lawan. Gendruwo Pulau Setan tentu saja
tidak ingin mata kakinya hancur. Maka
kakinya buru-buru ditarik kembali. Dan
begitu sampokan itu lewat, sambil
melompat setindak, kakinya kembali
menendang bertubi-tubi ke sasaran yang
sama.
Arya tidak punya pilihan lain
lagi. Buru-buru tubuhnya dilempar ke
belakang. Dia bersalto sekali di
udara, kemudian mendarat ringan di
tanah.
Gendruwo Pulau Setan tidak mau
memberi kesempatan pada lawannya. Maka
tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa
Arak segera dikejarnya. Sesaat
kemudian terjadilah pertarungan sengit
antara mereka.
Pertarungan antara kedua tokoh
sakti ini berlangsung sengit. Apalagi
kedua belah pihak benar-benar memiliki
kepandaian seimbang. Baik tenaga dalam
maupun kecepatan gerak mereka juga
terlihat setingkat.
Hebat, akibat pertarungan antara
kedua tokoh sakti ini. Batu-batu besar
kecil beterbangan tak tentu arah. Deru
dan cicit angin juga ikut menyemaraki.
Beberapa kali kedua belah pihak
sama-sama terjajar mundur setiap kali
kedua tangan mereka berbenturan.
Dalam waktu sekejap saja, tiga
puluh jurus telah berlalu. Dan selama
itu belum nampak ada tanda-tanda yang
begitu jauh lagi, Gusti
Adipati," jawab laki-laki kurus yang
rupanya berjuluk Cakar Pengejar Sukma.
"Aku agak khawatir, Cakar
Pengejar Sukma," desah orang yang
berada dalam kereta itu. Dia ternyata
adalah laki-laki pendek gemuk berusia
sekitar lima puluh tahun. Kulit
wajahnya yang putih semakin terlihat
putih, dalam pakaiannya yang berwarna
gelap. Dari tanda di baju bagian
leher, tampaknya dia memang seorang
adipati.
"Apa yang dikhawatirkan Gusti
Adipati?" tanya Cakar Pengejar Sukma
pelan. Kudanya tetap dijalankan
perlahan agar tidak meninggalkan
kereta yang bergerak tertatih-tatih,
karena keadaan jalan yang buruk itu.
"Sering kudengar, di daerah ini
banyak terjadi perampokan, Cakar
Pengejar Sukma...."
"Gusti Adipati tidak perlu
khawatir. Jauh-jauh hari, semua ini
sudah kuperhitungkan. Bukankah rekanku
yang berjuluk Lutung Tenaga Raksasa
telah kuajak untuk ikut mengawal
Gusti? Apabila dia ikut bersama kita,
kujamin tidak ada perampok yang berani
mencari penyakit mencegat rombongan
Gusti!" tegas Cakar Pengejar Sukma
yakin. "Apalagi masih ada pasukan
Gusti sendiri."
Setelah berkata demikian, Cakar
Pengejar Sukma mengedarkan pandangan
ke sekeliling. Memang iring-iringan
kereta itu dikawal serombongan
prajurit berkuda di kanan, kiri,
depan, dan belakang. Sementara di
kanan kereta, ada Cakar Pengejar
Sukma. Sedangkan di kiri kereta,
tampak seorang laki-laki tinggi besar
dan kekar. Kulitnya hitam legam. Di
telinga kirinya nampak bergantung
sebuah anting-anting sebesar gelang
terbuat dari baja hitam. Dialah yang
berjuluk Lutung Tenaga Raksasa.
Laki-laki pendek gemuk yang
menjabat adipati itu mengangguk-
anggukkan kepalanya. Lenyap sudah
kecemasan yang tadi membayang di
wajahnya.
Kembali tangannya digerakkan
untuk menutup tirai pintu kereta.
Sesaat kemudian suasana kembali
hening. Yang terdengar hanyalah derak
roda kereta yang menggilas jalan tanah
berkerikil tajam.
Tak lama kemudian, iring-iringan
itu mulai menempuh jalan yang agak
mulus. Di kanan kirinya terpampang
dinding batu yang menjulang tinggi ke
langit.
Cakar Pengejar Sukma mengawasi
sekitar tempat itu. Sebagai orang yang
telah mempunyai wawasan luas, dia tahu
kalau tempat ini menguntungkan sekali
bagi perampok untuk menjalankan
niatnya. Rombongan perampok tinggal
menghujani mereka yang berada di bawah
dengan batu-batu besar dan kecil.
Kemudian, menyerang dari arah belakang
dan depan. Maka tidak ada jalan lolos
bagi rombongan itu.
Meskipun yakin kalau julukan
rekannya ditakuti kaum perampok, Cakar
Pengejar Sukma masih tetap merasa
khawatir juga. Tapi ternyata kekhawa-
tirannya sama sekali tidak terbukti.
Ketika hampir tiba di ujung dinding
yang terpampang di kanan kiri jalan,
tidak terjadi hal yang dikhawatirkan.
Baru setelah kira-kira sepuluh
tombak lagi keluar dari kungkungan
dinding tebing batu yang tinggi, hati
Cakar Pengejar Sukma agak tercekat.
Tampak agak jauh di depannya, berdiri
seorang laki-laki setengah tua
berpakaian coklat. Rambutnya merah,
dan digelung. Kakek ini berdiri
bertolak pinggang di tengah-tengah
jalan sempit itu.
"Dewa Rambut Merah...," desis
Cakar Pengejar Sukma. Keterkejutan
yang amat sangat menghias wajahnya.
Memang laki-laki berwajah pucat
kekuningan ini kenal betul pada kakek
berpakaian coklat itu.
Srattt, srattt..!
Sinar-sinar terang berkilauan
langsung berpendar, begitu para
prajurit yang berada di bagian depan
menghunus senjata masing-masing.
”Tahan...!"
Para prajurit yang sudah bersiap
segera menghentikan gerakan, begitu
mendengar cegahan. Mereka mengenal
betul, siapa pemilik suara itu. Cakar
Pengejar Sukma! Orang kepercayaan
junjungan mereka, Adipati Kalingga,
penguasa Kadipaten Campa. Sebentar
kemudian, Cakar Pengejar Sukma
melompat turun dari punggung kudanya.
"Hup!"
Ringan sekali gerakannya. Jelas,
ilmu meringankan tubuhnya telah cukup
tinggi. Secepat kedua kakinya menjejak
tanah, secepat itu pula Cakar Pengejar
Sukma melangkah maju. Sementara iring-
iringan kereta langsung berhenti.
Ternyata bukan hanya Cakar
Pengejar Sukma saja yang melangkah
maju. Lutung Tenaga Raksasa pun
melompat turun dari punggung kuda,
lalu melangkah maju. Dan bersama-sama
rekannya, dia berjalan menghampiri
kakek berpakaian coklat itu. Langkah
mereka berhenti begitu telah berjarak
sekitar empat tombak dari Dewa Rambut
Merah.
"Kalau mataku tidak salah lihat,
bukankah sekarang aku tengah
berhadapan dengan Dewa Rambut Merah?"
sapa laki-laki berwajah pucat
kekuningan itu. Nada suaranya
terdengar lembut dan sopan.
"Kalau betul, memangnya kenapa,
Anjing Kecil?!" sahut kakek berpakaian
coklat itu kasar.
Wajah Cakar Pengejar Sukma
seketika berubah merah. Kemarahan yang
hebat mulai membakar hati orang
kepercayaan Adipati Kalingga ini.
Dengan baik-baik dia bertanya, tapi
jawaban yang diterima benar-benar
menyakitkan!
Terdengar geram kemarahan dari
mulut Lutung Tenaga Raksasa. Bahkan
bukan hanya laki-laki tinggi besar ini
saja. Malah prajurit-prajurit yang
masih bersikap waspada pun
menggertakkan gigi, geram melihat
pemimpin mereka dihina.
Meskipun kemarahan hebat melanda
hatinya, Cakar Pengejar Sukma masih
berusaha bersabar. Rasa khawatir akan
keselamatan Adipati Kalinggalah yang
menyebabkan penghinaan itu ditelan
mentah-mentah. Ditariknya napas dalam-
dalam, lalu dihembuskan kuat-kuat,
untuk meredakan kemarahan yang
bergejolak dalam dadanya.
"Mengapa kau menghadang jalan
jami, Ki? Tidak tahukah kalau yang
berada dalam kereta itu Adipati
Kalingga?" suara Cakar Pengejar Sukma
sudah tidak selembut sebelumnya.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba tawa kakek yang
diyakini Cakar Pengejar Sukma sebagai
Dewa Rambut Merah meledak. Keras
sekali tawanya, dan pasti dikerahkan
lewat tenaga dalam penuh.
Kaki seluruh prajurit nampak
gemetar. Bahkan Cakar Pengejar Sukma
dan Lutung Tenaga Raksasa terpaksa
mengerahkan tenaga dalam untuk melawan
pengaruh suara tawa, yang membuat dada
bagai diguncang-guncang. Telinga
mereka pun terasa sakit bukan main.
Untunglah Dewa Rambut Merah tidak
meneruskan suara tawa. Dengan
demikian, para prajurit, Cakar
Pengejar Sukma, serta Lutung Tenaga
Raksasa tidak menderita terlalu lama.
"Kau kira aku takut pada Adipati
Kalingga, Kuda Buduk?! Ha ha ha...!
Lucu! Jangankan hanya adipati. Biar
raja sekalipun, aku tidak takut!"
sambung Dewa Rambut Merah lagi setelah
tawanya selesai. Nada kesombongan
nampak jelas, baik dalam raut wajah
mau pun suaranya.
"Jadi, apa maumu sebenarnya, Dewa
Rambut Merah?" tanya Cakar Pengejar
Sukma.
Hati laki-laki bermuka pucat itu
marah bercampur tegang, karena sudah
bisa memperkirakan apa yang akan
terjadi. Dia benar-benar marah, karena
sudah dua kali dihina Dewa Rambut
Merah.
"Hanya sepele saja...," jawab
Dewa Rambut Merah, bernada ringan.
"Apa itu?" Cakar Pengejar Sukma
masih mencoba bersabar.
"Nyawa kalian semua."
Tetap kalem jawaban kakek
berpakaian coklat itu. Seolah-olah,
yang diucapkannya hanya suatu masalah
yang sama sekali tidak ada harganya.
"Keparat!"
Terdengar geraman keras dari
mulut Lutung Tenaga Raksasa. Kema-
rahannya tidak bisa ditahan lagi.
Meskipun bukan dirinya yang mengalami
penghinaan, tapi baginya Cakar
Pengejar Sukma sudah lebih dari
seorang saudara. Maka tangannya pun
bergerak cepat. Sebatang tongkat
berwarna coklat dari kayu pohon daru-
daru, diputar-putarkan di atas kepala-
nya.
Wuk, wuk...!
Suara mengaung keras terdengar
begitu tongkat itu berputar cepat
laksana gasing. "Hiyaaa...!"
Seraya mengeluarkan teriakan
melengking nyaring, laki-laki tinggi
besar berkulit hitam ini melompat
menerjang. Tongkat yang digenggam
dalam kedua tangan, dibabatkan ke arah
kepala Dewa Rambut Merah.
Wuttt!
Desir angin keras hingga
menimbulkan suara mengaung, mengiringi
kedatangan serangan tongkat. Jelas,
tenaga dalam yang terkandung dalam
ayunan tongkat ini begitu kuat. Hal
ini tentu saja tidak aneh, mengingat
julukan yang disandang laki-laki
tinggi besar berkulit hitam ini.
Lutung Tenaga Raksasa!
"Hhh...."
Dewa Rambut Merah hanya
mendengus. Kemudian kaki kanannya
ditarik selangkah ke belakang, seraya
menarik kepala. Maka serangan itu
lewat setengah jengkal di depan
wajahnya.
Belum juga kakek berpakaian
coklat ini berbuat sesuatu, serangan
dari Cakar Pengejar Sukma menyambar
tiba. Laki-laki berwajah pucat
kekuningan ini tahu kalau bukan
tandingan Dewa Rambut Merah. Maka,
tanpa ragu-ragu lagi segera membantu
Lutung Tenaga Raksasa.
Dan sekali menyerang, Cakar
Pengejar Sukma sudah langsung
menggunakan senjata andalan. Sepasang
cakar besi yang bentuk dan panjangnya
sama seperti tangan manusia, mulai
dari sikut sampai ke jari-jari.
Cuittt, cuittt...!
Suara bercuitan nyaring dari
udara yang terobek gerakan cakar besi
itu mengiringi tibanya serangan Cakar
Pengejar Sukma. Yang kanan menyampok
keras ke atas kepala, sementara yang
kiri menyilang di depan dada.
Cepat dan mendadak sekali tibanya
serangan itu. Tapi masih lebih cepat
lagi gerakan yang dilakukan Dewa
Rambut Merah. Tubuh kakek berpakaian
coklat ini segera merunduk sehingga
serangan itu lewat di atas kepalanya.
Hembusan angin dingin sampai terasa ke
kulit kepala Dewa Rambut Merah, karena
cakar itu begitu dekat lewat di atas
kepalanya.
Baru saja serangan itu berhasil
dielakkan Dewa Rambut Merah, kembali
serangan Lutung Tenaga Raksasa
meluncur. Rupanya, kakek berpakaian
coklat ini sama sekali tidak diberi
kesempatan untuk balas menyerang.
***
Walaupun kedua orang lawannya
sama sekali tidak memberi kesempatan
untuk melancarkan serangan balasan,
namun Dewa Rambut Merah tak mengalami
kesulitan untuk mengelak. Memang
selama beberapa jurus pertama kakek
berpakaian coklat ini seperti
terdesak. Dihimpit dan dicecar terus-
menerus. Tapi menginjak jurus ke lima,
Dewa Rambut Merah mulai unjuk gigi.
Meskipun hanya bertangan kosong,
dan kedua lawannya menggunakan senjata
andalan masing-masing, Dewa Rambut
Merah ternyata mampu menahannya.
Bahkan perlahan namun pasti mulai
dapat mendesak.
"Haaat..!"
Sebelum Lutung Tenaga Raksasa
berbuat sesuatu, tangan kiri Dewa
Rambut Merah telah bergerak cepat
Tappp...! Tongkat kayu itu sudah
tertangkap.
Lutung Tenaga Raksasa kaget bukan
main. Dia berusaha sekuat tenaga
menarik tongkatnya kembali, tetapi
tongkat itu sama sekali tidak
bergeming!
Di jurus ke enam, Lutung Tenaga
Raksasa berteriak keras menggelegar
laksana guntur. Kemudian tongkat di
tangannya ditusukkan cepat ke arah
tenggorokan lawan.
Melihat hal itu, Dewa Rambut
Merah segera memiringkan sedikit
kepalanya, sehingga sodokan itu lewat
sejengkal di sebelah lehernya. Dan,
sebelum laki-laki tinggi besar
berkulit hitam itu berbuat sesuatu,
tangan kirinya telah cepat bergerak.
Tappp...!
Tongkat kayu kuat dan berat yang
terbuat dari batang pohon daru-daru
itu tertangkap.
Lutung Tenaga Raksasa kaget bukan
main melihat hal ini. Segera saja
seluruh tenaga yang dimiliki
dikerahkannya untuk menarik kembali
tongkatnya. Tapi kali ini, dia salah
duga. Tongkat itu sama sekali tidak
bergeming. Padahal seluruh tenaganya
telah dikerahkan, sehingga seluruh
urat di wajahnya bertonjolan keluar.
Sementara Dewa Rambut Merah terlihat
tenang-tenang saja. Tidak nampak
tanda-tanda kalau kakek itu
mengerahkan tenaga.
Pada saat yang gawat itu, Cakar
Pengejar Sukma melompat menerjang. Dan
dari atas, cakar besinya disabetkan ke
arah kepala Dewa Rambut Merah.
Cuittt...!
"Hih!"
Dewa Rambut Merah menggertakkan
gigi. Sedangkan tangannya yang
menggenggam tongkat, bergerak
mencengkeram. Terdengar suara
berkeretakan pelan, disusul hancurnya
tongkat pada bagian yang dicengkeram.
Karuan saja, hal ini membuat tubuh Lu-
tung Tenaga Raksasa terhuyung-huyung
ke belakang.
Berbarengan dengan itu, tubuh
kakek berpakaian coklat ini merendah
sehingga serangan Cakar Pengejar Sukma
lewat di atas kepala. Tidak hanya itu
saja. Tangannya segera bergerak cepat
menyambitkan patahan tongkat yang ada
di genggaman ke arah Lutung Tenaga
Raksasa yang tengah terhuyung-huyung
terbawa tenaga tarikan tongkatnya
sendiri.
Singgg...!
Suara mendesing nyaring terde-
ngar, begitu potongan tongkat
meluncur. Cepat bukan main lesatannya,
tak kalah dengan anak panah yang lepas
dari busur.
Dalam keadaan demikian, rupanya
Lutung Tenaga Raksasa tidak mampu
berbuat sesuatu. Matanya hanya
mendelik, menyiratkan ketakutan.
Maka....
Cappp!
Telak dan keras sekali potongan
tongkat itu menghunjam ubun-ubun
Lutung Tenaga Raksasa sehingga amblas
ke dalam kepalanya. Cairan merah
kental bercampur keputihan langsung
muncrat-muncrat dari ubun-ubunnya yang
pecah.
Seketika Lutung Tenaga Raksasa
meraung keras sambil memegangi
kepalanya. Tapi hanya sesaat saja,
karena kemudian tubuhnya ambruk dan
tidak bergerak lagi.
Cakar Pengejar Sukma kaget bukan
main melihat kejadian yang menimpa
rekannya. Perasaan marah dan sedih
langsung bergejolak dalam dada. Dan
perasaan yang bercampur aduk itu
dilampiaskan dengan amukan membabi
buta terhadap Dewa Rambut Merah.
Pada kenyataannya, kepandaian
laki-laki kurus itu memang jauh di
bawah kepandaian Dewa Rambut Merah.
Maka tidak heran kalau setiap
serangannya dapat dipatahkan dengan
mudah oleh kakek berpakaian coklat
itu.
"Hiyaaa...!"
Kembali pada jurus ke sembilan,
cakar besi di tangan Cakar Pengejar
Sukma menyambar deras ke arah pelipis
Dewa Rambut Merah. Lagi-lagi kakek
berpakaian coklat itu mendoyongkan
tubuhnya ke belakang, tanpa menggeser
kaki. Maka serangan itu lewat di depan
wajahnya.
Dan sebelum Cakar Pengejar Sukma
sempat berbuat sesuatu, kaki kiri Dewa
Rambut Merah telah bergerak cepat.
Wuttt..!
Bukkk!
Suara berderak keras dari tulang
patah, terdengar begitu kaki kakek
berpakaian coklat itu mengenai
pinggang Cakar Pengejar Sukma. Memang
telak dan keras sekali, sehingga tubuh
laki-laki berwajah pucat kekuningan
itu terjengkang ke belakang.
Dan belum lagi Cakar Pengejar
Sukma berbuat sesuatu, Dewa Rambut
Merah sudah menghentakkan kedua tangan
dengan jari-jari terbuka ke depan.
Wusss!
Bresss!
Terdengar jeritan menyayat dari
mulut Cakar Pengejar Sukma. Tubuhnya
seketika kembali melayang jauh ke
belakang. Darah segar seketika keluar
dari mulut, hidung, dan tetinganya.
Pengawal kepercayaan Adipati Kalingga
ini pun tewas seketika, tanpa mampu
bergerak lagi.
Tentu saja kematian dua orang
andalan itu membuat prajurit-prajurit
pengawal Adipati Kalingga kaget bukan
main. Bahkan Adipati Kalingga yang
melihat kejadian dengan melongokkan
kepala dari pintu kereta, begitu
terperanjat
Tapi hanya sebentar saja
keterkejutan yang melanda para
prajurit itu. Yang tinggal kini
hanyalah kemarahan bergelora. Maka
sambil berteriak melengking nyaring,
seluruh prajurit yang berjumlah dua
belas orang itu menerjang Dewa Rambut
Merah dengan senjata terhunus.
Singgg, singgg, singgg...!
Suara berdesing nyaring terdengar
mengiringi tibanya serangan. Tapi,
Dewa Rambut Merah sama sekali tidak
kelihatan gugup. Tubuhnya enak saja
berkelebatan di antara hujan serangan
para pengeroyoknya. Memang dengan ilmu
meringankan tubuh yang berada amat
jauh di atas lawan-lawannya, bukan
merupakan kesulitan untuk mengelakkan
semua serangan.
Sebaliknya setiap kali dia
melancarkan serangan balasan, sudah
dapat dipastikan akan ada sosok tubuh
yang roboh dalam keadaan tidak
bernyawa lagi.
Jerit kematian terdengar saling
susul, mengiringi setiap tubuh
bergelimpang tanpa nyawa. Sesaat
kemudian, tidak ada lagi seorang
prajurit pun yang tersisa. Semuanya
telah roboh bergeletakan di tanah.
"Ha ha ha...!"
Dewa Rambut Merah tertawa
bergelak. Ditatapnya sejenak mayat-
mayat yang bergelimpangan di tanah.
Kemudian dengan langkah-langkah lebar,
dihampirinya kereta.
Tapi sekitar tiga tombak dari
kereta, langkahnya dihentikan. Tampak
seorang laki-laki setengah tua
bertubuh pendek gemuk sudah membuka
pintu kereta dan melompat keluar. Di
tangannya sudah tergenggam sebatang
pedang. Rupanya, Adipati Kalingga juga
berniat mengadakan perlawanan.
"Ha ha ha...!"
Tawa Dewa Rambut Merah kembali
meledak. Sama sekali tidak dipedulikan
sikap adipati dari Kadipaten Campa
ini. Kakinya terus melangkah
menghampiri.
"Haaat...!"
Adipati Kalingga memekik
melengking nyaring, kemudian meluruk
ke arah Dewa Rambut Merah. Seketika
pedang di tangannya dibabatkan ke arah
leher.
"Hmh...!"
Dewa Rambut Merah mendengus.
Sekali lihat saja, kakek ini sudah
tahu tingkat kepandaian Adipati Ka-
lingga. Dengan gerakan sembarangan,
tangan kirinya digerakkan untuk
menangkis.
Takkk!
Terdengar suara berderak keras,
seolah-olah yang berbenturan dengan
pedang bukan tangan manusia, melainkan
dua batang logam yang amat keras.
Adipati Kalingga menyeringai.
Seketika sekujur tubuhnya bergetar
hebat. Bahkan tangan yang menggenggam
pedang pun terasa lumpuh seketika. Tak
pelak lagi, senjata yang digenggamnya
pun terlepas dan jatuh ke tanah.
Di saat itulah tangan kanan Dewa
Rambut Merah menotok cepat ke arah
leher. Adipati Kalingga terkejut bukan
main. Sebisa-bisanya, dia berusaha
mengelak. Tapi....
Tukkk!
Telak dan keras sekali, totokan
tangan kakek berpakaian coklat itu
menghantam sasarannya. Seketika itu
juga, sepasang mata laki-laki bertubuh
pendek gemuk ini mendelik. Beberapa
saat Adipati Kalingga mampu berdiri,
kemudian ambruk tak bergeming lagi.
"Ha ha ha...!"
Untuk yang kesekian lakinya,
meledaklah tawa dari mulut Dewa Rambut
Merah. Sepertinya sebuah tawa
kemenangan. Sesaat kemudian tubuhnya
melesat dari situ, tanpa menghentikan
tawanya. Dia terus berlari sambil
mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Suara tawa kakek berpakaian
coklat itu semakin lama semakin pelan.
Seiring dengan tubuhnya yang semakin
menjauh, suara tawa itu semakin sayup-
sayup terdengar.
2
"Aneh...," desah seseorang ber-
tubuh kekar dan berpakaian abu-abu,
pelan. Sepasang matanya menatap lekat-
lekat ke depan. Dahinya nampak ber
kernyit dalam. Jelas ada sesuatu yang
membuatnya bersikap begitu.
Menilik dari keadaan rambut,
kumis, dan jenggotnya yang telah
memutih, bisa ditebak kalau orang itu
telah berusia lanjut. Tapi anehnya,
kulit wajahnya tidak menunjukkan kalau
dia telah berusia lanjut. Kulit wa-
jahnya masih kencang, tidak terlihat
kendor ataupun keriput.
Kakek berpakaian abu-abu itu
masih tetap melayangkan pandangannya
ke depan, meskipun kedua kakinya terus
saja melangkah.
“Tidak salahkah penglihatanku?"
gumam kakek itu perlahan. "Bukankah
itu burung-burung pemakan bangkai?
Tapi, mengapa berkeliaran di sana?
Apakah ada sesuatu yang menarik per-
hatian binatang-binatang itu?"
Sambil berkata demikian, kakek
berpakaian abu-abu itu menyipitkan
sepasang kelopak matanya untuk
memperjelas pandangan. Memang jauh di
depannya, di udara nampak titik-titik
hitam berkeliaran dan berputar-putar
di tempat itu.
"Ah, benar! Tidak salah lagi! Itu
adalah burung-burung pemakan bangkai!"
cctus kakek itu lagi. "Pasti ada
sesuatu yang menarik perhatian
binatang itu."
Setelah yakin akan dugaannya,
mendadak gerakan kakek berpakaian abu
abu ini berubah. Semula hanya
melangkah perlahan-lahan saja, tapi
kini tubuhnya melesat cepat laksana
kilat ke depan.
Ternyata kakek berpakaian abu-abu
ini bukan orang sembarangan. Terbukti,
sekali kakinya bergerak tubuhnya sudah
berada sekitar sembilan tombak di
depan. Dan sesaat kemudian, yang
teriihat hanyalah kelebatan bayangan
yang melesat cepat ke depan. Gerakan
kakek ini cepat bukan main, karena
ditunjang ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkat tinggi. Dan
sesaat kemudian, dia sudah mendekati
tempat burung pemakan bangkai
berkerumun.
"Ah…!”
Terdengar desah keterkejutan dari
mulut kakek berpakaian abu-abu itu,
begitu melihat pemandangan yang ada di
depannya. Tampak belasan mayat
bergelimpangan di tanah, bermandikan
darah.
Kakek berpakaian abu-abu ini
semakin mempercepat langkahnya. Dan
semakin dekat jaraknya, semakin
jelaslah keadaan mayat-mayat yang
bergelimpangan di tanah itu. Dahi
kakek berpakaian abu-abu ini
berkernyit begitu melihat sebagian
besar mayat itu berseragam prajurit
Terdengar suara gemeretak dari
mulut kakek berjenggot dan berambut
putih itu begitu melihat burung-burung
pemakan bangkai tengah sibuk berpesta
pora. Segera kedua tangannya diputar
di depan dada, dengan arah gerakan
dari luar ke dalam.
Hebat akibatnya! Dari kedua
tangan yang berputaran itu berhembus
angin keras ke arah burung-burung
pemakan bangkai. Seketika binatang-
bmatang itu berkaokan keras, kemudian
buyar beterbangan kembali ke udara
walaupun masih tetap terbang
berputaran di atas mayat-mayat itu.
Rupanya kelompok burung itu tidak rela
meninggalkan makanan empuk yang sudah
terhidang di hadapan mereka.
"Biadab...!" seru kakek
berpakaian abu-abu itu, geram. "Hanya
iblis sajalah yang bisa berbuat sekeji
ini!"
Sambil mengomel panjang pendek,
diperiksanya mayat-mayat yang
tergeletak satu persatu. Sesekali, dia
terpaksa mengirimkan serangan jarak
jauh ketika burung-burung pemakan
bangkai rupanya masih penasaran untuk
menyambar 'makanan mereka'.
Pada sosok tubuh salah seorang
prajurit, wajah kakek berpakaian abu-
abu ini berubah. Ada secercah
kekagetan di wajahnya. Betapa tidak?
Prajurit itu ternyata belum mati!
Begitu mengetahui hal ini,
semangatnya timbul kembali. Kakek itu
berpikir, tentu tidak hanya satu orang
saja yang selamat.
Tapi betapa kecewa hatinya,
begitu mengetahui kalau tidak ada lagi
yang selamat. Semuanya telah tewas,
kecuali satu orang prajurit tadi.
Diperhatikannya wajah prajurit itu.
Masih muda dan cukup tampan. Tampak
sebaris kumis tipis menghiasi atas
bibirnya. Anehnya, prajurit itu tidak
mengalami luka yang berarti, dan hanya
pingsan saja.
Kakek berpakaian abu-abu itu lalu
mengeluarkan sebuah kendi kecil dari
buntalan kain yang tersandang di
bahunya. Dibukanya mulut kendi itu,
kemudian didekatkan ke hidung prajurit
yang pingsan.
"Ohhh...!"
Terdengar keluhan lirih dari
mulut prajurit itu. Rupanya uap yang
kehiar dari kendi itu keras sekali,
sehingga mampu membuat laki-laki
berkumis tipis itu siuman dari
pingsannya.
Beberapa saat lamanya prajurit
itu menggoyang-goyangkan kepalanya.
Sepasang kelopak matanya pun mulai
mengerjap-ngerjap.
"Siapa kau?" tanya prajurit itu
tatkala pandangannya tertumbuk pada
sepasang mata kakek berpakaian abu-abu
yang berjongkok di hadapannya.
"Aku sudah tidak ingat namaku
lagi, Anak Muda," sahut kakek itu.
Mulutnya tampak menyunggingkan senyum
lebar. "Tapi..., orang-orang mengenal-
ku sebagai Dewa Obat Tangan
Delapan...."
"Ah...!"
Sepasang mata laki-laki berkumis
tipis itu membelalak lebar. Rasa
terkejut yang amat sangat nampak jelas
memancar di wajahnya. Ucapan kakek
itulah yang membuatnya terkejut. Siapa
yang tidak kenal julukan Dewa Obat
Tangan Delapan? Tokoh itu adalah satu
di antara datuk-datuk dunia
persilatan.
"Jadi..., kau adalah datuk yang
terkenal itu, Kek?"
"Tidak usah memusingkan hal itu,
Anak Muda," sergah kakek berpakaian
abu-abu yang ternyata berjuluk Dewa
Obat Tangan Delapan. Pelan dan lembut
suaranya. "Yang penting, ceritakan.
Apa yang terjadi di tempat ini?"
Ucapan Dewa Obat Tangan Delapan
membuat prajurit itu teringat kembali
pada kejadian yang menimpa kawan-
kawannya.
"Ohhh...!"
Ada nada keluhan dari mulut
prajurit itu melihat keadaan junjungan
dan rekan-rekannya telah tewas.
Sepasang matanya beredar berkeliling,
sementara wajahnya pucat pasi.
"Mereka semua telah tewas," ucap
Dewa Obat Tangan Delapan dengan suara
ditekan.
Dan memang, sebenarnya hati kakek
ini sedih sekali. Sebagai orang yang
berjuluk Dewa Obat, tidak ada
kesenangan lain baginya kecuali bisa
mengobati orang lain sampai sembuh.
Sebisa-bisanya akan diusahakan untuk
menyelamatkan nyawa seseorang. Tapi,
kini di depannya bergeletakan belasan
sosok tanpa nyawa. Bagaimana hati
kakek ini tidak menjadi sedih?
"Biadab...!" prajurit itu
berteriak memaki.
"Tidak ada gunanya semua ini
disesali, Anak Muda," hibur kakek
berpakaian abu-abu itu pelan. "Mayat-
mayat ini harus kita kuburkan sebelum
menjadi santapan burung-burung pemakan
bangkai itu."
Kepala prajurit itu mendongak,
mengikuti arah tudingan telunjuk Dewa
Obat Tangan Delapaa Memang tampak,
banyak sekali burung berwarna hitam
berkaokan keras, beterbangan di
sekitar tempat itu.
Sekali lagi prajurit itu menatap
ke arah mayat-mayat yang
bergelimpangan tak tentu arah,
kemudian beralih pada kakek berpakaian
abu-abu itu. Pandangannya tampak
menyiratkan kebingungan.
"Sampai kapan kita dapat mengubur
mayat sebanyak ini?" tanya prajurit
itu pelan. "Lagi pula tanah di sini
sangat keras. Paling tidak membutuhkan
waktu yang lebih lama untuk membuat
sebuah lubang yang cukup besar...."
Dewa Obat Tangan Delapan sama
sekali tidak menyahuti ucapan bernada
putus asa dari prajurit itu. Bibirnya
hanya tersenyum saja, kemudian kakinya
melangkah meninggalkan tempat itu.
Tentu saja hal ini membuat
prajurit itu kaget bukan main.
''Tunggu sebentar, Dewa Obat!"
teriak prajurit itu seraya berlari
mengejar.
"Ada apa lagi Anak Muda?" Dewa
Obat Tangan Delapan menghentikan
Iangkah, seraya membalikkan tubuhnya.
"Nggg..., maaf.... Kau mau ke
mana, Dewa Obat?" tanya laki-laki
berkumis tipis itu.
"Mencari tempat yang cocok untuk
mengubur mayat-mayat ini," jawab kakek
berpakaian abu-abu itu. ''Tunggu saja
di sana. Jaga mayat teman-temanmu dari
gangguan binatang-binatang keparat
itu."
Seketika wajah prajurit itu pun
memerah. Malu. Hatinya telah menyangka
yang tidak-tidak pada Dewa Obat Tangan
Delapan. Tanpa berkata apa-apa, tubuh-
nya dibalikkan dan segera kembali ke
tempat semula.
"Burung keparat!" maki prajurit
itu begitu melihat beberapa ekor
burung yang bergerak turun. Seketika
itu juga dipungutnya sebuah batu
sebesar kepalan tangan, kemudian
dilemparkannya ke arah kerumunan
burung itu.
Wusss!
Batu itu tidak mengenai sasaran
karena burung-burung itu telah lebih
dulu terbang kembali sambil
mengeluarkan suara berkaokan nyaring.
Dewa Obat Tangan Delapan hanya
tersenyum saja. Kemudian kakinya
kembali melangkah, dan baru terhenti
ketika menemukan sebuah tempat yang
cukup baik untuk menguburkan mayat-
mayat itu. Letaknya dekat pohon-pohon.
Jauh dari jalan, namun tidak jauh dari
tempat mayat-mayat berada.
Kakek berpakaian abu-abu itu
melangkah mundur tiga tindak. Dia
berdiri tegak dengan sepasang mata
mencorong tajam, memandang ke tanah.
Kemudian....
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan teriakan
nyaring, kedua tangannya dihentakkan
ke depan.
Wusss!
Angin berhembus keras menyambar
ke depan. Dan....
Blarrr...!
Terdengar ledakan keras begitu
angin pukulan yang dilancarkan Dewa
Obat Tangan Delapan menghantam
sasaran. Batu-batu kecil berpentalan,
debu mengepul tinggi ke udara. Dan
begitu debu itu lenyap, terlihat
sebuah lubang yang cukup besar. Hal
itu terus dilakukannya berkali-kali
sampai terbentuk dua buah lubang
besar.
***
"Hhh...!"
Prajurit berkumis tipis menghela
napas berat, kemudian perlahan-lahan
bangkit dari bersimpuhnya. Memang
sudah agak lama dia berlaku seperti
itu, di depan dua buah gundukan tanah
besar, berisi mayat rekan-rekan dan
junjungannya.
Prajurit itu kemudian
melangkahkan kakinya menghampiri Dewa
Obat Tangan Delapan yang sejak tadi
hanya berdiri saja mengawasi.
"Hampir saja aku lupa. Siapa
namamu, Anak Muda?"
"Ganda, Kek," jawab prajurit itu.
Terpaksa panggilannya pada Dewa Obat
Tangan Delapan dirubah, karena kakek
itu merasa keberatan jika dipanggil
julukannya.
"Bisa kau ceritakan, mengapa
semua ini bisa terjadi, Anak Muda?"
tanya Dewa Obat Tangan Delapan lagi.
Suaranya terdengar pelan dan lembut.
Tidak ada nada desakan di dalamnya.
Prajurit yang ternyata bernama
Ganda, tampak lesu. Kemudian
diceritakan semua yang terjadi,
dialami, dan didengarnya.
"Kalau saja tengkukku tidak
terkena hantaman gagang tombak yang
nyasar hingga membuatku pingsan,
mungkin aku sudah tewas juga," ucap
Ganda mengakhiri ceritanya.
Wajah Dewa Obat Tangan Delapan
berubah hebat.
"Tidak mungkin!" bantah kakek
itu. Raut wajah dan nada suaranya
menyorotkan ketidakpercayaan.
"Apanya yang tidak mungkin, Kek?"
tanya Ganda, merasa heran melihat
keterkejutan Dewa Obat Tangan Delapan.
"Pelaku pembunuhan ini."
"Maksudmu, Kek?" laki-laki
berkumis tipis ini belum mengerti.
"Aku tidak percaya kalau Dewa
Rambut Merah yang melakukan semua
ini!"
“Tapi, nama itulah yang kudengar
dari mulut Cakar Pengejar Sukma, Kek.
Dan, aku yakin kalau dia tidak mungkin
salah mengenali orang!"
"Hhh...!"
Dewa Obat Tangan Delapan hanya
mendesah pelan.
"Kek...."
"Hm...," kakek berpakaian abu-abu
itu menggumam, seraya menolehkan
kepalanya.
"Aku tidak bisa berlama-lama di
sini, Kek. Semua peristiwa ini harus
kuberitahukan pada anak Gusti Adipati
di Desa Kujang. Kuucapkan banyak
terima kasih atas pertolonganmu."
Dewa Obat Tangan Delapan hanya
mengangkat bahunya saja. Sama sekali
ucapan laki-laki berkumis tipis itu
tidak disahuti. Menilik dari kernyit
pada dahi dan sepasang mata yang
menatap lurus pada sebuah titik, dapat
diketahui kalau kakek ini tengah
berpikir keras.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Ganda segera melangkah menghampiri
kereta kuda. Untung dengan adanya
kereta, kuda-kuda itu tidak bisa
melarikan diri seperti kuda lainnya.
Dengan agak terburu-buru, kedua
kuda itu dilepaskan dari keretanya.
Yang satu ditambatkan di pintu kereta.
Barangkali saja Dewa Obat Tangan
Delapan ingin memakainya. Sementara
yang lain dituntunnya.
"Hup...!"
Dengan sebuah gerakan indah dan
manis, Ganda melompat ke punggung
kuda. Dan secepat tubuhnya sudah
berada di punggung kuda, secepat itu
pula tali kekang kudanya dihentakkan,
seraya mulutnya berdecak pelan.
Seketika itu juga, kuda itu melesat
cepat ke depan.
Debu mengepul tinggi ke udara
begitu kuda itu berlari cepat
meninggalkan Dewa Obat Tangan Delapan.
Kakek itu masih saja termenung dengan
dahi berkernyit. Sama sekali kepalanya
tidak menoleh hingga Ganda lenyap
ditelan jalan. Bahkan ucapan terima
kasih laki-laki berkumis tipis yang
dilontarkan sekali lagi tidak
dihiraukan sama sekali.
Beberapa saat kemudian kakinya
melangkah menghampiri kuda yang
tertambat di kereta, lalu melepaskan
tali ikatan binatang itu. Kemudian
dengan sebuah gerakan indah dan manis,
kakek ini melompat naik ke punggung
kuda. Dewa Obat Tangan Delapan lalu
menghentakkan tali kekang kudanya.
Suara derap langkah kuda terdengar
mengoyak keheningan yang menggigit
***
"Hiya...! Hiya...!"
Ctarrr...!
Ganda melecutkan pecutnya
berkali-kali ke bagian belakang tubuh
kuda, memaksa agar berlari secepat
mungkin. Laki-laki berkumis tipis itu
secepatnya ingin memberitahukan berita
yang menggemparkan ini pada anak
Adipati Kalingga.
Suatu keuntungan bagi Ganda.
Ternyata kuda itu adalah seekor kuda
pilihan yang kuat dan kencang larinya.
Sehingga keinginannya agar kuda
berlari kencang, terkabul.
Kecepatan lari kuda itu tetap
tidak berubah ketika memasuki tembok
batu batas Desa Kujang. Ganda tetap
memacu kudanya. Bahkan pecutnya pun
berkali-kali menjilat bagian belakang
tubuh kuda itu.
Karuan saja beberapa orang yang
kebetulan berada di jalan utama desa
itu, bergegas menyingkir. Beberapa di
antara mereka ada yang menyumpah-
nyumpah. Namun makiannya segera
dihentikan sambil menyelinap kabur
begitu melihat pakaian yang dikenakan
Ganda.
Tapi laki-laki berkumis tipis
yang tengah kalap itu, tidak
mempedulikan apa pun lagi. Yang ada di
benaknya hanya satu. Menyampaikan
kabar secepatnya kepada putra Adipati
Kalingga di Desa Kujang.
Beberapa saat kemudian, rumah-
rumah penduduk semakin jarang
terlihat. Semakin lama semakin
sedikit, sampai akhirnya tidak ada
sama sekali.
"Hooop...!"
Ganda menarik tali kekang
kudanya. Dan seketika, binatang
tunggangan itu menghentikan larinya.
"Hup!"
Laki-laki berkumis tipis ini
melompat turun dari kuda. Kemudian,
ditambatkannya kuda berwarna coklat
putih itu di sebatang pohon. Baru
setelah itu kakinya melangkah menuju
pondok.
Kriiit..!
Terdengar suara berderit tajam,
disusul dengan terbukanya daun pintu
pondok itu ketika jarak antara Ganda
dengan pintu itu masih ada lima
tombak.
Dan begitu daun pintu itu terbuka
lebar, nampak seraut wajah tua muncul
di balik pintu. Seorang kakek bertubuh
tinggi kurus bagai bambu. Pakaiannya
putih. Wajahnya juga beralis putih.
Tidak ada kumis, atau jenggot yang
menghias wajahnya.
Ganda segera membungkukkan
tubuhnya sedikit.
"Maaf, Kek. Bisakah aku bertemu
Dewa Angin Puyuh?" tanya Ganda sopan.
"Aku sendiri orang yang kau cari
itu, Anak Muda," sahut kakek beralis
putih yang ternyata berjuluk Dewa
Angjn Puyuh. "Kau siapa? Dan apa
keperluanmu mencariku?"
"Aku pasukan Kadipatan Campa,
Kek. Namaku Ganda. Maksud kedatanganku
kemari, ingin menyampaikan sebuah
berita."
"Ah...!"
Dewa Angin Puyuh berseru kaget.
Bergegas dipersilakannya laki-laki
berkumis tipis itu masuk ke dalam
dengan tergopoh-gopoh. Memang, tadi
kakek beralis putih ini sudah
mempunyai sebuah dugaan begitu melihat
pakaian prajurit yang dikenakan Ganda.
Mungkinkah prajurit ini yang akan
menjemput pulang putra Adipati
Kalingga?
Tapi, dugaan itu segera dibuang
jauh-jauh begitu teringat kalau
Adipati Kalingga akan datang sendiri
menjemput putranya. Sekaligus, hendak
bertemu kembali dengan sahabat lama.
Memang Adipati Kalingga dan Dewa Angin
Puyuh merupakan sahabat kental sejak
kecil.
Kini, begitu mendengar ucapan
Ganda, kakek beralis putih ini jadi
cemas. Dewa Angin Puyuh menduga, ada
kejadian buruk yang menimpa rombongan
Adipati Kalingga. Sikap dan keadaan
prajurit yang bernama Ganda lebih
memperkuat dugaannya.
"Di mana Raden Palageni?" tanya
prajurit Kadipaten Campa itu begitu
duduk di sebuah kursi di ruangan
dalam.
"Ada di belakang," sahut kakek
beralis putih itu. Kemudian, bibirnya
berkemik-kemik tapi tidak ada suara
yang keluar. Ganda memandangnya penuh
keheranan.
"Apa yang telah dilakukan kakek
ini?" tanya laki-laki berkumis tipis
ini dalam hati.
Sama sekali prajurit Kadipatan
Campa ini tidak tahu kalau Dewa Angin
Puyuh tengah memberitahukan pesan pada
Palageni yang tengah berada di kebun
belakang. Inilah ilmu 'Mengirim Suara
dari Jauh'.
Tak lama kemudian, dari ruang
dalam melangkah tenang seorang pemuda
tampan, berkulit putih, dan beralis
tebal dan hitam. Pakaiannya terbuat
dari bahan sederhana dan berwarna
kuning.
"Orang ini adalah anggota pasukan
ayahmu, Palageni," jelas Dewa Angin
Puyuh bernada memberi tahu.
Pemuda berbaju kuning yang
ternyata bernama Palageni itu segera
mengulurkan tangan pada Ganda. Agak
bergegas, laki-laki berkumis tipis ini
menyambut uluran tangan itu setelah
terlebih dahulu memberi hormat dan
memperkenalkan namanya.
"Mana Ayah, Ganda? Mengapa kau
hanya datang sendiri?" tanya Palageni
tak sabaran.
"Sabar, Palageni. Duduklah dulu.
Ganda ingin menceritakannya. Itulah
sebabnya, aku memanggilmu," Dewa Angin
Puyuh menenangkan muridnya.
Pemuda berbaju kuning itu pun
duduk. Sedangkan Ganda kini mengerti,
mengapa kakek beralis putih ini tadi
komat-kamit tanpa ada suara yang
keluar dari mulutnya. Rupanya kakek
itu tengah memanggil muridnya.
Meskipun demikian, tetap saja laki-
laki berkumis tipis ini tidak
mengetahui, bagaimana hal itu bisa
terjadi.
"Nah! Sekarang ceritakanlah,
Ganda," ujar Dewa Angin Puyuh lagi.
Ganda menarik napas panjang-
panjang, lalu menghembuskannya kuat-
kuat sebelum memulai ceritanya.
Sebentar ditatapnya wajah Palageni
dengan perasaan khawatir. Dia takut
kalau batin pemuda itu terguncang.
Palageni bukan orang bodoh. Malah
sebaliknya, pemuda berbaju kuning ini
begitu cerdik. Maka saat melihat
kedatangan Ganda seorang diri tanpa
ayahnya, dan pasukan pengawal lainnya,
dia sudah mempunyai dugaan buruk.
Kini dengan hati berdebar tegang,
ditunggunya ucapan yang akan keluar
dari mulut prajurit berkumis tipis
itu.
Ganda lalu menceritakan semuanya.
Seperti yang telah diceritakannya pada
Dewa Obat Tangan Delapan.
"Begitulah kejadiannya, Kek, Den
Palageni," ucap Ganda menutup
ceritanya.
"Jahanam!" Palageni memekik keras
begitu Ganda menyelesaikan ceritanya.
Wajah pemuda berbaju kuning ini merah
padam. Sepasang bola matanya berkilat-
kilat penuh kemarahan. Terdengar suara
berkerotokan keras ketika putra
Adipati Kalingga ini mengepalkan kedua
tangannya. Napasnya pun memburu
dahsyat.
Bukan hanya Palageni saja yang
dilanda perasaan terkejut yang bukan
alang kepalang. Bahkan Dewa Angin
Puyuh pun mengalami hal yang sama.
Adipati Kalingga adalah sahabat
kentalnya sewaktu kecil. Tapi berbeda
dengan muridnya, kakek yang telah
kenyang pengalaman hidup ini mampu
mengendalikan perasaannya. Sehingga
kekagetan itu tidak nampak pada
wajahnya, kecuali desahan napas berat
yang keluar dari mulutnya. Sementara
dahinya berkernyit dalam. Kakek ini
seperti juga Dewa Obat Tangan Delapan,
tidak mempercayai berita yang
didengarnya.
"Dewa Rambut Merah! Tunggulah
pembalasanku!" desis Palageni tajam
dan bergetar.
Jelas kalau ucapan itu keluar
dari hati yang bergolak menahan amarah
yang meluap-luap. Ada ancaman maut
terkandung dalam suaranya.
Dewa Angin Puyuh menatap wajah
muridnya tajam-tajam. Tampak jelas
kalau tatapan kakek beralis putih ini
mengandung teguran.
“Tahan dulu amarahmu, Palageni,"
ujar kakek itu bernada menasihati.
“Tapi, Guru. Bagaimana mungkin
aku mendiamkan saja semua kekejaman
ini! Ayahku dan semua pengawal dibunuh
secara kejam. Haruskah aku tinggal
diam begitu saja?" bantah pemuda
berbaju kuning itu agak keras.
"Aku tidak menyuruhmu
membiarkannya, Palageni," sahut Dewa
Angin Puyuh kalem. "Aku hanya
menyuruhmu menahan amarah. Kita harus
selidiki dulu kebenarannya...."
"Apa lagi yang harus diselidiki,
Guru?" Palageni masih membantah.
"Sudah jelas kalau pembunuhnya adalah
Dewa Rambut Merah."
"Jangan terburu-buru yakin akan
kebenarannya, Palageni," suara Dewa
Angin Puyuh kini terdengar agak keras.
"Hhh...!"
Palageni menghela napas berat.
Kedua tangannya ditekapkan ke
wajahnya. Pemuda berbaju kuning ini
tidak lagi membantah, karena merasakan
adanya tekanan dalam ucapan gurunya
yang terakhir. Ucapan yang tidak
menghendaki ada bantahan darinya.
"Lalu, sekarang apa yang harus
kulakukan, Guru?" tanya Palageni
setelah beberapa saat lamanya berusaha
menenangkan amarah yang meledak-ledak.
"Bukan kau," ralat Dewa Angin
Puyuh.
"Bukan aku?" dahi pemuda berbaju
kuning itu berkernyit. "Lalu siapa,
Guru?"
"Kita...."
"Kita?" Palageni masih belum
mengerti. Peristiwa yang didengarnya
dari mulut Ganda membuat otaknya
buntu. Tidak bisa digunakan untuk
berpikir.
"Ya. Kau dan aku," tandas kakek
beralis putih itu tegas.
"Mengapa begitu, Guru?"
"Karena kalau benar pelakunya
adalah Dewa Rambut Merah, meskipun aku
yakin kalau pelakunya bukan dia, kau
tidak akan mampu menghadapinya."
Palageni terdiam. Barulah di-
sadari kebenaran ucapan gurunya. Dewa
Rambut Merah adalah salah seorang dari
datuk-datuk persilatan, seperti juga
gurunya, Dewa Angin Puyuh.
"Kalau begitu, aku pamit saja,
Kek, Den," pamit Ganda sambil bergerak
bangkit dari duduknya.
“Tidak ikut bersama kami, Ganda?"
kata Dewa Angin Puyuh menawarkan.
“Terima kasih, Kek. Aku harus
kembali dulu ke kadipaten."
Kali ini kakek beralis putih itu
tidak menahan lagi. Dibiarkannya saja
prajurit berkumis tipis itu melangkah
ke luar.
3
Cuaca siang ini panas sekali.
Matahari memancarkan sinarnya seperti
hendak membakar permukaan bumi. Tapi,
hal itu seperti tidak dirasakan dua
sosok tubuh yang tengah bergerak cepat
menuju puncak Gunung Caringin. Dua
sosok tubuh itu ternyata Dewa Angin
Puyuh dan Palageni.
"Guru...," sambil tetap
mengayunkan kakinya, Palageni membuka
suara.
"Hm...," Dewa Angin Puyuh hanya
bergumam pelan untuk menyahuti
panggilan muridnya.
"Dari mana Guru mengetahui tempat
tinggal Dewa Rambut Merah?" tanya
Palageni.
"Hhh...!"
Dewa Angin Puyuh menghela napas
panjang sebelum menjawab pertanyaan
itu. Sementara Palageni menunggu
dengan sabar. Diam-diam hati pemuda
berbaju kuning itu heran juga melihat
sikap gurunya yang tidak biasanya
seperti ini. Tampaknya, Dewa Angin
Puyuh tengah dilanda kebingungan yang
amat sangat.
"Aku kenal betul siapa Dewa
Rambut Merah itu, Palageni," sahut
Palageni setebh beberapa saat lamanya
termenung.
"Ahhh...!" Palageni terperanjat.
Bukan ucapan itu yang membuat
Palageni terkejut. Tapi nada suara
yang tersembunyi di dalamnya terdengar
begitu getir dan kering.
"Kau terkejut, Palageni?" tanya
Dewa Angin Puyuh.
Kakek beralis putih itu menoleh.
Sepasang matanya menatap wajah
muridnya lekat-lekat
Pemuda berbaju kuning itu menelan
ludah untuk membasahi tenggorokannya
yang mendadak kering. Perlahan-lahan
kepalanya terangguk.
"Kalau boleh kutahu, sampai
seberapa jauh Guru mengenalnya?" desak
Palageni, serak.
"Aku mengenalnya seperti mengenal
diriku sendiri...," sahut Dewa Angin
Puyuh. Pelan suaranya, lebih mirip
desahan.
Palageni terperangah, sampai-
sampai langkahnya dihentikan. Dewa
Angin Puyuh juga ikut berhenti. Ucapan
itu memberi petunjuk, betapa dekat
hubungan gurunya dengan Dewa Rambut
Merah.
"Oleh karena itulah, Palageni,''
sambung Dewa Angin Puyuh lagi. "Terus
terang kukatakan padamu, aku tidak
percaya kalau pembunuhan itu dilakukan
oleh Dewa Rambut Merah...."
Pemuda berbaju kuning itu pun
terdiam seketika. Sementara Dewa Angin
Puyuh tidak lagi melanjutkan ucapan
nya. Maka kini, keheningan menyelimuti
mereka.
Keduanya lalu melanjutkan langkah
tanpa berkata kata lagi. Sepasang kaki
mereka berlompatan ke sana kemari,
mempergunakan ilmu meringankan tubuh
sehingga tak lama kemudian telah
terlihat sebuah pondok berdinding
bilik. Kontan langkah kedua orang ini
pun semakin dipercepat. Dan kini
mereka telah berhenti sekitar tiga
tombak di depan pondok bilik.
"Dewa Rambut Merah...! Aku,
sahabatmu datang berkunjung...!" seru
Dewa Angin Puyuh memanggil.
Karena dikerahkan dengan tenaga
dalam, maka seruan itu jadi terdengar
sampai jauh. Gemanya terdengar
bersahut-sahutan, terbawa angin.
Dewa Angin Puyuh berdiri diam
menunggu. Sepasang matanya beredar
memandangi sekelilingnya, kemudian
dialihkan kembali ke pintu pondok yang
tertutup.
Sesaat kemudian, daun pintu
pondok itu bergerak terbuka perlahan-
lahan. Dan dari baliknya menyembul
seorang kakek berpakaian coklat.
Rambutnya berwarna merah, dan digelung
ke atas.
"Ah...! Kiranya kau, Dewa Angin
Puyuh...!" seru kakek yang ternyata
Dewa Rambut Merah. Bergegas kakinya
melangkah menghampiri.
Dewa Angin Puyuh pun melangkah
maju. Sikapnya kelihatan begitu
tenang. Tanpa berkata apa-apa lagi,
Palageni ikut melangkah. Pemuda
berbaju kuning ini telah menyerahkan
semua urusan pada gurunya.
"Apa yang mendorongmu mengunjungi
tempatku, Dewa Angin Puyuh?" tanya
Dewa Rambut Merah sambil mengulurkan
tangan. Dewa Angin Puyuh bergegas
menyambut dan menggenggamnya erat-
erat.
Wajah kedua kakek ini tampak
berseri-seri. Maklum, sudah belasan
tahun tidak berjumpa.
"Ah.... Hanya sekadar menjumpai
kawan lama," sahut kakek beralis putih
itu kalem.
"Hanya itu?" desak Dewa Rambut
Merah sambil melepaskan genggamannya.
Nada suaranya menyiratkan
ketidakpercayaan.
Dewa Angin Puyuh mengernyitkan
dahinya.
“Tidak juga," sahut Dewa Angin
Puyuh masih tetap tenang. "Aku membawa
sebuah persoalan yang menyangkut
dirimu, Dewa Rambut Merah."
"Hm.... Sudah kuduga," kakek
berambut merah mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ditatapnya wajah
Palageni sejenak. "Siapa anak muda
ini, Dewa Angin Puyuh?"
"Muridku...," jawab Dewa Angin
Puyuh. "Palageni namanya."
Dewa Rambut Merah mengangguk-
anggukkan kepala. Sementara matanya
menatap sekujur tubuh Palageni dari
ujung rambut sampai ujung kaki.
"Dan..., persoalan yang kubawa
menyangkut diri muridku, Dewa Rambut
Merah...," sambut Dewa Angin Puyuh
lagi. Nada suaranya terdengar mulai
bersungguh-sungguh.
"Hei...?! Mengapa bisa begitu,
Dewa Angin Puyuh?!" seru Dewa Rambut
Merah, terkejut. "Persoalan yang
menyangkut diriku dengan muridmu?
Aneh...!"
"Kalau mendengar ceritaku
selanjutnya, kau pasti tidak akan
menganggapnya aneh," sambung Dewa
Angin Puyuh buru-buru.
Dewa Rambut Merah melirik sekilas
ke arah Palageni
"Kemarin, ada seorang prajurit
kadipaten yang mengunjungiku."
Dewa Angin Puyuh memulai
ceritanya seraya menatap wajah Dewa
Rambut Merah, untuk melihat
tanggapannya. Tapi tidak nampak ada
perubahan pada wajah kakek berambut
merah itu. Wajahnya tetap biasa, tak
menunjukkan kekagetan.
"Prajurit itu bercerita, bahwa
rombongannya diserang seseorang.
Adipati Kalingga dan seluruh pengawal
yang menyertainya dibantai. Hanya
prajurit itu yang berhasil selamat,
dan langsung memberitahukannya
padaku."
"Hm.... Kenapa prajurit itu
memberitahukannya padamu, Dewa Angin
Puyuh?" tanya Dewa Rambut Merah tidak
mengerti.
"Karena rombongan Adipati
Kalingga memang tengah menuju ke
tempatku," jelas kakek beralis putih
itu.
"Heh...?! Apa keperluan adipati
itu mengunjungimu?" tanya Dewa Rambut
Merah. Lagi-lagi dengan perasaan
terkejut. Memang cerita yang didengar,
belum dimengertinya.
"Membawa pulang putranya."
"Membawa pulang putranya?! Aku
jadi semakin tidak mengerti, Dewa
Angin Puyuh."
''Putranya bernama Palageni...."
"Palageni?!" Dewa Rambut Merah
meminta kepastian. Sepasang matanya
membelalak lebar, menatap pemuda
berbaju kuning itu. "Jadi..., pemuda
ini...."
Dewa Angin Puyuh yang sudah
dapat. menduga kelanjutan ucapan kakek
berambut merah itu menganggukkan
kepalanya.
"Dia adalah putra Adipati
Kalingga."
"Ah...!" Dewa Rambut Merah
mengangguk-anggukkan kepala. "Sekarang
aku mengerti urusan yang kau maksud
itu, Dewa Angin Puyuh."
"Hm...," kakek beralis putih itu
hanya bergumam tidak jelas.
"Yang dimaksud prajurit itu aku,
kan?!" duga Dewa Rambut Merah langsung
pada sasaran.
Kakek berambut merah itu langsung
menatap wajah Dewa Angin Puyuh. Kakek
beralis putih balas menatap. Sesaat
lamanya dua pasang mata saling tatap.
Kemudian perlahan-lahan kepala Dewa
Angin Puyuh terangguk.
"Dan kau percaya?" desak Dewa
Rambut Merah ingin tahu.
"Tidak," pelan suara Dewa Angin
Puyuh, tapi cukup tegas juga.
"Mengapa kau begitu yakin, Dewa
Angin Puyuh?" desak Dewa Rambut Merah.
"Aku mengenalmu seperti mengenal
diriku sendiri...." Jawaban kakek
beralis putih seperti memutar.
"Lalu, mengapa kau tetap datang
ke sini?" tanya Dewa Rambut Merah
lagi, setelah beberapa saat lamanya
terdiam.
Dewa Angin Puyuh terdiam sejenak.
"Hanya untuk membuat urusan ini
menjadi jelas, dan sekaligus
memberitahukanmu, Dewa Rambut Merah."
Dewa Rambut Merah mengangguk-
anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Aku yakin, ada orang yang telah
memfitnahmu, Dewa Rambut Merah,"
sambung Dewa Angin Puyuh lag.
"Hm.... Lalu?" desak Dewa Rambut
Merah tanpa gairah sama sekali.
Sepasang alis Dewa Angin Puyuh
seketika bertautan. Sebab, sambutan
rekannya benar-benar di luar dugaan.
Padahal, sudah diperkirakannya kalau
Dewa Rambut Merah akan kalap bukan
kepalang begitu mendengar berita itu.
Tapi kini yang terlihat, benar-benar
membuatnya terkejut bukan main. Kakek
berambut merah itu sepertinya tidak
peduli, dan acuh-acuh saja.
"Apakah kau tidak ingin tahu
orang yang telah mengotori nama
besarmu itu, Dewa Rambut Merah?" tanya
kakek beralis putih, tak percaya.
Kakek berambut merah itu
menggeleng kepala. Secercah senyum
sabar tampak tersungging di bibirnya.
"Mengapa?" desa Dewa Angin Puyuh
karena perasaan yang tidak menentu.
"Aku sudah tidak ingin terlibat
lagi dalam kekerasan dunia persilatan,
Dewa Angin Puyuh. Aku sudah jenuh!"
“Tapi ini menyangkut nama baikmu,
Dewa Rambut Merah!" Dewa Angin Puyuh
masih berusaha menasihati. Malah, nada
suaranya terdengar mulai meninggi.
"Biarlah, Dewa Angin Puyuh. Aku
sudah tidak mempedulikan lagi nama
baikku. Biarlah orang itu berbuat
sekehendak hatinya. Aku percaya, dia
akan menerima balasannya sendiri."
"Kau melupakan kami, Dewa Rambut
Merah," selak Dewa Angin Puyuh.
"Maksudmu?" tanya Dewa Rambut
Merah dengan dahi berkernyit
Dewa Angin Puyuh terdiam sejenak.
Pertanyaan itu tidak langsung
dijawabnya. Sebaliknya, dia malah
menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kua.t Jelas ada
sesuatu yang merisaukan hati kakek
ini.
"Kau jangan memandang hal itu
untuk kepentingan dirimu saja, Dewa
Rambut Merah," sergah Dewa Angin Puyuh
beberapa saat kemudian.
"Aku tidak mengerti maksudmu,
Dewa Angin Puyuh." Kening kakek
berambut merah ini nampak berkerut
dalam.
"Hhh...!"
Dewa Angin Puyuh menghela napas
berat sebelum menjelaskan pertanyaan
Dewa Rambut Merah.
Sementara, kakek berambut merah
itu menunggu jawabannya dengan
perasaan tidak sabar.
"Maksudku sudah jelas. Bukan
hanya kau saja yang menderita kerugian
dengan adanya fitnahan itu. Tapi, aku
dan Dewa Obat Tangan Delapan pun akan
tercemar. Aku yakin, julukan kita
bertiga sebagai Tiga Dewa Sungai Naga
akan terbawa rusak."
"Jadi, kau ingin agar aku terjun
kembali dalam kerasnya dunia
persilatan, Dewa Angin Puyuh? Kau
biarkan aku melanggar janjiku
sendiri?" selak Dewa Rambut Merah
dengan nada tinggi.
"Masalahnya lain, Dewa Rambut
Merah. Kau difitnah," Dewa Angin Puyuh
masih mencoba menasihati. "Kalau kau
tidak turun tangan, urusan ini akan
berlarut-larut. Bahkan bukan tidak
mungkin kalau orang yang telah
memfitnahmu itu tengah merencanakan
kejahatan lain."
"Apa pun masalahnya, aku tidak
akan melanggar sumpahku sendiri. Ingat
itu, Dewa Angin Puyuh."
"Ahhh...!" Dewa Angin Puyuh
menghela napas berat mengetahui
kekerasan hati rekannya.
"Kau tahu, Dewa Angin Puyuh,"
sambung Dewa Rambut Merah lagi "Dewa
Obat Tangan Delapan baru saja
meninggalkan tempat ini!"
"Ahhh...!" kembali Dewa Angin
Puyuh mendesah kaget "Benarkah apa
yang kau katakan itu, Dewa Rambut
Merah?!"
Kakek berambut merah itu hanya
menganggukkan kepala.
"Apa keperluannya datang kemari,
Dewa Rambut Merah?" desak Dewa Angin
Puyuh. Nada suara dan wajahnya
menyiratkan keterkejutan yang amat
sangat
Dan memang sebenarnya kakek
beralis putih itu terkejut bukan main.
Sungguh tidak disangka kalau Tiga Dewa
Sungai Naga bisa singgah di sini,
setelah belasan tahun berpisah.
"Sama seperti kau juga, Dewa
Angin Puyuh," jawab Dewa Rambut Merah.
"Mengabarkan adanya fitnah terhadap
diriku dan juga menyuruhku terjun
dalam dunia persilatan."
"Pasti usulnya kau tolak," duga
Dewa Angin Puyuh.
Dewa Rambut Merah sama sekali
tidak menyahut. Hanya anggukan kepala
yang memberikan petunjuk kalau dia
membenarkan dugaan rekannya.
Dewa Angin Puyuh menghela napas
dengan kepala tertunduk dalam.
Sepasang matanya menekuri tanah.
"Oleh karena itu, Dewa Angin
Puyuh. Tidak ada gunanya lagi
membujukku. Pendirianku tidak akan
berubah. Rasanya, kau hanya akan
membuang-buang waktu dan tenaga saja."
"Kalau begitu, aku pergi dulu,
Dewa Rambut Merah," pamit kakek
beralis putih itu. Suaranya terdengar
lesu, selesu wajahnya.
Setelah berkata demikian, Dewa
Angin Puyuh lalu membalikkan tubuhnya.
"Mari kita pergi, Palageni," ajak
kakek itu pada muridnya.
Palageni tidak berani membantah,
walaupun sebenarnya hatinya kecewa
sekali melihat penyelesaian yang
dilakukan gurunya. Di samping kecewa,
perasaan kaget pun sejak tadi sudah
melanda hatinya. Sungguh tidak
disangka kalau antara gurunya dengan
Dewa Rambut Merah terdapat sebuah
hubungan yang begitu erat. Namun,
mengapa hubungan itu kelihatannya mu-
lai renggang?
Memang, gurunya telah memberi
tahu tentang hubungan dekatnya dengan
Dewa Rambut Merah. Tapi, hanya itu
saja. Kakek beralis putih itu tidak
memberi tahu kalau dirinya, Dewa Obat
Tangan Delapan, dan Dewa Rambut Merah
ternyata juga berjuluk Tiga Dewa
Sungai Naga yang telah menggegerkan
dunia persilatan puluhan tahun lalu.
Memang, Dewa Angin Puyuh tidak pernah
menceritakan semua masa lalunya pada
pemuda berbaju kuning itu.
Kini kedua orang yang sama-sama
lesu itu bergerak cepat menuruni
lereng. Tak ada seorang pun yang
berniat membuka percakapan. Sebenar-
nya, Palageni ingin menanyakan kepada
gurunya mengenai Tiga Dewa Sungai
Naga. Tapi karena tampaknya Dewa Angin
Puyuh sedang kurang senang, sehingga
pemuda berbaju kuning ini tidak berani
menanyakannya. Akibatnya, mereka
berdua bergerak menuruni lereng tanpa
berkata-kata.
***
"Palageni," panggil Dewa Angin
Puyuh sesampainya di kaki gunung.
Sepasang mata kakek ini menatap tajam
wajah muridnya.
"Ya, Guru," sahut pemuda berbaju
kuning, pelan tak bersemangat.
"Aku telah tua, Palageni. Dan
semua kepandaian yang kumiliki telah
kuwariskan kepadamu. Maka, kini
wakililah diriku untuk mencari pelaku
pembunuhan terhadap orang tuamu.
Bagaimana, Palageni? Kau mau
menerimanya?"
Pemuda berbaju kuning ini
menganggukkan kepala. ''Terima kasih
atas kepercayaan yang Guru berikan
padaku."
"Pergilah, Palageni. Jangan
buang-buang waktu lagi."
"Kalau demikian, aku berangkat
dulu, Guru," sambut pemuda berbaju
kuning itu mohon diri.
"Hati-hati, Palageni," Dewa Angin
Puyuh menasihati sambil menepuk-nepuk
bahu muridnya.
"Akan kuperhatikan semua nasihat
guru."
Setelah berkata demikian,
Palageni bergerak cepat meninggalkan
tempat itu Gerakannya cukup gesit,
karena ditunjang oleh ilmu meringankan
tubuh yang sudah hampir mencapai
kesempurnaan. Beberapa saat kemudian,
tubuhnya semakin mengecil hingga
akhirnya lenyap ditelan jalan.
Sedangkan Dewa Angin Puyuh hanya
menatap kepergian muridnya. Dia baru
melangkah pergi dari situ, ketika
tubuh Palageni tidak terlihat lagi.
Tubuhnya melesat cepat, disertai ilmu
meringankan tubuh yang telah mencapai
tingkat tinggi.
Sementara itu, Palageni segera
mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimiliki. Tubuhnya berkelebatan cepat,
sehingga yang terlihat hanya bayangan
yang melesat cepat. Dan ketika
matahari telah condong ke Barat,
Palageni tiba di sebuah jalan. Di
kanan kiri jalan itu terbentang padang
rumput luas, yang tinggi rumputnya
mencapai satu tombak.
Mendadak langkah pemuda berbaju
kuning berhenti, ketika pendengarannya
yang tajam menangkap adanya suara
gemerisik pelan di kerimbunan
rerumputan. Palageni mengawasi
hamparan padang rumput yang di
kanannya. Sepasang matanya bergerak
liar, mencari-cari asal suara
mencurigakan yang didengarnya.
Suara gemerisik itu terdengar
semakin keras. Dan belum lagi Palageni
bisa menduga-duga, tiba-tiba beberapa
sosok bayangan hitam berlompatan
keluar dari balik kerimbunan padang
rumput itu.
Sebentar pemuda berbaju kuning
itu terkesiap, namun segera
melentingkan tubuhnya ke belakang. Dia
berputaran beberapa kali di udara,
kemudian dengan gerakan indah dan
manis, kedua kakinya mendarat di
tanah.
4
Palageni mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Matanya menatap tajam
beberapa sosok tubuh yang bergerak
cepat mengurungnya. Dalam hati, pemuda
berbaju kuning ini menghitung jumlah
pengepungnya. Sebelas orang!
Yang membuat hati murid Dewa
Angin Puyuh ini terkejut adalah gambar
tengkorak kepala manusia yang ditopang
dua batang tulang-belulang yang saling
bersilangan pada dada para
pengepungnya.
Dewa Angin Puyuh telah mence-
ritakan banyak tokoh besar dunia
persilatan kepadanya. Baik golongan
sesat maupun putih. Dan salah satu di
antaranya, seorang tokoh sesat
mengerikan yang tinggal di sebuah
pulau kecil di tengah Danau Bangkai.
Julukannya, Gendruwo Pulau Setan.
Tokoh sesat itu tidak tinggal
sendirian di pulau itu. Ada puluhan
orang anak buahnya yang memiliki
kepandaian mengerikan. Dan kini,
Palageni memang tengah bertemu
gerombolan iblis yang bernama
Gerombolan Pulau Setan.
Diam-diam Palageni harus mengakui
kalau gerombolan pengepung ini benar
terdiri dari orang-orang mengerikan.
"Haaat..!"
Sambil berteriak menggelegar,
salah seorang anggota Gerombolan Pulau
Setan menyerang. Tangan kanannya yang
terkembang membentuk cakar, meluncur
cepat ke arah leher.
Pada saat yang sama, dari samping
kiri pemuda berbaju kuning itu,
pengeroyok lain melancarkan satu
tendangan miring ke arah pelipis.
Sementara dari belakang, menendang
lurus ke arah punggung.
Meskipun mendapat serangan
beruntun, Palageni tidak menjadi
gugup. Dengan perhitungan matang, tu-
buhnya dirundukkan dan langsung
menendang ke belakang.
Wuttt, wuttt, plakkk...!
Kejadiannya berlangsung begitu
cepat. Serangan dari samping dan depan
berhasil dielakkan Palageni. Sementara
dari belakang, berhasil ditangkisnya.
Akibatnya, tubuh anggota Gerom-
bolan Pulau Setan itu terjengkang ke
belakang, dan jatuh terduduk di tanah.
Mulutnya nampak menyeringai, menahan
rasa sakit yang teramat sangat. Tokoh
sesat ini merasakan kakinya seperti
patah-patah tulangnya. Memang, tenaga
dalam yang dimiliki Palageni jauh
berada di atasnya.
Melihat betapa mudahnya pemuda
berbaju kuning itu mematahkan
serangan-serangan, mereka tidak
bersikap main-main lagi. Disadari
kalau pemuda ini adalah seorang lawan
yang amat tangguh.
Singgg, srattt, singgg...!
Kini di tangan Gerombolan Pulau
Setan itu tercekal senjata andalan
masing-masing. Ada yang menggenggam
pedang, golok, tombak, ataupun
trisula.
Srattt..!
Sinar terang berpendar ketika
Palageni mencabut keluar goloknya. Dan
secepat golok itu terhunus, secepat
itu pula diputar-putarkan di depan
dada. Senjatanya digerakkan dari kanan
atas ke kiri bawah, dan dari kiri atas
ke kanan bawah. Angin menderu keras
seperti amukan topan.
Itulah ilmu 'Golok Angin Puyuh'
yang telah diciptakan Dewa Angin Puyuh
dari ilmu tongkatnya. Memang, kakek
beralis putih itu melihat, muridnya
lebih berbakat dan lebih suka
bersenjatakan golok daripada tongkat.
Makanya jurus yang semula bernama
'Tongkat Angin Puyuh', berubah menjadi
'Golok Angin Puyuh'.
Meskipun ilmu golok itu
diciptakan dari ilmu tongkat, dan
sedikit banyak telah mengalami
perubahan di sana-sini, namun kedah-
syatannya sama sekali tidak berkurang.
Bahkan tidak kalah hebat dengan
induknya.
"Hiyaaat..!"
Diiringi bentakan nyaring, tubuh
beberapa orang anggota Gerombolan
Pulau Setan itu meluruk menerjang
Palageni. Desingan nyaring merobek
udara terdengar mengiringi tibanya
serangan-serangan itu.
Palageni bersikap tenang. Golok
di tangannya berkelebat cepat
menangkis setiap serangan yang datang
bagaikan hujan. Suara berdentang
nyaring terdengar berkali-kali begitu
senjata kedua belah pihak berbenturan.
Jerit-jerit keterkejutan terde-
ngar dari mulut anggota Gerombolan
Pulau Setan, begitu merasakan tangan
yang memegang pedang bergetar hebat.
Telapak tangan yang menggenggam pun
terasa panas bukan main.
Tindakan Palageni tidak hanya
sampai di situ saja. Golok di
tangannya berkelebat cepat mengancam
lawan-lawannya. Tapi anggota-anggota
Gerombolan Pulau Setan bukan tokoh
rendahan. Mereka dapat mengelak dan
balas menyerang. Beberapa saat kemu-
dian, pertempuran sengit pun kembali
terjadi
Di jurus-jurus awal, Gerombolan
Pulau Setan bertarung secara
sewajarnya. Mereka tidak menggunakan
kelicikan untuk mencari kemenangan.
Ketika pertarungan menginjak sepuluh
jurus, Palageni belum juga berhasil
didesak. Dan ini membuat para
pengeroyok itu mulai bermain licik.
"Haaat..!"
Seorang yang berwajah kurus
kering seperti tak berdaging,
berteriak keras seraya melompat
menerjang. Tongkat berujung pisau di
tangannya menusuk cepat ke arah leher
Palageni.
Melihat bahaya maut mengancam
keselamatan nyawanya, Palageni cepat
melompat ke belakang. Sehingga, ujung
tongkat berbentuk pisau itu hanya
menyambar tiga jengkal di depan
lehernya.
Mendadak, tanpa sepengetahuan
Palageni, laki-laki berwajah kurus
kering laksana tengkorak itu memijit
sebuah tonjolan kecil yang ada
digagang tongkatnya.
Trekkk! Singgg...!
Mendadak saja pisau yang terdapat
di ujung tongkat itu terlepas dari
batang tongkat, lalu meluncur cepat
laksana anak panah lepas dari busur ke
arah tenggorokan Palageni
Pemuda berbaju kuning ini
terkejut bukan main mendapat serangan
yang tidak disangka-sangka itu.
Sebisa-bisanya tubuhnya digeliatkan
untuk menghindari serangan. Tapi...
Crasss...!
Palageni kalah cepat, sehingga
bahunya terserempet bilah pisau itu.
Seketika itu juga cairan merah kental
mengalir dari luka yang tergores.
Belum juga Palageni sempat berbuat
sesuatu, lawan yang bertubuh tinggi
besar mengibaskan tangannya. Dan...
Serrr...!
Belasan jarum halus menyambar
cepat ke arah pemuda berbaju kuning
itu. Ada bau amis yang memuakkan,
mengiringi tibanya serangan.
Palageni sadar kalau jarum yang
dilepaskan lawan mengandung racun.
Maka dia tidak berani bertindak
ceroboh. Buru-buru goloknya diputar
laksana baling-baling hingga terdengar
suara mengaung keras.
Tringgg, tringgg...!
Jarum-jarum itu berpentalan tak
tentu arah begitu tersambar golok
murid Dewa Angin Puyuh itu. Beberapa
di antaranya justru menyambar ke arah
beberapa anggota Gerombolan Pulau
Setan. Karuan saja hal itu membuat
mereka terperanjat dan pontang-panting
menyelamatkan diri. Tapi, sehabis
memunahkan serangan jarum-jarum
beracun itu, tiba-tiba rasa pusing
menyerang Palageni. Bahkan bukan hanya
itu saja. Perasaan lemas pun melanda
tubuhnya pula. Mulanya Palageni
kebingungan, tapi sesaat kemudian
tersadar.
"Racun...," desis pemuda
berpakaian kuning geram.
Benak Palageni berpikir keras,
bagaimana dia bisa terkena racun. Tak
salah lagi. Setelah berpikir sesaat,
muncul sebuah dugaan di benaknya.
Pasti racun itu berasal dari luka di
bahu kirinya.
Dalam kungkungan rasa pusing dan
lemas yang kian melanda, Palageni
menyempatkan diri untuk melihat luka
di bahu kirinya. Seketika hatinya
terperanjat, karena ternyata luka itu
telah membengkak dan berwarna
kehitaman. Kini sudah jelas asal racun
itu.
Racun itu ternyata terhitung
racun yang bekerja cepat. Palageni
merasa kan kepalanya semakin pusing.
Bahkan tubuhnya kian melemah. Pandang
matanya berkunang-kunang.
"Ha ha ha...! Pemuda keparat...!
Kini baru kau tahu kehebatan
Gerombolan Pulau Setan, heh?!"
Terdengar oleh telinga Palageni,
ucapan salah seorang pengeroyoknya
yang diiringi suara tawa bergelak
penuh kemenangan.
"Keparat curang! Jangan harap
dapat berbuat sekehendak hati
kalian...!"
Seiring dengan terdengarnya suara
bentakan itu, sesosok bayangan putih
berkelebat
Tappp...!
Cepat bukan main gerakan sosok
bayangan putih itu. Bahkan sebelum
Gerombolan Pulau Setan berbuat
sesuatu, tubuh Palageni telah berhasil
disambarnya.
"Hey...!" teriak anggota
gerombolan yang bertubuh tinggi besar
kaget
"Jangan lari kau, Pengecut...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Gerombolan Pulau Setan lalu bergerak
mengejar. Tapi ternyata sosok bayangan
putih itu memang tidak bermaksud
melarikan diri. Terbukti setelah
meletakkan tubuh Palageni di tanah,
tubuh bayangan itu berbalik menanti
kedatangan para pengeroyoknya.
Terdengar suara-suara kekaguman
dari mulut anggota Gerombolan Pulau
Setan begitu melihat sosok bayangan
putih itu.
"Ah...! Tidak salahkah
penglihatanku?" seru anggota
gerombolan yang bertubuh tinggi besar.
"Benarkah seorang bidadari yang telah
berdiri di hadapanku?"
"Luar biasa...!" sambut laki-laki
bermuka teng-korak. "Wajahnya begitu
cantik...."
"Bentuk tubuhnya pun
menggiurkan...," yang lain ikut
menyahuti.
Memang tidak salah apa yang
dibicarakan Gerombolan Pulau Setan
itu. Sosok bayangan putih itu ternyata
seorang wanita berwajah cantik jelita.
Kulit wajahnya putih, halus, dan
mulus. Rambutnya panjang hitam dan
terurai sampai ke bawah bahu. Sangat
pas sekali dengan pakaiannya yang
serba putih.
Gadis berpakaian putih ini
menggertakkan gigi mendengar ucapan
orang-orang berseragam merah itu.
Kemarahan mulai menjalari hatinya.
Ucapan mereka semakin lama semakin
kurang ajar saja. Pandangan mata
mereka tampak liar, seperti hendak
menelannya bulat-bulat. Persis mata
seekor serigala lapar yang melihat
anak domba.
"Mulut kalian terlalu kotor...!"
seru gadis berpakaian putih itu penuh
ancaman.
"Ha ha ha...!" hanya suara tawa
bergelak bernada kurang ajar
menyambuti ucapan gadis itu. Dan tentu
saja hal ini membuat gadis itu tambah
naik darah.
"Orang-orang seperti kalian harus
diberi pelajaran! Agar tidak
sembarangan mengumbar ucapan kotor
lagi...!"
Setelah berkata demikian, gadis
berpakaian putih itu melesat
menerjang. Gerakannya cepat bukan
main, sehingga membuat Gerombolan
Pulau Setan yang masih tertawa-tawa
itu terkejut bukan main. Mereka memang
memandang rendah, setelah mengetahui
sosok bayangan putih itu ternyata
adalah seorang gadis muda.
Dan sikap memandang rendah itulah
yang justru mencelakakan mereka.
Serangan gadis berpakaian putih itu
terlalu cepat datangnya, sehingga
sebisa-bisanya mereka mengelak.
Plakkk, plakkk...!
Dua anggota Gerombolan Pulau
Setan terjengkang ke belakang begitu
tepakan kaki gadis berpakaian putih
itu mengenai dada dan perut mereka.
Seketika itu juga tubuh kedua orang
itu jatuh bergulingan di tanah. Tampak
darah segar muncrat dari mulut mereka.
Tentu saja hal ini membuat
anggota Gerombolan Pulau Setan lainnya
terperanjat. Kenyataan ini menyadarkan
mereka kalau gadis berpakaian putih
yang cantik jelita laksana bidadari
ini tidak bisa dipandang rendah.
Seketika sikap main-main mereka pun
lenyap. Dan dengan teriakan-teriakan
penuh kemarahan, Gerombolan Pulau
Setan menyambut serbuan gadis
berpakaian putih. Maka, hujan senjata
pun berhamburan ke arah gadis itu.
"Hmh...," gadis berpakaian putih
itu mendengus. Tiba-tiba kedua
tangannya mengembang membentuk cakar
naga. Dan anehnya lagi, kedua tangan-
nya sampai sebatas pergelangan
berwarna merah darah! Serbuan
Gerombolan Pulau Setan yang bersenjata
dihadapi dengan tangan kosong!
Meskipun begitu, gadis berpakaian
putih sama sekali tidak terdesak.
Sepasang tangannya yang membentuk
cakar naga berkelebat ke sana kemari
mencari sasaran. Dan hebatnya, setiap
kali tangan atau kakinya bergerak, ada
sosok tubuh yang roboh di tanah.
Suara jerit kesakitan terdengar
saling susul, diiringi robohnya sosok-
sosok tubuh di tanah. Sia-sia usaha
yang dilakukan gerombolan itu untuk
merobohkan lawan dengan cara-cara
licik. Gerakan gadis berpakaian putih
itu terlalu lincah, sehingga mampu
mengelakkan setiap serangan yang da
tang mengancam.
Dua jeritan melengking panjang,
mengakhiri per-awanan Gerombolan Pulau
Setan itu. Kini, tidak ada lagi
anggota gerombolan yang berdiri tegak.
Semuanya roboh di tanah dalam keadaan
terluka parah. Suara rintihan pelan
keluar dari mulut-mulut mereka.
Gadis berpakaian putih itu
menatap sosok-sosok tubuh yang
tergolek satu persatu. Baru kemudian
kakinya melangkah menghampiri tubuh
Palageni yang tengah tergolek. Dia
bermaksud memeriksa luka yang dialami
pemuda berbaju kuning itu.
Gadis berpakaian putih itu
berjongkok. Diperhatikannya sejenak
luka di bahu kiri yang kini telah
membengkak dan berwarna kehitaman.
Kemudian dijumput pedang yang
tersampir di punggungnya. Lalu dengan
ujung pedang, ditorehnya luka yang
telah membengkak itu
Seketika itu juga, darah mengalir
dari luka di tubuh Palageni. Warnanya
kehitaman dan berbau busuk. Gadis itu
membiarkan darah yang berwarna
kehitaman mengalir habis.
Gadis berpakaian putih lalu
mengurut-urut tengkuk Palageni. Tak
lama kemudian terdengar keluhan
disusul mengerjap-ngerjapnya sepasang
mata pemuda berpakaian kuning itu.
Beberapa saat lamanya sepasang mata
itu terpaku menatap seraut wajah
cantik jelita yang berada di dekatnya.
Jantung Palageni seketika berdetak
kencang begitu mencium bau harum yang
keluar dari tubuh gadis itu.
“Telan pil ini," ujar gadis
berpakaian putih itu sambil
mengangsurkan sebuah pil berwarna
coklat
Tahu kalau gadis itu bermaksud
menolongnya, Palageni segera
mengulurkan tangan menerima. Dan tanpa
ragu-ragu lagi segera ditelannya pil
itu. Tidak sulit bagi orang persilatan
untuk menelan pil itu walau tanpa
adanya air.
Mendadak gadis berpakaian putih
itu menoleh ke belakang.
Pendengarannya yang tajam menangkap
suara aneh di belakangnya. Seketika
dia bangkit berdiri begitu melihat dua
sosok tubuh berdiri dalam jarak
sekitar empat tombak di belakangnya.
Palageni ikut menoleh. Dan
seketika wajah pemuda berpakaian
kuning ini memucat. Dikenalinya betul
salah seorang di antara mereka. Sosok
tubuh itu tak lain adalah Dewa Rambut
Merah. Sementara yang seorang lagi
tidak dikenalinya.
Sosok itu adalah seorang laki-
laki tinggi besar dan bercambang bauk
lebat. Rambutnya hitam, panjang, dan
bergelombang. Dia bertelanjang dada,
dan hanya bercelana sebatas lutut
berwarna merah. Di sekujur tubuhnya,
penuh bulu-bulu lebat. Di pangkal
lengan, di pergelangan tangan, di
leher, di pinggang, dan juga di
pergelangan kaki, dililit oleh gelang
berwarna kuning keemasan. Gelang ini
sebenarnya adalah ular yang telah mati
dan dikeringkan.
Wajah Palageni pucat pasi begitu
teringat sosok yang berdiri di sebelah
Dewa Rambut Merah ini, walaupun
sebenarnya dia tidak kenal. Gurunya
pernah menceritakan kepadanya tentang
tokoh yang memiliki ciri-ciri seperti
ini. Kalau tidak salah, dia berjuluk
Gendruwo Pulau Setan. Seorang tokoh
hitam yang mengerikan, kejam, dan keji
luar biasa. Tak terasa bulu tengkuknya
meremang.
Sebenarnya, Palageni heran.
Mengapa Dewa Rambut Merah seperti
tidak mengenalinya? Padahal mereka
belum lama habis bertemu. Dan yang
lebih mengherankan, mengapa kakek
berambut merah ini berkawan dengan
tokoh sesat macam Gendruwo Pulau
Setan? Bermacam-macam pertanyaan
benar-benar menggayuti benaknya.
Sementara itu, Genderuwo Pulau
Setan menatap sosok-sosok tubuh yang
tergolek di tanah, yang memang anak
buahnya. Di wajah yang menyeramkan
itu, sama sekali tidak terlihat adanya
perasaan apa-apa. Wajah itu terlihat
begitu dingin, kaku tanpa perasaan.
Perlahan tangan yang berbulu
lebat itu mengambil kendi kecil yang
terletak di pinggangnya. Lalu
ikatannya dibuka. Masih dengan wajah
dingin, dibukanya tutup kendi itu.
Gadis berpakaian putih dan
Palageni hanya memandang perbuatan
Gendruwo Pulau Setan. Mereka ingin
tahu apa yang akan dilakukan laki-laki
tinggi besar dan penuh bulu ini. Dahi
kedua orang ini berkernyit ketika
melihat wajah para anggota Gerombolan
Pulau Setan memucat. Terlihat jelas
kalau mereka semua dicekam rasa takut
yang memuncak.
Tapi wajah Gendruwo Pulau Setan
tetap tidak berubah. Dingin, dan kaku
tanpa perasaan. Masih dengan raut
wajah beku, kendi yang telah dibuka
itu dituangkan ke tubuh setiap orang
yang tergolek di tanah. Setetes demi
setetes cairan kuning keluar dari
mulut kendi. Masing-masing orang
mendapati setetes.
Mengerikan! Terdengar suara
mendesis seperti sebatang besi panas
membara yang direndam dalam air
dingin. Ada uap tipis mengepul naik ke
udara, yang berasal dari bagian tubuh
yang terkena tetesan cairan kuning
itu. Dan seketika itu pula, terdengar
jeritan menyayat hati dari mulut para
anggota Gerombolan Pulau Setan. Jerit
yang lebih mirip lolong orang yang
tengah di ambang maut. Tubuh mereka
pun menggelepar-gelepar seperti ikan
yang terdampar di darat.
Palageni dan gadis berpakaian
putih menatap dengan mata terbeliak
lebar. Perasaan ngeri yang hebat
mencekam hati keduanya. Bahkan tanpa
disadari, sepasang kaki gadis
berpakaian putih itu menggigil.
Memang pemandangan yang terlihat
terlalu mengerikan. Dari tubuh yang
terkena tetesan itu, semula hanya
mengepul uap tipis. Tapi semakin lama,
uap itu semakin tebal dan banyak.
Kemudian, menjadi asap putih tebal dan
bergumpal-gumpal. Suara mendesis
terdengar mengiringi. Dan jeritan yang
keluar pun semakin menyayat hati.
Wajah Palageni dan gadis
berpakaian putih semakin pucat pasi,
begitu melihat tubuh anggota gerombol-
an itu menciut seiring semakin
menebalnya asap yang keluar sampai
akhirnya lenyap. Luar biasa! Cairan
kuning itu ternyata memiliki daya
rusak yang begitu mengerikan!
Menghancurkan tubuh manusia!
"Ha ha ha...!"
Laki-laki tinggi besar dan
berbulu lebat itu tertawa terbahak-
bahak. Begitu mendadak. Dan dengan
tiba-tiba pula, tawanya berhenti.
Kemudian dengan raut wajah bengis,
ditatapnya gadis berpakaian putih dan
Palageni.
Kontan sekujur tubuh gadis
berpakaian putih itu lemas. Tenaganya
seperti musnah semua. Memang, kejadian
yang dilihatnya terlalu mengerikan
sehingga membuat hatinya terguncang.
Bahkan tanpa dapat ditahan lagi, dia
duduk bersimpuh dengan lututnya.
Memang, kedua kakinya seperti tidak
kuat lagi untuk menunjang tubuhnya.
Dengan langkah lambat-lambat,
Gendruwo Pulau Setan dan Dewa Rambut
Merah menghampiri Palageni yang masih
terbaring, dan gadis berpakaian putih
yang berdiri dengan lututnya.
Gadis berpakaian putih itu
kemudian menggertakkan gigi. Dan....
"Groaaahhh...!"
Suara geraman keras laksana suara
seekor harimau yang hendak melumpuhkan
mangsanya, keluar dari mulut gadis
berpakaian putih itu.
Hebat bukan main akibat geraman
itu. Udara terasa tergetar hebat.
Daun-daun pohon bergoyang-goyang.
Bahkan Palageni pingsan seketika.
Sementara langkah Gendruwo Pulau Setan
dan Dewa Rambut Merah terpaksa
berhenti. Keduanya segera mengerahkan
tenaga dalam untuk mebwan pengaruh
teriakan yang membuat dada terasa
bergetar dan kedua kaki lemas.
Kini gadis berpakaian putih
bangkit berdiri. Tenaga dalamnya telah
pulih kembali seperti semula, sehabis
menggeram. Sekarang dia telah bersiap
menghadapi kedua orang lawannya.
"Biar aku yang menghadapinya,
Kang!'' ucap Gendruwo Pulau Setan pada
Dewa Rambut Merah tanpa menoleh.
Suaranya terdengar keras dan kasar.
Kemudian tanpa menunggu jawaban lagi,
kakinya segera melangkah menghampiri
si gadis.
"Kau hebat, Nisanak!" puji
Gendruwo Pulau Setan dengan suara
mengguntur. “Tapi jangan terlalu
berbesar hati dulu. Belum pernah ada
seorang pun yang bisa mengalahkanku!"
Gadis berpakaian putih itu hanya
tersenyum mengejek. Walaupun hatinya
sempat terguncang akibat menyaksikan
pemandangan menggiriskan tadi, namun
gadis itu segera dapat mengusirnya
dengan tenaga dalam. Dan kini rasa
takutnya telah sirna, dan yang ada
hanyalah tekad untuk menghadapi segala
yang akan terjadi.
"Aku tidak akan membunuh lawan
yang tidak kuketahui jelas nama atau
julukannya," sambung laki-laki tinggi
besar berbulu lebat itu tanpa
mempedulikan sikap gadis berpakaian
putih. "Kalau kau bukan seorang
pengecut, sebutkan nama dan
julukanmu!"
Memang cerdik cara Gendruwo Pulau
Setan ini membuat orang terpaksa
membuka mulut. Sebagai seorang yang
kenyang pengalaman, dia tahu kalau
gadis ini pantang dimaki sebagai
pengecut. Maka segera dikeluarkan
ucapan itu.
Gadis berpakaian putih
menggertakkan gigi, geram. Licik
sekali laki-laki tinggi besar yang
mengerikan ini. Sekarang suka atau
tidak suka, terpaksa dia harus
mengenalkan diri kalau tidak mau
dimaki pengecut.
"Namaku Melati! Orang-orang
persilatan menjulukiku Dewi Penyebar
Maut," jawab gadis berpakaian putih
yang ternyata Melati, tak kalah kasar.
Namun ternyata Gendruwo Pulau
Setan sama sekali belum pernah
mendengar julukan Dewi Penyebar Maut.
Maklum, julukan itu hanya muncul
sebentar saja, kemudian lenyap bagai
ditelan bumi. Tambahan lagi, laki-laki
tinggi besar ini tinggal di sebuah
pulau terpencil yang agak terpisah
dengan dunia luar.
Gendruwo Pulau Setan menoleh,
menatap wajah Dewa Rambut Merah.
Sepasang matanya menyorotkan
pertanyaan besar. Kakek berambut merah
ini tahu maksud pandangan laki-laki
tinggi besar itu. Apa lagi kalau bukan
ingin mengetahui, apakah dia pernah
mendengar julukan itu?
5
Dewa Rambut Merah mengangkat bahu
pertanda tidak mengetahuinya juga.
Gendruwo Pulau Setan kembali
mengalihkan perhatian pada Melati.
Gadis berpakaian putih ini sudah bisa
menduga kelihaian lawannya. Maka tanpa
ragu-ragu lagi ilmu andalannya segera
dikeluarkan, yakni 'Cakar Naga Merah'.
Dan sebelumnya, untuk pertama kali
dalam usaha memulihkan diri, telah
dikeluarkan jurus yang belum pernah
dipergunakannya, 'Raungan Naga Merah'.
Gendruwo Pulau Setan sudah bisa
memperkirakan kalau gadis di
hadapannya ini adalah seorang lawan
yang lumayan tangguh. Buktinya suara
lengking yang keluar dari mulut gadis
itu mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Maka, ilmu andalannya pun
dikeluarkan pula, 'Tinju Penggetar
Bumi'!
Kokoh, indah, dan kelihatan
mantap sekali pembukaan jurus dari
ilmu 'Tinju Penggetar Bumi' ini.
Gendruwo Pulau Setan membentuk kuda-
kuda rendah. Kedua tangan terkepal.
yang kiri terpalang di depan dada,
sementara yang kanan tegak lurus ke
atas. Letak tangan kanan berada di
depan tangan kiri. Kedua tangan yang
mengepal itu mengejang keras penuh
kekuatan.
Derrr...!
Bumi bergetar hebat bagai terjadi
gempa ketika tokoh sesat yang
menggiriskan ini menghentakkan kaki ke
tanah. Dan memang inilah yang selalu
dilakukan Gendruwo Pulau Setan setiap
kali hendak melancarkan serangan.
Hentakan kaki itu bukan tanpa maksud.
Karena dengan melakukan demikian, dia
telah mengambil tenaga dari bumi. Dan
inilah yang menyebabkan ilmu 'Tinju
Penggetar Bumi' milik Gendruwo Pulau
Setan ditakuti tokoh-tokoh persilatan
sekarang ini.
"Hiaaat...!"
Diiringi bentakan menggelegar
yang menggetarkan jantung, pemilik
Pulau Setan itu melompat menerjang.
Tangan kanannya meluncur cepat ke arah
dada Melati.
Hebatnya, deru angin dahsyat
menyambar sebelum serangan itu tiba.
Begitu kerasnya, sehingga membuat
tubuh Melati hampir terlempar jauh.
Untung saja, gadis itu cepat
mengerahkan tenaga dalam pada kedua
kakinya. Sehingga, sepasang kakinya
bagaikan telah terhunjam ke dalam
bumi.
Melati terkejut bukan main
melihat kedahsyatan serangan lawannya.
Sulit dibayangkan, sampai di mana
kekuatan tenaga dalam yang dimiliki
laki-laki bertubuh tinggi besar ini.
Padahal, serangan yang dilancarkan
kekasihnya pun tidak akan menimbulkan
kekuatan dahsyat seperti ini,
sekalipun mengerahkan seluruh tenaga
dalam.
Melati tidak berani bersikap
ceroboh. Dari deru angin yang timbul,
kedahsyatan serangan itu bisa di-
perkirakan. Maka pukulan itu tidak
berani ditangkisnya. Gadis berpakaian
putih ini melesat ke samping,
melakukan lompatan harimau. Kemudian
tubuhnya bergulingan menjauh. Melati
tidak berani mengelakkan serangan yang
begitu dahsyat tanpa menggeser kaki.
Gendruwo Pulau Setan menggeram keras
begitu melihat serangannya berhasil
dielakkan lawan. Cepat-cepat dia
bergerak mengejar, memburu Melati.
Tapi, gadis berpakaian putih itu lebih
cepat lagi. Tubuhnya melompat ke atas,
melewati kepala laki-laki tinggi besar
berbulu lebat itu. Dan ketika berada
di atas, kedua cakarnya mengancam
kepala belakang Gendruwo Pulau Setan.
Tokoh sesat yang menggiriskan itu
terkejut bukan main. Kini baru
disadari kalau gadis berpakaian putih
itu memiliki ilmu meringankan tubuh
yang berada di atasnya. Maka tanpa
membuang-buang waktu lagi, tubuhnya
segera ditekuk ke depan sehingga
serangan cakar Melati lewat beberapa
jengkal di atas kepalanya. Pada saat
yang sama, kaki kanannya menendang ke
atas melalui belakang. Persis seekor
kalajengking yang hendak menyengat
lawan dengan ekornya.
Tidak ada jalan lain bagi Melati.
Dalam keadaan berada di udara,
merupakan suatu hal yang tidak mungkin
untuk mengelakkan serangan. Satu-
satunya jalan untuk meredam serangan
itu adalah menangkisnya. Maka, gadis
berpakaian putih ini segera
menghentakkan kedua tangannya.
Plakkk...!
Suara berderak keras seperti
beradunya dua batang logam, seketika
terdengar. Tubuh Melati terlempar ke
atas. Mulut gadis ini menyeringai
menahan rasa sakit yang mendera.
Dadanya terasa sesak. Apalagi kedua
tangannya yang terasa bagaikan lumpuh!
Meskipun demikian, dengan manis
dan indah sekali tubuhnya bersalto
beberapa kali di udara. Kemudian
kakinya mendarat ringan di tanah,
sekitar lima tombak dari lawannya. Ada
perasaan heran yang menyelimuti hati
Melati. Mengapa serangan laki-laki
tinggi besar berbulu hitam ini tidak
sedahsyat sebelumnya?
Akan tetapi, Melati tidak bisa
berlama-lama tenggelam dalam
keheranannya. Gendruwo Pulau Setan
sama sekali tidak memberi kesempatan,
dan kembali menerjangnya.
Melati sadar kalau tenaga dalam
Gendruwo Pulau Setan jauh lebih kuat
darinya. Jadi, mustahil kalau dia
berani sembarangan menangkis. Gadis
berpakaian putih ini tidak mau memberi
kesempatan pada laki-laki tinggi besar
itu untuk menekannya dengan kelebihan
tenaga dalamnya.
Sebaliknya dengan menggunakan
kelebihan dalam hal ilmu meringankan
tubuh, gadis berpakaian putih ini
mengelakkan setiap serangan lawan.
Sesaat kemudian, pertarungan sengit
pun kembali terjadi.
Suara angin menderu dan mencicit
nyaring, menyemaraki pertarungan
antara kedua tokoh berbeda aliran itu.
Bumi bergetar hebat setiap kali
Gendruwo Pulau Setan menghentakkan
kaki saat hendak melancarkan serangan.
Pertarungan yang terjadi
berlangsung kurang menarik. Melati
sedapat mungkin menghindari terjadinya
adu tenaga dalam dengan lawannya.
Setiap serangan Gendruwo Pulau Setan
selalu dielakkannya. Sementara setiap
serangannya sendiri selalu ditarik
kembali, bila lawan terlihat akan
menangkisnya.
Suatu keuntungan bagi Melati,
ilmu meringankan tubuhnya berada di
atas lawan. Sehingga, dia tidak
mengalami kesulitan mengelakkan setiap
serangan. Dan karena selalu mengelak,
akibatnya gadis berpakaian putih ini
terlihat seperti berada dalam keadaan
terdesak.
Tiga puluh jurus telah berlalu.
Dan selama itu, Melati selalu
menghindari terjadinya benturan. Tapi
meskipun begitu, ada satu kesimpulan
yang berhasil didapat. Kekuatan tenaga
lawan bisa berlipat ganda, karena
setiap kali sebelum menyerang kakinya
dihentakkan terlebih dahulu ke tanah.
Itulah sebabnya, setiap kali
Gendruwo Pulau Setan menghentakkan
kakinya, Melati selalu menghindar
sejauh mungkin. Kekuatan yang
terkandung dalam serangannya terlampau
dahsyat. Jangankan terkena langsung,
angin serangannya saja sudah membuat
tubuhnya hampir terlempar.
Gendruwo Pulau Setan mengger-
takkan gigi. Hatinya geram bukan main
melihat kegesitan lawannya. Tapi, apa
daya? Ilmu meringankan tubuhnya memang
berada di bawah Melati. Tambahan lagi,
ilmu 'Tinju Penggetar Bumi' memang
tidak mengandalkan kecepatan gerak.
Jurus-jurus ilmu itu dilakukan dengan
tenaga penuh, tapi gerakannya agak
lambat
Seratus jurus pun terlewat Dan
kini pakaian Melati telah basah oleh
peluh yang membanjiri sekujur
tubuhnya. Gadis berpakaian putih ini
telah merasa lelah. Pengerahan ilmu
meringankan tubuh yang selalu
dilakukan dengan seluruh kemampuanlah
yang menjadi penyebabnya.
Napas gadis itu mulai memburu.
Gerakan-gerakannya juga sudah tidak
segesit semula. Sementara serangan-
serangan lawan terlihat masih
sedahsyat pertama kali. Tidak ada
tanda-tanda kalau Gendruwo Pulau Setan
merasa lelah. Padahal sejak awal
jurus, serangannya selalu dilancarkan
dengan kekuatan penuh.
Diam-diam Melati mengeluh dalam
hati. Perasaan heran dan takjub pun
merayapi hatinya. Laki-laki tinggi
besar berbulu lebat ini seperti
memiliki sumber tenaga yang tidak
habis-habisnya.
Seiring rasa lelah yang melanda,
gerakan Melati semakin lama semakin
lambat. Bahkan beberapa kali,
serangan-serangan yang dilancarkan
Gendruwo Pulau Setan hampir bersarang
di tubuhnya. Hanya di saat-saat
terakhir, gadis ini mampu mengelakkan
diri.
Derrr!
Kembali Gendruwo Pulau Setan
menjejakkan kakinya. Sekejap kemudian,
serangannya meluncur. Deru angin
dahsyat membuat batu-batu kecil
beterbangan ke sana kemari. Debu pun
mengepul tinggi ke udara.
Melati terkejut bukan main.
Apalagi tubuhnya amat lelah. Tenaganya
hampir habis terkuras. Meskipun
begitu, Melati berusaha sekuat tenaga
menyelamatkan selembar nyawanya.
Bibirnya digigit kuat-kuat, kemudian
melompat ke samping.
Usaha terakhir Melati tidak sia-
sia. Serangan lawan berhasil
dielakkan, dan hanya mengenai tempat
kosong. Tapi karena kuatnya angin yang
mengiringi tibanya serangan itu, tak
urung tubuhnya yang tengah berada di
udara terpelanting.
Di saat itulah, Gendruwo Pulau
Setan memburu tubuh yang tengah
terhuyung-huyung itu. Tanpa
menghentakkan kakinya lagi, dia
bergerak mengejar. Kedua tangannya
yang terkepal siap dipukulkan ke arah
dada lawannya.
Wajah Melati seketika memucat.
Disadari kalau serangan itu tidak akan
mungkin bisa dielakkan. Menangkis pun
sama dengan mencari mati. Mendapat
serangan yang begitu mendadak, apalagi
keadaannya yang demikian, membuat
Melati tidak mungkin untuk mengerahkan
tenaga dalam penuh. Sedangkan serangan
lawan juga mengandung tenaga dalam
sepenuhnya yang memang berada di atas
Melati. Maka akibat yang diterimanya
sangat besar.
Di saat yang gawat itu, melesat
sesosok bayangan ungu memotong tibanya
serangan ke arah Melati. Dem angin
keras mengiringi sampokan bayangan
itu.
Karuan saja hal ini membuat
Gendruwo Pulau Setan terkejut bukan
kepalang. Dia sadar kalau gerakannya
diteruskan, serangan sosok bayangan
ungu itu akan lebih dulu menghantamnya
sebelum serangannya mengenai tubuh
lawan. Terpaksa serangannya dibatal-
kan, kemudian dipapaknya serangan
sosok bayangan ungu itu.
Plakkk...!
Baik sosok bayangan ungu maupun
tubuh Gendruwo Pulau Setan sama-sama
terpental balik ke belakang. Tapi
dengan indah dan manis sekali,
keduanya bersalto beberapa kali di
udara, kemudian mendarat ringan di
tanah.
Baik Gendruwo Pulau Setan maupun
sosok bayangan ungu itu sama-sama
terkejut bukan main tatkala merasakan
betapa kuatnya tenaga dalam yang
terkandung dalam serangan satu sama
lain. Tangan yang berbenturan terasa
bergetar hebat. Sesaat keduanya saling
tatap penuh selidik.
"Siapa kau?!"
Ada nada keterkejutan yang sangat
dalam pertanyaan yang keras mengguntur
dari mulut Gendruwo Pulau Setan. Dan
memang, sebenarnya dia terkejut sekali
ketika melihat orang yang telah
menjegal serangannya.
Sosok bayangan ungu itu ternyata
seorang pemuda berusia sekitar dua
puluh satu tahun dan berpakaian ungu.
Tapi bukan hal itu yang menimbulkan
keterkejutan di hati laki-laki tinggi
besar berbulu lebat ini. Rambut pemuda
itulah yang kini jadi perhatiannya.
Rambut itu putih, panjang dan
meriap. Persis se-perti benang-benang
perak. Kalau saja orang melihat dari
belakang, mungkin menduga kalau dia
telah berusia lanjut. Pemuda berambut
putih seperti benang-benang perak ini
memang amat langka. Dia memang pernah
mendengar kalau ada seorang pemuda
yang mempunyai rambut seperti ini. Dan
pemuda itu adalah seorang tokoh yang
julukannya menggetarkan dunia
persilatan.
Sepasang bola mata Gendruwo Pulau
Setan yang tajam dan bersinar
kehijauan segera beralih ke pakaian
yang dikenakan pemuda berambut putih
keperakan itu. Dan kini keyakinannya
semakin menebal. Jelas, pemuda di
hadapannya ini adalah tokoh yang
menggemparkan itu. Apalagi jika
mengingat benturan tadi. Tenaga dalam
yang dimiliki pemuda itu tidak kalah
dengan tenaganya sendiri!
"Siapa kau?!" bentak Gendruwo
Pulau Setan lagi. Untuk pertama
kalinya dia bersikap waspada, tidak
menganggap remeh lawan.
"Namaku Arya Buana," sahut pemuda
berambut putih keperakan itu kalem.
"Hmh...!" Gendruwo Pulau Setan
mendengus. "Jadi, kau rupanya Dewa
Arak yang telah menggemparkan dunia
persilatan itu...?"
Merah wajah pemuda berpakaian
ungu yang memang Dewa Arak. Terasa ada
kesinisan besar dalam suara laki-laki
tinggi besar di hadapannya.
"Begitulah orang-orang
menjulukiku. Aku sendiri lebih suka
jika dipanggil Arya saja," sahut Dewa
Arak merendah.
"Tidak usah berpura-pura meren-
dah, Dewa Arak!" tandas Gendruwo Pulau
Setan. Keras dan kasar nada suaranya.
"Aku telah banyak mendengar tentang
dirimu, yang merasa paling sakti di
dunia ini. Sehingga, selalu saja
mencampuri urusan orang lain dengan
mengajukan alasan-alasan yang tidak
masuk akal! Dan kini, aku
membuktikannya sendiri!"
"Kau salah mengerti, Kek," merah
selebar wajah pemuda berambut putih
keperakan itu. "Bukannya aku usilan
dan sok merasa sakti. Tapi, haruskah
kubiarkan saja kekejaman berlangsung
di depan mataku? Membiarkan orang yang
tidak berdaya dibantai olehmu?!"
"Tidak usah membela diri, Dewa
Arak! Kau beralasan menyelamatkan
orang yang hendak dibantai! Sementara
kau sendiri? Apa yang kau lakukan?!
Jangan merasa sok suci, Dewa Arak!"
"Terserahlah apa maumu, Kek,"
Arya hanya ter-enyum getir. Kepalanya
terasa pusing mengadu mulut dengan
Gendruwo Pulau Setan. "Hanya kuminta,
lepaskan gadis itu!"
"Kalau aku tidak mau?!" sahut
Gendruwo Pulau Setan bernada
menantang.
"Terpaksa akan kugunakan caraku
sendiri!" tandas Arya tegas.
"Ha ha ha...! Boleh coba kalau
mampu, Dewa Usilan!" Gembira hati
laki-laki tinggi besar berbulu lebat
ini, melihat kemarahan Dewa Arak.
Terus terang, memang ada sedikit
keraguan di hatinya, akan mampukah dia
menghadapi Dewa Arak yang terkenal
tangguh ini?
***
Arya tahu kalau lawan di
hadapannya ini memiliki kepandaian
tinggi. Dari benturan tadi, sudah bisa
diukur kekuatan tenaga dalam lawan.
Buktinya, tangannya sampai tergetar
hebat. Padahal, seluruh tenaga
dalamnya tadi sudah dikerahkan.
Bukti lain yang lebih jelas lagi
adalah kekalahan Melati. Kepandaian
kekasihnya itu sudah diketahui betul.
Jarang ada yang mampu menandinginya.
Apalagi sampai mengalahkan. Kepandaian
Melati tidak berselisih jauh dengan
kepandaiannya. Maka, melihat betapa
gadis berpakaian putih itu begitu
kewalahan menghadapi Gendruwo Pulau
Setan, makin jelaslah buktinya.
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan teriakan
mengguntur, Gendruwo Pulau Setan
menyerang Dewa Arak. Dia melancarkan
tendangan lompat bertubi-tubi ke arah
ulu hati, dada, dan leher dengan badan
sebelah kiri menghadap lawan.
Arya tahu kalau lawan belum
mengeluarkan ilmu andalannya. Maka,
dia juga tidak ingin menggunakan ilmu
yang telah membuat julukannya
menggemparkan dunia persilatan.
Digunakannya saja ilmu warisan
ayahnya, 'Delapan Cara Menaklukkan
Harimau'. Kakinya segera ditarik ke
belakang, sambil mendoyongkan tubuh.
Maka serangan bertubi-tubi itu
mengenai tempat kosong, sekitar dua
jengkal di depan sasaran.
Pada saat yang sama, tangan kanan
Dewa Arak yang berbentuk cakar
menyampok deras ke arah mata kaki
lawan. Gendruwo Pulau Setan tentu saja
tidak ingin mata kakinya hancur. Maka
kakinya buru-buru ditarik kembali. Dan
begitu sampokan itu lewat, sambil
melompat setindak, kakinya kembali
menendang bertubi-tubi ke sasaran yang
sama.
Arya tidak punya pilihan lain
lagi. Buru-buru tubuhnya dilempar ke
belakang. Dia bersalto sekali di
udara, kemudian mendarat ringan di
tanah.
Gendruwo Pulau Setan tidak mau
memberi kesempatan pada lawannya. Maka
tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa
Arak segera dikejarnya. Sesaat
kemudian terjadilah pertarungan sengit
antara mereka.
Pertarungan antara kedua tokoh
sakti ini berlangsung sengit. Apalagi
kedua belah pihak benar-benar memiliki
kepandaian seimbang. Baik tenaga dalam
maupun kecepatan gerak mereka juga
terlihat setingkat.
Hebat, akibat pertarungan antara
kedua tokoh sakti ini. Batu-batu besar
kecil beterbangan tak tentu arah. Deru
dan cicit angin juga ikut menyemaraki.
Beberapa kali kedua belah pihak
sama-sama terjajar mundur setiap kali
kedua tangan mereka berbenturan.
Dalam waktu sekejap saja, tiga
puluh jurus telah berlalu. Dan selama
itu belum nampak ada tanda-tanda yang
akan terdesak. Karuan saja hal ini
membuat kedua belah pihak sama-sama
penasaran bukan main.
"Haaat..!"
Gendruwo Pulau Setan berteriak
mengguntur. Dan seiring teriakan itu,
tubuhnya melenting ke belakang. Dia
bersalto beberapa kali di udara,
kemudian mendarat beberapa tombak di
tanah.
Dewa Arak tidak mengejarnya, dan
hanya berdiri menanti. Dia tahu kalau
lawan akan menggunakan ilmu andalan.
Dijumputnya guci yang tersampir di
punggung, kemudian dituang ke
mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu memasuki tenggorokan Dewa
Arak. Seketika itu juga, ada hawa
hangat yang berputar dalam perut Arya,
dan perlahan merayap naik ke atas
kepala.
Baru saja Arya menyampirkan
kembali gucinya di punggung, serangan
Gendruwo Pulau Setan telah menyambar
tiba. Laki-laki tinggi besar berbulu
lebat itu menghentakkan kakinya ke
tanah sebelum menyerang.
Dewa Arak terperanjat. Hembusan
angin yang luar biasa kerasnya
mengiringi tibanya serangan itu. Dari
bukti ini saja, Arya bisa
memperkirakan betapa besar kekuatan
yang terkandung dalam serangan itu.
Dan tenaga sedahsyat ini belum muncul
pada serangan serangan sebelumnya.
Mungkinkah ilmu andalan itu mampu
menambah tenaganya sampai sedahsyat
ini? Mustahil! Arya tidak percaya! Dia
tahu kalau ilmu andalan memang
mempunyai banyak keunggulan dibanding
ilmu yang bukan andalan. Meskipun
begitu, tidak mungkin dapat menambah
tenaga sampai sekuat ini.
Sesaat Dewa Arak kebingungan.
Hatinya masih kurang percaya kalau
tenaga dalam yang terkandung dalam
serangan ini begitu dahsyat.
Dewa Arak adalah orang yang
selalu bersikap hati-hati, dan tidak
pernah memandang rendah lawannya. Oleh
karena itu, meskipun tidak percaya
kalau tenaga yang terkandung dalam
serangan itu dahsyat bukan kepalang,
tapi dia tidak berani coba-coba
menangkisnya. Arya ingin tahu dulu,
apakah benar serangan itu mengandung
tenaga dalam yang demikian dahsyat.
Baru saja Dewa Arak memutuskan
untuk mengelak, secara tak sengaja
kepalanya menoleh ke belakang.
Seketika itu juga hatinya terkejut.
Karena di belakangnya tergolek seorang
pemuda berbaju kuning.
Pemuda berambut putih keperakan
ini jadi kebingungan. Kalau serangan
itu dielakkan, sudah dapat dipastikan
pemuda berbaju kuning itu akan menjadi
korban. Dewa Arak tidak ingin
mengorbankan orang lain untuk
kepentingan dirinya sendiri. Maka dia
memutuskan untuk menangkis serangan
itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan teriakan
melengking nyaring, Dewa Arak memapak
serangan yang menyambar tiba.
Dukkk...!
Suara keras seperti terjadi
benturan antara dua benda besar
terdengar. Hebat akibatnya. Tubuh Gen-
druwo Pulau Setan terpental balik ke
belakang. Tapi dengan gerakan indah
dan manis, tubuhnya bersalto beberapa
kali di udara. Kemudian, kedua kakinya
mendarat ringan di tanah.
Tidak demikian halnya dengan
Arya. Tubuh pemuda itu melayang deras
ke belakang. Cairan merah kental
menetes deras dari mulut dan
hidungnya, mengiringi tubuh yang terus
melayang.
Luncuran itu baru berhenti ketika
menabrak sebatang pohon. Menilik dari
getaran keras pada batang pohon itu,
dapat diperkirakan betapa kerasnya
benturan tenaga dalam tadi.
Tubuh Dewa Arak merosot dan jatuh
di tanah. Mulut pemuda itu nampak
menyeringai begitu bokongnya
menghantam tanah. Cairan merah kental
masih mengalir dari mulut dan
hidungnya.
"Kang Arya...!"
Terdengar jerit penuh
kekhawatiran. Disusul melesatnya
sesosok bayangan putih ke arah Dewa
Arak.
Dengan tertatih-tatih Dewa Arak
bangkit berdiri. Diusapnya darah yang
menetes dari hidung dan mulut dengan
punggung tangan. Sekujur tangannya
terasa lumpuh. Dadanya pun terasa
sesak bukan main. Dicobanya menarik
napas panjang. Kontan mulutnya
meringis begitu ada rasa sakit yang
mendera dadanya. Dewa Arak telah
terluka dalam.
"Kang.... Kau..., kau tidak apa-
apa?" tanya Melati. Nada suara dan
wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang
amat sangat.
Dewa Arak menatap raut wajah
cemas kekasihnya, seraya tersenyum.
Perlahan kepalanya digelengkan.
''Tidak, Melati. Aku tidak apa-
apa," sahut Arya, berdusta.
''Tapi, Kang...," Melati masih
mencoba membantah.
"Sudahlah, Melati. Pergilah! Biar
aku yang akan menahannya."
"Ha ha ha...!" Gendruwo Pulau
Setan tertawa bergelak
Sebagai seorang tokoh tingkat
tinggi, dia tahu kalau Dewa Arak telah
terluka dalam yang cukup parah.
"Bersiap-siaplah untuk menerima
kematianmu, Dewa Arak...!"
"Hih...!"
Mendadak Melati menghentakkan
kedua tangannya ke arah Gendruwo Pulau
Setan. Seketika itu juga, bertiup
hembusan angin kencang yang menyambar
ke arah laki-laki tinggi besar yang
tengah tertawa-tawa penuh kemenangan
itu. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang
Mustika'.
Gendruwo Pulau Setan yang
menyadari adanya serangan berbahaya,
segera menghentikan tawanya. Buru-
bliru tubuhnya melompat ke samping dan
langsung bergulingan menjauh.
Kesempatan yang hanya sekejap itu
tidak disia-siakan Melati. Cepat
laksana kilat disambarnya tubuh Dewa
Arak, dan tidak lupa tubuh Palageni.
Melihat hal ini Dewa Rambut Merah
yang sejak tadi hanya menonton saja,
bergegas mengejar. Karena pada saat
itu, Gendruwo Pulau Setan tengah
mengelakkan diri dan serangan jurus
'Naga Merah Membuang Mustika'. Namun,
tentu saja hal ini membuat Dewa Arak
khawatir. Sekali lihat saja, dia tahu
kalau kakek berambut merah itu
memiliki kepandaian tinggi. Gerakannya
cepat bukan main. Mungkin kalau dalam
keadaan biasa, Melati dapat mengung-
guli ilmu meringankan tubuh kakek itu.
Tapi, sekarang Melati tengah membawa
dua orang. Jelas gadis itu pasti akan
tersusul oleh Dewa Rambut Merah. Dan
menilik dari gerak-gerik Dewa Rambut
Merah, Melati akan mengalami sedikit
kesulitan untuk merobohkannya. Dan itu
berarti memberi kesempatan pada
Gendruwo Pulau Setan untuk menyusul.
Maka bila hal itu terjadi, celakalah
mereka.
Tanpa mempedulikan keadaan
dirinya yang telah terluka dalam, Dewa
Arak segera menghentakkan kedua tangan
ke arah Dewa Rambut Merah.
Wusss...!
Angin keras berhawa panas
menyengat, menyambar ke arah Dewa
Rambut Merah. Karuan saja hal ini
membuat kakek itu terkejut bukan main.
Sebagai seorang tokoh kondang, dia
mengenal serangan maut. Maka segera
pengejarannya dibatalkan, dan langsung
melempar tubuh ke samping dan
bergulingan di tanah. Sehingga,
serangan Dewa Arak mengenai tempat
kosong.
"Uhk... uhk...!"
Arya terbatuk-batuk. Ada cairan
merah kental memercik keluar dari
mulutnya. Luka dalamnya pun semakin
parah. Seharusnya dalam keadaan
terluka dalam seperti itu, Arya tidak
boleh terlibat pertarungan kembali
yang memaksanya menggunakan tenaga da-
lam. Karena, hal itu akan membuat luka
dalamnya semakin parah. Apalagi, bila
sampai mengerahkan tenaga dalam yang
berlebihan seperti pada jurus 'Pukulan
Belalang' itu.
Sebagai seorang yang telah
memiliki kepandaian tinggi, Dewa Arak
pun tahu hal itu Tapi, itu terpaksa
dilakukan. Kalau tidak, keadaan yang
lebih buruk akan menimpa mereka.
Sekarang Melati dapat bebas mene-
ruskan larinya. Dan begitu Gendruwo
Pulau Setan dan Dewa Rambut Merah
bangkit dari bergulingnya, tubuh gadis
berpakaian putih itu telah lenyap
ditelan lebatnya padang ilalang. Hal
itu memang disengaja oleh Melati.
Karena kalau menempuh jalan terbuka,
lawan akan terus mengejarnya. Malah
ada kemungkinan akan bisa menyusul
karena dia membawa-bawa beban. Itulah
sebabnya, Melati memilih melalui
hamparan padang ilalang luas. Dalam
suasana yang sudah agak gelap ini,
kerimbunan ilalang ini cukup
melindunginya.
"Keparat..!" Gendruwo Pulau Setan
memaki kalang kabut. Perasaan pena-
saran tampak jelas, baik pada wajah
maupun sorot matanya.
"Sudahlah...," hibur Dewa Rambut
Merah seraya menepuk bahu laki-laki
tinggi besar berbulu lebat itu. "Masih
ada kesempatan lain untuk membereskan
mereka."
Rupanya hiburan kakek berambut
merah itu dapat diterima Gendruwo
Pulau Setan. Terbukti, dia tidak
marah-marah lagi. Hanya saja kedua
tangannya tetap mengepal keras,
memperdengarkan suara bergemeretak
nyaring. Kemudian perlahan-lahan
mereka meninggalkan tempat itu.
Meneruskan pencarian di hamparan
padang ilalang tinggi yang luas
membentang dalam suasana yang semakin
gelap, adalah sebuah pekerjaan sia-
sia.
6
Melati sadar keadaan sangat
membahayakan. Tanpa ragu-ragu seluruh
ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya segera dikerahkan, untuk
melintasi jalan kecil di antara
kerimbunan ilalang yang tinggi.
Tinggi dan lebatnya kerimbunan
ilalang itu sebenarnya sudah cukup
untuk menyembunyikan mereka dari
pandangan para pengejarnya. Apalagi
ditambah suasana malam yang cukup
gelap. Meskipun begitu, gadis
berpakaian putih ini tetap saja
berlari sambil membungkukkan tubuhnya.
"Cukup, Melati," ujar Arya,
setelah mengetahui kalau mereka telah
berada di tempat yang cukup jauh dari
lawan-lawan yang tangguh tadi. Pelan
dan lemah sekali suaranya. ''Turunkan
aku."
Melati sama sekali tidak
membantah. Larinya segera dihentikan,
kemudian tubuh Arya dan Palageni
diturunkan. Meskipun begitu, sekujur
urat-urat syarafnya menegang penuh
kewaspadaan.
''Tenanglah, Melati. Mereka tidak
akan mungkin bisa menemukan kita,"
ujar Arya untuk menenangkan hati
kekasihnya.
"Apa yang membuatmu begitu yakin,
Kang?" tanya Melati ingin tahu.
"Padang ilalang ini sangat luas,
Melati. Ilalangnya tinggi-tinggi.
Belum lagi suasana malam yang cukup
gelap. Aku yakin, mereka akan berpikir
dua kali untuk mencari kita."
Melati mengangguk-anggukkan
kepala. Alasan yang dikemukakan Arya
bisa diterimanya. Seketika itu juga
urat-urat syaraf di tubuhnya
mengendur.
Setelah melihat Melati bisa
ditenangkan, Arya lalu duduk bersila.
Tanpa diberi tahu, gadis berpakaian
putih ini mengerti kalau Arya hendak
mengobati luka dalamnya. Maka
dibiarkannya saja Dewa Arak yang kini
bersikap semadi. Melati tahu, tanpa
bantuannya pun Arya mampu mengobati
luka dalamnya sendiri. Maka Melati
memutuskan untuk berjaga-jaga. Siapa
tahu ada bahaya yang datang mengancam.
Pandangan Melati beredar ke
sekeliling, mengawasi dengan mata
curiga. Seluruh urat-urat syaraf di
tubuhnya menegang setiap kali melihat
ilalang yang bergoyang-goyang.
Sementara Arya sudah tenggelam
dalam semadinya. Suara helaan napasnya
terdengar halus, berirama tetap. Dewa
Arak tengah berusaha mengobati luka
dalamnya yang cukup parah.
"Uuuh...!"
Melati menoleh, melihat Palageni
mulai sadar dari pingsannya. Sepasang
mata pemuda berbaju kuning itu
mengerjap-ngerjap pelan sebelum
akhirnya terbuka.
Sesaat Palageni memperhatikan
keadaan sekelilingnya dengan raut
wajah bingung. Kemudian pandangannya
tertumbuk pada Melati. Beberapa saat
lamanya dahi pemuda itu berkernyit
dalam, berusaha mengingat-ingat
kejadian yang dialami tadi.
Sekejap kemudian, murid Dewa
Angin Puyuh ini sudah teringat akan
semua kejadian yang dialaminya.
Perlahan tubuhnya bangkit berdiri.
"Terima kasih atas pertolonganmu,
Nisanak," ucap Palageni. Sepasang
matanya menatap wajah Melati penuh
kagum. Wajah gadis berpakaian putih
itu memang cantik bukan main. "Aku
Palageni. Kalau boleh kutahu, siapakah
namamu, Nisanak? Dan mengapa kau
menolongku?"
"Aku melati," jawab gadis
berpakaian putih, tawar. "Aku hanya
kebetulan lewat, lalu melihat kau
bertarung. Dan kulihat, lawan-lawanmu
adalah orang-orang yang curang. Aku
paling benci melihat kecurangan. Maka
itu aku segera turun tangan
menolongmu."
Palageni menganggukkan kepalanya.
"Lalu, siapakah orang itu,
Nisanak? Sepertinya dia teriuka...,"
pemuda berbaju kuning itu menudingkan
telunjuknya pada Arya yang tengah
bersemadi.
"Dia kawanku. Julukannya Dewa
Arak. Kalau dia tidak datang menolong,
mungkin kita berdua sudah tewas."
"Dewa Arak?!" terbelalak sepasang
mata Palageni. "Maksudmu..., tokoh
yang julukannya menggemparkan dunia
persilatan itu...?"
Melati menganggukkan kepalanya.
"Ahhh...! Sungguh tidak kusangka
kalau bisa bertemu tokoh digdaya
seperti dia," Palageni seperti tak
percaya. "Dan orangnya masih begini
muda...."
Melati hanya tersenyum hambar.
Dia memang tengah tidak berminat untuk
berbicara panjang lebar. Dan rupanya,
Palageni tahu gelagat. Terbukti,
pembicaraannya tidak disambung lagi.
Meskipun pemuda itu ingin sekali
berbincang-bincang lagi. Banyak yang
ingin ditanyakannya, di samping memang
ingin sekali bercakap-cakap dengan
Melati. Rasanya tak jemu memandang
wajah gadis itu, tapi terpaksa
sepasang matanya dialihkan ke arah
lain. Dan hanya sesekali dia
mengerling wajah gadis itu.
Melati dan Palageni tenggelam
dalam lamunan masing-masing. Terutama
sekali Palageni. Dalam benaknya,
berkecamuk berbagai macam pikiran yang
memusingkan kepala. Benarkah orang
yang dilihatnya bersama Gendruwo Pulau
Setan itu adalah Dewa Rambut Merah?
Mengapa kakek itu seperti tidak
mengenali dirinya? Padahal, dirinya
adalah murid Dewa Angin Puyuh yang
juga kawan Dewa Rambut Merah? Benarkah
pula kakek berambut merah itu yang
telah membunuh ayah dan pengawal-
pengawalnya? Lalu, apa hubungannya
Dewa Arak dengan Melati? Tapi, sampai
pusing memikirkan tak juga ditemukan
jawaban semua pertanyaan itu!
Tak lama kemudian Dewa Arak pun
mengakhiri semadinya. Sepasang matanya
telah terbuka, dan Melati langsung
menghampirinya.
"Bagaimana luka-lukamu, Kang?"
tanya gadis berpakaian putih itu
pelan.
"Sudah mendingan, Melati," Arya
tersenyum lebar. "Dengan sekali lagi
bersemadi, mungkin lukaku akan sembuh
sama sekali."
"Syukurlah...," sahut Melati
dengan suara riang.
"O, ya. Bagaimana kabar ibu dan
saudaramu, Melati? Dan bagaimana kau
bisa terlibat keributan dengan orang
tadi?"
"Mereka baik-baik saja, Kang,"
sahut gadis berpakaian putih itu. "Aku
tinggal bersama mereka selama dua
pekan. Biarpun hanya sekadarnya,
kuwariskan sedikit ilmu yang kumiliki
pada Mawar. Yahhh..., setidak-tidaknya
untuk jaga diri."
Melati menghentikan ceritanya
sejenak untuk mengambil napas dan
mencari kata-kata selanjutnya.
"Setelah itu, aku lalu mencari
jejakmu. Dari berita yang kudapat, kau
berada di daerah ini. Sama sekali
tidak kusangka akan bertemu lawan yang
begitu tangguh."
Kemudian Melati pun menceritakan
semua kejadian yang dialaminya tadi.
Sementara Arya mendengarkan penuh
perhatian. Sama sekali tidak diselak
cerita tunangannya.
"Aku sendiri tidak tahu, siapa
orang itu, Kang," desah Melati menutup
ceritanya.
"Kalau saja tidak mendengar
lengkingan yang keluar dari mulutmu,
mungkin aku tidak pernah tahu kalau
kau tengah terlibat pertarungan.
Bukankah lengkingan itu adalah jurus
'Raungan Naga Merah', Melati?"
Melati menganggukkan kepala
sambil tersenyum manis. Sedangkan Arya
balas tersenyum, kemudian menoleh ke
arah Palageni.
"Siapakah kau, Kisanak. Dan
mengapa terlibat keributan dengan
orang-orang itu?"
"Aku Palageni. Guruku berjuluk
Dewa Angin Puyuh. Aku sendiri tidak
tahu apa-apa. Tapi, aku tahu siapa
kedua orang itu. Laki-laki tinggi
besar itu berjuluk Gendruwo Pulau
Setan. Sedangkan kakek yang berambut
merah berjuluk Dewa Rambut Merah."
Seketika Arya terdiam. Hatinya
terkejut bukan kepalang. Dari cerita
yang didengar, pemuda berambut putih
keperakan ini tahu, siapa Gendruwo
Pulau Setan itu. Dia seorang tokoh
sesat yang memiliki kepandaian tak
terukur dan memiliki kekejaman yang
mendirikan bulu roma.
"Tahukah kau, mengapa mereka
ingin membunuhmu?" tanya Melati ketika
Arya tampak termenung.
Sepasang mata gadis ini menatap
tajam wajah pemuda berpakaian kuning.
Raut wajah, nada suara, dan tatapan
Melati menyiratkan keingintahuan.
Palageni kemudian menceritakan
kejadian yang menimpa rombongan
ayahnya. Melati dan Arya mendengarkan
penuh perhatian.
"Hanya saja menurut seorang
pengawal ayahku yang selamat,
pelakunya adalah Dewa Rambut Merah,"
murid Dewa Angin Puyuh itu mengakhiri
cerita yang didengarnya dari mulut
Ganda, prajurit yang tersisa. Juga
diceritakan kalau Palageni juga telah
berkunjung ke rumah Dewa Rambut Merah.
"Ada keanehan yang tersembunyi di
sini," pelan pemuda berambut putih
keperakan itu berkata. Dahinya nampak
berkernyit dalam. Jelas ada sesuatu
yang tengah dipikirkannya.
"Maksudmu, Kang?" tanya Melati
ingin tahu. Palageni pun ikut menoleh.
Dia ingin tahu, keanehan yang
dimaksudkan Dewa Arak.
"Kalau tidak salah dengar, gurumu
yang berjuluk Dewa Angin Puyuh dan
Dewa Rambut Merah adalah dua di antara
pentolan golongan putih. Benar begitu,
Palageni?" Arya menatap wajah pemuda
berbaju kuning itu lekat-lekat.
"Benar. Guruku sendiri yang
mengatakannya," sahut Palageni cepat.
"Bersama-sama dengan Dewa Obat Tangan
Delapan, mereka mendapat julukan Tiga
Dewa Sungai Naga."
"Itulah yang membuatku heran,
Palageni."
"Maksudmu bagaimana, Dewa Arak?"
Arya tidak langsung menjawab
pertanyaan itu, tapi sebaliknya
menatap wajah Palageni, tepat pada
kedua bola matanya.
"Sekarang aku bertanya padamu,
Palageni," ucap Dewa Arak beberapa
saat kemudian.
"Tanyalah, Dewa Arak. Bila aku
tahu, pasti akan kujawab," sahut
Palageni. Tegas dan mantap nada
suaranya.
Arya tersenyum lebar.
"Menurutmu, mungkinkah orang
seperti Dewa Rambut Merah melakukan
perbuatan begitu keji? Mungkinkah
seorang pentolan tokoh golongan putih
membantai begitu banyaknya orang?"
"Aku... aku..., nggg... aku tidak
tahu, Dewa Arak. Aku bingung," jawab
Palageni gugup. Pertanyaan yang
diajukan Arya memang di luar
dugaannya.
"Katakan saja, Palageni. Apa yang
ada dalam hatimu, keluarkan." Dengan
suara halus dan lembut, Arya memberi
saran.
"Entahlah, Dewa Arak. Aku
bingung. Masalahnya, guruku yakin
sekali kalau pelaku semua itu bukan
Dewa Rambut Merah. Tapi orang lain.
Jadi, aku berpendapat juga demikian.
Atau paling tidak, itu adalah Dewa
Rambut Merah palsu."
"Namun, pengawal ayahmu berani
bersumpah kalau pelaku semua kejadian
itu adalah Dewa Rambut Merah, bukan?"
selak Arya.
Palageni mengangguk membenarkan.
"Cakar Pengejar Sukma juga
mengenal Dewa Rambut Merah, tapi hanya
mendengar saja."
"Itu betul. Tapi bukankah menurut
cerita yang kudengar darimu, begitu
gurumu meminta Ganda menyebutkan ciri-
ciri pelaku pembantaian, semuanya
menunjuk pada diri Dewa Rambut
Merah?!" desak Dewa Arak.
Palageni menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangan.
"Entahlah, Dewa Arak. Aku tidak
tahu. Aku bingung memikirkannya.
Dengan mataku sendiri, telah kulihat
kalau Dewa Rambut Merah ternyata
mempunyai hubungan yang amat baik
dengan Gendruwo Pulau Setan. Aku
benar-benar pusing, Dewa Arak."
"Hhh...!" Arya menghela napas
panjang sebelum menjawab pertanyaan
itu. "Masalah ini memang cukup
memusingkan, Palageni. Kalau menurut
akal sehat, rasanya tidak mungkin
kalau pelaku pembantaian itu adalah
Dewa Rambut Merah. Mengapa? Karena dia
seorang tokoh besar persilatan
golongan putih. Tak mungkin dia akan
berubah sekejam itu. Tapi, entah juga
bila ada sebab-sebab yang memaksanya
bertindak begitu."
"Jadi menurutmu bagaimana, Dewa
Arak?" tanya Palageni ingin tahu
tanggapan Arya.
"Aku tidak mau mengambil
keputusan tergesa-gesa, Palageni,"
Arya menggelengkan kepala. "Aku akan
menyelidikinya nanti."
Suasana hening sejenak ketika
Arya menghentikan ucapannya. Kini
ketiga orang muda itu terlibat dalam
lamunan masing-masing.
"Aku merasa heran dengan Gendruwo
Pulau Setan itu, Kang," kata Melati
tiba-tiba, membuat Arya terpaksa
menghentikan lamunannya.
"Apa yang membuatmu heran,
Melati?" pelan Dewa Arak bertanya.
''Tenaga dalamnya."
Arya mengernyitkan keningnya.
"Jadi, kau juga merasakan adanya
keanehan itu, Melati? Kukira hanya aku
saja. Aku sendiri sejak tadi tak habis
pikir, mengapa kekuatan tenaga
dalamnya jadi berlipat ganda saat
menggunakan jurus andalan."
"Maksudmu, sewaktu dia
mengeluarkan ilmu pukulan yang
digerakkan secara lambat itu, Kang?"
"Benar," Dewa Arak menganggukkan
kepala.
"Kau kurang jeli menduga, Kang,"
ralat Melati.
"Maksudmu?" Arya menatap
tunangannya tepat pada bola matanya.
Melati tidak langsung menjawab.
Sepasang mata gadis itu malah balas
menatap Arya. Sesaat lamanya mereka
berdua hanya saling tatap. Dan tak
lama kemudian saling tersenyum. Entah
apa yang disenyumkan. Hanya kedua
orang itu saja yang tahu.
"Dugaanmu tidak seluruhnya benar,
Kang," sambung Melati lagl. "Memang
benar tenaga dalam Gendruwo Pulau
Setan berlipat ganda sewaktu meng-
gunakan ilmu pukulan yang digerakkan
secara lambat itu. Tapi, tidak
seluruhnya serangan yang dilakukan
dengan ilmu itu mengandung tenaga
dalam berlipat ganda."
"Jadi..., maksudmu tenaga dalam
berlipat ganda itu muncul sekali-
sekali saja?" Arya meminta kete-gasan.
"Begitulah menurut yang kualami,
Kang. Aku cukup lama bertarung ketika
ilmu itu digunakan."
"Teruskan, Melati," pinta Arya.
"Aku sendiri sulit mengambil kesim-
pulan, karena hanya bertarung sege
brakan saja ketika ilmu itu
digunakan."
“Tenaga dalamnya bedipat ganda
jika kakinya dihentakkan ke tanah,
sebelum memulai penyerangan, Kang,"
jelas Melati.
Arya mengernyitkan dahinya.
Memang diakui, apa yang dikatakan
Melati itu benar. Gendruwo Pulau Setan
sebelum menyerangnya, tedebih dahulu
menghentakkan kakinya ke tanah.
"Jadi, kalau tidak menghentakkan
kaki ke tanah, tenaga dalamnya tidak
sedahsyat itu?" tanya Arya setengah
percaya.
"Begitulah menurut pengamatanku,
Kang," jawab Melati tidak berani
memastikan.
"Kalau benar apa yang kau katakan
itu, Melati," kata Arya setelah
termenung beberapa saat lamanya.
"Dalam hentakan kaki itulah kunci
rahasianya."
"Aku juga mengambil kesimpulan
seperti itu, Kang," Melati mendukung
dugaan kekasihnya.
Arya tercenung. Dahinya
berkernyit dalam. Jelas ada sesuatu
yang dipikirkannya.
"Menurut penuturan guruku,
Gendruwo Pulau Setan mempunyai ilmu
dahsyat Kalau aku tidak salah dengar
bernama ilmu 'Tinju Penggetar Bumi',"
Palageni tidak tahan berdiam diri
saja. Dan begitu melihat adanya
kesempatan, dia segera ikut bicara.
"Tinju Penggetar Bumi...?" gumam
Arya pelan mengulang.
Tak terasa Dewa Arak teringat
kepada dirinya sendiri. Dia juga
mempunyai tenaga dalam yang berhawa
panas menyengat, bernama 'Tenaga Dalam
Inti Matahari', yang didapatkan dengan
perantaraan penekanan alam bawah sadar
(Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak
dalam episode perdana "Pedang
Bintang").
Mungkinkah Gendruwo Pulau Setan
juga mempunyai tenaga dalam aneh yang
juga didapatkan lewat perantaraan alam
bawah sadar dengan memusatkan pikiran
terhadap satu tujuan? Sebenarnya hal
ini tidak terlalu aneh jika mengingat
tokoh yang menggiriskan itu memiliki
ilmu 'Tinju Penggetar Bumi'.
Semakin Arya berpikir dan
menimbang-nimbang, semakin diyakini
akan kebenaran dugaannya. Kemungkinan
besar, hentakan kaki iblis itu adalah
satu cara mengambil kekuatan dari
dalam bumi. Dan bila hal itu benar,
berarti tokoh yang menggiriskan ini
sulit dikalahkan. Gendruwo Pulau Setan
tidak akan pernah merasa lelah. Setiap
kali lelah, bisa mendapatkan bantuan
tenaga tambahan dengan menjejakkan
kaki ke tanah. Bantuan tenaga yang
sukar diukur kedahsyatannya
Palageni dan Melati hanya bisa
memperhatikan saja tanpa berani
mengganggu Arya yang tengah tercenung
dengan dahi berkerut dalam.
"Ada kesimpulan yang bisa kau
tarik, Kang?" akhirnya kesabaran
Melati lenyap. Tak tahan juga perasaan
ingin tahunya disimpan lama-lama.
Arya menggelengkan kepalanya.
"Bukan kesimpulan, Melati. Tapi
hanya satu dugaan," desah Arya.
"Apa itu, Kang?" tanya Melati tak
peduli jawaban kekasihnya. Dia ingin
tahu, apa yang dipikirkan pemuda
berambut putih keperakan itu.
"Gendruwo Pulau Setan mengambil
kekuatan dahsyat dari bumi melalui
hentakan kakinya."
“Ah...!"
Hampir berbareng Palageni dan
Melati berseru kaget.
"Jadi... Maksudmu, Kang...?" agak
tersendat suara gadis berpakaian putih
itu.
"Ya," Arya yang sudah tahu akan
kelanjutan ucapan tunangannya
menganggukkan kepala. "Dia mempunyai
ilmu 'Tenaga Dalam Inti Bumi'."
Suasana kembali hening begitu
Arya menghentikan ucapannya. Mereka
semua tenggelam dalam lamunan masing-
masing.
"Dewa Arak...," Palageni memecah-
kan keheningan di antara mereka. Arya
menoleh.
"Aku mohon diri dulu," ucap
pemuda berpakabn kuning itu, seraya
melempar pandang sekilas ke arah
Melati. Gadis berpakaian putih itu
tentu saja melihat, tapi berpura-pura
tidak tahu.
"Mengapa, Palageni?" Arya menger-
nyitkan keningnya. Meskipun dia memang
lebih suka berdua saja dengan Melati,
tapi tidak ingin Palageni pergi karena
merasa tidak enak padanya.
"Aku ingin menemui guruku, Arya.
Ingin memberitahukan hal ini padanya.
Barangkali saja beliau bisa memberi
petunjuk padaku."
"Silakan, Palageni O, ya.
Sampaikan salamku pada gurumu," sahut
Arya dengan hati lega mendengar alasan
yang dikemukakan pemuda berpakaian
kuning itu.
Setelah melempar senyum sekilas
ke arah Melati, Palageni segera
melesat dari situ. Cepat juga
gerakannya. Sebentar kemudian bayangan
tubuhnya sudah lenyap ditelan
rerimbunan semak-semak.
Arya dan Melati memandangi hingga
tubuh pemuda berpakaian kuning itu
tidak kelihatan lagi.
"Sekarang apa yang harus kita
lakukan, Kang?"
Arya mengangkat bahunya.
"Persoalan ini masih terlatu
gelap, Melati. Kita tidak bisa
bertindak sembrono."
"Hm..., jadi?"
"Kita lihat keadaannya dulu."
Melati mengangguk-anggukkan
kepala.
7
Melati dan Dewa Arak melangkah
perlahan keluar dari rerimbunan
hamparan ilalang itu. Tapi, langkah
mereka langsung terhenti begitu
sekitar tujuh tombak di hadapan mereka
berdiri tiga sosok tubuh.
Arya dan Melati menyipitkan
sepasang mata dalam upaya memperjelas
pandangan. Suasana malam itu memang
remang-remang karena bulan hanya
sepotong yang nampak di langit karena
tertutup awan tebal dan hitam.
Tapi meskipun demikian, cukup
jelas bagi Arya untuk mengenali salah
seorang dari mereka. Orang itu tak
lain adalah Dewa Rambut Merah.
Sedangkan dua orang lainnya, tidak
dikenal. Seorang kakek berbaju abu-
abu. Rambut, kumis, dan alisnya telah
memutih semua. Tapi anehnya kulit
wajahnya masih kencang seperti
layaknya anak muda. Orang ini tak lain
dari Dewa Obat Tangan Delapan.
Sementara yang seorang lagi
adalah kakek bertubuh tinggi kurus
bagai bambu. Pakaiannya berwarna
putih. Seperti juga warna alisnya. Di
tangannya tergenggam sebatang tongkat
berwarna hitam mengkilat terbuat dari
kayu jati. Inilah Dewa Angin Puyuh,
guru Palageni.
Dewa Arak dan Melati bersikap
waspada. Sepasang muda-muda ini
melihat gelagat kurang baik dari
ketiga sosok tubuh yang berdiri
menghadang jalan itu. Tambahan lagi,
baik Arya maupun Melati telah menge-
tahui kalau kakek berambut merah itu
kawan Gendruwo Pulau Setan. Maka,
keduanya menduga kalau kedua orang
kakek yang berdiri di sebelah Dewa
Rambut Merah adalah tokoh-tokoh
persilatan golongan hitam.
Meskipun sudah menduga demikian,
Arya tidak mau bertindak ceroboh.
Sikapnya seolah-olah tidak pernah
terjadi apa-apa. Dengan langkah
tenang, pemuda berambut putih
keperakan ini melanjutkan lang-kahnya
Dan dengan sendirinya, Melati pun
mengikuti.
Baru setelah jarak di antara
mereka tinggal sekitar tiga tombak,
dan ketiga orang kakek itu tetap tidak
mau menyingkir memberi jalan, Arya
terpaksa menghentikan langkahnya.
"Maaf, kami ingin lewat. Harap
kakek bertiga memberi kami jalan,"
pinta Dewa Arak. Pelan dan lembut
suaranya.
"Kalian boleh meneruskan
perjalanan, apabila bersedia memenuhi
permintaan kami," kata Dewa Angin
Puyuh, datar dan dingin suaranya.
"Apa itu, Kek?" tanya Arya masih
dengan nada sopan.
"Nyawa kalian berdua!" tandas
kakek beralis putih keras dan kasar.
"Keparat!"
Melati yang berwatak keras
langsung bangkit amarahnya. Seluruh
urat syaraf di tubuh gadis berpakaian
putih ini menegang waspada. Bahkan
kedua tangannya yang terkepal nampak
menggigil. Pertanda tenaga dalam telah
mengalir deras di dalamnya.
Buru-buru Dewa Arak menyentuh
lengannya, dan langsung mengembangkan
senyum ketika Melati menoleh.
"Tenanglah, Melati," ujar Arya
lembut.
“Tapi, ucapan mereka, benar-benar
keterlaluan, Kang," bantah Melati.
Jelas nada suaranya terdengar tidak
puas.
"Sabarlah dulu. Kita belum tahu
masalahnya," hibur Arya menenangkan.
Melati menarik napas dalam-dalam
dan menghem-buskannya kuat-kuat
Dicobanya untuk meredakan kemarahan
yang bergejolak dalam dada. Dan
memang, amarah yang bergolak perlahan-
lahan mereda kembali
"Tidak usah berpura-pura, Dewa
Arak!" kembali terdengar bentakan
keras dari mulut Dewa Angin Puyuh.
Suara yang sarat dengan kemarahan.
"Apa maksudmu, Kek?" Arya
mengernyitkan alisnya. "Aku benar-
benar tidak mengerti?!"
"Sungguh tidak kusangka, Dewa
Arak yang menggemparkan dunia
persilatan itu ternyata seorang pe-
ngecut! Tidak berani mengakui
perbuatan sendiri!"
Keras dan tajam sekali ucapan
yang keluar dari mulut Dewa Angin
Puyuh. Selebar muka Arya merah padam
seketika. Kemarahan seketika menjalari
hatinya. Sebagai orang yang menjunjung
tinggi kegagahan, pemuda berambut
putih keperakan ini paling benci kalau
disebut pengecut
"Jelaskan maksud ucapanmu, Kek.
Kalau tidak, jangan dianggap kurang
ajar, bila aku sebagai orang muda
bersikap tidak pantas padamu," agak
bergetar suara yang keluar dari mulut
Dewa Arak. Memang, pemuda berambut
putih keperakan ini tengah dilanda
kemarahan yang menggelora.
Terdengar suara gemerutuk dari
mulut kakek beralis putih itu.
"Dewa Arak...!" sentak Dewa Angin
Puyuh. "Aku datang untuk membalaskan
kematian muridku!"
"Muridmu...? Siapa muridmu?!"
tanya Arya dengan kemarahan mulai
mereda.
Entah, tokoh mana yang menjadi
murid kakek beralis putih ini. Sudah
terlalu banyak tokoh sesat yang tewas
di tangannya. Tapi tentu saja ada
alasan kuat yang membuat Arya terpaksa
membunuh. Tokoh-tokoh aliran hitam
yang ditewaskannya adalah yang
kejahatannya telah melewati takaran.
"Palageni...," lambat-lambat dan
penuh tekanan Dewa Angjn Puyuh
mengucapkannya, setelah beberapa saat
lamanya terdiam.
Arya dan Melati sampai terlompat
ke belakang bagai disengat
kalajengking. Berita yang didengar
memang terlalu mengejutkan hati. Jadi
kakek beralis putih ini adalah guru
Palageni? Tapi mengapa kakek itu malah
menuduh mereka membunuh pemuda berbaju
kuning itu? Tuduhan gila macam apa
ini? Bukankah mereka berdua yang malah
menyelamatkan pemuda itu dari ancaman
maut Gendruwo Pulau Setan dan Dewa
Rambut Merah?
"Kalau begitu, kau salah paham,
Kek. Justru aku dan kawanku inilah
yang telah menyelamatkannya dari
tangan Gendruwo Pulau Setan."
Arya sama sekali tidak
menyinggung-nyinggung tentang kebera-
daan Dewa Rambut Merah bersama tokoh
sesat yang menggiriskan itu. Dia belum
yakin kalau orang yang berada bersama
Gendruwo Pulau Setan adalah Dewa
Rambut Merah. Dan Arya tidak ingin
memperuncing keadaan.
"Kau tidak bisa mungkir lagi,
Dewa Arak! Dewa Rambut Merah telah
menyaksikan semua kekejianmu. Kau
telah membunuh muridku dan
melemparkannya ke dalam jurang!" keras
dan berapi-api ucapan yang keluar dari
mulut Dewa Arak.
"Fitnah!" bantah Arya keras.
"Hanya karena rasa cemburu yang
membabi buta, kau telah membunuh
Palageni yang tengah bercakap-cakap
dengan kawan wanitamu! Bersiaplah,
Dewa Arak! Aku, Dewa Angin Puyuh
bersedia mengadu nyawa untuk
membalaskan kematian muridku"
Setelah berkata demikian, kakek
beralis putih ini segera menerjang.
Tahu akan kelihaian lawannya, tanpa
ragu-ragu lagi segera digunakannya
ilmu andalan yang telah membuatnya
memperoleh gelaran Dewa Angin Puyuh,
'Ilmu Angin Puyuh'!
Kakek beralis putih ini melompat.
Dan dari atas, tangan kanannya yang
berbentuk cakar meluncur ke arah ubun
ubun Dewa Arak. Sementara tangan
kirinya di pinggang.
Hebat akibatnya! Angin menderu
keras, seolah-olah di tempat itu
terjadi badai. Batu batu besar kecil
beterbangan tak tentu arah. Debu pun
mengepul tinggi ke udara.
Arya tidak berani bersikap main-
main. Dari suara mengaung keras yang
terdengar sebelum serangan itu sendiri
tiba, sudah bisa diperkirakan kekuatan
tenaga dalam yang terkandung dalam
serangan lawan. Jangankan kepala
manusia. Batu karang yang paling keras
pun akan hancur lebur apabila terkena
hantaman itu
Buru-buru Dewa Arak mendoyongkan
tubuh ke belakang sambil menarik
kepala. Sederhana saja gerakan yang
dilakukan, sehingga hebatnya serangan
itu hanya lewat di atas kepalanya.
Seluruh rambut dan pakaian Arya
berkibar keras begitu serangan cakar
itu lewat
Tapi serangan Dewa Angin Puyuh
tidak hanya sampai di situ saja.
Begitu serangan cakarnya lolos, kaki
kanannya menyambar cepat ke arah dada.
Wuttt...!
Tidak ada pilihan lain bagi Dewa
Arak kecuali melempar tubuh ke
belakang, dan berputaran di udara
beberapa kali.
Tapi Dewa Angin Puyuh yang tengah
dilanda amarah tidak mau memberi
kesempatan pada Dewa Arak. Begitu
tendangannya berhasil dielakkan dan
kedua kakinya mendarat di tanah,
segera kedua kakinya dijejakkan.
Sesaat kemudian, kedua tangannya
dengan jari-jari terbuka lurus menotok
ke arah ulu hati dan dada. Setiap
serangan kakek ini menimbulkan dem
angin keras laksana terjadi badai.
Sebuah pertarungan aneh pun
terjadi. Dewa Angin Puyuh yang terus-
menerus memburu dengan serangan-
serangan maut Sementara Dewa Arak yang
tak henti-hentinya bersalto ke
belakang untuk menyelamatkan diri.
Semula Dewa Arak tidak mau balas
menyerang dan hanya mengelak saja.
Karena, dia yakin kalau Dewa Angin
Puyuh salah paham. Pasti ada orang
yang sengaja melempar fitnah
kepadanya. Makanya, sejak tadi dia
tidak mengadakan perlawanan, dan hanya
mengelak dan mengelak.
Tapi begitu menyadari betapa
dahsyatnya serangan-serangan yang
dilancarkan Dewa Angin Puyuh, Dewa
Arak sadar. Jika terus-terusan
mengalah, bukan tidak mungkin dirinya
akan celaka di tangan lawan. Dia harus
balas menyerang. Atau paling tidak,
menangkis serangan lawannya. Tidak
hanya mengelak terus-menerus.
"Haaat...!"
Arya melempar tubuh ke belakang
lalu bersalto beberapa kali di udara.
Dan begitu kakinya hinggap di tanah,
tangannya telah menggenggam guci arak.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu
Arya menuangkan isi guci itu ke
mulutnya. Pedahan hawa hangat merayap
di perutnya dan kemudian naik ke atas
kepala.
Begitu kedua kaki Dewa Arak
mendarat di tanah, serangan-serangan
Dewa Angin Puyuh kembali bertubi-tubi
menyambarnya. Serangan yang mengancam
bagian tubuh mematikan.
Tapi kali ini, Arya tidak tinggal
diam seperti tadi. Dia mulai menangkis
dan balas menyerang. Sesaat kemudian,
pertarungan sengit pun terjadi.
***
Melati, Dewa Rambut Merah, dan
Dewa Obat Tangan Delapan,
memperhatikan jalannya pertarungan
dengan penuh perhatian. Mereka adalah
ahli silat tingkat tinggi. Tidak ada
kegemaran yang disukai selain
bertarung dan melihat orang mengadu
kepandaian. Semakin sakti orang-orang
yang bertarung, semakin gembira dan
suka hati mereka.
Pertarungan antara Dewa Arak dan
Dewa Angin Puyuh berlangsung cepat.
Hal ini tidak aneh, karena memang
kedua orang itu memiliki ilmu
meringankan tubuh yang luar biasa.
Sepasang alis Dewa Rambut Merah
dan Dewa Obat Tangan Delapan bertaut,
begitu melihat pertarungan itu.
Sementara Melati tampak tersenyum
simpul. Kepandaian ketiga orang itu
memang sudah tinggi, sehingga tidak
mengalami kesulitan untuk mengikuti
setiap gerakan dua orang yang tengah
bertarung.
Tampak jelas oleh mereka kalau
Dewa Angin Puyuh bukan tandingan Dewa
Arak. Baik dalam hal ilmu meringankan
tubuh dan tenaga dalam, kakek beralis
putih ini berada di bawah lawannya
yang masih muda.
Dewa Rambut Merah menggertakkan
gigi. Mendadak kakek berambut merah
ini berkelebat menuju kancah
pertarungan. Melati terperanjat
melihat hal ini.
"Manusia pengecut! Akulah
lawanmu...!" teriak Melati keras.
Berbareng dengan suara
teriakannya, tubuh gadis itu melesat
cepat menghadang di hadapan Dewa
Rambut Merah. Kakek ini terpaksa
mengurungkan niat, karena di
hadapannya telah berdiri Melati.
"Kita ketemu lagi, Dewa Rambut
Merah," kata Melati. Terdengar pelan
dan lembut suaranya, tapi di dalamnya
tersirat sindiran. Dewa Rambut Merah
ternyata merasakan. Terbukti, selebar
wajah kakek itu memerah.
"Permainan apa lagi yang kau
tunjukkan, Nisanak? Rupanya kau sudah
tidak waras lagi. Kapan aku pernah
bertemu denganmu? Kita baru bertemu
kali ini!"
"Orang lain bisa kau kelabui.
Tapi jangan harap muslihatmu itu
berhasil menipuku!" tandas Melati
tegas.
"Omonganmu semakin ngacau, Wanita
Liar! Terpaksa mulutmu kubungkam!"
Setelah berkata demikian, kakek
berambut merah ini menerjang Melati.
Tahu kalau gadis berbaju putih itu
memiliki kepandaian tinggi, seluruh
kemampuan yang dimiliki segera
dikerahkannya.
Dewa Rambut Merah membuka
serangan dengan sebuah sambaran cakar
tangan kanannya ke arah leher.
Gerakannya cepat bukan main, tak kalah
dengan Dewa Angin Puyuh.
Suara berdecit nyaring, seperti
ada tikus terjepit terdengar
mengiringi tibanya serangan cakar itu.
Sebuah bukti nyata kalau dalam
serangan itu terkandung tenaga dalam
tinggi.
Tanpa menggeser kaki, Melati
segera mendoyongkan tubuh ke belakang
seraya menarik kepala. Pada saat yang
sama, tangan kirinya digerakkan untuk
menangkis dengan arah gerakan dari
dalam ke luar.
Melati yang sudah bisa memper-
kirakan kelihaian lawan, segera
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang
dimiliki dalam tangkisan itu
Plakkk...!
Suara berderak keras seperti
beradunya dua ba-tang logam keras
langsung terdengar. Baik Dewa Rambut
Merah maupun Melati sama-sama
terhuyung satu langkah ke belakang
dengan kedua tangan bergetar hebat.
Nampak jelas kalau dalam adu tenaga
ini kedua belah pihak memiliki tenaga
dalam seimbang.
Dewa Rambut Merah menggerung
keras. Sungguh di luar dugaan ada
seorang gadis muda mampu menangkis
serangannya. Ada rasa tidak percaya
dalam hatinya. Penasaran, malu, dan
marah bercampur-baur dalam dadanya.
Tapi dari sekian banyak perasaan
yang berkecamuk itu, yang menonjol
keluar adalah perasaan marah. Dewa
Rambut Merah adalah seorang datuk yang
ditakuti lawan dan disegani kawan.
Kini berbenturan tangan dengan seorang
gadis muda saja, tangannya sudah
tergetar hebat. Kalau ada orang
persilatan yang mendengar, bukankah
akan menjadi bahan tertawaan?
Dan, hal inilah yang mendorong
Dewa Rambut Merah mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimilikinya. Melati pun
bertindak serupa. Akibatnya, pertaru-
ngan sengit pun terjadi. Maka kini di
tempat itu terjadi dua kancah
pertempuran.
Dua pertarungan tingkat tinggi
yang terjadi di tempat itu hanya
disaksikan seorang penonton saja. Dewa
Obat Tangan Delapan. Kakek yang
wajahnya masih segar itu menyaksikan
jalannya pertarungan dengan hati
berdebar. Terutama sekali ketika
melihat pertarungan Dewa Angin Puyuh
menghadapi Dewa Arak.
Semula pertarungan antara Arya
menghadapi kakek beralis putih itu
berjalan imbang. Tapi menginjak jurus
ke lima puluh, nampak jelas keunggulan
Dewa Arak. Dan memang, sebenarnya
tingkat kepandaian pemuda berambut
putih keperakan ini masih lebih unggul
ketimbang lawannya, baik dalam hal
tenaga dalam maupun ilmu meringankan
tubuh.
Akhirnya, Dewa Obat Tangan
Delapan tidak kuat lagi menahan diri.
Karena tampak, keadaan Dewa Angin
Puyuh semakin mengkhawatirkan. Kakek
beralis putih itu tampak terdesak dan
terhimpit. Beberapa kali tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang setiap
kali terjadi benturan di antara
mereka.
"Haaat..!"
Dewa Obat Tangan Delapan
berteriak nyaring, seraya melompat
menerjang. Tahu akan ketangguhan Dewa
Arak, tanpa ragu-ragu lagi ilmu
andalannya segera dikeluarkan. 'Ilmu
Tangan Delapan Naga'!
Begitu menerjunkan diri dalam
kancah pertarungan, Dewa Obat Tangan
Delapan langsung melancarkan serangan
bertubi-tubi pada Arya.
Dewa Arak terkejut bukan main
melihat serangan Dewa Obat Tangan
Delapan. Kedua tangan lawan seperti
berjumlah delapan buah, dan menyerang
dari delapan penjuru! Bukan itu saja.
Ada angin kuat yang menggencet sekujur
tubuh Arya dari delapan arah, sehingga
membuat dada pemuda berambut putih
keperakan itu terasa sesak.
Dewa Arak tidak berani bertindak
ceroboh. Desakannya segera dibatalkan
pada Dewa Angin Puyuh. Lalu tubuhnya
dilempar ke belakang dan bersalto
beberapa kali di udara. Indah dan
manis sekali gerakan Arya. Kedua
kakinya mendarat ringan tanpa suara
dalam jarak sekitar tujuh tombak dari
kedua lawannya.
Baik Dewa Angin Puyuh maupun Dewa
Obat Tangan Delapan sama sekali tidak
mengejar. Dua orang kakek itu adalah
datuk golongan putih. Pantang bagi
mereka melakukan serangan pada lawan
yang belum bersiap. Apalagi kini
mereka sudah menghadapi lawan bersama-
sama. Seorang lawan yang masih sangat
muda!
"Kau hebat, Dewa Arak," puji Dewa
Obat Tangan Delapan, jujur. "Tapi
sayang, kau telah tersesat. Kau telah
menjadi kejam karena perasaan cemburu
buta."
“Tidak usah banyak basa-basi,
Dewa Obat!" sergah Dewa Angin Puyuh
keras. "Mari kita lenyapkan pemuda
berbahaya ini!"
Setelah berkata demikian, kakek
beralis putih ini langsung menyerang
Dewa Arak. Kembali 'Ilmu Angin
Puyuh'nya dikeluarkan, sehingga seke-
tika itu juga angin keras menderu.
Seolah-olah, di tempat itu tengah
terjadi badai. Batu-batu besar kecil
berpentalan tak tentu arah. Debu pun
mengepul tinggi ke udara.
Belum lagi serangan itu tiba,
Dewa Obat Tangan Delapan pun turut
menyerang. Kedua tangannya bergerak
cepat bukan main! Sehingga, kelihatan-
nya tangan kakek itu tidak berjumlah
dua, melainkan delapan! Pantas dia
berjuluk Tangan Delapan, di samping
berjuluk Dewa Obat.
Meskipun akibat yang ditimbulkan
serangan Dewa Obat Tangan Delapan
tidak terlalu menggiriskan, tapi yang
dirasakan Arya tidak demikian halnya.
Ada kekuatan tak nampak yang menekan
dari delapan penjuru, sehingga membuat
dadanya terasa sesak bukan main. Buru-
buru pemuda berambut putih keperakan
itu mengerahkan tenaga dalamnya,
sehingga rasa sesak pada dadanya
segera sirna. Kini kekuatan tak nampak
yang menghimpitnya tak lagi terasa.
Sekarang Arya tidak ragu-ragu
lagi untuk mengerahkan seluruh kemam-
puan yang dimiliki. Lawan yang
dihadapinya adalah pentolan golongan
putih. Bertarung setengah hati,
taruhannya adalah nyawa! Sesaat
kemudian, pertarungan sengit kembali
terjadi.
8
Di arena lain, Melati tengah
berjuang keras menghadapi Dewa Rambut
Merah! Berbeda dengan Arya yang masih
meragukan kesalahan kakek berambut
merah ini, Melati yakin sekali kalau
pelaku pembantaian di kaki Gunung
Campa adalah Dewa Rambut Merah.
Makanya gadis berpakaian putih itu
kini mengerahkan seluruh kemampuan
yang dimiliki. Namun demikian,
tampaknya Melati tetap saja tidak
mampu mendesak kakek berambut merah
itu. Sampai puluhan jurus, pertarungan
masih berjalan seimbang.
Bukan hanya Melati saja yang
berusaha keras mengalahkan lawan. Dewa
Rambut Merah pun demikian pula. Bahkan
bila dibandingkan, kakek itu memiliki
keingjnan untuk merobohkan yang lebih
besar. Keinginan itu didorong oleh
rasa malunya!
Sementara itu di arena lain,
"Haaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Dewa
Angin Puyuh membabatkan tongkatnya ke
arah lutut Dewa Arak. Suara mengaung
keras terdengar mengiringi tibanya
serangan itu
Arya menjejakkan kakinya, lalu
seketika itu juga tubuhnya melayang ke
atas. Akibatnya, tongkat itu meluncur
lewat di bawah kakinya. Tubuhnya kemu-
dian bersalto ke depan, dan dan udara
tangan kanannya meluncur ke arah bahu
kanan kakek beralis putih itu.
Plakkk..!
Periahan saja kelihatannya,
tangan Dewa Arak menghantam bahu Dewa
Angin Puyuh. Hebatnya, tubuh kakek
beralis putih itu terhuyung ke depan
seperti diseruduk banteng. Seketika
ada cairan merah kental menyembur dari
mulutnya. Kakek ini langsung jatuh
terduduk di tanah.
Baru saja kedua kaki Arya
mendarat di tanah, serangan Dewa Obat
Tangan Delapan telah menyambar tiba.
Kedua tangan yang seperti berjumlah
delapan buah itu menyerang bertubi-
tubi ke arah ulu hati, dada, dan
leher.
Tidak ada jalan lagi bagi Dewa
Arak, kecuali menangkis serangan itu.
Plak, plak, plak...!
Suara berderak keras seperti
beradunya dua logam keras terdengar
berkali-kali ketika dua pasang tangan
berbenturan. Akibatnya, tubuh Arya
terhuyung-huyung ke belakang. Dewa
Arak memang berada dalam keadaan yang
tidak menguntungkan. Bahkan sewaktu
menangkis pun, seluruh tenaga yang
dimilikinya tidak sempat dikerahkan.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa
mengguntur, sehingga membuat isi dada
berguncang. Nampaknya, tawa itu
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga
dalam tinggi.
Belum lagi gema suara tawa itu
lenyap, sesosok bayangan berkelebat
setelah terlebih dahulu menjejakkan
kaki kanan ke tanah hingga membuat
bumi bergetar. Gerakannya cepat bukan
main, dan langsung menerjang masuk
kancah pertarungan antara Dewa Arak
melawan Dewa Obat Tangan Delapan.
Karuan saja hal ini membuat dua
orang itu terkejut bukan main.
Apalagi, begitu mengetahui kalau sosok
bayangan itu langsung melancarkan
serangan-serangan berbahaya ke arah
mereka. Deru angin yang luar biasa
keras mengiringi tibanya serangan.
Dewa Arak dan Dewa Obat Tangan
Delapan yang sedang bertempur menjadi
sangat terkejut, ketika tiba-tiba
berkelebat sesosok tubuh tinggi besar
ke arah mereka dan langsung
melancarkan serangan-serangan berba-
haya! Deru angin yang luar biasa keras
mengi-ringi tibanya serangan orang
tinggi besar itu.
Mendapat serangan yang tidak
disangka-sangka, Dewa Arak dan Dewa
Obat Tangan Delapan langsung
terperanjat. Apalagi serangan itu
datangnya amat mendadak. Sebisa-
bisanya, kedua orang itu menangkis.
Plak, plak...!
Seruan keterkejutan terdengar
dari mulut Dewa Arak dan Dewa Obat
Tangan Delapan. Tubuh kedua orang ini
langsung terpental ke belakang.
Sementara sosok bayangan yang
menyerang, sama sekali tidak
terpengaruh apa-apa.
Baik tubuh Dewa Angin Puyuh
maupun tubuh Dewa Obat Tangan Delapan
melayang jauh, kemudian jatuh
bergulingan di tanah.
"Huakkk...!"
Dewa Obat Tangan Delapan
memuntahkan darah segar ketika mencoba
bangkit.
Melati dan Dewa Angin Puyuh
terkejut bukan kepalang begitu melihat
perkembangan yang sama sekali tidak
disangka-sangka. Melati langsung
melesat meninggalkan lawan, memburum
ke tempat Dewa Arak terjatuh.
Sementara Dewa Angin Puyuh segera mem-
buru tubuh Dewa Obat Tangan Delapan.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa mengguntur kembali
terdengar. Semua pandangan mata kini
tertuju ke arah sosok yang tengah
tertawa-tawa itu.
"Gendruwo Pulau Setan...," desis
Dewa Angin Puyuh dan Dewa Obat Tangan
Delapan. Pandangan mata maupun suara
mereka menyiratkan ketidakpercayaan
akan apa yang terlihat di depan
mereka.
Berbeda dengan kedua orang kakek
itu, Melati dan Dewa Arak sama sekali
tidak terkejut melihat tokoh sesat
yang menggiriskan itu. Mereka telah
melihat, dan bahkan telah bertanding
dengan tokoh itu beberapa saat yang
lalu.
Keterkejutan Dewa Obat Tangan
Delapan dan Dewa Angin Puyuh semakin
menjadi-jadi. Ternyata rekan mereka,
Dewa Rambut Merah malah menghampiri
Gendruwo Pulau Setan. Dan bahkan
berdiri di sebelahnya.
"Dewa Rambut Merah..., kau...
kau...!?" desis Dewa Angin Puyuh kaget
Hanya senyum dan pandangan mata
penuh ejekan dari Dewa Rambut Merah
yang menyambut ucapan terbata-bata
kakek beralis putih itu
"Kenapa? Kaget?!" tanya kakek
berambut merah itu Nada suaranya
terdengar menyakitkan hati.
Wajah Dewa Angin Puyuh dan Dewa
Obat Tangan Delapan yang sudah pucat,
jadi semakin pucat mendengar tanggapan
kasar itu. Kedua tokoh Tiga Dewa
Sungai Naga ini tidak mampu berkata-
kata lagi. Perasaan kaget yang melanda
demikian kuat menghajar hati mereka.
Sehingga keduanya hanya mampu
memandang dengan sepasang kelopak mata
terbelalak lebar.
"Perlu kalian ketahui semua,"
kata Dewa Rambut Merah sambil
mengedarkan pandangan mata ke
sekeliling, merayapi wajah orang-orang
di hadapannya satu persatu. "Akulah
yang membantai rombongan Adipati
Kalingga."
"Hahhh...?!"
Dewa Obat Tangan Delapan dan Dewa
Angin Puyuh terlonjak kaget. Andaikan
ada petir menyambar, kekagetan yang
dialami tidak akan seperti ketika
mendengar berita ini Dewa Rambut Merah
salah satu tokoh Tiga Dewa Sungai Naga
melakukan perbuatan keji! Sungguh
sukar dipercaya!
"Kaget, Dewa Angin Puyuh? Dewa
Obat?" Kembali nada penuh ejekan
terdengar dari mulut Dewa Rambut
Merah. Sementara Gendruwo Pulau Setan
hanya tersenyum lebar.
"Mengapa kau berbuat sekeji itu,
Dewa Rambut Merah?" tanya Dewa Obat
Tangan Delapan. Suaranya pelan, lebih
mirip desahan.
"Bukan hanya adipati keparat itu
saja yang kubunuh. Tapi juga kalian
semua! Tidak terkecuali kau, Dewa
Arak!" tandas kakek berambut merah
itu, seraya menatap wajah Arya.
"Semula kau tidak termasuk dalam
rencanaku, karena sama sekali tidak
ada sangkut-pautnya. Tapi karena kau
telah berlaku lancang, dengan
mencampuri urusanku, kau pun tak
mungkin dapat lolos dari tanganku.
Bukan itu saja. Semua orang yang
termasuk dalam golongan putih akan
kubinasakan!"
"Mengapa, Dewa Rambut Merah?"
tanya Dewa Angin Puyuh penasaran
"Kau bertanya mengapa, Dewa Angin
Puyuh?!" sambut kakek berambut merah,
kasar. "Padahal, baik padamu maupun
pada Dewa Obat Tangan Delapan telah
kuceritakan, kalau puluhan tahun yang
lalu istriku telah diperkosa dan
dibunuh oleh seorang laki-laki. Aku
tidak tahu namanya. Tapi, dari berita
yang kudapat, aku tahu ciri-cirinya.
Dan bahkan telah kuceritakan pada
kalian."
Dewa Rambut Merah menghentikan
ceritanya sejenak untuk mengambil
napas, di samping mencari kata-kata
untuk melanjutkan ceritanya.
"Puluhan tahun aku mencari tanpa
hasil. Dapat kalian bayangkan, betapa
kesalnya hatiku. Apalagi setelah
kutahu, kalau orang yang kucari itu
adalah temanmu, Dewa Obat! Dan kau
sengaja melindunginya dengan tidak
memberitahukannya padaku. Kau yang
mengaku sebagai pentolan golongan
putih telah bertindak begitu
menjijikkan. Melindungi orang yang
bermoral bejat!"
Merah wajah Dewa Obat Tangan
Delapan mendengar makian Dewa Rambut
Merah. Maka kepalanya periahan-lahan
tertunduk.
"Aku masih mencoba bersabar.
Meskipun saat itu sudah merasa muak
dengan gelar pentolan golongan putih,
tapi ketika akhirnya dapat berita
baru, aku tidak bisa bersabar lagi!
Bukan hanya kau saja yang menjadi
teman orang bejat. Tapi kau juga, Dewa
Angin Puyuh! Maka aku tidak bisa sabar
lagi, begitu kulihat keparat itu
bepergian. Mereka pun kubantai habis.
Tapi, sayang sekali ada yang sempat
lolos dari maut dan memberi tahu
kalian."
Kepala dua kakek Tiga Dewa Sungai
Ular tertunduk. Sama sekali semua yang
dikatakan Dewa Rambut Merah tidak
dibantah.
"Kebencianku bertambah ketika
kutahu kau mengangkat putra keparat
Kalingga menjadi muridmu, Dewa Angin
Puyuh. Sejak saat itu, aku muak dan
benci terhadap orang-orang golongan
putih. Maka kuputuskan untuk membasmi
kalian. Dan untuk itulah Gendruwo
Pulau Setan, adik tiriku, tiba di
sini."
Suasana jadi hening begitu Dewa
Rambut Merah menghentikan ucapannya.
"Sekarang, terimalah kematian
kalian...!" tegas kakek berambut merah
lambat-lambat tapi penuh tekanan.
Kemudian kakinya melangkah menghampiri
tubuh dua tokoh Tiga Dewa Sungai Naga.
Mendadak langkah Dewa Rambut
Merah terhenti. Pendengarannya yang
tajam menangkap adanya langkah kaki
mendekati. Bukan hanya kakek berambut
merah itu saja yang menoleh. Gendruwo
Pulau Setan pun menoleh pula.
"Guru...!"
Seorang pemuda berpakaian kuning
melesat cepat ke arah Dewa Angin
Puyuh. Siapa lagi kalau bukan
Palageni!
Dewa Angin Puyuh dan Dewa Obat
Tangan Delapan terperanjat melihat
kedatangan Palageni. Bukankah,
muridnya itu telah tewas di tangan
Dewa Arak. Jadi, benar apa yang
dikatakan Arya. Semua itu hanya
fitnah!
Dewa Rambut Merah menggeram
keras. Cepat laksana kilat tubuhnya
melesat ke arah Palageni. Kedua
tangannya melancarkan totokan bertubi-
tubi ke berbagai bagian tubuh pemuda
berpakaian kuning itu.
Dewa Angin Puyuh, Dewa Obat
Tangan Delapan, Melati, dan Dewa Arak
sangat terperanjat. Pemuda berambut
putih keperakan ini sebenarnya sama
sekali tidak terluka. Tadi, ketika
menangkis serangan Gendruwo Pulau
Setan, Dewa Arak tidak menggunakan
tenaga keras. Jadi, dia hanya
menggunakan tenaga lembut. Dan dengan
meminjam tenaga benturan itu, tubuhnya
dibiarkan terlontar ke belakang, dan
berpura-pura terluka agar lawan
lengah. Dan ternyata, siasatnya
berhasil!
Kini melihat Palageni terancam
maut, pemuda berambut putih keperakan
ini cepat menghentakkan kedua tangan
ke arah tubuh Dewa Rambut Merah yang
tengah berada di udara. Inilah jurus
'Pukulan Belalang'.
Wusss...!
Angin keras berhawa panas
menyengat, menyambar cepat ke arah
Dewa Rambut Merah. Karuan saja kakek
ini terkejut bukan main. Serangan Dewa
Arak sama sekali tidak diduga. Dia
berpikir kalau pemuda itu tengah
terluka. Tapi pada kenyataannya?
Wajah Dewa Rambut Merah pucat
seketika. Tubuhnya yang tengah berada
di udara, tidak mungkin bisa mengelak.
Apalagi tidak ada sesuatu yang dapat
dijadikan pijakan. Meskipun demikian,
dengan sebisa-bisanya, selembar
nyawanya berusaha diselamatkan. Dewa
Rambut Merah menggeliatkan tubuhnya.
Tapi....
Bresss!
"Aaakh...!"
Tubuh kakek berambut merah
terpental jauh ke belakang. Seketika
itu juga nyawa kakek ini melayang
meninggalkan raganya sebelum jatuh ke
tanah.
Gendruwo Pulau Setan meraung
keras laksana seekor binatang buas
terluka melihat kematian kakak
tirinya. Dengan sinar mata penuh
ancaman, tokoh sesat yang menggiriskan
ini menatap Dewa Arak. Perlahan-lahan
kakinya melangkah menghampiri pemuda
berambut putih keperakan itu.
Tapi langkah laki-laki tinggi
besar ini terhenti ketika entah dari
mana datangnya, di tempat itu telah
berdiri seorang kakek berpakaian putih
bersih. Sekujur tubuhnya, terutama
sekali wajahnya, nampak bercahaya. Hal
ini membuat orang itu tidak kuat untuk
berlama-lama memandangnya. Alis,
jenggot, dan kumisnya telah memutih
semua. Rambutnya yang juga berwarna
putih digelung ke atas. Di tangan
kakek itu tergenggam seuntai tasbih.
Begitu melihat kakek ini, wajah
Gendruwo Pulau Setan memucat.
Kegentaran yang amat sangat tampak di
wajahnya. Cepat tubuhnya berbalik,
lalu disambarnya tubuh Dewa Rambut
Merah. Kemudian dia berlari
meninggalkan tempat itu sambil membawa
tubuh kakek berambut merah.
Kakek berpakaian putih bersih
yang tak lain dari Ki Gering Langit
itu sama sekali tidak mempedulikannya.
Pandangannya tetap tertuju pada Dewa
Arak.
"Guru...," Arya cepat memberi
hormat pada kakek itu.
Melati, Dewa Angin Puyuh, dan
Dewa Obat Tangan Delapan nampak
terkesima melihat kakek ini. Hanya
Palageni seorang yang tidak terlihat
terkejut.
Ki Gering Langit tersenyum lebar.
"Arya...," ucap kakek berpakaian
putih bersih itu. Suaranya terdengar
lembut dan berwibawa. "Aku sengaja
datang menjumpaimu untuk mengambil
kembali Pedang Bintang. Bukankah
pedang itu sekarang tidak kau perlukan
lagi?"
Dewa Arak mengangkat kepalanya,
menatap wajah Ki Gering Langit. Hanya
sebentar saja, karena sesaat kemudian
kepalanya kembali ditundukkan.
"Maafkan aku, Guru," sahut Arya
pelan "Sebenarnya sudah lama aku
hendak mengembalikan pedang ini. Tapi,
dalam perjalanan aku selalu bertemu
hambatan, sehingga niatku tertunda."
"Aku mengerti, Arya," ucap Ki
Gering Langit bijaksana, seraya
tersenyum lebar. "Itulah sebabnya aku
kemari menjumpaimu."
Lega hati Arya mendengar jawaban
gurunya. Bergegas dia mengambil Pedang
Bintang yang selama ini tergantung di
pinggangnya, kemudian menyerahkan pada
gurunya.
Ki Gering Langit mengulurkan
tangan menerima. Dan secepat pedang
itu telah berada di genggamannya,
secepat itu pula tubuhnya lenyap dari
situ.
Melati, Dewa Obat Tangan Delapan,
dan Dewa Angin Puyuh memandang penuh
takjub akan semua yang terjadi.
Apalagi ketika mendadak tubuh Ki
Gering Langit lenyap begitu saja dari
situ. Wajah dan sorot mata mereka
menampakkan kebingungan yang amat
sangat
"Itulah orang yang menolongku
dari tangan Gendruwo Pulau Setan,
Guru," jelas Palageni memberi tahu
Dewa Angin Puyuh. Kemudian, pemuda
berbaju kuning ini menceritakan semua
kejadian yang dialaminya.
"Ketika aku telah cukup jauh
meninggalkan Dewa Arak dan Melati,
tiba-tiba Gendruwo Pulau Setan dan
Dewa Rambut Merah menghadang. Kalau
saja tidak ada kakek itu, mungkin aku
sudah tewas, Guru. Hebat! Kakek itu
mengalahkan keroyokan Dewa Rambut
Merah dan Gendruwo Pulau Setan secara
mudah. Hanya dalam segebrakan, dan
tanpa menggeser kaki sedikit pun!"
Dewa Angin Puyuh dan Dewa Obat
Tangan Delapan menggelengkan kepala
penuh kagum.
"Bagaimana Guru bisa berada di
sini?" tanya Palageni lagi.
"Di perjalanan pulang, aku
khawatir akan keselamatanmu. Lalu, aku
kembali lagi. Di tengah jalan aku
bertemu Dewa Obat Tangan Delapan. Kami
memutuskan mencarimu bersama-sama,"
kakek beralis putih ini menghentikan
ceritanya sejenak untuk mengambil
napas.
"Belum jauh berjalan, kami
bertemu Dewa Rambut Merah. Katanya,
kau telah dibunuh Dewa Arak. Akibatnya
kami mencari pemuda itu. Pertarungan
pun tidak bisa dihindari lagi. Dan
ketika kami sama-sama lelah, Gendruwo
Pulau Setan datang. Kejadian
selanjutnya, telah kau saksikan
sendiri."
Sehabis berkata demikian, Dewa
Angin Puyuh menoleh ke arah tempat
Arya dan Melati. Tapi seketika itu
pula hatinya terperanjat
"Hehhh...?! Ke mana mereka?" Dewa
Obat Tangan Delapan dan Palageni ikut
menoleh. Tapi tetap saja tidak melihat
seorang pun di situ. Walaupun mereka
telah mengedarkan pandangan ke
sekeliling, Dewa Arak maupun Melati
tak juga ditemukan.
Sementara itu, orang yang
dipercakapkan telah berada cukup jauh
dan tempat itu. Dewa Arak dan Melati
melangkah bersisian, menembus kere-
mangan malam. Menempuh perjalanan
hidup yang masih panjang.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar