..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 09 Januari 2025

DEWA ARAK EPISODE PRAHARA DI HUTAN BANDAN

matjenuh

 

berkesiut di belakangnya. Dewa Arak tiba-tiba telah berada 

di belakangnya, dan tengah mengayunkan gucinya ke arah 

belakang kepalanya. 

"Hih...!" 

Nenek berpakaian serba hitam ini segera melompat ke 

depan. Tubuhnya berguling-guling menjauh. Serangan guci 

Dewa Arak mengenai tempat kosong 

Wajah Kuntilanak Alam Kubur berubah. Selama 

hidupnya baru kali ini dia bisa dibuat bergulingan di tanah 

dalam segebrakan. Hal ini tentu saja membuat amarahnya 

meluap. Begitu bangkit dari bergulingnya, dia pun kembali 

menerjang lawannya dengan dahsyat. 

Kedua tinju Kuntilanak Alam Kubur menyambar-

nyambar dahsyat mencari sasaran. Terdengar suara 

gemuruh setiap kali tinjunya melayang. 

Tapi meskipun si nenek menyerang bagaikan kerbau 

mengamuk, semua serangannya dapat dikandas kan oleh 

Dewa Arak. Jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang dimain-

kan Arya membuatnya lincah mengelakkan serangan. 

Bahkan tidak jarang malah berbalik mengancam lawan. 

"Haaat..!" 

Kedua tangan Dewa Arak yang memainkan jurus 

'Belalang Mabuk' menyambar deras ke arah kedua pelipis 

Kuntilanak Alam Kubur. 

Nenek berwajah mirip burung elang itu tertawa 

mengikik. Serangan itu segera dipapakinya dengan kedua 

tangan yang dilintangkan di sisi telinganya. 

Plak...! 

Benturan dua pasang tangan yang mengandung tenaga 

dalam tinggi pun terjadi. Tubuh Dewa Arak terjengkang ke 

belakang. Sekujur tangannya dirasakan ngilu sekali. 

Napasnya terasa sesak. Sementara si nenek dilihatnya 

hanya terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang. Jelas, 

kalau dalam adu tenaga dalam, Kuntilanak Alam Kubur 

masih berada di atas Dewa Arak! 

"Hiyaaa...!" 

Belum sempat pendekar muda ini memperbaiki kuda


an memberitahu 

letak hutan itu, kalian tidak akan kami apa-apakan." 

Ketiga petani itu menggeleng-gelengkan kepalanya 

serempak. 

"Kami... kami tidak tahu, Tuan," jawab salah seorang 

yang berkumis putih. 

"Apa?!" teriak si muka bopeng. Sepasang matanya 

membelalak lebar. "Kau berani berbohong pada kami, tua 

bangka peot?!" 

Sambil berkata demikian, tangan laki-laki kasar itu 

meraba hulu pedang di pinggangnya. Tentu saja hal itu 

membuat ketiga orang petani itu gemetar. 

"Aku... aku tidak bohong, Tuan...," sahut salah seorang 

dari petani itu terbata-bata. 

Terdengar suara berderak keras saat laki-laki bermuka 

bopeng itu mengepalkan tangan kirinya. 

"Keparat...! Rupanya kau lebih suka memilih mati, heh?! 

Kalau benar begitu, pergilah ke neraka, tua bangka!" 

Setelah berkata demikian tangannya berkelebat cepat. 

Dan.... 

Srat! Crak..! 

"Akh...!" 

Si petani berkumis putih menjerit tertahan. Pedang laki-

laki bermuka bopeng itu telah membabat lehernya. 

Seketika kepala si petani terpisah dari lehernya! 

Dua orang petani lainnya menatap tubuh kawannya yang 

tidak bernyawa lagi dengan mata tidak berkedip. Bergidik 

bulu kuduk mereka menyaksikan kematian kawannya yang 

begitu tragis. Jangankan melawan, berdiri saja rasanya 

hampir tak sanggup lagi! 

"Nah! Bagaimana? Mau menunjukkan di mana letak 

Hutan Bandan atau, memilih nasib seperti dia!" ancam laki-

laki bermuka bopeng seraya menunjuk mayat petani sial 

yang sudah tak berkepala. Sedangkan laki-laki berwajah 

tengkorak hanya memperhatikan semua peristiwa itu


sambil menyeringai kesenangan. 

Dua orang petani itu saling berpandangan sejenak. 

Mereka tidak berani memandang wajah beringas si muka 

bopeng. 

"Cepat jawab...! Sebelum kesabaranku hilang...!" sentak 

si muka bopeng gusar. 

Tubuh dua orang itu menggigil semakin menjadi-jadi. 

Tiba-tiba mereka nekat membalikkan tubuh dan berlari 

meninggalkan si muka bopeng. 

"Rupanya kalian juga memilih mampus...!" terdengar 

suara berseru nyaring. Tahu-tahu di depan keduanya telah 

berdiri si muka tengkorak. Kedua tangannya terlipat di 

dada. 

"Ah...!" kedua petani itu berseru kaget. Dengan wajah 

pucat mereka menghentikan langkahnya. 

Belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, si muka 

tengkorak telah menggerakkan tangannya. Dalam sekejap 

tangannya telah menggenggam sebatang golok. 

"Hih...!" 

Si muka tengkorak menusukkan goloknya ke arah perut 

salah seorang petani malang itu. 

Blesss...! 

"Aaakh...!" 

Petani sial itu menjerit memilukan ketika golok itu 

menembus perutnya. Darah segar bermuncratan dari 

perutnya. Beberapa saat lamanya petani sial itu ber-

kelojotan meregang nyawa, sebelum akhirnya diam tidak 

bergerak lagi. 

Pelahan-lahan si muka tengkorak mendekati petani 

yang tersisa. Kontan si petani muridur ketakutan. Tapi 

langkahnya terhenti ketika punggungnya terasa menyentuh 

sesuatu. Sambil berjingkat kaget, ia menoleh ke belakang. 

Ternyata punggungnya menyentuh ujung pedang yang 

diacungkan si muka bopeng. Kini dia tidak bisa lari ke 

mana- mana 

"Ampun... ampunkan aku, Tuan anakku banyak.... 

Jangan bunuh aku...," rintih petani itu memelas.


Si muka tengkorak mendengus. 

"Kami akan mengampunimu, Pak Tua. Kalau kau sayang 

pada anak-anakmu, katakanlah, di mana letak Hutan 

Bandan?! Bila kau menolak, maka kami tidak segan-segan 

mengirimmu ke akherat!" 

Tubuh si petani semakin menggigil mendengar ancaman 

itu. 

“Ttt... tapi, Tuan.... Hutan yang Tuan sebutkan itu adalah 

hutan larangan. Hutan keramat! Hutan itu telah diamanat-

kan agar dijaga oleh penduduk Desa Bandan. Tidak 

seorang pun diperbolehkan masuk ke dalamnya. Kalau ada 

yang masuk, apalagi sampai membuat onar, maka 

bencana akan menimpa desa kami..." ucap petani itu 

terbata-bata. 

"Aku tidak peduli apa yang terjadi dengan desa ini! 

Katakan di mana letak Hutan Bandan atau kau ingin mati 

pelan-pelan, heh! Ini kesempatanmu yang terakhir, Pak 

Tua!" si muka bopeng sudah tak sabar. Pedangnya yang 

sejak tadi menempel di punggung si petani semakin 

ditekan. Darah mulai menetes dari luka di punggung petani 

matang itu. 

Si petani menggigit bibirnya, menahan rasa nyeri di 

punggungnya. 

"Ba... baik, baiKiah," ujar petani itu terputus-putus. 

Si muka bopeng menarik kembali pedangnya. 

 "Hutan itu ada di balik gunung." si petani menjawab 

sambil menunjuk ke arah sebuah gunung di hadapannya 

Kedua orang kasar itu mengikuti arah yang ditunjuk oleh 

si petani. Benar mereka memang melihat sebuah gunung 

yang menjulang di kejauhan. 

Si muka tengkorak menganggukkan kepalanya ke arah 

si muka bopeng. Saat itu juga, si muka bopeng 

menusukkan pedangnya ke punggung si petani. 

Cappp...! 

"Akh...!" 

Darah bermuncratan ketika pedang itu menembus 

punggung hingga ke perut si petani.


Orang malang itu terbungkuk-bungkuk memegangi 

perutnya. Lukanya bertambah lebar ketika si muka bopeng 

menarik kembali pedangnya 

"Kkk.... kenapa Tuan mengingkari janji...?" si petani ber-

tanya sambil menahan rasa sakit. 

Desss! 

Tendangan si muka tengkorak menjawab pertanyaan si 

petani itu. 

"Hugh...!" 

Si petani mengeluh tertahan. Tendangan itu tepat 

mengenai perutnya. Tubuhnya terjengkang, berguling-

guling di tanah. Sang maut telah menjemputnya. 

Tanpa mempedulikan mayat-mayat petani sial itu, 

keduanya segera bergegas menuju arah yang ditunjukkan 

si petani. 

Tanpa mereka sadari, sejak tadi seorang anak belasan 

tahun melihat semua kejadian itu dari balik semak belukar. 

Begitu dilihatnya kedua pembunuh itu berlalu, anak itu 

pun segera berlari kencang ke arah desa. 

*** 

Ki Gayan, Kepala Desa Bandan tersentak kaget men-

dengar laporan yang dibawa oleh anak belasan tahun di 

depannya, ia mengenali anak itu sebagai salah seorang 

warganya. 

"Benarkah semua yang kau katakan ini, Dursa?" 

tanyanya lagi meminta ketegasan. 

"Sungguh mati, Ki, Aku tidak bohong!" sahut anak yang 

bernama Dursa itu. 

Ki Gayan menggelengkan kepalanya. 

"Cepat kau beritahukan peristiwa ini pada Ki Sanca-

perta, Dursa," perintah laki-laki setengah baya itu. 

"Antarkan dia langsung ke tempat kejadian!" 

"Sekarang, Ki?" 

"Tentu saja!" sentak Ki Gayan agak kesal. 

Kembali Dursa berlari. Kali ini tujuannya adalah rumah


Ki Sancaperta, guru silat di desa ini. Sedangkan Ki Gayan 

segera beranjak menuju tempat pembunuhan bersama 

salah seorang pengawalnya. 

Dalam waktu singkat Desa Bandan geger. Kematian tiga 

warganya membuat mereka resah. Rasa cemas nampak 

terlihat di setiap wajah penduduk. 

"Hal ini tidak boleh dibiarkan!" tegas Ki Gayan. "Kita 

harus menangkap pembunuhnya. 

"Aku setuju dengan pendapatmu, Gayan!" dukung 

seorang yang bertubuh tegap. Orang ini kelihatan gagah 

dengan cambang bauk lebat di wajahnya. Dia satu-satunya 

guru silat di Desa Bandan ini. Murid-muridnya cukup 

banyak. Semuanya penduduk desa itu. "Akan kukejar orang 

yang berani kurang ajar memasuki Hutan Bandan, Gayan. 

Jika melalui jalan pintas, mungkin aku masih dapat 

mendahului mereka. Mudah-mudahan keduanya belum 

sempat memasuki hutan." 

"Ahhh...! Usulmu bagus sekali, Sanca." sahut Ki Gayan 

gembira. 

"Kalau begitu, aku pergi dulu, Gayan." 

Setelah berkata demikian, Ki Sancaperta segera 

melesat dari tempat itu. Gerakannya cepat bukan main. 

Sekali bergerak, tubuhnya sudah berada beberapa tombak 

di depan. 

Ki Gayan segera memerintahkan para penduduk meng-

urus ketiga jenazah warganya. Laki-laki setengah baya ini 

merasa prihatin atas malapetaka yang menimpa keluarga 

korban. 

"Bukan tidak mungkin masih banyak orang yang akan 

menanyakan letak Hutan Bandan. Entah apa yang 

sebenarnya mereka inginkan?" desah Ki Gayan pada 

dirinya sendiri. Sepertinya ada beban berat yang menekan 

batinnya. 

***

Ki Sancaperta mengerahkan seluruh kemampuan yang 

dimilikinya. Sebagai orang yang sudah puluhan tahun 

tinggal di situ, ia hapal betul seluk beluk seluruh Desa 

Bandan. Ki Sancaperta tahu jalan pintas menuju Hutan 

Bandan. 

Tanpa mempedulikan onak dan ranting yang melukai-

nya. Ki Sancaperta terus merambah semak belukar. 

Begitu hamplr menembus rerimbunan semak terakhir, 

matanya menangkap adanya dua sosok tubuh tengah 

berjalan di depannya. 

Brusss...! 

Ki Sancaperta cepat-cepat menerobos semak terakhir. 

"Kisanak berdua, harap tunggu sebentar...!" seru guru 

silat ini. 

Kedua orang itu menghentikan langkahnya sambil 

menoleh ke belakang mencari asal suara. 

Sesaat kemudian Ki Sancaperta telah berdiri menantang 

di depan mereka. 

Ki Sancaperta mengamati kedua orang kasar itu 

sejenak. Keduanya mempunyai ciri-ciri sesuai seperti yang 

diceritakan Dursa. Yang satu, wajahnya bopeng, sementara 

yang seorang lagi berwajah kurus. Jadi inikah kedua orang 

yang telah membunuh tiga orang warga desanya? 

"Siapa kau?!" tegur si muka bopeng kasar. Matanya 

menatap tajam sekujur tubuh guru silat itu. 

"Seharusnya akulah yang mengajukan pertanyaan itu, 

Kisanak!" sergah Ki Sancaperta seraya tersenyum. 

"Kurang ajar! Rupanya kau cari mampus, heh!" bentak si 

muka bopeng. 

"Kalianlah yang cari mampus! Aku menuntut balas atas 

kematian tiga warga desaku yang baru saja kalian bunuh!" 

sahut Ki Sancaperta geram. 

"Keparat..! Mampuslah kau..!" teriak si muka tengkorak 

sengit. 

Tanpa sungkan-sungkan lagi, segera dicabut goloknya. 

Lalu disabetkannya ke leher Ki Sancaperta. Begitu si muka 

bopeng melihat kawannya sudah menyerang ia bersiap


siap membokong. 

Wuttt...! 

Dan gerakannya, Ki Sancaperta tahu kalau kedua orang 

lawannya ini hanya memiliki sedikit kepandaian. Rasanya 

tidak terlalu sulit baginya merobohkan keduanya. 

Segera kepalanya ditarik ke belakang sehingga 

serangan itu lewat beberapa rambut dari wajahnya. Pada 

saat yang bersamaan, Ki Sancaperta segera melepaskan 

tendangan lurus ke arah perut. 

Buk! 

"Hugh...!" 

Si muka tengkorak mengeluh tertahan. Tubuhnya 

terjengkang ke belakang. Darah segar menetes di sudut-

sudut bibirnya. 

Tapi sebelum Ki Sancaperta mengirimkan serangan 

susulan, si muka bopeng lebih dulu melesat menyerang. 

Pedang di tangannya menusuk cepat ke arah leher. 

Ki Sancaperta mendengus. Laksana kilat tubuhnya 

menyelinap ke bawah. Pada saat yang bersamaan, 

dilepaskannya pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan perut 

lawan. 

Buk! Buk...! 

"Hughk...!" 

Bertubi-tubi pukulan yang dilancarkan Ki Sancaperta 

mengenai sasaran. Terdengar suara berderak ketika 

tulang-tulang rusuk si muka bopeng berpatahan. Darah 

segar keluar dari mulut, hidung, dan telinganya. 

Bruk...! 

Tubuh si muka bopeng jatuh tersungkur. Nyawanya 

melayang seketika. 

"Keparat...!" 

Si muka tengkorak berteriak gusar. Golok di tangannya 

diputar-putar laksana baling-baling. Sambil mengeluarkan 

teriakan melengking, diterjangnya guru silat itu. 

Ki Sancaperta dengan tenang menggerakkan tubuhnya 

ke sana kemari. Semua serangan si muka tengkorak 

mengenai tempat kosong. Dan pada suatu ke sempatan....



Tak! 

Si muka tengkorak memekik ketika tendangan Ki 

Sancaperta mengenai pergelangan tangannya. Golok di 

tangannya terlempar. 

Sebelum orang kasar ini sempat berbuat sesuatu, kaki 

yang baru saja menendang pergelangan tangannya 

berputar cepat mengancam rahangnya. Gerakan itu begitu 

cepat dan tiba-tiba, sehingga si muka tengkorak tidak 

sempat menghindar. 

Krak...! 

Terdengar suara berderak keras ketika tulang leher si 

muka tengkorak patah. Tubuhnya terlempar ke belakang. 

Beberapa saat lamanya, laki-laki kasar itu menggeliat 

menjemput maut. 

Ki Sancaperta memandangi kedua sosok tubuh yang 

terkapar itu sejenak. Dengan sekali hentakan, kedua mayat 

itu ditendang masuk ke semak-semak. 

Setelah menyelesaikan pekerjaannya laki-laki gagah itu 

bergegas kembali ke Desa Bandan. 

*** 

"Aku semakin khawatir melihat perkembangan akhir-

akhhr ini, Gayan," ucap Ki Sancaperta ketika malam 

harinya mereka berembuk membahas masalah tadi pagi. 

Pertemuan itu juga dihadiri oleh Gempal, pengawal Ki 

Gayan sekaligus merangkap Kepala Keamanan Desa 

Bandan. Tak ketinggalan pula Jiwala, murid utama Ki 

Sancaperta. 

"Hhh...!" Kepala Desa Bandan itu hanya menghela napas 

panjang. 

"Ini adalah kejadian ketiga kalinya, Gayan. Belum lama 

ini beberapa warga kita ditemukan tewas karena masalah 

yang sama. Orang-orang kasar itu selalu menanyakan letak 

Hutan Bandan. Diberitahukan atau tidak, tetap saja 

mereka dibunuh." ucap laki-laki gagah itu lagi. 

"Hm..., mungkin karena adanya berita yang beredar di


dunia persilatan, Guru," tukas Jiwala. 

Laki-laki gagah bercambang bauk itu menoleh ke arah 

muridnya. 

"Berita apa, Jiwala?" tanya guru silat itu. Nada suaranya 

menyiratkan rasa ingin tahu. Bukan hanya Ki Sancaperta 

saja, Ki Gayan dan Gempal pun memandang wajah Jiwala 

dengan penuh perhatian. 

Jiwala menarik napas panjang sebelum memulai 

keterangan. 

"Menurut berita yang kudengar, ada sebuah benda ber-

cahaya dari langit yang jatuh di sekitar Gunung Bandan. 

Jadi, yahhh.... di sekitar Hutan Bandanlah...," tegas pemuda 

bertubuh pendek kekar itu. 

"Benda bercahaya dari langit...?" gumam Ki Sancaperta. 

Jelas kalau guru silat itu masih belum mengerti. Ditatapnya 

Ki Gayan, dan Gempal. Tapi keduanya terlihat tengah 

mengernyitkan alisnya. Rupanya kedua orang ini juga 

dilanda perasaan yang sama. 

"Benarkah apa yang kau ucapkan ini, Jiwala?" tanya Ki 

Sancaperta meminta ketegasan. 

"Begitulah berita yang kudengar Guru," sahut Jiwala 

disertai anggukan kepalanya. 

"Kalau benar semua yang kau ucapkan itu, berarti kita 

sekarang berada dalam bahaya!" 

"Mengapa demikian, Ki?" tanya Gempal. Matanya 

merayapi wajah Ki Sancaperta yang terlihat gelisah. 

Guru silat itu menatap wajah Kepala Keamanan Desa 

Bandan itu lekat-lekat. 

"Kau tidak bisa menduga akibat berita itu, Gempal?!" 

tanya laki-laki gagah itu. Suaranya mengandung teguran. 

"Orang- orang persilatan pasti akan berbondong-bondong 

datang ke Hutan Bandan. Bukankah kau tahu bahwa hutan 

itu merupakan daerah terlarang? Bukankah kita dipesan 

untuk melarang siapa pun masuk ke dalamnya? Kalau hal 

itu dilanggar, maka desa kita akan dilanda musibah!" 

Wajah Gempal memerah karena malu. Pikirannya baru 

terbuka setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari


gurunya. Gempal memang kurang cepat tanggap terhadap 

setiap masalah, meskipun kedudukannya adalah sebagai 

kepala keamanan desa. 

"Lalu bagaimana baiknya, Sanca?" tanya Ki Gayan. 

Otaknya buntu memikirkan jalan keluar persoalan ini. 

Ki Sancaperta menghela napas panjang mendengar 

pertanyaan itu. Bisa dimaklumi kebingungan di benak 

kepala desa yang sejak kecil menjadi teman karibnya ini. 

"Kau tidak mempunyai usul, Gayan?" tanya guru silat itu. 

Pelan dan datar nada suaranya. 

Ki Gayan menggelengkan kepalanya. 

"Pikiranku buntu, Sanca." sahut kepala desa itu 

mendesah. 

Ki Sancaperta tercenung sejenak. 

"Kalau begitu, begini saja Jiwala dan Gempal memimpin 

penjagaan di mulut desa. Usahakan, cegah orang yang 

akan menuju Hutan Bandan. Jika menjumpai lawan yang 

lebih kuat, segera pukul kentongan. Aku akan datang 

membantu kalian. Kalian paham?!" tanya guru silat ini 

sambil menatap kedua laki-laki muda di hadapannya 

"Paham, Guru!" sahut Jiwala sambil menganggukkan 

kepalanya. 

"Paham, Ki!" jawab Gempal pula. 

"Bagus! Atur penjagaan sebaik-baiknya." 

***


DUA


Seorang pemuda berambut putih keperakan melangkah 

pelahan memasuki Desa Bandan. Baru saja ia melangkah 

melewati tembok baru batas desa, di depannya telah 

menghadang belasan orang bersenjata lengkap. Sikap 

mereka tampaknya tidak bersahabat. 

Pemuda yang tidak lain adalah Arya atau yang lebih 

terkenal berjuluk Dewa Arak itu mengerutkan alisnya. Tapi, 

pemuda ini seolah-olah bersikap tidak tahu apa yang ter-

jadi di hadapannya. 

"Berhenti...!" 

Terdengar teriakan bernada kasar. Belum lagi gema 

teriakan itu lenyap, tahu-tahu belasan sosok tubuh tadi 

sudah bergerak mengurungnya. 

Srat! Srat...! 

Serentak orang-orang itu mencabut senjatanya. Tentu 

saja hal ini membuat Dewa Arak yang tidak tahu apa-apa, 

menjadi kaget bukan main. 

"Tahan…!" teriak Arya keras. Kedua tangannya dijulurkan 

ke depan. "Ada apa Ini? Mengapa kisanak semua meng-

hadang perjalananku?" 

Salah seorang pengepungnya maju menghampiri. Orang 

itu adalah Jiwala, murid kepala Ki Sancaperta. 

"Tidak usah berpura-pura, Kisanak! Bukankah kau ingin 

ke Hutan Bandan untuk mendapatkan benda langit itu?" 

sergah pemuda bertubuh pendek kekar itu sambil ter-

senyum sinis. 

Dewa Arak mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti 

maksud pembicaraan orang itu. 

Belum lagi Arya menjawab, si pendek kekar sudah 

melompat menyerang. Golok di tangannya disabetkan ke 

leher Dewa Arak. 

Tentu saja serangan orang yang berkepandaian seperti 

Jiwala tidak berarti apa-apa bagi Dewa Arak. Kalau dia


mau, hanya dengan menyalurkan sedikit tenaga dalamnya, 

serangan tadi tidak akan mampu melukai kulitnya. 

Tapi Dewa Arak tidak mau mempertunjukkan kelihaian-

nya. Kepalanya dimiringkan sedikit, sehingga serangan itu 

lewat di atas kepalanya. Ia tak ingin melancarkan serangan 

balasan. Arya tahu kalau belasan orang ini hanya salah 

paham. 

Jiwala kalap begitu melihat serangannya dapat digagal-

kan. Kini, golok di tangannya kembali menyambar semakin 

dahsyat. 

Lagi-lagi pemuda kekar ini menerima kenyataan pahit. 

Semua serangannya dapat dielakkan secara mudah oleh 

Dewa Arak. Hal ini membuat kemarahannya semakin 

meluap. Sambil menggertakkan gigi, diperhebat serangan-

serangannya. 

Dewa Arak mengernyitkan alisnya. Hatinya kesal melihat 

kenekatan lawan. Akhirnya Arya memutuskan untuk segera 

menyelesaikan pertarungan ini 

"Lepas...!" teriak Dewa Arak keras. Dengan kecepatan 

yang sukar diikuti mata, tangannya bergerak menotok ke 

arah sikut Jiwala. 

Tuk! 

"Akh....!" 

Murid kepala Ki Sancaperta ini memekik tertahan. 

Sekujur tangannya lumpuh seketika. Belum lagi dia sempat 

berbuat sesuatu, tahu-tahu golok di tangannya telah 

berada dalam genggaman Dewa Arak. 

Kini sadarlah Jiwala kalau pemuda di hadapannya me-

miliki kepandaian jauh di atasnya. Tanpa ragu-ragu lagi dia 

segera menoleh ke belakang sambil berseru keras. 

"Serang..!" 

Seketika itu juga para pengepung Dewa Arak segera 

menyabetkan senjatanya masing-masing. 

Dewa Arak mengernyitkan keningnya. Orang-orang ini 

benar-benar nekat! Mereka sama sekali tidak mau men-

dengar penjelasannya. Arya akhirnya memutuskan untuk 

menghindar. Pemuda berbaju ungu ini khawatir kalau


melawan dengan kekerasan hanya akan memperuncing 

keadaan. 

Dengan mengandalkan ilmu peringan tubuhnya yang 

sudah mencapai tingkat tinggi, Dewa Arak melenting ke 

atas, melewati kepala para pengeroyoknya. 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di luar 

kepungan. Dan secepat itu pula segera dilangkahkan 

kakinya meninggalkan tempat itu. 

Jiwala dan teman-temannya terpaku melihat lawan yang 

mereka serang sudah tidak berada di tempatnya lagi. 

Untuk sesaat mereka celingukan mencari-cari. 

"Itu dia...!" teriak Jiwala menunjuk ke arah Dewa Arak 

yang tengah melangkah memasuki desa. 

Mereka segera berbondong-bondong mengejar. Tentu 

saja Dewa Arak yang berjalan biasa, dalam waktu singkat 

sudah terkejar. Pemuda berambut putih keperakan ini 

kembali dikepung. 

"Jangan harap dapat memasuki Hutan Bandan sebelum 

melangkahi mayat kami, Kisanak!" seru Jiwala keras. 

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas panjang. "Harap 

kisanak semua mau mengerti penjelasanku. Sungguh, aku 

sama sekali tidak berniat menuju ke Hutan Bandan. 

Apalagi mencari apa yang kalian sebut benda langit itu." 

Jiwala mengernyitkan keningnya. Ucapan pemuda 

berambut putih keperakan ini mulai membuatnya sedikit 

percaya. 

"Lalu, apa maksudmu datang ke desa ini?" tanya Jiwala 

lagi. Nada suaranya mulai terdengar lunak. 

"Hanya kebetulan lewat," sahut Arya 

"Hanya itu saja?" desak Jiwala. Ada rasa tidak percaya 

pada nada suaranya. 

"Ya." jawab Arya singkat. 

Pemuda bertubuh pendek kekar itu mengangguk-

anggukkan kepalanya. 

"Kalau boleh kutahu, siapa namamu, Kisanak?" tanya 

pemuda pendek kekar itu lagi. "Aku Jiwala."


"Arya, Arya Buana." 

"Baiklah, Arya. Kami percaya bahwa kau tidak hendak 

menuju Hutan Bandan. Tapi ingat, kalau ternyata kau 

menuju ke sana, kami tidak akan segan-segan menindak-

mu!" tandas Jiwala tegas. 

Dewa Arak menghela napas lega. 

"Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan pada-

ku, Kakang Jiwala. Percayalah..., nama Hutan Bandan, 

mendengarnya pun baru kali ini. Itu pun dari mulutmu 

sendiri, Kang." 

"Aku percaya padamu, Arya. Kelihatannya kau berbeda 

dengan orang-orang persilatan yang pernah datang ke sini," 

jelas Jiwala. 

"Jadi, banyak orang yang datang kemari menanyakan 

masalah Hutan Bandan itu, Kang?" 

"Ya." sahut Jiwala sambil menganggukkan kepalanya. 

"Semua ini karena beredarnya berita yang tersebar luas di 

luaran." 

"Berita apa, Kang?" tanya Arya ingin tahu. 

“Berita yang mengatakan adanya sebuah benda ber-

sinar dari langit yang jatuh ke Hutan Bandan. Entah dari 

mana asal berita itu. Jelas berita itu telah membuat orang-

orang persilatan berbondong-bondong kemari mencarinya. 

Padahal Hutan Bandan bagi kami merupakan hutan 

larangan. Tidak seorang pun diperbolehkan menginjakkan 

kakinya ke sana. Kalau itu sampai terjadi, kamilah yang 

akan terkena akibatnya...," jelas Jiwala sambil mendesah. 

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiranya 

ia sudah bisa memperkirakan apa yang terjadi di desa ini. 

Kaum persilatan, lebih-lebih dari golongan hitam, rata-rata 

bersikap kasar. Hal ini sudah pasti akan menimbulkan 

kesulitan. Apalagi penduduk desa ini tidak mengijinkan 

orang memasuki Hutan Bandan. Bentrokan sudah pasti 

tidak bisa dihindari lagi. 

"Belum lama ini, tiga orang penduduk kami tewas 

karena tidak mau memberitahu orang yang menanyakan 

letak Hutan Bandan," sambung Jiwala lagi. “Untung


sebelum kedua orang itu memasuki Hutan Bandan, guru 

kami telah bertindak cepat, sehingga keduanya tewas 

sebelum memasuki Hutan Bandan." 

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Saat itu 

pandangan matanya yang tajam menangkap sosok di 

kejauhan bergerak mendekati tempat mereka. Gerakannya 

cukup cepat, sehingga tak lama kemudian sudah berada di 

dekat mereka. 

"Guru...!" Jiwala dan teman-temannya segera memberi 

hormat begitu mengenali orang yang baru datang itu. 

Arya menatap laki-laki bertubuh kekar dan bercambang 

bauk itu. Orang yang baru tiba adalah Ki Sancaperta, guru 

silat desa itu. 

Ki Sancaperta menatap lekat-lekat sekujur tubuh Dewa 

Arak. Keningnya berkernyit dalam. Jelas ada sesuatu yang 

dipikirkannya. 

"Ahhh...! Tidak salahkah penglihatanku?! Benarkah yang 

sekarang berada di hadapanku ini Dewa Arak?!" ujar Ki 

Sancaperta beberapa saat kemudian. 

Tentu saja ucapan Ki Sancaperta membuat murid-murid-

nya terperangah. Benarkah pemuda berambut putih 

keperakan yang mereka kepung ini adalah pendekar yang 

tersohor itu? 

"Ah...! Hanya julukan kosong saja, Ki," sahut Arya 

merendah. 

"Ha... ha... ha...!" guru silat itu tertawa bergelak. "Begitu-

lah jawaban orang yang telah memiliki kepandalan tinggi. 

Semakin berisi semakin merunduk!" 

Wajah Dewa Arak langsung memerah. Memang begitu 

sikap Arya. Ia merasa risih jika ada orang yang memujinya. 

"O ya, Dewa Arak. Bagaimana kalau kau singgah dulu di 

sini. Perlu kau ketahui sebentar lagi desa ini akan menjadi 

desa neraka. Puluhan orang persilatan akan datang 

kemari. Kami sangat mengharapkan bantuan darimu Dewa 

Arak!" 

"Saya akan berusaha, Ki," sahut Arya mendesah. 

"Ha... ha... ha...! Terima kasih atas kesediaanmu. Mari,


mari...!" ajak Ki Sancaperta seraya beranjak meninggalkan 

tempat itu diikuti Dewa Arak yang mengangguk setuju. 

"O ya, Jiwala! Teruskan penjagaan! Jangan biarkan orang 

luar masuk ke desa ini!" 

“Baik, Guru!" sahut Jiwala penuh semangat. Pikirannya 

masih terpaku pada apa yang baru saja di dengarnya. Sulit 

dipercaya bila pemuda yang tadi diserangnya adalah Dewa 

Arak. Sungguh luar biasa pengalaman yang didapatnya hari 

ini. Bertarung dengan tokoh yang sangat tersohor, Dewa 

Arak! 

*** 

Tiga sosok tubuh melangkah pelahan merambah hutan. 

Potongan tubuh mereka rata-rata kekar dan tegap. Wajah 

ketiganya pun mirip satu sama lain. Dunia persilatan men-

juluki mereka Tiga Memedi Putih. Yang membedakan 

mereka satu sama lain adalah ciri-ciri khas mereka. Mata 

mereka memandang liar ke sana kemari. 

"O ya, Kang Narda. Benarkah berita yang Kakang dengar 

itu? Benarkah benda langit jatuh di hutan ini?" tanya salah 

seorang dari mereka yang beralis putih. Memedi Alis putih, 

julukannya. 

Orang yang dipanggil Narda menoleh. Berbeda dengan 

orang yang menegurnya Narda memiliki jenggot putih, 

sehingga diberi julukan Memedi Jenggot Putih. 

"Berita itu sudah demikian meluasnya, Adi. Hampir 

semua orang persilatan tahu. Bahkan…., asal tahu saja, 

aku bukan hanya mendengar berita itu... tapi juga melihat 

dengan mata kepalaku sendiri." 

"Benarkah yang kau katakan itu, Kang Narda?" tanya 

Memedi Kumis putih. Orang ini disebut demikian karena 

memiliki kumis putih. 

"Sungguh! Sekarang pasang mata kalian lebar-lebar. Aku 

khawatir kita keduluan orang lain. Kalian tahu, bukan 

hanya kita bertiga saja yang menginginkan benda langit 

itu!"


Mendengar ucapan Memedi Jenggot Putih, semangat 

dua orang rekannya bangkit kembali. Mata mereka 

semakin liar merayapi setiap sudut Hutan Bandan. 

Srak..! 

Memedi Kumis Putih menyibakkan semak-semak di 

depannya. Tapi begitu semak-semak itu terkuak secepat 

kilat tubuhnya melenting ke belakang. Sebuah jeritan 

tertahan keluar dan mulutnya. 

Jeritan Memedi Kumis Putih mengejutkan kedua orang 

rekannya. Serentak keduanya berpaling dengan sikap 

waspada. Sebelum mereka sempat bertanya, tahu-tahu 

dari balik semak-semak itu melesat sesosok bayangan 

putih yang luar biasa besarnya. Bayangan itu langsung 

melesat ke arah Memedi Kumis Putih. 

"Aummm...!" 

Memedi Kumis Putin terperanjat kaget. Kejadian itu 

berlangsung begitu cepat. Buru-buru dia melompat ke 

samping. Tubuhnya berguling-guling menjauhi binatang itu. 

Sesaat kemudian Ia sudah berdiri dengan sebuah ganco 

tergenggam di tangannya. 

Memedi Jenggot Putih dan Memedi Alis Putih kaget 

bukan kepalang. Di hadapan mereka kini telah berdiri 

seekor macan berwarna putih yang sangat besar. 

"Macan putih...," desis Tiga Memedi Putih serentak. 

Pandang mata mereka seakan-akan tidak mempercayai 

apa yang dilihatnya. Mereka segera teringat kalau macan 

putih di hadapan mereka ini bukan tergolong macan putih 

biasa. Tapi macan ajaib! 

Sudah menjadi rahasia umum kalau macan putih ajaib 

memiliki banyak kegunaan. Darahnya dapat menyembuh-

kan segala macam penyakit akibat keracunan. Bahkan 

apabila diminum akan membuat orang kebal terhadap 

segala jenis racun. Racun apa pun yang masuk ke dalam 

tubuhnya langsung menjadi tawar. Bukan hanya itu, tulang-

tulangnya dapat dijadikan senjata pusaka. Kulitnya apabila 

dijadikan pakaian akan membuat pemakainya kebal ter-

hadap jenis senjata apa pun!


"Gagal mendapat benda langit, aku pun tidak 

penasaran... asalkan dapat menangkap binatang ini." 

gumam Memedi Alis Putih pelan. 

Kedua rekannya menganggukkan kepala pertanda 

setuju. 

Macan putih tidak membiarkan ketiga orang di hadapan-

nya berpikir lebih lama lagi. Dengan sebuah auman 

dahsyat, binatang itu menerkam Memedi Alis Putih yang 

berada sendirian, terpisah dari rekan-rekannya. 

Tapi si alis putih ini rupanya sudah bersiaga sebelum-

nya. Begitu macan itu melompat, segera tubuhnya dilempar 

ke belakang sambil menyabetkan ganconya. 

Takkk...! 

Telak dan keras sekali senjatanya menghantam kepala 

macan itu. Tapi akhirnya, justru tangannya tergetar hebat 

Sementara macan itu tampak tidak terpengaruh sama 

sekali. 

Kedua rekannya tidak membiarkan Memedi Alis Putih 

menghadapi binatang itu sendirian. Mereka segera ber-

gerak membantu. Tak lama kemudian terjadilah sebuah 

pertarungan yang unik. Pertarungan antara seekor macan 

dengan tiga orang manusia. 

Tiga Memedi Putih mengeluh dalam hati. Mereka sama 

sekali tidak menyangka kalau macan putih itu begitu 

tangguh. Berkall-kali pukulan, tendangan atau pun sabetan 

ganco menghantamnya. Tapi semua itu seolah-olah tidak 

dirasakannya. 

Sebaliknya, setiap cakaran, tubrukan, maupun 

tamparan sang macan, membuat mereka pontang-panting 

mengelakkannya. 

"Aummm...!" 

Untuk kesekian kalinya sambil mengeluarkan auman 

menggetarkan dada, macan putih menerkam Memedi 

Kumis Putih. 

"Aaakh...!" 

Memedi Kumis Putih menjerit melengking. Terkaman 

sang macan tak dapat dielakkannya. Tubuhnya langsung


terjengkang. Kini sang macan berada di atas tubuhnya. 

Meskipun kedua bahunya telah robek, tapi laki-laki ber-

kumis putih itu tidak mau menyerah begitu saja. Dengan 

sekuat tenaga, ditahannya leher macan yang berusaha 

menggigit lehernya 

Dua orang rekannya tidak tinggal diam. Mereka segera 

melesat menghampiri kawannya. Tapi terlambat...! 

"Aaakh...!" 

Memedi Kumis Putih menjerit memilukan tatkala gigi-

gigi sang macan mengoyak lehernya. Sesaat tubuhnya 

menggelepar, kemudian diam tidak bergerak lagi. 

Memedi Alis Putih dan Memedi Jenggot Putih terpaku 

melihat kematian temannya. Dan di saat itulah macan 

putih kembali menerkam. Kaki kanan depannya berhasil 

mencakar muka Memedi Alis Putih. 

Prattt.! 

"Akh...!" 

Memedi Alis Putih memekik tertahan. Tubuhnya 

terjungkal dengan leher patah. Nyawanya telah melayang 

menyusul rekannya. 

Kini tinggal Memedi Jenggot Putih. Tidak mungkin 

baginya menghadapi macan yang luar biasa ini. Kali ini ia 

berusaha mencari kesempatan untuk melarikan diri. 

Ketika sang macan lengah, tanpa malu-malu lagi 

Memedi Jenggot Putih melesat kabur. Tapi sang macan 

tidak membiarkan lawannya lolos begitu saja. Sambil 

mengeluarkan auman yang mendirikan bulu roma, 

binatang itu menerkam Memedi Jenggot Putih. 

"Akh...!" 

Memedi Jenggot Putih memekik tertahan ketika 

punggungnya ditubruk macan putih. Tubuhnya langsung 

jatuh terguling-guling. Dan sebelum dia sempat berbuat 

sesuatu, gigi-gigi sang macan telah bersarang di tengkuk-

nya. 

Tubuh Memedi Jenggot Putih menggelepar-gelepar 

sesaat. Tak lama kemudian tubuhnya terkulai tak bergerak 

lagi.


Setelah melihat ketiga korbannya tewas, macan itu 

mengeluarkan suara gerengan pelan. Sepertinya dia 

merasa puas atas kemenangannya. Kemudian macan itu 

mengelilingi mayat-mayat korbannya. 

Di saat itulah, tiba-tiba muncul seorang nenek ber-

pakaian dan berkerudung hitam menghampiri sang macan. 

Kulit wajahnya tampak kehitaman. Sepasang mata, hidung 

dan mulutnya mengingatkan orang akan raut muka burung 

elang. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat ber-

keluk yang berujung ukiran kepala burung elang berwarna 

hitam. 

“Bagus...! Kau memang hebat, Putih! Ingat...! Bukan 

hanya mereka saja yang harus kau bunuh. Tapi juga setiap 

orang yang berani memasuki hutan ini. Mengerti, Putih?" 

Macan putih itu hanya menggereng pelan pertanda 

mengerti. 

"Bagus...!" puji si nenek itu lagi. "Nanti malam, kau dapat 

pekerjaan baru. Hukum penduduk Desa Bandan yang telah 

membiarkan orang-orang ini masuk kemari!" 

Kembali macan putih itu menggereng pelan. 

"Hik... hik... hik...!" si nenek berpakaian serba hitam itu 

tertawa mengikik seraya berlalu meninggalkan tempat itu. 

Macan putih mengikutinya sambil mengaum pelan. 

***


TIGA


"Auuung...!" 

Lolongan anjing hutan mengaung panjang. Suaranya 

menembus kesunyian malam yang menyelimuti Desa 

Bandan. Malam itu suasananya memang agak berbeda 

dari biasanya Langit tertutup awan tebal, sehingga cahaya 

bulan terhalang sinarnya. 

Di balik kegelapan malam itu, tampak sesosok 

bayangan putih dari Hutan Bandan bergerak cepat 

memasuki desa. Gerakannya gesit sekali. Sesekali ter-

dengar suara gerengan lirih mengiringi gerakannya. 

Tak lama kemudian, bayangan itu sudah tiba di daerah 

pemukiman penduduk. Keadaan di sini tidak segelap 

keadaan di sekitarnya. Cahaya obor yang terpancang di 

setiap rumah penduduk, cukup menerangi suasana di 

sekelilingnya. 

Sosok bayangan putih mulai memperlambat gerakan-

nya. Kini langkahnya ditujukan pada salah satu rumah 

penduduk. Di bawah penerangan obor, kini tampak jelas 

ujud sebenarnya. Sosok bayangan putih itu tak lain adalah 

seekor macan putih! 

Tubuh macan itu besar sekali. Jauh lebih besar dari 

macan biasa. Paling tidak satu setengah kali besar macan 

biasa! 

Sambil mengeluarkan gerengan lirih binatang itu 

menubruk pintu sebuah rumah yang berdinding bilik. 

Brakkk...! 

Pintu rumah itu langsung jebol ketika tubuh macan itu 

menerjang masuk. Suara ribut-ribut membuat penghuni 

rumah yang terdiri dari sepasang suami istri dan seorang 

anak yang masih kecil terbangun. Dapat dibayangkan 

betapa kagetnya mereka tatkala melihat seekor macan 

putih besar berada di dalam rumahnya. 

"Cepat kalian lari...!" teriak sang kepala keluarga sambil


menyambar golok yang tergantung di dinding bilik. 

Kemudian dengan penuh keberanian, diterjangnya macan 

itu dengan golok terhunus. Dorongan semangat untuk 

menyelamatkan keluarganya, telah membangkitkan 

keberaniannya. Tapi….. 

"Aaakh...!" 

Kepala keluarga yang naas itu menjerit keras. Sebelum 

senjatanya mengenai sasaran, macan itu lebih dahulu 

menerkamnya. Seketika itu juga tubuhnya terjengkang ke 

belakang dan jatuh ke lantai dengan tubuh binatang buas 

itu berada di atasnya. 

Suara berdebuk nyaring terdengar ketika tubuhnya jatuh 

di lantai. Sementara itu, istri dan anaknya hanya dapat 

duduk bersimpuh di lantai. Perbuatan macan putih itu, 

membuat lutut mereka lemas. Jangankan lari, berdiri pun 

tidak mampu. Lidah kedua anak beranak ini terasa kelu. 

"Aummm...!" 

"Akh...!" 

Pemilik rumah itu memekik nyaring ketika gigi-gigi dan 

kuku macan itu bersarang di leher dan tubuhnya. Sesaat 

tubuhnya berkelojotan sebelum akhirnya diam tak bergerak 

lagi. 

Setelah melihat kematian suaminya yang tragis, akhir-

nya sang istri mampu juga berteriak. 

"Tolooong...! Tolooong...!" teriak perempuan itu nyaring 

memecah kesunyian malam. 

"Aummm...!" 

Macan itu kembali menerkam. Kali ini ke arah sang Istri! 

"Aaakh...!" 

Wanita itu memekik tertahan ketika gigi-gigi macan itu 

menghunjam lehernya. Hanya sebentar tubuhnya meng-

gelepar-gelepar, lalu diam untuk selamanya. 

"Ibu..., Bapak...," rintih sang anak antara perasaan sedih 

dan takut. Air matanya mengalir deras membasahi pipi. 

"Grrrh...!" 

Sang macan kembali menggeram. Ditubruknya gadis 

kecil itu. Tapi berbeda dengan nasib kedua orang tuanya.



Anak itu tidak dicabik-cabik, melainkan dibawanya kabur 

melesat menuju Hutan Bandan. 

*** 

Keesokan harinya para penduduk yang tinggal di sekitar 

rumah korban, berbondong-bondong datang ke rumah 

keluarga yang naas itu. 

Sesungguhnya mereka mendengar suara minta tolong 

dari sang istri. Tapi mereka pura-pura tidak mendengar. 

Mereka tidak berani mempertaruhkan nyawa, melawan 

Macan Putih Hutan Bandan yang terkenal kebal senjata itu. 

Kegemparan melanda seisi Desa Bandan ketika 

warganya menemukan tubuh korban yang tercerai-berai 

mengerikan. 

"Ahhh... Macan putih itu mulai mengambil korban...," 

desah salah seorang penduduk. 

"Ya. Sekarang giliran Pak Jalanta sekeluarga. Entah 

giliran siapa lagi nanti," sambung seorang laki-laki 

setengah baya berjenggot tebat. 

Ucapan laki-laki itu membuat wajah-wajah penduduk 

lainnya pucat. Mereka ngeri membayangkan seandainya 

macan putih itu menyatroni rumah mereka. 

"Eh..., ke mana mayat Karsini? Apakah dia berhasil 

melarikan diri?" tanya salah seorang penduduk begitu 

teringat pada anak perempuan Pak Jalanta. 

"Eh..., iya. Ke mana Karsini, ya?" sambut yang lainnya. 

"Kalian ini bodoh atau pikun!" sergah laki-laki berjenggot 

itu. "Mana mungkin anak sekecil itu dapat lolos dari maut!" 

"Lalu, kalau begitu di mana mayatnya?" tanya orang 

yang pertama kali teringat Karsini. Nada suaranya 

menyiratkan perasaan tidak senang. 

“Apalagi kalau bukan dibawa macan itu! Yahhh…, 

nasibnya pasti serupa dengan remaja-remaja kita yang 

dikorbankan pada setiap malam bulan purnama." sahut 

laki-laki yang berjenggot lebat. Ada kesedihan yang dalam 

pada tekanan suaranya.


Kepala orang orang yang hadir di situ terangguk-angguk. 

Ucapan laki-laki berjenggot lebat itu memang masuk akal. 

Tiba-tiba kerumunan orang-orang itu tersibak. Ki Gayan 

muncul diiringi Ki Sancaperta. Di belakangnya tampak 

Dewa Arak melangkah pelahan. 

"Minggir semua..!" teriak Gempal keras. Seketika itu juga 

kerumunan buyar, memberikan jalan kepada tetua desa-

nya. 

"Ahhh..! Apa yang selama ini kukhawatirkan, akhirnya 

menjadi kenyataan..." desah Ki Gayan manakala melihat 

mayat Pak Jalanta dan istrinya. Ada nada keprihatinan 

pada suaranya. 

"Yahhh.., macan putih itu mulai meminta korban!" 

sambung Ki Sancaperta. Nada suaranya menampakkan 

kemarahan. 

Ki Gayan berpaling menatap sang guru silat. Sorot mata-

nya mengandung teguran. Tapi Ki Sancaperta yang telah 

diamuk amarah tidak mempedulikannya. Sedangkan Dewa 

Arak memperhatikan kedua mayat di depannya sambil 

mendengarkan percakapan kedua tokoh Desa Bandan itu. 

Rupanya ada pertentangan pendapat di antara keduanya. 

"Sejak dulu sebenarnya aku tidak setuju dengan per-

mintaan kakek itu, Gayan. Toh, apa yang kita khawatirkan 

akhirnya terjadi juga." Ki Sancaperta menegur kepala desa 

itu. 

"Hhh…,!" Ki Gayan menghela napas. "Apa daya kita, 

Sanca? Kurasa orang tua itu bermaksud baik. Dia ingin 

agar desa kita terhindar dari bencana yang lebih besar. 

Kalau kita tidak turuti permintaannya, peristiwa seperti ini 

sudah terjadi sejak lama!" 

"Sekarang atau dulu sama saja!" sergah Ki Sancaperta 

keras. "Bukankah kita tidak pernah lalai memberikan apa 

yang dimintanya, tapi kenyataannya? Tetap saja dia mem-

bantai warga kita!" 

"Mungkin permintaan kedua yang tidak bisa kita 

penuhi," bantah sang kepala desa dengan nada halus 

"Kalau begitu, berarti dia benar-benar tidak punya



pikiran!" teriak guru silat itu dengan nada tinggi. 

"Bagaimana mungkin kita dapat menahan orang-orang 

persilatan yang begitu banyak?!" 

"Jadi, menurutmu bagaimana, Sanca?" 

Ki Sancaperta menghela napas panjang. 

"Kalau menurutku, keadaan sudah telanjur. Macan itu 

telah mengganas. Dugaanku, tindakan macan itu tidak 

sampai di sini saja." duga guru silat itu. 

“Mudah-mudahan saja dugaanmu salah, Ki," ucap Ki 

Gayan. Tapi dari nada suaranya, Ki Sancaperta tahu kalau 

kepala desa itu tak yakin pada ucapannya sendiri. 

"Hhh...!" Ki Sancaperta menghela napas panjang. 

"Sudahlah, Gayan. Tidak pedu kita ributkan masalah ini. 

Yang penting, kita urus mayat-mayat ini lebih dahulu" 

*** 

"Kami ingin bicara denganmu sebentar, Dewa Arak," 

ucap Ki Sancaperta. Malam ini mereka bertiga berkumpul 

di sebuah ruang yang cukup luas. 

"Silakan, Ki." sahut Arya mempersilakan. 

Ki Sancaperta mendehem sebentar kemudian memulai 

ucapannya. 

"Begini, Dewa Arak. Puluhan tahun yang lalu desa ini 

pernah dilanda musibah. Puluhan perampok menyerbu 

desa ini. Untungnya muncul seorang kakek sakti bersama 

seekor macan putih. Para perampok itu dengan mudah 

dapat diusirnya. Tapi sebelum kami sempat berterima 

kasih, kakek itu bersama macan peliharaannya telah 

melesat masuk ke dalam Hutan Bandan." 

Guru silat itu menghentikan sebentar ceritanya. Ditatap-

nya wajah Arya untuk melihat reaksinya. Hatinya agak lega 

manakala dilihatnya Dewa Arak serius mendengarkan 

ceritanya. 

"Sekitar beberapa tahun yang lalu, kakek itu muncul 

kembali menemui kami. Dia meminta kami menyediakan 

seorang anak lelaki atau perempuan pada setiap bulan


purnama. Mereka harus ditinggalkan di Hutan Bandan 

sendirian. Bukan itu saja, dia pun melarang kami 

memasuki hutan itu. Pokoknya Hutan Bandan dijadikan 

daerah terlarang." 

"Mengapa begitu, Ki?" tanya Arya. Kening pemuda ini 

berkernyit. Jelas ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. 

Ki Sancaperta menarik napas panjang, lalu melanjutkan 

ceritanya. 

"Kami pun tidak tahu. Orang tua itu hanya mengatakan 

kalau kami melanggar larangannya, musibah akan 

menimpa desa ini. Jadi, yahhh..., dengan amat terpaksa 

kami menuruti permintaannya," jawab guru silat itu. 

"Ada sesuatu yang membuatku heran, Dewa Arak," selak 

Ki Gayan begitu Ki Sancaperta menghentikan ceritanya. 

"Apa itu, Ki?" tanya Arya cepat Rasa keingintahuan yang 

besar nampak jelas pada raut wajahnya. 

"Kakek itu kelihatannya terpaksa ketika mengajukan 

permintaannya," sahut kepala desa itu menjelaskan. 

Dewa Arak mengernyitkan keningnya. 

"Maksud, Aki?" tanya permuda berambut putih 

keperakan itu lagi. Sinar matanya menyorotkan ketidak-

mengertian. 

Ki Gayan menghela napas panjang. 

"Sepertinya…, kakek itu melakukannya dengan ter-

paksa," jawab Kepala Desa Bandan ini pelan. 

"Jadi, ada sesuatu yang memaksanya?" terka Arya mulai 

paham. 

"Kira-kira begitulah, Dewa Arak." jawab Ki Gayan seraya 

menganggukkan kepalanya. 

Dewa Arak mengernyitkan keningnya. Nampak kalau 

pemuda berbaju ungu ini tengah berpikir keras. 

"Dan kini malapetaka itu telah terjadi!" tukas Ki 

Sancaperta tiba-tiba. 

Arya menoleh. Ditatapnya wajah guru silat itu lekat-lekat, 

ia masih belum mengerti ucapan Ki Sancaperta. 

"Macan putih itu telah membuat teror di Desa Bandan!" 

"Mengapa begitu, Ki? Apakah permintaan kakek itu


tidak dipenuhi?" 

"Permintaan mengenai anak yang harus diantarkan ke 

Hutan Bandan selalu kami penuhi. Tapi, permintaan untuk 

tidak membiarkan seorang pun masuk ke Hutan Bandan, 

tidak dapat kami penuhi. Kurasa kau bisa memahaminya. 

Dewa Arak," jelas Ki Gayan. 

Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia 

mengerti persoalan yang tengah dihadapi penduduk Desa 

Bandan. Rupanya berita tentang adanya benda langit, 

membuat orang-orang persilatan berdatangan kemari. 

Mana mungkin penduduk desa ini mampu mencegah 

mereka memasuki Hutan Bandan? 

"Kalau boleh kutahu, buat apa kakek itu meminta 

seorang anak pada setiap malam bulan purnama?" tanya 

Arya penasaran. 

Kedua orang tetua Desa Bandan itu menggeleng 

pelahan. 

"Kami pun tidak pernah tahu." keluh Ki Gayan pelan. 

"Tapi yang jelas, setiap anak yang kami kirimkan, tidak 

pernah kembali lagi." 

Dewa Arak terdiam sejenak. 

"Apakah Aki berdua mengijinkan kalau aku mencoba 

menyelidiki masalah ini?" tanya Arya hati-hati. 

"Maksudmu?" Ki Gayan balas bertanya. Meskipun ia 

sudah dapat menduga maksud pembicaraan Arya, tapi 

kepala desa ini ingin mengetahui lebih jelas. 

"Aku akan ke Hutan Bandan, Ki." 

"Apa?!" sentak Ki Gayan keras. "Kau ingin menimbulkan 

korban penduduk lebih banyak lagi?! Tidak! Aku tidak 

mengijinkan kau ke sana!" 

Arya menghela napas panjang. Jawaban seperti itu 

sudah diduga sebelumnya. 

"Biarkan dia pergi ke sana, Gayan," ujar Ki Sancaperta 

mendukung usul Dewa Arak. 

"Tidak!" tegas Ki Gayan tetap bersikeras. "Aku tidak mau 

ada wargaku menjadi korban lagi!" 

"Percuma! Musibah ini telah telanjur terjadi. Aku yakin,


macan putih itu tidak akan berhenti mencari korban. Tidak 

ada gunanya lagi kita turuti perjanjian itu!" 

"Jadi, kau...?" 

"Ya!" potong Ki Sancaperta cepat-cepat. "Aku setuju usul 

Dewa Arak!" 

"Hhh...! Kau sudah bermain api, Sanca!" keluh Ki Gayan. 

"Apa boleh buat, Gayan. Api itu telah mulai membakar. 

Agar api itu tidak semakin membesar, maka kita harus 

memadamkannya. Dengan atau tanpa kau, aku akan 

menentang kakek dan macan putih itu!" tegas guru silat 

itu. Nada suaranya mulai meninggi. 

Ki Gayan tercenung. Diserapinya semua perkataan yang 

keluar dari mulut sahabatnya ini. Diakuinya, ada kebenaran 

yang terkandung dalam ucapan itu. 

"Bagaimana, Gayan? Kau tetap tidak setuju dengan 

rencana ini?" tanya Ki Sancaperta lagi. Ia masih melihat 

adanya keraguan di wajah sang kepala desa. 

Beberapa saat lamanya, orang nomor satu di Desa 

Bandan ini termenung. Akhirnya kepalanya mengangguk 

pelahan. Sudah barang tentu hal ini membuat Dewa Arak 

dan Ki Sancaperta lega. 

Laki-laki gagah bercambang bauk lebat itu menghampiri 

Ki Gayan. Ditepuk-tepuknya bahu sahabatnya itu. 

"Aku percaya kau pasti menyetujui usulku Gayan." ucap 

Ki Sancaperta dengan wajah berseri-seri. 

"Tapi, aku masih sangsi, apakah usaha kita ini akan 

berhasil?" keluh kepala desa itu pelahan. 

"Berhasil atau tidaknya usaha ini, kita serahkan saja 

pada Yang Maha Kuasa. Yang penting, kita berusaha 

dengan sekuat tenaga. Bukankah begitu, Dewa Arak?" 

tanya guru silat itu sambil menoleh ke arah Dewa Arak. 

"Tepat sekali, Ki!" sahut Arya cepat. 

***


EMPAT


Malam kembali menyelimuti bumi. Langit tak berawan. 

Sehingga cahaya bulan mampu menerangi persada. 

Di bawah keremangan sinar bulan itu, melesat 

bayangan putih besar kekar dari Hutan Bandan. Bayangan 

itu tak lain adalah seekor macan putih. 

Macan itu melesat cepat menuju pemukiman penduduk. 

Begitu cepat gerakannya sehingga yang terlihat hanyalah 

sekelebatan bayangan putih. 

Tapi sebelum macan putih itu memasuki salah satu 

rumah penduduk, berkelebat dua bayangan menghadang 

di depannya 

Kedua penghadang itu adalah Ki Sancaperta dan Ki 

Gayan. Dengan sikap waspada, kedua tetua Desa Bandan 

ini berdiri di hadapan macan putih itu. 

"Graunggg...!" 

Macan putih itu menggerung keras, seolah-olah tahu 

kalau kedua orang ini bermaksud menentangnya. Lalu, 

dengan sebuah gerakan cepat yang tidak terduga-duga, 

binatang itu melompat menerkam. 

"Awas, Gayan...!" tedak Ki Sancaperta seraya melempar 

tubuhnya ke samping, sambil bergulingan menjauh. 

Meskipun kepandaiannya tidak setinggi Ki Sancaperta, 

tapi dengan sebuah lompatan manis, Ki Gayan berhasil 

mengelakkan terkaman harimau itu. 

"Auuum...!" 

Macan itu menggeram ketika menyadari terkamannya 

menemui kegagalan. Binatang itu kebingungan ketika 

melihat mangsanya berpencar. Ki Gayan ke sebelah kanan, 

sedangkan sahabatnya ke sebelah kiri. 

"Graunggg...!" 

Sambil mengeluarkan raungan keras, macan itu kembali


bersuara. Jaraknya sekitar delapan tombak dari sang 

macan. 

Wajah Ki Sancaperta langsung berseri ketika mengenali 

wajah sang penolong. 

"Terima kasih, Dewa Arak. Untung kau tidak terlambat,” 

ucap Ki Sancaperta pelan. Wajah guru silat itu masih 

kelihatan pucat. Perasaan kaget belum hilang seluruhnya. 

Sang penolong yang ternyata memang Arya Buana alias 

Dewa Arak itu, segera menurunkan tubuh Ki Sancaperta 

dari pondongannya. 

Begitu tubuhnya telah berada di tanah kembali, guru 

silat itu segera menotok jalan darah di sekitar lukanya 

untuk menghentikan cucuran darah di bahunya. Setelah itu 

dikeluarkannya sebuah obat bubuk dari selipan ikat 

pinggangnya, dan ditaburkannya pada luka-lukanya. Ki 

Gayan datang menghampiri, dan dibantunya laki-laki 

brewok itu mengobati lukanya. 

Sementara itu, Dewa Arak dengan sikap waspada 

melangkah mendekati macan putih. Dia tidak berani 

bersikap gegabah setelah mendengar kesaktian binatang 

ini. Dijumputnya guci yang tersampir di punggungnya, dan 

diangkatnya ke atas kepala. Lalu di tenggaknya. 

Gluk…gluk…gluk…! 

"Auuum...!" 

Sambil mengeluarkan auman keras, macan itu 

menerkam Dewa Arak. Bukan main cepatnya gerakan 

binatang itu. Tapi gerakan Dewa Arak masih lebih cepat 

lagi. Dengan langkah terhuyung-huyung langkah khas jurus 

'Delapan Langkah Belalang', dielakkannya terkaman sang 

macan. 

Sesaat kemudian tubuhnya sudah berada di belakang 

macan yang masih berada di udara. Dengan kecepatan 

gerakan tangan yang luar biasa, ditangkapnya ekor macan 

itu. 

Tappp...! 

Dengan sebelah tangannya. Arya segera memutar-

mutarkan tubuh binatang itu.


"Auuummm...!" 

Macan putih itu mengaum keras. Suara auman yang 

timbul karena perasaan marah bercampur takut. 

Wuuukkk...! Wuuukkk...! 

Semakin lama putaran tangan Arya semakin cepat. 

Sehingga membuat macan putih itu menjadi pusing. 

Cukup lama juga Dewa Arak memutar-mutarkan tubuh 

macan itu. Dan setelah dirasanya cukup, genggaman pada 

ekor macan itu dilepaskan. 

Wuuukkk...! 

Tubuh macan itu melesat jauh akibat kuatnya tenaga 

putaran tangan Dewa Arak! 

Brakkk...! 

Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa 

tumbang dilanda tubuh macan putih itu. Tapi binatang itu 

sendiri tidak apa-apa. Tidak tampak tanda-tanda luka di 

sekujur tubuhnya. 

Ki Gayan dan Ki Sancaperta memandang takjub pada 

Dewa Arak. Begitu mudahnya pemuda ini mempecundangi 

binatang luar biasa itu. Perasaan takjub mereka semakin 

bertambah tatkala melihat daya tahan macan putih itu. 

*** 

Macan itu kembali bangkit, tapi ketika hendak 

menerkam Dewa Arak, terjadi sesuatu yang menggelikan. 

Lari binatang itu sempoyongan. Miring ke kanan dan ke 

kiri. Ternyata perbuatan Dewa Arak berpengaruh juga dan 

membuat kepalanya pusing 

"Auuummm...!" 

Sambil mengeluarkan auman keras, macan itu 

melompat ke arah orang yang telah menyakiti dirinya. 

Dewa Arak bersikap tenang. Dengan jurus 'Delapan 

Langkah Belalang’, kakinya melangkah terhuyung-huyung 

mengelak. Terkaman macan itu mengenai tempat kosong. 

Pada saat yang bersamaan, Dewa Arak mengirimkan 

sebuah pukulan ke arah perut binatang itu.


Bukkk...! 

"Eh...?!" 

Dewa Arak terperanjat kaget. Tangannya seperti meng-

hantam sebuah benda empuk! Tenaganya seolah-olah 

lenyap begitu tangannya mengenai tubuh binatang itu. 

Meskipun ia hanya mengeluarkan separuh tenaga 

dalamnya, tapi pukulan itu mampu membuat mati seekor 

banteng yang paling kuat sekalipun! 

Belum lagi Arya sadar dari keterkejutannya, binatang itu 

telah menyerangnya kembali. Kedua kaki depannya 

mengarah ke pelipis. 

Wuk...! 

Dewa Arak mendoyongkan tubuhnya ke belakang, 

sehingga serangan itu mengenai tempat kosong. 

Bersamaan dengan itu, dilancarkannya sebuah pukulan ke 

leher binatang itu. 

Bukkk...! 

Tubuh macan putih itu terlontar akibat kuatnya pukulan 

yang dilancarkan Arya. Kali ini Dewa Arak mengerahkan 

tiga perempat dari tenaga dalamnya. 

"Graunggg...! 

Macan putih itu menggeram murka melihat serangannya 

selalu gagal. Malah sebaliknya, dirinya dibuat pontang-

panting. 

"Auuummm...!" 

Tanpa kenal menyerah, macan putih itu kembali 

menerkam Dewa Arak. Melihat hal itu, kesabaran Arya pun 

habis. Macan nekat itu harus diberi pelajaran yang lebih 

keras lagi. Kalau tidak, binatang itu tidak akan pernah jera! 

"Hup...!" 

Dewa Arak segera merendahkan tubuhnya, sehingga 

terkaman macan itu lewat di atas kepalanya. Di saat itulah, 

kedua tangannya yang mengepal dipukulkan ke perut 

binatang itu. Kali ini Arya mengerahkan seluruh tenaga 

dalamnya. 

Bukkk....! 

Tubuh macan putih itu tedontar di udara. Terdengar


gereng kesakitan dari mulutnya. Rupanya pukulan Arya kali 

ini baru terasa olehnya. Binatang itu kali ini tidak lagi 

bangkit menyerang. 

"Luar biasa...!" puji Dewa Arak sambil menggeleng-

gelengkan kepalanya. Macan putih itu sepertinya tidak 

mengalami luka yang berarti ketika menerima serangan 

yang dilancarkannya. Binatang itu hanya nampak sedikit 

kesakitan. 

Dewa Arak jadi bingung. Ia tak tahu lagi cara 

menaklukkan binatang yang luar biasa ini. Haruskah di 

gunakan jurus 'Pukulan Belalang'? Jurus yang jarang 

digunakannya! 

Dewa Arak jadi terkesiap ketika dilihatnya macan putih 

itu mulai bangkit. Pemuda berambut putih keperakan ini 

sudah bersiap-siap menghadapinya. Tapi tampaknya 

binatang itu sudah jera. Terbukti dia tidak menyerang 

kembali, melainkan berlari cepat ke arah Hutan Bandan. 

Dewa Arak, Ki Sancaperta dan Ki Gayan memandangi 

kepergian macan putih itu hingga lenyap di kegelapan 

malam. Di wajah mereka masih tersirat kekaguman yang 

amat sangat. 

*** 

"Mengapa tidak dibunuh saja binatang itu, Dewa Arak?" 

tanya Ki Gayan. Nada suaranya terdengar tidak puas. 

Arya menatap wajah Kepala Desa Bandan ini lekat-lekat. 

"Bagaimana cara membunuh macan yang luar biasa itu, 

Ki?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu. 

Suaranya pelan tapi cukup membuat wajah Ki Gayan 

merona merah. 

"Memang sebenarnya kita tidak tega membunuh 

binatang itu. Biar bagaimana pun juga ia dan pemiliknya 

pernah menyelamatkan desa kita dari kehancuran," ucap 

kepala desa itu lagi, memperbaiki ucapannya. 

Ki Sancaperta menatap tajam wajah Ki Gayan. Tampak 

jelas nada teguran terpancar dari sorot matanya.



"Aku tidak setuju dengan ucapanmu itu. Gayan!" tandas 

guru silat itu. Tajam dan tegas suaranya, "Menurutku, 

hutang budi kita telah impas. Bukankah kita telah puluhan 

kali mengantarkan remaja-remaja kita ke dalam hutan 

untuk dijadikan korban? Hutang budi itu telah kita balas! 

Sekarang kita harus menentangnya apabila binatang 

terkutuk itu kembali mengambil korban!" 

Ki Gayan terdiam. Suasana seketika menjadi hening dan 

tidak mengenakkan. 

"Kalau menurut pendapatku, ada sesuatu yang aneh 

dalam peristiwa ini, Ki," ucap Arya memecahkan 

keheningan. 

"Hm..., apa maksudmu?" tanya Ki Sancaperta cepat. 

Sepasang matanya menatap penuh rasa ingin tahu. 

"Aku baru teringat ucapan Ki Gayan beberapa hari yang 

lalu." 

Pernyataan Arya itu membuat Kepala Desa Bandan itu 

terkejut. Dahinya berkernyit. Kelihatannya ia tengah ber-

pikir keras. 

"Ucapanku?" tanya Ki Gayan. "Ucapanku yang mana?" 

"Ucapanmu tentang sikap kakek penyelamat ketika 

mengajukan permintaannya," sahut Arya menjelaskan. 

"Aku masih belum mengerti maksudmu." 

Arya menarik napas panjang. 

"Kau pernah bilang kalau kakek itu sepertinya tidak 

menyukai permintaan yang diajukannya sendiri." jelas 

pemuda berambut putih keperakan itu lebih jauh. 

"Hm.... lalu? Apa yang janggal, Dewa Arak?" tanya Ki 

Sancaperta masih belum paham. Otaknya seperti buntu, 

sukar diajak berpikir. 

"Kalau benar begitu, bukankah berarti orang tua itu 

melakukannya dengan perasaan terpaksa?" 

"Ah ..! Kau benar...!" tukas Ki Gayan. Sepasang matanya 

nampak berbinar-binar. "Artinya ada orang yang memaksa 

melakukannya!" 

"Tepat apa yang dikatakan Ki Gayan...!" sahut Arya 

cepat.


Ki Sancaperta mengernyitkan alisnya. Dicobanya untuk 

mengingat peristiwa beberapa tahun lalu. Ya! Kini dapat 

diingatnya. Permintaan kakek itu sepertinya berbentuk per-

mohonan. Orang tua itu sangat tertekan ketika 

mengatakannya. 

"Kita harus menyelidikinya!" ucap guru silat ini penuh 

semangat 

"Biar aku saja yang melakukannya Ki," pinta Arya. 

Suaranya pelan dan sopan. 

"Tapi...," Ki Sancaperta mencoba membantah. 

"Tenaga Aki sangat dibutuhkan di sini." Arya cepat 

memotong ucapan guru silat itu. 

Ki Sancaperta langsung terdiam. Hatinya membenarkan 

kata-kata pemuda berbaju ungu itu. 

"Kapan kau berangkat ke sana, Dewa Arak?" tanya Ki 

Sancaperta lagi. 

"Besok, Ki." 

***


LIMA


Di tengah kegelapan malam, tampak seekor macan putih 

berlari terseok-seok memasuKi Hutan Bandan. 

"Grrrh...!" 

Binatang itu menggereng pelan sambil terus berlari. 

Langkahnya baru dihentikan ketika di depannya berdiri 

seorang nenek berwajah mirip burung elang. Pakaiannya 

serba hitam. 

Sepasang alis nenek itu berkerut melihat gerakan 

binatang peliharaannya. Jelas kalau macan putih itu ter-

luka. Pendengarannya yang peka menangkap geram 

kesakitan dari mulut binatang itu. 

“Putih...! Kenapa kau...?!" tanya si nenek begitu macan 

itu telah berada di hadapannya. 

"Grhhh...!" 

Macan putih itu hanya menggereng pelan sebagai 

jawabannya. Tapi rupanya nenek itu mengerti akan maksud 

binatang peliharaannya. 

"Keparat..!" maki nenek berpakaian serba hitam itu. 

“Tenang, Putih! Nanti akan kubalaskan dendammu. Akan 

kubasmi seluruh penduduk Desa Bandan... setelah semua 

orang yang lancang memasuki hutan ini kubunuh...!" 

Setelah berkata demikian, nenek itu membungkukkan 

tubuhnya. Diperiksanya sekujur tubuh binatang peliharaan-

nya. 

"Hm.... bekas-bekas pukulan yang mengandung tenaga 

dalam tinggi. Tidak mungkin kalau penduduk Desa Bandan 

yang melakukannya...," gumam nenek itu pelan seperti 

berbicara pada dirinya sendiri. "Pasti ada orang usil ikut 

campur masalah ini. Tapi..., siapa orang yang mempunyai 

tenaga dalam sekuat ini?" Sambil tetap memeriksa tubuh 

macan putih itu, plkiran nenek berpakaian hitam ini 

menerawang. 

Berkat kekuatan tubuh yang dimiliki macan itu, tidak


ada luka berbahaya yang dideritanya. Hanya sedikit rasa 

nyeri menyerang otot-otot dan tulang-tulangnya. 

"Tunggu sebentar, Putih...!" ucap nenek itu seraya 

melesat pergi. 

Tak lama kemudian perempuan tua itu sudah kembali 

sambil membawa air dalam tempurung kelapa. Dikeluar-

kannya sebungkus obat bubuk yang kemudian dicampur 

dengan air. Setelah diaduk-aduk sebentar, disodorkannya 

ke depan mulut binatang itu. 

"Minumlah, Putih...! Besok kau akan segar kembali...," 

ucap nenek itu pelan. 

"Grrrh...!" 

Macan itu menggereng pelan. Kemudian bangkit dari 

berbaringnya. Dijilat-jilatnya ramuan yang diberikan 

majikannya. Sementara si nenek hanya tersenyum 

memandanginya. 

*** 

Hari masih pagi. Sang surya baru saja menampakkan 

diri di ufuk timur, ketika Dewa Arak memasuki mulut Hutan 

Bandan. Sikapnya nampak waspada. Pemuda itu 

menyadari kalau di dalam hutan ini banyak tokoh 

persilatan yang berniat memperebutkan benda langit. Tapi 

yang tidak kalah berbahayanya lagi adalah macan putih! 

Belum seberapa Jauh pendekar muda itu melangkah, 

pendengarannya yang tajam menangkap suara berdesing 

nyaring ke arahnya. Dari bunyi desingannya, pemuda ini 

dapat memperkirakan asal si penyerang gelap. 

Arya tidak berani bertindak ceroboh. Kepalanya buru-

buru dirundukkan. Sehingga benda yang mengeluarkan 

suara mendesing nyaring itu lewat sejengkal di atas 

kepalanya. 

Wut..! 

Rambut Dewa Arak berkibaran ketika benda itu lewat di 

atas kepalanya. Arya terkejut ketika melihat benda itu tahu-

tahu sudah kembali ke asalnya.


Tappp...! 

Benda yang berbentuk piplh, melengkung seperti bulan 

sabit, ditangkap oleh pemiliknya 

Dewa Arak mengerutkan alisnya. Sesaat pemuda 

berambut putih keperakan ini terpaku melihat benda itu. 

Meskipun baru kali ini dijumpainya, tapi diketahuinya nama 

benda itu. Bumerang! 

"Ha ha ha...! Kaget, Dewa Arak?" tegur si penyerang. 

Nada suaranya terdengar penuh ejekan. 

Arya sama sekali tidak menggubris ejekan itu. Sepasang 

matanya menatap tajam pada sosok di hadapannya. Sosok 

tegap berkepala botak berpakaian rompi terbuat dari kulit 

beruang. 

"Siapa kau? Mengapa menyerangku?" tanya Dewa Arak. 

Arya memang mempunyai sifat hati-hati sekali. Pantang 

baginya bertempur dengan seseorang tanpa alasan jelas. 

Laki-laki berkepala botak itu tertawa bergelak. 

"Aku? Ha... ha... ha...! Namaku tidak setenar namamu. 

Dewa Arak. Tapi, agar kau tidak mati penasaran, ada 

baiknya kuperkenalkan diriku Beruang Liar julukanku. 

Sebentar lagi dunia persilatan akan geger. Dewa Arak 

tewas di tangan Beruang Liar! Ha ha ha...!" 

Dewa Arak sama sekali tidak menanggapi kesombongan 

orang itu. Dibiarkannya si botak itu hanyut oleh 

kesombongannya. 

"Kau belum menjawab pertanyaanku yang kedua, 

Beruang Liar. Mengapa kau menyerangku?!" tanya Arya 

tetap sabar. 

Beruang Liar menghentikan tawanya. Dipandanginya 

Dewa Arak dengan tatapan penuh curiga. 

"Jangan berlagak bodoh, Dewa Arak! Bukankah kau juga 

ingin mendapatkan benda langit? Aku tidak ingin ada orang 

lain menjadi sainganku!" ancam Beruang Liar sengit. 

"Kau keliru, Beruang Liar. Aku sama sekali tidak tertarik 

dengan benda langit yang kau maksudkan itu. Kalau kau 

menginginkan benda itu, silakan kau mencarinya sendiri," 

Arya mencoba menjelaskan.


"Kau tidak bisa mungkir, Dewa Arak!" rupanya si 

Beruang Liar tidak mempercayai penjelasan Arya. "Hari ini 

adalah hari terakhir kau memandang dunia ini. Hiyaaa…!” 

Setelah berkata demikian. Beruang Liar mengibaskan 

tangannya. Seketika itu juga, bumerang di tangannya 

meluncur deras ke arah Arya. 

Wuk..! 

Dengan kecepatan yang menakjubkan, bumerang itu 

menyambar ke leher Dewa Arak. 

Pemuda berpakaian ungu ini tahu, betapa berbahayanya 

serangan benda itu. Dewa Arak tidak berani bersikap 

ceroboh. Tubuhnya cepat dirundukkan sehingga sambaran 

benda itu melesat melewati kepalanya. 

Beruang Liar rupanya sudah memperhitungkan hal itu. 

Begitu serangan pertamanya berhasil dielakkan lawan, 

cepat-cepat dikibaskan tangan kirinya. 

Wuk...! 

Bumerang kedua melesat cepat. Kali ini sasarannya 

adalah perut. Arya tidak punya pilihan lain, secepat kilat dia 

melompat. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu guci 

araknya telah berada di tangannya. Lalu pemuda 

berpakaian ungu ini bergulingan di tanah. 

Tappp..! 

"Hiyaaa...!" 

Wuk...! 

Begitu bumerang yang pertama tertangkap, secepat kilat 

Beruang Liar mengayunkannya kembali ke arah Dewa Arak 

yang masih bergulingan. 

Kali ini Dewa Arak tidak mengelakkan serangan itu. 

Dipapaknya kedatangan bumerang itu dengan gucinya. 

Klanggg...! 

Terdengar suara berdentang nyaring ketika bumerang 

itu menghantam guci. Anehnya, meskipun telah tertangkis 

guci, bumerang itu bisa berputar kembali ke arah pemilik-

nya! 

Tapi lebih hebat lagi adalah perbuatan yang dilakukan 

Dewa Arak. Setelah menangkis bumerang itu, sambil tetap


dalam keadaan tubuh berbaring guci arak dituang ke 

mulutnya 

Gluk... gluk... gluk...! 

Terdengar suara tegukan ketika arak itu melewati 

kerongkongannya. Seketika perutnya terasa hangat. Hawa 

aneh yang naik, ke kepalanya membuatnya agak pening. 

Kini Dewa Arak telah siap menghadapi Beruang Liar. 

Ilmu 'Belalang Sakti' yang dimainkan, membuatnya tidak 

begitu repot menghadapi senjata aneh itu. Setiap 

sambaran bumerang berhasil dielakkannya tanpa 

kesulitan. 

Beberapa jurus kemudian, Arya sudah dapat membaca 

kelemahan senjata lawan. Bumerang di tangan laki-laki 

berkepala botak ini tidak berarti kalau dihadapinya dalam 

jarak dekat. 

Pelahan namun pasti tanpa disadari lawan, Dewa Arak 

mulai melangkah mendekati sambil mengelakkan setiap 

serangan. 

"Keparat...!" si Beruang Liar menggeram murka ketika 

tidak bisa lagi melepas senjatanya. Jarak di antara mereka 

telah demikian dekat, sehingga tidak memungkinkan lagi 

baginya menggunakan senjatanya itu. 

Kini Beruang Liar mempergunakan senjata itu seperti 

layaknya seseorang menggunakan sepasang clurit. 

Wuk...! 

Dengan diiringi suara mengiuk nyaring, bumerang itu 

disabetkan ke leher Dewa Arak. Tapi dengan keunikan 

jurus 'Delapan Langkah Belalang', tak sulit bagi Arya untuk 

mengelak. 

Gerakan kakinya nampak terhuyung-huyung. Tubuhnya 

limbung ketika pemuda ini mengelakkan serangan itu. 

Hebatnya, secepat dilangkahkan kakinya mengelak, 

secepat itu pula Arya berada di belakang lawannya. 

Wut...! 

Guci di tangannya terayun keras ke kepala Beruang Liar. 

Laki-laki berkepala botak itu kaget bukan main. Rupanya 

ia belum mengenal kelihaian jurus 'Delapan Langkah


Belalang'. Seketika hatinya tercekat tatkala menyadari 

adanya hembusan angin keras di belakangnya. Bahaya 

maut tengah mengancamnya! 

Kedua tangannya yang menggenggam bumerang, 

sebisa- bisanya diayunkan ke belakang. 

Klanggg...! 

Terdengar suara berdentang nyaring ketika kedua 

bumerangnya beradu dengan guci. Akibatnya, tubuh si 

Beruang Liar terhuyung-huyung ke depan. Kedua bumerang 

di tangannya terlempar entah ke mana. 

Dewa Arak memutuskan untuk melenyapkan manusia 

berbahaya ini untuk selama-lamanya. Maka, begitu 

dilihatnya laki-laki berkepala botak itu terhuyung-huyung. Ia 

segera mengejar. Kakinya bergerak menendang. 

Bukkk...! 

"Akh...!" 

Terdengar suara berderak keras pertanda ada tulang-

tulang yang patah ketika kaki Arya telak mengenai 

pinggang lawan. 

Beruang Liar jauh terjerembab. Tapi, secepat kilat 

dibalikkan tubuhnya dan berusaha bangkit. Namun, 

sebelum niatnya itu tercapai. Dewa Arak telah mengirimkan 

serangan susulan. 

Wut...! Prak...! 

"Aaakh...!" 

Laki-laki berkepala botak itu menjerit tertahan. 

Kepalanya pecah seketika tatkala guci yang diayunkan Arya 

telak mengenai kepalanya. Tubuhnya terjerembab 

menyusur tanah. 

Dewa Arak memperhatikan tubuh yang tak bernyawa 

lagi itu sejenak. Kemudian dipungutnya kedua bumerang 

yang tergeletak di tanah, lalu ditimang-timang sejenak. 

"Hih...!" 

Wunggg...! 

Terdengar dengungan keras laksana ribuan ekor lebah 

marah, begitu Dewa Arak mengayunkan tangannya. Kedua 

bumerang itu melesat laksana kilat. Kecepatannya jauh


lebih cepat daripada lontaran Beruang Liar! 

Crak, crak, crak....! 

Cabang-cabang pohon yang terbabat kedua bumerang 

itu terpapas putus. Dewa Arak memandanginya dengan 

perasaan takjub. Matanya mendadak terbelalak lebar. 

Tahu-tahu kedua senjata itu kembali ke arahnya! 

Dewa Arak menjadi gugup. Dia tahu betul kekuatan 

tenaga yang terkandung dalam lontaran kedua bumerang 

itu. Pemuda ini tidak berani menangkap kedua bumerang 

itu seperti yang dilakukan Beruang Liar. Kalau dia salah 

menangkap, tangannya bisa putus terbabat bumerang 

yang tajam itu. 

Tapi Dewa Arak tidak punya pilihan lain. Jurus 'Pukulan 

Belalang' terpaksa harus digunakannya. 

"Hih...!" Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke 

depan. 

Wuttt..! 

Bresss...! 

Angin keras yang berhawa panas menyengat, 

berhembus keluar dari kedua telapak tangannya. Dan 

langsung menyambar ke arah dua buah bumerang yang 

tengah melayang ke arahnya. Seketika itu juga luncuran 

bumerang itu terhenti. Dan langsung jatuh di tanah. 

"Hhh...! Sungguh berbahaya...." desah Arya pelahan. 

Kemudian setelah memperhatikan mayat lawannya 

sejenak, dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. 

*** 

Dewa Arak menghentikan langkahnya ketika sepasang 

matanya melihat sebuah gua tak jauh di hadapannya. 

Sesaat lamanya dia terpaku. Diamatinya gua itu dengan 

teliti. Tapi yang terlihat hanyalah kegelapan yang pekat. 

Pelahan-lahan kakinya melangkah mendekati mulut gua 

itu. Seluruh urat-urat syaraf di tubuhnya menegang. 

Sikapnya waspada menghadapi segala kemungkinan. 

Tapi baru saja beberapa langkah memasuki gua itu,


terdengar sebuah seruan dari dalam. Dewa Arak terkejut 

bagai disengat kalajengking. 

"Sahabat yang berada di luar, silakan masuk!" 

Dewa Arak menghentikan langkahnya. Hatinya dilanda 

keraguan. Rupanya kedatangannya telah diketahui oleh 

orang yang berada di dalam sana. Setelah menimbang-

nimbang, akhirnya Arya meneruskan langkahnya. Telinga-

nya dibuka lebar-lebar untuk berjaga-jaga kalau ada orang 

yang berusaha membokongnya. 

Selangkah demi selangkah Dewa Arak menelusuri gua. 

Akhirnya ia tiba di sebuah ruangan yang agak luas dan 

terang. 

Mata pemuda ini tertumbuk pada sosok yang tengah 

duduk bersila di atas baru besar. Ia berjalan mendekat, 

sehingga sosok itu semakin nampak jelas. 

Ternyata sosok tubuh itu adalah seorang kakek berusia 

lanjut. Mungkin usianya lebih dari delapan puluh tahun. 

Tubuhnya sedang dan terlihat ringkih. Meskipun dalam 

keadaan bersila, Dewa Arak dapat mengetahui kalau kakek 

itu bertubuh bongkok. 

Begitu Dewa Arak berada dalam jarak sekitar tiga 

tombak, pelahan-lahan kakek itu membuka matanya yang 

sejak tadi terpejam. 

"Ah...!" 

Dewa Arak berjingkat bagai disengat kalajengking. 

Sepasang mata kakek itu ternyata tidak nampak hitamnya. 

Hanya putihnya saja yang terlihat. Kakek bongkok itu buta! 

"Siapa kau, Anak Muda?" tanya kakek itu. Tentu saja 

ucapan itu membuat Dewa Arak semakin terkejut. 

Bagaimana kakek ini tahu kalau orang yang berdiri di 

hadapannya adalah seorang pemuda? Bukankah sepasang 

mata kakek itu buta? 

"Namaku Arya, Kek," sahut Dewa Arak setelah perasaan 

terkejutnya hilang. 

"Arya...," gumam kakek itu pelan. "Apa maksudmu 

memasuki gua ini?" 

Dewa Arak terdiam sejenak. Mungkinkah kakek ini orang



yang telah menyelamatkan Desa Bandan dari jarahan 

perampok puluhan tahun silam? 

"Aku masuk kemari tanpa sengaja, Kek." 

Dahi kakek bongkok itu nampak berkernyit. 

"Tanpa sengaja? Kau berdusta, Anak Muda. Aku tahu, 

pasti ada sesuatu yang kau cari di sini," bantah kakek itu. 

"Memang ada sebuah urusan yang mendorongku 

memasuki Hutan Bandan ini, Kek. Tapi, masuknya aku ke 

gua ini, karena kebetulan," jelas Arya. 

Semakin banyak kerutan di dahi kakek itu mendengar 

jawaban Dewa Arak. 

"Apa urusanmu memasuki Hutan Bandan ini, Anak 

Muda?! Tahukah kau kalau hutan ini tempat terlarang?! 

Ahhh...! Tindakanmu itu akan mengakibatkan banyak 

korban. Sia-sialah jerih payahku selama ini! Korban tetap 

tak bisa kucegah!" 

Berdebar jantung Dewa Arak. Ternyata dugaannya tepat. 

Kakek buta ini adalah orang yang dulu menolong Desa 

Bandan. Tapi ia belum masih mengerti ucapan kakek itu. 

"Maksudmu, Kek?" tanya Arya. 

"Hhh...!" kakek bongkok itu menghela napas panjang. 

Seolah-olah ada beban yang menghimpit dadanya. "Jawab 

dulu pertanyaanku, Anak Muda. Apa urusanmu memasuki 

hutan ini?!" 

Dewa Arak mengerutkan alisnya. Perasaan dongkol 

merayapi hatinya. Tapi cepat-cepat ditekannya perasaan 

itu. 

"Aku terpaksa memasuki hutan ini untuk mencari tahu. 

Kudengar setiap malam bulan purnama ada seorang 

remaja, laki-laki atau perempuan dibawa ke hutan ini. Tapi 

sampai sekarang, tidak seorang pun pernah kembali. 

Bahkan belum lama ini, seekor macan putih mengamuk 

meminta korban. Aku ingin tahu, ke mana perginya remaja-

remaja itu, dan mengapa macan putih itu membunuhi 

orang-orang desa?" 

Kakek bongkok itu terdiam mendengar keterangan dan 

pertanyaan Dewa Arak.


"Kalau aku tidak salah duga, bukankah Kakek adalah 

orang yang menyelamatkan Desa Bandan puluhan tahun 

yang lalu?" sambung Arya lagi. 

"Dugaanmu tidak keliru, Anak Muda." jawab kakek itu 

pelan. 

"Lalu, kenapa Kakek malah menyuruh orang desa 

mengorbankan seorang remaja setiap malam bulan 

purnama?" desak Arya. "Apakah memang itu tujuan Kakek 

menyelamatkan desa itu?" 

Keadaan menjadi hening begitu Dewa Arak menyelesai-

kan perkataannya. Tapi keheningan itu segera dipecahkan 

oleh suara si kakek. 

"Sebenarnya aku tidak ingin menceritakan hal ini pada 

siapa pun. Tapi, karena kau mempunyai maksud yang baik, 

maka kau kuberikan perkecualian. Arya, kaulah satu-

satunya orang yang akan kuberitahu mengenai masalah 

ini." 

"Terima kasih, atas kepercayaanmu, Kek." ucap Arya 

pelahan. 

"Simpan ucapan terima kasihmu itu, Arya. Sekarang 

pasang telingamu baik-baik!" ujar kakek bongkok itu. 

Dewa Arak menurut. 

"Puluhan tahun yang lalu, aku menikah dengan seorang 

wanita sesat yang lihai. Dia berjuluk Kuntilanak Alam 

Kubur. Aku sangat mencintainya. Dan dia mencintaiku 

juga," ujar kakek itu memulai ceritanya. 

Perasaan heran melanda hati Arya. Ia sama sekali tidak 

menyangka kalau misteri yang dihadapinya ini ber-

hubungan dengan keluarga seseorang. Tapi dia sama 

sekali tidak memotong cerita kakek itu. Dibiarkannya 

kakek bongkok itu meneruskan ceritanya. 

"Semula aku ragu-ragu menikahinya. Tapi, ketika dia 

berjanji akan meninggalkan kesesatannya, aku pun 

bersedia menerimanya. Selama beberapa tahun dia mau 

memenuhi permintaanku. Tidak pernah dia melakukan 

kejahatan. Kehidupan kami pun aman dan tenteram," 

kakek bongkok itu menghentikan ceritanya sebentar.


Ditatapnya Dewa Arak yang masih tekun mendengar 

ceritanya. 

"Tapi setelah sepuluh tahun, penyakit lamanya kambuh. 

Dia kembali mengumbar kejahatan. Aku marah, dan pergi 

meninggalkannya sambil membawa macan putih pelihara-

an kami. Macan itu amat patuh pada kami berdua. Apa pun 

yang kami perintahkan, pasti dilaksanakan dengan baik." 

"Lalu dalam pengembaraanmu, kau tiba pada sebuah 

desa yang tengah diserang oleh rombongan perampok, dan 

kau menolongnya. Bukankah begitu, Kek?" selak Arya. 

"Benar," sahut kakek bongkok itu sambil mengangguk-

kan kepalanya. "Kemudian aku menyepi di Hutan Bandan 

bersama peliharaanku. Belasan tahun aku tinggal di sini. 

Tapi tak kusangka kalau istriku mencium jejakku. 

Kemudian dia pun menyusulku. Kami bertengkar, sampai 

akhirnya terjadi pertempuran. Dengan susah payah dia ber-

hasil kukalahkan." 

Sampai di sini kakek itu menghentikan ceritanya, Arya 

mengernyitkan alisnya. Dia jadi bingung mendengar cerita 

kakek bongkok ini. Menurut kakek itu, nenek yang berjuluk 

Kuntilanak Alam Kubur berhasil dikalahkannya tapi kenapa 

ia yang buta matanya? 

"Mungkin hatimu bertanya-tanya, Anak Muda. Mengapa 

kalau aku yang menang, mataku menjadi buta. Begitu 

kan?" duga kakek itu seperti mengerti kebingungan Dewa 

Arak. 

Kembali Arya terkejut, ia tidak menyangka kalau kakek 

ini mampu membaca pikirannya. 

"Tidak perlu bingung-bingung, Arya. Kau dengarkan saja 

lanjutan ceritaku" ucap kakek itu lagi. "Rupanya istriku 

tidak mau menerima kekalahannya. Dia lalu menantangku 

bermain racun. Sebagai raja obat, jelas aku ditantang. Dia 

lalu meminumkan racun ke mulutku." 

"Ahhh...!" desah Arya kaget "Racun itu diminumkan 

padamu, Kek?" tanyanya setengah tak percaya. 

"Ya." sahut kakek itu. "Sialnya, ternyata aku belum 

mengenal jenis racun itu. Entah dari mana dia mendapat


kannya. Untunglah racun itu bereaksi secara lambat. 

Akhirnya, kami mengikat perjanjian. Ia berjanji tidak akan 

membunuhku asal aku bersedia mencarikan remaja-

remaja pada tiap-tiap purnama untuk menyempurnakan 

ilmu hitamnya. Dengan berat hati aku menerima perjanjian 

itu. Dia juga mengancam akan membantai seisi Desa 

Bandan apabila aku tidak memenuhi permintaannya " 

Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini mulai 

dipahami mengapa kakek itu menyuruh penduduk berbuat 

seperti itu. 

"Kurasakan racun itu mulai bekerja. Pandanganku mulai 

mengabur. Aku sadar, lambat laun aku akan buta. Sebelum 

semua itu terjadi Ki Gayan segera kuberi tahu mengenai 

permintaan istriku itu. Aku juga melarang setiap orang 

memasuki Hutan Bandan untuk menghindari jatuhnya 

korban lebih banyak lagi." 

"Lalu kenapa kau masih berada di sini, Kek?" tanya Arya 

memotong. 

"Aku tidak ingin istriku mengingkari janjinya. Kalau aku 

tidak berada di sini bisa saja dia berbuat nekat, menculik 

remaja-remaja di desa sekitar Hutan Bandan ini," jawab 

kakek itu. 

Kembali Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini 

semua persoalan sudah menjadi jelas baginya. 

"Sekarang macan itu telah memulai terornya. Sudah 

banyak penduduk menjadi korban," sergah Arya. 

Kakek bongkok itu tersenyum. 

"Dalam hal ini istriku tidak bisa disalahkan, Arya. Bagai-

mana pun juga dia masih tetap memegang janjinya. Dia 

tidak akan menyebar maut selama tidak ada orang 

mengusik ketenangannya. Bukankah aku telah memper-

ingatkan mereka! Jadi, mereka sendiriah yang mencari 

penyakit!" sahut kakek itu membela istrinya. 

Dewa Arak mengerutkan alisnya. 

"Mereka tetap mematuhi semua yang kau perintahkan, 

Kek!" sambut Arya dengan suara keras. 

"Mematuhi apa?'" sergah kakek itu sambil tersenyum



sinis. "Buktinya, banyak orang memasuki hutan ini!" 

"Mereka sudah berusaha mencegah! Bahkan belasan 

penduduk menjadi korban karena ingin mencegah orang-

orang persilatan yang hendak memasuki hutan ini!" bantah 

Arya dengan suara keras. 

"Betulkah semua yang kau katakan itu, Arya?!" tanya 

kakek itu. Wajahnya terlihat sungguh-sungguh. 

Arya menganggukkan kepalanya. Namun demikian, 

kemarahannya agak reda melihat sikap kakek itu. 

"Orang-orang persilatan memburu benda langit yang 

jatuh di hutan ini'" jelas Arya. 

"Ahhh…!" kakek itu berseru terkejut. “Kalau begitu, per-

buatan istriku harus dicegah'" 

"Itu memang sudah menjadi tekadku sewaktu hendak 

memasuki hutan ini, Kek." 

"Aku tak yakin kau mampu mencegahnya, Arya. Asal kau 

tahu saja. Istriku itu mempunyai kepandaian amat tinggi!" 

ujar kakek itu cemas. 

"Aku tak takut, Kek! Bagiku, mati dalam membela 

kebenaran adalah perbuatan yang mulia!” tandas Arya. 

"Kalau itu sudah keputusanmu, terserah! Hanya pesan-

ku. Berhati-hatilah!" 

“Terima kasih atas peringatanmu, Kek." ucap Arya 

sambil berlalu meninggalkan tempat itu. Tujuannya kini 

jelas, mencari Kuntilanak Alam Kubur! 

***


ENAM


Di keremangan Hutan Bandan, tampak seekor macan putih 

berlari cepat. Penciumannya yang tajam menangkap bau 

manusia di sekitarnya. Karena majikannya telah 

memerintahkan untuk membunuh siapa pun yang berani 

memasuki hutan ini, maka binatang itu pun segera berlari 

menuju tempat bau itu berasal. 

Srakkk...! 

Rerimbunan semak-semak terkuak. Dari balik semak-

semak, muncullah seorang lelaki jangkung. Tubuhnya agak 

kurus dan matanya sipit. Di tangannya tergenggam sebuah 

gada berduri. 

"Ha... ha... ha...! Macan keparat! Maju kau...! Ayo hadapi 

aku, si Gada Maut…!” tantang laki-laki tinggi kurus yang 

berjuluk si Gada Maut itu. Tangannya menimang-nimang 

gada yang digenggamnya. 

Mendadak, si Gada Maut membalikkan tubuhnya. Ia 

berlari meninggalkan macan itu. 

Macan putih tidak ingin kehilangan buruannya. Binatang 

itu pun berlari mengejar. Tapi tiba-tiba… 

Srakkk...! 

"Graunggg...!" 

Macan putih itu menggeram ketika tubuhnya tahu-tahu 

telah terjerat jaring. Rupanya si Gada Maut telah men-

jebaknya. Kini binatang itu terkurung dalam jaring yang 

tergantung cukup tinggi di atas pohon. 

Macan putih itu meraung-raung. Gigi-gigi dan kuku 

kukunya yang tajam, menggigit dan mencakar jaring yang 

mengurungnya. Tapi ternyata jaring itu terbuat dari bahan 

alot yang tidak mudah putus. Sia-sia saja segala usaha 

yang dilakukannya. 

"Ha... ha... ha...!" 

Si Gada Maut tertawa bergelak. Hatinya puas melihat 

macan putih itu sudah tidak berdaya dalam jerat yang


dipasangnya. 

"Sekarang kau tidak berdaya lagi, macan keparat! Ha... 

ha... ha..! Kini kau baru tahu kecerdikan si Gada Maut, he?! 

Sebentar lagi kau akan kubantai, macan keparat! Akan 

kuhirup darahmu, dan kukuliti tubuhmu! Ha... ha... ha...!" 

Si Gada Maut kembali tertawa terbahak-bahak. Tapi 

mendadak saja tawanya berhenti. Didengarnya ada suara 

tawa merdu mengiringi tawanya. Dengan cepat dibalikkan 

badannya untuk mencari asal suara itu. 

Si Gada Maut terkejut ketika menemukan si pemilik 

suara. Ternyata pemiliknya adalah seorang gadis berwajah 

cantik jelita. Usianya sekitar dua puluh tahun. Rambutnya 

yang panjang, tergerai disapu angin. Pakaiannya serba 

putih, dan terdapat sulaman bunga melati di dada kirinya. 

"Siapa kau, Nini?" tanya si Gada Maut. Laki-laki ber-

tubuh kurus ini bersikap waspada. Meskipun si pemilik 

tawa itu adalah seorang wanita muda yang cantik, si Gada 

Maut tidak berani bersikap gegabah. Dari suara tawanya 

yang merdu menggema ke seluruh penjuru hutan, dapat di-

simpulkan kalau wanita cantik itu memiliki tenaga dalam 

yang tinggi. 

"Kau tidak perlu tahu siapa diriku, Kisanak!" sahut 

wanita cantik itu seraya tersenyum sinis. "Yang penting, 

kalau kau ingin selamat, segera tinggalkan macan putih 

itu!" 

Seketika wajah si Gada Maut berubah. Kedatangan 

wanita itu menyadarkan dirinya. Sewaktu-waktu bisa saja 

tokoh- tokoh persilatan lainnya datang merampas macan 

putih yang didapatinya dengan susah payah itu. Gadis ini 

harus segera dibungkamnya, sebelum yang lainnya tahu, 

pikirnya. 

"Hiyaaa...!" 

Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring, si Gada 

Maut menerjang gadis berpakaian putih itu. Gada di 

tangannya diayunkan cepat ke arah leher. 

Wut...! 

Gadis itu hanya tersenyum sinis. Agaknya ia


memandang rendah serangan lawan. Sambil tetap 

tersenyum sinis, didoyongkan tubuhnya ke belakang, 

sehingga babatan gada itu lewat setengah jengkal di depan 

lehernya. Pada saat yang bersamaan, dilepaskannya 

sebuah tendangan ke perut si Gada Maut. 

Gerakannya cepat sekali dan tak terduga-duga. 

Si Gada Maut terkejut bukan main. Sungguh tidak 

disangkanya gadis muda itu mampu berbuat demikian. Kini 

si Gada Maut berada dalam posisi yang tidak menguntung-

kan. Kalau saja ia tahu siapa sebenarnya gadis ini, tentu 

dia tidak akan berani bertindak gegabah. Gadis itu tak lain 

adalah Melati. Pendekar wanita yang berjuluk Dewi 

Penyebar Maut ini dulu pernah menggoncangkan dunia 

persilatan {Untuk jelasnya, bacalah serial Dewa Arak dalam 

episode "Dewi Penyebar Maut"). Pendekar wanita ini 

sedang dalam pengembaraan mencari jejak Arya, 

tunangannya. Begitu mendengar tentang adanya prahara di 

Hutan Bandan, ia segera datang ke tempat ini dengan 

harapan dapat berjumpa dengan Dewa Arak. 

Sekarang sudah tidak mungkin lagi bagi si Gada Maut 

untuk mengelak. Dengan terpaksa, ditangkisnya tendangan 

itu menggunakan tangan kirinya yang sudah dialiri tenaga 

penuh. Rupanya ia tidak berani ambil resiko. 

Dukkk...! 

"Akh...!" 

Si Gada Maut memekik pelan. Rasanya tulang-tulangnya 

hampir patah. Seolah-olah tangannya beradu dengan 

potongan baja! Keras bukan main! 

"Hup...!" si Gada Maut melompat mundur. 

Melati sama sekali tidak mengejarnya. Pendekar wanita 

ini hanya memandang lawannya 

Si Gada Maut menatap gadis bertubuh menggiurkan di 

hadapannya tajam-tajam. Wajahnya menampakkan keter-

kejutan yang amat sangat. Kini baru disadarinya kalau 

tenaga dalam yang dimiliki gadis ini jauh lebih kuat darinya. 

"Sebelum terlambat kau kuberikan kesempatan untuk 

meninggalkan tempat ini, Kisanak," ucap Melati begitu


melihat sang lawan masih berdiri terpaku. 

"Aku belum kalah, perempuan sundal! Jangan harap kau 

dapat mengalahkan Gada Maut!" teriaknya keras. 

Wajah Melati berubah hebat. Makian lawan membuat 

darahnya naik ke ubun-ubun. Sepasang matanya men-

corong tajam. Si tinggi kurus tersentak begitu melihat se-

pasang mata pendekar wanita ini. Tanpa sadar kakinya 

melangkah mundur. 

"Kau telah menghinaku. Jangan harap aku akan meng-

ampuni nyawa tikusmu, keparat!" desis Melati tajam. 

"Akulah yang akan membunuhmu, perempuan sundal! 

Hiyaaa...!" 

Setelah berkata demikian, si Gada Maut menerjang 

Melati. Gada di tangannya berkelebat menyambar-nyambar 

mencari sasaran. Senjatanya menimbulkan suara angin 

menderu-deru. 

Kini Melati tidak mau bertindak setengah-setengah lagi. 

Penghinaan Gada Maut membuat kemarahannya bergolak. 

Tanpa ragu-ragu lagi dikeluarkan ilmu andalannya 'Cakar 

Naga Merah’ 

Sepasang tangan gadis berpakaian putih ini terkembang 

membentuk cakar naga. Pelahan namun pasti, tangannya 

sampai sebatas pergelangan berubah merah darah. 

"Hup..!" 

Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, tidak 

sulit bagi Melati mengelakkan setiap serangan si Gada 

Maut. Bahkan sebaliknya setiap serangannya memaksa 

lawan jatuh bangun menyelamatkan diri. 

Tak sampai sepuluh jurus, si Gada Maut sudah terdesak 

hebat. Memang tingkat kepandaian Melati telah meningkat 

hebat setelah berjumpa kembali dengan gurunya. Di bawah 

gemblengan laki-laki tua itu, akhirnya ia dapat menyempur-

nakan ilmu 'Cakar Naga Merah'nya (Untuk lebih jelas, 

bacalah serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang 

Pendekar"). 

Si Gada Maut menggertakkan giginya. Gada di 

tangannya berkelebatan semakin cepat. Tapi tetap saja



usahanya sia-sia. 

"Haaat..!" 

Si Gada Maut berteriak nyaring. Tubuhnya melompat 

tinggi. Sesaat kemudian ia menukik sambil menusukkan 

gadanya ke kepala Melati. Gerakannya sangat indah, persis 

seekor burung raksasa yang tengah menerkam mangsa-

nya. 

Melati tetap bersikap tenang. Begitu serangan lawan 

mendekat, mendadak ia merubah posisi kuda-kudanya. 

Tubuhnya direndahkan. Tangan kanannya diulurkan ke 

atas mengancam dada lawan. Sementara tangan kirinya 

terpalang di depan dada. 

Si Gada Maut tertawa dalam hati. Rupanya gadis ini 

mencari mati, pikirnya. Bukankah sebelum cakar gadis itu 

mengenainya, kepala gadis itu hancur lebih dulu terhantam 

gadanya. 

Mendadak sebuah kejadian aneh membuat mata si 

Gada Maut terbelalak. Betapa tidak? Tangan gadis itu tiba-

tiba mulur memanjang. Sebelum gada di tangannya 

mengenai sasaran cakar gadis itu lebih dulu mampir di 

dadanya. 

Buk! 

"Aaakh...!" 

Si Gada Maut menjerit memilukan. Tubuhnya 

melambung kembali ke atas. Dari mulut, mata dan 

hidungnya mengalir darah segar. Tulang-tulang dadanya 

hancur seketika. Saat itu juga nyawa laki-laki tinggi kurus 

itu berpisah dengan raganya. Rupanya Melati telah 

menyalurkan seluruh tenaganya. 

Brukkk...! 

Suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh si Gada 

Maut jatuh ke tanah. 

Melati menatap tubuh yang tergolek itu sejenak. Setelah 

itu dilangkahkan kakinya menghampiri macan putih yang 

masih terkurung di dalam jaring. 

Srat..! 

Melati menghunus pedangnya. Tapi sebelum dia sempat


berbuat sesuatu, terdengar suara tawa mengikik yang 

membuat bulu kuduknya berdiri. Suara tawa itu tidak 

semestinya keluar dari mulut manusia, pikirnya. Melainkan 

dari mulut setan kuburan! Tapi anehnya, meskipun suara 

itu terdengar pelan, getarannya terasa sampai ulu hatinya. 

Jantung pendekar wanita ini berdebar keras. Ia sadar 

kalau orang yang baru datang ini memiliki kepandaian 

tinggi. Dari suara tawanya, sudah dapat diperkirakan 

kedahsyatan tenaga dalam pemiliknya. 

Kini di hadapan Melati berdiri seorang nenek-nenek. 

Tubuhnya yang tinggi, terbalut pakaian dan kerudung 

hitam. Kulitnya juga agak kehitaman. Bentuk mata, hidung, 

dan sorot matanya mengingatkan orang pada burung 

elang. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat kayu 

berkeluk. Ujungnya berbentuk kepala burung elang. 

"Siapa kau?!" tanya Melati. Suaranya mendesis. Gadis 

ini dilanda perasaan tegang. Baru kali ini ia melihat orang 

seaneh itu. 

"Hik... hik... hik...! Rupanya kau hebat juga. Cah Ayu! Ah, 

betapa senangnya hatiku. Sejak sekian puluh tahun tidak 

bertemu orang sakti, kini aku melihat orang muda seperti-

mu sudah memiliki kepandaian tinggi! Hik... hik... hik....! 

Bersiaplah, Cah Ayu! Keluarkan seluruh kepandalanmu. 

Aku tidak segan-segan membunuhmu!" Rupanya sejak tadi 

tanpa diketahui Melati, nenek ini telah menyaksikan 

pertarungannya melawan si Gada Maut. 

"Tunggu dulu, Nek!" cegah Melati cepat. 

"Ada apa? Cepat katakan!" sergah nenek itu tidak sabar. 

"Begini, Nek. Seingatku, aku belum pernah berjumpa 

denganmu. Apalagi berbuat kesalahan. Tapi, kenapa 

engkau ingin menyerangku?!" 

Si nenek mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Hik... hik... hik..! Jadi, kau ingin mengenalku dulu, Cah 

Ayu? Baik, orang mengenalku sebagai Kuntilanak Alam 

Kubur. Nah, itulah julukanku. Puas, Cah Ayu! Sekarang, 

bersiaplah kau!" ucap nenek itu lagi. 

Melati terkejut! Nama Kuntilanak Alam Kubur memang


pernah didengarnya. Gurunya banyak bercerita mengenai 

tokoh ini. Tokoh yang memiliki sifat aneh. Suka berbuat 

kejam tanpa dasar, tapi memiliki kepandaian yang sangat 

tinggi. Sungguh tidak disangka ia bisa berjumpa tokoh ini. 

Cappp...! 

Kuntilanak Alam Kubur menancapkan tongkatnya ke 

tanah. Gerakannya kelihatannya pelan sekali, sepertinya 

tanpa pengerahan tenaga. Tapi akibatnya tongkat itu ter-

tancap sampai lebih dari setengahnya! Sebuah per-

tunjukan kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi yang 

menarik! 

Melati mengawasi gerak-gerik si nenek penuh waspada. 

Dilihatnya perempuan tua itu mengepalkan jari-jari tangan-

nya. Pelahan-lahan tapi penuh tenaga. Terdengar suara 

berkerotokan nyaring ketika jemarinya dikepalkan. 

Gadis berpakaian putih itu membelalakkan matanya. 

Tengkuknya bergidik menyaksikan perbuatan si nenek. Kini 

disadari kalau nyawanya terancam. Maka, tanpa ragu-ragu 

lagi, dikeluarkannya ilmu 'Cakar Naga Merah' yang sangat 

diandalkannya. 

"Hebat juga ilmu yang kau miliki, Cah Ayu. Melihat 

bentuk jari-jari tanganmu dapat kutebak kalau kau meng-

gunakan 'Jurus Naga’. Ingin kulihat apakah 'Jurus Naga' 

milikmu mampu menghadapi 'Tinju Gajah' milikku?" 

"’Tinju Gajah'?" desah Melati dalam hati. Ia sangat 

terkejut mendengar nama jurus itu disebut. 

Namun sebelum Melati berpikir lebih lama, Kuntilanak 

Alam Kubur sudah menyerangnya. Tangan kanan nenek itu 

memukul lurus ke dada, sementara tangan kirinya terkepal 

di sisi pinggang. 

Suara gemeretak mengiringi tibanya serangan itu. Melati 

merasakan ada serentetan angin keras yang menyesakkan 

dada sebelum pukulan lawan mengenalnya. 

Gadis yang dulu mendapat julukan Dewi Penyebar Maut 

ini tidak berani menangkis serangan itu. Kakinya buru-buru 

digeser ke samping, sehingga pukulan itu lewat sekitar 

sejengkal dari tubuhnya.


Pakaian Melati berkibaran akibat kuatnya tenaga dalam 

yang terkandung dalam pukulan tadi. 

Begitu pukulan itu lewat, Melati segera melancarkan 

serangan balasan ke kepala Kuntilanak Alam Kubur. 

Tapi si nenek hanya terkekeh seraya merendahkan 

tubuhnya, sehingga serangan itu lewat di atas kepalanya. 

Tak lama kemudian, mereka sudah terlibat dalam per-

tarungan sengit. Melati menyadari kalau lawannya memiliki 

ilmu kepandaian luar biasa. Maka, mau tak mau ia harus 

mengerahkan seluruh kepandaiannya. 

Sepasang cakar Melati yang memainkan ilmu 'Cakar 

Naga Merah", menyambar-nyambar cepat mencari sasaran. 

Namun, tanpa kesulitan Kuntilanak Alam Kubur meng-

elakkan setiap serangannya. Bahkan sebaliknya setiap 

serangan balasan si nenek membuat gadis berpakaian 

serba putih itu pontang panting menyelamatkan diri. 

Pertarungan antara kedua wanita yang sama-sama sakti 

itu berlangsung semakin seru. Dalam waktu singkat dua 

puluh lima jurus telah berlalu. Pelahan namun pasti, Melati 

mulai terdesak. 'Ilmu ‘Tinju Gajah' yang dimiliki lawan 

benar-benar membuatnya kagum. 

Setiap kali tangan mereka beradu, tubuh Melati ter-

jengkang. Sedangkan lawannya hanya terhuyung-huyung 

beberapa langkah ke belakang. Dari benturan ini dapat 

ketahui kalau tenaga dalam Melati berada di bawah tenaga 

dalam si nenek. 

"Hiyaaa...!" 

Sambil mengeluarkan pekik melengking, Melati 

melentingkan tubuhnya ke belakang 

"Hup...!" 

Srattt..! 

Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak bumi. Kini 

di tangannya telah tergenggam sebatang pedang. 

"Keluarkan senjatamu, nenek peot!" teriak Melati keras. 

"Hik... hik... hik...! Dengan tangan kosong pun aku 

sanggup merobek mulutmu yang lancang, gadis liar!" sahut 

Kuntilanak Alam Kubur tak mau kalah.


"Kalau begitu jangan katakan aku curang kalau kau 

mampus di ujung pedangku! Hiyaaa...!" 

Setelah berkata demikian, Melati melompat menerjang. 

Pedangnya menusuk cepat ke dada Kuntilanak Alam 

Kubur. Bunyi mengaung yang mengawali tibanya serangan 

itu menjadi pertanda, betapa kuatnya tenaga yang ter-

kandung di dalamnya. 

Meskipun serangan tusukan pedang itu berlangsung 

cepat, tapi masih lebih cepat lagi gerakan si nenek. Tahu-

tahu Kuntilanak Alam Kubur sudah melenting melewati 

kepala Melati. Tubuhnya berputar di udara, seraya meng-

ayunkan kedua tangannya ke kepala si gadis. 

Melati terkejut bukan main. Dia segera melompat ke 

depan sambil menggulingkan tubuhnya menjauh. 

"Hup...!" 

Begitu kedua kaki Kuntilanak Alam Kubur mendarat, 

Melati segera bangkit. 

"Haaat...!" 

Kembali gadis berbaju putih itu menerjang. Kini pedang 

di tangannya memainkan Jurus 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. 

Serangannya susul-menyusul seperti tiada putus-putusnya. 

Tapi Kuntilanak Alam Kubur adalah tokoh yang sudah 

kenyang makan asam garam pertempuran. Meskipun 

hanya bertangan kosong, sedikit pun tak nampak terdesak. 

Bahkan kedua tangannya yang mengepal memainkan ilmu 

'Tinju Gajah', masih sempat menyerang bertubi-tubi. 

Akibat dari pertarungan kedua wanita ini sangat 

mengerikan. Batu-batu besar dan kecil beterbangan. 

Bahkan tidak sedikit pohon-pohon besar yang ber-

tumbangan terkena pukulan, tendangan, atau sabetan 

pedang nyasar. 

Tujuh puluh jurus telah berlalu. Sampai saat ini, Melati 

belum juga mampu mendesak lawannya. Hal ini tentu saja 

membuatnya geram bukan main. 

Pada jurus kesembilan puluh tiga, sambil mengeluarkan 

pekik nyaring, Melati melompat menerjang. Pedang di 

tangannya melesat cepat menusuk ke leher lawan.


Singgg...! 

Kuntilanak Alam Kubur terkekeh pelan. Dengan tenang 

dibiarkannya serangan itu mendekat. Melati mengira 

nenek itu sudah kehabisan tenaga. Kelelahan membuatnya 

lengah, pikirnya. Tapi mendadak si nenek menggeser 

tubuhnya ke samping kanan, seraya tangan kanannya 

menyampok tangan Melati. 

Wut! Plak! 

"Akh...!" 

Melati memekik tertahan. Sekujur tangannya dirasakan 

lumpuh. Pedang di tangannya terlempar jauh. Sebelum 

gadis berpakaian serba putih itu berbuat sesuatu, kaki 

nenek itu sudah menyambar cepat ke arah perut. 

Buk! 

"Hughk...!" 

Keras dan telak bukan main tendangan itu mengenai 

sasaran. Seketika itu juga tubuh Melati terjengkang ke 

belakang. Cairan merah kental terlihat di sela-sela bibirnya. 

Melati terluka dalam! 

"Terimalah kematianmu, gadis liar! Hiyaaa...!" 

Setelah berkata demikian, Kuntilanak Alam Kubur 

menerjang sambil memukulkan tinju kanannya ke dada 

Melati. 

Angin keras menyambar ke arah Melati yang masih 

terhuyung-huyung ke belakang. 

Melati membelalakkan sepasang matanya. Dia tahu 

betapa dahsyatnya pukulan jarak jauh yang dilepaskan 

lawannya. Keadaannya yang sudah terluka dalam tidak 

memungkinkan untuk menangkis serangan itu. 

Bila menangkis, berarti sama saja dengan membunuh 

diri. Sementara mengelak pun sudah tidak sempat lagi. 

Kini ia hanya dapat menanti datangnya sang maut 

menjemput. 

Tapi sebelum pukulan jarak jauh itu mengenai tubuh 

Melati, sesosok bayangan ungu berkelebat menyambar 

tubuh gadis itu. 

Tappp...!


Brakkk...! 

Sebatang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa, 

tumbang seketika terkena pukulan jarak jauh yang nyasar. 

Suara berderak keras mengiringi robohnya pohon itu. 

"Keparat...!" 

Kuntilanak Alam Kubur berteriak memaki. Hatinya 

gemas sekali ketika lawannya berhasil lolos dari tangan-

nya. Tapi sebelum ia sempat mengejar, bayangan ungu itu 

telah lenyap ditelan rerimbunan semak yang lebat. 

Nenek berwajah mirip burung elang ini menggeram. 

Keras bukan main geramannya. Dihampirinya macan putih 

yang terkurung di jaring, tergantung di atas pohon. 

"Hih...!" 

Kuntilanak Alam Kubur mengacungkan dua buah jari 

telunjuknya ke atas. Terdengar suara mencicit nyaring 

seperti suara tikus terjepit. 

Tasss...! 

Seketika itu juga tali penggantung jaring yang 

mengurung macan putih itu putus dan jatuh ke tanah. 

Brukkk! 

"Aummm...!" 

Macan itu bergerak menerobos kurungan jaring. 

Kemudian menggeram pelan menghampiri si nenek. Tapi 

Kuntilanak Alam Kubur yang rupanya masih kesal, lalu 

meninggalkan tempat tersebut. Macan putih itu pun sambil 

tetap menggeram pelan, melangkah mengikuti si nenek. 

***


TUJUH


Sosok bayangan ungu berkelebat cepat menembus 

kerimbunan pepohonan Hutan Bandan. Kini bayangan tadi 

terhenti di depan sebuah gua. 

Sosok ungu itu tak lain adalah Dewa Arak. Di pundaknya 

tampak tubuh Melati terkulai lemas. Gadis itu pingsan. 

Rasa nyeri yang diakibatkan oleh luka dalam yang diderita-

nya, sudah tak dapat ditahannya lagi. Tanpa ragu-ragu 

Dewa Arak melangkah memasuki mulut gua. Langkah-

langkahnya panjang, seolah-olah tidak merasakan beban di 

pundaknya. 

Beberapa saat kemudian, Dewa Arak sudah melihat 

kakek bongkok yang tengah duduk bersila. 

"Aku butuh pertolonganmu, Kek." ucap Arya tanpa basa-

basi lagi. Tubuh Melati yang sejak tadi di pondongnya, 

diturunkan pelahan-lahan. 

Kakek bongkok itu membuka matanya. Sepasang mata-

nya yang putih itu menatap Dewa Arak. 

"Siapa dia, Arya?" tanya kakek itu tanpa mempedulikan 

ucapan Dewa Arak. 

Arya sudah tidak terkejut lagi ketika si kakek telah 

mengetahui kalau dia tidak datang sendirian. Meskipun 

buta, kakek itu mampu melihat melalui mata batinnya. 

"Teman, Kek," sahut Arya. 

Kakek itu tercenung sejenak. 

"Teman atau kekasih?" sindir kakek itu. 

Arya menghela napas panjang. Percuma, tidak ada 

gunanya lagi menyembunyikan hal yang sebenarnya pada 

orang tua ini. 

"Sebenarnya…, dia tunanganku, Kek," jawab Arya 

berterus terang. 

"Hm..., lalu kenapa kau bawa dia kemari?" 

"Dia mendapat luka dalam yang parah Kek. Karena dulu


Kakek adalah seorang raja obat, maka kubawa dia kemari." 

Kakek bongkok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Bagaimana dia bisa terluka?" desak si kakek ingin tahu. 

"Dia bertarung melawan seorang nenek yang berpakaian 

serba hitam dan...." 

Arya menghentikan ucapannya ketika melihat raut wajah 

si kakek mendadak berubah. 

"Mengapa. Kek? Ada sesuatu yang aneh dalam 

ceritaku?" 

"Tidak. Tidak.... teruskan ceritamu, Arya." sahut kakek itu 

cepat "O ya. apakah nenek itu mengenakan kerudung 

hitam juga?" 

"Benar, Kek. Apakah Kakek mengenalnya?" 

"Hhh...!" kakek bongkok itu menghela napas panjang 

"Dia adalah orang yang kuceritakan padamu." 

"Maksud Kakek… wanita itu... istri Kakek…?” tebak Arya. 

"Yahhh…!" sambut kakek itu sambil mengangguk pelan. 

Arya tercenung mendengar jawaban si kakek. Seketika 

suasana menjadi hening. Tapi hal ini tidak berlangsung 

lama, karena orang tua itu sudah kembali berbicara. 

"Tolong kau ambilkan buntalan yang ada di pojok sana," 

pinta kakek bongkok itu sambil menunjuk ke salah satu 

sudut gua. 

Tanpa banyak membantah, Arya bergegas ke arah yang 

ditunjuk kakek bongkok itu. Benar saja. Di situ dijumpainya 

sebuah buntalan. Buntalan itu segera diambilnya. 

"Buka! Ambil pil yang berwarna merah, lalu kau 

minumkan pada tunanganmu," ucap si kakek sebelum Arya 

menyerahkan buntalan itu padanya. 

Dewa Arak membuka buntalan itu. Diambilnya pil 

berwarna merah dan segera dimasukkan ke dalam mulut 

Melati. 

"Kek...," ucap Arya memecah keheningan yang meliputi 

suasana gua. 

"Hm...," kakek itu hanya bergumam pelan. 

Dewa Arak menghela napas panjang sebelum memulai 

ucapannya.


"Begini, Kek. Rasanya..., tindakan istri Kakek tidak bisa 

dibiarkan lebih lama lagi." 

"Maksudmu aku harus membunuhnya?" selak kakek itu 

cepat. 

"Bukan itu maksudku, Kek." sahut Arya cepat. 

"Bicara yang tegas, Arya. Katakan saja, ya!" tegur kakek 

itu. Tajam dan keras suaranya. 

"Tidak seluruhnya benar, Kek." 

"Maksudmu?" 

"Perbuatan istri kakek memang harus dicegah. Dengan 

jalan lunak sepertinya tidak mungkin. Jadi, terpaksa 

dilakukan lewat jalan kekerasan." 

"Betul kan dugaanku?!" selak kakek itu lagi. 

"Ya. Tapi, bukan Kakek yang harus melakukannya." 

"Lalu, siapa? Kau?!" ada keraguan dalam nada suara si 

kakek. 

"Begitulah, Kek. Aku akan berusaha dengan seluruh 

kemampuanku.” 

"Percuma. Kau tidak akan mampu menandinginya. Kau 

hanya akan mengantar nyawa saja!" tegas kakek itu yakin. 

"Tidak mengapa, Kek. Aku siap mengadu nyawa dengan-

nya. Maksudku mengutarakan hal inl, adalah untuk men-

cegah hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari," jelas 

Arya. 

Kakek bongkok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Alasan Arya bisa diterimanya. Pemuda ini benar-benar 

bijaksana, pikirnya. 

"Aku mengerti arah pembicaraanmu, Arya. Kau khawatir 

aku akan salah terima bila istriku tewas di tanganmu, 

begitu kan?" tebak kakek bongkok itu. 

"Benar, Kek," ucap Dewa Arak sambil menganggukkan 

kepalanya. 

"Hhh...! Perlu kau ketahui Arya. Aku pun sudah muak 

dengan tingkah laku istriku. Sudah lama sekali aku meng-

inginkannya tewas. Tapi, ternyata tidak seorang pun yang 

sanggup mengalahkannya. Sedangkan aku tak sampai hati 

menjatuhkan tangan maut pada istriku sendiri. Kuharap



kau berhasil. Pesanku berhati-hatilah, Arya. Saat ini dia 

tengah mempelajari sebuah ilmu hitam. Aku sendiri belum 

tahu ilmu apa yang ditekuninya." 

"Terima kaslh atas kerelaanmu, Kek. Aku titip tunangan-

ku di sini." 

"Pergilah, Arya. Kudoakan semoga kau berhasil" 

"Terima kasih, Kek," pamit Arya, seraya melesat ke luar. 

Sepeninggal Dewa Arak, kakek itu menunduk sedih. 

Bola mata yang hanya tinggal putihnya itu, terlihat berkaca-

kaca. Hatinya tersayat pedih saat mengingat kenangan 

manis bersama istrinya. Rupanya masih ada segumpal 

cinta di hatinya 

*** 

Matahari telah sejak tadi tenggelam di ufuk Barat. 

Cahaya bulan yang hanya sepotong membuat suasana 

Hutan Bandan menjadi remang-remang. 

Seorang kakek bertubuh pendek terkekeh-kekeh 

gembira. Tubuhnya yang gemuk, terbalut rompi dan celana 

hijau. Kepalanya botak, berkilat-kilat ditimpa cahaya bulan. 

"Akhirnya aku juga yang mendapatkan benda langit ini. 

He... he... he...!" matanya menatap sebuah lubang bergaris 

tengah sekitar dua tombak. Kedalamannya hampir se-

tengah tombak. Di dalamnya lampak tergolek sebuah 

benda seperti batu berwarna gelap. Besarnya sebesar 

kepala orang dewasa. 

Tapi baru saja kakek pendek gemuk ini hendak 

menuruni lubang itu, terdengar suara terkekeh. Kontan 

saja kakek itu mengurungkan niatnya. Matanya berkeliling 

mencari asal suara. 

"Hik... hik... hik...! Kelabang Hijau..., tidak kusangka 

kalau langkahmu sampai juga kemari." 

Kakek pendek gemuk yang berjuluk Kelabang Hijau itu 

menatap sosok di hadapannya (Untuk lebih jelas mengenai 

tokoh ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode 

"Cinta Sang Pendekar") Di depannya telah berdiri seorang


nenek berwajah mirip burung elang. Pakaian dan 

kerudungnya serba hitam. Sebuah tongkat berkeluk yang 

ujungnya berbentuk kepala seekor burung elang ter-

genggam di tangannya. 

"Kuntilanak Alam Kubur...." desis Kelabang Hijau. 

Perasaan terkejut dapat dirasakan dari suara si kakek. 

"Rupanya kau juga tertarik dengan benda langit, nenek 

peot!? Sehingga langkahmu sampai juga kemari." 

"Hik... hik... hik...! Pasang telingamu lebar-lebar, 

Kelabang Hijau. Dengar! Aku adalah pemilik Hutan Bandan 

ini! Jadi akulah yang lebih berhak atas benda langit itu! 

Lagi pula aku tidak suka ada orang mengusik ketenangan-

ku. Mereka semua harus mati! Tak terkecuali kau!" 

"Kita lihat saja buktinya, nenek peot!" sahut Kelabang 

Hijau. 

"Hik... hik... hik...!" Kuntilanak Alam Kubur kembali 

tertawa terkekeh-kekeh. Tongkatnya ditancapkan di tanah. 

"Hiyaaa...!" 

Terdengar suara gemuruh ketika nenek berpakaian 

serba hitam itu melontarkan kepalannya ke leher si botak. 

Rupanya Kuntilanak Alam Kubur sudah mengeluarkan ilmu 

'Tinju Gajah' 

Kelabang Hijau tahu kalau lawan telah mengeluarkan 

ilmu andalannya. Tanpa ragu-ragu lagi, ia pun segera 

memainkan jurus 'Kelabang Sakti’. Ditangkisnya serangan 

itu. 

Plak! 

"Uh...!" 

Tubuh Kelabang Hijau terjengkang ke belakang. Sekujur 

tangannya dirasakan lumpuh. Dadanya terasa sesak, 

sementara lawannya hanya terhuyung beberapa langkah 

ke belakang. Kakek berkulit kehijauan ini sadar kalau 

lawan memiliki tenaga dalam yang jauh lebih kuat. 

"Hik... hik... hik…! Kematianmu sudah di ambang pintu, 

gundul jelek!" ejek Kuntilanak Alam Kubur. 

Kelabang Hijau sama sekali tidak mempedulikan ejekan 

si nenek. Sambil mengeluarkan pekik nyaring, dia me


lompat menyerang. Kini kedua tokoh sakti ini sudah terlibat 

dalam sebuah pertarungan sengit. 

Mulanya pertarungan kedua tokoh sesat ini berlangsung 

imbang. Tapi begitu menginjak jurus kedua puluh, tampak-

lah keunggulan Kuntilanak Alam Kubur. 

Kelabang Hijau yang tahu keunggulan lawannya dalam 

hal tenaga dalam, sedapat mungkin berusaha menghindari 

bentrokan tenaga. Berkali-kali ia terpaksa harus menarik 

kembali serangannya begitu Kuntilanak Alam Kubur 

hendak menangkisnya. 

Tapi di saat gawat bagi Kelabang Hijau, tiba-tiba melesat 

sesosok bayangan putih memasuki arena pertempuran. 

Sosok bayangan putih ini langsung menghujani Kuntilanak 

Alam Kubur dengan serangan-serangan dahsyat. 

Tentu saja Kuntilanak Alam Kubur terkejut, ia terpaksa 

mengurungkan desakannya pada Kelabang Hijau. 

Serangan si bayangan putih merupakan serangan-

serangan mematikan yang disertai pengerahan tenaga 

dalam tinggi. Mau tak mau ia harus menangkis serangan 

yang bertubi-tubi itu dengan pengerahan seluruh tenaga 

dalam pula. 

Plak, plak, plak….! 

Suara benturan dua pasang tangan yang mengandung 

tenaga dalam tinggi terdengar berkali-kali. Akibatnya hebat! 

Si bayangan putih memekik tertahan. Tubuhnya ter-

pelanting sejauh tiga batang tombak. Sekujur tangannya 

dirasakan ngilu. 

Kini sosok serba putih sudah berdiri di sebelah 

Kelabang Hijau kembali. Pada dahinya terlihat sebuah 

logam berbentuk bulan sabit. Dialah Dewi Bulan, pasangan 

dari Kelabang Hijau. 

"Hik... hik... hik...! Rupanya kekasihmu datang juga, 

Kelabang Hijau! Hik hik hik...! Luar biasa! Rupanya berita 

tentang jatuhnya benda langit di sini membuat kalian yang 

telah bau tanah ini ingin juga memilikinya." 

"Tutup mulutmu kuntilanak jelek!" bentak Dewi Bulan 

keras.

"Kalau aku tidak mau?!" sahut Kuntilanak Alam Kubur 

sambil tersenyum mengejek. 

"Aku yang akan menutupnya dengan kedua tanganku!" 

"Hik hik hik...! Mampukah kau melakukannya, dewi 

got!?" ejek nenek berpakaian hitam yang pandai berdebat 

itu. 

"Keparat...! Mampuslah kau...!" 

Setelah berkata demikian, Dewi Bulan langsung 

melompat menerjang lawannya. Kaki kanannya melayang 

ke pelipis Kuntilanak Alam Kubur. Cepat dan keras bukan 

main serangannya. Angin berdesir keras mengawali tibanya 

serangan itu. 

Kuntilanak Alam Kubur hanya merendahkan tubuhnya 

sedikit. Dan serangan itu pun lewat di atas kepalanya. Tapi 

mendadak kaki kanannya menendang ke lutut kiri Dewi 

Bulan. 

"Ihhh...!" 

Dewi Bulan tersentak kaget. Tapi sebelum dia sempat 

berbuat sesuatu, Kelabang Hijau telah lebih dulu ber-

gulingan menangkis serangan itu. 

Plak! 

Kuntilanak Alam Kubur menggeram murka. Apalagi di 

saat itu Dewi Bulan sudah mengirimkan serangan susulan. 

Belum lagi nenek berpakaian serba hitam ini sempat 

menarik napas, serangan Kelabang Hijau sudah tiba lagi. 

Demikian seterusnya silih berganti. Sehingga Kuntilanak 

Alam Kubur terdesak. Ia tidak mempunyai kesempatan 

untuk melancarkan serangan balasan. 

"Hih...!" 

Tiba tiba Kuntilanak Alam Kubur melentingkan tubuhnya 

ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Kakinya 

mendarat tanpa suara di dekat tongkat yang tadi 

ditancapkannya. 

Dewi Bulan dan Kelabang Hijau tidak bergerak 

mengejar. Mereka tidak berani berbuat gegabah meng-

hadapi perempuan aneh ini. Keduanya tahu kalau lawan 

hendak menggunakan ilmu lainnya. Tapi sepasang tokoh



tua ini yakin, ilmu gabungan mereka dapat menghadapi 

lawan yang bagaimanapun lihainya. 

"Hih...!" 

Kuntilanak Alam Kubur mencabut tongkatnya yang 

terhunjam dalam di tanah. Kedua matanya nampak 

terpejam sejenak. Bibirnya berkemik seperti mengucapkan 

sesuatu. Tak lama kemudian, tongkatnya diketukkan ke 

tanah. 

***


DELAPAN


Sepasang mata Dewi Bulan dan Kelabang Hijau terbelalak 

lebar. Kini di hadapan mereka telah berdiri empat orang 

Kuntilanak Alam Kubur. 

"Hik... hik... hik...! Ingin kulihat, mampukah kalian 

menghadapi ilmu 'Pecah Raga'! Hik hik hik...!" ucap salah 

seorang dari empat nenek berpakaian serba hitam itu. 

"'Pecah Raga'...?!" desah Kelabang Hijau dan Dewi Bulan 

bersamaan. Wajah mereka memancarkan keterkejutan 

yang amat sangat. Keduanya memang pernah mendengar 

kedahsyatan ilmu ini. Ilmu unik yang dapat membuat tubuh 

pemiliknya menjadi banyak. Sungguh tak disangka kalau 

nenek itu bisa memilikinya. Namun belum lagi habis rasa 

terkejut mereka. Tiba-tiba…. 

"Hiyaaa...!" 

Empat orang Kuntilanak Alam Kubur menyerbu 

serentak. Kelabang Hijau dan Dewi Bulan bertindak cepat. 

Keduanya segera menggabungkan ilmunya sehingga 

serangan dan pertahanan mereka menjadi berlipat ganda. 

"Haaattt..!" 

Salah seorang dari empat Kuntilanak Alam Kubur 

berteriak nyaring. Kedua jari tangannya menusuk cepat ke 

dada Dewi Bulan. Angin mencicit nyaring mengiringi tibanya 

serangan itu. 

"Hih...!" 

Kelabang Hijau mengulurkan tangan kirinya ke arah 

Dewi Bulan. Wanita sesat itu meyambut dan meng-

genggamnya dengan tangan kanan. Tusukan dua jari yang 

mengarah ke lehernya ditangkis dengan tangan kirinya. 

Plak! 

"Ihhh...!" 

Kuntilanak Alam Kubur memekik tertahan. Tubuhnya 

langsung terjengkang ke belakang. Rupanya gabungan 

tenaga dalam sepasang tokoh sesat tadi telah berhasil


memecah pertahanan keempat Kuntilanak Alam Kubur. 

Beberapa kali, baik Kelabang Hijau maupun Dewi Bulan 

berhasil menyarangkan pukulan telak pada dada, perut 

ataupun ulu hati lawan-lawannya. Tetapi kejadian tadi 

berulang kembali. Keempat Kuntilanak Alam Kubur seolah-

olah tidak merasakannya. 

Tak terasa seratus jurus telah lewat. Kelabang Hijau dan 

Dewi Bulan merasa lelah bercampur kesal. Lelah karena 

harus mengelak serangan gencar keempat Kuntilanak 

Alam Kubur. Kesal karena setiap kali lawan dirobohkan, 

tahu-tahu sudah bangkit menyerang kembali. Lama 

kelamaan rasa lelah membuat ilmu gabungan mereka 

mulai kacau. Sementara empat Kuntilanak Alam Kubur 

masih terlihat segar. 

"Hik hik hik…!" salah seorang dari empat Kuntilanak 

Alam Kubur mengikik. “Tak lama lagi, ajal kalian akan tiba. 

Hik... hik... hik...! Tidak ada seorang pun yang akan 

kubiarkan hidup, setelah memasuki Hutan Bandan!" 

Kuntilanak Alam Kubur tahu, selama kedua lawannya 

masih bersatu mereka sullt dikalahkan. Keduanya harus 

dipisahkan lebih dulu, pikirnya. Segera keempatnya 

berpencar. Kini baik Dewi Bulan maupun Kelabang Hijau 

masing-masing menghadapi dua Kuntilanak Alam Kubur. 

Kelabang Hijau dan Dewi Bulan sama sekali tidak 

menyadari siasat lawan. Baru setelah beberapa jurus 

kemudian, mereka sadar. Segera keduanya bermaksud 

untuk bersatu kembali. Tapi Kuntilanak Alam Kubur mem-

baca maksud mereka, sehingga usaha keduanya gagal. 

Crottt..! 

"Akh...!" Dewi Bulan menjerit tertahan ketika dua buah 

jari tangan Kuntilanak Alam Kubur menusuk perutnya. 

Belum lagi ia sempat berbuat sesuatu, Kuntilanak Alam 

Kubur yang satu lagi telah menyarangkan sebuah 

tendangan keras ke dadanya. 

Buk...! 

"Aaakh...!" 

Dewi Bulan menjerit melengking tinggi. Tubuhnya


melayang jauh ke belakang dengan tulang-tulang dada 

remuk. Darah segar keluar dari mulut, hidung, dan telinga-

nya. Nyawanya melayang diringi jeritan kematian yang 

menyayat. 

Brukkk...! 

Kelabang Hijau terkejut mendengar jeritan kekasihnya. 

Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Keadaannya sendiri 

terjepit. Kini ia harus bertarung melawan keempat 

Kuntilanak Alam Kubur sekaligus. Belum ada dua jurus 

setelah kematian Dewi Bulan, sebuah tusukan jari lawan 

meluruk cepat ke pelipisnya. 

Tukkk.! 

"Aaakh...!" 

Kelabang Hijau memekik tertahan. Tubuhnya ambruk 

dengan tulang pelipis pecah. 

"Hik... hik... hik...!" 

Empat orang Kuntilanak Alam Kubur itu tertawa 

mengikik menatap kedua mayat yang terbujur di tanah. 

Sesaat kemudian, tiga orang kembaran nenek berpakaian 

hitam itu lenyap tanpa bekas. Kini tinggal satu orang 

Kuntilanak Alam Kubur. 

*** 

Kepala Kuntilanak Alam Kubur menoleh ke kiri. 

Pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah 

bergerak ke arahnya. Betul saja. Beberapa saat kemudian, 

berkelebat bayangan ungu di hadapannya. 

Kuntilanak Alam Kubur menatap sosok bayangan ungu 

yang ternyata adalah Arya, si Dewa Arak. 

Tiba-tiba saja macan putih yang sejak tadi mendekam 

mengawasi pertarungan majikannya, bangkit. Suara gereng 

kemarahan terdengar dari mulutnya begitu melihat 

kedatangan anak muda ini. 

"Keparat..!" geram Kuntilanak Alam Kubur. "Jadi, inikah 

orang yang dulu melukaimu, Putih?!" tanya nenek itu. 

Ketika dilihatnya binatang peliharaannya menggereng


gereng penuh kemarahan. 

"Grrrh...!" macan putih kembali menggereng pelan. 

Kuntilanak Alam Kubur mengerti makna gerengan binatang 

peliharaannya. 

"Kalau begitu, kau tenang saja di sini. Akan kubalas 

sakit hatimu!" 

Kuntilanak Alam Kubur melangkah mendekati Dewa 

Arak yang tetap bersikap tenang. 

"Bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak?" tanya nenek 

itu. Kasar dan keras suaranya. Memang dia sudah men-

dengar nama besar Dewa Arak yang telah meng-

goncangkan dunia persilatan. Begitu melihat ciri-ciri Arya, 

dia sudah bisa langsung menduganya. 

Dewa Arak mengangguk. 

"Begitulah orang memberiku julukan." jawabnya seraya 

memutar tubuhnya. "Dan kau pasti Kuntilanak Alam Kubur. 

Betul kan?" duga Dewa Arak. Sepasang matanya me-

mandang berkeliling. 

Dewa Arak terkejut begitu matanya tertumbuk pada dua 

sosok yang dikenalnya, tergolek tanpa nyawa. Dua orang inl 

dulu pernah hampir mencelakainya, kalau saja tidak 

datang Melati menolongnya (Untuk lebih jelasnya, bacalah 

serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar") 

Bagaimana mungkin keduanya tewas di tangan nenek ini? 

pikirnya setengah tidak percaya. Bukankah kepandaian 

yang dimiliki sepasang tokoh tua ini sudah sangat tinggi? 

Wajah nenek berpakaian hitam berubah hebat. 

"Dari mana kau tahu julukanku Dewa Arak?! Aku yakin 

ada orang yang memberitahukanmu," tanya nenek itu 

penuh selidik. 

"Dari mana kutahu dirimu, itu adalah rahasiaku. 

Kedatanganku ke hutan ini adalah untuk menghentikan 

kekejianmu terhadap penduduk Desa Bandan. Sekaligus 

membalas perlakuanmu terhadap kawanku yang telah kau 

lukai!" 

Kuntilanak Alam Kubur tercenung sejenak mendengar 

ucapan terakhir Dewa Arak. Keningnya berkernyit pertanda


tengah berpikir keras. 

"Temanmu?" tanyanya. Diingat-ingatnya kembali setiap 

pertempuran yang dialaminya belum lama ini. Tapi 

seingatnya, dia baru bertarung dua kali. Kini nenek itu 

teringat pada bayangan ungu yang telah menyelamatkan 

gadis berpakaian putih dari cengkeramannya "Jadi, kau 

rupanya yang telah menyelamatkan gadis berpakaian putih 

itu!?" 

Dewa Arak menganggukkan kepalanya. 

"Benar. Akulah orangnya " sahut Arya singkat. Setelah itu 

tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak mengambil guci arak yang 

tergantung di punggungnya. Diangkatnya ke atas kepala. 

Kemudian dituangkan ke mulutnya. 

Gluk... gluk…. gluk…! 

Suara tegukan terdengar ketika arak melewati 

kerongkongannya. Sesaat kemudian dirasakan hawa 

hangat menyebar dalam perutnya dan terus naik ke atas 

kepala. 

"Hih...!" 

Kuntilanak Alam Kubur menggertakkan gigi. Pelahan-

lahan, kedua tangannya mengepal. Terdengar suara ber-

kerotokan keras seperti ada tulang-tulang berpatahan 

begitu jari-jarinya dikepalkan. Firasatnya mengatakan kalau 

Dewa Arak mempunyai kelihaian tinggi. Tanpa sungkan-

sungkan lagi segera dikeluarkan Ilmu 'Tinju Gajah’. 

"Hiyaaa...!" 

Dengan diinngi teriakan nyaring, Kuntilanak Alam Kubur 

menyerang Dewa Arak. Tangan kanannya dipukulkan keras 

ke wajah lawan. Angin berhembus keras mengawali 

serangannya. 

Tapi kali ini yang diserangnya adalah Dewa Arak, 

meskipun masih muda, tapi memiliki ilmu-ilmu aneh dan 

tinggi. Dengan langkah terhuyung-huyung yang menjadi ciri 

khasnya. Arya mengelakkan serangan itu. 

"Heh ..?!" Kuntilanak Alam Kubur terpekik kaget ketika 

melihat lawannya tahu-tahu lenyap dari situ. Belum lagi 

hilang rasa terkejutnya, dirasakan adanya angin dingin


berkesiut di belakangnya. Dewa Arak tiba-tiba telah berada 

di belakangnya, dan tengah mengayunkan gucinya ke arah 

belakang kepalanya. 

"Hih...!" 

Nenek berpakaian serba hitam ini segera melompat ke 

depan. Tubuhnya berguling-guling menjauh. Serangan guci 

Dewa Arak mengenai tempat kosong 

Wajah Kuntilanak Alam Kubur berubah. Selama 

hidupnya baru kali ini dia bisa dibuat bergulingan di tanah 

dalam segebrakan. Hal ini tentu saja membuat amarahnya 

meluap. Begitu bangkit dari bergulingnya, dia pun kembali 

menerjang lawannya dengan dahsyat. 

Kedua tinju Kuntilanak Alam Kubur menyambar-

nyambar dahsyat mencari sasaran. Terdengar suara 

gemuruh setiap kali tinjunya melayang. 

Tapi meskipun si nenek menyerang bagaikan kerbau 

mengamuk, semua serangannya dapat dikandas kan oleh 

Dewa Arak. Jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang dimain-

kan Arya membuatnya lincah mengelakkan serangan. 

Bahkan tidak jarang malah berbalik mengancam lawan. 

"Haaat..!" 

Kedua tangan Dewa Arak yang memainkan jurus 

'Belalang Mabuk' menyambar deras ke arah kedua pelipis 

Kuntilanak Alam Kubur. 

Nenek berwajah mirip burung elang itu tertawa 

mengikik. Serangan itu segera dipapakinya dengan kedua 

tangan yang dilintangkan di sisi telinganya. 

Plak...! 

Benturan dua pasang tangan yang mengandung tenaga 

dalam tinggi pun terjadi. Tubuh Dewa Arak terjengkang ke 

belakang. Sekujur tangannya dirasakan ngilu sekali. 

Napasnya terasa sesak. Sementara si nenek dilihatnya 

hanya terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang. Jelas, 

kalau dalam adu tenaga dalam, Kuntilanak Alam Kubur 

masih berada di atas Dewa Arak! 

"Hiyaaa...!" 

Belum sempat pendekar muda ini memperbaiki kuda


kudanya, nenek berpakaian hitam itu kembali menerjang. 

Ilmu 'Tinju Gajah' kembali menderu-deru mencari sasaran. 

Dewa Arak segera dapat mematahkannya. Ilmu 

'Belalang Sakti’ yang dimainkan Arya, memungkinkannya 

bergerak dalam posisi apa pun tanpa mengalami kesulitan. 

Dalam waktu singkat, seratus jurus telah berlalu. 

Pertarungan masih berjalan seimbang. Belum tampak ada 

tanda-tanda siapa yang terdesak. 

"Hm.... Bukan main lihainya pemuda ini...," puji seorang 

kakek bermata putih. Punggungnya bungkuk. Di tangan 

kanannya tergenggam sebatang tongkat penunjang 

tubuhnya. Kaki kirinya buntung sebatas pangkal paha. 

Ujung celana di sebelah kirinya berkibaran tertiup angin. 

"Tidak aneh, Kek. Dia adalah Dewa Arak," sahut gadis di 

sebelahnya yang tak lain adalah Melati. Di belakang 

keduanya nampak berdiri tujuh orang. Mereka adalah Ki 

Sancaperta, Ki Gayan, Jiwala dan empat orang penduduk 

Desa Bandan lainnya. 

Rupanya Ki Sancapaperta dan Ki Gayan merasa tidak 

enak bila hanya menunggu di desa, sementara Dewa Arak 

berjuang untuk kepentingan desa mereka. Bersama Jiwala 

dan empat orang warga desa lainnya, mereka berbondong-

bondong masuk hutan. Di tengah perjalanan, mereka 

bertemu dengan kakek penyelamat desa mereka bersama 

seorang gadis berpakaian putih. 

Mulanya hampir terjadi kesalahpahaman. Ketujuh orang 

warga Desa Bandan ini tidak dapat menahan amarahnya 

begitu mengenali si kakek. Tapi untunglah si kakek segera 

memberikan penjelasan. Sehingga pertumpahan darah 

yang sia-sia, akhirnya dapat dihindari. 

Kesembilan orang itu bergegas ke tempat itu begitu 

mendengar suara pertempuran. Kini mereka menonton 

pertarungan itu dari tempat yang agak jauh. 

Melati memandang ke arah pertempuran dengan 

pandangan mata cemas. Dia pernah merasakan kelihaian 

Kuntilanak Alam Kubur. Dilihatnya tenaga dalam tunangan-

nya tidak mampu mengimbangi tenaga dalam lawan.


Kuntilanak Alam Kubur menggeram hebat menahan 

amarah. Telah serarus lima puluh jurus berlalu, tapi dia 

belum dapat mematahkan lawannya. Ilmu 'Tinju Gajah' 

sama sekali tidak berdaya. Bahkan beberapa kali dia 

dibuat jatuh bangun oleh serangan balasan Dewa Arak. 

"Hih...!" 

Kuntilanak Alam Kubur menjerit melengking tinggi. 

Tubuhnya melenting ke belakang. Dewa Arak tidak berani 

gegabah mengejarnya. 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara, nenek berpakaian serba hitam ini 

mendarat dekat tongkat yang tadi ditancapkannya di 

tanah. 

"Hih...!" 

Kuntilanak Alam Kubur mencabut tongkatnya. Sepasang 

matanya terpejam. Bibirnya berkemik seperti mengucap-

kan sesuatu. Kemudian tongkatnya diketukkan ke tanah. 

"Ahhh...!" seru Arya terkejut. Di hadapannya kini telah 

berdiri empat orang Kuntilanak Alam Kubur. Masing-

masing menggenggam tongkat berujung kepala burung 

elang. 

"Ilmu sihir...!" teriak Melati pula tak kalah terkejutnya. 

Bukan cuma Melati saja, ketujuh orang di belakangnya 

juga mengalami hal serupa. 

"Ada apa, Melati?" tanya kakek bongkok mendesah, 

begitu mendengar seruan seruan kaget itu. Dahinya ber-

kernyit seperti tengah berpikir keras. 

"Ng..., anu, Kek. Lawan Kang Arya kini telah menjadi 

empat orang." jawab gadis berpakaian putih itu mem-

beritahu. 

"Hm...," kakek bongkok itu mengangguk-anggukkan 

kepalanya. "Ilmu 'Pecah Raga’” desahnya pelan. 

"Kau tahu ilmu itu, Kek?" tanya Melati penuh gairah. 

"Hm.... Rupanya ilmu iblis itulah yang dipelajarinya 

selama ini. Kekuatan iblisnya diperoleh dari darah remaja-

remaja yang dihirupnya. Mudah-mudahan saja tunangan-

mu itu berhasil menemukan kelemahannya."


Melati terdiam. Semula dia berharap si kakek bongkok 

mengetahui kelemahan ilmu Kuntilanak Alam Kubur. Tapi 

mendengar ucapan tadi, gadis ini putus harapan. Kembali 

dialihkan perhatiannya ke arena pertarungan. 

Sementara itu, Kuntilanak Alam Kubur yang kini telah 

berubah menjadi empat orang, sudah menerjang Dewa 

Arak. 

Menghadapi seorang saja, Dewa Arak sudah kewalahan. 

Apalagi menghadapi empat orang! Tapi dengan kegesitan 

jurus 'Delapan Langkah Belalang', dia masih mampu meng-

imbangi. 

"Haaat...!" salah seorang Kuntilanak Alam Kubur men-

jerit keras. Tongkat kepala burung elang di tangannya, 

ditusukkan ke arah perut Dewa Arak. 

Anak muda ini melentingkan tubuhnya, tahu-tahu ia 

telah berada di belakang nenek tadi. Guci arak di 

tangannya terayun deras menghantam punggung 

lawannya. 

Buk...! 

"Huakh...!" 

Hantaman guci tadi dilakukan dengan pengerahan 

tenaga dalamnya. Akibatnya, perempuan tua itu terpental 

jauh ke depan. Tubuhnya jatuh tersungkur sambil 

memuntahkan darah segar. Ia pun tewas seketika! 

Wut..! 

Belum sempat Dewa Arak melanjutkan serangannya, 

Kuntilanak Alam Kubur yang lain membabatkan tongkatnya 

ke kaki Arya. 

"Hih...!" 

Dewa Arak melompat ke atas. Dan selagi tubuhnya 

berada di udara. Gucinya diayunkan ke kepala lawan. 

Gerakannya cepat, sehingga sebelum Kuntilanak Alam 

Kubur menyadarinya, tiba-tiba.... 

Wut.! Prak...! 

"Aaakh...!" 

Terdengar suara berderak keras ketika kepala nenek itu 

pecah. Seketika itu juga nyawanya melayang meninggalkan



raga. 

Dewa Arak melentingkan tubuhnya menjauhi arena 

pertarungan. 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara kedua kakinya hinggap di tanah 

beberapa tombak dari arena pertarungan. Kini 

perasaannya agak sedikit lega. Dua di antara lawannya 

sudah berhasil dirobohkan. Tidak lerlalu berat baginya 

menghadapi dua Kuntilanak Alam Kubur yang tersisa. 

Tapi, Dewa Arak terperanjat ketika melihat lawannya 

masih tetap berjumlah empat orang! Hatinya penasaran. 

Kepalanya ditolehkan ke arah dua mayat yang berhasil 

ditewaskannya. Tempat itu kosong! 

"Hm..., ilmu Iblis!" gumam Arya lirih. 

"Hik... hik... hik...! Kaget, Dewa Arak! Hik... hik... hik...! 

Jangan mimpi dapat mengalahkan Kuntilanak Alam Kubur! 

Hik hik hik...!" ejek nenek itu sambil tertawa mengikik. 

Arya sadar, kali ini dia kembali bertemu dengan tokoh 

berilmu aneh. Semacam ilmu sihir! Tapi, jauh lebih dahsyat 

lagi. Dewa Arak memang pernah mendengar namanya, 

ilmu 'Pecah Raga'! 

Arya adalah seorang pemuda yang cerdas. Pengalaman 

demi pengalaman telah mempertajam pikirannya. Ia tahu, 

meskipun lawannya terlihat empat orang, tetapi sebenar-

nya tetap satu. Jadi tiga dari empat orang itu adalah palsu! 

Dan Kuntilanak Alam Kubur yang palsulah yang tadi 

ditewaskannya. Itulah sebabnya mereka dapat hidup 

kembali. Kini satu-satunya jalan adalah merobohkan 

Kuntilanak Alam Kubur yang asli! Tapi, mana di antara 

empat orang itu yang asli? 

"Hik... hik... hik…! Mengapa termenung di situ, Dewa 

Arak? Berpikir unruk melarikan diri? Jangan harap! Kau 

harus mati di tanganku Dewa Arak!" 

Gluk... gluk... gluk...! 

Dewa Arak kembali menuangkan arak ke dalam 

mulutnya. Ucapan Kuntilanak Alam Kubur seolah-olah tidak 

didengarnya sama sekali.


"Hiyaaa...!" 

Sambil mengeluarkan jerit melengking nyaring, Dewa 

Arak melompat menerjang. Entah bagaimana caranya tahu-

tahu gucinya telah berada kembali di punggungnya. Kini 

sepasang tangannya bergerak-gerak aneh menyerang 

lawannya. 

Kali ini dia memang meminum araknya lebih banyak dari 

biasanya. Jurus ‘Belalang Mabuk' kin’ menyambar-nyambar 

dahsyat ke arah empat orang lawannya. 

Empat Kuntilanak Alam Kubur itu langsung berpencar. 

Tapi, Dewa Arak kini berada dalam puncak ilmunya. Secara 

tak terduga-duga, dihantamnya ulu hati salah seorang 

Kuntilanak Alam Kubur. 

Buk. ! Buk...! 

"Aaakh...!" 

Kuntilanak Alam Kubur yang sial itu memekik keras. 

Tubuhnya terlempar jauh. Nenek itu tewas seketika dengan 

sekujur tulang tulang dada hancur. Darah mengalir deras 

dari hidung, mulut dan telinganya. 

Dewa Arak rupanya sudah tak sabar lagi ingin cepat-

cepat mengakhiri pertarungan. Secepat Kilat kedua 

tangannya yang tadi dalam bentuk tangan jari-jari belalang, 

berubah membentuk cakar yang terkembang lebar. 

Seketika itu pula tangan kanannya dihentakkan ke depan, 

disusul oleh hentakan tangan kirinya. Inilah Jurus 

'Membakar Matahari'. Jurus ini dapat menghasilkan 

gumpalan api yang dapat menghanguskan apa saja yang 

terlanda pukulan itu! 

Wusss...! Wusss...! 

Dua buah gumpalan api menyambar deras ke arah dua 

orang Kuntilanak Alam Kubur. Serangan Dewa Arak itu 

begitu cepat dan tiba-tiba. Sehingga seorang di antara 

mereka tidak bisa mengelak lagi. 

"Aaakh...!" 

Terdengar pekikan melengking tinggi, ketika api yang 

menyambar itu langsung mengenal dada salah seorang 

dari Kuntilanak Alam Kubur. Seketika itu juga tubuhnya


terpental ke belakang. Tewas seketika dengan api menyala 

di atas tubuhnya! 

Tapi sebelum Dewa Arak melanjutkan serangannya, 

salah seorang Kuntilanak Alam Kubur telah lebih dulu 

menyerangnya. Tongkat di tangan nenek itu menyambar 

dahsyat ke kepalanya. Arya sempat mengelakkannya, tapi 

tak urung tongkat itu menghantam bahunya. 

Buk...! 

"Akh...!" Dewa Arak memekik tertahan. Tubuhnya 

terbanting keras. Sekujur bahunya dirasakan ngilu bukan 

main. Seolah-olah tulang-tulangnya remuk. 

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas ketika melihat 

lawannya kembali berjumlah empat orang lagi. Pemuda ini 

hampir putus asa. Sudah lebih dua ratus lima puluh jurus 

dia bertarung. Tapi sampai saat ini tak juga dapat 

ditemukan kelemahan ilmu lawannya. Sulit untuk mencari 

mana di antara mereka yang asli. Sementara malam mulai 

berganti pagi. Pelahan-lahan sang mentari mulai menam-

pakkan diri. 

"Hik... hik... hik...! Silakan kau keluarkan semua ilmumu 

Dewa Arak!" ejek salah seorang dari empat Kuntilanak 

Alam Kubur. 

Tiba-tiba sepasang mata Dewa Arak berbinar-binar. 

Sinar matahari yang mulai menyorot ke bumi membuat 

semangatnya bangkit. Betapa tidak? Di antara keempat 

sosok tubuh itu, hanya ada satu yang mempunyai 

bayangan! 

Otak Dewa Arak yang cerdik segera mengerti. Kuntilanak 

Alam Kubur yang mempunyai bayangan inilah yang asli. 

Yang lainnya palsu belaka. Tercipta karena keunikan ilmu 

'Pecah Raga’. 

Tapi Dewa Arak tidak bertindak bodoh. Pemuda itu 

berpura-pura tidak tahu. Dikumpulkannya lagi seluruh 

tenaga dalamnya. Setelah rasa ngilu di tangannya ber-

kurang, dia kembali melompat menerjang. Kini Dewa Arak 

sudah mempunyai sasaran. Tapi, untuk tidak membuat 

kecurigaan, diterjangnya Kuntilanak Alam Kubur yang



palsu. Meskipun begitu, sepasang matanya tidak lepas 

mengawasi Kuntilanak Alam Kubur yang mempunyai 

bayangan. 

"Hiyaaa..!" 

Guci arak yang kini telah berada di tangannya kembali, 

diayunkannya ke arah kepala salah seorang Kuntilanak 

Alam Kubur. 

Wut..! 

Guci itu lewat di atas kepala ketika si nenek 

menundukkan kepalanya. 

Tapi di saat itulah, secara tidak terduga-duga. Dewa 

Arak melemparkan gucinya ke arah Kuntilanak Alam Kubur 

yang mempunyai bayangan. 

Wut...! 

Guci itu meluncur deras. Karuan saja si nenek terkejut 

bukan main. Segera dia melompat mengelak. Tapi di saat 

itulah Dewa Arak sudah menghentakkan kedua tangannya 

bergantian ke depan. Kedua jari-jari tangannya mengem-

bang lebar membentuk cakar. Inilah jurus 'Membakar 

Matahari' 

Wut..! 

Dua buah gumpalan api menyambar dahsyat ke tubuh 

Kuntilanak Alam Kubur yang tengah melompat tinggi ke 

atas. Tidak ada jalan lain bagi nenek itu kecuali menangkis-

nya. 

Tiga orang Kuntilanak Alam Kubur yang lain berusaha 

membantu. Dua di antaranya berusaha mencegat pukulan 

itu, tapi gagal. Yang seorang lagi menyerang Arya. Tongkat 

di tangannya menyambar dahsyat ke kepala Dewa Arak. 

Trak! 

"Akh...!" 

Dewa Arak menjerit keras. Tangan kanannya yang 

menangkis serangan itu seperti lumpuh rasanya. Tulang-

tulangnya terasa remuk. Ngilu bukan main. Tapi di saat 

lawan hendak menyusulinya dengan serangan maut, terjadi 

sebuah keanehan. Tubuh yang masih berada di udara itu 

menggeliat. Kedua tangannya memegangi dada, seperti


menderita rasa sakit yang hebat. 

Rasa penasaran membuat mata Dewa Arak beredar ber-

keliling. Pandangannya tertumbuk pada tubuh Kuntilanak 

Alam Kubur asli yang tengah menggeliat-geliat di tanah. 

Sekujur tubuhnya penuh nyala api berkobar. Rupanya 

pukulan Dewa Arak dalam pemakaian Jurus 'Membakar 

Matahari', tak mampu ditahannya. Beberapa saat tubuhnya 

menggelepar sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. 

Mati! 

Seiring dengan tewasnya Kuntilanak Alam Kubur asli, 

tiga orang kembarannya lenyap tanpa bekas. 

"Hhh...!" Arya menghela napas. Antara perasaan lelah 

dan lega. Segera dipungutnya guci miliknya yang tergeletak 

jauh dari mayat si nenek. Kemudian disampirkannya di 

punggung. 

"Kang Arya ...!" 

Suara yang amat dikenalnya berseru memanggilnya. 

Dewa Arak tersenyum. Dilihatnya Melati tengah berlari 

cepat ke arahnya. 

Arya mengembangkan kedua tangannya, memeluk gadis 

itu erat-erat. 

"Aku khawatir sekali, Kang." ucap Melati. Suaranya 

tersendat-sendat. 

"Nenek itu memang lihai sekali," desis Arya penuh 

kekaguman "Untung aku berhasil menemukan kelemahan 

ilmunya. O, ya. Mengapa kau berada di hutan ini, Melati?" 

"Kakek yang menyuruhku, Kang. Aku disuruh mengamal-

kan ilmu yang kuperoleh darinya. Kau bohong, Kang Arya. 

Waktu itu, kau bilang ingin datang menjumpaiku," ucap 

gadis itu merajuk (Baca serial Dewa Arak dalam episode 

"Banjir Darah di Bojong Gading"). 

"Maafkan aku, Melati. Aku belum sempat menemuimu. 

Kau bisa memakluminya kan?" tanya Arya meminta 

pengertian gadis itu. 

Melati tersenyum manis. Pelahan dianggukkan kepala-

nya. "Tak apa, Kang. Toh, sekarang kita sudah bertemu." 

"Ehm..., ehm...!"


Suara deheman dua kali menyadarkan kedua muda-

mudi itu. Melati teringat bahwa masih ada orang lain di 

sekitar mereka. Kakek bongkok yang buta dan juga Ki 

Sancaperta dan para penduduk Desa Bandan. Dengan 

muka merah, keduanya menoleh. 

"Aku ingin meminta pertolongan pada kalian. Boleh?" 

tanya kakek bongkok itu. 

"Pertolongan apa, Kek?" tanya Arya heran. 

"Tolong kemarikan mayat istriku." sahut kakek itu pelan. 

Nada suaranya menyimpan kedukaan yang dalam. Macan 

putih hampir menerkam Dewa Arak kalau kakek buta itu 

tidak mencegahnya. 

Dewa Arak segera menghampiri mayat nenek yang telah 

hangus. Diangkatnya, kemudian dihampirinya kakek 

bongkok itu. 

"Bagaimana dengan benda langit ini, Arya? Kau tidak 

ingin memilikinya?" tanya kakek itu sambil menunjukkan 

sebuah benda mirip batu berwarna gelap. Besarnya hampir 

sebesar kepala orang dewasa. Sewaktu Dewa Arak ber-

tarung dengan Kuntilanak Alam Kubur, Melati meng-

ambilnya dan memberikannya pada si kakek. 

Dewa Arak memperhatikan benda yang telah menimbul-

kan malapetaka itu sejenak. 

"Sebenarnya, apa sih keistimewaan benda itu, Kek?" 

tanya Arya ingin tahu. 

"Banyak, Arya," jawab kakek bongkok itu. "Benda ini bisa 

dijadikan senjata pusaka yang ampuh. Bahkan juga dapat 

digunakan untuk menawarkan segala jenis racun " 

"Ah...! Pantas banyak orang yang berniat mendapat-

kannya," ucap Arya mulai mengerti. 

Kakek bongkok itu hanya tersenyum. 

"Bagaimana, kau mau. Arya?" 

"Terima kasih, Kek. Aku tidak berminat memilikinya. 

Biarlah kakek yang menyimpannya," tolak Arya. "Dan Ini 

mayat istri kakek. Aku mohon maaf atas kejadian ini, Kek," 

ucap Arya sambil mengangsurkan mayat Kuntilanak Alam 

Kubur pada kakek bongkok itu.



Kakek bongkok itu mengangsurkan tangan menerima 

mayat istrinya. 

"Lupakanlah, Dewa Arak. Kau tidak bersalah." sahut 

kakek itu "Mari, Putih!" 

Setelah berkata demikian, kakek bongkok itu 

melangkah pergi meninggalkan Arya, Melati, dan para 

penduduk Desa Bandan. Tak jauh di belakangnya, macan 

putih mengikuti dengan langkah pelan. 

Dewa Arak, Melati, dan penduduk Desa Bandan 

memandangi kepergian kakek itu. Baru setelah itu Arya 

menolehkan kepalanya. Menatap ke arah Ki Sancaperta 

dan Ki Gayan. 

"Kami juga ingin mohon diri, Ki...," ucap pemuda 

berambut putih keperakan itu. Dan sebelum kedua 

sesepuh Desa Bandan itu menyahut. Dewa Arak segera 

melesat dari situ sambil menarik tangan Melati. Sesaat 

kemudian, tubuh muda-mudi perkasa itu lenyap di balik 

kerimbunan pepohonan. 

"Pemuda yang luar biasa...." gumam Ki Sancaperta 

pelan. "Tanpa bantuannya desa kita tidak akan lepas dari 

malapetaka." 

"Benar," sahut Ki Gayan. 

Kemudian, dengan langkah lebar mereka melangkah 

meninggalkan Hutan Bandan. Hari esok yang cerah telah 

menanti mereka. 

Sementara itu di kejauhan Arya dan Melati tengah 

bergandengan seraya melangkah pelan. Masih banyak 

tugas-tugas yang menanti Dewa Arak. 


                       SELESAI 




Share:

0 comments:

Posting Komentar