JASA SUSU HARIMAU
Serial 01 Dewi Sritanjung
Karya : Widi Widayat
Cover & Illustrasi : Arie
Penerbit: MELATI Jakarta
Cetakan pertama : 1987
HAK CIPTA dilindungi oleh Undang-
undang
Penyiaran harus seizin Penulis
1
Di tepi sungai, tampak seorang
kakek duduk bersila di atas batu
besar, sedang tangan yang kanan
memegang tangkai pancing. Namun
agaknya kakek ini lagi sial, karena
sepanjang hari tidak diperoleh
seekorpun ikan.
Nasib.....ah permainan nasib,
gumamnya. Hai ikan di sungai. Kalau
saja alat pancingku ini merupakan
pancing sesungguhnya, nasibmu tentu
menjadi mangsa manusia. karena di
antara kamu akan kena oleh pancingku,
lalu menggelepar dan mati. Tetapi
pancingku ini bukan pancing sebenarnya
dan ini hanyalah permainan nasib.
Tiba-tiba kakek ini menyentakkan
tangkai pancingnya. Ayaa.... ternyata
ujung tali pancing itu bukan berisi
jarum berkait, melainkan hanyalah
sebutir kerikil.
Pantas saja kakek ini menyebut
permainan nasib. Ikan yang menyambar
kerikil di ujung pancing itulah yang
disebut nasib. Nasib manusiapun sama
halnya, menjadi permainan nasib
seperti halnya ikan yang hidup di
sungai itu.
Tetapi kakek yang rambutnya sudah
putih ini mendadak kaget dan
menjulurkan lehernya, ketika mendengar
tangis bayi. Diam-diam kakek ini
heran, bayi siapakah yang menangis?
Tempat dirinya sekarang ini duduk
mengail, merupakan hutan belantara dan
jauh dari desa. Adakah seorang ibu
yang membawa bayi ke tempat sepi
seperti ini?
Namun ketika makin jelas
didengar, tangis bayi itu dari tengah
sungai, ia mendesis,
ahhh.....mungkinkah bayi dhemit
(bantu)?
Ia mengalihkan pandang matanya ke
sungai. Kendati sudah tua tetapi
pandang matanya belum lamur. Ia
mengerutkan alis, ketika melihat
sebuah belanga hanyut dan dari situlah
asal tangis bayi itu.
Ahhh..... bayi dibuang? Lalu
siapakah yang sudah membuang anak ini?
desisnya. Ya, Dewata
Agung.....ampunilah dia yang sudah
mala gelap dan tersesat itu. Sedang di
samping itu, perkenanlah hambaMu ini
menyelamatkan bayi tidak berdosa itu!
Berbareng dengan ucapannya yang
terakhir, menyambarlah benda halus ke
sungai. Ternyata benda itu tali
pancing yang dipanjangkan, sedang pada
ujungnya sudah dibentuk lingkaran agak
lebar.
Tali itu menyambar tepat hingga
belanga (kuali) yang hanyut itu
tertahan dan kemudian dengan gerakan
menyentak, belanga tersebut sudah
terbang. Sesaat kemudian belanga
berisi bayi tersebut sudah dapat
ditangkap dengan tangan kiri.
Mendengar suara tangis yang
semakin parau itu, kakek ini gugup dan
khawatir. Penutupnya cepat dibuka lalu
dengan gerakan hati-hati, orok itu
dikeluarkan. Orok yang bugil dan pada
lehernya terdapat sebuah kalung emas
berbentuk burung garuda.
Kasihan.....apakah salahmu,
hingga kau dibuang orang tuamu?
gumamnya sambil menghela napas
panjang.
Orok perempuan yang masih terus
menangis itu, didekapnya di dadanya
yang kerempeng. Lalu diselimuti dengan
jubahnya agar menjadi hangat. Usahanya
berhasil, orok itu sekarang berhenti
menangis dan kemudian tertidur. Kakek
ini tersenyum, kemudian isi kuali
diambil dan melangkah perlahan
meninggalkan sungai dan alat pancing-
nya.
Orok perempuan yang dilahirkan
Dewi Anwari ini ternyata bernasib
baik. Sekarang tertolong oleh kakek
pertapa sakti yang dikenal orang
bernama Kiageng Tunjung Biru.
Dengan perasaan iba, orok dalam
pondongannya ini dibawa pulang ke
pondoknya, terletak tak jauh dari
pertemuan sungai Widas dan sungai
Lengkong. Pondok itu dilindungi
sebatang pohon Tanjung yang sudah amat
tua dan rindang.
Dengan hati-hati sekali orok
perempuan ini diletakkan di
pembaringan beralaskan rumput kering.
Kemudian untuk bisa memberi kehangatan
bagi si orok, beberapa potong pakaian
yang ditemukan di belanga tadi
dipergunakan menyelimuti.
Ia memandang orok merah ini
dengan perasaan iba. Orok mungil yang
cantik, tetapi mengapa sebabnya oleh
orang tuanya dibuang?
Mendadak saja ia ingat kepada
nasibnya sendiri. Kini sudah pikun,
tanpa anak, tanpa isteri, tanpa
keluarga dan tanpa tetangga. Bukankah
orok yang ditemukan ini sudah
merupakan kehendak Dewata Agung untuk
menjadi teman hidupnya?
Tetapi tiba-tiba kakek ini
berjengit. Kalau orok ini dibuang,
apakah tidak mungkin merupakan hasil
hubungan gelap? Karena malu, maka orok
yang tidak berdosa itu dibuang.
Namun wawasannya yang amat luas
menyebabkan kakek ini kemudian
menghela napas. Apakah sebabnya
manusia di dunia ini yang terpikir
hanyalah kepentingan diri? Berani
berbuat, mengapa tidak berani
bertanggung jawab? Karena tidak
sedikit jumlahnya manusia yang menjadi
lupa diri dan lupa akan tanggung
jawabnya itu menyebabkan dunia ini
tidak pernah bisa damai.
Menurut pendapat kakek ini, orok
yang ditemukan ini lahir di dunia
sudah menjadi kehendak Dewata Agung.
Karena itu tidak pada tempatnya
apabila disia-siakan apalagi dibuang
pula.
Tiba-tiba Kiageng Tunjung Biru
ingat kepada benda-benda yang
menyertai orok ini. Benda itu
diperhatikan satu persatu. Ada dua
lembar kain baju dan ada sobekan kain
putih berisi tulisan.
Kiageng Tunjung Biru menghela
napas dalam, lalu menggeleng-gelengkan
kepalanya setelah selesai membaca
tulisan pada secarik kain putih itu.
Tahulah ia sekarang orok ini bukan
hasil hubungan gelap tetapi merupakan
buah hasil perkawinan yang berakhir
dengan tragedi.
Kakek ini hatinya terasa sedih
sekali. Mengapakah sebabnya bisa
terjadi peristiwa seperti ini? Jelas
semua itu merupakan permainan nasib.
Kalau tidak demikian, manakah mungkin
Dewata Agung mempertemukan Dewi Anwari
dengan Mpu Nala, yang kemudian saling
jatuh cinta?
Oleh permainan nasib, Mpu Nala
kemudian ketakutan setelah tahu, Dewi
Anwari merupakan puteri Kuti yang
memberontak kepada Majapahit. Sedang
Mpu Nala merupakan pejabat tinggi
Majapahit. Sudah tentu Nala menjadi
amat khawatir apabila perkawinannya
ini kemudian menodai nama baiknya
sebagai pejabat tinggi Majapahit yang
terpercaya.
Suratan takdir tidak terbantah.
Nyatanya dengan peristiwa menyedihkan
itu, kemudian Kiageng Tunjung Biru
yang semula hidup seorang diri,
sekarang mendapat teman hidup orok
merah.
Hemm, baiklah, gumamnya. Kalau
takdir Dewata Agung aku harus menjadi
ayah dan sekaligus ibu orok ini, aku
tidak dapat menolak.
Kakek ini duduk di tepi
pembaringan. Dan dengan hati-hati
kalung di leher si kecil itu
diperhatikan.
Tiba-tiba orok perempuan itu
menangis. Kiageng Tunjung Biru gugup,
lalu mengusap-usap kepala bayi yang
masih lunak itu perlahan, sambil
mengucapkan kata-kata menghibur.
Agaknya kakek ini sudah menjadi
pelupa, orok yang baru lahir itu belum
membutuhkan hiburan dan ucapan.
Tak heran apabila orok ini tidak
menghentikan tangisnya dan si kakek
menjadi bingung. Ia belum pernah
menjadi ayah dan belum pernah pula
mengasuh bayi. Menurut pendapatnya,
kalau bayi ini telah dibungkus kain
rapat-rapat, tentunya sudah hangat.
Tetapi mengapa masih juga menangis ?
Saking bingungnya dan tak tahu
apa yang harus dilakukan, kain
pembungkus orok itu dibuka. Setelah
terbuka, kakek ini mendadak terkekeh
geli sendiri. Ternyata kain pembungkus
itu telah basah oleh air kencing
bercampur berak.
Jangan menangis, Cucu.... biarlah
kakek membersihkan.... gumamnya sambil
menggerakkan tangan dan hati-hati
sekali, mengusap bagian yang basah itu
dengan kain. Kain yang kotor sudah
disingkirkan dan diganti dengan kain
kering. Kemudian kakek ini senang
sekali, orok itu kembali tidur.
Tetapi ketika pagi hari tiba orok
itu menangis lagi, ia menjadi
kebingungan sendiri seperti kebakaran
jenggot. Dengan gugup orok itu segera
dibawa keluar pondok. Timbullah
niatnya untuk minta pertolongan
penduduk yang menyusui anaknya. Namun
celakanya si orok yang haus dan lapar
ini tidak mau mengerti dan menangis
terus.
Di saat ia mendukung orok untuk
minta pertolongan penduduk ini, tiba-
tiba ia mendengar aum harimau. Ia agak
heran, karena selama menghuni hutan
ini ia belum pernah bertemu harimau
seekorpun. Tetapi mengapa sekarang
tiba-tiba ia mendengar aum harimau?
Tak lama kemudian muncullah dua
ekor harimau yang besar. Harimau tutul
sebesar lelembut itu telah menghadang
di depannya.
Ah, jangan mengganggu aku,
katanya halus. Pergilah! Aku sedang
kebingungan dengan orok ini.
Tetapi manakah mungkin harimau
itu mengerti maksud ucapan manusia?
Ucapan kakek ini malah disambut dengan
aum dahsyat dan dua ekor harimau itu
malah siap menerkam.
Hemm, apakah kau tak mendengar
ucapanku? Pergilah dan jangan ganggu
diriku.
Tetapi ucapannya kali ini malah
disambut dengan terkaman hampir
berbareng.
Wutt wutt.... terkaman harimau
itu luput, ketika kakek ini melesat ke
samping dengan gerakan gesit.
Dua ekor harimau ini menjadi
marah. Hampir berbareng sudah mengaum
dan menerjang kembali. Dengan tenang
Kiageng Tunjung Biru menghindar lagi.
Di saat menghindar ini, ia menjadi
tahu baliwa dua ekor harimau ini
seekor jantan dan seekor betina. Yang
betina susunya besar, menjadi tanda
masih menyusui anaknya.
Tiba-tiba saja wajahnya berseri.
Desisnya. Terima kasih ya Dewata
Agung. Kau menolong kesulitanku. Hemm,
harimau ini bisa menolong dengan air
susunya.
Orok merah itu lalu dipondong di
tangan kiri. Ketika dua ekor harimau
itu menyerang lagi, ia bukan hanya
menghindar, tetapi menggeser diri ke
samping membungkukkan tubuh. Secara
tidak terduga, tangan kanan bergerak
seperti kilat cepatnya menepuk leher
harimau betina. Ketika yang jantan
menyerang, ia pun menepuk leher
harimau itu hingga mengaum kesakitan
dan terguling.
Tetapi hanya sejenak. Dua ekor
harimau itu sudah kembali menerjang.
Kiageng Tunjung Biru tidak gentar,
lagi-lagi tangan kanan memukul.
Akibatnya dua ekor harimau itu
sekarang roboh di tanah tetapi tidak
mati.
Bibir kakek ini tersenyum. Ia
menghampiri si betina, lalu katanya
halus, Macan, berikan air susumu untuk
bocah ini.
Dua ekor harimau yang sudah tidak
dapat bergerak itu hanya menggeram
lirih, sedangkan si kakek lalu
mendekatkan mulut orok itu ke puting
harimau.
Hati kakek ini terharu melihat si
orok menyusu lahap sekali. Cukup lama
orok ini menyusu. Dan sesudah kenyang,
si orok tertidur pulas.
Orok merah itu kemudian dipondong
kembali, didekapnya di dada penuh
kasih sayang.
Untuk beberapa saat lamanya kakek
ini berdiri di samping harimau itu.
Kemudian terpikir tiap kali orok ini
lapar, bayi ini akan menangis dan
minta air susu. Maka jalan satu-
satunya untuk menyelamatkan bayi ini
hanya minta bantuan seseorang agar
memberikan susunya.
Namun tiba-tiba timbul pula rasa
keraguannya. Dengan minta bantuan
orang, bagaimanapun membuat orang itu
repot
Kemudian terlintas dalam
benaknya, untuk kepentingan si bayi
ini sebaiknya harimau betina ini
ditangkap saja, dijadikan sebagai
pengganti ibu. Ia pernah mendengar
cerita gurunya, air susu harimau
pengaruhnya besar sekali bagi orok,
bisa mempunyai daya tahan yang lebih
dibanding manusia.
Tetapi sebaliknya segera timbul
keraguannya pula. Timbul pertanyaan
dalam hati, bagaimanakah dengan anak
harimau ini yang juga masih butuh
susu? Mereka akan mati apabila
induknya tidak pulang ke sarang. Ia
menjadi tidak tega, maka kemudian dua
ekor harimau tersebut dibebaskan
kembali agar dapat menuju kembali ke
sarang.
Orok merah itu lalu dibungkus
kain dan diemban. Bayi yang belum
punya nama ini tetap tidur pulas dan
membuat kakek ini amat senang.
Diambillah kemudian sepotong
ranting kayu kering. Lalu dengan
sentuhan perlahan pada punggung, dua
ekor harimau ini dapat bergerak kem-
bali. Dua ekor harimau ini melompat
sambil menggeram. Tetapi di luar
dugaannya, setelah harimau itu saling
menyentuhkan hidungnya tidak mau pergi
malah mendekam. Lalu sambil menggeram
lirih, dua ekor harimau ini
menggerakkan kaki depan dan mencakar
tanah.
Melihat sikap harimau ini,
Kiageng Tunjung Biru ketawa lirih.
Katanya halus, Bagus! Kamu tunduk?
Terima kasih. Sekarang pulanglah ke
sarangmu, bawa semua anakmu lalu
pulang bersama dengan aku. Ketahuilah
aku membutuhkan air susumu guna
membantu bayi ini. Nah, cepat pergilah
dan aku menunggu di sini.
Entah tahu atau tidak maksud
ucapan kakek ini, dua ekor harimau itu
menggeram lirih. Sesaat kemudian
mereka pergi masuk semak belukar dan
tidak tampak lagi.
Kiageng Tunjung Biru menghela
napas dalam tetapi lega. Orok merah
itu kemudian diambil dan ditimang-
timang dengan bibirnya tersenyum dan
wajah berseri. Orok merah ini mungil
dan cantik, keturunan ksatrya pula. Ia
tidak mau melepaskan lagi dan bertekad
akau mengasuh sampai dewasa.
Hemm, kau belum punya nama,
Cucuku, bisiknya. Tetapi ahh.....sulit
juga aku memilih nama yang tepat
untukmu.....
Untung kemudian kakek ini
teringat kepada pohon yang menaungi
pondoknya, pohon Tanjung. Bibirnya
tersenyum lalu katanya, Bagus! Namamu
Dewi Sritanjung. He heh heh heh, Dewi
Sritanjung, Nama yang bagus.....cocok
dengan yang punya....
Sebenarnya ia ingin sekali
mencium pipi montok bayi ini. Namun
timbul kekhawatirannya kalau tersentuh
oleh kumisnya, orok itu akan terjaga
dari tidurnya. Oleh sebab itu kakek
ini menjadi puas kendati hanya
memandang saja.
Tidak lama kakek ini menunggu.
Beberapa saat kemudian terdengar suara
gemerisik di tengah semak dan
muncullah sepasang harimau yang tadi
disertai dua ekor anaknya yang baru
sebesar kambing, tetapi gerakannya
sudah gesit.
Ia memandang empat ekor harimau
itu dengan bibir tersenyum dan
kepalanya mengangguk puas. Ia
bersyukur kepada Dewata Agung
kesulitannya mencari air susu untuk
Dewi Sritanjung dapat diatasi.
Bagus! Sekarang ikutlah aku
pulang, katanya halus.
Kiageng Tunjung Biru melangkah
perlahan dan harimau itu seperti tahu
perintahnya mengikuti langkahnya
dengan patuh. Malah dua ekor anak
harimau tutul itu lebih jinak lagi,
berjalan mengapit kakek itu sambil
kadang kala menyentuhkan tubuhnya ke
kaki.
Setiba di pondok dibiarkannya
empat ekor harimau itu ikut menghuni
pondoknya. Empat ekor harimau ini
memilih tidur di bawah pembaringan.
Kiageng Tunjung Biru memberi
kebebasan kepada mereka. Namun
demikian kakek ini selalu waspada agar
Sritanjung tidak terganggu.
Pada mulanya setiap Sritanjung
membutuhkan air susu, kakek ini
bersikap hati-hati. Namun setelah
induk harimau itu benar-benar jinak,
penurut dan setia, kakek ini menjadi
gembira dan tidak kuatir lagi.
Kesetiaan induk harimau kepada
Sritanjung ini terbukti, setiap bayi
itu menangis, tanpa diperintahkan
induk harimau sudah melompat ke atas
ambin, lalu memberikan susunya.
Tingkah laku induk harimau ini
menyebabkan kakek ini terharu. Betapa
tidak? Seekor harimau memberikan kasih
sayangnya kepada bayi manusia. Anehkan
peristiwa ini? Tidak! Semua sudah
sejalan dengan kehendak Dewata Agung.
Kendati binatang induk itu juga
mempunyai naluri untuk memberikan
kasih sayang kepada anak.
Sebagai balas jasa kepada harimau
kesayangan itu dan agar tidak gampang
diganggu orang, kemudian kakek ini
melatih semacam gerakan ilmu tata
kelahi. Ternyata dua ekor anak harimau
itu lebih gampang dilatih, dibanding
dengan yang sudah dewasa.
Tanpa terasa setahun sudah
berlalu. Sejak berumur sepuluh bulan,
berkat air susu harimau Dewi
Sritanjung sudah pandai berjalan. Anak
ini tumbuh sehat dan baru berumur
setahun sudah bisa berlari-lari.
Sedang empat ekor harimau tutul yang
jinak itu amat kasih dan sayang kepada
Sritanjung.
Berkat latihan yang diberikan
Kiageng Tunjung Biru, gerakan empat
ekor harimau tersebut menjadi gesit
dan tak gampang diganggu manusia. Dan
berkat hubungannya dengan kakek itu
pula, kalau dahulu harimau ini sering
makan daging manusia, sekarang tidak
mau lagi. Harimau ini hanya menangkap
dan makan daging binatang yang
ditemukan di dalam hutan.
Tambah besar, kecantikan Dewi
Sritanjung semakin tampak.
Pertumbuhannya cepat, kuat dan hampir
tidak pernah sakit. Kiageng Tunjung
Biru menduga, kesehatan anak ini tentu
pengaruh air susu harimau. Karena itu
besar harapannya agar di kemudian hari
Dewi Sritanjung menjelma sebagai
seorang wanita perkasa dan menjadi
penerus sejarahnya serta dapat membawa
harumnya nama Sritanjung sendiri.
Ketika Dewi Sritanjung berumur
lima tahun, bocah ini tumbuh menjadi
anak luar biasa. Kecuali menjadi bocah
yang tabah dan berani juga sehari-
harinya bercanda dan menunggang
harimau, yang sekarang anak harimau
itu sebesar induknya.
Sejak berumur empat tahun bocah
ini sudah mendapat latihan dasar ilmu
beladiri. Maka sekali pun baru berumur
lima tahun, ia sudah menjadi bocah
luar biasa. Ia tidak kesulitan
melompat maupun meloncat turun dari
punggung harimau. Larinya cepat sekali
dan gerakannya lincah. Tetapi karena
dalam pondok ini manusia satu-satunya
yang menjadi kawan hanya Kiageng
Tunjung Biru, maka sikap bocah ini
amat manja. Ia memanggil kakek dan
suka minta gendong. Kalau kakek itu
tidak sedia, ia menangis.
