• Sabtu, 11 Januari 2025

    matjenuh


    MISTERI GOA MALAIKAT

    Oleh Barata

    Cetakan Pertama

    Penerbit Wirautama, Jakarta

    Hak Cipta Pada Penerbit

    Dilarang Mengutip atau Memproduksi

    Dalam Bentuk Apapun

    Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

    Barata

    Serial Pendekar Cambuk Naga

    Dalam Episode :

    Misteri Goa Malaikat

    128 Hal,; 12.18 Cm.; 01.1290.50.3


    SATU


    1

    PENDEKAR Pusar Bumi, atau Lanang 

    seta, segera mencabut pedangnya setelah 

    tiga utusan Bukit Badai menyerangnya 

    bertubi-tubi dengan senjata kampak 

    panjangnya.

    "Sreet..!"Pedang Wisa Kobra keluar 

    dari sarungnya. Terdengar bunyi denging 

    yang datar, namun sangat menyakitkan 

    gendang telinga. Ketiga utusan dari 

    Penguasa Bukit Badai meloncat tinggi, 

    bersalto ke belakang bersama. Salah 

    seorang berseru kepada kedua temannya:

    "Cari daun, sumbatkan pada telinga 

    kita!"

    Gerakan ketiga utusan Bukit Badai 

    itu memang gesit dan cekatan. Sambil 

    tubuhnya kembali ke tanah, tangan mereka 

    sudah berhasil menyambut dedaunan dan 

    segera menyumpal Lubang telinganya. 

    Bunyi denging yang dikeluarkan dari 

    pedang Wisa Kobra berkurang.

    "Seraaang...!" salah seorang 

    memberi komando kepada yang lain. Mereka 

    maju serentak dengan gerakan tubuh bagai 

    meluncur mirip peluru. Masing-masing 

    mengacungkan kampak panjang yang 

    menyerupai tombak pendek itu. Ketiganya


    menyerang Pendekar Pusar Bumi dengan 

    ganasnya.

    Tanpa bicara sepatah kata pun, Pen-

    dekar Pusar Bumi siap menghadang 

    serangan tiga arah: kiri, kanan dan 

    depan. Ketika kampak panjang berjarak 

    satu hasta dari tubuhnya, ia segera 

    mengibaskan pedang Wisa Kobranya dengan 

    gerakan memutar cepat, tangan keduanya 

    memegangi gagang pedang Wisa Kobra. 

    Kokoh dan gerakannya sangat cepat. 

    "Trang... trang... trang...!" Dalam 

    satu kali tebasan beruntun itu, kampak 

    panjang terpotong, masing-masing 

    menjadi dua bagian. Tetapi ketiga tubuh 

    yang meluncur itu masih hendak menerjang

    Lanang seta. Maka segera ia menjatuhkan 

    badan ke tanah, berguling tiga kali 

    dengan cepat. Pada waktu itulah pedang 

    Wisa Kobra diayunkan ke atas dan berhasil 

    merobek ketiga perut lawan.

    "Aaakh...!" ketiganya berteriak 

    serempak. Tanpa dikomando lagi, 

    ketiganya kelojotan dalam sekaratnya. 

    Perut mereka robek, isinya berhamburan 

    keluar. Salah seorang ada yang mencoba 

    bertahan, memegang usus dan isi perutnya 

    yang lain, memaksakan diri untuk dapat 

    memasukkan isi perutnya lagi. Namun 

    sebelum pekerjaan itu ia kerjakan dengan


    baik, nafasnya tersentak-sentak, lalu ia 

    sendiri diam tak berkutik lagi.

    Pendekar Pusar Bumi segera memasuk-

    kan pedangnya ke sarung pedang yang 

    berada di punggung. Ia berdiri dengan 

    tegap. Memandang ketiga mayat lawannya 

    dengan senyum sinis. Rambutnya yang pan-

    jang diikat kulit macan tutul itu masih 

    dipermainkan angin senja. Ia masih 

    tertegun memandangi mayat musuhnya yang 

    dedel duel itu.

    Mendadak ia terlempar ke depan, 

    nyaris menjatuhi ketiga mayat itu. 

    Sebuah pukulan jarak jauh begitu hebat 

    menghentakkan punggungnya. Pendekar 

    Pusar Bumi segera membelalakkan mata, 

    menatap dengan garang namun tidak kasar. 

    Ia baru saja berdiri dengan sebelah kaki, 

    ketika tiba-tiba tubuhnya terasa disapu 

    oleh hembusan angin yang sangat kencang, 

    bagai badai yang melanda dan mampu 

    merobohkan gedung sekokoh apa pun.

    Pendekar Pusar Bumi 

    terguling-guling tak tentu arah. 

    Kemudian segera menghentakkan salah satu 

    kakinya, dan melejitlah ia ke udara 

    sambil memasang kesigapan. Begitu 

    kakinya kembali menapak ke tanah, ia 

    disambut oleh seribu jarum berwarna 

    hitam yang melesat ke arahnya. Karuan


    saja pendekar tampan itu melejitkan 

    tubuhnya kembali dengan gerakan tangan 

    terentang dan mengguling ke kiri 

    beberapa kali. Pedang Wisa Kobra segera 

    dicabutnya begitu kakinya menyentuh 

    tanah. Ia bersiap menghadapi serangan 

    gelap.

    "Siapa yang pengecut itu? 

    Keluarlah! Mungkin kita butuh 

    berkenalan!" seru Pendekar Pusar Bumi. 

    Kedua tangannya memegangi gagang pedang, 

    siap untuk menebas apa pun yang 

    menyerangnya. Matanya melotot, namun 

    tidak kasar. Tajam, bagai mampu memotong 

    dahan yang dipandangnya. Tapi di balik 

    ketajaman mata itu, tampak suatu 

    genangan bening yang meneduhkan.

    Angin senja bertiup lembut. 

    Penyerang gelap yang ditunggu belum mau 

    menampakkan diri. Lanangseta masih 

    menunggu. la sempat terkejut melihat 

    beberapa tanaman yang mendadak menjadi 

    kering karena dihunjam jarum-jarum 

    hitam, yang tadi nyaris menembusi 

    badannya.

    "Sobat! Keluarlah kalau kau ingin 

    mengenalku!" seru Lanangseta kembali.

    Kemudian dari balik semak belukar 

    yang berduri tajam itu, muncullah 

    sesosok tubuh gemulai. Senyumnya mekar


    dari bibir yang merah merekah. Ia 

    melangkah bagai tanpa menghiraukan duri 

    menggores kulit tubuhnya yang mulus. Ia 

    amat tenang dipandang Lanangseta dengan 

    mata membelalak dan mulut melongo. Dia 

    bahkan ingin tertawa waktu Lanangseta 

    menurunkan pedangnya yang terangkat dan 

    mengusap lehernya yang berkeringat. 

    "Kau...? Perempuan...?" Lanangseta 

    terkesima melihat kecantikan perempuan 

    berpakaian serba hijau itu. Rambut 

    panjang perempuan itu ditekuk ke atas, 

    menjadikan satu sanggul yang indah, 

    namun masih bersisa beberapa jengkal 

    bagian ujung rambut itu. Dan sisa rambut 

    itu dibiarkan berjuntai ke bawah dengan 

    lemas, bagai seikat ekor kuda semberani. 

    Perempuan itu sangat anggun. Matanya 

    yang indah dan bening dan bergaris hitam 

    pada tepian kelopaknya itu sangat 

    mengagumkan. Hidungnya mancung, sedikit 

    mencuat ke atas, namun sangat indah. Ia 

    mengenakan giwang bermata merah delima. 

    Juga mengenakan kalung emas berliontin 

    batu zamrud Hijau, bening. Ia mengenakan 

    pakaian potongan lelaki: celana pangsi 

    dari bahan halus berenda benang emas, dan 

    baju lengan panjang terbuat dari bahan 

    yang sama, juga berenda emas di 

    tepiannya. Baju itu tidak dikancingkan,


    sehingga terlihat kain penutup dada yang 

    berwarna hijau transparan. Ia mengenakan 

    sabuk berukuran empat jari berwarna 

    kuning emas. Di bagian tengahnya 

    terdapat batu-batu kecil berwarna hitam 

    bening.

    Lanangseta belum mau berkedip. Rugi 

    berkedip sedetik pun. Jari-jemarinya 

    yang lentik dan indah itu mempunyai 

    kuku-kuku yang bersih. Tidak terlalu 

    panjang, namun bentuk kukunya itu jelas 

    sekali kalau sering dirawat. Sekerat 

    cincin bermata merah delima, sama dengan 

    kalungnya. Cincin itu sangat tipis, 

    namun justru itu yang membuat indahnya 

    lentik jemarinya. Sesekali pandangan 

    Lanangseta tertuju ke cincin, namun 

    lebih sering tertuju ke bagian dada yang 

    berlapis kain tipis, sehingga 

    menampakkan betul lekuk belahan dadanya, 

    dan menampakkan betul permukaan kedua 

    ‘bukitnya' itu. Sesekali memang darah 

    Lanangseta berdesir, tapi ia selalu 

    mencoba untuk meredakan sesuatu yang 

    melonjak-lonjak dalam dirinya.

    "Siapa kau sebenarnya?" itulah 

    suara Lanangseta setelah mulutnya terasa 

    kelu beberapa saat. Perempuan itu hanya 

    tersenyum tipis. Sangat tipis. Pandangan 

    matanya tertuju pada mayat-mayat yang


    robek perutnya itu. Ia kelihatan tenang, 

    langkah kakinya amat berwibawa ketika ia 

    memeriksa ketiga mayat itu. Dan waktu ia 

    berpaling kembali memandang Lanangseta, 

    sorotan matanya itu sangat mendesirkan 

    hati yang dipandang. Begitu berwibawa 

    dan mencerminkan ketegasan dan 

    keberaniannya yang luar biasa.

    "Ohh... dia begitu anggun dan 

    meng-etarkan," kata Lanangseta di dalam 

    hati.

    "Jangan memuji...!" tiba-tiba 

    perempuan bagai bidadari itu berkata 

    dengan suaranya yang amat lembut, enak 

    sekali didengarnya.

    "Memuji? Siapa yang memujimu?"

    Perempuan itu memandang keadaan 

    sekeliling dengan tenang. Ia juga 

    berkata, "Kau tadi mengatakan aku begitu 

    anggun dan menggetarkan!"

    "Gila! Dia bisa mendengar suara 

    batinku," gumam Lanangseta dalam hati. 

    Tiba-tiba perempuan itu berkata dengan 

    sedikit mengangkat alisnya yang tebal 

    tapi teratur rapi.

    "Memang. Tapi tidak berarti aku 

    gila, seperti katamu tadi."

    "Aku tidak berkata apa-apa," 

    Lanangseta mencoba mengelak.


    Perempuan itu menyunggingkan senyum 

    tipis, namun justru menambah pesona di 

    wajah ayunya.

    "Kau mengatakan aku gila. Kau! heran 

    bahwa aku bisa mendengar suara batinmu."

    Pendekar Pusar Bumi mendesah lirih, 

    merasa malu. Ia kini percaya bahwa 

    perempuan punya ilmu tinggi itu tak bisa 

    dibohongi. Ia bukan barang mainan yang 

    pantas buat hiburan. Dan... tiba-tiba 

    pada saat itu, perempuan itu berkata 

    lirih, "Cobalah mempermainkan aku kalau 

    kau ingin kehilangan nyawa dan ragamu!"

    "Tutuplah telinga hatimu," ujar La-

    nangseta setelah tertegun beberapa saat 

    ketika perempuan itu ganti 

    memandanginya. "Jika kau tidak menutup 

    pintu hatimu, aku tidak bisa bicara 

    dengan santai denganmu."

    “Kau membutuhkan itu?"

    "Ya. Aku ingin bicara dengan santai 

    denganmu. Kita perlu saling kenal. Bukan 

    saling mencurigai dan menyelidiki!"

    Sungging senyum sinis yang tipis 

    mekar di ujung bibir. Lagi-lagi 

    Lanangseta mengeluh dan mendesah melihat 

    senyuman yang indah itu.

    “Kau telah melanggar memasuki 

    wilayahku. Kau telah membunuh ketiga 

    anak buahku, dan kau.."


    "Aku minta maaf. Aku tidak tahu ini 

    wilayah siapa." Lanangseta menyahut 

    dengan cepat. Tangan kanannya masih 

    memegangi pedang. Lalu ia buru-buru 

    menyarungkan pedang itu.

    "Kalau kau mau menjelaskan, mungkin 

    aku bisa mempertimbangkan kesalahanku," 

    kata Lanangseta lagi.

    "Bukan kau, tapi aku yang harus 

    mempertimbangkan kesalahanmu!" 

    perempuan anggun itu bicara lebih keras 

    lagi. "Bukit Badai adalah wilayah 

    kami, Ayahku yang menjadi penguasa Bukit 

    Badai ini. Siapa pun tak boleh menginjak 

    wilayah ini, sebab ini wilayah yang 

    suci." 

    "Suci?" 

    “Ya. Bagi kami, ini wilayah yang 

    suci. Sebab di sinilah, nenek moyang 

    kami, yang menurunkan kami selama ini, 

    hilang tanpa jasad, sehingga Bukit Badai 

    ini merupakan makam leluhur kami yang 

    perlu dijaga dan disucikan. Kami tidak 

    mengijinkan setiap orang seenaknya 

    menginjak-injak makam leluhur kami."

    "Makam...?" gumam Lanangseta. Ia 

    memandang sekeliling. "Makam sebesar 

    ini? Ah... ini mengada-ada. Makam masa 

    sebesar bukit begini?!"


    Perempuan itu berjalan, lebih 

    mendekati Lanangseta. Ia memandang 

    dengan tajam, tak berkedip, tak juga 

    menjemukan diterima Lanangseta.

    "Apalagi kau tadi kami lihat keluar 

    dari mulut goa. Itu goa larangan bagi 

    kami. Itu goa keramat, juga suci. Tak 

    seorang pun boleh keluar masuk seenaknya 

    di goa Malaikat itu. Mengerti?!" 

    hardiknya.

    "Goa Malaikat?! Yang mana goanya? 

    Aku tadi hanya keluar dari sebuah lorong, 

    semacam lobang sumur yang letaknya mi-

    ring bagai mulut goa."

    "Itulah Goa Malaikat! Jangan kau 

    masuk ke sana lagi!" perempuan itu 

    berkata tegas, sedikit membelalak, dan 

    mata itu semakin indah saja 

    dipandangnya. Lanangseta sempat 

    berdecak kagum. Tangan perempuan itu 

    dengan berani menampar pelan pipi 

    Lanangseta. "Plak...!"

    "Dengar kata-kataku! Jangan 

    berpikiran usil!"

    Tamparan itu tidak menyakitkan. La-

    nangseta merasa tak perlu marah. Hanya 

    saja dia berpikir, bagaimana caranya 

    supaya bisa ditampar lagi seperti tadi. 

    Dan tiba-tiba perempuan itu menamparnya 

    lagi. "Plaak...!" Lanangseta kaget. "Eh,


    betul-betul ditampar lagi?" pikirnya 

    heran.

    Lanangseta mengusap pipi yang 

    ditampar. Sedikit menyengat, tapi enak. 

    Dihati berdesir indah. Ada kesan 

    tersendiri dalam dua kali tamparan itu. 

    Lanangseta tersenyum bagai mengucapkan 

    kata terima kasih terhadap kedua 

    tamparan tersebut. Namun, perempuan itu 

    tiba-tiba melangkah pergi tanpa bicara 

    apa pun. Lanangseta mengejar, melompat 

    dan melayang melalui atas kepala 

    perempuan tersebut, dan berdiri di depan 

    perempuan berpakaian hijau muda.

    "Ada yang lupa kau katakan," ujar 

    Lanangseta.

    Perempuan itu mengerutkan alisnya 

    yang tebal namun berbentuk indah.

    "Kau belum menyebutkan namamu," 

    sambung Lanangseta.

    "Aku tidak punya nama," jawabnya 

    ketus.

    "Jadi bagaimana kalau aku bertemu 

    denganmu dan ingin memanggilmu?"

    “Tak perlu memanggil!" sambil 

    berkata begitu, ia melangkah ke arah 

    lain. Lanangseta diam sebentar, lalu 

    mengejarnya lagi.

    "Tunggu...!"


    Perempuan itu tiba-tiba melesat 

    dalam satu gerakan terbang seperti 

    kunang-kunang hendak menghilang. 

    Lanangseta tak mau tinggal diam. Ia ikut 

    melesat dan tahu-tahu sudah berada di

    depan perempuan itu.

    "Aku butuh mengetahui namamu."

    "Untuk apa, hah?" ia menghardik. 

    Matanya melebar sedikit.

    Lanangseta terkagum sejenak, 

    kemudian menjawab, "Untuk kucocokkan 

    kepada siapa pun yang tahu riwayat Bukit 

    Badai dan Goa Malaikat, apakah benar kau 

    termasuk keturunan leluhur yang kau 

    bilang tadi hilang di sini itu."

    "Membosankan!" ucapnya tandas. 

    Kemudian perempuan itu menghentakkan 

    kakinya dan melambung ke atas. Ia sampai 

    di dahan pohon. Memandang Lanangseta 

    sebentar dengan senyum sinis, lalu 

    melayang dari dahan ke dahan. Lanangseta 

    tak mau kalah upaya. Ia juga mampu 

    melesat dan nangkring di dahan yang 

    menjadi sasaran perempuan itu 

    berikutnya. Sehingga, mau tak mau mereka 

    berada dalam satu dahan pohon.

    "Apa susahnya hanya menyebut satu 

    nama saja," kata Lanangseta. Perempuan 

    itu tidak menjawab. Melesat lagi bagai 

    seekor burung kutilang yang terbang ke


    pohon lain. Lanangseta mengejar, dan 

    berhasil dalam satu dahan lagi.

    “Kau jangan membuatku marah dalam 

    hati. Sebutkan, siapa namamu!"

    "Tanyakan saja pada orang di sekitar 

    sini, atau siapa saja!"

    "Aku ingin mendengar dari mulutmu!"

    "Brengsek...!!" Perempuan itu 

    menyerang dengan satu pukulan. 

    Lanangseta kaget, dan melayang jatuh 

    begitu tangan perempuan anggun itu 

    menghentak di dadanya. Untung ilmu 

    peringan tubuh dapat digunakan 

    sewaktu-waktu, sehingga Lanangseta tak 

    mengalami cedera begitu jatuh dari atas 

    pohon. Hanya kepalanya sedikit pusing 

    karena terbentur akar pohon yang besar.

    Ia melihat perempuan itu melesat 

    bagai kilasan cahaya berwarna hijau. 

    Lanangseta penasaran sekali. Segera ia 

    memburunya dengan menggunakan jurus 

    Lindung Bumi. Tubuhnya amblas ke tanah 

    dan tak terlihat lagi.

    Perempuan itu menyangka Lanangseta 

    sudah pergi. Ia segera turun dari 

    dahan-dahan pohon. Lalu berjalan tenang. 

    Namun mendadak ia nyaris terpekik kaget, 

    karena dalam dalam tanah yang ada di 

    depannya itu muncullah Lanangseta dengan 

    terlebih dulu menghamburkan tanah


    tersebut. Lanangseta menyunggingkan 

    senyum canda ketika melihat perempuan 

    itu terkejut. Wajahnya begitu manis 

    dalam keadaan kaget. Lanang tertawa 

    pelan.

    "Cuma ingin tahu nama saja sampai 

    harus begini?"

    "Aku tidak punya nama!" hardik 

    perempuan itu.

    "Mustahil!" 

    "Minggir!" 

    "Sebutkan dulu...." 

    "Minggir...!!" bentaknya lebih 

    keras. Lanangseta menggeleng. Kemudian 

    tanpa ragu-ragu lagi perempuan itu 

    melancarkan pukulan ke arah dada 

    Lanangseta dengan gerakan sedikit 

    membungkuk, membuat tipuan. Lanangseta 

    terpental ke belakang karena tak sempat 

    menangkis pukulan yang cukup gesit itu. 

    Dalam keadaan limbung begitu, kaki 

    perempuan itu menendangnya kuat-kuat, 

    sehingga Lanangseta memekik tertahan, 

    memegangi perutnya yang mulas.

    Perempuan itu membiarkan Lanangseta 

    menyeringai kesakitan. Ia tidak 

    menyerang lagi, tapi melesat dalam satu 

    loncatan yang cepat untuk menghilang. 

    Tapi agak-nya Lanangseta tak mau 

    kehilangan perempuan itu sebelum


    mendengar siapa namanya. Lanangseta 

    segera menyusul dengan satu loncatan 

    yang tak kalah cepatnya. Ia bersalto 

    beberapa kali di udara sehingga 

    tahu-tahu sudah berdiri di depan 

    perempuan itu. Perempuan itu 

    menghempaskan nafas, penuh kejengkelan. 

    Namun agaknya ia masih mencoba untuk 

    menahan emosinya.

    "Keras kepala...!" geram perempuan 

    itu dengan memancarkan pandangan yang 

    tajam meneduhkan, sama dengan pandangan 

    mata Lanangseta. Sebenarnya perempuan 

    itu mengakui kehebatan ilmu Lanangseta, 

    juga mengakui pancaran sinar mata Lanang 

    yang tajam dan meneduhkan. Hanya saja, ia 

    pantang mengungkapkan kata-kata untuk 

    itu semua. .Ia hanya menggeram dalam 

    kejengkelan dan Lanangseta belum mau 

    menyerah.

    “Tolong... sebutkan namamu. Aku 

    sangat membutuhkannya." Lanangseta 

    berbicara dengan pelan dan serius. 

    Perempuan itu hanya mendesis.

    "Kau sudah punya kekasih. Untuk apa 

    mengenal namaku."

    Lanangseta terbengong sesaat. "Dari 

    mana dia tahu kalau aku sudah mencintai 

    Sekar Pamikat?" pikir Lanangseta, dan 

    tiba-tiba ia membungkam pikirannya



    sendiri setelah disadari bahwa perempuan 

    itu jago mendengar suara hati orang lain. 

    Buktinya kali ini ia tersenyum sinis.

    Pasti dia telah mengetahui pikiran 

    Lanangseta baru saja itu. Karenanya, 

    Lanangseta menjadi punya gagasan untuk 

    memanfaatkan keahlian perempuan anggun 

    itu. Ia berkata di dalam hatinya, 

    "Sebenarnya perempuan ini lebih cantik 

    dari Sekar Pamikat..."

    "Ada reaksi yang terlihat di wajah 

    anggun yang cantik itu, yakni seulas 

    senyum tersipu yang sangat tipis. 

    Perempuan itu berusaha menyembunyikan 

    senyuman tipisnya, namun mata Lanangseta 

    lebih tangkas menangkap arti senyuman 

    itu. Kemudian ia berkata dalam hati lagi, 

    "Kalau saja... perempuan ini mau 

    menyebutkan namanya, mungkin aku dapat 

    tergoda dan takut mengigau 

    memanggil-manggil namanya. Wah, bisa 

    kacau kalau sampai didengar Sekar 

    Pamikat..."

    Senyum itu semakin nyata, mekar di 

    ujung bibir yang tipis, merekah dan cukup 

    sensual. Lanangseta buru-buru berkata 

    dalam hati, "Ah, sebaiknya kubatalkan 

    saja untuk mengetahui namanya. Baiklah, 

    kutinggalkan saja perempuan ini dari 

    pada nanti jadi runyam segalanya...."


    "Pentingkah namaku bagi dirimu?" 

    tiba-tiba perempuan itu bertanya 

    demikian. Ia terpancing. Ia menampakkan 

    tanda-tanda sengaja memberikan namanya.

    "Tidak," jawab Lanangseta, tetapi 

    dalam hatinya segera berkata, 

    "Mudah-mudahan dia tak jadi menyebutkan 

    namanya."

    Perempuan itu mendengar kata hati 

    Lanangseta, lalu ia berkata dengan suara 

    lirih, namun matanya tertuju ke arah 

    lain:

    "Namaku..." dia berhenti, agak 

    ragu. Lalu menyambungnya lagi dengan 

    bibir gemetar:"... Kirana Sari..."

    Dan seketika itu juga terdengar 

    suatu ledakan di angkasa: "Glegaar...!" 

    Angin bertiup kencang, petir 

    menyambar-nyambar tanpa setetes pun 

    hujan. Langit bagai terbelah oleh nyala 

    api yang menggores tajam. Awan hitam dan 

    putih bergolak. Lanangseta gemetar, 

    memandang ke atas, tertegun pada awan 

    yang bergolak-golak bagai dipermainkan 

    topan dahsyat. Bumi pun terasa 

    bergoncang samar-samar. Nyala merah 

    bagai membakar langit, nyala mmerah itu 

    menjadi setiap terdengar ledakan di 

    langit, di sela-sela gumpalan mega hitam 

    yang mengamuk mengerikan. Tubuh


    Lanangseta sendiri nyaris tumbang karena 

    tiupan angin yang begitu kuat. Sedangkan 

    Kirana Sari pun terpaksa menundukkan 

    kepala, bagai menahan diri dari hempasan 

    badai yang datang dengan tiba-tiba.

    Lanangseta sangat heran dengan 

    kejadian alam yang secara tiba-tiba itu. 

    Ia memandang Kirana Sari, ingin bertanya 

    ada apa sebenarnya sehingga langit 

    menjadi terbakar dan awan hitam 

    menggulung-gulung bagai pusaran pembawa 

    maut.

    "Kirana Sari... ada..."

    Belum sempat Pendekar Pusar Bumi 

    meneruskan kalimatnya, tiba-tiba 

    goncangan bumi semakin terasa kuat. 

    Pohon tumbang di beberapa tempat. Badai 

    semakin kuat, mengerikan. Gelegar di 

    angkasa benar-benar bagai memecahkan 

    langit. Mendung hitam menyatu dengan 

    awan putih, menjadi satu pusaran maut. 

    Petir semakin merajalela bergerak gila 

    di angkasa. Loncatan api yang 

    menimbulkan suara ledakan semakin 

    bertambah banyak. Lanangseta sempat 

    jatuh terduduk karena dihempas badai 

    setan, yang begitu kuat dan mampu 

    mematahkan batang pohon sebesar 10 

    pelukan manusia. Gemuruh suara pohon 

    rubuh sangat mengerikan. Kirana Sari


    hanya diam, menutup mulutnya 

    rapat-rapat, memandang Lanangseta 

    dengan rasa iba. Kemudian ia mengulurkan 

    tangannya kepada Lanangseta yang nyaris 

    terseret badai ke arah selatan. 

    Lanangseta menyambut uluran tangan 

    perempuan anggun itu. Dengan kuat 

    perempuan itu menarik Lanangseta 

    sehingga lelaki tampan itu tak jadi 

    terbawa arus badai. Mereka diam dengan 

    saling berpegangan. Namun sesungguhnya 

    perempuan itulah yang memegangi 

    Lanangseta dan menahannya kuat-kuat agar 

    jangan sampai pemuda yang baru 

    dikenalnya itu terpelanting dan terbawa 

    arus badai yang sangat kencang itu.

    Beberapa saat kemudian, amukan alam 

    berhenti. Angin perbukitan menjadi 

    semilir. Namun banyak pepohonan yang 

    rusak total. Bumi bagai habis dilandai 

    gempa yang begitu dahsyat. Lanangseta 

    terbengong-bengong memandang kekacauan 

    itu.

    Ia masih dipegangi oleh Kirana Sari. 

    Perempuan itu berbisik lirih, namun 

    bernada jelas dan tegas:

    "Tinggalkan Bukit Badai ini, dan 

    jangan sebut lagi namaku."

    Lanangseta merasa heran. Ia ingin 

    bicara, tapi tangan Kirana Sari segera


    menutup mulut yang sudah terlanjur 

    terganga itu.

    "Jangan sebut lagi namaku. Ingat 

    itu. Sekali pun kau ada di depanku, 

    jangan sebut namaku."

    “Kenapa?"

    “Kau telah mengalami akibatnya jika 

    nama itu disebutkan seseorang."

    Kerutan dahi Lanangseta semakin ta-

    jam. "Jadi, badai dan petir yang mengamuk 

    tadi akibat dari namamu yang 

    disebutkan?"

    Kirana Sari mengangguk.

    "Hebat! Tapi gila ini.,.! Gila 

    sekali! Masa menyebutkan nama saja 

    sampai membuat bumi dan seisi alam 

    menjadi berantakan begini?!"

    “Kalau kau ingin selamat, jangan 

    sebutkan namaku. Kau tadi telah 

    menyebutkannya setelah aku menyebutkan 

    namaku. Dan kau tahu amukan alam semakin 

    menggila, bukan?" Kirana Sari menjauh, 

    memandang kehancuran beberapa pohon di 

    sekitarnya. Lalu terdengar suaranya yang 

    masih bernada tegas dan berwibawa.

    "Itulah sebabnya aku tak pernah me-

    nyebutkan namaku kepada siapa pun. Jika 

    keadaan tidak memaksa sekali, aku tak mau 

    memberikan namaku kepada seseorang. 

    Karena nama itu adalah nama yang dipakai


    oleh leluhurku untuk menghancurkan 

    sebuah pulau beserta gunung-gunungnya di 

    laut selatan. Pulau itu, cukup besar. 

    Lebih besar dari Pulau Jawa ini. Tapi 

    karena dihuni oleh sekelompok 

    orang-orang maksiat, dipimpin oleh 

    seorang ratu yang amat jahat, maka 

    leluhurku menghancurkannya dengan ilmu 

    tersebut, yang kini menjadi namaku. Jadi 

    kuminta, jangan lagi kau sebutkan 

    namaku."

    "Jadi, bagaimana jika aku ingin 

    memanggilmu suatu saat nanti?"

    "Panggillah di dalam hatimu, aku 

    pasti mendengarnya. Tapi kurasa itu tak 

    perlu, karena kita tak akan bertemu lagi. 

    Kau harus pergi dan jangan kembali lagi 

    kemari!”

    ***

    2

    ANEHNYA, bukan Lanangseta yang 

    pergi lebih dulu, melainkan Kirana Sari 

    yang melangkah meninggalkan Lanangseta. 

    Sebelumnya ia sempat berkata untuk yang 

    terakhir kalinya:


    "Pergilah, jangan bertahan! Ilmumu 

    memang hebat, tapi kau tak akan sanggup 

    menghadapi kekuatan kami, orang-orang 

    Bukit Badai ini. Kau telah membunuh tiga 

    anak buahku, kuampuni itu, asal kau cepat 

    pergi dan jangan menginjak makam leluhur 

    kami ini. Bila nanti masih kulihat kau 

    berada di wilayah Bukit Badai, kau akan 

    kubunuh!"

    Itulah kata-kata terakhir, sebelum 

    ia melangkah 7 kali, untuk kemudian 

    melesat bagai bayangan sinar hijau. 

    Lanangseta ingin memperpanjang 

    percakapan, tapi benar-benar tak ada 

    kesempatan lagi. Ia mengejarnya, ah... 

    gagal. Perempuan dengan nama Kirana Sari 

    itu hilang bagai ditelan bumi. 

    Lanangseta menyesal. Kecewa sekali. Tapi 

    bekas wajahnya yang anggun, cantik dan 

    menggetarkan hati itu masih melekat 

    dalam benak Lanangseta.

    Sambil melangkah menuju mulut goa, 

    tempat ia tadi keluar, Lanangseta 

    bergumam sendiri dalam hati, 

    menyebut-nyebut nama Kirana Sari yang 

    unik, tapi mengagumkan. Sesekali 

    Lanangseta ingin mencoba menyebutkan 

    nama itu lewat mulutnya, tapi ia 

    membatalkan niat itu, ia tak ingin 

    memancing kemarahan Kirana Sari, yang


    menurutnya bisa-bisa akan membunuhnya 

    dengan sadis. Dalam hati pula, La-

    nangseta mengakui kehebatan ilmu dan 

    tenaga dalam yang dimiliki Kirana Sari. 

    Ilmu yang langka dan memukau lawan. Tapi, 

    bagaimanapun ia tak yakin kalau ia dapat 

    dikalahkan Kirana Sari.

    "Aneh..." gumamnya sendirian. 

    "Padahal tujuanku keluar dari goa untuk 

    mencari kemungkinan membawa Ekayana yang 

    terluka di punggung itu, tapi kenapa 

    justru terbuai oleh kehebatan Ki... eh, 

    tak jadi. Kehebatan dia, maksudku," 

    Lanangseta tertawa sendiri, karena ia 

    nyaris menyebutkan nama Kirana Sari 

    lewat mulutnya. Untung ia segera ingat.

    Goa yang dikatakan sebagai Goa 

    Malaikat itu bermulut kecil. Menyerupai 

    mulut sumur dalam posisi miring. 

    Lanangseta keluarnya saja hams 

    merangkak, demikian juga masuknya 

    kembali. Apapun yang dikatakan Kirana 

    tadi, ia sama sekali tidak percaya. 

    "Ini bukan goa! Apalagi dikatakan 

    goa suci, uuh... ngibul!" Ia bicara 

    sendiri sambil merangkak masuk mulut 

    goa.

    Beberapa saat kemudian ia mencapai 

    tempat yang luas. Ia berdiri. 

    Langit-langit goa hampir menyentuh


    rambut kepalanya. Ia melangkah, lebih ke 

    dalam lebih lebar dan lebih tinggi 

    langit-langitnya. Sinar matahari masih 

    sempat menerangi bagian dalam goa yang 

    sudah selebar balairung. Memang 

    cahayanya remang-remang, tapi La-

    nangseta hapal ke arah mana ia tadi 

    meningalkan adik kembarnya: Ekayana yang 

    terluka bersama teman-teman lainnya. Ka-

    lau saja Ekayana tidak terluka akibat pe-

    dang beracun orang Sendang Bangkai 

    (dalam kisah Rahasia Sendang Bangkai), 

    mungkin ia tak perlu repot-repot keluar 

    dari goa dulu. Mungkin ia lebih baik 

    beristirahat dulu di dalam goa bersama 

    teman-temannya dan kekasihnya: Sekar 

    Pamikat atau si Dewi Cambuk Naga itu. 

    Tetapi, agaknya keadaan tidak 

    memungkinkan. Ia harus segera membawa 

    keluar Ekayana, adik kembarnya itu, 

    membawanya pulang ke Pesanggrahan 

    Cendana Manik untuk meminta pengobatan 

    dari ayahnya yang telah lanjut usia itu.

    Jalanan di dalam goa terpecah 

    menjadi dua arah, ke kiri dan ke kanan. 

    Lanangseta ingat, tadi ia meninggalkan 

    Ekayana dan yang lainnya di lorong yang 

    kiri. Maka, ia pun melangkah ke lorong 

    yang kiri. Tapi beberapa langkah


    kemudian, ia berhenti dengan 

    terheran-heran.

    "Buntu?! Ah, kok jadi buntu begini? 

    Rasa-rasanya tadi lorong ini amat 

    panjang dan aku meninggalkan saudara 

    kembarku di pertengahan lorong ini. Tapi 

    sekarang... baru beberapa langkah dari 

    persimpangan lorong, kenapa sudah jadi 

    buntu begini?!"

    Lanangseta yang dikenal dengan nama 

    Pendekar Pusar Bumi itu masih tertegun 

    beberapa saat. Lalu ia memeriksa dinding 

    yang seakan membatasi dan menutup lorong 

    itu. Oh, ternyata dinding tersebut 

    berlumut, lembab dan kekar.

    "Ini bukan ciptaan baru. Ini memang 

    sudah lama. Jadi bukannya ada orang usil 

    menutup jalan ini, tapi memang aku yang 

    tersasar arah..." Lalu ia meninggalkan 

    lorong itu.

    Pendekar Pusar Bumi berbalik arah. 

    Ia tiba di persimpangan lorong. Cahaya 

    matahari menyinar temaram dari mulut goa 

    yang kecil itu. Ia segera menuju ke 

    lorong kanan. Dengan hati-hati ia 

    melangkah dan meneliti keadaan 

    sekitarnya dengan pan-danganmata 

    sebisa-bisanya. Tetapi ia kembali 

    ternenti, karena lorong itu bahkan lebih 

    pendek dari yang kiri tadi. Ia tak dapat



    melanjutkan ke mana-mana. Ia terbengong 

    dan clingak-clinguk keheranan.

    "Apakah aku salah masuk?" pikirnya. 

    "Tapi mana mungkin aku salah masuk? Tadi 

    aku keluar dari sini. Jelas persimpangan 

    lorong yang berbatu pada ujungnya itu 

    kuingat betul. Dan waktu aku keluar, aku 

    dengan merangkak ke mulut goa itu yang 

    semakin sempit. Juga begitu keluar, aku 

    menghadap pada sebuah pohon besar yang 

    berakar mirip dinding sebuah rumah. Dan 

    kalau sekarang aku keluar lagi, maka aku 

    tetap akan menghadap ke arah pohon itu. 

    Tapi... kenapa jalan lorong keduanya 

    menjadi buntu?" Lanangseta melangkah. 

    Matanya mengawasi dengan cermat apa saja 

    yang ada di samping kanan-kirinya. Ia 

    mendesah, tak ada jalan lain. Hanya ada 

    dua lorong itu, tapi semuanya buntu.

    "Gila!" geramnya. Ia kembali ke 

    lorong kiri, meneliti dinding yang 

    seakan menjadi penghalang lorong itu. Ia 

    memukul-mukulnya, tapi dinding itu tetap 

    kokoh. Padat berisi, bukan berongga di 

    dalamnya. Berarti memang tidak ada jalan 

    di balik dinding tersebut.

    "Lantas aku tadi keluar dari mana? 

    Apakah ada mulut goa lainnya yang sama 

    dengan mulut goa ini? Apakah aku memang 

    sudah salah masuk?"


    Lanangseta merayap kembali keluar 

    dari mulut goa. Dia tak jadi 

    memberitahukan kepada teman-temannya 

    bahwa di situ ada tempat untuk keluar 

    dari goa. Ia masih merasa perlu untuk 

    meneliti keadaan sekitarnya, 

    kalau-kalau ada mulut goa yang lain, yang 

    sama dengan goa tersebut. Waktu itu, 

    Matahari sudah mulai terbenam. Sebentar 

    lagi akan menghilang dari permukaan 

    bumi. Lanangseta bergerak lebih cepat 

    meneliti keadaan sekitar mulut goa. 

    Beberapa saat kemudian, ia menghempaskan 

    nafas panjang. "Aaah... memang tak ada 

    lobang lain kecuali mulut goa itu. Aku 

    tidak salah masuk. Tapi mengapa kedua 

    lorongnya menjadi buntu?! Mengapa?!" 

    Lanangseta jengkel sendiri. Ia segera 

    masuk lagi ke dalam mulut goa yang kecil 

    itu dengan merangkak. Ia memeriksa 

    sekali lagi kedua lorong tersebut, oh... 

    masih tetap buntu.

    "Aneh...!" gumamnya. Ia duduk di 

    lantai goa yang lembab. Otaknya pusing 

    memikirkan keanehan tersebut atau memang 

    kekeliruan yang belum disadari. Yang 

    jelas, suatu keanehan telah terjadi pada 

    saat itu.

    Mulut goa itu tiba-tiba tertutup 

    sendiri. Mulanya ada suara gemuruh,


    kemudian Lanangseta berlari ke mulut 

    goa. Dan ia melihat mulut goa itu telah 

    penuh dengan bebatuan serta tanah panas. 

    Ia mencoba merayap untuk mencegah 

    timbunan bebatuan itu, tapi gagal. Goa 

    telah tertutup rapat dan batuan yang 

    menimbunnya bagai mencair, lengket, lalu 

    mengeras. Tak bergeming sedikit pun 

    walau dipukul kuat-kuat.

    "Setan...! Ini pasti perbuatan 

    Kirana,"u capnya dalam hati. Lanangseta 

    menggeram gemas. Ia kembali mundur dan 

    mencapai permukaan goa yang lebar. Ia 

    berdiri dalam gelap pekat tanpa seberkas 

    sinar pun. Hatinya sangat dongkol, dan ia 

    segera mencabut pedang Wisa Kobranya 

    yang bergagang kepala ular kobra.

    Ia mulai merayap lagi ke arah mulut 

    goa, lalu dengan sebisa-bisanya, dalam 

    posisi merangkak begitu, ia 

    menghunjamkan pedang Wisa Kobra ke arah 

    bebatuan yang menutup mulut goa. 

    "Prak... prak...!"

    Bebatuan masih utuh. Lecet pun 

    tidak, mungkin. Gelap. Tak tahu batuan 

    itu lecet atau tidak, yang jelas pada 

    saat itu Pendekar Pusar Bumi merasa tidak 

    mempunyai kekuatan apa-apa. Pedangnya 

    yang kesohor dapat memotong gunung, 

    ternyata tak berkutik dan tak berfungsi


    sedikit pun. Pedang itu bagai tidak 

    mempunyai kekuatan apa-apa lagi.

    "Celaka..,!" gerutunya. Ia mencoba 

    sekali lagi untuk membobol penutup goa 

    dengan pedangnya, namun yang terjadi 

    hanya kilatan cahaya yang gemercik. 

    Batuan itu tetap kokoh, padat. Tak 

    bergerak sedikit pun.

    Gelap begitu pekat. Lanangseta tak 

    dapat melihat. Ia duduk bersandar pada 

    salah satu dinding goa. Ia memikirkan 

    jalan keluar bagi dirinya sendiri. 

    Bagaimana ia dapat menolong Ekayana dan

    yang lainnya kalau dirinya sendiri 

    terkurung dalam kegelapan yang 

    membosankan itu? Tiba-tiba timbul 

    gagasan untuk menggunakan ilmu Wiwaha 

    Moksa yang selama ini menjadi 

    andalannya. Ia segera bangkit, 

    merenggangkan kedua kaki, menghadap 

    pintu goa yang telah tertutup.

