BIDADARI SUNGAI ULAR
oleh Teguh S.
Cetakan pertama, 1990
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa Izin tertulis dari penerblt
Teguh S.
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Bidadari Sungai Ular
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Seekor kuda putih tinggi kekar berlari bagai kilat
menyusuri tepian sungai. Bentuk sungai yang berliku-liku,
seakan-akan bergerak bagai seekor ular naga yang
menyusuri lereng dan bukit-bukit di sekitarnya. Oleh karena
bentuknya yang mirip dengan ular naga, maka sungai itu
dinamakan sungai ular.
Kuda itu ditunggangi seorang wanita cantik dengan
pakaian serba biru. Wajahnya basah oleh keringat. Sebilah
pedang bertengger di pung-gungnya. Dia adalah Saka
Lintang, anak angkat Geti Ireng, ketua gerombolan Panjl
Tengkorak. Ditinggalkannya Lembah Tengkorak, setelah se-
orang pendekar muda yang berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti mengobrak-abrik partainya, Panji Tengkorak. (Baca:
Serial Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis Lembah
Tengkorak).
"Hooop...!" Saka Lintang menarik tali kekang kudanya
kuat-kuat.
Kuda putih meringkik kencang lalu berhenti. Dengan
gerakan ringan dan tangkas, Saka Lintang melompat dari
kudanya. Ketika kakinya sampai di tanah, segera dijejakkan
kakinya hingga tubuhnya melenting ke udara dan hinggap di
pohon yang cukup tinggi.
Saka Lintang bertengger pada sebuah cabang pohon,
seraya matanya mengawasi bagian hulu sungai. Bibirnya
tersenyum kctika sebuah perahu besar dengan layar lebar
mulai terlihat. Di ujung tiang layar, berkibar selembar
bendera bergamhar bunga melati yang dilingkari rantai.
Dari lambang gambar bendera, dapat dipastikan kalau
kapal layar itu milik seorang saudagar kaya dari Kadipaten
Balungan. Sebuah Kadipaten kecil di wilayah Timur
kerajaan Singasari yang berpenduduk cukup makmur.
"Suiiit...!" Saka Lintang bersiul nyaring yang disertai
tenaga dalam.
Mendengar siul yang bergema itu, serentak dari
rimbunan semak-semak tepi sungai bermunculan empat
buah perahu berukuran sedang, dikayuh oleh beberapa
orang. Saka Lintang segera terjun diiringi gerakan salto
beberapa kali, dan hinggap tepat di punggung kudanya.
Gadis itu lantas menghentak tali kekang kudanya, lalu
memacu ke arah perahu gerombalannya yang makin dekat.
Ketika perahunya yang berwarna biru pekat itu telah
menepi, Saka Lintang menarik tali kekang kuda, dan tanpa
berpikir banyak dia segera melompat ke udara. Perahu yang
telah siap menunggunya itu menerima tubuh Saka Lintang
yang hinggap di tengah-tengahnya
"Ayo, cepat! Kepung kapal layar itu!" teriak Saka Lintang.
Enam orang laki-laki bertubuh kekar segera mengayuh
dayung. Perahu itu pun meluncur deras mendekati kapal
layar besar. Tiga perahu lain yang berwarna biru pekat pula,
bergerak menyerang. Sedangkan di kapal layar besar itu
tengah terjadi kesibukan. Beberapa orang telah siap
dengan panah yang mengarah pada gerombolan Saka
Lintang.
"Awas, panah!" teriak Saka Lintang ketika melihat anak
panah meluncur deras.
Saka Lintang pun mencabut pedangnya. Dengan cepat
pedang itu telah berputar-putar bagai baling-baling. Anak-
anak panah yang meluncur cepat itu rontok seketika
tersapu oleh pedang. Layaknya sebuah payung yang
melindungi dari serangan hujan.
Empat perahu Saka Lintang makin dekat ke arah kapal
layar. Sementara anak-anak panah terus meluncur mencari
mangsa. Namun anak buah Saka Lintang mudah saja
merontokkannya. Saka Lintang tersenyum melihat
keberhasilan anak buahnya itu.
"Serang...!" teriak Saka Lintang nyaring. Mendengar aba-
aba itu serentak anak buah Saka Lintang yang berseragam
biru pekat berlompatan ke atas kapal layar. Gerakan
mereka sangat ringan dan cepat. Jelas mereka bukan
orang-orang sembarangan. Rata-rata mereka memiliki ilmu
silat cukup tinggi. Sementara pertarungan kini bergejolak di
atas kapal layar. Saka Lintang mengamuk bagai banteng
terluka.
Tubuh-tubuh mulai ambruk bergelimang darah menyusul
suara jeritan hasil kelebatan pedang Saka Lintang. Memang
orang-orang di atas kapal bukan tandingan Saka Lintang
dan anak buahnya. Banyak sudah lawan yang telah
berjatuhan.
Beberapa lawan malah menyelamatkan diri dengan
terjun ke sungai. Dan memang, Saka Lintang dan
pasukannya berhasil menguasai kapal layar. Dimasukkan
pedangnya ke dalam sarung di punggung. Matanya tajam
mengawasi sekitar geladak kapal yang penuh oleh darah.
"Buang semua mayat ke sungai!" perintah Saka Lintang.
Anak buah Saka Lintang yang berjumlah kira-kira dua
puluh orang itu segera mengerjakan perintahnya. Diseret
dan dilemparkan seluruh mayat ke sungai. Sekejap saja
permukaan sungai telah berubah warnanya menjadi merah
oleh darah.
Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan wajah
ditumbuhi cambang mendekati Saka Lin¬tang. Sebilah
golok besar tergantung di ping gangnya. Dibungkukkan
badannya sedikit di de-pan Saka Lintang yang berdiri
angkuh. Kedua tangannya berada di atas pinggang.
"Ada apa, Codet?" tanya Saka Lintang datar.
"Hamba menemukan satu peti berisi perhiasan emas dan
perak, Tuan Putri," sahut laki-laki yang dipanggil Codet
Memang di pipi kanannya terdapat guratan panjang
sehingga menambah seram wajahnya.
"Bagus, pindahkan semua barang berharga ke perahu
kita!" perintah Saka Lintang.
"Hoi! Angkat semua yang berharga!" teriak Codet keras.
Kesibukan kembali terjadi. 'Tuan Putri ingin melihat
lihat?" ujar Codet sambil membungkuk lagi.
Saka Lintang tidak menyahut. Dilangkahkan kakinya
dengan angkuh melewati laki-laki tegap dan kasar itu. Codet
mengikuti dari belakang. Kapal layar ini tidak terlalu besar.
Hanya sebentar saja Saka Lintang telah menelusuri bagian-
bagian kapal. Dia sangat terkesan ketika masuk ke sebuah
bilik dalam kapal.
Bilik itu memang cukup indah, bagaikan peraduan
seorang bangsawan. Saka Lintang menduga, kapal layar ini
pasti milik seorang bangsawan kaya. Rasanya tidak
mungkin Kadipaten memiliki kapal seindah ini. Tapi kenapa
bendera kapal menunjukkan milik saudagar Gantar dari
Kadipaten Balungan? Atau mungkin kapal ini telah dijual
oleh saudagar itu kepada bangsawan kerajaan?
"Ah! Masa bodoh. Kenapa harus dipiklrkan? Yang penting
aku suka kapal ini!" dengus Saka Lintang dalam hati.
"Codet!" panggil Saka Lintang.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Codet sambil
membungkukkan badan.
"Turunkan bendera kapal, ganti dengan bendera kita!"
perintah Saka Lintang.
"Hamba siap menjalankan perintah."
"Kemudian kapal ini, bawa pulang!"
Codet berlalu setelah sebelumnya memberi hormat Saka
Lintang melangkah memasuki bilik kapal kembali. Mulutnya
tak henti-hentinya berdecak kagum. Di dalam bilik ini, Saka
Lintang merasa bagai putri raja. Atau paling tidak putri
bangsawan.
Dijatuhkan tubuhnya ke atas pembaringan yang
berlapiskan kain sutra lembut. Sungguh nyaman berada di
pembaringan ini. Saka Lintang tersenyum-senyum sendiri.
Selama malang melintang menguasai sungai ular ini, baru
sekarang dia mendapat sebuah kapal layar yang
mengagumkan. Rasanya sayang kalau kapal ini mesti
dibakar seperti yang sudah-sudah. Dia ingin memiliki kapal
ini. Dengan kapal ini dia bisa lebih leluasa menjadi
penguasa sungai Ular.
"Ha ha ha..., akulah ratu sungai Ular ini! Bidadari sungai
Ular....Ha ha ha...!" Saka Lintang tertawa sambil berteriak-
teriak bagai orang glla.
Saka Lintang menari-nari berputar mengelilingi bilik
kapal. Tawanya belum berhenti. Dihampirinya sebuah meja
terbuat dari batu pualam. Matanya memperhatikan guci
arak.
"Hm, arak buatan desa Cacah. Sungguh tinggi seleranya,"
gumam Saka Lintang sambil menuang arak ke dalam gelas
perak.
Basah sudah tenggorokannya oleh arak. Kepalanya
terangguk-angguk beberapa kali. Arak desa Cacah memang
telah terkenal kenikmatannya. Arak ini memang pilihan
kaum bangsawan. Harganya hanya terjangkau oleh orang-
orang kaya. Tanpa terasa, gelas peraknya telah kosong. Dia
telah menenggak habis arak itu. Saka Lintang menoleh ke
pintu ketika diketuk dari luar.
"Masuk!" bentak Saka Lintang karena merasa terganggu
kenikmatannya. Dia duduk di kursi berukir di samping meja
pualam itu.
Codet muncul setelah pintu terbuka. Dia membungkuk
sedikit memberi hormat.
"Ada apa lagi?" tanya Saka Lintang kembali memasang
sikap angkuh.
"Hamba menemukan seorang wanita bersembunyi di
balik tumpukan peti," sahut Codet.
"Hm, siapa dia?" tanya Saka Lintang mengerutkan
kening.
Codet menjentikkan jarinya. Kemudian muncul dua orang
laki-laki mengapit seorang wanita muda berusia sekitar
tujuh belas tahun. Cantik dan berkulit kuning langsat.
Pakaiannya dari sutra halus. Perhiasannya semua dari
emas. Wajahnya menyimpan rasa takut yang dalam.
Saka Lintang memberi isyarat agar anak buahnya keluar.
Codet menutup pintunya lagi. Saka Lintang kembali
mengamati wanita muda itu. Mukanya pucat dan tubuhnya
gemetar. "Siapa kau?" tanya Saka Lintang. Wanita muda itu
tidak menjawab. Tapi berusaha mengangkat kepalanya
pelan-pelan. Ketika matanya tertumbuk pada Saka Lintang,
tubuhnya seketika mengejang, Ketakutannya kian sangat.
"Kau dengar pertanyaanku, kan? Siapa kau?" dengus
Saka Lintang mulai kesal karena wanita itu diam saja.
"Aku..., aku Intan Kemuning," jawab wanita muda itu
tergagap, "Aku putri patih kerajaan Galung."
"O, rupanya kau putri seorang patih? Tidak seharusnya
putri seorang patih kerajaan seperti tikus kena gebuk
begitu!"
'Tolong bebaskan aku, aku berjanji tidak akan
mengatakan apa-apa pada ayahanda," rengek Intan
Kemuning.
"Ha ha ha...!" Saka Lintang tertawa gelak.
Intan Kemuning mulai terisak. Dia sungguh sangat
menyesal ikut dengan kapal ini. Padahal orang tuanya
sudah melarang. Intan Kemuning telah dibujuk agar pulang
bersama-sama saja tewat jalan darat. Tapi Intan Kemuning
ingin menikmati perjalanan melalui sungai Ular bersama
kapal yang baru dibeli ayahnya untuk pesiar.
Tidak diduga sama sekali, gerombolan perom-pak
membegal kapal itu. Pengawalnya yang berjumlah tidak
kurang dari tiga puluh orang tewas semuanya. Sedangkan
awak kapalnya mencari selamat dengan terjun sungai. Intan
Kemuning yang sehari-harinya tinggal di tembok kebang-
sawanan, tidak dapat berbuat apa-apa. Dia tidak pernah
belajar ilmu silat. Jadi wajar saja kalau dia begitu ketakutan
melihat para perompak mengganas di kapalnya.
***
Kapal mewah terus melaju menyusuri alur sungai Ular
diiringi empat perahu gerombolannya. Masing-masing
perahu berisi barang- barang berharga dan djkawal oleh
empat orang. Sementara di dalam bilik kapal mewah, Saka
Lintang tengah berbaring tengkurap dengan punggung
terbuka.
Punggung yang terbuka itu terasa nikmat setelah Intan
Kemuning memijitinya. Dia dengan terpaksa harus
mengikuti perintah Saka Lintang yang menjadi pemimpin
perompak sungai Ular. Perhiasan yang melekat di tubuhnya
juga sudah ditanggalkan, Intan Kemuning hanya bisa
menerima nasib saja menjadi budak kepala perompak itu.
"Pijatanmu enak juga. Siapa yang mengajari?" tanya Saka
Lintang.
"Bibi Emban. Katanya, biar suami betah di rumah, istri
harus pintar memijat," sahut Intan Kemuning pelan.
Saka Lintang membalikkan badan dan merapikan
pakaiannya kembali. Matanya tajam menatap wajah Intan
Kemuning yang tertunduk. Saka Lintang yang hidup dari
dibesarkan di lingkungan keras, sangat terkejut mendengar
kata-kata Intan Kemuning. Dalam kamus hidupnya, tidak
ada istilah perempuan harus tunduk pada kaum laki-laki.
"Kau bilang tadi bahwa kau anak patih. Apa kau tidak
pernah belajar ilmu kanuragan?" tanya Saka Lintang.
'Tidak, Ayahanda tidak mengijinkan aku belajar ilmu-ilmu
keprajuritan. Beliau menginginkan aku menjadi seorang
wanita bangsawan sejati," polos sekali jawaban Intan
Kemuning.
"Apa enaknya? Kau akan dijajah laki-laki, tahu!" Saka
Lintang jadi terhenyak hatinya. Dia tidak terima kaumnya
jadi bulan-bulanan kaum lelaki.
"Aku tidak bisa menentang keinginan Ayahanda."
"Bodoh! Itu artinya kau sudah dijajah laki-laki," dengus
Saka Lintang gemas.
Intan Kemuning hanya tertunduk saja.
"Kalau kau tidak berbuat macam-macam dan menuruti
kata-kataku, aku akan mengajarimu ilmu olah kanuragan
dan ilmu-ilmu kesaktian lainnya. Supaya kau tidak jadi
wanita yang lemah. Coba kau pikirkan! Baru lihat anak
buahku yang hanya bisa main gertak saja, kau sudah
ketakutan setengah mati. Untung kau tidak digagahi!"
Intan Kemuning terlonjak kaget. Tubuhnya menggigll
ketakutan.
"Mereka tidak akan mengganggumu! Dengan syarat, kau
harus turuti kata-kataku!" kata Saka Lintang.
Tidak ada pilihan lain bagi Intan Kemuning kecuali
menyanggupi kemauan Saka Lintang. Nasibnya sekarang
berada di tangan pemimpin perompak ini. Pikirnya,
membangkang sedikit saja bisa-bisa mati konyol! Atau
malah dijadikan pemuas nafsu anak buah Saka Lintang...?
Intan Kemuning tidak sanggup membayangkannya.
"Aku hidup di lingkungan laki-laki kasar dan brutal. Tapi
mereka semua tunduk pada perintahku! Berani menentang
dan kurang ajar. Nyawa taruhannya!" jelas Saka Lintang.
"Kau seorang pemimpin perompak, tapi mengapa kau
baik padaku?" tanya Intan Kemuning tidak mengerti dengan
sikap Saka Lintang.
Saka Lintang tertawa terbahak-bahak. Telinganya terasa
dikilik, dirinya dianggap "baik". Hidupnya penuh kekerasan.
Tangannya selalu dilumuri darah. Kenapa masih ada juga
orang yang mengatakan dirinya baik? Apa tidak salah
pendengarannya? Masih adakah kebaikan di hatinya? Dia
sendiri tidak tahu mengapa tiba- tiba jadi iba melihat Intan
Kemuning. Lebih-lebih setelah mendengar penuturannya
yang polos itu.
Saka Lintang merasa seolah-olah dialah yang diinjak-
injak kaum lelaki setelah mendengar per-jalanan hidup
Intan Kemuning. Hatinya berontak dan dengan seketika dia
ingin segera nienjadikan Intan Kemuning seorang wanita
yang kuat seperti dirinya.
Saka Lintang bangkit dari pembaringannya.
Dilangkahkan kakinya mendekati meja. Diraihnya guci arak,
lalu dituangkan ke dalam dua gelas pe-rak Satu gelas
disodorkan pada Intan Kemuning, segelas lagi buat dirinya.
"Aku tidak biasa minum arak," tolak Intan Kemuning.
"Untuk jadi pengikutku, harus bisa minum arak!" paksa
Saka Lintang.
Ragu-ragu Intan Kemuning menerima segelas arak yang
disodorkan buatnya. Tangannya gemetar memegang gelas
itu. Sebab selama hidupnya, belum pernah dia minum arak!
Mencium baunya saja, kepalanya terasa pening.
"Ayo, minum!" paksa Saka Lintang lagi.
Intan Kemuning memejamkan matanya. Sambil menahan
napas, diminumnya arak itu sedikit. Saka Lintang tersenyum
melihat cara Intan Kemuning minum arak. Tiba-tiba Intan
Kemuning terbatuk-batuk dan berdahak beberapa kali.
Wajahnya memerah dan matanya berair. Saka Lintang
makin tertawa keras.
"Maaf, aku tidak bisa," ucap Intan Kemuning setelah reda
batuknya.
"Lama-lama kau akan terbiasa," sahut Saka Lintang
kalem.
'Tapi...."
"Di istanaku, semua minum arak! Tidak ada air minum,
kecuali sanggup memasaknya sendiri!" potong Saka
Lintang.
Intan Kemuning terdiam. Menginjakkan kakinya ke dapur
saja tidak pernah, apalagi memasak. Hatinya hanya bisa
mengeluh dan menyesali diri. Kenapa harus hidup dengan
orang dan lingkungan yang sama sekali asing? Intan
Kemuning tidak dapat membayangkan apakah dia bisa
hidup dengan cara seperti ini,
Saka Lintang menoleh ke pintu setelah diketuk dari luar.
Intan Kemuning juga memandang ke arah pintu.
"Masuk!" teriak Saka Lintang.
Codet muncul.
"Ada apa?" tanya Saka Lintang.
"Sebentar lagi kapal sandar, Tuan Putri," iapor Codet.
"Hm, biar saja. Aku dan Intan tetap di sini Kalian
bereskan semua barang-barang."
"Hamba laksanakan, Tuan Putri."
"Tunggu!" cegah Saka Lintang melihat Codet akan
berbalik.
Codet membungkukkan badannya lagi. "Beritahu pada
semua anggota, kalau ada yang berani mengganggu Intan
Kemuning, akan berurusan denganku! Dia kini jadi adik
angkatku!" ujar Saka Lintang keras.
"Hamba, Tuan Putri," Codet membungkuk hormat.
Hatinya sedikit diliputi keraguan.
"Pergilah! Laksanakan tugasmu!" Codet membungkuk
lagi, kemudian berbalik Pintu kamar kembali tertutup rapat.
Saka Lintang memandang Intan Kemuning yang masih
duduk di tepi pembaringan.
"Kau lihat, laki-laki tadi hanya bentuknya saja yang kasar.
Nyalinya kecil," Saka Lintang menjentikkan jarinya.
Intan Kemuning hanya menelan ludah saja. Dia selalu
ngeri jika lihat tampang laki-laki yang kasar dan kejam. Dia
tidak yakin apakah mampu seperti Saka Lintang. Dari sini
Intan Kemuning mulai bersimpati pada wanita yang usianya
tidak terpaut jauh dari dirinya itu. Saka Lintang, masih
muda, cantik, tapi mampu menguasai dan memerintah laki-
laki bertampang kasar dan bengis. Intan Kemuning yang
polos, mudah sekali jatuh simpati pada sikap Saka Lintang.
Meski dia tadi sempat melihat bagaimana Saka Lintang
membantai para pengawal Kadipaten dengan kejam.
Namun bayangan kekejaman di wajah Saka Lintang makin
sirna dalam pandangan Intan Kemuning. Dia hanya melihat
suatu kelembutan dan kebaikan hati dalam diri Saka
Lintang sebagai wanita yang tegar.
***
Seminggu rasanya belum cukup bagi Intan Kemuning
untuk menyesuaikan diri di lingkungan para perompak. Di
sekelilingnya kecuali Saka Lintang, hanya laki-laki berwajah
kasar dan sc-ram. Dan selama seminggu itu Saka Lintang
telah memberi dasar-dasar ilmu olah kanuragan. Cukup
keras latihan yang diberikan. Hampir-hampir Intan
Kemuning tidak sanggup menjalaninya.
Sejak itu pula, Saka Lintang tidak pernah lagi ikut
merompak kapal yang lewat di sungai Ular. Pemimpin
perompak dipercayakan pada Codet. Hasilnya memang
tidak mengecewakan. Codet selalu pulang membawa hasil.
"Kau tidak keluar, Codet?" tanya Saka Lintang melihat
Codet tengah bermalas-malasan.
"Hari ini tidak ada kapal yang lewat, Tuan Putri. Mereka
takut terhadap Bidadari Sungai Ular!" sahut Codet.
"Kau tidak berolok-olok padaku, Codet?"
"Mana berani hamba mengolok-olok Tuan Putri? Bisa-
bisa kepala hamba pisah dari badan."
"Bagus kalau kau tahu!"
Codet melirik Intan Kemuning yang duduk di bangku
bawah pohon. Agak jauh memang. Sebuah buku bersampul
hitam lusuh berada di tangannya.
"Maaf, Tuan Putri. Apa Tuan Putri tidak salah mengangkat
dia jadi adik?" takut-takut Codet bicara sambil ibu jari
tangannya diarahkan pada Intan Kemuning.
"Maksudmu.... Intan?" jawab Saka Lintang.
"Benar, Dia itu seorang putri patih. Berbahaya sekali buat
kita kalau...."
"Cukup!" sentak Saka Lintang memotong. "Kau tahu, apa
akibatnya menentang kehendakku?"
"Hamba, Tuan Putri," Codet cepat-cepat menghormat.
"Kau kupercaya untuk jadi wakilku. Bukan untuk
mengaturku! Paham?!"
"Hamba mengerti," sahut Codet.
"Sekarang pergilah! Dan jangan coba-coba mengusik
Intan Kemuning!"
Codet membungkuk lalu pergi. Matanya masih sempat
melirik Intan Kemuning. Codet yakin kalau buku itu berisi
dasar-dasar ilmu pukulan tangan kosong dan latihan
pengerahan tenaga dalam. Dikhawatirkan Intan Kemuning
akan jadi duri dalam daging!
Codet sendiri dulu adalah seorang begal sebelum dikalah
kan Saka Lintang. Kemudian dia berjanji untuk selalu setia
dan mengabdi pada gadis itu. Sepuluh anak buahnya pun
ikut dalam gerombolan ini. Dan sekarang jumlah
gerombolan ini tidak kurang dari tiga puluh orang. Mereka
semua bekas begal yang biasa berkeliaran mencari mangsa
di hutan-hutan atau merambah desa-desa. Kehidupan
seperti itu memang bukan hal yang asing bagi mereka. Tapi
justru baru kali ini mereka tunduk oleh seorang wanita!
Codet menghampiri tiga orang temannya yang duduk
melingkar menghadapi rusa panggang. Bau harum
menusuk hidung dan membangkitkan selera.
"Kalian ikut aku," kata Codet sambil mencomot sepotong
daging rusa.
"Ke mana, Det?" tanya salah seorang.
"Ke desa," jawab Codet.
"Cari apa ke desa?" tanya yang lain.
"Cari hiburan!"
Ketiga orang Itu tertawa seketika. Mereka tahu kalau
Codet mengincar Intan Kemuning, tapi takut kepada Saka
Lintang. Sebagai pelampiasan nafsunya, dia sering pergi ke
desa terdekat. Codet hanya menggerutu saja sambil
membayangkan wajah Intan Kemuning. Codet melangkah
pergi.
Ketiga temannya mengikuti sambil tertawa-tawa. Tak ada
orang yang tak tertarik dengan Intan Kemuning. Semua laki-
laki di tempat itu pasti berkhayal dapat menikmati
kemulusan tubuhnya. Tapi hanya sekedar berkhayal. Tidak
lebih. Mereka takut oleh aturan yang diberikan Saka
Lintang.
Intan Kemuning memang selalu di bawah lindungan Saka
Lintang. Hal inilah yang selalu mengganggu pikiran Codet.
Pikirnya, oleh karena Intan Kemuning putri seorang patih,
sudah tentu pihak Kadipaten tidak akan ringgal diam.
Apalagi jika nanti Intan Kemuning berkhianat. Ini jelas
menyulitkan mereka. Codet menyayangkan pemimpinnya
yang tidak menyadari kemungkinan yang akan berakibat
fatal!
***
DUA
Suasana di Kadipaten kerajaan Galung tengah dirundung
duka. Sudah seminggu ini Patih Giling Wesi memerintahkan
prajurit-prajurit pilihan untuk mencari kapal layar yang
membawa putrinya. Sampai saat ini mereka belum
memperoleh kabar berita sama sekali.
Di Pendopo Kepatihan, Patih Giling Wesi seperti orang
kebingungan. Melangkah hilir mudik dengan hati diselimuti
kegelisahan. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Matanya
memandang ke depan Pendopo. Seorang tamtama berjalan
tergopoh-gopoh menuju Pendopo.
"Tamtama, ada apa?" tanya Patih Giling Wesi setelah
tamtama itu mendekat memberi hormat.
"Hamba menerima Iaporan dari beberapa telik sandi,
Gusti Patih," jawab tamtama itu.
"Cepat laporkan!"
"Beberapa telik sandi yang hamba kirim untuk mencari
keterangan tentang Putri Intan Kemuning, telah kembali
pagi tadi. Dilaporkan bahwa kapal yang membawa Putri
Intan Kemuning dirampok gerombolan Bidadari Sungai
Ular," tamtama itu menuturkan dengan sikap hormat.
"Bedebah!" geram Patih Giling Wesi murka. Gerahamnya
sampai bergemerutuk dengan wajah merah padam.
"Gerombolan Bidadari Sungai Ular sangat ganas, Gusti
Patih. Tidak peduli kapal siapa yang akan jadi sasaran,"
lanjut tamtama itu lagi.
"Kumpulkan prajurit pilihan, kita berangkat sekarang juga
ke sungai Ular!" perintah Patih Giling Wesi.
"Sendika, Gusti Patih," tamtama itu memberi hormat, lalu
melangkah mundur.
Patih Giling Wesi bergegas masuk ke kamar pribadinya.
Istrinya terheran-heran melihat wajah suaminya yang merah
padam. Dan betapa terkejutnya istri Patih Giling Wesi ketika
suaminya mengambil pedang pusaka. Telah lama patih itu
tidak menyentuhnya lagi.
"Kang Mas...."
Patih Giling Wesi menoleh. Dia baru sadar kalau istrinya,
Rara Angken, berada di kamar ini. Pikirannya terpusat
penuh pada keselamatan putri mereka, sehingga tak sadar
kalau istrinya sejak tadi memperhatikan tingkah lakunya.
"Untuk apa pedang itu?" tanya Rara Angken. Nada
suaranya bergetar penuh kecemasan.
"Aku akan mencari Intan Kemuning," sahut Patih Giling
Wesi.
'Tapi mengapa harus membawa pedang pusaka?"
"Beberapa telik sandi melaporkan kalau kapal yang
membawa Intan Kemuning dirampok oleh Gerombolan
Bidadari Sungai Ular."
"Oh...!" Rara Angken menekap mulutnya. "Berdoalah pada
Hyang Widi untuk keselamatan anak kita," lembut suara
Patih Giling Wesi.
"Intan, anakku...," Rara Angken tak kuasa lagi menahan
air matanya.
"Dinda Rara Angken, tidak ada gunanya kau menangis.
Berdoalah agar anak kita selamat. Perompak itu memang
ganas, tapi firasatku mengatakan bahwa Intan Kemuning
masih hidup. Tenangkan hatimu. Aku berjanji akan
membawa kembali anak kita," ujar Patih Giling Wesi sambil
mengelus-elus kepala dan bahu istrinya.
Rara Anken masih terisak. Air matanya menganak sungai
di pipi.
"Aku pergi, Dinda," pamit Patih Giling Wesi setelah
menarik napas panjang.
"Kang Mas...," lirih suara Rara Angken.
Pedih hati Patih Giling Wesi melihat istrinya menangis.
Namun kakinya melangkah tegap, terayun ke luar kamar.
Sementara sekitar lima puluh prajurit bersenjata lengkap
sudah berbaris menunggunya di depan Pendopo.
Seorang prajurit menuntun seekor kuda hitam tinggi
kekar ketika Patih Giling Wesi tiba di depan Pendopo. Tanpa
banyak basa-basi lagi, patih yang terkena! pemberang itu
segera melompat ke punggung kuda dengan gerakan yang
lincah.
Para prajurit bergegas menaiki kudanya masing-masing.
Patih Giling Wesi segera memacu kudanya dengan cepat
diikuti oleh pasukannya. Derap langkah kuda terdengar
bergemuruh meninggalkan kepulan debu bergulung-gulung.
Kepatihan kembali sepi setelah mereka ke luar dari
benteng diiringi oleh mata beberapa penjaga yang
terkesima.
"Hiya...! Hiya...!" Patih Giling Wesi meng-geprak kudanya
agar lebih kencang lagi.
Kuda hitam mengkilat itu mendengus-dengus berlari
bagai anak panah melesat cepat Kuda Patih Giling Wesi
memang kuda pilihan. Tidak heran kalau para prajuritnya
tertinggal di bela-kang. Padahal mereka telah memacu
kudanya secepat mungkin.
Sebuah jalan desa yang kanari kirinya berdiri rumah
penduduk, mereka lewati. Semua orang yang berada di
jalan segera menepi. Mereka terheran-heran melihat
banyak prajurit yang sudah terkenal kedigjayaannya seperti
akan perang.
Tiba kini sebuah kedai mereka lewati. Semua orang
dalam kedai menoleh. Tetapi yang terlihat hanya kepulan
debu saja. Di antara pengunjung kedai, duduk tenang
seorang pemuda tampan yang tengah menghadapi guci
arak.
Pemuda itu tidak merasa terganggu oleh ulah prajurit
kepatihan yang memacu kuda dengan cepat itu. Padahal
banyak orang dalam kedai bertanya-tanya dan menduga-
duga. Pemuda itu mengenakan baju rompi putih yang lusuh.
Di punggungnya bertengger sebilah pedang dengan gagang
berbentuk kepala burung rajawali. Dia adalah Rangga,
Pendekar Rajawali Sakti.
"Seperti akan perang saja prajurit-prajurit itu," terdengar
suara dari meja tidak jauh dari tempat duduk Rangga.
Rangga melirik ke arah suara itu. Dua anak muda duduk
menghadapi empat guci arak. Dari pakaiannya dapat
ditebak kalau mereka anak seorang bangsawan kaya. Atau
paling tidak anak saudagar.
'Tidak biasanya, Patih Giling Wesi ikut serta. Pasti ada
sesuatu yang gawat," sahut temannya.
"Mereka mencari putri Intan Kemuning!"
Semua orang di kedai terdongak dan menatap arah
suara yang datang tiba-tiba itu. Ternyata seorang kakek tua
mengenakan baju compang-camping dengan tongkat merah
menyangga tubuhnya. Kakek tua itu bersandar pada tiang
kedai. Dari tongkat dan pakaiannya semua orang tahu dia
adalah Pengemis Sakti Tongkat Merah. Tapi jarang yang
tahu kalau nama sebenamya adalah Aki Lungkur. Hanya
tokoh-tokoh tertentu saja yang tahu nama aslinya.
"Kakek gembel! Kau jangan bicara sembarangan!"
bentak salah seorang dari dua pemuda tadi.
"He he he...," Aki Lungkur atau si Pengemis Sakti Tongkat
Merah itu hanya terkekeh saja. Dia tahu siapa dua pemuda
congkak itu. Mereka putra-putra para punggawa kerajaan.
Yang memakai baju berwarna merah, bernama
Hanggara. Sedangkan yang berpakaian warna hijau
bernama Rangkasa. Mereka hanya pemuda-pemuda yang
besar mulut tanpa nyali sedikit pun. Dan semua orang tahu
siapa Intan Kemuning. Bunga Kepatihan yang menjadi
incaran dan impian putra-putra bangsawan dan punggawa
kerajaan. Memang, hilangnya Intan Kemuning belum
tersebar luas kecuali para prajurit pilihan.
"Kecongkakanmu melebihi tingginya gunung, tapi
matamu buta! Kau tidak bisa melihat kejadian di
sekelilingmu!" Aki Lungkur bergumam.
Merah padam wajah kedua pemuda itu. Jelas ucapan
Pengemis Sakti Tongkat Merah tertuju pada mereka.
'Tanyakan pada Gusti Rara Angken. Kalau kata-kataku
salah, kalian boleh memancung leherku. Tapi, kalau aku
benar maka aku minta kalian membebaskan putri Intan
Kemuning dari sarang Bidadari Sungai Ular!"
Setelah selesai kata-katanya, Aki Lungkur dengan cepat
melompat dan hilang dari pandangan mata. Suara
menggumam terdengar bagai lebah ditepuk sarangnya.
Hanggara dan Rangkasa saling berpandangan. Kata-kata
kakek tua tadi bisa jadi ada benamya tetapi patut
dipertanyakan pula.
Rasanya sulit dipercaya bila putri seorang patih yang
terkenal dengan julukan Singa Medan Laga bisa ditawan
oleh gerombolan Bidadari Sungai Ular. Semua orang tahu
kalau hal itu benar-benar terjadi, maka gerombolan
perompak itu bukan saja berhadapan dengan para prajurit
tetapi juga dengan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan. Patih
Giling Wesi mempunyai banyak sahabat dari tokoh-tokoh
rimba persilatan. Maka kalau berita itu sampai tersebar
luas, bukan tidak mungkin mereka akan membantu Patih
Giling Wesi.
Tanpa diketahui orang-orang di kedai, rupanya dua orang
gerombolan Bidadari Sungai Ular ada pula di kedai itu.
Mereka mendengar pembicaraan Aki Lungkur dan segera
angkat kaki ketika kakek tua itu menghilang.
"Kita harus laporkan segera pada Tuan Putri," bisik salah
seorang.
"Benar, Kakang Badil," sahut temannya.
'Pacu kudamu dan kita ambil jalan pintas, Adi Gering!"
Mereka pun memacu kudanya dengan cepat. Dan kini
keadaan kedai menjadi sunyi. Satu persatu pengunjung
kedai berlalu pergi dari tempat itu. Bahkan dua pemuda
congkak sudah sejak tadi meninggalkan kedai. Tinggal
Rangga sendirian masih duduk menghadapi mejanya.
Seorang pelayan tua sekaligus pemilik kedai menghampiri.
'Tambah lagi araknya, Tuan?" Pak Tua menawarkan.
"Tidak, duduklah di sini. Aku perlu teman ngobrol" sahut
Rangga.
Pak Tua itu duduk di depan Rangga.
***
Matahari hampir condong ke Barat. Dua ekor kuda
berpacu memasuki hutan di kaki lereng bukit Guntur.
Penunggang kuda itu adalah Badil dan Gering, dua orang
dari gerombolan Bidadari Sungai Ular.
Penuh dengan kesigapan, mereka melompat turun
setelah kuda yang mereka tunggangi berhenti di depan
rumah terbuat dari kayu. Inilah markas gerombolan Bidadari
Sungai Ular. Dengan tergesa-gesa Badil menghampiri pintu
dan mengetuknya dengan keras. Ketika pintu terbuka,
kedua tangan Saka Lintang telah berada di pinggang.
"Ada apa?" tanya Saka Lintang angkuh.
"Kami punya berita penting, Tuan Putri," kata Badil
segera membungkukkan badannya.
"Katakan cepat!"
"Menyangkut..., Intan...," Badil setengah berbisik Matanya
menerobos ke dalam.
Saka Lintang mengerutkan keningnya. Dia melangkah
dua tindak'Tadi hamba berdua minum-minum di kedai Pak
Tua. Di situ hamba melihat serombongan prajurit berkuda
dipimpin langsung oleh Patih Giling Wesi," jelas Badil ketika
Saka Lintang telah berada di luar rumah.
"Lalu?" desak Saka Lintang sudah bisa menebak
"Di situ juga ada Pengemis Sakti Tongkat Merah. Si
gembel Itu tahu kalau Intan Kemuning ada di sini. Dia yang
menyebar kabar itu, Tuan Putri," lanjut Badil.
"Kau takut?" cibir Saka Lintang.
"Tidak!" sahut Badil dan Gering bersamaan.
"Kalau begitu, siapkan semua yang ada. Sambut
kedatangan mereka!" perintah Saka Lintang tegas.
"Jumlah mereka banyak, Tuan Putri," kata Gering.
"Mereka hanya tikus!" bentak Saka Lintang. Dia
mendengar nada cemas pada suara Gering.
"Hamba laksanakan, Tuan Putri," cepat-cepat Gering
membungkuk. Dia tahu gelagat kalau Saka Lintang sudah
membentak keras.
Ketika kedua orang itu telah pergi, Saka Lintang
bergegas masuk ke kamar kembali. Dia menghampiri Intan
Kemuning yang menunggu di balai tengah-tengah ruangan.
"Ada apa Kakak Lintang?' tanya Intan.
"Ada tikus yang mencoba masuk," jawab Saka Lintang
lalu duduk di balai berhadapan dengan Intan Kemuning.
'Tikus...?" Intan Kemuning belum mengerti.
"Yah..., tikus bodoh yang cari mampus!"
Intan Kemuning mulai mengerti. Yang dimaksud tikus
tentulah orang. Bukan tikus sebenarnya. Kadang-kadang
dia harus berpikir lebih dulu untuk dapat mengerti. Itulah
Saka Lintang. Bukan hanya kata-katanya saja yang sulit
dimengerti. Sikapnya pun demikian. Kadang-kadang kasar,
kadang-kadang lembut. Tapi di balik kekasaran-nya, Intan
Kemuning dapat melihat suatu pelampiasan kekesalan
pada Saka Lintang.
Sebenarnya ingin sekali Intan bertanya. Tapi setiap kali
akan bertanya, di saat itu pula niatnya diurungkan. Dia
takut Saka Lintang tersinggung. Intan Kemuning harus bisa
menjaga diri dan berbuat apa saja yang dikehendaki Saka
Lintang.
"Mengapa kau memandangiku begitu?" tanya Saka
Lintang risih dipandangi terus.
"Tidak..., tidak apa-apa," sahut Intan Kemuning tergagap.
"Aku..., aku heran saja."
"Apa yang kau herankan?" tanya Saka Lin¬tang.
"Kakak Lintang," pelan suara Intan Kemuning.
"Aku...? Ha ha ha...!" Saka Lintang tertawa gelak
Intan Kemuning makin bingung melihat Saka Lintang
tertawa terbahak-bahak. Padahal kata-katanya tidak ada
yang lucu. Kenapa dia sampai tertawa gelak seperti itu?
Namun dalam tawa itu, Intan Kemuning menangkap
semacam kegetiran yang ditutup-tutupi di wajah Saka
Lintang.
"Sudahlah, tidak usah memikirkan aku! Yang penting,
sekarang giatlah berlatih. Aku lihat jurus-jurus pukulan
tangan kosongmu sudah mantap. Perdalamlah lagi agar
lebih sempurna," ujar Saka Lintang setelah reda tawanya.
Intan Kemuning hanya mengangguk.
"Nah, berlatihlah sekarang!" perintah Saka Lintang.
"Kakak Lintang mau ke mana?" tanya Intan Kemuning
ketika Saka Lintang turun dari balai.
"Ke luar! Aku akan kembali lagi jika kau sudah selesai
berlatih," sahut Saka Lintang. "Ingat, setelah kau selesai
latihan tenaga dalam, bersemadilah!"
Intan Kemuning mengangguk kembali. Saka Lintang
melangkah dan menoleh sebentar pada Intan Kemuning.
Bibirnya tersungging melihat Intan Kemuning mulai berlatih.
Sebentar matanya mengawasi keadaan sebelum menutup
pintu, lalu keluar.
Saka Lintang melenting tinggi lalu membuat gerakan
berputar beberapa kali di udara dan hinggap dengan manis
di atap rumah. Pandangannya berkeliling. Bibirnya
tersenyum melihat anak buahnya telah siap menanti
datangnya para prajurit kepatihan.
Mata Saka Lintang menatap lurus ke depan. Tampak
sekitar sepuluh orang berjalan menuju sungai Ular dipirhpin
oleh Codet. Di belakang mereka, berjalan sepuluh orang
dipimpin oleh Badil dan sepuluh orang lagi dipimpin oleh
Gering. Lima belas orang berjaga-jaga di markas mereka.
Saka Lintang sedikit kagum pada Codet yang pandai
mengatur anak buahnya.
Dengan gerakan indah, Saka Lintang melompat turun.
Saat kakinya mendarat di tanah, kembali dilentingkan
tubuhnya dan hinggap di atas punggung kudanya. Segera
dia menggebrak kudanya lalu melesat cepat menuju ke
sungai Ular yang tidak jauh dari lereng bukit Guntur markas
Saka Lintang sekarang ini. Sungai Ular memang indah
dipandang, namun menyimpan keganasan yang luar biasa.
Sebentar saja Saka Lintang telah sampai di sungai Ular
mendahului anak buahnya. Matanya yang bulat bening
memandang sekitar sungai yang tenang. Setenang sikapnya
saat ini.
Codet menggerak-gerakkan tangannya ke atas ketika
mereka telah sampai di sungai itu. Dengan seketika anak
buahnya berpencar masuk ke dalam semak-semak dan ke
balik bongkahan-bongkahan batu. Kini di tepi sungai tersisa
empat orang. Mereka semua memang terlatih baik dalam
menguasai daerah sekitar sungai Ular. Maka dalam sekejap
saja tidak ada orang yang terlihat. Mereka bagaikan lenyap
ditelan bumi. Pandai menyamarkan diri dengan alam!
"Dengar...!" seru Saka Lintang tiba-tiba.
"Suara kuda," gumam Codet.
"Hm, siapa dia," gumam Saka Lintang.
***
Suara kaki kuda kuda makin jelas terdengar. Saka
Lintang mengerutkan keningnya. Dia hanya mendengar
langkah dari satu ekor kuda saja. Matanya langsung melirik
Badil.
"Hamba akan menyongsong, Tuan Putri!" ujar Badil
mengerti maksud lirikan Saka Lintang.
Badil dengan cepat melompat ke kudanya. Segera
digebahnya kuda itu. Dengan cepat kuda yang ditunggangi
Badil sudah tidak terlihat lagi. Lenyap di balik rimbunan
pepohonan. Badil memacu kudanya menuju arah datangnya
suara kaki kuda.
Tiba-tiba ditarik tali kekang kudanya dan seketika
tubuhnya melontar tinggi. Kakinya dengan sigap hinggap di
sebuah batang pohon yang tinggi. Matanya dengan
seksama berkeliling. Tiba-tiba pandangannya tertumbuk
pada seekor kuda yang ditunggangi seorang pemuda.
Tampak dua bilah pedang bertengger di punggungnya.
"Kala Srenggi," desis Badil mengenali penunggang kuda
itu.
Badil menunggu beberapa saat sampai Kala Srenggi
mendekat. Kemudian dia meloncat turun ketika Kala
Srenggi tepat di bawah pohon yang dinaiki Badil. Kala
Srenggi dengan tangkas melompat dari kudanya ketika
merasakan ada penyerang gelap dari atas.
Pedang Badil segera membabat namun luput Dia
kecewa. Padahal dia yakin penunggang kuda itu akan
pecah kepalanya tersambar pedang. Yang didapati hanya
tempat kosong saja,
"Licik!" dengus Kala Srenggi ketika kakinya menjejak di
tanah.
"Kau juga lebih licik dariku, Kala Srenggi," balas Badil.
"Siapa kau?' tanya Kala Srenggi yang heran melihat
penyerang gelapnya tahu tentang dirinya.
"Aku Badil. Macan Gunung Sinai!" sahut Badil angkuh.
"Hm..., Macan Gunung Sinai sampai nyasar ke bukit
Guntur," gumam Kala Srenggi mencibir.
"Ada urusan apa kau datang ke sini?" tanya Badil.
"Aku hanya lewat," jawab Kala Srenggi acuh.
"Tidak seorang pun diijinkan masuk ke bukit Guntur!"
"He! Sejak kapan aku...." Kala Srenggi belum
menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba Badil telah
menyerang dengan cepat. Kala Srenggi agak kewalahan
menghindari serangan-serangan pedang Badil yang cepat
dan berbahaya. Macan Gunung Sinai memang bukan nama
kosong, dan Kala Srenggi tahu itu. Dengan cepat dia
bersalto di udara. Tangannya segera menarik pedang
kembarnya. Sret! Traaang!
Dua pedang berbenturan di udara. Pijaran api akibat
benturan pedang berlompatan bersamaan dengan
terpentalnya dua orang itu. Mereka memang bukan orang
sembarangan. Tanpa kesulitan apa-apa, kaki mereka telah
menjejak di tanah dengan lincah.
Dua orang itu sama-sama kaget dan sama-sama
merasakan kesemutan setelah pedang mereka beradu. Kini
mereka sama-sama menyiapkan jurus-jurus selanjutnya.
Sambil berteriak nyaring, mereka kembali terlibat dalam
pertarungan sengit. Masing-masing ingin segera
menjatuhkan. Namun sampai lima jurus berlalu, belum ada
yang terdesak. Memasuki jurus selanjutnya masih tetap
seimbang. Beberapa kali ujung pedang mereka hampir
menemui sa-saran satu sama lain. Namun semuanya masih
dapat dihindari.
Hingga pada suatu ketika, Kala Srenggi melompat
mundur sejauh dua tombak sambil memasukkan pedang
kembar ke sarung di punggungnya. Kini dikeluarkannya 'Aji
Racun Merah". Melihat lawan tengah mengerahkan ilmu
andalan, Badil pun tak ketinggalan dengan ilmu andalannya
pula. Mereka sudah saling berhadapan siap menyerang
dengan kesaktian masing-masing.
"Hiya...!"
"Hiya...!"
Kedua orang itu melompat berbarengan. Kini kedua
telapak tangan mereka bertemu di udara. Ledakan keras
terjadi, disusul dengan terpentalnya dua tubuh. Kala
Srenggi jatuh bergulingan di tanah beberapa depa.
Sedangkan Badil tidak kalah parah. Dari hidung dan
mulutnya ke luar darah.
"Uhk!" Badil memuntahkan darah merah kehitaman.
Sambil menahan rasa sakit di dadanya, Badil berusaha
bangkit. Tubuhnya sempoyongan. Sementara Kala Srenggi
juga berusaha berdiri. Dari sudut bibimya mengalir darah
segar. Tangan kirinya menghitam terkena ajian 'Macan
Gunung' yang dilepaskan Badil.
"Setan! Salah satu di antara kita harus mampus!" geram
Kala Srenggi.
"Huh!" Badil hanya mendengus.
Badil sadar kalau tubuhnya telah dialiri 'Racun Merah'
dan hidupnya tak akan bertahan lebih lama lagi. Kala
Srenggi pun demikian. Dia terluka parah. Mereka sama-
sama kepalang basah. Kembali ajian masing-masing mulai
mengarah satu sama lain.
"Berhenti!" tiba-tiba suara bentakan melengking nyaring.
Namun terlambat! Kedua orang itu sudah kembali
melompat dan beradu di udara. Kala Srenggi lagi-lagi
bergulingan di tanah. Dari mulutnya menyembur darah
kental kehitaman. Dia berusaha bangun, tetapi malah jatuh
dan tak bergerak sama sekali. Mati. Kedua tangannya
seperti hangus terbakar.
Di pihak Badil, lebih mengerikan. Dia tergeletak dengan
dada pecah. Darah bersimbah membasahi tubuhnya. Badil
tewas seketika setelah tubuhnya tenanting di tanah.
Sebuah bayangan biru berkelebat dan mendarat di
tengah-tengah arena pertarungan tadi. Dia adalah Saka
Lintang, kemudian disusul oleh Codet dan Gering. Kedua
orang itu terkejut melihat Badil tewas dengan dada pecah.
Saka Lintang malah tenang-tenang saja.
"Hm, Kala Srenggi," gumam Saka Lintang.
Gadis itu mengayunkan langkahnya mendekati mayat
Kala Srenggi. Sebentar diamati dan dengan ujung kakinya
dibalikkan tubuh Kala Srenggi. Tampak di bagian dadanya
hangus terbakar. Tidak ada luka di tubuhnya. Juga tidak ada
tanda-tanda Kala Srenggi masih hidup.
Saka Lintang mengambil ranting, lalu menekan dada
Kala Srenggi dengan ranting. Terkejut juga Saka Lintang
ketika melihat dada Kala Srenggi yang mendadak ambrol
setelah tersentuh ranting. Bagai ditiup angin saja! Dada Itu
kini berlubang besar tembus sampai ke punggung. Sungguh
dahsyat ajian 'Macan Gunung' yang dilepaskan Badil.
"Bagaimana?" tanya Saka Lintang menoleh pada dua
anak buahnya.
"Mati," sahut Codet.
"Kuburkan kedua mayat ini," perintah Saka Lintang.
'Tidak ada waktu, Tuan Putri. Sebentar lagi gelap," sahut
Codet.
"Kalau begitu, tinggalkan saja di sini!"
Tanpa banyak bicara, mereka meninggalkan dua sosok
mayat yang tergeletak di tanah. Sungguh tragis nasib mayat-
mayat itu. Tak ada seorang pun yang sedia
menguburkannya. Tetapi untungnya, Gering yang setiap hari
selalu bersama-sama dengan Badil merasa tidak tega juga
terhadap mayat temannya itu. Dia kembali lagi lantas
menggali tanah.
Saka Lintang hanya melirik, kemudian melanjutkan
langkahnya. Toh tadi dia juga sudah memerintahkan untuk
mengubur mayat itu. Kini malah Codet yang bimbang. Dia
hanya berdiri dengan pandangan berganti-ganti dari Saka
Lintang ke arah Gering yang tengah menggali dengan
pedangnya.
'Tuan Putri...," agak bergetar suara Codet.
Saka Lintang membalikkan tubuhnya.
"Tidakkah...."
"Bantu dia!" potong Saka Lintang cepat sambil menunjuk
pada Gering.
Tanpa menghiraukan Codet lagi, Saka Lintang melangkah
cepat. Codet bergegas mengham-\piri Gering dan
membantu menguburkan mayat Badil.
'Terima kasih," ucap Gering.
'Tuan Putri yang memerintahku," sahut Codet.
Gering menatap Saka Lintang yang hanya terlihat
bayangan bajunya saja di antara pepohonan. Sampai
selesai menguburkan Badil, mereka belum bicara. Gering
menatap mayat Kala Srenggi.
"Biarkan saja dia jadi santapan anjing hutan!" kata Codet
Gering mengangkat bahunya. Mereka memang tidak
pernah mengurus mayat musuh. Kini dengan hati lega;
mereka tinggalkan tempat itu. Meninggalkan salah seorang
teman yang kini terbaring di dalam tanah.
***
TIGA
Matahari baru saja menampakkan diri. Sinarnya
membias menerangi mayapada. Patih Giling Wesi duduk di
atas punggung kudanya dengan lesu. Semalaman dia
mencari di sekitar sungai Ular, tapi tidak sedikit pun jejak
kapal layar yang membawa putrinya ditemukan.
"Rapaksa!"
"Hamba, Gusti Patih," salah seorang tamtama segera
mendekat.
"Beritahu prajurit, kita istirahat sebentar di sini," kata
Patih Giling Wesi.
"Adya Bala, istirahat!" teriak tamtama Rapaksa keras.
Para prajurit serentak turun dari kuda masing-masing.
Mereka mencari tempat beristirahat dan membuka
perbekalan. Patih Giling Wesi pun telah turun dari kudanya
lalu menghampiri sebuah batu besar yang menjorok ke
sungai. Dia duduk di atas batu menatap ke arah sungai
yang berliku.
Belum sempat Patih Giling Wesi beristirahat banyak, tiba-
tiba datang seorang prajurit berlari-lari menghampirinya.
Didekatinya Patih Giling Wesi.
"Ampun, Gusti Patih. Hamba menemukan tanda
keprajuritan di pinggir sungai," kata prajurit itu sambil
menyerahkan sebuah kalung tanda keprajuritan.
Patih Giling Wesi lantas menyambar kalung itu. Matanya
mengamati sebentar. Ada noda darah melekat di kalung itu.
Berarti telah terjadi sesuatu pada kapal itu. Dan yang jelas
kejadiannya di sungai Ular ini!
"Rapaksa!" teriak Path Giling Wesi.
Rapaksa berlari menghampiri. Dia segera memberi
hormat setelah tiba di depan Path Giling Wesi.
"Siapkan prajurit!" perintah Patih Giling Wesi.
Rapaksa belum sempat menjawab, tiba-tiba terdengar
teriakan dan disusul dengan rubuhnya lima orang prajurit.
Dada mereka tertancap tombak. Serentak para prajurit yang
lain bersiaga.
Patih Giling Wesi cepat melompat ke arah lima
prajuritnya yang tewas. Dia mencabut sebatang tombak dari
salah seorang prajuritnya yang sudah tidak bergerak itu.
Sebuah tombak berwarna biru dengan tangkai berukir huruf
yang rapi dan indah.
"Bidadari Sungai Ular," desis Patih Giling Wesi
"Rupanya ada tamu agung berkenan mengunjungi
wilayahku!"
Patih Giling Wesi dan para prajuritnya terkejut
mendengar suara yang tinggi menggema dibarengi
pengerahan tenaga dalam yang sempurna. Rasa terkejut
mereka belum juga hilang ketika tiba-tiba muncul seorang
wanita cantik mengenakan pakaian serba biru. Dia tidak
lain adalah Saka Lintang. Dengan angkuh dia berdiri di atas
batu tempat Patih Giling Wesi tadi beristirahat.
"Siapa kau?!" bentak Patih Giling Wesi.
"Bidadari Sungai Ular!" jawab Saka Lintang mantap.
"Setan! Kembalikan putriku!" geram Patih Giling Wesi.
"Ha ha ha..., tidak semudah itu patih yang gagah."
"Adya Bala!" teriak Patih Giling Wesi memberi aba-aba.
Begitu prajurit bersiap, seketika itu pula dari rimbunan
semak dan dari balik bongkahan batu, bermunculan orang-
orang yang semuanya ber-seragam biru. Mereka semua
telah siap dengan senjata di tangan. Patih Giling Wesi
makin geram menyadari keadaannya telah terkepung.
Dua kelompok itu hampir seimbang jumlah-nya.
Kelihatannya prajurit Kepatihan lebih banyak. Tapi bukan
berarti mereka bisa dengan mudah mengalahkan
gerombolan ini. Mereka semua memiliki tingkat kepandaian
rata-rata di atas para prajurit pilihan sekali pun.
"Intan Kemuning akan kukembalikan pada saatnya nanti.
Percuma saja kau kerahkan seluruh prajurit! Mereka hanya
mengantar nyawa ke tempat ini!" ujar Saka Lintang pongah.
"Kalian perompak liar, dan harus dimusnahkan!" geram
Patih Giling Wesi.
"Tidak semudah itu, Patih gagah," kata Saka Lintang
meremehkan.
Sudah tak tertahankan lagi amarah Patih Giling Wesi.
Pikirannya hanya terpusat pada keselamatan putrinya.
Segera diperintahkan prajuritnya untuk menyerang. Maka
pertempuran pun berlangsung sengit. Bunyi senjata beradu
dan teriakan-teriakan pertempuran terdengar membahana.
Patih Giling Wesi tak ketinggalan dengan cepat melompat
menerjang Saka Lintang. Tetapi belum sampai dekat Saka
Lintang, sebuah bayangan berkelebat menghadang.
"Huh! Sontoloyo!" dengus Patih Giling Wesi. Gering berdiri
dengan pedang terhunus. Kalau saja bukan Patih Giling
Wesi, mungkin kepalanya sudah terpisah dari badan
tersambar pedang Gering yang berkelebat cepat. Patih
Giling Wesi tidak membuang-buang waktu lagi. Dia mener-
jang dengan jurus-jurus mautnya. Namun yang dihadapinya
adalah Gering yang cukup tinggi ilmunya.
Tidak heran kalau Gering dapat mengimbangi permainan
pedang Patih Giling Wesi. Bahkan beberapa kali dia dapat
membalas serangan itu. Sementara itu pertarungan
semakin sengit.
Beberapa prajurit telah banyak yang roboh. Sedang dari
pihak Bidadari Sungai Ular, belum ada satu pun yang tewas.
Jerit-jerit kematian makin sering terdengar menyayat dari
pihak prajurit.
Patih Giling Wesi berteriak melengking dan merubah
permainan pedangnya. Yang terlihat kini hanya bayang-
bayang pedang yang bergulung-gulung menyelimuti tubuh
Gering. Menyadari lawan telah menggunakan jurus yang
ampuh, Gering pun segera merubah jurusnya pula.
Pertarungan makin seru dan tak terlihat lagi oleh mata
biasa. Tubuh mereka seperti lenyap ditelan gulungan sinar
pedang yang menimbulkan suara bersiutan.
"Aaaakh...!" tiba-tiba Gering berteriak memekik.
Ketika tubuhnya keluar dari gulungan sinar pedang, dada
telah basah oleh darah. Rupanya ujung pedang Patih Giling
Wesi telah mengenai sasarannya. Di saat yang genting itu,
tiba-tiba Codet menerjang masuk. Gering segera mundur
sambil menekap dadanya yang robek.
"Kau akan bernasib lebih buruk dari temanmu!" dengus
Patih Giling Wesi.
"Sebaliknya kau akan kukirim ke neraka!" sembur Codet.
"Majulah, setan!" geram Patih Giling Wesi. Codet
mencabut golok besarnya. Kelihatannya, golok itu berat
sekali. Namun ketika berada di tangan Codet seperti ringan
saja. Benda tajam itu berkelebat cepat dan mengarah ke
bagian-bagian tubuh Patih Giling Wesi.
Serangan-serangan yang dibangun Codet memang lebih
dahsyat dan berbahaya dibandirig Gering. Patih Giling Wesi
harus lebih hati-hati lagi. Dia merasakan angin sambaran
golok lawannya menimbulkan hawa panas.
Di luar arena pertarungan, Saka Lintang hanya
mengamati saja sambil bibimya menyungging senyum.
Tampaknya prajurit-prajurit Kepatihan makin kewalahan
dan terdesak. Jumlah mereka makin berkurang. Sedang
dari pihaknya, hanya dua yang tewas. Hanya Gering yang
kelihatan terluka parah dan kini dirawat oleh anak buah
Saka Lintang. Gadis ini cukup memaklumi keadaan Gering
karena lawannya memang tangguh.
Kedudukan Codet pun kelihatan makin kewalahan. Saka
Lintang sudah bisa menduga kalau sebentar lagi Codet
akan jatuh.
Gerakan-gerakan Codet makin ngawur. Sementara Patih
Giling Wesi terus mendesak dengan penuh nafsu. Hingga
pada suatu kesempatan....
"Aaaakh.,.!" Codet menjerit keras. Tepat seperti dugaan
Saka Lintang.
Pedang Patih Giling Wesi berhasil menembus dada
Codet. Darah segar segera muncrat ketika pedang itu ditarik
ke luar. Codet limbung sebentar, lalu ambruk tak berkutik.
Patih Giling Wesi dengan cepat melompat ke tengah-tengah
prajurit-prajuritnya yang sedang kewalahan menerima
gempuran yang datang bagai air bah. Prajurit Kepatihan
tinggal lima belas orang jumlahnya.
Seperti orang kesetanan layaknya, Patih Giling Wesi
mengamuk membabi buta. Setiap pedangnya berkelebat,
pasti ada seorang lawan yang ambruk mandi darah. Prajurit-
prajurit yang semula kendor semangatnya, seketika bangkit
kembali melihat pemimpinnya mengamuk bagai banteng
terluka.
Sepuluh orang sudah roboh di ujung pedang Patih Giling
Wesi dalam tempo yang singkat. Memang tidak sia-sia dia
dijuluki Singa Medan Laga. Gerakannya cepat, sukar
diduga. Meskipun hatinya terbakar amarah, namun
kelihatan sekali kalau Patih Giling Wesi bertarung
menggunakan otak yang dingin. Dia cepat membaca
gerakan lawan. Dia pun dapat mematahkan serangan lawan
sebelum sampai, bahkan dengan cepat mendahuluinya.
Melihat orang-orangnya kewalahan menghadapi amukan
Singa Medan Laga, Saka Lintang jadi geram. Apalagi orang-
orangnya makin banyak yang tumbang. Sebentar saja, dua
puluh mayat sudah menggeletak.
'Patih Giling Wesi, akulah lawanmu!" teriak Saka Lintang.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke udara dan
menghadang serangan Patih yang mengamuk.
"Huh!" Patih Giling Wesi mendengus sambil
menyemburkan ludahnya.
Seketika pertempuran terhenti. Masing-masing kelompok
melompat mundur. Mereka seperti memberi peluang bagi
masing-masing pemimpin untuk berlaga. Patih Giling Wesi
menatap tajam pada Saka Lintang yang sudah menghunus
pedangnya.
"Serahkan anakku, atau kau harus mati di ujung
pedangku!" dengus Patih Giling Wesi.
"Aku tidak akan membunuhmu, Patih Giling Wesi. Aku
hanya ingin memberirnu sedikit pelajaran agar kau tidak
lagi pongah!" kalem dan tenang sekali suara Saka Lintang.
"Bocah setan!" geram Patih Giling Wesi merasa terhina.
"Ha ha ha..., putrimu yang cantik akan jadi ratu setan!"
dia langsung menyerang dengan jurus-jurus berbahaya.
Saka Lintang melayaninya sambil tertawa -tawa. Sejak tadi
sudah diperhatikannya jurus-jurus Patih Giling Wesi. Dia
telah tahu kelebihan dan kelemahannya.
Saka Lintang sengaja tidak membalas serangan lawan.
Dia hanya menghindar dan menangkis dengan gerakan-
gerakan indah memukau.
Patih Giling Wesi memang tangguh dalam olah
keprajuritan. Tetapi dalam menghadapi tokoh rimba
persilatan seperti Saka Lintang ini, dia harus mengerahkan
tenaga dan kepandaiannya. Semua serangan-serangannya,
mentah dan rontok di tengah jalan oleh gadis ini. Patih
Giling Wesi mulai merasa sulit menghadapi.
Mengingat dirinya adalah seorang patih yang disegani,
Patih Giling Wesi tidak mau menyerah begitu saja.
Dirubahnya serangan dengan menggunakan jurus-jurus
andalan. Dan memang, kali ini Saka Lintang tidak main-
main lagi. Jurus yang digunakan patih ini memang dahsyat,
penuh gerak tipu yang berbahaya. Sedikit saja lemah,
akibatnya sangat fatal.
"Awas kepala!" teriak Saka Lintang tiba-tiba.
Patih Giling Wesi terkejut Cepat-cepat dia menggerakkan
pedangnya melindungi kepala. Tapi tak disangka-sangka,
gerakan yang menyambar kepala hanya tipuan belaka.
Sedangkan sasaran sesungguhnya adalah perut. Dengan
cepat pedang Saka Lintang berputar mengarah ke perut
yang lowong. Untung Patih Giling Wesi cepat menarik
pedangnya. Trang!
Dua pedang berbenturan tepat di depan perut Patih
Giling Wesi. Terlambat sedikit saja, perut itu pasti sobek.
Dalam hati, Saka Lintang mengakui kehebatan patih ini.
Tiga puluh jurus telah berlalu, tapi kelihatannya belum ada
seorang pun yang terdesak. Mereka masih seimbang
meskipun telah mengeluarkan jurus-jurus pedang tingkat
tinggi.
***
Pertarungan antara Patih Giling Wesi dengan Saka
Lintang telah meningkat pada taraf yang genting. Seratus
jurus telah berlalu dengan cepat. Masing-masing belum ada
yang terdesak. Semula Saka Lintang menduga kalau
kepandaian Patih Giling Wed berada jauh di bawahnya.
Kenyataannya sangat tak disangka sama sekali. Patih Giling
Wesi belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Saka Lintang kini meningkatkan permainan jurus-
jurusnya. Kombinasi antara ilmu pedang dengan jurus
'Pukulan Geledek' yang dikeluarkannya kini, sangat dahsyat.
Selain pedang yang menyambar-nyambar, pukulan tangan
kiri Saka Lintang juga mencari sasaran. Semua sama-sama
dahsyat. Batu-batuan dan pohon-pohon yang terkena
pukulannya, langsung hancur berkeping-keping.
Sedangkan Patih Giling Wesi juga sudah mengeluarkan
kesaktiannya. Dengan 'Ajian Sayuti Angin', Patih Giling Wesi
dapat bergerak melebihi kecepatan angin topan. Tebasan
dan tusukan pedangnya makin berbahaya dan
menimbulkan tenaga dorongan yang dahsyat.
Batang-batang pohon segera tumbang terkena tebasan
pedang Patih Giling Wesi. Daun-daun segera berguguran
terkena sambaran angin kelebatan pedang yang
menimbulkan suara gemuruh bagai angin puting beliung.
"Setan! Ilmu apa yang dia pakai?" dengus Saka Lintang
dalam hati.
Setiap kali pedangnya membentur pedang Patih Giling
Wesi, tangan Saka Lintang selalu bergetar bagai tersengat
ribuan kala berbisa. Sedapat mungkin dihindarinya
benturan senjata. Tapi....
Trang! Trak!
Saka Lintang melompat mundur dengan wajah terkejut.
Bagian ujung pedangnya sempal. Tangannya seperti dijalari
jutaan semut yang menggigit. Perih dan bergetar ke seluruh
persendian tangannya. Buru-buru gadis itu memasukkan
pedang ke dalam sarungnya. Dan kini dia telah siap dengan
jurus 'Tarian Bidadari'.
Gerakan-gerakan tubuh Saka Lintang jadi berubah. Dia
seperti menari. Meliuk-liuk dengan indahnya dengan tangan
bergerak-gerak lemah gemulai. Matanya mengerling genit
disertai gerak-gerak bibir yang mengundang birahi.
Sesaat Patih Giling Wesi terpana. Hatinya mendadak
bergetar melihat tubuh indah meliuk-liuk dan sikap yang
mengundang birahi. Namun tiba-tiba, dengan cepat dan tak
terduga sama sekali, tangan kanan Saka Lintang melayang
mengarah dadanya. Patih itu terkejut bukan kepa-lang.
"Setan!" dengus Patih Giling Wesi dengan cepat
melompat sambil membabatkan pedangnya.
"Ah!" Saka Lintang memekik manja.
Tangannya yang sudah terulur cepat, dengan lembut
ditarik. Dan.... Sulit dipercaya! Pedang yang sudah
sedernikian dekat tangan Saka Lintang yang bergerak
lemah, tidak bisa membabat-nya putus. Bahkan lewat
begitu saja. Padahal tebasan pedang patih itu sangat cepat.
Tidak sebanding dengan gerakan tangan yang lemah itu!
Patih Giling Wesi segera menyadari kalau gerakan lemah
gemulai yang mengundang birahi itu sangat berbahaya dan
dapat mematikan lawan. Patih itu berusaha untuk tidak
terpengaruh pada setiap gerakan tubuh yang indah itu.
"Mampus kau!" bentak Patih Giling Wesi kembali
melancarkan serangan mautnya.
"Ouw!" Saka Lintang hanya mendesah manja sambil
menggerakkan tubuh dengan indah.
Serangan Patih Giling Wesi yang bertubi-tubi mengarah
pada bagian-bagian yang mematikan. Tetapi serangan
dahsyat itu tidak pernah dapat menyentuh tubuh Saka
Lintang. Patih Giling Wesi memutar otak, mencari
kelemahan jurus aneh yang dimainkan lawannya itu.
Setiap kali pedangnya berkelebat dan dipastikan akan
menebas lawan, namun dengan manis Saka Lintang
berhasil mengelak. Ujung pedang patih itu hanya
menyerempet beberapa rambut saja. Itulah kelebihan dari
jurus Tarian Bidadari yang membuat lawan jadi frustasi
karena mengira serangannya berhasil.
"Huh! Ilmu setan mana yang dipakainya?" dengus Patih
Giling Wesi.
Patih Giling Wesi makin kewalahan. Di samping harus
menghadapi jurus aneh itu, dia juga harus berperang
dengan batinnya sendiri. Daya pikat yang dipancarkan Saka
Lintang begitu kuat Gerakan-gerakan patih itu jadi tidak
teratur karena terpecah konsentrasinya. Sekuat daya Patih
Giling Wesi menekan nafsu birahinya yang semakin
berkobar-kobar.
"hey! Uts!"
Tiba-tiba Patih Giling Wesi tersentak. Tangan halus
gemulai itu mendadak hampir menepuk pundaknya. Untung
saja patih itu masih memiliki sedikit kewaspadaan sehingga
tepukan tangan Saka Lintang berhasil dihindari.
Tetapi tak urung, tepukan lembut itu menyerempet
bahunya. Patih Giling Wesi merasakan suatu hawa panas
menyebar. Seketika dia tersentak kaget.
"Racun...!" desisnya.
Segera Patih Giling Wesi mengerahkan hawa mumi ke
seluruh tubuhnya. Belum dapat dipastikan racun itu
berbahaya atau tidak. Namun dari anginnya sudah dapat
dirasa. Mendadak kepala Patih Giling Wesi terasa pening.
Secara tidak langsung, dia telah menghirup hawa racun
yang disebar oleh telapak tangan Saka Lintang.
Hawa murni itu telah menutup seluruh aliran darahnya.
Perlahan- lahan rasa pening di kepala berkurang. Tubuhnya
jadi terasa hangat. Patih Giling Wesi membuka lagi jalan
darahnya setelah terasa racun yang terhisap tadi telah
keluar dari tubuhnya.
Patih Giling Wesi menatap Saka Lintang yang berdiri
tenang dengan bibir menyungging senyum memikat. Dalam
hati Patih Giling Wesi mengatakan bahwa tidak mungkin
bertarung sambil menutup jalan darah dan mengerahkan
hawa murni. Tetapi kalau tidak begitu, racun bakal terhisap
lagi! Untuk menutup jalan darah dan mengerahkan hawa
murni juga terlalu besar resikonya. Bisa-bisa malah mati
karena di dalam tubuh terjadi pertentangan dua hawa yang
ber-lainan.
"Jalan satu-satunya harus menahan panas. Ya, menahan
napas!" bisik hati Patih Giling Wesi.
Tapi apakah mampu menahan napas sambil bertarung?
Kalau hanya sepuluh jurus saja dia masih mampu. Tetapi
lewat dari sepuluh, rasanya tidak mungkin. Patih Giling Wesi
seperti kehilangan akal dalam menghadapi lawannya kali
ini.
Sementara Saka Lintang telah mulai lagi dengan jurus
'Tarian Bidadari'. Di saat Patih Giling Wesi dalam
kebingungan, mendadak sebuah blsikan lembut terdengar
di telinganya. Bisikan yang entah datang dari mana.
Sepertinya suara itu begitu dekat dan jelas. Patih Giling
Wesi tidak dapat berpikir lebih banyak lagi. Yang jelas
bisikan itu mengatakan tentang kelemahan jurus 'Tarian
Bidadari'.
***
"Jangan hiraukan tangannya, tetapi pandanglah matanya.
Arahkan pedang pada pusarnya," jelas bisikan itu.
Tanpa ragu-ragu lagi, patih itu segera menatap mata
Saka Lintang. Pedangnya terhunus ke arah pusar.
"Ikuti setiap gerak kakinya," terdengar lagi bisikan itu.
Patih Giling Wesi segera bergerak mengikuti setiap
gerakan kaki Saka Lintang. Dan benar saja, baru dua
petunjuk saja, kelihatan Saka Lintang mulai kebingungan.
Namun semuanya tertutupi oleh gerakan-gerakan lemah
gemulainya.
"Pusatkan napas pada perut. Hembuskan melalui mulut,"
bisikan itu terdengar lagi.
Mudah dan sederhana sekali petunjuk yang diberikan
sehingga Patih Giling Wesi dengan cepat memahaminya.
Hatinya gembira. Semangat timbul lagi. Dia sudah mulai
merasakan kalau Saka Lintang menemui kesulitan.
Setiap gerakan Saka Lintang selalu dapat dibaca
olehnya. Saka Lintang mulai sulit menebarkan racun lewat
pukulannya. Kian lama gerakannya menjadi kacau, tidak
beraturan. Bahkan beberapa kali ujung pedang Patih Giling
Wesi hampir menembus perutnya.
"Ih!" Saka Lintang terkejut ketika ujung pedang patih itu
berhasil merobek baju bagian perutnya.
Merah pada wajah gadis itu menahan malu. Cepat-cepat
ditutupinya bagian yang terbuka itu. Cukup besar sayatan
menggores bajunya. Saka Lintang segera melompat
mundur. Dia jadi geram karena kelemahan jurus
andalannya terbaca lawan.
Patih Giling Wesi makin gembira karena merasa di atas
angin. Rupanya gerakan-gerakan lemah lembut Saka
Lintang harus dihadapi pula dengan gerakan yang lemah
sedikit kaku. Untuk bisa melakukannya, digunakan
pernapasan perut di samping memandang mata lawan.
Sedangkan pada bagian perut yang terbuka, sering luput
dari perhatian. Mungkin karena lawan telah terpengaruh
oleh gerakan-gerakan yang mengundang syahwat itu,
hingga jadi lupa terhadap daerah lowong itu. Dalam
menghadapi Patih Giling Wesi, Saka Lintang kali ini
memang menelan pil pahit. Dia sama sekali tidak tahu
kalau patih itu mendapat petunjuk dari bisikan misterius
yang hanya dapat didengar oleh patih itu sendiri.
"Keluarkan seluruh kesaktianmu, biar lebih cepat kau
kukirim ke neraka!" dengus Patih Giling Wesi.
Saka Lintang hanya mendengus saja. Kini disiapkannya
jurus andalannya yang terakhir. Jurus 'Ular Berbisa
Menyebar Racun'.
"Huh! Ilmu setan mana lagi yang digunakannya?!" dengus
Patih Giling Wesi.
Gerakan-gerakan yang diperlihatkan memang aneh.
Kadang lambat, tetapi segera berubah cepat. Sebentar dia
melompat, kemudian merayap cepat menyusur tanah.
Mulutnya mendesis bagai ular.
"He he he...!"
Suara terkekeh tiba-tiba terdengar menggema dari
segala penjuru. Kemudian muncul seorang kakek tua
mengenakan baju compang-camping dengan tongkat merah
di tangannya.
"Ular harus dilawan dengan tongkat!" kata kakek tua
yang tidak lain adalah Pengemis Sakti Tongkat Merah atau
Aki Lungkur.
"Aki Lungkur...," desis Patih Giling Wesi. Seketika dia
menduga kalau kakek tua inilah yang membisikkannya tadi.
"Adi Patih Giling Wesi, mundurlah. Dia bukan lawanmu,"
kata Aki Lungkur tanpa mengecilkan kepandaian patih itu.
Patih Giling Wesi pun mundur dua tindak. Dia sudah tahu
siapa kakek tua itu. Tingkat kepandaiannya memang sulit
diukur. Patih Giling Wesi sangat menghormatinya meski dia
hanya seorang yang lebih mirip pengemis.
"Selamatkan putrimu di bukit Guntur," kata Aki Lungkur
lagi.
"Bedebah! Kakek busuk, jangan campuri urusanku!"
bentak Saka Lintang geram.
"Cepatlah berangkat! Jangan buang-buang waktu lagi,"
kata Aki Lungkur tanpa mempedulikan bentakan Saka
Lintang.
"Baik, Aki. Hati-hatilah," sahut Patih Giling Wesi.
"He he he...," Aki Lungkur terkekeh lagi.
Tanpa mendapat peringatan pun, Aki Lungkur tahu siapa
lawan yang dihadapinya kini. Seorang gadis, anak angkat
Geti Ireng. Tentulah kepandaiannya tidak bisa dianggap
enteng. Terbukti Patih Giling Wesi tidak mampu
menandinginya.
Patih Giling Wesi segera berangkat. Bersama prajurit-
prajuritnya dia menuju bukit Guntur. Melihat keadaan yang
tidak menguntungkan itu, Saka Lintang segera
memerintahkan anak buahnya menghalangi para prajurit
Kepatihan itu. Tanpa dikomando lagi, mereka langsung
menyerang para prajurit yang belum pergi jauh itu.
***
Pada waktu yang bersamaan, seorang pemuda berbaju
rompi putih berjalan menelusuri kaki bukit Guntur sambil
bersiul-siul. Dari gagang pedang yang menempel di
punggungnya dapat diketahui kalau pemuda itu adalah
Rangga, si Pendekar Rajawali Sakti.
Sambil bersiul-siul dengan irama yang tak jelas, Rangga
terus melenggang. Kepalanya tergeleng-geleng begitu
mendengar suara berkeresek. Suara siulannya berhenti.
Bibirnya menyungging senyum.
"1..., 2..., 3.... Ah, hanya 15," gumam Rangga menghitung.
Rangga masih melenggang tenang. Dia tahu kalau dirinya
telah memasuki daerah markas Bidadari Sungai Ular.
Telinganya yang tajam menangkap suara gerak langkah
kaki tersembunyi. Dan kini telah mengepung dirinya.
"Hm..., mungkin rumah itu sarangnya," kembali Rangga
bergumam ketika melihat sebuah rumah kayu di depannya.
Rumah beratap rurnbia itu bertengger di kaki lereng yang
cukup terjal. Tidak terlalu sulit untuk mencapai sana. Dan,
mendadak dari rimbunan semak-semak bermunculan
orang-orang berpakaian serba biru dengan senjata
terhunus.
"Berhenti!" bentak salah seorang dengan keras.
"Waduh, galak sekali," Rangga berlagak kaget.
"Siapa kau? Apa maksudmu datang ke sini?" tanya orang
yang membentak tadi. Dia salah seorang kepercayaan si
Bidadari Sungai Ular. Namanya Jambak.
"Aku hanya pengembara dan kebetulan lewat sini," jawab
Rangga kalem.
'Tidak ada seorang pun yang boleh memasuki kawasan
ini!" kata Jambak galak.
"Lho, kenapa?" Rangga berlagak dungu.
"Jangan banyak tanya. Ayo, kembali! Atau tubuhmu
kujadikan dendeng!" ancam Jambak.
"Wuih! Sadis sekali."
"Pergi!" bentak Jambak keras.
Rangga hanya tersenyum saja. Diayunkan langkahnya.
Tanpa peduli Rangga meneruskan perjalanannya. Jambak
jadi gusar karena kata-katanya tidak digubris sama sekali.
Dia segera melompat dengan ilmu peringan tubuhnya.
Pedangnya terayun cepat mengarah kepala Rangga. Namun
tebasan pedang itu hanya mengenai angin.
"Teman-teman, serang keparat ini!" perintah Jambak.
Seketika empat belas orang temannya dengan cepat
mengurung Rangga sambil berteriak-teriak mengacungkan
senjata. Rangga hanya tersenyun. Digenjot kakinya, dan
dengan cepat tubuhnya melenting di udara. Bagaikan
terbang saja, Rangga melayang menuju rumah kayu di
tebing bukit.
Kelima belas orang itu hanya melongo. Jambak yang
memiliki kepandaian cukup tinggi, segera memerintahkan
teman-temannya mengejar. Dia sendiri berlompatan dengan
bantuan ilmu peringan tubuhnya.
"Hm..., kalian hanya kronco!" dengus Rangga begitu
kakinya menjejak tanah di depan rumah kayu itu.
Jambak yang datang lebih dulu dari teman-temannya
dengan cepat menyerang ganas. Rangga hanya berkelit
menghindari tebasan pedang yang datang bagai air bah itu.
Namun bagi Rang-ga, semua serangan Jambak hanya
dianggap main-main saja. Dia hanya meliuk-liukkan
tubuhnya tanpa menggeser kaki sedikit pun. Kaki Rangga
baru bergerak jika datang serangan lain secara keroyokan.
Macam-macam bentuk senjata bertebaran mengepung
tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun sampai sejauh ini,
belum ada satu pun senjata yang berhasil menyentuh
tubuhnya. Rangga bagai seekor belut. Licin dan berkelit ke
sana kemari menghindari segala bentuk serangan yang
datang bertubi-tubi.
"Maaf, pinjam tombakmu!" kata Rangga kalem.
Selesai ucapannya, tangan Rangga bergerak cepat.
Sekejap saja seorang dari pengeroyoknya yang
menggenggam tombak terhuyung ke belakang. Tombak itu
telah berpindah tangan. Dan kini orang itu telah ambruk tak
berkutik.
Darah menguncur deras dari keningnya yang bolong.
Rupanya Rangga menggunakan satu jarinya untuk menotok
kening orang itu. Sangat keras totokannya, sehingga kening
orang itu bolong! Kini dengan tombak di tangan, Rangga
tidak lagi kewalahan. Denting macam- macam senjata
beradu dengan tombak di tangan Rangga.
Dalam keadaan dikeroyok seperti itu, Rangga masih
sempat melirik ke arah pintu rumah yang terbuka. Dan tiba-
tiba muncul seorang wanita muda, cantik, dan
menggiurkan, mengenakan pakaian merah muda dari
bahan sutra halus di depan pintu. Rangga sedikit terpana
melihat kecantikan wanita yang tidak lain adalah Intan
Kemuning. Namun dia tidak dapat memperhatikan lebih
lama lagi. Rangga kini sibuk menghadapi para
pengeroyoknya yang semakin ganas.
Rangga menggerakkan tombaknya semakin cepat. Dua
orang kini terhuyung sambil menekap dada, lalu ambruk
tidak berkutik lagi. Darah segar segera mengucur dari dada
yang robek itu. Belum lagi kering darah itu, menyusul dua
orang terhuyung-huyung lalu ambruk.
Pekik kematian kini terdengar saling susul. Tubuh-tubuh
bermandikan darah mulai bergelim-pangan. Sebentar saja
sudah delapan orang yang telah mengantar nyawa. Jambak
merasakan lawannya bukan tandingan mereka semua.
Hatinya bergetar juga. Lebih-lebih setelah mendengar lagi
suara jeritan panjang melengking, disusul am-bruknya dua
orang lagi.
"Cukup!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras melengking.
"Bayangan hitam...!" seru Jambak gembira melihat
berkelebatnya sebuah bayangan.
Sebentar saja sesosok tubuh kurus tinggi berbalut baju
hitam ketat telah berdiri di tengah-tengah lapangan depan
rumah kayu itu. Dari raut wajah yang panjang kurus, dapat
ditebak kalau orang itu wanita.
"Jambak, siapa tikus itu?" tanya Bayangan Hitam.
"Dia coba-coba menggerogoti lumbung."
"Huh! Lalu di mana Gusti Putrimu?'
"Menghadang perusuh di sungai Ular."
Si Bayangan Hitam mendongak seraya memonyongkan
bibir. Terdengarlah siulan yang panjang dan melengking
tinggi. Siulan itu menggema dipantulkan oleh bukit-bukit
batu dan lembah.
Serentak dari balik-balik pepohonan muncul sekitar dua
puluh orang berpakaian serba hitam. Mereka semua
menyandang pedang di punggung.
"Bagi dua!" teriak Bayangan Hitam.
Tanpa banyak omong, orang-orang yang baru
bermunculan itu segera membentuk dua kelompok.
"Jambak, bawa satu kelompok orangku. Bantu Gusti
Putrimu!" perintah Bayangan Hitam.
"Oh, terima kasih" Jambak membungkukkan tubuhnya.
Jambak cepat memberi isyarat pada salah satu kelompok
Bayangan Hitam. Segera mereka berlari menuruni lereng
bukit menuju sungai Ular. Sisa empat orang teman-teman
Jambak masih terdiam di tempatnya. Secercah harapan
muncul dan terbias di wajah mereka melihat kehadiran
Bayangan Hitam.
Mereka semua tahu siapa Bayangan Hitam. Dia adalah
seorang tokoh sakti yang tangguh dan sukar dicari
tandingannya. Benar-benar suatu kebetulan, Bayangan
Hitam datang membawa anak buahnya. Semangat mereka
timbul kembali setelah hampir diporak-porandakan.
***
Bayangan Hitam bukan orang lain bagi Saka Lintang. Dia
adik kandung Geti Ireng, ayah angkat Saka Lintang. Jadi
Bayangan Hitam adalah bibi angkatnya. Meski Saka Lintang
telah mengetahui asal-usulnya, namun dia sama sekali
tidak membenci Bayangan Hitam. Wanita kurus ini sangat
baik terhadap Saka Lintang. Lagi pula, Bayangan Hitam
tidak pernah ingin ikut campur dalam urusan Geti Ireng.
(Baca: Serial Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis
Lembah Tengkorak)
"Siapa kau, anak muda?!" tanya Bayangan Hitam.
"Namaku tak ada artinya buatmu," jawab Rangga. Dari
sekilas pandang saja, Rangga sudah dapat mengukur
tingkat kepandaian perempuan kurus ini. Dari julukannya,
dapat dipastikan kalau tokoh ini dari aliran hitam.
"Sombong!" dengus Bayangan Hitam sedikit gusar.
"Sebutkan namamu sebelum kau kukirim ke neraka!"
"Aku Pendekar Rajawali Sakti," lantang suara Rangga.
"Aku datang untuk mengambil Putri Intan Kemuning!"
Intan Kemuning yang masih berdiri di depan pintu rumah
kayu, terkejut. Wajahnya tampak berubah merah. Dia tidak
kenal dengan pemuda tampan itu. Mendengar namanya
saja, baru kali ini. Tapi diam-diam Intan Kemuning tertarik
juga melihat ketampanannya. Lebih-lebih setelah
menyaksikan sepak terjangnya yang dengan mudah
merobohkan sepuluh orang dalam satu jurus yang diulang-
ulang terus.
Bukan hanya Intan Kemuning yang terkejut Ternyata
Bayangan Hitam pun kaget setengah mati. Tak disangka-
sangka dia bertemu dengan pembunuh kakak laki-lakinya.
Apalagi si pembunuh itu masih muda dan tampan. Kalau
anak muda ini dapat membunuh Iblis Lembah Tengkorak,
pasti tingkat kepandaiannya tinggi sekali.
"Kebetulan kau muncul, bocah setan! Kau berhutang
nyawa padaku!" ujar Bayangan Hitam.
"Bertemu saja baru kali ini, bagaimana mungkin aku
berhutang nyawa padamu?"
"Kau membunuh saudara laki-lakiku! Kau harus bayar
dengan nyawamu!"
"Siapa saudaramu?'
"Geti Ireng atau Iblis Lembah Tengkorak!"
Rangga mengerutkan keningnya. Kini dia mengerti
sudah, untuk apa perempuan kurus atau Bayangan Hitam
itu muncul. Kelihatannya dia telah siap menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi.
"Aku membunuh saudaramu, karena dia membantai
keluargaku!" lantang dan mantap suara Rangga.
"Aku tidak peduli! Yang jelas kau harus bayar nyawa
saudaraku!"
Rangga yang sudah mengukur kepandaian Bayangan
Hitam tidak sungkan-sungkan lagi. Dia segera mencabut
pedangnya ketika Bayangan Hitam telah siap dengan
pedangnya. Sret!
'Tahan seranganku!" teriak Bayangan Hitam.
Bayangan Hitam segera menyerang Rangga dengan
jurus-jurus pedang yang dahsyat Sekejap saja mereka telah
bertarung dengan jurus-jurus pedang tingkat tinggi. Pedang
Rangga berputar-putar berkelebat memancarkan sinar biru
yang menyilaukan. Sedangkan pedang Bayangan Hitam
menderu-deru menimbulkan hawa panas. Sinar hitam
menggulung-gulung bagai asap tebal. Dua sinar berbeda
saling sambar dengan hebat-nya.
Kian lama pertarungan kian seru. Sebentar saja sepuluh
jurus telah berlalu. Kini tubuh mereka tidak terlihat jelas.
Yang kelihatan hanya bayangan hitam, putih, dan biru saling
berkelebat Semua yang ada di situ melongo, takjub.
Trang!
Dua pedang beradu menimbulkan pijaran bunga api.
Bayangan Hitam segera melompat mundur satu tombak.
Dirasakan tangannya kesemutan ketika pedangnya beradu.
Jari-jari tangannya seperti kaku.
"Edan!" dengus Bayangan Hitam melihat ujung
pedangnya buntung.
Sementara Rangga tidak bergeming sedikit pun.
Pedangnya melintang di depan dada. Bibirnya mengulum
senyum, tapi sinar matanya tajam menatap lurus Bayangan
Hitam. Rangga tidak merasakan apa-apa waktu pedangnya
berbenturan tadi. Kalau saja Bayangan Hitam tadi tidak
melompat, bisa jadi tangan kanannya pisah dari badan
terbabat pedang Rangga.
"Keluarkan ilmu kesaktianmu, anak setan!" geram
Bayangan Hitam sambil membuang pedangnya begitu saja.
Rangga segera memasukkan pedangnya ke dalam
sarungnya. Dia pun bersiap-siap mengerahkan jurus 'Cakar
Rajawali', satu jurus andalan tingkat pertama. Bayangan
Hitam pun tak kalah siapnya. Kini dia mengeluarkan jurus
andalannya juga. Mereka telah saling berhadapan.
"Bersiaplah!"
Bayangan Hitam segera menggebrak setelah selesai
memberi peringatan. Pertarungan dua tokoh sakti itu
kembali berlangsung. Rangga mengerutkan keningnya
ketika merasakan angin sambaran pukulan yang sangat
dahsyat. Kini hanya dua bayangan hitam dan putih
berkelebat. Debu mengepul di udara disertai angin yang
menderu-deru bagai terjadi topan.
"Glaaar...!"
Suara ledakan keras terdengar ketika tangan Bayangan
Hitam menghantam batu. Seketika batu itu hancur
berkeping-keping menyebar ke segala penjuru. Rangga
berdecak kagum melihat kedahsyatan pukulan Bayangan
Hitam.
"Hebat...!" desis Rangga memuji dengan tulus
"Tahan seranganku!" teriak Bayangan Hitam.
Seketika Bayangan Hitam merubah jurusnya. Kin dengan
jurus 'Bayangan Maut', tubuhnya berar-benar seperti
bayangan saja. Sulit diiihat denjan mata biasa. Rangga pun
segera merubah jurusnya menjadi 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'.
Kedua tangan Rangga mengembang. Kakinya bergerak-
gerak lincah mengimbangi gerakan Bayangan Hitam yang
sangat cepat. Kedua kaki Rangga kini tidak lagi menjejak
tanah. Kedua tangainya menyambar-nyambar menimbulkan
deru angin kencang. Beberapa pohon tumbang terkena
sambaran angin pukulan Rangga.
Kedua kaki Rangga makin bergerak cepat. Bayangan
Hitam sampai terperanjat, karena kaki-kaki Rengga saling
susul mengarah kepala. Kedua tangan yang selalu
mengembang bagai sepasang sayap itu menyambar-
nyambar mengikuti gerakan tubuh Rangga yang kadang
melayang, kadang menukik
"Akh!"
Tiba-tiba Bayangan Hitam memekik kesakitan. Tubuhnya
terhuyung dua tombak. Tanpa dapat dihindari lagi, kaki
Rangga berhasil mengenai pundaknya. Dia berusaha
menghindari kepala, tapi tidak bisa lagi menarik pundaknya.
Bayangan Hitam mengeram menahan sekit yang luar
biasa karena menyadari tangan kirinya tidak bisa
digerakkan lagi. Tulang pundaknya patah sehingga sulit
digerakkan lagi.
"Serang...!" teriak Bayangan Hitam keras melengking.
Serentak sepuluh orang berpakaian serba hitam
bergerak menyerang Rangga. Empat orang anak buah
Bidadari Sungai Ular yang tersisa membantu mengeroyok
Rangga. Mereka penasaran karena belum bisa
menggoreskan pedang ke tubuh Rangga.
"Kurang ajar!" geram Rangga sengit.
***
Sementara di sungai Ular, pertempuran masih
berlangsung sengit. Saka Lintang bertarung dengan
Pengemis Sakti Tongkat Merah. Sedangkan Patih Giling
Wesi dan para prajuritnya menghadapi anak buah Bidadari
Sungai Ular. Denting senjata bercampur dengan jerit
kematian.
Prajurit Kepatihan yang dipimpin Patih Giling Wesi itu kini
berada di atas angin. Patih itu mengamuk terus. Setiap
pedangnya berkelebat selalu menimbulkan korban. Makin
lama orang-orang berpakaian serba biru semakin berkurang
jumlahnya. Yang tersisa hanya delapan orang saja.
Saka Lintang tidak mungkin membantu orang-orangnya.
Dia sendiri kewalahan menghadapi Pengemis Sakti Tongkat
Merah. Saat gerombolan perompak itu makin terdesak, tiba-
tiba muncul sepuluh orang berpakaian serba hitam dipimpin
oleh Jambak.
'Tuan Putri, Bibi Bayangan Hitam datang!" teriak Jambak.
Saka Lintang berseri-seri wajah nya. Semangatnya segera
bangkit mendengar Bayangan Hitam ikut membantu.
Apalagi melihat anak buah Bayangan Hitam ikut bertempur.
Lima orang membantu anak buah Saka Lintang, lima orang
lagi membantu mengeroyok Pengemis Sakti Tongkat Merah.
Saka Lintang mendekati Jambak yang tengah
mengeroyok Kakek Sakti Tongkat Merah. Kini keadaannya
jadi berbalik. Orang-orang dari Bayangan Hitam lebih tinggi
tingkat kepandaiannya dan lebih ganas dalam bertarung.
"Di mana Bibi Bayangan Hitam sekarang?" tanya Saka
Lintang di sela-sela pertarungan.
'Tengah menghadapi Pendekar Rajawali Sakti," jawab
Jambak.
"Apa...?" Saka Lintang terkejut. Pengemis Sakti Tongkat
Merah mendengar hal itu merasa bersyukur karena
Pendekar Rajawali Sakti telah sampai di sarang gerombolan
Bidadari Sungai Ular.
"Lalu, bagaimana Intan?" tanya Saka Lintang dengan
cemas.
"Berada di markas!" sahut Jambak.
Saka Lintang segera melompat keluar dari pertarungan
ketika ada kesempatan. Dengan cepat dia berlari
menggunakan ilmu peringan tubuh. Pengemis Sakti Tongkat
Merah yang sejak tadi mendengar, lalu berteriak nyaring.
Tubuhnya mencelat tinggi di udara dan jatuh tepat di
samping Patih Giling Wesi.
"Cepat ke bukit Guntur! Selamatkan putrimu!" perintah
Kakek Pengemis itu. "Biar orang-orang ini aku yang hadapi!"
Patih Giling Wesi segera melompat tinggi dan bersalto di
udara. Begitu kakinya menginjak tanah, langsung
dikeluarkannya ilmu lari cepat. Bagaikan kilat tubuh patih
itu dan kini sudah jauh meninggalkan pertempuran.
Pengemis Sakti Tongkat Merah mengamuk memutar-mutar
tongkat saktinya.
Satu persatu orang-orang berpakaian serba hitam
tersungkur berlumuran darah disertai jerit kesakitan.
Mereka bukanlah lawan Pengemis Sakti Tongkat Merah.
Tongkatnya seperti hidup menyambar- nyambar mencari
mangsa.
"Cepat susul Gustimu!" teriak Aki Lungkur kepada para
prajurit.
'Tapi, Ki...!" seorang prajurit tidak tega meninggalkan
orang tua itu sendirian.
"Jangan membantah!" dengus Aki Lungkur. Delapan
prajurit Kepatihan itu langsung beriari menyusul
pemimpinnya. Sementara Kakek Pengemis kian waspada,
selalu menghalangi setiap orang yang akan mengejar para
prajurit.
"Cari kesempatan! Kejar mereka!" teriak Jambak gusar.
Perintah Jambak seperti tertelan angin. Mereka seperti
menghadapi seribu pengemis. Aki Lungkur bergerak cepat
menyambar setiap orang yang berusaha keluar dari medan
pertarungan. Jambak memutar otaknya mencari jalan agar
sebagian temannya bisa keluar dari pertarungan. Kakek
sakti menebas tongkatnya sehingga satu persatu
bergelimpangan. Kini jumlah mereka makin berkurang saja.
Di markas gerombolan Bidadari Sungai Ular, pertarungan
masih berlangsung sengit. Rangga mengamuk menghadapi
Bayangan Hitam yang dibantu oleh kaki tangannya.
Rangga mencabut pedangnya dan mengerahkan ilmu
pedangnya yang dipadu dengan jurus 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa'. Jurus ke-tiga dari rangkaian jurus
'Rajawali Sakti'. Gerakan kakinya lincah menghindari setiap
serangan lawan, sedangkan pedangnya berkelebat ke arah
tubuh lawan yang kosong.
"Rantai Bayangan!" teriak Bayangan Hitam tiba-tiba.
Seketika sepuluh orang mengambil posisi melingkar
mengepung Rangga. Empat orang ber-pakaian biru keluar
dari arena.
Mata Rangga tajam mengamati gerakan sepuluh orang
yang berputar mengelilinginya sambil pedangnya tersilang
di depan dada. Seperti mata rantai, mereka bekerja sama
dengan gerakan-gerakan yang teratur dan menunjang.
Makin lama makin cepat Yang terlihat kini hanya bayangan
hitam yang bergerak melingkar.
"Hiya! Yeah...!"
Rangga kebingungan juga menghadapi pola serangan
yang ganjil ini. Tetapi dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti
dapat menguasai diri. Ternyata teriakan-teriakan itu hanya
untuk memecah konsentrasinya.
Serangan-serangan itu sulit ditebak, datang dari segala
penjuru secara berganrJan. Gencar sekali. Mata Rangga
tidak lepas mengamati setiap serangan yang datang.
Tiba-tiba dia menjerit kuat sekali. Tubuhnya berputar
cepat bagai baling-baling.
Trang! Trang! Trang!
Kepingan-kepingan logam pedang yang patah meluncur
deras ke arah orang-orang berpakaian serba hitam yang
kebingungan. Pedang mereka terkena sambaran pedang
biru menyilaukan.
"Aaaakh...!"
Beberapa tubuh yang tidak sempat mengelak langsung
bergelimpangan dengan dada teriembus patahan pedang
mereka sendiri menyusul jeritan kematian.
"Bedebah! Kurang ajar!" Bayangan Hitam menggeram
melihat empat anak buahnya roboh hanya sekali gebrakan
saja. Sedangkan yang selamat hanya memegang pedang
yang tinggal setengah saja.
Dengan gerakan manis, Rangga mendarat di tanah.
Pedangnya dimasukkan ke dalam sarungnya di punggung.
Rangga tidak akan menggunakan senjata jika lawan tidak
pula menggunakannya.
“Bola Rantai Hitam!” teriak Bayangan Hitam tiba-tiba.
Dengan serentak sisa anak buahnya mengeluarkan
sebuah bola besi berwarna hitam yang bergigi runcing di
sekelilingnya dan dihubungkan dengan rantai halus
berwarna hitam pula.
Keenam orang itu segera membentuk lingkaran. Tangan
mereka memutar-mutar rantai panjang dengan bola-bola
bergigi di ujungnya. Suaranya menderu-deru bagai angin
topan.
Rangga pun mengerahkan gabungan dari tiga rangkaian
jurus 'Rajawali Sakti'. Dia masih menganggap belum perlu
merubah jurus, dan hanya menggabung-gabungkan saja
dengan berbagai kombinasi.
"Serang...!" teriak Bayangan Hitam memberi komando.
Seketika bola-bola itu menderu-deru silih berganti,
dilontarkan oleh keenam orang itu. Rangga membiarkan
tubuhnya terbelit rantai-rantai dengan bola bergigi itu.
Dengan satu teriakan melengking, dia melesat ke udara
bagai seekor rajawali. Tiba-tiba tubuh mereka terangkat ikut
meluncur bersama Rangga yang semakin tinggi.
"Lepaskan!" teriak Bayangan Hitam.
Keenam orang itu serentak melepaskan rantai. Sebelum
menjejakkan kakinya di tanah, mereka bersalto di udara.
Rangga yang masih berada di atas, dengan gerakan cepat
mengumpulkan dan melemparkan rantai-rantai itu kepada
pemiliknya.
"Aaaakh...!" seorang dari mereka menjerit keras.
Kepalanya hancur terhantam bola hitam miliknya sendiri.
Lima orang lainnya masih bisa menyelamatkan diri. Bola-
bola besi lainnya menghantam tanah lalu melesak ke
dalam. Rantai-rantai hanya terlihat beberapa jengkal saja.
Sungguh hebat tenaga dalam Rangga.
"Bedebah!" geram Bayangan Hitam.
Rangga turun dengan manis. Kali ini dia tidak ingin lagi
membiarkan lawan mengatur siasat. Dia segera menyerang
Bayangan Hitam dengan gabungan tiga rangkaian jurus
'Rajawali Sakti'.
Tentu Bayangan Hitam jadi kelabakan. Apa-lagi sebelah
tangannya tidak bisa digerakkan. Kelima anak buahnya
ditambah empat anak buah kelompok Bidadari Sungai Ular,
langsung membantunya. Rangga kini dikeroyok sepuluh
orang. Tapi hanya empat orang saja yang menggunakan
senjata.
"Lepas!" sentak Rangga.
Tiba-tiba saja empat pedang terlempar ke udara. Dan
tanpa terduga sama sekali, kaki Rangga melayang ke arah
kepala.
Kraaak!
"Aaaa..r!"
Gerakan Rangga dengan jurus 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa' begitu cepat sehingga keempat orang
itu tidak bisa melindungi kepalanya. Mereka segera
menggelepar dengan kepala pecah.
Dengan cepat Rangga segera mengganti ketiga jurusnya
sehingga lawan kebingungan. Apalagi kini mereka tanpa
senjata. Bayangan Hitam pun kini hanya bisa bertahan
tanpa mampu memberikan serangan balasan. Dari
mulutnya terus keluar umpatan dan cacian yang tidak
berhenti.
"Bibi...!"
Bayangan Hitam menoleh. Dilihatnya Saka Lintang berlari
cepat dan segera melompat sambil menghunus pedang.
Seketika Saka Lintang terlibat dalam pertempuran pula. Dia
menggeram dengan gigi gemerutuk melihat semua anak
buahnya tewas. Bahkan lima orang anggota Bayangan
Hitam telah jadi mayat.
"Mundur...!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras
menggelegar.
Begitu hebatnya suara bentakan tadi, sehingga
pertempuran sekejap saja berhenti, Siapakah yang
membentak itu?
***
Seberkas sinar merah meluncur deras menyambar
Rangga. Dengan sigap Pendekar Rajawali Sakti itu
melompat menghindari sinar merah yang datang tiba-tiba
itu. Belum sempat menjejakkan kakinya ke tanah, Rangga
telah disibukkan dengan sinar merah yang datang lagi.
Terpaksa dia kini mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'.
Mata Rangga yang tajam cepat mengetahui dari mana
datangnya sinar merah itu. Rangga cepat mengibaskan
tangannya, dengan seketika dia telah menggenggam
pedangnya. Kini pedang itu terarah pada sebuah pohon
besar. Dari pedang pun meluncur sinar biru bergulung-
gulung.
Blar...!
Pohon besar itu hancur berkeping-keping tersambar sinar
biru. Rangga kembali memasukkan pedangnya ke dalam
sarungnya. Tepat saat kakinya menginjak tanah, muncul
seorang kakek tua berjubah merah. Kakek itu mencelat
bersamaan dengan hancurnya pohon itu.
"Paman Nambi...!" seru Saka Lintang.
Seorang tokoh tua sakti bernama Nambi muncul di
tengah-tengah arena pertarungan. Dia dikenal dalam rimba
persilatan dengan nama Setan Jubah Merah. Tokoh ini
beraliran hitam dan dulunya merupakan suami Bayangan
Hitam.
Sampai sekarang pun mereka masih suami istri. Hanya
kemunculan mereka saja yang tidak selalu bersamaan.
Banyak tokoh menduga kalau mereka tengah bentrok.
Hanya saja watak mereka yang terbiasa malang melintang
di rimba persilatan, sehingga mereka tidak hiraukan status
suami istri. Mereka sibuk mendirikan partai sendiri-sendiri.
"Paman..., untung paman cepat datang," Saka Lintang
gembira.
"Hm, apa yang terjadi, Lintang?" tanya Nambi sambil
mengamati mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Perkumpulanku dihancurkan, paman," jawab Saka
Lintang. Ada nada kesedihan daiam suaranya.
"Dan kau tidak mampu mengatasinya?"
Saka Lintang hanya tertunduk saja.
"Sudah kuperingatkan, jangan cari perkara dengan pihak
kerajaan. Masih saja membandel!" tegur paman angkat
Saka Lintang.
Maksud Saka Lintang hanya ingin merubah Intan
Kemuning menjadi seorang pendekar wanita. Tetapi tak
diduga sama sekali akibatnya jadi demikian. Seluruh anak
buahnya mati. Dia sadar, ini adalah kesalahannya. Saka
Lintang melirik Intan Kemuning yang masih berdiri di depan
pintu.
Mungkin kalau Pengemis Sakti Tongkat Merah tidak ikut
campur, Saka Lintang pasti mampu mengalahkan Patih
Giling Wesi dan para prajuritnya. Tapi sekarang? Apalagi
Pendekar Rajawali Sakti ikut membantu.
Saka Lintang memandang Rangga. Seketika hatinya
bergetar. Benih-benih cinta kembali muncul. Namun bibit
dendam dan kebencian juga bertumbuhan. Untuk kedua
kalinya dia harus berhadapan dengan pemuda yang telah
merobek-robek hatinya ini. (Untuk lebih jelas, silahkan baca
Pendekar Rajawali Sakti dalam episode: Iblis Lembah
Tengkorakl
"Siapa dia?" tanya Nambi atau Setan Jubah Merah.
"Pendekar Rajawali Sakti," jawab Saka Lintang.
Nambi memandang pada istrinya, Bayangan Hitam.
Matanya agak menyipit melihat ke arah pundak perempuan
tua itu. Pundak itu melesak ke dalam. Patah! Mendadak
hatinya panas.
"Anak muda, hadapi aku!" bentak Setan Jubah Merah.
"Hati-hati, Kakang!" Bayangan Hitam memperingatkan.
Setan Jubah Merah melompat cepat menerjang
Pendekar Rajawali Sakti. Pertempuran sengit tidak dapat
dihindari lagi. Setan Jubah Merah segera mengerahkan
jurus-jurus andalannya. Jurus tangan kosongnya sangat
dahsyat. Setiap pukulannya mengandung hawa racun yang
mematikan. Tapi semua itu tidak berpengaruh terhadap
Rangga. Rangga kebal terhadap segala je-nis racun.
Kini Rangga menghadapi lawan dengan jurus 'Cakar
Rajawali'. Dengan jurus ini, Rangga tidak bermaksud
memandang enteng lawan. Dia hanya mengukur tingkat
kepandaian lawan. Sudah menjadi sifatnya untuk tidak
mengeluarkan jurus-jurus berbahaya sebelum dia
mengetahui tingkat kepandaian lawan.
"Bocah setan! Jangan salahkan aku jika sampai
menurunkan tangan kejam!" geram Nambi sengit melihat
Rangga hanya berkelit tanpa mem-balas serangan.
"Kalau itu keinginanmu, baiklah! Maafkan, Kakek!" sahut
Rangga dengan hormat
Nambi terdongak mendengar kata-kata Rangga. Baru kali
ini didapatkan lawan yang mau menghormat pada dirinya.
Pemuda itu tidak congkak. Bahkan selalu merendah.
"Serang aku!" teriak Nambi.
"Bersiaplah, Kek!"
Rangga menyalurkan seluruh tenaga ke kedua telapak
tangannya. Seketika jari-jari tangannya meregang kaku. Lalu
digerakkan tangannya yang makin lama makin cepat.
Nambi sedikit terperangah. Dengan cepat dia
mengimbanginya. pertarungan pun menjadi sengit.
"Maaf!" seru Rangga.
"Akh!"
Setan Jubah Merah memekik tertahan. Dia terhuyung
satu tombak ke belakang. Jari-jari tangan Rangga berhasil
menusuk pangkal lengan kiri Nambi. Darah mengucur deras
dari pangkal lengan yang bolong dua jari itu.
Nambi mengemerutukkan gerahamnya. Hati kecilnya
berkata kalau dia merasa salut terhadap anak muda itu. Dia
sempat mendengar permintaan maaf Rangga sebelum
melancarkan serangan. Hasilnya sungguh tak terduga
sekali. Lengan Nambi bolong oleh tusukan jari-jari Rangga.
"Kakang...!" jerit Bayangan Hitam cemas melihat darah
mengucur dari lengan suaminya.
Bayangan Hitam langsung melompat menyerang Rangga.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti harus melayani serangan
beruntun Bayangan Hitam. Saka Lintang pun tidak ingin
ketinggalan. Mereka segera mengeroyok Rangga. Pendekar
Rajawali Sakti segera menggabungkan jurus 'Cakar
Rajawali' dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Sedangkan Saka Lintang mengerahkan jurus 'Pukulan
Geledek'nya.
Setan Jubah Merah yang telah berhasil menghentikan
darah dengan totokannya, segera ikut mengeroyok Rangga.
Kini Rangga berhadapan langsung dengan tiga orang tokoh
yang memiliki kepandaian yang luar biasa.
Posisi Rangga kian terdesak oleh serangan yang
beruntun. Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega' lalu disusul dengan jurus 'Rajawali
Menukik Menyambar Mangsa'.
Sasarannya kini ke arah Bayangan Hitam. Begitu cepat
perubahan jurus yang dilakukan Rangga, sehingga
Bayangan Hitam tidak dapat menguasai diri lagi.
"Aaaakh...!" Bayangan Hitam menjerit kesakitan.
Kaki Rangga telak bersarang di kepala Bayangan Hitam.
Dia menggelepar-gelepar dengan kepala hancur, kemudian
diam tak bergerak lagi.
"Bibi...!" Saka Lintang memekik kaget.
Setan Jubah Merah menggeram menahan marah.
"Kubunuh kau, bocah setan!" teriak Nambi.
Secepat kilat Setan Jubah Merah menyerang dengan
jurus-jurus mautnya. Sementara Saka Lintang kembali
menyerang dengan jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.
Kemarahan dan dendamnya sudah sampai ubun-ubun. Dia
tidak lagi memandang perasaan cintanya pada Rangga.
Sementara pertarungan sengit berlangsung, lima orang
anggota Bayangan Hitam yang tersisa menyeret gurunya ke
tempat yang lebih baik Tetapi salah seorang dari mereka,
kebetulan melihat Intan Kemuning yang belum beranjak
dari pintu pondok. Melihat kecantikan Intan Kemuning,
seketika nafsu birahinya bangkit.
"Ah!" Intan Kemuning kaget ketika tiba-tiba seseorang
telah ada di depannya.
Mata orang itu liar merayapi wajah gadis cantik di
depannya. Jakunnya turun naik menahan gejolak birahi
yang bergelora dalam dada.
"Mau apa kau?" Intan Kemuning bergidik,
"Kau yang menjadi gara-gara, sekarang aku minta
bayaran darimu," gertak laki-laki itu.
"Ih!" Intan Kemuning menepis tangan laki-laki yang
terulur hendak menjamah.
"He he he..., ternyata kau punya isi juga," orang itu
menyeringai. Liumya tertahan.
"Ah, jangan!"
***
ENAM
Intan Kemuning makin kaget ketika orang itu telah
menubruk dan memeluknya. Dia meronta-ronta mencoba
melepaskan diri. Tanpa menghiraukan jeritan, laki-laki itu
menyeretnya masuk ke pondok
Rupanya perbuatan salah seorang anggota Bayangan
Hitam menarik perhatian empat orang lainnya. Mereka kini
tidak peduli dengan mayat gurunya. Segera mereka
berlarian ke pondok.
Di dalam pondok, Intan Kemuning terus meronta-ronta
sambil menjerit-jerit. Tangannya memukuli tubuh lelaki
kasar yang telah menindihnya. Intan Kemuning jadi lupa
kalau dia telah belajar dasar-dasar ilmu olah kanuragan.
Rasa panik dan ketakutan yang amat sangat membuat dia
lupa segalanya.
"Auh! Lepaskan...!" jerit Intan Kemuning.
Laki-laki itu makin liar merejam tubuh Intan Kemuning.
Bahkan empat laki-laki anggota Bayangan Hitam lainnya
telah mengelilingi serta menatap wajah dan tubuh yang
indah itu.
Bret!
"Auuuh...!" Intan Kemuning memekik ketika tangan laki-
laki yang menindihnya, merobek bajunya.
Kini bagian dada yang membukit indah terbuka. Lima
pasang mata menatap ke a rah dada yang putih mulus
tanpa berkedip. Intan Kemuning cepat menutupi bagian
dadanya yang terbuka, namun seorang laki-laki lainnya
maju dan menarik tangan Intan Kemuning.
'Tidak...! Lepaskan!" jerit Intan Kemuning putus asa. Bret!
Lagi-lagi baju Intan Kemuning dirobek paksa. Tubuh Intan
Kemuning seketika jadi polos. Hanya bagian bawah saja
yang masih tertutup. Tangan-tangan kasar kini menelusuri
bukit yang indah itu. Keempat orang yang sebelumnya
hanya berdiri saja, tidak bisa menahan diri lagi. Mereka
mendekat dan meraba-raba tubuh yang putih mulus itu.
Intan Kemuning benar-benar putus asa. Air bening mulai
menitik dari sudut matanya. Dari mulutnya keluar rintihan
memohon belas kasihan. Namun kelima orang sudah tidak
peduli lagi. Tangan-tangan mereka makin liar menjelajah ke
seluruh tubuh gadis cantik itu.
'Tidak, jangan...," rintih Intan Kemuning memelas.
Tepat ketika seorang laki-laki akan membuka bagian
bawah pakaiannya, tiba-tiba.... Brak!
Pintu poridok yang tertutup, hancur berantakan.
"Binatang!" Patih Giling Wesi segera menerjang marah.
Lima orang yang tengah dirasuki iblis itu terperangah.
Pedang Patih Giling Wesi berkelebat cepat Seketika saja
dua kepala telah terpisah dari tubuh.
Tiga orang lainnya segera melompat menyebar. Intan
Kemuning cepat-cepat mengenakan pakaiannya kembali
yang sudah tercabik-cabik itu. Air matanya makin deras
mengalir. Dia bersyukur karena kelima laki-laki itu belum
sempat merenggut kehormatannya.
"Binatang! Mampus, kalian semua!" teriak Patih Giling
Wesi kalap.
Pedangnya kian cepat berputar menyerang tiga orang
laiki-laki itu. Mereka hanya bisa berkelit saja. Dengan
terpaksa mereka melayani hanya dengan tangan kosong
karena tidak memiliki senjata lagi.
"Aaaakh!" kematian kembali terdengar.
Salah seorang dari tiga orang yang tersisa, ambruk
dengan dada tergores panjang dan dalam. Darah segera
membasahi lantai. Melihat tiga orang temannya telah
tewas, segera dua orang anggota Bayangan Hitam itu
mendobrak dinding pondok, kabur.
"Ayah...!"
Patih Giling Wesi yang hendak mengejar, berbalik ketika
putrinya memanggil. Intan Kemuning berlari lalu menubruk
ayahnya. Mereka saling berpelukan menumpahkan seluruh
air mata dan rindu.
"Kau tidak apa-apa, Nduk?" tanya Patih Giling Wesi
dengan suara tersendat.
"Tidak, Ayah," jawab Intan Kemuning tanpa melepaskan
pelukannya.
"Oh, syukurlah," desah Patih Giling Wesi.
Kembali mereka terdiam sambil berpelukan.
Ditumpahkan segala kerinduan dan kegembiraan karena
dapat berkumpul lagi. Pelan-pelan Patih Giling Wesi
melepaskan pelukannya. Sejenak ditatap putrinya. Jari-jari
tangannya mengusap air mata yang membasahi pipi Intan
Kemuning.
"Mereka tidak mengganggumu, Nak?" tanya patih itu
masih diliputi perasaan cemas.
Biar bagaimana pun juga, hatinya masih khawatir
terhadap putrinya yang baru saja terbebas dari tawanan
perompak itu.
"Mereka tidak ada yang menggangguku, Ayah," sahut
Intan Kemuning. 'Pemimpin perampok itu sangat baik. Dia
mengangkatku sebagai adiknya."
"Maksudmu, Bidadari Sungai Ular itu?"
"Betul, Ayah. Kakak Lintang selalu melindungiku. Dia baik
sekali padaku."
"Lalu, orang-orang itu?"
"Mereka bukan orang-orang Bidadari Sungai Ular. Mereka
orang-orang Bayangan Hitam,"
Seketika Intan Kemuning tersentak. Dia ingat kalau
pemuda tampan yang telah menggetarkan hatinya tengah
bertempur di luar. Pemuda itu kini menghadapi dua tokoh
sakti.
"Ada apa, Intan?" tanya Patih Giling Wesi.
"Pemuda itu...."
"Pemuda siapa?"
"Oh!" Intan seperti tersadar. Malu.
Seketika kedua pipinya merah merona. Kepalanya
tertunduk. Tanpa disadari dia telah mencemaskan
pendekar muda yang sejak tadi menarik perhatiannya.
Pendekar itu telah merebut sekeping hatinya.
Patih Giling Wesi terdongak begitu mendengar suara
pertempuran di luar. Patih Giling Wesi tersadar. Rasa haru
dan gembira telah membutakan mata dan menulikan
telinganya, sehingga tidak tahu ada pertempuran di luar.
Sekelebat memang dia melihat pertempuran itu, namun
Patih Giling Wesi lebih terpusat pada suara rintihan wanita
di dalam pondok itu.
Dan ketika Intan Kemuning menyebut pemuda itu...,
Patih Giling Wesi seolah baru sadar kalau putrinya telah
menjadi seorang gadis remaja. Ah, apakah Intan Kemuning
jatuh cinta? Apakah dengan pemuda tampan yang kini
sedang bertarung melawan dua tokoh sakti itu? Kalau
benar, siapakah pemuda itu? Berbagai pertanyaan
berkecamuk di benak patih itu.
"Intan...," lembut suara Patih Giling Wesi.
Pelan-pelan Intan Kemuning mengangkat kepalanya.
"Ayo...."
Patih Giling Wesi menggandeng anaknya ke luar pondok
itu. Mereka berhenti melangkah di depan pintu yang sudah
hancur. Mereka menyaksikan pertempuran antara Rangga
melawan Saka Lintang dan Setan Jubah Merah.
Namun Intan Kemuning melangkah terus, dan baru
berhenti setelah berada dua tombak dari pondok. Patih
Giling Wesi mengikutinya. Patih Giling Wesi tersenyum
melihat Intan Kemuning tidak berkedip menatap setiap
gerakan Rangga. Dalam hati dia merasa kagum juga
terhadap pemuda tampan itu.
***
Pertempuran masih terus berlangsung di sungai Ular. Kini
yang dihadapi Pengemis Sakti Tongkat Merah hanya empat
orang saja. Mayat menyebar di mana-mana. Bau anyir darah
menyebar terbawa angin.
"He he he...!" Pengemis Sakti Tongkat Merah terkekeh.
Cukup sekali gebrak saja, keempat orang yang memang
tidak punya nyali lagi, dibuat tidak berkutik. Ujung tongkat
Pengemis Sakti itu merobek-robek dada mereka. Darah
segar menyembur disertai jeritan kesakitan saling susul.
Keempat orang itu kini ambruk kehilangan nyawa. Kakek
Pengemis Sakti kembali terkekeh.
"Kasihan, kalian hanya membuang nyawa sia-sia,"
gumam Aki Lungkur atau Pengemis Sakti Tongkat Merah.
Pelan-pelan kakinya meninggalkan tempat pembantaian
itu. Ironis sekali. Tempat yang indah dan menyejukkan itu,
kini jadi mengerikan. Bau anyir darah telah mengundang
anjing-anjing hutan untuk menyantap mayat-mayat yang
bergelimpangan. Tak luput, burung bangkai pun telah
berkeliling di angkasa minta bagian.
Aki Lungkur mengayunkan langkah menuju bukit Guntur.
Langkah yang kelihatan pelan, tapi kenyataannya, sebentar
saja kakek tua itu telah jauh melangkah. Kakinya seperti
tidak menapak tanah. Itulah ilmu 'Sayiti Angin' yang
dikeluarkannya. Orang yang menguasai ilmu ini dapat
meminjam hembusan angin untuk mendorong tubuhnya.
Layaknya kapas yang dihembus angin.
"Mudah-mudahan Pendekar Rajawali Sakti bisa
mengatasi keadaan," gumam Aki Lungkur pelan.
"He he he...!"
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh. Aki Lungkur
menghentikan langkahnya. Suara itu jelas menggunakan
tenaga dalam yang luar biasa.
'Tidak disangka, Pengemis Sakti Tongkat Merah mau
mengotori tangannya hanya untuk membantai cacing-cacing
tanah," terdengar suara mengejek.
"Ah, aku malas main petak umpet," keluh Aki Lungkur
terus melanjutkan langkahnya.
Langkahnya baru tiga tindak, tiba-tiba di depan Aki
Lungkur muncul seorang laki-laki gendut berkepala botak
mengenakan jubah kuning. Untaian tasbih tergenggam di
tangan kanannya.
"Rupanya kau, Pendeta Murtad," dengus Aki Lungkur.
"Aku rasa kau tidak perlu ke bukit Guntur, Aki Lungkur.
Kau akan menambah kotor tanganmu saja," kata Pendeta
Murtad yang nama aslinya Pradya Dagma.
"Aku rasa tanganmu tidak lebih bersih dari-pada
tanganku," tenang sekali Aki Lungkur menyahut.
'Tapi aku tidak pernah usil dengan urusan orang lain."
"Dengan menghadang jalanku, kau sudah mencampuri
urusan orang lain."
'Phih! Aku sengaja menghadangmu untuk mencegah agar
kau tidak ikut campur urusan keponakanku!"
"Keponakan? Ha ha ha...! Apa aku tidak salah dengar?
Kapan kau punya keponakan!"
"O, mengapa kau lari dari Lembah Tengkorak waktu itu?
Kenapa tidak kau bantu keponakanmu? Itukah paman yang
baik?"
Merah padam wajah Pradya Dagma. Kata-kata Aki
Lungkur tenang diucapkannya, tetapi sakit didengamya.
Kata-kata itu baginya adalah penghinaan yang luar biasa.
"Ah, sudahlah! Aku tidak ada urusan denganmu," kata Aki
Lungkur berusaha mengalah.
Aki Lungkur melangkah melanjutkan perjalanan tanpa
peduli. Melihat hal ini, Pradya Dagma makin merasa
terhina. Dengan cepat dia kembali menghadang.
"Sudah kukatakan, aku tidak ada urusan denganmu.
Minggir, aku mau pergi!" dengus Aki Lungkur sedikit jengkel.
"Kalau kau mencampuri urusan Saka Lintang, maka kau
juga berurusan denganku!'' sahut Pradya Dagma.
"Heh! Rupanya kau cari penyakit?"
"Kau yang cari kematian, Aki Lungkur!"
Aki Lungkur mendelik. Dia bersiap-siap ketika melihat
Pendeta Murtad itu telah membuka jurus-jurus ampuhnya.
Tanpa dapat dicegah lagi, dua tokoh sakti berlainan aliran
itu bertempur dengan sengit
Diantara mereka berdua, sebenarnya tidak ada urusan
apa-apa. Aki Lungkur sendiri sebenarnya tidak melayani
meski pun Pendeta Murtad itu selalu cari perkara
dengannya.
Pengemis Tongkat Merah melayaninya dengan setengah-
setengah. Padahal, Pendeta Murtad itu telah melancarkan
serangan-serangan berbahaya. Kelihatannya dia ingin
membunuh Pengemis Sakti ini.
"Pradya Dagma, hentikan semua ketololanmu!" bentak
Aki Lungkur gusar.
"Jangan katakan aku kejam kalau kau kukirim ke neraka,
Lungkur!" sahut Pradya Dagma keras. "Aku tidak peduli kau
melawan atau tidak!"
Gigi Aki Lungkur beradu menahan geram. Pendeta
Murtad ini rupanya benar-benar ingin membunuhnya. Dia
masih mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Terpaksa Aki
Lungkur harus menghadapinya dengan hati- hati. Dia tahu
kalau Pradya Dagma sangat berbahaya, terutama tasbihnya
yang menjadi andalan.
Antara Aki Lungkur dengan Pradya Dagma, sebenarnya
masih saudara seperguruan. Mereka sama-sama murid
Resi Brahespati. Akibat suatu perselisihan, rupanya Pradya
Dagma masih menyimpan api dendam. Dia tidak mau
mengakui keunggulan Aki Lungkur. Padahal setiap kali
mereka bentrok, Aki Lungkur selalu bersikap mengalah. Dia
masih memandang hormat pada Resi Brahespati. Sebab
Pradya Dagma anak tunggal dari gurunya itu. Itulah
sebabnya, mengapa Aki Lungkur selalu menolak setiap
tantangan Pradya Dagma. Dia pun tak ingin mencampuri
urusan Pradya Dagma meskipun tindakan dan perbuatan
Pradya Dagma selalu merugikan orang lain.
"Maaf, aku masih ada urusan yang lebih penting," ujar Aki
Lungkur masih berusaha mengalah. Segera dia melenting
cepat.
"Hey, tunggu!"
Pradya Dagma segera mengejar. Hanya beberapa kali
lompatan saja, dia telah berhasil mengejar disertai satu
pukulan dengan tenaga dalam yang penuh. Aki Lungkur
terkejut. Dia segera membuang diri ke tanah.
Pukulan Pradya Dagma menghantam sebatang pohon
besar. Seketika pohon itu tumbang disertai suara gemuruh.
Aki Lungkur belum bersiap-siap, tiba-tiba datang serangan
berikut. Aki Lungkur kembali bergulingan di tanah. Secepat
itu pula, dia melenting dan berdiri di tanah dengan kokoh.
"Kelakuanmu sudah melampaui batas, Pradya Dagma!"
geram Aki Lungkur.
"Kalau kau laki-laki, jangan hanya bisa menghindar!" ejek
Pradya Dagma.
"Kau memang sudah tidak bisa di beri hati, Seluruh
pikiran dan hatimu sudah tertutup iblis.”
"Kau pun akan, senang tinggal di neraka bersama iblis."
"Demi Resi Brahespati, aku tidak menurunkan tangan
kejam padamu!"
Rupanya Aki Lungkur sudah tidak bisa menahan
kesabarannya lagi. Dibukanya jurus 'Tongkat Sakti'. Pradya
Dagma terkekeh melihat Aki Lungkur mulai terpancing
kemarahannya. Dia pun segera mengerahkan jurus 'Tasbih
Sakti'.
Kedua tokoh itu mempergunakan jurus yang didapat dari
sumber yang sama. Mereka sama-sama telah mengenal
jurus masing-masing. Setelah mereka saling pandang, maka
menyusullah suara teriakan keras. Dua tokoh sakti itu pun
saling menyerang.
***
Kali ini Aki Lungkur tidak main-main lagi. Kemauan
saudara seperguruannya dilayani dengan sungguh-sungguh.
Bahkan serangan-serangan balasannya tidak tanggung-
tanggung mengarah ke bagian-bagian tubuh lawan yang
mematikan.
Lima jurus kini telah mereka lewati. Masing-masing
belum ada yang terdesak. Mereka paham betul dengan
kelemahan dan kelebihan jurus-jurus masing-masing. Jurus-
jurus yang mereka pergunakan juga beraliran sama, hanya
penerapannya yang lain. Jika Pradya Dagma
mempergunakannya untuk maksud-maksud kejahatan,
maka Aki Lungkur mempergunakannya untuk membela
yang lemah dan menumpas kejahatan.
Jurus demi jurus berlalu dengan cepat. Aki Lungkur yang
selalu memperdalam dan menyempumakan ilmunya,
kelihatan lebih unggul ketika memasuki jurus yang
keseratus. Sedikit demi sedikit Pradya Dagma mulai
kewalahan dan terdesak. Beberapa kali ujung tongkat itu
hampir menyentuh tubuh Pradya Dagma, Aki Lungkur selalu
membelokkannya.
Hatinya tetap tidak mengijinkan untuk melukai saudara
seperguruannya ini. Tapi Pradya Dagma sudah tidak peduli.
Dia malah mempergunakan kesempatan itu untuk
mendesak. Timbul sifat mengalah dalam hati Aki Lungkur.
Dibiarkan dirinya terdesak. Bahkan dia kelihatan tidak ada
semangat lagi untuk melanjutkan pertarungan. Hingga pada
suatu saat...
"Akhl" Aki Lungkur memekik tertahan. Kaki Pradya
Dagma berhasil menghantam dadanya. Tubuh pengemis
tua itu terdorong dua tombak. Matanya berkunang-kunang.
Dadanya terasa sesak. Tendangan Pradya Dagma telak,
disertai tenaga dalam yang hebat Kalau bukan Aki Lungkur,
mungkin dada itu telah jebol.
"Kau menghinaku, Lungkur! Kau sengaja mengalah!"
desis Pradya Dagma.
"Aku mengaku kalah," kata Aki Lungkur ter-sendat
"Sudah aku katakan, aku tidak peduli dengan sikapmu!
Ayo lawan aku!" bentak Pradya Dagma.
Tiba-tiba di depan Aki Lungkur seperti berdiri seorang
resi. Seketika pengemis tua itu menjatuhkan diri, dan
berlutut saat dia tahu yang berdiri di depannya adalah Resi
Brahespati.
"Ampunkan muridmu yang hina ini, Resi," ucap Aki
Lungkur dengan kepala tertunduk.
Pradya Dagma yang melihat sikap Aki Lungkur, terheran-
heran. Dia tidak mengerti, mengapa tiba-tiba Aki Lungkur
seperti ketakutan. Bahkan dia tadi menyebut-nyebut resi.
Pradya Dagma memang tidak melihat kedatangan Resi
Brahespati, ayahnya itu yang padahal tengah berdiri di
depannya.
"Bangunlah, tidak layak kau berbuat begitu," lembut
berwibawa suara Resi Brahespati.
"Aku berusaha mengalah, tapi Pradya Dagma...," Aki
Lungkur tidak melanjutkan kata-katanya.
"Dia benar-benar sudah murtad! Aku mengijinkan kalau
kau menjatuhkan tangan padanya. Beri dia pelajaran agar
matanya terbuka."
"Resi..!" Aki Lungkur terkejut menerima petuah itu.
Ketika Aki Lungkur ingin melanjutkan kata-katanya, tiba-
tiba Resi Brahespati telah lenyap dari pandangan. Kini yang
berdiri di depannya hanyalah Pradya Dagma. Masih
terngiang-ngiang kata-kata gurunya tadi. Rasanya memang
masih terasa berat untuk menjatukan tangan kepada
Pradya Dagma. Segera Aki Lungkur memantapkan hati
untuk memberi pelajaran kepada saudara seperguruannya
yang murtad ini.
Belum juga Aki Lungkur bersiap-siap, Pradya Dagma
kembali menyerang dengan jurus-jurusnya. Terpaksa Aki
Lungkur harus jatuh bangun menghindari serangan
beruntun itu. Ketika posisinya menguntungkan, Aki Lungkur
segera membalas tanpa memberi ampun lagi.
Pradya Dagma yang setingkat di bawah Aki Lungkur,
kembali terdesak. Sementara kata-kata Resi Brahespati
terus terngiang- ngiang di telinga Aki Lungkur. Hal inilah
yang membuat pengemis tua itu tidak memberi kesempatan
kepada Pradya Dagma untuk membalas.
Pada suatu kesempatan yang baik, dengan cepat
pukulan Aki Lungkur bersarang di dada Pradya Dagma.
Kemudian disusul dengan tendangan keras. Pendeta
Murtad itu terdorong sejauh tiga tombak. Dari sudut
bibirnya keluar darah segar.
"Demi Resi Brahespati, minta ampunlah kau pada
ayahmu!" kata Aki Lungkur lantang.
"Setan!" dengus Pradya Dagma sambil menyeka darah
yang terus mengalir. "Jangan sebut-sebut ayahku!"
Setelah berkata demikian, Pradya Dagma kembali
menyerang membabi buta. Aki Lungkur tidak segan-segan
lagi melayaninya. Tongkatnya kini berkelebat cepat, dan....
"Aaaakh...!"
Jeritan melengking terdengar. Aki Lungkur mencabut
tongkatnya yang menembus dada pendeta murtad itu.
Tubuh Pradya Dagma pun ambruk dengan darah muncrat
dari dadanya yang bolong. Aki Lungkur cepat-cepat
menghampiri dan merangkul tubuh gemuk itu.
"Dagma...!" suara Aki Lungkur bergetar.
Pradya Dagma tersenyum. Napasnya tersendat-sendat.
Darah makin banyak keluar.
"Aku senang bisa mati di tangan tokoh sakti sepertimu,"
lemah dan tersendat suara Pradya Dagma.
"Dagma..., kau harus hidup. Kita akan bersama-sama
lagi," hibur Aki Lungkur.
'Tidak, Lungkur. Aku puas. Kini keinginanku tercapai
sudah. Terima kasih, kau mau memenuhi keinginanku."
Aki Lungkur tidak mengerti, mengapa Pradya Dagma
menginginkan mati di tangannya
"Aku sudah berjanji pada Komala, hanya kau yang boleh
membunuhku."
"Dagma, kau bicara apa?" Aki Lungkur makin tidak
mengerti. Ingatannya seketika mundur puluhan tahun yang
lalu. Waktu itu mereka masih sama-sama muda dan tinggal
di padepokan Resi Brahespati. Di desa dekat padepokan itu
tinggallah seorang gadis bernama Komala. Dia cantik dan
menjadi kembang desa itu. Ternyata Komala membuka
hatinya pada seorang pemuda bernama Lungkur.
Hubungan mereka telah direstui oleh Resi Brahespati.
Mereka telah merencanakan untuk memasuki jenjang
perkawinan. Tetapi sebelum hari bahagia itu dilangsungkan,
seluruh desa dan padepokan geger. Komala kedapatan
mati dengan leher tertembus pisau. Sejak itu, Lungkur tidak
ada niat lagi mendekati wanita. Hingga tua dia tidak pernah
menikah.
"Aku merasa iri karena Komala menjatuhkan pilihan
kepadamu. Malam itu, sehari sebelum pernikahanmu
dengan Komala, aku menyelinap ke kamarnya. Aku telah
memperkosa dan membunuhnya, Lungkur! Di depan
mayatnya aku berjanji, hanya tanganmu lah yang bisa
membunuhku. Kini keinginanku menebus dosa pada
Komala terlaksana sudah, Lungkur."
Aki Lungkur hanya tertunduk saja. Dia tak tahu harus
bagaimana lagi. Peristiwa itu sudah lama terjadi. Bahkan
sudah hampir dilupakannya. Tapi kini, peristiwa itu
sepertinya baru saja terjadi.
"Semula aku hanya ingin memperkosa saja. Aku ingin
membuatmu kecewa dan sakit hati. Aku tidak sengaja
membunuhnya, Lungkur. Dia mengambil pisau, dan aku
berusaha mencegahnya. Tapi perbuatanku malah
menghilangkan nyawanya. Seharusnya malam itu kubiarkan
saja dia membunuhku," Pradya Dagma meneruskan
ceritanya.
Setitik air bening mulai menggulir di pipi Aki Lungkur.
"Maafkan aku, Lungkur. Hatiku akan tenang jika kau mau
memaafkan aku," kata Pradya Dagma lagi.
"Sejak lama aku selalu memaafkanmu," sahut Aki
Lungkur. Dia tidak tahu lagi harus berkata apa.
'Terima kasih."
Pradya Dagma menutup mata dengan tenang setelah
mengucapkan kata maaf dan terima kasih. Bibirnya
menyungging senyum. Keinginannya telah terkabul.
Menerima kenyataan itu, Aki Lungkur benar-benar sedih.
Dia baru sadar kalau perbuatan Pradya Dagma hanyalah
untuk memancing kemarahan agar dapat membunuhnya.
Kalau saja hal itu diketahuinya sejak dulu, mungkin Aki
Lungkur akan segera membunuhnya agar kesengsaraan
hidup Pradya Dagma tidak berlarut-larut.
Tidak ada yang tahu kalau seluruh perbuatan Pradya
Dagma hanyalah pancingan agar Aki Lungkur dapat
membunuhnya. Ternyata di balik hatinya yang keji, masih
tersimpan sedikit jiwa ksatria. Teguh pada janji dan
pendinannya Hanya sayangnya, sikap Pradya Dagma berada
di jalan yang salah.
***
TUJUH
Pertarungan antara Rangga melawan Saka Lintang dan
Setan Jubah Merah kian berlangsung sengit di bukit Guntur.
Rangga masih tetap menggunakan empat jurus gabungan
dari jurus 'Rajawali Sakti'. Kadang dia menggabungkan dua
atau tiga jurus. Bahkan kalau mungkin menggabungkan
keempatnya sekaligus.
Dalam gerakan-gerakan membingungkan itu, Rangga
selalu mengganti-ganti jurus. Dengan demikian lawannya
benar-benar kerepotan. Mereka bingung menghadapi
gerakan-gerakan yang sulit diduga arah dan tujuannya.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba Rangga berteriak nyaring. Seketika itu pula,
tangannya mengembang dengan cepat Tubuhnya kini
melayang. Kedua tangannya bergerak-gerak cepat
mengibas mencari sasaran.
"Awas, Lintang!" teriak Setan Jubah Merah tiba-tiba.
"Hait!"
Saka Lintang melentingkan tubuhnya ke belakang sejauh
dua tombak. Kibasan Rangga berhasil dielakkan, namun
bajunya harus direlakan terjambret.
"Kurang ajar" geram Saka Lintang. Mukanya merah
menahan malu.
Baju di bagian dada yang memang sudah sobek, kian
lebar saja terbuka. Bagian dada yang membukit terbungkus
kulit putih mulus itu tidak lepas dari tatapan mata Patih
Giling Wesi. Mata Rangga pun sempat menatap ke bagian
indah itu. Seketika darahnya seperti berhenti mengalir.
Tetapi dengan cepat dipusatkan kembali perhatiannya pada
Setan Jubah Merah.
Saka Lintang sedapat mungkin menutupi bagian
tubuhnya yang terbuka itu. Wajahnya sebentar pucat
sebentar merah bagai kepiting rebus. Lalu dengan cepat dia
kembali menerjang sambil menghunus pedangnya. Kali ini
Saka Lintang menggabungkan antara jurus-jurus ilmu
pedangnya. Kali ini Saka Lintang menggabungkan antara
jurus-jurus ilmu pedang dengan jurus 'Ular Berbisa
Menyebar Racun'.
Menyadari Saka Lintang telah menebar racun, Setan
Jubah Merah menahan napas. Tetapi Rangga malah
kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan bibimya menyungging
senyum. Dia tahu kalau hawa racun telah menyebar di
sekelilingnya. Tetapi racun jenis apa pun tak ada
pengaruhnya bagi Rangga.
"Kena!" teriak Saka Lintang keras.
Pukulan tangan kiri Saka Lintang tepat menghantam
dada Rangga. Gadis itu tidak tahu kalau sebenamya Rangga
sengaja membiarkan tangan beracun itu masuk ke dalam
bagian dada yang lowong.
Wajah Saka Lintang seketika berubah setelah menyadari
tangannya tidak dapat ditarik lagi dari tubuh Rangga.
Sekuat tenaga gadis itu menarik tangannya. Namun
semakin ditarik, semakin kuat telapak tangannya
menempel. Saka Lintang jadi geram. Ditebaskan pedang
yang ada di tangan kanannya ke leher Rangga, namun....
Trak!
Rangga hanya menyentil pedang itu dengan jurus 'Cakar
Rajawali'. Seketika dari ujung pedang sampai pangkal
lengan Saka Lintang bergetar. Belum sempat gadis itu
menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba tangan Rangga
bergerak menyambar gagang pedang dalam genggaman
Saka Lintang.
"Ah...!" pekik Saka Lintang tertahan. Saka Lintang
semakin panik. Dengan mengerahkan seluruh tenaga
dalam dan penyaluran racun ke telapak tangannya, gadis
itu menggedor dada Rangga sekali lagi dengan tangan
kanannya. Di luar dugaan, kedua telapak tangan Saka
Lintang kini menempel erat di dada Rangga.
"Setan!" dengus Saka Lintang geram.
Kalau Rangga mau, sebenamya dia bisa saja
menebaskan pedang yang terebut tadi. Tetapi hal itu tidak
dilakukannya. Dia malah membuang pedang itu jauh-jauh.
Matanya menatap Setan Jubah Merah yang kebingungan.
Rangga menggunakan gadis itu menjadi tameng, sehingga
Setan Jubah Merah tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak
bisa leluasa melancarkan pukulan mautnya.
"Pengecut! Lepaskan gadis itu!" bentak Setan Jubah
Merah.
"Oh, tentu! Ini, terimalah!"
Tiba-tiba saja tubuh Saka Lintang terpental keras. Setan
Jubah Merah terkejut. Dengan cepat dia melompat dan
menangkap tubuh gadis itu yang melayang deras. Jika saja
gerakan Setan Jubah Merah tidak cepat, tubuh Saka
Lintang dipastikan hancur menubruk batu besar.
"Akh!" tiba-tiba Setan Jubah Merah memekik keras.
Cepat-cepat dilepaskan tangannya. Dia kaget setengah
mati karena tubuh Saka Lintang masih menyebarkan hawa
racun. Saka Lintang pun tak urung kaget pula. Cepat-cepat
dihilangkan hawa racun dari tubuhnya. Dihampirinya Setan
Jubah Merah yang tengah meringis memegangi tangannya
sendiri.
"Paman..., kau tidak apa-apa?" tanya Saka Lintang
cemas.
"Uh! Racunmu," kata Setan Jubah Merah sambil meringis.
Saka Lintang merogoh saku jubahnya, dan mengeluarkan
sebuah pil berwarna merah darah. Diberikannya pil itu
kepada Setan Jubah Merah. Tanpa banyak tanya lagi, laki-
laki tua itu menelan pil yang diberikan Saka Lintang.
Seketika tubuhnya seperti terbakar.
"Semadilah, Paman," ujar Saka Lintang. Setan Jubah
Merah pun bersila. Kedua matanya dipejamkan. Perlahan-
lahan dari ujung kepalanya mengepul asap tipis. Seluruh
tubuh Setan Jubah Merah bergetar. Keringat membasahi
seluruh tubuhnya.
"Hoek!"
Cairan kental berwarna kehitaman dimuntahkan oleh
Setan Jubah Merah. Sedikit demi sedikit, seluruh tubuh laki-
laki tua itu mulai tenang. Setan Jubah Merah membuka
matanya ketika getaran pada tubuhnya berhenti sama
sekali, dibarengi oleh hilangnya asap tipis yang mengepul di
kepala laki-laki tua itu.
Kini Pendekar Rajawali Sakti tengah duduk tenang di
atas batu besar. Dia memperhatikan saja kedua lawannya
yang tengah sibuk itu. Mulutnya malah bersiul-siul dengan
irama tak menentu. Sesekali matanya melirik Intan
Kemuning yang berdiri di samping ayahnya. Setiap kali
Rangga melirik ke arahnya, Intan Kemuning merasakan
jantungnya berdetak keras.
Tanpa sadar Intan Kemuning melontarkan senyuman
manis pada pendekar muda itu. Tak diduga, Rangga
membalasnya dengan senyum manis pula. Kalau saja saat
ini tidak ada ayahnya, ingin sekali Intan Kemuning
menghambur dan memeluk pemuda itu. Tapi semua
perasaan dan keinginan itu ditekan dalam-dalam sampai ke
dasar hatinya.
Sementara, dua tokoh tingkat tinggi, Saka Lintang dan
Setan Jubah Merah, telah kembali bersiap-siap menghadapi
lawannya yang tengah duduk tenang itu. Rangga seperti
tidak peduli dengan lawan yang sudah bersiap-siap
menyerang kembali.
"Hiya!"
"Yeah!"
Dua teriakan keras saling susul, kemudian disambung
dengan melentingnya dua tubuh ke arah Rangga. Pendekar
Rajawali Sakti seperti tidak tahu sama sekali kalau dua
tokoh itu meluruk ke arahnya. Rangga masih tenang.
Sikap Rangga yang masa bodoh itu membuat Intan
Kemuning cemas. Dia gelisah karena dua tokoh sakti begitu
cepat menyerang.
"Pendekar Rajawali Sakti, awas!" Intan Kemuning tidak
dapat lagi mengendalikan diri.
Peringatan gadis itu tepat bersamaan dengan dua tubuh
yang meluruk menerjang Rangga. Serangan yang dibarengi
pengerahan tenaga dalam, begitu cepat datangnya.
Akibatnya memang dahsyat. Batu tempat Rangga duduk,
jadi berkeping keping disertai ledakan keras terkena
pukulan itu.
"Akh!" Intan Kemuning memekik tertahan.
Jelas kalau Rangga tadi tidak sedikit pun menghindar.
Dia seperti membiarkan saja pukulan itu menghantam
tubuhnya. Batu yang sebesar kerbau itu saja hancur,
bagaimana dengan Rangga? Debu masih mengepal tebal.
Intan Kemuning benar-benar tidak dapat menyembunyikan
kecemasannya. Dia tidak melihat pendekar itu. Apakah dia
hancur bersama batu itu? Batin Intan Kemuning bertanya-
tanya penuh kecemasan.
***
Berangsur-angsur asap tebal yang mengepul sirna disapu
angin. Ketika debu itu hilang sama sekali, tampak Rangga
masih duduk di atas tumpukan batu-batu yang hancur.
Sikap duduknya tidak berubah sedikit pun. Kedua tokoh
sakti Itu terperanjat melihat hasil gempurannya tidak
berpengaruh apa-apa terhadap lawannya.
"Oh...," Intan Kemuning mendesah lega melihat pendekar
tampan itu masih hidup.
Sikap gadis itu tidak lepas dari pengamatan Patih Giling
Wesi. Dia hanya tersenyum-senyum saja. Rupanya dia
mengerti apa yang telah melanda putrinya ini.
Patih Giling Wesi kembali perhatiannya tercurah pada
ketiga tokoh yang kini telah bertarung kembali. Tanpa
disadari, sepasang mata tengah mengawasi pertarungan itu
dari balik pohon.
Jelas pemilik sepasang mata itu bukan orang
sembarangan. Kehadirannya saja tidak diketahui sama
sekali. Sementara itu Rangga sudah kembali melayani dua
lawannya yang kian bernafsu untuk mengakhiri pertarungan
alot dan panjang ini. Kini Saka Lintang hanya sesekali saja
melontarkan pukulan beracunnya. Dia harus mempertim-
bangkan kehadiran Setan Jubah Merah. Dia tidak ingin lagi
berbuat konyol yang hampir merenggut nyawa paman
angkatnya.
"Maaf, Kakek!" seru Rangga tiba-tiba.
Seketika Rangga merubah jurusnya. Dengan jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tangan Rangga berhasil
menghantam telak dada Setan Jubah Merah.
"Aaaa...!" Setan Jubah Merah meraung keras. Tubuhnya
terlontar ke belakang sejauh tiga tombak.
"Paman...!" pekik Saka Lintang.
Setan Jubah Merah meregang nyawa sebentar, lalu diam
tak bergerak sama sekali. Seluruh dadanya seperti hangus
terbakar. Dia terkena 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang
tak terduga dilepaskan Rangga.
"Kejam! Setan! Kubunuh kau!" pekik Saka Lintang marah.
Gadis itu segera menyerang Rangga dengan
mengeluarkan jurus andalan terakhirnya. Jurus 'Ular Berbisa
Menyebar Racun' yang dipadu dengan jurus 'Tarian
Bidadari'. Dalam sekejap sekitar tempat pertarungan telah
terselimuti oleh hawa racun yang mematikan.
Rangga kembali merubah jurusnya. Kali ini digunakannya
jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sekejap saja
tubuhnya telah melambung di udara. Kedua tangannya
merentang mengepak bagai sayap rajawali.
Secepat kilat, dirubahnya jurus itu menjadi 'Rajawali
Menukik Menyambar Mangsa'. Tubuhnya meluruk turun
deras. Kakinya bergerak mengarah kepala lawan. Begitu
cepatnya jurus itu sehingga Saka Lintang tidak punya
kesempatan lagi untuk mengelak.
"Aaaa...!" Saka Lintang memekik keras. Gadis itu ambruk
dengan kepala hancur berantakan. Darah seketika
membasahi tanah. Rangga kembali mendarat Matanya
memperhatikan tubuh Saka Lintang yang meregang nyawa,
lalu diam tak bergerak lagi. Sungguh tragis kematian gadis
ini. Dia mati di tangan laki-laki yang dicintainya. Mati
bersama rasa cinta, benci dan dendam.
"He he he…." tiba-tiba terdengar suara terkekeh.
Rangga menoleh ke arah suara itu. Dari balik pohon
muncul seorang kakek tua berpakaian compang-camping.
Di tangannya tergenggam tongkat berwarna merah. Siapa
lagi kalau bukan Pengemis Sakti Tongkat Merah.
"Menakjubkan, hebat..., hebat...," Aki Lungkur atau
Pengemis Sakti Tongkat Merah menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Ah, kalau tidak salah, kakek yang berada di kedai
minum tempo hari," kata Rangga dengan tutur kata yang
halus.
"Penglihatanmu tajam, anak muda. Aku pengemis tua
yang hina," sahut Aki Lungkur. Rangga mendekat Aki
Lungkur terkekeh. "Bagaimana kalau kita makan bersama
lagi di bawah pohon sambil menikmati udara segar," kata
Rangga teringat ketika dia memberikan sebungkus bekal
makanan, lalu mereka makan bersama di pinggir tegalan.
"Ah..., tawaran yang menggairahkan. Mari!!" Ketika
mereka akan melangkah, tiba-tiba terdengar suara Patih
Giling Wesi mencegah.
"Tunggu!"
Mereka menoleh dan berbalik bersamaan.
"Uts! Hampir lupa kalau di sini masih ada orang lain,"
kata Aki Lungkur.
Patih Giling Wesi mendekat diikuti Intan Kemuning. Gadis
itu selalu menundukkan kepala terus, tetapi matanya
melirik pada Rangga. Hatinya makin berdebar-debar kalau
kebetulan matanya beradu pandang. Kalau sudah
demikian, cepat-cepat matanya dialihkan mencari
pandangan lain.
"Kisanak, kalau boleh tahu, siapa namamu dan dari
mana kau berasal?" tanya Patih Giling Wesi.
"Hamba hanya seorang pengembara hina Gusti Patih.
Nama hamba Rangga," jawab Rangga merendah.
"Rangga...," Patih Giling Wesi menggumamkan nama itu
beberapa kali.
Rangga memperhatikan dengan pandangan bertanya-
tanya.
"Namamu mirip dengan seorang putra Adipati yang hilang
dua puluh tahun lalu," Patih Giling Wesi setengah
bergumam.
Rangga terkejut juga mendengarnya. Cepat-cepat diturupi
rasa kaget itu dengan senyum. Memang benar gumaman
patih ini. Rangga jadi bertanya-tanya, apakah Patih Giling
Wesi kenal dengan ayahnya?
"Nama bisa saja sama, Gusti Patih," kata Rangga buru-
buru.
Dia tidak ingin masa lalunya terungkap lagi. Biarlah
kenangan pahit itu dia sendiri yang tahu.
"Nama memang bisa saja sama. Tapi...," Patih Giling Wesi
mengamati wajah Rangga dengan teliti sekali.
Patih Giling Wesi tengah berusaha mengingat-ingat.
Sepertinya dia pernah mengenal wajah itu. Tapi di mana?
Kapan pernah bertemu? Ingatannya terus berputar. Tiba-
tiba dia tersentak Benar! Tidak salah lagi. Wajahnya sangat
mirip dengan Adipati Karang Setra. Dua puluh tahun yang
lalu terjadi musibah pada rombongan Sang Adipati yang
hendak menuju ke kota Kerajaan Ayahandanya. (Baca
serial: Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis Lembah
Tengkorak).
Tetapi Patih Giling Wesi sedikit ragu-ragu juga.
Masalahnya, anak laki-laki Adipati hilang tanpa bekas.
Sedangkan kejadiannya tidak jauh dari jurang Lembah
Bangkai. Semua orang menduga kalau anak itu pasti masuk
ke jurang Lembah Bangkai. Karena sudah pasti, siapa saja
yang masuk ke dalam jurang itu tak akan pernah selamat.
Patih Giling Wesi seperti berperang dengan batinnya
sendiri. Antara percaya dan tidak. Antara mengakui dan
membantah. Dia berusaha memecahkan teka-teki ini.
Siapakan anak muda perkasa yang ada di depannya ini?
***
DELAPAN
Beberapa saat suasana di bukit Guntur hening. Tidak ada
yang mengeluarkan suara, Semua seperti menunggu
pembicaraan Patih Giling Wesi. Patih itu sendiri sampai saat
ini masih berusaha memecahkan teka-teki itu. Dia belum
dapat memastikan perihal anak muda ini. Ah! Siapa pun
dia, yang jelas jasanya sangat besar. Kalau tidak ada
pendekar muda ini, entah bagaimana nasib putrinya. Batin
Patih Giling Wesi bicara sendiri.
"Aku sangat berhutang budi padamu, Kisanak. Jika tidak
mengganggu perjalananmu , sudi kau mampir sebentar di
Kepatihan," Patih Giling Wesi mengundang.
Rangga menoleh pada Aki Lungkur yang berdiri di
sampingnya. Pengemis tua itu mengangguk-angguk
kepalanya. Tentu dia setuju karena antara dia dan patih itu
telah terjalin suatu persahabatan.
Rangga belum menjawab. Matanya beralih memandang
Intan Kemuning. Seketika dua pasang mata saling
berpandangan. Intan Kemuning jadi gelagapan. Cepat
dialihkan pandangannya ke tempat lain. Tapi bibirnya
sempat memberikan senyum manis.
"Baiklah," sahut Rangga mendesah.
"Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang!" ajak Patih
Giling Wesi.
Keempat orang itu segera meninggalkan tempat itu.
Mereka menuruni bukit Guntur, meninggalkan mayat-mayat
yang bergelimpangan dan siap jadi santapan anjing-anjing
hutan.
Di kaki bukit, telah menunggu delapan orang prajurit
Kepatihan. Mereka segera menghampiri patih itu. Masing-
masing menunggang kuda dan menuntun seekor kuda pula.
Rapaksa segera melompat dari kudanya, diikuti oleh
tujuh orang prajurit-prajurit lain. Patih Giling Wesi
mengamati sisa prajurit-prajuritnya. Sungguh besar jasa
mereka. Nyawa mereka korbankan hanya untuk
menyelamatkan seorang putri patih.
"Ampun, Gusti Patih. Hamba datang terlambat Hamba
mencari kuda-kuda dulu. Dan kini hamba hanya dapat lima
belas ekor," kata Rapaksa melapor.
"Hh, sudahlah. Mari kita kembali ke Kepatihan," sahut
Patih Giling Wesi mendesah berat.
Perjalanan kini dilanjutkan dengan menunggang kuda.
Semula Patih Giling Wesi khawatir juga terhadap Intan
Kemuning. Setahunya Intan Kemuning tidah pernah belajar
naik kuda. Patih itu tidak tahu kalau selama jadi tawanan
perampok, Intan Kemuning telah diajari naik kuda oleh
Saka Lintang. Akhirnya pikiran patih itu tenang setelah
melihat putrinya sangat lihai menunggang kuda.
Rombongan kecU berkuda itu terus meninggalkan bukit
Guntur yang terlihat hijau. Mereka melewati jalur pintas,
tidak menyusuri tepian sungai Ular. Hutan dirambah,
padang diarungi, dan kini mereka telah dekat dengan
sebuah desa yang dekat dengan bukit Guntur.
Rombongan itu terus melewati desa itu. Patih Giling Wesi
selalu berada di samping Intan Kemuning. Hatinya masih
bertanya-tanya tentang kelihaian putrinya menunggang
kuda.
***
Matahari telah condong ke Barat ketika rombongan itu
sampai di pintu Gerbang Kepatihan. Penjaga pintu segera
membuka pintu ketika melihat Patih Giling Wesi yang
datang bersama putrinya. Mereka pun segera masuk ke
dalam benteng Kepatihan, dan berhenti tepat di depan
pendopo.
Setelah melompat turun dari kudanya, Patih Giling Wesi
membantu Intan Kemuning yang sedikit kesulitan turun dari
kudanya. Rangga memandangi bangunan indah dan megah
di depannya. Seketika dia teringat sewaktu masih tinggal di
Kadipaten. Kediamannya juga tak kalah indahnya dengan
bangunan itu.
"Mari silahkan masuk. Anda berdua adalah tamu
kehormatanku," kata Patih Giling Wesi.
Sementara Intan Kemuning telah berlari masuk ke dalam
keputrenan. Rasa rindu yang menggebu ingin segera
bertemu ibundanya, membuat dia lupa sejenak terhadap
Rangga. Patih Giling Wesi membawa dua tamunya masuk
ke bangsal utama Pendopo itu. Mereka kemudian duduk
melingkar menghadapi meja. Beberapa orang pelayan
datang menyediakan suguhan.
"Silahkan," Patih Giling Wesi menyilahkan tamunya untuk
minum.
'Terima kasih," ucap Rangga sambil mengangkat gelas
yang sudah terisi arak manis.
Rangga minum sedikit dengan sikap Sopan. Beda
dengan Aki Lungkur. Dia menenggak habis arak wangi
mahal itu. Di mana lagi dia dapat minum arak selezat ini
kalau tidak mendapat undangan dari Patih Giling Wesi?
Patih Giling Wesi selalu memperhatikan sikap dan tutur
kata Rangga. Dari situ dia merasa sedang berhadapan
dengan seorang pemuda bangsawan. Sikap Rangga
memang tidak seperti pendekar-pendekar lainnya. Biasanya
tokoh-tokoh rimba persilatan selalu tidak peduli dengan tata
krama.
"Aku senang sekali jika kalian sudi menginap di sini
barang satu atau dua malam," kata Patih Giling Wesi lagi.
"Oh, tentu. Tentu saja aku tidak keberatan!" Aki Lungkur
cepat menerima sebelum Rangga membuka suara.
Sebenarnya Rangga ingin menolak. Tetapi karena Aki
Lungkur sudah menerima, dia hanya bisa angkat bahu saja.
Memang tidak ada salahnya menginap barang sehari
setelah sepanjang hari menguras tenaga menyabung
nyawa.
Patih Giling Wesi menepuk tangannya dua kali. Dua
orang punggawa datang mendekat. Mereka memberi
hormat.
"Antarkan tamu-tamuku ke tempat istirahatnya," perintah
Patih Giling Wesi.
Kedua punggawa itu kembali memberi hormat.
"Silahkan," Patih Giling Wesi menyilahkan tamunya
mengikuti para punggawa yang mengantarkan ke
peristirahatan.
Aku Lungkur bangkit dan melangkah pergi ke tempat
istirahatnya. Rangga masih duduk di kursinya. Setelah
mendapat anggukan dari Patih Giling Wesi, dia pun bangkit
melangkah mengikuti punggawa.
Rangga memandangi setiap ruangan yang dilewatinya. Di
sebuah kamar yang indah dan luas, punggawa itu berhenti.
Dia menyilahkan Rangga masuk, dan segera pergi setelah
tugasnya selesai.
Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Indah
sekali ruangan ini.
Saat matanya menatap ke arah taman, dilihatnya Intan
Kemuning tengah duduk di bangku taman sendirian.
Diamatinya sebentar, dan memang kelihatannya Intan
Kemuning juga tengah memandang ke arahnya. Entah
melihat atau tidak, yang jelas pandangan itu tertuju pada
Rangga.
Rangga menoleh ketika pintu kamarnya diketuk dari luar.
Bergegas dia membukanya. Aki Lungkur segera menerobos
masuk dan menutup kembali. Rangga mengernyitkan
keningnya melihat pengemis tua itu seperti terburu-buru.
"Ada apa, Ki?" tanya Rangga.
"Gawat!" sahut Aki Lungkur.
"Apanya yang gawat?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Patih Giling Wesi curiga padamu."
Rangga masih belum mengerti. Dia hanya menatap laki
laki tua itu tak berkedip.
"Patih Giling Wesi memerintahkan beberapa punggawa
untuk menyelidiki asal-usulmu. Dia menduga kau anak
Adipati yang hilang dua puluh tahun yang lalu."
"Dia menduga begitu?" Rangga terkejut.
"Benar! Aku mendengar sendiri. Makanya aku segera ke
sini menemuimu."
"Mengapa Aki memberitahuku?"
"Karena kau baik. Kau seorang pendekar yang banyak
dibutuhkan oleh kaum lemah. Aku tidak peduli siapa dirimu.
Yang penting aku sudah menganggapmu sahabat."
Rangga berusaha bersikap tenang, meskipun dadanya
bergemuruh. Rangga tidak ingin menjadi seorang pendekar
tanpa masa lalu. Masa lalu yang tidak perlu diketahui orang
lain.
'Terima kasih, Aki," ucap Rangga.
"Hati-hatilah. Aku membaca gelagat lain di balik niat
luhur Patih Giling Wesi."
"Jangan berprasangka buruk. Bukankah kalian
bersahabat?"
"Aku tidak berprasangka buruk. Niatnya yang
tersembunyi memang baik. Tapi aku yakin kau tidak akan
menerimanya."
Rangga hanya tersenyum saja. Dia meminta Aki Lungkur
untuk pergi beristirahat. Laki-laki pengemis tua itu kembali
ke luar setelah berpesan macam-macam. Rangga hanya
mengangguk dan mengiyakan saja. Dia tidak mau bertele-
tele melayani segala macam prasangka. Memang hatinya
telah menduga, hal apa yang akan dikatakan Aki Lungkur
tadi.
Sepeninggal Aku Lungkur, Rangga kembali memandang
ke arah taman. Intan Kemuning masih duduk di sana
memandang ke arahnya. Gadis itu memang cantik. Tak ada
orang di seluruh Kepatihan yang tidak tertarik pada gadis
ini.
Rangga sendiri sebenamya juga tertarik.
Rangga melangkahkan kakinya ke luar kamar. Matanya
tajam mengawasi setiap tempat yang dilalui. Setiap sudut,
dua orang prajurit pasti ada di situ. Ketat sekali penjagaan
di Kepatihan ini.
***
Intan Kemuning memandang Rangga yang melangkah
menghampirinya. Dia tidak beranjak dari duduknya.
Sikapnya tetap anggun meskipun selama beberapa hari
ditempa dengan latihan-latihan keras oleh Saka Lintang.
Jiwa kebangsawanannya tetap tidak luntur.
"Boleh aku duduk di sini?" tanya Rangga.
"Oh! Boleh, boleh," sahut Intan Kemuning tergagap.
"Indah sekali taman ini," desah Rangga setelah duduk di
samping gadis itu.
"Ya," sahut Intan Kemuning.
'Tapi ada yang lebih indah lagi untuk dipandang."
"Apa?"
"Wajahmu."
Seketika wajah Intan Kemuning menyemburat merah
dadu. Jantungnya jadi berdetak tidak beraturan. Pujian
Rangga mengena di hatinya. Rasa-nya dia ingin seribu kali
mendengamya.
"Sepantasnya kau mendapatkan seorang pangeran yang
gagah dan tampan," kata Rangga.
"Adakah pangeran yang cocok untukku?" tanya Intan
Kemuning ingin menegaskan.
"Satu saat nanti, pasti ada seorang pangeran tampan
dan gagah menghampirimu."
"Kapan?"
"Satu saat nanti."
"Siapa pangeran itu?"
Rangga tidak menjawab. Dia tersenyum saja.
Beberapa saat mereka terdiam saling tatap. Pelan-pelan
Intan Kemuning menundukkan kepalanya.
"Semoga aku yang menjadi pangeran itu, Intan," bisik
Rangga dekat sekali dengan wajah Intan Kemuning.
"Oh.„," Intan Kemuning tidak mampu berkata-kata lagi.
Hatinya berbunga-bunga. Kedua lengannya berkembang
masuk ke dalam pelukan Rangga. Dan mereka
memperketat rangkulan-nya....
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar