..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 14 Januari 2025

DEWA ARAK EPISODE TIGA MACAM LEMBAH NERAKA

matjenuh

 

Hari masih pagi. Matahari pun belum naik tinggi ketika tiga 

sosok tubuh berkelebat mendaki Lereng Gunung Jawi. 

Menilik dari gerakan mereka yang rata-rata gesit dan cepat, 

bisa diperkirakan kalau tiga orang ini memiliki kepandaian 

tinggi. 

Lincah dan ringan laksana kera, tiga sosok itu ber-

lompatan ke sana kemari. Gerakan mereka baru terhenti 

ketika tiba di sebuah tempat yang lapang. 

"Benarkah di sini tempat tinggal tua bangka itu, Macan 

Tutul?" tanya salah seorang dari mereka. Orang itu ber-

tubuh kekar berkulit kuning. Pakaiannya berupa rompi yang 

terbuat dari kulit macan loreng. Dunia persilatan men-

julukinya Macan Loreng Lembah Neraka. 

Orang yang dipanggil Macan Tutul menganggukkan 

kepalanya. Dia adalah seorang yang bertubuh pendek, 

gemuk, berkepala botak dan berkulit merah. Pakaiannya 

serupa dengan Macan Loreng Lembah Neraka. Hanya saja 

dari kulit macan tutul. 

"Tapi, di sebelah mana, Macan Tutul?" tanya salah 

seorang lagi. Berbeda dengan kedua orang tadi, orang 

ketiga ini bertubuh tinggi kekar, berkulit hitam legam. 

Sepasang matanya jauh di dalam rongga. Pakaiannya 

berupa rompi dari kulit macan kumbang. Julukan orang 

yang angker ini adalah Macan Kumbang Lembah Neraka. 

Dalam dunia persilatan, nama ketiga orang ini dikenal 

sebagai dedengkot-dedengkot aliran hitam. Tiga Macan 

Lembah Neraka, begitu julukan mereka. 

Macan Tutul Lembah Neraka mendongakkan kepalanya 

menatap wajah Macan Kumbang. Baru setelah itu 

tangannya yang gemuk dan pendek serta berkulit merah itu 

menuding ke arah Selatan. 

"Di sanalah tempat tua bangka itu! Mari! Kita diburu 

waktu!" ajak Macan Tutul Lembah Neraka.


Setelah berkata demikian, Macan Tutul Lembah Neraka 

melesat. Lucu sekali kelihatannya, seperti bukan seorang 

manusia yang tengah bertari. Melainkan sebuah bola yang 

menggelinding. Tapi sungguhpun Macan Tutul Lembah 

Neraka bertubuh pendek, sementara kedua rekannya ber-

tubuh tinggi, tetap saja dia mampu mengimbangi lari kedua 

rekannya. 

Berkat ilmu meringankan tubuh mereka yang luar biasa, 

tak lama kemudian, tampak oleh ketiga orang itu sebuah 

bangunan yang cukup besar. 

"Itulah tempat tinggal si tua bangka!" teriak Macan Tutul 

Lembah Neraka seraya menudingkan tangannya. 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara tubuh pendek Macan Tutul Lembah 

Neraka hinggap di depan pintu gubuk itu. Hanya berjarak 

sekitar tiga tombak dari pintu. Macan Kumbang dan Macan 

Loreng Lembah Neraka pun menghentikan larinya. 

"Tapakjati! Keluar kau...!" teriak laki-laki pendek gemuk 

itu lantang. Suara yang dikeluarkannya didorong dengan 

pengerahan tenaga dalam, membuat sekeliling tempat itu 

bergetar hebat. 

Macan Tutul Lembah Neraka menghentikan teriakan-

nya. Ditunggunya beberapa saat jawaban dari dalam. Tapi 

sampai sekian lama menunggu, tak juga didengar sahutan. 

"Tapakjati! Keluar! Atau kubakar habis gubukmu!" 

ancam laki-laki pendek gemuk itu lagi. Kulit wajahnya yang 

memang sudah merah, menjadi kian merah tatkala 

teriakannya sama sekali tidak digubris. 

Kali ini teriakan Macan Tutul jauh lebih keras dari yang 

pertama. Tak pelak lagi, teriakan itu menggema ke seluruh 

tempat itu. Gema yang bersahut-sahutan terbawa angin. 

Terdengar suara gemeretak dari murut Macan Tutul 

Lembah Neraka setelah sekian lamanya menunggu, tidak 

juga muncul orang yang sejak tadi dipanggil-panggilnya. 

Tapi baru saja dia hendak berbuat sesuatu, di ambang 

pintu gubuk telah berdiri seorang kakek bertubuh kurus 

berkepala botak, berpakaian abu-abu. Kumis dan jenggot


yang menghias wajahnya berwarna dua, panjang sampai ke 

dada. 

Seperti tidak mengetahui kemarahan ketiga orang di 

depannya, kakek kurus berkepala botak itu menghampiri 

pelahan. 

"Mengapa kalian berteriak-teriak memanggilku? Meski-

pun usiaku telah lanjut, tapi aku belum tuli..." tenang-

tenang saja kakek yang dipanggil Tapakjati itu berkata. 

"Tidak usah berbasa-basi, Tapakjati!" sergah Macan 

Loreng Lembah Neraka keras. "Kami datang untuk 

menagih hutang nyawa!" 

"He he he...!" Tapakjati tertawa terkekeh-kekeh sehingga 

mulutnya yang sudah ompong tidak bergigi terlihat. 

"Sekarang kau boleh tertawa, Tapakjati! Tapi, sebentar 

lagi kau akan merintih dan meratap minta dikasihani!" 

ancam Macan Tutul Lembah Neraka. 

"Aku tertawa karena merasa lucu mendengar ucapan 

kalian," sahut kakek kurus berkepala botak itu. Suaranya 

masih terdengar tenang. Rupanya ancaman Macan Tutul 

Lembah Neraka tidak membuatnya gentar sama sekali. 

"Mana ucapan kami yang kau katakan lucu itu, Kakek 

Peot?!" sergah Macan Loreng setengah membentak. 

"Ucapan tentang maksud kedatangan kalian kemari." 

Macan Tutul Lembah Neraka mengernyitkan alisnya. 

"Menagih hutang nyawa yang kau anggap lucu, 

Tapakjati?" tebak laki-laki pendek gemuk setengah tak 

percaya. 

"He he he...!" hanya tawa terkekeh saja yang menyambut 

ucapan Macan Tutul Lembah Neraka. "Keparat kau, 

Tapakjati!" maki Macan Loreng Lembah Neraka. "Di mana 

letak kelucuannya?! Cepat katakan! Sebelum lehermu 

kupuntir!" 

"He he he.... sungguh gagah sekali! Bukankah kau, 

Macan Loreng Lembah Neraka?!" tebak Eyang Tapakjati 

sambil menatap tajam tubuh kekar dan berkulit kuning itu. 

"Dan kalau aku tidak salah duga, kalianlah yang berjuluk 

Tiga Macan Lembah Neraka?!"


"Rupanya matamu masih belum lamur, Tapakjati! 

Memang kamilah yang berjuluk Tiga Macan Lembah 

Neraka!" sahut Macan Tutul Lembah Neraka sambil 

tersenyum lebar. Memang sudah menjadi kebiasaan di 

kalangan tokoh hitam, mereka akan merasa bangga 

apabila ada orang yang mengenal nama atau julukannya. 

"Nah, kalau kalian benar Tiga Macan Lembah Neraka, 

kapan aku berhutang nyawa pada kalian?!" sambung Eyang 

Tapakjati lagi. "Seingatku, aku tidak pernah berurusan 

dengan orang-orang Lembah Neraka! Apalagi sampai mem-

bunuh!" 

"Kau memang tidak bersalah pada kami! Tapi orang 

yang ada hubungannya denganmu telah membunuh 

sahabat kami!" selak Macan Kumbang Lembah Neraka. 

Suaranya berat, penuh wibawa. Memang dibanding kedua 

saudaranya, laki-laki berkulit hitam ini yang paling pendiam 

dan jarang sekali bicara. Prinsipnya memang aneh. Pukul 

dulu, urusan bicara belakangan! 

Eyang Tapakjati mengerutkan alisnya. Dia yang sudah 

lama menyepi di Lereng Gunung Jawi, mana tahu lagi 

urusan dunia persilatan. 

"Siapa sahabat kalian?" tanya kakek kurus berkepala 

botak ini. Suaranya tidak lagi terdengar riang. Agaknya 

Eyang Tapakjati mulai menyadari keseriusan masalah yang 

dihadapinya. Dia tahu betul sifat tokoh yang berjuluk Tiga 

Macan Lembah Neraka ini. Mereka tidak akan mengusik 

orang yang tidak mempunyai urusan dengan mereka. Tapi, 

apabila orang mempunyai urusan dengan mereka, 

celakalah orang itu. Sampai kapan dan di mana pun, Tiga 

Macan Lembah Neraka ini akan terus memburu! 

"Sahabat kami yang berjuluk Raksasa Rimba Neraka!" 

sahut Macan Tutul Lembah Neraka lantang. 

"Raksasa Rimba Neraka?" gumam Eyang Tapakjati 

pelahan. 

"Ya!" jawab Macan Tutul Lembah Neraka singkat. 

"Lalu. siapa pembunuhnya yang kalian tuduh mem-

punyai hubungan denganku?" desak Tapakjati ingin tahu.


"Dewa Arak," jawab Macan Loreng Lembah Neraka 

lambat-lambat penuh tekanan. 

"Dewa Arak?!" ulang kakek kurus berkepala botak itu. 

Dahinya berkernyit dalam. Jelas ada sesuatu yang 

dipikirkannya 

"Ya, Dewa Arak!" tegas Macan Tutul Lembah Neraka. 

"Kau mengenalnya, kan?" 

"Tidak!" sahut Eyang Tapakjati tegas. 

"Bohong!" sentak Macan Tutul Lembah Neraka keras. 

"Buat apa repot-repot berdebat segala, Macan Tutul. 

Bunuh saja, habis perkara!" selak Macan Kumbang 

Lembah Neraka cepat. 

Merah wajah Eyang Tapakjati mendengar ucapan yang 

sangat merendahkan dirinya itu. 

"Jangan kalian kira aku takut dengan kalian! Aku 

mengatakan tidak mengenal orang yang berjuluk Dewa 

Arak, karena memang aku tidak mengenalnya! Bukan 

karena aku takut pada kalian!" ucap kakek kurus ber-

kepala botak itu menjelaskan. Tegas dan mantap sekali 

kata-katanya. 

Tiga Macan Lembah Neraka terdiam seketika. Mereka 

mendengar adanya nada kesungguhan dalam suara itu. 

Macan Tutul Lembah Neraka merayapi sekujur wajah 

Eyang Tapakjati, seolah-olah dari situ dapat diketemu-

kannya kebenaran ucapan itu. 

"Benar kau sama sekali tidak mengenalnya, Tapakjati?!" 

tanya laki-laki pendek gemuk ini mulai lunak suaranya. 

Eyang Tapakjati menggelengkan kepalanya. 

"Mendengar julukannya pun baru kali ini," jawab kakek 

kurus berkepala botak itu jujur. 

"Hhh...! Kalau begitu, kami salah alamat..." desah Macan 

Tutul Lembah Neraka pelan. "Mari kita pergi...!" 

Setelah berkata demikian, Macan Tutul Lembah Neraka 

melangkahkan kakinya yang pendek dan gemuk 

meninggalkan tempat itu. Macan Loreng Lembah Neraka 

pun membalikkan tubuh dan bersiap melangkah 

meninggalkan tempat itu.


"Tunggu, Macan Tutul!" 

Terdengar teriakan keras yang amat dikenal oleh Macan 

Tutul dan Macan Loreng Lembah Neraka. Suara berat dan 

bergaung penuh wibawa itu hanya dimiliki oleh Macan 

Kumbang Lembah Neraka! 

"Ada apa, Macan Kumbang?" tanya Macan Tutul Lembah 

Neraka, seraya menghentikan langkah, dan membalikkan 

tubuhnya. Macan Loreng Lembah Neraka pun meng-

hentikan langkah, dan membalikkan tubuhnya. 

"Ada sesuatu yang kau lupakan, Macan Tutul," ucap laki-

laki berkulit hitam itu. 

"Apa?" tanya Macan Tutul Lembah Neraka ingin tahu. 

Tapi Macan Kumbang Lembah Neraka tidak mem-

pedulikannya. Pandangannya dialihkan, menatap sekujur 

wajah Eyang Tapakjati lekat-lekat. Hal ini tentu saja 

membuat kakek kurus berkepala botak yang sudah 

menarik napas lega, kembali merasa tidak enak. 

Macan Tutul Lembah Neraka menahan perasaan men-

dongkolnya. Dialihkan perhatiannya pada Eyang Tapakjati. 

Macan Loreng Lembah Neraka pun tidak ketinggalan. 

"Tapakjati..." 

"Hm..." hanya gumaman yang menyahuti panggilan 

Macan Kumbang Lembah Neraka. 

"Kau kenal dengan Ki Wanayasa dan Pendekar Ruyung 

Maut?" tanya Macan Kumbang Lembah Neraka dengan 

suaranya yang khas. 

"Wanayasa aku kenal, tapi Pendekar Ruyung Maut aku 

tidak kenal," jawab Eyang Tapakjati. 

"Apa hubunganmu dengan Wanayasa?" kejar Laki-laki 

berkulit hitam legam itu. 

"Dia muridku..." 

"Dan Pendekar Ruyung Maut?" desak Macan Kumbang 

Lembah Neraka lagi. 

Merah wajah Eyang Tapakjati. Tulikah Macan Kumbang 

Lembah Neraka ini? Bukankah sudah dikatakan kalau dia 

sama sekali tidak mengenal orang yang ditanyakan itu? 

"Sudah kukatakan ladi. Aku sama sekali tidak


mengenainya! Titik!" sahut kakek kurus berkepala botak ini 

tanpa berusaha menyembunyikan emosinya. 

"Aneh...! Kau ini memang tidak tahu, atau pura-pura 

tidak tahu, Tapakjati?" tanya Macan Kumbang Lembah 

Neraka lagi. Secercah senyum sinis menghias wajahnya. 

"Aku tidak sepengecut itu, Macan Kumbang!" sentak 

Eyang Tapakjati keras. 

"Begitukah?!" ejek Macan Tutul Lembah Neraka yang 

kini sudah mengerti. "Mungkin memang kau tidak tahu, 

Tapakjati. Tapi biarlah kuberitahu. Pendekar Ruyung Maut 

itu adalah adik seperguruan Wanayasa." 

"Mustahil!" sergah Eyang Tapakjati keras. "Wanayasa 

hanya mempunyai satu orang adik seperguruan. Tribuana 

namanya!" 

Macan Tutul Lembah Neraka tersenyum mengejek. 

"Sekarang kau tentu sudah bisa memperkirakan siapa 

Pendekar Ruyung Maut itu, Tapakjati?!" 

Wajah Eyang Tapakjati berubah hebat. 

"Maksudmu... dia..., Pendekar Ruyung Maut itu adalah 

Tribuana?" 

"Tepat!" sahut Macan Tutul Lembah Neraka. "Apakah 

sekarang kau masih mau mengatakan tidak mengenal 

Pendekar Ruyung Maut alias Tribuana itu?" 

"Aku tidak sepengecut itu, Macan Tutul! Kalau benar 

Pendekar Ruyung Maut adalah Tribuana, jelas kalau 

pendekar itu adalah muridku!" tandas Eyang Tapakjati. 

"Sekarang masalahnya sudah jelas, Tapakjati! Mau tidak 

mau kau harus tersangkut urusan ini. Kami harus menagih 

hutang nyawa sahabat kami!" tegas Macan Tutul Lembah 

Neraka sambil menatap tajam wajah kakek kurus 

berkepala botak itu. 

Eyang Tapakjati membisu. Tidak membantah sedikit 

pun. Benar atau tidak dia tersangkut masalah ini, tidak 

dipedulikan lagi. Harga dirinya telah tersinggung. Sikap Tiga 

Macan Lembah Neraka begitu meremehkan dirinya. Dan ini 

membuat amarahnya bergolak. 

Agak heran hati Macan Tutul Lembah Neraka ketika


melihat kakek kurus berkepala botak itu diam saja. 

"Perlu kau ketahui, Tapakjati. Dewa Arak adalah putra 

dari Tribuana, muridmu!" 

"Apa?!" sepasang mata Eyang Tapakjati terbelalak lebar. 

"Dewa Arak putra Tribuana?! Jadi..., Jadi... dia adalah cucu 

muridku!" 

"Benar! Dan karena itulah, kami harus menagih hutang 

nyawa sahabat kami padamu, Tapakjati!" tandas laki-laki 

bertubuh pendek gemuk itu keras. 

"Akan kuturuti apa maumu, Macan Tutul! Aku malah 

bangga seandainya Dewa Arak benar-benar cucuku! Dan 

seandainya benar, dia yang membunuh Raksasa Rimba 

Neraka pun, aku akan membelanya! Karena dia berada di 

pihak yang benar!" 

"Keparat! Kau cari mampus, Tapakjati!" selak Macan 

Tutul Lembah Neraka seraya melompat menerjang. Cepat 

bukan main gerakannya sehingga yang terlihat hanyalah 

bayangan hitam yang berkelebat ke arah Eyang Tapakjati. 

Macan Tutul Lembah Neraka membuka serangan 

dengan sampokan tangan kanan yang membentuk cakar 

naga ke pelipis Eyang Tapakjati. Sementara tangan kirinya 

disilangkan di dada. Bersiaga terhadap serangan balasan 

lawan. 

Serangan itu datang begitu cepat, tapi masih lebih cepat 

lagi gerakan yang dilakukan Eyang Tapakjati. Segera 

tubuhnya ditarik ke belakang, sehingga sampokan itu 

menyambar lewat di depan mukanya. Tidak hanya sampai 

di situ saja, yang dilakukan kakek kurus berkepala botak 

itu. Secepat kilat kaki kanannya menyambar deras ke perut 

lawan. 

Macan Tutul Lembah Neraka tentu saja tidak mau 

perutnya tertendang. Segera saja tangan kirinya yang 

disilangkan di dada, dibacokkan ke bawah. 

Takkk! 

Benturan antara tangan dan kaki yang sama-sama 

mengandung tenaga dalam tinggi tidak bisa dielakkan lagi. 

Akibatnya, baik Macan Tutul Lembah Neraka maupun


Eyang Tapakjati sama-sama terhuyung mundur satu 

langkah. Dari hasil benturan ini dapat diketahui kalau 

tenaga dalam kedua tokoh itu berimbang. 

Eyang Tapakjati terkejut juga mengetahui hal ini. 

Memang sebelumnya laki-laki kurus berkepala botak ini 

pernah mendengar kelihaian Macan Tutul Lembah Neraka. 

Tapi sungguh di luar dugaannya kalau sampai selihai itu. 

Kalau satu orang di antara mereka saja sudah begitu lihai, 

bagaimana kalau mereka maju berbareng? Diam-diam 

Eyang Tapakjati mengkhawatirkan nasib cucu muridnya 

bila terpaksa harus berhadapan dengan mereka sekaligus. 

Tapi kakek kurus berkepala botak ini tidak bisa berpikir 

lama-lama, karena serangan dari Macan Tutul Lembah 

Neraka telah menyambar lagi. Tahu kalau lawan memiliki 

kepandaian yang amat tangguh, Eyang Tapakjati pun 

mengeluarkan ilmu andalannya, ilmu 'Sepasang Tangan 

Penakluk Naga'! 

Macan Tutul Lembah Neraka menggeram hebat. 

Sepasang tangannya yang berbentuk cakar, menyambar-

nyambar dahsyat mencari sasaran. 

Eyang Tapakjati berusaha mempertahankan selembar 

nyawanya dengan mengerahkan seluruh kemampuannya. 

Kakek kurus kepala botak ini menyadari kalau lawan yang 

akan dihadapinya bukan hanya Macan Tutul seorang, tapi 

masih ada dua lawan tangguh lagi yang menunggunya. 

Kalau mengulur-ulur waktu, dia khawatir akan keburu lelah 

sebelum menghadapi lawan yang lainnya. 

Pertarungan antara kedua tokoh yang sama-sama sakti 

itu berlangsung cepat. Sehingga dalam waktu sekejap saja, 

dua puluh jurus telah berlalu. Dan sampai sejauh ini, belum 

nampak tanda-tanda ada yang akan terdesak. 

Macan Tutul Lembah Neraka meraung. Laki-laki pendek 

gemuk ini marah bukan main. Sungguh tidak disangka 

kalau lawannya begitu lihai, sehingga sampai sekian 

lamanya dia belum mampu mendesak. 

"Haaat..!" 

Macan Tutul meraung murka. Tubuhnya melompat


menerjang Eyang Tapakjati. Dan selagi berada di udara, 

tubuhnya dibalikkan seraya mengibaskan kaki kanannya. 

Eyang Tapakjati bersikap tenang. Kibasan kaki yang 

mengancam kepalanya itu, segera dibuat mati kutu dengan 

hanya merundukkan sedikit tubuhnya. Tapi, tak disangka-

sangka kalau mendadak tubuh Macan Tutul Lembah 

Neraka berputar sekali lagi di udara. Dan dari atas, kedua 

tangan yang berbentuk cakar itu menyampok ke belakang 

kepala lawannya. 

Eyang Tapakjati terperanjat kaget. Namun tidak menjadi 

gugup. Buru-buru dia melompat ke depan kemudian ber-

gulingan menjauh. 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara kedua kaki Macan Tutul Lembah 

Neraka menjejak tanah. Dan secepat kedua kaki itu 

mendarat, secepat itu pula laki-laki bertubuh pendek 

gemuk ini memburu tubuh Eyang Tapakjati yang sedang 

bergulingan menjauh. 

"Hih...!" 

Macan Tutul Lembah Neraka memekik keras seraya 

mengkelebatkan cakarnya ke arah tubuh Eyang Tapakjati. 

Crab, Crab! 

Jari-Jari Macan Tutul Lembah Neraka amblas ke dalam 

tanah, ketika tubuh Eyang Tapakjati telah bergulingan 

menghindar. Tapi laki-laki pendek gemuk ini tidak putus 

asa. Kembali tubuh yang bergulingan itu dikejar, dan 

dihujani dengan serangan-serangan cakarnya yang 

menimbulkan desir angin bercicitan. 

Beberapa saat lamanya terjadi adegan yang lucu dan 

menarik. Tubuh Eyang Tapakjati terus bergulingan, men-

coba melepaskan diri dari sambaran cakar Macan Tutul 

Lembah Neraka yang terus mencecarnya bertubi-tubi. 

"Hiyaaa...!" 

Mendadak Eyang Tapakjati memekik nyaring. Belum lagi 

habis gema teriakan itu, tahu-tahu tubuhnya sudah 

melenting laksana seekor ikan. 

"Hih...!"


Macan Tutul Lembah Neraka tentu saja tidak mem-

biarkan lawannya lolos. Cepat dia pun melompat, mengejar 

tubuh Eyang Tapakjati yang telah melenting lebih dulu. 

"Hiaaat…!" 

Seraya mengeluarkan bentakan nyaring, Macan Tutul 

Lembah Neraka mengirim serangan ke arah ulu hati. 

Kedua cakarnya, menyambar ganas menuju sasaran. 

Eyang Tapakjati tidak punya pilihan lain lagi. Tubuhnya 

masih berada di udara. Dan merupakan suatu hal yang 

mustahil bila harus mengelak selagi kedua kakinya tidak 

mempunyai landasan untuk berpijak. Terpaksa dipapaknya 

serangan itu dengan kedua tangan yang membentuk cakar. 

Prattt...! 

Benturan antara dua pasang tangan yang sama-sama 

mengandung tenaga dalam tinggi itu tidak bisa terelakkan. 

Dan akibatnya, tubuh kedua tokoh sakti itu sama-sama 

terjengkang. Rasa nyeri merayapi sekujur tangan mereka. 

"Hup...!" 

Hampir bersamaan kedua tokoh itu mendarat di tanah. 

Tampak jelas betapa Macan Tutul Lembah Neraka dan 

Eyang Tapakjati sama-sama terhuyung, begitu kedua kaki-

nya hinggap di tanah. 

Macan Tutul Lembah Neraka meraung murka. Begitu 

selesai memperbaiki posisi kuda-kudanya, seketika itu juga 

tangannya bergerak. Dan entah dari mana, tahu-tahu 

sebuah ruyung terbuat dari perak telah tergenggam di 

tangannya. 

"Hiyaaa...!" 

Seraya mengeluarkan pekikan melengking, Macan Tutul 

Lembah Neraka berlari menyerbu Eyang Tapakjati. Ruyung 

perak di tangannya diayunkan ke arah kepala tokoh ber-

usia lanjut itu. 

Wuuuttt..! 

Angin berhembus keras mengawali tibanya serangan 

ruyung. Tapi, Eyang Tapakjati tidak menjadi gugup. Segera 

dilempar tubuhnya ke belakang, bersalto beberapa kali di 

udara. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah, pada


kedua tangannya juga telah tergenggam sepasang tongkat 

pendek berwama hitam mengkilat. Tanpa ragu-ragu lagi, 

Eyang Tapakjati segera menggunakan ilmu andalannya, 

ilmu 'Sepasang Tongkat Pembunuh Naga'! 

Angin menderu-deru keras begitu Eyang Tapakjati meng-

gerak-gerakkan sepasang tongkat pendek di tangannya. 

Kini dengan dua tongkat di tangan, kakek kurus berkepala 

botak ini menghadapi serbuan Macan Tutul Lembah 

Neraka yang menggunakan ruyung perak! 

Pertarungan kembali berlangsung sengit. Dengan 

senjata andalan di tangan, akibat yang ditimbulkan oleh 

pertarungan kedua tokoh itu menjadi semakin dahsyat. 

Debu mengepul tinggi ke udara. Tanah terbongkar di sana-

sini. 

Sebentar saja puluhan jurus telah berlalu. Dan sampai 

selama itu, belum ada tanda-tanda siapa yang akan ter-

desak. Kepandaian kedua orang itu ternyata berimbang. 

Baik dalam hal tenaga dalam maupun ilmu meringankan 

tubuh. 

Tapi menginjak jurus ke serarus dua puluh, napas Eyang 

Tapakjati mulai terengah-engah. Maklum, usia kakek ini 

sudah sangat tua. Di samping itu, sudah lama sekali tidak 

berlatih, kecuali hanya bersemadi. Itu pun hanya 

seperlunya saja. Maka tidak aneh kalau saat ini kakek 

kurus berkepala botak itu sudah kelelahan. 

Seiring dengan rasa lelah yang timbul, gerakan-gerakan 

Eyang Tapakjati pun mulai menjadi lambat. Tenaganya 

mulai merosot jauh. Serangan-serangannya sudah ber-

kurang, Beberapa kali sewaktu mengadu senjata, tubuh 

tokoh berusia lanjut ini terhuyung-huyung. 

Tentu saja hal ini membuat Macan Tutul Lembah Neraka 

menjadi girang. Serangan-serangan ruyungnya pun se-

makin ditingkatkan. Karuan saja hal ini membuat Eyang 

Tapakjati semakin kerepotan. 

Pada jurus ke seratus tiga puluh satu, Macan Tutul 

Lembah Neraka mengayunkan ruyungnya ke pelipis Eyang 

Tapakjati. Bergegas kakek kurus berkepala botak itu


mengangkat tongkatnya menangkis. 

Trak! 

"Akh...!" 

Eyang Tapakjati memekik tertahan. Kondisinya yang 

sudah lelah, dan tenaganya yang sudah jauh berkurang, 

membuat tubuhnya terhuyung-huyung sewaktu menangkis 

serangan itu. Tongkat pendek di tangannya pun kontan 

terlepas dari genggaman. Dan sebelum kakek kurus itu 

sempat berbuat sesuatu. Macan Tutul Lembah Neraka 

kembali mengirimkan serangan susulan. 

"Hiyaaa...!" 

Senjata ruyung milik laki-laki pendek gemuk itu 

menyambar bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati Eyang 

Tapakjati. 

Buk! Buk! 

"Akh...!" 

Kakek kurus itu memekik tertahan. Tubuhnya yang 

sudah lelah membuatnya tidak mampu mengelak, se-

hingga dengan telak dan kerasnya semua sambaran 

ruyung Macan Tutul Lembah Neraka bersarang di sasaran-

nya. Seketika itu juga tubuh Eyang Tapakjati terjungkal, 

dan jatuh berdebuk keras di tanah. Dari mulut, hidung, dan 

telinganya mengalir darah segar. 

"Ha ha ha….!" 

Macan Tutul Lembah Neraka tertawa terbahak-bahak. 

Sebuah tawa kemenangan. Ditatapnya wajah Eyang 

Tapakjati yang sudah tak mampu bangkit lagi. Sekali 

pandang saja, laki-laki bertubuh pendek gemuk ini tahu 

kalau kakek kurus itu tidak akan mampu bertahan lebih 

lama lagi. Luka-luka yang dideritanya terlalu parah. 

Setelah melepaskan pandang mata mengejek, Macan 

Tutul Lembah Neraka lalu melangkah pelahan meng-

hampiri kedua rekannya. 

"Mari kita pergi." ucap laki-laki pendek gemuk ini pelan. 

Setelah berkata demikian, tubuhnya melesat dari situ. 

Cepat bukan main gerakannya. Sungguh tidak sesuai 

dengan potongan tubuhnya yang gemuk dan pendek.



Macan Kumbang dan Macan Loreng Lembah Neraka 

pun melesat kabur dari situ. Mereka tak menyadari kalau 

sedari tadi ada sepasang mata yang mengintip semua 

kejadian itu. Sepasang mata dari seorang pemuda 

berwajah tampan, berpakaian merah muda! 

***


Sesosok bayangan ungu berkelebat cepat mendaki Lereng 

Gunung Jawi. Cepat bukan main gerakannya. Rambutnya 

yang putih keperakan nampak berkibaran tersapu angin. 

"Eh...?!" 

Sosok bayangan ungu memekik kaget, ketika di sebuah 

tikungan hampir saja bertabrakan dengan orang yang ber-

pakaian serba hitam. Untung dia sempat menahan 

langkahnya, kemudian kakinya dijejakkan sehingga tubuh-

nya melenting ke atas. Sosok ungu itu lewat di atas kepala 

orang itu, berputar sekali di udara kemudian hinggap 

ringan di belakang sosok serba hitam tadi 

Sosok serba hitam, itu pun tidak kalah kagetnya 

ketimbang sosok bayangan ungu tadi. Sosok hitam itu 

tentu saja tahu kalau tadi hampir terjadi tabrakan, namun 

batal karena orang itu mampu mengelak dengan cara yang 

luar biasa sekali! 

Sosok serba hitam ini segera menghentikan langkahnya 

Tapi, salah seorang dari dua rekannya segera memegang 

tangannya. 

"Jangan cari perkara, Macan Kumbang," ucap rekannya 

yang bertubuh pendek dan gemuk, yang ternyata adalah 

Macan Tutul Lembah Neraka. 

Macan Kumbang Lembah Neraka mendengus. 

"Aku hanya penasaran dan ingin tahu siapa orang itu. 

Gerakannya sewaktu mengelakkan tubrukan, benar-benar 

mengejutkan hatiku." 

"Lupakanlah...! Kita mempunyai urusan yang jauh lebih 

penting. Membalas dendam kematian sahabat kita pada 

Dewa Arak!" selak Macan Loreng Lembah Neraka ikut 

campur tangan. 

Tanpa berkata apa-apa, Macan Kumbang Lembah 

Neraka segera melesat dari situ. Macan Tutul dan Macan 

Loreng Lembah Neraka hanya bisa menggeleng-gelengkan


kepalanya. Tak lama kemudian keduanya pun sudah 

melesat, menyusul rekan mereka. 

Bukan hanya Macan Kumbang Lembah Neraka yang 

menghentikan larinya. Sosok bayangan ungu itu pun meng-

hentikan larinya. Di bawah jilatan sinar matahari yang 

cukup terik, tampak jelas sosok ungu itu. Sosok ungu itu 

ternyata adalah seorang pemuda berwajah tampan dengan 

rambut putih keperakan tergerai sampai ke bahu. Sebuah 

guci arak perak tersampir di punggungnya. Siapa lagi kalau 

bukan Arya Buana alias Dewa Arak! 

Tapi hanya sejenak saja Dewa Arak menghentikan 

larinya. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah kembali 

melesat. Sungguhpun begitu, benaknya berputar keras. 

Siapakah gerangan tiga sosok yang menitik dari gerakan-

nya adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi? duga 

Arya dalam hati. 

Tak lama kemudian, Arya pun tiba di tanah lapang yang 

luas. Sebelum tewas, almarhum ayahnya telah mem-

beritahu kepadanya tempal tinggal kakek gurunya. 

Sehingga kini Arya tidak mengalami kesulitan untuk men-

carinya. 

Memang niat Arya mendaki Lereng Gunung Jawi ini 

adalah untuk menengok kakek gurunya. Sekaligus mem-

perkenalkan dirinya. Sudah sejak lama sebenarnya Arya 

mempunyai maksud demikian, hanya saja selalu tertunda-

tunda, karena selama dalam perjalanannya selalu men-

jumpai berbagai masalah. 

Sekarang kebetulan dalam pengembaraannya Dewa 

Arak melewati Gunung Jawi, maka Arya pun tidak menyia-

nyiakan kesempatan ini. Segera saja ditunaikan niat yang 

telah lama tertunda, mengunjungi kakek gurunya. 

Begitu tiba di tanah lapang yang luas ini, Dewa Arak kian 

mempercepat larinya. Pemuda berambut putih keperakan 

ini tahu kalau tidak lama lagi, dia akan tiba di tempat 

kediaman kakek gurunya. 

Apa yang diduganya memang tidak salah. Dari kejauhan, 

bangunan tempat tinggal Eyang Tapakjati pun sudah



terlihat. Hati Arya berdebar tegang. Rasa gembira dan 

keinginan untuk segera bertemu membuatnya, jadi agak 

gelisah. 

Tapi kegembiraan yang melanda hati Arya lenyap 

seketika. Mendadak pandangannya tertumbuk pada sosok 

tubuh yang tergolek di tanah. Perasaan tidak enak pun 

berkecamuk dalam dada Dewa Arak. 

Sesaat kemudian pemuda berambut putih keperakan ini 

telah berada di dekat tubuh Eyang Tapakjati yang tergolek 

lemah tak berdaya. 

Sepasang mata Dewa Arak membelalak lebar. Pelahan 

tubuhnya membungkuk. Diperhatikannya raut sosok wajah 

yang tergolek Itu. Ternyata ciri-ciri yang dimiliki kakek botak 

yang terbaring ini, persis seperti yang diceritakan ayahnya. 

Pelahan tangan Dewa Arak diulurkan. Dirabanya detak 

jantung dan denyut nadi kakek kurus berkepala botak itu. 

Ah, ternyata kakek itu belum mati! Sungguhpun begitu, 

sekali lihat saja Arya telah mengetahui kalau Eyang 

Tapakjati tidak bisa diselamatkan lagi. 

"Eyang...," panggil Arya. Pelahan sekali suaranya. 

Memang pemuda berambut putih keperakan ini masih 

kaget melihat kenyataan ini. Sungguh tidak disangkanya 

kalau perjumpaan pertama dengan kakek gurunya adalah 

perjumpaan untuk yang terakhir kalinya. Perjumpaan 

sekaligus perpisahan! 

Mendadak kelopak mata Eyang Tapakjati yang semula 

terpejam rapat, membuka. Tapi sorot mata itu begitu 

kosong, seolah-olah tidak menampakkan sinar kehidupan. 

"Siapa kau?" tanya Eyang Tapakjati dengan suara ter-

putus-putus. Sepasang matanya menatap wajah Dewa Arak 

lekat-lekat "Sepertinya aku pernah mengenalmu...." 

Tentu saja Eyang Tapakjati merasa mengenal Dewa 

Arak, karena wajah pemuda ini memang sangat mirip 

dengan ayahnya, Tribuana. 

"Aku Arya, Eyang. Arya Buana...," ucap pemuda berambut 

putih keperakan itu memberitahu. 

"Arya Buana...?" gumam kakek kecil kurus itu


mengulang. 

"Ya, Eyang. Aku cucu murid Eyang, Ayahku Tribuana." 

"Ahhh...! Jadi, kaukah yang berjuluk Dewa Arak?" tanya 

Eyang Tapakjati setengah tidak percaya. 

"Benar, Eyang, Kini aku datang menemui Eyang. Kata-

kanlah, siapa yang telah melakukan semua ini pada 

Eyang?" 

Kakek bertubuh kurus itu menggelengkan kepalanya. 

"Lebih baik kau tidak usah mengetahuinya, Arya. Mereka 

adalah tokoh-tokoh yang amat sakti. Cepatlah menyingkir 

dari sini. Mereka tengah mencarimu...." 

Dewa Arak mengerutkan alisnya. 

"Mereka? Siapa mereka, Eyang? Mengapa mencariku?" 

tanya Arya. Nada suaranya menyiratkan keingintahuan 

yang dalam. 

Napas Eyang Tapakjati mulai tersengal-sengal. 

"Mereka... hendak membalas dendam padamu, Arya," 

sahut kakek itu terputus-putus. 

"Membalas dendam padaku?" tanya Arya meminta 

kepastian. 

"Benar." 

"Mengapa, Eyang?" desak Arya. 

"Karena kau telah membunuh sahabat mereka," jawab 

Eyang Tapakjati memberi penjelasan. 

Arya menarik napas dalam-dalam dan menghembus-

kannya kuat-kuat. Wajahnya menyorotkan ketidak-

mengertian yang amat sangat. Siapakah orang yang tengah 

mencari-carinya? Dan, siapakah orang yang telah dibunuh-

nya? Dua pertanyaan itu menggayuti benak Dewa Arak. 

"Eyang tahu siapa sahabat mereka?" tanya Arya. 

"Ya," sahut Eyang Tapakjati seraya menganggukkan 

kepalanya. "Mereka mengatakannya." 

"Siapa, Eyang?" 

"Raksasa Rimba Neraka." 

"Ahhh...!" seru Arya terkejut 

"Kau mengenalnya, Arya?" tanya Eyang Tapakjati ketika 

dilihatnya Dewa Arak terkejut begitu mendengar nama


Raksasa Rimba Neraka. 

Pelahan kepala Arya mengangguk. 

"Benar kau yang telah membunuhnya?" tanya kakek 

bertubuh kurus itu lagi. 

Kembali kepala Arya mengangguk. 

"Kalau begitu, cepatlah kau menyingkir, Arya. Kalau 

perlu, cari paman gurumu. Dan mintalah perlindungan 

padanya," saran Eyang Tapakjati. Raut wajahnya 

memancarkan kecemasan. 

Wajah Arya memerah mendengar ucapan itu. 

"Maaf, Eyang. Bukannya aku tidak menghargai saran 

Eyang. Tapi, aku bukanlah seorang pengecut, yang akan 

lari dari tanggung jawab. Lagi pula paman guru telah tiada, 

Eyang." 

"Apa katamu, Arya?!" tanya Eyang Tapakjati kaget. 

"Paman gurumu telah tewas?" 

"Benar, Eyang," sahut Arya sambil menganggukkan 

kepalanya. 

Kemudian secara singkat diceritakannya tentang 

kematian paman gurunya. Juga kematian ayahnya (Untuk 

jelasnya, bacalah serial Dewa Arak dalam episode "Pedang 

Bintang"). 

"Hhh...! Sungguh tidak kusangka kalau umur mereka 

tenyata begitu singkat," keluh Eyang Tapakjati. Suaranya 

terdengar kian lemah, bahkan napasnya pun tersengal-

sengal. 

Melihat hal ini karuan saja Arya menjadi khawatir. 

Pemuda berambut putih keperakan ini takut, kakek kurus 

itu keburu tewas sebelum memberitahukan siapa orang 

yang tengah mencarinya. 

"Eyang, katakanlah! Siapa orang yang tengah mencari-

cariku...?" 

"Lebih baik kau tidak usah tahu, Arya. Mereka sangat 

sakti...." 

"Tapi, Eyang. Bagaimana bisa aku menjaga diri kalau 

tidak tahu siapa orang yang tengah mencariku," ucap Arya 

memberi alasan.


Eyang Tapakjati kontan termenung. Disadari kebenaran 

ucapan cucu muridnya itu. 

"Mereka berjuluk Tiga Macan Lembah Neraka... akh...!" 

kepala kakek itu pun terkulai. 

"Eyang...!" seru Arya tersentak kaget Diguncang-

guncangnya tubuh Eyang Tapakjati yang telah tidak 

bernyawa lagi. Tapi, betapa pun keras guncangan Arya, dan 

betapa pun keras mulutnya menjerit-jerit memanggil kakek 

itu, tetap saja kakek itu diam tidak menjawab. Diam untuk 

selama-lamanya. 

Melihat hal ini, Dewa Arak pun sadar, tidak ada gunanya 

lagi dia berteriak-teriak dan menguncang-guncangkan 

tubuh itu. Arya pun lalu membopong mayat Eyang 

Tapakjati. Kemudian beranjak bangkit dan berjalan 

pelahan meninggalkan tempat itu. Tapi, baru beberapa 

tindak melangkah, terdengar suara bentakan nyaring. 

"Pencuri keparat! Jangan lari kau...!" 

Seketika itu juga Dewa Arak menghentikan langkahnya. 

Dibalikkan tubuhnya, menghadap bangunan tempat tinggal 

kakek gurunya, tempat asal suara bentakan itu. Dilihatnya 

seorang pemuda berlari cepat ke arahnya. Dewa Arak pun 

berdiri menunggu. Ingin diketahuinya, siapa pemuda yang 

datang dari rumah tempat tinggal kakek gurunya. 

Tak lama kemudian, pemuda itu pun telah berada di 

depan Dewa Arak, dalam jarak sekitar tiga tombak. Arya 

memperhatikan pemuda itu dari ujung kaki sampai ke 

ujung rambut. Seorang pemuda bertubuh agak pendek, 

berwajah tampan, berpakaian merah muda. 

"Siapa kau, Kisanak? Dan mengapa menuduhku 

pencuri?" tanya Arya. Nada suaranya terdengar agak ketus. 

Pemuda ini tidak senang dimaki seperti itu. 

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Kisanak," 

sergah pemuda berbaju merah muda itu sinis. 

Kalau saja saat itu Dewa Arak berada dalam keadaan 

biasa, mungkin emosinya masih bisa dikuasai. Tapi karena 

perasaan pemuda berambut putih keperakan ini sedang 

kacau, sikap pemuda baju merah muda itu membuat



amarahnya meledak. 

"Tidak usah berbelit-belit, Kisanak!" potong Arya keras. 

"Katakan, apa maksudmu sebenarnya?" 

"Kau adalah pencuri!" tandas pemuda berbaju merah 

muda itu keras. 

"Keparat! Jelaskan maksudmu, sebelum habis 

kesabaranku!" 

Pemuda berpakatan merah muda itu tersenyum sinis. 

"Mayat yang kau bawa itu adalah mayat guruku! Apakah 

bukan pencuri namanya kalau seseorang membawa kabur 

hak milik orang lain?" 

Seketika itu juga kemarahan Dewa Arak mereda. Urat-

urat syarafnya yang tadi menegang kini mulai mengendur. 

"Jadi, kau murid Eyang Tapakjati?" tanya Arya meminta 

kepastian. 

Pemuda berbaju merah muda itu mengangguk. 

Secercah senyuman sinis tersungging di mulutnya. 

"Benar! Namaku Jayalaga!" 

"Ah! Kalau begitu ada kesalahpahaman di sini," ucap 

Arya pelan, lebih mirip desahan. 

Senyum sinis pemuda berpakaian merah muda yang 

ternyata bemama Jayalaga semakin melebar. 

"Kesalahpahaman?! Sandiwara macam apa lagi yang 

kau mainkan, Pencuri?! Ayo, katakan siapa kau sebenar-

nya!" 

Wajah Dewa Arak kembali memerah. Lagi-lagi dia 

mendapat makian seperti itu. Kalau saja tidak ingat 

pemuda yang berdiri di hadapannya ini adalah murid kakek 

gurunya, sudah sejak tadi diberinya hajaran. Tapi, Arya 

menyabarkan diri. 

"Aku bukan pencuri, Kisanak! Dan aku juga tidak sedang 

bersandiwara. Aku Arya, Arya Buana. Ayahku, Tribuana 

adalah murid Eyang Tapakjati. Jadi, aku terhitung cucu 

murid gurumu!" Jelas Arya panjang lebar. 

Senyum sinis di wajah Jayalaga belum juga sirna, 

kendati Dewa Arak telah memperkenalkan dirinya. 

"Lalu, mengapa kau hendak mencuri mayat guruku?"


"Ehm...!" Dewa Arak berdehem untuk meredakan 

amarah yang bergelora di hatinya. Murid kakek gurunya ini 

benar-benar keterlaluan. Diam-diam Arya bingung sendiri. 

Tidak salahkah kakek gurunya ini mengangkat murid? 

Mengapa sikapnya begitu kasar dan sombong? Tapi, 

pemuda berambut putih keperakan ini menelan 

kemarahannya. Biar bagaimanapun, pemuda di hadapan-

nya ini masih terhitung paman gurunya dan dia harus 

menghormatinya. 

"Mungkin kau lupa. Bukankah tadi sudah kukatakan 

kalau aku bukan pencuri?!" ucap Arya setengah 

memprotes. Perasaan tidak senangnya pada pemuda baju 

merah muda ini membuatnya enggan untuk memanggil 

Jayalaga, paman guru. 

"Mana ada pencuri mengaku?!" dengus Jayalaga. 

"Dengar dulu penjelasanku!" selak Arya agak keras. 

"Ahhh...! Kau berani membentakku?! Aneh..! Mana ada 

murid keponakan bersikap kurang ajar pada paman 

gurunya! Sikapmu semakin membuatku yakin kalau kau ini 

adalah seorang pencuri!" 

"Aku terpaksa bicara kasar karena kau tidak mau men-

dengar penjelasanku!" semakin meninggi ucapan Dewa 

Arak. 

Lagi-lagi Jayalaga tersenyum sinis. 

"BaiKiah, kudengarkan alasanmu. Bicaralah!" 

Terdengar suara gemeretak ketika seluruh tulang-tulang 

Dewa Arak berkerotokan. Kemarahannya yang berkobar 

membuat tenaga dalamnya bergolak sendiri, dan membuat 

tulang-tulangnya bergemeretakan. 

Pemuda berbaju merah muda itu terkejut juga begitu 

mendengar suara berkerotokan keras. Sesaat sepasang 

matanya menatap Dewa Arak penuh kekaguman, tapi di 

lain saat sudah kembali seperti biasa, memandang penuh 

ejekan. 

"Semula kukira almarhum Eyang Tapakjati tidak 

mempunyai murid lagi selain ayahku dan Paman 

Wanayasa. Maka begitu kulihat dia telah tewas, kubawa


dia pergi. Beliau akan kukuburkan di tempat yang layak." 

jelas Arya. 

"Pintar juga kau memberi alasan! Tapi, aku perlu bukti 

kebenaran ucapanmu!" 

"Maksudmu?" tanya Arya masih belum mengerti. 

"Kau harus membuktikan kalau kau benar cucu murid 

Eyang Tapakjati!" tandas pemuda baju merah muda itu 

tegas. 

"Bagaimana caranya?" 

"Kita bertarung!" sahut Jayalaga tegas. 

"Bertarung?!" Arya mengerutkan alisnya. 

"Ya! Jaga seranganku! Hiyaaa...!" 

Setelah berkata demikian, tanpa mempedulikan Dewa 

Arak yang belum bersiap, dan juga tubuh Eyang Tapakjati 

yang masih berada dalam pondongan Arya, Jayalaga telah 

menerjang. Tangan kanannya menyampok keras ke arah 

pelipis. 

Wuukkk...! 

Angin berhembus keras sebelum serangan itu sendiri 

tiba. 