    Lalu tangannya kedua-duanya 

    mengeras, mengumpulkan tenaga di telapak 

    tangan. Dalam satu konsentrasi yang 

    tinggi, ia berseru "Wiwaha Moksaaa...!" 

    seraya menggerakkan tangan ke depan.

    "Blaar...!"

    Kilatan cahaya hijau bening 

    tersebar dari kedua tangannya yang 

    terbuka ke depan. Kilatan cahaya bening


    itu mengenai bebatuan yang menjadi 

    penutup! mulut goa. Tapi, bebatuan itu 

    tidak bergerak sedikit pun. Masih tetap 

    kokoh dan padat menutup mulut goa. Sekali 

    lagi ia mencoba dan mencobanya terus, 

    tapi tak pernah tercapai. Tubuhnya 

    menjadi lemas, terlalu lelah. Ia tak 

    ingin mencoba lagi, paling tidak untuk 

    waktu dekat ini. Ia biarkan dirinya duduk 

    dan bersandar sambil memikirkan cara 

    lain untuk dapat keluar dari mulut goa 

    itu.

    Sementara itu, di tempat lain, 

    Andini mengisak dalam tangisnya. Hatinya 

    merasa bingung dan sedih melihat 

    Ekayana, kekasihnya tak dapat bergerak. 

    Tubuhnya semula lemas, lalu menjadi kaku 

    sekujur tubuh. Ia hanya dapat 

    menggerakkan bola matanya dan 

    berkedip-kedip. Ia tak dapat bicara 

    apapun. Tubuhnya telungkup di tanah 

    dengan berlembarkan baju Gopo.

    "Sudah sejauh ini, Lanangseta belum 

    muncul juga," gumam Sekar Pamikat dalam 

    kegelisahannya. Ia ikut memandang iba 

    kepada keadaan Ekayana atau Pendekar 

    Maha Pedang yang bagai sebatang gedebong

    pisang tergeletak di tanah. Luka di 

    punggung makin memborok, mengobarkan bau 

    busuk.



    "Sama seperti kisahku dulu," gumam 

    Ludiro, pengawal setia dari Sekar 

    Pamikat. "Sebentar lagi pasti punggung 

    ini akan menjadi busuk seluruhnya. 

    Kemudian tubuh dan kepalanya juga akan 

    menjadi busuk."

    "Dan dia akan mati?" Gopo menyahut 

    dalam bentuk pertanyaan. Ludiro mau 

    menjawab yang sesungguhnya, namun Andini 

    telah berseru lebih dulu:

    "Tidak! Dia tidak akan mati!"

    Gopo yang bertubuh tinggi, besar 

    bagai raksasa itu nyaris terlonjak 

    kaget. Andini, gadis manja itu, dengan 

    berani berdiri menghadap Gopo dan 

    berkata, "Kalau dia mati, kau juga harus 

    ikut mati!"

    "Apa urusannya?" Gopo bersungut 

    sungut.

    "Kau yang menggendongnya dari 

    Sendang Bangkai tadi! Dan mungkin akibat 

    kau membawanya lari tanpa hati-hati, 

    lalu tubuhnya terbanting-banting di 

    pundakmu, membuat lukanya menjadi lebar 

    dan memborok begini!"

    "Enak saja! Bukannya berterima

    kasih, malah menyalahkan!" Gopo melengos 

    sambil bersungut-sungut.

    "Aku tidak sudi berterimakasih sama 

    kamu!"


    "Dasar, bawel!" bentak Gopo dengan 

    geram.

    Andini jengkel sekali, ia segera 

    menendang Gopo dengan satu kaki. 

    Akibatnya dia sendiri yang jatuh 

    terjungkal ke belakang. "Biadab...!" 

    seru Andini yang manja. Ia bergegas 

    bangkit dan hendak menyerang Gopo.

    Tapi Sekar Pamikat menengahi 

    perselisihan itu, lalu berkata dengan 

    tegas di depan Andini:

    "Kemanjaanmu dan kepicikanmu tidak 

    akan menyelesaikan masalah ini, Andini."

    Andini meredakan emosi. Kepada 

    Sekar Pamikat, ia memang sangat sungkan. 

    Ia menghargai Sekar Pamikat, sekali pun 

    ia sebenarnya mampu melawan Sekar 

    Pamikat, tapi itu tidak diinginkan. 

    Kepada Sekar Pamikat ia lebih banyak 

    menampakkan kemanjaannya:

    “Ekayana kekasihku, dia sakit 

    begitu. Lantas apakah aku tidak boleh 

    bersedih dan panik?"

    "Bersedih yang wajar-wajar saja. 

    Bersedih dengan emosi itu namanya 

    kepicikan. Dan kepicikan seorang manusia 

    dapat membunuh dirinya sendiri dari 

    dalam. Percayalah, mati di tangan musuh 

    itu lebih enak dari pada mati karena 

    kepicikannya sendiri."


    “Bagaimana kalau saya pergi 

    menyusul Pendekar Pusar Bumi, Putri?" 

    tanya Ludiro yang agaknya bosan dengan 

    perselisihan Andini yang manja itu.

    "Jangan kamu, Paman..." Sekar Pami-

    kat memperhatikan luka sabetan pedang 

    beracun itu. Ah, mengenaskan sekali. 

    Jijik, dan ngeri. Luka itu sepanjang satu 

    jengkal, tapi mempunyai lobang yang 

    menguak mengobarkan bau busuk. Darah 

    masih membasah dan bercampur dengan 

    lendir yang menjijikan. Sekar Pamikat 

    sempat bertanya kepada Ludiro.

    "Apakah, dulu kau pun terluka begini 

    parah, Paman?"

    "Ya. Seperti yang pernah saya 

    ceritakan, luka akibat goresan pedang 

    beracun itu membuat lengan saya menjadi 

    busuk, dan saya tak dapat bergerak 

    apa-apa. Tapi, waktu itu ada tetesan 

    darah dari atas pohon, dan ternyata 

    tetasan darah Andini yang terluka karena 

    senjata rahasia saya. Darah itulah yang 

    menawarkan racun, bahkan membuat kering 

    luka-luka itu dengan sangat ajaib." 

    (dalam kisah Rahasia Sendang Bangkai).

    Mendengar penuturan Ludiro itu, An-

    dini segera mencabut golok milik Gopo, 

    lalu menggoreskan pada lengannya.


    "Andini...!!" seru Gopo yang 

    membuat Andini tergerak kaget akibat 

    suara Gopo itu. Tapi ia nekad mengiris 

    lengannya sendiri. Setelah lengannya 

    berdarah, ia teteskan darah itu padaluka 

    di punggung Pendekar Maha Pedang.

    "Tolol...!" gerutu Gopo yang segera 

    mengambil goloknya kembali, yang tadi 

    dilemparkan begitu saja oleh Andini.

    Ternyata, setelah ditunggu beberapa 

    lama, luka di punggung Ekayana masih saja 

    ternganga dan membusuk. Darah Andini 

    tidak dapat menetralisir racun yang 

    mengganas di daging tubuh Ekayana. 

    Andini sendiri telah dibalut lengannya 

    oleh Sekar Pamikat memakai sobekan kain 

    baju Andini sendiri.

    "Kau lihat, betapa kepicikan itu 

    dapat mencelakakan diri sendiri, bukan? 

    Kau gegabah, tidak memakai perhitungan, 

    main iris lengan begitu saja. Nyatanya, 

    luka kekasihmu tidak sembuh, dan kau 

    telah terlanjur terluka...."

    "Kalau begitu," Andini 

    bersungut-sungut seperti anak kecil, 

    "Ludiro bohong! Dia bukan sembuh dari 

    darahku!"

    "Tidak. Aku tidak bohong!" bantah 

    Ludiro.


    “Lalu, kenapa luka di tubuh Ekayana 

    tidak sembuh seperti luka-lukamu dulu? 

    Padahal borok itu juga telah terkena 

    tetesan darahku."

    Sekar Pamikat selesai mengikat luka 

    Andini yang memang tidak berbahaya itu. 

    Ia bicara sambil memeriksa mata Ekayana 

    yang ternyata masih bisa berkedip.

    "Dulu, yang terluka paman Ludiro. 

    Lalu terkena tetesan darahmu. Darahmu 

    itu akibat luka terkena senjata rahasia 

    milik paman Ludiro. Senjata itu beracun 

    juga. Jadi, darahmu waktu itu bercampur 

    dengan racun milik paman Ludiro. 

    Sedangkan di tubuh paman sendiri, racun 

    itu sudah membaur dengan darah 

    dagingnya. Jadi, ketika ia terkena 

    tetesan darahmu yang mengandung racun 

    senjata paman Ludiro itu, membuat suatu 

    bentuk cairan lain yang mampu menawarkan 

    luka-luka di tubuh paman. Berbeda 

    keadaannya dengan luka yang sekarang 

    diderita Ekayana ini..." tutur Sekar 

    Pamikat menjelaskan kepada 'anak kecil.’

    “Tapi... saya perhatikan dari tadi, 

    perkembangan luka ini tidak seganas 

    waktu saya dulu, Putri. Dulu, saya dalam 

    waktu yang sangat singkat, borok itu 

    telah menjalar di sekujur lengan. Tetapi 

    sekarang, luka ini tidak begitu cepat


    menjalarnya. Lamban, walau memang makin 

    melebar..."

    Memang, sekarang kenyataan itu 

    diketahui betul oleh Ludiro. Borok di 

    punggung Ekayana memang melebar, tapi 

    tidak sepesat luka-lukanya dulu. Namun 

    demikian, luka tersebut jelas tetap 

    berbahaya. Jika terlambat tanpa 

    pengobatan, tidak mustahil lagi jika 

    seluruh tubuh Ekayana akan memborok dan 

    membusuk semua. Inilah yang dicemaskan 

    mereka. Hampir setiap orang telah 

    mencoba dengan saranya sendiri untuk 

    mengobati luka tersebut, tapi tak ada 

    yang berhasil. Luka itu cukup aneh dan 

    mengerikan.

    Karenanya rencana mereka semula 

    adalah membawa Ekayana pulang ke 

    Pesanggrahan Cendana Manik, dan 

    menyerahkan luka itu kepada ayahnya yang 

    juga ayah Lanangseta. Tetapi ternyata 

    lorong goa itu cukup panjang dan 

    berliku-liku, sehingga untuk 

    memperingan beban, mereka beristirahat 

    dulu beberapa saat, sementara Lanangseta 

    mencari jalan menuju luar goa.

    Mereka tidak tahu apa yang telah 

    dialami oleh Lanangseta saat itu.

    Penantian membuat kejenuhan dan se-

    makin menegangkan saja rasanya. Sekar


    Pamikat akhirnya berangkat atas 

    persetujuan yang lainnya, untuk mencari 

    jalan menuju luar goa.

    "Jika Lanangseta datang, suruh dia 

    menungguku, jangan menyusul. Nanti 

    malahan kacau lagi," pesan Sekar 

    Pamikat. Ludiro yang menerima pesan itu 

    mengangguk dengan perasaan kesal mengapa 

    bukan dia yang ditugaskan mencari lobang 

    keluar atau mencari Lanangseta sekalian. 

    Tapi, pikirannya segera tenang setelah 

    ia menemukan tendensi dari kepergian 

    Sekar Pamikat. Barangkali gadis cantik 

    kekasih Lanangseta itu tidak tahan 

    terhadap bau busuk dari luka itu. Atau 

    bisa jadi karena ia ingin menemui 

    Lanangseta di suatu tempat yang sepi, 

    yang cuma milik mereka berdua dengan 

    sejuta kemesraan dan rindunya? Sebab 

    itu, Ludiro segera membuang kekesalan 

    hatinya.

    Tapi, dapatkah Ludiro membuang 

    kekesalan hatinya akibat ulah kemanjaan 

    Andini dengan kekasaran Gopo? Seperti 

    yang dihadapi saat ini, Andini 

    membentak-bentak Gopo karena tak mau 

    menghapus darah yang meleleh di kanan 

    kiri punggung Ekayana.

    "Aku jijik dengan darah begituan!" 

    kata Gopo.


    "Sombong!" ketus Andini. "Begitu 

    saja jijik, tapi sama dirinya sendiri 

    yang seperti itu tidak jijik."

    Gopo menggeram. "Jangan keterlaluan 

    bicara denganku, ya?!"

    "Nyatanya kamu memang sok bersih!" 

    debat Andini.

    "Kenapa tidak kau sendiri yang 

    membersihkan darah membusuk itu? Kenapa 

    harus aku? Kamu kan yang menjadi 

    kekasihnya. Harusnya kamulah yang 

    membersihkan darah itu, sebagai tanda 

    kesetiaan kepada kekasih! Tolol!"

    "Aku geli! Aku tak tega!"

    "Sama saja! Aku juga begitu! 

    Goblok...!"

    Sekar Pamikat tak tahu, bahwa 

    seperginya dari mereka, Andini berkelahi 

    dengan Gopo gara-gara jijik dan geli. 

    Gopo diserang dengan suatu pukulan jarak 

    jauh. Lelaki bertubuh besar seperti 

    raksasa brewok itu terpental beberapa 

    langkah dari tempatnya. Gopo marah. Ia 

    berteriak keras, mengeluarkan tenaga 

    dalamnya yang dapat disalurkan dari 

    suara. Hal itu membuat Andini bagai 

    ditabrak banteng lewat. Ia 

    terguling-guling dan jatuh menindih 

    Ludiro yang sedang berusaha bangkit 

    akibat hempasan suara dan nafas Gopo.


    “Kau memang perlu dihajar, Gopo...! 

    Hiaaaat...!"

    Ludiro menendang tangan Andini 

    hingga Andini menyeringai merasa 

    kesemutan. Ludiro berdiri di depan 

    Andini ketika Gopo maju hendak menyerang 

    Andini. Melihat Ludiro berdiri dan 

    bertolak pinggang, Gopo menjadi tak 

    enak. Ia berhenti. Andini semakin 

    bandel, ingin menyerang. Tapi dengan 

    satu gerakan kaki Ludiro yang melintang, 

    Andini jatuh tersungkur.

    "Kita di sini hanya empat orang. 

    Satu terluka, jangan membuat yang tiga 

    menjadi gila!" bentak Ludiro yang 

    bertubuh agak pendek dari Andini, tapi 

    kelihatan berotot. "Untuk apa kalian 

    saling berselisih? Untuk disebut sebagai 

    jago? Untuk dikatakan paling unggul?"

    Andini cemberut sewaktu dipandang 

    Ludiro, ia buang muka. Dan Gopo sudah 

    sejak tadi berjalan pelan, menjauhi 

    Ludiro. Tapi Ludiro masih kelihatan 

    kesal.

    "Bodoh, sekali tempo boleh-boleh 

    saja. Tapi jangan dipelihara sepanjang 

    masa," Ludiro berkata kepada Andini.

    "Dia yang kelewatan!" bantah 

    Andini.


    "Semua kelewatan! Termasuk goa ini! 

    Ini goa apa sampai-sampai mau keluar saja 

    kita kebingungan? Iya, kan?"

    "Kurasa ini goa tempat kita 

    menemukan lumut bercahaya dulu," ujar 

    Gopo dari kejauhan.

    "Bukan! Aku dapat merasakan hawanya 

    lain," kata Ludiro.

    "Gopo melangkah, makin lama makin 

    jauh menyusuri lorong. Ludiro segera 

    berseru:

    "Mau ke mana kau, Gopo?"

    "Aku mau mencari lumut bercahaya. 

    Aku akan memakannya supaya tubuhku 

    menjadi kebal, seperti tubuhmu, Ludiro!"

    "Kembali!" bentak Andini.

    Gopo hanya berpaling sebentar, 

    kemudian melangkah lagi. Pungggungnya 

    yang tanpa baju terlihat bagai menutup 

    pemandangan lorong. Ia melangkah tanpa 

    peduli Andini berseru kepadanya dan 

    meminta ia kembali. Ia sudah dibuai oleh 

    khayalan lumut bercahaya yang dulu 

    pernah mereka temukan, tapi mereka 

    mengiranya tanaman beracun.

    Nyala api dari ikat pinggang yang 

    dibakar masih menerangi suasana dalam 

    lorong goa itu. Letaknya memang sedikit 

    jauh dari tubuh Ekayana yang telungkup di 

    tanah, tetapi Ludiro baru menyadarinya


    bahwa nyala api itu tidak kunjung padam 

    dari tadi. Padahal hanya sebuah ikat 

    pinggang kecil milik Ekayana yang 

    dibakar, namun nyalanya bagai abadi, tak 

    kan kunjung padam. Aneh. Dan baru 

    disadari oleh Ludiro bahwa goa itu pasti 

    menyimpan banyak keanehan. Cukup 

    misterius.

    Ya, memang misterius. Sekar Pamikat 

    pun mengatakan dalam hatinya demikian. 

    Sebab ketika ia patah semangat mencari 

    Lanangseta dan mencari mulut goa, ia 

    ingin kembali kepada teman-temannya, 

    tempat di mana mereka semua berkumpul. 

    Anehnya, ia merasa tersesat beberapa 

    kali, dan akhirnya kebingungan. Ada 

    beberapa lorong dan persimpangannya, 

    tapi ia tidak menemukan di mana jalan 

    yang menuju tempat teman-temannya 

    berkumpul. Ia sudah mencobanya 

    berputar-putar mencari jalan menuju 

    teman-temannya, tetapi rasanya ia hanya 

    berjalan dari masa ke masa, berjalan dari 

    tempat satu ke tempat lain. Ia berjalan 

    terus tanpa menemukan kebun-tuan, tapi 

    juga tidak sampai pada tujuan.

    "Misterius sekali goa ini," 

    pikirnya. Matanya yang sudah terbiasa 

    dalam gelap itu mencoba mencari setitik 

    sinar, yaitu sinar api yang ada di antara



    teman-temannya. Namun setitik sinar itu 

    tidak ia peroleh. Gelap, remang. Itu 

    saja. Dan anehnya, sejak tadi ia juga 

    tidak berjumpa dengan mahluk apapun; 

    binatang, tanaman, manusia, hantu... 

    tidak ada!

    Hanya saja, tahu-tahu ia menemukan 

    tangga menuju ke bawah. Tangga batu 

    berlapis-lapis, dan lebarnya sekitar 

    tiga tom-bak. "Ada ruangan di bawah sana. 

    Sayang gelap..." pikir Sekar Pamikat. Ia 

    mau turun, tapi masih bimbang. 

    Mungkinkah di bawah sana ada Lanangseta, 

    kekasihnya?

    ***

    3

    LANANGSETA yang terkurung di 

    persimpangan lorong itu ternyata telah 

    tertidur beberapa saat lamanya. Ketika 

    ia bangun, ia merasakan badannya amat 

    segar. Tapi keadaan di sekitarnya masih 

    gelap pekat. Pedang masih tergenggam di 

    tangan kirinya, sementara itu tangan 

    kanannya mencoba meraba kalau-kalau


    sesuatu ada di depannya. Ternyata 

    kosong. Ia tetap sendirian.

    Sekarang benak dan otaknya bekerja 

    keras, bagaimana caranya untuk dapat 

    lolos dari kurungan memuakkan itu. Ia 

    sedang berpikir, ketika tahu-tahu pintu 

    goa bermulut kecil yang tertutup 

    bebatuan padat itu bergerak. Ada suara 

    gemuruh terdengar samar-samar. 

    Lanangseta segera lari dan berhenti di 

    hadapan pintu goa yang tertutup. Suara 

    gemuruh itu makin lama semakin panjang 

    dan membuat pintu goa tersebut bergerak 

    nyata. Membuka sedikit. Ada sinar masuk, 

    sinar matahari.

    Oh ternyata hari sudah pagi.

    Namun mulut Lanangseta masih 

    ternganga bengong. Bebatuan yang tadi 

    menutup jalan ke luar dari goa itu bagai 

    sedang dihisap sesuatu dari dalam tanah. 

    Perlahan-lahan bebatuan yang tak mampu 

    ditembus pedang Wisa Kobra itu bergerak 

    turun. Semakin lebar celah sinar masuk, 

    semakin nyata keadaan di luar, dan kini 

    bebatuan tersebut telah lenyap ke dasar 

    bumi. Pintu goa terbuka lebar, tapi tetap 

    selebar kemarin, yaitu selebar mulut 

    su-mur. Sinar terang masuk. Lanangseta 

    tersenyum lega.


    Di ufuk sana, terlihat matahari 

    muncul dari balik cakrawala. Tubuh 

    Lanangseta bagaikan mandi cahaya 

    matahari pagi. Mendadak ia termenung dan 

    manggut-manggut.

    "Sekarang aku tahu, Jelas sudah. 

    Pintu goa itu akan tertutup jika tak ada 

    sinar matahari sama sekali. Tapi akan 

    terbuka jika ada sinar matahari walau 

    hanya setitik," gumamnya sendirian. Ia 

    masih manggut-manggut kagum.

    Sinar matahari menembus permukaan 

    dinding yang ada pada lorong kiri.

    Lanangseta terkejut melihat dinding itu 

    pun bagai tenggelam ke bawah, seakan ada 

    yang menyedotnya dari dalam tanah. Makin 

    lama makin rendah, lalu rata dengan 

    tanah, bahkan tidak terlihat lagi bagian 

    atasnya. Lalu terlihatlah jalan lorong 

    tempat Lanangseta datang dari mulanya. 

    Lorong itulah yang akan membawanya 

    menemui teman-temannya, Gopo, Ludiro, 

    Andini, Ekayana dan Sekar Pamikat 

    kekasihnya.

    "O, oh... pantas aku sempat 

    kebingungan. Ternyata kemarin sore 

    jalanan itu telah tertutup sendiri 

    akibat matahari telah condong ke barat 

    dan ia tak dapat sinarnya. Jadi, jika tak 

    memperoleh sinar matahari, maka ia akan


    menutup sendiri. Tetapi jika ada sinar 

    matahari menembusnya, dinding itu akan 

    bergerak sendiri, tidak menjadi 

    penghalang jalan menuju lorong itu lagi. 

    O, o, oh... pantas, pantas!"

    Pendekar Pusar Bumi yang baru 

    memahami sedikit rahasia goa ini, merasa 

    terheran-heran bukan kepalang. Kini ia 

    segera pergi menyusuri lorong yang akan 

    membawanya ke tempat Ekayana. Dalam 

    beberapa saat saja, dia telah bertemu 

    dengan Ludiro.

    Ludiro menjelaskan apa adanya 

    ten-tang kepergian Sekar Pamikat dan 

    Gopo yang sejak tadi belum kembali juga. 

    Lanangseta mendesah kesal.

    "Lanangseta...? Ke mana saja Anda 

    pergi?" tegur Ludiro bernada menyalahkan 

    Lanangseta. Lalu, Lanangseta 

    menjelaskan pengalamannya secara 

    singkat.

    Andini mendekat.dan berkata, 

    "Lukanya semakin busuk..."

    Lanangseta mendesah setelah ia tahu 

    luka di punggung Ekayana benar-benar 

    busuk dan mengeluarkan belatung. Tetapi 

    luka itu tidak mengganas seperti yang 

    dialami Ludiro. Memang menjadi lebar, 

    tapi cukup lamban. Hanya beberapa jarum 

    saja luka itu melebar ke kanan-kiri dan


    sekitarnya. Hal itu menurut Ludiro 

    karena Ekayana mempunyai ketahanan tubuh 

    yang luar biasa. Coba kalau ketahanan 

    tubuh Ekayana seperti ketahanan tubuhnya 

    yang lemah pada waktu itu, tentu saja 

    luka yang memborok itu akan cepat melebar 

    seluruh badan.

    "Angkat Ekayana... aku menemukan 

    jalan ke luar," ujar Lanangseta dengan 

    tegas.

    "Tetapi, bagaimana dengan 

    Sekar...?" kata Andini. Lanangseta bagai 

    disengat batang hidungnya. Ia teringat 

    Sekar Pamikat kekasihnya itu.

    “Kemana dia?”

    Ludiro menjelaskan apa adanya 

    tentang kepergian Sekar Pamikat dan Gopo 

    yang sejak tadi belum kembali juga. 

    Lanangseta mendesah kesal.

    "Brengsek! Dia memang suka bikin 

    peraturan sendiri! Dia tidak tahu kalau 

    goa ini mempunyai banyak rahasia, dan 

    menyimpan banyak misteri. Hah...! Kemana 

    arah perginya tadi?" Lanangseta 

    kelihatan jengkel terpendam.

    "Gopo ke sana," ujar Andini dengan 

    manja seakan anak kecil yang sedang 

    mengadu kepada ayahnya. "Kalau Sekar ke 

    sana," Andini menunjuk arah yang 

    berlawanan. Lanangseta menjadi amat


    kesal. Mereka pergi berlainan arah. 

    Padahal jika mereka terlambat ke luar, 

    bisa-bisa mereka terjebak lagi di dalam 

    goa itu.

    "Bawa dulu Ekayana ke luar sebelum 

    jebakan itu bekerja kembali," 

    perintahnya kepada Ludiro.

    Tubuh agak pendek yang kekar itu 

    mengangkat Ekayana dengan berat dan 

    kerepotan. Akhirnya Lanangseta yang 

    membantu menggotong Ekayana. Mereka 

    berjalan kearah mulut gua.

    "Gopo bagaimana?" tanya Andini 

    cemas.

    "Bawa dulu Ekayana ke luar, nanti 

    biar kucari mereka, asal Ekayana sudah 

    berada di luar. Daripada goa ini tertutup 

    lagi, dan Ekayana belum berada di luar, 

    maka kita akan bermalam lagi di sini!" 

    tutur Lanangseta agak dongkol dengan 

    gaya Andini yang manja itu.

    Gadis berbaju merah muda dengan tahi 

    lalat di bawah bibir bagian ujung itu 

    mengangguk. Lalu ia mengikuti dari 

    belakang setiap gerakan Lanangseta yang 

    mengangkat tubuh saudara kembarnya 

    bernama Ludiro. Mereka akhirnya tiba di 

    mulut goa. Andini kelihatan lega begitu 

    melihat cahaya matahari. Tapi ia sempat 

    mengeluh,


    "Kok sempit...?"

    Kata-katanya itu tidak ada yang 

    menanggapi. Lanangseta bergerak lebih 

    dulu, merayap mundur menuju luar goa. 

    Sambil merayap mundur, ia mengangkat 

    tubuh Ekayana yang tak pernah berkutik 

    lagi itu, sedangkan Ludiro mengangkat 

    bagian lainnya. Dengan susah payah, 

    akhirnya Ekayana memang berhasil 

    dikeluarkan dari mulut goa yang sempit.

    Pada saat itu, pagi masih dibilang 

    segar. Udaranya amat cerah. Andini 

    merentangkan tangannya lebar-lebar, 

    menghirup udara pagi yang menyegarkan 

    paru-paru.

    "Hati-hati, jangan melawan 

    orang-orang Bukit Badai. Kalau mereka 

    datang, katakan kalian sedang dalam 

    perjalanan hendak meninggalkan Bukit 

    Badai."

    Setelah meninggalkan pesan begitu, 

    Lanangseta masuk kembali ke mulut goa 

    yang sempit, ia akan mencari Gopo dan 

    Sekar Pamikat. Namun baru saja ia 

    memasukkan sebagian badannya, ke mulut 

    goa, tiba-tiba Andini menjerit tegang.

    “Lihat...! Luka itu bergerak di 

    punggung Ekayana!"

    Ludiro menggumamkan kata 

    terkejutnya, dan bersuara lirih,


    "Astaga...! Sekarang saatnya luka 

    itu mengganas! Oh, menjalar ke seluruh 

    punggung...! Gawat!"

    Lanangseta tak jadi masuk ke dalam 

    goa. Ia segera menghampiri tubuh adiknya 

    dan memandang dengan mata terbelalak. 

    Luka yang memborok dan berbelatung itu 

    bergerak cepat, melebar ke seluruh 

    punggung. Nyaris menutup seluruh 

    permukaan punggung. Sebentar lagi pasti

    bagian pinggangnya juga akan membusuk.

    "Seperti inilah waktu itu luka yang 

    ada di lenganku. Bergerak cepat, 

    membusukkan lengan dalam tempo singkat."

    "Iblis...!!" geram Lanangseta dalam 

    kebingungan. Pikirannya bimbang, antara 

    membawa lari tubuh Ekayana ke 

    Pesanggrahan Cendana Manik, atau mencari 

    Sekar Pamikat lebih dulu baru pergi ke 

    sana? Tapi mencari Sekar Pamikat dan Gopo 

    jelas merupakan pekerjaan yang cukup 

    memakan waktu lama. Goa itu penuh lorong 

    rahasia, dan mungkin juga jebakan yang 

    dapat mematikan. Ia harus hati-hati. 

    Tapi jika ia membawa lari Ekayana ke 

    Pesanggrahan Cendana Manik untuk 

    diserahkan ayahnya, apakah cukup waktu 

    untuk itu? Apakah borok tersebut tidak 

    akan menjadi semakin lebar dan membawa 

    kematian Ekayana sebelum mencapai


    Pesanggrahan Cendana Manik yang 

    terbilang sangat jauh dari tempat 

    tersebut? Jangan-jangan Ekayana tewas 

    dalam perjalanan ke sana.

    Tiba-tiba,, terdengar suara Ludiro 

    bagai menemukan sesuatu. Andini tegang 

    dengan linangan air matanya. Ia menatap 

    Ludiro dan bertanya:

    "Cara pengobatannya kau tahu?!"

    "Bukan cara pengobatannya! Yang 

    penting, masukkan kembali Ekayana ke 

    dalam goa itu."

    "Kau gila! Kau tahu sendiri betapa 

    susahnya mengeluarkan tubuh Ekayana dari 

    mulut goa itu. Sekarang mau kau masukkan 

    lagi? Gila...!" Lanangseta menggerutu 

    dan bersungut-sungut.

    Kata Ludiro dengan tegas, “Yang 

    penting masukkan kembali tubuh ini ke 

    dalam goa. Lekas!"

    "Jelaskan dulu!"

    "Nanti kujelaskan!" bentak Ludiro 

    dengan berani. Lanangseta berpendapat, 

    kalau bukan hal penting, pasti Ludiro 

    tidak akan berani membentaknya. Sebab 

    itu, Lanangseta menurut apa kata Ludiro. 

    Kendati dengan susah payah, namun 

    akhirnya tubuh Ekayana bisa kembali 

    berada di dalam goa tadi. Ludiro bahkan


    meminta agar tubuh Ekayana dibawa masuk 

    lebih dalam lagi.

    Napas mereka terengah-engah. 

    Lanangseta bersimbah keringat, demikian 

    juga Ludiro. Ekayana ditengkurapkan lagi 

    pada tanah yang telah dilapisi baju Gopo 

    oleh Andini. Kesepian merayapi mereka 

    sejenak. Kemudian terdengar suara 

    Lanangseta menggumam:

    "Apa maksudmu dengan begini? Bikin 

    susah saja...!

    “Lihat luka itu... Luka itu tidak 

    bergerak lagi, kan?"

    Semua mata tertuju pada luka 

    memborok di punggung Ekayana. Mereka 

    memperhatikan beberapa saat dengan mulut 

    saling terkatup bisu. Dan mereka 

    sama-sama menyadari bahwa luka tersebut 

    memang tidak bergerak lagi. Tidak 

    secepat waktu di luar. Pinggang Ekayana 

    masih utuh, borok masih tetap dalam

    ukuran semula.

    Suara Ludiro menjelaskan bagai 

    seorang guru, "Jadi, luka ini akan 

    menjadi ganas apabila berada di luar goa. 

    Terkena angin, atau terkena matahari, 

    atau... entah apa. Yang jelas, jika luka 

    itu tetap berada di dalam goa ini, ia 

    tidak begitu ganas. Lihat saja, tadi ia 

    merayap bagai hendak memangsa seluruh


    tubuh Ekayana, tapi sekarang ia bagai 

    diam saja, kan? Coba kalau Ekayana masih 

    berada di luar, tentu sekarang ini 

    pinggangnya sudah membusuk."

    Gumam Lanangseta dan Andini nyaris 

    bersamaan. Andini mengusap-usap wajah 

    Ekayana dengan perasaan sedih. Suara 

    Lanangseta memecah kebisuan yang 

    berlangsung selama beberapa helaan nafas 

    itu.

    "Atau memang goa ini yang mempunyai 

    khasiat tertentu terhadap luka beracun 

    seperti itu?"

    Ludiro mengangguk, "Bisa jadi 

    begitu."

    Lanangseta menghempaskan nafas. La-

    lu berkata: "Kalau begitu, aku akan 

    keluar sebentar untuk mencari kayu 

    bakar. Kita tinggal di sini dulu beberapa 

    saat, sampai kita menemukan cara 

    penyembuhan untuk Ekayana."

    "Biar aku saja yang mencari kayu 

    untuk api unggun di sini, kau 

    beristirahatlah," ujar Ludiro. 

    Lanangseta tak jadi bergerak pergi 

    karena Ludiro sudah mendului.

    Andini berwajah sayu. Tangisnya 

    berhenti karena kelegaan, begitu 

    mengetahui borok membusuk itu tak sempat 

    mengganas. Lanangseta sendiri sempat


    merasa kasihan kepada Andini. Ia lama 

    ditinggalkan Ekayana. Ia pasti rindu 

    kepada kekasihnya, tapi begitu mereka 

    bertemu dalam keadaan musibah seperti 

    itu. Masih beruntung dirinya, yang 

    kemarin sudah sempat becanda sebentar 

    dengan Sekar Pamikat, bahkan sempat 

    mencium gadis itu di dalam kegelapan goa. 

    Tapi, sekarang ke mana gadis itu? Sekar 

    Pamikat dan Gopo mengapa menghilang 

    bersamaan? Secara kebetulan atau memang 

    sudah direncana Pikiran Lanangseta 

    memang suka begitu. Dan ketika hal itu 

    dikatakan kepada Andini, gadis berkulit 

    kuning itu berkata pelan, "Tega-teganya 

    kau punya praduga seperti itu. Sekar 

    tidak akan berbuat sesuatu kepada Gopo, 

    karena dia dan Gopo semula bermusuhan. 

    Dia maksudku Gopo itu, adalah 

    tawanannya. Masih terhitung tawanannya. 

    Dan...."

    Tiba-tiba mereka mendengar suara 

    Ludiro memekik sayup-sayup. "Kulumatkan 

    kepalamuuu...!!"

    Lanangseta dan Andini berwajah 

    tegang, saling pandang lalu menatap ke 

    arah menuju jalan ke luar goa.

    "Ada apa itu? Tampaknya Ludiro 

    menemui kesukaran," ucap Andini lirih.



    Lanangseta mengangguk, dan bangkit 

    berdiri.

    "Pasti orang-orang utusan Penguasa 

    Bukit Badai...!" Setelah bicara begitu, 

    Pen-ekar Pusar Bumi pergi meninggalkan 

    Andini. Beberapa langkah kemudian baru 

    ia berpaling dan berseru, "Jaga Ekayana. 

    Jaga pula keadaan di dalam goa ini...!" 

    Andini hanya mengangguk, dan Lanangseta 

    cepat menuju ke luar, karena agaknya 

    Ludiro semakin seru bertarung melawan 

    beberapa orang.

    Memang, Ludiro nyaris kewalahan 

    menghadapi tujuh orang bersenjata. 

    Mereka ganas-ganas, dan hampir tak 

    memberi kesempatan berbicara kepada 

    Ludiro. Tahu-tahu menyerang dan salah 

    satu berusaha masuk goa. Orang yang 

    bersenjata pedang lengkung mirip pedang 

    Arab itu yang berusaha menerobos masuk 

    goa. Ketika itu Ludiro sempat 

    mengibaskan kaki kanannya kuat-kuat 

    dengan hentakkan menyamping. Pipi orang 

    itu terkena tendangan menyamping, dan ia 

    terpental, kepalanya membentur 

    bebatuan. Dengan satu gerakan cepat 

    orang itu menebaskan pedangnya ke arah 

    kepala Ludiro. Cepat Ludiro menangkap 

    tangan tersebut dengan memiringkan badan 

    ke arah leher lawan, lalu dengan gerakan


    gesit, ia berhasil melemparkan orang itu 

    ke depan melalui dorongan punggungnya.

    Orang itu melayang dan menjatuhi 

    beberapa temannya.

    "Apa mau kalian sebenarnya, hah?!" 

    bentak Ludiro yang masih belum mengerti 

    mengapa ia tiba-tiba diserang.

    "Jangan banyak bacot!" bentak 

    seorang bersenjata piringan bergerigi. 

    "Kalian telah membunuh adik kami dalam 

    upaya masuk ke goa ini, dan sekarang 

    kami: Delapan Bersaudara Maut menuntut 

    balas atas kematian adik kami yang bungsu 

    itu. Terimalah kematianmu sekarang juga, 

    heaaaat...!!"

    Piring bergerigi itu menyerusuk ke 

    leher Ludiro. Dengan gesit Ludiro mampu 

    mengelak. Piringan bergerigi yang 

    mempunyai tempat pegangan di bagian 

    tengahnya itu dapat berputar dengan 

    sangat cepat walau hanya di sentil oleh 

    sebuah jari tangan pemegangnya. Piringan 

    itu berhasil dielakkan Ludiro, dan 

    membentur batang pohon sebesar paha 

    Gopo. Batang pohon itu terpotong 

    seketika dengan sangat rapi.

    "Aku tidak kenal siapa kalian!" seru

    Ludiro sambil melancarkan pukulan ke 

    arah muka orang itu. Setelah pukulannya 

    terkena telak di dagu, segera Ludiro



    mengirimkan tendangan beruntun ke dada, 

    wajah, dada dan wajah lagi, sampai orang 

    itu terjengkang ke belakang. Kaki Ludiro 

    belum sempat turun karena sebuah rantai 

    berujung bola duri melayang ke arah 

    kakinya. 

    "Breet...!"

    Bola berduri di ujung cambuk rantai 

    itu mengenai betis Ludiro. Tapi 

    duri-durinya justru menjadi rontok 

    seketika. Kaki Ludiro tidak tergores 

    sedikit pun. Akibatnya, sebelum kaki 

    Ludiro itu turun ke tanah, salah satu 

    kakinya sudah menghentak kuat dan 

    membuat ia melayang dalam keadaan 

    berguling. Jurus itu sempat mengenai 

    kepala orang bersenjata rantai berduri, 

    tepat pada ubun-ubunnya, tumit kaki 

    Ludiro menghantam bagi sebuah palu 

    godam.

    Prok...! Terdengar suara kepala 

    orang itu bagai sebutir kelapa dipecah. 

    Orang itu kelojotan dan limbung kian ke 

    mari, lalu rubuh dengan kepala berdarah. 

    Sementara tiga orang lainnya menyerbu 

    Ludiro yang tiga lagi berusaha masuk ke 

    mulut goa. Tapi gerakan tangan Ludiro 

    sungguh cepat, tahu-tahu sebuah senjata 

    Mata Pisau Beracun melayang tak dapat 

    diikuti oleh pandangan mata. Senjata


    rahasia itu menancap tepat di tengkuk 

    kepala salah seorang yang hendak masuk ke 

    mulut goa. Orang itu memekik keras,

    membuat dua temannya berhenti seketika 

    dan tercengang melihat orang itu roboh 

    serta menggelepar-gelepar sebentar 

    sebelum mengejang mati.

    "Jahanam, kauuu...!" Kedua orang 

    yang mengaku bersaudara itu melayang 

    menerjang Ludiro dengan senjata 

    trisulanya. Ludiro yang diserang tiga 

    orang sebelumnya, tak sempat menghindari 

    senjata tersebut.

    Ludiro hanya memekik, 

    "Hiyaaaaattt...!" Ia mengeraskan 

    seluruh otot tubuhnya ketika semua 

    senjata menghunjam dirinya. Ada yang 

    patah seketika, ada yang tidak, hanya 

    terpental ke belakang. Yang jelas, tak 

    satu pun dari senjata mereka ada yang 

    melukai tubuh Ludiro. Mereka berlima 

    akhirnya mundur beberapa langkah, 

    mengatur jarak, memasang strategi.

    Ludiro sempat menghempaskan nafas, 

    kecapekan. Lalu ia berkata, “Percayalah, 

    kalian salah sangka. Aku tidak pernah 

    membunuh saudara kalian. Kecuali hari 

    ini," seraya Ludiro menuding kedua mayat 

    saudara mereka.



    Orang yang kumisnya paling tebal 

    berbisik kepada yang kepalanya botak. 

    Entah apa yang mereka bisikkan, 

    kemudiaan tiba-tiba mereka menyerbu 

    masuk ke dalam goa, sementara yang tiga 

    lainnya merintangi Ludiro dengan 

    serangan berganda. Mereka meloncat dan 

    menyerang Ludiro satu demi satu, namun 

    sebenarnya yang menyerang hanya satu 

    orang, yaitu yang paling akhir meloncat. 

    Otomatis pandangan dan kesigapan Ludiro 

    telah dikacaukan oleh dua serangan 

    tipuan itu, sehingga akibatnya Ludiro 

    pun terpental ke belakang terkana 

    tendangan lawan pada keningriya. Agak 

    pusing juga. Dan hal itu membuat Ludiro 

    tak sempat mencegah dua orang yang 

    berkumis tebal yang berkepala botak, 

    masuk ke dalam goa.

    Tapi rupanya, di depan goa itu telah 

    berdiri seorang pendekar berambut 

    panjang, berbadan kekar, dengan pedang 

    di punggungnya. Begitu yang berkumis 

    tebal mendekat, sebuah tangan kekar 

    menghentakkan dadanya sampai yang 

    dipukul terbatuk-batuk. Pukulan 

    Lanangseta begitu kuat, bahkan orang 

    berkumis tebal itu memuntahkan darah 

    kental walau hanya beberapa tetes. 

    Sedangkan yang berkepala botak segera


    menyerang Lanangseta dengan senjata 

    cakra tajam. Ia cukup gesit menggunakan 

    senjata cakra yang sekali waktu dapat 

    meluncur sendiri dari tangkainya. Tetapi 

    Lanangseta percuma menyandang gelar 

    pendekar jika ia tak dapat berkelit ke 

    belakang, dan membiarkan senjata itu 

    berlalu di depan hidungnya. Kemudian 

    tangannya menebas ke samping dan 

    mengenai iga orang berkepala botak yang 

    tampak paling sangar itu. Pukulan La-

    nangseta cukup keras, sehingga orang itu 

    terbungkuk sakit. Dan pada saat itulah 

    Lanangseta meloncat ke atas sambil 

    melancarkan tendangan ke jidat lawannya. 

    Orang itu sempat terdongak, dan lehernya 

    disambut oleh tendangan Lanangseta 

    berikutnya. Begitu kuat tendangan itu, 

    sampai terdengar bunyi: 

    "Ngeekk...!" Lalu orang itu pun 

    terguling-guling.

    Pendekar Pusar Bumi tidak mau pergi 

    dari depan pintu goa itu. Ia berdiri 

    tegap, bagai menanti serangan 

    berikutnya, dari siapa saja. Lalu, ia 

    tersenyum ketika kedua musuhnya bergerak 

    dengan irama serupa. Mereka tidak lagi 

    menggunakan senjata, namun menggunakan 

    tangan kosong. Tentu mereka sedang 

    memainkan jurus andalan mereka.


    Gerakannya begitu seragam indah. Kaki 

    terbuka keduanya, tangan menyilang di 

    dada, dan kini terbuka ke samping 

    semuanya, lalu salah satu kaki dari 

    mereka ditarik ke belakang, dan kedua 

    tangan yang berkembang itu ditarik ke 

    belakang semua, setelah itu dihentakkan 

    ke depan secara bersamaan. 

    "Heaaaah...!!"

    "Blegaar..!"Lanangseta menghindari 

    sinar biru tua yang keluar dari keempat 

    tangan mereka. Dengan sekali loncat, 

    Lanangseta dapat melancarkan pukulan 

    jarak jauhnya ke arah kedua orang 

    tersebut. Sementara itu, sinar biru tua 

    meluncur menghantam batu besar yang ada 

    di samping kiri mulut goa. Batu itu 

    tiba-tiba hilang. Serpihannya pun tak 

    ada. Lanangseta tak sempat mengagumi 

    pukulan hebat itu, sebab sekarang ia 

    sedang sibuk membalas kedua orang itu 

    hingga keduanya berguling-guling nyaris 

    membentur pohon besar.

    Tanpa disadari oleh Lanangseta, 

    rupanya ada salah seorang dari ketiga 

    orang yang melawan Ludiro itu melesat ke 

    belakang Lanangseta. Dari arah belakang 

    Lanangseta ia juga bergerak 

    mempermainkan jurus serupa dengan yang 

    dipermainkan oleh dua orang tadi. Dan


    dengan gerakan lincah dia menarik kedua 

    tangannya sampai ke pinggang dalam 

    keadaan terbuka, lalu ia melancarkan 

    pukulan tenaga dalamnya seperti yang 

    dilancarkan oleh kedua orang tadi. Sinar 

    biru tua meluncur cepat tertuju pada 

    tubuh Lanangseta. Tapi sebelum sinar itu 

    menghantam punggung Lanangseta, 

    tiba-tiba sinar itu berhenti. Berhenti 

    total dan masih berujud sinar biru tua. 

    Pada saat itu, orang tersebut memekik 

    keras. Dadanya robek seketika, bahkan 

    nyaris terpotong menjadi dua bagian. 

    Lanangseta segera berbalik ke belakang. 

    Dan matanya tertegun melihat Kirana Sari 

    mencabik-cabik tubuh orang itu dengan 

    sebatang ranting kering. Lanangseta 

    sadar ada sinar biru tua berhenti di 

    depannya. Ia bergeser tepat pada saat 

    sinar itu melesat lagi, bagai meneruskan 

    perjalanannya. Kecepatan sinar sangat 

    luar biasa, sehingga tahu-tahu orang 

    yang berkumis tebal itu terpekik 

    tertahan, kemudian sirna tanpa bekas.

    Andai saja Kirana Sari tidak muncul, 

    pasti sinar biru tua itu akan meluncur 

    menghantam Lanangseta dari belakang, dan 

    nasibnya akan sama dengan orang berku mis 

    tebal. Sirna selama-lamanya. Beruntung 

    sekali kemunculan Kirana Sari begitu


    tepat, sehingga ia masih bisa 

    diselamatkan oleh perempuan anggun yang 

    berilmu tinggi itu.

    "Awas...!" seru Kirana tiba-tiba. 

    Lanangseta sigap, ia membalik ke 

    belakang dan sebuah senjata cakra 

    melayang ke arahnya. Dengan gesit ia 

    mencabut pedang Wisa Kobra, lalui 

    menebas senjata cakra itu. 

    "Trang...!" Senjata itu terpotong 

    menjadi dua bagian. Ujung potongannya 

    masih melesat terus dan berhasil 

    dihindari Lanangseta. Tetapi di belakang 

    Lanangseta berdiri Kirana Sari dalam 

    jarak tertentu. Ujung potongan senjata 

    cakra itu melesat ke arah Kirana Sari. 

    Dengan gerakan yang melingkar ke 

    samping, kaki Kirana berhasil menendang 

    ujung senjata yang berbahaya itu. 

    Tendangannya begitu kuat dan tepat 

    sehingga senjata tersebut berbalik arah. 

    Lanangseta meloncat menghindari ujung 

    senjata cakra, dan begitu lolos tidak 

    mengenai tubuh Lanangseta, maka senjata 

    itu bagai kembali kepada pemiliknya. 

    Orang berkepala botak yang memiliki sen-

    jata itu sangat tercengang. Ia tak sempat 

    menghindar sehingga ujung senjata itu 

    menghantam matanya. Ia terbawa tenaga


    dorong senjata tersebut sehingga ikut 

    tertancap di pohon besar.

    "Siapa mereka sebenarnya? Mengapa 

    mereka menyerang kami tiba-tiba?" tanya 

    Lanangseta kepada Kirana Sari.

    "Mereka, orang-orang Tebing Neraka. 

    Mereka selalu berusaha keras untuk dapat 

    memasuki goa Malaikat." jawab Kirana 

    dengan mata memandang tenang pada 

    pertempuran Ludiro dengan dua orang 

    musuhnya.

    "Mengapa mereka ingin memasuki goa 

    Malaikat itu? Ada apa di dalam goa 

    tersebut? Harta? Atau..."

    "Setelah selesai urusan ini, jangan 

    lupa, cepat pergi..." seraya Kirana 

    melecit bagai sebuah sinar hijau. 

    Lanangseta menggeragap sebentar. Ia 

    sempat berseru:

    "Kirana Sari...! Tunggu...!"

    Badai datang dengan tiba-tiba 

    begitu Lanangseta menyebut nama Kirana 

    Sari. Petir menyambar-nyambar di 

    angkasa, dan langit bagai terbakar, 

    banyak warna pijar. Awan hitam 

    bergulung-gulung mengerikan. Bumi pun 

    goncang. Lanangseta menyesal 

    mengucapkan nama Kirana Sari. Ternyata 

    mempunyai kekuatan yang amat ampuh jika 

    diucapkan oleh siapa saja.


    Badai begitu kencang. Lanangseta 

    terhuyung-huyung. Sedangkan Ludiro 

    merendahkan badan untuk menjaga 

    keseimbangan tubuhnya agar tidak 

    dihempaskan badai. Tetapi kedua musuhnya 

    yang tengah menyerang serentak itu 

    menjadi terbawa angin. Dihempaskan 

    dengan kuat dan kepalanya membentur 

    pohon. Begitu kuatnya hempasan dan 

    benturan tersebut sehingga terdengarlah 

    suara: 

    "Praaak...!" Dari arah musuh itu

    suara berbunyi. Ludiro menyeringai, 

    menyipitkan mata, dan ia dapat 

    mengetahui bahwa kepala kedua musuhnya 

    itu secara serentak membentur batang po-

    hon dengan keras. Lalu keduanya 

    tergeletak di tanah dengan kelojotan 

    beberapa saat, dan tak berkutik untuk 

    selamanya.

    "Cari pegangan...!" teriak 

    Lanangseta yang sudah berhasil 

    berpegangan akar pohon. Ludiro 

    kebingungan. Tubuhnya yang terasa kecil 

    itu sangat mengkhawatirkan. Ia nyaris 

    tak berani bergerak sedikitpun. Ia bagai 

    sedang menancapkan kedua kakinya ke bumi 

    kuat-kuat dan menahan amukan angin badai 

    yang begitu dahsyat. Sementara itu,


    Lanangseta mendengar pula suara seruan 

    seorang perempuan: 

    "Lanaaang...!"

    Mata Lanangseta terbelalak kaget, 

    namun tak sempat melebar karena hembusan 

    angin membuat perih di bola mata.

    "Andini...! Jaga dirimu...!"

    Andini kewalahan menahan diri dari 

    hempasan angin kencang itu. Ia masih 

    berdiri di depan mulut goa dengan 

    berpegangan pada tanaman semak berduri. 

    Tetapi agaknya tanaman itu tidak kuat 

    menahan hempasan angin sekuat itu. 

    Sebuah pohon tumbang seketika. Lalu 

    tubuh Andini melayang karena tanaman 

    yang dipegangnya jebol seakar-akarnya. 

    Andini sempat berseru, 

    "Aaauuww...!"

    "Andini...?! Cari pegangan lain, 

    lekas...?!"

    Seruan Lanang tak didengar oleh An-

    dini.! Tapi ketika kedua tangannya 

    terentang, tiba-tiba ia masuk dalam 

    celah pohon, dan kedua tangannya itu 

    dapat menjadi penghalang. Kedua tangan 

    Andini meme-gang erat kedua celah pohon, 

    sehingga tubuhnya tak ikut terlempar 

    bagai benang menerobos lubang jarum.

    Ketika keadaan alam menjadi reda 

    kembali, nafas Ludiro terengah-engah. Ia


    sempat menghampiri Lanangseta dan 

    berkata: "Kenapa Andini harus keluar 

    dari dalam goa?"

    "Mana aku tahu!" jawab Lanangseta, 

    lalu keduanya menurunkan Andini yang 

    tersangkut di antara celah pohon.

    "Ilmu apa yang kau pakai tadi, 

    Lanang...?!" tanya Andini.

    * * *

    4

    UNTUK menghindari pertanyaan 

    Andini, Lanang mengalihkan perhatian. 

    Ia memandang mayat-mayat yang 

    bergelimpangan itu. Ia bicara lirih 

    bagai ditujukan untuk dirinya sendiri, 

    "Mereka sangat bernafsu untuk memasuki 

    goa Malaikat ini. Ada apa sebenarnya, 

    ya?"

    "Lanang...." tegur Andini yang 

    ternyata tak bisa dikecohkan begitu 

    saja. "Ilmu apa yang kau pakai tadi? 

    Namanya saja, aku ingin dengar."

    Lanangseta kebingungan. Kalau ia 

    menyebutkan Kirana Sari, pasti akan 

    terjadi amukan badai dahsyat yang


    bagaikan menjelang hari kiamat tiba. Ia 

    berusaha menghindari pertanyaan Andini, 

    namun tak pernah berhasil. Bahkan gadis 

    manja yang juga cerewet itu bertanya:

    “Lalu siapa yang bicara denganmu di 

    sebelah sana tadi? Siapa perempuan itu?"

    Pertanyaan Andini kali ini bernada 

    penuhselidik setengah mencurigai. 

    Lanangseta hanya berkata, "Dia putri 

    penguasa Bukit Badai ini." 

    "Siapa namanya?"

    Sekali lagi Lanangseta bingung 

    menjawabnya. Tetapi kecurigaan Andini 

    semakin jelas. Gadis centil itu berkata:

    "Siapa nama gadis itu? Kenapa kau 

    tak mau menyebutkannya? Kau serong ya? 

    Akan kuadukan kepada Sekar kalau kau 

    mendua hati."

    "Andini, ini bukan urusanmu. Kau 

    harus..."

    "Harus mengetahui siapa nama gadis 

    itu!" sahutnya cepat. Andini cemberut. 

    Ia jadi menampakkan kecemburuannya.

    "Lupakan tentang perempuan itu. 

    Ayo, kita masuk ke goa. Kita tak baik 

    terlalu lama meninggalkan Ekayana."

    “Tidak! Aku harus tahu nama 

    perempuan itu!" Andini berkeras hati. 

    Lanangseta agak kelabakan.


    Tiba-tiba Ludiro berseru dengan 

    mengagetkan, "Hai, lihat! Mayat-mayat 

    itu menghilang. Hilang sendiri!"

    Lanangseta dan Andini membelalakkan 

    mata. Tetapi Andini yang kelihatan 

    paling terkejut. Ia bahkan bergeser 

    merapatkan badan ke tubuh Lanangseta dan 

    berpegangan lengan pendekar ganteng itu. 

    En-tah sengaja atau memang dalam keadaan 

    ketakutan sekali, yang jelas Andini 

    merasa senang jika dapat berpegangan 

    lengan Lanangseta. Mereka tak 

    henti-hentinya berdecak menyaksikan 

    mayat-mayat itu hilang sendiri.

    "Kau menggunakan ilmu simpananmu 

    lagi, ya?" bisik Andini.

    Untuk menghilangkan 

    desakan-desakan yang membingungkan, 

    Lanangseta segera membawa masuk Andini 

    ke dalam goa. Mulanya Andini mengancam 

    tidak ingin masuk ke dalam goa jika tidak 

    diberitahu siapa nama perempuan itu. 

    Tetapi setelah Lanangseta dan Ludiro 

    membiarkan dia diluar goa, akhirnya ia 

    masuk sendiri dengan merangkak-rangkak 

    seperti waktu ia keluar tadi.

    Sesuatu yang amat mengejutkan 

    membuat Lanangseta menjadi pucat 

    wajahnya. Tempat di mana Ekayana 

    tertelungkup tadi, sekarang telah


    kosong. Yang ada hanya kain baju Gopo, 

    yang tadi dipakai sebagai alas tidur 

    tubuh Ekayana. Ludiro sendiri menjadi 

    gemetar ketika mengetahui jasad Ekayana 

    telah hilang dari tempatnya.

    "Ke mana dia?!" Lanangseta 

    kelihatan sangat tegang.

    Ludiro tak dapat bicara. Matanya 

    membelalak kian-kemari. Ketika Andini 

    sampai kepada mereka, Andini ikut 

    terkejut dan segera menjerit:

    "Ekayaanaaa...?! Kemana dia, 

    Lanang? Kemana?!"

    Suasana menjadi panik. Lanangseta 

    tak ingin kehilangan saudara kembarnya. 

    Ia segera mengambil pedang Wisa Kobra, 

    lalu menggeserkan kuat-kuat pada dinding 

    goa. Percikan api diterima oleh sebilah 

    kayu kering, dan kayu itupun terbakar. 

    Dengan menggunakan kayu berapi itu, 

    Lanangseta melangkah cepat menyusuri 

    lorong mencari Ekayana. Sementara itu, 

    Ludiro juga mencarinya ke tempat 

    berlawanan arah dengan kepergian 

    Lanangseta. Andini menangis, mengikuti 

    Lanangseta dari belakang sambil 

    memanggil-manggil Ekayana. Tetapi 

    ternyata tak satu pun sobekan kain atau 

    percikan darahnya yang meninggalkan 

    bekas. Ekayana bagai hilang tanpa bekas.


    "Mungkinkah dia tadi ikut ke luar, 

    lalu ikut terhempas badai mengerikan 

    itu?!" kata Andini dengan tangisnya yang 

    semakin menjengkelkan Lanangseta.

    "Ini kesalahanmu!" bentak Pendekar 

    Pusar Bumi yang memiliki wajah serta 

    ciri-ciri sama dengan Ekayana. "Kubilang 

    tadi, jangan tinggalkan dia! Jaga dia! 

    Tapi kamu malah ke luar dari goa! 

    Apa-apaan itu?! Kau pikir tindakanmu 

    sudah benar dan pasti menguntungkan? 

    Untuk dirimu sendiri belum tentu 

    menguntungkan, apalagi untuk diri orang 

    lain!" Lanang mengomel tanpa peduli 

    tangis Andini yang terisak-isak.

    Kegeraman dan kejengkelan menyumbat 

    di dada, membuat pernafasan Lanangseta 

    terasa sesak. Andini memegangi tangan 

    Lanangseta, namun tanpa peduli 

    menyinggung perasaan atau tidak, Lanang-

    seta mengibaskan tangan Andini.

    "Kau hanya bisa menyalahkan aku!" 

    seru Andini dalam tangisnya. "Kau 

    sendiri terlalu lamban bergerak, 

    terlalu...."

    “Terlalu apa? Apa yang terlalu, 

    hah?!" bentak Lanangseta karena 

    dongkolnya. Andini yang cengeng dan 

    manja semakin menyerukan tangis. Kesal 

    sekali Lanangseta.


    Ia sudah melangkah terlalu jauh, 

    menyusuri lorong panjang, namun ia tidak 

    menemukan secuil pun jejak Ekayana.

    Sewaktu ia kembali lagi ke tempat 

    semula, Ludiro datang dari arah depan. Ia 

    juga membawa obor kayu bakar dan 

    kelihatan kebingungan.

    “Tak ada tanda-tanda ke mana 

    perginya," kata Ludiro sambil angkat 

    bahu.

    "Aku juga tidak menemukan 

    tanda-tanda apa pun." Lalu, Pendekar 

    Pusar Bumi itu menghela nafas 

    dalam-dalam, mencari ketenangan.

    “Lalu bagaimana nasibnya? Bagaimana 

    keadaan Ekayana?!" Andini merengek. 

    Lanangseta menjawab dengan kesal:

    "Tanyakan pada dirimu sendiri! Kau 

    yang bertanggungjawab. Kau yang kuserahi 

    tanggungjawab menjaganya, tapi kau tak 

    mau memberikan perhatian, apalagi 

    bertanggungjawab sepenuhnya!" 

    Lanangseta menggeram. Gemas sekali! Ia 

    telah kehilangan Sekar Pamikat, haruskah 

    ia kehilangan saudara kembarnya. 

    Anggaplah Sekar Pamikat tidak terlalu 

    berbahaya, karena ia masih bisa berjalan 

    dan dalam keadaan sehat, tetapi 

    bagaimana dengan Ekayana? Ia dalam


    keadaan terluka parah dan tak mampu 

    bergerak sedikit pun.

    "Kita cari ke luar goa," ujar 

    Andini.

    "Tak mungkin ia bisa ke luar 

    sendiri. Bergerak saja tak mampu apalagi 

    berjalan ke luar dari goa," kata Ludiro.

    "Tapi siapa tahu...?"

    "Siapa tahu kau yang 

    melenyapkannya, begitu?" sahut 

    Lanangseta dengan sinis. Andini 

    terbelalak dituduh sebagai orang yang 

    dengan sengaja melenyapkan Ekayana. Ia 

    menjadi marah. Ia berseru dengan ketus:

    "Jaga bicaramu, Lanang! Jangan 

    terlalu membakar kemarahanku yang sudah 

    sakit atas peristiwa ini!"

    "Nyatanya waktu kutinggal ke luar, 

    dia masih dalam keadaan parah. Tapi 

    begitu kau ke luar, lalu masuk lagi, dia 

    sudah tak ada. Kau punya cukup waktu 

    untuk melenyapkannya dengan Lebur Ragamu 

    itu!"

    "Fitnah!" bentak Andini tak kontrol 

    diri. "Aku mencintai Ekayana. Sangat 

    mencintai! Bagaimana mungkin aku akan 

    menggunakan ilmu Lebur Raga untuknya? 

    Bagaimana mungkin aku akan setega itu?!"

    "Kenapa tidak? Mungkin kau punya 

    pemikiran lain. Aku tahu, kau orang


    cerdas. Hanya kemanjaan yang membuat kau 

    seperti orang bodoh."

    "Lanangseta...!" bentak Andini. 

    Ludiro tegang dan bingung. Andini 

    berkata dengan sengit, "Sekali lagi kau 

    menuduhku begitu, lebih baik kita 

    tentukan siapa yang harus mati. Aku sudah 

    kehilangan dia, tapi kau justru 

    menuduhku yang bukan-bukan! Apakah itu 

    menandakan bahwa kau punya otak yang 

    sebesar biji kapas?!

    "Tuduhanku beralasan dan masuk 

    akal," kata Lanangseta merendahkan 

    suara. Ludiro berlagak membuat api 

    unggun dari kumpulan kayu yang sempat 

    dibawanya masuk. Ketegangan masih 

    meliputi mereka berdua. Lanang berkata 

    lagi dengan nada suara rendah:

    "Kau tentunya bisa berfikir, betapa 

    menyedihkan keadaan Ekayana. Kau kasihan 

    kepadanya, yang hidup tidak, mati pun 

    tidak. Lalu kau ambil kebijaksanaan 

    untuk membunuhnya. Kau gunakan ilmu 

    Lebur Raga, di mana raga Ekayana akan 

    berubah menjadi asap dan setelah itu tak 

    akan kembali lagi. Mungkin kau pakai itu 

    dengan dasar untuk memperingan beban 

    penderitaan Ekayana!"

    "Tidak! Sudah kubilang, otakmu 

    memang sebesar biji kapas! Tak mungkin


    aku menggunakan ilmu itu untuk hal-hal 

    demikian. Itu sama saja mendahului 

    kehendak Hyang Widi. Itu dilarang oleh 

    guruku... Juga oleh keluargaku!"

    "Lalu ke mana dia sekarang...!!" 

    bentak Lanangseta yang diliputi rasa 

    panik dan menjengkelkan.

    "Mana aku tahu! Aku tadi ke luar 

    untuk memberi bantuan kepada kau dan 

    Ludiro. Sebab kudengar mereka ada tujuh 

    orang. Dan... dan aku tidak akan 

    menyangka kalau Ekayana bisa hilang 

    begini..." Andini menangis. Lanangseta 

    menghempaskan nafas, menenangkah diri 

    sendiri. Ia me-biarkan gadis manja itu 

    menangis sesukanya. Ia sendiri merasa 

    pusing memikirkan keanehan tersebut.

    "Goa apa ini sebenarnya?! gumamnya 

    beberapa saat setelah ia termenung lama. 

    "Segalanya serba misterius! Uhh... 

    kemana pula Sekar Pamikat dan Gopo? 

    Mengapa mereka tidak muncul-muncul dari 

    tadi?"

    Lanang bicara sendiri, tanpa peduli 

    ada, yang mendengarnya atau tidak. 

    Tetapi beberapa saat kemudian, Ludiro 

    berkata dengan hati-hati:

    "Bagaimana kalau kucari mereka, 

    sekaligus mencari Ekayana. Kau setuju?"


    Lanangseta memandang lelaki yang 

    terhitung tua, namun masih segesit anak 

    muda. Di wajahnya terbentang rasa duka 

    dan penyesalan. Lanangseta tahu, bahwa 

    Ludiro merasa bertanggungjawab jika 

    sampai terjadi sesuatu atas diri Sekar 

    Pamikat. Sebab itu, Ludiro yang punya 

    rasa pengabdian begitu tinggi dan sangat 

    setia itu dibiarkan pergi mencari Sekar 

    Pamikat yang agaknya sudah dalam 

    keganjilan. Sebelum Ludiro pergi, ia 

    sempat berkata kepada Lanangseta:

    "Mudah-mudahan tak ada orang lain 

    yang masuk goa ini, sehingga tak akan 

    menimbulkan masalah baru sebelum mereka 

    kita temukan."

    Lanang tanggap terhadap kata-kata 

    Ludiro itu. Ia pun menyahut, 

    "Baiklah... aku akan berjaga-jaga 

    di mulut goa!"

    "Aku bagaimana?!" tanya Andini yang 

    masih menghabiskan sisa isak tangisnya.

    "Ikutlah Ludiro," jawab Lanangseta.

    "Apakah aku tidak sebaiknya ikut 

    menjaga mulut goa?"

    "Mulut sekecil itu apakah harus 

    dijaga dua orang?" kata Lanangseta 

    sambil beranjak meninggalkan mereka. 

    Ludiro melangkah dengan membawa obor 

    kayu dan beberapa potong kayu sebagai


    persediaan. Andini sempat bingung 

    sejenak. Lanang bagai tidak 

    menghiraukannya, dan Ludiro juga tidak 

    mengajaknya. Tapi akhirnya ia melangkah 

    mengikuti Ludiro.

    Sambil menjaga mulut goa, 

    Lanangseta masih sempat meneliti tiap 

    dinding goa tersebut. Pikirannya masih 

    belum dapat berhenti bertanya-tanya: 

    "Mengapa orang-orang tadi sangat 

    bernafsu untuk masuk ke goa ini?" Sejak 

    kemarin lusa Lanangseta masuk ke goa

    Malaikat itu, ia tidak menemukan barang 

    berharga satu pun. Jangankan emas, perak 

    pun tak ada. Paling tidak hanya tempat 

    itu. Ya, tempat yang sangat strategis 

    bagi persembunyian atau bagi tempat 

    untuk melatih ilmu kanuragan yang 

    dirahasiakan. Paling tidak tempat itu 

    dapat dipakai buat menyembunyikan barang 

    hasil rampokan dengan aman dan tanpa 

    takut dicurigai seseorang. Hanya itu 

    yang bisa mereka harapkan. Untuk meng-

    harapkan lebih dari itu tak ada.

    Nyatanya dari kemarin lusa 

    Lanangseta hanya dapat menemukan 

    segudang masalah yang menjengkelkan 

    baginya. Paling-paling beberapa 

    keajaiban yang mengagumkan, itu pun tak 

    seberapa banyak. Namun demikian, memang


    goa itu mengandung misteri yang cukup 

    membingungkan. Ini sering dialami 

    Lanangseta, dan bahkan baru saja ia 

    benar-benar dibuat jengkel dengan 

    hilangnya Ekayana. Kalau memang ada 

    orang yang mengambilnya, lantas siapa 

    orang itu? Sejak kapan berada di sini, 

    dan apa perlunya mereka atau orang itu 

    masuk ke goa yang menjenuhkan ini? 

    Mungkinkah benar goa tersebut adalah 

    sebagian dari makam leluhur Kirana Sari?

    Pemeriksaan dinding tak menemukan 

    hasil apa pun. Lanangseta duduk di 

    persimpangan lorong, menghadap pada 

    mulut goa yang selebar lobang sumur itu. 

    Pikirannya masih menerawang dan 

    menimbulkan kejolak hati sedih, heran, 

    dan kagum terhadap kenyataan yang telah 

    dialami. Terlebih jika ia ingat Kirana 

    Sari. Oh, benar-benar sosok anggun yang 

    menyimpan banyak misteri juga perempuan 

    itu.

    "Kemunculannya sangat tak diduga. 

    Tapi ia tidak mempunyai keterbukaan 

    terhadapku. Aku yakin dia menyembunyikan 

    sesuatu yang amat penting bagi dunia 

    persilatan, maupun bagi kehidupan di 

    Bukit Badai ini," kata Lanangseta dalam 

    hati. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, dan 

    batinnya berkata:


    "Kurasa Kirana tahu rahasia goa ini. 

    Dan... ah, mengapa tak kuceritakan 

    kepadanya tentang kehilangan Ekayana dan 

    Sekar Pamikat? Kurasa aku bisa meminta 

    bantuannya, dan dia mau membantuku. Aku 

    yakin itu. Ah, Kirana... Kirana..." 

    keluh Lanangseta. "Andai kau berada di 

    sini, mungkin aku bisa menemukan kembali 

    Ekayana dan yang lainnya."

    Tiba-tiba mulut goa yang terang 

    menjadi buram. Ada bayangan berdiri di 

    sana. Bayangan sosok manusia yang 

    agaknya sedang mengamat-amati goa 

    tersebut. Lanangseta berdiri, pedang 

    Wisa Kobra dicabut dari sarungnya. Ia 

    siap menghadapi siapa pun yang masuk. Ia 

    siap untuk mengusirnya. Namun tiba-tiba 

    keremangan itu menjadikan suatu 

    kegelapan. Hanya sekejap, tapi sempat 

    membuat Lanangseta tergeragap dan 

    mempersiapkan pedang Wisa Kobranya.

    Ketika mulut goa yang bagai bundaran 

    terang itu kembali seperti semula, tanpa 

    penghalang, ada cahaya masuk, Lanangseta 

    menjadi lega. Rupanya orang yang tadi 

    berdiri di depan mulut goa telah pergi. 

    Barangkali orang itu sangsi dan tidak 

    mengira kalau lobang seperti sumur 

    miring itu adalah mulut goa Malaikat.


    Pendekar Pusar Bumi menyarungkan 

    pedangnya kembali. Karena ia sudah 

    mendekat ke arah mulut goa itu, maka ia 

    pun kembali hendak duduk di persimpangan 

    lorong. Tetapi betapa terkejutnya 

    Lanangseta begitu ia membalikkan badan, 

    ternyata di depannya dalam jarak dua 

    tombak berdiri seorang perempuan cantik, 

    anggun dan mengenakan pakaian serba 

    hijau terang.

    Lanangseta terpekik tertahan, 

    nyaris menyebutkan nama. Tapi untung ia 

    ingat bahwa ia tak boleh sembarangan 

    menyebutkan nama Kirana Sari itu. Ia 

    buru-buru menutup mulutnya yang telah 

    menganga, dan sedikit merasa malu karena 

    perempuan anggun yang penuh misteri itu 

    tersenyum menertawakan kekagetan 

    Lanang.

    "Kau...? Begitu cepat kau masuk 

    tanpa kuketahui," kata Lanangseta.

    "Orang bandel seperti kamu, mana 

    bisa menjaga kewaspadaan," ujar Kirana 

    Sari dengan suaranya yang empuk, enak 

    didengar, namun mengandung bobot 

    kewibawaan yang besar.

    "Untuk apa kau ke mari?" tanya 

    Lanangseta.

    "Untuk apa kau memanggilku?"


    "Siapa?" Lanangseta heran. "Siapa 

    yang memanggilmu?"

    Perempuan bermata tajam namun 

    meneduhkan dan enak di pandang itu 

    melangkah, meneliti dinding goa. Sambil 

    seakan acuh tak acuh, ia berkata jelas:

    "Aku mendengar kata hatimu 

    memanggilku dua kali..."

    Pendekar Pusar Bumi termenung 

    beberapa saat, mengingat-ingat sesuatu. 

    Dan ia pun tersenyum dalam kekaguman, 

    setelah ia ingat bahwa baru saja, 

    beberapa saat tadi, ia mengeluh dengan 

    menyebut nama Kirana dua kali. Rupanya 

    keluhan itu di-dengar oleh Kirana, dan ia 

    segera datang. 

    "Wow...! Alangkah hebatnya ilmu 

    yang digunakan Kirana. Orang menyebut 

    namanya dalam hati pun ia akan datang 

    karena mendengarnya. Hebat. Sekali lagi, 

    hebat!" gumam Lanang di hatinya, dan 

    ternyata kata hati itu pun sempat di 

    dengar Kirana.

    "Kau, membutuhkan aku. Aku mende-

    ngar keluhanmu, dan aku datang," ucapnya 

    dengan tegas. "Tapi jika kau tidak 

    membutuhkan aku lagi, baiklah, aku akan 

    kembali ke tempatku."

    "Tunggu...! Tunggu sebentar...." 

    Lanang mencegah dengan berdiri di


    hadapan Kirana. Kirana memandangnya 

    dalam jarak dekat. Begitu dekat Walau 

    dalam keremangan, tapi matanya yang 

    bertepian hitam itu dapat melihat jelas 

    segala lekuk ketampanan wajah pendekar 

    muda perkasa itu.

    "Aku masih membutuhkan kamu, 

    Kir..." tangan Kirana buru-buru menutup 

    mulut Lanangseta yang hampir saja 

    menyebutkan namanya. Anehnya, jemari 

    tangan yang lentik itu tidak mau pergi 

    juga dari bibir Lanangseta, sekalipun 

    Lanangseta sudah berbicara kembali.

    "Aku minta izin untuk beberapa saat 

    tinggal di goa ini."

    "Ini goa suci. Goa Malaikat. Tak 

    boleh ada yang masuk ke dalam kenyataan 

    goa ini." Kirana bicara dengan nada 

    berbisik.

    Lanangseta bagai mengimbangi 

    bisikan itu.

    "Aku tahu, tapi adikku hilang di 

    sini. Ia dalam keadaan terluka, dan... 

    tahu-tahu setelah kami menyelesaikan 

    pertempuran dengan tujuh orang Tebing 

    Neraka tadi, eh... dia hilang. Padahal 

    dia dalam keadaan terluka parah, serta 

    tak dapat bergerak sedikit pun. Aku perlu 

    waktu untuk mencarinya. Tolong izinkan 

    aku mencari..."


    "Juga kekasihmu yang hilang?"

    Lanangseta agak terperanjat 

    mendengar pemenggalan kata akibat 

    serobotan suara Kirana. Ia hanya 

    mengangguk. Dan ketika itu, jemari 

    Kirana yang menempel di bibir Lanangseta 

    dilepaskan. Ia bagai menghindari tatapan 

    mata Lanangseta. Ia berjalan menjauh, 

    kini memandang mulut goa.

    "Kau tak mau menolongku?" Lanang 

    mendekatinya.

    "Aku tak punya hutang budi padamu. 

    Wajar kan kalau aku menolak keinginanmu 

    itu?" ucapnya lirih. Lanang jadi kikuk. 

    Perempuan anggun itu kalau bicara 

    terang-terangan. Ah, tapi itu memang 

    sikapnya, pikir Lanang.

    "Kau memang punya hak untuk menolak. 

    Dari situ aku tahu, sampai di mana batas 

    kemanusiaanmu."

    Kirana berpaling begitu mendengar 

    ucapan Lanangseta itu. Di wajahnya tak 

    ada senyum, padahal Lanangseta sangat 

    mengharapkannya. Kemudian dengan pesona 

    anggun yang menggetarkan hati, bibir 

    sensual yang merekah itu bergerak-gerak 

    indah.

    "Kurasa ia sudah bukan lagi menjadi 

    milikmu."


    "Siapa?" Lanangseta terkejut 

    sekali.

    "Kekasihmu itu."

    Bagai ada segumpal sekam yang 

    menyumbat tenggorokan dan pernafasan 

    Pendekar Pusar Bumi. Ia menelan ludah 

    beberapa kali, tangannya gemetar dan 

    wajahnya menjadi pucat.

    "Aku... aku tidak mengerti mengapa 

    kau bicara begitu. Apa maksudnya, aku 

    juga tidak mengerti."

    "Kekasihmu, akan menjadi milik goa 

    Malaikat ini. Karena dia telah masuk 

    dalam kenyataan goa ini."

    Dahi pendekar tampan itu berkerut 

    tajam. "Aku masih kurang jelas. Tolong 

    sekali lagi kau jelaskan supaya aku bisa 

    memakluminya."

    "Kalau kau tidak bisa memakluminya, 

    apakah kau akan marah?" pancing Kirana 

    dengan sikap tenang.

    "Akan kuhancurkan goa ini!" jawab 

    Lanangseta tegas.

    "Apa kau sanggup?"

    "Pasti!"

    Kirana menyunggingkan senyum, ia 

    berpaling. Tapi dengan berani, 

    sepertinya tak sadar, Lanangseta segera 

    meraih dagu Kirana dan memalingkan wajah 

    anggun yang tengah tersenyum itu. Tentu


    saja hal itu membuat Kirana kaget dan 

    tersinggung. Ia segera menampar tangan 

    Lanangseta.

    "Lancang...!"

    "Aku...oh, maaf... aku hanya ingin 

    menikmati senyumanmu. Dari tadi 

    kutunggu, begitu kau tersenyum, kau 

    lantas mau buang muka. Oh, itu tak bisa. 

    Aku gemas...!"

    Wajah itu memerah. Merah dadu. Bagai

    menahan malu. Namun kini sengaja ia 

    menyunggingkan senyum buat Lanangseta.

    Aneh...! Kok jadi begitu?

    * * *

    5

    LANANGSETA alias Pendekar Pusar 

    Bumi, segera membawa Kirana masuk 

    melalui lorong kiri. Lalu mereka 

    berhenti di tempat hilangnya Ekayana. Di 

    sana hanya ada selembar kain baju Gopo 

    yang bekas dipakai alas tidur Ekayana. 

    Lanangseta telah menceritakan secara 

    terperinci tentang mengapa mereka berada 

    di goa itu dan bagaimana sekarang keadaan


    teman-temannya. Sebab itu Kirana 

    berkata:

    "Kalian bahkan lebih tahu dari 

    kami."

    "Kurasa tidak. Tentang jalan lorong 

    menuju Sendang Bangkai, memang pernah 

    kami lewati, tapi kalau disuruh 

    mengulang kembali, mungkin kami tak akan 

    mampu."

    Kirana mengambil kain baju Gopo, ia 

    mengamati beberapa saat. Sementara itu, 

    Lanangseta mepcoba berkesimpulan:

    "Apakah Ekayana adikku juga akan 

    menjadi milik goa ini?"

    Kirana menggeleng, lalu meletakkan 

    kembali kain baju milik Gopo. Ia berkata 

    dengan tanpa memandang Lanang:

    "Tidak. Ia akan kembali."

    "Tapi bukankah tadi kau bilang, 

    bahwa siapa yang memasuki goa ini, akan 

    menjadi milik goa ini?"

    "Siapa yang memasuki kenyataan goa 

    ini. Kenyataan!" Kirana mengulang. 

    Lanangseta berkerut dahi. 

    "Kau bingung?"

    Lanang mengangguk Polos. Kirana 

    tersenyum tipis. Dan Lanang melebarkan 

    mata, ingin melihat lebih jelas lagi 

    senyuman itu. Kirana agaknya membiarkan 

    pendekar tampan itu menikmati


    senyumannya. Kemudian ia berkata sambil 

    melangkah kembali, menuju persimpangan 

    lorong:

    "Kalian hanya masuk dalam lapisan 

    goa Malaikat, Bukan di dalam kenyataan 

    goa ini."

    Lanang manggut-manggut sambil 

    ber-alan di belakang Kirana. Kirana 

    sendiri segera melanjutkan 

    perkataannya:

    "Tapi kekasihmu. Sekar Pamikat, 

    telah masuk ke dalam kenyataan goa ini 

    dan menjadi milik goa ini."

    "Artinya?"

    "Sekar yang akan mewarisi isi goa 

    ini." "Harta karun? Perhiasan dan uang 

    emas?"

    Kirana menggeleng dengan anggun. 

    "Entah. Aku belum pernah tahu, dan belum 

    pernah mendengar cerita dari orang 

    tuaku, apakah goa ini menyimpan emas dan 

    harta berharga, atau tidak. Tapi yang 

    jelas, goa ini menyimpan pusaka leluhur 

    kami, yang kadang belum pernah kami 

    pahami selama ini."

    "Jadi... maksudmu, Sekar Pamikat 

    akan menjadi...."

    "Seorang resi, atau begawan 

    perempuan yang... tentu cantik, bukan?"


    "Gila!" geram Lanangseta kelihatan 

    tegang. Kirana memperhatikan dengan 

    tenang dan berwibawa. Lanangseta 

    mendesah dan gelisah.

    "Kau bohong!"

    "Tidak. Keluargaku tidak 

    diperbolehkan berbohong dengan 

    sungguh-sungguh. Kalau berbohong secara 

    main-main, memang tak apa."

    "Berarti kau kali ini main-main!" 

    desak Lanangseta.

    "Apakah kau merasa kupermainkan? 

    Kalau memang begitu, yah... anggap saja 

    keteranganku itu main-main. Tapi nanti 

    kau harus menyadari, bahwa garis 

    kehidupan manusia tak pernah ada yang 

    mempermainkan. Semuanya bergaris tegas, 

    jelas dan bersifat terbuka. Hanya 

    kadangkala manusia tidak pernah mau 

    mengakui keterbukaan sang nasib. Itulah 

    sebabnya manusia sering menyampingkan 

    firasat-firasat hidupnya."

    Pendekar Pusar Bumi tak dapat mena-

    han kegelisahannya. Kelihatan jelas 

    sekali. Dan Kirana yang lembut namun 

    berwibawa itu masih mau menjelaskan:

    "Memang Goa Malaikat ini punya 

    banyak misteri dan teka-teki, tapi siapa 

    orangnya yang mampu memecahkan misteri 

    itu? Keluargaku sendiri sampai sekarang


    masih dalam upaya memecahkan apa 

    sebenarnya yang ada di dalam goa ini."

    "Jadi kau tidak tahu ke mana Ekayana 

    pergi?"

    Kirana menggeleng lagi. "Tidak. 

    Yang kutahu dia akan kembali lagi. Dia 

    tidak seperti Sekar Pamikat."

    "Dan kau bisa mengetahui hal itu 

    secara pasti dari mana?" desak 

    Lanangseta.

    "Ada caranya sendiri. Di rumahku, 

    ada sebuah cermin. Apabila cermin itu 

    buram tak dapat dipakai untuk berkaca, 

    itu pertanda ada seseorang yang telah 

    masuk ke dalam kenyataan goa ini. Selama 

    ini, dari aku kecil sampai sedewasa ini, 

    baru sekarang terjadi cermin kami 

    buram!"

    "Bagaimana kau bisa memastikan 

    kalau orang yang masuk kedalam goa yang 

    sebenarnya itu adalah Sekar Pamikat?"

    "Hanya seorang perempuan yang dapat 

    masuk ke dalam ruang semadi. Konon, di 

    ruang semadi itulah Eyang Nyai tinggal 

    sampai saat ini belum pernah menampakkan 

    diri. Tapi jika hanya berada di sekitar 

    ruang itu, siapa pun bisa. Dan kau bilang 

    tadi, hanya ada dua perempuan, yaitu 

    Sekar Pamikat dan Andini. Tapi yang 

    hilang Sekar Pamikat, bukan?"


    Pendekar Pusar Bumi manggut-manggut 

    dalam gumamnya. Kegelisahannya sudah 

    mulai reda, walau tidak hilang. Tetapi 

    kesedihannya, semakin tampak jelas.

    "Itulah sebabnya goa ini dikatakan 

    sebagai goa suci, karena, menurut cerita 

    leluhurku, Eyang Nyai bermukim di sini. 

    Dan Eyang Nyai itu sebenarnya nenek 

    canggahku...."

    Kirana mulai sadar kalau 

    kata-katanya sudah tidak diperhatikan 

    lagi oleh Lanangseta. Karena itu ia 

    merubah pembicaraan, menjadi suatu 

    nasihat untuk membangkitkan gairah hidup 

    Lanangseta:

    "Hidup itu punya resiko 

    sendiri-sendiri. Resiko itu akan menjadi 

    sangat berat bagi kita, jika terlalu 

    dihayati. Suatu pengorbanan, 

    penderitaan dan kesedihan, mau tak mau 

    harus terjadi pada diri kita. Jika tidak 

    terjadi, kita sama saja dengan mati. Yang 

    penting bagi manusia adalah, bagaimana 

    cara mengatasi setiap resiko hidupnya. 

    Sebab hidup itu juga ibarat segenggam 

    gelas kaca, yang akan pecah jika tidak 

    hati-hati membawanya...."

    Lanangseta mendengar, namun ia 

    tetap diam. Ia masih membayangkan sejauh 

    itukah riwayat kehidupan Sekar Pamikat?


    Sepahit inikah hatinya di dalam hidup 

    tanpa Sekar Pamikat?

    "Aku harus segera pulang..." kata 

    Kirana datar. Lanang baru sadar dari 

    lamunan. Ia buru-buru meraih tangan 

    Kirana tanpa ragu-ragu.

    “Lalu bagaimana dengan aku?"

    "Pergilah sebelum aku membunuhmu," 

    jawabnya datar.

    "Apakah kau yakin, kau akan bisa 

    membunuhku?" 

    “Yakin."

    "Baiklah, sekarang juga kau dapat 

    melakukannya."

    Kirana menatapnya dengan lembut, 

    tapi punya makna ketegasan. "Bunuhlah 

    aku sekarang juga. Aku tidak akan segera 

    pergi sebelum bertemu dengan yang 

    lainnya."

    Kirana diam saja. Hanya 

    memandangnya tak berkedip. Pandangan itu 

    penuh ar-ti, namun sukar diterjemahkan 

    maknanya.

    "Bunuhlah," kata Lanang dalam 

    desah. Ia semakin mendekatkan leher, 

    seakan memberikan kesempatan Kirana 

    untuk mencekiknya. Tapi, dalam hatinya 

    ia yakin, bahwa Kirana tak akan sanggup. 

    Sebab itu, ia sengaja membiarkan jarak 

    wajahnya begitu dekat dengan wajah


    Kirana. Dan perempuan anggun itu masih 

    tetap memandanginya tanpa berkedip.

    "Lakukanlah niatmu..." bisik 

    Lanangseta.

    Kirana membisik, "Kau... harus 

    bertarung dulu denganku."

    "Baiklah, mari kita bertarung di 

    luar," tantang Pendekar Pusar Bumi.

    "Belum saatnya. Tunggu sampai kau 

    membandel sekali lagi, baru kita 

    bertarung satu lawan satu...."

    Kirana selalu menghindar, dan 

    lama-lama Lanangseta bosan sendiri. 

    Pegangan tangan Lanang masih erat di 

    tangan Kirana. Kirana sendiri 

    membiarkannya, bahkan kini ia memandang 

    pergelangan tangannya yang digenggam 

    Lanangseta. Tangan itu bergerak 

    perlahan-lahan, seperti ingin meronta 

    lepas dari genggaman Lanangseta, namun 

    juga seperti sedang dipermainkan.

    "Kau ingin kulepaskan?" Kirana 

    mengangguk, tetap tenang, bagai tak 

    punya perasaan apa-apa. Lanang 

    menggodanya dengan pertanyaan: "Kenapa 

    kau ingin kulepaskan?" 

    "Sudah hampir sore. Sebentar 

    lagi...." 

    "Goa ini tertutup, Begitu, bukan?" 

    sahut Lanangseta.


    Kirana tampak heran dan berkerut 

    dahi samar-samar.

    "Apakah... apakah goa ini setiap 

    sore akan tertutup?"

    "Apakah kau belum tahu?"

    Kirana menggeleng. Kini ganti 

    Lanangseta yang merasa heran. Mungkin 

    juga tidak setiap orang bisa memergoki 

    goa ini tertutup dan terbuka sendiri. 

    Kemudian Lanangseta menjelaskan apa yang 

    dilihatnya tentang batu-batu penutup 

    yang bergerak sendiri jika tanpa 

    matahari atau jika matahari bersinar 

    pertama kalinya. Kirana tampak asing 

    dengan kisah itu. Dan ia mengaku belum 

    pernah mendengar cerita dari orang 

    tuanya tentang sinar matahari itu.

    "Aneh..." gumam Lanangseta. 

    "Berarti kau benar-benar tidak memahami 

    seluk-beluk goa ini, ya?"

    "Memang. Malahan aku belum pernah 

    mendengar tentang sinar yang dapat 

    membuka tembok dan pintu goa."

    Lanangseta manggut-manggut. Dan ti-

    ba-tiba ia mempunyai gagasan sendiri. Ia 

    memandang kalung kirana.

    "Aku... hemmm... Boleh aku meminjam 

    kalungmu?"


    Kirana menggeleng tegas. "Kalung 

    ini tak boleh lepas dari leherku. Ini 

    pemberian nenek."

    "Baiklah. Tapi izinkan aku 

    mempermainkannya sebentar. Sangat 

    sebentar."

    "Untuk apa?"

    "Nanti kau akan tahu sendiri."

    Karena bersifat mendesak dan membu-

    at Kirana penasaran, akhirnya ia 

    mengizinkan Lanangseta mempermainkan 

    kalung berliontin batu zamrud. Pada 

    tepian batu itu terdapat lapisan semacam 

    intan atau kristal bening. Lanangseta 

    menyuruh Kirana berdiri di dekat pintu 

    masuk goa. Kirana heran, tapi karena rasa 

    ingin tahu, ia tetap berdiri mengikuti 

    perintah Lanangseta. Tubuhnya tersiram 

    cahaya matahari. Lanangseta 

    mempermainkan kalung itu dengan sangat 

    hati-hati. Sesekali tangan atau 

    jemarinya sempat menyentuh payudara 

    Kirana yang menonjol itu, namun agaknya 

    Lanangseta tidak bermaksud nakal, 

    sehingga Kirana membiarkan. Kalung itu 

    bergemerlapan diterpa cahaya matahari. 

    Pelan dan sangat hati-hati sekali, 

    Lanangseta menggerak-gerakkan kalung 

    tersebut, lalu salah satu pantulan 

    cahayanya mengenai dinding lorong


    sebelah kanan. Dinding lorong kanan itu 

    tak pernah terkena pantulan matahari. 

    Tetapi sekarang, kalung Kirana dapat 

    mematulkan cahaya matahari kendati hanya 

    seberkas kecil, seukuran jarum jahit.

    Dan tiba-tiba, terdengar suara 

    bergemuruh. Dinding lorong itu 

    bergerak-gerak. Kirana kaget dan 

    terheran-heran melihat dinding itu 

    bergerak turun, bagai ada yang 

    menariknya ke dasar bumi.

    “Dinding itu...? Astaga... dinding 

    itu terbuka sendiri," gumam Kirana dalam 

    kekaguman.

    "Kalung ini yang membukanya. Bukan 

    karena kalung ini sakti, tapi karena 

    cahaya matahari memantul, dan pantulan 

    sinarnya itu mengenai dinding lorong 

    itu. Jika ia terkena pantulan sinar 

    matahari, maka dinding tersebut akan 

    terbuka sendiri, seperti yang kau lihat 

    sekarang ini...."

    Kirana tak habis pikir, bahwa 

    ternyata pendekar tampan yang ada di 

    dekatnya itu benar-benar mempunyai otak 

    yang cukup cerdas. Semuanya memang di 

    luar dugaan bagi Kirana. Bukan hanya 

    kecerdasan Lanangseta, tapi apa yang ada 

    di balik dinding lorong itu pun menjadi 

    hal yang di luar dugaan.


    Lorong itu sudah tanpa dinding lagi. 

    Tetapi ada cahaya berbinar-binar terang 

    dari dalam lorong tersebut. Kirana 

    segera berlari menuju lorong tersebut. 

    Lalu Lanang menyusulnya. Keduanya 

    sama-sama terbelalak, sama-sama 

    terbengong dengan mata tak berkedip. 

    Mereka melihat setumpuk perhiasan dan 

    emas-emas dalam bentuk gumpalan batu. 

    Jumlahnya tidak sedikit. Bahkan 

    menggunung setinggi setengah badan 

    Lanangseta.

    "Emas...?!" Lanangseta memekik 

    tertahan, takut didengar orang. Kirana 

    masih tertegun sampai beberapa saat.

    "Rupanya inilah yang menjadi 

    incaran orang-orang itu."

    Kirana menggumam panjang, ia 

    memegang sebongkah emas dalam bentuk 

    batu kasar. Ia mengamatinya sejenak, 

    lalu berkata lirih:

    "Orang tuaku pun belum tentu 

    mengetahui hal ini.

    "Ini semua milik keluargamu, Ki... 

    eh, nggakjadi!"

    Kirana tersenyum geli melihat 

    Lanangseta tak jadi menyebutkan namanya.

    Terdengar suara gemuruh lagi. 

    Lanangseta terperanjat.


    "Lekas keluar dari lorong ini! Pintu 

    akan tertutup dalam beberapa helaan 

    nafas lagi, sebab ia sudah tidak terkena 

    pantulan sinar matahari...!"

    Kirana buru-buru meloncat ketika 

    dari dasar bumi muncul 

    bongkahan-bongkahan bebatuan yang sudah 

    terakit menjadi satu bidang dinding 

    tebal. Lanangseta segera mengikuti 

    Kirana. Dan mereka berada di luar lorong 

    setelah lorong itu tertutup rapat 

    seperti semula, bagai tak ada jalan 

    menuju ke dalaman lorong.

    Kirana masih belum hilang rasa kagum 

    dan terpana. Lanang segera menyadarkan 

    Kirana dengan kata-kata:

    "Sudaaah...! Suatu saat kau dan 

    keluargamu dapat mengambil semua emas 

    itu. Kau sudah tahu cara membukanya, 

    kan?"

    "Kalau tidak keduluan kamu, kan?"

    Lanang menggeleng dalam senyuman. 

    "Tidak mungkin. Sebab itu barang bukan 

    milikku. Jadi aku merasa tak punya hak 

    untuk mengambil dan memilikinya. 

    Percayalah, rahasia ini tak akan bocor."

    Kirana tersenyum. Lanangseta baru 

    akan menikmati senyuman itu, tiba-tiba 

    mereka dikejutkan oleh suara denting 

    senjata beradu. Makin lama semakin


    terdengar jelas dari ramai. Suara-suara 

    teriakan menggema sampai di dalam goa. 

    Lanangseta dan Kirana sama-sama terkejut 

    dan saling bertanya-tanya dalam hati: 

    "Siapa yang bertarung di luar goa?"

    "Pasti orang-orang Tebing Neraka," 

    gumam Kirana. Lalu keduanya keluar dari 

    mulut goa. Lanang lebih dulu berada di 

    luar, baru Kirana menyusul. Tetapi pada 

    saat itu, Lanangseta bagai terpaku di 

    tempat dan tercengang. Ia melihat 

    seorang pendekar muda, dengan ikat 

    kepala dari kulit macan tutul sedang 

    bertarung melawan satu barisan 

    orang-orang ganas. Mulut Lanangseta 

    gemetar ketika ia berkata:

    "Itu... itu Ekayana, adik 

    kembarku...?!"

    "O, pantas. Kalian memang sukar 

    dibedakan, kalau saja adikmu tidak 

    mengenakan celana lebih panjang dari 

    kamu," kata Kirana dengan tenang.

    Keheranan masih meliputi pikiran 

    Lanangseta.

    "Ajaib sekali! Ia dalam keadaan 

    sehat, tanpa cacat atau luka sedikit pun 

    di punggungnya. Ajaib! Benar-benar 

    ajaib!"

    "Ya, ajaib! Kita hanya menjadi 

    penonton pertarungan satu melawan


    seribu, itu memang sangat ajaib," sindir 

    Kirana. Kemudian Lanangseta tertawa. Dan 

    tanpa ragu-ragu lagi ia melesat cepat 

    bagai anak kijang hutan. Sekali lagi ia 

    meloncat tinggi, lalu jatuh tepat di 

    samping Ekayana yang tengah sibuk 

    menangkis serangan lawan dengan 

    pedangnya. Ekayana sempat kaget 

    sebentar, lalu menengok ke arah 

    Lanangseta.

    "Hei...!" sapa Ekayana pendek 

    dengan senyum girang.

    "Hei, sudah sembuh?"

    "Sudah! Mereka menolongku," sambil 

    berkata demikian, Ekayana Seta 

    menghadapi serangan lawan, menangkis dan 

    menghindar, Demikian juga Lanangseta, 

    sambil mengibaskan pedang Wisa Kobra ia 

    masih bisa ngobrol dengan adik 

    kembarnya:

    "Mereka siapa, maksudmu?"

    "Para orang tua penghuni goa itu."

    Para orang tua? Berarti lebih dari 

    satu orang tua. Padahal selama ini 

    Lanangseta merasa tak pernah menjumpai 

    satu orang pun di dalam goa, kecuali 

    orang-orang yang dikenalnya. Tapi segera 

    Lanangseta memahami, mungkin yang 

    dimaksud Ekayana adalah leluhur keluarga 

    Kirana, entah dalam bentuk roh halus,


    atau memang mereka masih hidup sampai 

    saat ini.

    "Andini di mana?" tanya Ekayana.

    "Mencarimu bersama Ludiro. Mereka 

    masih di dalam goa. Eh... kenapa kau 

    terlibat utusan dengan orang-orang ini?"

    "Mereka memaksaku untuk menunjukkan 

    letak goa Malaikat. Aku tidak tahu, dan 

    memang tidak tahu. Tapi mereka tidak 

    percaya, bahkan menyerangku."

    "Yang kita huni itulah Goa Malaikat. 

    Kalau begitu, mari kita selesaikan 

    secepatnya permainan ini, nanti kita 

    cari Andini bersama-sama...!" Kemudian 

    setelah Ekayana mengangguk, Lanangseta 

    pun berteriak keras, melayang ke udara 

    dan membabatkan pedangnya ke arah lawan. 

    Sekali tebas, dua tiga kepala yang 

    terkena.

    Orang-orang Tebing Neraka itu 

    ganas-ganas. Jumlahnya puluhan orang 

    yang datang ketika itu. Agaknya pimpinan 

    mereka benar-benar tahu, bahwa di goa 

    Malaikat itu tersimpan banyak emas, 

    sehingga ia memerintahkan seluruh 

    orang-orangnya untuk menguasai goa 

    Malaikat. Jika memang begitu, lalu siapa 

    pemimpin mereka sebenarya? Mengapa 

    sampai mengetahui betapa berharganya Goa 

    Malaikat itu?


    Kirana Sari sengaja tidak turun 

    tangan. Ia berdiri di depan mulut goa 

    sambil menyaksikan pertarungan dua 

    pendekar kembar melawan sejumlah 

    orang-orang Tebing Neraka. Dalam hati, 

    Kirana Sari mengakui kehebatan kedua 

    pendekar tampan itu. Ekayana dipuji atas 

    permainan pedangnya yang cukup bagus dan 

    mengagumkan. Pedang itu dapat berputar 

    cepat, mengelilingi tubuhnya, dan 

    berguna sebagai pelindung tubuh.

    'Trang...! Trang...! Tang...!"

    Hanya suara itu yang terdengar dari 

    setiap tebasan senjata lawan ke arah 

    tubuh Ekayana. Yang mengagumkan lagi, 

    sekali Ekayana menebaskan pedangnya, dua 

    tiga orang menjadi patung seketika. 

    Artinya diam mendadak dalam gerakan pada 

    waktu itu. Kemudian satu persatu bagian 

    tubuhnya yang terpotong itu jatuh, dan 

    matilah mereka. Seperti saat ini, 

    Ekayana mengayunkan beberapa kali 

    pedangnya ke arah lawan. Orang itu masih 

    sempat tersenyum, sebelum tangannya 

    tahu-tahu terlepas, jatuh. Disusul 

    dengan kupingnya, pahanya, lalu 

    kepalanya menggelinding sendiri pada 

    saat Ekayana sudah menewaskan dua orang 

    lainnya.


    Itulah kehebatan ilmu pedang Ekaya-

    na. Sayang Kirana belum mengetahui bahwa 

    Ekayana itu memang bergelar Pendekar 

    Maha Pedang. Memang berbeda dengan 

    saudara kembarnya Pendekar Pusar Bumi. 

    Kalau pendekar yang satu itu memang 

    cekatan, namun permainan pedangnya tak 

    sehebat Ekayana. Tetapi keampuhan pedang 

    itu sendiri cukup mengagumkan. 

    Lanangseta seolah-olah bertugas 

    merontokkan persenjataan lawan. Jenis 

    senjata apa saja yang tertebas pedang 

    Wisa Kobranya, langsung patah menjadi 

    beberapa bagian, tergantung berapa kali 

    pedang itu menebas senjata tersebut. Hal 

    ini membuat orang-orang Tebing Neraka 

    menjadi kelabakan. Namun ilmu silat dan 

    tenaga dalam orang-orang itu juga tak 

    dapat diremehkan. Yang paling berbahaya 

    adalah pukulan tenaga dalam jarak jauh, 

    yang mengeluarkan nyala sinar biru tua. 

    Pukulan itu dapat membuat orang yang 

    terkena menjadi sirna tanpa bekas. Untuk 

    sementara, tugas Kirana adalah menahan 

    setiap ada serangan sinar biru tua. Ia 

    menahan dari jarak jauh, dan apabila 

    posisi kedua pendekar itu tidak dalam 

    satu arah dengan sinar biru tua, maka 

    melepaskan sinar tersebut. Jika mengenai 

    teman mereka sendiri, maka hilanglah


    teman mereka, jika mengenai pohon, maka 

    hilanglah pohon itu.

    "Serang terusss...!" seru salah 

    seorang yang bertugas menjadi komandan 

    tempur mereka. "Ingat, rebut goa 

    Malaikat dan hancurkan 

    penghalangnya...!!"

    Kirana tersenyum tipis. Sayang Pen-

    dekar Pusar Bumi saat itu tidak 

    melihatnya. Pendekar Pusar Bumi sedang 

    memperagakan jurus Lindung Buminya. Ia 

    amblas ke tanah, tahu-tahu muncul di 

    bawah kaki beberapa lawannya. Lalu 

    dengan cepat pedang Wisa Kobra merobek 

    perut dan bagian tubuh lawan lainnya. 

    Berulangkali ia menggunakan jurus itu 

    dan selalu berhasil. Tapi, orang-orang 

    Tebing Neraka semakin bertambah banyak 

    saja rasanya. Ru-panya kali ini adalah 

    penyerangan total dari orang-orang 

    Tebing Neraka.

    Tiba-tiba sebuah tangan meraih 

    leher Kirana dari belakang. Kirana 

    mengibaskan orang itu, dan orang itu 

    terpental jauh sekali, tinggi dan jatuh 

    tepat di bebatuan dengan kepala duluan. 

    Mengerikan sekali kematiannya. Kemudian 

    Kirana merasa perlu turun tangan untuk 

    mempercepat mengalahkan orang-orang 

    ambisius itu. Gerakannya begitu lincah


    namun kelihatannya ringan. Ia seperti 

    ogah-ogahan bertempur, tapi yang menjadi 

    korban pukulannya tidak sedikit. Hanya 

    saja, tiba-tiba orang Tebing Neraka itu 

    beralih arah ke Kirana. Ada yang 

    berteriak,. 

    "Awas, jangan sampai terluka...!" 

    Ada juga yang berseru sambil menyerang,

    "Aku dulu yang memakainya! Aku dulu...!"

    Kirana masih bertarung dengan gaya 

    malas-malasan, namun sebenarnya ia 

    mempunyai gerakan yang sangat cepat dan 

    hebat. Satu kali ia memukul lawannya, 

    tiga orang di belakang orang yang dipukul 

    dapat terjungkal bersamaan. Tetapi, 

    mereka menyerang dengan tujuan lain. 

    Mereka tidak bermaksud membunuh, tapi 

    memakai tubuh Kirana lebih dulu baru akan 

    mem-bunuhnya. Karena itu, mereka yang 

    menyerang Kirana sengaja menyimpan 

    senjata mereka. Tubuh mulus dan sintal 

    itu, sangat sayang jika sampai terluka.

    Bahkan dari mereka hanya ada yang 

    berusaha mencium Kirana. Tetapi yang 

    diperoleh selalu pukulan hebat dan telak 

    yang membuat mereka menggelepar, lalu 

    mati.

    Sementara Pendekar Pusar Bumi masih 

    senang menggunakan jurus Lindung 

    Buminya, amblas, menyerang, amblas,


    menyerang... begitu seterusnya. 

    Sedangkan Pendekar Maha Pedang, bagai 

    sedang memotong agar-agar untuk suatu 

    hidangan. Ia menggerakkan pedangnya ke 

    kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah, dan 

    pada umumnya lawan yang terkena sabetan 

    pedangnya tidak merasa sakit. Bahkan ada 

    yang tidak sadar kalau dirinya sudah 

    terpotong menjadi tiga bagian. Tahu-tahu 

    sewaktu ia ingin berlari mengejar 

    keroyokan tubuh Kirana, anggota tubuhnya 

    sendiri telah berantakan, dan ia pun mati 

    dengan nyaman.

    Pada waktu itu, Kirana melesat 

    tinggi melampaui kepala mereka. Ketika 

    ia menginjakkan kakinya ke tanah, 

    seorang bertubuh kekar dan bermata 

    jalang segera menyergapnya. Kirana 

    menjatuhkan diri di rerumputan. Orang 

    itu memeluknya dengan kuat dan berusaha 

    mencium Kirana. Lanangseta sempat 

    melihat adegan Kirana hampir diperkosa 

    orang itu. Ia segera melejit, melambung 

    ke atas, dan membabat orang-orang yang 

    hendak ikut berguling-guling dengan 

    Kirana.

    Tubuh Kirana telah berada di bawah 

    dan tangan orang kekar itu mulai bekerja 

    ke mana-mana. Namun tiba-tiba tubuh


    orang kekar itu terpental ke atas, ia 

    sempat bersalto sambil berteriak: 

    "Aaaakhh...!" Ia dapat jatuh dalam 

    posisi berdiri, namun sekujur tubuhnya 

    telah penuh dengan ratusan jarum hitam. 

    Wajahnya rusak dihunjam sekitar 50 

    jarum, belum sekujur tubuh lainnya. Dan 

    tiba-tiba orang itu menjadi kering. 

    Makin lama makin kering kerontang, 

    sampai akhirnya ia tak ubahnya seperti 

    besi bekas yang tergeletak penuh karat.

    Kini nafsu birahi mereka sirna, yang 

    ada hanya niat membunuh Kirana. Tapi 

    Kirana sendiri telah siap siaga dengan 

    senyum sinisnya yang menggemaskan setiap 

    orang. Dan pada saat itu, terdengarlah 

    suara seorang perempuan dari mulut goa 

    yang berteriak-teriak menghadapi lawan. 

    Lanangseta sempat melirik, dan ternyata 

    perempuan itu adalah Andini:, yang sibuk 

    menghadapi sekitar tujuh orang. Tentu 

    orang-orang itu berusaha hendak masuk ke 

    dalam goa, tapi sudah dihadang oleh 

    Andini yang tidak tahu menahu 

    masalahnya.

    Lanangseta meloncat, dan berguling 

    di udara bagai sebuah baling-baling.

    Ketika ia turun, ia telah berada di 

    belakang Pendekar Maha Pedang.


    "Gadismu muncul...!" kata 

    Lanangseta.

    "Ya, aku sudah melihatnya baru 

    saja," jawab Ekayana seraya berkelit ke 

    kiri menghindari tombak bermata tiga. 

    Lalu ia meliukkan badan sambil 

    menebaskan pedangnya ke perut lawan. Ia 

    masih sempat berkata, "Dia pasti akan 

    terkejut jika melihatku."

    "Sebaiknya temui dia sambil kau

    babat mereka yang menyerang Andini. Biar 

    di sini aku yang mengurus."

    "Ide yang bagus...!" katanya sambil 

    tersenyum, Dan ia pun melesat ke atas, 

    bersalto beberapa kali. Pedangnya sempat 

    menyambar batok kepala lawan, sehingga 

    orang itu terbelah kepalanya bagai 

    semangka tanpa biji.

    "Eka...?!" Andini terbelalak meman-

    dang Ekayana.

    "Awas belakangmu! teriak Ekayana.

    Andini menggerakkan satu kakinya ke 

    belakang, 

    "wess...!" Tendangannya dapat 

    dihindari lawan, namun orang itu menjadi 

    memar wajahnya karena terkena angin 

    tendangan Andini. Ekayana berguling ke 

    bawah sambil menebaskan pedang pada kaki 

    lawan. Dan ketika itu pula jerit 

    kesakitan membahana dengan histeris.


    Lalu dengan beberapa gerakkan jurus 

    ringan, Ekayana berhasil menumbangkan 

    lima orang lawan dengan tiga gerakan yang 

    cukup mematikan. Sedangkan Andini 

    mengibaskan rambutnya yang panjang dan 

    mengenai wajah musuhnya, maka orang itu 

    pun menjerit kesakitan, wajahnya bagai 

    terkelupas tanpa ampun lagi. Pedang 

    Ekayana yang akhirnya menghentikan 

    pernafasan orang itu. Andini sempat 

    memeluk Ekayana kekasihnya. Ia sangat 

    rindu. Namun ia terpaksa mau diajak 

    berguling-gulingan oleh Ekayana, karena 

    dua tombak meluncur cepat ke arah mereka.

    Sambil berpelukan dalam berguling, 

    Andini sempat menyabut beberapa daun dan 

    rumput. Ia menebarkan dalam satu 

    gerakkan, dan rumput serta daun itu pun 

    melesat cepat ke arah dua orang yang 

    melemparkan tombak tadi. Orang itu 

    mengerang kesakitan dan untuk kemudian 

    tubuhnya tak berkutik lagi dengan darah 

    yang membanjir dari tiap-tiap bagian 

    tubuh yang terkena rumput itu.

    Ekayana dan Andini masih berguling 

    beberapa kali, lalu berhenti karena 

    tertahan oleh sebuah batu besar.

    "Aku rindu kamu...!" kata Andini.

    "Kau pikir hanya kamu yang bisa 

    rindu?" Ekayana tertawa bersama Andini.


    Pada saat itu, seorang lawan hendak 

    membabat Ekayana dan Andini, namun La-

    nangseta mengetahuinya dan segera 

    menendang sebutir batu. Batu itu 

    melayang dan mengenai kepala orang itu. 

    Kemudian dengan sangat mengagumkan 

    kepala orang itu pecah seketika terkena 

    batu yang diten-dang Pendekar Pusar 

    Bumi.

    Bertepatan dengan itu, Lanangseta 

    juga melihat dua orang akan membokong 

    Kirana. Lanangseta tak mempunyai 

    kesempatan seperti tadi, karena kini 

    empat orang menutup jalannya. Maka di 

    luar kesadaran, Lanangseta berteriak:

    "Kirana Sari!! Awas belakangmu...!"

    Tak ayal lagi badai pun datang 

    dengan cepat. Lanangseta tercengang dan 

    menyadari ucapannya. Ia telah menyebut 

    nama Kirana Sari. Ia buru-buru mencari 

    tempat untuk berpegangan. Badai 

    mengamuk. Petir menggelegar di angkasa. 

    Langit bagai terbakar. Merah membara. 

    Awan hitam bergolang, bergulung-gulung. 

    Sebatang pohon tumbang seketika, pohon 

    berukuran kecil. Tumbangnya pohon itu 

    sempat menjatuhi tubuh seorang lawan 

    hingga orang itu tergencet. Lanangseta 

    segera bergabung dengan Ekayana dan 

    Andini. Mereka tertahan batu besar.


    Sementara itu, orang-orang Tebing Neraka 

    sibuk dan kebingungan menghadapi 

    hempasan badai yang begitu kuat dan 

    gencar. Satu persatu mereka mulai 

    terhempas, terpelanting dan bahkan yang 

    bertubuh kurus sekalipun sempat melayang 

    tinggi, lalu jatuh tertancap tonggak 

    pohon. Mereka benar-benar kacau. Banyak 

    kepala yang saling beradu dengan keras. 

    Banyak juga yang tulangnya patah karena 

    bagai diadu dengan batang pohon atau 

    batu. Sementara itu, Lanangseta dan 

    Ekayana sempat melindungi Andini. Gadis 

    itu dipepetkan dengan batu besar, lalu 

    ditutup oleh kedua tubuh mereka.

    Pada waktu itu, gadis manja masih 

    sempat bertanya: "Aku tahu, nama 

    perempuan itu Kirana Sari, kan? Aku 

    mendengar kau menyebutkannya ta...."

    "Diam!" bentak Lanangseta dengan 

    kasar dan keras. Tapi Andini sudah 

    terlanjur mengucapkan nama itu, sehingga 

    badai pun datang lagi dan semakin hebat. 

    Bumi bergoncang bertambah mengerikan. 

    Gelegar petir di angkasa bertalu-talu, 

    bagai terjadi ledakan gunung 

    bertubi-tubi. Percikan api di langit 

    seperti tarian ular. Mengerikan sekali. 

    Saat itu, orang-orang Tebing Neraka 

    semakin kocar-kacir dan terpental ke



    mana-mana dengan nasib ditanggung 

    masing-masing. Andini sangat ketakutan. 

    Ekayana tetap tenang, seperti kakaknya. 

    Sedangkan Kirana sendiri, hanya diam di 

    bawah sebuah pohon, menundukkan kepala, 

    memusatkan konsentrasi pada kaki agar 

    menapak kuat di tanah. Sampai beberapa 

    saat lamanya alam menjadi murka, seakan 

    kiamat sedang terjadi dalam bentuk 

    gejala-gejala dini. Pedang Wisa Kobra 

    nyaris terlepas, namun berhasil diraih 

    kembali, kemudian buru-buru 

    disarungkan. Deru angin bagai rombongan 

    pasukan berkuda lewat di samping telinga 

    mereka.

    Kemudian kian lama, kian mereda. Dan 

    akhirnya sepi.

    Angin semilir. Ledakan di angkasa 

    hilang. Langit menjadi cerah kembali. 

    Bumi tidak lagi bergoyang. Dan 

    orang-orang Tebing Neraka sudah tak

    bersuara lagi. Ada yang mati tertimpa 

    pohon, ada yang mati terbentur pohon atau 

    batu. Ada yang mati karena kepalanya 

    beradu dengan tombak teman sendiri 

    sehingga seperti tusukan sate. Ada pula 

    yang terbang entah ke mana dan mati dalam 

    keadaan bagaimana.

    Yang jelas, semua sudah reda. Semua 

    menjadi sepi. Lanangseta muncul dari


    balik batu besar. Ia memandang Kirana 

    yang berdiri dengan tenang sambil 

    memandang kerusakan alam di 

    sekelilingnya. Ekayana dan Andini masih 

    berangkulan ketika muncul dari balik 

    batu besar. Lanangseta berjalan 

    mendekati Kirana.

    "Kau terluka?" tanya Lanangseta.

    Kirana menjawab dengan acuh tak 

    acuh, "Periksalah sendiri...."

    Saat itu, Andini dan Ekayana 

    berjalan mendekat. Lanang bicara kepada 

    Kirana, "Itu adikku dan kekasihnya, 

    Andini."

    "Pergilah kalian," kata Kirana 

    tanpa ekspresi apa pun.

    Andini dan Ekayana sempat kecewa 

    mendengar ucapan Kirana. Andini ingin 

    membalas dengan kata-kata sinis, tapi 

    dengan cepat tangan Lanangseta 

    membungkam mulutnya. Ia berbisik saat 

    Kirana menjauhi mereka, berlagak 

    memeriksa korban yang bergelimpangan 

    itu.

    "Jangan melawan dia! Kumohon jan-

    gan! Demi keselamatanku sendiri. Ta-

    hu...?!"

    Pendekar Maha Pedang memandang 

    Lanangseta dengan tatapan mata yang 

    penuh tuntutan. Lanangseta tahu, bahwa


    Ekayana ingin membantu kakaknya kalau 

    memang ada urusan dengan perempuan itu. 

    Namun Lanangseta buru-buru mengedipkan 

    mata dan berbisik lagi:

    "Sekarang kalian telah bertemu kem-

    bali. Pergilah cepat. Ekayana kalau 

    perlu kembali dulu ke Cendana Manik, ajak 

    serta Andini, biar ayah tahu siapa calon 

    istrimu itu. Turutilah kata-kataku ini."

    Ekayana menghela nafas 

    panjang-panjang. Lanangseta menambahkan 

    kata:

    "Nanti aku akan menyusul menemuimu, 

    entah di Cendana Manik, atau ke Kerajaan 

    Sebrang. Aku pasti menemui kalian."

    Mau tak mau Ekayana mengangguk. 

    "Baiklah. Jaga dirimu sebaik mungkin."

    “Ya. Dan aku meninggalkan tempat ini 

    setelah aku bertemu dengan Ludiro, dan 

    Gopo."

    "Bagaimana dengan Sekar Pamikat?"

    "Dia akan menjadi penguasa bukit 

    ini. Sudahlah, nanti kuceritakan panjang 

    lebar setelah kita jumpa di sana...."

    Akhirnya, dengan langkah-langkah 

    berat, Ekayana serta Andini meninggalkan 

    Pendekar Pusar Bumi. Andini sesekali 

    menengok ke belakang kendati sudah jauh 

    melangkah. Ia masih melontarkan nada 

    sedihnya, "Kasihan Lanangseta...."


    "Ia dapat mengurus diri sendiri," 

    ujar Ekayana.

    "Oya... sebenarnya apa yang terjadi 

    pada dirimu? Kenapa kau hilang dan 

    tahu-tahu sudah bertarung dalam keadaan 

    sehat, tanpa bekas luka lagi...."

    Ekayana tersenyum. "Ceritanya 

    panjang, Dini. Yang jelas, aku 

    diselamatkan oleh orang tua yang ada di 

    dalam goa itu. Aku disembuhkan dengan 

    cara yang tidak kuketahui. Hanya yang 

    kuingat, tahu-tahu aku sudah berada di 

    bawah pohon, lalu kedatangan orang-orang 

    Tebing Neraka itu. Ah, nanti kuceritakan 

    lebih panjang lagi setibanya di rumah. 

    Sekarang sebaik-nya kita ke Pesanggrahan 

    Cendana Manik, menemui ayah. Tentu Ayah 

    ingin melihat seperti apa kecantikan 

    calon menantunya itu..." Andini tertawa 

    manja dan mempererat pelukannya.

    Sementara itu, Pendekar Pusar Bumi 

    atau Lanangseta, masih tertegun 

    menyaksikan banyak mayat di sekitar 

    depan Goa Malaikat. Ia melihat sosok 

    tubuh perempuan anggun yang punya daya 

    pesona tersendiri itu berdiri di mulut 

    goa. Lanang segera menghampirinya. Ia 

    berhenti didepan Kirana. Mereka saling 

    tatap beberapa saat. Angin berhembus 

    semilir, mempermainkan rambut mereka,


    mempermainkan mata mereka yang sama-sama 

    tajam namun meneduhkan.

    "Maaf, aku tadi tak sengaja 

    menyebutkan namamu," kata Lanangseta. 

    Kirana membuang pandangan ke cakrawala.

    "Kenapa kau tak ikut pergi dengan 

    mereka?" katanya datar.

    "Aku menagih janji."

    Sekejap cepat Kirana berpaling 

    menatap Lanangseta. "Janji? Janji apa 

    aku padamu?"

    "Kau akan membunuhku."

    Kirana menghela nafas. "Apa kau 

    masih membandel ingin tinggal di tanah 

    kami ini?!"

    "Aku harus tinggal beberapa saat 

    lagi, karena dua temanku, Ludiro dan Gopo 

    belum ke luar dari Goa. Mereka tersesat 

    dan aku akan mencarinya sampai ketemu."

    "Waktumu sudah habis!" ketus perem-

    puan anggun itu.

    "Biar. Aku tidak peduli."

    "Keras kepala!" Kirana menyipitkan 

    mata. Tapi cantik. "Lama-lama habis 

    sudah kesabaranku! Kau benar-benar bisa 

    kubunuh!" tandasnya.

    Tiba-tiba terdengar gemuruh di 

    belakang Kirana. Oh, matahari telah 

    tenggelam, dan goa itu tertutup sendiri 

    secara otomatis. Ia bagai kehabisan


    tenaga surya. Kirana tertegun melihat 

    goa itu tertutup sendiri dengan rapat. Ia 

    segera berpaling kepada Lanangseta, 

    seakan berkata: 

    "Goa menutup sendiri." Namun pada 

    saat itu Lanangseta hanya menyunggingkan 

    senyum dan mengangkat bahunya sambil 

    membuka kedua tangan. Lalu ia berkata:

    "Mau tak mau harus kutunggu sampai 

    goa itu terbuka lagi. Lalu akan kucari 

    temanku di dalam sana...."

    "Tidak!" bantah Kirana.

    "Aku akan nekad."

    "Kau harus pergi."

    “Kau sajalah yang pergi," Lanang 

    bagai malas.

    Tiba-tiba Kirana melancarkan 

    serangannya melalui tendangan kaki kanan 

    yang menyamping. 

    "Wess...!" Lanangseta berhasil 

    menghindari tendangan itu. Tapi dalam 

    langkah berikutnya, kaki kiri Kirana 

    mengayun ke depan, menendang kuat-kuat, 

    dan mengenai dada Lanangseta. "

    Buuk...!"

    "Huugh...!" Lanangseta mengaduh, 

    membungkukkan badan sambil memegangi 

    dadanya. Ia menahan sakit dengan 

    bersandar pada sebuah batu besar. Kirana


    segera menghampiri dengan wajah kaku, 

    tanpa ekspresi.

    "Menyingkirlah sebelum aku 

    membunuhmu!"

    Jawab Pendekar Pusar Bumi, 

    "Bunuhlah sebelum aku menyingkir...."

    Kirana menghempaskan nafas, kesal 

    dan gemas. Wajahnya jadi kelihatan manis 

    menggemaskan.

    "Bunuhlah...!" kata Pendekar Pusar 

    Bumi.

    Dengan ketus Kirana berkata, "Cabut 

    pedangmu! Kita benar-benar bertarung 

    secara kesatria!"

    "Baik...!" Lanangseta mencabut 

    pedangnya. 

    "Sreet...!" Lalu berkata pelan, 

    "Aku telah siap!"

    "Aku belum!" jawab Kirana ketus dan 

    tandas.

    "Kenapa?"

    "Aku tidak ingin bertarung secara 

    ksatria, tapi tanpa kutahu nama 

    musuhku."

    "Jadi kau butuh namaku?"

    "Kalau kau mau bertarung denganku, 

    sebutkan namamu!"

    Lanangseta cengar-cengir. "Namaku, 

    Lanangseta...!"


    Kirana memandang ke langit yang 

    suram. "Sepi. Tak ada badai, tak ada 

    petir, tak ada apa-apa. Hem... sebuah 

    nama tanpa arti!" ejeknya.

    Lanang tersenyum sinis. "Kau sudah 

    tahu namaku. Mari kita bertarung, dan kau 

    harus membunuhku."

    Kirana diam saja. Ia berusaha untuk 

    tetap tenang.

    "Ayo, bertarung dan bunuhlah aku!"

    Lama-lama Kirana berpaling dan 

    memandang mata Lanangseta dalam-dalam. 

    Ia berkata bagai bisikan:

    "Apakah aku akan sanggup 

    membunuhmu?"

    "Kenapa tidak?"

    Kirana menggeleng lemah. Ia 

    memandang jauh ke cakrawala dan berkata 

    lirih, "Aku lupa, bagaimana cara 

    membunuh orang yang kucintai..." 

    Lanangseta tertegun. Kirana memandang 

    lembut. Kemudian Kirana membiarkan 

    tangan Lanangseta meraih pundaknya. Ia 

    bahkan merebahkan kepala di dada 

    Pendekar Pusar Bumi.

    Sore pun redup, beralih keremangan 

    petang. Tapi ada sinar bulan di sela-sela 

    mega. Sinar kirana yang membias 

    menerangi sosok insan yang sedang 

    merebahkan kepalanya di dada seorang


    pendekar tampan. Insan itu amat lembut, 

    namun juga anggun dan menggetarkan hati 

    lelaki. Kirana Sari!

    Ia mencintai Pendekar Pusar Bumi. 

    Tetapi benarkah ia akan menjadi kekasih 

    pendekar itu?


                                  TAMAT

     



     

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • - Copyright © matjenuhkhairil.blogspot.com - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -