..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 18 Januari 2025

DEWI SRI TANJUNG EPISODE JASA SUSU HARIMAU

matjenuh

 

JASA SUSU HARIMAU

Serial 01 Dewi Sritanjung

Karya : Widi Widayat

Cover & Illustrasi : Arie

Penerbit: MELATI Jakarta

Cetakan pertama : 1987

HAK CIPTA dilindungi oleh Undang-

undang

Penyiaran harus seizin Penulis



1

Di tepi sungai, tampak seorang 

kakek duduk bersila di atas batu 

besar, sedang tangan yang kanan 

memegang tangkai pancing. Namun 

agaknya kakek ini lagi sial, karena 

sepanjang hari tidak diperoleh 

seekorpun ikan.

Nasib.....ah permainan nasib, 

gumamnya. Hai ikan di sungai. Kalau 

saja alat pancingku ini merupakan 

pancing sesungguhnya, nasibmu tentu 

menjadi mangsa manusia. karena di 

antara kamu akan kena oleh pancingku, 

lalu menggelepar dan mati. Tetapi 

pancingku ini bukan pancing sebenarnya 

dan ini hanyalah permainan nasib.

Tiba-tiba kakek ini menyentakkan 

tangkai pancingnya. Ayaa.... ternyata 

ujung tali pancing itu bukan berisi 

jarum berkait, melainkan hanyalah 

sebutir kerikil.

Pantas saja kakek ini menyebut 

permainan nasib. Ikan yang menyambar 

kerikil di ujung pancing itulah yang 

disebut nasib. Nasib manusiapun sama 

halnya, menjadi permainan nasib 

seperti halnya ikan yang hidup di 

sungai itu.

Tetapi kakek yang rambutnya sudah 

putih ini mendadak kaget dan 

menjulurkan lehernya, ketika mendengar


tangis bayi. Diam-diam kakek ini 

heran, bayi siapakah yang menangis? 

Tempat dirinya sekarang ini duduk 

mengail, merupakan hutan belantara dan 

jauh dari desa. Adakah seorang ibu 

yang membawa bayi ke tempat sepi 

seperti ini?

Namun ketika makin jelas 

didengar, tangis bayi itu dari tengah 

sungai, ia mendesis, 

ahhh.....mungkinkah bayi dhemit 

(bantu)?

Ia mengalihkan pandang matanya ke 

sungai. Kendati sudah tua tetapi 

pandang matanya belum lamur. Ia 

mengerutkan alis, ketika melihat 

sebuah belanga hanyut dan dari situlah 

asal tangis bayi itu.

Ahhh..... bayi dibuang? Lalu 

siapakah yang sudah membuang anak ini? 

desisnya. Ya, Dewata 

Agung.....ampunilah dia yang sudah 

mala gelap dan tersesat itu. Sedang di 

samping itu, perkenanlah hambaMu ini 

menyelamatkan bayi tidak berdosa itu!

Berbareng dengan ucapannya yang 

terakhir, menyambarlah benda halus ke 

sungai. Ternyata benda itu tali 

pancing yang dipanjangkan, sedang pada 

ujungnya sudah dibentuk lingkaran agak 

lebar.

Tali itu menyambar tepat hingga 

belanga (kuali) yang hanyut itu 

tertahan dan kemudian dengan gerakan



menyentak, belanga tersebut sudah 

terbang. Sesaat kemudian belanga 

berisi bayi tersebut sudah dapat 

ditangkap dengan tangan kiri.

Mendengar suara tangis yang 

semakin parau itu, kakek ini gugup dan 

khawatir. Penutupnya cepat dibuka lalu 

dengan gerakan hati-hati, orok itu 

dikeluarkan. Orok yang bugil dan pada 

lehernya terdapat sebuah kalung emas 

berbentuk burung garuda.

Kasihan.....apakah salahmu, 

hingga kau dibuang orang tuamu? 

gumamnya sambil menghela napas 

panjang.

Orok perempuan yang masih terus 

menangis itu, didekapnya di dadanya 

yang kerempeng. Lalu diselimuti dengan 

jubahnya agar menjadi hangat. Usahanya 

berhasil, orok itu sekarang berhenti 

menangis dan kemudian tertidur. Kakek 

ini tersenyum, kemudian isi kuali 

diambil dan melangkah perlahan 

meninggalkan sungai dan alat pancing-

nya.

Orok perempuan yang dilahirkan 

Dewi Anwari ini ternyata bernasib 

baik. Sekarang tertolong oleh kakek 

pertapa sakti yang dikenal orang 

bernama Kiageng Tunjung Biru.

Dengan perasaan iba, orok dalam 

pondongannya ini dibawa pulang ke 

pondoknya, terletak tak jauh dari 

pertemuan sungai Widas dan sungai


Lengkong. Pondok itu dilindungi 

sebatang pohon Tanjung yang sudah amat 

tua dan rindang.

Dengan hati-hati sekali orok 

perempuan ini diletakkan di 

pembaringan beralaskan rumput kering. 

Kemudian untuk bisa memberi kehangatan 

bagi si orok, beberapa potong pakaian 

yang ditemukan di belanga tadi 

dipergunakan menyelimuti.

Ia memandang orok merah ini 

dengan perasaan iba. Orok mungil yang 

cantik, tetapi mengapa sebabnya oleh 

orang tuanya dibuang?

Mendadak saja ia ingat kepada 

nasibnya sendiri. Kini sudah pikun, 

tanpa anak, tanpa isteri, tanpa 

keluarga dan tanpa tetangga. Bukankah 

orok yang ditemukan ini sudah 

merupakan kehendak Dewata Agung untuk 

menjadi teman hidupnya?

Tetapi tiba-tiba kakek ini 

berjengit. Kalau orok ini dibuang, 

apakah tidak mungkin merupakan hasil 

hubungan gelap? Karena malu, maka orok 

yang tidak berdosa itu dibuang.

Namun wawasannya yang amat luas 

menyebabkan kakek ini kemudian 

menghela napas. Apakah sebabnya 

manusia di dunia ini yang terpikir 

hanyalah kepentingan diri? Berani 

berbuat, mengapa tidak berani 

bertanggung jawab? Karena tidak 

sedikit jumlahnya manusia yang menjadi


lupa diri dan lupa akan tanggung 

jawabnya itu menyebabkan dunia ini 

tidak pernah bisa damai.

Menurut pendapat kakek ini, orok 

yang ditemukan ini lahir di dunia 

sudah menjadi kehendak Dewata Agung. 

Karena itu tidak pada tempatnya 

apabila disia-siakan apalagi dibuang 

pula.

Tiba-tiba Kiageng Tunjung Biru 

ingat kepada benda-benda yang 

menyertai orok ini. Benda itu 

diperhatikan satu persatu. Ada dua 

lembar kain baju dan ada sobekan kain 

putih berisi tulisan.

Kiageng Tunjung Biru menghela 

napas dalam, lalu menggeleng-gelengkan 

kepalanya setelah selesai membaca 

tulisan pada secarik kain putih itu. 

Tahulah ia sekarang orok ini bukan 

hasil hubungan gelap tetapi merupakan 

buah hasil perkawinan yang berakhir 

dengan tragedi.

Kakek ini hatinya terasa sedih 

sekali. Mengapakah sebabnya bisa 

terjadi peristiwa seperti ini? Jelas 

semua itu merupakan permainan nasib. 

Kalau tidak demikian, manakah mungkin 

Dewata Agung mempertemukan Dewi Anwari 

dengan Mpu Nala, yang kemudian saling 

jatuh cinta?

Oleh permainan nasib, Mpu Nala 

kemudian ketakutan setelah tahu, Dewi 

Anwari merupakan puteri Kuti yang


memberontak kepada Majapahit. Sedang 

Mpu Nala merupakan pejabat tinggi 

Majapahit. Sudah tentu Nala menjadi 

amat khawatir apabila perkawinannya 

ini kemudian menodai nama baiknya 

sebagai pejabat tinggi Majapahit yang 

terpercaya.

Suratan takdir tidak terbantah. 

Nyatanya dengan peristiwa menyedihkan 

itu, kemudian Kiageng Tunjung Biru 

yang semula hidup seorang diri, 

sekarang mendapat teman hidup orok 

merah.

Hemm, baiklah, gumamnya. Kalau 

takdir Dewata Agung aku harus menjadi 

ayah dan sekaligus ibu orok ini, aku 

tidak dapat menolak.

Kakek ini duduk di tepi 

pembaringan. Dan dengan hati-hati 

kalung di leher si kecil itu 

diperhatikan.

Tiba-tiba orok perempuan itu 

menangis. Kiageng Tunjung Biru gugup, 

lalu mengusap-usap kepala bayi yang 

masih lunak itu perlahan, sambil 

mengucapkan kata-kata menghibur. 

Agaknya kakek ini sudah menjadi 

pelupa, orok yang baru lahir itu belum 

membutuhkan hiburan dan ucapan.

Tak heran apabila orok ini tidak 

menghentikan tangisnya dan si kakek 

menjadi bingung. Ia belum pernah 

menjadi ayah dan belum pernah pula 

mengasuh bayi. Menurut pendapatnya,


kalau bayi ini telah dibungkus kain 

rapat-rapat, tentunya sudah hangat. 

Tetapi mengapa masih juga menangis ?

Saking bingungnya dan tak tahu 

apa yang harus dilakukan, kain 

pembungkus orok itu dibuka. Setelah 

terbuka, kakek ini mendadak terkekeh 

geli sendiri. Ternyata kain pembungkus 

itu telah basah oleh air kencing 

bercampur berak.

Jangan menangis, Cucu.... biarlah 

kakek membersihkan.... gumamnya sambil 

menggerakkan tangan dan hati-hati 

sekali, mengusap bagian yang basah itu 

dengan kain. Kain yang kotor sudah 

disingkirkan dan diganti dengan kain 

kering. Kemudian kakek ini senang 

sekali, orok itu kembali tidur.

Tetapi ketika pagi hari tiba orok 

itu menangis lagi, ia menjadi 

kebingungan sendiri seperti kebakaran 

jenggot. Dengan gugup orok itu segera 

dibawa keluar pondok. Timbullah 

niatnya untuk minta pertolongan 

penduduk yang menyusui anaknya. Namun 

celakanya si orok yang haus dan lapar 

ini tidak mau mengerti dan menangis 

terus.

Di saat ia mendukung orok untuk 

minta pertolongan penduduk ini, tiba-

tiba ia mendengar aum harimau. Ia agak 

heran, karena selama menghuni hutan 

ini ia belum pernah bertemu harimau


seekorpun. Tetapi mengapa sekarang 

tiba-tiba ia mendengar aum harimau?

Tak lama kemudian muncullah dua 

ekor harimau yang besar. Harimau tutul 

sebesar lelembut itu telah menghadang 

di depannya.

Ah, jangan mengganggu aku, 

katanya halus. Pergilah! Aku sedang 

kebingungan dengan orok ini.

Tetapi manakah mungkin harimau 

itu mengerti maksud ucapan manusia? 

Ucapan kakek ini malah disambut dengan 

aum dahsyat dan dua ekor harimau itu 

malah siap menerkam.

Hemm, apakah kau tak mendengar 

ucapanku? Pergilah dan jangan ganggu 

diriku. 

Tetapi ucapannya kali ini malah 

disambut dengan terkaman hampir 

berbareng. 

Wutt wutt.... terkaman harimau 

itu luput, ketika kakek ini melesat ke 

samping dengan gerakan gesit.

Dua ekor harimau ini menjadi 

marah. Hampir berbareng sudah mengaum 

dan menerjang kembali. Dengan tenang 

Kiageng Tunjung Biru menghindar lagi. 

Di saat menghindar ini, ia menjadi 

tahu baliwa dua ekor harimau ini 

seekor jantan dan seekor betina. Yang 

betina susunya besar, menjadi tanda 

masih menyusui anaknya.

Tiba-tiba saja wajahnya berseri. 

Desisnya. Terima kasih ya Dewata


Agung. Kau menolong kesulitanku. Hemm, 

harimau ini bisa menolong dengan air 

susunya.

Orok merah itu lalu dipondong di 

tangan kiri. Ketika dua ekor harimau 

itu menyerang lagi, ia bukan hanya 

menghindar, tetapi menggeser diri ke 

samping membungkukkan tubuh. Secara 

tidak terduga, tangan kanan bergerak 

seperti kilat cepatnya menepuk leher 

harimau betina. Ketika yang jantan 

menyerang, ia pun menepuk leher 

harimau itu hingga mengaum kesakitan 

dan terguling.

Tetapi hanya sejenak. Dua ekor 

harimau itu sudah kembali menerjang. 

Kiageng Tunjung Biru tidak gentar, 

lagi-lagi tangan kanan memukul. 

Akibatnya dua ekor harimau itu 

sekarang roboh di tanah tetapi tidak 

mati.

Bibir kakek ini tersenyum. Ia 

menghampiri si betina, lalu katanya 

halus, Macan, berikan air susumu untuk 

bocah ini.

Dua ekor harimau yang sudah tidak 

dapat bergerak itu hanya menggeram 

lirih, sedangkan si kakek lalu 

mendekatkan mulut orok itu ke puting 

harimau.

Hati kakek ini terharu melihat si 

orok menyusu lahap sekali. Cukup lama 

orok ini menyusu. Dan sesudah kenyang, 

si orok tertidur pulas.


Orok merah itu kemudian dipondong 

kembali, didekapnya di dada penuh 

kasih sayang.

Untuk beberapa saat lamanya kakek 

ini berdiri di samping harimau itu. 

Kemudian terpikir tiap kali orok ini 

lapar, bayi ini akan menangis dan 

minta air susu. Maka jalan satu-

satunya untuk menyelamatkan bayi ini 

hanya minta bantuan seseorang agar 

memberikan susunya.

Namun tiba-tiba timbul pula rasa 

keraguannya. Dengan minta bantuan 

orang, bagaimanapun membuat orang itu 

repot

Kemudian terlintas dalam 

benaknya, untuk kepentingan si bayi 

ini sebaiknya harimau betina ini 

ditangkap saja, dijadikan sebagai 

pengganti ibu. Ia pernah mendengar 

cerita gurunya, air susu harimau 

pengaruhnya besar sekali bagi orok, 

bisa mempunyai daya tahan yang lebih 

dibanding manusia.

Tetapi sebaliknya segera timbul 

keraguannya pula. Timbul pertanyaan 

dalam hati, bagaimanakah dengan anak 

harimau ini yang juga masih butuh 

susu? Mereka akan mati apabila

induknya tidak pulang ke sarang. Ia 

menjadi tidak tega, maka kemudian dua 

ekor harimau tersebut dibebaskan 

kembali agar dapat menuju kembali ke 

sarang.


Orok merah itu lalu dibungkus 

kain dan diemban. Bayi yang belum 

punya nama ini tetap tidur pulas dan 

membuat kakek ini amat senang.

Diambillah kemudian sepotong 

ranting kayu kering. Lalu dengan 

sentuhan perlahan pada punggung, dua 

ekor harimau ini dapat bergerak kem-

bali. Dua ekor harimau ini melompat 

sambil menggeram. Tetapi di luar 

dugaannya, setelah harimau itu saling 

menyentuhkan hidungnya tidak mau pergi 

malah mendekam. Lalu sambil menggeram 

lirih, dua ekor harimau ini 

menggerakkan kaki depan dan mencakar 

tanah.

Melihat sikap harimau ini, 

Kiageng Tunjung Biru ketawa lirih. 

Katanya halus, Bagus! Kamu tunduk? 

Terima kasih. Sekarang pulanglah ke 

sarangmu, bawa semua anakmu lalu 

pulang bersama dengan aku. Ketahuilah 

aku membutuhkan air susumu guna 

membantu bayi ini. Nah, cepat pergilah 

dan aku menunggu di sini.

Entah tahu atau tidak maksud 

ucapan kakek ini, dua ekor harimau itu 

menggeram lirih. Sesaat kemudian 

mereka pergi masuk semak belukar dan 

tidak tampak lagi.

Kiageng Tunjung Biru menghela 

napas dalam tetapi lega. Orok merah 

itu kemudian diambil dan ditimang-

timang dengan bibirnya tersenyum dan


wajah berseri. Orok merah ini mungil 

dan cantik, keturunan ksatrya pula. Ia 

tidak mau melepaskan lagi dan bertekad 

akau mengasuh sampai dewasa.

Hemm, kau belum punya nama, 

Cucuku, bisiknya. Tetapi ahh.....sulit 

juga aku memilih nama yang tepat 

untukmu.....

Untung kemudian kakek ini 

teringat kepada pohon yang menaungi 

pondoknya, pohon Tanjung. Bibirnya 

tersenyum lalu katanya, Bagus! Namamu 

Dewi Sritanjung. He heh heh heh, Dewi 

Sritanjung, Nama yang bagus.....cocok 

dengan yang punya....

Sebenarnya ia ingin sekali 

mencium pipi montok bayi ini. Namun 

timbul kekhawatirannya kalau tersentuh 

oleh kumisnya, orok itu akan terjaga 

dari tidurnya. Oleh sebab itu kakek 

ini menjadi puas kendati hanya 

memandang saja.

Tidak lama kakek ini menunggu. 

Beberapa saat kemudian terdengar suara 

gemerisik di tengah semak dan 

muncullah sepasang harimau yang tadi 

disertai dua ekor anaknya yang baru 

sebesar kambing, tetapi gerakannya 

sudah gesit.

Ia memandang empat ekor harimau 

itu dengan bibir tersenyum dan 

kepalanya mengangguk puas. Ia 

bersyukur kepada Dewata Agung


kesulitannya mencari air susu untuk 

Dewi Sritanjung dapat diatasi.

Bagus! Sekarang ikutlah aku 

pulang, katanya halus.

Kiageng Tunjung Biru melangkah 

perlahan dan harimau itu seperti tahu 

perintahnya mengikuti langkahnya 

dengan patuh. Malah dua ekor anak 

harimau tutul itu lebih jinak lagi, 

berjalan mengapit kakek itu sambil 

kadang kala menyentuhkan tubuhnya ke 

kaki.

Setiba di pondok dibiarkannya 

empat ekor harimau itu ikut menghuni 

pondoknya. Empat ekor harimau ini 

memilih tidur di bawah pembaringan.

Kiageng Tunjung Biru memberi 

kebebasan kepada mereka. Namun 

demikian kakek ini selalu waspada agar 

Sritanjung tidak terganggu.

Pada mulanya setiap Sritanjung 

membutuhkan air susu, kakek ini 

bersikap hati-hati. Namun setelah 

induk harimau itu benar-benar jinak, 

penurut dan setia, kakek ini menjadi 

gembira dan tidak kuatir lagi.

Kesetiaan induk harimau kepada 

Sritanjung ini terbukti, setiap bayi 

itu menangis, tanpa diperintahkan 

induk harimau sudah melompat ke atas 

ambin, lalu memberikan susunya.

Tingkah laku induk harimau ini 

menyebabkan kakek ini terharu. Betapa 

tidak? Seekor harimau memberikan kasih


sayangnya kepada bayi manusia. Anehkan 

peristiwa ini? Tidak! Semua sudah 

sejalan dengan kehendak Dewata Agung. 

Kendati binatang induk itu juga 

mempunyai naluri untuk memberikan 

kasih sayang kepada anak.

Sebagai balas jasa kepada harimau 

kesayangan itu dan agar tidak gampang 

diganggu orang, kemudian kakek ini 

melatih semacam gerakan ilmu tata 

kelahi. Ternyata dua ekor anak harimau 

itu lebih gampang dilatih, dibanding 

dengan yang sudah dewasa.

Tanpa terasa setahun sudah 

berlalu. Sejak berumur sepuluh bulan, 

berkat air susu harimau Dewi 

Sritanjung sudah pandai berjalan. Anak 

ini tumbuh sehat dan baru berumur 

setahun sudah bisa berlari-lari. 

Sedang empat ekor harimau tutul yang 

jinak itu amat kasih dan sayang kepada 

Sritanjung.

Berkat latihan yang diberikan 

Kiageng Tunjung Biru, gerakan empat 

ekor harimau tersebut menjadi gesit 

dan tak gampang diganggu manusia. Dan 

berkat hubungannya dengan kakek itu 

pula, kalau dahulu harimau ini sering 

makan daging manusia, sekarang tidak 

mau lagi. Harimau ini hanya menangkap 

dan makan daging binatang yang 

ditemukan di dalam hutan.

Tambah besar, kecantikan Dewi 

Sritanjung semakin tampak.


Pertumbuhannya cepat, kuat dan hampir 

tidak pernah sakit. Kiageng Tunjung 

Biru menduga, kesehatan anak ini tentu 

pengaruh air susu harimau. Karena itu 

besar harapannya agar di kemudian hari 

Dewi Sritanjung menjelma sebagai 

seorang wanita perkasa dan menjadi 

penerus sejarahnya serta dapat membawa 

harumnya nama Sritanjung sendiri.

Ketika Dewi Sritanjung berumur 

lima tahun, bocah ini tumbuh menjadi 

anak luar biasa. Kecuali menjadi bocah 

yang tabah dan berani juga sehari-

harinya bercanda dan menunggang 

harimau, yang sekarang anak harimau 

itu sebesar induknya.

Sejak berumur empat tahun bocah 

ini sudah mendapat latihan dasar ilmu 

beladiri. Maka sekali pun baru berumur 

lima tahun, ia sudah menjadi bocah 

luar biasa. Ia tidak kesulitan 

melompat maupun meloncat turun dari 

punggung harimau. Larinya cepat sekali 

dan gerakannya lincah. Tetapi karena 

dalam pondok ini manusia satu-satunya 

yang menjadi kawan hanya Kiageng 

Tunjung Biru, maka sikap bocah ini 

amat manja. Ia memanggil kakek dan 

suka minta gendong. Kalau kakek itu 

tidak sedia, ia menangis.

Perputaran roda dunia ini 

sekalipun tampaknya lambat namun 

selalu tetap dan tidak pernah 

berhenti. Karena itu tidak terasa enam


belas tahun sudah lewat. Sritanjung 

menjadi dara remaja cantik jelita. 

Kecantikannya seperti pinang dibelah 

dua dengan ibunya, Dewi Anwari. 

Sebaliknya pertumbuhan tubuhnya 

dipengaruhi oleh darah ayahnya, Nala. 

Ia menjadi seorang dara remaja yang 

bertubuh semampai dengan tinggi yang 

cukupan.

Kiageng Tunjung Biru semakin 

menjadi kasih berbareng bangga. 

Ternyata harapannya sekarang terkabul. 

Cucu pungut ini bukan saja cantik 

jelita, tetapi juga berilmu tinggi. 

Memang sudah ada bakat yang dibawa 

sejak lahir. Berkat gemblengan lahir 

dan batin sejak kecil, bukan saja 

Sritanjung menjelma sebagai gadis per-

kasa, tetapi juga mempunyai pandangan 

luas.

Suatu hari Kiageng Tunjung Biru 

mengerutkan alis disamping gelisah. 

Sejak pagi Sritanjung pergi dengan dua 

ekor anak harimau yang diberi nama 

Manis dan Tumpak. Nama Manis untuk 

anak harimau yang betina, sedang 

Tumpak untuk yang jantan.

Kegelisahan kakek ini bukan main 

karena matahari sudah bergerak ke 

barat, namun mereka belum juga tampak 

pulang. Tidak biasa bagi Sritanjung 

pergi begitu lama seperti sekarang. 

Sedang kalau menyuruh dua ekor harimau 

yang lain untuk menyusul dan mengajak


pulang tidaklah mungkin. Harimau tidak 

dapat bicara, maka sekali pun jinak 

tidak bisa berkomunikasi seperti 

semula.

Akhirnya ia sendiri yang harus 

meninggalkan pondok setelah berpesan 

kepada dua ekor harimau itu supaya 

tetap menjaga pondok.

Apa yang sudah terjadi dengan 

Sritanjung? Adakah masalah yang 

menyebabkan gadis ini tertahan pulang? 

Dugaan ini memang benar. Sritanjung 

menghadapi dan sekaligus mengalami 

peristiwa baru.

Pagi itu seperti biasanya, 

Sritanjung disertai Manis dan Tumpak 

pergi menjelajah hutan, di samping 

bermaksud memberi kesempatan agar 

harimau ini mendapatkan mangsa segar.

Tanpa disadari perjalanan alam 

ini terlalu jauh. Dara remaja yang 

mulai mengenal keindahan alam ini 

menjadi kesengsem oleh indahnya hutan 

belantara yang belum terjamah manusia 

disamping terpikat pula oleh kicau 

burung. Kemudian ketika merasa gerah, 

ia duduk mengaso dan duduk di alas 

batu dinaungi pohon rindang. Sedang 

Tumpak dan Manis pergi mencari mangsa.

Di saat Sritanjung menyandarkan 

kepala pada bateng pohon dan menikmati 

kicau burung, tiba-tiba ia terkesiap 

mendengar aum harimau. Ia kenal, auman 

itu merupakan jerit marah. Kemudian ia


menduga tentu Tumpak dan Manis yang 

sedang marah oleh gangguan manusia 

atau binatang lain.

Kendati ia percaya Tumpak dan 

Manis pasti dapat mengatasi kesulitan 

yang dihadapi, namun Sritanjung tidak 

tega berpekik tangan. Dari mulutnya 

segera terdengar pekik nyaring hampir 

serupa dengan aum harimau yang tadi ia 

dengar. Belum juga lenyap suara 

lengkingannya, tubuh sudah berkelebat 

lenyap ditelan oleh rumpun belukar. 

Gerakannya benar-benar gesit.

Ketika auman dari Tumpak dan 

Manis makin tambah nyaring, gerakan 

gadis ini menjadi semakin cepat. Maka 

semakin kuat dugaannya, Tumpak dan 

Manis berhadapan dengan bahava dan 

membutuhkan pertolongan.

Tidak sulit bagi Sritanjung 

menemukan Tumpak dan Manis. Auman 

nyaring dan panjang itu menjadi 

petunjuk ke mana dirinya harus menuju.

Tiba-tiba saja sepasang mata 

gadis ini menyala seperti menyinarkan 

api. Dugaannya benar baik Tumpak 

maupun Manis sedang berkelahi 

mengeroyok laki-laki muda bertubuh 

gagah dan tampan. Pakaiannya indah 

gemerlapan, menjadi tanda bukan pemuda 

sembarangan. Setidak-tidaknya sesuai 

dengan cerita kakeknya, pemuda ini 

tentu anak seorang kaya atau 

berkedudukan tinggi.


Pemuda itu menghadapi Tumpak dan 

Manis hanya bertangan kosong. 

Terdengar seruan kagum berkali-kali 

dari mulut pemuda itu, ketika pukulan 

balasannya mengenai tempat kosong.

Hebat! Kamu harimau hebat dan aku 

kagum! desis pemuda itu.

Gerakan harimau yang dihadapi 

sekarang ini, baik dalam menerkam, 

menyerang maupun menghindar demikian 

teratur. Ia baru kali ini berhadapan 

dengan harimau yang ia anggap aneh. 

Harimau yang menarik perhatian, hingga 

pemuda itu tidak tega menggunakan 

senjata maupun melukainya.

Ternyata pemuda itu berilmu 

tinggi. Kendati bertangan kosong, 

dengan tinju dan tendangan kaki ia 

berhasil membuat harimau itu terpental 

dan mengaum keras. Rasa sakit oleh 

pukulan dan tendangan itu menyebabkan 

Tumpak dan Manis marah. Gerakannya 

menjadi semakin ganas, kuku yang 

runcing dan taring yang mengerikan 

setiap saat siap untuk merobek-robek 

kulit dan daging pemuda tampan itu.

Kalau dua ekor harimau itu tamhah 

marah, si pemuda tampan tambah heran 

berbareng kagum. Pukulan dan 

tendangannya sanggup merobohkan pohon 

sebesar paha dan batu sebesar kambing. 

Akan tetapi mengapa sekarang 

berhadapan dengan harimau saja pukulan 

dan tendangannya tidak berdaya?


Makin kuat dugaannya tentu bukan 

harimau biasa, tetapi piaraan seorang 

sakti yang sudah terlatih. Memperoleh 

dugaan demikian ia menjadi khawatir 

kalau pemiliknya menjadi marah. Lalu 

timbullah niatnya untuk melompat dan 

kemudian melarikan diri agar tidak 

bermusuhan dengan pemiliknya.

Tetapi sebelum pemuda itu sempat 

melarikan diri sudah terdengar seruan 

nyaring, Kurangajar! Engkau berani 

mengganggu harimauku? Tumpak, Manis, 

mundurlah. Aku yang menghajar manusia 

busuk itu!

Tumpak dan Manis yang sudah 

terlatih itu mengerti maksud 

majikannya. Hampir berbareng dua ekor 

harimau itu mengaum lirih sambil me-

lompat mundur. Tetapi tampaknya 

harimau itu masih penasaran, sebelum 

dapat mengalahkan lawannya sudah 

diperintah mundur.

Dengan gerakan indah Sritanjung 

melompat lalu bertolak pinggang. Sinar 

matanya marah menyinarkan api tetapi 

wajahnya yang amat cantik menyebabkan 

pemuda itu terpesona. Sekalipun sedang

marah tetapi menurut pandangan pemuda 

itu seperti seorang dara yang sedang 

pamer kecantikanrrya. Dan saking 

terpesona, ia seperti tidak mendengar 

teguran Sritanjung.

Sritanjung membantingkan kakinya 

dan tambah marah. Bentaknya, Hai!


Tulikah kau? Dan kau sedang memandang 

apa? Dengarlah baik-baik, aku bertanya 

kepada dirimu. Apakah sebabnya kau 

mengganggu harimau piaraanku?

Pemuda itu tersenyum, lalu 

jawabnya halus, Nona.,., di dalam 

hutan banyak terdapat binatang buas 

yang berkeliaran. Manakah mungkin aku 

bisa tahu harimau ini ada pemiliknya? 

Tetapi yang jelas aku tidak bermaksud 

mengganggu harimau ini. Dengarlah, aku 

tadi sedang lewat di tempat ini dan 

tanpa sebab, harimau itu sudah 

menyerang diriku. Untuk mempertahankan 

nyawa tentu saja aku melawan. Salahkah 

orang yang membela diri dalam usaha 

menghindari bahaya? Meskipun demikian 

aku tidak berusaha melukai harimau 

itu.

Tetapi pukulan dan tendanganmu 

membuat harimauku kesakitan! 

Sritanjung membentak. Engkau menghina 

harimauku, berarti pula sudah menghina 

diriku!

Memang tidak mengherankan apabila 

Sritanjung bersikap segalak ini. Sejak 

kecil dan tumbuh menjadi remaja hidup 

dan terpisah dari masyarakat. Sedang 

satu-satunya manusia yang ia kenal 

hanyalah kakek dan sekaligus gurunya, 

Kiageng Tunjung Biru, dan yang lain 

hanyalah harimau.

Selama ini terhadap Kiageng 

Tunjung Biru, sikapnya selalu manja


dan sebaliknya selalu dituruti 

kemauannya oleh kakeknya.

Pemuda itu terbelalak mendengar 

tuduhan gadis ini. Namun ia 

menyabarkan diri dan bertanya, Aku 

menghina Nona? Bagaimana mungkin? 

Bertemu baru kali ini, bagaimanakah 

aku bisa menghina? Aku berani 

bersumpah, tidak sengaja mengganggu 

harimau itu dan akupun hanya membela 

diri saja.

Hemm, Sritanjung mendengus. Jika 

engkau tidak sengaja menghina diriku, 

engkau harus minta maaf.

Baiklah Nona, aku minta maaf! 

Huh, enak saja kau mengucapkan 

kata-kata minta maaf.

Pemuda itu melengak dan 

keheranan. Katanya dalam hati, Aneh 

sekali gadis ini. Orang sudah minta 

maaf sesuai dengan permintaannya, 

namun masih juga dianggap kurang.

Bagaimanakah maksud Nona?

Aku baru mau memaafkan 

kelancanganmu, jika kau mau berlutut 

dan mengangguk tujuh kali!

Keterlaluan gadis ini! pikir si 

pemuda.

Ia merasa tidak bersalah. Kalau 

tadi ia bersedia minta maaf, tidak 

lain oleh perasaannya yang segan untuk 

bertengkar. Tetapi kalau sekarang 

disuruh berlutut, manakah mungkin? Hal 

itu merupakan penghinaan terhadap


dirinya. Karena itu ia menatap gadis 

ini penuh perhatian.

Nona, sahutnya, kuharap Nona 

jangan menghina orang. Aku sudah 

bersedia minta maaf sesuai dengan 

permintaamu, sekalipun aku tidak 

bersalah. Tetapi kalau harus berlutut 

di depanmu, maaf, tak mungkin aku 

bersedia melakukannya. Aku sudah 

mengalah, tetapi sekalipun demikian 

aku tidak mau direndahkan orang.

Dewi Sritanjung mendelik. Katanya 

dingin, Hemm, kau berani membandel di 

depanku? Bagus, hi hi hik. Agaknya kau 

memang belum kenal siapa Sritanjung.

Berbareng dengan ucapannya yang 

terakhir, dengan gerakan gesit dan 

ringan, Sritanjung menerjang maju. 

Arah tangan itu yang kiri mencengkeram 

leher sedang tangan kanan mencengkeram 

pusar.

Tangan gadis ini memang kecil. 

Tetapi sekalipun kecil, akibatnya akan 

hebat bagi orang yang terkena 

cengkeramannya.

Pemuda itu mengerutkan alis tidak 

senang. Mengapa disamping galak, gadis 

ini juga membawa kemauannya sendiri. 

Wajahnya cantik jelita, tetapi apakah 

sebabnya seliar ini? Tentu saja si 

pemuda tidak mau mengalah. Ia lalu 

menggeser kaki ke kiri, kemudian

dengan gerak tangan yang cepat, ia 

berusaha menangkap lengan gadis galak



ini. Sekalipun demikian ia masih agak 

segan, sebab tidak merasa bermusuhan 

dan kalau salah tangan malah bisa 

menyesal seumur hidup.

Tuduhan untuk Sritanjung sebagai 

gadis galak memang tidak terlalu 

salah. Tetapi keliaran dan 

kegalakannya ini bukan sebagai 

pencerminan watak. Semua ini adalah 

akibat hidupnya yang terasing dari 

pergaulan. Ia hampir tidak pernah 

bertemu dengan orang lain, kecuali 

kakek dan sekaligus gurunya. Sebagai 

akibat hidupnya yang terasing itu, 

walaupun Kiageng Tunjung Biru 

mengajarkan pula tentang tata santun 

masyarakat, dalam praktek gadis ini 

belum tahu. Karena itu ketika 

perintahnya tidak diturut, ia menjadi 

marah lalu menyerang. Setelah 

serangannya dapat dihindari dengan 

mudah, ia penasaran. Ia menjadi lupa 

kepada petunjuk gurunya, lalu 

menyerang dan menyerang lagi.

Pemuda tampan itupun seorang muda 

dan baru berumur dua puluh dua tahun. 

Kendati semenjak kecil telah 

digembleng kesabaran oleh gurunya, 

tidak urung menjadi panas oleh 

pengaruh darah mudanya. Tiga kali 

Sritanjung menyerang ia hanya 

menghindar dan tidak membalas. Tetapi 

sesudah tiga kali menghindar dan gadis


itu masih saja menyerang, pemuda ini 

menjadi gatal tangan dan membalas.

Bagus, hi hi hi hik, agaknya kau 

mempunyai kepandaian pula, maka kau 

menjadi sombong. Marilah kita uji 

siapakah di antara kita yang lebih 

unggul! ujar Sritanjung tanpa 

menghentikan serangannya yang cepat 

dan berbahaya.

Dua orang muda ini segera 

terlibat dalam perkelahian sengit.

Bagi Sritanjung apa yang terjadi 

sekarang ini merupakan peristiwa yang 

pertama kali berkelahi sungguh-

sungguh. Biasanya ia selalu berlatih 

dengan harimau piaraannya. Namun sejak 

usianya meningkat, semua harimau itu 

tidak bisa menang lagi sekalipun 

mengeroyok. Lawan satu-satunya untuk 

berkelahi dan berlatih hanyalah 

Kiageng Tunjung Biru.

Tetapi berlatih jauh berlainan 

dengan berkelahi sungguh-sungguh. 

Dalam berlatih, gurunya lebih banyak 

memberi petunjuk. Tetapi sekarang ia 

berhadapan dengan bahaya apabila 

sedikit lengah saja.

Walaupun gadis ini masih canggung 

dan belum berpengalaman, tetapi 

gerakannya amat cepat di samping 

mantap. Hanya sayang karena kurang 

pengalaman ia banyak kali tertipu oleh 

siasat lawan. Keadaan ini amat


merugikan Sritanjung kalau saja ia 

bukan gadis luar biasa.

Pengaruh bakat dasar sejak lahir 

dan pengaruh air susu harimau yang 

menjadi tiang hidupnya sejak bayi, 

ternyata benar-benar luar biasa 

seperti yang sudah diduga oleh Kiageng 

Tunjung Biru. Di samping mempunyai 

kekuatan tubuh luar biasa, tabah luar 

biasa, kegesitan dan kelincahannya 

sulit dicari bandingannya.

Diam-diam si pemuda heran 

berbareng kagum. Masih muda belia, 

gerakannya masih canggung, tetapi ilmu 

tata kelahinya merupakan ilmu tingkat 

tinggi. Maka semakin kuat dugaannya 

baik yang memelihara harimau maupun 

guru gadis ini tentu tokoh sakti 

mandraguna. Terpikir demikian pemuda 

ini semakin hati-hati dan tidak berani 

sembrono. Kemudian malah timbul 

niatnya untuk mengakhiri perkelahian 

tanpa sebab ini dengan jalan melarikan 

diri. Karena itu ia segera melancarkan 

serangan berantai, berbareng itu ia 

melompat panjang dan melarikan diri.

Jangan lari! teriak Sritanjung.

Tubuhnya melesat seperti anak 

panah lepas dari busur. Tahu-tahu 

pemuda tampan itu terbelalak kaget 

berbareng kagum. Kemudian dengan gugup 

pemuda ini melompat ke samping untuk 

menghindari serangan Sritanjung. Dan 

saking gugupnya sekalipun sudah


berusaha, pundaknya masih juga 

terpukul.

Kalau tidak mengalami sendiri 

tentu tidak percaya. Selama ini 

dirinya dikenal orang sebagai pemuda 

jago lari dan kegesitannya sulit 

dicari, sehingga orang memberi julukan 

Si Tapak Angin, Gurunya sendiri juga 

selalu memuji, kiranya takkan ada 

manusia lain yang dapat bergerak 

secepat dan seringan dirinya.

Tetapi yang terjadi ini di luar 

dugaannya. Gadis muda belia ini 

memiliki gerakan yang lebih cepat lagi 

dan tahu-tahu sudah menghadang di 

depannya dan melancarkan pukulan lagi.

Kendati tinju perempuan, 

pundaknya terasa sakit juga. Ia 

menjadi penasaran dan maksudnya untuk 

lari diurungkan, meskipun sikapnya 

masih tetap mengalah.

Hemm, kau terlalu mendesak aku 

dan memaksa, dengusnya tidak senang. 

Sekarang kau jangan menyesal apabila 

aku terpaksa melawan dan 

mengalahkanmu.

Hi hi hik, sombongnya! ejek gadis 

itu. Apakah engkau tadi hanya main-

main dan tidak melawan? Jika kau tidak 

membandel tentu saja aku tidak 

mendesak terus. Cepat lah kau berlutut 

dan mengangguk tujuh kali. Sesudah itu 

kau boleh pergi tanpa ada yang 

mengganggu lagi.


Kalau aku tak mau?

Kuhajar kau sampai babak belur! 

Kalau perlu harimauku ini akan 

merobek-robek kulit dan dagingmu.

Hemm, dengus pemuda itu. Kau mau 

menghajar aku dengan apa?

Pukulan dan tendanganku akan 

sanggup menghajar engkau sampai 

jungkir balik. Apakah kau ingin 

merasakannya?

Enak saja kau bicara. Tetapi 

eh... sayang...

Apanya yang sayang? gadis ini 

mendelik.

Sayang... wajahmu cantik tetapi 

kau galak seperti kucing...

Huh, kau seperti kerbau. Ah 

tidak.... engkau tampan tetapi... 

bandel dan keras kepala seperti 

gendruwo.....

Kau sudah pernah ketemu dengan 

gendruwo itu?

Belum. Apakah kau sudah pernah 

tahu ? Katakanlah seperti apa yang 

disebut gendruwo itu.

Pemuda ini menjadi geli mendengar 

pertanyaan ini. Jelas sekali sifat 

kekanak-kanakan gadis ini belum 

hilang. Dan sekalipun sikapnya galak, 

tetapi gadis ini polos dan jujur. 

Adakah gadis lain berani berterus 

terang menyebut "tampan" seperti gadis 

ini? Ia belum pernah ketemu dengan 

wanita macam ini yang berterus terang


memuji ketampanannya kecuali ibu dan 

keluarganya sendiri.

Pemuda ini tentu saja tidak tahu, 

pengaruh keterasingannya, menyebabkan 

Sritanjung tidak kenal arti bohong, 

menipu, dusta dan perbuatan tidak baik 

yang lain. Bicaranya selalu jujur dan 

merupakan pencerminan batinnya. Justru 

Sritanjung tidak kenal tata cara dalam 

pergaulan masyarakat, dan tidak pada 

tempatnya seorang gadis berterus 

terang memuji ketampanan seorang pe-

muda, maka Sritanjung mengucapkan 

tanpa malu.

Tiba-tiba saja pemuda ini 

tertawa. Ia tertawa geli yang tidak 

dapat ditahan lagi. Karena baru kali

ini saja ia mengalami hal aneh, di 

tengah berkelahi, tegang dan 

berbantahan, tahu-tahu sudah 

menyeleweng kepada suatu persoalan 

yang tanpa hubungan sama sekali.

Hai! Apakah sebabnya kau ketawa 

seperti monyet....? bentaknya.

Ha ha ha, apakah kau sudah pernah 

tahu ada monyet tertawa seperti aku? 

goda si pemuda.

Hemm... tak usah melucu! hardik 

Sritanjung sambil mendelik. Jawab 

pertanyaanku. Gendruwo itu seperti 

apa?

Aku tidak tahu. Tentunya kau 

malah lebih tahu dibanding aku.


Tidak! Kau mesti tahu. Sekarang 

terangkanlah, gendruwo itu seperti 

apa?

Jika kau mendesak, baiklah. 

Menurut cerita kakek, gendruwo itu 

serupa manusia. Tetapi gendruwo itu 

sebangsa hantu dan jarang menampakkan 

diri. Namun kalau sudah mau 

menampakkan diri tubuhnya tinggi besar 

seperti raksasa. Dan gendruwo itu juga 

suka sekali menjelma seperti manusia 

dan suka pula mengganggu perempuan....

Ihh... tidak! Manakah ada 

perempuan mau? 

Ini kakek yang bilang. Aku 

sendiri tidak tahu benar dan tidaknya. 

Sambil menjawab pemuda itu melirik dan 

tersenyum-senyum. Dalam hati pemuda 

ini sungguh kagum kepada Sritanjung. 

Pakaiannya dari bahan kasar, sanggul 

rambutnya hanya dihias dengan sekuntum 

bunga hutan, tanpa perhiasan apapun, 

kecuali seuntai kalung emas dengan 

hiasan garuda. Namun ternyata 

kesederhanaan dara ini sedemikian 

menarik dan mempesona. Gadis yang 

masih asli dan cantik pemberian alam.

Hai mulutmu! Mengapa senyum-

senyum dan matamu lirak-lirik? bentak 

dara ini. Jelas kau ini laki-laki 

tidak baik. Hayo cepat, kau mau 

menurut apakah tidak? Mau berlutut dan 

mengangguk tujuh kali apakah tidak?


Meledak ketawa pemuda ini saking 

geli oleh sikap gadis ini yang ia 

anggap aneh. Baru saja gadis ini 

bertanya tentang gendruwo tahu-tahu 

sekarang sudah tersinggung dan marah. 

Oleh sebab itu kemudian timbul 

keinginan pemuda ini untuk menggoda.

Ada apakah dengan mulutku? 

tanyanya. Mulut ini adalah mulutku 

sendiri, apakah sebabnya kau mau 

mencampuri ? Mau tersenyum, mau ter-

tawa, mau menangis, toh tidak ada 

hubungannya dengan kau. Lalu apakah 

sebabnya kau menjadi marah? Dan 

tentang mataku ini, ada apa pula? Mata 

bertugas untuk memandang. Mata tidak 

bisa digunakan untuk urusan lain. Mata 

ini juga aneh. Mata hanya mau 

memandang yang serba menarik dan 

indah. Mata...

Sudahlah! Aku tidak butuh bicara 

tentang mata. Sekarang lekaslah. Kau 

mau berlutut apa tidak?

Pemuda ini sekarang tidak main-

main lagi. Ia mengamati Sritanjung 

dengan mata berkilat. Sahutnya. 

Nona.... apakah maksudmu yang 

sebenarnya?

Maksudku? Hmm, karena kau sudah 

mengganggu dan menyakiti harimauku, 

maka aku harus membalas. Aku harus 

menyakiti engkau seperti yang sudah 

kaulakukan terhadap Tumpak dan Manis.

Siapakah Tumpak dan Manis itu?


Siapa lagi kalau bukan dua 

harimau yang tadi sudah kauganggu? 

Hayo, jika engkau benar laki-lak… 

Aku memang laki-laki. Siapa 

bilang aku perempuan?

Jangan cerewet. Rasakan 

pukulanku! Hampir berbarengan dengan 

ucapannya, tubuh Sritanjung sudah 

melesat dan menerjang ke depan.

Pemuda ini sudah tahu, dara 

cantik ini mempunyai gerakan gesit 

luar biasa. Ia tidak boleh sembrono 

dan ia pun cepat melesat ke samping 

sambil mengebutkan telapak tangan 

untuk menghalau serangan. Kemudian dua 

orang muda ini terlibat perkelahian 

seru dan sengit.

Plak... plak... Aihh...

Tubuh Sritanjung terpental dan 

jungkir balik dua kali. Kemudian gadis 

ini berdiri tanpa suara, nampak kaget! 

Wajah yang cantik itu sebentar merah 

dan sebentar pucat. Ia tampak amat 

penasaran pukulannya ditangkis lawan 

dan akibatnya malah dirinya terpental 

sedang lengannya bergetar seperti 

lumpuh.

Sekalipun demikian hati gadis ini 

terhibur juga. Dirinya terpental 

tetapi pemuda itu terhuyung ke 

belakang beberapa langkah.

Kalau Sritanjung penasaran, 

pemuda ini kagum bukan main. Tidak 

pernah dia sangka, disamping


gerakannya cepat, gadis ini juga hebat 

tenaganya.

Sringg...!

Saking marahnya Sritanjung sudah 

mencabut pedang. Sinarnya kebiruan, 

berkilau dan jelas merupakan pedang 

pusaka.

Tahan! pemuda ini menjadi kaget 

dan berteriak. Apakah maksud Nona 

mencabut pedang?

Hemm, kau mengandalkan kekuatan 

tenaga maka menjadi sombong dan tak 

memandang sebelah mata kepadaku. Lekas 

cabut senjatamu dan lawanlah pedangku 

ini.

Nona, mengapa hanya soal sepele 

harus diselesaikan dengan senjata? 

Ingatlah! Kita tidak bermusuhan dan 

senjata tidak punya mata. Baiklah 

sekarang aku menuruti perintahmu. Aku 

akan berlutut di depanmu dan 

mengangguk tujuh kali sebagai 

permintaan maaf.

Jelas pemuda ini bersikap 

mengalah, dengan bersedia berlutut dan 

mengangguk tujuh kali, sekalipun hal 

ini berarti mengorbankan 

kehormatannya. Sikap yang mengalah ini 

jelas bahwa si pemuda memang segan 

berurusan dengan gadis ini.

Celakanya sikap ini malah 

diterima secara salah oleh Dewi 

Sritanjung. Ia merasa amat direndahkan 

dan dirinya dianggap belum berharga


sebagai lawan bertanding. Karena salah 

paham, Sritanjung malah melengking 

nyaring sambil menggerakkan pedangnya 

untuk menyerang. 

Mampuslah!

Sinar biru yang panjang itu 

bergulung-gulung cepat sekali, 

membungkus tubuh si pemuda.

Tahan! tring...! Si pemuda 

berteriak sambil melompat mundur. 

Entah bagaimana caranya bergerak, 

tahu-tahu si pemuda sudah memegang pe-

dang dan berhasil menangkis.

Pedang Sritanjung tergetar dan 

gadis ini merasakan pula tangannya 

panas. Sritanjung melintangkan 

pedangnya di depan dada dengan sikap 

garang dan dada yang membukit itu 

berombak.

Katakanlah apa maksudmu?

Nona, sekali lagi senjata tidak 

bermata. Apakah sebabnya kau biarkan 

pedang ikut bicara? Daripada kita 

saling tegang dan berkelahi, bukankah 

lebih enak kita berkenalan dan 

berbicara baik-baik?

Huh huh, siapa yang sudi kenal 

dengan kau? Sudahlah, tidak perlu 

bicara lagi. Awas pedang...!

Pedang Sritanjung berkelebat lagi 

dan menyerang. Kemudian kembali 

menjadi gulungan warna putih kebiruan.

Pemuda ini mengeluh dan menyesal. 

Mengapa gadis secantik ini keras


kepala dan tidak mau mendengar maksud 

baiknya? Saking jengkel, tiba-tiba 

saja timbul pikirannya, gadis jelita 

ini disamping galak, keras kepala dan 

juga sombong. Karena merasa dirinya 

berilmu tinggi, menyebabkan tidak mau 

memandang sebelah mata kepada orang 

lain.

Mendapat gagasan seperti ini 

kemudian timbul niatnya untuk memberi 

hajaran yang setimpal agar perempuan 

ini tahu betapa tingginya langit dan 

luasnya jagad. Agar tidak hanya 

membawa kemauannya sendiri, dan tidak 

mau mendengar nasihat orang lain. Ia 

bermaksud baik, demi hari depan gadis 

itu sendiri.

Mendapat gagasan demikian, pemuda 

ini segera melayani dengan pedangnya. 

Akan tetapi sekalipun demikian pemuda 

ini cukup hati-hati dan bijaksana. 

Hati-hati karena sinar pedang dara 

yang bersinar kebiruan itu merupakan 

pedang pusaka. Salah sedikit saja 

pedangnya bisa rusak atau malah patah 

sama sekali. Sedangkan bijaksana, ia 

harus berusaha agar gadis ini tidak 

terluka. Sebab kalau sampai terluka, 

maksud baiknya tidak mungkin terwujud. 

Malahan mungkin gadis yang belum ia 

kenal namanya ini akan membenci 

dirinya.

Dua orang muda ini masing-masing 

bertenaga penuh. Bedanya si pemuda


lebih matang, gerakan pedangnya sudah 

sejiwa dengan hati dan pikirannya, 

mantap tetapi cukup hati-hati. 

Sebaliknya gerakan Sritanjung walaupun 

cepat masih canggung. Dengan demikian 

masing-masing pihak mempunyai 

kelebihan dan kelemahan.

Makin lama perkelahian menjadi 

semakin sengit. Pedang dua orang muda 

ini saling libat dan berusaha menang.

Tumpak dan Manis berdiri 

berdampingan sambil menggeram lirih, 

dan kaki depannya mencakar tanah. 

Agaknya dua ekor harimau ini merasa 

penasaran dan gelisah melihat 

majikannya belum pula dapat 

mengalahkan lawan. 

Tring trang tak plak.... 

Masing-masing terhuyung dua 

langkah ke belakang. Tetapi detik 

selanjutnya mereka sudah terlibat lagi 

dalam perkelahian yang lebih seru. Ma-

sing-masing terbakar oleh darah 

mudanya, dan tidak ada yang mau 

mengalah.

Pada saat dua orang muda ini 

masih mencurahkan perhatian untuk 

mendapat kemenangan, terdengar Tumpak 

dan Manis mengaum pendek. Kemudian 

tampak bayangan berkelebat seperti 

thathit (kilat) disusul suara halus. 

Mengasolah...!

Tahu-tahu Sritanjung maupun 

pemuda ini merasa terdorong oleh


tenaga yang tidak terlawan. Kemudian 

mereka terhuyung mundur tiga langkah.

Ternyata Kiageng Tunjung Biru 

yang sudah tua itu telah berdiri 

dengan bibir tersenyum-senyum, sambil 

memandang dua orang muda itu 

bergantian. Kakek ini tau dua orang 

muda itu masih penasaran dan belum 

puas. Namun hal itu tidak boleh 

terjadi lalu katanya halus. 

Tanjung! Sarungkan pedangmu! 

Biasanya Dewi Sritanjung selalu 

patuh dan menurut perintah gurunya, 

sekalipun sikapnya selalu manja. 

Tetapi kali ini adalah lain, ia tidak 

menyarungkan pedangnya malah 

membantah.

Huh! Aku tak bersalah. Mengapa 

sebabnya kakek mencegah aku menghajar 

pemuda.... kurang ajar ini ?

Kiageng Tunjung Biru tidak marah 

malah tertawa sejuk. Kemudian sambil 

mengelus jenggotnya yang putih dan 

panjang itu, ia menghela napas pendek. 

Ia mengenal watak orang muda apabila 

hati sudah terbakar kemarahan tidak 

ingat apa-apa lagi.

Sarungkan pedangmu dan kita 

bicara.

Lalu kakek ini mengamati si 

pemuda sambil berkata halus pula, Anak 

muda, penuhilah permintaanku. 

Sarungkan pedangmu, tak enak kita


berbicara tetapi melihat pedang 

terhunus!

Tanpa membantah lagi pemuda ini 

menyarungkan pedangnya. Kemudian dia 

membungkuk memberi hormat. Katanya, 

Terima kasih dan sudilah Kakek mau 

mengampuni kelancanganku. Aku memang 

tidak ingin berkelahi, namun cucu 

kakek sendiri yang terlalu mendesak 

dan terpaksa aku melayani.

Sekalipun masih muda si pemuda 

sudah luas pengalaman. Karena itu 

berhadapan dengan Kiageng Tunjung 

Biru, ia cepat bisa menduga, ber-

hadapan dengan seorang sakti. Sikapnya 

berwibawa, pandang matanya sejuk dan 

agung, hingga bisa diduga kakek ini 

sudah putus (sempurna) dalam bidang 

guna kesantikan dan jaya kewijayan. Ia 

percaya orang tua seperti ini dalam 

segala soal akan menggunakan 

kebijaksanaan.

Dugaan pemuda ini ternyata benar. 

Kiageng Tunjung Biru mengalihkan 

pandang matanya kepada cucu dan 

sekaligus muridnya. Katanya halus, 

Tanjung, apa yang sudah kaulakukan?

Dia terlalu sombong dan bandel, 

Sritanjung menggerutu. Dia menganggu 

Tumpak dan Manis, siapa yang tidak 

marah?

Kakek ini mengerutkan alis, 

mengalihkan pandang mata kepada si 

pemuda.


Tetapi sebelum si kakek sempat 

menegur, pemuda ini sudah mendahului, 

menjelaskan apa yang sudah terjadi. 

Keterangannya singkat tidak ditambah 

maupun dikurangi.

Mendengar ini makin dalam kerut 

alis kakek ini. Dalam hatinya 

mengeluh, inilah akibat sikapnya 

sendiri yang salah. Sikap yag 

memanjakan Sritanjung, hingga muridnya 

ini manja. Sebagai akibat kemanjaannya 

ini Sritanjung menjadi tidak senang 

kepada orang yang membantah kehendak 

dan perintahnya. Mau menang sendiri 

dan liar.

Tetapi ia seorang tua yang

bijaksana dan luas pandangannya. Kalau 

di depan orang lain ia memberi 

nasihat, akibatnya malah runyam, dan 

Sritanjung bisa salah paham. Karena 

itu ia hanya menatap muridnya sambil 

bertanya, Tanjung, benarkah keterangan 

pemuda ini ?

Sritanjung mengangguk, lalu 

menundukkan kepala karena malu, dan 

menggerakkan ibu jari kakinya untuk 

mencungkil tanah. Kiageng Tunjung Biru 

tersenyum dan senang akan kejujuran 

Sritanjung.

Hemm, orang muda. Belum jelas 

persoalannya sudah lancang menggunakan 

senjata. Apakah yang kamu lakukan ini 

patut?


Kata-kata kakek ini sebenarnya 

ditujukan kepada Sritanjung. Namun 

untuk tidak menyinggung perasaan, ia 

menunjukan ucapannya kepada dua orang.

Orang muda, katanya lagi. Kamu 

harus pandai melatih kesabaran dan 

pandai pulalah menggunakan 

kebijaksanaan dalam segala persoalan. 

Orang yang selalu mendekatkan diri 

kepada nafsu amarah, akibatnya 

hanyalah akan berhadapan dengan musuh. 

Ingatlah kalian, segala sesuatu 

hadapilah dengan kebijaksanaan. Dengan 

pandangan luas, berkaca kepada 

pengalaman dan pengetahuan, karena 

semua itu bukan lain untuk kepentingan 

kalian sendiri.

Ucapan kakek ini besar sekali 

pengaruhnya. Agaknya dua orang muda 

ini kemudian baru sadar, apa yang baru 

terjadi dan mereka lakukan adalah 

tidak benar. Dan merasa perbuatan 

mereka salah, seperti ada yang 

mempengaruhi, tiba-tiba saja dua 

pasang mata ini bertemu pandang. Namun 

Sritanjung cepat menundukkan kepala 

seraya mengulum senyum manis.

Namun demikian timbul pula rasa 

curiga kepada orang muda itu. Apakah 

maksud sebenarnya masuk kawasan hutan 

ini? Tidak biasanya orang berburu di 

hutan ini. Dan tidak biasa pula orang 

berani berkeliaran karena takut kepada 

empat ekor harimau piaraannya.


Hutan ini oleh orang disebut 

hutan Wingit dan ditakuti orang. Akan 

tetapi apakah sebabnya pemuda ini 

datang juga? Melihat ketampanannya 

maupun pakaiannya yang indah, jelas 

bukan pemuda desa umumnya.

Orang muda, katanya halus. 

Bolehkan aku bertanya siapakah 

sesungguhnya kau ini dan apa pula 

maksudmu masuk ke kawasan hutan ini? 

Engkau tersesat jalan ataukah memang 

sengaja datang membawa maksud?

Sebelum menjawab pemuda ini 

membungkukkan tubuh lagi dan memberi 

hormat.

Saya yang muda bernama Surya 

Lelana. Saya datang dari tempat jauh, 

ialah Ibukota Majapahit.

Ahh.... Kakek ini kaget. 

Majapahit sungguh jauh. Lalu apakah 

sebabnya kau masuk hutan ini?

Saya memang harus datang ke hutan 

ini. Tetapi.... bolehkah saya 

bertanya? Apakah yang ingin 

kautanyakan? Saya masuk hutan ini 

dengan maksud mencari seseorang. 

Apakah Kakek tahu, di manakah tempat 

tinggal Kiageng Tunjung Biru?

Kiageng Tunjung Biru kaget juga 

mendengar pertanyaan ini. Apakah 

maksud si pemuda ini sebenarnya, ingin 

tahu tempat tinggalnya? Pengakuan 

pemuda ini menimbulkan kecurigaan.


Ya, aku tahu. Tetapi lebih dahulu 

terangkan maksudmu datang kemari, dan 

siapa pula yang menyuruh engkau?

Ahh, maafkan saya yang muda ini. 

Saya hanya dapat mengatakan ingin 

bertemu dengan Kiageng Tunjung Biru. 

Pesan guru, saya tidak boleh bicara 

apapun kecuali kepada Kiageng Tunjung 

Biru sendiri.

Ohh, jadi kau datang atas suruhan 

gurumu, Mpu Mada?

Pemuda ini terbelalak memandang 

kakek itu dengan pandang mata heran. 

Ia mengangguk kemudian jawabnya, 

Benar. Saya memang muridnya tetapi 

yang membuat saya heran mengapa kakek 

bisa menduga tepat sekali?

Heh heh heh heh, gerakan dan 

caramu berkelahi itulah yang 

menyebabkan aku teringat kepada 

gurumu, Mpu Mada. Tahukah engkau, 

akulah Kiageng Tunjung Biru yang 

kaucari itu?

Ohh.... ampunilah saya yang muda 

dan tak kenal kesopanan ini.

Surya Lelana menjatuhkan diri 

berlutut lagi. 

Bangkitlah orang muda, sudahlah 

jangan terlalu sungkan. Kiageng 

Tunjung Biru berkata sambil 

mengebutkan tangannya.

Lirih saja. Namun Surya Lelana 

sudah terkesiap kaget. Ia merasa


seperti dibetot tenaga tak terlawan, 

lalu berdiri kembali.

Kakek ini terkekeh gembira. Ia 

memalingkan muka ke arah Sritanjung, 

katanya, Untung kau tadi tidak 

lancang, Tanjung. Hayo, sekarang 

berkenalanlah kalian dan tidak perlu 

malu. Sedangkan apa yang tadi sudah 

terjadi anggaplah tidak pernah 

terjadi. Kalian bukan orang lain, maka 

kamu berdua harus rukun. Cucuku, 

Tanjung, ketahuilah bahwa Mpu Mada 

adalah adik seperguruanku sendiri. 

Tetapi kendati adik seperguruan, 

umurnya jauh perbedaannya dengan aku 

seperti antara ayah dan anak. Nah 

sekarang kamu sudah menjadi jelas, 

antara kalian masih terdapat hubungan 

perguruan.

Sekalipun dengan sikap yang 

canggung dua orang muda itu kemudian 

berkenalan.

Namamu amat bagus dan sesuai pula 

dengan keadaanmu yang tampan, puji 

Sritanjung tanpa tedeng aling-aling.

Wajah Surya Lelana berubah agak 

merah mendengar pujian dari gadis 

jelita ini.

Berbeda dengan Kiageng Tunjung 

Biru, kakek ini hanya terkekeh. Sebab 

kakek ini tahu sebabnya, Sritanjung 

seberani itu. Kelak apabila Sritanjung 

sudah terjun ke dunia ramai ia 

percaya, akan mengenal sendiri tata


cara dan sopan santun dalam pergaulan 

masyarakat.

Orang muda, tak enak kita bicara 

di sini. Marilah kita pulang ke pondok 

dan ceritakan pula apa maksud gurumu! 

ajaknya kemudian.

Ia memalingkan muka ke arah 

Sritanjung, terusnya, Tanjung, 

temanilah dia pulang ke pondok. Aku 

mendahului.

Tanpa menunggu jawaban Kiageng 

Tunjung Biru sudah melangkah. 

Tampaknya orang tua itu melangkah 

seenaknya namun dalam waktu singkat 

sudah lenyap ditelan rimbun daun.

2

Dua orang muda itu melangkah 

berdampingan menuju arah yang sama. 

Tumpak dan Manis mengikuti di belakang 

dan sekarang sudah berubah. Kalau tadi 

bertemu pertama kali buas dan 

menyerang sekarang menjadi jinak 

sekali. Dalam mengikuti langkah mereka 

ini Tumpak dan Manis berkali-kali 

mencium tangan pemuda itu disamping 

pula menyentuhkan perutnya ke paha 

Surya Lelana. Dan melihat jinaknya 

harimau ini Surya Lelana menjadi 

senang. Setiap harimau ini mencium


tangannya, pemuda ini menggunakan 

telapak tangannya mengusap kepala dan 

leher dengan sikap sayang.

Namun diam-diam pemuda ini heran 

sendiri atas sikap Sritanjung. 

Sikapnya demikian bebas, terbuka dan 

jujur, hanya sedikit sayang liar dan 

galak. Tadi ketika belum kenal dan 

tahu asal-usulnya, Sritanjung keras 

kepala dan mengajak berkelahi. Namun 

sekarang gadis ini seperti sudah lupa 

akan perkelahiannya tadi dan 

disepanjang perjalanan pulang, 

Sritanjung banyak bertanya tentang 

kota Majapahit dan tetek bengeknya. 

Dan dengan senang hati Surya Lelana 

menjawab dan menerangkan, sebab pemuda 

ini sadar, gadis ini tentu belum 

pernah meninggalkan hutan.

Orang kota seperti kau ini, 

pakaiannya demikian bagus, pujinya. 

Tidak seperti aku, pakaiannya jelek 

dan kasar.

Sambil berkata ini Sritanjung 

meraba kain yang menempel tubuh Surya 

Lelana, dan secara kebetulan yang 

diraba paha.

Jantung Surya Lelana berdebar 

keras. Gadis ini jelita sekali dan 

menurut penilaiannya tak kalah dengan 

putri bangsawan Majapahit

Dan tiba-tiba saja jantung Surya 

Lelana bertambah tegang lagi ketika


tangan Sritanjung yang halus itu 

menyentuh lengannya sambil bertanya, 

Hai, apakah sebabnya kau diam 

saja?

Aku... engkau suruh bicara apa 

lagi? Surya Lelana gugup.

Sritanjung menjadi geli, ia 

ketawa lepas, Hi hi hik, aku tadi 

bilang, orang kota seperti kau pakai-

annya bagus. Tidak seperti aku, 

pakaiannya kasar dan jelek.

Tetapi... sahut pemuda itu. 

Pakaian ini hanyalah alat pembungkus 

tubuh demi kesopanan. Manusia ini yang 

penting bukanlah ujud yang tampak di 

lahir. Maka menurut pendapatku, engkau 

lebih menunjukkan keaslian dan 

kesederhanaan, dan sekalipun kau 

mengenakan kain kasar, engkau tak 

kalah dengan perempuan kota.

Apanya yang tak kalah? tanya 

gadis ini sambil memalingkan muka. 

Matanya yang bening tanpa ragu lagi 

memandang Surya Lelana.

Tak kalah dalam segala hal. 

Kau.... cantik, jujur dan....

Eh, kau bilang aku cantik? 

Sritanjung tidak tersinggung malah 

tersenyum bangga. Tetapi perempuan 

kota tentu lebih cantik. Karena mereka 

tentu berpakaian bagus, tidak seperti 

aku.

Sesungguhnya Surya Lelana ingin 

sekali memuji kecantikan Sritanjung.


Akan tetapi bibirnya terasa berat, 

khawatir gadis ini tersinggung.

Namun untuk tidak menyebabkan 

gadis ini kecewa, ia menjawab juga, 

Aku tadi sudah bilang, engkau lebih 

menunjukkan keaslian dan keseder-

hanaan. Berbeda dengan perempuan kota, 

karena tertutup oleh macam-macam usaha 

mempercantik diri, maka belum tentu 

kecantikannya itu dapat dipertahankan. 

Apa yang nampak cantik akan segera 

luntur, kalamana apa yang menutup dan 

membuatnya cantik itu ditinggalkan.

Hi hi hik, perempuan kota tentu 

marah jika mendengar kata-katamu ini.

Kenapa marah? Aku bicara apa 

adanya. Mereka banyak menggunakan alat 

kecantikan dalam usaha agar bisa 

disebut cantik. Berbeda dengan 

perempuan udik tidak kenal dengan 

alat-alat kecantikan itu.

Di sana ramai tentunya, tidak 

seperti di sini yang selalu sepi.

Tentu saja! Karena kota Majapahit 

tempat tinggal raja.

Raja itu apa sih? Raja itu orang 

ataukah bukan?

Ketawa Surya Lelana hampir 

meledak mendengar pertanyaan ini. 

Untung ia dapat menahan mulutnya, 

karena dapat menduga tentu gadis ini 

belum tahu apa yang disebut raja itu. 

Gadis ini terasing dari pergaulan, 

sedang Kiageng Tunjung Biru pun


agaknya tidak pernah bicara tentang 

raja. Maka tidaklah mengherankan 

apabila gadis ini belum tahu.

Raja itu orang juga seperti kita 

ini. Tetapi dia berkuasa di seluruh 

bumi ini.

Eh.... berkuasa di seluruh bumi? 

Juga hutan ini ? Juga sungai, juga 

gunung? Ehh, mengapa sebabnya begitu? 

Dia toh orang juga, kau bilang sama 

dengan kita. Tetapi mengapa bisa 

terjadi adanya perbedaan?

Surya Lelana melongo oleh 

pertanyaan tidak terduga ini. 

Bagaimana mungkin dirinya bisa 

menjawab ? Ia sendiri hanya menerima 

warisan pengetahuan dari nenek moyang. 

Raja kuasa dan masyarakat Majapahit 

terbagi-bagi dalam beberapa golongan. 

Mengapa bisa begitu, ia sendiri juga 

tidak tahu sebabnya.

Karena merasa tidak tahu, 

akhirnya ia menggeleng. Jawabnya, 

Entahlah, aku sendiri tidak tahu 

sebabnya. Yang aku tahu, menurut 

cerita para orang tua, memang raja 

sekarang ini merupakan keturunan raja 

sebelumnya.

Apakah sebabnya kau hanya ikut-

ikutan saja? Bukankah engkau orang 

kota, tentunya serba tahu dan cerdik?

Celaka! Surya Lelana mengeluh. 

Apakah setiap orang kota tentu serba 

bisa dan serba tahu? Serba bisa dan


kecerdikan bukan datang dengan 

sendirinya, tetapi karena belajar. 

Bakat pembawaan sejak lahir tak 

mungkin dapat menolong tanpa 

dikembangkan dengan pengetahuan yang 

dipelajari. Karenanya Surya Lelana 

tertawa, lalu, Ha ha ha ha, kau ada-

ada saja, Nona.

Ehh, apa-apaan kau panggil aku 

Nona? Bukankah kita sudah kenal ? 

Cukup kau panggil namaku seperti aku 

memanggil engkau dengan namamu, Surya 

Lelana.

Baiklah Tanjung. Tetapi kau 

keliru apabila mengatakan orang yang 

hidup di kota harus lebih cerdik dan 

serba tahu.

Sudahlah.... kalau memang 

begitu.... Sritanjung tidak mendesak 

lagi ketika melihat wajah pemuda ini 

sungguh-sungguh. Untuk beberapa saat 

lamanya, mereka melangkah tanpa bi-

cara. Namun tiba-tiba Sritanjung 

memalingkan mukanya memandang Surya 

Lelana, katanya, O ya, apakah engkau 

sudah pernah menunggang harimau?

Harimau? Milikmu ini? 

Sritanjung mengangguk. Sahutnya, 

Memang harimauku ini serba guna. 

Disamping bisa dijadikan pengawal 

setia, juga kalau lelah bisa dijadikan 

kendaraan. Marilah sambil bicara kita 

duduk di punggung harimau saja.



Harimau piaraan Kiageng Tunjung 

Biru ini memang pandai mengenal 

sahabat. Karena tahu Surya Lelana ini 

seorang tamu majikannya, maka ketika 

pemuda ini mengusap punggung harimau 

ini lalu mendekam, seakan 

mempersilakan Surya Lelana duduk 

dipunggungnya. Walaupun Surya Lelana 

sanggup meloncat ke punggung harimau, 

pemuda ini menurut juga. Ia duduk di 

atas punggung kemudian dua ekor 

harimau ini melangkah cepat.

O ya, Surya, siapakah gurumu yang 

bernama Mpu Mada itu? tanya 

Sritanjung.

Engkau tadi sudah mendengar 

sendiri, guruku merupakan adik 

seperguruan Kakekmu. Tetapi sekarang 

beliau sudah menduduki jabatan sebagai 

Patih Mangkubumi Majapahit dan dikenal 

tiap orang dengan nama Gajah Mada.

Apakah kedudukan Patih Mangkubumi 

itu?

Pemuda ini tersenyum. Gadis ini 

selalu ingin tahu hal baru. Ia tidak 

ingin membuatnya kecewa, jawabnya, 

Tanjung, aku tadi menyebut raja yang 

kuasa di seluruh bumi ini. Nah, raja 

itu tentu saja takkan dapat menguasai 

miliknya tadi, kalau tidak mempunyai 

orang kepercayaan dan alat untuk 

memerintah. Alat dan pembantu ini 

jumlahnya banyak dan pembantu itu 

dengan macam-macam pangkat dan


jabatan. Dari semua pembantu dan alat 

itu, Patih Mangkubumi sebagai 

kepalanya atau atasan tertinggi. 

Setiap alat dan pembantu harus memberi 

laporan setiap waktu yang ditentukan. 

Agar dari laporan Patih Mangkubumi 

ini, kemudian raja tahu segala 

permasalahan kerajaan atau negara.

Sebagai seorang dara yang hidup 

terasing dan masih berumur muda pula, 

barang tentu Sritanjung tak dapat 

menangkap maksud Surya Lelana secara 

eepat. Maka ia bertanya dengan bibir 

yang selalu menyungging senyum, 

bersikap wajar, jujur dan polos.

3

Begitu tiba di depan pondok, dua 

ekor harimau tua menggeram melihat 

manusia yang belum mereka kenal. 

Seperti Tumpak dan Manis, harimau tua 

ini juga diberi nama Senggung untuk si 

jantan dan Klentreng untuk si betina.

Sritanjung cepat berteriak, 

Senggung! Klentreng! Dia bukan orang 

lain. Hayo cepat sujud dan berilah 

hormat. Dia tamu kita.

Entah mengerti atau tidak atas 

perintah itu, namun nyatanya dua ekor 

harimau tua ini sekarang benar-benar


bersujud. Moncongnya menyentuh tanah, 

memberi hormat kepada tamu.

Surya Lelana senang melihat dua 

ekor harimau yang jinak dan menurut 

perintah. Senggung dan Klentreng lalu 

dipeluk dan diusap-usap bulunya.

Mereka segera masuk dalam pondok. 

Kiageng Tunjung Biru sudah duduk 

bersila di atas tikar pandan. Katanya, 

Silakan duduk, Anak muda.

Setelah memberi hormat dua orang 

muda ini duduk. Kiageng Tunjung Biru 

tersenyum dan bertanya, Kabar apa saja 

yang kaubawa dari Adi Mada?

Guru menyertakan sebuah surat 

untuk Uwa guru, sahutnya.

Selembar lontar yang semula 

disimpan rapi dalam pakaiannya 

dikeluarkan. Kemudian diserahkan 

kepada kakek itu.

Kiageng Tunjung Biru membaca 

surat adik seperguruannya itu dengan 

mengangguk-angguk. Gajah Mada memberi 

kabar bahwa dirinya sekarang telah 

diangkat menjadi Patih Mangkubumi atau 

Mahapatih Majapahit menggantikan Arya 

Tadah. Tetapi Gajah Mada minta maaf, 

karena oleh kesibukannya belum sempat 

bersilaturrahmi kepada kakak-

seperguruannya, maka diutuslah 

muridnya.

Dikabarkan pula oleh Gajah Mada, 

telah terjadi perubahan di Majapahit 

sejak Kiageng Tunjung Biru


mengasingkan diri. Raja Jayanegara 

yang bermaksud mengawini adik seayah 

lain ibu, ialah Rani Kahuripan dan 

Rani Daha, telah meninggal ditikam 

oleh Tanca. Kemudian Tanca sendiri 

juga mati ditikam oleh Gajah Mada. 

Sebagai pengganti raja adalah dua 

orang puteri Raja Kertarajasa yang 

bernama Tribhuwonottunggadewi (Rani 

Kahuripan) dan Mahadewi (Rani Daha). 

Ini merupakan kebijaksanaan Gajah Mada 

agar tidak terjadi perebutan 

kekuasaan. Dan dengan demikian dua 

orang puteri memerintah Majapahit se-

cara bersama-sama.

Mengingat kesibukannya menjadi 

Mahapatih ini Gajah Mada berharap agar 

Kiageng Tunjung Biru sedia membantu 

dengan cara hidup di kota-raja 

Majapahit. Mengapa? Karena Gajah Mada 

sudah mempersiapkan rencana untuk 

kejayaan Majapahit. Bantuan Kiageng 

Tunjung Biru bukan saja berujud 

nasihat tetapi juga oleh kesaktiannya.

Membaca surat adik seperguruannya 

yang termuda ini, Kiageng Tunjung Biru 

menghela napas panjang. Betapa 

inginnya membantu adik seperguruannya 

ini, tetapi sayang dirinya sekarang 

ini sudah pikun. Sudah delapanpuluh 

tahun lebih. Karena itu ia tidak 

menginginkan, sisa hidupnya disibukkan 

oleh urusan negara. Ia ingin bisa kem


bali ke tempat asal dalam keadaan 

damai, tenang dan sunyi.

Kiageng Tunjung Biru memandang 

Dewi Sritanjung. Timbul keinginan 

dalam hatinya untuk mengirimkan murid 

tunggal ini sebagai wakilnya. Tetapi 

sayang muridnya masih terlalu muda dan 

ilmu kesaktiannya masih mentah. Karena 

itu Sri Tanjung memerlukan gemblengan 

sementara waktu agar menjelma menjadi 

gadis perkasa. Dan bukan hanya itu, 

tetapi juga persoalan rumit yang 

sedang dihadapi tentang gadis itu

sendiri.

Sudah berkali-kali Sri Tanjung 

bertanya siapakah orang tuanya. Selama 

ini ia selalu menjawab belum masanya 

rahasia ini dibuka. Kelak apabila 

sudah dewasa, tiba saatnya Kiageng 

Tunjung Biru akan membuka rahasia.

Sesudah berpikir beberapa lama 

akhirnya kakek ini membalas surat 

Gajah Mada. Dalam surat itu dibeberkan 

pula tentang keadaannya sekarang yang 

tengah menggembleng murid tunggal 

bernama Dewi Sritanjung. Karena itu ia 

minta waktu.

Agar jawaban untuk Gajah Mada itu 

lancar dan baik, maka dua orang muda 

itu diperintahkan mengaso di kamar 

masing-masing.

Pagi harinya, ternyata surat 

jawaban untuk Gajah Mada itu belum 

selesai. Maka Sritanjung mengajak



Surya Lelana untuk menikmati keindahan 

alam dan hutan sekitar pondok itu.

Bagi orang yang hidup di kota 

seperi Surya Lelana, hijau daun, 

lebatnya hutan dan suara binatang 

merupakan hai baru yang menarik.

Hemm, aku merasa heran, ujar 

Surya Lelana.

Apa yang menyebabkan kau heran? 

Sritanjung menatap Surya Lelana sambil 

tersenyum.

Antara guruku dan gurumu 

merupakan saudara seperguruan. Namun 

anehnya mengapa ilmu kita tidak ada 

kemiripannya? Kalau saja ilmu kita 

agak mirip, ketika kita bermain-main 

kemarin akan segera kita ketahui 

adanya hubungan perguruan itu.

Kau benar. Tetapi mengapa kau 

tidak bertanya kepada Kakek?

Hati memang ingin, tetapi belum 

sempat.

Untuk sesaat meraka berdiam diri. 

Mereka melangkah berdampingan dan 

walaupun baru kenal tampaknya mereka 

cocok dan cepat menjadi akrab.

Hal ini tidak mengherankan sebab 

bagi Sritanjung pengalaman ini 

merupakan hal yang baru. Sejak bayi 

hingga dewasa ia belum sempat 

berbicara dengan manusia lain kecuali 

Kiageng Tunjung Biru. Maka hal ini 

menyebabkan Sritanjung rindu akan 

hubungan dengan manusia lain.


Sebaliknya Surya Lelana merupakan 

seorang pemuda yang luas pergaulan di 

kota. Tetapi selama ini ia tidak 

pernah bertemu dengan gadis seperti 

Sritanjung ini. Biasanya gadis kota 

malu-malu namun sering tidak wajar, 

dan menyembunyikan sesuatu. Maka sikap 

Sritanjung yang terbuka dan polos itu 

menyebabkan pemuda ini menjadi sangat 

tertarik.

Tiba-tiba Sritanjung bertanya, 

Apakah sebabnya kau diam saja?

Karena tak dapat menjawab Surya 

Lelana mengembalikan pertanyaan ini 

dengan bertanya juga, Tetapi apakah 

sebabnya kau juga diam?

Dua-duanya geli. Mereka tadi 

berdiam diri tetapi lengan saling 

sentuh dan langkah menjadi lambat. 

Jantung mereka berdegup keras tetapi 

tidak tahu apa sebabnya.

O ya, Surya Lelana bertanya, 

sejak kapan kau berdiam di hutan ini?

Aku tidak tahu sejak kapan. 

Tetapi aku ingat tidak pernah pergi 

dari tempat ini dan juga tidak pernah 

bertemu manusia lain.

Ahhh... lalu ayah bundamu? Surya 

Lelana kaget.

Sritanjung menggeleng, sahutnya, 

Aku sendiri tidak tahu, siapakah ayah 

dan bundaku. Aku sendiri juga heran, 

tetapi setiap aku bertanya kepada 

Kakek, maka beliau selalu berdalih


belum waktunya. Kata Kakek, setelah 

tiba saatnya, Kakek akan memberi tahu.

Kalau demikian agaknya semua ini 

demi kepentinganmu sendiri. 

Kepentingan apa?

Agar kau belajar dengan giat dan 

rajin. Agar hatimu tidak bercabang dan 

mengunjungi orang-tuamu. Hemm, agaknya 

kau bukan melulu murid, tetapi tentu 

cucu Uwa Guru sendiri. Tak tahulah. 

Aku sendiri bingung. Tetapi apa yang 

sudah diucapkan Surya Lelana ini 

berbeda dengan yang terkandung dalam 

hati. Pemuda yang sudah luas 

pengalaman ini cepat bisa menduga, 

gadis ini tentu seorang yatim piatu. 

Agaknya gadis ini ditemukan Kiageng 

Tunjung Biru sejak bayi. Lalu apakah 

sebabnya? Tetapi Surya Lelana tidak 

berani mengemukakan perasaan ini 

khawatir kalau gadis galak ini ter-

singgung.

Mereka terus melangkah sambil 

bicara. Banyak yang mereka bicarakan, 

disamping pemuda ini kesengsem kepada 

keindahan alam dan tidak bosannya 

memuji.

Saking kesengsem dua orang muda 

ini menjadi lupa waktu dan lupa pula 

perjalanan sudah jauh dari pondok. Dua 

orang muda ini masuk ke bagian hutan 

yang selama ini belum pernah mereka 

jamah.


Tiba-tiba Sritanjung merasakan 

sesuatu di belakang. Ia kaget dan 

membalikkan tubuh, dan ternyata 

harimau tua Senggung dan Klentreng 

sudah mengikuti di belakang. Klentreng 

menggunakan giginya menarik kain 

panjang Sritanjung, dan sesudah itu 

mendekam sambil menggaruk-garukkan 

kaki depan di tanah seraya menguik-

nguik perlahan seperti sedang meratap.

Melihat Klentreng dan Senggung 

bersikap aneh itu, Sritanjung 

mengerutkan alis berbareng heran.

Hai Klentreng dan Senggung, 

tegurnya. Ada apa? Dan mengapa pula 

kau ketakutan?

Klentreng mengulangi lagi 

perbuatannya, menarik kain panjang 

Sritanjung dengan gigi dan menguik-

nguik lagi.

Surya Lelana yang keheranan 

bertanya, Apakah maksud harimau ini?

Kalau bisa bicara, mungkin dia 

ketakutan dan memperingatkan kita agar 

kembali. Entah apa yang dimaksud dan 

entah siapa pula yang mereka takuti 

itu.

Sritanjung cepat menebarkan 

pandang matanya ke sekeliling. Sebagai 

gadis yang biasa di dalam hutan, ia 

menjadi curiga. Kiranya harimau ini 

ketakutan, karena sudah pernah 

diganggu orang di tempat ini.


Mungkinkah di tempat ini ada pula 

orang bertempat tinggal di luar 

pengetahuan Uwa Guru?

Sritanjung menggeleng, jawabnya, 

Aku sendiri tak dapat memastikan. 

Tetapi kalau bukan takut kepada 

manusia, harimau ini takut kepada 

siapa lagi? Harimau merupakan binatang 

garang jarang tandingannya di dalam 

hutan. 

Lalu bagaimanakah pendapatmu 

sekarang? Lebih baik kembali ataukah 

kita malah berusaha bertemu dengan 

orang yang membuat harimau ini takut?

Huh, aku jadi penasaran! Aku 

tidak takut kepada siapapun. Hayo, 

kita terus maju dan biarlah harimau 

ini aku perintahkan pulang.

Sritanjung segera memberi isyarat 

kepada Senggung dan Klentreng supaya 

pulang. Dan atas perintah ini dua ekor 

harimau itu menguik-nguik lagi seperti 

makin meratap. Dan malah Klentreng 

menarik lagi kain panjang Sritanjung.

Klentreng! Senggung! Sudahlah, 

kamu jangan mengganggu aku. Lekas 

pulanglah kamu, aku dan Surya akan 

menghajar manusia yang membuat kamu 

ketakutan itu.

Sambil memberi perintah, 

Sritanjung menghunus pedang. 

Sring.....dan dua harimau itu mendekam 

ketakutan. Sesaat kemudian dua harimau 

itu membalikkan tubuh dan hampir



berbareng melompat jauh. Kemudian 

mereka hilang di semak belukar dan 

tinggal suaranya saja yang menguik-

nguik seperti meratap. Namun sejenak 

kemudian sudah berganti dengan auman 

panjang, tanda harimau itu kecewa.

Hutan pada bagian ini memang lain 

dibanding hutan di mana Sritanjung 

bertempat tinggal. Di hutan ini banyak 

tumbuh pohon besar dan tua, hingga 

menjadi rimbun dan matahari sulit 

menerobos lebatnya daun. Akibatnya 

daun kering yang berjatuhan menumpuk, 

membusuk dan lembab.

Tiba-tiba angin bertiup dari arah 

berlawanan. Sritanjung mengerutkan 

alis dan hatinya berdebar ketika 

mencium bau wengur bercampur anyir dan 

amis. Sebagai gadis yang sejak kecil 

hidup di belantara, tahulah akan arti 

bau khas ini. Sedang Surya Lelana yang 

berhidung tajampun, sudah menghirup 

pula bau tak enak ini dan cepat 

bertanya.

Ahhh, bau apakah ini?

Hemm, inilah yang menyebabkan 

harimau tadi ketakutan. Ternyata bukan 

manusia yang seperti aku duga. 

Sritanjung menerangkan sambil 

menebarkan pandangmata ke dahan-dahan 

pohon.

Ehh, kalau bukan manusia, apa 

yang menyebarkan bau seperti ini ?


Hemm, inilah bau khas ular besar. 

Agaknya harimau itu pernah hampir 

celaka oleh ular itu hingga ketakutan 

setengah mati. Maka bisa dibayangkan 

kalau mereka sebagai raja hutan saja 

ketakutan, ular itu tentu besar dan 

berbahaya.

Huwaduh, sungguh kebetulan. Kalau 

benar ular itu besar, aku membutuhkan 

kulitnya. Betapa gembira guruku 

apabila aku dapat membawa buah tangan 

kulit ular besar.

Bagus! Marilah kita cari dan kita 

bunuh. 

Bagi Sritanjung yang sudah biasa 

hidup di hutan, tidak ragu-ragu lagi 

melesat maju karena sudah dapat 

mengira-irakan di mana ular itu 

berada. Bau tidak sedap itu belum 

keras, pertanda jaraknya masih agak 

jauh. Sebaliknya Surya Lelana yang 

tidak mengerti, kaget dan khawatir. 

Tanjung, hati-hati. Teriaknya sambil 

mengejar.

Dari arah depan Sritanjung 

menyahut, Jangan takut! Tempatnya 

masih jauh.

Makin maju bau tak sedap itu 

semakin menyengat hidung. Gerakan 

mereka semakin hati-hati dan waspada. 

Lalu tibalah mereka pada bagian hutan 

perawan dan berhadapan dengan pohon 

beringin amat tua dan besar sekali. 

Tak jauh dari pohon ini terdapat


sumber air yang amat jernih. Dari 

pohon ini sekarang terdengar suara 

mendesis agak keras.

Ketika dua orang muda ini melihat 

ke atas mendadak saja mereka terpaku. 

Mereka kaget berbareng gentar, sebab 

ular itu memang besar bukan main dan 

ketika bergerak dahan pohon itu 

bergoyang keras.

Sejak bayi Sritanjung sudah hidup 

di belantara. Namun demikian baru 

sekali ini saja dirinya bertemu dengan 

ular yang menakjubkan, saking 

besarnya. Ular itu tubuhnya sebesar 

pohon nyiur, melingkar dan membelit 

dahan pohon. Kulit ular yang mengkilap 

dengan warna aneka macam itu 

menyilaukan. Kepalanya besar, mulutnya 

terbuka dan lidah merah menjulur 

keluar. Kepalanya besar, mulutnya 

terbuka dan lidah merah menjulur 

keluar. Melihat lebarnya mulut dan 

besarnya kepala ular itu, jangan lagi 

manusia, seekor harimaupun bila 

berhasil disambar dapat ditelan 

mentah-mentah.

Kepala ular raksasa itu 

bergantung menjulur ke bawah dari 

dahan. Bergerak-gerak ke kanan dan ke 

kiri, bergoyang-goyang seakan sudah 

siap untuk menangkap korbannya. Sedang 

suara mendesis keras tidak pernah 

putus, dan uap tipis kehijauan 

menyebar sekitarnya. Kepala ular yang


semula tergantung agak tinggi itu, 

sedikil demi sedikit sudah bergeser 

turun.

Ketika itu Sritanjung sudah 

menghunus pedangnya yang bersinar 

kebiruan. Di tempat agak gelap ini, 

sinar kebiruan itu lebih tampak, ke-

mudian dilintangkan di depan dada.

Sesungguhnya dalam menghadapi 

musuh Surya Lelana lebih pengalaman, 

dan ia tidak pernah gentar. Tetapi 

sekarang ini ia berhadapan dengan ular 

raksasa, hatinya menjadi tegang dan 

berdebar-debar. Ular itu bergantung di 

dahan dan dapat menyambar secara tidak 

terduga dan sebaliknya dirinya takkan 

gampang melakukan serangan balasan.


Kepala ular raksasa itu 

bergantung menjulur ke bawah dari 

dahan. Bergerak-gerak ke kanan dank e 

kiri, bergoyang-goyang seakan sudah 

siap untuk menagkap korbannya.

Ia menjadi khawatir melihat 

Sritanjung dan memperingatkan, Tanjung 

hati-hatilah! Ular itu amat berbahaya!

Sritanjung tertawa manis, 

sahutnya, Jangan khawatir. Aku sudah 

biasa berhadapan dengan segala macam 

binatang buas!

Tiba-tiba tubuh gadis itu melesat 

tinggi. Sinar biru menyambar ke arah 

kepala ular. 

Siut.... wutt..,. sessss .... 

Sritanjung melayang turun dengan, mata 

terbelalak heran. Gerakannya tadi 

sudah cepat dan pedangnya menyambar. 

Namun ternyata ular itu dapat 

menghindar, kepalanya malah menyambar 

dan mulut terbuka diiringi desis 

panjang. Untung Sritanjung cukup 

waspada dan gesit, hingga sambaran 

moncong ular itu luput.

Jahanam ular liar! bentak Surya 

Lelana sambil melesat tinggi dan 

pedangnya menyambar.

Sekalipun gerakan Surya Lelana 

kalah gesit dibanding Sritanjung,


tetapi dalam ilmu pedang lebih matang. 

Ia menggunakan tipu pancingan dan 

ketika kepala ular itu menghindar 

pedangnya menyambar secara tepat.

Surya Lelana kaget setengah mati. 

Sabetannya tepat mengenai kepala ular 

raksasa. Tetapi pedangnya mental dan 

hampir saja dirinya celaka apabila 

tidak gesit menghindari sambaran mulut 

ular.

Celaka! Dia kebal senjata! 

serunya sesudah mendarat.

Jangan khawatir. Aku tahu caranya 

mengalahkan! ujar Sritanjung 

bersungguh-sungguh. Mari kita cari 

batu yang keras dan cukup besar. 

Masing-masing cukup sebutir dan nanti 

batu itu kita sambitkan pada saat dia 

menyambar. Watak ular, setiap benda 

yang menyerang akan disambar. Nah, di 

saat ular menelan batu, saat itu pula 

kita bertindak. Kita serang matanya, 

karena mata tak mungkin kebal!

Bagus! Kau memang cerdik, 

Tanjung. 

Pujian itu menyebabkan Sritanjung 

senang sekali, Gadis ini tersenyum, 

lalu mendahului melangkah mencari batu 

keras. Tak lama kemudian mereka sudah 

memperoleh. Batu itu warnanya hitam 

sebesar kepala manusia, lalu mereka 

kembali ke dekat ular.

Ular raksasa itu desisnya semakin 

keras. Lidahnya yang merah menjulur


keluar dan mulutnya terbuka ingin 

menelan. Ular itu karena sudah tua 

menyebabkan kulitnya kebal. Tetapi 

sekalipun kebal ia merasakan sakit 

juga oleh babatan pedang. Karena itu 

si ular menjadi marah, ia merosot 

turun dan kepala ular itu sekarang 

sudah hampir menyentuh tanah.

Ternyata tubuh ular itu disamping 

besar juga panjang sekali. Sekalipun 

kepala sudah hampir menyentuh tanah 

tetapi tubuhnya masih melilit dahan.

Sritanjung memberi isyarat kepada 

Surya Lelana. Kemudian hampir 

berbareng dua butir batu menyambar.

Ular raksasa itu dalam keadaan 

amat marah. Melihat melayangnya benda 

hitam, tidak takut. Ular itu juga 

tidak menghindar dan malah membuka 

mulut lebar-lebar, dan jelas tidak 

sadar akan bahaya.

Blung blung... cap cap....

Hampir berbareng dengan masuknya 

dua butir batu ke dalam mulut itu, 

menyambarlah dua ujung pedang ke mata. 

Sambaran ujung pedang itu mengenai 

mata secara tepat, karena ular dalam 

kesakitan dan tidak bisa menghindar. 

Dan akibatnya sepasang mata ular itu 

pecah dan darah merah membanjir. 

Celakanya lagi pedang itu menembus 

otak, sehingga otak ular itupun 

mengalir bercampur darah.


Lebih celaka lagi bagi si ular, 

setiap benda yang sudah masuk ke dalam 

mulut tidak bisa keluar lagi. Maka 

ular ini kesakitan luar biasa, tu-

buhnya merosot dan terbanting ke 

tanah, lalu kelabakan, berputaran dan 

kelojotan di tanah. Makin kuat gerakan 

ular itu, sekitarnya menjadi morat-

marit dan darahpun mengucur lebih 

banyak.

Namun makin lama gerakan ular ini 

semakin menjadi lemah, sedangkan bau 

anyir menyengat hidung dan tak lama 

kemudian tidak bergerak lagi.

Surya Lelana dan Sritanjung 

gembira. Mereka membersihkan pedang 

masing-masing lalu disarungkan. 

Setelah pedang di dalam sarung, pemuda 

dan pemudi ini saling bersenyum dan 

saling pandang. Dua-duanya gembira 

sudah berhasil membunuh ular raksasa 

itu.

Akan tetapi makin lama pandang 

mata dua orang muda ini berlainan 

dengan waktu sebelumnya. Ketika mereka 

bertemu pandang, mata mereka berkilat-

kilat. Disusul oleh getaran aneh, 

getaran yang tidak lagi dapat dilawan 

dan menggerakkan kaki masing-masing 

untuk saling menghampiri.

Menurut pandang mata Surya 

Lelana, wajah Sritanjung semakin 

cantik dan mempesona. Pandang matanya


redup seakan mengharapkan sesuatu yang 

tidak terucapkan.

Sebaliknya menurut pandangmata 

Sritanjung, pemuda tampan bemama Surya 

Lelana itu menjadi semakin tambah 

tampan dan menarik hatinya. Lalu 

timbul pula perasaan aneh yang belum 

pernah ia rasakan dan mendorong gadis 

ini untuk mendekati.

Dua orang muda ini seperti 

terkena pengaruh ajaib. Setelah saling 

mendekati lengan mereka terulur, dan 

tiba-tiba saja muda-mudi ini saling 

peluk dan berdekapan. Perawan yang 

galak dan liar ini entah sebabnya, 

tiba-tiba saja jinak ketika hidung 

pemuda itu menyentuh pipi halus.

Sritanjung tidak menolak dan 

memberontak, malah beberapa jenak 

kemudian bibir mereka saling bertemu 

dan berciuman, dan merupakan 

pengalaman pertama bagi Sritanjung.

Namun tiba-tiba kaki mereka 

menggigil dan lemas, lalu tidak 

tercegah lagi dua orang muda ini roboh 

masih dalam keadaan berpelukan. Mereka 

tidak bergerak sama sekali, karena 

mereka sudah pingsan.

Di luar tahu Sritanjung maupun 

Surya Lelana, racun uap yang 

disemburkan oleh ular raksasa tadi 

telah meracuni mereka. Kalau saja dua 

orang ini hanya orang biasa, tentu 

sudah roboh mati.


Untung bagi dua orang muda ini, 

di dalam tubuh sudah mengalir hawa 

sakti. Hawa sakti yang melindungi 

tubuh itu dapat bergerak sendiri tanpa 

digerakkan. Dan oleh perlindungan hawa 

sakti ini mereka tidak mati keracunan.

Namun karena mereka tidak sadar 

terpengaruh racun, mereka tidak 

berusaha mengusir racun itu dari dalam 

tubuh. Dan sebagai akibatnya tubuh 

menjadi panas, dan celakanya pula 

racun ular raksasa ini mempunyai 

pengaruh berbahaya terhadap rangsangan 

birahi.

Baik Surya Lelana maupun 

Sritanjung tidak menyadari keadaan 

ini. Karena itu masing-masing 

terpesona, kemudian saling peluk dan 

berciuman. Masih untung pengaruh racun 

ular raksasa itu kuat, hingga 

menyebabkan mereka pingsan. Kalau saja 

tidak keburu pingsan, entah apa yang 

akan terjadi pada diri dua orang muda 

itu.

Tak lama kemudian Surya Lelana 

sadar lebih dahulu. Ia kaget 

mendapatkan dirinya berpelukan dengan 

Sritanjung. Tetapi dasar nakal, ia 

tidak cepat berusaha melepaskan 

pelukannya dan malah dibiarkan lengan 

Sritanjung melingkar pada lehernya. 

Malah kemudian pemuda ini memejamkan 

matanya kembali, pura-pura masih 

pingsan.


Kepalanya memang dirasakan masih 

agak pening dan disamping itu 

kehangatan tubuh Sritanjung dirasakan 

amat menyenangkan. Dada yang lembut 

menekan dadanya menyebabkan pikirannya 

melayang tidak karuan. Perasaan aneh 

yang selama ini belum pernah ia 

rasakan memenuhi dadanya.

Sebenarnya Surya Lelana bukan 

pemuda mata keranjang dan suka main 

perempuan. Ia malah bisa dikatakan 

pemuda yang tak pernah mendekati 

wanita. Akan tetapi sekarang merasakan 

kehangatan ini, menyebabkan ia tak mau 

mengakhiri.

Tetapi sekalipun demikian Surya 

Lelana pemuda sopan. Ia tidak mau 

menggunakan kesempatan sekalipun Dewi 

Sritanjung masih pingsan. Hanya samar-

samar ia ingat, ia tadi sudah 

berciuman mesra sekali dengan gadis 

ini.

Ia menjadi heran sendiri. Apa 

saja yang sudah mendorong mereka 

hingga terjadi peristiwa aneh seperti 

ini? Kemudian ia teringat 

perkelahiannya tadi dengan ular 

raksasa. Dan tiba-tiba saja ia dapat 

menduga, mungkin sekali peristiwa aneh 

ini sebagai akibat racun ular itu.

Pada saat Surya Lelana masih 

sibuk berpikir tentang apa yang 

dialami, ia merasakan adanya gerakan 

Sritanjung. Ia tahu gadis galak ini


mulai sadar, namun ia tetap pura-pura 

masih pingsan dan ingin tahu apa yang 

akan dilakukan gadis ini kepada 

dirinya.

Tetapi diam-diam ia memang merasa 

bersalah juga, kendati apa yang sudah 

terjadi diluar kesadarannya. Karena 

itu ia rela dipukul, disiksa maupun 

dibunuh oleh gadis ini.

Plakk.... plakk....

Surya Lelana nanar seketika 

menerima tamparan dua kali. Ia 

melompat bangkit sambil mengucak 

sepasang matanya dan kemudian 

memandang Sritanjung dengan pandang 

mata pura-pura keheranan. Ia melihat 

jelas, wajah gadis itu sebentar merah 

dan sebentar pucat sambil berdiri 

berkacak pinggang.

Dalam hati Surya Lelana tersenyum 

geli. Tamparan itu bukan apa-apa 

dibandingkan dengan kehangatan 

pelukannya. Kalau saja boleh, ia sedia 

dipukul duakali lagi asal boleh 

mencium lagi.

Surya Lelana! Kenapa sekarang kau 

berubah menjadi mata keranjang? 

katanya dalam hati dan mencaci dirinya 

sendiri. Hem, ingatlah kau seorang 

ksatrya dan tidak dibenarkan berbuat 

tercela, lebih-lebih terhadap 

perempuan. Engkau harus pandai 

menghargai dan menempatkan wanita pada 

tempatnya. Tahukah engkau, apabila


wanita sudah marah bisa 

menjungkirbalikkan dunia ini?

Berdebar hatinya mendengar 

cacimaki hati sucinya itu. Kemudian 

sambil mengusap pipinya yang masih 

panas, ia bertanya, Apakah sebabnya 

kau memukul aku…?

Surya! Engkau kurangajar. Apa 

yang sudah 

kaulakukan.....kaulakukan.... ?

Kendati membentak marah namun 

Sritanjung tampak malu-malu juga, dan 

diam-diam Surya Lelana terpesona. 

Sebab walaupun sedang marah, 

kecantikan gadis ini tidak juga 

berkurang.

Tanjung, sabarlah, jawabnya. Aku 

sendiri tidak mengerti apa yang 

terjadi. Aku roboh pingsan... ahh... 

celaka! Ular itu.... ya, kita sudah 

keracunan oleh ular keparat itu. 

Ahh... kepalaku pening...

Surya Lelana tidak menipu. Ia 

memang merasakan pening dan kepalanya 

seperti tambah besar setelah berdiri. 

Menjadi jelas bahaya racun ular masih 

mengeram dalam tubuh.

Tanjung! Aturlah pernapasan! 

terusnya. Usirlah racun ular itu 

sampai tuntas.

Tanpa menunggu jawaban Surya 

Lelana sudah duduk bersila dan 

mengatur pernapasan.


Dewi Sritanjung menjadi sadar. Ia 

merasakan pula kepalanya pening. Dan 

merupakan pertanda di dalam tubuhnya 

masih terdapat racun berbahaya. Maka 

tanpa membuka mulut lagi gadis inipun 

menjatuhkan diri duduk bersila, lalu 

menyalurkan hawa sakti dari pusar guna 

mendesak dan mendorong keluar racun 

ular yang masuk paru-paru.

Untung sekali mereka sudah 

memiliki dasar kuat. Setelah mengatur 

pernapasan, sedikit demi sedikit racun 

ular tersebut dapat didesak dan 

didorong keluar dan kepala mereka 

sudah tidak pening lagi.

Sebenarnya Surya Lelana sudah 

berhasil mengusir racun ular itu lebih 

dahulu. Namun pemuda ini tidak cepat 

mengakhiri semadhinya, karena sadar 

jangan sampai mendahului gadis galak 

ini. Maka sambil memejamkan mata ini 

ia justru dapat mengingat kembali, 

saat nikmat berpelukan dan berciuman 

tadi.

Berbeda dengan Sritanjung. 

Setelah kepalanya tidak pening lagi ia 

melompat berdiri. Ia melihat Surya 

Lelana masih duduk bersila, dan 

mengamati penuh perhatian. Diam-diam 

ia mengakui Surya Lelana pemuda 

tampan, dan dalam hati mengakui pula 

apa yang terjadi merupakan kenangan 

yang menyenangkan juga. Dan teringat 

semua itu timbul rasa sesalnya,


mengapa ia tadi sudah memukul pemuda 

itu.

Menurut pendapatnya, bagaimanapun 

Surya Lelana tak bersalah. Secara 

jujur ia mengakui pula, segalanya 

takkan terjadi apabila dirinya tidak 

menanggapi. Dan samar-samar ia juga 

ingat, dirinya tadi juga memeluk Surya 

Lelana dan kemudian membalas ciuman 

pemuda itu. Dewi Sritanjung menghela 

napas panjang. Ia sekarang sadar, 

ucapan Surya Lelana benar. Semua yang 

sudah terjadi akibat pengaruh racun 

ular.

Karena Surya Lelana masih duduk 

tidak bergerak, Dewi Sritanjung tidak 

mengganggu dan gadis ini kemudian 

duduk diatas batu seraya mengamati 

bangkai ular yang tadi mereka bunuh. 

Ular itu luar biasa besar dan 

panjangnya, dan amat berbahaya bagi 

manusia maupun binatang hutan. Maka 

dengan terbunuh matinya ular ini, 

berarti dapat mengamankan hutan ini 

dari gangguan.

Tiba-tiba ia mendengar suara 

gerakan Surya Lelana. Ketika 

memalingkan muka pemuda itu sudah 

berdiri. Sritanjung melihat pula pipi 

pemuda itu masih merah agak bengkak. 

Sritanjung segera meninggalkan batu 

dan menghampiri.

Surya... maafkanlah aku....


Untuk sejenak Surya Lelana 

melengak. Tetapi kemudian ia tersenyum 

dan diam-diam memuji kejujuran dan 

keluguan gadis ini yang tidak segan 

minta maaf, sekalipun sebenarnya 

kurang perlu.

Terima kasih. Tetapi aku memang 

patut kau-pukul, sahut Surya Lelana 

menyesal.

Sudahlah, apakah sebabnya kau 

jadi ngambek? kata gadis ini sambil 

tertawa lirih. Ular keparat itulah 

yang menjadi gara-gara. Tetapi ahh, 

sudahlah... mari kita cepat pulang, 

hari sudah sore. Amat berbahaya bagi 

kita apabila terlalu lama di sini.

Sesungguhnya ingin sekali sang 

pemuda mengambil kulit ular itu untuk 

dibawa ke Majapahit. Namun teringat 

pengaruh racun ular yang dapat 

membangkitkan rangsangan birahi, ia 

membatalkan niatnya. Maka ia 

mengangguk lalu melangkah berdampingan 

menuju pulang.

Untuk beberapa saat mereka tidak 

membuka mulut. Pengaruh kenangan yang 

baru saja mereka alami, sekarang agak 

mengganggu. 

Namun tiba-tiba mereka kaget 

mendengar aum harimau. Bagi Surya 

Lelana aum itu tidak ada artinya. 

Tetapi bagi Sritanjung tahu belaka 

apabila harimau itu kesakitan.


Celaka! Harimauku diganggu orang! 

Serunya tertahan.

Tubuhnya sudah melesat menuju 

arah aum harimau. Surya Lelana kaget 

dan gugup dan cepat melompat untuk 

memburu.

Dugaan Dewi Sritanjung memang 

tepat. Auman nyaring tadi merupakan 

jerit kesakitan.

4

Tadi setelah Klentreng dan 

Senggung diusir Sritanjung, dua ekor 

harimau tua ini menuju pondok. Namun 

binatang tetap binatang. Kendati 

jinak, tetap selewengan mencari 

mangsa. Setelah perut kenyang dua ekor 

harimau ini menuju sungai untuk 

mencari minum.

Di saat menuju sungai ini dua 

ekor harimau itu kaget melihat 

berlabuhnya perahu ke tepi. Dari 

perahu itu kemudian berlompatlah 

sepuluh orang laki-laki.

Sekalipun binatang Klentreng dan 

Senggung merupakan binatang yang 

terlatih. Dua ekor harimau ini bisa 

menduga orang-orang itu bukan orang 

baik. Maka dari tempat bersembunyi dua 

ekor harimau ini mengaum lalu


menerjang dengan cakaran dan gigitan 

taring tajam.

Sepuluh orang itu memang tidak 

menduga akan diserang harimau. Maka 

tidak mengherankan sekali terjang, dua 

orang sudah roboh kesakitan dan 

menderita luka parah.

Delapan orang yang lain menjadi 

marah. Mereka cepat mencabut senjata 

dan mengeroyok.

Jahanam harimau liar! teriak 

salah seorang. Kau sudah membunuh dua 

orang kawanku. Untuk membalaskan sakit 

hati, jantung dan hatimu akan aku 

makan mentah-mentah.

Klentreng dan Senggung masing-

masing menghadapi empat orang. Dengan 

garang sambil menggeram dua ekor 

harimau itu mengamuk hebat sekali. 

Berkat latihan Kiageng Tunjung Biru 

dua ekor harimau ini dapat berkelahi 

tangkas. Sambaran senjata dapat 

dihindari, sedangkan balasannya amat 

berbahaya.

Sebaliknya orang-orang itu bukan 

orang lemah. Maka walaupun sudah 

mendapat pelajaran berkelahi, dua ekor 

harimau itu sulit dapat merobohkan 

lawan. Kalau tadi sekali sergap dua 

orang roboh, adalah karena tidak 

pernah menduga.

Dua ekor harimau ini mengamuk 

hebat sekali. Tetapi delapan orang 

yang mengeroyok itupun cukup hati


hati. Dan lebih-lebih sesudah melihat 

dan merasakan, harimau ini berbeda 

dengan harimau lain dan luar biasa. 

Banyak kali serangan mereka dapat 

dihindari secara aneh.

Setelah berkelahi dan mengeroyok 

cukup lama belum juga berhasil, maka 

salah seorang dari mereka, yang 

bertubuh tinggi besar sudah berteriak.

Hai harimau siluman! Rasakan 

pisau terbangku ini!

Enam buah sinar putih melesat dan 

menyebar ke arah Senggung. Sambaran 

itu kuat sekali dan dilepaskan dari 

jarak dekat. Tentu saja sulit bagi 

Senggung untuk menghindarkan diri. Dan 

jangan lagi seekor harimau seperti 

Senggung, manusia sekalipun kalau ilmu 

kepandaiannya belum tinggi kiranya 

takkan mudah dapat menyelamatkan diri.

Senggung mengaum keras sekali 

karena kesakitan. Dua batang pisau 

telah menancap dalam perut dan leher, 

dan seketika itu juga roboh.

Saking gembiranya salah seorang 

dari mereka melompat maju seraya 

mengangkat golok untuk memenggal 

leher. Tetapi orang ini terlalu 

sembrono dan kurang perhitungan, 

harimau itu belum mati. Harimau itu 

masih dalam kesakitan hebat, kebuasan 

dan kekuatannya bertambah. Maka 

sebelum golok berhasil memancung 

leher, orang itu malah kena terkam.


Dua puluh kuku tajam menancap di 

tubuhnya. Orang itu roboh menjerit 

ngeri satu kali. Selanjutnya orang itu 

sudah mati karena kepalanya masuk ke 

dalam mulut harimau.

Tiga orang kawannya kaget dan 

menerjang maju untuk menolong. Hujan 

bacokan dan tikaman melubangi sekujur 

tubuh Senggung. Tetapi walaupun 

Senggung mati, orang itu juga mati.

Melihat si jantan mati, Klentreng 

mengaum keras sekali. Tanpa 

mempedulikan keselamatannya sendiri, 

Klentreng sudah mengamuk hebat, guna 

membalaskan sakit hati si jantan yang 

dicintainya. Tetapi justru dalam 

keadaan marah ini, Klentreng 

kehilangan perhitungan dan menyerang 

secara nekad. Hingga mempercepat 

kekalahannya menghadapi keroyokan 

tujuh orang. Sebagai akibatnya 

Klentreng pun mati dengan tubuh 

hancur.

Di saat Klentreng roboh ini 

tibalah Sritanjung. Gadis ini marah 

bukan main melihat dua ekor harimau 

yang disayang itu tidak bernyawa lagi 

dengan tubuh mandi darah. Maka sambil 

melengking nyaring Sritanjung sudah 

menerjang dengan pedangnya.

Tring cring.... tring.... trang 

...

Sritanjung terhuyung, pedangnya 

tergetar dan telapak tangannya panas,


ketika pedangnya ditangkis beberapa 

senjata lawan. Tetapi sebaliknya tiga 

di antara tujuh orang itu terbelalak 

pucat, ketika mengamati senjatanya 

tinggal separo.

Dengan mata berapi saking marah, 

gadis ini sudah menghardik, Siapakah 

di antara kamu yang sudah membunuh 

harimauku?

Laki-laki tinggi besar yang 

menjadi pemimpin itu maju sambil 

memandang Sritanjung dengan mata 

terbelalak. Kemudian dari mulutnya 

terdengar suara gagap, Kau... kau di 

sini...?

Sritanjung memandang orang itu. 

Hardiknya, Siapakah kau? Dan apakah 

kau sudah kenal aku?

Ahh.... ohhh... engkau mirip 

sekali. Tetapi kau masih terlalu 

muda....

Ucapan orang ini membingungkan 

Sritanjung. Lalu gadis ini membentak, 

Aku mirip siapa? Lekas katakanlah, 

jika tidak pedangku ini takkan mau 

memberi ampun lagi.

Laki-laki tinggi besar itu 

terkekeh. Sahutnya, Uah.... galaknya. 

Ibarat bunga.... kau ini bunga melati. 

Mungil, tetapi menarik hati. Hemm.... 

katakanlah sekarang, apakah hubunganmu 

dengan Anwari?

Siapakah Anwari ?


Calon isteriku yang lari. Kau.... 

ohh.... kau mirip sekali dengan dia.

Tidaklah mengherankan apabila 

laki-laki ini berhadapan dengan 

Sritanjung lalu menyebut nama Anwari. 

Sebab orang ini adalah Joyo Brewu yang 

dahulu melarikan diri ketakutan kepada 

Bupati Saradan dan Mpu Nala. Ketika 

itu Joyo Brewu yang sudah menawan Dewi 

Anwari, ibu Dewi Sritanjung ini, 

melarikan diri bersama Kresno dan 

Lontang, lewat jalan rahasia yang 

sudah dipersiapkan.

Belasan tahun lalu Joyo Brewu 

memang kaya raya dan terkenal mata 

keranjang. Apabila sudah menginginkan 

perempuan, ia takkan berhenti berusaha 

baik dengan jalan halus maupun kasar. 

Itulah sebabnya waktu itu Dewi Anwari 

dia lawan, dan dengan paksa akan 

diperisteri. Untuk kemudian peristiwa 

ini diketahui oleh Mpu Nala yang 

kedudukannya sebagai pejabat tinggi 

Majapahit. Dan berkat pertolongan ini, 

kemudian Dewi Anwari kawin dengan Mpu 

Nala.

Sepasang pengantin itu hidup 

bahagia, dan Nala sudah merencanakan 

memboyong ke kota Majapahit. Tetapi 

celakanya ketika itu Ibu angkatnya, 

Nyai Joyokretiko lancang mulut, 

menceritakan keadaan Dewi Anwati yang 

sebenarnya, ialah puteri Kuti yang 

memberontak.


Mpu Nala kaget. Dirinya adalah 

seorang pejabat tinggi Majapahit. Maka 

apabila ia mengawini anak pemberontak 

Kuti, hal ini berarti bisa 

membahayakan kedudukannya. Sebagai 

akibatnya Mpu Nala lalu meninggalkan 

Dewi Anwari diam-diam.

Waktu itu Dewi Anwari sudah hamil 

hampir tujuh bulan. Ia menjadi sedih 

sekali setelah Mpu Nala pergi hanya 

meninggalkan secarik surat Saking 

sedih dan menyesal perempuan ini 

hampir bunuh diri. Tetapi sekalipun 

urung bunuh diri, Dewi Anwari merasa 

selalu dirundung sedih. Akibatnya 

ketika melahirkan anaknya, ibu ini 

meninggal.

Nyai Joyokretiko yang merasa 

bersalah membocorkan asal-usul Dewi 

Anwari terpukul batinnya dan gila. 

Maka kemudian sebagai hasil musyawarah 

penduduk setempat, orok merah itu 

kemudian dihanyutkan ke sungai Widas, 

dan akhirnya ditemu dan diselamatkan 

oleh Kiageng Tunjung Biru.

Itulah yang pernah terjadi 

belasan tahun lalu.

Untuk menghindarkan dari bahaya, 

kemudian Joyo Brewu dan pembantunya 

melarikan diri ke Sadeng. Secara 

kebetulan di Sadeng sedang terjadi 

pergolakan dan Bupati Sadeng 

memberontak. Maka Joyo Brewu diterima 

dan membantu memberontak.


Akan tetapi kemudian ternyata 

cita-cita Bupati Sadeng ini 

berantakan, ketika pasukan Majapahit 

di bawah pimpinan Mpu Mada dan 

Adityawarman menyerbu. Pasukan Sadeng 

terpukul kocar-kacir dan bupatinya 

tewas dalam perang. Kemudian sisanya 

melarikan diri.

Joyo Brewu juga mencari tempat 

persembunyian. Selama ini mereka 

selalu berpindah tempat dan sebagai 

penopang hidup melakukan perampokan. 

Namun merampok ini makin lama menjadi 

sulit karena perlawanan penduduk dan 

bantuan pasukan keamanan. Oleh karena 

itu ia tadi menepi dengan maksud 

mendarat.

Tidak terduga sama sekali, usaha 

pendaratannya ini harus mengorbankan 

tiga orang anak buahnya. Peristiwa ini 

membuat ia amat menyesal. Namun 

sekarang setelah berhadapan dengan 

gadis jelita yang mirip dengan Anwari, 

rasa sesal itu lenyap dan 

kejantanannya malah bangkit kembali. 

Menurut pikirannya, inilah kesempatan 

bagus. Gadis ini sekarang hanya 

seorang diri.

Joyo Brewu menyeringai seperti 

iblis kelaparan. Sebagai laki-laki 

buaya sejak masih muda, ia menjadi 

lupa daratan.

Engkau memang mirip dengan 

Anwari, istriku yang melarikan diri,


katanya. Heh heh heh heh, kau mirip 

dengan dia dan sekarang kau harus 

menggantikan Anwari. Kau.... kau harus 

menjadi istriku!

Keparat! Setan alas! teriak 

Sritanjung yang tersinggung. Monyet 

tua macam kau, berani membuka mulut 

sembarangan di depanku? Huh, apakah 

kau sudah bosan hidup?

Heh heh heh heh, Joyo Brewu 

mengejek. Kau perempuan, apakah yang 

kau andalkan berani menantang aku? 

Manis, engkau jangan keras kepala. Heh 

heh heh heh, sekalipun sudah berumur, 

aku akan bisa membahagiakan engkau.... 

heiiiiit.....

Joyo Brewu yang belum selesai 

bicara ini terpaksa melompat 

menghindarkan diri seraya berteriak 

kaget, ketika seleret sinar biru 

menyambar dada. Ia mengebutkan tangan 

kanan untuk menghalau pedang, 

sedangkan tangan kiri menyambar cepat 

guna mencengkeram pergelangan tangan 

lawan. Tetapi Joyo Brewu kemudian 

berteriak kaget sambil melompat 

mundur. Sebab tahu-tahu pedang gadis 

itu telah membalik dan hampir menabas 

tangan kirinya.

Walaupun dirinya seorang yang 

luas pengalaman, ia merasa kaget 

sekali menghadapi ilmu pedang gadis 

ini. Dalam satu gebrakan saja dirinya 

sudah hampir celaka.


Pada saat itu tiba-tiba terdengar 

bentakan lantang, Bangsat tua! Engkau 

berani mengacau tempat ini?

Bentakan itu kemudian disusul 

berkelebatnya Surya Lelana. Dua orang 

anak buah Joyo Brewu dengan golok 

menyambut berbareng. Tetapi Surya 

Lelana hanya tersenyum, tidak 

menghindarkan diri dan dengan 

menggunakan jari tangan menyentil 

golok dengan tangan kanan sekaligus 

melancarkan pukulan dengan tangan 

kiri.

Tring cring plak bukk.... 

Aduhh...!

Dua batang golok itu terpental 

oleh sentilan Surya Lelana. Kemudian 

dua penyerang itu memekik nyaring dan 

roboh dengan kepala pecah. Empat orang 

yang lain terbelalak dan tidak 

sembarangan berani maju.

Surya Lelana dengan mata berapi-

api berteriak kepada Dewi Sritanjung, 

Tanjung! Berikan monyet tua itu 

kepadaku!

Enak saja kau bicara! sahut gadis 

ini sambil menggerakkan pedangnya.

Gerakan pedang itu menggetar 

sehingga pedang yang semula menyerang 

dada, kemudian mengancam pundak kanan 

dan leher Joyo Brewu. Serangan ini 

benar-benar mengejutkan Joyo Brewu dan 

terpaksa harus menghindarkan diri de-

ngan gugup.


Sambil terus menyerang, 

Sritanjung berkata lagi, Surya! Aku 

masih sanggup menghajar monyet busuk 

ini!

Surya Lelana tidak menjawab. Ia 

sudah berhadapan dengan empat orang 

yang mengeroyok dan tidak berani 

sembrono lagi. Ia cepat mencabut 

pedang dan mengamuk. Pedangnya 

bergulung-gulung menyambar ke sana ke 

mari. Namun berkat kerjasama empat 

orang itu, mereka dapat mengeroyok 

rapi sekali.

Joyo Brewu yang hampir celaka 

menjadi marah. Ia memang laki-laki 

yang tak pemah mau melepaskan 

perempuan cantik, lebih-lebih gadis 

muda dan cantik seperti Sritanjung 

ini. Namun demikian ia seorang kasar, 

berangasan dan kejam. Kalau sudah 

marah ia tidak peduli apapun lagi, dan 

bagi dirinya yang lebih penting adalah 

mempertahankan nyawa dari maut. Maka 

setelah merasa tak mampu melawan 

dengan tangan kosong, ia mencabut 

senjatanya sebatang tongkat baja.

Tongkat itu memang aneh. Bisa 

berubah menjadi panjang dan pendek 

menurut kegunaan. Disamping itu bagian 

dalam tongkat itupun berlubang. 

Apabila alat rahasia ditekan akan 

segera menyambarlah puluhan batang 

jarum yang berbahaya karena beracun.



Trang....! Joyo Brewu kaget 

ketika tongkatnya terpotong sedikit 

berbenturan dengan pedang lawan. Ia 

menjadi sadar pedang lawan merupakan 

pedang pusaka. Maka ia membentak 

marah, huh, bocah celaka. Engkau 

berani merusak senjataku? Mampuslah!

Joyo Brewu menyodok ke arah dada, 

tetapi untung sekali Sritanjung dapat 

bergerak seperti burung walet. Ia 

menghindar sambil menyabetkan 

pedangnya, namun ahh gadis ini 

tertipu.

Trang....! Dewi Sritanjung kaget 

dan wajahnya pucat. Sabetan tongkat 

hampir saja menyebabkan pedangnya 

lepas dan telapak tangannya panas 

seperti terbakar. Baru sadarlah gadis 

ini, gerakan menyodok tadi hanya 

tipuan belaka. Dewi Sritanjung seorang 

gadis yang belum berpengalaman. Karena 

belum berpengalaman ia tadi cepat 

berbesar hati, ketika pedangnya 

berhasil membabat ujung senjata lawan. 

Rasa besar hati ini merupakan musuh 

utama bagi orang berkelahi. Lalu 

timbul rasa merendahkan lawan dan 

akibatnya merugikan diri sendiri.

Sritanjung amat marah dan segera 

mengerahkan kepandaian dengan maksud 

dapat merobohkan lawan. Tetapi 

sekarang Joyo Brewu amat ber-hati-hati 

hingga sulit untuk menabas senjata la-

wan. Joyo Brewu sudah membalas


menyerang baik dari jarak dekat maupun 

jauh. Memang senjatanya memungkinkan 

untuk dapat menyerang dari segala 

jarak. Karena secara otomatis senjata 

itu bisa pendek maupun panjang.

Dan karena melihat sekalipun 

gerakannya gesit dan dilindungi pedang 

pusaka, tetapi gerakannya masih agak 

canggung dan hijau, Joyo Brewu masih 

sempat ketawa dan mengejek. Hatinya 

gembira dan merasa pasti akan dapat 

menangkap gadis cantik ini. Sebagai 

laki-laki yang suka berburu perempuan, 

dalam benaknya sudah terbayang 

nafsunya yang kotor. Maka kalau semula 

sudah marah dan akan membunuh lawan, 

sekarang berubah lagi. Ia berusaha 

agar dapat menangkap dan menawan 

hidup-hidup gadis ini.

Gagasan Joyo Brewu yang 

menyeleweng ini justru menolong Dewi 

Sritanjung. Sebab serangan balasan 

yang dilancarkan Joyo Brewu sekarang 

berubah mengarah bagian tubuh yang 

tidak berbahaya.

Di pihak lain Surya Lelana yang 

dikeroyok empat orang berkelahi dengan 

gelisah, mengkhawatirkan keselamatan 

Sritanjung.

Mengingat bahaya yang sewaktu-

waktu bisa menimpa Dewi Sritanjung ini 

ia mengerahkan seluruh kepandaiannya 

untuk secepatnya mengalahkan lawan. 

Oleh gerakan cepat pedangnya, menyusul


salah seorang pengeroyoknya menjerit 

ngeri dan dadanya berlubang.

Makin berkurangnya jumlah yang 

mengeroyok, pemuda ini semakin garang. 

Empat orang pengeroyoknya ini yang dua 

orang sudah terluka darah mengucur 

dari luka, menyebabkan gerakannya 

kurang gesit. Tak lama kemudian 

terdengar jeritan ngeri, seorang lawan 

terkutung lengannya oleh sabetan 

pedang Surya Lelana.

Akan tetapi justru penderitaan 

anak-buahnya itu kemudian 

membangkitkan kemarahan Joyo Brewu. 

Tiba-tiba saja tangan kiri bergerak 

dan menyambarlah beberapa batang pisau 

kecil.

Sritanjung kaget dan berteriak, 

Surya....

Sambil berteriak gadis ini sudah 

kembali menerjang dengan pedangnya ke 

arah dada. Namun dengan terkekeh 

mengejek Joyo Brewu berhasil 

menghindar ke samping dan berbareng 

menyabetkan tongkat ke arah tangan. 

Disusul gerak tongkat yang diteruskan 

untuk menyerampang kaki.

Sesungguhnya sekalipun tanpa 

diperingatkan, Surya Lelana sudah tahu 

serangan pisau itu. Karena itu pedang 

diputar cepat untuk melindungi tubuh. 

Tring... tring... tring pisau yang 

dilemparkan Joyo Brewu runtuh di 

tanah.


Karena takut sisa anak buah Joyo 

Brewu melarikan diri. Pemuda ini tak 

mau memberi kesempatan. Orang yang 

terluka pahanya, lari terpincang-

pincang dan gerakannya lambat. Dalam 

waktu singkat punggungnya telah 

berlubang oleh tikaman pedang.

Melihat anak buahnya berantakan 

Joyo Brewu tambah marah. Dengan 

menggunakan kesempatan baik di saat 

Sritanjung menghindari serangannya, ia 

melompat jauh. Secepat kilat ia 

menekan alat rahasia pada tongkatnya 

dan menyusul sinar berkeredep keluar 

dari lubang tongkat, menyambar Surya 

Lelana.

Sritanjung kaget berbareng marah. 

Ia menerjang maju dan nekad menyerang 

Joyo Brewu sambil berteriak nyaring. 

Surya! Awas belakang....!

Joyo Brewu terkekeh mengejek. 

Serangan jarum beracun seperti ini 

selama hidup belum pernah gagal. 

Karena itu ia sudah memastikan pemuda 

itu akan segera roboh dan tanpa 

kesulitan lagi dirinya akan bisa 

menangkap gadis cantik yang galak ini. 

Hatinya tidak menyesal sekalipun harus 

mengorbankan anak buahnya, karena 

dirinya akan mendapat ganti seorang 

gadis muda yang mirip dengan Anwari.

Akan tetapi agaknya Dewata belum 

menghendaki Surya Lelana mati muda. 

Pada saat berbahaya itu berkelebatlah


bayangan yang bergerak seperti kilat, 

menyusul angin dahsyat menyambar ke 

arah puluhan jarum beracun itu hingga 

runtuh ke tanah.

Ahhh.... Kakek...!

Uwa Guru....!

Hampir berbareng Sritanjung dan 

Surya Lelana berteriak, melihat 

munculnya Kiageng Tunjung biru. Dan 

tentu saja munculnya kakek ini disaat 

berbahaya, amat menggembirakan dua 

orang muda itu.

Joyo Brewu menjadi gentar dan 

kaget melihat munculnya seorang kakek, 

tetapi tubuhnya masih gagah dan kuat. 

Kalau dua orang muda itu saja cukup 

tangguh, apalagi kakek itu, tentu 

sulit dilawan. Maka secepat kilat ia 

sudah melarikan diri.

Surya Lelana dan Sritanjung tak 

mau melepaskan begitu saja, dan cepat 

mengejar. Tetapi mendadak dua orang 

muda ini kaget ketika Kiageng Tunjung 

Biru sudah menghadang sambil men-egah. 

Jangan! Biarkan dia pergi!

Kakek! protes Sritanjung. Mengapa 

orang jahat itu Kakek biarkan pergi ? 

Mereka datang dan mengacau, malah 

mereka sudah membunuh Klentreng dan 

Senggung....

Hemm.... orang itu mempunyai 

senjata yang amat berbahaya. Kiageng 

Tunjung Biru memberikan alasannya.


Kamu tak gampang mengalahkan dan 

salah-salah malah celaka.

Tetapi toh ada Kakek. Kakek tentu 

dapat mengatasi dia!

Heh heh heh heh. Kalau mengingat 

bahayanya orang itu dibiarkan hidup 

terus, memang pantas aku turun tangan. 

Tetapi orang itu sudah melarikan diri 

dan tidak berani melawan aku. Betapa 

dunia ini akan menertawakan aku 

sebagai seorang tua yang tak tahu diri 

nekad menghajar orang yang sudah tidak 

berani melawan.

Sritanjung mengerutkan alis lalu 

bersungut-sungut. Katanya, Kek, engkau 

ini bagaimana? Jelas dia tadi mau 

membunuh Surya Lelana secara curang. 

Dan dia juga sudah membunuh Klentreng 

dan Senggung, malah juga bermaksud 

menangkap aku. Tetapi mengapa Kakek 

biarkan dia lari?

Kiageng Tunjung Biru mengerti 

perasaan muridnya yang penasaran ini. 

Dan ia sadar juga, jalan pikiran 

Sritanjung bahwa orang yang sudah 

membuat kerugian harus dibalas dan 

kalau perlu dibunuh. Namun kakek ini 

jelas tidak mau dipengaruhi oleh nafsu 

seperti itu.

Karena yang bunuh membunuh 

akhirnya akan menimbulkan balas dendam 

yang takkan ada habisnya.

Ketika dirinya masih muda 

dirinyapun mempunyai pendirian dan


pendapat seperti Sritanjung ini. 

Dengan dalih orang jahat dan banyak 

melakukan kejahatan dan pembunuhan. 

Namun setelah dirinya menjadi tua dan 

pikun, hal tersebut tinggal dalam 

penyesalan.

Sesudah menghela napas kakek ini 

menjawab halus. Mereka telah membunuh 

Klentreng dan Senggung, itu tak bisa 

dipungkiri. Namun sebaliknya kamu 

telah membunuh tujuh manusia. Nah, dua 

ekor binatang sudah diganti dengan 

tujuh nyawa manusia. Apakah kamu belum 

juga puas?

Sritanjung membantah, Tetapi 

bukan aku yang membunuh mereka.

Tanjung, engkau atau orang lain 

bukanlah soal. Surya telah membunuh 

tujuh orang, tidak lain karena membela 

dan membantu kerepotanmu, berarti 

Surya berdiri di pihakmu. Dengan 

demikian pihakmu telah berhasil 

membalaskan kematian Klentreng maupun 

Senggung.

Dewi Sritanjung membantingkan 

kakinya ke tanah saking penasaran. 

Tetapi Joyo Brewu dan anak buahnya 

sudah mendayung perahu dan sudah jauh. 

Dengan demikian Sritanjung sudah tak 

dapat berbuat apa-apa lagi.

Tiba-tiba Sritanjung menjerit 

nyaring lalu lari ke arah Klentreng 

dan yang sudah tidak bergerak. Ia 

menubruk, memeluk sambil menangis.


Gadis ini menangis sejadi-jadinya, 

menyebabkan Kiageng Tunjung Biru dan 

Surya Lelana terharu.

Kiageng Tunjung Biru menatap 

Surya Lelana kemudian katanya halus, 

Surya, biarkan dia menangis sampai 

puas dan jangan kauganggu. Sekarang 

aku minta tolong kepadamu, buatlah 

lubang kubur untuk tujuh orang ini. 

Sedang aku juga akan membuat lubang 

kubur untuk Klentreng dan Senggung.

Surya Lelana menyanggupkan diri 

sambil membungkuk memberi hormat. 

Kemudian pemuda ini sudah bekerja 

membuat lubang kubur dengan pedangnya.

Kiageng Tunjung Biru masih 

berdiri dan diam-diam amat terharu 

melihat adegan dan tangis muridnya 

ini. Bagaimanapun antara Klentreng 

dengan Sritanjung mempunyai pertalian 

batin yang amat kuat. Dan kendati 

Klentreng hanya seekor harimau dan 

Sritanjung manusia, tetapi mereka itu 

tidak bedanya ibu dengan anak. Berkat 

air susu Klentreng maka Sritanjung 

bisa hidup terus dan tumbuh menjadi 

gadis cantik.

Sekarang kalau Sritanjung 

menangis sambil memeluk bangkai 

harimau ini, kiranya sudah wajar. Ia 

percaya dalam tubuh Sritanjung 

terdapat getaran gaib yang tak dapat 

dilihat oleh mata manusia secara


lahir. Menyadari hal tersebut, Kiageng 

Tunjung Biru tak mau mengganggu.

Kemudian kakek ini menghela napas 

pendek. Diam-diam ia berterima kasih 

kepada Dewata, bahwa dirinya datang 

tepat pada saat Surya Lelana dan 

Sritanjung dalam bahaya. Sedikit 

terlambat saja tentu Surya Lelana 

sudah mati terbunuh dan Sritanjung 

diculik orang.

Kenyataannya memang kakek ini 

menyadari, kedatangannya di tempat ini 

seperti dibimbing oleh tangan gaib, 

hingga tepat pada saat yang amat 

genting, ia dapat memberi pertolongan. 

Maka setelah menghela napas pendek, ia 

melangkah perlahan. Ia mematahkan 

sebatang dahan pohon sebesar lengan 

manusia dewasa. Kemudian menggunakan 

kayu ini ia mulai menggali lubang.

Apa yang kemudian terjadi sungguh 

mengagumkan. Surya Lelana yang sibuk 

pula menggali lubang berhenti menggali 

dan teraganga keheranan melihat apa 

yang tengah dilakukan kakek itu. 

Sekalipun hanya menggunakan kayu, 

ternyata setiap tusukan tidak kalah 

dengan sepuluh kali tusukan pedang 

yang ia lakukan. Tanah itu dengan 

cepat sudah tergali cukup dalam.

Melihat itu Surya Lelana tidak 

berani bermalas-malas. Ia pun 

mengerahkan tenaga agar lubang kubur 

yang dibuat cepat selesai.


Akhirnya selesai pula lubang 

kubur yang dibuat Surya Lelana.

Ketika ia berhenti ternyata 

Kiageng Tunjung Biru sudah lebih 

dahulu selesai.

Tak lama kemudian Sritanjung 

sudah puas menangis. Ia tampak 

menyesali sekali karena Klentreng dan 

Senggung mati.

Kiageng Tunjung Biru memandang 

Surya Lelana. Ia kemudian berkata 

halus, Surya, sesuatu yang hidup di 

dunia ini tentu akan mati. Karena itu 

kematian tidak dapat dihindari 

siapapun, karena merupakan kodrat 

alam. Yang lama tumbang, yang tua mati 

dan yang baru muncul dan yang muda 

tumbuh. Jadi, kematian atau pungkasan 

(akhir) hidup itu merupakan permulaan 

bagi yang baru. Sebab di dunia ini 

tidak ada yang abadi dan yang abadi 

hanya yang di sana, sesudah manusia 

atau yang disebut hidup ini mati.

Kakek itu berhenti sejenak, 

sesudah menghela napas pendek, 

terusnya, Surya, kalau demikian halnya 

yang sudah tentu terjadi di dunia ini, 

mengapa sesuatu yang sudah berakhir 

atau sampai pada pungkasannya harus 

disesalkan? Jika terjadi demikian 

jelas kau keliru.

Kiageng Tunjung Biru berhenti 

lagi dan menghela napas pendek. Orang 

tua itu menggunakan sudut matanya


mengerling ke arah Sritanjung, karena 

sesungguhnya ucapannya memang 

diiujukan kepada gadis ini.

Surya Lelana berdiam diri dan 

menundukkan kepalanya.

Sesudah mengangguk-angguk kakek 

ini meneruskan, Surya, di dunia ini 

berlaku yang serba berlawanan. Ada 

suka dan ada duka. Ada gelap dan ada 

terang. Karena itu ada kehidupan juga 

ada kematian. Jadi, semua itu wajar. 

Semua itu sudah semestinya, sesuai 

dengan kodrat alam. Nah, jika engkau 

sudah mengetahui hai ini, akan menjadi 

tebal keyakinanmu bahwa semua ini 

sudah ada yang mengatur, ialah Yang 

Maha Tinggi. Ya, sudah diatur oleh 

Dewata Agung. Jika semua ini sudah ada 

yang mengatur, maka engkau akan sadar 

bahwa apa yang terjadi atas dirimu tak 

mungkin dapat kauhindari. Malah 

kematian pun tak juga dapat kau tolak. 

Oleh karena itu engkau harus mau 

menerima hidup ini secara wajar. Apa 

adanya!

Wajar dan apa adanya berarti 

engkau tidak mengadakan perbandingan 

dan penilaian. Maka apabila kau sudah 

dapat menerima hidup ini secara wajar, 

engkau akan memperoleh ketenangan 

batin yang sebenarnya, tanpa kau buat-

buat! Laksana air telaga yang amat 

dalam.


Kakek ini berhenti sejenak 

mencari kesan, baru kemudian 

meneruskan, Ya, laksana air telaga 

yang amat dalam. Walaupun orang 

mengganggu dengan memasukkan sesuatu 

benda ke dalam telaga, guncangannya 

hanya terjadi sesaat dan dipermukaan 

saja. Ada contoh lain, pohon nyiur. Ia 

selalu teguh baik di waktu banyak air 

maupun di saat kemarau, akan tetap 

hidup tanpa perubahan, namun selalu 

berbunga dan berbuah.

Surya Lelana mengangguk-angguk 

dan amat memperhatikan. Pemuda ini 

sadar petunjuk ini benar-benar 

berharga.

Sritanjung yang masih duduk 

terisak mendengar pula apa yang 

diucapkan gurunya. Ibarat sebuah 

wadah, Sritanjung ini merupakan wadah 

yang masih kosong. Ia merupakan gadis 

yang belum berpengalaman oleh 

pergaulan yang gampang mempengaruhi 

jiwa muda dan bisa menyesatkan. Karena

itu begitu mendengar nasihat kakek 

ini, ia cepat menjadi sadar. Tak ada 

gunanya menangis, kecewa dan menyesal 

oleh matinya dua ekor harimau itu.

Ahh, Kakek benar. Yang hidup akan 

mati. Klentreng dan Senggung sudah 

mati, mengapa harus disesalkan? Mari, 

segera kita kuburkan, Surya. Tetapi 

manusia jahat itu biarkan saja geletak 

menjadi makanan burung gagak.


Mendengar ucapan gadis ini kakek 

itu cepat menanggapi, Apapun yang 

sudah mati adalah mati. Yang mati itu 

suci, dan tidak dapat disangkut-

pautkan dengan hidup. Apapun yang 

pernah dilakukan ketika masih hidup 

tiada hubungannya sesudah mati. Karena 

itu lebih baik kita kubur saja.

Pada mulanya Sritanjung cemberut 

mendengar ucapan kakeknya ini. Namun 

setelah dipikir dan dirasakan, ia tak 

dapat membantah lagi benarnya pendapat 

kakek itu. Sebagai gadis yang polos ia 

segera pula mengakui.

Ahh, kakek benar lagi, katanya. 

Mari, sekarang kita kuburkan semuanya. 

Akan tetapi meskipun begitu kelak akan 

datang saatnya aku melakukan 

pembalasan.

Balas membalas, dendam mendendam 

dan benci membenci, merupakan pangkal 

dari segala keributan dan tiada 

kerukunan manusia di dunia ini, ujar 

Kiageng Tunjung Biru halus. Sebaliknya 

sebagai akibatnya, manusia ini akan 

kejam melebihi binatang buas antara 

manusia sendiri. Tanjung, pikiran 

semacam itu akan menyebabkan orang 

menjadi mabuk, lupa bahwa di atas 

manusia ini masih ada Yang Maha 

Tinggi. Lupa bahwa apa yang terjadi 

sudah menjadi kehendakNya yang tak 

terbantahkan oleh manusia lagi. Akan 

tetapi secara wajar, justru akan


merasakan sudah merupakan kehendak 

Dewata Agung.

Kek, apakah sebabnya kau bilang 

begitu? Orang jahat itu sudah membunuh 

Klentreng dan Senggung. Mengapa harus 

kita biarkan saja tanpa pembalasan?

Tanjung, apakah sangkamu 

Klentreng dan Senggung bisa mati 

apabila tidak dikehendaki Yang Maha 

Tinggi? Apapun yang dilakukan manusia 

di dunia ini, kalau belum dikehendaki 

oleh Dewata Agung semuanya akan gagal. 

Orang yang akan dibalas bisa 

menghindarkan diri dan akan hidup 

terus. Tetapi sebaliknya, tanpa 

dibalaspun kalau sudah kehendak Dewata 

Agung, tentu akan mati juga. Mungkin 

karena takdir dan mungkin dibunuh 

orang lain. Tanjung, yang sudah mati 

biarlah mati dan hadapilah tanpa 

penilaian dan perbandingan. Hadapilah 

secara wajar dan apa adanya. Dan 

jangan beranggapan bahwa Klentreng dan 

Senggung ini mati karena dibunuh 

orang.

Kalau demikian Kakek menjadi 

pengecut dan akibatnya kita akan 

selalu dihina orang! bantah Sritanjung 

sambil bertolak pinggang. Hemm, aku 

tidak sudi menjadi pengecut dan dihina 

orang.

Heh heh heh heh, Kiageng Tunjung 

Biru terkekeh. Tanjung, ternyata kau 

mencampur adukkan persoalan yang tidak


ada hubungannya. Dengar baik-baik, 

Cucuku, bebas dari rasa benci, bebas 

dari mendendam dan balas-membalas, 

adalah kebesaran hati karena semua itu 

tidak baik. Jadi, bukan pengecut dan 

bukan pula mau dihina orang lain.

Kakek ini berhenti dan memandang 

cucunya penuh kasih. Katanya lebih 

lanjut, Akan tetapi sebaliknya, 

apabila orang mau menyadari dan 

menghayati dengan wajar, takkan ada 

lagi apa yang engkau maksudkan itu.

Hemm, apakah yang disebut pengecut dan 

apa pula yang disebut hina itu? 

Bukankah semua hanyalah anggapan 

belaka? Nah, kalau hanya anggapan dari 

orang berarti bukanlah ketentuan yang 

harus dianut.

Nah, kalau memang tidak merasa 

sebagai pengecut, mengapa pula merasa 

terhina? lanjut kakek itu. Sebaliknya 

pula mengapa engkau menjadi gembira, 

bangga dan senang mendengar orang 

memuji dan menghormatimu? Inilah 

bahayanya manusia yang gampang 

diombang-ambingkan perasaan. Oleh 

pikiran! Akan tetapi sebaliknya kalau 

menghadapi dengan pikiranmu yang 

kosong, secara wajar, apa adanya, 

engkau takkan merasakan semua itu. 

Karena semua yang terjadi di dunia ini 

sumbernya bukan lain oleh permainan 

pikiran manusia sendiri.


Surya Lelana yang umurnya lebih 

tua dan luas pengalaman lebih gampang 

menangkap apa yang dimaksud kakek ini. 

Sebaliknya Sritanjung yang belum dapat 

menangkap maksud gurunya masih belum 

puas. Namun karena cuaca sudah hampir 

gelap, ia tidak mau banyak mulut lagi. 

Dengan tangkas bangkai Klentreng dan 

Senggung dipondong ke liang kubur. 

Surya Lelana segera pula merawat 

orang-orang yang sudah mati oleh 

tangannya maupun oleh harimau. Tidak 

lama kemudian semuanya sudah terkubur.

5

Keesokan paginya jadilah Surya 

Lelana meninggalkan hutan ini kembali 

ke Ibukota Majapahit. Sritanjung 

mengantar sampai tepi sungai. Untuk 

beberapa saat lamanya mereka saling 

pandang. Dua orang muda ini merasa 

berat untuk berpisah kendati baru 

berkenalan beberapa hari.

Tanjung, entah mengapa sebabnya 

rasanya amat berat hatiku untuk 

berpisah dengan engkau, ujar pemuda 

itu sambil memegang lengan Sritanjung. 

Kapan kau pergi ke Ibukota Majapahit?


Entahlah, sahut Sritanjung sambil 

menggeleng. Tetapi yang jelas akan 

datang saatnya aku pergi ke sana. 

Hemm, Surya... engkau tidak tahu bahwa 

akupun... berat sekali rasanya 

berpisah dengan engkau....

Jawaban Sritanjung ini merupakan 

pencerminan hati. Jawaban yang jujur. 

Ia berat berpisah karena merasa cocok 

memperoleh kawan sama-sama muda. 

Sekarang begitu Surya Lelana pergi ia 

merasa kehilangan. Ia tidak mempunyai 

kawan lagi kecuaii harimau yang 

tinggal dua ekor saja. Manusia satu-

satunya hanya kakeknya, akan tetapi 

kakek itu lebih banyak tenggelam dalam 

dunianya sendiri, sehingga apabila 

tidak saatnya memberi pelajaran dan 

melatih ia tidak memperoleh perhatian 

sama sekali.

Akan tetapi ucapan Sritanjung ini 

diartikan secara salah oleh Surya 

Lelana. Pemuda yang sudah cukup dewasa 

ini menganggap bahwa Sritanjung 

mengucapkan kata-kata ini sebagai 

pernyataan yang tertarik dan jatuh 

cinta.

Karena menduga salah Surya Lelana 

menjadi gembira. Lalu teringatlah 

pengalamannya kemarin ketika berciuman 

akibat pengaruh racun ular. Sekarang 

sebelum berpisah timbul keinginannya 

untuk mencium gadis ayu ini. Karena 

menurut pendapatnya apakah salahnya,


kalau gadis ini memang suka kepada 

dirinya?

Tiba-tiba saja Surya memeluk 

erat. Sritanjung yang kaget meronta 

dan menjerit. Tetapi jeritannya tidak 

dapat keluar, karena bibirnya sudah 

tersumbat oleh bibir pemuda nekad ini. 

Maksud untuk merontapun menjadi gagal 

karena tiba-tiba tubuhnya menjadi 

gemetaran. Ada perasaan aneh yang 

menyebabkan hatinya bahagia 

mendapatkan ciuman ini. Sekarang 

seakan tubuhnya melayang di udara dan 

dibawa oleh perasaan. Dan tanpa 

sesadarnya, gadis inipun menanggapi 

apa yang dilakukan Surya Lelana.

Akan tetapi beberapa saat 

kemudian Sritanjung, sadar akan 

dirinya. Ia meronta dan lepas, lalu 

tangan kanan bergerak seperti kilat 

menyambar dan menampar plak plak....

Dua kali pipi Surya Lelana 

ditampar Sritanjung, seperti yang 

sudah terjadi kemarin. Akan tetapi 

Surya Lelana tidak marah malah 

tersenyum.

Pipi Sritanjung agak merah dan 

malah menambah kecantikannya. Warna 

merah pada pipinya ini terpengaruh 

oleh rasa malu berbareng marah. Ke-

mudian sambil mendelik gadis ini 

mendamprat,


Surya! Mengapa engkau berani 

berbuat seperti ini kepada diriku? 

Apakah engkau sengaja menghina aku?

Surya Lelana terkesiap. Melihat 

sikapnya, jelas gadis ini marah, dan 

kalau demikian bisa runyam. Menyadari 

keadaan ini ia cepat minta maaf.

Tanjung.... ohh.... maafkan aku. 

Tetapi.... aku tidak main-main. Terus 

terang saja.... aku cinta padamu.....

Makin tambah merah pipi 

Sritanjung mendengar pengakuan Surya 

Lelana yang blak-blakan mengaku cinta 

itu. Tiba-tiba saja jantungnya 

berdegup lebih cepat. Untuk menutupi 

perasaan ini ia membentak, Sudahlah, 

jangan banyak mulut lagi. Lekaslah 

engkau pergi dari tempat ini sebelum 

aku marah.

Surya Lelana terbelalak kaget. 

Tetapi kemudian ia menghela napas, 

membungkuk dan berkata, Baiklah 

Tanjung, selamat tinggal.

Tanpa menunggu jawaban Surya 

Lelana sudah lari ke tepi sungai lalu 

meloncat ke perahu kendaraannya. Surya 

Lelana mencoba menengok ketika sudah 

di tengah sungai, tetapi ah, gadis ayu 

itu sudah lenyap entah ke mana.

* * *


Akan tetapi beberapa saat 

kemudian Sritanjung, sadar akan 

dirinya. Ia meronta dan iepas, lalu 

tangan kanan bergerak seperti kilat 

menyambar dan menampar plak plak......


Tanpa terasa lagi, setahun sudah 

lewat. Sritanjung sekarang sudah 

berumur 17 tahun dan telah menjadi 

seorang dara remaja, bak bunga sedang 

mekar. Tubuhnya ramping tetapi padat 

berisi sedang wajahnya semakin cantik 

jelita dan raut wajahnya mirip sekali 

dengan ibunya, Dewi Anwari. Sayang 

sekali gadis jelita ini tidak pernah 

sempat merasakan kasih sayang ibunya 

maupun mengenal ayahnya. Demikian pula 

ayah, dan satu-satunya manusia di 

dunia ini yang mencurahkan kasih 

sayangnya kepada dirinya, hanyalah 

Kiageng Tunjung Biru seorang, yang 

menurut perasaannya adalah kakeknya 

sendiri. Sedang mahluk lain dan 

memberi kasih sayang kepada dirinya 

adalah empat ekor harimau tutul, 

tetapi yang dua ekor sekarang sudah 

mati.

Malam itu amat dingin. Hujan 

turun deras sekali dan guntur 

menggelegar, menyambar-nyambar di 

angkasa. Di luar pondok amat gelap, 

demikian pula di dalam pondok amat 

gelap.

Pondok Kiageng Tunjung Biru tanpa 

penerangan. Sekalipun demikian setiap 

kilat menyambar akan tampaklah keadaan 

di dalam pondok secara sekilas. 

Kiageng Tunjung Biru duduk bersila di 

atas tikar beralas rumput kering,


sedang Dewi Sritanjung sendiri duduk 

di depannya, dan bersila pula.

Tidak seorangpun di antara mereka 

membuka mulut. Sebab di saat ini guru 

dan murid ini sedang tenggelam dalam 

semadinya. Adapun dua ekor harimau 

tutul piaraan yang bernama Tumpak dan 

Manis juga berdiam diri mendekam pada 

sudut pondok. Agaknya dua ekor harimau 

ini tahu majikannya sedang menghadapi 

saat-saat penting, maka tidak berani 

membuat keributan.

Keadaan seperti ini memang sudah 

terjadi sejak dua hari lalu dimulai 

ketika sesudah senja. Dengan demikian 

berarti keadaan semacam ini sudah 

berlangsung dua hari dua malam. Waktu 

yang cukup panjang, namun guru dan 

murid ini belum juga menghentikan 

semadinya. Mereka berubah bagai 

patung.

Memang sejak kakek ini menerima 

surat dari Mpu Mada, kakek ini 

menggembleng murid tunggalnya dengan 

latihan-latihan berat. Dewi Sritanjung 

hampir tidak mempunyai waktu lagi 

untuk bermain-main dengan Tumpak dan 

Manis. Latihan berat itu dimaksud agar 

apa yang diharapkan Kiageng Tunjung 

Biru bisa terwujud. Agar kelak 

kemudian hari menjadi seorang dara 

perkasa. Menjadi pembela keadilan dan 

kebenaran. Latihan berat itu ternyata


dapat dilampaui oleh Sritanjung dengan 

memuaskan dan membuat gurunya bangga.

Bagi orang yang tidak terlatih 

betapa derita orang harus duduk 

bersila tidak bergerak, tidak dalam 

keadaan tidur dan perut kosong, selama 

dua hari dua malam. Tetapi bagi 

Sritanjung walaupun baru berumur 17 

tahun tidak pernah mengeluh setiap 

kali gurunya memerintahkan apa saja. 

Justru ketekunannya dan sungguh-

sungguh dalam melaksanakan perintah 

gurunya ini, ia memperoleh kemajuan 

pesat dan amat mengagumkan.

Malam ini telah lewat dan 

kemudian datanglah pagi. Namun guru 

dan murid ini masih tenggelam dalam 

semadinya.

Dua ekor harimau tutul bernama 

Tumpak dan Manis itupun masih tetap 

mendekam pada sudut pondok, tidak mau 

meninggalkan pondok dan mencari 

mangsa. Matanya juga terpejam, seakan 

dua ekor harimau ini mengikuti yang 

dilakukan oleh majikan. Meniru 

bersemadi, meniru berpuasa sekalipun 

tidak tahu apa maksud majikannya.

Sekalipun lambat waktu terus 

bergerak dan matahari bergeser secara 

tetap. Tanpa terasa matahari sudah 

tenggelam di barat dan Kiageng Tunjung 

Biru mendahului membuka mata. Pondok 

gelap dan diluar pondok pun gelap. 

Tetapi sekalipun gelap dari celah


dinding kakek ini melihat langit cerah 

dan jutaan bintang menghias langit 

biru, sesudah semalam turun hujan 

dengan deras. Diam-diam kakek ini 

kagum melihat muridnya belum bergerak. 

Dan ketika memandang ke arah dua ekor 

harimau itupun kakek ini manggut-

manggut dengan bibir tersenyum.

Tanjung, sudah cukup. Hentikan 

semadimu! ujarnya.

Akan tetapi Dewi Sritanjung yang 

ketika itu menutup, babahan hawa sanga 

(sembilan lubang pada tubuhnya) dan 

dalam keadaan mematikan rasa itu tidak 

mendengar suara gurunya. Setelah tiga 

kali kakek ini memanggil, barulah 

Sritanjung sadar dari semadinya.

Apakah yang kau rasakan sekarang?

Tubuh nyaman dan panca indera 

lebih tajam. Tetapi anehnya saya tidak 

merasa lapar dan haus sahut gadis ini.

Bagus. Sekarang coba perhatikan 

apa yang terjadi dalam tubuhmu?

Gadis ini tak cepat menjawab. Ia 

memperhatikan keadaan dalam tubuhnya, 

dan sejenak ia menyahut, Kek, ada 

semacam hawa yang hangat pada pusar, 

seperti gumpalan yang mendesak ke sana 

dan kemari.

Bagus! Salurkanlah sekarang 

gumpalan hawa pada pusar itu. Jangan 

tergesa, perlahan saja tetapi pasti 

agar kemudian beredar di seluruh 

bagian tubuhmu. Itulah hawa sakti


berkat latihan dan semadimu. Tetapi, 

hati-hati dan jangan kau paksakan. 

Jika mendapat kesulitan, jelaskanlah. 

Mulai! Ayo mulai.

Sesuai petunjuk gurunya gadis ini 

mulai menyalurkan dan menguasai 

gumpalan hawa sakti pada pusar yang 

mendesak-desak itu. Pada mulanya gadis 

ini dapat mendesak dan menyalurkan 

hawa sakti itu secara lancar dan 

merasakan pula badannya hangat dan 

nyaman. Namun ketika hawa sakti itu 

digiring naik ke atas, ke kepala, 

tiba-tiba gadis ini kaget dan 

berteriak.

Kek, kepalaku berdenyut dan 

pening.

Teruskan. Tetapi jangan kaupaksa.

Sritanjung meneruskan perintah 

gurunya sekalipun kepala terasa 

berdenyutan seperti mau pecah. Di saat 

gadis ini hampir tak kuat menahan 

lagi, tengkuknya merasa diusap oleh 

tangan dengan perlahan dan didengar 

pula suara gurunya.

Marilah aku bantu.

Betapa heran gadis ini setelah 

diusap gurunya, rasa berdenyutan dan 

pening tadi menghilang lalu hawa sakti 

itu menyalur dengan lancar.

Salurkan ke dada. Kemudian tarik 

kembali ke pusar.

Perintah itu diturut. Dan setelah 

selesai dan membuka mata, gadis ini


berkata. Kek, tubuhku lebih nyaman 

lagi rasaya. Pendengaran dan 

pandanganku lebih tajam dibanding 

sebelumnya.

Kemudian pada suatu malam, Dewi 

Sritanjung duduk di depan kakeknya. 

Tiba-tiba saja persoalan yang selama 

ini menggoda hatinya timbul kembali. 

Maka gadis ini memandang gurunya, lalu 

berkata.

Kek, aku sudah cukup sabar 

menunggu jawaban Kakek. Bertahun-tahun 

setiap kakek kutanya tentang ayah-

bundaku, selalu menjawab agar sabar 

dan belum waktunya.

Sritanjung berhenti lalu 

memandang kakeknya sejenak kemudian 

lanjutnya, Kek, sekarang aku sudah 

tujuh belas tahun. Sudah cukup dewasa 

dan cukup umur. Apakah Kakek masih 

akan beralasan lagi belum waktunya?

Kiageng Tunjung Biru tersenyum, 

lalu jawabnya halus, Engkau benar. 

Memang sudah waktunya engkau tahu 

siapakah ayah dan bundamu. Baiklah 

Cucuku, esok pagi berangkatlah ke 

Ibukota Majapahit, cari dan temuilah 

dinda Gajah Mada sambil membawa 

suratku. Dari dialah engkau akan 

mendapat keterangan, siapakah orang 

tuamu. Dan yang perlu kau ketahui, 

engkau bukanlah puteri orang 

sembarangan.


Berdebar hati gadis ini mendengar 

ucapan kakek sekaligus gurunya ini. 

Ada dua macam hal yang menyebabkan 

hatinya berdebar. Pertama datang 

kepada Gajah Mada berarti pula bertemu 

dengan Surya Lelana, pemuda tampan dan 

diam-diam menarik hatinya itu. Dan 

tiba-tiba saja wajahnya terasa panas, 

sebab segera teringatlah peristiwa 

setahun lalu. Saat mereka berpisah 

Surya Lelana mencium dirinya.

Diam-diam ia merasa heran, 

mengapa tiada perasaan marah dan benci 

oleh kelancangan pemuda itu? Yang 

terkesan dalam dadanya hanyalah agak 

main.

Kemudian yang kedua, benarkah 

dirinya bukan anak sembarangan? Lalu 

siapakah dirinya ini, apakah puteri 

Gajah Mada sendiri ? Tetapi pikiran 

ini dibantah sendiri. Manakah mungkin 

puteri Mahapatih Majapahit, diserahkan 

kepada gurunya ini dan hidup terasing 

di hutan?

Kek, katakanlah terus-terang. 

Siapakah sebenarnya ayah dan bundaku? 

desaknya.

Engkau akan segera tahu sendiri 

sesudah tiba di Majapahit, sahut kakek 

ini.

Tapi... tapi ... bagaimanakah 

dengan Kakek setelah diriku pergi? 

Lalu siapakah yang mengurus Kakek?


Kiageng Tunjung Biru ketawa 

perlahan, jawabnya, Apakah sebabnya 

kau merepotkan aku yang sudah tua ini? 

Tak ada yang perlu kau pikirkan 

tentang diriku.

Tetapi kakek sudah tua maka aku 

tidak tega meninggalkan kau. Maka 

apakah tidak sebaiknya Kakek bersama 

pergi dengan aku saja? Dan kalau tidak 

eh... lebih baik aku tidak usah pergi 

saja. Biarlah aku terus menunggu dan 

melayani kebutuhanmu.

Kakek itu terkekeh kemudian 

katanya, Cucuku, dahulu, sebelum 

engkau hidup bersama kakek di sini, 

kakekmu hidup seorang diri dan dapat 

pula memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Karena itu dengan kepergianmu ini 

tidak akan menimbulkan akibat apa-apa 

bagiku. Engkau masih muda dan hari 

depanmu masih amat jauh. Dan apa yang 

akan kau peroleh jika kau hanya 

mengenal hutan yang sunyi ini? Maka 

engkau harus terjun ke dunia ramai, 

terjun ke masyarakat agar engkau 

mengenal corak dunia dan corak manusia 

hidup di dunia ini. Gunakan ilmu 

kepandaianmu untuk membela keadilan. 

Untuk membela kebenaran. Cucuku, 

ketahuilah di dunia ini tidak 

terhitung jumlahnya manusia yang buruk 

watak dan mendekatkan diri dengan 

nafsu dan kejahatan. Selama keadaan 

manusia masih seperti sekarang ini,


manusia-manusia seperti engkau 

dibutuhkan tenaganya oleh masyarakat.

Kiageng Tunjung Biru berhenti dan 

menghela napas pendek. Sejenak 

kemudian kakek ini meneruskan, Tetapi 

Cucuku, untuk kepentinganmu, engkau 

harus hati-hati terjun ke dalam masya-

rakat. Karena engkau akan berhadapan 

dengan berbagai macam peristiwa yang 

selama ini belum pernah kau alami dan 

saksikan. Hemm, siapa tahu apabila 

dalam kepergianmu ke Ibukota Majapahit 

ini, secara tidak sengaja kau bertemu 

dengan orang berjuluk Si Tangan Iblis 

maupun cucu dan murid-muridnya...

Kek, siapakah Si Tangan Iblis 

itu? Sritanjung tertarik.

Orang yang berjuluk Si Tangan 

Iblis itu adalah seorang sakti 

mandraguna tetapi jahat dan kejam. 

Hindarkan diri jangan sampai kau 

terlibat urusan dengan orang itu 

maupun murid-muridnya. Itu amat 

berbahaya.

Tetapi aku tidak takut.

Aku mengerti. Namun lebih baik 

kau menghindarkan diri agar terhindar 

dari bahaya.

Aku tak ingin berselisih dengan 

dia. Tetapi jika dia memulai, aku akan 

melawan.

Heh heh heh heh, kakek ini 

terkekeh. Jangan takabur, Cucuku, 

karena akan merugikan dirimu sendiri.


Dan kau juga jangan kecewa dan 

menyesal jika aku mengatakan 

sejujuraya, kau bukan lawan yang 

sebanding dengan Si Tangan Iblis. 

Ibarat buah semangka melawan durian, 

tidak mungkin menang dan lebih dekat 

dengan bahaya maut. Itulah sebabnya 

aku berpesan, agar engkau berusaha 

menghindarkan diri dengan kakek sakti 

itu.

Baiklah Kek, aku perhatikan dan 

aku akan berusaha menghindarkan diri. 

Tetapi Kek, jelaskan padaku, siapakah 

Si Tangan Iblis itu?

Baiklah aku jelaskan. Orang yang 

sudah kakek-kakek dan bernama Si 

Tangan Iblis itu, bertempat tinggal di 

Tosari. Ia inempuatyai bebe-rapa orang 

murid dan juga tiga orang cucu. Se-

karang ini keluarga Si Tangan Iblis 

sedang bersebaran dalam usaha mencari 

cucunya yang bungsu bernama Sentikno. 

Karena bocah itu meninggalkan rumah 

tanpa pamit, setelah mendengar cerita 

kakeknya.

Cerita tentang apa, dan mengapa 

pula bocah bernama Sentiko itu pergi 

diam-diam ? Dan kepergian bocah itu 

mencari siapa? tanya Sritanjung. Dan 

aku juga heran, mengapa Kakek yang 

tidak pernah pergi, bisa tahu 

peristiwa itu?

Kiageng Tunjung Biru tersenyum. 

Tidaklah mengherankan apabila muridnya


ini bertanya seperti itu, karena jika 

ia pergi Sritanjung tidak pernah tahu. 

Ia selalu pergi diam-diam dalam usaha 

menyadap peristiwa-peristiwa yang 

terjadi maupun memantau segala sesuatu 

yang terjadi di dalam masyarakat. 

Itulah ia bisa menceritakan sesuatu 

yang baru bagi Sritanjung.

Tanjung, kurang perlu kautanyakan 

mengapa aku tahu. Yang penting harus 

kau ketahui sekarang ini, kau harus 

hati-hati dalam perjalananmu ke 

Ibukota Majapahit agar tidak sampai 

tertipu orang yang tidak bertanggung 

jawab maupun terlibat dalam peristiwa 

Si Tangan Iblis itu.

Kemudian diceritakan oleh Kiageng 

Tunjung Biru, bahwa nama sebenarnya 

adalah Taruno. Dan sesudah menetap di 

Tosari mengganti namanya dengan Si 

Tangan Iblis. Taruno dulunya prajurit 

Majapahit berpangkat Lurah. Akan 

tetapi karena melakukan penyelewengan 

dan merugikan nama baik pasukan 

Majapahit, Taruno dipecat.

Karena sakit hati kemudian 

menjadi kepala bajak laut dan bajak 

sungai. Tetapi kemudian gerombolan ini 

hancur berantakan diserang oleh Mpu 

Nala dan pasukannya. Ia berhasil dan 

ketika tahun 1319 Kuti memberontak, ia 

menggabungkan diri. Namun sayang 

sekali pemberontakan Kuti gagal dan 

Taruno buron. Lalu di saat ia


merantau, ia mendengar kabar dari 

seorang sahabatnya, anaknya yang 

menjadi prajurit Bhayangkara, Karimun 

dibunuh mati oleh Gajah Mada. 

Mendengar ini Taruno marah sekali 

karena menduga anaknya dilibatkan 

dalam perkaranya.

Padahal yang benar dibunuhnya 

Karimun tiada hubungan dengan 

kesalahan Taruno, ujar kakek itu. 

Karimun dibunuh mati oleh Gajah Mada 

dalam usaha menjaga rahasia tempat 

persembunyian Raja Jayanegara yang 

meninggalkan keraton dan bersembunyi 

di Bedander.

Sritanjung tidak membuka mulut 

dan mempe-hatikan. Sebab ia 

menganggap, cerita ini besar 

kegunaannya dalam hubungan 

kepergiannya ke Majapahit.

Sebagai akibat matinya Karimun, 

keluarga yang ditinggalkan berantakan. 

Isteri Karimun lalu menyerahkan dua 

orang anak perempuannya yang masih 

kecil kepada tetangga. Dan janda ini 

kemudian memadu kasih dengan seorang 

pemuda yang dicintai sejak Karimun 

masih hidup.

Ahh.... jadi isteri itu berani 

menyeleweng? tanya Sritanjung.

Kiageng Tunjung Biru mengangguk 

dan meneruskan ceritanya. Taruno 

menjadi penasaran. Kemudian menantu 

tidak setia itu dibunuh secara kejam,


termasuk pula pemuda kekasihnya itu. 

Taruno masih belum puas, maka keluarga 

pemuda itupun semua dibantai.

Ahh.... kejam sekali! seru 

Sritanjung.

Taruno alias Si Tangan Iblis 

memang kejam dan ganas. Itulah 

sebabnya aku berpesan agar kau hati-

hati dan jangan mencampuri urusan 

kakek itu, sahut kakek ini.

Diceritakan seterusnya, dua orang 

cucu itu lalu diboyong oleh Taruno. 

Yang besar bernama Sarindah berumur 

empat tahun dan yang kecil bernama 

Sarwiyah berumur tiga tahun. Si Tangan 

Iblis memilih Tosari sebagai tempat 

tinggalnya. Guna kepentingan dua 

cucunya ini agar ada yang merawat, 

kemudian Taruno merampas seorang gadis 

dari desa Gempol untuk diperisteri. 

Dari isteri yang belum 18 tahun ini 

kemudian lahirlah anak laki-laki 

diberi nama Sentiko. Lalu ketika 

Sentiko berumur tiga tahun, pada suatu 

malam Taruno menangkap basah isterinya 

sedang berzina dengan pemuda dari desa 

Gempol juga. Tak ampun lagi isteri dan 

pemuda itu kemudian dibunuh secara 

kejam. Namun ternyata Taruno belum 

puas, Sentiko yang tidak berdosa itu 

diangkat untuk dibanting...

Ahh.... kasihan bocah itu... 

Sritanjung pucat.


Memang Sentiko tentu mati jika 

jadi dibanting, sahut Kiageng Tunjung 

Biru. Tetapi untung sekali Sarindah 

yang sudah berumur 9 tahun dan 

Sarwiyah yang sudah berumur 8 tahun, 

dapat menolong. Dua bocah ini terjaga 

dari tidurnya akibat terjadi 

keributan, kemudian memeluk lutut 

kakeknya ketika melihat Sentiko akan 

di banting.

Demikianlah, untuk menghilangkan 

kenangan yang tidak menyenangkan itu 

maka Sentiko dibiasakan memanggil 

kakek dan bukan ayah. Dan karena 

umurnya paling muda, maka Sentiko se-

bagai cucu termuda.

Tetapi apakah sebabnya Sentiko 

pergi? selidik Sritanjung.

Itu adalah gara-gara Sarindah dan 

Sarwiyah yang mendesak kepada Si 

Tangan Iblis agar diberitahu siapakah 

ayah bundanya, dan siapa pula yang 

sudah membunuh, jelas Kiageng Tunjung 

Biru sambil menghela napas pendek. Dan 

celakanya Si Tangan Iblis memberikan 

keterangan salah. Ia memfitnah paman 

gurumu Gajah Mada.

Apakah sebabnya memfitnah Paman 

Gajah Mada?

Si Tangan Iblis memang licik. 

Oleh dendam kesumatnya, ia mendidik 

kepada cucu dan semua muridnya agar 

membenci dan memusuhi Gajah Mada. Maka 

setelah mendengar penjelasan itu,


Sentiko pergi diam-diam dengan maksud 

akan membalas dendam dan membunuh 

Gajah Mada.

Sekecil itu manakah Sentiko mampu 

melawan Gajah Mada? Sritanjung heran.

Memang amat mustahil bisa 

terlaksana. Namun nyatanya bocah kecil 

itu sudah nekad dan akan membalas 

dendam. Itulah cucuku, cerita ringkas 

tentang Si Tangan Iblis. Maka dalam 

kepergianmu ke Ibukota Majapahit kau 

harus selalu berhati-hati. Jangan 

gampang terpancing oleh tipu muslihat 

orang, dan jangan mencampuri urusan 

orang sebelum jelas. Sudahlah, Cucuku, 

sekian dulu cerita tentang Si Tangan 

Iblis. Hari sudah malam dan

mengasolah.

Sekian dulu cerita ini kita 

akhiri. Tetapi cerita ini secara 

keseluruhan belum selesai. Perjalanan 

masih panjang dan Dewi Sritanjung akan 

mengalami berbagai peristiwa dalam 

perjalanannya menuju Ibukota 

Majapahit, dalam usaha bertemu dengan 

ayah kandungnya. Anda akan terharu, 

tergelitik dan berdebar kiranya dalam 

mengikuti kisah Dewi Sritanjung ini.

Akan tetapi agar Anda dapat 

mengkuti kisah tentang Si Tangan 

Iblis, silakan membaca lanjutan buku 

Seri Dewi Sritanjung ini dengan judul 

"SI TANGAN IBLIS". Lebih menarik, seru 

dan mendebarkan. Mungkinkah Sentiko


cucu Si Tangan Iblis yang sudah 

diceritakan oleh Kiageng Tunjung Biru 

ini dapat membunuh Gajah Mada?




                            TAMAT


https://matjenuhkhairil.blogspot.com

http://matjenuhkhairil.wordpress.com



Share:

0 comments:

Posting Komentar