"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 05 Januari 2025

PENDEKAR RAJAWALI SAKTI EPISODE BIDADARI SUNGAI ULAR

Matjenuh khairil

 

BIDADARI SUNGAI ULAR

oleh Teguh S.

Cetakan pertama, 1990

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Gambar sampul oleh Tony G.

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau

seluruh isi buku ini tanpa Izin tertulis dari penerblt

Teguh S.

Serial Pendekar Rajawali Sakti

dalam episode: Bidadari Sungai Ular

128 hal ; 12 x 18 cm


SATU


Seekor kuda putih tinggi kekar berlari bagai kilat

menyusuri tepian sungai. Bentuk sungai yang berliku-liku,

seakan-akan bergerak bagai seekor ular naga yang

menyusuri lereng dan bukit-bukit di sekitarnya. Oleh karena

bentuknya yang mirip dengan ular naga, maka sungai itu

dinamakan sungai ular.

Kuda itu ditunggangi seorang wanita cantik dengan

pakaian serba biru. Wajahnya basah oleh keringat. Sebilah

pedang bertengger di pung-gungnya. Dia adalah Saka

Lintang, anak angkat Geti Ireng, ketua gerombolan Panjl

Tengkorak. Ditinggalkannya Lembah Tengkorak, setelah se-

orang pendekar muda yang berjuluk Pendekar Rajawali

Sakti mengobrak-abrik partainya, Panji Tengkorak. (Baca:

Serial Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis Lembah

Tengkorak).

"Hooop...!" Saka Lintang menarik tali kekang kudanya

kuat-kuat.

Kuda putih meringkik kencang lalu berhenti. Dengan

gerakan ringan dan tangkas, Saka Lintang melompat dari

kudanya. Ketika kakinya sampai di tanah, segera dijejakkan

kakinya hingga tubuhnya melenting ke udara dan hinggap di

pohon yang cukup tinggi.

Saka Lintang bertengger pada sebuah cabang pohon,

seraya matanya mengawasi bagian hulu sungai. Bibirnya

tersenyum kctika sebuah perahu besar dengan layar lebar

mulai terlihat. Di ujung tiang layar, berkibar selembar

bendera bergamhar bunga melati yang dilingkari rantai.

Dari lambang gambar bendera, dapat dipastikan kalau

kapal layar itu milik seorang saudagar kaya dari Kadipaten

Balungan. Sebuah Kadipaten kecil di wilayah Timur

kerajaan Singasari yang berpenduduk cukup makmur.

"Suiiit...!" Saka Lintang bersiul nyaring yang disertai

tenaga dalam.


Mendengar siul yang bergema itu, serentak dari

rimbunan semak-semak tepi sungai bermunculan empat

buah perahu berukuran sedang, dikayuh oleh beberapa

orang. Saka Lintang segera terjun diiringi gerakan salto

beberapa kali, dan hinggap tepat di punggung kudanya.

Gadis itu lantas menghentak tali kekang kudanya, lalu

memacu ke arah perahu gerombalannya yang makin dekat.

Ketika perahunya yang berwarna biru pekat itu telah

menepi, Saka Lintang menarik tali kekang kuda, dan tanpa

berpikir banyak dia segera melompat ke udara. Perahu yang

telah siap menunggunya itu menerima tubuh Saka Lintang

yang hinggap di tengah-tengahnya

"Ayo, cepat! Kepung kapal layar itu!" teriak Saka Lintang.

Enam orang laki-laki bertubuh kekar segera mengayuh

dayung. Perahu itu pun meluncur deras mendekati kapal

layar besar. Tiga perahu lain yang berwarna biru pekat pula,

bergerak menyerang. Sedangkan di kapal layar besar itu

tengah terjadi kesibukan. Beberapa orang telah siap

dengan panah yang mengarah pada gerombolan Saka

Lintang.

"Awas, panah!" teriak Saka Lintang ketika melihat anak

panah meluncur deras.

Saka Lintang pun mencabut pedangnya. Dengan cepat

pedang itu telah berputar-putar bagai baling-baling. Anak-

anak panah yang meluncur cepat itu rontok seketika

tersapu oleh pedang. Layaknya sebuah payung yang

melindungi dari serangan hujan.

Empat perahu Saka Lintang makin dekat ke arah kapal

layar. Sementara anak-anak panah terus meluncur mencari

mangsa. Namun anak buah Saka Lintang mudah saja

merontokkannya. Saka Lintang tersenyum melihat

keberhasilan anak buahnya itu.

"Serang...!" teriak Saka Lintang nyaring. Mendengar aba-

aba itu serentak anak buah Saka Lintang yang berseragam

biru pekat berlompatan ke atas kapal layar. Gerakan



mereka sangat ringan dan cepat. Jelas mereka bukan

orang-orang sembarangan. Rata-rata mereka memiliki ilmu

silat cukup tinggi. Sementara pertarungan kini bergejolak di

atas kapal layar. Saka Lintang mengamuk bagai banteng

terluka.

Tubuh-tubuh mulai ambruk bergelimang darah menyusul

suara jeritan hasil kelebatan pedang Saka Lintang. Memang

orang-orang di atas kapal bukan tandingan Saka Lintang

dan anak buahnya. Banyak sudah lawan yang telah

berjatuhan.

Beberapa lawan malah menyelamatkan diri dengan

terjun ke sungai. Dan memang, Saka Lintang dan

pasukannya berhasil menguasai kapal layar. Dimasukkan

pedangnya ke dalam sarung di punggung. Matanya tajam

mengawasi sekitar geladak kapal yang penuh oleh darah.

"Buang semua mayat ke sungai!" perintah Saka Lintang.

Anak buah Saka Lintang yang berjumlah kira-kira dua

puluh orang itu segera mengerjakan perintahnya. Diseret

dan dilemparkan seluruh mayat ke sungai. Sekejap saja

permukaan sungai telah berubah warnanya menjadi merah

oleh darah.

Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan wajah

ditumbuhi cambang mendekati Saka Lin¬tang. Sebilah

golok besar tergantung di ping gangnya. Dibungkukkan

badannya sedikit di de-pan Saka Lintang yang berdiri

angkuh. Kedua tangannya berada di atas pinggang.

"Ada apa, Codet?" tanya Saka Lintang datar.

"Hamba menemukan satu peti berisi perhiasan emas dan

perak, Tuan Putri," sahut laki-laki yang dipanggil Codet

Memang di pipi kanannya terdapat guratan panjang

sehingga menambah seram wajahnya.

"Bagus, pindahkan semua barang berharga ke perahu

kita!" perintah Saka Lintang.

"Hoi! Angkat semua yang berharga!" teriak Codet keras.

Kesibukan kembali terjadi. 'Tuan Putri ingin melihat


lihat?" ujar Codet sambil membungkuk lagi.

Saka Lintang tidak menyahut. Dilangkahkan kakinya

dengan angkuh melewati laki-laki tegap dan kasar itu. Codet

mengikuti dari belakang. Kapal layar ini tidak terlalu besar.

Hanya sebentar saja Saka Lintang telah menelusuri bagian-

bagian kapal. Dia sangat terkesan ketika masuk ke sebuah

bilik dalam kapal.

Bilik itu memang cukup indah, bagaikan peraduan

seorang bangsawan. Saka Lintang menduga, kapal layar ini

pasti milik seorang bangsawan kaya. Rasanya tidak

mungkin Kadipaten memiliki kapal seindah ini. Tapi kenapa

bendera kapal menunjukkan milik saudagar Gantar dari

Kadipaten Balungan? Atau mungkin kapal ini telah dijual

oleh saudagar itu kepada bangsawan kerajaan?

"Ah! Masa bodoh. Kenapa harus dipiklrkan? Yang penting

aku suka kapal ini!" dengus Saka Lintang dalam hati.

"Codet!" panggil Saka Lintang.

"Hamba, Tuan Putri," jawab Codet sambil

membungkukkan badan.

"Turunkan bendera kapal, ganti dengan bendera kita!"

perintah Saka Lintang.

"Hamba siap menjalankan perintah."

"Kemudian kapal ini, bawa pulang!"

Codet berlalu setelah sebelumnya memberi hormat Saka

Lintang melangkah memasuki bilik kapal kembali. Mulutnya

tak henti-hentinya berdecak kagum. Di dalam bilik ini, Saka

Lintang merasa bagai putri raja. Atau paling tidak putri

bangsawan.

Dijatuhkan tubuhnya ke atas pembaringan yang

berlapiskan kain sutra lembut. Sungguh nyaman berada di

pembaringan ini. Saka Lintang tersenyum-senyum sendiri.

Selama malang melintang menguasai sungai ular ini, baru

sekarang dia mendapat sebuah kapal layar yang

mengagumkan. Rasanya sayang kalau kapal ini mesti

dibakar seperti yang sudah-sudah. Dia ingin memiliki kapal


ini. Dengan kapal ini dia bisa lebih leluasa menjadi

penguasa sungai Ular.

"Ha ha ha..., akulah ratu sungai Ular ini! Bidadari sungai

Ular....Ha ha ha...!" Saka Lintang tertawa sambil berteriak-

teriak bagai orang glla.

Saka Lintang menari-nari berputar mengelilingi bilik

kapal. Tawanya belum berhenti. Dihampirinya sebuah meja

terbuat dari batu pualam. Matanya memperhatikan guci

arak.

"Hm, arak buatan desa Cacah. Sungguh tinggi seleranya,"

gumam Saka Lintang sambil menuang arak ke dalam gelas

perak.

Basah sudah tenggorokannya oleh arak. Kepalanya

terangguk-angguk beberapa kali. Arak desa Cacah memang

telah terkenal kenikmatannya. Arak ini memang pilihan

kaum bangsawan. Harganya hanya terjangkau oleh orang-

orang kaya. Tanpa terasa, gelas peraknya telah kosong. Dia

telah menenggak habis arak itu. Saka Lintang menoleh ke

pintu ketika diketuk dari luar.

"Masuk!" bentak Saka Lintang karena merasa terganggu

kenikmatannya. Dia duduk di kursi berukir di samping meja

pualam itu.

Codet muncul setelah pintu terbuka. Dia membungkuk

sedikit memberi hormat.

"Ada apa lagi?" tanya Saka Lintang kembali memasang

sikap angkuh.

"Hamba menemukan seorang wanita bersembunyi di

balik tumpukan peti," sahut Codet.

"Hm, siapa dia?" tanya Saka Lintang mengerutkan

kening.

Codet menjentikkan jarinya. Kemudian muncul dua orang

laki-laki mengapit seorang wanita muda berusia sekitar

tujuh belas tahun. Cantik dan berkulit kuning langsat.

Pakaiannya dari sutra halus. Perhiasannya semua dari

emas. Wajahnya menyimpan rasa takut yang dalam.


Saka Lintang memberi isyarat agar anak buahnya keluar.

Codet menutup pintunya lagi. Saka Lintang kembali

mengamati wanita muda itu. Mukanya pucat dan tubuhnya

gemetar. "Siapa kau?" tanya Saka Lintang. Wanita muda itu

tidak menjawab. Tapi berusaha mengangkat kepalanya

pelan-pelan. Ketika matanya tertumbuk pada Saka Lintang,

tubuhnya seketika mengejang, Ketakutannya kian sangat.

"Kau dengar pertanyaanku, kan? Siapa kau?" dengus

Saka Lintang mulai kesal karena wanita itu diam saja.

"Aku..., aku Intan Kemuning," jawab wanita muda itu

tergagap, "Aku putri patih kerajaan Galung."

"O, rupanya kau putri seorang patih? Tidak seharusnya

putri seorang patih kerajaan seperti tikus kena gebuk

begitu!"

'Tolong bebaskan aku, aku berjanji tidak akan

mengatakan apa-apa pada ayahanda," rengek Intan

Kemuning.

"Ha ha ha...!" Saka Lintang tertawa gelak.

Intan Kemuning mulai terisak. Dia sungguh sangat

menyesal ikut dengan kapal ini. Padahal orang tuanya

sudah melarang. Intan Kemuning telah dibujuk agar pulang

bersama-sama saja tewat jalan darat. Tapi Intan Kemuning

ingin menikmati perjalanan melalui sungai Ular bersama

kapal yang baru dibeli ayahnya untuk pesiar.

Tidak diduga sama sekali, gerombolan perom-pak

membegal kapal itu. Pengawalnya yang berjumlah tidak

kurang dari tiga puluh orang tewas semuanya. Sedangkan

awak kapalnya mencari selamat dengan terjun sungai. Intan

Kemuning yang sehari-harinya tinggal di tembok kebang-

sawanan, tidak dapat berbuat apa-apa. Dia tidak pernah

belajar ilmu silat. Jadi wajar saja kalau dia begitu ketakutan

melihat para perompak mengganas di kapalnya.

***

Kapal mewah terus melaju menyusuri alur sungai Ular

diiringi empat perahu gerombolannya. Masing-masing

perahu berisi barang- barang berharga dan djkawal oleh

empat orang. Sementara di dalam bilik kapal mewah, Saka

Lintang tengah berbaring tengkurap dengan punggung

terbuka.

Punggung yang terbuka itu terasa nikmat setelah Intan

Kemuning memijitinya. Dia dengan terpaksa harus

mengikuti perintah Saka Lintang yang menjadi pemimpin

perompak sungai Ular. Perhiasan yang melekat di tubuhnya

juga sudah ditanggalkan, Intan Kemuning hanya bisa

menerima nasib saja menjadi budak kepala perompak itu.

"Pijatanmu enak juga. Siapa yang mengajari?" tanya Saka

Lintang.

"Bibi Emban. Katanya, biar suami betah di rumah, istri

harus pintar memijat," sahut Intan Kemuning pelan.

Saka Lintang membalikkan badan dan merapikan

pakaiannya kembali. Matanya tajam menatap wajah Intan

Kemuning yang tertunduk. Saka Lintang yang hidup dari

dibesarkan di lingkungan keras, sangat terkejut mendengar

kata-kata Intan Kemuning. Dalam kamus hidupnya, tidak

ada istilah perempuan harus tunduk pada kaum laki-laki.

"Kau bilang tadi bahwa kau anak patih. Apa kau tidak

pernah belajar ilmu kanuragan?" tanya Saka Lintang.

'Tidak, Ayahanda tidak mengijinkan aku belajar ilmu-ilmu

keprajuritan. Beliau menginginkan aku menjadi seorang

wanita bangsawan sejati," polos sekali jawaban Intan

Kemuning.

"Apa enaknya? Kau akan dijajah laki-laki, tahu!" Saka

Lintang jadi terhenyak hatinya. Dia tidak terima kaumnya

jadi bulan-bulanan kaum lelaki.

"Aku tidak bisa menentang keinginan Ayahanda."

"Bodoh! Itu artinya kau sudah dijajah laki-laki," dengus

Saka Lintang gemas.

Intan Kemuning hanya tertunduk saja.

"Kalau kau tidak berbuat macam-macam dan menuruti


kata-kataku, aku akan mengajarimu ilmu olah kanuragan

dan ilmu-ilmu kesaktian lainnya. Supaya kau tidak jadi

wanita yang lemah. Coba kau pikirkan! Baru lihat anak

buahku yang hanya bisa main gertak saja, kau sudah

ketakutan setengah mati. Untung kau tidak digagahi!"

Intan Kemuning terlonjak kaget. Tubuhnya menggigll

ketakutan.

"Mereka tidak akan mengganggumu! Dengan syarat, kau

harus turuti kata-kataku!" kata Saka Lintang.

Tidak ada pilihan lain bagi Intan Kemuning kecuali

menyanggupi kemauan Saka Lintang. Nasibnya sekarang

berada di tangan pemimpin perompak ini. Pikirnya,

membangkang sedikit saja bisa-bisa mati konyol! Atau

malah dijadikan pemuas nafsu anak buah Saka Lintang...?

Intan Kemuning tidak sanggup membayangkannya.

"Aku hidup di lingkungan laki-laki kasar dan brutal. Tapi

mereka semua tunduk pada perintahku! Berani menentang

dan kurang ajar. Nyawa taruhannya!" jelas Saka Lintang.

"Kau seorang pemimpin perompak, tapi mengapa kau

baik padaku?" tanya Intan Kemuning tidak mengerti dengan

sikap Saka Lintang.

Saka Lintang tertawa terbahak-bahak. Telinganya terasa

dikilik, dirinya dianggap "baik". Hidupnya penuh kekerasan.

Tangannya selalu dilumuri darah. Kenapa masih ada juga

orang yang mengatakan dirinya baik? Apa tidak salah

pendengarannya? Masih adakah kebaikan di hatinya? Dia

sendiri tidak tahu mengapa tiba- tiba jadi iba melihat Intan

Kemuning. Lebih-lebih setelah mendengar penuturannya

yang polos itu.

Saka Lintang merasa seolah-olah dialah yang diinjak-

injak kaum lelaki setelah mendengar per-jalanan hidup

Intan Kemuning. Hatinya berontak dan dengan seketika dia

ingin segera nienjadikan Intan Kemuning seorang wanita

yang kuat seperti dirinya.

Saka Lintang bangkit dari pembaringannya.


Dilangkahkan kakinya mendekati meja. Diraihnya guci arak,

lalu dituangkan ke dalam dua gelas pe-rak Satu gelas

disodorkan pada Intan Kemuning, segelas lagi buat dirinya.

"Aku tidak biasa minum arak," tolak Intan Kemuning.

"Untuk jadi pengikutku, harus bisa minum arak!" paksa

Saka Lintang.

Ragu-ragu Intan Kemuning menerima segelas arak yang

disodorkan buatnya. Tangannya gemetar memegang gelas

itu. Sebab selama hidupnya, belum pernah dia minum arak!

Mencium baunya saja, kepalanya terasa pening.

"Ayo, minum!" paksa Saka Lintang lagi.

Intan Kemuning memejamkan matanya. Sambil menahan

napas, diminumnya arak itu sedikit. Saka Lintang tersenyum

melihat cara Intan Kemuning minum arak. Tiba-tiba Intan

Kemuning terbatuk-batuk dan berdahak beberapa kali.

Wajahnya memerah dan matanya berair. Saka Lintang

makin tertawa keras.

"Maaf, aku tidak bisa," ucap Intan Kemuning setelah reda

batuknya.

"Lama-lama kau akan terbiasa," sahut Saka Lintang

kalem.

'Tapi...."

"Di istanaku, semua minum arak! Tidak ada air minum,

kecuali sanggup memasaknya sendiri!" potong Saka

Lintang.

Intan Kemuning terdiam. Menginjakkan kakinya ke dapur

saja tidak pernah, apalagi memasak. Hatinya hanya bisa

mengeluh dan menyesali diri. Kenapa harus hidup dengan

orang dan lingkungan yang sama sekali asing? Intan

Kemuning tidak dapat membayangkan apakah dia bisa

hidup dengan cara seperti ini,

Saka Lintang menoleh ke pintu setelah diketuk dari luar.

Intan Kemuning juga memandang ke arah pintu.

"Masuk!" teriak Saka Lintang.

Codet muncul.


"Ada apa?" tanya Saka Lintang.

"Sebentar lagi kapal sandar, Tuan Putri," iapor Codet.

"Hm, biar saja. Aku dan Intan tetap di sini Kalian

bereskan semua barang-barang."

"Hamba laksanakan, Tuan Putri."

"Tunggu!" cegah Saka Lintang melihat Codet akan

berbalik.

Codet membungkukkan badannya lagi. "Beritahu pada

semua anggota, kalau ada yang berani mengganggu Intan

Kemuning, akan berurusan denganku! Dia kini jadi adik

angkatku!" ujar Saka Lintang keras.

"Hamba, Tuan Putri," Codet membungkuk hormat.

Hatinya sedikit diliputi keraguan.

"Pergilah! Laksanakan tugasmu!" Codet membungkuk

lagi, kemudian berbalik Pintu kamar kembali tertutup rapat.

Saka Lintang memandang Intan Kemuning yang masih

duduk di tepi pembaringan.

"Kau lihat, laki-laki tadi hanya bentuknya saja yang kasar.

Nyalinya kecil," Saka Lintang menjentikkan jarinya.

Intan Kemuning hanya menelan ludah saja. Dia selalu

ngeri jika lihat tampang laki-laki yang kasar dan kejam. Dia

tidak yakin apakah mampu seperti Saka Lintang. Dari sini

Intan Kemuning mulai bersimpati pada wanita yang usianya

tidak terpaut jauh dari dirinya itu. Saka Lintang, masih

muda, cantik, tapi mampu menguasai dan memerintah laki-

laki bertampang kasar dan bengis. Intan Kemuning yang

polos, mudah sekali jatuh simpati pada sikap Saka Lintang.

Meski dia tadi sempat melihat bagaimana Saka Lintang

membantai para pengawal Kadipaten dengan kejam.

Namun bayangan kekejaman di wajah Saka Lintang makin

sirna dalam pandangan Intan Kemuning. Dia hanya melihat

suatu kelembutan dan kebaikan hati dalam diri Saka

Lintang sebagai wanita yang tegar.

***


Seminggu rasanya belum cukup bagi Intan Kemuning

untuk menyesuaikan diri di lingkungan para perompak. Di

sekelilingnya kecuali Saka Lintang, hanya laki-laki berwajah

kasar dan sc-ram. Dan selama seminggu itu Saka Lintang

telah memberi dasar-dasar ilmu olah kanuragan. Cukup

keras latihan yang diberikan. Hampir-hampir Intan

Kemuning tidak sanggup menjalaninya.

Sejak itu pula, Saka Lintang tidak pernah lagi ikut

merompak kapal yang lewat di sungai Ular. Pemimpin

perompak dipercayakan pada Codet. Hasilnya memang

tidak mengecewakan. Codet selalu pulang membawa hasil.

"Kau tidak keluar, Codet?" tanya Saka Lintang melihat

Codet tengah bermalas-malasan.

"Hari ini tidak ada kapal yang lewat, Tuan Putri. Mereka

takut terhadap Bidadari Sungai Ular!" sahut Codet.

"Kau tidak berolok-olok padaku, Codet?"

"Mana berani hamba mengolok-olok Tuan Putri? Bisa-

bisa kepala hamba pisah dari badan."

"Bagus kalau kau tahu!"

Codet melirik Intan Kemuning yang duduk di bangku

bawah pohon. Agak jauh memang. Sebuah buku bersampul

hitam lusuh berada di tangannya.

"Maaf, Tuan Putri. Apa Tuan Putri tidak salah mengangkat

dia jadi adik?" takut-takut Codet bicara sambil ibu jari

tangannya diarahkan pada Intan Kemuning.

"Maksudmu.... Intan?" jawab Saka Lintang.

"Benar, Dia itu seorang putri patih. Berbahaya sekali buat

kita kalau...."

"Cukup!" sentak Saka Lintang memotong. "Kau tahu, apa

akibatnya menentang kehendakku?"

"Hamba, Tuan Putri," Codet cepat-cepat menghormat.

"Kau kupercaya untuk jadi wakilku. Bukan untuk

mengaturku! Paham?!"

"Hamba mengerti," sahut Codet.


"Sekarang pergilah! Dan jangan coba-coba mengusik

Intan Kemuning!"

Codet membungkuk lalu pergi. Matanya masih sempat

melirik Intan Kemuning. Codet yakin kalau buku itu berisi

dasar-dasar ilmu pukulan tangan kosong dan latihan

pengerahan tenaga dalam. Dikhawatirkan Intan Kemuning

akan jadi duri dalam daging!

Codet sendiri dulu adalah seorang begal sebelum dikalah

kan Saka Lintang. Kemudian dia berjanji untuk selalu setia

dan mengabdi pada gadis itu. Sepuluh anak buahnya pun

ikut dalam gerombolan ini. Dan sekarang jumlah

gerombolan ini tidak kurang dari tiga puluh orang. Mereka

semua bekas begal yang biasa berkeliaran mencari mangsa

di hutan-hutan atau merambah desa-desa. Kehidupan

seperti itu memang bukan hal yang asing bagi mereka. Tapi

justru baru kali ini mereka tunduk oleh seorang wanita!

Codet menghampiri tiga orang temannya yang duduk

melingkar menghadapi rusa panggang. Bau harum

menusuk hidung dan membangkitkan selera.

"Kalian ikut aku," kata Codet sambil mencomot sepotong

daging rusa.

"Ke mana, Det?" tanya salah seorang.

"Ke desa," jawab Codet.

"Cari apa ke desa?" tanya yang lain.

"Cari hiburan!"

Ketiga orang Itu tertawa seketika. Mereka tahu kalau

Codet mengincar Intan Kemuning, tapi takut kepada Saka

Lintang. Sebagai pelampiasan nafsunya, dia sering pergi ke

desa terdekat. Codet hanya menggerutu saja sambil

membayangkan wajah Intan Kemuning. Codet melangkah

pergi.

Ketiga temannya mengikuti sambil tertawa-tawa. Tak ada

orang yang tak tertarik dengan Intan Kemuning. Semua laki-

laki di tempat itu pasti berkhayal dapat menikmati

kemulusan tubuhnya. Tapi hanya sekedar berkhayal. Tidak


lebih. Mereka takut oleh aturan yang diberikan Saka

Lintang.

Intan Kemuning memang selalu di bawah lindungan Saka

Lintang. Hal inilah yang selalu mengganggu pikiran Codet.

Pikirnya, oleh karena Intan Kemuning putri seorang patih,

sudah tentu pihak Kadipaten tidak akan ringgal diam.

Apalagi jika nanti Intan Kemuning berkhianat. Ini jelas

menyulitkan mereka. Codet menyayangkan pemimpinnya

yang tidak menyadari kemungkinan yang akan berakibat

fatal!

***

DUA


Suasana di Kadipaten kerajaan Galung tengah dirundung

duka. Sudah seminggu ini Patih Giling Wesi memerintahkan

prajurit-prajurit pilihan untuk mencari kapal layar yang

membawa putrinya. Sampai saat ini mereka belum

memperoleh kabar berita sama sekali.

Di Pendopo Kepatihan, Patih Giling Wesi seperti orang

kebingungan. Melangkah hilir mudik dengan hati diselimuti

kegelisahan. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Matanya

memandang ke depan Pendopo. Seorang tamtama berjalan

tergopoh-gopoh menuju Pendopo.

"Tamtama, ada apa?" tanya Patih Giling Wesi setelah

tamtama itu mendekat memberi hormat.

"Hamba menerima Iaporan dari beberapa telik sandi,

Gusti Patih," jawab tamtama itu.

"Cepat laporkan!"

"Beberapa telik sandi yang hamba kirim untuk mencari

keterangan tentang Putri Intan Kemuning, telah kembali

pagi tadi. Dilaporkan bahwa kapal yang membawa Putri

Intan Kemuning dirampok gerombolan Bidadari Sungai

Ular," tamtama itu menuturkan dengan sikap hormat.

"Bedebah!" geram Patih Giling Wesi murka. Gerahamnya

sampai bergemerutuk dengan wajah merah padam.

"Gerombolan Bidadari Sungai Ular sangat ganas, Gusti

Patih. Tidak peduli kapal siapa yang akan jadi sasaran,"

lanjut tamtama itu lagi.

"Kumpulkan prajurit pilihan, kita berangkat sekarang juga

ke sungai Ular!" perintah Patih Giling Wesi.

"Sendika, Gusti Patih," tamtama itu memberi hormat, lalu

melangkah mundur.

Patih Giling Wesi bergegas masuk ke kamar pribadinya.

Istrinya terheran-heran melihat wajah suaminya yang merah

padam. Dan betapa terkejutnya istri Patih Giling Wesi ketika


suaminya mengambil pedang pusaka. Telah lama patih itu

tidak menyentuhnya lagi.

"Kang Mas...."

Patih Giling Wesi menoleh. Dia baru sadar kalau istrinya,

Rara Angken, berada di kamar ini. Pikirannya terpusat

penuh pada keselamatan putri mereka, sehingga tak sadar

kalau istrinya sejak tadi memperhatikan tingkah lakunya.

"Untuk apa pedang itu?" tanya Rara Angken. Nada

suaranya bergetar penuh kecemasan.

"Aku akan mencari Intan Kemuning," sahut Patih Giling

Wesi.

'Tapi mengapa harus membawa pedang pusaka?"

"Beberapa telik sandi melaporkan kalau kapal yang

membawa Intan Kemuning dirampok oleh Gerombolan

Bidadari Sungai Ular."

"Oh...!" Rara Angken menekap mulutnya. "Berdoalah pada

Hyang Widi untuk keselamatan anak kita," lembut suara

Patih Giling Wesi.

"Intan, anakku...," Rara Angken tak kuasa lagi menahan

air matanya.

"Dinda Rara Angken, tidak ada gunanya kau menangis.

Berdoalah agar anak kita selamat. Perompak itu memang

ganas, tapi firasatku mengatakan bahwa Intan Kemuning

masih hidup. Tenangkan hatimu. Aku berjanji akan

membawa kembali anak kita," ujar Patih Giling Wesi sambil

mengelus-elus kepala dan bahu istrinya.

Rara Anken masih terisak. Air matanya menganak sungai

di pipi.

"Aku pergi, Dinda," pamit Patih Giling Wesi setelah

menarik napas panjang.

"Kang Mas...," lirih suara Rara Angken.

Pedih hati Patih Giling Wesi melihat istrinya menangis.

Namun kakinya melangkah tegap, terayun ke luar kamar.

Sementara sekitar lima puluh prajurit bersenjata lengkap

sudah berbaris menunggunya di depan Pendopo.


Seorang prajurit menuntun seekor kuda hitam tinggi

kekar ketika Patih Giling Wesi tiba di depan Pendopo. Tanpa

banyak basa-basi lagi, patih yang terkena! pemberang itu

segera melompat ke punggung kuda dengan gerakan yang

lincah.

Para prajurit bergegas menaiki kudanya masing-masing.

Patih Giling Wesi segera memacu kudanya dengan cepat

diikuti oleh pasukannya. Derap langkah kuda terdengar

bergemuruh meninggalkan kepulan debu bergulung-gulung.

Kepatihan kembali sepi setelah mereka ke luar dari

benteng diiringi oleh mata beberapa penjaga yang

terkesima.

"Hiya...! Hiya...!" Patih Giling Wesi meng-geprak kudanya

agar lebih kencang lagi.

Kuda hitam mengkilat itu mendengus-dengus berlari

bagai anak panah melesat cepat Kuda Patih Giling Wesi

memang kuda pilihan. Tidak heran kalau para prajuritnya

tertinggal di bela-kang. Padahal mereka telah memacu

kudanya secepat mungkin.

Sebuah jalan desa yang kanari kirinya berdiri rumah

penduduk, mereka lewati. Semua orang yang berada di

jalan segera menepi. Mereka terheran-heran melihat

banyak prajurit yang sudah terkenal kedigjayaannya seperti

akan perang.

Tiba kini sebuah kedai mereka lewati. Semua orang

dalam kedai menoleh. Tetapi yang terlihat hanya kepulan

debu saja. Di antara pengunjung kedai, duduk tenang

seorang pemuda tampan yang tengah menghadapi guci

arak.

Pemuda itu tidak merasa terganggu oleh ulah prajurit

kepatihan yang memacu kuda dengan cepat itu. Padahal

banyak orang dalam kedai bertanya-tanya dan menduga-

duga. Pemuda itu mengenakan baju rompi putih yang lusuh.

Di punggungnya bertengger sebilah pedang dengan gagang

berbentuk kepala burung rajawali. Dia adalah Rangga,


Pendekar Rajawali Sakti.

"Seperti akan perang saja prajurit-prajurit itu," terdengar

suara dari meja tidak jauh dari tempat duduk Rangga.

Rangga melirik ke arah suara itu. Dua anak muda duduk

menghadapi empat guci arak. Dari pakaiannya dapat

ditebak kalau mereka anak seorang bangsawan kaya. Atau

paling tidak anak saudagar.

'Tidak biasanya, Patih Giling Wesi ikut serta. Pasti ada

sesuatu yang gawat," sahut temannya.

"Mereka mencari putri Intan Kemuning!"

Semua orang di kedai terdongak dan menatap arah

suara yang datang tiba-tiba itu. Ternyata seorang kakek tua

mengenakan baju compang-camping dengan tongkat merah

menyangga tubuhnya. Kakek tua itu bersandar pada tiang

kedai. Dari tongkat dan pakaiannya semua orang tahu dia

adalah Pengemis Sakti Tongkat Merah. Tapi jarang yang

tahu kalau nama sebenamya adalah Aki Lungkur. Hanya

tokoh-tokoh tertentu saja yang tahu nama aslinya.

"Kakek gembel! Kau jangan bicara sembarangan!"

bentak salah seorang dari dua pemuda tadi.

"He he he...," Aki Lungkur atau si Pengemis Sakti Tongkat

Merah itu hanya terkekeh saja. Dia tahu siapa dua pemuda

congkak itu. Mereka putra-putra para punggawa kerajaan.

Yang memakai baju berwarna merah, bernama

Hanggara. Sedangkan yang berpakaian warna hijau

bernama Rangkasa. Mereka hanya pemuda-pemuda yang

besar mulut tanpa nyali sedikit pun. Dan semua orang tahu

siapa Intan Kemuning. Bunga Kepatihan yang menjadi

incaran dan impian putra-putra bangsawan dan punggawa

kerajaan. Memang, hilangnya Intan Kemuning belum

tersebar luas kecuali para prajurit pilihan.

"Kecongkakanmu melebihi tingginya gunung, tapi

matamu buta! Kau tidak bisa melihat kejadian di

sekelilingmu!" Aki Lungkur bergumam.

Merah padam wajah kedua pemuda itu. Jelas ucapan



Pengemis Sakti Tongkat Merah tertuju pada mereka.

'Tanyakan pada Gusti Rara Angken. Kalau kata-kataku

salah, kalian boleh memancung leherku. Tapi, kalau aku

benar maka aku minta kalian membebaskan putri Intan

Kemuning dari sarang Bidadari Sungai Ular!"

Setelah selesai kata-katanya, Aki Lungkur dengan cepat

melompat dan hilang dari pandangan mata. Suara

menggumam terdengar bagai lebah ditepuk sarangnya.

Hanggara dan Rangkasa saling berpandangan. Kata-kata

kakek tua tadi bisa jadi ada benamya tetapi patut

dipertanyakan pula.

Rasanya sulit dipercaya bila putri seorang patih yang

terkenal dengan julukan Singa Medan Laga bisa ditawan

oleh gerombolan Bidadari Sungai Ular. Semua orang tahu

kalau hal itu benar-benar terjadi, maka gerombolan

perompak itu bukan saja berhadapan dengan para prajurit

tetapi juga dengan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan. Patih

Giling Wesi mempunyai banyak sahabat dari tokoh-tokoh

rimba persilatan. Maka kalau berita itu sampai tersebar

luas, bukan tidak mungkin mereka akan membantu Patih

Giling Wesi.

Tanpa diketahui orang-orang di kedai, rupanya dua orang

gerombolan Bidadari Sungai Ular ada pula di kedai itu.

Mereka mendengar pembicaraan Aki Lungkur dan segera

angkat kaki ketika kakek tua itu menghilang.

"Kita harus laporkan segera pada Tuan Putri," bisik salah

seorang.

"Benar, Kakang Badil," sahut temannya.

'Pacu kudamu dan kita ambil jalan pintas, Adi Gering!"

Mereka pun memacu kudanya dengan cepat. Dan kini

keadaan kedai menjadi sunyi. Satu persatu pengunjung

kedai berlalu pergi dari tempat itu. Bahkan dua pemuda

congkak sudah sejak tadi meninggalkan kedai. Tinggal

Rangga sendirian masih duduk menghadapi mejanya.

Seorang pelayan tua sekaligus pemilik kedai menghampiri.


'Tambah lagi araknya, Tuan?" Pak Tua menawarkan.

"Tidak, duduklah di sini. Aku perlu teman ngobrol" sahut

Rangga.

Pak Tua itu duduk di depan Rangga.

***

Matahari hampir condong ke Barat. Dua ekor kuda

berpacu memasuki hutan di kaki lereng bukit Guntur.

Penunggang kuda itu adalah Badil dan Gering, dua orang

dari gerombolan Bidadari Sungai Ular.

Penuh dengan kesigapan, mereka melompat turun

setelah kuda yang mereka tunggangi berhenti di depan

rumah terbuat dari kayu. Inilah markas gerombolan Bidadari

Sungai Ular. Dengan tergesa-gesa Badil menghampiri pintu

dan mengetuknya dengan keras. Ketika pintu terbuka,

kedua tangan Saka Lintang telah berada di pinggang.

"Ada apa?" tanya Saka Lintang angkuh.

"Kami punya berita penting, Tuan Putri," kata Badil

segera membungkukkan badannya.

"Katakan cepat!"

"Menyangkut..., Intan...," Badil setengah berbisik Matanya

menerobos ke dalam.

Saka Lintang mengerutkan keningnya. Dia melangkah

dua tindak'Tadi hamba berdua minum-minum di kedai Pak

Tua. Di situ hamba melihat serombongan prajurit berkuda

dipimpin langsung oleh Patih Giling Wesi," jelas Badil ketika

Saka Lintang telah berada di luar rumah.

"Lalu?" desak Saka Lintang sudah bisa menebak

"Di situ juga ada Pengemis Sakti Tongkat Merah. Si

gembel Itu tahu kalau Intan Kemuning ada di sini. Dia yang

menyebar kabar itu, Tuan Putri," lanjut Badil.

"Kau takut?" cibir Saka Lintang.

"Tidak!" sahut Badil dan Gering bersamaan.

"Kalau begitu, siapkan semua yang ada. Sambut


kedatangan mereka!" perintah Saka Lintang tegas.

"Jumlah mereka banyak, Tuan Putri," kata Gering.

"Mereka hanya tikus!" bentak Saka Lintang. Dia

mendengar nada cemas pada suara Gering.

"Hamba laksanakan, Tuan Putri," cepat-cepat Gering

membungkuk. Dia tahu gelagat kalau Saka Lintang sudah

membentak keras.

Ketika kedua orang itu telah pergi, Saka Lintang

bergegas masuk ke kamar kembali. Dia menghampiri Intan

Kemuning yang menunggu di balai tengah-tengah ruangan.

"Ada apa Kakak Lintang?' tanya Intan.

"Ada tikus yang mencoba masuk," jawab Saka Lintang

lalu duduk di balai berhadapan dengan Intan Kemuning.

'Tikus...?" Intan Kemuning belum mengerti.

"Yah..., tikus bodoh yang cari mampus!"

Intan Kemuning mulai mengerti. Yang dimaksud tikus

tentulah orang. Bukan tikus sebenarnya. Kadang-kadang

dia harus berpikir lebih dulu untuk dapat mengerti. Itulah

Saka Lintang. Bukan hanya kata-katanya saja yang sulit

dimengerti. Sikapnya pun demikian. Kadang-kadang kasar,

kadang-kadang lembut. Tapi di balik kekasaran-nya, Intan

Kemuning dapat melihat suatu pelampiasan kekesalan

pada Saka Lintang.

Sebenarnya ingin sekali Intan bertanya. Tapi setiap kali

akan bertanya, di saat itu pula niatnya diurungkan. Dia

takut Saka Lintang tersinggung. Intan Kemuning harus bisa

menjaga diri dan berbuat apa saja yang dikehendaki Saka

Lintang.

"Mengapa kau memandangiku begitu?" tanya Saka

Lintang risih dipandangi terus.

"Tidak..., tidak apa-apa," sahut Intan Kemuning tergagap.

"Aku..., aku heran saja."

"Apa yang kau herankan?" tanya Saka Lin¬tang.

"Kakak Lintang," pelan suara Intan Kemuning.

"Aku...? Ha ha ha...!" Saka Lintang tertawa gelak


Intan Kemuning makin bingung melihat Saka Lintang

tertawa terbahak-bahak. Padahal kata-katanya tidak ada

yang lucu. Kenapa dia sampai tertawa gelak seperti itu?

Namun dalam tawa itu, Intan Kemuning menangkap

semacam kegetiran yang ditutup-tutupi di wajah Saka

Lintang.

"Sudahlah, tidak usah memikirkan aku! Yang penting,

sekarang giatlah berlatih. Aku lihat jurus-jurus pukulan

tangan kosongmu sudah mantap. Perdalamlah lagi agar

lebih sempurna," ujar Saka Lintang setelah reda tawanya.

Intan Kemuning hanya mengangguk.

"Nah, berlatihlah sekarang!" perintah Saka Lintang.

"Kakak Lintang mau ke mana?" tanya Intan Kemuning

ketika Saka Lintang turun dari balai.

"Ke luar! Aku akan kembali lagi jika kau sudah selesai

berlatih," sahut Saka Lintang. "Ingat, setelah kau selesai

latihan tenaga dalam, bersemadilah!"

Intan Kemuning mengangguk kembali. Saka Lintang

melangkah dan menoleh sebentar pada Intan Kemuning.

Bibirnya tersungging melihat Intan Kemuning mulai berlatih.

Sebentar matanya mengawasi keadaan sebelum menutup

pintu, lalu keluar.

Saka Lintang melenting tinggi lalu membuat gerakan

berputar beberapa kali di udara dan hinggap dengan manis

di atap rumah. Pandangannya berkeliling. Bibirnya

tersenyum melihat anak buahnya telah siap menanti

datangnya para prajurit kepatihan.

Mata Saka Lintang menatap lurus ke depan. Tampak

sekitar sepuluh orang berjalan menuju sungai Ular dipirhpin

oleh Codet. Di belakang mereka, berjalan sepuluh orang

dipimpin oleh Badil dan sepuluh orang lagi dipimpin oleh

Gering. Lima belas orang berjaga-jaga di markas mereka.

Saka Lintang sedikit kagum pada Codet yang pandai

mengatur anak buahnya.

Dengan gerakan indah, Saka Lintang melompat turun.


Saat kakinya mendarat di tanah, kembali dilentingkan

tubuhnya dan hinggap di atas punggung kudanya. Segera

dia menggebrak kudanya lalu melesat cepat menuju ke

sungai Ular yang tidak jauh dari lereng bukit Guntur markas

Saka Lintang sekarang ini. Sungai Ular memang indah

dipandang, namun menyimpan keganasan yang luar biasa.

Sebentar saja Saka Lintang telah sampai di sungai Ular

mendahului anak buahnya. Matanya yang bulat bening

memandang sekitar sungai yang tenang. Setenang sikapnya

saat ini.

Codet menggerak-gerakkan tangannya ke atas ketika

mereka telah sampai di sungai itu. Dengan seketika anak

buahnya berpencar masuk ke dalam semak-semak dan ke

balik bongkahan-bongkahan batu. Kini di tepi sungai tersisa

empat orang. Mereka semua memang terlatih baik dalam

menguasai daerah sekitar sungai Ular. Maka dalam sekejap

saja tidak ada orang yang terlihat. Mereka bagaikan lenyap

ditelan bumi. Pandai menyamarkan diri dengan alam!

"Dengar...!" seru Saka Lintang tiba-tiba.

"Suara kuda," gumam Codet.

"Hm, siapa dia," gumam Saka Lintang.

***

Suara kaki kuda kuda makin jelas terdengar. Saka

Lintang mengerutkan keningnya. Dia hanya mendengar

langkah dari satu ekor kuda saja. Matanya langsung melirik

Badil.

"Hamba akan menyongsong, Tuan Putri!" ujar Badil

mengerti maksud lirikan Saka Lintang.

Badil dengan cepat melompat ke kudanya. Segera

digebahnya kuda itu. Dengan cepat kuda yang ditunggangi

Badil sudah tidak terlihat lagi. Lenyap di balik rimbunan

pepohonan. Badil memacu kudanya menuju arah datangnya

suara kaki kuda.


Tiba-tiba ditarik tali kekang kudanya dan seketika

tubuhnya melontar tinggi. Kakinya dengan sigap hinggap di

sebuah batang pohon yang tinggi. Matanya dengan

seksama berkeliling. Tiba-tiba pandangannya tertumbuk

pada seekor kuda yang ditunggangi seorang pemuda.

Tampak dua bilah pedang bertengger di punggungnya.

"Kala Srenggi," desis Badil mengenali penunggang kuda

itu.

Badil menunggu beberapa saat sampai Kala Srenggi

mendekat. Kemudian dia meloncat turun ketika Kala

Srenggi tepat di bawah pohon yang dinaiki Badil. Kala

Srenggi dengan tangkas melompat dari kudanya ketika

merasakan ada penyerang gelap dari atas.

Pedang Badil segera membabat namun luput Dia

kecewa. Padahal dia yakin penunggang kuda itu akan

pecah kepalanya tersambar pedang. Yang didapati hanya

tempat kosong saja,

"Licik!" dengus Kala Srenggi ketika kakinya menjejak di

tanah.

"Kau juga lebih licik dariku, Kala Srenggi," balas Badil.

"Siapa kau?' tanya Kala Srenggi yang heran melihat

penyerang gelapnya tahu tentang dirinya.

"Aku Badil. Macan Gunung Sinai!" sahut Badil angkuh.

"Hm..., Macan Gunung Sinai sampai nyasar ke bukit

Guntur," gumam Kala Srenggi mencibir.

"Ada urusan apa kau datang ke sini?" tanya Badil.

"Aku hanya lewat," jawab Kala Srenggi acuh.

"Tidak seorang pun diijinkan masuk ke bukit Guntur!"

"He! Sejak kapan aku...." Kala Srenggi belum

menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba Badil telah

menyerang dengan cepat. Kala Srenggi agak kewalahan

menghindari serangan-serangan pedang Badil yang cepat

dan berbahaya. Macan Gunung Sinai memang bukan nama

kosong, dan Kala Srenggi tahu itu. Dengan cepat dia

bersalto di udara. Tangannya segera menarik pedang



kembarnya. Sret! Traaang!

Dua pedang berbenturan di udara. Pijaran api akibat

benturan pedang berlompatan bersamaan dengan

terpentalnya dua orang itu. Mereka memang bukan orang

sembarangan. Tanpa kesulitan apa-apa, kaki mereka telah

menjejak di tanah dengan lincah.

Dua orang itu sama-sama kaget dan sama-sama

merasakan kesemutan setelah pedang mereka beradu. Kini

mereka sama-sama menyiapkan jurus-jurus selanjutnya.

Sambil berteriak nyaring, mereka kembali terlibat dalam

pertarungan sengit. Masing-masing ingin segera

menjatuhkan. Namun sampai lima jurus berlalu, belum ada

yang terdesak. Memasuki jurus selanjutnya masih tetap

seimbang. Beberapa kali ujung pedang mereka hampir

menemui sa-saran satu sama lain. Namun semuanya masih

dapat dihindari.

Hingga pada suatu ketika, Kala Srenggi melompat

mundur sejauh dua tombak sambil memasukkan pedang

kembar ke sarung di punggungnya. Kini dikeluarkannya 'Aji

Racun Merah". Melihat lawan tengah mengerahkan ilmu

andalan, Badil pun tak ketinggalan dengan ilmu andalannya

pula. Mereka sudah saling berhadapan siap menyerang

dengan kesaktian masing-masing.

"Hiya...!"

"Hiya...!"

Kedua orang itu melompat berbarengan. Kini kedua

telapak tangan mereka bertemu di udara. Ledakan keras

terjadi, disusul dengan terpentalnya dua tubuh. Kala

Srenggi jatuh bergulingan di tanah beberapa depa.

Sedangkan Badil tidak kalah parah. Dari hidung dan

mulutnya ke luar darah.

"Uhk!" Badil memuntahkan darah merah kehitaman.

Sambil menahan rasa sakit di dadanya, Badil berusaha

bangkit. Tubuhnya sempoyongan. Sementara Kala Srenggi

juga berusaha berdiri. Dari sudut bibimya mengalir darah



segar. Tangan kirinya menghitam terkena ajian 'Macan

Gunung' yang dilepaskan Badil.

"Setan! Salah satu di antara kita harus mampus!" geram

Kala Srenggi.

"Huh!" Badil hanya mendengus.

Badil sadar kalau tubuhnya telah dialiri 'Racun Merah'

dan hidupnya tak akan bertahan lebih lama lagi. Kala

Srenggi pun demikian. Dia terluka parah. Mereka sama-

sama kepalang basah. Kembali ajian masing-masing mulai

mengarah satu sama lain.

"Berhenti!" tiba-tiba suara bentakan melengking nyaring.

Namun terlambat! Kedua orang itu sudah kembali

melompat dan beradu di udara. Kala Srenggi lagi-lagi

bergulingan di tanah. Dari mulutnya menyembur darah

kental kehitaman. Dia berusaha bangun, tetapi malah jatuh

dan tak bergerak sama sekali. Mati. Kedua tangannya

seperti hangus terbakar.

Di pihak Badil, lebih mengerikan. Dia tergeletak dengan

dada pecah. Darah bersimbah membasahi tubuhnya. Badil

tewas seketika setelah tubuhnya tenanting di tanah.

Sebuah bayangan biru berkelebat dan mendarat di

tengah-tengah arena pertarungan tadi. Dia adalah Saka

Lintang, kemudian disusul oleh Codet dan Gering. Kedua

orang itu terkejut melihat Badil tewas dengan dada pecah.

Saka Lintang malah tenang-tenang saja.

"Hm, Kala Srenggi," gumam Saka Lintang.

Gadis itu mengayunkan langkahnya mendekati mayat

Kala Srenggi. Sebentar diamati dan dengan ujung kakinya

dibalikkan tubuh Kala Srenggi. Tampak di bagian dadanya

hangus terbakar. Tidak ada luka di tubuhnya. Juga tidak ada

tanda-tanda Kala Srenggi masih hidup.

Saka Lintang mengambil ranting, lalu menekan dada

Kala Srenggi dengan ranting. Terkejut juga Saka Lintang

ketika melihat dada Kala Srenggi yang mendadak ambrol

setelah tersentuh ranting. Bagai ditiup angin saja! Dada Itu


kini berlubang besar tembus sampai ke punggung. Sungguh

dahsyat ajian 'Macan Gunung' yang dilepaskan Badil.

"Bagaimana?" tanya Saka Lintang menoleh pada dua

anak buahnya.

"Mati," sahut Codet.

"Kuburkan kedua mayat ini," perintah Saka Lintang.

'Tidak ada waktu, Tuan Putri. Sebentar lagi gelap," sahut

Codet.

"Kalau begitu, tinggalkan saja di sini!"

Tanpa banyak bicara, mereka meninggalkan dua sosok

mayat yang tergeletak di tanah. Sungguh tragis nasib mayat-

mayat itu. Tak ada seorang pun yang sedia

menguburkannya. Tetapi untungnya, Gering yang setiap hari

selalu bersama-sama dengan Badil merasa tidak tega juga

terhadap mayat temannya itu. Dia kembali lagi lantas

menggali tanah.

Saka Lintang hanya melirik, kemudian melanjutkan

langkahnya. Toh tadi dia juga sudah memerintahkan untuk

mengubur mayat itu. Kini malah Codet yang bimbang. Dia

hanya berdiri dengan pandangan berganti-ganti dari Saka

Lintang ke arah Gering yang tengah menggali dengan

pedangnya.

'Tuan Putri...," agak bergetar suara Codet.

Saka Lintang membalikkan tubuhnya.

"Tidakkah...."

"Bantu dia!" potong Saka Lintang cepat sambil menunjuk

pada Gering.

Tanpa menghiraukan Codet lagi, Saka Lintang melangkah

cepat. Codet bergegas mengham-\piri Gering dan

membantu menguburkan mayat Badil.

'Terima kasih," ucap Gering.

'Tuan Putri yang memerintahku," sahut Codet.

Gering menatap Saka Lintang yang hanya terlihat

bayangan bajunya saja di antara pepohonan. Sampai

selesai menguburkan Badil, mereka belum bicara. Gering



menatap mayat Kala Srenggi.

"Biarkan saja dia jadi santapan anjing hutan!" kata Codet

Gering mengangkat bahunya. Mereka memang tidak

pernah mengurus mayat musuh. Kini dengan hati lega;

mereka tinggalkan tempat itu. Meninggalkan salah seorang

teman yang kini terbaring di dalam tanah.

***


TIGA


Matahari baru saja menampakkan diri. Sinarnya

membias menerangi mayapada. Patih Giling Wesi duduk di

atas punggung kudanya dengan lesu. Semalaman dia

mencari di sekitar sungai Ular, tapi tidak sedikit pun jejak

kapal layar yang membawa putrinya ditemukan.

"Rapaksa!"

"Hamba, Gusti Patih," salah seorang tamtama segera

mendekat.

"Beritahu prajurit, kita istirahat sebentar di sini," kata

Patih Giling Wesi.

"Adya Bala, istirahat!" teriak tamtama Rapaksa keras.

Para prajurit serentak turun dari kuda masing-masing.

Mereka mencari tempat beristirahat dan membuka

perbekalan. Patih Giling Wesi pun telah turun dari kudanya

lalu menghampiri sebuah batu besar yang menjorok ke

sungai. Dia duduk di atas batu menatap ke arah sungai

yang berliku.

Belum sempat Patih Giling Wesi beristirahat banyak, tiba-

tiba datang seorang prajurit berlari-lari menghampirinya.

Didekatinya Patih Giling Wesi.

"Ampun, Gusti Patih. Hamba menemukan tanda

keprajuritan di pinggir sungai," kata prajurit itu sambil

menyerahkan sebuah kalung tanda keprajuritan.

Patih Giling Wesi lantas menyambar kalung itu. Matanya

mengamati sebentar. Ada noda darah melekat di kalung itu.

Berarti telah terjadi sesuatu pada kapal itu. Dan yang jelas

kejadiannya di sungai Ular ini!

"Rapaksa!" teriak Path Giling Wesi.

Rapaksa berlari menghampiri. Dia segera memberi

hormat setelah tiba di depan Path Giling Wesi.

"Siapkan prajurit!" perintah Patih Giling Wesi.

Rapaksa belum sempat menjawab, tiba-tiba terdengar


teriakan dan disusul dengan rubuhnya lima orang prajurit.

Dada mereka tertancap tombak. Serentak para prajurit yang

lain bersiaga.

Patih Giling Wesi cepat melompat ke arah lima

prajuritnya yang tewas. Dia mencabut sebatang tombak dari

salah seorang prajuritnya yang sudah tidak bergerak itu.

Sebuah tombak berwarna biru dengan tangkai berukir huruf

yang rapi dan indah.

"Bidadari Sungai Ular," desis Patih Giling Wesi

"Rupanya ada tamu agung berkenan mengunjungi

wilayahku!"

Patih Giling Wesi dan para prajuritnya terkejut

mendengar suara yang tinggi menggema dibarengi

pengerahan tenaga dalam yang sempurna. Rasa terkejut

mereka belum juga hilang ketika tiba-tiba muncul seorang

wanita cantik mengenakan pakaian serba biru. Dia tidak

lain adalah Saka Lintang. Dengan angkuh dia berdiri di atas

batu tempat Patih Giling Wesi tadi beristirahat.

"Siapa kau?!" bentak Patih Giling Wesi.

"Bidadari Sungai Ular!" jawab Saka Lintang mantap.

"Setan! Kembalikan putriku!" geram Patih Giling Wesi.

"Ha ha ha..., tidak semudah itu patih yang gagah."

"Adya Bala!" teriak Patih Giling Wesi memberi aba-aba.

Begitu prajurit bersiap, seketika itu pula dari rimbunan

semak dan dari balik bongkahan batu, bermunculan orang-

orang yang semuanya ber-seragam biru. Mereka semua

telah siap dengan senjata di tangan. Patih Giling Wesi

makin geram menyadari keadaannya telah terkepung.

Dua kelompok itu hampir seimbang jumlah-nya.

Kelihatannya prajurit Kepatihan lebih banyak. Tapi bukan

berarti mereka bisa dengan mudah mengalahkan

gerombolan ini. Mereka semua memiliki tingkat kepandaian

rata-rata di atas para prajurit pilihan sekali pun.

"Intan Kemuning akan kukembalikan pada saatnya nanti.

Percuma saja kau kerahkan seluruh prajurit! Mereka hanya


mengantar nyawa ke tempat ini!" ujar Saka Lintang pongah.

"Kalian perompak liar, dan harus dimusnahkan!" geram

Patih Giling Wesi.

"Tidak semudah itu, Patih gagah," kata Saka Lintang

meremehkan.

Sudah tak tertahankan lagi amarah Patih Giling Wesi.

Pikirannya hanya terpusat pada keselamatan putrinya.

Segera diperintahkan prajuritnya untuk menyerang. Maka

pertempuran pun berlangsung sengit. Bunyi senjata beradu

dan teriakan-teriakan pertempuran terdengar membahana.

Patih Giling Wesi tak ketinggalan dengan cepat melompat

menerjang Saka Lintang. Tetapi belum sampai dekat Saka

Lintang, sebuah bayangan berkelebat menghadang.

"Huh! Sontoloyo!" dengus Patih Giling Wesi. Gering berdiri

dengan pedang terhunus. Kalau saja bukan Patih Giling

Wesi, mungkin kepalanya sudah terpisah dari badan

tersambar pedang Gering yang berkelebat cepat. Patih

Giling Wesi tidak membuang-buang waktu lagi. Dia mener-

jang dengan jurus-jurus mautnya. Namun yang dihadapinya

adalah Gering yang cukup tinggi ilmunya.

Tidak heran kalau Gering dapat mengimbangi permainan

pedang Patih Giling Wesi. Bahkan beberapa kali dia dapat

membalas serangan itu. Sementara itu pertarungan

semakin sengit.

Beberapa prajurit telah banyak yang roboh. Sedang dari

pihak Bidadari Sungai Ular, belum ada satu pun yang tewas.

Jerit-jerit kematian makin sering terdengar menyayat dari

pihak prajurit.

Patih Giling Wesi berteriak melengking dan merubah

permainan pedangnya. Yang terlihat kini hanya bayang-

bayang pedang yang bergulung-gulung menyelimuti tubuh

Gering. Menyadari lawan telah menggunakan jurus yang

ampuh, Gering pun segera merubah jurusnya pula.

Pertarungan makin seru dan tak terlihat lagi oleh mata

biasa. Tubuh mereka seperti lenyap ditelan gulungan sinar


pedang yang menimbulkan suara bersiutan.

"Aaaakh...!" tiba-tiba Gering berteriak memekik.

Ketika tubuhnya keluar dari gulungan sinar pedang, dada

telah basah oleh darah. Rupanya ujung pedang Patih Giling

Wesi telah mengenai sasarannya. Di saat yang genting itu,

tiba-tiba Codet menerjang masuk. Gering segera mundur

sambil menekap dadanya yang robek.

"Kau akan bernasib lebih buruk dari temanmu!" dengus

Patih Giling Wesi.

"Sebaliknya kau akan kukirim ke neraka!" sembur Codet.

"Majulah, setan!" geram Patih Giling Wesi. Codet

mencabut golok besarnya. Kelihatannya, golok itu berat

sekali. Namun ketika berada di tangan Codet seperti ringan

saja. Benda tajam itu berkelebat cepat dan mengarah ke

bagian-bagian tubuh Patih Giling Wesi.

Serangan-serangan yang dibangun Codet memang lebih

dahsyat dan berbahaya dibandirig Gering. Patih Giling Wesi

harus lebih hati-hati lagi. Dia merasakan angin sambaran

golok lawannya menimbulkan hawa panas.

Di luar arena pertarungan, Saka Lintang hanya

mengamati saja sambil bibimya menyungging senyum.

Tampaknya prajurit-prajurit Kepatihan makin kewalahan

dan terdesak. Jumlah mereka makin berkurang. Sedang

dari pihaknya, hanya dua yang tewas. Hanya Gering yang

kelihatan terluka parah dan kini dirawat oleh anak buah

Saka Lintang. Gadis ini cukup memaklumi keadaan Gering

karena lawannya memang tangguh.

Kedudukan Codet pun kelihatan makin kewalahan. Saka

Lintang sudah bisa menduga kalau sebentar lagi Codet

akan jatuh.

Gerakan-gerakan Codet makin ngawur. Sementara Patih

Giling Wesi terus mendesak dengan penuh nafsu. Hingga

pada suatu kesempatan....

"Aaaakh.,.!" Codet menjerit keras. Tepat seperti dugaan

Saka Lintang.


Pedang Patih Giling Wesi berhasil menembus dada

Codet. Darah segar segera muncrat ketika pedang itu ditarik

ke luar. Codet limbung sebentar, lalu ambruk tak berkutik.

Patih Giling Wesi dengan cepat melompat ke tengah-tengah

prajurit-prajuritnya yang sedang kewalahan menerima

gempuran yang datang bagai air bah. Prajurit Kepatihan

tinggal lima belas orang jumlahnya.

Seperti orang kesetanan layaknya, Patih Giling Wesi

mengamuk membabi buta. Setiap pedangnya berkelebat,

pasti ada seorang lawan yang ambruk mandi darah. Prajurit-

prajurit yang semula kendor semangatnya, seketika bangkit

kembali melihat pemimpinnya mengamuk bagai banteng

terluka.

Sepuluh orang sudah roboh di ujung pedang Patih Giling

Wesi dalam tempo yang singkat. Memang tidak sia-sia dia

dijuluki Singa Medan Laga. Gerakannya cepat, sukar

diduga. Meskipun hatinya terbakar amarah, namun

kelihatan sekali kalau Patih Giling Wesi bertarung

menggunakan otak yang dingin. Dia cepat membaca

gerakan lawan. Dia pun dapat mematahkan serangan lawan

sebelum sampai, bahkan dengan cepat mendahuluinya.

Melihat orang-orangnya kewalahan menghadapi amukan

Singa Medan Laga, Saka Lintang jadi geram. Apalagi orang-

orangnya makin banyak yang tumbang. Sebentar saja, dua

puluh mayat sudah menggeletak.

'Patih Giling Wesi, akulah lawanmu!" teriak Saka Lintang.

Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke udara dan

menghadang serangan Patih yang mengamuk.

"Huh!" Patih Giling Wesi mendengus sambil

menyemburkan ludahnya.

Seketika pertempuran terhenti. Masing-masing kelompok

melompat mundur. Mereka seperti memberi peluang bagi

masing-masing pemimpin untuk berlaga. Patih Giling Wesi

menatap tajam pada Saka Lintang yang sudah menghunus

pedangnya.


"Serahkan anakku, atau kau harus mati di ujung

pedangku!" dengus Patih Giling Wesi.

"Aku tidak akan membunuhmu, Patih Giling Wesi. Aku

hanya ingin memberirnu sedikit pelajaran agar kau tidak

lagi pongah!" kalem dan tenang sekali suara Saka Lintang.

"Bocah setan!" geram Patih Giling Wesi merasa terhina.

"Ha ha ha..., putrimu yang cantik akan jadi ratu setan!"

dia langsung menyerang dengan jurus-jurus berbahaya.

Saka Lintang melayaninya sambil tertawa -tawa. Sejak tadi

sudah diperhatikannya jurus-jurus Patih Giling Wesi. Dia

telah tahu kelebihan dan kelemahannya.

Saka Lintang sengaja tidak membalas serangan lawan.

Dia hanya menghindar dan menangkis dengan gerakan-

gerakan indah memukau.

Patih Giling Wesi memang tangguh dalam olah

keprajuritan. Tetapi dalam menghadapi tokoh rimba

persilatan seperti Saka Lintang ini, dia harus mengerahkan

tenaga dan kepandaiannya. Semua serangan-serangannya,

mentah dan rontok di tengah jalan oleh gadis ini. Patih

Giling Wesi mulai merasa sulit menghadapi.

Mengingat dirinya adalah seorang patih yang disegani,

Patih Giling Wesi tidak mau menyerah begitu saja.

Dirubahnya serangan dengan menggunakan jurus-jurus

andalan. Dan memang, kali ini Saka Lintang tidak main-

main lagi. Jurus yang digunakan patih ini memang dahsyat,

penuh gerak tipu yang berbahaya. Sedikit saja lemah,

akibatnya sangat fatal.

"Awas kepala!" teriak Saka Lintang tiba-tiba.

Patih Giling Wesi terkejut Cepat-cepat dia menggerakkan

pedangnya melindungi kepala. Tapi tak disangka-sangka,

gerakan yang menyambar kepala hanya tipuan belaka.

Sedangkan sasaran sesungguhnya adalah perut. Dengan

cepat pedang Saka Lintang berputar mengarah ke perut

yang lowong. Untung Patih Giling Wesi cepat menarik

pedangnya. Trang!


Dua pedang berbenturan tepat di depan perut Patih

Giling Wesi. Terlambat sedikit saja, perut itu pasti sobek.

Dalam hati, Saka Lintang mengakui kehebatan patih ini.

Tiga puluh jurus telah berlalu, tapi kelihatannya belum ada

seorang pun yang terdesak. Mereka masih seimbang

meskipun telah mengeluarkan jurus-jurus pedang tingkat

tinggi.

***

Pertarungan antara Patih Giling Wesi dengan Saka

Lintang telah meningkat pada taraf yang genting. Seratus

jurus telah berlalu dengan cepat. Masing-masing belum ada

yang terdesak. Semula Saka Lintang menduga kalau

kepandaian Patih Giling Wed berada jauh di bawahnya.

Kenyataannya sangat tak disangka sama sekali. Patih Giling

Wesi belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya.

Saka Lintang kini meningkatkan permainan jurus-

jurusnya. Kombinasi antara ilmu pedang dengan jurus

'Pukulan Geledek' yang dikeluarkannya kini, sangat dahsyat.

Selain pedang yang menyambar-nyambar, pukulan tangan

kiri Saka Lintang juga mencari sasaran. Semua sama-sama

dahsyat. Batu-batuan dan pohon-pohon yang terkena

pukulannya, langsung hancur berkeping-keping.

Sedangkan Patih Giling Wesi juga sudah mengeluarkan

kesaktiannya. Dengan 'Ajian Sayuti Angin', Patih Giling Wesi

dapat bergerak melebihi kecepatan angin topan. Tebasan

dan tusukan pedangnya makin berbahaya dan

menimbulkan tenaga dorongan yang dahsyat.

Batang-batang pohon segera tumbang terkena tebasan

pedang Patih Giling Wesi. Daun-daun segera berguguran

terkena sambaran angin kelebatan pedang yang

menimbulkan suara gemuruh bagai angin puting beliung.

"Setan! Ilmu apa yang dia pakai?" dengus Saka Lintang

dalam hati.


Setiap kali pedangnya membentur pedang Patih Giling

Wesi, tangan Saka Lintang selalu bergetar bagai tersengat

ribuan kala berbisa. Sedapat mungkin dihindarinya

benturan senjata. Tapi....

Trang! Trak!

Saka Lintang melompat mundur dengan wajah terkejut.

Bagian ujung pedangnya sempal. Tangannya seperti dijalari

jutaan semut yang menggigit. Perih dan bergetar ke seluruh

persendian tangannya. Buru-buru gadis itu memasukkan

pedang ke dalam sarungnya. Dan kini dia telah siap dengan

jurus 'Tarian Bidadari'.

Gerakan-gerakan tubuh Saka Lintang jadi berubah. Dia

seperti menari. Meliuk-liuk dengan indahnya dengan tangan

bergerak-gerak lemah gemulai. Matanya mengerling genit

disertai gerak-gerak bibir yang mengundang birahi.

Sesaat Patih Giling Wesi terpana. Hatinya mendadak

bergetar melihat tubuh indah meliuk-liuk dan sikap yang

mengundang birahi. Namun tiba-tiba, dengan cepat dan tak

terduga sama sekali, tangan kanan Saka Lintang melayang

mengarah dadanya. Patih itu terkejut bukan kepa-lang.

"Setan!" dengus Patih Giling Wesi dengan cepat

melompat sambil membabatkan pedangnya.

"Ah!" Saka Lintang memekik manja.

Tangannya yang sudah terulur cepat, dengan lembut

ditarik. Dan.... Sulit dipercaya! Pedang yang sudah

sedernikian dekat tangan Saka Lintang yang bergerak

lemah, tidak bisa membabat-nya putus. Bahkan lewat

begitu saja. Padahal tebasan pedang patih itu sangat cepat.

Tidak sebanding dengan gerakan tangan yang lemah itu!

Patih Giling Wesi segera menyadari kalau gerakan lemah

gemulai yang mengundang birahi itu sangat berbahaya dan

dapat mematikan lawan. Patih itu berusaha untuk tidak

terpengaruh pada setiap gerakan tubuh yang indah itu.

"Mampus kau!" bentak Patih Giling Wesi kembali

melancarkan serangan mautnya.


"Ouw!" Saka Lintang hanya mendesah manja sambil

menggerakkan tubuh dengan indah.

Serangan Patih Giling Wesi yang bertubi-tubi mengarah

pada bagian-bagian yang mematikan. Tetapi serangan

dahsyat itu tidak pernah dapat menyentuh tubuh Saka

Lintang. Patih Giling Wesi memutar otak, mencari

kelemahan jurus aneh yang dimainkan lawannya itu.

Setiap kali pedangnya berkelebat dan dipastikan akan

menebas lawan, namun dengan manis Saka Lintang

berhasil mengelak. Ujung pedang patih itu hanya

menyerempet beberapa rambut saja. Itulah kelebihan dari

jurus Tarian Bidadari yang membuat lawan jadi frustasi

karena mengira serangannya berhasil.

"Huh! Ilmu setan mana yang dipakainya?" dengus Patih

Giling Wesi.

Patih Giling Wesi makin kewalahan. Di samping harus

menghadapi jurus aneh itu, dia juga harus berperang

dengan batinnya sendiri. Daya pikat yang dipancarkan Saka

Lintang begitu kuat Gerakan-gerakan patih itu jadi tidak

teratur karena terpecah konsentrasinya. Sekuat daya Patih

Giling Wesi menekan nafsu birahinya yang semakin

berkobar-kobar.

"hey! Uts!"

Tiba-tiba Patih Giling Wesi tersentak. Tangan halus

gemulai itu mendadak hampir menepuk pundaknya. Untung

saja patih itu masih memiliki sedikit kewaspadaan sehingga

tepukan tangan Saka Lintang berhasil dihindari.

Tetapi tak urung, tepukan lembut itu menyerempet

bahunya. Patih Giling Wesi merasakan suatu hawa panas

menyebar. Seketika dia tersentak kaget.

"Racun...!" desisnya.

Segera Patih Giling Wesi mengerahkan hawa mumi ke

seluruh tubuhnya. Belum dapat dipastikan racun itu

berbahaya atau tidak. Namun dari anginnya sudah dapat

dirasa. Mendadak kepala Patih Giling Wesi terasa pening.


Secara tidak langsung, dia telah menghirup hawa racun

yang disebar oleh telapak tangan Saka Lintang.

Hawa murni itu telah menutup seluruh aliran darahnya.

Perlahan- lahan rasa pening di kepala berkurang. Tubuhnya

jadi terasa hangat. Patih Giling Wesi membuka lagi jalan

darahnya setelah terasa racun yang terhisap tadi telah

keluar dari tubuhnya.

Patih Giling Wesi menatap Saka Lintang yang berdiri

tenang dengan bibir menyungging senyum memikat. Dalam

hati Patih Giling Wesi mengatakan bahwa tidak mungkin

bertarung sambil menutup jalan darah dan mengerahkan

hawa murni. Tetapi kalau tidak begitu, racun bakal terhisap

lagi! Untuk menutup jalan darah dan mengerahkan hawa

murni juga terlalu besar resikonya. Bisa-bisa malah mati

karena di dalam tubuh terjadi pertentangan dua hawa yang

ber-lainan.

"Jalan satu-satunya harus menahan panas. Ya, menahan

napas!" bisik hati Patih Giling Wesi.

Tapi apakah mampu menahan napas sambil bertarung?

Kalau hanya sepuluh jurus saja dia masih mampu. Tetapi

lewat dari sepuluh, rasanya tidak mungkin. Patih Giling Wesi

seperti kehilangan akal dalam menghadapi lawannya kali

ini.

Sementara Saka Lintang telah mulai lagi dengan jurus

'Tarian Bidadari'. Di saat Patih Giling Wesi dalam

kebingungan, mendadak sebuah blsikan lembut terdengar

di telinganya. Bisikan yang entah datang dari mana.

Sepertinya suara itu begitu dekat dan jelas. Patih Giling

Wesi tidak dapat berpikir lebih banyak lagi. Yang jelas

bisikan itu mengatakan tentang kelemahan jurus 'Tarian

Bidadari'.

***

"Jangan hiraukan tangannya, tetapi pandanglah matanya.


Arahkan pedang pada pusarnya," jelas bisikan itu.

Tanpa ragu-ragu lagi, patih itu segera menatap mata

Saka Lintang. Pedangnya terhunus ke arah pusar.

"Ikuti setiap gerak kakinya," terdengar lagi bisikan itu.

Patih Giling Wesi segera bergerak mengikuti setiap

gerakan kaki Saka Lintang. Dan benar saja, baru dua

petunjuk saja, kelihatan Saka Lintang mulai kebingungan.

Namun semuanya tertutupi oleh gerakan-gerakan lemah

gemulainya.

"Pusatkan napas pada perut. Hembuskan melalui mulut,"

bisikan itu terdengar lagi.

Mudah dan sederhana sekali petunjuk yang diberikan

sehingga Patih Giling Wesi dengan cepat memahaminya.

Hatinya gembira. Semangat timbul lagi. Dia sudah mulai

merasakan kalau Saka Lintang menemui kesulitan.

Setiap gerakan Saka Lintang selalu dapat dibaca

olehnya. Saka Lintang mulai sulit menebarkan racun lewat

pukulannya. Kian lama gerakannya menjadi kacau, tidak

beraturan. Bahkan beberapa kali ujung pedang Patih Giling

Wesi hampir menembus perutnya.

"Ih!" Saka Lintang terkejut ketika ujung pedang patih itu

berhasil merobek baju bagian perutnya.

Merah pada wajah gadis itu menahan malu. Cepat-cepat

ditutupinya bagian yang terbuka itu. Cukup besar sayatan

menggores bajunya. Saka Lintang segera melompat

mundur. Dia jadi geram karena kelemahan jurus

andalannya terbaca lawan.

Patih Giling Wesi makin gembira karena merasa di atas

angin. Rupanya gerakan-gerakan lemah lembut Saka

Lintang harus dihadapi pula dengan gerakan yang lemah

sedikit kaku. Untuk bisa melakukannya, digunakan

pernapasan perut di samping memandang mata lawan.

Sedangkan pada bagian perut yang terbuka, sering luput

dari perhatian. Mungkin karena lawan telah terpengaruh

oleh gerakan-gerakan yang mengundang syahwat itu,


hingga jadi lupa terhadap daerah lowong itu. Dalam

menghadapi Patih Giling Wesi, Saka Lintang kali ini

memang menelan pil pahit. Dia sama sekali tidak tahu

kalau patih itu mendapat petunjuk dari bisikan misterius

yang hanya dapat didengar oleh patih itu sendiri.

"Keluarkan seluruh kesaktianmu, biar lebih cepat kau

kukirim ke neraka!" dengus Patih Giling Wesi.

Saka Lintang hanya mendengus saja. Kini disiapkannya

jurus andalannya yang terakhir. Jurus 'Ular Berbisa

Menyebar Racun'.

"Huh! Ilmu setan mana lagi yang digunakannya?!" dengus

Patih Giling Wesi.

Gerakan-gerakan yang diperlihatkan memang aneh.

Kadang lambat, tetapi segera berubah cepat. Sebentar dia

melompat, kemudian merayap cepat menyusur tanah.

Mulutnya mendesis bagai ular.

"He he he...!"

Suara terkekeh tiba-tiba terdengar menggema dari

segala penjuru. Kemudian muncul seorang kakek tua

mengenakan baju compang-camping dengan tongkat merah

di tangannya.

"Ular harus dilawan dengan tongkat!" kata kakek tua

yang tidak lain adalah Pengemis Sakti Tongkat Merah atau

Aki Lungkur.

"Aki Lungkur...," desis Patih Giling Wesi. Seketika dia

menduga kalau kakek tua inilah yang membisikkannya tadi.

"Adi Patih Giling Wesi, mundurlah. Dia bukan lawanmu,"

kata Aki Lungkur tanpa mengecilkan kepandaian patih itu.

Patih Giling Wesi pun mundur dua tindak. Dia sudah tahu

siapa kakek tua itu. Tingkat kepandaiannya memang sulit

diukur. Patih Giling Wesi sangat menghormatinya meski dia

hanya seorang yang lebih mirip pengemis.

"Selamatkan putrimu di bukit Guntur," kata Aki Lungkur

lagi.

"Bedebah! Kakek busuk, jangan campuri urusanku!"


bentak Saka Lintang geram.

"Cepatlah berangkat! Jangan buang-buang waktu lagi,"

kata Aki Lungkur tanpa mempedulikan bentakan Saka

Lintang.

"Baik, Aki. Hati-hatilah," sahut Patih Giling Wesi.

"He he he...," Aki Lungkur terkekeh lagi.

Tanpa mendapat peringatan pun, Aki Lungkur tahu siapa

lawan yang dihadapinya kini. Seorang gadis, anak angkat

Geti Ireng. Tentulah kepandaiannya tidak bisa dianggap

enteng. Terbukti Patih Giling Wesi tidak mampu

menandinginya.

Patih Giling Wesi segera berangkat. Bersama prajurit-

prajuritnya dia menuju bukit Guntur. Melihat keadaan yang

tidak menguntungkan itu, Saka Lintang segera

memerintahkan anak buahnya menghalangi para prajurit

Kepatihan itu. Tanpa dikomando lagi, mereka langsung

menyerang para prajurit yang belum pergi jauh itu.

***

Pada waktu yang bersamaan, seorang pemuda berbaju

rompi putih berjalan menelusuri kaki bukit Guntur sambil

bersiul-siul. Dari gagang pedang yang menempel di

punggungnya dapat diketahui kalau pemuda itu adalah

Rangga, si Pendekar Rajawali Sakti.

Sambil bersiul-siul dengan irama yang tak jelas, Rangga

terus melenggang. Kepalanya tergeleng-geleng begitu

mendengar suara berkeresek. Suara siulannya berhenti.

Bibirnya menyungging senyum.

"1..., 2..., 3.... Ah, hanya 15," gumam Rangga menghitung.

Rangga masih melenggang tenang. Dia tahu kalau dirinya

telah memasuki daerah markas Bidadari Sungai Ular.

Telinganya yang tajam menangkap suara gerak langkah

kaki tersembunyi. Dan kini telah mengepung dirinya.

"Hm..., mungkin rumah itu sarangnya," kembali Rangga



bergumam ketika melihat sebuah rumah kayu di depannya.

Rumah beratap rurnbia itu bertengger di kaki lereng yang

cukup terjal. Tidak terlalu sulit untuk mencapai sana. Dan,

mendadak dari rimbunan semak-semak bermunculan

orang-orang berpakaian serba biru dengan senjata

terhunus.

"Berhenti!" bentak salah seorang dengan keras.

"Waduh, galak sekali," Rangga berlagak kaget.

"Siapa kau? Apa maksudmu datang ke sini?" tanya orang

yang membentak tadi. Dia salah seorang kepercayaan si

Bidadari Sungai Ular. Namanya Jambak.

"Aku hanya pengembara dan kebetulan lewat sini," jawab

Rangga kalem.

'Tidak ada seorang pun yang boleh memasuki kawasan

ini!" kata Jambak galak.

"Lho, kenapa?" Rangga berlagak dungu.

"Jangan banyak tanya. Ayo, kembali! Atau tubuhmu

kujadikan dendeng!" ancam Jambak.

"Wuih! Sadis sekali."

"Pergi!" bentak Jambak keras.

Rangga hanya tersenyum saja. Diayunkan langkahnya.

Tanpa peduli Rangga meneruskan perjalanannya. Jambak

jadi gusar karena kata-katanya tidak digubris sama sekali.

Dia segera melompat dengan ilmu peringan tubuhnya.

Pedangnya terayun cepat mengarah kepala Rangga. Namun

tebasan pedang itu hanya mengenai angin.

"Teman-teman, serang keparat ini!" perintah Jambak.

Seketika empat belas orang temannya dengan cepat

mengurung Rangga sambil berteriak-teriak mengacungkan

senjata. Rangga hanya tersenyun. Digenjot kakinya, dan

dengan cepat tubuhnya melenting di udara. Bagaikan

terbang saja, Rangga melayang menuju rumah kayu di

tebing bukit.

Kelima belas orang itu hanya melongo. Jambak yang

memiliki kepandaian cukup tinggi, segera memerintahkan


teman-temannya mengejar. Dia sendiri berlompatan dengan

bantuan ilmu peringan tubuhnya.

"Hm..., kalian hanya kronco!" dengus Rangga begitu

kakinya menjejak tanah di depan rumah kayu itu.

Jambak yang datang lebih dulu dari teman-temannya

dengan cepat menyerang ganas. Rangga hanya berkelit

menghindari tebasan pedang yang datang bagai air bah itu.

Namun bagi Rang-ga, semua serangan Jambak hanya

dianggap main-main saja. Dia hanya meliuk-liukkan

tubuhnya tanpa menggeser kaki sedikit pun. Kaki Rangga

baru bergerak jika datang serangan lain secara keroyokan.

Macam-macam bentuk senjata bertebaran mengepung

tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun sampai sejauh ini,

belum ada satu pun senjata yang berhasil menyentuh

tubuhnya. Rangga bagai seekor belut. Licin dan berkelit ke

sana kemari menghindari segala bentuk serangan yang

datang bertubi-tubi.

"Maaf, pinjam tombakmu!" kata Rangga kalem.

Selesai ucapannya, tangan Rangga bergerak cepat.

Sekejap saja seorang dari pengeroyoknya yang

menggenggam tombak terhuyung ke belakang. Tombak itu

telah berpindah tangan. Dan kini orang itu telah ambruk tak

berkutik.

Darah menguncur deras dari keningnya yang bolong.

Rupanya Rangga menggunakan satu jarinya untuk menotok

kening orang itu. Sangat keras totokannya, sehingga kening

orang itu bolong! Kini dengan tombak di tangan, Rangga

tidak lagi kewalahan. Denting macam- macam senjata

beradu dengan tombak di tangan Rangga.

Dalam keadaan dikeroyok seperti itu, Rangga masih

sempat melirik ke arah pintu rumah yang terbuka. Dan tiba-

tiba muncul seorang wanita muda, cantik, dan

menggiurkan, mengenakan pakaian merah muda dari

bahan sutra halus di depan pintu. Rangga sedikit terpana

melihat kecantikan wanita yang tidak lain adalah Intan


Kemuning. Namun dia tidak dapat memperhatikan lebih

lama lagi. Rangga kini sibuk menghadapi para

pengeroyoknya yang semakin ganas.

Rangga menggerakkan tombaknya semakin cepat. Dua

orang kini terhuyung sambil menekap dada, lalu ambruk

tidak berkutik lagi. Darah segar segera mengucur dari dada

yang robek itu. Belum lagi kering darah itu, menyusul dua

orang terhuyung-huyung lalu ambruk.

Pekik kematian kini terdengar saling susul. Tubuh-tubuh

bermandikan darah mulai bergelim-pangan. Sebentar saja

sudah delapan orang yang telah mengantar nyawa. Jambak

merasakan lawannya bukan tandingan mereka semua.

Hatinya bergetar juga. Lebih-lebih setelah mendengar lagi

suara jeritan panjang melengking, disusul am-bruknya dua

orang lagi.

"Cukup!"

Tiba-tiba terdengar bentakan keras melengking.

"Bayangan hitam...!" seru Jambak gembira melihat

berkelebatnya sebuah bayangan.

Sebentar saja sesosok tubuh kurus tinggi berbalut baju

hitam ketat telah berdiri di tengah-tengah lapangan depan

rumah kayu itu. Dari raut wajah yang panjang kurus, dapat

ditebak kalau orang itu wanita.

"Jambak, siapa tikus itu?" tanya Bayangan Hitam.

"Dia coba-coba menggerogoti lumbung."

"Huh! Lalu di mana Gusti Putrimu?'

"Menghadang perusuh di sungai Ular."

Si Bayangan Hitam mendongak seraya memonyongkan

bibir. Terdengarlah siulan yang panjang dan melengking

tinggi. Siulan itu menggema dipantulkan oleh bukit-bukit

batu dan lembah.

Serentak dari balik-balik pepohonan muncul sekitar dua

puluh orang berpakaian serba hitam. Mereka semua

menyandang pedang di punggung.

"Bagi dua!" teriak Bayangan Hitam.


Tanpa banyak omong, orang-orang yang baru

bermunculan itu segera membentuk dua kelompok.

"Jambak, bawa satu kelompok orangku. Bantu Gusti

Putrimu!" perintah Bayangan Hitam.

"Oh, terima kasih" Jambak membungkukkan tubuhnya.

Jambak cepat memberi isyarat pada salah satu kelompok

Bayangan Hitam. Segera mereka berlari menuruni lereng

bukit menuju sungai Ular. Sisa empat orang teman-teman

Jambak masih terdiam di tempatnya. Secercah harapan

muncul dan terbias di wajah mereka melihat kehadiran

Bayangan Hitam.

Mereka semua tahu siapa Bayangan Hitam. Dia adalah

seorang tokoh sakti yang tangguh dan sukar dicari

tandingannya. Benar-benar suatu kebetulan, Bayangan

Hitam datang membawa anak buahnya. Semangat mereka

timbul kembali setelah hampir diporak-porandakan.

***

Bayangan Hitam bukan orang lain bagi Saka Lintang. Dia

adik kandung Geti Ireng, ayah angkat Saka Lintang. Jadi

Bayangan Hitam adalah bibi angkatnya. Meski Saka Lintang

telah mengetahui asal-usulnya, namun dia sama sekali

tidak membenci Bayangan Hitam. Wanita kurus ini sangat

baik terhadap Saka Lintang. Lagi pula, Bayangan Hitam

tidak pernah ingin ikut campur dalam urusan Geti Ireng.

(Baca: Serial Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis

Lembah Tengkorak)

"Siapa kau, anak muda?!" tanya Bayangan Hitam.

"Namaku tak ada artinya buatmu," jawab Rangga. Dari

sekilas pandang saja, Rangga sudah dapat mengukur

tingkat kepandaian perempuan kurus ini. Dari julukannya,

dapat dipastikan kalau tokoh ini dari aliran hitam.

"Sombong!" dengus Bayangan Hitam sedikit gusar.

"Sebutkan namamu sebelum kau kukirim ke neraka!"


"Aku Pendekar Rajawali Sakti," lantang suara Rangga.

"Aku datang untuk mengambil Putri Intan Kemuning!"

Intan Kemuning yang masih berdiri di depan pintu rumah

kayu, terkejut. Wajahnya tampak berubah merah. Dia tidak

kenal dengan pemuda tampan itu. Mendengar namanya

saja, baru kali ini. Tapi diam-diam Intan Kemuning tertarik

juga melihat ketampanannya. Lebih-lebih setelah

menyaksikan sepak terjangnya yang dengan mudah

merobohkan sepuluh orang dalam satu jurus yang diulang-

ulang terus.

Bukan hanya Intan Kemuning yang terkejut Ternyata

Bayangan Hitam pun kaget setengah mati. Tak disangka-

sangka dia bertemu dengan pembunuh kakak laki-lakinya.

Apalagi si pembunuh itu masih muda dan tampan. Kalau

anak muda ini dapat membunuh Iblis Lembah Tengkorak,

pasti tingkat kepandaiannya tinggi sekali.

"Kebetulan kau muncul, bocah setan! Kau berhutang

nyawa padaku!" ujar Bayangan Hitam.

"Bertemu saja baru kali ini, bagaimana mungkin aku

berhutang nyawa padamu?"

"Kau membunuh saudara laki-lakiku! Kau harus bayar

dengan nyawamu!"

"Siapa saudaramu?'

"Geti Ireng atau Iblis Lembah Tengkorak!"

Rangga mengerutkan keningnya. Kini dia mengerti

sudah, untuk apa perempuan kurus atau Bayangan Hitam

itu muncul. Kelihatannya dia telah siap menghadapi segala

kemungkinan yang akan terjadi.

"Aku membunuh saudaramu, karena dia membantai

keluargaku!" lantang dan mantap suara Rangga.

"Aku tidak peduli! Yang jelas kau harus bayar nyawa

saudaraku!"

Rangga yang sudah mengukur kepandaian Bayangan

Hitam tidak sungkan-sungkan lagi. Dia segera mencabut

pedangnya ketika Bayangan Hitam telah siap dengan


pedangnya. Sret!

'Tahan seranganku!" teriak Bayangan Hitam.

Bayangan Hitam segera menyerang Rangga dengan

jurus-jurus pedang yang dahsyat Sekejap saja mereka telah

bertarung dengan jurus-jurus pedang tingkat tinggi. Pedang

Rangga berputar-putar berkelebat memancarkan sinar biru

yang menyilaukan. Sedangkan pedang Bayangan Hitam

menderu-deru menimbulkan hawa panas. Sinar hitam

menggulung-gulung bagai asap tebal. Dua sinar berbeda

saling sambar dengan hebat-nya.

Kian lama pertarungan kian seru. Sebentar saja sepuluh

jurus telah berlalu. Kini tubuh mereka tidak terlihat jelas.

Yang kelihatan hanya bayangan hitam, putih, dan biru saling

berkelebat Semua yang ada di situ melongo, takjub.

Trang!

Dua pedang beradu menimbulkan pijaran bunga api.

Bayangan Hitam segera melompat mundur satu tombak.

Dirasakan tangannya kesemutan ketika pedangnya beradu.

Jari-jari tangannya seperti kaku.

"Edan!" dengus Bayangan Hitam melihat ujung

pedangnya buntung.

Sementara Rangga tidak bergeming sedikit pun.

Pedangnya melintang di depan dada. Bibirnya mengulum

senyum, tapi sinar matanya tajam menatap lurus Bayangan

Hitam. Rangga tidak merasakan apa-apa waktu pedangnya

berbenturan tadi. Kalau saja Bayangan Hitam tadi tidak

melompat, bisa jadi tangan kanannya pisah dari badan

terbabat pedang Rangga.

"Keluarkan ilmu kesaktianmu, anak setan!" geram

Bayangan Hitam sambil membuang pedangnya begitu saja.

Rangga segera memasukkan pedangnya ke dalam

sarungnya. Dia pun bersiap-siap mengerahkan jurus 'Cakar

Rajawali', satu jurus andalan tingkat pertama. Bayangan

Hitam pun tak kalah siapnya. Kini dia mengeluarkan jurus

andalannya juga. Mereka telah saling berhadapan.


"Bersiaplah!"

Bayangan Hitam segera menggebrak setelah selesai

memberi peringatan. Pertarungan dua tokoh sakti itu

kembali berlangsung. Rangga mengerutkan keningnya

ketika merasakan angin sambaran pukulan yang sangat

dahsyat. Kini hanya dua bayangan hitam dan putih

berkelebat. Debu mengepul di udara disertai angin yang

menderu-deru bagai terjadi topan.

"Glaaar...!"

Suara ledakan keras terdengar ketika tangan Bayangan

Hitam menghantam batu. Seketika batu itu hancur

berkeping-keping menyebar ke segala penjuru. Rangga

berdecak kagum melihat kedahsyatan pukulan Bayangan

Hitam.

"Hebat...!" desis Rangga memuji dengan tulus

"Tahan seranganku!" teriak Bayangan Hitam.

Seketika Bayangan Hitam merubah jurusnya. Kin dengan

jurus 'Bayangan Maut', tubuhnya berar-benar seperti

bayangan saja. Sulit diiihat denjan mata biasa. Rangga pun

segera merubah jurusnya menjadi 'Sayap Rajawali

Membelah Mega'.

Kedua tangan Rangga mengembang. Kakinya bergerak-

gerak lincah mengimbangi gerakan Bayangan Hitam yang

sangat cepat. Kedua kaki Rangga kini tidak lagi menjejak

tanah. Kedua tangainya menyambar-nyambar menimbulkan

deru angin kencang. Beberapa pohon tumbang terkena

sambaran angin pukulan Rangga.

Kedua kaki Rangga makin bergerak cepat. Bayangan

Hitam sampai terperanjat, karena kaki-kaki Rengga saling

susul mengarah kepala. Kedua tangan yang selalu

mengembang bagai sepasang sayap itu menyambar-

nyambar mengikuti gerakan tubuh Rangga yang kadang

melayang, kadang menukik

"Akh!"

Tiba-tiba Bayangan Hitam memekik kesakitan. Tubuhnya


terhuyung dua tombak. Tanpa dapat dihindari lagi, kaki

Rangga berhasil mengenai pundaknya. Dia berusaha

menghindari kepala, tapi tidak bisa lagi menarik pundaknya.

Bayangan Hitam mengeram menahan sekit yang luar

biasa karena menyadari tangan kirinya tidak bisa

digerakkan lagi. Tulang pundaknya patah sehingga sulit

digerakkan lagi.

"Serang...!" teriak Bayangan Hitam keras melengking.

Serentak sepuluh orang berpakaian serba hitam

bergerak menyerang Rangga. Empat orang anak buah

Bidadari Sungai Ular yang tersisa membantu mengeroyok

Rangga. Mereka penasaran karena belum bisa

menggoreskan pedang ke tubuh Rangga.

"Kurang ajar!" geram Rangga sengit.

***

Sementara di sungai Ular, pertempuran masih

berlangsung sengit. Saka Lintang bertarung dengan

Pengemis Sakti Tongkat Merah. Sedangkan Patih Giling

Wesi dan para prajuritnya menghadapi anak buah Bidadari

Sungai Ular. Denting senjata bercampur dengan jerit

kematian.

Prajurit Kepatihan yang dipimpin Patih Giling Wesi itu kini

berada di atas angin. Patih itu mengamuk terus. Setiap

pedangnya berkelebat selalu menimbulkan korban. Makin

lama orang-orang berpakaian serba biru semakin berkurang

jumlahnya. Yang tersisa hanya delapan orang saja.

Saka Lintang tidak mungkin membantu orang-orangnya.

Dia sendiri kewalahan menghadapi Pengemis Sakti Tongkat

Merah. Saat gerombolan perompak itu makin terdesak, tiba-

tiba muncul sepuluh orang berpakaian serba hitam dipimpin

oleh Jambak.

'Tuan Putri, Bibi Bayangan Hitam datang!" teriak Jambak.

Saka Lintang berseri-seri wajah nya. Semangatnya segera


bangkit mendengar Bayangan Hitam ikut membantu.

Apalagi melihat anak buah Bayangan Hitam ikut bertempur.

Lima orang membantu anak buah Saka Lintang, lima orang

lagi membantu mengeroyok Pengemis Sakti Tongkat Merah.

Saka Lintang mendekati Jambak yang tengah

mengeroyok Kakek Sakti Tongkat Merah. Kini keadaannya

jadi berbalik. Orang-orang dari Bayangan Hitam lebih tinggi

tingkat kepandaiannya dan lebih ganas dalam bertarung.

"Di mana Bibi Bayangan Hitam sekarang?" tanya Saka

Lintang di sela-sela pertarungan.

'Tengah menghadapi Pendekar Rajawali Sakti," jawab

Jambak.

"Apa...?" Saka Lintang terkejut. Pengemis Sakti Tongkat

Merah mendengar hal itu merasa bersyukur karena

Pendekar Rajawali Sakti telah sampai di sarang gerombolan

Bidadari Sungai Ular.

"Lalu, bagaimana Intan?" tanya Saka Lintang dengan

cemas.

"Berada di markas!" sahut Jambak.

Saka Lintang segera melompat keluar dari pertarungan

ketika ada kesempatan. Dengan cepat dia berlari

menggunakan ilmu peringan tubuh. Pengemis Sakti Tongkat

Merah yang sejak tadi mendengar, lalu berteriak nyaring.

Tubuhnya mencelat tinggi di udara dan jatuh tepat di

samping Patih Giling Wesi.

"Cepat ke bukit Guntur! Selamatkan putrimu!" perintah

Kakek Pengemis itu. "Biar orang-orang ini aku yang hadapi!"

Patih Giling Wesi segera melompat tinggi dan bersalto di

udara. Begitu kakinya menginjak tanah, langsung

dikeluarkannya ilmu lari cepat. Bagaikan kilat tubuh patih

itu dan kini sudah jauh meninggalkan pertempuran.

Pengemis Sakti Tongkat Merah mengamuk memutar-mutar

tongkat saktinya.

Satu persatu orang-orang berpakaian serba hitam

tersungkur berlumuran darah disertai jerit kesakitan.


Mereka bukanlah lawan Pengemis Sakti Tongkat Merah.

Tongkatnya seperti hidup menyambar- nyambar mencari

mangsa.

"Cepat susul Gustimu!" teriak Aki Lungkur kepada para

prajurit.

'Tapi, Ki...!" seorang prajurit tidak tega meninggalkan

orang tua itu sendirian.

"Jangan membantah!" dengus Aki Lungkur. Delapan

prajurit Kepatihan itu langsung beriari menyusul

pemimpinnya. Sementara Kakek Pengemis kian waspada,

selalu menghalangi setiap orang yang akan mengejar para

prajurit.

"Cari kesempatan! Kejar mereka!" teriak Jambak gusar.

Perintah Jambak seperti tertelan angin. Mereka seperti

menghadapi seribu pengemis. Aki Lungkur bergerak cepat

menyambar setiap orang yang berusaha keluar dari medan

pertarungan. Jambak memutar otaknya mencari jalan agar

sebagian temannya bisa keluar dari pertarungan. Kakek

sakti menebas tongkatnya sehingga satu persatu

bergelimpangan. Kini jumlah mereka makin berkurang saja.

Di markas gerombolan Bidadari Sungai Ular, pertarungan

masih berlangsung sengit. Rangga mengamuk menghadapi

Bayangan Hitam yang dibantu oleh kaki tangannya.

Rangga mencabut pedangnya dan mengerahkan ilmu

pedangnya yang dipadu dengan jurus 'Rajawali Menukik

Menyambar Mangsa'. Jurus ke-tiga dari rangkaian jurus

'Rajawali Sakti'. Gerakan kakinya lincah menghindari setiap

serangan lawan, sedangkan pedangnya berkelebat ke arah

tubuh lawan yang kosong.

"Rantai Bayangan!" teriak Bayangan Hitam tiba-tiba.

Seketika sepuluh orang mengambil posisi melingkar

mengepung Rangga. Empat orang ber-pakaian biru keluar

dari arena.

Mata Rangga tajam mengamati gerakan sepuluh orang

yang berputar mengelilinginya sambil pedangnya tersilang


di depan dada. Seperti mata rantai, mereka bekerja sama

dengan gerakan-gerakan yang teratur dan menunjang.

Makin lama makin cepat Yang terlihat kini hanya bayangan

hitam yang bergerak melingkar.

"Hiya! Yeah...!"

Rangga kebingungan juga menghadapi pola serangan

yang ganjil ini. Tetapi dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti

dapat menguasai diri. Ternyata teriakan-teriakan itu hanya

untuk memecah konsentrasinya.

Serangan-serangan itu sulit ditebak, datang dari segala

penjuru secara berganrJan. Gencar sekali. Mata Rangga

tidak lepas mengamati setiap serangan yang datang.

Tiba-tiba dia menjerit kuat sekali. Tubuhnya berputar

cepat bagai baling-baling.

Trang! Trang! Trang!

Kepingan-kepingan logam pedang yang patah meluncur

deras ke arah orang-orang berpakaian serba hitam yang

kebingungan. Pedang mereka terkena sambaran pedang

biru menyilaukan.

"Aaaakh...!"

Beberapa tubuh yang tidak sempat mengelak langsung

bergelimpangan dengan dada teriembus patahan pedang

mereka sendiri menyusul jeritan kematian.

"Bedebah! Kurang ajar!" Bayangan Hitam menggeram

melihat empat anak buahnya roboh hanya sekali gebrakan

saja. Sedangkan yang selamat hanya memegang pedang

yang tinggal setengah saja.

Dengan gerakan manis, Rangga mendarat di tanah.

Pedangnya dimasukkan ke dalam sarungnya di punggung.

Rangga tidak akan menggunakan senjata jika lawan tidak

pula menggunakannya.

“Bola Rantai Hitam!” teriak Bayangan Hitam tiba-tiba.

Dengan serentak sisa anak buahnya mengeluarkan

sebuah bola besi berwarna hitam yang bergigi runcing di

sekelilingnya dan dihubungkan dengan rantai halus


berwarna hitam pula.

Keenam orang itu segera membentuk lingkaran. Tangan

mereka memutar-mutar rantai panjang dengan bola-bola

bergigi di ujungnya. Suaranya menderu-deru bagai angin

topan.

Rangga pun mengerahkan gabungan dari tiga rangkaian

jurus 'Rajawali Sakti'. Dia masih menganggap belum perlu

merubah jurus, dan hanya menggabung-gabungkan saja

dengan berbagai kombinasi.

"Serang...!" teriak Bayangan Hitam memberi komando.

Seketika bola-bola itu menderu-deru silih berganti,

dilontarkan oleh keenam orang itu. Rangga membiarkan

tubuhnya terbelit rantai-rantai dengan bola bergigi itu.

Dengan satu teriakan melengking, dia melesat ke udara

bagai seekor rajawali. Tiba-tiba tubuh mereka terangkat ikut

meluncur bersama Rangga yang semakin tinggi.

"Lepaskan!" teriak Bayangan Hitam.

Keenam orang itu serentak melepaskan rantai. Sebelum

menjejakkan kakinya di tanah, mereka bersalto di udara.

Rangga yang masih berada di atas, dengan gerakan cepat

mengumpulkan dan melemparkan rantai-rantai itu kepada

pemiliknya.

"Aaaakh...!" seorang dari mereka menjerit keras.

Kepalanya hancur terhantam bola hitam miliknya sendiri.

Lima orang lainnya masih bisa menyelamatkan diri. Bola-

bola besi lainnya menghantam tanah lalu melesak ke

dalam. Rantai-rantai hanya terlihat beberapa jengkal saja.

Sungguh hebat tenaga dalam Rangga.

"Bedebah!" geram Bayangan Hitam.

Rangga turun dengan manis. Kali ini dia tidak ingin lagi

membiarkan lawan mengatur siasat. Dia segera menyerang

Bayangan Hitam dengan gabungan tiga rangkaian jurus

'Rajawali Sakti'.

Tentu Bayangan Hitam jadi kelabakan. Apa-lagi sebelah

tangannya tidak bisa digerakkan. Kelima anak buahnya


ditambah empat anak buah kelompok Bidadari Sungai Ular,

langsung membantunya. Rangga kini dikeroyok sepuluh

orang. Tapi hanya empat orang saja yang menggunakan

senjata.

"Lepas!" sentak Rangga.

Tiba-tiba saja empat pedang terlempar ke udara. Dan

tanpa terduga sama sekali, kaki Rangga melayang ke arah

kepala.

Kraaak!

"Aaaa..r!"

Gerakan Rangga dengan jurus 'Rajawali Menukik

Menyambar Mangsa' begitu cepat sehingga keempat orang

itu tidak bisa melindungi kepalanya. Mereka segera

menggelepar dengan kepala pecah.

Dengan cepat Rangga segera mengganti ketiga jurusnya

sehingga lawan kebingungan. Apalagi kini mereka tanpa

senjata. Bayangan Hitam pun kini hanya bisa bertahan

tanpa mampu memberikan serangan balasan. Dari

mulutnya terus keluar umpatan dan cacian yang tidak

berhenti.

"Bibi...!"

Bayangan Hitam menoleh. Dilihatnya Saka Lintang berlari

cepat dan segera melompat sambil menghunus pedang.

Seketika Saka Lintang terlibat dalam pertempuran pula. Dia

menggeram dengan gigi gemerutuk melihat semua anak

buahnya tewas. Bahkan lima orang anggota Bayangan

Hitam telah jadi mayat.

"Mundur...!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras

menggelegar.

Begitu hebatnya suara bentakan tadi, sehingga

pertempuran sekejap saja berhenti, Siapakah yang

membentak itu?

***


Seberkas sinar merah meluncur deras menyambar

Rangga. Dengan sigap Pendekar Rajawali Sakti itu

melompat menghindari sinar merah yang datang tiba-tiba

itu. Belum sempat menjejakkan kakinya ke tanah, Rangga

telah disibukkan dengan sinar merah yang datang lagi.

Terpaksa dia kini mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali

Membelah Mega'.

Mata Rangga yang tajam cepat mengetahui dari mana

datangnya sinar merah itu. Rangga cepat mengibaskan

tangannya, dengan seketika dia telah menggenggam

pedangnya. Kini pedang itu terarah pada sebuah pohon

besar. Dari pedang pun meluncur sinar biru bergulung-

gulung.

Blar...!

Pohon besar itu hancur berkeping-keping tersambar sinar

biru. Rangga kembali memasukkan pedangnya ke dalam

sarungnya. Tepat saat kakinya menginjak tanah, muncul

seorang kakek tua berjubah merah. Kakek itu mencelat

bersamaan dengan hancurnya pohon itu.

"Paman Nambi...!" seru Saka Lintang.

Seorang tokoh tua sakti bernama Nambi muncul di

tengah-tengah arena pertarungan. Dia dikenal dalam rimba

persilatan dengan nama Setan Jubah Merah. Tokoh ini

beraliran hitam dan dulunya merupakan suami Bayangan

Hitam.

Sampai sekarang pun mereka masih suami istri. Hanya

kemunculan mereka saja yang tidak selalu bersamaan.

Banyak tokoh menduga kalau mereka tengah bentrok.

Hanya saja watak mereka yang terbiasa malang melintang

di rimba persilatan, sehingga mereka tidak hiraukan status

suami istri. Mereka sibuk mendirikan partai sendiri-sendiri.

"Paman..., untung paman cepat datang," Saka Lintang

gembira.

"Hm, apa yang terjadi, Lintang?" tanya Nambi sambil

mengamati mayat-mayat yang bergelimpangan.


"Perkumpulanku dihancurkan, paman," jawab Saka

Lintang. Ada nada kesedihan daiam suaranya.

"Dan kau tidak mampu mengatasinya?"

Saka Lintang hanya tertunduk saja.

"Sudah kuperingatkan, jangan cari perkara dengan pihak

kerajaan. Masih saja membandel!" tegur paman angkat

Saka Lintang.

Maksud Saka Lintang hanya ingin merubah Intan

Kemuning menjadi seorang pendekar wanita. Tetapi tak

diduga sama sekali akibatnya jadi demikian. Seluruh anak

buahnya mati. Dia sadar, ini adalah kesalahannya. Saka

Lintang melirik Intan Kemuning yang masih berdiri di depan

pintu.

Mungkin kalau Pengemis Sakti Tongkat Merah tidak ikut

campur, Saka Lintang pasti mampu mengalahkan Patih

Giling Wesi dan para prajuritnya. Tapi sekarang? Apalagi

Pendekar Rajawali Sakti ikut membantu.

Saka Lintang memandang Rangga. Seketika hatinya

bergetar. Benih-benih cinta kembali muncul. Namun bibit

dendam dan kebencian juga bertumbuhan. Untuk kedua

kalinya dia harus berhadapan dengan pemuda yang telah

merobek-robek hatinya ini. (Untuk lebih jelas, silahkan baca

Pendekar Rajawali Sakti dalam episode: Iblis Lembah

Tengkorakl

"Siapa dia?" tanya Nambi atau Setan Jubah Merah.

"Pendekar Rajawali Sakti," jawab Saka Lintang.

Nambi memandang pada istrinya, Bayangan Hitam.

Matanya agak menyipit melihat ke arah pundak perempuan

tua itu. Pundak itu melesak ke dalam. Patah! Mendadak

hatinya panas.

"Anak muda, hadapi aku!" bentak Setan Jubah Merah.

"Hati-hati, Kakang!" Bayangan Hitam memperingatkan.

Setan Jubah Merah melompat cepat menerjang

Pendekar Rajawali Sakti. Pertempuran sengit tidak dapat

dihindari lagi. Setan Jubah Merah segera mengerahkan


jurus-jurus andalannya. Jurus tangan kosongnya sangat

dahsyat. Setiap pukulannya mengandung hawa racun yang

mematikan. Tapi semua itu tidak berpengaruh terhadap

Rangga. Rangga kebal terhadap segala je-nis racun.

Kini Rangga menghadapi lawan dengan jurus 'Cakar

Rajawali'. Dengan jurus ini, Rangga tidak bermaksud

memandang enteng lawan. Dia hanya mengukur tingkat

kepandaian lawan. Sudah menjadi sifatnya untuk tidak

mengeluarkan jurus-jurus berbahaya sebelum dia

mengetahui tingkat kepandaian lawan.

"Bocah setan! Jangan salahkan aku jika sampai

menurunkan tangan kejam!" geram Nambi sengit melihat

Rangga hanya berkelit tanpa mem-balas serangan.

"Kalau itu keinginanmu, baiklah! Maafkan, Kakek!" sahut

Rangga dengan hormat

Nambi terdongak mendengar kata-kata Rangga. Baru kali

ini didapatkan lawan yang mau menghormat pada dirinya.

Pemuda itu tidak congkak. Bahkan selalu merendah.

"Serang aku!" teriak Nambi.

"Bersiaplah, Kek!"

Rangga menyalurkan seluruh tenaga ke kedua telapak

tangannya. Seketika jari-jari tangannya meregang kaku. Lalu

digerakkan tangannya yang makin lama makin cepat.

Nambi sedikit terperangah. Dengan cepat dia

mengimbanginya. pertarungan pun menjadi sengit.

"Maaf!" seru Rangga.

"Akh!"

Setan Jubah Merah memekik tertahan. Dia terhuyung

satu tombak ke belakang. Jari-jari tangan Rangga berhasil

menusuk pangkal lengan kiri Nambi. Darah mengucur deras

dari pangkal lengan yang bolong dua jari itu.

Nambi mengemerutukkan gerahamnya. Hati kecilnya

berkata kalau dia merasa salut terhadap anak muda itu. Dia

sempat mendengar permintaan maaf Rangga sebelum

melancarkan serangan. Hasilnya sungguh tak terduga



sekali. Lengan Nambi bolong oleh tusukan jari-jari Rangga.

"Kakang...!" jerit Bayangan Hitam cemas melihat darah

mengucur dari lengan suaminya.

Bayangan Hitam langsung melompat menyerang Rangga.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti harus melayani serangan

beruntun Bayangan Hitam. Saka Lintang pun tidak ingin

ketinggalan. Mereka segera mengeroyok Rangga. Pendekar

Rajawali Sakti segera menggabungkan jurus 'Cakar

Rajawali' dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

Sedangkan Saka Lintang mengerahkan jurus 'Pukulan

Geledek'nya.

Setan Jubah Merah yang telah berhasil menghentikan

darah dengan totokannya, segera ikut mengeroyok Rangga.

Kini Rangga berhadapan langsung dengan tiga orang tokoh

yang memiliki kepandaian yang luar biasa.

Posisi Rangga kian terdesak oleh serangan yang

beruntun. Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali

Membelah Mega' lalu disusul dengan jurus 'Rajawali

Menukik Menyambar Mangsa'.

Sasarannya kini ke arah Bayangan Hitam. Begitu cepat

perubahan jurus yang dilakukan Rangga, sehingga

Bayangan Hitam tidak dapat menguasai diri lagi.

"Aaaakh...!" Bayangan Hitam menjerit kesakitan.

Kaki Rangga telak bersarang di kepala Bayangan Hitam.

Dia menggelepar-gelepar dengan kepala hancur, kemudian

diam tak bergerak lagi.

"Bibi...!" Saka Lintang memekik kaget.

Setan Jubah Merah menggeram menahan marah.

"Kubunuh kau, bocah setan!" teriak Nambi.

Secepat kilat Setan Jubah Merah menyerang dengan

jurus-jurus mautnya. Sementara Saka Lintang kembali

menyerang dengan jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.

Kemarahan dan dendamnya sudah sampai ubun-ubun. Dia

tidak lagi memandang perasaan cintanya pada Rangga.

Sementara pertarungan sengit berlangsung, lima orang


anggota Bayangan Hitam yang tersisa menyeret gurunya ke

tempat yang lebih baik Tetapi salah seorang dari mereka,

kebetulan melihat Intan Kemuning yang belum beranjak

dari pintu pondok. Melihat kecantikan Intan Kemuning,

seketika nafsu birahinya bangkit.

"Ah!" Intan Kemuning kaget ketika tiba-tiba seseorang

telah ada di depannya.

Mata orang itu liar merayapi wajah gadis cantik di

depannya. Jakunnya turun naik menahan gejolak birahi

yang bergelora dalam dada.

"Mau apa kau?" Intan Kemuning bergidik,

"Kau yang menjadi gara-gara, sekarang aku minta

bayaran darimu," gertak laki-laki itu.

"Ih!" Intan Kemuning menepis tangan laki-laki yang

terulur hendak menjamah.

"He he he..., ternyata kau punya isi juga," orang itu

menyeringai. Liumya tertahan.

"Ah, jangan!"

***


ENAM


Intan Kemuning makin kaget ketika orang itu telah

menubruk dan memeluknya. Dia meronta-ronta mencoba

melepaskan diri. Tanpa menghiraukan jeritan, laki-laki itu

menyeretnya masuk ke pondok

Rupanya perbuatan salah seorang anggota Bayangan

Hitam menarik perhatian empat orang lainnya. Mereka kini

tidak peduli dengan mayat gurunya. Segera mereka

berlarian ke pondok.

Di dalam pondok, Intan Kemuning terus meronta-ronta

sambil menjerit-jerit. Tangannya memukuli tubuh lelaki

kasar yang telah menindihnya. Intan Kemuning jadi lupa

kalau dia telah belajar dasar-dasar ilmu olah kanuragan.

Rasa panik dan ketakutan yang amat sangat membuat dia

lupa segalanya.

"Auh! Lepaskan...!" jerit Intan Kemuning.

Laki-laki itu makin liar merejam tubuh Intan Kemuning.

Bahkan empat laki-laki anggota Bayangan Hitam lainnya

telah mengelilingi serta menatap wajah dan tubuh yang

indah itu.

Bret!

"Auuuh...!" Intan Kemuning memekik ketika tangan laki-

laki yang menindihnya, merobek bajunya.

Kini bagian dada yang membukit indah terbuka. Lima

pasang mata menatap ke a rah dada yang putih mulus

tanpa berkedip. Intan Kemuning cepat menutupi bagian

dadanya yang terbuka, namun seorang laki-laki lainnya

maju dan menarik tangan Intan Kemuning.

'Tidak...! Lepaskan!" jerit Intan Kemuning putus asa. Bret!

Lagi-lagi baju Intan Kemuning dirobek paksa. Tubuh Intan

Kemuning seketika jadi polos. Hanya bagian bawah saja

yang masih tertutup. Tangan-tangan kasar kini menelusuri

bukit yang indah itu. Keempat orang yang sebelumnya


hanya berdiri saja, tidak bisa menahan diri lagi. Mereka

mendekat dan meraba-raba tubuh yang putih mulus itu.

Intan Kemuning benar-benar putus asa. Air bening mulai

menitik dari sudut matanya. Dari mulutnya keluar rintihan

memohon belas kasihan. Namun kelima orang sudah tidak

peduli lagi. Tangan-tangan mereka makin liar menjelajah ke

seluruh tubuh gadis cantik itu.

'Tidak, jangan...," rintih Intan Kemuning memelas.

Tepat ketika seorang laki-laki akan membuka bagian

bawah pakaiannya, tiba-tiba.... Brak!

Pintu poridok yang tertutup, hancur berantakan.

"Binatang!" Patih Giling Wesi segera menerjang marah.

Lima orang yang tengah dirasuki iblis itu terperangah.

Pedang Patih Giling Wesi berkelebat cepat Seketika saja

dua kepala telah terpisah dari tubuh.

Tiga orang lainnya segera melompat menyebar. Intan

Kemuning cepat-cepat mengenakan pakaiannya kembali

yang sudah tercabik-cabik itu. Air matanya makin deras

mengalir. Dia bersyukur karena kelima laki-laki itu belum

sempat merenggut kehormatannya.

"Binatang! Mampus, kalian semua!" teriak Patih Giling

Wesi kalap.

Pedangnya kian cepat berputar menyerang tiga orang

laiki-laki itu. Mereka hanya bisa berkelit saja. Dengan

terpaksa mereka melayani hanya dengan tangan kosong

karena tidak memiliki senjata lagi.

"Aaaakh!" kematian kembali terdengar.

Salah seorang dari tiga orang yang tersisa, ambruk

dengan dada tergores panjang dan dalam. Darah segera

membasahi lantai. Melihat tiga orang temannya telah

tewas, segera dua orang anggota Bayangan Hitam itu

mendobrak dinding pondok, kabur.

"Ayah...!"

Patih Giling Wesi yang hendak mengejar, berbalik ketika

putrinya memanggil. Intan Kemuning berlari lalu menubruk


ayahnya. Mereka saling berpelukan menumpahkan seluruh

air mata dan rindu.

"Kau tidak apa-apa, Nduk?" tanya Patih Giling Wesi

dengan suara tersendat.

"Tidak, Ayah," jawab Intan Kemuning tanpa melepaskan

pelukannya.

"Oh, syukurlah," desah Patih Giling Wesi.

Kembali mereka terdiam sambil berpelukan.

Ditumpahkan segala kerinduan dan kegembiraan karena

dapat berkumpul lagi. Pelan-pelan Patih Giling Wesi

melepaskan pelukannya. Sejenak ditatap putrinya. Jari-jari

tangannya mengusap air mata yang membasahi pipi Intan

Kemuning.

"Mereka tidak mengganggumu, Nak?" tanya patih itu

masih diliputi perasaan cemas.

Biar bagaimana pun juga, hatinya masih khawatir

terhadap putrinya yang baru saja terbebas dari tawanan

perompak itu.

"Mereka tidak ada yang menggangguku, Ayah," sahut

Intan Kemuning. 'Pemimpin perampok itu sangat baik. Dia

mengangkatku sebagai adiknya."

"Maksudmu, Bidadari Sungai Ular itu?"

"Betul, Ayah. Kakak Lintang selalu melindungiku. Dia baik

sekali padaku."

"Lalu, orang-orang itu?"

"Mereka bukan orang-orang Bidadari Sungai Ular. Mereka

orang-orang Bayangan Hitam,"

Seketika Intan Kemuning tersentak. Dia ingat kalau

pemuda tampan yang telah menggetarkan hatinya tengah

bertempur di luar. Pemuda itu kini menghadapi dua tokoh

sakti.

"Ada apa, Intan?" tanya Patih Giling Wesi.

"Pemuda itu...."

"Pemuda siapa?"

"Oh!" Intan seperti tersadar. Malu.


Seketika kedua pipinya merah merona. Kepalanya

tertunduk. Tanpa disadari dia telah mencemaskan

pendekar muda yang sejak tadi menarik perhatiannya.

Pendekar itu telah merebut sekeping hatinya.

Patih Giling Wesi terdongak begitu mendengar suara

pertempuran di luar. Patih Giling Wesi tersadar. Rasa haru

dan gembira telah membutakan mata dan menulikan

telinganya, sehingga tidak tahu ada pertempuran di luar.

Sekelebat memang dia melihat pertempuran itu, namun

Patih Giling Wesi lebih terpusat pada suara rintihan wanita

di dalam pondok itu.

Dan ketika Intan Kemuning menyebut pemuda itu...,

Patih Giling Wesi seolah baru sadar kalau putrinya telah

menjadi seorang gadis remaja. Ah, apakah Intan Kemuning

jatuh cinta? Apakah dengan pemuda tampan yang kini

sedang bertarung melawan dua tokoh sakti itu? Kalau

benar, siapakah pemuda itu? Berbagai pertanyaan

berkecamuk di benak patih itu.

"Intan...," lembut suara Patih Giling Wesi.

Pelan-pelan Intan Kemuning mengangkat kepalanya.

"Ayo...."

Patih Giling Wesi menggandeng anaknya ke luar pondok

itu. Mereka berhenti melangkah di depan pintu yang sudah

hancur. Mereka menyaksikan pertempuran antara Rangga

melawan Saka Lintang dan Setan Jubah Merah.

Namun Intan Kemuning melangkah terus, dan baru

berhenti setelah berada dua tombak dari pondok. Patih

Giling Wesi mengikutinya. Patih Giling Wesi tersenyum

melihat Intan Kemuning tidak berkedip menatap setiap

gerakan Rangga. Dalam hati dia merasa kagum juga

terhadap pemuda tampan itu.

***

Pertempuran masih terus berlangsung di sungai Ular. Kini


yang dihadapi Pengemis Sakti Tongkat Merah hanya empat

orang saja. Mayat menyebar di mana-mana. Bau anyir darah

menyebar terbawa angin.

"He he he...!" Pengemis Sakti Tongkat Merah terkekeh.

Cukup sekali gebrak saja, keempat orang yang memang

tidak punya nyali lagi, dibuat tidak berkutik. Ujung tongkat

Pengemis Sakti itu merobek-robek dada mereka. Darah

segar menyembur disertai jeritan kesakitan saling susul.

Keempat orang itu kini ambruk kehilangan nyawa. Kakek

Pengemis Sakti kembali terkekeh.

"Kasihan, kalian hanya membuang nyawa sia-sia,"

gumam Aki Lungkur atau Pengemis Sakti Tongkat Merah.

Pelan-pelan kakinya meninggalkan tempat pembantaian

itu. Ironis sekali. Tempat yang indah dan menyejukkan itu,

kini jadi mengerikan. Bau anyir darah telah mengundang

anjing-anjing hutan untuk menyantap mayat-mayat yang

bergelimpangan. Tak luput, burung bangkai pun telah

berkeliling di angkasa minta bagian.

Aki Lungkur mengayunkan langkah menuju bukit Guntur.

Langkah yang kelihatan pelan, tapi kenyataannya, sebentar

saja kakek tua itu telah jauh melangkah. Kakinya seperti

tidak menapak tanah. Itulah ilmu 'Sayiti Angin' yang

dikeluarkannya. Orang yang menguasai ilmu ini dapat

meminjam hembusan angin untuk mendorong tubuhnya.

Layaknya kapas yang dihembus angin.

"Mudah-mudahan Pendekar Rajawali Sakti bisa

mengatasi keadaan," gumam Aki Lungkur pelan.

"He he he...!"

Tiba-tiba terdengar suara terkekeh. Aki Lungkur

menghentikan langkahnya. Suara itu jelas menggunakan

tenaga dalam yang luar biasa.

'Tidak disangka, Pengemis Sakti Tongkat Merah mau

mengotori tangannya hanya untuk membantai cacing-cacing

tanah," terdengar suara mengejek.

"Ah, aku malas main petak umpet," keluh Aki Lungkur



terus melanjutkan langkahnya.

Langkahnya baru tiga tindak, tiba-tiba di depan Aki

Lungkur muncul seorang laki-laki gendut berkepala botak

mengenakan jubah kuning. Untaian tasbih tergenggam di

tangan kanannya.

"Rupanya kau, Pendeta Murtad," dengus Aki Lungkur.

"Aku rasa kau tidak perlu ke bukit Guntur, Aki Lungkur.

Kau akan menambah kotor tanganmu saja," kata Pendeta

Murtad yang nama aslinya Pradya Dagma.

"Aku rasa tanganmu tidak lebih bersih dari-pada

tanganku," tenang sekali Aki Lungkur menyahut.

'Tapi aku tidak pernah usil dengan urusan orang lain."

"Dengan menghadang jalanku, kau sudah mencampuri

urusan orang lain."

'Phih! Aku sengaja menghadangmu untuk mencegah agar

kau tidak ikut campur urusan keponakanku!"

"Keponakan? Ha ha ha...! Apa aku tidak salah dengar?

Kapan kau punya keponakan!"

"O, mengapa kau lari dari Lembah Tengkorak waktu itu?

Kenapa tidak kau bantu keponakanmu? Itukah paman yang

baik?"

Merah padam wajah Pradya Dagma. Kata-kata Aki

Lungkur tenang diucapkannya, tetapi sakit didengamya.

Kata-kata itu baginya adalah penghinaan yang luar biasa.

"Ah, sudahlah! Aku tidak ada urusan denganmu," kata Aki

Lungkur berusaha mengalah.

Aki Lungkur melangkah melanjutkan perjalanan tanpa

peduli. Melihat hal ini, Pradya Dagma makin merasa

terhina. Dengan cepat dia kembali menghadang.

"Sudah kukatakan, aku tidak ada urusan denganmu.

Minggir, aku mau pergi!" dengus Aki Lungkur sedikit jengkel.

"Kalau kau mencampuri urusan Saka Lintang, maka kau

juga berurusan denganku!'' sahut Pradya Dagma.

"Heh! Rupanya kau cari penyakit?"

"Kau yang cari kematian, Aki Lungkur!"



Aki Lungkur mendelik. Dia bersiap-siap ketika melihat

Pendeta Murtad itu telah membuka jurus-jurus ampuhnya.

Tanpa dapat dicegah lagi, dua tokoh sakti berlainan aliran

itu bertempur dengan sengit

Diantara mereka berdua, sebenarnya tidak ada urusan

apa-apa. Aki Lungkur sendiri sebenarnya tidak melayani

meski pun Pendeta Murtad itu selalu cari perkara

dengannya.

Pengemis Tongkat Merah melayaninya dengan setengah-

setengah. Padahal, Pendeta Murtad itu telah melancarkan

serangan-serangan berbahaya. Kelihatannya dia ingin

membunuh Pengemis Sakti ini.

"Pradya Dagma, hentikan semua ketololanmu!" bentak

Aki Lungkur gusar.

"Jangan katakan aku kejam kalau kau kukirim ke neraka,

Lungkur!" sahut Pradya Dagma keras. "Aku tidak peduli kau

melawan atau tidak!"

Gigi Aki Lungkur beradu menahan geram. Pendeta

Murtad ini rupanya benar-benar ingin membunuhnya. Dia

masih mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Terpaksa Aki

Lungkur harus menghadapinya dengan hati- hati. Dia tahu

kalau Pradya Dagma sangat berbahaya, terutama tasbihnya

yang menjadi andalan.

Antara Aki Lungkur dengan Pradya Dagma, sebenarnya

masih saudara seperguruan. Mereka sama-sama murid

Resi Brahespati. Akibat suatu perselisihan, rupanya Pradya

Dagma masih menyimpan api dendam. Dia tidak mau

mengakui keunggulan Aki Lungkur. Padahal setiap kali

mereka bentrok, Aki Lungkur selalu bersikap mengalah. Dia

masih memandang hormat pada Resi Brahespati. Sebab

Pradya Dagma anak tunggal dari gurunya itu. Itulah

sebabnya, mengapa Aki Lungkur selalu menolak setiap

tantangan Pradya Dagma. Dia pun tak ingin mencampuri

urusan Pradya Dagma meskipun tindakan dan perbuatan

Pradya Dagma selalu merugikan orang lain.



"Maaf, aku masih ada urusan yang lebih penting," ujar Aki

Lungkur masih berusaha mengalah. Segera dia melenting

cepat.

"Hey, tunggu!"

Pradya Dagma segera mengejar. Hanya beberapa kali

lompatan saja, dia telah berhasil mengejar disertai satu

pukulan dengan tenaga dalam yang penuh. Aki Lungkur

terkejut. Dia segera membuang diri ke tanah.

Pukulan Pradya Dagma menghantam sebatang pohon

besar. Seketika pohon itu tumbang disertai suara gemuruh.

Aki Lungkur belum bersiap-siap, tiba-tiba datang serangan

berikut. Aki Lungkur kembali bergulingan di tanah. Secepat

itu pula, dia melenting dan berdiri di tanah dengan kokoh.

"Kelakuanmu sudah melampaui batas, Pradya Dagma!"

geram Aki Lungkur.

"Kalau kau laki-laki, jangan hanya bisa menghindar!" ejek

Pradya Dagma.

"Kau memang sudah tidak bisa di beri hati, Seluruh

pikiran dan hatimu sudah tertutup iblis.”

"Kau pun akan, senang tinggal di neraka bersama iblis."

"Demi Resi Brahespati, aku tidak menurunkan tangan

kejam padamu!"

Rupanya Aki Lungkur sudah tidak bisa menahan

kesabarannya lagi. Dibukanya jurus 'Tongkat Sakti'. Pradya

Dagma terkekeh melihat Aki Lungkur mulai terpancing

kemarahannya. Dia pun segera mengerahkan jurus 'Tasbih

Sakti'.

Kedua tokoh itu mempergunakan jurus yang didapat dari

sumber yang sama. Mereka sama-sama telah mengenal

jurus masing-masing. Setelah mereka saling pandang, maka

menyusullah suara teriakan keras. Dua tokoh sakti itu pun

saling menyerang.

***


Kali ini Aki Lungkur tidak main-main lagi. Kemauan

saudara seperguruannya dilayani dengan sungguh-sungguh.

Bahkan serangan-serangan balasannya tidak tanggung-

tanggung mengarah ke bagian-bagian tubuh lawan yang

mematikan.

Lima jurus kini telah mereka lewati. Masing-masing

belum ada yang terdesak. Mereka paham betul dengan

kelemahan dan kelebihan jurus-jurus masing-masing. Jurus-

jurus yang mereka pergunakan juga beraliran sama, hanya

penerapannya yang lain. Jika Pradya Dagma

mempergunakannya untuk maksud-maksud kejahatan,

maka Aki Lungkur mempergunakannya untuk membela

yang lemah dan menumpas kejahatan.

Jurus demi jurus berlalu dengan cepat. Aki Lungkur yang

selalu memperdalam dan menyempumakan ilmunya,

kelihatan lebih unggul ketika memasuki jurus yang

keseratus. Sedikit demi sedikit Pradya Dagma mulai

kewalahan dan terdesak. Beberapa kali ujung tongkat itu

hampir menyentuh tubuh Pradya Dagma, Aki Lungkur selalu

membelokkannya.

Hatinya tetap tidak mengijinkan untuk melukai saudara

seperguruannya ini. Tapi Pradya Dagma sudah tidak peduli.

Dia malah mempergunakan kesempatan itu untuk

mendesak. Timbul sifat mengalah dalam hati Aki Lungkur.

Dibiarkan dirinya terdesak. Bahkan dia kelihatan tidak ada

semangat lagi untuk melanjutkan pertarungan. Hingga pada

suatu saat...

"Akhl" Aki Lungkur memekik tertahan. Kaki Pradya

Dagma berhasil menghantam dadanya. Tubuh pengemis

tua itu terdorong dua tombak. Matanya berkunang-kunang.

Dadanya terasa sesak. Tendangan Pradya Dagma telak,

disertai tenaga dalam yang hebat Kalau bukan Aki Lungkur,

mungkin dada itu telah jebol.

"Kau menghinaku, Lungkur! Kau sengaja mengalah!"

desis Pradya Dagma.



"Aku mengaku kalah," kata Aki Lungkur ter-sendat

"Sudah aku katakan, aku tidak peduli dengan sikapmu!

Ayo lawan aku!" bentak Pradya Dagma.

Tiba-tiba di depan Aki Lungkur seperti berdiri seorang

resi. Seketika pengemis tua itu menjatuhkan diri, dan

berlutut saat dia tahu yang berdiri di depannya adalah Resi

Brahespati.

"Ampunkan muridmu yang hina ini, Resi," ucap Aki

Lungkur dengan kepala tertunduk.

Pradya Dagma yang melihat sikap Aki Lungkur, terheran-

heran. Dia tidak mengerti, mengapa tiba-tiba Aki Lungkur

seperti ketakutan. Bahkan dia tadi menyebut-nyebut resi.

Pradya Dagma memang tidak melihat kedatangan Resi

Brahespati, ayahnya itu yang padahal tengah berdiri di

depannya.

"Bangunlah, tidak layak kau berbuat begitu," lembut

berwibawa suara Resi Brahespati.

"Aku berusaha mengalah, tapi Pradya Dagma...," Aki

Lungkur tidak melanjutkan kata-katanya.

"Dia benar-benar sudah murtad! Aku mengijinkan kalau

kau menjatuhkan tangan padanya. Beri dia pelajaran agar

matanya terbuka."

"Resi..!" Aki Lungkur terkejut menerima petuah itu.

Ketika Aki Lungkur ingin melanjutkan kata-katanya, tiba-

tiba Resi Brahespati telah lenyap dari pandangan. Kini yang

berdiri di depannya hanyalah Pradya Dagma. Masih

terngiang-ngiang kata-kata gurunya tadi. Rasanya memang

masih terasa berat untuk menjatukan tangan kepada

Pradya Dagma. Segera Aki Lungkur memantapkan hati

untuk memberi pelajaran kepada saudara seperguruannya

yang murtad ini.

Belum juga Aki Lungkur bersiap-siap, Pradya Dagma

kembali menyerang dengan jurus-jurusnya. Terpaksa Aki

Lungkur harus jatuh bangun menghindari serangan

beruntun itu. Ketika posisinya menguntungkan, Aki Lungkur


segera membalas tanpa memberi ampun lagi.

Pradya Dagma yang setingkat di bawah Aki Lungkur,

kembali terdesak. Sementara kata-kata Resi Brahespati

terus terngiang- ngiang di telinga Aki Lungkur. Hal inilah

yang membuat pengemis tua itu tidak memberi kesempatan

kepada Pradya Dagma untuk membalas.

Pada suatu kesempatan yang baik, dengan cepat

pukulan Aki Lungkur bersarang di dada Pradya Dagma.

Kemudian disusul dengan tendangan keras. Pendeta

Murtad itu terdorong sejauh tiga tombak. Dari sudut

bibirnya keluar darah segar.

"Demi Resi Brahespati, minta ampunlah kau pada

ayahmu!" kata Aki Lungkur lantang.

"Setan!" dengus Pradya Dagma sambil menyeka darah

yang terus mengalir. "Jangan sebut-sebut ayahku!"

Setelah berkata demikian, Pradya Dagma kembali

menyerang membabi buta. Aki Lungkur tidak segan-segan

lagi melayaninya. Tongkatnya kini berkelebat cepat, dan....

"Aaaakh...!"

Jeritan melengking terdengar. Aki Lungkur mencabut

tongkatnya yang menembus dada pendeta murtad itu.

Tubuh Pradya Dagma pun ambruk dengan darah muncrat

dari dadanya yang bolong. Aki Lungkur cepat-cepat

menghampiri dan merangkul tubuh gemuk itu.

"Dagma...!" suara Aki Lungkur bergetar.

Pradya Dagma tersenyum. Napasnya tersendat-sendat.

Darah makin banyak keluar.

"Aku senang bisa mati di tangan tokoh sakti sepertimu,"

lemah dan tersendat suara Pradya Dagma.

"Dagma..., kau harus hidup. Kita akan bersama-sama

lagi," hibur Aki Lungkur.

'Tidak, Lungkur. Aku puas. Kini keinginanku tercapai

sudah. Terima kasih, kau mau memenuhi keinginanku."

Aki Lungkur tidak mengerti, mengapa Pradya Dagma

menginginkan mati di tangannya



"Aku sudah berjanji pada Komala, hanya kau yang boleh

membunuhku."

"Dagma, kau bicara apa?" Aki Lungkur makin tidak

mengerti. Ingatannya seketika mundur puluhan tahun yang

lalu. Waktu itu mereka masih sama-sama muda dan tinggal

di padepokan Resi Brahespati. Di desa dekat padepokan itu

tinggallah seorang gadis bernama Komala. Dia cantik dan

menjadi kembang desa itu. Ternyata Komala membuka

hatinya pada seorang pemuda bernama Lungkur.

Hubungan mereka telah direstui oleh Resi Brahespati.

Mereka telah merencanakan untuk memasuki jenjang

perkawinan. Tetapi sebelum hari bahagia itu dilangsungkan,

seluruh desa dan padepokan geger. Komala kedapatan

mati dengan leher tertembus pisau. Sejak itu, Lungkur tidak

ada niat lagi mendekati wanita. Hingga tua dia tidak pernah

menikah.

"Aku merasa iri karena Komala menjatuhkan pilihan

kepadamu. Malam itu, sehari sebelum pernikahanmu

dengan Komala, aku menyelinap ke kamarnya. Aku telah

memperkosa dan membunuhnya, Lungkur! Di depan

mayatnya aku berjanji, hanya tanganmu lah yang bisa

membunuhku. Kini keinginanku menebus dosa pada

Komala terlaksana sudah, Lungkur."

Aki Lungkur hanya tertunduk saja. Dia tak tahu harus

bagaimana lagi. Peristiwa itu sudah lama terjadi. Bahkan

sudah hampir dilupakannya. Tapi kini, peristiwa itu

sepertinya baru saja terjadi.

"Semula aku hanya ingin memperkosa saja. Aku ingin

membuatmu kecewa dan sakit hati. Aku tidak sengaja

membunuhnya, Lungkur. Dia mengambil pisau, dan aku

berusaha mencegahnya. Tapi perbuatanku malah

menghilangkan nyawanya. Seharusnya malam itu kubiarkan

saja dia membunuhku," Pradya Dagma meneruskan

ceritanya.

Setitik air bening mulai menggulir di pipi Aki Lungkur.


"Maafkan aku, Lungkur. Hatiku akan tenang jika kau mau

memaafkan aku," kata Pradya Dagma lagi.

"Sejak lama aku selalu memaafkanmu," sahut Aki

Lungkur. Dia tidak tahu lagi harus berkata apa.

'Terima kasih."

Pradya Dagma menutup mata dengan tenang setelah

mengucapkan kata maaf dan terima kasih. Bibirnya

menyungging senyum. Keinginannya telah terkabul.

Menerima kenyataan itu, Aki Lungkur benar-benar sedih.

Dia baru sadar kalau perbuatan Pradya Dagma hanyalah

untuk memancing kemarahan agar dapat membunuhnya.

Kalau saja hal itu diketahuinya sejak dulu, mungkin Aki

Lungkur akan segera membunuhnya agar kesengsaraan

hidup Pradya Dagma tidak berlarut-larut.

Tidak ada yang tahu kalau seluruh perbuatan Pradya

Dagma hanyalah pancingan agar Aki Lungkur dapat

membunuhnya. Ternyata di balik hatinya yang keji, masih

tersimpan sedikit jiwa ksatria. Teguh pada janji dan

pendinannya Hanya sayangnya, sikap Pradya Dagma berada

di jalan yang salah.

***


TUJUH


Pertarungan antara Rangga melawan Saka Lintang dan

Setan Jubah Merah kian berlangsung sengit di bukit Guntur.

Rangga masih tetap menggunakan empat jurus gabungan

dari jurus 'Rajawali Sakti'. Kadang dia menggabungkan dua

atau tiga jurus. Bahkan kalau mungkin menggabungkan

keempatnya sekaligus.

Dalam gerakan-gerakan membingungkan itu, Rangga

selalu mengganti-ganti jurus. Dengan demikian lawannya

benar-benar kerepotan. Mereka bingung menghadapi

gerakan-gerakan yang sulit diduga arah dan tujuannya.

"Yeaaah...!"

Tiba-tiba Rangga berteriak nyaring. Seketika itu pula,

tangannya mengembang dengan cepat Tubuhnya kini

melayang. Kedua tangannya bergerak-gerak cepat

mengibas mencari sasaran.

"Awas, Lintang!" teriak Setan Jubah Merah tiba-tiba.

"Hait!"

Saka Lintang melentingkan tubuhnya ke belakang sejauh

dua tombak. Kibasan Rangga berhasil dielakkan, namun

bajunya harus direlakan terjambret.

"Kurang ajar" geram Saka Lintang. Mukanya merah

menahan malu.

Baju di bagian dada yang memang sudah sobek, kian

lebar saja terbuka. Bagian dada yang membukit terbungkus

kulit putih mulus itu tidak lepas dari tatapan mata Patih

Giling Wesi. Mata Rangga pun sempat menatap ke bagian

indah itu. Seketika darahnya seperti berhenti mengalir.

Tetapi dengan cepat dipusatkan kembali perhatiannya pada

Setan Jubah Merah.

Saka Lintang sedapat mungkin menutupi bagian

tubuhnya yang terbuka itu. Wajahnya sebentar pucat

sebentar merah bagai kepiting rebus. Lalu dengan cepat dia


kembali menerjang sambil menghunus pedangnya. Kali ini

Saka Lintang menggabungkan antara jurus-jurus ilmu

pedangnya. Kali ini Saka Lintang menggabungkan antara

jurus-jurus ilmu pedang dengan jurus 'Ular Berbisa

Menyebar Racun'.

Menyadari Saka Lintang telah menebar racun, Setan

Jubah Merah menahan napas. Tetapi Rangga malah

kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan bibimya menyungging

senyum. Dia tahu kalau hawa racun telah menyebar di

sekelilingnya. Tetapi racun jenis apa pun tak ada

pengaruhnya bagi Rangga.

"Kena!" teriak Saka Lintang keras.

Pukulan tangan kiri Saka Lintang tepat menghantam

dada Rangga. Gadis itu tidak tahu kalau sebenamya Rangga

sengaja membiarkan tangan beracun itu masuk ke dalam

bagian dada yang lowong.

Wajah Saka Lintang seketika berubah setelah menyadari

tangannya tidak dapat ditarik lagi dari tubuh Rangga.

Sekuat tenaga gadis itu menarik tangannya. Namun

semakin ditarik, semakin kuat telapak tangannya

menempel. Saka Lintang jadi geram. Ditebaskan pedang

yang ada di tangan kanannya ke leher Rangga, namun....

Trak!

Rangga hanya menyentil pedang itu dengan jurus 'Cakar

Rajawali'. Seketika dari ujung pedang sampai pangkal

lengan Saka Lintang bergetar. Belum sempat gadis itu

menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba tangan Rangga

bergerak menyambar gagang pedang dalam genggaman

Saka Lintang.

"Ah...!" pekik Saka Lintang tertahan. Saka Lintang

semakin panik. Dengan mengerahkan seluruh tenaga

dalam dan penyaluran racun ke telapak tangannya, gadis

itu menggedor dada Rangga sekali lagi dengan tangan

kanannya. Di luar dugaan, kedua telapak tangan Saka

Lintang kini menempel erat di dada Rangga.


"Setan!" dengus Saka Lintang geram.

Kalau Rangga mau, sebenamya dia bisa saja

menebaskan pedang yang terebut tadi. Tetapi hal itu tidak

dilakukannya. Dia malah membuang pedang itu jauh-jauh.

Matanya menatap Setan Jubah Merah yang kebingungan.

Rangga menggunakan gadis itu menjadi tameng, sehingga

Setan Jubah Merah tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak

bisa leluasa melancarkan pukulan mautnya.

"Pengecut! Lepaskan gadis itu!" bentak Setan Jubah

Merah.

"Oh, tentu! Ini, terimalah!"

Tiba-tiba saja tubuh Saka Lintang terpental keras. Setan

Jubah Merah terkejut. Dengan cepat dia melompat dan

menangkap tubuh gadis itu yang melayang deras. Jika saja

gerakan Setan Jubah Merah tidak cepat, tubuh Saka

Lintang dipastikan hancur menubruk batu besar.

"Akh!" tiba-tiba Setan Jubah Merah memekik keras.

Cepat-cepat dilepaskan tangannya. Dia kaget setengah

mati karena tubuh Saka Lintang masih menyebarkan hawa

racun. Saka Lintang pun tak urung kaget pula. Cepat-cepat

dihilangkan hawa racun dari tubuhnya. Dihampirinya Setan

Jubah Merah yang tengah meringis memegangi tangannya

sendiri.

"Paman..., kau tidak apa-apa?" tanya Saka Lintang

cemas.

"Uh! Racunmu," kata Setan Jubah Merah sambil meringis.

Saka Lintang merogoh saku jubahnya, dan mengeluarkan

sebuah pil berwarna merah darah. Diberikannya pil itu

kepada Setan Jubah Merah. Tanpa banyak tanya lagi, laki-

laki tua itu menelan pil yang diberikan Saka Lintang.

Seketika tubuhnya seperti terbakar.

"Semadilah, Paman," ujar Saka Lintang. Setan Jubah

Merah pun bersila. Kedua matanya dipejamkan. Perlahan-

lahan dari ujung kepalanya mengepul asap tipis. Seluruh

tubuh Setan Jubah Merah bergetar. Keringat membasahi


seluruh tubuhnya.

"Hoek!"

Cairan kental berwarna kehitaman dimuntahkan oleh

Setan Jubah Merah. Sedikit demi sedikit, seluruh tubuh laki-

laki tua itu mulai tenang. Setan Jubah Merah membuka

matanya ketika getaran pada tubuhnya berhenti sama

sekali, dibarengi oleh hilangnya asap tipis yang mengepul di

kepala laki-laki tua itu.

Kini Pendekar Rajawali Sakti tengah duduk tenang di

atas batu besar. Dia memperhatikan saja kedua lawannya

yang tengah sibuk itu. Mulutnya malah bersiul-siul dengan

irama tak menentu. Sesekali matanya melirik Intan

Kemuning yang berdiri di samping ayahnya. Setiap kali

Rangga melirik ke arahnya, Intan Kemuning merasakan

jantungnya berdetak keras.

Tanpa sadar Intan Kemuning melontarkan senyuman

manis pada pendekar muda itu. Tak diduga, Rangga

membalasnya dengan senyum manis pula. Kalau saja saat

ini tidak ada ayahnya, ingin sekali Intan Kemuning

menghambur dan memeluk pemuda itu. Tapi semua

perasaan dan keinginan itu ditekan dalam-dalam sampai ke

dasar hatinya.

Sementara, dua tokoh tingkat tinggi, Saka Lintang dan

Setan Jubah Merah, telah kembali bersiap-siap menghadapi

lawannya yang tengah duduk tenang itu. Rangga seperti

tidak peduli dengan lawan yang sudah bersiap-siap

menyerang kembali.

"Hiya!"

"Yeah!"

Dua teriakan keras saling susul, kemudian disambung

dengan melentingnya dua tubuh ke arah Rangga. Pendekar

Rajawali Sakti seperti tidak tahu sama sekali kalau dua

tokoh itu meluruk ke arahnya. Rangga masih tenang.

Sikap Rangga yang masa bodoh itu membuat Intan

Kemuning cemas. Dia gelisah karena dua tokoh sakti begitu


cepat menyerang.

"Pendekar Rajawali Sakti, awas!" Intan Kemuning tidak

dapat lagi mengendalikan diri.

Peringatan gadis itu tepat bersamaan dengan dua tubuh

yang meluruk menerjang Rangga. Serangan yang dibarengi

pengerahan tenaga dalam, begitu cepat datangnya.

Akibatnya memang dahsyat. Batu tempat Rangga duduk,

jadi berkeping keping disertai ledakan keras terkena

pukulan itu.

"Akh!" Intan Kemuning memekik tertahan.

Jelas kalau Rangga tadi tidak sedikit pun menghindar.

Dia seperti membiarkan saja pukulan itu menghantam

tubuhnya. Batu yang sebesar kerbau itu saja hancur,

bagaimana dengan Rangga? Debu masih mengepal tebal.

Intan Kemuning benar-benar tidak dapat menyembunyikan

kecemasannya. Dia tidak melihat pendekar itu. Apakah dia

hancur bersama batu itu? Batin Intan Kemuning bertanya-

tanya penuh kecemasan.

***

Berangsur-angsur asap tebal yang mengepul sirna disapu

angin. Ketika debu itu hilang sama sekali, tampak Rangga

masih duduk di atas tumpukan batu-batu yang hancur.

Sikap duduknya tidak berubah sedikit pun. Kedua tokoh

sakti Itu terperanjat melihat hasil gempurannya tidak

berpengaruh apa-apa terhadap lawannya.

"Oh...," Intan Kemuning mendesah lega melihat pendekar

tampan itu masih hidup.

Sikap gadis itu tidak lepas dari pengamatan Patih Giling

Wesi. Dia hanya tersenyum-senyum saja. Rupanya dia

mengerti apa yang telah melanda putrinya ini.

Patih Giling Wesi kembali perhatiannya tercurah pada

ketiga tokoh yang kini telah bertarung kembali. Tanpa

disadari, sepasang mata tengah mengawasi pertarungan itu

dari balik pohon.


Jelas pemilik sepasang mata itu bukan orang

sembarangan. Kehadirannya saja tidak diketahui sama

sekali. Sementara itu Rangga sudah kembali melayani dua

lawannya yang kian bernafsu untuk mengakhiri pertarungan

alot dan panjang ini. Kini Saka Lintang hanya sesekali saja

melontarkan pukulan beracunnya. Dia harus mempertim-

bangkan kehadiran Setan Jubah Merah. Dia tidak ingin lagi

berbuat konyol yang hampir merenggut nyawa paman

angkatnya.

"Maaf, Kakek!" seru Rangga tiba-tiba.

Seketika Rangga merubah jurusnya. Dengan jurus

'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tangan Rangga berhasil

menghantam telak dada Setan Jubah Merah.

"Aaaa...!" Setan Jubah Merah meraung keras. Tubuhnya

terlontar ke belakang sejauh tiga tombak.

"Paman...!" pekik Saka Lintang.

Setan Jubah Merah meregang nyawa sebentar, lalu diam

tak bergerak sama sekali. Seluruh dadanya seperti hangus

terbakar. Dia terkena 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang

tak terduga dilepaskan Rangga.

"Kejam! Setan! Kubunuh kau!" pekik Saka Lintang marah.

Gadis itu segera menyerang Rangga dengan

mengeluarkan jurus andalan terakhirnya. Jurus 'Ular Berbisa

Menyebar Racun' yang dipadu dengan jurus 'Tarian

Bidadari'. Dalam sekejap sekitar tempat pertarungan telah

terselimuti oleh hawa racun yang mematikan.

Rangga kembali merubah jurusnya. Kali ini digunakannya

jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sekejap saja

tubuhnya telah melambung di udara. Kedua tangannya

merentang mengepak bagai sayap rajawali.

Secepat kilat, dirubahnya jurus itu menjadi 'Rajawali

Menukik Menyambar Mangsa'. Tubuhnya meluruk turun

deras. Kakinya bergerak mengarah kepala lawan. Begitu

cepatnya jurus itu sehingga Saka Lintang tidak punya

kesempatan lagi untuk mengelak.


"Aaaa...!" Saka Lintang memekik keras. Gadis itu ambruk

dengan kepala hancur berantakan. Darah seketika

membasahi tanah. Rangga kembali mendarat Matanya

memperhatikan tubuh Saka Lintang yang meregang nyawa,

lalu diam tak bergerak lagi. Sungguh tragis kematian gadis

ini. Dia mati di tangan laki-laki yang dicintainya. Mati

bersama rasa cinta, benci dan dendam.

"He he he…." tiba-tiba terdengar suara terkekeh.

Rangga menoleh ke arah suara itu. Dari balik pohon

muncul seorang kakek tua berpakaian compang-camping.

Di tangannya tergenggam tongkat berwarna merah. Siapa

lagi kalau bukan Pengemis Sakti Tongkat Merah.

"Menakjubkan, hebat..., hebat...," Aki Lungkur atau

Pengemis Sakti Tongkat Merah menggeleng-gelengkan

kepalanya.

"Ah, kalau tidak salah, kakek yang berada di kedai

minum tempo hari," kata Rangga dengan tutur kata yang

halus.

"Penglihatanmu tajam, anak muda. Aku pengemis tua

yang hina," sahut Aki Lungkur. Rangga mendekat Aki

Lungkur terkekeh. "Bagaimana kalau kita makan bersama

lagi di bawah pohon sambil menikmati udara segar," kata

Rangga teringat ketika dia memberikan sebungkus bekal

makanan, lalu mereka makan bersama di pinggir tegalan.

"Ah..., tawaran yang menggairahkan. Mari!!" Ketika

mereka akan melangkah, tiba-tiba terdengar suara Patih

Giling Wesi mencegah.

"Tunggu!"

Mereka menoleh dan berbalik bersamaan.

"Uts! Hampir lupa kalau di sini masih ada orang lain,"

kata Aki Lungkur.

Patih Giling Wesi mendekat diikuti Intan Kemuning. Gadis

itu selalu menundukkan kepala terus, tetapi matanya

melirik pada Rangga. Hatinya makin berdebar-debar kalau

kebetulan matanya beradu pandang. Kalau sudah


demikian, cepat-cepat matanya dialihkan mencari

pandangan lain.

"Kisanak, kalau boleh tahu, siapa namamu dan dari

mana kau berasal?" tanya Patih Giling Wesi.

"Hamba hanya seorang pengembara hina Gusti Patih.

Nama hamba Rangga," jawab Rangga merendah.

"Rangga...," Patih Giling Wesi menggumamkan nama itu

beberapa kali.

Rangga memperhatikan dengan pandangan bertanya-

tanya.

"Namamu mirip dengan seorang putra Adipati yang hilang

dua puluh tahun lalu," Patih Giling Wesi setengah

bergumam.

Rangga terkejut juga mendengarnya. Cepat-cepat diturupi

rasa kaget itu dengan senyum. Memang benar gumaman

patih ini. Rangga jadi bertanya-tanya, apakah Patih Giling

Wesi kenal dengan ayahnya?

"Nama bisa saja sama, Gusti Patih," kata Rangga buru-

buru.

Dia tidak ingin masa lalunya terungkap lagi. Biarlah

kenangan pahit itu dia sendiri yang tahu.

"Nama memang bisa saja sama. Tapi...," Patih Giling Wesi

mengamati wajah Rangga dengan teliti sekali.

Patih Giling Wesi tengah berusaha mengingat-ingat.

Sepertinya dia pernah mengenal wajah itu. Tapi di mana?

Kapan pernah bertemu? Ingatannya terus berputar. Tiba-

tiba dia tersentak Benar! Tidak salah lagi. Wajahnya sangat

mirip dengan Adipati Karang Setra. Dua puluh tahun yang

lalu terjadi musibah pada rombongan Sang Adipati yang

hendak menuju ke kota Kerajaan Ayahandanya. (Baca

serial: Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis Lembah

Tengkorak).

Tetapi Patih Giling Wesi sedikit ragu-ragu juga.

Masalahnya, anak laki-laki Adipati hilang tanpa bekas.

Sedangkan kejadiannya tidak jauh dari jurang Lembah


Bangkai. Semua orang menduga kalau anak itu pasti masuk

ke jurang Lembah Bangkai. Karena sudah pasti, siapa saja

yang masuk ke dalam jurang itu tak akan pernah selamat.

Patih Giling Wesi seperti berperang dengan batinnya

sendiri. Antara percaya dan tidak. Antara mengakui dan

membantah. Dia berusaha memecahkan teka-teki ini.

Siapakan anak muda perkasa yang ada di depannya ini?

***


DELAPAN


Beberapa saat suasana di bukit Guntur hening. Tidak ada

yang mengeluarkan suara, Semua seperti menunggu

pembicaraan Patih Giling Wesi. Patih itu sendiri sampai saat

ini masih berusaha memecahkan teka-teki itu. Dia belum

dapat memastikan perihal anak muda ini. Ah! Siapa pun

dia, yang jelas jasanya sangat besar. Kalau tidak ada

pendekar muda ini, entah bagaimana nasib putrinya. Batin

Patih Giling Wesi bicara sendiri.

"Aku sangat berhutang budi padamu, Kisanak. Jika tidak

mengganggu perjalananmu , sudi kau mampir sebentar di

Kepatihan," Patih Giling Wesi mengundang.

Rangga menoleh pada Aki Lungkur yang berdiri di

sampingnya. Pengemis tua itu mengangguk-angguk

kepalanya. Tentu dia setuju karena antara dia dan patih itu

telah terjalin suatu persahabatan.

Rangga belum menjawab. Matanya beralih memandang

Intan Kemuning. Seketika dua pasang mata saling

berpandangan. Intan Kemuning jadi gelagapan. Cepat

dialihkan pandangannya ke tempat lain. Tapi bibirnya

sempat memberikan senyum manis.

"Baiklah," sahut Rangga mendesah.

"Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang!" ajak Patih

Giling Wesi.

Keempat orang itu segera meninggalkan tempat itu.

Mereka menuruni bukit Guntur, meninggalkan mayat-mayat

yang bergelimpangan dan siap jadi santapan anjing-anjing

hutan.

Di kaki bukit, telah menunggu delapan orang prajurit

Kepatihan. Mereka segera menghampiri patih itu. Masing-

masing menunggang kuda dan menuntun seekor kuda pula.

Rapaksa segera melompat dari kudanya, diikuti oleh

tujuh orang prajurit-prajurit lain. Patih Giling Wesi


mengamati sisa prajurit-prajuritnya. Sungguh besar jasa

mereka. Nyawa mereka korbankan hanya untuk

menyelamatkan seorang putri patih.

"Ampun, Gusti Patih. Hamba datang terlambat Hamba

mencari kuda-kuda dulu. Dan kini hamba hanya dapat lima

belas ekor," kata Rapaksa melapor.

"Hh, sudahlah. Mari kita kembali ke Kepatihan," sahut

Patih Giling Wesi mendesah berat.

Perjalanan kini dilanjutkan dengan menunggang kuda.

Semula Patih Giling Wesi khawatir juga terhadap Intan

Kemuning. Setahunya Intan Kemuning tidah pernah belajar

naik kuda. Patih itu tidak tahu kalau selama jadi tawanan

perampok, Intan Kemuning telah diajari naik kuda oleh

Saka Lintang. Akhirnya pikiran patih itu tenang setelah

melihat putrinya sangat lihai menunggang kuda.

Rombongan kecU berkuda itu terus meninggalkan bukit

Guntur yang terlihat hijau. Mereka melewati jalur pintas,

tidak menyusuri tepian sungai Ular. Hutan dirambah,

padang diarungi, dan kini mereka telah dekat dengan

sebuah desa yang dekat dengan bukit Guntur.

Rombongan itu terus melewati desa itu. Patih Giling Wesi

selalu berada di samping Intan Kemuning. Hatinya masih

bertanya-tanya tentang kelihaian putrinya menunggang

kuda.

***

Matahari telah condong ke Barat ketika rombongan itu

sampai di pintu Gerbang Kepatihan. Penjaga pintu segera

membuka pintu ketika melihat Patih Giling Wesi yang

datang bersama putrinya. Mereka pun segera masuk ke

dalam benteng Kepatihan, dan berhenti tepat di depan

pendopo.

Setelah melompat turun dari kudanya, Patih Giling Wesi

membantu Intan Kemuning yang sedikit kesulitan turun dari



kudanya. Rangga memandangi bangunan indah dan megah

di depannya. Seketika dia teringat sewaktu masih tinggal di

Kadipaten. Kediamannya juga tak kalah indahnya dengan

bangunan itu.

"Mari silahkan masuk. Anda berdua adalah tamu

kehormatanku," kata Patih Giling Wesi.

Sementara Intan Kemuning telah berlari masuk ke dalam

keputrenan. Rasa rindu yang menggebu ingin segera

bertemu ibundanya, membuat dia lupa sejenak terhadap

Rangga. Patih Giling Wesi membawa dua tamunya masuk

ke bangsal utama Pendopo itu. Mereka kemudian duduk

melingkar menghadapi meja. Beberapa orang pelayan

datang menyediakan suguhan.

"Silahkan," Patih Giling Wesi menyilahkan tamunya untuk

minum.

'Terima kasih," ucap Rangga sambil mengangkat gelas

yang sudah terisi arak manis.

Rangga minum sedikit dengan sikap Sopan. Beda

dengan Aki Lungkur. Dia menenggak habis arak wangi

mahal itu. Di mana lagi dia dapat minum arak selezat ini

kalau tidak mendapat undangan dari Patih Giling Wesi?

Patih Giling Wesi selalu memperhatikan sikap dan tutur

kata Rangga. Dari situ dia merasa sedang berhadapan

dengan seorang pemuda bangsawan. Sikap Rangga

memang tidak seperti pendekar-pendekar lainnya. Biasanya

tokoh-tokoh rimba persilatan selalu tidak peduli dengan tata

krama.

"Aku senang sekali jika kalian sudi menginap di sini

barang satu atau dua malam," kata Patih Giling Wesi lagi.

"Oh, tentu. Tentu saja aku tidak keberatan!" Aki Lungkur

cepat menerima sebelum Rangga membuka suara.

Sebenarnya Rangga ingin menolak. Tetapi karena Aki

Lungkur sudah menerima, dia hanya bisa angkat bahu saja.

Memang tidak ada salahnya menginap barang sehari

setelah sepanjang hari menguras tenaga menyabung


nyawa.

Patih Giling Wesi menepuk tangannya dua kali. Dua

orang punggawa datang mendekat. Mereka memberi

hormat.

"Antarkan tamu-tamuku ke tempat istirahatnya," perintah

Patih Giling Wesi.

Kedua punggawa itu kembali memberi hormat.

"Silahkan," Patih Giling Wesi menyilahkan tamunya

mengikuti para punggawa yang mengantarkan ke

peristirahatan.

Aku Lungkur bangkit dan melangkah pergi ke tempat

istirahatnya. Rangga masih duduk di kursinya. Setelah

mendapat anggukan dari Patih Giling Wesi, dia pun bangkit

melangkah mengikuti punggawa.

Rangga memandangi setiap ruangan yang dilewatinya. Di

sebuah kamar yang indah dan luas, punggawa itu berhenti.

Dia menyilahkan Rangga masuk, dan segera pergi setelah

tugasnya selesai.

Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Indah

sekali ruangan ini.

Saat matanya menatap ke arah taman, dilihatnya Intan

Kemuning tengah duduk di bangku taman sendirian.

Diamatinya sebentar, dan memang kelihatannya Intan

Kemuning juga tengah memandang ke arahnya. Entah

melihat atau tidak, yang jelas pandangan itu tertuju pada

Rangga.

Rangga menoleh ketika pintu kamarnya diketuk dari luar.

Bergegas dia membukanya. Aki Lungkur segera menerobos

masuk dan menutup kembali. Rangga mengernyitkan

keningnya melihat pengemis tua itu seperti terburu-buru.

"Ada apa, Ki?" tanya Rangga.

"Gawat!" sahut Aki Lungkur.

"Apanya yang gawat?" tanya Rangga tidak mengerti.

"Patih Giling Wesi curiga padamu."

Rangga masih belum mengerti. Dia hanya menatap laki


laki tua itu tak berkedip.

"Patih Giling Wesi memerintahkan beberapa punggawa

untuk menyelidiki asal-usulmu. Dia menduga kau anak

Adipati yang hilang dua puluh tahun yang lalu."

"Dia menduga begitu?" Rangga terkejut.

"Benar! Aku mendengar sendiri. Makanya aku segera ke

sini menemuimu."

"Mengapa Aki memberitahuku?"

"Karena kau baik. Kau seorang pendekar yang banyak

dibutuhkan oleh kaum lemah. Aku tidak peduli siapa dirimu.

Yang penting aku sudah menganggapmu sahabat."

Rangga berusaha bersikap tenang, meskipun dadanya

bergemuruh. Rangga tidak ingin menjadi seorang pendekar

tanpa masa lalu. Masa lalu yang tidak perlu diketahui orang

lain.

'Terima kasih, Aki," ucap Rangga.

"Hati-hatilah. Aku membaca gelagat lain di balik niat

luhur Patih Giling Wesi."

"Jangan berprasangka buruk. Bukankah kalian

bersahabat?"

"Aku tidak berprasangka buruk. Niatnya yang

tersembunyi memang baik. Tapi aku yakin kau tidak akan

menerimanya."

Rangga hanya tersenyum saja. Dia meminta Aki Lungkur

untuk pergi beristirahat. Laki-laki pengemis tua itu kembali

ke luar setelah berpesan macam-macam. Rangga hanya

mengangguk dan mengiyakan saja. Dia tidak mau bertele-

tele melayani segala macam prasangka. Memang hatinya

telah menduga, hal apa yang akan dikatakan Aki Lungkur

tadi.

Sepeninggal Aku Lungkur, Rangga kembali memandang

ke arah taman. Intan Kemuning masih duduk di sana

memandang ke arahnya. Gadis itu memang cantik. Tak ada

orang di seluruh Kepatihan yang tidak tertarik pada gadis

ini.


Rangga sendiri sebenamya juga tertarik.

Rangga melangkahkan kakinya ke luar kamar. Matanya

tajam mengawasi setiap tempat yang dilalui. Setiap sudut,

dua orang prajurit pasti ada di situ. Ketat sekali penjagaan

di Kepatihan ini.

***

Intan Kemuning memandang Rangga yang melangkah

menghampirinya. Dia tidak beranjak dari duduknya.

Sikapnya tetap anggun meskipun selama beberapa hari

ditempa dengan latihan-latihan keras oleh Saka Lintang.

Jiwa kebangsawanannya tetap tidak luntur.

"Boleh aku duduk di sini?" tanya Rangga.

"Oh! Boleh, boleh," sahut Intan Kemuning tergagap.

"Indah sekali taman ini," desah Rangga setelah duduk di

samping gadis itu.

"Ya," sahut Intan Kemuning.

'Tapi ada yang lebih indah lagi untuk dipandang."

"Apa?"

"Wajahmu."

Seketika wajah Intan Kemuning menyemburat merah

dadu. Jantungnya jadi berdetak tidak beraturan. Pujian

Rangga mengena di hatinya. Rasa-nya dia ingin seribu kali

mendengamya.

"Sepantasnya kau mendapatkan seorang pangeran yang

gagah dan tampan," kata Rangga.

"Adakah pangeran yang cocok untukku?" tanya Intan

Kemuning ingin menegaskan.

"Satu saat nanti, pasti ada seorang pangeran tampan

dan gagah menghampirimu."

"Kapan?"

"Satu saat nanti."

"Siapa pangeran itu?"

Rangga tidak menjawab. Dia tersenyum saja.


Beberapa saat mereka terdiam saling tatap. Pelan-pelan

Intan Kemuning menundukkan kepalanya.

"Semoga aku yang menjadi pangeran itu, Intan," bisik

Rangga dekat sekali dengan wajah Intan Kemuning.

"Oh.„," Intan Kemuning tidak mampu berkata-kata lagi.

Hatinya berbunga-bunga. Kedua lengannya berkembang

masuk ke dalam pelukan Rangga. Dan mereka

memperketat rangkulan-nya....



                               SELESAI

 


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive