..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 15 Januari 2025

DEWA ARAK EPISODE PEWARIS ILMU TOKOH SESAT


PEWARIS ILMU TOKOH SESAT

Oleh Aji Saka

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting Widarto

Gambar sampul oleh Pro's

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa ijin tertulis dari penerbit

Aji Saka

Serial Dewa Arak

dalam episode:

Pewaris Ilmu Tokoh Sesat


1

Brakkk...! 

Terdengar suara berderak keras, ketika 

sepasang tangan kokoh seorang laki-laki bertubuh 

tinggi kurus berompi kuning, menghantam daun 

pintu gerbang Perguruan Kumbang Merah.

Kontan, daun pintu itu hancur berkeping-keping 

mengeluarkan suara hiruk pikuk. Padahal daun 

pintu gerbang itu terbuat dari kayu jati yang keras 

dan tebal.

Suara ribut-ribut itu tentu saja membuat 

murid-murid Perguruan Kumbang Merah berlarian 

menuju ke arah asal suara. Apalagi murid-murid 

yang mendapat tugas jaga. Merekalah yang tahu 

lebih dahulu. Dan buru-buru melesat ke arah 

pintu gerbang.

"Siapa kau?!" tanya salah seorang murid 

yang bertubuh pendek gemuk bernada kasar.

Laki-laki inilah yang bertugas sebagai 

kepala jaga hari itu. Ditatapnya wajah orang yang 

berdiri di hadapannya. Seorang laki-laki berusia 

dua puluh lima tahun. Berwajah meruncing ke 

depan, dengan bola mata yang selalu berputar liar. 

Di tangan kanannya tergenggam sebuah trisula.

"He he he...!"


Hanya suara tawa terkekeh saja yang 

menyahuti pertanyaan murid bertubuh pendek 

gemuk itu.

''Tidak usah banyak basa-basi lagi, Kang 

Gilang. Hajar saja pengacau ini!" ucap salah 

seorang yang berdiri di belakang laki-laki pendek 

gemuk yang bernama Gilang. Memang kepala jaga 

itu berdiri paling depan. Sementara rekan-

rekannya yang berjumlah tiga orang, berada di 

belakangnya. Mereka telah menghunus senjata 

masing-masing. Sebatang pedang yang batangnya 

berwarna merah.

"Hmh...!" laki-laki berompi kuning itu 

mendengus dan mendesis tajam. "Kalianlah yang 

akan mampus!"

"Keparat!"

Seorang murid Perguruan Kumbang Merah 

yang berambut merah, tidak kuat lagi menahan 

kemarahan. Sambil berteriak nyaring, dia 

melompat menerjang laki-laki berompi kuning itu. 

Pedang di tangannya ditusukkan cepat ke arah 

leher.

Tapi, laki-laki berompi kuning itu hanya 

tersenyum sinis. Tanpa menggeser kaki, 

didoyongkan tubuhnya ke samping kanan, 

sehingga serangan itu mengenai tempat kosong. 

Lewat setengah jengkal di sebelah kiri lehernya. 

Dan pada saat yang sama, trisulanya ditusukkan 

ke arah perut lawan.

Wukkk!


Angin mengiuk keras mengiringi tibanya 

sambaran trisula itu. Suatu pertanda kalau trisula 

itu dimainkan oleh orang yang memiliki tenaga 

dalam tinggi.

Laki-laki berambut merah terkejut bukan 

main. Serangan lawan datang secara tiba-tiba dan 

cepat sekali. Padahal, saat itu posisinya tidak 

menguntungkan. Tubuhnya masih berada di 

udara. Jangankan mengelak, menangkis pun 

sudah tidak ada waktu lagi.

Gilang dan kedua temannya pun 

mengetahui bahaya maut yang tengah mengancam 

rekannya ini. Dan tanpa membuang-buang waktu 

lagi, hampir berbarengan mereka melesat untuk 

menolong. Tapi.., 

Jrebbb...!

Trisula milik laki-laki berompi kuning, 

telah lebih dulu menghunjam dalam di perut 

murid yang sial itu. Darah pun bermuncratan dari 

luka yang menganga lebar ketika trisula itu 

dicabut kembali.

Brukkk!

Suara berdebuk keras terdengar, begitu 

tubuh laki-laki berambut merah ambruk di tanah. 

Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar. Kemudian 

diam tidak bergerak lagi.

Bertepatan dengan robohnya tubuh murid 

yang sial itu, serangan Gilang dan rekan-rekannya 

menyusul tiba. Kembali trisula di tangan laki-laki 

berompi kuning itu berkelebat


Tranggg, tranggg, tranggg...!

Suara berdentangan nyaring terdengar. 

Bunga-bunga api pun memercik ke udara, diikuti 

dengan berpentalannya senjata murid-murid 

Perguruan Kumbang Merah. Karena tangan yang 

menggenggam senjata terasa lumpuh! Tapi 

tindakan laki-laki berompi kuning itu tidak hanya 

sampai di situ saja. Trisulanya kembali berkelebat. 

Dan....

Crattt, crattt, crattt!

Darah segar bermuncratan ketika trisula 

merobek perut dan dada, serta leher Gilang dan 

kawan-kawannya. Suara jerit memilukan 

terdengar saling susul. Jeritan kematian. Seketika 

itu juga, tubuh Gilang dan kawan-kawannya 

ambruk di tanah. Diam tidak bergerak lagi untuk 

selama-lamanya. Luar biasa! Hanya dalam 

segebrakan saja, ketiga murid Perguruan Kum-

bang Merah itu telah menggeletak tanpa nyawa.

Baru saja Gilang dan kedua rekannya 

melepas nyawa, muncul sembilan murid 

Perguruan Kumbang Merah lainnya. Memang 

sejak mendengar hiruk-pikuk hancurnya pintu 

gerbang, mereka telah bergegas memburu ke arah 

asal suara. Tapi, karena jarak yang agak jauh, 

kedatangan mereka terlambat. Apalagi, para murid 

penjaga pintu gerbang itu tewas hanya dalam 

segebrakan!

Begitu tiba, sembilan orang murid 

Perguruan Kumbang Merah langsung terpaku.


Menatap ke arah mayat-mayat saudara 

seperguruan mereka yang bergeletakan tanpa 

nyawa. Tapi hanya sesaat saja, kemudian telah 

berganti dengan perasaan marah dan dendam 

yang berkobar-kobar.

"Iblis! Kau harus menebus semua ini 

dengan nyawamu!" seru seorang murid yang 

berwajah bopeng.

"Ha ha ha...!" Laki-laki berompi kuning itu 

tertawa terbahak-bahak. Tawa yang penuh ejekan. 

"Majulah kalian semua!"

"Kawan-kawan...! Serbu...! Kita cincang 

iblis ini!" seru murid yang berwajah bopeng itu lagi 

seraya bergerak mendahului menyerang. Tentu 

saja kawan-kawannya tidak tinggal diam. Mereka 

pun meluruk menyerang tamu tak diundang ini 

sambil berteriak-teriak penuh kemarahan. 

Tapi Laki-laki berompi kuning itu hanya 

tersenyum mengejek. Jelas kalau dia memandang 

rendah murid-murid Perguruan Kumbang Merah. 

Baru setelah serangan-serangan itu menyambar 

dekat, tubuhnya menyelinap di antara hujan 

senjata lawan-lawannya. Dengan ilmu 

meringankan tubuh yang berada jauh di atas 

lawan-lawannya, tidak sulit bagi laki-laki berompi 

kuning itu untuk melakukannya.

Begitu berhasil mengelakkan diri, laki-laki 

berompi kuning itu lalu melancarkan serangan 

balasan. Trisula di tangannya berkelebatan cepat 

mencari-cari sasaran. Hebatnya, setiap kali


senjatanya berkelebat, sudah dapat dipastikan ada 

seorang murid Perguruan Kumbang Merah yang 

roboh. Suara jerit kematian terdengar saling susul. 

Sampai akhirnya, tidak ada lagi seorang pun yang 

masih hidup.

"Biadab...!"

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring 

penuh kegeraman. Disusul dengan melayangnya 

sesosok tubuh, yang kemudian hinggap di depan 

laki-laki berompi kuning itu.

Laki-laki berompi kuning tersenyum sinis. 

Sepasang matanya menatap orang yang berdiri di 

hadapannya lekat-lekat. Dilihatnya seorang pria 

bertubuh tegap, berwajah gagah, berkumis dan 

berjenggot rapi, berdiri di hadapannya. Usianya 

paling banyak tiga puluh lima tahun. Pakaiannya, 

seperti juga pakaian murid-murid Perguruan 

Kumbang Merah lainnya, berwarna merah. Inilah 

Ketua Perguruan Kumbang Merah. Suntara 

namanya.

Sepasang mata Suntara merayapi 

sekitarnya. Terdengar suara gemeletuk dari 

mulutnya. Ketua Perguruan Kumbang Merah ini 

merasa geram, ketika melihat belasan muridnya 

bergelimpangan tumpang tindih tanpa nyawa. 

Murid-murid yang telah bertahun-tahun 

dididiknya dengan susah payah. Perguruan 

Kumbang Merah memang terbilang sebuah 

perguruan silat yang kecil. Jumlah murid-

muridnya hanya belasan orang. Dan sama sekali


belum punya murid-murid kepala. Jadi, 

Suntaralah yang turun tangan mendidiknya 

sendiri.

"Bagaimana, Suntara?" tanya laki-laki 

berompi kuning seraya menyunggingkan senyum 

mengejek.

Ketua Perguruan Kumbang Merah 

menggertakkan gigi. Kemarahannya semakin 

meluap mendengar ucapan itu. Dengan sekuat 

tenaga, ditahannya amarah yang hampir meledak. 

Sekujur tubuh laki-laki berkumis dan berjenggot 

rapi ini, nampak menggigil menahan kemarahan 

yang a mat sangat.

"Siapa kau, Keparat Keji?! Mengapa 

membantai semua muridku?!" suara Suntara 

terdengar bergetar. Ada nada ancaman dalam 

ucapannya.

"He he he...!" laki-laki berompi kuning itu 

terkekeh pelan. "Kau lupa padaku, Suntara?"

Wajah Suntara seketika berubah. Ketua 

Perguruan Kumbang Merah ini mengernyitkan 

dahi, mencoba mengingat-ingat sesuatu. Suara 

orang ini sepertinya memang pernah didengar dan 

dikenalnya. Tapi, dia lupa kapan dan di mana. 

Amarah yang sudah bergelora, membuatnya sulit 

berpikir.

"Aku tidak peduli siapa kau, Keparat! Yang 

jelas..., kau harus menebus nyawa semua 

muridku!" tegas Suntara tandas.



"Kau telah jadi pikun sebelum tua, 

Suntara. Seharusnya bukan kau yang 

mengucapkan perkataan itu. Tapi aku!" tegas laki-

laki berompi kuning itu keras. Lenyap sudah 

tawanya. Rupanya ucapan Ketua Perguruan 

Kumbang Merah membuat dia teringat pada 

maksud kedatangannya ke sini!

"Katakan siapa kau sebenarnya, sebelum 

hilang kesabaranku!" sambut Suntara tak sabar. 

Kemarahannya hampir tidak bisa ditahan lagi.

"Aku Wisanggeni! Asalku Desa Babut!" 

sahut laki-laki berompi kuning itu keras.

"Wisanggeni...? Desa Babut?!" gumam 

Suntara dengan wajah berubah hebat. Jelas kalau 

ucapan laki-laki yang mengaku bernama 

Wisanggeni itu membuatnya terkejut. Ingatannya 

langsung melayang pada kejadian belasan tahun 

silam di desa kelahirannya, Desa Babut, yang 

membuat keluarganya pindah dari desa itu. Dulu, 

di desa itu, dia memang terkenal sebagai orang 

yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi.

"Ya. Aku, Wisanggeni!" sahut laki-laki 

berompi kuning itu menegaskan. "Aku datang 

untuk membalas kematian kakakku di tanganmu!"

"Kakakmu memang layak mati, 

Wisanggeni!" sergah Suntara tak kalah keras. "Dia 

telah menodai adikku!"

"Menodai?!" ejek Wisanggeni sinis. "Adikmu 

memang sudah bukan gadis lagi saat berkenalan


dengan kakakku. Dan..., semua peristiwa itu pun 

terjadi karena kebinalan adikmu sendiri!"

"Keparat! Kau harus mampus di tanganku!" 

bentak Ketua Perguruan Kumbang Merah keras.

Setelah berkata demikian, Suntara 

mencabut senjata andalannya. Sepasang tombak 

pendek berwarna hitam mengkilat yang sejak tadi 

ditancapkan di tanah.

Wuk, wuk, wuk...!

Angin menderu cukup keras, begitu Ketua 

Perguruan Kumbang Merah memutar sepasang 

tombaknya laksana baling-baling hingga lenyap 

bentuknya. Terdengar suara mengaung keras 

begitu tombak itu diputar.

Melihat Suntara sudah mulai memainkan 

jurus-jurus mautnya, maka Wisanggeni tidak 

bersikap main-main lagi. Trisula di tangannya pun 

diputar-putar di depan dada sehingga 

mengeluarkan suara mengiuk nyaring.

"Hiyaaa...!"

Suntara berteriak nyaring seraya cepat 

menusukkan tombak pendek di tangan kanannya 

ke arah perut. Sementara tombak yang satu lagi, 

disilangkan di depan dada. Berjaga-jaga bila lawan 

mengirimkan serangan balasan.

Wunggg!

Suara mengaung terdengar cukup keras, 

begitu tombak itu meluncur deras menuju 

sasaran. Wisanggeni yang ingin melihat dulu 

perkembangan ilmu lawannya, tidak langsung


menangkis. Tapi segera melangkahkan kakinya ke 

kanan, sehingga ujung tombak itu lewat setengah 

jengkal di samping kiri pinggangnya. Dan pada 

saat yang bersamaan, Wisanggeni segera 

menusukkan trisulanya ke leher Suntara.

Ketua Perguruan Kumbang Merah yang 

memang sudah menduga hal itu, tidak menjadi 

gugup. Tombak yang berada di tangan kiri segera 

digerakkan untuk menangkis. 

Tranggg!

Keras bukan main benturan kedua senjata 

itu. Bunga-bunga api pun sampai memercik ke 

sana kemari.

Suntara terperanjat kaget ketika 

merasakan sekujur tangannya tergetar hebat. 

Hampir-hampir tombaknya lepas dari genggaman. 

Bahkan bukan hanya itu saja, tubuhnya pun 

sampai terhuyung-huyung dua langkah ke 

belakang. Sementara Wisanggeni sama sekali tidak 

bergeming.

"Ha ha ha...!" Wisanggeni tertawa terbahak-

bahak melihat keunggulannya. "Ajalmu hampir 

tiba, Suntara!"

Ketua Perguruan Kumbang Merah ini 

menggertakkan gigi. Tanpa mempedulikan ejekan 

lawannya, laki-laki berkumis dan berjenggot rapi 

ini segera melompat, dan kembali menyerang 

dengan mengerahkan seluruh kemampuan yang 

dimilikinya. Hanya dua pilihan yang ada dalam 

benaknya. Membunuh atau dibunuh!


Tapi bukan hanya Suntara saja yang 

mempunyai tekad begitu. Wisanggeni pun 

mempunyai tekad serupa. Maka tak aneh jika laki-

laki berompi kuning ini mengerahkan seluruh 

kemampuan yang dimilikinya. Pertarungan sengit 

dan mati-matian pun tidak bisa dihindarkan lagi.

***

Sementara itu dari balik pintu sebuah 

bangunan yang daun pintunya sedikit terbuka, 

nampak beberapa kepala mengintai ke arah 

pertarungan. Kepala seorang laki-laki setengah tua 

bermata juling. Seorang anak lelaki berusia dua 

belas tahun berpakaian coklat, dan seorang anak 

perempuan berusia sepuluh tahun berpakaian 

biru.

"Apakah ayah mampu mengalahkan orang 

jahat itu, Paman?" tanya bocah lelaki berpakaian 

coklat pada laki-laki bermata juling.

Laki-laki setengah tua yang sebenarnya 

bernama Wijaya itu menoleh. Dia adalah pelayan 

sekaligus pengasuh anak majikannya.

"Entahlah, Den Wuraji. Aku khawatir 

sekali. Tampaknya orang jahat itu memiliki 

kepandaian amat tinggi...," sahut Wijaya setengah 

mendesah. Raut kekhawatiran tergambar jelas di 

wajahnya.

"Jadi..., ayah akan kalah, Paman?" tanya 

anak berpakaian coklat yang ternyata bernama


Wuraji. Nada suara dan wajahnya menyorotkan 

ketidakpercayaan. Memang, bocah ini tidak 

percaya kalau ayahnya akan kalah. Selama ini dia 

menganggap ayahnya adalah orang yang paling 

sakti di jagat ini!

"Aku tidak tahu, Den," Wijaya 

menggelengkan kepalanya. "Tapi, marilah kita 

berdoa agar ayah Aden bisa mengalahkan penjahat 

itu."

Wuraji tidak menyahuti ucapan 

pengasuhnya. Pandangannya dilayangkan ke arah 

pertempuran. Baru kali ini dia melihat ayahnya 

bertarung. Dan bocah kecil ini merasa kagum 

sekali. Wuraji yakin kalau ayahnya akan menang. 

Ayahnya sangat sakti, ucapnya dalam hati penuh 

rasa bangga.

Tapi Wuraji sama sekali tidak tahu kalau 

ayahnya tengah berada dalam cengkeraman maut. 

Memang pada jurus-jurus awal, pertarungan 

antara kedua orang itu berjalan imbang. Tapi, 

begitu menginjak jurus ke lima belas, Ketua 

Perguruan Kumbang Merah itu mulai terdesak

Dan seiring dengan semakin lamanya 

pertarungan, keadaan Suntara kian terdesak 

hebat. Ruang gerak permainan sepasang tombak 

pendeknya semakin lama semakin menyempit. 

Suntara hanya mampu mengelak dan bertahan. 

Hanya sesekali saja dia mampu balas menyerang.

"Haaat..!"


Tiba-tiba Wisanggeni berteriak nyaring. 

Trisulanya berputar cepat di depan dada. 

Kemudian masih dengan gerakan berputar, trisula 

itu melesat ke arah perut Suntara.

Wunggg...!

Suara mengaung keras mengiringi tibanya 

serangan trisula.


"Apakah ayah mampu mengalahkan orang 

jahat itu, Paman?" tanya bocah lelaki berpakaian 

coklat yang bernama Wuraji itu.

"Aku tidak tahu, Den," Wijaya 

menggelengkan kepalanya. "Tapi, marilah kita 

berdoa agar ayah Aden bisa mengalahkan penjahat 

itu."

Hati Suntara tersekat karena senjata yang 

berputaran itu membuatnya bingung bukan main. 

Sepasang matanya jadi berkunang-kunang. 

Meskipun begitu, Ketua Perguruan Kumbang 

Merah ini berusaha keras menyelamatkan 

selembar nyawanya. Jalan satu-satunya hanya 

menangkis. Dan itulah yang sekarang 

dilakukannya. Kedua tombak pendeknya 

disilangkan di depan dada.

Trang, trang...!

"Uh...!"

Suntara mengeluh tertahan. Sepasang 

tombak pendeknya seketika terlepas dari 

genggaman. Serangan trisula yang berputar 

seperti orang mengebor itu, membuatnya mati 

kutu. Dan sebelum Ketua Perguruan Kumbang 

Merah ini sempat berbuat sesuatu, trisula yang


masih berputaran terus meluncur ke arah 

perutnya.

Crattt, crattt...!

Darah segar bermuncratan dari perut yang 

koyak-koyak dibor trisula. Seketika itu juga tubuh 

Suntara terjengkang ke belakang disertai jeritan 

menyayat yang keluar dari mulutnya.

Tapi tindakan Wisanggeni tidak hanya 

sampai di situ saja. Trisula di tangannya kembali 

melesat. Kali ini ke arah leher. Meluncur deras, 

tanpa berputaran lagi. Dan....

Crasss!

Seketika kepala Suntara terlepas dari leher, 

begitu ujung trisula mengenai sasaran. Tanpa 

bersuara lagi, tubuhnya roboh ke tanah. Nyawa 

Ketua Perguruan Kumbang Merah melayang saat 

itu juga.

"A.... Hps...!"

Wijaya cepat-cepat mendekap mulut 

Wuraji, sebelum bocah lelaki itu sempat menjerit 

ketika melihat ayahnya tewas di tangan 

Wisanggeni. Pada saat yang sama, tangan yang 

satunya lagi menepuk tengkuk gadis kecil 

berpakaian biru. Perlahan saja kelihatannya, tapi 

hebatnya, gadis kecil itu langsung pingsan. Dan 

sekali tangan pelayan ini bergerak menekan 

tengkuk Wuraji, seketika itu juga putra Ketua 

Perguruan Kumbang Merah ini pingsan.

Kemudian dengan langkah hati-hati tapi 

bergegas, Wijaya segera meninggalkan tempat itu.


Pelayan setia ini bergerak cepat menuju ke dapur, 

sambil memondong tubuh kedua anak itu di 

bahunya. Dia harus memburu waktu, kalau tidak 

ingin didahului laki-laki berompi kuning.

Sesampainya di dapur, Wijaya segera 

menekan ke bawah batang obor yang tertempel di 

dinding. 

Grrrkkk...!

Terdengar suara berderak keras yang 

disusul dengan bergesernya salah satu dinding 

dapur. Dan di balik dinding, terlihat sebuah 

tangga batu yang menuju ke bawah.

Tanpa ragu-ragu Wijaya segera menuruni 

anak tangga batu. Dan begitu laki-laki bermata 

juling ini melangkah masuk, tiba-tiba pintu 

ruangan itu tertutup kembali.

Wijaya melangkahkan kakinya perlahan-

lahan menuruni anak tangga. Cukup lama juga 

dia bergerak turun, sebelum akhirnya tidak ada 

lagi anak tangga. Tangga itu ternyata berakhir di 

sebuah ruangan yang cukup luas.

Berkat lampu obor yang terpasang di 

dinding-dinding ruangan bawah tanah ini, Wijaya 

dapat melihat cukup jelas suasana di sekitarnya. 

Ternyata hanya ada sebuah jalan yang ada di 

ruangan ini. Jalan yang berbentuk sebuah lorong 

panjang.

Untuk yang kesekian kalinya, tanpa ragu-

ragu Wijaya menempuhnya. Berjalan melalui 

lorong yang panjang dan lengang. Agak meremang


juga bulu kuduk laki-laki bermata juling ini 

melihat suasana yang cukup seram itu. Hanya 

kesunyian yang melingkupi suasana lorong. Yang 

terdengar hanyalah desah napas Wlyaya yang 

memburu, dan detak suara langkahnya di lantai.

Entah sudah berapa lama dia berjalan, 

Wijaya tidak tahu pasti. Yang dia tahu, kedua 

kakinya telah hampir tidak kuat lagi melangkah, 

ketika akhirnya mengetahui lorong itu berakhir di 

sebuah pintu.

Kriiittt...!

Suara berderit tajam dan nyaring bergema 

di sepanjang lorong, tatkala Wijaya membuka 

pintu. Ternyata di balik pintu itu tidak ada jalan 

lagi. Yang ada hanyalah ruang kecil berukuran 

satu tombak kali satu tombak.

Yang pertama kali dilihat pelayan setia 

berpakaian serba hitam ini adalah sebuah tangga 

kayu yang menjulang ke langit-langit ruangan.

Wijaya mengedarkan pandangannya ke 

setiap tudut ruangan. Seketika wajahnya berseri-

seri ketika melihat sebuah pot bunga bertengger di 

sudut. Bergegas dia melangkahkan kakinya 

menghampiri. Lalu membungkukkan tubuhnya 

dan meletakkan kedua bocah yang dipanggulnya 

di tanah. Baru setelah itu laki-laki bermata juling 

ini memegang pot dengan kedua tangan. 

Kemudian memutarnya ke kanan.

Grrrrggghhh...!



Sesaat kemudian terdengar suara berderak 

keras, yang membuat dinding-dinding dan atap 

ruangan bergetar. Sesaat kemudian, di atap 

ruangan, tepat di bawah tangga, terpampang 

sebuah lubang bergaris tengah setengah tombak. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Wijaya segera 

menaiki anak-anak tangga sambil membawa 

tubuh kedua bocah itu satu persatu. Tak lama 

kemudian, laki-laki bermata juling ini telah berada 

di atas.

Wijaya memandang ke sekelilingnya. Yang 

tampak hanyalah kelebatan pepohonan dan 

rerimbunan semak-semak. Rupanya pelayan setia 

ini telah berada di dalam sebuah hutan. Laki-laki 

bermata juling ini lalu memutar sebuah gundukan 

batu. Seketika itu pula, salah sebuah kelompok 

rerimbunan semak bergerak. Sesaat kemudian, 

lubang tadi telah tertutup rerimbunan semak-

semak.

"Uhhh...!"

Terdengar suara keluhan. Wijaya 

menolehkan kepalanya. Dilihatnya Wuraji mulai 

siuman. Putra almarhum Ketua Perguruan 

Kumbang Merah ini mengerjap-ngerjapkan 

matanya sejenak

"Uhhh...!"

Kembali terdengar keluhan lirih, yang 

disusul dengan mengeriap-ngerjapnya sepasang 

mata bening milik gadis kecil berpakaian biru.


"Syukurlah, kalian sudah sadar...," ucap 

Wijaya sambil memandang wajah kedua anak itu 

bergantian.

"Di mana kita, Paman?" tanya gadis 

berpakaian biru sambil mengedarkan 

pandangannya berkeliling. Tapi yang dilihatnya 

hanya rerimbunan semak dan pepohonan yang 

lebat.

"Di sebuah tempat yang aman, Marni," 

jawab Wijaya, seraya menatap wajah gadis kecil 

berpakaian biru yang ternyata bernama Marni.

"Ayah...," desah Wuraji lirih ketika teringat 

kembali pada semua kejadian yang dilihatnya. 

Memang, sejak siuman, anak berpakaian coklat ini 

tercenung. Sepasang matanya nampak 

merembang berkaca-kaca. Bahkan kedua bibirnya 

terlihat gemetar. Jelas kalau bocah laki-laki ini 

dilanda perasaan sedih yang amat sangat. Hanya 

kekerasan hatinya saja yang membuat dia tidak 

menitikkan air mata.

"Kuatkanlah hatimu, Den," hibur Wijaya 

seraya menatap wajah bocah di hadapannya 

penuh rasa haru. Laki-laki bermata juling ini 

dapat merasakan betapa sedih dan terpukulnya 

hati anak tunggal majikannya ini. Karena Wijaya 

tahu kalau selama ini Wuraji amat mengagumi 

ayahnya. Wuraji menganggap ayahnya adalah 

orang yang paling sakti. Bagaimana hatinya tidak 

terpukul? Dengan mata kepala sendiri, bocah itu



melihat ayah yang sangat dikaguminya tewas 

terbunuh!

"Aku sama sekali tidak menyangka kalau 

Paman adalah seorang pengecut! Bahkan Paman 

telah membawa-bawa aku menjadi seorang 

pengecut! Melarikan diri dari musuh yang telah 

membunuh ayah dan menghancurkan perguruan!" 

Dengan berapi-api, Wuraji mencela pelayannya. 

Sepasang matanya menatap penuh penyesalan 

pada laki-laki bermata juling di hadapannya. "Aku 

lebih suka mati bersama ayah daripada menjadi 

seorang pengecut seperti ini!"

Keras dan tajam sekali ucapan yang keluar 

dari mulut bocah berpakaian coklat ini. Seketika 

itu juga wajah Wijaya merah padam. Kalau saja 

tidak mengingat orang yang mencelanya adalah

putra tunggal majikannya, mungkin sudah 

ditamparnya mulut itu.

Dia bukanlah seorang pengecut! Dan paling 

tidak suka dimaki seperti itu.

"Wuraji...!" tegur Marni seraya menatap 

tajam putra tunggal Ketua Perguruan Kumbang 

Merah itu. Gadis kecil ini kasihan pada Wijaya 

yang dimaki sekasar itu.

"Tutup mulutmu...! Ini bukan urusan anak 

perempuan!" bentak Wuraji kasar

Seketika wajah Marni memucat. Kontan dia 

terdiam. Agak heran juga hatinya mendengar kata-

kata kasar yang dilontarkan Wuraji barusan. 

Biasanya setiap kali ditegur, Wuraji akan


mengalah. Tapi kali ini, bocah itu malah 

membentaknya.

Melihat kejadian itu, Wijaya segera 

mengelus rambut Marni dan menganggukkan 

kepalanya. Gadis kecil ini segera tahu apa arti 

anggukan itu. Dia disuruh diam, dan tidak usah 

ikut campur.

"Hhh...!"

Wijaya hanya dapat menghela napas berat. 

Laki-laki bermata juling ini memaklumi mengapa 

anak yang biasanya sopan dan hormat kepadanya, 

dan pengalah kepada Marni, kini bicara sekasar 

itu. Wijaya tahu kalau hati Wuraji masih 

terguncang hebat dengan kejadian yang baru saja 

dilihatnya.

"Kau salah sangka, Den," sahut Wijaya 

dengan suara berdesah. "Asal kau tahu saja, Den. 

Semua ini kulakukan atas perintah ayahmu. Kau 

tahu, kalau menuruti perasaan, aku lebih suka 

tewas bersama-sama yang lain. Tapi, aku juga 

tidak berani menolak perintah. Walau dengan hati 

berat, terpaksa kusanggupi perintah ini...."

''Tidak mungkin!" bantah Wuraji cepat dan 

dengan suara keras. ''Tak mungkin ayah memberi 

perintah seperti itu!"

"Dengar dulu penjelasanku, Den," sahut 

Wijaya tetap sabar.

Wuraji pun terdiam seketika.

"Ayahmu punya banyak alasan untuk 

menyuruhku berbuat seperti ini."


Wijaya menghentikan ucapannya sejenak. 

Menghela napas panjang seraya melihat tanggapan 

anak berpakaian coklat ini. Tapi Wuraji tetap diam 

saja.

"Ayahmu tahu kalau musuh yang datang 

tadi memiliki kepandaian amat tinggi. Dan dia 

tidak yakin dapat mengalahkannya. Maka dia 

berpesan padaku, apabila sesuatu terjadi pada 

dirinya, aku harus cepat menyelamatkanmu dan 

Marni. Ayahmu tidak ingin kau mati percuma, 

Den! Dan untuk itu, ayahmu telah memberitahu 

jalan rahasia untuk membawamu kabur."

"Tapi, aku tidak takut mati!" selak Wuraji 

keras. Wijaya tersenyum getir.

"Ayahmu juga tahu hal itu, Den. Demikian 

pula aku. Oleh karena itu, ayahmu telah

menyuruhku. Yahhh..., kalau memang terpaksa, 

aku diijinkan menggunakan kekerasan untuk 

membawamu pergi."

Wuraji menurup wajahnya yang pucat pasi 

dengan kedua telapak tangannya. Beberapa saat 

lamanya anak berpakaian coklat ini berbuat 

seperti itu.

"Mengapa ayah berbuat seperti itu....?" 

keluh putra tunggal Ketua Perguruan Kumbang 

Merah ini lirih. Seperti berbicara pada dirinya 

sendiri. Perlahan-lahan kepalanya diangkat 

kembali.

"Karena ayahmu ingin kau selamat, Den," 

sahut Wijaya cepat.


"Aku tahu itu, Paman," sergah Wuraji. 

Masih dengan nada tinggi. "Tapi untuk apa?!"

"Karena ayahmu tidak ingin kau mati sia-

sia, Den. Ayahmu menginginkan kau memiliki 

ilmu kepandaian lebih tinggi darinya. Baru setelah 

itu, kau bdeh menghadapi musuh tadi!"

"Jadi...," sepasang mata Wuraji terbelalak.

"Ya! Setelah kau memiliki ilmu kepandaian 

tinggi, baru kau bisa membalaskan sakit hati ayah 

dan juga kakak-kakak seperguruanmu! Kalau 

bukan kau, lalu siapa lagi yang akan 

membalaskannya. Itulah sebabnya, ayahmu 

memerintahku untuk menyelamatkanmu...''

Kini Wuraji mulai mengerti. Maksud 

ayahnya memang benar! Untuk apa dia ikut 

melawan, kalau akhirnya hanya akan mengantar 

nyawa sia-sia! Perlahan-lahan emosinya pun mulai 

reda.

"Tapi, apakah ada orang yang memiliki 

kepandaian tinggi selain ayah, Paman?" tanya 

bocah berpakaian coklat itu beberapa saat 

kemudian.

Wijaya tersenyum lebar.

"Dunia sangat luas, Den. Orang-orang yang 

memiliki kepandaian tinggi tak terhitung 

jumlahnya. Mudah-mudahan saja kau bernasib 

baik. Menemukan tokoh sakti yang bersedia 

menjadikanmu sebagai muridnya."

"Tapi..., apakah orang itu memiliki 

kepandaian melebihi ayah, Paman?"


"Perlu kau ketahui, Den. Orang yang 

memiliki kepandaian melebihi ayahmu tidak 

sedikit jumlahnya di dunia ini. Salah satu 

contohnya adalah pembunuh ayahmu. Jadi, kau 

tidak perlu khawatir." Wijaya menjelaskan dengan 

sabar. Hatinya menjadi lega melihat Wuraji sudah 

bisa ditenangkan.

"Lalu..., ke mana kita harus mencari orang 

sakti itu, Paman?" tanya Wuraji lagi. Nada 

suaranya menyiratkan keragu-raguan.

Seketika itu juga Wijaya terdiam. Ya, ke 

mana dia harus mencari orang sakti? Dan 

andaikata sudah bertemu, belum tentu orang itu 

bersedia mengambil Wuraji sebagai murid.

"Aku juga tidak tahu, Den. Tapi yang jelas, 

aku akan berusaha. Kalau perlu kita datangi 

perguruan-perguruan silat aliran putih yang besar 

dan ternama."

Wuraji menganggukkan kepalanya. Kini 

wajahnya mulai berseri-seri. Begitu pula Marni 

yang sejak tadi hanya diam mendengarkan tanpa 

berkata-kata.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Paman? 

Mart kita cari orang sakti itu!" ucap Wuraji penuh 

semangat seraya bergegas bangkit.

"Mari, Den," sahut Wijaya seraya 

menggandeng tangan kedua anak itu. Wuraji di 

kiri dan Marni di kanan. Baru setelah itu, 

dilangkahkan kakinya, menerobos rerimbunan 

semak dan pepohonan yang lebat.


Wuraji dan Marni melangkah penuh 

semangat. Ucapan Wijaya benar-benar membuat 

semangat mereka bangkit. Kini kedua anak itu 

sudah punya tujuan. Mencari orang-orang sakti 

untuk berguru.

Lega hati Wijaya melihat kedua anak itu 

mulai melupakan kesedihannya. Meskipun begitu, 

ada perasaan tidak tenang yang menyelimuti 

hatinya. Ke mana dia harus mencari orang sakti 

untuk guru kedua anak ini? Tapi, laki-laki 

bermata juling ini tidak ingin menampakkan 

kecemasan hatinya. Justru perasaan gembiranya 

yang ditonjolkan.

Setelah menerobos rerimbunan semak-

semak dan pepohonan, di hadapan ketiga orang 

ini terpampang sebuah sungai yang lebar dan 

cukup deras arusnya.

Wijaya mengedarkan pandangannya ke 

sepanjang aliran sungai. Sepasang matanya 

berbinar. Wajahnya pun berseri tatkala melihat 

sebuah rakit terapung di pinggir sungai.

Dengan langkah penuh semangat, masih 

tetap menggandeng tangan Wuraji dan Marni, laki-

laki bermata juling ini bergegas melangkah 

menuju rakit itu.

***


2

Wijaya, Marni, dan Wuraji segera menaiki 

rakit. Dan begitu semua telah berada di atasnya, 

Wijaya mengayuh rakit itu menuju seberang. 

Dengan menggunakan sebatang bambu panjang, 

laki-laki bermata juling itu berusaha melawan 

derasnya arus sungai.

Karena tenaga yang mendorong rakit itu 

tertalu lemah, ditambah lagi derasnya arus sungai, 

meskipun rakit itu sedikit demi sedikit dapat 

menuju ke seberang, tapi arahnya tidak lurus, 

melainkan miring.

"Paman! Awas...!"

Wuraji yang berada di pinggir, terkejut 

ketika melihat tak jauh di samping kiri rakit 

terdapat batu besar yang menonjol di permukaan 

sungai. Dan rakit itu bergerak menuju ke situ.

Wiyaya terkejut bukan main mendengar 

teriakan putra tunggal majikannya. Dengan sekuat 

tenaga, dia mengayuh rakit itu menghindari batu 

yang menonjol. Seluruh urat-urat tangan dan 

wajahnya menggembung ketika berusaha 

membelokkan arah rakit. Tapi....

Brakkk...!

"Paman..!"


Wuraji berteriak keras ketika tubuhnya 

terlempar ke sungai. Benturan yang terjadi antara 

rakit dan batu besar begitu keras, sehingga Wuraji 

yang tengah berada di pinggir, tidak mampu 

mempertahankan keseimbangan tubuhnya. 

Byurrr...!

Air memercik ke atas ketika tubuh putra 

tunggal Ketua Perguruan Kumbang Merah itu 

jatuh ke sungai. 

"Den Wuraji...!" 

"Wuraji...!"

Hampir berbareng Wijaya dan Marni 

menjerit keras melihat bocah berpakaian coklat itu 

terpental ke dalam sungai, dan langsung terseret 

arus yang deras.

Tanpa pikir panjang lagi, Wijaya segera 

terjun ke sungai. Pelayan setia ini tidak 

mengkhawatirkan nasib Marni. Karena yakin 

kalau anak perempuan itu tidak akan tertimpa 

bahaya apa-apa.

Wijaya berpikir secara biasa. Rakit itu 

tersangkut di batu besar yang menonjol di 

permukaan sungai, sehingga tidak bisa bergerak 

ke sana kemari lagi walaupun arus sungai terus-

menerus mendorongnya.

Byurrr...!

Air sungai kembali memercik ke atas ketika 

tubuh Wijaya melayang ke arah sungai. Kali ini 

percikannya lebih tinggi dari sebelumnya.



Marni yang tetap tinggal di atas rakit, 

berpegangan kuat-kuat. Gadis kecil ini berharap 

agar Wijaya berhasil menyelamatkan Wuraji. Ngeri 

hatinya membayangkan temannya itu tewas 

dibawa arus sungai.

"Den Wuraji...! Di mana kau...?!" teriak 

Wijaya begitu kepalanya muncul di permukaan 

sungai, setelah terbenam beberapa saat lamanya. 

Diam-diam laki-laki bermata juling ini terkejut 

bukan main tatkala merasakan kuatnya arus 

sungai.

Wijaya menunggu sejenak. Tapi sama 

sekali tidak terdengar sahutan dari anak 

berpakaian coklat itu. Dengan jantung berdetak 

keras, pandangannya diedarkan ke seluruh 

permukaan sungai. Hatinya mencelos ketika tidak 

melihat adanya Wuraji. Tidak ada kemungkinan 

lain, Wuraji pasti terseret arus sungai. Begitu 

kesimpulan laki-laki bermata juling ini.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera 

Wijaya kembali menyelam dan berenang mengikuti 

arus. Sepasang matanya berkeliaran ke sana 

kemari. Barangkali saja dapat menemukan anak 

tunggal mendiang majikannya. Air sungai itu 

memang jernih, sehingga pelayan setia ini dapat 

melihat keadaan di sekitarnya dengan jelas.

Wijaya terus berenang mengikuti arus 

sungai. Sama sekali dia tidak menyadari kalau 

semakin lama, arus sungai semakin deras.

"Den...! Di mana kau...?!"


Wijaya kembali berseru keras, ketika untuk 

yang kesekian kalinya kepalanya muncul di 

permukaan air. Sepasang matanya terus menatap 

berkeliling.

Hati Wijaya tersekat begitu merasakan arus 

sungai yang semakin deras. Apalagi ketika 

pendengarannya yang tajam mendengar suara 

gemuruh di depannya. Sebagai seorang yang telah 

kenyang pengalaman, laki-laki bermata juling ini 

tahu apa sebenarnya suara gemuruh itu. Apalagi 

kalau bukan air terjun!

Sadar akan bahaya besar yang mengancam 

di depannya, Wijaya segera berbalik arah begitu 

menyadari dirinya terseret ke air terjun.

Kembali hatinya tersekat ketika tak lagi 

melihat rakit beserta Marni yang tadi 

ditinggalkannya. Rupanya dia telah terlalu jauh 

dari tempat semula.

Kini Wijaya berusaha keras berenang 

melawan arus yang akan menyeretnya ke air 

terjun. Tapi, betapapun dia telah mengerahkan 

seluruh tenaganya, tetap saja laki-laki bermata 

juling ini tidak mampu maju. Tubuhnya hanya 

bergerak di situ-situ saja.

Semakin lama tenaga Wijaya semakin 

lemah. Dan dengan sendirinya, perlahan-lahan 

mulai terbawa arus. Seiring dengan tubuhnya 

terbawa aliran sungai, tenaga arus yang 

menyeretnya pun semakin membesar. Sementara


tenaganya sendiri semakin lemah. Tubuh laki-laki 

berpakaian hitam ini pun mulai terbawa arus.

Meskipun begitu, Wijaya tidak putus asa. 

Tenaganya terus dikerahkan untuk melawan 

dorongan arus sungai, meskipun tubuhnya terus 

saja terseret.

Tapi akhirnya Wijaya terpaksa mengalah. 

Tidak ada lagi tenaga yang dimilikinya untuk 

melawan arus sungai yang menyeretnya.

Sementara itu, agak jauh di depan Wijaya, 

Wuraji terus terseret cepat mendekati pinggir air 

terjun. Putra tunggal Ketua Perguruan Kumbang 

Merah ini memang sama sekali tidak bisa 

berenang. Maka seketika itu juga, tubuhnya 

hanyut terbawa arus yang deras itu.

Dalam keadaan setengah sadar, Wuraji 

mendengar suara panggilan pelayannya. Dia 

berusaha menyahut, tapi tidak mampu. Hanya 

suara mirip bisikan saja yang keluar dari 

mulutnya ketika dia berusaha menyahuti 

panggilan Wijaya.

Bahkan, ketika tubuhnya telah berada di 

tepi air terjun, dan akhirnya jaruh ke bawah, 

Wuraji sama sekali tidak mampu berteriak. 

Tubuhnya melayang deras ke bawah. Siap untuk 

dicabik-cabik batu-batuan yang berada di bawah 

sana!

***


Di dasar air terjun, sekitar beberapa 

tombak dari tempat jatuhnya air, dua sosok tubuh 

tengah duduk bersila saling berhadapan. 

Keduanya duduk di sebongkah batu besar dan 

lebar yang menonjol di permukaan sungai. Yang 

satu berpakaian hitam, sedangkan yang satunya 

lagi berpakaian kulit ular.

Sosok berpakaian hitam yang duduk 

menghadap jatuhnya air terjun terperanjat ketika 

melihat sesosok tubuh kecil meluncur deras dari 

atas.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, 

disertai teriakan nyaring, sosok bayangan hitam 

itu melesat cepat ke arah tubuh yang tengah 

melayang jatuh. Cepat bukan main gerakannya. 

Sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan 

bayangan hitam saja. Dan....

Tappp...!

Luar biasa! Tubuh Wuraji berhasil 

ditangkap oleh sosok bayangan hitam itu, sebelum 

sempat terhempas ke batu-batuan di bawahnya. 

Kemudian dengan indah dan manis, sosok 

bayangan hitam itu melenting dan hinggap di atas 

salah satu baru yang menonjol di permukaan 

sungai.

Perasaan heran yang melanda hati sosok 

tubuh berpakaian kulit ular lenyap ketika melihat 

sosok bayangan hitam itu mendarat di batu-

batuan dengan seorang anak dalam 

pondongannya. Memang, semula dia merasa heran


tatkala melihat sosok bayangan hitam itu melesat 

meninggalkannya.

Sosok bayangan hitam itu kembali 

menggerakkan kakinya. Kelihatannya hanya 

melangkah perlahan saja. Tapi sekejap kemudian, 

tubuhnya sudah berada di sebelah sosok yang 

mengenakan pakaian kulit ular.

"Nasib bocah ini baik sekali, Ular Kaki 

Seribu," ucap sosok bayangan hitam seraya 

mengangsurkan Wuraji yang telah pingsan dalam 

pondongannya. Suaranya terdengar aneh. Kecil, 

tapi melengking tinggi, seperti suara seorang 

wanita. Sepasang matanya menatap wajah sosok 

berpakaian kulit ular yang ternyata adalah 

seorang laki-laki setengah baya. Laki-laki itu 

bertubuh tinggi, berbadan lebar, dan agak 

bungkuk. Wajahnya mirip wajah seekor kuda. 

Apalagi dengan adanya jenggot kasar, panjang dan 

jarang-jarang yang menghiasi dagunya. 

Pakaiannya terbuat dari kulit ular yang berwarna 

kuning keemasan.

"Yahhh...," sosok berpakaian kulit ular 

yang ter, nyata mempunyai julukan Ular Kaki 

Seribu hanya mendesah. "Dia akan jadi murid 

kita, Monyet Tanpa Bayangan."

Kini terlihat jelas kalau sosok hitam itu 

ternyata adalah seorang kakek kecil kurus 

berpakaian serba hitam. Pakaiannya yang hitam 

terbuat dari kulit beruang. Kakek kecil kurus yang 

berjuluk Monyet Tanpa Bayangan ini hanya



terkekeh pelan. Kemudian merebahkan tubuh 

Wuraji di atas batu.

Ular Kaki Seribu memperhatikan wajah 

bocah berpakaian coklat mulai dari ujung rambut 

sampai ke ujung kaki. Tampak jelas kalau kakek 

bertubuh tinggi kurus ini tengah menilai Wuraji.

Setelah memperhatikan beberapa saat, 

kemudian Ular Kaki Seribu membungkukkan 

tubuh dan memegang-megang seluruh tulang-

belulang Wuraji. Secercah senyum gembira 

menghias bibirnya. Kakek ini merasa puas ketika 

mengetahui kalau putra Ketua Perguruan 

Kumbang Merah ini memiliki bakat yang amat 

baik untuk dilatih ilmu silat.

"Bagaimana, Ular Kaki Seribu?" tanya 

Monyet Tanpa Bayangan meminta pendapat 

rekannya.

"Kurasa anak ini tidak memalukan kalau 

menjadi murid kita," jawab Ular Kaki Seribu.

Monyet Tanpa Bayangan tersenyum lega 

mendengar keputusan rekannya.

"Mari kita kembali," sahut Ular Kaki Seribu 

seraya bergerak meninggalkan tempat itu.

Tanpa banyak bicara, Monyet Tanpa 

Bayangan membungkuk, mengangkat tubuh 

Wuraji dan memondongnya. Kemudian 

membawanya melesat, menyusul rekannya yang 

telah berkelebat lebih dulu.

Hebatnya, meskipun Ular Kaki Seribu 

bergerak lebih dulu, Monyet Tanpa Bayangan


mampu memperpendek jarak. Bahkan 

membarenginya. Dan dengan berlari bersisian, 

kedua kakek ini bergerak ke arah air terjun.

Lincah dan gesit laksana kera, kedua 

kakek itu berlompatan ke sana kemari. Anehnya, 

Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan 

malah melesat ke arah air terjun.

Mendadak langkah kaki kedua kakek ini 

terhenti ketika mendengar sebuah jeritan panjang 

menyayat hati. Hampir berbarengan keduanya 

mendongak ke atas. Tampak oleh mereka sesosok 

tubuh yang melayang jatuh, bersama dengan 

curahan air terjun.

Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki 

Seribu hanya memperhatikan saja hingga sosok 

tubuh yang tak lain dari Wijaya jatuh ke dasar air 

terjun. Terdengar suara berderak keras dari 

tulang-belulang yang patah ketika tubuh pelayan 

setia itu menghantam batu-batuan. Seketika itu 

juga nyawa Wijaya langsung lepas dari raganya.

Seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa, 

kedua kakek sakti ini kembali melanjutkan 

langkahnya. Dan begitu dekat dengan air terjun, 

Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu 

bergerak menerobosnya. Menerobos curahan air 

terjun!

Pyarrr...!

Air yang tercurah dari atas berpentalan ke 

sana kemari tatkala tubuh kedua kakek itu 

menerobos. Ternyata di balik air terjun terdapat


sebuah gua yang cukup besar. Inilah tempat 

tinggal Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki 

Seribu.

Lubang gua itu cukup besar. Garis 

tengahnya saja tak kurang dari dua tombak. 

Kedua kakek itu melangkah pelan ke dalam gua 

yang cukup lebar dan sedikit berliku. Di kanan 

kiri dindingnya tergantung obor, sehingga 

membuat suasana di dalam agak terang.

Monyet Tanpa Bayangan lalu merebahkan 

Wuraji di atas sebongkah batu pipih berbentuk 

persegi panjang seukuran balai-balai. Baru setelah 

itu, kakek kecil kurus berpakaian kulit beruang ini 

duduk bersila, di atas batu pipih dan lebar 

lainnya. Duduk berhadapan dengan Ular Kaki 

Seribu. 

"Uhhh...!"

Terdengar suara keluhan yang disusul 

dengan mengerjap-ngerjapnya kelopak mata 

Wuraji. Sesaat kemudian, setelah kesadarannya 

pulih, bocah berpakaian coklat ini lalu 

memperhatikan keadaan sekelilingnya.

Seketika itu juga pandangannya tertumbuk 

pada dua orang kakek yang tengah 

memperhatikan dirinya.

"Di manakah aku...?" tanya Wuraji lirih 

seperti pada diri sendiri. Sepasang matanya 

menatap berkeliling. Sementara benaknya sibuk 

berpikir keras. Mengingat-ingat semua kejadian 

yang dialaminya.


"Kau berada di tempat kami, Bocah," sahut 

Monyet Tanpa Bayangan sambil tersenyum.

"Di tempatmu, Kek?" Wuraji bertanya lagi 

meminta kepastian. 

Kembali Monyet Tanpa Bayangan yang 

menjawab. Kepala kakek kecil kurus ini 

mengangguk pelan.

"Ya, aku melihat tubuhmu jatuh dari air 

terjun. Kau segera kutangkap sebelum 

menghantam batu-batuan, dan kubawa ke sini," 

Monyet Tanpa Bayangan menjelaskan.

Kini Wuraji mulai teringat dengan kejadian 

yang dialaminya. Dia telah terseret menuju tepi air 

terjun dan kemudian jatuh ke dasarnya. 

Bagaimana dengan nasib Marni dan Wijaya? tanya 

anak berpakaian coklat ini dalam hati.

''Terima kasih atas pertolonganmu, Kek," 

ucap Wuraji seraya bangkit dari berbaringnya.

"He he he...!" Hanya suara tawa terkekeh 

Monyet Tanpa Bayangan yang menyahuti ucapan 

terima kasih putra Ketua Perguruan Kumbang 

Merah ini.

"Siapa namamu, Bocah?" Ular Kaki Seribu 

mulai membuka suara.

"Wuraji, Kek," sahut anak berpakaian 

coklat itu cepat.

"Wuraji...," gumam Ular Kaki Seribu seraya 

men-elus-elus dagunya. "Begini, Wuraji. Hari ini 

kami tengah berbahagia. Karena telah berhasil 

menyempurnakan ilmu-ilmu yang kami miliki....


Dan karena rasa gembira, kami telah bersumpah, 

akan mengangkat murid pada orang yang pertama 

bertemu dengan kami. Kebetulan kaulah orang 

yang bernasib baik itu. Jadi, kaulah yang akan 

jadi murid kami."

Jantung Wuraji berdebar mendengar kata-

kata itu. Sungguh sama sekali tidak diduga kalau 

dirinya akan begitu mudah mendapat guru. Tapi, 

masih ada yang dipikirkannya. Apakah tingkat 

kepandaian kedua kakek ini melebihi ayahnya. 

Kalau melebihi, dia pun bersedia menjadi murid. 

Tapi kalau tidak, dia akan menolak.

''Tapi, Kek. Aku hanya mau jadi murid 

orang yang memiliki kepandaian tinggi, Kek."

"Ha ha ha...." Monyet Tanpa Bayangan 

tertawa bergelak. "Kau pintar, Wuraji. Tapi akan 

kami penuhi permintaanmu. Nah, sekarang kau 

perhatikan baik-baik. Akan kami buktikan kalau 

kami pantas menjadi guru-gurumu."

Setelah berkata demikian, Monyet Tanpa 

Bayangan lalu menoleh. Jari telunjuknya 

ditudingkan ke arah sebatang obor yang 

tergantung di dinding. Jaraknya sekitar lima 

tombak dari tempatnya berdiri.

"Mampukah kau mematikan obor itu dari 

sini, Wuraji?" tanya kakek kurus itu seraya 

menatap Wuraji.

"Tidak, Kek," Wuraji menggeleng, setelah 

memperhatikan obor sejenak. "Apakah Kakek 

bisa?"


''Tentu saja," sahut Monyet Tanpa 

Bayangan cepat. "Kau lihat ini...!"

Setelah berkata demikian, kakek kecil 

kurus ini lalu mengepalkan tangan kanannya. 

Kemudian dipukulkan ke depan.

Wusss...

Angin berhembus keras begitu Monyet 

Tanpa Bayangan memukulkan tangannya. Sesaat 

kemudian, apl obor pun padam, tanpa meliuk-liuk 

lebih dahulu!

"Hebat...!" Wuraji memuji penuh kagum.

"He he he...!" Monyet Tanpa Bayangan 

terkekeh gembira mendengar pujian calon 

muridnya.

''Tapi, ilmu seperti itu tidak berguna untuk 

menghadapi musuh," sambung Wuraji seraya 

menghela napas panjang.

"Siapa bilang?!" Monyet Tanpa Bayangan 

mulai bangkit emosinya begitu mendengar ucapan 

itu. "Dengan gerakan seperti itu kau dapat 

membunuh lawan tanpa menyentuhnya!"

"Aku tidak percaya!" sergah Wuraji cepat 

dan berani. Memang, anak yang sudah yatim piatu 

ini memiliki keberanian luar biasa.

Monyet Tanpa Bayangan menjadi kesal 

melihat sikap yang ditunjukkan Wuraji. Tanpa 

banyak bicara, kepalan tangan kanannya kembali 

dipukulkan. Tapi sasaran kali ini adalah 

sebongkah batu sebesar anak kambing, yang


berjarak sekitar lima tombak dari tempatnya 

duduk bersila.

Wusss...! Brakkk...!

Batu itu langsung hancur berkeping-keping 

ketika pukulan jarak jauh kakek berpakaian kulit 

beruang itu menghantamnya. Pecahannya 

berpentalan ke segala arah.

Wajah Wuraji pucat seketika. Sama sekali 

tidak disangkanya kalau Monyet Tanpa Bayangan 

memiliki kepandaian begitu tinggi. Dia tahu betul 

kalau ayahnya sendiri pun tidak sanggup untuk 

melakukan hal seperti yang dilakukan kakek ini. 

Tanpa pikir panjang lagi, Wuraji segera memberi 

hormat.

"Guru...!" tanpa ragu-ragu lagi, putra Ketua 

Perguruan Kumbang Merah ini menyebut guru 

pada Monyet Tanpa Bayangan. Kakek kecil kurus 

ini tertawa terkekeh.

"Ular Kaki Seribu pun akan mengajarmu 

pula, Wuraji," jelas Monyet Tanpa Bayangan 

seraya menudingkan telunjuknya pada kakek 

bermuka kuda. "Dia memiliki kepandaian yang 

tidak kalah denganku."

"Guru...!" panggil Wuraji pula pada Ular 

Kaki Seribu.

Sejak saat itu Wuraji menjadi murid 

Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu. 

Putra Ketua Perguruan Kumbang Merah ini sama 

sekali tidak tahu kalau orang yang menjadi guru-

gurunya adalah tokoh-tokoh golongan hitam.


Kedua kakek itu adalah pentolan-pentolan tokoh 

aliran sesat.

***

3

Krotok, krotok...!

Suara berkerotokan keras terdengar 

memecahkan keheningan pagi di sebuah sungai di 

dasar air terjun. Suara itu ternyata berasal dari 

seorang pemuda yang tengah berlatih silat.

Pemuda itu berdiri di atas sebongkah batu pipih 

dan lebar yang menonjol di permukaan sungai.

Pemuda itu berusia sekitar dua puluh dua 

tahun. Wajahnya tampan, tapi terlihat keras. 

Mungkin disebabkan oleh tulang rahangnya yang 

kokoh dan kuat. Tubuhnya yang kekar dan penuh 

otot-otot melingkar lampak jelas, karena dia 

memang tengah bertelanjang dada. Menilik peluh


yang telah membasahi sekujur wajah dan 

tubuhnya, bisa ditebak kalau pemuda berwajah 

tampan namun keras ini telah lama berlatih.

Dan itu memang benar. Sejak pagi-pagi 

sekali, sebelum sang surya muncul di ufuk Timur, 

pemuda berwajah keras ini telah berlatih. Kini, dia 

hampir menyelesaikan bagian terakhir latihannya.

Ternyata suara berkerotokan keras tadi 

terdengar ketika pemuda tampan berwajah keras 

itu menarik kedua tangannya yang terkepal ke sisi 

pinggang. Perlahan-lahan tapi penuh tenaga, dia 

menarik kedua tangan yang terkepal dan saling 

bersilangan di depan dada. Kedua kakinya terletak 

sejajar, dengan kuda-kuda rendah. 

"Hih!"

Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, 

pemuda tampan berwajah keras itu 

menghentakkan kedua tangannya ke depan. Ke 

arah sebongkah batu sebesar anak kerbau yang 

terletak di pinggir sungai yang berjarak sekitar tiga 

tombak dari tempatnya berdiri.

Wusss!

Angin menderu keras. Debu-debu pun 

mengepul tinggi ke udara. Dan.... 

Blarrr!

Disertai suara hiruk-pikuk, batu besar itu 

hancur berkeping-keping. Pecahan-pecahannya 

berpentalan ke segala arah. Bahkan ada beberapa 

di antaranya yang mengenai tubuhnya. Tapi, sama


sekali tidak nampak ada tanda-tanda kalau dia 

merasa kesakitan.

"Phhh...!"

Pemuda berwajah keras itu 

menghembuskan napas panjang. Perasaan puas 

tergambar jelas di wajahnya. Dengan punggung 

tangan, peluh yang membasahi keningnya segera 

dihapus.

"Ha ha ha...!"

Terdengar suara tawa bergelak yang kasar 

begitu pemuda tampan berwajah keras itu selesai 

menghapus peluhnya. Tapi, sama sekali tidak 

nampak raut keterkejutan di wajahnya. Tenang 

saja dia membalikkan tubuh. Tampak sekitar tiga 

tombak di hadapannya, di seberang sungai, berdiri 

dua sosok tubuh.

"Guru...!" ucap pemuda berwajah keras itu 

seraya memberi hormat. Kedua kakinya saling 

bersilangan dengan tubuh agak direndahkan. 

Kedua tangannya saling bertemu di depan dada. 

Tangan kanan terkepal, sementara tangan kiri 

terbuka. Ujung jari-jari tangan kiri menghadap ke 

atas. Kedua tangannya didorong ke depan. 

Kemudian dikembalikan lagi ke depan dada.

"Bagus...! Rupanya kau telah menguasai 

'Pukulan Penghancur Gunung', Wuraji," ucap 

salah seorang di antara dua orang itu. Dia 

bertubuh tinggi, berbadan lebar, dan berwajah 

mirip kuda. Usianya sekitar enam puluh tahun. 

Pakaiannya terbuat dari kulit ular berwarna


kuning keemasan. Siapa lagi kalau bukan Ular 

Kaki Seribu?!

"Tidak percuma kami mengangkatmu 

sebagai murid, Wuraji," ucap kakek yang satunya 

lagi. Suaranya terdengar aneh. Kecil, tapi 

melengking, mirip suara wanita. Kakek ini 

bertubuh kecil kurus. Wajahnya terlihat pucat dan 

layu, seperti orang penyakitan. Pakaiannya yang 

berwarna hitam terbuat dari kulit beruang. Masih 

tampak jelas kekasaran pakaian yang 

dikenakannya. Kakek itu tak lain dari Monyet 

Tanpa Bayangan

Sikap kedua kakek itu tampak liar, dan 

tidak menghiraukan sopan santun. Sepasang mata 

keduanya menyiratkan kekejaman yang 

tersembunyi. Memang dua orang kakek ini adalah 

pentolan-pentolan tokoh golongan hitam. Mereka 

terkenal memiliki kepandaian tinggi.

"Semua ini berkat bimbingan Guru 

berdua," ucap pemuda berahang kokoh yang 

ternyata bernama Wuraji. Pelan, lembut, dan 

sopan suaranya. Berbeda sekali dengan kedua 

gurunya yang berwatak kasar dan liar.

"Ahhh...!" sergah Ular Kaki Seribu. Keras 

dan kasar nada suaranya. "Sudah berkali-kali 

kukatakan, Wuraji. Buang semua sifat-sifat yang 

membuat kami muak itu. Bersikaplah seperti 

kami!"

"Kukira, ada baiknya kalau Wuraji kita 

suruh bergabung dengan Pati Gala, Ular Kaki



Seribu," usul Monyet Tanpa Bayangan. 

"Barangkali kalau mereka bergaul bersama, sifat 

Wuraji akan berubah."

"Itu sudah kupikirkan, Monyet Tanpa 

Bayangan," sahut Ular Kaki Seribu.

"Pati Gala? Siapa dia, Guru?" tanya Wuraji 

seraya mengernyitkan alisnya. Jelas kalau pemuda 

berahang kokoh ini tidak mengenal orang yang 

disebutkan gurunya. Ditatapnya wajah kedua 

kakek itu berganti-ganti.

"Kami memang belum pernah 

menceritakannya padamu, Wuraji," ucap Ular Kaki 

Seribu.

"Maukah Guru memberitahukannya 

padaku?" pinta Wuraji.

"Memang, kami ingin memberitahumu. Dan 

harus memberitahumu!" Monyet Tanpa Bayangan 

ikut menimpali.

"Pati Gala adalah murid kami sebelum kau, 

Wuraji," sambung Ular Kaki Seribu. "Jadi, dia 

adalah kakak seperguruanmu."

''Tapi, mengapa aku tidak pernah 

mengetahuinya, Guru?" tanya Wuraji lagi. Masih 

terdengar nada keheranan dalam suaranya.

"Karena kau jadi murid kami setelah dia 

pergi," lagi-lagi Monyet Tanpa Bayangan 

menyahuti.

Wuraji mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Kini pemuda berahang kokoh ini baru mengerti 

permasalahannya.


"Jadi..., aku harus mencari kakak 

seperguruanku itu, Guru?" tanya Wuraji meminta 

kepastian.

Ular Kaki Seribu menganggukkan 

kepalanya.

''Tapi, bagaimana aku bisa menemukan 

dia, Guru? Bukankah aku belum pernah bertemu 

dengan dia?! Dan..., andaikata bertemu pun, 

belum tentu dia akan mengenaliku."

"He he he...!"

Ular Kaki Seribu hanya tertawa terkekeh-

kekeh saja melihat muridnya kebingungan.

"Kau cari saja orang yang berjuluk Siluman 

Tangan Maut. Aku yakin tidak akan sulit kau 

menemukan dia," Monyet Tanpa Bayangan yang 

menjawab pertanyaan muridnya. "Sedangkan 

pertanyaanmu yang lain, tidak perlu kujawab, 

Wuraji. Kau punya otak, bukan? Nah! 

Pergunakanlah otakmu!"

Wuraji terdiam seketika.

"Kapan aku harus berangkat, Guru?" tanya 

Wuraji setelah terdiam beberapa saat.

''Terserah kau, Wuraji. Tapi, lebih cepat 

lebih baik!" sahut Ular Kaki Seribu tegas. 

Kemudian dilangkahkan kakinya meninggalkan 

tempat itu, diikuti Monyet Tanpa Bayangan. Kini 

yang tinggal hanya Wuraji.

"Hhh...!"

Pemuda berahang kokoh ini menghela 

napas berat. Ada perasaan tidak enak di hatinya,


melihat tingkah laku kedua gurunya. Tapi, 

bagaimana lagi? Guru-gurunya adalah tokoh-

tokoh sesat persilatan. Hanya dia saja yang 

bernasib tidak begitu baik. Memiliki guru tokoh 

golongan hitam! Dan, menjadi pewaris ilmu tokoh 

sesat

Akan tetapi Wuraji mengusir semua 

pikiran-pikiran itu. Dipusatkan perhatian untuk 

memenuhi tugas gurunya. Di samping itu juga, di 

dalam hatinya tersirat niat untuk membalas 

dendam atas kematian ayahnya. Dan juga mencari 

Marni dan Wijaya. Bagaimana keadaan mereka 

sekarang? Wuraji tidak pernah tahu. Walaupun 

sejak menjadi murid Ular Kaki Seribu dan Monyet 

Tanpa Bayangan, dia selalu memikirkan nasib 

kedua orang itu. Tapi apa dayanya? Kedua 

gurunya melarang dia mencari mereka. Tapi 

sekarang kesempatan itu terbuka. Dia telah bebas.

***

Seorang pemuda berwajah tampan namun 

keras, dan berpakaian coklat melangkah pelan 

memasuki mulut hutan. Sebuah buntalan yang 

berisi pakaian tergantung di bahunya.

Pemuda berahang kokoh ini menoleh 

ketika pendengarannya yang tajam, menangkap 

suara derak roda kereta di belakangnya. Ternyata 

agak jauh di belakang, dilihatnya sebuah 

rombongan berkuda. Bergegas dia berjalan agak


ke pinggir, agar tidak mengganggu jalannya 

rombongan itu

Semakin lama, rombongan kereta semakin 

dekat jaraknya dengan pemuda tampan berahang 

kokoh itu. Tak lama kemudian, rombongan kereta 

itu pun sudah menyusulnya.

Sekilas orang-orang yang berkuda paling 

depan memalingkan kepala. Menatap pemuda 

tampan berahang kokoh itu penuh perhatian. 

Pemuda itu pun balas menoleh. Sebentar saja. 

Bahkan hanya sekilas. Lalu tidak ambil peduli. 

Terus saja kakinya melangkah kian jauh ke dalam 

hutan.

Iring-iringan berkuda itu ternyata adalah 

serombongan orang berkuda yang mengawal 

sebuah kereta. Di belakang, kanan, kiri, dan 

belakang kereta, empat orang berwajah dan 

bersikap gagah mengiringi. Tampak jelas kalau 

orang-orang berkuda itu tengah mengawal kereta.

Semakin lama, rombongan itu pun 

semakin jauh meninggalkan pemuda berpakaian 

coklat itu. Pemuda berahang kokoh itu terus 

memandangi rombongan itu hingga semakin jauh 

ke dalam hutan. Ada pertanyaan yang bergayut di 

benaknya. Siapakah gerangan orang yang ada di 

dalam kereta? Sehingga sampai dikawal oleh 

sekumpulan orang yang menilik dari gerak-

geriknya adalah orang-orang yang memiliki ilmu 

silat tidak rendah.


Tapi pemuda berahang kokoh itu tidak 

ambil peduli. Terus saja dia melanjutkan 

perjalanannya. Kini tidak lagi perlahan-lahan 

seperti tadi, melainkan berlari cepat 

mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

Ternyata pemuda tampan berahang kokoh 

itu memiliki kepandaian tinggi. Gerakannya cepat 

bukan main. Sehingga yang terlihat hanyalah 

sekelebatan bayangan kecoklatan yang melesat 

cepat menembus ke dalam hutan.

Pemuda berahang kokoh itu berlari tidak 

mengikuti jalan yang ditempuh rombongan kereta 

tadi. Tapi mengambil jalan pintas. Menembus 

rerimbunan pepohonan lebat. Bahkan tidak jarang 

harus berlompatan dari satu batang ke batang 

pohon lainnya. Gerakannya gesit dan lincah sekali. 

Tak ubahnya seekor kera.

Mendadak gerakannya terhenti ketika 

mendengar dentang suara senjata beradu di 

kejauhan. Cepat pemuda berbaju coklat ini 

berhenti sejenak dan mendengarkan lebih 

seksama. Mencoba mengetahui asal suara.

Sesaat kemudian, pemuda berahang kokoh 

ini telah mengetahui asal suara. Cepat laksana 

kilat, kakinya. bergerak menuju ke sana sambil 

mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh 

yang dimilikinya. Berlompatan dari satu pohon ke 

pohon yang lain.

Tak lama kemudian, pemuda berahang 

kokoh ini berhasil menemukan penyebab suara


keributan. Dari cabang sebatang pohon, pemuda 

itu melihat rombongan kereta yang tadi 

melewannya telah berhenti, dan kini tengah 

terlibat pertarungan dengan serombongan orang-

orang berwajah kasar.

Beberapa saat lamanya pemuda 

berpakaian coklat itu kebingungan. Meskipun 

sudah dapat menduga kalau rombongan itu 

dihadang oleh gerombolan orang kasar. Tapi dia 

masih belum dapat membedakan rombongan 

kereta dan rombongan penghadang.

Tapi sesaat kemudian, pemuda berahang 

kokoh ini sudah bisa membedakan. Rombongan 

berkuda yang tadi mengawal kereta rata-rata 

berpakaian hijau muda. Sementara para 

penghadang rata-rata mengenakan rompi.

Sama sekali pemuda berpakaian coklat ini 

tidak tahu kalau dia bukan hanya berada di pihak 

yang mengintai. Tapi juga sedang diintai. Dua 

sosok yang berpakaian kulit ular dan hitam, 

tengah memperhatikannya dari cabang pohon lain. 

Dan ternyata bukan hanya sosok berpakaian 

hitam dan kulit ular saja yang memperhatikan. 

Tapi juga sepasang muda-mudi. Yang satu 

berpakaian ungu dan yang satu lagi berpakaian 

putih.

Sejenak pemuda berahang kokoh itu 

memperhatikan jalannya pertempuran. Sesaat 

kemudian, dia sudah tahu kalau kepandaian para 

pengawal kereta berkuda sebenarnya tidak kalah



dibanding lawan-lawannya. Tapi karena 

jumlahnya kalah banyak, akhirnya mereka 

terdesak hebat. Satu orang pengawal berkuda, 

rata-rata menghadapi dua sampai tiga 

penghadang.

Beberapa sosok tubuh yang menilik dari 

pakaiannya adalah rombongan pengawal berkuda, 

sudah bergeletakan bersimbah darah di tanah. 

Dan jumlah korban di antara mereka semakin 

bertambah, ketika beberapa saat kemudian, 

terdengar jerit kematian melengking nyaring.

Pemimpin rombongan yang berkumis 

melintang, marah bukan main melihat anak 

buahnya satu demi satu terbantai. Tapi, apa 

dayanya? Dia sendiri tengah sibuk 

mempertahankan selembar nyawanya dari 

ancaman maut pimpinan rombongan penghadang. 

Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan 

bersenjata sebatang golok besar.

Laki-laki berkumis melintang ini 

menggertakkan gigi. Dan pedang di tangannya pun 

berkelebatan semakin cepat, berusaha 

merobohkan lawan secepat mungkin.

"Haaat...!"

Seraya mengeluarkan bentakan nyaring, 

pedang di tangannya menusuk cepat ke arah 

leher. Tapi, pimpinan penghadang hanya tertawa 

bergelak. Dan sekali memiringkan kepala, tusukan 

pedang lewat di samping kepalanya. Dan pada


saat yang sama, golok besar di tangannya 

disabetkan ke leher laki-laki berkumis melintang.

Pemimpin rombongan kereta berkuda itu 

terkejut bukan main. Sebisa-bisanya dia berusaha 

mengelak. Tapi....

Crattt!

Ujung golok besar tadi tahu-tahu sudah 

menyerempet bagian atas dada kirinya. Dan 

seketika itu juga, darah segar merembes dari luka 

yang robek cukup lebar. Tapi tidak terdengar 

suara keluhan dari mulut laki-laki berkumis 

melintang itu.

Belum lagi pemimpin rombongan pengawal 

ini sempat berbuat sesuatu, pimpinan penghadang 

yang bertubuh tinggi besar itu sudah melayangkan 

kakinya.

Bukkk!

Telak dan keras sekali tendangan itu 

mengenai perut laki-laki berkumis melintang. 

Seketika itu juga tubuhnya terjengkang ke 

belakang, dan jatuh berdebuk di tanah.

"Haaat...!"

Melihat lawannya tak berdaya, pimpinan 

pengha dang itu segera menubruk tubuh yang 

tertelentang di tanah, disertai pekikan melengking 

nyaring. Golok besar di tangannya, ditusukkan 

cepat ke arah perut lawannya.

Laki-laki berkumis melintang terkejut 

bukan main. Serangan itu datang begitu tiba-tiba. 

Sehingga tidak ada waktu lagi baginya untuk


mengelak. Bahkan untuk menangkis pun sudah 

tidak sempat lagi. Pedangnya sudah terlempar 

entah ke mana ketika perutnya kena tendang. Kini 

yang dapat dilakukannya hanyalah berdiam diri, 

menanti datangnya maut.

Tapi sebelum golok itu menghunjam 

perutnya, sesosok bayangan biru melesat cepat, 

memotong arah lompatan pemimpin rombongan 

penghadang itu.

Tranggg...!

Suara berdentang keras terdengar 

memekakkan telinga. Bunga-bunga api pun 

memercik ke sana kemari. Laki-laki tinggi besar 

itu terkejut bukan main begitu merasakan seluruh 

tubuhnya tergetar hebat. Tangan yang 

menggenggam golok terasa lumpuh. Bahkan 

senjatanya pun hampir terlepas dari genggaman.

Kini di hadapan laki-laki tinggi besar, 

membelakangi pemimpin rombongan pengawal 

kereta berkuda, berdiri seorang gadis cantik jelita 

berambut kepang, berpakaian biru. Di tangan 

gadis itu tergenggam sebatang pedang.

"Kurang ajar! Siapa kau, Wanita Liar! 

Mengapa mencampuri urusanku?! Apakah sudah 

bosan hidup?!" pimpinan penghadang itu memaki 

kalang kabut.

"Pasang telingamu baik-baik! Aku Marni! 

Kedatanganku sengaja untuk membasmimu!" 

gadis berambut kepang itu balas membentak tak 

kalah keras.


"Sapi! Rupanya kau sudah bosan hidup, 

sehingga berani menentang Raksageti!"

Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi 

besar yang ternyata bernama Raksageti itu 

menyerang Marni. Golok besarnya dibabatkan ke 

arah leher.

Tapi Marni hanya tersenyum-senyum saja. 

Baru setelah sambaran golok mendekat, dengan 

enak dia merendahkan tubuh, sehingga serangan 

itu lewat di atas kepalanya. Dan begitu sabetan 

golok besar itu lewat, tangan kanannya bergerak 

cepat

Crattt!

Luar biasa sekali kecepatan gerak Marni! 

Sebelum Raksageti sempat menyadari, pedang di 

tangan gadis berpakaian biru itu telah membabat 

sikunya. Tak pelak lagi tangan laki-laki tinggi 

besar itu buntung sebatas siku. Dan seketika itu 

juga, darah mengalir deras dari tangan yang putus 

itu.

Raksageti menggigit bibir menahan rasa 

sakit yang mendera. Buru-buru dia menotok jalan 

darah di sekitar lukanya untuk menghentikan 

aliran darah. Sesaat kemudian aliran darah itu 

pun terhenti.

"Bagaimana, Raksageti?! Masih mau 

diteruskan lagi...?" tanya Marni sambil bertolak 

pinggang. Cairan merah kental masih menetes dari 

batang pedangnya.


Raksageti menggeram keras. Rupanya laki-

laki tinggi besar ini tidak jera melihat akibat yang 

diterimanya. Pemimpin rombongan penghadang ini 

tidak percaya kalau gadis semuda Marni mampu 

memiliki kepandaian selihai itu. Dia lebih percaya 

kalau penyebab tangannya putus adalah 

keteledorannya sendiri.

Kini dia memungut golok besarnya dengan 

tangan kiri. Dan kembali menyerang Marni. Kali 

ini Raksageti mengeluarkan seluruh kepandaian 

yang dimilikinya.

Sementara itu, begitu gadis berpakaian 

biru menyebut namanya, seketika wajah pemuda 

berpakaian coklat berubah. Jelas, kalau nama itu 

mempunyai arti baginya.

"Apakah Marni yang dulu kurus dan 

kerempeng itu kini sudah menjadi gadis yang 

cantik jelita? Menjadi gadis berwajah molek dan 

bertubuh menggiurkan?" tanya pemuda berahang 

kokoh itu dalam hati.

Karena didorong rasa ingin tahu tentang 

gadis itu, juga di samping ingin menolong 

rombongan pengawal berkuda yang sudah dapat 

dipastikan akan terbantai semuanya, akhirnya 

pemuda berpakaian coklat ini melompat ke tengah 

arena pertempuran.

Dan begitu kedua kakinya mendarat di 

tanah, pemuda berahang kokoh itu langsung 

menyelak ke arah seorang pengawal yang tengah 

terdesak hebat oleh tiga orang penghadang.


Hebat dan menggiriskan sekali tindakan 

pemuda berahang kokoh itu. Begitu memasuki 

arena pertempuran, kedua tangan dan kakinya 

langsung berkelebat. Dan hanya dalam dua 

gebrakan saja, ketiga penghadang itu telah 

berpentalan jauh, dalam keadaan tanpa nyawa! 

Jerit panjang memilukan, mengiringi melayangnya 

nyawa mereka.

Tapi tindakan pemuda berahang kokoh itu 

tidak berhenti hanya sampai di situ saja. Kembali 

tubuhnya melesat ke arah kelompok penghadang 

lain yang tengah mengeroyok seorang pengawal 

pasukan berkuda. Kaki dan tangan pemuda ini 

pun kembali beraksi. Tak lama kemudian, jerit-

jerit kematian pun terdengar saling susul.

Marni melirik sekilas ke arah pemuda 

berahang kokoh yang juga tengah melirik ke 

arahnya. Dua pasang mata pun saling bertemu. 

Marni melempar sebuah senyum manis. Dan 

seketika pemuda berahang kokoh itu terkesima.

Hanya sesaat memang. Tapi, karena saat 

itu pemuda itu tengah dikeroyok banyak lawan, 

hampir saja membuat lehernya putus tersambar 

senjata lawan. Untung saja dia sempat 

membanting tubuh ke tanah, sehingga serangan 

itu berhasil dihindarkan.

"Hi hi hik..!"

Gadis berpakaian biru tertawa mengikik, 

melihat kejadian yang menimpa pemuda berahang 

kokoh. Karuan saja hal ini membuat sekujur


wajah pemuda berpakaian coklat merah padam 

ketika bangkit dari bergulingnya.

Ternyata baik Marni mau pun pemuda 

berahang kokoh sama sekali tidak mengalami 

kesulitan menghadapi lawan-lawannya. Tingkat 

kepandaian si gadis dan juga tingkat kepandaian 

pemuda berahang kokoh itu berada amat jauh di 

atas lawan-lawannya.

Apalagi Marni yang hanya menghadapi 

seorang lawan. Enak saja dia menghadapi dan 

mempermainkannya. Rupanya gadis berpakaian 

biru ini suka mempermainkan orang. Baru setelah 

dirasa cukup, tiba-tiba Marni bergerak cepat. Kaki 

kanannya melakukan tendangan bertubi-tubi ke 

depan. 

Plakkk, bukkk, bukkk...!

Terdengar suara keras berkali-kali ketika 

kaki Marni menghujani Raksageti. Tubuh 

pimpinan penghadang itu pun terlempar jauh ke 

belakang. Darah segar menetes deras dari mulut 

hidung, dan telinganya. Raksageti tewas sebelum 

tubuhnya ambruk mencium tanah.

Tendangan pertama yang dilepaskan gadis 

berpakaian biru itu mengenai pergelangan tangan 

Raksageti, sehingga sambungan tulang 

pergelangan laki-laki itu terlepas, dan senjatanya 

terlepas dari genggaman. Tendangan susulan yang 

dikirimkan Marni, mengenai perut dan dada. Dan 

tendangan susulan itulah yang menyebabkan 

nyawa laki-laki tinggi besar ini melayang seketika.


Bersamaan dengan tewasnya Raksageti, 

pemuda berahang kokoh pun berhasil 

merobohkan dua orang pengeroyok yang tersisa.

Seluruh pengawal yang sejak tadi 

memperhatikan jalannya pertarungan, menghela 

napas lega begitu melihat seluruh rombongan 

penghadang berhasil dibinasakan.

Laki-laki berkumis melintang, yang 

menjadi pemimpin rombongan, segera 

menghampiri sepasang muda-mudi itu sambil 

tersenyum lebar.

Tapi baru juga beberapa tindak kakinya 

melangkah, gadis berpakaian biru sudah 

berkelebat meninggalkan tempat itu. Cepat bukan 

main gerakannya. Sehingga dalam sekejap saja, 

tubuh Marni sudah berada dalam jarak sepuluh 

tombak dari situ.

"Nisanak! Tunggu...!" laki-laki berkumis 

melintang berteriak mencegah. Tapi Marni sama 

sekali tidak mempedulikan, dan terus saja 

melangkahkan kakinya.

"Hhh...!"

Pemimpin rombongan itu menghela napas 

berat. Kemudian mengalihkan perhatian ke arah 

pemuda berpakaian coklat. Namun, kembali dia 

tersentak. Ternyata pemuda itu pun melesat pergi. 

Sia-sia dia berteriak-teriak menyuruh pemuda 

penolongnya untuk berhenti melangkah sejenak.

Akhirnya laki-laki berkumis melintang 

hanya bisa mengangkat bahu, kemudian


melangkahkan kakinya. Kembali ke tempat 

semula.

"Urus semua kawan-kawan kita yang tewas 

atau yang tuka. Dan kita lanjutkan perjalanan!" 

ucap pemimpin rombongan itu pada anak 

buahnya yang masih tersisa.

Tanpa menunggu diperintah dua kali, sisa 

pengawal yang masih hidup bergegas 

melaksanakan perintah pemimpin mereka. 

Sementara si kumis melintang menatap ke depan, 

ke arah kepergian sepasang muda-mudi perkasa 

penolongnya, dengan pandang mata kecewa. 

Kecewa karena tidak sempat mengenai kedua 

orang itu lebih jauh.

Bukan hanya laki-laki berkumis melintang 

itu saja yang menatap kepergian sepasang muda-

mudi tadi dengan perasaan kecewa. Masih ada 

empat pasang mata lagi yang menatap penuh 

kecewa. Tapi, rasa kecewa yang melanda mereka, 

masing-masing berbeda. Mata dari sosok hitam, 

kulit ular, dan ungu serta putih.

Dan begitu melihat pemuda berpakaian 

coklat tadi melesat pergi, bayangan hitam dan 

kulit ular itu pun melesat cepat pula. Menyusul 

arah kepergian pemuda itu.

Belum lama dua sosok bayangan itu 

melesat sosok bayangan ungu dan putih, bergerak 

pula menguntit dua sosok bayangan yang 

menguntit pemuda berahang kokoh.


***

4

"Nisanak...! Tunggu...!"

Pemuda berpakaian coklat berteriak keras 

memanggil, setelah sampai sekian lamanya, tak 

juga mampu mengejar gadis berpakaian biru. 

Padahal dia telah mengerahkan seluruh ilmu 

meringankan tubuh yang dimilikinya. Jangankan 

mengejar, memperpendek jarak pun tidak mampu! 

Diam-diam dalam hati pemuda berahang kokoh ini 

timbul rasa penasaran. Dia adalah murid seorang 

tokoh sesat yang terkenal dengan ilmu 

meringankan tubuh yang luar biasa. Dan dia telah 

mewarisinya. Mengapa sekarang tidak mampu 

mengejar seorang gadis muda?

Bukan hanya pemuda berpakaian coklat 

itu saja yang merasa penasaran. Marni pun 

dilanda perasaan serupa. Seluruh ilmu 

meringankan tubuh yang dimiliki telah 

dikeluarkannya, tapi tetap saja dia tidak mampu 

memperpanjang jarak. Hal ini menandakan kalau 

pengejarnya memiliki ilmu meringankan tubuh 

yang tidak berada di bawahnya.

Rasa penasaran itulah yang membuat gadis 

ini malah semakin mempercepat larinya. Tapi,


ternyata pemuda yang mengejarnya tetap saja 

mampu mengimbangi. Sehingga jarak di antara 

mereka tetap tidak berubah.

"Nisanak...! Tunggu sebentar...!" lagi-lagi 

pemuda berpakaian coklat itu berteriak.

Kali ini gadis berpakaian biru tidak 

meneruskan langkah. Seketika dia menghentikan 

larinya. Kemudian membalikkan tubuh. Berdiri 

menanti pemuda yang mengejarnya. Napas gadis 

ini nampak memburu. Bahkan wajahnya yang 

berkulit putih, halus dan mulus pun nampak 

memerah. Peluh membasahi kening dan lehernya.

Pemuda berahang kokoh gembira bukan 

main melihat gadis berpakaian biru menghentikan 

larinya dan berdiri menunggu. Bergegas dia berlari 

menghampiri dan menghentikan langkahnya 

begitu berada dalam jarak dua tombak.

"Mau apa kau mengejar-ngejarku?!" tanya 

gadis berpakaian biru itu pelan.

"Aku hanya ingin bertanya satu hal 

padamu, Nisanak," ucap pemuda berpakaian 

coklat, langsung pada pokok permasalahan. 

Wajahnya terlihat tegang. Bahkan suaranya pun 

terdengar bergetar. Suatu pertanda kalau pemuda 

ini dilanda perasaan tegang.

"Apa itu? Katakanlah," sahut gadis 

berpakaian biru, pelan. Tentu saja dia mengenal 

pemuda ini sebagai orang yang telah 

membantunya melawan gerombolan orang kasar.


Ada perasaan suka di hatinya melihat pemuda 

yang berwajah gagah dan bersikap sopan itu.

"Apakah benar namamu Marni, Nisanak?" 

tanya pemuda berahang kokoh. Sepasang matanya 

menatap wajah molek gadis di hadapannya penuh 

selidik.

"Benar. Namaku memang Marni. 

Memangnya kenapa?" gadis berpakaian biru 

malah balik bertanya.

Perasaan heran merayapi hati gadis ini. 

Mengapa pemuda berpakaian coklat itu begitu 

ingin tahu kepastian namanya?

"Kau... kenal dengan Wuraji?" pemuda 

tampan berahang kokoh itu balas bertanya.

"Wuraji...," ucap Marni lambat-lambat "Aku 

memang kenal orang yang bernama Wuraji. Dia 

memang sahabatku sewaktu kecil. Tapi apakah 

orang yang kau maksudkan sama dengan Wuraji 

yang kukenal, aku tidak yakin. Yang jelas, Wuraji 

sahabatku itu mungkin telah tewas."

Ada nada kesedihan dalam ucapan gadis 

berpakaian biru itu.

"Mengapa kau begitu yakin kalau Wuraji 

sahabatmu itu telah tewas?" sehdik pemuda 

berpakaian coklat

Marni tercenung sejenak. Tidak langsung 

menjawab pertanyaan itu.

"Dalam sebuah perjalanan, dia terlempar 

ke sungai yang berarus deras. Dan tak pernah 

kembali"


"Akulah Wuraji sahabatmu Marni," ucap 

pemuda berpakaian coklat.

"Apa?!" Marni membelalakkan sepasang 

matanya. "Jangan harap kau bisa membohongiku, 

Kisanak. Aku tahu betul wajah Wuraji. Wajahnya 

tidak sepertimu. Memang ada sedikit kemiripan 

antara wajahmu dengannya. Tapi, aku yakin kau 

bukan Wuraji."

Pemuda berahang kokoh tersenyum lebar.

"Akulah Wuraji itu, Marni. Suntara, Ketua 

Perguruan Kumbang Merah adalah ayahku."

"Kau... kau...." Marni tergagap.

"Aku selamat, Marni. Dua orang sakti telah 

menyelamatkanku dari kematian. Bahkan 

mengangkatku sebagai murid. Kau pun kulihat 

telah jadi pendekar wanita yang lihai. Ceritakanlah 

semua pengalamanmu, Marni Dan..., mana Paman 

Wijaya?"

"Aku tidak tahu, Kang," kini Marni tidak 

ragu-ragu lagi kalau pemuda di hadapannya 

benar-benar Wuraji. Dan dengan sendirinya 

perasaan sukanya semakin membesar. "Dia 

menyusulmu terjun ke sungai. Dan setelah itu, 

aku tidak pernah menemuinya lagi." Wuraji 

tercenung sejenak. 

"Mudah-mudahan saja Paman Wijaya 

selamat, Marni." Hanya itu saja yang diucapkan 

Wuraji.


"Mudah-mudahan, Kang," harap Marni 

pula. Suasana jadi hening sejenak setelah gadis 

berpakaian biru itu menghentikan kata-katanya.

"O ya, Marni. Aku ingin mendengar semua 

pengalamanmu. Perlu kau ketahui, aku pun 

sampai tidak mengenalimu lagi tadi. Kau kini telah 

jadi seorang gadis yang begini lihai dan... cantik."

Seketika wajah Marni menyemburat merah. 

Pujian Wuraji-lah yang menjadi penyebabnya. 

Sejenak gadis ini tercenung. Rupanya tengah 

mengumpulkan segenap ingatannya.

"Sewaktu kau terlempar ke sungai, Paman 

Wijaya segera menyusulmu. Karena tidak ada hal 

lain yang dapat kulakukan, aku hanya diam 

menunggu di rakit. Tapi sampai bosan menunggu, 

kau dan Paman Wijaya tidak pernah datang. 

Sementara perutku mulai terasa lapar. Rasa lapar 

dan takut membuatku tak mampu menahan 

perasaan hati. Aku menangis."

Marni menghentikan ceritanya sejenak 

untuk mengambil napas, dan juga mencari-cari 

kata-kata untuk melanjutkan ceritanya.

"Rupanya suara tangisku membuat seorang 

kakek datang. Setelah menceritakan semua yang 

terjadi kakek itu lalu mencari kalian. Hebat sekali 

cara kakek itu mencari, Kang. Dia menggunakan 

papan yang agak lebar di bawah tapak sepatunya. 

Lalu bergerak di atas air. Meloncat ke sana 

kemari."

"Hm..., lalu?" tanya Wuraji menyelak.


''Tak lama kemudian, kakek itu muncul 

kembali dengan membawa cerita yang 

mengejutkan. Katanya kau dan Paman Wijaya 

mungkin sudah tewas, terseret air terjun."

"Hm...!" Wuraji bergumam seraya 

mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Rupanya kakek itu kasihan padaku. Lalu 

mengajakku ke tempat tinggalnya. Kemudian 

mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian yang 

dimilikinya. Kakek itu ternyata memiliki ilmu yang 

tinggi, Kang. Terutama sekali ilmu meringankan 

tubuhnya. Kakek itu berjuluk Camar Laut Merah."

Wuraji menganggukkan kepalanya. Dari 

kedua orang gurunya, dia telah mendengar tokoh 

yang berjuluk Camar Laut Merah. Seorang tokoh 

persilatan aliran putih yang memiliki ilmu 

kepandaian amat tinggi, dan ilmu meringankan 

tubuh yang luar biasa. Tidak kalah dengan Monyet 

Tanpa Bayangan, gurunya.

"Sepuluh tahun aku dididiknya, Kang. Lalu 

aku pamit untuk mencari musuh besar kita. 

Membalas dendam kematian ayahmu, orang yang 

telah menanam budi besar padaku."

Wuraji tercenung. Memang pemuda 

berpakaian coklat ini telah mengetahui cerita itu. 

Ayahnya telah menceritakan padanya kalau Marni 

adalah anak yang berhasil ditemukan ayahnya, di 

sebuah desa yang telah hancur lebur dijarah 

perampok. Kala itu Marni baru berusia lima


tahun. Ayahnya lalu membawa Marni karena 

sudah tidak punya kerabat lagi.

"Sekarang kau yang ganti bercerita, Kang. 

Aku ingin mendengar semua pengalamanmu."

Wuraji pun menceritakan semua 

pengalamannya. Tapi sama sekali tidak 

memberitahukan kalau kedua gurunya adalah 

pentolan-pentolan kaum sesat.

"Sekarang ke mana tujuanmu, Kang?" 

tanya Marni ketika pemuda berpakaian coklat itu 

menyelesaikan ceritanya. Sepasang matanya 

menatap wajah pemuda itu.

"Hhh...!" Wuraji menghela napas berat. 

"Tujuan utamaku adalah mencari pembunuh ayah 

dan seluruh kakak seperguruanku..., dan 

membalaskan kematian mereka. Tapi...."

"Kenapa, Kang?" Marni merasa heran 

melihat keragu-raguan yang membayang di wajah 

pemuda itu.

"Guru-guruku menyuruh mencari kakak 

seperguruanku...."

"Apa keperluannya, Kang?"

"Mereka ingin aku belajar hidup darinya...," 

pelan dan berdesah suara Wuraji.

"Belajar hidup?!" dahi Marni berkernyit. 

"Aku tidak mengerti maksud ucapan Kakang."

Wuraji terdiam. Pemuda berahang kokoh 

ini tidak langsung menjawab pertanyaan itu. 

Sementara Marni masih terus menunggu jawaban 

dengan penuh rasa ingin tahu.


"Guru-guruku adalah tokoh-tokoh sesat. 

Dan mereka ingin agar aku jadi penjahat juga. 

Tapi, tetap saja aku tidak bisa. Sehingga mereka 

menyuruhku bergabung dengan kakak 

seperguruanku. Maksud mereka, agar aku dapat 

meniru-niru kelakuan kakak seperguruanku."

"Ih...!" Marni berseru kaget. "Rencana gila! 

Siapakah nama kakak seperguruanmu itu, Kang?"

"Aku sendiri belum pernah berjumpa 

dengannya. Tapi, guruku memberi tahu 

julukannya, Siluman Tangan Maut."

"Siluman Tangan Maut?!" Marni berseru 

kaget "Dia adalah seorang tokoh hitam yang amat 

jahat dan kejam!"

"Kau mengenalnya, Marni?" Wuraji ingin 

tahu.

"Kenal sih tidak," Marni menggelengkan 

kepalanya. ''Tapi, sepak terjangnya sudah lama 

kudengar. Dia telah membuat kekacauan di dunia 

persilatan. Sudah tak terhitung lagi orang-orang 

yang mati di tangannya. Kau tahu, Kang? 

Rombongan berkuda yang kita tolong tadi adalah 

orang kaya yang melarikan diri dari tempat 

tinggalnya karena takut pada Siluman Tangan 

Maut. Padahal orang kaya itu tahu kalau di hutan 

ini ada segerombolan perampok yang akan 

menghadang perjalanannya. Aku sendiri 

mengetahuinya secara kebetulan. Mendengar 

percakapan orang yang mengawal orang kaya itu."


"Ah...! Sejahat itukah dia?" desah Wuraji 

penuh rasa terkejut

Marni menganggukkan kepalanya.

"Dan kau..., menuruti saja saran guru-

gurumu untuk belajar hidup dari orang seperti 

dia?!"

Kini ganti Wuraji yang menganggukkan 

kepalanya.

"Gila!" desis Marni tajam. "Mengapa kau 

mau saja melaksanakan perintah mereka, Kang?! 

Kau ingin jadi penjahat?! Ah...! Kalau saja ayahmu 

mendengar semua ini, mungkin dia akan bangkit 

dari liang kuburnya.''

Wuraji tercenung mendengar ucapan 

berapi-api itu. Kepala pemuda ini tertunduk 

dalam.

"Aku terpaksa," sahut Wuraji. Suaranya 

terdengar mendesah.

"Maksudmu...? Guru-gurumu memaksa?!" 

selak Marni cepat "Jangan khawatir, Kang. Aku 

ada di sampingmu. Kita tentang kesewenang-

wenangan mereka!"

"Kau salah paham, Marni," kembali Wuraji 

menggelengkan kepalanya. "Guru-guruku sama 

sekali tidak memaksa."

"Aku semakin tidak mengerti maksudmu, 

Kang."

"Aku terpaksa menerima usul mereka 

hanya sekadar, yahhh...! Kuanggap ini sebagai


balas budi atas kebaikan mereka yang telah susah 

payah merawat dan mendidikku."

"Lalu..., hanya untuk membalas budi 

mereka, kau rela jadi penjahat...?" desak Marni 

penasaran.

"Siapa yang ingin jadi penjahat?!" bantah 

Wuraji cepat

"Heh...?!" Marni terkejut "Bukankah kau 

sendiri yang mengatakannya tadi?"

"Aku tidak berkata demikian. Aku hanya 

mengatakan, guru menyuruh untuk menjumpai 

kakak seperguruanku dan belajar hidup darinya. 

Kalau aku tetap tidak bisa, tidak jadi masalah. 

Yang penting, hati ini tenang, karena telah 

menunaikan perintah mereka."

"Jadi...?" wajah Marni mulai berseri 

kembali.

"Kewajibanku hanya menemui kakak 

seperguruanku. Masalah mengikuti jejaknya atau 

tidak, tergantung pada kemauanku sendiri."

"Kalau begitu..., aku ikut, Kang," ucap 

Marni sambil tersenyum gembira. "Aku juga ingin 

tahu, seperti apakah tokoh yang menggemparkan 

itu!"

***

Wuraji dan Marni melangkah perlahan 

menuju sebuah bangunan besar berhalaman luas 

yang dikelilingi pagar tembok tinggi dan kokoh. Di


bagian depan pintu gerbang, nampak berdiri dua 

orang kasar berwajah angker. Sebatang golok 

nampak tergantung di pinggang mereka.

Dua orang berwajah kasar itu mengerutkan 

alisnya, begitu melihat sepasang muda-mudi yang 

melangkah mendekati pintu gerbang.

"Berhenti...!" seru penjaga yang berwajah 

bopeng, seraya memasang wajah angker, begitu 

jarak di antara mereka ringgal dua tombak lagi.

Wuraji dan Marni langsung berhenti 

melangkah.

"Siapa kalian?! Dan mengapa kalian 

kemari?!" tanya penjaga yang berkumis jarang. 

Tangan kanannya bergerak memelintir kumisnya 

yang hanya beberapa lembar saja. Sementara 

sepasang matanya melirik ke arah Marni. 

Merayapi wajah molek dan tubuh montok 

menggiurkan di hadapannya.

Marni langsung membuang muka melihat 

tingkah laki-laki berkumis jarang yang 

memuakkan itu.

Melihat sikap Marni, wajah laki-laki 

berkumis jarang itu merah padam karena marah. 

Wuraji yang melihat hal ini jadi merasa khawatir 

akan terjadi keributan. Dan itu tidak 

diinginkannya. Maka buru-buru dia melangkah 

maju.

"Aku Wuraji. Kedatanganku kemari untuk 

bertemu Siluman Tangan Maut."


Ucapan pemuda berahang kokoh itu 

terbukti ampuh. Mendengar julukan itu disebut 

seketika wajah laki-laki berkumis jarang berubah 

hebat

"Apa keperluanmu menemui ketua kami?" 

tanya laki-laki yang berwajah bopeng. Kali ini 

suaranya terdengar lunak. Tidak keras dan kasar 

seperti sebelumnya.

"Aku adalah adik seperguruannya," sahut 

Wuraji pelan

"Ahhh...!"

Tentu saja kedua penjaga itu terkejut 

bukan main mendengarnya. Beberapa saat 

lamanya mereka terlongong bingung. Menilik sikap 

dan gerak-geriknya, sepasang muda-mudi ini 

bukanlah termasuk golongan kaum sesat. Lalu 

mengapa pemuda berpakaian coklat ini mengaku 

adik seperguruan Siluman Tangan Maut? 

"Siapa gurumu?" tanya laki-laki berkumis 

jarang. Nada suaranya menyiratkan 

ketidakpercayaan

"Guruku berjuluk Ular Kaki Seribu dan 

Monyet Tanpa Bayangan."

Kedua penjaga itu tercenung sejenak. 

Mereka memang tidak pernah tahu asal-usul 

ketua mereka. Maka keduanya tidak bisa 

memastikan kebenaran ucapan Wuraji.

"Kalian tunggu sebentar," ucap laki-laki 

berwajah bopeng. "Aku hendak memberitahu 

kedatangan kalian pada ketua."


Setelah berkata demikian, dia bergegas 

melangkah ke dalam. Pintu gerbang memang 

sengaja tidak dikunci sehingga laki-laki berwajah 

bopeng itu tidak mengalami kesulitan ketika 

masuk ke dalam.

Wuraji dan Marni terpaksa menunggu 

dengan ditemani penjaga yang berkumis jarang. 

Cukup lama juga sepasang muda-mudi itu 

menunggu, sebelum akhirnya laki-laki berwajah 

bopeng muncul kembali.

"Kalian berdua disuruh masuk," ucap laki-

laki itu mempersilakan.

Tanpa merasa ragu-ragu sedikit pun, 

Wuraji dan Marni melangkah ke dalam. Dan 

begitu sampai di halaman yang luas, sepasang 

muda-mudi ini melihat sesosok tubuh yang berdiri 

tegak seperti sedang menunggu. Kedua tangannya 

bersedekap di depan dada.

Wajah Wuraji dan Marni kontan berubah 

begitu mengenali sosok tubuh itu. Seorang laki-

laki berusia sekitar empat puluh lima tahun dan 

berwajah meruncing ke depan. Pakaiannya adalah 

sebuah rompi berwarna kuning. Tangan kirinya 

menggenggam sebuah trisula.

Baik Wuraji maupun Marni kenal betul 

siapa laki-laki berompi kuning ini. Dialah orang 

yang telah membunuh Ketua Perguruan Kumbang 

Merah, ayah Wuraji! Laki-laki inilah yang dikenal 

oleh Wuraji dan Marni bernama Wisanggeni.


Memang sepasang muda-mudi ini mendengar 

nama itu dari mulut almarhum ayah Wuraji.

Meskipun kemarahan yang amat sangat 

melanda hatinya, tapi Wuraji masih mampu 

menahan diri untuk tidak terburu-buru membuat 

perhitungan. Sebuah dugaan lain yang berkelebat 

di benaknya, membuatnya masih mampu 

menahan diri.

Suara gemeretak di sebelahnya, 

menyadarkan Wuraji kalau bukan hanya dirinya 

saja yang dilanda amarah. Ada seorang lagi yang 

juga tengah diamuk dendam. Orang itu adalah 

Marni. Dan untuk mencegah gadis berpakaian 

biru itu tidak langsung menyerang, maka Wuraji 

segera berbisik pelan di telinga gadis itu.

''Tahan dulu amarahmu, Marni. Aku ingin 

tahu, apakah dia yang berjuluk Siluman Tangan 

Maut. Menurut guruku, nama kakak 

seperguruanku adalah Pati Gala."

Mendengar keseriusan ucapan Wuraji, 

Marni tidak berani membantah. Dia tahu betul arti 

penting hal itu bagi Wuraji. Ditariknya napas 

dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat 

untuk meredakan gejolak amarah yang seperti 

akan memecahkan dadanya.

"Kau yang bernama Wuraji?" tanya laki-laki 

berompi kuning yang bukan lain adalah 

Wisanggeni.


Wuraji hanya menganggukkan kepalanya. 

Dia sengaja tidak menjawab. Khawatir kalau-kalau 

suaranya akan terdengar bergetar.

"Benar kau murid Ular Kaki Seribu dan 

Monyet Tanpa Bayangan?" tanya Wisanggeni lagi.

Kembali Wuraji menganggukkan 

kepalanya.

"Apakah gadis itu saudara seperguruan 

kita juga?"

Wuraji menggelengkan kepalanya.

"Kau tidak bisa bicara, Wuraji?" Wisanggeni 

mulai jengkel, begitu menyadari kalau 

pertanyaannya hanya dijawab dengan anggukan 

dan gelengan kepala. "Bicaralah sebelum hilang 

kesabaranku. Dan kau kubunuh! Ingat, meskipun 

kau adik seperguruanku, aku tidak segan-segan 

membunuhmu!"

Tidak nampak ada perubahan pada wajah 

Wuraji.

"Aku ingin menanyakan sesuatu. Boleh?" 

terdengar kaku suara pemuda berahang kokoh ini. 

Padahal Wuraji sudah berusaha keras untuk 

melunakkan suaranya.

Wisanggeni mengerutkan alisnya. Rupanya 

laki-laki berpakaian rompi kuning ini menangkap 

nada suara yang terdengar agak kasar itu. 

Kelakuan orang yang mengaku sebagai adik 

seperguruannya ini begini aneh sehingga 

membuatnya curiga. Dengan sendirinya, seluruh 

otot-otot dan urat-urat syaraf di tubuhnya pun


menegang. Apalagi ketika melihat wanita ber-

pakaian biru yang sejak tadi menundukkan kepala 

saja. Tak sedikit pun mengangkat kepalanya.

"Tanyalah apa yang ingin kau tanyakan." 

Wisanggeni menyahut tak kalah kaku.

"Apakah kau yang berjuluk Siluman 

Tangan Maut dan bernama Pati Gala?"

"Benar. Akulah orang yang kau cari," sahut 

Wisanggeni dingin. ''Tapi sekarang namaku bukan 

lagi Pari Gala. Tapi Wisanggeni."

"Mengapa?!" tanya Wuraji dengan suara 

kian gemetar karena dugaan yang semakin kuat 

kalau orang di hadapannya adalah musuh 

besarnya.

"Karena musuh besarku telah berhasil 

kubunuh. Dulu aku bersumpah, selama belum 

berhasil membunuh musuh besarku, nama asliku 

tidak kuperkenalkan." Siluman Tangan Maut 

memberi tahu.

Wuraji mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Kini dia mengerti. Rupanya Pati Gala hanya nama 

samaran.

"Siapakah musuh besarmu, Wisanggeni?" 

Wuraji bertanya lagi, ingin memastikan.

"Suntara."

"Kalau begitu, mampuslah kau!"

Terdengar bentakan nyaring, yang bukan 

hanya membuat Siluman Tangan Maut terkejut. 

Tapi juga Wuraji.


Bentakan itu ternyata keluar dari mulut 

Marni. Dan seiring dengan keluarnya suara 

bentakan, gadis berpakaian biru ini sudah 

menyerang Siluman Tangan Maut dengan sebuah 

serangan mematikan.

Jari-jari telunjuk kedua tangan Marni 

menegang kaku. Dan langsung menusuk cepat ke 

arah tenggorokan Wisanggeni alias Pati Gala.

Ciiit, ciiit...!

Suara mencicit nyaring terdengar 

mengiringi tibanya totokan-totokan Marni. 

Memang hebat bukan main serangan gadis 

berpakaian biru ini Apalagi dilakukan dengan tiba-

tiba.

Untung, Siluman Tangan Maut sudah sejak 

tadi bersikap waspada. Sehingga meskipun 

serangan Marni tiba begitu cepat, dia mampu 

bergerak lebih cepat lagi.

Wisanggeni menarik kaki kanannya ke 

belakang, seraya mendoyongkan tubuh, sehingga 

totokan-totokan itu mengenai tempat kosong. 

Sejengkal di depan wajahnya.

Marni yang tengah diamuk dendam, tidak 

berhenti sampai di situ saja. Begitu serangan 

totokannya luput, kaki kanannya mencuat ke arah 

perut, dengan sebuah tendangan lurus.

Kali ini Siluman Tangan Maut tidak 

mengelak. Tapi menangkis dengan membacokkan 

tangan kanannya ke bawah.

Takkk!



Terdengar suara berdetak keras seperti 

beradunya dua buah benda keras, tatkala tangan 

dan kaki yang sama-sama mengandung tenaga 

dalam penuh itu berbenturan.

Marni meringis begitu merasakan kakinya 

sakit bukan main. Gadis berpakaian biru ini 

terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. 

Sekujur tubuhnya tergetar hebat. Sementara 

Siluman Tangan Maut hanya tergetar saja kedua 

tangannya.

"Keparat! Kenapa kau menyerangku, Gadis 

Liar?!" bentak Wisanggeni seraya melempar tubuh 

ke belakang, lalu bersalto beberapa kali di udara 

sebelum mendarat ringan di tanah.

Sepasang mata gadis ini berapi-api 

memandang Siluman Tangan Maut.

"Aku adalah murid musuh besarmu!" 

tandas Marni, keras.

"Ooo..., jadi kau murid Suntara?" kalem 

dan tenang suara Siluman Tangan Maut

''Tidak usah banyak bicara!" sergah Marni 

keras. "Yang jelas, kau harus membayar semua 

kekejianmu dengan nyawa!"

Setelah berkata demikian, Marni kembali 

melancarkan serangan. Tubuh gadis berpakaian 

biru ini melayang di udara, melancarkan 

tendangan terbang.

Wisanggeni hanya tersenyum mengejek. 

Dari benturan tadi, dia sudah bisa menebak kalau

tenaga dalamnya masih lebih unggul daripada


tenaga dalam Marni. Oleh karena itu, dia tidak 

mau mengelak. Laki-laki berompi kuning ini 

sengaja akan menggunakan kelebihannya untuk 

mendesak gadis berpakaian biru ini.

Sebagai orang yang telah kenyang makan 

asam garam dunia persilatan, dan puluhan 

bahkan mungkin ratusan kali bertempur 

menghadapi lawan tangguh, Wisanggeni dapat 

menduga kalau tendangan terbang itu 

kemungkinan besar akan datang beruntun. Maka, 

dia pun bersiap siaga.

Dugaan laki-laki berompi kuning ini 

ternyata tepat. Serangan Marni ternyata tidak 

hanya sekali saja. Mula-mula yang datang lebih 

dulu adalah kaki kanan, ke arah leher Wisanggeni.

Siluman Tangan Maut segera 

menyilangkan kedua tangannya di depan wajah. 

Tanpa ragu-ragu lagi, seluruh tenaga dalam yang 

dimilikinya dikerahkan

Dukkk!

Saking kuatnya tendangan yang dilakukan 

Marni, apalagi ditambah dengan tenaga 

luncurnya, menyebabkan tenaga serangan itu jadi 

berlipat ganda. Maka meskipun telah 

mengerahkan seluruh tenaganya, tak urung kuda-

kuda Wisanggeni tergempur. Bahkan kedua 

tangannya goyah.

Dan di saat itulah, kaki kiri Marni 

meluncur tiba! Cepat bukan main datangnya 

serangan yang kedua ini. Serangan ini memang


merupakan serangan beruntun. Tapi, masih lebih 

cepat lagi gerakan Wisanggeni. Laki-laki berompi 

kuning ini segera menghentakkan kedua 

tangannya ke bawah.

Plakkk!

Marni meringis. Kaki kirinya terasa sakit 

bukan main. Tangkisan yang dilakukan Siluman 

Tangan Maut memang keras sekali. Meskipun 

begitu, gadis ini masih sempat mempertunjukkan 

kelihaiannya. Seraya mengeluarkan pekik 

melengking nyaring, tubuhnya melenting ke 

belakang. Bersalto beberapa kali di udara, dan 

mendarat ringan tanpa suara di tanah, walaupun 

agak terhuyung.

Terdengar suara gemeretak ketika Siluman 

Tangan Maut menggertakkan gigi. Laki-laki 

berompi kuning ini memang murka bukan main. 

Maka begitu melihat Marni menghentikan 

serangan, dia pun balas menyerang.

***

5

"Hiyaaa...!"

Sekali menyerang, Siluman Tangan Maut 

sudah mengeluarkan ilmu andalannya, 

'Tendangan Angin Puyuh'. Kaki kanannya 

melakukan tendangan miring bertubi-tubi ke arah 

perut, dada, dan leher. Cepat bukan main 

tendangan beruntun itu. Angin serangannya pun 

menimbulkan suara menderu-deru yang membuat 

batu-batu kecil berpentalan tak tentu arah. Debu 

pun mengepul tinggi ke udara.

Marni tidak berani bertindak gegabah. 

Gadis berpakaian biru ini sadar kalau serangan 

lawan amat berbahaya. Tambahan lagi dia belum 

mengetahui perkembangan gerakan lawan. Maka 

dia tidak berani menangkis. Marni langsung 

melompat mundur ke belakang, sehingga 

tendangan tadi mengenai tempat kosong. 

Beberapa jengkal di depan tubuhnya.

Tapi Wisanggeni yang tengah murka, tidak 

mau memberi kesempatan lagi. Begitu 

serangannya berhasil dielakkan, dia pun kembali 

melancarkan serangan susulan. Sesaat kemudian, 

kedua tokoh ini sudah terlibat dalam sebuah 

pertarungan sengit.

Tentu saja keributan yang terjadi, segera 

mengundang perhatian anak buah Siluman


Tangan Maut. Sebentar saja tempat itu telah 

dikurung belasan orang berwajah kasar. Tapi 

mereka sama sekali tidak berani bertindak, kalau 

tidak diperintah Wisanggeni.

Wuraji memperhatikan jalannya 

pertarungan dengan perasaan cemas bukan main. 

Di dalam dada pemuda berpakaian coklat ini 

tengah terjadi pertentangan batin yang hebat. 

Sungguh dia tidak menyangka kalau kakak 

seperguruan yang belum pernah dilihatnya adalah 

pembunuh ayah dan kakak-kakak 

seperguruannya.

Hal inilah yang membuat pemuda 

berpakaian coklat ini terpaku untuk beberapa saat 

Tak tahu harus berbuat apa.

Sementara itu pertarungan antara Marni 

dan Siluman Tangan Maut berlangsung cepat. 

Kedua orang ini memang sama-sama memiliki 

kecepatan gerak yang mengagumkan. Hal ini ini 

tidak aneh. Karena Wisanggeni adalah murid 

kesayangan tokoh sesat yang memiliki ilmu 

meringankan tubuh luar biasa, dan berjuluk 

Monyet Tanpa Bayangan. Begitu pula halnya 

dengan Marni.

Karena pertarungan yang berjalan cepat 

itulah, maka dalam waktu singkat tiga puluh jurus 

telah berlalu. Dan mulai tampak kalau Marni 

bukan tandingan Siluman Tangan Maut yang 

memiliki kepandaian menggiriskan.


Marni terdesak hebat. Memang gadis 

berpakaian biru ini kalah segala-galanya 

dibanding lawannya. Kalah dalam hal tenaga 

dalam, kecepatan gerak, maupun pengalaman 

bertarung.

Lewat tiga puluh lima jurus, Marni hanya 

mampu mengelak. Sesekali menangkis, dan hanya 

kadang-kadang mengjrim serangan balasan.

"Haaat..!"

Marni berteriak keras. Dan seiring dengan 

teriakannya, tubuhnya melenting jauh ke 

belakang, lalu bersalto beberapa kali di udara. 

Tapi Wisanggeni tidak mau memberinya 

kesempatan. Begitu melihat tubuh lawannya 

melenting, segera dia melompat mengejar. Siluman 

Tangan Maut tidak mau memberi kesempatan 

pada Marni untuk memperbaiki posisi.

Tapi kali ini Wisanggeni salah perhitungan. 

Sambil bersalto, tangan Marni bergerak cepat ke 

arah punggung. Dan begitu serangan yang 

memburunya menyambar tiba, tahu-tahu pedang 

gadis ini melesat cepat memapak.

Wisanggeni terkejut bukan main melihat 

hal ini. Sebelum serangannya tiba, sudah dapat 

dipastikan kalau tubuhnya akan terlebih dulu 

tertembus pedang lawan. Oleh karena itu, buru-

buru serangannya dibatalkan.

Bukan hanya itu saja yang dilakukan laki-

laki berompi kuning ini. Seraya menarik pulang 

serangannya, tubuhnya dilempar ke samping kiri,



sehingga sabetan pedang Marni mengenai tempat 

kosong. Berbareng dengan itu, tangan kanannya 

dikibaskan.

Takkk!

Pedang Marni terlempar jauh, ketika 

tangan Wisanggeni mengenai pergelangan tangan 

kirinya. Padahal kibasan tangannya hanya 

menyerempet saja.

Wuraji tentu saja terperanjat melihat hal

itu. Kini pemuda berahang kokoh ini sudah 

mengambil keputusan untuk membantu Marni. 

Apa pun yang terjadi, dia harus membuat 

perhitungan dengan orang yang telah membunuh 

ayah dan kakak-kakak seperguruannya.

Tapi sebelum Wuraji menerjang, anak buah 

Wisanggeni yang sejak tadi hanya mengurung, 

tidak tinggal diam.

Srattt, srattt..!

Sinar-sinar menyilaukan berpendar tatkala 

anak buah Siluman Tangan Maut mencabut 

senjata masing-masing. Dan secepat senjata 

mereka terhunus, secepat itu pula diayunkan ke 

arah pemuda berpakaian coklat itu. Seketika itu 

juga, hujan senjata berkelebatan ke arah berbagai 

bagian tubuh Wuraji

Terpaksa pemuda berahang kokoh ini 

mengurungkan niat hendak menolong Marni, 

ketika melihat berkelebatannya senjata-senjata 

lawan. Dengan gerakan yang lincah laksana kera, 

Wuraji berhasil mengelakkan semua serangan.




Tubuhnya berkelebatan di antara hujan senjata 

tajam yang mengancam berbagai bagian 

tubuhnya.

Sebaliknya, setiap kali tangan atau kaki 

putra Ketua Perguruan Kumbang Merah ini 

bergerak, sudah dapat dipastikan ada yang 

bergelimpangan di tanah tanpa nyawa.

Sebetulnya Wuraji tidak berniat 

membunuh keroco-keroco seperti mereka. Tapi, 

karena tahu lawan berjumlah banyak, dan lagi 

keadaan Marni sudah mengkhawatirkan, maka 

pemuda berpakaian coklat ini tidak mempunyai 

pilihan lain lagi.

Suara jerit kematian terdengar susul-

menyusul mengiringi bertumbangannya tubuh-

tubuh tanpa nyawa.

Siluman Tangan Maut menggertakkan gigi 

begitu melihat anak buahnya bertumbangan satu 

persatu. Dan seiring dengan kemarahannya yang 

bergolak, serangannya pun jadi kian dahsyat. Dan 

akibatnya segera dirasakan Marni. Gadis 

berpakaian biru ini merasakan serangan-serangan 

Wisanggeni semakin tambah sulit dibendung.

Tentu saja Wuraji pun tahu keadaan yang 

dialami Marni. Maka dia segera bergerak 

menerobos kepungan, dan langsung melompat 

menerjang musuh besarnya.

Begitu Wuraji ikut campur tangan, 

keadaan langsung berubah. Kini Marni tidak


mengalami tekanan berat lagi. Malah sebaliknya, 

Siluman Tangan Maut yang kerepotan.

Wuraji kini tidak sungkan-sungkan lagi 

mengeluarkan seluruh kemampuannya. Yang ada 

dalam benaknya hanya satu. Membalas dendam 

kepada pembunuh ayah dan saudara-saudara 

seperguruannya.

Wisanggeni menggertakkan gigi. Kini dia 

harus mengerahkan seluruh kemampuan untuk 

menghadapi kedua lawannya. Kepandaian kedua 

orang muda itu tidak berselisih jauh dengannya. 

Tapi, dia lebih menitikberatkan serangannya pada 

Marni.

Memang pemuda berpakaian coklat itu 

memiliki kepandaian yang tidak kalah dengan 

Marni. Tapi, ada satu kekurangan pada Wuraji. 

Semua ilmu yang dimilikinya, dimiliki Siluman 

Tangan Maut. Dan dengan sendirinya Wisanggeni 

tahu cara mengatasinya.

Berbeda dengan Marni. Gadis berpakaian 

biru ini memiliki ilmu-ilmu yang sama sekali tidak 

dikenalnya.

Itulah sebabnya mengapa Siluman Tangan 

Maut lebih memperhatikan setiap serangan gadis 

itu ketimbang serangan yang dikirim Wuraji

Begitu bertarung dengan Siluman Tangan 

Maut, Wuraji baru sadar kalau ada beberapa ilmu 

yang tidak dimilikinya. Di antaranya adalah 

'Tendangan Angin Puyuh' yang merupakan ilmu


andalan Ular Kaki Seribu. Dan juga jurus 'Kera', 

milik Monyet Tanpa Bayangan

Kini pemuda berpakaian coklat ini pun 

sadar kalau guru-gurunya tidak menurunkan 

seluruh ilmu-ilmu yang mereka miliki. Tapi Wuraji 

tidak sempat memikirkan hal itu. Seluruh 

pikirannya dipusatkan untuk merobohkan kakak 

seperguruannya secepat mungkin

Hebat bukan main pertarungan antara 

ketiga orang sakti itu. Suara angin menderu-deru 

dan bercicitan terdengar meningkahi pertarungan. 

Batu-batu kecil beterbangan tak tentu arah, dan 

tanah terbongkar di sana-sini. Bahkan debu pun 

mengepul tinggi ke udara.

Tapi lewat lima puluh jurus, Siluman 

Tangan Maut mulai terdesak. 

"Haaat...!"

Laki-laki berompi kuning berteriak keras 

menggelegar. Sesaat kemudian, di tangan 

kanannya telah tergenggam trisula yang tadi 

ditancapkannya di tanah, sewaktu Marni 

melompat menyerangnya. Tahu akan kelihaian 

Wisanggeni, apalagi dengan senjata andalan di 

tangan, Wuraji tidak berani bertindak ceroboh. 

Cepat dia mengeluarkan senjata andalannya yang 

berupa sepasang tombak pendek. Bahkan Marni 

pun telah mengambil pedangnya yang tadi telah 

terlempar ke tanah.

Pertarungan kembali terjadi. Kali ini lebih 

seru dari sebelumnya, karena kedua belah pihak


telah mengeluarkan senjata andalan masing-

masing. Suara bercicitan, mendesing, dan 

mengaung, menyemaraki pertempuran.

Semua anak buah Siluman Tangan Maut 

yang sejak tadi sudah menyingkir, menjauhi 

pertempuran, kini bergerak semakin menjauh. 

Mereka khawatir terkena serangan nyasar. 

Jangankan terkena telak, tersambar angin 

serangannya saja sudah cukup untuk mengirim 

nyawa mereka ke alam baka.

Pertarungan berlangsung cepat. Sehingga 

tak terasa lima puluh jurus lagi telah berlalu. Dan 

lagi-lagi, Wisanggeni harus menelan kenyataan 

pahit. Dia tetap tidak mampu mengatasi lawan-

lawannya.

Semakin lama keadaan Siluman Tangan 

Maut semakin terdesak. Kini dia hanya mampu 

mengelak. Sesekali menangkis, dan hanya kadang-

kadang saja balas menyerang.

Wisanggeni menggertakkan gigi. Berusaha 

menguras seluruh kemampuannya. Tapi karena 

lawan terlalu kuat, semua yang dilakukannya 

tetap saja tidak membuahkan hasil seperti yang 

diharapkan. Laki-laki berompi kuning ini tetap 

saja terdesak hebat

"Haaat..!"

Seraya mengeluarkan pekikan melengking 

nyaring, Marni melompat ke atas. Dan laksana 

seekor burung garuda menerkam mangsa, dari


atas, tubuhnya menukik deras ke bawah. Pedang 

di tangannya ditusukkan cepat ke arah dada.

Hati Siluman Tangan Maut tersekat. 

Apalagi pada saat yang sama, Wuraji juga 

mengirim serangan tak kalah dahsyat. Sepasang 

tombak pendek pemuda berpakaian coklat itu 

berputaran, sebelum akhirnya menotok deras ke 

arah ulu hati dan pusar.

"Hih...!"

Tanpa pikir panjang lagi, Wisanggeni 

segera membanting tubuh di tanah, dan langsung 

bergulingan menjauh.

Tapi Wuraji dan Marni mana mau 

membiarkan musuh besar mereka lolos? Tanpa 

membuang-buang waktu, mereka langsung 

mengejar tubuh laki-laki berompi kuning itu. Dan 

langsung menghujani dengan serangan-serangan 

maut

Kini Siluman Tangan Maut jadi sibuk 

mengelakkan serangan-serangan itu. Tidak ada 

jalan lain lagi baginya untuk menyelamatkan 

selembar nyawanya kecuali terus bergulingan di 

atas tanah. Tapi, sampai berapa lama dia bisa 

bertahan seperti ini?

Sebuah pemandangan menarik pun terlihat 

Tubuh Siluman Tangan Maut yang terus 

bergulingan. Sementara Wuraji dan Marni 

berusaha keras menyarangkan serangan. 

Menghujani tubuh yang bergulingan dengan 

serangan-serangan mematikan.


Sambil terus bergulingan, Wisanggeni 

memutar otaknya. Sebagai orang yang kenyang 

pengalaman bertempur, laki-laki berompi kuning 

ini sadar kalau dirinya berada dalam keadaan 

berbahaya. Kemungkinan untuk terkena sasaran 

serangan lawan, besar sekali. Dia harus cepat-

cepat membebaskan diri, kalau tidak ingin celaka. 

Tapi, bagaimana caranya?

Sampai beberapa saat lamanya, Siluman 

Tangan Maut terus bergulingan, sambil memutar 

trisula di atas tubuh untuk melindungi selembar 

nyawanya. Benaknya terus berputar untuk 

mencari jalan agar bebas dari keadaan yang tidak 

menguntungkan ini.

Desss!

Hati Siluman Tangan Maut tersekat ketika 

sebuah tendangan Marni tepat mengenai 

pergelangan tangannya. Tak pelak lagi, trisulanya 

pun terlepas dari genggaman dan terlempar jauh. 

Di saat itulah pedang di tangan gadis berpakaian 

biru itu dan sepasang tongkat Wuraji menyambar 

deras ke arah tubuhnya.

Sepasang mata Wisanggeni terbelalak 

lebar. Dia sudah berada dalam posisi yang benar-

benar terjepit. Tidak ada jalan lagi baginya untuk 

mengelak.

Tapi di saat gawat bagi keselamatan nyawa 

Siluman Tangan Maut tiba-tiba berkelebat sosok 

bayangan kuning keemasan dan hitam memapak 

serangan itu.


Plakkk, plakkk...!

Terdengar suara benturan keras berkali-

kali, disusul dengan terlemparnya tubuh Wuraji 

dan Marni ke belakang. Sekujur tubuh mereka 

tergetar hebat. Dada pun terasa sesak bukan 

main. Bahkan tangan yang terbentur itu bagaikan 

patah-patah. Tanpa dapat dicegah lagi, senjata 

mereka pun terlepas dari genggaman.

***

Wuraji dan Marni menatap dua sosok 

tubuh yang berdiri membelakangi Siluman Tangan 

Maut yang kini mulai bergerak bangkit. Seketika 

wajah pemuda berahang kokoh itu memucat 

begitu mengenali orang yang telah menggagalkan 

serangannya dan Marni.

Betapa tidak? Di hadapan mereka telah 

berdiri dua orang yang tak lain adalah Ular Kaki 

Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan. Guru-

gurunya!

"Guru...," ucap Wuraji pelan seraya 

bergerak memberi hormat

Kedua kakek itu hanya mendengus kasar.

"Untung kami tidak percaya penuh 

padamu, Wuraji," Monyet Tanpa Bayangan yang 

menyahuti. Nada suaranya terdengar datar. Tidak 

ada nada penyesalan di dalamnya. "Kalau tidak,

Pati Gala sudah terbunuh."


''Tanpa kau ketahui, kami mengikuti 

semua perjalananmu," sambung Ular Kaki Seribu. 

"Kami lihat semua kelakuanmu yang benar-benar 

mengecewakan kami. Seperti menolong 

rombongan kereta berkuda."

Wuraji hanya diam. Kepalanya tertunduk 

dalam. Sama sekali tidak membantah semua 

ucapan kedua gurunya. Sementara Marni menatap 

kedua kakek itu dengan sepasang mata penuh 

selidik. Inikah guru-guru Wuraji? tanyanya dalam 

hati

"Bagaimana ceritanya sehingga Guru bisa 

salah memungut murid? Kedua orang ini punya 

hubungan erat dengan orang yang telah 

kubunuh!" Siluman Tangan Maut angkat suara.

"Karena kecerobohan kami juga," keluh 

Monyet Tanpa Bayangan. "Untung saja ilmu-ilmu 

andalan kami tidak diturunkan semua."

"Lalu..., apa yang akan Guru lakukan 

terhadap murid murtad ini?" Wisanggeni ingin 

tahu.

"Hanya mengambil kembali ilmu yang telah 

kami wariskan kepadanya," jawab Ular Kaki 

Seribu ringan.

Siluman Tangan Maut tampak gembira 

bukan main. Sepasang matanya berbinar-binar. 

Seulas senyum keji tersungging di mulutnya. 

Sementara wajah Wuraji dan Marni berubah 

pucat. Mereka tahu apa arti mengambil kembali


ilmu yang telah diberikan itu. Membuat pemuda 

berahang kokoh ini menjadi orang cacat

Meskipun begitu, Wuraji sama sekali tidak 

bersikap seperti hendak menentang atau melawan. 

Dia tetap diam dengan kepala tertunduk. Tentu 

saja Marni jadi cemas bukan kepalang melihat hal 

ini

"Bersiaplah, Wuraji," ucap Ular Kaki Seribu 

seraya melangkah maju. Nada suaranya terdengar 

dingin. "Aku akan mengambil kembali ilmu yang 

telah kami wariskan kepadamu."

"Silakan, Guru," sahut Wuraji dengan 

suara bergetar.

''Tidak!" Terdengar suara bentakan tinggi 

melengking, disusul dengan berkelebatnya sesosok 

bayangan biru. Tahu-tahu di depannya, 

membelakangi Wuraji, berdiri seorang gadis cantik 

jelita, berwajah molek, dan bertubuh montok 

menggiurkan.

"Siapa kau, Nisanak?!" tanya Ular Kaki 

Seribu kalem. "Menyingkirlah, sebelum aku lupa 

kalau kau hanya seorang gadis ingusan."

"Aku kawan Wuraji!" jawab Marni ketus. 

"Dan aku tidak akan membiarkan kau melakukan 

kekejaman terhadapnya!"

"Hm...," Ular Kaki Seribu hanya 

menggumam pelan. Lalu menatap wajah gadis di 

hadapannya lekat-lekat.

"Marni! Menyingkirlah...! Jangan campuri 

urusanku...!" ujar Wuraji memberi nasihat


''Tidak!" bantah Marni tegas. "Aku tidak 

akan menyingkir!"

Berkilat sepasang mata Ular Kaki Seribu. 

Laki-laki berpakaian kulit ular ini memang 

pemarah. Begitu melihat sikap keras kepala Marni, 

kemarahannya bergolak seketika.

"Kau membuat kesabaranku habis, Wanita 

Sial!" desis Ular Kaki Seribu. Tangan kanannya, 

dengan jari-jari terbuka, mengarah ke ubun-ubun 

Marni. Sebuah serangan keji! Sekali menyerang, 

Ular Kaki Seribu telah bermaksud membinasakan 

gadis berpakaian biru itu.

Cepat bukan main serangan itu. Angin 

yang bercicitan tajam mengiringi tibanya 

serangan. Tapi, Marni bukan seorang gadis lemah. 

Gadis berpakaian biru ini tahu kalau lawan yang 

dihadapinya kali ini adalah seorang yang memiliki 

tingkat kepandaian amat tinggi. Maka sejak tadi 

dia sudah bersiap siaga.

Oleh karena itu, begitu melihat serangan 

maut Ular Kaki Seribu, Marni tidak menjadi 

gugup. Cepat tubuhnya direndahkan, sehingga 

serangan lawan lewat di atas kepalanya. Semula, 

gadis berpakaian biru ini ingin melompat ke 

belakang, tapi karena di belakangnya ada Wuraji, 

maka niatnya diurungkan.

Wuttt..!

Angin bersiutan keras kembali terdengar, 

begitu Ular Kaki Seribu melancarkan serangan


susulan. Kaki kanannya mencuat ke arah perut 

Marni.

Tidak ada jalan mengelak lagi bagi Marni. 

Gadis ini tahu jika dia mengelak, maka Wurajilah 

yang akan terkena tendangan itu. Karena pemuda 

berpakaian coklat itu memang berdiri tepat di 

belakangnya. Maka gadis ini pun memaksakan diri 

menangkis tendangan Ular Kaki Seribu dengan 

kedua tangan yang disertai pengerahan seluruh 

tenaga dalam. 

Plakkk...!

Suara keras seperti beradunya dua batang 

logam keras, terdengar. Marni meringis. Sekujur 

tangannya terasa seperti patah-patah tulangnya. 

Dadanya pun dirasakan sesak bukan main. 

Bahkan bukan hanya itu saja. Tubuhnya pun 

terlempar keras ke belakang, dan menabrak tubuh 

Wuraji. Tak pelak lagi, sepasang muda-mudi itu 

jatuh saling tumpang tindih.

Dan sebelum Marni sempat berbuat 

sesuatu, Ular Kaki Seribu telah kembali 

melancarkan serangan. Kaki kirinya menendang 

ke arah kepala gadis itu.

Wuraji terperanjat ketika melihat bahaya 

maut yang mengancam keselamatan gadis 

berpakaian biru itu. Pemuda berpakaian coklat ini 

tahu betul kedahsyatan tendangan laki-laki 

bermuka kuda itu. Jangankan kepala manusia, 

sebongkah batu karang yang keras pun akan 

hancur lebur terkena tendangan itu.


Wuraji tidak bisa menahan diri lagi melihat 

gadis yang diam-diam mulai memikat hatinya 

terancam maut

"Guru...! Jangan...!" teriak Wuraji keras. 

Dan dalam kekhawatiran yang amat sangat akan 

keselamatan Marni, masih dalam keadaan 

berbaring, Wuraji memapak tendangan gurunya 

dengan tendangan kaki kanan juga. 

Dukkk!

Dua buah kaki yang sama-sama 

mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. 

Wuraji meringis, menahan sakit yang membuat 

sekujur tulang-tulang kakinya seperti patah-

patah. Bukan hanya itu saja, tubuhnya pun 

terjengkang ke belakang dan kembali bergulingan 

di tanah. Meskipun begitu, akhirnya Marni 

berhasil diselamatkan.

"Keparat! Kau berani melawanku, Murid 

Murtad?!" Ular Kaki Seribu membentak keras. 

Amarahnya menggelegak seketika melihat 

muridnya berani menangkis serangannya.

"Jangan celakakan dia, Guru...," pinta 

Wuraji memohon, seraya bangltit berdiri. Tampak 

mulut pemuda ini menyeringai ketika berhasil 

berdiri. Kaki kanannya tidak lagi menapak dengan 

kokoh di tanah. Jelas kalau dia merasa kesakitan 

akibat benturan tadi.

Ular Kaki Seribu yang tengah murka mana 

mau mendengar ucapan muridnya. Sambil


memutar tubuh, kaki kanannya dikibaskan ke 

arah kepala muridnya.

Tapi Wuraji sama sekali tidak berusaha 

mengela atau menangkis. Untunglah di saat 

terakhir, Marni cepat mencekal tangan pemuda itu 

dan menariknya ke belakang.

 ***

 6

Wusss...!

Kibasan Ular Kaki Seribu mengenai tempat 

kosong. Lewat sejengkal di depan wajah Wuraji. 

Rambut dan sekujur pakaian yang dikenakan 

pemuda berahang kokoh itu berkibaran keras, 

saking kuatnya tenaga dalam yang terkandung 

dalam kibasan kaki tadi.

Ular Kaki Seribu meraung murka melihat 

serangannya kembali lolos. Sambil mengeluarkan 

suara teriakan keras menggelegar, kakek bermuka 

kuda ini melompat menerjang. Ular Kaki Seribu


melompat tinggi di udara. Dan dari atas, tubuhnya 

menukik deras bagaikan seekor burung garuda. 

Kedua tangannya yang membentuk cakar 

mengancam ubun-ubun Marni dan Wuraji.

"Kalau kau tidak mau menangkis, aku pun 

tidak akan menangkis serangan itu, Wuraji," bisik 

Marni tajam. "Biarlah aku mati penasaran di 

tangan gurumu"

Wajah Wuraji berubah seketika mendengar 

ucapan Marni. Terpaksa dia mengurungkan 

niatnya yang hendak membiarkan serangan 

gurunya. Rupanya dia tidak mau gadis berpakaian 

biru itu tewas karena dirinya.

"Haaat..!"

Wuraji memekik melengking nyaring. 

Tangan kanannya yang terkembang membentuk 

cakar dihentakkan ke depan, menangkis serangan 

tangan kiri Ular Kaki Seribu.

"Hyaaa...!" teriak Marni pula. Tangan 

kanannya pun dihentakkan menangkis serangan 

tangan kanan kakek bermuka kuda itu.

Prattt, prattt..!

Tubuh Wuraji dan Marni terjengkang ke 

belakang, dan terbanting keras di tanah. Seluruh 

tubuh mereka terasa sakit bukan main. Apalagi 

tangan yang menangkis. Tangan itu terasa patah-

patah!

Tubuh Ular Kaki Seribu pun terpental balik 

ke atas. Namun dengan manis, tubuhnya bersalto


beberapa kali di di udara kemudian mendarat di 

tanah.

Dengan raut wajah beku, kakek bermuka 

kuda ini menghampiri Wuraji dan Marni yang 

masih belum mampu bangkit. Sekujur tubuh 

sepasang muda-mudi itu terasa lemas. Seolah-

olah tidak bertulang sama sekali. Sementara Ular 

Kaki Seribu telah siap menjatuhkan serangan 

mematikan.

Wuraji dan Marni tidak bisa berbuat apa-

apa lagi selain pasrah menerima nasib. Kakek 

bermuka kuda itu memang terlalu kuat untuk 

mereka. Apabila pertarungan akan terjadi, 

sepasang muda-mudi itu pasti akan kalah. Tapi 

kalau saja Wuraji mau melawan sungguh-

sungguh, tidak akan semudah itu Ular Kaki Seribu 

dapat merobohkan mereka berdua.

Namun sebelum Ular Kaki Seribu 

menjatuhkan tangan maut, terdengar sebuah 

seruan cukup keras yang menyindirnya.

"Sebuas-buasnya seekor harimau, belum 

pernah kudengar memakan anaknya sendiri. Tapi 

sekarang, aku melihat ada seorang guru yang 

begitu tega hendak membunuh murid yang tidak 

mau melawannya."

Ular Kaki Seribu menoleh ke arah asal 

suara dengan wajah merah padam. Sepasang 

matanya berkilat memancarkan hawa maut. Dia 

ingin tahu, siapa orang yang telah berani 

menyindirnya.


Dalam jarak sekitar lima tombak di 

samping kirinya, berdiri dua sosok tubuh. Sosok 

pertama adalah seorang pemuda berambut putih 

keperakan dan berpakaian ungu. Sebuah guci 

arak yang terbuat dari perak tersampir di 

punggungnya.

Sedangkan sosok kedua adalah seorang 

wanita berpakaian putih berambut panjang 

terurai. Sebatang pedang tergantung di 

punggungnya.

Sekali lihat saja, Ular Kaki Seribu tahu 

kalau orang yang tadi menyindirnya adalah 

pemuda berambut putih keperakan itu. Suara 

yang tadi didengarnya, jelas-jelas suara seorang 

lelaki. Oleh karena itu, perhatiannya lebih 

dicurahkan pada pemuda berambut putih 

keperakan.

Mendadak jantung kakek bermuka kuda 

ini berdebar tegang, tatkala teringat pada seorang 

tokoh yang menggemparkan dunia persilatan 

belum lama ini. Tokoh itu mempunyai ciri-ciri 

yang mirip dengan pemuda di hadapannya.

"Siapa kau, Keparat?! Mengapa 

mencampuri urusanku?!" bentak Ular Kaki Seribu 

keras.

"Aku Arya, orang yang kebetulan lewat. 

Dan sudah jadi tekadku untuk ikut campur bila 

melihat tindak kejahatan berlangsung di depan 

mataku!" sahut pemuda berambut putih


keperakan yang tidak lain adalah Arya Buana alias 

Dewa Arak.

"Hm..., kalau begitu, kaulah kiranya orang 

berjuluk Dewa Arak, Manusia Usil?!" Ular Kaki 

Seribu mulai yakin dengan dugaannya. Memang 

telah menjadi rahasia umum kalau Dewa Arak 

mempunyai nama asli Arya.

Tapi Dewa Arak sama sekali tidak tampak 

marah mendengar ejekan itu. Bahkan pemuda 

berambut putih keperakan ini diam-diam merasa 

geli mendengar makian Ular Kaki Seribu.

"Julukan yang terlalu berlebihan, Kek," 

jawab Arya merendah. Masih tetap tersenyum.

"Orang lain boleh gentar mendengar 

julukanmu, Dewa Arak. Tapi jangan harap kalau 

aku, Ular Kaki Seribu akan gentar. Perlu kau 

ketahui, Dewa Arak. Sudah lama aku menanti-

nanti kesempatan untuk bertarung denganmu!"

"Hhh...!" Arya menghela napas panjang. 

Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan 

kegembiraan menerima tantangan itu. Memang, 

Dewa Arak sebenarnya tidak suka mencari 

permusuhan. Kalau bisa, dia ingin agar setiap 

masalah yang dihadapinya dapat diselesaikan 

tanpa perkelahian. Apalagi pertumpahan darah.

Tapi kini, pertarungan pasti tidak bisa 

dihindari lagi. Ular Kaki Seribu sudah tidak bisa 

dicegah. Dewa Arak tahu kalau kakek bermuka 

kuda ini memiliki kepandaian tinggi. Nama besar 

kakek itu sebagai seorang tokoh kaum sesat yang



ditakuti, telah lama didengarnya. Dan tadi pun dia 

telah menyaksikan sendiri kelihaian Ular Kaki 

Seribu.

Sementara itu Monyet Tanpa Bayangan 

dan Siluman Tangan Maut, begitu tahu kalau 

pemuda berambut putih keperakan ini adalah 

Dewa Arak, segera melangkah maju dan berdiri di 

sebelah Ular Kaki Seribu. Nama besar Dewa Arak 

telah lama mereka dengar, tapi baru kali inilah 

mereka berkesempatan melihat tokoh muda yang 

menggemparkan itu.

Arya yang telah dapat memperkirakan 

kelihaian kakek bermuka kuda ini, segera

menjumput guci araknya. Kemudian dituangkan 

ke mulut.

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar ketika arak 

melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu 

juga, ada hawa hangat yang merayap di perut 

Arya. Kemudian bergerak naik ke atas kepala.

"Haaat..!"

Sambil berteriak melengking nyaring, Ular 

Kaki Seribu menyerang Dewa Arak. Sekali 

menyerang, kakek bermuka kuda ini sudah 

menggunakan ilmu andalannya, 'Tendangan Angin 

Puyuh'.

Ular Kaki Seribu membuka serangan 

dengan sebuah tendangan lurus ke arah dada.

Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah 

dengan langsung menangkis serangan itu. Tapi dia


ingin mengetahui kekuatan tenaga dalam lawan 

lebih dahulu, agar bisa menangkis tanpa melukai, 

bila ternyata tenaga dalam kakek itu berada di 

bawahnya. Dan seperti biasanya, pemuda 

berambut putih keperakan ini menggunakan jurus 

'Delapan Langkah Belalang'.

Ular Kaki Seribu terkejut bukan main 

tatkala melihat lawannya mendadak lenyap, dan 

serangannya mengenai tempat kosong. Sesaat 

lamanya kakek bermuka kuda ini kebingungan. 

Baru ketika merasakan adanya sambaran angin 

dari arah belakang, dia tahu kalau lawan berada 

di belakang, dan tengah melancarkan serangan ke 

arahnya.

Memang begitu telah berada di belakang 

lawan, Dewa Arak segera melancarkan serangan 

bertubi-tubi ke arah tengkuk.

Cepat bukan main serangannya. Tapi, 

gerakan Ular Kaki Seribu pun tidak kalah cepat. 

Segera tubuhnya dirundukkan, sehingga serangan 

Arya mengenai tempat kosong. Pada saat yang 

bersamaan, kaki kanannya menyapu kaki Dewa 

Arak sambil memutar tubuh.

"Hih...!"

Arya menjejakkan kakinya. Sesaat 

kemudian tubuhnya melenting ke udara. Dan dari 

atas, kedua tangannya meluncur cepat ke arah 

kepala lawan.

Hebat bukan main serangan Dewa Arak. 

Apalagi datangnya begitu mendadak. Tapi, Ular


Kaki Seribu kembali menunjukkan kalau dirinya 

adalah seorang pentolan tokoh sesat. Tiba-tiba 

kakek bermuka kuda ini menghempaskan 

tubuhnya. Dan dengan bertumpu pada punggung, 

tubuhnya berputar. Sesaat kemudian kakinya 

telah bergerak menangkis serangan Arya.

Plakkk, plakkk...!

Dengan bantuan tenaga benturan, Dewa 

Arak melenting ke udara. Tubuhnya bersalto 

beberapa kali sebelum mendarat beberapa tombak 

dari tempat semula. Pada saat yang bersamaan, 

Ular Kaki Seribu pun telah bangkit berdiri. Kini 

kedua tokoh sakti ini saling tatap dalam jarak tiga 

tombak.

Arya menatap Ular Kaki Seribu penuh 

takjub. Kini dia mengerti mengapa kakek bermuka 

kuda ini mendapat julukan seperti itu. Kecepatan 

gerak, dan kedahsyatan kakinya memang luar 

biasa!

"Kau hebat Dewa Arak," puji Ular Kaki 

Seribu seraya menatap tajam wajah Arya.

"Kaulah yang hebat Ular Kaki Seribu," Arya 

balas memuji sejujurnya. "Aku harap kau sudi 

mengalah dan membiarkan kedua orang muda itu 

pergi dari sini."

"Mereka harus mati!" terdengar suara 

bentakan keras menggelegar. Dan sebelum gema 

suara itu lenyap, sesosok tubuh berompi kuning, 

telah berdiri di sebelah Ular Kaki Seribu.


Monyet Tanpa Bayangan pun tak mau 

ketinggalan. Segera kakek berpakaian kulit 

beruang ini melangkahkan kaki menghampiri. Dan 

sesaat kemudian, telah berdiri di sebelah Ular 

Kaki Seribu dan Wisanggeni

***

Dewa Arak mengernyitkan dahinya. 

Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau 

keadaan menguntungkan pihak lawan. Sekali lihat 

saja Arya tahu kalau kedua orang yang berada di 

sebelah Ular Kaki Seribu, memiliki kepandaian 

tinggi. Sorot mata mereka yang mencorong tajam, 

merupakan salah satu buktinya.

Seandainya hanya dia dan Melati yang ada 

di situ, tidak jadi persoalan bagi Dewa Arak untuk 

menghadapi ketiga orang ini. Tapi, karena di situ 

masih ada Wuraji dan Marni yang tengah 

membutuhkan pertolongan, sementara kedua 

orang itu tengah terluka, membuat Arya harus 

berpikir dua kali.

"Melati..., selamatkan kedua orang muda 

itu.... Biar aku yang menahan mereka...," pesan 

Dewa Arak pada Melati dengan menggunakan ilmu 

mengirim suara dari jauh.

Gadis berpakaian putih itu rupanya 

mengerti maksud tunangannya. Menyadari posisi 

lawan yang lebih menguntungkan. Maka tanpa


menunggu disuruh dua kali, Melati melesat cepat 

ke arah Wuraji dan Marni. 

"Hei...!"

Siluman Tangan Maut terperanjat. Cepat 

laksana kilat, tubuhnya berkelebat memburu 

tubuh Melati yang telah melesat lebih dulu.

Kejadian seperti ini sudah diperhitungkan 

sebelumnya oleh Arya. Maka tanpa membuang-

buang waktu lagi, kedua tangannya segera 

dihentakkan ke depan. Memapak tubuh 

Wisanggeni.

Wusss...!

Angin keras berhawa panas menyengat, 

meluncur ke arah tubuh Siluman Tangan Maut. 

Laki-laki berompi kuning ini kaget bukan main. 

Terpaksa maksudnya dibatalkan untuk memburu 

Melati. Kemudian melempar tubuhnya ke samping 

menghindari serangan Dewa Arak. Dan 

bergulingan di tanah.

Brakkk...!

Sebatang pohon sebesar dua pelukan orang 

dewasa tumbang seketika. Suara hiruk-pikuk 

terdengar mengbingi robohnya pohon itu ke tanah. 

Batangnya hangus. Sementara daun-daunnya layu 

mengering.

Dengan wajah sepucat mayat, Wisanggeni 

bangkit berdiri. Keringat sebesar biji-biji jagung 

membasahi wajahnya. Meskipun begitu, sorot 

kelegaan memancar dari sepasang matanya. Lega 

karena telah berhasil lolos dari maut


Bukan hanya Siluman Tangan Maut yang 

terkejut melihat kedahsyatan pukulan jarak jauh 

Dewa Arak. Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa 

Bayangan pun terperanjat. Sungguh tidak mereka 

sangka kalau pemuda berambut putih keperakan 

itu memiliki pukulan jarak jauh yang begitu 

menggiriskan.

Sementara Melati sudah langsung 

memanggul tubuh Marni yang sudah terkulai tak 

berdaya.

"Mari kita pergi...!" seru gadis berpakaian 

putih itu pada Wuraji, seraya melesat dari situ.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, 

Wuraji yang tengah dilanda perasaan bingung ini 

segera berkelebat menyusul Melati.

Tapi anak buah Siluman Tangan Maut 

tidak tinggal diam. Cepat mereka mencegat lari 

Melati dan Wuraji. Gadis berpakaian putih yang 

tengah diburu waktu ini tidak bertindak tanggung-

tanggung lagi. Segera tangan kanannya bergerak. 

Dan sesaat kemudian di tangan gadis ini telah 

tergenggam sebatang pedang.

Secepat pedang keluar dari sarungnya, 

secepat itu pula Melati menggerakkannya.

Wunggg...!

Terdengar suara menggerung keras seperti 

di dalam pedang itu ada naga yang tengah murka. 

Dan sesaat kemudian, suara jerit kematian 

terdengar susul-menyusul. Tubuh-tubuh tak 

bernyawa pun berjatuhan satu persatu.



Melati dan Wuraji bahu-membahu 

berjuang membuka jalan untuk bisa lolos dari 

tempat itu. Pedang di tangan Melati dan sepasang 

tombak pendek di tangan Wuraji berkelebatan 

cepat mencari sasaran. Setiap kali pedang atau 

tombak mereka bergerak, sudah dapat dipastikan, 

ada nyawa yang terlepas dari badan.

Sementara di arena lain, Dewa Arak tengah 

berjuang keras menghadapi lawan-lawannya. 

Pemuda berambut putih keperakan ini memang 

sengaja menahan ketiga orang lawannya dalam 

usaha mencegah mereka mengejar tunangannya 

menyelamatkan sepasang muda-mudi itu.

Monyet Tanpa Bayangan dan Siluman 

Tangan Maut yang semula hendak mengejar 

Melati, jadi membatalkan maksudnya. Beberapa 

kali usaha mereka untuk mengejar dihambat oleh 

Dewa Arak. Mau tidak mau hal itu membuat 

mereka geram. Dan kegeraman itu pun 

dilampiaskan pada pemuda yang telah 

menghalangi tindakan mereka.

Setelah kini tiga orang lawannya 

memusatkan perhatian menghadapinya, baru 

terasa oleh Dewa Arak betapa hebatnya 

kepandaian mereka. Masing-masing lawan punya 

keistimewaan sendiri-sendiri.

Ular Kaki Seribu dengan keistimewaan 

kakinya. Monyet Tanpa Bayangan dengan 

keistimewaan ilmu meringankan tubuhnya. 

Sementara Siluman Tangan Maut, tak kalah lihai



dari kedua orang itu. Karena laki-laki berompi 

kuning ini justru memiliki gabungan keistimewaan 

kedua gurunya. Gerakan kaki yang menggiriskan, 

dan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa.

Dewa Arak menggertakkan gigi. Pemuda 

berambut putih keperakan ini telah mengeluarkan 

seluruh kemampuan yang dimilikinya. 

Mengerahkan ilmu 'Belalang Sakti' sampai ke 

puncaknya.

Pada jurus-jurus awal, Dewa Arak masih 

mampu mengimbangi. Tapi menginjak jurus 

kelima belas, dia mulai terdesak. Serangan-

serangan ketiga lawannya datang susul-menyusul 

bagaikan ombak di lautan.

Menginjak jurus ke dua puluh, Dewa Arak 

hanya dapat mengelak. Sesekali menangkis. Tapi 

hampir tidak pernah menyerang. Arya sama sekali 

tidak diberi kesempatan untuk menyerang. 

Pemuda berambut putih keperakan ini terus 

didesak.

Untung saja Dewa Arak memiliki langkah 

ajaib jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Sehingga 

beberapa kali, di saat kritis, masih berhasil 

menyelamatkan selembar nyawanya.

Sambil terus mengelakkan setiap serangan 

yang datang, Arya menyempatkan diri melihat 

Melati dan Wuraji. Lega hatinya tatkala melihat 

kedua orang itu telah berhasil meloloskan diri.

"Hih...!"


Arya memekik nyaring. Dan berkat 

keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', yang membuat 

pemuda ini dapat melakukan gerakan yang 

bagaimanapun sulitnya. Dewa Arak melentingkan 

tubuh menerobos kepungan. Dan kemudian 

melesat meninggalkan tempat itu. Arya memang 

tidak ingin mencari keributan dengan mereka.

Cepat sekali gerakan Dewa Arak. Tapi

masih lebih cepat lagi gerakan Monyet Tanpa 

Bayangan. Tubuhnya melesat ke depan. Cepat 

bukan main gerakannya. sehingga yang terlihat 

hanya sekelebatan bayangan hitam yang melesat 

melewati Dewa Arak.

Tapi Arya sudah memperhitungkan hal ini. 

Maka begitu melihat bayangan hitam melesat, 

memotong arus lompatannya, segera dia 

menghentakkan kedua tangannya ke depan. Inilah 

jurus 'Pukulan Belalang'

Wussss...!

Angin keras berhawa panas menyengat, 

meluncur ke arah Monyet Tanpa Bayangan. Tapi, 

kakek berpakaian kulit beruang ini dengan mudah 

mengelak. Ringan laksana seekor kera, tubuhnya 

melenting ke atas, menghindari pukulan jarak 

jauh Dewa Arak.

Kesempatan yang hanya sekejap itu 

dipergunakan sebaik-baiknya oleh Arya. Begitu 

kedua kakinya mendarat di tanah, secepat itu pula 

tubuhnya berkelebat meninggalkan lawan-

lawannya.


Anak buah Siluman Tangan Maut yang 

hanya tinggal beberapa orang saja, tidak berani 

menghalangi Dewa Arak. Mereka semua telah 

melihat sendiri kelihaian pemuda berambut putih 

keperakan itu. Dan mereka tidak mau mencari 

celaka sendiri.

Ular Kaki Seribu dan Siluman Tangan 

Maut tentu saja tidak membiarkan Dewa Arak 

lolos. Cepat mereka bergerak mengejar. Bahkan 

hingga Arya telah berada di luar pun mereka terus 

memburu. Monyet Tanpa Bayangan juga bergerak 

mengejar.

Tapi, karena Dewa Arak telah cukup jauh 

meninggalkan mereka, tambahan lagi ilmu 

meringankan tubuh mereka berada di bawah 

Dewa Arak, maka walaupun telah berusaha sekuat 

tenaga, tetap saja ketiganya tidak mampu 

mengejar. Jangankan mengejar, memperpendek 

jarak pun tidak mampu! Bahkan jarak di antara 

mereka semakin jauh.

Terpaksa mereka menghentikan 

pengejaran, dan membiarkan tubuh Arya lenyap di 

kejauhan.

Dengan langkah lunglai Ular Kaki Seribu, 

Monyet Tanpa Bayangan dan Siluman Tangan 

Maut kembali ke markas.

***

7

"Kang...," sebuah suara yang amat dikenal 

Arya, membuat Dewa Arak menghentikan larinya. 

Kepalanya lalu ditolehkan ke arah rerimbunan 

semak yang berada di sebelah kanan. Tempat asal 

suara panggilan.

Dari balik rerimbunan semak, tahu-tahu 

muncul sosok tubuh ramping dari seorang gadis 

berpakaian putih dan berambut panjang. Siapa 

lagi kalau bukan Melati.

"Bagaimana dengan lawan-lawanmu, 

Kang?" tanya Melati begitu Arya menghampirinya.

"Kutinggalkan...," sahut Arya kalem seraya 

mengedipkan sebelah mata pada tunangannya.

Seketika itu juga, apa yang akan 

diucapkan Melati buyar. Mulut gadis ini pun 

merengut. Tapi sepasang matanya sama sekali 

tidak menampakkan kemarahan. Karena memang 

dia tidak marah. Justru bahagia.

Melati tahu, Arya menggodanya. Dan itu 

bukan untuk yang pertama kalinya. Pemuda 

berambut putih keperakan itu sudah seringkali 

menggodanya, dengan mengedipkan sebelah mata. 

Anehnya, dia sendiri senang digoda seperti itu. 

Malah menginginkan kekasihnya itu menggodanya 

lagi


Tapi tentu saja bila keadaan 

memungkinkan. Tidak seperti sekarang ini. Di situ 

masih ada Marni dan Wuraji. Tapi itulah Arya! 

Pemuda ini selalu mengedipkan matanya bila 

sedang timbul keinginan menggodanya. Sekalipun 

ada orang lain, dia akan mempergunakan 

kesempatan sebaik-baiknya tatkala orang itu 

lengah.

"Mengapa kau tinggalkan?!" tanya Melati 

dengan suara ketus yang dibuat-buat

"Aku tidak punya urusan dengan mereka, 

Melati," sahut Arya. "Lagi pula..., aku tidak tahu 

ada urusan apa antara kedua orang muda ini 

dengan mereka."

Melati mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Dia telah tahu betul sifat Arya. Pemuda ini tidak 

pernah ikut campur dalam urusan orang lain, 

kalau tidak benar-benar terpaksa.

"O ya, bagaimana keadaan mereka, 

Melati?" tanya Dewa Arak begitu teringat pada

sepasang muda-mudi yang baru saja mereka 

tolong. "Apakah keadaan mereka 

mengkhawatirkan?"

Melati menggelengkan kepalanya.

''Yang terluka agak parah hanya yang 

wanita. Sementara kawannya tidak," sahut Melati 

memberi tahu seraya melangkah menerobos 

semak semak.

Sesaat kemudian, Arya telah melihat 

sepasang muda-mudi itu. Tampak oleh Dewa


Arak, gadis berpakaian biru tengah bersemadi. 

Mencoba mengobati luka dalamnya. Sementara 

laki-laki berpakaian coklat berdiri tak jauh 

darinya. Berjaga-jaga jika ada sesuatu yang tidak 

diinginkan datang secara tiba-tiba.

Begitu mendengar adanya suara langkah-

langkah kaki yang mendekat, Wuraji segera 

menoleh. Sikapnya nampak waspada. Bahkan 

wajahnya teriihat tegang. Tapi, begitu tahu siapa 

yang datang, dia menganggukkan kepalanya 

sambil melempar senyum.

Arya pun balas tersenyum.

"Bantulah gadis itu mengobati luka 

dalamnya, Melati," ucap pemuda berambut putih 

keperakan itu pada kekasihnya.

Melati menganggukkan kepalanya, 

kemudian menghampiri Marni. Tanpa bicara apa-

apa, gadis berpakaian putih ini segera duduk 

bersila di belakang Marni. Kemudian 

menempelkan kedua tangannya ke punggung 

gadis berpakaian biru itu. Menyalurkan tenaga 

dalamnya secara perlahan-lahan. Berusaha 

membantu Marni mengobati luka dalamnya.

***

Melihat Melati telah mulai membantu 

Marni mengobati luka dalamnya, Dewa Arak 

segera mendekati Wuraji. Pemuda berpakaian 

coklat ini sejak tadi hanya termenung saja.


Dahinya tampak berkernyit dalam. Jelas, ada 

sesuatu yang menggelisahkan batinnya. Bahkan 

tadi, sehabis mengangguk dan tersenyum, pemuda 

ini kembali termenung.

"Ehm...!"

Arya mendehem sebentar, untuk menarik 

perhatian pemuda berpakaian coklat itu. Dan cara 

yang dilakukan pemuda ini memang terbukti 

ampuh. Wuraji menoleh, menatap Dewa Arak 

seraya melempar senyum.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa 

Arak," ucap pemuda berpakaian coklat ini pelan.

"Lupakanlah, Kisanak. Bukankah sudah 

merupakan kewajiban kita untuk saling tolong-

menolong antar sesama manusia?" sahut Arya 

kalem. "O ya, siapa namamu?"

"Wuraji," jawab pemuda berpakaian coklat 

itu. Masih pelan suaranya. Pelan dan tidak 

bersemangat.

"Aku Arya Buana." Dewa Arak balas 

memperkenalkan diri

"Aku sudah tahu," sahut Wuraji kalem.

"O ya?!" Arya agak kaget juga. Tapi sesaat 

kemudian, dia sudah bisa menduga dari mana 

pemuda berpakaian coklat ini mengetahui 

namanya. "Pasti Melati yang memberi tahu."

Wuraji menganggukkan kepalanya.

"Kalau begitu..., panggillah aku dengan 

namaku saja," pinta pemuda berambut putih 

keperakan itu. "Arya. Jangan Dewa Arak."


"Baiklah, Arya." Wuraji mengalah.

Suasana menjadi hening sejenak ketika 

Wuraji menghentikan ucapannya.

"Kalau boleh kutahu..., mengapa kau 

terlibat perkelahian dengan orang-orang yang 

berada di bangunan tadi?" tanya Arya setelah 

beberapa saat lama nya terdiam.

"Hhh...!" Wuraji menghela napas berat

Sementara Dewa Arak tetap diam. Sabar 

menunggu pemuda berpakaian coklat itu 

menjawab pertanyaannya. Sepasang matanya 

menatap sekujur wajah Wuraji.

Tak terasa putra tunggal Ketua Perguruan 

Kumbang Merah ini bergidik. Sepasang mata Dewa 

Arak begitu mencorong tajam dan bersinar 

kehijauan. Laksana mata seekor harimau dalam 

gelap! Wuraji tidak bisa membayangkan, sampai di 

mana ketinggian ilmu pemuda di hadapannya ini. 

Tadi sempat dilihatnya dua orang guru berikut 

kakak seperguruannya, telah mengeroyok pemuda 

ini. Tapi Dewa Arak masih mampu menyelamatkan 

diri. Luar biasa!

Tanpa ragu-ragu, Wuraji menceritakan 

semuanya. Semenjak kejadian yang menimpa 

perguruan ayahnya sampai dia dan Marni 

diselamatkan Dewa Arak. Tidak lupa Wuraji 

menceritakan sepak terjang Siluman Tangan Maut 

yang kejam. Meskipun hal itu hanya didengarnya 

dari mulut Marni.


Arya mendengarkan semua cerita Wuraji 

penuh perhatian. Tak sedikit pun pemuda 

berambut putih keperakan ini menyelak, sampai 

pemuda berpakaian coklat ini selesai bercerita.

Kening Dewa Arak berkernyit ketika Wuraji 

me-yelesaikan ceritanya. Jelas ada sesuatu yang 

dipikirkannya. Dan memang dia tengah berpikir 

keras.

"Itulah yang sejak tadi membuatku 

bimbang, Arya. Aku mgin membalaskan 

dendamku pada Siluman Tangan Maut yang telah 

membunuh ayah dan seluruh kakak 

seperguruanku. Tapi, guru-guruku membela dia. 

Tak mungkin aku melawan mereka yang telah 

susah payah mendidikku selama sepuluh tahun. 

Aku tidak ingin jadi murid murtad, Arya."

"Siluman Tangan Maut?!" Arya 

mengerutkan alisnya. Tampak jelas kalau pemuda 

berambut putih keperakan ini terperanjat. 

Memang Dewa Arak telah mendengar sepak 

terjang tokoh yang berjuluk Siluman Tangan 

Maut. Seorang tokoh jahat dan kejam, yang 

memiliki tingkat kepandaian tinggi.

"Di antara tiga orang di gedung itu, 

manakah yang berjuluk Siluman Tangan Maut, 

Wuraji?" tanya Arya. Meskipun sebenarnya dia 

sudah bisa menduga, kalau yang berjuluk 

Siluman Tangan Maut itu adalah orang yang 

memakai rompi kuning. Karena dialah orang 

termuda di antara mereka. Sementara yang dua


orang lagi telah berusia lanjut. Jadi, kemungkinan 

besar kedua orang itu adalah guru-guru Wuraji.

"Orang yang berompi kuning," sahut Wuraji 

lirih.

"Jadi, kedua orang kakek yang sakti tadi 

adalah guru-gurumu?" tanya Arya.

Wuraji menganggukkan kepalanya.

"Pantas mereka begitu lihai," desah Arya.

"Arya...."

"Ada apa, Wuraji?" tanya Dewa Arak seraya 

menoleh ke arah pemuda tampan berahang kokoh 

di sebelahnya.

"Bagaimana menurutmu, Arya?" Wuraji 

meminta pendapat "Apakah aku harus melupakan 

dendamku? Aku berada dalam pilihan yang sangat 

sulit, Arya. Kalau tidak membalas, rasanya terlalu 

enak bagi orang sekejam Siluman Tangan Maut 

kubiarkan begitu saja. Membalas pun bingung 

juga. Tak mungkin aku melawan guruku sendiri."

"Aku ada jalan, Wuraji," ucap Arya setelah 

sekian lamanya termenung.

"Katakanlah, Arya. Bagaimana caranya?" 

tanya Wuraji penuh gairah.

"Kau dan Marni yang menghadapi Siluman 

Tangan Maut. Sementara guru-gurumu, biar aku 

dan Melati yang akan mengurus."

"Tapi, Arya...." Wuraji masih mencoba 

membantah.

"Sudahlah, Wuraji," potong Arya. "Nanti, 

setelah Marni sembuh dari luka-lukanya, kita


menyerbu kediaman Siluman Tangan Maut. Orang 

seperti dia harus cepat-cepat dilenyapkan dari 

muka bumi."

Wuraji tak bisa membantah lagi. Pemuda 

berpakaian coklat ini terdiam. Dan dengan 

sendirinya, suasana pun jadi hening karena Dewa 

Arak sendiri tidak berkata apa-apa lagi. Kini, baik 

Arya maupun Wuraji mengalihkan perhatian pada 

Melati dan Marni yang tengah sibuk mengobati 

luka dalam.

"Cukup, Melati," ucap Marni seraya 

menghentikan semadinya. "Terima kasih atas 

bantuanmu."

Melati pun segera menarik tangannya 

kembali. Dan begitu Marni bangkit gadis 

berpakaian putih ini pun bangkit berdiri.

Arya dan Wuraji tersenyum lebar.

"Bagaimana, Marni?" tanya Wuraji lirih 

seraya menatap wajah molek gadis berpakaian 

biru itu.

Marni tersenyum lebar. Rupanya gadis 

berpakaian biru ini telah sembuh dari luka 

dalamnya.

"Nanti malam kita menyerbu kediaman 

Siluman Tangan Maut" ucap Wuraji memberi tahu.

"Benarkah itu, Kang?" tanya Marni seraya 

menatap wajah Wuraji lekat-lekat

Perlahan kepala Wuraji mengangguk.

"Lalu kedua gurumu?" tanya Marni lagi. 

Nada ucapan dan suaranya menyiratkan perasaan


gentar. Dan memang sebenarnya Marni merasa 

gentar bukan main. Dia telah merasa kan sendiri 

kehebatan guru Wuraji yang bermuka kuda.

"Dewa Arak dan Melati yang akan 

menghadapi mereka," jelas Wuraji lagi.

"Ah...!" Marni terkejut bukan main. Tapi 

rasa terkejut bercampur gembira. "Benarkah itu, 

Melati?"

Gadis berpakaian biru itu merasa risih 

bertanya pada Arya. Oleh karena itu dia bertanya 

pada Melati. Tentu saja gadis berpakaian putih 

yang tidak tahu apa-apa itu jadi gelagapan. Sesaat 

lamanya gadis ini melongo. Baru setelah tersadar, 

Melati menoleh ke arah Arya.

Dewa Arak menjadi geli melihat kekasihnya 

bingung. Meskipun telah berusaha menahan, tapi 

tetap saja seulas senyum geli terpampang di 

wajahnya. Dan masih dengan senyum di bibir, 

pemuda berambut putih keperakan ini 

menganggukkan kepala. Dan tak lupa 

mengedipkan sebelah matanya.

Melati merengut melihat Arya masih 

sempat menggodanya. Tapi dia tidak bisa berlama-

lama begitu, karena Marni masih menunggu 

jawabannya.

"Eh..., nggg.... Ya. Ya benar...," Melati 

menyahut agak tergagap.

Mendengar jawaban itu, seketika wajah 

Marni berseri-seri.


***

Suara kepak kelelawar memecahkan 

keheningan malam sepi yang hanya dihiasi bulan 

sepotong di langit. Angin dingin yang berhembus, 

dan sesekali agak keras, terasa menusuk sampai 

ke tulang. Dalam suasana malam seperti ini, orang 

rasanya akan lebih suka berdiam diri di rumah.

Tapi rupanya ada juga orang yang 

berkeliaran dalam suasana malam seperti ini. 

Terbukti dengan berkelebatannya empat sosok 

bayangan. Gerakan mereka rata-rata cepat. 

Pertanda kalau keempat orang itu memiliki ilmu

meringankan tubuh yang tidak rendah.

Empat sosok bayangan itu bergerak cepat 

menuju sebuah bangunan yang besar dan megah. 

Bangunan yang memiliki halaman luas dan 

terkurung pagar tembok tinggi.

Tapi ternyata tingginya tembok pagar tidak 

bisa menghambat masuknya empat sosok 

bayangan itu. Dengan mudah, indah, dan manis 

keempat sosok bayangan itu melompati pagar 

tembok. Sesaat kemudian keempat orang itu telah 

berada di halaman.

Baru saja orang terakhir mendaratkan 

kedua kakinya di tanah, terdengar bentakan keras 

menggelegar.

"Hei...! Siapa kalian...?!"

Seiring dengan lenyapnya gema suara 

bentakan, tiba-tiba di hadapan empat sosok


bayangan itu berdiri belasan sosok tubuh 

bersenjata tajam. Dan langsung mengepung.

Hebatnya, empat sosok bayangan itu sama 

sekali tidak merasa gugup melihat hal ini. Bahkan 

sebaliknya, para pengepungnya itulah yang 

merasa kaget begitu melihat jelas wajah empat 

sosok yang mereka kurung. Mereka mengenali 

empat sosok bayangan itu karena empat orang 

itulah yang siang tadi telah menyerbu dan telah 

menimbulkan banyak korban di antara mereka.

Empat sosok bayangan itu memang tidak 

lain dari Dewa Arak, Melati, Marni, dan Wuraji.

Marni dan Wuraji tanpa membuang-buang 

waktu lagi segera mencabut senjata andalannya, 

dan langsung menerjang para pengepung. Mau 

tidak mau, anak buah Siluman Tangan Maut 

terpaksa melayani.

Tranggg, tranggg, tringgg...!

Dentang suara senjata beradu kontan 

mengusik keheningan malam begitu senjata-

senjata mereka sating berbenturan. Bunga-bunga 

api pun memercik ke udara.

Marni dan Wuraji bertindak tidak kepalang 

tanggung. Pedang di tangan Marni dan sepasang 

tombak pendek di tangan Wuraji berkelebatan 

cepat mencari sasaran.

Suara jerit kematian terdengar susul-

menyusul mengiringi robohnya tubuh-tubuh tanpa 

nyawa di tanah. Roboh dan tidak pernah bangkit 

lagi untuk sdama-lamanya. Memang Wuraji dan


Marni tidak bermaksud untuk memberi ampun 

pada lawan-lawannya. Setiap serangan mereka 

selalu mengandung hawa kematian,

Dewa Arak mengernyitkan alisnya melihat 

tindakan Wuraji dan Marni. Pemuda berambut 

putih keperakan ini memang tidak mau 

membunuh lawan kecuali kalau memang terpaksa 

sekali. Sementara yang dilihatnya kini, Wuraji dan 

Marni enak saja menyebar maut. Dalam waktu 

sebentar saja hanya tinggal beberapa orang saja 

yang tersisa. Dan tentu saja mereka merupakan 

sasaran empuk buat Marni dan Wuraji. Sesaat 

kemudian, sisa gerombolan itu menjerit 

memilukan. Roboh di tanah dengan nyawa 

teriepas dari raga.

Marni menyeka batang pedang yang penuh 

berlumuran darah dengan pakaian salah seorang 

pengeroyok. Kemudian menyarungkan pedangnya 

kembali.

Dewa Arak hanya bisa menggeleng-

gelengkan kepalanya melihat mayat-mayat yang 

bergeletakan di sana-sini. Tapi hal itu tidak lama. 

Karena Marni dan Wuraji sudah bergerak cepat 

menuju ke dalam. Arya tidak bisa membiarkan 

sepasang muda-mudi itu mengantar nyawa 

menghadapi Siluman Tangan Maut dan kedua 

orang gurunya. Oleh karena itu, pemuda be-

rambut putih keperakan ini segera menyusul, 

diiringi Melati.


Dengan langkah gagah, Wuraji dan Marni 

melangkah ke dalam. Tapi langkah keduanya 

langsung terhenti ketika pandang mata mereka 

tertumbuk pada tiga sosok tubuh yang berdiri 

menghadang. Dan tak terasa sepasang muda-mudi 

ini melangkah mundur begitu mengenali tiga 

sosok di hadapan mereka. Siapa lagi kalau bukan 

Siluman Tangan Maut Ular Kaki Seribu, dan 

Monyet Tanpa Bayangan?

Dewa Arak dan Melati segera melangkah 

maju. Kini mereka berdiri di kanan kiri Wuraji dan 

Marni. Dengan tenang Arya memperhatikan ketiga 

orang itu. Kemudian menjumput guci arak yang 

berada di punggung, lalu menuangkan ke mulut

Gluk.. gluk... gluk...

Terdengar suara tegukan ketika arak 

melewati kerongkongan Dewa Arak Seketika itu 

juga ada hawa hangat menyebar di dalam 

perutnya. Kemudian perlahan-lahan hawa hangat 

itu naik ke atas kepala.

"Kali ini kalian tidak akan kubiarkan lolos!" 

desis Ular Kaki Seribu tajam. Nada suaranya sarat 

dengan ancaman. "Terutama sekali kau, Murid 

Murtad!"

Tanpa sadar Wuraji melangkah mundur 

mendengar ucapan gurunya. Apalagi ketika kakek 

berpakaian kulit ular itu menudingkan telunjuk ke 

arahnya begitu ucapannya selesai. Wajah pemuda 

tampan berahang kokoh ini seketika pucat pasi. 

Bukan karena takut menghadapi kematian. Tapi


karena tidak ingin menjadi murid murtad yang 

menentang guru sendiri.

Marni tahu perasaan yang bergolak di hati 

Wuraji. Segera dia mengulurkan tangannya. 

Kemudian menggenggam tangan pemuda 

berpakaian coklat itu erat-erat. Meskipun untuk 

melakukan itu gadis berpakaian biru ini harus 

berjuang keras memerangi perasaan malunya.

Wuraji menoleh. Pemuda berpakaian coklat 

ini bukan orang bodoh. Tentu saja dia tahu 

maksud Marni melakukan itu. Maka dia pun 

memberikan senyum penuh rasa terima kasih. 

Tangannya pun balas menggenggam tak kalah 

erat.

"Ular Kaki Seribu...," ucap Dewa Arak 

dengan langkah kaki tidak tetap. Oleng ke sana 

kemari. "Pertarungan di antara kita belum selesai."

"Kau benar, Dewa Arak! Mari kita lanjutkan 

pertarungan yang tertunda," sambut Ular Kaki 

Seribu tak kalah gertak

Belum lagi gema kata-katanya lenyap, 

kakek bermuka kuda ini sudah menerjang Arya 

dengan sebuah tendangan terbang.

***

8


Karena telah merasakan sendiri kelihaian 

ilmu tendangan lawannya, Dewa Arak tidak berani 

bersikap ceroboh. Maka dia tidak berani langsung 

menangkis serangan itu. Pemuda berambut putih 

keperakan ini ingin mengetahui perkembangan 

serangan lawan lebih dulu.

Oleh karena itu, Dewa Arak langsung saja 

melempar tubuhnya ke belakang kemudian 

bersalto beberapa kali di udara. Akibatnya sudah 

bisa diduga. Tendangan lawan mengenai tempat 

kosong karena Arya sudah tidak berada di situ lagi

Ular Kaki Seribu menggertakkan gigi 

melihat serangannya berhasil dielakkan. 

Kemarahannya pada Dewa Arak semakin 

berkobar-kobar. Tentu saja akibatnya, serangan 

kakek bermuka kuda ini semakin dahsyat. 

Sambaran-sambaran kakinya datang susul-

menyusul bagaikan angin ribut. Tapi, berkat 

keunikan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Arya 

tidak mengalami kesuhtan untuk menangkalnya.

Sementara itu Melati sendiri sudah mulai 

sibuk menghadapi Monyet Tanpa Bayangan. Gadis 

berpakaian putih ini telah melihat sendiri 

kesaktian lawannya. Maka begitu menyerang, dia 

langsung mengeluarkan ilmu andalannya, 'Cakar 

Naga Merah'. Kedua tangannya, sampai sebatas 

pergelangan, berubah merah seperti darah. 

"Hiyaaat..!"


Sambil mengeluarkan teriakan melengking 

nyaring, Melati menyerang. Tangan kanannya 

dengan jari-jari terbuka, membentuk cakar naga, 

meluncur deras ke arah ulu hati lawan.

Rupanya gelar Monyet Tanpa Bayangan 

yang disandang kakek kecil kurus ini bukan 

omong kosong. Meskipun serangan Melati meluruk 

cepat ke arahnya, kakek kecil kurus ini mampu 

bergerak lebih cepat lagi. Tanpa menggeser kaki, 

dia segera mendoyongkan tubuhnya ke kanan 

sehingga serangan Melati lewat setengah jengkal di 

samping kiri pinggangnya. Dan pada saat yang 

bersamaan, tangan kirinya disampokkan ke arah 

pelipis Melati.

Tapi Melati tidak menjadi gugup. Serangan 

balasan ini, sudah diperhitungkannya sejak tadi. 

Hanya saja yang membuat gadis ini agak 

gelagapan adalah kecepatannya yang luar biasa.

Meskipun begitu, berkat pengalaman 

menghadapi berbagai macam pertempuran, Melati 

masih dapat memunahkan serangan mendadak 

itu. Tangan kanannya cepat diangkat ke atas 

kepala. Dan....

Plakkk...!

Suara benturan keras seperti beradunya 

dua batang logam terdengar, ketika dua tangan 

yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi 

berbenturan. Baik Melati maupun Monyet Tanpa 

Bayangan, sama-sama terhuyung. Dari benturan


ini dapat diketahui kalau kedua tokoh ini memfliki 

tenaga dalam seimbang.

Monyet Tanpa Bayangan menggeram keras. 

Rupanya kakek ini merasa penasaran bukan 

main. Dia adalah seorang pentolan kaum sesat 

yang jarang menemukan tandingan. Selama 

berpuluh-puluh tahun merajalela di dunia 

persilatan, dia hampir tidak pernah menemukan 

tandingan. Maka tentu saja kakek kecil kurus ini 

jadi penasaran bukan main tatkala mengetahui 

ada seorang tokoh muda yang mampu menandingi 

tenaga dalamnya.

Dalam luapan perasaan amarah bercampur 

penasaran yang menggelora, Monyet Tanpa 

Bayangan mengerahkan seluruh kemampuannya. 

Jurus 'Kera' yang dimilikinya langsung dimainkan. 

Ilmu meringankan tubuhnya pun dikerahkan 

sampai ke puncaknya.

"Hiyaaat..!"

Monyet Tanpa Bayangan membanting 

tubuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. 

Kemudian langsung melompat, menyerang dengan 

sampokan tangan kiri ke arah pelipis.

Melati terkejut bukan main. Gadis 

berpakaian putih ini benar-benar gelagapan 

menghadapi cara penyerangan lawannya. 

Gerakannya begitu liar, tapi sangat cepat 

Mengingatkan dia pada seekor kera!

Dengan agak terburu-buru Melati 

merundukkan tubuhnya sehingga serangan kakek


berpakaian kulit beruang itu lewat di atas 

kepalanya. Pada saat yang sama, kedua tangannya 

meluncur deras ke arah dada dan perut.

Hebat bukan main serangan yang 

dilakukan Melati. Apalagi pada saat itu, tubuh 

Monyet Tanpa Bayangan sedang berada di udara. 

Posisi yang benar-benar tidak menguntungkan.

Tapi kelihaian Monyet Tanpa Bayangan 

benar-benar luar biasa! Dalam keadaan seperti itu, 

dia masih mampu memunahkan bahaya besar 

yang mengancam keselamatan nyawanya. Tangan 

kanannya segera dikibaskan ke bawah, menangkis 

kedua serangan itu.

Prattt...!

Baik Melati maupun Monyet Tanpa 

Bayangan sama-sama meringis begitu terjadi 

benturan. Namun kakek kecil kurus ini sama 

sekali tidak peduli. Dengan tubuh yang masih 

berada di udara, kaki kanannya menendang dada

Melati.

Wuuuttt..!

"Hih...!"

Tidak ada jalan lain bagi gadis berpakaian 

putih itu selain melempar tubuh ke belakang. 

Kemudian bersalto beberapa kali di udara. 

Kembali untuk yang kesekian kalinya serangan 

Monyet Tanpa Bayangan gagal total.

Dengan sebuah gerakan yang indah dan 

manis, Melati mendaratkan kedua kakinya di


tanah. Pada saat yang sama, Monyet Tanpa 

Bayangan pun hinggap di tanah.

Secepat kedua pasang kaki mereka 

mendarat di tanah, secepat itu pula keduanya 

kembali terlibat dalam pertarungan sengit. Kini 

Melati harus berjuang keras untuk menundukkan 

lawan tangguhnya ini.

***

Sementara di arena yang lain, Wuraji dan 

Marni pun tengah sibuk bahu-membahu 

menghadapi Siluman Tangan Maut. Untuk yang 

kedua kalinya, sepasang muda-mudi ini kembali 

berhadapan dengan musuh besar mereka. 

Bedanya, kali ini mereka bisa lebih memusatkan 

perhatian pada lawan. Tidak khawatir diganggu 

yang lain.

Kali ini kedua belah pihak yang bertarung 

sama-sama mengerahkan kemampuan sampai di 

puncaknya. Siluman Tangan Maut telah 

memainkan trisulanya. Sementara Wuraji 

menggunakan tombak pendek, dan pedang 

digunakan oleh Marni.

Suara desing, deru, dan decit senjata tajam 

menyemarakkan pertarungan antara musuh 

bebuyutan itu.

Baik Wisanggeni maupun Wuraji dan 

Marni, sama-sama bersikap hati-hati. Kedua belah 

pihak telah sama-sama mengenal kelihaian lawan,


sehingga pertarungan jadi berlangsung seru. Tak 

kalah seru dengan pertarungan antara Monyet 

Tanpa Bayangan dengan Melati

Memang kalau dihitung perorangan, baik 

Wuraji maupun Marni bukan tandingan 

Wisanggeni. Siluman Tangan Maut jauh lebih 

unggul daripada mereka. Baik kekuatan tenaga 

dalam, maupun ilmu meringankan tubuh.

Setiap kali terjadi benturan senjata, tubuh 

Marni maupun Wuraji terhuyung-huyung ke 

belakang dengan sekujur tangan terasa hampir 

lumpuh. Di saat itulah, Siluman Tangan Maut 

melancarkan serangan susulan. Kalau saja yang 

seorang lagi tidak membantu kawannya yang 

tengah terancam, sudah sejak tadi Wisanggeni 

menghabisi sepasang muda-mudi ini.

Selama puluhan jurus, pertarungan antara 

musuh bebuyutan itu berlangsung imbang. Tapi 

menginjak jurus ke enam puluh, Siluman Tangan 

Maut mulai terdesak. Semakin lama laki-laki 

berompi kuning ini semakin terdesak.

Pada jurus ke tujuh puluh tiga, Marni 

melompat tinggi ke udara. Dan dari atas, 

pedangnya menyabet cepat ke arah leher. Pada 

saat yang bersamaan, Wuraji melemparkan 

tombak pendek di tangan kirinya. Bukan hanya 

itu saja. Pemuda berpakaian coklat ini pun 

meloncat menerjang. Tombak pendek di tangan 

kanannya menusuk deras ke arah dada.

Wunggg...!


Siluman Tangan Maut terkejut bukan main 

melihat serangan beruntun ini. Trisulanya diputar 

cepat laksana baling-baling dalam upaya 

menyelamatkan selembar nyawanya.

Tranggg, tranggg...!

Suara berdentang nyaring terdengar dua 

kali ketika trisula Wisanggeni berhasil menangkis 

serangan pedang Marni dan lemparan tombak 

pendek Wuraji. Tapi sebelum dia sempat berbuat 

sesuatu, tusukan tombak putra Ketua Perguruan 

Kumbang Merah telah meluncur tiba. Dan....

Cappp...!

Telak dan keras sekali tombak pendek 

Wuraji menembus perut Siluman Tangan Maut 

hingga ke punggung. Seketika itu juga cairan 

merah kental bermuncratan dari perutnya yang 

robek lebar.

Tubuh Wisanggeni terhuyung-huyung ke 

belakang. Kedua tangannya mendekap luka yang 

menganga lebar di perutnya. Tapi pada saat itu 

juga, serangan susulan Marni menyambar tiba. 

Gadis berpakaian biru ini mengirimkan sebuah 

tendangan keras ke arah dada.

Desss!

Terdengar suara berderak keras ketika 

tendangan itu telak mengenai sasaran. Seketika 

itu juga, tubuh Wisanggeni terlempar jauh ke 

belakang. Tulang dadanya remuk seketika. Cairan 

merah kental mengalir deras dari mulut, hidung, 

dan telinganya. Nyawa Siluman Tangan Maut telah


melayang meninggalkan raganya sebelum 

tubuhnya jatuh di tanah.

Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa 

Bayangan hanya bisa menggertakkan gigi 

menahan geram melihat kematian Wisanggeni. 

Mereka tidak mampu berbuat apa-apa untuk 

menolong Siluman Tangan Maut karena keadaan 

mereka sendiri pun tengah terdesak.

Memang, baik Dewa Arak maupun Melati, 

telah berhasil mendesak lawan masing-masing, 

setelah melalui pertarungan sengit seratus lima 

puluh jurus lebih. Baik Melati maupun Monyet 

Tanpa Bayangan sama-sama telah mengeluarkan 

senjata andalannya. Kakek kecil kurus berpakaian 

kulit beruang ini telah menggunakan kipas baja 

berwarna merah.

***

"Haaat...!"

Arya memekik keras. Tubuhnya melompat 

ke atas melewati kepala lawan. Dan sesampainya 

di atas, tubuhnya berputar. Kemudian tangan 

kirinya menepak ke arah punggung Ular Kaki 

Seribu.

Plakkk!

Telak dan keras sekali tepakan Dewa Arak 

mengenai sasaran. Seketika itu juga, Ular Kaki 

Seribu terhuyung-huyung ke depan dan 

tersungkur di tanah. Segumpal cairan merah


kental menyembur dari mulutnya. Ular Kaki 

Seribu terluka dalam!

Pada saat yang sama, Monyet Tanpa 

Bayangan menusukkan kipas baja merahnya ke 

arah dada Melati. Tapi dengan mudahnya gadis 

berpakaian putih itu mendoyongkan tubuh ke 

samping kanan, hingga serangan itu mengenai 

tempat kosong. Lewat setengah jengkal di samping 

kirinya.

Tidak hanya itu saja yang dilakukan 

Melati. Tangan kirinya tiba-tiba meluncur cepat ke 

arah dada kanan lawan.

Monyet Tanpa Bayangan segera 

mendoyongkan tubuh ke belakang. Menurut 

perhitungannya, dengan cara seperti itu, serangan 

gadis berpakaian putih tidak mungkin mengenai 

sasaran.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati 

kakek kecil kurus ini ketika tangan Melati terus 

mengejarnya. Sebisa-bisanya dia mencoba 

mengelak. Tapi....

Prattt...!

Tubuh Monyet Tanpa Bayangan 

terjengkang ke belakang ketika tangan Melati 

mengenai dada kanannya. Darah segar 

menyembur deras dari mulut kakek kecil kurus 

ini. Jelas kalau dia terluka dalam. Kakek 

berpakaian kulit beruang ini sama sekali tidak 

tahu kalau Melati menggunakan jurus 'Naga


Merah Mengulur Kuku', yang membuat tangannya 

bisa memanjang hampir dua kali lipat

"Haaat...!" Arya memekik keras. Tubuhnya 

melompat ke atas melewati kepala lawan. Dan 

sesampainya di atas, tubuhnya berputar. 

Kemudian tangan kirinya menepak ke arah 

punggung Ular Kaki Seribu.


Plakkk! Telak dan keras sekali tepakan 

Dewa Arak mengenai sasarannya!

Kini Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa 

Bayangan hanya bisa pasrah saja ketika Dewa 

Arak dan Melati menghampiri mereka yang 

terduduk berjejer di tanah. Aneh memang, kedua 

kakek ini jatuh di tempat yang berdekatan.

Tapi di saat itulah sesosok bayangan coklat 

berkelebat menghadang langkah Dewa Arak dan 

Melati. Pemuda itu ternyata adalah Wuraji. 

Sepasang tombak pendeknya disilangkan di depan 

dada. Tampak jelas kalau Wuraji telah siap 

bertarung.

"Langkahi dulu mayatku kalau kalian ingin 

membunuh guruku," tegas dan mantap sekali 

kata-kata yang keluar dari mulut pemuda 

berpakaian coklat itu.

Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa 

Bayangan saling pandang dengan perasaan 

terharu melihat pembelaan Wuraji. Mereka tahu 

betul kalau pemuda berpakaian coklat itu 

bukanlah lawan Dewa Arak dan gadis berpakaian 

putih yang memiliki kepandaian menggiriskan. 

Dan seketika itu pula, timbul rasa khawatir 

mereka pada keselamatan muridnya. Dari semula 

mereka memang telah tahu kalau Wuraji adalah



seorang murid yang berbakti. Hanya saja saat itu 

kesadaran belum timbul dalam hati mereka.

"Menyingkirlah, Wuraji. Kedua orang itu 

bukan tandinganmu," ucap Ular Kaki Seribu serak 

seraya berusaha bangkit yang diikuti Monyet 

Tanpa Bayangan.

"Tidak, Guru," bantah Wuraji tak mau 

kalah. "Guru telah terluka. Biar aku yang akan 

menghadapi mereka"

Ternyata bukan hanya Monyet Tanpa 

Bayangan dan Ular Kaki Seribu yang merasa 

khawatir. Marni pun dilanda perasaan serupa. 

Hanya saja kekhawatirannya berbeda. Dia 

mengkhawatirkan keselamatan Wuraji. Pemuda 

yang menarik hatinya sejak pertama kali bertemu.

Dan tanpa ragu-ragu lagi, gadis berpakaian 

biru ini berdiri di sebelah Wuraji menentang Dewa 

Arak dan Melati. Pedangnya melintang di depan 

dada. Kini di hadapan Dewa Arak dan Melati 

berdiri empat sosok yang siap bertarung.

"Apa maksudmu, Wuraji?" tanya Melati 

seraya menghentikan langkah dan menatap 

pemuda berpakaian kuning itu tajam. Nada suara 

gadis ini menyiratkan rasa penasaran yang amat 

sangat

"Kalian hanya dapat membunuh guruku 

setelah terlebih dulu melangkahi mayatku!" tandas 

Wuraji tegas. Kedua tangannya yang memegang 

sepasang tombak pendek tampak menegang. Jelas


pemuda berpakaian kuning ini telah siap 

bertarung.

Wajah Melati memerah. Dia merasa 

tersinggung mendengar ucapan Wuraji. Gadis 

berpakaian putih ini memang paling pantang 

mendengar tantangan yang ditujukan padanya. 

Tidak heran kalau ucapan Wuraji membuat 

amarahnya bangkit

"Gurunya setan, muridnya pun sudah pasti 

iblis!"

Setelah berkata demikian, Melati melompat 

menerjang. Pedangnya menusuk cepat ke arah 

leher. Ada suara menggerung keras seperti naga 

murka ketika pedang itu bergerak.

Cepat bukan main serangan yang 

dilancarkan Melati. Tapi gerakan Wuraji pun tak 

kalah cepat. Sepasang tombak pendeknya 

disilangkan, menangkis serangan Melati. Wuraji 

yang tahu kelihaian lawan, segera mengerahkan 

seluruh tenaga dalam yang dimiliki dalam 

tangkisannya. 

Tranggg...!

Suara berdentang nyaring terdengar ketika 

dua macam senjata itu beradu. Bunga-bunga api 

pun memercik ke sana kemari mengiringi 

benturan itu

Wuraji menggertakkan gigi. Kedua 

tangannya terasa bergetar hebat bahkan tubuhnya 

pun sampai terhuyung dua langkah ke belakang. 

Sementara Melati sama sekali tidak bergeming.



Suatu bukti kalau tenaga dalamnya masih berada 

di bawah Melati.

Belum juga Melati melancarkan serangan 

susulan, sebuah serangan yang mengeluarkan 

suara mencuit nyaring, membuatnya melompat ke 

belakang untuk mengelak.

"Marni...! Kau...?!" seru Melati tak percaya, 

begitu melihat orang orang telah menyerangnya.

Marni menganggukkan kepala. Memang 

gadis berbaju biru inilah yang tadi telah 

menyerang Melati.

"Maafkan aka Melati," ucap Marni pelan. 

"Bukannya aku bermaksud melawanmu. Tapi aku 

tidak bisa membiarkan kau mencelakai Wuraji."

Pelan tapi mantap suara Marni, meskipun 

diucapkan dengan wajah memerah. Memang, 

gadis berpakaian biru ini merasa malu karena 

ucapannya itu sama saja membuka rahasia 

hatinya terhadap Wuraji.

"Tahan...!" seru Arya. Dan sekali 

melangkahkan kaki, tubuhnya sudah berada di 

tengah-tengah kedua wanita cantik itu. Mencegah 

pertarungan yang sudah bisa dipastikan akan 

terjadi.

"Sabar dulu, Melati. Sarungkan 

pedangmu," ucap Dewa Arak pada tunangannya. 

"Dan kau juga, Marni."

Melati tidak membantah. Meskipun dengan 

mulut agak cemberut, dimasukkan pedangnya ke 

dalam sarung.


Begitu melihat Melati telah memasukkan 

pedang, Marni tanpa ragu-ragu lagi memasukkan 

pedangnya pula.

"Wuraji...," panggil Arya pada pemuda 

tampan berahang kokoh yang kini sudah berada di 

sebelah Marni.

Wuraji mengangkat wajahnya, memandang 

Dewa Arak.

"Jawab pertanyaanku," ucap Arya lagi 

dengan suara yang lebih tegas. "Mengapa kau 

menghalangi kami?"

"Aku tidak bisa membiarkan guru-guruku 

dibunuh di hadapanku!" sahut Wuraji tegas. 

Meskipun tahu kalau dirinya bukan tandingan 

Dewa Arak, pemuda berahang kokoh ini tidak 

merasa gentar.

''Tapi, guru-gurumu adalah datuk-datuk 

sesat yang jahat, Wuraji," bantah Arya. 

"Merupakan kesalahan besar kalau aku 

membiarkan mereka mengumbar kejahatan di 

sana-sini."

"Biar bagaimanapun, mereka adalah guru-

guruku, Dewa Arak! Orang yang telah menanam 

budi besar kepadaku! Mendidikku selama 

bertahun-tahun. Dan kini kau menyuruhku diam 

melihat mereka kau bunuh?!"

Wuraji menghentikan kata-katanya 

sebentar untuk mengambil napas.

"Andaikata mereka benar telah melakukan 

kejahatan besar pun, aku akan membela mereka


sekalipun untuk itu aku harus mati di tanganmu. 

Hitung-hitung sebagai balas budiku atas jasa 

kedua guruku selama ini! Apalagi mereka tidak 

melakukan kejahatan! Aku lebih berkewajiban lagi 

untuk membela mereka!"

"Maksudmu.., mereka sama sekali tidak 

jahat..?" tanya Arya ragu-ragu.

"Mereka telah lama mengundurkan diri 

dari dunia persilatan, Arya. Dan selama bertahun-

tahun aku tinggal bersama mereka, tak sekali pun 

kudengar mereka melakukan kejahatan. Siluman 

Tangan Maut alias Wisanggenilah yang telah 

mengacau dunia persilatan!"

Arya dan Melati tercenung. Mereka percaya 

sepenuhnya kebenaran ucapan Wuraji. Setelah 

saling pandang sejenak dan Arya memberi isyarat. 

Mendadak keduanya membalikkan tubuh dan 

berkelebat meninggalkan tempat itu

Tentu saja ha! itu membuat keempat orang 

itu terkejut. Beberapa saat lamanya mereka 

memandangi arah kepergian Dewa Arak dan Melati 

dengan perasaan bingung. Terutama sekali Monyet 

Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu. Semakin 

besarlah niat mereka untuk kembali ke jalan yang 

benar. Baru sesaat kemudian Wuraji tersadar.

"Guru...," panggil Wuraji seraya memberi 

hormat

Kali ini Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa 

Bayangan menganggukkan kepalanya sambil 

tersenyum.



"Siapakah gadis cantik ini, Wuraji?" tanya 

Ular Kaki Seribu sambil menatap Marni.

"Temanku sejak kecil, Guru," sahut Wuraji 

malu-malu. Sementara Marni hanya menunduk. 

Wajah gadis itu merona merah.

Sejenak Ular Kaki Seribu dan Monyet 

Tanpa Bayangan saling pandang. Kemudian kedua 

kakek ini saling melempar senyum. Keduanya 

tahu kalau sepasang muda-mudi ini saling 

mencintai. Karena gadis inilah Wuraji sampai 

berani melawan mereka. Dan karena hendak 

membela Wuraji-lah, Marni berani menentang 

Dewa Arak dan Melati.

Sementara itu nun jauh di sana, Dewa 

Arak dan Melati tengah berjalan bersisian. Wajah 

sepasang muda-mudi ini nampak cerah. Satu 

tugas lagi telah mereka selesaikan dengan hasil 

baik



                          SELESAI



 

Share:

0 comments:

Posting Komentar