Seperti mengerti ucapan majikannya, kuda coklat itu
mendengus pelan kemudian membalikkan tubuh dan berjalan
meninggalkan tuannya.
Laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga itu kini
mengalihkan perhatiannya pada dua orang penjaga di
hadapannya.
"Aku akan masuk ke dalam. Ingin kulihat apakah kalian
mampu menghalangiku...?" ujar laki-laki berwajah keras itu
pelan bernada menantang.
"Maafkan kami, Den. Kami hanya menjalankan tugas...,"
sahut si rambut coklat.
'Tidak usah banyak basa-basi! Ayo serang aku!" bentak
laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga itu
"Maafkan kami. Den. Hiyaaa...!"
Penjaga yang memiliki tompel di pipinya ini lalu menyerang
laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga. Kakinya
menyambar cepat ke arah wajah dengan sebuah tendangan
miring yang keras.
Laki-laki berwajah keras itu hanya mendengus pelan.
Tubuhnya didoyongkan ke belakang sehingga tendangan itu
hanya mengenai tempat kosong. Sekitar sejengkal di depan
wajahnya.
Sebelum si tompel sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu
tangan kanan laki-laki berwajah keras itu bergerak cepat!
Tappp...!
"Akh...!"
Si tompel memekik kaget tatkala pergelangan kakinya
sudah dicengkeram lawannya.
"Hih...!"
dicarinya. Pandang
matanya liar menatap rumah-rumah yang ada di kanan
kirinya. Tak dihiraukannya pandang mata keheranan dari
penduduk yang melihatnya.
Sepasang alis yang berkerut itu lenyap. Wajah keras itu
pun berseri ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah
bangunan besar dan megah. Bangunan ini berhalaman luas
dan terkurung pagar tembok tinggi. Di depan pintu
gerbangnya berdiri dengan gagahnya dua orang yang berjaga-
jaga dengan sikap waspada.
"Hooop...!"
Laki-laki berwajah keras itu menarik tali kekang kudanya
tepat di depan pintu gerbang bangunan mewah dan megah
itu. Hanya berjarak tiga tombak di depan kedua penjaga.
Tentu saja hal itu membuat ke dua penjaga memperhatikan
laki-laki berwajah keras Itu dengan sikap penuh curiga.
"Hup...!"
Dengan sebuah gerakan yang indah dan manis laki-laki
berwajah keras itu melompat dari punggung kudanya. Ringan
tanpa suara, kedua kakinya menjejak tanah.
Kemudian sambil memegang tali kekang kuda, dituntunnya
binatang itu menuju pintu gerbang. Karuan saja tindakan laki-
laki berwajah keras itu membuat penjaga pintu gerbang
terkejut. Serentak keduan melangkah menghadang sambil
meraba gagang golok masing-masing. Bersiap menghadapi
segala kemungkinan.
"Mengapa kalian menghalangi jalanku?!" tanya laki-laki
berwajah keras itu. Nada suaranya mengandung teguran.
Kedua penjaga pintu gerbang itu saling berpandangan.
Sorot mata mereka jelas menyiratkan kebingungan. Tidak
salahkah pendengaran mereka ini?
"Maaf, kalau kami boleh tahu, siapakah Kisanak? Dan apa
maksud Kisanak datang kemari?" tanya salah seorang penjaga
yang berambut coklat, dengan suara meiendah. Teguran laki-
laki berwajah keras itu membuat mereka bersikap hati-hati.
"Kalian tidak mengenalku? O ya, mungkin kalian orang baru
di sini. Apakah kalian pernah dengar nama Kanulaga?" laki-laki
berwajah keras itu balik bertanya.
Wajah kedua penjaga itu berubah. Mereka sebenamya
bukan tergolong orang baru. Sudah sepuluh tahun mereka
bekerja pada pemilik bangunan megah dan mewah itu.
Sehingga wajar kalau keduanya mengenal semua anggota
keluarga majikannya. Memang, keduanya pernah mendengar
kalau salah seorang anak majikan mereka yang bernama
Kanulaga, pergi mengembara lima belas tahun lalu. Jadi, laki-
laki inikah putra sulung pemilik rumah mewah dan megah ini?
pikir mereka menduga-duga.
Kedua penjaga itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya," sahut salah seorang lagi yang memiliki sebuah tompel
di pipi.
"Nah! Akulah orangnya!" sahut laki-laki berwajah keras itu
tegas.
"Ahhh...!" desah kedua penjaga itu berbareng. Perasaan
terkejut yang amat sangat menghiasi wajah mereka.
"Kalau begitu..., maafkan kami, Den. Kami tidak mengenal
Aden, sehingga bersikap tidak sopan kepada Aden," ucap
keduanya sambil membungkuk hormat.
"Hm...," laki-laki berwajah keras yang mengaku bernama
Kanulaga itu mendengus. "Menyingkirlah, kalian! Aku ingin
lewat..!"
Penjaga yang memiliki tompel di pipinya segara beringsut
menyingkir. Tapi, tidak demikian halnya dengan yang
berambut coklat. Dia tetap berdiri menghadang jalan.
"Maafkan kami, Den. Sebelum kami yakin kalau Aden
benar-benar Aden Kanulaga, kami tidak bisa memperkenankan
Aden masuk. Maafkan kami, Den Kami tidak ingin terjadi
sesuatu pada diri Tuan Suradiraja."
Si tompel tercekat Ucapan rekannya menyadarkannya kalau
laki-laki berwajah keras itu belum tentu Kanulaga! Maka dia
pun segera melangkah maju dan berdiri di sebelah temannya!
Kanulaga tersenyum.
"Bagus! Aku ingin tahu sampai di mana kepandaian kalian!"
sambut laki laki yang mengaku bernama Kanulaga. Tali
kekang kudanya lalu dilepaskan, kemudian ditepuk-tepuknya
leher kuda coklat itu.
"Menyingkirlah sebentar Manis," ujar laki-laki berwajah
keras itu pelan.
Seperti mengerti ucapan majikannya, kuda coklat itu
mendengus pelan kemudian membalikkan tubuh dan berjalan
meninggalkan tuannya.
Laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga itu kini
mengalihkan perhatiannya pada dua orang penjaga di
hadapannya.
"Aku akan masuk ke dalam. Ingin kulihat apakah kalian
mampu menghalangiku...?" ujar laki-laki berwajah keras itu
pelan bernada menantang.
"Maafkan kami, Den. Kami hanya menjalankan tugas...,"
sahut si rambut coklat.
'Tidak usah banyak basa-basi! Ayo serang aku!" bentak
laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga itu
"Maafkan kami. Den. Hiyaaa...!"
Penjaga yang memiliki tompel di pipinya ini lalu menyerang
laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga. Kakinya
menyambar cepat ke arah wajah dengan sebuah tendangan
miring yang keras.
Laki-laki berwajah keras itu hanya mendengus pelan.
Tubuhnya didoyongkan ke belakang sehingga tendangan itu
hanya mengenai tempat kosong. Sekitar sejengkal di depan
wajahnya.
Sebelum si tompel sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu
tangan kanan laki-laki berwajah keras itu bergerak cepat!
Tappp...!
"Akh...!"
Si tompel memekik kaget tatkala pergelangan kakinya
sudah dicengkeram lawannya.
"Hih...!"
Secepat pergelangan kakinya tertangkap, secepat itu pula
laki-laki berwajah keras itu menyentakkannya. Kuat bukan
main tenaga yang terkandung dalam sentakan itu. Tak pelak
lagi, si tompel terlempar ke atas
Tapi si tompel membuktikan kalau dirinya bukan-lah orang
yang mudah dipecundangi. Tubuhnya berputar di udara.
Dan....
"Hup...!"
Meskipun agak terhuyung-huyung, namun kedua kakinya
berhasil hinggap di tanah. Mulut si tompel menyeringai, kaki
kanannya dirasakan agak sakit. Memang sentakan laki-laki
berwajah keras itu kuat bukan main Tapi si tompel tahu kalau
lawan tak ingin melukainya Dia yakin, seandainya laki-laki ber
wajah keras itu mau, dengan tenaga dalamnya yang kuat itu,
tulang pangkal kakinya bisa terlepas! Bukan hanya tubuhnya
saja yang terlempar ke udara!
Penjaga yang berambut coklat terkejut bukan main. Melihat
betapa mudah rekannya dapat dipecundangi laki-laki berwajah
keras itu. Tanpa ragu-ragu la segera dicabut goloknya.
Srattt...!
Sinar terang terpancar begitu golok pendek be warna putih,
keluar dari sarungnya!
Wuk, wuk, wuk...!
Si rambut coklat memutar mutarkan senjatanya depan
dada. Angin mengiuk cukup keras, mengiringi gerakan golok
itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan seruan nyaring melengking golok di
tangannya ditusukkan cepat ke perut laki-laki yang mengaku
bernama Kanulaga itu! Tapi, laki-lnl berwajah keras itu
bersikap tenang. Ditunggunya hingga serangan itu mendekat
Dan begitu serangan sudah dekat, dengan kecepatan yang
mengagumkan tubuhnya didoyongkan ke samping kiri.
Sehingga serangan itu hanya mengenai tempat kosong, lewat
di samping kanan pinggangnya. Pada saat yang bersamaan,
tangan kanannya bergerak menepak.
Plakkk..!
"Akh...!"
Penjaga berambut coklat itu memekik tertahan. Tepakkan
laki-laki berwajah keras itu telak dan keras sekali menghantam
pergelangan tangannya yang menggenggam golok. Tulang-
tulangnya terasa remuk, seketika itu juga, goloknya terlepas
dari genggaman
Belum lagi si rambut coklat sempat berbuat sesuatu, kaki
kanan laki-laki berwajah keras itu bergerak menendang ke
arah perut.
Bukkk...!
"Hugh...!"
Penjaga yang sial ini mengeluh tertahan. Tubuhnya
langsung terjengkang beberapa tombak ke belakang. Perutnya
dirasakan mules bukan kepalang. Untunglah laki-laki yang
mengaku bernama Kanulaga itu hanya mengerahkan sebagian
kecil tenaga dalamnya. Sehingga ia tidak menderita luka
dalam. Hanya rasa mual dan mules melanda perutnya
Melihat penderitaan kawannya, si tompel yang kini sudah
mencabut goloknya, bergerak menyerang. Tapi gerakannya
segera terhenti ketika terdengar suara bentakan keras.
'Tahan...!"
Dari dalam pintu gerbang yang memang terbuka itu
bergerak cepat seorang laki-laki setengah baya.
Serentak tiga orang itu menoleh ke arah laki-laki setengah
baya itu.
"Ki Taji...!" seru orang yang mengaku bernama Kanulaga,
memanggil laki-laki setengah baya itu.
Laki-laki setengah baya itu merandek kaget melihat laki laki
yang tadi dilihatnya tengah bertempur dengnn dua orang
penjaga, mengenalnya Memang betul dia bernama Ki Taji. Dia
adalah kepala urusan dalam rumah tangga. Jadi, jarang
keluar. Hampir tidk ada penduduk yang mengenal namanya,
kecuali hanya orang-orang yang bekerja pada Tuan Sudiraja
Tapi, yang menjadi pertanyaan baginya, mengapa laki laki
berwajah keras itu mengenalinya?
Bukan hanya Ki Taji saja yang terkejut Dua orang penjaga
pintu gerbang itu pun terkejut Kini keraguan mereka tentang
kebenaran laki-laki berwajah keras ini adalah Kanulaga pupus.
"Siapa kau, Kisanak? Dari mana kau tahu namaku?" tanya
kepala urusan dalam rumah tangga itu setelah mendekat.
Sekujur tubuh laki-laki berwajah keras itu dipandangi penuh
selidik.
"Kau lupa padaku, Ki?" laki-laki berwajah keras itu balik
bertanya. Sama sekali tak dipedulikannya pertanyaan Ki Taji.
Wajah Ki Taji terlihat tegang. Dahinya pun berkerut-kerut.
Jelas kalau laki-laki setengah baya ini tengah berpikir keras.
"Rasanya..., aku seperti pernah mengenalmu Kisanak.
Wajah dan suaramu sepertinya pernah kukenal “ ucap Ki Taji
setengah bergumam.
"Aku Kanulaga, Ki...!" sahut laki-laki berwajah keras itu
menjelaskan.
"Gusti Allah...! Aku memang benar-benar sudah pikun,
sehingga tidak mengenalimu, Den?" pekik Ki Taji penuh rasa
terkejut. Memang sejak berumur lima tahun, Raden Kanulaga
akrab dengan Ki Taji. Pada usia lima belas tahun, Kanulaga
pergi meninggalkan rumah untuk memenuhi kegemarannya,
mengembara.
"Beliau adalah Aden Kanulaga...," ucap kepala urusan
dalam rumah tangga itu memberitahu kedua penjaga pintu
gerbang. Kedua penjaga itu termasuk anak buah dari kepala
urusan rumah tangga bagian luar. Hanya saja saat itu,
pimpinan mereka itu sedang keluar.
"Ah...! Kalau begitu, maafkan kelancangan kami, Den,"
ucap kedua penjaga itu buru-buru, sambil membungkuk
hormat.
"Lupakanlah. Aku bangga, kalian berdua telah menjalankan
tugas dengan baik," sahut Kanulaga bijaksana.
Tentu saja kedua penjaga itu menjadi girang bukan main.
Tadi ketika mendengar Ki Taji memanggil pemuda berwajah
keras itu dengan sebutan Kanulaga, mereka menjadi gelisah.
Menurut dugaan mereka, Kanulaga akan menghukum mereka.
Lega hari mereka tatkala mengetahui laki-laki berwajah keras
itu sama kali tidak marah atas kejadian itu.
"Mari, Den. Ayah Aden sudah lama sekali menunggu
kepulangan Aden." ajak Ki Taji sambil menggamit tangan
Kanulaga dan mengajaknya masuk ke dalam.
"Tolong urus kudaku, Paman," pinta Kanulaga pada kedua
penjaga itu.
"Baik, Den," jawab kedua penjaga itu berbareng.
***
Ruang tengah Itu nampak mewah dan megah Biasanya
ruangan itu kosong. Paling hanya Sudiraja yang duduk
termenung di sana. Tapi kini di ruanga tengah yang mewah
dan megah itu, tampak tiga orang tengah duduk mengelilingi
sebuah meja bulat yang indah dan mewah.
"Aku gembira sekali atas kepulanganmu, Kanulaga. Hampir
saja aku mengutus orang-orangku untuk mencarimu," ucap
seorang laki-laki setengah baya bertubuh gemuk dan berperut
gendut. Pakaiannya indah dan mewah. Bulu-bulu halus
menghiasi kedua pipinya.
"Mengapa begitu, Ayah?" tanya Kanulaga menatapnya
wajah laki-laki gendut berpakaian indah mewah yang ternyata
adalah Sudiraja. Laki-laki ber perut gendut yang kini telah
berusia enam puluh tahun itu menarik napas panjang.
"Aku sudah tua, Kanulaga. Aku sudah lelah mengurus
semua usahaku," jawab Sudiraja pelan. Tapi karena suasana
di situ hening, suara laki-laki gendut itu jadi terdengar keras.
"Lho?! Bukankah ada Jalatara dan Nirmala? Apakah mereka
tidak membantu Ayah?" tanya Kanulaga lagi. Keheranan
nampak jelas pada wajahnya. Jalatara dan Nirmala adalah
adik-adik kandung Kanulaga. "Ke manakah mereka, Ayah?
Sejak tadi aku tidak melihat mereka?"
"Hhh...!" Sudiraja menghela napas panjang. "Beberapa
tahun semenjak kepergianmu mengembara, Jalatara pergi.
Kepergiannya sama sekali tidak ada yang tahu. Belakangan
baru kuketahui, bahwa selagi bermain di halaman, ada
seorang kakek yang membawanya. Dan mengajarkannya ilmu-
ilmu kesaktin. Kini kudengar dia menjadi salah seorang
pengawal adipati," jelas Sudiraja.
"Lalu, Nirmala ke mana, Ayah?" tanya Kanulaga
"Nirmala kutitipkan pada sahabat karibku yang memiliki
sebuah perguruan silat Aku tidak ingin anak itu jadi
perempuan yang lemah. Yahhh...! Setidak-tidaknya dia
memiliki sesuatu untuk menjaga dirinya sendiri."
Kanulaga mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda
mengerti.
"Sudah beberapa bulan ini aku ingin beristirahat dari
kesibukan-kesibukanku, Kanulaga. Kau kan tahu aku sudah
tua. Kesehatanku tidak memungkinkan lagi untuk mengurus
semua usahaku," ujar laki-laki berperut gendut itu
menyambung ucapannya.
"Jadi maksud, Ayah?" tanya Kanulaga lagi. Laki-Iaki
berwajah keras ini masih belum mengerti maksud
pembicaraan ayahnya.
"Begini, Kanulaga." Sudiraja memutuskan untuk
mengatakannya secara gamblang dan jelas. "Aku sudah tua.
Harta yang kumiliki berlimpah ruah. Aku tidak ingin
sepeninggalku nanti, kalian gontok-gontokan memperebutkan
warisanku. Jadi, sebelum aku menutup mata, aku ingin
membagi semua kekayaanku secera adil. Pamanmu inilah
yang akan menjadi saksinya."
Sudiraja menunjuk seorang berpakaian hitam dan berkumis
lebat yang duduk di sebelahnya.
Kanulaga menolehkan kepalanya, menatap orang yang
diperkenalkan ayahnya sebagai pamannya. Memang laki laki
berwajah keras itu tidak mengenal laki laki berkumis lebat itu.
Laki-laki berkumis lebat yang usianya sekitar lima puluh tahun
itu datang ke rumah ini, setelah dia pergi meninggalkan rumah
untuk mengembara.
Laki-laki berkumis lebat menggerakkan bibirnya sedikit
pada Kanulaga. Mungkin laki-laki itu bermaksud tersenyum.
Tapi, Kanulaga tidak dapat menggolongkan gerakan bibir yang
hanya sedikit itu sebagai senyum. Laki-laki berwajah keras ini
hanya menganggukkan kepala sedikit pertanda menghormat.
Kanulaga mengalihkan pandangannya ke arah laki-laki yang
diakui Sudiraja sebagai adik bungsunya.
"Kalau boleh kutahu, siapakah nama Paman?" tanya
Kanulaga.
"Pandira," jawab laki-laki berkumis lebat itu pendek. Nada
suaranya dingin dan datar.
Belum lagi Kanulaga sempat mengajukan pertanyaan lain
kepada orang yang mengaku sebagai pamannya itu, Sudiraja
telah menyelanya.
"Bagaimana, Kanulaga?" tanya Sudiraja meminta pendapat
putra sulungnya itu.
'Terserah, Ayah. Aku akan menurut semua keputusan,
Ayah," jawab Kanulaga.
"Kalau begitu, besok akan kukirim utusan untuk
memberitahukan kedua adikmu agar datang ke sini
secepatnya," ucap Sudiraja memutuskan. Kegembiraan yang
besar nampak jelas pada wajahnya.
Sementara Kanulaga hanya diam saja. Kepalanya
menundukkan dalam-dalam. Tapi dari balik bulu mata nya,
sepasang matanya memperhatikan wajah Pandira lekat-lekat
"O ya, Kanulaga. Ayah ingin mendengar pengalamanmu
selama mengembara. Apa saja yang kau dapatkan dalam
pengembaraanmu selama lima belas tahun ini. Dari Ki Taji,
kudengar kau telah memiliki Ilmu kepandaian tinggi."
Kanulaga mengangkat kepalanya.
"Tidak ada yang istimewa, Ayah," jawab laki-laki berwajah
keras itu pelan.
"Lalu, ilmu kepandaianmu itu, kau dapatkan dari mana?"
desak Sudiraja.
"Dari seorang kakek yang berkenan mengangkatku sebagai
murid."
"Pasti kakek itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggj,"
sahut Sudiraja lagi. "Aku hampir tidak mengenalimu tadi,
Kanulaga. Wajah dan perawakanmu jauh berubah. Sekarang
kau nampak begitu jantan dan matang. O ya, mungkin kau
masih lelah sehabis menempuh perjalanan jauh dan
melelahkan. Biar kupanggil Ki Taji untuk mengurus kamarmu,"
ujar Sudiraja seraya bangkit, hendak memanggil Ki Taji.
"Tidak usah, Ayah. Biar kuurus sendiri. Masih kamar yang
dulu kan?" cegah Kanulaga seraya bangkit dari duduknya.
Sudiraja hanya menganggukkan kepalanya. Begitu putra
sulungnya melangkah menuju kamarnya, dalam mangan itu
tinggal Sudiraja dan adik bungsunya.
***
2
Hari masih pagi. Matahari belum naik tinggi ketika seekor
kuda berpacu cepat memasuki mulut sebuah hutan.
"Hiya...! Hiyaaa...!"
Si penunggang melecutkan cemetinya berkali-kali ke arah
pantat kuda yang berwarna hitam putih. Nampaknya si
penunggang bermaksud memacu binatang itu berlari lebih
cepat lagi.
Debu pun mengepul tinggi ke udara ketika kaki-kaki kuda
itu menapak cepat di tanah berdebu.
Belum jauh kuda itu memasuki hutan, tiba-tiba terdengar
suara mendesing nyaring. Disusul melesatnya sebuah sinar
kemerahan menyambar ke arah binatang itu.
Cappp...!
Telak sekali sinar kemerahan itu mengenai leher kuda
hitam putih itu. Seketika itu juga binatang itu meringkik keras.
Kedua kakinya terangkat tinggi-tinggi ke depan, membuat
penunggangnya terlempar ke atas.
Tapi si penunggang kuda ternyata bukanlah orang
sembarangan. Manis sekali tubuhnya bersalto beberapa kali di
udara kemudian hinggap ringan di tanah.
"Hup..,!"
Tahu kalau ada bahaya mengancam, begitu sepasang
kakinya mendarat di tanah, tangannya cepat meloloskan
sebatang pedang yang tersampir di punggungnya Sepasang
matanya menatap ke arah binatang tunggangannya yang
telah tergolek tanpa nyawa. Pada leher binatang itu tertancap
sebuah benda dari logam berwarna merah, berbentuk ekor
kalajengking.
Wajah si penunggang kuda berubah pucat. Sepasang
matanya menatap liar ke sekelilingnya. Rupanya orang itu
kenal betul dengan logam berbentuk ekor kalajengking merah
itu. Benda itu adalah senjata khas, Perkumpulan Kalajengking
Merah!
Belum lagi penunggang kuda itu berbuat sesuatu,
mendadak melesat sesosok bayangan hitam. Sesaat kemudian
sosok serba hitam itu telah berdiri di hadapan si penunggang
kuda. Pada bagian dadanya terdapat gambar seekor
kalajengking merah. Bagian wajahnya tidak terlihat karena
tertutup selubung hitam. Tangan penghadang itu
menggenggam sebatang tongkat panjang merah berujung
ekor kalajengking.
"Kau...?! Mengapa menghadang jalanku? Bukankah
majikanku, Tuan Sudiraja tidak pernah lalai memberikan
upeti?" tanya penunggang kuda Nada suaranya terdengar
penuh tuntutan.
"Ha ha ha...! Tidak usah banyak bacot! Kalau kau ingin
selamat, serahkan surat itu padaku!" ucap si penghadang
sambil tertawa bergelak.
