauh. Kemudian beralih ke arah pertarungan. Di
situ ia melihat Umbara Komang mengamuk menjatuh-
kan satu demi satu para anak buahnya. Padahal darah
telah mengucur deras dari luka di pinggangnya. Begitu
juga dengan Wintara. Ia sudah semakin kalap meng-
hantam lawan-lawannya. Babatan-babatan senjata
yang begitu banyak berkelebat sama sekali tidak ada
yang mengena di tubuh Wintara.
Sekalipun Wintara nampak keteter. Kama Lo-
dra berbalik mundur, bukan karena takut menghadapi
kedua orang buruannya itu. Tapi ia merasa khawatir
akan nasib putrinya. Ia takut kalau putrinya betul
betul tewas di tangan Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Sebab sampai sesiang ini belum juga kembali. Menurut
sepengetahuannya, ia selalu berhasil dalam bidang
apapun. Dan dapat kembali lebih awal. Apalagi Ki
Rondo Mayit sekarang pergi menyusul. Bagaimana ka-
lau Dewi Rakuntili berhasil membawa Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka? Tentunya Ki Rondo Mayit akan me-
rampasnya dari tangan Dewi Rakuntili. Ia tahu benar
watak anak perempuan tunggalnya. Watak yang keras
dan tidak bakal dengan mudah menyerahkan miliknya
yang sudah didapat. Dia memang pernah berjanji akan
menyerahkan Raden Mas Kinanjar Swantaka pada Ki
Rondo Mayit. Tapi sekarang suasananya lain...! Kama
Lodra berpikir panjang. Lalu dengan tiba-tiba saja ia
menghentakkan kedua kakinya berlari meninggalkan
pertarungan. Membiarkan para anak buahnya mati-
matian menggempur dua pendekar perkasa.
"Weiiii! Siluman tengik! Mau lari ke mana kau!"
bentak Umbara Komang sambil melancarkan hanta-
mannya ke dada lawan. Darah menyembur bagai air
mancur! Umbara Komang melangkah cepat, tapi bebe-
rapa orang menghadangnya. Dua orang lagi melompat
memegangi kedua kakinya.
"Ha ha ha ha cecoro-cecoro busuk! Apa-apaan
kalian! Lepas!" Umbara Komang berteriak-teriak. Win-
tara jadi geli melihatnya. Melihat kelucuan itu, tenaga
Wintara seperti muncul kembali. Terbukti sekali han-
tamannya bergerak menjatuhkan tiga orang sekaligus.
Memang tidak telak, tapi cukup membuat ketiganya
menjerit-jerit!
Dua orang itu masih memegangi kaki Umbara
Komang manakala di hadapannya berdatangan orang-
orang membabatkan senjatanya. Sebelum senjata-
senjata itu berkelebat, Umbara Komang melesat ke
atas. Dua orang yang memegangi kakinya sampai ikut
terbang ke atas. Maka babatan-babatan senjata itu
hanya mengenai kedua orang itu sampai salah satu
dari tubuh mereka ada yang hampir putus. Dan Um-
bara Komang sendiri yang masih berada di udara
menghantam kepala mereka satu persatu.
Wintara bertambah yakin akan kehebatan Um-
bara Komang. Tapi sedikitnya ia masih khawatir akan
keadaan tubuhnya yang
banyak mengeluarkan darah. Setelah Wintara
berhasil menjatuhkan dua orang penyerang, ia melom-
pat ke arah Umbara Komang....
"Dewa jangan khawatir! Aku tidak apa-apa! Li-
hat...." Umbara Komang memutar lengannya. Dan seo-
rang pembokong itu terlentang ambruk menyembur-
kan darah. Saat Umbara Komang menghantam, Winta-
ra dapati mimik yang menyeringai menahan sakit.
"Kau memang hebat, Umbara! Tapi bagaimana
pun aku harus membantumu! Kau tidak perlu meng-
hajar mereka sampai tewas! Itu akan membuang tena-
gamu saja... "Seperti ini saja!" Wintara menendang ke
depan... "Der!" Perlahan tapi pasti. Dan dua orang ber-
gulingan dengan kelojotan untuk kemudian diam tak
berkutik.
"Dengan begitu kita sudah mengurangi lawan-
lawan brengsek itu! Cepat menyingkir! Urusi saja luka
di pinggangmu, Umbara... Mereka tinggal sedikit, aku
sanggup menghabisi mereka!" Wintara melancarkan
tendangan memutar ke depan menghantam pergelan-
gan tangan hingga senjata-senjata mereka mental ber-
bareng. Lalu sebelah kakinya menyambar lagi berun-
tun membuat orang-orang itu jatuh bergelimpangan.
*
* *
DUA BELAS
Matahari bergeser semakin tinggi dengan me-
nyebarkan panas teriknya ke setiap permukaan tanah
berpasir yang menghampar itu. Dua sosok tubuh ma-
sih terlentang menantang matahari dengan nafas yang
tersendat-sendat perlahan. Tubuh mereka telah berla-
pis pasir yang berwarna coklat kehitaman. Rambut ke-
duanya sudah nampak kaku penuh debu.
Sesekali angin berhembus meniup mereka. Dan
Dewi Rakuntili berusaha membuka kedua kelopak ma-
tanya yang sayu menatap panas menyilaukan. Bibir-
nya yang pucat retak bergetar. Lemah sekali ia meno-
leh ke samping kiri di mana sosok Raden Mas Kinanjar
Swantaka terkapar mulai sadar. Gadis itu berusaha
bangkit, tapi tubuhnya yang lemah membuat ia tidak
mampu bergerak lagi. Matanya terpejam.
"A-a-air.... Air.... hhhhhh" Gadis itu merintih.
Raden Mas Kinanjar Swantaka mendengar itu. Ia pun
segera menoleh ke samping. Sosok Dewi Rakuntili ter-
lentang lemas dengan nafas yang terputus-putus. Le-
laki itu merangkak bangun. Akan tetapi ia terjatuh lagi
berguling. Ia pun telah benar-benar kehabisan tena-
ganya. Sekali lagi ia merangkak bangun. Lalu berjalan
ke arah Dewi Rakuntili.
Ia menatap gadis itu mengucurkan keringat
dengan wajah yang pucat serta bibir yang kering retak.
Tubuhnya nampak gemetar. Ia tetap terlentang saat
Raden Mas Kinanjar Swantaka di sampingnya. Tangan
lelaki itu gemetar menarik gagang pedang pendek yang
terselip di pinggang Dewi Rakuntili. Gadis itu hanya
diam pasrah.
"Kau menang, Raden.... hhhhhhh. Kau boleh
membunuhku!" Suara Dewi Rakuntili lirih. Raden Mas
Kinanjar Swantaka mengangkat pedang pendek tinggi-
tinggi. Mata pedang itu berkilat tertimpa sinar mataha-
ri Dewi Rakuntili menatap mata pedang dengan tak
berkedip. Di luar dugaan, Raden
Mas Kinanjar Swantaka menghantam pedang
itu ke arah lengannya sendiri. Pedang pendek menan-
cap dalam di lengannya. Darahpun menetes ke luar.
Tetesan darah itu sengaja diarahkan ke mulut Dewi
Rakuntili.
Lelaki itu mengangkat kepala Dewi Rakuntili
agak berdiri. Kemudian ia melekatkan luka yang masih
mengalirkan darah ke mulut. Membiarkan gadis itu
menghisapnya. Tanpa setetes darahpun yang terbuang
percuma. Bibir mungil itu kini basah lagi dengan cai-
ran merah.
Entah sampai berapa lamanya, tubuh lelaki itu
ambruk lagi ke tanah. Dewi Rakuntili terduduk mena-
tap sosok yang ambruk terlentang. Ia menyeka cairan
merah yang tersisa di sekitar bibirnya. Tubuhnya ma-
sih gemetar, dan berusaha meraih pedang pendek yang
masih dalam genggaman Raden Mas Kinanjar Swanta-
ka. Lelaki itu diam tak bergeming. Dewi Rakuntili
mengarahkan mata pedang pendek ke dada lelaki itu.
Nafasnya kian memburu. Pedang pendek berkilat siap
menembus dada. Tapi apa yang akan dilakukan Dewi
Rakuntili tidaklah sekejam itu! Gadis itu melempar-
kan pedangnya jauh-jauh....
"Bagus, Dewi Rakuntili! Nyawa anjingnya me-
mang bagianku...!" Tiba-tiba saja terdengar suara yang
amat berat dari belakang. Dewi Rakuntili menoleh....
"Ki Rondo Mayit...!" Dewi Rakuntili menatap so-
sok tubuh berambut putih kusut menyeringai menye-
ramkan. Laki-laki setengah tua itu melangkah dekat.
"Tidak, Ki Rondo Mayit! Kau tidak boleh mem-
bunuhnya!" Dewi Rakuntili menghalangi dengan kedua
lengannya. Ki Rondo Mayit berhenti melangkah.
"Kau sudah berjanji padaku, Dewi." jawabnya
tenang.
"Betul! Tentunya kau masih ingat dengan janji
ku itu. Kau boleh membalas dendammu, asalkan Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka telah sembuh betul!"
"Hm... Lalu membiarkan keparat itu melarikan
diri lagi...? Tidak bisa, Dewi! Sekarang saatnya yang
tepat, kau tidak bisa menunda-nunda lagi!" Ki Rondo
Mayit melangkah kian dekat.
"Diam di tempat, Ki! Sekali lagi melangkah aku
tidak segan-segan menghadapimu!" Dewi Rakuntili
mengancam. Ki Rondo Mayit tertawa mengekeh....
"He he he he.... Kau pikir aku ini apa dapat di-
gertak macam itu? Hah! Di sini kau bukan seorang
penguasa, Dewi. Kau tidak punya wewenang apapun
terhadapku. Menyingkirlah kalau masih ingin hidup
lama!" Kedua lengan Ki Rondo Mayit siap-siap menge-
luarkan jurus.
Melihat itu Dewi Rakuntili berdiri cepat meng-
hadapi laki-laki setengah tua berambut putih kusut.
Kedua matanya menatap liar bagaikan betina yang
haus darah. Ki Rondo Mayit bergidik melihat sosok
ramping berlapis debu. Wajah anggunnya tidak nam-
pak sama sekali.
"Jangan heran kalau sekarang aku menolong-
nya, Ki.... Dia tidak patut kubunuh atau kuserahkan
padamu! Karena dia telah menyelamatkan nyawaku!"
"Oh pantas sekarang telah menjadi anjing penji-
lat!"
"Tutup mulutmu!" Bersamaan dengan itu, Dewi
Rakuntili melancarkan tinjunya ke arah muka Ki Ron-
do Mayit. Lelaki setengah tua itu hanya bergeser sedi-
kit, maka serangan itu meleset ke samping. Dengan
mudahlah bagi Ki Rondo Mayit membalas serangan.
"Des!"
Tubuh ramping itu bergulingan. Hantaman ke-
ras itu membuat Dewi Rakuntili menyemburkan darah.
"Bukan salahku, Dewi! Kau sendiri yang me-
maksa aku bertindak kejam!"
"Bangsat! Jangan sombong tua bangka kepa-
rat!" Dewi Rakuntili bangkit lagi. Kali ini hantamannya
bergerak cepat. Dan hantaman itu hampir mengenai
kepala Ki Rondo Mayit, untunglah lelaki itu cepat me-
runduk. Tapi tiba-tiba saja Ki Rondo Mayit memekik
hebat dan terhuyung mundur. Ternyata dalam kesem-
patan itu Raden Mas Kinanjar Swantaka yang baru sa-
ja siuman dari pingsannya langsung melancarkan han-
taman keras. Kesempatan itu pula Dewi Rakuntili ikut
ambil bagian.... Sewaktu Ki Rondo Mayit mundur ter-
huyung, gadis itu melancarkan tendangan. Tepat men-
genai punggung dan sampai memuntahkan darah.
Dewi Rakuntili cepat berlari melindungi Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka yang nampak bangkit berdiri.
Dengan geram pula Ki Rondo Mayit maju me-
nerjang, kedua lengannya berputar di barengi dengan
tendangan yang sangat keras. Untuk menghadapi pu-
kulan-pukulan itu mereka dapat menangkisnya, tapi
tendangan yang sangat keras itu sama sekali tidak da-
pat di-bendung. Kedua-duanya jatuh bergulingan.
Dewi Rakuntili dan Raden Mas Kinanjar Swan-
taka belum sempat bangun, Ki Rondo Mayit menerjang
lagi dengan serentetan serangan. "Sudah kepalang
tanggung, Dewi! Rupanya kalian berdua memang ha-
rus mampus di tanganku... Hreaaaaaa!"
Angin pukulan ki Rondo Mayit bergulung-
gulung. Kedua sasarannya belingsatan menghindar.
Mereka yakin hantaman yang bertubi-tubi itu sudah
tentu di sertai tenaga dalam yang dahsyat. Kalau saja
sampai terkena, pastilah mereka akan tamat riwayat
nya.
Sekalipun Dewi Rakuntili dan Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka telah kehabisan tenaga, mereka ma-
sih dapat menghindari serangan-serangan maut itu.
Mereka berdua bergantian saling melindungi. Bahkan
menangkis saling bergantian. Namun sekuat-
kuatnya mereka, bagi Ki Rondo Mayit tidaklah
berarti. Sekali Ki Rondo Mayit kerahkan tendangan-
nya.... "Des!" Raden Mas Kinanjar Swantaka yang ber-
maksud menyambut tendangan itu tidak sempat me-
nangkis lagi. Terasa sekali dadanya rontok. Ia mundur
terhuyung dengan darah menyembur. Dewi Rakuntili
datang membalas. Teriakannya menggelegar berbareng
dengan sambaran lengan kanannya yang menghantam
deras, Ki Rondo Mayit hanya menepak dengan telapak
tangannya lalu kakinya naik ke atas menendang pe-
rut.... "Der!"
Dewi Rakuntili terlempar melintir! Begitu tu-
buhnya jatuh di tanah, debu-debu pasir berdegum
mengepul. Seluruh tulang-tulang sendinya rontok. Ia
berusaha bangkit sambil menahan rasa sakit.
Ki Rondo Mayit menyeringai. Kedua tangannya
mengepal erat dan siap menghantam lagi. Raden Mas
Kinanjar Swantaka sudah bangkit meskipun dengan
gerakan yang lunglai. Ia bersiap-siap menghalangi bi-
lamana laki-laki setengah tua berambut putih kusut
melancarkan serangan. Dewi Rakuntili menatap ngeri.
Saat Ki Rondo Mayit maju menerjang ke arah Dewi Ra-
kuntili, cepat sekali Raden Mas Kinanjar Swantaka
bergerak menghalangi, tapi lelaki berambut putih ku-
sut tidak kalah sigap. Sebelum ia melancarkan hanta-
man ke arah Dewi Rakuntili, ia menghantam perut Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka terlebih dahulu. Tubuh itu
terbanting di samping Dewi Rakuntili. Dan ki Rondo
Mayit tetap meneruskan niatnya...
Hantamannya berkelebat menyambar batok ke-
pala gadis itu, tapi....
"Plaaaak!" Sosok bayangan lain muncul meng-
gagalkan hantaman itu. Ki Rondo Mayit mundur se-
langkah, dirasakan kedua pergelangan tangannya ber-
denyut.
Dan di saat ia menoleh ke arah sosok bayangan
tadi, mata Ki Rondo Mayit terbelalak! Begitu juga den-
gan Dewi Rakuntili dan Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Sosok Kama Lodra berdiri tenang dengan tatapan pe-
nuh amarah ke arah Ki Rondo Mayit. "Sudah kuduga
kedatanganmu ini ke sini pasti akan membawa benca-
na, Ki! Untung aku cepat datang ke sini!" kata Kama
Lodra yang mulai melangkah.
"Itu lebih bagus, Ki! Biar kau saksikan kema-
tian putri mu akibat keangkuhan wataknya yang kele-
wat sombong! Tapi setelah memandang kau, aku ma-
sih memberi kesempatan untuk kau membawanya pu-
lang!" Ki Rondo Mayit berkata sinis.
"Kau meremehkan aku, Ki Rondo Mayit!
Aku memilih kita bertarung saja. Aku rasa kau
tidak keberatan, bukan?" jawab Kama Lodra sambil
membantu putrinya bangkit.
*
* *
TIGA BELAS
"Aku setuju! Dan itu berarti akan ada tiga
mayat bergelimpangan tanpa kubur di sini... Mari Ka-
ma Lodra, kita yang sama-sama tua ini belum pernah
saling menjajal ilmu!" Ki Rondo Mayit menantang. Ka-
ma Lodra tetap tenang. Ia melihat putrinya membantu
Raden Mas Kinanjar Swantaka bangkit berdiri.
"Jangan khawatir, Kama Lodra. Aku tidak akan
menyentuh putri mu sebelum mengirimmu ke neraka.
Dan juga jangan coba-coba melarikan diri dari sini ka-
lau tidak ingin ku sebut sebagai pengecut!" Ki Rondo
Mayit membetulkan ikat pinggangnya, lalu ia bersiap-
siap mengeluarkan jurus-jurus maut. Kama Lodra
membuka jubah hitamnya.
Maka terlihatlah tubuhnya yang setengah telan-
jang itu nampak kekar dan berisi. Rambut hitamnya
tetap tergulung di atas kepala. Ia pun tidak kalah dah-
syat menunjukkan jurus- jurusnya.
Ki Rondo Mayit tidak membuang-buang waktu.
Teriakannya menggelegar, bersamaan dengan lesatan
tubuhnya menerjang Kama Lodra. Kedua lengannya
berputar menimbulkan suara angin yang bergemuruh
bergulung-gulung. Kama Lodra menyambut dengan
kedua telapak tangannya yang mendorong keras ke
depan. Sampai akhirnya hantaman mereka beradu
dahsyat.... Suara benturan itu membledar nyaring
memecah kesunyian gurun tandus berpasir.
"Tidak kusangka kau sehebat ini, Kama Lodra!"
kata Ki Rondo Mayit sambil melancarkan tendangan
memutar dengan kedua kaki yang menghantam ber-
gantian.
"Kau menghina, Ki.... Heaaat!" Kama Lodra me-
lesat ke atas menghindari tendangan yang beruntun
itu. Dan ia sempat terkesiap karena tahu-tahu saja se-
belah jotosan Ki Rondo Mayit nyaris menghantam jan-
tungnya. Untunglah Kama Lodra cepat memutar len-
gannya ke depan melindungi. Dan cepat menangkap
lengan Ki Rondo Mayit.
Secepat itulah Kama Lodra melancarkan puku-
lannya menghantam punggung... "Bug!" Ki Rondo
Mayit memekik. Kama Lodra membiarkan lawannya
terhuyung maju. Saat itu Kama Lodra sudah hinggap
di tanah. Lelaki tua berambut putih kusut membalik-
kan tubuhnya. Ia menatap geram.
"Pukulanmu hebat, Ki.... Tapi jangan senang
dulu, sambut ini....
Haaaaat!" Tubuh ki Rondo Mayit melesat. Ke-
dua kakinya tidak menyentuh tanah seakan-akan di-
rinya terbang menjurus ke arah Kama Lodra. Gerakan
kedua tangannya sukar untuk dipastikan. Namun be-
gitu Kama Lodra tetap berhati-hati, karena ia yakin se-
rangan yang dilancarkannya pasti lebih dahsyat dari
yang sudah-sudah. Ketika hantaman-hantaman itu
menjurus ke arahnya, Kama Lodra melesat ke atas la-
gi. Sambil berjumpalitan di udara Kama Lodra menepis
hantaman-hantaman itu dengan kedua telapak tan-
gannya... "Bledaaaar!"
Serangan itu luput, tapi Kama Lodra tidak me-
nyangka sama sekali akan tendangan yang bergerak
menyerbu. Sebelum Dewi Rakuntili melancarkan se-
rangan, Kama Lodra menahannya. Gadis itu hanya
berdiri di belakang ayahnya dengan nafas yang mem-
buru. Kama Lodra berdiri dengan sikap bersiap-siap
menghadapi......
"Menyingkirlah, Dewi.... Dia bukan tandingan
mu!" Bisiknya. Dewi Rakuntili mundur....
Setelah berkata begitu, Kama Lodra maju ke
depan menyambut hantaman Ki Rondo Mayit yang da-
tang dengan tiba-tiba. Kembali hantaman-hantaman
mereka bergulung-gulung. Tubuh kedua orang tua itu
saling kelit melancarkan serangan. Tendangan mau-
pun hantaman mereka saling bentrok hingga menim-
bulkan suara-suara yang memekakkan telinga.
Dua sosok tubuh tua itu bertarung bagai dua
ekor harimau lapar. Meraung-raung saat melancarkan
serangan. Kama Lodra tidak tanggung-tanggung lagi
mengerahkan seluruh kemampuannya. Setiap hanta-
mannya selalu berisi tenaga penuh. Hal itu membuat
Ki Rondo Mayit gelagapan dibuatnya. Dan harus pula
menangkis hantaman-hantaman Kama Lodra.
Namun semua denyutan di lengannya itu sama
sekali tidak dirasakannya. Walaupun Kama Lodra ma-
sih melancarkan pukulan-pukulan maut beruntun.
Jago tua Ki Rondo Mayit memang sangat sukar untuk
dijatuhkan. Ia masih bisa bertahan dari hantaman-
hantaman yang mendera di tubuhnya. Apalagi seran-
gan-serangan Kama Lodra tidak pernah berhenti dan
selalu mengincar.
Di luar dugaan tubuh Ki Rondo Mayit melayang
ke atas. Tahu-tahu kedua telapak tangannya men-
cengkeram lengan-lengan Kama Lodra. Lalu begitu ia
menjatuhkan diri, sebelah kaki Ki Rondo Mayit masih
menggedor dada Kama Lodra. Kama Lodra menyem-
burkan darah. Dan posisinya masih dalam cengkera-
man Ki Rondo Mayit. Setelah menendang, laki-laki be-
rambut putih kusut menghantam kepalanya dengan
sabetan lengannya.... "Des!" Tulang leher Kama Lodra
terasa copot! Ia terhuyung mundur kemudian jatuh
ambruk!
"Ayah...!" Pekik Dewi Rakuntili berlari ke arah
Kama Lodra.
"Tenang, Dewi. Aku tidak apa-apa. Kau me-
nyingkirlah...!" jawab Kama Lodra sembari berusaha
bangkit.
"Heh! Kenapa musti sok pahlawan, Kama Lo-
dra.... Biarkan putri mu itu ikut menyerang. Atau ka-
lau perlu sekalian dengan Raden keparat itu! Kalian
boleh maju semua!" Ki Rondo Mayit melangkah maju.
Raden Mas Kinanjar Swantaka kepalang maju, ia maju
lebih dulu. Tapi disambut oleh tendangan Ki Rondo
Mayit.... "Weeees!"
Untunglah Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat
menarik kembali tubuhnya ke belakang. Namun untuk
tendangan yang kedua, laki-laki itu tidak dapat meng-
hindarinya lagi... "Des!" Tubuhnya terlempar deras dan
hampir menimpa tubuh Dewi Rakuntili. Gadis itu tidak
menghindar, malah menjaganya sehingga tubuh Raden
Mas Kinanjar Swantaka tidak terbanting. Setelah itu
Dewi Rakuntili lompat menerjang.
Amarahnya telah meluap. Dan juga ia tidak
mengontrol dirinya...
Setelah merebahkan diri menghindari serangan
gadis itu, Ki Rondo Mayit membalas dengan tendan-
gan... "Deeeeer!
Dewi Rakuntili memekik. Tubuhnya terbanting
berdegum di tanah berpasir. Darah mengalir dari mu-
lutnya. Ki Rondo Mayit menatap puas melihat gadis itu
tidak dapat bangkit lagi.
Saat itu tubuh Kama Lodra berjumpalitan di
udara. Bersamaan dengan itu pula Raden Mas Kinan-
jar Swantaka juga melesat dari arah lain, Ki Rondo
Mayit yang mengetahui adanya serangan dari dua arah
langsung merentangkan kedua tangannya.
Kedua lengan itu menyambut tendangan dan
hantaman dari arah yang berlawanan. Dan ternyata
serangan-serangan dari arah yang berlawanan itu
hanya sampai di situ. Kama Lodra dan Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka masih terus mencecar Ki Rondo
Mayit. Merasa tidak sanggup mengatasinya, Ki Rondo
Mayit sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan men-
jauh. Tapi mana mau dua orang itu membiarkan Ki
Rondo Mayit bergeser dari tempatnya. Maka keduanya
datang lagi menerjang.
Raden Mas Kinanjar Swantaka melesat ke atas,
tendangannya cepat menyambar. Begitu juga dengan
Kama Lodra, hantamannya yang berkelebat beruntun
sukar diikuti oleh pandangan mata.... Namun hanya
dengan sekali sentak, Ki Rondo Mayit dapat menepis
tendangan itu yang hampir menghantam kepalanya.
Lalu sambil mundur ia menangkis hantaman-
hantaman yang mendesak ke dada.
Kurang lebih mereka sudah mengeluarkan dua
puluh jurus. Namun tidak ada tanda-tanda bagi mere-
ka dapat menjatuhkan Ki Rondo Mayit. Laki-laki be-
rambut putih kusut yang sangat luar biasa itu selalu
dapat menghindar atau menangkis hantaman-
hantaman mereka. Sekalipun mereka tahu kalau la-
wan yang dihadapinya itu memiliki ilmu yang sangat
tangguh, Kama Lodra maupun Raden Mas Kinanjar
Swantaka tidak mundur dalam selangkah.
*
* *
Saat itu Wintara dan Umbara Komang telah
menjatuhkan lawan-lawannya. Kini mereka yang tadi
berjumlah tiga puluh orang, sekarang tinggal empat
orang. Keempat orang itu pun seperti ragu-ragu me-
nyerang. Mereka telah kehilangan kekuatan. Seluruh
permukaan dataran berpasir telah bergelimpangan so-
sok-sosok penghuni kuil.
Wintara dan Umbara Komang yang sudah ber-
lumuran darah menatap keempat orang itu dengan so-
rot mata yang menakutkan. Pedang-pedang mereka
memang masih tergenggam, tapi pedang-pedang itu
seperti gemetar menahan takut. Umbara Komang maju
menyeringai. Dan keempat orang itu mundur berba-
reng. Umbara Komang tertawa mengekeh!
"Sudah tahu takut masih saja berdiri di situ!
Ayo merat...! Kalau masih mau mampus cepat ke mari
maju!" bentak Umbara Komang menunjukkan wajah
yang amat mengerikan. Keempat lawannya saling pan-
dang. Lalu sambil melemparkan pedang-pedang mere-
ka, kemudian berbalik lari pontang panting. Wintara
menatap mereka menggelengkan kepalanya.
"Dasar dungu! Kembali ke kuil pun mereka per-
cuma! Mereka akan memakan waktu yang sangat la-
ma! Dia kira gampang mengarungi padang pasir sede-
mikian luasnya? Kita berduapun pasti mati kehausan
di sini...." kata Wintara setelah Umbara Komang berja-
lan mendekatinya.
"Lalu bagaimana dengan Raden Mas Kinanjar
Swantaka? Aku rasa ia pun sudah jadi santapan para
siluman padang pasir!" sahut Umbara Komang yang
berjalan lunglai. Keduanya sama-sama lemas seperti
kehabisan tenaga. Angin-angin makin kencang ber-
hembus.
*
* *
EMPAT BELAS
Namun dengan tiba-tiba saja Wintara dan Um-
bara Komang menoleh ke belakang. Ia mendengar sua-
ra teriak-teriak. Tampaklah empat sosok tubuh berla-
rian mendekat ke arah mereka. Salah seorang dari
keempat orang itu jatuh dan tidak bangkit lagi, lalu
yang tiga berlari terus. Umbara Komang menatap tak
mengerti.
"Ada apa gerangan, sehingga mereka berlari ba-
lik ke mari...?" Wintara heran. Tapi sebelum mereka
berfikir, mereka menemukan jawabannya. Jauh di be-
lakang orang-orang itu telah mengejar segerombolan
kuda dengan penunggang-penunggangnya. Jumlahnya
hampir belasan.
"Sekarang mati kita! Musuh-musuh berdatan-
gan lagi!" kata Wintara.
"Apakah mereka siluman-siluman jahat juga?"
Umbara Komang mempertajam penglihatannya. Winta-
ra memeluk bahu Umbara Komang sebelah tangan.
"Di neraka ini mana ada yang berpihak kepada
kita. Kecuali muzizat dari Tuhan."
"Tuhan.... Kenapa Dewa mengharapkan keajai-
ban Tuhan? Bukankah Dewa bisa berbuat apa saja?"
Umbara Komang menatap ketiga orang yang hampir
mendekati mereka. Orang-orang itu lari tunggang
langgang.
"Tuhan itu ada di mana-mana, Goblok! Semua
makhluk ciptaan-Nya kebanyakan memohon pada-
Nya...! Kau juga makhluk ciptaan-Nya. Aku juga...."
Wintara menjelaskan dengan kesal.
"Dan juga aku bukan dewa yang patut kau
sembah! Aku juga siluman. Sayang kita berdua di sini
bakal mampus!" kata Wintara lagi.
"Heh, suara apa itu...?" Umbara Komang men-
dengar sesuatu yang lain. Di antara suara deru derap
kaki belasan kuda, mereka mendengar suara gletar-
gletar cambuk yang tidak pernah berhenti. Manakala
gerombolan berkuda itu semakin dekat mendatangi ke-
tiga orang yang lari tunggang langgang itu telah berja-
tuhan kehabisan nafas. Apa yang membuat mereka
nampak ketakutan sekali...?
"Mereka.... Mereka...." Tiba-tiba saja Umbara
Komang berjingkrak-jingkrak. Wintara baru tersadar
dengan apa yang dilihatnya. Kedua perempuan yang
menunggangi kudanya paling tengah nampak jelas se-
kali....
"Astaga.... Mereka Pendekar Kembar Cambuk
Seriti!" Seru Wintara. Lalu keduanya melompat-lompat
sambil melambai-lambaikan kedua tangannya.
"Hooy...! Hooy...!" teriak mereka. Gerombolan kuda itu
datang mendekat. Mereka memang gerombolan perem-
puan yang dipimpin oleh Pendekar Kembar Cambuk
Seriti. Dan kedua wanita kembar ini tidak percaya pula
dengan apa yang mereka lihat.
"Wintara...! Umbara Komang...!" Kedua wanita
kembar itu berteriak.
"Aku mengira kalian berdua mayat-mayat hi-
dup. Lihat saja rupa kalian sudah tidak nampak." Gu-
rau Seriti Kuni. Wintara memperhatikan perempuan-
perempuan itu. Ternyata mereka adalah para tawanan
di kuil yang pernah mereka bebaskan.
"Kalian dari sana?" Tanya Wintara, Seriti Wuni
turun dari kudanya setelah mendekati kedua lelaki
yang tetap berdiri.
"Ya, tidak satu orang pun yang hidup di sana!"
Kata Seriti Kuni, ia melemparkan dua pundi air ke
arah Wintara. Lelaki berbaju kulit binatang itu me-
nangkapnya sekaligus, kemudian melemparkan satu
pundi air pada Umbara Komang. Mereka langsung
meminum air itu. Seriti Kuni meneruskan pembica-
raannya.
"Aku menemukan mereka dalam sebuah ruang
tahanan. Mereka menceritakan bahwa kalian yang me-
lepaskan dari belenggu-belenggu rantai. Di kuil itu pu-
la kutemukan empat buah peti berisi upeti yang kalian
bawa tempo hari. Dari situ kami memilih kesimpulan
bahwa kalian mendapat kesulitan.... Mana Raden Mas
Kinanjar Swantaka?" Seriti Kuni membetulkan letak
empat buah peti kecil yang agak miring. Wintara tidak
menjawab, ia masih menenggak air minum. Begitu ju-
ga Umbara Komang. Lama sekali mereka menunggu
jawaban Wintara. Belasan perempuan yang di bela-
kangnya diam di atas kuda. Dan setiap kuda membawa perbekalan air dalam pundi.
"Seperti katamu tadi.... Raden Mas Kinanjar
Swantaka mendapat kesulitan dan repotnya aku sendi-
ri tidak tahu di mana dia berada." jawab Wintara sam-
bil menyiram kepalanya dengan sisa air minum. Um-
bara Komang mengikuti.
"Bagaimana kalian berdua sampai punya niat
menyusul kami?" Wintara balik bertanya.
"Di Rogojembangan cukup aman. Lagi pula sia-
pa yang betah berdiam diri di sana... Apa kalian kira
kedatangan kami ini bermanfaat?" Jawab Seriti Wuni.
Umbara Komang nyengir. Ia tidak berani menatap ga-
dis itu.
"Ooow... Jelas kedatangan kalian ini bagaikan
utusan-utusan dari surga." kata Wintara serius. Ia
menyerahkan kembali pundi air yang telah kosong.
"Kalau begitu, kenapa kalian masih berdiam di-
ri di sini. Bukankah lebih baik kita langsung mencari
Raden Mas Kinanjar Swantaka...?" kata Seriti Wuni
menyeret kudanya ke hadapan Wintara dan ia sendiri
melangkah ke arah kuda yang ditunggangi Seriti Kuni.
"Aku khawatir telah terjadi sesuatu atas di-
rinya." katanya lagi sambil naik duduk di belakang Se-
riti Kuni. Dengan sigap pula
Wintara langsung melompat ke punggung kuda
yang diserahkan tadi. Tanpa diperintah Umbara Ko-
mang langsung naik ke belakang Wintara. Lalu Winta-
ra memacu kudanya memimpin mereka berjalan paling
dulu... "Hreaaaaa...! Hreaaaaaa!" Maka gerombolan pe-
nunggang kuda itu bergerak lagi. Dan asap-asap debu
mengepul-ngepul bertebaran di atas permukaan tanah
berpasir.
*
* *
Teriakan Ki Rondo Mayit menggelegar bersa-
maan dengan itu hantamannya maju ke depan...
"Des!"
Raden Mas Kinanjar Swantaka memekik. Tu-
buhnya terhuyung mundur. Namun ia masih bisa ber-
tahan untuk tetap tidak jatuh. Kama Lodra cepat
menghalangi saat Ki Rondo Mayit melancarkan seran-
gannya lagi. Hantamannya membentur lengan Ki Ron-
do Mayit dengan keras. Mendapat serangan seperti itu,
Ki Rondo Mayit berbalik menghadapi Kama Lodra. Se-
belah lengannya memutar, Kama Lodra cepat menang-
kis. Maka terlihatlah gaya-gaya jurus mereka seperti
dua sosok bayangan hitam yang melintir saling melan-
carkan pukulan. Gerak-gerak hantaman mereka tidak
jelas terlihat. Tahu-tahu saja lengan mereka saling be-
radu dan menimbulkan suara yang membledar nyar-
ing.
Gigih sekali Kama Lodra melancarkan seran-
gan. Hantaman-hantamannya menjurus ke bagian ba-
wah dan atas. Sedikitnya Ki Rondo Mayit merasa kewa-
lahan menghadapinya. Kedua matanya tidak berkedip
sedikit pun. Pandangannya yang jeli terus mengawasi
setiap gerakan Kama Lodra.
Bahkan ketika tendangan Kama Lodra menju-
rus ke depan, Ki Rondo Mayit hanya bergeser mundur
ke belakang. Kedua telapak tangannya menepis ten-
dangan itu. Di luar dugaan, tubuhnya yang lentur
mendadak berguling berjumpalitan di tanah. Kama Lo-
dra melesat menyusul Ki Rondo Mayit dengan berjum-
palitan di udara. Dalam keadaan seperti itu kedua len-
gan Kama Lodra beruntun menghantam. Ki Rondo
Mayit yang masih bergulingan di tanah sama sekali ti-
dak dapat disentuh. Malah ketika ia membalas dengan
tendangan yang mengarah ke atas. Tiba-tiba saja Ka
ma Lodra memekik hebat...! "Deeeer!"
Tendangan itu mengena telak di dada. Tubuh
Kama Lodra langsung berdegum di tanah. Bagai air
mancur, darah menyembur dari mulutnya. Belum
sempat ia bangun, Ki Rondo Mayit datang melompat
dan tahu-tahu saja jotosannya menghantam tenggoro-
kannya.
Kama Lodra mengejang hebat. Tubuhnya
menggelepar-gelepar. Saat itu Raden Mas Kinanjar
Swantaka melesat melancarkan serangan. Suara teria-
kan itu dapat di dengar. Maka dengan cepat Ki Rondo
Mayit mencengkeram tubuh Kama Lodra dan melem-
parkan ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka yang
mulai mendekat. Langkah lelaki muda itu terhalang.
Saat tubuh mereka saling tabrak, Ki Rondo Mayit me-
lancarkan tendangannya ke arah mereka. "Deeeer!"
Tendangan itu menghantam punggung Kama
Lodra. Dengan demikian ambruklah tubuh Kama Lo-
dra bersama tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Ki Rondo Mayit makin garang menyerang. Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka cepat bergeser dari tindi-
han tubuh Kama Lodra. Sambil mundur sempoyongan,
lelaki muda itu menghindari hantaman Ki Rondo
Mayit. Sudah tentu Raden Mas Kinanjar Swantaka ke-
walahan. Melihat itu Kama Lodra cepat bangkit mener-
jang, meskipun tubuhnya telah terluka parah ia masih
mampu mengalihkan serangan-serangan Ki Rondo
Mayit. Tapi tindakannya itu hanya berlanjut sebentar,
karena dengan telengas Ki Rondo Mayit menghantam
kepala itu hancur berderak, kemudian menyusul den-
gan berdegumnya tubuh telanjang dada ke tanah den-
gan nyawa melayang.
*
* *
LIMA BELAS
Raden Mas Kinanjar Swantaka menoleh ketika
mendengar suara rintihan Dewi Rakuntili. Dan ia me-
lihat gadis itu mulai bangkit berdiri. Sesaat kemudian
ia berpaling lagi ke arah Ki Rondo Mayit yang tertawa
menyeringai. Rambut putih kusutnya bergerak kaku
tertiup angin. Mulutnya yang tanpa gigipun menganga
menyeramkan. Langkahnya kian dekat bergeser.
Dewi Rakuntili melangkah berjalan ke hadapan
Raden Mas Kinanjar Swantaka Wajahnya tetap mena-
tap Ki Rondo Mayit penuh amarah. Ki Rondo Mayit te-
rus menyeringai bagai melihat mangsa yang siap di
mangsa.
Ketika Ki Rondo Mayit bergerak maju, Raden
Mas Kinanjar Swantaka yang berada di belakang Dewi
Rakuntili langsung menarik lengan gadis itu. Kemu-
dian kakinya maju ke depan menendang....."Des!" Te-
pat mengenai perut. Saat itu pun Dewi Rakuntili tidak
tinggal diam. Meski pun berada dalam pelukan Raden
Mas Kinanjar Swantaka, sempat pula melancarkan
tendangan... "Deer!" Ki Rondo Mayit makin terdorong
mundur. Namun setelah ia merentangkan kedua tan-
gannya lalu berputar di atas rasa sakit itu seperti hi-
lang. Ki Rondo Mayit makin maju menunjukkan wajah
yang garang. Tapi baru saja ia melangkah ke depan,
pendengarannya yang tajam mendengar sesuatu. Ia
cepat menoleh memandang jauh. Dilihatnya belasan
kuda berlari kencang. Terdengar pula gletar-gletar
cambuk dan helaan-helaan para penunggang kuda itu.
Ki Rondo Mayit mempertajam penglihatannya.
Belasan kuda itu berhenti, tapi dua ekor kuda di anta-
ranya bergerak maju terus. Gletar cambuk makin ke-
ras. Ki Rondo Mayit dapat melihat dengan jelas. Tiap
tiap kuda ditunggangi oleh dua orang. Salah satu kuda
itu ditunggangi oleh dua wanita kembar memainkan
cambuk-cambuknya. Dan satu lagi, dua orang laki-laki
yang ditemuinya di kuil. Laki-laki berambut putih ku-
sut itu tidak perduli melihat kedatangan mereka. Ia
kembali menghadapi Raden Mas Kinanjar Swantaka
dan Dewi Rakuntili. Langkahnya yang secepat kilat
berbareng dengan hantaman-hantaman yang keras
mendera, Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat me-
nangkis. Tapi Dewi Rakuntili tidak sempat lagi menge-
lak. Lengan kiri Ki Rondo Mayit cepat berkelebat
menghantam dadanya. Sebelum hantaman kedua me-
nyambar lagi, Raden Mas Kinanjar Swantaka mengha-
langi dengan tubuhnya. Dengan telak punggungnya
menerima hantaman itu. Keduanya jatuh bergulingan
di tanah berpasir. Ki Rondo Mayit masih mengejar dan
siap melancarkan hantaman-hantaman.
Raden Mas Kinanjar Swantaka maupun Dewi
Rakuntili diam terlentang menatap Ki Rondo Mayit da-
tang dengan lengan siap menghantam. Tiba-tiba saja
terdengar gletar cambuk. Dan mendadak saja lengan-
nya yang siap menghantam itu tertahan oleh lilitan
cambuk. Pendekar Kembar Cambuk Seriti sudah bera-
da di situ. Dengan garam pula Ki Rondo Mayit menarik
lengannya. Tanpa diduga pula, Seriti Kuni yang melan-
carkan cambuknya tertarik sampai jatuh terguling. Se-
riti Wuni yang duduk di belakangnya tidak sempat
menahan, karena lengan itu menarik dengan disertai
tenaga luar biasa. Saat itu pula Wintara dan Umbara
Komang turun dari kudanya langsung meluruk berla-
rian ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Tapi sebelum mereka mendekati, sebuah ten-
dangan memutar Ki Rondo Mayit menyambut. Cepat
keduanya menarik mundur. Seriti Wuni dan Seriti Ku-
ni berdatangan melancarkan cambuk-cambuknya. Se
bentar saja tubuh Ki Rondo Mayit telah terbelit oleh
kedua cambuk itu. Namun laki-laki berambut putih
kusut itu tetap tak menghiraukan lilitan cambuk. Tu-
buhnya masih saja maju menerjang Wintara dan Um-
bara Komang.
"Siluman kusut! Aku pikir kau telah mampus
jadi kerak pasir!" gerutu Umbara Komang. Tubuhnya
melesat ke atas sambil menghantam. Ki Rondo Mayit
menyambut dengan kedua lengannya. Hantaman itu
beradu. Sekalipun tubuhnya terbelit dua utas cambuk,
Ki Rondo Mayit masih bisa melancarkan tendangannya
ke atas. Maka Umbara Komang yang masih berada di
udara memekik sambil memegangi dadanya yang tera-
sa remuk!
"Cecurut sableng! Kau boleh mampus lebih du-
lu!" Ketika Umbara Komang jatuh ke tanah, Ki Rondo
Mayit langsung menginjak dadanya. Umbara Komang
kelojotan. lalu Ki Rondo Mayit menghentakkan kedua
tangannya menarik kedua cambuk yang melilit di tu-
buhnya. Maka dua wanita kembali itu tertarik ke atas
dan mereka tidak dapat menghindari, kepala mereka
saling bentur. Seriti Kuni maupun Seriti Wuni jatuh
bergulingan sambil memegangi kepala masing-masing.
Wintara cepat menarik tubuh Umbara Komang yang
masih terlentang menahan sakit. Dan berusaha me-
nangkis serangan-serangan Ki Rondo Mayit yang di-
arahkan pada Umbara Komang.
Serangan Ki Rondo Mayit kini beralih pada Win-
tara. Laki-laki setengah tua itu memiliki ilmu dan daya
tahan tubuh yang sangat kuat. Maka sebelum Ki Ron-
do Mayit melancarkan serangannya, Wintara lebih du-
lu menyambut dengan sodokan lengannya dengan tu-
buhnya merunduk ke tanah. Jotosan yang mengarah
tepat ke ulu hati itu membuat Ki Rondo Mayit tersen-
tak kaget. Dan tiba-tiba saja kaki Wintara naik ke atas
menghantam muka. Kontan Ki Rondo Mayit ambruk
celentang. Saat itu pun Wintara berjingkat bangun.
Umbara Komang masih terbaring lemas. Dua pendekar
Kembar Cambuk Seriti berusaha bangun meski dengan
kepala pusing.
Mendapat tendangan yang menghantam keras
di bagian muka, Ki Rondo Mayit merasakan pandan-
gannya berputar. Ia melihat sosok Wintara berdiri ber-
deret lebih dari satu. Keadaan seperti itu ia tidak me-
nyia-nyiakan kesempatan. Mendadak saja tubuh Win-
tara maju menerjang melancarkan hantaman yang be-
runtun. Beberapa hantaman Wintara bersarang telak.
Tapi saat Ki Rondo Mayit memutar lengannya ke de-
pan, Wintara gelagapan menyambutnya. Ki Rondo
Mayit sengaja melancarkan serangan membabi buta.
Namun begitu salah satu hantamannya berhasil men-
jatuhkan Wintara. Anak muda itu sendiri merasakan
kerasnya hantaman itu.
Pandangan Ki Rondo Mayit masih membayang.
Ia sempat menoleh ke samping melihat dua wajah
kembar datang menyerang. Sosok-sosok itu begitu ba-
nyak berdatangan. Sukar sekali bagi Ki Rondo Mayit
untuk menentukan yang asli. Maka sebelum wanita
kembar itu mendekat, Ki Rondo Mayit mengerahkan
seluruh tenaganya menghantami setiap bayangan yang
ada dalam pandangan matanya. Sudah tentu dua pen-
dekar kembar sukar mengatasi hantaman-hantaman
yang datang bertubi-tubi. Keduanya bergulingan sam-
bil menyemburkan darah. Mereka ambruk seperti tidak
dapat bangkit lagi.
Wintara melompat cepat menangkis hantaman
Ki Rondo Mayit yang nyaris mengenai kedua wanita
kembar yang berusaha bangkit berdiri. Melihat adanya
seseorang yang menghalangi niatnya, Ki Rondo Mayit
segera membalikkan hantamannya terhadap orang itu.
Wintara gelagapan dan tidak sempat menghindari han-
taman yang melanda di dadanya. Pada saat yang sama
pun ketika Wintara mencelat, ia sempat melancarkan
tendangannya. Dan tendangan itu menghantam keras
Ki Rondo Mayit sampai jatuh terduduk.
Wintara yang jatuh terlentang cepat bangun
bersila. Kedua telapak tangannya nampak menyatu di
depan dada. Lalu dalam posisi seperti itu tubuh Winta-
ra melesat maju menerjang. Kedua kakinya yang bersi-
la tidak menyentuh tanah. Ki Rondo Mayit masih ter-
duduk menghimpun tenaga dalamnya. Dan tahu-tahu
saja Wintara sudah berada di depannya mendorong
kedua telapak tangannya..... "Dueeeeer!"
Ki Rondo Mayit terpekik dengan tubuh yang
terlempar ke belakang. Wintara masih mendorong te-
rus dengan telapak tangannya. Sampai keduanya
nampak terpaku diam duduk saling berhadapan.
Raden Mas Kinanjar Swantaka menatap tajam
sambil memeluk tubuh Dewi Rakuntili. Umbara Ko-
mang bangkit menyeringai menahan sakit. Begitu juga
Pendekar Kembar Cambuk Seriti yang menatap nanar.
Mereka semua membelalakkan mata ketika melihat so-
sok Ki Rondo Mayit yang berdiri terhuyung. Wintara
duduk bersila menunduk. Tiba-tiba saja sosok Ki Ron-
do Mayit yang berdiri di hadapan Wintara menyembur-
kan darah. Lalu dengan lunglai tubuh renta itu am-
bruk untuk selama-lamanya. Wintara tetap duduk ber-
sila.
Melihat itu Pendekar Kembar Cambuk Seriti
berlari ke arahnya. Sebelum mereka mendekat, Winta-
ra sudah bangkit terlebih dahulu. Keringatnya mengu-
cur deras di sekujur tubuhnya. Rupanya ketika tadi
Wintara melancarkan kedua telapak tangannya, ia
mengerahkan semua tenaga inti secara menyeluruh.
Dengan cara itu ia sengaja mengadu nyawa dengan Ki
Rondo Mayit.
"Apakah kau terluka?" Seriti Wuni khawatir.
Wintara tersenyum menggeleng.
"Ah, syukurlah! Aku melihat benturan tenaga
dalam tadi begitu dahsyat. Semula aku begitu takut
akan celaka." Seriti Kuni mendekati.
"Tidak. Aku tidak apa-apa. Hanya sekujur tu-
buhku terasa ngilu." jawab Wintara. Lalu ketiganya
menatap Raden Mas Kinanjar Swantaka memapah tu-
buh Dewi Rakuntili melangkah mendekati mereka.
Langkah-langkah Raden Mas Kinanjar Swantaka sen-
diri nampak limbung.
Dewi Rakuntili membuka matanya perlahan, ia
merasa tubuhnya melayang dalam papahan seseorang.
Dan saat kedua matanya membuka lebar, ia melihat
jelas seseorang itu tidak lain Raden Mas Kinanjar
Swantaka.
"Ayahmu tewas, Dewi.... Kami tidak bisa me-
nyelamatkannya." kata Raden Mas Kinanjar Swantaka
pelan.
"Tapi musuhnya itu telah tewas pula." bisik le-
laki itu lagi. Dewi Rakuntili mengawasi sekitar permu-
kaan hamparan pasir. Sosok Ki Rondo Mayit terkapar
kaku tanpa nyawa masih mengeluarkan darah dari
mulutnya.
"Kau pun akan membunuhku, bukan.... Bunuh
saja sekarang...." kata Dewi Rakuntili.
"Kami akan membawa dirimu ke Rogojemban-
gan."
"Aku memang bersalah. Dan pantas menerima
hukuman apa saja.... Sekalipun hukuman mati yang
kuterima." Kedua lengan Dewi Rakuntili melingkar erat
di leher Raden Mas Kinanjar Swantaka. Keduanya sal-
ing pandang.
"Sebelum aku menerima hukuman mati, aku
minta makamkan ayahku sebagaimana layaknya....
Hanya itu, Raden.... Aku harap kau mau memenuhi
permintaanku."
"Ayahmu memang akan kami kuburkan secara
baik-baik.... Dan lagi di Rogojembangan, kau tidak
akan dihukum. Apalagi sampai dihukum mati...."
"Lalu...?" Dewi Rakuntili heran.
"Kau akan kujadikan selir ku!"
"Hah...?!"
Wintara maupun Pendekar Kembar Cambuk
Seriti tertawa malu mendengar ucapan Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka. Mereka bertiga serempak tertunduk.
Tapi tiba-tiba saja ia tersentak kaget. Begitu juga den-
gan Raden Mas Kinanjar Swantaka....
"Ha ha ha ha.... Siluman rambut kusut telah
mampus! Siluman penghuni kuil juga telah modar...!
Sekarang aku bebas...! Bebas...! Hua ha ha ha ha ha....
Aku mau pergi ke mana aku suka! Dan...." Umbara
Komang berhenti berteriak. Sorot matanya memandang
tajam ke arah orang-orang yang berdiri di situ. Wintara
hanya tersenyum saja....
"Aku tidak mau lagi mengikuti kalian!" kata
Umbara Komang lagi. Lalu dengan sombong Umbara
Komang melompat ke atas kuda.
"Aku tidak mau lagi menempuh bahaya.... Re-
pot kalau sampai berurusan dengan siluman-siluman
lagi...." Setelah berkata begitu Umbara Komang mema-
cu kudanya.
Sementara itu belasan orang yang menunggangi
kuda berdatangan menuju tempat itu. Beberapa orang
turun dari kudanya menyerahkan pundi-pundi air ke-
pada Raden Mas Kinanjar Swantaka. Dewi Rakuntili
meraih pundi air itu dan langsung menenggaknya.
Kemudian sisa air minum di siramkan ke wajah Raden
Mas Kinanjar Swantaka. Maka berderailah tawa mereka.....
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar