..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 09 Januari 2025

DEWA ARAK EPISODE RAHASIA SURAT BERDARAH

matjenuh


RAHASIA SURAT BERDARAH
Oleh Aji Saka
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Widarto K.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau
memperbanyak sebagian atau seluruh Isi buku ini tanpa lain
tertulis dari penerbit
Aji Saka
Serial Dewa Arak dalam episode: Rahasia Surat Berdarah
128 hal ; 12 x 18 cm

1
Seekor kuda coklat melangkah pelan memasuki Miatasan
Desa Rinji yang besar dan ramai. Penunggunya adalah
seorang pemuda berbadan kekar, berwajah keras. Alisnya
tebal berbentuk golok. Usianya sekitar tiga puluh tahun.
Mulut pemuda itu berdecak. Kedua tangannya yang
menggenggam tali kekang kuda itu pun digoyang-goyangkan.
Jelas pemuda itu memaksa binatang tunggangannya agar
terus berjalan.
Kuda coklat itu memang sudah terlihat lelah. Nampaknya
binatang itu telah menempuh perjalanan jauh dan melelahkan.
Dan itu memang sudah pasti, karena keadaan penunggangnya
pun tidak jauh berbeda dengan tunggangannya. Terlihat lelah.
Pakaian dan wajahnya kotor berdebu.
Laki-laki berwajah keras itu menolehkan kepalanya ke
kanan dan ke kiri. Sepasang alisnya yang tebal berbentuk
golok berkerut. Jelas ada sesuatu yang dicarinya. Pandang
matanya liar menatap rumah-rumah yang ada di kanan
kirinya. Tak dihiraukannya pandang mata keheranan dari
penduduk yang melihatnya.
Sepasang alis yang berkerut itu lenyap. Wajah keras itu
pun berseri ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah
bangunan besar dan megah. Bangunan ini berhalaman luas
dan terkurung pagar tembok tinggi. Di depan pintu
gerbangnya berdiri dengan gagahnya dua orang yang berjaga-
jaga dengan sikap waspada.
"Hooop...!"
Laki-laki berwajah keras itu menarik tali kekang kudanya
tepat di depan pintu gerbang bangunan mewah dan megah
itu. Hanya berjarak tiga tombak di depan kedua penjaga.
Tentu saja hal itu membuat ke dua penjaga memperhatikan
laki-laki berwajah keras Itu dengan sikap penuh curiga.

"Hup...!"
Dengan sebuah gerakan yang indah dan manis laki-laki
berwajah keras itu melompat dari punggung kudanya. Ringan
tanpa suara, kedua kakinya menjejak tanah.
Kemudian sambil memegang tali kekang kuda, dituntunnya
binatang itu menuju pintu gerbang. Karuan saja tindakan laki-
laki berwajah keras itu membuat penjaga pintu gerbang
terkejut. Serentak keduan melangkah menghadang sambil
meraba gagang golok masing-masing. Bersiap menghadapi
segala kemungkinan.
"Mengapa kalian menghalangi jalanku?!" tanya laki-laki
berwajah keras itu. Nada suaranya mengandung teguran.
Kedua penjaga pintu gerbang itu saling berpandangan.
Sorot mata mereka jelas menyiratkan kebingungan. Tidak
salahkah pendengaran mereka ini?
"Maaf, kalau kami boleh tahu, siapakah Kisanak? Dan apa
maksud Kisanak datang kemari?" tanya salah seorang penjaga
yang berambut coklat, dengan suara meiendah. Teguran laki-
laki berwajah keras itu membuat mereka bersikap hati-hati.
"Kalian tidak mengenalku? O ya, mungkin kalian orang baru
di sini. Apakah kalian pernah dengar nama Kanulaga?" laki-laki
berwajah keras itu balik bertanya.
Wajah kedua penjaga itu berubah. Mereka sebenamya
bukan tergolong orang baru. Sudah sepuluh tahun mereka
bekerja pada pemilik bangunan megah dan mewah itu.
Sehingga wajar kalau keduanya mengenal semua anggota
keluarga majikannya. Memang, keduanya pernah mendengar
kalau salah seorang anak majikan mereka yang bernama
Kanulaga, pergi mengembara lima belas tahun lalu. Jadi, laki-
laki inikah putra sulung pemilik rumah mewah dan megah ini?
pikir mereka menduga-duga.
Kedua penjaga itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Ya," sahut salah seorang lagi yang memiliki sebuah tompel
di pipi.
"Nah! Akulah orangnya!" sahut laki-laki berwajah keras itu
tegas.
"Ahhh...!" desah kedua penjaga itu berbareng. Perasaan
terkejut yang amat sangat menghiasi wajah mereka.
"Kalau begitu..., maafkan kami, Den. Kami tidak mengenal
Aden, sehingga bersikap tidak sopan kepada Aden," ucap
keduanya sambil membungkuk hormat.
"Hm...," laki-laki berwajah keras yang mengaku bernama
Kanulaga itu mendengus. "Menyingkirlah, kalian! Aku ingin
lewat..!"
Penjaga yang memiliki tompel di pipinya segara beringsut
menyingkir. Tapi, tidak demikian halnya dengan yang
berambut coklat. Dia tetap berdiri menghadang jalan.
"Maafkan kami, Den. Sebelum kami yakin kalau Aden
benar-benar Aden Kanulaga, kami tidak bisa memperkenankan
Aden masuk. Maafkan kami, Den Kami tidak ingin terjadi
sesuatu pada diri Tuan Suradiraja."
Si tompel tercekat Ucapan rekannya menyadarkannya kalau
laki-laki berwajah keras itu belum tentu Kanulaga! Maka dia
pun segera melangkah maju dan berdiri di sebelah temannya!
Kanulaga tersenyum.
"Bagus! Aku ingin tahu sampai di mana kepandaian kalian!"
sambut laki laki yang mengaku bernama Kanulaga. Tali
kekang kudanya lalu dilepaskan, kemudian ditepuk-tepuknya
leher kuda coklat itu.
"Menyingkirlah sebentar Manis," ujar laki-laki berwajah keras itu pelan.


Seperti mengerti ucapan majikannya, kuda coklat itu

mendengus pelan kemudian membalikkan tubuh dan berjalan

meninggalkan tuannya.

Laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga itu kini

mengalihkan perhatiannya pada dua orang penjaga di

hadapannya.

"Aku akan masuk ke dalam. Ingin kulihat apakah kalian

mampu menghalangiku...?" ujar laki-laki berwajah keras itu

pelan bernada menantang.

"Maafkan kami, Den. Kami hanya menjalankan tugas...,"

sahut si rambut coklat.

'Tidak usah banyak basa-basi! Ayo serang aku!" bentak

laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga itu

"Maafkan kami. Den. Hiyaaa...!"

Penjaga yang memiliki tompel di pipinya ini lalu menyerang

laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga. Kakinya

menyambar cepat ke arah wajah dengan sebuah tendangan

miring yang keras.

Laki-laki berwajah keras itu hanya mendengus pelan.

Tubuhnya didoyongkan ke belakang sehingga tendangan itu

hanya mengenai tempat kosong. Sekitar sejengkal di depan

wajahnya.

Sebelum si tompel sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu

tangan kanan laki-laki berwajah keras itu bergerak cepat!

Tappp...!

"Akh...!"

Si tompel memekik kaget tatkala pergelangan kakinya

sudah dicengkeram lawannya.

"Hih...!"


 dicarinya. Pandang

matanya liar menatap rumah-rumah yang ada di kanan

kirinya. Tak dihiraukannya pandang mata keheranan dari

penduduk yang melihatnya.

Sepasang alis yang berkerut itu lenyap. Wajah keras itu

pun berseri ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah

bangunan besar dan megah. Bangunan ini berhalaman luas

dan terkurung pagar tembok tinggi. Di depan pintu

gerbangnya berdiri dengan gagahnya dua orang yang berjaga-

jaga dengan sikap waspada.

"Hooop...!"

Laki-laki berwajah keras itu menarik tali kekang kudanya

tepat di depan pintu gerbang bangunan mewah dan megah

itu. Hanya berjarak tiga tombak di depan kedua penjaga.

Tentu saja hal itu membuat ke dua penjaga memperhatikan

laki-laki berwajah keras Itu dengan sikap penuh curiga.


"Hup...!"

Dengan sebuah gerakan yang indah dan manis laki-laki

berwajah keras itu melompat dari punggung kudanya. Ringan

tanpa suara, kedua kakinya menjejak tanah.

Kemudian sambil memegang tali kekang kuda, dituntunnya

binatang itu menuju pintu gerbang. Karuan saja tindakan laki-

laki berwajah keras itu membuat penjaga pintu gerbang

terkejut. Serentak keduan melangkah menghadang sambil

meraba gagang golok masing-masing. Bersiap menghadapi

segala kemungkinan.

"Mengapa kalian menghalangi jalanku?!" tanya laki-laki

berwajah keras itu. Nada suaranya mengandung teguran.

Kedua penjaga pintu gerbang itu saling berpandangan.

Sorot mata mereka jelas menyiratkan kebingungan. Tidak

salahkah pendengaran mereka ini?

"Maaf, kalau kami boleh tahu, siapakah Kisanak? Dan apa

maksud Kisanak datang kemari?" tanya salah seorang penjaga

yang berambut coklat, dengan suara meiendah. Teguran laki-

laki berwajah keras itu membuat mereka bersikap hati-hati.

"Kalian tidak mengenalku? O ya, mungkin kalian orang baru

di sini. Apakah kalian pernah dengar nama Kanulaga?" laki-laki

berwajah keras itu balik bertanya.

Wajah kedua penjaga itu berubah. Mereka sebenamya

bukan tergolong orang baru. Sudah sepuluh tahun mereka

bekerja pada pemilik bangunan megah dan mewah itu.

Sehingga wajar kalau keduanya mengenal semua anggota

keluarga majikannya. Memang, keduanya pernah mendengar

kalau salah seorang anak majikan mereka yang bernama

Kanulaga, pergi mengembara lima belas tahun lalu. Jadi, laki-

laki inikah putra sulung pemilik rumah mewah dan megah ini?

pikir mereka menduga-duga.

Kedua penjaga itu mengangguk-anggukkan kepalanya.



"Ya," sahut salah seorang lagi yang memiliki sebuah tompel

di pipi.

"Nah! Akulah orangnya!" sahut laki-laki berwajah keras itu

tegas.

"Ahhh...!" desah kedua penjaga itu berbareng. Perasaan

terkejut yang amat sangat menghiasi wajah mereka.

"Kalau begitu..., maafkan kami, Den. Kami tidak mengenal

Aden, sehingga bersikap tidak sopan kepada Aden," ucap

keduanya sambil membungkuk hormat.

"Hm...," laki-laki berwajah keras yang mengaku bernama

Kanulaga itu mendengus. "Menyingkirlah, kalian! Aku ingin

lewat..!"

Penjaga yang memiliki tompel di pipinya segara beringsut

menyingkir. Tapi, tidak demikian halnya dengan yang

berambut coklat. Dia tetap berdiri menghadang jalan.

"Maafkan kami, Den. Sebelum kami yakin kalau Aden

benar-benar Aden Kanulaga, kami tidak bisa memperkenankan

Aden masuk. Maafkan kami, Den Kami tidak ingin terjadi

sesuatu pada diri Tuan Suradiraja."

Si tompel tercekat Ucapan rekannya menyadarkannya kalau

laki-laki berwajah keras itu belum tentu Kanulaga! Maka dia

pun segera melangkah maju dan berdiri di sebelah temannya!

Kanulaga tersenyum.

"Bagus! Aku ingin tahu sampai di mana kepandaian kalian!"

sambut laki laki yang mengaku bernama Kanulaga. Tali

kekang kudanya lalu dilepaskan, kemudian ditepuk-tepuknya

leher kuda coklat itu.

"Menyingkirlah sebentar Manis," ujar laki-laki berwajah

keras itu pelan.



Seperti mengerti ucapan majikannya, kuda coklat itu

mendengus pelan kemudian membalikkan tubuh dan berjalan

meninggalkan tuannya.

Laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga itu kini

mengalihkan perhatiannya pada dua orang penjaga di

hadapannya.

"Aku akan masuk ke dalam. Ingin kulihat apakah kalian

mampu menghalangiku...?" ujar laki-laki berwajah keras itu

pelan bernada menantang.

"Maafkan kami, Den. Kami hanya menjalankan tugas...,"

sahut si rambut coklat.

'Tidak usah banyak basa-basi! Ayo serang aku!" bentak

laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga itu

"Maafkan kami. Den. Hiyaaa...!"

Penjaga yang memiliki tompel di pipinya ini lalu menyerang

laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga. Kakinya

menyambar cepat ke arah wajah dengan sebuah tendangan

miring yang keras.

Laki-laki berwajah keras itu hanya mendengus pelan.

Tubuhnya didoyongkan ke belakang sehingga tendangan itu

hanya mengenai tempat kosong. Sekitar sejengkal di depan

wajahnya.

Sebelum si tompel sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu

tangan kanan laki-laki berwajah keras itu bergerak cepat!

Tappp...!

"Akh...!"

Si tompel memekik kaget tatkala pergelangan kakinya

sudah dicengkeram lawannya.

"Hih...!"


Secepat pergelangan kakinya tertangkap, secepat itu pula

laki-laki berwajah keras itu menyentakkannya. Kuat bukan

main tenaga yang terkandung dalam sentakan itu. Tak pelak

lagi, si tompel terlempar ke atas

Tapi si tompel membuktikan kalau dirinya bukan-lah orang

yang mudah dipecundangi. Tubuhnya berputar di udara.

Dan....

"Hup...!"

Meskipun agak terhuyung-huyung, namun kedua kakinya

berhasil hinggap di tanah. Mulut si tompel menyeringai, kaki

kanannya dirasakan agak sakit. Memang sentakan laki-laki

berwajah keras itu kuat bukan main Tapi si tompel tahu kalau

lawan tak ingin melukainya Dia yakin, seandainya laki-laki ber

wajah keras itu mau, dengan tenaga dalamnya yang kuat itu,

tulang pangkal kakinya bisa terlepas! Bukan hanya tubuhnya

saja yang terlempar ke udara!

Penjaga yang berambut coklat terkejut bukan main. Melihat

betapa mudah rekannya dapat dipecundangi laki-laki berwajah

keras itu. Tanpa ragu-ragu la segera dicabut goloknya.

Srattt...!

Sinar terang terpancar begitu golok pendek be warna putih,

keluar dari sarungnya!

Wuk, wuk, wuk...!

Si rambut coklat memutar mutarkan senjatanya depan

dada. Angin mengiuk cukup keras, mengiringi gerakan golok

itu.

"Hiyaaa...!"

Sambil mengeluarkan seruan nyaring melengking golok di

tangannya ditusukkan cepat ke perut laki-laki yang mengaku

bernama Kanulaga itu! Tapi, laki-lnl berwajah keras itu

bersikap tenang. Ditunggunya hingga serangan itu mendekat


Dan begitu serangan sudah dekat, dengan kecepatan yang

mengagumkan tubuhnya didoyongkan ke samping kiri.

Sehingga serangan itu hanya mengenai tempat kosong, lewat

di samping kanan pinggangnya. Pada saat yang bersamaan,

tangan kanannya bergerak menepak.

Plakkk..!

"Akh...!"

Penjaga berambut coklat itu memekik tertahan. Tepakkan

laki-laki berwajah keras itu telak dan keras sekali menghantam

pergelangan tangannya yang menggenggam golok. Tulang-

tulangnya terasa remuk, seketika itu juga, goloknya terlepas

dari genggaman

Belum lagi si rambut coklat sempat berbuat sesuatu, kaki

kanan laki-laki berwajah keras itu bergerak menendang ke

arah perut.

Bukkk...!

"Hugh...!"

Penjaga yang sial ini mengeluh tertahan. Tubuhnya

langsung terjengkang beberapa tombak ke belakang. Perutnya

dirasakan mules bukan kepalang. Untunglah laki-laki yang

mengaku bernama Kanulaga itu hanya mengerahkan sebagian

kecil tenaga dalamnya. Sehingga ia tidak menderita luka

dalam. Hanya rasa mual dan mules melanda perutnya

Melihat penderitaan kawannya, si tompel yang kini sudah

mencabut goloknya, bergerak menyerang. Tapi gerakannya

segera terhenti ketika terdengar suara bentakan keras.

'Tahan...!"

Dari dalam pintu gerbang yang memang terbuka itu

bergerak cepat seorang laki-laki setengah baya.

Serentak tiga orang itu menoleh ke arah laki-laki setengah

baya itu.


"Ki Taji...!" seru orang yang mengaku bernama Kanulaga,

memanggil laki-laki setengah baya itu.

Laki-laki setengah baya itu merandek kaget melihat laki laki

yang tadi dilihatnya tengah bertempur dengnn dua orang

penjaga, mengenalnya Memang betul dia bernama Ki Taji. Dia

adalah kepala urusan dalam rumah tangga. Jadi, jarang

keluar. Hampir tidk ada penduduk yang mengenal namanya,

kecuali hanya orang-orang yang bekerja pada Tuan Sudiraja

Tapi, yang menjadi pertanyaan baginya, mengapa laki laki

berwajah keras itu mengenalinya?

Bukan hanya Ki Taji saja yang terkejut Dua orang penjaga

pintu gerbang itu pun terkejut Kini keraguan mereka tentang

kebenaran laki-laki berwajah keras ini adalah Kanulaga pupus.

"Siapa kau, Kisanak? Dari mana kau tahu namaku?" tanya

kepala urusan dalam rumah tangga itu setelah mendekat.

Sekujur tubuh laki-laki berwajah keras itu dipandangi penuh

selidik.

"Kau lupa padaku, Ki?" laki-laki berwajah keras itu balik

bertanya. Sama sekali tak dipedulikannya pertanyaan Ki Taji.

Wajah Ki Taji terlihat tegang. Dahinya pun berkerut-kerut.

Jelas kalau laki-laki setengah baya ini tengah berpikir keras.

"Rasanya..., aku seperti pernah mengenalmu Kisanak.

Wajah dan suaramu sepertinya pernah kukenal “ ucap Ki Taji

setengah bergumam.

"Aku Kanulaga, Ki...!" sahut laki-laki berwajah keras itu

menjelaskan.

"Gusti Allah...! Aku memang benar-benar sudah pikun,

sehingga tidak mengenalimu, Den?" pekik Ki Taji penuh rasa

terkejut. Memang sejak berumur lima tahun, Raden Kanulaga

akrab dengan Ki Taji. Pada usia lima belas tahun, Kanulaga

pergi meninggalkan rumah untuk memenuhi kegemarannya,

mengembara.


"Beliau adalah Aden Kanulaga...," ucap kepala urusan

dalam rumah tangga itu memberitahu kedua penjaga pintu

gerbang. Kedua penjaga itu termasuk anak buah dari kepala

urusan rumah tangga bagian luar. Hanya saja saat itu,

pimpinan mereka itu sedang keluar.

"Ah...! Kalau begitu, maafkan kelancangan kami, Den,"

ucap kedua penjaga itu buru-buru, sambil membungkuk

hormat.

"Lupakanlah. Aku bangga, kalian berdua telah menjalankan

tugas dengan baik," sahut Kanulaga bijaksana.

Tentu saja kedua penjaga itu menjadi girang bukan main.

Tadi ketika mendengar Ki Taji memanggil pemuda berwajah

keras itu dengan sebutan Kanulaga, mereka menjadi gelisah.

Menurut dugaan mereka, Kanulaga akan menghukum mereka.

Lega hari mereka tatkala mengetahui laki-laki berwajah keras

itu sama kali tidak marah atas kejadian itu.

"Mari, Den. Ayah Aden sudah lama sekali menunggu

kepulangan Aden." ajak Ki Taji sambil menggamit tangan

Kanulaga dan mengajaknya masuk ke dalam.

"Tolong urus kudaku, Paman," pinta Kanulaga pada kedua

penjaga itu.

"Baik, Den," jawab kedua penjaga itu berbareng.

***

Ruang tengah Itu nampak mewah dan megah Biasanya

ruangan itu kosong. Paling hanya Sudiraja yang duduk

termenung di sana. Tapi kini di ruanga tengah yang mewah

dan megah itu, tampak tiga orang tengah duduk mengelilingi

sebuah meja bulat yang indah dan mewah.

"Aku gembira sekali atas kepulanganmu, Kanulaga. Hampir

saja aku mengutus orang-orangku untuk mencarimu," ucap


seorang laki-laki setengah baya bertubuh gemuk dan berperut

gendut. Pakaiannya indah dan mewah. Bulu-bulu halus

menghiasi kedua pipinya.

"Mengapa begitu, Ayah?" tanya Kanulaga menatapnya

wajah laki-laki gendut berpakaian indah mewah yang ternyata

adalah Sudiraja. Laki-laki ber perut gendut yang kini telah

berusia enam puluh tahun itu menarik napas panjang.

"Aku sudah tua, Kanulaga. Aku sudah lelah mengurus

semua usahaku," jawab Sudiraja pelan. Tapi karena suasana

di situ hening, suara laki-laki gendut itu jadi terdengar keras.

"Lho?! Bukankah ada Jalatara dan Nirmala? Apakah mereka

tidak membantu Ayah?" tanya Kanulaga lagi. Keheranan

nampak jelas pada wajahnya. Jalatara dan Nirmala adalah

adik-adik kandung Kanulaga. "Ke manakah mereka, Ayah?

Sejak tadi aku tidak melihat mereka?"

"Hhh...!" Sudiraja menghela napas panjang. "Beberapa

tahun semenjak kepergianmu mengembara, Jalatara pergi.

Kepergiannya sama sekali tidak ada yang tahu. Belakangan

baru kuketahui, bahwa selagi bermain di halaman, ada

seorang kakek yang membawanya. Dan mengajarkannya ilmu-

ilmu kesaktin. Kini kudengar dia menjadi salah seorang

pengawal adipati," jelas Sudiraja.

"Lalu, Nirmala ke mana, Ayah?" tanya Kanulaga

"Nirmala kutitipkan pada sahabat karibku yang memiliki

sebuah perguruan silat Aku tidak ingin anak itu jadi

perempuan yang lemah. Yahhh...! Setidak-tidaknya dia

memiliki sesuatu untuk menjaga dirinya sendiri."

Kanulaga mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda

mengerti.

"Sudah beberapa bulan ini aku ingin beristirahat dari

kesibukan-kesibukanku, Kanulaga. Kau kan tahu aku sudah

tua. Kesehatanku tidak memungkinkan lagi untuk mengurus


semua usahaku," ujar laki-laki berperut gendut itu

menyambung ucapannya.

"Jadi maksud, Ayah?" tanya Kanulaga lagi. Laki-Iaki

berwajah keras ini masih belum mengerti maksud

pembicaraan ayahnya.

"Begini, Kanulaga." Sudiraja memutuskan untuk

mengatakannya secara gamblang dan jelas. "Aku sudah tua.

Harta yang kumiliki berlimpah ruah. Aku tidak ingin

sepeninggalku nanti, kalian gontok-gontokan memperebutkan

warisanku. Jadi, sebelum aku menutup mata, aku ingin

membagi semua kekayaanku secera adil. Pamanmu inilah

yang akan menjadi saksinya."

Sudiraja menunjuk seorang berpakaian hitam dan berkumis

lebat yang duduk di sebelahnya.

Kanulaga menolehkan kepalanya, menatap orang yang

diperkenalkan ayahnya sebagai pamannya. Memang laki laki

berwajah keras itu tidak mengenal laki laki berkumis lebat itu.

Laki-laki berkumis lebat yang usianya sekitar lima puluh tahun

itu datang ke rumah ini, setelah dia pergi meninggalkan rumah

untuk mengembara.

Laki-laki berkumis lebat menggerakkan bibirnya sedikit

pada Kanulaga. Mungkin laki-laki itu bermaksud tersenyum.

Tapi, Kanulaga tidak dapat menggolongkan gerakan bibir yang

hanya sedikit itu sebagai senyum. Laki-laki berwajah keras ini

hanya menganggukkan kepala sedikit pertanda menghormat.

Kanulaga mengalihkan pandangannya ke arah laki-laki yang

diakui Sudiraja sebagai adik bungsunya.

"Kalau boleh kutahu, siapakah nama Paman?" tanya

Kanulaga.

"Pandira," jawab laki-laki berkumis lebat itu pendek. Nada

suaranya dingin dan datar.


Belum lagi Kanulaga sempat mengajukan pertanyaan lain

kepada orang yang mengaku sebagai pamannya itu, Sudiraja

telah menyelanya.

"Bagaimana, Kanulaga?" tanya Sudiraja meminta pendapat

putra sulungnya itu.

'Terserah, Ayah. Aku akan menurut semua keputusan,

Ayah," jawab Kanulaga.

"Kalau begitu, besok akan kukirim utusan untuk

memberitahukan kedua adikmu agar datang ke sini

secepatnya," ucap Sudiraja memutuskan. Kegembiraan yang

besar nampak jelas pada wajahnya.

Sementara Kanulaga hanya diam saja. Kepalanya

menundukkan dalam-dalam. Tapi dari balik bulu mata nya,

sepasang matanya memperhatikan wajah Pandira lekat-lekat

"O ya, Kanulaga. Ayah ingin mendengar pengalamanmu

selama mengembara. Apa saja yang kau dapatkan dalam

pengembaraanmu selama lima belas tahun ini. Dari Ki Taji,

kudengar kau telah memiliki Ilmu kepandaian tinggi."

Kanulaga mengangkat kepalanya.

"Tidak ada yang istimewa, Ayah," jawab laki-laki berwajah

keras itu pelan.

"Lalu, ilmu kepandaianmu itu, kau dapatkan dari mana?"

desak Sudiraja.

"Dari seorang kakek yang berkenan mengangkatku sebagai

murid."

"Pasti kakek itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggj,"

sahut Sudiraja lagi. "Aku hampir tidak mengenalimu tadi,

Kanulaga. Wajah dan perawakanmu jauh berubah. Sekarang

kau nampak begitu jantan dan matang. O ya, mungkin kau

masih lelah sehabis menempuh perjalanan jauh dan


melelahkan. Biar kupanggil Ki Taji untuk mengurus kamarmu,"

ujar Sudiraja seraya bangkit, hendak memanggil Ki Taji.

"Tidak usah, Ayah. Biar kuurus sendiri. Masih kamar yang

dulu kan?" cegah Kanulaga seraya bangkit dari duduknya.

Sudiraja hanya menganggukkan kepalanya. Begitu putra

sulungnya melangkah menuju kamarnya, dalam mangan itu

tinggal Sudiraja dan adik bungsunya.

***

2

Hari masih pagi. Matahari belum naik tinggi ketika seekor

kuda berpacu cepat memasuki mulut sebuah hutan.

"Hiya...! Hiyaaa...!"

Si penunggang melecutkan cemetinya berkali-kali ke arah

pantat kuda yang berwarna hitam putih. Nampaknya si

penunggang bermaksud memacu binatang itu berlari lebih

cepat lagi.

Debu pun mengepul tinggi ke udara ketika kaki-kaki kuda

itu menapak cepat di tanah berdebu.

Belum jauh kuda itu memasuki hutan, tiba-tiba terdengar

suara mendesing nyaring. Disusul melesatnya sebuah sinar

kemerahan menyambar ke arah binatang itu.

Cappp...!

Telak sekali sinar kemerahan itu mengenai leher kuda

hitam putih itu. Seketika itu juga binatang itu meringkik keras.

Kedua kakinya terangkat tinggi-tinggi ke depan, membuat

penunggangnya terlempar ke atas.


Tapi si penunggang kuda ternyata bukanlah orang

sembarangan. Manis sekali tubuhnya bersalto beberapa kali di

udara kemudian hinggap ringan di tanah.

"Hup..,!"

Tahu kalau ada bahaya mengancam, begitu sepasang

kakinya mendarat di tanah, tangannya cepat meloloskan

sebatang pedang yang tersampir di punggungnya Sepasang

matanya menatap ke arah binatang tunggangannya yang

telah tergolek tanpa nyawa. Pada leher binatang itu tertancap

sebuah benda dari logam berwarna merah, berbentuk ekor

kalajengking.

Wajah si penunggang kuda berubah pucat. Sepasang

matanya menatap liar ke sekelilingnya. Rupanya orang itu

kenal betul dengan logam berbentuk ekor kalajengking merah

itu. Benda itu adalah senjata khas, Perkumpulan Kalajengking

Merah!

Belum lagi penunggang kuda itu berbuat sesuatu,

mendadak melesat sesosok bayangan hitam. Sesaat kemudian

sosok serba hitam itu telah berdiri di hadapan si penunggang

kuda. Pada bagian dadanya terdapat gambar seekor

kalajengking merah. Bagian wajahnya tidak terlihat karena

tertutup selubung hitam. Tangan penghadang itu

menggenggam sebatang tongkat panjang merah berujung

ekor kalajengking.

"Kau...?! Mengapa menghadang jalanku? Bukankah

majikanku, Tuan Sudiraja tidak pernah lalai memberikan

upeti?" tanya penunggang kuda Nada suaranya terdengar

penuh tuntutan.

"Ha ha ha...! Tidak usah banyak bacot! Kalau kau ingin

selamat, serahkan surat itu padaku!" ucap si penghadang

sambil tertawa bergelak.

"Surat? Surat apa?" tanya si penunggang kuda itu berpura-

pura tidak mengerti. Majikannya memang menugaskan


membawa surat untuk diserahkan pada Nirmala di Perguruan

Hati Suci. Entah untuk urusan apa, dia tidak tahu. Tapi yang

menjadi tanda tanya bagi si penunggang kuda, dari mana

orang Perkumpulan Kala lajengklng Merah ini mengetahuinya?

"Tidak usah pura-pura! Serahkan surat untuk Nirmala itu

padaku. Atau kau ingin mampus?" sergah orang berpakaian

serba hitam itu. Keras dan kasar suaranya.

Kini utusan Sudiraja sadar, kalau tidak ada gunanya lagi dia

berpura-pura. Orang yang menghadang di depannya ini jelas

tahu tugas yang diembannya.

"Langkahi dulu mayatku! Baru kau akan mendapatkan surat

itu!" sahut utusan itu tegas.

"Hm.... Rupanya kau lebih suka memilih mati!" dengus si

penghadang murka.

Setelah berkata demikian, orang yang di dadanya

bergambar kalajengking merah ini, melompat menerjang.

Senjata di tangannya, yang berupa tongkat panjang berujung

logam merah berbentuk ekor kalajengking, disabetkan ke

leher utusan Sudiraja.

Wuuuttt..!

Angin meniup cukup keras mengawali tibanya serangan itu.

Utusan Sudiraja yang tahu betapa lihainya orang-orang

Perkumpulan Kalajengking Merah, tidak berani bertindak

gegabah. Cepat-cepat kepalanya dirundukkan sehingga

babatan tongkat itu lewat di atas kepalanya. Sementara

utusan Sudiraja merunduk, goloknya ditusukkan ke perut

lawan.

"Eh...?!"

Orang berpakaian serba hitam itu memekik tertahan. Kaget

juga dia melihat lawan dapat mengelakkan serangannya.

Bahkan kini mampu membalas dengan serangan yang cukup


berbahaya. Buru buru dia melompat ke belakang, sehingga

tusukan golok Itu mengenai tempat kosong.

"Keparat...! Kau harus mampus!" teriak orang yang di

dadanya bergambar kalajengking merah. Hampir saja dia

celaka karena terlalu menganggap enteng lawannya.

Pengalaman pahit yang baru saja dialami, membuatnya tidak

lagi bersikap terlalu memandang rendah lawannya.

"Haatttt...!"

Sambil berteriak melengking, pertanda kemarahan hatinya,

tongkat berujung ekor kalajengking itu menyambar dahsyat ke

arah lawannya. Tapi utusan Sudiraja bertekad untuk melawan

mati-matian. Dia tidak ingin mengecewakan majikannya.

Pertarungan sengit pun tak dapat dihindari lagi. Tapi hal ini

hanya berlangsung beberapa jurus saja. Pada jurus-jurus

berikutnya, nampak jelas keunggulan orang berpakaian serba

hitam itu. Tongkat merah berujung ekor kalajengking di

tangannya, berkali-kali hampir mengenai tubuh tawannya.

Utusan Sudiraja menggertakkan gigi. Sejak semula sudah

diketahui kalau dirinya bukanlah tandingan si penghadang.

Tapi tanggung jawab terhadap tugas yang diembannya,

membuat laki-laki ini nekad dan berusaha melawan mati-

matian. Apa yang semula diduganya, kini menjadi kenyataan.

Hujan serangan lawan benar-benar membuatnya repot bukan

main. Dan robohnya dirinya, hanya tinggal menunggu waktu

saja.

Sret..!

"Akh...l

Utusan Sudiraja memekik tertahan ketika ekor kalajengking

yang runcing itu menyerempet perutnya. Cairan merah kental

mengalir dari luka goresan itu. Seketika Itu juga rasa pening

menyerang kepalanya.


"Racun...!" pekik utusan Sudiraja tajam. Sesaat kemudian

tubuhnya limbung.

"Ha ha ha...!" si penghadang tertawa terbahak-bahak

mendengar seruan kaget lawannya.

"Keparat! Kau..., kau curang...," maki utusan Sudiraja.

Seketika kemarahannya meluap.

"Ha ha ha...!" hanya suara tawa terbahak saja yang

menyahuti makian utusan Sudiraja itu.

"Ohhh...!" keluh utusan Sudiraja itu. Rasa pening di

kepalanya semakin kuat menyerang. Sekelilingnya dirasakan

bagai berputar-putar.

"Sekarang terimalah ajalmu, keparat! Hiyaaa...!"

Setelah berkata demikian, orang berpakaian serba hitam itu

melompat menerjang. Tongkat merah berujung ekor

kalajengking di tangannya menyambar cepat ke leher

lawannya.

Di saat gawat bagi keselamatan utusan Sudiraja itu,

mendadak sesosok bayangan putih melesat cepat. Daann...

Tranggg...!

"Akh...l"

Orang yang berpakaian serba hitam itu memekik tertahan

Tubuhnya kembali terlempar ke belakang. Tapi dengan

gerakan yang indah dan manis, tubuhnya bersalto beberapa

kali di udara dan mendarat ringan di tanah. Sekujur tangannya

dirasakan lumpuh. Tongkat merah berujung ekor kalajengking

di tangannya pun terpental.

"Siapa kau? Mengapa mencampuri urusanku?!" bentak

orang yang di dadanya bergambar kalajengking. Ditatapnya

orang yang telah menyelamatkan korbannya tajam-tajam.


Berdiri membelakangi utusan Sudiraja, nampak seorang

wanita cantik berpakaian serba putih. Rambut wanita itu

dibiarkan meriap. Di tangannya tergenggam sebatang pedang.

Sementara agak jauh di belakangnya, berdiri seorang pemuda

tampan berambut putih keperakan berpakaian serba ungu.

Sadar kalau lawan di hadapannya berilmu tinggi dan lagi

pula utusan Sudiraja itu pun tidak lama lagi akan tewas, si

penghadang memutuskan untuk melarikan diri. Cepat

dibalikkan tubuhnya dan berlari meninggalkan tempat itu,

setelah teriebih dulu memungut senjatanya.

Gadis berpakaian serba putih itu sama sekali tidak

mengejar. Sosok serba hitam itu dibiarkan saja melarikan diri.

Brukkk...!

Suara berdebuk jatuhnya tubuh utusan Sudiraja, membuat

pemuda berambut putih keperakan dan gadis berpakaian

serba putih itu terkejut Buru-buru keduanya melangkah

menghampiri.

"Ah...! Dia terkena racun ganas yang cepat daya kerjanya,

Kang Arya," ucap gadis berpakaian serba putih itu setelah

melihat luka di perut utusan Itu.

"Hm.... Dapatkah kau menolongnya. Melati?" tanya pemuda

berambut putih keperakan yang memang bernama Arya Buana

atau lebih dikenal berjuluk Dewa Arak itu.

Gadis berpakaian putih yang bernama Melati itu

menggelengkan kepalanya.

"Tidak, Kang. Racun ini ganas. Lagi pula hampir mencapai

jantung. Tampaknya dia tinggal menunggu ajalnya saja,"

jawab Melati.

"Hhh...!" desah Arya. Nampak jelas kalau pemuda Ini

kecewa mendengar jawaban itu.


"Jangan pedulikan aku...," tiba-tiba utusan Sudiraja itu

membuka matanya yang sejak tadi terpejam. Sekujur

wajahnya dipenuhi keringat sebesar butiran-butiran jagung.

'Yang penting..., tolong selamatkan surat ini. Dan berikan

pada Nirmala...," lanjutnya terputus-putus.

Setelah berkata demikian, dikeluarkannya sebuah gulungan

surat yang diselipkan di balik ikat pinggangnya. Gulungan

surat itu lalu diangsurkannya pada Dewa Arak

"Ke mana kami harus mengantarkannya, Kisanak?" tanya

Arya cepat, setelah menerima surat yang diangsurkan utusan

Sudiraja. Pemuda berambut putih keperakan ini khawatir kalau

orang itu keburu tewas sebelum sempat memberitahukan ke

mana dia harus mengantar surat itu.

"Ke... Perguruan... Hati... Suci...," sahut utusan itu

terputus-putus. "Tolong..., jangan biarkan orang-orang

Perkumpulan Kalajengking Merah merebutnya...."

"Perkumpulan Kalajengking Merah? Kami tidak mengerti

maksudmu, Kisanak? Bisakah kau beritahukan pada kami

siapa mereka?" desak Melati.

Keringat sebesar jagung semakin banyak bermunculan di

wajah utusan yang tengah berada di ambang maut itu.

"Mereka adalah perkumpulan orang jahat dan..., kh...!"

kepala utusan Sudiraja terkulai sebelum sempat

menyelesaikan keterangannya.

"Hhh...!" Dewa Arak mendesah bingung. Kini dia dan Melati

dihadapkan pada satu urusan. Dan sudah menjadi sifat Arya

untuk selalu mencampuri urusan yang dirasanya mengandung

unsur ketidakadilan. Tapi yang menjadi pertanyaan Dewa

Arak, dari mana dia harus memulainya?

"Sudahlah, Kang Arya. Yang penting kita harus kuburkan

mayatnya dulu," selak Melari ketika melihat tunangannya

hanya berdiri termangu.


"Hhh...!" Dewa Arak mendesah. Dipungutnya golok utusan

Sudiraja. Kemudian kakinya dilangkahkan ke sebuah tempat

yang agak tersembunyi dan terlindung. Golok itu dipakai untuk

menggali lubang mengubur mayat utusan Sudiraja.

Dengan tenaga dalamnya yang memang sudah mencapai

tingkatan tinggi, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk membuat

sebuah lubang yang cukup besar dan dalam. Meskipun tanah

di situ keras, tapi Arya menggali seperti orang menggali tanah

lunak mempergunakan cangkul saja layaknya.

Dalam waktu singkat, sebuah lubang yang cukup dalam

dan lebar selesai dibuat Dewa Arak segera memasukkan

mayat itu dan menguruknya dengan tanah dan batu-batuan

Tak lupa di atasnya ditancapkan! sebuah batu persegi sebagai

pengganti nisan.

***

"Kang Arya...," panggil Melati ketika dilihatnya Dewa Arak

telah menyelesaikan pekerjaannya.

Arya menoleh. Dilihatnya gadis berpakaian serba putih Itu

tengah memperhatikan sebuah benda yang tergenggam di

tangannya. Arya bergegas menghampiri.

Melati segera memberikan logam berbentuk ekor

kalajengking merah pada Dewa Arak. Pemuda berambut putih

keperakan Itu menerimanya. Diperhatikannya benda yang kini

dipegangnya dengan seksama.

"Dari mana kau dapatkan benda ini, Melati?" tanya Arya.

"Dari leher kuda itu, Kang," jawab gadis itu sambil

menunjuk kuda hitam putih yang tergolek tanpa nyawa di

dekatnya.

Dewa Arak membungkukkan tubuhnya. Sejenak

diperhatikannya sekujur tubuh kuda itu, kemudian bangkit

berdiri.


"Racun yang sama," desis Arya pelahan.

"Senjata rahasia itu bentuknya aneh sekali, Kang."

'Ya. Seperti ekor kalajengking," jawab Arya sambil

mengernyitkan keningnya.

Melati mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Ada apa, Melati?" tanya Arya. Jelas ada suatu kesimpulan

yang didapatkan gadis itu sehingga membuatnya

mengangguk-angguk pertanda mengerti.

"Jelas pembunuhnya adalah orang dari Perkumpulan

Kalajengking Merah, Kang," sahut gadis berpakaian serba

putih itu.

Dewa Arak mengernyitkan alisnya. Memang sudah

didengarnya, orang yang menitipkan surat tadi menyebutkan

nama Perkumpulan Kalajengking Merah.

"Perkumpulan Kalajengking Merah...," gumam pemuda

berambut putih keperakan itu. Sepasang matanya menatap

kosong. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. "Kau pernah

mendengarnya, Melati?"

"Tidak. Kau mengetahuinya. Kang?" Melari balik bertanya

sambil menatap Arya tajam. Gadis ini memang belum pernah

mendengar nama perkumpulan Itu.

Dewa Arak menggelengkan kepalanya "Lalu bagaimana

dengan surat itu, Kang?" tanya Melari lagi.

"Yahhh..., seperti yang telah dipesankan oleh orang tadi."

"Jadi...?"

"Ya. Kita antarkan kepada Nirmala di Perguruan Hati Suci,"

jelas Arya. Melati terdiam sejenak.

"Lalu bagaimana dengan bangkai kuda ini, Kang? Aku

khawatir racun ini akan menyebar. Tubuh binatang ini telah


mengandung racun," ucap Melati meminta pendapat Dewa

Arak.

Arya tercenung sejenak. Disadari kebenaran ucapan

tunangannya ini.

"Jalan saru satunya hanyalah membakarnya. Mengubur

bangkai ini terlalu menyita waktu. Harap kau menyingkir

sebentar, Melati," pinta pemuda berambut putih keperakan

Itu.

Tanpa berkata apa-apa, Melati segera melangkah

menyingkir Tanpa diberitahu pun gadis ini tahu kalau Dewa

Arak akan mempergunakan Jurus yang belum lama

dikuasainya. Jurus 'Membakar Matahari'.

Dewa Arak melangkah mundur. Jarak antara dia dengan

bangkai binatang itu sekitar empat tombak. Kemudian kedua

tangannya dengan jari-jari terkembang membentuk cakar,

dihentakkan dua kali berturut-turut

Wusss, wusss...!

Dua gumpal api meluncur dari telapak tangan Dewa Arak

ke arah bangkai kuda itu. Terdengar suara letupan pelan

ketika kedua bola api itu mengenai tubuh binatang itu. Sesaat

kemudian, api pun berkobar.

Tak lama kemudian di tempat itu tercium bau sanglt daging

terbakar, diiringi bau amis yang memuakkan. Melati segera

menyingkir lebih menjauh lagi. Kedua hidungnya ditutup untuk

mencegah bau tidak enak yang membuat perutnya mual.

Dalam waktu sekejap, api itu telah membakar habis

bangkai kuda hitam putih tersebut Kini yang tinggal hanyalah

onggokan daging dan tulang-tulang yang kemudian buyar

tertiup angin.

"Hhh...!" Arya menghela napas lega. Kakinya kemudian

dilangkahkan menghampiri Melati. "Mari kita tuntaskan tugas

kita, Melati."


Gadis berpakaian serba pulih itu menatap wajah Dewa Arak

penuh takjub sesaat Baru kemudian dia pun Ikut melangkah di

sebelah Arya, meninggalkan tempat itu.

***

Matahari telah naik tinggi. Sinarnya yang menyengat kulit

menyoroti bumi dengan garang. Tapi teriknya sinar itu tidak

dirasakan oleh orang yang berada dalam bangunan termegah

di Desa Rinji.

"Apa itu, Ayah?" tanya Kanulaga ketika melihat nyahnya

tengah membungkus sesuatu dalam sebuah kantung kain

yang cukup besar.

Sudiraja terkejut bukan main. Hampir saja dia terlonjak

kaget mendengat teguran itu. Diam-diam dia memaki dirinya

sendiri, mengapa dia lupa mengunci pintu kamarnya, sehingga

putra sulungnya itu dapat masuk dan mengetahui

perbuatannya?

"Tidak ada apa-apa, Kanulaga," jawab Sudiraja gugup.

Jelas kalau kedatangan Kanulaga ke kamarnya, diluar

dugaannya.

Kanulaga mengernyitkan alisnya. Perasaan curiganya pun

timbul ketika melihat perubahan air muka nyahnya. Dengan

langkah lebar, dihampiri ayahnya.

"Boleh kulihat apa yang Ayah bungkus itu?" tanya laki-laki

berwajah keras itu penuh rasa ingin tahu.

"Tidak ada apa-apa, Kanulaga. Yahhh..., hanya...."

"Tidak perlu membohongiku. Ayah. Aku tahu apa yang

Ayah bungkus itu," selak Kanulaga cepat

"Kau tahu?!" tanya Sudiraja setengah tidak percaya.

"Ya." jawab Kanulaga singkat



"Apa!" desak Sudiraja penasaran. Ingin diketahuinya

jawaban putra sulungnya.

"Apa lagi kalau bukan harta kekayaan ayah?!"

Wajah Sudiraja berubah pucat Tapi hal ini hanya

berangsung sesaat, sebentar kemudian wajahnya sudah

kembali seperti sediakala.

"Dugaanmu tidak salah, Kanulaga. Ayah memang sengaja

memisahkannya Yahhh...! Tempat penyimpanan harta Ayah

sudah penuh," jelas Sudiraja mencoba tersenyum.

"Hhh...!" Kanulaga menghela napas dalam-dalam. Ditatap

wajah ayahnya lekat-lekat. "Ayah masih saja berusaha

menyembunyikan hal ini padaku," keluhnya pelan.

"Apa maksudmu, Kanulaga? Ayah tidak mengerti!" sergah

Sudiraja dengan suara ditekan. Tapi sungguhpun begitu, tetap

saja laki-laki gendut ini tidak bisa menyembunyikan

kegelisahannya.

"Ayah masih juga berpura-pura Aku sudah tahu untuk apa

harta kekayaan itu! Aku telah tahu semuanya!" tandas

Kanulaga tegas.

Pucat pias wajah Sudiraja mendengar ucapan anaknya.

Sepasang matanya menatap liar ke kanan dan ke kiri, seperti

ada sesuatu yang ditakutinya.

"Tutup mulutmu, Kanulaga! Kau tahu, tindakanmu itu

hanya akan membahayakan dirimu sendiri!" bentak Sudiraja.

Kanulaga menarik napas dalam-dalam dan

menghembuskannya kuat-kuat

"Perlu Ayah tahu, dalam pengembaraanku berkali-kali aku

berhadapan dengan maut Jadi, kematian bukanlah sesuatu

yang menakutkan bagiku, Ayah. Aku lebih suka mati

terhormat daripada hidup terinjak-injak," tegas dan keras

kata-kata Kanulaga.


Sudiraja menatap wajah putra sulungnya lekat-lekat

"Kau tidak tahu siapa mereka, Kanulaga," desis laki-laki

gendut itu tajam.

"Aku tahu, Ayah. Bukankah mereka adalah Perkumpulan

Kalajengking Merah?!" sahut Kanulaga tegas.

"Kau hanya tahu satu, tapi tidak tahu yang kedua,

Kanulaga!" sentak Sudiraja.

"Maksud, Ayah?" tanya Kanulaga tidak mengerti.

"Kau tahu di mana markas mereka?"

Laki-laki berwajah keras itu mengangkat bahu.

"Aku tidak tahu. Ayah. Tapi apakah Ayah tahu?" Kanulaga

balik bertanya.

Laki-laki berperut gendut itu tersenyum penuh

kemenangan.

"Itulah yang membuat mereka lebih berbahaya, Kanulaga.

Tidak seorang pun tahu di mana markas mereka! Yang jelas

setiap orang yang membangkang kemauan mereka, pasti

tewas!"