"Surat? Surat apa?" tanya si penunggang kuda itu berpura-
pura tidak mengerti. Majikannya memang menugaskan
membawa surat untuk diserahkan pada Nirmala di Perguruan
Hati Suci. Entah untuk urusan apa, dia tidak tahu. Tapi yang
menjadi tanda tanya bagi si penunggang kuda, dari mana
orang Perkumpulan Kala lajengklng Merah ini mengetahuinya?
"Tidak usah pura-pura! Serahkan surat untuk Nirmala itu
padaku. Atau kau ingin mampus?" sergah orang berpakaian
serba hitam itu. Keras dan kasar suaranya.
Kini utusan Sudiraja sadar, kalau tidak ada gunanya lagi dia
berpura-pura. Orang yang menghadang di depannya ini jelas
tahu tugas yang diembannya.
"Langkahi dulu mayatku! Baru kau akan mendapatkan surat
itu!" sahut utusan itu tegas.
"Hm.... Rupanya kau lebih suka memilih mati!" dengus si
penghadang murka.
Setelah berkata demikian, orang yang di dadanya
bergambar kalajengking merah ini, melompat menerjang.
Senjata di tangannya, yang berupa tongkat panjang berujung
logam merah berbentuk ekor kalajengking, disabetkan ke
leher utusan Sudiraja.
Wuuuttt..!
Angin meniup cukup keras mengawali tibanya serangan itu.
Utusan Sudiraja yang tahu betapa lihainya orang-orang
Perkumpulan Kalajengking Merah, tidak berani bertindak
gegabah. Cepat-cepat kepalanya dirundukkan sehingga
babatan tongkat itu lewat di atas kepalanya. Sementara
utusan Sudiraja merunduk, goloknya ditusukkan ke perut
lawan.
"Eh...?!"
Orang berpakaian serba hitam itu memekik tertahan. Kaget
juga dia melihat lawan dapat mengelakkan serangannya.
Bahkan kini mampu membalas dengan serangan yang cukup
berbahaya. Buru buru dia melompat ke belakang, sehingga
tusukan golok Itu mengenai tempat kosong.
"Keparat...! Kau harus mampus!" teriak orang yang di
dadanya bergambar kalajengking merah. Hampir saja dia
celaka karena terlalu menganggap enteng lawannya.
Pengalaman pahit yang baru saja dialami, membuatnya tidak
lagi bersikap terlalu memandang rendah lawannya.
"Haatttt...!"
Sambil berteriak melengking, pertanda kemarahan hatinya,
tongkat berujung ekor kalajengking itu menyambar dahsyat ke
arah lawannya. Tapi utusan Sudiraja bertekad untuk melawan
mati-matian. Dia tidak ingin mengecewakan majikannya.
Pertarungan sengit pun tak dapat dihindari lagi. Tapi hal ini
hanya berlangsung beberapa jurus saja. Pada jurus-jurus
berikutnya, nampak jelas keunggulan orang berpakaian serba
hitam itu. Tongkat merah berujung ekor kalajengking di
tangannya, berkali-kali hampir mengenai tubuh tawannya.
Utusan Sudiraja menggertakkan gigi. Sejak semula sudah
diketahui kalau dirinya bukanlah tandingan si penghadang.
Tapi tanggung jawab terhadap tugas yang diembannya,
membuat laki-laki ini nekad dan berusaha melawan mati-
matian. Apa yang semula diduganya, kini menjadi kenyataan.
Hujan serangan lawan benar-benar membuatnya repot bukan
main. Dan robohnya dirinya, hanya tinggal menunggu waktu
saja.
Sret..!
"Akh...l
Utusan Sudiraja memekik tertahan ketika ekor kalajengking
yang runcing itu menyerempet perutnya. Cairan merah kental
mengalir dari luka goresan itu. Seketika Itu juga rasa pening
menyerang kepalanya.
"Racun...!" pekik utusan Sudiraja tajam. Sesaat kemudian
tubuhnya limbung.
"Ha ha ha...!" si penghadang tertawa terbahak-bahak
mendengar seruan kaget lawannya.
"Keparat! Kau..., kau curang...," maki utusan Sudiraja.
Seketika kemarahannya meluap.
"Ha ha ha...!" hanya suara tawa terbahak saja yang
menyahuti makian utusan Sudiraja itu.
"Ohhh...!" keluh utusan Sudiraja itu. Rasa pening di
kepalanya semakin kuat menyerang. Sekelilingnya dirasakan
bagai berputar-putar.
"Sekarang terimalah ajalmu, keparat! Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian, orang berpakaian serba hitam itu
melompat menerjang. Tongkat merah berujung ekor
kalajengking di tangannya menyambar cepat ke leher
lawannya.
Di saat gawat bagi keselamatan utusan Sudiraja itu,
mendadak sesosok bayangan putih melesat cepat. Daann...
Tranggg...!
"Akh...l"
Orang yang berpakaian serba hitam itu memekik tertahan
Tubuhnya kembali terlempar ke belakang. Tapi dengan
gerakan yang indah dan manis, tubuhnya bersalto beberapa
kali di udara dan mendarat ringan di tanah. Sekujur tangannya
dirasakan lumpuh. Tongkat merah berujung ekor kalajengking
di tangannya pun terpental.
"Siapa kau? Mengapa mencampuri urusanku?!" bentak
orang yang di dadanya bergambar kalajengking. Ditatapnya
orang yang telah menyelamatkan korbannya tajam-tajam.
Berdiri membelakangi utusan Sudiraja, nampak seorang
wanita cantik berpakaian serba putih. Rambut wanita itu
dibiarkan meriap. Di tangannya tergenggam sebatang pedang.
Sementara agak jauh di belakangnya, berdiri seorang pemuda
tampan berambut putih keperakan berpakaian serba ungu.
Sadar kalau lawan di hadapannya berilmu tinggi dan lagi
pula utusan Sudiraja itu pun tidak lama lagi akan tewas, si
penghadang memutuskan untuk melarikan diri. Cepat
dibalikkan tubuhnya dan berlari meninggalkan tempat itu,
setelah teriebih dulu memungut senjatanya.
Gadis berpakaian serba putih itu sama sekali tidak
mengejar. Sosok serba hitam itu dibiarkan saja melarikan diri.
Brukkk...!
Suara berdebuk jatuhnya tubuh utusan Sudiraja, membuat
pemuda berambut putih keperakan dan gadis berpakaian
serba putih itu terkejut Buru-buru keduanya melangkah
menghampiri.
"Ah...! Dia terkena racun ganas yang cepat daya kerjanya,
Kang Arya," ucap gadis berpakaian serba putih itu setelah
melihat luka di perut utusan Itu.
"Hm.... Dapatkah kau menolongnya. Melati?" tanya pemuda
berambut putih keperakan yang memang bernama Arya Buana
atau lebih dikenal berjuluk Dewa Arak itu.
Gadis berpakaian putih yang bernama Melati itu
menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Kang. Racun ini ganas. Lagi pula hampir mencapai
jantung. Tampaknya dia tinggal menunggu ajalnya saja,"
jawab Melati.
"Hhh...!" desah Arya. Nampak jelas kalau pemuda Ini
kecewa mendengar jawaban itu.
"Jangan pedulikan aku...," tiba-tiba utusan Sudiraja itu
membuka matanya yang sejak tadi terpejam. Sekujur
wajahnya dipenuhi keringat sebesar butiran-butiran jagung.
'Yang penting..., tolong selamatkan surat ini. Dan berikan
pada Nirmala...," lanjutnya terputus-putus.
Setelah berkata demikian, dikeluarkannya sebuah gulungan
surat yang diselipkan di balik ikat pinggangnya. Gulungan
surat itu lalu diangsurkannya pada Dewa Arak
"Ke mana kami harus mengantarkannya, Kisanak?" tanya
Arya cepat, setelah menerima surat yang diangsurkan utusan
Sudiraja. Pemuda berambut putih keperakan ini khawatir kalau
orang itu keburu tewas sebelum sempat memberitahukan ke
mana dia harus mengantar surat itu.
"Ke... Perguruan... Hati... Suci...," sahut utusan itu
terputus-putus. "Tolong..., jangan biarkan orang-orang
Perkumpulan Kalajengking Merah merebutnya...."
"Perkumpulan Kalajengking Merah? Kami tidak mengerti
maksudmu, Kisanak? Bisakah kau beritahukan pada kami
siapa mereka?" desak Melati.
Keringat sebesar jagung semakin banyak bermunculan di
wajah utusan yang tengah berada di ambang maut itu.
"Mereka adalah perkumpulan orang jahat dan..., kh...!"
kepala utusan Sudiraja terkulai sebelum sempat
menyelesaikan keterangannya.
"Hhh...!" Dewa Arak mendesah bingung. Kini dia dan Melati
dihadapkan pada satu urusan. Dan sudah menjadi sifat Arya
untuk selalu mencampuri urusan yang dirasanya mengandung
unsur ketidakadilan. Tapi yang menjadi pertanyaan Dewa
Arak, dari mana dia harus memulainya?
"Sudahlah, Kang Arya. Yang penting kita harus kuburkan
mayatnya dulu," selak Melari ketika melihat tunangannya
hanya berdiri termangu.
"Hhh...!" Dewa Arak mendesah. Dipungutnya golok utusan
Sudiraja. Kemudian kakinya dilangkahkan ke sebuah tempat
yang agak tersembunyi dan terlindung. Golok itu dipakai untuk
menggali lubang mengubur mayat utusan Sudiraja.
Dengan tenaga dalamnya yang memang sudah mencapai
tingkatan tinggi, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk membuat
sebuah lubang yang cukup besar dan dalam. Meskipun tanah
di situ keras, tapi Arya menggali seperti orang menggali tanah
lunak mempergunakan cangkul saja layaknya.
Dalam waktu singkat, sebuah lubang yang cukup dalam
dan lebar selesai dibuat Dewa Arak segera memasukkan
mayat itu dan menguruknya dengan tanah dan batu-batuan
Tak lupa di atasnya ditancapkan! sebuah batu persegi sebagai
pengganti nisan.
***
"Kang Arya...," panggil Melati ketika dilihatnya Dewa Arak
telah menyelesaikan pekerjaannya.
Arya menoleh. Dilihatnya gadis berpakaian serba putih Itu
tengah memperhatikan sebuah benda yang tergenggam di
tangannya. Arya bergegas menghampiri.
Melati segera memberikan logam berbentuk ekor
kalajengking merah pada Dewa Arak. Pemuda berambut putih
keperakan Itu menerimanya. Diperhatikannya benda yang kini
dipegangnya dengan seksama.
"Dari mana kau dapatkan benda ini, Melati?" tanya Arya.
"Dari leher kuda itu, Kang," jawab gadis itu sambil
menunjuk kuda hitam putih yang tergolek tanpa nyawa di
dekatnya.
Dewa Arak membungkukkan tubuhnya. Sejenak
diperhatikannya sekujur tubuh kuda itu, kemudian bangkit
berdiri.
"Racun yang sama," desis Arya pelahan.
"Senjata rahasia itu bentuknya aneh sekali, Kang."
'Ya. Seperti ekor kalajengking," jawab Arya sambil
mengernyitkan keningnya.
Melati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ada apa, Melati?" tanya Arya. Jelas ada suatu kesimpulan
yang didapatkan gadis itu sehingga membuatnya
mengangguk-angguk pertanda mengerti.
"Jelas pembunuhnya adalah orang dari Perkumpulan
Kalajengking Merah, Kang," sahut gadis berpakaian serba
putih itu.
Dewa Arak mengernyitkan alisnya. Memang sudah
didengarnya, orang yang menitipkan surat tadi menyebutkan
nama Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Perkumpulan Kalajengking Merah...," gumam pemuda
berambut putih keperakan itu. Sepasang matanya menatap
kosong. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. "Kau pernah
mendengarnya, Melati?"
"Tidak. Kau mengetahuinya. Kang?" Melari balik bertanya
sambil menatap Arya tajam. Gadis ini memang belum pernah
mendengar nama perkumpulan Itu.
Dewa Arak menggelengkan kepalanya "Lalu bagaimana
dengan surat itu, Kang?" tanya Melari lagi.
"Yahhh..., seperti yang telah dipesankan oleh orang tadi."
"Jadi...?"
"Ya. Kita antarkan kepada Nirmala di Perguruan Hati Suci,"
jelas Arya. Melati terdiam sejenak.
"Lalu bagaimana dengan bangkai kuda ini, Kang? Aku
khawatir racun ini akan menyebar. Tubuh binatang ini telah
mengandung racun," ucap Melati meminta pendapat Dewa
Arak.
Arya tercenung sejenak. Disadari kebenaran ucapan
tunangannya ini.
"Jalan saru satunya hanyalah membakarnya. Mengubur
bangkai ini terlalu menyita waktu. Harap kau menyingkir
sebentar, Melati," pinta pemuda berambut putih keperakan
Itu.
Tanpa berkata apa-apa, Melati segera melangkah
menyingkir Tanpa diberitahu pun gadis ini tahu kalau Dewa
Arak akan mempergunakan Jurus yang belum lama
dikuasainya. Jurus 'Membakar Matahari'.
Dewa Arak melangkah mundur. Jarak antara dia dengan
bangkai binatang itu sekitar empat tombak. Kemudian kedua
tangannya dengan jari-jari terkembang membentuk cakar,
dihentakkan dua kali berturut-turut
Wusss, wusss...!
Dua gumpal api meluncur dari telapak tangan Dewa Arak
ke arah bangkai kuda itu. Terdengar suara letupan pelan
ketika kedua bola api itu mengenai tubuh binatang itu. Sesaat
kemudian, api pun berkobar.
Tak lama kemudian di tempat itu tercium bau sanglt daging
terbakar, diiringi bau amis yang memuakkan. Melati segera
menyingkir lebih menjauh lagi. Kedua hidungnya ditutup untuk
mencegah bau tidak enak yang membuat perutnya mual.
Dalam waktu sekejap, api itu telah membakar habis
bangkai kuda hitam putih tersebut Kini yang tinggal hanyalah
onggokan daging dan tulang-tulang yang kemudian buyar
tertiup angin.
"Hhh...!" Arya menghela napas lega. Kakinya kemudian
dilangkahkan menghampiri Melati. "Mari kita tuntaskan tugas
kita, Melati."
Gadis berpakaian serba pulih itu menatap wajah Dewa Arak
penuh takjub sesaat Baru kemudian dia pun Ikut melangkah di
sebelah Arya, meninggalkan tempat itu.
***
Matahari telah naik tinggi. Sinarnya yang menyengat kulit
menyoroti bumi dengan garang. Tapi teriknya sinar itu tidak
dirasakan oleh orang yang berada dalam bangunan termegah
di Desa Rinji.
"Apa itu, Ayah?" tanya Kanulaga ketika melihat nyahnya
tengah membungkus sesuatu dalam sebuah kantung kain
yang cukup besar.
Sudiraja terkejut bukan main. Hampir saja dia terlonjak
kaget mendengat teguran itu. Diam-diam dia memaki dirinya
sendiri, mengapa dia lupa mengunci pintu kamarnya, sehingga
putra sulungnya itu dapat masuk dan mengetahui
perbuatannya?
"Tidak ada apa-apa, Kanulaga," jawab Sudiraja gugup.
Jelas kalau kedatangan Kanulaga ke kamarnya, diluar
dugaannya.
Kanulaga mengernyitkan alisnya. Perasaan curiganya pun
timbul ketika melihat perubahan air muka nyahnya. Dengan
langkah lebar, dihampiri ayahnya.
"Boleh kulihat apa yang Ayah bungkus itu?" tanya laki-laki
berwajah keras itu penuh rasa ingin tahu.
"Tidak ada apa-apa, Kanulaga. Yahhh..., hanya...."
"Tidak perlu membohongiku. Ayah. Aku tahu apa yang
Ayah bungkus itu," selak Kanulaga cepat
"Kau tahu?!" tanya Sudiraja setengah tidak percaya.
"Ya." jawab Kanulaga singkat
"Apa!" desak Sudiraja penasaran. Ingin diketahuinya
jawaban putra sulungnya.
"Apa lagi kalau bukan harta kekayaan ayah?!"
Wajah Sudiraja berubah pucat Tapi hal ini hanya
berangsung sesaat, sebentar kemudian wajahnya sudah
kembali seperti sediakala.
"Dugaanmu tidak salah, Kanulaga. Ayah memang sengaja
memisahkannya Yahhh...! Tempat penyimpanan harta Ayah
sudah penuh," jelas Sudiraja mencoba tersenyum.
"Hhh...!" Kanulaga menghela napas dalam-dalam. Ditatap
wajah ayahnya lekat-lekat. "Ayah masih saja berusaha
menyembunyikan hal ini padaku," keluhnya pelan.
"Apa maksudmu, Kanulaga? Ayah tidak mengerti!" sergah
Sudiraja dengan suara ditekan. Tapi sungguhpun begitu, tetap
saja laki-laki gendut ini tidak bisa menyembunyikan
kegelisahannya.
"Ayah masih juga berpura-pura Aku sudah tahu untuk apa
harta kekayaan itu! Aku telah tahu semuanya!" tandas
Kanulaga tegas.
Pucat pias wajah Sudiraja mendengar ucapan anaknya.
Sepasang matanya menatap liar ke kanan dan ke kiri, seperti
ada sesuatu yang ditakutinya.
"Tutup mulutmu, Kanulaga! Kau tahu, tindakanmu itu
hanya akan membahayakan dirimu sendiri!" bentak Sudiraja.
Kanulaga menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat
"Perlu Ayah tahu, dalam pengembaraanku berkali-kali aku
berhadapan dengan maut Jadi, kematian bukanlah sesuatu
yang menakutkan bagiku, Ayah. Aku lebih suka mati
terhormat daripada hidup terinjak-injak," tegas dan keras
kata-kata Kanulaga.
Sudiraja menatap wajah putra sulungnya lekat-lekat
"Kau tidak tahu siapa mereka, Kanulaga," desis laki-laki
gendut itu tajam.
"Aku tahu, Ayah. Bukankah mereka adalah Perkumpulan
Kalajengking Merah?!" sahut Kanulaga tegas.
"Kau hanya tahu satu, tapi tidak tahu yang kedua,
Kanulaga!" sentak Sudiraja.
"Maksud, Ayah?" tanya Kanulaga tidak mengerti.
"Kau tahu di mana markas mereka?"
Laki-laki berwajah keras itu mengangkat bahu.
"Aku tidak tahu. Ayah. Tapi apakah Ayah tahu?" Kanulaga
balik bertanya.
Laki-laki berperut gendut itu tersenyum penuh
kemenangan.
"Itulah yang membuat mereka lebih berbahaya, Kanulaga.
Tidak seorang pun tahu di mana markas mereka! Yang jelas
setiap orang yang membangkang kemauan mereka, pasti
tewas!"
"Lalu, ke mana Ayah mengantarkan upeti itu?" tanya
Kanulaga lagi setelah termenung sejenak.
Sudiraja mengernyitkan alisnya. Laki-laki berperut gendut
Ini mencium gelagat yang mencurigakan pada Sikap putera
sulungnya.
"Untuk apa kau mengetahuinya?" tanya Sudiraja. Sepasang
matanya merayapi sekujur wajah Kanulaga. Sepertinya di
wajah itu dapat ditemukan jawaban dari pertanyannya.
"Hanya ingin tahu saja," sahut laki-laki berwajah keras Itu
sekenanya.
"Kalau begitu, kau tak perlu mengetahuinya, Kanulaga,"
jawab Sudiraja ringan.
Kanulaga menatap wajah ayahnya sejenak. Laki-laki
berwajah keras yang juga memiliki watak keras ini
menghembuskan napas panjang.
"Biar bagaimanapun juga, aku akan berusaha agar harta itu
tidak terjatuh ke tangan pemeras-pemeras terkutuk itu!" tegas
Kanulaga tandas.
Setelah berkata demikian, Kanulaga melangkah
meninggalkan kamar ayahnya.
"Kanulaga...!" panggil Sudiraja dengan suara keras. Tapi
laki-laki berwajah keras itu sama sekali tidak menghiraukan.
Terus saja dilangkahkan kakinya.
"Hhh...!" laki-laki berperut gendut itu menghela napas
dalam-dalam. "Anak tidak tahu penyakit...," keluhnya pelan
sambil terus melanjutkan pekerjaannya. .
***
3
Siang itu udara terasa panas sekali. Sang matahari
memancarkan sinarnya yang terik, menyorot garang ke bumi.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas. Disusulnya peluh
yang membasahi sekujur wajah dan lehernya dengan
punggung tangan. Ditolehkan kepalanya ke arah Melati yang
duduk di sebelahnya. Gadis itu juga tengah menyusuri peluh
yang membasahi wajah dan lehernya yang berkulit putih,
halus, dan mulus itu. Memang Dewa Arak dan Melari tengah
duduk beristirahat di bawah pohon yang berdaun rindang.
"Daerah di sini panas ya, Kang," ucap Melati pelan
membuka percakapan.
"Ya," sahut Arya sambil menatap wajah gadis berpakaian
serba putih itu lekat-lekat "Tapi sabarlah, Melati. Tidak lama
lagi semuanya akan berakhir. Setelah menyampaikan surat ini,
kita akan meninggalkan tempat ini secepatnya."
Seraya berkata demikian, Dewa Arak menunjukkan surat
yang terselip di pinggangnya.
"Mudah-mudahan saja," jawab Melati dengan suara
mendesah.
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Sepertinya kau tidak senang, Melati," tanya Dewa Arak
setengah memastikan.
"Bukan aku tidak senang, Kang," bantah gadis berpakaian
serba putih itu cepat
"Hm , tapi nada ucapanmu sepertinya menyiratkan begitu "
Melati menghela napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat
"Aku tidak kerasan berada di daerah seperti ini, Kang.
Apabila siang, panas bukan main. Tapi sebaliknya malamnya
dingin sekali. Tapi tugas itu...."
"Kenapa tugas ini, Melati?"
"Tugas ini sepertinya tidak akan mudah kita lak-1 sanakan.
Kang."
"Maksudmu...?"
"Aku yakin mau tidak mau kita akan terseret ke dalam
urusan yang akan membuat kita berada di sini untuk waktu
yang cukup lama, Kang," tegas dan jelas a kata-kata Melati.
Arya tercenung. Disadarinya kebenaran dalam ucapan gadis
yang dicintainya ini. Dia pun tidak yakin, kalau sehabis
mengantarkan surat ini, tugasnya akan selesai.
"Mungkin kau benar, Melati," desah pemuda berambut
putih keperakan ini pelan.
Suasana menjadi hening ketika Dewa Arak menyelesaikan
ucapannya. Kedua pendekar muda ini tenggelam dalam
lamunannya masing-masing. Tapi tiba-tiba hampir berbareng
keduanya saling pandang. Dahi mereka berkerut-kerut
"Ada banyak langkah kaki yang menuju kemari, Melati,"
ucap Dewa Arak memberitahu.
"Aku pun mendengarnya, Kang," sahut gadis berpakaian
serba putih itu. Memang, baik Melati maupun Arya telah sama-
sama mendengar suara itu.
"Waspadalah, Melati. Sepertinya, mereka tidak bermaksud
baik."
Belum juga gema suara Dewa Arak lenyap, terdengar
suara-suara mendesing nyaring. Disusul dengan berkelebatnya
belasan sinar kemerahan ke arah mereka.
Bagai dikomando, meskipun masih dalam posisi duduk,
kedua muda-muda itu serentak menghentakkan kedua
tangannya ke depan. Dewa Arak dengan jurus 'Pukulan
Belalang'nya, sedangkan Melati dengan jurus 'Naga Merah
Membuang Mustika',
Angin berhembus keras ke arah sinar-sinar kemerahan
yang menyambar ke arah dua muda-mudi yang sakti itu.
Hebat akibatnya! Belasan sinar merah itu rontok, berjatuhan di
tanah sebelum sempat mendekati Dewa Arak dan Melati.
Tapi baru saja belasan sinar merah yang ternyata adalah
logam merah berbentuk ekor kalajengking itu rontok ke tanah,
belasan sosok berpakaian serba hitam muncul dari balik
rerimbunan semak dan pohon.
"Hhh...! Ada saja gangguan...," keluh Melati.
Dewa Arak tersenyum mendengar gerutu gadis Itu. Tak
lama kemudian, pemuda itu bangkit dari duduknya.
"Kau istirahat saja, Melati. Biar aku yang menghadapi
mereka," ujar Arya.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak lalu menghampiri
belasan orang yang sudah siap menyerang. Diperhatikannya
mereka sejenak. Jumlah mereka sebelas orang, berpakaian
serba hitam, yang di dadanya berqambar kalajengking merah.
Wajah mereka tidak terlihat karena tertutup selubung hitam.
Senjata tongkat panjang merah berujung ekor kalajengking,
tergenggam di tangan mereka.
"Serahkan surat itu pada kami, Kisanak. Dan kami berjanji
akan membiarkan kau dan temanmu pergi dengan selamat'"
ucap salah seorang dari para pengepung itu. Berbeda dengan
yang lainnya, pada dahi selubungnya tertera tanda totol
merah. Sementara pada dahi selubung yang lainnya tidak
terdapat tanda apa-apa.
"Sayang sekali. Aku telah dipesan oleh yang bersangkutan
untuk menyerahkan surat ini pada yang berhak
menerimanya," sahut Arya kalem.
"Keparat! Jadi, kau tidak mau memberikan surat itu,
Kisanak?!" gertak si selubung bertotol merah.
"Sudah kukatakan, aku hanya akan memberikan pada yang
berhak menerimanya!" tegas Dewa Arak tandas.
"Rupanya kau lebih suka mampus! Hiyaaa...!" Setelah
berkata demikian, orang berpakaian serba hitam ini
menusukkan senjata anehnya ke arah perut Arya. Tapi Dewa
Arak hanya tersenyum tipis. Tubuhnya segera didoyongkan ke
samping kanan, sehingga senjata itu lewat di samping kiri
sambil tangan kanannya bergerak menangkap.
Tappp...!
"Akh...!"
Si penyerang terpekik kaget ketika tangannya telah
ditangkap Dewa Arak. Dan jerit kekagetan Itu segera berubah
menjadi jerit kesakitan, ketika Arya menggerakkan jari-jari
tangannya meremas.
Terdengar suara gemeretak dari tulang-tulang tangan yang
remuk. Pemuda berambut putih keperakan Ini tahu kalau
orang-orang yang mengepungnya Ini berwatak kejam dan
jahat Maka Dewa Arak sengaja bertindak agak keras terhadap
mereka.
Belum lagi, penyerang yang sial ini berbuat sesuatu, Dewa
Arak menyentakkan tangannya. Tak pelak lagi tubuh orang itu
melayang ke depan.
"Aaa..!" jerit orang berpakaian serba hitam itu penuh rasa
ngeri. Tubuhnya melayang deras ke arah batang pohon
sebesar dua pelukan orang dewasa.
Bukkk...!
"Akh...!"
Terdengar keluhan tertahan dari mulut penyerang yang
sial, ketika kepalanya menghantam batang pohon. Seketika itu
juga orang berpakaian serba hitam yang pada bagian dahi
selubungnya terdapat totol merah ini pingsan.
Seruan-seruan kaget terdengar dari mulut para penyerang,
begitu melihat rekannya roboh hanya dalam segebrakan saja
di tangan pemuda berambut putih keperakan ini.
Meskipun begitu, belasan orang itu tidak menjadi gentar.
Sambil memekik nyaring, mereka serentak menyerang Dewa
Arak. Belasan senjata tajam pun berkelebatan menghujani
Arya.
Sekali lihat saja, Dewa Arak dapat mengukur tongkat
kepandaian para pengeroyoknya Memang tingkat kepandaian
mereka rata-rata cukup tinggi. Tapi masih terlalu Jauh Jika
diperbandingkan dengannya Maka, Dewa Arak tidak merasa
perlu mempergunakan ilmu andalannya. Pemuda itu hanya
menggunakan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Ilmu
yang diwariskan ayahnya.
Hebat bukan main sepak terjang Dewa Arak. Ke mana saja,
tangan atau kakinya bergerak, pastilah di situ ada lawan yang
roboh. Tapi Dewa Arak yang memang tidak berwatak kejam,
tidak pernah menurunkan tangan maut pada mereka. Paling-
paling dia hanya mematahkan satu kaki atau tangan mereka
untuk sekedar memberi pelajaran.
Jerit kesakitan terdengar susul-menyusul seiring dengan
berjatuhannya tubuh mereka satu persatu ke tanah.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Dengan terdengarnya dua jeritan terakhir, berakhir pula
pertarungan antara Dewa Arak dengan para pengeroyoknya.
Kini tinggal Arya yang masih berdiri di arena pertarungan.
Sementara para pengeroyoknya bertebaran tanpa daya di
sekelilingnya. Hanya rintihan mereka saja yang masih
terdengar.
Dewa Arak memandangi lawan-lawannya yangj tergolek tak
berdaya di tanah, sejenak. Baru setelah itu menghampiri
mereka. Arya bermaksud mengorek keterangan dari mulut
mereka.
Tapi baru juga Dewa Arak berjalan beberapa tingkah,
terdengar suara bersiut nyaring, disusul dengan melesatnya
sebuah benda bulat sebesar telur angsa. Dewa Arak tidak
berani bertindak gegabah. Buru-buru tubuhnya dilempar ke
belakang, dan bersalto beberapa kali di udara.
Blarrr...!
Terdengar ledakan yang cukup keras begitu benda bulat
sebesar telur angsa itu jatuh di tanah. Asap tebal berwama
hitam pekat segera menyebar memenuhi tempat itu.
"Hup...!
Dewa Arak hinggap sekitar tujuh tombak dari tempatnya
semula. Dahi pemuda itu berkernyit ketika mencium bau amis
memuakkan dari asap yang sedikit terbawa angin ke
tempatnya
"Menyingkir, Melati! Asap itu beracun!" seru Arya pada
tunangannya, seraya melesat menjauhi asap itu.
Mendengar seruan kekasihnya, Melati bergegas bangkit dari
duduknya dan berlari menyingkir dari situ. Menyusul Dewa
Arak.
Baru setelah asap tebal berwarna hitam itu telah sirna
tertiup angin. Dewa Arak dan Melati kembali ke tempat
semula. Bergidik hati mereka melihat belasan Bosok
berpakaian hitam tadi telah tak bergerak lagi. Tewas! Sekujur
kulit tubuh mereka hangus!
Dewa Arak mengalihkan perhatian ke arah penyerang
pertama yang telah dibuatnya pingsan tadi. Ternyata yang
seorang ini pun sudah tidak bernyawa pula. Kepalanya pecah!
Sepasang mata Dewa Arak bergerak liar mengamati
sekelilingnya Barangkali saja dapat menemukan penyerang
gelap yang telah melemparkan benda bulat yang dapat
meledak itu Tapi sampai lelah matanya berputar ke sana
kemari, tidak juga dilihatnya hal yang mencurigakan.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas. Kini persoalannya
menjadi gelap kembali.
Melati bergidik ngeri melihat keadaan mayat-mayat Itu.
Digamitnya lengan Dewa Arak. Kemudian ditariknya
meninggalkan tempat itu.
Arya sama sekali tidak membantah. Pemuda ini tahu, tidak
ada gunanya lagi mencari si penyerang gelap. Orang itu pasti
telah jauh meninggalkan tempati ini. Maka dibiarkan saja
Melati membawanya.
***
Dewa Arak dan Melati menghentikan langkahnya. Kepala
mereka sama-sama agak menengadah, menatap sebuah
papan tebal yang tergantung di atas pintu gerbang sebuah
bangunan besar berhalaman luas. Bangunan besar itu
dikelilingi pagar kayu bulat yang tinggi. Jelas terbaca oleh
mereka huruf-huruf yang tertera di papan berukir indah itu.
Huruf-huruf yang dibuat dengan tinta emas, bertuliskan
'Perguruan Hati Suci'.
"Mari kita ke sana, Melati," ajak Dewa Arak sambil
melangkah mendahului ke arah pintu gerbang itu. Melati
bergegas mengikuti tangkah kekasihnya.
"Maaf, Kisanak. Apakah kami bisa bertemu dengan
Nirmala?" tanya Dewa Arak sopan pada dua orang murid
Perguruan Hati Suci yang menjaga pintu gerbang.
Kedua orang murid itu saling pandang sejenak. Raut
keterkejutan jelas terbayang pada wajah mereka.
"Maaf, kalau boleh kami tahu siapakah kisanak berdua?"
tanya salah seorang dari dua murid itu.
"Aku Arya dan ini temanku..., Melati," jawab Dewa Arak
memperkenalkan diri.
"Hm.., maksud kami..., apa hubungan kisanak berdua
dengan Nirmala?" tanya orang itu lagi memperbaiki
pertanyaannya yang tadi.
Dewa Arak dan Melari melongo. Sungguh sama sekali tidak
disangka kalau untuk bertemu dengan gadis itu sangat sulit
Mereka sama sekali tidak tahu, kalau keberadaan Nirmala di
Perguruan Hati Suci sangat dirahasiakan. Hanya beberapa
gelintir orang saja yang mengetahuinya.
Dan kebetulan di antara mereka adalah dua orang vang
menjaga pintu gerbang ini. Tentu saja mereka terkejut bukan
main begitu melihat seorang pemuda berambut putih
keperakan dan seorang gadis cantik berpakaian putih, mencari
putri Sudiraja Itu.
"Kami... kami bukan apa-apanya. Kami hanya...."
Belum lagi Arya menyelesaikan ucapannya, dua orang itu
sudah menghunus golok masing-masing.
Srattt...! Srattt...!
Sinar terang berkilatan, ketika kedua golok itu keluar dari
sarungnya.
"Tunggu sebentar, Kisanak! Percayalah, kami tidak
bermaksud jahat," cegah Dewa Arak buru-buru
Tapi dua orang penjaga Itu sama sekali tidak
mempedulikan kata-kata Dewa Arak. Golok di tangan mereka
berkelebat cepat menyerang Arya. Tampaknya kedua penjaga
itu benar-benar menginginkan kematiai Dewa Arak!
Melati yang memang berwatak keras, menjadi tidak senang
melihat sikap kedua orang itu.
"Kalian pikir, hanya kalian saja yang memiliki kepandaian?"
ucapnya keras, seraya melayangkan tubuhnya. Sesaat
kemudian gadis berpakaian putih itu telah berdiri
membelakangi Arya.
"Mundur, Melati...!" teriak Dewa Arak mencegah. Pemuda
berambut putih keperakan Ini tidak ingin keadaan menjadi
lebih kacau dengan ikut campur tangannya Melati, gadis yang
diketahuinya memiliki watak keras.
Tapi Melati sama sekali tidak mempedulikan seruan
kekasihnya. Kedua tangan gadis berpakaian serba putih itu
tahu-tahu sudah bergerak cepat menangkis golok yang
menyambar ke arahnya dengan tangan kosong!
Takkk...! Takkk...!
Tappp, tappp...!
Seolah-olah yang menyambarnya bukan dua bilah golok,
tangan halus Melati menangkisnya Bahkan menangkapnya
sekaligus!
"Uh... uh...!"
Dua orang murid Perguruan Hati Suci itu berusaha sekuat
tenaga menarik pulang senjata mereka dari cengkeraman
Melati. Tapi cengkeraman itu begitu kuat bagaikan sebuah
jepitan baja. Betapapun kedua orang itu mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya, tetap saja usaha mereka sia-sia.
Melati hanya tersenyum sinis. Berbeda dengan wajah kedua
murid Perguruan Hari Suci yang memerah karena
mengerahkan tenaga yang melewati batas, wajah gadis ini
terlihat biasa-biasa saja. Tak terihat kalau Melati sedang
mengerahkan tenaga dalamnya.
Beberapa saat kemudian, mendadak Melati melepaskan
cengkeramannya. Akibatnya sudah bisa didugai Kedua murid
Perguruan Hati Suci itu terjengkang ke belakang dan jatuh
berdebuk di tanah, terbawa betotan tenaga mereka sendiri.
Melati bertolak pinggang menatap kedua lawannya yang
tengah bangkit sambil tersenyum sinis. Tapi rupanya kedua
orang itu masih penasaran. Terbukti begitu bangkit, mereka
sudah bersiap akan menyerang kembali. Tapi sebelum hal itu
terjadi, terdengar sebuah suara keras mencegah.
"Tahan...!"
Belum lagi habis gema suara bentakan itu, angin dingin
berkesiur. Disusul dengan munculnya seorang lelaki bertubuh
sedang, berusia sekitar lima puluh lima tahun. Laki-laki itu
berbibir tebal dan berpakaian jingga
"Guru...!" seru kedua murid Perguruan Hati Suci Itu
berbareng sambil menjura hormat.
Laki-laki berbibir tebal yang ternyata adalah Ketua
Perguruan Hari Suci ini menatap tajam wajah kedua muridnya,
setelah sekilas melirik ke arah Melati dan Dewa Arak.
"Puja, Jaya, apa-apaan ini?" tegur laki-laki berpakaian
Jingga itu.
"Maafkan kami, Guru... tapi kedua orang ini mencurigakan,"
jawab salah seorang dari mereka yang bertubuh pendek.
"Mencurigakan...? Mencurigakan bagaimana, Puja?" tanya
laki-laki berbibir tebal itu lagi. Kembali sudut matanya melirik
pada Melati dan Dewa Arak.
"Mereka mencari Nirmala, Guru," jawab laki-laki pendek
yang ternyata bernama Puja. Pelahan sekali suaranya, seperti
suara desahan saja.
Wajah Ketua Perguruan Hati Suci langsung berubah.
Penjelasan dari Puja telah cukup jelas baginya Dapat
dimaklumi sikap kedua muridnya. Kini perhatiannya dialihkan
pada Melati dan Dewa Arak.
"Maafkan atas kelancangan kedua muridku yang kurang
sopan ini, Nisanak. Tapi, benarkah apa yang dikatakan kedua
muridku?" tanya laki-laki berbibir tebal itu kepada Melati yang
berada lebih dekat dengannya. Memang, gadis berpakaian
putih itu berdiri agak jauh di depan Dewa Arak.
Melihat sikap sopan yang ditunjukkan laki-laki berpakaian
jingga itu, kedongkolan Melati pun berkurang. Tangannya
yang semula bertolak pinggang, diturunkan.
"Benar, Ki," sahut Melati sambil menganggukkan
kepalanya.
Ketua Perguruan Hati Suci itu mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Kalau boleh kutahu, siapakah Nisanak dan Kisanak ini
sebenarnya. Dan ada urusan apa mencari Nirmala? Aku Ki
Tanu, Ketua Perguruan Hati Suci."
"Aku Melati, sedangkan temanku Ini berjuluk Dewa Arak...,"
jawab Melari. Sengaja gadis ini memperkenalkan pemuda
berambut putih keperakan ini dengan julukannya, tidak
dengan namanya. Memang, julukan Dewa Arak jauh lebih
dikenal ketimbang nama Arya Buana.
Dugaan gadis berpakaian serba putih ini tidak salah. Begitu
mendengar nama Dewa Arak, terdengar seruan-seruan kaget
dari mulut ketiga orang di hadapannya. Sementara Arya
sendiri hanya dapat menghela napas. Dia tahu Melati masih
merasa mendongkol dengan kejadian tadi.
"Ah, kalau begitu pasti ada sesuatu yang penting, sehingga
kalian mencari Nirmala. Mari, mari masuk. Lebih baik kita
bicarakan masalah ini di dalam," ucap Ki Tanu setelah hilang
rasa kagetnya.
Setelah berkata demikian, Ketua Perguruan Hari Suci
melangkah masuk ke dalam. Melati pun ikut melangkah
masuk, setelah teriebih dulu melempar pandang mata penuh
kemenangan pada kedua orang murid Ki Tanu. Dewa Arak
yang melihat hal itu hanya tersenyum geli di dalam hati. Sifat
tidak mau kalah dari gadis itu masih belum juga hilang,
ucapnya dalam hati sambil terus melangkah ke dalam.
***
"Sekali lagi aku mohon maaf atas perlakuan yang kurang
pantas kedua muridku tadi, Dewa Arak," ucap Ki Tanu setelah
ketiganya berada dalam ruang khusus tempat Kl Tanu
membicarakan masalah-masalah penting dan rahasia.
Dewa Arak tersenyum lebar.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ki," sahut pemuda
berbaju ungu itu bijaksana. "Semua ini hanya kesalahpahaman
belaka. Dan kuminta Aki memanggllku dengan namaku saja.
Arya, Ki."
"Baiklah kalau begitu, De... eh, Arya. Kalau boleh kutahu,
ada urusan apa, kau dan Nini Melati ini mencari Nirmala?"
tanya laki-laki berpakaian jingga lni.
"Sebetulnya kami sama sekali tidak mempunyai urusan
dengan Nirmala, Ki Mengenalnya pun tidak Bahkan mendengar
namanya saja belum lama," jelas Dewa Arak.
"Eh...?! Mengapa begitu?" tanya Ki Tanu agak kaget
"Yahhh...! Hanya sebuah ketidaksengajaan saja yang
menyebabkan kami mencari Nirmala, Ki," jawab Dewa Arak
memberi penjelasan. Lalu diceritakannya tentang semua
kejadian yang dialaminya sebelum tiba di Perguruan Hati Suci.
Ki Tanu mendengarkan cerita Dewa Arak dengan wajah
sungguh-sungguh hingga pemuda berambut putih keperakan
itu menyelesaikan ceritanya.
"Bisa kulihat surat itu, Arya?" tanya Ki Tanu setelah Dewa
Arak menyelesaikan ceritanya.
Dewa Arak mengerutkan alisnya mendengar permintaan
laki-laki berbibir tebal itu.
"Maaf, Ki. Aku tidak dapat memberikannya padamu. Pesan
orang itu, surat Ini harus kuberikan langsung pada Nirmala,"
jawab Dewa Arak tegas.
Ki Tanu tersenyum. Ketua Perguruan Hari Suci ini benar-
benar mengagumi sikap Dewa Arak.
"Aku mengerti, Arya. Tapi bila kau berikan surat itu padaku
atau pada Nirmala, sama saja. Nirmala adalah muridku. Murid
istimewa. Ayah gadis itu sendiri yang menitipkannya padaku.
Sudiraja, ayah Nirmala adalah kawan akrabku. Dia biasa
mengirim surat padaku menanyakan bagaimana keadaan
putrinya. Atau dia mengirimkan surat untuk putrinya sendiri.
Tapi surat kali ini agaknya banyak mengandung keanehan,
Arya."
"Maksud, Aki?" tanya Dewa Arak. Kini sudah jelas baginya
siapa Itu Nirmala, dan siapa laki-laki berbibir tebal ini.
'Tadi kau bilang, orang yang bertugas mengirimkan surat
ini tewas di tangan orang yang berpakaian dan berselubung
hitam, bergambar kalajengking merah di dada?" tanya Ki Tanu
lagi, meyakinkan.
"Benar, Ki. Orang Itu juga mempunyai senjata rahasia
berbentuk ekor kalajengking berwarna merah yang
mengandung racun ganas," tambah pemuda berambut putih
keperakan itu.
"Kau tahu siapa mereka, Arya?" tanya Ki Tanu. Sepasang
matanya merayapi sekujur wajah Dewa Arak. Seolah-olah di
wajah pemuda Itu terdapat jawaban bagi pertanyaannya.
"Sedikit, Ki. Sebelum mati, pembawa surat Ini sempat
mengatakan padaku, kalau orang-orang Perkumpulan
Kalajengking Merahlah yang melakukannya," jawab Dewa
Arak.
"Apa yang dikatakan utusan Sudiraja itu memang benar.
Hm..., selain itu apa lagi yang kau ketahui tentang
Perkumpulan Kalajengking Merah, Arya?" desak Ki Tanu ingin
tahu.
Dewa Arak menggelengkan kepalanya.
'Tidak ada lagi, Ki."
"Sudah kuduga! Aku saja yang sudah puluhan tahun tinggal
di sini, masih belum begitu jelas mengetahui perkumpulan
misterius itu. Hhh...," ujar Ki Tanu sambil menghela napas
panjang.
"Perkumpulan misterius, Ki?" tanya Dewa Arak. Sepasang
matanya menyorotkan ketidakmengertian.
"Ya," jawab laki-laki berpakaian Jingga ini seraya
menganggukkan kepalanya.
"Mengapa begitu, Ki?" tanya Dewa Arak penasaran.
Ki Tanu tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Ditariknya napas dalam-dalam kemudian dihembuskannya
kuat-kuat
"Perkumpulan itu kukatakan misterius, karena tak seorang
pun tahu di mana markasnya. Mereka selalu muncul secara
tiba-tiba. Dan andaikata ada anggotanya yang tertangkap,
kalau tidak anggota yang sial Itu mati terbunuh sebelum buka
mulut, pasti dia bunuh diri," jelas laki-laki berbibir tebal ini
membentahu.
"Aneh...," desah Dewa Arak tanpa sadar.
"Tapi ada yang lebih aneh lagi, Arya," selak Ketua
Perguruan Hati Suci itu.
"Apa, Ki?"
"Mengapa Perkumpulan Kalajengking Merah itu begitu gigih
berusaha merampas surat untuk Nirmala. Itulah yang menjadi
tanda tanya buatku. Padahal selama ini surat-surat untuk
Nirmala atau untukku selalu aman-aman saja. Yahhh..., selalu
sampai di tujuan," ujar Ki Tanu.
"Jadi, itukah sebabnya kau ingin mengetahui isi surat itu,
Ki?" tanya Dewa Arak mulai paham persoalannya.
Ki Tanu menganggukkan kepalanya.
"Aku tahu betul, perkumpulan macam apa, Perkumpulan
Kalajengking Merah itu. Sebuah perkumpulan misterius yang
tidak ketahuan jelas anggota dan pemimpinnya. Perkumpulan
itu memeras penduduk. Apalagi penduduk yang agak kaya.
Sudah lama Gusti Adipati Palangka hendak menghancurkan
gerombolan Itu. Tapi sampai sekarang tidak pernah berhasil.
Kalau melihat gelagatnya, aku yakin kalau Perkumpulan
Kalajengking Merah hendak merebut Kadipaten Palangka,"
jelas laki-laki berbibir tebal itu panjang tebar.
Dewa Arak tercenung. Sungguh tak disangka kalau masalah
yang dihadapinya menjadi sebesar ini.
"Lalu, kenapa hal Itu tidak dilakukan, Ki?"
"Entahlah. Mungkin, takut kalau pasukan kerajaan akan
datang menghancurkan mereka," sambut Ketua Perguruan
Hati Suci itu, mendesah.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. bisa
diterimanya alasan Ki Tanu.
"Bagaimana, Arya? Bisa kulihat isi surat itu?" tanya laki-laki
berbibir tebal itu lagi.
Dewa Arak sama sekali tidak berkata apa-apa. Diambilnyai
gulungan surat dari lipatan ikat pinggangnya. Kemudian surat
itu diberikan pada Ki Tanu
"Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan padaku,
Arya," ucap laki-laki berpakaian Jingga Itu sambil menerima
gulungan surat yang diangsurkan Dewa Arak.
Pelahan-lahan Ketua Perguruan Hati Suci ini membuka
gulungan surat itu, lalu dibacanya. Sementara Dewa Arak dan
Melati hanya memperhatikannya saja tanpa berkeinginan
untuk mengetahui isi surat itu. Mereka sadar, apa pun isi surat
itu, bukan hak mereka untuk mengetahuinya.
"Aneh...," desah Ki Tanu sambil menggulung surat Itu
kembali. Sepasang alisnya berkerut Jelas ada sesuatu yang
membingungkan hatinya.
Dewa Arak dan Melati diam saja. Mereka sama sekali tidak
menanggapi ucapan kebingungan laki-laki berbibir tebal itu.
Semula Ki Tanu agak heran juga. Tapi, beberapa saat
kemudian dia pun sadar. Dewa Arak dan Melati tidak mau
bersikap lancang mencampuri urusan yang jelas-jelas bukan
urusannya.
"isi surat ini, biasa-biasa saja, Arya. Sama sekali tidak ada
yang penting. Tapi kenapa orang-orang Perkumpulan
Kalajengking Merah begitu bernafsu untuk mendapatkannya?"
"Kalau boleh kutahu, apa sebenarnya Isi surat itu, Ki?
Barangkali saja aku dapat menyingkap rahasianya," pinta
Dewa Arak.
Ki Tanu segera memberikan gulungan surat Itu pada Arya.
Pemuda itu pun langsung membuka gulungan surat dan
membacanya.
Nirmala,
Bila surat Ini telah kau terima, segeralah pamit pada
gurumu. Minta izin untuk pulang. Ada urusan penting yang
ingin Ayah bicarakan O ya, Ayah juga telah memanggil
kakakmu, Jalatara untuk pulang. Kakak sulungmu, Kanulaga
telah kembali
Sudiraja
Setelah membaca surat itu, Dewa Arak segera
memberikannya pada Melati. Sama seperti juga Dewa Arak
dan Ki Tanu, sepasang alis gadis ini pun berkerut setelah
membaca surat itu.
"Bagaimana, Arya? Ada kesimpulan yang dapat kau tarik
dari isi surat itu?" tanya Ki Tanu tak sabar.
Dewa Arak tercenung sebentar. Kemudian pelahan namun
pasti kepalanya pun menggeleng.
"Hhh...! Tidak ada sama sekali, Arya?" tanya Ki Tanu,
seolah-olah menuntut Dewa Arak untuk berpikir keras.
Arya menatap wajah laki-laki berbibir tebal itu lekat-lekat
"Bukannya kesimpulan yang kudapatkan, Ki. Tapi malah
pertanyaan-pertanyaan. Banyak hal mencurigakan
sehubungan dengan isi surat ini," jawab Dewa Arak.
"Apa Itu, Arya?" tanya Ki Tanu penuh gairah.
"Sebelum kujawab pertanyaan Aki, bisakah Aki sedikit
menjelaskan tentang keluarga Nirmala?" pinta Arya.
"Untuk apa?" Ki Tanu masih belum mengerti maksud
pemuda berbaju ungu itu.
"Untuk lebih memperjelas masalah, Ki," sahut Dewa Arak
cepat
"Baiklah. Sudiraja adalah seorang kaya raya Kekayaannya
berlimpah ruah. Dia mempunyai, tiga orang anak. Yang sulung
bernama Kanulaga, pergi mengembara lima belas tahun yang
lalu. Yang kedua Jalatara, menjadi pengawal Adipati Palangka.
Sedangkan yang bungsu, Nirmala, dititipkan padaku di sini.
Nah, sekarang jelaskan hal-hal yang mencurigakanmu itu.
Dewa Arak!"
Dewa Arak menghembuskan napas kuat-kujat sebelum
memulai ucapannya.
"Begini, Ki. Pertanyaan pertama adalah, dari mana
Perkumpulan Kalajengking Merah ini tahu mengenai surat ini,"
Arya mengemukakan kesimpulannya.
Ki Tanu mengernyitkan dahinya.
"Aku tidak berpikir ke situ, Arya. Yang kupikirkan adalah
mengapa Perkumpulan Kalajengking Merah itu begitu
bersikeras untuk merampas surat yang isinya menyuruh
Nirmala pulang?"
"Jawaban bagi pertanyaan itu, mudah sekali, Ki Ada dua
jawaban yang mungkin bagi pertanyaan itu."
"Apa, Arya?" tanya laki-laki berbibir tebal itu ingin tahu.
"Pertama, orang-orang Kalajengking Merah Itu salah duga
mengenai isi surat Barangkali mereka mengira surat itu berisi
hal-hal yang penting," sahut Dewa Arak menduga-duga.
"Yang kedua?" selak Ki Tanu tidak sabar.
"Mereka tahu isi surat itu! Dan bila itu benar, berarti
mereka memang sengaja tidak membiarkan Nirmala pulang!"
jelas Arya lagi.
Ketua Perguruan Hari Suci ini mengangguk-anggukkan
kepalanya Jawaban Dewa Arak bisa diterima. Kedua-duanya
masuk akal.
"Aku lebih condong pada jawaban yang kedua, Arya," ujar
Ki Tanu seraya terus mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dewa Arak mengerutkan alisnya. Jelas pemuda Itu tengah
berpikir keras.
"Kalau apa yang Aki katakan benar, timbul pertanyaan lagi.
Dari mana orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah itu
tahu kalau Nirmala disuruh pulang? Ini berarti, di dalam
rumah Tuan Sudiraja ada mata-mata Perkumpulan
Kalajengking Merah!" tegas Dewa Arak menyimpulkan.
"Ahhh...! Kau benar, Arya! Mengapa aku tidak berpikir
sampai di situ?" sambut kakek itu seperti menyesali diri. "Kini
aku telah menemukan kejanggalan lain, Arya."
"Apa itu, Ki?" tanya Arya ingin tahu. "Mengapa orang
Perkumpulan Kalajengking Merah tidak membiarkan Nirmala
pulang?!"
"Mengapa Ki" tanya Arya ingin tahu jawaban kakek
berpakaian Jingga itu.
"Mereka tidak ingin rahasia mereka terbongkar!!” jawab
kakek Itu yakin.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya Bisa
diterimanya alasan Ki Tanu.
Hening sejenak setelah Ki Tanu mengemukakan
dugaannya.
"O ya, Ki. Bisa kami bertemu dengan Nirmala?! tanya Dewa
Arak hati-hati.
Ki Tanu menghela napas panjang.
"Sayang sekati, Arya. Gadis itu tengah pergi berburu! Itulah
sebabnya dia tidak dapat kubawa menemuimu Tadi, telah
kusuruh salah seorang muridku menyusulnya. Maafkan aku,
Arya Aku telah mengecewakanmu."
"Tidak mengapa, Ki," sahut Arya. "Yang jelas, surat itu
telah kami sampaikan pada yang berhak. O, ya. Kami permisi
dulu, Ki, Masih banyak urusan yang harus diselesaikan."
Setelah berkata demikian, Arya segera bangkit dari
duduknya. Melati pun bergegas bangkit. Dikembalikannya
surat itu pada Ki Tanu.
Ketua Perguruan Hati Suci mengantar Dewa Arak dan
Melari sampai di pintu gerbang.
"Terima kasih atas bantuan kalian," ucap Ki Tanu sebelum
Arya dan Melati meninggalkan tempat Itu. "Sering-seringlah
kalian mampir kemari. Banyak hal yang ingin kubicarakan
denganmu."
"Mudah-mudahan, Ki," jawab Arya memberi harapan.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak menggerakkan
kakinya melangkah. Sepertinya pemuda berambut putih
keperakan ini hanya melangkah satu langkah saja. Tapi
anehnya, tahu-tahu tubuhnya sudah berada puluh tombak dari
tempat semula. Melati pun tidak mau kalah. Sesaat kemudian
tubuhnya sudah berada di samping kekasihnya.
"Pemuda-pemudi yang hebat..," desis Ki Tanu penuh
kagum. Dipandanginya bayangan tubuh Dewa Arak dan
Melati, sampai tubuh keduanya lenyap ditelan jalan
***
4
Seekor kuda hitam yang ditunggangi seorang gadis,
melangkah gagah merambah hutan. Gadis itu berwajah cantik
jelita. Rambutnya digelung ke atas, pakaiannya yang merah
menyala semakin menampakkan kecantikannya.
Singgg...!
Suara mendesing nyaring, mengejutkan si gadis. Seketika
itu juga, kepalanya ditolehkan ke arah asal suara. Kontan
sepasang matanya terbelalak ketika melihat sinar kemerahan
melesat cepat ke arahnya.
Gadis berpakaian merah ini sadar akan bahaya maut yang
mengancam. Maka cepat dia melompat dari atas kuda.
Bersalto beberapa kali di udara lalu mendarat ringan di tanah.
Sehingga sinar kemerahan itu menyambar tempat kosong dan
menancap di sebuah pohon.
Cappp....'
Gadis berpakaian merah itu bergidik ngeri ketika melihat
nasib pohon yang tertancap sinar merah, yang ternyata adalah
benda logam berbentuk ekor kalajengking berwarna merah.
Pelahan namun pasti, pohon Itu mulai mengering. Daun-
daunnya pun layu berguguran.
Gadis berpakaian merah ini menatap liar ke sekelilingnya.
Namun yang nampak hanyalah kesunyian.
Sepertinya hanya dia sendiri saja yang berada di dalam
hutan itu. Kuda hitamnya sudah kabur ketika gadis Itu
melompat dari punggungnya. Rupanya naluri binatangnya
yang tajam, mencium adanya bahaya mengancam. Sehingga
tanpa mempedulikan tuannya lagi, kuda hitam itu melesat
kabur.
"Ha ha ha...!"
Terdengar tawa bergelak menggema ke seluruh penjuru
hutan. Suara tawa yang mengandung getaran tenaga dalam
kuat
Gadis berpakaian merah itu memandang berkeliling dengan
sikap waspada. Kedua tangannya bergerak cepat Dan di lain
saat, di kedua tangannya masing-masing tergenggam
sebatang sumpit yang ujungnya runcirig.
Tiba-tiba terdengar suara berkerosakan dari delapan
penjuru. Belum lagi suara itu lenyap, tahu-tahu dari balik
semak-semak dan pepohonan yang lebat, keluar belasan
sosok yang kemudian mengurung si gadis.
Gadis berpakaian merah itu menatap tajam para
pengurungnya. Mereka semua mengenakan pakaian yang
sama Pakaian serba hitam yang di dadanya bergambar
kalajengking merah. Selubung-selubung hitam menutupi
wajah mereka Orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah
"Siapa kalian? Dan mengapa menyerangku?!" tanya gadis
berpakaian merah itu keras. Sepasang matanya menatap liar
ke arah orang-orang yang mengurungnya.
"Ha ha ha...! Tidak usah bingung-bingung, Nirmala," ucap
salah seorang dari pengurung itu menyapa. Orang Itu rupanya
pemimpin dari belasan orang Itu. Terbukti dengan adanya
tanda totol merah pada dahi selubungnya. Sementara pada
yang lainnya tidak terdapat tanda apa pun.
Gadis berpakaian merah itu melengak kaget "Dari mana
kau tahu namaku?.'" tanya gadis itu. Memang Gadis
berpakaian serba merah itu adalah Nirmala. Putri Sudiraja.
Dan saat ini gadis Itu dalam perjalanan pulang memenuhi
panggilan ayahnya. Sore hari sepulang berburu, gurunya
datang memberi suri dari ayahnya. Ki Tanu juga menceritakan
perjalanan surat Itu hingga sampai ke tangannya.
"Jadi, benar namamu Nirmala?! Kalau begitu kau harus
mampus!"
Setelah berkata demikian, orang yang menyapa Nirmala
tadi langsung menyabetkan senjatanya yang berupa tongkat
berujung ekor kalajengking ke leher gadis itu.
Tapi Nirmala bukanlah gadis yang lemah. Dia adalah murid
terkasih dari Ketua Perguruan Hati Suci, Ki Tanu. Apalagi,
gadis ini ternyata sangat berbakat! maka tidak mengherankan
kalau dalam usia semuda! Itu hampir seluruh ilmu-ilmu
gurunya telah dikuasainya.
Mudah saja Nirmala mengelakkan serangan. Kepala gadis
itu ditarik ke belakang, tanpa merubah posisi kakinya.
Wuuusss....'
Angin berbau amis memuakkan tercium hidung indah milik
gadis itu ketika senjata lawannya lewat sejengkal di depan
wajahnya. Gadis ini segera sadar kalau senjata lawannya ini
mengandung racun.
Murid Ki Tanu tidak bersikap sungkan-sungkan lagi. Dari
cerita gurunya, gadis berpakaian merah Ini tahu kalau para
penghadangnya ini adalah gerombolan yang telah membunuh
utusan ayahnya. Sekarang Nirmala bertekad untuk
membalaskan dendam utusan ayahnya itu.
Begitu senjata lawannya menyambar lewat di depan
lehernya. Nirmala mengayunkan kakinya menendang ke perut
orang itu.
"Eh...?!"
Terdengar seruan kaget dari mulut penyerang Nirmala.
Rupanya dia tidak menyangka kalau gadis berpakaian merah
Itu mampu berbuat demikian cepat
Maka buru-buru pimpinan penghadang itu melompat ke
belakang, sehingga tendangan gadis itu mengenai tempat
kosong.
Tapi serangan Nirmala tidak berhenti sampai di situ saja
Begitu dilihatnya, lawan melompat ke belalang, segera gadis
ini bergegas memburu dengan tusukan-tusukan sumpit yang
terbuat dari tanduk kerbau.
Suara berciutan terdengar ketika kedua batang sumpit itu
melakukan totokan bertubi-tubi ke bagian pelipis dan ubun-
ubun. Dua buah jalan darah yang mematikan.
Namun lawan yang dihadapi Nirmala bukanlah orang
berkepandaian rendah. Menghadapi totokan-Intokan sumpit
bertubi-tubi, laki-laki berselubung totol merah menggeser
kakinya ke samping. Sehingga serangan Itu lewat di samping
kepalanya. Tak lupa dikirimkan sebuah tusukan tongkat
berujung ekor kalajengking Itu ke perut Nirmala.
Nirmala terperanjat! Posisi tubuhnya yang tengah berada di
udara, menyulitkannya mengelakkan serangan Itu. Tapi, gadis
berpakaian merah ini masih mampu mempertunjukkan
kelihaiannya. Digeliatkan tubuhnya sehingga tusukan tongkat
lawan mengenai tempat kosong. Sesaat kemudian keduanya
sudah terlibat dalam pertempuran sengit.
DI jurus-jurus awal, pertarungan kedua orang itu masih
berlangsung imbang. Tapi memasuki jurus ke- dua puluh,
Nirmala mulai mendesak lawannya. Memang gadis berpakaian
merah ini lebih unggul segala-galanya, baik ilmu meringankan
tubuh maupun tenaga dalam. Sudah dapat dipastikan, dalam
beberapa jurus lagi Nirmala akan merobohkan lawannya.
Pada jurus ketiga puluh satu, dengan diiringi suara teriakan
nyaring, orang berselubung itu membabatkan senjatanya ke
perut Nirmala.
"Hih...!"
Nirmala melompat sehingga serangan itu lewat di bawah
kakinya. Dan dari atas, dengan gerakan tidak terduga-duga,
kedua sumpitnya menotok bertubi-tubi ke leher lawan.
Orang berselubung merah itu terkejut bukan main. Sedapat
mungkin totokan itu berusaha dielakkannya. Tapi sayang, tak
urung salah satu totokan sumpit itu mengenai pangkal
lengannya.
"Akh...!"
Orang berselubung merah itu memekik kesakitan.
Darah merembes keluar dari pangkal lengan yang sobek
terkena ujung sumpit Seketika itu juga, senjatanya terlepas
dari genggaman. Belum lagi bisa berbuat sesuatu, kaki
Nirmala telah terayun deras ke perutnya.
Bukkk...!
"Akh...!"
Pimpinan belasan penghadang itu kembali memekik
kesakitan. Tendangan gadis berpakaian merah Itu telak dan
keras sekali menghantam perutnya. Kontan tubuhnya
terjengkang ke belakang. Rasa mual dan mules pun mendera
perutnya,
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki gadis berpakaian serba
merah itu menjejak tanah.
"Serbu...!" teriak orang berselubung hitam yang telah
dipecundangi Nirmala Orang ini rupanya sudah tidak sanggup
menghadapi Nirmala. Kini dia memberi perintah pada anak
buahnya yang sejak tadi hanya menonton pertarungan untuk
mengeroyok gadis itu.
Serentak belasan orang berselubung hitam itu menyerbu
Nirmala Senjata-senjata di tangan mereka berkelebatan cepat
mengarah ke tubuh gadis berpakaian merah itu dari segala
arah.
Kembali Nirmala mempertunjukkan kelihaiannya. Tubuhnya
menyelinap gesit di antara serbuan senjata lawan yang datang
bagaikan hujan. Gadis berpakaian merah Ini terpaksa harus
mengerahkan seluruh kemampuannya. Disadarinya betul akan
bahaya senjata lawan yang beracun. Terserempet sedikit saja
mungkin akan berakibat maut!
Nirmala mengeluh dalam hati. Pelahan-lahan murid terkasih
KI Tanu ini mulai terdesak. Jumlah lawan memang terlalu
banyak. Apalagi di antara mereka ada si selubung hitam
bertotol merah. Meskipun si selubung hitam bertotol merah itu
telah berkurang kelihaiannya karena luka-luka yang
dideritanya, tapi tetap saja di merupakan lawan yang
berbahaya.
Tambahan lagi, senjata lawan-lawannya yang beracun.
Membuat gadis berpakaian serba merah Ini harus
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki.
Hal inilah yang membuat Nirmala jadi cepat lelah.
"Hiyaaa...!"
Nirmala berteriak keras. Totokan kedua sumpit di
tangannya bergerak cepat
"Akh...!"
"Aaa...!"
Terdengar jerit melengking, disusul robohnya dua sosok ke
tanah ketika sepasang sumpit Nirmala mengenai sasaran.
Yang satu mengenai ubun-ubun. Dai yang satu lagi mengenai
bawah hidung. Salah satu di antara jalan darah mematikan.
Tapi sebelum Nirmala memperbaiki posisinya, si selubung
hitam totol merah telah mengirim sebuah tendangan ke
perutnya.
Bukkk...!
"Hugh...!"
Gadis berpakaian merah ini kontan terjengkang akibat
kerasnya tendangan itu. Di saat itu empat orang berselubung
hitam yang lain meluruk menyerbunya.
Dan empat buah tongkat berujung ekor kalajengking pun
berkelebatan mengancam ke berbagai bagian tubuhnya.
Nirmala terpekik. Posisinya sama sekali tidak
memungkinkan untuk mengelak serangan itu. Tidak ada lagi
yang dapat dilakukannya. Gadis itu hanya dapat memejamkan
mata, menanti datangnya maut!
Di saat gawat bagi keselamatan gadis berpakaian merah
itu, mendadak berhembus angin keras berhawa panas
menyengat Angin pukulan itu langsung memapak datangnya
tubuh orang-orang berselubung hitam yang meluruk ke arah
Nirmala.
Wusss...!
Jerit kengerian terdengar berbarengan. Disusul
herpentalannya empat sosok yang tadi tengah menyerbu
Nirmala. Tubuh empat anggota Perkumpulan Kalajengking
Merah itu melayang-layang. Dan kemudian Jatuh berdebuk di
tanah, sepuluh tombak dari tempatnya semula. Sekujur tubuh
mereka hangus. Seketika di tempat itu menyebar bau sangit
seperti daging yang terbakar. Empat orang itu tewas seketika!
Orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah yang tersisa
terperanjat Tedebih-lebih si selubung hitam totol merah. Dari
kejadian yang menimpa anak buahnya, diketahuinya kalau si
penolong yang baru datang ini memiliki kepandaian yang amat
tinggi.
Kini di belakang Nirmaia telah berdiri dua sosok. Seorang
pemuda berambut putih keperakan dan seorang gadis cantik
jelita berpakaian serba putih. Siapa lagi kalau bukan Dewa
Arak dan Melati?
Laki Iaki berselubung totol merah menyadari kesdaan yang
tidak menguntungkan pihaknya. Cepat dilemparkan sesuatu ke
arah tiga orang lawannya.
Mata Dewa Arak dan Melati yang tajam segera melihat
bentuk benda yang dilemparkan si selubung bertotol murah.
Sebuah benda bulat sebesar telur angsa
Dawa Arak dan Melari yang telah mengenal ke dahsyatan
racun yang terkandung dalam benda bulti Itu, melompat
menjauh. Tak lupa, Melati, menyambar Nirmala yang masih
terduduk di tanah.
Blarrr...!
Suara ledakan keras terdengar begitu benda bulat sebesar
telur angsa itu mengenai tanah. Seketika ini juga asap hitam
berbau busuk menyebar, memenuhi tempat di mana Dewa
Arak, Melati dan Nirmala tadi berdiri.
"Hhh..., berbahaya sekali," desah Dewa Arak lirih
Sementara Nirmala hanya mampu berdecak ngeri bercampur
takjub melihatnya
Dan seperti kejadian sebelumnya, begitu asap tebal dan
hitam itu sirna, sirna pulalah orang-orang Perkumpulan
Kalajengking Merah itu.
***
"Siapa kau, Nisanak? Mengapa terlibat perkelahian dengan
orang-orang itu?" tanya Dewa Arak Sepasang matanya
menatap tajam wajah cantik di hadapannya Dalam hatinya,
Dewa Arak mengakui kecantikan gadis berpakaian serba
merah ini.
Nirmala menatap Dewa Arak dan Melari bergantian. Inikah
orang yang menyampaikan surat ayahnya itu ? tanyanya
dalam hati. Apa yang dikatakan gurunya memang tidak salah.
Wajah pemuda yang berjuluk Dewa Arak ini begitu tampan.
Tampan dan gagah. Rambutnya yang berwarna keperakan,
membuat pemuda Itu terlihat matang.
Melati mengerutkan alisnya melihat gadis berpakaian merah
Itu bukannya menjawab pertanyaan kekasihnya, tapi malah
menatap wajah mereka bergantian. Rasa cemburu pun
menyeruak di hati gadis berpakaian serba putih ini.
"Kawanku bertanya padamu, Nisanak!" ucap Melati agak
ketus.
Ucapan Melari yang bernada teguran itu membuat Nirmala
sadar. Wajah gadis ini pun memerah seketika seperti warna
pakaiannya.
"Ahhh..., maafkan aku, Nisanak. Kalau aku tidak salah
duga, bukankah Kisanak dan Nisanak ini adalah..., Dewa Arak
dan Melati?"
Dewa Arak dan Melati terjingkat bagai disengat ular
berbisa. Dari mana gadis berpakaian merah ini tahu nama
mereka?
"Tidak usah heran..., guruku teiah bercerita banyak tentang
kalian," sambung Nirmala lagi begitu melihat kedua orang di
hadapannya saling pandang «eperti orang kebingungan.
Sepasang mata gadis berpakaian serba merah itu menatap
Dewa Arak lekat-lekat
"Siapa gurumu?" selak Melati cepat Dia tidak Ingin gadis
berpakaian merah itu berbicara lama-lama dengan kekasihnya
"KI Tanu...," sahut Nirmala memberitahu.
"KI Tanu?! Jadi, kau Ini... Nirmala?" tanya Arya setengah
menduga.
"Betul, Kang," jawab Nirmala sambil menganggukkan
kepalanya.
"Kang?" desis hati Melati. Ada perasaan cemburu yang
menyelinap di hatinya, begitu mendengar gadis berpakaian
serba merah ini memanggil 'kang' pada Dewa Arak.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya, Pemuda ini
rupanya sedang berpikir keras, sehingga tidak mempedutikan
panggilan murid Ki Tanu ini. Kini dia mengerti mengapa gadis
ini bentrok dengari orang-orang Perkumpulan Kalajengking
Merah.
"Kau akan menjumpai ayahmu, Nirmala?" tanya Melati
cepat sebelum Arya kembali bertanya
"Ya," jawab Nirmala singkat Ditolehkan kepalanya ke arah
Melati.
'Kalau begitu, mari kita berangkat" ucap Melati lagi buru-
buru seraya menggamit lengan gadis berpakaian serba merah
itu. Lalu dibawanya melangkah meninggalkan tempat itu.
Melihat kedua gadis cantik itu telah meninggalkannya.
Dewa Arak tak punya pilihan lagi. Segera dilangkahkan
kakinya mengikuti. Sejenak ditolehkan kepalanya, ke tempat
bekas pertarungan antara Nirmala dengan gerombolan
Kalajengking Merah tadi. Tapi suasana di situ telah sepi.
Hanya ada enam mayat yang bergeletakan di tanah.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas lega. Untunglah dia
dan Melari lewat hutan ini, sehingga dapat mengetahui adanya
pertarungan dan datang pada saat yang tepat Memang,
semula mereka hendak langsung melanjutkan perjalanan.
Tapi, begitu melewati hutan Ini, tiba-tiba Melati ingin makan
daging kelinci panggang. Terpaksalah mereka menginap di
hutan ini. Dan keinginan Melati akan kelinci panggang itulah
yang menjadi penyebab selamatnya Nirmala dari maut
***
Malam Itu bulan penuh nampak di langit. Bintang-bintang
pun bertebaran menghias angkasa, menambah cerahnya
suasana malam.
Kanulaga bergolek-golek resah di pembaringan. Ingatannya
selalu terbayang pada saat memergoki ayahnya yang tengah
membungkus sebagian hartanya dalam sebuah buntalan.
Kanulaga tahu untuk apa semua itu. Dia telah mendengar
cerita itu dari si tompel. Setiap malam bulan purnama,
ayahnya diharuskan mengirim upeti dan menaruhnya di suatu
tempat yang selalu berlainan pada setiap pengirimannya
Dari si tompel, laki-laki berwajah keras ini juga tahu siapa
pemeras ayahnya Sebuah kelompok yang menamakan diri
Perkumpulan Kalajengking Merah. Kanulaga tidak rela ayahnya
yang telah bersusah payah mengumpulkan harta itu,
memberikannya begitu saja. Kanulaga bertekad untuk
membasmi pemeras ayahnya
Seluruh urat syaraf laki-laki berwajah keras ini mendadak
menegang. Pendengarannya yang tajam menangkap suara
gemerisik pelan di luar jendela kamarnya. Yakin kalau orang
yang berada dekat jendela itu tidak bermaksud baik, Kanulaga
bermaksud menangkap basah.
Maka laki-laki berwajah keras Ini berpura-pura
memejamkan mata. Tapi dari balik bulu matanya, Kanulaga
tetap mengintai ke arah jendela. Tercekat hati pemuda ini
ketika melihat asap putih tipis masuk ke kamarnya, melalui
kisi-kisi jendela.
Pikiran laki-laki berwajah keras Ini berputar cepat.
Sungguhpun belum pasti, tapi sudah dapat diduganya kalau
asap Itu adalah asap pembius. Asap yang dapat membuatnya
tertidur pulas.
Kanulaga tidak berani bertindak gegabah. Segerai
diambilnya pil pemunah racun pemberian gurunya. Tanpa
ragu-ragu lagi pil itu segera ditelannya.
Kemudian tanpa mempedulikan asap yang semakin banyak
memasuki kamarnya, Kanulaga segera membaringkan kembali
tubuhnya. Berpura-pura tidur pulas.
Tak lama kemudian, terdengar suara berderak agak keras
ketika jendela kamarnya dibuka secara paksa. Dan seiring
dengan terbukanya jendela itu, sesosok tubuh melompat
masuk ke kamarnya. Ringan bukan main gerakannya. Tanpa
suara kedua kaki orang itu mendarat di lantai.
Kemudian setelah menutupkan jendela itu kembali, sosok
yang ternyata berpakaian serba hitam dengan gambar seekor
kalajengking merah di dadanya, berjalan menghampiri
pembaringan di mana Kanulaga terbaring pulas. Wajahnya
tidak terlihat karena tertutup selubung yang di dahinya
bergambar ekor kalajengking merah.
"Kau hanya akan menjadi
duri penghalangku, anak
keparat..!" desis sosok hitam
itu. "Sekarang pergilah kau ke
neraka!"
Setelah berkata demikian,
bayangan hitam itu
menggerakkan tangan
memukul kepala Kanulaga.
Angin berkesiutan keras,
menandakan betapa kuatnya
tenaga dalam yang
terkandung dalam pukulan
itu.
Tapi sebelum pukulan itu mengenai sasaran, Kanulaga
yang memang berpura-pura terbius itu menggulingkan
tubuhnya.
Brakkkk...!
Pembaringan itu hancur berentakan ketika pukulan yang
berhasil dielakkan oleh Kanulaga menghantamnya. Di saat
itulah Kanulaga yang memang sudah berwaspada sejak tadi,
mengayunkan kaki kanannya ke arah perut orang yang
hendak membunuhnya.
"Eh...?!"
Si pembokong itu memekik kaget Cepat-cepat sosok itu
melompat ke belakang sehingga tendangan Kanulaga
mengenai tempat kosong. Tapi, tindakan laki-laki berwajah
keras itu tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangannya
dapat dielakkan lawan, segera tubuhnya melompat seraya
mengirimkan tendangan ke pelipis.
Wuttt...!
Angin menderu keras mengiringi tibanya serangan
Kanulaga. Tapi kembali si pembokong itu memperlihatkan
kelihaiannya. Tubuhnya membungkuk, sehingga sapuan itu
lewat di atas kepalanya. Berbareng, digerakkan tangannya
memukul perut putra sulung Sudiraja itu.
Kanulaga yang tengah berada di udara, tentu saja tidak
bisa mengelakkan serangan itu. Kalau dia masih Ingin
selamat, pukulan itu harus ditangkisnya. Dan itu yang
dilakukan laki-laki berwajah keras ini.
Plak!
Suara keras terdengar begitu dua buah tangan yang
mengandung tenaga dalam kuat itu berbenturan. Akibatnya,
tubuh Kanulaga terpental balik dan jatuh di pembaringan.
Sementara tubuh si pembokong itu Juga terjengkang ke
belakang.
"Hup...!"
Hampir bersamaan keduanya dapat kembali memperbaiki
posisinya. Tapi sebelum Kanulaga sempat berbuat sesuatu, si
pembokong itu sudah bergerak cepat melompat ke arah
jendela.
Brakkk..!
Jendela kamar Kanulaga langsung hancur berkeping-keping
begitu tubuh si pembokong itu menabraknya. Dan setelah
tubuhnya berada di luar, cepat-cepat sosok hitam itu melesat
kabur.
"Jangan lari, pengecut..!" bentak Kanulaga keras. Laki-laki
berwajah keras ini memang penasaran bukan main. Dari
benturan yang terjadi tadi, diketahuinya kalau orang yang
hendak membunuhnya itu memiliki tenaga dalam yang amat
kuat.
"Hih...”
Kanulaga segera menerobos jendela kamarnya yang telah
tak berdaun lagi.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat diluar
kamarnya. Tapi, si pembokong itu sudah tidak terlihat lagi
batang hidungnya. Kanulaga memandang berkeliling. Namun
tetap tidak dijumpainya bayangan si pembokong ita
"Hhh...!" desah Kanulaga kesal melihat lawannya berhasil
lolos.
Sungguhpun begitu, laki-laki berwajah keras ini tetap
melanjutkan langkahnya. Dia ingin mengetahui ke mana
ayahnya akan mengirimkan upeti malam ini. Dan untuk itu dia
harus mengikuti ayahnya secara diam-diam. Segera pemuda
itu melangkah mengendap-endap menuju kamar ayahnya
yang terletak agak jauh dari kamarnya.
Kanulaga melangkahkan kakinya pelahan. Sepasang
matanya menatap rajam sekelilingnya. Memperhatikan siapa
tahu bayangan hitam tadi berusaha membokongnya lagi
Jantung laki-laki berwajah keras ini berdetak kencang ketika
melihat sosok serba hitami tengah bersembunyi di balik
sebatang pohon, dekat semak-semak yang cukup lebat. ‘Sosok
tubuh berpakaian serba hitam’ pekik Kanulaga dalam hati.
Dengan langkah hati-hati, Kanulaga mengendap-endap
menghampiri. Dia tidak ingin lawannya kembali kabur seperti
sebelumnya.
Betapapun Kanulaga telah membelalakkan sepasang
matanya lebar-lebar, tak juga dapat dikenalinya sosok
bayangan hitam yang rupanya tengah mengintai itu sekitar
bangunan. Orang itu bersembunyi di balik pohon, sehingga
membuat cahaya obor yang menyoroti wajahnya terhalang.
"Jangan harap dapat lolos dari tanganku, pengecut..!" seru
laki-laki berwajah keras ini tiba-tiba, begitu telah berada di
belakang sosok serba hitam Itu.
Tentu saja sosok serba hitam yang tengah bersembunyi itu
terkejut bukan main. Tubuhnya terlonjak seakan-akan
disengat ular berbisa. Segera ditolehkan kepalanya ke
belakang. Seluruh urat-urat syaraf di tubuhnya menegang
waspada.
"Kau...?!" desah Kanulaga tidak percaya ketika melihat
wajah orang itu. Seorang laki-laki setengah baya, berkumis
lebat. Dikenali betul orang itu, Pandira, adik bungsu ayahnya
Bukan hanya Kanulaga yang terkejut Pandira pun terkejut
melihat kedatangan keponakannya. Tapi sebelum dia sempat
berbuat sesuatu, Kanulaga telah mendahuluinya.
"Ternyata kecurigaanku tidak keliru!" dingin dan datar
suara Kanulaga
"Apa maksudmu, Kanulaga?!" tanya Pandira setengah
membentak.
Kanulaga tersenyum sinis.
"Tidak usah berpura-pura lagi, Paman. Aku sudah tahu
semuanya. Permainanmu telah berakhir. Lebih baik, kau
menyerah. Sebelum aku terpaksa berbuat tidak pantas
terhadapmu!" ancam Kanulaga.
Merah wajah pria berkumis lebat ini mendengar ucapan
Kanulaga yang sama sekali tidak menaruh hormat padanya.
"Bocah kurang ajar! Orang seperti kau sudah selayaknya
diberi pelajaran. Agar tidak menyangka hanya kau yang
memiliki kepandaian di kolong langit Ini!"
Selelah berkata demikian, Pandira segera melompat
menerjang keponakannya dengan sebuah totokan beruntun ke
arah dada dan ulu hati. Cepat bukan main gerakannya.
Tapi Kanulaga yang memang sudah bersiap sejak tadi tidak
menjadi gugup. Tanpa ragu-ragu lagi dipapaknya serangan-
serangan itu.
Plak, plak, plak...!
Suara benturan keras terdengar berkali-kali begitu dua
pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam
kuat itu berbenturan.
Tubuh Kanulaga terhuyung dua langkah ke belakang. Mulut
laki-laki berwajah keras ini menyeringai Sekujur tangannya
terasa ngilu. Dadanya pun dirasakan sesak. Sedangkan
pamannya hanya terhuyungi satu langkah ke belakang.
Sadarlah Kanulaga kalau tenaga dalamnya bukan tandingan
tenaga dalam pamannya.
Tapi Kanulaga, bukan hanya memiliki raut wajah yang
keras. Sifatnya pun keras. Kenyataan yang menunjukkan
keunggulan tenaga dalam orang yang di perkenalkan ayahnya
sebagai pamannya, tidak membuatnya menjadi jerih. Bahkan
sebaliknya, perasaan penasaranlah yang timbul. Sesaat
kemudian, pemuda itu sudah menyerang kembali dengan
dahsyat
"Hiyaaa...!"
Sambil berseru keras, Kanulaga melontarkan tendangan
lurus ke arah dada.
"Hm...!" Pandira mengeluarkan dengusan kasar, menutupi
keterkejutan hatinya melihat kecepatan dan kekuatan yang
terkandung dalam tendangan itu. Tapi meskipun begitu, laki-
laki berkumis lebat ini tidak menjadi gugup. Cepat-cepat
tubuhnya didoyongkan ke samping kiri. Sehingga tendangan
itu lewat di sebelah kanan pinggangnya. Berbareng dengan itu
tangan kanannya melayang deras, melakukan tebasan ke arah
betis lawan
Wuttt..!
Kanulaga tersentak kaget. Laki-laki berwajah keras ini tidak
berani bertindak ceroboh. Dia tidak ingin tulang kakinya remuk
terkena tebasan tangan yang mengandung tenaga dalam
tinggi itu. Segera kakinya ditarik pulang, sehingga serangan
itu mengenai tempat kosong. Sesaat kemudian keduanya
sudah terlibat dalam pertarungan sengit.
***
5
Sementara itu, di saat Kanulaga dan Pandira terlibat dalam
sebuah pertarungan sengit, sesosok bayangan hitam melesat
ke kamar Sudiraja. Sosok serba hitam itu berhenti tepat di
depan jendela yang tertutup rapat.
Tok, tok, tok...!
Diketuknya daun jendela itu pelahan.
Sudiraja yang berada di dalam kamar memang sudah siap
dengan bungkusan hartanya. Begitu didengamya ada orang
yang mengetuk daun jendela, laki laki gendut itu segera
bergerak menghampiri. Kemudian dibukanya daun jendela itu.
Tanpa suara sedikit pun daun jendela itu terkuak! Dan
tampaklah oleh sepasang mata Sudiraja, seraut wajah
berselubung hitam. Di bagian dahi selubung itu terdapat
gambar ekor kalajengking merah.
"Mana bungkusan itu?" tanya si selubung hitam itu pelan.
"Ada," sahut Sudiraja.
"Mana? Cepat lemparkan...," desis si selubung hitam itu
tajam.
Sudiraja tercenung sejenak, seperti ada sesuatu yang
ditunggunya.
"Cepat..! Atau kau ingin kubunuh, gendut..!" Desis si
selubung hitam itu lagi. Dalam ucapannya terkandung
ancaman maut
Sudiraja bergidik mendengar ancaman itu. Maka buru-buru
diberikannya bungkusan itu. Si selubung hitam menerimanya
dengan sinar mata berbinar. Dibukanya sebentar buntalan itu.
Baru setelah melihat Isinya, tubuhnya kemudian melesat
kabur dari situ. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga yang
nampak hanyalah sekelebatan bayangan hitam yang bergerak
cepat dan lenyap di kegelapan malam.
"Hhh..." Sudiraja menghela napas. Dibiarkan saja jendela
kamarnya terbuka. Sedangkan sepasang matanya bergerak
liar ke sana kemari. Sepertinya ada yang lengah dicarinya.
"Mana si Pandira...," gumam laki-laki gendut itu. "Ataukah
dia terlupa...?"
Sementara itu orang yang sedang dinantikannya masih
terlibat pertarungan sengit dengan Kanulaga. Keduanya
memang sama-sama memiliki kepandaian tinggi. Tapi setelah
bertarung tiga puluh lima jurus, Kanulaga mulai terdesak.
"Ahhh...!" tiba-tiba saja Pandira memekik kaget "Anak
keparat..! Kau membuatku melupakan urusan yang lebih
penting...!"
Setelah berkata demikian, Pandira melancarkan serangan
beruntun ke arah Kanulaga. Tidak ada jalan lain bagi laki-laki
berwajah keras itu, kecuali melempar tubuh ke belakang dan
bersalto beberapa kali di udara
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya hinggap di lanah,
berjarak beberapa tombak dari tempat semula.
Sikapnya langsung siaga. Siap menghadapi tibanya
serangan usulan. Tapi Kanulaga jadi terperanjat. Lawan di
hadapannya telah lenyap. Betapapun laki laki berwajah keras
ini mengedarkan pandangan ke sekelilingnya tetap tidak
dijumpainya laki-laki berkumis lebat Itu.
“Pengecut keparat..!" desis Kanulaga. Kemudian setelah
termenung sesaat, tubuh anak muda itu melesat cepat menuju
kamar ayahnya. Suasana di sekitarnya kembali sunyi.
Memang, begitulah keadaan di rumah Itu pada setiap malam
bulan purnama. Sudiraja selalu meliburkan semua pekerjanya.
Termasuk penjaga keamanan rumahnya.
***
Pandira berlari mengerahkan seluruh ilmu meringankan
tubuh yang dimilikinya. Sehingga dalam waktu singkat, kamar
Sudiraja sudah terlihat
"Ahhh...! Jangan-jangan aku terlambat...," desis laki-laki
berkumis lebat ini cemas. Dan perasaan cemasnya kian
menjadi-jadi begitu dilihatnya daun jendela kamar Sudiraja
terkuak.
"Hup...!"
Begitu tiba di depan jendela itu, segera saja dllongokkan
kepalanya ke dalam. Sinar bulan purnama yang menembus ke
kamar itu membuat Pandira dapat melihat jelas keadaan di
dalam.
"Kakang Sudira...," panggil laki-laki berkumis lebat itu.
Dilihatnya seorang laki-laki berperut gendut tengah tergolek di
pembaringan.
Sudiraja membuka matanya menatap nyalang ke Arah
jendela Begitu dilihatnya wajah yang telah dikenalnya, segera
laki-laki gendut itu bangkit
"Bagaimana, Kang...? Dia belum datang?" berondong
Pandira begitu dilihatnya laki-laki gendut itu bangkit dari
berbaringnya.
"Dia sudah pergi...," sahut Sudiraja Pelan sekali suaranya.
Lebih mirip sebuah desahan.
"Ah...! Jadi aku terlambat..?" tanya laki-laki berkumis lebat
itu. Nada suaranya jelas mengandung penyesalan yang
mendalam.
"Masuklah, Pandira...," ucap Sudiraja tanpa mempedulikan
kebingungan yang melanda laki-laki berpakaian serba hitam
itu.
Dengan langkah lunglai, Pandira melompat ke dalam
kamar.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya hinggap di lantai kamar
Sudiraja.
"Duduklah, Pandira," ujar Sudiraja mempersilakan ketika
dilihatnya laki-laki berkumis lebat itu berdiri saja.
Tanpa banyak membantah, Pandira duduk di sebuah
bangku.
"Jelaskan padaku, mengapa kau begitu terlambat Padahal
tadi aku sudah berusaha mengulur-ulur waktu. Menunggu
kedatanganmu. Tapi ternyata kau tidak muncul-muncul!"
tanya Sudiraja begitu dilihatnya laki-laki berpakaian serba
hitam itu telah duduk. Nada suaranya terdengar penuh
tuntutan.
"Hhh" Pandira menghela napas panjang seperti hendak
membuang perasaan sesal yang menyelimuti hatinya “Semua
Ini karena ulah anak keparat itu!" desisnya tajam.
Bekernyit dahi Sudiraja mendengar ucapan laki-laki
berkumis lebat.
"Siapa yang kau maksudkan, Pandira?" tanya laki-laki
gendut Itu sambil menatap tajam wajah adiknya.
"Kanulaga...," jawab Pandira pelan.
"Apa?! Kanulaga?!" tanya Sudiraja tidak percaya "Apa yang
dilakukannya?"
Laki laki berkumis lebat itu menarik napas dalan dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat
"Aku tengah bersembunyi, mengintai kedatangan!
pemerasmu. Tapi tiba-tiba Kanulaga datang. Dan
mengucapkan kata-kata yang tidak pantas. Aku menjadi
marah dan akhirnya kami bertarung," jelas laki-laki berkumis
lebat itu.
"Lalu, kau bunuh dia, Pandira?" selak Sudiraja Secercah
senyum sinis tersungging di bibirnya.
Pandira menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Sewaktu aku tengah mendesaknya, aku teringat
akan tugasku. Bergegas kutinggalkan dia. Tapi sayang aku
tertambat Si keparat itu telah pergi lebih dahulu. Ahhh...! Sia-
sia saja perjalananku kemari, keluh laki-laki berkumis lebat ini.
Belum juga Sudiraja menimpali ucapan adik bungsunya ini,
terdengar suara bentakan keras dari luar jendela.
"Kiranya kau berada di sini, keparat!"
Tanpa menoleh pun, baik Sudiraja maupun Pandira telah
mengetahui orang yang telah mengeluarkan suara bentakan
keras itu. Suara itu telah mereka kenal betul. Suara Kanulaga.
Seiring dengan selesainya ucapan itu, dari luar jendela
melesat sesosok tubuh yang kemudian mendarat ringan tanpa
suara di lantai.
"Jaga mulutmu, Kanulaga!" bentak Sudiraja dengan nada
keras begitu laki-laki berwajah keras itu telah berada di dalam
kamarnya. Telah dilihatnya sendiri sikap putra sulungnya yang
tidak pantas.
'Tapi, Ayah...," Kanulaga mencoba untuk membantah.
"Diam...!" sergah Sudiraja memotong bantahan laki-laki
berwajah keras itu.
Wajah Kanulaga memerah. Laki-laki berwajah keras ini
memang memiliki sifat yang aneh. Semakin orang bersikap
keras padanya, dia akan semakin keras.
"Bagaimana aku bisa mendiamkan orang yang hampir saja
membunuhku?!"
"Itu karena kau telah bersikap kurang ajar padanya!"
sentak laki-laki berperut gendut itu. Nada suaranya semakin
meninggi.
"Bersikap kurang ajar bagaimana?! Paman hendak
membunuhku, di saat aku berada di kamarku!" sahut
Kanulaga tak kalah keras.
"Apa?! Benarkah apa yang kau ucapkan Itu, Kanulaga?!"
tanya laki-laki berperut gendut itu sambil menatap tajam
wajah anaknya. Cerita yang didengarnya dari adik bungsunya
tidak seperti ini!
"Dia bohong!" bantah Pandira keras. Sejak tadi laki-laki
berkumis lebat itu hanya terdiam saja mendengarkan
semuanya Dia sengaja membiarkan Sudiraja menyelesaikan
masalah itu. Tapi begitu mendengar tuduhan keponakannya
ini, amarahnya seketika bangkit
Kanulaga melemparkan senyum sinis pada pamannya.
Tentu saja hal ini semakin membuat kemarahan Pandira
meledak.
"Anak keparat! Kau hanya mencari-cari alasan saja. Aku
malah curiga, jangan-jangan kau sendiri adalah salah seorang
dari gerombolan itu! Kau sengaja mengalihkan perhatianku
agar rekanmu itu lolos dari pengawasanku!" ujar laki-laki
berkumis lebat ini balik menuduh.
"Anggota gerombolan? Mengalihkan perhatian? Apa
maksudmu, Paman?!" tanya Kanulaga tidak mengerti.
Betapapun marahnya, namun laki-laki beta wajah keras ini,
sebenarnya masih menghormati pamannya.
Sudiraja mengerutkan alisnya. Dia melihat ada nada
kesungguhan dalam cerita kedua orang ini. Bukan tidak
mungkin kalau telah terjadi kesalahpahaman.
"Lebih baik kita selesaikan persoalan ini dengan kepala
dingin. Aku khawatir ada kesalahpahaman terselip di sini,"
ucap laki-laki gendut ini menenangkan.
Kanulaga dan Pandira terdiam. Mereka menyadari
kebenaran yang terkandung dalam ucapan Sudiraja. Mengikuti
perasaan amarah saja tidak akan menyelesaikan masalah,
pikir mereka.
Setelah melihat kedua orang itu sudah dapat ditenangkan,
Sudiraja kembali membuka suara.
"Sekarang coba kau ceritakan kejadian yang kau alami,
Kanulaga," ucap laki-laki berperut gendut itu pada anak
sulungnya.
Kanulaga pun menceritakan semuanya.
"Nah, ketika aku tengah mencari bayangan hitam Itu,
kulihat ada seseorang bersembunyi di balik pohon. sikapnya
mencurigakan sekali. Aku yakin kalau orang Itulah yang tadi
menyerangku. Pakaiannya sama. Aku kaget juga ketika kulihat
orang itu adalah Paman Pandira. Ribut mulut tak dapat
dihindari lagi. Akhirnya kami bertarung," ujar laki-laki
berwajah keras ini mengakhiri ceritanya.
"Hhh...! Sekarang sudah jelas masalahnya. Sudah kuduga
semua ini hanya salah paham saja," ucap Sudiraja dengan
suara mendesah.
"Salah paham?! Aku masih tidak mengerti, Ayah," sahut
Kanulaga. Nada suaranya menyimpan perasaan penasaran
yang mendalam.
Laki-laki berperut gendut itu termenung sejenak belum
memulai ceritanya. Dipandangi wajah Pandira tajam-tajam.
"Bagaimana, Pandira? Tidakkah lebih baik kalau diceritakan
saja?" tanya Sudiraja meminta pendapat laki-laki berkumis
lebat itu.
Pandira mengangkat bahunya. "Terserah kau saja, Kang,"
jawab laki-laki berkumis lebat Ini menyerahkan keputusan
pada Sudiraja
"Sebenarnya aku tidak berniat memberitahumu, Kanulaga.
Tapi, agar kau tidak penasaran... terpaksa perlu
kuberitahukan. Pandira ini bukanlah paman mu...."
"Sudah kuduga...," desah Kanulaga pelan.
"Kau sudah tahu?!" tanya Sudiraja setengah tak percaya.
"Ya," jawab Kanulaga seraya menganggukkan kepalanya.
"Sepengetahuanku Ayah adalah anak tunggal Aku menjadi
curiga ketika Ayah memperkenalkannya sebagai paman."
Sudiraja mengangguk-anggukkan kepalanya tanda
mengerti.
"Pandira sebenarnya adalah salah seorang pengawal
rahasia Adipati Palangka," sambung laki-laki berperut gendut
itu lagi.
"Ah...!" desah Kanulaga terkejut. "Lalu, mengapa dia
berada di sini dan Ayah mengakui sebagai adik bungsu?"
"Lebih baik kau tanyakan saja padanya, Kanulaga. Biar dia
yang akan menjelaskannya padamu. Nah Pandira. Harap kau
jelaskan pada Kanulaga!" pinta Sudiraja.
***
Pandira menghela napas panjang sebelum memulai
ceritanya. Jelas tampak kalau laki-laki berkumis lebat ini
merasa berat menceritakannya.
"Sebenarnya tugasku ini amat rahasia, Kanulaga Demi
keberhasilannya, sengaja aku tidak ingin seorang pun tahu.
Kecuali ayahmu," ucap Pandira memulai ceritanya.
Kanulaga hanya diam saja mendengarkan. Tidak diselaknya
sedikit pun cerita laki-laki berkumis lebat Itu.
"Kau pernah mendengar tentang Perkumpulan Kalajengking
Merah?" tanya pengawal rahasia Adipati Palangka ini tiba-tiba.
Kanulaga tercenung sejenak sebelum menjawab.
"Pernah juga. Sewaktu aku mulai memasuki Kadipaten
Palangka."
"Kau tahu perkumpulan macam apa itu?" tanya Pandira
lagi.
"Aku tidak tahu pasti. Tapi menurut berita yang kudengar,
Perkumpulan Kalajengking Merah adalah sebuah perkumpulan
jahat..."
"Tepat! Melihat gelagatnya, perkumpulan itu sepertinya
hendak meruntuhkan Kadipaten Palangka. Tapi karena
perkumpulan itu sangat misterius, Gusti Adipati mengalami
kesulitan untuk membasminya. Maka terpaksa Gusti Adipati
mengirim beberapa orang kepercayaannya untuk menyelidiki
di mana markas perkumpulan itu," Pandira menghentikan
ceritanya sejenak Agaknya laki-laki ini ingin melihat tanggapan
Kanulaga pada ceritanya. Tapi ternyata laki-laki berwajah
keras itu tidak berniat memotong ceritanya.
"Dari penyelidikan, kami tahu kalau perkumpulan itu
membiayai usahanya dari pemerasan dan perampokan
terhadap orang-orang kaya. Gusti Adipati tahu, Kakang
Sudiraja memiliki kekayaan yang berlimpah. Dengan dibekali
surat perintah dari Gusti Adipati aku dapat tinggal di sini. Dan
agar tidak menimbulkan kecurigaan, ayahmu
memperkenalkanku sebagai adik bungsunya. Tapi sayang,
usahaku gagal!" keluh laki-laki berkumis lebat ini.
"Tapi, kenapa Ayah merahasiakan hal ini padaku,” tanya
Kanulaga bernada penasaran seraya menoleh pada ayahnya.
"Aku yang melarang ayahmu memberitahukan kepada
siapa pun. Maksudku untuk mencegah bocornya rencana ini.
Aku khawatir kalau ada anggota gerombolan itu yang
menyusup dalam rumah ini. Maaf, bukannya aku menuduh.
Tapi, yahhh..., hanya ber-jaga-jaga saja," jelas Pandira
panjang lebar.
"Lalu sekarang, bagaimana baiknya, Pandira?" tanya
Sudiraja seraya menatap wajah laki-laki berkumis lebat itu
"Hhh...!" pengawal rahasia Adipati Palangka itu menghela
napas panjang. "Mungkin aku akan kembali ke kadipaten,
melaporkan kegagalan tugasku."
"Mengapa begitu tergesa-gesa, Pandira?" tanya Sudiraja.
Kekagetan jelas terbayang di wajahnya. 'Tinggallah barang
satu atau dua hari lagi. Barangkali orang itu muncul lagi."
Pandira tercenung sejenak.
"Baiklah, Kakang Sudiraja. Aku akan tinggal dua hari lagi di
sini."
"Maafkan atas kebodohanku yang membuat Paman gagal
menjalankan tugas Gusti Adipati," ucap Kanulaga tiba-tiba
seraya mengulurkan tangan meminta maaf.
Pandira tersenyum.
"Lupakanlah, Kanulaga. Kau tidak salah," jawab laki-laki
berpakaian serba hitam ini bijaksana. Disambutnya uluran
tangan Kanulaga dan digenggamnya erat-erat
Sudiraja hanya tersenyum menyaksikan kejadian Itu.
***
Hari masih pagi, matahari pun baru saja muncul di ufuk
Timur, ketika tiga sosok tubuh melangkah pelahan mendekati
pintu gerbang bangunan mewah dan megah milik Sudiraja.
Tiga sosok itu terdiri dari seorang pemuda dan dua orang
gadis. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tahun, berambut
putih keperakan dan berpakaian ungu. Sementara dua orang
gadis yang sama-sama cantik itu mengenakan pakaian dan
berdandan yang berlainan. Yang seorang berpakaian serba
putih dan berambut meriap. Sementara yang seorang lagi,
berpakaian serba merah dan berambut digelung ke atas.
Mereka adalah Dewa Arak, Melati dan Nirmala.
"Maaf, siapakah kisanak bertiga?" tanya dua orang penjaga
pintu gerbang saat melihat Dewa Arak, Melati dan Nirmala
hendak melangkah masuk.
Nirmala membusungkan dada dan menegakkan kepalanya.
"Aku Nirmala," sahut gadis berpakaian merah itu. Nada
suaranya terdengar penuh wibawa.
"Ah...I" desah kedua penjaga itu terkejut. Meskipun belum
pernah melihat wajahnya, namun kedua orang Itu telah
mengetahui semua keturunan majikan mereku. Dan Nirmala
ini adalah putri bungsu pemilik rurah ini.
"Maalkan kami, Den Ayu. Tapi siapakah kedua orang itu ?"
tanya si tompel sambil menatap tajam wajah Dewa Arak dan
Melati yang berdiri di belakang gadis berpakaian merah itu.
"Mereka adalah kawan-kawanku, dan akan kuperkenalkan
pada Ayah! Mari, Kang Arya, Kak Melati," ajak Nirmala sambil
melangkah masuk.
Kedua penjaga itu tidak bisa lagi menghalangi. Mereka pun
menyingkir memberi jalan pada putri majikan mereka dan
kedua temannya.
Tentu saja kedatangan gadis berpakaian merah itu
menggembirakan hati Sudiraja yang saat itu tengah berjalan-
jalan di taman, menghirup kesejukan udara pagi.
"Ayah...!" seru Nirmala seraya berlari ke arah laki-laki
berperut gendut itu. Sepasang tangannya terkembang.
"Nirmala...," sambut Sudiraja. Kemudian. dipeluknya putri
bungsunya erat-erat
"Siapa mereka, Nirmala?" tanya Sudiraja begitu
pandangannya tertumbuk pada dua orang yang berdiri sambil
menundukkan kepalanya.
"Eh, iya...," ucap gadis berpakaian merah itu teringat
Segera dilepaskannya pelukan sang ayah. "Mereka adalah
penolongku, Ayah. Tanpa pertolongan mereka mungkin Ayah
tidak akan pernah melihatku”
"Ah...!" seru Sudiraja kaget. Sepasang matanya terbelalak
menatap anak gadisnya, kemudian pandangannya dialihkan
pada Dewa Arak dan Melati bergantian. Berita yang
didengarnya ini benar-benar membuat laki-laki berperut
gendut ini terkejut bukan kepalang.
"Mari kuperkenalkan pada mereka, Ayah," ucap gadis itu
lagi seraya berjalan mendahului ayahnya yang sudah
melangkah ke arah Dewa Arak dan Melati.
"Inilah ayahku, Kang Arya, Kak Melari," ucap Nirmala
memperkenalkan.
Sudiraja mengulurkan tangannya.
"Sudiraja," ucap laki-laki berperut gendut itu
memperkenalkan diri.
"Arya Buana," sahut Dewa Arak sambil menyambut uluran
tangan itu.
"Melati," sahut Melati pula.
Sudiraja menatap wajah kedua muda-mudi di hadapannya
berganti-ganti.
"Terima kasih atas pertolongan yang kalian berikan pada
anakku," ucap laki-laki berperut gendut itu ramah.
"Ah...! Hanya kebetulan saja, KI," sahut Dewa Arak
merendah.
Sudiraja hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kagum
hatinya melihat kerendahan hati pemuda berambut putih
keperakan di hadapannya ini.
"Mari kita bicara di dalam saja," ajaknya sambil melangkah
mendahului. Tidak ada pilihan lain bagi Dewa Arak dan Mebti
kecuali turut melangkah lebih dahulu.
***
Pandira dan Kanulaga yang sedang berbincang-bincang di
ruangan tengah yang mewah dan megah Itu menghentikan
pembicaraan, begitu mendengar banyak langkah kaki
mendekat.
Tak lama kemudian pintu ruangan itu pun terkuak Kanulaga
dan Pandira menduga-duga dalam hati, siapakah orang-orang
yang menuju ruang ini. Bukankah ruang ini khusus untuk
Sudiraja?
Semula Kanulaga dan Pandira tidak heran begitu melihat
orang yang pertama kali muncul. Tapi sepasang alis mereka
berkerut ketika melihat seorang gadis cantik berpakaian serba
merah, melangkah di belakang laki-laki berperut gendut itu.
Wajar apabila Kanulaga sama sekali tidak mengenal
Nirmala. Gadis berpakaian serba merah ini belum berumur
lima tahun ketika laki-laki berwajah keras ini pergi
mengembara.
Pandira saja mengagumi kecantikan Nirmala, apalagi
Kanulaga yang masih muda dan berdarah panas. Pandang
matanya tidak berkedip memperhatikan Nirmala dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki.
Sepasang mata Kanulaga semakin terbelalak lebar ketika
dari balik pintu itu masuk lagi seorang gadis berpakaian serba
putih. Tak kalah cantiknya dari gadis berpakaian serba merah
tadi.
Tapi pandang mata kekaguman Kanulaga dan Pandira
segera lenyap, begitu melihat orang terakhir yang masuk ke
dalam ruangan. Seorang pemuda berambut putih keperakan,
berbaju ungu. Sebuah guci arak terbuat dari perak, tersampir
di punggungnya.
Berbeda dengan Sudiraja. Kanulaga dan Pandira tahu
pergolakan yang terjadi di dunia persilatan. Mereka telah
mendengar berita yang menggemparkan tentang munculnya
tokoh muda berilmu tinggi, berjuluk Dewa Arak. Inikah tokoh
yang menggemparkan itu? tanya mereka dalam hati.
"Kau kenal gadis ini, Kanulaga?" tanya Sudiraja pada putra
sulungnya. Kepalanya ditolehkan ke arah Nirmala. Sementara
gadis berpakaian merah itu hanya tersenyum geli dalam hati.
Laki-laki berwajah keras itu menggelengkan kepalanya.
"Kau tidak mengenalnya?!" tanya Sudiraja lagi setengah
tidak percaya.
'Tidak, Ayah," jawab Kanulaga, setelah dipandanginya
kembali gadis berpakaian merah itu lekat-lekat
"Ha ha ha...!" laki-laki berperut gendut itu tertawa
terbahak-bahak. Tentu saja hal ini membuat Kanulaga
terheran-heran.
"Dia adikmu, Kanulaga," jelas Sudiraja setelah rasa gelinya
lenyap.
Kanulaga terlongong.
"Adikku?" tanya laki-laki berwajah keras irii tak percaya.
"Dia.. dia Nirmala...?" Kanulaga agaknya masih belum
mempercayai ucapan ayahnya.
"Benar," sahut Sudiraja. Sementara Nirmala tidak dapat
menahan perasaan geli melihat kebingungan kakak sulungnya
"Anak nakaL..! Awas! Nanti kujewer telingamu...!" gurau
Kanulaga dengan hati gembira.
"Lalu kedua orang ini siapa, Kang?" tanya Pandira sambil
menatap Melati dan Dewa Arak.
"Mereka adalah penolong-penolong Nirmala. Yang gadis
bernama Melati. Dan pemuda ini bernama Arya Buana," jelas
Sudiraja seraya menepuk-nepuk bahu Arya.
"Ah..., Dewa Arak...!" seru Kanulaga dan Pandira
berbareng. Memang sudah menjadi rahasia umum kalau nama
Dewa Arak yang sesungguhnya adalah Arya Buana.
"Sungguh tidak disangka, pendekar yang tersohor
sepertimu bisa sampai ke Kadipaten Palangka ini," desah
Pandira setengah tidak percaya.
"Hanya kebetulan lewat. Paman," sahut Dewa Arak
merendah seraya menatap wajah laki-laki berkumis lebat itu.
"Ayo, Nirmala. Ceritakan pada Ayah dan semua yang ada di
sini, pengalaman yang kau alami," ucap Sudiraja.
Nirmala pun menceritakan semuanya. Mulai dari surat yang
bisa sampai ke tangannya atas pertolongan Dewa Arak dan
Melati, hingga dirinya diselamatkan dari tangan orang-orang
Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Aneh sekali...," desah Pandira begitu Nirmala mengakhiri
ceritanya. Sebagai seorang pengawal rahasia Adipati, laki-laki
berkumis lebat ini dapat merasakan adanya hal-hal
mencurigakan dalam kejadian yang dialami Nirmala.
Semua mata kini tertuju pada Pandira. Mereka menunggu
kelanjutan ucapan yang akan disampaikan pengawal rahasia
Adipati Palangka ini.
"Apa yang aneh, Adi Pandira?" tanya Sudiraja.
Laki-laki berkumis lebat itu menatap tajam wajah Sudiraja.
"Sepengetahuanku, yang mengetahui kalau Kakang
mengirim surat untuk memanggil Nirmala dan Jalatara hanya
Kakang Sudiraja sendiri, aku, dan Kanulaga. Lalu mengapa
sampai diketahui orang Perkumpulan Kalajengking Merah?"
Ada nada kecurigaan dalam suara pengawal rahasia Adipati
Palangka. Sementara Dewa Arak hanya mengangguk-
anggukkan kepalanya. Diam-diam dikaguminya kecerdikan
laki-laki berkumis lebat ini.
Kanulaga menarik napas panjang.
"Memang, aku telah menceritakan hal ini," ucap laki-laki
berwajah keras pelan. Ada nada penyesalan dalam suaranya.
"Kau?l" Sudiraja membelalakkan sepasang matanya.
Sementara berpasang-pasang mata lainnya juga tertuju pada
putra sulung Sudiraja ini.
"Sudah kuduga...," sambut Pandira cepat "Pada siapa kau
menceritakannya, Kanulaga?"
"Ki Toji”
"Ki Tojl?!" Sudiraja mengerutkan alisnya. Sementara yang
lain memandang pada laki-laki berperut gendut Ini dengan
sinar mata bingung.
"Siapa itu Ki Taji, Kang?" tanya Pandira lagi.
"Kepala urusan dalam rumah tangga. Tapi mungkinkah dia
anggota gerombolan itu?" tanya Sudiraja setengah tidak
percaya.
"Kemungkinan itu bisa juga. Kang. Bagaimana denganmu,
Dewa Arak?" tanya Pandira sambil menoleh pada Arya yang
sejak tadi hanya diam saja mendengarkan.
Kini semua mata tertuju pada Dewa Arak Tanpa setahu
mereka, sejak tadi pun sudah ada sepasang mata yang
menatap Dewa Arak secara sembunyi-sembunyi. Sepasang
mata bening dan indah milik Nirmala.
"Sejak pertama kali membaca surat itu, sebenarnya aku
sudah menduga adanya orang dalam rumah Ini yang menjadi
anggota gerombolan itu," jelas Dewa Arak. Nada bicaranya
hati-hati. Pemuda itu tidak ingin menyinggung perasaan
orang-orang yang ada di ruangan ini.
Sudiraja mengerutkan keningnya.
"Sayang sekali, Jalatara belum juga tiba. Kalau tidak
masalah ini akan dapat diselesaikan sekarang, " ucap laki-laki
berperut gendut itu mengalihkan persoalan.
"Memangnya ada masalah apa, Ayah?" tanya Nirmala yang
sejak tadi hanya berdiam diri saja.
"Ayah ingin beristirahat dan menyerahkan semua usaha
Ayah pada kalian bertiga," sahut Sudiraja, seakan-akan
enggan untuk menjelaskan.
"Jangan-jangan utusan yang membawa surat Itu juga tidak
pernah sampai ke sana, Ayah," duga Kanulaga. Sepasang
matanya kembali melirik ke arah Melati. Gadis yang berwajah
cantik luar biasa itu memang telah membuat hati laki-laki
berwajah keras Ini terpikat
"Mudah-mudahan saja tidak," sahut laki-laki gendut itu
mengharap.
"Tapi sudah dua hari utusan itu berangkat, dan sampai
sekarang belum Juga kembali," bantah Kanulaga lagi.
"Kita tunggu saja, Kanulaga. O ya, mungkin dua
penolongmu ini ingin beristirahat, Nirmala. Antarkan mereka
beristirahat Kau juga mungkin lelah. Beristirahatlah dulu."
"Hhh...!" Kanulaga menghela napas panjang melihat
ayahnya memutuskan begitu saja pembicaraannya. Laki-laki
berwajah keras ini pun terpaksa diam.
"Baik, Ayah," sambut gadis berpakaian merah itu cepat
Kemudian diantarnya Dewa Arak dan Melati yang mau tak
mau terpaksa menurut, menuju ke tempat peristirahatannya.
Kanulaga menundukkan kepalanya. Tapi sepasang matanya
sempat melirik ke arah Melati, hingga bayangan gadis
berpakaian serba putih lenyap di balik pintu.
***
6
"Aunggg...!"
Suara lolong anjing hutan memecah kesunyian malam.
Rembulan di langit kini tidak bulat lagi. Malam bulan purnama
telah bedaki kemarin.
Dalam keremangan malam itu, berkelebat dua sol sok
bayangan memasuki hutan. Gerakan mereka cepat bukan
main. Sehingga yang terlihat hanyalah bayangan merah dan
hitam.
Dua sosok bayangan itu terus berlari. Sesekali keduanya
menoleh ke belakang. Sepertinya mereka khawatir kalau ada
yang mengikuti.
Kedua bayangan itu terus saja bergerak melewati jalan
berliku-liku. Lari mereka baru diperlambat setelah mendekati
sebuah bangunan tua yang sudah tidak terawat lagi. Dan
tepat di depan bangunan itu, kedua bayangan tadi
menghentikan larinya.
Dalam keremangan sinar bulan, terlihat cukup jelas kedua
bayangan itu. Yang seorang berpakaian serba hitam. Di
dadanya bergambar kalajengking merah. Wajahnya tidak
nampak jelas, karena tertutup selubung. Pada dahi
selubungnya terdapat gambar kalajengking merah.
Sementara yang seorang lagi adalah seorang kakek berkulit
merah. Kakek berkulit merah ini mengenakan rompi yang juga
berwarna merah. Pada bagian dahi dan dadanya, terdapat
gambar kalajengking merah. Berbeda dengan rekannya,
gambar kalajungking pada kakek berkulit merah ini tertera
pada kulitnya, bukan pada pakaian atau selubungnya.
Baru saja kedua orang ini melangkah masuk, terdengar
suara sapaan penuh hormat "Hormat kami untuk Ketua...!"
Sosok berselubung hitam yang di dahi selubungnya bergambar
kalajengking, menoleh ke arah asal suara. Rupanya orang ini
adalah Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah.
Kini di hadapan Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah,
telah berdiri dua sosok yang tengah menjura padanya Kedua
orang itu mengenakan seragam yang sama. Pakaian serba
hitam yang di dadanya bergambar kalajengking berwarna
merah.
Yang membedakan kedua orang itu adalah pada kedua
selubung wajahnya Memang mereka sama-sama mengenakan
selubung hitam. Tapi pada dahi selubungnya, tertera gambar
yang berlainan. Pada yang seorang terdapat totol merah.
Sementara pada yang lain, bergambar ekor kalajengking
merah.
Memang, Perkumpulan Kalajengking Merah mempunyai
aturan tersendiri. Tanda tingkatan seseorang dalam
perkumpulan itu dapat diketahui dengan melihat tanda pada
dahi selubungnya Tanda kalajengking merah menunjukkan
kalau orang itu adalah sang ketua. Tanda ekor kalajengking,
menunjukkan wakil ketua. Tanda totol merah menunjukkan
ketua kelompok. Sementara anggota biasa sama sekali tidak
mempunyai tanda.
"Bagaimana usaha kalian? Berhasil?" tanya sai ketua.
"Maafkan kami, Ketua...," jawab kedua orang itu
berbareng.
"Jadi, kalian gagal?!" sergah Ketua Perkumpulan
Kalajengking Merah agak keras. Sementara kakek berkulit
merah itu hanya berdiam diri saja.
"Benar, Ketua," jawab kedua orang itu lagi. "Hhh...!
Tolol...! Membunuh dua tikus kecil saja tidak mampu?!
Haruskah aku yang turun tangan sendiri?!" bentak sang ketua
gusar.
"Kau...!" tunjuk sang pemimpin pada orang yang di dahi
selubungnya bergambar ekor kalajengking, Wakil Ketua
Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Ya, Ketua," sahut si selubung bergambar ekor
kalajengking cepat
"Jelaskan mengapa kau gagal? Hanya membunuh orang
seperti Kanulaga saja tidak becus?!" sang ketua kembali
membentak,
"Pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, Ketua. Yang
membuatku tambah repot lagi Di situ ada Pandira," Jawab si
selubung bergambar ekor kalajengking. Kemudian diceritakan
kejadian yang dialaminya.
"Pandira? Apakah orang yang selalu berpakaian serba
hitam dan memiliki kumis lebat itu?" tanya sang ketua. Nada
keterkejutan jelas terlihat pada wajahnya.
"Benar, Ketua. Ketua mengenalnya?" tanya si selubung
bergambar ekor kalajengking.
Sang pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dia adalah salah seorang pengawal rahasia Adipati
Palangka."
"Ahhh...!" seru Wakil Ketua Perkumpulan Kalajengking
Merah itu terkejut "Lalu, untuk apa dia di sana, Ketua?"
"Adipati Palangka sudah mencium adanya gerakan kita.
Pada saat ini Adipati Palangka sudah menyebar pengawal-
pengawal rahasianya untuk menyelidiki perkumpulan kita.
Sungguh tidak kusangka kalau Pandira bisa sampai ke
sana...," desah sang ketua.
"Kalau menurutku, Sudiraja telah bekerjasama dengan
Pandira, Ketua," ucap si wakil itu lagi.
"Mengapa kau bisa menduga begitu?" tanya sang ketua.
"Sewaktu aku datang meminta upeti, kulihat Sudiraja
seperti sengaja mengulur-ulur waktu. Sepertinya ada sesuatu
yang ditunggunya. Kalau tidak mengingat pesan Ketua, sudah
kubunuh dia."
"Kau bertindak bodoh kalau membunuhnya!" sergah sang
ketua keras. "Kalau kau lakukan itu, sama saja kau
menghancurkan apa yang kita cita-citakan selama ini!
Menguasai Kadipaten Palangka! Dan kemudian merebut
kerajaan!"
"Ada yang membuatku heran, Ketua," ucap orang yang di
dahinya bergambar ekor kalajengking lagi.
"Apa itu?"
"Mengapa Ketua tidak membunuh adipati itu saja.
Bukankah dengan kedudukan Ketua sekarang ini, tidak sulit
untuk membunuh adipati itu?"
"Apa yang kau katakan itu benar. Tapi, untuk apa
membunuh adipati itu kalau akhirnya aku tidak bisa
menggantikan kedudukannya? Lagi pula raja tidak akan
tinggal diam. Beliau pasti akan mengirimkan pasukan besar
untuk menghancurkan kita. Tapi yang jelas, rencanaku hampir
sampai di puncaknya. Sayang sekali kailan gagal membunuh
Kanulaga dan Nirmala Rencanaku terpaksa berubah!" ucap
sang ketua jang lebar.
Setelah berkata demikian, Ketua Perkumpulan Kalajengking
Merah ini terdiam. Sesaat lamanya di berbuat seperti itu. Baru
kemudian perhatiannya diarahkan pada si selubung totol
merah.
"Kau..., mengapa gagal membunuh Nirmala? Padahal dua
belas anggota perkumpulan telah kuberikan untuk
membantumu?" tanya sang ketua meminta penjelasan.
"Maafkan aku, Ketua. Sebetulnya kami sudah hampir
berhasil membunuh gadis itu," ucap si selubung totol merah.
"Lalu, kenapa gagal?!" sergah sang ketua keras.
"Ada orang yang menolongnya, Ketua!" sahut si selubung
totol merah.
"Hm..., siapa orangnya?!" tanya sang ketua agak terkejut
"Aku tidak mengenalnya, Ketua. Tapi kepandaiannya tinggi
sekali. Hanya dengan angin pukulannya saja, dia bisa
menewaskan empat anggota kita sekaligus. Mereka tewas
seketika dengan tubuh hangus."
Sang ketua terdiam mendengar penjelasan si totol merah.
Sementara kakek berkulit merah tercenung.
"Bagaimana ciri-ciri orang sok jagoan Itu?" tanya sang
ketua lagi.
Si selubung bertotol merah terdiam sejenak. Rupa nya dia
sedang berusaha mengingat-ingat wajah penolong Nirmala.
"Nggg..., pemuda berambut keperakan, berpakaian ungu.
Di punggungnya tergantung sebuah guci arak..."
"Dewa Arak...!" potong kakek berkulit merah keras. Ada
nada keterkejutan yang amat sangat pada wajahnya.
"Dewa Arak...?!" sentak sang ketua terkejut mendengar
ucapan kakek kulit merah itu. "Benarkah orang itu Dewa Arak
yang menggemparkan itu, Guru?" tanyanya pada kakek
berkulit merah.
Kakek berkulit merah, yang ternyata guru sang Ketua
Perkumpulan Kalajengking Merah itu menganggukkan
kepalanya.
"Kalau ciri-ciri yang disebutnya benar, sudah pasti pemuda
itu adalah Dewa Arak. Seorang pendekar muda yang telah
menggemparkan dunia persilatan beberapa bulan belakangan
ini," jelas kakek kulit merah itu lebih jauh.
Sang ketua tercenung mendengar penjelasan gurunya.
'Terpaksa rencana harus kuubah," ucap sang ketua.
Kemudian dlhampirinya kedua anak buahnya, dan dibisikkan
rencana barunya ke telinga mereka
"Mengerti?!" tanya Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah
setelah selesai membisikkan rencananya.
"Mengerti, Ketua!" sahut kedua orang itu serempak
"Bagus! Sekarang kalian boleh pergi!" perintah sang ketua.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, dua orang Itu pun
melesat pergi, setelah terlebih dahulu menjura pada sang
ketua dan kakek kulit merah.
Sepeninggal kedua anak buahnya, sang ketua mengalihkan
perhatian pada kakek berkulit merah.
"Untung Guru telah kembali Bagaimana Guru, berhasilkah
Guru mendapatkan racun itu?" tanya sang ketua.
Kakek bermuka merah itu tertawa bergelak "Jangan panggil
aku Kalajengking Merah kalau tidak mampu mendapatkannya!
Ha ha ha...," sahut kakek yang ternyata berjuluk Kalajengking
Merah itu sambil tertawa bergelak.
"Terima kasih atas semua bantuan Guru," ucap sang Ketua
Perkumpulan Kalajengking Merah. Kalajengking Merah
mengidapkan tangannya. "Tidak usah berterima kasih. Kau
adalah muridku, apalagi kau mempunyai cita-cita yang begitu
besar. Sudah merupakan kewajibanku sebagal gurumu untuk
membantu mewujudkan cita-citamu! Tambahan lagi kau telah
mengharumkan namaku dengan menggunakan nama
Kalajengking Merah sebagai nama perkumpulan rahasiamu!
Tertawalah...! Tawa untuk keberhasilan kita!"
Setelah berkata demikian, kakek berkulit merah ini tertawa
bergelak. Sang Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah pun
ikut tertawa bergelak tawa mereka yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi, menggema dan membuat
bangunan tua Itu bergetar hebat
***
Hari sudah agak siang, matahari pun sudah naik agak
tinggi. Pada siang yang terik ini tampak seekor kuda
melangkah pelan memasuki perbatasan Desa Rinji.
Penunggangnya adalah seorang pemuda berusia selatar dua
puluh lima tahun. Pada wajahnya yang tampan terhias sebaris
kumis tipis. Pakaiannya serba hitam.
"Hooop...!"
Tali kekang kudanya ditarik, tepat di depan pintu gerbang
rumah termegah di desa itu. Dari kejauhan, rumah itu sudah
terlihat kalau dikelilingi pagar tembok tinggi.
Kuda coklat putih yang ditungganginya meringkik. Kedua
kaki depannya pun diangkat tinggi-tinggi.
"Hup...!"
Dengan gerakan manis dan indah, pemuda berkumis tipis
itu melompat dari punggung kudanya. Ringan tanpa suara
kedua kakinya mendarat di tanah.
Kemudian dipegangnya tali kekang kudanya. Lalu binatang
tunggangan itu dituntunnya menghampiri pintu gerbang.
"Aku Jalatara, putra Tuan Sudiraja," ucap pemuda berkumis
tipis itu ketika melihat dua orang penjaga mencoba
menghadang.
"Ah...I Maafkan kami. Den. Silakan masuk. Keda tangan
Aden memang sudah ditunggu-tunggu," ucap salah seorang
penjaga.
Tanpa bicara apa-apa, Jalatara melangkah ke dalam. Kuda
tunggangannya ditinggalkan di depan pintu gerbang. Pandira
yang tengah duduk di teras depan, langsung mengenali
Jalatara.
"Jalatara...," desis laki-laki berkumis lebat ini pelan seraya
bangkit dari duduknya dan berjalan menyambut kedatangan
pemuda berkumis tipis itu. Dikenali betul siapa Jalatara, salah
seorang kepercayaan Adipati Palangka.
"Ah...! Kakang Pandira...! Rupanya kau berada di sini...!
Sungguh tidak kusangka!" ucap Jalatara kaget Mulutnya
menyunggingkan senyum lebar.
"Kedatanganmu yang begitu tiba-tiba ini membuatku
terkejut, Jalatara. Ah, terpaksa kepulanganku kutunda
sejenak," ucap pengawal rahasia Adipati Palangka ini.
"Eh...?! Mengapa begitu, Kang?" tanya Jalatara tidak
mengerti.
"Yahhh...! Tugasku gagal, Jala! Aku baru saja akan kembali
ke kadipaten sambil membawa pesan dari ayahmu," Jelas
Pandira seraya menarik napas panjang.
"Pesan? Pesan apa, Kang?" tanya Jalatara lagi. Wajahnya
terlihat agak tegang.
"Agar kau segera pulang. Ada urusan penting yang akan
dibicarakan denganmu," beritahu Pandira.
"Urusan penting? Urusan penting apa, Kang" tanya pemuda
berkumis tipis ini dengan alis berkerut.
'Tanyalah pada ayahmu," sahut Pandira kalem. Baru saja
Jalatara hendak meninggalkan tempat Itu, Sudiraja telah
keburu keluar dari dalam rumahnya. Rupanya percakapan
kedua orang itu terdengar olehnya, sehingga buru-buru dia
berlari keluar.
Jalatara mengerutkan alisnya begitu melihat banyak orang
yang berjalan di belakang ayahnya. Tapi sesaat kemudian dia
menjadi gembira begitu mengetahui dua di antara mereka
adalah saudaranya.
"O ya, Jalatara," ucap Sudiraja tiba-tiba.
"Ada apa, Ayah?" tanya pemuda berkumis tipis itu.
Ditolehkan kepalanya menatap ayahnya.
"Apakah surat yang Ayah kirimkan sudah kau terima?"
tanya Sudiraja.
"Surat?!" tanya Jalatara. Sepasang alisnya berkerut dalam.
Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Ya! Surat!" sahut Sudiraja menegaskan. "Kau terima?"
"Tidak!" sahut Jalatara seraya menggelengkan kepalanya.
"Kapan Ayah mengirimkannya?"
"Beberapa hari yang lalu. Hhh...! Kukira kau datang kemari
karena surat itu telah kau terima." Kemudian Sudiraja
menceritakan perjalanan surat yang dikirimkan untuk Nirmala.
"Tidak, Ayah. Aku sama sekali tidak menerima sepucuk
surat pun. Aku kemari karena rindu pada Ayah."
Sudiraja tersenyum lebar.
"Kalau begitu, lupakan saja persoalan itu! Sekarang mari
kita rayakan berkumpulnya seluruh keluarga kita dengan
minum-minum!" teriak Sudiraja penuh ra aa gembira.
"Biarlah hari ini aku yang menjadi pelayannya, Ayah," pinta
Jalatara.
Tawa Sudiraja terhenti.
'Tidak, Jala! Kau baru saja tiba dari perjalanan yang Jauh.
Kau masih capek!" bantah laki-laki berperut gendut Ini.
Pemuda berkumis tipis Itu tersenyum.
'Tadi, memang aku lelah, Ayah. Tapi setelah bertemu
dengan Ayah, Kakang Kanulaga dan Adik Nir mala, rasa
lelahku langsung sirna. Percayalah, Ayah. Aku sudah tidak
lelah lagi."
"Kalau begitu, terserah kaulah...," sahut Sudiraja mengalah.
Tanpa sepengetahuan mereka, sesosok bayangan! merah
berkelebat melompati pagar tembok rumah Sudiraja yang
tinggi Itu. Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak tanah.
Lalu cepat bayangan itu menyelinap di balik kerimbunan
pohon.
Keluarga Sudiraja, Pandira, Dewa Arak dan Melati
memasuki ruang tengah. Sudiraja berjalan paling depan.
Dengan gembira laki-laki berperut gendut ini mengajak
semuanya ke dalam ruangan tengah yang mewah dan megah.
Tiba-tiba Melati merandek kaget Dia mendengar suara
bisikan halus di telinganya. Suara Itu dikenalnya betul Suara
kekasihnya, Dewa Arak!
"Masukkan benda pemberian Gusti Prabu Nalan da dalam
minumanmu nanti, Melati...."
"Ada apa, Kak Melati?" tanya Nirmala, begitu dilihatnya
Melati menghentikan langkahnya. Nirmala dan yang lain-
lainnya memang tidak mendengar ucapan itu. Dengan
kepandaian yang dimilikinya, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk
mengirimkan suara kepada orang yang dikehendakinya.
"Tidak ada apa-apa, Mala," sahut Melati cepat
Nirmala pun terdiam. Apalagi setelah dilihatnya gadis
berpakaian serba putih itu sudah kembali melangkah. Tak
diketahuinya kalau pikiran Melati berputar keras. Gadis itu
memang telah menceritakan pada Dewa Arak bahwa
semenjak dia diangkat anak oleh Prabu Nalanda, Raja
Kerajaan Bojong Gading itu memberikan pusaka istana
padanya. Pusaka itu berbentuk bulat kecil, sebesar kelereng
dan berwarna bening. Apabila benda itu dimasukkan dalam
minuman yang diduga mengandung racun, benda pusaka itu
akan berubah warna. Setelah racun Itu terserap habis oleh
pusaka itu, maka benda pusaka itu akan kembali ke warna
asalnya.
Tak lama kemudian mereka pun sudah tiba di ruang tengah
yang mewah dan megah. Mereka duduk di bangku yang
mengelilingi sebuah meja marmer panjang. Sementara
Jalatara sibuk menyiapkan minuman.
Sudiraja adalah seorang kaya raya, tidak aneh kalau dia
memiliki persediaan arak yang berlimpah. Semua Itu
disimpannya dalam sebuah ruang khusus di sebelah ruangan
tengah ini.
Pemuda berkumis tapis itu mengambil satu di antara sekian
banyak guci arak yang berjejer. Tanpa sepengetauan siapa
pun, diambilnya sebuah bungkusan dari balik lipatan ikat
pinggangnya. Dibukanya bungkusan yang ternyata berisi
bubuk putih, kemudian dimasukkannya ke dalam guci arak itu.
Setelah itu, Jalatara kembali ke ruang tengah. Dituangkannya
arak itu ke dalam gelas-gelas indah yang berjejer di atas meja.
Setelah selesai mengisi gelas-gelas yang berada di meja,
Jalatara pun duduk di bangku yang masih kosong.
Sementara itu, diam-diam Melati memasukkan benda bulat
berang sebesar kelereng pemberian Prabu Nalanda, ke dalam
gelasnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya gadis ini ketika
melihat benda bulat bening itu berubah warna.
Melati mengerutkan alisnya. Gadis itu tahu kalau pusaka
pemberian Prabu Nalanda itu tengah menghiisap racun yang
terkandung dalam minuman itu. Dan memang tak lama
kemudian, warna benda itu kembali seperti semula. Bening.
Sudiraja mengangkat gelas minumannya. "Mari kita
rayakan peristiwa besar ini...!" ucap laki-laki bertubuh gemuk
itu. Kemudian didekatkan gelasnya itu ke mulutnya dan
diminumnya. Jalatara pun mengikuti, diteguknya araknya. Tapi
ekor mata pemuda itu melirik ke orang-orang di sekelilingnya.
Pemuda itu mengerutkan alisnya saat melihat Dewa Arak
sama sekali belum menyentuh minumannya. Rupanya Arya
tahu kalau arak di gelasnya mengandung racun. Ketika
Sudiraja mengangkat gelas tadi, pemuda Ini sempat melihat
benda pusaka Melati berubah warna.
"Maaf, Tuan Sudiraja. Aku sudah terbiasa minum melalui
guci. Bagaimana kalau aku minum arak dalam guciku saja?"
pinta Dewa Arak.
Jantung Jalatara berdebar tegang. Otaknya berputar keras.
Sebelum ayahnya sempat menjawab pertanyaan Arya, buru-
buru dia mendahului. Cepat diambil guci arak yang sebagian
isinya sudah dibagi-bagikan.
Dewa Arak diam-diam memaki kecerdikan pemuda
berkumis tipis itu. Tapi, bukan Arya Buana namanya kalau
menghadapi orang seperti itu saja kehilangan akal.
"Sayang sekali, Kang Jalatara. Aku sudah terbiasa minum
arak dari guciku sendiri. Boleh aku tuang arak dalam guci ini
ke dalam guciku?"
"Silakan...! Silakan, Arya. Jangankan hanya seguci. Seratus
guci pun akan kuberikan kalau kau mau!" Sudiraja yang
menyahuti.
'Terima kasih, Tuan Sudiraja."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera menuangkan
arak dalam guci itu ke dalam gucinya. Memang, guci arak
pemuda itu memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya
adalah mampu membuat semua jenis racun jadi tawar. Maka,
meskipun diketahuinya kalau minuman yang disediakan
Jalatara mengandung racun, Dewa Arak tetap berani
meminumnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki
tenggorokannya.
Lega hati Jalatara, ketika dilihatnya semua yang ada di situ
telah meminum arak yang disediakannya Dia sendiri telah
lebih dulu menelan obat penawar racun itu, sehingga berani
meminumnya.
Rupanya racun yang dicampurkan dalam minuman Itu
tergolong racun yang bereaksi cepat. Sudiraja adalah orang
pertama yang menerima akibatnya. "Ah..., kok kepalaku
pusing...," desah laki-laki berperut gendut ini sambil
memegangi kepalanya Suaranya mengambang, seperti orang
pilek.
Nirmala dan Kanulaga tidak terkejut melihat kejadian yang
dialami ayahnya. Dugaan mereka, hal Itu terjadi karena usia
ayah mereka yang sudah tua.
Baru ketika tubuh Sudiraja limbung dan sudah pasti jatuh,
keadaan menjadi gempar. Untunglah Kanulaga yang duduk di
sebelahnya, sigap menangkap tubuh ayahnya. Serentak
mereka bangkit dari duduk dan mendekati Sudiraja.
Tapi sebelum berhasil mendekat, berturut-turut mereka
memegang kepalanya yang tiba-tiba mendadak pusing. Melati
dan Dewa Arak tentu saja merupakan kekecualian. Melati
bingung, tak tahu harus berbuat apa. Diliriknya wajah Dewa
Arak. Dan di saat Itulah, pendengarannya menangkap suara
bisikan halus "Berpura-puralah, Melati. Kita tunggu
perkembangannya...."
Melati tidak membantah. Begitu dilihat Arya memegangi
kepalanya, gadis itu pun berpura-pura memegangi kepalanya,
bersikap seolah-olah terserang pusing.
"Arak itu beracun...," desah Arya sebelum roboh terguling.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa berkepanjangan menyambut ucapan Dewa
Arak. Sebuah tawa kemenangan. Tawa yang berasal dari
mulut Jalatara.
***
7
Begitu melihat yang lain pingsan, Dewa Arak dan Melati
pun turut berpura-pura pingsan. Tidak sulit bagi dua orang
sakti ini untuk berbuat seperti itu Jangankan hanya berpura-
pura pingsan, berpura-pura mati pun mereka sanggup.
Baru ketika pendengaran mereka menangkap suara
keluhan lirih dari Kanulaga dan Pandira yang mulai sadar,
Dewa Arak dan Melati pun membuka matanya
Begitu mereka membuka mata, tahu-tahu di hadapan
mereka telah berdiri Jalatara, seorang kakek berkulit merah
dan belasan orang Perkumpulan Kalajengking Merah. Pada
bagian dada pakaian hitam yang dikenakan Jalatara terdapat
gambar kalajengking merah.
Nirmala dan Sudiraja merupakan orang terakhir tersadar
dari pingsannya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya laki-laki
berperut gendut itu tatkala melihat putranya berdiri bersama-
sama dengan perkumpulan yang selama ini selalu
memerasnya.
"Kau...?! Jalatara...?! Apa maksudmu?! Mengapa kau
melakukan semua ini?! Dan mengapa kau berhubungan
dengan orang-orang jahat seperti mereka!" seru Sudiraja
sambil menunjuk belasan orang Perkumpulan Kalajengking
Merah.
Jalatara hanya tersenyum sinis.
"Berhubungan? Aku adalah pemimpin mereka Akulah Ketua
Perkumpulan Kalajengking Merah!"
"Kau?!" sentak Sudiraja dan Pandira berbarengan. Berbeda
dengan Sudiraja yang masih bingung, Pandira nampaknya
sudah mengerti. Dan hal ini membuatnya geram bukan main.
Sayangnya racun yang dicampur dalam minuman itu telah
membuat sekujur tubuhnya lemas. Walaupun sudah
dipusatkan seluruh pikirannya, namun tetap saja tidak ada
getaran tenaga dalam yang bergolak. Baik di bawah pusarnya,
maupun ke tangan dan kakinya. Tenaga dalamnya telah
musnah!
"Rupanya kaulah pemimpin mereka, Jalatara! Pantas,
gerombolan itu sukar dibasmi!" ujar pengawal rahasia Adipati
Palangka ini.
"Dasar kalian saja semua yang dungu!" sahut pemuda
berkumis tipis itu kasar.
"Hanya satu yang kuherankan, Jalatara! Mengapa kau tidak
membunuh Gusti Adipati sejak dulu. Bukankah kau
mempunyai banyak kesempatan untuk membunuh beliau?"
tanya Pandira tidak mengerti.
"Ha ha ha...! Pertanyaanmu itu semakin membuktikan
kebodohanmu, Pandira! Buat apa aku membunuhnya kalau
aku tidak dapat menggantikan kedudukannya? Saat itu
kedudukanku masih terlalu rendah. Dan bila aku
membunuhnya, pastilah kau atau yang lainnya yang akan
menjadi penggantinya. Aku tidak sebodoh itu, Pandira!"
sergah Jalatara sambil tersenyum mengejek.
"Lalu kenapa tidak kau rebut saja Kadipaten Palangka
dengan kekerasan?!" pancing pengawal rahasia adipati ini.
"Kau kira aku ini bodoh, Pandira?! Kalau aku merebut
dengan kekerasan, pasukan kerajaan tidak akan tinggal diam.
Mereka pasti akan menghancurkanku. Dan aku tidak ingin hal
itu terjadi!" jawab Jalatara agak sengit.
"Lalu sekarang, bagaimana?" Pandira kembal bertanya.
"Sekarang saatnya sudah tiba. Kau tahu, Pandira, Cita-
citaku tidak kecil! Aku tidak hanya ingin menjadi adipati, tapi
aku ingin menjadi raja! Kau dengar, Pandira? Raja! Dan untuk
mewujudkan cita-citaku, aku membutuhkan biaya besar untuk
membentuk pasukan yang besar dan terlatih!"
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya, "Jadi,
itukah sebabnya kau ingin menyingkirkan Nirmala dan
Kanulaga, Jalatara?" selak Arya cepat.
"Ha ha ha...! Kau pintar, Dewa Arak. Kau tidak sebodoh si
kumis lebat Ini Dari Ki Taji, kudengar ayahku mengirim utusan
untuk memanggil Nirmala dan aku pulang, karena Kakang
Kanulaga telah terlebih dahulu pulang. Ayah ingin membagi
bagi warisan. Aku tidak ingin warisan ayah dibagi-bagi. Aku
ingin semuanya. Jalan satu-satunya untuk memperolehnya
hanyalah dengan melenyapkan Kanulaga dan Nirmala! Tapi,
sayang anak buahku gagal. Terpaksalah aku yang harus turun
tangan. Yahhh..., seperti apa yang kalian rasakan sekarang
ini!" jelas Jalatara panjang lebar.
Terdengar suara geram kemarahan dari mulut Kanulaga.
Laki-laki berwajah keras ini memang geram bukan main
mendengar semua keterangan adiknya.
Ingin rasanya dia melompat menyerang, tapi apa dayanya.
Sekujur tubuhnya lemah lunglai tak bertenaga. Bahkan tenaga
dalamnya pun lenyap. Tidak ada yang dapat dilakukannya
kecuali menggeram dan mengutuk.
"Jahanam kau, Jalatara...!" desis Kanulaga tajam. Sinar
matanya menyorotkan kemarahan hebat. Tapi ucapan
kemarahan kakaknya hanya ditanggapi Jalatara dengan tawa
terbahak-bahak. Sebuah tawa kemenangan.
"Kau yakin rencanamu akan berhasil, Jalatara?" Pandira
angkat suara.
'Tentu saja!" sentak pemuda berkumis tipis itu keras. "Aku
telah merencanakannya dengan matang. Guruku telah
mendapatkan racun yang dapat kumasukkan ke makanan atau
minuman adipati. Racun yang bekerja tanpa meninggalkan
bekas, seolah-olah kematian adipati adalah kematian yang
wajar. Lagi pula guruku akan membantu menyingkirkan
orang-orang kepercayaan adipati sepertimu, Pandira. Dan
dengan kedudukanku sekarang, tidak sulit bagiku menjadi
adipati. Dengan harta milik ayahku, akan kubentuk pasukan
yang besar dan terlatih untuk menyerbu kotaraja. Dan
kemudian aku akan menjadi raja! Ha ha ha...!"
"Sayang sekari, usahamu tidak akan berhasil, Jalatara!"
sergah Dewa Arak seraya bangkit dari berbaringnya. Melati
pun segera pula bangkit.
"Heh?l Kau...? Kau tidak terkena racunku?" tanya Jalatara
gagap.
"Untunglah aku sedikit menaruh curiga padamu, Jalatara,"
sahut Arya kalem. Diangkatnya guci araknya ke atas kepala,
kemudian dituangkan ke mulutnya. Gluk.. gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki
kerongkongan Dewa Arak.
"Keparat..! Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan suara bentakan nyaring Jalatara
melompat menyerbu. Kedua tangannya yang membentuk
cakar aneh, menyampok deras ke arah Dewa Arak. Yang
kanan ke arah pelipis, sementara yang kiri mengancam dagu.
Dari bawah ke atas.
Suara berciutan nyaring terdengar sebelum serangan itu
mencapai sasaran. Tapi Dewa Arak bersikap tenang. Dengan
penuh percaya diri, dipapaknya kedua serangan itu Kedua
tangannya yang membentuk jari-jari belalang bergerak aneh,
sebelum akhirnya menangkis serangan lawannya. Dewa Arak
yang mengetahui keadaan yang tidak menguntungkan, tanpa
sungkan-sungkan segera mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya.
Plak, plak...!
"Ah...!"
Jalatara berseru kaget. Pemuda berkumis tipis ini langsung
terjengkang ke belakang. Sekujur tangannya dirasakan ngilu
bukan main. Dadanya pun terasa sesak bukan kepalang.
Sedangkan Dewa Arak hanya mundur satu langkah ke
belakang. Tampak jelas kalau tenaga dalam Arya berada jauh
di atas lawannya.
"Kau urus yang lain, Jalatara! Biar Dewa Arak bagianku!"
seru kakek berkulit merah seraya melompat ke depan Arya.
Kalajengking Merah tahu kalau Jalatara bukan tandingan
Dewa Arak.
"Sudah lama kudengar nama besarmu. Dewa Arak. Dan
sudah lama pula aku ingin menjajal kelihaianmu. Aku,
Kalajengking Merah ingin mengetahui sampai di mana
kehebatanmu yang tersohor itu!"
Setelah berkata demikian, kakek berkulit merah itu tiba-tiba
membalikkan tubuhnya, seraya mengirimkan sebuah kibasan
kaki.
Wusss...!
Angin menderu keras mengawali tibanya serangan itu.
Tapi, dengan permainan jurus 'Delapan Langkah Belalang',
tidak sulit bagi Dewa Arak untuk memunahkan serangan itu.
Dengan langkah terhuyung-huyung yang menjadi khasnya,
dielakkan serangan itu. Secepat kakinya melangkah, secepat
itu pula, Dewa Arak berbalik mengancam lawan. Arya kini
telah berada di belakang lawannya.
"Hih...!"
Dewa Arak mengayunkan guci yang tergenggam di
tangannya ke kepala lawannya.
Tapi, Kalajengking Merah memang seorang tokoh luar
biasa. Cepat-cepat tubuhnya dirundukkan, sehingga serangan
itu lewat di atas punggungnya. Berbareng dengan itu, kaki
kanannya menendang ke belakang. Persis seperti tendangan
kaki belakang seekor kuda.
"Eh...?!" pekik Dewa Arak terkejut. Serangan seperti itu
sungguh di luar dugaannya. Tapi berkat keunikan jurus
'Delapan Langkah Belalang', serangan yang datang begitu
tiba-tiba itu masih dapat dielakkan-nya
Tak lama kemudian kedua tokoh inipun sudah terlibat
dalam sebuah pertempuran sengit
Jalatara memperhatikan sejenak pertarunganan tara
gurunya menghadapi Dewa Arak
"Bunuh mereka semua...!" perintah pemuda ber kumis tipis
ini kepada anak buahnya, seraya menunjuk beberapa tubuh
yang tergolek lemah tanpa daya.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, belasan orang
Perkumpulan Kalajengking Merah itu bergerak menyerbu.
Tongkat merah berujung ekor kalajengking mereka,
berkelebatan mengancam. Tapi sebelum balasan orang itu
berhasil melaksanakan perintah sang ketua, Melati telah
menghadang.
Srattt..!
Tanpa sungkan-sungkan lagi gadis berpakaian putih ini
mencabut pedangnya. Disadari akan keadaan pihak lawan
yang lebih menguntungkan, seketika Itu juga segera
dikeluarkan ilmu pedang andalannya, 'Ilmu Pedang Seribu
Naga'. Terdengar suara mengaung bagaikan seekor naga yang
tengah meraung murka, begitu Melati menggerakkan
pedangnya.
"Selubung ini sudah tidak kuperlukan lagi!" ucap orang
yang pada dahi selubungnya bergambar ekor kalajengking,
seraya mencabut selubungnya.
"Ah...! Kau... kau... Ki Taji!"
Terdengar seruan-seruan kaget dari mulut keluarga
Sudiraja begitu melihat wajah di balik selubung itu.
Wajah Ki Taji! Kepala urusan dalam rumah tangga. Jadi,
orang yang hendak membunuh Kanulaga, dan orang yang
selama Ini menerima upeti dari Sudiraja adalah Ki Taji.
"Ya, aku! Kaget?" ejek Ki Taji sambil tersenyum sinis.
'Tunggulah. Setelah kubereskan wanita liar ini. Baru kalian
akan kubereskan!"
Setelah berkata demikian, Wakil Ketua Perguruan
Kalajengking Merah itu segera membabatkan tongkat
berujung ekor kalajengking ke leher Melati.
Wuttt..!
Tongkat itu lewat di atas kepala Melati, begitu gadis itu
merendahkan tubuhnya. Tidak sampai di situ saja yang
dilakukan Melati. Pada saat yang bersamaan, pedangnya
menusuk cepat ke leher Ki Taji. Suara menggerung dahsyat
bagaikan seekor naga murka, mengiringi tibanya serangan itu.
Hebat bukan main 'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang dimiliki
gadis itu.
Ki Taji terpekik kaget Serangan itu datang begitu cepat Tak
mungkin lagi Wakil Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah itu
mengelak. Tapi sebelum ujung pedang Melati menembus
tenggorokannya, Jalatara melesat cepat, memapak pedang itu
dengan tongkat berujung ekor kalajengking yang sejak tadi
digenggamnya
Tranggg...!
Bunga-bunga api memercik ke udara, begitu kedua senjata
itu beradu. Jalatara merasakan betapa sekujur tangannya
tergetar hebat Pemuda berkumis tipis ini kaget bukan main.
Sungguh di luar dugaannya kalau tenaga dalam yang dimiliki
gadis berpakaian puuh Ini kuat sekali! Semula Jalatara
menduga kalau hanya Dewa Arak sajalah yang merupakan
lawan tangguh. Sungguh tidak diduganya kalau Melati pun
merupakan lawan yang amat berat baginya.
Jalatara tidak punya pilihan lain. Pemuda ini tidak Ingin
usahanya yang telah lama dirintisnya gagal total Maka tanpa
malu-malu lagi, anak buahnya diperintah kan mengepung
Melati
"Serbu...!"
Tanpa diperintah dua kali, belasan anak buahnya meluruk
menyerang Melati, Sesaat kemudian hujan senjata pun
berkelebatan ke arah gadis berpakaian serba putih itu.
Jalatara pun tidak tinggal diam. Bersama Ki Taji, pemuda
berkumis tipis ini ikut menyerbu.
Melati menggertakkan gigi. Dua belas orang anak buah
Perkumpulan Kalajengking Merah bukanlah lawan yang berat
baginya. Tapi Jalatara dan Ki Taji, merupakan lawan yang
patut diperhitungkan. Mau tak mau Melati terpaksa harus
mengerahkan seluruh kemampuannya, bila ingin selamat
Sesaat kemudian d ruangan Itu telah terjadi pertempuran
sengit.
Sementara itu pertarungan antara Dewa Arak melawan
Kalajengking Merah sudah bergeser jauh dari tempat semula.
Ruang tengah yang sebenarnya cukup luas, terasa sangat
sempit bagi kedua orang sakti itu. Lantai dan dinding ruangan
telah banyak yang retak-retak, karena setiap kali kedua tokoh
itu melancarkan pukulan, dinding ruangan itu selalu bergetar.
Hal ini membuat kedua tokoh sakti Itu tidak leluasa untuk
melancarkan serangan. Khawatir bila bangunan itu roboh dan
menimpa mereka.
Kini Dewa Arak dan Kalajengkingi Merah telah berada di
halaman. Semakin bertambah luas tempat pertarungan
gerakan mereka pun semakin leluasa.
Pertarungan antara kedua orang yang sama-sama memiliki
kepandaian amat tinggi ini berlangsung cepat. Dalam hati,
Dewa Arak memuji kelihaian lawannya. Kalajengking Merah
memang memiliki kepandaian luar biasai Baik tenaga dalam
maupun ilmu meringankan tubuhnya tidak berada di bawah
Dewa Arak.
Dan yang lebih menyulitkan bagi Dewa Arak, adalah
keanehan ilmu yang dimainkan kakek berkulit merah itu. Ilmu
milik kakek berkulit merah itu mengingatkan Arya pada
binatang kalajengking dan kuda.
Sepasang tangannya yang membentuk cakar aneh
menyambar-nyambar penuh ancaman maut ke berbagai
bagian tubuh Dewa Arak. Tapi yang lebih berbahaya adalah
kibasan kakinya. Kibasan kaki itu mengingatkan Dewa Arak
pada sabetan ekor kalajengking. Di samping itu, kaki kakek
berkulit merah itu pun dapat mementil seperti seekor kuda.
Itulah sebabnya, sepasang kaki kakek itu jauh lebih berbahaya
daripada kedua tangannya.
Serangan sepasang kaki si kakek selalu datang tiba-tiba.
Kalau saja Dewa Arak tidak mempunyai jurus 'Delapan
Langkah Belalang', sudah sejak tadi pemuda berambut putih
keperakan ini roboh di tangan Kalajengking Merah.
Setelah bertarung selama seratus enam puluh jurus, Dewa
Arak belum juga mampu mendesak kakek berkulit merah itu.
Kehebatan jurus 'Belalang Mabuk pupus menghadapi sepasang
kaki Kalajengking Merah yang selalu datang tiba-tiba.
Beberapa kali Dewa Alah hampir saja terkena serangan kaki
yang terkadang, mengibas dan sesekali mementil itu. Tapi
berkat keunikan Jurus 'Delapan Langkah Belalang’, Arya masih
mampu mengelakkannya.
Dewa Arak tidak punya pilihan lain lagi. Pemuda itu
memutuskan untuk mengeluarkan Jurus yang jarang
digunakannya kalau tidak terpaksa sekali, Jurus 'Pukulan
Belalang'!
"Haaattt..!"
Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, di jurus ke seratus
delapan puluh tujuh, Kalajengking Merah mengibaskan kaki
kanannya sambil memutar tubuh. Dan seperti biasanya,
serangan itu datang secara tidak terduga-duga, sehingga
membuat Dewa Arak kaget bukan main. Tapi berkat
keistimewaan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Arya masih
sanggup mengelakkan serangan itu.
Cepat-cepat pemuda berambut putih keperakan ini
merunduk, sehingga kibasan itu lewat sejengkal di atas
kepalanya. Rambutnya sampai berkibaran akibat kerasnya
tenaga dalam yang terkandung dalam tendangan itu.
Tapi sungguh di luar dugaan Dewa Arak kalau tiba-tiba saja
kaki kiri Kalajengking Merah menendang ke arah perutnya.
Bukkk...!
"Hugh...!"
Dewa Arak mengeluh tertahan. Tendangan itu keras bukan
main. Seketika itu juga tubuh pemuda itu terjengkang
beberapa tombak ke belakang. Rasa sesak yang amat sangat
mendera Arya. Untung saja Dewa Arak yang terkena
tendangan itu, kalau orang lain pasti tewas seketika,
"He he he...!"
Kakek berkulit merah itu terkekeh. Tanpa memberi
kesempatan lagi, segera diserbunya Dewa Arak yang masih
terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya bagaikan
dua buah capit kalajengking menyambar ganas ke pelipis dan
ubun-ubun Dewa Arak.
Mendadak saja, Arya menghentakkan kedua tangannya ke
depan. Dan angin keras berhawa panas menyengat
menyambar, memapak tubuh Kalajengking Merah yang tengah
melunak ke arahnya.
Kakek berkulit merah ini terpekik kaget. Serangan Itu
datangnya begitu tiba-tiba. Apalagi tubuhnya tengah berada di
udara. Belum sempat guru Jalatara itu berbuat sesuatu, jurus
'Pukulan Belalang' Dewa Arak, telak menghantamnya.
Bresss...!
"Aaakh...!"
Kalajengking Merah melayang jauh diiringi teriakan
menyayat, dan jatuh beberapa tombak dari tempatnya
semula. Kakek berkulit merah ini menggelepar-gelepar
beberapa saat sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Kalajengking Merah tewas dengan sekujur tubuh hangus.
"Uhk... uhk...!"
Dewa Arak terbatuk-batuk. Ada cairan merah kental yang
memercik dari mulutnya seiring suara batuknya. Arya memang
menderita luka dalam. Tendangan Kalajengking Merah yang
mengenal perutnya memang kuat luar biasa. Tapi pengerahan
tenaga dalam akhir jurus 'Pukulan Belalang' itulah yang
semakin memperparah luka dalamnya.
Meskipun terluka dalam, tapi kekhawatiran Dewa Arak akan
keselamatan Melati yang tengah dikeroyok, membuat pemuda
itu mengesampingkan luka dalam nya. Bergegas Arya
melangkah ke dalam ruang tengah yang luas dan megah itu.
Pemuda berambut putih keperakan itu menghela napas
lega. Dilihatnya Melati telah berhasil menguasai keadaan. Dua
belas orang Perkumpulan Kalajengking Merah telah
bergeletakan di lantai. Semuanya tewas. Kini yang dihadapi
gadis berpakaian putih itu tinggal Jalatara dan Ki Taji saja. Itu
pun keduanya sudah terdesak hebat Memang, Melati dengan
'Ilmu Pedang Seribu Naga'nya terlalu kuat bagi kedua
lawannya.
Hati Dewa Arak tenang melihat hal ini. Kini pemuda berbaju
ungu itu tidak perlu khawatir lagi akan keselamatan Melati.
Segera saja Arya duduk bersila. Tak lama kemudian Dewa
Arak sudah tenggelam dalam semadinya untuk mengatasi luka
dalamnya yang cukup parah.
Sementara itu pertarungan antara Melati dengan kedua
orang pimpinan Perkumpulan Kalajengking Merah semakin
sengit.
"Hiyaaat..!"
Cappp...!
"Aaakh...!"
Ki Taji menjerit memilukan ketika pedang Melati
menghunjam perutnya.
Jalatara tidak menyia-
nyiakan kesempatan itu
Selagi pedang Melati masih
tertancap di perut Ki Taji,
dari belakang dia melompat
menerjang. Dan selagi
tubuhnya berada di udara,
senjatanya disabetkan ke
leher Melati.
Tidak ada jalan lain bagi
Melati. Pegangan pada
pedangnya terpaksa
dilepaskan, sambil
menjatuhkan diri ke lantai.
Melati terpaksa bergulingan
sehingga kini gadis ini
berada dalam posisi terlentang.
Wuttt..!
Babatan tongkat berujung ekor kalajengking itu mengenai
tempat kosong. Dan di saat itulah Melati menghentakkan
kedua tangannya yang membentuk cakar naga ke atas, ke
arah tubuh Jalatara yang masih berada di udara. Inilah jurus
'Naga Merah Membuang Mustika'.
Wusss...! Bresss..!
"Aaakh...!"
Jalatara menjerit memilukan. Tubuhnya yang tengah
berada di udara itu melambung kembali atas. Pukulan jarak
jauh Melati telak mengenai dadanya. Seketika itu juga sekujur
tulang dadanya remuk. Darah segar mengalir deras dari
mulut, hidung, dan telinga-nya. Pemuda berkumis tipis ini
tewas sebelum tubuhnya sempat mencapai tanah. Dengan
mengeluarkan suara berdebuk keras tubuh Jalatara jatuh ke
lantai.
Sudiraja, Kanulaga, dan Nirmala menatap mayat. Jalatara
dengan perasaan yang sukar untuk dilukiskan. Ada perasaan
lega melihat pemuda itu mati. Tapi perasaan sedih, mendera
lebih besar lagi. Bagaimanapun juga, pemuda itu adalah
keluarga mereka. Terlebih lagi Sudiraja! Tanpa dapat
ditahannya, sepasang mainnya merembang berkaca-kaca.
Dewa Arak dan Melari menghampiri. Sudiraja sekeluarga
dan Pandira yang kini sudah tidak terlalu lemah lagi. Mereka
kini sudah mampu bangkit dan dapat berbuat sebagaimana
orang biasa layaknya. Tapi, tetap saja tenaga dalam yang
mereka miliki musnah.
"Sayang sekali, kami tidak tahu bagaimana caranya
memunahkan racun itu," keluh Dewa Arak penuh sesal setelah
menyelesaikan semadinya. Kini luka-luka dalamnya telah
sembuh.
"Aku dapat memunahkannya, Dewa Arak," sahut Kanulaga.
"Kau bisa?" tanya Arya ingin memastikan.
"Ya! Guruku ahli pengobatan. Racun ini bukan apa-apa
bagiku," ucap laki-laki berwajah keras itu seperti
menyombongkan diri.
"Lalu, kenapa sejak tadi kau diam saja?" tanya Dewa Arak
menyalahkan.
'Tadi aku belum mampu bangkit.... Eh! Dewa Arak...!"
panggil Kanulaga keras. Sebelum pemuda itu menyelesaikan
ucapannya, Dewa Arak melesat pergi dari situ diikuti oleh
Melati.
Tapi Arya dan Melari sama sekali tidak mempedulikan
panggilan Kanulaga. Kedua pendekar muda ini sengaja
bergegas pergi, karena tidak ingin menerima ucapan terima
kasih dari orang yang ditolongnya. Lagi pula urusannya telah
selesai. Kanulaga, Sudiraja, Pandira, dan Nirmala, hanya dapat
teriongong melihat kepergian penolong mereka.
Sementara itu, nun jauh di sana nampak dua sejoli tengah
berjalan berdampingan. Seorang pemuda berambut putih
keperakan dan seorang gadis cantik berpakaian serba putih.
Kedua orang itu adalah Dewa Arak dan Melati yang terus
mengembara memenuhi tugas sebagai pendekar pembela kebenaran
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar