..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 18 Januari 2025

DEWI SRI TANJUNG EPISODE SI TANGAN IBLIS

Matjenuh


SI TANGAN IBLIS

Karya : Widi Widayat

Cover & Illustrasi: Arie

Penerbit: MELATI Jakarta

Cetakan pertama : 1987

HAK CIPTA dilindungi oleh Undang-

undang

Penyiaran harus seizin Penulis.


1

Pagi itu amat cerah. Matahari 

menyinarkan cahayanya yang gemilang. 

Burung berkicau bernyanyi di atas 

dahan. Demikian gembira seakan burung-

burung itu menyambut datangnya pagi 

dengan penuh harapan baru. Dan jika 

hari ini tidak hujan, jelas mereka 

akan mendapatkan kesempatan mencari 

makan sepanjang hari tanpa rasa takut 

oleh hujan, dan anak yang ditinggalkan 

di sarang juga tidak kehujanan dan 

kedingingan.

Penduduk desa Tosari menyambut 

datangnya pagi yang cerah inipun 

dengan wajah yang berseri gembira. 

Desa yang letaknya di pinggang Bronio 

ini bangun kembali sesudah semalam 

istirahat.

Dan seperti pagi hari sebelumnya, 

mereka telah membagi kewajiban ter-

tentu kepada setiap anggota keluarga 

dalam usaha mempertahankan hidup. 

Mereka tidak pernah mengharapkan ter-

lalu banyak, yang penting perut 

kenyang dan sandang tidak robek.

Tetapi di halaman rumah yang 

terpisah dengan pemukiman penduduk 

itu, terjadilah kesibukan yang kurang 

mendapat perhatian penduduk desa ini. 

Rumah Taruno atau lebih terkenal de-

ngan sebutan Si Tangan Iblis ini 

pekarangannya luas dan dipagar rapat



dengan batu gunung maupun pagar hidup. 

Di halaman rumah yang luas dan 

terlindung itu, murid-muridnya sedang 

berlatih dan ditilik langsung oleh Si 

Tangan Iblis sendiri.

Akan tetapi setelah semua murid 

bubar untuk melakukan tugas masing-

masing, maka cucu tertua bernama 

Sarindah menghampiri Si Tangan Iblis 

sambil mendesak.

Kek, dahulu Kakek bilang, apabila 

aku dan Sarwiyah sudah dewasa, Kakek 

akan segera membeberkan rahasia besar 

yang menyangkut ayah dan ibu. Tetapi 

apakah sebabnya sampai sekarang Kakek 

masih saja pelit? Kakek selalu saja 

berdalih ilmu Sarindah maupun Sarwiyah 

belum cukup tinggi. Hemm, kalau 

demikian, aku menjadi tahu. Bukankah 

ayah bundaku dibunuh mati orang?

Kakek memang pelit! sambung 

Sarwiyah. Dan melihat gelagatnya, 

dugaan Mbakyu benar. Ayah bunda tentu 

sudah dibunuh orang. Kek, apakah ini 

benar? Kalau benar, lalu siapakah 

pembunuh itu, dan sekarang terangkan-

lah agar aku dapat membalas dendam.

Sentiko mengerutkan kening 

mendengar ucapan kakak perempuannya 

itu. Lalu dengan mata berapi-api dan 

tangan mengepal, ia berkata, Benarkah 

itu? Ayah bundaku sudah dibunuh orang? 

Kalau benar demikian, sebagai anak


laki-laki akulah yang paling berhak 

untuk menuntut balas.

Taruno alias Si Tangan Iblis 

mendelik ke arah dua cucu perempuan-

nya. Sebab telah berkali-kali ia 

melarang bicara tentang orang tuanya 

di depan Sentiko. Maksudnya untuk 

mencegah bocah yang belum cukup umur 

itu mengetahui persoalan yang sebenar-

nya.

Melihat kakeknya tidak senang, 

Sarindah cepat membela diri. Ujarnya, 

Mengapa sebabnya Sentiko tidak boleh 

tahu? Diapun anaknya dan dia harus 

tahu pula persoalan sebenarnya.

Kakek itu menghela napas panjang. 

Ia tidak bisa marah sekalipun hatinya 

penasaran. Disamping itu karena sudah 

didengar oleh Sentiko, ia tidak bisa 

mungkir lagi.

Hemm, baiklah, katanya kemudian. 

Marilah kita ke rumah dan bicara.

Setelah masuk di dalam rumah dan 

tiga cucunya duduk di depannya, Si 

Tangan Iblis berkata, Mestinya masalah 

ini belum waktunya kita bicarakan. 

Itulah sebabnya kepadamu bertiga, aku 

selalu bersikap keras dalam mendidik 

ilmu kesaktian. Karena semua itu demi 

kepentinganmu sendiri untuk bekal 

membalaskan sakit hati orang tuamu 

yang sudah dibunuh orang.


Nah, apa kataku? seru Sarindah 

tertahan. Lalu siapakah orangnya yang 

sudah membunuh ayah bundaku?

Si Tangan Iblis tidak mungkin 

menceritakan apa adanya. Oleh sebab 

itu ia mengarang cerita untuk memfit-

nah Gajah Mada.

Akan tetapi kamu jangan sembrono! 

jawabnya tegas dan sungguh-sungguh. 

Musuh besar itu bukan orang 

sembarangan. Karena yang membunuh ayah 

bundamu bukan lain Mahapatih Gajah 

Mada dan Panglima Nala!

Ahhh....! tidak urung tiga orang 

bocah ini kaget dan berseru tertahan. 

Tidak pernah terpikir dalam benak tiga 

bocah ini musuh besarnya adalah tokoh 

sakti Majapahit.

Memang baik Gajah Mada maupun 

Nala menanjak hampir berbarengan. 

Gajah Mada oleh jasa-jasanya kemudian 

diangkat menjadi Mahapatih Majapahit, 

sedangkan Panglima Nala diangkat 

menjadi Panglima Angkatan Laut.

Nah, kamu sudah tahu sekarang? 

ujar kakeknya. Musuh besarmu bukan 

orang sembarangan. Itulah sebabnya aku 

selalu menekankan kepada kamu agar 

berlatih dengan rajin. Hemm, aku sudah 

tua, semua ilmuku harus kamu kuras 

sampai habis. Dan kemudian hari kamu 

bertigalah yang memikul kewajiban 

membalas sakit hati ini. Entah dengan 

cara apa, aku tidak tahu. Pendeknya


ayah bundamu mengharapkan baktimu 

sebagai anak. Namun demikian kamu 

harus bersabar, sedikitnya dua tahun 

lagi. Sebab kamu harus menunggu 

sesudah kamu mahir menggunakan Aji 

Mega Langking. Karena hanya itu 

sajalah senjata pamungkas bagimu 

bertiga untuk dapat mengalahkan musuh 

besarmu itu.

Kalau kakek yakin bisa menang 

dengan Aji Mega Langking itu, mengapa 

Kakek tidak mencari musuh besar 

keluarga itu? tanya Sentiko tiba-tiba.

Pemuda ini menjadi tidak senang 

oleh sikap kakeknya, yang dinilai 

sebagai pengecut.

Si Tangan Iblis kaget mendengar 

pertanyaan ini. Namun rasa kagetnya 

ini segera ditutup dengan ketawanya 

yang terkekeh, lalu jawabnya.

Heh heh heh heh, bukannya kakekmu 

takut kepada musuh besar itu. 

Ketahuilah, aku mempunyai maksud yang 

lebih dalam dan mulia. Aku tidak ingin 

mengecewakan kamu sebagai anak 

keturunan ayah-bundamu, dan agar di 

sana ayah bundamu menjadi puas.

Sentiko mengerutkan alis. Jawaban 

kakeknya ini menurut pendapatnya 

mengada-ada. Jawaban seorang pengecut. 

Sebab kalau benar kakeknya sakti yang 

tak kalah melawah Gajah Mada dan Mpu 

Nala, mengapa tidak bertindak dan 

membalas dendam sendiri? Maka diam


diam ia tidak puas dan mencela sikap 

kakeknya.

Nah, sekarang kamu sudah 

mengetahui siapakah musuh besarmu itu. 

Kelak kemudian hari setelah tiba 

saatnya, semua saudara seperguruanmu 

akan membela dan membantu usahamu! 

ujarnya dalam usaha menekankan 

maksudnya.

Sarindah yang juga belum puas 

akan keterangan kakeknya dapat 

bertanya, Kek, mengapa kau tidak 

menerangkan sebabnya ayah-bundaku 

terbunuh mati oleh dua orang musuh 

besar itu?

Taruno terbatuk-batuk. Kemudian 

jawabnya, Ya, aku sampai lupa. 

Dengarlah peristiwa yang terjadi 

ketika itu, justru kamu masih kecil. 

Dahulu, ibumu seorang perempuan yang 

terkenal kecantikannya. Dan sebelum 

menjadi isteri ayahmu, banyak laki-

laki yang memperebutkan maupun 

tergila-gila. Nah, para laki-laki yang 

tergila-gila kepada ibumu itu termasuk 

Mpu Mada dan Mpu Nala. Ketika itu Mpu 

Mada masih berkedudukan sebagai Bekel 

Bhayangkara Majapahit, sedangkan Mpu 

Nala belum panglima. Sebaliknya ayahmu 

hanya seorang prajurit biasa.

Ia berhenti dan mendehem. Sejenak 

kemudian terusnya, Ternyata kemudian, 

kendati sudah melahirkan tiga orang 

anak, kecantikannya tidak juga


berkurang dan malah bertambah matang 

hingga menarik perhatian Mpu Nala dan 

Mpu Mada. Dua orang yang sama-sama 

jatuh cinta kepada ibumu itu kemudian 

menggunakan akal busuk. Ketika itu 

ayahmu diperintahkan melaksanakan 

tugas di luar kota. Sudah tentu ayahmu 

tunduk perintah itu tanpa rasa curiga 

dan pada waktu yang .sudah ditetapkan 

berangkat tugas. Namun ketika ayahmu 

pergi meninggalkan keluarga itu, 

datanglah dua orang manusia terkuluk 

itu. Mereka menggunakan ancaman dan 

kekerasan. Tetapi ibumu tetap keras 

kepala dan menolak. Dan hal ini 

menyebabkan dua orang itu penasaran, 

dan akibatnya ibumu diperkosa.....

Ihh..... seru Sarindah dan 

Sarwiyah berbarengan.

Jahanam terkutuk! seru Sentiko 

penasaran.

Memang jahanam terkutuk mereka 

itu karena sesudah itu ibumu 

dibunuh....

Ahh.... Sarindah dan Sarwiyah 

berseru kaget.

Aku akan mencincang manusia 

biadab itu! seru Sentiko.

Itu tepat sekali. Mereka memang 

patut dicincang.

Lalu bagaimanakah dengan Ayah? 

tanya Sarwiyah.

Hemm, sesudah dua orang terkutuk 

itu memperkosa dan membunuh ibumu,


ayahmu tidak boleh pulang dan 

ditugaskan di tempat lebih jauh. Namun 

ternyata ayahmu sudah dihadang oleh 

pasukan yang diperintah oleh Mpu Mada 

dan Mpu Nala. Ayahmu mati terbunuh!

Tetapi mengapa Kakek bisa tahu 

semuanya? selidik Sarwiyah.

Heh heh heh heh, tentu saja 

kakekmu tahu, sahutnya bangga. Setelah 

aku mendengar kabar ibumu mati dan 

ayahmu tewas dalam tugas dari seorang 

sahabat, aku menjadi curiga lalu 

menyelidik. Akhirnya aku dapat memaksa 

seorang prajurit dan prajurit itu 

mengaku terus terang.

Dan tentang ibu? selidik Sentiko.

Aku tahu hal itu atas laporan 

pengasuhmu yang ketika itu melindungi 

keselamatanmu.

Tiga orang muda itu saling 

pandang tanpa membuka mulut. Di pihak 

lain Si Tangan Iblis ini menyesal 

terpaksa harus membohong.

Kemudian timbul perasaan dendam 

dalam hati tiga orang bocah ini, 

setelah mendengar keterangan kakeknya.

Ketika pagi tiba terjadilah 

keributan kecil dalam rumah itu. 

Keributan itu mula-mula timbul akibat 

ulah Sarindah dan Sarwiyah.

Kakeknya yang merasa terganggu 

membentak, Hai, mengapa kamu ribut?


"Sentiko... Dia tidak ada... Kek 

sahut Sarindah dengan hati risau dan 

khawatir.

Ke mana bocah itu...? Si Tangan 

Iblis kaget.

Entahlah. Tetapi tidak biasanya 

dia pergi tanpa sepengetahuanku.

Sarwiyah yang diam-diam 

menggeledah tempat simpanan pakaian 

Sentiko, wajahnya pucat ketika melihat 

semua pakaian itu tidak ada. Malah 

tombak trisula, senjata bocah itu pun 

tidak ada. Ia berlarian keluar kamar 

mendapatkan kakek dan kakak 

perempuannya.

Kek... ahh .... Sentiko sudah 

pergi... lapornya gugup.

Celaka! Pergi ke mana...? Kakek 

itu pucat. Bocah itu tentu penasaran 

mendengar riwayat ayah bundanya. 

Cepat, perintahkan kepada saudara-

saudara seperguruanmu untuk mengejar. 

Bahaya! Manakah mungkin adikmu mampu 

menghadapi dua orang sakti mandraguna 

itu? Hemm, semua ini kamu berdua yang 

menjadi gara-gara. Kalau kamu tidak 

mendesak aku, adikmu takkan pergi!

Sarindah segera menuju ke pondok 

saudara-saudara seperguruannya untuk 

menyampaikan perintah kakeknya. 

Ributlah dua belas orang murid laki-

laki itu.


Apa? seru Tanu Pada tertahan. 

Kapankah Adik Sentiko pergi? Dan apa 

pula maksudnya?

Sekalipun hatinya tegang oleh 

kepergian adiknya, Sarindah sempat 

mengerling ke arah pemuda tegap dan 

tampan itu. Tetapi tentu saja Sarindah 

takkan menceritakan rahasia keluarga. 

Tak mungkin ia bercerita jujur kepada 

orang lain.

Kalau tahu, tentunya Kakek tidak 

ribut, sahutnya. Ketahuilah dia pergi 

diam-diam dan agaknya baru menjelang 

pagi tadi. Tentang ke mana dan juga 

maksud kepergiannya, yang tahu hanya 

Sentiko sendiri.

Ahh... lalu bagaimana? tanya Kebo 

Pradah.

Kakek memerintahkan kalian, pergi 

dan mencari. Karena tidak diketahui 

kemana tujuan bocah itu maka kalian 

diperintahkan mencari ke segala 

penjuru. Dia masih bocah, dikhawatir-

kan mendapat bahaya di perjalanan. 

Bersiaplah kalian dan berangkatlah 

secepatnya. Untuk membagi tugas kepada 

semua murid, aku serahkan kepada 

kakang Tanu Pada.

Tanpa menunggu jawaban Sarindah 

sudah pergi. Diam-diam gadis ini 

gelisah memikirkan Sentiko. Ia bisa 

menduga bocah itu pergi ke Ibukota 

Majapahit, mencari Mpu Nala dan Gajah


Mada. Manakah mungkin bocah itu dapat 

menghadapi dua orang sakti itu?

Begitu tiba kembali di depan 

kakeknya, Sarindah masih mendengar 

kata-kata Sarwiyah yang setengah 

bertengkar dengan kakeknya. Ketika itu 

Sarwiyah memprotes kakeknya.

Mengapa sebabnya Kakek melarang 

aku pergi mencari Sentiko? Apakah 

Kakek tega kepada bocah yang belum 

dewasa itu, pergi seorang diri 

menempuh bahaya?

Sarwiyah! jawab kakeknya. Tentu 

saja akupun tidak tega membiarkan 

bocah itu pergi. Itulah sebabnya semua 

murid aku perintahkan mencari. Hemm, 

Sarwiyah, dan kau Sarindah. Hendaknya 

kamu mau mengerti jalan pikiran 

kakekmu. Janganlah ibarat kehilangan 

seekor kerbau, kita mempertaruhkan 

kerbau lain dalam kandang.

Apakah maksud Kakek? tanya 

Sarwiyah.

Maksudku, janganlah kita yang 

kehilangan Sentiko, lalu mempertaruh-

kan seluruh keluarga. Taruno menjelas-

kan. Biarkan sekarang murid-murid itu 

pergi mencari. Hemm, apabila benar me-

reka tidak becus mencari, baru 

kemudian kita pikirkan daya upaya. 

Lebih penting kau sekarang berlatih 

Aji Mega Langking yang amat berguna 

sebagai senjata pamungkas itu, dan 

sebagai senjata ampuh untuk mencapai


cita-cita. Sesudah kamu sempurna betul 

mempelajari aji tersebut, dadaku akan 

lapang melepaskan kepergianmu. Sentiko 

juga penting bagi kita, tetapi 

membalas dendam kepada Mpu Nala dan 

Mpu Mada adalah lebih penting lagi.

Mendengar keterangan kakeknya ini 

Sarindah dan Sarwiyah dapat mengerti. 

Kemudian sambil menghela napas 

panjang, mereka menyerahkan urusan 

Sentiko kepada murid yang lain. Dan 

sebelum para murid ini mulai tugasnya, 

mereka minta diri kepada guru. Dan 

oleh gurunya diberi batas waktu sampai 

tiga bulan. Apabila mereka belum dapat 

menemukan Sentiko, secepatnya harus 

pulang. Dan semua murid mengiakan.

Tanu Pada memerlukan minta diri 

kepada Sarindah secara khusus. Sedang 

Kebo Pradah juga minta diri kepada 

Sarwiyah secara istimewa. Memang 

diantara mereka diam-diam telah tumbuh 

tunas cinta kasih. Maka tidak 

mengherankan apabila mereka minta diri 

secara khusus.

Dua orang murid itu tidak sadar, 

apa yang mereka lakukan menimbulkan 

rasa iri dan tidak senang bagi saudara 

seperguraan yang lain. Karena mereka-

pun merupakan saudara-saudara 

perguruan dan sudah dewasa pula.

Memang secara diam-diam Sarindah 

dan Sarwiyah ini mereka perebutkan dan 

saling berusaha menarik perhatian.


Kalau sekarang Tanu Pada dan Kebo 

Pradah mendapat perhatian khusus, 

tentu saja yang lain menjadi iri dan 

tidak senang.

Huh! Tanu Pada kurangajar! gerutu 

Kidang Kaligis sambil mengepalkan 

tinjunya. Huh, kuhajar mampus kau, di 

saat guru dan Sarindah tidak tahu!

Bagus! Jika engkau menghajar Tanu 

Pada, aku akan menghajar Kebo Pradah! 

sambut Sangkan sambil mengepalkan 

tinjunya pula karena amat penasaran.

Mendengar rencana dua orang 

saudara seperguraan itu, Kuda Ananto 

mengeratkan alis tidak senang.

Mengapa di dalam melaksanakan 

tugas, melaksanakan perintah guru, 

masih memikirkan hal lain, dan malah 

merupakan masalah pribadi? Sebagai 

salah seorang saudara seperguruan 

tentu saja Kuda Ananto tahu rahasia 

hati murid yang lain. Karena itu sudah 

bukan rahasia lagi di antara mereka, 

telah terjadi persaingan yang 

memperebutkan Sarindah. Mereka ini 

bukan lain Tanu Pada, Kidang Kaligis 

dan Kuda Sobrah. Disamping itu tiga 

orang yang lain, saling bersaing dalam 

memperebutkan Sarwiyah. Pemuda ini 

tidak lain adalah Kebo Pradah, Sangkan 

dan Senggring. Tetapi sekalipun 

demikian persaingan ini tidak berani 

secara terang-terangan karena takut 

kepada sang guru.



Kakang Kaligis dan Kakang 

Sangkan, kata Ananto halus. Bukankah 

kita ini sedang melaksanakan tugas 

untuk mencari Adi Sentiko?

Kaligis dan Sangkan mendelik 

marah. Hardik Kaligis, Apa katamu? 

Engkau adik seperguraanku, saudara 

muda! Tahu? Tetapi apakah sebabnya kau 

lancang mulut? Ketahuilah aku lebih 

tahu tugas dibanding kau. Huh, di 

dalam rangka menunaikan tugas dari 

guru itu.

Sekalipun dirinya lebih muda umur 

dan dalam perguruan, Ananto tidak mau 

menyerah begitu saja. Ia merasa benar 

dan ingin memperingatkan, agar di 

dalam melaksanakan tugas tidak 

selewengan memikirkan soal lain. 

Karena merasa benar ia menjawab tanpa 

rasa gentar sedikitpun.

Kakang, sekalipun aku lebih muda, 

sebagai saudara seperguraan aku 

mempunyai hak pula untuk berbicara. 

Kakang, bukan maksudku untuk lancang 

mulut, tidak sama sekali. Tetapi 

mengingat dalam tugas ini diriku 

ditugaskan bersama Kakang Kaligis dan 

Kakang Sangkan, maka tentu saja aku 

mempunyai hak bicara.

Ananto berhenti dan mengamati dua 

orang saudara seperguraan itu. Sejenak 

kemudian lanjutnya, Menurut 

pendapatku, kurang baik apabila Kakang 

akan menggunakan kesempatan untuk


kepentingan diri sendiri. Itu namanya 

menggunakan kesempatan dalam kesempi-

tan dan berarti pula menohok kawan 

seiring. Bukankah Kakang Tanu Pada dan 

Kakang Kebo Pradah saudara seperguraan 

kita sendiri dan sekarang melakukan 

tugas yang sama? Oleh sebab itu aku 

berharap agar kalian mau sadar akan 

keadaan.

Ia berhenti lagi. Setelah 

mengambil napas baru meneraskan, 

Disamping itu merupakan haknya kalau 

Mbakyu Sarindah memilih Kakang Tanu 

Pada kemudian Mbakyu Sarwiyah memilih 

Kakang Kebo Pradah. Tetapi mengapa 

sebabnya Kakang berdua tidak senang 

dengan peristiwa itu? Bukan hanya 

tidak senang tetapi Kakang juga dendam 

dan sakit hati? Apakah Kakang berdua 

lupa bahwa cinta itu tidak bisa 

dipaksakan?

Kurangajar kau! Anak kecil tahu 

apa tentang cinta? bentak Kaligis 

marah. Jika engkau berani membuka 

mulut sembarangan, awas, kupukul 

mampus kau!

Kaligis yang memang berangasan 

dan kasar itu tentu saja cepat menjadi 

tersinggung oleh ucapan Ananto yang 

masih kecil itu. Berbeda dengan 

Sangkan, walaupun tidak senang oleh 

sikap Ananto, tetapi ia cerdik dan 

licin. Bagi dirinya tiada gunanya 

marah-marah kepada Ananto.


Kakang Kaligis, sudahlah. Kita 

tidak perlu marah kepada adik 

seperguraan sendiri, cegahnya sabar.

Sangkan tidak memberi kesempatan 

kepada Kaligis membantah. Lalu 

lanjutnya ditujukan kepada Ananto, 

Ananto, akupun minta kepadamu agar 

dapat menempatkan dirimu sebagai 

saudara seperguraan yang lebih muda. 

Di dalam melakukan tugas antara kita 

semua haras rukun dan bersatu padu.

Tentu saja! sahut Ananto kurang 

senang. Antara saudara seperguraan tak 

boleh membenci dan mendendam, dan 

harus rukun bersatu. Akan tetapi 

apakah sebabnya Kakang Kaligis 

mengancam Kakang Tanu Pada? Bukankah 

itu merupakan bibit permusuhan antara 

saudara sendiri?

Jawaban Ananto yang baru berumur 

limabelas tahun ini menyebabkan 

Kaligis makin panas dan marah. 

Bentaknya tiba-tiba, Jahanam kau! Anak 

kecil berani lancang mulut dan 

menggurui! Urusanku dengan Tanu Pada 

adalah urasan pribadiku sendiri. 

Apakah sebabnya engkau mau campur 

urusan? Kalau kau senang boleh melihat 

jika tak senang tak perlu tahu. Jika 

kau masih tetap membandel, tanganku 

masih bisa menghajar mulutmu yang 

lancang itu.

Ananto yang merasa benar 

tersinggung dan mendelik marah. Tiba


tiba pemuda cilik ini bertolak 

pinggang, berdiri menghadapi Kaligis 

dengan sikap menantang. Katanya, 

Kakang Kaligis, apakah katamu? Engkau 

mau menghajar mulutku? Huh, sekalipun 

engkau lebih besar dari diriku, boleh 

coba!

Sangkan cepat melompat dan 

berdiri di antara mereka untuk 

mencegah terjadinya perkelahian. Sebab 

Sangkan tahu, apabila terjadi 

perkelahian, tidak urang Kaligis 

sendiri yang akan malu. Karena Kaligis 

tidak mungkin menang melawan Ananto, 

sekalipun Kaligis sudah 20 tahun dan 

tubuhnya lebih tinggi dan besar. Malah 

diam-diam Sangkan sendiri mengakui, 

dirinya juga takkan menang melawan 

Ananto. Sudah berkali-kali setiap 

mereka berlatih Ananto selalu unggul 

setiap menghadapi saudara-saudara 

seperguraan yang lebih tua. Dan 

diantara murid laki-laki yang dapat 

mengalahkan Ananto hanyalah Sentiko.

Kemenangan itupun tidak dapat 

dicapai dalam waktu singkat. Dan 

masalah ini bisa terjadi bukan 

kesalahan gurunya yang mengajar dan 

pula bukan salah asuh dan pilih kasih. 

Semua itu tergantung dari ketekunan 

berlatih disamping pula bakat dan 

kecerdasan. Ananto seorang pemuda 

berotak cerdas dan disamping itu 

umurnya sebaya dengan Sentiko.



Pengaruh usia yang sebaya ini 

menyebabkan hubungan antara Sentiko 

dan Ananto erat sekali. Mereka 

merupakan pasangan berlatih yang 

sepadan dan karena Si Tangan Iblis 

berusaha menggembleng Sentiko menjadi 

pemuda perkasa, maka Ananto juga 

memperoleh keuntungan pula dari setiap 

latihan yang dilakukan.

Kalau seorang lawan seorang, 

Ananto takkan bisa dikalahkan. 

Sebaliknya apabila harus mengeroyok 

dua, tentu saja Sangkan yang licin dan 

licik ini menjadi malu. Ditambah lagi 

kalau kemudian hari Ananto lapor 

kepada guru, tak urung mereka akan 

mendapat hukuman.

Mengingat kemungkinan itu Sangkan 

yang cerdik sudah mendapat siasat 

ampuh untuk menundukkan Ananto. Yang 

penting sekarang ia harus cepat 

membujuk Kaligis, agar bisa bersabar.

Kakang Kaligis, katanya. 

Sudahlah, yang lebih tua wajib 

mengalah dan memberi contoh kepada 

yang muda. Mari kita sekarang 

mempercepat perjalanan, agar lekas 

bisa bertemu dengan Adik Sentiko.

Ananto yang berdiri di belakang 

Sangkan tentu saja tidak tahu, dalam 

membujuk Kaligis mata Sangkan memberi 

isyarat.

Baiklah, aku setuju pendapatmu 

dan marilah kita mempercepat perja


lanan, sahut Kaligis setelah menangkap 

isyarat mata itu. Kemudian ia 

mengulurkan tangan kepada Ananto 

sambil berkata, Maafkanlah aku, Adik 

Ananto. Aku menyesal sudah bersikap 

kasar kepadamu.

Ananto yang jujur cepat menerima 

tangan Kaligis dengan hati terharu. 

Bagaimanapun ia merasa lebih muda, 

baik umur maupun kedudukannya dalam 

perguruan. Maka tanpa malu-malu lagi, 

pemuda ini menjawab, Kakang, akulah 

seharusnya yang minta maaf kepadamu, 

karena aku lebih muda.

Sudahlah, apa yang terjadi 

anggaplah seperti tidak pernah 

terjadi, ujar Sangkan. Mari kita mem-

percepat perjalanan.

Tiga orang saudara seperguraan 

itu sekarang meneruskan perjalanan dan 

berdampingan. Mereka tampak kembali 

rukun seperti tidak pernah terjadi 

apa-apa. Kaligis melangkah paling 

kiri, Sangkan di tengah dan Ananto 

paling kanan. Akan tetapi sambil 

melangkah ini diam-diam Kaligis 

bertanya dalam hati, apakah maksud 

isyarat mata Sangkan tadi?

Mereka menuju ke timur sesuai 

dengan tugas yang sudah diatur oleh 

Tanu Pada. Tetapi perjalanan menuju 

timur ini merupakan wilayah yang amat 

sulit. Wilayah ini terdiri dari hutan 

perawan, di sana-sini terdapat jurang


dalam dan kadang harus melompat dari 

batu ke batu yang licin dan berbahaya.

Keadaan wilayah yang sukar ini 

makin membuat hati Kaligis tambah 

penasaran dan dendam kepada Tanu Pada, 

dan menurut pendapatnya pemuda 

saingannya itu sengaja mempersukar 

dirinya.

Tanu Pada kurangajar! gerutunya. 

Tentu saja dia sengaja memilihkan 

daerah yang paling sukar untuk diriku.

Ananto kembali tidak senang 

hatinya mendengar gerutu Kaligis itu. 

Maka kata pemuda cilik ini, Kakang 

Kaligis! Kita semua ini melaksanakan 

perintah guru. Sedangkan Kakang Tanu 

Pada sebagai saudara kita yang tertua 

sudah membagi tugas sesuai dengan 

wewenangnya. Kenapa sekarang Kakang 

menggerutu dan tidak puas? 

Bagaimanapun sukarnya perjalanan kita 

ini, masih belum memadai kasih guru 

terhadap kita semua.

Apa katamu? Kaligis mendelik 

marah. Engkau selalu membela Tanu

Pada. Apakah kau memang sengaja 

memusuhi aku?

Siapakah yang memusuhi? Hemm, aku 

tidak memusuhi siapapun, sahut Ananto 

tanpa gentar. Aku hanya bicara sesuai 

dengan kata hatiku. Kalau kita sebagai 

murid melaksanakan perintah guru, 

tiada alasan menggerutu dan tidak


puas. Kita harus bisa menempatkan diri 

sebagai murid yang baik.

Jahanam kau! Jadi engkau berani 

menghina aku sebagai murid tidak baik? 

bentak Kaligis tambah marah.

Sangkan melerai lagi dengan 

katanya yang sabar dan halus, 

Sudahlah, mengapa kalian selalu 

bertengkar saja? Kita semua merupakan 

murid-murid yang taat dan baik. Tugas 

yang kita pikul sekarang ini justru 

merupakan ujian, siapa di antara kita 

yang dapat membawa kembali Adi Sen-

tiko, dialah murid teladan. Itulah dia 

murid yang pantas dipuji sanjung. Nah, 

yang penting sekarang kita berusaha 

agar bisa menemukan dan membawa 

kembali Adi Sentiko menghadap guru.

Kaligis hampir membuka mulut, 

karena hatinya masih sangat penasaran 

merasa dimusuhi Ananto. Namun lagi-

lagi ia menerima isyarat mata dari 

Sangkan yang sebenarnya, tetapi dalam 

hatinya timbul kepercayaannya, adik 

seperguruannya yang cerdik ini tentu 

mempunyai maksud yang menguntungkan 

dirinya.

Untuk sementara mereka tidak 

membuka mulut, karena jalan yang 

dilewati tambah sukar dan licin. Tak 

lama kemudian mereka sudah harus lewat 

jalan setapak yang lebih sukar lagi. 

Sebelah kiri tebing gunung yang 

tinggi, sedang sebelah kanan merupakan


jurang yang amat dalam. Kalau tidak 

melangkah hati-hati, sekali terpeleset 

sulit diharapkan bisa tertolong.

Mengingat sulitnya jalan yang 

harus dilalui ini, Ananto yang diam-

diam tidak senang dengan Kaligis, tak 

mau melangkah paling depan. Karena 

pemuda ini khawatir, apabila Kaligis 

main curang di tempat ini. Oleh sebab 

itu Ananto memilih paling belakang dan 

dengan demikian akan lebih aman.

Akan tetapi Ananto yang masih 

kecil ini kurang menyadari bahaya di 

antara mereka bertiga, Sangkanlah yang 

paling licin, berbahaya dan tidak 

gampang diduga. Berbeda dengan 

Kaligis, sekalipun kasar dan bera-

ngasan, masih suka berterus terang. 

Kasar, namun sifat ksatryanya masih 

tebal dan tidak mau berbuat curang.

Sebaliknya Sangkan yang licik ini 

menghadapi sesuatu lebih banyak 

menggunakan sikap pura-pura. Maka 

apabila berhadapan dengan orang yang 

tidak disukai, ia tidak segan berbuat 

curang.

Dan tiba-tiba saja Sangkan 

berhenti melangkah kemudian membalik-

kan tubuh. Ananto yang melangkah 

paling belakang merasa heran, ikut 

menghentikan langkah di dekat Sangkan 

sambil bertanya, Apakah sebabnya kau 

berhenti?


Aku mendengar suara orang 

memanggil, sahut Sangkan sambil 

menebarkan pandang matanya. Kemudian 

ia menuding ke arah belakang Ananto 

sambil berseru, Nah, lihatlah di sana 

dan dugaanku ternyata benar. Aduh, 

ternyata guru menyusul kita.

Ananto tertarik dan membalikkan 

tubuh. Di saat bocah ini membalikkan 

tubuh Sangkan tidak melepaskan 

kesempatan sebaik ini. Kakinya 

bergerak mengait kaki Ananto. Dan 

karena tidak pernah menduga dirinya 

bakal diserang, Ananto kaget dan 

berusaha menghindar.

Sayang Ananto lupa, jalan yang 

dilalui hanya jalan setapak, licin dan 

di sebelah bahwa menunggu jurang amat 

dalam. Karena itu walaupun kaitan kaki 

Sangkan luput, tetapi Ananto menginjak 

tempat kosong. Tangannya masih 

berusaha menjambret apa saja yang 

dapat dipergunakan menahan tubuhnya, 

namun tidak berhasil.

Yang terdengar kemudian hanyalah 

jerit kaget Ananto yang nyaring. Namun 

hanya sesaat saja, karena tubuh pemuda 

itu sudah lenyap ke dalam jurang dan 

tertutup kabut.

Hai, apa yang terjadi? Kaligis 

berteriak kaget, menyaksikan tubuh 

Ananto meluncur ke dalam jurang dan 

terdengar jeritnya yang nyaring.


Sangkan ketawa terkekeh, 

sahutnya, Itulah hukuman bagi bocah 

yang cerewet. Biarlah dia mampus tanpa 

kubur di tempat ini. Bukankah dengan 

mampusnya bocah itu kita bisa lebih 

bebas?

Ah,... jadi dia sengaja kau

serang? Kaligis terbelalak.

Benar! Aku muak terhadap bocah 

lancang mulut itu.

Tetapi.... tetapi bagaimanakah 

cara kita menjawab kalau guru 

bertanya?

Sangkan terbahak-bahak, lalu, Ha 

ha ha ha, apakah sebabnya kau malah 

ribut? Apa yang terjadi sekarang ini 

tidak ada orang lain yang tahu. 

Katakan saja dalam perjalanan, Ananto 

sembrono tak mau mendengar nasihat 

kita dan akhirnya dia masuk jurang 

karena terpeleset. Kita sudah berusaha 

menolong, tetapi tidak berhasil, malah 

hampir saja aku dan kau ikut 

terpeleset ke jurang. Ha ha ha ha, 

habis perkara dan guru kita pasti 

percaya.

Tetapi.... kenapa kau tega kepada 

Ananto? Kaligis masih khawatir dan 

menyesali perbuatan Sangkan.

Ia memang benci kepada Ananto 

yang memusuhi. Namun demikian ia tidak 

tega harus berbuat seperti itu.

Ha ha ha ha, apakah sebabnya 

Kakang Kaligis malah ribut sendiri?


Aku toh berbuat untuk kepentinganmu 

pula, Kakang? Dengan mampusnya bocah 

itu berarti rahasia kita takkan 

diketahui siapapun. Engkau mencintai 

Sarindah tetapi terhalang oleh Tanu 

Pada. Sebaliknya aku, cintaku kepada 

Sarwiyah tidak dapat ditawar-tawar 

lagi. Tetapi celakanya manusia busuk 

Kebo Prada merupakan halanganku 

terutama.

Kaligis terbelalak heran, tak 

tahu apa maksud Sangkan yang 

sesungguhnya. Tanyanya kemudian, Adi 

Sangkan, apakah maksudmu sebenarnya?

Hemm, engkau terlalu jujur, 

Kakang, hingga tidak pernah terpikir 

olehmu, saat sekarang inilah yang 

paling baik bagiku dan bagi dirimu...

Saat baik yang bagaimana? potong 

Kaligis.

Saat baik untuk bertindak, guna 

mencapai maksud kita masing-masing. Ha 

ha ha ha, mumpung ada kesempatan baik 

dan terlepas dari pengawasan guru 

kita. Ketahuilah Kakang, soal tugas 

mencari Sentiko bagi kita tidak 

penting.

Lalu menurutmu, apakah yang lebih 

penting? 

Kita membuat perhitungan baik 

kepada Tanu Pada maupun kepada Kebo 

Pradah, ha ha ha ha! Bukankah dua 

orang itu merupakan penghalang kita? 

Kalau mereka kita singkirkan,


bagaimanakah mungkin dapat main mata 

lagi dengan bunga cantik yang sama-

sama kita cintai itu? Nah, apakah kau 

masih juga belum tahu maksudku?


Yang terdengar kemudian hanyalah 

jerit kaget Ananto yang nyaring. Namun 

hanya sesaat saja, karena tubuh pemuda 

itu sudah lenyap ke dalam jurang dan 

tertutup kabut.

Kaligis mengerutkan alis dan 

tampak berpikir.

Kakang, mampusnya Ananto 

merupakan tanggungjawab kita berdua, 

sambung Sangkan. Karena itu kita 

berdua harus rukun dan kerjasama. Se-

karang aku sudah mempunyai rencana 

bagus. Yang lebih penting, kita harus 

menangguhkan perjalanan mencari 

Sentiko.

Ohh... lalu apalagi rencanamu? 

Kaligis bingung.

Sekarang kita berbalik arah. 

Engkau tahu, Tanu Pada dan Kebo Pradah 

pergi bersama dan marilah kita susul, 

kita bunuh dengan jalan apapun juga, 

yang pokok berhasil.

Kaligis terbelalak pucat 

mendengar rencana Sangkan ini. Bagi 

dirinya walaupun bersaing tetapi ingin 

menggunakan jalan wajar. Ia tidak per-

nah berpikir untuk mencelakakan 

saudara seperguruannya sendiri, lebih-

lebih menggunakan siasat curang.


Namun Sangkan tak mau memberi 

kesempatan Kaligis berpikir. Bujuknya 

setengah mengancam, 

Kakang, kita jangan ragu 

sedikitpun dalam usaha mencapai cita-

cita. Orang bercita-cita harus 

berusaha dengan jalan apapun juga. 

Baik terang-terangan atau kalau perlu 

menggunakan akal dan tipu daya. Orang 

yang tak mau menggunakan kesempatan 

baik yang ada, adalah sebodoh-bodohnya 

manusia. Itu tolol! Dan orang yang 

demikian apa yang dicita-citakan tidak 

mungkin bisa tercapai!

Sangkan berhenti dan memandang 

Kaligis mencari kesan. Sejenak 

kemudian lanjutnya, 

Kakang, dalam persoalan ini 

antara engkau dan Tanu Pada 

kedudukannya lebih kuat Tanu Pada. 

Jelas Sarindah lebih tertarik kepada 

Tanu Pada. Dengan demikian dia 

merupakan sainganmu. Maka tanpa usaha 

melenyapkan saingan itu, apa yang kau 

harapkan tidak mungkin bisa terwujud.

Malahan Tanu Pada bisa memfitnah 

kau lewat mulut Sarindah. Engkau bisa 

celaka sendiri jika kau kalah dulu 

untuk bertindak. Dan kau tentunya juga 

sadar bahwa Sarindah adalah cucu guru 

kita. Bagi seorang kakek yang cinta 

kepada cucunya tentu lebih percaya 

kepada cucu sendiri dibanding kepada 

murid.


Sangkan berhenti lagi dan menatap 

Kaligis mencari kesan. Ketika melihat 

bujukannya mulai mempan ia cepat 

menambahkan, 

Kakang Kaligis. Engkau bisa mati 

konyol oleh tangan guru sendiri jika 

engkau lengah. Kalau saja pada suatu 

hari Tanu Pada mau mencelakakan 

engkau, gampangnya seperti kita 

membalikkan telapak tangan sendiri.

Mencelakakan aku? Mana mungkin? 

Dan bagaimana pulakah caranya?

Gampang saja, ha ha ha ha. 

Menghadapi orang seperti kau yang 

jujur ini, apakah sulitnya? Tanu Pada 

bisa bekerjasama dengan Sarindah. 

Umpamanya saja begini. Sarindah 

meletakkan salah satu benda berharga 

di dalam simpanan pakaianmu. Kemudian 

dia melaporkan kepada guru, kehilangan 

benda berharga tersebut. Tentu saja 

engkau yang tak merasa berbuat salah 

akan bersumpah engkau tidak mengambil. 

Tetapi ketika dilakukan penggeledahan, 

ternyata benda itu di tengah tumpukan 

pakaianmu. Bukti sudah ada, 

bagaimanakah engkau akan mungkir? Guru 

yang sudah termakan hasutan Sarindah 

takkan mau mendengar alasanmu lagi. 

Padahal kau tahu bagaimanakah bunyi 

peraturan yang dibuat guru?

Wajah Kaligis pucat mendadak. 

Sahutnya, S-tiap murid yang terbukti


mencuri dua belah tangannya harus 

dipotong...

Nah, bagaimanakah jadinya kau ini 

kalau hidup tanpa tangan? Hemm, engkau 

akan menjadi manusia cacat tanpa guna 

lagi. Selama hidup kau akan menjadi 

beban keluargamu. Karena itu sebelum 

terlambat kita harus bertindak lebih 

cepat. Sebelum peristiwa itu terjadi 

dan menimpa dirimu, kita bunuh Tanu 

Pada dan Kebo Pradah.

Kaligis tidak cepat membuka 

mulut. Ia masih ragu.

Akan tetapi tiba-tiba saja 

bayangan wajah Sarindah yang cantik 

menggoda di depan matanya. Bibir yang 

merah merekah itu tersenyum amat 

manis. Jantungnya tiba-tiba berdegup. 

Kemudian ia mengangguk dan menjawab,

Ya, engkau benar. Aku pikir 

rencanamu lebih tnenguntungkan 

dibanding jalan lain. Hemm, Adi 

Sangkan! Kita sudah membunuh Ananto. 

Maka kita tidak boleh bertindak 

setengah mentah. Baik, marilah kita 

cari jahanam itu dan kita bunuh!

Sangkan gembira sekali mendengar 

jawaban ini. Kemudian mereka melangkah 

menurut jalan setapak yang tadi mereka 

lalui. Mereka putar haluan lalu menuju 

kembali ke arah Tanu Pada dan Kebo 

Pradah melakukan tugas. Dan sambil 

melangkah ini, antara dua orang ini 

mematangkan rencana dan siasat. Mereka



sadar tidak mudah membunuh Tanu Pada 

dan Kebo Pradah. Ilmu kepandaian di 

antara mereka setingkat dan malah 

sebagai murid tertua, Tanu Pada 

sedikit lebih tinggi ilmunya. Jelas 

apabila terang-terangan melawan dua 

orang saingannya itu sulit terwujud. 

Karena itu jalan terbaik harus 

menggunakan tipu daya.

2

Ke manakah sebenarnya pemuda 

cilik Sentiko itu pergi? Dugaan 

keluarganya memang tepat. Bocah itu 

menjadi panas dan penasaran sekali 

setelah mendengar orang tuanya tewas 

dibunuh secara kejam. Ia merasa, 

dirinya sebagai keturunan laki-laki 

satu-satunya. Maka dirinyalah yang me-

rasa berkewajiban membalaskan sakit 

hati dan dendam orang tuanya. Oleh 

pengaruh pikirannya ini kemudian ia 

menjadi nekad. Tanpa mengukur 

kemampuan diri, malam itu juga ia 

pergi diam-diam.

Sentiko tidak peduli cuaca gelap 

ia terus bergerak cepat menuruni 

pinggang gunung Bromo. Ia tidak ingin 

maksudnya gagal, baik dicegah oleh 

kakeknya maupun yang lain. Pendeknya 

ia memilih mati daripada menjadi 

seorang anak tak berguna.


Sentiko membekal semua pakaian 

yang dimiliki, sedangkan senjata 

trisula yang tangkainya dapat ditekuk 

itu, disembunyikan di dalam bajunya. 

Ia tidak pernah berpikir bahwa orang 

yang pergi melakukan perjalanan jauh 

memerlukan bekal uang. Padahal ia 

tidak mempunyai uang simpanan, maka 

ketika pagi tiba perutnya melilit 

minta diisi dan ia menjadi bingung 

sendiri.

Perut, mengapa sebabnya engkau 

merengek minta isi? Hemm, perut, 

tunggu sebentar lagi setelah kita 

bertemu dengan warung, nanti kita 

membeli nasi yang kau butuhkan.

Sentiko menghibur perutnya 

sendiri dan sesaat kemudian bocah ini 

ketawa terpingkal-pingkal sendiri 

merasa geli.

Soalnya, manakah mungkin perutnya 

itu mau mendengar kata-katanya? Perut 

yang lapar tidak bisa dihibur dengan 

kata-kata, tetapi membutuhkan isi. 

Disamping itu ia tidak memiliki uang 

sepeserpun, mengapa begitu gegabah 

menyanggupkan diri untuk membeli nasi?

Kemudian tibalah pada sebuah desa 

yang cukup makmur, bernama Purwosari. 

Begitu masuk ke desa ini hidungnya 

segera kembang kempis dan perutnya 

semakin merengek, ketika lubang hi-

dungnya menghirup bau gurih dari dapur 

seorang penduduk. Hidungnya cukup


kenal dengan bau khusus ini. Tentu 

seseorang sedang membakar ikan asin.

Terbayang dalam benaknya 

kemudian, betapa nikmatnya sepagi ini 

makan nasi putih hangat, sambal dan 

ikan asin dibakar. Sanggup rasanya 

untuk menghabiskan nasi tiga piring 

sekaligus.

Akan tetapi ah, bagaimanakan ia 

dapat makan seperti yang dibayangkan 

itu? Dirinya tidak punya uang, dan 

haruskah ia minta-minta kepada 

penduduk? Hemm, ia tidak sudi 

merendahkan diri sebagai pengemis. 

Betapa mendongkol hatinya kalau orang 

tidak mau memberi malah mencaci maki 

sebagai seorang muda yang malas? 

Apakah dirinya harus menjual tenaga 

dengan bekerja apa saja asal 

memperoleh sesuap nasi? Tidak? Orang 

yang menjual tenaga tanpa diminta, 

tidak urung direndahkan. Menurut 

pikirannya orang tentu tidak mau 

menghargai tenaganya. Dan tentu 

terpaksa bekerja berat namun upah yang 

bakal diterima tidak seimbang.

Aku mempunyai ilmu kepandaian. 

Mengapa tidak aku coba dan aku 

pergunakan ? katanya seorang diri 

sambil terus melangkah menyusuri jalan 

desa itu. Kiranya lebih berharga 

dengan melakukan perampasan atau 

mencuri.


Dalam benaknya segera terbayang 

betapa enaknya merampas atau mencuri. 

Tidak perlu banyak tenaga dirinya akan 

mendapat uang atau benda berharga yang 

cukup banyak.

Tiba-tiba saja ia melihat seorang 

perempuan desa yang berjalan seorang 

diri menuju ke luar desa. Dilihatnya 

pula jalan desa itu menuju ke tengah 

ladang jagung yang menghubungkan desa 

lain. Apakah sulitnya melakukan 

perampasan terhadap perempuan lalu 

lari dan bersembunyi?

Setelah menetapkan hati bocah ini 

mempercepat langkahnya, dan sesaat 

kemudian sudah berlarian cepat sekali 

mengejar perempuan desa itu.

Sungguh sayang bocah yang masih 

semuda Sentiko, sudah mempunyai 

pikiran sesat seperti itu, yang 

beranggapan lebih terhormat merampas 

dan mencuri daripada menjual tenaga 

kepada orang. Inilah akibat salah 

didik. Kakeknya kurang memperhatikan 

usaha menggembleng batin dan watak. 

Kakeknya lebih memperhatikan 

penggemblengan ilmu kesaktian, guna 

bekal mencapai cita-cita. Karena salah 

didik, menyebabkan bocah ini sudah 

tersesat.

Perempuan yang menggendong 

tanggok itu kaget ketika tiba-tiba 

dihadang Sentiko. Akan tetapi karena 

Sentiko masih kecil, rasa kaget perem


puan ini cepat menghilang, kemudian 

tanyanya, Nak, apa maksudmu menghadang 

aku?

Berikan uangmu! hardiknya sambil 

mendelik. Kalau tidak, kupukul kau!

Perempuan ini terbelalak tidak 

percaya. Benarkah bocah sekecil ini 

sudah berani menjadi perampok?

Anak, engkau jangan main-main, 

ujarnya tak percaya. Tempat ini tak 

jauh dari desa. Apa yang akan terjadi 

kalau aku menjerit minta tolong? Anak, 

engkau masih kecil, sayang sekali jika 

tersesat. Kalau memang butuh uang, 

nih, aku beri sekadarnya untuk membeli 

nasi.

Perempuan ini kemudian mengambil 

pundi-pundi berisi uang yang disimpan 

di ujung selendang.

Melihat pundi-pundi yang jelas 

berisi uang itu, timbul niatnya untuk 

merampas semuanya.

Aku tak mau pemberianmu. Sebab 

engkau tentu hanya memberi sedikit!

Perempuan ini terbelalak dan 

menghentikan gerak tangannya yang 

berusaha membuka ujung pundi-pundi 

itu.

Apa katamu, Nak? katanya tak 

percaya. Kau tak mau aku beri sedikit? 

Ih, mengapa masih sekecil engkau sudah 

serakah? Kau...

Perempuan ini mendadak 

menghentikan ucapannya dan wajah


berubah pucat, ketika tahu-tahu pundi-

pundi itu sudah direbut oleh Sentiko.

Hai... kembalikan...!

Sentiko ketawa mengejek. Hati 

bocah ini menjadi besar ketika dengan 

gampang berhasil merampas uang itu. 

Ha ha ha ha, uang ini aku

butuhkah. Maka tak mungkin aku 

kembalikan.

Apa? Jika kau membandel, aku 

menjerit... ancam perempuan itu.

Sentiko khawatir juga kalau apa 

yang dilakukan diketahui orang oleh 

jeritan perempuan ini. Ia tidak mau 

menghadapi bahaya. Ia sudah melakukan 

perampasan mengapa tanggung-tanggung? 

Pikirnya, Hemm, lebih baik kupukul 

saja perempuan ini. Jika aku bisa 

membuat perempuan ini pingsan, 

perbuatanku akan aman.

Kembalikan...! Kembalikan...! 

teriak perempuan ini sambil menubruk 

dan berusaha merebut.

Kesempatan ini tidak disia-siakan 

oleh bocah ini. Kaki kanan menghadang 

dan berbareng tinjunya memukul ulu

hati.

Plakk.... bukk...

Dua macam serangan ini mengenai 

sasarannya secara tepat, karena 

perempuan itu tidak dapat menghindar. 

Maka tanpa dapat berteriak lagi

perempuan ini sudah terkulai lalu


roboh miring, sedang tanggok masih 

dalam gendongannya.

Sentiko tertawa senang. Katanya, 

Huh, engkau terlalu pelit, inilah 

upahmu. Kecil cabe rawit, sekalipun 

kecil aku tak kalah dengan kau, ha ha 

ha ha!

Ia mengamati perempuan itu dengan 

wajah berseri. Terbayang dalam 

benaknya dengan memiliki pundi-pundi 

uang ini, kebutuhan mengisi perut 

terjamin.

Ia sudah melangkah meninggalkan 

perempuan yang roboh itu. Tetapi baru 

tiga langkah ia berhenti dan 

memalingkan muka memandang perempuan 

itu. Ia heran mengapa perempuan itu 

belum juga bergerak? Hatinya tertarik 

lalu kembali. Ia membungkuk

memperhatikan dan benar perempuan ini 

tidak bergerak.

Eh, kenapa tidak bernapas? 

Matikah? pikirnya.

Jarinya meraba dada. Dada itu 

lunak dan tiba-tiba saja jantungnya 

berdegup. Mengapa dada perempuan 

lembut dan lunak, tidak seperti 

dadanya sendiri? Namun pertanyaan aneh 

ini cepat berganti dengan rasa kaget. 

Ah benar, perempuan ini tidak bernapas 

lagi, sudah mati.

Celaka! Kenapa perempuan ini mati 

oleh pukulanku?


Bocah ini tegang dan kemudian 

lari secepatnya meninggalkan 

korbannya.

Sentiko memang menjadi kaget dan 

ketakutan melihat perempuan yang 

dipukul itu mati. Ia tidak sengaja 

membunuh. Ia tadi hanya ingin 

merobohkan supaya pingsan saja. 

Sentiko tidak pernah berpikir bahwa 

pukulannya amat berbahaya bagi seorang 

perempuan desa ini.

Setelah Sentiko pergi, muncullah 

seorang kakek, tubuhnya tinggi besar 

dan semua rambut sudah berubah putih, 

baik pada alis, jenggot maupun 

kumisnya. Melihat perempuan yang 

menggeletak tewas ini, kakek tua tidak 

kaget dan juga menyesali keganasan 

Sentiko, tetapi anehnya malah 

terkekeh.

Heh heh heh heh, bagus! gumamnya 

sambil meninggalkan perempuan itu. 

Bagus sekali. Bocah sekecil itu 

tangannya sudah ganas! Heh heh heh 

heh, hari ini aku beruntung. Pada usia 

tuaku seperti sekarang ini aku belum 

mempunyai murid seorangpun. Tetapi 

bocah itu sungguh tepat untuk menjadi 

muridku.

Tak lama kemudian kakek ini 

melihat, Sentiko sudah hampir masuk 

sebuah desa sebelah utara Lawang. 

Bocah itu sudah tidak lari lagi dan 

sesaat kemudian bocah itu malah masuk


dalam warung, lalu duduk di dekat 

seorang laki-laki gagah berumur 

sekitar empat puluh tahun.

Laki-laki itu brewok dan 

menyeramkan. Namun demikian Sentiko 

tidak takut karena menurut jalan 

pikiran bocah ini orang sama-sama 

butuh jajan. Berbeda dengan orang yang 

lain, mereka yang jajan lebih suka 

duduk berhimpitan pada bangku panjang 

di meja lain. Entah mengapa sebabnya, 

Sentiko sendiri tidak peduli.

Saking perutnya sudah merengek 

kelaparan, Sentiko tidak peduli kepada 

yang lain. Ketika nasi diterima tanpa 

membuka mulut lagi ia sudah makan 

dengan lahap. Seolah-olah bocah ini 

ingin memasukkan semua nasi itu hanya 

sekali telan saja.

Melihat sikap Sentiko, laki-laki 

brewok itu mengerutkan alis. Ia 

menjadi kurang senang, entah apa 

sebabnya.

Mendadak orang itu bersin. 

Beberapa percik ludahnya menghambur ke 

nasi di depan Sentiko.

Sentiko kaget. Perutnya amat 

lapar dan nasi baru separo ia makan. 

Tetapi nasi itu sudah campur ludah 

orang, manakah mungkin ia mau makan 

lagi?

Bocah ini melirik tidak senang. 

Tetapi laki-laki itu malah memandang 

ke arah lain. Karena yang penting


sekarang ini mengisi perut, maka 

Sentiko menahan kemendongkolan hatinya 

lalu pesan nasi lagi.

Oleh si penjual pun cepat pula 

dilayani. Ketika nasi sudah diterima, 

iapun mulai makan lagi. Namun baru 

tiga suap nasi masuk ke perut, lagi-

lagi orang itu bersin dan menyemprot 

nasinya dengan ludah. Sekarang bukan 

saja laki-laki itu bersin, tetapi 

malah diikuti dengan sindirannya.

Hemm, bocah tak tahu adat. Orang 

tua belum makan, bocah cilik sudah 

mendahului!

Sentiko tidak senang oleh sikap 

laki-laki ini. Mengapa makan di 

warung, membayar dengan uang sendiri 

harus diatur orang?

Akan tetapi saat sekarang ini 

hatinya gelisah, ingat kepada 

perbuatannya tadi. Oleh karena itu 

tiada nafsu untuk bertengkar dengan 

orang, dan lebih baik segera membayar 

harga makanan dan mencari warung lain. 

Karena itu ia cepat mengeluarkan 

pundi-pundi sambil bertanya harga ma-

kanan yang sudah dibelinya.

Celakanya baru saja mau membuka 

tali pundi-pundi, mendadak sudah 

pindah ke tangan laki-laki itu. Dan 

laki-laki ini kemudian tertawa sambil 

bicara seenak udelnya sendiri.

Heh heh heh heh, tak patut bocah 

cilik membawa banyak uang


Wajah Sentiko sebentar pucat dan 

sebentar merah. Apakah uang hasilnya 

merampas sekarang harus ganti dirampas 

orang secara terang-terangan di warung 

ini? Apakah harus dibiarkan saja 

perbuatan orang kasar ini? Dan kalau 

dibiarkan, apa yang harus dipergunakan 

membayar harga makanan?

Kembalikan uangku! teriaknya 

sambil menggerakkan tangan untuk 

merebut. 

Plakkkk....!

Tangan Sentiko ditangkis dan 

terhuyung beberapa langkah ke belakang 

lalu menabrak tiang warung. Dan ia 

meringis karena lengannya tergetar 

hebat dan sakit.

Tetapi sebaliknya laki-laki yang 

merebut pundi-pundi terbelalak heran 

hampir tidak percaya akan pandang 

matanya sendiri. Benarkah bocah itu 

tidak roboh dan patah lengannya?

Orang lain yang melihat bergegas 

meninggalkan warung. Mereka takut 

akibatnya dan lebih baik menyingkir 

sebelum terlambat.

Pemilik warung sendiri menjadi 

gemetar ketakutan. Namun yang ia 

takutkan hanyalah apabila terjadi 

kerusakan pada benda-benda dalam 

warungnya.

Nak Jayus... kasihanilah aku, 

bujuknya halus, jangan di warung ini.


Heh heh heh heh, jangan khawatir, 

tukasnya sambil terkekeh.

Setiap penduduk Purwosari dan 

Lawang sekitarnya, memang sudah kenal 

siapa laki-laki ini. Dia seorang 

kasar, lagaknya jagoan, sewenang-

wenang dan merampas milik orang lain. 

Memang sebenarnya saja laki-laki ini 

disebut gentho (Gali) oleh orang 

banyak.

Setiap orang kenal namanya, Kreto 

Jayus. Masih ada baiknya memang, 

sekalipun penjahat, tidak mau 

mengganggu milik tetangga. Jika 

melakukan kejahatan hanya kepada 

penduduk desa yang jauh dan atau belum 

kenal. Sekalipun demikian, sebagai 

penjahat, orang yang berani melawan 

kehendaknya akan dihajar babar belur.

Dan sekarang begitu melihat 

Sentiko yang kecil dan makan 

disampingnya tanpa mau menawarinya, ia 

menjadi tersinggung. Itulah sebabnya 

ia bersin dan sengaja ditujukan ke 

nasi Sentiko, untuk mengobati 

kemendongkolannya.

Akan tetapi demi melihat bocah 

cilik itu mempunyai banyak uang tiba-

tiba saja timbul keinginannya untuk 

merampas. Namun ketika tangkisannya 

tidak membuat orang itu roboh, Kreto 

Jayus menjadi penasaran.

Kembalikan uangku....! teriak 

Sentiko.


Heh heh heh heh, rebutlah kembali 

kalau bisa! ejek Kreto Jayus sambil 

keluar dari warung. Sentiko mendelik 

marah. Sekalipun kecil ia bocah 

berilmu di samping tabah dan berani. 

Tantangan itu menyebabkan ia 

penasaran. Teriaknya, Jahanam busuk! 

Engkau hanya berani mengganggu anak 

kecil saja. Sangkamu aku takut?

Pemilik warung sudah pucat dan 

khawatir, bocah sekecil itu, mengapa 

berani melawan Kreto Jayus? Ia sudah 

membayangkan tidak urung bocah cilik 

ini akan mati.

Di pihak lain orang-orang yang 

tadi jajanpun menjadi tegang dan 

khawatir pula. Mereka tidak berani 

mencampuri, namun demikian mereka 

menonton juga dari tempatnya 

bersembunyi. Sentiko telah melompat 

mengejar Kreto Jayus. Laki-laki itu 

terkekeh di tengah jalan sambil 

memamerkan pundi-pundi yang tadi ia 

rebut.

Hai Bocah! Engkau tak patut 

memiliki uang sebanyak ini. Hayo, 

katakan dari mana kau mencuri?

Jahanam! Aku tidak mencuri. 

Kembalikan uangku!

Sentiko sudah meloncat menyerang 

menggunakan tangan dan kaki yang 

kecil. Tangan kiri dengan dua jari 

menyerang mata, sedang tangan kanan 

menyerang ulu hati, ditambah pula


dengan gerakan yang cepat menendang 

tangan kiri orang yang memegang pundi-

pundi.

Aihh... kurangajar! Kreto Jayus, 

lalu terkekeh dan mengejek, Heh heh 

heh heh, agaknya kau mempunyai sedikit 

kepandaian, lalu menjadi sombong dan 

tidak memandang sebelah mata kepadaku. 

Bagus, aku ingin mematahkan kaki dan 

tanganmu biar kapok.

Sentiko tidak peduli. Begitu 

serangan pertama dihindari lawan, ia 

menerjang maju dengan kecepatan kilat. 

Tubuh yang kecil itu dengan ringan 

melesat ke depan. Dua tangannya 

bergerak, tangan kiri mengulang 

menyerang mata dan tangan kanan 

kembali menyerang uluhati.

Kreto Jayus berdiri dan tidak 

menghindar. Setelah menyimpan pundi-

pundi dalam bajunya ia mengangkat 

tangan kiri untuk menangkis sambil 

merendahkan tubuh. Berbareng dengan 

itu tangan kanan mencengkeram pundak.

Wut... wut... plak... Aihhh...!

Kreto Jayus kaget setengah mati, 

ketika tangkisan dan pukulan 

balasannya luput, malah pundaknya 

terpukul. Sekalipun kecil tangan 

Sentiko, namun pukulan itu menyebabkan 

Kreto Jayus kesakitan.

Orang yang menonton heran 

mendengar teriakan Kreto Jayus karena 

mereka sulit percaya. Kreto Jayus yang


biasanya garang berhadapan dengan 

lawan itu, mengapa sekarang terpukul 

bocah cilik saja sudah berteriak? 

Apakah bocah ini bocah ajaib?

Kreto Jayus menjadi amat marah. 

Kalau tadi ia melawan Sentiko dengan 

sikap mengejek dan merendahkan, 

sekarang tidak berani sembrono lagi. 

Diam-diam ia malu dan berjanji takkan 

melepaskan bocah ini sebelum mampus. 

Karena itu sambil membentak lantang 

dua tangannya bergerak cepat untuk 

memukul roboh lawan.

Ia menubruk ke depan bermaksud 

menangkap Sentiko. Namun Sentiko dapat 

bergerak gesit seperti bayangan. Tiba-

tiba tubuh bocah itu melesat cukup 

tinggi. Di udara berjungkir balik, 

kepala di bawah dan kaki di atas. Lalu 

dua tangannya seperti kilat cepatnya 

menyambar ke arah mata dan ubun-ubun. 

Sekalipun bocah cilik, serangan ini 

amat berbahaya.

Akan tetapi Kreto Jayus merasa 

jagoan dan bertenaga raksasa. Tangan

Sentiko yang meluncur itu disambut 

dengan tangkisan tangan kiri sedang 

tangan kanan berusaha mencengkeram 

pusar lawan.

Aduhhh...! Kreto Jayus berteriak 

kaget ketika dekat telinganya 

terserempet pukulan lawan. Kepalanya 

sakit dan nanar.


Sungguh, tidak pernah dibayangkan 

oleh Kreto Jayus mengalami peristiwa 

ini. Ia menjadi amat malu. Dirinya 

terkenal sebagai jagoan tanpa tanding 

di wilayah ini. Haruskah sekarang 

menyerah di tangan anak kecil? Saking 

marah dan penasaran ia menjadi lupa 

daratan dan mata gelap. Tiba-tiba saja 

ia mencabut goloknya yang menghitam 

karena berkali-kali sudah minum darah 

korban. Dan sekarang golok ini akan 

disuruh minum darah Sentiko.

Melihat orang mencabut golok 

diam-diam Sentiko gentar. Bagaimanapun 

selama ini ia belum pernah berkelahi 

sungguh-sungguh. Kalau berkelahi hanya 

berlatih dengan murid kakeknya.

Meskipun demikian bocah ini tidak 

takut. Ia sudah mendapatkan bukti 

bahwa ilmu yang dimilikinya tidak 

kalah dengan ilmu lawan.

Tiba-tiba saja malah timbul 

kegembiraan bocah ini. Bukankah 

perkelahian ini malah bisa dijadikan 

semacam ujian? Kepergiannya sekarang 

ini untuk mencari Gajah Mada dan Mpu 

Nala. Padahal dua orang itu terkenal 

sebagai tokoh Majapahit yang sakti 

mandraguna. Kalau sekarang berhadapan 

dengan lawan ini saja tak dapat 

mengalahkan, manakah mungkin bisa 

menang melawan dua tokoh itu?

Teringat itu Sentiko jadi makin 

mantap. Secepat kilat tangannya



mencabut tombak trisula dari balik 

baju. Tombak trisula yang dapat 

ditekuk itu lalu diluruskan. Dan 

sambil melintangkan di depan dada 

bocah ini dengan garang berkata, 

Kembalikan uangku habis perkara! 

Tetapi jika tidak engkau kembalikan, 

akupun tidak takut! Kau punya golok 

akupun punya tombak trisula!

Heh heh heh heh, Kreto Jayus 

terkekeh mengejek. Bagus! Sungguh 

tidak nyana bayi kemarin sore berani 

melawan aku. Huh, sesungguhnya aku 

malu melawan bocah. Tetapi karena kau 

sudah berani memukul aku dua kali, 

sekarang rasakan pembalasanku!

Tanpa malu lagi Kreto Jayus sudah 

mendahului menerjang ke depan 

menggerakkan goloknya menyerang 

Sentiko. Serangan itu cepat dan kuat, 

menerbitkan angin menyambar-nyambar. 

Orang yang menonton dari tempat 

sembunyi amal khawatir. Manakah 

mungkin bocah itu dapat melawan golok 

Kreto Jayus?

Akan tetapi sekalipun belum 

pernah berkelahi, ia seorang murid dan 

cucu tokoh Sakti. Ilmu yang dipelajari 

merupakan ilmu tinggi. Begitu melihat 

golok menyambar, dengan senjata tombak 

trisula Sentiko meloncat ke samping 

dan tak mau beradu senjata, karena 

sadar tenaganya kalah. Dan apabila


terjadi benturan senjata sulit bagi 

dirinya mempertahankan senjatanya.

Sambil menghindar ke samping ini 

tombak trisulanya menikam lambung. 

Kreto Jayus tak mau memberikan 

lambungnya luka, menarik kembali 

goloknya dan membabat sambil 

menggerakkan tangan kiri untuk 

mencengkeram tangkai tombak trisula 

lawan.

Takk.... Ahh, aduhhh...!

Lagi-lagi Kreto Jayus berteriak 

kaget dan kesakitan. Ternyata 

gerakannya kalah tangkas dan kalah 

cepat. Tangkai tombak trisula lawan 

yang akan dicengkeram itu malah 

memukul lengannya. Kreto Jayus 

meringis oleh pukulan itu karena 

lengan kiri hampir lumpuh.

Akan tetapi justru pukulan ini 

menyebabkan Kreto Jayus tambah marah. 

Kalau tadi ia masih melawan seorang 

bocah cilik, sekarang ia sudah lupa 

daratan. Maka sambil membentak 

nyaring, ia membabatkan goloknya.

Hiyaaaat.... hiyaaaaat....!

Babatan golok itu menyebabkan 

hati Sentiko khawatir juga. Dapatkah 

ia mengalahkan lawan dan dapat 

merampas kembali pundi-pundi uangnya? 

Pengalamannya tadi berkali-kali ia 

berhasil memukul lawan. Teringat itu 

bocah ini menjadi lebih mantap.


Rasa percaya kepada ilmu kesak-

tian yang dimiliki ini menyebabkan 

gerakan Sentiko semakin menjadi 

mantap. Tombak trisulanya menyambar-

nyambar dengan gerakan ilmu tombak 

yang bercampur dengan ilmu pedang. 

Memang si Tangan Iblis, kakek Sentiko, 

dahulu terkenal sebagai ahli senjata 

tombak. Berdasarkan pengalamannya 

pula, ia kemudian berhasil menggubah 

ilmu senjata yang dicampur antara ilmu 

tombak dan ilmu pedang pilihan.

Saat itu Kreto Jayus sudah 

memuncak kemarahannya. Ia membetak 

nyaring, berbareng merendahkan tubuh 

untuk menyerampang kaki lawan. 

Maksudnya sekali membabat, akan segera 

buntunglah kaki lawan. Tetapi justru 

gerakan membabat inilah kesalahan

orang itu.

Sambil meloncat tinggi 

menghindari serangan, Sentiko memukul 

tengkuk lawan. Kreto Jayus cepat 

memiringkan tubuh sambil menggerakkan 

tangan kiri ke atas untuk mencengkeram 

bawah pusar. Dan kesempatan ini tidak 

disia-siakan Sentiko yang masih 

mengapung di udara. Ia memukulkan 

tombak trisulanya, namun Kreto Jayus 

menarik kembali tangannya sambil 

melompat ke samping.

Tak..... bukk....! Tubuh Kreto 

Jayus yang tinggi besar itu terguling-

guling sambil meringis. Ia dapat


menyelamatkan nyawanya, namun pundak 

kanan terpukul dan goloknya lepas. 

Disamping itu tendangan tendangan 

Sentiko yang tidak terduga-duga 

menyebabkan dada sesak dan sulit

bernapas.

Di saat Kreto Jayus bergulingan 

ini, pundi-pundi yang disimpan 

menggelinding keluar. Sentiko tidak 

menyia-nyiakan kesempatan, dan cepat 

disambar dengan tangan kiri, lalu 

disimpan di bank baju. Bagi Sentiko 

tak ada maksud berkelahi. Maka apabila 

pundi-pundi sudah kembali, sudah 

cukup. Oleh sebab itu bocah ini 

kemudian melangkah pergi.

Orang-orang yang menonton sambil 

bersembunyi terbelalak kaget. Benarkah 

apa yang mereka lihat dan saksikan 

ini? Kreto Jayus yang suka berbuat 

sewenang-wenang dan merupakan gentho 

yang ditakuti orang itu, sekarang 

babak belur hanya menghadapi anak 

kecil saja? Diam-diam mereka senang, 

tentunya dengan peristiwa ini Kreto 

Jayus akan berubah tabiatnya.

Akan tetapi sudah tentu Kreto 

Jayus tak mau berhenti sampai di sini. 

Sekalipun dada sesak dan pundak sakit, 

tetapi tidak terluka. Ia harus 

membalas kekalahannya, maka sambil 

menggeram marah, ia melompat berdiri 

kemudian menyambar goloknya. Tanpa 

mempedulikan pakaiannya yang kotor, ia


sudah berteriak lantang sambil 

mengejar.

Bocah bangsat! Jahanam! Hayo 

berhentilah! Makanlah golokku ini!

Sentiko kaget dan cepat melompat ke 

samping. Karena tak mungkin dapat 

melawan tanpa senjata, maka secepat 

kilat ia mengambil senjatanya. Dan 

diam-diam bocah ini marah juga, karena 

ia sudah bersikap lunak, tetapi 

ternyata orang tinggi besar ini tak 

tahu diri.

Diam-diam bocah inipun menjadi 

penasaran dan ingat kepada nasihat 

kakeknya yang antara lain, dalam 

berkelahi menggunakan senjata apabila 

tidak mati terbunuh harus membunuh 

lawan. Karena itu sebelum lawan sempat 

membunuh, engkau harus membunuh lawan 

lebih dahulu.

Nasihat yang berbau sesat ini 

sudah tentu ditelan begitu saja oleh 

otak yang belum pandai 

mempertimbangkan baik dan buruknya 

ini. Ia beranggapan setiap nasihat 

kakeknya tentu benar dan baik. Maka 

sekarang menghadapi lawan bersenjata 

ini, ia harus membunuh kalau tidak 

ingin dibunung orang. Karena itu tanpa 

membuka mulut bocah inipun sudah 

melengking nyaring sambil menggerakkan 

senjatanya. Dan kemudian terjadilah 

perkelahian yang cukup sengit, dua 

senjata itu menyambar dahsyat.



Apa yang terjadi itu tidak pernah 

lepas dari pengamatan kakek tua yang 

sejak tadi membayangi Sentiko. Ia tadi 

merasa keheranan ada bocah cilik 

sanggup membunuh perempuan desa.

Sekarang ia menjadi terbelalak, 

melihat gerak senjata Sentiko yang 

cepat tetapi ganas, penuh tipu daya 

dan pancingan licik. Jelas bahwa ilmu 

bocah ini berbau sesat.

Dalam pada itu melihat gerakan 

Sentiko yang mantap, kakek inipun bisa 

menduga, tentu guru bocah ini tokoh 

sesat yang sakti mandraguna. Ahh, 

alangkah senangnya apabila ia dapat 

memiliki murid tunggal seperti bocah 

ini, bocah yang berbakat, akan tetapi 

juga sesuai dengan wataknya sendiri 

yang sesat. Ia sudah membayangkan 

betapa gempar dunia ini, apabila 

beberapa tahun kemudian, muridnya ini 

mulai mengganas di sana sini.

Karena tak ingin bocah yang 

diincar untuk menjadi muridnya ini 

terlalu lama berkelahi, kakek ini 

segera membantu diam-diam. Ia memungut 

dua butir kerikil, dan ketika tangan 

bergerak, dua butir kerikil ini 

meluncur amat cepat.

Bantuan yang diberikan ini justru 

sudah diperhitungkan secara tepat. Dua 

butir kerikil itu memukul secara tepat 

pada pundak kiri dan pundak kanan 

Kreto Jayus dan pada saat itu pula


tombak trisula Sentiko justru 

menyambar.

Pukulan kerikil itu menyebabkan 

pundak Kreto Jayus sakit dan panas. 

Lengannya mendadak lumpuh dan 

tangkisannya gagal, malah disusul

kemudian goloknya runtuh di tanah. Ia 

kaget sekali ketika melihat senjata 

lawan menyambar ke arah dada. Ia 

bermaksud melompat menghindarkan diri, 

tetapi celaka! Di belakang tubuhnya 

seperti ada benteng yang kuat menempel 

punggung dan tak dapat bergerak lagi.

Apa yang sudah terjadi? Benteng 

yang tidak tampak itu adalah tenaga 

dalam yang dikirim kakek tua itu dan 

yang menyebabkan Kreto Jayus tak dapat 

menghindar lagi.

Crott....! Aduhhh.....!

Dada Kreto Jayus berlubang tiga 

tempat, terhunjam oleh tombak trisula. 

Pekik mengerikan keluar dari mulut dan 

darah merah membanjir keluar dari 

dada.

Sentiko sendiri terbelalak dan 

ngeri, melihat mengucurnya darah merah 

dari dada lawan. Ia cepat menarik 

senjatanya, dan begitu lepas Kreto 

Jayus roboh, meregang sebentar lalu 

tak bergerak lagi untuk selamanya.

Tadi, membunuh seorang perempuan 

tanpa sengaja saja, bocah ini sudah 

lari terbirit-birit. Apa pula 

sekarang, melihat korbannya roboh


mandi darah, Sentiko memekik nyaring 

lalu lari sipat kuping (cepat sekali), 

dan tombak trisula yang bernoda darah 

itu masih dipegang tangan kanan. Tak 

lama kemudian ia sudah masuk ke dalam 

sebuah hutan kecil tak jauh dari 

tempat itu.

3

Akan tetapi tiba-tiba Sentiko 

roboh terguling dan tombak trisulanya 

lepas melesat agak jauh. Bocah ini 

keheranan, merasa menabrak sesuatu 

yang lunak yang mempunyai daya membal 

dan menyebabkan dirinya seperti 

dilemparkan. Maka cepat-cepat ia 

meloncat berdiri dan kemudian.... 

Sentiko terbelakak.

Didepannya sudah berdiri seorang 

tua, tubuhnya tinggi besar, sedang 

tertawa terkekeh kegelian. Munculnya 

kakek ini seperti setan saja, seperti 

muncul dari dalam bumi. Karena itu 

Sentiko tadi merasa tidak ada orang, 

tetapi tahu-tahu sudah menabrak.

Kakek! Apakah sebabnya Kakek 

duduk di tengah jalan? tegurnya sambil 

membersihkan pakaiannya yang kena 

debu. "Dan apakah sebabnya pula aku 

kau banting roboh?

Kakek itu tertawa semakin 

terkekeh, Heh heh heh heh, lucu...


Sentiko tidak senang, protesnya, 

Apanya yang lucu? Aku tidak apa-apa, 

tetapi apakah sebabnya kau banting?

Uah uah, engkau yang menabrak 

aku, tidak minta maaf, sebaliknya 

malah marah-marah kepada orang.

Wajah yang semula berseri dan 

terkekeh itu tiba-tiba berubah dan 

tampak sungguh-sungguh, sedangkan 

matanya tak berkedip memandang Sen-

tiko. Hai Bocah! Apakah engkau ini 

benar-benar bocah yang tidak tahu 

aturan? Seharusnya kau minta maaf 

karena sudah menabrak aku. Tetapi 

mengapa engkau malah menyalahkan aku? 

Huh huh kurangajar.

Apa? Kaulah yang bersalah! 

Sentiko membantah dengan lantang tanpa 

gentar. Engkau tahu, aku sedang lari. 

Tetapi mengapa kau tak mau menyingkir 

dan malah membanting aku?

Siapakah yang membanting? Aku 

tidak melakukan sesuatu.

Tetapi nyatanya aku terpental 

roboh. Bukankah engkau telah sengaja 

membanting aku ?

Melihat sikap bocah yang tabah 

dan berani ini, kakek itu ketawa 

kembali. Katanya sambil mengusap 

jenggotnya yang menjuntai panjang, Heh 

heh heh heh, luar biasa. Luar 

biasa.... 

Kakek tua, kau bicara apa?


Engkau bocah luar biasa. Mestinya 

orang muda yang bersalah harus 

mengakui kesalahannya, namun engkau 

tidak mau mengaku malah menyalahkan 

orang lain.

Aku tak bersalah. Mengapa 

sebabnya harus mengaku salah? Kalau 

kakek tidak duduk di tengah jalan, dan 

mau menyingkir pula di saat aku lewat, 

bukankah aku tidak akan menabrak?

Heh heh heh heh, bocah bandel, 

tabah dan pandai pula berdebat, kakek 

itu memuji sambil memperhatikan 

Sentiko. Terusnya, Mengapa sebabnya 

engkau lari setelah membunuh orang? 

Sentiko terbelalak kaget. Kakek 

tahu...? Tentu saja! Malah perempuan 

yang kau rampas uangnya dan kaupukul 

mampus itupun aku tahu.

Sentiko berjingkrak kaget. 

Engkau... engkau tahu perbuatanku 

terhadap perempuan tadi ? Kalau 

begitu... ahh, siapa dia? Apakah dia

anakmu..? Dan kau... mau menangkap 

aku? Heh heh heh heh....

Tetapi aku tidak bersalah. Aku 

tadi tidak bermaksud membunuh dia. Aku 

hanya ingin merampas uangnya saja.

Heh heh heh heh, merampas milik 

orang lain, kau tidak merasa bersalah?

Tetapi... tetapi aku melakukannya 

karena butuh. Perutku lapar! Tanpa 

uang aku tak bisa mendapatkan nasi.


Kalau Kakek mau main paksa, tentu saja 

aku melawan.

Bagus, heh heh heh heh! Aku ingin 

melihat sampai di manakah kemampuanmu. 

Hemm, agaknya setelah bisa mengalahkan 

gentho itu, engkau menjadi mabuk. Hai, 

Bocah, engkau hanya mempunyai sedikit 

kepandaian. Katakanlah siapa gurumu?

Aku tidak punya guru, tetapi 

kakekku sendiri yang mendidik. Dan 

kau, huh huh, engkau tentu takut dan 

terkencing-kencing apabila mendengar 

nama kakekku.

Siapakah kakekmu itu yang dapat 

membuat orang ketakutan dan 

terkencing-kencing? Heh heh heh heh, 

apakah kakekmu yang kau banggakan itu 

sakti mandraguna seperti iblis?

Apa? Engkau berani menghina 

kakekku? Keparat! Kakekku sakti tanpa 

tanding dan orang menyebutnya Si 

Tangan Iblis.

Sentiko menduga setelah memper-

kenalkan nama kakeknya yang 

menyeramkan dan mentereng itu, kakek 

ini tentu menjadi takut. Tetapi 

ternyata dugaannya keliru dan kakek 

ini malah ketawa terkekeh kegelian.

Sentiko mengerutkan alisnya tidak 

senang. Bentaknya, Apakah sebabnya kau 

tertawa? Huh, jika engkau berhadapan 

dengan kakekku, aku ingin melihat 

apakah engkau berani tertawa seperti 

ini?


Heh heh heh heh, kau lucu, Bocah! 

Bukankah kakekmu yang bergelar Si 

Tangan Iblis itu nama kecilnya Taruno?

Hai.... kakek tahu? Sentiko 

terbelalak kaget.

Hemm, tentu saja! Justru amat 

kebetulan jika engkau cucu dan murid 

Si Tangan Iblis, sekarang kau harus 

ikut aku dan menjadi muridku.

Apa? Tidak usah ya! Engkau takkan 

bisa menandingi kakekku. Huh, tidak 

sudi! Kakek, pergilah dan jangan 

mengganggu aku lagi. Aku ingin 

secepatnya tiba di Ibukota Majapahit 

dan aku akan mencari Mpu Nala dan 

Gajah Mada!

Untuk apakah mencari mereka? 

kakek ini heran.

Akan kubunuh untuk membalaskan 

sakit hati orang tuaku. Mereka harus 

mampus dalam tanganku.

Heh heh heh heh, ada seekor katak 

ingin mencapai langit. Manakah 

mungkin? Anak, engkau tidak kenal 

tingginya langit dan dalamnya lautan. 

Manakah mungkin hanya dengan bekal 

kepandaianmu ini dapat melawan dua 

tokoh sakti itu? Heh heh heh heh, 

lucu. Lucu sekali! Apakah kakekmu Si 

Tangan Iblis menjadi linglung, sudah 

mengizinkan engkau pergi dan menempuh 

bahaya maut?

Hai orang tua. Kau jangan lancang 

mulut dan mencaci maki kakekku! teriak


Sentiko lantang karena mendongkol. Aku 

pergi diam-diam. Tahu? Aku tidak takut 

mati untuk membalaskan sakit hati ayah 

bundaku.

Itu bagus sekali. Tetapi belum 

waktunya engkau pergi ke Majapahit.

Tidak! Sekarang juga aku akan 

pergi ke sana. Siapa melarang harus 

berkenalan dengan tombak trisula ini.

Sambil berkata begitu ia cepat 

melompat dan menyambar senjata yang 

tadi terlepas dan terlempar. Kemudian 

dengan sikapnya yang gagah, bocah ini 

siap menghadapi orang yang berani 

menghalangi maksudnya.

Heh heh heh heh! kakek itu 

terkekeh. Engkau akan melakukan 

pembunuhan lagi? Apakah kau belum puas 

dengan dua nyawa yang sudah melayang 

oleh tanganmu?

Tidak peduli! Jika kau 

menghalangi aku, akan kubunuh juga.

Kakek itu masih berdiri tegak 

sambil mengusap jenggotnya yang putih 

panjang. Kemudian sahutnya halus, Coba 

seranglah aku. Apakah engkau benar-

benar seorang bocah yang tangguh se-

perti omonganmu yang besar?

Kakek tua! Engkau benar-benar 

mencari perkara dengan Sentiko, huh. 

Sekalipun kecil aku bukan anak 

sembarangan. Awas, rasakah tombak 

trisulaku ini.


Bocah yang sudah penasaran ini 

tidak peduli lagi kepada siapapun. 

Karena orang tua ini sengaja 

menghalangi kemauannya, kalau perlu 

juga harus dibunuh. Dan sekalipun 

masih kecil, ia bukan bocah tolol. Ia 

sadar kekek ini tentu bukan orang 

sembarangan. Dan paling tidak tentu 

sama dengan si berewok Kreto Jayus 

tadi. Maka begitu bergerak menyerang 

ia sudah memilih jurus ilmunya yang 

paling hebat.

Hiaaattt...! teriaknya sambil 

menerjang maju melancarkan 

serangannya.

Akan tetapi pemuda cilik ini 

menjadi kaget ketika melihat kakek itu 

tidak bergerak. Sekalipun demikian ia 

tidak mau mengurangi kecepatannya 

menyerang.

Cring cring cring...!

Sentiko kaget sendiri ketika 

semua tikaman dan pukulannya membalik 

dan telapak tangannya amat panas 

seperti dibakar api.

Heh heh heh heh, kakek itu 

terkekeh. Baru melawan jari tanganku 

saja kau sudah tidak mampu. Manakah 

mungkin engkau bisa membalaskan sakit 

hati orang tuamu?

Wajah Sentiko merah padam 

mendengar ejekan itu. Sekalipun 

telapak tangannya terasa panas, ia 

kembali melompat dan menerjang lagi.


Cring cring... aduhhh....! Bocah 

itu memekik kaget ketika lengannya 

mendadak lumpuh dan senjatanya lepas.

Heh heh heh heh, engkau harus mau 

belajar lebih tekun beberapa tahun 

lagi, Anak. Dan sebagai muridku, 

engkau takkan sulit membunuh Gajah 

Mada maupun Mpu Nala.

Kakek tua ini makin tertarik 

setelah mengenal watak Sentiko yang 

keras kepala dan tabah. Murid seperti 

bocah inilah yang ia butuhkan, dan 

ditambah lagi yang berbau sesat. Dan 

kakek ini menjadi lebih tertarik lagi 

setelah mendengar pengakuan bocah itu 

sendiri sebagai cucu Si Tangan Iblis.

Tak sudi! Lebih baik aku mati 

daripada menjadi muridmu. Aku tidak 

sudi berkhianat kepada kakekku 

sendiri.

Selesai mengucapkan kata-katanya 

ia kembali menyambarkan senjatanya. 

Dan walaupun kelumpuhan lengannya 

belum pulih, ia sudah nekad menyerang 

lagi. Kemudian dengan senjatanya, ia 

kembali menerjang maju.

Capp! Tombak trisulanya itu 

sekarang menancap ke perut si kakek. 

Sentiko sendiri menjadi kaget. 

Benarkah kakek ini sengaja membunuh 

diri menerima tikaman senjatanya? 

Namun kalau senjatanya ini benar 

menancap ke perut kakek ini, mengapa


kakek ini tidak menyerang dan bibirnya 

malah tersenyum-senyum?

Pada saat dirinya masih heran ini 

tiba-tiba ia merasa seperti didorong 

oleh tenaga tidak tampak. Ia kemudian 

terpental mundur lalu terhuyung. 

Sedang tombak trisulanya masih tetap 

tergenggam dalam tangannya, dan 

aihh.... mengapa tidak ada darah?

Dan ketika ia memperhatikan perut 

kakek itu, ternyata tidak terluka.

Kau.... kau menggunakan ilmu 

siluman! teriaknya.

Heh heh heh heh, siluman apa? 

Dengan cara menjadi muridku, kelak 

engkaupun akan bisa seperti aku. 

Jangan lagi hanya pukulan, sekalipun 

senjata takkan mampu menembus kulitmu.

Bohong! Aku tidak mau percaya! 

Sudahlah, aku mau melanjutkan 

perjalanan dan kau jangan mengganggu 

aku lagi! sambil berkata bocah ini 

sudah melompat ke samping lain 

melarikan diri.

4

Akan tetapi lagi-lagi kejadian 

berulang. Tahu-tahu Sentiko terguling 

setelah menabrak sesuatu yang lunak. 

Ternyata kakek itu telah duduk bersila 

dan menghadang perjalanannya.

Sentiko marah sekali dan mencaci 

maki, Iblis tua! Engkau jangan


menghina aku. Jika engkau benar-benar 

sakti mandraguna datanglah ke Tosari 

dan melawan kakekku. Huh, dalam dua 

gebrakan saja, engkau tentu sudah 

mampus dalam tangan kakekku, dan....

Sentiko menghentikan kata-katanya 

yang belum selesai, ia cepat 

membalikkan tubuh karena mendengar 

suara ribut-ribut. Ternyata beberapa

orang laki-laki dengan senjata aneka 

ragam sudah datang dan mengurung dan 

di antara mereka sudah berteriak 

sambil menuding dirinya.

Nah, itu dia. Bocah itulah yang 

sudah membunuh!

Benar! Tentu bocah itu pula yang 

sudah merampas uangnya!

Dia perampok cilik yang sudah 

membunuh saudaraku!

Mendengar teriakan orang yang 

ribut itu wajah Sentiko menjadi pucat. 

Pikirnya, Celaka! Agaknya orang-orang 

itu tahu akulah yang sudah membunuh 

perempuan itu dan merampas uangnya. 

Ah, aku harus lari secepatnya!

Akan tetapi sungguh celaka. Ia 

tak dapat menggerakkan kaki dan 

kakinya seperti berakar didalam tanah. 

Ia menjadi keheranan sendiri, apakah 

sebabnya?

Ia tidak menyadari sama sekali, 

apa yang terjadi atas dirinya itu 

tidak lain oleh tenaga halus yang 

dikirim oleh kakek itu. Tenaga yang


tidak tampak lewat injakan kaki 

sehingga Sentiko tidak menyadari.

Sebagai akibatnya dalam waktu 

singkat ia sudah dikepung belasan 

orang sambil mengacungkan senjata 

dengan sikap marah.

Hayo, lekaslah menyerah! bentak 

salah seorang dari mereka. Bukankah 

engkau telah merampok uang dan 

membunuh?

Ti.... dak.... aku tidak.... 

bantahnya gagap. Bocah, kau tak perlu 

mungkir! bujuk yang lain. Ketika 

Sentiko memalingkan mukanya memandang 

orang-orang itu, wajahnya menjadi 

tambah pucat. Sebab di antara mereka 

itu terdapat pemilik warung.

Dan pemilik warung itu kemudian 

membujuk, Anak, banyak orang yang 

sudah melihat pundi-pundi uang itu, 

dan yang tadi direbut Kreto Jayus. 

Maka sebaiknya kau menyerah saja Anak, 

kemudian kami bawa menghadap Bapak 

Akuwu.

Sentiko tak dapat membantah lagi. 

Namun sudah tentu bocah keras kepala 

dan bandel ini takkan begitu saja mau 

menyerah. Ia sudah terlanjur melakukan 

perampasan dan pembunuhan. Karena itu, 

ia sadar dirinya akan celaka jika me-

nyerah. Maka tak ada jalan lain untuk 

menyelamatkan diri dengan melawan.

Akan tetapi bocah ini memang 

belum ingin mati, dan ia tidak rela


pula sebelum dapat membalaskan sakit 

hati orang-tuanya. Maka sekalipun 

melawan, kalau ada kesempatan ia akan 

melarikan diri.

Aku tidak melakukannya! bantahnya 

marah. Benar aku memiliki pundi-pundi 

itu. Akan tetapi pundi-pundi uang itu 

pemberian orang tuaku sebagai bekal 

perjalanan. Huh, apakah sama warnanya 

tidak boleh?

Jawaban itu ternyata berpengaruh 

juga. Beberapa orang di antara mereka 

bertatap pandang. Siapa tahu kalau 

pundi-pundi itu memang sama warnanya? 

Mereka menjadi ragu, karena tidak 

seorangpun dari mereka menyaksikan 

terjadinya peristiwa itu.

Tetapi saudara dari perempuan 

yang menjadi korban, mengenal ciri 

pundi-pundi itu. Katanya lantang, 

Jangan mungkir! Jika benar-benar 

pundi-pundi itu pemberian orang tuamu, 

sekarang tunjukkanlah. Aku mengenal 

cirinya, hemm, pada bagian tali sudah 

robek dan pada sudut bawah sudah 

ditambal dengan kain lurik hitam. Jika 

pundi-pundi yang kau miliki berbeda 

dengan ciri itu, kami takkan 

mengganggumu lagi.

Orang yang lain pun cepat pula 

ikut berusaha agar Sentiko membela 

diri dan menunjukkan bukti. Karena 

sesungguhnya para penduduk desa ini


merasa sungkan harus berurusan dengan 

bocah cilik ini.

Akan tetapi manakah mungkin 

Sentiko mau mengeluarkan pundi-pundi 

itu? Ia bukan pemuda tolol. Maka ia 

mencari alasan dan dalih untuk 

mempertahankan diri. Jawabnya, Huh, 

pundi-pundi ini milikku sendiri. 

Mengapa harus aku tunjukkan kepada 

kalian? Pendeknya aku tidak melakukan 

perampasan dan pembunuhan itu. Su-

dahlah, kalian jangan mengganggu lagi.

Jahanam cilik! Jika engkau keras 

kepala, terpaksa kami gunakan 

kekerasan! bentak seorang laki-laki 

berkumis tebal.

Siapa takut? balas Sentiko yang 

sudah terpojok. Walaupun sadar dirinya 

dalam bahaya, ia membusungkan dada dan 

siap dengan senjatanya. Huh, siapa 

berani maju senjataku ini akan menjadi 

hakim pencabut nyawa.

Di antara mereka yang hadir ini, 

justru terdapat pula orang-orang yang 

tadi menyaksikan perkelahian antara 

Sentiko dengan Kreto Jayus. Karena itu 

mereka tidak berani sembarangan, jus-

tru sekalipun kecil dia bocah 

berbahaya. Sebaliknya adik dari 

perempuan yang terbunuh itu tidak 

gentar. Pertama ia merasa bertubuh 

lebih tinggi dan lebih besar. Yang 

kedua, ia pernah belajar ilmu 

kesaktian sekalipun belum tinggi,


namun ia sudah merasa dirinya cukup 

hebat.

Biarlah aku yang menangkap bocah 

sombong ini! katanya lantang.

Dengan golok terhunus ia melompat 

maju. Bagi orang-orang desa lompatan 

pemuda ini sudah cukup cepat dan jauh. 

Tetapi bagi Sentiko, lompatan itu 

lambat dan pendek saja. Dirinya dapat 

berbuat lebih cepat dari pemuda itu. 

Maka tanpa gentar sedikitpun Sentiko 

segera menyambut golok lawan.

Wutt.... wutt.,.. Golok orang itu 

menyambar dahsyat, tetapi hanya 

mengenai tempat kosong. Karena terlalu 

bernafsu dalam menyerang, orang itu 

terhuyung ke depan, kehilangan 

keseimbangan Sentiko tertawa mengejek 

sambil melenting tinggi, kemudian ia 

memancing dengan tangan kiri pura-pura 

memukul kepala lawan. Melihat itu 

lawannya gembira dan cepat menyambut 

dengan bacokan golok.

Wutt.... Aduhhhh....!

Orang itu berteriak nyaring 

kesakitan, kemudian roboh merintih-

rintih. Ternyata pundak orang itu 

sudah terluka parah dan darah mengucur 

deras dari luka.

Orang-orang yang mengurung 

terbelalak. Bocah itu dapat bergerak 

cepat sekali. Bagaimanakah mungkin 

dapat menangkap? Di saat orang-orang 

masih diliputi oleh keraguan ini,


Sentiko sudah membentak nyaring dan 

menerjang ke bagian barat. Orang-orang 

yang diserang kaget dan berlompatan ke 

samping sambil menangkis dengan 

senjata. Tetapi orang-orang itu 

tertipu. Sebab menggunakan kesempatan 

di saat orang sedang menghindar dan 

menangkis itu, bocah ini sudah 

melompat tinggi dan keluar dari 

kepungan. Kemudian Sentiko lari 

secepat terbang masuk ke dalam hutan.

Semua orang berteriak ribut, 

kemudian berusaha mengejar. Namun 

karena mereka hanyalah pada penduduk 

desa yang tidak kenal ilmu kesaktian 

maka mereka ketinggalan jauh. Dalam 

waktu tidak lama bocah itu sudah 

hilang ditelan gelapnya pepohonan.

Si kakek yang mengikuti semua 

peristiwa itu menggeleng-gelengkan 

kepalanya penuh rasa kagum. Ia semakin 

menjadi tertarik dan suka kepada bocah 

itu. Sebab memang pemuda seperti 

itulah yang selama ini selalu dicari 

dan diharapkan bisa menjadi muridnya. 

Tabah, berani, cerdik, berbakat, licin 

dan yang lebih penting lagi berbau 

sesat. Dan karena tertarik, kakek 

inipun kemudian pergi dan membayangi 

Sentiko.

Siapakah sebenarnya kakek yang 

ingin mengambil Sentiko menjadi 

muridnya itu? Tidak seorangpun kenal 

nama si kakek ini yang asli. Orang


hanya mengenai dengan julukan Giri 

Samodra, dan bertempat tinggal di 

gunung Wilis. Ia memang bukan orang 

sembarangan. Ia seorang sakti 

mandraguna, bekas teman seperjuangan 

Lembu Sora yang memberontak pada tahun 

1311 kepada Majapahit dan tewas oleh 

jebakan licik yang dipasang Nambi, 

Patih Mangkubumi Majapahit.

Akan tetapi tewasnya Lembu Sora 

tidak memadamkan hati panas Juru 

Demung, Gajah Biru maupun Giri 

Samodra. Mereka malah menyesal sekali 

mengapa Ronggolawe dan Lembu Sora yang 

besar jasanya kepada Majapahit harus 

mati dengan nama ternoda? Maka dua 

tahun kemudian pada tahun 1313 meletus 

pemberontakan yang dipelopori Juru 

Demung. Pada pemberontakan ini Giri 

Samodra merupakan tangan kanan Juru 

Demung.

Namun ternyata pemberontakan 

tersebut gagal juga dan Juru Demung 

tewas dalam peperangan. Sekalipun 

demikian Giri Samodra tidak juga padam 

semangatnya. Kemudian pada tahun 1314 

bersama Gajah Biru meletuskan 

pemberontakan lagi terhadap Majapahit. 

Tetapi lagi-lagi persiapan Gajah Biru 

dan Giri Samodra kurang tertib. Mereka 

kurang memperhitungkan kekuatan 

Majapahit pada saat Raja Jayanegara 

berkuasa. Dan akibatnya pemberontakan 

inipun gagal lagi.


Setelah tiga kali pemberontakan 

yang diselenggarakan selalu gagal, 

akhirnya Giri Samodra yang merasa 

tanpa kawan yang bisa dipercaya lagi, 

lalu mengasingkan diri di pinggang 

gunung Wilis, yang kemudian tempat itu 

disebut dengan nama Desa Basuki. Nama 

Basuki ini artinya selamat. Dan desa 

ini menjadi ramai dan selamat dari 

gangguan orang jahat, berkat adanya 

Giri Samodra.

Berkat perlindungan Giri Samodra 

ini maka oleh para penduduk desa itu, 

ia dijadikan orang yang dituakan 

disamping dihormati.

Semua penduduk memanggil "Bapa 

Guru" kepada Giri Samodra karena semua 

penduduk desa itu pernah diberi 

pelajaran ilmu tata kelahi. Tetapi 

sekalipun demikian, semua orang tidak 

berhak mengaku sebagai muridnya.

Apakah sebabnya mereka tidak 

diakui sebagai murid sekalipun pernah 

diberi pelajaran ilmu kesaktian? 

Karena semua penduduk itu tidak cocok 

dengan watak murid yang ia butuhkan. 

Mereka terlalu jujur, berwatak gagah 

dan puas hidup sebagai petani.

Murid yang diharapkan Giri 

Samodra bukan seperti itu. Tetapi 

seorang pemuda yang berbakat, cerdik, 

licin, licik, kejam dan tidak peduli 

tata kesopanan umum. Nampaknya


harapannya itu aneh, jika mengingat 

sejarah hidupnya.

Giri Samodra memang tidak pernah 

mau berpikir bahwa terjadinya 

peristiwa yang menimpa Ronggolawe dan 

lembu Sora itu karena ada seseorang 

yang secara licik menciptakan. Dan 

kakek ini hanya menduga, semua 

peristiwa itu oleh keserakahan Patih 

Mangkubumi Majapahit yang bernama 

Nambi, dan juga raja sendiri yang 

terpengaruh oleh Nambi.

Padahal dugaan ini keliru besar. 

Peristiwa ini diciptakan oleh 

seseorang yang bernama Dyah Halayuda 

alias Mahapati. Orang inilah yang 

memfitnah dan mengadu domba, sebingga 

baik Ronggolawe maupun Lembu Sora 

terpancing dan memberontak.

Memang ada sebabnya Mahapati 

melakukan perbuatan dan mengacau dari 

dalam itu. Mahapati yang berambisi 

untuk dapat menduduki jabatan Patih 

Mangkubumi Majapahit itu, tidak ada 

jalan lain kecuali melakukan fitnah 

dan adu domba. Sebab selama para tokoh 

Majapahit yang dekat dengan raja belum 

tersingkir, selama itu pula cita-

citanya akan mengawang.

Itulah sebabnya pertama kali 

Ronggolawe yang menjadi korban tingkah 

laku Mahapati. Sebagai alasannya, 

Nambi tidak pantas menduduki jabatan 

Patih Mangkubumi. Dan yang pantas men


duduki hanyalah Ronggolawe atau Lembu 

Sora karena sudah besar jasanya.

Oleh hasutan Mahapati ini 

Ronggolawe terbujuk. Kemudian 

Ronggolawe memprotes kepada raja di 

persidangan. Secara blak-blakan 

Ronggolawe mengemukakan kepada raja, 

bahwa Nambi tidak pantas menduduki 

jabatan patih Mangkubumi. Dan yang 

tepat hanya pamannya bernama Lembu 

Sora atau Ronggolawe sendiri.

Atas protes Ronggolawe ini semula 

pendirian raja goyah. Tetapi kemudian 

Sora berkata, raja tidak seharusnya 

terombang-ambing oleh pendapat 

hambanya. Lembu Sora tidak setuju 

kalau kedudukan Nambi diganti oleh 

dirinya maupun oleh Ronggolawe. Dan 

menurut Sora, mendudukkan Nambi 

sebagai patih mangkubumi sudah tepat.

Ronggolawe tidak ingin 

bertentangan dengan paman sendiri. 

Maka dari itu kemudian Ronggolawe 

meninggalkan persidangan dengan masih 

penasaran.

Kebo Anabrang salah seorang 

panglima Singosari yang pernah 

mendudukkan negara Melayu dan pulang 

ke Singosari sambil membawa putri 

boyongan Dara Petak dan Dara Jingga, 

merasa tersinggung dan marah. Ia 

kemudian menantang Ronggolawe untuk 

bertanding kesaktian. Namun tantangan 

itu tidak ditanggapi oleh Ronggolawe.


Di Balai Bang, Ronggolawe yang 

penasaran melakukan pengrusakan. Dan 

hai ini memancing kemarahan Kebo 

Anabrang serta ingin menghajar 

Ronggolawe. Tetapi maksud ini bisa 

dicegah Lembu Sora. Kemudian ia 

sendiri yang datang ke Balai Bang 

untuk meredakan kemarahan Ronggolawe.

Ronggolawe memang hanya tunduk 

kepada seorang raja, ialah Lembu Sora, 

karena merupakan pamannya. Dan atas 

nasihat dan bujukan Lembu Sora ini 

kemudian Ronggolawe pulang ke Tuban.

Akan tetapi ternyata hasutan 

Mahapatih terlalu jauh mempengaruhi 

batin dan perasaannya. Karena itu 

kemudian ia melakukan pemberontakan.

Dalam peristiwa ini akhirnya 

Ronggolawe mati terbunuh oleh Kebo 

Anabrang yang menggunakan akal licik. 

Perbuatan licik karena di darat Kebo 

Anabrang tidak akan dapat menandingi 

Ronggolawe. Oleh sebab itu kemudian 

Kebo Anabrang menggunakan akal 

menantang Ronggolawe berkelahi di 

sungai Tambak Beras.

Padahal Ronggolawe tidak bisa 

berenang, maka tanpa kesulitan Kebo 

Anabrang dapat mengalahkan Ronggolawe 

dan tewas. Dan apa yang terjadi di 

sungai ini diketahui oleh Lembu Sora. 

Ia menjadi marah sekali ketika 

kemenakannya tewas oleh kelicikan


orang. Dalam marahnya ini kemudian 

Kebo Anabrang ditikam dari belakang.

Penikaman yang dilakukan Lembu 

Sora kepada Kebo Anabrang inilah 

kemudian yang dijadikan alasan 

Mahapati untuk memfitnah Lembu Sora. 

Ia kemudian membujuk kepada raja 

supaya menghukum Lembu Sora. Dan 

kepada Kebo Taruna, anak Kebo 

Anabrang, ia menghasut agar menuntut 

balas. Disamping itu ia juga menghasut 

Nambi apabila Lembu Sora tidak di-

hukum, bisa menyebabkan negara 

Majapahit kacau.

Oleh kelicinan dan kelicikan 

Mahapati dalam mempengaruhi dan 

membujuk raja, Kebo Taruna maupun 

Nambi ini akhirnya keputusan raja 

menetapkan Lembu Sora harus dihukum 

buang.

Akan tetapi Lembu Sora yang sudah 

mengetahui tuduhan kepada dirinya itu, 

menolak keputusan raja, dan ia memilih 

mati di tangan raja daripada harus 

menerima hukuman buang itu.

Sikap Lembu Sora ini dimanfaatkan 

oleh Mahapati untuk membujuk raja, 

Nambi maupun Kebo Taruna. Ia membujuk 

raja agar tidak be-sedia menerima 

kedatangan Lembu Sora untuk 

menyerahkan jiwa raga. Sebaliknya 

kepada Kebo Taruna maupun kepada 

Nambi, ia mempengaruhi agar memper-

siapkan pasukan rahasia yang kuat


untuk menjebak Lembu Sora yang 

disebut-sebut akan membunuh raja. Dan 

oleh kelicinan, kelicikan dan tipu

muslihat Mahapati ini, akhirnya Lembu 

Sora tewas dikeroyok prajurit Nambi.

Sebagai akibat peristiwa yang 

menyakitkan hati ini, Giri Samodra 

memusuhi Majapahit. Pendeknya 

peristiwa ini harus terbalas tuntas. 

Sekalipun ia tahu benar, akhirnya 

Nambi sendiri tewas akibat fitnah dan 

hasutan Mahapati kepada raja, dengan 

nama ternoda pula sebagai pemberontak.

Namun pada akhirnya Mahapati mati 

juga di rumahnya sendiri oleh 

penyerbuan para Dharmaputra Majapahit, 

setelah tahu bahwa Mahapati merupakan 

benalu Kerajaan Majapahit. Dan peris-

tiwa inilah yang kemudian dikenal 

dalam sejarah, pemberontakan Kuti.

Nah, karena sakit hati ini maka 

murid yang diharapkan Giri Samodra 

agar kemudian hari dapat mengemban 

tugas membalas dendam kepada semua 

tokoh Majapahit. Dan Giri Samodra 

merasa sayang sekali bahwa Mahapati 

sudah mati terbunuh. Kalau saja masih 

hidup, orang itulah sasaran yang 

pertama kalinya.

Karena Sentiko menolak diambil 

sebagai murid, hai ini semakin 

menambah keinginannya, untuk bisa 

memikat bocah itu. Ia percaya, pada 

saatnya nanti bocah itu tentu bakal


tunduk dan mau mengangkat dirinya 

sebagai guru.

Sentiko berlarian cepat sekali 

dalam usaha menghindarkan diri dari 

kejaran orang-orang desa itu. Setelah 

merasa cukup jauh, barulah ia berani 

melangkah seenaknya. Perutnya kembali 

lapar dan merengek minta isi, 

menyebabkan ia penasaran jika teringat 

peristiwa di warung tadi. Sebab baru 

beberapa suap nasi masuk dalam perut, 

telah ditambah dengan ludah Kreto 

Jayus. Kalau saja orang itu tidak 

mengganggu, tentu ia tadi sudah makan 

dan perut kenyang.

Saking lapar dan perut merengek 

terus, kemudian ia menengadahkan 

kepala untuk mencari buah apa saja, 

yang mungkin bisa dipergunakan 

mengurangi rasa lapar.

Akan tetapi yang dicari belum 

diperoleh, tiba-tiba ia kaget. 

Telinganya yang sudah cukup terlatih, 

menangkap suara geseran daun ilalang 

diterjang sesuatu. Dan ketika ia 

memandang ke arah rumput itu mendadak 

wajahnya pucat. Seekor harimau loreng 

yang amat besar, sudah muncul dari 

dalam semak, dan sepasang mata harimau 

itu memandang dirinya.

Ahh, celaka! ia mengeluh perlahan 

dengan wajah pucat.

Kemudian terbayang dalam benak-

nya, tubuhnya akan dikoyak-koyak



hancur oleh kuku dan taring harimau 

itu. Sebelum dirinya tewas, ia tentu 

mengalami derita hebat sekali. Dan 

terbayang pula betapa sakitnya di saat 

harimau itu menggigit putus lengannya. 

Setelah lengannya habis dimakan, 

kemudian menggigit putus lengannya 

yang sebelah. Ahhh.... ngeri.....

Tidak! Tidak! Aku tak mau mati 

dengan cara itu. Aku tidak sudi 

menyerah menjadi mangsa harimau. Aku 

harus melawan sedapat-dapatku, ujarnya 

dalam hati.

Secepat kilat senjata tombak 

trisula sudah siap di tangan kanan, 

untuk menghadapi serangan harimau. 

matanya tidak berkedip, sedang otaknya 

diputar bagaimanakah cara yang tepat 

untuk dapat membunuh harimau itu.

Dan sebaliknya harimau itu, 

melihat calon korbannya mengeluarkan 

senjata sudah menggeram keras. Kaki 

depan mencakar tanah dan tubuh bagian 

depan merendah. Mulutnya yang lebar 

dan penuh gigi yang kuat itu terbuka 

siap menggigit.

Sentiko bergidik juga menghadapi 

harimau ini. Karena harimau ini bisa 

mencakar dengan kuku dan menggigit 

dengan gigi tajam. Sebaliknya dirinya 

tidak bisa mencakar dan tidak bisa 

pula menggigit. Maka sekali kepalanya 

masuk ke dalam mulut harimau itu, 

tidak mungkin masih utuh lagi dan


tentu remuk. Mengingat semua itu maka 

bocah ini makin kuat memegang tombak 

trisulanya. Ia akan sambut dengan 

tikaman apabila harimau itu menyerang 

dirinya.

Hauw.... hauww....! harimau 

sebesar lembu itu kembali menggeram. 

Lalu dengan lompatan yang tinggi 

menyambar ke depan. Dengan hati 

berdebar Sentiko melesat ke samping 

sambil menikamkan tombak. Wutt.... 

luput! Sentiko terpelanting sendiri 

tertarik oleh tenaga yang digunakan.

Haung.... haung.... haung.... 

harimau itu mengaum keras sambil 

membalikkan tubuh. Harimau itu tampak 

marah sekali setelah diserang. Ia 

menubruk kembali dengan kaki depan 

yang kuat dan berkuku runcing dan siap 

merobek tubuh Sentiko.

Sentiko menyambut lagi dengan 

tombaknya. Namun karena hati risau, 

tikamannya gagal lagi, dan malah kaki 

belakang harimau itu berhasil mencakar 

pundaknya sehingga terluka dan menge-

luarkan darah.

Karena tidak menduga, Sentiko 

terpelanting roboh di tanah. Bocah ini 

meringis karena sakit namun masih bisa 

menghindar dan segera bergulingan 

ketika harimau itu menyerang lagi. 

Senjatanya yang menyerang dari bawah 

berhasil menikam paha bagian belakang. 

Walaupun tikaman itu kurang tepat


namun paha harimau itu robek juga dan 

mengeluarkan darah.


Hauw.... hauww....! harimau 

sebesar lembu itu kembali menggeram. 

Lalu dengan lompatan yang tinggi 

menyambar ke depan. Dengan hati 

berdebar Sentiko melesat ke samping 

sambil menikamkan tombak.

Tetapi rasa sakit pada paha yang 

terluka ini justru menyebabkan harimau 

itu marah sekali. Si harimau mengaum 

keras dan menubruk lagi. Serangannya 

hebat dan ganas, menyebabkan Sentiko 

semakin tambah gentar dan kerepotan. 

Beberapa kali tikaman trisulanya 

meleset, sebaliknya kuku tajam itu 

menyerang tidak terduga.

Setelah berkelahi agak lama dua-

duanya mandi darah. Sentiko terluka 

beberapa bagian tu-buhnya, terasa 

panas dan pedih. Namun justru luka 

yang ia derita ini malah memberi 

semangat baru. Dalam usaha memperta-

hankan nyawa, bocah yang tabah ini 

menjadi nekad. Ia bersedia mati tetapi 

sebaliknya harus dapat membunuh 

harimau itu.

Harimau yang sudah mandi darah 

itu semakin merasa kesakitan menjadi 

semakin tambah ganas. Hewan ini 

mengaum dan setiap kesempatan

menyerang dengan kuku yang tajam.

Akan tetapi bagaimanapun tahannya 

daya tubuh dan nekadnya Sentiko, oleh



derita lukanya yang terasa sakit, 

pedih dan ditambah oleh darah yang 

terus keluar, menyebabkan tenaga bocah 

ini semakin berkurang. Lagi pula 

pundak kanan sudah terluka, sehingga 

setiap menggerakkan senjata untuk 

menyerang, ia merasakan kesakitan.

Beberapa saat kemudian Sentiko 

merasakan kepalanya pening dan 

berdenyutan, menyebabkan pandang 

matanya tidak sejelas semula. Ia 

berusaha menguatkan diri dan terus 

melawan. Dan kemudian pada suatu saat 

tangan kanan mengayunkan trisulanya 

untuk menyerang.

Crakk...! Mata tombak itu tepat 

mengenai kepala harimau. Namun karena 

tenaga bocah itu hampir habis 

tikamannya meleset.

Harimau ini mengaum keras setelah 

terluka kepalanya. Mendadak harimau 

besar itu menubruk ke depan, Sentiko 

menyambut serangan itu dengan serangan 

pula, tetapi sayang, lengannya 

dirasakan sakit sekali dan tidak dapat 

dipertahankan lagi. Akibatnya senjata-

nya lepas, disusul tubuh bocah yang 

sudah kepayahan dan mandi darah itu 

roboh di tanah, pingsan.

Harimau yang sudah terluka pada 

beberapa bagian tubuhnya itu mengaum 

keras. Mulutnya terbuka lebar siap 

mengganyang tubuh Sentiko. Wutt... 

harimau itu menubruk ke depan. Dan


tentu tubuh bocah yang sudah pingsan 

itu akan segera hancur dicabik-cabik 

oleh kuku dan gigi yang tajam itu.

Akan tetapi yang terjadi kemudian 

adalah lain. Tiba-tiba harimau yang 

sedang menubruk itu mengaum dahsyat 

lalu roboh tidak bergerak lagi tidak 

jauh dari tempat Sentiko pingsan. 

Ternyata kepala harimau itu sekarang 

sudah berlubang besar, otak bercampur 

darah mengalir membasahi tanah.

Sejenak kemudian muncullah Giri 

Samodra sambil bergumam, Luar biasa! 

Kau bocah luar biasa dan kaulah bocah 

yang selama ini aku cari.

Robohnya harimau dengan kepala 

berlubang besar itu karena sebutir 

batu yang disambitkan Giri Samodra. 

Tanpa pertolongan kakek ini manakah 

mungkin Sentiko masih bisa hidup lagi?

Giri Samodra jongkok dan 

memeriksa luka yang diderita bocah 

itu. Dan Sentiko sekarang memang dalam 

keadaan mengerikan. Wajahnya 

berlepotan darah, sedang pakaiannya 

sudah tidak utuh lagi seperti dicuci 

dengan darah. Luka yang diderita bocah 

itu hampir merata di sekujur tubuhnya, 

dan walaupun semua itu hanya luka 

luar, namun kalau bukan bocah bandel 

tentu sudah sejak beberapa lama ia 

roboh pingsan.

Engkau hebat, engkau tabah, 

bandel dan keras kepala, heh heh heh


heh, kata kakek ini seorang diri 

sambil memandang Sentiko yang masih 

menggeletak pingsan. Walaupun engkau 

menolak menjadi muridku, aku tak tega 

membiarkan engkau menjadi santapan 

harimau. Hemm, aku ingin melihat, 

setelah engkau kutolong apakah kau 

masih juga bandel dan menolak? Jika 

kau tetap kokoh dan menolak 

keinginanku, habislah harapanku di 

hari tua ini.

Sentiko yang masih pingsan segera 

dipondong dan sesaat kemudian sudah 

dibawa lari secepat terbang 

meninggalkan tempat itu. Tak lama ke-

mudian sampailah di tepi mata air. 

Dengan hati-hati, Giri Samodra mulai 

membersihkan luka di seluruh tubuh 

bocah ini dengan air. Agaknya rasa 

perih pada luka yang terkena air itu 

menyebabkan Sentiko siuman dan 

langsung merintih.

Anak yang baik, berilah aku waktu 

untuk membersihkan dan mengobati 

lukamu, ujarnya.

Sentiko membuka matanya dan 

terbelalak ketika mendapatkan dirinya 

menggeletak di atas batu datar, di 

bawah pohon rindang. Kakek yang belum 

ia kenal itu dengan sikap sayang 

sedang membersihkan lukanya. Teringat-

lah ia kemudian semua yang dialami. Ia 

berkelahi dengan harimau besar dan 

buas, lalu ia roboh pingsan. Agaknya


di saat dirinya pingsan itu, kakek ini 

datang dan menolong.

Sekalipun bandel, ia tahu pula 

budi orang lain. Maka sambil menahan 

rasa pedih, katanya, 

Kakek, terima kasih atas 

pertolonganmu dan kebaikanmu.

Hemm, biasa, sahut kakek itu 

dingin. Aku melihat engkau hampir 

menjadi santapan harimau. Aku membunuh 

harimau itu dan menyelamatkan kau, 

Nak. Dan nanti setelah selesai aku 

membersihkan lukamu yang ini, aku akan 

segera mengobati.

Hati bocah ini terharu juga oleh 

sikap kakek ini yang menolong dirinya. 

Tetapi tiba-tiba ia ingat maksud kakek 

ini yang ingin mengambil dirinya 

sebagai murid, dan tiba-tiba saja ia 

khawatir kalau alasan ini dipergunakan 

untuk menekan dirinya. Justru oleh 

kekhawatiran ini tiba-tiba ia bangkit 

dan menahan rasa sakit.

Giri Samodra kaget. Cegahnya, 

Jangan bangkit!

Tidak! sahut bocah ini. Aku tak 

mau kalau pertolonganmu ini kau 

jadikan alasan menekan aku untuk 

menjadi muridmu.

Untuk sejenak Giri Samodra 

terbelalak. Namun kemudian ketawa 

terkekeh, katanya, Kalau benar, kau 

mau apa?


Giri Samodra mengucapkan kata-

kata itu untuk memancing sikap bocah 

ini. Ia percaya bocah ini akan 

bersikeras menolak. Namun sebaliknya 

ia tidak ingin menekan dan memaksa. 

Sebab kalau ia memaksa, sikap itu 

takkan menguntungkan.

Huh, jika demikian tinggalkanlah 

aku! Sentiko tersinggung. Aku masih 

dapat mengurus diri sendiri!

Heh heh heh heh, Giri Samodra 

terkekeh. Ternyata engkau memang bocah 

bandel dan keras kepala. Sudahlah, 

berbaringlah dulu. Berilah aku waktu 

untuk membersihkan semua lukamu dan

mengobati. Sesudah selesai kau boleh 

pergi dan bebas. Siapa yang sudi 

mengambil bocah keras kepala seperti 

engkau ini untuk menjadi murid?

Mendengar jawaban ini Sentiko 

lega. Namun ia tak juga lekas 

berbaring lagi. Dan atas sikap ini 

kakek itu mengibaskan tangan perlahan 

dan Sentiko merasa tertindih oleh 

kekuatan yang tidak dapat dilawan, 

Karena dadanya sesak, hingga ia 

berbaring kembali. Ia tak dapat 

bergerak dan hanya matanya memandang 

Giri Samodra tidak berkedip.

Giri Samodra sibuk dengan 

pekerjaannya, tidak peduli Sentiko 

mengamati dirinya.

Di saat dirinya berbaring kembali 

di luar kemauannya ini, gagasannya


melayang kembali ke Tosari. Baru 

teringatlah sekarang betapa bingung 

keluarganya karena dirinya pergi diam-

diam. Tetapi semuanya sudah terlanjur. 

Ia sudah pergi dengan maksud membalas 

dendam. Maka merasa malu kalau tidak 

berhasil dalam tugas ini.

Tetapi mungkinkah cita-citanya 

bisa terwujud? Gajah Mada dan Mpu Nala 

terkenal sebagai dua tokoh Majapahit 

yang sakti mandraguna. Padahal dirinya 

sekarang ini baru berhadapan dengan 

harimau saja tubuhnya sudah koyak-

koyak dan hampir mati, kalau tidak 

ditolong kakek ini. Bukankah apa yang 

dilakukan seperti kata orang si 

pungguk ingin meraih bulan? Dan juga 

seperti katak yang ingin menyamai 

lembu?

Di saat gagasannya sedang 

melayang memikirkan keadaan dirinya 

ini, pekerjaan Giri Samodra sudah 

selesai. Sekarang kakek itu tengah 

menaburkan bubuk obat ke lukanya. Dan 

diam-diam ia merasa heran pula, 

mengapa setelah lukanya diberi bubuk 

obat, rasa pedih itu menjadi hilang?

Walaupun bocah bandel dan keras 

kepala ia mengerti pula budi dan 

kebaikan orang. Ia terharu atas sikap 

kakek yang belum dikenalnya ini. Jelas 

dengan sikapnya yang ketus, ia menolak 

menjadi murid, berarti kurang 

menghormati orang tua. Namun apakah


sebabnya kakek ini tidak sakit hati 

dan malah sekarang menolong dirinya 

tanpa mengharapkan balasan jasa?

Sejak kecil ia banyak mendengar 

cerita kakeknya, orang sakti banyak 

yang bersikap aneh. Bukankah kakek 

yang menolong dirinya sekarang ini 

sikapnya juga aneh? Teringat pula apa 

yang sudah ia lakukan. Kakek ini ia 

tikam dengan senjata. Namun perut 

kakek ini seperti bajak tidak mempan 

oleh senjatanya. Kalau demikian kakek 

ini sakti dan kulitnya kebal senjata. 

Orang seperti kakek ini sulit dicari, 

dan kalau demikian mengapa dirinya 

menyia-nyiakan kesempatan sebaik ini?

Orang sakti tidak gampang mau 

menerima orang menjadi murid. Padahal 

tanpa diminta kakek ini bersedia 

mengambil dirinya menjadi murid. 

Apakah hai ini bukan suatu keuntungan 

yang sulit dicari? Dan kalau dirinya 

menjadi seorang yang kebal senjata, 

bukankah usahanya membalas dendam 

kepada Mpu Nala dan Gajah Mada akan 

menjadi lebih gampang?

Tetapi ah... apakah kakekku tidak 

marah, jika mendengar aku berguru 

kepada orang lain? Bukankah seperti 

itu yang di sebut sebagai murid murtad 

? pikiran ini menyebabkan ia ragu kem-

bali.

Tak lama kemudian selesailah 

pekerjaan Giri Samodra. Kemudian ia



terkekeh, lalu katanya, heh heh heh 

heh, selesailah sudah pekerjaanku. 

Sekarang bangkitlah dan selamat 

tinggal!

Kakek....! Teriak Sentiko kaget 

sambil cepat bangkit

Akan tetapi kakek itu sudah tak 

tampak lagi bayangannya. Sentiko duduk 

di atas batu sambil menghela napas 

panjang. Luka di seluruh tubuhnya 

hampir tidak terasa lagi seakan sudah 

sembuh. Meskipun demikian ia tidak 

berani bergerak sembarangan, khawatir 

luka baru itu mengeluarkan darah lagi.

Ia turun dari batu sambil 

meloncat. Lalu ia berdiri sambil 

menebarkan pandang matanya, berusaha 

menemukan kembali kakek yang sudah me-

nolong dirinya. Namun ternyata kakek 

itu sudah lenyap seperti masuk bumi.

Hemm, tentu kakek itu marah, 

gerutunya. Hemm, aku memang bocah 

tidak tahu diri. Bocah yang tak dapat 

membalas budi. Dia telah menolong dan 

menyelamatkan diriku dari mulut hari-

mau. Namun sikapku terlalu kurang

ajar, sehingga kakek itu marah. 

Ahh.... celaka! Kesempatan baik aku 

sia-siakan.


5

Akhirnya Sentiko melangkah perla-

han melanjutkan perjalanan. Namun 

tiba-tiba perutnya kumat kembali dan 

merengek minta diisi. Ia berusaha 

melupakan kakek itu dengan jalan 

memperhatikan sekeliling untuk mencari 

buah yang mungkin bisa menjadi pengisi 

perutnya.

Untung juga tak lama kemudian ia 

menemukan sebatang pisang batu dan ada 

beberapa buah yang sudah masak.

Lumayan! katanya seorang diri 

sambil mengunyah pisang yang penuh 

dengan biji itu. Tetapi sungguh 

sayang, pisang semanis dan enak 

seperti ini, wangi pula, mengapa harus 

dipenuhi dengan biji yang keras? Kalau 

pisang ini seperti pisang yang lain, 

tentu merupakan pisang yang paling 

enak di dunia ini.

Walaupun perut tidak puas hanya 

diisi dengan pisang, sudah lumayan 

juga. Perutnya tidak selapar tadi dan 

ia dapat meneruskan perjalanan lebih 

mantap.

Akan tetapi setelah lama 

menelusuri hutan perawan ini ia 

menjadi heran berbareng kaget. Ia 

telah merasa berjalan lama sekali, 

matahari sudah rendah di bagian barat, 

dan cuaca dalam hutan sudah mulai 

gelap, karena sinar matahari tak kuasa



menembus lebatnya damn, namun mengapa 

belum juga dapat keluar dari hutan?

Sekalipun bocah bandel dan keras 

kepala, berdebar juga hatinya kalau 

harus menginap di dalam hutan. 

Bukankah di hutan banyak bahaya? Tadi 

hanya menghadapi harimau saja hampir 

mampus. Kalau dirinya berhadapan 

dengan bahaya lagi, mungkinkah dirinya 

masih bisa selamat dalam keadaan luka-

luka belum sembuh?

Teringat bahaya yang mungkin 

timbul ini sesalnya menjadi semakin 

dalam, mengapa ia tadi sudah membuat 

kakek itu marah. Akibatnya kemudian ia 

mencaci maki dirinya sendiri.

Hai Sentiko! Apakah engkau sudah 

berubah menjadi seorang cengeng dan 

penakut? Engkau sendiri yang sengaja 

mencari penyakit ini. Kalau saja tidak 

pergi diam-diam, bukankah di Tosari 

kau bisa hidup enak? Berani berbuat 

harus berani bertanggung jawab dan 

harus berani menanggung akibatnya. 

Bukankah di atas dahan kau dapat tidur 

dengan aman?

Bocah yang semula diliputi rasa 

ragu ini kemudian ketawa sendiri. 

Sesal dan rasa takutnya hilang lalu 

melangkah dengan mantap menerobos 

hutan belantara.

Tetapi tiba-tiba ia menghentikan 

langkahnya dan memasang telinga. Ia 

heran, betulkah yang ia dengar? Ia


menangkap suara orang yang menembang 

(menyanyi). Suara itu nyaring dan 

mengalun, menguak suasana hutan yang 

sepi. Ia tidak tahu, apakah nama 

tembang yang dinyanyikan orang itu. 

Namun demikian ia dapat menangkap 

secara jelas dari bait ke bait.

Heh Taruno, Si Tangan Iblis 

keparat! 

Kowe aja mung ndhelik. 

Yen nyata prawira. 

Pathukna krodhaningwang. 

Iki Mahisa Jaladri. 

Musuhmu lawas. 

Sapa lena ngemasi. 

Tembang itu bernama Durma. 

Artinya secara bebas demikian : Hai 

Taruno keparat Si Tangan Iblis. Apakah 

sebabnya engkau hanya menyembunyikan 

diri? Jika engkau seorang gagah 

perwira, keluarlah dari persembunyian-

mu dan marilah kita berkelahi. Aku 

Mahisa Jaladri, musuh lama. Siapa 

lengah harus mati!

Sentiko terkejut sekali dapat 

menangkap arti tembang itu. Ternyata 

orang bernama Mahisa Jaladri menantang 

kakeknya. Benarkah kakeknya di Tosari 

itu bersembunyi karena takut kepada 

musuh lama bernama Mahisa Jaladri?

Tidak mungkin! bantahnya sendiri. 

Kakekku seorang sakti mandraguna dan


terkenal dengan julukan Si Tangan 

Iblis atau Kakek Tangan Iblis. 

Mungkinkah kepada orang itu saja 

menjadi ketakutan? Tidak! Manusia itu 

berani menantang karena tahu kakekku 

di Tosari. Kalau berhadapan muka, 

kiranya Mahisa Jaladri sudah lari 

terkencing-kencing. Huh, kurangajar! 

Sebagai muridnya manakah mungkin aku 

membiarkan orang berani menghina 

kakekku?

Bocah ini penasaran sekali. Ia 

takkan membiarkan begitu saja orang 

berani menghina dan merendahkan 

kakeknya.

Aku tidak takut! katanya seorang 

diri. Orang yang berani menghina 

kakekku, lebih dahulu harus berhadapan 

dengan aku!

Ia cepat menerobos belantara, ke 

arah suara orang yang menembang dan 

menantang kakeknya itu. Setelah 

menerobos sana menerobos sini beberapa 

lama, lalu tampaklah oleh bocah ini, 

seorang kakek jangkung berdiri di atas 

batu besar dan masih tetap juga 

menembang menantang-nantang.

Kakek itu belum tua benar, kira-

kira baru enam puluh tahun. Tetapi 

rambutnya sudah lebih banyak yang 

putih daripada yang hitam, dibiarkan 

keriapan di punggung maupun pundak, 

dan tanpa memakai ikat kepala. 

Pakaiannya aneh, kain panjangnya dari



lurik warna hijau, sabuknya hitam, 

akan tetapi bajunya kain lurik warna 

kuning. Melihat pakaian yang warna-

warni itu diam-diam ia geli. 

Akan tetapi ia tidak sempat 

menertawakan kakek itu. Hatinya yang

penasaran mendengar tantangan untuk 

kakeknya mendorong kepada bocah ini 

untuk berteriak lantang, 

Hei kakek busuk! Engkau mengumbar 

mulut tanpa aturan. Apakah maksudmu 

sebenarnya?

Kakek itu memalingkan muka, 

mulutnya berhenti menembang, kemudian 

mengerutkan alis. Ia tidak senang 

kepada bocah yang lancang mulut.

Hai bocah! Hati-hatilah membuka 

mulut!

Sentiko mendelik. Teriaknya, 

Engkaulah yang seharusnya hati-hati 

membuka mulut. Hayo, kau menantang 

siapa?!

Bocah kurangajar! bentak kakek 

itu sambil terjun dan melayang turun 

dari batu setinggi rumah.

Sentiko kaget setengah mati 

melihat cara bergerak kakek itu yang 

melayang turun dari batu tinggi, 

seperti burung raksasa. Dari 

gerakannya yang amat ringan dan tanpa 

suara itu, sudah membuktikan si kakek 

itu bukan orang sembarangan. Sedangkan 

dirinya tidak mungkin dapat berbuat 

seperti itu.


Diam-diam bocah ini gentar juga. 

Namun demikian ia bocah bandel dan tak 

takut siapapun. Tangannya bertolak 

pinggang sambil menjawab ketus, Engkau 

sendiri yang kurang ajar! Apakah 

sebabnya engkau mengumbar mulut tanpa 

aturan dan menantang kakekku Si Tangan 

Iblis?

Mahisa Jaladri terbelakak kaget. 

Benarkah Si Tangan Ibilis yang ia 

tantang itu sekarang sudah muncul? Dan 

benarkah bocah ini yang dijadikan 

perantara untuk menerima tantangannya? 

Kalau benar tentu saja ia senang 

sekali.

Karena gembira, Mahisa Jaladri 

tertawa te-bahak-bahak, Ha ha ha ha, 

bagus! Tangan Iblis sekarang muncul. 

Ho ho ho ho belasan tahun lamanya aku 

menantang bertanding, tetapi Si Tangan 

Iblis selalu bersembunyi. Heh heh heh, 

lekaslah kau suruh Si Tangan Iblis 

keluar dan berhadapan dengan aku.

Tutup mututmu kakek busuk! bentak 

Sentiko. Siapa bilang kakekku di sini? 

Dan siapa pula yang bilang kakekku 

bersembunyi karena takut kepada 

engkau? Huh, tidak perlu kau menantang 

kakekku. Aku sendiri sanggup 

menghadapi kau yang busuk!

Mahisa Jaladri mengerutkan alis 

makin dalam, kemudian dengan mata 

bersinar marah ia menatap bocah itu. 

Hardiknya, Apa? Bocah lancang mulut.


Suruhlah kakekmu keluar menghadapi 

tantanganku.

Kakekku tidak ada di sini. 

Kakekku di Tosari. Huh huh, engkau 

baru dapat berhadapan dengan kakekku, 

setelah kau menang melawan aku!

Kakek itu hampir tidak percaya 

akan pendengarannya sendiri. Benarkah 

bocah ini sebagai suruhan Si Tangan 

Iblis? Dan benarkah sekalipun 

tampaknya kecil, bocah ini sanggup 

menghadapi dirinya? Tetapi ia tidak 

percaya.

Bocah lancang! katanya. Engkau 

berani kurangajar di depanku ? Hayo, 

lekas suruhlah kakekmu keluar. Aku 

ingin berkelahi dengan musuh 

bebuyutanku sampai seribu jurus dan 

siapa pula yang harus mampus!

Kakek lancang! Apakah telingamu 

sudah tuli? Aku sudah bilang kakekku 

di Tosari. Tetapi engkau baru bisa 

berhadapan dengan kakekku, setelah 

engkau menang melawan aku!

Mahisa Jaladri menjadi geli 

mendengar tantangan bocah ini. 

Ejeknya, Heh heh heh heh, engkau 

ibarat buah mentimun berani menantang 

durian. Ha ha ha ha, Tangan Iblis 

licik dan busuk! Mengapa sebabnya kau 

menyuruh cucumu yang sinting ini 

menghadapi aku? Hayo...


Kau sendiri yang sinting! potong 

Sentiko sambil membantingkan kakinya 

ke tanah saking jengkel dan penasaran.

Tetapi begitu membantingkan 

kakinya, ia meringis kesakitan. 

Kakinya yang terluka tidak mau diajak 

kompromi.

Namun demikian ia menguatkan diri 

dan m-neruskan, Kakekku tidak pernah 

menyuruh aku. Aku datang dan menantang 

engkau, karena kau mengumbar mulut dan 

menantang kakekku. Hayo sekarang 

lawanlah aku!

Bocah yang bandel tetapi tidak 

mengukur kemampuan diri ini sudah 

mencabut senjatanya. Dalam penasaran 

dan marahnya, ia menjadi lupa kepada 

luka-lukanya yang belum sembuh. Dengan 

garang bocah ini melintangkan senjata 

di depan dada. Sepasang matanya 

bersinar marah menatap Mahisa Jaladri 

tanpa berkedip.

Mahisa Jaladri keheranan. 

Benarkah bocah ini kecil-kecil cabe 

rawit hingga berani menantang dirinya? 

Tetapi hatinya tidak juga mau percaya 

justru paling banter bocah ini berumur 

lima belas tahun. Manakah mungkin 

sanggup melawan bocah ingusan macam 

itu? Apabila dirinya melayani 

tantangan bocah, tentu dirinya akan di 

tertawakan oleh semua tokoh sakti di 

dunia ini.


Bocah sinting, heh heh heh, 

Mahisa Jaladri terkekeh lagi. Pergilah 

dan jangan membuka mulut sembarangan. 

Sudahlah, jangan mengganggu aku lagi, 

dan sekarang aku akan pergi ke Tosari. 

Tak mungkin! Makanlah dulu 

senjataku ini! Berbareng ucapannya ia 

sudah melompat dan menerjang. 

Tombaknya berkelebat cepat, sekaligus 

menyerang leher, dada dan pusar.

Mahisa Jaladri terbelalak kaget. 

Apakah bocah ini sudah gila? Baru 

gerakannya saja masih terlalu lambat, 

serangannya masih kaku dan mentah. 

Manakah mungkin bisa melawan dirinya? 

Karena itu kakek ini tidak bergerak 

dari tempatnya berdiri. Kemudian 

tangan kanan menyentil. 

Tring tring tring.... Aduhhh....! 

Semua serangan Sentiko disentil oleh 

Mahisa Jaladri sehingga gagal total. 

Dan sesudah itu dengan menggunakan 

tenaga yang diperhitungkan agar tidak 

mencelakakan bocah ini, ia mendorong. 

Sentiko memekik nyaring lalu terlempar 

beberapa depa ke belakang dan roboh

pingsan. Kemudian dari beberapa bagian 

tubuhnya yang terluka, keluar darah 

lagi.

Bocah ini memang lupa dirinya. 

Tadi begitu menyerang dengan mengge-

rakkan tenaga, lengan menjadi lumpuh 

ketika senjatanya disentil oleh Mahisa 

Jaladri. Pundaknya yang terluka


menjadi sakit dan tidak tertahankan 

lagi dan ia tadi memekik nyaring, 

disusul dadanya sesak dan pandang 

matanya kabur, lalu terlempar dan 

pingsan.

Mahisa Jaladri kaget sendiri 

melihat darah merah membasahi pakaian 

bocah kurangajar itu. Ia tadi sudah 

memperhitungkan tenaga, tetapi mengapa 

bocah itu roboh dan berdarah? Ia me-

langkah menghampiri dengan maksud 

meneliti keadaan. Namun tiba-tiba ia 

kaget, mendengar orang ketawa 

perlahan.

Ketika dirinya memalingkan muka, 

tiba-tiba saja wajah kakek ini pucat 

dan segera membungkukkan tubuh memberi 

hormat.

Ahhh.... Bendara Umbaran.... 

tidak nyana hamba dapat bertemu 

Bendara di tempat ini, katanya 

setengah takut.

Giri Samodra ketawa perlahan. 

Kakek ini sebelum menggunakan nama 

Giri Samodra, memang bernama Umbaran, 

lengkapnya Kebo Umbaran. Dan mengingat 

Mahisa Jaladri menyebut bendara 

(tuanku), menjadi jelas Giri Samodra 

ini memang seorang bangsawan 

Majapahit.

Ya, belasan tahun lamanya kita 

berpisah, setelah pemberontakan Gajah 

Biru gagal, ujar Giri Samodra. Hemm, 

di mana saja engkau selama ini?


Hamba bertempat tinggal di Tidar, 

dalam usaha hamba menggembleng diri 

untuk membalas sakit hati.

Kepada siapa? Apakah kepada 

Taruno yang terkenal dengan sebutannya 

Si Tangan Iblis yang kautantang itu?

Bendara Umbaran mendengar pula?

Ha ha ha ha, tentu saja. Aku 

masih mempunyai telinga, mengapa tidak 

mendengar tantanganmu kepada Tangan 

Iblis yang engkau gubah dalam tembang 

Durma itu? Tetapi hemm, soal apa 

sajakah yang menyebabkan begitu dalam 

dendammu kepada Tangan Iblis?

Bendara, hamba memang dendam 

kepada keparat itu. Dahulu, lebih 

kurang dua puluh lima tahun lalu, 

keparat itu hamba beri air susu malah 

membalas dengan air tuba.

Mahisa Jaladri berhenti, napasnya 

terengah-engah oleh pengaruh rasa 

penasaran. Lalu, Dahulu ia datang ke 

rumah hamba minta perlindungan dari 

kejaran Mpu Nala, sesudah serangannya 

diobrak-abrik. Mengingat hamba pun 

tidak senang kepada Majapahit, hamba 

terima Si Tangan Iblis dengan tangan 

terbuka. Tetapi kemudian pada suatu 

malam ketika hamba pulang menunaikan 

tugas yang Bendara perintahkan, 

terjadilah sesuatu yang tidak pernah 

hamba harapkan. Begini, Bendara....

Mahisa Jaladri menghentikan 

ucapannya lagi, menghela napas


panjang, baru kemudian meneruskan, 

Ketika hamba mendekati rumah, hamba 

menjadi curiga mendengar suara isteri 

hamba tertawa-tawa cekikikan di dalam 

bilik, dan diseling oleh suara laki-

laki. Dan betapa kaget dan panas hati 

hamba setelah dapat mengintip dari 

celah dinding, ternyata isteri hamba 

berzina dengan Tangan Iblis itu...

Eh... nanti dulu! Bukankah dahulu 

engkau pernah memberi laporan 

kepadaku, isterimu sudah meninggal?

Bendara, isteri yang hamba maksud 

itu adalah isteri yang kedua, sesudah 

isteri hamba meninggal, dan usianya 

masih muda belum dua puluh tahun.

Hemm, begitu? Lalu apa yang 

kaulakukan?

Mengingat hubungan yang baik 

antara hamba dengan Tangan Iblis, maka 

hamba serahkan isteri itu kepada dia 

baik-baik. Tetapi celakanya Tangan

Iblis tidak bertanggungjawab dan tidak 

mau menerima. Saking marah kemudian

terjadilah perkelahian dan akhirnya 

hamba kalah....

Hemm, tetapi mengapa sebabnya 

sekarang kau muncul dan malah 

menantang Tangan Iblis?

Hamba sekarang merasa telah jauh 

maju, sesudah menggembleng diri 

puluhan tahun lamanya di Tidar. Hati 

hamba merasa tidak puas sebelum hamba


berhasil mengalahkan manusia busuk 

berjuluk Tangan Iblis tersebut.

Hemmm, begitukah ? Jika engkau 

memang penasaran kepada dia, pergilah 

kau ke Tosari.

Tetapi bocah kurangajar ini 

cucunya. Bocah ini akan hamba tangkap 

sebagai sandra.

Apakah kau tidak tahu, bocah ini 

muridku? Mahisa Jaladri terbelalak 

kaget dan pucat. Katanya, Ohh, murid 

Bendara? Ohh... maafkanlah hamba yang 

tidak tahu diri. Tetapi mengapa bocah 

ini tadi mengaku sebagai cucu Tangan 

Iblis? Hamba menjadi bingung. Manakah 

yang benar?

Giri Samodra menghela napas 

pendek. Kemudian ia menjawab, Hemm, 

agaknya Dewata Yang Agung sudah 

menghendaki terjadinya soal ini. 

Sudahlah, sekarang pergilah kau dan 

menyelesaikan urusan pribadimu dengan 

Tangan Iblis. Dan tentang bocah ini 

adalah urusanku sendiri tiada hubungan 

sama sekali dengan urusanmu.

Mahisa Jaladri mengangguk-angguk, 

sekalipun dalam hati masih kurang 

puas. Ia tidak berani membantah kepada 

bekas junjungan ini, kemudian memberi 

hormat dan minta diri. Sedang Giri 

Samodra melepas kepergian Mahisa 

Jaladri dengan helaan napas pendek.

Apa harus dikata apabila yang 

terjadi harus begini? gumamnya. Aku


sudah terlanjur suka kepada bocah ini. 

Dan bagiku tentang keturunan siapapun 

tidaklah soal. Sebab yang penting, me-

mang tidaklah gampang mencari bocah 

yang bandel, tabah, berani dan berbau 

sesat seperti bocah ini.

Ia membungkuk, kemudian Sentiko 

dipondong ke tempat yang bersih. Kakek 

ini segera bekerja untuk membersihkan 

lukanya yang kotor dan segera 

membubuhkan obat. Sesudah selesai, 

kakek ini kemudian menyingkir kira-

kira lima depa jauhnya, lalu duduk 

berdiam diri.

Tak lama kemudian bocah ini 

siuman. Bocah ini kaget ketika 

mendapatkan dirinya terbaring di atas 

rumput. Ia mengucak matanya sambil 

mengumpulkan ingatannya. Dan setelah 

ingatannya pulih kembali, terbayanglah 

kemudian semua peristiwa yang sudah 

dialami. Kemudian ketika memalingkan 

mukanya, ia melihat dengan jelas kakek 

tua yang sudah beberapa kali menolong 

dirinya duduk berdiam diri. Melihat 

kakek itu ia menjadi sadar, tentunya 

dirinya baru saja ditolong lagi oleh 

kakek itu.

Kemudian teringatlah dalam 

benaknya, dirinya tadi berhadapan 

dengan seorang kakek yang menembang 

dan menantang kakeknya. Tantangan itu 

membuat ia marah dan kemudian 

menantang berkelahi. Tetapi ahh, apa


yang baru dialami tadi, menimbulkan 

rasa penasaran, karena dirinya tidak 

dapat berbuat banyak melawan kakek 

yang mengaku bernama Mahisa Jaladri 

itu. Kalau melawan orang itu saja 

tidak mampu, manakah mungkin dirinya 

bisa menang melawan Gajah Mada dan Mpu 

Nala?

Teringat apa yang sudah dialami 

selama meninggalkan Tosari, bagaimana-

pun bandel dan keras kepalanya, 

memberi kesadaran kepada bocah ini. Ia 

bukan bocah tolol dan ia juga

menyadari apa yang sudah terjadi, 

tidak lain karena dirinya memang belum 

mampu dan tingkat ilmunya masih 

rendah. Sebaliknya kakek yang selalu 

menolong dirinya ini, ingin sekali 

mengambil dirinya sebagai murid. 

Apakah sebabnya kesempatan sebaik ini 

tidak ia pergunakan ?

Sadar akan dirinya dan sadar akan 

keadaan, maka kemudian tanpa ragu lagi 

ia bangkit dan kemudian menghampiri. 

Di depan Giri Samodra, bocah ini 

kemudian berlutut sambil berkata.

Sudilah Guru mengampuni kekurang-

ajaran murid. Dan apapun hukuman yang 

harus murid terima, murid takkan 

menyesal. Mau disiksa, silakan! Mau 

dibunuh, silakan!

Giri Samodra menatap Sentiko tak 

berkedip. Dan sejenak kemudian ia 

terkekeh.


Luar biasa bocah ini, pikirnya. 

Tadi bersikeras menolak, tahu-tahu 

sekarang sudah berlutut dan mengaku 

sebagai murid. Siapakah yang tidak 

menjadi senang?

Karena itu dengan senang hati 

Giri Samodra berkata halus, Anak baik, 

bangkitlah!

Sentiko menurut lalu duduk 

bersila di depan Kakek itu. Sikap 

bocah ini sekarang berlawanan dengan 

sikapnya siang tadi. Ia sekarang duduk 

sambil menundukkan kepala dan tidak 

berani sembarangan membuka mulut.

Anak baik, benarkah engkau sudah 

mantap menjadi muridku? Giri Samodra 

bertanya.

Sentiko menyahut dengan sungguh-

sungguh, Murid sudah mantap dan akan 

patuh kepada Guru.

Sekalipun aku perintahkan 

menerjang lautan api, engkau sedia 

melakukannya?

Jangan lagi menerjang lautan api, 

sekalipun murid harus mati, murid akan 

melaksanakan perintah Guru. Dan jika 

Guru tidak percaya, murid bersedia 

pula bersumpah.

Sudahlah, tidak usah. Dan 

sekarang, marilah kita pergi.

Giri Samodra bangkit berdiri, dan 

sekali melompat kakek itu sudah 

lenyap. Hanya dalam waktu singkat,


Sentiko mendengar suara kakek itu dari 

tempat yang sudah agak jauh.

Hai muridku yang baik, Sentiko. 

Ambillah arah ke barat dan aku 

menunggu engkau di tepi hutan. Sudah 

hampir malam, tidaklah baik apabila 

kita harus menginap di dalam hutan 

ini.

Sentiko terkesiap. Mengapakah 

sebabnya gurunya itu tiba-tiba 

meninggalkan dirinya di hutan ini? Dan 

apakah sebabnya guru baru itu berbuat 

aneh seperti sekarang ini? Padahal 

sekarang ini cuaca sudah gelap. 

Seorang diri menerobos hutan apakah 

tidak berbahaya?

Akan tetapi sejenak kemudian 

bocah ini sadar akan diri. Ia dapat 

menduga tentang sebabnya kakek itu 

berbuat seaneh ini. Kiranya kakek itu 

sedang menguji kesetiaannya sebagai 

murid. Sadar akan maksud kakek itu, ia 

kemudian melangkah tanpa ragu lagi, 

menuju ke arah matahari terbenam.

Sampai di sini, cerita ini 

berakhir. Sekalipun demikian cerita 

ini belum tamat. Masih mengganjal 

dalam benak kita, lalu bagaimanakah 

dengan bocah kecil bernama Sentiko? 

Setelah menjadi murid Giri Samodra, 

benarkah bocah ini dapat menandingi 

Gajah Mada dan Mpu Nala? Pertanyaan

ini baru bisa terjawab apabila Anda


membaca buku Seri Dewi Sritanjung yang 

berjudul KOBARAN API ASMARA.

Pada buku berjudul KOBARAN API 

ASMARA ini, anda akan bertemu kembali 

dengan para tokoh Si Tangan Iblis, 

Dewi Sritanjung, Sarindah, Sarwiyah, 

Kaligis, tokoh licik Sangkan, dan akan 

berkenalan pula dengan tokoh aneh 

bernama Warigagung dan Julung Pujud.

Kita cukilkan sedikit adegan yang 

bakal Anda temui dalam buku KOBARAN 

API ASMARA.

.....Kaligis dan Sangkan seperti 

terkunci mulutnya, tak bisa membuka 

mulut. Apalagi ketika si pemuda 

menghentikan tiupan serulingnya, ular-

ular tersebut berhenti menari. 

Kemudian aneka macam ular itu bergerak 

menyebar kesana dan kemari, menuju 

tempat sembunyi masing-masing. Yang 

lebih mengerikan lagi adalah cara 

bergerak ular warna hitam, yang 

panjangnya hanya lebih kurang satu 

kaki. Ular hitam dan pendek itu 

disebut orang dengan nama ular 

Bandotan. Ular tersebut bukannya 

melata, tetapi menekuk tubuhnya, 

kemudian melenting sekitar dua atau 

tiga depa jauhnya....

..... Heh heh heh heh, Warigagung 

terkekeh lalu ujarnya sombong, Rasakan 

jarumku. Sebelum mampus kamu akan 

menderita siksaan hebat!


Tanpa memperdulikan lima orang 

saudara seperguraan yang menderita, 

Warigagung melangkahkan kaki masih 

sambil terkekeh. Tak lama kemudian 

sayup-sayup terdengar sending yang 

ditiup oleh Warigagung....

.... trang .... benturan pedang 

terdengar nyaring.

Sarindah memekik tertahan dan 

tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke 

belakang. Sebaliknya Warigagung hanya 

mundur dua langkah ke belakang.

Bangsat busuk. Bentak Sarindah 

lantang. Engkau jangan menggunakan 

alasan yang dicari-cari. Sekarang 

anggaplah aku bukan perempuan. Aku 

seorang laki-laki yang akan membunuh 

kau!

Sepasang mata Warigagung menyala 

liar. Tantangan itu membangkitkan 

kemarahannya. Namun demikian ia segera 

ingat kembali bahwa bagaimanapun yang 

dihadapi sekarang ini perempuan, 

sekaum dengan ibunya. Jawabnya 

kemudian, Tidak! Aku tidak boleh 

melawan perempuan. Ibuku di alam baqa 

akan marah dan menyesal, jika aku 

melanggarnya. Mungkin ibuku akan 

menyumpah aku menjadi seekor caring. 

Tidak! Aku tak mau melawan kau.

Sarwiyah berusaha mencegah 

Sarindah, katanya, Mbakyu, kalau dia 

memang tidak mau melawan, mengapa kau 

memaksa? Biarkan dia pergi, dan mari


kita lihat siapakah yang akan menang 

antara kakek dengan orang itu.

Sarwiyah memandang Warigagung 

dengan ragu. Pandang matanya demikian 

sayu, dan seakan minta kepada pemuda 

itu agar mau mengalah.

Warigagung dapat pula menangkap 

sinar mata gadis itu yang lembut, yang 

berbeda dengan saudaranya, dan seakan 

penuh harap agar mau mengalah. 

Walaupun pemuda liar dan ganas, tetapi 

Warigagung punya kelembutan jika 

berhadapan dengan perempuan. Hatinya 

tergetar dan iba pula kepada gadis 

itu....

.....Ayaaa .... bocah-bocah ini, 

mengapa bergulingan dan merintih-

rintih? Kakek gendut ini menggumam 

sambil memperhatikan sekeliling. 

Kemudian ia menekap lubang hidungnya 

sendiri tak tahan menghirup bau darah 

ular yang anyir dan amis, sambil 

berjingkrakan seperti telapak kakinya 

tertusuk duri. Racun... bisa... ahh, 

nyawa bocah-bocah ini diancam 

maut. Hemm.... kasihan....

Mendadak kakinya bergerak menen-

dang mereka yang sedang tersiksa dan 

merintih-rintih. Ahhh, mengapa kakek 

ini sampai hati menambah derita para 

korban racun Warigagung ini? Tidak 

menolong malah ditendangi.

Akan tetapi tubuh yang ditendangi 

tidak terbanting keras. Melainkan


melayang perlahan dan kemudian 

menggeletak di tanah tak bersuara. 

Empat kali kaki menendang, dan 

berturut-turut tubuh Kebo Pradah, Tanu 

Pada, Sangkan dan Mahisa Singkir. 

Jatuhnya sungguh aneh. Dapat berjajar 

seperti diatur. Kakek gendut ini 

kemudian melangkah perlahan 

menghampiri. Tetapi tiba-tiba telinga-

nya yang tajam mendengar gerakan dalam 

selokan.

Kakek ini mengamati sejenak, 

kemudian katanya, Ahh, masih ada satu 

lagi.

Setelah mencabut jarum yang 

menancap pada tubuh lima bocah itu, 

kemudian kakek gendut bernama Mpu 

Anusa Dwipa ini mengeluarkan lima 

butir obat kering warna merah. Satu 

persatu obat dihancurkan dengan air. 

Kemudian diminumkan kepada para 

korban. Yang terjadi kemudian sungguh 

mengherankan. Semua korban itu seka-

rang bergerak. Dan kira-kira tengah 

malam, lima orang murid Si Tangan 

Iblis sadar hampir berbareng. Kemudian 

mereka meloncat bangun hampir 

berbareng merasa kaget....

Mpu Anusa Dwipa memang seorang 

sakti berhati emas. Suka menolong tiap 

orang, tidak membedakan orang baik 

atau jahat....

......Heh heh heh heh, Julung 

Pujud terkekeh.


Mengapa engkau menjadi tolol? 

Muridku masih jejaka tulen. Dan cucumu 

juga masih gadis. Sekarang juga aku 

melamar cucumu yang muda itu, untuk 

menjadi isteri muridku Warigagung. 

Setuju tidak?

Sarwiyah hatinya tidak karuan. 

Sebab walaupun belum terang-terangan, 

sesungguhnya hatinya sudah terisi oleh 

Kebo Pradah. Ia tidak benci kepada 

Warigagung, sekalipun tadi baru saja 

berkelahi. Tetapi cinta? Ahh, rasa 

cintanya sampai sekarang ini hanya 

tertuju kepada Kebo Pradah seorang. 

Namun sebaliknya kalau dirinya me-

nolak, terus terang ia tidak berani. 

Sebab kakeknya, Si Tangan Iblis bisa 

marah besar dan salah-salah dirinya 

bisa dibunuh mati......

......Hemm, apakah sebabnya kau 

repot? Letakkan saja dua mayat ini di 

tepi desa. Esok pagi tentu akan 

dirawat orang. Mari cepat, kemudian 

selekasnya kita pergi dari sini.

Sangkan sudah mendahului 

menyambar mayat Tanu Pada. Mau tak mau 

Kaligis segera menyambar mayat Kebo 

Pradah. Kemudian dua orang muda ini 

berlarian menuju desa.

Mahisa Singkir tak kuasa menahan 

air mata. Ia lari cepat ke jurusan 

lain. Kemudian ia duduk di atas sebuah 

batu, lalu terisak-isak. Hati pemuda 

ini sedih sekali. Mengapa antara


saudara seperguraan terjadi persa-

ingan, dan mengakibatkan saling bunuh? 

Apakah kalau begitu, cinta itu jahat? 

Cinta, apakah mendorong kepada manusia 

melakukan perbuatan-perbuatan 

terkutuk? Ia menjadi ngeri sendiri....

Demikian antara lain beberapa 

adegan yang akan Anda temui di dalam 

buku KOBARAN API ASMARA. Lebih 

menarik, tegang tetapi juga 

mengasyikkan!!!

Sala, Medio Pebruari 1987.



https://matjenuhkhairil.blogspot.com




 

Share:

0 comments:

Posting Komentar