Perputaran roda dunia ini
sekalipun tampaknya lambat namun
selalu tetap dan tidak pernah
berhenti. Karena itu tidak terasa enam
belas tahun sudah lewat. Sritanjung
menjadi dara remaja cantik jelita.
Kecantikannya seperti pinang dibelah
dua dengan ibunya, Dewi Anwari.
Sebaliknya pertumbuhan tubuhnya
dipengaruhi oleh darah ayahnya, Nala.
Ia menjadi seorang dara remaja yang
bertubuh semampai dengan tinggi yang
cukupan.
Kiageng Tunjung Biru semakin
menjadi kasih berbareng bangga.
Ternyata harapannya sekarang terkabul.
Cucu pungut ini bukan saja cantik
jelita, tetapi juga berilmu tinggi.
Memang sudah ada bakat yang dibawa
sejak lahir. Berkat gemblengan lahir
dan batin sejak kecil, bukan saja
Sritanjung menjelma sebagai gadis per-
kasa, tetapi juga mempunyai pandangan
luas.
Suatu hari Kiageng Tunjung Biru
mengerutkan alis disamping gelisah.
Sejak pagi Sritanjung pergi dengan dua
ekor anak harimau yang diberi nama
Manis dan Tumpak. Nama Manis untuk
anak harimau yang betina, sedang
Tumpak untuk yang jantan.
Kegelisahan kakek ini bukan main
karena matahari sudah bergerak ke
barat, namun mereka belum juga tampak
pulang. Tidak biasa bagi Sritanjung
pergi begitu lama seperti sekarang.
Sedang kalau menyuruh dua ekor harimau
yang lain untuk menyusul dan mengajak
pulang tidaklah mungkin. Harimau tidak
dapat bicara, maka sekali pun jinak
tidak bisa berkomunikasi seperti
semula.
Akhirnya ia sendiri yang harus
meninggalkan pondok setelah berpesan
kepada dua ekor harimau itu supaya
tetap menjaga pondok.
Apa yang sudah terjadi dengan
Sritanjung? Adakah masalah yang
menyebabkan gadis ini tertahan pulang?
Dugaan ini memang benar. Sritanjung
menghadapi dan sekaligus mengalami
peristiwa baru.
Pagi itu seperti biasanya,
Sritanjung disertai Manis dan Tumpak
pergi menjelajah hutan, di samping
bermaksud memberi kesempatan agar
harimau ini mendapatkan mangsa segar.
Tanpa disadari perjalanan alam
ini terlalu jauh. Dara remaja yang
mulai mengenal keindahan alam ini
menjadi kesengsem oleh indahnya hutan
belantara yang belum terjamah manusia
disamping terpikat pula oleh kicau
burung. Kemudian ketika merasa gerah,
ia duduk mengaso dan duduk di alas
batu dinaungi pohon rindang. Sedang
Tumpak dan Manis pergi mencari mangsa.
Di saat Sritanjung menyandarkan
kepala pada bateng pohon dan menikmati
kicau burung, tiba-tiba ia terkesiap
mendengar aum harimau. Ia kenal, auman
itu merupakan jerit marah. Kemudian ia
menduga tentu Tumpak dan Manis yang
sedang marah oleh gangguan manusia
atau binatang lain.
Kendati ia percaya Tumpak dan
Manis pasti dapat mengatasi kesulitan
yang dihadapi, namun Sritanjung tidak
tega berpekik tangan. Dari mulutnya
segera terdengar pekik nyaring hampir
serupa dengan aum harimau yang tadi ia
dengar. Belum juga lenyap suara
lengkingannya, tubuh sudah berkelebat
lenyap ditelan oleh rumpun belukar.
Gerakannya benar-benar gesit.
Ketika auman dari Tumpak dan
Manis makin tambah nyaring, gerakan
gadis ini menjadi semakin cepat. Maka
semakin kuat dugaannya, Tumpak dan
Manis berhadapan dengan bahava dan
membutuhkan pertolongan.
Tidak sulit bagi Sritanjung
menemukan Tumpak dan Manis. Auman
nyaring dan panjang itu menjadi
petunjuk ke mana dirinya harus menuju.
Tiba-tiba saja sepasang mata
gadis ini menyala seperti menyinarkan
api. Dugaannya benar baik Tumpak
maupun Manis sedang berkelahi
mengeroyok laki-laki muda bertubuh
gagah dan tampan. Pakaiannya indah
gemerlapan, menjadi tanda bukan pemuda
sembarangan. Setidak-tidaknya sesuai
dengan cerita kakeknya, pemuda ini
tentu anak seorang kaya atau
berkedudukan tinggi.
Pemuda itu menghadapi Tumpak dan
Manis hanya bertangan kosong.
Terdengar seruan kagum berkali-kali
dari mulut pemuda itu, ketika pukulan
balasannya mengenai tempat kosong.
Hebat! Kamu harimau hebat dan aku
kagum! desis pemuda itu.
Gerakan harimau yang dihadapi
sekarang ini, baik dalam menerkam,
menyerang maupun menghindar demikian
teratur. Ia baru kali ini berhadapan
dengan harimau yang ia anggap aneh.
Harimau yang menarik perhatian, hingga
pemuda itu tidak tega menggunakan
senjata maupun melukainya.
Ternyata pemuda itu berilmu
tinggi. Kendati bertangan kosong,
dengan tinju dan tendangan kaki ia
berhasil membuat harimau itu terpental
dan mengaum keras. Rasa sakit oleh
pukulan dan tendangan itu menyebabkan
Tumpak dan Manis marah. Gerakannya
menjadi semakin ganas, kuku yang
runcing dan taring yang mengerikan
setiap saat siap untuk merobek-robek
kulit dan daging pemuda tampan itu.
Kalau dua ekor harimau itu tamhah
marah, si pemuda tampan tambah heran
berbareng kagum. Pukulan dan
tendangannya sanggup merobohkan pohon
sebesar paha dan batu sebesar kambing.
Akan tetapi mengapa sekarang
berhadapan dengan harimau saja pukulan
dan tendangannya tidak berdaya?
Makin kuat dugaannya tentu bukan
harimau biasa, tetapi piaraan seorang
sakti yang sudah terlatih. Memperoleh
dugaan demikian ia menjadi khawatir
kalau pemiliknya menjadi marah. Lalu
timbullah niatnya untuk melompat dan
kemudian melarikan diri agar tidak
bermusuhan dengan pemiliknya.
Tetapi sebelum pemuda itu sempat
melarikan diri sudah terdengar seruan
nyaring, Kurangajar! Engkau berani
mengganggu harimauku? Tumpak, Manis,
mundurlah. Aku yang menghajar manusia
busuk itu!
Tumpak dan Manis yang sudah
terlatih itu mengerti maksud
majikannya. Hampir berbareng dua ekor
harimau itu mengaum lirih sambil me-
lompat mundur. Tetapi tampaknya
harimau itu masih penasaran, sebelum
dapat mengalahkan lawannya sudah
diperintah mundur.
Dengan gerakan indah Sritanjung
melompat lalu bertolak pinggang. Sinar
matanya marah menyinarkan api tetapi
wajahnya yang amat cantik menyebabkan
pemuda itu terpesona. Sekalipun sedang
marah tetapi menurut pandangan pemuda
itu seperti seorang dara yang sedang
pamer kecantikanrrya. Dan saking
terpesona, ia seperti tidak mendengar
teguran Sritanjung.
Sritanjung membantingkan kakinya
dan tambah marah. Bentaknya, Hai!
Tulikah kau? Dan kau sedang memandang
apa? Dengarlah baik-baik, aku bertanya
kepada dirimu. Apakah sebabnya kau
mengganggu harimau piaraanku?
Pemuda itu tersenyum, lalu
jawabnya halus, Nona.,., di dalam
hutan banyak terdapat binatang buas
yang berkeliaran. Manakah mungkin aku
bisa tahu harimau ini ada pemiliknya?
Tetapi yang jelas aku tidak bermaksud
mengganggu harimau ini. Dengarlah, aku
tadi sedang lewat di tempat ini dan
tanpa sebab, harimau itu sudah
menyerang diriku. Untuk mempertahankan
nyawa tentu saja aku melawan. Salahkah
orang yang membela diri dalam usaha
menghindari bahaya? Meskipun demikian
aku tidak berusaha melukai harimau
itu.
Tetapi pukulan dan tendanganmu
membuat harimauku kesakitan!
Sritanjung membentak. Engkau menghina
harimauku, berarti pula sudah menghina
diriku!
Memang tidak mengherankan apabila
Sritanjung bersikap segalak ini. Sejak
kecil dan tumbuh menjadi remaja hidup
dan terpisah dari masyarakat. Sedang
satu-satunya manusia yang ia kenal
hanyalah kakek dan sekaligus gurunya,
Kiageng Tunjung Biru, dan yang lain
hanyalah harimau.
Selama ini terhadap Kiageng
Tunjung Biru, sikapnya selalu manja
dan sebaliknya selalu dituruti
kemauannya oleh kakeknya.
Pemuda itu terbelalak mendengar
tuduhan gadis ini. Namun ia
menyabarkan diri dan bertanya, Aku
menghina Nona? Bagaimana mungkin?
Bertemu baru kali ini, bagaimanakah
aku bisa menghina? Aku berani
bersumpah, tidak sengaja mengganggu
harimau itu dan akupun hanya membela
diri saja.
Hemm, Sritanjung mendengus. Jika
engkau tidak sengaja menghina diriku,
engkau harus minta maaf.
Baiklah Nona, aku minta maaf!
Huh, enak saja kau mengucapkan
kata-kata minta maaf.
Pemuda itu melengak dan
keheranan. Katanya dalam hati, Aneh
sekali gadis ini. Orang sudah minta
maaf sesuai dengan permintaannya,
namun masih juga dianggap kurang.
Bagaimanakah maksud Nona?
Aku baru mau memaafkan
kelancanganmu, jika kau mau berlutut
dan mengangguk tujuh kali!
Keterlaluan gadis ini! pikir si
pemuda.
Ia merasa tidak bersalah. Kalau
tadi ia bersedia minta maaf, tidak
lain oleh perasaannya yang segan untuk
bertengkar. Tetapi kalau sekarang
disuruh berlutut, manakah mungkin? Hal
itu merupakan penghinaan terhadap
dirinya. Karena itu ia menatap gadis
ini penuh perhatian.
Nona, sahutnya, kuharap Nona
jangan menghina orang. Aku sudah
bersedia minta maaf sesuai dengan
permintaamu, sekalipun aku tidak
bersalah. Tetapi kalau harus berlutut
di depanmu, maaf, tak mungkin aku
bersedia melakukannya. Aku sudah
mengalah, tetapi sekalipun demikian
aku tidak mau direndahkan orang.
Dewi Sritanjung mendelik. Katanya
dingin, Hemm, kau berani membandel di
depanku? Bagus, hi hi hik. Agaknya kau
memang belum kenal siapa Sritanjung.
Berbareng dengan ucapannya yang
terakhir, dengan gerakan gesit dan
ringan, Sritanjung menerjang maju.
Arah tangan itu yang kiri mencengkeram
leher sedang tangan kanan mencengkeram
pusar.
Tangan gadis ini memang kecil.
Tetapi sekalipun kecil, akibatnya akan
hebat bagi orang yang terkena
cengkeramannya.
Pemuda itu mengerutkan alis tidak
senang. Mengapa disamping galak, gadis
ini juga membawa kemauannya sendiri.
Wajahnya cantik jelita, tetapi apakah
sebabnya seliar ini? Tentu saja si
pemuda tidak mau mengalah. Ia lalu
menggeser kaki ke kiri, kemudian
dengan gerak tangan yang cepat, ia
berusaha menangkap lengan gadis galak
ini. Sekalipun demikian ia masih agak
segan, sebab tidak merasa bermusuhan
dan kalau salah tangan malah bisa
menyesal seumur hidup.
Tuduhan untuk Sritanjung sebagai
gadis galak memang tidak terlalu
salah. Tetapi keliaran dan
kegalakannya ini bukan sebagai
pencerminan watak. Semua ini adalah
akibat hidupnya yang terasing dari
pergaulan. Ia hampir tidak pernah
bertemu dengan orang lain, kecuali
kakek dan sekaligus gurunya. Sebagai
akibat hidupnya yang terasing itu,
walaupun Kiageng Tunjung Biru
mengajarkan pula tentang tata santun
masyarakat, dalam praktek gadis ini
belum tahu. Karena itu ketika
perintahnya tidak diturut, ia menjadi
marah lalu menyerang. Setelah
serangannya dapat dihindari dengan
mudah, ia penasaran. Ia menjadi lupa
kepada petunjuk gurunya, lalu
menyerang dan menyerang lagi.
Pemuda tampan itupun seorang muda
dan baru berumur dua puluh dua tahun.
Kendati semenjak kecil telah
digembleng kesabaran oleh gurunya,
tidak urung menjadi panas oleh
pengaruh darah mudanya. Tiga kali
Sritanjung menyerang ia hanya
menghindar dan tidak membalas. Tetapi
sesudah tiga kali menghindar dan gadis
itu masih saja menyerang, pemuda ini
menjadi gatal tangan dan membalas.
Bagus, hi hi hi hik, agaknya kau
mempunyai kepandaian pula, maka kau
menjadi sombong. Marilah kita uji
siapakah di antara kita yang lebih
unggul! ujar Sritanjung tanpa
menghentikan serangannya yang cepat
dan berbahaya.
Dua orang muda ini segera
terlibat dalam perkelahian sengit.
Bagi Sritanjung apa yang terjadi
sekarang ini merupakan peristiwa yang
pertama kali berkelahi sungguh-
sungguh. Biasanya ia selalu berlatih
dengan harimau piaraannya. Namun sejak
usianya meningkat, semua harimau itu
tidak bisa menang lagi sekalipun
mengeroyok. Lawan satu-satunya untuk
berkelahi dan berlatih hanyalah
Kiageng Tunjung Biru.
Tetapi berlatih jauh berlainan
dengan berkelahi sungguh-sungguh.
Dalam berlatih, gurunya lebih banyak
memberi petunjuk. Tetapi sekarang ia
berhadapan dengan bahaya apabila
sedikit lengah saja.
Walaupun gadis ini masih canggung
dan belum berpengalaman, tetapi
gerakannya amat cepat di samping
mantap. Hanya sayang karena kurang
pengalaman ia banyak kali tertipu oleh
siasat lawan. Keadaan ini amat
merugikan Sritanjung kalau saja ia
bukan gadis luar biasa.
Pengaruh bakat dasar sejak lahir
dan pengaruh air susu harimau yang
menjadi tiang hidupnya sejak bayi,
ternyata benar-benar luar biasa
seperti yang sudah diduga oleh Kiageng
Tunjung Biru. Di samping mempunyai
kekuatan tubuh luar biasa, tabah luar
biasa, kegesitan dan kelincahannya
sulit dicari bandingannya.
Diam-diam si pemuda heran
berbareng kagum. Masih muda belia,
gerakannya masih canggung, tetapi ilmu
tata kelahinya merupakan ilmu tingkat
tinggi. Maka semakin kuat dugaannya
baik yang memelihara harimau maupun
guru gadis ini tentu tokoh sakti
mandraguna. Terpikir demikian pemuda
ini semakin hati-hati dan tidak berani
sembrono. Kemudian malah timbul
niatnya untuk mengakhiri perkelahian
tanpa sebab ini dengan jalan melarikan
diri. Karena itu ia segera melancarkan
serangan berantai, berbareng itu ia
melompat panjang dan melarikan diri.
Jangan lari! teriak Sritanjung.
Tubuhnya melesat seperti anak
panah lepas dari busur. Tahu-tahu
pemuda tampan itu terbelalak kaget
berbareng kagum. Kemudian dengan gugup
pemuda ini melompat ke samping untuk
menghindari serangan Sritanjung. Dan
saking gugupnya sekalipun sudah
berusaha, pundaknya masih juga
terpukul.
Kalau tidak mengalami sendiri
tentu tidak percaya. Selama ini
dirinya dikenal orang sebagai pemuda
jago lari dan kegesitannya sulit
dicari, sehingga orang memberi julukan
Si Tapak Angin, Gurunya sendiri juga
selalu memuji, kiranya takkan ada
manusia lain yang dapat bergerak
secepat dan seringan dirinya.
Tetapi yang terjadi ini di luar
dugaannya. Gadis muda belia ini
memiliki gerakan yang lebih cepat lagi
dan tahu-tahu sudah menghadang di
depannya dan melancarkan pukulan lagi.
Kendati tinju perempuan,
pundaknya terasa sakit juga. Ia
menjadi penasaran dan maksudnya untuk
lari diurungkan, meskipun sikapnya
masih tetap mengalah.
Hemm, kau terlalu mendesak aku
dan memaksa, dengusnya tidak senang.
Sekarang kau jangan menyesal apabila
aku terpaksa melawan dan
mengalahkanmu.
Hi hi hik, sombongnya! ejek gadis
itu. Apakah engkau tadi hanya main-
main dan tidak melawan? Jika kau tidak
membandel tentu saja aku tidak
mendesak terus. Cepat lah kau berlutut
dan mengangguk tujuh kali. Sesudah itu
kau boleh pergi tanpa ada yang
mengganggu lagi.
Kalau aku tak mau?
Kuhajar kau sampai babak belur!
Kalau perlu harimauku ini akan
merobek-robek kulit dan dagingmu.
Hemm, dengus pemuda itu. Kau mau
menghajar aku dengan apa?
Pukulan dan tendanganku akan
sanggup menghajar engkau sampai
jungkir balik. Apakah kau ingin
merasakannya?
Enak saja kau bicara. Tetapi
eh... sayang...
Apanya yang sayang? gadis ini
mendelik.
Sayang... wajahmu cantik tetapi
kau galak seperti kucing...
Huh, kau seperti kerbau. Ah
tidak.... engkau tampan tetapi...
bandel dan keras kepala seperti
gendruwo.....
Kau sudah pernah ketemu dengan
gendruwo itu?
Belum. Apakah kau sudah pernah
tahu ? Katakanlah seperti apa yang
disebut gendruwo itu.
Pemuda ini menjadi geli mendengar
pertanyaan ini. Jelas sekali sifat
kekanak-kanakan gadis ini belum
hilang. Dan sekalipun sikapnya galak,
tetapi gadis ini polos dan jujur.
Adakah gadis lain berani berterus
terang menyebut "tampan" seperti gadis
ini? Ia belum pernah ketemu dengan
wanita macam ini yang berterus terang
memuji ketampanannya kecuali ibu dan
keluarganya sendiri.
Pemuda ini tentu saja tidak tahu,
pengaruh keterasingannya, menyebabkan
Sritanjung tidak kenal arti bohong,
menipu, dusta dan perbuatan tidak baik
yang lain. Bicaranya selalu jujur dan
merupakan pencerminan batinnya. Justru
Sritanjung tidak kenal tata cara dalam
pergaulan masyarakat, dan tidak pada
tempatnya seorang gadis berterus
terang memuji ketampanan seorang pe-
muda, maka Sritanjung mengucapkan
tanpa malu.
Tiba-tiba saja pemuda ini
tertawa. Ia tertawa geli yang tidak
dapat ditahan lagi. Karena baru kali
ini saja ia mengalami hal aneh, di
tengah berkelahi, tegang dan
berbantahan, tahu-tahu sudah
menyeleweng kepada suatu persoalan
yang tanpa hubungan sama sekali.
Hai! Apakah sebabnya kau ketawa
seperti monyet....? bentaknya.
Ha ha ha, apakah kau sudah pernah
tahu ada monyet tertawa seperti aku?
goda si pemuda.
Hemm... tak usah melucu! hardik
Sritanjung sambil mendelik. Jawab
pertanyaanku. Gendruwo itu seperti
apa?
Aku tidak tahu. Tentunya kau
malah lebih tahu dibanding aku.
Tidak! Kau mesti tahu. Sekarang
terangkanlah, gendruwo itu seperti
apa?
Jika kau mendesak, baiklah.
Menurut cerita kakek, gendruwo itu
serupa manusia. Tetapi gendruwo itu
sebangsa hantu dan jarang menampakkan
diri. Namun kalau sudah mau
menampakkan diri tubuhnya tinggi besar
seperti raksasa. Dan gendruwo itu juga
suka sekali menjelma seperti manusia
dan suka pula mengganggu perempuan....
Ihh... tidak! Manakah ada
perempuan mau?
Ini kakek yang bilang. Aku
sendiri tidak tahu benar dan tidaknya.
Sambil menjawab pemuda itu melirik dan
tersenyum-senyum. Dalam hati pemuda
ini sungguh kagum kepada Sritanjung.
Pakaiannya dari bahan kasar, sanggul
rambutnya hanya dihias dengan sekuntum
bunga hutan, tanpa perhiasan apapun,
kecuali seuntai kalung emas dengan
hiasan garuda. Namun ternyata
kesederhanaan dara ini sedemikian
menarik dan mempesona. Gadis yang
masih asli dan cantik pemberian alam.
Hai mulutmu! Mengapa senyum-
senyum dan matamu lirak-lirik? bentak
dara ini. Jelas kau ini laki-laki
tidak baik. Hayo cepat, kau mau
menurut apakah tidak? Mau berlutut dan
mengangguk tujuh kali apakah tidak?
Meledak ketawa pemuda ini saking
geli oleh sikap gadis ini yang ia
anggap aneh. Baru saja gadis ini
bertanya tentang gendruwo tahu-tahu
sekarang sudah tersinggung dan marah.
Oleh sebab itu kemudian timbul
keinginan pemuda ini untuk menggoda.
Ada apakah dengan mulutku?
tanyanya. Mulut ini adalah mulutku
sendiri, apakah sebabnya kau mau
mencampuri ? Mau tersenyum, mau ter-
tawa, mau menangis, toh tidak ada
hubungannya dengan kau. Lalu apakah
sebabnya kau menjadi marah? Dan
tentang mataku ini, ada apa pula? Mata
bertugas untuk memandang. Mata tidak
bisa digunakan untuk urusan lain. Mata
ini juga aneh. Mata hanya mau
memandang yang serba menarik dan
indah. Mata...
Sudahlah! Aku tidak butuh bicara
tentang mata. Sekarang lekaslah. Kau
mau berlutut apa tidak?
Pemuda ini sekarang tidak main-
main lagi. Ia mengamati Sritanjung
dengan mata berkilat. Sahutnya.
Nona.... apakah maksudmu yang
sebenarnya?
Maksudku? Hmm, karena kau sudah
mengganggu dan menyakiti harimauku,
maka aku harus membalas. Aku harus
menyakiti engkau seperti yang sudah
kaulakukan terhadap Tumpak dan Manis.
Siapakah Tumpak dan Manis itu?
Siapa lagi kalau bukan dua
harimau yang tadi sudah kauganggu?
Hayo, jika engkau benar laki-lak…
Aku memang laki-laki. Siapa
bilang aku perempuan?
Jangan cerewet. Rasakan
pukulanku! Hampir berbarengan dengan
ucapannya, tubuh Sritanjung sudah
melesat dan menerjang ke depan.
Pemuda ini sudah tahu, dara
cantik ini mempunyai gerakan gesit
luar biasa. Ia tidak boleh sembrono
dan ia pun cepat melesat ke samping
sambil mengebutkan telapak tangan
untuk menghalau serangan. Kemudian dua
orang muda ini terlibat perkelahian
seru dan sengit.
Plak... plak... Aihh...
Tubuh Sritanjung terpental dan
jungkir balik dua kali. Kemudian gadis
ini berdiri tanpa suara, nampak kaget!
Wajah yang cantik itu sebentar merah
dan sebentar pucat. Ia tampak amat
penasaran pukulannya ditangkis lawan
dan akibatnya malah dirinya terpental
sedang lengannya bergetar seperti
lumpuh.
Sekalipun demikian hati gadis ini
terhibur juga. Dirinya terpental
tetapi pemuda itu terhuyung ke
belakang beberapa langkah.
Kalau Sritanjung penasaran,
pemuda ini kagum bukan main. Tidak
pernah dia sangka, disamping
gerakannya cepat, gadis ini juga hebat
tenaganya.
Sringg...!
Saking marahnya Sritanjung sudah
mencabut pedang. Sinarnya kebiruan,
berkilau dan jelas merupakan pedang
pusaka.
Tahan! pemuda ini menjadi kaget
dan berteriak. Apakah maksud Nona
mencabut pedang?
Hemm, kau mengandalkan kekuatan
tenaga maka menjadi sombong dan tak
memandang sebelah mata kepadaku. Lekas
cabut senjatamu dan lawanlah pedangku
ini.
Nona, mengapa hanya soal sepele
harus diselesaikan dengan senjata?
Ingatlah! Kita tidak bermusuhan dan
senjata tidak punya mata. Baiklah
sekarang aku menuruti perintahmu. Aku
akan berlutut di depanmu dan
mengangguk tujuh kali sebagai
permintaan maaf.
Jelas pemuda ini bersikap
mengalah, dengan bersedia berlutut dan
mengangguk tujuh kali, sekalipun hal
ini berarti mengorbankan
kehormatannya. Sikap yang mengalah ini
jelas bahwa si pemuda memang segan
berurusan dengan gadis ini.
Celakanya sikap ini malah
diterima secara salah oleh Dewi
Sritanjung. Ia merasa amat direndahkan
dan dirinya dianggap belum berharga
sebagai lawan bertanding. Karena salah
paham, Sritanjung malah melengking
nyaring sambil menggerakkan pedangnya
untuk menyerang.
Mampuslah!
Sinar biru yang panjang itu
bergulung-gulung cepat sekali,
membungkus tubuh si pemuda.
Tahan! tring...! Si pemuda
berteriak sambil melompat mundur.
Entah bagaimana caranya bergerak,
tahu-tahu si pemuda sudah memegang pe-
dang dan berhasil menangkis.
Pedang Sritanjung tergetar dan
gadis ini merasakan pula tangannya
panas. Sritanjung melintangkan
pedangnya di depan dada dengan sikap
garang dan dada yang membukit itu
berombak.
Katakanlah apa maksudmu?
Nona, sekali lagi senjata tidak
bermata. Apakah sebabnya kau biarkan
pedang ikut bicara? Daripada kita
saling tegang dan berkelahi, bukankah
lebih enak kita berkenalan dan
berbicara baik-baik?
Huh huh, siapa yang sudi kenal
dengan kau? Sudahlah, tidak perlu
bicara lagi. Awas pedang...!
Pedang Sritanjung berkelebat lagi
dan menyerang. Kemudian kembali
menjadi gulungan warna putih kebiruan.
Pemuda ini mengeluh dan menyesal.
Mengapa gadis secantik ini keras
kepala dan tidak mau mendengar maksud
baiknya? Saking jengkel, tiba-tiba
saja timbul pikirannya, gadis jelita
ini disamping galak, keras kepala dan
juga sombong. Karena merasa dirinya
berilmu tinggi, menyebabkan tidak mau
memandang sebelah mata kepada orang
lain.
Mendapat gagasan seperti ini
kemudian timbul niatnya untuk memberi
hajaran yang setimpal agar perempuan
ini tahu betapa tingginya langit dan
luasnya jagad. Agar tidak hanya
membawa kemauannya sendiri, dan tidak
mau mendengar nasihat orang lain. Ia
bermaksud baik, demi hari depan gadis
itu sendiri.
Mendapat gagasan demikian, pemuda
ini segera melayani dengan pedangnya.
Akan tetapi sekalipun demikian pemuda
ini cukup hati-hati dan bijaksana.
Hati-hati karena sinar pedang dara
yang bersinar kebiruan itu merupakan
pedang pusaka. Salah sedikit saja
pedangnya bisa rusak atau malah patah
sama sekali. Sedangkan bijaksana, ia
harus berusaha agar gadis ini tidak
terluka. Sebab kalau sampai terluka,
maksud baiknya tidak mungkin terwujud.
Malahan mungkin gadis yang belum ia
kenal namanya ini akan membenci
dirinya.
Dua orang muda ini masing-masing
bertenaga penuh. Bedanya si pemuda
lebih matang, gerakan pedangnya sudah
sejiwa dengan hati dan pikirannya,
mantap tetapi cukup hati-hati.
Sebaliknya gerakan Sritanjung walaupun
cepat masih canggung. Dengan demikian
masing-masing pihak mempunyai
kelebihan dan kelemahan.
Makin lama perkelahian menjadi
semakin sengit. Pedang dua orang muda
ini saling libat dan berusaha menang.
Tumpak dan Manis berdiri
berdampingan sambil menggeram lirih,
dan kaki depannya mencakar tanah.
Agaknya dua ekor harimau ini merasa
penasaran dan gelisah melihat
majikannya belum pula dapat
mengalahkan lawan.
Tring trang tak plak....
Masing-masing terhuyung dua
langkah ke belakang. Tetapi detik
selanjutnya mereka sudah terlibat lagi
dalam perkelahian yang lebih seru. Ma-
sing-masing terbakar oleh darah
mudanya, dan tidak ada yang mau
mengalah.
Pada saat dua orang muda ini
masih mencurahkan perhatian untuk
mendapat kemenangan, terdengar Tumpak
dan Manis mengaum pendek. Kemudian
tampak bayangan berkelebat seperti
thathit (kilat) disusul suara halus.
Mengasolah...!
Tahu-tahu Sritanjung maupun
pemuda ini merasa terdorong oleh
tenaga yang tidak terlawan. Kemudian
mereka terhuyung mundur tiga langkah.
Ternyata Kiageng Tunjung Biru
yang sudah tua itu telah berdiri
dengan bibir tersenyum-senyum, sambil
memandang dua orang muda itu
bergantian. Kakek ini tau dua orang
muda itu masih penasaran dan belum
puas. Namun hal itu tidak boleh
terjadi lalu katanya halus.
Tanjung! Sarungkan pedangmu!
Biasanya Dewi Sritanjung selalu
patuh dan menurut perintah gurunya,
sekalipun sikapnya selalu manja.
Tetapi kali ini adalah lain, ia tidak
menyarungkan pedangnya malah
membantah.
Huh! Aku tak bersalah. Mengapa
sebabnya kakek mencegah aku menghajar
pemuda.... kurang ajar ini ?
Kiageng Tunjung Biru tidak marah
malah tertawa sejuk. Kemudian sambil
mengelus jenggotnya yang putih dan
panjang itu, ia menghela napas pendek.
Ia mengenal watak orang muda apabila
hati sudah terbakar kemarahan tidak
ingat apa-apa lagi.
Sarungkan pedangmu dan kita
bicara.
Lalu kakek ini mengamati si
pemuda sambil berkata halus pula, Anak
muda, penuhilah permintaanku.
Sarungkan pedangmu, tak enak kita
berbicara tetapi melihat pedang
terhunus!
Tanpa membantah lagi pemuda ini
menyarungkan pedangnya. Kemudian dia
membungkuk memberi hormat. Katanya,
Terima kasih dan sudilah Kakek mau
mengampuni kelancanganku. Aku memang
tidak ingin berkelahi, namun cucu
kakek sendiri yang terlalu mendesak
dan terpaksa aku melayani.
Sekalipun masih muda si pemuda
sudah luas pengalaman. Karena itu
berhadapan dengan Kiageng Tunjung
Biru, ia cepat bisa menduga, ber-
hadapan dengan seorang sakti. Sikapnya
berwibawa, pandang matanya sejuk dan
agung, hingga bisa diduga kakek ini
sudah putus (sempurna) dalam bidang
guna kesantikan dan jaya kewijayan. Ia
percaya orang tua seperti ini dalam
segala soal akan menggunakan
kebijaksanaan.
Dugaan pemuda ini ternyata benar.
Kiageng Tunjung Biru mengalihkan
pandang matanya kepada cucu dan
sekaligus muridnya. Katanya halus,
Tanjung, apa yang sudah kaulakukan?
Dia terlalu sombong dan bandel,
Sritanjung menggerutu. Dia menganggu
Tumpak dan Manis, siapa yang tidak
marah?
Kakek ini mengerutkan alis,
mengalihkan pandang mata kepada si
pemuda.
Tetapi sebelum si kakek sempat
menegur, pemuda ini sudah mendahului,
menjelaskan apa yang sudah terjadi.
Keterangannya singkat tidak ditambah
maupun dikurangi.
Mendengar ini makin dalam kerut
alis kakek ini. Dalam hatinya
mengeluh, inilah akibat sikapnya
sendiri yang salah. Sikap yag
memanjakan Sritanjung, hingga muridnya
ini manja. Sebagai akibat kemanjaannya
ini Sritanjung menjadi tidak senang
kepada orang yang membantah kehendak
dan perintahnya. Mau menang sendiri
dan liar.
Tetapi ia seorang tua yang
bijaksana dan luas pandangannya. Kalau
di depan orang lain ia memberi
nasihat, akibatnya malah runyam, dan
Sritanjung bisa salah paham. Karena
itu ia hanya menatap muridnya sambil
bertanya, Tanjung, benarkah keterangan
pemuda ini ?
Sritanjung mengangguk, lalu
menundukkan kepala karena malu, dan
menggerakkan ibu jari kakinya untuk
mencungkil tanah. Kiageng Tunjung Biru
tersenyum dan senang akan kejujuran
Sritanjung.
Hemm, orang muda. Belum jelas
persoalannya sudah lancang menggunakan
senjata. Apakah yang kamu lakukan ini
patut?
Kata-kata kakek ini sebenarnya
ditujukan kepada Sritanjung. Namun
untuk tidak menyinggung perasaan, ia
menunjukan ucapannya kepada dua orang.
Orang muda, katanya lagi. Kamu
harus pandai melatih kesabaran dan
pandai pulalah menggunakan
kebijaksanaan dalam segala persoalan.
Orang yang selalu mendekatkan diri
kepada nafsu amarah, akibatnya
hanyalah akan berhadapan dengan musuh.
Ingatlah kalian, segala sesuatu
hadapilah dengan kebijaksanaan. Dengan
pandangan luas, berkaca kepada
pengalaman dan pengetahuan, karena
semua itu bukan lain untuk kepentingan
kalian sendiri.
Ucapan kakek ini besar sekali
pengaruhnya. Agaknya dua orang muda
ini kemudian baru sadar, apa yang baru
terjadi dan mereka lakukan adalah
tidak benar. Dan merasa perbuatan
mereka salah, seperti ada yang
mempengaruhi, tiba-tiba saja dua
pasang mata ini bertemu pandang. Namun
Sritanjung cepat menundukkan kepala
seraya mengulum senyum manis.
Namun demikian timbul pula rasa
curiga kepada orang muda itu. Apakah
maksud sebenarnya masuk kawasan hutan
ini? Tidak biasanya orang berburu di
hutan ini. Dan tidak biasa pula orang
berani berkeliaran karena takut kepada
empat ekor harimau piaraannya.
Hutan ini oleh orang disebut
hutan Wingit dan ditakuti orang. Akan
tetapi apakah sebabnya pemuda ini
datang juga? Melihat ketampanannya
maupun pakaiannya yang indah, jelas
bukan pemuda desa umumnya.
Orang muda, katanya halus.
Bolehkan aku bertanya siapakah
sesungguhnya kau ini dan apa pula
maksudmu masuk ke kawasan hutan ini?
Engkau tersesat jalan ataukah memang
sengaja datang membawa maksud?
Sebelum menjawab pemuda ini
membungkukkan tubuh lagi dan memberi
hormat.
Saya yang muda bernama Surya
Lelana. Saya datang dari tempat jauh,
ialah Ibukota Majapahit.
Ahh.... Kakek ini kaget.
Majapahit sungguh jauh. Lalu apakah
sebabnya kau masuk hutan ini?
Saya memang harus datang ke hutan
ini. Tetapi.... bolehkah saya
bertanya? Apakah yang ingin
kautanyakan? Saya masuk hutan ini
dengan maksud mencari seseorang.
Apakah Kakek tahu, di manakah tempat
tinggal Kiageng Tunjung Biru?
Kiageng Tunjung Biru kaget juga
mendengar pertanyaan ini. Apakah
maksud si pemuda ini sebenarnya, ingin
tahu tempat tinggalnya? Pengakuan
pemuda ini menimbulkan kecurigaan.
Ya, aku tahu. Tetapi lebih dahulu
terangkan maksudmu datang kemari, dan
siapa pula yang menyuruh engkau?
Ahh, maafkan saya yang muda ini.
Saya hanya dapat mengatakan ingin
bertemu dengan Kiageng Tunjung Biru.
Pesan guru, saya tidak boleh bicara
apapun kecuali kepada Kiageng Tunjung
Biru sendiri.
Ohh, jadi kau datang atas suruhan
gurumu, Mpu Mada?
Pemuda ini terbelalak memandang
kakek itu dengan pandang mata heran.
Ia mengangguk kemudian jawabnya,
Benar. Saya memang muridnya tetapi
yang membuat saya heran mengapa kakek
bisa menduga tepat sekali?
Heh heh heh heh, gerakan dan
caramu berkelahi itulah yang
menyebabkan aku teringat kepada
gurumu, Mpu Mada. Tahukah engkau,
akulah Kiageng Tunjung Biru yang
kaucari itu?
Ohh.... ampunilah saya yang muda
dan tak kenal kesopanan ini.
Surya Lelana menjatuhkan diri
berlutut lagi.
Bangkitlah orang muda, sudahlah
jangan terlalu sungkan. Kiageng
Tunjung Biru berkata sambil
mengebutkan tangannya.
Lirih saja. Namun Surya Lelana
sudah terkesiap kaget. Ia merasa
seperti dibetot tenaga tak terlawan,
lalu berdiri kembali.
Kakek ini terkekeh gembira. Ia
memalingkan muka ke arah Sritanjung,
katanya, Untung kau tadi tidak
lancang, Tanjung. Hayo, sekarang
berkenalanlah kalian dan tidak perlu
malu. Sedangkan apa yang tadi sudah
terjadi anggaplah tidak pernah
terjadi. Kalian bukan orang lain, maka
kamu berdua harus rukun. Cucuku,
Tanjung, ketahuilah bahwa Mpu Mada
adalah adik seperguruanku sendiri.
Tetapi kendati adik seperguruan,
umurnya jauh perbedaannya dengan aku
seperti antara ayah dan anak. Nah
sekarang kamu sudah menjadi jelas,
antara kalian masih terdapat hubungan
perguruan.
Sekalipun dengan sikap yang
canggung dua orang muda itu kemudian
berkenalan.
Namamu amat bagus dan sesuai pula
dengan keadaanmu yang tampan, puji
Sritanjung tanpa tedeng aling-aling.
Wajah Surya Lelana berubah agak
merah mendengar pujian dari gadis
jelita ini.
Berbeda dengan Kiageng Tunjung
Biru, kakek ini hanya terkekeh. Sebab
kakek ini tahu sebabnya, Sritanjung
seberani itu. Kelak apabila Sritanjung
sudah terjun ke dunia ramai ia
percaya, akan mengenal sendiri tata
cara dan sopan santun dalam pergaulan
masyarakat.
Orang muda, tak enak kita bicara
di sini. Marilah kita pulang ke pondok
dan ceritakan pula apa maksud gurumu!
ajaknya kemudian.
Ia memalingkan muka ke arah
Sritanjung, terusnya, Tanjung,
temanilah dia pulang ke pondok. Aku
mendahului.
Tanpa menunggu jawaban Kiageng
Tunjung Biru sudah melangkah.
Tampaknya orang tua itu melangkah
seenaknya namun dalam waktu singkat
sudah lenyap ditelan rimbun daun.
2
Dua orang muda itu melangkah
berdampingan menuju arah yang sama.
Tumpak dan Manis mengikuti di belakang
dan sekarang sudah berubah. Kalau tadi
bertemu pertama kali buas dan
menyerang sekarang menjadi jinak
sekali. Dalam mengikuti langkah mereka
ini Tumpak dan Manis berkali-kali
mencium tangan pemuda itu disamping
pula menyentuhkan perutnya ke paha
Surya Lelana. Dan melihat jinaknya
harimau ini Surya Lelana menjadi
senang. Setiap harimau ini mencium
tangannya, pemuda ini menggunakan
telapak tangannya mengusap kepala dan
leher dengan sikap sayang.
Namun diam-diam pemuda ini heran
sendiri atas sikap Sritanjung.
Sikapnya demikian bebas, terbuka dan
jujur, hanya sedikit sayang liar dan
galak. Tadi ketika belum kenal dan
tahu asal-usulnya, Sritanjung keras
kepala dan mengajak berkelahi. Namun
sekarang gadis ini seperti sudah lupa
akan perkelahiannya tadi dan
disepanjang perjalanan pulang,
Sritanjung banyak bertanya tentang
kota Majapahit dan tetek bengeknya.
Dan dengan senang hati Surya Lelana
menjawab dan menerangkan, sebab pemuda
ini sadar, gadis ini tentu belum
pernah meninggalkan hutan.
Orang kota seperti kau ini,
pakaiannya demikian bagus, pujinya.
Tidak seperti aku, pakaiannya jelek
dan kasar.
Sambil berkata ini Sritanjung
meraba kain yang menempel tubuh Surya
Lelana, dan secara kebetulan yang
diraba paha.
Jantung Surya Lelana berdebar
keras. Gadis ini jelita sekali dan
menurut penilaiannya tak kalah dengan
putri bangsawan Majapahit
Dan tiba-tiba saja jantung Surya
Lelana bertambah tegang lagi ketika
tangan Sritanjung yang halus itu
menyentuh lengannya sambil bertanya,
Hai, apakah sebabnya kau diam
saja?
Aku... engkau suruh bicara apa
lagi? Surya Lelana gugup.
Sritanjung menjadi geli, ia
ketawa lepas, Hi hi hik, aku tadi
bilang, orang kota seperti kau pakai-
annya bagus. Tidak seperti aku,
pakaiannya kasar dan jelek.
Tetapi... sahut pemuda itu.
Pakaian ini hanyalah alat pembungkus
tubuh demi kesopanan. Manusia ini yang
penting bukanlah ujud yang tampak di
lahir. Maka menurut pendapatku, engkau
lebih menunjukkan keaslian dan
kesederhanaan, dan sekalipun kau
mengenakan kain kasar, engkau tak
kalah dengan perempuan kota.
Apanya yang tak kalah? tanya
gadis ini sambil memalingkan muka.
Matanya yang bening tanpa ragu lagi
memandang Surya Lelana.
Tak kalah dalam segala hal.
Kau.... cantik, jujur dan....
Eh, kau bilang aku cantik?
Sritanjung tidak tersinggung malah
tersenyum bangga. Tetapi perempuan
kota tentu lebih cantik. Karena mereka
tentu berpakaian bagus, tidak seperti
aku.
Sesungguhnya Surya Lelana ingin
sekali memuji kecantikan Sritanjung.
Akan tetapi bibirnya terasa berat,
khawatir gadis ini tersinggung.
Namun untuk tidak menyebabkan
gadis ini kecewa, ia menjawab juga,
Aku tadi sudah bilang, engkau lebih
menunjukkan keaslian dan keseder-
hanaan. Berbeda dengan perempuan kota,
karena tertutup oleh macam-macam usaha
mempercantik diri, maka belum tentu
kecantikannya itu dapat dipertahankan.
Apa yang nampak cantik akan segera
luntur, kalamana apa yang menutup dan
membuatnya cantik itu ditinggalkan.
Hi hi hik, perempuan kota tentu
marah jika mendengar kata-katamu ini.
Kenapa marah? Aku bicara apa
adanya. Mereka banyak menggunakan alat
kecantikan dalam usaha agar bisa
disebut cantik. Berbeda dengan
perempuan udik tidak kenal dengan
alat-alat kecantikan itu.
Di sana ramai tentunya, tidak
seperti di sini yang selalu sepi.
Tentu saja! Karena kota Majapahit
tempat tinggal raja.
Raja itu apa sih? Raja itu orang
ataukah bukan?
Ketawa Surya Lelana hampir
meledak mendengar pertanyaan ini.
Untung ia dapat menahan mulutnya,
karena dapat menduga tentu gadis ini
belum tahu apa yang disebut raja itu.
Gadis ini terasing dari pergaulan,
sedang Kiageng Tunjung Biru pun
agaknya tidak pernah bicara tentang
raja. Maka tidaklah mengherankan
apabila gadis ini belum tahu.
Raja itu orang juga seperti kita
ini. Tetapi dia berkuasa di seluruh
bumi ini.
Eh.... berkuasa di seluruh bumi?
Juga hutan ini ? Juga sungai, juga
gunung? Ehh, mengapa sebabnya begitu?
Dia toh orang juga, kau bilang sama
dengan kita. Tetapi mengapa bisa
terjadi adanya perbedaan?
Surya Lelana melongo oleh
pertanyaan tidak terduga ini.
Bagaimana mungkin dirinya bisa
menjawab ? Ia sendiri hanya menerima
warisan pengetahuan dari nenek moyang.
Raja kuasa dan masyarakat Majapahit
terbagi-bagi dalam beberapa golongan.
Mengapa bisa begitu, ia sendiri juga
tidak tahu sebabnya.
Karena merasa tidak tahu,
akhirnya ia menggeleng. Jawabnya,
Entahlah, aku sendiri tidak tahu
sebabnya. Yang aku tahu, menurut
cerita para orang tua, memang raja
sekarang ini merupakan keturunan raja
sebelumnya.
Apakah sebabnya kau hanya ikut-
ikutan saja? Bukankah engkau orang
kota, tentunya serba tahu dan cerdik?
Celaka! Surya Lelana mengeluh.
Apakah setiap orang kota tentu serba
bisa dan serba tahu? Serba bisa dan
kecerdikan bukan datang dengan
sendirinya, tetapi karena belajar.
Bakat pembawaan sejak lahir tak
mungkin dapat menolong tanpa
dikembangkan dengan pengetahuan yang
dipelajari. Karenanya Surya Lelana
tertawa, lalu, Ha ha ha ha, kau ada-
ada saja, Nona.
Ehh, apa-apaan kau panggil aku
Nona? Bukankah kita sudah kenal ?
Cukup kau panggil namaku seperti aku
memanggil engkau dengan namamu, Surya
Lelana.
Baiklah Tanjung. Tetapi kau
keliru apabila mengatakan orang yang
hidup di kota harus lebih cerdik dan
serba tahu.
Sudahlah.... kalau memang
begitu.... Sritanjung tidak mendesak
lagi ketika melihat wajah pemuda ini
sungguh-sungguh. Untuk beberapa saat
lamanya, mereka melangkah tanpa bi-
cara. Namun tiba-tiba Sritanjung
memalingkan mukanya memandang Surya
Lelana, katanya, O ya, apakah engkau
sudah pernah menunggang harimau?
Harimau? Milikmu ini?
Sritanjung mengangguk. Sahutnya,
Memang harimauku ini serba guna.
Disamping bisa dijadikan pengawal
setia, juga kalau lelah bisa dijadikan
kendaraan. Marilah sambil bicara kita
duduk di punggung harimau saja.
Harimau piaraan Kiageng Tunjung
Biru ini memang pandai mengenal
sahabat. Karena tahu Surya Lelana ini
seorang tamu majikannya, maka ketika
pemuda ini mengusap punggung harimau
ini lalu mendekam, seakan
mempersilakan Surya Lelana duduk
dipunggungnya. Walaupun Surya Lelana
sanggup meloncat ke punggung harimau,
pemuda ini menurut juga. Ia duduk di
atas punggung kemudian dua ekor
harimau ini melangkah cepat.
O ya, Surya, siapakah gurumu yang
bernama Mpu Mada itu? tanya
Sritanjung.
Engkau tadi sudah mendengar
sendiri, guruku merupakan adik
seperguruan Kakekmu. Tetapi sekarang
beliau sudah menduduki jabatan sebagai
Patih Mangkubumi Majapahit dan dikenal
tiap orang dengan nama Gajah Mada.
Apakah kedudukan Patih Mangkubumi
itu?
Pemuda ini tersenyum. Gadis ini
selalu ingin tahu hal baru. Ia tidak
ingin membuatnya kecewa, jawabnya,
Tanjung, aku tadi menyebut raja yang
kuasa di seluruh bumi ini. Nah, raja
itu tentu saja takkan dapat menguasai
miliknya tadi, kalau tidak mempunyai
orang kepercayaan dan alat untuk
memerintah. Alat dan pembantu ini
jumlahnya banyak dan pembantu itu
dengan macam-macam pangkat dan
jabatan. Dari semua pembantu dan alat
itu, Patih Mangkubumi sebagai
kepalanya atau atasan tertinggi.
Setiap alat dan pembantu harus memberi
laporan setiap waktu yang ditentukan.
Agar dari laporan Patih Mangkubumi
ini, kemudian raja tahu segala
permasalahan kerajaan atau negara.
Sebagai seorang dara yang hidup
terasing dan masih berumur muda pula,
barang tentu Sritanjung tak dapat
menangkap maksud Surya Lelana secara
eepat. Maka ia bertanya dengan bibir
yang selalu menyungging senyum,
bersikap wajar, jujur dan polos.
3
Begitu tiba di depan pondok, dua
ekor harimau tua menggeram melihat
manusia yang belum mereka kenal.
Seperti Tumpak dan Manis, harimau tua
ini juga diberi nama Senggung untuk si
jantan dan Klentreng untuk si betina.
Sritanjung cepat berteriak,
Senggung! Klentreng! Dia bukan orang
lain. Hayo cepat sujud dan berilah
hormat. Dia tamu kita.
Entah mengerti atau tidak atas
perintah itu, namun nyatanya dua ekor
harimau tua ini sekarang benar-benar
bersujud. Moncongnya menyentuh tanah,
memberi hormat kepada tamu.
Surya Lelana senang melihat dua
ekor harimau yang jinak dan menurut
perintah. Senggung dan Klentreng lalu
dipeluk dan diusap-usap bulunya.
Mereka segera masuk dalam pondok.
Kiageng Tunjung Biru sudah duduk
bersila di atas tikar pandan. Katanya,
Silakan duduk, Anak muda.
Setelah memberi hormat dua orang
muda ini duduk. Kiageng Tunjung Biru
tersenyum dan bertanya, Kabar apa saja
yang kaubawa dari Adi Mada?
Guru menyertakan sebuah surat
untuk Uwa guru, sahutnya.
Selembar lontar yang semula
disimpan rapi dalam pakaiannya
dikeluarkan. Kemudian diserahkan
kepada kakek itu.
Kiageng Tunjung Biru membaca
surat adik seperguruannya itu dengan
mengangguk-angguk. Gajah Mada memberi
kabar bahwa dirinya sekarang telah
diangkat menjadi Patih Mangkubumi atau
Mahapatih Majapahit menggantikan Arya
Tadah. Tetapi Gajah Mada minta maaf,
karena oleh kesibukannya belum sempat
bersilaturrahmi kepada kakak-
seperguruannya, maka diutuslah
muridnya.
Dikabarkan pula oleh Gajah Mada,
telah terjadi perubahan di Majapahit
sejak Kiageng Tunjung Biru
mengasingkan diri. Raja Jayanegara
yang bermaksud mengawini adik seayah
lain ibu, ialah Rani Kahuripan dan
Rani Daha, telah meninggal ditikam
oleh Tanca. Kemudian Tanca sendiri
juga mati ditikam oleh Gajah Mada.
Sebagai pengganti raja adalah dua
orang puteri Raja Kertarajasa yang
bernama Tribhuwonottunggadewi (Rani
Kahuripan) dan Mahadewi (Rani Daha).
Ini merupakan kebijaksanaan Gajah Mada
agar tidak terjadi perebutan
kekuasaan. Dan dengan demikian dua
orang puteri memerintah Majapahit se-
cara bersama-sama.
Mengingat kesibukannya menjadi
Mahapatih ini Gajah Mada berharap agar
Kiageng Tunjung Biru sedia membantu
dengan cara hidup di kota-raja
Majapahit. Mengapa? Karena Gajah Mada
sudah mempersiapkan rencana untuk
kejayaan Majapahit. Bantuan Kiageng
Tunjung Biru bukan saja berujud
nasihat tetapi juga oleh kesaktiannya.
Membaca surat adik seperguruannya
yang termuda ini, Kiageng Tunjung Biru
menghela napas panjang. Betapa
inginnya membantu adik seperguruannya
ini, tetapi sayang dirinya sekarang
ini sudah pikun. Sudah delapanpuluh
tahun lebih. Karena itu ia tidak
menginginkan, sisa hidupnya disibukkan
oleh urusan negara. Ia ingin bisa kem
bali ke tempat asal dalam keadaan
damai, tenang dan sunyi.
Kiageng Tunjung Biru memandang
Dewi Sritanjung. Timbul keinginan
dalam hatinya untuk mengirimkan murid
tunggal ini sebagai wakilnya. Tetapi
sayang muridnya masih terlalu muda dan
ilmu kesaktiannya masih mentah. Karena
itu Sri Tanjung memerlukan gemblengan
sementara waktu agar menjelma menjadi
gadis perkasa. Dan bukan hanya itu,
tetapi juga persoalan rumit yang
sedang dihadapi tentang gadis itu
sendiri.
Sudah berkali-kali Sri Tanjung
bertanya siapakah orang tuanya. Selama
ini ia selalu menjawab belum masanya
rahasia ini dibuka. Kelak apabila
sudah dewasa, tiba saatnya Kiageng
Tunjung Biru akan membuka rahasia.
Sesudah berpikir beberapa lama
akhirnya kakek ini membalas surat
Gajah Mada. Dalam surat itu dibeberkan
pula tentang keadaannya sekarang yang
tengah menggembleng murid tunggal
bernama Dewi Sritanjung. Karena itu ia
minta waktu.
Agar jawaban untuk Gajah Mada itu
lancar dan baik, maka dua orang muda
itu diperintahkan mengaso di kamar
masing-masing.
Pagi harinya, ternyata surat
jawaban untuk Gajah Mada itu belum
selesai. Maka Sritanjung mengajak
Surya Lelana untuk menikmati keindahan
alam dan hutan sekitar pondok itu.
Bagi orang yang hidup di kota
seperi Surya Lelana, hijau daun,
lebatnya hutan dan suara binatang
merupakan hai baru yang menarik.
Hemm, aku merasa heran, ujar
Surya Lelana.
Apa yang menyebabkan kau heran?
Sritanjung menatap Surya Lelana sambil
tersenyum.
Antara guruku dan gurumu
merupakan saudara seperguruan. Namun
anehnya mengapa ilmu kita tidak ada
kemiripannya? Kalau saja ilmu kita
agak mirip, ketika kita bermain-main
kemarin akan segera kita ketahui
adanya hubungan perguruan itu.
Kau benar. Tetapi mengapa kau
tidak bertanya kepada Kakek?
Hati memang ingin, tetapi belum
sempat.
Untuk sesaat meraka berdiam diri.
Mereka melangkah berdampingan dan
walaupun baru kenal tampaknya mereka
cocok dan cepat menjadi akrab.
Hal ini tidak mengherankan sebab
bagi Sritanjung pengalaman ini
merupakan hal yang baru. Sejak bayi
hingga dewasa ia belum sempat
berbicara dengan manusia lain kecuali
Kiageng Tunjung Biru. Maka hal ini
menyebabkan Sritanjung rindu akan
hubungan dengan manusia lain.
Sebaliknya Surya Lelana merupakan
seorang pemuda yang luas pergaulan di
kota. Tetapi selama ini ia tidak
pernah bertemu dengan gadis seperti
Sritanjung ini. Biasanya gadis kota
malu-malu namun sering tidak wajar,
dan menyembunyikan sesuatu. Maka sikap
Sritanjung yang terbuka dan polos itu
menyebabkan pemuda ini menjadi sangat
tertarik.
Tiba-tiba Sritanjung bertanya,
Apakah sebabnya kau diam saja?
Karena tak dapat menjawab Surya
Lelana mengembalikan pertanyaan ini
dengan bertanya juga, Tetapi apakah
sebabnya kau juga diam?
Dua-duanya geli. Mereka tadi
berdiam diri tetapi lengan saling
sentuh dan langkah menjadi lambat.
Jantung mereka berdegup keras tetapi
tidak tahu apa sebabnya.
O ya, Surya Lelana bertanya,
sejak kapan kau berdiam di hutan ini?
Aku tidak tahu sejak kapan.
Tetapi aku ingat tidak pernah pergi
dari tempat ini dan juga tidak pernah
bertemu manusia lain.
Ahhh... lalu ayah bundamu? Surya
Lelana kaget.
Sritanjung menggeleng, sahutnya,
Aku sendiri tidak tahu, siapakah ayah
dan bundaku. Aku sendiri juga heran,
tetapi setiap aku bertanya kepada
Kakek, maka beliau selalu berdalih
belum waktunya. Kata Kakek, setelah
tiba saatnya, Kakek akan memberi tahu.
Kalau demikian agaknya semua ini
demi kepentinganmu sendiri.
Kepentingan apa?
Agar kau belajar dengan giat dan
rajin. Agar hatimu tidak bercabang dan
mengunjungi orang-tuamu. Hemm, agaknya
kau bukan melulu murid, tetapi tentu
cucu Uwa Guru sendiri. Tak tahulah.
Aku sendiri bingung. Tetapi apa yang
sudah diucapkan Surya Lelana ini
berbeda dengan yang terkandung dalam
hati. Pemuda yang sudah luas
pengalaman ini cepat bisa menduga,
gadis ini tentu seorang yatim piatu.
Agaknya gadis ini ditemukan Kiageng
Tunjung Biru sejak bayi. Lalu apakah
sebabnya? Tetapi Surya Lelana tidak
berani mengemukakan perasaan ini
khawatir kalau gadis galak ini ter-
singgung.
Mereka terus melangkah sambil
bicara. Banyak yang mereka bicarakan,
disamping pemuda ini kesengsem kepada
keindahan alam dan tidak bosannya
memuji.
Saking kesengsem dua orang muda
ini menjadi lupa waktu dan lupa pula
perjalanan sudah jauh dari pondok. Dua
orang muda ini masuk ke bagian hutan
yang selama ini belum pernah mereka
jamah.
Tiba-tiba Sritanjung merasakan
sesuatu di belakang. Ia kaget dan
membalikkan tubuh, dan ternyata
harimau tua Senggung dan Klentreng
sudah mengikuti di belakang. Klentreng
menggunakan giginya menarik kain
panjang Sritanjung, dan sesudah itu
mendekam sambil menggaruk-garukkan
kaki depan di tanah seraya menguik-
nguik perlahan seperti sedang meratap.
Melihat Klentreng dan Senggung
bersikap aneh itu, Sritanjung
mengerutkan alis berbareng heran.
Hai Klentreng dan Senggung,
tegurnya. Ada apa? Dan mengapa pula
kau ketakutan?
Klentreng mengulangi lagi
perbuatannya, menarik kain panjang
Sritanjung dengan gigi dan menguik-
nguik lagi.
Surya Lelana yang keheranan
bertanya, Apakah maksud harimau ini?
Kalau bisa bicara, mungkin dia
ketakutan dan memperingatkan kita agar
kembali. Entah apa yang dimaksud dan
entah siapa pula yang mereka takuti
itu.
Sritanjung cepat menebarkan
pandang matanya ke sekeliling. Sebagai
gadis yang biasa di dalam hutan, ia
menjadi curiga. Kiranya harimau ini
ketakutan, karena sudah pernah
diganggu orang di tempat ini.
Mungkinkah di tempat ini ada pula
orang bertempat tinggal di luar
pengetahuan Uwa Guru?
Sritanjung menggeleng, jawabnya,
Aku sendiri tak dapat memastikan.
Tetapi kalau bukan takut kepada
manusia, harimau ini takut kepada
siapa lagi? Harimau merupakan binatang
garang jarang tandingannya di dalam
hutan.
Lalu bagaimanakah pendapatmu
sekarang? Lebih baik kembali ataukah
kita malah berusaha bertemu dengan
orang yang membuat harimau ini takut?
Huh, aku jadi penasaran! Aku
tidak takut kepada siapapun. Hayo,
kita terus maju dan biarlah harimau
ini aku perintahkan pulang.
Sritanjung segera memberi isyarat
kepada Senggung dan Klentreng supaya
pulang. Dan atas perintah ini dua ekor
harimau itu menguik-nguik lagi seperti
makin meratap. Dan malah Klentreng
menarik lagi kain panjang Sritanjung.
Klentreng! Senggung! Sudahlah,
kamu jangan mengganggu aku. Lekas
pulanglah kamu, aku dan Surya akan
menghajar manusia yang membuat kamu
ketakutan itu.
Sambil memberi perintah,
Sritanjung menghunus pedang.
Sring.....dan dua harimau itu mendekam
ketakutan. Sesaat kemudian dua harimau
itu membalikkan tubuh dan hampir
berbareng melompat jauh. Kemudian
mereka hilang di semak belukar dan
tinggal suaranya saja yang menguik-
nguik seperti meratap. Namun sejenak
kemudian sudah berganti dengan auman
panjang, tanda harimau itu kecewa.
Hutan pada bagian ini memang lain
dibanding hutan di mana Sritanjung
bertempat tinggal. Di hutan ini banyak
tumbuh pohon besar dan tua, hingga
menjadi rimbun dan matahari sulit
menerobos lebatnya daun. Akibatnya
daun kering yang berjatuhan menumpuk,
membusuk dan lembab.
Tiba-tiba angin bertiup dari arah
berlawanan. Sritanjung mengerutkan
alis dan hatinya berdebar ketika
mencium bau wengur bercampur anyir dan
amis. Sebagai gadis yang sejak kecil
hidup di belantara, tahulah akan arti
bau khas ini. Sedang Surya Lelana yang
berhidung tajampun, sudah menghirup
pula bau tak enak ini dan cepat
bertanya.
Ahhh, bau apakah ini?
Hemm, inilah yang menyebabkan
harimau tadi ketakutan. Ternyata bukan
manusia yang seperti aku duga.
Sritanjung menerangkan sambil
menebarkan pandangmata ke dahan-dahan
pohon.
Ehh, kalau bukan manusia, apa
yang menyebarkan bau seperti ini ?
Hemm, inilah bau khas ular besar.
Agaknya harimau itu pernah hampir
celaka oleh ular itu hingga ketakutan
setengah mati. Maka bisa dibayangkan
kalau mereka sebagai raja hutan saja
ketakutan, ular itu tentu besar dan
berbahaya.
Huwaduh, sungguh kebetulan. Kalau
benar ular itu besar, aku membutuhkan
kulitnya. Betapa gembira guruku
apabila aku dapat membawa buah tangan
kulit ular besar.
Bagus! Marilah kita cari dan kita
bunuh.
Bagi Sritanjung yang sudah biasa
hidup di hutan, tidak ragu-ragu lagi
melesat maju karena sudah dapat
mengira-irakan di mana ular itu
berada. Bau tidak sedap itu belum
keras, pertanda jaraknya masih agak
jauh. Sebaliknya Surya Lelana yang
tidak mengerti, kaget dan khawatir.
Tanjung, hati-hati. Teriaknya sambil
mengejar.
Dari arah depan Sritanjung
menyahut, Jangan takut! Tempatnya
masih jauh.
Makin maju bau tak sedap itu
semakin menyengat hidung. Gerakan
mereka semakin hati-hati dan waspada.
Lalu tibalah mereka pada bagian hutan
perawan dan berhadapan dengan pohon
beringin amat tua dan besar sekali.
Tak jauh dari pohon ini terdapat
sumber air yang amat jernih. Dari
pohon ini sekarang terdengar suara
mendesis agak keras.
Ketika dua orang muda ini melihat
ke atas mendadak saja mereka terpaku.
Mereka kaget berbareng gentar, sebab
ular itu memang besar bukan main dan
ketika bergerak dahan pohon itu
bergoyang keras.
Sejak bayi Sritanjung sudah hidup
di belantara. Namun demikian baru
sekali ini saja dirinya bertemu dengan
ular yang menakjubkan, saking
besarnya. Ular itu tubuhnya sebesar
pohon nyiur, melingkar dan membelit
dahan pohon. Kulit ular yang mengkilap
dengan warna aneka macam itu
menyilaukan. Kepalanya besar, mulutnya
terbuka dan lidah merah menjulur
keluar. Kepalanya besar, mulutnya
terbuka dan lidah merah menjulur
keluar. Melihat lebarnya mulut dan
besarnya kepala ular itu, jangan lagi
manusia, seekor harimaupun bila
berhasil disambar dapat ditelan
mentah-mentah.
Kepala ular raksasa itu
bergantung menjulur ke bawah dari
dahan. Bergerak-gerak ke kanan dan ke
kiri, bergoyang-goyang seakan sudah
siap untuk menangkap korbannya. Sedang
suara mendesis keras tidak pernah
putus, dan uap tipis kehijauan
menyebar sekitarnya. Kepala ular yang
semula tergantung agak tinggi itu,
sedikil demi sedikit sudah bergeser
turun.
Ketika itu Sritanjung sudah
menghunus pedangnya yang bersinar
kebiruan. Di tempat agak gelap ini,
sinar kebiruan itu lebih tampak, ke-
mudian dilintangkan di depan dada.
Sesungguhnya dalam menghadapi
musuh Surya Lelana lebih pengalaman,
dan ia tidak pernah gentar. Tetapi
sekarang ini ia berhadapan dengan ular
raksasa, hatinya menjadi tegang dan
berdebar-debar. Ular itu bergantung di
dahan dan dapat menyambar secara tidak
terduga dan sebaliknya dirinya takkan
gampang melakukan serangan balasan.
Kepala ular raksasa itu
bergantung menjulur ke bawah dari
dahan. Bergerak-gerak ke kanan dank e
kiri, bergoyang-goyang seakan sudah
siap untuk menagkap korbannya.
Ia menjadi khawatir melihat
Sritanjung dan memperingatkan, Tanjung
hati-hatilah! Ular itu amat berbahaya!
Sritanjung tertawa manis,
sahutnya, Jangan khawatir. Aku sudah
biasa berhadapan dengan segala macam
binatang buas!
Tiba-tiba tubuh gadis itu melesat
tinggi. Sinar biru menyambar ke arah
kepala ular.
Siut.... wutt..,. sessss ....
Sritanjung melayang turun dengan, mata
terbelalak heran. Gerakannya tadi
sudah cepat dan pedangnya menyambar.
Namun ternyata ular itu dapat
menghindar, kepalanya malah menyambar
dan mulut terbuka diiringi desis
panjang. Untung Sritanjung cukup
waspada dan gesit, hingga sambaran
moncong ular itu luput.
Jahanam ular liar! bentak Surya
Lelana sambil melesat tinggi dan
pedangnya menyambar.
Sekalipun gerakan Surya Lelana
kalah gesit dibanding Sritanjung,
tetapi dalam ilmu pedang lebih matang.
Ia menggunakan tipu pancingan dan
ketika kepala ular itu menghindar
pedangnya menyambar secara tepat.
Surya Lelana kaget setengah mati.
Sabetannya tepat mengenai kepala ular
raksasa. Tetapi pedangnya mental dan
hampir saja dirinya celaka apabila
tidak gesit menghindari sambaran mulut
ular.
Celaka! Dia kebal senjata!
serunya sesudah mendarat.
Jangan khawatir. Aku tahu caranya
mengalahkan! ujar Sritanjung
bersungguh-sungguh. Mari kita cari
batu yang keras dan cukup besar.
Masing-masing cukup sebutir dan nanti
batu itu kita sambitkan pada saat dia
menyambar. Watak ular, setiap benda
yang menyerang akan disambar. Nah, di
saat ular menelan batu, saat itu pula
kita bertindak. Kita serang matanya,
karena mata tak mungkin kebal!
Bagus! Kau memang cerdik,
Tanjung.
Pujian itu menyebabkan Sritanjung
senang sekali, Gadis ini tersenyum,
lalu mendahului melangkah mencari batu
keras. Tak lama kemudian mereka sudah
memperoleh. Batu itu warnanya hitam
sebesar kepala manusia, lalu mereka
kembali ke dekat ular.
Ular raksasa itu desisnya semakin
keras. Lidahnya yang merah menjulur
keluar dan mulutnya terbuka ingin
menelan. Ular itu karena sudah tua
menyebabkan kulitnya kebal. Tetapi
sekalipun kebal ia merasakan sakit
juga oleh babatan pedang. Karena itu
si ular menjadi marah, ia merosot
turun dan kepala ular itu sekarang
sudah hampir menyentuh tanah.
Ternyata tubuh ular itu disamping
besar juga panjang sekali. Sekalipun
kepala sudah hampir menyentuh tanah
tetapi tubuhnya masih melilit dahan.
Sritanjung memberi isyarat kepada
Surya Lelana. Kemudian hampir
berbareng dua butir batu menyambar.
Ular raksasa itu dalam keadaan
amat marah. Melihat melayangnya benda
hitam, tidak takut. Ular itu juga
tidak menghindar dan malah membuka
mulut lebar-lebar, dan jelas tidak
sadar akan bahaya.
Blung blung... cap cap....
Hampir berbareng dengan masuknya
dua butir batu ke dalam mulut itu,
menyambarlah dua ujung pedang ke mata.
Sambaran ujung pedang itu mengenai
mata secara tepat, karena ular dalam
kesakitan dan tidak bisa menghindar.
Dan akibatnya sepasang mata ular itu
pecah dan darah merah membanjir.
Celakanya lagi pedang itu menembus
otak, sehingga otak ular itupun
mengalir bercampur darah.
Lebih celaka lagi bagi si ular,
setiap benda yang sudah masuk ke dalam
mulut tidak bisa keluar lagi. Maka
ular ini kesakitan luar biasa, tu-
buhnya merosot dan terbanting ke
tanah, lalu kelabakan, berputaran dan
kelojotan di tanah. Makin kuat gerakan
ular itu, sekitarnya menjadi morat-
marit dan darahpun mengucur lebih
banyak.
Namun makin lama gerakan ular ini
semakin menjadi lemah, sedangkan bau
anyir menyengat hidung dan tak lama
kemudian tidak bergerak lagi.
Surya Lelana dan Sritanjung
gembira. Mereka membersihkan pedang
masing-masing lalu disarungkan.
Setelah pedang di dalam sarung, pemuda
dan pemudi ini saling bersenyum dan
saling pandang. Dua-duanya gembira
sudah berhasil membunuh ular raksasa
itu.
Akan tetapi makin lama pandang
mata dua orang muda ini berlainan
dengan waktu sebelumnya. Ketika mereka
bertemu pandang, mata mereka berkilat-
kilat. Disusul oleh getaran aneh,
getaran yang tidak lagi dapat dilawan
dan menggerakkan kaki masing-masing
untuk saling menghampiri.
Menurut pandang mata Surya
Lelana, wajah Sritanjung semakin
cantik dan mempesona. Pandang matanya
redup seakan mengharapkan sesuatu yang
tidak terucapkan.
Sebaliknya menurut pandangmata
Sritanjung, pemuda tampan bemama Surya
Lelana itu menjadi semakin tambah
tampan dan menarik hatinya. Lalu
timbul pula perasaan aneh yang belum
pernah ia rasakan dan mendorong gadis
ini untuk mendekati.
Dua orang muda ini seperti
terkena pengaruh ajaib. Setelah saling
mendekati lengan mereka terulur, dan
tiba-tiba saja muda-mudi ini saling
peluk dan berdekapan. Perawan yang
galak dan liar ini entah sebabnya,
tiba-tiba saja jinak ketika hidung
pemuda itu menyentuh pipi halus.
Sritanjung tidak menolak dan
memberontak, malah beberapa jenak
kemudian bibir mereka saling bertemu
dan berciuman, dan merupakan
pengalaman pertama bagi Sritanjung.
Namun tiba-tiba kaki mereka
menggigil dan lemas, lalu tidak
tercegah lagi dua orang muda ini roboh
masih dalam keadaan berpelukan. Mereka
tidak bergerak sama sekali, karena
mereka sudah pingsan.
Di luar tahu Sritanjung maupun
Surya Lelana, racun uap yang
disemburkan oleh ular raksasa tadi
telah meracuni mereka. Kalau saja dua
orang ini hanya orang biasa, tentu
sudah roboh mati.
Untung bagi dua orang muda ini,
di dalam tubuh sudah mengalir hawa
sakti. Hawa sakti yang melindungi
tubuh itu dapat bergerak sendiri tanpa
digerakkan. Dan oleh perlindungan hawa
sakti ini mereka tidak mati keracunan.
Namun karena mereka tidak sadar
terpengaruh racun, mereka tidak
berusaha mengusir racun itu dari dalam
tubuh. Dan sebagai akibatnya tubuh
menjadi panas, dan celakanya pula
racun ular raksasa ini mempunyai
pengaruh berbahaya terhadap rangsangan
birahi.
Baik Surya Lelana maupun
Sritanjung tidak menyadari keadaan
ini. Karena itu masing-masing
terpesona, kemudian saling peluk dan
berciuman. Masih untung pengaruh racun
ular raksasa itu kuat, hingga
menyebabkan mereka pingsan. Kalau saja
tidak keburu pingsan, entah apa yang
akan terjadi pada diri dua orang muda
itu.
Tak lama kemudian Surya Lelana
sadar lebih dahulu. Ia kaget
mendapatkan dirinya berpelukan dengan
Sritanjung. Tetapi dasar nakal, ia
tidak cepat berusaha melepaskan
pelukannya dan malah dibiarkan lengan
Sritanjung melingkar pada lehernya.
Malah kemudian pemuda ini memejamkan
matanya kembali, pura-pura masih
pingsan.
Kepalanya memang dirasakan masih
agak pening dan disamping itu
kehangatan tubuh Sritanjung dirasakan
amat menyenangkan. Dada yang lembut
menekan dadanya menyebabkan pikirannya
melayang tidak karuan. Perasaan aneh
yang selama ini belum pernah ia
rasakan memenuhi dadanya.
Sebenarnya Surya Lelana bukan
pemuda mata keranjang dan suka main
perempuan. Ia malah bisa dikatakan
pemuda yang tak pernah mendekati
wanita. Akan tetapi sekarang merasakan
kehangatan ini, menyebabkan ia tak mau
mengakhiri.
Tetapi sekalipun demikian Surya
Lelana pemuda sopan. Ia tidak mau
menggunakan kesempatan sekalipun Dewi
Sritanjung masih pingsan. Hanya samar-
samar ia ingat, ia tadi sudah
berciuman mesra sekali dengan gadis
ini.
Ia menjadi heran sendiri. Apa
saja yang sudah mendorong mereka
hingga terjadi peristiwa aneh seperti
ini? Kemudian ia teringat
perkelahiannya tadi dengan ular
raksasa. Dan tiba-tiba saja ia dapat
menduga, mungkin sekali peristiwa aneh
ini sebagai akibat racun ular itu.
Pada saat Surya Lelana masih
sibuk berpikir tentang apa yang
dialami, ia merasakan adanya gerakan
Sritanjung. Ia tahu gadis galak ini
mulai sadar, namun ia tetap pura-pura
masih pingsan dan ingin tahu apa yang
akan dilakukan gadis ini kepada
dirinya.
Tetapi diam-diam ia memang merasa
bersalah juga, kendati apa yang sudah
terjadi diluar kesadarannya. Karena
itu ia rela dipukul, disiksa maupun
dibunuh oleh gadis ini.
Plakk.... plakk....
Surya Lelana nanar seketika
menerima tamparan dua kali. Ia
melompat bangkit sambil mengucak
sepasang matanya dan kemudian
memandang Sritanjung dengan pandang
mata pura-pura keheranan. Ia melihat
jelas, wajah gadis itu sebentar merah
dan sebentar pucat sambil berdiri
berkacak pinggang.
Dalam hati Surya Lelana tersenyum
geli. Tamparan itu bukan apa-apa
dibandingkan dengan kehangatan
pelukannya. Kalau saja boleh, ia sedia
dipukul duakali lagi asal boleh
mencium lagi.
Surya Lelana! Kenapa sekarang kau
berubah menjadi mata keranjang?
katanya dalam hati dan mencaci dirinya
sendiri. Hem, ingatlah kau seorang
ksatrya dan tidak dibenarkan berbuat
tercela, lebih-lebih terhadap
perempuan. Engkau harus pandai
menghargai dan menempatkan wanita pada
tempatnya. Tahukah engkau, apabila
wanita sudah marah bisa
menjungkirbalikkan dunia ini?
Berdebar hatinya mendengar
cacimaki hati sucinya itu. Kemudian
sambil mengusap pipinya yang masih
panas, ia bertanya, Apakah sebabnya
kau memukul aku…?
Surya! Engkau kurangajar. Apa
yang sudah
kaulakukan.....kaulakukan.... ?
Kendati membentak marah namun
Sritanjung tampak malu-malu juga, dan
diam-diam Surya Lelana terpesona.
Sebab walaupun sedang marah,
kecantikan gadis ini tidak juga
berkurang.
Tanjung, sabarlah, jawabnya. Aku
sendiri tidak mengerti apa yang
terjadi. Aku roboh pingsan... ahh...
celaka! Ular itu.... ya, kita sudah
keracunan oleh ular keparat itu.
Ahh... kepalaku pening...
Surya Lelana tidak menipu. Ia
memang merasakan pening dan kepalanya
seperti tambah besar setelah berdiri.
Menjadi jelas bahaya racun ular masih
mengeram dalam tubuh.
Tanjung! Aturlah pernapasan!
terusnya. Usirlah racun ular itu
sampai tuntas.
Tanpa menunggu jawaban Surya
Lelana sudah duduk bersila dan
mengatur pernapasan.
Dewi Sritanjung menjadi sadar. Ia
merasakan pula kepalanya pening. Dan
merupakan pertanda di dalam tubuhnya
masih terdapat racun berbahaya. Maka
tanpa membuka mulut lagi gadis inipun
menjatuhkan diri duduk bersila, lalu
menyalurkan hawa sakti dari pusar guna
mendesak dan mendorong keluar racun
ular yang masuk paru-paru.
Untung sekali mereka sudah
memiliki dasar kuat. Setelah mengatur
pernapasan, sedikit demi sedikit racun
ular tersebut dapat didesak dan
didorong keluar dan kepala mereka
sudah tidak pening lagi.
Sebenarnya Surya Lelana sudah
berhasil mengusir racun ular itu lebih
dahulu. Namun pemuda ini tidak cepat
mengakhiri semadhinya, karena sadar
jangan sampai mendahului gadis galak
ini. Maka sambil memejamkan mata ini
ia justru dapat mengingat kembali,
saat nikmat berpelukan dan berciuman
tadi.
Berbeda dengan Sritanjung.
Setelah kepalanya tidak pening lagi ia
melompat berdiri. Ia melihat Surya
Lelana masih duduk bersila, dan
mengamati penuh perhatian. Diam-diam
ia mengakui Surya Lelana pemuda
tampan, dan dalam hati mengakui pula
apa yang terjadi merupakan kenangan
yang menyenangkan juga. Dan teringat
semua itu timbul rasa sesalnya,
mengapa ia tadi sudah memukul pemuda
itu.
Menurut pendapatnya, bagaimanapun
Surya Lelana tak bersalah. Secara
jujur ia mengakui pula, segalanya
takkan terjadi apabila dirinya tidak
menanggapi. Dan samar-samar ia juga
ingat, dirinya tadi juga memeluk Surya
Lelana dan kemudian membalas ciuman
pemuda itu. Dewi Sritanjung menghela
napas panjang. Ia sekarang sadar,
ucapan Surya Lelana benar. Semua yang
sudah terjadi akibat pengaruh racun
ular.
Karena Surya Lelana masih duduk
tidak bergerak, Dewi Sritanjung tidak
mengganggu dan gadis ini kemudian
duduk diatas batu seraya mengamati
bangkai ular yang tadi mereka bunuh.
Ular itu luar biasa besar dan
panjangnya, dan amat berbahaya bagi
manusia maupun binatang hutan. Maka
dengan terbunuh matinya ular ini,
berarti dapat mengamankan hutan ini
dari gangguan.
Tiba-tiba ia mendengar suara
gerakan Surya Lelana. Ketika
memalingkan muka pemuda itu sudah
berdiri. Sritanjung melihat pula pipi
pemuda itu masih merah agak bengkak.
Sritanjung segera meninggalkan batu
dan menghampiri.
Surya... maafkanlah aku....
Untuk sejenak Surya Lelana
melengak. Tetapi kemudian ia tersenyum
dan diam-diam memuji kejujuran dan
keluguan gadis ini yang tidak segan
minta maaf, sekalipun sebenarnya
kurang perlu.
Terima kasih. Tetapi aku memang
patut kau-pukul, sahut Surya Lelana
menyesal.
Sudahlah, apakah sebabnya kau
jadi ngambek? kata gadis ini sambil
tertawa lirih. Ular keparat itulah
yang menjadi gara-gara. Tetapi ahh,
sudahlah... mari kita cepat pulang,
hari sudah sore. Amat berbahaya bagi
kita apabila terlalu lama di sini.
Sesungguhnya ingin sekali sang
pemuda mengambil kulit ular itu untuk
dibawa ke Majapahit. Namun teringat
pengaruh racun ular yang dapat
membangkitkan rangsangan birahi, ia
membatalkan niatnya. Maka ia
mengangguk lalu melangkah berdampingan
menuju pulang.
Untuk beberapa saat mereka tidak
membuka mulut. Pengaruh kenangan yang
baru saja mereka alami, sekarang agak
mengganggu.
Namun tiba-tiba mereka kaget
mendengar aum harimau. Bagi Surya
Lelana aum itu tidak ada artinya.
Tetapi bagi Sritanjung tahu belaka
apabila harimau itu kesakitan.
Celaka! Harimauku diganggu orang!
Serunya tertahan.
Tubuhnya sudah melesat menuju
arah aum harimau. Surya Lelana kaget
dan gugup dan cepat melompat untuk
memburu.
Dugaan Dewi Sritanjung memang
tepat. Auman nyaring tadi merupakan
jerit kesakitan.
4
Tadi setelah Klentreng dan
Senggung diusir Sritanjung, dua ekor
harimau tua ini menuju pondok. Namun
binatang tetap binatang. Kendati
jinak, tetap selewengan mencari
mangsa. Setelah perut kenyang dua ekor
harimau ini menuju sungai untuk
mencari minum.
Di saat menuju sungai ini dua
ekor harimau itu kaget melihat
berlabuhnya perahu ke tepi. Dari
perahu itu kemudian berlompatlah
sepuluh orang laki-laki.
Sekalipun binatang Klentreng dan
Senggung merupakan binatang yang
terlatih. Dua ekor harimau ini bisa
menduga orang-orang itu bukan orang
baik. Maka dari tempat bersembunyi dua
ekor harimau ini mengaum lalu
menerjang dengan cakaran dan gigitan
taring tajam.
Sepuluh orang itu memang tidak
menduga akan diserang harimau. Maka
tidak mengherankan sekali terjang, dua
orang sudah roboh kesakitan dan
menderita luka parah.
Delapan orang yang lain menjadi
marah. Mereka cepat mencabut senjata
dan mengeroyok.
Jahanam harimau liar! teriak
salah seorang. Kau sudah membunuh dua
orang kawanku. Untuk membalaskan sakit
hati, jantung dan hatimu akan aku
makan mentah-mentah.
Klentreng dan Senggung masing-
masing menghadapi empat orang. Dengan
garang sambil menggeram dua ekor
harimau itu mengamuk hebat sekali.
Berkat latihan Kiageng Tunjung Biru
dua ekor harimau ini dapat berkelahi
tangkas. Sambaran senjata dapat
dihindari, sedangkan balasannya amat
berbahaya.
Sebaliknya orang-orang itu bukan
orang lemah. Maka walaupun sudah
mendapat pelajaran berkelahi, dua ekor
harimau itu sulit dapat merobohkan
lawan. Kalau tadi sekali sergap dua
orang roboh, adalah karena tidak
pernah menduga.
Dua ekor harimau ini mengamuk
hebat sekali. Tetapi delapan orang
yang mengeroyok itupun cukup hati
hati. Dan lebih-lebih sesudah melihat
dan merasakan, harimau ini berbeda
dengan harimau lain dan luar biasa.
Banyak kali serangan mereka dapat
dihindari secara aneh.
Setelah berkelahi dan mengeroyok
cukup lama belum juga berhasil, maka
salah seorang dari mereka, yang
bertubuh tinggi besar sudah berteriak.
Hai harimau siluman! Rasakan
pisau terbangku ini!
Enam buah sinar putih melesat dan
menyebar ke arah Senggung. Sambaran
itu kuat sekali dan dilepaskan dari
jarak dekat. Tentu saja sulit bagi
Senggung untuk menghindarkan diri. Dan
jangan lagi seekor harimau seperti
Senggung, manusia sekalipun kalau ilmu
kepandaiannya belum tinggi kiranya
takkan mudah dapat menyelamatkan diri.
Senggung mengaum keras sekali
karena kesakitan. Dua batang pisau
telah menancap dalam perut dan leher,
dan seketika itu juga roboh.
Saking gembiranya salah seorang
dari mereka melompat maju seraya
mengangkat golok untuk memenggal
leher. Tetapi orang ini terlalu
sembrono dan kurang perhitungan,
harimau itu belum mati. Harimau itu
masih dalam kesakitan hebat, kebuasan
dan kekuatannya bertambah. Maka
sebelum golok berhasil memancung
leher, orang itu malah kena terkam.
Dua puluh kuku tajam menancap di
tubuhnya. Orang itu roboh menjerit
ngeri satu kali. Selanjutnya orang itu
sudah mati karena kepalanya masuk ke
dalam mulut harimau.
Tiga orang kawannya kaget dan
menerjang maju untuk menolong. Hujan
bacokan dan tikaman melubangi sekujur
tubuh Senggung. Tetapi walaupun
Senggung mati, orang itu juga mati.
Melihat si jantan mati, Klentreng
mengaum keras sekali. Tanpa
mempedulikan keselamatannya sendiri,
Klentreng sudah mengamuk hebat, guna
membalaskan sakit hati si jantan yang
dicintainya. Tetapi justru dalam
keadaan marah ini, Klentreng
kehilangan perhitungan dan menyerang
secara nekad. Hingga mempercepat
kekalahannya menghadapi keroyokan
tujuh orang. Sebagai akibatnya
Klentreng pun mati dengan tubuh
hancur.
Di saat Klentreng roboh ini
tibalah Sritanjung. Gadis ini marah
bukan main melihat dua ekor harimau
yang disayang itu tidak bernyawa lagi
dengan tubuh mandi darah. Maka sambil
melengking nyaring Sritanjung sudah
menerjang dengan pedangnya.
Tring cring.... tring.... trang
...
Sritanjung terhuyung, pedangnya
tergetar dan telapak tangannya panas,
ketika pedangnya ditangkis beberapa
senjata lawan. Tetapi sebaliknya tiga
di antara tujuh orang itu terbelalak
pucat, ketika mengamati senjatanya
tinggal separo.
Dengan mata berapi saking marah,
gadis ini sudah menghardik, Siapakah
di antara kamu yang sudah membunuh
harimauku?
Laki-laki tinggi besar yang
menjadi pemimpin itu maju sambil
memandang Sritanjung dengan mata
terbelalak. Kemudian dari mulutnya
terdengar suara gagap, Kau... kau di
sini...?
Sritanjung memandang orang itu.
Hardiknya, Siapakah kau? Dan apakah
kau sudah kenal aku?
Ahh.... ohhh... engkau mirip
sekali. Tetapi kau masih terlalu
muda....
Ucapan orang ini membingungkan
Sritanjung. Lalu gadis ini membentak,
Aku mirip siapa? Lekas katakanlah,
jika tidak pedangku ini takkan mau
memberi ampun lagi.
Laki-laki tinggi besar itu
terkekeh. Sahutnya, Uah.... galaknya.
Ibarat bunga.... kau ini bunga melati.
Mungil, tetapi menarik hati. Hemm....
katakanlah sekarang, apakah hubunganmu
dengan Anwari?
Siapakah Anwari ?
Calon isteriku yang lari. Kau....
ohh.... kau mirip sekali dengan dia.
Tidaklah mengherankan apabila
laki-laki ini berhadapan dengan
Sritanjung lalu menyebut nama Anwari.
Sebab orang ini adalah Joyo Brewu yang
dahulu melarikan diri ketakutan kepada
Bupati Saradan dan Mpu Nala. Ketika
itu Joyo Brewu yang sudah menawan Dewi
Anwari, ibu Dewi Sritanjung ini,
melarikan diri bersama Kresno dan
Lontang, lewat jalan rahasia yang
sudah dipersiapkan.
Belasan tahun lalu Joyo Brewu
memang kaya raya dan terkenal mata
keranjang. Apabila sudah menginginkan
perempuan, ia takkan berhenti berusaha
baik dengan jalan halus maupun kasar.
Itulah sebabnya waktu itu Dewi Anwari
dia lawan, dan dengan paksa akan
diperisteri. Untuk kemudian peristiwa
ini diketahui oleh Mpu Nala yang
kedudukannya sebagai pejabat tinggi
Majapahit. Dan berkat pertolongan ini,
kemudian Dewi Anwari kawin dengan Mpu
Nala.
Sepasang pengantin itu hidup
bahagia, dan Nala sudah merencanakan
memboyong ke kota Majapahit. Tetapi
celakanya ketika itu Ibu angkatnya,
Nyai Joyokretiko lancang mulut,
menceritakan keadaan Dewi Anwati yang
sebenarnya, ialah puteri Kuti yang
memberontak.
Mpu Nala kaget. Dirinya adalah
seorang pejabat tinggi Majapahit. Maka
apabila ia mengawini anak pemberontak
Kuti, hal ini berarti bisa
membahayakan kedudukannya. Sebagai
akibatnya Mpu Nala lalu meninggalkan
Dewi Anwari diam-diam.
Waktu itu Dewi Anwari sudah hamil
hampir tujuh bulan. Ia menjadi sedih
sekali setelah Mpu Nala pergi hanya
meninggalkan secarik surat Saking
sedih dan menyesal perempuan ini
hampir bunuh diri. Tetapi sekalipun
urung bunuh diri, Dewi Anwari merasa
selalu dirundung sedih. Akibatnya
ketika melahirkan anaknya, ibu ini
meninggal.
Nyai Joyokretiko yang merasa
bersalah membocorkan asal-usul Dewi
Anwari terpukul batinnya dan gila.
Maka kemudian sebagai hasil musyawarah
penduduk setempat, orok merah itu
kemudian dihanyutkan ke sungai Widas,
dan akhirnya ditemu dan diselamatkan
oleh Kiageng Tunjung Biru.
Itulah yang pernah terjadi
belasan tahun lalu.
Untuk menghindarkan dari bahaya,
kemudian Joyo Brewu dan pembantunya
melarikan diri ke Sadeng. Secara
kebetulan di Sadeng sedang terjadi
pergolakan dan Bupati Sadeng
memberontak. Maka Joyo Brewu diterima
dan membantu memberontak.
Akan tetapi kemudian ternyata
cita-cita Bupati Sadeng ini
berantakan, ketika pasukan Majapahit
di bawah pimpinan Mpu Mada dan
Adityawarman menyerbu. Pasukan Sadeng
terpukul kocar-kacir dan bupatinya
tewas dalam perang. Kemudian sisanya
melarikan diri.
Joyo Brewu juga mencari tempat
persembunyian. Selama ini mereka
selalu berpindah tempat dan sebagai
penopang hidup melakukan perampokan.
Namun merampok ini makin lama menjadi
sulit karena perlawanan penduduk dan
bantuan pasukan keamanan. Oleh karena
itu ia tadi menepi dengan maksud
mendarat.
Tidak terduga sama sekali, usaha
pendaratannya ini harus mengorbankan
tiga orang anak buahnya. Peristiwa ini
membuat ia amat menyesal. Namun
sekarang setelah berhadapan dengan
gadis jelita yang mirip dengan Anwari,
rasa sesal itu lenyap dan
kejantanannya malah bangkit kembali.
Menurut pikirannya, inilah kesempatan
bagus. Gadis ini sekarang hanya
seorang diri.
Joyo Brewu menyeringai seperti
iblis kelaparan. Sebagai laki-laki
buaya sejak masih muda, ia menjadi
lupa daratan.
Engkau memang mirip dengan
Anwari, istriku yang melarikan diri,
katanya. Heh heh heh heh, kau mirip
dengan dia dan sekarang kau harus
menggantikan Anwari. Kau.... kau harus
menjadi istriku!
Keparat! Setan alas! teriak
Sritanjung yang tersinggung. Monyet
tua macam kau, berani membuka mulut
sembarangan di depanku? Huh, apakah
kau sudah bosan hidup?
Heh heh heh heh, Joyo Brewu
mengejek. Kau perempuan, apakah yang
kau andalkan berani menantang aku?
Manis, engkau jangan keras kepala. Heh
heh heh heh, sekalipun sudah berumur,
aku akan bisa membahagiakan engkau....
heiiiiit.....
Joyo Brewu yang belum selesai
bicara ini terpaksa melompat
menghindarkan diri seraya berteriak
kaget, ketika seleret sinar biru
menyambar dada. Ia mengebutkan tangan
kanan untuk menghalau pedang,
sedangkan tangan kiri menyambar cepat
guna mencengkeram pergelangan tangan
lawan. Tetapi Joyo Brewu kemudian
berteriak kaget sambil melompat
mundur. Sebab tahu-tahu pedang gadis
itu telah membalik dan hampir menabas
tangan kirinya.
Walaupun dirinya seorang yang
luas pengalaman, ia merasa kaget
sekali menghadapi ilmu pedang gadis
ini. Dalam satu gebrakan saja dirinya
sudah hampir celaka.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar
bentakan lantang, Bangsat tua! Engkau
berani mengacau tempat ini?
Bentakan itu kemudian disusul
berkelebatnya Surya Lelana. Dua orang
anak buah Joyo Brewu dengan golok
menyambut berbareng. Tetapi Surya
Lelana hanya tersenyum, tidak
menghindarkan diri dan dengan
menggunakan jari tangan menyentil
golok dengan tangan kanan sekaligus
melancarkan pukulan dengan tangan
kiri.
Tring cring plak bukk....
Aduhh...!
Dua batang golok itu terpental
oleh sentilan Surya Lelana. Kemudian
dua penyerang itu memekik nyaring dan
roboh dengan kepala pecah. Empat orang
yang lain terbelalak dan tidak
sembarangan berani maju.
Surya Lelana dengan mata berapi-
api berteriak kepada Dewi Sritanjung,
Tanjung! Berikan monyet tua itu
kepadaku!
Enak saja kau bicara! sahut gadis
ini sambil menggerakkan pedangnya.
Gerakan pedang itu menggetar
sehingga pedang yang semula menyerang
dada, kemudian mengancam pundak kanan
dan leher Joyo Brewu. Serangan ini
benar-benar mengejutkan Joyo Brewu dan
terpaksa harus menghindarkan diri de-
ngan gugup.
Sambil terus menyerang,
Sritanjung berkata lagi, Surya! Aku
masih sanggup menghajar monyet busuk
ini!
Surya Lelana tidak menjawab. Ia
sudah berhadapan dengan empat orang
yang mengeroyok dan tidak berani
sembrono lagi. Ia cepat mencabut
pedang dan mengamuk. Pedangnya
bergulung-gulung menyambar ke sana ke
mari. Namun berkat kerjasama empat
orang itu, mereka dapat mengeroyok
rapi sekali.
Joyo Brewu yang hampir celaka
menjadi marah. Ia memang laki-laki
yang tak pemah mau melepaskan
perempuan cantik, lebih-lebih gadis
muda dan cantik seperti Sritanjung
ini. Namun demikian ia seorang kasar,
berangasan dan kejam. Kalau sudah
marah ia tidak peduli apapun lagi, dan
bagi dirinya yang lebih penting adalah
mempertahankan nyawa dari maut. Maka
setelah merasa tak mampu melawan
dengan tangan kosong, ia mencabut
senjatanya sebatang tongkat baja.
Tongkat itu memang aneh. Bisa
berubah menjadi panjang dan pendek
menurut kegunaan. Disamping itu bagian
dalam tongkat itupun berlubang.
Apabila alat rahasia ditekan akan
segera menyambarlah puluhan batang
jarum yang berbahaya karena beracun.
Trang....! Joyo Brewu kaget
ketika tongkatnya terpotong sedikit
berbenturan dengan pedang lawan. Ia
menjadi sadar pedang lawan merupakan
pedang pusaka. Maka ia membentak
marah, huh, bocah celaka. Engkau
berani merusak senjataku? Mampuslah!
Joyo Brewu menyodok ke arah dada,
tetapi untung sekali Sritanjung dapat
bergerak seperti burung walet. Ia
menghindar sambil menyabetkan
pedangnya, namun ahh gadis ini
tertipu.
Trang....! Dewi Sritanjung kaget
dan wajahnya pucat. Sabetan tongkat
hampir saja menyebabkan pedangnya
lepas dan telapak tangannya panas
seperti terbakar. Baru sadarlah gadis
ini, gerakan menyodok tadi hanya
tipuan belaka. Dewi Sritanjung seorang
gadis yang belum berpengalaman. Karena
belum berpengalaman ia tadi cepat
berbesar hati, ketika pedangnya
berhasil membabat ujung senjata lawan.
Rasa besar hati ini merupakan musuh
utama bagi orang berkelahi. Lalu
timbul rasa merendahkan lawan dan
akibatnya merugikan diri sendiri.
Sritanjung amat marah dan segera
mengerahkan kepandaian dengan maksud
dapat merobohkan lawan. Tetapi
sekarang Joyo Brewu amat ber-hati-hati
hingga sulit untuk menabas senjata la-
wan. Joyo Brewu sudah membalas
menyerang baik dari jarak dekat maupun
jauh. Memang senjatanya memungkinkan
untuk dapat menyerang dari segala
jarak. Karena secara otomatis senjata
itu bisa pendek maupun panjang.
Dan karena melihat sekalipun
gerakannya gesit dan dilindungi pedang
pusaka, tetapi gerakannya masih agak
canggung dan hijau, Joyo Brewu masih
sempat ketawa dan mengejek. Hatinya
gembira dan merasa pasti akan dapat
menangkap gadis cantik ini. Sebagai
laki-laki yang suka berburu perempuan,
dalam benaknya sudah terbayang
nafsunya yang kotor. Maka kalau semula
sudah marah dan akan membunuh lawan,
sekarang berubah lagi. Ia berusaha
agar dapat menangkap dan menawan
hidup-hidup gadis ini.
Gagasan Joyo Brewu yang
menyeleweng ini justru menolong Dewi
Sritanjung. Sebab serangan balasan
yang dilancarkan Joyo Brewu sekarang
berubah mengarah bagian tubuh yang
tidak berbahaya.
Di pihak lain Surya Lelana yang
dikeroyok empat orang berkelahi dengan
gelisah, mengkhawatirkan keselamatan
Sritanjung.
Mengingat bahaya yang sewaktu-
waktu bisa menimpa Dewi Sritanjung ini
ia mengerahkan seluruh kepandaiannya
untuk secepatnya mengalahkan lawan.
Oleh gerakan cepat pedangnya, menyusul
salah seorang pengeroyoknya menjerit
ngeri dan dadanya berlubang.
Makin berkurangnya jumlah yang
mengeroyok, pemuda ini semakin garang.
Empat orang pengeroyoknya ini yang dua
orang sudah terluka darah mengucur
dari luka, menyebabkan gerakannya
kurang gesit. Tak lama kemudian
terdengar jeritan ngeri, seorang lawan
terkutung lengannya oleh sabetan
pedang Surya Lelana.
Akan tetapi justru penderitaan
anak-buahnya itu kemudian
membangkitkan kemarahan Joyo Brewu.
Tiba-tiba saja tangan kiri bergerak
dan menyambarlah beberapa batang pisau
kecil.
Sritanjung kaget dan berteriak,
Surya....
Sambil berteriak gadis ini sudah
kembali menerjang dengan pedangnya ke
arah dada. Namun dengan terkekeh
mengejek Joyo Brewu berhasil
menghindar ke samping dan berbareng
menyabetkan tongkat ke arah tangan.
Disusul gerak tongkat yang diteruskan
untuk menyerampang kaki.
Sesungguhnya sekalipun tanpa
diperingatkan, Surya Lelana sudah tahu
serangan pisau itu. Karena itu pedang
diputar cepat untuk melindungi tubuh.
Tring... tring... tring pisau yang
dilemparkan Joyo Brewu runtuh di
tanah.
Karena takut sisa anak buah Joyo
Brewu melarikan diri. Pemuda ini tak
mau memberi kesempatan. Orang yang
terluka pahanya, lari terpincang-
pincang dan gerakannya lambat. Dalam
waktu singkat punggungnya telah
berlubang oleh tikaman pedang.
Melihat anak buahnya berantakan
Joyo Brewu tambah marah. Dengan
menggunakan kesempatan baik di saat
Sritanjung menghindari serangannya, ia
melompat jauh. Secepat kilat ia
menekan alat rahasia pada tongkatnya
dan menyusul sinar berkeredep keluar
dari lubang tongkat, menyambar Surya
Lelana.
Sritanjung kaget berbareng marah.
Ia menerjang maju dan nekad menyerang
Joyo Brewu sambil berteriak nyaring.
Surya! Awas belakang....!
Joyo Brewu terkekeh mengejek.
Serangan jarum beracun seperti ini
selama hidup belum pernah gagal.
Karena itu ia sudah memastikan pemuda
itu akan segera roboh dan tanpa
kesulitan lagi dirinya akan bisa
menangkap gadis cantik yang galak ini.
Hatinya tidak menyesal sekalipun harus
mengorbankan anak buahnya, karena
dirinya akan mendapat ganti seorang
gadis muda yang mirip dengan Anwari.
Akan tetapi agaknya Dewata belum
menghendaki Surya Lelana mati muda.
Pada saat berbahaya itu berkelebatlah
bayangan yang bergerak seperti kilat,
menyusul angin dahsyat menyambar ke
arah puluhan jarum beracun itu hingga
runtuh ke tanah.
Ahhh.... Kakek...!
Uwa Guru....!
Hampir berbareng Sritanjung dan
Surya Lelana berteriak, melihat
munculnya Kiageng Tunjung biru. Dan
tentu saja munculnya kakek ini disaat
berbahaya, amat menggembirakan dua
orang muda itu.
Joyo Brewu menjadi gentar dan
kaget melihat munculnya seorang kakek,
tetapi tubuhnya masih gagah dan kuat.
Kalau dua orang muda itu saja cukup
tangguh, apalagi kakek itu, tentu
sulit dilawan. Maka secepat kilat ia
sudah melarikan diri.
Surya Lelana dan Sritanjung tak
mau melepaskan begitu saja, dan cepat
mengejar. Tetapi mendadak dua orang
muda ini kaget ketika Kiageng Tunjung
Biru sudah menghadang sambil men-egah.
Jangan! Biarkan dia pergi!
Kakek! protes Sritanjung. Mengapa
orang jahat itu Kakek biarkan pergi ?
Mereka datang dan mengacau, malah
mereka sudah membunuh Klentreng dan
Senggung....
Hemm.... orang itu mempunyai
senjata yang amat berbahaya. Kiageng
Tunjung Biru memberikan alasannya.
Kamu tak gampang mengalahkan dan
salah-salah malah celaka.
Tetapi toh ada Kakek. Kakek tentu
dapat mengatasi dia!
Heh heh heh heh. Kalau mengingat
bahayanya orang itu dibiarkan hidup
terus, memang pantas aku turun tangan.
Tetapi orang itu sudah melarikan diri
dan tidak berani melawan aku. Betapa
dunia ini akan menertawakan aku
sebagai seorang tua yang tak tahu diri
nekad menghajar orang yang sudah tidak
berani melawan.
Sritanjung mengerutkan alis lalu
bersungut-sungut. Katanya, Kek, engkau
ini bagaimana? Jelas dia tadi mau
membunuh Surya Lelana secara curang.
Dan dia juga sudah membunuh Klentreng
dan Senggung, malah juga bermaksud
menangkap aku. Tetapi mengapa Kakek
biarkan dia lari?
Kiageng Tunjung Biru mengerti
perasaan muridnya yang penasaran ini.
Dan ia sadar juga, jalan pikiran
Sritanjung bahwa orang yang sudah
membuat kerugian harus dibalas dan
kalau perlu dibunuh. Namun kakek ini
jelas tidak mau dipengaruhi oleh nafsu
seperti itu.
Karena yang bunuh membunuh
akhirnya akan menimbulkan balas dendam
yang takkan ada habisnya.
Ketika dirinya masih muda
dirinyapun mempunyai pendirian dan
pendapat seperti Sritanjung ini.
Dengan dalih orang jahat dan banyak
melakukan kejahatan dan pembunuhan.
Namun setelah dirinya menjadi tua dan
pikun, hal tersebut tinggal dalam
penyesalan.
Sesudah menghela napas kakek ini
menjawab halus. Mereka telah membunuh
Klentreng dan Senggung, itu tak bisa
dipungkiri. Namun sebaliknya kamu
telah membunuh tujuh manusia. Nah, dua
ekor binatang sudah diganti dengan
tujuh nyawa manusia. Apakah kamu belum
juga puas?
Sritanjung membantah, Tetapi
bukan aku yang membunuh mereka.
Tanjung, engkau atau orang lain
bukanlah soal. Surya telah membunuh
tujuh orang, tidak lain karena membela
dan membantu kerepotanmu, berarti
Surya berdiri di pihakmu. Dengan
demikian pihakmu telah berhasil
membalaskan kematian Klentreng maupun
Senggung.
Dewi Sritanjung membantingkan
kakinya ke tanah saking penasaran.
Tetapi Joyo Brewu dan anak buahnya
sudah mendayung perahu dan sudah jauh.
Dengan demikian Sritanjung sudah tak
dapat berbuat apa-apa lagi.
Tiba-tiba Sritanjung menjerit
nyaring lalu lari ke arah Klentreng
dan yang sudah tidak bergerak. Ia
menubruk, memeluk sambil menangis.
Gadis ini menangis sejadi-jadinya,
menyebabkan Kiageng Tunjung Biru dan
Surya Lelana terharu.
Kiageng Tunjung Biru menatap
Surya Lelana kemudian katanya halus,
Surya, biarkan dia menangis sampai
puas dan jangan kauganggu. Sekarang
aku minta tolong kepadamu, buatlah
lubang kubur untuk tujuh orang ini.
Sedang aku juga akan membuat lubang
kubur untuk Klentreng dan Senggung.
Surya Lelana menyanggupkan diri
sambil membungkuk memberi hormat.
Kemudian pemuda ini sudah bekerja
membuat lubang kubur dengan pedangnya.
Kiageng Tunjung Biru masih
berdiri dan diam-diam amat terharu
melihat adegan dan tangis muridnya
ini. Bagaimanapun antara Klentreng
dengan Sritanjung mempunyai pertalian
batin yang amat kuat. Dan kendati
Klentreng hanya seekor harimau dan
Sritanjung manusia, tetapi mereka itu
tidak bedanya ibu dengan anak. Berkat
air susu Klentreng maka Sritanjung
bisa hidup terus dan tumbuh menjadi
gadis cantik.
Sekarang kalau Sritanjung
menangis sambil memeluk bangkai
harimau ini, kiranya sudah wajar. Ia
percaya dalam tubuh Sritanjung
terdapat getaran gaib yang tak dapat
dilihat oleh mata manusia secara
lahir. Menyadari hal tersebut, Kiageng
Tunjung Biru tak mau mengganggu.
Kemudian kakek ini menghela napas
pendek. Diam-diam ia berterima kasih
kepada Dewata, bahwa dirinya datang
tepat pada saat Surya Lelana dan
Sritanjung dalam bahaya. Sedikit
terlambat saja tentu Surya Lelana
sudah mati terbunuh dan Sritanjung
diculik orang.
Kenyataannya memang kakek ini
menyadari, kedatangannya di tempat ini
seperti dibimbing oleh tangan gaib,
hingga tepat pada saat yang amat
genting, ia dapat memberi pertolongan.
Maka setelah menghela napas pendek, ia
melangkah perlahan. Ia mematahkan
sebatang dahan pohon sebesar lengan
manusia dewasa. Kemudian menggunakan
kayu ini ia mulai menggali lubang.
Apa yang kemudian terjadi sungguh
mengagumkan. Surya Lelana yang sibuk
pula menggali lubang berhenti menggali
dan teraganga keheranan melihat apa
yang tengah dilakukan kakek itu.
Sekalipun hanya menggunakan kayu,
ternyata setiap tusukan tidak kalah
dengan sepuluh kali tusukan pedang
yang ia lakukan. Tanah itu dengan
cepat sudah tergali cukup dalam.
Melihat itu Surya Lelana tidak
berani bermalas-malas. Ia pun
mengerahkan tenaga agar lubang kubur
yang dibuat cepat selesai.
Akhirnya selesai pula lubang
kubur yang dibuat Surya Lelana.
Ketika ia berhenti ternyata
Kiageng Tunjung Biru sudah lebih
dahulu selesai.
Tak lama kemudian Sritanjung
sudah puas menangis. Ia tampak
menyesali sekali karena Klentreng dan
Senggung mati.
Kiageng Tunjung Biru memandang
Surya Lelana. Ia kemudian berkata
halus, Surya, sesuatu yang hidup di
dunia ini tentu akan mati. Karena itu
kematian tidak dapat dihindari
siapapun, karena merupakan kodrat
alam. Yang lama tumbang, yang tua mati
dan yang baru muncul dan yang muda
tumbuh. Jadi, kematian atau pungkasan
(akhir) hidup itu merupakan permulaan
bagi yang baru. Sebab di dunia ini
tidak ada yang abadi dan yang abadi
hanya yang di sana, sesudah manusia
atau yang disebut hidup ini mati.
Kakek itu berhenti sejenak,
sesudah menghela napas pendek,
terusnya, Surya, kalau demikian halnya
yang sudah tentu terjadi di dunia ini,
mengapa sesuatu yang sudah berakhir
atau sampai pada pungkasannya harus
disesalkan? Jika terjadi demikian
jelas kau keliru.
Kiageng Tunjung Biru berhenti
lagi dan menghela napas pendek. Orang
tua itu menggunakan sudut matanya
mengerling ke arah Sritanjung, karena
sesungguhnya ucapannya memang
diiujukan kepada gadis ini.
Surya Lelana berdiam diri dan
menundukkan kepalanya.
Sesudah mengangguk-angguk kakek
ini meneruskan, Surya, di dunia ini
berlaku yang serba berlawanan. Ada
suka dan ada duka. Ada gelap dan ada
terang. Karena itu ada kehidupan juga
ada kematian. Jadi, semua itu wajar.
Semua itu sudah semestinya, sesuai
dengan kodrat alam. Nah, jika engkau
sudah mengetahui hai ini, akan menjadi
tebal keyakinanmu bahwa semua ini
sudah ada yang mengatur, ialah Yang
Maha Tinggi. Ya, sudah diatur oleh
Dewata Agung. Jika semua ini sudah ada
yang mengatur, maka engkau akan sadar
bahwa apa yang terjadi atas dirimu tak
mungkin dapat kauhindari. Malah
kematian pun tak juga dapat kau tolak.
Oleh karena itu engkau harus mau
menerima hidup ini secara wajar. Apa
adanya!
Wajar dan apa adanya berarti
engkau tidak mengadakan perbandingan
dan penilaian. Maka apabila kau sudah
dapat menerima hidup ini secara wajar,
engkau akan memperoleh ketenangan
batin yang sebenarnya, tanpa kau buat-
buat! Laksana air telaga yang amat
dalam.
Kakek ini berhenti sejenak
mencari kesan, baru kemudian
meneruskan, Ya, laksana air telaga
yang amat dalam. Walaupun orang
mengganggu dengan memasukkan sesuatu
benda ke dalam telaga, guncangannya
hanya terjadi sesaat dan dipermukaan
saja. Ada contoh lain, pohon nyiur. Ia
selalu teguh baik di waktu banyak air
maupun di saat kemarau, akan tetap
hidup tanpa perubahan, namun selalu
berbunga dan berbuah.
Surya Lelana mengangguk-angguk
dan amat memperhatikan. Pemuda ini
sadar petunjuk ini benar-benar
berharga.
Sritanjung yang masih duduk
terisak mendengar pula apa yang
diucapkan gurunya. Ibarat sebuah
wadah, Sritanjung ini merupakan wadah
yang masih kosong. Ia merupakan gadis
yang belum berpengalaman oleh
pergaulan yang gampang mempengaruhi
jiwa muda dan bisa menyesatkan. Karena
itu begitu mendengar nasihat kakek
ini, ia cepat menjadi sadar. Tak ada
gunanya menangis, kecewa dan menyesal
oleh matinya dua ekor harimau itu.
Ahh, Kakek benar. Yang hidup akan
mati. Klentreng dan Senggung sudah
mati, mengapa harus disesalkan? Mari,
segera kita kuburkan, Surya. Tetapi
manusia jahat itu biarkan saja geletak
menjadi makanan burung gagak.
Mendengar ucapan gadis ini kakek
itu cepat menanggapi, Apapun yang
sudah mati adalah mati. Yang mati itu
suci, dan tidak dapat disangkut-
pautkan dengan hidup. Apapun yang
pernah dilakukan ketika masih hidup
tiada hubungannya sesudah mati. Karena
itu lebih baik kita kubur saja.
Pada mulanya Sritanjung cemberut
mendengar ucapan kakeknya ini. Namun
setelah dipikir dan dirasakan, ia tak
dapat membantah lagi benarnya pendapat
kakek itu. Sebagai gadis yang polos ia
segera pula mengakui.
Ahh, kakek benar lagi, katanya.
Mari, sekarang kita kuburkan semuanya.
Akan tetapi meskipun begitu kelak akan
datang saatnya aku melakukan
pembalasan.
Balas membalas, dendam mendendam
dan benci membenci, merupakan pangkal
dari segala keributan dan tiada
kerukunan manusia di dunia ini, ujar
Kiageng Tunjung Biru halus. Sebaliknya
sebagai akibatnya, manusia ini akan
kejam melebihi binatang buas antara
manusia sendiri. Tanjung, pikiran
semacam itu akan menyebabkan orang
menjadi mabuk, lupa bahwa di atas
manusia ini masih ada Yang Maha
Tinggi. Lupa bahwa apa yang terjadi
sudah menjadi kehendakNya yang tak
terbantahkan oleh manusia lagi. Akan
tetapi secara wajar, justru akan
merasakan sudah merupakan kehendak
Dewata Agung.
Kek, apakah sebabnya kau bilang
begitu? Orang jahat itu sudah membunuh
Klentreng dan Senggung. Mengapa harus
kita biarkan saja tanpa pembalasan?
Tanjung, apakah sangkamu
Klentreng dan Senggung bisa mati
apabila tidak dikehendaki Yang Maha
Tinggi? Apapun yang dilakukan manusia
di dunia ini, kalau belum dikehendaki
oleh Dewata Agung semuanya akan gagal.
Orang yang akan dibalas bisa
menghindarkan diri dan akan hidup
terus. Tetapi sebaliknya, tanpa
dibalaspun kalau sudah kehendak Dewata
Agung, tentu akan mati juga. Mungkin
karena takdir dan mungkin dibunuh
orang lain. Tanjung, yang sudah mati
biarlah mati dan hadapilah tanpa
penilaian dan perbandingan. Hadapilah
secara wajar dan apa adanya. Dan
jangan beranggapan bahwa Klentreng dan
Senggung ini mati karena dibunuh
orang.
Kalau demikian Kakek menjadi
pengecut dan akibatnya kita akan
selalu dihina orang! bantah Sritanjung
sambil bertolak pinggang. Hemm, aku
tidak sudi menjadi pengecut dan dihina
orang.
Heh heh heh heh, Kiageng Tunjung
Biru terkekeh. Tanjung, ternyata kau
mencampur adukkan persoalan yang tidak
ada hubungannya. Dengar baik-baik,
Cucuku, bebas dari rasa benci, bebas
dari mendendam dan balas-membalas,
adalah kebesaran hati karena semua itu
tidak baik. Jadi, bukan pengecut dan
bukan pula mau dihina orang lain.
Kakek ini berhenti dan memandang
cucunya penuh kasih. Katanya lebih
lanjut, Akan tetapi sebaliknya,
apabila orang mau menyadari dan
menghayati dengan wajar, takkan ada
lagi apa yang engkau maksudkan itu.
Hemm, apakah yang disebut pengecut dan
apa pula yang disebut hina itu?
Bukankah semua hanyalah anggapan
belaka? Nah, kalau hanya anggapan dari
orang berarti bukanlah ketentuan yang
harus dianut.
Nah, kalau memang tidak merasa
sebagai pengecut, mengapa pula merasa
terhina? lanjut kakek itu. Sebaliknya
pula mengapa engkau menjadi gembira,
bangga dan senang mendengar orang
memuji dan menghormatimu? Inilah
bahayanya manusia yang gampang
diombang-ambingkan perasaan. Oleh
pikiran! Akan tetapi sebaliknya kalau
menghadapi dengan pikiranmu yang
kosong, secara wajar, apa adanya,
engkau takkan merasakan semua itu.
Karena semua yang terjadi di dunia ini
sumbernya bukan lain oleh permainan
pikiran manusia sendiri.
Surya Lelana yang umurnya lebih
tua dan luas pengalaman lebih gampang
menangkap apa yang dimaksud kakek ini.
Sebaliknya Sritanjung yang belum dapat
menangkap maksud gurunya masih belum
puas. Namun karena cuaca sudah hampir
gelap, ia tidak mau banyak mulut lagi.
Dengan tangkas bangkai Klentreng dan
Senggung dipondong ke liang kubur.
Surya Lelana segera pula merawat
orang-orang yang sudah mati oleh
tangannya maupun oleh harimau. Tidak
lama kemudian semuanya sudah terkubur.
5
Keesokan paginya jadilah Surya
Lelana meninggalkan hutan ini kembali
ke Ibukota Majapahit. Sritanjung
mengantar sampai tepi sungai. Untuk
beberapa saat lamanya mereka saling
pandang. Dua orang muda ini merasa
berat untuk berpisah kendati baru
berkenalan beberapa hari.
Tanjung, entah mengapa sebabnya
rasanya amat berat hatiku untuk
berpisah dengan engkau, ujar pemuda
itu sambil memegang lengan Sritanjung.
Kapan kau pergi ke Ibukota Majapahit?
Entahlah, sahut Sritanjung sambil
menggeleng. Tetapi yang jelas akan
datang saatnya aku pergi ke sana.
Hemm, Surya... engkau tidak tahu bahwa
akupun... berat sekali rasanya
berpisah dengan engkau....
Jawaban Sritanjung ini merupakan
pencerminan hati. Jawaban yang jujur.
Ia berat berpisah karena merasa cocok
memperoleh kawan sama-sama muda.
Sekarang begitu Surya Lelana pergi ia
merasa kehilangan. Ia tidak mempunyai
kawan lagi kecuaii harimau yang
tinggal dua ekor saja. Manusia satu-
satunya hanya kakeknya, akan tetapi
kakek itu lebih banyak tenggelam dalam
dunianya sendiri, sehingga apabila
tidak saatnya memberi pelajaran dan
melatih ia tidak memperoleh perhatian
sama sekali.
Akan tetapi ucapan Sritanjung ini
diartikan secara salah oleh Surya
Lelana. Pemuda yang sudah cukup dewasa
ini menganggap bahwa Sritanjung
mengucapkan kata-kata ini sebagai
pernyataan yang tertarik dan jatuh
cinta.
Karena menduga salah Surya Lelana
menjadi gembira. Lalu teringatlah
pengalamannya kemarin ketika berciuman
akibat pengaruh racun ular. Sekarang
sebelum berpisah timbul keinginannya
untuk mencium gadis ayu ini. Karena
menurut pendapatnya apakah salahnya,
kalau gadis ini memang suka kepada
dirinya?
Tiba-tiba saja Surya memeluk
erat. Sritanjung yang kaget meronta
dan menjerit. Tetapi jeritannya tidak
dapat keluar, karena bibirnya sudah
tersumbat oleh bibir pemuda nekad ini.
Maksud untuk merontapun menjadi gagal
karena tiba-tiba tubuhnya menjadi
gemetaran. Ada perasaan aneh yang
menyebabkan hatinya bahagia
mendapatkan ciuman ini. Sekarang
seakan tubuhnya melayang di udara dan
dibawa oleh perasaan. Dan tanpa
sesadarnya, gadis inipun menanggapi
apa yang dilakukan Surya Lelana.
Akan tetapi beberapa saat
kemudian Sritanjung, sadar akan
dirinya. Ia meronta dan lepas, lalu
tangan kanan bergerak seperti kilat
menyambar dan menampar plak plak....
Dua kali pipi Surya Lelana
ditampar Sritanjung, seperti yang
sudah terjadi kemarin. Akan tetapi
Surya Lelana tidak marah malah
tersenyum.
Pipi Sritanjung agak merah dan
malah menambah kecantikannya. Warna
merah pada pipinya ini terpengaruh
oleh rasa malu berbareng marah. Ke-
mudian sambil mendelik gadis ini
mendamprat,
Surya! Mengapa engkau berani
berbuat seperti ini kepada diriku?
Apakah engkau sengaja menghina aku?
Surya Lelana terkesiap. Melihat
sikapnya, jelas gadis ini marah, dan
kalau demikian bisa runyam. Menyadari
keadaan ini ia cepat minta maaf.
Tanjung.... ohh.... maafkan aku.
Tetapi.... aku tidak main-main. Terus
terang saja.... aku cinta padamu.....
Makin tambah merah pipi
Sritanjung mendengar pengakuan Surya
Lelana yang blak-blakan mengaku cinta
itu. Tiba-tiba saja jantungnya
berdegup lebih cepat. Untuk menutupi
perasaan ini ia membentak, Sudahlah,
jangan banyak mulut lagi. Lekaslah
engkau pergi dari tempat ini sebelum
aku marah.
Surya Lelana terbelalak kaget.
Tetapi kemudian ia menghela napas,
membungkuk dan berkata, Baiklah
Tanjung, selamat tinggal.
Tanpa menunggu jawaban Surya
Lelana sudah lari ke tepi sungai lalu
meloncat ke perahu kendaraannya. Surya
Lelana mencoba menengok ketika sudah
di tengah sungai, tetapi ah, gadis ayu
itu sudah lenyap entah ke mana.
* * *
Akan tetapi beberapa saat
kemudian Sritanjung, sadar akan
dirinya. Ia meronta dan iepas, lalu
tangan kanan bergerak seperti kilat
menyambar dan menampar plak plak......
Tanpa terasa lagi, setahun sudah
lewat. Sritanjung sekarang sudah
berumur 17 tahun dan telah menjadi
seorang dara remaja, bak bunga sedang
mekar. Tubuhnya ramping tetapi padat
berisi sedang wajahnya semakin cantik
jelita dan raut wajahnya mirip sekali
dengan ibunya, Dewi Anwari. Sayang
sekali gadis jelita ini tidak pernah
sempat merasakan kasih sayang ibunya
maupun mengenal ayahnya. Demikian pula
ayah, dan satu-satunya manusia di
dunia ini yang mencurahkan kasih
sayangnya kepada dirinya, hanyalah
Kiageng Tunjung Biru seorang, yang
menurut perasaannya adalah kakeknya
sendiri. Sedang mahluk lain dan
memberi kasih sayang kepada dirinya
adalah empat ekor harimau tutul,
tetapi yang dua ekor sekarang sudah
mati.
Malam itu amat dingin. Hujan
turun deras sekali dan guntur
menggelegar, menyambar-nyambar di
angkasa. Di luar pondok amat gelap,
demikian pula di dalam pondok amat
gelap.
Pondok Kiageng Tunjung Biru tanpa
penerangan. Sekalipun demikian setiap
kilat menyambar akan tampaklah keadaan
di dalam pondok secara sekilas.
Kiageng Tunjung Biru duduk bersila di
atas tikar beralas rumput kering,
sedang Dewi Sritanjung sendiri duduk
di depannya, dan bersila pula.
Tidak seorangpun di antara mereka
membuka mulut. Sebab di saat ini guru
dan murid ini sedang tenggelam dalam
semadinya. Adapun dua ekor harimau
tutul piaraan yang bernama Tumpak dan
Manis juga berdiam diri mendekam pada
sudut pondok. Agaknya dua ekor harimau
ini tahu majikannya sedang menghadapi
saat-saat penting, maka tidak berani
membuat keributan.
Keadaan seperti ini memang sudah
terjadi sejak dua hari lalu dimulai
ketika sesudah senja. Dengan demikian
berarti keadaan semacam ini sudah
berlangsung dua hari dua malam. Waktu
yang cukup panjang, namun guru dan
murid ini belum juga menghentikan
semadinya. Mereka berubah bagai
patung.
Memang sejak kakek ini menerima
surat dari Mpu Mada, kakek ini
menggembleng murid tunggalnya dengan
latihan-latihan berat. Dewi Sritanjung
hampir tidak mempunyai waktu lagi
untuk bermain-main dengan Tumpak dan
Manis. Latihan berat itu dimaksud agar
apa yang diharapkan Kiageng Tunjung
Biru bisa terwujud. Agar kelak
kemudian hari menjadi seorang dara
perkasa. Menjadi pembela keadilan dan
kebenaran. Latihan berat itu ternyata
dapat dilampaui oleh Sritanjung dengan
memuaskan dan membuat gurunya bangga.
Bagi orang yang tidak terlatih
betapa derita orang harus duduk
bersila tidak bergerak, tidak dalam
keadaan tidur dan perut kosong, selama
dua hari dua malam. Tetapi bagi
Sritanjung walaupun baru berumur 17
tahun tidak pernah mengeluh setiap
kali gurunya memerintahkan apa saja.
Justru ketekunannya dan sungguh-
sungguh dalam melaksanakan perintah
gurunya ini, ia memperoleh kemajuan
pesat dan amat mengagumkan.
Malam ini telah lewat dan
kemudian datanglah pagi. Namun guru
dan murid ini masih tenggelam dalam
semadinya.
Dua ekor harimau tutul bernama
Tumpak dan Manis itupun masih tetap
mendekam pada sudut pondok, tidak mau
meninggalkan pondok dan mencari
mangsa. Matanya juga terpejam, seakan
dua ekor harimau ini mengikuti yang
dilakukan oleh majikan. Meniru
bersemadi, meniru berpuasa sekalipun
tidak tahu apa maksud majikannya.
Sekalipun lambat waktu terus
bergerak dan matahari bergeser secara
tetap. Tanpa terasa matahari sudah
tenggelam di barat dan Kiageng Tunjung
Biru mendahului membuka mata. Pondok
gelap dan diluar pondok pun gelap.
Tetapi sekalipun gelap dari celah
dinding kakek ini melihat langit cerah
dan jutaan bintang menghias langit
biru, sesudah semalam turun hujan
dengan deras. Diam-diam kakek ini
kagum melihat muridnya belum bergerak.
Dan ketika memandang ke arah dua ekor
harimau itupun kakek ini manggut-
manggut dengan bibir tersenyum.
Tanjung, sudah cukup. Hentikan
semadimu! ujarnya.
Akan tetapi Dewi Sritanjung yang
ketika itu menutup, babahan hawa sanga
(sembilan lubang pada tubuhnya) dan
dalam keadaan mematikan rasa itu tidak
mendengar suara gurunya. Setelah tiga
kali kakek ini memanggil, barulah
Sritanjung sadar dari semadinya.
Apakah yang kau rasakan sekarang?
Tubuh nyaman dan panca indera
lebih tajam. Tetapi anehnya saya tidak
merasa lapar dan haus sahut gadis ini.
Bagus. Sekarang coba perhatikan
apa yang terjadi dalam tubuhmu?
Gadis ini tak cepat menjawab. Ia
memperhatikan keadaan dalam tubuhnya,
dan sejenak ia menyahut, Kek, ada
semacam hawa yang hangat pada pusar,
seperti gumpalan yang mendesak ke sana
dan kemari.
Bagus! Salurkanlah sekarang
gumpalan hawa pada pusar itu. Jangan
tergesa, perlahan saja tetapi pasti
agar kemudian beredar di seluruh
bagian tubuhmu. Itulah hawa sakti
berkat latihan dan semadimu. Tetapi,
hati-hati dan jangan kau paksakan.
Jika mendapat kesulitan, jelaskanlah.
Mulai! Ayo mulai.
Sesuai petunjuk gurunya gadis ini
mulai menyalurkan dan menguasai
gumpalan hawa sakti pada pusar yang
mendesak-desak itu. Pada mulanya gadis
ini dapat mendesak dan menyalurkan
hawa sakti itu secara lancar dan
merasakan pula badannya hangat dan
nyaman. Namun ketika hawa sakti itu
digiring naik ke atas, ke kepala,
tiba-tiba gadis ini kaget dan
berteriak.
Kek, kepalaku berdenyut dan
pening.
Teruskan. Tetapi jangan kaupaksa.
Sritanjung meneruskan perintah
gurunya sekalipun kepala terasa
berdenyutan seperti mau pecah. Di saat
gadis ini hampir tak kuat menahan
lagi, tengkuknya merasa diusap oleh
tangan dengan perlahan dan didengar
pula suara gurunya.
Marilah aku bantu.
Betapa heran gadis ini setelah
diusap gurunya, rasa berdenyutan dan
pening tadi menghilang lalu hawa sakti
itu menyalur dengan lancar.
Salurkan ke dada. Kemudian tarik
kembali ke pusar.
Perintah itu diturut. Dan setelah
selesai dan membuka mata, gadis ini
berkata. Kek, tubuhku lebih nyaman
lagi rasaya. Pendengaran dan
pandanganku lebih tajam dibanding
sebelumnya.
Kemudian pada suatu malam, Dewi
Sritanjung duduk di depan kakeknya.
Tiba-tiba saja persoalan yang selama
ini menggoda hatinya timbul kembali.
Maka gadis ini memandang gurunya, lalu
berkata.
Kek, aku sudah cukup sabar
menunggu jawaban Kakek. Bertahun-tahun
setiap kakek kutanya tentang ayah-
bundaku, selalu menjawab agar sabar
dan belum waktunya.
Sritanjung berhenti lalu
memandang kakeknya sejenak kemudian
lanjutnya, Kek, sekarang aku sudah
tujuh belas tahun. Sudah cukup dewasa
dan cukup umur. Apakah Kakek masih
akan beralasan lagi belum waktunya?
Kiageng Tunjung Biru tersenyum,
lalu jawabnya halus, Engkau benar.
Memang sudah waktunya engkau tahu
siapakah ayah dan bundamu. Baiklah
Cucuku, esok pagi berangkatlah ke
Ibukota Majapahit, cari dan temuilah
dinda Gajah Mada sambil membawa
suratku. Dari dialah engkau akan
mendapat keterangan, siapakah orang
tuamu. Dan yang perlu kau ketahui,
engkau bukanlah puteri orang
sembarangan.
Berdebar hati gadis ini mendengar
ucapan kakek sekaligus gurunya ini.
Ada dua macam hal yang menyebabkan
hatinya berdebar. Pertama datang
kepada Gajah Mada berarti pula bertemu
dengan Surya Lelana, pemuda tampan dan
diam-diam menarik hatinya itu. Dan
tiba-tiba saja wajahnya terasa panas,
sebab segera teringatlah peristiwa
setahun lalu. Saat mereka berpisah
Surya Lelana mencium dirinya.
Diam-diam ia merasa heran,
mengapa tiada perasaan marah dan benci
oleh kelancangan pemuda itu? Yang
terkesan dalam dadanya hanyalah agak
main.
Kemudian yang kedua, benarkah
dirinya bukan anak sembarangan? Lalu
siapakah dirinya ini, apakah puteri
Gajah Mada sendiri ? Tetapi pikiran
ini dibantah sendiri. Manakah mungkin
puteri Mahapatih Majapahit, diserahkan
kepada gurunya ini dan hidup terasing
di hutan?
Kek, katakanlah terus-terang.
Siapakah sebenarnya ayah dan bundaku?
desaknya.
Engkau akan segera tahu sendiri
sesudah tiba di Majapahit, sahut kakek
ini.
Tapi... tapi ... bagaimanakah
dengan Kakek setelah diriku pergi?
Lalu siapakah yang mengurus Kakek?
Kiageng Tunjung Biru ketawa
perlahan, jawabnya, Apakah sebabnya
kau merepotkan aku yang sudah tua ini?
Tak ada yang perlu kau pikirkan
tentang diriku.
Tetapi kakek sudah tua maka aku
tidak tega meninggalkan kau. Maka
apakah tidak sebaiknya Kakek bersama
pergi dengan aku saja? Dan kalau tidak
eh... lebih baik aku tidak usah pergi
saja. Biarlah aku terus menunggu dan
melayani kebutuhanmu.
Kakek itu terkekeh kemudian
katanya, Cucuku, dahulu, sebelum
engkau hidup bersama kakek di sini,
kakekmu hidup seorang diri dan dapat
pula memenuhi kebutuhan hidupnya.
Karena itu dengan kepergianmu ini
tidak akan menimbulkan akibat apa-apa
bagiku. Engkau masih muda dan hari
depanmu masih amat jauh. Dan apa yang
akan kau peroleh jika kau hanya
mengenal hutan yang sunyi ini? Maka
engkau harus terjun ke dunia ramai,
terjun ke masyarakat agar engkau
mengenal corak dunia dan corak manusia
hidup di dunia ini. Gunakan ilmu
kepandaianmu untuk membela keadilan.
Untuk membela kebenaran. Cucuku,
ketahuilah di dunia ini tidak
terhitung jumlahnya manusia yang buruk
watak dan mendekatkan diri dengan
nafsu dan kejahatan. Selama keadaan
manusia masih seperti sekarang ini,
manusia-manusia seperti engkau
dibutuhkan tenaganya oleh masyarakat.
Kiageng Tunjung Biru berhenti dan
menghela napas pendek. Sejenak
kemudian kakek ini meneruskan, Tetapi
Cucuku, untuk kepentinganmu, engkau
harus hati-hati terjun ke dalam masya-
rakat. Karena engkau akan berhadapan
dengan berbagai macam peristiwa yang
selama ini belum pernah kau alami dan
saksikan. Hemm, siapa tahu apabila
dalam kepergianmu ke Ibukota Majapahit
ini, secara tidak sengaja kau bertemu
dengan orang berjuluk Si Tangan Iblis
maupun cucu dan murid-muridnya...
Kek, siapakah Si Tangan Iblis
itu? Sritanjung tertarik.
Orang yang berjuluk Si Tangan
Iblis itu adalah seorang sakti
mandraguna tetapi jahat dan kejam.
Hindarkan diri jangan sampai kau
terlibat urusan dengan orang itu
maupun murid-muridnya. Itu amat
berbahaya.
Tetapi aku tidak takut.
Aku mengerti. Namun lebih baik
kau menghindarkan diri agar terhindar
dari bahaya.
Aku tak ingin berselisih dengan
dia. Tetapi jika dia memulai, aku akan
melawan.
Heh heh heh heh, kakek ini
terkekeh. Jangan takabur, Cucuku,
karena akan merugikan dirimu sendiri.
Dan kau juga jangan kecewa dan
menyesal jika aku mengatakan
sejujuraya, kau bukan lawan yang
sebanding dengan Si Tangan Iblis.
Ibarat buah semangka melawan durian,
tidak mungkin menang dan lebih dekat
dengan bahaya maut. Itulah sebabnya
aku berpesan, agar engkau berusaha
menghindarkan diri dengan kakek sakti
itu.
Baiklah Kek, aku perhatikan dan
aku akan berusaha menghindarkan diri.
Tetapi Kek, jelaskan padaku, siapakah
Si Tangan Iblis itu?
Baiklah aku jelaskan. Orang yang
sudah kakek-kakek dan bernama Si
Tangan Iblis itu, bertempat tinggal di
Tosari. Ia inempuatyai bebe-rapa orang
murid dan juga tiga orang cucu. Se-
karang ini keluarga Si Tangan Iblis
sedang bersebaran dalam usaha mencari
cucunya yang bungsu bernama Sentikno.
Karena bocah itu meninggalkan rumah
tanpa pamit, setelah mendengar cerita
kakeknya.
Cerita tentang apa, dan mengapa
pula bocah bernama Sentiko itu pergi
diam-diam ? Dan kepergian bocah itu
mencari siapa? tanya Sritanjung. Dan
aku juga heran, mengapa Kakek yang
tidak pernah pergi, bisa tahu
peristiwa itu?
Kiageng Tunjung Biru tersenyum.
Tidaklah mengherankan apabila muridnya
ini bertanya seperti itu, karena jika
ia pergi Sritanjung tidak pernah tahu.
Ia selalu pergi diam-diam dalam usaha
menyadap peristiwa-peristiwa yang
terjadi maupun memantau segala sesuatu
yang terjadi di dalam masyarakat.
Itulah ia bisa menceritakan sesuatu
yang baru bagi Sritanjung.
Tanjung, kurang perlu kautanyakan
mengapa aku tahu. Yang penting harus
kau ketahui sekarang ini, kau harus
hati-hati dalam perjalananmu ke
Ibukota Majapahit agar tidak sampai
tertipu orang yang tidak bertanggung
jawab maupun terlibat dalam peristiwa
Si Tangan Iblis itu.
Kemudian diceritakan oleh Kiageng
Tunjung Biru, bahwa nama sebenarnya
adalah Taruno. Dan sesudah menetap di
Tosari mengganti namanya dengan Si
Tangan Iblis. Taruno dulunya prajurit
Majapahit berpangkat Lurah. Akan
tetapi karena melakukan penyelewengan
dan merugikan nama baik pasukan
Majapahit, Taruno dipecat.
Karena sakit hati kemudian
menjadi kepala bajak laut dan bajak
sungai. Tetapi kemudian gerombolan ini
hancur berantakan diserang oleh Mpu
Nala dan pasukannya. Ia berhasil dan
ketika tahun 1319 Kuti memberontak, ia
menggabungkan diri. Namun sayang
sekali pemberontakan Kuti gagal dan
Taruno buron. Lalu di saat ia
merantau, ia mendengar kabar dari
seorang sahabatnya, anaknya yang
menjadi prajurit Bhayangkara, Karimun
dibunuh mati oleh Gajah Mada.
Mendengar ini Taruno marah sekali
karena menduga anaknya dilibatkan
dalam perkaranya.
Padahal yang benar dibunuhnya
Karimun tiada hubungan dengan
kesalahan Taruno, ujar kakek itu.
Karimun dibunuh mati oleh Gajah Mada
dalam usaha menjaga rahasia tempat
persembunyian Raja Jayanegara yang
meninggalkan keraton dan bersembunyi
di Bedander.
Sritanjung tidak membuka mulut
dan mempe-hatikan. Sebab ia
menganggap, cerita ini besar
kegunaannya dalam hubungan
kepergiannya ke Majapahit.
Sebagai akibat matinya Karimun,
keluarga yang ditinggalkan berantakan.
Isteri Karimun lalu menyerahkan dua
orang anak perempuannya yang masih
kecil kepada tetangga. Dan janda ini
kemudian memadu kasih dengan seorang
pemuda yang dicintai sejak Karimun
masih hidup.
Ahh.... jadi isteri itu berani
menyeleweng? tanya Sritanjung.
Kiageng Tunjung Biru mengangguk
dan meneruskan ceritanya. Taruno
menjadi penasaran. Kemudian menantu
tidak setia itu dibunuh secara kejam,
termasuk pula pemuda kekasihnya itu.
Taruno masih belum puas, maka keluarga
pemuda itupun semua dibantai.
Ahh.... kejam sekali! seru
Sritanjung.
Taruno alias Si Tangan Iblis
memang kejam dan ganas. Itulah
sebabnya aku berpesan agar kau hati-
hati dan jangan mencampuri urusan
kakek itu, sahut kakek ini.
Diceritakan seterusnya, dua orang
cucu itu lalu diboyong oleh Taruno.
Yang besar bernama Sarindah berumur
empat tahun dan yang kecil bernama
Sarwiyah berumur tiga tahun. Si Tangan
Iblis memilih Tosari sebagai tempat
tinggalnya. Guna kepentingan dua
cucunya ini agar ada yang merawat,
kemudian Taruno merampas seorang gadis
dari desa Gempol untuk diperisteri.
Dari isteri yang belum 18 tahun ini
kemudian lahirlah anak laki-laki
diberi nama Sentiko. Lalu ketika
Sentiko berumur tiga tahun, pada suatu
malam Taruno menangkap basah isterinya
sedang berzina dengan pemuda dari desa
Gempol juga. Tak ampun lagi isteri dan
pemuda itu kemudian dibunuh secara
kejam. Namun ternyata Taruno belum
puas, Sentiko yang tidak berdosa itu
diangkat untuk dibanting...
Ahh.... kasihan bocah itu...
Sritanjung pucat.
Memang Sentiko tentu mati jika
jadi dibanting, sahut Kiageng Tunjung
Biru. Tetapi untung sekali Sarindah
yang sudah berumur 9 tahun dan
Sarwiyah yang sudah berumur 8 tahun,
dapat menolong. Dua bocah ini terjaga
dari tidurnya akibat terjadi
keributan, kemudian memeluk lutut
kakeknya ketika melihat Sentiko akan
di banting.
Demikianlah, untuk menghilangkan
kenangan yang tidak menyenangkan itu
maka Sentiko dibiasakan memanggil
kakek dan bukan ayah. Dan karena
umurnya paling muda, maka Sentiko se-
bagai cucu termuda.
Tetapi apakah sebabnya Sentiko
pergi? selidik Sritanjung.
Itu adalah gara-gara Sarindah dan
Sarwiyah yang mendesak kepada Si
Tangan Iblis agar diberitahu siapakah
ayah bundanya, dan siapa pula yang
sudah membunuh, jelas Kiageng Tunjung
Biru sambil menghela napas pendek. Dan
celakanya Si Tangan Iblis memberikan
keterangan salah. Ia memfitnah paman
gurumu Gajah Mada.
Apakah sebabnya memfitnah Paman
Gajah Mada?
Si Tangan Iblis memang licik.
Oleh dendam kesumatnya, ia mendidik
kepada cucu dan semua muridnya agar
membenci dan memusuhi Gajah Mada. Maka
setelah mendengar penjelasan itu,
Sentiko pergi diam-diam dengan maksud
akan membalas dendam dan membunuh
Gajah Mada.
Sekecil itu manakah Sentiko mampu
melawan Gajah Mada? Sritanjung heran.
Memang amat mustahil bisa
terlaksana. Namun nyatanya bocah kecil
itu sudah nekad dan akan membalas
dendam. Itulah cucuku, cerita ringkas
tentang Si Tangan Iblis. Maka dalam
kepergianmu ke Ibukota Majapahit kau
harus selalu berhati-hati. Jangan
gampang terpancing oleh tipu muslihat
orang, dan jangan mencampuri urusan
orang sebelum jelas. Sudahlah, Cucuku,
sekian dulu cerita tentang Si Tangan
Iblis. Hari sudah malam dan
mengasolah.
Sekian dulu cerita ini kita
akhiri. Tetapi cerita ini secara
keseluruhan belum selesai. Perjalanan
masih panjang dan Dewi Sritanjung akan
mengalami berbagai peristiwa dalam
perjalanannya menuju Ibukota
Majapahit, dalam usaha bertemu dengan
ayah kandungnya. Anda akan terharu,
tergelitik dan berdebar kiranya dalam
mengikuti kisah Dewi Sritanjung ini.
Akan tetapi agar Anda dapat
mengkuti kisah tentang Si Tangan
Iblis, silakan membaca lanjutan buku
Seri Dewi Sritanjung ini dengan judul
"SI TANGAN IBLIS". Lebih menarik, seru
dan mendebarkan. Mungkinkah Sentiko
cucu Si Tangan Iblis yang sudah
diceritakan oleh Kiageng Tunjung Biru
ini dapat membunuh Gajah Mada?
TAMAT
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
http://matjenuhkhairil.wordpress.com
0 comments:
Posting Komentar