..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 14 Januari 2025

DEWA ARAK EPISODE TINJU PENGGETAR BUMI

matjenuh

 

lawan. Gendruwo Pulau Setan tentu saja 

tidak ingin mata kakinya hancur. Maka 

kakinya buru-buru ditarik kembali. Dan 

begitu sampokan itu lewat, sambil 

melompat setindak, kakinya kembali 

menendang bertubi-tubi ke sasaran yang 

sama.

Arya tidak punya pilihan lain 

lagi. Buru-buru tubuhnya dilempar ke 

belakang. Dia bersalto sekali di 

udara, kemudian mendarat ringan di 

tanah.

Gendruwo Pulau Setan tidak mau 

memberi kesempatan pada lawannya. Maka 

tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa 

Arak segera dikejarnya. Sesaat 

kemudian terjadilah pertarungan sengit 

antara mereka.

Pertarungan antara kedua tokoh 

sakti ini berlangsung sengit. Apalagi 

kedua belah pihak benar-benar memiliki 

kepandaian seimbang. Baik tenaga dalam 

maupun kecepatan gerak mereka juga 

terlihat setingkat.

Hebat, akibat pertarungan antara 

kedua tokoh sakti ini. Batu-batu besar 

kecil beterbangan tak tentu arah. Deru 

dan cicit angin juga ikut menyemaraki.

Beberapa kali kedua belah pihak 

sama-sama terjajar mundur setiap kali 

kedua tangan mereka berbenturan.

Dalam waktu sekejap saja, tiga 

puluh jurus telah berlalu. Dan selama 

itu belum nampak ada tanda-tanda yang


begitu jauh lagi, Gusti 

Adipati," jawab laki-laki kurus yang 

rupanya berjuluk Cakar Pengejar Sukma.

"Aku agak khawatir, Cakar 

Pengejar Sukma," desah orang yang 

berada dalam kereta itu. Dia ternyata 

adalah laki-laki pendek gemuk berusia

sekitar lima puluh tahun. Kulit 

wajahnya yang putih semakin terlihat 

putih, dalam pakaiannya yang berwarna 

gelap. Dari tanda di baju bagian 

leher, tampaknya dia memang seorang 

adipati.

"Apa yang dikhawatirkan Gusti 

Adipati?" tanya Cakar Pengejar Sukma 

pelan. Kudanya tetap dijalankan 

perlahan agar tidak meninggalkan 

kereta yang bergerak tertatih-tatih, 

karena keadaan jalan yang buruk itu.

"Sering kudengar, di daerah ini 

banyak terjadi perampokan, Cakar 

Pengejar Sukma...."

"Gusti Adipati tidak perlu 

khawatir. Jauh-jauh hari, semua ini 

sudah kuperhitungkan. Bukankah rekanku 

yang berjuluk Lutung Tenaga Raksasa 

telah kuajak untuk ikut mengawal 

Gusti? Apabila dia ikut bersama kita, 

kujamin tidak ada perampok yang berani 

mencari penyakit mencegat rombongan 

Gusti!" tegas Cakar Pengejar Sukma 

yakin. "Apalagi masih ada pasukan 

Gusti sendiri."

Setelah berkata demikian, Cakar 

Pengejar Sukma mengedarkan pandangan 

ke sekeliling. Memang iring-iringan 

kereta itu dikawal serombongan 

prajurit berkuda di kanan, kiri, 

depan, dan belakang. Sementara di 

kanan kereta, ada Cakar Pengejar 

Sukma. Sedangkan di kiri kereta,



tampak seorang laki-laki tinggi besar 

dan kekar. Kulitnya hitam legam. Di 

telinga kirinya nampak bergantung 

sebuah anting-anting sebesar gelang 

terbuat dari baja hitam. Dialah yang 

berjuluk Lutung Tenaga Raksasa.

Laki-laki pendek gemuk yang 

menjabat adipati itu mengangguk-

anggukkan kepalanya. Lenyap sudah 

kecemasan yang tadi membayang di 

wajahnya.

Kembali tangannya digerakkan 

untuk menutup tirai pintu kereta. 

Sesaat kemudian suasana kembali 

hening. Yang terdengar hanyalah derak 

roda kereta yang menggilas jalan tanah 

berkerikil tajam.

Tak lama kemudian, iring-iringan 

itu mulai menempuh jalan yang agak 

mulus. Di kanan kirinya terpampang 

dinding batu yang menjulang tinggi ke 

langit.

Cakar Pengejar Sukma mengawasi 

sekitar tempat itu. Sebagai orang yang 

telah mempunyai wawasan luas, dia tahu 

kalau tempat ini menguntungkan sekali 

bagi perampok untuk menjalankan 

niatnya. Rombongan perampok tinggal 

menghujani mereka yang berada di bawah 

dengan batu-batu besar dan kecil. 

Kemudian, menyerang dari arah belakang 

dan depan. Maka tidak ada jalan lolos 

bagi rombongan itu.


Meskipun yakin kalau julukan 

rekannya ditakuti kaum perampok, Cakar 

Pengejar Sukma masih tetap merasa 

khawatir juga. Tapi ternyata kekhawa-

tirannya sama sekali tidak terbukti. 

Ketika hampir tiba di ujung dinding 

yang terpampang di kanan kiri jalan, 

tidak terjadi hal yang dikhawatirkan.

Baru setelah kira-kira sepuluh 

tombak lagi keluar dari kungkungan 

dinding tebing batu yang tinggi, hati 

Cakar Pengejar Sukma agak tercekat. 

Tampak agak jauh di depannya, berdiri 

seorang laki-laki setengah tua 

berpakaian coklat. Rambutnya merah, 

dan digelung. Kakek ini berdiri 

bertolak pinggang di tengah-tengah 

jalan sempit itu.

"Dewa Rambut Merah...," desis 

Cakar Pengejar Sukma. Keterkejutan 

yang amat sangat menghias wajahnya. 

Memang laki-laki berwajah pucat 

kekuningan ini kenal betul pada kakek 

berpakaian coklat itu.

Srattt, srattt..!

Sinar-sinar terang berkilauan 

langsung berpendar, begitu para 

prajurit yang berada di bagian depan 

menghunus senjata masing-masing.

”Tahan...!"

Para prajurit yang sudah bersiap 

segera menghentikan gerakan, begitu 

mendengar cegahan. Mereka mengenal 

betul, siapa pemilik suara itu. Cakar


Pengejar Sukma! Orang kepercayaan 

junjungan mereka, Adipati Kalingga, 

penguasa Kadipaten Campa. Sebentar 

kemudian, Cakar Pengejar Sukma 

melompat turun dari punggung kudanya.

"Hup!"

Ringan sekali gerakannya. Jelas, 

ilmu meringankan tubuhnya telah cukup 

tinggi. Secepat kedua kakinya menjejak 

tanah, secepat itu pula Cakar Pengejar 

Sukma melangkah maju. Sementara iring-

iringan kereta langsung berhenti.

Ternyata bukan hanya Cakar 

Pengejar Sukma saja yang melangkah 

maju. Lutung Tenaga Raksasa pun 

melompat turun dari punggung kuda, 

lalu melangkah maju. Dan bersama-sama 

rekannya, dia berjalan menghampiri 

kakek berpakaian coklat itu. Langkah 

mereka berhenti begitu telah berjarak 

sekitar empat tombak dari Dewa Rambut 

Merah.

"Kalau mataku tidak salah lihat, 

bukankah sekarang aku tengah 

berhadapan dengan Dewa Rambut Merah?" 

sapa laki-laki berwajah pucat 

kekuningan itu. Nada suaranya 

terdengar lembut dan sopan.

"Kalau betul, memangnya kenapa, 

Anjing Kecil?!" sahut kakek berpakaian 

coklat itu kasar.

Wajah Cakar Pengejar Sukma 

seketika berubah merah. Kemarahan yang 

hebat mulai membakar hati orang


kepercayaan Adipati Kalingga ini. 

Dengan baik-baik dia bertanya, tapi 

jawaban yang diterima benar-benar 

menyakitkan!

Terdengar geram kemarahan dari 

mulut Lutung Tenaga Raksasa. Bahkan 

bukan hanya laki-laki tinggi besar ini

saja. Malah prajurit-prajurit yang 

masih bersikap waspada pun 

menggertakkan gigi, geram melihat 

pemimpin mereka dihina.

Meskipun kemarahan hebat melanda 

hatinya, Cakar Pengejar Sukma masih 

berusaha bersabar. Rasa khawatir akan 

keselamatan Adipati Kalinggalah yang 

menyebabkan penghinaan itu ditelan 

mentah-mentah. Ditariknya napas dalam-

dalam, lalu dihembuskan kuat-kuat, 

untuk meredakan kemarahan yang 

bergejolak dalam dadanya.

"Mengapa kau menghadang jalan 

jami, Ki? Tidak tahukah kalau yang 

berada dalam kereta itu Adipati 

Kalingga?" suara Cakar Pengejar Sukma 

sudah tidak selembut sebelumnya.

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba tawa kakek yang 

diyakini Cakar Pengejar Sukma sebagai 

Dewa Rambut Merah meledak. Keras 

sekali tawanya, dan pasti dikerahkan 

lewat tenaga dalam penuh.

Kaki seluruh prajurit nampak 

gemetar. Bahkan Cakar Pengejar Sukma 

dan Lutung Tenaga Raksasa terpaksa


mengerahkan tenaga dalam untuk melawan 

pengaruh suara tawa, yang membuat dada 

bagai diguncang-guncang. Telinga 

mereka pun terasa sakit bukan main.

Untunglah Dewa Rambut Merah tidak 

meneruskan suara tawa. Dengan 

demikian, para prajurit, Cakar 

Pengejar Sukma, serta Lutung Tenaga 

Raksasa tidak menderita terlalu lama.

"Kau kira aku takut pada Adipati 

Kalingga, Kuda Buduk?! Ha ha ha...! 

Lucu! Jangankan hanya adipati. Biar 

raja sekalipun, aku tidak takut!" 

sambung Dewa Rambut Merah lagi setelah 

tawanya selesai. Nada kesombongan 

nampak jelas, baik dalam raut wajah 

mau pun suaranya.

"Jadi, apa maumu sebenarnya, Dewa 

Rambut Merah?" tanya Cakar Pengejar 

Sukma.

Hati laki-laki bermuka pucat itu 

marah bercampur tegang, karena sudah 

bisa memperkirakan apa yang akan 

terjadi. Dia benar-benar marah, karena 

sudah dua kali dihina Dewa Rambut 

Merah.

"Hanya sepele saja...," jawab 

Dewa Rambut Merah, bernada ringan.

"Apa itu?" Cakar Pengejar Sukma 

masih mencoba bersabar.

"Nyawa kalian semua."

Tetap kalem jawaban kakek 

berpakaian coklat itu. Seolah-olah,


yang diucapkannya hanya suatu masalah 

yang sama sekali tidak ada harganya.

"Keparat!"

Terdengar geraman keras dari 

mulut Lutung Tenaga Raksasa. Kema-

rahannya tidak bisa ditahan lagi. 

Meskipun bukan dirinya yang mengalami 

penghinaan, tapi baginya Cakar 

Pengejar Sukma sudah lebih dari 

seorang saudara. Maka tangannya pun 

bergerak cepat. Sebatang tongkat 

berwarna coklat dari kayu pohon daru-

daru, diputar-putarkan di atas kepala-

nya.

Wuk, wuk...!

Suara mengaung keras terdengar 

begitu tongkat itu berputar cepat 

laksana gasing. "Hiyaaa...!"

Seraya mengeluarkan teriakan 

melengking nyaring, laki-laki tinggi 

besar berkulit hitam ini melompat 

menerjang. Tongkat yang digenggam 

dalam kedua tangan, dibabatkan ke arah 

kepala Dewa Rambut Merah.

Wuttt!

Desir angin keras hingga 

menimbulkan suara mengaung, mengiringi 

kedatangan serangan tongkat. Jelas, 

tenaga dalam yang terkandung dalam 

ayunan tongkat ini begitu kuat. Hal 

ini tentu saja tidak aneh, mengingat 

julukan yang disandang laki-laki 

tinggi besar berkulit hitam ini. 

Lutung Tenaga Raksasa!


"Hhh...."

Dewa Rambut Merah hanya 

mendengus. Kemudian kaki kanannya 

ditarik selangkah ke belakang, seraya 

menarik kepala. Maka serangan itu 

lewat setengah jengkal di depan 

wajahnya.

Belum juga kakek berpakaian 

coklat ini berbuat sesuatu, serangan 

dari Cakar Pengejar Sukma menyambar 

tiba. Laki-laki berwajah pucat 

kekuningan ini tahu kalau bukan 

tandingan Dewa Rambut Merah. Maka, 

tanpa ragu-ragu lagi segera membantu 

Lutung Tenaga Raksasa.

Dan sekali menyerang, Cakar 

Pengejar Sukma sudah langsung 

menggunakan senjata andalan. Sepasang 

cakar besi yang bentuk dan panjangnya 

sama seperti tangan manusia, mulai 

dari sikut sampai ke jari-jari.

Cuittt, cuittt...!

Suara bercuitan nyaring dari 

udara yang terobek gerakan cakar besi 

itu mengiringi tibanya serangan Cakar 

Pengejar Sukma. Yang kanan menyampok 

keras ke atas kepala, sementara yang 

kiri menyilang di depan dada.

Cepat dan mendadak sekali tibanya 

serangan itu. Tapi masih lebih cepat 

lagi gerakan yang dilakukan Dewa 

Rambut Merah. Tubuh kakek berpakaian 

coklat ini segera merunduk sehingga 

serangan itu lewat di atas kepalanya.


Hembusan angin dingin sampai terasa ke

kulit kepala Dewa Rambut Merah, karena 

cakar itu begitu dekat lewat di atas 

kepalanya.

Baru saja serangan itu berhasil 

dielakkan Dewa Rambut Merah, kembali 

serangan Lutung Tenaga Raksasa 

meluncur. Rupanya, kakek berpakaian 

coklat ini sama sekali tidak diberi 

kesempatan untuk balas menyerang.

***

Walaupun kedua orang lawannya 

sama sekali tidak memberi kesempatan 

untuk melancarkan serangan balasan, 

namun Dewa Rambut Merah tak mengalami 

kesulitan untuk mengelak. Memang 

selama beberapa jurus pertama kakek

berpakaian coklat ini seperti 

terdesak. Dihimpit dan dicecar terus-

menerus. Tapi menginjak jurus ke lima, 

Dewa Rambut Merah mulai unjuk gigi.

Meskipun hanya bertangan kosong, 

dan kedua lawannya menggunakan senjata 

andalan masing-masing, Dewa Rambut 

Merah ternyata mampu menahannya. 

Bahkan perlahan namun pasti mulai 

dapat mendesak.

"Haaat..!"



Sebelum Lutung Tenaga Raksasa 

berbuat sesuatu, tangan kiri Dewa 

Rambut Merah telah bergerak cepat

Tappp...! Tongkat kayu itu sudah 

tertangkap.

Lutung Tenaga Raksasa kaget bukan 

main. Dia berusaha sekuat tenaga 

menarik tongkatnya kembali, tetapi 

tongkat itu sama sekali tidak 

bergeming!

Di jurus ke enam, Lutung Tenaga 

Raksasa berteriak keras menggelegar 

laksana guntur. Kemudian tongkat di 

tangannya ditusukkan cepat ke arah 

tenggorokan lawan.


Melihat hal itu, Dewa Rambut 

Merah segera memiringkan sedikit 

kepalanya, sehingga sodokan itu lewat 

sejengkal di sebelah lehernya. Dan, 

sebelum laki-laki tinggi besar 

berkulit hitam itu berbuat sesuatu, 

tangan kirinya telah cepat bergerak.

Tappp...!

Tongkat kayu kuat dan berat yang 

terbuat dari batang pohon daru-daru 

itu tertangkap.

Lutung Tenaga Raksasa kaget bukan 

main melihat hal ini. Segera saja 

seluruh tenaga yang dimiliki 

dikerahkannya untuk menarik kembali 

tongkatnya. Tapi kali ini, dia salah 

duga. Tongkat itu sama sekali tidak 

bergeming. Padahal seluruh tenaganya 

telah dikerahkan, sehingga seluruh 

urat di wajahnya bertonjolan keluar. 

Sementara Dewa Rambut Merah terlihat 

tenang-tenang saja. Tidak nampak 

tanda-tanda kalau kakek itu 

mengerahkan tenaga.

Pada saat yang gawat itu, Cakar 

Pengejar Sukma melompat menerjang. Dan 

dari atas, cakar besinya disabetkan ke 

arah kepala Dewa Rambut Merah.

Cuittt...!

"Hih!"

Dewa Rambut Merah menggertakkan 

gigi. Sedangkan tangannya yang 

menggenggam tongkat, bergerak 

mencengkeram. Terdengar suara


berkeretakan pelan, disusul hancurnya 

tongkat pada bagian yang dicengkeram. 

Karuan saja, hal ini membuat tubuh Lu-

tung Tenaga Raksasa terhuyung-huyung 

ke belakang.

Berbarengan dengan itu, tubuh 

kakek berpakaian coklat ini merendah 

sehingga serangan Cakar Pengejar Sukma 

lewat di atas kepala. Tidak hanya itu 

saja. Tangannya segera bergerak cepat 

menyambitkan patahan tongkat yang ada 

di genggaman ke arah Lutung Tenaga 

Raksasa yang tengah terhuyung-huyung 

terbawa tenaga tarikan tongkatnya 

sendiri.

Singgg...!

Suara mendesing nyaring terde-

ngar, begitu potongan tongkat 

meluncur. Cepat bukan main lesatannya, 

tak kalah dengan anak panah yang lepas 

dari busur.

Dalam keadaan demikian, rupanya 

Lutung Tenaga Raksasa tidak mampu 

berbuat sesuatu. Matanya hanya 

mendelik, menyiratkan ketakutan. 

Maka....

Cappp!

Telak dan keras sekali potongan 

tongkat itu menghunjam ubun-ubun 

Lutung Tenaga Raksasa sehingga amblas 

ke dalam kepalanya. Cairan merah 

kental bercampur keputihan langsung 

muncrat-muncrat dari ubun-ubunnya yang 

pecah.


Seketika Lutung Tenaga Raksasa 

meraung keras sambil memegangi 

kepalanya. Tapi hanya sesaat saja, 

karena kemudian tubuhnya ambruk dan 

tidak bergerak lagi.

Cakar Pengejar Sukma kaget bukan 

main melihat kejadian yang menimpa 

rekannya. Perasaan marah dan sedih 

langsung bergejolak dalam dada. Dan 

perasaan yang bercampur aduk itu 

dilampiaskan dengan amukan membabi 

buta terhadap Dewa Rambut Merah.

Pada kenyataannya, kepandaian 

laki-laki kurus itu memang jauh di 

bawah kepandaian Dewa Rambut Merah. 

Maka tidak heran kalau setiap 

serangannya dapat dipatahkan dengan 

mudah oleh kakek berpakaian coklat 

itu.

"Hiyaaa...!"

Kembali pada jurus ke sembilan, 

cakar besi di tangan Cakar Pengejar 

Sukma menyambar deras ke arah pelipis 

Dewa Rambut Merah. Lagi-lagi kakek 

berpakaian coklat itu mendoyongkan 

tubuhnya ke belakang, tanpa menggeser 

kaki. Maka serangan itu lewat di depan 

wajahnya.

Dan sebelum Cakar Pengejar Sukma 

sempat berbuat sesuatu, kaki kiri Dewa 

Rambut Merah telah bergerak cepat.

Wuttt..! 

Bukkk!


Suara berderak keras dari tulang 

patah, terdengar begitu kaki kakek 

berpakaian coklat itu mengenai 

pinggang Cakar Pengejar Sukma. Memang 

telak dan keras sekali, sehingga tubuh 

laki-laki berwajah pucat kekuningan 

itu terjengkang ke belakang.

Dan belum lagi Cakar Pengejar 

Sukma berbuat sesuatu, Dewa Rambut 

Merah sudah menghentakkan kedua tangan 

dengan jari-jari terbuka ke depan.

Wusss! 

Bresss!

Terdengar jeritan menyayat dari 

mulut Cakar Pengejar Sukma. Tubuhnya 

seketika kembali melayang jauh ke 

belakang. Darah segar seketika keluar 

dari mulut, hidung, dan tetinganya. 

Pengawal kepercayaan Adipati Kalingga 

ini pun tewas seketika, tanpa mampu 

bergerak lagi.

Tentu saja kematian dua orang 

andalan itu membuat prajurit-prajurit 

pengawal Adipati Kalingga kaget bukan 

main. Bahkan Adipati Kalingga yang 

melihat kejadian dengan melongokkan 

kepala dari pintu kereta, begitu 

terperanjat

Tapi hanya sebentar saja 

keterkejutan yang melanda para

prajurit itu. Yang tinggal kini 

hanyalah kemarahan bergelora. Maka 

sambil berteriak melengking nyaring, 

seluruh prajurit yang berjumlah dua


belas orang itu menerjang Dewa Rambut 

Merah dengan senjata terhunus.

Singgg, singgg, singgg...!

Suara berdesing nyaring terdengar 

mengiringi tibanya serangan. Tapi, 

Dewa Rambut Merah sama sekali tidak 

kelihatan gugup. Tubuhnya enak saja 

berkelebatan di antara hujan serangan 

para pengeroyoknya. Memang dengan ilmu 

meringankan tubuh yang berada amat 

jauh di atas lawan-lawannya, bukan 

merupakan kesulitan untuk mengelakkan 

semua serangan.

Sebaliknya setiap kali dia 

melancarkan serangan balasan, sudah 

dapat dipastikan akan ada sosok tubuh 

yang roboh dalam keadaan tidak 

bernyawa lagi.

Jerit kematian terdengar saling 

susul, mengiringi setiap tubuh 

bergelimpang tanpa nyawa. Sesaat 

kemudian, tidak ada lagi seorang 

prajurit pun yang tersisa. Semuanya 

telah roboh bergeletakan di tanah.

"Ha ha ha...!"

Dewa Rambut Merah tertawa 

bergelak. Ditatapnya sejenak mayat-

mayat yang bergelimpangan di tanah. 

Kemudian dengan langkah-langkah lebar, 

dihampirinya kereta.

Tapi sekitar tiga tombak dari 

kereta, langkahnya dihentikan. Tampak 

seorang laki-laki setengah tua 

bertubuh pendek gemuk sudah membuka


pintu kereta dan melompat keluar. Di 

tangannya sudah tergenggam sebatang 

pedang. Rupanya, Adipati Kalingga juga 

berniat mengadakan perlawanan.

"Ha ha ha...!"

Tawa Dewa Rambut Merah kembali 

meledak. Sama sekali tidak dipedulikan 

sikap adipati dari Kadipaten Campa 

ini. Kakinya terus melangkah 

menghampiri.

"Haaat...!"

Adipati Kalingga memekik 

melengking nyaring, kemudian meluruk 

ke arah Dewa Rambut Merah. Seketika 

pedang di tangannya dibabatkan ke arah 

leher.

"Hmh...!"

Dewa Rambut Merah mendengus. 

Sekali lihat saja, kakek ini sudah 

tahu tingkat kepandaian Adipati Ka-

lingga. Dengan gerakan sembarangan, 

tangan kirinya digerakkan untuk 

menangkis.

Takkk!

Terdengar suara berderak keras, 

seolah-olah yang berbenturan dengan 

pedang bukan tangan manusia, melainkan 

dua batang logam yang amat keras.

Adipati Kalingga menyeringai. 

Seketika sekujur tubuhnya bergetar 

hebat. Bahkan tangan yang menggenggam 

pedang pun terasa lumpuh seketika. Tak 

pelak lagi, senjata yang digenggamnya 

pun terlepas dan jatuh ke tanah.


Di saat itulah tangan kanan Dewa 

Rambut Merah menotok cepat ke arah 

leher. Adipati Kalingga terkejut bukan 

main. Sebisa-bisanya, dia berusaha 

mengelak. Tapi....

Tukkk!

Telak dan keras sekali, totokan 

tangan kakek berpakaian coklat itu 

menghantam sasarannya. Seketika itu 

juga, sepasang mata laki-laki bertubuh 

pendek gemuk ini mendelik. Beberapa 

saat Adipati Kalingga mampu berdiri, 

kemudian ambruk tak bergeming lagi.

"Ha ha ha...!"

Untuk yang kesekian lakinya, 

meledaklah tawa dari mulut Dewa Rambut 

Merah. Sepertinya sebuah tawa 

kemenangan. Sesaat kemudian tubuhnya 

melesat dari situ, tanpa menghentikan 

tawanya. Dia terus berlari sambil 

mengerahkan ilmu meringankan tubuh.

Suara tawa kakek berpakaian 

coklat itu semakin lama semakin pelan. 

Seiring dengan tubuhnya yang semakin 

menjauh, suara tawa itu semakin sayup-

sayup terdengar.

2

"Aneh...," desah seseorang ber-

tubuh kekar dan berpakaian abu-abu, 

pelan. Sepasang matanya menatap lekat-

lekat ke depan. Dahinya nampak ber


kernyit dalam. Jelas ada sesuatu yang 

membuatnya bersikap begitu.

Menilik dari keadaan rambut, 

kumis, dan jenggotnya yang telah 

memutih, bisa ditebak kalau orang itu 

telah berusia lanjut. Tapi anehnya, 

kulit wajahnya tidak menunjukkan kalau 

dia telah berusia lanjut. Kulit wa-

jahnya masih kencang, tidak terlihat 

kendor ataupun keriput.

Kakek berpakaian abu-abu itu 

masih tetap melayangkan pandangannya 

ke depan, meskipun kedua kakinya terus 

saja melangkah.

“Tidak salahkah penglihatanku?" 

gumam kakek itu perlahan. "Bukankah 

itu burung-burung pemakan bangkai? 

Tapi, mengapa berkeliaran di sana? 

Apakah ada sesuatu yang menarik per-

hatian binatang-binatang itu?"

Sambil berkata demikian, kakek 

berpakaian abu-abu itu menyipitkan 

sepasang kelopak matanya untuk 

memperjelas pandangan. Memang jauh di 

depannya, di udara nampak titik-titik 

hitam berkeliaran dan berputar-putar 

di tempat itu.

"Ah, benar! Tidak salah lagi! Itu 

adalah burung-burung pemakan bangkai!" 

cctus kakek itu lagi. "Pasti ada 

sesuatu yang menarik perhatian 

binatang itu."

Setelah yakin akan dugaannya, 

mendadak gerakan kakek berpakaian abu


abu ini berubah. Semula hanya 

melangkah perlahan-lahan saja, tapi 

kini tubuhnya melesat cepat laksana 

kilat ke depan.

Ternyata kakek berpakaian abu-abu 

ini bukan orang sembarangan. Terbukti, 

sekali kakinya bergerak tubuhnya sudah 

berada sekitar sembilan tombak di 

depan. Dan sesaat kemudian, yang 

teriihat hanyalah kelebatan bayangan 

yang melesat cepat ke depan. Gerakan 

kakek ini cepat bukan main, karena 

ditunjang ilmu meringankan tubuh yang 

sudah mencapai tingkat tinggi. Dan 

sesaat kemudian, dia sudah mendekati 

tempat burung pemakan bangkai 

berkerumun.

"Ah…!”

Terdengar desah keterkejutan dari 

mulut kakek berpakaian abu-abu itu, 

begitu melihat pemandangan yang ada di 

depannya. Tampak belasan mayat 

bergelimpangan di tanah, bermandikan 

darah.

Kakek berpakaian abu-abu ini 

semakin mempercepat langkahnya. Dan 

semakin dekat jaraknya, semakin 

jelaslah keadaan mayat-mayat yang 

bergelimpangan di tanah itu. Dahi 

kakek berpakaian abu-abu ini 

berkernyit begitu melihat sebagian 

besar mayat itu berseragam prajurit

Terdengar suara gemeretak dari 

mulut kakek berjenggot dan berambut


putih itu begitu melihat burung-burung 

pemakan bangkai tengah sibuk berpesta 

pora. Segera kedua tangannya diputar 

di depan dada, dengan arah gerakan 

dari luar ke dalam.

Hebat akibatnya! Dari kedua 

tangan yang berputaran itu berhembus 

angin keras ke arah burung-burung 

pemakan bangkai. Seketika binatang-

bmatang itu berkaokan keras, kemudian 

buyar beterbangan kembali ke udara 

walaupun masih tetap terbang 

berputaran di atas mayat-mayat itu. 

Rupanya kelompok burung itu tidak rela 

meninggalkan makanan empuk yang sudah 

terhidang di hadapan mereka.

"Biadab...!" seru kakek 

berpakaian abu-abu itu, geram. "Hanya 

iblis sajalah yang bisa berbuat sekeji 

ini!"

Sambil mengomel panjang pendek, 

diperiksanya mayat-mayat yang 

tergeletak satu persatu. Sesekali, dia 

terpaksa mengirimkan serangan jarak 

jauh ketika burung-burung pemakan 

bangkai rupanya masih penasaran untuk 

menyambar 'makanan mereka'.

Pada sosok tubuh salah seorang 

prajurit, wajah kakek berpakaian abu-

abu ini berubah. Ada secercah 

kekagetan di wajahnya. Betapa tidak? 

Prajurit itu ternyata belum mati!

Begitu mengetahui hal ini, 

semangatnya timbul kembali. Kakek itu


berpikir, tentu tidak hanya satu orang 

saja yang selamat.

Tapi betapa kecewa hatinya, 

begitu mengetahui kalau tidak ada lagi 

yang selamat. Semuanya telah tewas, 

kecuali satu orang prajurit tadi. 

Diperhatikannya wajah prajurit itu. 

Masih muda dan cukup tampan. Tampak 

sebaris kumis tipis menghiasi atas 

bibirnya. Anehnya, prajurit itu tidak 

mengalami luka yang berarti, dan hanya 

pingsan saja.

Kakek berpakaian abu-abu itu lalu 

mengeluarkan sebuah kendi kecil dari 

buntalan kain yang tersandang di 

bahunya. Dibukanya mulut kendi itu, 

kemudian didekatkan ke hidung prajurit 

yang pingsan.

"Ohhh...!"

Terdengar keluhan lirih dari 

mulut prajurit itu. Rupanya uap yang 

kehiar dari kendi itu keras sekali, 

sehingga mampu membuat laki-laki 

berkumis tipis itu siuman dari 

pingsannya.

Beberapa saat lamanya prajurit 

itu menggoyang-goyangkan kepalanya. 

Sepasang kelopak matanya pun mulai 

mengerjap-ngerjap.

"Siapa kau?" tanya prajurit itu 

tatkala pandangannya tertumbuk pada 

sepasang mata kakek berpakaian abu-abu 

yang berjongkok di hadapannya.


"Aku sudah tidak ingat namaku 

lagi, Anak Muda," sahut kakek itu. 

Mulutnya tampak menyunggingkan senyum 

lebar. "Tapi..., orang-orang mengenal-

ku sebagai Dewa Obat Tangan 

Delapan...."

"Ah...!"

Sepasang mata laki-laki berkumis 

tipis itu membelalak lebar. Rasa 

terkejut yang amat sangat nampak jelas 

memancar di wajahnya. Ucapan kakek 

itulah yang membuatnya terkejut. Siapa 

yang tidak kenal julukan Dewa Obat 

Tangan Delapan? Tokoh itu adalah satu 

di antara datuk-datuk dunia 

persilatan.

"Jadi..., kau adalah datuk yang 

terkenal itu, Kek?"

"Tidak usah memusingkan hal itu, 

Anak Muda," sergah kakek berpakaian 

abu-abu yang ternyata berjuluk Dewa 

Obat Tangan Delapan. Pelan dan lembut 

suaranya. "Yang penting, ceritakan. 

Apa yang terjadi di tempat ini?"

Ucapan Dewa Obat Tangan Delapan 

membuat prajurit itu teringat kembali 

pada kejadian yang menimpa kawan-

kawannya.

"Ohhh...!"

Ada nada keluhan dari mulut 

prajurit itu melihat keadaan junjungan 

dan rekan-rekannya telah tewas. 

Sepasang matanya beredar berkeliling, 

sementara wajahnya pucat pasi.


"Mereka semua telah tewas," ucap 

Dewa Obat Tangan Delapan dengan suara 

ditekan.

Dan memang, sebenarnya hati kakek 

ini sedih sekali. Sebagai orang yang 

berjuluk Dewa Obat, tidak ada 

kesenangan lain baginya kecuali bisa 

mengobati orang lain sampai sembuh. 

Sebisa-bisanya akan diusahakan untuk 

menyelamatkan nyawa seseorang. Tapi, 

kini di depannya bergeletakan belasan 

sosok tanpa nyawa. Bagaimana hati 

kakek ini tidak menjadi sedih?

"Biadab...!" prajurit itu 

berteriak memaki.

"Tidak ada gunanya semua ini 

disesali, Anak Muda," hibur kakek 

berpakaian abu-abu itu pelan. "Mayat-

mayat ini harus kita kuburkan sebelum 

menjadi santapan burung-burung pemakan 

bangkai itu."

Kepala prajurit itu mendongak, 

mengikuti arah tudingan telunjuk Dewa 

Obat Tangan Delapaa Memang tampak, 

banyak sekali burung berwarna hitam 

berkaokan keras, beterbangan di 

sekitar tempat itu.

Sekali lagi prajurit itu menatap 

ke arah mayat-mayat yang 

bergelimpangan tak tentu arah, 

kemudian beralih pada kakek berpakaian 

abu-abu itu. Pandangannya tampak 

menyiratkan kebingungan.


"Sampai kapan kita dapat mengubur 

mayat sebanyak ini?" tanya prajurit 

itu pelan. "Lagi pula tanah di sini 

sangat keras. Paling tidak membutuhkan 

waktu yang lebih lama untuk membuat 

sebuah lubang yang cukup besar...."

Dewa Obat Tangan Delapan sama 

sekali tidak menyahuti ucapan bernada 

putus asa dari prajurit itu. Bibirnya 

hanya tersenyum saja, kemudian kakinya 

melangkah meninggalkan tempat itu.

Tentu saja hal ini membuat 

prajurit itu kaget bukan main.

''Tunggu sebentar, Dewa Obat!" 

teriak prajurit itu seraya berlari 

mengejar.

"Ada apa lagi Anak Muda?" Dewa 

Obat Tangan Delapan menghentikan 

Iangkah, seraya membalikkan tubuhnya.

"Nggg..., maaf.... Kau mau ke 

mana, Dewa Obat?" tanya laki-laki 

berkumis tipis itu.

"Mencari tempat yang cocok untuk 

mengubur mayat-mayat ini," jawab kakek 

berpakaian abu-abu itu. ''Tunggu saja 

di sana. Jaga mayat teman-temanmu dari 

gangguan binatang-binatang keparat 

itu."

Seketika wajah prajurit itu pun 

memerah. Malu. Hatinya telah menyangka 

yang tidak-tidak pada Dewa Obat Tangan 

Delapan. Tanpa berkata apa-apa, tubuh-

nya dibalikkan dan segera kembali ke 

tempat semula.


"Burung keparat!" maki prajurit 

itu begitu melihat beberapa ekor 

burung yang bergerak turun. Seketika 

itu juga dipungutnya sebuah batu 

sebesar kepalan tangan, kemudian 

dilemparkannya ke arah kerumunan 

burung itu.

Wusss!

Batu itu tidak mengenai sasaran 

karena burung-burung itu telah lebih 

dulu terbang kembali sambil 

mengeluarkan suara berkaokan nyaring.

Dewa Obat Tangan Delapan hanya 

tersenyum saja. Kemudian kakinya 

kembali melangkah, dan baru terhenti 

ketika menemukan sebuah tempat yang 

cukup baik untuk menguburkan mayat-

mayat itu. Letaknya dekat pohon-pohon. 

Jauh dari jalan, namun tidak jauh dari 

tempat mayat-mayat berada.

Kakek berpakaian abu-abu itu 

melangkah mundur tiga tindak. Dia 

berdiri tegak dengan sepasang mata 

mencorong tajam, memandang ke tanah. 

Kemudian....

"Hiyaaa...!"

Sambil mengeluarkan teriakan 

nyaring, kedua tangannya dihentakkan 

ke depan. 

Wusss!

Angin berhembus keras menyambar 

ke depan. Dan....

Blarrr...!


Terdengar ledakan keras begitu 

angin pukulan yang dilancarkan Dewa 

Obat Tangan Delapan menghantam 

sasaran. Batu-batu kecil berpentalan, 

debu mengepul tinggi ke udara. Dan 

begitu debu itu lenyap, terlihat 

sebuah lubang yang cukup besar. Hal 

itu terus dilakukannya berkali-kali 

sampai terbentuk dua buah lubang 

besar.

***

"Hhh...!"

Prajurit berkumis tipis menghela 

napas berat, kemudian perlahan-lahan 

bangkit dari bersimpuhnya. Memang 

sudah agak lama dia berlaku seperti 

itu, di depan dua buah gundukan tanah 

besar, berisi mayat rekan-rekan dan 

junjungannya.

Prajurit itu kemudian 

melangkahkan kakinya menghampiri Dewa 

Obat Tangan Delapan yang sejak tadi 

hanya berdiri saja mengawasi.

"Hampir saja aku lupa. Siapa 

namamu, Anak Muda?"

"Ganda, Kek," jawab prajurit itu. 

Terpaksa panggilannya pada Dewa Obat 

Tangan Delapan dirubah, karena kakek 

itu merasa keberatan jika dipanggil 

julukannya.

"Bisa kau ceritakan, mengapa 

semua ini bisa terjadi, Anak Muda?"


tanya Dewa Obat Tangan Delapan lagi. 

Suaranya terdengar pelan dan lembut. 

Tidak ada nada desakan di dalamnya.

Prajurit yang ternyata bernama 

Ganda, tampak lesu. Kemudian 

diceritakan semua yang terjadi, 

dialami, dan didengarnya.

"Kalau saja tengkukku tidak 

terkena hantaman gagang tombak yang 

nyasar hingga membuatku pingsan, 

mungkin aku sudah tewas juga," ucap 

Ganda mengakhiri ceritanya.

Wajah Dewa Obat Tangan Delapan 

berubah hebat.

"Tidak mungkin!" bantah kakek 

itu. Raut wajah dan nada suaranya 

menyorotkan ketidakpercayaan.

"Apanya yang tidak mungkin, Kek?" 

tanya Ganda, merasa heran melihat 

keterkejutan Dewa Obat Tangan Delapan.

"Pelaku pembunuhan ini."

"Maksudmu, Kek?" laki-laki 

berkumis tipis ini belum mengerti.

"Aku tidak percaya kalau Dewa 

Rambut Merah yang melakukan semua 

ini!"

“Tapi, nama itulah yang kudengar 

dari mulut Cakar Pengejar Sukma, Kek. 

Dan, aku yakin kalau dia tidak mungkin 

salah mengenali orang!"

"Hhh...!" 

Dewa Obat Tangan Delapan hanya 

mendesah pelan.

"Kek...."


"Hm...," kakek berpakaian abu-abu 

itu menggumam, seraya menolehkan 

kepalanya.

"Aku tidak bisa berlama-lama di 

sini, Kek. Semua peristiwa ini harus 

kuberitahukan pada anak Gusti Adipati 

di Desa Kujang. Kuucapkan banyak 

terima kasih atas pertolonganmu."

Dewa Obat Tangan Delapan hanya 

mengangkat bahunya saja. Sama sekali 

ucapan laki-laki berkumis tipis itu 

tidak disahuti. Menilik dari kernyit 

pada dahi dan sepasang mata yang 

menatap lurus pada sebuah titik, dapat 

diketahui kalau kakek ini tengah 

berpikir keras.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, 

Ganda segera melangkah menghampiri 

kereta kuda. Untung dengan adanya 

kereta, kuda-kuda itu tidak bisa 

melarikan diri seperti kuda lainnya.

Dengan agak terburu-buru, kedua 

kuda itu dilepaskan dari keretanya. 

Yang satu ditambatkan di pintu kereta. 

Barangkali saja Dewa Obat Tangan 

Delapan ingin memakainya. Sementara 

yang lain dituntunnya.

"Hup...!"

Dengan sebuah gerakan indah dan 

manis, Ganda melompat ke punggung 

kuda. Dan secepat tubuhnya sudah 

berada di punggung kuda, secepat itu 

pula tali kekang kudanya dihentakkan, 

seraya mulutnya berdecak pelan.


Seketika itu juga, kuda itu melesat 

cepat ke depan.

Debu mengepul tinggi ke udara 

begitu kuda itu berlari cepat 

meninggalkan Dewa Obat Tangan Delapan. 

Kakek itu masih saja termenung dengan 

dahi berkernyit. Sama sekali kepalanya 

tidak menoleh hingga Ganda lenyap 

ditelan jalan. Bahkan ucapan terima 

kasih laki-laki berkumis tipis yang 

dilontarkan sekali lagi tidak 

dihiraukan sama sekali.

Beberapa saat kemudian kakinya 

melangkah menghampiri kuda yang 

tertambat di kereta, lalu melepaskan 

tali ikatan binatang itu. Kemudian 

dengan sebuah gerakan indah dan manis, 

kakek ini melompat naik ke punggung 

kuda. Dewa Obat Tangan Delapan lalu 

menghentakkan tali kekang kudanya. 

Suara derap langkah kuda terdengar 

mengoyak keheningan yang menggigit

***

"Hiya...! Hiya...!" 

Ctarrr...!

Ganda melecutkan pecutnya 

berkali-kali ke bagian belakang tubuh 

kuda, memaksa agar berlari secepat 

mungkin. Laki-laki berkumis tipis itu 

secepatnya ingin memberitahukan berita 

yang menggemparkan ini pada anak 

Adipati Kalingga.


Suatu keuntungan bagi Ganda. 

Ternyata kuda itu adalah seekor kuda

pilihan yang kuat dan kencang larinya. 

Sehingga keinginannya agar kuda 

berlari kencang, terkabul.

Kecepatan lari kuda itu tetap 

tidak berubah ketika memasuki tembok 

batu batas Desa Kujang. Ganda tetap 

memacu kudanya. Bahkan pecutnya pun 

berkali-kali menjilat bagian belakang 

tubuh kuda itu.

Karuan saja beberapa orang yang 

kebetulan berada di jalan utama desa 

itu, bergegas menyingkir. Beberapa di 

antara mereka ada yang menyumpah-

nyumpah. Namun makiannya segera 

dihentikan sambil menyelinap kabur 

begitu melihat pakaian yang dikenakan 

Ganda.

Tapi laki-laki berkumis tipis 

yang tengah kalap itu, tidak 

mempedulikan apa pun lagi. Yang ada di 

benaknya hanya satu. Menyampaikan 

kabar secepatnya kepada putra Adipati 

Kalingga di Desa Kujang.

Beberapa saat kemudian, rumah-

rumah penduduk semakin jarang 

terlihat. Semakin lama semakin 

sedikit, sampai akhirnya tidak ada 

sama sekali.

"Hooop...!"

Ganda menarik tali kekang 

kudanya. Dan seketika, binatang 

tunggangan itu menghentikan larinya.


"Hup!"

Laki-laki berkumis tipis ini 

melompat turun dari kuda. Kemudian, 

ditambatkannya kuda berwarna coklat 

putih itu di sebatang pohon. Baru 

setelah itu kakinya melangkah menuju 

pondok.

Kriiit..!

Terdengar suara berderit tajam, 

disusul dengan terbukanya daun pintu 

pondok itu ketika jarak antara Ganda 

dengan pintu itu masih ada lima 

tombak.

Dan begitu daun pintu itu terbuka 

lebar, nampak seraut wajah tua muncul 

di balik pintu. Seorang kakek bertubuh 

tinggi kurus bagai bambu. Pakaiannya 

putih. Wajahnya juga beralis putih. 

Tidak ada kumis, atau jenggot yang 

menghias wajahnya.

Ganda segera membungkukkan 

tubuhnya sedikit.

"Maaf, Kek. Bisakah aku bertemu 

Dewa Angin Puyuh?" tanya Ganda sopan.

"Aku sendiri orang yang kau cari 

itu, Anak Muda," sahut kakek beralis 

putih yang ternyata berjuluk Dewa 

Angjn Puyuh. "Kau siapa? Dan apa 

keperluanmu mencariku?"

"Aku pasukan Kadipatan Campa, 

Kek. Namaku Ganda. Maksud kedatanganku 

kemari, ingin menyampaikan sebuah 

berita."

"Ah...!"


Dewa Angin Puyuh berseru kaget. 

Bergegas dipersilakannya laki-laki 

berkumis tipis itu masuk ke dalam 

dengan tergopoh-gopoh. Memang, tadi 

kakek beralis putih ini sudah 

mempunyai sebuah dugaan begitu melihat 

pakaian prajurit yang dikenakan Ganda. 

Mungkinkah prajurit ini yang akan 

menjemput pulang putra Adipati 

Kalingga?

Tapi, dugaan itu segera dibuang 

jauh-jauh begitu teringat kalau 

Adipati Kalingga akan datang sendiri 

menjemput putranya. Sekaligus, hendak 

bertemu kembali dengan sahabat lama. 

Memang Adipati Kalingga dan Dewa Angin 

Puyuh merupakan sahabat kental sejak 

kecil.

Kini, begitu mendengar ucapan 

Ganda, kakek beralis putih ini jadi 

cemas. Dewa Angin Puyuh menduga, ada 

kejadian buruk yang menimpa rombongan 

Adipati Kalingga. Sikap dan keadaan 

prajurit yang bernama Ganda lebih 

memperkuat dugaannya.

"Di mana Raden Palageni?" tanya 

prajurit Kadipaten Campa itu begitu 

duduk di sebuah kursi di ruangan 

dalam.

"Ada di belakang," sahut kakek 

beralis putih itu. Kemudian, bibirnya 

berkemik-kemik tapi tidak ada suara 

yang keluar. Ganda memandangnya penuh 

keheranan.


"Apa yang telah dilakukan kakek 

ini?" tanya laki-laki berkumis tipis 

ini dalam hati.

Sama sekali prajurit Kadipatan 

Campa ini tidak tahu kalau Dewa Angin 

Puyuh tengah memberitahukan pesan pada 

Palageni yang tengah berada di kebun 

belakang. Inilah ilmu 'Mengirim Suara 

dari Jauh'.

Tak lama kemudian, dari ruang 

dalam melangkah tenang seorang pemuda 

tampan, berkulit putih, dan beralis 

tebal dan hitam. Pakaiannya terbuat 

dari bahan sederhana dan berwarna 

kuning.

"Orang ini adalah anggota pasukan 

ayahmu, Palageni," jelas Dewa Angin 

Puyuh bernada memberi tahu.

Pemuda berbaju kuning yang 

ternyata bernama Palageni itu segera 

mengulurkan tangan pada Ganda. Agak 

bergegas, laki-laki berkumis tipis ini 

menyambut uluran tangan itu setelah 

terlebih dahulu memberi hormat dan 

memperkenalkan namanya.

"Mana Ayah, Ganda? Mengapa kau 

hanya datang sendiri?" tanya Palageni 

tak sabaran.

"Sabar, Palageni. Duduklah dulu. 

Ganda ingin menceritakannya. Itulah 

sebabnya, aku memanggilmu," Dewa Angin 

Puyuh menenangkan muridnya.

Pemuda berbaju kuning itu pun 

duduk. Sedangkan Ganda kini mengerti,


mengapa kakek beralis putih ini tadi 

komat-kamit tanpa ada suara yang 

keluar dari mulutnya. Rupanya kakek 

itu tengah memanggil muridnya. 

Meskipun demikian, tetap saja laki-

laki berkumis tipis ini tidak 

mengetahui, bagaimana hal itu bisa 

terjadi.

"Nah! Sekarang ceritakanlah, 

Ganda," ujar Dewa Angin Puyuh lagi.

Ganda menarik napas panjang-

panjang, lalu menghembuskannya kuat-

kuat sebelum memulai ceritanya. 

Sebentar ditatapnya wajah Palageni 

dengan perasaan khawatir. Dia takut 

kalau batin pemuda itu terguncang.

Palageni bukan orang bodoh. Malah 

sebaliknya, pemuda berbaju kuning ini 

begitu cerdik. Maka saat melihat 

kedatangan Ganda seorang diri tanpa 

ayahnya, dan pasukan pengawal lainnya, 

dia sudah mempunyai dugaan buruk.

Kini dengan hati berdebar tegang, 

ditunggunya ucapan yang akan keluar 

dari mulut prajurit berkumis tipis 

itu.

Ganda lalu menceritakan semuanya. 

Seperti yang telah diceritakannya pada 

Dewa Obat Tangan Delapan.

"Begitulah kejadiannya, Kek, Den 

Palageni," ucap Ganda menutup 

ceritanya.

"Jahanam!" Palageni memekik keras 

begitu Ganda menyelesaikan ceritanya.


Wajah pemuda berbaju kuning ini merah 

padam. Sepasang bola matanya berkilat-

kilat penuh kemarahan. Terdengar suara 

berkerotokan keras ketika putra 

Adipati Kalingga ini mengepalkan kedua 

tangannya. Napasnya pun memburu 

dahsyat.

Bukan hanya Palageni saja yang 

dilanda perasaan terkejut yang bukan 

alang kepalang. Bahkan Dewa Angin 

Puyuh pun mengalami hal yang sama. 

Adipati Kalingga adalah sahabat 

kentalnya sewaktu kecil. Tapi berbeda 

dengan muridnya, kakek yang telah 

kenyang pengalaman hidup ini mampu 

mengendalikan perasaannya. Sehingga 

kekagetan itu tidak nampak pada 

wajahnya, kecuali desahan napas berat 

yang keluar dari mulutnya. Sementara

dahinya berkernyit dalam. Kakek ini 

seperti juga Dewa Obat Tangan Delapan, 

tidak mempercayai berita yang 

didengarnya.

"Dewa Rambut Merah! Tunggulah 

pembalasanku!" desis Palageni tajam 

dan bergetar.

Jelas kalau ucapan itu keluar 

dari hati yang bergolak menahan amarah 

yang meluap-luap. Ada ancaman maut 

terkandung dalam suaranya.

Dewa Angin Puyuh menatap wajah 

muridnya tajam-tajam. Tampak jelas 

kalau tatapan kakek beralis putih ini 

mengandung teguran.


“Tahan dulu amarahmu, Palageni," 

ujar kakek itu bernada menasihati.

“Tapi, Guru. Bagaimana mungkin 

aku mendiamkan saja semua kekejaman 

ini! Ayahku dan semua pengawal dibunuh 

secara kejam. Haruskah aku tinggal 

diam begitu saja?" bantah pemuda 

berbaju kuning itu agak keras.

"Aku tidak menyuruhmu 

membiarkannya, Palageni," sahut Dewa 

Angin Puyuh kalem. "Aku hanya 

menyuruhmu menahan amarah. Kita harus 

selidiki dulu kebenarannya...."

"Apa lagi yang harus diselidiki, 

Guru?" Palageni masih membantah. 

"Sudah jelas kalau pembunuhnya adalah 

Dewa Rambut Merah."

"Jangan terburu-buru yakin akan 

kebenarannya, Palageni," suara Dewa 

Angin Puyuh kini terdengar agak keras.

"Hhh...!"

Palageni menghela napas berat. 

Kedua tangannya ditekapkan ke 

wajahnya. Pemuda berbaju kuning ini 

tidak lagi membantah, karena merasakan 

adanya tekanan dalam ucapan gurunya 

yang terakhir. Ucapan yang tidak 

menghendaki ada bantahan darinya.

"Lalu, sekarang apa yang harus 

kulakukan, Guru?" tanya Palageni 

setelah beberapa saat lamanya berusaha 

menenangkan amarah yang meledak-ledak.

"Bukan kau," ralat Dewa Angin 

Puyuh.


"Bukan aku?" dahi pemuda berbaju 

kuning itu berkernyit. "Lalu siapa, 

Guru?"

"Kita...."

"Kita?" Palageni masih belum 

mengerti. Peristiwa yang didengarnya 

dari mulut Ganda membuat otaknya 

buntu. Tidak bisa digunakan untuk 

berpikir.

"Ya. Kau dan aku," tandas kakek 

beralis putih itu tegas.

"Mengapa begitu, Guru?"

"Karena kalau benar pelakunya 

adalah Dewa Rambut Merah, meskipun aku 

yakin kalau pelakunya bukan dia, kau 

tidak akan mampu menghadapinya."

Palageni terdiam. Barulah di-

sadari kebenaran ucapan gurunya. Dewa 

Rambut Merah adalah salah seorang dari 

datuk-datuk persilatan, seperti juga 

gurunya, Dewa Angin Puyuh.

"Kalau begitu, aku pamit saja, 

Kek, Den," pamit Ganda sambil bergerak 

bangkit dari duduknya.

“Tidak ikut bersama kami, Ganda?" 

kata Dewa Angin Puyuh menawarkan.

“Terima kasih, Kek. Aku harus 

kembali dulu ke kadipaten."

Kali ini kakek beralis putih itu 

tidak menahan lagi. Dibiarkannya saja 

prajurit berkumis tipis itu melangkah 

ke luar.


3

Cuaca siang ini panas sekali. 

Matahari memancarkan sinarnya seperti 

hendak membakar permukaan bumi. Tapi, 

hal itu seperti tidak dirasakan dua 

sosok tubuh yang tengah bergerak cepat 

menuju puncak Gunung Caringin. Dua 

sosok tubuh itu ternyata Dewa Angin 

Puyuh dan Palageni.

"Guru...," sambil tetap 

mengayunkan kakinya, Palageni membuka 

suara.

"Hm...," Dewa Angin Puyuh hanya 

bergumam pelan untuk menyahuti 

panggilan muridnya.

"Dari mana Guru mengetahui tempat 

tinggal Dewa Rambut Merah?" tanya 

Palageni.

"Hhh...!"

Dewa Angin Puyuh menghela napas 

panjang sebelum menjawab pertanyaan 

itu. Sementara Palageni menunggu 

dengan sabar. Diam-diam hati pemuda 

berbaju kuning itu heran juga melihat 

sikap gurunya yang tidak biasanya 

seperti ini. Tampaknya, Dewa Angin 

Puyuh tengah dilanda kebingungan yang 

amat sangat.

"Aku kenal betul siapa Dewa 

Rambut Merah itu, Palageni," sahut 

Palageni setebh beberapa saat lamanya 

termenung.

"Ahhh...!" Palageni terperanjat.


Bukan ucapan itu yang membuat 

Palageni terkejut. Tapi nada suara 

yang tersembunyi di dalamnya terdengar 

begitu getir dan kering.

"Kau terkejut, Palageni?" tanya 

Dewa Angin Puyuh.

Kakek beralis putih itu menoleh. 

Sepasang matanya menatap wajah 

muridnya lekat-lekat

Pemuda berbaju kuning itu menelan 

ludah untuk membasahi tenggorokannya 

yang mendadak kering. Perlahan-lahan 

kepalanya terangguk.

"Kalau boleh kutahu, sampai 

seberapa jauh Guru mengenalnya?" desak 

Palageni, serak.

"Aku mengenalnya seperti mengenal 

diriku sendiri...," sahut Dewa Angin 

Puyuh. Pelan suaranya, lebih mirip 

desahan.

Palageni terperangah, sampai-

sampai langkahnya dihentikan. Dewa 

Angin Puyuh juga ikut berhenti. Ucapan 

itu memberi petunjuk, betapa dekat 

hubungan gurunya dengan Dewa Rambut 

Merah.

"Oleh karena itulah, Palageni,'' 

sambung Dewa Angin Puyuh lagi. "Terus 

terang kukatakan padamu, aku tidak 

percaya kalau pembunuhan itu dilakukan 

oleh Dewa Rambut Merah...."

Pemuda berbaju kuning itu pun 

terdiam seketika. Sementara Dewa Angin 

Puyuh tidak lagi melanjutkan ucapan


nya. Maka kini, keheningan menyelimuti 

mereka.

Keduanya lalu melanjutkan langkah 

tanpa berkata kata lagi. Sepasang kaki 

mereka berlompatan ke sana kemari, 

mempergunakan ilmu meringankan tubuh 

sehingga tak lama kemudian telah 

terlihat sebuah pondok berdinding 

bilik. Kontan langkah kedua orang ini 

pun semakin dipercepat. Dan kini 

mereka telah berhenti sekitar tiga 

tombak di depan pondok bilik.

"Dewa Rambut Merah...! Aku, 

sahabatmu datang berkunjung...!" seru 

Dewa Angin Puyuh memanggil.

Karena dikerahkan dengan tenaga 

dalam, maka seruan itu jadi terdengar 

sampai jauh. Gemanya terdengar 

bersahut-sahutan, terbawa angin.

Dewa Angin Puyuh berdiri diam 

menunggu. Sepasang matanya beredar 

memandangi sekelilingnya, kemudian 

dialihkan kembali ke pintu pondok yang 

tertutup.

Sesaat kemudian, daun pintu 

pondok itu bergerak terbuka perlahan-

lahan. Dan dari baliknya menyembul 

seorang kakek berpakaian coklat. 

Rambutnya berwarna merah, dan digelung 

ke atas.

"Ah...! Kiranya kau, Dewa Angin 

Puyuh...!" seru kakek yang ternyata 

Dewa Rambut Merah. Bergegas kakinya 

melangkah menghampiri.


Dewa Angin Puyuh pun melangkah 

maju. Sikapnya kelihatan begitu 

tenang. Tanpa berkata apa-apa lagi, 

Palageni ikut melangkah. Pemuda 

berbaju kuning ini telah menyerahkan 

semua urusan pada gurunya.

"Apa yang mendorongmu mengunjungi 

tempatku, Dewa Angin Puyuh?" tanya 

Dewa Rambut Merah sambil mengulurkan 

tangan. Dewa Angin Puyuh bergegas 

menyambut dan menggenggamnya erat-

erat.

Wajah kedua kakek ini tampak 

berseri-seri. Maklum, sudah belasan 

tahun tidak berjumpa.

"Ah.... Hanya sekadar menjumpai 

kawan lama," sahut kakek beralis putih 

itu kalem.

"Hanya itu?" desak Dewa Rambut 

Merah sambil melepaskan genggamannya. 

Nada suaranya menyiratkan 

ketidakpercayaan.

Dewa Angin Puyuh mengernyitkan 

dahinya.

“Tidak juga," sahut Dewa Angin 

Puyuh masih tetap tenang. "Aku membawa 

sebuah persoalan yang menyangkut 

dirimu, Dewa Rambut Merah."

"Hm.... Sudah kuduga," kakek 

berambut merah mengangguk-anggukkan 

kepalanya. Kemudian ditatapnya wajah 

Palageni sejenak. "Siapa anak muda 

ini, Dewa Angin Puyuh?"


"Muridku...," jawab Dewa Angin 

Puyuh. "Palageni namanya."

Dewa Rambut Merah mengangguk-

anggukkan kepala. Sementara matanya 

menatap sekujur tubuh Palageni dari 

ujung rambut sampai ujung kaki.

"Dan..., persoalan yang kubawa 

menyangkut diri muridku, Dewa Rambut 

Merah...," sambut Dewa Angin Puyuh 

lagi. Nada suaranya terdengar mulai 

bersungguh-sungguh.

"Hei...?! Mengapa bisa begitu, 

Dewa Angin Puyuh?!" seru Dewa Rambut 

Merah, terkejut. "Persoalan yang 

menyangkut diriku dengan muridmu? 

Aneh...!"

"Kalau mendengar ceritaku 

selanjutnya, kau pasti tidak akan 

menganggapnya aneh," sambung Dewa 

Angin Puyuh buru-buru.

Dewa Rambut Merah melirik sekilas 

ke arah Palageni

"Kemarin, ada seorang prajurit 

kadipaten yang mengunjungiku."

Dewa Angin Puyuh memulai 

ceritanya seraya menatap wajah Dewa 

Rambut Merah, untuk melihat 

tanggapannya. Tapi tidak nampak ada 

perubahan pada wajah kakek berambut 

merah itu. Wajahnya tetap biasa, tak 

menunjukkan kekagetan.

"Prajurit itu bercerita, bahwa 

rombongannya diserang seseorang. 

Adipati Kalingga dan seluruh pengawal


yang menyertainya dibantai. Hanya 

prajurit itu yang berhasil selamat, 

dan langsung memberitahukannya 

padaku."

"Hm.... Kenapa prajurit itu 

memberitahukannya padamu, Dewa Angin 

Puyuh?" tanya Dewa Rambut Merah tidak 

mengerti.

"Karena rombongan Adipati 

Kalingga memang tengah menuju ke 

tempatku," jelas kakek beralis putih 

itu.

"Heh...?! Apa keperluan adipati 

itu mengunjungimu?" tanya Dewa Rambut 

Merah. Lagi-lagi dengan perasaan 

terkejut. Memang cerita yang didengar, 

belum dimengertinya.

"Membawa pulang putranya."

"Membawa pulang putranya?! Aku 

jadi semakin tidak mengerti, Dewa 

Angin Puyuh."

''Putranya bernama Palageni...."

"Palageni?!" Dewa Rambut Merah 

meminta kepastian. Sepasang matanya 

membelalak lebar, menatap pemuda 

berbaju kuning itu. "Jadi..., pemuda 

ini...."

Dewa Angin Puyuh yang sudah 

dapat. menduga kelanjutan ucapan kakek 

berambut merah itu menganggukkan 

kepalanya.

"Dia adalah putra Adipati 

Kalingga."


"Ah...!" Dewa Rambut Merah 

mengangguk-anggukkan kepala. "Sekarang 

aku mengerti urusan yang kau maksud 

itu, Dewa Angin Puyuh."

"Hm...," kakek beralis putih itu 

hanya bergumam tidak jelas.

"Yang dimaksud prajurit itu aku, 

kan?!" duga Dewa Rambut Merah langsung 

pada sasaran.

Kakek berambut merah itu langsung 

menatap wajah Dewa Angin Puyuh. Kakek 

beralis putih balas menatap. Sesaat 

lamanya dua pasang mata saling tatap. 

Kemudian perlahan-lahan kepala Dewa 

Angin Puyuh terangguk.

"Dan kau percaya?" desak Dewa 

Rambut Merah ingin tahu.

"Tidak," pelan suara Dewa Angin 

Puyuh, tapi cukup tegas juga.

"Mengapa kau begitu yakin, Dewa 

Angin Puyuh?" desak Dewa Rambut Merah.

"Aku mengenalmu seperti mengenal 

diriku sendiri...." Jawaban kakek 

beralis putih seperti memutar.

"Lalu, mengapa kau tetap datang 

ke sini?" tanya Dewa Rambut Merah 

lagi, setelah beberapa saat lamanya 

terdiam.

Dewa Angin Puyuh terdiam sejenak.

"Hanya untuk membuat urusan ini 

menjadi jelas, dan sekaligus 

memberitahukanmu, Dewa Rambut Merah."

Dewa Rambut Merah mengangguk-

anggukkan kepala pertanda mengerti.


"Aku yakin, ada orang yang telah 

memfitnahmu, Dewa Rambut Merah," 

sambung Dewa Angin Puyuh lag.

"Hm.... Lalu?" desak Dewa Rambut 

Merah tanpa gairah sama sekali.

Sepasang alis Dewa Angin Puyuh

seketika bertautan. Sebab, sambutan 

rekannya benar-benar di luar dugaan. 

Padahal, sudah diperkirakannya kalau 

Dewa Rambut Merah akan kalap bukan 

kepalang begitu mendengar berita itu. 

Tapi kini yang terlihat, benar-benar 

membuatnya terkejut bukan main. Kakek 

berambut merah itu sepertinya tidak 

peduli, dan acuh-acuh saja.

"Apakah kau tidak ingin tahu 

orang yang telah mengotori nama 

besarmu itu, Dewa Rambut Merah?" tanya 

kakek beralis putih, tak percaya.

Kakek berambut merah itu 

menggeleng kepala. Secercah senyum 

sabar tampak tersungging di bibirnya.

"Mengapa?" desa Dewa Angin Puyuh 

karena perasaan yang tidak menentu.

"Aku sudah tidak ingin terlibat 

lagi dalam kekerasan dunia persilatan, 

Dewa Angin Puyuh. Aku sudah jenuh!"

“Tapi ini menyangkut nama baikmu, 

Dewa Rambut Merah!" Dewa Angin Puyuh 

masih berusaha menasihati. Malah, nada 

suaranya terdengar mulai meninggi.

"Biarlah, Dewa Angin Puyuh. Aku 

sudah tidak mempedulikan lagi nama 

baikku. Biarlah orang itu berbuat


sekehendak hatinya. Aku percaya, dia 

akan menerima balasannya sendiri."

"Kau melupakan kami, Dewa Rambut 

Merah," selak Dewa Angin Puyuh.

"Maksudmu?" tanya Dewa Rambut 

Merah dengan dahi berkernyit

Dewa Angin Puyuh terdiam sejenak. 

Pertanyaan itu tidak langsung 

dijawabnya. Sebaliknya, dia malah 

menarik napas dalam-dalam dan 

menghembuskannya kuat-kua.t Jelas ada 

sesuatu yang merisaukan hati kakek 

ini.

"Kau jangan memandang hal itu 

untuk kepentingan dirimu saja, Dewa 

Rambut Merah," sergah Dewa Angin Puyuh 

beberapa saat kemudian.

"Aku tidak mengerti maksudmu, 

Dewa Angin Puyuh." Kening kakek 

berambut merah ini nampak berkerut 

dalam.

"Hhh...!"

Dewa Angin Puyuh menghela napas 

berat sebelum menjelaskan pertanyaan 

Dewa Rambut Merah.

Sementara, kakek berambut merah 

itu menunggu jawabannya dengan 

perasaan tidak sabar.

"Maksudku sudah jelas. Bukan 

hanya kau saja yang menderita kerugian 

dengan adanya fitnahan itu. Tapi, aku 

dan Dewa Obat Tangan Delapan pun akan 

tercemar. Aku yakin, julukan kita


bertiga sebagai Tiga Dewa Sungai Naga 

akan terbawa rusak."

"Jadi, kau ingin agar aku terjun 

kembali dalam kerasnya dunia 

persilatan, Dewa Angin Puyuh? Kau 

biarkan aku melanggar janjiku 

sendiri?" selak Dewa Rambut Merah 

dengan nada tinggi.

"Masalahnya lain, Dewa Rambut 

Merah. Kau difitnah," Dewa Angin Puyuh 

masih mencoba menasihati. "Kalau kau 

tidak turun tangan, urusan ini akan 

berlarut-larut. Bahkan bukan tidak 

mungkin kalau orang yang telah 

memfitnahmu itu tengah merencanakan 

kejahatan lain."

"Apa pun masalahnya, aku tidak 

akan melanggar sumpahku sendiri. Ingat 

itu, Dewa Angin Puyuh."

"Ahhh...!" Dewa Angin Puyuh 

menghela napas berat mengetahui 

kekerasan hati rekannya.

"Kau tahu, Dewa Angin Puyuh," 

sambung Dewa Rambut Merah lagi "Dewa 

Obat Tangan Delapan baru saja 

meninggalkan tempat ini!"

"Ahhh...!" kembali Dewa Angin 

Puyuh mendesah kaget "Benarkah apa 

yang kau katakan itu, Dewa Rambut 

Merah?!"

Kakek berambut merah itu hanya 

menganggukkan kepala.

"Apa keperluannya datang kemari, 

Dewa Rambut Merah?" desak Dewa Angin


Puyuh. Nada suara dan wajahnya 

menyiratkan keterkejutan yang amat 

sangat

Dan memang sebenarnya kakek 

beralis putih itu terkejut bukan main. 

Sungguh tidak disangka kalau Tiga Dewa 

Sungai Naga bisa singgah di sini, 

setelah belasan tahun berpisah.

"Sama seperti kau juga, Dewa 

Angin Puyuh," jawab Dewa Rambut Merah. 

"Mengabarkan adanya fitnah terhadap 

diriku dan juga menyuruhku terjun 

dalam dunia persilatan."

"Pasti usulnya kau tolak," duga 

Dewa Angin Puyuh.

Dewa Rambut Merah sama sekali 

tidak menyahut. Hanya anggukan kepala 

yang memberikan petunjuk kalau dia 

membenarkan dugaan rekannya.

Dewa Angin Puyuh menghela napas 

dengan kepala tertunduk dalam. 

Sepasang matanya menekuri tanah.

"Oleh karena itu, Dewa Angin 

Puyuh. Tidak ada gunanya lagi 

membujukku. Pendirianku tidak akan 

berubah. Rasanya, kau hanya akan 

membuang-buang waktu dan tenaga saja."

"Kalau begitu, aku pergi dulu, 

Dewa Rambut Merah," pamit kakek 

beralis putih itu. Suaranya terdengar 

lesu, selesu wajahnya.

Setelah berkata demikian, Dewa 

Angin Puyuh lalu membalikkan tubuhnya.



"Mari kita pergi, Palageni," ajak 

kakek itu pada muridnya.

Palageni tidak berani membantah, 

walaupun sebenarnya hatinya kecewa 

sekali melihat penyelesaian yang 

dilakukan gurunya. Di samping kecewa, 

perasaan kaget pun sejak tadi sudah 

melanda hatinya. Sungguh tidak 

disangka kalau antara gurunya dengan 

Dewa Rambut Merah terdapat sebuah 

hubungan yang begitu erat. Namun, 

mengapa hubungan itu kelihatannya mu-

lai renggang?

Memang, gurunya telah memberi 

tahu tentang hubungan dekatnya dengan 

Dewa Rambut Merah. Tapi, hanya itu 

saja. Kakek beralis putih itu tidak 

memberi tahu kalau dirinya, Dewa Obat 

Tangan Delapan, dan Dewa Rambut Merah 

ternyata juga berjuluk Tiga Dewa 

Sungai Naga yang telah menggegerkan 

dunia persilatan puluhan tahun lalu. 

Memang, Dewa Angin Puyuh tidak pernah 

menceritakan semua masa lalunya pada 

pemuda berbaju kuning itu.

Kini kedua orang yang sama-sama 

lesu itu bergerak cepat menuruni 

lereng. Tak ada seorang pun yang 

berniat membuka percakapan. Sebenar-

nya, Palageni ingin menanyakan kepada 

gurunya mengenai Tiga Dewa Sungai 

Naga. Tapi karena tampaknya Dewa Angin 

Puyuh sedang kurang senang, sehingga 

pemuda berbaju kuning ini tidak berani


menanyakannya. Akibatnya, mereka 

berdua bergerak menuruni lereng tanpa 

berkata-kata.

***

"Palageni," panggil Dewa Angin 

Puyuh sesampainya di kaki gunung. 

Sepasang mata kakek ini menatap tajam 

wajah muridnya.

"Ya, Guru," sahut pemuda berbaju 

kuning, pelan tak bersemangat.

"Aku telah tua, Palageni. Dan 

semua kepandaian yang kumiliki telah 

kuwariskan kepadamu. Maka, kini 

wakililah diriku untuk mencari pelaku 

pembunuhan terhadap orang tuamu. 

Bagaimana, Palageni? Kau mau 

menerimanya?"

Pemuda berbaju kuning ini 

menganggukkan kepala. ''Terima kasih 

atas kepercayaan yang Guru berikan 

padaku."

"Pergilah, Palageni. Jangan 

buang-buang waktu lagi."

"Kalau demikian, aku berangkat 

dulu, Guru," sambut pemuda berbaju 

kuning itu mohon diri.

"Hati-hati, Palageni," Dewa Angin 

Puyuh menasihati sambil menepuk-nepuk 

bahu muridnya.

"Akan kuperhatikan semua nasihat 

guru."


Setelah berkata demikian, 

Palageni bergerak cepat meninggalkan 

tempat itu Gerakannya cukup gesit, 

karena ditunjang oleh ilmu meringankan 

tubuh yang sudah hampir mencapai 

kesempurnaan. Beberapa saat kemudian, 

tubuhnya semakin mengecil hingga 

akhirnya lenyap ditelan jalan.

Sedangkan Dewa Angin Puyuh hanya 

menatap kepergian muridnya. Dia baru 

melangkah pergi dari situ, ketika 

tubuh Palageni tidak terlihat lagi. 

Tubuhnya melesat cepat, disertai ilmu 

meringankan tubuh yang telah mencapai 

tingkat tinggi.

Sementara itu, Palageni segera 

mengerahkan seluruh kemampuan yang 

dimiliki. Tubuhnya berkelebatan cepat, 

sehingga yang terlihat hanya bayangan 

yang melesat cepat. Dan ketika 

matahari telah condong ke Barat, 

Palageni tiba di sebuah jalan. Di 

kanan kiri jalan itu terbentang padang 

rumput luas, yang tinggi rumputnya 

mencapai satu tombak.

Mendadak langkah pemuda berbaju 

kuning berhenti, ketika pendengarannya 

yang tajam menangkap adanya suara 

gemerisik pelan di kerimbunan 

rerumputan. Palageni mengawasi 

hamparan padang rumput yang di 

kanannya. Sepasang matanya bergerak 

liar, mencari-cari asal suara 

mencurigakan yang didengarnya.



Suara gemerisik itu terdengar 

semakin keras. Dan belum lagi Palageni 

bisa menduga-duga, tiba-tiba beberapa 

sosok bayangan hitam berlompatan 

keluar dari balik kerimbunan padang 

rumput itu.

Sebentar pemuda berbaju kuning 

itu terkesiap, namun segera 

melentingkan tubuhnya ke belakang. Dia 

berputaran beberapa kali di udara, 

kemudian dengan gerakan indah dan 

manis, kedua kakinya mendarat di 

tanah.

4

Palageni mengedarkan pandangan ke 

sekeliling. Matanya menatap tajam 

beberapa sosok tubuh yang bergerak 

cepat mengurungnya. Dalam hati, pemuda 

berbaju kuning ini menghitung jumlah 

pengepungnya. Sebelas orang!

Yang membuat hati murid Dewa 

Angin Puyuh ini terkejut adalah gambar 

tengkorak kepala manusia yang ditopang 

dua batang tulang-belulang yang saling 

bersilangan pada dada para 

pengepungnya.

Dewa Angin Puyuh telah mence-

ritakan banyak tokoh besar dunia 

persilatan kepadanya. Baik golongan 

sesat maupun putih. Dan salah satu di 

antaranya, seorang tokoh sesat 

mengerikan yang tinggal di sebuah


pulau kecil di tengah Danau Bangkai.

Julukannya, Gendruwo Pulau Setan. 

Tokoh sesat itu tidak tinggal 

sendirian di pulau itu. Ada puluhan 

orang anak buahnya yang memiliki 

kepandaian mengerikan. Dan kini, 

Palageni memang tengah bertemu 

gerombolan iblis yang bernama 

Gerombolan Pulau Setan.

Diam-diam Palageni harus mengakui 

kalau gerombolan pengepung ini benar 

terdiri dari orang-orang mengerikan.

"Haaat..!"

Sambil berteriak menggelegar, 

salah seorang anggota Gerombolan Pulau 

Setan menyerang. Tangan kanannya yang 

terkembang membentuk cakar, meluncur 

cepat ke arah leher.

Pada saat yang sama, dari samping 

kiri pemuda berbaju kuning itu, 

pengeroyok lain melancarkan satu 

tendangan miring ke arah pelipis. 

Sementara dari belakang, menendang 

lurus ke arah punggung.

Meskipun mendapat serangan 

beruntun, Palageni tidak menjadi 

gugup. Dengan perhitungan matang, tu-

buhnya dirundukkan dan langsung 

menendang ke belakang.

Wuttt, wuttt, plakkk...!

Kejadiannya berlangsung begitu 

cepat. Serangan dari samping dan depan 

berhasil dielakkan Palageni. Sementara 

dari belakang, berhasil ditangkisnya.


Akibatnya, tubuh anggota Gerom-

bolan Pulau Setan itu terjengkang ke 

belakang, dan jatuh terduduk di tanah. 

Mulutnya nampak menyeringai, menahan 

rasa sakit yang teramat sangat. Tokoh 

sesat ini merasakan kakinya seperti 

patah-patah tulangnya. Memang, tenaga 

dalam yang dimiliki Palageni jauh 

berada di atasnya.

Melihat betapa mudahnya pemuda 

berbaju kuning itu mematahkan 

serangan-serangan, mereka tidak 

bersikap main-main lagi. Disadari 

kalau pemuda ini adalah seorang lawan 

yang amat tangguh.

Singgg, srattt, singgg...!

Kini di tangan Gerombolan Pulau 

Setan itu tercekal senjata andalan 

masing-masing. Ada yang menggenggam 

pedang, golok, tombak, ataupun 

trisula. 

Srattt..!

Sinar terang berpendar ketika 

Palageni mencabut keluar goloknya. Dan 

secepat golok itu terhunus, secepat 

itu pula diputar-putarkan di depan 

dada. Senjatanya digerakkan dari kanan 

atas ke kiri bawah, dan dari kiri atas 

ke kanan bawah. Angin menderu keras 

seperti amukan topan.

Itulah ilmu 'Golok Angin Puyuh' 

yang telah diciptakan Dewa Angin Puyuh 

dari ilmu tongkatnya. Memang, kakek 

beralis putih itu melihat, muridnya


lebih berbakat dan lebih suka 

bersenjatakan golok daripada tongkat. 

Makanya jurus yang semula bernama 

'Tongkat Angin Puyuh', berubah menjadi 

'Golok Angin Puyuh'.

Meskipun ilmu golok itu 

diciptakan dari ilmu tongkat, dan 

sedikit banyak telah mengalami 

perubahan di sana-sini, namun kedah-

syatannya sama sekali tidak berkurang. 

Bahkan tidak kalah hebat dengan 

induknya.

"Hiyaaat..!"

Diiringi bentakan nyaring, tubuh 

beberapa orang anggota Gerombolan 

Pulau Setan itu meluruk menerjang 

Palageni. Desingan nyaring merobek 

udara terdengar mengiringi tibanya 

serangan-serangan itu.

Palageni bersikap tenang. Golok 

di tangannya berkelebat cepat 

menangkis setiap serangan yang datang 

bagaikan hujan. Suara berdentang 

nyaring terdengar berkali-kali begitu 

senjata kedua belah pihak berbenturan.

Jerit-jerit keterkejutan terde-

ngar dari mulut anggota Gerombolan 

Pulau Setan, begitu merasakan tangan 

yang memegang pedang bergetar hebat. 

Telapak tangan yang menggenggam pun 

terasa panas bukan main.

Tindakan Palageni tidak hanya 

sampai di situ saja. Golok di 

tangannya berkelebat cepat mengancam


lawan-lawannya. Tapi anggota-anggota 

Gerombolan Pulau Setan bukan tokoh 

rendahan. Mereka dapat mengelak dan 

balas menyerang. Beberapa saat kemu-

dian, pertempuran sengit pun kembali 

terjadi

Di jurus-jurus awal, Gerombolan 

Pulau Setan bertarung secara 

sewajarnya. Mereka tidak menggunakan 

kelicikan untuk mencari kemenangan. 

Ketika pertarungan menginjak sepuluh 

jurus, Palageni belum juga berhasil 

didesak. Dan ini membuat para 

pengeroyok itu mulai bermain licik.

"Haaat..!"

Seorang yang berwajah kurus 

kering seperti tak berdaging, 

berteriak keras seraya melompat 

menerjang. Tongkat berujung pisau di 

tangannya menusuk cepat ke arah leher 

Palageni.

Melihat bahaya maut mengancam 

keselamatan nyawanya, Palageni cepat 

melompat ke belakang. Sehingga, ujung 

tongkat berbentuk pisau itu hanya 

menyambar tiga jengkal di depan 

lehernya.

Mendadak, tanpa sepengetahuan 

Palageni, laki-laki berwajah kurus 

kering laksana tengkorak itu memijit 

sebuah tonjolan kecil yang ada 

digagang tongkatnya.

Trekkk! Singgg...!


Mendadak saja pisau yang terdapat 

di ujung tongkat itu terlepas dari 

batang tongkat, lalu meluncur cepat 

laksana anak panah lepas dari busur ke 

arah tenggorokan Palageni

Pemuda berbaju kuning ini 

terkejut bukan main mendapat serangan 

yang tidak disangka-sangka itu. 

Sebisa-bisanya tubuhnya digeliatkan 

untuk menghindari serangan. Tapi...

Crasss...!

Palageni kalah cepat, sehingga 

bahunya terserempet bilah pisau itu. 

Seketika itu juga cairan merah kental 

mengalir dari luka yang tergores. 

Belum juga Palageni sempat berbuat 

sesuatu, lawan yang bertubuh tinggi 

besar mengibaskan tangannya. Dan...

Serrr...!

Belasan jarum halus menyambar 

cepat ke arah pemuda berbaju kuning 

itu. Ada bau amis yang memuakkan, 

mengiringi tibanya serangan.

Palageni sadar kalau jarum yang 

dilepaskan lawan mengandung racun. 

Maka dia tidak berani bertindak 

ceroboh. Buru-buru goloknya diputar 

laksana baling-baling hingga terdengar 

suara mengaung keras.

Tringgg, tringgg...!

Jarum-jarum itu berpentalan tak 

tentu arah begitu tersambar golok 

murid Dewa Angin Puyuh itu. Beberapa 

di antaranya justru menyambar ke arah


beberapa anggota Gerombolan Pulau 

Setan. Karuan saja hal itu membuat 

mereka terperanjat dan pontang-panting 

menyelamatkan diri. Tapi, sehabis 

memunahkan serangan jarum-jarum 

beracun itu, tiba-tiba rasa pusing 

menyerang Palageni. Bahkan bukan hanya 

itu saja. Perasaan lemas pun melanda 

tubuhnya pula. Mulanya Palageni 

kebingungan, tapi sesaat kemudian 

tersadar.

"Racun...," desis pemuda 

berpakaian kuning geram.

Benak Palageni berpikir keras, 

bagaimana dia bisa terkena racun. Tak 

salah lagi. Setelah berpikir sesaat, 

muncul sebuah dugaan di benaknya. 

Pasti racun itu berasal dari luka di 

bahu kirinya.

Dalam kungkungan rasa pusing dan 

lemas yang kian melanda, Palageni 

menyempatkan diri untuk melihat luka 

di bahu kirinya. Seketika hatinya 

terperanjat, karena ternyata luka itu 

telah membengkak dan berwarna 

kehitaman. Kini sudah jelas asal racun 

itu.

Racun itu ternyata terhitung 

racun yang bekerja cepat. Palageni 

merasa kan kepalanya semakin pusing. 

Bahkan tubuhnya kian melemah. Pandang 

matanya berkunang-kunang.


"Ha ha ha...! Pemuda keparat...! 

Kini baru kau tahu kehebatan 

Gerombolan Pulau Setan, heh?!"

Terdengar oleh telinga Palageni, 

ucapan salah seorang pengeroyoknya 

yang diiringi suara tawa bergelak 

penuh kemenangan.

"Keparat curang! Jangan harap 

dapat berbuat sekehendak hati 

kalian...!"

Seiring dengan terdengarnya suara 

bentakan itu, sesosok bayangan putih 

berkelebat

Tappp...!

Cepat bukan main gerakan sosok 

bayangan putih itu. Bahkan sebelum 

Gerombolan Pulau Setan berbuat 

sesuatu, tubuh Palageni telah berhasil 

disambarnya.

"Hey...!" teriak anggota 

gerombolan yang bertubuh tinggi besar 

kaget 

"Jangan lari kau, Pengecut...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, 

Gerombolan Pulau Setan lalu bergerak 

mengejar. Tapi ternyata sosok bayangan 

putih itu memang tidak bermaksud 

melarikan diri. Terbukti setelah 

meletakkan tubuh Palageni di tanah, 

tubuh bayangan itu berbalik menanti 

kedatangan para pengeroyoknya.

Terdengar suara-suara kekaguman 

dari mulut anggota Gerombolan Pulau


Setan begitu melihat sosok bayangan 

putih itu.

"Ah...! Tidak salahkah 

penglihatanku?" seru anggota 

gerombolan yang bertubuh tinggi besar. 

"Benarkah seorang bidadari yang telah 

berdiri di hadapanku?"

"Luar biasa...!" sambut laki-laki 

bermuka teng-korak. "Wajahnya begitu 

cantik...."

"Bentuk tubuhnya pun 

menggiurkan...," yang lain ikut 

menyahuti.

Memang tidak salah apa yang 

dibicarakan Gerombolan Pulau Setan 

itu. Sosok bayangan putih itu ternyata 

seorang wanita berwajah cantik jelita. 

Kulit wajahnya putih, halus, dan 

mulus. Rambutnya panjang hitam dan 

terurai sampai ke bawah bahu. Sangat 

pas sekali dengan pakaiannya yang 

serba putih.

Gadis berpakaian putih ini 

menggertakkan gigi mendengar ucapan 

orang-orang berseragam merah itu. 

Kemarahan mulai menjalari hatinya. 

Ucapan mereka semakin lama semakin 

kurang ajar saja. Pandangan mata 

mereka tampak liar, seperti hendak 

menelannya bulat-bulat. Persis mata 

seekor serigala lapar yang melihat 

anak domba.


"Mulut kalian terlalu kotor...!" 

seru gadis berpakaian putih itu penuh 

ancaman.

"Ha ha ha...!" hanya suara tawa 

bergelak bernada kurang ajar 

menyambuti ucapan gadis itu. Dan tentu 

saja hal ini membuat gadis itu tambah 

naik darah.

"Orang-orang seperti kalian harus 

diberi pelajaran! Agar tidak 

sembarangan mengumbar ucapan kotor 

lagi...!"

Setelah berkata demikian, gadis 

berpakaian putih itu melesat 

menerjang. Gerakannya cepat bukan 

main, sehingga membuat Gerombolan 

Pulau Setan yang masih tertawa-tawa 

itu terkejut bukan main. Mereka memang 

memandang rendah, setelah mengetahui 

sosok bayangan putih itu ternyata 

adalah seorang gadis muda.

Dan sikap memandang rendah itulah 

yang justru mencelakakan mereka. 

Serangan gadis berpakaian putih itu 

terlalu cepat datangnya, sehingga 

sebisa-bisanya mereka mengelak.

Plakkk, plakkk...!

Dua anggota Gerombolan Pulau 

Setan terjengkang ke belakang begitu 

tepakan kaki gadis berpakaian putih 

itu mengenai dada dan perut mereka. 

Seketika itu juga tubuh kedua orang 

itu jatuh bergulingan di tanah. Tampak 

darah segar muncrat dari mulut mereka.


Tentu saja hal ini membuat 

anggota Gerombolan Pulau Setan lainnya 

terperanjat. Kenyataan ini menyadarkan 

mereka kalau gadis berpakaian putih 

yang cantik jelita laksana bidadari 

ini tidak bisa dipandang rendah. 

Seketika sikap main-main mereka pun 

lenyap. Dan dengan teriakan-teriakan 

penuh kemarahan, Gerombolan Pulau 

Setan menyambut serbuan gadis 

berpakaian putih. Maka, hujan senjata 

pun berhamburan ke arah gadis itu.

"Hmh...," gadis berpakaian putih 

itu mendengus. Tiba-tiba kedua 

tangannya mengembang membentuk cakar 

naga. Dan anehnya lagi, kedua tangan-

nya sampai sebatas pergelangan 

berwarna merah darah! Serbuan 

Gerombolan Pulau Setan yang bersenjata 

dihadapi dengan tangan kosong!

Meskipun begitu, gadis berpakaian 

putih sama sekali tidak terdesak. 

Sepasang tangannya yang membentuk 

cakar naga berkelebat ke sana kemari 

mencari sasaran. Dan hebatnya, setiap 

kali tangan atau kakinya bergerak, ada 

sosok tubuh yang roboh di tanah.

Suara jerit kesakitan terdengar 

saling susul, diiringi robohnya sosok-

sosok tubuh di tanah. Sia-sia usaha 

yang dilakukan gerombolan itu untuk 

merobohkan lawan dengan cara-cara 

licik. Gerakan gadis berpakaian putih 

itu terlalu lincah, sehingga mampu



mengelakkan setiap serangan yang da 

tang mengancam.

Dua jeritan melengking panjang, 

mengakhiri per-awanan Gerombolan Pulau 

Setan itu. Kini, tidak ada lagi 

anggota gerombolan yang berdiri tegak. 

Semuanya roboh di tanah dalam keadaan 

terluka parah. Suara rintihan pelan 

keluar dari mulut-mulut mereka.

Gadis berpakaian putih itu 

menatap sosok-sosok tubuh yang 

tergolek satu persatu. Baru kemudian 

kakinya melangkah menghampiri tubuh 

Palageni yang tengah tergolek. Dia 

bermaksud memeriksa luka yang dialami 

pemuda berbaju kuning itu.

Gadis berpakaian putih itu 

berjongkok. Diperhatikannya sejenak 

luka di bahu kiri yang kini telah 

membengkak dan berwarna kehitaman. 

Kemudian dijumput pedang yang 

tersampir di punggungnya. Lalu dengan 

ujung pedang, ditorehnya luka yang 

telah membengkak itu

Seketika itu juga, darah mengalir 

dari luka di tubuh Palageni. Warnanya 

kehitaman dan berbau busuk. Gadis itu 

membiarkan darah yang berwarna 

kehitaman mengalir habis.

Gadis berpakaian putih lalu 

mengurut-urut tengkuk Palageni. Tak 

lama kemudian terdengar keluhan 

disusul mengerjap-ngerjapnya sepasang 

mata pemuda berpakaian kuning itu.


Beberapa saat lamanya sepasang mata 

itu terpaku menatap seraut wajah 

cantik jelita yang berada di dekatnya. 

Jantung Palageni seketika berdetak 

kencang begitu mencium bau harum yang 

keluar dari tubuh gadis itu.

“Telan pil ini," ujar gadis 

berpakaian putih itu sambil 

mengangsurkan sebuah pil berwarna 

coklat

Tahu kalau gadis itu bermaksud 

menolongnya, Palageni segera 

mengulurkan tangan menerima. Dan tanpa 

ragu-ragu lagi segera ditelannya pil 

itu. Tidak sulit bagi orang persilatan 

untuk menelan pil itu walau tanpa 

adanya air.

Mendadak gadis berpakaian putih 

itu menoleh ke belakang. 

Pendengarannya yang tajam menangkap 

suara aneh di belakangnya. Seketika 

dia bangkit berdiri begitu melihat dua 

sosok tubuh berdiri dalam jarak 

sekitar empat tombak di belakangnya.

Palageni ikut menoleh. Dan 

seketika wajah pemuda berpakaian 

kuning ini memucat. Dikenalinya betul 

salah seorang di antara mereka. Sosok 

tubuh itu tak lain adalah Dewa Rambut 

Merah. Sementara yang seorang lagi 

tidak dikenalinya.

Sosok itu adalah seorang laki-

laki tinggi besar dan bercambang bauk 

lebat. Rambutnya hitam, panjang, dan


bergelombang. Dia bertelanjang dada, 

dan hanya bercelana sebatas lutut 

berwarna merah. Di sekujur tubuhnya, 

penuh bulu-bulu lebat. Di pangkal 

lengan, di pergelangan tangan, di 

leher, di pinggang, dan juga di 

pergelangan kaki, dililit oleh gelang 

berwarna kuning keemasan. Gelang ini 

sebenarnya adalah ular yang telah mati 

dan dikeringkan.

Wajah Palageni pucat pasi begitu 

teringat sosok yang berdiri di sebelah 

Dewa Rambut Merah ini, walaupun 

sebenarnya dia tidak kenal. Gurunya 

pernah menceritakan kepadanya tentang 

tokoh yang memiliki ciri-ciri seperti 

ini. Kalau tidak salah, dia berjuluk 

Gendruwo Pulau Setan. Seorang tokoh 

hitam yang mengerikan, kejam, dan keji 

luar biasa. Tak terasa bulu tengkuknya 

meremang.

Sebenarnya, Palageni heran. 

Mengapa Dewa Rambut Merah seperti 

tidak mengenalinya? Padahal mereka 

belum lama habis bertemu. Dan yang 

lebih mengherankan, mengapa kakek 

berambut merah ini berkawan dengan 

tokoh sesat macam Gendruwo Pulau 

Setan? Bermacam-macam pertanyaan 

benar-benar menggayuti benaknya.

Sementara itu, Genderuwo Pulau 

Setan menatap sosok-sosok tubuh yang 

tergolek di tanah, yang memang anak 

buahnya. Di wajah yang menyeramkan


itu, sama sekali tidak terlihat adanya 

perasaan apa-apa. Wajah itu terlihat 

begitu dingin, kaku tanpa perasaan.

Perlahan tangan yang berbulu 

lebat itu mengambil kendi kecil yang 

terletak di pinggangnya. Lalu 

ikatannya dibuka. Masih dengan wajah 

dingin, dibukanya tutup kendi itu.

Gadis berpakaian putih dan 

Palageni hanya memandang perbuatan 

Gendruwo Pulau Setan. Mereka ingin 

tahu apa yang akan dilakukan laki-laki 

tinggi besar dan penuh bulu ini. Dahi 

kedua orang ini berkernyit ketika 

melihat wajah para anggota Gerombolan 

Pulau Setan memucat. Terlihat jelas 

kalau mereka semua dicekam rasa takut 

yang memuncak.

Tapi wajah Gendruwo Pulau Setan 

tetap tidak berubah. Dingin, dan kaku 

tanpa perasaan. Masih dengan raut 

wajah beku, kendi yang telah dibuka 

itu dituangkan ke tubuh setiap orang 

yang tergolek di tanah. Setetes demi 

setetes cairan kuning keluar dari 

mulut kendi. Masing-masing orang 

mendapati setetes.

Mengerikan! Terdengar suara 

mendesis seperti sebatang besi panas 

membara yang direndam dalam air 

dingin. Ada uap tipis mengepul naik ke 

udara, yang berasal dari bagian tubuh 

yang terkena tetesan cairan kuning 

itu. Dan seketika itu pula, terdengar


jeritan menyayat hati dari mulut para 

anggota Gerombolan Pulau Setan. Jerit 

yang lebih mirip lolong orang yang 

tengah di ambang maut. Tubuh mereka 

pun menggelepar-gelepar seperti ikan 

yang terdampar di darat.

Palageni dan gadis berpakaian 

putih menatap dengan mata terbeliak 

lebar. Perasaan ngeri yang hebat 

mencekam hati keduanya. Bahkan tanpa 

disadari, sepasang kaki gadis 

berpakaian putih itu menggigil.

Memang pemandangan yang terlihat 

terlalu mengerikan. Dari tubuh yang 

terkena tetesan itu, semula hanya 

mengepul uap tipis. Tapi semakin lama, 

uap itu semakin tebal dan banyak. 

Kemudian, menjadi asap putih tebal dan 

bergumpal-gumpal. Suara mendesis 

terdengar mengiringi. Dan jeritan yang 

keluar pun semakin menyayat hati.

Wajah Palageni dan gadis 

berpakaian putih semakin pucat pasi, 

begitu melihat tubuh anggota gerombol-

an itu menciut seiring semakin 

menebalnya asap yang keluar sampai 

akhirnya lenyap. Luar biasa! Cairan 

kuning itu ternyata memiliki daya 

rusak yang begitu mengerikan! 

Menghancurkan tubuh manusia! 

"Ha ha ha...!"

Laki-laki tinggi besar dan 

berbulu lebat itu tertawa terbahak-

bahak. Begitu mendadak. Dan dengan


tiba-tiba pula, tawanya berhenti. 

Kemudian dengan raut wajah bengis, 

ditatapnya gadis berpakaian putih dan 

Palageni.

Kontan sekujur tubuh gadis 

berpakaian putih itu lemas. Tenaganya 

seperti musnah semua. Memang, kejadian 

yang dilihatnya terlalu mengerikan 

sehingga membuat hatinya terguncang. 

Bahkan tanpa dapat ditahan lagi, dia 

duduk bersimpuh dengan lututnya. 

Memang, kedua kakinya seperti tidak 

kuat lagi untuk menunjang tubuhnya.

Dengan langkah lambat-lambat, 

Gendruwo Pulau Setan dan Dewa Rambut 

Merah menghampiri Palageni yang masih 

terbaring, dan gadis berpakaian putih 

yang berdiri dengan lututnya.

Gadis berpakaian putih itu 

kemudian menggertakkan gigi. Dan....

"Groaaahhh...!"

Suara geraman keras laksana suara 

seekor harimau yang hendak melumpuhkan 

mangsanya, keluar dari mulut gadis 

berpakaian putih itu.

Hebat bukan main akibat geraman 

itu. Udara terasa tergetar hebat. 

Daun-daun pohon bergoyang-goyang. 

Bahkan Palageni pingsan seketika. 

Sementara langkah Gendruwo Pulau Setan 

dan Dewa Rambut Merah terpaksa 

berhenti. Keduanya segera mengerahkan 

tenaga dalam untuk mebwan pengaruh


teriakan yang membuat dada terasa 

bergetar dan kedua kaki lemas.

Kini gadis berpakaian putih 

bangkit berdiri. Tenaga dalamnya telah 

pulih kembali seperti semula, sehabis 

menggeram. Sekarang dia telah bersiap 

menghadapi kedua orang lawannya.

"Biar aku yang menghadapinya, 

Kang!'' ucap Gendruwo Pulau Setan pada 

Dewa Rambut Merah tanpa menoleh. 

Suaranya terdengar keras dan kasar. 

Kemudian tanpa menunggu jawaban lagi, 

kakinya segera melangkah menghampiri 

si gadis.

"Kau hebat, Nisanak!" puji 

Gendruwo Pulau Setan dengan suara 

mengguntur. “Tapi jangan terlalu 

berbesar hati dulu. Belum pernah ada 

seorang pun yang bisa mengalahkanku!"

Gadis berpakaian putih itu hanya 

tersenyum mengejek. Walaupun hatinya 

sempat terguncang akibat menyaksikan 

pemandangan menggiriskan tadi, namun 

gadis itu segera dapat mengusirnya 

dengan tenaga dalam. Dan kini rasa 

takutnya telah sirna, dan yang ada 

hanyalah tekad untuk menghadapi segala 

yang akan terjadi.

"Aku tidak akan membunuh lawan 

yang tidak kuketahui jelas nama atau 

julukannya," sambung laki-laki tinggi 

besar berbulu lebat itu tanpa 

mempedulikan sikap gadis berpakaian 

putih. "Kalau kau bukan seorang


pengecut, sebutkan nama dan 

julukanmu!"

Memang cerdik cara Gendruwo Pulau 

Setan ini membuat orang terpaksa 

membuka mulut. Sebagai seorang yang 

kenyang pengalaman, dia tahu kalau 

gadis ini pantang dimaki sebagai 

pengecut. Maka segera dikeluarkan 

ucapan itu.

Gadis berpakaian putih 

menggertakkan gigi, geram. Licik 

sekali laki-laki tinggi besar yang 

mengerikan ini. Sekarang suka atau 

tidak suka, terpaksa dia harus 

mengenalkan diri kalau tidak mau 

dimaki pengecut.

"Namaku Melati! Orang-orang 

persilatan menjulukiku Dewi Penyebar 

Maut," jawab gadis berpakaian putih 

yang ternyata Melati, tak kalah kasar.

Namun ternyata Gendruwo Pulau 

Setan sama sekali belum pernah 

mendengar julukan Dewi Penyebar Maut. 

Maklum, julukan itu hanya muncul 

sebentar saja, kemudian lenyap bagai 

ditelan bumi. Tambahan lagi, laki-laki 

tinggi besar ini tinggal di sebuah 

pulau terpencil yang agak terpisah 

dengan dunia luar.

Gendruwo Pulau Setan menoleh, 

menatap wajah Dewa Rambut Merah. 

Sepasang matanya menyorotkan 

pertanyaan besar. Kakek berambut merah 

ini tahu maksud pandangan laki-laki

tinggi besar itu. Apa lagi kalau bukan 

ingin mengetahui, apakah dia pernah 

mendengar julukan itu?

5

Dewa Rambut Merah mengangkat bahu 

pertanda tidak mengetahuinya juga.

Gendruwo Pulau Setan kembali 

mengalihkan perhatian pada Melati. 

Gadis berpakaian putih ini sudah bisa 

menduga kelihaian lawannya. Maka tanpa 

ragu-ragu lagi ilmu andalannya segera 

dikeluarkan, yakni 'Cakar Naga Merah'. 

Dan sebelumnya, untuk pertama kali 

dalam usaha memulihkan diri, telah 

dikeluarkan jurus yang belum pernah 

dipergunakannya, 'Raungan Naga Merah'.

Gendruwo Pulau Setan sudah bisa 

memperkirakan kalau gadis di 

hadapannya ini adalah seorang lawan 

yang lumayan tangguh. Buktinya suara 

lengking yang keluar dari mulut gadis 

itu mengandung pengerahan tenaga dalam 

tinggi. Maka, ilmu andalannya pun 

dikeluarkan pula, 'Tinju Penggetar 

Bumi'!

Kokoh, indah, dan kelihatan 

mantap sekali pembukaan jurus dari 

ilmu 'Tinju Penggetar Bumi' ini. 

Gendruwo Pulau Setan membentuk kuda-

kuda rendah. Kedua tangan terkepal. 

yang kiri terpalang di depan dada, 

sementara yang kanan tegak lurus ke


atas. Letak tangan kanan berada di 

depan tangan kiri. Kedua tangan yang 

mengepal itu mengejang keras penuh 

kekuatan.

Derrr...!

Bumi bergetar hebat bagai terjadi 

gempa ketika tokoh sesat yang 

menggiriskan ini menghentakkan kaki ke 

tanah. Dan memang inilah yang selalu 

dilakukan Gendruwo Pulau Setan setiap 

kali hendak melancarkan serangan. 

Hentakan kaki itu bukan tanpa maksud. 

Karena dengan melakukan demikian, dia 

telah mengambil tenaga dari bumi. Dan 

inilah yang menyebabkan ilmu 'Tinju 

Penggetar Bumi' milik Gendruwo Pulau 

Setan ditakuti tokoh-tokoh persilatan 

sekarang ini.

"Hiaaat...!"

Diiringi bentakan menggelegar 

yang menggetarkan jantung, pemilik 

Pulau Setan itu melompat menerjang. 

Tangan kanannya meluncur cepat ke arah 

dada Melati.

Hebatnya, deru angin dahsyat 

menyambar sebelum serangan itu tiba. 

Begitu kerasnya, sehingga membuat 

tubuh Melati hampir terlempar jauh. 

Untung saja, gadis itu cepat 

mengerahkan tenaga dalam pada kedua 

kakinya. Sehingga, sepasang kakinya 

bagaikan telah terhunjam ke dalam 

bumi.


Melati terkejut bukan main 

melihat kedahsyatan serangan lawannya. 

Sulit dibayangkan, sampai di mana 

kekuatan tenaga dalam yang dimiliki 

laki-laki bertubuh tinggi besar ini. 

Padahal, serangan yang dilancarkan 

kekasihnya pun tidak akan menimbulkan 

kekuatan dahsyat seperti ini, 

sekalipun mengerahkan seluruh tenaga 

dalam.

Melati tidak berani bersikap 

ceroboh. Dari deru angin yang timbul, 

kedahsyatan serangan itu bisa di-

perkirakan. Maka pukulan itu tidak 

berani ditangkisnya. Gadis berpakaian 

putih ini melesat ke samping, 

melakukan lompatan harimau. Kemudian 

tubuhnya bergulingan menjauh. Melati 

tidak berani mengelakkan serangan yang 

begitu dahsyat tanpa menggeser kaki. 

Gendruwo Pulau Setan menggeram keras 

begitu melihat serangannya berhasil 

dielakkan lawan. Cepat-cepat dia 

bergerak mengejar, memburu Melati. 

Tapi, gadis berpakaian putih itu lebih 

cepat lagi. Tubuhnya melompat ke atas, 

melewati kepala laki-laki tinggi besar 

berbulu lebat itu. Dan ketika berada 

di atas, kedua cakarnya mengancam 

kepala belakang Gendruwo Pulau Setan.

Tokoh sesat yang menggiriskan itu 

terkejut bukan main. Kini baru 

disadari kalau gadis berpakaian putih 

itu memiliki ilmu meringankan tubuh


yang berada di atasnya. Maka tanpa 

membuang-buang waktu lagi, tubuhnya 

segera ditekuk ke depan sehingga 

serangan cakar Melati lewat beberapa 

jengkal di atas kepalanya. Pada saat 

yang sama, kaki kanannya menendang ke 

atas melalui belakang. Persis seekor 

kalajengking yang hendak menyengat 

lawan dengan ekornya.

Tidak ada jalan lain bagi Melati. 

Dalam keadaan berada di udara, 

merupakan suatu hal yang tidak mungkin 

untuk mengelakkan serangan. Satu-

satunya jalan untuk meredam serangan 

itu adalah menangkisnya. Maka, gadis 

berpakaian putih ini segera 

menghentakkan kedua tangannya.

Plakkk...!

Suara berderak keras seperti 

beradunya dua batang logam, seketika 

terdengar. Tubuh Melati terlempar ke 

atas. Mulut gadis ini menyeringai 

menahan rasa sakit yang mendera. 

Dadanya terasa sesak. Apalagi kedua 

tangannya yang terasa bagaikan lumpuh!

Meskipun demikian, dengan manis 

dan indah sekali tubuhnya bersalto 

beberapa kali di udara. Kemudian 

kakinya mendarat ringan di tanah, 

sekitar lima tombak dari lawannya. Ada 

perasaan heran yang menyelimuti hati 

Melati. Mengapa serangan laki-laki 

tinggi besar berbulu hitam ini tidak 

sedahsyat sebelumnya?


Akan tetapi, Melati tidak bisa 

berlama-lama tenggelam dalam 

keheranannya. Gendruwo Pulau Setan 

sama sekali tidak memberi kesempatan, 

dan kembali menerjangnya.

Melati sadar kalau tenaga dalam 

Gendruwo Pulau Setan jauh lebih kuat 

darinya. Jadi, mustahil kalau dia 

berani sembarangan menangkis. Gadis 

berpakaian putih ini tidak mau memberi 

kesempatan pada laki-laki tinggi besar 

itu untuk menekannya dengan kelebihan 

tenaga dalamnya.

Sebaliknya dengan menggunakan 

kelebihan dalam hal ilmu meringankan 

tubuh, gadis berpakaian putih ini 

mengelakkan setiap serangan lawan. 

Sesaat kemudian, pertarungan sengit 

pun kembali terjadi.

Suara angin menderu dan mencicit 

nyaring, menyemaraki pertarungan 

antara kedua tokoh berbeda aliran itu. 

Bumi bergetar hebat setiap kali 

Gendruwo Pulau Setan menghentakkan 

kaki saat hendak melancarkan serangan.

Pertarungan yang terjadi 

berlangsung kurang menarik. Melati 

sedapat mungkin menghindari terjadinya 

adu tenaga dalam dengan lawannya. 

Setiap serangan Gendruwo Pulau Setan 

selalu dielakkannya. Sementara setiap 

serangannya sendiri selalu ditarik 

kembali, bila lawan terlihat akan 

menangkisnya.


Suatu keuntungan bagi Melati, 

ilmu meringankan tubuhnya berada di 

atas lawan. Sehingga, dia tidak 

mengalami kesulitan mengelakkan setiap 

serangan. Dan karena selalu mengelak, 

akibatnya gadis berpakaian putih ini 

terlihat seperti berada dalam keadaan 

terdesak.

Tiga puluh jurus telah berlalu. 

Dan selama itu, Melati selalu 

menghindari terjadinya benturan. Tapi 

meskipun begitu, ada satu kesimpulan 

yang berhasil didapat. Kekuatan tenaga 

lawan bisa berlipat ganda, karena 

setiap kali sebelum menyerang kakinya 

dihentakkan terlebih dahulu ke tanah.

Itulah sebabnya, setiap kali 

Gendruwo Pulau Setan menghentakkan 

kakinya, Melati selalu menghindar 

sejauh mungkin. Kekuatan yang 

terkandung dalam serangannya terlampau 

dahsyat. Jangankan terkena langsung, 

angin serangannya saja sudah membuat 

tubuhnya hampir terlempar.

Gendruwo Pulau Setan mengger-

takkan gigi. Hatinya geram bukan main 

melihat kegesitan lawannya. Tapi, apa 

daya? Ilmu meringankan tubuhnya memang 

berada di bawah Melati. Tambahan lagi, 

ilmu 'Tinju Penggetar Bumi' memang 

tidak mengandalkan kecepatan gerak. 

Jurus-jurus ilmu itu dilakukan dengan 

tenaga penuh, tapi gerakannya agak 

lambat



Seratus jurus pun terlewat Dan 

kini pakaian Melati telah basah oleh 

peluh yang membanjiri sekujur 

tubuhnya. Gadis berpakaian putih ini 

telah merasa lelah. Pengerahan ilmu 

meringankan tubuh yang selalu 

dilakukan dengan seluruh kemampuanlah 

yang menjadi penyebabnya.

Napas gadis itu mulai memburu. 

Gerakan-gerakannya juga sudah tidak 

segesit semula. Sementara serangan-

serangan lawan terlihat masih 

sedahsyat pertama kali. Tidak ada 

tanda-tanda kalau Gendruwo Pulau Setan 

merasa lelah. Padahal sejak awal 

jurus, serangannya selalu dilancarkan 

dengan kekuatan penuh.

Diam-diam Melati mengeluh dalam 

hati. Perasaan heran dan takjub pun 

merayapi hatinya. Laki-laki tinggi 

besar berbulu lebat ini seperti 

memiliki sumber tenaga yang tidak 

habis-habisnya.

Seiring rasa lelah yang melanda, 

gerakan Melati semakin lama semakin 

lambat. Bahkan beberapa kali, 

serangan-serangan yang dilancarkan 

Gendruwo Pulau Setan hampir bersarang 

di tubuhnya. Hanya di saat-saat 

terakhir, gadis ini mampu mengelakkan 

diri. 

Derrr!

Kembali Gendruwo Pulau Setan 

menjejakkan kakinya. Sekejap kemudian,


serangannya meluncur. Deru angin 

dahsyat membuat batu-batu kecil 

beterbangan ke sana kemari. Debu pun 

mengepul tinggi ke udara.

Melati terkejut bukan main. 

Apalagi tubuhnya amat lelah. Tenaganya 

hampir habis terkuras. Meskipun 

begitu, Melati berusaha sekuat tenaga 

menyelamatkan selembar nyawanya. 

Bibirnya digigit kuat-kuat, kemudian 

melompat ke samping.

Usaha terakhir Melati tidak sia-

sia. Serangan lawan berhasil 

dielakkan, dan hanya mengenai tempat 

kosong. Tapi karena kuatnya angin yang 

mengiringi tibanya serangan itu, tak 

urung tubuhnya yang tengah berada di 

udara terpelanting.

Di saat itulah, Gendruwo Pulau 

Setan memburu tubuh yang tengah 

terhuyung-huyung itu. Tanpa 

menghentakkan kakinya lagi, dia 

bergerak mengejar. Kedua tangannya 

yang terkepal siap dipukulkan ke arah 

dada lawannya.

Wajah Melati seketika memucat. 

Disadari kalau serangan itu tidak akan 

mungkin bisa dielakkan. Menangkis pun 

sama dengan mencari mati. Mendapat 

serangan yang begitu mendadak, apalagi 

keadaannya yang demikian, membuat 

Melati tidak mungkin untuk mengerahkan 

tenaga dalam penuh. Sedangkan serangan 

lawan juga mengandung tenaga dalam


sepenuhnya yang memang berada di atas 

Melati. Maka akibat yang diterimanya 

sangat besar.

Di saat yang gawat itu, melesat 

sesosok bayangan ungu memotong tibanya 

serangan ke arah Melati. Dem angin 

keras mengiringi sampokan bayangan 

itu.

Karuan saja hal ini membuat 

Gendruwo Pulau Setan terkejut bukan 

kepalang. Dia sadar kalau gerakannya 

diteruskan, serangan sosok bayangan 

ungu itu akan lebih dulu menghantamnya 

sebelum serangannya mengenai tubuh 

lawan. Terpaksa serangannya dibatal-

kan, kemudian dipapaknya serangan 

sosok bayangan ungu itu. 

Plakkk...!

Baik sosok bayangan ungu maupun 

tubuh Gendruwo Pulau Setan sama-sama 

terpental balik ke belakang. Tapi 

dengan indah dan manis sekali, 

keduanya bersalto beberapa kali di 

udara, kemudian mendarat ringan di 

tanah.

Baik Gendruwo Pulau Setan maupun 

sosok bayangan ungu itu sama-sama 

terkejut bukan main tatkala merasakan 

betapa kuatnya tenaga dalam yang 

terkandung dalam serangan satu sama 

lain. Tangan yang berbenturan terasa 

bergetar hebat. Sesaat keduanya saling 

tatap penuh selidik.

"Siapa kau?!"


Ada nada keterkejutan yang sangat 

dalam pertanyaan yang keras mengguntur 

dari mulut Gendruwo Pulau Setan. Dan 

memang, sebenarnya dia terkejut sekali 

ketika melihat orang yang telah 

menjegal serangannya.

Sosok bayangan ungu itu ternyata 

seorang pemuda berusia sekitar dua 

puluh satu tahun dan berpakaian ungu. 

Tapi bukan hal itu yang menimbulkan 

keterkejutan di hati laki-laki tinggi 

besar berbulu lebat ini. Rambut pemuda 

itulah yang kini jadi perhatiannya.

Rambut itu putih, panjang dan 

meriap. Persis se-perti benang-benang 

perak. Kalau saja orang melihat dari 

belakang, mungkin menduga kalau dia 

telah berusia lanjut. Pemuda berambut 

putih seperti benang-benang perak ini 

memang amat langka. Dia memang pernah 

mendengar kalau ada seorang pemuda 

yang mempunyai rambut seperti ini. Dan 

pemuda itu adalah seorang tokoh yang 

julukannya menggetarkan dunia 

persilatan.

Sepasang bola mata Gendruwo Pulau 

Setan yang tajam dan bersinar 

kehijauan segera beralih ke pakaian 

yang dikenakan pemuda berambut putih 

keperakan itu. Dan kini keyakinannya 

semakin menebal. Jelas, pemuda di 

hadapannya ini adalah tokoh yang 

menggemparkan itu. Apalagi jika 

mengingat benturan tadi. Tenaga dalam


yang dimiliki pemuda itu tidak kalah 

dengan tenaganya sendiri!

"Siapa kau?!" bentak Gendruwo 

Pulau Setan lagi. Untuk pertama 

kalinya dia bersikap waspada, tidak 

menganggap remeh lawan.

"Namaku Arya Buana," sahut pemuda 

berambut putih keperakan itu kalem.

"Hmh...!" Gendruwo Pulau Setan 

mendengus. "Jadi, kau rupanya Dewa 

Arak yang telah menggemparkan dunia 

persilatan itu...?"

Merah wajah pemuda berpakaian 

ungu yang memang Dewa Arak. Terasa ada 

kesinisan besar dalam suara laki-laki 

tinggi besar di hadapannya.

"Begitulah orang-orang 

menjulukiku. Aku sendiri lebih suka 

jika dipanggil Arya saja," sahut Dewa 

Arak merendah.

"Tidak usah berpura-pura meren-

dah, Dewa Arak!" tandas Gendruwo Pulau 

Setan. Keras dan kasar nada suaranya. 

"Aku telah banyak mendengar tentang 

dirimu, yang merasa paling sakti di 

dunia ini. Sehingga, selalu saja 

mencampuri urusan orang lain dengan 

mengajukan alasan-alasan yang tidak 

masuk akal! Dan kini, aku 

membuktikannya sendiri!"

"Kau salah mengerti, Kek," merah 

selebar wajah pemuda berambut putih 

keperakan itu. "Bukannya aku usilan 

dan sok merasa sakti. Tapi, haruskah


kubiarkan saja kekejaman berlangsung 

di depan mataku? Membiarkan orang yang 

tidak berdaya dibantai olehmu?!"

"Tidak usah membela diri, Dewa 

Arak! Kau beralasan menyelamatkan 

orang yang hendak dibantai! Sementara 

kau sendiri? Apa yang kau lakukan?! 

Jangan merasa sok suci, Dewa Arak!"

"Terserahlah apa maumu, Kek," 

Arya hanya ter-enyum getir. Kepalanya 

terasa pusing mengadu mulut dengan 

Gendruwo Pulau Setan. "Hanya kuminta, 

lepaskan gadis itu!"

"Kalau aku tidak mau?!" sahut 

Gendruwo Pulau Setan bernada 

menantang.

"Terpaksa akan kugunakan caraku 

sendiri!" tandas Arya tegas.

"Ha ha ha...! Boleh coba kalau 

mampu, Dewa Usilan!" Gembira hati 

laki-laki tinggi besar berbulu lebat 

ini, melihat kemarahan Dewa Arak. 

Terus terang, memang ada sedikit 

keraguan di hatinya, akan mampukah dia 

menghadapi Dewa Arak yang terkenal 

tangguh ini?

***

Arya tahu kalau lawan di 

hadapannya ini memiliki kepandaian 

tinggi. Dari benturan tadi, sudah bisa 

diukur kekuatan tenaga dalam lawan. 

Buktinya, tangannya sampai tergetar


hebat. Padahal, seluruh tenaga 

dalamnya tadi sudah dikerahkan.

Bukti lain yang lebih jelas lagi 

adalah kekalahan Melati. Kepandaian 

kekasihnya itu sudah diketahui betul. 

Jarang ada yang mampu menandinginya. 

Apalagi sampai mengalahkan. Kepandaian 

Melati tidak berselisih jauh dengan 

kepandaiannya. Maka, melihat betapa 

gadis berpakaian putih itu begitu 

kewalahan menghadapi Gendruwo Pulau 

Setan, makin jelaslah buktinya.

"Haaat..!"

Sambil mengeluarkan teriakan 

mengguntur, Gendruwo Pulau Setan 

menyerang Dewa Arak. Dia melancarkan 

tendangan lompat bertubi-tubi ke arah 

ulu hati, dada, dan leher dengan badan 

sebelah kiri menghadap lawan. 

Arya tahu kalau lawan belum 

mengeluarkan ilmu andalannya. Maka, 

dia juga tidak ingin menggunakan ilmu 

yang telah membuat julukannya 

menggemparkan dunia persilatan. 

Digunakannya saja ilmu warisan 

ayahnya, 'Delapan Cara Menaklukkan 

Harimau'. Kakinya segera ditarik ke 

belakang, sambil mendoyongkan tubuh. 

Maka serangan bertubi-tubi itu 

mengenai tempat kosong, sekitar dua 

jengkal di depan sasaran.

Pada saat yang sama, tangan kanan 

Dewa Arak yang berbentuk cakar 

menyampok deras ke arah mata kaki



lawan. Gendruwo Pulau Setan tentu saja 

tidak ingin mata kakinya hancur. Maka 

kakinya buru-buru ditarik kembali. Dan 

begitu sampokan itu lewat, sambil 

melompat setindak, kakinya kembali 

menendang bertubi-tubi ke sasaran yang 

sama.

Arya tidak punya pilihan lain 

lagi. Buru-buru tubuhnya dilempar ke 

belakang. Dia bersalto sekali di 

udara, kemudian mendarat ringan di 

tanah.

Gendruwo Pulau Setan tidak mau 

memberi kesempatan pada lawannya. Maka 

tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa 

Arak segera dikejarnya. Sesaat 

kemudian terjadilah pertarungan sengit 

antara mereka.

Pertarungan antara kedua tokoh 

sakti ini berlangsung sengit. Apalagi 

kedua belah pihak benar-benar memiliki 

kepandaian seimbang. Baik tenaga dalam 

maupun kecepatan gerak mereka juga 

terlihat setingkat.

Hebat, akibat pertarungan antara 

kedua tokoh sakti ini. Batu-batu besar 

kecil beterbangan tak tentu arah. Deru 

dan cicit angin juga ikut menyemaraki.

Beberapa kali kedua belah pihak 

sama-sama terjajar mundur setiap kali 

kedua tangan mereka berbenturan.

Dalam waktu sekejap saja, tiga 

puluh jurus telah berlalu. Dan selama 

itu belum nampak ada tanda-tanda yang


akan terdesak. Karuan saja hal ini 

membuat kedua belah pihak sama-sama 

penasaran bukan main.

"Haaat..!"

Gendruwo Pulau Setan berteriak 

mengguntur. Dan seiring teriakan itu, 

tubuhnya melenting ke belakang. Dia 

bersalto beberapa kali di udara, 

kemudian mendarat beberapa tombak di 

tanah.

Dewa Arak tidak mengejarnya, dan 

hanya berdiri menanti. Dia tahu kalau 

lawan akan menggunakan ilmu andalan. 

Dijumputnya guci yang tersampir di 

punggung, kemudian dituang ke 

mulutnya.

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar ketika 

arak itu memasuki tenggorokan Dewa 

Arak. Seketika itu juga, ada hawa 

hangat yang berputar dalam perut Arya, 

dan perlahan merayap naik ke atas 

kepala.

Baru saja Arya menyampirkan 

kembali gucinya di punggung, serangan 

Gendruwo Pulau Setan telah menyambar 

tiba. Laki-laki tinggi besar berbulu 

lebat itu menghentakkan kakinya ke 

tanah sebelum menyerang.

Dewa Arak terperanjat. Hembusan 

angin yang luar biasa kerasnya 

mengiringi tibanya serangan itu. Dari 

bukti ini saja, Arya bisa 

memperkirakan betapa besar kekuatan


yang terkandung dalam serangan itu. 

Dan tenaga sedahsyat ini belum muncul 

pada serangan serangan sebelumnya.

Mungkinkah ilmu andalan itu mampu 

menambah tenaganya sampai sedahsyat 

ini? Mustahil! Arya tidak percaya! Dia 

tahu kalau ilmu andalan memang 

mempunyai banyak keunggulan dibanding 

ilmu yang bukan andalan. Meskipun 

begitu, tidak mungkin dapat menambah 

tenaga sampai sekuat ini.

Sesaat Dewa Arak kebingungan. 

Hatinya masih kurang percaya kalau 

tenaga dalam yang terkandung dalam 

serangan ini begitu dahsyat.

Dewa Arak adalah orang yang 

selalu bersikap hati-hati, dan tidak 

pernah memandang rendah lawannya. Oleh 

karena itu, meskipun tidak percaya 

kalau tenaga yang terkandung dalam 

serangan itu dahsyat bukan kepalang, 

tapi dia tidak berani coba-coba 

menangkisnya. Arya ingin tahu dulu, 

apakah benar serangan itu mengandung 

tenaga dalam yang demikian dahsyat.

Baru saja Dewa Arak memutuskan 

untuk mengelak, secara tak sengaja 

kepalanya menoleh ke belakang. 

Seketika itu juga hatinya terkejut. 

Karena di belakangnya tergolek seorang 

pemuda berbaju kuning.

Pemuda berambut putih keperakan 

ini jadi kebingungan. Kalau serangan 

itu dielakkan, sudah dapat dipastikan


pemuda berbaju kuning itu akan menjadi 

korban. Dewa Arak tidak ingin 

mengorbankan orang lain untuk 

kepentingan dirinya sendiri. Maka dia 

memutuskan untuk menangkis serangan 

itu.

"Hiyaaa...!"

Sambil mengeluarkan teriakan 

melengking nyaring, Dewa Arak memapak 

serangan yang menyambar tiba.

Dukkk...!

Suara keras seperti terjadi 

benturan antara dua benda besar 

terdengar. Hebat akibatnya. Tubuh Gen-

druwo Pulau Setan terpental balik ke 

belakang. Tapi dengan gerakan indah 

dan manis, tubuhnya bersalto beberapa 

kali di udara. Kemudian, kedua kakinya 

mendarat ringan di tanah.

Tidak demikian halnya dengan 

Arya. Tubuh pemuda itu melayang deras 

ke belakang. Cairan merah kental 

menetes deras dari mulut dan 

hidungnya, mengiringi tubuh yang terus 

melayang.

Luncuran itu baru berhenti ketika 

menabrak sebatang pohon. Menilik dari 

getaran keras pada batang pohon itu, 

dapat diperkirakan betapa kerasnya 

benturan tenaga dalam tadi.

Tubuh Dewa Arak merosot dan jatuh 

di tanah. Mulut pemuda itu nampak 

menyeringai begitu bokongnya 

menghantam tanah. Cairan merah kental


masih mengalir dari mulut dan 

hidungnya.

"Kang Arya...!"

Terdengar jerit penuh 

kekhawatiran. Disusul melesatnya 

sesosok bayangan putih ke arah Dewa 

Arak.

Dengan tertatih-tatih Dewa Arak 

bangkit berdiri. Diusapnya darah yang 

menetes dari hidung dan mulut dengan 

punggung tangan. Sekujur tangannya 

terasa lumpuh. Dadanya pun terasa 

sesak bukan main. Dicobanya menarik 

napas panjang. Kontan mulutnya 

meringis begitu ada rasa sakit yang 

mendera dadanya. Dewa Arak telah 

terluka dalam.

"Kang.... Kau..., kau tidak apa-

apa?" tanya Melati. Nada suara dan 

wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang 

amat sangat.

Dewa Arak menatap raut wajah 

cemas kekasihnya, seraya tersenyum. 

Perlahan kepalanya digelengkan.

''Tidak, Melati. Aku tidak apa-

apa," sahut Arya, berdusta.

''Tapi, Kang...," Melati masih 

mencoba membantah.

"Sudahlah, Melati. Pergilah! Biar 

aku yang akan menahannya."

"Ha ha ha...!" Gendruwo Pulau 

Setan tertawa bergelak



Sebagai seorang tokoh tingkat 

tinggi, dia tahu kalau Dewa Arak telah 

terluka dalam yang cukup parah.

"Bersiap-siaplah untuk menerima 

kematianmu, Dewa Arak...!" 

"Hih...!"

Mendadak Melati menghentakkan 

kedua tangannya ke arah Gendruwo Pulau 

Setan. Seketika itu juga, bertiup 

hembusan angin kencang yang menyambar 

ke arah laki-laki tinggi besar yang 

tengah tertawa-tawa penuh kemenangan 

itu. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang 

Mustika'.

Gendruwo Pulau Setan yang 

menyadari adanya serangan berbahaya, 

segera menghentikan tawanya. Buru-

bliru tubuhnya melompat ke samping dan 

langsung bergulingan menjauh.

Kesempatan yang hanya sekejap itu 

tidak disia-siakan Melati. Cepat 

laksana kilat disambarnya tubuh Dewa 

Arak, dan tidak lupa tubuh Palageni.

Melihat hal ini Dewa Rambut Merah 

yang sejak tadi hanya menonton saja, 

bergegas mengejar. Karena pada saat 

itu, Gendruwo Pulau Setan tengah 

mengelakkan diri dan serangan jurus 

'Naga Merah Membuang Mustika'. Namun, 

tentu saja hal ini membuat Dewa Arak 

khawatir. Sekali lihat saja, dia tahu 

kalau kakek berambut merah itu 

memiliki kepandaian tinggi. Gerakannya 

cepat bukan main. Mungkin kalau dalam


keadaan biasa, Melati dapat mengung-

guli ilmu meringankan tubuh kakek itu. 

Tapi, sekarang Melati tengah membawa 

dua orang. Jelas gadis itu pasti akan 

tersusul oleh Dewa Rambut Merah. Dan 

menilik dari gerak-gerik Dewa Rambut 

Merah, Melati akan mengalami sedikit 

kesulitan untuk merobohkannya. Dan itu 

berarti memberi kesempatan pada 

Gendruwo Pulau Setan untuk menyusul. 

Maka bila hal itu terjadi, celakalah 

mereka.

Tanpa mempedulikan keadaan 

dirinya yang telah terluka dalam, Dewa 

Arak segera menghentakkan kedua tangan 

ke arah Dewa Rambut Merah.

Wusss...!

Angin keras berhawa panas 

menyengat, menyambar ke arah Dewa 

Rambut Merah. Karuan saja hal ini 

membuat kakek itu terkejut bukan main. 

Sebagai seorang tokoh kondang, dia 

mengenal serangan maut. Maka segera 

pengejarannya dibatalkan, dan langsung 

melempar tubuh ke samping dan 

bergulingan di tanah. Sehingga, 

serangan Dewa Arak mengenai tempat 

kosong.

"Uhk... uhk...!"

Arya terbatuk-batuk. Ada cairan 

merah kental memercik keluar dari 

mulutnya. Luka dalamnya pun semakin 

parah. Seharusnya dalam keadaan 

terluka dalam seperti itu, Arya tidak


boleh terlibat pertarungan kembali 

yang memaksanya menggunakan tenaga da-

lam. Karena, hal itu akan membuat luka 

dalamnya semakin parah. Apalagi, bila 

sampai mengerahkan tenaga dalam yang 

berlebihan seperti pada jurus 'Pukulan 

Belalang' itu.

Sebagai seorang yang telah 

memiliki kepandaian tinggi, Dewa Arak 

pun tahu hal itu Tapi, itu terpaksa 

dilakukan. Kalau tidak, keadaan yang 

lebih buruk akan menimpa mereka.

Sekarang Melati dapat bebas mene-

ruskan larinya. Dan begitu Gendruwo 

Pulau Setan dan Dewa Rambut Merah 

bangkit dari bergulingnya, tubuh gadis 

berpakaian putih itu telah lenyap 

ditelan lebatnya padang ilalang. Hal 

itu memang disengaja oleh Melati. 

Karena kalau menempuh jalan terbuka, 

lawan akan terus mengejarnya. Malah 

ada kemungkinan akan bisa menyusul 

karena dia membawa-bawa beban. Itulah 

sebabnya, Melati memilih melalui 

hamparan padang ilalang luas. Dalam 

suasana yang sudah agak gelap ini, 

kerimbunan ilalang ini cukup 

melindunginya.

"Keparat..!" Gendruwo Pulau Setan 

memaki kalang kabut. Perasaan pena-

saran tampak jelas, baik pada wajah 

maupun sorot matanya.

"Sudahlah...," hibur Dewa Rambut 

Merah seraya menepuk bahu laki-laki


tinggi besar berbulu lebat itu. "Masih 

ada kesempatan lain untuk membereskan 

mereka."

Rupanya hiburan kakek berambut 

merah itu dapat diterima Gendruwo 

Pulau Setan. Terbukti, dia tidak 

marah-marah lagi. Hanya saja kedua 

tangannya tetap mengepal keras, 

memperdengarkan suara bergemeretak 

nyaring. Kemudian perlahan-lahan 

mereka meninggalkan tempat itu. 

Meneruskan pencarian di hamparan 

padang ilalang tinggi yang luas 

membentang dalam suasana yang semakin 

gelap, adalah sebuah pekerjaan sia-

sia.

6

Melati sadar keadaan sangat 

membahayakan. Tanpa ragu-ragu seluruh 

ilmu meringankan tubuh yang 

dimilikinya segera dikerahkan, untuk 

melintasi jalan kecil di antara 

kerimbunan ilalang yang tinggi.

Tinggi dan lebatnya kerimbunan 

ilalang itu sebenarnya sudah cukup 

untuk menyembunyikan mereka dari 

pandangan para pengejarnya. Apalagi 

ditambah suasana malam yang cukup 

gelap. Meskipun begitu, gadis 

berpakaian putih ini tetap saja 

berlari sambil membungkukkan tubuhnya.



"Cukup, Melati," ujar Arya, 

setelah mengetahui kalau mereka telah 

berada di tempat yang cukup jauh dari 

lawan-lawan yang tangguh tadi. Pelan 

dan lemah sekali suaranya. ''Turunkan 

aku."

Melati sama sekali tidak 

membantah. Larinya segera dihentikan, 

kemudian tubuh Arya dan Palageni 

diturunkan. Meskipun begitu, sekujur 

urat-urat syarafnya menegang penuh 

kewaspadaan.

''Tenanglah, Melati. Mereka tidak 

akan mungkin bisa menemukan kita," 

ujar Arya untuk menenangkan hati 

kekasihnya.

"Apa yang membuatmu begitu yakin, 

Kang?" tanya Melati ingin tahu.

"Padang ilalang ini sangat luas, 

Melati. Ilalangnya tinggi-tinggi. 

Belum lagi suasana malam yang cukup 

gelap. Aku yakin, mereka akan berpikir 

dua kali untuk mencari kita."

Melati mengangguk-anggukkan 

kepala. Alasan yang dikemukakan Arya 

bisa diterimanya. Seketika itu juga 

urat-urat syaraf di tubuhnya 

mengendur.

Setelah melihat Melati bisa 

ditenangkan, Arya lalu duduk bersila. 

Tanpa diberi tahu, gadis berpakaian 

putih ini mengerti kalau Arya hendak 

mengobati luka dalamnya. Maka 

dibiarkannya saja Dewa Arak yang kini


bersikap semadi. Melati tahu, tanpa 

bantuannya pun Arya mampu mengobati 

luka dalamnya sendiri. Maka Melati 

memutuskan untuk berjaga-jaga. Siapa 

tahu ada bahaya yang datang mengancam.

Pandangan Melati beredar ke 

sekeliling, mengawasi dengan mata 

curiga. Seluruh urat-urat syaraf di 

tubuhnya menegang setiap kali melihat 

ilalang yang bergoyang-goyang.

Sementara Arya sudah tenggelam 

dalam semadinya. Suara helaan napasnya 

terdengar halus, berirama tetap. Dewa 

Arak tengah berusaha mengobati luka 

dalamnya yang cukup parah.

"Uuuh...!"

Melati menoleh, melihat Palageni 

mulai sadar dari pingsannya. Sepasang 

mata pemuda berbaju kuning itu 

mengerjap-ngerjap pelan sebelum 

akhirnya terbuka.

Sesaat Palageni memperhatikan 

keadaan sekelilingnya dengan raut 

wajah bingung. Kemudian pandangannya 

tertumbuk pada Melati. Beberapa saat 

lamanya dahi pemuda itu berkernyit 

dalam, berusaha mengingat-ingat 

kejadian yang dialami tadi.

Sekejap kemudian, murid Dewa 

Angin Puyuh ini sudah teringat akan 

semua kejadian yang dialaminya. 

Perlahan tubuhnya bangkit berdiri.

"Terima kasih atas pertolonganmu, 

Nisanak," ucap Palageni. Sepasang


matanya menatap wajah Melati penuh 

kagum. Wajah gadis berpakaian putih 

itu memang cantik bukan main. "Aku 

Palageni. Kalau boleh kutahu, siapakah 

namamu, Nisanak? Dan mengapa kau 

menolongku?"

"Aku melati," jawab gadis 

berpakaian putih, tawar. "Aku hanya 

kebetulan lewat, lalu melihat kau 

bertarung. Dan kulihat, lawan-lawanmu 

adalah orang-orang yang curang. Aku 

paling benci melihat kecurangan. Maka 

itu aku segera turun tangan 

menolongmu."

Palageni menganggukkan kepalanya.

"Lalu, siapakah orang itu, 

Nisanak? Sepertinya dia teriuka...," 

pemuda berbaju kuning itu menudingkan 

telunjuknya pada Arya yang tengah 

bersemadi.

"Dia kawanku. Julukannya Dewa 

Arak. Kalau dia tidak datang menolong, 

mungkin kita berdua sudah tewas."

"Dewa Arak?!" terbelalak sepasang 

mata Palageni. "Maksudmu..., tokoh 

yang julukannya menggemparkan dunia 

persilatan itu...?"

Melati menganggukkan kepalanya.

"Ahhh...! Sungguh tidak kusangka 

kalau bisa bertemu tokoh digdaya 

seperti dia," Palageni seperti tak 

percaya. "Dan orangnya masih begini 

muda...."


Melati hanya tersenyum hambar. 

Dia memang tengah tidak berminat untuk 

berbicara panjang lebar. Dan rupanya, 

Palageni tahu gelagat. Terbukti, 

pembicaraannya tidak disambung lagi. 

Meskipun pemuda itu ingin sekali 

berbincang-bincang lagi. Banyak yang 

ingin ditanyakannya, di samping memang 

ingin sekali bercakap-cakap dengan 

Melati. Rasanya tak jemu memandang 

wajah gadis itu, tapi terpaksa 

sepasang matanya dialihkan ke arah 

lain. Dan hanya sesekali dia 

mengerling wajah gadis itu.

Melati dan Palageni tenggelam 

dalam lamunan masing-masing. Terutama 

sekali Palageni. Dalam benaknya, 

berkecamuk berbagai macam pikiran yang 

memusingkan kepala. Benarkah orang 

yang dilihatnya bersama Gendruwo Pulau 

Setan itu adalah Dewa Rambut Merah? 

Mengapa kakek itu seperti tidak 

mengenali dirinya? Padahal, dirinya 

adalah murid Dewa Angin Puyuh yang 

juga kawan Dewa Rambut Merah? Benarkah 

pula kakek berambut merah itu yang 

telah membunuh ayah dan pengawal-

pengawalnya? Lalu, apa hubungannya 

Dewa Arak dengan Melati? Tapi, sampai 

pusing memikirkan tak juga ditemukan 

jawaban semua pertanyaan itu!

Tak lama kemudian Dewa Arak pun 

mengakhiri semadinya. Sepasang matanya


telah terbuka, dan Melati langsung 

menghampirinya.

"Bagaimana luka-lukamu, Kang?" 

tanya gadis berpakaian putih itu 

pelan.

"Sudah mendingan, Melati," Arya 

tersenyum lebar. "Dengan sekali lagi

bersemadi, mungkin lukaku akan sembuh 

sama sekali."

"Syukurlah...," sahut Melati 

dengan suara riang.

"O, ya. Bagaimana kabar ibu dan 

saudaramu, Melati? Dan bagaimana kau 

bisa terlibat keributan dengan orang 

tadi?"

"Mereka baik-baik saja, Kang," 

sahut gadis berpakaian putih itu. "Aku 

tinggal bersama mereka selama dua 

pekan. Biarpun hanya sekadarnya, 

kuwariskan sedikit ilmu yang kumiliki 

pada Mawar. Yahhh..., setidak-tidaknya 

untuk jaga diri."

Melati menghentikan ceritanya 

sejenak untuk mengambil napas dan

mencari kata-kata selanjutnya.

"Setelah itu, aku lalu mencari 

jejakmu. Dari berita yang kudapat, kau 

berada di daerah ini. Sama sekali 

tidak kusangka akan bertemu lawan yang 

begitu tangguh."

Kemudian Melati pun menceritakan 

semua kejadian yang dialaminya tadi. 

Sementara Arya mendengarkan penuh


perhatian. Sama sekali tidak diselak 

cerita tunangannya.

"Aku sendiri tidak tahu, siapa 

orang itu, Kang," desah Melati menutup 

ceritanya.

"Kalau saja tidak mendengar 

lengkingan yang keluar dari mulutmu, 

mungkin aku tidak pernah tahu kalau 

kau tengah terlibat pertarungan. 

Bukankah lengkingan itu adalah jurus 

'Raungan Naga Merah', Melati?"

Melati menganggukkan kepala 

sambil tersenyum manis. Sedangkan Arya 

balas tersenyum, kemudian menoleh ke 

arah Palageni.

"Siapakah kau, Kisanak. Dan 

mengapa terlibat keributan dengan 

orang-orang itu?"

"Aku Palageni. Guruku berjuluk 

Dewa Angin Puyuh. Aku sendiri tidak 

tahu apa-apa. Tapi, aku tahu siapa 

kedua orang itu. Laki-laki tinggi 

besar itu berjuluk Gendruwo Pulau 

Setan. Sedangkan kakek yang berambut 

merah berjuluk Dewa Rambut Merah."

Seketika Arya terdiam. Hatinya 

terkejut bukan kepalang. Dari cerita 

yang didengar, pemuda berambut putih 

keperakan ini tahu, siapa Gendruwo 

Pulau Setan itu. Dia seorang tokoh 

sesat yang memiliki kepandaian tak 

terukur dan memiliki kekejaman yang 

mendirikan bulu roma.


"Tahukah kau, mengapa mereka 

ingin membunuhmu?" tanya Melati ketika 

Arya tampak termenung.

Sepasang mata gadis ini menatap 

tajam wajah pemuda berpakaian kuning. 

Raut wajah, nada suara, dan tatapan 

Melati menyiratkan keingintahuan.

Palageni kemudian menceritakan 

kejadian yang menimpa rombongan 

ayahnya. Melati dan Arya mendengarkan 

penuh perhatian.

"Hanya saja menurut seorang 

pengawal ayahku yang selamat, 

pelakunya adalah Dewa Rambut Merah," 

murid Dewa Angin Puyuh itu mengakhiri 

cerita yang didengarnya dari mulut 

Ganda, prajurit yang tersisa. Juga 

diceritakan kalau Palageni juga telah 

berkunjung ke rumah Dewa Rambut Merah.

"Ada keanehan yang tersembunyi di 

sini," pelan pemuda berambut putih 

keperakan itu berkata. Dahinya nampak 

berkernyit dalam. Jelas ada sesuatu 

yang tengah dipikirkannya.

"Maksudmu, Kang?" tanya Melati 

ingin tahu. Palageni pun ikut menoleh. 

Dia ingin tahu, keanehan yang 

dimaksudkan Dewa Arak.

"Kalau tidak salah dengar, gurumu 

yang berjuluk Dewa Angin Puyuh dan 

Dewa Rambut Merah adalah dua di antara 

pentolan golongan putih. Benar begitu, 

Palageni?" Arya menatap wajah pemuda 

berbaju kuning itu lekat-lekat.


"Benar. Guruku sendiri yang 

mengatakannya," sahut Palageni cepat. 

"Bersama-sama dengan Dewa Obat Tangan 

Delapan, mereka mendapat julukan Tiga 

Dewa Sungai Naga."

"Itulah yang membuatku heran, 

Palageni."

"Maksudmu bagaimana, Dewa Arak?"

Arya tidak langsung menjawab 

pertanyaan itu, tapi sebaliknya 

menatap wajah Palageni, tepat pada 

kedua bola matanya.

"Sekarang aku bertanya padamu, 

Palageni," ucap Dewa Arak beberapa 

saat kemudian.

"Tanyalah, Dewa Arak. Bila aku 

tahu, pasti akan kujawab," sahut 

Palageni. Tegas dan mantap nada 

suaranya.

Arya tersenyum lebar.

"Menurutmu, mungkinkah orang 

seperti Dewa Rambut Merah melakukan 

perbuatan begitu keji? Mungkinkah 

seorang pentolan tokoh golongan putih 

membantai begitu banyaknya orang?"

"Aku... aku..., nggg... aku tidak 

tahu, Dewa Arak. Aku bingung," jawab 

Palageni gugup. Pertanyaan yang 

diajukan Arya memang di luar 

dugaannya.

"Katakan saja, Palageni. Apa yang 

ada dalam hatimu, keluarkan." Dengan 

suara halus dan lembut, Arya memberi 

saran.


"Entahlah, Dewa Arak. Aku 

bingung. Masalahnya, guruku yakin 

sekali kalau pelaku semua itu bukan 

Dewa Rambut Merah. Tapi orang lain. 

Jadi, aku berpendapat juga demikian. 

Atau paling tidak, itu adalah Dewa 

Rambut Merah palsu."

"Namun, pengawal ayahmu berani 

bersumpah kalau pelaku semua kejadian 

itu adalah Dewa Rambut Merah, bukan?" 

selak Arya.

Palageni mengangguk membenarkan.

"Cakar Pengejar Sukma juga 

mengenal Dewa Rambut Merah, tapi hanya 

mendengar saja."

"Itu betul. Tapi bukankah menurut 

cerita yang kudengar darimu, begitu 

gurumu meminta Ganda menyebutkan ciri-

ciri pelaku pembantaian, semuanya 

menunjuk pada diri Dewa Rambut 

Merah?!" desak Dewa Arak.

Palageni menutup wajahnya dengan 

kedua telapak tangan.

"Entahlah, Dewa Arak. Aku tidak 

tahu. Aku bingung memikirkannya. 

Dengan mataku sendiri, telah kulihat 

kalau Dewa Rambut Merah ternyata 

mempunyai hubungan yang amat baik 

dengan Gendruwo Pulau Setan. Aku 

benar-benar pusing, Dewa Arak."

"Hhh...!" Arya menghela napas 

panjang sebelum menjawab pertanyaan 

itu. "Masalah ini memang cukup 

memusingkan, Palageni. Kalau menurut


akal sehat, rasanya tidak mungkin 

kalau pelaku pembantaian itu adalah 

Dewa Rambut Merah. Mengapa? Karena dia 

seorang tokoh besar persilatan 

golongan putih. Tak mungkin dia akan 

berubah sekejam itu. Tapi, entah juga 

bila ada sebab-sebab yang memaksanya 

bertindak begitu."

"Jadi menurutmu bagaimana, Dewa 

Arak?" tanya Palageni ingin tahu 

tanggapan Arya.

"Aku tidak mau mengambil 

keputusan tergesa-gesa, Palageni," 

Arya menggelengkan kepala. "Aku akan 

menyelidikinya nanti."

Suasana hening sejenak ketika 

Arya menghentikan ucapannya. Kini 

ketiga orang muda itu terlibat dalam 

lamunan masing-masing.

"Aku merasa heran dengan Gendruwo 

Pulau Setan itu, Kang," kata Melati 

tiba-tiba, membuat Arya terpaksa 

menghentikan lamunannya.

"Apa yang membuatmu heran, 

Melati?" pelan Dewa Arak bertanya.

''Tenaga dalamnya."

Arya mengernyitkan keningnya.

"Jadi, kau juga merasakan adanya 

keanehan itu, Melati? Kukira hanya aku 

saja. Aku sendiri sejak tadi tak habis 

pikir, mengapa kekuatan tenaga 

dalamnya jadi berlipat ganda saat 

menggunakan jurus andalan."


"Maksudmu, sewaktu dia 

mengeluarkan ilmu pukulan yang 

digerakkan secara lambat itu, Kang?"

"Benar," Dewa Arak menganggukkan 

kepala.

"Kau kurang jeli menduga, Kang," 

ralat Melati.

"Maksudmu?" Arya menatap 

tunangannya tepat pada bola matanya.

Melati tidak langsung menjawab. 

Sepasang mata gadis itu malah balas 

menatap Arya. Sesaat lamanya mereka 

berdua hanya saling tatap. Dan tak 

lama kemudian saling tersenyum. Entah 

apa yang disenyumkan. Hanya kedua 

orang itu saja yang tahu.

"Dugaanmu tidak seluruhnya benar, 

Kang," sambung Melati lagl. "Memang 

benar tenaga dalam Gendruwo Pulau 

Setan berlipat ganda sewaktu meng-

gunakan ilmu pukulan yang digerakkan 

secara lambat itu. Tapi, tidak 

seluruhnya serangan yang dilakukan 

dengan ilmu itu mengandung tenaga 

dalam berlipat ganda."

"Jadi..., maksudmu tenaga dalam 

berlipat ganda itu muncul sekali-

sekali saja?" Arya meminta kete-gasan.

"Begitulah menurut yang kualami, 

Kang. Aku cukup lama bertarung ketika 

ilmu itu digunakan."

"Teruskan, Melati," pinta Arya. 

"Aku sendiri sulit mengambil kesim-

pulan, karena hanya bertarung sege


brakan saja ketika ilmu itu 

digunakan."

“Tenaga dalamnya bedipat ganda 

jika kakinya dihentakkan ke tanah, 

sebelum memulai penyerangan, Kang," 

jelas Melati.

Arya mengernyitkan dahinya. 

Memang diakui, apa yang dikatakan 

Melati itu benar. Gendruwo Pulau Setan 

sebelum menyerangnya, tedebih dahulu 

menghentakkan kakinya ke tanah.

"Jadi, kalau tidak menghentakkan 

kaki ke tanah, tenaga dalamnya tidak 

sedahsyat itu?" tanya Arya setengah 

percaya.

"Begitulah menurut pengamatanku, 

Kang," jawab Melati tidak berani 

memastikan.

"Kalau benar apa yang kau katakan 

itu, Melati," kata Arya setelah 

termenung beberapa saat lamanya. 

"Dalam hentakan kaki itulah kunci 

rahasianya."

"Aku juga mengambil kesimpulan 

seperti itu, Kang," Melati mendukung 

dugaan kekasihnya.

Arya tercenung. Dahinya 

berkernyit dalam. Jelas ada sesuatu 

yang dipikirkannya.

"Menurut penuturan guruku, 

Gendruwo Pulau Setan mempunyai ilmu 

dahsyat Kalau aku tidak salah dengar 

bernama ilmu 'Tinju Penggetar Bumi'," 

Palageni tidak tahan berdiam diri


saja. Dan begitu melihat adanya 

kesempatan, dia segera ikut bicara.

"Tinju Penggetar Bumi...?" gumam 

Arya pelan mengulang.

Tak terasa Dewa Arak teringat 

kepada dirinya sendiri. Dia juga 

mempunyai tenaga dalam yang berhawa 

panas menyengat, bernama 'Tenaga Dalam 

Inti Matahari', yang didapatkan dengan 

perantaraan penekanan alam bawah sadar 

(Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak 

dalam episode perdana "Pedang 

Bintang").

Mungkinkah Gendruwo Pulau Setan 

juga mempunyai tenaga dalam aneh yang 

juga didapatkan lewat perantaraan alam 

bawah sadar dengan memusatkan pikiran 

terhadap satu tujuan? Sebenarnya hal 

ini tidak terlalu aneh jika mengingat 

tokoh yang menggiriskan itu memiliki 

ilmu 'Tinju Penggetar Bumi'.

Semakin Arya berpikir dan 

menimbang-nimbang, semakin diyakini 

akan kebenaran dugaannya. Kemungkinan 

besar, hentakan kaki iblis itu adalah 

satu cara mengambil kekuatan dari 

dalam bumi. Dan bila hal itu benar, 

berarti tokoh yang menggiriskan ini 

sulit dikalahkan. Gendruwo Pulau Setan 

tidak akan pernah merasa lelah. Setiap 

kali lelah, bisa mendapatkan bantuan 

tenaga tambahan dengan menjejakkan 

kaki ke tanah. Bantuan tenaga yang 

sukar diukur kedahsyatannya


Palageni dan Melati hanya bisa 

memperhatikan saja tanpa berani 

mengganggu Arya yang tengah tercenung 

dengan dahi berkerut dalam.

"Ada kesimpulan yang bisa kau 

tarik, Kang?" akhirnya kesabaran 

Melati lenyap. Tak tahan juga perasaan 

ingin tahunya disimpan lama-lama.

Arya menggelengkan kepalanya.

"Bukan kesimpulan, Melati. Tapi 

hanya satu dugaan," desah Arya.

"Apa itu, Kang?" tanya Melati tak 

peduli jawaban kekasihnya. Dia ingin 

tahu, apa yang dipikirkan pemuda 

berambut putih keperakan itu.

"Gendruwo Pulau Setan mengambil 

kekuatan dahsyat dari bumi melalui 

hentakan kakinya."

“Ah...!"

Hampir berbareng Palageni dan 

Melati berseru kaget.

"Jadi... Maksudmu, Kang...?" agak 

tersendat suara gadis berpakaian putih 

itu.

"Ya," Arya yang sudah tahu akan 

kelanjutan ucapan tunangannya 

menganggukkan kepala. "Dia mempunyai 

ilmu 'Tenaga Dalam Inti Bumi'."

Suasana kembali hening begitu 

Arya menghentikan ucapannya. Mereka 

semua tenggelam dalam lamunan masing-

masing.


"Dewa Arak...," Palageni memecah-

kan keheningan di antara mereka. Arya 

menoleh.

"Aku mohon diri dulu," ucap 

pemuda berpakabn kuning itu, seraya 

melempar pandang sekilas ke arah 

Melati. Gadis berpakaian putih itu 

tentu saja melihat, tapi berpura-pura 

tidak tahu.

"Mengapa, Palageni?" Arya menger-

nyitkan keningnya. Meskipun dia memang 

lebih suka berdua saja dengan Melati, 

tapi tidak ingin Palageni pergi karena 

merasa tidak enak padanya.

"Aku ingin menemui guruku, Arya. 

Ingin memberitahukan hal ini padanya. 

Barangkali saja beliau bisa memberi 

petunjuk padaku."

"Silakan, Palageni O, ya. 

Sampaikan salamku pada gurumu," sahut 

Arya dengan hati lega mendengar alasan 

yang dikemukakan pemuda berpakaian 

kuning itu.

Setelah melempar senyum sekilas 

ke arah Melati, Palageni segera 

melesat dari situ. Cepat juga 

gerakannya. Sebentar kemudian bayangan 

tubuhnya sudah lenyap ditelan 

rerimbunan semak-semak.

Arya dan Melati memandangi hingga 

tubuh pemuda berpakaian kuning itu 

tidak kelihatan lagi.

"Sekarang apa yang harus kita 

lakukan, Kang?"


Arya mengangkat bahunya.

"Persoalan ini masih terlatu 

gelap, Melati. Kita tidak bisa 

bertindak sembrono."

"Hm..., jadi?"

"Kita lihat keadaannya dulu."

Melati mengangguk-anggukkan 

kepala.

7

Melati dan Dewa Arak melangkah 

perlahan keluar dari rerimbunan 

hamparan ilalang itu. Tapi, langkah 

mereka langsung terhenti begitu 

sekitar tujuh tombak di hadapan mereka 

berdiri tiga sosok tubuh.

Arya dan Melati menyipitkan 

sepasang mata dalam upaya memperjelas 

pandangan. Suasana malam itu memang 

remang-remang karena bulan hanya 

sepotong yang nampak di langit karena 

tertutup awan tebal dan hitam.

Tapi meskipun demikian, cukup 

jelas bagi Arya untuk mengenali salah 

seorang dari mereka. Orang itu tak 

lain adalah Dewa Rambut Merah. 

Sedangkan dua orang lainnya, tidak 

dikenal. Seorang kakek berbaju abu-

abu. Rambut, kumis, dan alisnya telah 

memutih semua. Tapi anehnya kulit 

wajahnya masih kencang seperti 

layaknya anak muda. Orang ini tak lain 

dari Dewa Obat Tangan Delapan.


Sementara yang seorang lagi 

adalah kakek bertubuh tinggi kurus 

bagai bambu. Pakaiannya berwarna 

putih. Seperti juga warna alisnya. Di 

tangannya tergenggam sebatang tongkat 

berwarna hitam mengkilat terbuat dari 

kayu jati. Inilah Dewa Angin Puyuh, 

guru Palageni.

Dewa Arak dan Melati bersikap 

waspada. Sepasang muda-muda ini 

melihat gelagat kurang baik dari 

ketiga sosok tubuh yang berdiri 

menghadang jalan itu. Tambahan lagi, 

baik Arya maupun Melati telah menge-

tahui kalau kakek berambut merah itu 

kawan Gendruwo Pulau Setan. Maka, 

keduanya menduga kalau kedua orang 

kakek yang berdiri di sebelah Dewa 

Rambut Merah adalah tokoh-tokoh 

persilatan golongan hitam.

Meskipun sudah menduga demikian, 

Arya tidak mau bertindak ceroboh. 

Sikapnya seolah-olah tidak pernah 

terjadi apa-apa. Dengan langkah 

tenang, pemuda berambut putih 

keperakan ini melanjutkan lang-kahnya 

Dan dengan sendirinya, Melati pun 

mengikuti.

Baru setelah jarak di antara 

mereka tinggal sekitar tiga tombak, 

dan ketiga orang kakek itu tetap tidak 

mau menyingkir memberi jalan, Arya 

terpaksa menghentikan langkahnya.


"Maaf, kami ingin lewat. Harap 

kakek bertiga memberi kami jalan," 

pinta Dewa Arak. Pelan dan lembut 

suaranya.

"Kalian boleh meneruskan 

perjalanan, apabila bersedia memenuhi 

permintaan kami," kata Dewa Angin 

Puyuh, datar dan dingin suaranya.

"Apa itu, Kek?" tanya Arya masih 

dengan nada sopan.

"Nyawa kalian berdua!" tandas 

kakek beralis putih keras dan kasar.

"Keparat!"

Melati yang berwatak keras 

langsung bangkit amarahnya. Seluruh 

urat syaraf di tubuh gadis berpakaian 

putih ini menegang waspada. Bahkan 

kedua tangannya yang terkepal nampak 

menggigil. Pertanda tenaga dalam telah 

mengalir deras di dalamnya.

Buru-buru Dewa Arak menyentuh 

lengannya, dan langsung mengembangkan 

senyum ketika Melati menoleh.

"Tenanglah, Melati," ujar Arya 

lembut.

“Tapi, ucapan mereka, benar-benar 

keterlaluan, Kang," bantah Melati. 

Jelas nada suaranya terdengar tidak 

puas.

"Sabarlah dulu. Kita belum tahu 

masalahnya," hibur Arya menenangkan.

Melati menarik napas dalam-dalam 

dan menghem-buskannya kuat-kuat 

Dicobanya untuk meredakan kemarahan


yang bergejolak dalam dada. Dan 

memang, amarah yang bergolak perlahan-

lahan mereda kembali

"Tidak usah berpura-pura, Dewa 

Arak!" kembali terdengar bentakan 

keras dari mulut Dewa Angin Puyuh. 

Suara yang sarat dengan kemarahan.

"Apa maksudmu, Kek?" Arya 

mengernyitkan alisnya. "Aku benar-

benar tidak mengerti?!"

"Sungguh tidak kusangka, Dewa 

Arak yang menggemparkan dunia 

persilatan itu ternyata seorang pe-

ngecut! Tidak berani mengakui 

perbuatan sendiri!"

Keras dan tajam sekali ucapan 

yang keluar dari mulut Dewa Angin 

Puyuh. Selebar muka Arya merah padam 

seketika. Kemarahan seketika menjalari 

hatinya. Sebagai orang yang menjunjung 

tinggi kegagahan, pemuda berambut 

putih keperakan ini paling benci kalau 

disebut pengecut

"Jelaskan maksud ucapanmu, Kek. 

Kalau tidak, jangan dianggap kurang 

ajar, bila aku sebagai orang muda 

bersikap tidak pantas padamu," agak 

bergetar suara yang keluar dari mulut 

Dewa Arak. Memang, pemuda berambut 

putih keperakan ini tengah dilanda 

kemarahan yang menggelora.

Terdengar suara gemerutuk dari 

mulut kakek beralis putih itu.


"Dewa Arak...!" sentak Dewa Angin 

Puyuh. "Aku datang untuk membalaskan 

kematian muridku!"

"Muridmu...? Siapa muridmu?!" 

tanya Arya dengan kemarahan mulai 

mereda.

Entah, tokoh mana yang menjadi 

murid kakek beralis putih ini. Sudah 

terlalu banyak tokoh sesat yang tewas 

di tangannya. Tapi tentu saja ada 

alasan kuat yang membuat Arya terpaksa 

membunuh. Tokoh-tokoh aliran hitam 

yang ditewaskannya adalah yang 

kejahatannya telah melewati takaran.

"Palageni...," lambat-lambat dan 

penuh tekanan Dewa Angjn Puyuh 

mengucapkannya, setelah beberapa saat 

lamanya terdiam.

Arya dan Melati sampai terlompat 

ke belakang bagai disengat 

kalajengking. Berita yang didengar 

memang terlalu mengejutkan hati. Jadi 

kakek beralis putih ini adalah guru 

Palageni? Tapi mengapa kakek itu malah 

menuduh mereka membunuh pemuda berbaju 

kuning itu? Tuduhan gila macam apa 

ini? Bukankah mereka berdua yang malah 

menyelamatkan pemuda itu dari ancaman 

maut Gendruwo Pulau Setan dan Dewa 

Rambut Merah?

"Kalau begitu, kau salah paham, 

Kek. Justru aku dan kawanku inilah 

yang telah menyelamatkannya dari 

tangan Gendruwo Pulau Setan."


Arya sama sekali tidak 

menyinggung-nyinggung tentang kebera-

daan Dewa Rambut Merah bersama tokoh 

sesat yang menggiriskan itu. Dia belum 

yakin kalau orang yang berada bersama 

Gendruwo Pulau Setan adalah Dewa 

Rambut Merah. Dan Arya tidak ingin 

memperuncing keadaan.

"Kau tidak bisa mungkir lagi, 

Dewa Arak! Dewa Rambut Merah telah 

menyaksikan semua kekejianmu. Kau 

telah membunuh muridku dan 

melemparkannya ke dalam jurang!" keras 

dan berapi-api ucapan yang keluar dari 

mulut Dewa Arak. 

"Fitnah!" bantah Arya keras. 

"Hanya karena rasa cemburu yang 

membabi buta, kau telah membunuh 

Palageni yang tengah bercakap-cakap 

dengan kawan wanitamu! Bersiaplah, 

Dewa Arak! Aku, Dewa Angin Puyuh 

bersedia mengadu nyawa untuk 

membalaskan kematian muridku"

Setelah berkata demikian, kakek

beralis putih ini segera menerjang. 

Tahu akan kelihaian lawannya, tanpa 

ragu-ragu lagi segera digunakannya 

ilmu andalan yang telah membuatnya 

memperoleh gelaran Dewa Angin Puyuh, 

'Ilmu Angin Puyuh'!

Kakek beralis putih ini melompat. 

Dan dari atas, tangan kanannya yang 

berbentuk cakar meluncur ke arah ubun


ubun Dewa Arak. Sementara tangan 

kirinya di pinggang.

Hebat akibatnya! Angin menderu 

keras, seolah-olah di tempat itu 

terjadi badai. Batu batu besar kecil 

beterbangan tak tentu arah. Debu pun 

mengepul tinggi ke udara.

Arya tidak berani bersikap main-

main. Dari suara mengaung keras yang 

terdengar sebelum serangan itu sendiri 

tiba, sudah bisa diperkirakan kekuatan 

tenaga dalam yang terkandung dalam 

serangan lawan. Jangankan kepala 

manusia. Batu karang yang paling keras 

pun akan hancur lebur apabila terkena 

hantaman itu

Buru-buru Dewa Arak mendoyongkan 

tubuh ke belakang sambil menarik 

kepala. Sederhana saja gerakan yang 

dilakukan, sehingga hebatnya serangan 

itu hanya lewat di atas kepalanya. 

Seluruh rambut dan pakaian Arya 

berkibar keras begitu serangan cakar 

itu lewat

Tapi serangan Dewa Angin Puyuh 

tidak hanya sampai di situ saja. 

Begitu serangan cakarnya lolos, kaki 

kanannya menyambar cepat ke arah dada.

Wuttt...!

Tidak ada pilihan lain bagi Dewa 

Arak kecuali melempar tubuh ke 

belakang, dan berputaran di udara 

beberapa kali.


Tapi Dewa Angin Puyuh yang tengah 

dilanda amarah tidak mau memberi 

kesempatan pada Dewa Arak. Begitu 

tendangannya berhasil dielakkan dan 

kedua kakinya mendarat di tanah, 

segera kedua kakinya dijejakkan. 

Sesaat kemudian, kedua tangannya 

dengan jari-jari terbuka lurus menotok 

ke arah ulu hati dan dada. Setiap 

serangan kakek ini menimbulkan dem 

angin keras laksana terjadi badai.

Sebuah pertarungan aneh pun 

terjadi. Dewa Angin Puyuh yang terus-

menerus memburu dengan serangan-

serangan maut Sementara Dewa Arak yang 

tak henti-hentinya bersalto ke 

belakang untuk menyelamatkan diri.

Semula Dewa Arak tidak mau balas 

menyerang dan hanya mengelak saja. 

Karena, dia yakin kalau Dewa Angin 

Puyuh salah paham. Pasti ada orang 

yang sengaja melempar fitnah 

kepadanya. Makanya, sejak tadi dia 

tidak mengadakan perlawanan, dan hanya 

mengelak dan mengelak.

Tapi begitu menyadari betapa 

dahsyatnya serangan-serangan yang 

dilancarkan Dewa Angin Puyuh, Dewa 

Arak sadar. Jika terus-terusan 

mengalah, bukan tidak mungkin dirinya 

akan celaka di tangan lawan. Dia harus 

balas menyerang. Atau paling tidak, 

menangkis serangan lawannya. Tidak 

hanya mengelak terus-menerus.



"Haaat...!"

Arya melempar tubuh ke belakang 

lalu bersalto beberapa kali di udara. 

Dan begitu kakinya hinggap di tanah, 

tangannya telah menggenggam guci arak.

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar begitu 

Arya menuangkan isi guci itu ke 

mulutnya. Pedahan hawa hangat merayap 

di perutnya dan kemudian naik ke atas 

kepala.

Begitu kedua kaki Dewa Arak 

mendarat di tanah, serangan-serangan 

Dewa Angin Puyuh kembali bertubi-tubi 

menyambarnya. Serangan yang mengancam 

bagian tubuh mematikan.

Tapi kali ini, Arya tidak tinggal 

diam seperti tadi. Dia mulai menangkis 

dan balas menyerang. Sesaat kemudian, 

pertarungan sengit pun terjadi.

***

Melati, Dewa Rambut Merah, dan 

Dewa Obat Tangan Delapan, 

memperhatikan jalannya pertarungan 

dengan penuh perhatian. Mereka adalah 

ahli silat tingkat tinggi. Tidak ada 

kegemaran yang disukai selain 

bertarung dan melihat orang mengadu 

kepandaian. Semakin sakti orang-orang 

yang bertarung, semakin gembira dan 

suka hati mereka.


Pertarungan antara Dewa Arak dan 

Dewa Angin Puyuh berlangsung cepat. 

Hal ini tidak aneh, karena memang 

kedua orang itu memiliki ilmu 

meringankan tubuh yang luar biasa.

Sepasang alis Dewa Rambut Merah 

dan Dewa Obat Tangan Delapan bertaut, 

begitu melihat pertarungan itu. 

Sementara Melati tampak tersenyum 

simpul. Kepandaian ketiga orang itu 

memang sudah tinggi, sehingga tidak 

mengalami kesulitan untuk mengikuti 

setiap gerakan dua orang yang tengah 

bertarung.

Tampak jelas oleh mereka kalau 

Dewa Angin Puyuh bukan tandingan Dewa 

Arak. Baik dalam hal ilmu meringankan 

tubuh dan tenaga dalam, kakek beralis 

putih ini berada di bawah lawannya 

yang masih muda.

Dewa Rambut Merah menggertakkan 

gigi. Mendadak kakek berambut merah 

ini berkelebat menuju kancah 

pertarungan. Melati terperanjat 

melihat hal ini.

"Manusia pengecut! Akulah 

lawanmu...!" teriak Melati keras.

Berbareng dengan suara 

teriakannya, tubuh gadis itu melesat 

cepat menghadang di hadapan Dewa 

Rambut Merah. Kakek ini terpaksa 

mengurungkan niat, karena di 

hadapannya telah berdiri Melati.


"Kita ketemu lagi, Dewa Rambut 

Merah," kata Melati. Terdengar pelan 

dan lembut suaranya, tapi di dalamnya 

tersirat sindiran. Dewa Rambut Merah 

ternyata merasakan. Terbukti, selebar 

wajah kakek itu memerah.

"Permainan apa lagi yang kau 

tunjukkan, Nisanak? Rupanya kau sudah 

tidak waras lagi. Kapan aku pernah 

bertemu denganmu? Kita baru bertemu 

kali ini!"

"Orang lain bisa kau kelabui. 

Tapi jangan harap muslihatmu itu 

berhasil menipuku!" tandas Melati 

tegas.

"Omonganmu semakin ngacau, Wanita 

Liar! Terpaksa mulutmu kubungkam!"

Setelah berkata demikian, kakek 

berambut merah ini menerjang Melati. 

Tahu kalau gadis berbaju putih itu 

memiliki kepandaian tinggi, seluruh 

kemampuan yang dimiliki segera 

dikerahkannya.

Dewa Rambut Merah membuka 

serangan dengan sebuah sambaran cakar 

tangan kanannya ke arah leher. 

Gerakannya cepat bukan main, tak kalah 

dengan Dewa Angin Puyuh.

Suara berdecit nyaring, seperti 

ada tikus terjepit terdengar 

mengiringi tibanya serangan cakar itu. 

Sebuah bukti nyata kalau dalam 

serangan itu terkandung tenaga dalam 

tinggi.


Tanpa menggeser kaki, Melati 

segera mendoyongkan tubuh ke belakang 

seraya menarik kepala. Pada saat yang 

sama, tangan kirinya digerakkan untuk 

menangkis dengan arah gerakan dari 

dalam ke luar.

Melati yang sudah bisa memper-

kirakan kelihaian lawan, segera 

mengerahkan seluruh tenaga dalam yang 

dimiliki dalam tangkisan itu

Plakkk...!

Suara berderak keras seperti 

beradunya dua ba-tang logam keras 

langsung terdengar. Baik Dewa Rambut 

Merah maupun Melati sama-sama 

terhuyung satu langkah ke belakang 

dengan kedua tangan bergetar hebat. 

Nampak jelas kalau dalam adu tenaga 

ini kedua belah pihak memiliki tenaga 

dalam seimbang.

Dewa Rambut Merah menggerung 

keras. Sungguh di luar dugaan ada 

seorang gadis muda mampu menangkis 

serangannya. Ada rasa tidak percaya 

dalam hatinya. Penasaran, malu, dan 

marah bercampur-baur dalam dadanya.

Tapi dari sekian banyak perasaan 

yang berkecamuk itu, yang menonjol 

keluar adalah perasaan marah. Dewa 

Rambut Merah adalah seorang datuk yang 

ditakuti lawan dan disegani kawan. 

Kini berbenturan tangan dengan seorang 

gadis muda saja, tangannya sudah 

tergetar hebat. Kalau ada orang


persilatan yang mendengar, bukankah 

akan menjadi bahan tertawaan?

Dan, hal inilah yang mendorong 

Dewa Rambut Merah mengerahkan seluruh 

kemampuan yang dimilikinya. Melati pun 

bertindak serupa. Akibatnya, pertaru-

ngan sengit pun terjadi. Maka kini di 

tempat itu terjadi dua kancah 

pertempuran.

Dua pertarungan tingkat tinggi 

yang terjadi di tempat itu hanya 

disaksikan seorang penonton saja. Dewa 

Obat Tangan Delapan. Kakek yang 

wajahnya masih segar itu menyaksikan 

jalannya pertarungan dengan hati 

berdebar. Terutama sekali ketika 

melihat pertarungan Dewa Angin Puyuh 

menghadapi Dewa Arak.

Semula pertarungan antara Arya 

menghadapi kakek beralis putih itu 

berjalan imbang. Tapi menginjak jurus 

ke lima puluh, nampak jelas keunggulan 

Dewa Arak. Dan memang, sebenarnya 

tingkat kepandaian pemuda berambut 

putih keperakan ini masih lebih unggul 

ketimbang lawannya, baik dalam hal 

tenaga dalam maupun ilmu meringankan 

tubuh.

Akhirnya, Dewa Obat Tangan 

Delapan tidak kuat lagi menahan diri. 

Karena tampak, keadaan Dewa Angin 

Puyuh semakin mengkhawatirkan. Kakek 

beralis putih itu tampak terdesak dan 

terhimpit. Beberapa kali tubuhnya


terhuyung-huyung ke belakang setiap 

kali terjadi benturan di antara 

mereka.

"Haaat..!"

Dewa Obat Tangan Delapan 

berteriak nyaring, seraya melompat 

menerjang. Tahu akan ketangguhan Dewa 

Arak, tanpa ragu-ragu lagi ilmu 

andalannya segera dikeluarkan. 'Ilmu 

Tangan Delapan Naga'!

Begitu menerjunkan diri dalam 

kancah pertarungan, Dewa Obat Tangan 

Delapan langsung melancarkan serangan 

bertubi-tubi pada Arya.

Dewa Arak terkejut bukan main 

melihat serangan Dewa Obat Tangan 

Delapan. Kedua tangan lawan seperti 

berjumlah delapan buah, dan menyerang 

dari delapan penjuru! Bukan itu saja. 

Ada angin kuat yang menggencet sekujur 

tubuh Arya dari delapan arah, sehingga 

membuat dada pemuda berambut putih 

keperakan itu terasa sesak.

Dewa Arak tidak berani bertindak 

ceroboh. Desakannya segera dibatalkan 

pada Dewa Angin Puyuh. Lalu tubuhnya 

dilempar ke belakang dan bersalto 

beberapa kali di udara. Indah dan 

manis sekali gerakan Arya. Kedua 

kakinya mendarat ringan tanpa suara 

dalam jarak sekitar tujuh tombak dari 

kedua lawannya.

Baik Dewa Angin Puyuh maupun Dewa 

Obat Tangan Delapan sama sekali tidak


mengejar. Dua orang kakek itu adalah 

datuk golongan putih. Pantang bagi 

mereka melakukan serangan pada lawan 

yang belum bersiap. Apalagi kini 

mereka sudah menghadapi lawan bersama-

sama. Seorang lawan yang masih sangat 

muda!

"Kau hebat, Dewa Arak," puji Dewa 

Obat Tangan Delapan, jujur. "Tapi 

sayang, kau telah tersesat. Kau telah 

menjadi kejam karena perasaan cemburu 

buta."

“Tidak usah banyak basa-basi, 

Dewa Obat!" sergah Dewa Angin Puyuh 

keras. "Mari kita lenyapkan pemuda

berbahaya ini!"

Setelah berkata demikian, kakek 

beralis putih ini langsung menyerang 

Dewa Arak. Kembali 'Ilmu Angin 

Puyuh'nya dikeluarkan, sehingga seke-

tika itu juga angin keras menderu. 

Seolah-olah, di tempat itu tengah 

terjadi badai. Batu-batu besar kecil 

berpentalan tak tentu arah. Debu pun 

mengepul tinggi ke udara.

Belum lagi serangan itu tiba, 

Dewa Obat Tangan Delapan pun turut 

menyerang. Kedua tangannya bergerak 

cepat bukan main! Sehingga, kelihatan-

nya tangan kakek itu tidak berjumlah 

dua, melainkan delapan! Pantas dia 

berjuluk Tangan Delapan, di samping 

berjuluk Dewa Obat.


Meskipun akibat yang ditimbulkan 

serangan Dewa Obat Tangan Delapan 

tidak terlalu menggiriskan, tapi yang 

dirasakan Arya tidak demikian halnya. 

Ada kekuatan tak nampak yang menekan 

dari delapan penjuru, sehingga membuat 

dadanya terasa sesak bukan main. Buru-

buru pemuda berambut putih keperakan 

itu mengerahkan tenaga dalamnya, 

sehingga rasa sesak pada dadanya 

segera sirna. Kini kekuatan tak nampak 

yang menghimpitnya tak lagi terasa.

Sekarang Arya tidak ragu-ragu 

lagi untuk mengerahkan seluruh kemam-

puan yang dimiliki. Lawan yang 

dihadapinya adalah pentolan golongan 

putih. Bertarung setengah hati, 

taruhannya adalah nyawa! Sesaat 

kemudian, pertarungan sengit kembali 

terjadi.

8

Di arena lain, Melati tengah 

berjuang keras menghadapi Dewa Rambut 

Merah! Berbeda dengan Arya yang masih 

meragukan kesalahan kakek berambut 

merah ini, Melati yakin sekali kalau 

pelaku pembantaian di kaki Gunung 

Campa adalah Dewa Rambut Merah. 

Makanya gadis berpakaian putih itu 

kini mengerahkan seluruh kemampuan 

yang dimiliki. Namun demikian, 

tampaknya Melati tetap saja tidak


mampu mendesak kakek berambut merah 

itu. Sampai puluhan jurus, pertarungan 

masih berjalan seimbang.

Bukan hanya Melati saja yang 

berusaha keras mengalahkan lawan. Dewa 

Rambut Merah pun demikian pula. Bahkan 

bila dibandingkan, kakek itu memiliki 

keingjnan untuk merobohkan yang lebih 

besar. Keinginan itu didorong oleh 

rasa malunya!

Sementara itu di arena lain,

"Haaat..!"

Sambil berteriak nyaring, Dewa 

Angin Puyuh membabatkan tongkatnya ke 

arah lutut Dewa Arak. Suara mengaung 

keras terdengar mengiringi tibanya 

serangan itu

Arya menjejakkan kakinya, lalu 

seketika itu juga tubuhnya melayang ke 

atas. Akibatnya, tongkat itu meluncur 

lewat di bawah kakinya. Tubuhnya kemu-

dian bersalto ke depan, dan dan udara 

tangan kanannya meluncur ke arah bahu 

kanan kakek beralis putih itu.

Plakkk..!

Periahan saja kelihatannya, 

tangan Dewa Arak menghantam bahu Dewa 

Angin Puyuh. Hebatnya, tubuh kakek 

beralis putih itu terhuyung ke depan 

seperti diseruduk banteng. Seketika 

ada cairan merah kental menyembur dari 

mulutnya. Kakek ini langsung jatuh 

terduduk di tanah.



Baru saja kedua kaki Arya 

mendarat di tanah, serangan Dewa Obat 

Tangan Delapan telah menyambar tiba. 

Kedua tangan yang seperti berjumlah 

delapan buah itu menyerang bertubi-

tubi ke arah ulu hati, dada, dan 

leher.

Tidak ada jalan lagi bagi Dewa 

Arak, kecuali menangkis serangan itu. 

Plak, plak, plak...!

Suara berderak keras seperti 

beradunya dua logam keras terdengar 

berkali-kali ketika dua pasang tangan 

berbenturan. Akibatnya, tubuh Arya 

terhuyung-huyung ke belakang. Dewa 

Arak memang berada dalam keadaan yang 

tidak menguntungkan. Bahkan sewaktu 

menangkis pun, seluruh tenaga yang 

dimilikinya tidak sempat dikerahkan.

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba terdengar suara tawa 

mengguntur, sehingga membuat isi dada 

berguncang. Nampaknya, tawa itu 

dikeluarkan lewat pengerahan tenaga 

dalam tinggi.

Belum lagi gema suara tawa itu 

lenyap, sesosok bayangan berkelebat 

setelah terlebih dahulu menjejakkan 

kaki kanan ke tanah hingga membuat 

bumi bergetar. Gerakannya cepat bukan 

main, dan langsung menerjang masuk 

kancah pertarungan antara Dewa Arak 

melawan Dewa Obat Tangan Delapan.


Karuan saja hal ini membuat dua 

orang itu terkejut bukan main. 

Apalagi, begitu mengetahui kalau sosok 

bayangan itu langsung melancarkan 

serangan-serangan berbahaya ke arah 

mereka. Deru angin yang luar biasa 

keras mengiringi tibanya serangan.


Dewa Arak dan Dewa Obat Tangan 

Delapan yang sedang bertempur menjadi 

sangat terkejut, ketika tiba-tiba 

berkelebat sesosok tubuh tinggi besar 

ke arah mereka dan langsung 

melancarkan serangan-serangan berba-

haya! Deru angin yang luar biasa keras 

mengi-ringi tibanya serangan orang 

tinggi besar itu.

Mendapat serangan yang tidak 

disangka-sangka, Dewa Arak dan Dewa 

Obat Tangan Delapan langsung 

terperanjat. Apalagi serangan itu 

datangnya amat mendadak. Sebisa-

bisanya, kedua orang itu menangkis.

Plak, plak...!

Seruan keterkejutan terdengar 

dari mulut Dewa Arak dan Dewa Obat 

Tangan Delapan. Tubuh kedua orang ini 

langsung terpental ke belakang. 

Sementara sosok bayangan yang 

menyerang, sama sekali tidak 

terpengaruh apa-apa.

Baik tubuh Dewa Angin Puyuh 

maupun tubuh Dewa Obat Tangan Delapan 

melayang jauh, kemudian jatuh 

bergulingan di tanah.

"Huakkk...!"

Dewa Obat Tangan Delapan 

memuntahkan darah segar ketika mencoba 

bangkit.

Melati dan Dewa Angin Puyuh 

terkejut bukan kepalang begitu melihat 

perkembangan yang sama sekali tidak 

disangka-sangka. Melati langsung 

melesat meninggalkan lawan, memburum 

ke tempat Dewa Arak terjatuh. 

Sementara Dewa Angin Puyuh segera mem-

buru tubuh Dewa Obat Tangan Delapan.

"Ha ha ha...!"

Suara tawa mengguntur kembali 

terdengar. Semua pandangan mata kini 

tertuju ke arah sosok yang tengah 

tertawa-tawa itu.

"Gendruwo Pulau Setan...," desis 

Dewa Angin Puyuh dan Dewa Obat Tangan 

Delapan. Pandangan mata maupun suara 

mereka menyiratkan ketidakpercayaan 

akan apa yang terlihat di depan 

mereka.

Berbeda dengan kedua orang kakek 

itu, Melati dan Dewa Arak sama sekali 

tidak terkejut melihat tokoh sesat 

yang menggiriskan itu. Mereka telah 

melihat, dan bahkan telah bertanding 

dengan tokoh itu beberapa saat yang 

lalu.

Keterkejutan Dewa Obat Tangan 

Delapan dan Dewa Angin Puyuh semakin 

menjadi-jadi. Ternyata rekan mereka, 

Dewa Rambut Merah malah menghampiri


Gendruwo Pulau Setan. Dan bahkan 

berdiri di sebelahnya.

"Dewa Rambut Merah..., kau... 

kau...!?" desis Dewa Angin Puyuh kaget

Hanya senyum dan pandangan mata 

penuh ejekan dari Dewa Rambut Merah 

yang menyambut ucapan terbata-bata 

kakek beralis putih itu

"Kenapa? Kaget?!" tanya kakek 

berambut merah itu Nada suaranya 

terdengar menyakitkan hati.

Wajah Dewa Angin Puyuh dan Dewa 

Obat Tangan Delapan yang sudah pucat, 

jadi semakin pucat mendengar tanggapan 

kasar itu. Kedua tokoh Tiga Dewa 

Sungai Naga ini tidak mampu berkata-

kata lagi. Perasaan kaget yang melanda 

demikian kuat menghajar hati mereka. 

Sehingga keduanya hanya mampu 

memandang dengan sepasang kelopak mata 

terbelalak lebar.

"Perlu kalian ketahui semua," 

kata Dewa Rambut Merah sambil 

mengedarkan pandangan mata ke 

sekeliling, merayapi wajah orang-orang 

di hadapannya satu persatu. "Akulah 

yang membantai rombongan Adipati 

Kalingga."

"Hahhh...?!"

Dewa Obat Tangan Delapan dan Dewa 

Angin Puyuh terlonjak kaget. Andaikan 

ada petir menyambar, kekagetan yang 

dialami tidak akan seperti ketika 

mendengar berita ini Dewa Rambut Merah


salah satu tokoh Tiga Dewa Sungai Naga 

melakukan perbuatan keji! Sungguh 

sukar dipercaya!

"Kaget, Dewa Angin Puyuh? Dewa 

Obat?" Kembali nada penuh ejekan 

terdengar dari mulut Dewa Rambut 

Merah. Sementara Gendruwo Pulau Setan 

hanya tersenyum lebar.

"Mengapa kau berbuat sekeji itu, 

Dewa Rambut Merah?" tanya Dewa Obat 

Tangan Delapan. Suaranya pelan, lebih 

mirip desahan.

"Bukan hanya adipati keparat itu 

saja yang kubunuh. Tapi juga kalian 

semua! Tidak terkecuali kau, Dewa 

Arak!" tandas kakek berambut merah 

itu, seraya menatap wajah Arya. 

"Semula kau tidak termasuk dalam 

rencanaku, karena sama sekali tidak 

ada sangkut-pautnya. Tapi karena kau 

telah berlaku lancang, dengan 

mencampuri urusanku, kau pun tak 

mungkin dapat lolos dari tanganku. 

Bukan itu saja. Semua orang yang 

termasuk dalam golongan putih akan 

kubinasakan!"

"Mengapa, Dewa Rambut Merah?" 

tanya Dewa Angin Puyuh penasaran

"Kau bertanya mengapa, Dewa Angin 

Puyuh?!" sambut kakek berambut merah, 

kasar. "Padahal, baik padamu maupun 

pada Dewa Obat Tangan Delapan telah 

kuceritakan, kalau puluhan tahun yang 

lalu istriku telah diperkosa dan


dibunuh oleh seorang laki-laki. Aku 

tidak tahu namanya. Tapi, dari berita 

yang kudapat, aku tahu ciri-cirinya. 

Dan bahkan telah kuceritakan pada 

kalian."

Dewa Rambut Merah menghentikan 

ceritanya sejenak untuk mengambil 

napas, di samping mencari kata-kata 

untuk melanjutkan ceritanya.

"Puluhan tahun aku mencari tanpa 

hasil. Dapat kalian bayangkan, betapa 

kesalnya hatiku. Apalagi setelah 

kutahu, kalau orang yang kucari itu 

adalah temanmu, Dewa Obat! Dan kau 

sengaja melindunginya dengan tidak 

memberitahukannya padaku. Kau yang 

mengaku sebagai pentolan golongan 

putih telah bertindak begitu 

menjijikkan. Melindungi orang yang 

bermoral bejat!"

Merah wajah Dewa Obat Tangan 

Delapan mendengar makian Dewa Rambut 

Merah. Maka kepalanya periahan-lahan 

tertunduk.

"Aku masih mencoba bersabar. 

Meskipun saat itu sudah merasa muak 

dengan gelar pentolan golongan putih, 

tapi ketika akhirnya dapat berita 

baru, aku tidak bisa bersabar lagi! 

Bukan hanya kau saja yang menjadi 

teman orang bejat. Tapi kau juga, Dewa 

Angin Puyuh! Maka aku tidak bisa sabar 

lagi, begitu kulihat keparat itu 

bepergian. Mereka pun kubantai habis.


Tapi, sayang sekali ada yang sempat 

lolos dari maut dan memberi tahu 

kalian."

Kepala dua kakek Tiga Dewa Sungai 

Ular tertunduk. Sama sekali semua yang 

dikatakan Dewa Rambut Merah tidak 

dibantah.

"Kebencianku bertambah ketika 

kutahu kau mengangkat putra keparat 

Kalingga menjadi muridmu, Dewa Angin 

Puyuh. Sejak saat itu, aku muak dan 

benci terhadap orang-orang golongan 

putih. Maka kuputuskan untuk membasmi 

kalian. Dan untuk itulah Gendruwo 

Pulau Setan, adik tiriku, tiba di 

sini."

Suasana jadi hening begitu Dewa 

Rambut Merah menghentikan ucapannya.

"Sekarang, terimalah kematian 

kalian...!" tegas kakek berambut merah 

lambat-lambat tapi penuh tekanan. 

Kemudian kakinya melangkah menghampiri 

tubuh dua tokoh Tiga Dewa Sungai Naga.

Mendadak langkah Dewa Rambut 

Merah terhenti. Pendengarannya yang 

tajam menangkap adanya langkah kaki 

mendekati. Bukan hanya kakek berambut 

merah itu saja yang menoleh. Gendruwo 

Pulau Setan pun menoleh pula.

"Guru...!"

Seorang pemuda berpakaian kuning 

melesat cepat ke arah Dewa Angin 

Puyuh. Siapa lagi kalau bukan 

Palageni!


Dewa Angin Puyuh dan Dewa Obat 

Tangan Delapan terperanjat melihat 

kedatangan Palageni. Bukankah, 

muridnya itu telah tewas di tangan 

Dewa Arak. Jadi, benar apa yang 

dikatakan Arya. Semua itu hanya 

fitnah!

Dewa Rambut Merah menggeram 

keras. Cepat laksana kilat tubuhnya 

melesat ke arah Palageni. Kedua 

tangannya melancarkan totokan bertubi-

tubi ke berbagai bagian tubuh pemuda 

berpakaian kuning itu.

Dewa Angin Puyuh, Dewa Obat 

Tangan Delapan, Melati, dan Dewa Arak 

sangat terperanjat. Pemuda berambut 

putih keperakan ini sebenarnya sama 

sekali tidak terluka. Tadi, ketika 

menangkis serangan Gendruwo Pulau 

Setan, Dewa Arak tidak menggunakan 

tenaga keras. Jadi, dia hanya 

menggunakan tenaga lembut. Dan dengan 

meminjam tenaga benturan itu, tubuhnya 

dibiarkan terlontar ke belakang, dan 

berpura-pura terluka agar lawan 

lengah. Dan ternyata, siasatnya 

berhasil!

Kini melihat Palageni terancam 

maut, pemuda berambut putih keperakan 

ini cepat menghentakkan kedua tangan 

ke arah tubuh Dewa Rambut Merah yang 

tengah berada di udara. Inilah jurus 

'Pukulan Belalang'.

Wusss...!


Angin keras berhawa panas 

menyengat, menyambar cepat ke arah 

Dewa Rambut Merah. Karuan saja kakek 

ini terkejut bukan main. Serangan Dewa 

Arak sama sekali tidak diduga. Dia 

berpikir kalau pemuda itu tengah 

terluka. Tapi pada kenyataannya?

Wajah Dewa Rambut Merah pucat 

seketika. Tubuhnya yang tengah berada 

di udara, tidak mungkin bisa mengelak. 

Apalagi tidak ada sesuatu yang dapat 

dijadikan pijakan. Meskipun demikian, 

dengan sebisa-bisanya, selembar 

nyawanya berusaha diselamatkan. Dewa 

Rambut Merah menggeliatkan tubuhnya. 

Tapi....

Bresss!

"Aaakh...!"

Tubuh kakek berambut merah 

terpental jauh ke belakang. Seketika 

itu juga nyawa kakek ini melayang 

meninggalkan raganya sebelum jatuh ke 

tanah.

Gendruwo Pulau Setan meraung 

keras laksana seekor binatang buas 

terluka melihat kematian kakak 

tirinya. Dengan sinar mata penuh 

ancaman, tokoh sesat yang menggiriskan 

ini menatap Dewa Arak. Perlahan-lahan 

kakinya melangkah menghampiri pemuda 

berambut putih keperakan itu.

Tapi langkah laki-laki tinggi 

besar ini terhenti ketika entah dari 

mana datangnya, di tempat itu telah



berdiri seorang kakek berpakaian putih 

bersih. Sekujur tubuhnya, terutama 

sekali wajahnya, nampak bercahaya. Hal 

ini membuat orang itu tidak kuat untuk 

berlama-lama memandangnya. Alis, 

jenggot, dan kumisnya telah memutih 

semua. Rambutnya yang juga berwarna 

putih digelung ke atas. Di tangan 

kakek itu tergenggam seuntai tasbih.

Begitu melihat kakek ini, wajah 

Gendruwo Pulau Setan memucat. 

Kegentaran yang amat sangat tampak di 

wajahnya. Cepat tubuhnya berbalik, 

lalu disambarnya tubuh Dewa Rambut 

Merah. Kemudian dia berlari 

meninggalkan tempat itu sambil membawa 

tubuh kakek berambut merah.

Kakek berpakaian putih bersih 

yang tak lain dari Ki Gering Langit 

itu sama sekali tidak mempedulikannya. 

Pandangannya tetap tertuju pada Dewa 

Arak.

"Guru...," Arya cepat memberi 

hormat pada kakek itu.

Melati, Dewa Angin Puyuh, dan 

Dewa Obat Tangan Delapan nampak 

terkesima melihat kakek ini. Hanya 

Palageni seorang yang tidak terlihat 

terkejut.

Ki Gering Langit tersenyum lebar.

"Arya...," ucap kakek berpakaian 

putih bersih itu. Suaranya terdengar 

lembut dan berwibawa. "Aku sengaja 

datang menjumpaimu untuk mengambil


kembali Pedang Bintang. Bukankah 

pedang itu sekarang tidak kau perlukan 

lagi?"

Dewa Arak mengangkat kepalanya, 

menatap wajah Ki Gering Langit. Hanya 

sebentar saja, karena sesaat kemudian 

kepalanya kembali ditundukkan.

"Maafkan aku, Guru," sahut Arya 

pelan "Sebenarnya sudah lama aku 

hendak mengembalikan pedang ini. Tapi, 

dalam perjalanan aku selalu bertemu 

hambatan, sehingga niatku tertunda."

"Aku mengerti, Arya," ucap Ki 

Gering Langit bijaksana, seraya 

tersenyum lebar. "Itulah sebabnya aku 

kemari menjumpaimu."

Lega hati Arya mendengar jawaban 

gurunya. Bergegas dia mengambil Pedang 

Bintang yang selama ini tergantung di 

pinggangnya, kemudian menyerahkan pada 

gurunya.

Ki Gering Langit mengulurkan 

tangan menerima. Dan secepat pedang 

itu telah berada di genggamannya, 

secepat itu pula tubuhnya lenyap dari 

situ.

Melati, Dewa Obat Tangan Delapan, 

dan Dewa Angin Puyuh memandang penuh 

takjub akan semua yang terjadi. 

Apalagi ketika mendadak tubuh Ki 

Gering Langit lenyap begitu saja dari 

situ. Wajah dan sorot mata mereka 

menampakkan kebingungan yang amat 

sangat

"Itulah orang yang menolongku 

dari tangan Gendruwo Pulau Setan, 

Guru," jelas Palageni memberi tahu 

Dewa Angin Puyuh. Kemudian, pemuda 

berbaju kuning ini menceritakan semua 

kejadian yang dialaminya.

"Ketika aku telah cukup jauh 

meninggalkan Dewa Arak dan Melati, 

tiba-tiba Gendruwo Pulau Setan dan 

Dewa Rambut Merah menghadang. Kalau 

saja tidak ada kakek itu, mungkin aku 

sudah tewas, Guru. Hebat! Kakek itu 

mengalahkan keroyokan Dewa Rambut 

Merah dan Gendruwo Pulau Setan secara 

mudah. Hanya dalam segebrakan, dan 

tanpa menggeser kaki sedikit pun!"

Dewa Angin Puyuh dan Dewa Obat 

Tangan Delapan menggelengkan kepala 

penuh kagum.

"Bagaimana Guru bisa berada di 

sini?" tanya Palageni lagi.

"Di perjalanan pulang, aku 

khawatir akan keselamatanmu. Lalu, aku 

kembali lagi. Di tengah jalan aku 

bertemu Dewa Obat Tangan Delapan. Kami 

memutuskan mencarimu bersama-sama," 

kakek beralis putih ini menghentikan 

ceritanya sejenak untuk mengambil 

napas.

"Belum jauh berjalan, kami 

bertemu Dewa Rambut Merah. Katanya, 

kau telah dibunuh Dewa Arak. Akibatnya 

kami mencari pemuda itu. Pertarungan 

pun tidak bisa dihindari lagi. Dan


ketika kami sama-sama lelah, Gendruwo 

Pulau Setan datang. Kejadian 

selanjutnya, telah kau saksikan 

sendiri."

Sehabis berkata demikian, Dewa 

Angin Puyuh menoleh ke arah tempat 

Arya dan Melati. Tapi seketika itu 

pula hatinya terperanjat

"Hehhh...?! Ke mana mereka?" Dewa 

Obat Tangan Delapan dan Palageni ikut 

menoleh. Tapi tetap saja tidak melihat 

seorang pun di situ. Walaupun mereka 

telah mengedarkan pandangan ke 

sekeliling, Dewa Arak maupun Melati 

tak juga ditemukan.

Sementara itu, orang yang 

dipercakapkan telah berada cukup jauh 

dan tempat itu. Dewa Arak dan Melati 

melangkah bersisian, menembus kere-

mangan malam. Menempuh perjalanan 

hidup yang masih panjang.


                               SELESAI

 




Share:

0 comments:

Posting Komentar