PEWARIS ILMU TOKOH SESAT
Oleh Aji Saka
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting Widarto
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Aji Saka
Serial Dewa Arak
dalam episode:
Pewaris Ilmu Tokoh Sesat
1
Brakkk...!
Terdengar suara berderak keras, ketika
sepasang tangan kokoh seorang laki-laki bertubuh
tinggi kurus berompi kuning, menghantam daun
pintu gerbang Perguruan Kumbang Merah.
Kontan, daun pintu itu hancur berkeping-keping
mengeluarkan suara hiruk pikuk. Padahal daun
pintu gerbang itu terbuat dari kayu jati yang keras
dan tebal.
Suara ribut-ribut itu tentu saja membuat
murid-murid Perguruan Kumbang Merah berlarian
menuju ke arah asal suara. Apalagi murid-murid
yang mendapat tugas jaga. Merekalah yang tahu
lebih dahulu. Dan buru-buru melesat ke arah
pintu gerbang.
"Siapa kau?!" tanya salah seorang murid
yang bertubuh pendek gemuk bernada kasar.
Laki-laki inilah yang bertugas sebagai
kepala jaga hari itu. Ditatapnya wajah orang yang
berdiri di hadapannya. Seorang laki-laki berusia
dua puluh lima tahun. Berwajah meruncing ke
depan, dengan bola mata yang selalu berputar liar.
Di tangan kanannya tergenggam sebuah trisula.
"He he he...!"
Hanya suara tawa terkekeh saja yang
menyahuti pertanyaan murid bertubuh pendek
gemuk itu.
''Tidak usah banyak basa-basi lagi, Kang
Gilang. Hajar saja pengacau ini!" ucap salah
seorang yang berdiri di belakang laki-laki pendek
gemuk yang bernama Gilang. Memang kepala jaga
itu berdiri paling depan. Sementara rekan-
rekannya yang berjumlah tiga orang, berada di
belakangnya. Mereka telah menghunus senjata
masing-masing. Sebatang pedang yang batangnya
berwarna merah.
"Hmh...!" laki-laki berompi kuning itu
mendengus dan mendesis tajam. "Kalianlah yang
akan mampus!"
"Keparat!"
Seorang murid Perguruan Kumbang Merah
yang berambut merah, tidak kuat lagi menahan
kemarahan. Sambil berteriak nyaring, dia
melompat menerjang laki-laki berompi kuning itu.
Pedang di tangannya ditusukkan cepat ke arah
leher.
Tapi, laki-laki berompi kuning itu hanya
tersenyum sinis. Tanpa menggeser kaki,
didoyongkan tubuhnya ke samping kanan,
sehingga serangan itu mengenai tempat kosong.
Lewat setengah jengkal di sebelah kiri lehernya.
Dan pada saat yang sama, trisulanya ditusukkan
ke arah perut lawan.
Wukkk!
Angin mengiuk keras mengiringi tibanya
sambaran trisula itu. Suatu pertanda kalau trisula
itu dimainkan oleh orang yang memiliki tenaga
dalam tinggi.
Laki-laki berambut merah terkejut bukan
main. Serangan lawan datang secara tiba-tiba dan
cepat sekali. Padahal, saat itu posisinya tidak
menguntungkan. Tubuhnya masih berada di
udara. Jangankan mengelak, menangkis pun
sudah tidak ada waktu lagi.
Gilang dan kedua temannya pun
mengetahui bahaya maut yang tengah mengancam
rekannya ini. Dan tanpa membuang-buang waktu
lagi, hampir berbarengan mereka melesat untuk
menolong. Tapi..,
Jrebbb...!
Trisula milik laki-laki berompi kuning,
telah lebih dulu menghunjam dalam di perut
murid yang sial itu. Darah pun bermuncratan dari
luka yang menganga lebar ketika trisula itu
dicabut kembali.
Brukkk!
Suara berdebuk keras terdengar, begitu
tubuh laki-laki berambut merah ambruk di tanah.
Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar. Kemudian
diam tidak bergerak lagi.
Bertepatan dengan robohnya tubuh murid
yang sial itu, serangan Gilang dan rekan-rekannya
menyusul tiba. Kembali trisula di tangan laki-laki
berompi kuning itu berkelebat
Tranggg, tranggg, tranggg...!
Suara berdentangan nyaring terdengar.
Bunga-bunga api pun memercik ke udara, diikuti
dengan berpentalannya senjata murid-murid
Perguruan Kumbang Merah. Karena tangan yang
menggenggam senjata terasa lumpuh! Tapi
tindakan laki-laki berompi kuning itu tidak hanya
sampai di situ saja. Trisulanya kembali berkelebat.
Dan....
Crattt, crattt, crattt!
Darah segar bermuncratan ketika trisula
merobek perut dan dada, serta leher Gilang dan
kawan-kawannya. Suara jerit memilukan
terdengar saling susul. Jeritan kematian. Seketika
itu juga, tubuh Gilang dan kawan-kawannya
ambruk di tanah. Diam tidak bergerak lagi untuk
selama-lamanya. Luar biasa! Hanya dalam
segebrakan saja, ketiga murid Perguruan Kum-
bang Merah itu telah menggeletak tanpa nyawa.
Baru saja Gilang dan kedua rekannya
melepas nyawa, muncul sembilan murid
Perguruan Kumbang Merah lainnya. Memang
sejak mendengar hiruk-pikuk hancurnya pintu
gerbang, mereka telah bergegas memburu ke arah
asal suara. Tapi, karena jarak yang agak jauh,
kedatangan mereka terlambat. Apalagi, para murid
penjaga pintu gerbang itu tewas hanya dalam
segebrakan!
Begitu tiba, sembilan orang murid
Perguruan Kumbang Merah langsung terpaku.
Menatap ke arah mayat-mayat saudara
seperguruan mereka yang bergeletakan tanpa
nyawa. Tapi hanya sesaat saja, kemudian telah
berganti dengan perasaan marah dan dendam
yang berkobar-kobar.
"Iblis! Kau harus menebus semua ini
dengan nyawamu!" seru seorang murid yang
berwajah bopeng.
"Ha ha ha...!" Laki-laki berompi kuning itu
tertawa terbahak-bahak. Tawa yang penuh ejekan.
"Majulah kalian semua!"
"Kawan-kawan...! Serbu...! Kita cincang
iblis ini!" seru murid yang berwajah bopeng itu lagi
seraya bergerak mendahului menyerang. Tentu
saja kawan-kawannya tidak tinggal diam. Mereka
pun meluruk menyerang tamu tak diundang ini
sambil berteriak-teriak penuh kemarahan.
Tapi Laki-laki berompi kuning itu hanya
tersenyum mengejek. Jelas kalau dia memandang
rendah murid-murid Perguruan Kumbang Merah.
Baru setelah serangan-serangan itu menyambar
dekat, tubuhnya menyelinap di antara hujan
senjata lawan-lawannya. Dengan ilmu
meringankan tubuh yang berada jauh di atas
lawan-lawannya, tidak sulit bagi laki-laki berompi
kuning itu untuk melakukannya.
Begitu berhasil mengelakkan diri, laki-laki
berompi kuning itu lalu melancarkan serangan
balasan. Trisula di tangannya berkelebatan cepat
mencari-cari sasaran. Hebatnya, setiap kali
senjatanya berkelebat, sudah dapat dipastikan ada
seorang murid Perguruan Kumbang Merah yang
roboh. Suara jerit kematian terdengar saling susul.
Sampai akhirnya, tidak ada lagi seorang pun yang
masih hidup.
"Biadab...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring
penuh kegeraman. Disusul dengan melayangnya
sesosok tubuh, yang kemudian hinggap di depan
laki-laki berompi kuning itu.
Laki-laki berompi kuning tersenyum sinis.
Sepasang matanya menatap orang yang berdiri di
hadapannya lekat-lekat. Dilihatnya seorang pria
bertubuh tegap, berwajah gagah, berkumis dan
berjenggot rapi, berdiri di hadapannya. Usianya
paling banyak tiga puluh lima tahun. Pakaiannya,
seperti juga pakaian murid-murid Perguruan
Kumbang Merah lainnya, berwarna merah. Inilah
Ketua Perguruan Kumbang Merah. Suntara
namanya.
Sepasang mata Suntara merayapi
sekitarnya. Terdengar suara gemeletuk dari
mulutnya. Ketua Perguruan Kumbang Merah ini
merasa geram, ketika melihat belasan muridnya
bergelimpangan tumpang tindih tanpa nyawa.
Murid-murid yang telah bertahun-tahun
dididiknya dengan susah payah. Perguruan
Kumbang Merah memang terbilang sebuah
perguruan silat yang kecil. Jumlah murid-
muridnya hanya belasan orang. Dan sama sekali
belum punya murid-murid kepala. Jadi,
Suntaralah yang turun tangan mendidiknya
sendiri.
"Bagaimana, Suntara?" tanya laki-laki
berompi kuning seraya menyunggingkan senyum
mengejek.
Ketua Perguruan Kumbang Merah
menggertakkan gigi. Kemarahannya semakin
meluap mendengar ucapan itu. Dengan sekuat
tenaga, ditahannya amarah yang hampir meledak.
Sekujur tubuh laki-laki berkumis dan berjenggot
rapi ini, nampak menggigil menahan kemarahan
yang a mat sangat.
"Siapa kau, Keparat Keji?! Mengapa
membantai semua muridku?!" suara Suntara
terdengar bergetar. Ada nada ancaman dalam
ucapannya.
"He he he...!" laki-laki berompi kuning itu
terkekeh pelan. "Kau lupa padaku, Suntara?"
Wajah Suntara seketika berubah. Ketua
Perguruan Kumbang Merah ini mengernyitkan
dahi, mencoba mengingat-ingat sesuatu. Suara
orang ini sepertinya memang pernah didengar dan
dikenalnya. Tapi, dia lupa kapan dan di mana.
Amarah yang sudah bergelora, membuatnya sulit
berpikir.
"Aku tidak peduli siapa kau, Keparat! Yang
jelas..., kau harus menebus nyawa semua
muridku!" tegas Suntara tandas.
"Kau telah jadi pikun sebelum tua,
Suntara. Seharusnya bukan kau yang
mengucapkan perkataan itu. Tapi aku!" tegas laki-
laki berompi kuning itu keras. Lenyap sudah
tawanya. Rupanya ucapan Ketua Perguruan
Kumbang Merah membuat dia teringat pada
maksud kedatangannya ke sini!
"Katakan siapa kau sebenarnya, sebelum
hilang kesabaranku!" sambut Suntara tak sabar.
Kemarahannya hampir tidak bisa ditahan lagi.
"Aku Wisanggeni! Asalku Desa Babut!"
sahut laki-laki berompi kuning itu keras.
"Wisanggeni...? Desa Babut?!" gumam
Suntara dengan wajah berubah hebat. Jelas kalau
ucapan laki-laki yang mengaku bernama
Wisanggeni itu membuatnya terkejut. Ingatannya
langsung melayang pada kejadian belasan tahun
silam di desa kelahirannya, Desa Babut, yang
membuat keluarganya pindah dari desa itu. Dulu,
di desa itu, dia memang terkenal sebagai orang
yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi.
"Ya. Aku, Wisanggeni!" sahut laki-laki
berompi kuning itu menegaskan. "Aku datang
untuk membalas kematian kakakku di tanganmu!"
"Kakakmu memang layak mati,
Wisanggeni!" sergah Suntara tak kalah keras. "Dia
telah menodai adikku!"
"Menodai?!" ejek Wisanggeni sinis. "Adikmu
memang sudah bukan gadis lagi saat berkenalan
dengan kakakku. Dan..., semua peristiwa itu pun
terjadi karena kebinalan adikmu sendiri!"
"Keparat! Kau harus mampus di tanganku!"
bentak Ketua Perguruan Kumbang Merah keras.
Setelah berkata demikian, Suntara
mencabut senjata andalannya. Sepasang tombak
pendek berwarna hitam mengkilat yang sejak tadi
ditancapkan di tanah.
Wuk, wuk, wuk...!
Angin menderu cukup keras, begitu Ketua
Perguruan Kumbang Merah memutar sepasang
tombaknya laksana baling-baling hingga lenyap
bentuknya. Terdengar suara mengaung keras
begitu tombak itu diputar.
Melihat Suntara sudah mulai memainkan
jurus-jurus mautnya, maka Wisanggeni tidak
bersikap main-main lagi. Trisula di tangannya pun
diputar-putar di depan dada sehingga
mengeluarkan suara mengiuk nyaring.
"Hiyaaa...!"
Suntara berteriak nyaring seraya cepat
menusukkan tombak pendek di tangan kanannya
ke arah perut. Sementara tombak yang satu lagi,
disilangkan di depan dada. Berjaga-jaga bila lawan
mengirimkan serangan balasan.
Wunggg!
Suara mengaung terdengar cukup keras,
begitu tombak itu meluncur deras menuju
sasaran. Wisanggeni yang ingin melihat dulu
perkembangan ilmu lawannya, tidak langsung
menangkis. Tapi segera melangkahkan kakinya ke
kanan, sehingga ujung tombak itu lewat setengah
jengkal di samping kiri pinggangnya. Dan pada
saat yang bersamaan, Wisanggeni segera
menusukkan trisulanya ke leher Suntara.
Ketua Perguruan Kumbang Merah yang
memang sudah menduga hal itu, tidak menjadi
gugup. Tombak yang berada di tangan kiri segera
digerakkan untuk menangkis.
Tranggg!
Keras bukan main benturan kedua senjata
itu. Bunga-bunga api pun sampai memercik ke
sana kemari.
Suntara terperanjat kaget ketika
merasakan sekujur tangannya tergetar hebat.
Hampir-hampir tombaknya lepas dari genggaman.
Bahkan bukan hanya itu saja, tubuhnya pun
sampai terhuyung-huyung dua langkah ke
belakang. Sementara Wisanggeni sama sekali tidak
bergeming.
"Ha ha ha...!" Wisanggeni tertawa terbahak-
bahak melihat keunggulannya. "Ajalmu hampir
tiba, Suntara!"
Ketua Perguruan Kumbang Merah ini
menggertakkan gigi. Tanpa mempedulikan ejekan
lawannya, laki-laki berkumis dan berjenggot rapi
ini segera melompat, dan kembali menyerang
dengan mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimilikinya. Hanya dua pilihan yang ada dalam
benaknya. Membunuh atau dibunuh!
Tapi bukan hanya Suntara saja yang
mempunyai tekad begitu. Wisanggeni pun
mempunyai tekad serupa. Maka tak aneh jika laki-
laki berompi kuning ini mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimilikinya. Pertarungan sengit
dan mati-matian pun tidak bisa dihindarkan lagi.
***
Sementara itu dari balik pintu sebuah
bangunan yang daun pintunya sedikit terbuka,
nampak beberapa kepala mengintai ke arah
pertarungan. Kepala seorang laki-laki setengah tua
bermata juling. Seorang anak lelaki berusia dua
belas tahun berpakaian coklat, dan seorang anak
perempuan berusia sepuluh tahun berpakaian
biru.
"Apakah ayah mampu mengalahkan orang
jahat itu, Paman?" tanya bocah lelaki berpakaian
coklat pada laki-laki bermata juling.
Laki-laki setengah tua yang sebenarnya
bernama Wijaya itu menoleh. Dia adalah pelayan
sekaligus pengasuh anak majikannya.
"Entahlah, Den Wuraji. Aku khawatir
sekali. Tampaknya orang jahat itu memiliki
kepandaian amat tinggi...," sahut Wijaya setengah
mendesah. Raut kekhawatiran tergambar jelas di
wajahnya.
"Jadi..., ayah akan kalah, Paman?" tanya
anak berpakaian coklat yang ternyata bernama
Wuraji. Nada suara dan wajahnya menyorotkan
ketidakpercayaan. Memang, bocah ini tidak
percaya kalau ayahnya akan kalah. Selama ini dia
menganggap ayahnya adalah orang yang paling
sakti di jagat ini!
"Aku tidak tahu, Den," Wijaya
menggelengkan kepalanya. "Tapi, marilah kita
berdoa agar ayah Aden bisa mengalahkan penjahat
itu."
Wuraji tidak menyahuti ucapan
pengasuhnya. Pandangannya dilayangkan ke arah
pertempuran. Baru kali ini dia melihat ayahnya
bertarung. Dan bocah kecil ini merasa kagum
sekali. Wuraji yakin kalau ayahnya akan menang.
Ayahnya sangat sakti, ucapnya dalam hati penuh
rasa bangga.
Tapi Wuraji sama sekali tidak tahu kalau
ayahnya tengah berada dalam cengkeraman maut.
Memang pada jurus-jurus awal, pertarungan
antara kedua orang itu berjalan imbang. Tapi,
begitu menginjak jurus ke lima belas, Ketua
Perguruan Kumbang Merah itu mulai terdesak
Dan seiring dengan semakin lamanya
pertarungan, keadaan Suntara kian terdesak
hebat. Ruang gerak permainan sepasang tombak
pendeknya semakin lama semakin menyempit.
Suntara hanya mampu mengelak dan bertahan.
Hanya sesekali saja dia mampu balas menyerang.
"Haaat..!"
Tiba-tiba Wisanggeni berteriak nyaring.
Trisulanya berputar cepat di depan dada.
Kemudian masih dengan gerakan berputar, trisula
itu melesat ke arah perut Suntara.
Wunggg...!
Suara mengaung keras mengiringi tibanya
serangan trisula.
"Apakah ayah mampu mengalahkan orang
jahat itu, Paman?" tanya bocah lelaki berpakaian
coklat yang bernama Wuraji itu.
"Aku tidak tahu, Den," Wijaya
menggelengkan kepalanya. "Tapi, marilah kita
berdoa agar ayah Aden bisa mengalahkan penjahat
itu."
Hati Suntara tersekat karena senjata yang
berputaran itu membuatnya bingung bukan main.
Sepasang matanya jadi berkunang-kunang.
Meskipun begitu, Ketua Perguruan Kumbang
Merah ini berusaha keras menyelamatkan
selembar nyawanya. Jalan satu-satunya hanya
menangkis. Dan itulah yang sekarang
dilakukannya. Kedua tombak pendeknya
disilangkan di depan dada.
Trang, trang...!
"Uh...!"
Suntara mengeluh tertahan. Sepasang
tombak pendeknya seketika terlepas dari
genggaman. Serangan trisula yang berputar
seperti orang mengebor itu, membuatnya mati
kutu. Dan sebelum Ketua Perguruan Kumbang
Merah ini sempat berbuat sesuatu, trisula yang
masih berputaran terus meluncur ke arah
perutnya.
Crattt, crattt...!
Darah segar bermuncratan dari perut yang
koyak-koyak dibor trisula. Seketika itu juga tubuh
Suntara terjengkang ke belakang disertai jeritan
menyayat yang keluar dari mulutnya.
Tapi tindakan Wisanggeni tidak hanya
sampai di situ saja. Trisula di tangannya kembali
melesat. Kali ini ke arah leher. Meluncur deras,
tanpa berputaran lagi. Dan....
Crasss!
Seketika kepala Suntara terlepas dari leher,
begitu ujung trisula mengenai sasaran. Tanpa
bersuara lagi, tubuhnya roboh ke tanah. Nyawa
Ketua Perguruan Kumbang Merah melayang saat
itu juga.
"A.... Hps...!"
Wijaya cepat-cepat mendekap mulut
Wuraji, sebelum bocah lelaki itu sempat menjerit
ketika melihat ayahnya tewas di tangan
Wisanggeni. Pada saat yang sama, tangan yang
satunya lagi menepuk tengkuk gadis kecil
berpakaian biru. Perlahan saja kelihatannya, tapi
hebatnya, gadis kecil itu langsung pingsan. Dan
sekali tangan pelayan ini bergerak menekan
tengkuk Wuraji, seketika itu juga putra Ketua
Perguruan Kumbang Merah ini pingsan.
Kemudian dengan langkah hati-hati tapi
bergegas, Wijaya segera meninggalkan tempat itu.
Pelayan setia ini bergerak cepat menuju ke dapur,
sambil memondong tubuh kedua anak itu di
bahunya. Dia harus memburu waktu, kalau tidak
ingin didahului laki-laki berompi kuning.
Sesampainya di dapur, Wijaya segera
menekan ke bawah batang obor yang tertempel di
dinding.
Grrrkkk...!
Terdengar suara berderak keras yang
disusul dengan bergesernya salah satu dinding
dapur. Dan di balik dinding, terlihat sebuah
tangga batu yang menuju ke bawah.
Tanpa ragu-ragu Wijaya segera menuruni
anak tangga batu. Dan begitu laki-laki bermata
juling ini melangkah masuk, tiba-tiba pintu
ruangan itu tertutup kembali.
Wijaya melangkahkan kakinya perlahan-
lahan menuruni anak tangga. Cukup lama juga
dia bergerak turun, sebelum akhirnya tidak ada
lagi anak tangga. Tangga itu ternyata berakhir di
sebuah ruangan yang cukup luas.
Berkat lampu obor yang terpasang di
dinding-dinding ruangan bawah tanah ini, Wijaya
dapat melihat cukup jelas suasana di sekitarnya.
Ternyata hanya ada sebuah jalan yang ada di
ruangan ini. Jalan yang berbentuk sebuah lorong
panjang.
Untuk yang kesekian kalinya, tanpa ragu-
ragu Wijaya menempuhnya. Berjalan melalui
lorong yang panjang dan lengang. Agak meremang
juga bulu kuduk laki-laki bermata juling ini
melihat suasana yang cukup seram itu. Hanya
kesunyian yang melingkupi suasana lorong. Yang
terdengar hanyalah desah napas Wlyaya yang
memburu, dan detak suara langkahnya di lantai.
Entah sudah berapa lama dia berjalan,
Wijaya tidak tahu pasti. Yang dia tahu, kedua
kakinya telah hampir tidak kuat lagi melangkah,
ketika akhirnya mengetahui lorong itu berakhir di
sebuah pintu.
Kriiittt...!
Suara berderit tajam dan nyaring bergema
di sepanjang lorong, tatkala Wijaya membuka
pintu. Ternyata di balik pintu itu tidak ada jalan
lagi. Yang ada hanyalah ruang kecil berukuran
satu tombak kali satu tombak.
Yang pertama kali dilihat pelayan setia
berpakaian serba hitam ini adalah sebuah tangga
kayu yang menjulang ke langit-langit ruangan.
Wijaya mengedarkan pandangannya ke
setiap tudut ruangan. Seketika wajahnya berseri-
seri ketika melihat sebuah pot bunga bertengger di
sudut. Bergegas dia melangkahkan kakinya
menghampiri. Lalu membungkukkan tubuhnya
dan meletakkan kedua bocah yang dipanggulnya
di tanah. Baru setelah itu laki-laki bermata juling
ini memegang pot dengan kedua tangan.
Kemudian memutarnya ke kanan.
Grrrrggghhh...!
Sesaat kemudian terdengar suara berderak
keras, yang membuat dinding-dinding dan atap
ruangan bergetar. Sesaat kemudian, di atap
ruangan, tepat di bawah tangga, terpampang
sebuah lubang bergaris tengah setengah tombak.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Wijaya segera
menaiki anak-anak tangga sambil membawa
tubuh kedua bocah itu satu persatu. Tak lama
kemudian, laki-laki bermata juling ini telah berada
di atas.
Wijaya memandang ke sekelilingnya. Yang
tampak hanyalah kelebatan pepohonan dan
rerimbunan semak-semak. Rupanya pelayan setia
ini telah berada di dalam sebuah hutan. Laki-laki
bermata juling ini lalu memutar sebuah gundukan
batu. Seketika itu pula, salah sebuah kelompok
rerimbunan semak bergerak. Sesaat kemudian,
lubang tadi telah tertutup rerimbunan semak-
semak.
"Uhhh...!"
Terdengar suara keluhan. Wijaya
menolehkan kepalanya. Dilihatnya Wuraji mulai
siuman. Putra almarhum Ketua Perguruan
Kumbang Merah ini mengerjap-ngerjapkan
matanya sejenak
"Uhhh...!"
Kembali terdengar keluhan lirih, yang
disusul dengan mengeriap-ngerjapnya sepasang
mata bening milik gadis kecil berpakaian biru.
"Syukurlah, kalian sudah sadar...," ucap
Wijaya sambil memandang wajah kedua anak itu
bergantian.
"Di mana kita, Paman?" tanya gadis
berpakaian biru sambil mengedarkan
pandangannya berkeliling. Tapi yang dilihatnya
hanya rerimbunan semak dan pepohonan yang
lebat.
"Di sebuah tempat yang aman, Marni,"
jawab Wijaya, seraya menatap wajah gadis kecil
berpakaian biru yang ternyata bernama Marni.
"Ayah...," desah Wuraji lirih ketika teringat
kembali pada semua kejadian yang dilihatnya.
Memang, sejak siuman, anak berpakaian coklat ini
tercenung. Sepasang matanya nampak
merembang berkaca-kaca. Bahkan kedua bibirnya
terlihat gemetar. Jelas kalau bocah laki-laki ini
dilanda perasaan sedih yang amat sangat. Hanya
kekerasan hatinya saja yang membuat dia tidak
menitikkan air mata.
"Kuatkanlah hatimu, Den," hibur Wijaya
seraya menatap wajah bocah di hadapannya
penuh rasa haru. Laki-laki bermata juling ini
dapat merasakan betapa sedih dan terpukulnya
hati anak tunggal majikannya ini. Karena Wijaya
tahu kalau selama ini Wuraji amat mengagumi
ayahnya. Wuraji menganggap ayahnya adalah
orang yang paling sakti. Bagaimana hatinya tidak
terpukul? Dengan mata kepala sendiri, bocah itu
melihat ayah yang sangat dikaguminya tewas
terbunuh!
"Aku sama sekali tidak menyangka kalau
Paman adalah seorang pengecut! Bahkan Paman
telah membawa-bawa aku menjadi seorang
pengecut! Melarikan diri dari musuh yang telah
membunuh ayah dan menghancurkan perguruan!"
Dengan berapi-api, Wuraji mencela pelayannya.
Sepasang matanya menatap penuh penyesalan
pada laki-laki bermata juling di hadapannya. "Aku
lebih suka mati bersama ayah daripada menjadi
seorang pengecut seperti ini!"
Keras dan tajam sekali ucapan yang keluar
dari mulut bocah berpakaian coklat ini. Seketika
itu juga wajah Wijaya merah padam. Kalau saja
tidak mengingat orang yang mencelanya adalah
putra tunggal majikannya, mungkin sudah
ditamparnya mulut itu.
Dia bukanlah seorang pengecut! Dan paling
tidak suka dimaki seperti itu.
"Wuraji...!" tegur Marni seraya menatap
tajam putra tunggal Ketua Perguruan Kumbang
Merah itu. Gadis kecil ini kasihan pada Wijaya
yang dimaki sekasar itu.
"Tutup mulutmu...! Ini bukan urusan anak
perempuan!" bentak Wuraji kasar
Seketika wajah Marni memucat. Kontan dia
terdiam. Agak heran juga hatinya mendengar kata-
kata kasar yang dilontarkan Wuraji barusan.
Biasanya setiap kali ditegur, Wuraji akan
mengalah. Tapi kali ini, bocah itu malah
membentaknya.
Melihat kejadian itu, Wijaya segera
mengelus rambut Marni dan menganggukkan
kepalanya. Gadis kecil ini segera tahu apa arti
anggukan itu. Dia disuruh diam, dan tidak usah
ikut campur.
"Hhh...!"
Wijaya hanya dapat menghela napas berat.
Laki-laki bermata juling ini memaklumi mengapa
anak yang biasanya sopan dan hormat kepadanya,
dan pengalah kepada Marni, kini bicara sekasar
itu. Wijaya tahu kalau hati Wuraji masih
terguncang hebat dengan kejadian yang baru saja
dilihatnya.
"Kau salah sangka, Den," sahut Wijaya
dengan suara berdesah. "Asal kau tahu saja, Den.
Semua ini kulakukan atas perintah ayahmu. Kau
tahu, kalau menuruti perasaan, aku lebih suka
tewas bersama-sama yang lain. Tapi, aku juga
tidak berani menolak perintah. Walau dengan hati
berat, terpaksa kusanggupi perintah ini...."
''Tidak mungkin!" bantah Wuraji cepat dan
dengan suara keras. ''Tak mungkin ayah memberi
perintah seperti itu!"
"Dengar dulu penjelasanku, Den," sahut
Wijaya tetap sabar.
Wuraji pun terdiam seketika.
"Ayahmu punya banyak alasan untuk
menyuruhku berbuat seperti ini."
Wijaya menghentikan ucapannya sejenak.
Menghela napas panjang seraya melihat tanggapan
anak berpakaian coklat ini. Tapi Wuraji tetap diam
saja.
"Ayahmu tahu kalau musuh yang datang
tadi memiliki kepandaian amat tinggi. Dan dia
tidak yakin dapat mengalahkannya. Maka dia
berpesan padaku, apabila sesuatu terjadi pada
dirinya, aku harus cepat menyelamatkanmu dan
Marni. Ayahmu tidak ingin kau mati percuma,
Den! Dan untuk itu, ayahmu telah memberitahu
jalan rahasia untuk membawamu kabur."
"Tapi, aku tidak takut mati!" selak Wuraji
keras. Wijaya tersenyum getir.
"Ayahmu juga tahu hal itu, Den. Demikian
pula aku. Oleh karena itu, ayahmu telah
menyuruhku. Yahhh..., kalau memang terpaksa,
aku diijinkan menggunakan kekerasan untuk
membawamu pergi."
Wuraji menurup wajahnya yang pucat pasi
dengan kedua telapak tangannya. Beberapa saat
lamanya anak berpakaian coklat ini berbuat
seperti itu.
"Mengapa ayah berbuat seperti itu....?"
keluh putra tunggal Ketua Perguruan Kumbang
Merah ini lirih. Seperti berbicara pada dirinya
sendiri. Perlahan-lahan kepalanya diangkat
kembali.
"Karena ayahmu ingin kau selamat, Den,"
sahut Wijaya cepat.
"Aku tahu itu, Paman," sergah Wuraji.
Masih dengan nada tinggi. "Tapi untuk apa?!"
"Karena ayahmu tidak ingin kau mati sia-
sia, Den. Ayahmu menginginkan kau memiliki
ilmu kepandaian lebih tinggi darinya. Baru setelah
itu, kau bdeh menghadapi musuh tadi!"
"Jadi...," sepasang mata Wuraji terbelalak.
"Ya! Setelah kau memiliki ilmu kepandaian
tinggi, baru kau bisa membalaskan sakit hati ayah
dan juga kakak-kakak seperguruanmu! Kalau
bukan kau, lalu siapa lagi yang akan
membalaskannya. Itulah sebabnya, ayahmu
memerintahku untuk menyelamatkanmu...''
Kini Wuraji mulai mengerti. Maksud
ayahnya memang benar! Untuk apa dia ikut
melawan, kalau akhirnya hanya akan mengantar
nyawa sia-sia! Perlahan-lahan emosinya pun mulai
reda.
"Tapi, apakah ada orang yang memiliki
kepandaian tinggi selain ayah, Paman?" tanya
bocah berpakaian coklat itu beberapa saat
kemudian.
Wijaya tersenyum lebar.
"Dunia sangat luas, Den. Orang-orang yang
memiliki kepandaian tinggi tak terhitung
jumlahnya. Mudah-mudahan saja kau bernasib
baik. Menemukan tokoh sakti yang bersedia
menjadikanmu sebagai muridnya."
"Tapi..., apakah orang itu memiliki
kepandaian melebihi ayah, Paman?"
"Perlu kau ketahui, Den. Orang yang
memiliki kepandaian melebihi ayahmu tidak
sedikit jumlahnya di dunia ini. Salah satu
contohnya adalah pembunuh ayahmu. Jadi, kau
tidak perlu khawatir." Wijaya menjelaskan dengan
sabar. Hatinya menjadi lega melihat Wuraji sudah
bisa ditenangkan.
"Lalu..., ke mana kita harus mencari orang
sakti itu, Paman?" tanya Wuraji lagi. Nada
suaranya menyiratkan keragu-raguan.
Seketika itu juga Wijaya terdiam. Ya, ke
mana dia harus mencari orang sakti? Dan
andaikata sudah bertemu, belum tentu orang itu
bersedia mengambil Wuraji sebagai murid.
"Aku juga tidak tahu, Den. Tapi yang jelas,
aku akan berusaha. Kalau perlu kita datangi
perguruan-perguruan silat aliran putih yang besar
dan ternama."
Wuraji menganggukkan kepalanya. Kini
wajahnya mulai berseri-seri. Begitu pula Marni
yang sejak tadi hanya diam mendengarkan tanpa
berkata-kata.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Paman?
Mart kita cari orang sakti itu!" ucap Wuraji penuh
semangat seraya bergegas bangkit.
"Mari, Den," sahut Wijaya seraya
menggandeng tangan kedua anak itu. Wuraji di
kiri dan Marni di kanan. Baru setelah itu,
dilangkahkan kakinya, menerobos rerimbunan
semak dan pepohonan yang lebat.
Wuraji dan Marni melangkah penuh
semangat. Ucapan Wijaya benar-benar membuat
semangat mereka bangkit. Kini kedua anak itu
sudah punya tujuan. Mencari orang-orang sakti
untuk berguru.
Lega hati Wijaya melihat kedua anak itu
mulai melupakan kesedihannya. Meskipun begitu,
ada perasaan tidak tenang yang menyelimuti
hatinya. Ke mana dia harus mencari orang sakti
untuk guru kedua anak ini? Tapi, laki-laki
bermata juling ini tidak ingin menampakkan
kecemasan hatinya. Justru perasaan gembiranya
yang ditonjolkan.
Setelah menerobos rerimbunan semak-
semak dan pepohonan, di hadapan ketiga orang
ini terpampang sebuah sungai yang lebar dan
cukup deras arusnya.
Wijaya mengedarkan pandangannya ke
sepanjang aliran sungai. Sepasang matanya
berbinar. Wajahnya pun berseri tatkala melihat
sebuah rakit terapung di pinggir sungai.
Dengan langkah penuh semangat, masih
tetap menggandeng tangan Wuraji dan Marni, laki-
laki bermata juling ini bergegas melangkah
menuju rakit itu.
***
2
Wijaya, Marni, dan Wuraji segera menaiki
rakit. Dan begitu semua telah berada di atasnya,
Wijaya mengayuh rakit itu menuju seberang.
Dengan menggunakan sebatang bambu panjang,
laki-laki bermata juling itu berusaha melawan
derasnya arus sungai.
Karena tenaga yang mendorong rakit itu
tertalu lemah, ditambah lagi derasnya arus sungai,
meskipun rakit itu sedikit demi sedikit dapat
menuju ke seberang, tapi arahnya tidak lurus,
melainkan miring.
"Paman! Awas...!"
Wuraji yang berada di pinggir, terkejut
ketika melihat tak jauh di samping kiri rakit
terdapat batu besar yang menonjol di permukaan
sungai. Dan rakit itu bergerak menuju ke situ.
Wiyaya terkejut bukan main mendengar
teriakan putra tunggal majikannya. Dengan sekuat
tenaga, dia mengayuh rakit itu menghindari batu
yang menonjol. Seluruh urat-urat tangan dan
wajahnya menggembung ketika berusaha
membelokkan arah rakit. Tapi....
Brakkk...!
"Paman..!"
Wuraji berteriak keras ketika tubuhnya
terlempar ke sungai. Benturan yang terjadi antara
rakit dan batu besar begitu keras, sehingga Wuraji
yang tengah berada di pinggir, tidak mampu
mempertahankan keseimbangan tubuhnya.
Byurrr...!
Air memercik ke atas ketika tubuh putra
tunggal Ketua Perguruan Kumbang Merah itu
jatuh ke sungai.
"Den Wuraji...!"
"Wuraji...!"
Hampir berbareng Wijaya dan Marni
menjerit keras melihat bocah berpakaian coklat itu
terpental ke dalam sungai, dan langsung terseret
arus yang deras.
Tanpa pikir panjang lagi, Wijaya segera
terjun ke sungai. Pelayan setia ini tidak
mengkhawatirkan nasib Marni. Karena yakin
kalau anak perempuan itu tidak akan tertimpa
bahaya apa-apa.
Wijaya berpikir secara biasa. Rakit itu
tersangkut di batu besar yang menonjol di
permukaan sungai, sehingga tidak bisa bergerak
ke sana kemari lagi walaupun arus sungai terus-
menerus mendorongnya.
Byurrr...!
Air sungai kembali memercik ke atas ketika
tubuh Wijaya melayang ke arah sungai. Kali ini
percikannya lebih tinggi dari sebelumnya.
Marni yang tetap tinggal di atas rakit,
berpegangan kuat-kuat. Gadis kecil ini berharap
agar Wijaya berhasil menyelamatkan Wuraji. Ngeri
hatinya membayangkan temannya itu tewas
dibawa arus sungai.
"Den Wuraji...! Di mana kau...?!" teriak
Wijaya begitu kepalanya muncul di permukaan
sungai, setelah terbenam beberapa saat lamanya.
Diam-diam laki-laki bermata juling ini terkejut
bukan main tatkala merasakan kuatnya arus
sungai.
Wijaya menunggu sejenak. Tapi sama
sekali tidak terdengar sahutan dari anak
berpakaian coklat itu. Dengan jantung berdetak
keras, pandangannya diedarkan ke seluruh
permukaan sungai. Hatinya mencelos ketika tidak
melihat adanya Wuraji. Tidak ada kemungkinan
lain, Wuraji pasti terseret arus sungai. Begitu
kesimpulan laki-laki bermata juling ini.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera
Wijaya kembali menyelam dan berenang mengikuti
arus. Sepasang matanya berkeliaran ke sana
kemari. Barangkali saja dapat menemukan anak
tunggal mendiang majikannya. Air sungai itu
memang jernih, sehingga pelayan setia ini dapat
melihat keadaan di sekitarnya dengan jelas.
Wijaya terus berenang mengikuti arus
sungai. Sama sekali dia tidak menyadari kalau
semakin lama, arus sungai semakin deras.
"Den...! Di mana kau...?!"
Wijaya kembali berseru keras, ketika untuk
yang kesekian kalinya kepalanya muncul di
permukaan air. Sepasang matanya terus menatap
berkeliling.
Hati Wijaya tersekat begitu merasakan arus
sungai yang semakin deras. Apalagi ketika
pendengarannya yang tajam mendengar suara
gemuruh di depannya. Sebagai seorang yang telah
kenyang pengalaman, laki-laki bermata juling ini
tahu apa sebenarnya suara gemuruh itu. Apalagi
kalau bukan air terjun!
Sadar akan bahaya besar yang mengancam
di depannya, Wijaya segera berbalik arah begitu
menyadari dirinya terseret ke air terjun.
Kembali hatinya tersekat ketika tak lagi
melihat rakit beserta Marni yang tadi
ditinggalkannya. Rupanya dia telah terlalu jauh
dari tempat semula.
Kini Wijaya berusaha keras berenang
melawan arus yang akan menyeretnya ke air
terjun. Tapi, betapapun dia telah mengerahkan
seluruh tenaganya, tetap saja laki-laki bermata
juling ini tidak mampu maju. Tubuhnya hanya
bergerak di situ-situ saja.
Semakin lama tenaga Wijaya semakin
lemah. Dan dengan sendirinya, perlahan-lahan
mulai terbawa arus. Seiring dengan tubuhnya
terbawa aliran sungai, tenaga arus yang
menyeretnya pun semakin membesar. Sementara
tenaganya sendiri semakin lemah. Tubuh laki-laki
berpakaian hitam ini pun mulai terbawa arus.
Meskipun begitu, Wijaya tidak putus asa.
Tenaganya terus dikerahkan untuk melawan
dorongan arus sungai, meskipun tubuhnya terus
saja terseret.
Tapi akhirnya Wijaya terpaksa mengalah.
Tidak ada lagi tenaga yang dimilikinya untuk
melawan arus sungai yang menyeretnya.
Sementara itu, agak jauh di depan Wijaya,
Wuraji terus terseret cepat mendekati pinggir air
terjun. Putra tunggal Ketua Perguruan Kumbang
Merah ini memang sama sekali tidak bisa
berenang. Maka seketika itu juga, tubuhnya
hanyut terbawa arus yang deras itu.
Dalam keadaan setengah sadar, Wuraji
mendengar suara panggilan pelayannya. Dia
berusaha menyahut, tapi tidak mampu. Hanya
suara mirip bisikan saja yang keluar dari
mulutnya ketika dia berusaha menyahuti
panggilan Wijaya.
Bahkan, ketika tubuhnya telah berada di
tepi air terjun, dan akhirnya jaruh ke bawah,
Wuraji sama sekali tidak mampu berteriak.
Tubuhnya melayang deras ke bawah. Siap untuk
dicabik-cabik batu-batuan yang berada di bawah
sana!
***
Di dasar air terjun, sekitar beberapa
tombak dari tempat jatuhnya air, dua sosok tubuh
tengah duduk bersila saling berhadapan.
Keduanya duduk di sebongkah batu besar dan
lebar yang menonjol di permukaan sungai. Yang
satu berpakaian hitam, sedangkan yang satunya
lagi berpakaian kulit ular.
Sosok berpakaian hitam yang duduk
menghadap jatuhnya air terjun terperanjat ketika
melihat sesosok tubuh kecil meluncur deras dari
atas.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
disertai teriakan nyaring, sosok bayangan hitam
itu melesat cepat ke arah tubuh yang tengah
melayang jatuh. Cepat bukan main gerakannya.
Sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan
bayangan hitam saja. Dan....
Tappp...!
Luar biasa! Tubuh Wuraji berhasil
ditangkap oleh sosok bayangan hitam itu, sebelum
sempat terhempas ke batu-batuan di bawahnya.
Kemudian dengan indah dan manis, sosok
bayangan hitam itu melenting dan hinggap di atas
salah satu baru yang menonjol di permukaan
sungai.
Perasaan heran yang melanda hati sosok
tubuh berpakaian kulit ular lenyap ketika melihat
sosok bayangan hitam itu mendarat di batu-
batuan dengan seorang anak dalam
pondongannya. Memang, semula dia merasa heran
tatkala melihat sosok bayangan hitam itu melesat
meninggalkannya.
Sosok bayangan hitam itu kembali
menggerakkan kakinya. Kelihatannya hanya
melangkah perlahan saja. Tapi sekejap kemudian,
tubuhnya sudah berada di sebelah sosok yang
mengenakan pakaian kulit ular.
"Nasib bocah ini baik sekali, Ular Kaki
Seribu," ucap sosok bayangan hitam seraya
mengangsurkan Wuraji yang telah pingsan dalam
pondongannya. Suaranya terdengar aneh. Kecil,
tapi melengking tinggi, seperti suara seorang
wanita. Sepasang matanya menatap wajah sosok
berpakaian kulit ular yang ternyata adalah
seorang laki-laki setengah baya. Laki-laki itu
bertubuh tinggi, berbadan lebar, dan agak
bungkuk. Wajahnya mirip wajah seekor kuda.
Apalagi dengan adanya jenggot kasar, panjang dan
jarang-jarang yang menghiasi dagunya.
Pakaiannya terbuat dari kulit ular yang berwarna
kuning keemasan.
"Yahhh...," sosok berpakaian kulit ular
yang ter, nyata mempunyai julukan Ular Kaki
Seribu hanya mendesah. "Dia akan jadi murid
kita, Monyet Tanpa Bayangan."
Kini terlihat jelas kalau sosok hitam itu
ternyata adalah seorang kakek kecil kurus
berpakaian serba hitam. Pakaiannya yang hitam
terbuat dari kulit beruang. Kakek kecil kurus yang
berjuluk Monyet Tanpa Bayangan ini hanya
terkekeh pelan. Kemudian merebahkan tubuh
Wuraji di atas batu.
Ular Kaki Seribu memperhatikan wajah
bocah berpakaian coklat mulai dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki. Tampak jelas kalau kakek
bertubuh tinggi kurus ini tengah menilai Wuraji.
Setelah memperhatikan beberapa saat,
kemudian Ular Kaki Seribu membungkukkan
tubuh dan memegang-megang seluruh tulang-
belulang Wuraji. Secercah senyum gembira
menghias bibirnya. Kakek ini merasa puas ketika
mengetahui kalau putra Ketua Perguruan
Kumbang Merah ini memiliki bakat yang amat
baik untuk dilatih ilmu silat.
"Bagaimana, Ular Kaki Seribu?" tanya
Monyet Tanpa Bayangan meminta pendapat
rekannya.
"Kurasa anak ini tidak memalukan kalau
menjadi murid kita," jawab Ular Kaki Seribu.
Monyet Tanpa Bayangan tersenyum lega
mendengar keputusan rekannya.
"Mari kita kembali," sahut Ular Kaki Seribu
seraya bergerak meninggalkan tempat itu.
Tanpa banyak bicara, Monyet Tanpa
Bayangan membungkuk, mengangkat tubuh
Wuraji dan memondongnya. Kemudian
membawanya melesat, menyusul rekannya yang
telah berkelebat lebih dulu.
Hebatnya, meskipun Ular Kaki Seribu
bergerak lebih dulu, Monyet Tanpa Bayangan
mampu memperpendek jarak. Bahkan
membarenginya. Dan dengan berlari bersisian,
kedua kakek ini bergerak ke arah air terjun.
Lincah dan gesit laksana kera, kedua
kakek itu berlompatan ke sana kemari. Anehnya,
Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan
malah melesat ke arah air terjun.
Mendadak langkah kaki kedua kakek ini
terhenti ketika mendengar sebuah jeritan panjang
menyayat hati. Hampir berbarengan keduanya
mendongak ke atas. Tampak oleh mereka sesosok
tubuh yang melayang jatuh, bersama dengan
curahan air terjun.
Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki
Seribu hanya memperhatikan saja hingga sosok
tubuh yang tak lain dari Wijaya jatuh ke dasar air
terjun. Terdengar suara berderak keras dari
tulang-belulang yang patah ketika tubuh pelayan
setia itu menghantam batu-batuan. Seketika itu
juga nyawa Wijaya langsung lepas dari raganya.
Seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa,
kedua kakek sakti ini kembali melanjutkan
langkahnya. Dan begitu dekat dengan air terjun,
Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu
bergerak menerobosnya. Menerobos curahan air
terjun!
Pyarrr...!
Air yang tercurah dari atas berpentalan ke
sana kemari tatkala tubuh kedua kakek itu
menerobos. Ternyata di balik air terjun terdapat
sebuah gua yang cukup besar. Inilah tempat
tinggal Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki
Seribu.
Lubang gua itu cukup besar. Garis
tengahnya saja tak kurang dari dua tombak.
Kedua kakek itu melangkah pelan ke dalam gua
yang cukup lebar dan sedikit berliku. Di kanan
kiri dindingnya tergantung obor, sehingga
membuat suasana di dalam agak terang.
Monyet Tanpa Bayangan lalu merebahkan
Wuraji di atas sebongkah batu pipih berbentuk
persegi panjang seukuran balai-balai. Baru setelah
itu, kakek kecil kurus berpakaian kulit beruang ini
duduk bersila, di atas batu pipih dan lebar
lainnya. Duduk berhadapan dengan Ular Kaki
Seribu.
"Uhhh...!"
Terdengar suara keluhan yang disusul
dengan mengerjap-ngerjapnya kelopak mata
Wuraji. Sesaat kemudian, setelah kesadarannya
pulih, bocah berpakaian coklat ini lalu
memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Seketika itu juga pandangannya tertumbuk
pada dua orang kakek yang tengah
memperhatikan dirinya.
"Di manakah aku...?" tanya Wuraji lirih
seperti pada diri sendiri. Sepasang matanya
menatap berkeliling. Sementara benaknya sibuk
berpikir keras. Mengingat-ingat semua kejadian
yang dialaminya.
"Kau berada di tempat kami, Bocah," sahut
Monyet Tanpa Bayangan sambil tersenyum.
"Di tempatmu, Kek?" Wuraji bertanya lagi
meminta kepastian.
Kembali Monyet Tanpa Bayangan yang
menjawab. Kepala kakek kecil kurus ini
mengangguk pelan.
"Ya, aku melihat tubuhmu jatuh dari air
terjun. Kau segera kutangkap sebelum
menghantam batu-batuan, dan kubawa ke sini,"
Monyet Tanpa Bayangan menjelaskan.
Kini Wuraji mulai teringat dengan kejadian
yang dialaminya. Dia telah terseret menuju tepi air
terjun dan kemudian jatuh ke dasarnya.
Bagaimana dengan nasib Marni dan Wijaya? tanya
anak berpakaian coklat ini dalam hati.
''Terima kasih atas pertolonganmu, Kek,"
ucap Wuraji seraya bangkit dari berbaringnya.
"He he he...!" Hanya suara tawa terkekeh
Monyet Tanpa Bayangan yang menyahuti ucapan
terima kasih putra Ketua Perguruan Kumbang
Merah ini.
"Siapa namamu, Bocah?" Ular Kaki Seribu
mulai membuka suara.
"Wuraji, Kek," sahut anak berpakaian
coklat itu cepat.
"Wuraji...," gumam Ular Kaki Seribu seraya
men-elus-elus dagunya. "Begini, Wuraji. Hari ini
kami tengah berbahagia. Karena telah berhasil
menyempurnakan ilmu-ilmu yang kami miliki....
Dan karena rasa gembira, kami telah bersumpah,
akan mengangkat murid pada orang yang pertama
bertemu dengan kami. Kebetulan kaulah orang
yang bernasib baik itu. Jadi, kaulah yang akan
jadi murid kami."
Jantung Wuraji berdebar mendengar kata-
kata itu. Sungguh sama sekali tidak diduga kalau
dirinya akan begitu mudah mendapat guru. Tapi,
masih ada yang dipikirkannya. Apakah tingkat
kepandaian kedua kakek ini melebihi ayahnya.
Kalau melebihi, dia pun bersedia menjadi murid.
Tapi kalau tidak, dia akan menolak.
''Tapi, Kek. Aku hanya mau jadi murid
orang yang memiliki kepandaian tinggi, Kek."
"Ha ha ha...." Monyet Tanpa Bayangan
tertawa bergelak. "Kau pintar, Wuraji. Tapi akan
kami penuhi permintaanmu. Nah, sekarang kau
perhatikan baik-baik. Akan kami buktikan kalau
kami pantas menjadi guru-gurumu."
Setelah berkata demikian, Monyet Tanpa
Bayangan lalu menoleh. Jari telunjuknya
ditudingkan ke arah sebatang obor yang
tergantung di dinding. Jaraknya sekitar lima
tombak dari tempatnya berdiri.
"Mampukah kau mematikan obor itu dari
sini, Wuraji?" tanya kakek kurus itu seraya
menatap Wuraji.
"Tidak, Kek," Wuraji menggeleng, setelah
memperhatikan obor sejenak. "Apakah Kakek
bisa?"
''Tentu saja," sahut Monyet Tanpa
Bayangan cepat. "Kau lihat ini...!"
Setelah berkata demikian, kakek kecil
kurus ini lalu mengepalkan tangan kanannya.
Kemudian dipukulkan ke depan.
Wusss...
Angin berhembus keras begitu Monyet
Tanpa Bayangan memukulkan tangannya. Sesaat
kemudian, apl obor pun padam, tanpa meliuk-liuk
lebih dahulu!
"Hebat...!" Wuraji memuji penuh kagum.
"He he he...!" Monyet Tanpa Bayangan
terkekeh gembira mendengar pujian calon
muridnya.
''Tapi, ilmu seperti itu tidak berguna untuk
menghadapi musuh," sambung Wuraji seraya
menghela napas panjang.
"Siapa bilang?!" Monyet Tanpa Bayangan
mulai bangkit emosinya begitu mendengar ucapan
itu. "Dengan gerakan seperti itu kau dapat
membunuh lawan tanpa menyentuhnya!"
"Aku tidak percaya!" sergah Wuraji cepat
dan berani. Memang, anak yang sudah yatim piatu
ini memiliki keberanian luar biasa.
Monyet Tanpa Bayangan menjadi kesal
melihat sikap yang ditunjukkan Wuraji. Tanpa
banyak bicara, kepalan tangan kanannya kembali
dipukulkan. Tapi sasaran kali ini adalah
sebongkah batu sebesar anak kambing, yang
berjarak sekitar lima tombak dari tempatnya
duduk bersila.
Wusss...! Brakkk...!
Batu itu langsung hancur berkeping-keping
ketika pukulan jarak jauh kakek berpakaian kulit
beruang itu menghantamnya. Pecahannya
berpentalan ke segala arah.
Wajah Wuraji pucat seketika. Sama sekali
tidak disangkanya kalau Monyet Tanpa Bayangan
memiliki kepandaian begitu tinggi. Dia tahu betul
kalau ayahnya sendiri pun tidak sanggup untuk
melakukan hal seperti yang dilakukan kakek ini.
Tanpa pikir panjang lagi, Wuraji segera memberi
hormat.
"Guru...!" tanpa ragu-ragu lagi, putra Ketua
Perguruan Kumbang Merah ini menyebut guru
pada Monyet Tanpa Bayangan. Kakek kecil kurus
ini tertawa terkekeh.
"Ular Kaki Seribu pun akan mengajarmu
pula, Wuraji," jelas Monyet Tanpa Bayangan
seraya menudingkan telunjuknya pada kakek
bermuka kuda. "Dia memiliki kepandaian yang
tidak kalah denganku."
"Guru...!" panggil Wuraji pula pada Ular
Kaki Seribu.
Sejak saat itu Wuraji menjadi murid
Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu.
Putra Ketua Perguruan Kumbang Merah ini sama
sekali tidak tahu kalau orang yang menjadi guru-
gurunya adalah tokoh-tokoh golongan hitam.
Kedua kakek itu adalah pentolan-pentolan tokoh
aliran sesat.
***
3
Krotok, krotok...!
Suara berkerotokan keras terdengar
memecahkan keheningan pagi di sebuah sungai di
dasar air terjun. Suara itu ternyata berasal dari
seorang pemuda yang tengah berlatih silat.
Pemuda itu berdiri di atas sebongkah batu pipih
dan lebar yang menonjol di permukaan sungai.
Pemuda itu berusia sekitar dua puluh dua
tahun. Wajahnya tampan, tapi terlihat keras.
Mungkin disebabkan oleh tulang rahangnya yang
kokoh dan kuat. Tubuhnya yang kekar dan penuh
otot-otot melingkar lampak jelas, karena dia
memang tengah bertelanjang dada. Menilik peluh
yang telah membasahi sekujur wajah dan
tubuhnya, bisa ditebak kalau pemuda berwajah
tampan namun keras ini telah lama berlatih.
Dan itu memang benar. Sejak pagi-pagi
sekali, sebelum sang surya muncul di ufuk Timur,
pemuda berwajah keras ini telah berlatih. Kini, dia
hampir menyelesaikan bagian terakhir latihannya.
Ternyata suara berkerotokan keras tadi
terdengar ketika pemuda tampan berwajah keras
itu menarik kedua tangannya yang terkepal ke sisi
pinggang. Perlahan-lahan tapi penuh tenaga, dia
menarik kedua tangan yang terkepal dan saling
bersilangan di depan dada. Kedua kakinya terletak
sejajar, dengan kuda-kuda rendah.
"Hih!"
Sambil mengeluarkan pekikan nyaring,
pemuda tampan berwajah keras itu
menghentakkan kedua tangannya ke depan. Ke
arah sebongkah batu sebesar anak kerbau yang
terletak di pinggir sungai yang berjarak sekitar tiga
tombak dari tempatnya berdiri.
Wusss!
Angin menderu keras. Debu-debu pun
mengepul tinggi ke udara. Dan....
Blarrr!
Disertai suara hiruk-pikuk, batu besar itu
hancur berkeping-keping. Pecahan-pecahannya
berpentalan ke segala arah. Bahkan ada beberapa
di antaranya yang mengenai tubuhnya. Tapi, sama
sekali tidak nampak ada tanda-tanda kalau dia
merasa kesakitan.
"Phhh...!"
Pemuda berwajah keras itu
menghembuskan napas panjang. Perasaan puas
tergambar jelas di wajahnya. Dengan punggung
tangan, peluh yang membasahi keningnya segera
dihapus.
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa bergelak yang kasar
begitu pemuda tampan berwajah keras itu selesai
menghapus peluhnya. Tapi, sama sekali tidak
nampak raut keterkejutan di wajahnya. Tenang
saja dia membalikkan tubuh. Tampak sekitar tiga
tombak di hadapannya, di seberang sungai, berdiri
dua sosok tubuh.
"Guru...!" ucap pemuda berwajah keras itu
seraya memberi hormat. Kedua kakinya saling
bersilangan dengan tubuh agak direndahkan.
Kedua tangannya saling bertemu di depan dada.
Tangan kanan terkepal, sementara tangan kiri
terbuka. Ujung jari-jari tangan kiri menghadap ke
atas. Kedua tangannya didorong ke depan.
Kemudian dikembalikan lagi ke depan dada.
"Bagus...! Rupanya kau telah menguasai
'Pukulan Penghancur Gunung', Wuraji," ucap
salah seorang di antara dua orang itu. Dia
bertubuh tinggi, berbadan lebar, dan berwajah
mirip kuda. Usianya sekitar enam puluh tahun.
Pakaiannya terbuat dari kulit ular berwarna
kuning keemasan. Siapa lagi kalau bukan Ular
Kaki Seribu?!
"Tidak percuma kami mengangkatmu
sebagai murid, Wuraji," ucap kakek yang satunya
lagi. Suaranya terdengar aneh. Kecil, tapi
melengking, mirip suara wanita. Kakek ini
bertubuh kecil kurus. Wajahnya terlihat pucat dan
layu, seperti orang penyakitan. Pakaiannya yang
berwarna hitam terbuat dari kulit beruang. Masih
tampak jelas kekasaran pakaian yang
dikenakannya. Kakek itu tak lain dari Monyet
Tanpa Bayangan
Sikap kedua kakek itu tampak liar, dan
tidak menghiraukan sopan santun. Sepasang mata
keduanya menyiratkan kekejaman yang
tersembunyi. Memang dua orang kakek ini adalah
pentolan-pentolan tokoh golongan hitam. Mereka
terkenal memiliki kepandaian tinggi.
"Semua ini berkat bimbingan Guru
berdua," ucap pemuda berahang kokoh yang
ternyata bernama Wuraji. Pelan, lembut, dan
sopan suaranya. Berbeda sekali dengan kedua
gurunya yang berwatak kasar dan liar.
"Ahhh...!" sergah Ular Kaki Seribu. Keras
dan kasar nada suaranya. "Sudah berkali-kali
kukatakan, Wuraji. Buang semua sifat-sifat yang
membuat kami muak itu. Bersikaplah seperti
kami!"
"Kukira, ada baiknya kalau Wuraji kita
suruh bergabung dengan Pati Gala, Ular Kaki
Seribu," usul Monyet Tanpa Bayangan.
"Barangkali kalau mereka bergaul bersama, sifat
Wuraji akan berubah."
"Itu sudah kupikirkan, Monyet Tanpa
Bayangan," sahut Ular Kaki Seribu.
"Pati Gala? Siapa dia, Guru?" tanya Wuraji
seraya mengernyitkan alisnya. Jelas kalau pemuda
berahang kokoh ini tidak mengenal orang yang
disebutkan gurunya. Ditatapnya wajah kedua
kakek itu berganti-ganti.
"Kami memang belum pernah
menceritakannya padamu, Wuraji," ucap Ular Kaki
Seribu.
"Maukah Guru memberitahukannya
padaku?" pinta Wuraji.
"Memang, kami ingin memberitahumu. Dan
harus memberitahumu!" Monyet Tanpa Bayangan
ikut menimpali.
"Pati Gala adalah murid kami sebelum kau,
Wuraji," sambung Ular Kaki Seribu. "Jadi, dia
adalah kakak seperguruanmu."
''Tapi, mengapa aku tidak pernah
mengetahuinya, Guru?" tanya Wuraji lagi. Masih
terdengar nada keheranan dalam suaranya.
"Karena kau jadi murid kami setelah dia
pergi," lagi-lagi Monyet Tanpa Bayangan
menyahuti.
Wuraji mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kini pemuda berahang kokoh ini baru mengerti
permasalahannya.
"Jadi..., aku harus mencari kakak
seperguruanku itu, Guru?" tanya Wuraji meminta
kepastian.
Ular Kaki Seribu menganggukkan
kepalanya.
''Tapi, bagaimana aku bisa menemukan
dia, Guru? Bukankah aku belum pernah bertemu
dengan dia?! Dan..., andaikata bertemu pun,
belum tentu dia akan mengenaliku."
"He he he...!"
Ular Kaki Seribu hanya tertawa terkekeh-
kekeh saja melihat muridnya kebingungan.
"Kau cari saja orang yang berjuluk Siluman
Tangan Maut. Aku yakin tidak akan sulit kau
menemukan dia," Monyet Tanpa Bayangan yang
menjawab pertanyaan muridnya. "Sedangkan
pertanyaanmu yang lain, tidak perlu kujawab,
Wuraji. Kau punya otak, bukan? Nah!
Pergunakanlah otakmu!"
Wuraji terdiam seketika.
"Kapan aku harus berangkat, Guru?" tanya
Wuraji setelah terdiam beberapa saat.
''Terserah kau, Wuraji. Tapi, lebih cepat
lebih baik!" sahut Ular Kaki Seribu tegas.
Kemudian dilangkahkan kakinya meninggalkan
tempat itu, diikuti Monyet Tanpa Bayangan. Kini
yang tinggal hanya Wuraji.
"Hhh...!"
Pemuda berahang kokoh ini menghela
napas berat. Ada perasaan tidak enak di hatinya,
melihat tingkah laku kedua gurunya. Tapi,
bagaimana lagi? Guru-gurunya adalah tokoh-
tokoh sesat persilatan. Hanya dia saja yang
bernasib tidak begitu baik. Memiliki guru tokoh
golongan hitam! Dan, menjadi pewaris ilmu tokoh
sesat
Akan tetapi Wuraji mengusir semua
pikiran-pikiran itu. Dipusatkan perhatian untuk
memenuhi tugas gurunya. Di samping itu juga, di
dalam hatinya tersirat niat untuk membalas
dendam atas kematian ayahnya. Dan juga mencari
Marni dan Wijaya. Bagaimana keadaan mereka
sekarang? Wuraji tidak pernah tahu. Walaupun
sejak menjadi murid Ular Kaki Seribu dan Monyet
Tanpa Bayangan, dia selalu memikirkan nasib
kedua orang itu. Tapi apa dayanya? Kedua
gurunya melarang dia mencari mereka. Tapi
sekarang kesempatan itu terbuka. Dia telah bebas.
***
Seorang pemuda berwajah tampan namun
keras, dan berpakaian coklat melangkah pelan
memasuki mulut hutan. Sebuah buntalan yang
berisi pakaian tergantung di bahunya.
Pemuda berahang kokoh ini menoleh
ketika pendengarannya yang tajam, menangkap
suara derak roda kereta di belakangnya. Ternyata
agak jauh di belakang, dilihatnya sebuah
rombongan berkuda. Bergegas dia berjalan agak
ke pinggir, agar tidak mengganggu jalannya
rombongan itu
Semakin lama, rombongan kereta semakin
dekat jaraknya dengan pemuda tampan berahang
kokoh itu. Tak lama kemudian, rombongan kereta
itu pun sudah menyusulnya.
Sekilas orang-orang yang berkuda paling
depan memalingkan kepala. Menatap pemuda
tampan berahang kokoh itu penuh perhatian.
Pemuda itu pun balas menoleh. Sebentar saja.
Bahkan hanya sekilas. Lalu tidak ambil peduli.
Terus saja kakinya melangkah kian jauh ke dalam
hutan.
Iring-iringan berkuda itu ternyata adalah
serombongan orang berkuda yang mengawal
sebuah kereta. Di belakang, kanan, kiri, dan
belakang kereta, empat orang berwajah dan
bersikap gagah mengiringi. Tampak jelas kalau
orang-orang berkuda itu tengah mengawal kereta.
Semakin lama, rombongan itu pun
semakin jauh meninggalkan pemuda berpakaian
coklat itu. Pemuda berahang kokoh itu terus
memandangi rombongan itu hingga semakin jauh
ke dalam hutan. Ada pertanyaan yang bergayut di
benaknya. Siapakah gerangan orang yang ada di
dalam kereta? Sehingga sampai dikawal oleh
sekumpulan orang yang menilik dari gerak-
geriknya adalah orang-orang yang memiliki ilmu
silat tidak rendah.
Tapi pemuda berahang kokoh itu tidak
ambil peduli. Terus saja dia melanjutkan
perjalanannya. Kini tidak lagi perlahan-lahan
seperti tadi, melainkan berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Ternyata pemuda tampan berahang kokoh
itu memiliki kepandaian tinggi. Gerakannya cepat
bukan main. Sehingga yang terlihat hanyalah
sekelebatan bayangan kecoklatan yang melesat
cepat menembus ke dalam hutan.
Pemuda berahang kokoh itu berlari tidak
mengikuti jalan yang ditempuh rombongan kereta
tadi. Tapi mengambil jalan pintas. Menembus
rerimbunan pepohonan lebat. Bahkan tidak jarang
harus berlompatan dari satu batang ke batang
pohon lainnya. Gerakannya gesit dan lincah sekali.
Tak ubahnya seekor kera.
Mendadak gerakannya terhenti ketika
mendengar dentang suara senjata beradu di
kejauhan. Cepat pemuda berbaju coklat ini
berhenti sejenak dan mendengarkan lebih
seksama. Mencoba mengetahui asal suara.
Sesaat kemudian, pemuda berahang kokoh
ini telah mengetahui asal suara. Cepat laksana
kilat, kakinya. bergerak menuju ke sana sambil
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh
yang dimilikinya. Berlompatan dari satu pohon ke
pohon yang lain.
Tak lama kemudian, pemuda berahang
kokoh ini berhasil menemukan penyebab suara
keributan. Dari cabang sebatang pohon, pemuda
itu melihat rombongan kereta yang tadi
melewannya telah berhenti, dan kini tengah
terlibat pertarungan dengan serombongan orang-
orang berwajah kasar.
Beberapa saat lamanya pemuda
berpakaian coklat itu kebingungan. Meskipun
sudah dapat menduga kalau rombongan itu
dihadang oleh gerombolan orang kasar. Tapi dia
masih belum dapat membedakan rombongan
kereta dan rombongan penghadang.
Tapi sesaat kemudian, pemuda berahang
kokoh ini sudah bisa membedakan. Rombongan
berkuda yang tadi mengawal kereta rata-rata
berpakaian hijau muda. Sementara para
penghadang rata-rata mengenakan rompi.
Sama sekali pemuda berpakaian coklat ini
tidak tahu kalau dia bukan hanya berada di pihak
yang mengintai. Tapi juga sedang diintai. Dua
sosok yang berpakaian kulit ular dan hitam,
tengah memperhatikannya dari cabang pohon lain.
Dan ternyata bukan hanya sosok berpakaian
hitam dan kulit ular saja yang memperhatikan.
Tapi juga sepasang muda-mudi. Yang satu
berpakaian ungu dan yang satu lagi berpakaian
putih.
Sejenak pemuda berahang kokoh itu
memperhatikan jalannya pertempuran. Sesaat
kemudian, dia sudah tahu kalau kepandaian para
pengawal kereta berkuda sebenarnya tidak kalah
dibanding lawan-lawannya. Tapi karena
jumlahnya kalah banyak, akhirnya mereka
terdesak hebat. Satu orang pengawal berkuda,
rata-rata menghadapi dua sampai tiga
penghadang.
Beberapa sosok tubuh yang menilik dari
pakaiannya adalah rombongan pengawal berkuda,
sudah bergeletakan bersimbah darah di tanah.
Dan jumlah korban di antara mereka semakin
bertambah, ketika beberapa saat kemudian,
terdengar jerit kematian melengking nyaring.
Pemimpin rombongan yang berkumis
melintang, marah bukan main melihat anak
buahnya satu demi satu terbantai. Tapi, apa
dayanya? Dia sendiri tengah sibuk
mempertahankan selembar nyawanya dari
ancaman maut pimpinan rombongan penghadang.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan
bersenjata sebatang golok besar.
Laki-laki berkumis melintang ini
menggertakkan gigi. Dan pedang di tangannya pun
berkelebatan semakin cepat, berusaha
merobohkan lawan secepat mungkin.
"Haaat...!"
Seraya mengeluarkan bentakan nyaring,
pedang di tangannya menusuk cepat ke arah
leher. Tapi, pimpinan penghadang hanya tertawa
bergelak. Dan sekali memiringkan kepala, tusukan
pedang lewat di samping kepalanya. Dan pada
saat yang sama, golok besar di tangannya
disabetkan ke leher laki-laki berkumis melintang.
Pemimpin rombongan kereta berkuda itu
terkejut bukan main. Sebisa-bisanya dia berusaha
mengelak. Tapi....
Crattt!
Ujung golok besar tadi tahu-tahu sudah
menyerempet bagian atas dada kirinya. Dan
seketika itu juga, darah segar merembes dari luka
yang robek cukup lebar. Tapi tidak terdengar
suara keluhan dari mulut laki-laki berkumis
melintang itu.
Belum lagi pemimpin rombongan pengawal
ini sempat berbuat sesuatu, pimpinan penghadang
yang bertubuh tinggi besar itu sudah melayangkan
kakinya.
Bukkk!
Telak dan keras sekali tendangan itu
mengenai perut laki-laki berkumis melintang.
Seketika itu juga tubuhnya terjengkang ke
belakang, dan jatuh berdebuk di tanah.
"Haaat...!"
Melihat lawannya tak berdaya, pimpinan
pengha dang itu segera menubruk tubuh yang
tertelentang di tanah, disertai pekikan melengking
nyaring. Golok besar di tangannya, ditusukkan
cepat ke arah perut lawannya.
Laki-laki berkumis melintang terkejut
bukan main. Serangan itu datang begitu tiba-tiba.
Sehingga tidak ada waktu lagi baginya untuk
mengelak. Bahkan untuk menangkis pun sudah
tidak sempat lagi. Pedangnya sudah terlempar
entah ke mana ketika perutnya kena tendang. Kini
yang dapat dilakukannya hanyalah berdiam diri,
menanti datangnya maut.
Tapi sebelum golok itu menghunjam
perutnya, sesosok bayangan biru melesat cepat,
memotong arah lompatan pemimpin rombongan
penghadang itu.
Tranggg...!
Suara berdentang keras terdengar
memekakkan telinga. Bunga-bunga api pun
memercik ke sana kemari. Laki-laki tinggi besar
itu terkejut bukan main begitu merasakan seluruh
tubuhnya tergetar hebat. Tangan yang
menggenggam golok terasa lumpuh. Bahkan
senjatanya pun hampir terlepas dari genggaman.
Kini di hadapan laki-laki tinggi besar,
membelakangi pemimpin rombongan pengawal
kereta berkuda, berdiri seorang gadis cantik jelita
berambut kepang, berpakaian biru. Di tangan
gadis itu tergenggam sebatang pedang.
"Kurang ajar! Siapa kau, Wanita Liar!
Mengapa mencampuri urusanku?! Apakah sudah
bosan hidup?!" pimpinan penghadang itu memaki
kalang kabut.
"Pasang telingamu baik-baik! Aku Marni!
Kedatanganku sengaja untuk membasmimu!"
gadis berambut kepang itu balas membentak tak
kalah keras.
"Sapi! Rupanya kau sudah bosan hidup,
sehingga berani menentang Raksageti!"
Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi
besar yang ternyata bernama Raksageti itu
menyerang Marni. Golok besarnya dibabatkan ke
arah leher.
Tapi Marni hanya tersenyum-senyum saja.
Baru setelah sambaran golok mendekat, dengan
enak dia merendahkan tubuh, sehingga serangan
itu lewat di atas kepalanya. Dan begitu sabetan
golok besar itu lewat, tangan kanannya bergerak
cepat
Crattt!
Luar biasa sekali kecepatan gerak Marni!
Sebelum Raksageti sempat menyadari, pedang di
tangan gadis berpakaian biru itu telah membabat
sikunya. Tak pelak lagi tangan laki-laki tinggi
besar itu buntung sebatas siku. Dan seketika itu
juga, darah mengalir deras dari tangan yang putus
itu.
Raksageti menggigit bibir menahan rasa
sakit yang mendera. Buru-buru dia menotok jalan
darah di sekitar lukanya untuk menghentikan
aliran darah. Sesaat kemudian aliran darah itu
pun terhenti.
"Bagaimana, Raksageti?! Masih mau
diteruskan lagi...?" tanya Marni sambil bertolak
pinggang. Cairan merah kental masih menetes dari
batang pedangnya.
Raksageti menggeram keras. Rupanya laki-
laki tinggi besar ini tidak jera melihat akibat yang
diterimanya. Pemimpin rombongan penghadang ini
tidak percaya kalau gadis semuda Marni mampu
memiliki kepandaian selihai itu. Dia lebih percaya
kalau penyebab tangannya putus adalah
keteledorannya sendiri.
Kini dia memungut golok besarnya dengan
tangan kiri. Dan kembali menyerang Marni. Kali
ini Raksageti mengeluarkan seluruh kepandaian
yang dimilikinya.
Sementara itu, begitu gadis berpakaian
biru menyebut namanya, seketika wajah pemuda
berpakaian coklat berubah. Jelas, kalau nama itu
mempunyai arti baginya.
"Apakah Marni yang dulu kurus dan
kerempeng itu kini sudah menjadi gadis yang
cantik jelita? Menjadi gadis berwajah molek dan
bertubuh menggiurkan?" tanya pemuda berahang
kokoh itu dalam hati.
Karena didorong rasa ingin tahu tentang
gadis itu, juga di samping ingin menolong
rombongan pengawal berkuda yang sudah dapat
dipastikan akan terbantai semuanya, akhirnya
pemuda berpakaian coklat ini melompat ke tengah
arena pertempuran.
Dan begitu kedua kakinya mendarat di
tanah, pemuda berahang kokoh itu langsung
menyelak ke arah seorang pengawal yang tengah
terdesak hebat oleh tiga orang penghadang.
Hebat dan menggiriskan sekali tindakan
pemuda berahang kokoh itu. Begitu memasuki
arena pertempuran, kedua tangan dan kakinya
langsung berkelebat. Dan hanya dalam dua
gebrakan saja, ketiga penghadang itu telah
berpentalan jauh, dalam keadaan tanpa nyawa!
Jerit panjang memilukan, mengiringi melayangnya
nyawa mereka.
Tapi tindakan pemuda berahang kokoh itu
tidak berhenti hanya sampai di situ saja. Kembali
tubuhnya melesat ke arah kelompok penghadang
lain yang tengah mengeroyok seorang pengawal
pasukan berkuda. Kaki dan tangan pemuda ini
pun kembali beraksi. Tak lama kemudian, jerit-
jerit kematian pun terdengar saling susul.
Marni melirik sekilas ke arah pemuda
berahang kokoh yang juga tengah melirik ke
arahnya. Dua pasang mata pun saling bertemu.
Marni melempar sebuah senyum manis. Dan
seketika pemuda berahang kokoh itu terkesima.
Hanya sesaat memang. Tapi, karena saat
itu pemuda itu tengah dikeroyok banyak lawan,
hampir saja membuat lehernya putus tersambar
senjata lawan. Untung saja dia sempat
membanting tubuh ke tanah, sehingga serangan
itu berhasil dihindarkan.
"Hi hi hik..!"
Gadis berpakaian biru tertawa mengikik,
melihat kejadian yang menimpa pemuda berahang
kokoh. Karuan saja hal ini membuat sekujur
wajah pemuda berpakaian coklat merah padam
ketika bangkit dari bergulingnya.
Ternyata baik Marni mau pun pemuda
berahang kokoh sama sekali tidak mengalami
kesulitan menghadapi lawan-lawannya. Tingkat
kepandaian si gadis dan juga tingkat kepandaian
pemuda berahang kokoh itu berada amat jauh di
atas lawan-lawannya.
Apalagi Marni yang hanya menghadapi
seorang lawan. Enak saja dia menghadapi dan
mempermainkannya. Rupanya gadis berpakaian
biru ini suka mempermainkan orang. Baru setelah
dirasa cukup, tiba-tiba Marni bergerak cepat. Kaki
kanannya melakukan tendangan bertubi-tubi ke
depan.
Plakkk, bukkk, bukkk...!
Terdengar suara keras berkali-kali ketika
kaki Marni menghujani Raksageti. Tubuh
pimpinan penghadang itu pun terlempar jauh ke
belakang. Darah segar menetes deras dari mulut
hidung, dan telinganya. Raksageti tewas sebelum
tubuhnya ambruk mencium tanah.
Tendangan pertama yang dilepaskan gadis
berpakaian biru itu mengenai pergelangan tangan
Raksageti, sehingga sambungan tulang
pergelangan laki-laki itu terlepas, dan senjatanya
terlepas dari genggaman. Tendangan susulan yang
dikirimkan Marni, mengenai perut dan dada. Dan
tendangan susulan itulah yang menyebabkan
nyawa laki-laki tinggi besar ini melayang seketika.
Bersamaan dengan tewasnya Raksageti,
pemuda berahang kokoh pun berhasil
merobohkan dua orang pengeroyok yang tersisa.
Seluruh pengawal yang sejak tadi
memperhatikan jalannya pertarungan, menghela
napas lega begitu melihat seluruh rombongan
penghadang berhasil dibinasakan.
Laki-laki berkumis melintang, yang
menjadi pemimpin rombongan, segera
menghampiri sepasang muda-mudi itu sambil
tersenyum lebar.
Tapi baru juga beberapa tindak kakinya
melangkah, gadis berpakaian biru sudah
berkelebat meninggalkan tempat itu. Cepat bukan
main gerakannya. Sehingga dalam sekejap saja,
tubuh Marni sudah berada dalam jarak sepuluh
tombak dari situ.
"Nisanak! Tunggu...!" laki-laki berkumis
melintang berteriak mencegah. Tapi Marni sama
sekali tidak mempedulikan, dan terus saja
melangkahkan kakinya.
"Hhh...!"
Pemimpin rombongan itu menghela napas
berat. Kemudian mengalihkan perhatian ke arah
pemuda berpakaian coklat. Namun, kembali dia
tersentak. Ternyata pemuda itu pun melesat pergi.
Sia-sia dia berteriak-teriak menyuruh pemuda
penolongnya untuk berhenti melangkah sejenak.
Akhirnya laki-laki berkumis melintang
hanya bisa mengangkat bahu, kemudian
melangkahkan kakinya. Kembali ke tempat
semula.
"Urus semua kawan-kawan kita yang tewas
atau yang tuka. Dan kita lanjutkan perjalanan!"
ucap pemimpin rombongan itu pada anak
buahnya yang masih tersisa.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, sisa
pengawal yang masih hidup bergegas
melaksanakan perintah pemimpin mereka.
Sementara si kumis melintang menatap ke depan,
ke arah kepergian sepasang muda-mudi perkasa
penolongnya, dengan pandang mata kecewa.
Kecewa karena tidak sempat mengenai kedua
orang itu lebih jauh.
Bukan hanya laki-laki berkumis melintang
itu saja yang menatap kepergian sepasang muda-
mudi tadi dengan perasaan kecewa. Masih ada
empat pasang mata lagi yang menatap penuh
kecewa. Tapi, rasa kecewa yang melanda mereka,
masing-masing berbeda. Mata dari sosok hitam,
kulit ular, dan ungu serta putih.
Dan begitu melihat pemuda berpakaian
coklat tadi melesat pergi, bayangan hitam dan
kulit ular itu pun melesat cepat pula. Menyusul
arah kepergian pemuda itu.
Belum lama dua sosok bayangan itu
melesat sosok bayangan ungu dan putih, bergerak
pula menguntit dua sosok bayangan yang
menguntit pemuda berahang kokoh.
***
4
"Nisanak...! Tunggu...!"
Pemuda berpakaian coklat berteriak keras
memanggil, setelah sampai sekian lamanya, tak
juga mampu mengejar gadis berpakaian biru.
Padahal dia telah mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya. Jangankan
mengejar, memperpendek jarak pun tidak mampu!
Diam-diam dalam hati pemuda berahang kokoh ini
timbul rasa penasaran. Dia adalah murid seorang
tokoh sesat yang terkenal dengan ilmu
meringankan tubuh yang luar biasa. Dan dia telah
mewarisinya. Mengapa sekarang tidak mampu
mengejar seorang gadis muda?
Bukan hanya pemuda berpakaian coklat
itu saja yang merasa penasaran. Marni pun
dilanda perasaan serupa. Seluruh ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki telah
dikeluarkannya, tapi tetap saja dia tidak mampu
memperpanjang jarak. Hal ini menandakan kalau
pengejarnya memiliki ilmu meringankan tubuh
yang tidak berada di bawahnya.
Rasa penasaran itulah yang membuat gadis
ini malah semakin mempercepat larinya. Tapi,
ternyata pemuda yang mengejarnya tetap saja
mampu mengimbangi. Sehingga jarak di antara
mereka tetap tidak berubah.
"Nisanak...! Tunggu sebentar...!" lagi-lagi
pemuda berpakaian coklat itu berteriak.
Kali ini gadis berpakaian biru tidak
meneruskan langkah. Seketika dia menghentikan
larinya. Kemudian membalikkan tubuh. Berdiri
menanti pemuda yang mengejarnya. Napas gadis
ini nampak memburu. Bahkan wajahnya yang
berkulit putih, halus dan mulus pun nampak
memerah. Peluh membasahi kening dan lehernya.
Pemuda berahang kokoh gembira bukan
main melihat gadis berpakaian biru menghentikan
larinya dan berdiri menunggu. Bergegas dia berlari
menghampiri dan menghentikan langkahnya
begitu berada dalam jarak dua tombak.
"Mau apa kau mengejar-ngejarku?!" tanya
gadis berpakaian biru itu pelan.
"Aku hanya ingin bertanya satu hal
padamu, Nisanak," ucap pemuda berpakaian
coklat, langsung pada pokok permasalahan.
Wajahnya terlihat tegang. Bahkan suaranya pun
terdengar bergetar. Suatu pertanda kalau pemuda
ini dilanda perasaan tegang.
"Apa itu? Katakanlah," sahut gadis
berpakaian biru, pelan. Tentu saja dia mengenal
pemuda ini sebagai orang yang telah
membantunya melawan gerombolan orang kasar.
Ada perasaan suka di hatinya melihat pemuda
yang berwajah gagah dan bersikap sopan itu.
"Apakah benar namamu Marni, Nisanak?"
tanya pemuda berahang kokoh. Sepasang matanya
menatap wajah molek gadis di hadapannya penuh
selidik.
"Benar. Namaku memang Marni.
Memangnya kenapa?" gadis berpakaian biru
malah balik bertanya.
Perasaan heran merayapi hati gadis ini.
Mengapa pemuda berpakaian coklat itu begitu
ingin tahu kepastian namanya?
"Kau... kenal dengan Wuraji?" pemuda
tampan berahang kokoh itu balas bertanya.
"Wuraji...," ucap Marni lambat-lambat "Aku
memang kenal orang yang bernama Wuraji. Dia
memang sahabatku sewaktu kecil. Tapi apakah
orang yang kau maksudkan sama dengan Wuraji
yang kukenal, aku tidak yakin. Yang jelas, Wuraji
sahabatku itu mungkin telah tewas."
Ada nada kesedihan dalam ucapan gadis
berpakaian biru itu.
"Mengapa kau begitu yakin kalau Wuraji
sahabatmu itu telah tewas?" sehdik pemuda
berpakaian coklat
Marni tercenung sejenak. Tidak langsung
menjawab pertanyaan itu.
"Dalam sebuah perjalanan, dia terlempar
ke sungai yang berarus deras. Dan tak pernah
kembali"
"Akulah Wuraji sahabatmu Marni," ucap
pemuda berpakaian coklat.
"Apa?!" Marni membelalakkan sepasang
matanya. "Jangan harap kau bisa membohongiku,
Kisanak. Aku tahu betul wajah Wuraji. Wajahnya
tidak sepertimu. Memang ada sedikit kemiripan
antara wajahmu dengannya. Tapi, aku yakin kau
bukan Wuraji."
Pemuda berahang kokoh tersenyum lebar.
"Akulah Wuraji itu, Marni. Suntara, Ketua
Perguruan Kumbang Merah adalah ayahku."
"Kau... kau...." Marni tergagap.
"Aku selamat, Marni. Dua orang sakti telah
menyelamatkanku dari kematian. Bahkan
mengangkatku sebagai murid. Kau pun kulihat
telah jadi pendekar wanita yang lihai. Ceritakanlah
semua pengalamanmu, Marni Dan..., mana Paman
Wijaya?"
"Aku tidak tahu, Kang," kini Marni tidak
ragu-ragu lagi kalau pemuda di hadapannya
benar-benar Wuraji. Dan dengan sendirinya
perasaan sukanya semakin membesar. "Dia
menyusulmu terjun ke sungai. Dan setelah itu,
aku tidak pernah menemuinya lagi." Wuraji
tercenung sejenak.
"Mudah-mudahan saja Paman Wijaya
selamat, Marni." Hanya itu saja yang diucapkan
Wuraji.
"Mudah-mudahan, Kang," harap Marni
pula. Suasana jadi hening sejenak setelah gadis
berpakaian biru itu menghentikan kata-katanya.
"O ya, Marni. Aku ingin mendengar semua
pengalamanmu. Perlu kau ketahui, aku pun
sampai tidak mengenalimu lagi tadi. Kau kini telah
jadi seorang gadis yang begini lihai dan... cantik."
Seketika wajah Marni menyemburat merah.
Pujian Wuraji-lah yang menjadi penyebabnya.
Sejenak gadis ini tercenung. Rupanya tengah
mengumpulkan segenap ingatannya.
"Sewaktu kau terlempar ke sungai, Paman
Wijaya segera menyusulmu. Karena tidak ada hal
lain yang dapat kulakukan, aku hanya diam
menunggu di rakit. Tapi sampai bosan menunggu,
kau dan Paman Wijaya tidak pernah datang.
Sementara perutku mulai terasa lapar. Rasa lapar
dan takut membuatku tak mampu menahan
perasaan hati. Aku menangis."
Marni menghentikan ceritanya sejenak
untuk mengambil napas, dan juga mencari-cari
kata-kata untuk melanjutkan ceritanya.
"Rupanya suara tangisku membuat seorang
kakek datang. Setelah menceritakan semua yang
terjadi kakek itu lalu mencari kalian. Hebat sekali
cara kakek itu mencari, Kang. Dia menggunakan
papan yang agak lebar di bawah tapak sepatunya.
Lalu bergerak di atas air. Meloncat ke sana
kemari."
"Hm..., lalu?" tanya Wuraji menyelak.
''Tak lama kemudian, kakek itu muncul
kembali dengan membawa cerita yang
mengejutkan. Katanya kau dan Paman Wijaya
mungkin sudah tewas, terseret air terjun."
"Hm...!" Wuraji bergumam seraya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Rupanya kakek itu kasihan padaku. Lalu
mengajakku ke tempat tinggalnya. Kemudian
mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian yang
dimilikinya. Kakek itu ternyata memiliki ilmu yang
tinggi, Kang. Terutama sekali ilmu meringankan
tubuhnya. Kakek itu berjuluk Camar Laut Merah."
Wuraji menganggukkan kepalanya. Dari
kedua orang gurunya, dia telah mendengar tokoh
yang berjuluk Camar Laut Merah. Seorang tokoh
persilatan aliran putih yang memiliki ilmu
kepandaian amat tinggi, dan ilmu meringankan
tubuh yang luar biasa. Tidak kalah dengan Monyet
Tanpa Bayangan, gurunya.
"Sepuluh tahun aku dididiknya, Kang. Lalu
aku pamit untuk mencari musuh besar kita.
Membalas dendam kematian ayahmu, orang yang
telah menanam budi besar padaku."
Wuraji tercenung. Memang pemuda
berpakaian coklat ini telah mengetahui cerita itu.
Ayahnya telah menceritakan padanya kalau Marni
adalah anak yang berhasil ditemukan ayahnya, di
sebuah desa yang telah hancur lebur dijarah
perampok. Kala itu Marni baru berusia lima
tahun. Ayahnya lalu membawa Marni karena
sudah tidak punya kerabat lagi.
"Sekarang kau yang ganti bercerita, Kang.
Aku ingin mendengar semua pengalamanmu."
Wuraji pun menceritakan semua
pengalamannya. Tapi sama sekali tidak
memberitahukan kalau kedua gurunya adalah
pentolan-pentolan kaum sesat.
"Sekarang ke mana tujuanmu, Kang?"
tanya Marni ketika pemuda berpakaian coklat itu
menyelesaikan ceritanya. Sepasang matanya
menatap wajah pemuda itu.
"Hhh...!" Wuraji menghela napas berat.
"Tujuan utamaku adalah mencari pembunuh ayah
dan seluruh kakak seperguruanku..., dan
membalaskan kematian mereka. Tapi...."
"Kenapa, Kang?" Marni merasa heran
melihat keragu-raguan yang membayang di wajah
pemuda itu.
"Guru-guruku menyuruh mencari kakak
seperguruanku...."
"Apa keperluannya, Kang?"
"Mereka ingin aku belajar hidup darinya...,"
pelan dan berdesah suara Wuraji.
"Belajar hidup?!" dahi Marni berkernyit.
"Aku tidak mengerti maksud ucapan Kakang."
Wuraji terdiam. Pemuda berahang kokoh
ini tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Sementara Marni masih terus menunggu jawaban
dengan penuh rasa ingin tahu.
"Guru-guruku adalah tokoh-tokoh sesat.
Dan mereka ingin agar aku jadi penjahat juga.
Tapi, tetap saja aku tidak bisa. Sehingga mereka
menyuruhku bergabung dengan kakak
seperguruanku. Maksud mereka, agar aku dapat
meniru-niru kelakuan kakak seperguruanku."
"Ih...!" Marni berseru kaget. "Rencana gila!
Siapakah nama kakak seperguruanmu itu, Kang?"
"Aku sendiri belum pernah berjumpa
dengannya. Tapi, guruku memberi tahu
julukannya, Siluman Tangan Maut."
"Siluman Tangan Maut?!" Marni berseru
kaget "Dia adalah seorang tokoh hitam yang amat
jahat dan kejam!"
"Kau mengenalnya, Marni?" Wuraji ingin
tahu.
"Kenal sih tidak," Marni menggelengkan
kepalanya. ''Tapi, sepak terjangnya sudah lama
kudengar. Dia telah membuat kekacauan di dunia
persilatan. Sudah tak terhitung lagi orang-orang
yang mati di tangannya. Kau tahu, Kang?
Rombongan berkuda yang kita tolong tadi adalah
orang kaya yang melarikan diri dari tempat
tinggalnya karena takut pada Siluman Tangan
Maut. Padahal orang kaya itu tahu kalau di hutan
ini ada segerombolan perampok yang akan
menghadang perjalanannya. Aku sendiri
mengetahuinya secara kebetulan. Mendengar
percakapan orang yang mengawal orang kaya itu."
"Ah...! Sejahat itukah dia?" desah Wuraji
penuh rasa terkejut
Marni menganggukkan kepalanya.
"Dan kau..., menuruti saja saran guru-
gurumu untuk belajar hidup dari orang seperti
dia?!"
Kini ganti Wuraji yang menganggukkan
kepalanya.
"Gila!" desis Marni tajam. "Mengapa kau
mau saja melaksanakan perintah mereka, Kang?!
Kau ingin jadi penjahat?! Ah...! Kalau saja ayahmu
mendengar semua ini, mungkin dia akan bangkit
dari liang kuburnya.''
Wuraji tercenung mendengar ucapan
berapi-api itu. Kepala pemuda ini tertunduk
dalam.
"Aku terpaksa," sahut Wuraji. Suaranya
terdengar mendesah.
"Maksudmu...? Guru-gurumu memaksa?!"
selak Marni cepat "Jangan khawatir, Kang. Aku
ada di sampingmu. Kita tentang kesewenang-
wenangan mereka!"
"Kau salah paham, Marni," kembali Wuraji
menggelengkan kepalanya. "Guru-guruku sama
sekali tidak memaksa."
"Aku semakin tidak mengerti maksudmu,
Kang."
"Aku terpaksa menerima usul mereka
hanya sekadar, yahhh...! Kuanggap ini sebagai
balas budi atas kebaikan mereka yang telah susah
payah merawat dan mendidikku."
"Lalu..., hanya untuk membalas budi
mereka, kau rela jadi penjahat...?" desak Marni
penasaran.
"Siapa yang ingin jadi penjahat?!" bantah
Wuraji cepat
"Heh...?!" Marni terkejut "Bukankah kau
sendiri yang mengatakannya tadi?"
"Aku tidak berkata demikian. Aku hanya
mengatakan, guru menyuruh untuk menjumpai
kakak seperguruanku dan belajar hidup darinya.
Kalau aku tetap tidak bisa, tidak jadi masalah.
Yang penting, hati ini tenang, karena telah
menunaikan perintah mereka."
"Jadi...?" wajah Marni mulai berseri
kembali.
"Kewajibanku hanya menemui kakak
seperguruanku. Masalah mengikuti jejaknya atau
tidak, tergantung pada kemauanku sendiri."
"Kalau begitu..., aku ikut, Kang," ucap
Marni sambil tersenyum gembira. "Aku juga ingin
tahu, seperti apakah tokoh yang menggemparkan
itu!"
***
Wuraji dan Marni melangkah perlahan
menuju sebuah bangunan besar berhalaman luas
yang dikelilingi pagar tembok tinggi dan kokoh. Di
bagian depan pintu gerbang, nampak berdiri dua
orang kasar berwajah angker. Sebatang golok
nampak tergantung di pinggang mereka.
Dua orang berwajah kasar itu mengerutkan
alisnya, begitu melihat sepasang muda-mudi yang
melangkah mendekati pintu gerbang.
"Berhenti...!" seru penjaga yang berwajah
bopeng, seraya memasang wajah angker, begitu
jarak di antara mereka ringgal dua tombak lagi.
Wuraji dan Marni langsung berhenti
melangkah.
"Siapa kalian?! Dan mengapa kalian
kemari?!" tanya penjaga yang berkumis jarang.
Tangan kanannya bergerak memelintir kumisnya
yang hanya beberapa lembar saja. Sementara
sepasang matanya melirik ke arah Marni.
Merayapi wajah molek dan tubuh montok
menggiurkan di hadapannya.
Marni langsung membuang muka melihat
tingkah laki-laki berkumis jarang yang
memuakkan itu.
Melihat sikap Marni, wajah laki-laki
berkumis jarang itu merah padam karena marah.
Wuraji yang melihat hal ini jadi merasa khawatir
akan terjadi keributan. Dan itu tidak
diinginkannya. Maka buru-buru dia melangkah
maju.
"Aku Wuraji. Kedatanganku kemari untuk
bertemu Siluman Tangan Maut."
Ucapan pemuda berahang kokoh itu
terbukti ampuh. Mendengar julukan itu disebut
seketika wajah laki-laki berkumis jarang berubah
hebat
"Apa keperluanmu menemui ketua kami?"
tanya laki-laki yang berwajah bopeng. Kali ini
suaranya terdengar lunak. Tidak keras dan kasar
seperti sebelumnya.
"Aku adalah adik seperguruannya," sahut
Wuraji pelan
"Ahhh...!"
Tentu saja kedua penjaga itu terkejut
bukan main mendengarnya. Beberapa saat
lamanya mereka terlongong bingung. Menilik sikap
dan gerak-geriknya, sepasang muda-mudi ini
bukanlah termasuk golongan kaum sesat. Lalu
mengapa pemuda berpakaian coklat ini mengaku
adik seperguruan Siluman Tangan Maut?
"Siapa gurumu?" tanya laki-laki berkumis
jarang. Nada suaranya menyiratkan
ketidakpercayaan
"Guruku berjuluk Ular Kaki Seribu dan
Monyet Tanpa Bayangan."
Kedua penjaga itu tercenung sejenak.
Mereka memang tidak pernah tahu asal-usul
ketua mereka. Maka keduanya tidak bisa
memastikan kebenaran ucapan Wuraji.
"Kalian tunggu sebentar," ucap laki-laki
berwajah bopeng. "Aku hendak memberitahu
kedatangan kalian pada ketua."
Setelah berkata demikian, dia bergegas
melangkah ke dalam. Pintu gerbang memang
sengaja tidak dikunci sehingga laki-laki berwajah
bopeng itu tidak mengalami kesulitan ketika
masuk ke dalam.
Wuraji dan Marni terpaksa menunggu
dengan ditemani penjaga yang berkumis jarang.
Cukup lama juga sepasang muda-mudi itu
menunggu, sebelum akhirnya laki-laki berwajah
bopeng muncul kembali.
"Kalian berdua disuruh masuk," ucap laki-
laki itu mempersilakan.
Tanpa merasa ragu-ragu sedikit pun,
Wuraji dan Marni melangkah ke dalam. Dan
begitu sampai di halaman yang luas, sepasang
muda-mudi ini melihat sesosok tubuh yang berdiri
tegak seperti sedang menunggu. Kedua tangannya
bersedekap di depan dada.
Wajah Wuraji dan Marni kontan berubah
begitu mengenali sosok tubuh itu. Seorang laki-
laki berusia sekitar empat puluh lima tahun dan
berwajah meruncing ke depan. Pakaiannya adalah
sebuah rompi berwarna kuning. Tangan kirinya
menggenggam sebuah trisula.
Baik Wuraji maupun Marni kenal betul
siapa laki-laki berompi kuning ini. Dialah orang
yang telah membunuh Ketua Perguruan Kumbang
Merah, ayah Wuraji! Laki-laki inilah yang dikenal
oleh Wuraji dan Marni bernama Wisanggeni.
Memang sepasang muda-mudi ini mendengar
nama itu dari mulut almarhum ayah Wuraji.
Meskipun kemarahan yang amat sangat
melanda hatinya, tapi Wuraji masih mampu
menahan diri untuk tidak terburu-buru membuat
perhitungan. Sebuah dugaan lain yang berkelebat
di benaknya, membuatnya masih mampu
menahan diri.
Suara gemeretak di sebelahnya,
menyadarkan Wuraji kalau bukan hanya dirinya
saja yang dilanda amarah. Ada seorang lagi yang
juga tengah diamuk dendam. Orang itu adalah
Marni. Dan untuk mencegah gadis berpakaian
biru itu tidak langsung menyerang, maka Wuraji
segera berbisik pelan di telinga gadis itu.
''Tahan dulu amarahmu, Marni. Aku ingin
tahu, apakah dia yang berjuluk Siluman Tangan
Maut. Menurut guruku, nama kakak
seperguruanku adalah Pati Gala."
Mendengar keseriusan ucapan Wuraji,
Marni tidak berani membantah. Dia tahu betul arti
penting hal itu bagi Wuraji. Ditariknya napas
dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat
untuk meredakan gejolak amarah yang seperti
akan memecahkan dadanya.
"Kau yang bernama Wuraji?" tanya laki-laki
berompi kuning yang bukan lain adalah
Wisanggeni.
Wuraji hanya menganggukkan kepalanya.
Dia sengaja tidak menjawab. Khawatir kalau-kalau
suaranya akan terdengar bergetar.
"Benar kau murid Ular Kaki Seribu dan
Monyet Tanpa Bayangan?" tanya Wisanggeni lagi.
Kembali Wuraji menganggukkan
kepalanya.
"Apakah gadis itu saudara seperguruan
kita juga?"
Wuraji menggelengkan kepalanya.
"Kau tidak bisa bicara, Wuraji?" Wisanggeni
mulai jengkel, begitu menyadari kalau
pertanyaannya hanya dijawab dengan anggukan
dan gelengan kepala. "Bicaralah sebelum hilang
kesabaranku. Dan kau kubunuh! Ingat, meskipun
kau adik seperguruanku, aku tidak segan-segan
membunuhmu!"
Tidak nampak ada perubahan pada wajah
Wuraji.
"Aku ingin menanyakan sesuatu. Boleh?"
terdengar kaku suara pemuda berahang kokoh ini.
Padahal Wuraji sudah berusaha keras untuk
melunakkan suaranya.
Wisanggeni mengerutkan alisnya. Rupanya
laki-laki berpakaian rompi kuning ini menangkap
nada suara yang terdengar agak kasar itu.
Kelakuan orang yang mengaku sebagai adik
seperguruannya ini begini aneh sehingga
membuatnya curiga. Dengan sendirinya, seluruh
otot-otot dan urat-urat syaraf di tubuhnya pun
menegang. Apalagi ketika melihat wanita ber-
pakaian biru yang sejak tadi menundukkan kepala
saja. Tak sedikit pun mengangkat kepalanya.
"Tanyalah apa yang ingin kau tanyakan."
Wisanggeni menyahut tak kalah kaku.
"Apakah kau yang berjuluk Siluman
Tangan Maut dan bernama Pati Gala?"
"Benar. Akulah orang yang kau cari," sahut
Wisanggeni dingin. ''Tapi sekarang namaku bukan
lagi Pari Gala. Tapi Wisanggeni."
"Mengapa?!" tanya Wuraji dengan suara
kian gemetar karena dugaan yang semakin kuat
kalau orang di hadapannya adalah musuh
besarnya.
"Karena musuh besarku telah berhasil
kubunuh. Dulu aku bersumpah, selama belum
berhasil membunuh musuh besarku, nama asliku
tidak kuperkenalkan." Siluman Tangan Maut
memberi tahu.
Wuraji mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kini dia mengerti. Rupanya Pati Gala hanya nama
samaran.
"Siapakah musuh besarmu, Wisanggeni?"
Wuraji bertanya lagi, ingin memastikan.
"Suntara."
"Kalau begitu, mampuslah kau!"
Terdengar bentakan nyaring, yang bukan
hanya membuat Siluman Tangan Maut terkejut.
Tapi juga Wuraji.
Bentakan itu ternyata keluar dari mulut
Marni. Dan seiring dengan keluarnya suara
bentakan, gadis berpakaian biru ini sudah
menyerang Siluman Tangan Maut dengan sebuah
serangan mematikan.
Jari-jari telunjuk kedua tangan Marni
menegang kaku. Dan langsung menusuk cepat ke
arah tenggorokan Wisanggeni alias Pati Gala.
Ciiit, ciiit...!
Suara mencicit nyaring terdengar
mengiringi tibanya totokan-totokan Marni.
Memang hebat bukan main serangan gadis
berpakaian biru ini Apalagi dilakukan dengan tiba-
tiba.
Untung, Siluman Tangan Maut sudah sejak
tadi bersikap waspada. Sehingga meskipun
serangan Marni tiba begitu cepat, dia mampu
bergerak lebih cepat lagi.
Wisanggeni menarik kaki kanannya ke
belakang, seraya mendoyongkan tubuh, sehingga
totokan-totokan itu mengenai tempat kosong.
Sejengkal di depan wajahnya.
Marni yang tengah diamuk dendam, tidak
berhenti sampai di situ saja. Begitu serangan
totokannya luput, kaki kanannya mencuat ke arah
perut, dengan sebuah tendangan lurus.
Kali ini Siluman Tangan Maut tidak
mengelak. Tapi menangkis dengan membacokkan
tangan kanannya ke bawah.
Takkk!
Terdengar suara berdetak keras seperti
beradunya dua buah benda keras, tatkala tangan
dan kaki yang sama-sama mengandung tenaga
dalam penuh itu berbenturan.
Marni meringis begitu merasakan kakinya
sakit bukan main. Gadis berpakaian biru ini
terhuyung-huyung dua langkah ke belakang.
Sekujur tubuhnya tergetar hebat. Sementara
Siluman Tangan Maut hanya tergetar saja kedua
tangannya.
"Keparat! Kenapa kau menyerangku, Gadis
Liar?!" bentak Wisanggeni seraya melempar tubuh
ke belakang, lalu bersalto beberapa kali di udara
sebelum mendarat ringan di tanah.
Sepasang mata gadis ini berapi-api
memandang Siluman Tangan Maut.
"Aku adalah murid musuh besarmu!"
tandas Marni, keras.
"Ooo..., jadi kau murid Suntara?" kalem
dan tenang suara Siluman Tangan Maut
''Tidak usah banyak bicara!" sergah Marni
keras. "Yang jelas, kau harus membayar semua
kekejianmu dengan nyawa!"
Setelah berkata demikian, Marni kembali
melancarkan serangan. Tubuh gadis berpakaian
biru ini melayang di udara, melancarkan
tendangan terbang.
Wisanggeni hanya tersenyum mengejek.
Dari benturan tadi, dia sudah bisa menebak kalau
tenaga dalamnya masih lebih unggul daripada
tenaga dalam Marni. Oleh karena itu, dia tidak
mau mengelak. Laki-laki berompi kuning ini
sengaja akan menggunakan kelebihannya untuk
mendesak gadis berpakaian biru ini.
Sebagai orang yang telah kenyang makan
asam garam dunia persilatan, dan puluhan
bahkan mungkin ratusan kali bertempur
menghadapi lawan tangguh, Wisanggeni dapat
menduga kalau tendangan terbang itu
kemungkinan besar akan datang beruntun. Maka,
dia pun bersiap siaga.
Dugaan laki-laki berompi kuning ini
ternyata tepat. Serangan Marni ternyata tidak
hanya sekali saja. Mula-mula yang datang lebih
dulu adalah kaki kanan, ke arah leher Wisanggeni.
Siluman Tangan Maut segera
menyilangkan kedua tangannya di depan wajah.
Tanpa ragu-ragu lagi, seluruh tenaga dalam yang
dimilikinya dikerahkan
Dukkk!
Saking kuatnya tendangan yang dilakukan
Marni, apalagi ditambah dengan tenaga
luncurnya, menyebabkan tenaga serangan itu jadi
berlipat ganda. Maka meskipun telah
mengerahkan seluruh tenaganya, tak urung kuda-
kuda Wisanggeni tergempur. Bahkan kedua
tangannya goyah.
Dan di saat itulah, kaki kiri Marni
meluncur tiba! Cepat bukan main datangnya
serangan yang kedua ini. Serangan ini memang
merupakan serangan beruntun. Tapi, masih lebih
cepat lagi gerakan Wisanggeni. Laki-laki berompi
kuning ini segera menghentakkan kedua
tangannya ke bawah.
Plakkk!
Marni meringis. Kaki kirinya terasa sakit
bukan main. Tangkisan yang dilakukan Siluman
Tangan Maut memang keras sekali. Meskipun
begitu, gadis ini masih sempat mempertunjukkan
kelihaiannya. Seraya mengeluarkan pekik
melengking nyaring, tubuhnya melenting ke
belakang. Bersalto beberapa kali di udara, dan
mendarat ringan tanpa suara di tanah, walaupun
agak terhuyung.
Terdengar suara gemeretak ketika Siluman
Tangan Maut menggertakkan gigi. Laki-laki
berompi kuning ini memang murka bukan main.
Maka begitu melihat Marni menghentikan
serangan, dia pun balas menyerang.
***
5
"Hiyaaa...!"
Sekali menyerang, Siluman Tangan Maut
sudah mengeluarkan ilmu andalannya,
'Tendangan Angin Puyuh'. Kaki kanannya
melakukan tendangan miring bertubi-tubi ke arah
perut, dada, dan leher. Cepat bukan main
tendangan beruntun itu. Angin serangannya pun
menimbulkan suara menderu-deru yang membuat
batu-batu kecil berpentalan tak tentu arah. Debu
pun mengepul tinggi ke udara.
Marni tidak berani bertindak gegabah.
Gadis berpakaian biru ini sadar kalau serangan
lawan amat berbahaya. Tambahan lagi dia belum
mengetahui perkembangan gerakan lawan. Maka
dia tidak berani menangkis. Marni langsung
melompat mundur ke belakang, sehingga
tendangan tadi mengenai tempat kosong.
Beberapa jengkal di depan tubuhnya.
Tapi Wisanggeni yang tengah murka, tidak
mau memberi kesempatan lagi. Begitu
serangannya berhasil dielakkan, dia pun kembali
melancarkan serangan susulan. Sesaat kemudian,
kedua tokoh ini sudah terlibat dalam sebuah
pertarungan sengit.
Tentu saja keributan yang terjadi, segera
mengundang perhatian anak buah Siluman
Tangan Maut. Sebentar saja tempat itu telah
dikurung belasan orang berwajah kasar. Tapi
mereka sama sekali tidak berani bertindak, kalau
tidak diperintah Wisanggeni.
Wuraji memperhatikan jalannya
pertarungan dengan perasaan cemas bukan main.
Di dalam dada pemuda berpakaian coklat ini
tengah terjadi pertentangan batin yang hebat.
Sungguh dia tidak menyangka kalau kakak
seperguruan yang belum pernah dilihatnya adalah
pembunuh ayah dan kakak-kakak
seperguruannya.
Hal inilah yang membuat pemuda
berpakaian coklat ini terpaku untuk beberapa saat
Tak tahu harus berbuat apa.
Sementara itu pertarungan antara Marni
dan Siluman Tangan Maut berlangsung cepat.
Kedua orang ini memang sama-sama memiliki
kecepatan gerak yang mengagumkan. Hal ini ini
tidak aneh. Karena Wisanggeni adalah murid
kesayangan tokoh sesat yang memiliki ilmu
meringankan tubuh luar biasa, dan berjuluk
Monyet Tanpa Bayangan. Begitu pula halnya
dengan Marni.
Karena pertarungan yang berjalan cepat
itulah, maka dalam waktu singkat tiga puluh jurus
telah berlalu. Dan mulai tampak kalau Marni
bukan tandingan Siluman Tangan Maut yang
memiliki kepandaian menggiriskan.
Marni terdesak hebat. Memang gadis
berpakaian biru ini kalah segala-galanya
dibanding lawannya. Kalah dalam hal tenaga
dalam, kecepatan gerak, maupun pengalaman
bertarung.
Lewat tiga puluh lima jurus, Marni hanya
mampu mengelak. Sesekali menangkis, dan hanya
kadang-kadang mengjrim serangan balasan.
"Haaat..!"
Marni berteriak keras. Dan seiring dengan
teriakannya, tubuhnya melenting jauh ke
belakang, lalu bersalto beberapa kali di udara.
Tapi Wisanggeni tidak mau memberinya
kesempatan. Begitu melihat tubuh lawannya
melenting, segera dia melompat mengejar. Siluman
Tangan Maut tidak mau memberi kesempatan
pada Marni untuk memperbaiki posisi.
Tapi kali ini Wisanggeni salah perhitungan.
Sambil bersalto, tangan Marni bergerak cepat ke
arah punggung. Dan begitu serangan yang
memburunya menyambar tiba, tahu-tahu pedang
gadis ini melesat cepat memapak.
Wisanggeni terkejut bukan main melihat
hal ini. Sebelum serangannya tiba, sudah dapat
dipastikan kalau tubuhnya akan terlebih dulu
tertembus pedang lawan. Oleh karena itu, buru-
buru serangannya dibatalkan.
Bukan hanya itu saja yang dilakukan laki-
laki berompi kuning ini. Seraya menarik pulang
serangannya, tubuhnya dilempar ke samping kiri,
sehingga sabetan pedang Marni mengenai tempat
kosong. Berbareng dengan itu, tangan kanannya
dikibaskan.
Takkk!
Pedang Marni terlempar jauh, ketika
tangan Wisanggeni mengenai pergelangan tangan
kirinya. Padahal kibasan tangannya hanya
menyerempet saja.
Wuraji tentu saja terperanjat melihat hal
itu. Kini pemuda berahang kokoh ini sudah
mengambil keputusan untuk membantu Marni.
Apa pun yang terjadi, dia harus membuat
perhitungan dengan orang yang telah membunuh
ayah dan kakak-kakak seperguruannya.
Tapi sebelum Wuraji menerjang, anak buah
Wisanggeni yang sejak tadi hanya mengurung,
tidak tinggal diam.
Srattt, srattt..!
Sinar-sinar menyilaukan berpendar tatkala
anak buah Siluman Tangan Maut mencabut
senjata masing-masing. Dan secepat senjata
mereka terhunus, secepat itu pula diayunkan ke
arah pemuda berpakaian coklat itu. Seketika itu
juga, hujan senjata berkelebatan ke arah berbagai
bagian tubuh Wuraji
Terpaksa pemuda berahang kokoh ini
mengurungkan niat hendak menolong Marni,
ketika melihat berkelebatannya senjata-senjata
lawan. Dengan gerakan yang lincah laksana kera,
Wuraji berhasil mengelakkan semua serangan.
Tubuhnya berkelebatan di antara hujan senjata
tajam yang mengancam berbagai bagian
tubuhnya.
Sebaliknya, setiap kali tangan atau kaki
putra Ketua Perguruan Kumbang Merah ini
bergerak, sudah dapat dipastikan ada yang
bergelimpangan di tanah tanpa nyawa.
Sebetulnya Wuraji tidak berniat
membunuh keroco-keroco seperti mereka. Tapi,
karena tahu lawan berjumlah banyak, dan lagi
keadaan Marni sudah mengkhawatirkan, maka
pemuda berpakaian coklat ini tidak mempunyai
pilihan lain lagi.
Suara jerit kematian terdengar susul-
menyusul mengiringi bertumbangannya tubuh-
tubuh tanpa nyawa.
Siluman Tangan Maut menggertakkan gigi
begitu melihat anak buahnya bertumbangan satu
persatu. Dan seiring dengan kemarahannya yang
bergolak, serangannya pun jadi kian dahsyat. Dan
akibatnya segera dirasakan Marni. Gadis
berpakaian biru ini merasakan serangan-serangan
Wisanggeni semakin tambah sulit dibendung.
Tentu saja Wuraji pun tahu keadaan yang
dialami Marni. Maka dia segera bergerak
menerobos kepungan, dan langsung melompat
menerjang musuh besarnya.
Begitu Wuraji ikut campur tangan,
keadaan langsung berubah. Kini Marni tidak
mengalami tekanan berat lagi. Malah sebaliknya,
Siluman Tangan Maut yang kerepotan.
Wuraji kini tidak sungkan-sungkan lagi
mengeluarkan seluruh kemampuannya. Yang ada
dalam benaknya hanya satu. Membalas dendam
kepada pembunuh ayah dan saudara-saudara
seperguruannya.
Wisanggeni menggertakkan gigi. Kini dia
harus mengerahkan seluruh kemampuan untuk
menghadapi kedua lawannya. Kepandaian kedua
orang muda itu tidak berselisih jauh dengannya.
Tapi, dia lebih menitikberatkan serangannya pada
Marni.
Memang pemuda berpakaian coklat itu
memiliki kepandaian yang tidak kalah dengan
Marni. Tapi, ada satu kekurangan pada Wuraji.
Semua ilmu yang dimilikinya, dimiliki Siluman
Tangan Maut. Dan dengan sendirinya Wisanggeni
tahu cara mengatasinya.
Berbeda dengan Marni. Gadis berpakaian
biru ini memiliki ilmu-ilmu yang sama sekali tidak
dikenalnya.
Itulah sebabnya mengapa Siluman Tangan
Maut lebih memperhatikan setiap serangan gadis
itu ketimbang serangan yang dikirim Wuraji
Begitu bertarung dengan Siluman Tangan
Maut, Wuraji baru sadar kalau ada beberapa ilmu
yang tidak dimilikinya. Di antaranya adalah
'Tendangan Angin Puyuh' yang merupakan ilmu
andalan Ular Kaki Seribu. Dan juga jurus 'Kera',
milik Monyet Tanpa Bayangan
Kini pemuda berpakaian coklat ini pun
sadar kalau guru-gurunya tidak menurunkan
seluruh ilmu-ilmu yang mereka miliki. Tapi Wuraji
tidak sempat memikirkan hal itu. Seluruh
pikirannya dipusatkan untuk merobohkan kakak
seperguruannya secepat mungkin
Hebat bukan main pertarungan antara
ketiga orang sakti itu. Suara angin menderu-deru
dan bercicitan terdengar meningkahi pertarungan.
Batu-batu kecil beterbangan tak tentu arah, dan
tanah terbongkar di sana-sini. Bahkan debu pun
mengepul tinggi ke udara.
Tapi lewat lima puluh jurus, Siluman
Tangan Maut mulai terdesak.
"Haaat...!"
Laki-laki berompi kuning berteriak keras
menggelegar. Sesaat kemudian, di tangan
kanannya telah tergenggam trisula yang tadi
ditancapkannya di tanah, sewaktu Marni
melompat menyerangnya. Tahu akan kelihaian
Wisanggeni, apalagi dengan senjata andalan di
tangan, Wuraji tidak berani bertindak ceroboh.
Cepat dia mengeluarkan senjata andalannya yang
berupa sepasang tombak pendek. Bahkan Marni
pun telah mengambil pedangnya yang tadi telah
terlempar ke tanah.
Pertarungan kembali terjadi. Kali ini lebih
seru dari sebelumnya, karena kedua belah pihak
telah mengeluarkan senjata andalan masing-
masing. Suara bercicitan, mendesing, dan
mengaung, menyemaraki pertempuran.
Semua anak buah Siluman Tangan Maut
yang sejak tadi sudah menyingkir, menjauhi
pertempuran, kini bergerak semakin menjauh.
Mereka khawatir terkena serangan nyasar.
Jangankan terkena telak, tersambar angin
serangannya saja sudah cukup untuk mengirim
nyawa mereka ke alam baka.
Pertarungan berlangsung cepat. Sehingga
tak terasa lima puluh jurus lagi telah berlalu. Dan
lagi-lagi, Wisanggeni harus menelan kenyataan
pahit. Dia tetap tidak mampu mengatasi lawan-
lawannya.
Semakin lama keadaan Siluman Tangan
Maut semakin terdesak. Kini dia hanya mampu
mengelak. Sesekali menangkis, dan hanya kadang-
kadang saja balas menyerang.
Wisanggeni menggertakkan gigi. Berusaha
menguras seluruh kemampuannya. Tapi karena
lawan terlalu kuat, semua yang dilakukannya
tetap saja tidak membuahkan hasil seperti yang
diharapkan. Laki-laki berompi kuning ini tetap
saja terdesak hebat
"Haaat..!"
Seraya mengeluarkan pekikan melengking
nyaring, Marni melompat ke atas. Dan laksana
seekor burung garuda menerkam mangsa, dari
atas, tubuhnya menukik deras ke bawah. Pedang
di tangannya ditusukkan cepat ke arah dada.
Hati Siluman Tangan Maut tersekat.
Apalagi pada saat yang sama, Wuraji juga
mengirim serangan tak kalah dahsyat. Sepasang
tombak pendek pemuda berpakaian coklat itu
berputaran, sebelum akhirnya menotok deras ke
arah ulu hati dan pusar.
"Hih...!"
Tanpa pikir panjang lagi, Wisanggeni
segera membanting tubuh di tanah, dan langsung
bergulingan menjauh.
Tapi Wuraji dan Marni mana mau
membiarkan musuh besar mereka lolos? Tanpa
membuang-buang waktu, mereka langsung
mengejar tubuh laki-laki berompi kuning itu. Dan
langsung menghujani dengan serangan-serangan
maut
Kini Siluman Tangan Maut jadi sibuk
mengelakkan serangan-serangan itu. Tidak ada
jalan lain lagi baginya untuk menyelamatkan
selembar nyawanya kecuali terus bergulingan di
atas tanah. Tapi, sampai berapa lama dia bisa
bertahan seperti ini?
Sebuah pemandangan menarik pun terlihat
Tubuh Siluman Tangan Maut yang terus
bergulingan. Sementara Wuraji dan Marni
berusaha keras menyarangkan serangan.
Menghujani tubuh yang bergulingan dengan
serangan-serangan mematikan.
Sambil terus bergulingan, Wisanggeni
memutar otaknya. Sebagai orang yang kenyang
pengalaman bertempur, laki-laki berompi kuning
ini sadar kalau dirinya berada dalam keadaan
berbahaya. Kemungkinan untuk terkena sasaran
serangan lawan, besar sekali. Dia harus cepat-
cepat membebaskan diri, kalau tidak ingin celaka.
Tapi, bagaimana caranya?
Sampai beberapa saat lamanya, Siluman
Tangan Maut terus bergulingan, sambil memutar
trisula di atas tubuh untuk melindungi selembar
nyawanya. Benaknya terus berputar untuk
mencari jalan agar bebas dari keadaan yang tidak
menguntungkan ini.
Desss!
Hati Siluman Tangan Maut tersekat ketika
sebuah tendangan Marni tepat mengenai
pergelangan tangannya. Tak pelak lagi, trisulanya
pun terlepas dari genggaman dan terlempar jauh.
Di saat itulah pedang di tangan gadis berpakaian
biru itu dan sepasang tongkat Wuraji menyambar
deras ke arah tubuhnya.
Sepasang mata Wisanggeni terbelalak
lebar. Dia sudah berada dalam posisi yang benar-
benar terjepit. Tidak ada jalan lagi baginya untuk
mengelak.
Tapi di saat gawat bagi keselamatan nyawa
Siluman Tangan Maut tiba-tiba berkelebat sosok
bayangan kuning keemasan dan hitam memapak
serangan itu.
Plakkk, plakkk...!
Terdengar suara benturan keras berkali-
kali, disusul dengan terlemparnya tubuh Wuraji
dan Marni ke belakang. Sekujur tubuh mereka
tergetar hebat. Dada pun terasa sesak bukan
main. Bahkan tangan yang terbentur itu bagaikan
patah-patah. Tanpa dapat dicegah lagi, senjata
mereka pun terlepas dari genggaman.
***
Wuraji dan Marni menatap dua sosok
tubuh yang berdiri membelakangi Siluman Tangan
Maut yang kini mulai bergerak bangkit. Seketika
wajah pemuda berahang kokoh itu memucat
begitu mengenali orang yang telah menggagalkan
serangannya dan Marni.
Betapa tidak? Di hadapan mereka telah
berdiri dua orang yang tak lain adalah Ular Kaki
Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan. Guru-
gurunya!
"Guru...," ucap Wuraji pelan seraya
bergerak memberi hormat
Kedua kakek itu hanya mendengus kasar.
"Untung kami tidak percaya penuh
padamu, Wuraji," Monyet Tanpa Bayangan yang
menyahuti. Nada suaranya terdengar datar. Tidak
ada nada penyesalan di dalamnya. "Kalau tidak,
Pati Gala sudah terbunuh."
''Tanpa kau ketahui, kami mengikuti
semua perjalananmu," sambung Ular Kaki Seribu.
"Kami lihat semua kelakuanmu yang benar-benar
mengecewakan kami. Seperti menolong
rombongan kereta berkuda."
Wuraji hanya diam. Kepalanya tertunduk
dalam. Sama sekali tidak membantah semua
ucapan kedua gurunya. Sementara Marni menatap
kedua kakek itu dengan sepasang mata penuh
selidik. Inikah guru-guru Wuraji? tanyanya dalam
hati
"Bagaimana ceritanya sehingga Guru bisa
salah memungut murid? Kedua orang ini punya
hubungan erat dengan orang yang telah
kubunuh!" Siluman Tangan Maut angkat suara.
"Karena kecerobohan kami juga," keluh
Monyet Tanpa Bayangan. "Untung saja ilmu-ilmu
andalan kami tidak diturunkan semua."
"Lalu..., apa yang akan Guru lakukan
terhadap murid murtad ini?" Wisanggeni ingin
tahu.
"Hanya mengambil kembali ilmu yang telah
kami wariskan kepadanya," jawab Ular Kaki
Seribu ringan.
Siluman Tangan Maut tampak gembira
bukan main. Sepasang matanya berbinar-binar.
Seulas senyum keji tersungging di mulutnya.
Sementara wajah Wuraji dan Marni berubah
pucat. Mereka tahu apa arti mengambil kembali
ilmu yang telah diberikan itu. Membuat pemuda
berahang kokoh ini menjadi orang cacat
Meskipun begitu, Wuraji sama sekali tidak
bersikap seperti hendak menentang atau melawan.
Dia tetap diam dengan kepala tertunduk. Tentu
saja Marni jadi cemas bukan kepalang melihat hal
ini
"Bersiaplah, Wuraji," ucap Ular Kaki Seribu
seraya melangkah maju. Nada suaranya terdengar
dingin. "Aku akan mengambil kembali ilmu yang
telah kami wariskan kepadamu."
"Silakan, Guru," sahut Wuraji dengan
suara bergetar.
''Tidak!" Terdengar suara bentakan tinggi
melengking, disusul dengan berkelebatnya sesosok
bayangan biru. Tahu-tahu di depannya,
membelakangi Wuraji, berdiri seorang gadis cantik
jelita, berwajah molek, dan bertubuh montok
menggiurkan.
"Siapa kau, Nisanak?!" tanya Ular Kaki
Seribu kalem. "Menyingkirlah, sebelum aku lupa
kalau kau hanya seorang gadis ingusan."
"Aku kawan Wuraji!" jawab Marni ketus.
"Dan aku tidak akan membiarkan kau melakukan
kekejaman terhadapnya!"
"Hm...," Ular Kaki Seribu hanya
menggumam pelan. Lalu menatap wajah gadis di
hadapannya lekat-lekat.
"Marni! Menyingkirlah...! Jangan campuri
urusanku...!" ujar Wuraji memberi nasihat
''Tidak!" bantah Marni tegas. "Aku tidak
akan menyingkir!"
Berkilat sepasang mata Ular Kaki Seribu.
Laki-laki berpakaian kulit ular ini memang
pemarah. Begitu melihat sikap keras kepala Marni,
kemarahannya bergolak seketika.
"Kau membuat kesabaranku habis, Wanita
Sial!" desis Ular Kaki Seribu. Tangan kanannya,
dengan jari-jari terbuka, mengarah ke ubun-ubun
Marni. Sebuah serangan keji! Sekali menyerang,
Ular Kaki Seribu telah bermaksud membinasakan
gadis berpakaian biru itu.
Cepat bukan main serangan itu. Angin
yang bercicitan tajam mengiringi tibanya
serangan. Tapi, Marni bukan seorang gadis lemah.
Gadis berpakaian biru ini tahu kalau lawan yang
dihadapinya kali ini adalah seorang yang memiliki
tingkat kepandaian amat tinggi. Maka sejak tadi
dia sudah bersiap siaga.
Oleh karena itu, begitu melihat serangan
maut Ular Kaki Seribu, Marni tidak menjadi
gugup. Cepat tubuhnya direndahkan, sehingga
serangan lawan lewat di atas kepalanya. Semula,
gadis berpakaian biru ini ingin melompat ke
belakang, tapi karena di belakangnya ada Wuraji,
maka niatnya diurungkan.
Wuttt..!
Angin bersiutan keras kembali terdengar,
begitu Ular Kaki Seribu melancarkan serangan
susulan. Kaki kanannya mencuat ke arah perut
Marni.
Tidak ada jalan mengelak lagi bagi Marni.
Gadis ini tahu jika dia mengelak, maka Wurajilah
yang akan terkena tendangan itu. Karena pemuda
berpakaian coklat itu memang berdiri tepat di
belakangnya. Maka gadis ini pun memaksakan diri
menangkis tendangan Ular Kaki Seribu dengan
kedua tangan yang disertai pengerahan seluruh
tenaga dalam.
Plakkk...!
Suara keras seperti beradunya dua batang
logam keras, terdengar. Marni meringis. Sekujur
tangannya terasa seperti patah-patah tulangnya.
Dadanya pun dirasakan sesak bukan main.
Bahkan bukan hanya itu saja. Tubuhnya pun
terlempar keras ke belakang, dan menabrak tubuh
Wuraji. Tak pelak lagi, sepasang muda-mudi itu
jatuh saling tumpang tindih.
Dan sebelum Marni sempat berbuat
sesuatu, Ular Kaki Seribu telah kembali
melancarkan serangan. Kaki kirinya menendang
ke arah kepala gadis itu.
Wuraji terperanjat ketika melihat bahaya
maut yang mengancam keselamatan gadis
berpakaian biru itu. Pemuda berpakaian coklat ini
tahu betul kedahsyatan tendangan laki-laki
bermuka kuda itu. Jangankan kepala manusia,
sebongkah batu karang yang keras pun akan
hancur lebur terkena tendangan itu.
Wuraji tidak bisa menahan diri lagi melihat
gadis yang diam-diam mulai memikat hatinya
terancam maut
"Guru...! Jangan...!" teriak Wuraji keras.
Dan dalam kekhawatiran yang amat sangat akan
keselamatan Marni, masih dalam keadaan
berbaring, Wuraji memapak tendangan gurunya
dengan tendangan kaki kanan juga.
Dukkk!
Dua buah kaki yang sama-sama
mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan.
Wuraji meringis, menahan sakit yang membuat
sekujur tulang-tulang kakinya seperti patah-
patah. Bukan hanya itu saja, tubuhnya pun
terjengkang ke belakang dan kembali bergulingan
di tanah. Meskipun begitu, akhirnya Marni
berhasil diselamatkan.
"Keparat! Kau berani melawanku, Murid
Murtad?!" Ular Kaki Seribu membentak keras.
Amarahnya menggelegak seketika melihat
muridnya berani menangkis serangannya.
"Jangan celakakan dia, Guru...," pinta
Wuraji memohon, seraya bangltit berdiri. Tampak
mulut pemuda ini menyeringai ketika berhasil
berdiri. Kaki kanannya tidak lagi menapak dengan
kokoh di tanah. Jelas kalau dia merasa kesakitan
akibat benturan tadi.
Ular Kaki Seribu yang tengah murka mana
mau mendengar ucapan muridnya. Sambil
memutar tubuh, kaki kanannya dikibaskan ke
arah kepala muridnya.
Tapi Wuraji sama sekali tidak berusaha
mengela atau menangkis. Untunglah di saat
terakhir, Marni cepat mencekal tangan pemuda itu
dan menariknya ke belakang.
***
6
Wusss...!
Kibasan Ular Kaki Seribu mengenai tempat
kosong. Lewat sejengkal di depan wajah Wuraji.
Rambut dan sekujur pakaian yang dikenakan
pemuda berahang kokoh itu berkibaran keras,
saking kuatnya tenaga dalam yang terkandung
dalam kibasan kaki tadi.
Ular Kaki Seribu meraung murka melihat
serangannya kembali lolos. Sambil mengeluarkan
suara teriakan keras menggelegar, kakek bermuka
kuda ini melompat menerjang. Ular Kaki Seribu
melompat tinggi di udara. Dan dari atas, tubuhnya
menukik deras bagaikan seekor burung garuda.
Kedua tangannya yang membentuk cakar
mengancam ubun-ubun Marni dan Wuraji.
"Kalau kau tidak mau menangkis, aku pun
tidak akan menangkis serangan itu, Wuraji," bisik
Marni tajam. "Biarlah aku mati penasaran di
tangan gurumu"
Wajah Wuraji berubah seketika mendengar
ucapan Marni. Terpaksa dia mengurungkan
niatnya yang hendak membiarkan serangan
gurunya. Rupanya dia tidak mau gadis berpakaian
biru itu tewas karena dirinya.
"Haaat..!"
Wuraji memekik melengking nyaring.
Tangan kanannya yang terkembang membentuk
cakar dihentakkan ke depan, menangkis serangan
tangan kiri Ular Kaki Seribu.
"Hyaaa...!" teriak Marni pula. Tangan
kanannya pun dihentakkan menangkis serangan
tangan kanan kakek bermuka kuda itu.
Prattt, prattt..!
Tubuh Wuraji dan Marni terjengkang ke
belakang, dan terbanting keras di tanah. Seluruh
tubuh mereka terasa sakit bukan main. Apalagi
tangan yang menangkis. Tangan itu terasa patah-
patah!
Tubuh Ular Kaki Seribu pun terpental balik
ke atas. Namun dengan manis, tubuhnya bersalto
beberapa kali di di udara kemudian mendarat di
tanah.
Dengan raut wajah beku, kakek bermuka
kuda ini menghampiri Wuraji dan Marni yang
masih belum mampu bangkit. Sekujur tubuh
sepasang muda-mudi itu terasa lemas. Seolah-
olah tidak bertulang sama sekali. Sementara Ular
Kaki Seribu telah siap menjatuhkan serangan
mematikan.
Wuraji dan Marni tidak bisa berbuat apa-
apa lagi selain pasrah menerima nasib. Kakek
bermuka kuda itu memang terlalu kuat untuk
mereka. Apabila pertarungan akan terjadi,
sepasang muda-mudi itu pasti akan kalah. Tapi
kalau saja Wuraji mau melawan sungguh-
sungguh, tidak akan semudah itu Ular Kaki Seribu
dapat merobohkan mereka berdua.
Namun sebelum Ular Kaki Seribu
menjatuhkan tangan maut, terdengar sebuah
seruan cukup keras yang menyindirnya.
"Sebuas-buasnya seekor harimau, belum
pernah kudengar memakan anaknya sendiri. Tapi
sekarang, aku melihat ada seorang guru yang
begitu tega hendak membunuh murid yang tidak
mau melawannya."
Ular Kaki Seribu menoleh ke arah asal
suara dengan wajah merah padam. Sepasang
matanya berkilat memancarkan hawa maut. Dia
ingin tahu, siapa orang yang telah berani
menyindirnya.
Dalam jarak sekitar lima tombak di
samping kirinya, berdiri dua sosok tubuh. Sosok
pertama adalah seorang pemuda berambut putih
keperakan dan berpakaian ungu. Sebuah guci
arak yang terbuat dari perak tersampir di
punggungnya.
Sedangkan sosok kedua adalah seorang
wanita berpakaian putih berambut panjang
terurai. Sebatang pedang tergantung di
punggungnya.
Sekali lihat saja, Ular Kaki Seribu tahu
kalau orang yang tadi menyindirnya adalah
pemuda berambut putih keperakan itu. Suara
yang tadi didengarnya, jelas-jelas suara seorang
lelaki. Oleh karena itu, perhatiannya lebih
dicurahkan pada pemuda berambut putih
keperakan.
Mendadak jantung kakek bermuka kuda
ini berdebar tegang, tatkala teringat pada seorang
tokoh yang menggemparkan dunia persilatan
belum lama ini. Tokoh itu mempunyai ciri-ciri
yang mirip dengan pemuda di hadapannya.
"Siapa kau, Keparat?! Mengapa
mencampuri urusanku?!" bentak Ular Kaki Seribu
keras.
"Aku Arya, orang yang kebetulan lewat.
Dan sudah jadi tekadku untuk ikut campur bila
melihat tindak kejahatan berlangsung di depan
mataku!" sahut pemuda berambut putih
keperakan yang tidak lain adalah Arya Buana alias
Dewa Arak.
"Hm..., kalau begitu, kaulah kiranya orang
berjuluk Dewa Arak, Manusia Usil?!" Ular Kaki
Seribu mulai yakin dengan dugaannya. Memang
telah menjadi rahasia umum kalau Dewa Arak
mempunyai nama asli Arya.
Tapi Dewa Arak sama sekali tidak tampak
marah mendengar ejekan itu. Bahkan pemuda
berambut putih keperakan ini diam-diam merasa
geli mendengar makian Ular Kaki Seribu.
"Julukan yang terlalu berlebihan, Kek,"
jawab Arya merendah. Masih tetap tersenyum.
"Orang lain boleh gentar mendengar
julukanmu, Dewa Arak. Tapi jangan harap kalau
aku, Ular Kaki Seribu akan gentar. Perlu kau
ketahui, Dewa Arak. Sudah lama aku menanti-
nanti kesempatan untuk bertarung denganmu!"
"Hhh...!" Arya menghela napas panjang.
Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan
kegembiraan menerima tantangan itu. Memang,
Dewa Arak sebenarnya tidak suka mencari
permusuhan. Kalau bisa, dia ingin agar setiap
masalah yang dihadapinya dapat diselesaikan
tanpa perkelahian. Apalagi pertumpahan darah.
Tapi kini, pertarungan pasti tidak bisa
dihindari lagi. Ular Kaki Seribu sudah tidak bisa
dicegah. Dewa Arak tahu kalau kakek bermuka
kuda ini memiliki kepandaian tinggi. Nama besar
kakek itu sebagai seorang tokoh kaum sesat yang
ditakuti, telah lama didengarnya. Dan tadi pun dia
telah menyaksikan sendiri kelihaian Ular Kaki
Seribu.
Sementara itu Monyet Tanpa Bayangan
dan Siluman Tangan Maut, begitu tahu kalau
pemuda berambut putih keperakan ini adalah
Dewa Arak, segera melangkah maju dan berdiri di
sebelah Ular Kaki Seribu. Nama besar Dewa Arak
telah lama mereka dengar, tapi baru kali inilah
mereka berkesempatan melihat tokoh muda yang
menggemparkan itu.
Arya yang telah dapat memperkirakan
kelihaian kakek bermuka kuda ini, segera
menjumput guci araknya. Kemudian dituangkan
ke mulut.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak
melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu
juga, ada hawa hangat yang merayap di perut
Arya. Kemudian bergerak naik ke atas kepala.
"Haaat..!"
Sambil berteriak melengking nyaring, Ular
Kaki Seribu menyerang Dewa Arak. Sekali
menyerang, kakek bermuka kuda ini sudah
menggunakan ilmu andalannya, 'Tendangan Angin
Puyuh'.
Ular Kaki Seribu membuka serangan
dengan sebuah tendangan lurus ke arah dada.
Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah
dengan langsung menangkis serangan itu. Tapi dia
ingin mengetahui kekuatan tenaga dalam lawan
lebih dahulu, agar bisa menangkis tanpa melukai,
bila ternyata tenaga dalam kakek itu berada di
bawahnya. Dan seperti biasanya, pemuda
berambut putih keperakan ini menggunakan jurus
'Delapan Langkah Belalang'.
Ular Kaki Seribu terkejut bukan main
tatkala melihat lawannya mendadak lenyap, dan
serangannya mengenai tempat kosong. Sesaat
lamanya kakek bermuka kuda ini kebingungan.
Baru ketika merasakan adanya sambaran angin
dari arah belakang, dia tahu kalau lawan berada
di belakang, dan tengah melancarkan serangan ke
arahnya.
Memang begitu telah berada di belakang
lawan, Dewa Arak segera melancarkan serangan
bertubi-tubi ke arah tengkuk.
Cepat bukan main serangannya. Tapi,
gerakan Ular Kaki Seribu pun tidak kalah cepat.
Segera tubuhnya dirundukkan, sehingga serangan
Arya mengenai tempat kosong. Pada saat yang
bersamaan, kaki kanannya menyapu kaki Dewa
Arak sambil memutar tubuh.
"Hih...!"
Arya menjejakkan kakinya. Sesaat
kemudian tubuhnya melenting ke udara. Dan dari
atas, kedua tangannya meluncur cepat ke arah
kepala lawan.
Hebat bukan main serangan Dewa Arak.
Apalagi datangnya begitu mendadak. Tapi, Ular
Kaki Seribu kembali menunjukkan kalau dirinya
adalah seorang pentolan tokoh sesat. Tiba-tiba
kakek bermuka kuda ini menghempaskan
tubuhnya. Dan dengan bertumpu pada punggung,
tubuhnya berputar. Sesaat kemudian kakinya
telah bergerak menangkis serangan Arya.
Plakkk, plakkk...!
Dengan bantuan tenaga benturan, Dewa
Arak melenting ke udara. Tubuhnya bersalto
beberapa kali sebelum mendarat beberapa tombak
dari tempat semula. Pada saat yang bersamaan,
Ular Kaki Seribu pun telah bangkit berdiri. Kini
kedua tokoh sakti ini saling tatap dalam jarak tiga
tombak.
Arya menatap Ular Kaki Seribu penuh
takjub. Kini dia mengerti mengapa kakek bermuka
kuda ini mendapat julukan seperti itu. Kecepatan
gerak, dan kedahsyatan kakinya memang luar
biasa!
"Kau hebat Dewa Arak," puji Ular Kaki
Seribu seraya menatap tajam wajah Arya.
"Kaulah yang hebat Ular Kaki Seribu," Arya
balas memuji sejujurnya. "Aku harap kau sudi
mengalah dan membiarkan kedua orang muda itu
pergi dari sini."
"Mereka harus mati!" terdengar suara
bentakan keras menggelegar. Dan sebelum gema
suara itu lenyap, sesosok tubuh berompi kuning,
telah berdiri di sebelah Ular Kaki Seribu.
Monyet Tanpa Bayangan pun tak mau
ketinggalan. Segera kakek berpakaian kulit
beruang ini melangkahkan kaki menghampiri. Dan
sesaat kemudian, telah berdiri di sebelah Ular
Kaki Seribu dan Wisanggeni
***
Dewa Arak mengernyitkan dahinya.
Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau
keadaan menguntungkan pihak lawan. Sekali lihat
saja Arya tahu kalau kedua orang yang berada di
sebelah Ular Kaki Seribu, memiliki kepandaian
tinggi. Sorot mata mereka yang mencorong tajam,
merupakan salah satu buktinya.
Seandainya hanya dia dan Melati yang ada
di situ, tidak jadi persoalan bagi Dewa Arak untuk
menghadapi ketiga orang ini. Tapi, karena di situ
masih ada Wuraji dan Marni yang tengah
membutuhkan pertolongan, sementara kedua
orang itu tengah terluka, membuat Arya harus
berpikir dua kali.
"Melati..., selamatkan kedua orang muda
itu.... Biar aku yang menahan mereka...," pesan
Dewa Arak pada Melati dengan menggunakan ilmu
mengirim suara dari jauh.
Gadis berpakaian putih itu rupanya
mengerti maksud tunangannya. Menyadari posisi
lawan yang lebih menguntungkan. Maka tanpa
menunggu disuruh dua kali, Melati melesat cepat
ke arah Wuraji dan Marni.
"Hei...!"
Siluman Tangan Maut terperanjat. Cepat
laksana kilat, tubuhnya berkelebat memburu
tubuh Melati yang telah melesat lebih dulu.
Kejadian seperti ini sudah diperhitungkan
sebelumnya oleh Arya. Maka tanpa membuang-
buang waktu lagi, kedua tangannya segera
dihentakkan ke depan. Memapak tubuh
Wisanggeni.
Wusss...!
Angin keras berhawa panas menyengat,
meluncur ke arah tubuh Siluman Tangan Maut.
Laki-laki berompi kuning ini kaget bukan main.
Terpaksa maksudnya dibatalkan untuk memburu
Melati. Kemudian melempar tubuhnya ke samping
menghindari serangan Dewa Arak. Dan
bergulingan di tanah.
Brakkk...!
Sebatang pohon sebesar dua pelukan orang
dewasa tumbang seketika. Suara hiruk-pikuk
terdengar mengbingi robohnya pohon itu ke tanah.
Batangnya hangus. Sementara daun-daunnya layu
mengering.
Dengan wajah sepucat mayat, Wisanggeni
bangkit berdiri. Keringat sebesar biji-biji jagung
membasahi wajahnya. Meskipun begitu, sorot
kelegaan memancar dari sepasang matanya. Lega
karena telah berhasil lolos dari maut
Bukan hanya Siluman Tangan Maut yang
terkejut melihat kedahsyatan pukulan jarak jauh
Dewa Arak. Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa
Bayangan pun terperanjat. Sungguh tidak mereka
sangka kalau pemuda berambut putih keperakan
itu memiliki pukulan jarak jauh yang begitu
menggiriskan.
Sementara Melati sudah langsung
memanggul tubuh Marni yang sudah terkulai tak
berdaya.
"Mari kita pergi...!" seru gadis berpakaian
putih itu pada Wuraji, seraya melesat dari situ.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Wuraji yang tengah dilanda perasaan bingung ini
segera berkelebat menyusul Melati.
Tapi anak buah Siluman Tangan Maut
tidak tinggal diam. Cepat mereka mencegat lari
Melati dan Wuraji. Gadis berpakaian putih yang
tengah diburu waktu ini tidak bertindak tanggung-
tanggung lagi. Segera tangan kanannya bergerak.
Dan sesaat kemudian di tangan gadis ini telah
tergenggam sebatang pedang.
Secepat pedang keluar dari sarungnya,
secepat itu pula Melati menggerakkannya.
Wunggg...!
Terdengar suara menggerung keras seperti
di dalam pedang itu ada naga yang tengah murka.
Dan sesaat kemudian, suara jerit kematian
terdengar susul-menyusul. Tubuh-tubuh tak
bernyawa pun berjatuhan satu persatu.
Melati dan Wuraji bahu-membahu
berjuang membuka jalan untuk bisa lolos dari
tempat itu. Pedang di tangan Melati dan sepasang
tombak pendek di tangan Wuraji berkelebatan
cepat mencari sasaran. Setiap kali pedang atau
tombak mereka bergerak, sudah dapat dipastikan,
ada nyawa yang terlepas dari badan.
Sementara di arena lain, Dewa Arak tengah
berjuang keras menghadapi lawan-lawannya.
Pemuda berambut putih keperakan ini memang
sengaja menahan ketiga orang lawannya dalam
usaha mencegah mereka mengejar tunangannya
menyelamatkan sepasang muda-mudi itu.
Monyet Tanpa Bayangan dan Siluman
Tangan Maut yang semula hendak mengejar
Melati, jadi membatalkan maksudnya. Beberapa
kali usaha mereka untuk mengejar dihambat oleh
Dewa Arak. Mau tidak mau hal itu membuat
mereka geram. Dan kegeraman itu pun
dilampiaskan pada pemuda yang telah
menghalangi tindakan mereka.
Setelah kini tiga orang lawannya
memusatkan perhatian menghadapinya, baru
terasa oleh Dewa Arak betapa hebatnya
kepandaian mereka. Masing-masing lawan punya
keistimewaan sendiri-sendiri.
Ular Kaki Seribu dengan keistimewaan
kakinya. Monyet Tanpa Bayangan dengan
keistimewaan ilmu meringankan tubuhnya.
Sementara Siluman Tangan Maut, tak kalah lihai
dari kedua orang itu. Karena laki-laki berompi
kuning ini justru memiliki gabungan keistimewaan
kedua gurunya. Gerakan kaki yang menggiriskan,
dan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa.
Dewa Arak menggertakkan gigi. Pemuda
berambut putih keperakan ini telah mengeluarkan
seluruh kemampuan yang dimilikinya.
Mengerahkan ilmu 'Belalang Sakti' sampai ke
puncaknya.
Pada jurus-jurus awal, Dewa Arak masih
mampu mengimbangi. Tapi menginjak jurus
kelima belas, dia mulai terdesak. Serangan-
serangan ketiga lawannya datang susul-menyusul
bagaikan ombak di lautan.
Menginjak jurus ke dua puluh, Dewa Arak
hanya dapat mengelak. Sesekali menangkis. Tapi
hampir tidak pernah menyerang. Arya sama sekali
tidak diberi kesempatan untuk menyerang.
Pemuda berambut putih keperakan ini terus
didesak.
Untung saja Dewa Arak memiliki langkah
ajaib jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Sehingga
beberapa kali, di saat kritis, masih berhasil
menyelamatkan selembar nyawanya.
Sambil terus mengelakkan setiap serangan
yang datang, Arya menyempatkan diri melihat
Melati dan Wuraji. Lega hatinya tatkala melihat
kedua orang itu telah berhasil meloloskan diri.
"Hih...!"
Arya memekik nyaring. Dan berkat
keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', yang membuat
pemuda ini dapat melakukan gerakan yang
bagaimanapun sulitnya. Dewa Arak melentingkan
tubuh menerobos kepungan. Dan kemudian
melesat meninggalkan tempat itu. Arya memang
tidak ingin mencari keributan dengan mereka.
Cepat sekali gerakan Dewa Arak. Tapi
masih lebih cepat lagi gerakan Monyet Tanpa
Bayangan. Tubuhnya melesat ke depan. Cepat
bukan main gerakannya. sehingga yang terlihat
hanya sekelebatan bayangan hitam yang melesat
melewati Dewa Arak.
Tapi Arya sudah memperhitungkan hal ini.
Maka begitu melihat bayangan hitam melesat,
memotong arus lompatannya, segera dia
menghentakkan kedua tangannya ke depan. Inilah
jurus 'Pukulan Belalang'
Wussss...!
Angin keras berhawa panas menyengat,
meluncur ke arah Monyet Tanpa Bayangan. Tapi,
kakek berpakaian kulit beruang ini dengan mudah
mengelak. Ringan laksana seekor kera, tubuhnya
melenting ke atas, menghindari pukulan jarak
jauh Dewa Arak.
Kesempatan yang hanya sekejap itu
dipergunakan sebaik-baiknya oleh Arya. Begitu
kedua kakinya mendarat di tanah, secepat itu pula
tubuhnya berkelebat meninggalkan lawan-
lawannya.
Anak buah Siluman Tangan Maut yang
hanya tinggal beberapa orang saja, tidak berani
menghalangi Dewa Arak. Mereka semua telah
melihat sendiri kelihaian pemuda berambut putih
keperakan itu. Dan mereka tidak mau mencari
celaka sendiri.
Ular Kaki Seribu dan Siluman Tangan
Maut tentu saja tidak membiarkan Dewa Arak
lolos. Cepat mereka bergerak mengejar. Bahkan
hingga Arya telah berada di luar pun mereka terus
memburu. Monyet Tanpa Bayangan juga bergerak
mengejar.
Tapi, karena Dewa Arak telah cukup jauh
meninggalkan mereka, tambahan lagi ilmu
meringankan tubuh mereka berada di bawah
Dewa Arak, maka walaupun telah berusaha sekuat
tenaga, tetap saja ketiganya tidak mampu
mengejar. Jangankan mengejar, memperpendek
jarak pun tidak mampu! Bahkan jarak di antara
mereka semakin jauh.
Terpaksa mereka menghentikan
pengejaran, dan membiarkan tubuh Arya lenyap di
kejauhan.
Dengan langkah lunglai Ular Kaki Seribu,
Monyet Tanpa Bayangan dan Siluman Tangan
Maut kembali ke markas.
***
7
"Kang...," sebuah suara yang amat dikenal
Arya, membuat Dewa Arak menghentikan larinya.
Kepalanya lalu ditolehkan ke arah rerimbunan
semak yang berada di sebelah kanan. Tempat asal
suara panggilan.
Dari balik rerimbunan semak, tahu-tahu
muncul sosok tubuh ramping dari seorang gadis
berpakaian putih dan berambut panjang. Siapa
lagi kalau bukan Melati.
"Bagaimana dengan lawan-lawanmu,
Kang?" tanya Melati begitu Arya menghampirinya.
"Kutinggalkan...," sahut Arya kalem seraya
mengedipkan sebelah mata pada tunangannya.
Seketika itu juga, apa yang akan
diucapkan Melati buyar. Mulut gadis ini pun
merengut. Tapi sepasang matanya sama sekali
tidak menampakkan kemarahan. Karena memang
dia tidak marah. Justru bahagia.
Melati tahu, Arya menggodanya. Dan itu
bukan untuk yang pertama kalinya. Pemuda
berambut putih keperakan itu sudah seringkali
menggodanya, dengan mengedipkan sebelah mata.
Anehnya, dia sendiri senang digoda seperti itu.
Malah menginginkan kekasihnya itu menggodanya
lagi
Tapi tentu saja bila keadaan
memungkinkan. Tidak seperti sekarang ini. Di situ
masih ada Marni dan Wuraji. Tapi itulah Arya!
Pemuda ini selalu mengedipkan matanya bila
sedang timbul keinginan menggodanya. Sekalipun
ada orang lain, dia akan mempergunakan
kesempatan sebaik-baiknya tatkala orang itu
lengah.
"Mengapa kau tinggalkan?!" tanya Melati
dengan suara ketus yang dibuat-buat
"Aku tidak punya urusan dengan mereka,
Melati," sahut Arya. "Lagi pula..., aku tidak tahu
ada urusan apa antara kedua orang muda ini
dengan mereka."
Melati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dia telah tahu betul sifat Arya. Pemuda ini tidak
pernah ikut campur dalam urusan orang lain,
kalau tidak benar-benar terpaksa.
"O ya, bagaimana keadaan mereka,
Melati?" tanya Dewa Arak begitu teringat pada
sepasang muda-mudi yang baru saja mereka
tolong. "Apakah keadaan mereka
mengkhawatirkan?"
Melati menggelengkan kepalanya.
''Yang terluka agak parah hanya yang
wanita. Sementara kawannya tidak," sahut Melati
memberi tahu seraya melangkah menerobos
semak semak.
Sesaat kemudian, Arya telah melihat
sepasang muda-mudi itu. Tampak oleh Dewa
Arak, gadis berpakaian biru tengah bersemadi.
Mencoba mengobati luka dalamnya. Sementara
laki-laki berpakaian coklat berdiri tak jauh
darinya. Berjaga-jaga jika ada sesuatu yang tidak
diinginkan datang secara tiba-tiba.
Begitu mendengar adanya suara langkah-
langkah kaki yang mendekat, Wuraji segera
menoleh. Sikapnya nampak waspada. Bahkan
wajahnya teriihat tegang. Tapi, begitu tahu siapa
yang datang, dia menganggukkan kepalanya
sambil melempar senyum.
Arya pun balas tersenyum.
"Bantulah gadis itu mengobati luka
dalamnya, Melati," ucap pemuda berambut putih
keperakan itu pada kekasihnya.
Melati menganggukkan kepalanya,
kemudian menghampiri Marni. Tanpa bicara apa-
apa, gadis berpakaian putih ini segera duduk
bersila di belakang Marni. Kemudian
menempelkan kedua tangannya ke punggung
gadis berpakaian biru itu. Menyalurkan tenaga
dalamnya secara perlahan-lahan. Berusaha
membantu Marni mengobati luka dalamnya.
***
Melihat Melati telah mulai membantu
Marni mengobati luka dalamnya, Dewa Arak
segera mendekati Wuraji. Pemuda berpakaian
coklat ini sejak tadi hanya termenung saja.
Dahinya tampak berkernyit dalam. Jelas, ada
sesuatu yang menggelisahkan batinnya. Bahkan
tadi, sehabis mengangguk dan tersenyum, pemuda
ini kembali termenung.
"Ehm...!"
Arya mendehem sebentar, untuk menarik
perhatian pemuda berpakaian coklat itu. Dan cara
yang dilakukan pemuda ini memang terbukti
ampuh. Wuraji menoleh, menatap Dewa Arak
seraya melempar senyum.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa
Arak," ucap pemuda berpakaian coklat ini pelan.
"Lupakanlah, Kisanak. Bukankah sudah
merupakan kewajiban kita untuk saling tolong-
menolong antar sesama manusia?" sahut Arya
kalem. "O ya, siapa namamu?"
"Wuraji," jawab pemuda berpakaian coklat
itu. Masih pelan suaranya. Pelan dan tidak
bersemangat.
"Aku Arya Buana." Dewa Arak balas
memperkenalkan diri
"Aku sudah tahu," sahut Wuraji kalem.
"O ya?!" Arya agak kaget juga. Tapi sesaat
kemudian, dia sudah bisa menduga dari mana
pemuda berpakaian coklat ini mengetahui
namanya. "Pasti Melati yang memberi tahu."
Wuraji menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu..., panggillah aku dengan
namaku saja," pinta pemuda berambut putih
keperakan itu. "Arya. Jangan Dewa Arak."
"Baiklah, Arya." Wuraji mengalah.
Suasana menjadi hening sejenak ketika
Wuraji menghentikan ucapannya.
"Kalau boleh kutahu..., mengapa kau
terlibat perkelahian dengan orang-orang yang
berada di bangunan tadi?" tanya Arya setelah
beberapa saat lama nya terdiam.
"Hhh...!" Wuraji menghela napas berat
Sementara Dewa Arak tetap diam. Sabar
menunggu pemuda berpakaian coklat itu
menjawab pertanyaannya. Sepasang matanya
menatap sekujur wajah Wuraji.
Tak terasa putra tunggal Ketua Perguruan
Kumbang Merah ini bergidik. Sepasang mata Dewa
Arak begitu mencorong tajam dan bersinar
kehijauan. Laksana mata seekor harimau dalam
gelap! Wuraji tidak bisa membayangkan, sampai di
mana ketinggian ilmu pemuda di hadapannya ini.
Tadi sempat dilihatnya dua orang guru berikut
kakak seperguruannya, telah mengeroyok pemuda
ini. Tapi Dewa Arak masih mampu menyelamatkan
diri. Luar biasa!
Tanpa ragu-ragu, Wuraji menceritakan
semuanya. Semenjak kejadian yang menimpa
perguruan ayahnya sampai dia dan Marni
diselamatkan Dewa Arak. Tidak lupa Wuraji
menceritakan sepak terjang Siluman Tangan Maut
yang kejam. Meskipun hal itu hanya didengarnya
dari mulut Marni.
Arya mendengarkan semua cerita Wuraji
penuh perhatian. Tak sedikit pun pemuda
berambut putih keperakan ini menyelak, sampai
pemuda berpakaian coklat ini selesai bercerita.
Kening Dewa Arak berkernyit ketika Wuraji
me-yelesaikan ceritanya. Jelas ada sesuatu yang
dipikirkannya. Dan memang dia tengah berpikir
keras.
"Itulah yang sejak tadi membuatku
bimbang, Arya. Aku mgin membalaskan
dendamku pada Siluman Tangan Maut yang telah
membunuh ayah dan seluruh kakak
seperguruanku. Tapi, guru-guruku membela dia.
Tak mungkin aku melawan mereka yang telah
susah payah mendidikku selama sepuluh tahun.
Aku tidak ingin jadi murid murtad, Arya."
"Siluman Tangan Maut?!" Arya
mengerutkan alisnya. Tampak jelas kalau pemuda
berambut putih keperakan ini terperanjat.
Memang Dewa Arak telah mendengar sepak
terjang tokoh yang berjuluk Siluman Tangan
Maut. Seorang tokoh jahat dan kejam, yang
memiliki tingkat kepandaian tinggi.
"Di antara tiga orang di gedung itu,
manakah yang berjuluk Siluman Tangan Maut,
Wuraji?" tanya Arya. Meskipun sebenarnya dia
sudah bisa menduga, kalau yang berjuluk
Siluman Tangan Maut itu adalah orang yang
memakai rompi kuning. Karena dialah orang
termuda di antara mereka. Sementara yang dua
orang lagi telah berusia lanjut. Jadi, kemungkinan
besar kedua orang itu adalah guru-guru Wuraji.
"Orang yang berompi kuning," sahut Wuraji
lirih.
"Jadi, kedua orang kakek yang sakti tadi
adalah guru-gurumu?" tanya Arya.
Wuraji menganggukkan kepalanya.
"Pantas mereka begitu lihai," desah Arya.
"Arya...."
"Ada apa, Wuraji?" tanya Dewa Arak seraya
menoleh ke arah pemuda tampan berahang kokoh
di sebelahnya.
"Bagaimana menurutmu, Arya?" Wuraji
meminta pendapat "Apakah aku harus melupakan
dendamku? Aku berada dalam pilihan yang sangat
sulit, Arya. Kalau tidak membalas, rasanya terlalu
enak bagi orang sekejam Siluman Tangan Maut
kubiarkan begitu saja. Membalas pun bingung
juga. Tak mungkin aku melawan guruku sendiri."
"Aku ada jalan, Wuraji," ucap Arya setelah
sekian lamanya termenung.
"Katakanlah, Arya. Bagaimana caranya?"
tanya Wuraji penuh gairah.
"Kau dan Marni yang menghadapi Siluman
Tangan Maut. Sementara guru-gurumu, biar aku
dan Melati yang akan mengurus."
"Tapi, Arya...." Wuraji masih mencoba
membantah.
"Sudahlah, Wuraji," potong Arya. "Nanti,
setelah Marni sembuh dari luka-lukanya, kita
menyerbu kediaman Siluman Tangan Maut. Orang
seperti dia harus cepat-cepat dilenyapkan dari
muka bumi."
Wuraji tak bisa membantah lagi. Pemuda
berpakaian coklat ini terdiam. Dan dengan
sendirinya, suasana pun jadi hening karena Dewa
Arak sendiri tidak berkata apa-apa lagi. Kini, baik
Arya maupun Wuraji mengalihkan perhatian pada
Melati dan Marni yang tengah sibuk mengobati
luka dalam.
"Cukup, Melati," ucap Marni seraya
menghentikan semadinya. "Terima kasih atas
bantuanmu."
Melati pun segera menarik tangannya
kembali. Dan begitu Marni bangkit gadis
berpakaian putih ini pun bangkit berdiri.
Arya dan Wuraji tersenyum lebar.
"Bagaimana, Marni?" tanya Wuraji lirih
seraya menatap wajah molek gadis berpakaian
biru itu.
Marni tersenyum lebar. Rupanya gadis
berpakaian biru ini telah sembuh dari luka
dalamnya.
"Nanti malam kita menyerbu kediaman
Siluman Tangan Maut" ucap Wuraji memberi tahu.
"Benarkah itu, Kang?" tanya Marni seraya
menatap wajah Wuraji lekat-lekat
Perlahan kepala Wuraji mengangguk.
"Lalu kedua gurumu?" tanya Marni lagi.
Nada ucapan dan suaranya menyiratkan perasaan
gentar. Dan memang sebenarnya Marni merasa
gentar bukan main. Dia telah merasa kan sendiri
kehebatan guru Wuraji yang bermuka kuda.
"Dewa Arak dan Melati yang akan
menghadapi mereka," jelas Wuraji lagi.
"Ah...!" Marni terkejut bukan main. Tapi
rasa terkejut bercampur gembira. "Benarkah itu,
Melati?"
Gadis berpakaian biru itu merasa risih
bertanya pada Arya. Oleh karena itu dia bertanya
pada Melati. Tentu saja gadis berpakaian putih
yang tidak tahu apa-apa itu jadi gelagapan. Sesaat
lamanya gadis ini melongo. Baru setelah tersadar,
Melati menoleh ke arah Arya.
Dewa Arak menjadi geli melihat kekasihnya
bingung. Meskipun telah berusaha menahan, tapi
tetap saja seulas senyum geli terpampang di
wajahnya. Dan masih dengan senyum di bibir,
pemuda berambut putih keperakan ini
menganggukkan kepala. Dan tak lupa
mengedipkan sebelah matanya.
Melati merengut melihat Arya masih
sempat menggodanya. Tapi dia tidak bisa berlama-
lama begitu, karena Marni masih menunggu
jawabannya.
"Eh..., nggg.... Ya. Ya benar...," Melati
menyahut agak tergagap.
Mendengar jawaban itu, seketika wajah
Marni berseri-seri.
***
Suara kepak kelelawar memecahkan
keheningan malam sepi yang hanya dihiasi bulan
sepotong di langit. Angin dingin yang berhembus,
dan sesekali agak keras, terasa menusuk sampai
ke tulang. Dalam suasana malam seperti ini, orang
rasanya akan lebih suka berdiam diri di rumah.
Tapi rupanya ada juga orang yang
berkeliaran dalam suasana malam seperti ini.
Terbukti dengan berkelebatannya empat sosok
bayangan. Gerakan mereka rata-rata cepat.
Pertanda kalau keempat orang itu memiliki ilmu
meringankan tubuh yang tidak rendah.
Empat sosok bayangan itu bergerak cepat
menuju sebuah bangunan yang besar dan megah.
Bangunan yang memiliki halaman luas dan
terkurung pagar tembok tinggi.
Tapi ternyata tingginya tembok pagar tidak
bisa menghambat masuknya empat sosok
bayangan itu. Dengan mudah, indah, dan manis
keempat sosok bayangan itu melompati pagar
tembok. Sesaat kemudian keempat orang itu telah
berada di halaman.
Baru saja orang terakhir mendaratkan
kedua kakinya di tanah, terdengar bentakan keras
menggelegar.
"Hei...! Siapa kalian...?!"
Seiring dengan lenyapnya gema suara
bentakan, tiba-tiba di hadapan empat sosok
bayangan itu berdiri belasan sosok tubuh
bersenjata tajam. Dan langsung mengepung.
Hebatnya, empat sosok bayangan itu sama
sekali tidak merasa gugup melihat hal ini. Bahkan
sebaliknya, para pengepungnya itulah yang
merasa kaget begitu melihat jelas wajah empat
sosok yang mereka kurung. Mereka mengenali
empat sosok bayangan itu karena empat orang
itulah yang siang tadi telah menyerbu dan telah
menimbulkan banyak korban di antara mereka.
Empat sosok bayangan itu memang tidak
lain dari Dewa Arak, Melati, Marni, dan Wuraji.
Marni dan Wuraji tanpa membuang-buang
waktu lagi segera mencabut senjata andalannya,
dan langsung menerjang para pengepung. Mau
tidak mau, anak buah Siluman Tangan Maut
terpaksa melayani.
Tranggg, tranggg, tringgg...!
Dentang suara senjata beradu kontan
mengusik keheningan malam begitu senjata-
senjata mereka sating berbenturan. Bunga-bunga
api pun memercik ke udara.
Marni dan Wuraji bertindak tidak kepalang
tanggung. Pedang di tangan Marni dan sepasang
tombak pendek di tangan Wuraji berkelebatan
cepat mencari sasaran.
Suara jerit kematian terdengar susul-
menyusul mengiringi robohnya tubuh-tubuh tanpa
nyawa di tanah. Roboh dan tidak pernah bangkit
lagi untuk sdama-lamanya. Memang Wuraji dan
Marni tidak bermaksud untuk memberi ampun
pada lawan-lawannya. Setiap serangan mereka
selalu mengandung hawa kematian,
Dewa Arak mengernyitkan alisnya melihat
tindakan Wuraji dan Marni. Pemuda berambut
putih keperakan ini memang tidak mau
membunuh lawan kecuali kalau memang terpaksa
sekali. Sementara yang dilihatnya kini, Wuraji dan
Marni enak saja menyebar maut. Dalam waktu
sebentar saja hanya tinggal beberapa orang saja
yang tersisa. Dan tentu saja mereka merupakan
sasaran empuk buat Marni dan Wuraji. Sesaat
kemudian, sisa gerombolan itu menjerit
memilukan. Roboh di tanah dengan nyawa
teriepas dari raga.
Marni menyeka batang pedang yang penuh
berlumuran darah dengan pakaian salah seorang
pengeroyok. Kemudian menyarungkan pedangnya
kembali.
Dewa Arak hanya bisa menggeleng-
gelengkan kepalanya melihat mayat-mayat yang
bergeletakan di sana-sini. Tapi hal itu tidak lama.
Karena Marni dan Wuraji sudah bergerak cepat
menuju ke dalam. Arya tidak bisa membiarkan
sepasang muda-mudi itu mengantar nyawa
menghadapi Siluman Tangan Maut dan kedua
orang gurunya. Oleh karena itu, pemuda be-
rambut putih keperakan ini segera menyusul,
diiringi Melati.
Dengan langkah gagah, Wuraji dan Marni
melangkah ke dalam. Tapi langkah keduanya
langsung terhenti ketika pandang mata mereka
tertumbuk pada tiga sosok tubuh yang berdiri
menghadang. Dan tak terasa sepasang muda-mudi
ini melangkah mundur begitu mengenali tiga
sosok di hadapan mereka. Siapa lagi kalau bukan
Siluman Tangan Maut Ular Kaki Seribu, dan
Monyet Tanpa Bayangan?
Dewa Arak dan Melati segera melangkah
maju. Kini mereka berdiri di kanan kiri Wuraji dan
Marni. Dengan tenang Arya memperhatikan ketiga
orang itu. Kemudian menjumput guci arak yang
berada di punggung, lalu menuangkan ke mulut
Gluk.. gluk... gluk...
Terdengar suara tegukan ketika arak
melewati kerongkongan Dewa Arak Seketika itu
juga ada hawa hangat menyebar di dalam
perutnya. Kemudian perlahan-lahan hawa hangat
itu naik ke atas kepala.
"Kali ini kalian tidak akan kubiarkan lolos!"
desis Ular Kaki Seribu tajam. Nada suaranya sarat
dengan ancaman. "Terutama sekali kau, Murid
Murtad!"
Tanpa sadar Wuraji melangkah mundur
mendengar ucapan gurunya. Apalagi ketika kakek
berpakaian kulit ular itu menudingkan telunjuk ke
arahnya begitu ucapannya selesai. Wajah pemuda
tampan berahang kokoh ini seketika pucat pasi.
Bukan karena takut menghadapi kematian. Tapi
karena tidak ingin menjadi murid murtad yang
menentang guru sendiri.
Marni tahu perasaan yang bergolak di hati
Wuraji. Segera dia mengulurkan tangannya.
Kemudian menggenggam tangan pemuda
berpakaian coklat itu erat-erat. Meskipun untuk
melakukan itu gadis berpakaian biru ini harus
berjuang keras memerangi perasaan malunya.
Wuraji menoleh. Pemuda berpakaian coklat
ini bukan orang bodoh. Tentu saja dia tahu
maksud Marni melakukan itu. Maka dia pun
memberikan senyum penuh rasa terima kasih.
Tangannya pun balas menggenggam tak kalah
erat.
"Ular Kaki Seribu...," ucap Dewa Arak
dengan langkah kaki tidak tetap. Oleng ke sana
kemari. "Pertarungan di antara kita belum selesai."
"Kau benar, Dewa Arak! Mari kita lanjutkan
pertarungan yang tertunda," sambut Ular Kaki
Seribu tak kalah gertak
Belum lagi gema kata-katanya lenyap,
kakek bermuka kuda ini sudah menerjang Arya
dengan sebuah tendangan terbang.
***
8
Karena telah merasakan sendiri kelihaian
ilmu tendangan lawannya, Dewa Arak tidak berani
bersikap ceroboh. Maka dia tidak berani langsung
menangkis serangan itu. Pemuda berambut putih
keperakan ini ingin mengetahui perkembangan
serangan lawan lebih dulu.
Oleh karena itu, Dewa Arak langsung saja
melempar tubuhnya ke belakang kemudian
bersalto beberapa kali di udara. Akibatnya sudah
bisa diduga. Tendangan lawan mengenai tempat
kosong karena Arya sudah tidak berada di situ lagi
Ular Kaki Seribu menggertakkan gigi
melihat serangannya berhasil dielakkan.
Kemarahannya pada Dewa Arak semakin
berkobar-kobar. Tentu saja akibatnya, serangan
kakek bermuka kuda ini semakin dahsyat.
Sambaran-sambaran kakinya datang susul-
menyusul bagaikan angin ribut. Tapi, berkat
keunikan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Arya
tidak mengalami kesuhtan untuk menangkalnya.
Sementara itu Melati sendiri sudah mulai
sibuk menghadapi Monyet Tanpa Bayangan. Gadis
berpakaian putih ini telah melihat sendiri
kesaktian lawannya. Maka begitu menyerang, dia
langsung mengeluarkan ilmu andalannya, 'Cakar
Naga Merah'. Kedua tangannya, sampai sebatas
pergelangan, berubah merah seperti darah.
"Hiyaaat..!"
Sambil mengeluarkan teriakan melengking
nyaring, Melati menyerang. Tangan kanannya
dengan jari-jari terbuka, membentuk cakar naga,
meluncur deras ke arah ulu hati lawan.
Rupanya gelar Monyet Tanpa Bayangan
yang disandang kakek kecil kurus ini bukan
omong kosong. Meskipun serangan Melati meluruk
cepat ke arahnya, kakek kecil kurus ini mampu
bergerak lebih cepat lagi. Tanpa menggeser kaki,
dia segera mendoyongkan tubuhnya ke kanan
sehingga serangan Melati lewat setengah jengkal di
samping kiri pinggangnya. Dan pada saat yang
bersamaan, tangan kirinya disampokkan ke arah
pelipis Melati.
Tapi Melati tidak menjadi gugup. Serangan
balasan ini, sudah diperhitungkannya sejak tadi.
Hanya saja yang membuat gadis ini agak
gelagapan adalah kecepatannya yang luar biasa.
Meskipun begitu, berkat pengalaman
menghadapi berbagai macam pertempuran, Melati
masih dapat memunahkan serangan mendadak
itu. Tangan kanannya cepat diangkat ke atas
kepala. Dan....
Plakkk...!
Suara benturan keras seperti beradunya
dua batang logam terdengar, ketika dua tangan
yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi
berbenturan. Baik Melati maupun Monyet Tanpa
Bayangan, sama-sama terhuyung. Dari benturan
ini dapat diketahui kalau kedua tokoh ini memfliki
tenaga dalam seimbang.
Monyet Tanpa Bayangan menggeram keras.
Rupanya kakek ini merasa penasaran bukan
main. Dia adalah seorang pentolan kaum sesat
yang jarang menemukan tandingan. Selama
berpuluh-puluh tahun merajalela di dunia
persilatan, dia hampir tidak pernah menemukan
tandingan. Maka tentu saja kakek kecil kurus ini
jadi penasaran bukan main tatkala mengetahui
ada seorang tokoh muda yang mampu menandingi
tenaga dalamnya.
Dalam luapan perasaan amarah bercampur
penasaran yang menggelora, Monyet Tanpa
Bayangan mengerahkan seluruh kemampuannya.
Jurus 'Kera' yang dimilikinya langsung dimainkan.
Ilmu meringankan tubuhnya pun dikerahkan
sampai ke puncaknya.
"Hiyaaat..!"
Monyet Tanpa Bayangan membanting
tubuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali.
Kemudian langsung melompat, menyerang dengan
sampokan tangan kiri ke arah pelipis.
Melati terkejut bukan main. Gadis
berpakaian putih ini benar-benar gelagapan
menghadapi cara penyerangan lawannya.
Gerakannya begitu liar, tapi sangat cepat
Mengingatkan dia pada seekor kera!
Dengan agak terburu-buru Melati
merundukkan tubuhnya sehingga serangan kakek
berpakaian kulit beruang itu lewat di atas
kepalanya. Pada saat yang sama, kedua tangannya
meluncur deras ke arah dada dan perut.
Hebat bukan main serangan yang
dilakukan Melati. Apalagi pada saat itu, tubuh
Monyet Tanpa Bayangan sedang berada di udara.
Posisi yang benar-benar tidak menguntungkan.
Tapi kelihaian Monyet Tanpa Bayangan
benar-benar luar biasa! Dalam keadaan seperti itu,
dia masih mampu memunahkan bahaya besar
yang mengancam keselamatan nyawanya. Tangan
kanannya segera dikibaskan ke bawah, menangkis
kedua serangan itu.
Prattt...!
Baik Melati maupun Monyet Tanpa
Bayangan sama-sama meringis begitu terjadi
benturan. Namun kakek kecil kurus ini sama
sekali tidak peduli. Dengan tubuh yang masih
berada di udara, kaki kanannya menendang dada
Melati.
Wuuuttt..!
"Hih...!"
Tidak ada jalan lain bagi gadis berpakaian
putih itu selain melempar tubuh ke belakang.
Kemudian bersalto beberapa kali di udara.
Kembali untuk yang kesekian kalinya serangan
Monyet Tanpa Bayangan gagal total.
Dengan sebuah gerakan yang indah dan
manis, Melati mendaratkan kedua kakinya di
tanah. Pada saat yang sama, Monyet Tanpa
Bayangan pun hinggap di tanah.
Secepat kedua pasang kaki mereka
mendarat di tanah, secepat itu pula keduanya
kembali terlibat dalam pertarungan sengit. Kini
Melati harus berjuang keras untuk menundukkan
lawan tangguhnya ini.
***
Sementara di arena yang lain, Wuraji dan
Marni pun tengah sibuk bahu-membahu
menghadapi Siluman Tangan Maut. Untuk yang
kedua kalinya, sepasang muda-mudi ini kembali
berhadapan dengan musuh besar mereka.
Bedanya, kali ini mereka bisa lebih memusatkan
perhatian pada lawan. Tidak khawatir diganggu
yang lain.
Kali ini kedua belah pihak yang bertarung
sama-sama mengerahkan kemampuan sampai di
puncaknya. Siluman Tangan Maut telah
memainkan trisulanya. Sementara Wuraji
menggunakan tombak pendek, dan pedang
digunakan oleh Marni.
Suara desing, deru, dan decit senjata tajam
menyemarakkan pertarungan antara musuh
bebuyutan itu.
Baik Wisanggeni maupun Wuraji dan
Marni, sama-sama bersikap hati-hati. Kedua belah
pihak telah sama-sama mengenal kelihaian lawan,
sehingga pertarungan jadi berlangsung seru. Tak
kalah seru dengan pertarungan antara Monyet
Tanpa Bayangan dengan Melati
Memang kalau dihitung perorangan, baik
Wuraji maupun Marni bukan tandingan
Wisanggeni. Siluman Tangan Maut jauh lebih
unggul daripada mereka. Baik kekuatan tenaga
dalam, maupun ilmu meringankan tubuh.
Setiap kali terjadi benturan senjata, tubuh
Marni maupun Wuraji terhuyung-huyung ke
belakang dengan sekujur tangan terasa hampir
lumpuh. Di saat itulah, Siluman Tangan Maut
melancarkan serangan susulan. Kalau saja yang
seorang lagi tidak membantu kawannya yang
tengah terancam, sudah sejak tadi Wisanggeni
menghabisi sepasang muda-mudi ini.
Selama puluhan jurus, pertarungan antara
musuh bebuyutan itu berlangsung imbang. Tapi
menginjak jurus ke enam puluh, Siluman Tangan
Maut mulai terdesak. Semakin lama laki-laki
berompi kuning ini semakin terdesak.
Pada jurus ke tujuh puluh tiga, Marni
melompat tinggi ke udara. Dan dari atas,
pedangnya menyabet cepat ke arah leher. Pada
saat yang bersamaan, Wuraji melemparkan
tombak pendek di tangan kirinya. Bukan hanya
itu saja. Pemuda berpakaian coklat ini pun
meloncat menerjang. Tombak pendek di tangan
kanannya menusuk deras ke arah dada.
Wunggg...!
Siluman Tangan Maut terkejut bukan main
melihat serangan beruntun ini. Trisulanya diputar
cepat laksana baling-baling dalam upaya
menyelamatkan selembar nyawanya.
Tranggg, tranggg...!
Suara berdentang nyaring terdengar dua
kali ketika trisula Wisanggeni berhasil menangkis
serangan pedang Marni dan lemparan tombak
pendek Wuraji. Tapi sebelum dia sempat berbuat
sesuatu, tusukan tombak putra Ketua Perguruan
Kumbang Merah telah meluncur tiba. Dan....
Cappp...!
Telak dan keras sekali tombak pendek
Wuraji menembus perut Siluman Tangan Maut
hingga ke punggung. Seketika itu juga cairan
merah kental bermuncratan dari perutnya yang
robek lebar.
Tubuh Wisanggeni terhuyung-huyung ke
belakang. Kedua tangannya mendekap luka yang
menganga lebar di perutnya. Tapi pada saat itu
juga, serangan susulan Marni menyambar tiba.
Gadis berpakaian biru ini mengirimkan sebuah
tendangan keras ke arah dada.
Desss!
Terdengar suara berderak keras ketika
tendangan itu telak mengenai sasaran. Seketika
itu juga, tubuh Wisanggeni terlempar jauh ke
belakang. Tulang dadanya remuk seketika. Cairan
merah kental mengalir deras dari mulut, hidung,
dan telinganya. Nyawa Siluman Tangan Maut telah
melayang meninggalkan raganya sebelum
tubuhnya jatuh di tanah.
Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa
Bayangan hanya bisa menggertakkan gigi
menahan geram melihat kematian Wisanggeni.
Mereka tidak mampu berbuat apa-apa untuk
menolong Siluman Tangan Maut karena keadaan
mereka sendiri pun tengah terdesak.
Memang, baik Dewa Arak maupun Melati,
telah berhasil mendesak lawan masing-masing,
setelah melalui pertarungan sengit seratus lima
puluh jurus lebih. Baik Melati maupun Monyet
Tanpa Bayangan sama-sama telah mengeluarkan
senjata andalannya. Kakek kecil kurus berpakaian
kulit beruang ini telah menggunakan kipas baja
berwarna merah.
***
"Haaat...!"
Arya memekik keras. Tubuhnya melompat
ke atas melewati kepala lawan. Dan sesampainya
di atas, tubuhnya berputar. Kemudian tangan
kirinya menepak ke arah punggung Ular Kaki
Seribu.
Plakkk!
Telak dan keras sekali tepakan Dewa Arak
mengenai sasaran. Seketika itu juga, Ular Kaki
Seribu terhuyung-huyung ke depan dan
tersungkur di tanah. Segumpal cairan merah
kental menyembur dari mulutnya. Ular Kaki
Seribu terluka dalam!
Pada saat yang sama, Monyet Tanpa
Bayangan menusukkan kipas baja merahnya ke
arah dada Melati. Tapi dengan mudahnya gadis
berpakaian putih itu mendoyongkan tubuh ke
samping kanan, hingga serangan itu mengenai
tempat kosong. Lewat setengah jengkal di samping
kirinya.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan
Melati. Tangan kirinya tiba-tiba meluncur cepat ke
arah dada kanan lawan.
Monyet Tanpa Bayangan segera
mendoyongkan tubuh ke belakang. Menurut
perhitungannya, dengan cara seperti itu, serangan
gadis berpakaian putih tidak mungkin mengenai
sasaran.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati
kakek kecil kurus ini ketika tangan Melati terus
mengejarnya. Sebisa-bisanya dia mencoba
mengelak. Tapi....
Prattt...!
Tubuh Monyet Tanpa Bayangan
terjengkang ke belakang ketika tangan Melati
mengenai dada kanannya. Darah segar
menyembur deras dari mulut kakek kecil kurus
ini. Jelas kalau dia terluka dalam. Kakek
berpakaian kulit beruang ini sama sekali tidak
tahu kalau Melati menggunakan jurus 'Naga
Merah Mengulur Kuku', yang membuat tangannya
bisa memanjang hampir dua kali lipat
"Haaat...!" Arya memekik keras. Tubuhnya
melompat ke atas melewati kepala lawan. Dan
sesampainya di atas, tubuhnya berputar.
Kemudian tangan kirinya menepak ke arah
punggung Ular Kaki Seribu.
Plakkk! Telak dan keras sekali tepakan
Dewa Arak mengenai sasarannya!
Kini Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa
Bayangan hanya bisa pasrah saja ketika Dewa
Arak dan Melati menghampiri mereka yang
terduduk berjejer di tanah. Aneh memang, kedua
kakek ini jatuh di tempat yang berdekatan.
Tapi di saat itulah sesosok bayangan coklat
berkelebat menghadang langkah Dewa Arak dan
Melati. Pemuda itu ternyata adalah Wuraji.
Sepasang tombak pendeknya disilangkan di depan
dada. Tampak jelas kalau Wuraji telah siap
bertarung.
"Langkahi dulu mayatku kalau kalian ingin
membunuh guruku," tegas dan mantap sekali
kata-kata yang keluar dari mulut pemuda
berpakaian coklat itu.
Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa
Bayangan saling pandang dengan perasaan
terharu melihat pembelaan Wuraji. Mereka tahu
betul kalau pemuda berpakaian coklat itu
bukanlah lawan Dewa Arak dan gadis berpakaian
putih yang memiliki kepandaian menggiriskan.
Dan seketika itu pula, timbul rasa khawatir
mereka pada keselamatan muridnya. Dari semula
mereka memang telah tahu kalau Wuraji adalah
seorang murid yang berbakti. Hanya saja saat itu
kesadaran belum timbul dalam hati mereka.
"Menyingkirlah, Wuraji. Kedua orang itu
bukan tandinganmu," ucap Ular Kaki Seribu serak
seraya berusaha bangkit yang diikuti Monyet
Tanpa Bayangan.
"Tidak, Guru," bantah Wuraji tak mau
kalah. "Guru telah terluka. Biar aku yang akan
menghadapi mereka"
Ternyata bukan hanya Monyet Tanpa
Bayangan dan Ular Kaki Seribu yang merasa
khawatir. Marni pun dilanda perasaan serupa.
Hanya saja kekhawatirannya berbeda. Dia
mengkhawatirkan keselamatan Wuraji. Pemuda
yang menarik hatinya sejak pertama kali bertemu.
Dan tanpa ragu-ragu lagi, gadis berpakaian
biru ini berdiri di sebelah Wuraji menentang Dewa
Arak dan Melati. Pedangnya melintang di depan
dada. Kini di hadapan Dewa Arak dan Melati
berdiri empat sosok yang siap bertarung.
"Apa maksudmu, Wuraji?" tanya Melati
seraya menghentikan langkah dan menatap
pemuda berpakaian kuning itu tajam. Nada suara
gadis ini menyiratkan rasa penasaran yang amat
sangat
"Kalian hanya dapat membunuh guruku
setelah terlebih dulu melangkahi mayatku!" tandas
Wuraji tegas. Kedua tangannya yang memegang
sepasang tombak pendek tampak menegang. Jelas
pemuda berpakaian kuning ini telah siap
bertarung.
Wajah Melati memerah. Dia merasa
tersinggung mendengar ucapan Wuraji. Gadis
berpakaian putih ini memang paling pantang
mendengar tantangan yang ditujukan padanya.
Tidak heran kalau ucapan Wuraji membuat
amarahnya bangkit
"Gurunya setan, muridnya pun sudah pasti
iblis!"
Setelah berkata demikian, Melati melompat
menerjang. Pedangnya menusuk cepat ke arah
leher. Ada suara menggerung keras seperti naga
murka ketika pedang itu bergerak.
Cepat bukan main serangan yang
dilancarkan Melati. Tapi gerakan Wuraji pun tak
kalah cepat. Sepasang tombak pendeknya
disilangkan, menangkis serangan Melati. Wuraji
yang tahu kelihaian lawan, segera mengerahkan
seluruh tenaga dalam yang dimiliki dalam
tangkisannya.
Tranggg...!
Suara berdentang nyaring terdengar ketika
dua macam senjata itu beradu. Bunga-bunga api
pun memercik ke sana kemari mengiringi
benturan itu
Wuraji menggertakkan gigi. Kedua
tangannya terasa bergetar hebat bahkan tubuhnya
pun sampai terhuyung dua langkah ke belakang.
Sementara Melati sama sekali tidak bergeming.
Suatu bukti kalau tenaga dalamnya masih berada
di bawah Melati.
Belum juga Melati melancarkan serangan
susulan, sebuah serangan yang mengeluarkan
suara mencuit nyaring, membuatnya melompat ke
belakang untuk mengelak.
"Marni...! Kau...?!" seru Melati tak percaya,
begitu melihat orang orang telah menyerangnya.
Marni menganggukkan kepala. Memang
gadis berbaju biru inilah yang tadi telah
menyerang Melati.
"Maafkan aka Melati," ucap Marni pelan.
"Bukannya aku bermaksud melawanmu. Tapi aku
tidak bisa membiarkan kau mencelakai Wuraji."
Pelan tapi mantap suara Marni, meskipun
diucapkan dengan wajah memerah. Memang,
gadis berpakaian biru ini merasa malu karena
ucapannya itu sama saja membuka rahasia
hatinya terhadap Wuraji.
"Tahan...!" seru Arya. Dan sekali
melangkahkan kaki, tubuhnya sudah berada di
tengah-tengah kedua wanita cantik itu. Mencegah
pertarungan yang sudah bisa dipastikan akan
terjadi.
"Sabar dulu, Melati. Sarungkan
pedangmu," ucap Dewa Arak pada tunangannya.
"Dan kau juga, Marni."
Melati tidak membantah. Meskipun dengan
mulut agak cemberut, dimasukkan pedangnya ke
dalam sarung.
Begitu melihat Melati telah memasukkan
pedang, Marni tanpa ragu-ragu lagi memasukkan
pedangnya pula.
"Wuraji...," panggil Arya pada pemuda
tampan berahang kokoh yang kini sudah berada di
sebelah Marni.
Wuraji mengangkat wajahnya, memandang
Dewa Arak.
"Jawab pertanyaanku," ucap Arya lagi
dengan suara yang lebih tegas. "Mengapa kau
menghalangi kami?"
"Aku tidak bisa membiarkan guru-guruku
dibunuh di hadapanku!" sahut Wuraji tegas.
Meskipun tahu kalau dirinya bukan tandingan
Dewa Arak, pemuda berahang kokoh ini tidak
merasa gentar.
''Tapi, guru-gurumu adalah datuk-datuk
sesat yang jahat, Wuraji," bantah Arya.
"Merupakan kesalahan besar kalau aku
membiarkan mereka mengumbar kejahatan di
sana-sini."
"Biar bagaimanapun, mereka adalah guru-
guruku, Dewa Arak! Orang yang telah menanam
budi besar kepadaku! Mendidikku selama
bertahun-tahun. Dan kini kau menyuruhku diam
melihat mereka kau bunuh?!"
Wuraji menghentikan kata-katanya
sebentar untuk mengambil napas.
"Andaikata mereka benar telah melakukan
kejahatan besar pun, aku akan membela mereka
sekalipun untuk itu aku harus mati di tanganmu.
Hitung-hitung sebagai balas budiku atas jasa
kedua guruku selama ini! Apalagi mereka tidak
melakukan kejahatan! Aku lebih berkewajiban lagi
untuk membela mereka!"
"Maksudmu.., mereka sama sekali tidak
jahat..?" tanya Arya ragu-ragu.
"Mereka telah lama mengundurkan diri
dari dunia persilatan, Arya. Dan selama bertahun-
tahun aku tinggal bersama mereka, tak sekali pun
kudengar mereka melakukan kejahatan. Siluman
Tangan Maut alias Wisanggenilah yang telah
mengacau dunia persilatan!"
Arya dan Melati tercenung. Mereka percaya
sepenuhnya kebenaran ucapan Wuraji. Setelah
saling pandang sejenak dan Arya memberi isyarat.
Mendadak keduanya membalikkan tubuh dan
berkelebat meninggalkan tempat itu
Tentu saja ha! itu membuat keempat orang
itu terkejut. Beberapa saat lamanya mereka
memandangi arah kepergian Dewa Arak dan Melati
dengan perasaan bingung. Terutama sekali Monyet
Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu. Semakin
besarlah niat mereka untuk kembali ke jalan yang
benar. Baru sesaat kemudian Wuraji tersadar.
"Guru...," panggil Wuraji seraya memberi
hormat
Kali ini Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa
Bayangan menganggukkan kepalanya sambil
tersenyum.
"Siapakah gadis cantik ini, Wuraji?" tanya
Ular Kaki Seribu sambil menatap Marni.
"Temanku sejak kecil, Guru," sahut Wuraji
malu-malu. Sementara Marni hanya menunduk.
Wajah gadis itu merona merah.
Sejenak Ular Kaki Seribu dan Monyet
Tanpa Bayangan saling pandang. Kemudian kedua
kakek ini saling melempar senyum. Keduanya
tahu kalau sepasang muda-mudi ini saling
mencintai. Karena gadis inilah Wuraji sampai
berani melawan mereka. Dan karena hendak
membela Wuraji-lah, Marni berani menentang
Dewa Arak dan Melati.
Sementara itu nun jauh di sana, Dewa
Arak dan Melati tengah berjalan bersisian. Wajah
sepasang muda-mudi ini nampak cerah. Satu
tugas lagi telah mereka selesaikan dengan hasil
baik
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar