berkesiut di belakangnya. Dewa Arak tiba-tiba telah berada
di belakangnya, dan tengah mengayunkan gucinya ke arah
belakang kepalanya.
"Hih...!"
Nenek berpakaian serba hitam ini segera melompat ke
depan. Tubuhnya berguling-guling menjauh. Serangan guci
Dewa Arak mengenai tempat kosong
Wajah Kuntilanak Alam Kubur berubah. Selama
hidupnya baru kali ini dia bisa dibuat bergulingan di tanah
dalam segebrakan. Hal ini tentu saja membuat amarahnya
meluap. Begitu bangkit dari bergulingnya, dia pun kembali
menerjang lawannya dengan dahsyat.
Kedua tinju Kuntilanak Alam Kubur menyambar-
nyambar dahsyat mencari sasaran. Terdengar suara
gemuruh setiap kali tinjunya melayang.
Tapi meskipun si nenek menyerang bagaikan kerbau
mengamuk, semua serangannya dapat dikandas kan oleh
Dewa Arak. Jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang dimain-
kan Arya membuatnya lincah mengelakkan serangan.
Bahkan tidak jarang malah berbalik mengancam lawan.
"Haaat..!"
Kedua tangan Dewa Arak yang memainkan jurus
'Belalang Mabuk' menyambar deras ke arah kedua pelipis
Kuntilanak Alam Kubur.
Nenek berwajah mirip burung elang itu tertawa
mengikik. Serangan itu segera dipapakinya dengan kedua
tangan yang dilintangkan di sisi telinganya.
Plak...!
Benturan dua pasang tangan yang mengandung tenaga
dalam tinggi pun terjadi. Tubuh Dewa Arak terjengkang ke
belakang. Sekujur tangannya dirasakan ngilu sekali.
Napasnya terasa sesak. Sementara si nenek dilihatnya
hanya terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang. Jelas,
kalau dalam adu tenaga dalam, Kuntilanak Alam Kubur
masih berada di atas Dewa Arak!
"Hiyaaa...!"
Belum sempat pendekar muda ini memperbaiki kuda
an memberitahu
letak hutan itu, kalian tidak akan kami apa-apakan."
Ketiga petani itu menggeleng-gelengkan kepalanya
serempak.
"Kami... kami tidak tahu, Tuan," jawab salah seorang
yang berkumis putih.
"Apa?!" teriak si muka bopeng. Sepasang matanya
membelalak lebar. "Kau berani berbohong pada kami, tua
bangka peot?!"
Sambil berkata demikian, tangan laki-laki kasar itu
meraba hulu pedang di pinggangnya. Tentu saja hal itu
membuat ketiga orang petani itu gemetar.
"Aku... aku tidak bohong, Tuan...," sahut salah seorang
dari petani itu terbata-bata.
Terdengar suara berderak keras saat laki-laki bermuka
bopeng itu mengepalkan tangan kirinya.
"Keparat...! Rupanya kau lebih suka memilih mati, heh?!
Kalau benar begitu, pergilah ke neraka, tua bangka!"
Setelah berkata demikian tangannya berkelebat cepat.
Dan....
Srat! Crak..!
"Akh...!"
Si petani berkumis putih menjerit tertahan. Pedang laki-
laki bermuka bopeng itu telah membabat lehernya.
Seketika kepala si petani terpisah dari lehernya!
Dua orang petani lainnya menatap tubuh kawannya yang
tidak bernyawa lagi dengan mata tidak berkedip. Bergidik
bulu kuduk mereka menyaksikan kematian kawannya yang
begitu tragis. Jangankan melawan, berdiri saja rasanya
hampir tak sanggup lagi!
"Nah! Bagaimana? Mau menunjukkan di mana letak
Hutan Bandan atau, memilih nasib seperti dia!" ancam laki-
laki bermuka bopeng seraya menunjuk mayat petani sial
yang sudah tak berkepala. Sedangkan laki-laki berwajah
tengkorak hanya memperhatikan semua peristiwa itu
sambil menyeringai kesenangan.
Dua orang petani itu saling berpandangan sejenak.
Mereka tidak berani memandang wajah beringas si muka
bopeng.
"Cepat jawab...! Sebelum kesabaranku hilang...!" sentak
si muka bopeng gusar.
Tubuh dua orang itu menggigil semakin menjadi-jadi.
Tiba-tiba mereka nekat membalikkan tubuh dan berlari
meninggalkan si muka bopeng.
"Rupanya kalian juga memilih mampus...!" terdengar
suara berseru nyaring. Tahu-tahu di depan keduanya telah
berdiri si muka tengkorak. Kedua tangannya terlipat di
dada.
"Ah...!" kedua petani itu berseru kaget. Dengan wajah
pucat mereka menghentikan langkahnya.
Belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, si muka
tengkorak telah menggerakkan tangannya. Dalam sekejap
tangannya telah menggenggam sebatang golok.
"Hih...!"
Si muka tengkorak menusukkan goloknya ke arah perut
salah seorang petani malang itu.
Blesss...!
"Aaakh...!"
Petani sial itu menjerit memilukan ketika golok itu
menembus perutnya. Darah segar bermuncratan dari
perutnya. Beberapa saat lamanya petani sial itu ber-
kelojotan meregang nyawa, sebelum akhirnya diam tidak
bergerak lagi.
Pelahan-lahan si muka tengkorak mendekati petani
yang tersisa. Kontan si petani muridur ketakutan. Tapi
langkahnya terhenti ketika punggungnya terasa menyentuh
sesuatu. Sambil berjingkat kaget, ia menoleh ke belakang.
Ternyata punggungnya menyentuh ujung pedang yang
diacungkan si muka bopeng. Kini dia tidak bisa lari ke
mana- mana
"Ampun... ampunkan aku, Tuan anakku banyak....
Jangan bunuh aku...," rintih petani itu memelas.
Si muka tengkorak mendengus.
"Kami akan mengampunimu, Pak Tua. Kalau kau sayang
pada anak-anakmu, katakanlah, di mana letak Hutan
Bandan?! Bila kau menolak, maka kami tidak segan-segan
mengirimmu ke akherat!"
Tubuh si petani semakin menggigil mendengar ancaman
itu.
“Ttt... tapi, Tuan.... Hutan yang Tuan sebutkan itu adalah
hutan larangan. Hutan keramat! Hutan itu telah diamanat-
kan agar dijaga oleh penduduk Desa Bandan. Tidak
seorang pun diperbolehkan masuk ke dalamnya. Kalau ada
yang masuk, apalagi sampai membuat onar, maka
bencana akan menimpa desa kami..." ucap petani itu
terbata-bata.
"Aku tidak peduli apa yang terjadi dengan desa ini!
Katakan di mana letak Hutan Bandan atau kau ingin mati
pelan-pelan, heh! Ini kesempatanmu yang terakhir, Pak
Tua!" si muka bopeng sudah tak sabar. Pedangnya yang
sejak tadi menempel di punggung si petani semakin
ditekan. Darah mulai menetes dari luka di punggung petani
matang itu.
Si petani menggigit bibirnya, menahan rasa nyeri di
punggungnya.
"Ba... baik, baiKiah," ujar petani itu terputus-putus.
Si muka bopeng menarik kembali pedangnya.
"Hutan itu ada di balik gunung." si petani menjawab
sambil menunjuk ke arah sebuah gunung di hadapannya
Kedua orang kasar itu mengikuti arah yang ditunjuk oleh
si petani. Benar mereka memang melihat sebuah gunung
yang menjulang di kejauhan.
Si muka tengkorak menganggukkan kepalanya ke arah
si muka bopeng. Saat itu juga, si muka bopeng
menusukkan pedangnya ke punggung si petani.
Cappp...!
"Akh...!"
Darah bermuncratan ketika pedang itu menembus
punggung hingga ke perut si petani.
Orang malang itu terbungkuk-bungkuk memegangi
perutnya. Lukanya bertambah lebar ketika si muka bopeng
menarik kembali pedangnya
"Kkk.... kenapa Tuan mengingkari janji...?" si petani ber-
tanya sambil menahan rasa sakit.
Desss!
Tendangan si muka tengkorak menjawab pertanyaan si
petani itu.
"Hugh...!"
Si petani mengeluh tertahan. Tendangan itu tepat
mengenai perutnya. Tubuhnya terjengkang, berguling-
guling di tanah. Sang maut telah menjemputnya.
Tanpa mempedulikan mayat-mayat petani sial itu,
keduanya segera bergegas menuju arah yang ditunjukkan
si petani.
Tanpa mereka sadari, sejak tadi seorang anak belasan
tahun melihat semua kejadian itu dari balik semak belukar.
Begitu dilihatnya kedua pembunuh itu berlalu, anak itu
pun segera berlari kencang ke arah desa.
***
Ki Gayan, Kepala Desa Bandan tersentak kaget men-
dengar laporan yang dibawa oleh anak belasan tahun di
depannya, ia mengenali anak itu sebagai salah seorang
warganya.
"Benarkah semua yang kau katakan ini, Dursa?"
tanyanya lagi meminta ketegasan.
"Sungguh mati, Ki, Aku tidak bohong!" sahut anak yang
bernama Dursa itu.
Ki Gayan menggelengkan kepalanya.
"Cepat kau beritahukan peristiwa ini pada Ki Sanca-
perta, Dursa," perintah laki-laki setengah baya itu.
"Antarkan dia langsung ke tempat kejadian!"
"Sekarang, Ki?"
"Tentu saja!" sentak Ki Gayan agak kesal.
Kembali Dursa berlari. Kali ini tujuannya adalah rumah
Ki Sancaperta, guru silat di desa ini. Sedangkan Ki Gayan
segera beranjak menuju tempat pembunuhan bersama
salah seorang pengawalnya.
Dalam waktu singkat Desa Bandan geger. Kematian tiga
warganya membuat mereka resah. Rasa cemas nampak
terlihat di setiap wajah penduduk.
"Hal ini tidak boleh dibiarkan!" tegas Ki Gayan. "Kita
harus menangkap pembunuhnya.
"Aku setuju dengan pendapatmu, Gayan!" dukung
seorang yang bertubuh tegap. Orang ini kelihatan gagah
dengan cambang bauk lebat di wajahnya. Dia satu-satunya
guru silat di Desa Bandan ini. Murid-muridnya cukup
banyak. Semuanya penduduk desa itu. "Akan kukejar orang
yang berani kurang ajar memasuki Hutan Bandan, Gayan.
Jika melalui jalan pintas, mungkin aku masih dapat
mendahului mereka. Mudah-mudahan keduanya belum
sempat memasuki hutan."
"Ahhh...! Usulmu bagus sekali, Sanca." sahut Ki Gayan
gembira.
"Kalau begitu, aku pergi dulu, Gayan."
Setelah berkata demikian, Ki Sancaperta segera
melesat dari tempat itu. Gerakannya cepat bukan main.
Sekali bergerak, tubuhnya sudah berada beberapa tombak
di depan.
Ki Gayan segera memerintahkan para penduduk meng-
urus ketiga jenazah warganya. Laki-laki setengah baya ini
merasa prihatin atas malapetaka yang menimpa keluarga
korban.
"Bukan tidak mungkin masih banyak orang yang akan
menanyakan letak Hutan Bandan. Entah apa yang
sebenarnya mereka inginkan?" desah Ki Gayan pada
dirinya sendiri. Sepertinya ada beban berat yang menekan
batinnya.
***
Ki Sancaperta mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimilikinya. Sebagai orang yang sudah puluhan tahun
tinggal di situ, ia hapal betul seluk beluk seluruh Desa
Bandan. Ki Sancaperta tahu jalan pintas menuju Hutan
Bandan.
Tanpa mempedulikan onak dan ranting yang melukai-
nya. Ki Sancaperta terus merambah semak belukar.
Begitu hamplr menembus rerimbunan semak terakhir,
matanya menangkap adanya dua sosok tubuh tengah
berjalan di depannya.
Brusss...!
Ki Sancaperta cepat-cepat menerobos semak terakhir.
"Kisanak berdua, harap tunggu sebentar...!" seru guru
silat ini.
Kedua orang itu menghentikan langkahnya sambil
menoleh ke belakang mencari asal suara.
Sesaat kemudian Ki Sancaperta telah berdiri menantang
di depan mereka.
Ki Sancaperta mengamati kedua orang kasar itu
sejenak. Keduanya mempunyai ciri-ciri sesuai seperti yang
diceritakan Dursa. Yang satu, wajahnya bopeng, sementara
yang seorang lagi berwajah kurus. Jadi inikah kedua orang
yang telah membunuh tiga orang warga desanya?
"Siapa kau?!" tegur si muka bopeng kasar. Matanya
menatap tajam sekujur tubuh guru silat itu.
"Seharusnya akulah yang mengajukan pertanyaan itu,
Kisanak!" sergah Ki Sancaperta seraya tersenyum.
"Kurang ajar! Rupanya kau cari mampus, heh!" bentak si
muka bopeng.
"Kalianlah yang cari mampus! Aku menuntut balas atas
kematian tiga warga desaku yang baru saja kalian bunuh!"
sahut Ki Sancaperta geram.
"Keparat..! Mampuslah kau..!" teriak si muka tengkorak
sengit.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, segera dicabut goloknya.
Lalu disabetkannya ke leher Ki Sancaperta. Begitu si muka
bopeng melihat kawannya sudah menyerang ia bersiap
siap membokong.
Wuttt...!
Dan gerakannya, Ki Sancaperta tahu kalau kedua orang
lawannya ini hanya memiliki sedikit kepandaian. Rasanya
tidak terlalu sulit baginya merobohkan keduanya.
Segera kepalanya ditarik ke belakang sehingga
serangan itu lewat beberapa rambut dari wajahnya. Pada
saat yang bersamaan, Ki Sancaperta segera melepaskan
tendangan lurus ke arah perut.
Buk!
"Hugh...!"
Si muka tengkorak mengeluh tertahan. Tubuhnya
terjengkang ke belakang. Darah segar menetes di sudut-
sudut bibirnya.
Tapi sebelum Ki Sancaperta mengirimkan serangan
susulan, si muka bopeng lebih dulu melesat menyerang.
Pedang di tangannya menusuk cepat ke arah leher.
Ki Sancaperta mendengus. Laksana kilat tubuhnya
menyelinap ke bawah. Pada saat yang bersamaan,
dilepaskannya pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan perut
lawan.
Buk! Buk...!
"Hughk...!"
Bertubi-tubi pukulan yang dilancarkan Ki Sancaperta
mengenai sasaran. Terdengar suara berderak ketika
tulang-tulang rusuk si muka bopeng berpatahan. Darah
segar keluar dari mulut, hidung, dan telinganya.
Bruk...!
Tubuh si muka bopeng jatuh tersungkur. Nyawanya
melayang seketika.
"Keparat...!"
Si muka tengkorak berteriak gusar. Golok di tangannya
diputar-putar laksana baling-baling. Sambil mengeluarkan
teriakan melengking, diterjangnya guru silat itu.
Ki Sancaperta dengan tenang menggerakkan tubuhnya
ke sana kemari. Semua serangan si muka tengkorak
mengenai tempat kosong. Dan pada suatu ke sempatan....
Tak!
Si muka tengkorak memekik ketika tendangan Ki
Sancaperta mengenai pergelangan tangannya. Golok di
tangannya terlempar.
Sebelum orang kasar ini sempat berbuat sesuatu, kaki
yang baru saja menendang pergelangan tangannya
berputar cepat mengancam rahangnya. Gerakan itu begitu
cepat dan tiba-tiba, sehingga si muka tengkorak tidak
sempat menghindar.
Krak...!
Terdengar suara berderak keras ketika tulang leher si
muka tengkorak patah. Tubuhnya terlempar ke belakang.
Beberapa saat lamanya, laki-laki kasar itu menggeliat
menjemput maut.
Ki Sancaperta memandangi kedua sosok tubuh yang
terkapar itu sejenak. Dengan sekali hentakan, kedua mayat
itu ditendang masuk ke semak-semak.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya laki-laki gagah itu
bergegas kembali ke Desa Bandan.
***
"Aku semakin khawatir melihat perkembangan akhir-
akhhr ini, Gayan," ucap Ki Sancaperta ketika malam
harinya mereka berembuk membahas masalah tadi pagi.
Pertemuan itu juga dihadiri oleh Gempal, pengawal Ki
Gayan sekaligus merangkap Kepala Keamanan Desa
Bandan. Tak ketinggalan pula Jiwala, murid utama Ki
Sancaperta.
"Hhh...!" Kepala Desa Bandan itu hanya menghela napas
panjang.
"Ini adalah kejadian ketiga kalinya, Gayan. Belum lama
ini beberapa warga kita ditemukan tewas karena masalah
yang sama. Orang-orang kasar itu selalu menanyakan letak
Hutan Bandan. Diberitahukan atau tidak, tetap saja
mereka dibunuh." ucap laki-laki gagah itu lagi.
"Hm..., mungkin karena adanya berita yang beredar di
dunia persilatan, Guru," tukas Jiwala.
Laki-laki gagah bercambang bauk itu menoleh ke arah
muridnya.
"Berita apa, Jiwala?" tanya guru silat itu. Nada suaranya
menyiratkan rasa ingin tahu. Bukan hanya Ki Sancaperta
saja, Ki Gayan dan Gempal pun memandang wajah Jiwala
dengan penuh perhatian.
Jiwala menarik napas panjang sebelum memulai
keterangan.
"Menurut berita yang kudengar, ada sebuah benda ber-
cahaya dari langit yang jatuh di sekitar Gunung Bandan.
Jadi, yahhh.... di sekitar Hutan Bandanlah...," tegas pemuda
bertubuh pendek kekar itu.
"Benda bercahaya dari langit...?" gumam Ki Sancaperta.
Jelas kalau guru silat itu masih belum mengerti. Ditatapnya
Ki Gayan, dan Gempal. Tapi keduanya terlihat tengah
mengernyitkan alisnya. Rupanya kedua orang ini juga
dilanda perasaan yang sama.
"Benarkah apa yang kau ucapkan ini, Jiwala?" tanya Ki
Sancaperta meminta ketegasan.
"Begitulah berita yang kudengar Guru," sahut Jiwala
disertai anggukan kepalanya.
"Kalau benar semua yang kau ucapkan itu, berarti kita
sekarang berada dalam bahaya!"
"Mengapa demikian, Ki?" tanya Gempal. Matanya
merayapi wajah Ki Sancaperta yang terlihat gelisah.
Guru silat itu menatap wajah Kepala Keamanan Desa
Bandan itu lekat-lekat.
"Kau tidak bisa menduga akibat berita itu, Gempal?!"
tanya laki-laki gagah itu. Suaranya mengandung teguran.
"Orang- orang persilatan pasti akan berbondong-bondong
datang ke Hutan Bandan. Bukankah kau tahu bahwa hutan
itu merupakan daerah terlarang? Bukankah kita dipesan
untuk melarang siapa pun masuk ke dalamnya? Kalau hal
itu dilanggar, maka desa kita akan dilanda musibah!"
Wajah Gempal memerah karena malu. Pikirannya baru
terbuka setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari
gurunya. Gempal memang kurang cepat tanggap terhadap
setiap masalah, meskipun kedudukannya adalah sebagai
kepala keamanan desa.
"Lalu bagaimana baiknya, Sanca?" tanya Ki Gayan.
Otaknya buntu memikirkan jalan keluar persoalan ini.
Ki Sancaperta menghela napas panjang mendengar
pertanyaan itu. Bisa dimaklumi kebingungan di benak
kepala desa yang sejak kecil menjadi teman karibnya ini.
"Kau tidak mempunyai usul, Gayan?" tanya guru silat itu.
Pelan dan datar nada suaranya.
Ki Gayan menggelengkan kepalanya.
"Pikiranku buntu, Sanca." sahut kepala desa itu
mendesah.
Ki Sancaperta tercenung sejenak.
"Kalau begitu, begini saja Jiwala dan Gempal memimpin
penjagaan di mulut desa. Usahakan, cegah orang yang
akan menuju Hutan Bandan. Jika menjumpai lawan yang
lebih kuat, segera pukul kentongan. Aku akan datang
membantu kalian. Kalian paham?!" tanya guru silat ini
sambil menatap kedua laki-laki muda di hadapannya
"Paham, Guru!" sahut Jiwala sambil menganggukkan
kepalanya.
"Paham, Ki!" jawab Gempal pula.
"Bagus! Atur penjagaan sebaik-baiknya."
***
DUA
Seorang pemuda berambut putih keperakan melangkah
pelahan memasuki Desa Bandan. Baru saja ia melangkah
melewati tembok baru batas desa, di depannya telah
menghadang belasan orang bersenjata lengkap. Sikap
mereka tampaknya tidak bersahabat.
Pemuda yang tidak lain adalah Arya atau yang lebih
terkenal berjuluk Dewa Arak itu mengerutkan alisnya. Tapi,
pemuda ini seolah-olah bersikap tidak tahu apa yang ter-
jadi di hadapannya.
"Berhenti...!"
Terdengar teriakan bernada kasar. Belum lagi gema
teriakan itu lenyap, tahu-tahu belasan sosok tubuh tadi
sudah bergerak mengurungnya.
Srat! Srat...!
Serentak orang-orang itu mencabut senjatanya. Tentu
saja hal ini membuat Dewa Arak yang tidak tahu apa-apa,
menjadi kaget bukan main.
"Tahan…!" teriak Arya keras. Kedua tangannya dijulurkan
ke depan. "Ada apa Ini? Mengapa kisanak semua meng-
hadang perjalananku?"
Salah seorang pengepungnya maju menghampiri. Orang
itu adalah Jiwala, murid kepala Ki Sancaperta.
"Tidak usah berpura-pura, Kisanak! Bukankah kau ingin
ke Hutan Bandan untuk mendapatkan benda langit itu?"
sergah pemuda bertubuh pendek kekar itu sambil ter-
senyum sinis.
Dewa Arak mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti
maksud pembicaraan orang itu.
Belum lagi Arya menjawab, si pendek kekar sudah
melompat menyerang. Golok di tangannya disabetkan ke
leher Dewa Arak.
Tentu saja serangan orang yang berkepandaian seperti
Jiwala tidak berarti apa-apa bagi Dewa Arak. Kalau dia
mau, hanya dengan menyalurkan sedikit tenaga dalamnya,
serangan tadi tidak akan mampu melukai kulitnya.
Tapi Dewa Arak tidak mau mempertunjukkan kelihaian-
nya. Kepalanya dimiringkan sedikit, sehingga serangan itu
lewat di atas kepalanya. Ia tak ingin melancarkan serangan
balasan. Arya tahu kalau belasan orang ini hanya salah
paham.
Jiwala kalap begitu melihat serangannya dapat digagal-
kan. Kini, golok di tangannya kembali menyambar semakin
dahsyat.
Lagi-lagi pemuda kekar ini menerima kenyataan pahit.
Semua serangannya dapat dielakkan secara mudah oleh
Dewa Arak. Hal ini membuat kemarahannya semakin
meluap. Sambil menggertakkan gigi, diperhebat serangan-
serangannya.
Dewa Arak mengernyitkan alisnya. Hatinya kesal melihat
kenekatan lawan. Akhirnya Arya memutuskan untuk segera
menyelesaikan pertarungan ini
"Lepas...!" teriak Dewa Arak keras. Dengan kecepatan
yang sukar diikuti mata, tangannya bergerak menotok ke
arah sikut Jiwala.
Tuk!
"Akh....!"
Murid kepala Ki Sancaperta ini memekik tertahan.
Sekujur tangannya lumpuh seketika. Belum lagi dia sempat
berbuat sesuatu, tahu-tahu golok di tangannya telah
berada dalam genggaman Dewa Arak.
Kini sadarlah Jiwala kalau pemuda di hadapannya me-
miliki kepandaian jauh di atasnya. Tanpa ragu-ragu lagi dia
segera menoleh ke belakang sambil berseru keras.
"Serang..!"
Seketika itu juga para pengepung Dewa Arak segera
menyabetkan senjatanya masing-masing.
Dewa Arak mengernyitkan keningnya. Orang-orang ini
benar-benar nekat! Mereka sama sekali tidak mau men-
dengar penjelasannya. Arya akhirnya memutuskan untuk
menghindar. Pemuda berbaju ungu ini khawatir kalau
melawan dengan kekerasan hanya akan memperuncing
keadaan.
Dengan mengandalkan ilmu peringan tubuhnya yang
sudah mencapai tingkat tinggi, Dewa Arak melenting ke
atas, melewati kepala para pengeroyoknya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di luar
kepungan. Dan secepat itu pula segera dilangkahkan
kakinya meninggalkan tempat itu.
Jiwala dan teman-temannya terpaku melihat lawan yang
mereka serang sudah tidak berada di tempatnya lagi.
Untuk sesaat mereka celingukan mencari-cari.
"Itu dia...!" teriak Jiwala menunjuk ke arah Dewa Arak
yang tengah melangkah memasuki desa.
Mereka segera berbondong-bondong mengejar. Tentu
saja Dewa Arak yang berjalan biasa, dalam waktu singkat
sudah terkejar. Pemuda berambut putih keperakan ini
kembali dikepung.
"Jangan harap dapat memasuki Hutan Bandan sebelum
melangkahi mayat kami, Kisanak!" seru Jiwala keras.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas panjang. "Harap
kisanak semua mau mengerti penjelasanku. Sungguh, aku
sama sekali tidak berniat menuju ke Hutan Bandan.
Apalagi mencari apa yang kalian sebut benda langit itu."
Jiwala mengernyitkan keningnya. Ucapan pemuda
berambut putih keperakan ini mulai membuatnya sedikit
percaya.
"Lalu, apa maksudmu datang ke desa ini?" tanya Jiwala
lagi. Nada suaranya mulai terdengar lunak.
"Hanya kebetulan lewat," sahut Arya
"Hanya itu saja?" desak Jiwala. Ada rasa tidak percaya
pada nada suaranya.
"Ya." jawab Arya singkat.
Pemuda bertubuh pendek kekar itu mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Kalau boleh kutahu, siapa namamu, Kisanak?" tanya
pemuda pendek kekar itu lagi. "Aku Jiwala."
"Arya, Arya Buana."
"Baiklah, Arya. Kami percaya bahwa kau tidak hendak
menuju Hutan Bandan. Tapi ingat, kalau ternyata kau
menuju ke sana, kami tidak akan segan-segan menindak-
mu!" tandas Jiwala tegas.
Dewa Arak menghela napas lega.
"Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan pada-
ku, Kakang Jiwala. Percayalah..., nama Hutan Bandan,
mendengarnya pun baru kali ini. Itu pun dari mulutmu
sendiri, Kang."
"Aku percaya padamu, Arya. Kelihatannya kau berbeda
dengan orang-orang persilatan yang pernah datang ke sini,"
jelas Jiwala.
"Jadi, banyak orang yang datang kemari menanyakan
masalah Hutan Bandan itu, Kang?"
"Ya." sahut Jiwala sambil menganggukkan kepalanya.
"Semua ini karena beredarnya berita yang tersebar luas di
luaran."
"Berita apa, Kang?" tanya Arya ingin tahu.
“Berita yang mengatakan adanya sebuah benda ber-
sinar dari langit yang jatuh ke Hutan Bandan. Entah dari
mana asal berita itu. Jelas berita itu telah membuat orang-
orang persilatan berbondong-bondong kemari mencarinya.
Padahal Hutan Bandan bagi kami merupakan hutan
larangan. Tidak seorang pun diperbolehkan menginjakkan
kakinya ke sana. Kalau itu sampai terjadi, kamilah yang
akan terkena akibatnya...," jelas Jiwala sambil mendesah.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiranya
ia sudah bisa memperkirakan apa yang terjadi di desa ini.
Kaum persilatan, lebih-lebih dari golongan hitam, rata-rata
bersikap kasar. Hal ini sudah pasti akan menimbulkan
kesulitan. Apalagi penduduk desa ini tidak mengijinkan
orang memasuki Hutan Bandan. Bentrokan sudah pasti
tidak bisa dihindari lagi.
"Belum lama ini, tiga orang penduduk kami tewas
karena tidak mau memberitahu orang yang menanyakan
letak Hutan Bandan," sambung Jiwala lagi. “Untung
sebelum kedua orang itu memasuki Hutan Bandan, guru
kami telah bertindak cepat, sehingga keduanya tewas
sebelum memasuki Hutan Bandan."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Saat itu
pandangan matanya yang tajam menangkap sosok di
kejauhan bergerak mendekati tempat mereka. Gerakannya
cukup cepat, sehingga tak lama kemudian sudah berada di
dekat mereka.
"Guru...!" Jiwala dan teman-temannya segera memberi
hormat begitu mengenali orang yang baru datang itu.
Arya menatap laki-laki bertubuh kekar dan bercambang
bauk itu. Orang yang baru tiba adalah Ki Sancaperta, guru
silat desa itu.
Ki Sancaperta menatap lekat-lekat sekujur tubuh Dewa
Arak. Keningnya berkernyit dalam. Jelas ada sesuatu yang
dipikirkannya.
"Ahhh...! Tidak salahkah penglihatanku?! Benarkah yang
sekarang berada di hadapanku ini Dewa Arak?!" ujar Ki
Sancaperta beberapa saat kemudian.
Tentu saja ucapan Ki Sancaperta membuat murid-murid-
nya terperangah. Benarkah pemuda berambut putih
keperakan yang mereka kepung ini adalah pendekar yang
tersohor itu?
"Ah...! Hanya julukan kosong saja, Ki," sahut Arya
merendah.
"Ha... ha... ha...!" guru silat itu tertawa bergelak. "Begitu-
lah jawaban orang yang telah memiliki kepandalan tinggi.
Semakin berisi semakin merunduk!"
Wajah Dewa Arak langsung memerah. Memang begitu
sikap Arya. Ia merasa risih jika ada orang yang memujinya.
"O ya, Dewa Arak. Bagaimana kalau kau singgah dulu di
sini. Perlu kau ketahui sebentar lagi desa ini akan menjadi
desa neraka. Puluhan orang persilatan akan datang
kemari. Kami sangat mengharapkan bantuan darimu Dewa
Arak!"
"Saya akan berusaha, Ki," sahut Arya mendesah.
"Ha... ha... ha...! Terima kasih atas kesediaanmu. Mari,
mari...!" ajak Ki Sancaperta seraya beranjak meninggalkan
tempat itu diikuti Dewa Arak yang mengangguk setuju.
"O ya, Jiwala! Teruskan penjagaan! Jangan biarkan orang
luar masuk ke desa ini!"
“Baik, Guru!" sahut Jiwala penuh semangat. Pikirannya
masih terpaku pada apa yang baru saja di dengarnya. Sulit
dipercaya bila pemuda yang tadi diserangnya adalah Dewa
Arak. Sungguh luar biasa pengalaman yang didapatnya hari
ini. Bertarung dengan tokoh yang sangat tersohor, Dewa
Arak!
***
Tiga sosok tubuh melangkah pelahan merambah hutan.
Potongan tubuh mereka rata-rata kekar dan tegap. Wajah
ketiganya pun mirip satu sama lain. Dunia persilatan men-
juluki mereka Tiga Memedi Putih. Yang membedakan
mereka satu sama lain adalah ciri-ciri khas mereka. Mata
mereka memandang liar ke sana kemari.
"O ya, Kang Narda. Benarkah berita yang Kakang dengar
itu? Benarkah benda langit jatuh di hutan ini?" tanya salah
seorang dari mereka yang beralis putih. Memedi Alis putih,
julukannya.
Orang yang dipanggil Narda menoleh. Berbeda dengan
orang yang menegurnya Narda memiliki jenggot putih,
sehingga diberi julukan Memedi Jenggot Putih.
"Berita itu sudah demikian meluasnya, Adi. Hampir
semua orang persilatan tahu. Bahkan…., asal tahu saja,
aku bukan hanya mendengar berita itu... tapi juga melihat
dengan mata kepalaku sendiri."
"Benarkah yang kau katakan itu, Kang Narda?" tanya
Memedi Kumis putih. Orang ini disebut demikian karena
memiliki kumis putih.
"Sungguh! Sekarang pasang mata kalian lebar-lebar. Aku
khawatir kita keduluan orang lain. Kalian tahu, bukan
hanya kita bertiga saja yang menginginkan benda langit
itu!"
Mendengar ucapan Memedi Jenggot Putih, semangat
dua orang rekannya bangkit kembali. Mata mereka
semakin liar merayapi setiap sudut Hutan Bandan.
Srak..!
Memedi Kumis Putih menyibakkan semak-semak di
depannya. Tapi begitu semak-semak itu terkuak secepat
kilat tubuhnya melenting ke belakang. Sebuah jeritan
tertahan keluar dan mulutnya.
Jeritan Memedi Kumis Putih mengejutkan kedua orang
rekannya. Serentak keduanya berpaling dengan sikap
waspada. Sebelum mereka sempat bertanya, tahu-tahu
dari balik semak-semak itu melesat sesosok bayangan
putih yang luar biasa besarnya. Bayangan itu langsung
melesat ke arah Memedi Kumis Putih.
"Aummm...!"
Memedi Kumis Putin terperanjat kaget. Kejadian itu
berlangsung begitu cepat. Buru-buru dia melompat ke
samping. Tubuhnya berguling-guling menjauhi binatang itu.
Sesaat kemudian Ia sudah berdiri dengan sebuah ganco
tergenggam di tangannya.
Memedi Jenggot Putih dan Memedi Alis Putih kaget
bukan kepalang. Di hadapan mereka kini telah berdiri
seekor macan berwarna putih yang sangat besar.
"Macan putih...," desis Tiga Memedi Putih serentak.
Pandang mata mereka seakan-akan tidak mempercayai
apa yang dilihatnya. Mereka segera teringat kalau macan
putih di hadapan mereka ini bukan tergolong macan putih
biasa. Tapi macan ajaib!
Sudah menjadi rahasia umum kalau macan putih ajaib
memiliki banyak kegunaan. Darahnya dapat menyembuh-
kan segala macam penyakit akibat keracunan. Bahkan
apabila diminum akan membuat orang kebal terhadap
segala jenis racun. Racun apa pun yang masuk ke dalam
tubuhnya langsung menjadi tawar. Bukan hanya itu, tulang-
tulangnya dapat dijadikan senjata pusaka. Kulitnya apabila
dijadikan pakaian akan membuat pemakainya kebal ter-
hadap jenis senjata apa pun!
"Gagal mendapat benda langit, aku pun tidak
penasaran... asalkan dapat menangkap binatang ini."
gumam Memedi Alis Putih pelan.
Kedua rekannya menganggukkan kepala pertanda
setuju.
Macan putih tidak membiarkan ketiga orang di hadapan-
nya berpikir lebih lama lagi. Dengan sebuah auman
dahsyat, binatang itu menerkam Memedi Alis Putih yang
berada sendirian, terpisah dari rekan-rekannya.
Tapi si alis putih ini rupanya sudah bersiaga sebelum-
nya. Begitu macan itu melompat, segera tubuhnya dilempar
ke belakang sambil menyabetkan ganconya.
Takkk...!
Telak dan keras sekali senjatanya menghantam kepala
macan itu. Tapi akhirnya, justru tangannya tergetar hebat
Sementara macan itu tampak tidak terpengaruh sama
sekali.
Kedua rekannya tidak membiarkan Memedi Alis Putih
menghadapi binatang itu sendirian. Mereka segera ber-
gerak membantu. Tak lama kemudian terjadilah sebuah
pertarungan yang unik. Pertarungan antara seekor macan
dengan tiga orang manusia.
Tiga Memedi Putih mengeluh dalam hati. Mereka sama
sekali tidak menyangka kalau macan putih itu begitu
tangguh. Berkall-kali pukulan, tendangan atau pun sabetan
ganco menghantamnya. Tapi semua itu seolah-olah tidak
dirasakannya.
Sebaliknya, setiap cakaran, tubrukan, maupun
tamparan sang macan, membuat mereka pontang-panting
mengelakkannya.
"Aummm...!"
Untuk kesekian kalinya sambil mengeluarkan auman
menggetarkan dada, macan putih menerkam Memedi
Kumis Putih.
"Aaakh...!"
Memedi Kumis Putih menjerit melengking. Terkaman
sang macan tak dapat dielakkannya. Tubuhnya langsung
terjengkang. Kini sang macan berada di atas tubuhnya.
Meskipun kedua bahunya telah robek, tapi laki-laki ber-
kumis putih itu tidak mau menyerah begitu saja. Dengan
sekuat tenaga, ditahannya leher macan yang berusaha
menggigit lehernya
Dua orang rekannya tidak tinggal diam. Mereka segera
melesat menghampiri kawannya. Tapi terlambat...!
"Aaakh...!"
Memedi Kumis Putih menjerit memilukan tatkala gigi-
gigi sang macan mengoyak lehernya. Sesaat tubuhnya
menggelepar, kemudian diam tidak bergerak lagi.
Memedi Alis Putih dan Memedi Jenggot Putih terpaku
melihat kematian temannya. Dan di saat itulah macan
putih kembali menerkam. Kaki kanan depannya berhasil
mencakar muka Memedi Alis Putih.
Prattt.!
"Akh...!"
Memedi Alis Putih memekik tertahan. Tubuhnya
terjungkal dengan leher patah. Nyawanya telah melayang
menyusul rekannya.
Kini tinggal Memedi Jenggot Putih. Tidak mungkin
baginya menghadapi macan yang luar biasa ini. Kali ini ia
berusaha mencari kesempatan untuk melarikan diri.
Ketika sang macan lengah, tanpa malu-malu lagi
Memedi Jenggot Putih melesat kabur. Tapi sang macan
tidak membiarkan lawannya lolos begitu saja. Sambil
mengeluarkan auman yang mendirikan bulu roma,
binatang itu menerkam Memedi Jenggot Putih.
"Akh...!"
Memedi Jenggot Putih memekik tertahan ketika
punggungnya ditubruk macan putih. Tubuhnya langsung
jatuh terguling-guling. Dan sebelum dia sempat berbuat
sesuatu, gigi-gigi sang macan telah bersarang di tengkuk-
nya.
Tubuh Memedi Jenggot Putih menggelepar-gelepar
sesaat. Tak lama kemudian tubuhnya terkulai tak bergerak
lagi.
Setelah melihat ketiga korbannya tewas, macan itu
mengeluarkan suara gerengan pelan. Sepertinya dia
merasa puas atas kemenangannya. Kemudian macan itu
mengelilingi mayat-mayat korbannya.
Di saat itulah, tiba-tiba muncul seorang nenek ber-
pakaian dan berkerudung hitam menghampiri sang macan.
Kulit wajahnya tampak kehitaman. Sepasang mata, hidung
dan mulutnya mengingatkan orang akan raut muka burung
elang. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat ber-
keluk yang berujung ukiran kepala burung elang berwarna
hitam.
“Bagus...! Kau memang hebat, Putih! Ingat...! Bukan
hanya mereka saja yang harus kau bunuh. Tapi juga setiap
orang yang berani memasuki hutan ini. Mengerti, Putih?"
Macan putih itu hanya menggereng pelan pertanda
mengerti.
"Bagus...!" puji si nenek itu lagi. "Nanti malam, kau dapat
pekerjaan baru. Hukum penduduk Desa Bandan yang telah
membiarkan orang-orang ini masuk kemari!"
Kembali macan putih itu menggereng pelan.
"Hik... hik... hik...!" si nenek berpakaian serba hitam itu
tertawa mengikik seraya berlalu meninggalkan tempat itu.
Macan putih mengikutinya sambil mengaum pelan.
***
TIGA
"Auuung...!"
Lolongan anjing hutan mengaung panjang. Suaranya
menembus kesunyian malam yang menyelimuti Desa
Bandan. Malam itu suasananya memang agak berbeda
dari biasanya Langit tertutup awan tebal, sehingga cahaya
bulan terhalang sinarnya.
Di balik kegelapan malam itu, tampak sesosok
bayangan putih dari Hutan Bandan bergerak cepat
memasuki desa. Gerakannya gesit sekali. Sesekali ter-
dengar suara gerengan lirih mengiringi gerakannya.
Tak lama kemudian, bayangan itu sudah tiba di daerah
pemukiman penduduk. Keadaan di sini tidak segelap
keadaan di sekitarnya. Cahaya obor yang terpancang di
setiap rumah penduduk, cukup menerangi suasana di
sekelilingnya.
Sosok bayangan putih mulai memperlambat gerakan-
nya. Kini langkahnya ditujukan pada salah satu rumah
penduduk. Di bawah penerangan obor, kini tampak jelas
ujud sebenarnya. Sosok bayangan putih itu tak lain adalah
seekor macan putih!
Tubuh macan itu besar sekali. Jauh lebih besar dari
macan biasa. Paling tidak satu setengah kali besar macan
biasa!
Sambil mengeluarkan gerengan lirih binatang itu
menubruk pintu sebuah rumah yang berdinding bilik.
Brakkk...!
Pintu rumah itu langsung jebol ketika tubuh macan itu
menerjang masuk. Suara ribut-ribut membuat penghuni
rumah yang terdiri dari sepasang suami istri dan seorang
anak yang masih kecil terbangun. Dapat dibayangkan
betapa kagetnya mereka tatkala melihat seekor macan
putih besar berada di dalam rumahnya.
"Cepat kalian lari...!" teriak sang kepala keluarga sambil
menyambar golok yang tergantung di dinding bilik.
Kemudian dengan penuh keberanian, diterjangnya macan
itu dengan golok terhunus. Dorongan semangat untuk
menyelamatkan keluarganya, telah membangkitkan
keberaniannya. Tapi…..
"Aaakh...!"
Kepala keluarga yang naas itu menjerit keras. Sebelum
senjatanya mengenai sasaran, macan itu lebih dahulu
menerkamnya. Seketika itu juga tubuhnya terjengkang ke
belakang dan jatuh ke lantai dengan tubuh binatang buas
itu berada di atasnya.
Suara berdebuk nyaring terdengar ketika tubuhnya jatuh
di lantai. Sementara itu, istri dan anaknya hanya dapat
duduk bersimpuh di lantai. Perbuatan macan putih itu,
membuat lutut mereka lemas. Jangankan lari, berdiri pun
tidak mampu. Lidah kedua anak beranak ini terasa kelu.
"Aummm...!"
"Akh...!"
Pemilik rumah itu memekik nyaring ketika gigi-gigi dan
kuku macan itu bersarang di leher dan tubuhnya. Sesaat
tubuhnya berkelojotan sebelum akhirnya diam tak bergerak
lagi.
Setelah melihat kematian suaminya yang tragis, akhir-
nya sang istri mampu juga berteriak.
"Tolooong...! Tolooong...!" teriak perempuan itu nyaring
memecah kesunyian malam.
"Aummm...!"
Macan itu kembali menerkam. Kali ini ke arah sang Istri!
"Aaakh...!"
Wanita itu memekik tertahan ketika gigi-gigi macan itu
menghunjam lehernya. Hanya sebentar tubuhnya meng-
gelepar-gelepar, lalu diam untuk selamanya.
"Ibu..., Bapak...," rintih sang anak antara perasaan sedih
dan takut. Air matanya mengalir deras membasahi pipi.
"Grrrh...!"
Sang macan kembali menggeram. Ditubruknya gadis
kecil itu. Tapi berbeda dengan nasib kedua orang tuanya.
Anak itu tidak dicabik-cabik, melainkan dibawanya kabur
melesat menuju Hutan Bandan.
***
Keesokan harinya para penduduk yang tinggal di sekitar
rumah korban, berbondong-bondong datang ke rumah
keluarga yang naas itu.
Sesungguhnya mereka mendengar suara minta tolong
dari sang istri. Tapi mereka pura-pura tidak mendengar.
Mereka tidak berani mempertaruhkan nyawa, melawan
Macan Putih Hutan Bandan yang terkenal kebal senjata itu.
Kegemparan melanda seisi Desa Bandan ketika
warganya menemukan tubuh korban yang tercerai-berai
mengerikan.
"Ahhh... Macan putih itu mulai mengambil korban...,"
desah salah seorang penduduk.
"Ya. Sekarang giliran Pak Jalanta sekeluarga. Entah
giliran siapa lagi nanti," sambung seorang laki-laki
setengah baya berjenggot tebat.
Ucapan laki-laki itu membuat wajah-wajah penduduk
lainnya pucat. Mereka ngeri membayangkan seandainya
macan putih itu menyatroni rumah mereka.
"Eh..., ke mana mayat Karsini? Apakah dia berhasil
melarikan diri?" tanya salah seorang penduduk begitu
teringat pada anak perempuan Pak Jalanta.
"Eh..., iya. Ke mana Karsini, ya?" sambut yang lainnya.
"Kalian ini bodoh atau pikun!" sergah laki-laki berjenggot
itu. "Mana mungkin anak sekecil itu dapat lolos dari maut!"
"Lalu, kalau begitu di mana mayatnya?" tanya orang
yang pertama kali teringat Karsini. Nada suaranya
menyiratkan perasaan tidak senang.
“Apalagi kalau bukan dibawa macan itu! Yahhh…,
nasibnya pasti serupa dengan remaja-remaja kita yang
dikorbankan pada setiap malam bulan purnama." sahut
laki-laki yang berjenggot lebat. Ada kesedihan yang dalam
pada tekanan suaranya.
Kepala orang orang yang hadir di situ terangguk-angguk.
Ucapan laki-laki berjenggot lebat itu memang masuk akal.
Tiba-tiba kerumunan orang-orang itu tersibak. Ki Gayan
muncul diiringi Ki Sancaperta. Di belakangnya tampak
Dewa Arak melangkah pelahan.
"Minggir semua..!" teriak Gempal keras. Seketika itu juga
kerumunan buyar, memberikan jalan kepada tetua desa-
nya.
"Ahhh..! Apa yang selama ini kukhawatirkan, akhirnya
menjadi kenyataan..." desah Ki Gayan manakala melihat
mayat Pak Jalanta dan istrinya. Ada nada keprihatinan
pada suaranya.
"Yahhh.., macan putih itu mulai meminta korban!"
sambung Ki Sancaperta. Nada suaranya menampakkan
kemarahan.
Ki Gayan berpaling menatap sang guru silat. Sorot mata-
nya mengandung teguran. Tapi Ki Sancaperta yang telah
diamuk amarah tidak mempedulikannya. Sedangkan Dewa
Arak memperhatikan kedua mayat di depannya sambil
mendengarkan percakapan kedua tokoh Desa Bandan itu.
Rupanya ada pertentangan pendapat di antara keduanya.
"Sejak dulu sebenarnya aku tidak setuju dengan per-
mintaan kakek itu, Gayan. Toh, apa yang kita khawatirkan
akhirnya terjadi juga." Ki Sancaperta menegur kepala desa
itu.
"Hhh…,!" Ki Gayan menghela napas. "Apa daya kita,
Sanca? Kurasa orang tua itu bermaksud baik. Dia ingin
agar desa kita terhindar dari bencana yang lebih besar.
Kalau kita tidak turuti permintaannya, peristiwa seperti ini
sudah terjadi sejak lama!"
"Sekarang atau dulu sama saja!" sergah Ki Sancaperta
keras. "Bukankah kita tidak pernah lalai memberikan apa
yang dimintanya, tapi kenyataannya? Tetap saja dia mem-
bantai warga kita!"
"Mungkin permintaan kedua yang tidak bisa kita
penuhi," bantah sang kepala desa dengan nada halus
"Kalau begitu, berarti dia benar-benar tidak punya
pikiran!" teriak guru silat itu dengan nada tinggi.
"Bagaimana mungkin kita dapat menahan orang-orang
persilatan yang begitu banyak?!"
"Jadi, menurutmu bagaimana, Sanca?"
Ki Sancaperta menghela napas panjang.
"Kalau menurutku, keadaan sudah telanjur. Macan itu
telah mengganas. Dugaanku, tindakan macan itu tidak
sampai di sini saja." duga guru silat itu.
“Mudah-mudahan saja dugaanmu salah, Ki," ucap Ki
Gayan. Tapi dari nada suaranya, Ki Sancaperta tahu kalau
kepala desa itu tak yakin pada ucapannya sendiri.
"Hhh...!" Ki Sancaperta menghela napas panjang.
"Sudahlah, Gayan. Tidak pedu kita ributkan masalah ini.
Yang penting, kita urus mayat-mayat ini lebih dahulu"
***
"Kami ingin bicara denganmu sebentar, Dewa Arak,"
ucap Ki Sancaperta. Malam ini mereka bertiga berkumpul
di sebuah ruang yang cukup luas.
"Silakan, Ki." sahut Arya mempersilakan.
Ki Sancaperta mendehem sebentar kemudian memulai
ucapannya.
"Begini, Dewa Arak. Puluhan tahun yang lalu desa ini
pernah dilanda musibah. Puluhan perampok menyerbu
desa ini. Untungnya muncul seorang kakek sakti bersama
seekor macan putih. Para perampok itu dengan mudah
dapat diusirnya. Tapi sebelum kami sempat berterima
kasih, kakek itu bersama macan peliharaannya telah
melesat masuk ke dalam Hutan Bandan."
Guru silat itu menghentikan sebentar ceritanya. Ditatap-
nya wajah Arya untuk melihat reaksinya. Hatinya agak lega
manakala dilihatnya Dewa Arak serius mendengarkan
ceritanya.
"Sekitar beberapa tahun yang lalu, kakek itu muncul
kembali menemui kami. Dia meminta kami menyediakan
seorang anak lelaki atau perempuan pada setiap bulan
purnama. Mereka harus ditinggalkan di Hutan Bandan
sendirian. Bukan itu saja, dia pun melarang kami
memasuki hutan itu. Pokoknya Hutan Bandan dijadikan
daerah terlarang."
"Mengapa begitu, Ki?" tanya Arya. Kening pemuda ini
berkernyit. Jelas ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
Ki Sancaperta menarik napas panjang, lalu melanjutkan
ceritanya.
"Kami pun tidak tahu. Orang tua itu hanya mengatakan
kalau kami melanggar larangannya, musibah akan
menimpa desa ini. Jadi, yahhh..., dengan amat terpaksa
kami menuruti permintaannya," jawab guru silat itu.
"Ada sesuatu yang membuatku heran, Dewa Arak," selak
Ki Gayan begitu Ki Sancaperta menghentikan ceritanya.
"Apa itu, Ki?" tanya Arya cepat Rasa keingintahuan yang
besar nampak jelas pada raut wajahnya.
"Kakek itu kelihatannya terpaksa ketika mengajukan
permintaannya," sahut kepala desa itu menjelaskan.
Dewa Arak mengernyitkan keningnya.
"Maksud, Aki?" tanya permuda berambut putih
keperakan itu lagi. Sinar matanya menyorotkan ketidak-
mengertian.
Ki Gayan menghela napas panjang.
"Sepertinya…, kakek itu melakukannya dengan ter-
paksa," jawab Kepala Desa Bandan ini pelan.
"Jadi, ada sesuatu yang memaksanya?" terka Arya mulai
paham.
"Kira-kira begitulah, Dewa Arak." jawab Ki Gayan seraya
menganggukkan kepalanya.
Dewa Arak mengernyitkan keningnya. Nampak kalau
pemuda berbaju ungu ini tengah berpikir keras.
"Dan kini malapetaka itu telah terjadi!" tukas Ki
Sancaperta tiba-tiba.
Arya menoleh. Ditatapnya wajah guru silat itu lekat-lekat,
ia masih belum mengerti ucapan Ki Sancaperta.
"Macan putih itu telah membuat teror di Desa Bandan!"
"Mengapa begitu, Ki? Apakah permintaan kakek itu
tidak dipenuhi?"
"Permintaan mengenai anak yang harus diantarkan ke
Hutan Bandan selalu kami penuhi. Tapi, permintaan untuk
tidak membiarkan seorang pun masuk ke Hutan Bandan,
tidak dapat kami penuhi. Kurasa kau bisa memahaminya.
Dewa Arak," jelas Ki Gayan.
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia
mengerti persoalan yang tengah dihadapi penduduk Desa
Bandan. Rupanya berita tentang adanya benda langit,
membuat orang-orang persilatan berdatangan kemari.
Mana mungkin penduduk desa ini mampu mencegah
mereka memasuki Hutan Bandan?
"Kalau boleh kutahu, buat apa kakek itu meminta
seorang anak pada setiap malam bulan purnama?" tanya
Arya penasaran.
Kedua orang tetua Desa Bandan itu menggeleng
pelahan.
"Kami pun tidak pernah tahu." keluh Ki Gayan pelan.
"Tapi yang jelas, setiap anak yang kami kirimkan, tidak
pernah kembali lagi."
Dewa Arak terdiam sejenak.
"Apakah Aki berdua mengijinkan kalau aku mencoba
menyelidiki masalah ini?" tanya Arya hati-hati.
"Maksudmu?" Ki Gayan balas bertanya. Meskipun ia
sudah dapat menduga maksud pembicaraan Arya, tapi
kepala desa ini ingin mengetahui lebih jelas.
"Aku akan ke Hutan Bandan, Ki."
"Apa?!" sentak Ki Gayan keras. "Kau ingin menimbulkan
korban penduduk lebih banyak lagi?! Tidak! Aku tidak
mengijinkan kau ke sana!"
Arya menghela napas panjang. Jawaban seperti itu
sudah diduga sebelumnya.
"Biarkan dia pergi ke sana, Gayan," ujar Ki Sancaperta
mendukung usul Dewa Arak.
"Tidak!" tegas Ki Gayan tetap bersikeras. "Aku tidak mau
ada wargaku menjadi korban lagi!"
"Percuma! Musibah ini telah telanjur terjadi. Aku yakin,
macan putih itu tidak akan berhenti mencari korban. Tidak
ada gunanya lagi kita turuti perjanjian itu!"
"Jadi, kau...?"
"Ya!" potong Ki Sancaperta cepat-cepat. "Aku setuju usul
Dewa Arak!"
"Hhh...! Kau sudah bermain api, Sanca!" keluh Ki Gayan.
"Apa boleh buat, Gayan. Api itu telah mulai membakar.
Agar api itu tidak semakin membesar, maka kita harus
memadamkannya. Dengan atau tanpa kau, aku akan
menentang kakek dan macan putih itu!" tegas guru silat
itu. Nada suaranya mulai meninggi.
Ki Gayan tercenung. Diserapinya semua perkataan yang
keluar dari mulut sahabatnya ini. Diakuinya, ada kebenaran
yang terkandung dalam ucapan itu.
"Bagaimana, Gayan? Kau tetap tidak setuju dengan
rencana ini?" tanya Ki Sancaperta lagi. Ia masih melihat
adanya keraguan di wajah sang kepala desa.
Beberapa saat lamanya, orang nomor satu di Desa
Bandan ini termenung. Akhirnya kepalanya mengangguk
pelahan. Sudah barang tentu hal ini membuat Dewa Arak
dan Ki Sancaperta lega.
Laki-laki gagah bercambang bauk lebat itu menghampiri
Ki Gayan. Ditepuk-tepuknya bahu sahabatnya itu.
"Aku percaya kau pasti menyetujui usulku Gayan." ucap
Ki Sancaperta dengan wajah berseri-seri.
"Tapi, aku masih sangsi, apakah usaha kita ini akan
berhasil?" keluh kepala desa itu pelahan.
"Berhasil atau tidaknya usaha ini, kita serahkan saja
pada Yang Maha Kuasa. Yang penting, kita berusaha
dengan sekuat tenaga. Bukankah begitu, Dewa Arak?"
tanya guru silat itu sambil menoleh ke arah Dewa Arak.
"Tepat sekali, Ki!" sahut Arya cepat.
***
EMPAT
Malam kembali menyelimuti bumi. Langit tak berawan.
Sehingga cahaya bulan mampu menerangi persada.
Di bawah keremangan sinar bulan itu, melesat
bayangan putih besar kekar dari Hutan Bandan. Bayangan
itu tak lain adalah seekor macan putih.
Macan itu melesat cepat menuju pemukiman penduduk.
Begitu cepat gerakannya sehingga yang terlihat hanyalah
sekelebatan bayangan putih.
Tapi sebelum macan putih itu memasuki salah satu
rumah penduduk, berkelebat dua bayangan menghadang
di depannya
Kedua penghadang itu adalah Ki Sancaperta dan Ki
Gayan. Dengan sikap waspada, kedua tetua Desa Bandan
ini berdiri di hadapan macan putih itu.
"Graunggg...!"
Macan putih itu menggerung keras, seolah-olah tahu
kalau kedua orang ini bermaksud menentangnya. Lalu,
dengan sebuah gerakan cepat yang tidak terduga-duga,
binatang itu melompat menerkam.
"Awas, Gayan...!" tedak Ki Sancaperta seraya melempar
tubuhnya ke samping, sambil bergulingan menjauh.
Meskipun kepandaiannya tidak setinggi Ki Sancaperta,
tapi dengan sebuah lompatan manis, Ki Gayan berhasil
mengelakkan terkaman harimau itu.
"Auuum...!"
Macan itu menggeram ketika menyadari terkamannya
menemui kegagalan. Binatang itu kebingungan ketika
melihat mangsanya berpencar. Ki Gayan ke sebelah kanan,
sedangkan sahabatnya ke sebelah kiri.
"Graunggg...!"
Sambil mengeluarkan raungan keras, macan itu kembali
bersuara. Jaraknya sekitar delapan tombak dari sang
macan.
Wajah Ki Sancaperta langsung berseri ketika mengenali
wajah sang penolong.
"Terima kasih, Dewa Arak. Untung kau tidak terlambat,”
ucap Ki Sancaperta pelan. Wajah guru silat itu masih
kelihatan pucat. Perasaan kaget belum hilang seluruhnya.
Sang penolong yang ternyata memang Arya Buana alias
Dewa Arak itu, segera menurunkan tubuh Ki Sancaperta
dari pondongannya.
Begitu tubuhnya telah berada di tanah kembali, guru
silat itu segera menotok jalan darah di sekitar lukanya
untuk menghentikan cucuran darah di bahunya. Setelah itu
dikeluarkannya sebuah obat bubuk dari selipan ikat
pinggangnya, dan ditaburkannya pada luka-lukanya. Ki
Gayan datang menghampiri, dan dibantunya laki-laki
brewok itu mengobati lukanya.
Sementara itu, Dewa Arak dengan sikap waspada
melangkah mendekati macan putih. Dia tidak berani
bersikap gegabah setelah mendengar kesaktian binatang
ini. Dijumputnya guci yang tersampir di punggungnya, dan
diangkatnya ke atas kepala. Lalu di tenggaknya.
Gluk…gluk…gluk…!
"Auuum...!"
Sambil mengeluarkan auman keras, macan itu
menerkam Dewa Arak. Bukan main cepatnya gerakan
binatang itu. Tapi gerakan Dewa Arak masih lebih cepat
lagi. Dengan langkah terhuyung-huyung langkah khas jurus
'Delapan Langkah Belalang', dielakkannya terkaman sang
macan.
Sesaat kemudian tubuhnya sudah berada di belakang
macan yang masih berada di udara. Dengan kecepatan
gerakan tangan yang luar biasa, ditangkapnya ekor macan
itu.
Tappp...!
Dengan sebelah tangannya. Arya segera memutar-
mutarkan tubuh binatang itu.
"Auuummm...!"
Macan putih itu mengaum keras. Suara auman yang
timbul karena perasaan marah bercampur takut.
Wuuukkk...! Wuuukkk...!
Semakin lama putaran tangan Arya semakin cepat.
Sehingga membuat macan putih itu menjadi pusing.
Cukup lama juga Dewa Arak memutar-mutarkan tubuh
macan itu. Dan setelah dirasanya cukup, genggaman pada
ekor macan itu dilepaskan.
Wuuukkk...!
Tubuh macan itu melesat jauh akibat kuatnya tenaga
putaran tangan Dewa Arak!
Brakkk...!
Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa
tumbang dilanda tubuh macan putih itu. Tapi binatang itu
sendiri tidak apa-apa. Tidak tampak tanda-tanda luka di
sekujur tubuhnya.
Ki Gayan dan Ki Sancaperta memandang takjub pada
Dewa Arak. Begitu mudahnya pemuda ini mempecundangi
binatang luar biasa itu. Perasaan takjub mereka semakin
bertambah tatkala melihat daya tahan macan putih itu.
***
Macan itu kembali bangkit, tapi ketika hendak
menerkam Dewa Arak, terjadi sesuatu yang menggelikan.
Lari binatang itu sempoyongan. Miring ke kanan dan ke
kiri. Ternyata perbuatan Dewa Arak berpengaruh juga dan
membuat kepalanya pusing
"Auuummm...!"
Sambil mengeluarkan auman keras, macan itu
melompat ke arah orang yang telah menyakiti dirinya.
Dewa Arak bersikap tenang. Dengan jurus 'Delapan
Langkah Belalang’, kakinya melangkah terhuyung-huyung
mengelak. Terkaman macan itu mengenai tempat kosong.
Pada saat yang bersamaan, Dewa Arak mengirimkan
sebuah pukulan ke arah perut binatang itu.
Bukkk...!
"Eh...?!"
Dewa Arak terperanjat kaget. Tangannya seperti meng-
hantam sebuah benda empuk! Tenaganya seolah-olah
lenyap begitu tangannya mengenai tubuh binatang itu.
Meskipun ia hanya mengeluarkan separuh tenaga
dalamnya, tapi pukulan itu mampu membuat mati seekor
banteng yang paling kuat sekalipun!
Belum lagi Arya sadar dari keterkejutannya, binatang itu
telah menyerangnya kembali. Kedua kaki depannya
mengarah ke pelipis.
Wuk...!
Dewa Arak mendoyongkan tubuhnya ke belakang,
sehingga serangan itu mengenai tempat kosong.
Bersamaan dengan itu, dilancarkannya sebuah pukulan ke
leher binatang itu.
Bukkk...!
Tubuh macan putih itu terlontar akibat kuatnya pukulan
yang dilancarkan Arya. Kali ini Dewa Arak mengerahkan
tiga perempat dari tenaga dalamnya.
"Graunggg...!
Macan putih itu menggeram murka melihat serangannya
selalu gagal. Malah sebaliknya, dirinya dibuat pontang-
panting.
"Auuummm...!"
Tanpa kenal menyerah, macan putih itu kembali
menerkam Dewa Arak. Melihat hal itu, kesabaran Arya pun
habis. Macan nekat itu harus diberi pelajaran yang lebih
keras lagi. Kalau tidak, binatang itu tidak akan pernah jera!
"Hup...!"
Dewa Arak segera merendahkan tubuhnya, sehingga
terkaman macan itu lewat di atas kepalanya. Di saat itulah,
kedua tangannya yang mengepal dipukulkan ke perut
binatang itu. Kali ini Arya mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya.
Bukkk....!
Tubuh macan putih itu tedontar di udara. Terdengar
gereng kesakitan dari mulutnya. Rupanya pukulan Arya kali
ini baru terasa olehnya. Binatang itu kali ini tidak lagi
bangkit menyerang.
"Luar biasa...!" puji Dewa Arak sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya. Macan putih itu sepertinya tidak
mengalami luka yang berarti ketika menerima serangan
yang dilancarkannya. Binatang itu hanya nampak sedikit
kesakitan.
Dewa Arak jadi bingung. Ia tak tahu lagi cara
menaklukkan binatang yang luar biasa ini. Haruskah di
gunakan jurus 'Pukulan Belalang'? Jurus yang jarang
digunakannya!
Dewa Arak jadi terkesiap ketika dilihatnya macan putih
itu mulai bangkit. Pemuda berambut putih keperakan ini
sudah bersiap-siap menghadapinya. Tapi tampaknya
binatang itu sudah jera. Terbukti dia tidak menyerang
kembali, melainkan berlari cepat ke arah Hutan Bandan.
Dewa Arak, Ki Sancaperta dan Ki Gayan memandangi
kepergian macan putih itu hingga lenyap di kegelapan
malam. Di wajah mereka masih tersirat kekaguman yang
amat sangat.
***
"Mengapa tidak dibunuh saja binatang itu, Dewa Arak?"
tanya Ki Gayan. Nada suaranya terdengar tidak puas.
Arya menatap wajah Kepala Desa Bandan ini lekat-lekat.
"Bagaimana cara membunuh macan yang luar biasa itu,
Ki?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu.
Suaranya pelan tapi cukup membuat wajah Ki Gayan
merona merah.
"Memang sebenarnya kita tidak tega membunuh
binatang itu. Biar bagaimana pun juga ia dan pemiliknya
pernah menyelamatkan desa kita dari kehancuran," ucap
kepala desa itu lagi, memperbaiki ucapannya.
Ki Sancaperta menatap tajam wajah Ki Gayan. Tampak
jelas nada teguran terpancar dari sorot matanya.
"Aku tidak setuju dengan ucapanmu itu. Gayan!" tandas
guru silat itu. Tajam dan tegas suaranya, "Menurutku,
hutang budi kita telah impas. Bukankah kita telah puluhan
kali mengantarkan remaja-remaja kita ke dalam hutan
untuk dijadikan korban? Hutang budi itu telah kita balas!
Sekarang kita harus menentangnya apabila binatang
terkutuk itu kembali mengambil korban!"
Ki Gayan terdiam. Suasana seketika menjadi hening dan
tidak mengenakkan.
"Kalau menurut pendapatku, ada sesuatu yang aneh
dalam peristiwa ini, Ki," ucap Arya memecahkan
keheningan.
"Hm..., apa maksudmu?" tanya Ki Sancaperta cepat.
Sepasang matanya menatap penuh rasa ingin tahu.
"Aku baru teringat ucapan Ki Gayan beberapa hari yang
lalu."
Pernyataan Arya itu membuat Kepala Desa Bandan itu
terkejut. Dahinya berkernyit. Kelihatannya ia tengah ber-
pikir keras.
"Ucapanku?" tanya Ki Gayan. "Ucapanku yang mana?"
"Ucapanmu tentang sikap kakek penyelamat ketika
mengajukan permintaannya," sahut Arya menjelaskan.
"Aku masih belum mengerti maksudmu."
Arya menarik napas panjang.
"Kau pernah bilang kalau kakek itu sepertinya tidak
menyukai permintaan yang diajukannya sendiri." jelas
pemuda berambut putih keperakan itu lebih jauh.
"Hm.... lalu? Apa yang janggal, Dewa Arak?" tanya Ki
Sancaperta masih belum paham. Otaknya seperti buntu,
sukar diajak berpikir.
"Kalau benar begitu, bukankah berarti orang tua itu
melakukannya dengan perasaan terpaksa?"
"Ah ..! Kau benar...!" tukas Ki Gayan. Sepasang matanya
nampak berbinar-binar. "Artinya ada orang yang memaksa
melakukannya!"
"Tepat apa yang dikatakan Ki Gayan...!" sahut Arya
cepat.
Ki Sancaperta mengernyitkan alisnya. Dicobanya untuk
mengingat peristiwa beberapa tahun lalu. Ya! Kini dapat
diingatnya. Permintaan kakek itu sepertinya berbentuk per-
mohonan. Orang tua itu sangat tertekan ketika
mengatakannya.
"Kita harus menyelidikinya!" ucap guru silat ini penuh
semangat
"Biar aku saja yang melakukannya Ki," pinta Arya.
Suaranya pelan dan sopan.
"Tapi...," Ki Sancaperta mencoba membantah.
"Tenaga Aki sangat dibutuhkan di sini." Arya cepat
memotong ucapan guru silat itu.
Ki Sancaperta langsung terdiam. Hatinya membenarkan
kata-kata pemuda berbaju ungu itu.
"Kapan kau berangkat ke sana, Dewa Arak?" tanya Ki
Sancaperta lagi.
"Besok, Ki."
***
LIMA
Di tengah kegelapan malam, tampak seekor macan putih
berlari terseok-seok memasuKi Hutan Bandan.
"Grrrh...!"
Binatang itu menggereng pelan sambil terus berlari.
Langkahnya baru dihentikan ketika di depannya berdiri
seorang nenek berwajah mirip burung elang. Pakaiannya
serba hitam.
Sepasang alis nenek itu berkerut melihat gerakan
binatang peliharaannya. Jelas kalau macan putih itu ter-
luka. Pendengarannya yang peka menangkap geram
kesakitan dari mulut binatang itu.
“Putih...! Kenapa kau...?!" tanya si nenek begitu macan
itu telah berada di hadapannya.
"Grhhh...!"
Macan putih itu hanya menggereng pelan sebagai
jawabannya. Tapi rupanya nenek itu mengerti akan maksud
binatang peliharaannya.
"Keparat..!" maki nenek berpakaian serba hitam itu.
“Tenang, Putih! Nanti akan kubalaskan dendammu. Akan
kubasmi seluruh penduduk Desa Bandan... setelah semua
orang yang lancang memasuki hutan ini kubunuh...!"
Setelah berkata demikian, nenek itu membungkukkan
tubuhnya. Diperiksanya sekujur tubuh binatang peliharaan-
nya.
"Hm.... bekas-bekas pukulan yang mengandung tenaga
dalam tinggi. Tidak mungkin kalau penduduk Desa Bandan
yang melakukannya...," gumam nenek itu pelan seperti
berbicara pada dirinya sendiri. "Pasti ada orang usil ikut
campur masalah ini. Tapi..., siapa orang yang mempunyai
tenaga dalam sekuat ini?" Sambil tetap memeriksa tubuh
macan putih itu, plkiran nenek berpakaian hitam ini
menerawang.
Berkat kekuatan tubuh yang dimiliki macan itu, tidak
ada luka berbahaya yang dideritanya. Hanya sedikit rasa
nyeri menyerang otot-otot dan tulang-tulangnya.
"Tunggu sebentar, Putih...!" ucap nenek itu seraya
melesat pergi.
Tak lama kemudian perempuan tua itu sudah kembali
sambil membawa air dalam tempurung kelapa. Dikeluar-
kannya sebungkus obat bubuk yang kemudian dicampur
dengan air. Setelah diaduk-aduk sebentar, disodorkannya
ke depan mulut binatang itu.
"Minumlah, Putih...! Besok kau akan segar kembali...,"
ucap nenek itu pelan.
"Grrrh...!"
Macan itu menggereng pelan. Kemudian bangkit dari
berbaringnya. Dijilat-jilatnya ramuan yang diberikan
majikannya. Sementara si nenek hanya tersenyum
memandanginya.
***
Hari masih pagi. Sang surya baru saja menampakkan
diri di ufuk timur, ketika Dewa Arak memasuki mulut Hutan
Bandan. Sikapnya nampak waspada. Pemuda itu
menyadari kalau di dalam hutan ini banyak tokoh
persilatan yang berniat memperebutkan benda langit. Tapi
yang tidak kalah berbahayanya lagi adalah macan putih!
Belum seberapa Jauh pendekar muda itu melangkah,
pendengarannya yang tajam menangkap suara berdesing
nyaring ke arahnya. Dari bunyi desingannya, pemuda ini
dapat memperkirakan asal si penyerang gelap.
Arya tidak berani bertindak ceroboh. Kepalanya buru-
buru dirundukkan. Sehingga benda yang mengeluarkan
suara mendesing nyaring itu lewat sejengkal di atas
kepalanya.
Wut..!
Rambut Dewa Arak berkibaran ketika benda itu lewat di
atas kepalanya. Arya terkejut ketika melihat benda itu tahu-
tahu sudah kembali ke asalnya.
Tappp...!
Benda yang berbentuk piplh, melengkung seperti bulan
sabit, ditangkap oleh pemiliknya
Dewa Arak mengerutkan alisnya. Sesaat pemuda
berambut putih keperakan ini terpaku melihat benda itu.
Meskipun baru kali ini dijumpainya, tapi diketahuinya nama
benda itu. Bumerang!
"Ha ha ha...! Kaget, Dewa Arak?" tegur si penyerang.
Nada suaranya terdengar penuh ejekan.
Arya sama sekali tidak menggubris ejekan itu. Sepasang
matanya menatap tajam pada sosok di hadapannya. Sosok
tegap berkepala botak berpakaian rompi terbuat dari kulit
beruang.
"Siapa kau? Mengapa menyerangku?" tanya Dewa Arak.
Arya memang mempunyai sifat hati-hati sekali. Pantang
baginya bertempur dengan seseorang tanpa alasan jelas.
Laki-laki berkepala botak itu tertawa bergelak.
"Aku? Ha... ha... ha...! Namaku tidak setenar namamu.
Dewa Arak. Tapi, agar kau tidak mati penasaran, ada
baiknya kuperkenalkan diriku Beruang Liar julukanku.
Sebentar lagi dunia persilatan akan geger. Dewa Arak
tewas di tangan Beruang Liar! Ha ha ha...!"
Dewa Arak sama sekali tidak menanggapi kesombongan
orang itu. Dibiarkannya si botak itu hanyut oleh
kesombongannya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku yang kedua,
Beruang Liar. Mengapa kau menyerangku?!" tanya Arya
tetap sabar.
Beruang Liar menghentikan tawanya. Dipandanginya
Dewa Arak dengan tatapan penuh curiga.
"Jangan berlagak bodoh, Dewa Arak! Bukankah kau juga
ingin mendapatkan benda langit? Aku tidak ingin ada orang
lain menjadi sainganku!" ancam Beruang Liar sengit.
"Kau keliru, Beruang Liar. Aku sama sekali tidak tertarik
dengan benda langit yang kau maksudkan itu. Kalau kau
menginginkan benda itu, silakan kau mencarinya sendiri,"
Arya mencoba menjelaskan.
"Kau tidak bisa mungkir, Dewa Arak!" rupanya si
Beruang Liar tidak mempercayai penjelasan Arya. "Hari ini
adalah hari terakhir kau memandang dunia ini. Hiyaaa…!”
Setelah berkata demikian. Beruang Liar mengibaskan
tangannya. Seketika itu juga, bumerang di tangannya
meluncur deras ke arah Arya.
Wuk..!
Dengan kecepatan yang menakjubkan, bumerang itu
menyambar ke leher Dewa Arak.
Pemuda berpakaian ungu ini tahu, betapa berbahayanya
serangan benda itu. Dewa Arak tidak berani bersikap
ceroboh. Tubuhnya cepat dirundukkan sehingga sambaran
benda itu melesat melewati kepalanya.
Beruang Liar rupanya sudah memperhitungkan hal itu.
Begitu serangan pertamanya berhasil dielakkan lawan,
cepat-cepat dikibaskan tangan kirinya.
Wuk...!
Bumerang kedua melesat cepat. Kali ini sasarannya
adalah perut. Arya tidak punya pilihan lain, secepat kilat dia
melompat. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu guci
araknya telah berada di tangannya. Lalu pemuda
berpakaian ungu ini bergulingan di tanah.
Tappp..!
"Hiyaaa...!"
Wuk...!
Begitu bumerang yang pertama tertangkap, secepat kilat
Beruang Liar mengayunkannya kembali ke arah Dewa Arak
yang masih bergulingan.
Kali ini Dewa Arak tidak mengelakkan serangan itu.
Dipapaknya kedatangan bumerang itu dengan gucinya.
Klanggg...!
Terdengar suara berdentang nyaring ketika bumerang
itu menghantam guci. Anehnya, meskipun telah tertangkis
guci, bumerang itu bisa berputar kembali ke arah pemilik-
nya!
Tapi lebih hebat lagi adalah perbuatan yang dilakukan
Dewa Arak. Setelah menangkis bumerang itu, sambil tetap
dalam keadaan tubuh berbaring guci arak dituang ke
mulutnya
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu melewati
kerongkongannya. Seketika perutnya terasa hangat. Hawa
aneh yang naik, ke kepalanya membuatnya agak pening.
Kini Dewa Arak telah siap menghadapi Beruang Liar.
Ilmu 'Belalang Sakti' yang dimainkan, membuatnya tidak
begitu repot menghadapi senjata aneh itu. Setiap
sambaran bumerang berhasil dielakkannya tanpa
kesulitan.
Beberapa jurus kemudian, Arya sudah dapat membaca
kelemahan senjata lawan. Bumerang di tangan laki-laki
berkepala botak ini tidak berarti kalau dihadapinya dalam
jarak dekat.
Pelahan namun pasti tanpa disadari lawan, Dewa Arak
mulai melangkah mendekati sambil mengelakkan setiap
serangan.
"Keparat...!" si Beruang Liar menggeram murka ketika
tidak bisa lagi melepas senjatanya. Jarak di antara mereka
telah demikian dekat, sehingga tidak memungkinkan lagi
baginya menggunakan senjatanya itu.
Kini Beruang Liar mempergunakan senjata itu seperti
layaknya seseorang menggunakan sepasang clurit.
Wuk...!
Dengan diiringi suara mengiuk nyaring, bumerang itu
disabetkan ke leher Dewa Arak. Tapi dengan keunikan
jurus 'Delapan Langkah Belalang', tak sulit bagi Arya untuk
mengelak.
Gerakan kakinya nampak terhuyung-huyung. Tubuhnya
limbung ketika pemuda ini mengelakkan serangan itu.
Hebatnya, secepat dilangkahkan kakinya mengelak,
secepat itu pula Arya berada di belakang lawannya.
Wut...!
Guci di tangannya terayun keras ke kepala Beruang Liar.
Laki-laki berkepala botak itu kaget bukan main. Rupanya
ia belum mengenal kelihaian jurus 'Delapan Langkah
Belalang'. Seketika hatinya tercekat tatkala menyadari
adanya hembusan angin keras di belakangnya. Bahaya
maut tengah mengancamnya!
Kedua tangannya yang menggenggam bumerang,
sebisa- bisanya diayunkan ke belakang.
Klanggg...!
Terdengar suara berdentang nyaring ketika kedua
bumerangnya beradu dengan guci. Akibatnya, tubuh si
Beruang Liar terhuyung-huyung ke depan. Kedua bumerang
di tangannya terlempar entah ke mana.
Dewa Arak memutuskan untuk melenyapkan manusia
berbahaya ini untuk selama-lamanya. Maka, begitu
dilihatnya laki-laki berkepala botak itu terhuyung-huyung. Ia
segera mengejar. Kakinya bergerak menendang.
Bukkk...!
"Akh...!"
Terdengar suara berderak keras pertanda ada tulang-
tulang yang patah ketika kaki Arya telak mengenai
pinggang lawan.
Beruang Liar jauh terjerembab. Tapi, secepat kilat
dibalikkan tubuhnya dan berusaha bangkit. Namun,
sebelum niatnya itu tercapai. Dewa Arak telah mengirimkan
serangan susulan.
Wut...! Prak...!
"Aaakh...!"
Laki-laki berkepala botak itu menjerit tertahan.
Kepalanya pecah seketika tatkala guci yang diayunkan Arya
telak mengenai kepalanya. Tubuhnya terjerembab
menyusur tanah.
Dewa Arak memperhatikan tubuh yang tak bernyawa
lagi itu sejenak. Kemudian dipungutnya kedua bumerang
yang tergeletak di tanah, lalu ditimang-timang sejenak.
"Hih...!"
Wunggg...!
Terdengar dengungan keras laksana ribuan ekor lebah
marah, begitu Dewa Arak mengayunkan tangannya. Kedua
bumerang itu melesat laksana kilat. Kecepatannya jauh
lebih cepat daripada lontaran Beruang Liar!
Crak, crak, crak....!
Cabang-cabang pohon yang terbabat kedua bumerang
itu terpapas putus. Dewa Arak memandanginya dengan
perasaan takjub. Matanya mendadak terbelalak lebar.
Tahu-tahu kedua senjata itu kembali ke arahnya!
Dewa Arak menjadi gugup. Dia tahu betul kekuatan
tenaga yang terkandung dalam lontaran kedua bumerang
itu. Pemuda ini tidak berani menangkap kedua bumerang
itu seperti yang dilakukan Beruang Liar. Kalau dia salah
menangkap, tangannya bisa putus terbabat bumerang
yang tajam itu.
Tapi Dewa Arak tidak punya pilihan lain. Jurus 'Pukulan
Belalang' terpaksa harus digunakannya.
"Hih...!" Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke
depan.
Wuttt..!
Bresss...!
Angin keras yang berhawa panas menyengat,
berhembus keluar dari kedua telapak tangannya. Dan
langsung menyambar ke arah dua buah bumerang yang
tengah melayang ke arahnya. Seketika itu juga luncuran
bumerang itu terhenti. Dan langsung jatuh di tanah.
"Hhh...! Sungguh berbahaya...." desah Arya pelahan.
Kemudian setelah memperhatikan mayat lawannya
sejenak, dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
***
Dewa Arak menghentikan langkahnya ketika sepasang
matanya melihat sebuah gua tak jauh di hadapannya.
Sesaat lamanya dia terpaku. Diamatinya gua itu dengan
teliti. Tapi yang terlihat hanyalah kegelapan yang pekat.
Pelahan-lahan kakinya melangkah mendekati mulut gua
itu. Seluruh urat-urat syaraf di tubuhnya menegang.
Sikapnya waspada menghadapi segala kemungkinan.
Tapi baru saja beberapa langkah memasuki gua itu,
terdengar sebuah seruan dari dalam. Dewa Arak terkejut
bagai disengat kalajengking.
"Sahabat yang berada di luar, silakan masuk!"
Dewa Arak menghentikan langkahnya. Hatinya dilanda
keraguan. Rupanya kedatangannya telah diketahui oleh
orang yang berada di dalam sana. Setelah menimbang-
nimbang, akhirnya Arya meneruskan langkahnya. Telinga-
nya dibuka lebar-lebar untuk berjaga-jaga kalau ada orang
yang berusaha membokongnya.
Selangkah demi selangkah Dewa Arak menelusuri gua.
Akhirnya ia tiba di sebuah ruangan yang agak luas dan
terang.
Mata pemuda ini tertumbuk pada sosok yang tengah
duduk bersila di atas baru besar. Ia berjalan mendekat,
sehingga sosok itu semakin nampak jelas.
Ternyata sosok tubuh itu adalah seorang kakek berusia
lanjut. Mungkin usianya lebih dari delapan puluh tahun.
Tubuhnya sedang dan terlihat ringkih. Meskipun dalam
keadaan bersila, Dewa Arak dapat mengetahui kalau kakek
itu bertubuh bongkok.
Begitu Dewa Arak berada dalam jarak sekitar tiga
tombak, pelahan-lahan kakek itu membuka matanya yang
sejak tadi terpejam.
"Ah...!"
Dewa Arak berjingkat bagai disengat kalajengking.
Sepasang mata kakek itu ternyata tidak nampak hitamnya.
Hanya putihnya saja yang terlihat. Kakek bongkok itu buta!
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya kakek itu. Tentu saja
ucapan itu membuat Dewa Arak semakin terkejut.
Bagaimana kakek ini tahu kalau orang yang berdiri di
hadapannya adalah seorang pemuda? Bukankah sepasang
mata kakek itu buta?
"Namaku Arya, Kek," sahut Dewa Arak setelah perasaan
terkejutnya hilang.
"Arya...," gumam kakek itu pelan. "Apa maksudmu
memasuki gua ini?"
Dewa Arak terdiam sejenak. Mungkinkah kakek ini orang
yang telah menyelamatkan Desa Bandan dari jarahan
perampok puluhan tahun silam?
"Aku masuk kemari tanpa sengaja, Kek."
Dahi kakek bongkok itu nampak berkernyit.
"Tanpa sengaja? Kau berdusta, Anak Muda. Aku tahu,
pasti ada sesuatu yang kau cari di sini," bantah kakek itu.
"Memang ada sebuah urusan yang mendorongku
memasuki Hutan Bandan ini, Kek. Tapi, masuknya aku ke
gua ini, karena kebetulan," jelas Arya.
Semakin banyak kerutan di dahi kakek itu mendengar
jawaban Dewa Arak.
"Apa urusanmu memasuki Hutan Bandan ini, Anak
Muda?! Tahukah kau kalau hutan ini tempat terlarang?!
Ahhh...! Tindakanmu itu akan mengakibatkan banyak
korban. Sia-sialah jerih payahku selama ini! Korban tetap
tak bisa kucegah!"
Berdebar jantung Dewa Arak. Ternyata dugaannya tepat.
Kakek buta ini adalah orang yang dulu menolong Desa
Bandan. Tapi ia belum masih mengerti ucapan kakek itu.
"Maksudmu, Kek?" tanya Arya.
"Hhh...!" kakek bongkok itu menghela napas panjang.
Seolah-olah ada beban yang menghimpit dadanya. "Jawab
dulu pertanyaanku, Anak Muda. Apa urusanmu memasuki
hutan ini?!"
Dewa Arak mengerutkan alisnya. Perasaan dongkol
merayapi hatinya. Tapi cepat-cepat ditekannya perasaan
itu.
"Aku terpaksa memasuki hutan ini untuk mencari tahu.
Kudengar setiap malam bulan purnama ada seorang
remaja, laki-laki atau perempuan dibawa ke hutan ini. Tapi
sampai sekarang, tidak seorang pun pernah kembali.
Bahkan belum lama ini, seekor macan putih mengamuk
meminta korban. Aku ingin tahu, ke mana perginya remaja-
remaja itu, dan mengapa macan putih itu membunuhi
orang-orang desa?"
Kakek bongkok itu terdiam mendengar keterangan dan
pertanyaan Dewa Arak.
"Kalau aku tidak salah duga, bukankah Kakek adalah
orang yang menyelamatkan Desa Bandan puluhan tahun
yang lalu?" sambung Arya lagi.
"Dugaanmu tidak keliru, Anak Muda." jawab kakek itu
pelan.
"Lalu, kenapa Kakek malah menyuruh orang desa
mengorbankan seorang remaja setiap malam bulan
purnama?" desak Arya. "Apakah memang itu tujuan Kakek
menyelamatkan desa itu?"
Keadaan menjadi hening begitu Dewa Arak menyelesai-
kan perkataannya. Tapi keheningan itu segera dipecahkan
oleh suara si kakek.
"Sebenarnya aku tidak ingin menceritakan hal ini pada
siapa pun. Tapi, karena kau mempunyai maksud yang baik,
maka kau kuberikan perkecualian. Arya, kaulah satu-
satunya orang yang akan kuberitahu mengenai masalah
ini."
"Terima kasih, atas kepercayaanmu, Kek." ucap Arya
pelahan.
"Simpan ucapan terima kasihmu itu, Arya. Sekarang
pasang telingamu baik-baik!" ujar kakek bongkok itu.
Dewa Arak menurut.
"Puluhan tahun yang lalu, aku menikah dengan seorang
wanita sesat yang lihai. Dia berjuluk Kuntilanak Alam
Kubur. Aku sangat mencintainya. Dan dia mencintaiku
juga," ujar kakek itu memulai ceritanya.
Perasaan heran melanda hati Arya. Ia sama sekali tidak
menyangka kalau misteri yang dihadapinya ini ber-
hubungan dengan keluarga seseorang. Tapi dia sama
sekali tidak memotong cerita kakek itu. Dibiarkannya
kakek bongkok itu meneruskan ceritanya.
"Semula aku ragu-ragu menikahinya. Tapi, ketika dia
berjanji akan meninggalkan kesesatannya, aku pun
bersedia menerimanya. Selama beberapa tahun dia mau
memenuhi permintaanku. Tidak pernah dia melakukan
kejahatan. Kehidupan kami pun aman dan tenteram,"
kakek bongkok itu menghentikan ceritanya sebentar.
Ditatapnya Dewa Arak yang masih tekun mendengar
ceritanya.
"Tapi setelah sepuluh tahun, penyakit lamanya kambuh.
Dia kembali mengumbar kejahatan. Aku marah, dan pergi
meninggalkannya sambil membawa macan putih pelihara-
an kami. Macan itu amat patuh pada kami berdua. Apa pun
yang kami perintahkan, pasti dilaksanakan dengan baik."
"Lalu dalam pengembaraanmu, kau tiba pada sebuah
desa yang tengah diserang oleh rombongan perampok, dan
kau menolongnya. Bukankah begitu, Kek?" selak Arya.
"Benar," sahut kakek bongkok itu sambil mengangguk-
kan kepalanya. "Kemudian aku menyepi di Hutan Bandan
bersama peliharaanku. Belasan tahun aku tinggal di sini.
Tapi tak kusangka kalau istriku mencium jejakku.
Kemudian dia pun menyusulku. Kami bertengkar, sampai
akhirnya terjadi pertempuran. Dengan susah payah dia ber-
hasil kukalahkan."
Sampai di sini kakek itu menghentikan ceritanya, Arya
mengernyitkan alisnya. Dia jadi bingung mendengar cerita
kakek bongkok ini. Menurut kakek itu, nenek yang berjuluk
Kuntilanak Alam Kubur berhasil dikalahkannya tapi kenapa
ia yang buta matanya?
"Mungkin hatimu bertanya-tanya, Anak Muda. Mengapa
kalau aku yang menang, mataku menjadi buta. Begitu
kan?" duga kakek itu seperti mengerti kebingungan Dewa
Arak.
Kembali Arya terkejut, ia tidak menyangka kalau kakek
ini mampu membaca pikirannya.
"Tidak perlu bingung-bingung, Arya. Kau dengarkan saja
lanjutan ceritaku" ucap kakek itu lagi. "Rupanya istriku
tidak mau menerima kekalahannya. Dia lalu menantangku
bermain racun. Sebagai raja obat, jelas aku ditantang. Dia
lalu meminumkan racun ke mulutku."
"Ahhh...!" desah Arya kaget "Racun itu diminumkan
padamu, Kek?" tanyanya setengah tak percaya.
"Ya." sahut kakek itu. "Sialnya, ternyata aku belum
mengenal jenis racun itu. Entah dari mana dia mendapat
kannya. Untunglah racun itu bereaksi secara lambat.
Akhirnya, kami mengikat perjanjian. Ia berjanji tidak akan
membunuhku asal aku bersedia mencarikan remaja-
remaja pada tiap-tiap purnama untuk menyempurnakan
ilmu hitamnya. Dengan berat hati aku menerima perjanjian
itu. Dia juga mengancam akan membantai seisi Desa
Bandan apabila aku tidak memenuhi permintaannya "
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini mulai
dipahami mengapa kakek itu menyuruh penduduk berbuat
seperti itu.
"Kurasakan racun itu mulai bekerja. Pandanganku mulai
mengabur. Aku sadar, lambat laun aku akan buta. Sebelum
semua itu terjadi Ki Gayan segera kuberi tahu mengenai
permintaan istriku itu. Aku juga melarang setiap orang
memasuki Hutan Bandan untuk menghindari jatuhnya
korban lebih banyak lagi."
"Lalu kenapa kau masih berada di sini, Kek?" tanya Arya
memotong.
"Aku tidak ingin istriku mengingkari janjinya. Kalau aku
tidak berada di sini bisa saja dia berbuat nekat, menculik
remaja-remaja di desa sekitar Hutan Bandan ini," jawab
kakek itu.
Kembali Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini
semua persoalan sudah menjadi jelas baginya.
"Sekarang macan itu telah memulai terornya. Sudah
banyak penduduk menjadi korban," sergah Arya.
Kakek bongkok itu tersenyum.
"Dalam hal ini istriku tidak bisa disalahkan, Arya. Bagai-
mana pun juga dia masih tetap memegang janjinya. Dia
tidak akan menyebar maut selama tidak ada orang
mengusik ketenangannya. Bukankah aku telah memper-
ingatkan mereka! Jadi, mereka sendiriah yang mencari
penyakit!" sahut kakek itu membela istrinya.
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Mereka tetap mematuhi semua yang kau perintahkan,
Kek!" sambut Arya dengan suara keras.
"Mematuhi apa?'" sergah kakek itu sambil tersenyum
sinis. "Buktinya, banyak orang memasuki hutan ini!"
"Mereka sudah berusaha mencegah! Bahkan belasan
penduduk menjadi korban karena ingin mencegah orang-
orang persilatan yang hendak memasuki hutan ini!" bantah
Arya dengan suara keras.
"Betulkah semua yang kau katakan itu, Arya?!" tanya
kakek itu. Wajahnya terlihat sungguh-sungguh.
Arya menganggukkan kepalanya. Namun demikian,
kemarahannya agak reda melihat sikap kakek itu.
"Orang-orang persilatan memburu benda langit yang
jatuh di hutan ini'" jelas Arya.
"Ahhh…!" kakek itu berseru terkejut. “Kalau begitu, per-
buatan istriku harus dicegah'"
"Itu memang sudah menjadi tekadku sewaktu hendak
memasuki hutan ini, Kek."
"Aku tak yakin kau mampu mencegahnya, Arya. Asal kau
tahu saja. Istriku itu mempunyai kepandaian amat tinggi!"
ujar kakek itu cemas.
"Aku tak takut, Kek! Bagiku, mati dalam membela
kebenaran adalah perbuatan yang mulia!” tandas Arya.
"Kalau itu sudah keputusanmu, terserah! Hanya pesan-
ku. Berhati-hatilah!"
“Terima kasih atas peringatanmu, Kek." ucap Arya
sambil berlalu meninggalkan tempat itu. Tujuannya kini
jelas, mencari Kuntilanak Alam Kubur!
***
ENAM
Di keremangan Hutan Bandan, tampak seekor macan putih
berlari cepat. Penciumannya yang tajam menangkap bau
manusia di sekitarnya. Karena majikannya telah
memerintahkan untuk membunuh siapa pun yang berani
memasuki hutan ini, maka binatang itu pun segera berlari
menuju tempat bau itu berasal.
Srakkk...!
Rerimbunan semak-semak terkuak. Dari balik semak-
semak, muncullah seorang lelaki jangkung. Tubuhnya agak
kurus dan matanya sipit. Di tangannya tergenggam sebuah
gada berduri.
"Ha... ha... ha...! Macan keparat! Maju kau...! Ayo hadapi
aku, si Gada Maut…!” tantang laki-laki tinggi kurus yang
berjuluk si Gada Maut itu. Tangannya menimang-nimang
gada yang digenggamnya.
Mendadak, si Gada Maut membalikkan tubuhnya. Ia
berlari meninggalkan macan itu.
Macan putih tidak ingin kehilangan buruannya. Binatang
itu pun berlari mengejar. Tapi tiba-tiba…
Srakkk...!
"Graunggg...!"
Macan putih itu menggeram ketika tubuhnya tahu-tahu
telah terjerat jaring. Rupanya si Gada Maut telah men-
jebaknya. Kini binatang itu terkurung dalam jaring yang
tergantung cukup tinggi di atas pohon.
Macan putih itu meraung-raung. Gigi-gigi dan kuku
kukunya yang tajam, menggigit dan mencakar jaring yang
mengurungnya. Tapi ternyata jaring itu terbuat dari bahan
alot yang tidak mudah putus. Sia-sia saja segala usaha
yang dilakukannya.
"Ha... ha... ha...!"
Si Gada Maut tertawa bergelak. Hatinya puas melihat
macan putih itu sudah tidak berdaya dalam jerat yang
dipasangnya.
"Sekarang kau tidak berdaya lagi, macan keparat! Ha...
ha... ha..! Kini kau baru tahu kecerdikan si Gada Maut, he?!
Sebentar lagi kau akan kubantai, macan keparat! Akan
kuhirup darahmu, dan kukuliti tubuhmu! Ha... ha... ha...!"
Si Gada Maut kembali tertawa terbahak-bahak. Tapi
mendadak saja tawanya berhenti. Didengarnya ada suara
tawa merdu mengiringi tawanya. Dengan cepat dibalikkan
badannya untuk mencari asal suara itu.
Si Gada Maut terkejut ketika menemukan si pemilik
suara. Ternyata pemiliknya adalah seorang gadis berwajah
cantik jelita. Usianya sekitar dua puluh tahun. Rambutnya
yang panjang, tergerai disapu angin. Pakaiannya serba
putih, dan terdapat sulaman bunga melati di dada kirinya.
"Siapa kau, Nini?" tanya si Gada Maut. Laki-laki ber-
tubuh kurus ini bersikap waspada. Meskipun si pemilik
tawa itu adalah seorang wanita muda yang cantik, si Gada
Maut tidak berani bersikap gegabah. Dari suara tawanya
yang merdu menggema ke seluruh penjuru hutan, dapat di-
simpulkan kalau wanita cantik itu memiliki tenaga dalam
yang tinggi.
"Kau tidak perlu tahu siapa diriku, Kisanak!" sahut
wanita cantik itu seraya tersenyum sinis. "Yang penting,
kalau kau ingin selamat, segera tinggalkan macan putih
itu!"
Seketika wajah si Gada Maut berubah. Kedatangan
wanita itu menyadarkan dirinya. Sewaktu-waktu bisa saja
tokoh- tokoh persilatan lainnya datang merampas macan
putih yang didapatinya dengan susah payah itu. Gadis ini
harus segera dibungkamnya, sebelum yang lainnya tahu,
pikirnya.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring, si Gada
Maut menerjang gadis berpakaian putih itu. Gada di
tangannya diayunkan cepat ke arah leher.
Wut...!
Gadis itu hanya tersenyum sinis. Agaknya ia
memandang rendah serangan lawan. Sambil tetap
tersenyum sinis, didoyongkan tubuhnya ke belakang,
sehingga babatan gada itu lewat setengah jengkal di depan
lehernya. Pada saat yang bersamaan, dilepaskannya
sebuah tendangan ke perut si Gada Maut.
Gerakannya cepat sekali dan tak terduga-duga.
Si Gada Maut terkejut bukan main. Sungguh tidak
disangkanya gadis muda itu mampu berbuat demikian. Kini
si Gada Maut berada dalam posisi yang tidak menguntung-
kan. Kalau saja ia tahu siapa sebenarnya gadis ini, tentu
dia tidak akan berani bertindak gegabah. Gadis itu tak lain
adalah Melati. Pendekar wanita yang berjuluk Dewi
Penyebar Maut ini dulu pernah menggoncangkan dunia
persilatan {Untuk jelasnya, bacalah serial Dewa Arak dalam
episode "Dewi Penyebar Maut"). Pendekar wanita ini
sedang dalam pengembaraan mencari jejak Arya,
tunangannya. Begitu mendengar tentang adanya prahara di
Hutan Bandan, ia segera datang ke tempat ini dengan
harapan dapat berjumpa dengan Dewa Arak.
Sekarang sudah tidak mungkin lagi bagi si Gada Maut
untuk mengelak. Dengan terpaksa, ditangkisnya tendangan
itu menggunakan tangan kirinya yang sudah dialiri tenaga
penuh. Rupanya ia tidak berani ambil resiko.
Dukkk...!
"Akh...!"
Si Gada Maut memekik pelan. Rasanya tulang-tulangnya
hampir patah. Seolah-olah tangannya beradu dengan
potongan baja! Keras bukan main!
"Hup...!" si Gada Maut melompat mundur.
Melati sama sekali tidak mengejarnya. Pendekar wanita
ini hanya memandang lawannya
Si Gada Maut menatap gadis bertubuh menggiurkan di
hadapannya tajam-tajam. Wajahnya menampakkan keter-
kejutan yang amat sangat. Kini baru disadarinya kalau
tenaga dalam yang dimiliki gadis ini jauh lebih kuat darinya.
"Sebelum terlambat kau kuberikan kesempatan untuk
meninggalkan tempat ini, Kisanak," ucap Melati begitu
melihat sang lawan masih berdiri terpaku.
"Aku belum kalah, perempuan sundal! Jangan harap kau
dapat mengalahkan Gada Maut!" teriaknya keras.
Wajah Melati berubah hebat. Makian lawan membuat
darahnya naik ke ubun-ubun. Sepasang matanya men-
corong tajam. Si tinggi kurus tersentak begitu melihat se-
pasang mata pendekar wanita ini. Tanpa sadar kakinya
melangkah mundur.
"Kau telah menghinaku. Jangan harap aku akan meng-
ampuni nyawa tikusmu, keparat!" desis Melati tajam.
"Akulah yang akan membunuhmu, perempuan sundal!
Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian, si Gada Maut menerjang
Melati. Gada di tangannya berkelebat menyambar-nyambar
mencari sasaran. Senjatanya menimbulkan suara angin
menderu-deru.
Kini Melati tidak mau bertindak setengah-setengah lagi.
Penghinaan Gada Maut membuat kemarahannya bergolak.
Tanpa ragu-ragu lagi dikeluarkan ilmu andalannya 'Cakar
Naga Merah’
Sepasang tangan gadis berpakaian putih ini terkembang
membentuk cakar naga. Pelahan namun pasti, tangannya
sampai sebatas pergelangan berubah merah darah.
"Hup..!"
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, tidak
sulit bagi Melati mengelakkan setiap serangan si Gada
Maut. Bahkan sebaliknya setiap serangannya memaksa
lawan jatuh bangun menyelamatkan diri.
Tak sampai sepuluh jurus, si Gada Maut sudah terdesak
hebat. Memang tingkat kepandaian Melati telah meningkat
hebat setelah berjumpa kembali dengan gurunya. Di bawah
gemblengan laki-laki tua itu, akhirnya ia dapat menyempur-
nakan ilmu 'Cakar Naga Merah'nya (Untuk lebih jelas,
bacalah serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang
Pendekar").
Si Gada Maut menggertakkan giginya. Gada di
tangannya berkelebatan semakin cepat. Tapi tetap saja
usahanya sia-sia.
"Haaat..!"
Si Gada Maut berteriak nyaring. Tubuhnya melompat
tinggi. Sesaat kemudian ia menukik sambil menusukkan
gadanya ke kepala Melati. Gerakannya sangat indah, persis
seekor burung raksasa yang tengah menerkam mangsa-
nya.
Melati tetap bersikap tenang. Begitu serangan lawan
mendekat, mendadak ia merubah posisi kuda-kudanya.
Tubuhnya direndahkan. Tangan kanannya diulurkan ke
atas mengancam dada lawan. Sementara tangan kirinya
terpalang di depan dada.
Si Gada Maut tertawa dalam hati. Rupanya gadis ini
mencari mati, pikirnya. Bukankah sebelum cakar gadis itu
mengenainya, kepala gadis itu hancur lebih dulu terhantam
gadanya.
Mendadak sebuah kejadian aneh membuat mata si
Gada Maut terbelalak. Betapa tidak? Tangan gadis itu tiba-
tiba mulur memanjang. Sebelum gada di tangannya
mengenai sasaran cakar gadis itu lebih dulu mampir di
dadanya.
Buk!
"Aaakh...!"
Si Gada Maut menjerit memilukan. Tubuhnya
melambung kembali ke atas. Dari mulut, mata dan
hidungnya mengalir darah segar. Tulang-tulang dadanya
hancur seketika. Saat itu juga nyawa laki-laki tinggi kurus
itu berpisah dengan raganya. Rupanya Melati telah
menyalurkan seluruh tenaganya.
Brukkk...!
Suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh si Gada
Maut jatuh ke tanah.
Melati menatap tubuh yang tergolek itu sejenak. Setelah
itu dilangkahkan kakinya menghampiri macan putih yang
masih terkurung di dalam jaring.
Srat..!
Melati menghunus pedangnya. Tapi sebelum dia sempat
berbuat sesuatu, terdengar suara tawa mengikik yang
membuat bulu kuduknya berdiri. Suara tawa itu tidak
semestinya keluar dari mulut manusia, pikirnya. Melainkan
dari mulut setan kuburan! Tapi anehnya, meskipun suara
itu terdengar pelan, getarannya terasa sampai ulu hatinya.
Jantung pendekar wanita ini berdebar keras. Ia sadar
kalau orang yang baru datang ini memiliki kepandaian
tinggi. Dari suara tawanya, sudah dapat diperkirakan
kedahsyatan tenaga dalam pemiliknya.
Kini di hadapan Melati berdiri seorang nenek-nenek.
Tubuhnya yang tinggi, terbalut pakaian dan kerudung
hitam. Kulitnya juga agak kehitaman. Bentuk mata, hidung,
dan sorot matanya mengingatkan orang pada burung
elang. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat kayu
berkeluk. Ujungnya berbentuk kepala burung elang.
"Siapa kau?!" tanya Melati. Suaranya mendesis. Gadis
ini dilanda perasaan tegang. Baru kali ini ia melihat orang
seaneh itu.
"Hik... hik... hik...! Rupanya kau hebat juga. Cah Ayu! Ah,
betapa senangnya hatiku. Sejak sekian puluh tahun tidak
bertemu orang sakti, kini aku melihat orang muda seperti-
mu sudah memiliki kepandaian tinggi! Hik... hik... hik....!
Bersiaplah, Cah Ayu! Keluarkan seluruh kepandalanmu.
Aku tidak segan-segan membunuhmu!" Rupanya sejak tadi
tanpa diketahui Melati, nenek ini telah menyaksikan
pertarungannya melawan si Gada Maut.
"Tunggu dulu, Nek!" cegah Melati cepat.
"Ada apa? Cepat katakan!" sergah nenek itu tidak sabar.
"Begini, Nek. Seingatku, aku belum pernah berjumpa
denganmu. Apalagi berbuat kesalahan. Tapi, kenapa
engkau ingin menyerangku?!"
Si nenek mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Hik... hik... hik..! Jadi, kau ingin mengenalku dulu, Cah
Ayu? Baik, orang mengenalku sebagai Kuntilanak Alam
Kubur. Nah, itulah julukanku. Puas, Cah Ayu! Sekarang,
bersiaplah kau!" ucap nenek itu lagi.
Melati terkejut! Nama Kuntilanak Alam Kubur memang
pernah didengarnya. Gurunya banyak bercerita mengenai
tokoh ini. Tokoh yang memiliki sifat aneh. Suka berbuat
kejam tanpa dasar, tapi memiliki kepandaian yang sangat
tinggi. Sungguh tidak disangka ia bisa berjumpa tokoh ini.
Cappp...!
Kuntilanak Alam Kubur menancapkan tongkatnya ke
tanah. Gerakannya kelihatannya pelan sekali, sepertinya
tanpa pengerahan tenaga. Tapi akibatnya tongkat itu ter-
tancap sampai lebih dari setengahnya! Sebuah per-
tunjukan kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi yang
menarik!
Melati mengawasi gerak-gerik si nenek penuh waspada.
Dilihatnya perempuan tua itu mengepalkan jari-jari tangan-
nya. Pelahan-lahan tapi penuh tenaga. Terdengar suara
berkerotokan nyaring ketika jemarinya dikepalkan.
Gadis berpakaian putih itu membelalakkan matanya.
Tengkuknya bergidik menyaksikan perbuatan si nenek. Kini
disadari kalau nyawanya terancam. Maka, tanpa ragu-ragu
lagi, dikeluarkannya ilmu 'Cakar Naga Merah' yang sangat
diandalkannya.
"Hebat juga ilmu yang kau miliki, Cah Ayu. Melihat
bentuk jari-jari tanganmu dapat kutebak kalau kau meng-
gunakan 'Jurus Naga’. Ingin kulihat apakah 'Jurus Naga'
milikmu mampu menghadapi 'Tinju Gajah' milikku?"
"’Tinju Gajah'?" desah Melati dalam hati. Ia sangat
terkejut mendengar nama jurus itu disebut.
Namun sebelum Melati berpikir lebih lama, Kuntilanak
Alam Kubur sudah menyerangnya. Tangan kanan nenek itu
memukul lurus ke dada, sementara tangan kirinya terkepal
di sisi pinggang.
Suara gemeretak mengiringi tibanya serangan itu. Melati
merasakan ada serentetan angin keras yang menyesakkan
dada sebelum pukulan lawan mengenalnya.
Gadis yang dulu mendapat julukan Dewi Penyebar Maut
ini tidak berani menangkis serangan itu. Kakinya buru-buru
digeser ke samping, sehingga pukulan itu lewat sekitar
sejengkal dari tubuhnya.
Pakaian Melati berkibaran akibat kuatnya tenaga dalam
yang terkandung dalam pukulan tadi.
Begitu pukulan itu lewat, Melati segera melancarkan
serangan balasan ke kepala Kuntilanak Alam Kubur.
Tapi si nenek hanya terkekeh seraya merendahkan
tubuhnya, sehingga serangan itu lewat di atas kepalanya.
Tak lama kemudian, mereka sudah terlibat dalam per-
tarungan sengit. Melati menyadari kalau lawannya memiliki
ilmu kepandaian luar biasa. Maka, mau tak mau ia harus
mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Sepasang cakar Melati yang memainkan ilmu 'Cakar
Naga Merah", menyambar-nyambar cepat mencari sasaran.
Namun, tanpa kesulitan Kuntilanak Alam Kubur meng-
elakkan setiap serangannya. Bahkan sebaliknya setiap
serangan balasan si nenek membuat gadis berpakaian
serba putih itu pontang panting menyelamatkan diri.
Pertarungan antara kedua wanita yang sama-sama sakti
itu berlangsung semakin seru. Dalam waktu singkat dua
puluh lima jurus telah berlalu. Pelahan namun pasti, Melati
mulai terdesak. 'Ilmu ‘Tinju Gajah' yang dimiliki lawan
benar-benar membuatnya kagum.
Setiap kali tangan mereka beradu, tubuh Melati ter-
jengkang. Sedangkan lawannya hanya terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Dari benturan ini dapat
ketahui kalau tenaga dalam Melati berada di bawah tenaga
dalam si nenek.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan pekik melengking, Melati
melentingkan tubuhnya ke belakang
"Hup...!"
Srattt..!
Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak bumi. Kini
di tangannya telah tergenggam sebatang pedang.
"Keluarkan senjatamu, nenek peot!" teriak Melati keras.
"Hik... hik... hik...! Dengan tangan kosong pun aku
sanggup merobek mulutmu yang lancang, gadis liar!" sahut
Kuntilanak Alam Kubur tak mau kalah.
"Kalau begitu jangan katakan aku curang kalau kau
mampus di ujung pedangku! Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian, Melati melompat menerjang.
Pedangnya menusuk cepat ke dada Kuntilanak Alam
Kubur. Bunyi mengaung yang mengawali tibanya serangan
itu menjadi pertanda, betapa kuatnya tenaga yang ter-
kandung di dalamnya.
Meskipun serangan tusukan pedang itu berlangsung
cepat, tapi masih lebih cepat lagi gerakan si nenek. Tahu-
tahu Kuntilanak Alam Kubur sudah melenting melewati
kepala Melati. Tubuhnya berputar di udara, seraya meng-
ayunkan kedua tangannya ke kepala si gadis.
Melati terkejut bukan main. Dia segera melompat ke
depan sambil menggulingkan tubuhnya menjauh.
"Hup...!"
Begitu kedua kaki Kuntilanak Alam Kubur mendarat,
Melati segera bangkit.
"Haaat...!"
Kembali gadis berbaju putih itu menerjang. Kini pedang
di tangannya memainkan Jurus 'Ilmu Pedang Seribu Naga'.
Serangannya susul-menyusul seperti tiada putus-putusnya.
Tapi Kuntilanak Alam Kubur adalah tokoh yang sudah
kenyang makan asam garam pertempuran. Meskipun
hanya bertangan kosong, sedikit pun tak nampak terdesak.
Bahkan kedua tangannya yang mengepal memainkan ilmu
'Tinju Gajah', masih sempat menyerang bertubi-tubi.
Akibat dari pertarungan kedua wanita ini sangat
mengerikan. Batu-batu besar dan kecil beterbangan.
Bahkan tidak sedikit pohon-pohon besar yang ber-
tumbangan terkena pukulan, tendangan, atau sabetan
pedang nyasar.
Tujuh puluh jurus telah berlalu. Sampai saat ini, Melati
belum juga mampu mendesak lawannya. Hal ini tentu saja
membuatnya geram bukan main.
Pada jurus kesembilan puluh tiga, sambil mengeluarkan
pekik nyaring, Melati melompat menerjang. Pedang di
tangannya melesat cepat menusuk ke leher lawan.
Singgg...!
Kuntilanak Alam Kubur terkekeh pelan. Dengan tenang
dibiarkannya serangan itu mendekat. Melati mengira
nenek itu sudah kehabisan tenaga. Kelelahan membuatnya
lengah, pikirnya. Tapi mendadak si nenek menggeser
tubuhnya ke samping kanan, seraya tangan kanannya
menyampok tangan Melati.
Wut! Plak!
"Akh...!"
Melati memekik tertahan. Sekujur tangannya dirasakan
lumpuh. Pedang di tangannya terlempar jauh. Sebelum
gadis berpakaian serba putih itu berbuat sesuatu, kaki
nenek itu sudah menyambar cepat ke arah perut.
Buk!
"Hughk...!"
Keras dan telak bukan main tendangan itu mengenai
sasaran. Seketika itu juga tubuh Melati terjengkang ke
belakang. Cairan merah kental terlihat di sela-sela bibirnya.
Melati terluka dalam!
"Terimalah kematianmu, gadis liar! Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian, Kuntilanak Alam Kubur
menerjang sambil memukulkan tinju kanannya ke dada
Melati.
Angin keras menyambar ke arah Melati yang masih
terhuyung-huyung ke belakang.
Melati membelalakkan sepasang matanya. Dia tahu
betapa dahsyatnya pukulan jarak jauh yang dilepaskan
lawannya. Keadaannya yang sudah terluka dalam tidak
memungkinkan untuk menangkis serangan itu.
Bila menangkis, berarti sama saja dengan membunuh
diri. Sementara mengelak pun sudah tidak sempat lagi.
Kini ia hanya dapat menanti datangnya sang maut
menjemput.
Tapi sebelum pukulan jarak jauh itu mengenai tubuh
Melati, sesosok bayangan ungu berkelebat menyambar
tubuh gadis itu.
Tappp...!
Brakkk...!
Sebatang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa,
tumbang seketika terkena pukulan jarak jauh yang nyasar.
Suara berderak keras mengiringi robohnya pohon itu.
"Keparat...!"
Kuntilanak Alam Kubur berteriak memaki. Hatinya
gemas sekali ketika lawannya berhasil lolos dari tangan-
nya. Tapi sebelum ia sempat mengejar, bayangan ungu itu
telah lenyap ditelan rerimbunan semak yang lebat.
Nenek berwajah mirip burung elang ini menggeram.
Keras bukan main geramannya. Dihampirinya macan putih
yang terkurung di jaring, tergantung di atas pohon.
"Hih...!"
Kuntilanak Alam Kubur mengacungkan dua buah jari
telunjuknya ke atas. Terdengar suara mencicit nyaring
seperti suara tikus terjepit.
Tasss...!
Seketika itu juga tali penggantung jaring yang
mengurung macan putih itu putus dan jatuh ke tanah.
Brukkk!
"Aummm...!"
Macan itu bergerak menerobos kurungan jaring.
Kemudian menggeram pelan menghampiri si nenek. Tapi
Kuntilanak Alam Kubur yang rupanya masih kesal, lalu
meninggalkan tempat tersebut. Macan putih itu pun sambil
tetap menggeram pelan, melangkah mengikuti si nenek.
***
TUJUH
Sosok bayangan ungu berkelebat cepat menembus
kerimbunan pepohonan Hutan Bandan. Kini bayangan tadi
terhenti di depan sebuah gua.
Sosok ungu itu tak lain adalah Dewa Arak. Di pundaknya
tampak tubuh Melati terkulai lemas. Gadis itu pingsan.
Rasa nyeri yang diakibatkan oleh luka dalam yang diderita-
nya, sudah tak dapat ditahannya lagi. Tanpa ragu-ragu
Dewa Arak melangkah memasuki mulut gua. Langkah-
langkahnya panjang, seolah-olah tidak merasakan beban di
pundaknya.
Beberapa saat kemudian, Dewa Arak sudah melihat
kakek bongkok yang tengah duduk bersila.
"Aku butuh pertolonganmu, Kek." ucap Arya tanpa basa-
basi lagi. Tubuh Melati yang sejak tadi di pondongnya,
diturunkan pelahan-lahan.
Kakek bongkok itu membuka matanya. Sepasang mata-
nya yang putih itu menatap Dewa Arak.
"Siapa dia, Arya?" tanya kakek itu tanpa mempedulikan
ucapan Dewa Arak.
Arya sudah tidak terkejut lagi ketika si kakek telah
mengetahui kalau dia tidak datang sendirian. Meskipun
buta, kakek itu mampu melihat melalui mata batinnya.
"Teman, Kek," sahut Arya.
Kakek itu tercenung sejenak.
"Teman atau kekasih?" sindir kakek itu.
Arya menghela napas panjang. Percuma, tidak ada
gunanya lagi menyembunyikan hal yang sebenarnya pada
orang tua ini.
"Sebenarnya…, dia tunanganku, Kek," jawab Arya
berterus terang.
"Hm..., lalu kenapa kau bawa dia kemari?"
"Dia mendapat luka dalam yang parah Kek. Karena dulu
Kakek adalah seorang raja obat, maka kubawa dia kemari."
Kakek bongkok itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagaimana dia bisa terluka?" desak si kakek ingin tahu.
"Dia bertarung melawan seorang nenek yang berpakaian
serba hitam dan...."
Arya menghentikan ucapannya ketika melihat raut wajah
si kakek mendadak berubah.
"Mengapa. Kek? Ada sesuatu yang aneh dalam
ceritaku?"
"Tidak. Tidak.... teruskan ceritamu, Arya." sahut kakek itu
cepat "O ya. apakah nenek itu mengenakan kerudung
hitam juga?"
"Benar, Kek. Apakah Kakek mengenalnya?"
"Hhh...!" kakek bongkok itu menghela napas panjang
"Dia adalah orang yang kuceritakan padamu."
"Maksud Kakek… wanita itu... istri Kakek…?” tebak Arya.
"Yahhh…!" sambut kakek itu sambil mengangguk pelan.
Arya tercenung mendengar jawaban si kakek. Seketika
suasana menjadi hening. Tapi hal ini tidak berlangsung
lama, karena orang tua itu sudah kembali berbicara.
"Tolong kau ambilkan buntalan yang ada di pojok sana,"
pinta kakek bongkok itu sambil menunjuk ke salah satu
sudut gua.
Tanpa banyak membantah, Arya bergegas ke arah yang
ditunjuk kakek bongkok itu. Benar saja. Di situ dijumpainya
sebuah buntalan. Buntalan itu segera diambilnya.
"Buka! Ambil pil yang berwarna merah, lalu kau
minumkan pada tunanganmu," ucap si kakek sebelum Arya
menyerahkan buntalan itu padanya.
Dewa Arak membuka buntalan itu. Diambilnya pil
berwarna merah dan segera dimasukkan ke dalam mulut
Melati.
"Kek...," ucap Arya memecah keheningan yang meliputi
suasana gua.
"Hm...," kakek itu hanya bergumam pelan.
Dewa Arak menghela napas panjang sebelum memulai
ucapannya.
"Begini, Kek. Rasanya..., tindakan istri Kakek tidak bisa
dibiarkan lebih lama lagi."
"Maksudmu aku harus membunuhnya?" selak kakek itu
cepat.
"Bukan itu maksudku, Kek." sahut Arya cepat.
"Bicara yang tegas, Arya. Katakan saja, ya!" tegur kakek
itu. Tajam dan keras suaranya.
"Tidak seluruhnya benar, Kek."
"Maksudmu?"
"Perbuatan istri kakek memang harus dicegah. Dengan
jalan lunak sepertinya tidak mungkin. Jadi, terpaksa
dilakukan lewat jalan kekerasan."
"Betul kan dugaanku?!" selak kakek itu lagi.
"Ya. Tapi, bukan Kakek yang harus melakukannya."
"Lalu, siapa? Kau?!" ada keraguan dalam nada suara si
kakek.
"Begitulah, Kek. Aku akan berusaha dengan seluruh
kemampuanku.”
"Percuma. Kau tidak akan mampu menandinginya. Kau
hanya akan mengantar nyawa saja!" tegas kakek itu yakin.
"Tidak mengapa, Kek. Aku siap mengadu nyawa dengan-
nya. Maksudku mengutarakan hal inl, adalah untuk men-
cegah hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari," jelas
Arya.
Kakek bongkok itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Alasan Arya bisa diterimanya. Pemuda ini benar-benar
bijaksana, pikirnya.
"Aku mengerti arah pembicaraanmu, Arya. Kau khawatir
aku akan salah terima bila istriku tewas di tanganmu,
begitu kan?" tebak kakek bongkok itu.
"Benar, Kek," ucap Dewa Arak sambil menganggukkan
kepalanya.
"Hhh...! Perlu kau ketahui Arya. Aku pun sudah muak
dengan tingkah laku istriku. Sudah lama sekali aku meng-
inginkannya tewas. Tapi, ternyata tidak seorang pun yang
sanggup mengalahkannya. Sedangkan aku tak sampai hati
menjatuhkan tangan maut pada istriku sendiri. Kuharap
kau berhasil. Pesanku berhati-hatilah, Arya. Saat ini dia
tengah mempelajari sebuah ilmu hitam. Aku sendiri belum
tahu ilmu apa yang ditekuninya."
"Terima kaslh atas kerelaanmu, Kek. Aku titip tunangan-
ku di sini."
"Pergilah, Arya. Kudoakan semoga kau berhasil"
"Terima kasih, Kek," pamit Arya, seraya melesat ke luar.
Sepeninggal Dewa Arak, kakek itu menunduk sedih.
Bola mata yang hanya tinggal putihnya itu, terlihat berkaca-
kaca. Hatinya tersayat pedih saat mengingat kenangan
manis bersama istrinya. Rupanya masih ada segumpal
cinta di hatinya
***
Matahari telah sejak tadi tenggelam di ufuk Barat.
Cahaya bulan yang hanya sepotong membuat suasana
Hutan Bandan menjadi remang-remang.
Seorang kakek bertubuh pendek terkekeh-kekeh
gembira. Tubuhnya yang gemuk, terbalut rompi dan celana
hijau. Kepalanya botak, berkilat-kilat ditimpa cahaya bulan.
"Akhirnya aku juga yang mendapatkan benda langit ini.
He... he... he...!" matanya menatap sebuah lubang bergaris
tengah sekitar dua tombak. Kedalamannya hampir se-
tengah tombak. Di dalamnya lampak tergolek sebuah
benda seperti batu berwarna gelap. Besarnya sebesar
kepala orang dewasa.
Tapi baru saja kakek pendek gemuk ini hendak
menuruni lubang itu, terdengar suara terkekeh. Kontan
saja kakek itu mengurungkan niatnya. Matanya berkeliling
mencari asal suara.
"Hik... hik... hik...! Kelabang Hijau..., tidak kusangka
kalau langkahmu sampai juga kemari."
Kakek pendek gemuk yang berjuluk Kelabang Hijau itu
menatap sosok di hadapannya (Untuk lebih jelas mengenai
tokoh ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode
"Cinta Sang Pendekar") Di depannya telah berdiri seorang
nenek berwajah mirip burung elang. Pakaian dan
kerudungnya serba hitam. Sebuah tongkat berkeluk yang
ujungnya berbentuk kepala seekor burung elang ter-
genggam di tangannya.
"Kuntilanak Alam Kubur...." desis Kelabang Hijau.
Perasaan terkejut dapat dirasakan dari suara si kakek.
"Rupanya kau juga tertarik dengan benda langit, nenek
peot!? Sehingga langkahmu sampai juga kemari."
"Hik... hik... hik...! Pasang telingamu lebar-lebar,
Kelabang Hijau. Dengar! Aku adalah pemilik Hutan Bandan
ini! Jadi akulah yang lebih berhak atas benda langit itu!
Lagi pula aku tidak suka ada orang mengusik ketenangan-
ku. Mereka semua harus mati! Tak terkecuali kau!"
"Kita lihat saja buktinya, nenek peot!" sahut Kelabang
Hijau.
"Hik... hik... hik...!" Kuntilanak Alam Kubur kembali
tertawa terkekeh-kekeh. Tongkatnya ditancapkan di tanah.
"Hiyaaa...!"
Terdengar suara gemuruh ketika nenek berpakaian
serba hitam itu melontarkan kepalannya ke leher si botak.
Rupanya Kuntilanak Alam Kubur sudah mengeluarkan ilmu
'Tinju Gajah'
Kelabang Hijau tahu kalau lawan telah mengeluarkan
ilmu andalannya. Tanpa ragu-ragu lagi, ia pun segera
memainkan jurus 'Kelabang Sakti’. Ditangkisnya serangan
itu.
Plak!
"Uh...!"
Tubuh Kelabang Hijau terjengkang ke belakang. Sekujur
tangannya dirasakan lumpuh. Dadanya terasa sesak,
sementara lawannya hanya terhuyung beberapa langkah
ke belakang. Kakek berkulit kehijauan ini sadar kalau
lawan memiliki tenaga dalam yang jauh lebih kuat.
"Hik... hik... hik…! Kematianmu sudah di ambang pintu,
gundul jelek!" ejek Kuntilanak Alam Kubur.
Kelabang Hijau sama sekali tidak mempedulikan ejekan
si nenek. Sambil mengeluarkan pekik nyaring, dia me
lompat menyerang. Kini kedua tokoh sakti ini sudah terlibat
dalam sebuah pertarungan sengit.
Mulanya pertarungan kedua tokoh sesat ini berlangsung
imbang. Tapi begitu menginjak jurus kedua puluh, tampak-
lah keunggulan Kuntilanak Alam Kubur.
Kelabang Hijau yang tahu keunggulan lawannya dalam
hal tenaga dalam, sedapat mungkin berusaha menghindari
bentrokan tenaga. Berkali-kali ia terpaksa harus menarik
kembali serangannya begitu Kuntilanak Alam Kubur
hendak menangkisnya.
Tapi di saat gawat bagi Kelabang Hijau, tiba-tiba melesat
sesosok bayangan putih memasuki arena pertempuran.
Sosok bayangan putih ini langsung menghujani Kuntilanak
Alam Kubur dengan serangan-serangan dahsyat.
Tentu saja Kuntilanak Alam Kubur terkejut, ia terpaksa
mengurungkan desakannya pada Kelabang Hijau.
Serangan si bayangan putih merupakan serangan-
serangan mematikan yang disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Mau tak mau ia harus menangkis serangan
yang bertubi-tubi itu dengan pengerahan seluruh tenaga
dalam pula.
Plak, plak, plak….!
Suara benturan dua pasang tangan yang mengandung
tenaga dalam tinggi terdengar berkali-kali. Akibatnya hebat!
Si bayangan putih memekik tertahan. Tubuhnya ter-
pelanting sejauh tiga batang tombak. Sekujur tangannya
dirasakan ngilu.
Kini sosok serba putih sudah berdiri di sebelah
Kelabang Hijau kembali. Pada dahinya terlihat sebuah
logam berbentuk bulan sabit. Dialah Dewi Bulan, pasangan
dari Kelabang Hijau.
"Hik... hik... hik...! Rupanya kekasihmu datang juga,
Kelabang Hijau! Hik hik hik...! Luar biasa! Rupanya berita
tentang jatuhnya benda langit di sini membuat kalian yang
telah bau tanah ini ingin juga memilikinya."
"Tutup mulutmu kuntilanak jelek!" bentak Dewi Bulan
keras.
"Kalau aku tidak mau?!" sahut Kuntilanak Alam Kubur
sambil tersenyum mengejek.
"Aku yang akan menutupnya dengan kedua tanganku!"
"Hik hik hik...! Mampukah kau melakukannya, dewi
got!?" ejek nenek berpakaian hitam yang pandai berdebat
itu.
"Keparat...! Mampuslah kau...!"
Setelah berkata demikian, Dewi Bulan langsung
melompat menerjang lawannya. Kaki kanannya melayang
ke pelipis Kuntilanak Alam Kubur. Cepat dan keras bukan
main serangannya. Angin berdesir keras mengawali tibanya
serangan itu.
Kuntilanak Alam Kubur hanya merendahkan tubuhnya
sedikit. Dan serangan itu pun lewat di atas kepalanya. Tapi
mendadak kaki kanannya menendang ke lutut kiri Dewi
Bulan.
"Ihhh...!"
Dewi Bulan tersentak kaget. Tapi sebelum dia sempat
berbuat sesuatu, Kelabang Hijau telah lebih dulu ber-
gulingan menangkis serangan itu.
Plak!
Kuntilanak Alam Kubur menggeram murka. Apalagi di
saat itu Dewi Bulan sudah mengirimkan serangan susulan.
Belum lagi nenek berpakaian serba hitam ini sempat
menarik napas, serangan Kelabang Hijau sudah tiba lagi.
Demikian seterusnya silih berganti. Sehingga Kuntilanak
Alam Kubur terdesak. Ia tidak mempunyai kesempatan
untuk melancarkan serangan balasan.
"Hih...!"
Tiba tiba Kuntilanak Alam Kubur melentingkan tubuhnya
ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Kakinya
mendarat tanpa suara di dekat tongkat yang tadi
ditancapkannya.
Dewi Bulan dan Kelabang Hijau tidak bergerak
mengejar. Mereka tidak berani berbuat gegabah meng-
hadapi perempuan aneh ini. Keduanya tahu kalau lawan
hendak menggunakan ilmu lainnya. Tapi sepasang tokoh
tua ini yakin, ilmu gabungan mereka dapat menghadapi
lawan yang bagaimanapun lihainya.
"Hih...!"
Kuntilanak Alam Kubur mencabut tongkatnya yang
terhunjam dalam di tanah. Kedua matanya nampak
terpejam sejenak. Bibirnya berkemik seperti mengucapkan
sesuatu. Tak lama kemudian, tongkatnya diketukkan ke
tanah.
***
DELAPAN
Sepasang mata Dewi Bulan dan Kelabang Hijau terbelalak
lebar. Kini di hadapan mereka telah berdiri empat orang
Kuntilanak Alam Kubur.
"Hik... hik... hik...! Ingin kulihat, mampukah kalian
menghadapi ilmu 'Pecah Raga'! Hik hik hik...!" ucap salah
seorang dari empat nenek berpakaian serba hitam itu.
"'Pecah Raga'...?!" desah Kelabang Hijau dan Dewi Bulan
bersamaan. Wajah mereka memancarkan keterkejutan
yang amat sangat. Keduanya memang pernah mendengar
kedahsyatan ilmu ini. Ilmu unik yang dapat membuat tubuh
pemiliknya menjadi banyak. Sungguh tak disangka kalau
nenek itu bisa memilikinya. Namun belum lagi habis rasa
terkejut mereka. Tiba-tiba….
"Hiyaaa...!"
Empat orang Kuntilanak Alam Kubur menyerbu
serentak. Kelabang Hijau dan Dewi Bulan bertindak cepat.
Keduanya segera menggabungkan ilmunya sehingga
serangan dan pertahanan mereka menjadi berlipat ganda.
"Haaattt..!"
Salah seorang dari empat Kuntilanak Alam Kubur
berteriak nyaring. Kedua jari tangannya menusuk cepat ke
dada Dewi Bulan. Angin mencicit nyaring mengiringi tibanya
serangan itu.
"Hih...!"
Kelabang Hijau mengulurkan tangan kirinya ke arah
Dewi Bulan. Wanita sesat itu meyambut dan meng-
genggamnya dengan tangan kanan. Tusukan dua jari yang
mengarah ke lehernya ditangkis dengan tangan kirinya.
Plak!
"Ihhh...!"
Kuntilanak Alam Kubur memekik tertahan. Tubuhnya
langsung terjengkang ke belakang. Rupanya gabungan
tenaga dalam sepasang tokoh sesat tadi telah berhasil
memecah pertahanan keempat Kuntilanak Alam Kubur.
Beberapa kali, baik Kelabang Hijau maupun Dewi Bulan
berhasil menyarangkan pukulan telak pada dada, perut
ataupun ulu hati lawan-lawannya. Tetapi kejadian tadi
berulang kembali. Keempat Kuntilanak Alam Kubur seolah-
olah tidak merasakannya.
Tak terasa seratus jurus telah lewat. Kelabang Hijau dan
Dewi Bulan merasa lelah bercampur kesal. Lelah karena
harus mengelak serangan gencar keempat Kuntilanak
Alam Kubur. Kesal karena setiap kali lawan dirobohkan,
tahu-tahu sudah bangkit menyerang kembali. Lama
kelamaan rasa lelah membuat ilmu gabungan mereka
mulai kacau. Sementara empat Kuntilanak Alam Kubur
masih terlihat segar.
"Hik hik hik…!" salah seorang dari empat Kuntilanak
Alam Kubur mengikik. “Tak lama lagi, ajal kalian akan tiba.
Hik... hik... hik...! Tidak ada seorang pun yang akan
kubiarkan hidup, setelah memasuki Hutan Bandan!"
Kuntilanak Alam Kubur tahu, selama kedua lawannya
masih bersatu mereka sullt dikalahkan. Keduanya harus
dipisahkan lebih dulu, pikirnya. Segera keempatnya
berpencar. Kini baik Dewi Bulan maupun Kelabang Hijau
masing-masing menghadapi dua Kuntilanak Alam Kubur.
Kelabang Hijau dan Dewi Bulan sama sekali tidak
menyadari siasat lawan. Baru setelah beberapa jurus
kemudian, mereka sadar. Segera keduanya bermaksud
untuk bersatu kembali. Tapi Kuntilanak Alam Kubur mem-
baca maksud mereka, sehingga usaha keduanya gagal.
Crottt..!
"Akh...!" Dewi Bulan menjerit tertahan ketika dua buah
jari tangan Kuntilanak Alam Kubur menusuk perutnya.
Belum lagi ia sempat berbuat sesuatu, Kuntilanak Alam
Kubur yang satu lagi telah menyarangkan sebuah
tendangan keras ke dadanya.
Buk...!
"Aaakh...!"
Dewi Bulan menjerit melengking tinggi. Tubuhnya
melayang jauh ke belakang dengan tulang-tulang dada
remuk. Darah segar keluar dari mulut, hidung, dan telinga-
nya. Nyawanya melayang diringi jeritan kematian yang
menyayat.
Brukkk...!
Kelabang Hijau terkejut mendengar jeritan kekasihnya.
Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Keadaannya sendiri
terjepit. Kini ia harus bertarung melawan keempat
Kuntilanak Alam Kubur sekaligus. Belum ada dua jurus
setelah kematian Dewi Bulan, sebuah tusukan jari lawan
meluruk cepat ke pelipisnya.
Tukkk.!
"Aaakh...!"
Kelabang Hijau memekik tertahan. Tubuhnya ambruk
dengan tulang pelipis pecah.
"Hik... hik... hik...!"
Empat orang Kuntilanak Alam Kubur itu tertawa
mengikik menatap kedua mayat yang terbujur di tanah.
Sesaat kemudian, tiga orang kembaran nenek berpakaian
hitam itu lenyap tanpa bekas. Kini tinggal satu orang
Kuntilanak Alam Kubur.
***
Kepala Kuntilanak Alam Kubur menoleh ke kiri.
Pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah
bergerak ke arahnya. Betul saja. Beberapa saat kemudian,
berkelebat bayangan ungu di hadapannya.
Kuntilanak Alam Kubur menatap sosok bayangan ungu
yang ternyata adalah Arya, si Dewa Arak.
Tiba-tiba saja macan putih yang sejak tadi mendekam
mengawasi pertarungan majikannya, bangkit. Suara gereng
kemarahan terdengar dari mulutnya begitu melihat
kedatangan anak muda ini.
"Keparat..!" geram Kuntilanak Alam Kubur. "Jadi, inikah
orang yang dulu melukaimu, Putih?!" tanya nenek itu.
Ketika dilihatnya binatang peliharaannya menggereng
gereng penuh kemarahan.
"Grrrh...!" macan putih kembali menggereng pelan.
Kuntilanak Alam Kubur mengerti makna gerengan binatang
peliharaannya.
"Kalau begitu, kau tenang saja di sini. Akan kubalas
sakit hatimu!"
Kuntilanak Alam Kubur melangkah mendekati Dewa
Arak yang tetap bersikap tenang.
"Bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak?" tanya nenek
itu. Kasar dan keras suaranya. Memang dia sudah men-
dengar nama besar Dewa Arak yang telah meng-
goncangkan dunia persilatan. Begitu melihat ciri-ciri Arya,
dia sudah bisa langsung menduganya.
Dewa Arak mengangguk.
"Begitulah orang memberiku julukan." jawabnya seraya
memutar tubuhnya. "Dan kau pasti Kuntilanak Alam Kubur.
Betul kan?" duga Dewa Arak. Sepasang matanya me-
mandang berkeliling.
Dewa Arak terkejut begitu matanya tertumbuk pada dua
sosok yang dikenalnya, tergolek tanpa nyawa. Dua orang inl
dulu pernah hampir mencelakainya, kalau saja tidak
datang Melati menolongnya (Untuk lebih jelasnya, bacalah
serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar")
Bagaimana mungkin keduanya tewas di tangan nenek ini?
pikirnya setengah tidak percaya. Bukankah kepandaian
yang dimiliki sepasang tokoh tua ini sudah sangat tinggi?
Wajah nenek berpakaian hitam berubah hebat.
"Dari mana kau tahu julukanku Dewa Arak?! Aku yakin
ada orang yang memberitahukanmu," tanya nenek itu
penuh selidik.
"Dari mana kutahu dirimu, itu adalah rahasiaku.
Kedatanganku ke hutan ini adalah untuk menghentikan
kekejianmu terhadap penduduk Desa Bandan. Sekaligus
membalas perlakuanmu terhadap kawanku yang telah kau
lukai!"
Kuntilanak Alam Kubur tercenung sejenak mendengar
ucapan terakhir Dewa Arak. Keningnya berkernyit pertanda
tengah berpikir keras.
"Temanmu?" tanyanya. Diingat-ingatnya kembali setiap
pertempuran yang dialaminya belum lama ini. Tapi
seingatnya, dia baru bertarung dua kali. Kini nenek itu
teringat pada bayangan ungu yang telah menyelamatkan
gadis berpakaian putih dari cengkeramannya "Jadi, kau
rupanya yang telah menyelamatkan gadis berpakaian putih
itu!?"
Dewa Arak menganggukkan kepalanya.
"Benar. Akulah orangnya " sahut Arya singkat. Setelah itu
tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak mengambil guci arak yang
tergantung di punggungnya. Diangkatnya ke atas kepala.
Kemudian dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk…. gluk…!
Suara tegukan terdengar ketika arak melewati
kerongkongannya. Sesaat kemudian dirasakan hawa
hangat menyebar dalam perutnya dan terus naik ke atas
kepala.
"Hih...!"
Kuntilanak Alam Kubur menggertakkan gigi. Pelahan-
lahan, kedua tangannya mengepal. Terdengar suara ber-
kerotokan keras seperti ada tulang-tulang berpatahan
begitu jari-jarinya dikepalkan. Firasatnya mengatakan kalau
Dewa Arak mempunyai kelihaian tinggi. Tanpa sungkan-
sungkan lagi segera dikeluarkan Ilmu 'Tinju Gajah’.
"Hiyaaa...!"
Dengan diinngi teriakan nyaring, Kuntilanak Alam Kubur
menyerang Dewa Arak. Tangan kanannya dipukulkan keras
ke wajah lawan. Angin berhembus keras mengawali
serangannya.
Tapi kali ini yang diserangnya adalah Dewa Arak,
meskipun masih muda, tapi memiliki ilmu-ilmu aneh dan
tinggi. Dengan langkah terhuyung-huyung yang menjadi ciri
khasnya. Arya mengelakkan serangan itu.
"Heh ..?!" Kuntilanak Alam Kubur terpekik kaget ketika
melihat lawannya tahu-tahu lenyap dari situ. Belum lagi
hilang rasa terkejutnya, dirasakan adanya angin dingin
berkesiut di belakangnya. Dewa Arak tiba-tiba telah berada
di belakangnya, dan tengah mengayunkan gucinya ke arah
belakang kepalanya.
"Hih...!"
Nenek berpakaian serba hitam ini segera melompat ke
depan. Tubuhnya berguling-guling menjauh. Serangan guci
Dewa Arak mengenai tempat kosong
Wajah Kuntilanak Alam Kubur berubah. Selama
hidupnya baru kali ini dia bisa dibuat bergulingan di tanah
dalam segebrakan. Hal ini tentu saja membuat amarahnya
meluap. Begitu bangkit dari bergulingnya, dia pun kembali
menerjang lawannya dengan dahsyat.
Kedua tinju Kuntilanak Alam Kubur menyambar-
nyambar dahsyat mencari sasaran. Terdengar suara
gemuruh setiap kali tinjunya melayang.
Tapi meskipun si nenek menyerang bagaikan kerbau
mengamuk, semua serangannya dapat dikandas kan oleh
Dewa Arak. Jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang dimain-
kan Arya membuatnya lincah mengelakkan serangan.
Bahkan tidak jarang malah berbalik mengancam lawan.
"Haaat..!"
Kedua tangan Dewa Arak yang memainkan jurus
'Belalang Mabuk' menyambar deras ke arah kedua pelipis
Kuntilanak Alam Kubur.
Nenek berwajah mirip burung elang itu tertawa
mengikik. Serangan itu segera dipapakinya dengan kedua
tangan yang dilintangkan di sisi telinganya.
Plak...!
Benturan dua pasang tangan yang mengandung tenaga
dalam tinggi pun terjadi. Tubuh Dewa Arak terjengkang ke
belakang. Sekujur tangannya dirasakan ngilu sekali.
Napasnya terasa sesak. Sementara si nenek dilihatnya
hanya terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang. Jelas,
kalau dalam adu tenaga dalam, Kuntilanak Alam Kubur
masih berada di atas Dewa Arak!
"Hiyaaa...!"
Belum sempat pendekar muda ini memperbaiki kuda
kudanya, nenek berpakaian hitam itu kembali menerjang.
Ilmu 'Tinju Gajah' kembali menderu-deru mencari sasaran.
Dewa Arak segera dapat mematahkannya. Ilmu
'Belalang Sakti’ yang dimainkan Arya, memungkinkannya
bergerak dalam posisi apa pun tanpa mengalami kesulitan.
Dalam waktu singkat, seratus jurus telah berlalu.
Pertarungan masih berjalan seimbang. Belum tampak ada
tanda-tanda siapa yang terdesak.
"Hm.... Bukan main lihainya pemuda ini...," puji seorang
kakek bermata putih. Punggungnya bungkuk. Di tangan
kanannya tergenggam sebatang tongkat penunjang
tubuhnya. Kaki kirinya buntung sebatas pangkal paha.
Ujung celana di sebelah kirinya berkibaran tertiup angin.
"Tidak aneh, Kek. Dia adalah Dewa Arak," sahut gadis di
sebelahnya yang tak lain adalah Melati. Di belakang
keduanya nampak berdiri tujuh orang. Mereka adalah Ki
Sancaperta, Ki Gayan, Jiwala dan empat orang penduduk
Desa Bandan lainnya.
Rupanya Ki Sancapaperta dan Ki Gayan merasa tidak
enak bila hanya menunggu di desa, sementara Dewa Arak
berjuang untuk kepentingan desa mereka. Bersama Jiwala
dan empat orang warga desa lainnya, mereka berbondong-
bondong masuk hutan. Di tengah perjalanan, mereka
bertemu dengan kakek penyelamat desa mereka bersama
seorang gadis berpakaian putih.
Mulanya hampir terjadi kesalahpahaman. Ketujuh orang
warga Desa Bandan ini tidak dapat menahan amarahnya
begitu mengenali si kakek. Tapi untunglah si kakek segera
memberikan penjelasan. Sehingga pertumpahan darah
yang sia-sia, akhirnya dapat dihindari.
Kesembilan orang itu bergegas ke tempat itu begitu
mendengar suara pertempuran. Kini mereka menonton
pertarungan itu dari tempat yang agak jauh.
Melati memandang ke arah pertempuran dengan
pandangan mata cemas. Dia pernah merasakan kelihaian
Kuntilanak Alam Kubur. Dilihatnya tenaga dalam tunangan-
nya tidak mampu mengimbangi tenaga dalam lawan.
Kuntilanak Alam Kubur menggeram hebat menahan
amarah. Telah serarus lima puluh jurus berlalu, tapi dia
belum dapat mematahkan lawannya. Ilmu 'Tinju Gajah'
sama sekali tidak berdaya. Bahkan beberapa kali dia
dibuat jatuh bangun oleh serangan balasan Dewa Arak.
"Hih...!"
Kuntilanak Alam Kubur menjerit melengking tinggi.
Tubuhnya melenting ke belakang. Dewa Arak tidak berani
gegabah mengejarnya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, nenek berpakaian serba hitam ini
mendarat dekat tongkat yang tadi ditancapkannya di
tanah.
"Hih...!"
Kuntilanak Alam Kubur mencabut tongkatnya. Sepasang
matanya terpejam. Bibirnya berkemik seperti mengucap-
kan sesuatu. Kemudian tongkatnya diketukkan ke tanah.
"Ahhh...!" seru Arya terkejut. Di hadapannya kini telah
berdiri empat orang Kuntilanak Alam Kubur. Masing-
masing menggenggam tongkat berujung kepala burung
elang.
"Ilmu sihir...!" teriak Melati pula tak kalah terkejutnya.
Bukan cuma Melati saja, ketujuh orang di belakangnya
juga mengalami hal serupa.
"Ada apa, Melati?" tanya kakek bongkok mendesah,
begitu mendengar seruan seruan kaget itu. Dahinya ber-
kernyit seperti tengah berpikir keras.
"Ng..., anu, Kek. Lawan Kang Arya kini telah menjadi
empat orang." jawab gadis berpakaian putih itu mem-
beritahu.
"Hm...," kakek bongkok itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Ilmu 'Pecah Raga’” desahnya pelan.
"Kau tahu ilmu itu, Kek?" tanya Melati penuh gairah.
"Hm.... Rupanya ilmu iblis itulah yang dipelajarinya
selama ini. Kekuatan iblisnya diperoleh dari darah remaja-
remaja yang dihirupnya. Mudah-mudahan saja tunangan-
mu itu berhasil menemukan kelemahannya."
Melati terdiam. Semula dia berharap si kakek bongkok
mengetahui kelemahan ilmu Kuntilanak Alam Kubur. Tapi
mendengar ucapan tadi, gadis ini putus harapan. Kembali
dialihkan perhatiannya ke arena pertarungan.
Sementara itu, Kuntilanak Alam Kubur yang kini telah
berubah menjadi empat orang, sudah menerjang Dewa
Arak.
Menghadapi seorang saja, Dewa Arak sudah kewalahan.
Apalagi menghadapi empat orang! Tapi dengan kegesitan
jurus 'Delapan Langkah Belalang', dia masih mampu meng-
imbangi.
"Haaat...!" salah seorang Kuntilanak Alam Kubur men-
jerit keras. Tongkat kepala burung elang di tangannya,
ditusukkan ke arah perut Dewa Arak.
Anak muda ini melentingkan tubuhnya, tahu-tahu ia
telah berada di belakang nenek tadi. Guci arak di
tangannya terayun deras menghantam punggung
lawannya.
Buk...!
"Huakh...!"
Hantaman guci tadi dilakukan dengan pengerahan
tenaga dalamnya. Akibatnya, perempuan tua itu terpental
jauh ke depan. Tubuhnya jatuh tersungkur sambil
memuntahkan darah segar. Ia pun tewas seketika!
Wut..!
Belum sempat Dewa Arak melanjutkan serangannya,
Kuntilanak Alam Kubur yang lain membabatkan tongkatnya
ke kaki Arya.
"Hih...!"
Dewa Arak melompat ke atas. Dan selagi tubuhnya
berada di udara. Gucinya diayunkan ke kepala lawan.
Gerakannya cepat, sehingga sebelum Kuntilanak Alam
Kubur menyadarinya, tiba-tiba....
Wut.! Prak...!
"Aaakh...!"
Terdengar suara berderak keras ketika kepala nenek itu
pecah. Seketika itu juga nyawanya melayang meninggalkan
raga.
Dewa Arak melentingkan tubuhnya menjauhi arena
pertarungan.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya hinggap di tanah
beberapa tombak dari arena pertarungan. Kini
perasaannya agak sedikit lega. Dua di antara lawannya
sudah berhasil dirobohkan. Tidak lerlalu berat baginya
menghadapi dua Kuntilanak Alam Kubur yang tersisa.
Tapi, Dewa Arak terperanjat ketika melihat lawannya
masih tetap berjumlah empat orang! Hatinya penasaran.
Kepalanya ditolehkan ke arah dua mayat yang berhasil
ditewaskannya. Tempat itu kosong!
"Hm..., ilmu Iblis!" gumam Arya lirih.
"Hik... hik... hik...! Kaget, Dewa Arak! Hik... hik... hik...!
Jangan mimpi dapat mengalahkan Kuntilanak Alam Kubur!
Hik hik hik...!" ejek nenek itu sambil tertawa mengikik.
Arya sadar, kali ini dia kembali bertemu dengan tokoh
berilmu aneh. Semacam ilmu sihir! Tapi, jauh lebih dahsyat
lagi. Dewa Arak memang pernah mendengar namanya,
ilmu 'Pecah Raga'!
Arya adalah seorang pemuda yang cerdas. Pengalaman
demi pengalaman telah mempertajam pikirannya. Ia tahu,
meskipun lawannya terlihat empat orang, tetapi sebenar-
nya tetap satu. Jadi tiga dari empat orang itu adalah palsu!
Dan Kuntilanak Alam Kubur yang palsulah yang tadi
ditewaskannya. Itulah sebabnya mereka dapat hidup
kembali. Kini satu-satunya jalan adalah merobohkan
Kuntilanak Alam Kubur yang asli! Tapi, mana di antara
empat orang itu yang asli?
"Hik... hik... hik…! Mengapa termenung di situ, Dewa
Arak? Berpikir unruk melarikan diri? Jangan harap! Kau
harus mati di tanganku Dewa Arak!"
Gluk... gluk... gluk...!
Dewa Arak kembali menuangkan arak ke dalam
mulutnya. Ucapan Kuntilanak Alam Kubur seolah-olah tidak
didengarnya sama sekali.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan jerit melengking nyaring, Dewa
Arak melompat menerjang. Entah bagaimana caranya tahu-
tahu gucinya telah berada kembali di punggungnya. Kini
sepasang tangannya bergerak-gerak aneh menyerang
lawannya.
Kali ini dia memang meminum araknya lebih banyak dari
biasanya. Jurus ‘Belalang Mabuk' kin’ menyambar-nyambar
dahsyat ke arah empat orang lawannya.
Empat Kuntilanak Alam Kubur itu langsung berpencar.
Tapi, Dewa Arak kini berada dalam puncak ilmunya. Secara
tak terduga-duga, dihantamnya ulu hati salah seorang
Kuntilanak Alam Kubur.
Buk. ! Buk...!
"Aaakh...!"
Kuntilanak Alam Kubur yang sial itu memekik keras.
Tubuhnya terlempar jauh. Nenek itu tewas seketika dengan
sekujur tulang tulang dada hancur. Darah mengalir deras
dari hidung, mulut dan telinganya.
Dewa Arak rupanya sudah tak sabar lagi ingin cepat-
cepat mengakhiri pertarungan. Secepat Kilat kedua
tangannya yang tadi dalam bentuk tangan jari-jari belalang,
berubah membentuk cakar yang terkembang lebar.
Seketika itu pula tangan kanannya dihentakkan ke depan,
disusul oleh hentakan tangan kirinya. Inilah Jurus
'Membakar Matahari'. Jurus ini dapat menghasilkan
gumpalan api yang dapat menghanguskan apa saja yang
terlanda pukulan itu!
Wusss...! Wusss...!
Dua buah gumpalan api menyambar deras ke arah dua
orang Kuntilanak Alam Kubur. Serangan Dewa Arak itu
begitu cepat dan tiba-tiba. Sehingga seorang di antara
mereka tidak bisa mengelak lagi.
"Aaakh...!"
Terdengar pekikan melengking tinggi, ketika api yang
menyambar itu langsung mengenal dada salah seorang
dari Kuntilanak Alam Kubur. Seketika itu juga tubuhnya
terpental ke belakang. Tewas seketika dengan api menyala
di atas tubuhnya!
Tapi sebelum Dewa Arak melanjutkan serangannya,
salah seorang Kuntilanak Alam Kubur telah lebih dulu
menyerangnya. Tongkat di tangan nenek itu menyambar
dahsyat ke kepalanya. Arya sempat mengelakkannya, tapi
tak urung tongkat itu menghantam bahunya.
Buk...!
"Akh...!" Dewa Arak memekik tertahan. Tubuhnya
terbanting keras. Sekujur bahunya dirasakan ngilu bukan
main. Seolah-olah tulang-tulangnya remuk.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas ketika melihat
lawannya kembali berjumlah empat orang lagi. Pemuda ini
hampir putus asa. Sudah lebih dua ratus lima puluh jurus
dia bertarung. Tapi sampai saat ini tak juga dapat
ditemukan kelemahan ilmu lawannya. Sulit untuk mencari
mana di antara mereka yang asli. Sementara malam mulai
berganti pagi. Pelahan-lahan sang mentari mulai menam-
pakkan diri.
"Hik... hik... hik...! Silakan kau keluarkan semua ilmumu
Dewa Arak!" ejek salah seorang dari empat Kuntilanak
Alam Kubur.
Tiba-tiba sepasang mata Dewa Arak berbinar-binar.
Sinar matahari yang mulai menyorot ke bumi membuat
semangatnya bangkit. Betapa tidak? Di antara keempat
sosok tubuh itu, hanya ada satu yang mempunyai
bayangan!
Otak Dewa Arak yang cerdik segera mengerti. Kuntilanak
Alam Kubur yang mempunyai bayangan inilah yang asli.
Yang lainnya palsu belaka. Tercipta karena keunikan ilmu
'Pecah Raga’.
Tapi Dewa Arak tidak bertindak bodoh. Pemuda itu
berpura-pura tidak tahu. Dikumpulkannya lagi seluruh
tenaga dalamnya. Setelah rasa ngilu di tangannya ber-
kurang, dia kembali melompat menerjang. Kini Dewa Arak
sudah mempunyai sasaran. Tapi, untuk tidak membuat
kecurigaan, diterjangnya Kuntilanak Alam Kubur yang
palsu. Meskipun begitu, sepasang matanya tidak lepas
mengawasi Kuntilanak Alam Kubur yang mempunyai
bayangan.
"Hiyaaa..!"
Guci arak yang kini telah berada di tangannya kembali,
diayunkannya ke arah kepala salah seorang Kuntilanak
Alam Kubur.
Wut..!
Guci itu lewat di atas kepala ketika si nenek
menundukkan kepalanya.
Tapi di saat itulah, secara tidak terduga-duga. Dewa
Arak melemparkan gucinya ke arah Kuntilanak Alam Kubur
yang mempunyai bayangan.
Wut...!
Guci itu meluncur deras. Karuan saja si nenek terkejut
bukan main. Segera dia melompat mengelak. Tapi di saat
itulah Dewa Arak sudah menghentakkan kedua tangannya
bergantian ke depan. Kedua jari-jari tangannya mengem-
bang lebar membentuk cakar. Inilah jurus 'Membakar
Matahari'
Wut..!
Dua buah gumpalan api menyambar dahsyat ke tubuh
Kuntilanak Alam Kubur yang tengah melompat tinggi ke
atas. Tidak ada jalan lain bagi nenek itu kecuali menangkis-
nya.
Tiga orang Kuntilanak Alam Kubur yang lain berusaha
membantu. Dua di antaranya berusaha mencegat pukulan
itu, tapi gagal. Yang seorang lagi menyerang Arya. Tongkat
di tangannya menyambar dahsyat ke kepala Dewa Arak.
Trak!
"Akh...!"
Dewa Arak menjerit keras. Tangan kanannya yang
menangkis serangan itu seperti lumpuh rasanya. Tulang-
tulangnya terasa remuk. Ngilu bukan main. Tapi di saat
lawan hendak menyusulinya dengan serangan maut, terjadi
sebuah keanehan. Tubuh yang masih berada di udara itu
menggeliat. Kedua tangannya memegangi dada, seperti
menderita rasa sakit yang hebat.
Rasa penasaran membuat mata Dewa Arak beredar ber-
keliling. Pandangannya tertumbuk pada tubuh Kuntilanak
Alam Kubur asli yang tengah menggeliat-geliat di tanah.
Sekujur tubuhnya penuh nyala api berkobar. Rupanya
pukulan Dewa Arak dalam pemakaian Jurus 'Membakar
Matahari', tak mampu ditahannya. Beberapa saat tubuhnya
menggelepar sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Mati!
Seiring dengan tewasnya Kuntilanak Alam Kubur asli,
tiga orang kembarannya lenyap tanpa bekas.
"Hhh...!" Arya menghela napas. Antara perasaan lelah
dan lega. Segera dipungutnya guci miliknya yang tergeletak
jauh dari mayat si nenek. Kemudian disampirkannya di
punggung.
"Kang Arya ...!"
Suara yang amat dikenalnya berseru memanggilnya.
Dewa Arak tersenyum. Dilihatnya Melati tengah berlari
cepat ke arahnya.
Arya mengembangkan kedua tangannya, memeluk gadis
itu erat-erat.
"Aku khawatir sekali, Kang." ucap Melati. Suaranya
tersendat-sendat.
"Nenek itu memang lihai sekali," desis Arya penuh
kekaguman "Untung aku berhasil menemukan kelemahan
ilmunya. O, ya. Mengapa kau berada di hutan ini, Melati?"
"Kakek yang menyuruhku, Kang. Aku disuruh mengamal-
kan ilmu yang kuperoleh darinya. Kau bohong, Kang Arya.
Waktu itu, kau bilang ingin datang menjumpaiku," ucap
gadis itu merajuk (Baca serial Dewa Arak dalam episode
"Banjir Darah di Bojong Gading").
"Maafkan aku, Melati. Aku belum sempat menemuimu.
Kau bisa memakluminya kan?" tanya Arya meminta
pengertian gadis itu.
Melati tersenyum manis. Pelahan dianggukkan kepala-
nya. "Tak apa, Kang. Toh, sekarang kita sudah bertemu."
"Ehm..., ehm...!"
Suara deheman dua kali menyadarkan kedua muda-
mudi itu. Melati teringat bahwa masih ada orang lain di
sekitar mereka. Kakek bongkok yang buta dan juga Ki
Sancaperta dan para penduduk Desa Bandan. Dengan
muka merah, keduanya menoleh.
"Aku ingin meminta pertolongan pada kalian. Boleh?"
tanya kakek bongkok itu.
"Pertolongan apa, Kek?" tanya Arya heran.
"Tolong kemarikan mayat istriku." sahut kakek itu pelan.
Nada suaranya menyimpan kedukaan yang dalam. Macan
putih hampir menerkam Dewa Arak kalau kakek buta itu
tidak mencegahnya.
Dewa Arak segera menghampiri mayat nenek yang telah
hangus. Diangkatnya, kemudian dihampirinya kakek
bongkok itu.
"Bagaimana dengan benda langit ini, Arya? Kau tidak
ingin memilikinya?" tanya kakek itu sambil menunjukkan
sebuah benda mirip batu berwarna gelap. Besarnya hampir
sebesar kepala orang dewasa. Sewaktu Dewa Arak ber-
tarung dengan Kuntilanak Alam Kubur, Melati meng-
ambilnya dan memberikannya pada si kakek.
Dewa Arak memperhatikan benda yang telah menimbul-
kan malapetaka itu sejenak.
"Sebenarnya, apa sih keistimewaan benda itu, Kek?"
tanya Arya ingin tahu.
"Banyak, Arya," jawab kakek bongkok itu. "Benda ini bisa
dijadikan senjata pusaka yang ampuh. Bahkan juga dapat
digunakan untuk menawarkan segala jenis racun "
"Ah...! Pantas banyak orang yang berniat mendapat-
kannya," ucap Arya mulai mengerti.
Kakek bongkok itu hanya tersenyum.
"Bagaimana, kau mau. Arya?"
"Terima kasih, Kek. Aku tidak berminat memilikinya.
Biarlah kakek yang menyimpannya," tolak Arya. "Dan Ini
mayat istri kakek. Aku mohon maaf atas kejadian ini, Kek,"
ucap Arya sambil mengangsurkan mayat Kuntilanak Alam
Kubur pada kakek bongkok itu.
Kakek bongkok itu mengangsurkan tangan menerima
mayat istrinya.
"Lupakanlah, Dewa Arak. Kau tidak bersalah." sahut
kakek itu "Mari, Putih!"
Setelah berkata demikian, kakek bongkok itu
melangkah pergi meninggalkan Arya, Melati, dan para
penduduk Desa Bandan. Tak jauh di belakangnya, macan
putih mengikuti dengan langkah pelan.
Dewa Arak, Melati, dan penduduk Desa Bandan
memandangi kepergian kakek itu. Baru setelah itu Arya
menolehkan kepalanya. Menatap ke arah Ki Sancaperta
dan Ki Gayan.
"Kami juga ingin mohon diri, Ki...," ucap pemuda
berambut putih keperakan itu. Dan sebelum kedua
sesepuh Desa Bandan itu menyahut. Dewa Arak segera
melesat dari situ sambil menarik tangan Melati. Sesaat
kemudian, tubuh muda-mudi perkasa itu lenyap di balik
kerimbunan pepohonan.
"Pemuda yang luar biasa...." gumam Ki Sancaperta
pelan. "Tanpa bantuannya desa kita tidak akan lepas dari
malapetaka."
"Benar," sahut Ki Gayan.
Kemudian, dengan langkah lebar mereka melangkah
meninggalkan Hutan Bandan. Hari esok yang cerah telah
menanti mereka.
Sementara itu di kejauhan Arya dan Melati tengah
bergandengan seraya melangkah pelan. Masih banyak
tugas-tugas yang menanti Dewa Arak.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar