PENDEKAR BLO'ON
Karya : D. Affandy
EPISODE I PEMIKAT IBLIS
EPISODE II IBLIS BETINA DARI NERAKA
EPISODE III MEMBURU MANUSIA SETAN
Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya
kebetulan belaka.
MEMBURU MANUSIA SETAN
Oleh : D. AFFANDY
Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama : 1994
Sampul : Ken Bangun
Setting Oleh : M. Yohandi
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
SATU
Di dalam ruangan bawah tanah itu
pemuda bertampang tolol berambut hitam
kemerah-merahan sedang bingung. Ia sudah
mencoba segala cara untuk keluar dari
perangkap yang dibuat oleh Mustika Jajar
alias Betina Dari Neraka. Untuk lebih
jelasnya (dalam episode Betina Dari
Neraka). Namun semua cara yang telah
ditempuhnya tidak menghasilkan sesuatu
yang berarti.
Pemuda berpakaian biru muda dengan
ikat kepala warna biru belang-belang
kuning itu akhirnya hanya duduk ter-
menung. Tidak jauh dari pemuda tampan itu
duduk seorang laki-laki berambut putih
berjenggot dan berkumis putih. Tubuhnya
pendek tidak sampai setengah meter.
Dialah Wiro Suryo alias Tenggiling Kedil.
"Kau harus ikut mencari jalan
bagaimana caranya agar kita bisa keluar
dari kubangan lintah ini, Tenggiling
Kedil!?" dengus pemuda berbaju biru muda
yang tidak lain adalah Suro Blondo atau
lebih dikenal dengan julukan Pendekar
Blo'on sambil garuk-garuk kepala.
"Aku... ha ha ha...! Apakah tidak
keliru. Percuma kau dijuluki si anak
ajaib. Ingatkah kau ketika menjelang
kelahiranmu banyak tokoh-tokoh sakti di
rimba persilatan datang berduyun-duyun ke
Gunung Bromo untuk mendapatkanmu. Lalu
mana keajaiban itu?" sindir Wiro Suryo
sinis.
"Kau memang seorang kawan tidak
punya guna, kawan yang membosankan yang
telah membawaku terjerumus ke dalam
perangkap gila ini!" maki Pendekar Blo'on
berang.
"Hei... tidak perlu menyesali
nasib. Semua yang terjadi sudah ada dalam
surat hidupmu, juga hidupku."
"Suratan nasibmu dan nasibku mana
bisa disamakan. Aku tetap aku, sedangkan
kau sampai tua tetap seperti bayi, bayi
bangkotan berkumis dan berjenggot putih.
Huh betapa memalukan!"
"Tidak perlu menghina. Lihatlah,
lintah-lintah celaka ini terus menghisap
darah kita. Kalau terus bertengkar, kapan
kita dapat menemukan jalan keluar dari
sini?!" kata Wiro Suryo.
Pendekar Blo'on terdiam. Rasanya
memang tidak ada gunanya bertengkar saat
itu. Mereka telah terjebak di ruangan
bawah tanah tersebut selama tiga hari,
berarti hukuman yang akan dijatuhkan oleh
Mustika Jajar si gadis sesat tersebut
sekitar empat hari lagi. Otaknya yang
cerdik segera memikirkan jalan keluar
yang memungkinkan bagi mereka. Lalu saat
ia memperhatikan dinding-dinding kamar di
sekelilingnya. Maka terlihatlah olehnya
sebuah saluran air. Suro mendekatinya,
kemudian segera melakukan pemeriksaan.
Tuk! Tuk! Tuk!
Diketuknya dinding di samping
saluran air tersebut. Ternyata saluran
air yang cukup jernih dan telah
dipergunakan untuk menghilangkan dahaga
selama beberapa hari ini berongga. Pemuda
tampan bertampang ketolol-tololan itu pun
tersenyum.
"Kakek Suryo! Kemarilah sebentar!"
panggil Suro Blondo dengan wajah berseri-
seri.
"Ada apa lagi? Kau telah menemukan
lubang kubur untuk kita berdua?" ejek
Tenggiling Kedil.
"Tentu saja. Mudah-mudahan jalan
ini untuk keselamatan kita!"
"Kurasa saluran air ini menuju ke
neraka!" sahut Wiro Suryo.
Tidak lama kemudian ia mulai
mengetuk-ngetuk dinding di sebelah
saluran. Ternyata di balik dinding batu
itu memang berongga.
"Aku harus melepaskan pukulan untuk
membuktikan apakah di balik dinding ini
ada jalan keluar atau tidak!" tegas
pemuda berambut hitam kemerahan tersebut.
"Jangan! Pukulanmu hanya akan
membuat dinding ini runtuh. Mati yang
paling tidak menyenangkan adalah bila
kita tertimbun longsoran tanah!" ucap
Wiro Suryo.
"Lalu...?"
"Kita gali dinding ini!" kata kakek
berbadan pendek ini tegas.
Tanpa bicara apa-apa lagi kedua
laki-laki yang sama konyolnya itu mulai
melakukan penggalian. Setelah sampai
sepemakan sirih, maka dinding batu di
samping saluran air telah selesai mereka
gali.
"Lihat! Ada sebuah terowongan di
sini! Kita bisa bebas...!" seru Pendekar
Blo'on sambil berjingkrak-jingkrak
kegirangan.
"Mudah-mudahan terowongan ini
menuju ke dunia bebas! Ingat! Kau
sekarang yang mencari jalan keluar. Jika
ada malapetaka menghadang di depan sana,
jangan lagi salahkan aku!" ujar Wiro
Suryo.
"Kalau tidak setuju sebaiknya
jangan ikut aku! Sekarang aku akan masuk
ke dalam terowongan ini!" tegas Suro
Blondo.
Tanpa menunggu lebih lama lagi,
Pendekar Blo'on mulai memasuki terowongan
tersebut. Ia terpaksa merangkak karena
terowongan di samping saluran air yang
menghubungkan ke kolam lintah ternyata
agak sempit. Bagi Wiro Suryo yang
berbadan kerdil tentu terowongan tersebut
cukup lebar. Ia bahkan dapat berjalan
tegak. Karena tinggi tubuhnya tidak lebih
hanya setengah meter.
"Betapa untungnya mempunyai
badan sepertiku. Aku tidak perlu
merangkak seperti seekor babi yang
terjebak perangkap!"
"Kau menyindirku!" dengus Suro
Blondo kesal.
"Tidak usah marah-marah, aku bicara
dengan diriku sendiri!"
"Dasar orang gila!" sahut Pendekar
Blo'on.
Tidak lama mereka sampai di ujung
terowongan. Tetapi di ujung terowongan
itu terdapat dua buah terowongan pula.
Yang satu ke arah selatan sedangkan yang
satunya lagi ke arah utara.
"Sekarang bagaimana, kita akan
menelusuri terowongan yang mana?" tanya
Pendekar Blo'on sambil menggaruk-garuk
kepalanya.
"Terserah kau! Aku kan hanya ikut
kemana kau pergi."
"Kurasa otakmu lebih kecil dari
otak semut. Tenggiling Kedil. Diajak
bertukar pikiran saja kau tidak bisa."
gerutu si pemuda sambil menyeka keringat
yang membasahi wajahnya.
"Otakku memang kecil, tetapi
pikiranku seluas jagad. Aku tidak mau
kasih pendapat, sebab aku takut salah
lagi. Kau tahu orang yang paling jelek di
dunia ini bila sedang marah adalah kau!"
ejek Wiro Suryo.
"Dan manusia yang paling menye-
balkan kaulah orangnya!" jawab Pendekar
Blo'on tidak mau kalah.
Lalu mereka saling diam lagi. Suro
kemudian memutuskan untuk menelusuri
terowongan yang menuju ke arah selatan.
Sedang Wiro Suryo terus mengikuti di
belakangnya. Di ujung lorong sebelah
selatan tersebut ternyata terdapat sebuah
sungai. Rupanya air sungai itulah yang
mengairi kolam lintah di ruangan bawah
tanah.
"Kita sudah bebas, benar-benar
bebas. Kau lihat ada langit, pohon dan
suara gemuruh air!" desis Pendekar
Blo'on. Wiro Suryo tidak langsung
menjawab. Hidungnya kembang kempis seakan
sedang mengendus-endus sesuatu.
"Aku seperti mencium bau bangkai!"
kata Wiro Suryo, matanya melirik pada
kawannya yang tampak sedang mengagumi
keindahan alam.
"Apa...?"
"Aku membaui sesuatu yang busuk!"
tegas kakek berbadan kerdil seperti bayi
dengan ketus.
Wiro Suryo malah tersenyum. Tatapan
matanya tetap memandang lurus ke depan.
Tepatnya ke permukaan air. Sungai yang
lebar itu memang sepi, tetapi sekejab
tadi ia melihat ada bayangan-bayangan
putih berkelebat.
"Kurasa kolam lintah itu berisi
tinja. Kotorannya Mustika Jajar. Tahu
tidak walaupun gadis itu cantik. Tetapi
kotorannya tetap bau. Sebentar lagi kita
bisa mandi." jawab Pendekar Blo'on.
Bau busuk semakin menusuk, sehingga
membuat Tenggiling Kedil jadi curiga.
Tetapi ia terus mengekor di belakang
Pendekar Blo'on ketika pemuda berpakaian
biru muda tersebut keluar dari tero-
wongan. Pemuda bertampang ketolol-tololan
itu segera menarik nafas sedalam-
dalamnya.
"Hemm, lega rasanya! Tetapi...
eh...!" Suro mendesis kaget. Ternyata ia
juga mencium bau sesuatu yang sangat
busuk. Tiba-tiba saja ia menoleh pada
Wiro Suryo.
"Ada kau cium bau sesuatu?" tanya
si pemuda.
"Kurasa kupingmu benar-benar tuli.
Sudah kukatakan sejak tadi bahwa aku
mencium bau yang teramat busuk!" sahut
kakek berbadan super pendek sinis.
"Bau bangkai?"
"Tepat! Bau orang yang sudah
mampus!" jawab Wiro Suryo.
Suro berjalan ke arah pinggiran
sungai. Tetapi langkahnya tiba-tiba saja
terhenti ketika melihat ada mayat yang
telah membusuk tidak jauh di depannya.
Ketika ia melakukan pemeriksaan, ternyata
mayat itu adalah mayat seorang gadis
memakai baju warna putih.
Ia tersentak kaget, sebab tadi ia
juga sempat melihat ada bayangan putih
seperti menari-nari di permukaan air yang
deras arusnya itu. Bayangan itu tiba-tiba
lenyap ketika Tenggiling Kedil
mengajaknya bicara.
"Kau lihatlah ini...!" seru Suro.
"Disini juga ada mayat." kata Wiro
Suryo pelan.
Setelah mereka mengitarkan pan-
dangan matanya, ternyata banyak sekali
mayat-mayat bergeletakan disitu. Dan
mereka semuanya terdiri dari kaum
sejenis.
"Siapa yang telah melakukan
perbuatan keji ini?" tanya Suro.
"Mana aku tahu! Tetapi mayat-mayat
ini sedikitpun tidak terluka. Cuma
sekujur tubuh mereka membiru seperti
keracunan!" gumam Tenggiling Kedil.
Mereka segera menyingkir menjauhi
mayat-mayat tersebut karena tidak tahan
dengan baunya yang busuk. Sekitar lima
belas batang tombak mereka melangkah.
Tiba-tiba terdengar suara seorang
perempuan. Suaranya itu mirip ratapan
seorang gadis yang sedang dirundung duka.
"Bertanya pada orang kaya, langit,
bumi, udara, tumbuhan dan makhluk punya
jiwa siapa yang punya? Bertanya pada
nafsu, amarah dendam, iri dengki, tamak
dan sombong kemana perginya? Bertanya
pada hati, cinta kasih sayang untuk
siapa? Hidup tujuh puluh tahun entah buat
apa? Orang-orang jujur mati terbujur.
Manusia banyak dosa panjang umurnya.
Lihatlah bangkai yang berserakan, mereka
korban angkara murka! Lalu aku si tua
bangka bisa apa? Aku tidak bisa apa-apa.
Hik kik hik! Betapa menyedihkan!"
Pendekar Blo'on dan Wiro Suryo
saling pandang dan sama-sama membasahi
lidah.
"Siapa dia?" tanya Suro.
"Hemm, aku hidup hampir sembilan
puluh tahun. Tetapi aku tidak pernah
mendengar tentang orang ini. Barangkali
Kuntilanak, wewe air atau penyair picisan
sedang bersenandung" sahut Tenggiling
Kedil seenaknya.
"Sudahlah buat apa kita pikirkan.
Sekarang aku harus kembali mencari
Mustika Jajar. Perempuan itu mempunyai
dosa selangit tembus. Dan lagipula dia
telah membunuh Pematung Kelana, selain
itu manusia jelmaan patung batu itu harus
kumusnahkan!" tegas Pendekar Blo'on.
(Untuk lebih jelasnya siapa Pematung
Kelana, dalam episode Pemikat Iblis).
"Apa kau pikir hanya kau saja yang
punya kepentingan. Betina Dari Neraka
sangat sakti sekali. Aku tidak ingin
melihatmu mati konyol di tangannya. Jadi
aku harus ikut!" kata Wiro Suryo.
Pendekar Blo'on baru saja ingin
mengatakan sesuatu. Namun ucapannya
tertunda karena tiba-tiba saja air sungai
yang deras itu bergolak hebat. Lalu
terdengar suara menderu-deru seperti air
bah. Kedua sahabat tersebut tercengang.
Mereka menjadi kaget ketika melihat ada
sesuatu bergerak-gerak di dalam pusaran
air itu. Sampai kemudian tampak dua sosok
bayangan putih melesat ke udara. Lalu
mendarat lagi di permukaan air sambil
menari-nari.
"Han... hantu...!" desis Pendekar
Blo'on.
"Goblok, mereka bukan hantu. Kurasa
kalau tidak salah mereka inilah Dewi
Kehidupan!" ujar Wiro Suryo yang ternyata
memang mempunyai pengalaman lebih luas
dibandingkan Pendekar Blo'on.
DUA
Ternyata dugaan Pendekar Blo'on
meleset. Kedua sosok berpakaian serba
putih ini memang manusia. Tepatnya
seorang nenek tetapi memiliki wajah
cantik dan seorang gadis berparas jelita.
Pendekar Blo'on sempat tercengang karena
gadis itu wajahnya sangat mirip sekali
dengan Dewi Bulan. Untuk lebih jelasnya
(Dalam Episode Bayang-Bayang Kematian).
Setelah melakukan gerakan seperti orang
menari di atas air tanpa basah barang
sedikit pun. Maka kedua perempuan itu
langsung melayang ke daratan.
Jliik!
Keduanya menjejakkan kaki tanpa
menimbulkan suara sama sekali. Sekejab
gadis dan nenek cantik itu memperhatikan
Suro Blondo dan Wiro Suryo silih
berganti.
"Hari ini kulihat lagi sebuah
kesedihan di balik duka yang kurasakan
atas meninggalnya beberapa orang muridku!
Kau siapakah pemuda tampan bertampang
bego?" tanya si nenek tanpa
memperkenalkan dirinya.
"Aku.... Aku Suro Blondo...!
Sedangkan kawanku yang pendek tetapi
sudah tua bangka ini namanya Wiro Suryo."
sahut pemuda berambut hitam kemerahan itu
setengah mendongkol.
"Kalian orang-orang konyol hendak
kemanakah?" tanya si nenek cantik.
"Aku tidak mau menjawab jika kalian
tidak memperkenalkan diri!" desis Suro
bersunggut-sungut.
"Aku juga...!" timpal Tenggiling
Kedil tidak mau kalah.
"Jika kau bicara seperti itu pada
saat aku tidak sedang berduka. Mungkin
aku masih bisa maklum. Tetapi sekarang
jangan coba-coba membantah. Kalian berada
di daerah kekuasaanku! Menolak permintaan
berarti mati!" dengus si nenek cantik
berang.
"Ha ha ha...! Kau dengar itu, bocah
tolol. Ancamannya sungguh membuat tubuhku
semakin bertambah kecil. Apakah kau mau
menjawab pertanyaan nenek sinting ini?"
ejek Tenggiling Kedil. Suro Blondo
pencongkan mulutnya. Lalu keluarkan
siulan panjang seperti suara kera.
"Hidup dan mati tidak pernah
kutakutkan! Kalau tidak bersalah tentu
aku bisa mati tertawa!"
"Bagus! Tertawalah kau sepuas-
puasnya!" dengus si nenek cantik.
Sedangkan gadis yang menyertainya
sejak tadi hanya diam saja sambil
memperhatikan Suro Blondo.
"Bunuh! Bunuh!" teriak si nenek
tidak jelas perintahnya itu ditujukan
pada siapa.
Byur!
Tiba-tiba saja air di dalam sungai
bergolak kembali. Lalu terdengar suara
deru angin kencang disertai semburan air
yang dingin. Sebuah kekuatan yang dahsyat
telah menyeret tubuh Suro dan Wiro ke
tengah-tengah pusaran air tersebut.
"Haup...! Haup!"
Hanya dua kali saja kedua laki-laki
ini tampak timbul tenggelam. Kemudian
mereka lenyap dan tersedot ke dalam
pusaran air tersebut. Wiro Suryo adalah
tokoh kawakan dari Gunung Sembung.
Sedangkan Pendekar Blo'on adalah seorang
pendekar yang mempunyai ilmu olah
kanuragan sangat tinggi. Jika keduanya
tidak mampu melepaskan diri dari daya
tarik pusaran air tersebut. Ini merupakan
pertanda bahwa nenek cantik itu mempunyai
keahlian yang sangat hebat.
Setelah lima belas menit Suro dan
Wiro tenggelam, tidak lama kemudian
mereka tampak muncul kembali. Tapi tubuh
mereka sudah sangat lemas seakan tidak
punya daya. Nenek cantik menyeret
keduanya ke pinggir sungai. Kemudian
menelentangkannya di atas pasir.
"Seandainya kalian tadi mati,
apakah menurut kalian kematian itu
enak...?" tanya si nenek.
"Apa sebenarnya keinginanmu, Ni
sanak? Sehingga berani mempermainkan kami
yang tidak punya salah apa-apa padamu?"
protes Wiro Suryo geram.
"Aku sedih, hik hik hik...! Jangan
berani macam-macam, jawab dulu perta-
nyaanku!"
"Jangan tanya aku dan kawanku! Kami
belum pernah mati, lagi pula engkau sedih
apakah aku juga harus ikut sedih, huk huk
huk!" sahut Suro sambil tertawa.
Rupanya gadis jelita yang mendam-
pingi si nenek cantik akhirnya tidak
sabar juga melihat ulah si nenek cantik.
"Guru, tidak pantas menyiksa
mereka. Lagipula kita tidak tahu apakah
dia berada di pihak perempuan setan itu
atau tidak. Sebaiknya kita tanya langsung
pada persoalan yang kita hadapi!" saran
si gadis. Si nenek cantik tidak langsung
menjawab, melainkan kibaskan jubahnya
yang menjela.
"Dewi Arimbi muridku, terlalu
banyak manusia palsu di dunia ini. Ter-
lalu banyak pula keanehan yang terjadi.
Apakah mereka mau mengaku bila kita tanya
tentang saudara-saudaramu yang sudah
tewas!"
"Benar salahnya tergantung nanti!
Yang penting kita tanya dulu kedua
manusia konyol ini."
"Hemm, ucapanmu ada benarnya juga.
Baiklah, sekarang aku akan menanyai
mereka!" kata si nenek cantik, seraya
melangkah maju beberapa langkah.
"Kalian lihat mayat-mayat itu?" Si
nenek menuding salah satu mayat yang
tergeletak tidak jauh di pinggir sungai.
"Hanya orang buta saja yang tidak
melihatnya!" sahut Suro sambil garuk
garuk kepala.
"Bagus! Kalian tahu mereka adalah
korban perempuan yang berjuluk Betina
Dari Neraka!" jelas si nenek cantik.
"Kami juga sedang memburu Manusia
Setan itu beserta kaki tangannya!" tegas
Wiro Suryo.
"Heh... benarkah begitu?" desis si
nenek cantik Tambel Nyawa.
"Kawanku tidak berdusta. Kalau
tidak percaya tanya saja pada para hantu,
setan, jin, burung-burung yang sedang
terbang atau iblis itu sendiri. Kami
bahkan baru saja meloloskan diri jebakan
Iblis Betina Dari Neraka." Suro Blondo
menimpali.
Nenek cantik sebenarnya maklum
dengan ucapan pemuda yang tampak rada-
rada miring itu. Tetapi mungkinkah pemuda
bertampang tolol seperti itu punya urusan
dengan Betina Dari Neraka?
"Untuk sementara waktu aku terpaksa
mempercayaimu! Tetapi awas jika kelak di
kemudian hari kalian berdusta padaku.
Maka aku akan membuat perhitungan dengan
kalian!" kata si nenek cantik.
"Kalau percaya ya percaya, jangan
harus terpaksa. Lagipula siapa yang
memaksamu, nenek? Aku tidak memaksa
apalagi kawanku?"
"Diam kau pemuda ceriwis! Sekarang
kalian harus memejamkan mata!" perintah
Dewi Arimbi.
Walaupun hati mereka dipenuhi
dengan tanda tanya, namun Suro dan Wiro
Suryo terpaksa memejamkan matanya. Tidak
lama setelah mata mereka terpejam. Suro
Blondo merasa tubuhnya terangkat menuju
ke sebuah tempat yang serba asing. Sampai
kemudian terdengar sebuah suara....
"Buka matamu!"
Pendekar Blo'on membuka matanya.
Kemudian pemuda berambut hitam kemerah-
merahan itu memperhatikan keadaan
disekelilingnya. Ternyata ia sudah tidak
berada di pinggir sungai lagi.
"Kawanku dimana? Siapa yang telah
membawaku ke mari?" tanya Suro dengan
bingung.
"Kami yang telah membawamu kesini.
Sedangkan kawanmu sekarang sedang di
pinggir sungai sana!" sahut gadis berbaju
putih tenang.
"Apa keinginan kalian sehingga
membawaku ke tempat yang sama sekali
belum kukenal ini?" tanya si pemuda
sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Lembah Tidak Bernama! Aku Dewi
Kehidupan membawamu kemari tentu saja
ingin bertukar pikiran denganmu?!" tegas
si nenek Tambel Nyawa.
"Mengapa kawanku tidak kalian bawa
serta?"
"Karena aku hanya ingin bicara
padamu!" sahut si nenek cantik.
"Ha ha ha...! Tindakan kalian hanya
membuat aku kehilangan kesempatan untuk
menghancurkan Iblis Betina Dari Neraka!"
dengus Suro Blondo.
"Jangan banyak bertingkah dihadapan
ku! Sekarang kau diam dan dengarkan apa
yang ingin kukatakan!!" tegas Dewi
Kehidupan.
"Cepatlah! Karena aku tidak ingin
berlama-lama berada disini!" kata
Pendekar Blo'on.
"Baiklah," desah Nenek Tambel
Nyawa. "Beberapa hari yang datang seorang
perempuan cantik dan seorang laki-laki
tinggi besar yang cuma memakai cawat...!"
"Itu pasti Si Perkasa. Manusia
patung yang telah dihidupkan oleh gurunya
perempuan itu!" potong Suro.
"Bocah gendeng! Jangan kau potong
ucapanku!" dengus nenek berbaju putih itu
marah.
"Kalau begitu teruskan!" sahut Suro
Blondo serius.
"Perempuan itu mengatakan dirinya
sebagai Iblis Betina Dari Neraka. Ia
mengajakku agar mau bergabung dengan
mereka. Waktu yang diberikan padaku hanya
sepekan saja untuk berpikir. Ketika waktu
yang ditentukan telah sampai masanya.
Maka aku memutuskan tidak ingin bergabung
dengan perempuan itu. Aku tahu dia
perempuan iblis yang ingin menaklukkan
rimba persilatan. Ia ingin mendirikan
sebuah kerajaan persilatan yang paling
besar di negeri ini. Akibat penolakanku,
kau tentu sudah dapat menebak apa yang
terjadi!"
"Dia membunuh murid-muridmu dengan
serangan beracunnya?!" sahut Pendekar
Blo'on.
"Tepat! Itulah sebabnya ketika
kalian datang ke sungai itu aku merasa
curiga. Kau tahu seumur hidupku, baru
kali ini aku Dewi Air merasa kecolongan."
ujar si nenek cantik.
"Apa yang dicolong, nenek?" tanya
Suro Blondo.
"Nyawa murid-muridku, tolol!" maki
perempuan itu sengit.
"Lalu apa yang kau inginkan
dariku?"
"Jika memang benar kau bukan anak
buahnya Betina Dari Neraka. Aku ingin
minta bantuanmu untuk menangkap perempuan
iblis itu!" tegas Dewi Kehidupan.
"Apakah engkau dan muridmu tidak
dapat melakukannya sendiri?" pancing
Pendekar Blo'on.
"Kau memang manusia menyebalkan.
Tentu saja aku sanggup, aku hanya ingin
membuktikan benarkah kau mau membunuh
perempuan itu? Jadi apa salahnya jika aku
sekalian menitipkan sebuah tugas
untukmu!"
"Engkau tidak usah khawatir. Sudah
lama aku memburu Iblis Betina Dari Neraka
berikut patung itu. Sekarang aku harus
pergi dari sini!" tegas Pendekar Blo'on.
"Eiit... tunggu dulu. Untuk
meyakinkan kebenaran niatmu itu, sekarang
muridku Dewi Arimbi harus ikut denganmu!
Kalau apa yang kau lakukan nanti
menyimpang dari apa yang kau ucapkan.
Maka muridku ini akan mencincang
tubuhmu!" tegas Dewi Kehidupan.
"Aku tidak melarang dia ikut
denganku, kalau nenek cantik juga ingin
turut serta, aku juga tidak larang!" ejek
Pendekar Blo'on sambil mengusap-usap
keningnya.
"Tidak...! Untuk sekarang ini
sebaiknya muridku saja yang menjadi
saksi...!" tegas Dewi Kehidupan.
Pendekar Blo'on walaupun belum
pernah mengenal Dewi Arimbi. Namun ia
merasa yakin gadis yang tidak banyak
bicara itu baik hatinya. Tentu saja ia
merasa senang pergi bersama Dewi Arimbi
dibandingkan dengan nenek bawel seperti
Dewi Kehidupan itu.
"Baiklah, kalau guru memerintahkan
aku untuk mengawasi pemuda bertampang
tolol ini. Sekarang aku mohon diri...!**
kata Dewi Arimbi.
"Pergilah muridku! Ini adalah
pertama kalinya kau berada di rimba
persilatan. Kau harus berhati-hati
menghadapi tipu muslihat musuh-musuhmu.
Termasuk juga terhadap pemuda ini...!"
tegas Dewi Kehidupan alias Si Nenek
Cantik Tambel Nyawa.
"Guru tidak usah khawatir, kalau
pemuda ini bertingkah macam-macam tentu
aku akan membunuhnya...!"
Suro Blondo sebenarnya mendongkol
juga mendengar ucapan si gadis. Tetapi ia
tidak ingin bertindak macam-macam.
Sebagai pelampiasan kekesalannya Suro
Blondo hanya menggaruk-garuk kepalanya.
Tidak lama kemudian kedua muda-mudi itu
segera meninggalkan Lembah Tidak Bernama.
TIGA
"Kedua tawanan kita meloloskan
diri, Junjunganku!" Lapor Perkasa begitu
kembali dari dalam ruangan bawah tanah.
Mustika Jajar alias Iblis Betina Dari
Neraka jelas tampak terkejut sekali. Ia
sama sekali tidak menyangka Pendekar
Blo'on dan Wiro Suryo dapat meloloskan
diri;
"Bagaimana hal itu dapat terjadi,
kekasihku? Kita telah menjebak mereka.
Jangankan manusia, seekor tikus pun tidak
mungkin dapat meloloskan diri!" desis
Mustika Jajar sengit.
"Ada sebuah lubang besar dekat
saluran air. Lubang itu pasti mereka yang
membuatnya. Lubang itu cukup besar,
jangankan tikus. Babi pun pasti dapat
meloloskan diri!" jelas Perkasa.
"Kau sudah mencarinya, kekasihku?"
tanya si gadis.
"Sudah! Orang tolol dan orang
pendek tidak ada di situ!"
"Kalau begitu kita harus segera
bertindak. Kita harus membangkitkan
orang-orang yang sudah mati untuk menjadi
anak buah kita! Setelah itu kita
kumpulkan orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi untuk membantu kita.
Pendekar Blo'on itu adalah murid
sekaligus cucu Malaikat Berambut Api.
Guruku telah memberi perintah padaku
untuk membunuh pemuda itu dan juga
Malaikat Berambut Api. Kau tahu
Perkasa... mata guruku menjadi buta
karena perbuatan Malaikat Berambut Api.
Untuk menghadapi kedua manusia keparat
itu sekaligus, kita harus mempunyai
kekuatan yang sangat besar!" tegas Iblis
Betina Dari Neraka.
Perkasa belum sempat menanggapi
ucapan majikannya. Ketika tampak seorang
laki-laki dengan langkah terhuyung-huyung
bergerak mendatangi.
"Wiku Palawa...!?" desis Mustika
Jajar terkejut.
Seperti sama-sama kita ketahui
dalam (Episode Iblis Betina Dari Neraka)
Wiku Palawa sempat tidak sadarkan diri
karena mendapat serangan telak dari Wiro
Suryo. Sekujur tubuhnya dipenuhi dengan
luka, bahkan wajah laki-laki bersenjata
Tongkat Maut itu juga hancur.
"Apa yang terjadi dengan dirimu,
Wiku? Wajahmu hancur, siapa yang telah
melakukannya?"
"Maafkan aku ketua. Wajahku menjadi
begini karena perbuatan Wiro Suryo.
Manusia super pendek sahabatnya pemuda
tolol itu!" dengus Wiku Palawa sengit.
"Tidak usah khawatir. Aku dapat
mengembalikan wajahmu yang rusak itu
menjadi seperti sediakala. Tetapi kau
harus menjalankan tugas dahulu. Setelah
tugasmu selesai. Maka obat penyembuhan
itu akan kau dapatkan dariku!" tegas
Mustika Jajar.
Wiku Palawa sadar betul ketuanya
memiliki kesaktian yang sulit tertan-
dingi. Jika patung batu buatan Pematung
Kelana dapat dihidupkan menjadi manusia.
Mengobati luka-lukanya tentu tidak akan
sulit! pikirnya.
"Ketua apakah engkau tidak menyem-
buhkan aku sekarang juga?" tanya sang
Wiku pelan.
"Hik hik hik...! Aku ketua di sini,
kau tidak berhak memerintahku! Sekarang
kau kerjakan apa yang menjadi tugasmu!"
tegas Mustika Jajar serius. Wiku Palawa
mana berani membantah. Walaupun hancur
dan menimbulkan rasa perih bukan main.
Akhirnya ia bangkit berdiri dan bermaksud
segera pergi. Tetapi....
"Tunggu dulu, Wiku. Kita akan
pindah ke Bukit Cadas Siluman. Kalau kau
nanti dapat mengumpulkan anggota baru,
maka bawalah ke Bukit Cadas Siluman.
Sekarang kau bawalah ini! Gunanya adalah
untuk membuat musuh-musuhmu pingsan dalam
beberapa waktu lamanya. Bila musuhmu
sudah pingsan. Tentu akan mudah bagimu
melaksanakan tugas!" ujar gadis cantik
berpakaian ketat tersebut. Ia kemudian
menyerahkan sepuluh benda bulat berwarna
hitam. Benda sebesar kepalan tangan ini
segera dimasukkan di balik bajunya.
"Ingat, Wiku. Pada saat engkau
melemparkan benda-benda ini. Maka kau
harus menutup indera penciumanmu!" tegas
Mustika Jajar. Wiku Palawa menganggukkan
kepala. Setelah itu ia segera
meninggalkan Mustika Jajar dan pengawal
pribadi merangkap kekasihnya di tempat
itu. Setelah Wiku Palawa sudah tidak
terlihat lagi. Maka Mustika Jajar segera
berpaling pada Perkasa.
"Kau tahu kuburan terdekat dengan
tempat kita ini, kekasihku?" tanya si
gadis dengan manja.
"Tentu saja tahu, Junjunganku."
sahut Perkasa.
"Mari kita ke sana!" ajak Betina
Dari Neraka.
Keduanya berjalan beriringan menuju
ke kuburan terdekat.
* * *
Kuburan yang sangat luas tersebut
terletak di tengah-tengah hutan belan-
tara. Tempatnya tidak terurus dan
ditumbuhi semak belukar. Ketika itu hari
sudah menjelang senja. Suasana di seke-
lilingnya mulai bertambah gelap. Sesekali
terdengar suara lolongan serigala hutan.
Burung-burung hantu mengepakkan sayapnya,
kemudian terbang menjauh. Seakan tidak
sudi melihat apa yang akan terjadi di
tempat itu.
Tidak lama kemudian di tanah
pekuburan itu muncul seorang gadis cantik
memakai baju warna ungu. Pakaiannya ketat
tembus pandang. Sehingga bagian-bagian
auratnya yang seharusnya dilindungi malah
terlihat bertonjolan dengan jelas. Di
samping gadis itu tampak pula seorang
pemuda berbadan kekar, tegap. Dadanya
bidang ditumbuhi bulu-bulu halus. Ia
hanya memakai cawat. Wajahnya tampan dan
rambutnya agak panjang. Dialah Perkasa
dan Mustika Jajar. Gadis yang mempunyai
seribu ambisi dan selalu haus dengan
permainan asmara.
"Kurasa ada seratus kubur di sini.
Orang-orang yang telah mati akan menjadi
berguna bila kita mampu membangkitkan
mereka seperti sediakala." desis Iblis
Betina Dari Neraka.
"Bagaimana caranya, Junjunganku?"
tanya Perkasa.
Pemuda yang cuma memakai cawat ini
mengerutkan keningnya.
"Caranya...? Hik hik hik...! Aku
punya ilmu Pembangkit Mayat. Dengan
permainan cinta dan tentu saja atas kuasa
iblis kita dapat membangkitkan mereka!"
sahut si gadis disertai tawa mengikik
macam setan.
"Aku kurang mengerti apa maksudmu?"
ucap Perkasa berterus terang.
"Hi hi hi...! Kau memang selalu
tidak mengerti, kekasihku! Tetapi aku
tetap mencintaimu. Cinta luar dalam,
terlebih-lebih pada bagian luar itu. Hmm,
kau benar-benar sangat luar biasa!" puji
Mustika Jajar. Matanya yang genit
mengerling nakal. Lalu ia tersenyum pula,
senyuman yang selalu mendebarkan hati.
"Sekarang duduklah... jangan pernah
bicara apa-apa. Karena aku akan membaca
mantra-mantra permulaan." pesan si gadis
serius,
Perkasa seperti monyet kudisan
hanya mengangguk sambil menggaruk-garuk
kepalanya. Setelah Perkasa duduk, maka
gadis baju ungu juga ikut duduk dengan
bertumpu pada kedua kakinya. Kemudian
tanpa disangka-sangka Iblis Betina Dari
Neraka menyentuh kancing-kancing bajunya.
Barulah kancing-kancing itu dibukanya
satu persatu. Perkasa walaupun sudah
berulangkali bergumul dengan gadis ini.
Namun sekarang ketika melihat dada si
gadis yang putih menantang itu ia jadi
ingin meremasnya, melumat atau
mendekapnya. Namun ia tidak mungkin
berani bertindak gegabah tanpa perintah
Mustika Jajar. Setelah melepas habis
seluruh penutup dadanya. Maka gadis itu
tanpa malu-malu lagi segera melepas
seluruh pakaian yang menempel di
tubuhnya. Sehingga di lain waktu ia
benar-benar dalam keadaan telanjang.
Perkasa memandangi semua ini dengan
sorot mata tidak berkedip. Mustika Jajar
adalah gadis yang sangat sempurna,
pinggulnya ramping auratnya menonjol dan
dadanya tegak menantang. Sayangnya ia
adalah budak iblis yang salah kaprah
dalam menentukan hidup. Perkasa sendiri
merasa darahnya seperti panas terbakar,
gelora di jiwanya tidak tertahankan lagi.
Pada saat itulah terdengar suara lembut
dari bibir si gadis yang setengah
terbuka....
Dalam kesendirianmu di alam Baka
Jasad terbujur tersia-sia....
Rohmu tersiksa karena didera
Sampai kiamat dunia nyata
Lebih enak di alam dunia
Kesenangan di dapat dengan suka
cita
Lebih enak lagi sorga dunia
tiada tanding orang bercinta
Hei... para jasad dan roh yang
merana
Dari pada berkubur di alam sana
Lebih baik kembali ke alam nyata
Iblis pembangkit raja Segala
Mari bercinta dengan sukarela....
Bangkit... dan bangkitlah....
Berkat kuat pembangkit jenazah,..!!
Sekejab setelah suara Mustika Jajar
lenyap. Maka secara tiba-tiba angin
berhembus dengan hebatnya. Hembusan angin
itu disertai dengan gelegar suara petir
sambung menyambung tiada henti. Pohon-
pohon di sekeliling tanah pekuburan
bertumbangan sehingga menimbulkan suasana
yang mencekam. Alam seakan menjadi murka.
Hujan turun dengan deras seperti tercurah
dari langit.
"Perkasa... sudah waktunya kita
bercinta untuk menarik perhatian
mereka...!" ucap Betina Dari Neraka.
Hanya beberapa saat setelah itu mereka di
tengah-tengah derasnya hujan tampak
saling rangkul dan berpelukan. Perkasa
dengan rakusnya menjilati setiap kein-
dahan di tubuh Mustika Jajar. Sehingga
membuat gadis itu menggelinjang, merintih
sambil tetap memeluk lawan jenisnya
dengan erat. Dalam kesempatan itu tanah
di setiap pekuburan bergetar hebat.
Kemudian terjadi keretakan disana-sini
disertai suara aneh seperti rintihan.
Sementara itu tanpa menghiraukan
derasnya hujan. Kedua sosok tubuh
berlainan jenis ini telah berguling-
guling ke tanah. Nafsu setan tampaknya
memang sudah menguasai jiwa mereka.
Mustika Jajar bahkan mulai merentangkan
kedua paha yang putih mulus itu selebar-
lebarnya. Sementara tangan kirinya telah
bergerak liar ke bagian bawah perut
Perkasa yang menegang.
"Aukh... ookh... aakh...!" gadis
itu merintih-rintih.
Tidak lama setelah itu tubuh bagian
bawah mereka pun telah menyatu. Saat diri
Perkasa memasuki Mustika Jajar. Ketika
itu pula terlihat sinar putih memancar
dari tubuh mereka. Sinar itu menerangi
seluruh tanah pekuburan. Secara perlahan
muncul tangan-tangan berlendir penuh
darah. Tangan-tangan tersebut mencuat ke
permukaan tanah di susul dengan bagian-
bagian tubuh lainnya.
Sementara Perkasa terus bergerak
teratur di atas tubuh Mustika Jajar.
Sampai akhirnya terdengar suara lenguh
dari bibir keduanya. Itulah puncak
kenikmatan dari seluruh pendakian yang
mereka lakukan.
"Auuckh... kau tetap hebat
Perkasa...!" desis si gadis sambil
mempererat pelukannya.
"Hemm." Perkasa menggumam tidak
jelas.
Sedangkan raga mereka tetap
dibiarkan menyatu untuk beberapa saat
lamanya.
"Biarkan kita begini, kekasihku.
Aku ingin melihat apakah ilmu Pembangkit
Mayat masih dapat bekerja dengan
baik...!" ucap si gadis lirih.
"Auk... kroaakh...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara-
suara di sekeliling mereka. Selanjutnya
terdengar suara yang lebih jelas lagi....
"Ladalah... kita hidup lagi...
bagaimana ini... siapa yang menghidupkan
kita...?!"
Mustika Jajar segera bangkit
berdiri. Ia menyambar pakaiannya yang
berserakan dan basah oleh air hujan. Ia
mengenakan pakaiannya kembali. Sedangkan
Perkasa segera memakai cawatnya yang
dibuka oleh kekasihnya tadi.
"Lihat Perkasa! Kita berhasil!"
seru si gadis.
Mayat-mayat yang baru bangkit dari
kubur tersebut kebanyakan di antaranya
hanya tinggal tulang belulang. Hanya
sebagian di antara yang mempunyai Ilmu
Karang saja yang masih utuh. Mereka
segera berkumpul di tengah-tengah tanah
pekuburan itu.
"Kepada kalian semuanya, aku adalah
majikan kalian sekaligus sebagai ketua
yang bertanggung jawab. Karena akulah
yang telah membuat kalian hidup lagi!"
seru Iblis Betina Dari Neraka lantang.
Sementara itu hujan sudah mulai reda.
"Kroakh... bagaimana bisa begitu?"
protes salah satu mayat yang mempunyai
rambut panjang dan kuku melingkar di
tubuhnya.
"Atas bantuan iblis kalian hidup.
Bagi yang tidak mau hidup silahkan
kembali ke liang kubur."
"Kami tidak mau kembali ke kubur.
Disana sangat sunyi, panas dan di siksa
melulu! Kami ingin ikut dengan kau!" seru
mayat-mayat hidup tersebut hampir
serentak.
"Kalau itu keinginan kalian. Maka
mulai saat ini harus menurut dan patuh
kepadaku! Ingat setiap musuhku adalah
musuh kalian juga. Karena itu harus di
bunuh!" tegas si gadis lagi.
"Kami mengerti dan selalu mematuhi
perintahmu, Junjungan!" sahut mayat-mayat
hidup tersebut.
Lalu mereka seperti dikomando
langsung menghaturkan sembah. Sehingga
Betina Dari Neraka menjadi girang.
"Kau lihat Perkasa! Sekarang kita
mempunyai kekuatan yang dapat diandalkan.
Mulai saat ini aku ingin mengutusmu untuk
membantu Wiku Palawa dalam mencari
anggota baru!"
"Jadi aku harus meninggalkanmu?!"
tanya Perkasa seakan ragu-ragu.
"Kau tidak perlu cemburu atau
khawatir aku menyeleweng. Tubuhku dan
cintaku hanya milikmu, mengertikah
kau...?"
"Aku mengerti Junjunganku!" sahut
Perkasa.
"Aku akan membawa mayat-mayat hidup
ini ke Bukit Cadas Siluman. Jika kau
kembali, maka kembalilah ke bukit itu.
Karena disanalah kita akan memulai segala
sesuatunya!" tegas Mustika Jajar.
"Baiklah, aku mohon pamit dulu!"
kata Perkasa. Kemudian pemuda yang cuma
memakai cawat tersebut dengan langkah-
langkahnya yang kaku segera meninggalkan
majikannya.
"Hemm, aku beruntung mendapatkan
dia. Perkasa tidak pernah lelah melayani
keinginanku yang satu itu." pikir Betina
Dari Neraka sambil tersenyum manis. Tidak
lama ia segera berpaling pada mayat-mayat
hidup di depannya.
"Sekarang kalian ikuti aku
kemanapun majikanmu ini pergi!" perintah
Mustika Jajar. Benar saja ketika Mustika
Jajar bergerak meninggalkan tanah
pekuburan tersebut. Maka mayat-mayat
hidup tersebut langsung mengikutinya. Di
sepanjang perjalanan menuju Bukit Cadas
Siluman. Bau busuk tercium dengan nyata.
Namun tampaknya si gadis sudah mulai
terbiasa dengan bau-bauan seperti ini.
EMPAT
Laki-laki itu selalu menundukkan
kepala setiap kali melangkahkan kakinya.
Wajahnya tidak terlihat dengan jelas,
karena tertutup topi caning terbuat dari
bambu. Bajunya yang berwarna hitam penuh
dengan debu. Tampaknya ia baru melakukan
sebuah perjalanan yang sangat jauh. Tidak
jauh di belakang laki-laki tersebut, di
angkasa sana terlihat kawanan burung
pemakan bangkai selalu mengawasi kemana
dia pergi.
Sedemikian banyaknya burung-burung
tersebut. Sehingga suaranya memekakkan
telinga. Namun orang bercaping itu
bertindak acuh tidak acuh. Ia terus
berjalan walaupun saat itu matahari
seperti terasa memanggang batok kepala.
Dalam suasana yang cukup terik
tersebut, tiba-tiba saja dari arah
berlawanan tampak dua sosok tubuh
berkelebat dengan cepat. Satu memakai
baju warna biru, sedangkan yang satunya
lagi seorang gadis cantik berkulit kuning
langsat. Gadis itu memakai baju warna
putih.
"Datuk Tabala Muka?" desis si gadis
yang kiranya kenal begitu melihat seorang
kakek tua menghadang di depannya. Yang
memakai baju biru muda langsung hentikan
larinya dan memandang pada kakek bertopi
bambu di depannya.
"Kau mengenalnya?" tanya si pemuda
yang tidak lain adalah Pendekar Blo'on.
"Dulu sekali dia pernah datang ke
Lembah Tidak Bernama. Ia salah seorang
datuk sesat yang tinggal di Pulau Pelebur
Dosa." bisik gadis baju putih yang tidak
lain adalah Dewi Arimbi. Mendengar nama
tempat tinggal Datuk Tabala Muka. Suro
Blondo langsung cengengesan.
"Ada-ada saja."
"Aku melihat dua calon bangkai di
depanku. Perkenalkan nama kalian dan
apakah kalian berdua termasuk anggota
Betina Dari Neraka?" tanya si kakek.
Suaranya serak sember seperti baru habis
memakan kodok.
"Lagakmu tengil, menurut kawanku
namamu Datuk Tabala Muka! Aku jadi ingin
lihat apakah wajahmu benar-benar
terbelah?" tanya Suro bersikap acuh tak
acuh.
"Ha ha ha...! Berani benar kau
membantah perintah! Kau sudah bosan hidup
agaknya?" bentak Datuk Tabala Muka. Tanpa
sadar saat ketawa tadi ia mendongakkan
wajahnya ke atas. Astaga! Suro Blondo
terkejut. Wajah yang tertutup topi caping
tersebut ternyata benar-benar seperti
terbelah. Sehingga sekilas terlihat ia
memiliki dua hidung, dua mulut dan dua
wajah.
"Wajahmu benar-benar jelek sekali.
Pasti bundamu salah mengandung. Bunda
seperti itu bagusnya di pentung!" kata
Pendekar Blo'on sambil tertawa-tawa. Dewi
Arimbi yang telah mengetahui kehebatan
kakek berbaju hitam tersebut jelas
menjadi gentar juga melihat ulah si
pemuda. Apalagi setelah melihat di atas
sana terlibat burung-burung bangkai
terbang merendah.
"Jaga mulutmu! Dia dapat membunuh
hanya dalam waktu sekedipan mata saja!"
bisik Dewi Arimbi cemas.
"Mengapa takut mati, Rimbi? Hidup
matinya seseorang hanya takdir yang
menentukannya!" sahut Suro Blondo.
"Baru pertama kali bertemu kau
sudah banyak tingkah berani menghina.
Kuulangi lagi pertanyaanku! Sebutkan
siapa namamu sekalian kau punya gelar!"
Bentak Datuk Tabala Muka sengit.
"Aku Suro Blondo! Sedangkan
sahabatku ini namanya Dewi Arimbi!" Sahut
si pemuda.
"Kau anak buahnya Betina Dari
Neraka?" tanya Datuk Tabala Muka.
"Justru aku sedang mencari iblis
itu. Apakah kau saudaranya, Datuk?" tanya
pemuda itu sambil garuk-garuk kepala.
"Pemuda tolol! Aku ingin mengetahui
kehebatan Betina Dari Neraka yang
kabarnya ingin menguasai rimba persilatan
itu!" tegas Datuk Tabala Muka.
"Apakah engkau merasa tersaingi?"
ejek Suro Blondo.
"Jelas! Dia boleh menyebut dirinya
apa saja. Tetapi untuk menjadi ratu rimba
persilatan ia harus berhadapan dulu
denganku!"
"Sangat kebetulan sekali. Aku juga
ingin membunuh manusia setan itu. Jadi
kita bisa sama-sama mencarinya!" ujar si
pemuda berambut hitam kemerah-merahan
dengan lugu.
Datuk Tabala Muka terdiam, alisnya
mengernyit dalam. Lalu terdengar suara
tawanya yang panjang menyakitkan telinga.
"Ha ha ha...! Kau bocah kemarin
sore tahu apa! Kalian adalah calon
bangkai yang tidak pantas berhadapan
dengan perempuan itu!"
"Maksudmu?" tanya Dewi Arimbi.
"Kalian akan kubunuh dan sebentar
lagi tentu menjadi santapan burung
bangkai yang kelaparan di atas sana!"
tegas Datuk Tabala Muka.
"Inilah kesempatan bagiku untuk
melihat apakah kau mampu menghadapi datuk
itu atau tidak!" bisik Dewi Arimbi
ditujukan pada Pendekar Blo'on.
"Siapa di antara kalian yang ingin
mati duluan?" tanya Datuk Tabala Muka.
"Aku...!" sahut Pendekar Blo'on.
Datuk Tabala Muka untuk sesaat
lamanya memperhatikan Suro Blondo. Ia
tersenyum sinis. Tiba-tiba saja Datuk
Tabala Muka melepaskan topi capingnya dan
langsung melemparkannya ke arah Pendekar
Blo'on. Topi caping tersebut meluncur
deras ke arah Suro. Sejengkal lagi topi
bambu tersebut mengenai perut si pemuda.
Maka Pendekar Blo'on segera menghindar
dengan menggeser langkahnya ke samping
kiri. Anehnya topi bambu tersebut terus
bergerak mengikuti kemanapun Suro Blondo
berusaha menghindar. Melihat bahaya
susulan ini si pemuda terpaksa menge-
rahkan jurus 'Kacau Balau', yaitu salah
satu jurus khusus menghindar warisan dari
Malaikat Berambut Api gurunya sekaligus
merupakan kakek kandungnya sendiri.
"Hiya...!"
Pemuda itu kemudian meliuk-liukkan
tubuhnya. Kakinya bergerak dengan cepat
sementara kedua tangannya terkadang
menangkis serangan lawan. Atau sesekali
menggaruk-garuk kepalanya.
Wuess...!
"Huh...!"
Si pemuda tiba-tiba berguling-
guling menghindar saat senjata milik
lawan menyambar mukanya. Melihat pemuda
konyol itu dapat menghindari serangan
senjatanya. Maka diam-diam Datuk Tabala
Muka merasa kagum. Belum pernah ada orang
yang mampu menghindari serangan topi
mautnya selama ini. Namun pemuda
bertampang ketolol-tololan tersebut
dengan baik dapat menyelamatkan diri.
"Kau boleh juga, anak muda! Tetapi
coba kau terimalah yang ini!" dengus
Datuk Tabala Muka. Tanpa diduga-duga
tiba-tiba sang Datuk menjentikkan kedua
jari tangannya ke arah Suro Blondo.
Set! Set!
Dua leret sinar hitam meluncur
deras ke arah si pemuda. Sementara topi
caping lawannya terus menyerang dari
bagian atas. Pendekar Blo'on jadi
kerepotan juga. Lalu dengan cepat ia
berjungkir balik mirip dengan gerakan
kera. Secepat kilat ia bangkit berdiri
dan....
"Pukulan 'Kera Sakti Menolak
Petir'! Hiyaa...!"
Pemuda berambut hitam kemerah-
merahan ini langsung mendorongkan ke dua
tangannya ke depan. Selarik sinar putih
menderu disertai hawa panas yang sangat
menyengat. Kedua kekuatan dahsyat itu
akhirnya saling membentur di udara....
"Bumm...!"
"Wuaakh...!"
Pendekar Blo'on jatuh terguling-
guling. Ia menjerit kesakitan, tetapi
dengan cepat ia bangkit berdiri. Tampak
jelas dari sudut-sudut bibirnya
meneteskan darah kental.
"Sebentar lagi kau akan menjadi
bangkai dan dimangsa oleh burung-burung
itu!" dengus Datuk Tabala Muka.
"Ha ha ha...! Kau sedang melawak
atau membanyol badut konyol!" sahut si
pemuda.
"Hup...!"
Tanpa bicara lagi Datuk Tabala Muka
langsung menerjang ke depan. Tangannya
bergerak cepat ke lima jalan kematian
bagi si pemuda. Suro tidak tinggal diam.
Ia segera menggabungkan antara. 'Kacau
Balau' warisan Malaikat Berambut Api
dengan jurus 'Seribu Kera Putih Mengecoh
Harimau' warisan Siluman Kera Putih
Barata Surya.
Tentu saja keadaan menjadi semakin
runyam bagi lawannya. Sebab bukan gerakan
silat si pemuda ini saja yang kacau serta
konyol. Tetapi tingkahnya pun seperti
seekor monyet. Namun di balik gerakannya
yang tidak menentu tersebut tersembunyi
sebuah kedahsyatan yang sewaktu-waktu
dapat membahayakan diri lawannya.
Agaknya Datuk Tabala Muka mengalami
hal ini. Terbukti serangan-serangan
tangan kosongnya selalu mengenai angin.
Ia segera melakukan tendangan berantai
yang penuh dengan tipu-tipu. Pada waktu
kakinya melayang mengancam lambung dan
ulu hati Suro Blondo. Pemuda itu
berjingkrakan. Lalu....
Tap!
Suro berusaha menangkis kaki
lawannya dengan telapak tangan. Namun
Datuk Tabala Muka menarik balik
tendangannya. Kemudian segera melepaskan
tinjunya.
Duuk!
"Hegk...!"
Dada Pendekar Blo'on tampak
terguncang. Tampaknya ia menderita luka
dalam yang tidak ringan. Merasa berada di
atas angin, Datuk Tabala Muka tertawa
membahak.
LIMA
Suro Blondo menyeringai kesakitan.
Walaupun sambil menyeka darah yang
menetes dari sudut-sudut bibirnya. Pemuda
itu masih dapat tersenyum. Sementara itu
Dewi Arimbi rupanya tidak tega juga
membiarkan Suro menjadi bulan-bulanan
Datuk Tabala Muka yang mempunyai
kepandaian tinggi tersebut. Sehingga ia
bermaksud ingin membantu, tetapi rupanya
Pendekar Blo'on mengetahui niat baik si
gadis. Tetapi anehnya ia malah
menggelengkan kepalanya dengan keras.
"Jangan, Rimbi...! Aku ingin main-
main dengan Datuk berwajah jelek ini. Aku
mau lihat dia punya kesaktian sebanyak
apa?" dengus Suro Blondo.
"Pemuda sinting! Kau pandai sekali
bergurau. Meskipun jiwamu hampir
melayang!" dengus Datuk Tabala Muka.
"Lihatlah serangan...!" teriaknya
kemudian,
Sepuluh jari tangan Datuk Tabala
Muka terpentang. Dewi mengetahui lawannya
bermaksud melancarkan serangan 'Jari Maut
Bermata Satu'. Sehingga dengan gugup ia
berteriak memperingatkan.
"Awas Suro! Serangannya dapat
membunuhmu!"
Pendekar Blo'on rupanya sadar betul
dengan bahaya yang mengancam jiwanya.
Terlebih-lebih setelah melihat sepuluh
leret sinar maut berwarna hitam bergerak
ke sepuluh bagian di tubuh Suro. Merasa
tidak punya pilihan lain lagi. Suro
Blondo langsung mengerahkan jurus 'Tawa
Kera Siluman'.
"Nguk! Nguk! Ha ha ha...!"
Sambil bergerak lincah atau
terkadang berjingkrak-jingkrak. Mirip
seperti gerakan kera. Pendekar Blo'on
berputar-putar. Dari mulutnya terdengar
suara desis dan tawa yang tidak ada
putus-putusnya. Pada saat itu pula si
pemuda mengerahkan dua pertiga dari
seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.
Maka perubahan pun terjadi. Rambut si
pemuda yang berwarna hitam kemerah-
merahan tersebut berubah menjadi merah
seperti bara. Rambut tersebut berumbai-
umbai seolah terlihat bagai jilatan lidah
api. Pada saat itu suara tawa si pemuda
lenyap dan berganti dengan jeritan
ketakutan yang seakan datang dari seluruh
penjuru arah. Inilah Pukulan 'Neraka Hari
Terakhir' yang Maha dahsyat tersebut.
"Hiyaa...!"
Si pemuda kemudian mengibaskan
kedua tangannya ke depan. Terlihat sinar
merah hitam menderu dan memupus habis
sepuluh larik sinar yang menyerang ke
sepuluh bagian tempat yang sangat
berbahaya. Akibatnya....
Buummm!
"Aakh...!"
Untuk pertama kalinya Datuk Tabala
Muka menjerit keras. Tubuhnya terhempas
dengan keras di atas batu. Batu hancur
sedangkan dari mulut dan hidung Datuk
Tabala Muka mengucurkan darah kental
berwarna hitam.
Walaupun tubuh Pendekar Blo'on cuma
tergetar saja. Tetapi sebelumnya ia sudah
terluka dalam. Akibat pengerahan tenaga
yang berlebihan tadi membuat luka yang
dideritanya menjadi bertambah parah. Ia
pun tergelimpang roboh dan tidak sadarkan
diri. Dewi Arimbi yang sempat tercengang
melihat perubahan yang terjadi pada
rambut si pemuda beberapa saat tadi. Kini
berubah cemas, sebelum Datuk Tabala Muka
sempat sadarkan diri. Ia segera memondong
Pendekar Blo'on dan melarikannya ke
sebuah tempat yang aman.
Kita lihat dulu Datuk Tabala Muka
yang sempat tidak sadarkan diri akibat
pukulan yang dilepaskan oleh si pemuda.
Ketika sang Datuk pingsan. Maka ratusan
burung pemakan bangkai langsung meluruk
turun. Tetapi kawanan burung-burung
menjijikkan tersebut tidak memangsa tubuh
majikannya. Malah mereka menunggui Datuk
Tabala Muka dengan tekunnya. Sampai
kemudian terdengar suara rintihan sang
Datuk,
"Ufh... pemuda itu, akh dimanakah
dia...!" desis sang Datuk. Ia segera
duduk, ia menjadi kaget ketika melihat
disekelilingnya kawanan burung bangkai
telah berkumpul dengan suaranya yang
ribut memekakkan telinga. Datuk Tabala
Muka mengedarkan pandangan matanya. Lalu
ia memejamkan matanya untuk mengatur
nafas setelah tidak melihat lawan berada
di situ lagi. Tidak sampai sepemakan
sirih, setelah nafasnya teratur dan luka
dalamnya tersembuhkan kembali. Maka sang
Datuk bangkit berdiri.
"Pemuda itu sungguh sangat luar
biasa. Tampangnya saja yang ketolol-
tololan. Aku benar-benar tertipu dengan
penampilannya! Mudah-mudahan dia belum
mendahuluiku menemukan Betina Dari
Neraka! Gara-gara pemuda itu, urusanku
jadi tertunda!" gerutu Datuk Tabala Muka
salah tingkah. "Burung-burungku. Kali ini
majikanmu belum bisa mempersembahkan
mayat untuk kalian. Mari teruskan
perjalanan, mudah-mudahan pesta besar
akan kalian dapatkan di depan sana!"
Kreaak! Kreaak...!
Dan burung-burung bangkai tersebut
segera mengikuti kemanapun majikan Pulau
Pelebur Dosa ini melangkah.
***
Kita ikuti Dewi Arimbi yang sedang
berusaha menyelamatkan pemuda yang punya
banyak keanehan itu. Gadis cantik berbaju
putih ini terus berlari tanpa mengenal
lelah sambil memanggul tubuh Suro Blondo
di bahunya. Sampai kemudian ia
mendapatkan sebuah tempat yang aman di
pinggir sungai kecil berair jernih. Ia
segera menurunkan Pendekar Blo'on dari
bahunya.
Ternyata pemuda itu, masih dalam
keadaan pingsan. Dewi Arimbi menjadi
khawatir nyawa pemuda tampan itu tidak
dapat diselamatkan.
"Aku harus membantu pernafasannya!"
pikir si gadis.
Tiba-tiba ia menyentuh bibirnya
sendiri. Dan wajahnya seketika berubah
merah seperti tomat matang. Membantu
pernafasan berarti ia harus menyentuh
bibir si pemuda dengan bibirnya. Agar
udara dapat masuk ke dalam mulut si
pemuda. Padahal hal semacam ini belum
pernah dilakukannya seumur hidup. Tetapi
jika ia tidak menolong, tentu nyawa
pemuda itu terancam. Akhirnya Dewi Arimbi
memberanikan diri. Setelah memastikan
tidak ada orang lain di tempat itu. Maka
dengan cepat ia bergerak. Bibirnya yang
kemerah-merahan itu menempel ke bibir
Suro. Lalu ia menghembus dengan kuat.
Sesaat setelah itu ia mengangkat
kepala, lalu memperhatikan reaksi yang
terjadi. Karena tidak ada perubahan dan
tanda-tanda si pemuda akan sadar. Maka ia
menempelkan bibirnya lagi. Dan....
Puuh...!
Demikianlah hal itu dilakukannya
berulang-ulang. Karena tetapi tidak ada
perubahan. Maka Dewi Arimbi lama kelamaan
menjadi cemas. Padahal yang sesungguhnya
Suro mulai sadar sejak hembusan pertama.
Tetapi ia tetap menahan nafas dan
berpura-pura pingsan terus. Di luar
kesadaran si gadis. Ia merasa senang
dicium oleh gadis secantik Dewi Arimbi.
Sampai kemudian setelah puas membuat Dewi
Arimbi cemas. Ia berpura-pura merintih.
"Aduh biyung... sakitnya dadaku
ini...!"
"Akh... syukurlah kau sudah sadar,
Suro...!" kata Dewi Arimbi tampak
kegirangan.
"Ap... apa yang terjadi denganku?
Apakah aku sudah mati?" tanya Suro dalam
hatinya ia menjadi geli.
"Tidak... tidak! Kau belum mati,
Suro. Kau hanya pingsan setelah melawan
Datuk Sakti itu. Ach... tidak kusangka
kau mampu membuatnya tidak sadar dan
terluka! Kau hebat...!" puji si gadis.
"Dia pingsan, aku klenger. Berarti
tidak ada yang kalah dan tidak ada pula
yang menang!" desis si pemuda.
"Sudah jangan pikirkan! Aku harus
menyembuhkan luka dalam yang kau derita.
Sekarang duduklah...!" perintah si gadis
akrab.
"Ohk... aku tidak sanggup...!"
sahut Suro.
Dewi Arimbi terpaksa mendukungnya.
Karena ia berada di belakang. Maka
dadanya yang kenyal menyentuh punggung
Suro Blondo. Pemuda konyol ini benar-
benar ingin menguji sampai di mana
perhatian si gadis.
"Nah... tetaplah bertahan duduk
seperti ini...!" perintah si gadis.
Tidak lama kemudian ia menyalurkan
tenaga dalamnya ke bagian telapak tangan
yang menempel di punggung si pemuda. Hawa
hangat segera menjalar ke sekujur tubuh
si pemuda. Tampak jelas keringat mengalir
deras membasahi pakaian Dewi Arimbi.
Sampai akhirnya si gadis menarik
tangannya yang bergetar. Dewi Arimbi
duduk bersila dan mengatur nafasnya yang
tidak teratur. Setelah itu ia membuka
matanya kembali. Di luar sepengetahuan si
gadis. Tadi Suro sempat menelan obat
pulung mujarab pemberian gurunya.
Sehingga dalam waktu yang tidak lama luka
yang dideritanya benar-benar telah
sembuh.
"Bagaimana, Suro...?" tanya Dewi.
Pemuda konyol itu tersenyum, senyumannya
benar-benar menggetarkan hati si gadis.
"Berkat pertolonganmu nyawaku tidak
jadi melayang... Kalau tidak ada engkau
mungkin aku sudah mampus!" sahut si
pemuda.
"Ahk... kau ada-ada saja. Masalah
nyawa adalah urusan Malaikat. Sebaiknya
kau istirahat dulu! Aku ingin mencari
buah-buahan untukmu!" ucap di gadis.
Dengan dibantu Dewi Arimbi, Suro
merebahkan tubuhnya di atas rerumputan
kering. Sebentar saja si gadis telah
berkelebat pergi. Mata pemuda berbaju
biru muda ini berkedap-kedip. Pikirannya
menerawang. Tiba-tiba saja ia teringat
pada Wiro Suryo.
"Kemana bocah tua, Tenggiling
Kedil. Apakah dia setelah terpisah dariku
kembali ke Gunung Sembung? Atau mencari
Betina Dari Neraka? Semakin banyak saja
orang yang memburu Manusia Setan itu."
batin si pemuda.
Tiba-tiba ia mendengar suara
gemerisik dedaunan tidak jauh dari
sisinya. Lalu, tercium bau harum khas
wanita. Pendekar Blo'on menyadari bahwa
yang datang adalah Dewi Arimbi. Itu
sebabnya ia langsung memejamkan matanya.
Gadis itu kemudian muncul dengan membawa
buah-buahan hutan yang enak dimakan.
"Ternyata dia tidur!" kata si gadis
dengan suara perlahan saja.
Dewi Arimbi meletakkan buah-buahan
di sisi Suro.
"Sebaiknya aku mandi dulu!" katanya
seorang diri
Dewi Arimbi kemudian melangkah ke
arah sungai sejarak dua tombak dari
tempat Suro berbaring. Karena mengira si
pemuda benar-benar tidur. Maka tanpa
curiga ia menanggalkan seluruh pakaian-
nya. Sehingga terlihatlah sekujur
tubuhnya yang berkulit kuning langsat
itu. Dewi kemudian masuk ke dalam sungai.
Ia berenang kian kemari sambil
bersenandung kecil. Suro Blondo si pemuda
nakal membuka matanya sedikit dan
memandang ke jurusan sungai. Sehingga ia
dapat melihat lekuk lengkung tubuh si
gadis. Lalu ia memejamkan matanya
kembali. Dadanya menggemuruh, jantungnya
memukul-mukul dengan keras. Darahnya
mendesir.
"Aku sih kuat melihat pemandangan
apa saja, tapi si entong tidak bisa
kompromi!" kata hati Suro
Tidak lebih dari sepemakan sirih.
Dewi Arimbi segera naik kembali ke
daratan. Ia mengenakan pakaiannya satu
persatu. Pada saat itulah Suro terbatuk-
batuk.
"Suro jangan melihat kemari!" seru
Dewi sambil memalingkan tubuhnya ke arah
lain.
"Ada apa rupanya?" tanya si pemuda
dengan lugu.
"Ak... aku... aku sedang...
ahk...!" Dewi Arimbi jadi gugup,
"Sedang apa...?" desak si pemuda
konyol.
"Se... sedang berpakaian...!"
"Jangan takut. Aku bukan durjana
pemetik bunga!" sahut Pendekar Blo'on
seenaknya. Dewi Arimbi segera mempercepat
segala sesuatunya. Setelah selesai
berpakaian ia langsung menghampiri Suro
Blondo.
"Kau... kau mengintipku...!"
bentaknya gusar.
"Tidak!" tegas Suro.
"Katakan terus terang!!" desak si
gadis dengan wajah memerah.
"Hanya sedikit."
"Ackh... kalau kau orang lain pasti
sudah kubunuh!" dengus Dewi Arimbi. Tiba-
tiba tanpa sadar ia mencekik leher si
pemuda. Suro Blondo hanya diam saja tanpa
melakukan perlawanan.
"Kau yang telah menolongku, jika
sekarang harus mati ditanganmu hanya
karena kesalahan kecil aku tidak akan
menangis!" kata si pemuda pelan. Seakan
tersadar, Dewi cepat menarik tangannya.
"Kau menyebalkan sih...!"
"Sudahlah, kau tidak perlu gusar.
Apa yang kulihat akan kurahasiakan.
Percayalah...!" Dewi Arimbi kemudian
terdiam, ia memberikan buah-buahan pada
Suro. Sikapnya biasa kembali, seakan
tidak pernah terjadi apa-apa antara dia
dan pemuda itu.
"Sekarang sudah sangat sore. Kita
tidak mungkin meneruskan perjalanan.
Sebaiknya kita melewatkan malam di sini
saja!" tegas Dewi Arimbi. "Tapi ingat,
jangan kau berani kurang ajar padaku."
"Mana aku berani bertingkah macam-
macam. Sedangkan satu macam saja rasanya
aku tidak berani." sahut Suro Blondo.
ENAM
Mereka tidur di atas tumpukan daun
yang ditata seadanya. Malam itu bulan
bersinar cerah. Pendekar Blo'on yang
memang sudah merasa letih sebentar saja
sudah tertidur. Sementara itu Dewi Arimbi
tampak gelisah. Sesekali ia melirik pada
pemuda tampan yang tertidur tidak jauh di
sampingnya. Beberapa hari ia mengenal
Pendekar Blo'on, terus terang hatinya
merasa tertarik. Apalagi bila mengingat
pemuda itu mempunyai kepandaian sulit
dijajaki. Selain itu ia suka dengan
kepolosan pemuda itu, walau terkadang
terkesan seperti pemuda bodoh yang tidak
punya kepandaian apa-apa.
Hati gadis berbaju putih ini selalu
tergetar bila memandang mata si pemuda.
Setiap kali mata mereka bertemu pandang,
ia tidak kuat melihatnya berlama-lama.
Tetapi pada sisi lain ia mengkhawatirkan
sesuatu. Gurunya, si Nenek Cantik Tambel
Nyawa tidak menghendaki murid-muridnya
jatuh cinta pada pemuda mana pun. Ia tahu
Dewi Kehidupan tidak pernah mengenal
laki-laki seumur hidupnya. Sebab menurut
si nenek, mengenal seorang laki-laki
hanya akan merusak kehormatan. Padahal
kesucian harus selalu dijaga sampai ajal
tiba. Agar ia dapat mewarisi seluruh ilmu
yang dimiliki oleh gurunya.
Kini hatinya menjadi bimbang,
haruskah ia mengesampingkan perasaannya
terhadap laki-laki. Padahal anak-anak
manusia terlahir karena cinta. Tetapi
menurut gurunya, manusia terlahir karena
nafsu dan perbuatan usil ayahnya, dan
juga karena emaknya tidak pakai celana.
"Mengapa aku harus merasakan hal-
hal seperti ini! Guru pasti marah besar
bila mengetahui aku jatuh cinta pada
pemuda ini!" pikir Dewi Arimbi. Kenyataan
ini membuat si gadis gelisah, sehingga
tidak dapat memejamkan matanya.
"Uhuk...! Uhuk...!"
Suro Blondo terbatuk-batuk. Entah
disengaja atau batuk sungguhan. Dewi
Arimbi segera menghampiri.
"Masih sakitkah dadamu, Suro?"
tanya si gadis dengan suara lirih.
"Tidak."
"Mengapa batuk?"
"Sebab aku ingin dekat denganmu,
Kulihat kau gelisah, apa yang sedang kau
pikirkan?" tanya Pendekar Blo'on.
"Memikirkan dirimu, tolol!" batin
Dewi dalam hati. Namun yang keluar dari
bibirnya tetap lain. "Tidak ada." Ketika
mereka bicara wajah mereka sejarak dua
jengkal saja, sehingga masing-masing
dapat mendengar tarikan nafasnya.
"Kupikir kau sedang mengingat
kekasihmu!" pancing Suro Blondo sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
"Pacar apa, kenal laki-laki saja
baru kali ini!" sergah Dewi ketus.
"Kalau begitu kau pasti sedang
memikirkan aku!" ujar Suro nakal.
Tiba-tiba direngkuhnya Dewi dalam
pelukannya. Gadis itu jelas kaget dan
langsung meronta. Suro menjatuhkan ciuman
lembut di bibir si gadis.
"Kk... kau kurang ajar...!" maki
Dewi.
Tiba-tiba ia menampar pipi Suro,
hingga pemuda itu terjengkang. Dari sudut
bibir si pemuda menetes darah segar.
"Rupanya ini pekerjaanmu pada
setiap perempuan yang kau temui?" desis
Dewi Arimbi sambil mengusap-usap bibirnya
bekas ciuman si pemuda. Setelah itu ia
menendang perut Suro Blondo.
"Cepat mengaku!"
"Baru kali ini aku melakukannya!
Itu kulakukan karena aku merasa berhutang
nyawa padamu!" kata si pemuda sambil
memegangi perutnya yang sakit.
"Kau bohong!"
"Aku tidak berdusta! Maafkan aku
Dewi...!"
"Maafmu kuterima, tapi aku merasa
muak melihat tampangmu! Kalau saja bukan
karena guru memberi tugas padaku. Tentu
aku telah kembali ke Lembah Tanpa Nama!"
Dewi merajuk. Pendekar Blo'on akhirnya
terdiam. Melihat si pemuda memegangi
perutnya. Dewi merasa iba juga, amarahnya
pun reda kembali. Ia segera datang
menghampiri. Sesungguhnya Dewi Arimbi
mempunyai hati yang lembut, tidak seperti
Dewi Bulan yang ketus atau Dewi Kerudung
putih yang misterius.
"Sakitkah?"
"Lumayan!" sahut si pemuda.
"Kau kurang ajar sih, kalau tidak
mana begini jadinya?" kata si gadis. Ia
kemudian seperti seorang tabib segera
memeriksa perut si pemuda.
"Cuma luka sedikit, kurasa tidak
apa-apa!" gumam Dewi pelan.
"Ssst...!"
Suro menempelkan jemari tangannya
ke bibirnya sendiri sebagai isyarat agar
gadis di sampingnya diam.
"Aku mendengar ada orang menuju
kemari!" bisik Pendekar Blo'on sambil
berusaha memasang telinganya dengan baik.
"Dicari kemana-mana, tidak tahunya
bersembunyi di sini!" kata sebuah suara.
Tidak berselang lama tampak seorang
laki-laki muda perkasa bertelanjang dada
dan cuma memakai cawat. Pemuda
itu memandang tajam pada Suro Blondo dan
Dewi Arimbi silih berganti.
"Perkasa!!" seru Pendekar Blo'on
yang memang pernah melihat manusia
jelmaan patung batu itu.
"Kau Pendekar Blo'on?" bentak
Perkasa.
Si pemuda dan si gadis segera
melompat berdiri untuk menjaga segala
kemungkinan yang tidak diingini.
"Benar kau Pendekar Blo'on?"
Perkasa mengulangi pertanyaannya.
"Ha ha ha...! Apa yang lucu dalam
dunia ini, Perkasa? Ketika Pematung
Kelana mengukir sebuah keindahan dan
nilai seni yang tinggi. Dirimu hanyalah
batu marmar hampir tidak berguna. Tetapi
orang yang telah membuatmu, dibunuh oleh
Betina Dari Neraka. Atas bantuan iblis
Tua Tengkorak Mata Api membangkitkanmu.
Sehingga kau hidup seperti sekarang ini!
Dirimu bernilai lima kantong emas! Tetapi
setelah kau punya nyawa, engkau menjadi
budak Betina Dari Neraka!" dengus
Pendekar Blo'on sambil pencongkan
mulutnya.
"Kau Pendekar Blo'on? Siapa
kawanmu?"
"Kawanku adalah orang yang dekat
dengan diriku!" sahut Suro tenang.
"Junjunganku memberi perintah untuk
menangkapmu hidup atau mati!" tegas
Perkasa.
"Begitu mudahkah, Perkasa?
Menangkap nyamuk saja kau tidak becus.
Yang pernah kulihat bisamu cuma
menangkap, mendekap, membelai tubuh mulus
majikanmu...!" ejek si pemuda rupanya
sengaja memancing kemarahan lawannya.
Perkasa mendengus geram. Dengan
langkah-langkahnya yang kaku bagaikan
patung. Tangannya yang kokoh mencengkeram
ke dada Suro. Dewi Arimbi jelas khawatir
melihat keselamatan si pemuda. Sebab ia
menyangka pemuda itu belumlah sembuh
benar dari luka dalam yang dideritanya.
Gadis itu tidak tahu, bahwa Suro adalah
si bocah ajaib, yang apabila terluka
tubuhnya segera sembuh.
Melihat tangan Perkasa terus
terjulur memanjang. Maka Dewi Arimbi
melepaskan pukulan jarak jauhnya.
Wuut!
Selarik sinar biru menderu dan
menghantam pergelangan tangan Perkasa.
Laki-laki itu mendengus geram. Ternyata
pukulan yang dilepaskan Dewi Arimbi tidak
membawa akibat apa-apa bagi Perkasa.
Gadis berbaju putih itu tentu kaget bukan
main. Kini ia melepaskan pukulan lagi ke
arah lawan. Pada waktu bersamaan Perkasa
berbalik dan mengejar Dewi Arimbi.
"Kau membantu pemuda itu? Kalau
begitu aku juga harus menangkapmu!"
dengus pemuda tinggi besar yang hanya
memakai cawat ini. Hanya dengan dua tiga
kali langkah. Maka Perkasa berhasil
mendekati lawannya. Namun Dewi Arimbi
tidak tinggal diam, dengan mengandalkan
ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai tahap sempurna. Maka Dewi Arimbi
memper-gunakan jurus 'Bermain Di Atas
Air'. Tiba-tiba saja tubuh gadis itu
berputar-putar. Ia menggerakkan tangannya
sebanyak tujuh kali. Di lain kesempatan
pada setiap ujung jemarinya melesat
seutas tali berwarna putih ke arah
Perkasa. Sepuluh tali setipis kuku itu
langsung membelit tubuh Perkasa. Pemuda
itu meronta-ronta. Tetapi ternyata tali
yang terdapat di ujung jari Dewi Arimbi
ini ulet bukan main.
"Hiaa... keparat...!" teriak
Perkasa marah. Perkasa meronta-ronta,
demikian besar tenaga yang dimiliki oleh
manusia jelmaan patung ini. Sehingga
membuat Dewi Arimbi kewalahan mengikuti
kemana saja gerakannya.
"Pukulan Tali Arus'! Heaaa...!"
teriak si gadis.
Dengan cepat ia melepaskan lima
jemari tangannya yang memegang tali.
Setelah itu tangan kanan ia kibaskan ke
depan. Seleret sinar putih berkilau
laksana perak meluncur deras ke arah
Perkasa. Karena hanya lima tali yang
mengikat tubuhnya. Maka dengan sekali
berontak ia dapat membebaskan diri dan
langsung memapaki serangan lawan.
Wut!
Ketika tangannya dihentakkan ke
depan.
Maka dari telapak tangan Perkasa
meluncur sinar merah seperti bara.
Sinar itu membentur sinar putih yang
dilepaskan oleh Dewi Arimbi.
Glaar!
Terjadi ledakan dahsyat. Dewi
Arimbi terpelanting sejauh tiga batang
tombak. Sedangkan Perkasa sendiri, jangan
bergetar sedangkan bergeming pun tidak.
Dewi Arimbi merasa dadanya hendak pecah.
Dari hidungnya tampak menetes darah
segar. Ia mencoba bangkit berdiri. Namun
kepalanya sakit berdenyut-denyut. Sedang-
kan pada waktu itu Perkasa telah
menggerakkan kakinya menginjak-injak
Dewi. Tapi gadis itu bergerak cepat
dengan cara berguling-guling.
Melihat bahaya mengancam jiwa Dewi
Arimbi, Suro Blondo tentu tidak diam
saja. Ia segera menerjang ke depan.
Dengan turunnya pemuda itu di arena
pertempuran. Tentu saja gerakan Perkasa
untuk membunuh Dewi Arimbi jadi
terhalang. Sementara itu Pendekar Blo'on
dengan gerakan-gerakan kacau terus
melancarkan serangan-serangan ke bagian
tubuh lawannya.
"Ciaat...!"
Jtok!
"Heh...!"
Pendekar Blo'on terkejut. Telapak
tangannya yang menghantam dada Perkasa
seperti menghantam batu saja. Pemuda ini
kesakitan, lalu melompat mundur sambil
garuk-garuk kepala.
"Setan yang satu ini benar-benar
alot. Aku harus mencari bagian-bagian
terlemah di tubuhnya!" pikir si pemuda.
Tiba-tiba ia melompat ke depan. Tetapi
lompatannya seperti gerakan seekor monyet
yang bergelantungan. Ketika kaki Perkasa
menghantam perutnya. Dengan terhuyung-
huyung ia melompat mundur, tendangan kaki
lawannya tidak mengenai sasaran. Suro
menangkap kaki Perkasa yang lewat di atas
bahunya. Kemudian jemari tangannya dengan
sekuat tenaga meremas bola keramat milik
lawan.
Blop!
"Akh...!"
Perkasa menjerit kesakitan. Suro
Blondo tertawa membahak sambil seka
keningnya.
"Ternyata kau punya bola bukan
main-main besarnya. Dan kau punya pusaka
gondal-gandil macam kentongan!" ejek
Pendekar Konyol itu di sertai senyum.
Perkasa tampak terpincang-pincang, ia
memegangi perutnya yang terasa mulas.
"Haarrrgkh...!"
Di puncak kemarahannya, Perkasa
menjerit keras. Suaranya menggetarkan
dada. Kemudian kakinya bergerak cepat
menendang apa saja yang ada di depannya.
Batu-batu sebesar anak kerbau berpe-
lantingan menghujani Pendekar Blo'on dan
Dewi Arimbi. Kedua muda-mudi itu tentu
saja dibuat kalang-kabut. Mereka menghin-
dari hujan batu besar yang melayang
akibat tendangan Perkasa. Rupanya manusia
jelmaan patung ini kecewa melihat tidak
satu batu pun yang mengenai sasaran. Ia
kemudian mengangkat batu sebesar kerbau
dan melemparkannya ke arah lawan.
"Menghindar Rimbi!" teriak Suro
memberi peringatan.
Buum!
Batu jatuh berdebum tidak mengenai
sasaran. Debu mengepul di udara. Perkasa
mengamuk membabi buta.
TUJUH
"Bagus! Mengamuklah sesuka hati,
kalau tenagamu sudah terkuras habis.
Tidak lama lagi kau akan menjadi loyo!"
kata Pendekar Blo'on sambil tersenyum
mengejek.
"Aku akan membunuh kalian berdua!"
teriak Perkasa.
Lagi-lagi ia melompat ke depan.
Sebentar kemudian tangannya sudah
terjulur menggapai leher Suro. Tetapi
pemuda berambut hitam kemerah-merahan ini
sudah menghindar ke samping. Serangan
lawan tidak mengenai sasarannya. Pada
saat itulah tanpa diduga-duga Perkasa
menghantam ulu hati Suro dengan tendangan
kaki kiri.
Duuk!
"Hegkh...!"
Suro Blondo keluarkan seruan
tertahan. Ia jatuh terguling-guling.
Bukan main sesaknya nafas si pemuda, ia
cepat bangkit berdiri. Tetapi hal itu
sulit dilakukannya. Sementara Perkasa
telah menyerangnya kembali dengan sebuah
pukulan yang mematikan.
Melihat selarik sinar merah
meluncur deras ke arah si pemuda. Maka
Dewi Arimbi segera kirimkan sebuah
pukulan 'Benteng Kincir Air'. Seketika
itu juga terdengar suara angin menderu
deru. Segelombang angin bercampur uap
putih melesat deras dari telapak tangan
si gadis. Tidak dapat dihindari lagi
kedua pukulan dahsyat itu akhirnya
bertemu di udara dan menimbulkan ledakan
dahsyat.
"Blaam...!"
"Huukh...!"
Kali ini Perkasa tampak jatuh
terduduk. Dewi Arimbi sendiri tampak
terguling-guling. Sudut bibirnya
mengucurkan darah. Gadis itu berusaha
memperbaiki posisinya. Tetapi gerakannya
ini malah membuat darah semakin banyak
yang keluar.
Suro Blondo yang juga sudah terluka
tidak mungkin membiarkan kenyataan ini
terjadi. Ia segera bangkit berdiri. Lalu
ia mengerahkan tenaga dalam ke bagian
telapak tangan. Tiba-tiba ia melompat ke
depan disertai seruan keras....
"'Ratapan Pembangkit Sukma'
Hiyaa...!"
Pemuda berambut hitam kemerahan ini
dengan serentak menghentakkan kedua
tangannya ke arah Perkasa yang baru saja
berusaha bangkit berdiri. Angin kencang
bergulung-gulung laksana badai salju
menderu. Tampak sinar putih memenuhi
daerah tersebut. Pohon-pohon bertum-
bangan, pukulan tersebut menyapu apa saja
yang berada di depannya. Melihat badai
topan yang mendayu-dayu ini. Perkasa
mencoba melepaskan pukulannya. Tetapi apa
yang dilakukannya sudah sangat terlambat.
Kemudian....
Glaar!
"Aaaa...!"
Perkasa menjerit sambil memegangi
dadanya. Tubuh laki-laki tinggi besar ini
terguling-guling. Dari sudut-sudut bibir
Perkasa tampak mengucurkan darah.
Pendekar Blo'on tidak mau mengulur-ulur
waktu lagi. Sekali lagi ia melepaskan
pukulan 'Ratapan Pembangkit Sukma' ke
arah lawan. Tetapi rupanya walau Perkasa
telah terluka. Ia juga melepaskan pukulan
andalannya.
Ketika tangannya ia kibaskan ke
depan. Maka selarik sinar menebar hawa
panas menderu ke arah Suro Blondo. Selagi
pukulannya meluncur deras di udara. Maka
Perkasa langsung berkelebat pergi.
Blaar!
"Hekh...!"
Suro Blondo jatuh terjengkang.
Dadanya terguncang, isi perutnya bergetar
sehingga menimbulkan rasa sakit
berdenyut-denyut. Sebenarnya Suro Blondo
sempat melihat lawannya melarikan diri
tadi. Namun ia tidak sempat mencegah,
karena pukulan Perkasa menghadang
langkahnya.
"Benar-benar manusia kampret! Ia
melarikan diri di saat aku hampir
mencapai sebuah kemenangan!" maki
Pendekar Blo'on sambil golang-golengkan
kepalanya.
"Sudahlah, cepat atau lambat kita
pasti akan menemukannya lagi!" ujar Dewi
Arimbi yang baru saja selesai mengobati
luka dalam yang dideritanya.
"Kita harus memburu manusia setan
itu!" tegas Pendekar Blo'on.
"Ya, kau sendiri bagaimana? Apakah
sudah dapat meneruskan perjalanan
kembali?" tanya Dewi Arimbi.
"Aku tidak apa-apa. Mari kita
pergi...!" ajak Suro Blondo.
Tanpa berkata apa-apa lagi mereka
segera berangkat ke arah matahari terbit.
Tepatnya ke Bukit Cadas Siluman.
***
Setelah mengobrak-abrik tempat
persembunyian Mustika Jajar yang lama.
Kakek berbadan pendek tidak sampai satu
meter itu segera membakarnya. Dalam waktu
sebentar saja api pun telah berkobar-
kobar.
"Dia telah hengkang dari sini!
Kemana perginya gadis iblis itu?" pikir
laki-laki berkumis dan berjenggot putih
ini. "Sekarang aku melakukan segala-
galanya seorang diri. Bocah gendeng itu
entah dimana rimbanya! Apa Dewi Kehidupan
telah membunuhnya?" Wiro Suryo hanya
menggelengkan kepalanya saja. Tidak lama
setelah itu ia meneruskan perjalanannya
kembali dengan hati kecewa.
Akan tetapi belum lama dia
berjalan. Tiba-tiba saja dari semak-semak
belukar bermunculan sosok tubuh meng-
hadang Tenggiling Kedil. Melihat
penampilan mereka tampaknya orang-orang
ini dari rimba persilatan. Cuma yang agak
mencurigakan kelima laki-laki tersebut
seperti orang linglung,
"Berhenti...!" perintah salah
seorang di antaranya yang memakai baju
hijau. Wiro Suryo alias Tenggiling Kedil
menghentikan langkahnya. Kemudian ia
tertawa membahak.
"Kau memerintahkan aku berhenti.
Besar juga nyalimu!" bentak si kakek.
"Kau harus menyerah pada kami,
Kisanak. Kalau engkau mau bergabung,
tentu ketua kami tetap membiarkan engkau
tetap hidup!"
"Ha ha ha...! Hidup sembilan puluh
tahun, baru sekali ini ada orang berani
membentakku! Aku jadi ingin bertanya
apakah ketua kalian itu Betina Dari
Neraka?"
"Benar!" sahut yang memakai baju
hitam dengan angkuhnya.
"Kalian lihat api di belakang sana!
.
Sebentar tadi aku baru saja membakar
bekas tempat tinggal Iblis Betina Dari
Neraka. Sekarang aku malah sedang memburu
manusia setan itu. Tegasnya walaupun aku
punya badan kecil dan pendek, tetapi aku
tidak suka diperintah oleh siapapun.
Mengerti!" dengus Tenggiling Kedil.
Ucapan Wiro Suryo ini tentu membuat
kelima laki-laki yang menghadangnya
menjadi sangat marah.
"Diberi kesempatan hidup malah
minta racun. Bunuh si pendek jelek itu!"
perintah yang berbaju hijau.
Serentak kelima orang ini menerjang
Wiro Suryo. Kaki dan tangan mereka
meluncur menghujani tubuh kakek berbadan
sangat pendek ini. Tetapi dengan cara
bergulung-gulung seperti Tenggiling. Ia
berhasil menghindari serangan kelima
lawannya. Bahkan ia kemudian melipat
badannya sehingga berbentuk bulat seperti
bola. Dengan begitu ia menggelinding
kesana kemari dengan cepatnya. Kelima
laki-laki yang menyerang Wiro Suryo jadi
terkejut. Ia tidak menyangka lawan yang
dihadapinya dapat melakukan tindakan yang
aneh-aneh.
"Tendangan Berantai! Heaa...!"
Disertai teriakan keras, dalam
waktu bersamaan mereka melepaskan
tendangan ke arah Wiro Suryo. Semula
kakek itu tetap berada di tempat. Tetapi
ketika serangan kaki lawannya semakin
bertambah dekat. Maka ia kembali
menggelundung seperti bola. Tidak dapat
dihindari lagi kaki mereka beradu dengan
kaki kawannya sendiri.
Bletak!
"Wadoww...!"
Mereka menjerit kesakitan. Ketika
orang-orang ini melompat mundur. Maka
tampak kaki mereka menjadi pincang.
"Goblok, mengapa menyerang kaki
kawan sendiri!" bentak yang berbaju hitam
sewot.
"Siapa sangka dia bakal meng-
hindar!" sergah kawannya tidak senang.
"Sekarang serang pakai senjata!"
perintah laki-laki berbadan tinggi besar
yang berdiri tegak di sebelah kanan Wiro
Suryo. Kawan-kawannya menganggukkan
kepala.
Sring! Sriing!
Mereka segera mencabut clurit yang
tergantung di pinggang masing-masing.
Wiro Suryo segera bangkit berdiri. Ia
mengusap-usap perutnya yang tidak memakai
baju.
Ketika senjata-senjata itu di
kibaskan ke depan. Maka terdengar desir
angin menggiriskan hati. Clurit-clurit di
tangan lawan terus bergerak kemana saja
Wiro Suryo mencoba menghindar. Terkadang
menusuk, membabat, mengait atau malah
menebas. Dengan kelincahannya yang sangat
luar biasa sekali Wiro Suryo terus
berkelit. Karena hujan serangan bertubi-
tubi. Maka kakek pendek ini terpaksa
mengerahkan ajian 'Suket Sekilen'.
Kehebatan ajian ini walaupun lawan sudah
memastikan bahwa serangan senjatanya
sudah mengenai sasaran. Tetapi serangan
tersebut sesungguhnya hanya sejengkal
lagi mengenai sasaran.
Berulang kali serangan-serangan
gencar dilakukan oleh lawannya. Tapi
sampai sejauh itu mereka masih belum
berhasil melukai apalagi merobohkan Wiro
Suryo. Lima belas jurus berlalu tanpa
membawa hasil bagi lawan-lawannya. Si
kakek merasa telah cukup memberi
kesempatan pada mereka.
"Manusia-manusia tolol begundal
iblis, kodok buduk kebo bunting! Serangan
yang kalian lakukan tidak bermutu
semuanya! Sekarang lihatlah baik-baik
bagaimana caranya mempecundangi manusia
tolol seperti kalian!" teriak Wiro Suryo.
Bet!
Sekali berkelebat, maka tubuh
Tenggiling Kedil lenyap dari pandangan
mata. Rupanya ia menyusup ke pertahanan
lawannya. Karena tubuhnya yang pendek, ia
menyelinap di bawah selangkangan lawan
sambil menjambreti buah jambu yang cuma
dua biji itu. Atau tidak jarang ia
meremas tempat keramat ini.
"Aarkh...!"
"Wuaaakh...!"
"Keparat...!"
Jerit kesakitan dan suara makian
terdengar silih berganti. Mereka
berjingkrakan seperti monyet-monyet yang
terserang penyakit ayan. Sedangkan tangan
kiri mereka memegangi pusakanya yang
terasa semakin memanjang.
"Ha ha ha...! Bertarung ya...
bertarung, tidak usah menjerit apa lagi
memaki." kata Wiro Suryo sinis.
"Tua bangka setan kejepit bumi! Kau
harus merasakan pembalasan kami!" teriak
salah seorang di antaranya dengan geram.
Mendahului kawan-kawannya laki-laki
itu menyerang Wiro Suryo dengan
mempergunakan jurus 'Menepis Hujan di
Siang Hari'. Ini merupakan salah satu
jurus andalan bagi kelima lawan
Tenggiling Kedil tersebut. Mula-mula ia
melakukan gerakan-gerakan seperti
menangkis, sedangkan kedua kakinya ter-
kembang. Detik berikutnya seperti seekor
babi hutan laki-laki tersebut meluruk
deras ke arah Wiro Suryo. Serangan ini
jelas sangat berbahaya bagi si kakek
pendek. Namun ia menghindar ke samping,
lalu merundukkan kepalanya serendah
mungkin. Setelah clurit lewat di atas
kepalanya. Maka ia menangkap pergelangan
tangan lawan.
Tep!
Sambil mencekal pergelangan tangan
lawan, tangan kiri si kakek merampas
senjata milik lawan. Begitu senjata
berada di tangannya. Ia mengibaskan
senjata melengkung itu ke perut lawan.
Brebet...!
"Aaakh...!"
Laki-laki berbaju hitam menjerit
keras. Isi perutnya berbusaian keluar,
sedangkan darah mengucur seperti kerbau
disembelih. Anehnya Wiro Suryo tidak
langsung melepaskan lawan. Ketika melihat
lawan lain menyerangnya. Maka si baju
hitam yang telah tewas tadi dilemparkan
ke arah para penyerangnya.
Wees!
Gabruuk!
Tiga orang lawan jatuh terduduk
tertimpa mayat kawannya sendiri. Mereka
segera bangkit berdiri dan berlompatan ke
arah Wiro Suryo sambil mengibaskan
senjata di tangan. Tetapi ketika itu Wiro
Suryo telah berguling-guling menjauhi
lawannya. Sehingga serangan-serangan itu
hanya mengenai angin atau menghantam
senjata kawan sendiri.
DELAPAN
"Cincang bangsat pendek itu!"
teriak salah seorang lawan kepada tiga
orang kawannya. Teriakan itu segera
disambut dengan teriakan yang lain-
lainnya. Lalu mengepung Wiro Suryo dari
empat penjuru arah sekaligus.
"Hemm, nyali kalian memang cukup
besar! Tetapi kemampuan tidak ada!" kata
si kakek pendek mengejek. Ketika sedang
bicara begitu, tiba-tiba terasa sambaran
angin dingin dari bagian rusuk sebelah
kiri. Tenggiling Kedil cepat berpaling.
Dilihatnya sebuah clurit hampir menebas
beberapa buah tulang rusuknya yang kecil-
kecil.
Kakek berambut jarang ini melompat-
lompat seperti seekor kodok. Lalu ia
mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian
telapak tangan. Ketika tenaga dalamnya
itu telah tersalur ke bagian telapak
tangan. Maka sekujur tubuhnya tampak
seperti memancarkan cahaya putih
berkilauan. Kemudian Wiro Suryo melenting
ke udara.
"'Aji Pancar Cahaya'! Shaaaa...!"
Disertai dengan teriakan keras
menggelegar. Wiro Suryo mengibaskan kedua
tangannya yang berwarna putih itu ke arah
lawan-lawannya. Detik itu juga tampak
melesat empat larik sinar putih
menyilaukan mata. Sinar yang menebarkan
hawa sejuk seperti di pegunungan ini
langsung menghantam ke empat orang lawan-
lawannya.
Buum!
"Huaakh...!"
Ke empat laki-laki tersebut jatuh
terpelanting. Saat mereka masih melayang
di udara. Dari mulut mereka menyemburkan
darah. Begitu mereka terhempas di tanah
maka jiwa mereka sudah tidak dapat
diselamatkan lagi. Tampak dengan jelas
dari pori-pori mereka keluar darah
berwarna hitam. Begitu dahsyat ajian yang
dimiliki oleh Wiro Suryo ini. Sehingga
lawan-lawannya yang tewas pun sudah tidak
merasakan rasa sakit lagi.
"Mati yang sia-sia adalah kematian
yang orang itu sendiri tidak tahu untuk
apa membela orang yang bersalah!" kata si
kakek. "Weleh-weleh, perjalananku jadi
tertunda gara-gara empat kroco pesing
ini!" Tenggiling Kedil menggelengkan
kepalanya. Ia baru saja bermaksud memutar
langkah, ketika terdengar suara tidak
jauh di belakangnya.
"Lima Iblis Clurit Maut, mati
percuma membuang nyawa! Kita sekarang
bertemu lagi. Aku gembira karena hutang
lama segera terbalas!" bentak sebuah
suara. Wiro Suryo menunggu untuk beberapa
saat lamanya. Karena yang bicara tadi
tidak kelihatan juga maka ia segera
menyahuti....
"Mendengar suaramu seperti burung
hantu, aku mana kena ditipu! Kalau badan
belum menjadi setan lebih baik tunjukkan
diri. Walau kau dapat merubah suaramu
seperti burung bangkai. Aku pasti
mengenal tampangmu!"
"Hak hak hak...! Bagus kalau kau
masih kenal diriku. Kau tinggal sebutkan
kematian yang bagaimana yang kau mau?"
dengus orang itu. Lalu terlihat sosok
tubuh berkelebat ke arah Tenggiling
Kedil. Tidak sampai sekedipan mata,
tampak seorang laki-laki bertubuh
jangkung berdiri tegak di depannya.
"Ternyata mataku tidak kena ditipu.
Kau pasti Wiku Palawa yang kutinggalkan
dalam keadaan sekarat di depan pagar
tembok majikanmu, Iblis Betina Dari
Neraka!" dengus Wiro Suryo ketus.
"Tidak pernah kupungkiri kehebatan
mu! Sayangnya kau kemari tidak bersama-
sama bocah miring itu. Apakah dia sudah
mampus?" ejek Wiku Palawa. Untuk lebih
jelasnya siapa Wiku Palawa (Dalam Episode
Betina Dari Neraka).
"Kawanku Suro Blondo tampangnya
memang ketolol-tololan, namun otaknya
cerdik. Sekarang mungkin ia sedang
bertarung dengan Iblis Betina Dari Neraka
Majikanmu!" pancing Wiro Suryo memanasi.
"Ha ha ha...! Bukan hanya tubuhmu
saja yang membuat iba orang lain.
Ternyata kau juga adalah seorang pemimpi.
Bagaimana mungkin majikanku di Bukit
Cadas Siluman dapat dikalahkan oleh bocah
tolol itu. Sedangkan selain perkasa dia
sendiri punya ratusan pengawal yang
terdiri dari mayat-mayat hidup!" jawab
Wiku Palawa. Tanpa ia sadari ucapannya
barusan tadi sudah merupakan sebuah
keterangan bagi Tenggiling Kedil.
"Walaupun Betina Dari Neraka punya
seribu pengawal. Ia tidak mungkin lolos
dari maut. Anak ajaib itu akan memenggal
kepalanya, kemudian membuang tubuh
Mustika Jajar ke taut Selatan!"
"Keparat pendusta! Kau hanya
mengulur-ulur waktu saja! Kini giliranmu
mati ditanganku." dengus Wiku Palawa.
"Jangan bicara seperti geledek.
Buktikanlah kau punya kejantanan kalau
tidak merasa malu." sahut Wiro Suryo
disertai senyum.
Semakin panas hati Wiku Palawa
mendengar ucapan lawannya. Tiba-tiba saja
ia melompat ke depan sambil mengebutkan
tongkat di tangannya. Si kakek tidak
menyangka datangnya serangan secepat itu.
Sehingga dengan telak tongkat
lawan menghantam punggungnya.
Buuk!
"Aduh... duh...!"
Wiro Suryo terhuyung-huyung.
Sedangkan Wiku Palawa terus mendesak
dengan serangan tongkat hitamnya. Jurus
yang dipergunakan oleh Wiku Palawa juga
tidak tanggung-tanggung. Ia mempergunakan
jurus Tongkat Pelebur Darah. Hanya dalam
waktu singkat tampak sinar hitam seakan
mengepung Wiro Suryo dari seluruh penjuru
arah. Kakek berbadan pendek setinggi
setengah meter ini dibuat kalang kabut.
"Hih...!"
Tiba-tiba saja ia melambung tinggi
ke udara. Setelah berjumpalitan beberapa
kali tubuhnya meluncur deras ke arah
lawan. Kakinya yang pendek menghantam
kepala lawannya. Walaupun Wiku Palawa
sudah berusaha merundukkan kepalanya
serendah mungkin. Tetapi kaki Wiro Suryo
terus mengejar dan....
Gladuk...!
"Wuaakh...!"
Laki-laki berpakaian serba kuning
ini merasa dunia seakan berputar-putar.
Kepalanya sakit berdenyut. Walaupun
begitu tampaknya ia menjadi semakin
nekad. Apalagi mengingat beberapa waktu
yang lalu Wiro Suryo pernah mempermalukan
dirinya dengan membuat sang Wiku tidak
sadarkan diri.
Kini ia menyodokkan tongkatnya ke
perut Tenggiling Kedil. Tetapi si kakek
super pendek sudah menggelundung dan
bergerak menjauh.
Cwieet!
Serangan Wiku Palawa hanya membeset
angin. Rupanya hal ini membuat sang Wiku
menjadi bertambah geram. Kemudian ia
menggeser kakinya ke samping sebanyak dua
langkah. Sedangkan tongkat hitam di
tangannya ia putar dengan cepat, sehingga
menimbulkan suara angin menderu-deru.
"'Sabetan Geledek' Shaaa...!"
teriak Wiku Palawa.
Sambil terus memutar tongkat, Wiku
Palawa melompat-lompat ke depan mendekati
musuh bebuyutannya. Tongkat dikibaskannya
ke arah lawan, sedangkan kaki menyapu
bagian bawah tubuh Wiro Suryo. Serangan
seperti ini jarang dilakukan oleh orang-
orang rimba persilatan. Karena selain
menguras tenaga, gerakannya pun sangat
sulit.
Si kakek kerdil sempat terkesiap
juga. Tetapi ia segera berjumpalitan ke
belakang. Tendangan kaki Wiku Palawa
luput, namun tongkatnya sempat menghantam
perut Wiro Suryo.
Gdbuuk!
"Atauww...!"
Tenggiling Kedil meringis kesakitan
sambil berjingkat-jingkat. Tampaknya
Tenggiling Kedil tidak kapok. Tiba-tiba
saja ia berguling-guling perut sang Wiku.
Buuk!
Lawannya sempat terdorong mundur.
Tetapi sekejab kemudian ia sudah melompat
dan menginjak dada Tenggiling Kedil.
Ngiik!
"Wei... orang gendeng, kualat kau
menginjak dada orang tua!" teriak kakek
konyol ini sambil meronta. Namun injakan
kaki lawan semakin kuat. Malah Wiku
Palawa menghantamkan tongkat di tangannya
ke bagian kepala lawannya. Dengan gerakan
yang sangat aneh, tubuh yang terinjak itu
tiba-tiba meluncur ke depan. Sedangkan
tongkat di tangan Wiku terus meluncur dan
menghantam tulang kakinya sendiri.
Glotak!
"Aduuh...!"
Wiku Palawa menjerit kesakitan
terhantam tongkatnya sendiri. Wiro Suryo
yang sudah berdiri sepenuhnya usap-usap
dadanya yang memerah. Ia kemudian tertawa
terbahak-bahak.
"Ha ha ha...! Agaknya otakmu benar-
benar sudah miring. Masa kaki sendiri
dipukuli. Makanya jangan terlalu bernafsu
membunuh orang, otak di pakai, jangan
asal mengumbar tenaga. Main serudak-
seruduk macam babi. Dasar anak buahnya
iblis!" teriak Wiro Suryo seperti sedang
memarahi anaknya yang nakal.
"Manusia bangsat! Makanlah nih
tongkatku...!" geram Wiku Palawa.
Set!
Bet! Bet!
Tongkat hitam itu kemudian menderu-
deru. Sesekali meliuk, menotok bagaikan
seekor ular cobra yang sedang marah.
Menghadapi serangan yang bertubi-
tubi ini penghuni Gunung Sembung segera
mengerahkan ajian 'Suket Sekilen'. Hanya
sebentar saja serangan-serangan lawannya
tampak menjadi kacau dan tidak pernah
mengenai sasarannya. Dalam penglihatan
Wiku Palawa, setiap tusukan maupun
gamparan tongkatnya mengenai bagian tubuh
Tenggiling Kedil. Namun kenyataan yang di
dapat sungguh sangat bertolak belakang
sekali. Tidak satupun serangan itu
mengena. Sebaliknya serangan balasan yang
dilakukan oleh Wiro Suryo berulang kali
menghantam dada maupun kening lawannya.
Sehingga pelipis Wiku Palawa tampak
mengucurkan darah dan membengkak sebesar
telur ayam.
Sang Wiku tampaknya mulai bingung
dan merasa kehabisan akal menghadapi
orang tua yang sama konyolnya dengan
Pendekar Blo'on ini. Akhirnya ia terpaksa
melompat mundur ke belakang. Tongkat
ditangannya ia campakkan ke samping.
Tenggiling Kedil menanggapinya dengan
tawa.
"Rupanya kau sudah jenuh
mempergunakan tongkat, ya...? Sekarang
apa kau mau mempergunakan tongkat
kramatmu? Ha ha ha...! Sebaiknya jangan.
Tongkat itu khusus untuk perempuan,
mustahil kau memasukkannya ke lubang
semut atau pantatku. Nanti semut-semut
marah dan membuatmu menjadi konyol!" ejek
si kakek rada-rada ngeres.
Pipi Wiku Palawa tampak menggembung
menahan geram. Wajahnya merah padam.
Tetapi ia tetap tutup mulut dan
konsentrasi mengerahkan tenaga dalam ke
bagian telapak tangan. Beberapa detik
setelah kedua tangan itu telah menjadi
hitam. Lalu....
"'Petaka Gila Durjana'! Hiyaa...!"
Disertai teriakan melengking
seperti seekor serigala kelaparan, Wiku
Palawa menghantamkan kedua tangannya ke
depan. Sepuluh larik sinar hitam menebar
bau busuk melesat bagaikan jilatan lidah
api ke arah Wiro Suryo. Hanya beberapa
saat kemudian sinar hitam tersebut
menghantam Wiro Suryo.
Gledeng...!
"Aaaa...!"
Dengan telak pukulan tersebut
menghantam tubuh lawannya. Wiro Suryo
tergontai-gontai. Namun tidak ada satupun
bagian yang kurang dari tubuhnya. Kiranya
ketika lawan melepaskan pukulan tadi,
Tenggiling Kedil membentengi dirinya
dengan ajian 'Suket Sekilen'. Ketika debu
lenyap dari udara, maka Wiro Suryo
tertawa membahak. Ia berdiri bertolak
pinggang.
"Pukulan picisan begitu kau
pamerkan di depanku! Jika kau punya yang
lebih ampuh lagi, kuberi kesempatan
padamu untuk melepaskannya. Jika tidak
kau bakal tidak mendapat pengampunan ke
dua dariku!" dengus si kakek super
pendek. Wiku Palawa tercengang. Ia telah
melepaskan pukulan tingkat paling tinggi
yang ia miliki. Sosok di depannya
pastilah bukan manusia, sebab bila
manusia sungguhan. Paling tidak tubuhnya
telah hancur berkeping-keping.
Merasa tidak punya pilihan lain
lagi, maka Wiku Palawa terpaksa
mempergunakan asap pembius pemberian
Mustika Jajar. Laksana kilat ia
menyambitkan benda hitam sebesar kepalan
tangan orang dewasa ke depan Wiro Suryo.
Buum!
Begitu suara ledakan terdengar.
Maka asap tebal langsung menebar ke arah
Wiro Suryo. Sebagai orang yang telah
kenyang makan asam garam rimba
persilatan. Tentu ia mengetahui kekuatan
apa yang terkandung di dalam tabir asap
itu. Sehingga sejak awal, sebelum bahan
pembius itu meledak ia telah menutup
indera penciumannya.
"Aakkkh... mengapa begini...!"
desis si kakek.
Kemudian tubuhnya tampak terhuyung-
huyung. Setelah itu ia jatuh terlentang
seperti orang yang tidak sadarkan diri.
Wiku Palawa merasa senang bukan
main melihat lawannya roboh. Ternyata si
pendek konyol ini masih kena diakali.
Siapa kira akan semudah itu ia menangkap
Wiro Suryo yang dianggapnya memiliki
mukjizat tersebut.
"He he he...! Ternyata jalan
pikiranmu sependek tubuhmu! Manusia
sepertimu akan sangat berguna bila
bergabung dengan kami!" kata Wiku Palawa.
Tanpa merasa curiga sedikitpun. Ia
segera mendekati Tenggiling Kedil dengan
maksud membawanya pergi ke Bukit Cadas
Siluman. Namun diluar dugaan, Wiro Suryo
membalikkan tubuhnya. Sedangkan kedua
tangan dihentakkan ke arah lawan.
Segulung sinar putih menderu. Begitu
dekatnya jarak di antara mereka sehingga
Wiku Palawa tidak sempat lagi menghindar.
Tidak terelakkan lagi ajian 'Pancar
Cahaya' yang dilepaskan Wiro menghantam
tubuh lawannya. Nyawa Wiku Palawa putus
seketika, sehingga dia tidak sempat lagi
menyadari apa yang terjadi dengan
dirinya. Wiro Suryo bangkit berdiri.
"Dia entah ke akherat atau neraka
aku tidak perduli. Yang terpenting aku
sudah mendapat petunjuk dimana iblis
bersembunyi!" kata kakek kerdil itu
sambil melangkah pergi.
SEMBIRING
Dengan langkah terhuyung-huyung.
Perkasa kembali ke Bukit Cadas Siluman
dengan membawa kekalahannya. Ketika itu
di bagian bangunan depan yang belum jadi
sepenuhnya tampak sepasukan mayat hidup
sedang berjaga-jaga. Selain mayat-mayat
hidup ini masih ada lagi beberapa orang
laki-laki berpakaian serba hitam.
Mereka juga adalah anak buah Iblis
Betina Dari Neraka yang berhasil
ditundukkan oleh Wiku Palawa. Mustika
Jajar sedang mondar-mandir di dalam
ruangan pribadinya ketika pintu depan
terkuak dengan paksa. Ia tampak terkejut
juga saat melihat Perkasa dalam keadaan
terluka.
"Kekasihku, apa yang terjadi
denganmu?" tanya Mustika Jajar.
Gadis cantik itu segera menghampiri
kekasihnya. Kemudian ia memapahnya menuju
ke tempat tidur.
"Pemuda tolol itu telah melukaiku.
Dia tidak sendiri, melainkan datang
bersama seorang gadis air." Lapor
Perkasa dengan suara timbul tenggelam
tidak beraturan.
"Dewi air maksudmu?"
"Ya...."
"Keparat! Suro Blondo kelewat
berani bertindak sewenang-wenang terhadap
mu! Rupanya dia belum tahu bahwa melukai
dirimu sama saja artinya menyakiti aku.
Jangan khawatir kekasihku. Bila si
keparat itu datang ke sini. Tentu tidak
ada jalan hidup baginya dan sebuah kubur
telah kusediakan buatnya!"
"Dia sangat kuat sekali!" sergah
Perkasa seakan ragu.
"Biarkan dia punya kekuatan
selangit tembus, namun aku adalah Iblis
Betina Dari Neraka. Tidak ada yang dapat
mengalahkan orang sepertiku! Nah sekarang
kau istirahatlah. Aku akan menyediakan
obat-obatan untukmu...!" kata Mustika
Jajar.
"Tunggu Junjunganku!"
Si gadis hentikan langkah.
"Ada apa?"
"Apakah kau lupa bahwa setiap
penyakit yang kuderita tidak ada obatnya?
Tubuhku tidak seperti manusia biasa.
Badanku tidak bisa menyerap obat apapun.
Terkecuali yang satu itu...!" Perkasa
tidak melanjutkan kata-katanya. Tetapi
Mustika Jajar cepat tanggap. Maka ia pun
tertawa mengikik.
"Hik hik hik...! Hemm, akupun
hampir lupa bahwa kau tidak pernah makan
dan tidak pernah tidur. Makananmu adalah
cinta...! Tetapi apakah kau sekarang
sudah siap melakukannya?" tantang si
gadis.
"Dalam keadaan hancur sekalipun aku
selalu siap melakukan yang satu itu!"
sahut Perkasa.
Mustika Jajar tersenyum. Tanpa
membuang-buang waktu lagi ia segera
melepaskan kancing-kancing bajunya.
Setelah melepaskan seluruh pakaian yang
menutupi auratnya. Maka ia langsung
memeluki tubuh Perkasa. Dadanya yang
membusung menekan dada Perkasa yang
bidang. Dengan agresip sekali ia
menjatuhkan ciuman bertubi-tubi di bibir
dan leher kekasihnya. Perkasa
menggeliatkan tubuhnya. Terdengar suara
erangan dari mulut laki-laki penjelmaan
patung tersebut.
"Perkasa. Kau tidak boleh mati,
tanpamu hidupku akan menjadi sunyi. Tiada
yang dapat menghilangkan dahaga yang
kurasakan. Kau adalah segala-galanya
bagiku!" desis si gadis dengan mata
setengah terpejam.
Perkasa segera bersaksi atas apa
yang terjadi pada dirinya ia memeluk
Mustika Jajar dengan erat. Sementara
tangannya yang kokoh bergerak nakal ke
sekujur tubuh si gadis, sehingga membuat
Mustika Jajar menggelinjang.
"Per-ka-sa... se-ka-rang....
Cepatlah lakukan...!" bisik Mustika Jajar
di telinga Perkasa. Apa yang terjadi
kemudian terasa begitu cepat. Saat
Perkasa memasuki diri si gadis. Maka
Mustika Jajar menjerit lirih, sedangkan
pelukannya semakin bertambah erat saja.
Apa yang terjadi di dalam ruangan
tersebut. Selanjutnya hanyalah dinding
kamar yang menjadi saksi bisu atas
perbuatan terkutuk mereka. Sampai
akhirnya mereka sampai pada puncak
pendakian. Mustika Jajar terkapar di sisi
kekasihnya. Gadis cantik itu tersenyum
puas. Sedangkan diluar sepengetahuan
Mustika Jajar. Luka-Iuka yang diderita
oleh kekasihnya secara perlahan hilang
dengan sendirinya.
"Walaupun dalam keadaan terluka,
ternyata kau masih tetap hebat, Perkasa!"
puji si gadis sambil menyeka bukit-bukit
di dadanya yang berkeringat.
Perkasa hanya tersenyum. Tidak lama
ia sudah bangkit berdiri dan berjalan
mondar-mandir di tengah-tengah ruangan.
Seakan tidak terjadi apa-apa pada
dirinya.
"Cepat atau lambat dia pasti datang
kemari! Disaat itulah seluruh anak buahku
menghabisinya!" dengus si gadis sambil
mengenakan pakaiannya kembali.
"Kuharap junjungan mampu
membunuhnya!" kata Perkasa seakan merasa
sangat khawatir,
"Tidak usah takut. Aku adalah orang
nomor satu di kolong langit ini! Tidak
seorang pun dapat mengalahkan aku!" sahut
gadis itu dengan segala keangkuhannya.
***
Untuk sementara kita tinggalkan
dulu Perkasa dan kekasihnya yang sedang
berandai-andai itu. Sementara di halaman
depan, mayat-mayat hidup terus berjaga-
jaga dari segala kemungkinan. Pada
kesempatan itu tiba-tiba di langit sana
terdengar suara gemuruh disertai pekikan-
pekikan burung yang sangat banyak sekali
jumlahnya.
"Kek... kreak... kreak...!"
Burung-burung bangkai semakin
banyak berdatangan. Setelah kawanan
burung bangkai itu memenuhi langit di
atas Bukit Cadas Siluman. Maka tiba-tiba
saja terdengar suara siulan. Gelombang
suara siulan tersebut tidak beraturan.
"Bunuh...!"
Terdengar bentakan mengandung
perintah. Dengan serentak dan disertai
suara teriakan keras. Maka burung-burung
pemakan bangkai itu meluncur turun
menyerang mayat-mayat hidup. Para
pengawal Mustika Jajar tampak menjadi
panik. Mereka segera melakukan
perlawanan. Tetapi burung-burung bangkai
menjadi semakin ganas. Rupanya mereka
mengetahui bahwa yang mereka serang
sebenarnya adalah bangkai-bangkai hidup
yang menjadi sumber makanan mereka.
Mayat-mayat hidup menjadi panik,
daging busuk mereka tercabik-cabik di
sana-sini. Tetapi mereka dengan sengit
melakukan serangan balasan. Tangan mereka
mencengkeram setiap burung-burung yang
hinggap di bahu atau di kepala mayat-
mayat ini. Rupanya suara ribut-ribut di
luar sempat di dengar oleh Mustika Jajar.
Bersama Perkasa ia menghambur keluar.
Betina Dari Neraka terkesiap setelah
melihat kawanan burung itu menyerang anak
buahnya.
"Pasukan hitam, mengapa kalian
hanya diam menonton!" teriak si gadis
ditujukan langsung pada belasan laki-laki
bersenjata golok besar.
Mendapat perintah dari atasannya,
maka belasan orang berbaju hitam itu
langsung mencabut goloknya dan membantu
mayat-mayat hidup.
"Perkasa! Burung-burung keparat itu
bagianmu." tegas Mustika Jajar.
Perkasa pemuda gagah penjelmaan
patung karya cipta Pematung Kelana dengan
cepat mendongak ke langit. Di atas sana
ia melihat ratusan ekor burung bangkai
sedang terbang berputar-putar di sertai
suara kak-kik-kok memekakan telinga.
Pemuda itu tiba-tiba mengibaskan
kedua tangannya ke udara. Secara spontan
tampak bunga api meluncur deras membelah
udara. Lalu....
Blar! Blaar!
Pukulan dahsyat yang dilepaskan
oleh Perkasa menghantam burung-burung
pemakan bangkai tersebut.
"Kek...!"
Burung-burung itu berkaparan mati
dengan tubuh hangus seketika. Walaupun
begitu sebagian besar di antaranya
selamat.
Burung-burung yang selamat kembali
menyerang pengawal yang terdiri dari
mayat-mayat hidup maupun pengawal Iblis
Betina Dari Neraka yang memakai baju
hitam.
Hanya dalam waktu yang singkat
mayat-mayat hidup itu kehilangan daging-
daging busuk yang menempel pada badan
mayat. Mayat-mayat itu jatuh bangun.
Namun meskipun tinggal tulang belulang
mereka bangkit lagi dan kembali menyerang
kawanan burung-burung tersebut sehingga
suasana di sekeliling tempat itu menjadi
hingar-bingar.
Semakin lama pertarungan antara
kawanan burung-burung bangkai dengan
pasukan mayat hidup pengawal Mustika
Jajar berubah menjadi semakin seru. Sudah
banyak pula burung-burung bangkai yang
mati, sebaliknya walaupun mayat-mayat
hidup tersebut tercabik-cabik. Namun
mereka masih tetap bertahan seakan tidak
ada sesuatu apapun yang berkurang dalam
diri mereka.
Lama kelamaan jumlah burung pemakan
bangkai itu semakin menyusut. Tampaknya
mayat-mayat hidup berada dalam kondisi
yang menguntungkan. Pasukan berpakaian
serba hitam yang melihat kenyataan ini
segera berlompatan mundur. Sampai
akhirnya mereka membentuk barisan seperti
semula. Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara bentakan di sertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Tahan...!"
Mayat-mayat hidup tampak terhuyung
ke belakang. Dari arah lain terlihat
seorang laki-laki memakai topi caping
berjalan mendekati Mustika Jajar.
"Harum benar bau disini? Pasukan
mayat. Setahuku hanya Tua Tengkorak Mata
Api saja yang memiliki ilmu iblis
Pembangkit Mayat. Tidak kusangka gadis
secantik dan semudamu mempunyai kekuatan
langka itu. Apa hubunganmu dengan Tua
Tengkorak Mata Api?" tanya kakek bertopi
caping bambu itu penuh selidik.
"Hik hik hik...! Kau sendiri siapa?
Apakah burung-burung bangkai itu
milikmu?" Mustika Jajar malah balik
bertanya. Seakan pertanyaan kakek
berwajah seperti terbelah ini hanya angin
lalu saja.
"Akulah Datuk Tabala Muka alias Si
Burung Bangkai!" jawab si kakek ketus.
"Sekarang coba kau sebutkan kau
punya nama atau gelar kalau punya. Dan
katakan pula siapa nama gurumu?"
"Aku Mustika Jajar alias Betina
Dari Neraka. Guruku memang Tua Tengkorak
Mata Api." jawab si gadis.
Jika semula wajah di balik topi
caping bambu tampak berseri-seri
mendengar julukan Mustika Jajar. Maka
setelah gadis berpakaian tembus pandang
ini menyebutkan nama gurunya. Maka wajah
yang seperti terbelah itu tampak
berkerut. Kini setelah mendengar nama
gurunya. Maka keinginannya untuk menja-
jaki kehebatan Iblis Betina Dari Neraka
hilang seketika.
"Benar kau muridnya Tua Tengkorak
Mata Api?"
"Kau tidak percaya silakan mampus
dulu dan tanyakan kebenaran di
neraka...!" kata si gadis.
"Ha ha ha...! Pulau Pelebur Dosa.
itu jauh dari mata jauh pula dari hati.
Sengaja kucari kau ke sini semata-mata
ingin menghapus julukanmu yang kelewat
muluk itu. Tidak kusangka kau muridnya
Tua Tengkorak Mata Api. Si tua bengal
yang kehilangan matanya karena ingin
menjajal kehebatan Malaikat Berambut
Api...!" desis Datuk Tabala Muka. Jika
semula Iblis Betina Dari Neraka telah
bersiap-siap menjaga segala kemungkinan.
Maka sekarang setelah kakek di depannya
ada menyebut-nyebut nama gurunya. Maka
Mustika Jajar jadi bertanya-tanya dalam
hati. Siapa agaknya orang tua ini?
"Kau mau membunuhku? Apakah kau
mampu?" tanya si gadis dengan senyum
menantang.
"Semula memang.... Tetapi sekarang
tidak lagi...!" jawab Datuk Tabala Muka
tegas.
"Hik hik hik...! Mengapa? Apakah
karena kau merasa terpikat dengan
kecantikanku dan kemulusan tubuhku atau
kau takut mampus?" ejek Iblis Betina Dari
Neraka.
"Hak hak hak...! Datuk Tabala Muka
tidak pernah mengenal rasa takut kepada
siapapun. Jika benar-benar kau muridnya
Tua Tengkorak Mata Api. Apakah manusia
Maha Sesat itu tidak pernah bercerita
kepadamu tentang adik seperguruannya yang
tinggal di Pulau Pelebur Dosa?" Mustika
Jajar terdiam. Tiba-tiba ia berseru....
"Guruku memang pernah bercerita
tentang adik seperguruannya yang berjuluk
Si Burung Bangkai... andakah orangnya?"
tanya si gadis.
"Ha ha ha...! Di dunia ini hanya
ada satu julukan Si Burung Bangkai. Tidak
kusangka aku punya murid keponakan yang
mempunyai ambisi besar sepertimu! Betapa
Tua Tengkorak Mata Api akan bangga
kepadamu!" Melihat kenyataan bahwa Datuk
Tabala Muka masih merupakan paman gurunya
sendiri, maka Mustika Jajar segera
menjura hormat dan sikapnya pun berubah
menjadi ramah.
SEPULUH
"Setelah mengetahui keinginan apa
yang terkandung dalam niatku. Apakah
paman guru kini bersedia bergabung
denganku?" tanya si gadis sambil
membasahi bibirnya yang kemerahan dan
mengedipkan matanya yang nakal.
"Mengapa tidak. Jika telah
kuketahui siapa kau. Tentu aku turut
mendukung usahamu untuk mendirikan sebuah
kerajaan persilatan. Aku akan membantumu
sekuat kemampuanku!" kata Datuk Tabala
Muka.
Iblis Betina Dari Neraka merasa
senang mendengar keputusan Datuk Tabala
Muka. Ia kemudian mendekati sang Datuk
tanpa ragu-ragu lagi.
"Bersama pasukan Mayat ini aku
telah mendirikan sebuah bangunan merah
tidak jauh dari sini. Paman bisa
melihatnya betapa megahnya kerajaan
persilatan yang kubangun. Jika paman mau,
mari kita ke sana. Sementara ini kita
biarkan pasukan mayat hidup ini bertahan
di Bukit Cadas Siluman. Mereka akan
menjadi ujung tombak di barisan depan."
"Jauhkah tempat itu dari sini?"
tanya Datuk Tabala Muka.
"Tidak jauh. Hanya dua jam dari
bukit ini."
"Mengapa pasukan mayat hidup
ditinggalkan disini. Bukankah lebih baik
mereka menjaga singgasana mu?"
"Semua ini kulakukan untuk mengecoh
perhatian musuh-musuhku! Singgasana megah
dari batu pualam putih itu dibangun
dengan bantuan iblis. Jika sampai rusak.
Aku akan meratapinya seumur hidup!"
"Ha ha ha...! Ternyata kau sangat
cerdik dalam mengatur siasat. Aku yakin
bocah tolol itu tidak akan lolos bila
telah sampai disini!"
"Siapa yang paman guru maksudkan?"
tanya Mustika Jajar dengan kening
berkerut.
"Siapa lagi kalau bukan si tolol
Suro Blondo."
"Oh itu, aku sendiri memang ingin
menangkapnya hidup atau mati. Pernah dia
dan kawannya termakan jebakanku, tetapi
entah mengapa ia dapat meloloskan diri!"
ujar Mustika Jajar, geram.
"Jangan takut. Aku akan membantumu.
Kelak aku akan menangkapi tokoh-tokoh
rimba persilatan yang tidak mau tunduk
kepadamu!" janji Datuk Tabala Muka.
"Aku senang mendengarnya." sahut si
gadis sambil mengedipkan matanya. "Paman
guru tahu, bahwa guru Suro Blondo adalah
musuh besar guruku. Bahkan guru telah
berpesan padaku agar mencari Malaikat
Berambut Api. Cuma aku belum bisa
melaksanakan perintah guru, karena
sekarang ini aku harus melakukan tugas
utama yang menjadi cita-citaku selama
ini!"
"Dan cita-citamu hampir berhasil,
bukan?"
"Memang. Tetapi hanya sebagian
saja. Oh ya... sekarang kita lihat betapa
megahnya singgasana yang dibangun hanya
dalam waktu semalam itu." ujar si gadis.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Iblis
Betina Dari Neraka dengan diikuti oleh
Datuk Tabala Muka dan Perkasa segera
meninggalkan Bukit Cadas Siluman.
Sehingga di atas bukit itu sekarang yang
tertinggal hanya pasukan Mayat Hidup dan
juga pasukan hitam yang jumlahnya tidak
lebih hanya lima belas orang saja.
Sedangkan mayat-mayat hidup tampaknya
jumlah mereka tidak berkurang dan
mencapai ratusan.
* * *
Menjelang sore hari, di Bukit Cadas
Siluman tampak sosok berbadan pendek
berlari-lari seperti sedang bermain
kucing-kucingan. Gerakannya lincah dan
cepat. Sehingga sekilas seperti setan
gentayangan yang sedang memburu waktu.
Tingkah kakek yang cuma berselempang kain
putih ini memang mirip dengan seorang
bocah kecil yang nakal. Cuma yang
membedakannya, kakek ini berambut putih,
kumis dan janggutnya juga berwarna putih.
Kakek bertampang lucu ini seperti kita
ketahui bernama Wiro Suryo alias
Tenggiling Kedil.
Ia menyisir Bukit Cadas Siluman
semata-mata karena mendapat keterangan
bahwa Betina Dari Neraka membangun sebuah
kekuatan baru disana. Setelah sampai di
puncak bukit sebelah selatan. Tenggiling
Kedil sekonyong-konyong hentikan larinya.
Karena badannya yang setinggi setengah
meter, maka ia tidak melihat keadaan di
depannya.
"Susahnya jadi manusia adalah
seperti diriku ini. Ingin menggapai
langit, langit begitu tinggi. Mau
menggapai matahari, tubuhku pasti hangus.
Ingin melihat ke depan, terpaksa memanjat
pohon dulu ah!" kata Wiro Suryo kesal.
Lalu dia menghampiri sebatang pohon
berukuran sedang-sedang saja. Dengan
gerakan cepat sulit diikuti mata ia mulai
memanjat.
"Heh... ternyata aku sudah sampai
di pucuk. Mengapa harus ke pucuk, kalau
jatuhkan bisa mampus." gerutu Tenggiling
Kedil. Ia bergerak agak turun. Di depan
sana ia melihat sebuah bangunan yang
tidak begitu mewah. Di depan bangunan
terbuat dari kayu itu tampak ratusan
laki-laki bertampang aneh-aneh sedang
berjaga-jaga.
"Di situ rupanya manusia setan
bersembunyi. Aku hampir kena di tipu jika
Wiku Palawa tidak kasih petunjuk. Aku
harus kesana!" pikir Wiro Suryo.
Ia bermaksud menuruni pohon yang
dipanjatnya. Namun gerakannya terhenti
ketika melihat dua sosok tubuh bergerak
mengendap-endap di bawah pohon tersebut.
"Kurasa kita sudah hampir sampai!"
kata yang berada di bawah pohon berbisik
pada gadis baju putih yang berada di
sampingnya.
"Lihatlah, penjagaan begitu ketat.
Aku heran dalam waktu tidak lama Betina
Dari Neraka mampu mengumpulkan pengikut-
pengikut yang cukup besar." gadis baju
putih menyahuti. Pemuda di sampingnya
julurkan kepala sambil mengangguk-angguk
macam burung perkutut. Lalu digaruknya
belakang kepala berulang-ulang.
"Tidak heran. Orang-orang yang
tidak mau berpihak padanya pasti dibunuh.
Kita juga harus berhati-hati, aku
khawatir gurunya yang dapat menghidupkan
patung ada bersamanya. Urusan bisa jadi
kapiran jika mata sumplung itu ada
bersama Mustika Jajar."
"Kau takut, Suro? Kita berdua
kurasa bisa mengatasi mereka." menyahuti
gadis baju putih penuh keyakinan.
"Jangan kelewat memandang rendah
dengan kemampuan lawan. Kau tahu tidak.
Aku sendiri bersama bocah tua bangka
berambut putih dan berkumis cuma beberapa
lembar itu pernah masuk dalam perangkap
iblis Betina. Sebenarnya bukan
kesalahanku, tapi kesalahan si tolol itu.
Untung gurumu memisahkan kami. Kalau
tidak bocah sinting itu bisa membuat aku
semakin miring!" dengus pemuda berambut
hitam kemerahan.
Walaupun kata-kata Suro Blondo
terdengar pelan, tetapi sempat didengar
oleh Wiro Suryo.
"Pemuda edan ini kalau nggak
dibikin babak belur pasti selalu menghina
orang lain. Dia kira dirinya itu siapa!"
dengus Tenggiling Kedil dalam hati.
Set! Ser,...!
Wiro Suryo tiba-tiba melakukan
sesuatu.
"Hah... hujan gerimis." Suro Blondo
menyeka tangannya yang terkena air.
"Tidak ada mendung mengapa ada
hujan?" tanya Dewi Arimbi.
"Nah hujan lagi...!" kata si
pemuda.
Lalu ia menyeka air yang bergulir
di atas batang hidungnya. Tetapi ia
mengendus bau pesing menyengat.
"Kurang ajar, bukan hujan. Tapi air
kencing. Mana ada Malaikat kencing secara
kurang ajar begini !" dengus Pendekar
Blo'on.
Suro Blondo tidak disangka-sangka
memungut batu di bawah kakinya. Sedangkan
Wiro Suryo terpaksa menahan nafas dan
menahan tawa.
"Kalau bukan perbuatan tua bangka
edan kejepit bumi. Pasti ini perbuatan
setan! Setiap setan usil harus dikasih
mampus!" Pendekar Blo'on secepat cahaya
melemparkan dua buah batu ke atas pohon.
Wuut!
Jdaak!
"Aduh...!"
Di atas pohon terdengar suara
mengadu disertai melayangnya sosok tubuh
pendek ke bawah.
Gubrak ..!
Tenggiling Kedil jatuh tepat di
depan kaki murid Penghulu Siluman Kera
Putih dan Malaikat Berambut Api. Begitu
mengenali orang yang mengusilinya. Maka
Suro tertawa membahak.
"Oh... rupanya kau setan yang telah
mengirimkan hujan padaku! Manusia macam
kau memang selalu bikin jengkel orang
lain. Dasar tua bangka sinting." dengus
Pendekar Blo'on sambil pencongkan
mulutnya.
"Pemuda sinting! Jangan kau berani
kurang ajar padaku. Kau punya kesalahan
sudah melebihi takaran. Kini setelah kau
bergandengan dengan seorang gadis cantik.
Kau berpura-pura tidak mengenal kawan
lama."
"Apa salahku Tenggiling Kedil. Kau
hendak mengatakan bahwa berjalan seorang
diri tidak enak atau kau malah merasa
iri? Besarkan dulu badanmu, nanti kalau
sudah besar dan dewasa baru kau boleh
punya pasangan." ejek Wiro Suryo.
"Bukan... bukan itu...! Aku mau tau
kau punya jawaban, mengapa tempo hari kau
meninggalkan aku di pinggir sungai. Hayo
mengapa, coba jawab?"
"Oh... itu. Kurasa hanya kebetulan
saja guru Dewi Arimbi menyukai aku.
Beliau tidak mau mengajakmu karena walau
kau sudah berjenggot dianggapnya kau
masih bocah kecil."
Dewi Arimbi hanya diam saja melihat
Suro dan Wiro berdebat. Ia rupanya sadar
bahwa kedua manusia yang dihadapinya
benar-benar sinting.
"Kau jangan meledekku. Sekarang
kita punya tugas besar dan pesta
pembantaian yang besar pula."
"Apa maksudmu?"
"Di depan sana ada sebuah bangunan.
Turut Wiku Palawa yang sudah kojor di
tanganku. Katanya Betina Dari Neraka
sekarang menghimpun kekuatan di Bukit
Cadas Siluman ini. Apa pendapatmu,
sobatku?" desah Wiro Suryo ingin tahu.
"Wiku Palawa sudah mampus, aku
sendiri hampir membunuh Perkasa. Sayang
dia melarikan diri setelah terluka
parah."
"Kurasa Perkasa segera pulih
setelah mendapat kehangatan dari Mustika
Jajar." sahut Tenggiling Kedil.
"Bagaimana kau tahu?"
"Menurut ramalanku begitu."
"Sudahlah, sekarang lebih baik kita
santroni manusia setan itu." tegas Suro
Blondo memutuskan.
"Tunggu dulu...!"
"Ada apa lagi?" tanya Suro, seraya
menghentikan langkah tanpa menoleh ke
belakang.
"Kau belum memperkenalkan aku pada
gadis cantik ini. Apakah dia sekarang
telah menjadi sobatmu atau kekasihmu?"
Memerah wajah Dewi Arimbi mendengar
ucapan Wiro Suryo. Lalu matanya melotot,
namun Tenggiling Kedil malah tertawa.
"Tanyakan saja padanya, aku tidak
layak menjawab pertanyaanmu, orang tua
gila." dengus si pemuda kemudian
melanjutkan langkahnya kembali.
Karena berulangkali Dewi Arimbi
terus memelototi Wiro Suryo. Maka kakek
pendek itu tidak berani mengajukan
pertanyaan. Lebih kurang dua puluh tombak
berjalan. Akhirnya mereka sampai di depan
bangunan yang belum jadi sepenuhnya itu.
Serentak mayat-mayat hidup dan pasukan
hitam mengepung mereka.
"Gila... orang-orang ini tidak
ramah pada tamunya." bisik Wiro Suryo
pada Pendekar Blo'on.
"Kurasa mereka bangkai berjalan.
Cobalah rasakan bau yang sangat busuk
ini." desis Suro sambil garuk-garuk
kepalanya. Dewi Arimbi tidak menyahut.
Sebaliknya tampak bersikap waspada
menghadapi segala kemungkinan.
SEBELAS
Hidung Tenggiling Kedil kembang
kempis. Ternyata memang tercium bau
bangkai di situ.
"Aku tahu cara mengatasinya.
Sekarang kita hadapi mereka bersama-
sama...!" kata Wiro Suryo. Tidak seorang
pun yang sempat menanggapi kata-kata
Tenggiling Kedil. Karena pada saat itu
mayat-mayat hidup tersebut telah
menyerang mereka dari seluruh penjuru
arah.
"Groak...! Hraaagh...!"
Terdengar suara-suara aneh di sana-
sini. Mayat-mayat hidup yang jumlahnya
mencapai ratusan itu menghujani mereka
dengan pukulan, tendangan maupun cakaran
dengan mempergunakan kuku-kukunya yang
panjang.
"Hiyaa...!"
Sambil berteriak keras, Dewi Arimbi
tiba-tiba melentik ke udara. Ia berputar-
putar di sana, lalu ketika tubuhnya
meluncur ke bawah. Maka kedua tangannya
dihentakkan ke arah mayat-mayat hidup
yang mengeroyoknya.
Wuut!
Selarik sinar merah laksana bara
melesat dengan cepat ke arah lawan-
lawannya. Beberapa saat kemudian pukulan
yang dilepaskan oleh Dewi menghantam
sasaran.
Buum...!
"Aaaa...!"
Terdengar jeritan keras. Beberapa
mayat hidup jatuh terjungkal dengan
sekujur tubuh hangus dan tidak bangkit-
bangkit lagi.
"Gunakan pukulanmu, Suro!" teriak
Tenggiling Kedil.
Begitu mendengar aba-aba dari
kawannya, maka Pendekar Blo'on sambil
menghindari setiap serangan yang datang
segera melepaskan pukulan 'Matahari
Rembulan Tidak Bersinar'. Ketika pemuda
berambut hitam kemerahan-merahan menghen-
takkan kedua tangannya ke arah mayat-
mayat itu. Tampak selarik sinar redup
menderu keluar dari telapak tangan
Pendekar Blo'on. Detik itu juga pukulan
yang dilepaskan oleh Pendekar Blo'on
menghantam ke arah sasaran.
Glaar!
"Hraaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan disana
sini. Tampak beberapa sosok mayat
tergelimpang roboh. Hawa panas yang
keluar dari telapak tangan si pemuda itu
ternyata membuat mayat-mayat itu tidak
dapat bertahan hidup. Setelah mengetahui
kelemahan mayat-mayat hidup ini. Maka
Suro, Wiro maupun Dewi segera melepaskan
pukulan mautnya berulang-ulang. Korban
dipihak mayat hidup terus berjatuhan.
Tetapi mereka yang masih tetap bertahan
tampak menjadi semakin bertambah
beringas. Melihat keganasan mereka, Suro
Blondo terpaksa mempergunakan jurus
'Kacau Balau' yaitu sebuah jurus khusus
menghindar yang diwariskan oleh Malaikat
Berambut Api. Suro meliuk-liukkan badan-
nya, setiap langkahnya tidak beraturan.
Terkadang tubuhnya terhuyung ke depan
atau condong ke belakang. Tetapi
terkadang dengan cepat ia menerjang ke
depan sambil melepaskan tendangan
beruntun ke arah mayat-mayat tersebut.
Duuk!.
"Hegkh...!"
Satu dua sosok mayat hidup jatuh
terpelanting. Tetapi kawan-kawannya yang
berada di samping dan dari belakang
menghujani si pemuda dengan serangan-
serangan menggeledek.
"Hraaakh...!"
"Wadoww...!"
Pendekar Blo'on jatuh tunggang
langgang. Pukulan mayat-mayat hidup yang
menghantam dada dan punggung serta
perutnya, membuat pemuda ini merasa
tubuhnya seperti remuk. Walaupun begitu
Suro cepat bangkit berdiri. Sementara
Tenggiling Kedil entah pergi kemana.
"Sialan. Si pendek malah merat di
saat aku dan Dewi sibuk menghadapi
bangkai-bangkai berjalan ini." gerutu si
pemuda.
Baru saja Pendekar Blo'on mencoba
melepaskan pukulannya yang paling ampuh.
Pada saat itu pula dari dalam bangunan
keluar Tenggiling Kedil dengan membawa
obor menyala dengan jumlah besar.
"Sisakan tenaga kalian untuk
menghadapi Betina Dari Neraka. Sekarang
kita serang mayat-mayat bau ini dengan
api!" teriak Wiro Suryo. Seraya kemudian
melemparkan api ke tengah-tengah mayat
yang mengeroyok Suro dan Dewi.
"Huaaah...!"
Mayat-mayat hidup tersebut
berserabutan menyelamatkan diri dari
amukan api.
"Melemparkannya pelan-pelan, bocah
tua. Salah-salah mengenai diriku!" teriak
si pemuda. Ia lalu menangkap salah satu
obor yang melayang-layang di udara.
Dengan mempergunakan obor menyala
tersebut Suro menerjang ke arah lawan-
lawannya. Setiap sosok mayat yang terkena
api, pasti mereka mengeluarkan jeritan
aneh. Lalu tubuhnya ambruk dan tidak
dapat bangun lagi. Walaupun pasukan mayat
hidup ini jumlahnya cukup banyak. Tetapi
karena ketiga lawan mereka mengetahui
kelemahannya. Maka dalam waktu yang agak
lama, mayat-mayat hidup ini terkapar dan
kembali ke ujud aslinya.
Sekarang tinggallah lima belas
sosok berpakaian serba hitam. Ternyata
mereka ini tidak takut api. Kenyataan ini
membuat Suro Blondo jadi golang-golengkan
kepalanya.
"Tenggiling Kedil, bagaimana ini!
Mereka tidak mampus kena api!" kata si
pemuda sambil garuk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Tololnya kau. Mereka
bukan mayat, tapi manusia hidup seperti
kita juga. Hadapilah dengan kemampuan
yang kau miliki!" sahut Wiro Suryo.
Dewi Arimbi yang juga sedang
menyerang laki-laki berpakaian hitam
menjadi geli hatinya. Pemuda yang telah
menyita perhatiannya itu terlalu polos
dan lugu. Walau kadang-kadang juga
memperlihatkan kecerdikannya yang tersem-
bunyi. Bagi Dewi sendiri menghadapi
pasukan hitam ini tidak begitu mendapat
kesulitan yang berarti. Karena tampaknya
kekuatan, baik berupa tenaga dalam maupun
ilmu silat yang dimilikinya jauh lebih
tinggi dibandingkan lawan-lawannya.
Walaupun begitu, untuk tidak membuang
tenaga terlalu banyak. Dewi Arimbi
kemudian melepaskan selendang yang
melilit di pinggangnya yang ramping.
Ctar! Ctar!
Saat Selendang Api melecut di
udara. Maka terlihat pijaran bunga api
kemana-mana. Selendang itu kemudian
meliuk-liuk bagaikan seekor ular. Lalu
mematuk ke enam jalan kematian. Melihat
keganasan senjata lawannya. Maka pasukan
hitam ini mencabut golok besar yang
tergantung di pinggang.
Sriing!
Bet! Bet!
Laki-laki berpakaian hitam tersebut
langsung mengibaskan golok besarnya
menyambuti setiap serangan yang datang.
Tetapi Dewi bertindak cukup cerdik.
Ketika golok-golok lawannya menebas
selendang mautnya. Maka ia menarik balik
serangan, disaat lawan lengah maka
selendang itu berubah kaku seperti
pedang. Selendang meluncur deras
menghantam perut dan wajah lawannya.
Jless!
Praat!
"Auukh...!"
Tiga orang laki-laki berpakaian
hitam menjerit keras. Perut mereka ada
yang tertembus ujung selendang. Dua di
antara mereka mukanya hancur terhantam
selendang.
Melihat kawan-kawannya berkaparan
di atas tanah secara mengerikan. Maka
lima orang lainnya dengan garang
menerjang ke arah Dewi sejengkal lagi
senjata-senjata lawan mencincang
tubuhnya. Maka Dewi segera melentingkan
tubuhnya di udara. Walau pun begitu salah
satu golok lawan masih mengenai betis si
gadis.
Sret!
"Akh...!" Dewi Arimbi keluarkan
jerit tertahan. Tetapi tanpa menghiraukan
rasa sakit di bagian kakinya ia
berjumpalitan di udara. Sedangkan
selendang di tangannya secepat kilat
menghantam dua orang lawan yang terus
bergerak mengejarnya. Karena kedua laki-
laki itu sedang mengambang di udara,
tentu sangat sulit bagi mereka untuk
menghindari serangan selendang. Mereka
kemudian membabatkan golok dengan maksud
menangkis.
Tetapi Selendang Api milik Dewi
Arimbi seakan tertahan di udara. Golok
kedua laki-laki itu menebas angin,
barulah setelah sabetan golok berlalu.
Selendang itu meluncur kembali dan
bergerak ke dua arah sekaligus.
Clep! Cleep!
"Hekh...!"
Kedua anak buah Mustika Jajar ini
melotot, suara tercekat karena teng-
gorokannya tertembus selendang Dewi.
Mereka langsung jatuh ke semak-semak.
Darah mengucur deras, tubuhnya berke-
lojotan sebentar kemudian terdiam untuk
selama-lamanya.
Sementara itu Wiro Suryo yang juga
sedang menghadapi pasukan hitam tanpa
mengalami hambatan yang berarti segera
menyudahi perlawanan dua orang lawan.
"Sudah bosan aku main-main
denganmu. Hiii...!"
Kakek berbadan sangat pendek ini
segera berguling-guling ke samping kiri.
Lawan mengejarnya dengan sabetan golok
bertubi-tubi. Kalaulah Wiro Suryo
memiliki kepandaian biasa-biasa saja.
Niscaya tubuhnya telah tercabik-cabik
terkena sabetan golok. Namun tokoh dari
Gunung Sembung ini punya segudang
pengalaman di samping memang memiliki
ajian 'Suket Sekilen'. Sehingga semakin
sulitlah bagi kedua lawannya untuk
melukai Wiro Suryo.
Tenggiling Kedil tiba-tiba saja
bangkit berdiri. Kemudian ia melompat
sejauh dua tombak ke belakang. Di saat
itu kedua tangan maupun sekujur tubuhnya
telah memancarkan cahaya putih. Itulah
ilmu 'Pancar Cahaya' yang tidak ada
duanya ini.
"Suuuit....!"
Wiro Suryo bersuit nyaring. Lalu
kedua tangannya dikibaskan ke depan.
Wuus!
Detik itu juga meluncur dua larik
sinar putih membutakan mata ke arah
lawan-lawannya. Karena silau, tentu kedua
orang ini melindungi matanya dengan
telapak tangan. Mereka baru sadar bahwa
maut mengancam jiwa mereka pada saat ilmu
pukulan 'Pancar Cahaya' menghantam tubuh
mereka.
Buuum!
"Aaaa...!"
Jeritan panjang disertai dengan
terpentalnya dua sosok tubuh beberapa
batang tombak ke belakang. Mereka tewas
detik itu juga dengan sekujur tubuh
berubah putih macam debu. Di lain pihak
Suro Blondo dan Dewi Arimbi juga baru
saja selesai mengakhiri perlawanan
pasukan hitam. Mereka jelas tampak sangat
kelelahan.
"Bagaimana bocah tua. Apakah kau
melihat ada manusia setan di dalam
bangunan itu?" tanya Pendekar Blo'on
serius. Wiro Suryo menggelengkan
kepalanya. Suro menggaruk-garuk kepalanya
karena bingung. Namun pada saat itulah
secara tiba-tiba terdengar bentakan-
bentakan keras menulikan telinga. Ketiga
orang ini serentak berpaling ke arah
datangnya suara.
DUA BELAS
Dengan jelas mereka melihat ada
tiga sosok bayangan bergerak cepat ke
arah mereka. Hanya dalam beberapa detik
saja, terlihat ada dua orang laki-laki
dan seorang gadis berwajah cantik telah
berdiri di depan mereka. Suro Blondo
walaupun terkejut, namun tetap berusaha
tersenyum.
"Manusia setan dan kekasihnya telah
datang. Yang satunya lagi kalau tidak
salah adalah Datuk Tabala Muka.
Tenggiling Kedil, lihatlah tampang orang
bercaping itu. Menurutmu apakah dia bukan
sebangsanya siluman juga?" tanya Suro.
Sambil bicara ia melirik ke arah Si
Burung Bangkai.
"Iblis dan siluman bagiku hampir
sama. Mari kita sikat saja!" tegas
Tenggiling Kedil. Belum sempat Suro
Blondo bicara, Mustika Jajar telah
memotong.
"Kalian bertiga merupakan peng-
halang yang harus dienyahkan dari muka
bumi ini. Sejak dulu aku menginginkan
kematianmu dan juga kematian gurumu
Pendekar Blo'on. Jika gurunya belum aku
dapatkan, membunuh muridnya yang tolol
pun bagiku sudah merupakan kesenangan
tersendiri."
Secepat kilat tanpa disangka-sangka
Betina Dari Neraka menyerang Pendekar
Blo'on. Tinju kanan kirinya menderu
menghantam pelipis dan dada si pemuda.
Itulah sebuah jurus 'Gempa Di Lereng
Cilawu'. Suro menyadari serangan lawannya
ini sangat berbahaya. Sehingga ia segera
mempergunakan jurus 'Seribu Kera Putih
Mengecoh Harimau'.
"Nguk...! Nguuk!"
Suro Blondo berjingkrak-jingkrak,
atau berjongkok sambil berguling-guling.
Sesekali ia tampak menggaruk-garuk
kepalanya seperti seekor monyet. Kemudian
ia melompat ke depan. Tangannya
terpentang menyambut tinju lawannya.
Tap!
"Heh...!"
Mustika Jajar terkejut. Ia terus
mendorongkan tinjunya ke arah lawan,
tetapi lawannya tidak bergeming. Dengan
licik gadis berpakaian merangsang ini
kemudian menghantam perut lawannya dengan
lutut terlipat.
Des!
"Hekh...!"
Suro Blondo terbungkuk-bungkuk.
Perutnya mual bukan main. Ketika ia
menarik nafas, maka dari lubang hidungnya
tampak darah menetes. Rupanya lawan telah
mengerahkan tenaga dalam penuh dalam
gebrakan pertama tadi.
Sementara itu Dewi Arimbi sendiri
merasa terheran-heran melihat Datuk
Tabala Muka malah bergabung dengan Betina
Dari Neraka. Ketika bertemu beberapa
waktu lalu Datuk Tabala Muka ingin
membunuh Mustika Jajar karena dirinya
merasa tersaingi, tetapi kini?
"Rupanya kau ular berkepala dua.
Katanya kau ingin membunuh manusia setan
itu, tidak tahunya kini kau malah
menyeberang ke pihaknya." dengus Dewi
gusar.
"Ha ha ha...! Waktu itu aku tidak
tahu bahwa Betina Dari Neraka adalah
murid keponakanku. Setelah kuketahui
siapa dia. Maka kini tentu saja aku
membelanya sekuat tenagaku!" sahut Datuk
Tabala Muka.
"Iblis selamanya tetap iblis, Dewi.
Dia tidak bisa berubah menjadi kambing,
sapi atau kerbau, apalagi manusia seperti
kita. Dia musuh kita yang nyata, mengapa
sekarang kita tidak menggebuknya?" ujar
Wiro Suryo.
Mendapat aba-aba dari kakek
berbadan sangat pendek ini. Tentu saja
Dewi tidak mau menunggu lebih lama. Ia
segera menyerang Datuk Tabala Muka.
Karena menyadari lawannya sangat tangguh.
Maka begitu melancarkan serangan Dewi
Arimbi langsung mengerahkan jurus-jurus
andalannya. Datuk Tabala Muka tertawa
mengekeh.
"Aku lebih suka berkelahi dengan
gadis secantikmu. Kau pasti masih
perawan. Jika kau nanti kalah, maka aku
akan mengajakmu bermain cinta sampai kau
merengek-rengek minta ampun!" ujar sang
Datuk.
"Manusia cabul, makanlah selen-
dangku!" teriak Dewi Arimbi dengan
marahnya. Datuk Tabala Muka yang baru
saja hendak bicara lagi langsung menutup
mulut rapat-rapat. Terlebih-lebih ketika
melihat lecutan selendang di tangan lawan
menimbulkan percikan bunga api. Dengan
cepat Datuk Tabala Muka alias si Burung
Bangkai melepas capingnya dan langsung
melemparkannya ke arah Dewi.
Gadis ini tidak mau mengambil
resiko. Segera ia mengerahkan tiga
perempat dari seluruh tenaga dalam yang
dimilikinya ke bagian selendang. Setelah
itu selendang kembali dilecutkan ke arah
topi bambu yang melayang-layang mengincar
leher Dewi. Topi caping bambu seperti ada
kekuatan yang menggerakkannya langsung
berkelit. Namun Selendang Api terus
bergerak mengejar, hingga akhirnya
benturan keras terjadi.
Braak!
Caping bambu milik Datuk Tabala
Muka hancur berkeping-keping. Tentu
pemiliknya yang memandang enteng lawan
jadi terkejut.
"Keparat! Makanlah ini...!" teriak
si Burung Bangkai.
Kemudian jari tangannya dirapatkan.
Setelah sepuluh jari tangan menyatu.
Tubuhnya menerjang ke depan. Sedangkan
tangan terus meluncur ke dada Dewi.
Serangan ini sangat dahsyat, karena si
Burung Bangkai mengerahkan jurus 'Jari
Maut Bermata Satu'.
Dewi Arimbi segera dapat merasakan
adanya satu tekanan hawa dingin
menghimpitnya. Tetapi rupanya Wiro Suryo
yang sedang bertarung melawan Perkasa
sempat melihat serangan yang dihadapi
Dewi. Tenggiling Kedil walaupun sedang
repot segera menolong Dewi dengan
melepaskan ajian 'Pancar Cahaya' ke arah
Datuk Tabala Muka.
"Serangan keji!" dengus Wiro
ditujukan pada si Burung Bangkai.
Wuut!
Segulung cahaya putih menderu-deru
ke arah Datuk Tabala Muka. Ajian 'Pancar
Cahaya' yang melesat dari tangan Wiro
Suryo memotong tangan Datuk Tabala Muka.
Jika kakek berwajah aneh ini tidak cepat
menarik tangannya. Tentu tangan itu
buntung atau paling tidak hangus terkena
pukulan yang dilepaskan oleh Wiro Suryo.
"Jadah...!"
Si Burung Bangkai mengumpat sambil
membanting dirinya ke samping.
Buum!
Terjadi guncangan keras ketika
serangan Tenggiling Kedil mengenai tempat
kosong.
Sebuah lubang menganga di samping
Datuk Tabala Muka. Ia tidak dapat
membayangkan apa yang terjadi dengan
dirinya jika pukulan tadi menghantam
tangan. Sambil memaki-maki dihati, Datuk
Tabala Muka bangkit berdiri. Dewi yang
selamat dari maut tanpa memberi
kesempatan lagi langsung menyerang Datuk
Tabala Muka.
Di lain pihak perkelahian antara
Mustika Jajar dan Pendekar Blo'on sudah
memakan waktu hampir enam puluh jurus.
Tampaknya kedua belah pihak sudah sama-
sama terluka. Apalagi ketika itu Mustika
Jajar telah mempergunakan senjatanya yang
berbentuk aneh macam bulan sabit ini.
Senjata itu menderu-deru mengeluarkan
sinar menyilaukan. Kemana Pendekar Blo'on
menghindar, maka kesitu pula senjata
Betina Dari Neraka mengejarnya. Suro
merasa mati kutu, ia terus saja
mengerahkan jurus 'Kacau Balau' dan jurus
'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'.
Dengan mengerahkan kedua jurus ini,
serangan-serangan lawan dapat diatasinya.
Namun tiba-tiba saja Mustika Jajar
membentak garang. Serentak tubuh gadis
itu berkelebat lenyap dari pandangan mata
Suro. Pemuda berambut hitam kemerah-
merahan ini segera menyadari bahaya
sedang mengancamnya. Untuk itu ketika
merasakan sambaran angin dingin di bagian
punggungnya. Ia segera melenting ke
udara. Tetapi gerakannya itu kalah cepat
dengan luncuran senjata Mustika Jajar.
Sehingga bagian iganya kena dilukai oleh
lawan.
Crees!
"Akh...!"
Tanpa menghiraukan sakit yang ia
derita. Pendekar Blo'on terus berputar-
putar di udara. Kemudian ketika tubuhnya
meluncur deras ke bawah. Maka ia
mengibaskan kedua tangan ke arah sasaran.
"'Neraka Hari Terakhir'! Hiya...!"
teriak si pemuda.
Buum!
"Arkh...!"
Tidak dapat dihindari lagi, Mustika
Jajar jatuh terpelanting. Kalau bukan dia
yang terkena pukulan itu. Tentu sudah
tewas meregang nyawa. Tanpa menghiraukan
darah yang mengucur dari sudut-sudut
bibirnya. Maka Betina Dari Neraka bangkit
berdiri. Tiba-tiba ia tertawa, suara
tawanya semakin lama semakin meninggi.
Tentu saja Suro jadi terheran-heran. Ia
tidak tahu bahwa tawa si gadis sebenarnya
cara aneh yang mungkin jarang ditemui di
rimba persilatan untuk menyembuhkan luka
dalam yang dideritanya.
Ternyata sekejab kemudian memang
tampak Mustika Jajar seperti tidak
menderita luka dalam. Sekarang ia malah
menghimpun tenaga dalam untuk melepaskan
pukulan 'Segala Racun Segala Bisa'.
Inilah salah satu pukulan maut yang
paling diandalkannya. Hanya dalam waktu
sekejab kedua telapak tangan Betina Dari
Neraka telah berubah menghitam. Suro
terkesiap. Namun segera mencabut Mandau
Jantan dari balik bajunya. Mandan
berwarna hitam dengan empat sisi lubang
miring di tengah-tengahnya langsung
dikibaskan ke depan.
Terlihat sinar hitam berkelebat.
Lalu terdengar suara mendengung disertai
rintihan semacam tangis dari senjata itu.
Pada waktunya Mustika Jajar telah
mengibaskan tangannya ke arah sasaran.
Sinar hitam terus meluncur, lalu
membentur senjata milik si pemuda.
Wees!
Anehnya begitu pukulan 'Segala
Racun Segala Bisa' mengenai senjata milik
Suro. Pukulan tersebut seperti menembus
ruang hampa. Tidak ada suara ledakan
terdengar. Betina Dari Neraka terkejut
setengah mati. Kelengahannya yang cuma
sebentar ini langsung dipergunakan oleh
Suro Blondo. Tubuhnya tiba-tiba meluruk
deras ke arah lawan. Sedangkan Mandau
Jantan di tangan ia kibaskan.
Betina Dari Neraka sempat terkejut.
Ia cepat menggeser tubuhnya ke kiri.
Namun ujung Mandau membabat putus
tangannya.
Craas!
"Akh...!"
Mustika Jajar menjerit tertahan.
Ia mengambil putusan tangan yang
tergeletak di depannya. Tetapi ketika itu
Suro telah berputar. Kembali Mandau
berkelebat.
Cres!
"Huaakg...!"
Mustika Jajar tampak terhuyung-
huyung. Perutnya robek, ususnya
berbusaian. Gadis itu merasa sekaranglah
ajalnya tiba. Tetapi pada saat yang
kritis itu sebuah bayangan berkelebat
menyambar tubuh Iblis Betina Dari Neraka.
Hanya sekejab saja bayangan lenyap, Suro
bermaksud mengejar. Namun pada saat itu
ia mendengar suara jeritan si Dewi
Arimbi. Ketika ia menoleh ke arah
datangnya suara. Kiranya ia melihat Dewi
yang dalam keadaan tertotok sedang
ditindih oleh Datuk Tabala Muka.
Masih memegang Mandau Suro Blondo
memburu. Datuk Tabala Muka yang hampir
saja dapat merenggut kesucian si gadis
memang sempat merasakan sambaran angin
dingin di punggungnya. Namun begitu ia
menoleh senjata lawan langsung menebas
lehernya. Datuk Tabala Muka tidak sempat
menghindar lagi. Karena ia begitu
terkesima melihat keindahan tubuh Arimbi.
Crees!
Dhel...!
Kepala Datuk Tabala Muka langsung
menggelinding dan menimpa dada si gadis
yang tidak berpenutup apa-apa. Dewi
Arimbi menjerit. Suro segera menendang
kepala berikut tubuh sang Datuk yang
menindih tubuh telanjang Dewi. Suro
kemudian membebaskan totokan di tubuh si
gadis. Begitu terbebas dari totokan Dewi
Arimbi langsung menyambar pakaiannya yang
tercabik-cabik. Karena pakaian itu tidak
pantas dipakai maka Suro Blondo sambil
cengar-cengir memberikan pakaiannya.
"Pakailah! Untung iblis itu tidak
sempat membuatmu malu!" kata si pemuda
berambut hitam kemerahan. Kemudian ia
memandang ke arah Wiro Suryo alias
Tenggiling Kedil. Ternyata kakek tua itu
sedang berjuang habis-habisan menghadapi
Perkasa. Manusia penjelmaan patung itu
ternyata mempunyai daya tahan yang
sungguh sangat luar biasa.
Dihadapan Perkasa, ternyata
Tenggiling Kedil untuk sekian jurus
lamanya terpaksa bergerak mundur. Ketika
Perkasa mendesak dengan pukulan-pukulan
yang mematikan. Ternyata Tenggiling Kedil
ini memapakinya dengan sebelah tangan.
Benturan keras tidak dapat dihindari
lagi.
Duuk!
"Wei... eudan...!" dengus si kakek
pendek. Sebenarnya tenaga dalam yang
dimiliki oleh pemuda ini tidak lebih
tinggi dari tenaga dalam yang dimiliki si
kakek. Namun karena tubuhnya yang pendek
dan agak kurus. Sehingga ia tidak dapat
mempertahankan kuda-kudanya.
Dengan cepat ia bangkit berdiri
lagi.
Ketika itu Perkasa mulai menginjak-
injak dirinya. Bocah tua kerdil ini lalu
menggelundung seperti bola kian kemari.
"Hiaa...!"
Perkasa berteriak murka karena
setiap injakannya hanya menghancurkan
batu dan tampak seperti tidak teratur.
Tiba-tiba saja laki-laki penjelmaan
patung ini melepaskan pukulan dahsyat
yang bersumber dari inti api.
"Hei... orang tua pendek jelek!
Awas! Lawanmu kelihatannya tidak main-
main. Kau bisa gosong jadi ubi bakar,
jika kau tetap membiarkan dia melepaskan
pukulan!" Suro Blondo mengingatkan.
"Tidak usah takut. Aku akan
menahannya dengan ajian Pancar Cahaya!"
sahut si kakek aneh.
Benar saja, ketika sinar merah
menderu cepat ke arah Wiro Suryo. Maka
sekujur tubuh si kakek berubah putih di
selimuti cahaya. Lalu tangannya yang juga
telah berwarna putih segera
dihentakkannya ke depan
Buum! Buum!
"Aaaaa...!"
Terdengar jeritan keras di tengah-
tengah suara ledakan dahsyat yang
terjadi. Wiro Suryo terjengkang sambil
muntahkan darah kental. Lalu terdengar
ledakan lagi. Ketika semua mata memandang
ke arah Perkasa. Maka terlihatlah tubuh
sosok patung itu hancur berkeping-keping
menjadi batu terkena ajian Pancar Cahaya.
"Hmm, bukan main-main!" desis
Pendekar Blo'on memuji.
Dengan terpincang-pincang Teng-
giling Kedil menghampiri dan langsung
bertanya.
"Kemana Iblis Betina itu?"
"Dia sudah terluka parah. Tapi
seseorang telah menyelamatkannya!" sahut
Pendekar Blo'on.
"Pasti perbuatan gurunya!"
"Aku harus pergi! Tidak baik mata
tua melihat sepasang muda-mudi yang
sedang lirik-lirikan!"
Pendekar Blo'on baru saja mau
memaki. Namun ternyata sahabatnya yang
super pendek itu telah menghilang dari
pandangan mata.
"Pakaian itu cocok denganmu,
Rimbi?"
"Jangan menghina, baju jelek
begini!"
"Ha ha ha! Yang terpenting bagian-
bagian yang terbuka dapat ditutupi.
Hampir saja kau menjadi pengantin
kesiangan Datuk Tabala Muka! Aduh... mana
tahan aku membayangkannya!"
Dewi Arimbi cemberut. Lalu dengan
wajah memerah ia segera berlalu
meninggalkan Suro Blondo.
"Hei... tunggu.... Jangan kau
tinggalkan aku...!"
"Hi hi hi! Kalau punya kaki mengapa
tidak mengejar?" tantang si gadis sambil
tertawa.
"Nantang nih! Awas kalau dapat aku
pasti menciummu!" kata si pemuda lalu
menyusul Dewi Arimbi.
T A M A T
0 comments:
Posting Komentar