Dewa Arak mengerutkan alisnya. Perasaan heran kian 

menyelimuti hatinya. Benarkah pemuda berbaju merah 

muda ini murid kakek gurunya? Kalau memang benar, 

kenapa sikapnya mencurigakan sekali? Tindak-tanduknya 

mencerminkan sikap tokoh persilatan beraliran hitam! 

Menyerang pun tidak mempedulikan siap atau tidaknya 

Lawan. 

Tapi, sungguh pun begitu, Dewa Arak tidak menjadi 

gugup. Buru-buru tubuhnya didoyongkan ke belakang, 

sehingga serangan itu lewat sejengkal di depan wajahnya. 

Jayalaga menggeram keras tatkala mengetahui 

serangannya begitu mudah dielakkan lawan. Tangan 

kirinya pun segera menyusuli dengan sebuah sapuan dari 

bawah ke atas, ke arah rahang Dewa Arak. 

Melihat hal ini, kecurigaan Dewa Arak kian bertambah 

besar. Benarkah Jayalaga ini murid kakek gurunya? 

Rasanya mustahil! Tidak sadarkah pemuda itu kalau


serangan-serangan yang dilakukannya dapat mengenai 

gurunya sendiri? 

Dewa Arak tidak punya pilihan lain. Mayat kakek 

gurunya harus diselamatkan dulu. Pemuda berambut putih 

keperakan ini tidak ingin mayat kakek gurunya terkena 

sasaran serangan nyasar Jayalaga yang nampaknya tidak 

mempedulikan mayat gurunya itu. 

"Hih...!" 

Dewa Arak melempar tubuhnya ke belakang, kemudian 

bersalto beberapa kali di udara. Tapi, Jayalaga rupanya 

tidak ingjn memberi kesempatan pada lawannya. Begitu 

dilihatnya tubuh pemuda berambut putih keperakan itu 

melenting ke udara, bergegas melompat menyusul seraya 

mengirimkan serangan-serangannya. 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara kedua kaki Arya menjejak tanah. 

Tapi secepat itu pula, tubuhnya kembali dilempar ke 

belakang. Karena begitu kedua kakinya mendarat, Jayalaga 

pun telah mendaratkan kedua kakinya, seraya mengirim-

kan sebuah tendangan melingkar. 

Wuuuttt..! 

Tendangan kaki Jayalaga mengenai tempat kosong, 

karena tubuh Dewa Arak sudah tidak ada lagi di situ. 

Pemuda berpakaian merah muda itu menggeram keras. 

Sekilas dilihatnya Arya telah meletakkan mayat Eyang 

Tapakjati di tanah. 

"Rupanya kau menginginkan nyawaku, Jayalaga," 

gumam Arya pelan, tapi terdengar cukup keras di telinga 

Jayalaga. Dalam kedongkolannya, Arya tidak memanggil 

Paman Guru kepada Jayalaga. Tambahan lagi memang 

Dewa Arak masih meragukan pengakuan pemuda itu. 

Pelahan-lahan kakinya dilangkahkan menghampiri 

Jayalaga. 

"Tidak usah banyak bacot, Pencuri Busuk! Keluarkan 

seluruh kemampuanmu, kalau kau tidak ingin mati sia-sia 

di tanganku!" 

"Orang sepertimu harus diberi pelajaran, Jayalaga! Agar



kau sadar, bahwa tidak hanya kau saja yang memlliki 

kepandaian di dunia ini!" 

"Tutup mulutmu, Pencuri! Hiyaaa...!" 

Jayalaga melesat menerjang Dewa Arak. Tubuhnya 

meluncur cepat di udara, seraya melontarkan tendangan 

ke dada Arya. 

Dewa Arak hanya tersenyum kecut. Pemuda berbaju 

ungu ini ingin membuktikan pada Jayalaga kalau dia 

adalah cucu murid Eyang Tapakjati. Maka segera 

dimainkan ilmu yang telah diwarisi dari ayahnya, ilmu 

'Delapan Cara Menaklukkan Harimau', dan ilmu 'Sepasang 

Tangan Penakluk Naga'. 

Begitu serangan kaki itu telah menyambar dekat, segera 

Dewa Arak memapak dengan kedua tangan terkepal 

disilangkan di depan dada. Dewa Arak tidak bersikap main-

main lagi. Segera dikeluarkannya tiga perempat bagian 

tenaga dalamnya. 

Bukkk! 

Suara benturan keras terdengar, begitu kaki dan tangan 

yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi itu beradu. 

Seketika itu juga tubuh Jayalaga terpental kembali ke 

belakang. Sekujur kaki yang tertangkis tangan Dewa Arak 

terasa sakit bukan main. Seolah-olah tulang-tulangnya 

berpatahan. 

Meskipun begitu, dengan sebuah gerakan indah dan 

manis, Jayalaga mampu mematahkan tenaga yang 

membuat tubuhnya terlempar ke belakang. Tubuhnya 

berputar beberapa kali di udara, kemudian mendarat di 

tanah dengan agak terhuyung-huyung. Tampak mulutnya 

menyeringai kesakitan. Rupanya kaki yang tertangkis 

tangan Dewa Arak tadi masih terasa ngilu bukan maiin. 

Jayalaga terperanjat kaget. Pemuda berbaju merah 

muda ini pun sadar kalau lawan memiliki tenaga dalam 

yang jauh lebih kuat darinya. Maka dia tidak mau bertindak 

bodoh untuk mengadu tenaga dalam lagi dengan Dewa 

Arak. 

"Hiaaat…!"


Sambil memekik nyaring, Jayalaga kembali menyerang 

Dewa Arak. Kedua tangannya yang bergerak cepat 

memainkan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga', 

menyambar-nyambar mencari sasaran. 

Jayalaga tidak tahu kalau lawan yang dihadapinya 

adalah Dewa Arak. Maka meskipun telah dikerahkan 

seluruh kemampuan yang dimilikinya, mudah saja bagi 

Dewa Arak untuk mengkandaskan semua serangan 

Jayalaga. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang jauh 

berada di atas lawannya, tidak sulit bagi Arya untuk 

mengelakkan setiap serangan. 

Sebaliknya setiap serangan balasan Dewa Arak mem-

buat Jayalaga kalang kabut. Bahkan beberapa kali 

serangan Arya hampir mengenai sasaran. Hanya dengan 

terpontang-panting saja pemuda baju merah muda itu 

berhasil mengelakkannya. 

Pertarungan antara kedua orang yang menggunakan 

jurus-jurus yang memiliki kemiripan satu sama lain itu 

berlangsung cepat. Tapi pertarungan jadi kurang menarik, 

karena kedua belah pihak telah cukup mengenal jurus 

masing-masing. Dan dengan sendirinya telah bisa 

memperkirakan arah serangan yang dituju, dan ke mana 

arah serangan selanjutnya akan dilancarkan. 

Jayalaga mengerahkan segenap kemampuan yang 

dimilikinya. Pemuda berbaju merah muda ini nampaknya 

bersemangat sekali untuk bisa menjatuhkan lawannya. 

Tapi, setelah pertarungan berlangsung tiga puluh lima 

jurus, pelahan namun pasti murid Eyang Tapakjati ini 

terdesak. 

Memang dalam hal mutu ilmu silat, Jayalaga tidak kalah. 

Tapi dalam hal kekuatan tenaga dalam dan ilmu 

meringankan tubuh, pemuda berbaju merah muda ini 

berada di bawah lawannya. Maka tidak mengherankan 

kalau pemuda ini segera saja terdesak. Berkali-kali, karena 

terpaksa dan tidak ada jalan lain lagi, Jayalaga terpaksa 

menangkis serangan Dewa Arak. Dan akibatnya sudah bisa 

diduga. Tubuhnya pun terjengkang ke belakang, dengan



dada terasa sesak. 

Tapi meskipun begitu, Jalayaga yang memang terhitung 

orang yang mempunyai sifat keras hati, tidak mau 

menyerah. Tetap saja dia menyerang semakin dahsyat. 

Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak menjadi jengkel. 

Jayalaga terhitung pemuda yang tidak tahu dikasih hati, 

pikirnya. Sungguh pun pemuda yang ini, menilik ilmu-ilmu 

yang dimainkannya, benar murid kakek gurunya. Dan 

dengan sendirinya terhitung paman guru Dewa Arak, perlu 

diberi pelajaran agar tidak bersikap seperti itu lagi pada 

orang lain. 

"Hiaaat..!" 

Jayalaga mengirimkan serangan berupa tinju kanan ke 

arah dada Dewa Arak. Kali ini Arya yang memang 

bermaksud memberi hajaran, segera bertindak. Segera 

tubuhnya didoyongkan ke kanan, seraya mengangkat 

tangan kiri menangkis. 

Wuuuttt..! Plakkk! 

Untuk yang kesekian kalinya. Jayalaga menyeringai 

kesakitan. Dan sebelum dia sempat berbuat sesuatu, kaki 

kanan Dewa Arak telah melayang ke arah dada. Buru-buru 

diletakkan tangan kirinya ke bawah, menangkis tendangan 

itu. 

Takkk! Bukkk…! 

"Hugh...!" 

Tubuh Jayalaga tenengkang ke belakang ketika 

tendangan Dewa arak menghantam perutnya. Keras bukan 

main tendangan itu. Sehingga beberapa saat lamanya, 

pemuda berbaju merah muda ini hanya mampu mem-

bungkukkan tubuh sambil memegang perutnya 

Diam-diam di dalam hati. Jayalaga takjub akan kejadian 

yang terjadi begitu cepat. Sungguh tidak disangkanya kalau 

kaki pemuda berambut putih keperakan itu mampu 

mengirimkan tendangan berantai yang begitu cepat. Begitu 

tendangannya ke arah dada tertangkis, Dewa Arak menarik 

pulang kakinya sedikit. Dan secepat itu pula menyusulinya 

dengan tendangan ke perut.


"Bagaimana?" tanya Arya seraya menghampiri Jayalaga 

yang masih membungkukkan tubuh. "Masih perlukah bukti 

kalau aku termasuk cucu murid Eyang Tapakjati?" 

Pelahan-lahan Jayalaga meluruskan kembali tubuhnya. 

Mulutnya menyeringai, begitu merasakan sakit yang 

mendera ketika tubuhnya diluruskan. 

"Tidak, tidak perlu lagi. Kau memang jelas cucu murid 

guruku." sahut pemuda berpakaian merah muda itu cepat. 

Sejak tadi pun sudah diketahuinya kalau pemuda 

berambut putih keperakan itu adalah cucu murid Eyang 

Tapakjati. Ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' yang 

dimainkan pemuda berambut putih keperakan itu telah 

membuat persoalannya menjadi jelas. 

***


"Kalau begitu, mari kita urus mayat Kakek Guru dulu," usul 

Dewa Arak. 

"Usul yang baik sekali." sahut Jayalaga cepat. Lega hati 

Dewa Arak melihat sambutan pemuda berbaju merah 

muda itu yang kini sudah tidak sinis seperti sebelumnya. 

Sesaat kemudian. Arya segera beranjak menuju tempat 

mayat Eyang Tapakjatl tergolek. 

Dengan mulut masih menyeringai, Jayalaga segera 

melangkah di belakang Dewa Arak. 

Arya membungkukkan tubuhnya, dan membopong 

kembali mayat kakek gurunya. Dibawanya mayat itu ke 

sebuah tempat di bawah pohon yang rindang. Tempat yang 

diperkirakannya cocok untuk menjadi peristirahatan ter-

akhir Eyang Tapakjati. 

Setelah meletakkan mayat itu kembali di tanah, Dewa 

Arak mulai sibuk menggali sebuah lubang di bawah 

kerimbunan pepohonan yang lebat. Berkat tenaga 

dalamnya yang memang sudah mencapai tingkatan tinggi, 

tidak sulit bagi Dewa Arak untuk menggali. 

Sesaat kemudian sebuah lubang untuk mengubur mayat 

manusia telah siap. Segera Jayalaga menaruh mayat Eyang 

Tapakjati di dalam lubang itu. Kemudian Dewa Arak ber-

sama pemuda berpakaian merah muda itu bersama-sama 

menimbuninya dengan gumpalan tanah dan batu-batu. 

Dewa Arak menatap wajah Jayalaga tajam-tajam. Dalam 

jilatan cahaya matahari yang sudah agak tergelincir ke 

Barat, dilihatnya pemuda itu tertunduk sedih. Bahkan 

sepasang matanya merembang berkaca-kaca. Sepertinya 

kematian gurunya membuat pemuda itu terpukul! 

Kematian Eyang Tapakjatikah yang membuat sikap 

pemuda berbaju merah muda ini jadi aneh? duga Dewa 

Arak dalam hati. 

"Sudahlah, Paman. Kematian Eyang Tapakjati tidak


perlu kita sesali. Yang sudah berlalu biarkan berlalu. 

Walaupun kita mengeluarkan air mata darah, yang telah 

mati tidak akan bangkit kembali," hibur Dewa Arak. Kini 

pemuda berambut putih keperakan itu memanggil Jayalaga 

dengan panggilan menghormat. 

"Aku menyesal sekali, Arya. Kau bisa berkata begitu 

karena tidak melihat sendiri kematian Eyang Tapakjati, 

sedangkan aku? Aku melihat dengan mata kepala sendiri 

ketika salah satu dari tiga orang sakti itu membantainya! 

Kalau saja tidak mengingat pesan Guru, sudah sejak tadi 

aku terjun ke kancah pertempuran membantunya meng-

hadapi orang-orang biadab itu!" bantah Jayalaga keras. 

Memang Dewa Arak telah memberitahukan namanya 

selagi mereka mengubur mayat Eyang Tapakjati. 

"Jadi, Paman melihat semua kejadian itu?" tanya Arya 

terkejut. 

"Yahhh ..." Jayalaga menganggukkan kepalanya. 

"Paman kenal orang yang telah membunuh Eyang?" 

tanya Arya lagi. 

Agak ragu-ragu pemuda berpakaian merah muda itu 

menganggukkan kepalanya. 

"Aku hanya tahu kalau kedatangan mereka hendak 

mencari seorang pemuda yang berjuluk Dewa Arak. Mereka 

berjuluk Tiga Macan Lembah Neraka. Kedatangan mereka 

untuk menuntut balas atas kematian Raksasa Rimba 

Neraka." 

Dewa Arak mengerutkan alisnya. Cerita Jayalaga sudah 

didengarnya dari mulut Eyang Tapakjati. 

"Apakah kau dapat mengingat ciri-ciri ketiga orang itu, 

Paman?" tanya Dewa Arak lagi. 

"Aku ingat, Arya," sahut Jayalaga sambil menganggukkan 

kepalanya. Kemudian diceritakannya ciri-ciri ketiga orang 

yang berjuluk Tiga Macan Lembah Neraka itu. 

"O ya, Paman. Aku masih belum mengerti dengan sikap 

Paman tadi," ucap Dewa Arak tak kuat menyimpan 

perasaan itu. 

"Hhh...!" Jayalaga menghela napas panjang. "Lupa


kanlah, Arya. Tadi aku masih terpukul dengan kematian 

Eyang Tapakjati" 

"Lalu sikap Paman yang menyerang tanpa mem-

pedulikan mayat Kakek Guru tadi?" tanya Arya lagi. 

Jayalaga tersenyum. 

"Itu memang kusengaja, Arya. Aku hanya ingin 

mengetahui kebenaran pengakuanmu. Kalau kau memang 

benar cucu murid Eyang Tapakjati, tentunya kau akan 

melindungi mayat itu mati-matian. Tapi bila kau hanya 

mengaku-aku saja, pasti kau tidak akan mempeduli-

kannya," jelas Jayalaga. 

"Ah...!" Dewa Arak berseru kaget. Kini baru di-

mengertinya mengapa pemuda berpakaian merah muda ini 

menyerang kalang-kabut. Sesaat suasana pun menjadi 

hening. 

"Kalau begitu, aku pergi dulu, Paman. Aku akan mencari 

mereka," ucap Arya tiba-tiba. 

"Tunggu dulu, Arya," cegah Jayalaga cepat "Kita pergi 

sama-sama. Setelah kematian Guru, rasanya aku sudah 

tidak betah lagi tinggal di sini." 

"Kalau begitu, cepatlah, Paman," sambut Dewa Arak 

tidak sabar. 

"Tunggu sebentar, Arya." 

"Ada apa lagi, Paman?" 

"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Arya." 

"Apa itu, Paman?" 

Jayalaga terdiam. Ditatapnya wajah Dewa Arak dalam-

dalam. 

"Apakah kau yang berjuluk Dewa Arak, Arya?" tanya 

pemuda berbaju merah muda itu. Sejak tadi sewaktu Dewa 

Arak memberitahukan namanya, Jayalaga telah berpikir 

keras. Mengingat-ingat di mana pernah didengamya nama 

itu. Dan baru sekarang saja dia teringat kembali. 

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas dalam-dalam. 

"Begitulah orang menjulukiku, Paman." 

"Julukan yang aneh," desah Jayalaga sambil tersenyum. 

Sepasang matanya menatap sekilas pada guci arak yang


tersampir di punggung Dewa Arak. 

"Mungkin karena aku selalu meminum arak sebelum 

bertarung," kilah Arya begitu dilihatnya sepasang mata 

paman gurunya melirik ke arah guci arak di punggungnya, 

"Mengapa begitu, Arya?" tanya Jayalaga lagi. 

Tanpa sungkan-sungkan lagi Dewa Arak pun men-

ceritakan semuanya. Mulai dari keistimewaan guci itu, 

sampai pada ilmunya yang akan menjadi lumpuh jika tidak 

minum arak sebelum bertarung. 

Jayalaga mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda 

mengerti. 

"Bagaimana, Paman? Sudah cukup jelas?" tanya Arya 

setelah mengakhiri penjelasannya. 

"Cukup, Arya." 

"Kalau begitu, mari kita berangkat." ajak Dewa Arak, 

seraya melesat dari situ. Tentu saja Arya tidak 

mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. 

Pemuda berambut putih keperakan ini hanya mengerahkan 

separuh ilmu meringankan tubuhnya, agar Jayalaga tidak 

tertinggal terlalu jauh. 

*** 

"Ha ha ha...!" 

Terdengar tawa bergelak dari mulut seorang laki-laki 

bertubuh pendek dan gemuk berkulit merah. Pakaiannya 

berupa rompi dari kulit macan tutul. Siapa lagi kalau bukan 

Macan Tutul Lembah Neraka! Salah seorang dari Tiga 

Macan Lembah Neraka. 

Macan Tutul Lembah Neraka berdiri di tengah-tengah 

halaman yang luas, di depan sebuah gedung yang 

dikelilingi pagar kayu bulat yang tinggi. Di sekeliling laki-laki 

bertubuh gemuk pendek ini berdiri berpuluh-puluh orang 

berseragam sebuah perguruan silat. Rata-rata raut wajah 

pengepung itu memancarkan kemarahan yang amat 

sangat. Sementara di belakang orang-orang ini, 

bergeletakan belasan sosok tanpa nyawa.


Seorang laki-laki berusia setengah baya bertubuh 

sedang, mendekati Macan Tutul Lembah Neraka yang 

masih saja tertawa-tawa. Di punggung tangannya terlihat 

rajahan bergambar sebuah kapak. Laki-laki ini adalah 

Ketua Perguruan Kapak Sakti. Ki Gelagar namanya. 

"Siapa kau, Kisanak? Dan mengapa mengacau per-

guruanku?" tanya Ki Gelagar penuh wibawa. 

Macan Tutul Lembah Neraka tertawa bergelak. 

"Aku? Ha ha ha.... Orang persilatan mengenalku sebagai 

Macan Tutul Lembah Neraka! Dan kedatanganku kemari 

adalah untuk menanyakan di mana orang yang berjuluk 

Dewa Arak! Katakan padaku, di mana dia berada! Kalau 

tidak...." 

Ki Gelagar terkejut bukan main. Sebagai seorang tokoh 

persilatan, tentu saja Ketua Perguruan Kapak Sakti ini 

memiliki pengetahuan yang cukup luas mengenai dunia 

persilatan. Dia tahu betul siapa itu tokoh yang berjuluk 

Macan Tutul Lembah Neraka. 

Salah seorang dari Tiga Macan Lembah Neraka! Tokoh-

tokoh yang berwatak ganjil, dan juga berkepandaian tinggi. 

Tapi, orang yang dicari Macan Tutul Lembah Neraka ini pun 

adalah seorang tokoh yang tidak kalah terkenal. Nama 

Dewa Arak telah bergaung ke seluruh penjuru desa, 

kadipaten-kadipaten, bahkan ke kotaraja. 

"Sayang sekali, Macan Tutul Lembah Neraka. Aku tidak 

tahu di mana orang yang kau cari itu." jawab Ki Gelagar 

mencoba bersikap tenang. 

"Apa kau bilang?!" sentak Macan Tutul Lembah Neraka 

keras. "Berani kau bilang tidak tahu? Apa kau sudah bosan 

hidup?!" 

Ki Gelagar menarik napas panjang, dan meng-

hembuskannya kuat-kuat. 

"Aku memang tidak mengetahui di mana Dewa Arak 

berada, Macan Tutul Lembah Neraka. Tapi percayalah, 

apabila aku bertemu dengannya, akan kukatakan kalau 

kau tengah mencarinya. Bagaimana? Kau menerima 

usulku?"


Macan Tutul Lembah Neraka menggelengkan 

kepalanya. 

"Sayang sekali. Aku tidak bisa menerima usulmu. Aku 

tidak sabar menunggu terlalu lama." 

"Jadi...?" tanya Ki Gelagar dengan jantung berdegup 

keras. Firasat Ketua Perguruan Kapak Sakti itu mengata-

kan ada bahaya yang mengancam. Seluruh urat-urat syaraf 

di tubuhnya mendadak menegang, bersiap menghadapi 

segala kemungkinan. Bahkan kedua tangannya telah 

menyentuh gagang kapaknya. 

"Aku akan menggunakan cara lain yang kutahu pasti 

sangat ampuh untuk memancing pemuda itu mencariku! 

Kau ingin tahu...?!" 

"Apa itu?" tanya Ki Gelagar setengah hati. Tapi Macan 

Tutul Lembah Neraka seolah-olah tidak mendengar 

pertanyaan itu. Enak saja dilanjutkan ucapannya. 

"Dari salah seorang penduduk, kudengar Dewa Arak ada 

di desa ini. Sekarang aku hanya tinggal memancing 

kedatangannya saja! Akan kubuat kekacauan di seluruh 

desa ini. Pasti dia akan datang! Dan aku memilih 

perguruanmu!" 

"Keparat!" maki Ki Gelagar. Seketika itu juga kedua 

tangannya bergerak. Sesaat kemudian, di kedua tangannya 

telah tergenggam sepasang kapak berwarna hitam 

mengkilat. 

"Haaat..!" 

Sambil mengeluarkan seruan nyaring, Ki Gelagar 

memutar-mutarkan kedua senjatanya. Angin menderu 

keras, mengiringi putaran kapak itu. 

"Hiyaaa...!" 

Ki Gelagar menerjang Macan Tutul Lembah Neraka. 

Kapak hitam mengkilat di tangan kanannya diayunkan ke 

arah kepala laki-laki pendek gemuk itu. Sebenamya 

sasaran serangan kapak itu adalah ke leher. Tapi karena 

tubuh Macan Tutul Lembah Neraka yang terlalu pendek, 

serangan kapak itu jadi mengarah ke kepala. 

Wuuuttt..!


Sebelum serangan itu tiba, Macan Tutul Lembah Neraka 

telah terlebih dulu melompat, membuat serangan kapak Ki 

Gelagar mengenai tempat kosong dan lewat di bawah 

kakinya lawannya. 

Begitu tubuhnya berada di udara, laki-laki pendek 

gemuk itu langsung menerkam Ki Gelagar dengan kedua 

tangan mencengkeram ke arah leher. 

"Ah...!" Ketua Perguruan Kapak Sakti terpekik kaget. 

Serangan itu datang tak terduga sama sekali. Sebisa-

bisanya dilempar tubuhnya ke belakang dan bergulingan 

menjauh. 

Tapi Macan Tutul Lembah Neraka yang memang 

berwatak kejam, tidak mau melepaskan lawannya begitu 

saja. Segera dia melompat memburu. 

Para murid Perguruan Kapak Sakti yang melihat 

keadaan guru mereka terancam, tidak tinggal diam. Bagai 

dikomando, serentak mereka menghadang. 

Suara desing kapak yang saling berkelebatan, 

mengancam tubuh Macan Tutul Lembah Neraka. Sehingga 

membuat laki-laki pendek gemuk ini terpaksa menunda 

serangannya terhadap Ki Gelagar. Kedua tangannya ber-

kelebatan cepat. 

Hebat bukan main akibatnya. Para penyerang Macan 

Tutul Lembah Neraka berpentalan, sebelum serangan 

mereka mengenai tubuhnya. Ada hembusan angin keras 

keluar dari tangan yang berputaran itu, angin yang 

membuat tubuh murid-murid Perguruan Kapak Sakti 

berpentalan tak tentu arah. 

Terdengar suara berdebukan keras hampir berbarengan, 

begitu tubuh para pengeroyok yang sial itu berjatuhan. 

Beberapa saat lamanya mereka tak mampu bangkit. Dada 

mereka terasa sesak bukan main. Padahal tidak sedikit 

pun mereka tersentuh tangan Macan Tutul Lembah 

Neraka. 

"Haaattt..!" 

Ki Gelagar yang kini telah dapat memperbaiki posisinya, 

kembali menerjang lawannya. Sepasang kapak hitamnya



kembali berkelebat cepat mengancam berbagai bagian 

tubuh Macan Tutul Lembah Neraka. Sesaat kemudian 

kedua orang ini pun sudah terlibat dalam sebuah per-

tarungan sengit kembali. 

Serangan sepasang kapak di tangan Ki Gelagar memang 

luar biasa. Sungguh tidak terlalu berlebihan kalau 

perguruan yang dipimpinnya dinamakan kapak sakti. 

Serangan sepasang kapaknya datang susul-menyusul 

seperti gelombang laut. Angin berkesiutan tajam mengiringi 

setiap gerakan kapak itu. 

Tapi lawan yang dihadapi Ki Gelagar adalah seorang 

tokoh rimba persilatan aliran hitam yang memiliki 

kepandaian luar biasa. Tingkat kepandaian laki-laki pendek 

gemuk ini memang jauh di atas Ketua Perguruan Kapak 

Sakti. Baik dalam hal tenaga dalam maupun ilmu 

meringankan tubuh. Hasilnya, sungguh pun kedua kapak di 

tangan Ki Gelagar datang laksana gelombang, tetap saja 

laki-laki pendek gemuk ini mampu mengelak tanpa 

mengalami kesulitan. 

Ki Gelagar menggertakkan gigi. Sejak semula sudah 

diduganya kalau dia bukanlah tandingan tokoh dari 

Lembah Neraka ini. Tapi, meskipun begitu Ketua 

Perguruan Kapak Sakti ini tetap mengerahkan seluruh 

kemampuan untuk mempertahankan selembar nyawanya. 

Belasan jurus telah berlalu. Dan sampai sejauh ini tak 

ada satu pun serangan Ki Gelagar yang mengenai sasaran. 

Jangankan mengenai sasaran, tanda-tanda mendesak pun 

belum tampak. Padahal hingga saat ini Macan Tutul 

Lembah Neraka belum balas menyerang. 

"Sekarang giliranku...!" seru Macan Tutul Lembah 

Neraka begitu Ki Gelagar kembali mengayunkan kapak ke 

arah kepalanya. Laki-laki pendek gemuk ini mengangkat 

tangan kirinya menangkis serangan itu. 

Tuk..! 

"Akh...!" 

Ki Gelagar memekik tertahan. Pergelangan tangannya 

yang membentur tangan Macan Tutul Lembah Neraka



terasa sakit bukan main. Seolah-olah yang berbenturan 

dengan tangannya bukan tangan manusia yang terdiri dari 

tulang dan daging, tapi potongan baja yang keras bukan 

main. 

Tak pelak lagi kapak Ki Gelagar pun terlepas dari 

pegangan. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, kaki laki-

laki pendek itu telah dikibaskan ke arah lututnya. Cepat 

bukan main gerakan Macan Tutul Lembah Neraka ini 

Tukkk! 

"Akh...!" 

Ki Gelagar memekik tertahan ketika lututnya terhantam 

ujung kaki lawan. Seketika itu juga sambungan tulang 

lututnya terlepas! Kontan tubuh Ketua Perguruan Kapak 

Sakti ini oleng. Dan di saat itulah, Macan Tutul Lembah 

Neraka meluruk menyerbu. Kedua tangannya menyambar 

deras ke arah dada dan ulu hati Ki Gelagar. 

Ki Gelagar terkejut bukan main. Tak terasa mulutnya 

memekik kaget. Disadari kalau dirinya tidak akan mampu 

mengelakkan serangan itu. Dan maut sudah berada di 

ambang pintu Ketua Perguruan Kapak Sakti ini tidak 

mampu berbuat apa-apa lagi, selain membelalakkan 

sepasang matanya, menanti datangnya maut. 

Tapi di saat gawat bagi keselamatan Ki Gelagar, dari 

arah kanan terdengar suara mencicit nyaring, disusul 

dengan melesatnya benda berkilat ke arah pelipis Macan 

Tutul Lembah Neraka. 

Sekilas Macan Tutul Lembah Neraka mengenal 

serangan maut. Dari suara desingannya, sudah bisa diukur 

kekuatan tenaga dalam pengirimnya. Maka laki-laki 

bertubuh gemuk pendek itu tidak berani bertindak 

gegabah. Cepat dibatalkan serangannya terhadap Ki 

Gelagar, lalu tubuhnya dibanting ke tanah. Kemudian 

bergulingan menjauh. Secara refleks, sudut matanya 

melirik benda yang menyambarnya tadi. 

Laki-laki pendek gemuk ini terkejut bukan main tatkala 

melihat benda yang mengancam pelipisnya ternyata adalah 

benda cair. Entah air atau arak, dia tidak bisa memastikan.


Tapi yang jelas hal ini membuatnya terkejut bukan main. 

Seseorang yang dapat membuat air atau benda cair 

menjadi sebuah senjata rahasia, membuktikan kelihaian si 

pengirim serangan itu sendrri. 

"Hih...!" 

Tubuh Macan Tutul Lembah Neraka melenting ke atas, 

lalu mendarat dengan sikap waspada. Beberapa tombak di 

depannya, di sebelah Ki Gelagar, telah berdiri dua orang 

pemuda. Yang seorang berpakaian merah muda, 

sementara yang seorang lagi berpakaian ungu, berambut 

putih keperakan. Sebuah guci arak terbuat dari perak 

terpegang di tangan kanannya. Kedua orang ini adalah 

Dewa Arak dan Jayalaga. Dewa Araklah yang tadi telah 

menyelamatkan nyawa Ki Gelagar dengan semburan 

araknya. 

Beberapa saat lamanya Dewa Arak dan Macan Tutul 

Lembah Neraka saling tatap. 

"Dialah salah seorang dari Tiga Macan Lembah Neraka 

itu, Arya," bisik Jayalaga ke telinga Arya. 

"Ehm...," Dewa Arak hanya berdehem untuk menutupi 

amarahnya yang bergolak di dalam dada. Kemudian 

diangkatnya guci araknya, lalu dituangkan ke mulutnya. 

Gluk... gluk... gluk...! 

Suara tegukan terdengar begitu arak itu melewati 

tenggorokan pemuda berambut putih keperakan itu. Tiba-

tiba Macan Tutul Lembah Neraka menggeram. 

"Kaukah orang yang berjuluk Dewa Arak?!" tanya salah 

seorang tokoh Tiga Macan Lembah Neraka ini keras. Sorot 

matanya menyiratkan hawa maut. 

Arya menurunkan kembali guci araknya. 

"Begitulah orang-orang menjulukiku. Kaukah orang yang 

telah membunuh Eyang Tapakjati?!" Dewa Arak balik 

bertanya. Dalam suara pemuda itu terkandung ancaman. 

"Ha ha ha...! Sungguh tidak kusangka kalau begitu 

mudahnya aku bisa menemukanmu, Dewa Arak! Kuakui, 

memang akulah yang membunuh Eyang Tapakjati. Aku 

Macan Tutul Lembah Neraka. Lalu kau mau apa?!" tantang



laki-laki pendek gemuk itu. 

"Aku akan membalaskan dendamnya padamu! Kau 

kejam, Macan Tutul Lembah Neraka! Kau telah membunuh 

orang yang sama sekali tidak tahu-menahu dengan 

urusanmu!" 

Macan Tutul Lembah Neraka mendengus. 

"Aku tidak peduli!" sergah laki-laki pendek gemuk itu 

keras. "Pokoknya, siapa pun yang mempunyai hubungan 

denganmu harus mampus!" 

"Kaulah yang harus mati, Macan Tutul Lembah Neraka! 

Sebagai balasan atas kekejianmu pada Eyang Tapakjati!" 

"Kaulah yang harus mampus, Dewa Arak! Kau telah 

membunuh sahabatku, Raksasa Rimba Neraka! Kini aku 

meminta nyawamu sebagai gantinya! Hiya...!" 

Setelah berkata demikian, Macan Tutul Lembah Neraka, 

meloncat menerjang Dewa Arak. Tubuhnya yang pendek 

dan gemuk ini sama sekali tidak mempengaruhi kelincahan 

gerakannya. Kedua tangannya melakukan sampokan 

beruntun ke arah ubun-ubun, dan pelipis. 

Dewa Arak bersikap tenang. Dengan jurus 'Delapan 

Langkah Belalang', tidak sulit baginya untuk mengelakkan 

setiap serangan itu. Dan dengan gerakan unik, langkah 

kaki sempoyongan dan tubuh terhuyung-huyung dielakkan 

serangan itu. Di lain saat, tubuhnya sudah tidak berada lagi 

di situ. Sehingga semua serangan Macan Tutul Lembah 

Neraka mengenai tempat kosong. 

Laki-laki bertubuh pendek gemuk itu terkejut bukan 

main tatkala mendengar desiran angin keras menyambar 

di belakang tubuhnya. Ternyata Dewa Arak telah 

mengayunkan guci ke arah kepalanya. Buru-buru Macan 

Tutul Lembah Neraka melempar tubuh ke depan kemudian 

bergulingan, sehingga ayunan guci itu mengenai tempat 

kosong. 

Dewa Arak yang tengah diamuk dendam, tidak 

membiarkan lawannya lolos begitu saja. Segera diburunya 

tubuh yang bergulingan itu. Cepat laksana kilat, gucinya 

disampirkan kembali ke punggung. Dan begitu guci itu


telah kembali di punggung, dengan gerakan aneh dan tidak 

terduga-duga kedua tangannya melancarkan serentetan 

serangan ke arah tubuh yang sedang bergulingan itu. 

Dalam keadaan kritis itu, Macan Tutul Lembah Neraka 

masih sempat membuktikan kalau dirinya adalah tokoh 

yang pantas menjadi salah seorang dari Tiga Macan 

Lembah Neraka. Sambil terus bergulingan, kedua 

tangannya melakukan tangkisan beruntun. 

Plak, plak, plak...! 

Suara benturan keras terdengar berulang-ulang begitu 

dua pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam 

tinggi beradu. Macan Tutul Lembah Neraka menyeringai. 

Dirasakan sekujur tangannya terasa lumpuh. Bahkan 

dadanya pun dirasakan sesak bukan main. Laki-laki 

pendek gemuk ini pun sadar kalau tenaga dalam Dewa 

Arak lebih unggul darinya. Kenyataan ini membuatnya tidak 

berani lagi mengadu tenaga dalam dengan pemuda 

berambut putih keperakan itu. 

Saat-saat selanjutnya Macan Tutul Lembah Neraka 

hanya mengelakkan diri terus dari hujan serangan Dewa 

Arak. Tubuhnya bergulingan terus, menghindarkan diri dari 

cecaran serangan Arya. Tapi sampai kapan laki-laki 

bertubuh pendek gemuk ini dapat terus bertahan dengan 

hanya mengelak terus-menerus? 

Hal itu pun disadari oleh Macan Tutul Lembah Neraka, 

sehingga pada suatu saat... 

"Hih...!" 

Tiba-tiba saja seleret sinar keperakan menyambar ke 

perut Dewa Arak yang masih terus mencecar tubuh Macan 

Tutul Lembah Neraka yang bergulingan. Ternyata, sambil 

bergulingan tadi tangan laki-laki bertubuh pendek gemuk 

itu menyelinap ke balik pinggangnya. Dan dari situ, 

dikeluarkan senjata andalannya, sebuah ruyung perak! 

Begitu keluar dari tempatnya, langsung saja disabetkan ke 

perut Dewa Arak.


"Ah...!" Dewa Arak memekik tertahan seraya melenting 

ke belakang. Arya terkejut bukan main karena serangan 

ruyung itu datang begitu tiba-tiba. 

Wuuuttt..! 

Serangan ruyung itu mengenai tempat kosong. Tapi, itu 

tidak dipedulikan oleh Macan Tutul Lembah Neraka. 

Memang tujuan dari serangan ini hanyalah ingin mem-

bebaskan diri dari cecaran serangan Dewa Arak. Maka 

begitu tubuh Dewa Arak melenting menjauh. Segera Macan 

Tutul Lembah Neraka bersalto beberapa kali dan mendarat 

ringan tiga tombak di depan Dewa Arak. 

Wuk, wuk, wuk...! 

Macan Tutul Lembah Neraka memutar ruyungnya. 

Suaranya menderu keras, seolah-olah di tempat itu terjadi 

badai. Murid-murid Perguruan Kapak Sakti pun bergegas 

menjauh. 

"Hiyaaa...!" 

Macan Tutul Lembah Neraka berteriak keras. Ruyung di 

genggamannya diayunkan ke kepala Dewa Arak. 

Wuuukkk...! 

Sambaran ruyung itu mengenai tempat kosong. Lewat 

setengah jengkal di atas kepala Dewa Arak begitu pemuda 

berambut putih keperakan ini menundukkan kepalanya. 

Rambut dan pakaian Dewa Arak berkibaran keras, 

pertanda betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung 

dalam babatan ruyung itu. 

Tapi Dewa Arak tidak tinggal diam. Dengan ilmu 

'Belalang Sakti', dihadapinya lawan dengan tangan kosong. 

Sesaat kemudian terjadilah pertempuran sengit. 

Pertarungan antara kedua tokoh yang sama-sama 

memiliki kepandaian tinggi itu berlangsung cepat. Sehingga 

tak terasa lima puluh jurus telah berlalu. Dan sampai 

sejauh itu Dewa Arak masih saja melayani Macan Tutul 

Lembah Neraka dengan tangan kosong. Guci peraknya 

tetap tersampir di punggung. 

Hebat memang akibat yang ditimbulkan oleh dua orang 

tokoh sakti yang tengah bertarung ini. Pagar kayu bulat


yang mengelilingi halaman itu, porak-poranda tersambar 

angin pukulan yang nyasar. Di sana-sini tanah terbongkar, 

bagaikan habis dibajak. Pohon-pohon yang berada dekat 

situ bertumbangan. Debu pun mengepul tinggi ke udara. 

"Hih...!" 

Tiba-tiba Dewa Arak memekik keras. Sesaat kemudian 

guci araknya telah tergenggam di tangan kanannya. Dan 

dengan guci di tangan, pemuda berambut putih keperakan 

ini, kini menghadapi lawan. 

Begitu Dewa Arak mempergunakan gucinya, Macan 

Tutul Lembah Neraka mulai merasakan serangan-serangan 

lawannya begitu berat. Apalagi, Dewa Arak terkadang 

menyerang lawannya dengan semburan-semburan arak 

dari mulutnya. 

Lewat tujuh puluh Jurus Macan Tutul Lembah Neraka 

mulai terdesak. Laki-laki pendek gemuk itu diam-diam 

mengeluh dalam hati. Sungguh tidak disangkanya kalau 

kepandaian Dewa Arak begitu tinggi. Pantaslah kalau 

Raksasa Rimba Neraka sampai tewas di tangan pemuda 

berambut putih keperakan ini, pikirnya memaklumi. 

Pelahan namun pasti gerakan ruyung perak di tangan 

Macan Tutul Lembah Neraka mulai terbatas ruang 

geraknya. Beberapa kali, sewaktu ruyung beradu dengan 

guci, tubuh laki-laki pendek gemuk itu terhuyung-huyung ke 

belakang. Macan Tutul Lembah Neraka juga merasakan 

sekujur tangannya seperti lumpuh, dadanya pun terasa 

sesak setiap kali terjadi benturan pada kedua senjata 

mereka. 

Pada jurus ke sembilan puluh dua, Dewa Arak meng-

ayunkan gucinya ke arah kepala Macan Tutul Lembah 

Neraka. Laki-laki pendek gemuk itu segera merundukkan 

kepalanya, sehingga ayunan guci itu lewat di atas 

kepalanya. Tapi sungguh tak disangka kalau di saat itu kaki 

Dewa Arak bergerak cepat mengarah ke perutnya. 

Bukkk! 

"Hugh…!" 

Telak dan keras bukan main tendangan itu menghantam



perut Macan Tutul Lembah Neraka. Seketika laki-laki 

pendek gemuk itu membungkukkan tubuhnya. Perutnya 

dirasakan mual dan mules bukan main. Sadarlah Macan 

Tutul Lembah Neraka kalau dia bukan tandingan Dewa 

Arak. 

Baru saja Dewa Arak bergerak hendak melancarkan 

serangan susulan Macan Tutul Lembah Neraka segera 

memijit salah satu bagian ruyung peraknya. 

Serrrr! Serrr...! 

Terdengar suara berdesir begitu dari ujung ruyung yang 

tiba-tiba terbuka itu melesat puluhan jarum-jarum halus ke 

arah Dewa Arak. 

Melihat hal ini, Dewa Arak tidak berani bersikap 

gegabah. Bukan tidak mungkin kalau jarum-jarum itu 

mengandung racun ganas. Maka tanpa membuang-buang 

waktu lagi, segera pemuda berambut putih keperakan ini 

melompat ke samping. 

Dan di saat Dewa Arak tengah sibuk menghadapi jarum-

jarum beracun itu, Macan Tutul Lembah Neraka segera 

melesat pergi dari situ. Berkat ilmu meringankan tubuhnya 

yang memang sudah mencapai tingkatan tinggi, dalam 

beberapa kali lompatan saja laki-laki pendek gemuk itu 

sudah berada jauh dari situ. 

"Kalau kau masih penasaran, kau boleh mencariku di 

Hutan Parigi, dekat Bukit Tombok...!" terdengar suara keras 

berkumandang di sekitar halaman Perguruan Kapak Sakti 

itu. 

"Hhh...!" 

Dewa Arak menghela napas panjang. Disadarinya kalau 

tidak mungkin lagi baginya dapat mengejar lawannya. 

Macan Tutul Lembah Neraka telah berada jauh dari situ. 

Dibiarkan saja Macan Tutul Lembah Neraka lenyap di 

kejauhan. Toh, laki-laki pendek gemuk itu telah mem-

beritahukan tempat tinggalnya. 

Dengan langkah lesu, Dewa Arak menghampiri Jayalaga 

yang berdiri di samping Ki Gelagar. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda," ucap


Ketua Perguruan Kapak Sakti itu sambil mengulurkan 

tangan pada Dewa Arak. Arya pun segera menjabatnya 

erat-erat. "Kalau tidak karena pertolonganmu, mungkin 

saat ini aku sudah tewas di tangan Macan Tutul Lembah 

Neraka. Hhh...! Iblis itu benar-benar lihai sekali!" 

Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan merah. Sesaat 

kemudian di hadapan Dewa Arak telah berdiri seorang 

gadis cantik berambut panjang, berpakaian merah 

menyala. 

"Terima kasih atas pertolonganmu... nggg... boleh aku 

memanggilmu, Kakang?" tanya gadis berpakaian merah 

menyala itu sambil tersenyum manis. 

"Boleh saja," sahut Dewa Arak tersenyum. "Kalau boleh 

kutahu siapa namamu, Nini?" 

Wajah gadis berpakaian merah menyala itu memerah. 

"Aku Puspa Rani, Ki Gelagar adalah ayahku...," lembut 

suara gadis itu. 

"Lupakanlah, Puspa. Manusia hidup harus saling tolong 

menolong. Dan hanya kebetulan saja, aku yang kali ini 

menolong ayahmu. Bukan tidak mungkin kalau esok atau 

lusa, ayahmu atau malah kau sendiri yang menolongku. 

Siapa tahu?" 

Tanpa sepengetahuan Dewa Arak, ada sepasang mata 

yang memandang penuh kebencian ke arahnya, begitu 

melihat pemuda berambut putih keperakan itu berbincang-

bincang dengan Puspa Rani. Sepasang mata milik 

Jayalaga. 

"O ya, Ki, Puspa. Aku permisi, dulu. Aku harus mengejar 

musuh-musuhku sebelum mereka pergi. Mari, Paman." 

setelah berkata demikian, Dewa Arak segera melesat dari 

situ, diikuti oleh Jayalaga. 

"Sering-seringlah mampir, Kang," teriak Puspa Rani 

keras. 

"Mudah-mudahan, Puspa," sahut Dewa Arak. 

Ki Gelagar, Puspa Rani dan seluruh murid Perguruan 

Kapak Sakti memandangi kepergian Dewa Arak hingga 

bayangan pemuda itu lenyap di kejauhan.


"Siapakah pemuda itu, Ayah?" tanya Puspa Rani sambil 

berjalan ke dalam rumah bersama ayahnya. Pelan sekali 

suaranya, lebih mirip bisikan. 

"Yang mana?" goda Ki Gelagar. 

"Yang mana lagi?!" sergah Puspa Rani masih dengan 

suara berbisik. "Kalau yang satu lagi sih, aku sudah kenal, 

Ayah. Bukankah dia murid Eyang Tapakjati?" 

"Jadi, maksudmu..." Ki Gelagar sengaja menahan 

ucapannya. 

"Tentu saja pemuda yang telah menolong Ayah!" sentak 

gadis pakaian merah menyala ini agak keras. 

"Ooo... dia?!" ucap Ki Gelagar pura-pura baru mengerti. 

"Ya. Dia. Ayah." sambut Puspa Rani dengan wajah mem-

berengut. 

Ki Gelagar terdiam. Ditatapnya wajah putrinya lekat-

lekat. Karuan saja hal itu membuat gadis berpakaian 

merah menyala itu menjadi malu, dan menundukkan 

kepalanya. 

"Dia bernama Arya Buana. Dunia persilatan lebih 

mengenalnya dengan julukan Dewa Arak!" jawab Ki 

Gelagar. Sikapnya seolah-olah seperti telah tahu betul 

mengenai pemuda berambut putih keperakan itu. Padahal 

dia sendiri pun baru saja mendengarnya dari pembicaraan 

Macan Tutul Lembah Neraka dengan pemuda berbaju 

ungu itu. 

"Ah...! Jadi, pemuda itu adalah tokoh yang meng-

gemparkan itu, Ayah?!" tanya Puspa Rani setengah tidak 

percaya. "Sungguh tidak kusangka, orang yang begitu 

terkenal itu ternyata masih muda..." 

Ki Gelagar sama sekali tidak menanggapi ucapan 

putrinya. Kepala Ketua Perguruan Kapak Sakti ini 

tertunduk menekuri lantai. Dla mengerti perasaan yang 

berkecamuk dalam benak putri tunggalnya ini. Puspa Rani 

telah menaruh simpati yang mendalam pada Dewa Arak. 

Padahal laki-laki setengah baya ini tahu kalau Dewa Arak 

bukanlah orang yang cocok untuk putrinya. Orang seperti 

Dewa Arak akan lebih mengutamakan kepentingan orang


banyak daripada kepentingan pribadi. Hal inilah yang 

membuat Ki Gelagar agak bingung. 

Puspa Rani agak heran melihat ayahnya sama sekali 

tidak menanggapi ucapannya. Bahkan masuk ke ruang 

khususnya. Gadis berpakaian merah menyala ini tidak 

berani mengusik Dia pun melangkah meninggalkan tempat 

itu. Hatinya bernyanyi riang. Mulutnya bersiul-siul. 

Perjumpaannya dengan Dewa Arak membuat hatinya 

berbunga-bunga. 

***


Tidak seperti biasanya, kali ini Dewa Arak berlari dengan 

mengerahkan separuh ilmu meringankan tubuhnya. Hal ini 

terpaksa dilakukannya. Karena kalau seluruh ilmu 

meringankan tubuhnya dikeluarkan, sudah dapat dipasti-

kan kalau Jayalaga akan tertinggal jauh. 

"Kau tahu di mana markas mereka, Paman?" tanya Arya 

tanpa menghentikan larinya. Sepasang matanya menatap 

tajam wajah paman gurunya. 

Jayalaga menganggukkan kepalanya. Pemuda ber-

pakaian merah muda ini sama sekali tidak menyahut. Arya 

pun terus berlari. Sementara Jayalaga juga terus saja 

berlari di sebelah Dewa Arak. 

Tak terasa malam pun datang menjelang ketika Dewa 

Arak dan Jayalaga telah tiba di sebuah hutan. 

"Kita bermalam di sini dulu, Arya." ucap Jayalaga mem-

beri saran. 

"Baik, Paman. Tapi kita harus mencari makanan dulu 

untuk mengisi perut," usul Arya. 

"Sebuah usul yang bagus!" puji Jayalaga sambil meng-

acungkan jempol. 

"Biar aku saja yang mencari makanan, Paman." ucap 

Arya menawarkan diri. 

"Dan aku yang memasaknya," sambung Jayalaga tidak 

mau kalah. "Bagaimana? Adil kan?" 

"Terserah Paman sajalah." sahut Arya mengalah. 

"Kalau begitu, cepat kau cari makanan itu, Arya!" 

Tanpa menunggu dipenntah dua kali, Dewa Arak segera 

melesat dari situ. Tujuannya sudah jelas. Mencari makanan 

untuk mengganjal perut. Entah itu ayam hutan atau kelinci. 

Yang penting dapat digunakan sebagai obat lapar. 

Cukup lama juga Arya pergi. Dan ketika kembali, di 

tangannya terjinjing dua ekor kelinci dan seekor ayam 

hutan.


Jayalaga segera menerimanya begitu Arya meng-

angsurkan binatang hasil buruannya. Sesaat kemudian, 

pemuda berpakaian merah muda ini sudah sibuk dengan 

masakannya. 

Perut Arya yang memang sudah berkeroncongan, men-

jerit-jerit minta diisi begitu mencium bau harum daging 

panggang. 

Tak lama kemudian, mereka pun sudah sibuk dengan 

santapannya masing-masing. Baik Arya maupun Jayalaga 

makan daging panggang itu dengan lahap. 

Beberapa saat kemudian, binatang panggangan itu pun 

habis. Yang tinggal hanyalah tulang-tulangnya. 

Arya menguap. Mulutnya terbuka lebar-lebar. Seiring 

dengan habisnya daging panggang itu, rasa kantuk yang 

amat sangat pun menyerangnya. Begitu dahsyat sekali 

serangan kantuk kali ini. 

Dewa Arak mengerutkan alisnya. Aneh sekali rasa 

kantuknya kali ini. Rasanya nikmat sekali kalau tubuhnya 

direbahkan. 

"Aku sudah mengantuk sekali, Paman. Maaf, aku tidur 

duluan," ucap Arya. 

"Tidurlah, Arya. Aku masih balum mengantuk. Nanti 

kalau aku mengantuk, aku pun akan tidur " 

"Hup..!" 

Dewa Arak menggenjotkan kakinya. Sesaat kemudian, 

tubuhnya pun melayang ke atas. Dan tanpa menimbulkan 

getaran sedikit pun pemuda berambut putih keperakan ini 

hinggap di cabang pohon. 

Dewa Arak segera menjumput guci araknya yang 

tersampir di punggung. Kemudian digantungkannya di 

cabang pohon. Baru setelah itu tubuhnya direbahkan. Tak 

lama kemudian Dewa Arak pun tertidur lelap. 

Arya tidak menyadari kalau semua gerak-geriknya 

diperhatikan sepasang mata milik seorang pemuda ber-

pakaian merah muda. Bibir pemuda itu mengulas 

senyuman tipis begitu melihat Dewa Arak telah 

merebahkan tubuhnya.


Dan senyumnya pun semakin melebar tatkala di 

dengarnya suara dengkur halus, pertanda pemuda 

berambut putih keperakan itu telah tertidur lelap. 

Tapi meskipun begitu, Jayalaga tetap menunggu be-

berapa saat lamanya. Baru setelah diyakininya Arya benar-

benar telah tertidur lelap, kedua kakinya digenjotkan. 

"Hih...!" 

Sesaat kemudian tubuh Jayalaga melayang ke atas. Dan 

hinggap di cabang pohon tempat Dewa Arak merebahkan 

tubuhnya. Dengan gerakan hati-hati, di ambilnya guci arak 

yang tergantung di cabang pohon itu. 

Tappp...! 

Sesaat kemudian, guci arak itu pun telah berpindah 

tempat. Kini guci pusaka Dewa Arak telah berada di tangan 

Jayalaga. 

Jayalaga merayapi sekujur wajah Dewa Arak. Sorot 

matanya memancarkan kebencian. Pelahan-lahan tangan-

nya tergetar pertanda telah dialiri tenaga dalam. 

"Hih..!" 

Jayalaga menggertakkan gigi seraya mengayunkan 

tangannya ke kepala Dewa Arak. Angin keras berkesiur 

mengiringi tibanya serangan itu. 

Tapi sebelum pukulan itu menghantam sasaran. 

Jayalaga menghentikan gerakannya. 

"Aku bukan pengecut! Yang hanya berani membunuh 

lawan yang tidak berdaya." desis pemuda berpakaian 

merah muda itu pelan seperti bicara pada dirinya sendiri. 

Setelah berkata demikian. Jayalaga segera melompat 

turun dari cabang itu. Indah dan manis sekali gerakannya. 

"Hup..!" 

Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di tanah. 

Dan secepat kedua kakinya telah berada dl tanah, secepat 

itu pula tubuh murid Eyang Tapakjati melesat dari situ. 

Terus berlari masuk ke dalam hutan. Sementara itu, Arya 

masih tertidur lelap. Pemuda berambut putih keperakan ini 

baru tersadar dari tidur nyenyaknya ketika pen-

dengarannya yang tajam menangkap adanya suara ribut


ribut di dekatnya. Bergegas pemuda ini membuka matanya 

dan memandang ke arah asal suara. 

Di bawah pohon, tampak berdiri tiga sosok tubuh yang 

membuat jantung Dewa Arak berdenyut cepat. Betapa 

tidak? Di bawah pohon tempatnya tidur, telah berdiri tiga 

orang yang mendongakkan wajah ke arah nya. Tiga orang 

itu ciri-cirinya mirip sekali dengan Tiga Macan Lembah 

Neraka yang diceritakan oleh Eyang Tapakjati maupun oleh 

Jayalaga. Apalagi di antara mereka dilihatnya Macan Tutul 

Lembah Neraka yang kemarin dipecundanginya. 

"Dewa Arak! Turun kau...! Dan mari selesaikan urusan 

kita'" teriak Macan Tutul Lembah Neraka. 

Sejak tadi, amarah Dewa Arak sudah berkobar-kobar 

begitu melihat tiga orang yang memang tengah dicari-

carinya. Bergegas Arya menoleh ke tempat dia meng-

gantungkan gucinya. 

Wajah Dewa Arak kontan berubah ketika melihat guci 

yang semalam digantungkannya telah lenyap! Cabang 

pohon, tempat dia menggantungkan gucinya kosong. 

Perasaan penasaran mendorong Arya untuk memeriksa 

punggungnya. Ternyata di situ pun tidak ditemukan 

gucinya. Perasaan bingung bercampur was-was pun 

melandanya. Betapa tidak? Tanpa guci pusaka itu, ilmu 

andalannya menjadi hilang kemampuannya? Dan hal 

seperti ini juga pernah dialami oleh pemuda itu (Untuk 

jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode 

"Cinta Sang Pendekar") 

Tapi Dewa Arak tidak mempunyai pilihan lain lagi. Lawan 

telah mengajukan tantangan, dan pantang baginya 

menolak. Apa pun alasannya. Maka walaupun pikirannya 

masih digayuti berbagai macam pertanyaan, Arya tetap 

melompat turun dari pohon untuk memenuhi tantangan itu. 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara kedua kakinya hinggap di tanah, 

sekitar tiga tombak di hadapan ketiga lawannya. 

Macan Tutul Lembah Neraka menatap Arya. Ada sorot 

kegentaran pada sepasang matanya. Memang, sebenar


nyalah laki-laki pendek gemuk ini merasa gentar bukan 

main pada pemuda berambut putih keperakan di 

hadapannya ini. Telah dirasakannya sendiri kelihaian Dewa 

Arak yang menggiriskan itu. 

Dewa Arak memandang ke sekelilingnya. Sepasang 

matanya berputar liar, seolah-olah ada sesuatu yang 

tengah dicarinya. Dan memang, Arya tengah mencari-cari 

Jayalaga. Ke mana perginya paman gurunya itu? tanya Arya 

dalam hati. 

Mendadak Dewa Arak tersentak ketika tiba-tiba muncul 

sebuah dugaan. Apakah Jayalaga yang telah membawa lari 

guci araknya? Sepertinya dugaaan itu mustahil. Untuk apa 

pemuda berpakaian merah muda itu membawa lari guci 

peraknya. Tapi, kalau bukan, kenapa tiba-tiba saja pemuda 

itu lenyap begitu saja? Tapi Dewa Arak tidak bisa berpikir 

lebih lama lagi karena lawan-lawannya tampak sudah tidak 

sabar lagi. Macan Kumbang Lembah Neraka, orang yang 

paling beringas di antara Tiga Macan Lembah Neraka 

segera melangkah maju. 

"Inikah orang yang kau ceritakan itu, Macan Tutul?" 

tanya laki-laki berkulit hitam itu seraya berpaling menatap 

rekannya. 

Macan Tutul Lembah Neraka menganggukkan kepala-

nya. 

"Ya! Dialah Dewa Arak." jawab laki-laki bertubuh pendek 

gemuk itu pelan. 

"Dan kau dikalahkannya?" tanya Macan Kumbang 

Lembah Neraka lagi. Nada suaranya menyiratkan ketidak-

percayaan. 

Kembali Macan Tutul Lembah Neraka menganggukkan 

kepalanya. 

"Hati-hati, Macan Kumbang. Kepandaian pemuda itu 

tinggi sekali," ujar Macan Tutul Lembah Neraka menasihati. 

"Ha ha ha...!" Macan Kumbang Lembah Neraka hanya 

tertawa bergelak. "Ingin kuketahui, sampai di mana tingkat 

kepandaiannya." 

Setelah berkata demikian, laki-laki berkulit hitam itu


mengalihkan perhatiannya kembali pada Dewa Arak. 

Pemuda berambut putih keperakan itu memang sejak tadi 

hanya mendengarkan pembicaraan antara Macan Tutul 

dan Macan Kumbang Lembah Neraka. Sementara benak-

nya berputar terus, memikirkan di mana guci araknya dan 

ke mana pula perginya Jayalaga. 

Mendadak saja hatinya berdebar keras tatkala teringat 

kejadian aneh semalam. Kecurigaan pada paman gurunya 

itu semakin membesar. Semalam dia terserang rasa 

kantuk yang amat sangat. Kantuk yang belum pemah 

dialami seumur hidupnya. Dan itu dialaminya setelah dia 

makan daging panggang yang dibuat oleh Jayalaga. 

Mungkinkah daging panggang itu telah dicampuri racun 

pembius? 

Namun Arya tidak bisa berpikir terlalu lama lagi. Macan 

Kumbang Lembah Neraka telah menghampirinya dengan 

sorot mata beringas. 

"Bersiaplah, Dewa Arak...!" seru laki-laki berkulit hitam 

itu bernada memperingatkan. 

Arya memang sudah sejak tadi bersikap waspada. 

Disadari kalau kini tidak bisa menggunakan ilmu 

andalannya. Ilmu 'Belalang Sakti' membutuhkan arak untuk 

memainkannya. Sehingga mau tak mau Dewa Arak 

terpaksa menggunakan ilmu warisan ayahnya. Ilmu 

'Delapan Cara Menaklukkan Harimau', dan Ilmu 'Sepasang 

Tangan Penakluk Naga'. 

"Haaat..!" 

Sambil mengeluarkan suara melengking nyaring. Macan 

Kumbang Lembah Neraka menyerang Dewa Arak dengan 

totokan-totokan dua jari tangan ke arah ulu hati dan dada 

bertubi-tubi. 

Suara berciutan nyaring bagai ada sesuatu yang robek, 

terdengar mengiringi tibanya serangan itu. 

Dewa Arak tidak berani main-main. Dari suara angin 

yang berciutan itu, dapat diukur ketinggian tenaga dalam 

milik laki-laki berkulit hitam itu. Buru-buru didoyongkan 

tubuhnya ke kanan sehingga serangan itu lewat di samping


tubuhnya. Sewaktu mengelak, tak lupa pemuda berambut 

putih keperakan ini mengirim sampokan ke pelipis lawan-

nya. 

Macan Kumbang Lembah Neraka terperanjat kaget. Dari 

gerakan mengelak Dewa Arak, bisa di perkirakannya 

ketinggian ilmu pemuda di hadapannya. Hanya orang-orang 

yang berkepandaian tinggi sajalah yang berani meng-

elakkan serangan tanpa menggeser kaki. Karena hal 

seperti itu membutuhkan perhitungan yang matang. 

Bukan hanya itu saja, yang membuat laki-laki berkulit 

hitam itu terkejut. Balasan serangan yang begitu tiba-tiba 

dari pemuda itu juga membuatnya terkejut. Apalagi ketika 

didengarnya desiran angin nyaring sebelum serangan itu 

sendiri tiba. 

"Hup...!" 

Macan Kumbang Lembah Neraka segera merendahkan 

tubuhnya sehingga serangan itu lewat di atas kepalanya. 

Rambut dan pakaiannya yang berkibaran keras menjadi 

bukti kehebatan tenaga dalam yang terkandung dalam 

serangan Dewa Arak. Dan ini membuat laki-laki berkulit 

hitam itu diam-diam mengakui pemberitahuan Macan Tutul 

Lembah Neraka. 

Tidak hanya itu saja yang dilakukan Macan Kumbang 

Lembah Neraka. Seraya merendahkan tubuh, tangan 

kirinya melakukan totokan ke arah dada lawannya. 

Walaupun totokan itu hanya dilakukan dengan meng-

gunakan dua jari, namun batu karang yang paling keras 

pun akan tembus! 

Dewa Arak memuji kelihaian laki-laki berkulit hitam itu 

dalam hati. Kecepatan gerak laki-laki berkulit hitam itu 

memang mengagumkan. Apalagi ditambah dengan ilmu 

totokan yang dimilikinya. Ilmu totokan itu benar-benar 

menggiriskan hati. Rasa penasaran mendorong Arya untuk 

menjajaki kekuatan tenaga dalam lawannya. Maka 

ditangkisnya totokan yang mengarah ke dadanya itu 

dengan bacokan tangan kirinya. 

Takkk!


Tak pelak lagi, benturan dua tangan yang sama-sama 

mengandung tenaga dalam tinggi pun tidak bisa dielakkan. 

Macan Kumbang Lembah Neraka memekik tertahan. Laki-

laki berkulit hitam itu merasakan sekujur tangannya ngilu. 

Apalagi pada bagian yang berbenturan langsung dengan 

tangan Dewa Arak. Seolah-olah tangannya berbenturan 

dengan sebatang baja yang keras bukan kepalang. Jelas 

kalau tenaga dalamnya masih belum dapat mengimbangi 

tenaga dalam Arya. 

Tapi tentu saja hal itu tidak membuat Macan Kumbang 

Lembah Neraka gentar. Bahkan sebaliknya, penasaran 

bukan main. Dan sebagai akibatnya serangan-serangannya 

pun kian dahsyat. Tapi, meskipun begitu Dewa Arak masih 

dapat mengimbanginya. Walaupun pemuda berambut putih 

keperakan ini tidak menggunakan ilmu 'Delapan Langkah 

Belalang', tapi tidak berarti kalau Dewa Arak menjadi 

seorang yang lemah tidak berdaya. Dengan ilmu 'Delapan 

Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan 

Penakluk Naga', dihadapinya kedahsyatan semua serangan 

Macan Kumbang Lembah Neraka. 

Pertarungan antara kedua tokoh sakti itu berlangsung 

sengit dan cepat. Sehingga tidak terasa lima belas jurus 

telah berlalu. Dan saat ini belum nampak tanda-tanda ada 

yang akan terdesak. Sungguh pun Dewa Arak unggul dalam 

tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh, tapi tidak 

berarti pemuda berambut putih keperakan ini akan mudah 

merobohkan lawannya. 

Ilmu totokan yang dimiliki oleh Macan Kumbang Lembah 

Neraka ternyata memiliki ciri khas yang sama dengan ilmu 

'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Sama-sama 

menitikberatkan pada penyerangan. Maka tidak aneh jika 

pertarungan antara keduanya berlangsung menarik. 

Tapi lewat delapan puluh jurus, tampaklah keunggulan 

Dewa Arak. Pelahan namun pasti Macan Kumbang Lembah 

Neraka mulai terdesak. 

Tentu saja hal itu diketahui oleh kedua rekannya. Macan 

Tutul Lembah Neraka menatap Macan Loreng Lembah


Neraka dengan sinar mata memancarkan kemenangan. 

"Aku tidak berlebihankan menceritakannya pada kalian." 

ucap laki-laki bertubuh pendek gemuk itu tiba-tiba. 

"Pemuda itu memang memiliki kepandaian luar biasa." 

Macan Loreng Lembah Neraka hanya diam. Sepasang 

matanya masih memandang ke arah pertarungan. 

"Pantas saja kalau Raksasa Rimba Neraka bisa tewas di 

tangannya," gumam Macan Loreng Lembah Neraka pelan 

tanpa mengalihkan pandangannya dari pertarungan. "Ah...! 

Kalau saja tidak melihat sendiri, aku tidak akan percaya. 

Orang semuda dia bisa memiliki tenaga dalam dan ilmu 

meringankan tubuh seperti itu. Sulit dipercaya!" 

Macan Tutul Lembah Neraka sama sekali tidak 

menanggapi keheranan Macan Loreng Lembah Neraka. 

Pertarungan yang berlangsung di hadapan mereka jauh 

lebih menarik. Kapan lagi dapat menyaksikan pertarungan 

seseru ini. 

"Tak lama lagi, Macan Kumbang akan roboh di tangan 

pemuda itu," kembali Macan Tutul Lembah Neraka yang 

memang bawel menyela, tanpa mengalihkan pandangan-

nya dari pertarungan. 

"Yahhh...," sahut Macan Loreng mendesah pelan. Juga 

tanpa mengalihkan pandangannya dari pertarungan. 

"Pemuda itu memainkan jurus yang mirip dengan jurus-

jurus Eyang Tapakjati." 

*** 

Sementara itu pertarungan semakin mendekati 

penyelesaian. Macan Kumbang Lembah Neraka 

kelihatannya amat terdesak. Berkali-kali tubuhnya 

terhuyung. Dadanya dirasakan sesak bukan main. Sekujur 

tangannya pun terasa ngilu, setiap kali berbenturan 

dengan tangan Dewa Arak. 

"Hiaaat…!" 

Dewa Arak berteriak nyaring. Kaki kirinya menendang 

lurus ke dada Macan Kumbang. Laki-laki berkulit hitam itu


segera mendoyongkan tubuhnya, sehingga serangan itu 

lewat di samping tubuhnya. Tapi, Arya yang memang sudah 

memperkirakan hal itu segera menyusulinya dengan 

tendangan menyamping kaki kanannya ke arah leher yang 

dilakukannya sambil menggeser kaki. 

Kali ini Macan Kumbang Lembah Neraka tidak bisa 

mengelak lagi. Posisinya memang sejak tadi sudah terjepit. 

Terpaksa ditangkisnya serangan kaki itu dengan tangan 

bersilang seraya merundukkan sedikit kepalanya. 

Plak! 

Seketika itu juga kuda-kuda Macan Kumbang Lembah 

Neraka tergoyah. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. 

Dan saat itulah Dewa Arak kembali melompat menerkam. 

Inilah jurus 'Harimau Lapar Menerkam Kambing'! 

Wajah Macan Kumbang Lembah Neraka mendadak 

pucat. Disadari kalau dia tidak akan mampu mengelakkan 

serangan yang datang begitu mendadak. Menangkis pun 

sudah tidak sempat lagi. Yang dapat dilakukannya 

hanyalah menanti ajal dengan sepasang mata terbelalak 

lebar. 

Tapi di saat gawat bagi keselamatan Macan Kumbang 

Lembah Neraka, dari arah samping kanan dan kirinya 

melesat dua sosok bayangan yang memotong laju 

lompatan Dewa Arak. 

Plak, plak, plak...! 

Suara benturan keras terdengar berkali-kali. Disusul 

dengan berpentalannya tiga sosok tubuh. Tubuh Dewa Arak 

dan dua sosok yang memotong laju lompatannya. 

"Hup...!" 

Dewa Arak bersalto beberapa kali di udara, kemudian 

mendarat ringan di tanah. Tanpa melihat pun sudah bisa 

diduga, siapa yang telah menangkis serangannya. Siapa 

lagi kalau bukan Macan Tutul dan Macan Loreng Lembah 

Neraka! 

"Hup...! Hup...!" 

Hampir berbareng dengan mendaratnya kedua kaki 

Dewa Arak, kedua penolong Macan Kumbang pun


mendaratkan kedua kakinya. Dan memang benar! Kedua 

orang itu tak lain adalah Macan Loreng dan Macan Tutul 

Lembah Neraka! 

Dewa Arak bersikap waspada. Dari semula sudah 

diduganya kalau dia pasti akan menghadapi keroyokan tiga 

orang tokoh ini. Oleh karena itu pemuda berambut putih 

keperakan ini tidak terkejut lagi. Ditatapnya ketiga lawan 

yang masih berdiri di hadapannya satu persatu. 

"Kau memang lihai!, Dewa Arak! Tapi bila kau mampu 

menghadapi kami bertiga selama tujuh puluh jurus, kami 

berjanji tidak akan mengusikmu lagi!" tegas Macan Tutul, 

yang selalu menjadi juru bicara dari Tiga Macan Lembah 

Neraka. 

Arya mengerutkan alisnya mendengar penawaran yang 

menarik itu. Dengan Jurus 'Delapan Langkah Belalang', 

tidak sulit baginya untuk menghadapi pengeroyokan ketiga 

datuk golongan hitam ini. Tapi sayang, kini dia tidak bisa 

menggunakan jurus itu. Guci araknya lenyap entah ke 

mana. Dan bila dia bersikeras menggunakan ilmu 'Belalang 

Sakti', percuma saja. Ilmu itu tidak akan berarti apa-apa 

tanpa pancingan arak dari guci pusakanya. 

Tantangan Macan Tutul Lembah Neraka bukanlah tanpa 

perhitungan. Semalam, Jayalaga datang menemuinya. 

Pemuda berbaju merah muda itu memberitahukan tempat 

Dewa Arak serta membuka rahasia kelemahannya. Itulah 

sebabnya mengapa Macan Tutul Lembah Neraka mau 

berjanji seperti itu. 

"Tidak usah banyak basi-basi, Macan Tutul Lembah 

Neraka! Aku mencari kalian untuk membalaskan kematian 

Eyang Tapakjati! Aku hanya punya dua pilihan. Aku atau 

kalian yang harus mati!" tandas Arya. 

"Ha ha ha...! Sombongnya!" Macan Loreng Lembah 

Neraka tertawa terbahak-bahak "Kalau begitu bersiaplah 

kau, Dewa Arak!" 

Setelah berkata demikian, Macan Loreng Lembah 

Neraka segera melompat menerjang Dewa Arak. Belum 

juga serangan laki-laki bermuka kuning itu tiba, Macan


Tutul dan Macan Kumbang Lembah Neraka juga telah 

melompat menyerang. Kini sibuklah Dewa Arak. 

Menghadapi seorang saja, membutuhkan waktu yang 

cukup lama untuk mengalahkannya. Apalagi menghadapi 

tiga orang sekaligus. 

Tapi, meskipun begitu Dewa Arak tidak menjadi gentar. 

Kalau saja pemuda berambut putih keperakan ini bersikap 

pengecut, sudah dari tadi melarikan diri. Dengan 

ketinggian ilmu meringankan tubuh yang berada di atas 

lawannya, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk melakukan itu. 

Tapi Arya sama sekali tidak melakukannya! Dan bahkan 

malah menantang ketiga lawannya bertarung sampai mati! 

Sesaat kemudian, pertarungan sengit pun terjadi. Kali 

ini Dewa Arak harus berjuang lebih keras untuk 

melumpuhkan lawannya. Padahal Arya baru saja menguras 

seluruh kemampuannya sewaktu menghadapi Macan 

Kumbang Lembah Neraka. Dan kini kembali harus 

mengerahkan seluruh kemampuannya kalau tidak ingin 

mati sia-sia. 

Tapi betapa pun Arya telah mengerahkan seluruh 

kemampuannya. Tetap saja pemuda berambut putih 

keperakan ini harus mengakui kalau ketiga tokoh ini terlalu 

berat baginya. Tidak sampai dua puluh jurus, Dewa Arak 

sudah terdesak. 

Pemuda berambut putih keperakan ini menggertakkan 

gigi. Dikeluarkannya gabungan ilmu 'Delapan Cara 

Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan 

Penakluk Naga'. Tapi, tetap saja usaha kerasnya ini tidak 

menampakkan hasil. Arya tetap saja terdesak. 

"Haaat..!" 

Seraya mengeluarkan teriakan nyaring, Dewa Arak 

mengibaskan kaki kanannya ke arah Macan Kumbang 

Lembah Neraka seraya memutar tubuh. 

Wusss…! 

Angin berhembus keras mengiringi tibanya serangan 

kaki Dewa Arak. 

"Hih…!"


Macan Kumbang Lembah Neraka menggertakkan gigi. 

Diangkat tangan kanannya ke samping kanan kepalanya. 

Melindungi kepala itu dari kibasan kaki Dewa Arak. 

Plak! 

Benturan keras antara tangan dan kaki yang sama-sama 

dialiri tenaga dalam tinggi itu terjadi. Akibatnya hebat! 

Kuda-kuda Macan Kumbang Lembah Neraka tergoyah. Dan 

tubuhnya terhuyung ke samping. Sementara tubuh Dewa 

Arak bergetar, dan posisinya agak goyah. 

Sebelum Arya mengirimkan serangan susulan. Macan 

Tutul Lembah Neraka telah menyerang dengan sampokan 

yang mengarah ke pelipisnya. Karuan saja hal ini membuat 

Dewa Arak yang belum sempat memperbaiki kuda-

kudanya, berusaha mati-matian menyelamatkan diri. 

Buru-buru Arya merundukkan tubuhnya sehingga 

sampokan itu lewat di atas kepalanya. Tapi di saat itulah 

serangan kaki Macan Loreng Lembah Neraka meluncur 

tiba. 

Bukkk! 

"Hugh...!" 

Dewa Arak mengeluh pendek ketika tendangan laki-laki 

bermuka kuning itu mendarat telak dan keras di perutnya. 

Seketika itu juga tubuh Arya terbungkuk, karena perutnya 

terasa mual dan mules yang amat sangat. Dan belum lagi 

Dewa Arak mengatasi rasa sakit itu, Macan Kumbang 

Lembah Neraka telah memburunya dengan sapuan kaki. 

Dukkk! 

"Akh...!" 

Kembali Dewa Arak memekik tertahan. Sapuan kaki laki-

laki berkulit hitam itu tepat mengenai kakinya. Tak pelak 

lagi, tubuhnya terjungkal ke belakang. Tapi, sungguhpun 

rasa sakit yang amat sangat mendera kakinya. Arya masih 

berusaha memperbaiki posisinya. 

Kali ini giliran Macan Tutul Lembah Neraka yang men-

cecar Dewa Arak. Laki-laki pendek gemuk itu segera 

melancarkan pukulan ke arah perut Dewa Arak. 

Wuuttt..!


Angin yang menderu keras menjadi pertanda kuatnya 

tenaga dalam yang terkandung dalam pukulan itu. Dewa 

Arak terkesiap kaget. Sebisa-bisanya pemuda berambut 

putih keperakan ini berusaha mengelak. 

Bukkk! 

"Hugh...!" 

Untuk yang kedua kaliny perut Arya terkena serangan 

lawan. Tapi sungguhpun hanya berupa pukulan, akibatnya 

tidak kalah hebat dengan tendangan Macan Loreng 

Lembah Neraka tadi. Akibatnya kembali Arya mengeluh 

tertahan. Tubuhnya ambruk seketika di tanah. Dari mulut 

pemuda berambut putih keperakan itu meleleh cairan 

merah kental Dewa Arak pingsan! 

"Ha ha ha...!" 

Macan Tutul Lembah Neraka tertawa bergelak melihat 

lawan tangguhnya roboh. Ditatapnya tubuh yang tergolek 

lemah di tanah itu. Kemudian pelahan dihampirinya. 

Dengan ujung sepatunya wajah Dewa Arak dihadapkan ke 

arahnya. 

Macan Kumbang hanya mendengus melihat kelakuan 

Macan Tutul Lembah Neraka. Dengan perasaan tidak 

sabar, dihampirinya tubuh Arya. Diraihnya kaki Dewa Arak 

kemudian diseretnya tubuh pemuda berambut putih 

keperakan itu meninggalkan tempat itu. 

"Ha ha ha...!" 

Suara tawa menggelegar kembali menggema di sekitar 

tempat itu. Suara tawa yang berasal dari mulut Tiga Macan 

Lembah Neraka. Sesaat kemudian tiga datuk sesat itu pun 

melesat meninggalkan tempat Itu. Meninggalkan gema 

suara yang masih bergaung memekakkan telinga. 

Dari balik rerimbunan semak, sepasang mata milik 

seorang pemuda yang sejak tadi mengawasi semua 

peristiwa itu, tersenyum lebar. Pemuda itu berpakaian 

warna merah muda. Siapa lagi kalau bukan Jayalaga. 

Sungguhpun Tiga Macan Lembah Neraka telah tidak 

berada lagi di situ, pemuda berpakaian merah muda ini 

tetap diam dl tempat persembunyiannya. Baru setelah


merasa yakin kalau tidak ada lagi orang yang berada di 

situ, Jayalaga keluar dari persembunyiannya. 

***

Tiga Macan Lembah Neraka membawa Dewa Arak ke 

sebuah bangunan tua yang sudah tidak dihuni lagi di 

dalam hutan. Dan memang di situlah markas mereka. 

Brukkk! 

Sembarangan saja Macan Kumbang melemparkan 

tubuh Dewa Arak ke lantai. Tentu saja Dewa Arak yang 

sudah tidak sadar, sama sekali tidak berbuat apa-apa. 

Keadaan pemuda berambut putih keperakan itu 

menyedihkan sekali. Pakaiannya banyak yang koyak. 

Sekujur tubuhnya penuh luka-luka akibat terseret-seret. 

Memang Macan Kumbang Lembah Neraka membawa 

Dewa Arak hanya sebelah kakinya saja. 

"Ikat dia...!" perintah Macan Kumbang Lembah Neraka. 

Tanpa menunggu diperintah dua kali. Macan Loreng 

segera mencekal kaki Dewa Arak. Dan lagi-lagi pemuda 

berambut putih keperakan itu harus menerima kenyataan 

pahit. Diseret ke ruangan dalam. 

Macan Loreng membawa Dewa Arak ke sebuah ruangan 

yang dindingnya terbuat dari tembok batu tebal. Pintunya 

pun terbuat dari jeruji-jeruji baja. Rupanya ruangan ini juga 

pernah dipergunakan sebagai tempat tahanan. 

Kriiit..! 

Terdengar derit nyaring, begitu Macan Loreng membuka 

jeruji pintu itu. Lalu diseretnya tubuh Dewa Arak masuk ke 

ruangan itu. Ruangan lembab yang lantainya dipenuhi 

lumut. 

Macan Loreng terus menyeret tubuh Dewa Arak sampai 

ke dinding. Di dinding itu tertanam rantai-rantai baja besar 

yang pada ujungnya terdapat gelang-gelang baja yang juga 

besar. 

Sesampainya di sini, dengan kasar Macan Loreng 

menegakkan tubuh Dewa Arak. Kemudian dimasukkannya 

kedua pergelangan tangan dan kaki Dewa Arak pada


gelang-gelang baja itu, kemudian dikuncinya 

Setelah menyelesaikan pekerjaannya. Macan Loreng 

Lembah Neraka berlalu meninggalkan ruangan itu. 

Dilangkahkan kakinya ke arah pintu. Kemudian dibuka dan 

ditutupkannya kembali. Dan melangkah menuju ruang 

tengah. Ruangan tempat Macan Kumbang dan Macan 

Tutul Lembah Neraka tadi duduk. 

"Bagaimana?" tanya Macan Kumbang begitu melihat 

Macan Loreng telah kembali tanpa Dewa Arak. 

Macan Loreng hanya menggerakkan sedikit bagian atas 

mulutnya. 

Rupanya isyarat seperti itu telah cukup dimengerti 

Macan Kumbang Lembah Neraka. Terbukti dia tidak 

bertanya lagi. Kepalanya ditolehkan kembali ke luar. 

Seperti ada sesuatu yang tengah ditunggunya. 

"Mengapa dia belum juga datang...." desah laki-laki 

berkulit hitam itu bernada keluhan. 

"Sabarlah, Macan Kumbang! Aku yakin tak lama lagi dia 

akan kembali. Anak itu memang punya sifat aneh. Tapi, 

aku percaya dia akan menepati janjinya," sahut Macan 

Tutul Lembah Neraka bernada menghibur. 

"Betul, Macan Kumbang!" Macan Loreng Lembah 

Neraka ikut menimpali. "Aku percaya, Utari bukan 

termasuk gadis yang suka ingkar janji. Percayalah kata-

kataku. Utari pasti datang!" 

"Hhh...!" Macan Kumbang hanya menghembuskan 

napas berat sebagai jawaban atas nasihat kedua rekannya. 

Sesaat sepasang matanya menatap berganti-ganti Macan 

Tutul dan Macan Loreng. Tapi sesaat kemudian, 

pandangannya dialihkan kembali keluar. Dan tiba-tiba saja 

sepasang matanya berbinar-binar. Wajahnya kontan 

berseri-seri. 

Di kejauhan, dilihatnya sesosok bayangan kebiruan yang 

bergerak cepat menuju ke markas mereka. Macan 

Kumbang Lembah Neraka kenal betul siapa pemilik 

pakaian berwarna biru itu. Siapa lagi kalau bukan Utari? 

Gadis yang mereka tunggu-tunggu!


Macan Tutul dan Macan Loreng Lembah Neraka tentu 

saja melihat perubahan mendadak pada wajah laki-laki 

berkulit hitam itu. Bagai dikomando, keduanya berbareng 

menatap ke luar. Dan seketika itu juga wajah keduanya 

pun berseri gembira. 

"Apa kataku, Macan Kumbang! Benar kan? Utari selalu 

menepati janjinya. Kau saja yang terlalu berprasangka 

bukan-bukan." ucap Macan Tutul Lembah Neraka bernada 

menyalahkan. 

"Ya, sudah! Aku mengaku salah. Dan kalianlah yang 

benar!" sergah laki-laki berkulit hitam itu seraya bangkit 

dari duduknya. 

Tak lama kemudian, sosok berbaju biru itu pun telah 

mulai mendekati markas mereka. Bergegas Tiga Macan 

Lembah Neraka melangkah keluar, menyambut ke-

datangan sosok berbaju biru itu. 

Dan di halaman, Tiga Macan Lembah Neraka bertemu 

dengan sosok berbaju biru itu. 

"Ah...!" sosok berbaju biru yang ternyata adalah seorang 

gadis berwajah cantik jelita, terpekik kaget. Dia nampak 

terkejut ketika tahu-tahu tiga sosok yang amat dikenalnya, 

melesat keluar dan menyongsong kedatangannya. 

"Apakah ada berita gembira sehingga Paman bertiga 

tidak sabar menungguku masuk ke dalam?" tanya gadis 

yang bernama Utari itu seraya merayapi wajah Tiga Macan 

Lembah Neraka dengan sepasang matanya yang bening 

dan indah. 

"Bukan hanya menggembirakan saja, Utari. Tapi juga 

mengejutkan," selak Macan Tutul Lembah Neraka, orang 

yang paling pandai bicara. 

"Berita apa Paman?" tanya Utari seraya mengerutkan 

dahinya yang berkulit putih halus dan mulus itu. 

Macan Tutul Lembah Neraka tidak langsung menjawab. 

Ditatapnya wajah gadis berpakaian biru itu tajam-tajam. 

"Pembunuh gurumu telah kami tangkap!" ucap laki-laki 

gemuk pendek itu memberitahu. Pelan Macan Tutul 

Lembah Neraka mengucapkannya.


"Apa?!" sentak Utari. Tubuhnya sampai terjingkat ke 

belakang. Sepasang matanya terbelalak lebar, seolah-olah 

melihat hantu di siang bolong "Coba ulangi sekali lagi, 

Paman!" 

Macan Tutul Lembah Neraka tertawa terkekeh. 

"Mungkin kalau aku yang memberitahu, kau tidak akan 

percaya. Karena aku sering membohongimu, kan? Nah, 

sekarang kau boleh tanyakan pada Macan Kumbang! Kau 

tahu kan, Utari? Macan Kumbang adalah pamanmu yang 

selalu serius jika berbicara " 

Utari, yang sebenamya adalah murid Raksasa Rimba 

Neraka ini menoleh ke arah Macan Kumbang Lembah 

Neraka. Laki-laki berkulit hitam itu menganggukkan kepala-

nya. 

"Apa yang dikatakan Macan Tutul benar. Pembunuh 

gurumu telah kami tangkap!" 

"Maksud Paman, Dewa Arak...?!" tanya Utari masih tidak 

percaya. 

"Siapa lagi Utari?" selak Macan Loreng Lembah Neraka. 

"Sungguh? Paman bertiga tidak bohong?!" tanya Utari 

lagi masih kurang yakin. Memang ketiga pamannya ini 

sering kali mempermainkan dirinya. Terutama sekali 

Macan Tutul Lembah Neraka. 

"Kalau kau tak percaya, kau boleh lihat sendiri di ruang 

tahanan. Kau tahu kan tempatnya?" ucap Macan Kumbang 

Lembah Neraka lagi. 

Utari menganggukkan kepalanya. Seketika itu juga 

tubuhnya melesat ke dalam. Sementara Tiga Macan 

Lembah Neraka menatap punggung gadis itu sambil 

menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Gadis berpakaian biru itu melesat cepat ke dalam 

bangunan. Berita tentang tertangkapnya Dewa Arak telah 

membuat dendam gadis ini semakin berkobar. Utari 

memang sangat mendendam kepada Dewa Arak. Betapa 

tidak? Raksasa Rimba Neraka adalah orang yang telah 

merawatnya sejak bayi. Hubungan Utari dengan datuk 

golongan hitam itu bukan lagi sekadar hubungan antara


murid dengan guru, tetapi antara anak dengan ayah. Maka 

begitu mendengar gurunya tewas di tangan Dewa Arak, 

gadis itu keluar dari Rimba Neraka untuk membalas 

dendam. 

Rupanya Tiga Macan Lembah Neraka, yang merupakan 

sahabat-sahabat Raksasa Rimba Neraka, tidak tinggal 

diam. Mereka ikut keluar dari Lembah Neraka, dan mem 

bantu gadis itu menemukan Dewa Arak. Memang antara 

Raksasa Rimba Neraka dengan Tiga Macan Lembah 

Neraka terjalin hubungan erat. Bahkan Tiga Macan 

Lembah Neraka menganggap Utari seperti anak mereka 

sendiri. Dan gadis berpakaian biru itu memanggil ketiga 

orang itu paman. 

Sesaat kemudian, Utari telah berada di depan pintu 

ruang tahanan yang tak terkunci. Tampak olehnya sesosok 

berpakaian ungu terkulai lemah di dinding, dengan gelang-

gelang baja melilit pergelangan tangan dan kakinya. 

Dengan jantung berdebar tegang, didorongnya pintu itu. 

Kriiittt…! 

Suara berderit nyaring terdengar begitu pintu baja itu 

terkuak. Dan secepat pintu itu terbuka, secepat itu pula 

Utari menghambur masuk. Dilangkahkan kakinya menuju 

sosok yang terborgol di dinding. 

Bulu tengkuk Utari meremang begitu melihat keadaan 

Dewa Arak! Seluruh pakalan pemuda itu koyak-koyak. 

Sekujur kulitnya dipenuhi luka-luka yang masih 

mengalirkan darah. Seketika itu juga tahulah Utari kalau 

Dewa Arak telah diseret oleh Tiga Macan Lembah Neraka. 

"Uhhh...!" 

Tiba-tiba saja terdengar keluhan dari mulut Dewa Arak. 

Dan kepala yang terkulai itu pun mendongak, menatap 

Utari yang berdiri dalam jarak dua tombak di hadapannya. 

"Ih...!" 

Sebuah pekik keterkejutan keluar dari mulut Utari. Dan 

memang sewajarnyalah kalau gadis berpakaian biru ini 

terkejut. Kekagetan yang melanda hatinya terlampau 

banyak.



Semula sewaktu melihat rambut yang telah memutih itu. 

Utari mengira kalau yang terbelenggu adalah seorang 

kakek berusia lanjut. Maka dapat dibayangkan, betapa 

kaget hatinya ketika melihat orang yang berambut putih itu 

adalah seorang pemuda. Dan hal kedua yang mengejutkan-

nya adalah sinar mata Dewa Arak! Sinar mata itu begitu 

tajam mencorong. Bagaikan mata harimau dalam gelap! 

Hal ketiga yang membuat Utari terpekik adalah wajah 

pemuda itu. 

Entah mengapa, tanpa disadari oleh gadis itu sendiri, 

ada rasa aneh yang menyelinap di dalam dadanya begitu 

terpandang wajah Dewa Arak! Sebuah perasaan aneh yang 

sulit dimengertinya, dan belum pemah dialaminya. Dan 

seketika itu juga, rasa dendamnya pada pemuda ini 

memudar pelahan-lahan. 

"Hhh...!" 

Utari menghela napas panjang. Ada apa dengan dirinya? 

Mengapa kini begitu bertemu pembunuh gurunya, rasa 

dendamnya pupus? Padahal selama ini dia bersama tiga 

pamannya telah bersusah payah mencari jejak Dewa Arak. 

Membunuh Dewa Arak setelah terlebih dulu menyiksanya! 

Mengapa sekarang dendamnya tidak ada lagi? Aneh! 

Tiba-tiba pendengaran Utari menangkap banyak langkah 

kaki mendekati ruang tahanan. Tanpa melihat pun gadis 

berpakaian biru ini sudah bisa menduga siapa pemilik 

langkah kaki itu. Siapa lagi kalau bukan Tiga Macan 

Lembah Neraka? Aneh! Mendadak saja, timbul perasaan 

khawatirnya atas keselamatan pemuda berambut putih 

keperakan ini. Utari khawatir ketiga pamannya itu akan 

menyiksa Dewa Arak habis-habisan! Utari, Utari...apa yang 

terjadi pada dirimu? tanya gadis itu pada dirinya sendiri 

dengan perasaan bingung. 

Cepat laksana kilat Utari melesat mendekati Dewa Arak. 

"Maaf, demi keselamatanmu...." bisik gadis berpakaian 

biru itu pelan, seraya mengayunkan tangan ke tengkuk 

Dewa Arak. 

"Hugh...!"


Dewa Arak mengeluh tertahan. Seketika itu juga 

tubuhnya kembali terkulai. Pemuda berambut putih 

keperakan ini pingsan untuk kedua kalinya. 

Begitu kepala Dewa Arak terkulai, Utari pun melesat 

kembali ke tempat semula. Sekejap kemudian terdengar 

derit pintu yang terbuka. 

Gadis berpakaian biru itu menoleh. Ditenangkan 

debaran jantungnya yang mendadak berdegup keras. 

"Kau belum mulai menyiksanya, Utari?" tanya Macan 

Kumbang Lembah Neraka, yang memang berwatak paling 

beringas. 

Utari menggelengkan kepalanya. 

"Belum, Paman," jawab gadis berpakaian biru itu pelan. 

"Mengapa, Utari?" tanya Macan Tutul Lembah Neraka. 

Sepasang alis laki-laki bertubuh gemuk pendek itu 

berkerut. 

"Aku tidak berselera menyiksa orang yang tengah 

pingsan, Paman" jawab Utari cepat. Dan diam-diam gadis 

ini bersyukur, tatkala menyadari ketepatan jawaban 

pertanyaan itu. 

"Ha ha ha...!" Macan Tutul Lembah Neraka tertawa 

bergelak. 

"Mengapa kau tertawa, Paman?" sergah Utari dengan 

wajah merengut. 

"Aku tertawa karena sikapmu itu, Utari!" 

Jantung gadis berpakaian biru ini berdegup kencang. 

Apakah laki-laki pendek gemuk itu ini tahu perasaan yang 

terkandung dalam hatinya? tanya gadis itu dalam hati. 

"Sikapku, Paman?" tanya Utari lagi 

"Ya!" jawab Macan Tutul Lembah Neraka tandas. "Kau 

kelihatan bingung menyiksanya karena dia pingsan, 

bukan?" 

Pelahan kepala Utari terangguk pelan. 

"Ha ha ha...!" kembali laki-laki bertubuh pendek gemuk 

itu tertawa terbahak-bahak. "Mengapa sebelumnya tidak 

kau beritahukan padaku?! Tapi, tunggulah sebentar, 

Paman akan membuat pembunuh gurumu ini sadar."


Setelah berkata demikian, Macan Tutul bergegas 

melangkah keluar. Utari menatap kepergian laki-laki 

pendek gemuk itu itu dengan perasaan tegang. Apa yang 

akan dilakukan Macan Tutul Lembah Neraka? tanyanya 

dalam hati. Diliriknya Macan Kumbang dan Macan Loreng. 

Macan Loreng hanya tersenyum-senyum. Sedangkan 

Macan Kumbang, seperti biasanya, diam memasang wajah 

angker. 

Tak lama kemudian, Macan Tutul Lembah Neraka telah 

kembali. Di tangannya terjinjing sebuah ember. Tercekat 

hati Utari melihat perbuatan pamannya ini. Kini dia tahu, 

laki-laki pendek gemuk itu hendak menyadarkan Dewa 

Arak secara paksa. 

"Bangun, Dewa Arak!" bentak Macan Tutul Lembah 

Neraka seraya mengguyurkan cairan dari dalam ember itu. 

Byurrr...! 

Seketika itu juga Dewa Arak gelagapan. Pemuda 

berambut putih keperakan ini kontan tersadar dari 

pingsannya. Seketika Arya menggelepar-gelepar. 

Sementara mulutnya mendesis-desis seperti merasakan 

kenyerian yang amat sangat. 

Tentu saja hal ini membuat Utari terperanjat kaget! 

Mengapa hanya diguyur air saja, Dewa Arak menggeliat-

geliat seperti cacing kepanasan? pikirnya bingung. 

Tapi kebingungan gadis berpakaian biru ini segera 

terjawab, begitu Macan Tutul Lembah Neraka kembali 

tertawa bergelak. 

"Bagaimana, Dewa Arak? Nikmat, bukan? Kapan lagi 

kau akan mandi air cuka kalau tidak sekarang, heh?! Ha ha 

ha...!" 

Air cuka? jerit Utari dalam hati. Pantas saja Dewa Arak 

sampai menggelepar-gelepar begitu. Sungguhpun gadis ini 

belum pernah merasakan. Tapi sudah bisa diperkirakannya 

sendiri. Luka-luka diguyur air cuka! Betapa nyerinya! 

"Ah...! Kurasa masih belum terlalu nikmat, Macan Tutul! 

Biariah aku ikut menyumbangkan tenaga...," sambut 

Macan Kumbang Lembah Neraka seraya melangkah maju


menghampiri Dewa Arak yang masih menggeliat-geliat 

karena dilanda rasa nyeri yang amat sangat. 

"Hentikan...!" teriak Utari keras. 

Tentu saja bentakan gadis berpakaian biru itu membuat 

Tiga Macan Lembah Neraka terkejut bukan main. Bahkan 

Macan Kumbang sampai menghentikan langkahnya, dan 

menoleh ke belakang. 

"Mengapa kau mencegahku menghukum keparat ini, 

Utari?" tanya laki-laki berkulit hitam itu. Nada suaranya 

penuh tuntutan. Sementara Macan Tutul dan Macan 

Loreng pun menatap heran pada murid Raksasa Rimba 

Neraka ini. 

Utari pun segera tersadar. Disadari kalau sikapnya ini 

menimbulkan kecurigaan Tiga Macan Lembah Neraka. 

Untung di saat kritis itu otaknya kembali menemukan jalan 

keluar. 

"Aku tidak ingin Paman bertiga menyiksanya, sebelum 

aku menyiksanya! Nanti, setelah aku puas, baru Paman 

boleh melanjutkannya," sahut Utari tandas. 

"Ooo ...!" 

Berbareng Tiga Macan Lembah Neraka menganggukkan 

kepalanya, maklum. Macan Kumbang pun segera 

mengurungkan niatnya. Dilangkahkan kakinya kembali ke 

tempatnya. 

"Kalau begitu, silakan kau puas kan hatimu 

menyiksanya, Utari," ucap Macan Tutul Lembah Neraka 

mempersilakan. "Tapi ingat, jangan kau bunuh dia! Sisakan 

untuk kami! Sekarang kami ingin beristirahat!" 

Setelah berkata demikian, Macan Tutul pun melangkah 

meninggalkan ruangan itu Macan Loreng dan Macan 

Kumbang Lembah Neraka mengikuti di belakang laki-laki 

bertubuh pendek gemuk itu tanpa banyak bicara. 

"Hhh...!" 

Utari menghela napas lega setelah ketiga pamannya 

berlalu. Kemudian bergegas dihampirinya Dewa Arak yang 

masih menggeliat-geliat. 

"Ssst..!" Utari menaruh jari telunjuknya di bibir.


"Tenanglah.... aku tidak bermaksud jelek padamu. Aku 

ingin menyelamatkanmu..." 

Sebelum Dewa Arak sempat mengerti ucapan gadis itu, 

tangan halus Utari telah mencengkeram rantai baja yang 

membelenggunya. 

Trak, trak, trak, trak ! 

Seketika itu juga keempat rantai baja putus! Kontan 

tubuh Dewa Arak terkulai. Memang Arya lemah bukan 

main. Letih dan lemah yang belum pemah dirasakan 

seumur hidupnya. 

"Hup...!" 

Tanpa ragu-ragu lagi, Utari segera memondong pemuda 

itu di bahunya. Kemudian melangkah keluar dari situ. 

Sepasang matanya menatap liar ke sekelilingnya. 

Sementara pendengarannya dipasang tajam-tajam. Gadis 

berpakaian biru ini khawatir kalau Tiga Macan Lembah 

Neraka memergoki perbuatannya. 

Dengan mengendap-endap, Utari membawa kabur Dewa 

Arak melalui pintu belakang. Dan begitu telah berada di 

luar, gadis berpakaian biru ini segera melesat cepat. Utari 

segera mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. 

Gadis berpakaian biru ini sadar, sewaktu-waktu bisa saja 

salah seorang dari Tiga Macan Lembah Neraka datang 

menjenguk ruang tahanan Dewa Arak. Dan bila hal itu 

terjadi, gadis ini berharap dia telah berada jauh dari situ. 

*** 

Utari terus berlari mengerahkan seluruh kemampuan 

ilmu meringankan tubuhnya. Gadis berpakaian biru ini 

sudah mempunyai tempat tujuan untuk merawat luka-luka 

Dewa Arak yang telah membuatnya dilanda perasaan aneh 

yang sama sekali sulit dipahaminya. 

Tak lama kemudian. Utari tiba di tempat yang ditujunya. 

Sebuah gua yang tersembunyi dan hanya diketahui olehnya 

sendiri. 

Utari menengok ke kiri kanan, untuk memastikan kalau


tidak ada orang yang melihatnya menuju ke gua itu. 

Sesudah yakin tidak ada yang mengetahuinya, gadis 

berpakaian biru ini melesat masuk. 

Ternyata gua itu cukup panjang juga. Semakin ke dalam, 

ruangan di dalam gua itu semakin luas. Utari terus saja 

melangkah semakin ke dalam. Baru sesampainya di bagian 

ujung gua yang beruangan luas, Utari menghentikan 

langkahnya. Hati-hati sekali tubuh Dewa Arak direbahkan di 

tanah. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Nisanak," ucap 

Dewa Arak pelan. 

Utari hanya melemparkan senyuman manis sebagai 

tanggapannya. 

"Istirahatlah dulu. Kau masih lemah. Biar kuperiksa luka-

lukamu," ujar gadis cantik itu memberi saran. Setelah 

berkata demikian, tangan putih, halus, dan mulus yang 

berjari-jari lentik itu mulai memeriksa sekujur tubuh Dewa 

Arak. 

"Sebagian besar luka-luka luar. Hanya ada sedikit luka 

dalam," ucap Utari memberitahu. 

Seketika tangan kanan gadis itu bergerak ke pinggang. 

Dan dari situ dikeluarkan obat bubuk yang kemudian 

ditaburkannya ke seluruh luka-luka luar Dewa Arak. 

Dewa Arak meringis. Seketika rasa nyeri yang hebat 

menggigit sekujur kulitnya, begitu obat bubuk itu 

ditaburkan ke seluruh luka-lukanya. 

"Memang agak nyeri sedikit. Tahanlah sebentar..." 

Arya menatap wajah gadis yang duduk bersimpuh dl 

hadapannya tajam-tajam. 

"Mengapa kau menolongku, Nini? Bukankah perbuatan-

mu ini akan membuatmu terancam bahaya? Tiga Macan 

Lembah Neraka pasti akan mencarimu. Dan aku tidak bisa 

membantumu menghadapi mereka selama guci arakku 

belum ada di tanganku." 

"Jadi, kalau guci arakmu telah kembali…, kau akan 

mampu menghadapi pa… eh... Tiga Macan Lembah 

Neraka?" tanya Utari seraya menatap Dewa Arak lekat


lekat. 

"Mungkin...." sahut Dewa Arak tidak mau 

menyombongkan diri. 

"Memangnya ke mana guci arakmu.. eh...." 

"Arya, Arya Buana namaku," sahut Dewa Arak 

memberitahu. "Namamu Utari kan?" 

Gadis berpakaian biru itu menganggukkan kepalanya. 

Dia tidak merasa heran, mendengar pemuda berambut 

putih keperakan itu menyebut namanya. Ketika di ruang 

tahanan tadi, sudah berkali-kali namanya disebut-sebut 

oleh Tiga Macan Lembah Neraka. 

"Guciku dicuri oleh Jayalaga. Orangnya masih muda, 

kira-kira seusia denganku. Baju yang dipakainya berwarna 

merah muda," jelas Arya, menerangkan ciri-ciri Jayalaga. 

Utari mengerutkan alisnya. Pemuda berpakaian merah 

muda? tanyanya dalam hati. Bukankah dalam perjalanan 

ke markas Tiga Macan Lembah Neraka, dia berpapasan 

dengan pemuda itu? Dan memang di tangan pemuda 

berpakaian merah muda itu dilihatnya sebuah guci. Jadi, 

orang itukah yang telah mencuri guci Dewa Arak? Lalu Utari 

pun menceritakan pertemuannya dengan Jayalaga kepada 

Dewa Arak. 

"Kalau begitu, biar aku saja yang mencarinya, Kang 

Arya," usul Utari setelah menyelesaikan ceritanya. 

Sebelum Dewa Arak sempat berbicara lagi, gadis 

berpakaian biru itu telah melesat keluar gua. Dewa Arak 

hanya bisa memandangi kepergian Utari dengan benak 

dipenuhi berbagai pertanyaan. Seorang gadis cantik telah 

menyelamatkannya. Apakah Utari jatuh cinta padanya? 

"Hhh...!" desah Dewa Arak. Mudah-mudahan saja 

dugaannya kali ini keliru. Pemuda berambut putih 

keperakan itu berharap agar Utari tidak menaruh hati pada 

ya. 

Tak lama kemudian, setelah luka-luka luarnya mulai 

tidak terasa mengganggu lagi, Dewa Arak segera duduk 

bersila. Kedua tangannya yang terbuka, dirapatkan di 

depan dada, bersemadi. Tak lama kemudian pemuda


berambut putih keperakan ini sudah tenggelam dalam 

semadinya. 

*** 

"Keparat..!" teriak Macan Kumbang begitu melihat ruang 

tahanan yang kosong melompong. Tidak ada lagi Utari dan 

Dewa Arak di situ. Yang ada hanya putusan rantai di 

tembok. 

Tentu saja teriakan Macan Kumbang yang mengandung 

tenaga dalam tinggi, membuat Macan Tutul dan Macan 

Loreng Lembah Neraka, yang masih tenang-tenang di 

ruang depan terlonjak kaget. Bergegas mereka melesat ke 

ruang tahanan. Pasti ada sesuatu yang telah membuat 

rekannya berteriak-teriak seperti itu, pikir kedua orang itu. 

Sekejap kemudian, kedua orang itu telah tiba di pintu 

ruang tahanan. Sesaat lamanya mereka terpaku melihat 

ruang tahanan yang kosong. Kemudian Macan Tutul dan 

Macan Loreng Lembah Neraka melangkah ke dalam. 

Pandangan mereka kini dalihkan pada Macan Kumbang 

yang masih termangu-mangu, seolah-olah tidak percaya 

dengan apa yang dilihatnya. 

"Di mana Dewa Arak dan Utari, Macan Kumbang?" tanya 

Macan Tutul Lembah Neraka. Pelahan suaranya. Rupanya 

laki-laki pendek gemuk itu terpukul juga melihat hal ini. 

"Mengapa kau tanyakan padaku, Macan Tutul?!" sergah 

laki-laki berkulit hitam itu keras. "Sewaktu aku tiba, 

ruangan ini sudah seperti yang kau lihat!" 

Tiga Macan Lembah Neraka saling pandang beberapa 

saat lamanya. 

"Sungguh sulit dipercaya. Mungkinkah Utari yang telah 

menyelamatkan Dewa Arak?" tanya Macan Loreng Lembah 

Neraka pelan, seolah-olah bertanya pada dirinya sendiri. 

"Tapi, mengapa?" 

Macan Tutul Lembah Neraka mendengus. "Kau memang 

bodoh, Macan Loreng! Apa lagi alasannya kalau bukan 

karena cinta! Utari pasti telah terpikat oleh ketampanan


Dewa Arak!" tandas laki-laki bertubuh pendek gemuk itu 

keras. 

"Pantas... dia tidak mengijinkan kita menyiksa Dewa 

Arak," gumam Macan Kumbang sambil mengangguk-

anggukkan kepalanya, pertanda mulai paham dengan 

masalah yang dihadapi. 

"Mereka pasti belum pergi jauh!" ucap Macan Loreng 

Lembah Neraka keras. "Mari kita kejar!" 

"Kau benar Macan Loreng!" sambung Macan Tutul 

Lembah Neraka mendukung. 

Setelah berkata demikian. Tiga Macan Lembah Neraka 

segera melesat meninggalkan tempat itu. Tujuannya sudah 

jelas. Mencari Utari yang telah melarikan Dewa Arak! 

***


Sambil bersiul-siul, Jayalaga melangkah pelahan 

meninggalkan tempat di mana Dewa Arak berhasil 

ditangkap oleh Tiga Macan Lembah Neraka. Kini legalah 

hatinya. Memang sudah sejak semula dia tidak suka pada 

pemuda berambut putih keperakan itu. Bukankah gara-

gara pemuda itu gurunya tewas? 

Ketidaksukaannya pada Arya semakin bertambah 

tatkala diketahuinya kalau pemuda yang terhitung murid 

keponakannya itu, memiliki kepandaian jauh di atasnya. 

Memang Jayalaga mempunyai watak yang aneh. Dia 

tidak suka kalau ada orang lain memiliki kelebihan dari-

padanya. Apalagi kalau orang itu adalah seorang pemuda. 

Jayalaga ingin dialah pemuda yang paling hebat. 

Ketidaksukaannya berubah menjadi benci ketika dilihatnya 

Puspa Rani, gadis yang sejak dulu dicinta dan dirindukan-

nya, malah terlihat bersimpati pada Dewa Arak. 

Pemuda berpakaian merah muda ini memang sudah 

mempunyai rencana tersendiri. Jayalaga ingin menyingkir 

kan Dewa Arak. Dan rencana itu segera dikerjakannya 

sewaktu kemarin dia memanggang daging santapan 

malam mereka. Tanpa sepengetahuan Dewa Arak, semua 

daging panggang itu dibubuhi racun pembius. Tapi 

sebelumnya tentu saja Jayalaga tidak lupa untuk menelan 

obat penawar. 

Rupanya racun itu bekerja cepat, sehingga Dewa Arak 

jadi tertidur pulas seperti orang mati. Sayang dia gagal 

untuk membunuh Arya dengan tangannya sendiri. 

Betapapun liciknya Jayalaga, tapi ajaran Eyang Tapakjati 

tetap diingatnya. Pemuda berpakaian merah muda ini tidak 

mau disebut pengecut, bila membunuh lawan yang tidak 

berdaya. 

Maka Jayalaga hanya membawa kabur guci Dewa Arak. 

Baru setelah itu dia memberitahu tempat Dewa Arak


kepada Tiga Macan Lembah Neraka. Dan kejadian 

selanjutnya berjalan sesuai dengan rencananya. 

Jayalaga tersenyum lebar. Ditimang-timangnya guci 

Dewa Arak. Kemudian berjalan meninggalkan tempat itu. 

Tujuannya adalah Perguruan Kapak Sakti. Dia ingin 

menjumpai Puspa Rani di sana. 

Tapi baru juga kakinya melangkah, terdengar bentakan 

keras yang membuat gerakannya terhenti. 

"Jayalaga! Jangan lari kau, Pengecut..!" 

Pemuda berpakaian merah muda ini segera menoleh. 

Suara itu sama sekali belum dikenalnya. Tapi, kenapa 

pemilik suara itu memakinya pengecut? 

Sekitar belasan tombak di depan Jayalaga, nampak 

sesosok bayangan biru bergerak cepat ke arahnya. 

Pemuda berpakaian merah muda ini mengerutkan alisnya. 

Sungguh pun masih cukup jauh darinya, sudah bisa 

diduganya kalau bayangan itu adalah seorang wanita. 

Semakin dekat bayangan biru itu semakin jelas terlihat. 

Dan begitu jarak di antara mereka tinggal tiga tombak lagi, 

sosok itu menghentikan langkahnya. 

Jayalaga menatap sosok bayangan biru yang telah 

berdiri di hadapannya. Pemuda berpakaian merah muda ini 

masih mengerutkan keningnya. Dia ternyata tidak 

mengenal sosok yang ternyata adalah seorang wanita 

cantik jelita. Rambutnya digelung ke atas dan berpakaian 

biru. Lalu, mengapa gadis ini mengenalnya? tanya murid 

Eyang Tapakjati ini dalam hati. 

"Bukankah kau yang bernama Jayalaga?" tanya gadis 

berpakaian biru yang ternyata adalah Utari. Sepasang 

matanya menatap pakaian pemuda yang berdiri di 

hadapannya. Dan kemudian beralih pada guci arak perak 

yang berada dalam genggaman Jayalaga. 

"Benar, Nisanak," sahut Jayalaga sambil meng-

anggukkan kepalanya. "Siapakah Nisanak ini? Dan dari 

mana mengenal namaku?" 

"Kau tak perlu tahu namaku! Tapi yang jelas, 

kedatanganku adalah untuk membunuh orang yang berjiwa


pengecut sepertimu!" tandas Utari keras. 

Merah wajah Jayalaga mendengar ucapan itu. 

Kemarahannya pun bergolak. Sudah berkali-kali wanita itu 

memakinya pengecut. Dan ini membuat Jayalaga murka. 

"Nisanak!" ucap murid Eyang Tapakjati ini keras. "Aku 

sama sekali tidak mengenalmu. Bertemu pun baru kali ini. 

Tapi mengapa kau memusuhiku? Bahkan berkali-kali kau 

menyebutku pengecut! Cepat jelaskan maksud ucapanmu, 

sebelum habis kesabaranku!" 

Utari hanya mendengus. 

"Tidak usah banyak basa-basi, Jayalaga!" 

Setelah berkata demikian, gadis berpakaian biru itu 

menjulurkan kedua tangannya ke depan. Kemudian 

terdengar suara berkerotokan begitu jari-Jari tangan Utari 

pelahan-lahan mengepal. Suara berkerotokan keras seperti 

ada tulang-tulang yang patah itu semakin keras terdengar, 

begitu Utari menarik tangannya yang terkepal ke sisi 

pinggang. 

Jayalaga bergidik ngeri melihat perbuatan gadis ini. Tapi 

dia tidak terlalu lama tenggelam dalam perasaan ngerinya 

itu, karena serangan dari Utari telah menyambar tiba. 

Utari membuka serangan dengan melontarkan kepalan 

kanannya ke arah dada Jayalaga. Ada suara berkeresekan 

keras seperti ada geledek menyambar bumi, begitu gadis 

berpakaian biru itu mengayunkan tinjunya. Bahkan bukan 

itu saja, angin berhawa panas pun mengiringi tibanya 

serangan itu. 

Sepasang mata Jayalaga membelalak lebar, Ilmu 

macam apa ini? tanya murid Eyang Tapakjati ini dalam hati. 

Ilmu yang sangat menggiriskan! Jayalaga sama sekali tidak 

tahu, kalau itu adalah Ilmu 'Tinju Geledek'! Ilmu yang 

dimiliki oleh Raksasa Rimba Neraka. 

Jayalaga tidak berani bertindak gegabah. Buru-buru 

dilempar tubuhnya ke samping. Tidak berani dia 

menentang bahaya untuk memapak pukulan si gadis. 

Terlalu besar resikonya, karena dia belum dapat mengukur 

ketinggian tenaga dalam lawan.


Brakkk...! 

Sebatang pohon sepelukan orang dewasa tumbang 

seketika, begitu pukulan Utari yang berhasil dielakkan 

Jayalaga menghantamnya. Sepasang mata Jayalaga 

terbelalak melihat akibat yang ditimbulkan pukulan nyasar 

itu. Bagian batang yang tersambar pukulan Utari hancur 

berkeping-keping. Sungguh tidak disangkanya kalau gadis 

itu bisa berbuat demikian. 

Tapi Jayalaga tidak bisa berlama-lama larut dalam 

kekagumannya. Serangan susulan dari Utari telah tiba. 

Pemuda berpakaian merah muda ini tidak punya pilihan 

lagi, kecuali menghadapi lawan dan balas menyerang. 

Sadar akan kelihaian Utari, Jayalaga segera 

mengeluarkan jurus andalannya, jurus 'Sepasang Tangan 

Penakluk Naga'! Sesaat kemudian kedua orang yang masih 

sama-sama muda ini sudah terlibat dalam pertarungan 

sengit. 

Utari merasa dendam sekali atas perbuatan Jayalaga 

terhadap Dewa Arak. Terbukti, seriap serangan gadis ini 

selalu mengarah pada bagian-bagian tubuh yang memati-

kan. Tapi, Jayalaga bukanlah lawan lemah. Meskipun guru 

Jayalaga tidak sesakti Raksasa Rimba Neraka, tapi tidak 

berarti pemuda berpakaian merah muda ini mudah 

dipecundangi. 

Jayalaga menggertakkan gigi. Untuk kesekian kalinya dia 

harus menerima kenyataan kalau dia bukanlah satu-

satunya pemuda yang berkepandaian tinggi di dunia ini. 

Terbukti kini kembali Jayalaga berhadapan dengan orang 

muda yang berkepandaian tinggi. Wanita, lagi! Dan 

kenyataan ini membuat pemuda berpakaian merah muda 

ini agak terpukul. Tapi, sungguhpun begitu, Jayalaga tetap 

mengadakan perlawanan sengit. 

Tiga puluh jurus telah berlalu. Dan tampak jelas kalau 

Jayalaga mulai terdesak. Pemuda berpakaian merah muda 

ini hanya mampu mengelak. Sesekali menangkis, dan 

selebihnya adalah hujan serangan dari Utari. 

Jayalaga mengeluh dalam hati. Sekujur tubuhnya telah


mandi keringat. Hawa panas menyengat yang keluar dari 

setiap sambaran lawan, benar-benar membuatnya tersiksa. 

Hampir-hampir dia tidak kuat menahannya. 

"Haaat..!" 

Utari berteriak nyaring. Dan belum lagi gema 

teriakannya habis, gadis berpakaian biru itu sudah melesat 

menerjang Jayalaga. Kedua tangannya yang terkepal, 

dilontarkan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan perut 

pemuda berpakaian merah muda itu. 

Jayalaga memekik tertahan. Murid Eyang Tapakjati ini 

memang terkejut bukan main Serangan itu datang begitu 

tiba-tiba. Tak sempat dielakkan lagi. Tak ada jalan lain 

kecuali menangkis serangan itu untuk menyelamatkan 

selembar nyawanya. 

Plak. plak. plak...! 

"Aaakh...!" 

Terdengar suara keras beruntun, begitu dua pasang 

tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi itu 

berkali-kali berbenturan. Jayalaga memekik nyaring. 

Tubuhnya terhuyung-huyung dua langkah, sementara Utari 

terhuyung satu langkah. Jelas terlihat kalau dalam adu 

tenaga dalam tadi, Utari masih lebih unggul ketimbang 

lawannya. 

Jayalaga masih menggeliat-geliatkan tubuhnya. Rasa 

panas yang menyengat menjalar ke sekujur tubuhnya 

begitu tangannya berbenturan dengan tangan lawannya. 

Dan belum lagi pemuda ini sempat berbuat sesuatu, Utari 

melancarkan pukulan susulan ke arah dada. 

Buk! 

"Aaa...!" 

Jayalaga menjerit memilukan. Keras dan telak sekali 

pukulan Utari bersarang di dadanya. Suara berderak keras 

dari tulang-tulang dada yang berpatahan segera terdengar. 

Seketika itu juga pemuda berpakaian merah muda ini 

terjengkang. Darah segar mengalir deras dari mulut, 

hidung, dan telinganya. 

Suara berdebukan keras terdengar begitu tubuh


Jayalaga terbanting ke tanah. Sesaat lamanya pemuda ini 

menggelepar-gelepar meregang nyawa. Lalu diam tidak 

bergerak-gerak lagi. 

"Hhh...!" 

Utari menghela napas lega. Sesaat sepasang matanya 

terpaku pada mayat pemuda berpakaian merah muda itu. 

Kemudian bergegas menghampiri guci perak yang tadi 

diletakkan Jayalaga di bawah pohon angsana. 

Utari kemudian mengambil guci itu. Memperhatikannya 

sejenak, sebelum akhirnya melesat meninggalkan tempat 

itu. Sesaat kemudian, suasana di situ pun kembali hening. 

Utari berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu meringan-

kan tubuhnya. Dia ingin cepat-cepat tiba dan 

menyampaikan berita gembira pada Dewa Arak, bahwa 

gucinya telah berhasil ditemukan. 

Saking tergesa-gesanya untuk segera berjumpa dengan 

Dewa Arak, membuat kewaspadaan gadis berpakaian biru 

ini berkurang. Utari sama sekali tidak menyadari kalau tak 

begitu jauh setelah meninggalkan mayat Jayalaga, tiga 

sosok berpakaian rompi dari kulit macan, memandanginya. 

Ketiga orang ini tak lain adalah Tiga Macan Lembah 

Neraka! 

"Itu Utari..." bisik Macan Tutul Lembah Neraka pada 

kedua rekannya seraya menunjuk bayangan biru yang 

berkelebat di depan mereka. 

Macan Kumbang dan Macan Loreng Lembah Neraka 

mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk laki-

laki bertubuh pendek gemuk itu. Berbareng keduanya 

mengangguk. 

"Mau ke mana dia?" tanya Macan Loreng pelan seperti 

bicara pada dirinya sendiri 

"Entahlah." sahut Macan Tutul seraya menggelengkan 

kepalanya "Tapi lebih baik kita ikut saja. Siapa tahu dia 

akan membawa kita pada Dewa Arak!" 

"Mudah-mudahan saja," sahut Macan Kumbang Lembah 

Neraka mendukung "Mari kita kejar dia, sebelum pergi 

Jauh."



Setelah berkata demikian, laki-laki berkulit hitam itu 

segera melesat dari situ. Macan Tutul dan Macan Loreng 

Lembah Neraka pun segera mengikuti. 

Tiga Macan Lembah Neraka membuntuti Utari dari jarak 

yang cukup jauh. Sehingga gadis berpakaian biru itu sama 

sekali tidak menyadarinya. Terus saja gadis itu berlari 

menuju gua persembunyiannya. 

Utari baru memperlambat larinya setelah mendekati 

mulut gua. Macan Tutul yang paling cerdik di antara Tiga 

Macan Lembah Neraka, dapat menduga kalau di gua itulah 

Utari menyembunyikan Dewa Arak. Maka laki-laki bertubuh 

pendek gemuk itu pun menganggukkan kepala pada kedua 

rekannya. 

Macan Kumbang dan Macan Loreng Lembah Neraka 

rupanya mengerti isyarat rekannya. Terbukti begitu Macan 

Tutul Lembah Neraka menganggukkan kepalanya, Macan 

Kumbang dan Macan Loreng mempercepat larinya. 

Akibatnya sudah dapat diduga. Sebelum gadis berpakaian 

biru itu memasuki mulut gua, Tiga Macan Lembah Neraka 

berdiri menghadang 

"Ah...! " 

Utari memekik kaget begitu mengenali tiga orang yang 

telah berada di hadapannya. Tak terasa gadis berpakaian 

biru itu melangkah mundur. Sepasang matanya terbelalak 

lebar, bagaikan melihat hantu 

"Mana Dewa Arak, Utari?" tanya Macan Kumbang 

Lembah Neraka pelan. Tapi di dalam suaranya terkandung 

ancaman. 

"Aku tidak tahu!" sahut gadis pakaian biru itu ketus. 

Suaranya bergetar, pertanda Utari tengah dilanda perasaan 

tegang. 

"Ha ha ha...! Kau kira kami bodoh, Utari?" sahut Macan 

Tutul seraya tertawa mengejek. "Tanpa kau beritahu pun 

kami sudah tahu kalau Dewa Arak berada di dalam gua ini! 

Macan Kumbang! Macan Loreng! Periksa ke dalam! Biar 

gadis liar ini aku yang urus!" 

Tanpa banyak membantah, Macan Kumbang dan Macan


Loreng Lembah Neraka melangkah ke dalam gua. Sadar 

kalau yang berada di dalam adalah orang yang berbahaya, 

kedua orang ini bersikap waspada. Selagi melangkah, urat-

urat syaraf mereka menegang. Bersiap menghadapi segala 

kemungkinan. 

Utari yang melihat hal ini menjadi khawatir. Tanpa 

memandang kalau tiga orang di hadapannya memiliki 

kepandaian di atasnya, gadis berpakaian biru ini berusaha 

mencegah masuknya kedua orang tokoh Tiga Macan 

Lembah Neraka itu. 

Tapi belum lagi niat Utari terlaksana, Macan Tutul telah 

lebih dulu bergerak menghadang. Melihat hal ini Utari pun 

mentadi cemas bukan main. 

"Kang Arya...! Hati-hati..! Macan Kumbang dan Macan 

Loreng masuk ke gua, dan hendak membunuhmu...!" teriak 

Utari keras dengan mengerahkan seluruh tenaga 

dalamnya! 

"Keparat!" Macan Tutul Lembah Neraka menggeram 

"Rupanya kau sudah tergila-gila pada ketampanan Dewa 

Arak, Utari! Lupakah kau pada tekadmu dulu?! Lupakah 

kau akan kebaikan gurumu?! Kau tahu, tanpa kebaikan 

gurumu, kau tidak akan jadi manusia seperti sekarang! 

Tapi sekarang apa balasanmu?! Bukannya kau bantu kami, 

tapi malah melindungi pembunuh gurumu!" 

Seketika wajah gadis berpakaian biru itu pucat Dalam 

batinnya terjadi peperangan hebat. Kini Utari dihadapkan 

pada dua pilihan, antara membalaskan dendam gurunya 

atau menyelamatkan Dewa Arak! Sukar sekali untuk 

memilih salah satu di antaranya. Kepala gadis itu seakan 

ingin pecah rasanya. 

*** 

Sementara itu Macan Kumbang dan Macan Loreng 

Lembah Neraka terkejut mendengar teriakan Utari yang 

memberitahu kedatangan mereka pada Dewa Arak. Kedua 

tokoh yang sudah pernah merasakan kelihaian Dewa Arak


ini agak ngeri juga seandainya pemuda berambut putih 

keperakan itu mengetahui kedatangan mereka. 

Dewa Arak yang tengah bersemadi, sayup-sayup 

mendengar teriakan Utari. Dan hal ini tentu saja membuat 

Arya terkejut. Dari pemberitahuan gadis berpakaian biru itu 

diketahuinya kalau dua di antara Tiga Macan Lembah 

Neraka telah masuk ke dalam gua. Dan itu berarti yang 

seorang lagi berada di luar. Hal ini tentu saja membuat 

Dewa Arak menjadi cemas akan keselamatan Utari. 

Utari harus diselamatkan dulu! Begitu keputusan Dewa 

Arak. Tapi bila dia memaksa keluar melalui jalan depan, 

rasanya tidak mungkin. Karena sebelum dia keluar, pasti 

akan dihadang Macan Kumbang dan Macan Loreng 

Lembah Neraka terlebih dahulu. Harus dicarinya jalan 

keluar lain, pikir Dewa Arak. Dan Dewa Arak telah 

menemukannya. 

Memang, tanpa sepengetahuan Utari, Dewa Arak telah 

menemukan jalan keluar lain dari gua ini. Tadi, sepeninggal 

Utari, Arya sempat memeriksa sekeliling gua. Dan secara 

kebetulan, pemuda ini menemukan jalan keluar lainnya. 

Bergegas Dewa Arak menghampiri sebatang tongkat 

kecil yang menempel di dinding gua. Tongkat yang semula 

dikiranya untuk menaruh tangkai obor. Tanpa ragu-ragu 

lagi Arya segera menekan tongkat itu ke bawah. 

Suara berderak keras terdengar, disusul dengan 

bergesernya dinding gua. Tanpa membuang-buang waktu 

lagi, Dewa Arak segera menyelinap selagi dindng itu 

menggeser membuka. 

Tentu saja Macan Loreng dan Macan Kumbang Lembah 

Neraka mendengar suara berderak keras itu. Dan kontan 

keduanya menjadi terkejut. Seketika itu pula langkah 

mereka dihentikan. 

"Apa itu, Macan Loreng?" tanya Macan Kumbang yang 

memang agak kurang cerdas dibanding rekannya. "Jangan-

jangan gua ini akan runtuh." 

Macan Loreng mengerutkan alisnya. Diperhatikannya 

bagian atas gua, dan kemudian dindng-dindingnya.


"Tidak mungkin," bantah laki-laki berkulit kuning ini. 

"Nah! Getarannya sudah berhenti. Seandainya gua ini akan 

runtuh, mestinya getaran itu akan terus berlangsung, tidak 

berhenti seperti ini." 

Macan Kumbang mengangguk. Disadarinya kebenaran 

ucapan Macan Loreng. 

"Cepat, Macan Kumbang!" ucap Macan Loreng lagi. "Aku 

mempunyai firasat yang tidak enak dengan suara bunyi 

itu." 

Setelah berkata demikian, Macan Loreng Lembah 

Neraka mempercepat langkahnya. Macan Kumbang pun 

tidak mau ketinggalan. Bergegas pula langkahnya diper-

cepat. Meskipun begitu, kewaspadaan mereka sama sekali 

tidak mengendur. 

Tatkala Macan Loreng dan Macan Kumbang Lembah 

Neraka telah tiba di bagian paling ujung gua. Keduanya 

terperanjat. Suasana tempat itu memang agak terang, 

karena di bagian atap gua ada celah-celah yang dapat 

diterobos sinar matahari. 

"Keparat itu tidak ada, Macan Loreng!" seru Macan 

Kumbang Lembah Neraka keras. Sepasang matanya 

berkeliling, mencari kemungkinan ada tempat ber-

sembunyi. Tapi laki-laki berkulit hitam ini kecewa. Tidak 

ada sama sekali tempat untuk bersembunyi di situ. 

Macan Loreng mengerutkan alisnya. Benaknya berputar 

keras. Ruangan dalam gua ini memang kosong. Apakah 

pemuda itu sudah keluar gua? Tapi, kalau pemuda itu 

memang sudah keluar, pasti akan berpapasan dengan 

mereka di lorong gua! Ataukah ada jalan rahasia yang 

menuju keluar? duga laki-laki berwajah kuning itu. 

Plak! 

Macan Loreng Lembah Neraka menepuk kepalanya. 

Mengapa dia begitu bodoh? Sudah pasti Dewa Arak telah 

keluar melalui jalan rahasia! Dan suara derak keras tadi, 

sudah pasti terjadi sewaktu pemuda berambut putih 

keperakan itu keluar melalui jalan itu! 

"Ada apa, Macan Loreng?" tanya Macan Kumbang


Lembah Neraka. Agak heran hatinya melihat laki-laki 

berwajah kuning itu menepak kepalanya sendiri. 

"Dewa Arak pasti keluar melalui jalan rahasia!" sahut 

Macan Loreng memberitahu. 

"Kalau begitu mari kita cari jalan itu," sambut Macan 

Kumbang lagi. 

"Tidak perlu, Macan Kumbang!" bantah Macan Loreng 

cepat. 

"Mengapa?" tanya laki-laki berkulit hitam itu bingung. 

"Terlalu memakan banyak waktu. Lebih baik kita segera 

keluar lewat mulut gua di depan! Aku khawatir telah terjadi 

sesuatu pada Macan Tutul!" 

Setelah berkata demlkian, Macan Loreng segera 

melesat ke mulut gua. Macan Kumbang tak bisa berbuat 

apa-apa selain mengikuti laki-laki berwajah kuning itu. 

Sementara di luar gua, Macan Tutul Lembah Neraka 

menjadi meluap amarahnya begitu melihat Utari malah 

berdiri termenung. Kemarahannya yang memang sudah 

timbul tatkala mengetahui murid Raksasa Rimba Neraka 

ini membebaskan Dewa Arak, semakin memuncak. 

"Kalau begitu, lebih baik kau mampus saja, Utari!" 

Setelah berkata demikian, Macan Tutul Lembah Neraka 

pun menerjang Utari. Kedua tangannya yang berbentuk 

cakar menyerang bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan 

pusar murid Raksasa Rimba Neraka itu 

Cepat dan dahsyat bukan main serangan laki-laki 

bertubuh pendek gemuk itu. Sekali pun Utari dalam 

keadaan waspada pun, rasanya sulit bagi gadis itu untuk 

mengelak. Apalagi dalam keadaan bingung seperti ini. 

Akibatnya.... 

Buk! Buk...! 

"Aaa...!" 

Utari menjerit memilukan. Seketika itu juga tubuhnya 

melayang tiga tombak ke belakang. Dari mulut, hidung, dan 

telinganya, mengalir darah segar. Tulang-tulang dada Utari 

remuk seketika itu juga. Hebat bukan main akibat pukulan 

yang dilancarkan Macan Tutul Lembah Neraka.


"Utari…!" 

Terdengar panggilan keras, disusul dengan ber-

kelebatnya sesosok bayangan ungu. 

"Hup…!" 

Dengan kecepatan yang luar biasa, bayangan ungu itu 

menangkap guci arak yang terlepas dari pegangan Utari. 

Begitu guci arak itu telah ditangkap, bayangan ungu itu 

melesat ke arah tubuh Utari yang tergolek di tanah. 

"Utari...," desah sosok ungu itu serak. 

Utari membuka kelopak matanya. Sepasang matanya 

terlihat begitu kosong. Tidak nampak sinar kehidupan di 

dalamnya. 

"Kang Arya...," pelahan sekali suara gadis itu. Cairan 

merah kental kembali keluar dari bibir mungil yang kini 

pucat pias itu. 

Sosok ungu yang ternyata adalah Arya Buana alias Dewa 

Arak itu menatap Utari. Rasa sesal yang amat sangat, 

bergayut di hati pemuda berambut putih keperakan ini. 

Dewa Arak tahu kalau gadis itu menjadi seperti ini karena 

ingin menyelamatkan dirinya. 

"Maafkan aku, Utari. Gara-gara aku, kau jadi celaka," 

ujar Arya dengan suara serak. 

"Kau..., sama sekali tidak bersalah, Kang,..," ucap gadis 

berpakaian biru itu terputus-putus. Dan kembali cairan 

merah kental keluar dari mulut, dan hidung Utari. Dewa 

Arak segera menyeka dengan pakaiannya. Sesak dada Arya 

oleh keharuan yang menggelegak, melihat keadaan gadis 

ini. Kelopak matanya merembang berkaca-kaca. 

"Kau..., kau bersedih, Kang Arya? Kau..., kau 

menyayangiku...?" tanya murid Raksasa Rimba Neraka itu 

lagi dengan suara terputus-putus. Kembali cairan merah 

kental mengalir keluar dari mulut dan hidung gadis itu. Dan 

lagi-lagi Dewa Arak menyekanya. 

Dewa Arak mencoba tersenyum. Tapi karena rasa haru 

tengah melandanya, senyumnya terlihat sebagai seringai 

kepedihan. 

"Aku puas, Kang, Aku puas dapat menolongmu.., aku...


aku..., mencintaimu, Kang...." 

"Utari...," desah Dewa Arak serak. Dipeluknya kepala 

gadis itu erat-erat, dan dibenamkan ke dadanya. Arya tak 

mempedulikan darah yang membasahi pakaiannya. 

"Se... selamat tinggal, Kang Arya...." Dan kepala gadis 

berpakaian biru itu pun terkulai. Utari telah pergi untuk 

selamanya. 

"Utari...," panggil Dewa Arak setengah berteriak. 

Kemudian dikatupkan kedua kelopak mata gadis itu. Bibir 

Utari menyunggingkan senyuman. Utari meninggalkan 

dunia ini dengan perasaan puas, karena dapat meninggal 

di pelukan pemuda yang dicintainya. Dewa Arak tidak 

menyadari kalau sejak tadi ada tiga pasang mata yang 

memperhatikannya. 

Tiga Macan Lembah Neraka hanya bisa memandangi 

dan mendengar kan pembicaraan antara Dewa Arak dan 

Utari. Ketiga datuk golongan hitam ini telah lupa pada 

tujuan mereka semula. Kematian Utari telah membuat 

gairah mereka untuk membalas dendam pada Dewa Arak, 

telah sirna seketika. 

Dan memang, keinginan untuk membalaskan kematian 

Raksasa Rimba Neraka pada Dewa Arak adalah semata-

mata hanya untuk membantu mewujudkan keinginan Utari. 

Tiga Macan Lembah Neraka tetap berdiri terpaku 

melihat Dewa Arak mengatupkan kedua kelopak mata 

Utari. Memang Tiga Macan Lembah Neraka sebenarnya 

sangat menyayangi gadis berpakaian biru itu. Mereka telah 

menganggap Utari seperti anak mereka sendiri. Rasa 

sayang yang amat besar itulah yang mendorong mereka 

rela meninggalkan Lembah Neraka. 

Tiga Macan Lembah Neraka merasa terpukul sekali 

menerima kenyataan ini. Terutama sekali Macan Tutul 

Lembah Neraka yang tanpa sadar telah menurunkan 

tangan maut. Laki-laki pendek gemuk itu merasa menyesal 

bukan main. Sungguh tidak disangka kalau Utari tidak 

mampu mengelakkan serangannya. Kini Macan Tutul 

hanya dapat berdiri terpaku dengan wajah dan sepasang


mata yang memancarkan penyesalan yang amat sangat. 

Baru setelah Dewa Arak beranjak bangkit sambil 

mengangkat tubuh Utari, Tiga Macan Lembah Neraka 

tersadar. Berbareng mereka menghampiri Arya. 

"Berikan mayat Utari pada kami, Dewa Arak," pinta 

Macan Tutul Lembah Neraka. Suaranya terdengar agak 

parau. 

Dewa Arak menatap wajah Macan Tutul dalam-dalam. 

"Apa kau masih belum puas, Macan Tutul. Apakah 

membunuhnya saja belum cukup bagimu?!" sentak Dewa 

Arak keras. 

"Hhh...!" 

Macan Tutul hanya menghela napas dalam-dalam. Laki-

laki bertubuh pendek gemuk itu tidak marah mendapat 

perlakuan yang kasar itu. Dendamnya telah pupus 

seketika, seiring dengan kematian Utari. Bahkan Macan 

Tutul Lembah Neraka merasa seluruh semangat hidupnya 

telah hilang entah ke mana. 

Dewa Arak mengalihkan perhatiannya pada Macan 

Loreng. Ditatapnya laki-laki berwajah kunlng itu lekat-lekat. 

Macan Loreng pun sama sekali tidak membalas 

pandangan Arya. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam. 

Sorot matanya memancarkan kepedihan yang teramat 

sangat. 

Kini Arya mengalihkan pandangannya pada Macan 

Kumbang Lembah Neraka. Laki-laki berkulit hitam yang 

biasanya bersikap garang, angker, dan galak ini pun 

ternyata kehilangan keangkerannya. Dan memang 

sebenarnya, di antara Tiga Macan Lembah Neraka, Macan 

Kumbang Lembah Nerakalah yang paling menyayangi Utari. 

"Utari keponakan kami, Dewa Arak," ucap Macan 

Kumbang. Suara laki-laki berkulit hitam ini terdengar 

lemah, seperti orang yang minta dikasihani. Suara yang 

biasanya terdengar garang dan berat itu kini mendadak 

sirna. 

Dewa Arak yang masih emosi akibat kematian Utari yang 

mengenaskan itu, kian meledak emosinya.


"Jadi, mentang-mentang Utari keponakan kalian, lalu 

seenaknya saja kalian menyiksanya?!" sahut pemuda 

berambut putih keperakan itu. Kasar dan keras suaranya. 

"Kini, aku akan membuat dua buah perhitungan dengan 

kalian!" ucap Dewa Arak lagi sambil menatap wajah Tiga 

Macan Lembah Neraka berganti-ganti. 

Tapi tak seorang pun dari Tiga Macan Lembah Neraka 

yang menyahuti ucapan Dewa Arak. Tatapan mata mereka 

kosong. Sepertinya ucapan Arya sama sekali tidak mereka 

dengar. 

"Pertama, urusan Eyang Tapakjati yang telah kalian 

bunuh, dan yang kedua adalah kematian Utari!" tandas 

Dewa Arak keras. 

Seperti sebelumnya, Tiga Macan Lembah Neraka juga 

tidak meladeni ucapan Dewa Arak. Mereka masih saja 

bersikap seperti semula. Menatap dengan mata kosong. 

"Bersiaplah! Atau kalian akan mati sia-sia di 

tanganku...!" teriak Arya lagi. Setelah berkata begitu tubuh 

Utari dipindahkan ke bahu sebelah kiri. Kemudian pemuda 

berambut putih keperakan itu menerjang ke arah Macan 

Tutul. Tangan kanannya menyambar ke pelipis laki-laki 

bertubuh pendek gemuk itu dengan menggunakan jurus 

'Belalang Sakti'. 

Wuuut..! 

Angin menyambar keras mengiringi tibanya serangan 

Dewa Arak. Tapi Macan Tutul Lembah Neraka sama sekali 

tidak mempedulikan serangan itu. Tidak mengelak ataupun 

menangkis. Sepertinya rasa berdosa atas kematian Utari 

telah membuatnya pasrah menerima kematian di tangan 

Dewa Arak. 

Tentu saja Dewa Arak tidak mau membunuh orang yang 

sama sekali tidak melawan. Buru-buru serangannya ditarik 

pulang. 

"Ayo lawan dan hadapi aku, Macan Tutul!" bentak Dewa 

Arak keras. Tapi laki-laki bertubuh pendek gemuk itu 

kembali tidak menyahutinya. Kepalanya masih tertunduk 

menekuri tanah.


Dewa Arak pun mengalihkan perhatiannya pada Macan 

Kumbang dan Macan Loreng Lembah Neraka. 

"Ayo, Macan Tutul! Macan Kumbang! Lawanlah aku! 

Bukankah itu yang kalian inginkan!" 

"Kau boleh membunuh kami, Dewa Arak! Percayalah, 

kami tidak akan melawan," ucap Macan Tutul lemah. "Tapi 

kami mohon kau sudi memenuhi permintaan terakhir kami. 

Sudilah kiranya kau membawa mayat Utari ke Lembah 

Neraka, dan menguburnya di sana." 

Dewa Arak terlongong mendengar ucapan laki-laki ber-

tubuh pendek gemuk itu. Kemarahannya pun pelahan 

mereda. Apalagi setelah kini pikirannya mulai normal. Baru 

kini pemuda berpakaian ungu itu menyadari kalau sejak 

tadi Tiga Macan Lembah Neraka sama sekali tidak berniat 

melawannya. 

"Aku tidak bisa membunuh orang yang tidak mau 

melawan," keluh Dewa Arak pelan. 

"Kalau begitu, maukah kau memenuhi permintaan 

kami?" tanya Macan Tutul Lembah Neraka lagi. 

"Apa itu?" tanya Dewa Arak tak bergairah. 

"Kami mohon, kau sudi menyerahkan mayat Utari 

kepada kami. Dia adalah keponakan kami, Dewa Arak. 

Kami akan mengurus mayat Utari sebaik-baiknya. .." 

Dewa Arak tercenung mendengar permintaan itu. 

Disadari kalau Tiga Macan Lembah Neraka amat menyesali 

kematian Utari. Tadi pun pemuda berambut putih 

keperakan itu sempat melihat kalau laki-laki bertubuh 

pendek gemuk itu terpaku dengan wajah sepucat mayat, 

begitu melihat tubuh Utari menggelepar-gelepar. Sikap 

mereka pun kian mempertebal kepercayaannya. Dan 

memang Tiga Macan Lembah Neraka lebih berhak atas 

mayat Utari. Tiga Macan Lembah Neraka adalah paman-

paman dari gadis berpakaian biru ini. 

Tanpa banyak bicara Dewa Arak segera menyerahkan 

mayat Utari pada Macan Tutul Lembah Neraka. Laki-laki 

bertubuh pendek gemuk itu menerimanya. Tampak hati-

hati sekali, tokoh Tiga Macan Lembah Neraka itu


menerima mayat keponakannya. 

"Terima kasih atas kebaikanmu, Dewa Arak!" ucap 

Macan Tutul Lembah Neraka serak. "Percayalah, kami 

akan selalu mengingat kebaikan hatimu ini" 

Setelah berkata demikian, Macan Tutul melangkah 

pelahan-lahan meninggalkan tempat itu. Macan Kumbang 

dan Macan Loreng Lembah Neraka melangkah pelan 

dengan kepala tertunduk di belakangnya. 

Dewa Arak memandangi punggung tiga datuk golongan 

hitam yang berjalan meninggalkannya. Pemuda berpakaian 

ungu yang kini di pakaiannya banyak terdapat noda darah 

itu terus memandangi kepergian tiga tokoh itu. Akhirnya 

tubuh Tiga Macan Lembah Neraka semakin lama semakin 

mengecil, dan lenyap di kejauhan. 

"Hhh...!" 

Dewa Arak menghela napas berat. Kemudian 

dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Pemuda 

berambut putih keperakan itu mengambil arah yang 

berlawanan dengan arah yang ditempuh Tiga Macan 

Lembah Neraka. Pelahan-lahan saja Arya melangkah-kan 

kakinya. Meneruskan perjalanannya. Masih banyak tugas-

tugas yang menantinya. Tugas selaku pendekar pembela 

kebenaran. 



                      SELESAI 




Share:

0 comments:

Posting Komentar