"Lalu, ke mana Ayah mengantarkan upeti itu?" tanya

Kanulaga lagi setelah termenung sejenak.

Sudiraja mengernyitkan alisnya. Laki-laki berperut gendut

Ini mencium gelagat yang mencurigakan pada Sikap putera

sulungnya.

"Untuk apa kau mengetahuinya?" tanya Sudiraja. Sepasang

matanya merayapi sekujur wajah Kanulaga. Sepertinya di

wajah itu dapat ditemukan jawaban dari pertanyannya.

"Hanya ingin tahu saja," sahut laki-laki berwajah keras Itu

sekenanya.


"Kalau begitu, kau tak perlu mengetahuinya, Kanulaga,"

jawab Sudiraja ringan.

Kanulaga menatap wajah ayahnya sejenak. Laki-laki

berwajah keras yang juga memiliki watak keras ini

menghembuskan napas panjang.

"Biar bagaimanapun juga, aku akan berusaha agar harta itu

tidak terjatuh ke tangan pemeras-pemeras terkutuk itu!" tegas

Kanulaga tandas.

Setelah berkata demikian, Kanulaga melangkah

meninggalkan kamar ayahnya.

"Kanulaga...!" panggil Sudiraja dengan suara keras. Tapi

laki-laki berwajah keras itu sama sekali tidak menghiraukan.

Terus saja dilangkahkan kakinya.

"Hhh...!" laki-laki berperut gendut itu menghela napas

dalam-dalam. "Anak tidak tahu penyakit...," keluhnya pelan

sambil terus melanjutkan pekerjaannya. .

***

3

Siang itu udara terasa panas sekali. Sang matahari

memancarkan sinarnya yang terik, menyorot garang ke bumi.

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas. Disusulnya peluh

yang membasahi sekujur wajah dan lehernya dengan

punggung tangan. Ditolehkan kepalanya ke arah Melati yang

duduk di sebelahnya. Gadis itu juga tengah menyusuri peluh

yang membasahi wajah dan lehernya yang berkulit putih,

halus, dan mulus itu. Memang Dewa Arak dan Melari tengah

duduk beristirahat di bawah pohon yang berdaun rindang.

"Daerah di sini panas ya, Kang," ucap Melati pelan

membuka percakapan.


"Ya," sahut Arya sambil menatap wajah gadis berpakaian

serba putih itu lekat-lekat "Tapi sabarlah, Melati. Tidak lama

lagi semuanya akan berakhir. Setelah menyampaikan surat ini,

kita akan meninggalkan tempat ini secepatnya."

Seraya berkata demikian, Dewa Arak menunjukkan surat

yang terselip di pinggangnya.

"Mudah-mudahan saja," jawab Melati dengan suara

mendesah.

Dewa Arak mengerutkan alisnya.

"Sepertinya kau tidak senang, Melati," tanya Dewa Arak

setengah memastikan.

"Bukan aku tidak senang, Kang," bantah gadis berpakaian

serba putih itu cepat

"Hm , tapi nada ucapanmu sepertinya menyiratkan begitu "

Melati menghela napas dalam-dalam dan

menghembuskannya kuat-kuat

"Aku tidak kerasan berada di daerah seperti ini, Kang.

Apabila siang, panas bukan main. Tapi sebaliknya malamnya

dingin sekali. Tapi tugas itu...."

"Kenapa tugas ini, Melati?"

"Tugas ini sepertinya tidak akan mudah kita lak-1 sanakan.

Kang."

"Maksudmu...?"

"Aku yakin mau tidak mau kita akan terseret ke dalam

urusan yang akan membuat kita berada di sini untuk waktu

yang cukup lama, Kang," tegas dan jelas a kata-kata Melati.

Arya tercenung. Disadarinya kebenaran dalam ucapan gadis

yang dicintainya ini. Dia pun tidak yakin, kalau sehabis

mengantarkan surat ini, tugasnya akan selesai.


"Mungkin kau benar, Melati," desah pemuda berambut

putih keperakan ini pelan.

Suasana menjadi hening ketika Dewa Arak menyelesaikan

ucapannya. Kedua pendekar muda ini tenggelam dalam

lamunannya masing-masing. Tapi tiba-tiba hampir berbareng

keduanya saling pandang. Dahi mereka berkerut-kerut

"Ada banyak langkah kaki yang menuju kemari, Melati,"

ucap Dewa Arak memberitahu.

"Aku pun mendengarnya, Kang," sahut gadis berpakaian

serba putih itu. Memang, baik Melati maupun Arya telah sama-

sama mendengar suara itu.

"Waspadalah, Melati. Sepertinya, mereka tidak bermaksud

baik."

Belum juga gema suara Dewa Arak lenyap, terdengar

suara-suara mendesing nyaring. Disusul dengan berkelebatnya

belasan sinar kemerahan ke arah mereka.

Bagai dikomando, meskipun masih dalam posisi duduk,

kedua muda-muda itu serentak menghentakkan kedua

tangannya ke depan. Dewa Arak dengan jurus 'Pukulan

Belalang'nya, sedangkan Melati dengan jurus 'Naga Merah

Membuang Mustika',

Angin berhembus keras ke arah sinar-sinar kemerahan

yang menyambar ke arah dua muda-mudi yang sakti itu.

Hebat akibatnya! Belasan sinar merah itu rontok, berjatuhan di

tanah sebelum sempat mendekati Dewa Arak dan Melati.

Tapi baru saja belasan sinar merah yang ternyata adalah

logam merah berbentuk ekor kalajengking itu rontok ke tanah,

belasan sosok berpakaian serba hitam muncul dari balik

rerimbunan semak dan pohon.

"Hhh...! Ada saja gangguan...," keluh Melati.


Dewa Arak tersenyum mendengar gerutu gadis Itu. Tak

lama kemudian, pemuda itu bangkit dari duduknya.

"Kau istirahat saja, Melati. Biar aku yang menghadapi

mereka," ujar Arya.

Setelah berkata demikian, Dewa Arak lalu menghampiri

belasan orang yang sudah siap menyerang. Diperhatikannya

mereka sejenak. Jumlah mereka sebelas orang, berpakaian

serba hitam, yang di dadanya berqambar kalajengking merah.

Wajah mereka tidak terlihat karena tertutup selubung hitam.

Senjata tongkat panjang merah berujung ekor kalajengking,

tergenggam di tangan mereka.

"Serahkan surat itu pada kami, Kisanak. Dan kami berjanji

akan membiarkan kau dan temanmu pergi dengan selamat'"

ucap salah seorang dari para pengepung itu. Berbeda dengan

yang lainnya, pada dahi selubungnya tertera tanda totol

merah. Sementara pada dahi selubung yang lainnya tidak

terdapat tanda apa-apa.

"Sayang sekali. Aku telah dipesan oleh yang bersangkutan

untuk menyerahkan surat ini pada yang berhak

menerimanya," sahut Arya kalem.

"Keparat! Jadi, kau tidak mau memberikan surat itu,

Kisanak?!" gertak si selubung bertotol merah.

"Sudah kukatakan, aku hanya akan memberikan pada yang

berhak menerimanya!" tegas Dewa Arak tandas.

"Rupanya kau lebih suka mampus! Hiyaaa...!" Setelah

berkata demikian, orang berpakaian serba hitam ini

menusukkan senjata anehnya ke arah perut Arya. Tapi Dewa

Arak hanya tersenyum tipis. Tubuhnya segera didoyongkan ke

samping kanan, sehingga senjata itu lewat di samping kiri

sambil tangan kanannya bergerak menangkap.

Tappp...!

"Akh...!"


Si penyerang terpekik kaget ketika tangannya telah

ditangkap Dewa Arak. Dan jerit kekagetan Itu segera berubah

menjadi jerit kesakitan, ketika Arya menggerakkan jari-jari

tangannya meremas.

Terdengar suara gemeretak dari tulang-tulang tangan yang

remuk. Pemuda berambut putih keperakan Ini tahu kalau

orang-orang yang mengepungnya Ini berwatak kejam dan

jahat Maka Dewa Arak sengaja bertindak agak keras terhadap

mereka.

Belum lagi, penyerang yang sial ini berbuat sesuatu, Dewa

Arak menyentakkan tangannya. Tak pelak lagi tubuh orang itu

melayang ke depan.

"Aaa..!" jerit orang berpakaian serba hitam itu penuh rasa

ngeri. Tubuhnya melayang deras ke arah batang pohon

sebesar dua pelukan orang dewasa.

Bukkk...!

"Akh...!"

Terdengar keluhan tertahan dari mulut penyerang yang

sial, ketika kepalanya menghantam batang pohon. Seketika itu

juga orang berpakaian serba hitam yang pada bagian dahi

selubungnya terdapat totol merah ini pingsan.

Seruan-seruan kaget terdengar dari mulut para penyerang,

begitu melihat rekannya roboh hanya dalam segebrakan saja

di tangan pemuda berambut putih keperakan ini.

Meskipun begitu, belasan orang itu tidak menjadi gentar.

Sambil memekik nyaring, mereka serentak menyerang Dewa

Arak. Belasan senjata tajam pun berkelebatan menghujani

Arya.

Sekali lihat saja, Dewa Arak dapat mengukur tongkat

kepandaian para pengeroyoknya Memang tingkat kepandaian

mereka rata-rata cukup tinggi. Tapi masih terlalu Jauh Jika

diperbandingkan dengannya Maka, Dewa Arak tidak merasa


perlu mempergunakan ilmu andalannya. Pemuda itu hanya

menggunakan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Ilmu

yang diwariskan ayahnya.

Hebat bukan main sepak terjang Dewa Arak. Ke mana saja,

tangan atau kakinya bergerak, pastilah di situ ada lawan yang

roboh. Tapi Dewa Arak yang memang tidak berwatak kejam,

tidak pernah menurunkan tangan maut pada mereka. Paling-

paling dia hanya mematahkan satu kaki atau tangan mereka

untuk sekedar memberi pelajaran.

Jerit kesakitan terdengar susul-menyusul seiring dengan

berjatuhannya tubuh mereka satu persatu ke tanah.

"Akh...!"

"Aaa...!"

Dengan terdengarnya dua jeritan terakhir, berakhir pula

pertarungan antara Dewa Arak dengan para pengeroyoknya.

Kini tinggal Arya yang masih berdiri di arena pertarungan.

Sementara para pengeroyoknya bertebaran tanpa daya di

sekelilingnya. Hanya rintihan mereka saja yang masih

terdengar.

Dewa Arak memandangi lawan-lawannya yangj tergolek tak

berdaya di tanah, sejenak. Baru setelah itu menghampiri

mereka. Arya bermaksud mengorek keterangan dari mulut

mereka.

Tapi baru juga Dewa Arak berjalan beberapa tingkah,

terdengar suara bersiut nyaring, disusul dengan melesatnya

sebuah benda bulat sebesar telur angsa. Dewa Arak tidak

berani bertindak gegabah. Buru-buru tubuhnya dilempar ke

belakang, dan bersalto beberapa kali di udara.

Blarrr...!

Terdengar ledakan yang cukup keras begitu benda bulat

sebesar telur angsa itu jatuh di tanah. Asap tebal berwama

hitam pekat segera menyebar memenuhi tempat itu.


"Hup...!

Dewa Arak hinggap sekitar tujuh tombak dari tempatnya

semula. Dahi pemuda itu berkernyit ketika mencium bau amis

memuakkan dari asap yang sedikit terbawa angin ke

tempatnya

"Menyingkir, Melati! Asap itu beracun!" seru Arya pada

tunangannya, seraya melesat menjauhi asap itu.

Mendengar seruan kekasihnya, Melati bergegas bangkit dari

duduknya dan berlari menyingkir dari situ. Menyusul Dewa

Arak.

Baru setelah asap tebal berwarna hitam itu telah sirna

tertiup angin. Dewa Arak dan Melati kembali ke tempat

semula. Bergidik hati mereka melihat belasan Bosok

berpakaian hitam tadi telah tak bergerak lagi. Tewas! Sekujur

kulit tubuh mereka hangus!

Dewa Arak mengalihkan perhatian ke arah penyerang

pertama yang telah dibuatnya pingsan tadi. Ternyata yang

seorang ini pun sudah tidak bernyawa pula. Kepalanya pecah!

Sepasang mata Dewa Arak bergerak liar mengamati

sekelilingnya Barangkali saja dapat menemukan penyerang

gelap yang telah melemparkan benda bulat yang dapat

meledak itu Tapi sampai lelah matanya berputar ke sana

kemari, tidak juga dilihatnya hal yang mencurigakan.

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas. Kini persoalannya

menjadi gelap kembali.

Melati bergidik ngeri melihat keadaan mayat-mayat Itu.

Digamitnya lengan Dewa Arak. Kemudian ditariknya

meninggalkan tempat itu.

Arya sama sekali tidak membantah. Pemuda ini tahu, tidak

ada gunanya lagi mencari si penyerang gelap. Orang itu pasti

telah jauh meninggalkan tempati ini. Maka dibiarkan saja

Melati membawanya.


***

Dewa Arak dan Melati menghentikan langkahnya. Kepala

mereka sama-sama agak menengadah, menatap sebuah

papan tebal yang tergantung di atas pintu gerbang sebuah

bangunan besar berhalaman luas. Bangunan besar itu

dikelilingi pagar kayu bulat yang tinggi. Jelas terbaca oleh

mereka huruf-huruf yang tertera di papan berukir indah itu.

Huruf-huruf yang dibuat dengan tinta emas, bertuliskan

'Perguruan Hati Suci'.

"Mari kita ke sana, Melati," ajak Dewa Arak sambil

melangkah mendahului ke arah pintu gerbang itu. Melati

bergegas mengikuti tangkah kekasihnya.

"Maaf, Kisanak. Apakah kami bisa bertemu dengan

Nirmala?" tanya Dewa Arak sopan pada dua orang murid

Perguruan Hati Suci yang menjaga pintu gerbang.

Kedua orang murid itu saling pandang sejenak. Raut

keterkejutan jelas terbayang pada wajah mereka.

"Maaf, kalau boleh kami tahu siapakah kisanak berdua?"

tanya salah seorang dari dua murid itu.

"Aku Arya dan ini temanku..., Melati," jawab Dewa Arak

memperkenalkan diri.

"Hm.., maksud kami..., apa hubungan kisanak berdua

dengan Nirmala?" tanya orang itu lagi memperbaiki

pertanyaannya yang tadi.

Dewa Arak dan Melari melongo. Sungguh sama sekali tidak

disangka kalau untuk bertemu dengan gadis itu sangat sulit

Mereka sama sekali tidak tahu, kalau keberadaan Nirmala di

Perguruan Hati Suci sangat dirahasiakan. Hanya beberapa

gelintir orang saja yang mengetahuinya.

Dan kebetulan di antara mereka adalah dua orang vang

menjaga pintu gerbang ini. Tentu saja mereka terkejut bukan

main begitu melihat seorang pemuda berambut putih


keperakan dan seorang gadis cantik berpakaian putih, mencari

putri Sudiraja Itu.

"Kami... kami bukan apa-apanya. Kami hanya...."

Belum lagi Arya menyelesaikan ucapannya, dua orang itu

sudah menghunus golok masing-masing.

Srattt...! Srattt...!

Sinar terang berkilatan, ketika kedua golok itu keluar dari

sarungnya.

"Tunggu sebentar, Kisanak! Percayalah, kami tidak

bermaksud jahat," cegah Dewa Arak buru-buru

Tapi dua orang penjaga Itu sama sekali tidak

mempedulikan kata-kata Dewa Arak. Golok di tangan mereka

berkelebat cepat menyerang Arya. Tampaknya kedua penjaga

itu benar-benar menginginkan kematiai Dewa Arak!

Melati yang memang berwatak keras, menjadi tidak senang

melihat sikap kedua orang itu.

"Kalian pikir, hanya kalian saja yang memiliki kepandaian?"

ucapnya keras, seraya melayangkan tubuhnya. Sesaat

kemudian gadis berpakaian putih itu telah berdiri

membelakangi Arya.

"Mundur, Melati...!" teriak Dewa Arak mencegah. Pemuda

berambut putih keperakan Ini tidak ingin keadaan menjadi

lebih kacau dengan ikut campur tangannya Melati, gadis yang

diketahuinya memiliki watak keras.

Tapi Melati sama sekali tidak mempedulikan seruan

kekasihnya. Kedua tangan gadis berpakaian serba putih itu

tahu-tahu sudah bergerak cepat menangkis golok yang

menyambar ke arahnya dengan tangan kosong!

Takkk...! Takkk...!

Tappp, tappp...!


Seolah-olah yang menyambarnya bukan dua bilah golok,

tangan halus Melati menangkisnya Bahkan menangkapnya

sekaligus!

"Uh... uh...!"

Dua orang murid Perguruan Hati Suci itu berusaha sekuat

tenaga menarik pulang senjata mereka dari cengkeraman

Melati. Tapi cengkeraman itu begitu kuat bagaikan sebuah

jepitan baja. Betapapun kedua orang itu mengerahkan seluruh

tenaga dalamnya, tetap saja usaha mereka sia-sia.

Melati hanya tersenyum sinis. Berbeda dengan wajah kedua

murid Perguruan Hari Suci yang memerah karena

mengerahkan tenaga yang melewati batas, wajah gadis ini

terlihat biasa-biasa saja. Tak terihat kalau Melati sedang

mengerahkan tenaga dalamnya.

Beberapa saat kemudian, mendadak Melati melepaskan

cengkeramannya. Akibatnya sudah bisa didugai Kedua murid

Perguruan Hati Suci itu terjengkang ke belakang dan jatuh

berdebuk di tanah, terbawa betotan tenaga mereka sendiri.

Melati bertolak pinggang menatap kedua lawannya yang

tengah bangkit sambil tersenyum sinis. Tapi rupanya kedua

orang itu masih penasaran. Terbukti begitu bangkit, mereka

sudah bersiap akan menyerang kembali. Tapi sebelum hal itu

terjadi, terdengar sebuah suara keras mencegah.

"Tahan...!"

Belum lagi habis gema suara bentakan itu, angin dingin

berkesiur. Disusul dengan munculnya seorang lelaki bertubuh

sedang, berusia sekitar lima puluh lima tahun. Laki-laki itu

berbibir tebal dan berpakaian jingga

"Guru...!" seru kedua murid Perguruan Hati Suci Itu

berbareng sambil menjura hormat.



Laki-laki berbibir tebal yang ternyata adalah Ketua

Perguruan Hari Suci ini menatap tajam wajah kedua muridnya,

setelah sekilas melirik ke arah Melati dan Dewa Arak.

"Puja, Jaya, apa-apaan ini?" tegur laki-laki berpakaian

Jingga itu.

"Maafkan kami, Guru... tapi kedua orang ini mencurigakan,"

jawab salah seorang dari mereka yang bertubuh pendek.

"Mencurigakan...? Mencurigakan bagaimana, Puja?" tanya

laki-laki berbibir tebal itu lagi. Kembali sudut matanya melirik

pada Melati dan Dewa Arak.

"Mereka mencari Nirmala, Guru," jawab laki-laki pendek

yang ternyata bernama Puja. Pelahan sekali suaranya, seperti

suara desahan saja.

Wajah Ketua Perguruan Hati Suci langsung berubah.

Penjelasan dari Puja telah cukup jelas baginya Dapat

dimaklumi sikap kedua muridnya. Kini perhatiannya dialihkan

pada Melati dan Dewa Arak.

"Maafkan atas kelancangan kedua muridku yang kurang

sopan ini, Nisanak. Tapi, benarkah apa yang dikatakan kedua

muridku?" tanya laki-laki berbibir tebal itu kepada Melati yang

berada lebih dekat dengannya. Memang, gadis berpakaian

putih itu berdiri agak jauh di depan Dewa Arak.

Melihat sikap sopan yang ditunjukkan laki-laki berpakaian

jingga itu, kedongkolan Melati pun berkurang. Tangannya

yang semula bertolak pinggang, diturunkan.

"Benar, Ki," sahut Melati sambil menganggukkan

kepalanya.

Ketua Perguruan Hati Suci itu mengangguk-anggukkan

kepalanya.


"Kalau boleh kutahu, siapakah Nisanak dan Kisanak ini

sebenarnya. Dan ada urusan apa mencari Nirmala? Aku Ki

Tanu, Ketua Perguruan Hati Suci."

"Aku Melati, sedangkan temanku Ini berjuluk Dewa Arak...,"

jawab Melari. Sengaja gadis ini memperkenalkan pemuda

berambut putih keperakan ini dengan julukannya, tidak

dengan namanya. Memang, julukan Dewa Arak jauh lebih

dikenal ketimbang nama Arya Buana.

Dugaan gadis berpakaian serba putih ini tidak salah. Begitu

mendengar nama Dewa Arak, terdengar seruan-seruan kaget

dari mulut ketiga orang di hadapannya. Sementara Arya

sendiri hanya dapat menghela napas. Dia tahu Melati masih

merasa mendongkol dengan kejadian tadi.

"Ah, kalau begitu pasti ada sesuatu yang penting, sehingga

kalian mencari Nirmala. Mari, mari masuk. Lebih baik kita

bicarakan masalah ini di dalam," ucap Ki Tanu setelah hilang

rasa kagetnya.

Setelah berkata demikian, Ketua Perguruan Hari Suci

melangkah masuk ke dalam. Melati pun ikut melangkah

masuk, setelah teriebih dulu melempar pandang mata penuh

kemenangan pada kedua orang murid Ki Tanu. Dewa Arak

yang melihat hal itu hanya tersenyum geli di dalam hati. Sifat

tidak mau kalah dari gadis itu masih belum juga hilang,

ucapnya dalam hati sambil terus melangkah ke dalam.

***

"Sekali lagi aku mohon maaf atas perlakuan yang kurang

pantas kedua muridku tadi, Dewa Arak," ucap Ki Tanu setelah

ketiganya berada dalam ruang khusus tempat Kl Tanu

membicarakan masalah-masalah penting dan rahasia.

Dewa Arak tersenyum lebar.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ki," sahut pemuda

berbaju ungu itu bijaksana. "Semua ini hanya kesalahpahaman


belaka. Dan kuminta Aki memanggllku dengan namaku saja.

Arya, Ki."

"Baiklah kalau begitu, De... eh, Arya. Kalau boleh kutahu,

ada urusan apa, kau dan Nini Melati ini mencari Nirmala?"

tanya laki-laki berpakaian jingga lni.

"Sebetulnya kami sama sekali tidak mempunyai urusan

dengan Nirmala, Ki Mengenalnya pun tidak Bahkan mendengar

namanya saja belum lama," jelas Dewa Arak.

"Eh...?! Mengapa begitu?" tanya Ki Tanu agak kaget

"Yahhh...! Hanya sebuah ketidaksengajaan saja yang

menyebabkan kami mencari Nirmala, Ki," jawab Dewa Arak

memberi penjelasan. Lalu diceritakannya tentang semua

kejadian yang dialaminya sebelum tiba di Perguruan Hati Suci.

Ki Tanu mendengarkan cerita Dewa Arak dengan wajah

sungguh-sungguh hingga pemuda berambut putih keperakan

itu menyelesaikan ceritanya.

"Bisa kulihat surat itu, Arya?" tanya Ki Tanu setelah Dewa

Arak menyelesaikan ceritanya.

Dewa Arak mengerutkan alisnya mendengar permintaan

laki-laki berbibir tebal itu.

"Maaf, Ki. Aku tidak dapat memberikannya padamu. Pesan

orang itu, surat Ini harus kuberikan langsung pada Nirmala,"

jawab Dewa Arak tegas.

Ki Tanu tersenyum. Ketua Perguruan Hari Suci ini benar-

benar mengagumi sikap Dewa Arak.

"Aku mengerti, Arya. Tapi bila kau berikan surat itu padaku

atau pada Nirmala, sama saja. Nirmala adalah muridku. Murid

istimewa. Ayah gadis itu sendiri yang menitipkannya padaku.

Sudiraja, ayah Nirmala adalah kawan akrabku. Dia biasa

mengirim surat padaku menanyakan bagaimana keadaan

putrinya. Atau dia mengirimkan surat untuk putrinya sendiri.


Tapi surat kali ini agaknya banyak mengandung keanehan,

Arya."

"Maksud, Aki?" tanya Dewa Arak. Kini sudah jelas baginya

siapa Itu Nirmala, dan siapa laki-laki berbibir tebal ini.

'Tadi kau bilang, orang yang bertugas mengirimkan surat

ini tewas di tangan orang yang berpakaian dan berselubung

hitam, bergambar kalajengking merah di dada?" tanya Ki Tanu

lagi, meyakinkan.

"Benar, Ki. Orang Itu juga mempunyai senjata rahasia

berbentuk ekor kalajengking berwarna merah yang

mengandung racun ganas," tambah pemuda berambut putih

keperakan itu.

"Kau tahu siapa mereka, Arya?" tanya Ki Tanu. Sepasang

matanya merayapi sekujur wajah Dewa Arak. Seolah-olah di

wajah pemuda Itu terdapat jawaban bagi pertanyaannya.

"Sedikit, Ki. Sebelum mati, pembawa surat Ini sempat

mengatakan padaku, kalau orang-orang Perkumpulan

Kalajengking Merahlah yang melakukannya," jawab Dewa

Arak.

"Apa yang dikatakan utusan Sudiraja itu memang benar.

Hm..., selain itu apa lagi yang kau ketahui tentang

Perkumpulan Kalajengking Merah, Arya?" desak Ki Tanu ingin

tahu.

Dewa Arak menggelengkan kepalanya.

'Tidak ada lagi, Ki."

"Sudah kuduga! Aku saja yang sudah puluhan tahun tinggal

di sini, masih belum begitu jelas mengetahui perkumpulan

misterius itu. Hhh...," ujar Ki Tanu sambil menghela napas

panjang.

"Perkumpulan misterius, Ki?" tanya Dewa Arak. Sepasang

matanya menyorotkan ketidakmengertian.


"Ya," jawab laki-laki berpakaian Jingga ini seraya

menganggukkan kepalanya.

"Mengapa begitu, Ki?" tanya Dewa Arak penasaran.

Ki Tanu tidak langsung menjawab pertanyaan itu.

Ditariknya napas dalam-dalam kemudian dihembuskannya

kuat-kuat

"Perkumpulan itu kukatakan misterius, karena tak seorang

pun tahu di mana markasnya. Mereka selalu muncul secara

tiba-tiba. Dan andaikata ada anggotanya yang tertangkap,

kalau tidak anggota yang sial Itu mati terbunuh sebelum buka

mulut, pasti dia bunuh diri," jelas laki-laki berbibir tebal ini

membentahu.

"Aneh...," desah Dewa Arak tanpa sadar.

"Tapi ada yang lebih aneh lagi, Arya," selak Ketua

Perguruan Hati Suci itu.

"Apa, Ki?"

"Mengapa Perkumpulan Kalajengking Merah itu begitu gigih

berusaha merampas surat untuk Nirmala. Itulah yang menjadi

tanda tanya buatku. Padahal selama ini surat-surat untuk

Nirmala atau untukku selalu aman-aman saja. Yahhh..., selalu

sampai di tujuan," ujar Ki Tanu.

"Jadi, itukah sebabnya kau ingin mengetahui isi surat itu,

Ki?" tanya Dewa Arak mulai paham persoalannya.

Ki Tanu menganggukkan kepalanya.

"Aku tahu betul, perkumpulan macam apa, Perkumpulan

Kalajengking Merah itu. Sebuah perkumpulan misterius yang

tidak ketahuan jelas anggota dan pemimpinnya. Perkumpulan

itu memeras penduduk. Apalagi penduduk yang agak kaya.

Sudah lama Gusti Adipati Palangka hendak menghancurkan

gerombolan Itu. Tapi sampai sekarang tidak pernah berhasil.

Kalau melihat gelagatnya, aku yakin kalau Perkumpulan


Kalajengking Merah hendak merebut Kadipaten Palangka,"

jelas laki-laki berbibir tebal itu panjang tebar.

Dewa Arak tercenung. Sungguh tak disangka kalau masalah

yang dihadapinya menjadi sebesar ini.

"Lalu, kenapa hal Itu tidak dilakukan, Ki?"

"Entahlah. Mungkin, takut kalau pasukan kerajaan akan

datang menghancurkan mereka," sambut Ketua Perguruan

Hati Suci itu, mendesah.

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. bisa

diterimanya alasan Ki Tanu.

"Bagaimana, Arya? Bisa kulihat isi surat itu?" tanya laki-laki

berbibir tebal itu lagi.

Dewa Arak sama sekali tidak berkata apa-apa. Diambilnyai

gulungan surat dari lipatan ikat pinggangnya. Kemudian surat

itu diberikan pada Ki Tanu

"Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan padaku,

Arya," ucap laki-laki berpakaian Jingga Itu sambil menerima

gulungan surat yang diangsurkan Dewa Arak.

Pelahan-lahan Ketua Perguruan Hati Suci ini membuka

gulungan surat itu, lalu dibacanya. Sementara Dewa Arak dan

Melati hanya memperhatikannya saja tanpa berkeinginan

untuk mengetahui isi surat itu. Mereka sadar, apa pun isi surat

itu, bukan hak mereka untuk mengetahuinya.

"Aneh...," desah Ki Tanu sambil menggulung surat Itu

kembali. Sepasang alisnya berkerut Jelas ada sesuatu yang

membingungkan hatinya.

Dewa Arak dan Melati diam saja. Mereka sama sekali tidak

menanggapi ucapan kebingungan laki-laki berbibir tebal itu.

Semula Ki Tanu agak heran juga. Tapi, beberapa saat

kemudian dia pun sadar. Dewa Arak dan Melati tidak mau


bersikap lancang mencampuri urusan yang jelas-jelas bukan

urusannya.

"isi surat ini, biasa-biasa saja, Arya. Sama sekali tidak ada

yang penting. Tapi kenapa orang-orang Perkumpulan

Kalajengking Merah begitu bernafsu untuk mendapatkannya?"

"Kalau boleh kutahu, apa sebenarnya Isi surat itu, Ki?

Barangkali saja aku dapat menyingkap rahasianya," pinta

Dewa Arak.

Ki Tanu segera memberikan gulungan surat Itu pada Arya.

Pemuda itu pun langsung membuka gulungan surat dan

membacanya.

Nirmala,

Bila surat Ini telah kau terima, segeralah pamit pada

gurumu. Minta izin untuk pulang. Ada urusan penting yang

ingin Ayah bicarakan O ya, Ayah juga telah memanggil

kakakmu, Jalatara untuk pulang. Kakak sulungmu, Kanulaga

telah kembali

Sudiraja

Setelah membaca surat itu, Dewa Arak segera

memberikannya pada Melati. Sama seperti juga Dewa Arak

dan Ki Tanu, sepasang alis gadis ini pun berkerut setelah

membaca surat itu.

"Bagaimana, Arya? Ada kesimpulan yang dapat kau tarik

dari isi surat itu?" tanya Ki Tanu tak sabar.

Dewa Arak tercenung sebentar. Kemudian pelahan namun

pasti kepalanya pun menggeleng.

"Hhh...! Tidak ada sama sekali, Arya?" tanya Ki Tanu,

seolah-olah menuntut Dewa Arak untuk berpikir keras.

Arya menatap wajah laki-laki berbibir tebal itu lekat-lekat


"Bukannya kesimpulan yang kudapatkan, Ki. Tapi malah

pertanyaan-pertanyaan. Banyak hal mencurigakan

sehubungan dengan isi surat ini," jawab Dewa Arak.

"Apa Itu, Arya?" tanya Ki Tanu penuh gairah.

"Sebelum kujawab pertanyaan Aki, bisakah Aki sedikit

menjelaskan tentang keluarga Nirmala?" pinta Arya.

"Untuk apa?" Ki Tanu masih belum mengerti maksud

pemuda berbaju ungu itu.

"Untuk lebih memperjelas masalah, Ki," sahut Dewa Arak

cepat

"Baiklah. Sudiraja adalah seorang kaya raya Kekayaannya

berlimpah ruah. Dia mempunyai, tiga orang anak. Yang sulung

bernama Kanulaga, pergi mengembara lima belas tahun yang

lalu. Yang kedua Jalatara, menjadi pengawal Adipati Palangka.

Sedangkan yang bungsu, Nirmala, dititipkan padaku di sini.

Nah, sekarang jelaskan hal-hal yang mencurigakanmu itu.

Dewa Arak!"

Dewa Arak menghembuskan napas kuat-kujat sebelum

memulai ucapannya.

"Begini, Ki. Pertanyaan pertama adalah, dari mana

Perkumpulan Kalajengking Merah ini tahu mengenai surat ini,"

Arya mengemukakan kesimpulannya.

Ki Tanu mengernyitkan dahinya.

"Aku tidak berpikir ke situ, Arya. Yang kupikirkan adalah

mengapa Perkumpulan Kalajengking Merah itu begitu

bersikeras untuk merampas surat yang isinya menyuruh

Nirmala pulang?"

"Jawaban bagi pertanyaan itu, mudah sekali, Ki Ada dua

jawaban yang mungkin bagi pertanyaan itu."

"Apa, Arya?" tanya laki-laki berbibir tebal itu ingin tahu.



"Pertama, orang-orang Kalajengking Merah Itu salah duga

mengenai isi surat Barangkali mereka mengira surat itu berisi

hal-hal yang penting," sahut Dewa Arak menduga-duga.

"Yang kedua?" selak Ki Tanu tidak sabar.

"Mereka tahu isi surat itu! Dan bila itu benar, berarti

mereka memang sengaja tidak membiarkan Nirmala pulang!"

jelas Arya lagi.

Ketua Perguruan Hari Suci ini mengangguk-anggukkan

kepalanya Jawaban Dewa Arak bisa diterima. Kedua-duanya

masuk akal.

"Aku lebih condong pada jawaban yang kedua, Arya," ujar

Ki Tanu seraya terus mengangguk-anggukkan kepalanya.

Dewa Arak mengerutkan alisnya. Jelas pemuda Itu tengah

berpikir keras.

"Kalau apa yang Aki katakan benar, timbul pertanyaan lagi.

Dari mana orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah itu

tahu kalau Nirmala disuruh pulang? Ini berarti, di dalam

rumah Tuan Sudiraja ada mata-mata Perkumpulan

Kalajengking Merah!" tegas Dewa Arak menyimpulkan.

"Ahhh...! Kau benar, Arya! Mengapa aku tidak berpikir

sampai di situ?" sambut kakek itu seperti menyesali diri. "Kini

aku telah menemukan kejanggalan lain, Arya."

"Apa itu, Ki?" tanya Arya ingin tahu. "Mengapa orang

Perkumpulan Kalajengking Merah tidak membiarkan Nirmala

pulang?!"

"Mengapa Ki" tanya Arya ingin tahu jawaban kakek

berpakaian Jingga itu.

"Mereka tidak ingin rahasia mereka terbongkar!!” jawab

kakek Itu yakin.

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya Bisa

diterimanya alasan Ki Tanu.


Hening sejenak setelah Ki Tanu mengemukakan

dugaannya.

"O ya, Ki. Bisa kami bertemu dengan Nirmala?! tanya Dewa

Arak hati-hati.

Ki Tanu menghela napas panjang.

"Sayang sekati, Arya. Gadis itu tengah pergi berburu! Itulah

sebabnya dia tidak dapat kubawa menemuimu Tadi, telah

kusuruh salah seorang muridku menyusulnya. Maafkan aku,

Arya Aku telah mengecewakanmu."

"Tidak mengapa, Ki," sahut Arya. "Yang jelas, surat itu

telah kami sampaikan pada yang berhak. O, ya. Kami permisi

dulu, Ki, Masih banyak urusan yang harus diselesaikan."

Setelah berkata demikian, Arya segera bangkit dari

duduknya. Melati pun bergegas bangkit. Dikembalikannya

surat itu pada Ki Tanu.

Ketua Perguruan Hati Suci mengantar Dewa Arak dan

Melari sampai di pintu gerbang.

"Terima kasih atas bantuan kalian," ucap Ki Tanu sebelum

Arya dan Melati meninggalkan tempat Itu. "Sering-seringlah

kalian mampir kemari. Banyak hal yang ingin kubicarakan

denganmu."

"Mudah-mudahan, Ki," jawab Arya memberi harapan.

Setelah berkata demikian, Dewa Arak menggerakkan

kakinya melangkah. Sepertinya pemuda berambut putih

keperakan ini hanya melangkah satu langkah saja. Tapi

anehnya, tahu-tahu tubuhnya sudah berada puluh tombak dari

tempat semula. Melati pun tidak mau kalah. Sesaat kemudian

tubuhnya sudah berada di samping kekasihnya.

"Pemuda-pemudi yang hebat..," desis Ki Tanu penuh

kagum. Dipandanginya bayangan tubuh Dewa Arak dan

Melati, sampai tubuh keduanya lenyap ditelan jalan


***

4

Seekor kuda hitam yang ditunggangi seorang gadis,

melangkah gagah merambah hutan. Gadis itu berwajah cantik

jelita. Rambutnya digelung ke atas, pakaiannya yang merah

menyala semakin menampakkan kecantikannya.

Singgg...!

Suara mendesing nyaring, mengejutkan si gadis. Seketika

itu juga, kepalanya ditolehkan ke arah asal suara. Kontan

sepasang matanya terbelalak ketika melihat sinar kemerahan

melesat cepat ke arahnya.

Gadis berpakaian merah ini sadar akan bahaya maut yang

mengancam. Maka cepat dia melompat dari atas kuda.

Bersalto beberapa kali di udara lalu mendarat ringan di tanah.

Sehingga sinar kemerahan itu menyambar tempat kosong dan

menancap di sebuah pohon.

Cappp....'

Gadis berpakaian merah itu bergidik ngeri ketika melihat

nasib pohon yang tertancap sinar merah, yang ternyata adalah

benda logam berbentuk ekor kalajengking berwarna merah.

Pelahan namun pasti, pohon Itu mulai mengering. Daun-

daunnya pun layu berguguran.

Gadis berpakaian merah ini menatap liar ke sekelilingnya.

Namun yang nampak hanyalah kesunyian.

Sepertinya hanya dia sendiri saja yang berada di dalam

hutan itu. Kuda hitamnya sudah kabur ketika gadis Itu

melompat dari punggungnya. Rupanya naluri binatangnya

yang tajam, mencium adanya bahaya mengancam. Sehingga

tanpa mempedulikan tuannya lagi, kuda hitam itu melesat

kabur.


"Ha ha ha...!"

Terdengar tawa bergelak menggema ke seluruh penjuru

hutan. Suara tawa yang mengandung getaran tenaga dalam

kuat

Gadis berpakaian merah itu memandang berkeliling dengan

sikap waspada. Kedua tangannya bergerak cepat Dan di lain

saat, di kedua tangannya masing-masing tergenggam

sebatang sumpit yang ujungnya runcirig.

Tiba-tiba terdengar suara berkerosakan dari delapan

penjuru. Belum lagi suara itu lenyap, tahu-tahu dari balik

semak-semak dan pepohonan yang lebat, keluar belasan

sosok yang kemudian mengurung si gadis.

Gadis berpakaian merah itu menatap tajam para

pengurungnya. Mereka semua mengenakan pakaian yang

sama Pakaian serba hitam yang di dadanya bergambar

kalajengking merah. Selubung-selubung hitam menutupi

wajah mereka Orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah

"Siapa kalian? Dan mengapa menyerangku?!" tanya gadis

berpakaian merah itu keras. Sepasang matanya menatap liar

ke arah orang-orang yang mengurungnya.

"Ha ha ha...! Tidak usah bingung-bingung, Nirmala," ucap

salah seorang dari pengurung itu menyapa. Orang Itu rupanya

pemimpin dari belasan orang Itu. Terbukti dengan adanya

tanda totol merah pada dahi selubungnya. Sementara pada

yang lainnya tidak terdapat tanda apa pun.

Gadis berpakaian merah itu melengak kaget "Dari mana

kau tahu namaku?.'" tanya gadis itu. Memang Gadis

berpakaian serba merah itu adalah Nirmala. Putri Sudiraja.

Dan saat ini gadis Itu dalam perjalanan pulang memenuhi

panggilan ayahnya. Sore hari sepulang berburu, gurunya

datang memberi suri dari ayahnya. Ki Tanu juga menceritakan

perjalanan surat Itu hingga sampai ke tangannya.


"Jadi, benar namamu Nirmala?! Kalau begitu kau harus

mampus!"

Setelah berkata demikian, orang yang menyapa Nirmala

tadi langsung menyabetkan senjatanya yang berupa tongkat

berujung ekor kalajengking ke leher gadis itu.

Tapi Nirmala bukanlah gadis yang lemah. Dia adalah murid

terkasih dari Ketua Perguruan Hati Suci, Ki Tanu. Apalagi,

gadis ini ternyata sangat berbakat! maka tidak mengherankan

kalau dalam usia semuda! Itu hampir seluruh ilmu-ilmu

gurunya telah dikuasainya.

Mudah saja Nirmala mengelakkan serangan. Kepala gadis

itu ditarik ke belakang, tanpa merubah posisi kakinya.

Wuuusss....'

Angin berbau amis memuakkan tercium hidung indah milik

gadis itu ketika senjata lawannya lewat sejengkal di depan

wajahnya. Gadis ini segera sadar kalau senjata lawannya ini

mengandung racun.

Murid Ki Tanu tidak bersikap sungkan-sungkan lagi. Dari

cerita gurunya, gadis berpakaian merah Ini tahu kalau para

penghadangnya ini adalah gerombolan yang telah membunuh

utusan ayahnya. Sekarang Nirmala bertekad untuk

membalaskan dendam utusan ayahnya itu.

Begitu senjata lawannya menyambar lewat di depan

lehernya. Nirmala mengayunkan kakinya menendang ke perut

orang itu.

"Eh...?!"

Terdengar seruan kaget dari mulut penyerang Nirmala.

Rupanya dia tidak menyangka kalau gadis berpakaian merah

Itu mampu berbuat demikian cepat


Maka buru-buru pimpinan penghadang itu melompat ke

belakang, sehingga tendangan gadis itu mengenai tempat

kosong.

Tapi serangan Nirmala tidak berhenti sampai di situ saja

Begitu dilihatnya, lawan melompat ke belalang, segera gadis

ini bergegas memburu dengan tusukan-tusukan sumpit yang

terbuat dari tanduk kerbau.

Suara berciutan terdengar ketika kedua batang sumpit itu

melakukan totokan bertubi-tubi ke bagian pelipis dan ubun-

ubun. Dua buah jalan darah yang mematikan.

Namun lawan yang dihadapi Nirmala bukanlah orang

berkepandaian rendah. Menghadapi totokan-Intokan sumpit

bertubi-tubi, laki-laki berselubung totol merah menggeser

kakinya ke samping. Sehingga serangan Itu lewat di samping

kepalanya. Tak lupa dikirimkan sebuah tusukan tongkat

berujung ekor kalajengking Itu ke perut Nirmala.

Nirmala terperanjat! Posisi tubuhnya yang tengah berada di

udara, menyulitkannya mengelakkan serangan Itu. Tapi, gadis

berpakaian merah ini masih mampu mempertunjukkan

kelihaiannya. Digeliatkan tubuhnya sehingga tusukan tongkat

lawan mengenai tempat kosong. Sesaat kemudian keduanya

sudah terlibat dalam pertempuran sengit.

DI jurus-jurus awal, pertarungan kedua orang itu masih

berlangsung imbang. Tapi memasuki jurus ke- dua puluh,

Nirmala mulai mendesak lawannya. Memang gadis berpakaian

merah ini lebih unggul segala-galanya, baik ilmu meringankan

tubuh maupun tenaga dalam. Sudah dapat dipastikan, dalam

beberapa jurus lagi Nirmala akan merobohkan lawannya.

Pada jurus ketiga puluh satu, dengan diiringi suara teriakan

nyaring, orang berselubung itu membabatkan senjatanya ke

perut Nirmala.

"Hih...!"


Nirmala melompat sehingga serangan itu lewat di bawah

kakinya. Dan dari atas, dengan gerakan tidak terduga-duga,

kedua sumpitnya menotok bertubi-tubi ke leher lawan.

Orang berselubung merah itu terkejut bukan main. Sedapat

mungkin totokan itu berusaha dielakkannya. Tapi sayang, tak

urung salah satu totokan sumpit itu mengenai pangkal

lengannya.

"Akh...!"

Orang berselubung merah itu memekik kesakitan.

Darah merembes keluar dari pangkal lengan yang sobek

terkena ujung sumpit Seketika itu juga, senjatanya terlepas

dari genggaman. Belum lagi bisa berbuat sesuatu, kaki

Nirmala telah terayun deras ke perutnya.

Bukkk...!

"Akh...!"

Pimpinan belasan penghadang itu kembali memekik

kesakitan. Tendangan gadis berpakaian merah Itu telak dan

keras sekali menghantam perutnya. Kontan tubuhnya

terjengkang ke belakang. Rasa mual dan mules pun mendera

perutnya,

"Hup...!"

Ringan tanpa suara, kedua kaki gadis berpakaian serba

merah itu menjejak tanah.

"Serbu...!" teriak orang berselubung hitam yang telah

dipecundangi Nirmala Orang ini rupanya sudah tidak sanggup

menghadapi Nirmala. Kini dia memberi perintah pada anak

buahnya yang sejak tadi hanya menonton pertarungan untuk

mengeroyok gadis itu.

Serentak belasan orang berselubung hitam itu menyerbu

Nirmala Senjata-senjata di tangan mereka berkelebatan cepat


mengarah ke tubuh gadis berpakaian merah itu dari segala

arah.

Kembali Nirmala mempertunjukkan kelihaiannya. Tubuhnya

menyelinap gesit di antara serbuan senjata lawan yang datang

bagaikan hujan. Gadis berpakaian merah Ini terpaksa harus

mengerahkan seluruh kemampuannya. Disadarinya betul akan

bahaya senjata lawan yang beracun. Terserempet sedikit saja

mungkin akan berakibat maut!

Nirmala mengeluh dalam hati. Pelahan-lahan murid terkasih

KI Tanu ini mulai terdesak. Jumlah lawan memang terlalu

banyak. Apalagi di antara mereka ada si selubung hitam

bertotol merah. Meskipun si selubung hitam bertotol merah itu

telah berkurang kelihaiannya karena luka-luka yang

dideritanya, tapi tetap saja di merupakan lawan yang

berbahaya.

Tambahan lagi, senjata lawan-lawannya yang beracun.

Membuat gadis berpakaian serba merah Ini harus

mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki.

Hal inilah yang membuat Nirmala jadi cepat lelah.

"Hiyaaa...!"

Nirmala berteriak keras. Totokan kedua sumpit di

tangannya bergerak cepat

"Akh...!"

"Aaa...!"

Terdengar jerit melengking, disusul robohnya dua sosok ke

tanah ketika sepasang sumpit Nirmala mengenai sasaran.

Yang satu mengenai ubun-ubun. Dai yang satu lagi mengenai

bawah hidung. Salah satu di antara jalan darah mematikan.

Tapi sebelum Nirmala memperbaiki posisinya, si selubung

hitam totol merah telah mengirim sebuah tendangan ke

perutnya.


Bukkk...!

"Hugh...!"

Gadis berpakaian merah ini kontan terjengkang akibat

kerasnya tendangan itu. Di saat itu empat orang berselubung

hitam yang lain meluruk menyerbunya.

Dan empat buah tongkat berujung ekor kalajengking pun

berkelebatan mengancam ke berbagai bagian tubuhnya.

Nirmala terpekik. Posisinya sama sekali tidak

memungkinkan untuk mengelak serangan itu. Tidak ada lagi

yang dapat dilakukannya. Gadis itu hanya dapat memejamkan

mata, menanti datangnya maut!

Di saat gawat bagi keselamatan gadis berpakaian merah

itu, mendadak berhembus angin keras berhawa panas

menyengat Angin pukulan itu langsung memapak datangnya

tubuh orang-orang berselubung hitam yang meluruk ke arah

Nirmala.

Wusss...!

Jerit kengerian terdengar berbarengan. Disusul

herpentalannya empat sosok yang tadi tengah menyerbu

Nirmala. Tubuh empat anggota Perkumpulan Kalajengking

Merah itu melayang-layang. Dan kemudian Jatuh berdebuk di

tanah, sepuluh tombak dari tempatnya semula. Sekujur tubuh

mereka hangus. Seketika di tempat itu menyebar bau sangit

seperti daging yang terbakar. Empat orang itu tewas seketika!

Orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah yang tersisa

terperanjat Tedebih-lebih si selubung hitam totol merah. Dari

kejadian yang menimpa anak buahnya, diketahuinya kalau si

penolong yang baru datang ini memiliki kepandaian yang amat

tinggi.

Kini di belakang Nirmaia telah berdiri dua sosok. Seorang

pemuda berambut putih keperakan dan seorang gadis cantik


jelita berpakaian serba putih. Siapa lagi kalau bukan Dewa

Arak dan Melati?

Laki Iaki berselubung totol merah menyadari kesdaan yang

tidak menguntungkan pihaknya. Cepat dilemparkan sesuatu ke

arah tiga orang lawannya.

Mata Dewa Arak dan Melati yang tajam segera melihat

bentuk benda yang dilemparkan si selubung bertotol murah.

Sebuah benda bulat sebesar telur angsa

Dawa Arak dan Melari yang telah mengenal ke dahsyatan

racun yang terkandung dalam benda bulti Itu, melompat

menjauh. Tak lupa, Melati, menyambar Nirmala yang masih

terduduk di tanah.

Blarrr...!

Suara ledakan keras terdengar begitu benda bulat sebesar

telur angsa itu mengenai tanah. Seketika ini juga asap hitam

berbau busuk menyebar, memenuhi tempat di mana Dewa

Arak, Melati dan Nirmala tadi berdiri.

"Hhh..., berbahaya sekali," desah Dewa Arak lirih

Sementara Nirmala hanya mampu berdecak ngeri bercampur

takjub melihatnya

Dan seperti kejadian sebelumnya, begitu asap tebal dan

hitam itu sirna, sirna pulalah orang-orang Perkumpulan

Kalajengking Merah itu.

***

"Siapa kau, Nisanak? Mengapa terlibat perkelahian dengan

orang-orang itu?" tanya Dewa Arak Sepasang matanya

menatap tajam wajah cantik di hadapannya Dalam hatinya,

Dewa Arak mengakui kecantikan gadis berpakaian serba

merah ini.

Nirmala menatap Dewa Arak dan Melari bergantian. Inikah

orang yang menyampaikan surat ayahnya itu ? tanyanya


dalam hati. Apa yang dikatakan gurunya memang tidak salah.

Wajah pemuda yang berjuluk Dewa Arak ini begitu tampan.

Tampan dan gagah. Rambutnya yang berwarna keperakan,

membuat pemuda Itu terlihat matang.

Melati mengerutkan alisnya melihat gadis berpakaian merah

Itu bukannya menjawab pertanyaan kekasihnya, tapi malah

menatap wajah mereka bergantian. Rasa cemburu pun

menyeruak di hati gadis berpakaian serba putih ini.

"Kawanku bertanya padamu, Nisanak!" ucap Melati agak

ketus.

Ucapan Melari yang bernada teguran itu membuat Nirmala

sadar. Wajah gadis ini pun memerah seketika seperti warna

pakaiannya.

"Ahhh..., maafkan aku, Nisanak. Kalau aku tidak salah

duga, bukankah Kisanak dan Nisanak ini adalah..., Dewa Arak

dan Melati?"

Dewa Arak dan Melati terjingkat bagai disengat ular

berbisa. Dari mana gadis berpakaian merah ini tahu nama

mereka?

"Tidak usah heran..., guruku teiah bercerita banyak tentang

kalian," sambung Nirmala lagi begitu melihat kedua orang di

hadapannya saling pandang «eperti orang kebingungan.

Sepasang mata gadis berpakaian serba merah itu menatap

Dewa Arak lekat-lekat

"Siapa gurumu?" selak Melati cepat Dia tidak Ingin gadis

berpakaian merah itu berbicara lama-lama dengan kekasihnya

"KI Tanu...," sahut Nirmala memberitahu.

"KI Tanu?! Jadi, kau Ini... Nirmala?" tanya Arya setengah

menduga.

"Betul, Kang," jawab Nirmala sambil menganggukkan

kepalanya.


"Kang?" desis hati Melati. Ada perasaan cemburu yang

menyelinap di hatinya, begitu mendengar gadis berpakaian

serba merah ini memanggil 'kang' pada Dewa Arak.

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya, Pemuda ini

rupanya sedang berpikir keras, sehingga tidak mempedutikan

panggilan murid Ki Tanu ini. Kini dia mengerti mengapa gadis

ini bentrok dengari orang-orang Perkumpulan Kalajengking

Merah.

"Kau akan menjumpai ayahmu, Nirmala?" tanya Melati

cepat sebelum Arya kembali bertanya

"Ya," jawab Nirmala singkat Ditolehkan kepalanya ke arah

Melati.

'Kalau begitu, mari kita berangkat" ucap Melati lagi buru-

buru seraya menggamit lengan gadis berpakaian serba merah

itu. Lalu dibawanya melangkah meninggalkan tempat itu.

Melihat kedua gadis cantik itu telah meninggalkannya.

Dewa Arak tak punya pilihan lagi. Segera dilangkahkan

kakinya mengikuti. Sejenak ditolehkan kepalanya, ke tempat

bekas pertarungan antara Nirmala dengan gerombolan

Kalajengking Merah tadi. Tapi suasana di situ telah sepi.

Hanya ada enam mayat yang bergeletakan di tanah.

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas lega. Untunglah dia

dan Melari lewat hutan ini, sehingga dapat mengetahui adanya

pertarungan dan datang pada saat yang tepat Memang,

semula mereka hendak langsung melanjutkan perjalanan.

Tapi, begitu melewati hutan Ini, tiba-tiba Melati ingin makan

daging kelinci panggang. Terpaksalah mereka menginap di

hutan ini. Dan keinginan Melati akan kelinci panggang itulah

yang menjadi penyebab selamatnya Nirmala dari maut

***


Malam Itu bulan penuh nampak di langit. Bintang-bintang

pun bertebaran menghias angkasa, menambah cerahnya

suasana malam.

Kanulaga bergolek-golek resah di pembaringan. Ingatannya

selalu terbayang pada saat memergoki ayahnya yang tengah

membungkus sebagian hartanya dalam sebuah buntalan.

Kanulaga tahu untuk apa semua itu. Dia telah mendengar

cerita itu dari si tompel. Setiap malam bulan purnama,

ayahnya diharuskan mengirim upeti dan menaruhnya di suatu

tempat yang selalu berlainan pada setiap pengirimannya

Dari si tompel, laki-laki berwajah keras ini juga tahu siapa

pemeras ayahnya Sebuah kelompok yang menamakan diri

Perkumpulan Kalajengking Merah. Kanulaga tidak rela ayahnya

yang telah bersusah payah mengumpulkan harta itu,

memberikannya begitu saja. Kanulaga bertekad untuk

membasmi pemeras ayahnya

Seluruh urat syaraf laki-laki berwajah keras ini mendadak

menegang. Pendengarannya yang tajam menangkap suara

gemerisik pelan di luar jendela kamarnya. Yakin kalau orang

yang berada dekat jendela itu tidak bermaksud baik, Kanulaga

bermaksud menangkap basah.

Maka laki-laki berwajah keras Ini berpura-pura

memejamkan mata. Tapi dari balik bulu matanya, Kanulaga

tetap mengintai ke arah jendela. Tercekat hati pemuda ini

ketika melihat asap putih tipis masuk ke kamarnya, melalui

kisi-kisi jendela.

Pikiran laki-laki berwajah keras Ini berputar cepat.

Sungguhpun belum pasti, tapi sudah dapat diduganya kalau

asap Itu adalah asap pembius. Asap yang dapat membuatnya

tertidur pulas.

Kanulaga tidak berani bertindak gegabah. Segerai

diambilnya pil pemunah racun pemberian gurunya. Tanpa

ragu-ragu lagi pil itu segera ditelannya.


Kemudian tanpa mempedulikan asap yang semakin banyak

memasuki kamarnya, Kanulaga segera membaringkan kembali

tubuhnya. Berpura-pura tidur pulas.

Tak lama kemudian, terdengar suara berderak agak keras

ketika jendela kamarnya dibuka secara paksa. Dan seiring

dengan terbukanya jendela itu, sesosok tubuh melompat

masuk ke kamarnya. Ringan bukan main gerakannya. Tanpa

suara kedua kaki orang itu mendarat di lantai.

Kemudian setelah menutupkan jendela itu kembali, sosok

yang ternyata berpakaian serba hitam dengan gambar seekor

kalajengking merah di dadanya, berjalan menghampiri

pembaringan di mana Kanulaga terbaring pulas. Wajahnya

tidak terlihat karena tertutup selubung yang di dahinya

bergambar ekor kalajengking merah.

"Kau hanya akan menjadi

duri penghalangku, anak

keparat..!" desis sosok hitam

itu. "Sekarang pergilah kau ke

neraka!"

Setelah berkata demikian,

bayangan hitam itu

menggerakkan tangan

memukul kepala Kanulaga.

Angin berkesiutan keras,

menandakan betapa kuatnya

tenaga dalam yang

terkandung dalam pukulan

itu.

Tapi sebelum pukulan itu mengenai sasaran, Kanulaga

yang memang berpura-pura terbius itu menggulingkan

tubuhnya.

Brakkkk...!



Pembaringan itu hancur berentakan ketika pukulan yang

berhasil dielakkan oleh Kanulaga menghantamnya. Di saat

itulah Kanulaga yang memang sudah berwaspada sejak tadi,

mengayunkan kaki kanannya ke arah perut orang yang

hendak membunuhnya.

"Eh...?!"

Si pembokong itu memekik kaget Cepat-cepat sosok itu

melompat ke belakang sehingga tendangan Kanulaga

mengenai tempat kosong. Tapi, tindakan laki-laki berwajah

keras itu tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangannya

dapat dielakkan lawan, segera tubuhnya melompat seraya

mengirimkan tendangan ke pelipis.

Wuttt...!

Angin menderu keras mengiringi tibanya serangan

Kanulaga. Tapi kembali si pembokong itu memperlihatkan

kelihaiannya. Tubuhnya membungkuk, sehingga sapuan itu

lewat di atas kepalanya. Berbareng, digerakkan tangannya

memukul perut putra sulung Sudiraja itu.

Kanulaga yang tengah berada di udara, tentu saja tidak

bisa mengelakkan serangan itu. Kalau dia masih Ingin

selamat, pukulan itu harus ditangkisnya. Dan itu yang

dilakukan laki-laki berwajah keras ini.

Plak!

Suara keras terdengar begitu dua buah tangan yang

mengandung tenaga dalam kuat itu berbenturan. Akibatnya,

tubuh Kanulaga terpental balik dan jatuh di pembaringan.

Sementara tubuh si pembokong itu Juga terjengkang ke

belakang.

"Hup...!"

Hampir bersamaan keduanya dapat kembali memperbaiki

posisinya. Tapi sebelum Kanulaga sempat berbuat sesuatu, si


pembokong itu sudah bergerak cepat melompat ke arah

jendela.

Brakkk..!

Jendela kamar Kanulaga langsung hancur berkeping-keping

begitu tubuh si pembokong itu menabraknya. Dan setelah

tubuhnya berada di luar, cepat-cepat sosok hitam itu melesat

kabur.

"Jangan lari, pengecut..!" bentak Kanulaga keras. Laki-laki

berwajah keras ini memang penasaran bukan main. Dari

benturan yang terjadi tadi, diketahuinya kalau orang yang

hendak membunuhnya itu memiliki tenaga dalam yang amat

kuat.

"Hih...”

Kanulaga segera menerobos jendela kamarnya yang telah

tak berdaun lagi.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat diluar

kamarnya. Tapi, si pembokong itu sudah tidak terlihat lagi

batang hidungnya. Kanulaga memandang berkeliling. Namun

tetap tidak dijumpainya bayangan si pembokong ita

"Hhh...!" desah Kanulaga kesal melihat lawannya berhasil

lolos.

Sungguhpun begitu, laki-laki berwajah keras ini tetap

melanjutkan langkahnya. Dia ingin mengetahui ke mana

ayahnya akan mengirimkan upeti malam ini. Dan untuk itu dia

harus mengikuti ayahnya secara diam-diam. Segera pemuda

itu melangkah mengendap-endap menuju kamar ayahnya

yang terletak agak jauh dari kamarnya.

Kanulaga melangkahkan kakinya pelahan. Sepasang

matanya menatap rajam sekelilingnya. Memperhatikan siapa

tahu bayangan hitam tadi berusaha membokongnya lagi


Jantung laki-laki berwajah keras ini berdetak kencang ketika

melihat sosok serba hitami tengah bersembunyi di balik

sebatang pohon, dekat semak-semak yang cukup lebat. ‘Sosok

tubuh berpakaian serba hitam’ pekik Kanulaga dalam hati.

Dengan langkah hati-hati, Kanulaga mengendap-endap

menghampiri. Dia tidak ingin lawannya kembali kabur seperti

sebelumnya.

Betapapun Kanulaga telah membelalakkan sepasang

matanya lebar-lebar, tak juga dapat dikenalinya sosok

bayangan hitam yang rupanya tengah mengintai itu sekitar

bangunan. Orang itu bersembunyi di balik pohon, sehingga

membuat cahaya obor yang menyoroti wajahnya terhalang.

"Jangan harap dapat lolos dari tanganku, pengecut..!" seru

laki-laki berwajah keras ini tiba-tiba, begitu telah berada di

belakang sosok serba hitam Itu.

Tentu saja sosok serba hitam yang tengah bersembunyi itu

terkejut bukan main. Tubuhnya terlonjak seakan-akan

disengat ular berbisa. Segera ditolehkan kepalanya ke

belakang. Seluruh urat-urat syaraf di tubuhnya menegang

waspada.

"Kau...?!" desah Kanulaga tidak percaya ketika melihat

wajah orang itu. Seorang laki-laki setengah baya, berkumis

lebat. Dikenali betul orang itu, Pandira, adik bungsu ayahnya

Bukan hanya Kanulaga yang terkejut Pandira pun terkejut

melihat kedatangan keponakannya. Tapi sebelum dia sempat

berbuat sesuatu, Kanulaga telah mendahuluinya.

"Ternyata kecurigaanku tidak keliru!" dingin dan datar

suara Kanulaga

"Apa maksudmu, Kanulaga?!" tanya Pandira setengah

membentak.

Kanulaga tersenyum sinis.


"Tidak usah berpura-pura lagi, Paman. Aku sudah tahu

semuanya. Permainanmu telah berakhir. Lebih baik, kau

menyerah. Sebelum aku terpaksa berbuat tidak pantas

terhadapmu!" ancam Kanulaga.

Merah wajah pria berkumis lebat ini mendengar ucapan

Kanulaga yang sama sekali tidak menaruh hormat padanya.

"Bocah kurang ajar! Orang seperti kau sudah selayaknya

diberi pelajaran. Agar tidak menyangka hanya kau yang

memiliki kepandaian di kolong langit Ini!"

Selelah berkata demikian, Pandira segera melompat

menerjang keponakannya dengan sebuah totokan beruntun ke

arah dada dan ulu hati. Cepat bukan main gerakannya.

Tapi Kanulaga yang memang sudah bersiap sejak tadi tidak

menjadi gugup. Tanpa ragu-ragu lagi dipapaknya serangan-

serangan itu.

Plak, plak, plak...!

Suara benturan keras terdengar berkali-kali begitu dua

pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam

kuat itu berbenturan.

Tubuh Kanulaga terhuyung dua langkah ke belakang. Mulut

laki-laki berwajah keras ini menyeringai Sekujur tangannya

terasa ngilu. Dadanya pun dirasakan sesak. Sedangkan

pamannya hanya terhuyungi satu langkah ke belakang.

Sadarlah Kanulaga kalau tenaga dalamnya bukan tandingan

tenaga dalam pamannya.

Tapi Kanulaga, bukan hanya memiliki raut wajah yang

keras. Sifatnya pun keras. Kenyataan yang menunjukkan

keunggulan tenaga dalam orang yang di perkenalkan ayahnya

sebagai pamannya, tidak membuatnya menjadi jerih. Bahkan

sebaliknya, perasaan penasaranlah yang timbul. Sesaat

kemudian, pemuda itu sudah menyerang kembali dengan

dahsyat


"Hiyaaa...!"

Sambil berseru keras, Kanulaga melontarkan tendangan

lurus ke arah dada.

"Hm...!" Pandira mengeluarkan dengusan kasar, menutupi

keterkejutan hatinya melihat kecepatan dan kekuatan yang

terkandung dalam tendangan itu. Tapi meskipun begitu, laki-

laki berkumis lebat ini tidak menjadi gugup. Cepat-cepat

tubuhnya didoyongkan ke samping kiri. Sehingga tendangan

itu lewat di sebelah kanan pinggangnya. Berbareng dengan itu

tangan kanannya melayang deras, melakukan tebasan ke arah

betis lawan

Wuttt..!

Kanulaga tersentak kaget. Laki-laki berwajah keras ini tidak

berani bertindak ceroboh. Dia tidak ingin tulang kakinya remuk

terkena tebasan tangan yang mengandung tenaga dalam

tinggi itu. Segera kakinya ditarik pulang, sehingga serangan

itu mengenai tempat kosong. Sesaat kemudian keduanya

sudah terlibat dalam pertarungan sengit.

***

5

Sementara itu, di saat Kanulaga dan Pandira terlibat dalam

sebuah pertarungan sengit, sesosok bayangan hitam melesat

ke kamar Sudiraja. Sosok serba hitam itu berhenti tepat di

depan jendela yang tertutup rapat.

Tok, tok, tok...!

Diketuknya daun jendela itu pelahan.

Sudiraja yang berada di dalam kamar memang sudah siap

dengan bungkusan hartanya. Begitu didengamya ada orang

yang mengetuk daun jendela, laki laki gendut itu segera

bergerak menghampiri. Kemudian dibukanya daun jendela itu.


Tanpa suara sedikit pun daun jendela itu terkuak! Dan

tampaklah oleh sepasang mata Sudiraja, seraut wajah

berselubung hitam. Di bagian dahi selubung itu terdapat

gambar ekor kalajengking merah.

"Mana bungkusan itu?" tanya si selubung hitam itu pelan.

"Ada," sahut Sudiraja.

"Mana? Cepat lemparkan...," desis si selubung hitam itu

tajam.

Sudiraja tercenung sejenak, seperti ada sesuatu yang

ditunggunya.

"Cepat..! Atau kau ingin kubunuh, gendut..!" Desis si

selubung hitam itu lagi. Dalam ucapannya terkandung

ancaman maut

Sudiraja bergidik mendengar ancaman itu. Maka buru-buru

diberikannya bungkusan itu. Si selubung hitam menerimanya

dengan sinar mata berbinar. Dibukanya sebentar buntalan itu.

Baru setelah melihat Isinya, tubuhnya kemudian melesat

kabur dari situ. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga yang

nampak hanyalah sekelebatan bayangan hitam yang bergerak

cepat dan lenyap di kegelapan malam.

"Hhh..." Sudiraja menghela napas. Dibiarkan saja jendela

kamarnya terbuka. Sedangkan sepasang matanya bergerak

liar ke sana kemari. Sepertinya ada yang lengah dicarinya.

"Mana si Pandira...," gumam laki-laki gendut itu. "Ataukah

dia terlupa...?"

Sementara itu orang yang sedang dinantikannya masih

terlibat pertarungan sengit dengan Kanulaga. Keduanya

memang sama-sama memiliki kepandaian tinggi. Tapi setelah

bertarung tiga puluh lima jurus, Kanulaga mulai terdesak.


"Ahhh...!" tiba-tiba saja Pandira memekik kaget "Anak

keparat..! Kau membuatku melupakan urusan yang lebih

penting...!"

Setelah berkata demikian, Pandira melancarkan serangan

beruntun ke arah Kanulaga. Tidak ada jalan lain bagi laki-laki

berwajah keras itu, kecuali melempar tubuh ke belakang dan

bersalto beberapa kali di udara

"Hup...!"

Ringan tanpa suara kedua kakinya hinggap di lanah,

berjarak beberapa tombak dari tempat semula.

Sikapnya langsung siaga. Siap menghadapi tibanya

serangan usulan. Tapi Kanulaga jadi terperanjat. Lawan di

hadapannya telah lenyap. Betapapun laki laki berwajah keras

ini mengedarkan pandangan ke sekelilingnya tetap tidak

dijumpainya laki-laki berkumis lebat Itu.

“Pengecut keparat..!" desis Kanulaga. Kemudian setelah

termenung sesaat, tubuh anak muda itu melesat cepat menuju

kamar ayahnya. Suasana di sekitarnya kembali sunyi.

Memang, begitulah keadaan di rumah Itu pada setiap malam

bulan purnama. Sudiraja selalu meliburkan semua pekerjanya.

Termasuk penjaga keamanan rumahnya.

***

Pandira berlari mengerahkan seluruh ilmu meringankan

tubuh yang dimilikinya. Sehingga dalam waktu singkat, kamar

Sudiraja sudah terlihat

"Ahhh...! Jangan-jangan aku terlambat...," desis laki-laki

berkumis lebat ini cemas. Dan perasaan cemasnya kian

menjadi-jadi begitu dilihatnya daun jendela kamar Sudiraja

terkuak.

"Hup...!"


Begitu tiba di depan jendela itu, segera saja dllongokkan

kepalanya ke dalam. Sinar bulan purnama yang menembus ke

kamar itu membuat Pandira dapat melihat jelas keadaan di

dalam.

"Kakang Sudira...," panggil laki-laki berkumis lebat itu.

Dilihatnya seorang laki-laki berperut gendut tengah tergolek di

pembaringan.

Sudiraja membuka matanya menatap nyalang ke Arah

jendela Begitu dilihatnya wajah yang telah dikenalnya, segera

laki-laki gendut itu bangkit

"Bagaimana, Kang...? Dia belum datang?" berondong

Pandira begitu dilihatnya laki-laki gendut itu bangkit dari

berbaringnya.

"Dia sudah pergi...," sahut Sudiraja Pelan sekali suaranya.

Lebih mirip sebuah desahan.

"Ah...! Jadi aku terlambat..?" tanya laki-laki berkumis lebat

itu. Nada suaranya jelas mengandung penyesalan yang

mendalam.

"Masuklah, Pandira...," ucap Sudiraja tanpa mempedulikan

kebingungan yang melanda laki-laki berpakaian serba hitam

itu.

Dengan langkah lunglai, Pandira melompat ke dalam

kamar.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara kedua kakinya hinggap di lantai kamar

Sudiraja.

"Duduklah, Pandira," ujar Sudiraja mempersilakan ketika

dilihatnya laki-laki berkumis lebat itu berdiri saja.

Tanpa banyak membantah, Pandira duduk di sebuah

bangku.



"Jelaskan padaku, mengapa kau begitu terlambat Padahal

tadi aku sudah berusaha mengulur-ulur waktu. Menunggu

kedatanganmu. Tapi ternyata kau tidak muncul-muncul!"

tanya Sudiraja begitu dilihatnya laki-laki berpakaian serba

hitam itu telah duduk. Nada suaranya terdengar penuh

tuntutan.

"Hhh" Pandira menghela napas panjang seperti hendak

membuang perasaan sesal yang menyelimuti hatinya “Semua

Ini karena ulah anak keparat itu!" desisnya tajam.

Bekernyit dahi Sudiraja mendengar ucapan laki-laki

berkumis lebat.

"Siapa yang kau maksudkan, Pandira?" tanya laki-laki

gendut Itu sambil menatap tajam wajah adiknya.

"Kanulaga...," jawab Pandira pelan.

"Apa?! Kanulaga?!" tanya Sudiraja tidak percaya "Apa yang

dilakukannya?"

Laki laki berkumis lebat itu menarik napas dalan dalam dan

menghembuskannya kuat-kuat

"Aku tengah bersembunyi, mengintai kedatangan!

pemerasmu. Tapi tiba-tiba Kanulaga datang. Dan

mengucapkan kata-kata yang tidak pantas. Aku menjadi

marah dan akhirnya kami bertarung," jelas laki-laki berkumis

lebat itu.

"Lalu, kau bunuh dia, Pandira?" selak Sudiraja Secercah

senyum sinis tersungging di bibirnya.

Pandira menggelengkan kepalanya.

"Tidak. Sewaktu aku tengah mendesaknya, aku teringat

akan tugasku. Bergegas kutinggalkan dia. Tapi sayang aku

tertambat Si keparat itu telah pergi lebih dahulu. Ahhh...! Sia-

sia saja perjalananku kemari, keluh laki-laki berkumis lebat ini.


Belum juga Sudiraja menimpali ucapan adik bungsunya ini,

terdengar suara bentakan keras dari luar jendela.

"Kiranya kau berada di sini, keparat!"

Tanpa menoleh pun, baik Sudiraja maupun Pandira telah

mengetahui orang yang telah mengeluarkan suara bentakan

keras itu. Suara itu telah mereka kenal betul. Suara Kanulaga.

Seiring dengan selesainya ucapan itu, dari luar jendela

melesat sesosok tubuh yang kemudian mendarat ringan tanpa

suara di lantai.

"Jaga mulutmu, Kanulaga!" bentak Sudiraja dengan nada

keras begitu laki-laki berwajah keras itu telah berada di dalam

kamarnya. Telah dilihatnya sendiri sikap putra sulungnya yang

tidak pantas.

'Tapi, Ayah...," Kanulaga mencoba untuk membantah.

"Diam...!" sergah Sudiraja memotong bantahan laki-laki

berwajah keras itu.

Wajah Kanulaga memerah. Laki-laki berwajah keras ini

memang memiliki sifat yang aneh. Semakin orang bersikap

keras padanya, dia akan semakin keras.

"Bagaimana aku bisa mendiamkan orang yang hampir saja

membunuhku?!"

"Itu karena kau telah bersikap kurang ajar padanya!"

sentak laki-laki berperut gendut itu. Nada suaranya semakin

meninggi.

"Bersikap kurang ajar bagaimana?! Paman hendak

membunuhku, di saat aku berada di kamarku!" sahut

Kanulaga tak kalah keras.

"Apa?! Benarkah apa yang kau ucapkan Itu, Kanulaga?!"

tanya laki-laki berperut gendut itu sambil menatap tajam

wajah anaknya. Cerita yang didengarnya dari adik bungsunya

tidak seperti ini!



"Dia bohong!" bantah Pandira keras. Sejak tadi laki-laki

berkumis lebat itu hanya terdiam saja mendengarkan

semuanya Dia sengaja membiarkan Sudiraja menyelesaikan

masalah itu. Tapi begitu mendengar tuduhan keponakannya

ini, amarahnya seketika bangkit

Kanulaga melemparkan senyum sinis pada pamannya.

Tentu saja hal ini semakin membuat kemarahan Pandira

meledak.

"Anak keparat! Kau hanya mencari-cari alasan saja. Aku

malah curiga, jangan-jangan kau sendiri adalah salah seorang

dari gerombolan itu! Kau sengaja mengalihkan perhatianku

agar rekanmu itu lolos dari pengawasanku!" ujar laki-laki

berkumis lebat ini balik menuduh.

"Anggota gerombolan? Mengalihkan perhatian? Apa

maksudmu, Paman?!" tanya Kanulaga tidak mengerti.

Betapapun marahnya, namun laki-laki beta wajah keras ini,

sebenarnya masih menghormati pamannya.

Sudiraja mengerutkan alisnya. Dia melihat ada nada

kesungguhan dalam cerita kedua orang ini. Bukan tidak

mungkin kalau telah terjadi kesalahpahaman.

"Lebih baik kita selesaikan persoalan ini dengan kepala

dingin. Aku khawatir ada kesalahpahaman terselip di sini,"

ucap laki-laki gendut ini menenangkan.

Kanulaga dan Pandira terdiam. Mereka menyadari

kebenaran yang terkandung dalam ucapan Sudiraja. Mengikuti

perasaan amarah saja tidak akan menyelesaikan masalah,

pikir mereka.

Setelah melihat kedua orang itu sudah dapat ditenangkan,

Sudiraja kembali membuka suara.

"Sekarang coba kau ceritakan kejadian yang kau alami,

Kanulaga," ucap laki-laki berperut gendut itu pada anak

sulungnya.


Kanulaga pun menceritakan semuanya.

"Nah, ketika aku tengah mencari bayangan hitam Itu,

kulihat ada seseorang bersembunyi di balik pohon. sikapnya

mencurigakan sekali. Aku yakin kalau orang Itulah yang tadi

menyerangku. Pakaiannya sama. Aku kaget juga ketika kulihat

orang itu adalah Paman Pandira. Ribut mulut tak dapat

dihindari lagi. Akhirnya kami bertarung," ujar laki-laki

berwajah keras ini mengakhiri ceritanya.

"Hhh...! Sekarang sudah jelas masalahnya. Sudah kuduga

semua ini hanya salah paham saja," ucap Sudiraja dengan

suara mendesah.

"Salah paham?! Aku masih tidak mengerti, Ayah," sahut

Kanulaga. Nada suaranya menyimpan perasaan penasaran

yang mendalam.

Laki-laki berperut gendut itu termenung sejenak belum

memulai ceritanya. Dipandangi wajah Pandira tajam-tajam.

"Bagaimana, Pandira? Tidakkah lebih baik kalau diceritakan

saja?" tanya Sudiraja meminta pendapat laki-laki berkumis

lebat itu.

Pandira mengangkat bahunya. "Terserah kau saja, Kang,"

jawab laki-laki berkumis lebat Ini menyerahkan keputusan

pada Sudiraja

"Sebenarnya aku tidak berniat memberitahumu, Kanulaga.

Tapi, agar kau tidak penasaran... terpaksa perlu

kuberitahukan. Pandira ini bukanlah paman mu...."

"Sudah kuduga...," desah Kanulaga pelan.

"Kau sudah tahu?!" tanya Sudiraja setengah tak percaya.

"Ya," jawab Kanulaga seraya menganggukkan kepalanya.

"Sepengetahuanku Ayah adalah anak tunggal Aku menjadi

curiga ketika Ayah memperkenalkannya sebagai paman."


Sudiraja mengangguk-anggukkan kepalanya tanda

mengerti.

"Pandira sebenarnya adalah salah seorang pengawal

rahasia Adipati Palangka," sambung laki-laki berperut gendut

itu lagi.

"Ah...!" desah Kanulaga terkejut. "Lalu, mengapa dia

berada di sini dan Ayah mengakui sebagai adik bungsu?"

"Lebih baik kau tanyakan saja padanya, Kanulaga. Biar dia

yang akan menjelaskannya padamu. Nah Pandira. Harap kau

jelaskan pada Kanulaga!" pinta Sudiraja.

***

Pandira menghela napas panjang sebelum memulai

ceritanya. Jelas tampak kalau laki-laki berkumis lebat ini

merasa berat menceritakannya.

"Sebenarnya tugasku ini amat rahasia, Kanulaga Demi

keberhasilannya, sengaja aku tidak ingin seorang pun tahu.

Kecuali ayahmu," ucap Pandira memulai ceritanya.

Kanulaga hanya diam saja mendengarkan. Tidak diselaknya

sedikit pun cerita laki-laki berkumis lebat Itu.

"Kau pernah mendengar tentang Perkumpulan Kalajengking

Merah?" tanya pengawal rahasia Adipati Palangka ini tiba-tiba.

Kanulaga tercenung sejenak sebelum menjawab.

"Pernah juga. Sewaktu aku mulai memasuki Kadipaten

Palangka."

"Kau tahu perkumpulan macam apa itu?" tanya Pandira

lagi.

"Aku tidak tahu pasti. Tapi menurut berita yang kudengar,

Perkumpulan Kalajengking Merah adalah sebuah perkumpulan

jahat..."


"Tepat! Melihat gelagatnya, perkumpulan itu sepertinya

hendak meruntuhkan Kadipaten Palangka. Tapi karena

perkumpulan itu sangat misterius, Gusti Adipati mengalami

kesulitan untuk membasminya. Maka terpaksa Gusti Adipati

mengirim beberapa orang kepercayaannya untuk menyelidiki

di mana markas perkumpulan itu," Pandira menghentikan

ceritanya sejenak Agaknya laki-laki ini ingin melihat tanggapan

Kanulaga pada ceritanya. Tapi ternyata laki-laki berwajah

keras itu tidak berniat memotong ceritanya.

"Dari penyelidikan, kami tahu kalau perkumpulan itu

membiayai usahanya dari pemerasan dan perampokan

terhadap orang-orang kaya. Gusti Adipati tahu, Kakang

Sudiraja memiliki kekayaan yang berlimpah. Dengan dibekali

surat perintah dari Gusti Adipati aku dapat tinggal di sini. Dan

agar tidak menimbulkan kecurigaan, ayahmu

memperkenalkanku sebagai adik bungsunya. Tapi sayang,

usahaku gagal!" keluh laki-laki berkumis lebat ini.

"Tapi, kenapa Ayah merahasiakan hal ini padaku,” tanya

Kanulaga bernada penasaran seraya menoleh pada ayahnya.

"Aku yang melarang ayahmu memberitahukan kepada

siapa pun. Maksudku untuk mencegah bocornya rencana ini.

Aku khawatir kalau ada anggota gerombolan itu yang

menyusup dalam rumah ini. Maaf, bukannya aku menuduh.

Tapi, yahhh..., hanya ber-jaga-jaga saja," jelas Pandira

panjang lebar.

"Lalu sekarang, bagaimana baiknya, Pandira?" tanya

Sudiraja seraya menatap wajah laki-laki berkumis lebat itu

"Hhh...!" pengawal rahasia Adipati Palangka itu menghela

napas panjang. "Mungkin aku akan kembali ke kadipaten,

melaporkan kegagalan tugasku."

"Mengapa begitu tergesa-gesa, Pandira?" tanya Sudiraja.

Kekagetan jelas terbayang di wajahnya. 'Tinggallah barang

satu atau dua hari lagi. Barangkali orang itu muncul lagi."



Pandira tercenung sejenak.

"Baiklah, Kakang Sudiraja. Aku akan tinggal dua hari lagi di

sini."

"Maafkan atas kebodohanku yang membuat Paman gagal

menjalankan tugas Gusti Adipati," ucap Kanulaga tiba-tiba

seraya mengulurkan tangan meminta maaf.

Pandira tersenyum.

"Lupakanlah, Kanulaga. Kau tidak salah," jawab laki-laki

berpakaian serba hitam ini bijaksana. Disambutnya uluran

tangan Kanulaga dan digenggamnya erat-erat

Sudiraja hanya tersenyum menyaksikan kejadian Itu.

***

Hari masih pagi, matahari pun baru saja muncul di ufuk

Timur, ketika tiga sosok tubuh melangkah pelahan mendekati

pintu gerbang bangunan mewah dan megah milik Sudiraja.

Tiga sosok itu terdiri dari seorang pemuda dan dua orang

gadis. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tahun, berambut

putih keperakan dan berpakaian ungu. Sementara dua orang

gadis yang sama-sama cantik itu mengenakan pakaian dan

berdandan yang berlainan. Yang seorang berpakaian serba

putih dan berambut meriap. Sementara yang seorang lagi,

berpakaian serba merah dan berambut digelung ke atas.

Mereka adalah Dewa Arak, Melati dan Nirmala.

"Maaf, siapakah kisanak bertiga?" tanya dua orang penjaga

pintu gerbang saat melihat Dewa Arak, Melati dan Nirmala

hendak melangkah masuk.

Nirmala membusungkan dada dan menegakkan kepalanya.

"Aku Nirmala," sahut gadis berpakaian merah itu. Nada

suaranya terdengar penuh wibawa.


"Ah...I" desah kedua penjaga itu terkejut. Meskipun belum

pernah melihat wajahnya, namun kedua orang Itu telah

mengetahui semua keturunan majikan mereku. Dan Nirmala

ini adalah putri bungsu pemilik rurah ini.

"Maalkan kami, Den Ayu. Tapi siapakah kedua orang itu ?"

tanya si tompel sambil menatap tajam wajah Dewa Arak dan

Melati yang berdiri di belakang gadis berpakaian merah itu.

"Mereka adalah kawan-kawanku, dan akan kuperkenalkan

pada Ayah! Mari, Kang Arya, Kak Melati," ajak Nirmala sambil

melangkah masuk.

Kedua penjaga itu tidak bisa lagi menghalangi. Mereka pun

menyingkir memberi jalan pada putri majikan mereka dan

kedua temannya.

Tentu saja kedatangan gadis berpakaian merah itu

menggembirakan hati Sudiraja yang saat itu tengah berjalan-

jalan di taman, menghirup kesejukan udara pagi.

"Ayah...!" seru Nirmala seraya berlari ke arah laki-laki

berperut gendut itu. Sepasang tangannya terkembang.

"Nirmala...," sambut Sudiraja. Kemudian. dipeluknya putri

bungsunya erat-erat

"Siapa mereka, Nirmala?" tanya Sudiraja begitu

pandangannya tertumbuk pada dua orang yang berdiri sambil

menundukkan kepalanya.

"Eh, iya...," ucap gadis berpakaian merah itu teringat

Segera dilepaskannya pelukan sang ayah. "Mereka adalah

penolongku, Ayah. Tanpa pertolongan mereka mungkin Ayah

tidak akan pernah melihatku”

"Ah...!" seru Sudiraja kaget. Sepasang matanya terbelalak

menatap anak gadisnya, kemudian pandangannya dialihkan

pada Dewa Arak dan Melati bergantian. Berita yang

didengarnya ini benar-benar membuat laki-laki berperut

gendut ini terkejut bukan kepalang.


"Mari kuperkenalkan pada mereka, Ayah," ucap gadis itu

lagi seraya berjalan mendahului ayahnya yang sudah

melangkah ke arah Dewa Arak dan Melati.

"Inilah ayahku, Kang Arya, Kak Melari," ucap Nirmala

memperkenalkan.

Sudiraja mengulurkan tangannya.

"Sudiraja," ucap laki-laki berperut gendut itu

memperkenalkan diri.

"Arya Buana," sahut Dewa Arak sambil menyambut uluran

tangan itu.

"Melati," sahut Melati pula.

Sudiraja menatap wajah kedua muda-mudi di hadapannya

berganti-ganti.

"Terima kasih atas pertolongan yang kalian berikan pada

anakku," ucap laki-laki berperut gendut itu ramah.

"Ah...! Hanya kebetulan saja, KI," sahut Dewa Arak

merendah.

Sudiraja hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kagum

hatinya melihat kerendahan hati pemuda berambut putih

keperakan di hadapannya ini.

"Mari kita bicara di dalam saja," ajaknya sambil melangkah

mendahului. Tidak ada pilihan lain bagi Dewa Arak dan Mebti

kecuali turut melangkah lebih dahulu.

***

Pandira dan Kanulaga yang sedang berbincang-bincang di

ruangan tengah yang mewah dan megah Itu menghentikan

pembicaraan, begitu mendengar banyak langkah kaki

mendekat.

Tak lama kemudian pintu ruangan itu pun terkuak Kanulaga

dan Pandira menduga-duga dalam hati, siapakah orang-orang


yang menuju ruang ini. Bukankah ruang ini khusus untuk

Sudiraja?

Semula Kanulaga dan Pandira tidak heran begitu melihat

orang yang pertama kali muncul. Tapi sepasang alis mereka

berkerut ketika melihat seorang gadis cantik berpakaian serba

merah, melangkah di belakang laki-laki berperut gendut itu.

Wajar apabila Kanulaga sama sekali tidak mengenal

Nirmala. Gadis berpakaian serba merah ini belum berumur

lima tahun ketika laki-laki berwajah keras ini pergi

mengembara.

Pandira saja mengagumi kecantikan Nirmala, apalagi

Kanulaga yang masih muda dan berdarah panas. Pandang

matanya tidak berkedip memperhatikan Nirmala dari ujung

rambut sampai ke ujung kaki.

Sepasang mata Kanulaga semakin terbelalak lebar ketika

dari balik pintu itu masuk lagi seorang gadis berpakaian serba

putih. Tak kalah cantiknya dari gadis berpakaian serba merah

tadi.

Tapi pandang mata kekaguman Kanulaga dan Pandira

segera lenyap, begitu melihat orang terakhir yang masuk ke

dalam ruangan. Seorang pemuda berambut putih keperakan,

berbaju ungu. Sebuah guci arak terbuat dari perak, tersampir

di punggungnya.

Berbeda dengan Sudiraja. Kanulaga dan Pandira tahu

pergolakan yang terjadi di dunia persilatan. Mereka telah

mendengar berita yang menggemparkan tentang munculnya

tokoh muda berilmu tinggi, berjuluk Dewa Arak. Inikah tokoh

yang menggemparkan itu? tanya mereka dalam hati.

"Kau kenal gadis ini, Kanulaga?" tanya Sudiraja pada putra

sulungnya. Kepalanya ditolehkan ke arah Nirmala. Sementara

gadis berpakaian merah itu hanya tersenyum geli dalam hati.

Laki-laki berwajah keras itu menggelengkan kepalanya.


"Kau tidak mengenalnya?!" tanya Sudiraja lagi setengah

tidak percaya.

'Tidak, Ayah," jawab Kanulaga, setelah dipandanginya

kembali gadis berpakaian merah itu lekat-lekat

"Ha ha ha...!" laki-laki berperut gendut itu tertawa

terbahak-bahak. Tentu saja hal ini membuat Kanulaga

terheran-heran.

"Dia adikmu, Kanulaga," jelas Sudiraja setelah rasa gelinya

lenyap.

Kanulaga terlongong.

"Adikku?" tanya laki-laki berwajah keras irii tak percaya.

"Dia.. dia Nirmala...?" Kanulaga agaknya masih belum

mempercayai ucapan ayahnya.

"Benar," sahut Sudiraja. Sementara Nirmala tidak dapat

menahan perasaan geli melihat kebingungan kakak sulungnya

"Anak nakaL..! Awas! Nanti kujewer telingamu...!" gurau

Kanulaga dengan hati gembira.

"Lalu kedua orang ini siapa, Kang?" tanya Pandira sambil

menatap Melati dan Dewa Arak.

"Mereka adalah penolong-penolong Nirmala. Yang gadis

bernama Melati. Dan pemuda ini bernama Arya Buana," jelas

Sudiraja seraya menepuk-nepuk bahu Arya.

"Ah..., Dewa Arak...!" seru Kanulaga dan Pandira

berbareng. Memang sudah menjadi rahasia umum kalau nama

Dewa Arak yang sesungguhnya adalah Arya Buana.

"Sungguh tidak disangka, pendekar yang tersohor

sepertimu bisa sampai ke Kadipaten Palangka ini," desah

Pandira setengah tidak percaya.

"Hanya kebetulan lewat. Paman," sahut Dewa Arak

merendah seraya menatap wajah laki-laki berkumis lebat itu.


"Ayo, Nirmala. Ceritakan pada Ayah dan semua yang ada di

sini, pengalaman yang kau alami," ucap Sudiraja.

Nirmala pun menceritakan semuanya. Mulai dari surat yang

bisa sampai ke tangannya atas pertolongan Dewa Arak dan

Melati, hingga dirinya diselamatkan dari tangan orang-orang

Perkumpulan Kalajengking Merah.

"Aneh sekali...," desah Pandira begitu Nirmala mengakhiri

ceritanya. Sebagai seorang pengawal rahasia Adipati, laki-laki

berkumis lebat ini dapat merasakan adanya hal-hal

mencurigakan dalam kejadian yang dialami Nirmala.

Semua mata kini tertuju pada Pandira. Mereka menunggu

kelanjutan ucapan yang akan disampaikan pengawal rahasia

Adipati Palangka ini.

"Apa yang aneh, Adi Pandira?" tanya Sudiraja.

Laki-laki berkumis lebat itu menatap tajam wajah Sudiraja.

"Sepengetahuanku, yang mengetahui kalau Kakang

mengirim surat untuk memanggil Nirmala dan Jalatara hanya

Kakang Sudiraja sendiri, aku, dan Kanulaga. Lalu mengapa

sampai diketahui orang Perkumpulan Kalajengking Merah?"

Ada nada kecurigaan dalam suara pengawal rahasia Adipati

Palangka. Sementara Dewa Arak hanya mengangguk-

anggukkan kepalanya. Diam-diam dikaguminya kecerdikan

laki-laki berkumis lebat ini.

Kanulaga menarik napas panjang.

"Memang, aku telah menceritakan hal ini," ucap laki-laki

berwajah keras pelan. Ada nada penyesalan dalam suaranya.

"Kau?l" Sudiraja membelalakkan sepasang matanya.

Sementara berpasang-pasang mata lainnya juga tertuju pada

putra sulung Sudiraja ini.

"Sudah kuduga...," sambut Pandira cepat "Pada siapa kau

menceritakannya, Kanulaga?"

"Ki Toji”

"Ki Tojl?!" Sudiraja mengerutkan alisnya. Sementara yang

lain memandang pada laki-laki berperut gendut Ini dengan

sinar mata bingung.

"Siapa itu Ki Taji, Kang?" tanya Pandira lagi.

"Kepala urusan dalam rumah tangga. Tapi mungkinkah dia

anggota gerombolan itu?" tanya Sudiraja setengah tidak

percaya.

"Kemungkinan itu bisa juga. Kang. Bagaimana denganmu,

Dewa Arak?" tanya Pandira sambil menoleh pada Arya yang

sejak tadi hanya diam saja mendengarkan.

Kini semua mata tertuju pada Dewa Arak Tanpa setahu

mereka, sejak tadi pun sudah ada sepasang mata yang

menatap Dewa Arak secara sembunyi-sembunyi. Sepasang

mata bening dan indah milik Nirmala.

"Sejak pertama kali membaca surat itu, sebenarnya aku

sudah menduga adanya orang dalam rumah Ini yang menjadi

anggota gerombolan itu," jelas Dewa Arak. Nada bicaranya

hati-hati. Pemuda itu tidak ingin menyinggung perasaan

orang-orang yang ada di ruangan ini.

Sudiraja mengerutkan keningnya.

"Sayang sekali, Jalatara belum juga tiba. Kalau tidak

masalah ini akan dapat diselesaikan sekarang, " ucap laki-laki

berperut gendut itu mengalihkan persoalan.

"Memangnya ada masalah apa, Ayah?" tanya Nirmala yang

sejak tadi hanya berdiam diri saja.

"Ayah ingin beristirahat dan menyerahkan semua usaha

Ayah pada kalian bertiga," sahut Sudiraja, seakan-akan

enggan untuk menjelaskan.

"Jangan-jangan utusan yang membawa surat Itu juga tidak

pernah sampai ke sana, Ayah," duga Kanulaga. Sepasang

matanya kembali melirik ke arah Melati. Gadis yang berwajah

cantik luar biasa itu memang telah membuat hati laki-laki

berwajah keras Ini terpikat

"Mudah-mudahan saja tidak," sahut laki-laki gendut itu

mengharap.

"Tapi sudah dua hari utusan itu berangkat, dan sampai

sekarang belum Juga kembali," bantah Kanulaga lagi.

"Kita tunggu saja, Kanulaga. O ya, mungkin dua

penolongmu ini ingin beristirahat, Nirmala. Antarkan mereka

beristirahat Kau juga mungkin lelah. Beristirahatlah dulu."

"Hhh...!" Kanulaga menghela napas panjang melihat

ayahnya memutuskan begitu saja pembicaraannya. Laki-laki

berwajah keras ini pun terpaksa diam.

"Baik, Ayah," sambut gadis berpakaian merah itu cepat

Kemudian diantarnya Dewa Arak dan Melati yang mau tak

mau terpaksa menurut, menuju ke tempat peristirahatannya.

Kanulaga menundukkan kepalanya. Tapi sepasang matanya

sempat melirik ke arah Melati, hingga bayangan gadis

berpakaian serba putih lenyap di balik pintu.

***

6

"Aunggg...!"

Suara lolong anjing hutan memecah kesunyian malam.

Rembulan di langit kini tidak bulat lagi. Malam bulan purnama

telah bedaki kemarin.

Dalam keremangan malam itu, berkelebat dua sol sok

bayangan memasuki hutan. Gerakan mereka cepat bukan

main. Sehingga yang terlihat hanyalah bayangan merah dan

hitam.


Dua sosok bayangan itu terus berlari. Sesekali keduanya

menoleh ke belakang. Sepertinya mereka khawatir kalau ada

yang mengikuti.

Kedua bayangan itu terus saja bergerak melewati jalan

berliku-liku. Lari mereka baru diperlambat setelah mendekati

sebuah bangunan tua yang sudah tidak terawat lagi. Dan

tepat di depan bangunan itu, kedua bayangan tadi

menghentikan larinya.

Dalam keremangan sinar bulan, terlihat cukup jelas kedua

bayangan itu. Yang seorang berpakaian serba hitam. Di

dadanya bergambar kalajengking merah. Wajahnya tidak

nampak jelas, karena tertutup selubung. Pada dahi

selubungnya terdapat gambar kalajengking merah.

Sementara yang seorang lagi adalah seorang kakek berkulit

merah. Kakek berkulit merah ini mengenakan rompi yang juga

berwarna merah. Pada bagian dahi dan dadanya, terdapat

gambar kalajengking merah. Berbeda dengan rekannya,

gambar kalajungking pada kakek berkulit merah ini tertera

pada kulitnya, bukan pada pakaian atau selubungnya.

Baru saja kedua orang ini melangkah masuk, terdengar

suara sapaan penuh hormat "Hormat kami untuk Ketua...!"

Sosok berselubung hitam yang di dahi selubungnya bergambar

kalajengking, menoleh ke arah asal suara. Rupanya orang ini

adalah Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah.

Kini di hadapan Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah,

telah berdiri dua sosok yang tengah menjura padanya Kedua

orang itu mengenakan seragam yang sama. Pakaian serba

hitam yang di dadanya bergambar kalajengking berwarna

merah.

Yang membedakan kedua orang itu adalah pada kedua

selubung wajahnya Memang mereka sama-sama mengenakan

selubung hitam. Tapi pada dahi selubungnya, tertera gambar

yang berlainan. Pada yang seorang terdapat totol merah.


Sementara pada yang lain, bergambar ekor kalajengking

merah.

Memang, Perkumpulan Kalajengking Merah mempunyai

aturan tersendiri. Tanda tingkatan seseorang dalam

perkumpulan itu dapat diketahui dengan melihat tanda pada

dahi selubungnya Tanda kalajengking merah menunjukkan

kalau orang itu adalah sang ketua. Tanda ekor kalajengking,

menunjukkan wakil ketua. Tanda totol merah menunjukkan

ketua kelompok. Sementara anggota biasa sama sekali tidak

mempunyai tanda.

"Bagaimana usaha kalian? Berhasil?" tanya sai ketua.

"Maafkan kami, Ketua...," jawab kedua orang itu

berbareng.

"Jadi, kalian gagal?!" sergah Ketua Perkumpulan

Kalajengking Merah agak keras. Sementara kakek berkulit

merah itu hanya berdiam diri saja.

"Benar, Ketua," jawab kedua orang itu lagi. "Hhh...!

Tolol...! Membunuh dua tikus kecil saja tidak mampu?!

Haruskah aku yang turun tangan sendiri?!" bentak sang ketua

gusar.

"Kau...!" tunjuk sang pemimpin pada orang yang di dahi

selubungnya bergambar ekor kalajengking, Wakil Ketua

Perkumpulan Kalajengking Merah.

"Ya, Ketua," sahut si selubung bergambar ekor

kalajengking cepat

"Jelaskan mengapa kau gagal? Hanya membunuh orang

seperti Kanulaga saja tidak becus?!" sang ketua kembali

membentak,

"Pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, Ketua. Yang

membuatku tambah repot lagi Di situ ada Pandira," Jawab si

selubung bergambar ekor kalajengking. Kemudian diceritakan

kejadian yang dialaminya.


"Pandira? Apakah orang yang selalu berpakaian serba

hitam dan memiliki kumis lebat itu?" tanya sang ketua. Nada

keterkejutan jelas terlihat pada wajahnya.

"Benar, Ketua. Ketua mengenalnya?" tanya si selubung

bergambar ekor kalajengking.

Sang pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Dia adalah salah seorang pengawal rahasia Adipati

Palangka."

"Ahhh...!" seru Wakil Ketua Perkumpulan Kalajengking

Merah itu terkejut "Lalu, untuk apa dia di sana, Ketua?"

"Adipati Palangka sudah mencium adanya gerakan kita.

Pada saat ini Adipati Palangka sudah menyebar pengawal-

pengawal rahasianya untuk menyelidiki perkumpulan kita.

Sungguh tidak kusangka kalau Pandira bisa sampai ke

sana...," desah sang ketua.

"Kalau menurutku, Sudiraja telah bekerjasama dengan

Pandira, Ketua," ucap si wakil itu lagi.

"Mengapa kau bisa menduga begitu?" tanya sang ketua.

"Sewaktu aku datang meminta upeti, kulihat Sudiraja

seperti sengaja mengulur-ulur waktu. Sepertinya ada sesuatu

yang ditunggunya. Kalau tidak mengingat pesan Ketua, sudah

kubunuh dia."

"Kau bertindak bodoh kalau membunuhnya!" sergah sang

ketua keras. "Kalau kau lakukan itu, sama saja kau

menghancurkan apa yang kita cita-citakan selama ini!

Menguasai Kadipaten Palangka! Dan kemudian merebut

kerajaan!"

"Ada yang membuatku heran, Ketua," ucap orang yang di

dahinya bergambar ekor kalajengking lagi.

"Apa itu?"


"Mengapa Ketua tidak membunuh adipati itu saja.

Bukankah dengan kedudukan Ketua sekarang ini, tidak sulit

untuk membunuh adipati itu?"

"Apa yang kau katakan itu benar. Tapi, untuk apa

membunuh adipati itu kalau akhirnya aku tidak bisa

menggantikan kedudukannya? Lagi pula raja tidak akan

tinggal diam. Beliau pasti akan mengirimkan pasukan besar

untuk menghancurkan kita. Tapi yang jelas, rencanaku hampir

sampai di puncaknya. Sayang sekali kailan gagal membunuh

Kanulaga dan Nirmala Rencanaku terpaksa berubah!" ucap

sang ketua jang lebar.

Setelah berkata demikian, Ketua Perkumpulan Kalajengking

Merah ini terdiam. Sesaat lamanya di berbuat seperti itu. Baru

kemudian perhatiannya diarahkan pada si selubung totol

merah.

"Kau..., mengapa gagal membunuh Nirmala? Padahal dua

belas anggota perkumpulan telah kuberikan untuk

membantumu?" tanya sang ketua meminta penjelasan.

"Maafkan aku, Ketua. Sebetulnya kami sudah hampir

berhasil membunuh gadis itu," ucap si selubung totol merah.

"Lalu, kenapa gagal?!" sergah sang ketua keras.

"Ada orang yang menolongnya, Ketua!" sahut si selubung

totol merah.

"Hm..., siapa orangnya?!" tanya sang ketua agak terkejut

"Aku tidak mengenalnya, Ketua. Tapi kepandaiannya tinggi

sekali. Hanya dengan angin pukulannya saja, dia bisa

menewaskan empat anggota kita sekaligus. Mereka tewas

seketika dengan tubuh hangus."

Sang ketua terdiam mendengar penjelasan si totol merah.

Sementara kakek berkulit merah tercenung.


"Bagaimana ciri-ciri orang sok jagoan Itu?" tanya sang

ketua lagi.

Si selubung bertotol merah terdiam sejenak. Rupa nya dia

sedang berusaha mengingat-ingat wajah penolong Nirmala.

"Nggg..., pemuda berambut keperakan, berpakaian ungu.

Di punggungnya tergantung sebuah guci arak..."

"Dewa Arak...!" potong kakek berkulit merah keras. Ada

nada keterkejutan yang amat sangat pada wajahnya.

"Dewa Arak...?!" sentak sang ketua terkejut mendengar

ucapan kakek kulit merah itu. "Benarkah orang itu Dewa Arak

yang menggemparkan itu, Guru?" tanyanya pada kakek

berkulit merah.

Kakek berkulit merah, yang ternyata guru sang Ketua

Perkumpulan Kalajengking Merah itu menganggukkan

kepalanya.

"Kalau ciri-ciri yang disebutnya benar, sudah pasti pemuda

itu adalah Dewa Arak. Seorang pendekar muda yang telah

menggemparkan dunia persilatan beberapa bulan belakangan

ini," jelas kakek kulit merah itu lebih jauh.

Sang ketua tercenung mendengar penjelasan gurunya.

'Terpaksa rencana harus kuubah," ucap sang ketua.

Kemudian dlhampirinya kedua anak buahnya, dan dibisikkan

rencana barunya ke telinga mereka

"Mengerti?!" tanya Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah

setelah selesai membisikkan rencananya.

"Mengerti, Ketua!" sahut kedua orang itu serempak

"Bagus! Sekarang kalian boleh pergi!" perintah sang ketua.

Tanpa menunggu diperintah dua kali, dua orang Itu pun

melesat pergi, setelah terlebih dahulu menjura pada sang

ketua dan kakek kulit merah.


Sepeninggal kedua anak buahnya, sang ketua mengalihkan

perhatian pada kakek berkulit merah.

"Untung Guru telah kembali Bagaimana Guru, berhasilkah

Guru mendapatkan racun itu?" tanya sang ketua.

Kakek bermuka merah itu tertawa bergelak "Jangan panggil

aku Kalajengking Merah kalau tidak mampu mendapatkannya!

Ha ha ha...," sahut kakek yang ternyata berjuluk Kalajengking

Merah itu sambil tertawa bergelak.

"Terima kasih atas semua bantuan Guru," ucap sang Ketua

Perkumpulan Kalajengking Merah. Kalajengking Merah

mengidapkan tangannya. "Tidak usah berterima kasih. Kau

adalah muridku, apalagi kau mempunyai cita-cita yang begitu

besar. Sudah merupakan kewajibanku sebagal gurumu untuk

membantu mewujudkan cita-citamu! Tambahan lagi kau telah

mengharumkan namaku dengan menggunakan nama

Kalajengking Merah sebagai nama perkumpulan rahasiamu!

Tertawalah...! Tawa untuk keberhasilan kita!"

Setelah berkata demikian, kakek berkulit merah ini tertawa

bergelak. Sang Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah pun

ikut tertawa bergelak tawa mereka yang mengandung

pengerahan tenaga dalam tinggi, menggema dan membuat

bangunan tua Itu bergetar hebat

***

Hari sudah agak siang, matahari pun sudah naik agak

tinggi. Pada siang yang terik ini tampak seekor kuda

melangkah pelan memasuki perbatasan Desa Rinji.

Penunggangnya adalah seorang pemuda berusia selatar dua

puluh lima tahun. Pada wajahnya yang tampan terhias sebaris

kumis tipis. Pakaiannya serba hitam.

"Hooop...!"


Tali kekang kudanya ditarik, tepat di depan pintu gerbang

rumah termegah di desa itu. Dari kejauhan, rumah itu sudah

terlihat kalau dikelilingi pagar tembok tinggi.

Kuda coklat putih yang ditungganginya meringkik. Kedua

kaki depannya pun diangkat tinggi-tinggi.

"Hup...!"

Dengan gerakan manis dan indah, pemuda berkumis tipis

itu melompat dari punggung kudanya. Ringan tanpa suara

kedua kakinya mendarat di tanah.

Kemudian dipegangnya tali kekang kudanya. Lalu binatang

tunggangan itu dituntunnya menghampiri pintu gerbang.

"Aku Jalatara, putra Tuan Sudiraja," ucap pemuda berkumis

tipis itu ketika melihat dua orang penjaga mencoba

menghadang.

"Ah...I Maafkan kami. Den. Silakan masuk. Keda tangan

Aden memang sudah ditunggu-tunggu," ucap salah seorang

penjaga.

Tanpa bicara apa-apa, Jalatara melangkah ke dalam. Kuda

tunggangannya ditinggalkan di depan pintu gerbang. Pandira

yang tengah duduk di teras depan, langsung mengenali

Jalatara.

"Jalatara...," desis laki-laki berkumis lebat ini pelan seraya

bangkit dari duduknya dan berjalan menyambut kedatangan

pemuda berkumis tipis itu. Dikenali betul siapa Jalatara, salah

seorang kepercayaan Adipati Palangka.

"Ah...! Kakang Pandira...! Rupanya kau berada di sini...!

Sungguh tidak kusangka!" ucap Jalatara kaget Mulutnya

menyunggingkan senyum lebar.

"Kedatanganmu yang begitu tiba-tiba ini membuatku

terkejut, Jalatara. Ah, terpaksa kepulanganku kutunda

sejenak," ucap pengawal rahasia Adipati Palangka ini.


"Eh...?! Mengapa begitu, Kang?" tanya Jalatara tidak

mengerti.

"Yahhh...! Tugasku gagal, Jala! Aku baru saja akan kembali

ke kadipaten sambil membawa pesan dari ayahmu," Jelas

Pandira seraya menarik napas panjang.

"Pesan? Pesan apa, Kang?" tanya Jalatara lagi. Wajahnya

terlihat agak tegang.

"Agar kau segera pulang. Ada urusan penting yang akan

dibicarakan denganmu," beritahu Pandira.

"Urusan penting? Urusan penting apa, Kang" tanya pemuda

berkumis tipis ini dengan alis berkerut.

'Tanyalah pada ayahmu," sahut Pandira kalem. Baru saja

Jalatara hendak meninggalkan tempat Itu, Sudiraja telah

keburu keluar dari dalam rumahnya. Rupanya percakapan

kedua orang itu terdengar olehnya, sehingga buru-buru dia

berlari keluar.

Jalatara mengerutkan alisnya begitu melihat banyak orang

yang berjalan di belakang ayahnya. Tapi sesaat kemudian dia

menjadi gembira begitu mengetahui dua di antara mereka

adalah saudaranya.

"O ya, Jalatara," ucap Sudiraja tiba-tiba.

"Ada apa, Ayah?" tanya pemuda berkumis tipis itu.

Ditolehkan kepalanya menatap ayahnya.

"Apakah surat yang Ayah kirimkan sudah kau terima?"

tanya Sudiraja.

"Surat?!" tanya Jalatara. Sepasang alisnya berkerut dalam.

Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.

"Ya! Surat!" sahut Sudiraja menegaskan. "Kau terima?"

"Tidak!" sahut Jalatara seraya menggelengkan kepalanya.

"Kapan Ayah mengirimkannya?"


"Beberapa hari yang lalu. Hhh...! Kukira kau datang kemari

karena surat itu telah kau terima." Kemudian Sudiraja

menceritakan perjalanan surat yang dikirimkan untuk Nirmala.

"Tidak, Ayah. Aku sama sekali tidak menerima sepucuk

surat pun. Aku kemari karena rindu pada Ayah."

Sudiraja tersenyum lebar.

"Kalau begitu, lupakan saja persoalan itu! Sekarang mari

kita rayakan berkumpulnya seluruh keluarga kita dengan

minum-minum!" teriak Sudiraja penuh ra aa gembira.

"Biarlah hari ini aku yang menjadi pelayannya, Ayah," pinta

Jalatara.

Tawa Sudiraja terhenti.

'Tidak, Jala! Kau baru saja tiba dari perjalanan yang Jauh.

Kau masih capek!" bantah laki-laki berperut gendut Ini.

Pemuda berkumis tipis Itu tersenyum.

'Tadi, memang aku lelah, Ayah. Tapi setelah bertemu

dengan Ayah, Kakang Kanulaga dan Adik Nir mala, rasa

lelahku langsung sirna. Percayalah, Ayah. Aku sudah tidak

lelah lagi."

"Kalau begitu, terserah kaulah...," sahut Sudiraja mengalah.

Tanpa sepengetahuan mereka, sesosok bayangan! merah

berkelebat melompati pagar tembok rumah Sudiraja yang

tinggi Itu. Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak tanah.

Lalu cepat bayangan itu menyelinap di balik kerimbunan

pohon.

Keluarga Sudiraja, Pandira, Dewa Arak dan Melati

memasuki ruang tengah. Sudiraja berjalan paling depan.

Dengan gembira laki-laki berperut gendut ini mengajak

semuanya ke dalam ruangan tengah yang mewah dan megah.


Tiba-tiba Melati merandek kaget Dia mendengar suara

bisikan halus di telinganya. Suara Itu dikenalnya betul Suara

kekasihnya, Dewa Arak!

"Masukkan benda pemberian Gusti Prabu Nalan da dalam

minumanmu nanti, Melati...."

"Ada apa, Kak Melati?" tanya Nirmala, begitu dilihatnya

Melati menghentikan langkahnya. Nirmala dan yang lain-

lainnya memang tidak mendengar ucapan itu. Dengan

kepandaian yang dimilikinya, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk

mengirimkan suara kepada orang yang dikehendakinya.

"Tidak ada apa-apa, Mala," sahut Melati cepat

Nirmala pun terdiam. Apalagi setelah dilihatnya gadis

berpakaian serba putih itu sudah kembali melangkah. Tak

diketahuinya kalau pikiran Melati berputar keras. Gadis itu

memang telah menceritakan pada Dewa Arak bahwa

semenjak dia diangkat anak oleh Prabu Nalanda, Raja

Kerajaan Bojong Gading itu memberikan pusaka istana

padanya. Pusaka itu berbentuk bulat kecil, sebesar kelereng

dan berwarna bening. Apabila benda itu dimasukkan dalam

minuman yang diduga mengandung racun, benda pusaka itu

akan berubah warna. Setelah racun Itu terserap habis oleh

pusaka itu, maka benda pusaka itu akan kembali ke warna

asalnya.

Tak lama kemudian mereka pun sudah tiba di ruang tengah

yang mewah dan megah. Mereka duduk di bangku yang

mengelilingi sebuah meja marmer panjang. Sementara

Jalatara sibuk menyiapkan minuman.

Sudiraja adalah seorang kaya raya, tidak aneh kalau dia

memiliki persediaan arak yang berlimpah. Semua Itu

disimpannya dalam sebuah ruang khusus di sebelah ruangan

tengah ini.

Pemuda berkumis tapis itu mengambil satu di antara sekian

banyak guci arak yang berjejer. Tanpa sepengetauan siapa


pun, diambilnya sebuah bungkusan dari balik lipatan ikat

pinggangnya. Dibukanya bungkusan yang ternyata berisi

bubuk putih, kemudian dimasukkannya ke dalam guci arak itu.

Setelah itu, Jalatara kembali ke ruang tengah. Dituangkannya

arak itu ke dalam gelas-gelas indah yang berjejer di atas meja.

Setelah selesai mengisi gelas-gelas yang berada di meja,

Jalatara pun duduk di bangku yang masih kosong.

Sementara itu, diam-diam Melati memasukkan benda bulat

berang sebesar kelereng pemberian Prabu Nalanda, ke dalam

gelasnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya gadis ini ketika

melihat benda bulat bening itu berubah warna.

Melati mengerutkan alisnya. Gadis itu tahu kalau pusaka

pemberian Prabu Nalanda itu tengah menghiisap racun yang

terkandung dalam minuman itu. Dan memang tak lama

kemudian, warna benda itu kembali seperti semula. Bening.

Sudiraja mengangkat gelas minumannya. "Mari kita

rayakan peristiwa besar ini...!" ucap laki-laki bertubuh gemuk

itu. Kemudian didekatkan gelasnya itu ke mulutnya dan

diminumnya. Jalatara pun mengikuti, diteguknya araknya. Tapi

ekor mata pemuda itu melirik ke orang-orang di sekelilingnya.

Pemuda itu mengerutkan alisnya saat melihat Dewa Arak

sama sekali belum menyentuh minumannya. Rupanya Arya

tahu kalau arak di gelasnya mengandung racun. Ketika

Sudiraja mengangkat gelas tadi, pemuda Ini sempat melihat

benda pusaka Melati berubah warna.

"Maaf, Tuan Sudiraja. Aku sudah terbiasa minum melalui

guci. Bagaimana kalau aku minum arak dalam guciku saja?"

pinta Dewa Arak.

Jantung Jalatara berdebar tegang. Otaknya berputar keras.

Sebelum ayahnya sempat menjawab pertanyaan Arya, buru-

buru dia mendahului. Cepat diambil guci arak yang sebagian

isinya sudah dibagi-bagikan.



Dewa Arak diam-diam memaki kecerdikan pemuda

berkumis tipis itu. Tapi, bukan Arya Buana namanya kalau

menghadapi orang seperti itu saja kehilangan akal.

"Sayang sekali, Kang Jalatara. Aku sudah terbiasa minum

arak dari guciku sendiri. Boleh aku tuang arak dalam guci ini

ke dalam guciku?"

"Silakan...! Silakan, Arya. Jangankan hanya seguci. Seratus

guci pun akan kuberikan kalau kau mau!" Sudiraja yang

menyahuti.

'Terima kasih, Tuan Sudiraja."

Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera menuangkan

arak dalam guci itu ke dalam gucinya. Memang, guci arak

pemuda itu memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya

adalah mampu membuat semua jenis racun jadi tawar. Maka,

meskipun diketahuinya kalau minuman yang disediakan

Jalatara mengandung racun, Dewa Arak tetap berani

meminumnya.

Gluk... gluk... gluk...!

Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki

tenggorokannya.

Lega hati Jalatara, ketika dilihatnya semua yang ada di situ

telah meminum arak yang disediakannya Dia sendiri telah

lebih dulu menelan obat penawar racun itu, sehingga berani

meminumnya.

Rupanya racun yang dicampurkan dalam minuman Itu

tergolong racun yang bereaksi cepat. Sudiraja adalah orang

pertama yang menerima akibatnya. "Ah..., kok kepalaku

pusing...," desah laki-laki berperut gendut ini sambil

memegangi kepalanya Suaranya mengambang, seperti orang

pilek.


Nirmala dan Kanulaga tidak terkejut melihat kejadian yang

dialami ayahnya. Dugaan mereka, hal Itu terjadi karena usia

ayah mereka yang sudah tua.

Baru ketika tubuh Sudiraja limbung dan sudah pasti jatuh,

keadaan menjadi gempar. Untunglah Kanulaga yang duduk di

sebelahnya, sigap menangkap tubuh ayahnya. Serentak

mereka bangkit dari duduk dan mendekati Sudiraja.

Tapi sebelum berhasil mendekat, berturut-turut mereka

memegang kepalanya yang tiba-tiba mendadak pusing. Melati

dan Dewa Arak tentu saja merupakan kekecualian. Melati

bingung, tak tahu harus berbuat apa. Diliriknya wajah Dewa

Arak. Dan di saat Itulah, pendengarannya menangkap suara

bisikan halus "Berpura-puralah, Melati. Kita tunggu

perkembangannya...."

Melati tidak membantah. Begitu dilihat Arya memegangi

kepalanya, gadis itu pun berpura-pura memegangi kepalanya,

bersikap seolah-olah terserang pusing.

"Arak itu beracun...," desah Arya sebelum roboh terguling.

"Ha ha ha...!"

Suara tawa berkepanjangan menyambut ucapan Dewa

Arak. Sebuah tawa kemenangan. Tawa yang berasal dari

mulut Jalatara.

***

7

Begitu melihat yang lain pingsan, Dewa Arak dan Melati

pun turut berpura-pura pingsan. Tidak sulit bagi dua orang

sakti ini untuk berbuat seperti itu Jangankan hanya berpura-

pura pingsan, berpura-pura mati pun mereka sanggup.


Baru ketika pendengaran mereka menangkap suara

keluhan lirih dari Kanulaga dan Pandira yang mulai sadar,

Dewa Arak dan Melati pun membuka matanya

Begitu mereka membuka mata, tahu-tahu di hadapan

mereka telah berdiri Jalatara, seorang kakek berkulit merah

dan belasan orang Perkumpulan Kalajengking Merah. Pada

bagian dada pakaian hitam yang dikenakan Jalatara terdapat

gambar kalajengking merah.

Nirmala dan Sudiraja merupakan orang terakhir tersadar

dari pingsannya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya laki-laki

berperut gendut itu tatkala melihat putranya berdiri bersama-

sama dengan perkumpulan yang selama ini selalu

memerasnya.

"Kau...?! Jalatara...?! Apa maksudmu?! Mengapa kau

melakukan semua ini?! Dan mengapa kau berhubungan

dengan orang-orang jahat seperti mereka!" seru Sudiraja

sambil menunjuk belasan orang Perkumpulan Kalajengking

Merah.

Jalatara hanya tersenyum sinis.

"Berhubungan? Aku adalah pemimpin mereka Akulah Ketua

Perkumpulan Kalajengking Merah!"

"Kau?!" sentak Sudiraja dan Pandira berbarengan. Berbeda

dengan Sudiraja yang masih bingung, Pandira nampaknya

sudah mengerti. Dan hal ini membuatnya geram bukan main.

Sayangnya racun yang dicampur dalam minuman itu telah

membuat sekujur tubuhnya lemas. Walaupun sudah

dipusatkan seluruh pikirannya, namun tetap saja tidak ada

getaran tenaga dalam yang bergolak. Baik di bawah pusarnya,

maupun ke tangan dan kakinya. Tenaga dalamnya telah

musnah!

"Rupanya kaulah pemimpin mereka, Jalatara! Pantas,

gerombolan itu sukar dibasmi!" ujar pengawal rahasia Adipati

Palangka ini.


"Dasar kalian saja semua yang dungu!" sahut pemuda

berkumis tipis itu kasar.

"Hanya satu yang kuherankan, Jalatara! Mengapa kau tidak

membunuh Gusti Adipati sejak dulu. Bukankah kau

mempunyai banyak kesempatan untuk membunuh beliau?"

tanya Pandira tidak mengerti.

"Ha ha ha...! Pertanyaanmu itu semakin membuktikan

kebodohanmu, Pandira! Buat apa aku membunuhnya kalau

aku tidak dapat menggantikan kedudukannya? Saat itu

kedudukanku masih terlalu rendah. Dan bila aku

membunuhnya, pastilah kau atau yang lainnya yang akan

menjadi penggantinya. Aku tidak sebodoh itu, Pandira!"

sergah Jalatara sambil tersenyum mengejek.

"Lalu kenapa tidak kau rebut saja Kadipaten Palangka

dengan kekerasan?!" pancing pengawal rahasia adipati ini.

"Kau kira aku ini bodoh, Pandira?! Kalau aku merebut

dengan kekerasan, pasukan kerajaan tidak akan tinggal diam.

Mereka pasti akan menghancurkanku. Dan aku tidak ingin hal

itu terjadi!" jawab Jalatara agak sengit.

"Lalu sekarang, bagaimana?" Pandira kembal bertanya.

"Sekarang saatnya sudah tiba. Kau tahu, Pandira, Cita-

citaku tidak kecil! Aku tidak hanya ingin menjadi adipati, tapi

aku ingin menjadi raja! Kau dengar, Pandira? Raja! Dan untuk

mewujudkan cita-citaku, aku membutuhkan biaya besar untuk

membentuk pasukan yang besar dan terlatih!"

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya, "Jadi,

itukah sebabnya kau ingin menyingkirkan Nirmala dan

Kanulaga, Jalatara?" selak Arya cepat.

"Ha ha ha...! Kau pintar, Dewa Arak. Kau tidak sebodoh si

kumis lebat Ini Dari Ki Taji, kudengar ayahku mengirim utusan

untuk memanggil Nirmala dan aku pulang, karena Kakang

Kanulaga telah terlebih dahulu pulang. Ayah ingin membagi



bagi warisan. Aku tidak ingin warisan ayah dibagi-bagi. Aku

ingin semuanya. Jalan satu-satunya untuk memperolehnya

hanyalah dengan melenyapkan Kanulaga dan Nirmala! Tapi,

sayang anak buahku gagal. Terpaksalah aku yang harus turun

tangan. Yahhh..., seperti apa yang kalian rasakan sekarang

ini!" jelas Jalatara panjang lebar.

Terdengar suara geram kemarahan dari mulut Kanulaga.

Laki-laki berwajah keras ini memang geram bukan main

mendengar semua keterangan adiknya.

Ingin rasanya dia melompat menyerang, tapi apa dayanya.

Sekujur tubuhnya lemah lunglai tak bertenaga. Bahkan tenaga

dalamnya pun lenyap. Tidak ada yang dapat dilakukannya

kecuali menggeram dan mengutuk.

"Jahanam kau, Jalatara...!" desis Kanulaga tajam. Sinar

matanya menyorotkan kemarahan hebat. Tapi ucapan

kemarahan kakaknya hanya ditanggapi Jalatara dengan tawa

terbahak-bahak. Sebuah tawa kemenangan.

"Kau yakin rencanamu akan berhasil, Jalatara?" Pandira

angkat suara.

'Tentu saja!" sentak pemuda berkumis tipis itu keras. "Aku

telah merencanakannya dengan matang. Guruku telah

mendapatkan racun yang dapat kumasukkan ke makanan atau

minuman adipati. Racun yang bekerja tanpa meninggalkan

bekas, seolah-olah kematian adipati adalah kematian yang

wajar. Lagi pula guruku akan membantu menyingkirkan

orang-orang kepercayaan adipati sepertimu, Pandira. Dan

dengan kedudukanku sekarang, tidak sulit bagiku menjadi

adipati. Dengan harta milik ayahku, akan kubentuk pasukan

yang besar dan terlatih untuk menyerbu kotaraja. Dan

kemudian aku akan menjadi raja! Ha ha ha...!"

"Sayang sekari, usahamu tidak akan berhasil, Jalatara!"

sergah Dewa Arak seraya bangkit dari berbaringnya. Melati

pun segera pula bangkit.

"Heh?l Kau...? Kau tidak terkena racunku?" tanya Jalatara

gagap.

"Untunglah aku sedikit menaruh curiga padamu, Jalatara,"

sahut Arya kalem. Diangkatnya guci araknya ke atas kepala,

kemudian dituangkan ke mulutnya. Gluk.. gluk... gluk...!

Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki

kerongkongan Dewa Arak.

"Keparat..! Hiyaaa...!"

Sambil mengeluarkan suara bentakan nyaring Jalatara

melompat menyerbu. Kedua tangannya yang membentuk

cakar aneh, menyampok deras ke arah Dewa Arak. Yang

kanan ke arah pelipis, sementara yang kiri mengancam dagu.

Dari bawah ke atas.

Suara berciutan nyaring terdengar sebelum serangan itu

mencapai sasaran. Tapi Dewa Arak bersikap tenang. Dengan

penuh percaya diri, dipapaknya kedua serangan itu Kedua

tangannya yang membentuk jari-jari belalang bergerak aneh,

sebelum akhirnya menangkis serangan lawannya. Dewa Arak

yang mengetahui keadaan yang tidak menguntungkan, tanpa

sungkan-sungkan segera mengerahkan seluruh tenaga

dalamnya.

Plak, plak...!

"Ah...!"

Jalatara berseru kaget. Pemuda berkumis tipis ini langsung

terjengkang ke belakang. Sekujur tangannya dirasakan ngilu

bukan main. Dadanya pun terasa sesak bukan kepalang.

Sedangkan Dewa Arak hanya mundur satu langkah ke

belakang. Tampak jelas kalau tenaga dalam Arya berada jauh

di atas lawannya.

"Kau urus yang lain, Jalatara! Biar Dewa Arak bagianku!"

seru kakek berkulit merah seraya melompat ke depan Arya.


Kalajengking Merah tahu kalau Jalatara bukan tandingan

Dewa Arak.

"Sudah lama kudengar nama besarmu. Dewa Arak. Dan

sudah lama pula aku ingin menjajal kelihaianmu. Aku,

Kalajengking Merah ingin mengetahui sampai di mana

kehebatanmu yang tersohor itu!"

Setelah berkata demikian, kakek berkulit merah itu tiba-tiba

membalikkan tubuhnya, seraya mengirimkan sebuah kibasan

kaki.

Wusss...!

Angin menderu keras mengawali tibanya serangan itu.

Tapi, dengan permainan jurus 'Delapan Langkah Belalang',

tidak sulit bagi Dewa Arak untuk memunahkan serangan itu.

Dengan langkah terhuyung-huyung yang menjadi khasnya,

dielakkan serangan itu. Secepat kakinya melangkah, secepat

itu pula, Dewa Arak berbalik mengancam lawan. Arya kini

telah berada di belakang lawannya.

"Hih...!"

Dewa Arak mengayunkan guci yang tergenggam di

tangannya ke kepala lawannya.

Tapi, Kalajengking Merah memang seorang tokoh luar

biasa. Cepat-cepat tubuhnya dirundukkan, sehingga serangan

itu lewat di atas punggungnya. Berbareng dengan itu, kaki

kanannya menendang ke belakang. Persis seperti tendangan

kaki belakang seekor kuda.

"Eh...?!" pekik Dewa Arak terkejut. Serangan seperti itu

sungguh di luar dugaannya. Tapi berkat keunikan jurus

'Delapan Langkah Belalang', serangan yang datang begitu

tiba-tiba itu masih dapat dielakkan-nya

Tak lama kemudian kedua tokoh inipun sudah terlibat

dalam sebuah pertempuran sengit


Jalatara memperhatikan sejenak pertarunganan tara

gurunya menghadapi Dewa Arak

"Bunuh mereka semua...!" perintah pemuda ber kumis tipis

ini kepada anak buahnya, seraya menunjuk beberapa tubuh

yang tergolek lemah tanpa daya.

Tanpa menunggu diperintah dua kali, belasan orang

Perkumpulan Kalajengking Merah itu bergerak menyerbu.

Tongkat merah berujung ekor kalajengking mereka,

berkelebatan mengancam. Tapi sebelum balasan orang itu

berhasil melaksanakan perintah sang ketua, Melati telah

menghadang.

Srattt..!

Tanpa sungkan-sungkan lagi gadis berpakaian putih ini

mencabut pedangnya. Disadari akan keadaan pihak lawan

yang lebih menguntungkan, seketika Itu juga segera

dikeluarkan ilmu pedang andalannya, 'Ilmu Pedang Seribu

Naga'. Terdengar suara mengaung bagaikan seekor naga yang

tengah meraung murka, begitu Melati menggerakkan

pedangnya.

"Selubung ini sudah tidak kuperlukan lagi!" ucap orang

yang pada dahi selubungnya bergambar ekor kalajengking,

seraya mencabut selubungnya.

"Ah...! Kau... kau... Ki Taji!"

Terdengar seruan-seruan kaget dari mulut keluarga

Sudiraja begitu melihat wajah di balik selubung itu.

Wajah Ki Taji! Kepala urusan dalam rumah tangga. Jadi,

orang yang hendak membunuh Kanulaga, dan orang yang

selama Ini menerima upeti dari Sudiraja adalah Ki Taji.

"Ya, aku! Kaget?" ejek Ki Taji sambil tersenyum sinis.

'Tunggulah. Setelah kubereskan wanita liar ini. Baru kalian

akan kubereskan!"


Setelah berkata demikian, Wakil Ketua Perguruan

Kalajengking Merah itu segera membabatkan tongkat

berujung ekor kalajengking ke leher Melati.

Wuttt..!

Tongkat itu lewat di atas kepala Melati, begitu gadis itu

merendahkan tubuhnya. Tidak sampai di situ saja yang

dilakukan Melati. Pada saat yang bersamaan, pedangnya

menusuk cepat ke leher Ki Taji. Suara menggerung dahsyat

bagaikan seekor naga murka, mengiringi tibanya serangan itu.

Hebat bukan main 'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang dimiliki

gadis itu.

Ki Taji terpekik kaget Serangan itu datang begitu cepat Tak

mungkin lagi Wakil Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah itu

mengelak. Tapi sebelum ujung pedang Melati menembus

tenggorokannya, Jalatara melesat cepat, memapak pedang itu

dengan tongkat berujung ekor kalajengking yang sejak tadi

digenggamnya

Tranggg...!

Bunga-bunga api memercik ke udara, begitu kedua senjata

itu beradu. Jalatara merasakan betapa sekujur tangannya

tergetar hebat Pemuda berkumis tipis ini kaget bukan main.

Sungguh di luar dugaannya kalau tenaga dalam yang dimiliki

gadis berpakaian puuh Ini kuat sekali! Semula Jalatara

menduga kalau hanya Dewa Arak sajalah yang merupakan

lawan tangguh. Sungguh tidak diduganya kalau Melati pun

merupakan lawan yang amat berat baginya.

Jalatara tidak punya pilihan lain. Pemuda ini tidak Ingin

usahanya yang telah lama dirintisnya gagal total Maka tanpa

malu-malu lagi, anak buahnya diperintah kan mengepung

Melati

"Serbu...!"


Tanpa diperintah dua kali, belasan anak buahnya meluruk

menyerang Melati, Sesaat kemudian hujan senjata pun

berkelebatan ke arah gadis berpakaian serba putih itu.

Jalatara pun tidak tinggal diam. Bersama Ki Taji, pemuda

berkumis tipis ini ikut menyerbu.

Melati menggertakkan gigi. Dua belas orang anak buah

Perkumpulan Kalajengking Merah bukanlah lawan yang berat

baginya. Tapi Jalatara dan Ki Taji, merupakan lawan yang

patut diperhitungkan. Mau tak mau Melati terpaksa harus

mengerahkan seluruh kemampuannya, bila ingin selamat

Sesaat kemudian d ruangan Itu telah terjadi pertempuran

sengit.

Sementara itu pertarungan antara Dewa Arak melawan

Kalajengking Merah sudah bergeser jauh dari tempat semula.

Ruang tengah yang sebenarnya cukup luas, terasa sangat

sempit bagi kedua orang sakti itu. Lantai dan dinding ruangan

telah banyak yang retak-retak, karena setiap kali kedua tokoh

itu melancarkan pukulan, dinding ruangan itu selalu bergetar.

Hal ini membuat kedua tokoh sakti Itu tidak leluasa untuk

melancarkan serangan. Khawatir bila bangunan itu roboh dan

menimpa mereka.

Kini Dewa Arak dan Kalajengkingi Merah telah berada di

halaman. Semakin bertambah luas tempat pertarungan

gerakan mereka pun semakin leluasa.

Pertarungan antara kedua orang yang sama-sama memiliki

kepandaian amat tinggi ini berlangsung cepat. Dalam hati,

Dewa Arak memuji kelihaian lawannya. Kalajengking Merah

memang memiliki kepandaian luar biasai Baik tenaga dalam

maupun ilmu meringankan tubuhnya tidak berada di bawah

Dewa Arak.

Dan yang lebih menyulitkan bagi Dewa Arak, adalah

keanehan ilmu yang dimainkan kakek berkulit merah itu. Ilmu

milik kakek berkulit merah itu mengingatkan Arya pada

binatang kalajengking dan kuda.


Sepasang tangannya yang membentuk cakar aneh

menyambar-nyambar penuh ancaman maut ke berbagai

bagian tubuh Dewa Arak. Tapi yang lebih berbahaya adalah

kibasan kakinya. Kibasan kaki itu mengingatkan Dewa Arak

pada sabetan ekor kalajengking. Di samping itu, kaki kakek

berkulit merah itu pun dapat mementil seperti seekor kuda.

Itulah sebabnya, sepasang kaki kakek itu jauh lebih berbahaya

daripada kedua tangannya.

Serangan sepasang kaki si kakek selalu datang tiba-tiba.

Kalau saja Dewa Arak tidak mempunyai jurus 'Delapan

Langkah Belalang', sudah sejak tadi pemuda berambut putih

keperakan ini roboh di tangan Kalajengking Merah.

Setelah bertarung selama seratus enam puluh jurus, Dewa

Arak belum juga mampu mendesak kakek berkulit merah itu.

Kehebatan jurus 'Belalang Mabuk pupus menghadapi sepasang

kaki Kalajengking Merah yang selalu datang tiba-tiba.

Beberapa kali Dewa Alah hampir saja terkena serangan kaki

yang terkadang, mengibas dan sesekali mementil itu. Tapi

berkat keunikan Jurus 'Delapan Langkah Belalang’, Arya masih

mampu mengelakkannya.

Dewa Arak tidak punya pilihan lain lagi. Pemuda itu

memutuskan untuk mengeluarkan Jurus yang jarang

digunakannya kalau tidak terpaksa sekali, Jurus 'Pukulan

Belalang'!

"Haaattt..!"

Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, di jurus ke seratus

delapan puluh tujuh, Kalajengking Merah mengibaskan kaki

kanannya sambil memutar tubuh. Dan seperti biasanya,

serangan itu datang secara tidak terduga-duga, sehingga

membuat Dewa Arak kaget bukan main. Tapi berkat

keistimewaan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Arya masih

sanggup mengelakkan serangan itu.


Cepat-cepat pemuda berambut putih keperakan ini

merunduk, sehingga kibasan itu lewat sejengkal di atas

kepalanya. Rambutnya sampai berkibaran akibat kerasnya

tenaga dalam yang terkandung dalam tendangan itu.

Tapi sungguh di luar dugaan Dewa Arak kalau tiba-tiba saja

kaki kiri Kalajengking Merah menendang ke arah perutnya.

Bukkk...!

"Hugh...!"

Dewa Arak mengeluh tertahan. Tendangan itu keras bukan

main. Seketika itu juga tubuh pemuda itu terjengkang

beberapa tombak ke belakang. Rasa sesak yang amat sangat

mendera Arya. Untung saja Dewa Arak yang terkena

tendangan itu, kalau orang lain pasti tewas seketika,

"He he he...!"

Kakek berkulit merah itu terkekeh. Tanpa memberi

kesempatan lagi, segera diserbunya Dewa Arak yang masih

terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya bagaikan

dua buah capit kalajengking menyambar ganas ke pelipis dan

ubun-ubun Dewa Arak.

Mendadak saja, Arya menghentakkan kedua tangannya ke

depan. Dan angin keras berhawa panas menyengat

menyambar, memapak tubuh Kalajengking Merah yang tengah

melunak ke arahnya.

Kakek berkulit merah ini terpekik kaget. Serangan Itu

datangnya begitu tiba-tiba. Apalagi tubuhnya tengah berada di

udara. Belum sempat guru Jalatara itu berbuat sesuatu, jurus

'Pukulan Belalang' Dewa Arak, telak menghantamnya.

Bresss...!

"Aaakh...!"

Kalajengking Merah melayang jauh diiringi teriakan

menyayat, dan jatuh beberapa tombak dari tempatnya


semula. Kakek berkulit merah ini menggelepar-gelepar

beberapa saat sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.

Kalajengking Merah tewas dengan sekujur tubuh hangus.

"Uhk... uhk...!"

Dewa Arak terbatuk-batuk. Ada cairan merah kental yang

memercik dari mulutnya seiring suara batuknya. Arya memang

menderita luka dalam. Tendangan Kalajengking Merah yang

mengenal perutnya memang kuat luar biasa. Tapi pengerahan

tenaga dalam akhir jurus 'Pukulan Belalang' itulah yang

semakin memperparah luka dalamnya.

Meskipun terluka dalam, tapi kekhawatiran Dewa Arak akan

keselamatan Melati yang tengah dikeroyok, membuat pemuda

itu mengesampingkan luka dalam nya. Bergegas Arya

melangkah ke dalam ruang tengah yang luas dan megah itu.

Pemuda berambut putih keperakan itu menghela napas

lega. Dilihatnya Melati telah berhasil menguasai keadaan. Dua

belas orang Perkumpulan Kalajengking Merah telah

bergeletakan di lantai. Semuanya tewas. Kini yang dihadapi

gadis berpakaian putih itu tinggal Jalatara dan Ki Taji saja. Itu

pun keduanya sudah terdesak hebat Memang, Melati dengan

'Ilmu Pedang Seribu Naga'nya terlalu kuat bagi kedua

lawannya.

Hati Dewa Arak tenang melihat hal ini. Kini pemuda berbaju

ungu itu tidak perlu khawatir lagi akan keselamatan Melati.

Segera saja Arya duduk bersila. Tak lama kemudian Dewa

Arak sudah tenggelam dalam semadinya untuk mengatasi luka

dalamnya yang cukup parah.

Sementara itu pertarungan antara Melati dengan kedua

orang pimpinan Perkumpulan Kalajengking Merah semakin

sengit.

"Hiyaaat..!"

Cappp...!


"Aaakh...!"

Ki Taji menjerit memilukan ketika pedang Melati

menghunjam perutnya.

Jalatara tidak menyia-

nyiakan kesempatan itu

Selagi pedang Melati masih

tertancap di perut Ki Taji,

dari belakang dia melompat

menerjang. Dan selagi

tubuhnya berada di udara,

senjatanya disabetkan ke

leher Melati.

Tidak ada jalan lain bagi

Melati. Pegangan pada

pedangnya terpaksa

dilepaskan, sambil

menjatuhkan diri ke lantai.

Melati terpaksa bergulingan

sehingga kini gadis ini

berada dalam posisi terlentang.

Wuttt..!

Babatan tongkat berujung ekor kalajengking itu mengenai

tempat kosong. Dan di saat itulah Melati menghentakkan

kedua tangannya yang membentuk cakar naga ke atas, ke

arah tubuh Jalatara yang masih berada di udara. Inilah jurus

'Naga Merah Membuang Mustika'.

Wusss...! Bresss..!

"Aaakh...!"

Jalatara menjerit memilukan. Tubuhnya yang tengah

berada di udara itu melambung kembali atas. Pukulan jarak

jauh Melati telak mengenai dadanya. Seketika itu juga sekujur

tulang dadanya remuk. Darah segar mengalir deras dari


mulut, hidung, dan telinga-nya. Pemuda berkumis tipis ini

tewas sebelum tubuhnya sempat mencapai tanah. Dengan

mengeluarkan suara berdebuk keras tubuh Jalatara jatuh ke

lantai.

Sudiraja, Kanulaga, dan Nirmala menatap mayat. Jalatara

dengan perasaan yang sukar untuk dilukiskan. Ada perasaan

lega melihat pemuda itu mati. Tapi perasaan sedih, mendera

lebih besar lagi. Bagaimanapun juga, pemuda itu adalah

keluarga mereka. Terlebih lagi Sudiraja! Tanpa dapat

ditahannya, sepasang mainnya merembang berkaca-kaca.

Dewa Arak dan Melari menghampiri. Sudiraja sekeluarga

dan Pandira yang kini sudah tidak terlalu lemah lagi. Mereka

kini sudah mampu bangkit dan dapat berbuat sebagaimana

orang biasa layaknya. Tapi, tetap saja tenaga dalam yang

mereka miliki musnah.

"Sayang sekali, kami tidak tahu bagaimana caranya

memunahkan racun itu," keluh Dewa Arak penuh sesal setelah

menyelesaikan semadinya. Kini luka-luka dalamnya telah

sembuh.

"Aku dapat memunahkannya, Dewa Arak," sahut Kanulaga.

"Kau bisa?" tanya Arya ingin memastikan.

"Ya! Guruku ahli pengobatan. Racun ini bukan apa-apa

bagiku," ucap laki-laki berwajah keras itu seperti

menyombongkan diri.

"Lalu, kenapa sejak tadi kau diam saja?" tanya Dewa Arak

menyalahkan.

'Tadi aku belum mampu bangkit.... Eh! Dewa Arak...!"

panggil Kanulaga keras. Sebelum pemuda itu menyelesaikan

ucapannya, Dewa Arak melesat pergi dari situ diikuti oleh

Melati.

Tapi Arya dan Melari sama sekali tidak mempedulikan

panggilan Kanulaga. Kedua pendekar muda ini sengaja


bergegas pergi, karena tidak ingin menerima ucapan terima

kasih dari orang yang ditolongnya. Lagi pula urusannya telah

selesai. Kanulaga, Sudiraja, Pandira, dan Nirmala, hanya dapat

teriongong melihat kepergian penolong mereka.

Sementara itu, nun jauh di sana nampak dua sejoli tengah

berjalan berdampingan. Seorang pemuda berambut putih

keperakan dan seorang gadis cantik berpakaian serba putih.

Kedua orang itu adalah Dewa Arak dan Melati yang terus

mengembara memenuhi tugas sebagai pendekar pembela kebenaran



                              SELESAI



 

Share:

0 comments:

Posting Komentar