..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 14 Januari 2025

DEWA ARAK EPISODE MEMBURU PUTRI DATUK

matjenuh

 

Seorang kakek berpakaian kulit ular yang berwajah 

bengis, menghentikan semadinya. Perlahan-lahan 

kedua kelopak matanya dibuka. Dan begitu telah 

bangkit berdiri barulah terlihat kalau kakek berwajah 

bengis ini bertubuh tinggi kekar. 

Kakek berpakaian kulit ular ini lalu bergegas 

menelusuri lorong gua menuju pintu keluar. Rupanya 

kakek tinggi kekar ini menghentikan semadinya 

karena mendengar suara panggilan yang sangat 

dikenalnya dari luar gua. 

"Ayah...!" 

Kembali suara panggilan itu terdengar. Dan seiring 

dengan semakin dekatnya kakek itu dengan mulut 

gua, maka panggilan itu pun semakin jelas dari 

sebelumnya. Begitu kakek berwajah bengis ini telah 

berada di luar gua, mendadak sesosok ramping 

berpakaian jingga segera menghambur ke arahnya. 

"Ada apa, Karmila?" tanya kakek berpakaian kulit 

ular itu pelan. Suaranya lembut, menyiratkan rasa 

sayang yang mendalam. Suara laki-laki ini sungguh 

berlawanan sekali dengan penampilannya. 

"Anu, Ayah...." 

"Anu, apa? Katakanlah," desak kakek tinggi kekar 

itu sambil tersenyum. Tapi karena wajahnya bengis, 

senyumnya lebih mirip sebuah seringai menyeram-

kan. 

"Aku sudah bosan berlatih ilmu-ilmu rendahan ini, 

Ayah!" sahut gadis berpakaian jingga yang ternyata 

bernama Karmila itu ketus. Wajahnya yang cantik


memberengut, menandakan kekesalan hatinya. 

"Ha ha ha...!" kakek berwajah bengis itu tertawa 

terbahak-bahak. "Kukira ada apa. Lalu, maumu 

bagaimana, Karmila?" 

"Aku ingin Ayah mengajarku ilmu andalan Ayah. 

Ilmu yang telah mengangkat Ayah menjadi datuk tak 

terkalahkan!" 

"Hah?!" seketika senyum di wajah kakek itu lenyap. 

Jelas kalau ucapan putrinya membuatnya terkejut 

"Mengapa Ayah terkejut?" tanya Karmila lagi. 

"Bukankah wajar kalau aku ingin memiliki ilmu-ilmu 

yang dapat kuandalkan. Bukan ilmu-ilmu rendahan 

seperti yang Ayah ajarkan selama ini." 

"Tapi, Karmila...," kakek berwajah bengis itu men-

coba membantah. 

"Pokoknya kalau tidak diajarkan ilmu itu, aku tidak 

mau berlatih lagi!" potong gadis berpakaian jingga itu 

ketus. 

"Tapi ilmu itu adalah ilmu keji, Karmila. Sejak aku 

sadar kalau kelakuanku selama ini keliru, aku telah 

bersumpah tidak akan menurunkan ilmu ini kepada 

siapa pun! Ilmu 'Totokan Penghancur Tulang', tidak 

cocok untukmu, Karmila." 

"Aku berjanji tidak akan menggunakan ilmu itu 

kalau tidak terpaksa, Ayah," sahut Karmila tidak 

kehilangan akal. "Pokoknya kalau Ayah tidak bersedia 

mengajarkannya, aku tidak mau berlatih lagi. Untuk 

apa berlatih ilmu-ilmu rendahan? Hanya buang-buang 

waktu saja!" 

Kakek berwajah bengis yang ternyata bekas datuk 

sesat ini mengerutkan alisnya. Kesal juga hatinya 

mendengar Karmila merendahkan ilmu-ilmu yang 

telah diajarkannya. 

"Kau keliru, Karmila. Ilmu yang kau pelajari selama


ini bukanlah ilmu rendahan. Kau tahu, selama aku 

malang melintang merambah rimba persilatan, jarang 

sekali aku mengeluarkan ilmu 'Totokan Penghancur 

Tulang'! Boleh dibilang hanya dengan menggunakan 

ilmu-ilmu yang kuturunkan padamu selama ini, lawan 

yang bagaimanapun berhasil kukalahkan." 

"Tapi, aku tetap ingin mempelajari ilmu itu, Ayah," 

rengek Karmila merajuk. Gadis berpakaian jingga ini 

tahu kalau ayahnya ini sangat menyayanginya. 

Hampir tidak ada satu pun permintaan yang ditolak 

ayahnya apabila dia telah merajuk seperti itu. Maka 

kali ini pun Karmila kembali mempergunakan 'senjata 

pamungkasnya' untuk meruntuhkan kekerasan hati 

ayahnya. 

Beberapa saat lamanya kakek berpakaian kulit 

ular itu tercenung. Kemudian menarik napas dalam-

dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. 

"Baiklah, Karmila," sahut kakek berwajah bengis 

itu mengalah. Jelas sekali terlihat kalau sebenarnya 

kakek itu terpaksa menuruti permintaan putrinya. 

Seketika itu juga wajah Karmila berubah cerah. 

"Terima kasih, Ayah. Sedari tadi, aku pun sudah 

yakin kalau Ayah akan mengabulkan permintaanku," 

ucap Karmila seraya tersenyum manja. 

Kakek berpakaian kulit ular itu mengurut dada. 

Lega sudah hatinya begitu melihat Karmila sudah 

tersenyum cerah kembali. Dan seketika itu juga rasa 

terpaksa di hatinya menguap entah ke mana. Hal itu 

memang kerap terjadi setiap kali melihat 

kegembiraan putrinya. 

"Kapan Ayah akan mengajarkan ilmu itu?" 

"Kapan saja kau siap, Ayah pun siap mengajarmu," 

sahut kakek berwajah bengis itu. Kini suaranya 

terdengar mantap.


"Bagaimana kalau sekarang saja, Ayah?" 

"Kau sudah benar-benar siap?" 

"Siap, Ayah," jawab Karmila mantap. 

Lalu kakek berpakaian kulit ular itu pun mulai 

memberi petunjuk dasar-dasar ilmu 'Totokan 

Penghancur Tulang' pada Karmila. Sementara gadis 

berpakaian jingga itu menyimaknya penuh seksama. 

Cukup lama juga kakek itu memberi petunjuk 

dasar-dasar ilmu 'Totokan Penghancur Tulang' pada 

Karmila. Tapi beberapa kali sang Ayah terpaksa harus 

mengulang keterangannya kembali bila ada yang 

kurang dipahami putrinya. 

Baru setelah Karmila mengerti semuanya, sang 

Ayah meninggalkannya. Dia kembali meneruskan 

semadinya. Sementara Karmila masih tekun mem-

pelajari ilmu yang baru didapatnya. 

Sejak hari itu, Karmila sibuk melatih ilmu 'Totokan 

Penghancur Tulang'. Gadis berpakaian jingga itu 

ternyata sangat tekun melatihnya. Terkadang sampai 

lupa makan dan istirahat. 

*** 

Hari masih terlalu pagi. Bahkan kabut pun masih 

belum terusir seluruhnya. Di sebuah tanah lapang 

terlihat Karmila tengah sibuk melatih ilmu yang baru 

diajarkan ayahnya. 

"Hih...!" 

Dengan jari-jari telunjuk mengacung ke depan 

sementara jari-jari tangan lainnya terkepal, Karmila 

melakukan totokan bertubi-tubi ke depan. Terdengar 

angin bercicitan setiap kali tangan gadis berpakaian 

jingga itu bergerak menyerang. 

Entah sudah berapa lama gadis berpakaian jingga


ini berlatih. Yang jelas kabut telah sirna. Dan 

matahari telah bersinar cukup terik ketika tubuh 

gadis itu melompat dan bergulingan ke depan. Lalu 

bergegas bangkit seraya melancarkan totokan 

beruntun ke arah sebatang pohon besar yang kokoh 

di hadapannya. 

Crab! Crab...! 

Luar biasa! Jari-jari telunjuk Karmila yang lembut, 

amblas ke dalam batang pohon ketika totokan-

totokan gadis itu menghunjamnya. 

Karmila tersenyum lebar. Hatinya cukup gembira 

melihat kemajuan latihannya. Meskipun jika 

dibandingkan dengan kesaktian ayahnya, hasil yang 

dicapainya ini belumlah seberapa, tapi gadis ini 

sudah cukup puas. 

Plok, plok, plok...! 

Suara tepuk tangan keras membuat Karmila 

membalikkan tubuhnya. Dengan perasaan terkejut, 

mata gadis berpakaian jingga itu berkeliling mencari 

asal suara tepukan. Masalahnya, di tempat ini tidak 

ada orang lain selain dia dan ayahnya. Lagi pula 

ayahnya tak pernah bertepuk tangan jika memujinya. 

Jadi, pasti orang lain yang telah bertepuk tangan! 

Keterkejutan Karmila semakin bertambah ketika 

melihat tiga sosok berpakaian kuning, berdiri tidak 

jauh dari tempatnya berlatih. Rupanya saking asyik-

nya berlatih, dia tidak menyadari kalau ada orang 

yang menonton latihannya. 

"Luar biasa! Sungguh tak kusangka kalau di 

tempat seperti ini ada bidadari tengah menari-nari," 

ucap salah seorang dari ketiga tamu tak diundang itu. 

Seorang pemuda yang cukup tampan dan berbadan 

lebar. Usianya sekitar tiga puluhan. Sinar mata 

pemuda itu merayapi sekujur tubuh Karmila dengan


liar. 

"Hm...," seorang yang bertubuh agak pendek, ber-

tubuh tegap dan berkumis jarang bergumam tidak 

jelas. 

"Ataukah aku salah sangka, Adi Rupangki?!" tanya 

pemuda berbadan lebar itu, sambil menoleh ke arah 

pemuda bertubuh tinggi kurus. 

"Maksudmu bagaimana, Kang Waji?" Rupangki 

balas bertanya. 

"Heh...?!" pemuda berbadan lebar yang ternyata 

bernama Waji, berseru keheranan. "Kau belum 

mengerti maksudku, Adi Rupangki?" 

"Belum, Kang," sahut pemuda tinggi kurus bermata 

sipit itu seraya menggelengkan kepalanya. 

"Bagaimana denganmu, Adi Jalasa? Apakah aku 

tidak salah kalau menyebut gadis di depan kita 

adalah bidadari?" tanya Waji lagi seraya menoleh 

pada pemuda bertubuh pendek, tegap, dan berkumis 

tipis. 

Pemuda bertubuh pendek, tegap, dan berkumis 

tipis yang ternyata bernama Jalasa itu hanya meng-

angkat bahu. 

"Aku juga tidak mengerti maksudmu, Kang," jawab 

Jalasa. 

"Aneh! Butakah mata kalian? Aku yakin kalau gadis 

di hadapan kita ini bukan bidadari. Tapi iblis betina!" 

jawab Waji akhirnya. Tajam dan kasar suaranya. 

"Apa alasanmu, Kang?" tanya Jalasa penasaran. 

"Kau tidak mengenal jurus-jurus yang dimainkan-

nya?" tukas Waji. "Apakah kau juga lupa, Adi 

Rupangki? Coba kau perhatikan baik-baik, bukankah 

yang dimainkannya tadi adalah salah satu jurus dari 

ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'!" 

"Ahhh...!" Jalasa dan Rupangki berseru berbareng.


Kekagetan terlihat jelas pada wajah keduanya. 

"Dan kalian tahu siapa pemiliknya?" sambung 

pemuda berbadan lebar itu lagi. 

"Kalapati...," desis Jalasa dan Rupangki berbareng. 

"Ya," Waji menganggukkan kepalanya. "Datuk 

sesat yang menggiriskan itu." 

Jalasa dan Rupangki saling berpandangan 

sejenak. 

"Kebetulan sekali!" ucap Waji tiba-tiba seraya 

menatap wajah Jalasa dan Rupangki. Sementara yang 

ditatap hanya dapat memandang wajah pemuda 

berbadan lebar itu. Wajah kedua orang itu terlihat 

bingung. 

"Apanya yang kebetulan, Kang?" tanya Jalasa. 

"Bukankah kedatangan kita kemari adalah untuk 

mencari datuk sesat itu?" tanya Waji seraya menatap 

pemuda bertubuh pendek tegap itu. 

Jalasa mengangguk. Tanpa sadar Rupangki meng-

anggukkan kepalanya juga. Padahal pemuda tinggi 

kurus ini sama sekali tidak ditanya. 

"Kita culik saja gadis ini! Aku yakin gadis ini ada 

hubungannya dengan Kalapati keparat itu!" usul Waji. 

Sepasang alis Jalasa berkerut. 

"Ingat, Kang. Guru telah berpesan agar kita tidak 

lagi memperpanjang urusan dengan Kalapati. Datuk 

itu telah menyadari kekeliruannya. Lagi pula, dialah 

yang menyelamatkan guru kita dari tangan Setan 

Kepala Besi," sahut pemuda bertubuh pendek kekar 

itu mengingatkan. 

Rupangki mengangguk-anggukkan kepalanya per-

tanda menyetujui ucapan Jalasa. 

"Bodoh kalian!" sergah Waji keras. "Apakah kalian 

juga berpikiran seperti guru? Menganggap selesai 

semua urusan itu?!" tanya Waji bernada penasaran.


Jalasa dan Rupangki menganggukkan kepalanya. 

Tentu saja hal ini membuat kegeraman pemuda 

berbadan lebar itu semakin menjadi-jadi. 

"Lalu, untuk apa kalian mengikutiku kalau bukan 

untuk membalas dendam pada iblis itu?!" sentak Waji 

gusar. 

"Kami ikut karena tidak tega melepasmu sendiri, 

Kang," Rupangki yang menyahuti. 

"Nah! Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita 

tangkap gadis itu. Dan kita paksa Kalapati 

menyerah!" ucap Waji bernada memerintah. 

Tapi sebelum ketiga orang ini bergerak, Karmila 

telah lebih dulu melompat menghadang. Gadis ini 

tidak dapat menahan kemarahannya begitu men-

dengar ucapan-ucapan Waji. 

"Keparat! Mulut kalian terlalu kotor. Jangan 

salahkan kalau aku terpaksa merobek mulut kalian!" 

bentak Karmila bernada kemarahan. 

"Hm...!" Waji mendengus. "Kaulah yang akan kami 

tangkap sebagai balasan atas kekejian ayahmu dulu, 

Perempuan Liar. Kau akan kami telanjangi dan kami 

perkosa bergantian sampai mati!" ucap pemuda 

berbadan lebar itu keras. 

Terdengar pekik melengking penuh keterkejutan 

dari mulut Karmila. Seketika itu juga sepasang bola 

mata gadis berpakaian jingga ini berkilat-kilat penuh 

kemarahan. 

Bukan hanya Karmila saja yang terkejut men-

dengar ucapan Waji. Jalasa dan Rupangki pun ter-

kejut mendengarnya. Serentak keduanya menatap 

wajah pemuda berbadan lebar itu, dengan sorot mata 

penuh pertanyaan. 

"Kang...!" seru Jalasa dan Rupangki. Ada teguran 

keras dalam suaranya. Wajarlah kalau kedua pemuda


itu terkejut. Mereka adalah murid-murid perguruan 

beraliran putih yang kelak diharapkan akan menjadi 

pendekar-pendekar pembela keadilan. Lagi pula, 

perbuatan memperkosa adalah pekerjaan yang hanya 

dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah 

saja. 

"Hiyaaa...!" 

Karmila tidak kuat lagi menahan kemarahannya 

mendengar penghinaan itu. Seketika itu juga, gadis 

berpakaian jingga ini menerjang Waji. Jari-jari tangan-

nya yang menegang kaku disodokkan bertubi-tubi ke 

arah dada dan ulu hati pemuda berbadan lebar itu. 

Terdengar suara bercicitan nyaring mengiringi 

tibanya sodokan tangan Karmila. Kaget juga Waji 

melihat keampuhan jurus-jurus lawan. Pemuda ber-

badan lebar ini sama sekali tak menyangka kalau 

gadis semuda ini sudah memiliki tenaga dalam 

seperti itu. Biasanya hanya tokoh-tokoh tua saja yang 

mampu menimbulkan angin bercicitan dalam setiap 

serangannya. 

Berpikir demikian, maka Waji tidak berani ber-

tindak gegabah. Cepat-cepat kakinya digeser ke 

kanan sehingga serangan Karmila lewat di samping 

kiri pinggangnya. Lalu sambil melangkahkan kaki 

kanannya ke depan, cakar tangan kanannya 

menyambar deras ke perut gadis berpakaian jingga 

itu. 

Karmila terperanjat. Buru-buru gadis ini men-

doyongkan tubuhnya ke belakang seraya menarik 

pulang kedua tangannya. Dalam sekejap, kedua 

tangan itu sudah berkelebat menangkis serangan 

yang mengancam perutnya. 

Plak, plak...! 

Terdengar benturan keras begitu dua tangan yang


dialiri tenaga dalam itu beradu. Akibatnya Waji 

terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang dengan 

sekujur tangan terasa patah-patah. Dadanya pun 

dirasakan sesak bukan main. Sementara Karmila 

hanya terhuyung satu langkah ke belakang. 

Waji menggeram murka. Rasa penasaran yang 

amat sangat melandanya begitu menyadari kalau 

dalam adu tenaga dalam tadi, gadis berpakaian 

jingga itu hampir mempecundanginya. Bagaimana 

Waji tidak penasaran? Dia adalah salah seorang dari 

tiga murid kepala sebuah perguruan silat besar saat 

ini. Jalasa dan Rupangki adalah dua orang adik 

seperguruannya. Kini menghadapi seorang wanita 

muda saja, dia telah dibuat terhuyung-huyung dalam 

segebrakan. Hal itulah yang membuatnya menjadi 

kalap. 

"Haaat..!" 

Sambil berteriak nyaring, Waji kembali menerjang 

Karmila. Gadis berpakaian jingga yang memang 

sudah murka sejak tadi itu, langsung saja 

menyambutnya. Sesaat kemudian, kedua orang itu 

pun sudah terlibat dalam pertarungan sengit 

Baru beberapa jurus bertarung, Waji sudah berkali-

kali mengeluarkan seruan kaget. Kepandaian gadis 

berpakaian jingga ini memang luar biasa. Tidak hanya 

dalam adu tenaga dalam saja Karmila lebih unggul, 

dalam hal kelincahan pun, gadis berpakaian jingga itu 

berada di atasnya. 

Waji menggertakkan gigi. Tapi meskipun pemuda 

berbadan lebar itu telah mengeluarkan seluruh 

kemampuannya, tetap saja tidak merubah keadaan. 

Karmila memang lebih unggul segala-galanya. Per-

lahan namun pasti pemuda berbadan lebar ini mulai 

terdesak.


Jalasa dan Rupangki menonton jalannya per-

tarungan dengan penuh kekhawatiran. Meskipun 

kepandaian mereka masih berada di bawah Waji, tapi 

keduanya dapat melihat kalau kakak seperguruan 

mereka itu terdesak. Karuan saja hal ini membuat 

kedua orang ini bingung. Mereka dihadapkan pada 

dua pilihan yang sulit. Membantu Waji berarti 

melanggar pesan guru mereka, sedangkan bila tidak 

membantu, kakak seperguruan mereka akan celaka. 

Sementara itu keadaan Waji semakin meng-

khawatirkan. Pertarungan sudah berlangsung hampir 

dua puluh jurus. Dan kini pemuda berbadan lebar itu 

tidak mampu lagi balas menyerang. Yang dapat 

dilakukannya hanya mengelak terus. Tapi sampai 

kapan Waji mampu bertahan? 

Mendadak pemuda berbadan lebar ini men-

jatuhkan diri dan terus bergulingan di tanah. Karmila 

yang emosinya sudah memuncak, tidak mau mem-

biarkan lawannya lolos. Tanpa membuang-buang 

waktu lagi segera dikejarnya tubuh yang tengah 

bergulingan itu. 

Karmila sama sekali tidak menyangka kalau 

semua itu sudah diperhitungkan masak-masak oleh 

Waji. Girang hati Waji begitu melihat gadis berpakaian 

jingga itu mengejarnya. Tapi Waji tidak mau bertindak 

gegabah. Pemuda berbadan lebar ini tidak ingin 

rencananya gagal. Maka ditunggunya hingga lawan 

mendekat 

Dan begitu Karmila telah mendekat, mendadak 

tangan Waji mencengkeram tanah, dan secepat itu 

pula dilemparkan ke wajah Karmila. 

Wuttt..! 

Pyarrr...! 

Karmila gugup bukan kepalang. Gadis berpakaian


jingga ini sama sekali tidak menyangka kalau lawan 

akan berbuat securang itu. Sedapat-dapatnya 

sambaran abu itu ditangkis dengan tangannya. Dan 

itulah yang dikehendaki Waji. Begitu tertangkis, abu 

pun membuyar seketika. Sebagian dari abu itu 

menyebar ke wajah Karmila. Kontan matanya terasa 

perih. Karuan saja hal ini membuat Karmila 

gelagapan. Rupanya ada serpihan abu yang 

memasuki matanya. 

Di saat Karmila sedang gelagapan, Waji mem-

bokong gadis berpakaian jingga itu. Kaki kanannya 

melakukan tendangan lurus ke arah perut. 

Wuttt! 

Bukkk! 

"Hugh...!" 

Tubuh Karmila seketika terlipat ke depan. Ada 

suara keluhan tertahan keluar dari mulut mungil yang 

bentuknya bagus itu. Tendangan Waji telak dan keras 

sekali mengenai perut Karmila. 

Belum lagi gadis berpakaian jingga itu berbuat 

sesuatu, tangan lawan kembali menyambar. 

Menyampok ke arah pelipisnya. 

Walaupun sepasang matanya tidak mampu 

melihat, Karmila dapat mengetahui sambaran itu dari 

desir angin yang menyambar sebelum serangan itu 

tiba. Karmila mengetahui adanya serangan maut yang 

mengancam nyawanya. Cepat-cepat tangan kirinya 

diangkat, melindungi pelipis. 

Plak! 

Karmila terhuyung-huyung ke samping. Kuda-kuda 

gadis ini memang berada dalam keadaan yang tidak 

menguntungkan. Sehingga tenaga dalamnya tidak 

bisa dikerahkan seluruhnya untuk menangkis 

serangan itu. Walaupun begitu, setidak-tidaknya


tangkisan Karmila sudah cukup membendung 

sambaran lawan. 

Kesempatan yang sedikit itu dipergunakan sebaik-

baiknya oleh Karmila. Sambil tetap memejamkan 

kedua matanya, gadis itu melenting ke belakang. Lalu 

bersalto beberapa kali di udara. 

"Hup...!" 

Meskipun agak terhuyung, Karmila berhasil men-

daratkan kedua kakinya di tanah. Dan begitu men-

darat, gadis ini berusaha keras membuka kelopak 

matanya. 

Waji geram bukan main melihat lawan berhasil 

meloloskan diri dari cecarannya. Kemarahan pemuda 

berbadan lebar ini memang sudah mencapai puncak-

nya. Maka.... 

Srattt..! 

Seketika seberkas sinar terang terpancar, begitu 

Waji menghunus pedangnya. Tapi berbeda dengan 

pedang umumnya, batang pedang Waji tidak kaku, 

melainkan lentur dan lemas. 

Secepat senjatanya keluar dari sarungnya, secepat 

itu pula tubuhnya kembali menerjang. Pedang 

lenturnya cepat dibabatkan ke leher gadis berpakaian 

jingga itu. 

Wunggg...! 

Suara mengaung nyaring mengiringi tibanya 

sabetan pedang itu. Sehingga meskipun belum 

mampu membuka matanya, Karmila dapat merasa-

kan adanya serangan maut yang mengancam ke 

arahnya. Tapi gadis berpakaian jingga ini tidak dapat 

menduga arah serangan itu. Walaupun telah 

mengerahkan seluruh kemampuan pendengarannya, 

tetap saja dia tidak mampu mengetahui arah yang 

dituju. Suara mendengung yang timbul dari sambaran


senjata lawan, menyulitkannya untuk mengetahui 

arah sasaran yang dituju. 

Karmila sama sekali tidak menyadari kalau hal ini 

memang disengaja oleh Waji. Pemuda berbadan lebar 

ini tahu kalau lawan kini hanya mengandalkan 

pendengaran sebagai pengganti mata. Oleh karena 

itu, sengaja dimainkannya jurus pedang yang 

memang khusus dimainkan untuk menghadapi orang 

yang hanya mengandalkan pendengaran. Suara 

mengaung yang ditimbulkan gerakan pedangnya 

memang sengaja untuk mengacaukan pendengaran 

lawan. 

Wajah Karmila pucat seketika. Gadis berpakaian 

jingga ini segera tersadar kalau dirinya berada dalam 

cengkeraman maut. Tapi putri tunggal Kalapati ini 

sudah tidak tahu harus berbuat apa untuk 

menyelamatkan selembar nyawanya. 

Di saat kritis bagi keselamatan Karmila, melesat 

sesosok bayangan kekuningan. Bayangan itu 

langsung memotong laju tubuh Waji yang tengah 

melancarkan serangan maut. 

Takkk! 

"Akh...!" 

Waji memekik tertahan. Sekujur tangannya terasa 

lumpuh seketika. Tanpa dapat ditahannya lagi, 

pedangnya pun terlepas dari genggaman dan 

terlempar jauh. Memang, Waji tadi sempat melihat 

sekelebatan bayangan kekuningan yang memapak 

sabetan pedangnya. Tapi karena posisi yang sedang 

berada di udara, pemuda berbadan lebar ini tidak 

mampu berbuat apa-apa, selain meneruskan 

serangan itu. 

"Hup...!" 

Dengan agak terhuyung, Waji menjejakkan kakinya


di tanah. Sepasang matanya menatap lurus ke arah 

sosok yang telah menangkis serangannya. Pada saat 

yang bersamaan, sosok penolong Karmila juga telah 

hinggap di tanah. 

***


Sekitar tujuh tombak di hadapan Waji, tampak 

seorang kakek bertubuh tinggi kekar. Laki-laki tua 

berbaju kulit ular itu berdiri membelakangi Karmila. 

Sepasang matanya mencorong tajam ke arah Waji. 

Sepasang mata yang tajam itu menatap pemuda 

berbadan lebar mulai dari kaki hingga ke ujung 

rambut. Kemudian beralih ke arah Jalasa dan 

Rupangki. Baru setelah itu perhatiannya dialihkan 

pada Karmila. 

"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya kakek ber-

pakaian kulit ular, sambil merayapi sekujur tubuh 

putrinya. Hanya dengan sekali lihat saja, kakek ini 

dapat mengetahui luka-luka yang diderita putrinya. 

Karmila menggeleng sambil menyunggingkan 

senyum lebar di bibirnya. 

"Tidak, Ayah," sahut gadis berpakaian jingga itu 

seraya menatap wajah ayahnya. Kini Karmila telah 

bisa membuka matanya, namun warna merah pada 

sepasang bola matanya itu masih tampak jelas. 

"Sukar kupercaya, kalau kau bisa dikalahkan, 

Karmila," desah kakek bertubuh tinggi kekar itu. Nada 

suaranya mengandung ketidakpercayaan yang besar. 

"Dia licik, Ayah," sergah Karmila membela diri. 

Kakek berwajah bengis ini tersenyum. 

"Dalam sebuah pertarungan, cara apa pun 

dihalalkan untuk mencapai kemenangan, Karmila. 

Apalagi tokoh-tokoh aliran hitam. Mereka tidak segan-

segan menggunakan cara-cara yang paling keji untuk 

memperoleh kemenangan. Lain kali kau harus lebih


waspada. Jangan umbar emosimu. Kau mengerti, 

Karmila?!" 

Karmila menganggukkan kepalanya. 

"Tapi, dia telah menghinaku dan menghina Ayah. 

Mulutnya kotor sekali, Ayah," ucap gadis berpakaian 

jingga ini memberitahu. 

"Istirahatlah. Biar Ayah urus orang-orang ini," ucap 

kakek berpakaian kulit ular itu. Ada tekanan pada 

nada suaranya. Tampaknya dia tidak menghendaki 

adanya bantahan. Karmila pun mengerti. Gadis 

berpakaian jingga ini terpaksa melangkah mundur. 

Meskipun begitu, rasa dongkolnya kepada Waji masih 

belum sima. Perutnya yang tadi terkena tendangan 

pemuda itu masih terasa mules. 

"Bukankah kau murid Perguruan Pedang Ular?" 

tanya kakek berpakaian kulit ular itu sambil 

melangkah maju beberapa tindak. 

"Kalau benar, kau mau apa, Kalapati!? Mau 

menghina lagi seperti yang kau lakukan pada guruku 

dulu?!" sahut Waji. Keras dan kasar suaranya. 

Seketika wajah Kalapati berubah. Sesaat 

sepasang matanya mencorong menakutkan. Tapi tak 

lama kemudian kembali redup seperti sediakala. 

"Mulutmu kotor sekali, Anak Muda. Apa sebenar-

nya keinginanmu?" kakek berwajah bengis ini masih 

mencoba bersabar. 

"Tidak perlu berbasa-basi, Kalapati! Aku datang 

untuk membalas dendam atas penghinaanmu ter-

hadap guru dan perguruanku!" tandas Waji keras. 

Terdengar suara menggeram dari kerongkongan 

Kalapati. Kakek berbaju kulit ular itu memang marah 

bukan main. Kata-kata yang keluar dari mulut Wajilah 

yang menjadi penyebab kemarahannya. Kalau saja 

tidak teringat sumpahnya untuk meninggalkan segala


kericuhan dunia persilatan, sudah sejak tadi Kalapati 

menurunkan tangan maut kepada pemuda ini. Kini 

terpaksa ditahan semua kemarahannya. 

Waji yang tengah diamuk dendam itu segera 

memungut pedangnya yang tergeletak di tanah. Lalu 

sambil mengeluarkan suara melengking, pemuda 

berbadan lebar ini melompat menerjang. Pedangnya 

diputar-putar di atas kepala, sebelum ditusukkan 

cepat mengarah ke leher Kalapati. Suara mengaung 

keras mengiringi tusukan pedang itu. 

"Anak tidak tahu diri!" dengus kakek berbaju kulit 

ular. Dengan gerak seadanya, tangannya diulurkan 

menangkap pedang yang menuju lehernya. Menilik 

dari gerakannya, sepertinya kakek ini sama sekali 

tidak mengerahkan tenaga dalam. 

Tappp! 

Luar biasa! Enak saja Kalapati mencengkeram 

mata pedang yang mengancam lehernya. Sepertinya 

yang dicengkeram oleh kakek itu bukan sebuah 

pedang yang bermata tajam. 

"Hm...!" 

Kembali Kalapati mendengus keras. Tangan yang 

mencengkeram itu bergerak meremas. Luar biasa! 

Terdengar suara keras berkeratakan ketika pedang 

itu hancur berkeping-keping. 

Pucat wajah Waji melihat kejadian ini. Tapi tidak 

berarti pemuda berbadan lebar ini mundur. Dengan 

pedang yang hanya bermata sepotong itu, tubuhnya 

kembali menerjang kakek berbaju kulit ular itu. 

Pedang yang matanya tinggal separuh itu dibabatkan 

ke leher Kalapati. 

Wuttt..! 

Kalapati hanya tersenyum sinis. Kakek berbaju 

kulit ular ini tidak melakukan gerakan apa pun. Dia


hanya berdiri mematung. 

Takkk...! 

"Akh...!" 

Waji memekik tertahan. Pedang di tangannya 

terpental balik! Bahkan sekujur tangannya dirasakan 

lumpuh ketika menghantam leher kakek berwajah 

bengis itu dengan telak dan keras. 

Belum lagi pemuda berbadan lebar ini berbuat 

sesuatu, tahu-tahu tangan kanan Kalapati sudah 

berkelebat ke perut Waji. 

Plak! 

"Hugh...!" 

Kelihatannya memang perlahan, tapi akibatnya 

luar biasa. Tubuh pemuda berbadan lebar itu 

terjengkang bagai diseruduk kerbau. Perutnya 

dirasakan mual dan mules bukan kepalang. Cairan 

merah kental meleleh dari sudut bibirnya. 

Patut dipuji kekerasan hati Waji. Sambil mendekap 

perutnya, pemuda ini kembali melangkah maju. 

Dihampirinya kakek berbaju kulit ular itu. Sementara 

itu, Jalasa dan Rupangki menatap ke arah dua orang 

yang tengah bertarung itu dengan perasaan tegang. 

Jari-jari tangan mereka sudah mencengkeram erat-

erat hulu pedang. Bersiap-siap membantu kakak 

seperguruan mereka. 

"Kalau tidak mengingat kau murid Gambala, dan 

sumpahku untuk tak lagi ikut campur dalam 

keributan dunia persilatan, sudah sejak tadi nyawamu 

kuhabisi," desis Kalapati bernada peringatan. 

Tapi pemuda berbadan lebar itu sama sekali tidak 

mempedulikan peringatan Kalapati. Terus saja 

dilangkahkan kakinya mendekati Kalapati dengan 

pedang patah terhunus. 

Melihat kenekatan Waji, kesabaran Kalapati pun


pupus. Segera tangan kanannya dikibaskan. 

Kelihatannya perlahan saja, tapi akibatnya luar biasa! 

Tubuh pemuda berbadan lebar itu terlempar jauh ke 

belakang, dan jatuh bergulingan di tanah. 

"Kang Waji...!" teriak Jalasa dan Rupangki 

berbareng seraya melesat menghampiri tubuh kakak 

seperguruannya. 

Waji merayap bangun. Dadanya terasa sesak 

bukan main. Tapi pemuda ini sama sekali tidak 

mengalami luka dalam. Memang, meskipun berada 

dalam kemarahan yang menggelegak, Kalapati masih 

ingat akan sumpahnya. Maka dia pun hanya 

mengerahkan tenaga untuk melontarkan tubuh 

lawannya saja. 

"Bawa dia pergi dari sini...!" seru Kalapati keras 

pada Jalasa dan Rupangki yang tengah berjongkok di 

depan Waji. 

Jalasa dan Rupangki segera membantu kakak 

seperguruannya berdiri. Kemudian berjalan 

meninggalkan tempat itu. 

"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya kakek ber-

baju kulit ular itu. Jalasa dan Rupangki terpaksa 

menghentikan langkahnya. 

"Terus jalan, Jalasa! Rupangki...!" seru Waji keras 

bernada perintah. Sepasang matanya menatap penuh 

dendam pada Kalapati. Tapi kedua adik seperguruan-

nya itu ternyata tidak menghiraukan ucapannya. 

Terbukti Jalasa dan Rupangki menghentikan langkah-

nya dan menoleh ke arah kakek itu. 

"Silakan, Kalapati," sahut Jalasa pelan. Sopan dan 

lembut suaranya. Pemuda bertubuh pendek kekar ini 

memang merasa simpati, begitu melihat sepak 

terjang kakek itu. Sementara sikap Waji telah 

membuatnya muak. Sikap dan tindak tanduk kakak

seperguruannya benar-benar membuatnya malu. 

Apalagi ucapan-ucapannya tadi. 

"Apa tujuan kalian kemari?" 

"Kakang Waji mengajak kami mencarimu, 

Kalapati," jawab Jalasa terus terang. 

"Untuk membalas dendam peristiwa lama?" desak 

kakek berbaju kulit ular itu lagi. 

Jalasa mengangguk perlahan. 

"Apakah Ki Gambala mengetahui kepergian 

kalian?" 

"Tidak, Kalapati," sahut pemuda bertubuh pendek 

kekar itu sambil menggelengkan kepalanya. 

"Sudah kuduga," desah Kalapati pelan, seraya 

mengangguk-anggukkan kepalanya. "O ya, sampaikan 

salamku pada guru kalian." 

"Baik, Kalapati," sambut Jalasa seraya mem-

balikkan tubuh dan berjalan meninggalkan tempat 

itu. 

Pemuda pendek kekar itu dan Rupangki bersama-

sama memapah tubuh Waji. 

Kalapati memandangi punggung tiga orang itu 

sampai lenyap di sebuah tikungan. 

"Hhh...! Mudah-mudahan saja masalah ini tidak 

berekor panjang," desah kakek berbaju kulit ular itu 

penuh harap. 

Setelah berkata demikian, kakinya dilangkahkan 

menghampiri Karmila. 

"Masuk dulu, Karmila," ucap kakek berbaju kulit 

ular itu. "Akan kuperiksa luka-lukamu." 

Karmila segera mengikuti ayahnya yang telah lebih 

dulu berjalan. Perasaan tidak puas masih ber-

kecamuk di hatinya. Mengapa pemuda bernama Waji 

itu tidak dibunuh saja? Mengapa harus dilepaskan? 

Berbagai macam pertanyaan menggayuti benaknya.


*** 

Hari sudah menjelang sore. Sang surya pun 

perlahan mulai tenggelam ke Barat. Di bawah sorotan 

sinar matahari yang mulai temaram itu tampak 

seorang pemuda berbadan lebar melangkah ter-

huyung-huyung. Dari sudut mulutnya meleleh darah 

segar. Pemuda ini menderita luka dalam! 

Pemuda itu terus saja berlari walaupun dengan 

terhuyung-huyung. Langkahnya semakin dipercepat, 

begitu sepasang matanya melihat bangunan besar di 

hadapannya. Sebuah bangunan berhalaman luas 

yang dikelilingi pagar tinggi dari kayu bulat. Rupanya 

dia tengah menuju bangunan besar itu. 

Semakin lama jarak antara pemuda itu dengan 

bangunan besar, semakin dekat. Tapi langkah 

kakinya semakin terseok-seok. 

Ketika jaraknya dengan pintu gerbang bangunan 

besar itu tinggal sepuluh tombak lagi, mendadak 

pemuda berbadan lebar ini ambruk. Dua orang 

penjaga berseragam kuning yang sejak tadi menatap 

penuh perharJan, bergegas menghampiri. Mereka 

kenal betul dengan sosok tubuh yang tengah berlari 

menuju ke arah bangunan. Sosok tubuh dari kakak 

seperguruan mereka, Waji. 

Memang, bangunan besar berhalaman luas dan 

berpagar kayu bulat itu adalah markas Perguruan 

Pedang Ular. 

Sesaat kemudian, kedua penjaga pintu gerbang itu 

telah berada dekat tubuh orang berpakaian kuning 

yang mereka duga Waji. 

"Kang Waji...! Apa yang terjadi?!" seru salah 

seorang di antara penjaga, begitu mengenali kalau 

sosok yang tergolek itu benar Waji. Nada suaranya


menyiratkan keterkejutan mendalam. Murid Per-

guruan Pedang Ular ini benar-benar terkejut melihat 

keadaan pemuda berbadan lebar itu. 

"Bawa aku menghadap guru... aku ingin melapor-

kan sesuatu...," ucap Waji tanpa mempedulikan per-

tanyaan adik seperguruannya. 

Tanpa banyak bertanya lagi, dua orang murid 

rendahan Perguruan Pedang Ular itu segera 

membantu Waji berdiri. Dan kemudian memapahnya 

menuju ke dalam perguruan. 

Suasana di dalam perguruan kontan gempar 

ketika melihat dua orang penjaga pintu gerbang 

masuk sambil memapah tubuh Waji. Salah seorang 

murid kepala Perguruan Pedang Ular. 

Sepanjang perjalanan menuju bangunan utama 

perguruan, semua murid memperhatikan dengan 

kening berkerut. Dalam hati mereka bergayut 

pertanyaan. Apa yang terjadi? Mengapa Waji sampai 

terluka? 

Sementara itu kedua murid penjaga pintu gerbang, 

terus berjalan sambil memapah tubuh Waji. Tak 

dipedulikan sama sekali pandang mata penuh 

keheranan rekan-rekan mereka. 

Tubuh Waji baru berhenti dipapah ketika telah 

berada di ruang utama perguruan. Ketiganya segera 

menjura hormat pada dua orang kakek yang tengah 

duduk di kursi berukir. 

"Apa yang terjadi, Waji?" tanya salah seorang 

kakek yang bermata sayu. Raut wajahnya 

memancarkan kesabaran. Dialah Gambala, Ketua 

Perguruan Pedang Ular. 

"Kalapati, Guru," jawab pemuda berbadan lebar itu 

sambil meringis. 

"Kalapati?!" kakek lain yang berhidung besar mirip


hidung kerbau berseru kaget. "Datuk sesat itu?" 

"Benar, Paman Guru," sahut Waji seraya meng-

anggukkan kepalanya. 

"Keparat!" geram kakek berhidung besar itu keras. 

Sepasang matanya memancarkan kemarahan yang 

berapi-api. 

"Sabar dulu, Adi Gumarang," selak Gambala halus 

seraya menatap tajam wajak kakek berhidung besar. 

Suara Gambala mengandung tekanan yang tidak 

ingin dibantah. Gumarang terpaksa menutup mulut-

nya. 

"Ada apa dengan dia?" tanya Gambala. Nada 

suaranya masih terdengar tenang. Tidak seperti 

Gumarang, yang belum apa-apa sudah kalap. 

"Kalapatilah yang telah melakukan semua ini, 

Guru!" ucap Waji setengah berteriak. 

"Apa?!" sentak Gambala terkejut bukan main. 

Bahkan kakek bermata sayu ini sampai terjingkat dari 

kursi yang didudukinya. "Sadarkah kau akan ucapan-

mu, Waji?" 

Waji menganggukkan kepalanya. 

"Aku sadar, Guru," sahut Waji singkat. 

"Bagaimana semua ini bisa terjadi, Waji? Coba 

ceritakan!" desak Gambala penasaran. 

Pemuda berbadan lebar ini tercenung sejenak. 

Baru beberapa saat kemudian mulai bercerita. 

"Pagi tadi, aku, Adi Jalasa dan Adi Rupangki 

berjalan ke hutan. Semula kami berniat berburu 

binatang. Di tengah hutan, kami bertemu dengan 

seorang wanita cantik berpakaian jingga. Tapi 

ternyata gadis itu menyimpan maksud kotor. Kami 

tidak meladeninya. Akibatnya dia marah dan 

menyerang kami. Melalui suatu pertarungan sengit, 

kami berhasil mengalahkan gadis itu. Sungguh di luar


dugaan, kalau gadis itu ternyata putri Kalapati. Tak 

lama kemudian, datuk itu muncul dan langsung 

marah-marah melihat putrinya kami kalahkan. Susah 

payah aku memberi penjelasan, tapi tetap saja datuk 

sesat itu tidak mau mengerti," ucap Waji bernada 

keluhan. 

"Hm.... Lalu?" selak Gumarang cepat 

"Akhirnya kami bertarung," sambung pemuda 

berbadan lebar itu. "Tapi ternyata iblis itu terlalu lihai, 

Guru. Tidak sampai sepuluh jurus, Adi Jalasa dan Adi 

Rupangki tewas. Sementara aku diampuni Kalapati 

agar mengabarkan berita ini pada Guru." 

"Keparat..!" Gumarang berteriak memaki. 

Wajahnya merah padam, menahan amarah yang 

bergelora. 

Berlainan dengan Gumarang, Gambala masih 

terlihat tenang. Walaupun begitu kening kakek 

bermata sayu ini berkerut. Jelas ada sesuatu yang 

merisaukan hatinya. Sikap adik seperguruannya tidak 

digubrisnya sama sekali. 

"Aneh...," gumam Gambala. Sepasang mata kakek 

ini menerawang ke langit-langit ruangan. 

"Apanya yang aneh, Kang Gambala?" tanya 

Gumarang seraya menatap tajam wajah kakak 

seperguruannya. 

"Kalapati," sahut kakek bermata sayu ini setengah 

bergumam. 

"Apa maksudmu, Kang? Aku masih belum 

mengerti," desak Gumarang penasaran. 

"Apakah kau tidak ingat pada sumpahnya?" 

Gambala balik bertanya. Nadanya mengingatkan. 

"Sejak dulu aku sama sekali tidak percaya dengan 

sumpahnya!" tukas Gumarang tandas. 

"Hm...," Gambala hanya menggumam tidak jelas.



"Kau percaya dengan sumpahnya, Kang?" 

Gambala menganggukkan kepalanya. 

"Mengapa, Kang? Apa alasanmu mempercayai 

ucapannya?" desak kakek berhidung besar itu 

penasaran. 

"Entahlah...," sahut Ketua Perguruan Pedang Ular 

itu sambil mengangkat bahunya. "Tapi yang jelas, aku 

melihat kesungguhan dalam suara dan sinar 

matanya." 

"Aaah...! Kau terlalu mengada-ada, Kang!" sergah 

Gumarang. "Kau lihat sendiri kenyataannya? Dua 

orang murid kita dibantai! Dan bukan hanya itu saja, 

datuk itu sengaja membebaskan Waji, untuk 

mempermalukan kita. Kalapati tidak memandang 

sebelah mata pada kita, Kang. Ini penghinaan yang 

menyakitkan!" 

"Hhh...!" Gambala hanya menghela napas panjang 

sebagai jawabannya. Kelihatannya wajah kakek 

bermata sayu ini tenang saja. Padahal, di dalam 

hatinya mulai bergolak api kemarahan yang tersulut 

akibat ucapan Gumarang. 

"Kalau menurut pendapatku, sulit bagi seseorang 

untuk meninggalkan kebiasaannya. Mungkin benar 

kalau semula Kalapati bermaksud meninggalkan 

kebiasaannya. Tapi, sampai berapa lama dia mampu 

bertahan? Tapi setelah itu? Sudah pasti timbul 

keinginan untuk kembali mengerjakan kebiasaannya. 

Dan ini sudah pasti. Aku yakin, Kang!" sambung 

Gumarang berapi-api. 

Gambala tercenung mendengar penjelasan 

panjang lebar adik seperguruannya. Ketua Perguruan 

Pedang Ular ini mulai termakan ucapan Gumarang. 

Dengan sendirinya, keyakinannya kalau Kalapati telah 

meninggalkan dunianya, memudar.


"O ya, Guru. Masih ada satu hal yang kulupakan," 

ucap Waji lagi. 

"Apa itu, Waji?" tanya Gambala ingin tahu. 

Waji tidak segera menjawab, pemuda berbadan 

lebar itu malah termenung. Tentu saja hal ini 

membuat Gambala dan Gumarang agak bingung. 

"Ada apa denganmu, Waji?" tanya Gambala. Dahi 

kakek bermata sayu ini nampak berkernyit. 

"Hhh...!" pemuda berbadan lebar itu malah 

menghela napas dalam. 

"Katakanlah, Waji. Tidak perlu ragu-ragu," desak 

Gumarang pula. 

"Guru tidak marah kalau kukatakan hal yang 

sebenarnya?" tanya Waji ragu-ragu. 

"Mengapa harus marah?" sahut Gambala seraya 

tersenyum getir. "Katakanlah." 

"Kalapati mengungkit-ungkit pertolongannya dulu. 

Katanya tanpa pertolongannya, Guru dan juga 

Perguruan Pedang Ular sudah musnah sejak dulu!" 

Gumarang menggeram keras. Sementara Gambala 

hanya berdiri mematung. Tapi dari mulut Ketua 

Perguruan Pedang Ular ini terdengar suara gemeretak 

keras. Suatu bukti kalau kakek bermata sayu ini 

dilanda kemarahan yang amat sangat. 

"Benar dia berkata begitu?!" tanya Ketua 

Perguruan Pedang Ular ini menegaskan. 

"Benar, Guru," sahut Waji. 

"Ini tidak bisa dibiarkan, Kang," sahut Gumarang. 

"Maksudmu bagaimana, Adi?" tanya Gambala ingin 

tahu reaksi adik seperguruannya. 

"Kita harus membalas penghinaan ini, Kang!" 

tandas Gumarang tegas. 

"Jadi...?" 

"Kita harus menyerbu tempat kediamannya!" tukas


laki-laki berhidung besar itu. 

"Tapi siapa yang tahu kediamannya. Sepenge-

tahuanku dia tinggal di Lereng Gunung Palanjar. Tapi 

aku tidak tahu tempat pastinya." 

"Aku tahu tempatnya, Guru," sahut Waji cepat. 

"Kau tahu?!" tanya Gambala dengan dahi berkerut 

Waji menganggukkan kepalanya. 

"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Kang?" sergah 

Gumarang. "Kita serbu saja tempat itu!" 

"Baiklah. Kita ke sana besok pagi!" tandas 

Gambala memutuskan. 

***


Cicit suara burung menyambut munculnya matahari 

pagi. Angin pagi yang sejuk bertiup lembut. Seorang 

pemuda berpakaian ungu merentangkan kedua 

tangannya ke samping seraya menarik napas dalam-

dalam. Menghirup udara pagi yang segar sebanyak-

banyaknya. 

Pemuda berpakaian ungu itu berbuat begitu 

sambil terus melangkahkan kakinya. Sesekali, angin 

pagi yang bertiup agak keras membuat rambutnya 

yang berwama putih keperakan dan dibiarkan meriap, 

berkibaran. Tapi pemuda itu sama sekali tidak 

mempedulikannya. Terus saja dilangkahkan kakinya 

seraya merentangkan tangan lebar-lebar ke samping 

sambil menarik napas dalam-dalam. 

Mendadak pemuda berambut putih keperakan itu 

menghentikan gerakannya. Dahinya berkernyit, ketika 

sepasang matanya menangkap berkelebatnya 

beberapa sosok tubuh. Gerakan sosok-sosok itu rata-

rata gesit dan cepat. Hal inilah yang membuat 

pemuda itu tertarik mengamatinya. 

Pemuda berambut putih keperakan itu 

melayangkan pandangan ke arah sosok-sosok itu 

berkelebat. Seketika itu juga sepasang matanya 

tertumbuk pada sebuah gunung yang menjulang 

tinggi di kejauhan. 

Sesaat lamanya pemuda berambut putih 

keperakan itu bimbang. Antara mengikuti sosok-sosok 

bayangan itu atau membiarkannya saja. Tapi, sesaat 

kemudian pemuda ini mengambil keputusan untuk


mengikutinya. Perasaan ingin tahu yang besar, 

mendorongnya. 

Terpaksa pemuda berpakaian ungu itu mengerah-

kan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, begitu 

menyadari kalau sosok-sosok bayangan yang ber-

kelebat cepat menuju lereng gunung itu telah berada 

jauh di depannya. 

Ternyata pemuda berambut putih keperakan itu 

memiliki kepandaian tinggi. Hal itu terbukti ketika 

jarak antara dia dengan sosok-sosok bayangan tadi 

mampu diperpendeknya dalam waktu singkat. 

Semakin lama jarak di antara mereka semakin 

bertambah dekat. Dan seiring dengan semakin 

dekatnya jarak antara mereka, pemuda berambut 

putih keperakan itu pun semakin bersikap hati-hati. 

Dia tidak berani melakukan pengejaran secara 

terang-terangan. Tapi secara sembunyi-sembunyi. 

Tentu saja dengan semakin dekatnya jarak 

mereka, pemuda berambut putih keperakan itu dapat 

melihat jelas sosok-sosok bayangan yang dikejarnya. 

Mereka berjumlah lima orang. Tiga di antaranya 

berseragam kuning, sementara dua orang lainnya 

berseragam coklat. 

Kelima sosok itu terus berlari cepat mendaki 

Lereng Gunung Palanjar. Sesekali kaki mereka 

memijak batu-batuan yang menonjol untuk melompat 

dari satu tempat ke tempat lainnya. 

Berlari paling depan, yang sepertinya sebagai 

penunjuk jalan, adalah seorang pemuda berbadan 

lebar. Pada bagian dada sebelah kiri pakaiannya, 

tersulam gambar seekor ular melilit sebatang pedang 

terhunus. Pemuda ini adalah Waji. Sementara dua 

orang yang berlari di belakangnya adalah Ketua dan 

Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular.


Sementara di belakang kedua pimpinan Perguruan 

Pedang Ular, berlari dua orang kakek berpakaian 

coklat. Menilik sikap dan sorot mata mereka yang 

tajam berkilat, dapat diperkirakan kalau keduanya 

bukanlah orang sembarangan. 

Memang, dua orang kakek itu adalah ketua dan 

wakil ketua dari sebuah perguruan silat yang tak 

kalah besar dari Perguruan Pedang Ular. Kedua kakek 

itu adalah pemimpin Perguruan Golok Maut 

Tak lama kemudian, Waji menghentikan larinya 

ketika tiba di sebuah tempat yang luas. 

"Itu si perempuan liar, Guru," desis Waji sambil 

menudingkan telunjuknya ke depan. 

Sekitar sepuluh tombak dari situ, memang terlihat 

jelas seorang gadis cantik jelita yang berpakaian 

jingga tengah berlatih silat. 

Bukan hanya Gambala saja yang memperhatikan 

dari balik kerimbunan semak-semak, tapi juga 

Gumarang dan kedua kakek pemimpin Perguruan 

Golok Maut 

"Ah...!" Gumarang mendesah tertahan. "Bukankah 

itu ilmu 'Totokan Penghancur Tulang', Kang?" 

"Ya," sahut Gambala seraya mengangguk-

anggukkan kepalanya. 

"Perempuan itu adalah calon iblis betina yang akan 

mengacaukan dunia persilatan," desis Gumarang. 

Jelas ada nada kegentaran tersirat dalam suaranya. 

"Hm...," Gambala hanya bergumam tidak jelas. 

Sama sekali tidak disahuti ucapan adik seper-

guruannya itu. 

"Aku tidak ingin hal itu terjadi, Kang!" tandas Wakil 

Ketua Perguruan Pedang Ular itu lagi. 

"Maksudmu...?" tanya Gambala seraya menoleh 

kan kepalanya. Ditatapnya wajah Gumarang penuh


selidik. Kakek bermata sayu ini belum begitu paham 

maksud perkataan adik seperguruannya ini. Tapi 

sedikit banyak sudah bisa diraba maksudnya. 

"Perempuan itu harus dilenyapkan sebelum ber-

hasil mewarisi seluruh ilmu ayahnya. Terutama sekali 

ilmu 'Totokan Penghancur Tulang' itu!" 

Gambala tertegun sejenak. Wajah kakek ini 

menyiratkan adanya pertentangan di dalam batinnya. 

Sementara itu, kedua orang pemimpin Perguruan 

Golok Maut, hanya diam membisu. Sepertinya mereka 

tidak ingin mencampuri urusan Gambala. Kepergian 

mereka bersama orang-orang Perguruan Pedang Ular 

adalah untuk membalas dendam pada Kalapati. 

Sama sekali bukan dengan putrinya. 

"Apa yang dikatakan Paman Guru, tepat sekali 

Guru," selak Waji cepat, sebelum Gambala sempat 

menjawab. "Memang kalau melihat kecantikannya 

kita tidak akan percaya kalau wanita itu seorang iblis 

betina yang menjijikkan!" 

Gambala mengerutkan alisnya. 

"Apa maksud ucapanmu itu, Waji?" tanya kakek 

bermata sayu itu. Nampak jelas terdengar ada nada 

tuntutan di dalamnya. 

Pemuda berbadan lebar itu menundukkan kepala-

nya. 

"Aku... aku malu menerangkannya, Guru." 

"Malu?!" sentak Gumarang dengan alis berkerut 

Waji menganggukkan kepalanya. 

"Tidak perlu malu, Waji. Kami adalah guru-gurumu. 

Katakanlah terus terang," desak Gambala lembut. 

Waji menarik napas dalam-dalam dan 

menghembus-kannya kuat-kuat. Sepertinya dia 

merasa berat untuk mengatakannya. 

"Perempuan itu... perempuan cabul, Guru....



Dengan mempergunakan kepandaiannya dia bisa 

memaksa setiap laki-laki memenuhi keinginan 

terkutuknya. Dan...." 

"Cukup...!" sentak Gambala dengan wajah 

memerah. 

Seketika Waji menghentikan ucapannya. 

"Bagaimana, Kang?" tanya Gumarang. Kakek 

berhidung besar ini juga dilanda perasaan yang sama. 

Kegeraman yang menggelora. 

"Tidak ada jalan lain lagi...," sahut Gambala pelan 

setelah beberapa saat lamanya terdiam. 

"Jadi...?" tanya Waji menghentikan kalimatnya. 

Sebuah senyum gembira menghias bibirnya. 

"Yahhh...! Sebelum dia menimbulkan banyak 

korban, dan sebelum dia sulit untuk ditaklukkan...." 

"Katakan saja secara langsung, Kang. Tidak usah 

berbelit-belit begitu!" selak Gumarang bernada 

teguran. 

"Tanpa kuucapkan secara jelas pun, kau dan Waji 

pasti sudah mengerti, Gumarang," jawab Gambala 

membela diri. 

"Adi Jalasa..., Adi Rupangki..., semoga arwah kalian 

tenteram di alam baka. Aku akan mempertaruhkan 

nyawaku untuk membalaskan kematian kalian..," 

desah Waji. Nada suaranya pelan tapi tajam, 

sehingga terdengar jelas oleh semua yang ada di situ. 

Ucapan Waji yang mengingatkan pada kematian 

Jalasa dan Rupangki, membuat kemarahan 

Gumarang dan Gambala semakin bergolak. 

"Mari kita serbu...!" ajak Waji seraya melangkah 

keluar dari kerimbunan semak-semak. Gambala dan 

Gumarang pun melangkah keluar. Tak lupa Gambala 

menarik tangan Ketua Perguruan Golok Maut. Tapi 

secara halus uluran tangan itu ditolak.


"Maaf, kami hanya ingin mencari Kalapati. Kami 

tidak berurusan dengan gadis itu," sahut Ketua 

Perguruan Golok Maut itu halus. Ketua perguruan ini 

adalah seorang kakek berjenggot putih panjang 

sampai ke bawah dada. 

"Ah, maaf...!" ucap Gambala dengan sekujur wajah 

merona merah. 

"Tidak apa-apa...," jawab Ketua Perguruan Golok 

Maut itu sambil tersenyum lebar. 

"O..., Kalapati?" selak Waji yang ingin buru-buru 

menyelesaikan urusannya. "Dia ada di dalam sana...!" 

Kedua orang pemimpin Perguruan Golok Maut 

melayangkan pandangannya ke arah tudingan 

telunjuk Waji. 

"Di dalam gua itu?" tanya kakek berjenggot putih 

setelah melihat arah yang ditunjuk Waji. 

Waji menganggukkan kepalanya. 

"Waktu itu dari situlah kulihat dia keluar," ucap 

pemuda berbadan lebar lagi. 

"Kalau begitu kami ke sana dulu...!" 

Setelah berkata demikian, kedua pemimpin 

Perguruan Golok Maut itu melesat cepat menuju gua. 

Gambala melayangkan pandangannya ke arah 

gadis berpakaian jingga yang tengah berlatih, 

kemudian beralih pada adik seperguruannya dan 

Waji. 

"Kau bantu Waji menghadapi perempuan liar itu, 

Gumarang," ucap kakek bermata sayu ini bernada 

perintah. 

"Baik, Kang," Gumarang menganggukkan 

kepalanya. 

Tapi Gambala tidak sempat melihat anggukan 

Gumarang, karena sehabis mengucapkan kata-kata 

itu tubuhnya sudah melesat menuju gua.


*** 

Karmila mengerutkan alisnya yang berbentuk 

indah, begitu melihat dua sosok tubuh keluar dari 

rerimbunan pohon. Gadis berpakaian jingga ini 

menatap penuh perhatian pada salah seorang dari 

mereka. 

Dan kemarahannya pun meluap, begitu mengenali-

nya. Orang itu adalah pemuda yang kemarin datang 

dan memakinya dengan kata-kata yang tidak 

senonoh. 

"Keparat..! Kau lagi...!" geram Karmila begitu jarak 

antara dia dengan Waji yang datang bersama 

Gumarang telah dekat 

"Ya. Aku datang untuk menghentikan semua per-

buatan cabulmu! Juga membalas dendam atas 

kekejian kau dan ayahmu pada adik-adik seper-

guruanku!" teriak Waji keras seraya meloloskan 

pedangnya. 

Setelah berkata demikian, Waji melompat me-

nerjang. Pedangnya ditusukkan cepat ke leher 

Karmila. 

Wunggg...! 

Karmila hanya tersenyum sinis. Kakinya segera 

dilangkahkan ke kanan seraya mendoyongkan 

tubuhnya. Tusukan pedang Waji mengenai tempat 

kosong, beberapa jengkal di sebelah kiri pelipisnya. 

Tidak hanya itu saja yang dilakukan gadis berpakaian 

jingga ini. Seraya mengelak, tangannya bergerak 

cepat mencabut pedangnya. Dan secepat itu pula 

dibabatkan ke kaki lawannya. 

Waji terperanjat kaget. Tubuhnya yang saat itu 

tengah berada di udara, menyulitkannya untuk 

mengelak. Serangan itu datang begitu tiba-tiba.


Menangkis mempergunakan pedangnya, sudah tidak 

keburu lagi. Pucat wajah pemuda berbadan lebar ini 

seketika. Rasa sakit hati pada gadis itu membuatnya 

kurang waspada. Padahal sebelumnya dia sudah tahu 

kalau Karmila memiliki kepandaian di atasnya. 

Untung saja pemuda berbadan lebar ini 

menemukan jalan keluar. Segera dicabut sarung 

pedangnya, dan dibabatkan menangkis sambaran 

pedang yang mengarah ke kakinya. 

Trang...! 

Terdengar suara berdentang nyaring yang disusul 

dengan hancurnya sarung pedang Waji. Pedang 

Karmila adalah sebatang pedang pusaka. Apalagi 

dibabatkan dengan pengerahan tenaga dalam yang 

jelas-jelas berada di atas tenaga dalam Waji. 

Sehingga tak mengherankan kalau sarung pedang 

Waji hancur berantakan. 

"Hih...!" 

Dengan mengandalkan dorongan tenaga benturan 

tadi, Waji melentingkan tubuhnya. Bersalto beberapa 

kali di udara kemudian hinggap ringan tanpa suara di 

tanah. 

"Hhh...!" 

Pemuda berbadan lebar ini menghela napas lega. 

Keringat sebesar biji-biji jagung bermunculan di 

wajahnya. Tapi sorot matanya memancarkan kelega-

an hati. Nyawanya berhasil diselamatkan. Walaupun 

untuk itu, sarung pedangnya terpaksa hancur 

berantakan. 

Karmila yang memang merasa geram pada 

pemuda berbadan lebar di hadapannya ini, tak mau 

memberi kesempatan. Baru saja Waji mendarat, 

gadis berpakaian jingga itu telah menyusulinya 

dengan tusukan ke arah dada. Serangannya aneh


sekali, dan selalu membuat Waji kebingungan. 

Memang gadis berpakaian jingga ini selalu 

membuka serangannya dengan terlebih dulu 

memutar pedangnya membentuk lingkaran. Ter-

kadang lingkaran yang dibuatnya besar. Tapi tak 

jarang pula kecil. Baru setelah membuat lingkaran, 

pedangnya menyambar cepat. Entah itu menusuk 

ataupun membabat. 

"Ah...!" 

Waji memekik kaget. Buru-buru dibantingkan 

tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan menjauh. 

Kembali serangan Karmila mengenai tempat kosong. 

"Hiyaaa...!" 

Gadis berpakaian jingga itu kembali memekik 

nyaring, seraya memburu tubuh Waji yang ber-

gulingan. Pedangnya ditusukkan bertubi-tubi ke 

berbagai bagian tubuh pemuda berbadan lebar itu. 

Kini Waji kalap. Tidak ada jalan lain baginya untuk 

mengelakkan serangan itu selain bergulingan. Tapi, 

Karmila yang sudah berada dalam posisi mendesak, 

mana mau membiarkan lawannya lolos. Tubuh yang 

bergulingan itu terus dikejarnya. Kini terjadilah 

sebuah pertarungan yang menarik. Yang seorang 

berusaha menyarangkan pedangnya, sementara yang 

lain bergulingan mengelak. 

Gumarang memperhartikan pertarungan di depan 

matanya dengan alis berkerut. Dibiarkan saja Waji 

menghadapi putri Kalapati itu. Baru setelah pemuda 

itu benar-benar terancam bahaya maut, dia akan 

turun tangan. Walau bagaimana pun juga, Gumarang 

tidak mau mempertaruhkan nama sebagai seorang 

tokoh angkatan tua, dan juga seorang Wakil Ketua 

Perguruan Pedang Ular, dia merasa malu untuk turun 

tangan menghadapi seorang gadis muda belia seperti


Karmila. 

*** 

Sementara itu, dua orang pemimpin Perguruan 

Golok Maut telah mulai mendekati mulut gua. Sikap 

kedua orang itu begitu berhati-hati sekali. Memang 

sebenarnyalah kalau kedua orang itu amat berhati-

hati sekali. Karena keduanya tahu siapa itu Kalapati. 

Seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian 

amat tinggi. 

Tapi belum lagi kedua kaki mereka memasuki 

mulut gua, terdengar teguran halus dari dalam. 

Perlahan saja kedengarannya. Tapi berakibat hebat 

bagi kedua tokoh Perguruan Golok Maut itu. Tubuh 

keduanya sampai terjingkat ke belakang. Tanpa sadar 

mereka menahan langkah. 

"Apa yang kalian cari?" 

Dan belum juga hilang gema teguran itu, tahu-tahu 

melesat sesosok bayangan yang bergerak cepat 

keluar gua. Dua orang pemimpin Perguruan Golok 

Maut itu tentu saja terkejut bukan main. Segera 

keduanya melentingkan tubuhnya ke belakang. Lalu 

bersalto beberapa kali di udara. Dan.... 

"Hup...!" 

Hampir bersamaan kedua kakek sakti itu men-

daratkan kakinya di tanah. Dan langsung memandang 

ke depan. Sikap kedua pemimpin Perguruan Golok 

Maut itu nampak waspada. 

Di hadapan mereka kini telah berdiri seorang 

kakek berwajah bengis berpakaian kulit ular. Tubuh-

nya tinggi dan kekar. 

"Kalapati...," desis kakek berjenggot panjang. 

Kakek ini tak lain adalah Ketua Perguruan Golok



Maut 

"Hm..., kalian rupanya! Bukankah kalian dari 

Perguruan Golok Maut?" tanya Kalapati begitu 

mengenali kedua kakek ini. Nada suaranya terdengar 

tenang. Begitu pula raut wajahnya. Tidak seperti 

kedua orang pemimpin Perguruan Golok Maut yang 

terlihat tegang. 

"Tidak salah!" sahut kakek yang bermuka putih 

seperti dikapur. Inilah Wakil Ketua Perguruan Golok 

Maut. 

"Boleh kutahu maksud kalian datang kemari?" 

tanya Kalapati, masih terdengar lembut suaranya. 

"Tidak usah berpura-pura bodoh, Kalapati!" sentak 

kakek berjenggot panjang. 

"Apa maksud kalian?" sepasang mata kakek 

berpakaian kulit ular mulai berkilat. Jelas kalau kakek 

ini tengah dilanda amarah. Ucapan Ketua Perguruan 

Golok Maut itulah yang menyebabkannya. 

"Kami datang untuk membalas dendam atas 

penghinaanmu pada Perguruan Golok Maut!" sahut 

kakek berjenggot panjang. 

"Aneh...," sahut Kalapati sambil tersenyum 

mengejek. "Bukankah aku telah meminta maaf pada 

ketua kalian, si Golok Emas? Dan dia telah 

memaafkanku dan menganggap habis persoalan. 

Kalian pun telah mengetahuinya. Mengapa kini 

diperpanjang kembali?" 

"Tidak perlu banyak basa-basi, Kalapati. Orang 

seperti kau tidak layak dibiarkan hidup. Kakak 

seperguruanku dulu memang pengecut, sehingga 

menganggap selesai masalah ini. Tapi aku tidak! Aku 

akan tetap mempermasalahkan hal ini sampai tuntas! 

Bagaimana pun juga penghinaanmu atas Perguruan 

Golok Maut harus ditebus!" sahut kakek jenggot


panjang tegas. 

"Dan kau akan dihukum oleh kakak seper-

guruanmu atas kelancangan melanggar keputusan-

nya," ejek Kalapati yang sejak tadi sudah merasa 

tidak senang melihat sikap kedua orang pimpinan 

Perguruan Golok Maut itu. 

"Ha ha ha...!" kakek jenggot panjang itu tertawa 

bergelak. "Kau lihat ini, Kalapati?!" 

Setelah berkata demikian, kakek itu lalu meng-

hunus golok yang sejak tadi tergantung di 

pinggangnya. 

Srat..! 

Seketika secercah sinar kekuningan berpendar, 

ketika kakek berjenggot panjang itu menghunus 

goloknya tinggi-tinggi. 

"Golok Emas...," desis Kalapati setengah tak 

percaya. Kekagetan membayang jelas di wajahnya. 

Memang kakek berwajah bengis ini terkejut bukan 

main tatkala melihat kakek berjenggot panjang itu 

membawa golok emas. Kalapati tahu betul aturan 

Perguruan Golok Maut. Sepengetahuannya sang 

Ketua mempunyai senjata sebatang golok emas, 

sedangkan untuk wakil ketua adalah sebatang golok 

perak. Tapi mengapa golok emas dipegang oleh 

kakek jenggot panjang ini? Kalapati bertanya dalam 

hati. 

"Ya, golok emas. Kau kaget, Kalapati?!" tanya 

kakek berjenggot panjang bernada mengejek. 

"Jadi, kau..." 

"Ya. Akulah Ketua Perguruan Golok Maut. Tidak 

lagi si tua bangka pengecut itu! Aku telah 

menantangnya bertarung memperebutkan golok 

emas. Dan dia berhasil kukalahkan!" 

"Hhh...!"


Suara helaan napas berat terdengar dari mulut 

Kalapati. Kakek berwajah bengis ini menyadari kalau 

keributan tidak mungkin dapat dihindari lagi. Padahal 

dia sudah bersumpah untuk tidak membunuh lagi. 

Hal ini tentu saja membuatnya mengeluh dalam hati. 

Mendadak raut wajah Kalapati berubah. Pen-

dengarannya yang tajam mendengar suara-suara 

teriakan melengking di kejauhan. Kakek ini kenal 

betul suara itu. Suara putrinya! Dan seketika itu juga 

rasa khawatir yang amat sangat mencekam hatinya. 

Dan kekhawatirannya bertambah besar, begitu 

dilihatnya sesosok tubuh bergerak cepat ke arahnya. 

Sekali lihat saja, Kalapati telah mengenal orang yang 

datang itu. 

"Gambala.... Ada masalah apa lagi kakek itu 

kemari?" desah kakek berpakaian kulit ular itu dalam 

hati. 

Sesaat kemudian, Ketua Perguruan Pedang Ular 

telah berada di sebelah kedua pemimpin Perguruan 

Golok Maut. Kalapati menatap tajam wajah Gambala. 

Tapi kakek bermata sayu itu balas menatap tak kalah 

tajam. 

Belum sempat kakek berwajah bengis ini berbuat 

sesuatu, tahu-tahu si Golok Emas telah lebih dulu 

menerjang. Golok berwama kuning keemasan di 

tangannya berkelebatan cepat, membabat ke arah 

leher. 

"Hih...!" 

Kalapati memekik nyaring. Tapi sebelum serangan 

golok itu tiba, tubuhnya sudah melompat cepat ke 

depan. Sama sekali tidak ditanggapinya serangan si 

Golok Emas. Yang ada dalam benaknya saat ini 

adalah keinginan untuk menyelamatkan Karmila. 

Memang, setelah melihat kehadiran Gambala,


kekhawatiran Kalapati kian menggelegak. Kakek 

berpakaian kulit ular ini tahu, bila ada Gambala, 

sudah dapat dipastikan Gumarang pun ada. Dan 

tidak adanya kakek berhidung besar itu di sini, sudah 

dapat dipastikan kalau Gumarang berhadapan 

dengan putrinya. Hal inilah yang dikhawatirkan 

Kalapati. Dia tahu pasti kalau saat ini Karmila masih 

bukan tandingan Gumarang. 

Tapi si Golok Perak tidak tinggal diam. Begitu 

dilihatnya kakek berpakaian kulit ular itu melompat 

ke depan, segera saja kedua tangannya dihantamkan 

ke arah kepala lawannya. 

Wuttt..! 

Angin keras berkesiur sebelum pukulan Golok 

Perak tiba. Tapi Kalapati tidak menjadi gugup 

walaupun saat itu tubuhnya berada di udara. Dan 

merupakan suatu hal yang muskil untuk dapat 

mengelak dari serangan yang datang begitu tiba-tiba, 

sementara posisinya berada dalam keadaan tidak 

memungkinkan, terpaksa diputuskan untuk me-

nangkis serangan itu. 

Buru-buru kedua tangannya dijulurkan memapak 

serangan yang menyambar ke arahnya. Rasa cemas 

akan keselamatan Karmila, memaksa kakek ini harus 

mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. 

Wuttt..! 

Plak...! 

Akibatnya hebat! Tubuh Wakil Ketua Perguruan 

Golok Maut terjengkang ke belakang bagai diseruduk 

kerbau. Kedua tangannya dirasakan ngilu. Dadanya 

pun terasa sesak bukan kepalang. 

Sementara Kalapati hanya terlihat bergetar saja 

tubuhnya. Tapi dengan gerakan indah dan manis, dia 

bersalto di udara. Dan secepat kakek bermuka bengis


itu hinggap di tanah, secepat itu pula melesat kabur 

dari situ tanpa mampu dicegah. Semua kejadian itu 

berlangsung begitu cepat, sehingga lawan-lawannya 

tidak sempat menyadari. 

"Kejar...!" teriak si Golok Emas seraya melesat 

mengejar Kalapati yang telah lebih dulu melesat dari 

situ. Bukan hanya kakek itu saja yang bergerak 

mengejar, tapi juga adik seperguruannya dan 

Gambala. 

Kalapati mengerahkan seluruh ilmu meringankan 

tubuh yang dimilikinya. Tubuhnya berkelebat cepat 

menuju arah asal jeritan putrinya. 

Berkat ketinggian ilmu meringankan tubuhnya, 

sebentar saja Kalapati telah berada dekat tempat 

Karmila tengah sibuk bertempur. Lega hati kakek 

berpakaian kulit ular ini, melihat putrinya masih 

selamat. Bahkan tengah mendesak lawannya. 

Kalapati menghentikan larinya sekitar beberapa 

tombak dari tempat pertarungan. Dilihatnya Karmila 

tengah melancarkan serangan bertubi-tubi pada 

seorang pemuda berpakaian kuning, yang terus-

menerus bergulingan di tanah. Sementara tak jauh 

dari situ, seorang kakek berpakaian kuning berdiri 

tegak memperhatikan pertarungan. Kalapati 

mengenali kakek itu sebagai Gumarang. 

"Haaat..!" 

Tiba-tiba Karmila berteriak nyaring. Tubuhnya 

melenting memotong alur gulingan tubuh Waji, seraya 

menusukkan pedangnya bertubi-tubi ke arah pemuda 

berbadan lebar itu. 

Crat..! 

"Akh...!" 

Waji memekik tertahan ketika ujung pedang 

Karmila menggores pangkal lengannya. Seketika itu


juga darah mengalir dari luka yang tergores. Belum 

sempat Waji berbuat sesuatu, serangan pedang 

Karmila kembali menyambar. 

Kini Gumarang tidak bisa tinggal diam lagi. 

Secepat kilat tubuhnya melesat ke depan. Seuntai 

tasbih yang biji-bijinya terbuat dari baja, diayunkan 

memapak serangan yang mengancam nyawa 

muridnya. 

Cringgg...! 

Bunga api berpijar begitu pedang dan tasbih itu 

beradu. Seketika Karmila memekik tertahan. Sekujur 

tangannya yang menggenggam pedang dirasakan 

lumpuh. Hampir saja pedang itu lepas dari 

genggamannya. 

Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan 

Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular itu. Tasbih di 

tangannya disabetkan ke arah kepala Karmila. 

Wuttt..! 

Serangan tasbih itu menyambar tempat kosong 

begitu gadis berpakaian jingga itu menundukkan 

kepalanya. Sekujur rambut dan pakaian gadis itu 

berkibar keras begitu tasbih itu lewat di atas 

kepalanya. 

Gumarang tertawa terkekeh seraya melayangkan 

kakinya ke arah perut Karmila. 

Wuttt..! 

"Hih...!" 

Karmila melempar tubuhnya ke belakang, dan 

bersalto beberapa kali di udara. Kedua belah kakinya 

mendarat ringan, beberapa tombak dari tempat 

semula. 

Gumarang sudah bertekad untuk membinasakan 

Karmila. Maka begitu dilihatnya gadis berpakaian 

jingga itu melempar tubuh ke belakang, segera


melompat memburu. 

Tapi niatnya terpaksa diurungkan, begitu dilihatnya 

sesosok bayangan berkelebat cepat memotong 

lompatannya. Segera tubuhnya dilempar ke samping, 

melakukan lompatan harimau. 

"Hup...!" 

***


Gumarang mendaratkan kedua kakinya di tanah. 

Sepasang matanya menatap tajam ke depan, ke arah 

orang yang tadi memotong laju lompatannya. Dan 

seketika itu juga wajahnya memucat 

"Kalapati...," desis Wakil Ketua Perguruan Pedang 

Ular. Ada nada kegentaran dalam suaranya. Tapi 

begitu sudut matanya melihat tiga sosok bayangan 

yang bergerak cepat ke arahnya, hari kakek ber-

hidung besar ini kembali tegar. 

Kalapati sama sekali tidak mempedulikan 

keterkejutan Gumarang. Dengan langkah tenang, dan 

tanpa mempedulikan keberadaan kakek berhidung 

besar, kakinya dilangkahkan menghampiri Karmila. 

"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya kakek 

berpakaian kulit ular itu sambil merayapi sekujur 

wajah dan tubuh Karmila. 

Gadis berpakaian jingga itu menggelengkan 

kepalanya. 

"Syukurlah...," ucap Kalapati setengah mendesah. 

Pandang matanya yang tajam melihat kebenaran 

ucapan putrinya. 

"Terimalah kematianmu, Kalapati...!" 

Terdengar suara bentakan nyaring, disusul dengan 

berkelebatnya seleret sinar keemasan ke arah leher 

kakek berwajah bengis itu. 

"Hm...," Kalapati bergumam tidak jelas. Segera 

tubuhnya direndahkan sehingga sambaran sinar 

keemasan yang tak lain dari golok emas Ketua 

Perguruan Golok Maut lewat di atas kepalanya.


Dan sebelum Kalapati memperbaiki kuda-kudanya, 

tahu-tahu seleret sinar keperakan telah meluruk 

deras ke arah perutnya. Kakek berpakaian kulit ular 

ini tidak menjadi kaget melihat serangan ini. Dia tahu 

siapa penyerangnya kali ini. Siapa lagi kalau bukan 

Wakil Ketua Perguruan Golok Maut. 

Kalapati segera melangkahkan kakinya ke 

belakang, sehingga serangan itu mengenai tempat 

kosong. Tepat sejengkal di depan perutnya. 

Baru saja lolos dari serangan si Golok Perak, 

serangan pedang Gambala meluncur tiba. Pedangnya 

mengaung dahsyat mengancam berbagai bagian 

tubuh Kalapati. 

Luar biasa! Walaupun berada dalam keadaan 

terjepit, kakek berpakaian kulit ular itu masih mampu 

untuk mengelak. Tubuhnya dilempar ke belakang. 

Bersalto beberapa kali di udara, kemudian hinggap 

beberapa tombak dari tempatnya semula. 

"Hm...," Kalapati bergumam tidak jelas. "Rupanya 

kalian memang berniat menyingkirkanku!" 

"Tidak usah banyak basa-basi, Kalapati!" sergah si 

Golok Emas keras. "Penghinaan belasan tahun yang 

lalu harus kau tebus dengan nyawamu!" 

Setelah berkata demikian, Ketua Perguruan Golok 

Maut ini melompat menerjang. Dan dari atas, 

goloknya dibabatkan cepat ke arah leher Kalapati. 

Belum juga serangan si Golok Emas tiba, adik 

seperguruannya pun meluruk menyerbu. Golok 

peraknya berputar cepat di depan dada, sebelum 

akhirnya ditusukkan ke perut kakek berpakaian kulit 

ular itu. 

Sedangkan Gambala menahan diri. Dia tidak mau 

mencampuri dulu. Dibiarkan saja kedua pemimpin 

Perguruan Golok Maut itu menghadapi Kalapati.


Kalapati kali ini harus berhadapan dengan lawan-

lawan yang amat tangguh. Meskipun begitu kematian 

bukanlah merupakan sesuatu yang menakutkan bagi 

datuk ini. Tapi, bagaimana dengan Karmila kalau dia 

tewas? Kalapati tidak sampai hati membiarkan 

putrinya hidup sendirian menghadapi kerasnya dunia 

persilatan. Karmila masih membutuhkan bimbingan-

nya. 

Kekhawatiran akan keselamatan putrinya itulah, 

yang menyebabkan Kalapati memutuskan untuk me-

lakukan perlawanan mati-matian. Mau tidak mau ter-

paksa melanggar sumpahnya yang akan menjauhkan 

diri dari kekerasan. Tanpa ragu-ragu lagi kakek ber-

pakaian kulit ular ini mengeluarkan ilmu andalannya, 

ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'. 

Wuttt..! 

Serangan si Golok Emas lewat tidak sampai 

setengah jengkal di atas kepalanya, begitu bekas 

datuk sesat ini memiringkan kepalanya. Dari rambut 

di kepalanya yang berkibaran keras dapat diper-

kirakan kekuatan tenaga dalam yang tersimpan 

dalam babatan golok itu. 

Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Kalapati. 

Begitu golok itu lewat di atas kepalanya, tangan 

kanannya melakukan totokan ke arah sikut si Golok 

Emas. Berbareng dengan itu tangan kirinya 

menangkis tusukan golok perak yang menusuk 

perutnya. Luar biasa! Bekas datuk sesat ini 

menangkis serangan itu hanya dengan jari 

telunjuknya. 

"Akh...!" 

Si Golok Emas memekik kaget tatkala melihat 

totokan jari telunjuk lawan. Ketua Perguruan Golok 

Maut ini tahu betul keampuhan jari Kalapati.


Jangankan tubuh manusia yang terdiri dari daging 

dan tulang, batu karang yang paling keras pun dapat 

tembus terkena totokan jari telunjuk kakek berwajah 

beringas itu. Maka tanpa membuang-buang waktu 

lagi, tangannya segera ditarik pulang. Tinggg...! 

"Akh...!" 

Si Golok Perak memekik tertahan ketika jari 

telunjuk Kalapati membentur golok pusakanya. 

Serangannya kontan menyimpang dari sasaran. 

Lewat di samping kiri tubuh bekas datuk sesat itu. 

Sedangkan tangan yang memegang golok tergetar 

hebat. 

Dari sini saja Wakil Ketua Perguruan Golok Maut 

ini dapat mengukur tingginya kekuatan tenaga dalam 

lawan. Betapa tidak? Meskipun hanya dengan sebuah 

jari saja, serangan itu mampu membuat sekujur 

tangannya tergetar hebat. 

Tapi kenyataan itu tidak berarti membuat kedua 

tokoh terlihai Perguruan Golok Maut ini gentar. 

Bahkan sebaliknya, kedua orang itu menyerang 

semakin dahsyat. Dua batang golok di tangan mereka 

pun kembali menyambar bertubi-tubi ke berbagai 

bagian tubuh Kalapati. 

Tapi ternyata tingkat kepandaian kakek ber-

pakaian kulit ular ini jauh di atas gabungan 

kepandaian kedua tokoh utama Perguruan Golok 

Maut. Betapapun kedua orang ini mengerahkan 

segenap kemampuan, tetap saja tak mampu men-

desak Kalapati. Kakek berwajah beringas ini mampu 

mematahkan semua serangan mereka, dan bahkan 

balas menyerang tak kalah dahsyat. 

Pertarungan antara tokoh-tokoh sakti ini ber-

langsung cepat. Sehingga dalam waktu singkat, 

puluhan jurus telah berlalu. Tapi selama itu tidak


nampak tanda-tanda siapa yang akan terdesak. 

Pertarungan masih berjalan imbang. 

Melihat hal ini, Gambala menjadi tidak sabar. 

Setelah mengamati pertarungan itu, segera saja 

kakek ini tahu kalau kedua pemimpin Perguruan 

Golok Maut tidak akan mampu mengalahkan 

Kalapati. Bahkan bukan tidak mungkin keduanya 

dirobohkan bekas datuk sesat itu. Dan bila mereka 

keburu roboh, dia dan adik seperguruannya pun tidak 

akan mampu mengatasi Kalapati. Maka sebelum hal 

yang ditakutkannya itu terjadi, Ketua Perguruan 

Pedang Ular ini memutuskan untuk membantu si 

Golok Emas dan si Golok Perak. 

"Aku pun mempunyai perhitungan denganmu, 

Kalapati!" teriak Gambala keras seraya memasuki 

kancah pertempuran. Pedangnya mengeluarkan bunyi 

mengaung keras begitu kakek bermata sayu ini mulai 

membuka jurus-jurusnya. 

Dan begitu masuk dalam arena pertarungan, 

Gambala langsung saja menghujani Kalapati dengan 

serangan-serangan maut 

"Hm...!" Kalapati hanya mendengus seraya 

menggerakkan tubuh, mengelak serangan-serangan 

yang dilancarkan Gambala. Kini dengan ikut terjunnya 

Ketua Perguruan Pedang Ular, posisi lawan-lawan 

Kalapati jadi semakin kuat, sehingga tekanan-

tekanan yang datang ke arahnya pun semakin berat. 

Hebat bukan main pertarungan antara keempat 

tokoh sakti itu. Deru angin mengaung, mendesing, 

dan mencicit menyemarakkan pertarungan itu. 

Tanah-tanah terbongkar di sana-sini. Cabang-cabang 

pohon, berpatahan tersambar angin serangan nyasar. 

Debu pun mengepul tinggi ke angkasa.


*** 

Gumarang tertawa senang dalam hati setelah 

memperhatikan jalannya pertarungan. Laki-laki ber-

hidung besar ini sudah bisa memperkirakan kalau 

Kalapati akan mati kutu. Maka kini dialihkan 

perhatiannya pada putri bekas datuk sesat itu. 

Begitu melihat kakek berhidung besar itu menoleh 

ke arahnya, Karmila tidak mau membuang-buang 

waktu lagi. Segera saja gadis berpakaian jingga ini 

meluruk menyerang Gumarang. Pedangnya diputar 

cepat di atas kepala sebelum akhirnya ditusukkan ke 

ulu hati Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular itu. 

Singgg...! 

Suara mendesing nyaring mengawali tibanya 

serangan pedang gadis berpakaian jingga itu. Tapi 

Gumarang hanya tertawa terkekeh. Dengan sikap 

memandang rendah, kakinya dilangkahkan ke kanan 

sehingga serangan Karmila lewat di samping kiri 

pinggangnya. Berbareng dengan elakan itu, tasbihnya 

diayunkan ke pelipis Karmila. Sengaja kakek ber-

hidung besar ini menggunakan tasbih, karena malu 

melawan seorang gadis muda dengan senjata 

andalan. 

Wuttt..! 

Karmila cepat menundukkan tubuhnya, sehingga 

serangan itu lewat sekitar satu jengkal di atas 

kepalanya. Sembari merunduk, tak lupa dikirimkan 

serangan ke arah leher Gumarang dengan babatan 

pedang miring ke atas. 

Singgg...! 

"Heh...?!" 

Gumarang terperanjat. Serangan yang dilakukan 

gadis berpakaian jingga sambil mengelakkan


serangannya itu benar-benar mengejutkan. Tidak ada 

jalan lain baginya kecuali melempar tubuh ke depan 

dan bergulingan di tanah. 

Sesaat kemudian Gumarang bangkit dengan wajah 

memerah karena marah dan malu. Tapi sesungguh-

nya rasa malulah yang lebih besar! Dia adalah wakil 

ketua perguruan aliran putih terbesar saat ini. Dan 

tadi hampir saja kehilangan nyawa di tangan gadis 

belia yang sama sekali tidak terkenal. Betapa 

memalukan kalau hal ini diketahui oleh tokoh-tokoh 

persilatan lain. 

Kini kakek berhidung besar ini tidak lagi berani 

bersikap memandang rendah. Pengalaman yang baru 

saja dialami, membuatnya sadar akan ketangguhan 

gadis berpakaian jingga itu. Sekarang Gumarang 

bersiap-siap mengerahkan seluruh kemampuannya. 

Karmila yang mengetahui keterkejutan lawan, 

telah melompat menyerang kembali. Sesaat 

kemudian, keduanya sudah terlibat dalam per-

tarungan sengit 

*** 

Sementara itu di cabang pohon beringin, seorang 

pemuda berambut putih keperakan memperhatikan 

jalannya kedua pertarungan dengan alis berkerut. 

Sepasang matanya menatap penuh perhatian pada 

kedua pertarungan itu berganti-ganti. 

Kepala pemuda berambut putih keperakan itu 

menggeleng-geleng setiap kali melihat pertarungan 

Kalapati. Mulutnya berdecak pelan, penuh ke-

kaguman pada Kalapati yang mampu menghadapi 

ketiga lawannya dengan penuh ketenangan. Padahal, 

sekali lihat saja, pemuda berambut putih keperakan


itu mengetahui kalau ketiga lawan bekas datuk sesat 

itu berkepandaian tinggi. 

Betapapun lihainya Kalapati, tapi karena lawan 

yang dihadapinya terlalu banyak, perlahan namun 

pasti dia mulai terdesak. Kalau saja hanya 

menghadapi dua orang, mungkin kakek berpakaian 

kulit ular ini mampu mendesak. Bahkan mengalah-

kannya! 

Memasuki jurus kelima puluh, keadaan bekas 

datuk sesat ini kian mengkhawatirkan. Tapi meskipun 

begitu, dengan kedahsyatan ilmu 'Totokan Peng-

hancur Tulang', Kalapati masih mampu bertahan. 

Beberapa kali lawan-lawannya mengeluarkan seruan 

kaget, setiap kali ujung jari tangan bekas datuk sesat 

ini menangkis senjata mereka. 

"Akh...!" 

Tiba-tiba terdengar pekikan tertahan dari seorang 

perempuan. Jantung Kalapati bagai hendak me-

lompat dari rongga dadanya begitu mendengar jeritan 

itu. Dikenalinya betul siapa pemilik suara itu. Karmila, 

putri kesayangannya. Perasaan cemas yang amat 

sangat melanda kakek berwajah beringas ini. Sambil 

terus mengelak dari hujan serangan lawan, sudut 

matanya melirik ke arah tempat putrinya bertarung. 

Rupanya pedang Karmila terlilit tasbih Gumarang. 

Dan hal inilah yang menyebabkan gadis itu memekik 

tertahan. 

"Hih...!" 

Karmila menggertakkan gigi. Seluruh tenaga 

dalamnya dikerahkan untuk membebaskan pedang-

nya. Tapi Gumarang mempertahankannya. Kakek 

berhidung besar ini pun mengerahkan tenaga 

dalamnya untuk mempertahankan belitan tasbihnya. 

Sesaat lamanya terjadi adu tenaga dalam yang


menegangkan. 

Mendadak, Gumarang melepaskan belitan tasbih-

nya. Dan tak pelak lagi tubuh Karmila terjengkang ke 

belakang. Terbawa tarikan tenaganya sendiri. 

Di saat itulah, Gumarang melompat memburu. 

Tasbihnya disabetkan keras ke arah kepala Karmila. 

Gadis berpakaian jingga itu terkejut bukan main. 

Sebisa-bisanya sabetan tasbih itu ditangkis dengan 

pedangnya. 

Cringgg...! 

Suara berdenting nyaring terdengar begitu tasbih 

beradu dengan pedang. Saking kerasnya benturan, 

bunga-bunga api memercik ke udara. Pedang Karmila 

kontan terlempar jauh. Memang posisi kuda-kuda 

gadis itu tidak memungkinkan untuk mengerahkan 

seluruh tenaga dalamnya. 

Tapi serangan Gumarang tidak hanya sampai di 

situ saja. Dengan sebuah tamparan dahsyat, tangan 

kirinya menyambar ke arah pelipis Karmila. 

Kali ini tidak ada ampun lagi bagi Karmila. 

Tubuhnya yang masih terhuyung ke belakang, dan 

tangannya yang masih terasa lumpuh, membuatnya 

pasrah saja pada serangan yang mengancam 

pelipisnya. 

"Karmila...!" teriak Kalapati kalap begitu melihat 

bahaya maut mengancam keselamatan nyawa 

putrinya. Bekas datuk sesat ini menggeram murka. 

Tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri, kakek 

ini menerobos kepungan. Tak dihiraukannya tiga 

buah sergapan lawan yang tengah meluncur ke 

arahnya. 

"Haaat..!" 

Sambil mengeluarkan teriakan yang menggetarkan 

jantung, Kalapati memotong arah lompatan


Gumarang. Kedua jari telunjuknya bergerak cepat 

melakukan tangkisan dan sekaligus serangan pada 

Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular itu. Kakek 

berpakaian kulit ular ini sama sekali tidak peduli 

kalau di belakangnya ada tiga sosok yang melompat 

mengejarnya sambil melancarkan serangan. 

Singgg! Singgg! Wunggg...! 

Plak, crot..! 

"Aaakh...!" 

Gumarang memekik melengking panjang. 

Kejadiannya berlangsung begitu cepat. Memang 

gerakan Kalapati cepat bukan main. Berbarengan 

dengan telunjuk kanannya yang menangkis tamparan 

Gumarang, telunjuk kirinya menusuk deras ke arah 

pelipis. Tak pelak lagi, tubuh kakek berhidung besar 

itu roboh dengan pelipis bolong! Darah segar mengalir 

keluar. Sesaat lamanya Gumarang menggelepar-

gelepar sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. 

Bersamaan dengan robohnya tubuh Gumarang, 

serangan dari ketiga orang lawan Kalapati pun telah 

menyambar tiba. Namun tubuh kakek berpakaian 

kulit ular ini masih berada di udara. Dengan sebisa-

bisanya Kalapati berusaha mengelak. Tapi.... 

Cappp! Sret! Cras...! 

"Aaakh...!" 

Kalapati memekik nyaring. Walaupun telah 

menghindar, tetap saja tiga serangan itu mengenai 

tubuhnya. Namun berkat kelihaiannya, tidak ada satu 

pun serangan itu yang mengenai bagian yang 

mematikan. Yang telak mengenainya hanya tusukan 

pedang Gambala. Itu pun hanya mengenai bagian 

atas punggung kanan. Sedangkan dua buah sabetan 

golok pimpinan Perguruan Golok Maut hanya 

menyerempet pinggangnya.


"Hup...!" 

Meskipun agak limbung, Kalapati berhasil 

mendaratkan kedua kakinya di tanah. Darah segar 

mengalir dari luka-lukanya. Terutama sekali dari luka 

di punggung kanan. 

"Ayah...!" teriak Karmila seraya menghambur ke 

arah ayahnya. Dari sepasang mata yang bening itu 

mengalir deras butiran-butiran air bening. Karmila 

menangis, walaupun tanpa adanya isak dari 

mulutnya. Hati gadis berpakaian jingga ini memang 

dilanda rasa cemas yang amat sangat. Disadari kalau 

ayahnya mempertaruhkan nyawa karena hendak 

menyelamatkan nyawanya. Segumpal perasaan ber-

salah menggayuti hati Karmila. Apalagi tatkala 

teringat kalau selama ini dia selalu merepotkan 

ayahnya. 

"Karmila...! Kau larilah cepat..! Selamatkan dirimu! 

Biar Ayah yang akan menahan mereka!" 

Mendengar seruan ayahnya, air mata yang keluar 

dari sepasang mata bening itu semakin deras. 

Keharuan yang amat sangat mendera hati Karmila. 

Dadanya serasa sesak menahan rasa haru yang 

melanda. Tapi gadis berpakaian jingga ini menguat-

kan hati. Bibirnya digigit menahan isak tangis yang 

akan meledak. 

"Tidak, Ayah," sahut Karmila dengan suara serak 

mengandung isak. "Biar bagaimanapun aku tidak 

akan meninggalkan Ayah. Biarlah kita mati 

bersama...." 

Kalapati tidak sempat menyahuti ucapan putrinya 

karena serangan susulan lawan telah meluncur tiba. 

Si Golok Emas dan si Golok Perak berbareng 

menerjang. Golok emas dan perak pimpinan 

Perguruan Golok Maut berkelebat cepat mencari


sasaran. 

Kembali Kalapati harus berjuang keras meng-

hadapi dua lawannya. Tapi kali ini, perlawanan yang 

dilakukan bekas datuk sesat ini tidak sehebat 

sebelumnya. Sungguhpun luka-lukanya tidak terlalu 

parah, sedikit banyak telah mengurangi kegesitannya. 

"Keparat!" terdengar suara teriakan keras. 

Ternyata makian itu berasal dari mulut Gambala. 

Memang sehabis menyarangkan serangannya, kakek 

bermata sayu ini segera menghambur ke arah tubuh 

Gumarang yang tergolek di tanah. Waji yang sejak 

tadi hanya menonton pertarungan, ikut berlari mem-

buru dan kemudian duduk bersimpuh di samping 

tubuh paman gurunya. 

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati 

Gambala tatkala mengetahui adik seperguruannya 

telah tewas. Terdengar suara berkerotokan keras dari 

sekujur tulang-tulangnya ketika Ketua Perguruan 

Pedang Ular ini perlahan-lahan bangkit. Sepasang 

matanya merah berapi-api, menatap Kalapati penuh 

dendam. 

"Paman Guru...," panggil Waji bernada desahan. 

Kesedihan dan dendam terbayang di wajahnya. 

"Kalapati! Kau harus memhayar hutang nyawa adik 

seperguruanku!" 

Setelah berkata demikian, Gambala menerjang 

Kalapati yang masih sibuk menghadapi dua orang 

lawannya. Pedang di tangannya berkelebat, me-

nimbulkan suara mengaung keras. Sementara Waji 

masih belum bangkit dari jongkoknya. Pemuda 

berbadan lebar ini masih terpaku menatap mayat 

paman gurunya. 

Kalapati terkejut bukan main. Saat tusukan 

pedang Gambala datang menyambar, dia baru saja



menangkis dua serangan lawannya. Karuan saja hal 

ini membuat bekas datuk sesat ini jadi agak gugup. 

Serangan Gambala begitu cepat dan tiba-tiba. 

Tapi di saat gawat bagi keselamatan nyawa 

Kalapati, berkelebat sesosok bayangan jingga 

memapak tusukan itu. Kalapati terkejut bukan main 

melihat hal ini. Walaupun tidak melihat jelas, 

sekelebatan saja bekas datuk sesat itu dapat 

mengetahui siapa sosok bayangan itu. Siapa lagi 

kalau bukan Karmila, putrinya! 

"Karmila...! Jangan...!" teriak kakek berwajah 

bengis ini keras. 

Tapi terlambat! Tubuh Karmila telah meluncur 

cepat, memapak tusukan pedang Gambala dengan 

babatan pedangnya. 

Trang...! 

"Akh...!" 

Karmila memekik tertahan begitu pedangnya 

membentur pedang Gambala. Sekujur tangannya 

dirasakan lumpuh. Bahkan saking kerasnya benturan, 

pedangnya sampai terlepas dari genggaman. 

Dan sebelum gadis itu sempat berbuat sesuatu, 

tahu-tahu tangan kakek bermata sayu itu telah 

mengibas ke arah dadanya. Dengan susah payah 

Karmila mencoba mengelak. Tapi.... 

Plak...! 

"Akh...!" 

Kembali Karmila memekik tertahan ketika kibasan 

tangan Ketua Perguruan Pedang Ular itu 

menyerempet pangkal lengannya. Seketika itu juga 

tubuhnya terlempar ke belakang. Untunglah di saat-

saat terakhir, gadis ini masih mampu mengelak. 

Kalau tidak, mungkin gadis berpakaian jingga ini 

sudah tewas dengan seisi dada remuk.


"Karmila...!" teriak Kalapati begitu melihat putrinya 

terlempar ke belakang. Datuk ini mencoba meng-

hambur ke arah gadis itu, tapi kedua lawannya tidak 

memberikan kesempatan. Kakek berwajah beringas 

ini terus dipaksa harus berjuang keras menghadapi 

cecaran kedua orang lawannya. 

"Kalau terjadi apa-apa dengan putriku, kalian 

semua kucincang...!" desis kakek berpakaian kulit 

ular itu tajam. Nada suaranya penuh ancaman. 

Membuat bulu tengkuk yang mendengarnya 

meremang. 

Gambala yang tengah diamuk dendam, 

melampiaskannya pada Karmila. Gadis binal ini harus 

dibinasakan dulu, pikirnya. Paling tidak, kematian 

gadis ini akan memecah perhatian Kalapati. Apalagi 

gadis itu baru saja menggagalkan serangannya pada 

Kalapati. 

Setelah memutuskan demikian, Gambala mem-

buru tubuh Karmila yang masih terbawa tenaga 

kibasan kakek bermata sayu ini. Pedangnya 

dibabatkan ke arah leher gadis berpakaian jingga itu. 

Dalam kemarahan yang menggelegak, Gambala lupa 

kalau lawannya hanyalah seorang gadis belia yang 

memiliki tingkat kepandaian di bawahnya. Apabila 

tanpa menggunakan pedang pun, sebenarnya gadis 

itu bisa dikalahkannya. Apalagi kini dia menggunakan 

pedang. 

"Karmila...!" 

Kalapati menjerit tatkala melihat bahaya maut 

mengancam keselamatan putrinya. Sementara dia 

tidak berdaya menolong, karena kedua lawannya 

sama sekali tidak memberi kesempatan. Akibatnya 

perhatian datuk ini terpecah. 

Dan kesempatan ini tidak disia-siakan dua orang


lawannya. Segera mereka memperhebat serangan 

serangannya. Dan... 

Cappp...! 

"Akh...!" 

Kalapati memekik keras ketika senjata si Golok 

Perak menembus perutnya. Seketika itu juga darah 

segar bermuncratan dari perut yang terkoyak lebar. 

Tapi daya tahan Kalapati patut dipuji. Meskipun 

perutnya telah tertembus golok, dia masih tetap 

tangguh. Cepat laksana kilat, tangan kiri datuk ini 

menangkap tangan si Golok Perak. Dan secepat itu 

pula membetotnya. Berbareng dengan itu, telunjuk 

kirinya meluncur deras ke arah ubun-ubun orang 

kedua Perguruan Golok Maut. 

Wuttt...! Crot..! 

"Aaakh...!" 

Si Golok Perak menjerit memilukan. Ubun-ubunnya 

bolong tertembus jari telunjuk Kalapati. Seketika itu 

juga tubuhnya roboh. Menggelepar-gelepar sesaat, 

sebelum akhirnya roboh tak berkutik lagi. 

Si Golok Emas terpaku melihat kematian adik 

seperguruannya. Tapi Kalapati sama sekali tidak 

peduli. Bergegas dia menoleh ke arah putrinya. 

Legalah hatinya ketika melihat Karmila selamat. 

Berdiri membelakangi putrinya, nampak seorang 

pemuda berpakaian ungu yang berambut putih 

keperakan. Di tangan kanan pemuda tampan itu 

tergenggam guci arak. 

Rupanya ketika melihat Karmila tengah terancam 

maut, pemuda berambut putih keperakan itu tidak 

tega. Dan langsung menangkis serangan pedang 

Gambala dengan gucinya. 

Gambala bersikap hati-hati. Dia sudah merasakan 

sendiri kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemuda


berambut putih keperakan itu ketika menangkis 

pedangnya. Tenaga dalam pemuda ini amat kuat, 

sehingga mampu membuatnya terhuyung-huyung ke 

belakang. 

Ada dugaan yang muncul di benak Gambala begitu 

melihat ciri-ciri pemuda di hadapannya ini. Usia, 

rambut, pakaian, dan guci pemuda ini mengingatkan 

pada seorang tokoh muda yang akhir-akhir ini 

menggemparkan dunia persilatan, Dewa Arak! Tapi, 

mungkinkah tokoh yang menggemparkan itu adalah 

pemuda ini? Rasanya tidak masuk akal. 

Bukan hanya Gambala saja yang dilanda perasaan 

kaget, Dewa Arak pun demikian. Sungguh sama sekali 

tidak disangkanya kalau tenaga dalam kakek ber-

mata sayu itu amat kuat. Sehingga mampu membuat 

tangannya tergetar hebat. 

*** 

Kini ada empat sosok tubuh yang berdiri tertegun. 

Kalapati, Karmila, dan Gambala yang menatap Dewa 

Arak dengan perasaan takjub, serta si Golok Emas 

yang menatap mayat adik seperguruannya dengan 

perasaan bingung. 

"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Gambala. 

Sepasang matanya menatap pemuda berambut putih 

keperakan itu penuh selidik. "Mengapa kau 

mencampuri urusanku?" 

"Aku Arya, Kek. Aku tidak berniat mencampuri 

urusan Kakek. Aku hanya tidak suka melihat 

kekejaman berlangsung di depan mataku!" sahut 

pemuda berambut putih keperakan yang ternyata 

adalah Arya Buana alias Dewa Arak. 

"Arya?!" ulang Gambala dengan alis berkerut


"Apakah nama lengkapmu Arya Buana?" 

Arya menganggukkan kepalanya. 

"Jadi..., kaukah yang berjuluk Dewa Arak?" kejar 

Ketua Perguruan Pedang Ular itu lagi. 

"Begitulah orang menjulukiku, Kek," sahut Arya 

merendah. 

"Kalau begitu kita orang segolongan, Dewa Arak. 

Menyingkirlah...! Wanita yang kau tolong, dan juga 

ayahnya adalah tokoh-tokoh hitam yang kejam dan 

jahat! Aku akan melenyapkan mereka sebelum 

mengacau dunia persilatan lagi...." 

Arya Buana menggelengkan kepalanya. 

"Sayang sekali, Kek. Aku tidak melihat adanya 

keganasan dan kekejaman seperti yang kau katakan 

itu pada diri mereka. Jadi, aku terpaksa tidak bisa 

menyingkir dari sini." 

"Maksudmu...?" tanya Gambala sambil 

mengerutkan keningnya. 

"Aku tidak akan menyingkir dari sini!" sahut Arya 

tandas. 

"Jadi, kau berada di pihak iblis-iblis itu, Dewa 

Arak?!" sergah kakek bermata sayu itu. Nada 

suaranya menyiratkan ancaman. 

"Aku berada di pihak yang benar," ralat Arya. 

"Pemuda sombong! Kau kira aku takut pada nama 

besarmu!?" 

Setelah berkata demikian, Gambala segera 

menerjang Arya. Tapi sebelum Dewa Arak berbuat 

sesuatu, melesat sesosok bayangan dan memotong 

serangan itu. Terpaksa Gambala melempar tubuh ke 

belakang, dan bersalto beberapa kali menyelamatkan 

diri. 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak


tanah. Dan secepat kakinya hinggap, secepat itu pula 

sepasang matanya menatap ke depan. Dan di 

hadapannya, di sebelah Dewa Arak berdiri Kalapati 

dengan posisi kaki agak goyah karena luka-luka yang 

dideritanya. 

"Pergilah, Dewa Arak. Tolong selamatkan putriku. 

Biar kucoba menghadang mereka," ucap kakek 

berwajah bengis itu bernada perintah. Rupanya kakek 

ini sudah mendengar pembicaraan Gambala dengan 

pemuda berambut putih keperakan itu. 

"Tapi, Kalapati...," Arya masih mencoba mem-

bantah. 

"Pergilah, Dewa Arak. Kau tidak ada urusan 

dengan mereka. Lagi pula, mungkin aku tidak akan 

bertahan hidup lebih lama lagi! Cepatlah...!" 

Dewa Arak tercenung. Disadari adanya kebenaran 

dalam ucapan Kalapati. 

"Baiklah, Kalapati. Aku berjanji akan menjaga 

Karmila dengan taruhan nyawaku," janji Arya. 

"Aku percaya padamu, Dewa Arak." Kalapati ber-

paling pada putrinya. "Karmila...! Cepatlah kau pergi! 

Dewa Arak akan melindungimu...!" 

"Tapi, Ayah...," gadis berpakaian jingga itu masih 

mencoba membantah. 

"Kau ingin jadi anak yang tidak berbakti, Karmila?!" 

terpaksa Kalapati bersikap keras. 

Baru saja kakek berwajah beringas ini menyelesai-

kan kata-katanya, serangan dari Gambala meluncur 

tiba. Si Golok Emas yang kini sudah tersadar dari rasa 

terpukul atas kematian adik seperguruannya, tidak 

mau ketinggalan. Ketua Perguruan Golok Maut ini 

segera menusukkan pedangnya. Kalapati yang sudah 

terluka parah segera menyambutnya. Dikerahkannya 

seluruh kemampuan untuk memberikan kesempatan


pada Dewa Arak membawa lari putrinya. 

Karmila menahan isak yang merayap naik ke 

tenggorokan. Dadanya terasa sesak menahan rasa 

haru yang melanda. Baru sekarang gadis ini sadar 

akan besarnya kasih sayang ayahnya. Ayahnya rela 

mengorbankan nyawa asalkan dia selamat. 

Kembali butiran-butiran air bening bergulir dari 

sepasang mata indah itu. Karmila harus menyelamat-

kan diri dari sini. Tapi sebelumnya dia ingin memeluk 

ayahnya untuk yang terakhir kali. 

"Mari kita pergi, Karmila," ajak Arya sambil me-

natap wajah cantik bersimbah air mata di depannya. 

Segumpal rasa haru melanda hati pemuda berambut 

putih keperakan ini. Dia dapat merasakan perasaan 

Karmila. Karena dia sendiri pernah mengalami 

kesedihan ditinggal mati orang tua. Apalagi mati 

terbunuh! Ibu Arya sendiri mati dibunuh orang yang 

mendendam padanya (Untuk jelasnya, baca serial 

Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar"). 

"Benarkah kau Dewa Arak?" tanya gadis ber-

pakaian jingga itu dengan suara serak. 

Arya hanya mengangguk pelan. Dia malu 

menjawab, karena khawatir kalau suaranya terdengar 

gemetar. Dewa Arak tidak ingin gadis ini tahu kalau 

dirinya pun tengah dilanda rasa haru. 

"Bila kau benar-benar hendak menolong kami, 

mengapa kau tidak langsung membantu ayahku?" 

"Ayahmu tidak mau menerima pertolonganku, 

Karmila," sahut Arya setengah mendesah. "Ayahmu 

sudah cukup senang asal kau selamat" 

Lagi-lagi dari sepasang mata bening indah itu 

bergulir air bening. Arya yang berwatak welas asih jadi 

ikut terenyuh. Kalau menuruti perasaannya ingin 

dipeluknya gadis itu, dan diusap-usap rambutnya.


Tapi, pemuda ini sadar kalau hal itu tidak mungkin 

dilakukannya. 

"Maukah kau memenuhi permintaanku, Dewa 

Arak?" tanya Karmila lagi. 

"Katakanlah, Karmila. Kalau aku mampu, dan 

selama tidak bertentangan dengan kebenaran, aku 

akan memenuhinya," janji Arya. 

"Aku ingin kau menahan musuh-musuh ayah 

dulu...." 

"Hm..., lalu?" tanya Arya masih belum memahami 

tujuan ucapan Karmila. 

"Aku ingin meminta maaf atas semua kesalahanku 

pada ayah, Dewa Arak..., agar hatiku tenang melepas 

kepergiannya...." 

Arya segera memalingkan wajahnya. Dewa Arak 

hampir tidak kuat lagi menahan rasa haru yang 

menggelegak di dadanya. Digigit-gigit bibirnya untuk 

menahan luapan keharuan yang menyentak-nyentak 

kalbu. 

"Maukah kau memenuhi permintaanku, Dewa 

Arak?" 

Arya menganggukkan kepalanya. Kemudian 

pandangannya dialihkan ke arah pertempuran. 

Setelah mengamati sejenak, Dewa Arak tahu 

kelihaian kedua orang lawan Kalapati. Sebelumnya 

dia sudah merasakan sendiri kekuatan tenaga dalam 

Gambala. Maka pemuda ini tidak mau bersikap 

ceroboh. Segera guci araknya diangkat, dan 

dituangkan ke mulut. 

Gluk... gluk... gluk...! 

Suara tegukan terdengar begitu arak itu melewati 

kerongkongannya. Seketika itu juga, ada hawa hangat 

yang mengalir dari perutnya, dan perlahan naik ke 

kepala.



"Kalapati..., putrimu ingin berbicara sebentar. 

Temuilah dia demi ketenangan hatinya. Biar aku yang 

menahan mereka...." 

Karmila melihat mulut Dewa Arak berkomat-kamit. 

Tapi tidak sedikit pun suara yang terdengar. Gadis itu 

tidak tahu kalau Arya tengah mengirimkan suara 

khusus untuk Kalapati. 

Memang, bagi orang berkepandaian tinggi seperti 

Dewa Arak, bukan merupakan hal yang sulit untuk 

mengirimkan suara hanya kepada orang yang dituju. 

Setelah yakin Kalapati telah mendengar pesannya, 

Dewa Arak segera maju beberapa tindak. 

"Awas serangan...!" teriak Arya seraya meng-

hentakkan kedua tangannya ke depan. Inilah jurus 

'Pukulan Belalang'. Jurus yang jarang dikeluarkan 

kalau tidak terpaksa sekali. 

***


Wusss...! 

Angin keras berhawa panas menyambar deras ke 

arah Gambala dan si Golok Emas. Kedua kakek sakti 

ini terkejut bukan main. Mereka menyadari 

kedahsyatan pukulan jarak jauh yang mengandung 

hawa panas menyengat itu. Tanpa membuang-buang 

waktu lagi, keduanya segera melempar tubuh ke 

belakang. Setelah bersalto beberapa kali di udara, 

kedua tokoh itu hinggap tanpa suara beberapa 

tombak dari tempat semula. 

Kesempatan emas itu tidak disia-siakan oleh Dewa 

Arak. Segera pemuda berambut putih keperakan ini 

melompat maju. Sedangkan Kalapati yang me-

mahami maksud penolongnya, segera bergerak 

mundur. 

"Terima kasih atas kesempatan yang kau berikan, 

Dewa Arak," ucap kakek berwajah beringas itu seraya 

berlari menghampiri putrinya yang juga berlari meng-

hambur ke arahnya. Sementara Dewa Arak segera 

menghadang Gambala dan si Golok Emas yang sudah 

bergerak mengejar Kalapati. 

"Dewa Arak!" teriak si Golok Emas keras. "Tak 

kusangka kalau nama besarmu yang selama ini 

kudengar, tidak sesuai dengan apa yang kusaksikan 

di sini! Tahukah kau, siapa orang yang kau bela itu?!" 

"Ha ha ha...!" Gambala tertawa mengejek. "Mana 

bisa dia membedakan mana yang benar dan mana 

yang salah, Golok Emas? Mata dan hatinya telah silau 

oleh kecantikan gadis liar itu!"


Merah wajah Arya mendengar kata-kata peng-

hinaan itu. 

"Tidak kusangka aku akan mendengar ucapan 

kotor seperti ini dari mulut kalian," desah pemuda 

berambut putih keperakan itu pelan. 

"Kami beri kesempatan kepadamu sekali lagi, 

Dewa Arak! Menyingkir atau kami terpaksa akan 

menyingkirkanmu dengan kekerasan!" ancam 

Gambala. 

"Sudah kukatakan. Apa pun yang terjadi, aku tidak 

akan menyingkir dari sini!" tandas Dewa Arak tegas. 

Guci araknya diangkat kembali, lalu dituangkan ke 

mulutnya. 

Gluk... gluk... gluk...! 

Suara tegukan terdengar begitu arak itu melewati 

kerongkongannya. 

"Kalau begitu, jangan salahkan kalau kau mampus 

di tangan kami, Dewa Arak!" 

Setelah berkata demikian, Gambala melesat me-

nerjang. Pedangnya yang meliuk-liuk aneh seperti 

gerakan seekor ular, mengancam Dewa Arak. 

Wunggg...! 

Dewa Arak mengerutkan alisnya melihat ilmu 

pedang yang unik itu. Batang pedang yang tidak kaku 

seperti pedang umumnya itu membuat pemuda 

berambut putih keperakan ini agak bingung. Setiap 

arah serangan yang dituju, tidak dapat diduganya 

dengan pasti. Jurus-jurus pedang inilah yang me-

nyebabkan Gambala menamakan perguruannya, 

Perguruan Pedang Ular. 

Baru tatkala serangan itu telah menyambar dekat, 

arah sasarannya dapat diketahui. Ujung pedang itu 

ternyata mengancam leher Dewa Arak. Segera 

pedang itu ditangkis dengan gucinya.



Klanggg...! 

Suara berdentang terdengar begitu pedang itu 

berbenturan dengan guci. Bunga-bunga api memercik 

ke udara. Akibatnya Gambala terhuyung dua langkah 

ke belakang, sedangkan Dewa Arak hanya tergetar 

saja. Dari benturan ini dapat diukur kalau tenaga 

dalam Dewa Arak masih berada di atas tenaga dalam 

Ketua Perguruan Pedang Ular itu. 

Tapi sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, 

tahu-tahu si Golok Emas sudah meluruk dengan 

sabetan golok mendatar ke arah leher. 

Singgg...! 

Serangan dari Ketua Perguruan Golok Maut itu 

cepat sekali. Dewa Arak yang baru saja menangkis 

serangan Gambala tidak punya kesempatan lagi 

untuk menangkis. Maka Dewa Arak segera mengelak 

dengan mengandalkan langkah unik jurus 'Delapan 

Langkah Belalang'. 

Wuttt..! 

Si Golok Emas terkejut begitu menyadari kalau 

sabetan goloknya mengenai tempat kosong. Ketua 

Perguruan Golok Maut ini lebih terperanjat lagi ketika 

melihat lawan telah lenyap dari hadapannya. Padahal 

tadi jelas-jelas dilihatnya kalau Dewa Arak hanya 

melangkah dengan gerakan terhuyung-huyung seperti 

akan jatuh. 

Ketua Perguruan Golok Maut sama sekali tidak 

menduga kalau Dewa Arak telah berada di belakang-

nya. Tapi tidak seperti yang sudah-sudah, Arya kali ini 

tidak langsung melakukan penyerangan dari 

belakang. 

Dewa Arak tahu kalau lawan-lawan yang dihadapi-

nya ini adalah tokoh-tokoh persilatan golongan putih. 

Maka pemuda berambut putih keperakan ini tidak


mau membuat urusan dengan mereka. Tugasnya 

hanyalah memberi kesempatan kepada Karmila 

berbincang-bincang dengan ayahnya untuk yang 

terakhir kalinya. 

Karena hal itulah Dewa Arak tidak mengadakan 

perlawanan. Arya hanya mengelak saja dari setiap 

serangan kedua lawannya. Untunglah pemuda ini 

memiliki jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang unik, 

sehingga tidak terlalu repot untuk mengelakkan 

setiap serangan yang datang. Hanya sesekali saja 

pemuda ini menangkis serangan lawan. 

Diam-diam Dewa Arak terkejut juga begitu 

mendapat kenyataan kalau kedua lawannya ini 

memiliki kepandaian tinggi. Tingkat kepandaian 

mereka hanya berselisih sedikit dengannya. Dari sini 

sudah dapat diukur tingkat kepandaian Kalapati yang 

mampu menahan pengeroyokan ketiga lawannya. 

Teringat akan Kalapati, Dewa Arak meluangkan 

kesempatan untuk melirik ke arah ayah dan anak itu. 

Dilihatnya Karmila dan ayahnya tengah berpelukan 

erat. 

"A... Ayah...," ucap Karmila terbata-bata dalam 

pelukan ayahnya. Sama sekali tidak menghiraukan 

pakaiannya yang kotor terkena noda darah dari luka-

luka yang diderita ayahnya. 

"Ada apa, Karmila?" tanya Kalapati lembut. 

Tangannya mengusap-usap rambut hitam, indah, dan 

harum milik putrinya penuh kasih sayang. 

"Aku.. aku ingin minta maaf pada Ayah...," jawab 

Karmila terputus-putus. 

"Heh?! Memangnya kau mempunyai kesalahan 

pada Ayah, Karmila?" tanya Kalapati heran. 

Sementara tangannya masih terus mengusap-usap 

rambut putrinya penuh kasih sayang.

"Aku sering membuat Ayah jengkel...." 

"Lupakanlah, Karmila. Ayah sama sekali tidak 

menganggap semua itu sebagai suatu kesalahan. 

Pergilah! Selamatkan dirimu. Dewa Arak akan 

melindungimu." 

"Kenapa Ayah tidak ikut pergi bersamaku saja?!" 

tanya Karmila penasaran. 

"Itu tidak mungkin, Karmila," bantah Kalapati. 

"Pantang bagi Ayah untuk melarikan diri dari lawan. 

Nah, sekarang keinginanmu sudah terpenuhi. Ayah 

akan menggantikan Dewa Arak menghadapi kedua 

orang itu, Karmila. Kasihan, pemuda itu...." 

Karmila mengikuti arah pandangan ayahnya. Dan 

apa yang dikatakan ayahnya memang benar. Pemuda 

berambut putih keperakan itu terlihat pontang-

panting menghadapi gempuran kedua orang 

lawannya. 

Memang dalam pandangan orang yang belum 

memiliki tingkat kepandaian tinggi, Dewa Arak 

mungkin terlihat terdesak. Tampak jelas kalau 

pemuda itu sampai terpontang-panting setiap 

mengelak serangan lawan. Bahkan terlihat tidak 

memiliki kesempatan untuk balas menyerang. 

Tapi tidak demikian halnya dengan pandangan 

Kalapati. Diam-diam kakek ini terkejut penuh 

kekaguman. Sorot matanya yang tajam, dapat melihat 

jelas kalau Dewa Arak sama sekali tidak berniat 

membalas, tetapi hanya mengelak saja. 

"Itukah jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang 

terkenal?" tanya datuk ini dalam hati. "Sungguh luar 

biasa." 

Kalapati menyadari kalau luka-luka yang di-

deritanya amat parah. Tubuhnya dirasakan semakin 

lama semakin melemah. Namun dia masih mem


punyai tugas untuk menahan kedua kakek sakti itu 

agar Dewa Arak mempunyai kesempatan membawa 

lari Karmila. 

"Bersiap-siaplah, Dewa Arak..., aku akan meng-

gantikan tempatmu. Aku mohon kau segera menye-

lamatkan putriku," ucap Kalapati mengirimkan pesan 

dari jauh pada Arya. 

Dewa Arak menganggukkan kepalanya pertanda 

telah mendengar pesan Kalapati. Kakek berwajah 

beringas itu gembira melihat Dewa Arak telah 

mengerti pesannya. 

"Selamat tinggal, Karmila," ujar Kalapati sambil 

mencium kening putrinya. Perlahan-lahan pelukan 

pada putrinya dilepaskan. Dengan berat hati, Karmila 

pun melepaskan pelukannya. 

"Selamat tinggal, Ayah," sahut gadis berpakaian 

jingga itu tersendat-sendat. Firasat Karmila berkata 

kalau perpisahan dengan ayahnya ini, adalah per-

pisahan untuk selama-lamanya. 

Sementara itu begitu menerima pesan, Dewa Arak 

segera bersiap memberi kesempatan pada Kalapati 

untuk menggantikannya. Dan untuk itu dia harus 

mendesak lawannya. Maka kini gerakan Dewa Arak 

pun mendadak berubah. Langsung saja pemuda itu 

memainkan jurus 'Belalang Mabuk'nya. 

Gambala dan si Golok Emas terkejut sekali ketika 

merasakan perubahan mendadak itu. Memang, 

sebagai tokoh sakti mereka tahu kalau sejak tadi 

Dewa Arak belum melancarkan serangan balasan. 

Dan ini membuat kedua tokoh itu merasa terhina. 

Sebagai akibatnya, tentu saja keduanya semakin 

marah dan menyerang semakin dahsyat. 

Kini begitu Dewa Arak melancarkan serangan 

balasan, Gambala dan si Golok Emas terkejut bukan


main. Serangan Dewa Arak yang begitu dahsyat dan 

menderu-deru laksana amukan badai, membuat 

keduanya melompat mundur ke belakang. 

Begitu kedua orang itu melompat mundur, Kalapati 

segera melompat ke sebelah Dewa Arak. 

"Berhati-hatilah, Dewa Arak. Kau akan mengalami 

banyak kesulitan dalam menyelamatkan putriku. Tapi 

percayalah, kau membela orang yang benar. Aku dan 

putriku sama sekali tidak tahu apa-apa. Kedua orang 

inilah yang mendesak kami bertarung," jelas Kalapati 

agak terburu-buru. 

"Percayalah padaku, Kalapati. Aku akan me-

lindungi putrimu dengan taruhan nyawaku. Aku 

percaya kalau kau dan putrimu ada di pihak yang 

benar." 

"Terima kasih, Dewa Arak. Sayang, aku tidak akan 

sempat membalas kebaikan hatimu ini. Hhh...!" keluh 

Kalapati. 

"Aku mohon, kau jangan menyebut-nyebut 

masalah hutang budi, Kalapati. Aku menolong bukan 

karena mengharapkan balasanmu," tegas Dewa Arak 

bernada memperingatkan. 

"Aku percaya, Dewa Arak. Nah, sekarang pergilah. 

Aku tidak yakin akan mampu menahan mereka terlalu 

lama." 

"Kalau begitu, aku pergi dulu, Kalapati," ucap 

Dewa Arak sambil menggerakkan kaki. Kelihatannya 

pemuda berambut putih keperakan ini hanya 

melangkah perlahan saja, tapi hebatnya tahu-tahu 

telah berada lebih sepuluh tombak dari tempat 

semula. Dan sesaat kemudian, Dewa Arak telah 

berada di dekat Karmila. 

"Mari kita pergi, Karmila," ajak Dewa Arak. 

Karmila menahan isak yang naik ke tenggorokan


nya. Sekilas sepasang bola mata bening itu menatap 

ke arah ayahnya yang sudah kembali terlibat 

pertarungan dengan kedua lawannya. 

"Selamat tinggal, Ayah...!" teriak gadis berpakaian 

jingga itu dengan pengerahan tenaga dalam sehingga 

suaranya menggema sampai jauh. Kemudian Karmila 

melesat cepat meninggalkan tempat itu dengan 

diikuti Dewa Arak. 

Meskipun tengah sibuk menghadapi desakan 

kedua lawannya, Kalapati masih sempat mengirim-

kan suara dari jauh untuk putrinya. 

"Selamat tinggal, Karmila...." 

Karmila agak menahan langkahnya begitu 

mendengar ucapan Kalapati. 

"Ada apa, Karmila?" tanya Dewa Arak begitu 

melihat Karmila memperlambat langkahnya. 

"Tidak ada apa-apa...," sahut gadis berpakaian 

jingga itu sambil menggelengkan kepalanya. Langkah-

nya pun kembali dipercepat seperti semula. 

Dewa Arak tidak mendesak. Pemuda berambut 

putih keperakan ini sengaja membiarkan Karmila 

menenangkan batinnya yang terguncang. Terus saja 

kakinya dilangkahkan mengikuti Karmila yang telah 

bergerak lebih dulu. 

*** 

Kalapati tersenyum begitu melihat tubuh Karmila 

dan Dewa Arak telah lenyap dari tempat itu. Seketika 

itu juga perlawanannya menurun jauh. Memang, 

sebenarnya kakek ini telah terluka parah, dan 

tenaganya pun sudah berkurang jauh. Tapi karena 

terdorong untuk menyelamatkan putrinya sajalah 

yang membuatnya mendapat tenaga baru. Begitu


diyakini Karmila telah selamat, tenaga tambahan itu 

pun lenyap seketika. 

Dalam beberapa gebrakan, Kalapati telah terdesak 

hebat. Bahkan beberapa kali serangan lawan sempat 

menyerempet tubuhnya. Luka-lukanya pun semakin 

banyak. Dan tentu saja hal ini membuat tenaga 

Kalapati menjadi kian susut. 

"Haaat..!" 

Singgg...! 

Sambil berteriak nyaring, Gambala menusukkan 

pedangnya ke arah perut Kalapati. Dan seperti 

biasanya, pedang lemas itu bergetaran, sehingga 

kelihatan banyak dan sukar diduga bagian mana yang 

dituju. 

"Hiyaaa...!" 

Si Golok Emas berteriak pula. Tubuhnya melompat 

ke udara. Dan dari atas, goloknya disabetkan ke arah 

leher kakek berpakaian kulit ular itu. 

Wuttt..! 

Kedua serangan itu datang begitu mendadak. 

Sedangkan keadaan Kalapati saat itu sudah amat 

lemah. Meskipun begitu, kakek berpakaian kulit ular 

ini berusaha mengelak. Tapi.... 

Ceppp, cappp...! 

Telak sekah kedua serangan itu mengenai 

sasarannya. Seketika itu juga tubuh Kalapati roboh ke 

tanah. Darah segar memancar deras dari perut yang 

tertembus pedang. Dan juga dari kepala yang terpisah 

dengan lehernya. Kalapati tewas tanpa sempat 

bersuara! 

Gambala dan si Golok Emas memandangi tubuh 

Kalapati yang bersimbah darah. Ada kepuasan 

terpancar dari sorot mata dan wajah kedua kakek 

sakti itu.


"Adi Gumarang..., kau lihatlah. Kematianmu telah 

kubalaskan. Pembunuhmu telah kubinasakan. 

Semoga kau tenang di alam baka...," desah Gambala 

dalam hati. 

"Golok Perak..., musuh besarmu telah kubinasa-

kan. Semoga arwahmu tidak penasaran...," ucap Si 

Golok Emas dalam hati dengan kepala tertunduk. 

Setelah itu, hampir bersamaan kedua tokoh sakti 

itu melangkah menuju ke arah mayat adik 

seperguruan masing-masing. 

"Waji...," panggil Gambala kepada muridnya yang 

masih termenung menatap ke arah Barat 

Pemuda berbadan lebar itu pun berpaling menatap 

gurunya. 

"Ke sanakah kedua orang itu melarikan diri, Waji?" 

tanya Gambala seraya memandang ke arah 

pandangan muridnya tadi. 

"Benar, Guru," jawab Waji sambil menganggukkan 

kepalanya. "Apakah Guru akan mengejarnya?" 

Gambala menggelengkan kepalanya. 

"Mengapa, Guru?" tanya Waji. Nada suaranya 

menyiratkan rasa penasaran yang mendalam. 

"Mengejar kedua orang itu tidak sulit, Waji. Tapi 

yang penting sekarang kita urus dulu mayat paman 

gurumu ini" 

"Maaf, Guru. Aku... aku...." 

"Ada apa lagi, Waji?" tanya Gambala dengan alis 

berkerut melihat sikap muridnya yang tampak ragu-

ragu melanjutkan ucapannya. 

"Aku... aku tidak bisa ikut Guru pulang ke 

perguruan...," sahut Waji terputus-putus. 

"Mengapa, Waji?" 

"Aku ingin mencari mayat Adi Jalasa dan Adi 

Rupangki dulu, Guru. Batinku tidak akan tenang


sebelum mayat mereka kutemukan," sahut Waji 

tersendat-sendat. Suaranya terdengar parau. 

"Hhh...!" Gambala menghela napas berat "Kalau itu 

sudah keputusanmu, aku tidak akan mencegah, Waji" 

"Terima kasih, Guru," ucap pemuda berbadan lebar 

itu terputus-putus. 

"Kalau begitu aku akan pergi dulu. Hati-hatilah, 

Waji" 

"Akan kuperhatikan semua nasihat Guru." 

Gambala membungkuk, lalu mengangkat mayat 

Gumarang dan diletakkan di bahunya. Sesaat 

kemudian Ketua Perguruan Pedang Ular itu melesat 

dari situ. Cepat bukan main gerakannya sehingga 

yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan kuning. 

Waji memandangi tubuh gurunya hingga lenyap di 

kejauhan. Kini di tempat itu yang tinggal hanya dia 

sendiri. Si Golok Emas pun sudah sejak tadi 

meninggalkan tempat itu sambil membawa mayat 

adik seperguruannya. 

*** 

Waji tersenyum lebar. Sorot kesedihan mendadak 

lenyap di wajahnya. Perlahan kakinya dilangkahkan 

menuju batu pipih dan lebar yang terdapat dekat situ. 

Kemudian pantatnya dihempaskan, duduk di atasnya. 

Cukup lama juga pemuda berbadan lebar itu 

duduk di situ. Sampai matahari tepat berada di atas 

kepala, Waji tetap duduk di atas batu itu. 

"Uhhh...," keluh Waji. Kepalanya ditolehkan ke 

bawah lereng. Entah sudah berapa kali pemuda itu 

berbuat seperti itu. Jelas ada sesuatu yang 

ditunggunya. 

"Mengapa lama sekali...?"


Baru saja Waji menyelesaikan ucapannya, 

mendadak terdengar suara berkaokan keras dua kali. 

Suara itu mengingatkan orang akan suara burung 

gagak. 

Waji segera berpaling ke arah asal suara. 

Pendengarannya dipasang tajam-tajam. Jelas kalau 

suara berkaokan itu mempunyai arti bagi pemuda itu. 

Belum lagi gema suara itu lenyap, kembali 

terdengar lagi. Dua kali berturut-turut dan kemudian 

berhenti. 

Waji tersenyum lebar. Wajahnya mendadak cerah. 

Dari mulutnya terdengar siulan nyaring yang 

menggema ke seluruh tempat itu. Hal ini tidak aneh, 

karena pemuda berbadan lebar itu mengerahkan 

tenaga dalam sewaktu bersiul. 

"Ha ha ha...!" 

Mendadak terdengar tawa keras bergelak. Tawa 

yang menggema ke seluruh penjuru Gunung Paianjar. 

Membuat daun-daun di sekitar tempat itu bergetar. 

Jelas kalau tawa itu dikeluarkan dengan pengerahan 

tenaga dalam. 

Belum juga habis gema tawa itu, melesat sesosok 

bayangan dan mendarat tepat di depan Waji. Bumi 

bergetar hebat begitu kedua kaki bayangan itu 

menjejak tanah. 

Di hadapan Waji telah berdiri sesosok tinggi besar. 

Sekujur tangan dan badan sosok yang bertelanjang 

dada ini dipenuhi otot-otot melingkar dan bertonjolan. 

Kepalanya botak dan raut wajahnya kasar dengan 

mata membelalak lebar. Celananya sebatas lutut, dan 

terbuat dari kulit beruang salju. 

"Ha ha ha...! Kelihatannya semua rencanamu 

berjalan baik, Waji," ucap laki-laki bertubuh tinggi 

kekar berotot itu. Suaranya mirip dengan tawanya.


Keras dan menggelegar. 

Waji bergegas bangkit dari duduknya dan 

kemudian berdiri di hadapan laki-laki tinggi besar 

berotot itu. Dan begitu pemuda berbadan lebar ini 

berdiri, baru teriihat betapa tingginya orang yang baru 

datang itu. Tinggi Waji hanya mencapai dada laki-laki 

tinggi besar berotot itu. Padahal Waji terhitung 

pemuda yang berpostur tubuh di atas rata-rata. 

"Mengapa kau bisa menduga demikian, Setan 

Kepala Besi?!" sahut Waji cepat. 

"Kulihat sikapmu begitu gembira! Betul kan 

dugaanku? Ha ha ha...!" sahut laki-laki berotot kekar 

yang ternyata berjuluk Setan Kepala Besi sambil 

tertawa bergelak. Kembali suara tawa yang 

menggelegar itu menggema ke seluruh penjuru 

tempat itu. 

Waji menganggukkan kepalanya. 

"Bagaimana dengan Kalapati?" tanya Setan Kepala 

Besi setengah berbisik. Seketika itu juga lenyap suara 

tawanya. Raut wajahnya teriihat serius. Raut wajah 

dan suaranya menyorotkan kegentaran. Wajarlah 

kalau laki-laki bertubuh tinggi besar dan kekar berotot 

itu gentar pada Kalapati, karena belasan tahun yang 

lalu dia telah dikalahkan oleh bekas datuk sesat itu. 

"Dia telah tewas, Setan Kepala Besi," sahut Waji 

memberi tahu. 

"Apa...?! Kalapati tewas?!" Sepasang mata Setan 

Kepala Besi membelalak. Tentu saja mata yang 

memang sudah besar itu, jadi teriihat semakin 

membesar. 

Waji menganggukkan kepalanya. 

"Gila! Sungguh gila!" seru laki-laki tinggi besar 

kekar berotot itu sambil menggeleng-gelengkan 

kepalanya. Nada suara dan sikapnya mengandung


ketidak-percayaan. "Bagaimana dia bisa tewas?" 

"Kalapati dikeroyok oleh Gambala, si Golok Emas, 

dan si Golok Perak..." 

"Pantas...," desah Setan Kepala Besi. Kepalanya 

terangguk-angguk. 

"Apakah kau ingin melihat mayat Kalapati, Setan 

Kepala Besi?" tanya Waji lagi. 

"Boleh," sahut Kalapati. "Biar hatiku lebih yakin. 

Rasanya aku tidak percaya kalau orang seperti 

Kalapati bisa ditewaskan...." 

Waji tidak menyahuti ucapan Setan Kepala Besi. 

Kakinya dilangkahkan menuju tempat mayat Kalapati 

tergolek dengan kepala terpisah dari lehernya. Tanpa 

berkata apa-apa, Setan Kepala Besi melangkah di 

belakang pemuda berbadan lebar itu. 

"Itulah mayat Kalapati," ucap Waji sambil 

menudingkan telunjuknya ke arah sosok tubuh yang 

tergolek beberapa tombak di depannya. Sementara 

kakinya terus saja dilangkahkan. 

Setan Kepala Besi menyipitkan mata untuk lebih 

memperjelas pandangan. Kalau melihat pakaiannya, 

memang dapat dikenali kalau tubuh yang tergolek itu 

adalah Kalapati. Tapi laki-laki tinggi besar ini tidak 

puas kalau hanya melihat dari jauh, maka kakinya 

dilangkahkan mendekat. 

"Ha ha ha...!" 

Tawa bergelak kembali menggema ke seluruh 

tempat itu begitu Setan Kepala Besi melihat jelas 

kalau mayat itu benar Kalapati. Orang yang selama ini 

sangat ditakutinya. 

Waji pun tersenyum lebar begitu melihat ke-

gembiraan laki-laki tinggi besar itu. 

"Memangnya untuk apa kau menginginkan 

kematian Kalapati, Setan Kepala Besi? Bukankah


kakek itu telah meninggalkan urusan persilatan? Dan 

kurasa dia tidak akan mengganggu seandainya kau 

ingin menga-caukan dunia persilatan?" tanya Waji 

ingin tahu. 

"Karena aku menginginkan tempat tinggalnya. Dan 

itu tidak mungkin kuperoleh bila Kalapati masih 

hidup. Dan...." 

"Kau menyuruhku merencanakan sesuatu, 

bukan?" sambung Waji cepat. 

"Dan..., inilah hasilnya!" tegas Setan Kepala Besi 

seraya tertawa bergelak. Waji pun tertawa bergelak. 

"Mengapa kau ingin merebut tempat Kalapati, 

Setan Kepala Besi? Bukankah tempat tinggalmu lebih 

mewah dan indah daripada tempat ini?" tanya Waji 

lagi setelah tawanya mereda. 

Setan Kepala Besi terdiam seketika. Rupanya 

jawaban dari pertanyaan itu merupakan rahasia. 

Untuk beberapa saat, laki-laki tinggi besar ini 

tercenung. 

"Kalau tidak mengingat jasamu, dan juga 

hubungan kekeluargaan kita, pertanyaanmu itu dapat 

kujadikan alasan untuk membunuhmu, Waji." 

Pucat wajah pemuda berbadan lebar itu seketika. 

Waji tahu kalau Setan Kepala Besi tidak pemah main-

main dalam ucapannya. 

"Memangnya kenapa, Setan Kepala Besi?" tanya 

Waji dengan suara bergetar. Seketika perasaan 

tegang melandanya. 

"Karena rencana ini merupakan rahasiaku," jawab 

Setan Kepala Besi dengan suara mendesis tajam. 

"Rahasia?!" Sepasang alis Waji berkerut dalam. 

"Ya. Kalau seandainya ada orang persilatan yang 

tahu, mereka akan berbondong-bondong datang ke 

mari," sambung Setan Kepala Besi masih dengan


suara berbisik-bisik. 

"Ah...!" seru Waji terkejut "Mengapa bisa begitu, 

Setan Kepala Besi?" 

"Karena di dalam gua Kalapati tersimpan benda 

yang mampu membuat tenaga dalam orang yang 

memakannya menjadi berlipat ganda...." 

"Ahhh...! Kiranya begitu...," desah Waji kaget. 

Kepalanya terangguk-angguk karena mulai mengerti 

masalahnya. 

"Kau paham, Waji?" tanya Setan Kepala Besi 

sambil menatap tajam wajah pemuda di hadapannya. 

"Paham, Setan Kepala Besi," sahut Waji sambil 

menganggukkan kepalanya. 

"Ha ha ha...!" 

Kembali Setan Kepala Besi tertawa. Waji yang 

semula tidak mengerti apa-apa, ikut pula tertawa 

terbahak-bahak. Tapi tiba-tiba pemuda berbadan 

lebar itu menghentikan tawanya. Sepasang alisnya 

berkerut dalam. Jelas ada sesuatu yang mengganggu 

pikirannya. Tentu saja hal ini tidak lepas dari 

perhatian Setan Kepala Besi. 

"Ada apa, Waji?" 

Waji menengadahkan kepala. Ditatapnya wajah 

Setan Kepala Besi. 

"Putri Kalapati berhasil meloloskan diri...," sahut 

pemuda itu pelan, mirip desahan. 

"Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa bergelak. 

Rupanya kakek tinggi besar ini gemar tertawa. "Kukira 

ada apa! Kalau hanya putri Kalapati saja, mengapa 

dirisaukan? Sampai seberapa tinggi sih kepandaian-

nya?! Sudahlah, Waji. Lupakan saja masalah kecil 

itu!" 

"Bukan putri Kalapati yang kurisaukan, Setan 

Kepala Besi," sambut Waji lagi.


"Heh...?! Kau ini aneh, Waji! Kalau bukan putri 

Kalapati, lalu siapa lagi? Bukankah itu tadi 

jawabanmu ketika kutanya?!" sergah Setan Kepala 

Besi penuh rasa heran. 

"Memang benar putri Kalapati berhasil meloloskan 

diri. Tapi, bukan wanita liar itu yang merisaukanku." 

"Lalu siapa?" 

"Penolongnya," sahut Waji singkat. 

"Ah...! Jadi, ada orang yang telah menyelamatkan 

putri Kalapati?" sambut Setan Kepala Besi mulai 

paham. 

Waji hanya menganggukkan kepalanya. 

"Siapa orang itu, Waji?" 

"Dewa Arak...," jawab pemuda berbadan lebar itu 

pelan. 

"Dewa Arak?!" ulang Setan Kepala Besi kaget. "Kau 

tidak salah lihat, Waji?!" 

Waji menggelengkan kepalanya. 

"Dari mana kau tahu kalau penolong putri Kalapati 

itu Dewa Arak?" desak Setan Kepala Besi ingin tahu. 

"Gambala mengenalinya... pemuda itu pun meng-

akuinya. Dan lagi ciri-cirinya memang seperti yang 

kudengar selama ini. Hhh...! Kepandaiannya tinggi 

sekali. Dia mampu menghadapi Gambala dan si 

Golok Emas sekaligus...!" 

"Jadi, Dewa Arak sempat bertempur?" 

"Ya. Eh..., kenapa aku begini bodoh? Bukankah ini 

kesempatan untuk melenyapkan Dewa Arak itu?" 

ucap Waji pada dirinya sendiri. Jelas ada suatu 

rencana di benaknya. Dan sudah pasti rencana itu 

amat diyakini keberhasilannya. Hal ini terbukti 

dengan lenyapnya kemuraman pada wajah pemuda 

itu. Wajahnya kini mendadak berseri-seri. 

"Apa maksudmu, Waji?" tanya Setan Kepala Besi


yang memang tidak mengerti rencana pemuda 

berbadan lebar itu. 

Waji lalu menceritakan semua kejadiannya. 

"Gambala dan juga si Golok Emas bertekad 

hendak melenyapkan putri Kalapati. Dan melihat 

kegigihan Dewa Arak melindungi putri Kalapati itu, 

sudah dapat kupastikan kalau di antara mereka akan 

terjadi pertarungan. Kini yang harus kulakukan 

hanyalah memanas-manasi Gambala agar per-

tempuran antara mereka terjadi." 

"Dan sebagai seorang tokoh persilatan golongan 

putih yang mempunyai pergaulan luas, aku yakin 

banyak tokoh-tokoh golongan putih yang akan 

membantu Gambala dan si Golok Emas dalam 

menghadapi Dewa Arak," sambung Setan Kepala Besi 

penuh semangat. 

"Ha ha ha...!" 

Kedua orang ini pun tertawa terbahak-bahak. 

Yakin dengan rencana yang akan mereka jalankan. 

"Kali ini Dewa Arak akan mati kutu!" seru Waji di 

sela-sela tawanya. 

***


Siang itu udara terik sekali. Matahari tepat berada di 

atas ubun-ubun. Sinarnya yang menyengat, menyorot 

garang ke bumi. Rasanya di siang bolong itu tidak 

akan ada orang yang mau melakukan perjalanan. 

Di bawah sebatang pohon besar dan rindang, 

nampak dua sosok tubuh berteduh di bawahnya. 

Kedua sosok itu adalah seorang pemuda berambut 

putih keperakan dan seorang wanita cantik ber-

pakaian jingga. 

Dua sosok itu ternyata Dewa Arak dan Karmila. 

Sudah dua hari lamanya mereka menempuh per-

jalanan bersama. 

"Hhh...!" 

Dewa Arak menghela napas berat. Dihapusnya 

keringat yang membasahi kening dan leher dengan 

punggung tangan. Sekilas diliriknya wajah cantik jelita 

di sampingnya. Wajah cantik milik Karmila. Sayang, 

wanita itu masih terlihat muram. Rupanya gadis ber-

pakaian jingga ini masih belum bisa melupakan 

kesedihan ditinggalkan ayahnya yang harus me-

nentang maut. 

"Panas sekali hari ini...," ucap Arya seperti ber-

bicara pada diri sendiri. Padahal dalam hati pemuda 

berambut putih keperakan ini berharap kalau gadis 

yang duduk di sebelahnya menanggapi ucapannya. 

Selama dua hari ini, Arya sudah berusaha untuk 

mengajak Karmila bicara. Tapi jawaban yang diterima 

hanya singkat-singkat saja. Bahkan terkadang tak ada 

jawaban sama sekali. Nampaknya gadis berpakaian


jingga ini tidak ingin diajak bicara. Arya pun tahu diri, 

maka tidak mengajak bicara lebih lanjut 

Tapi setelah dua hari ini kemurungan Karmila 

masih belum sirna juga, Arya memutuskan untuk ikut 

campur. Itulah sebabnya setelah beberapa saat 

lamanya tidak ada sahutan Karmila, Arya lalu 

menoleh. Ditatapnya wajah Karmila lekat-lekat. 

"Karmila...," panggil Arya pelan. 

"Hm...," hanya gumaman pelan yang tak jelas 

menyambut panggilan Arya. Sedangkan pandangan 

gadis itu masih menatap kosong ke depan. 

"Karmila...," panggil Arya lagi, lebih keras. 

"Hm...," kembali hanya gumaman tak jelas yang 

keluar dari mulut gadis berpakaian jingga itu. 

Pandangan matanya masih tetap tertuju ke depan. 

"Karmila...," panggil Arya lebih keras lagi. "Pandang 

aku, Karmila...." 

Kali ini justru tidak ada jawaban sama sekali. 

Karmila tetap menatap kosong ke depan pada satu 

titik. Jelas kalau pikiran gadis ini tengah menerawang 

entah ke mana. 

"Hhh...!" 

Arya menghela napas berat. Menghilangkan rasa 

mendongkol di hatinya. Dewa Arak mengerti kalau 

Karmila bersikap seperti itu karena tengah ada 

pertentangan batin di dalamnya. Dan Arya pun tahu 

kalau tidak bertindak agak kasar, tidak mungkin dia 

dapat menyadarkan gadis berpakaian jingga ini. Kini 

pandangannya dialihkan ke depan. 

"Tidak kusangka kalau kau ternyata gadis yang 

lemah, Karmila. Lemah dan cengeng!" tandas Arya 

tegas. Kata-katanya lebih ditekankan pada kalimat 

terakhir. Pemuda berambut keperakan ini terpaksa 

bersikap begitu walaupun sebenarnya ada rasa tidak


tega di hatinya. 

Diam-diam Dewa Arak bersorak dalam hati begitu 

melihat ada perubahan pada wajah Karmila. Jelas 

kalau kata-kata yang diucapkannya mengenai 

sasaran. Sekilas Arya melihat sepasang mata gadis 

itu memancarkan sinar berapi. Tapi hal itu hanya ber-

langsung sesaat saja. Tak lama kemudian pandangan 

gadis itu sudah kembali seperti semula. Dingin, dan 

menatap kosong pada satu titik. 

Tapi Dewa Arak tidak putus asa. Tadi telah 

dilihatnya sendiri bukti keberhasilan usahanya. Hanya 

saja ucapan itu masih belum terlalu tegas untuk 

menyadarkan Karmila dari ketermenungannya. 

"Kalau saja ayahmu melihat sikapmu ini, aku yakin 

beliau akan kecewa. Aku sendiri kecewa! Sungguh 

tidak kusangka, kalau orang yang begitu gagah 

perkasa seperti ayahmu mempunyai seorang anak 

yang berjiwa lembek dan cengeng!" ucap Arya lagi. 

Pandangannya tetap menatap lurus ke depan. 

Seolah-olah pemuda ini hanya berbicara pada dirinya 

sendiri. Tapi tanpa sepengetahuan Karmila, sudut 

mata Dewa Arak melirik ke arahnya. Memperhatikan 

setiap perubahan wajah gadis berpakaian jingga di 

sebelahnya. 

Gembira hati Arya begitu melihat perubahan pada 

wajah Karmila yang semakin kentara. Sepasang mata 

indah itu mulai melirik dengan pandangan berapi-api. 

Bahkan suara bergemeretak terdengar dari mulut 

gadis itu. Jelas kalau Karmila tengah menahan 

amarah yang bergolak. Kedua tangannya pun teriihat 

mengepal keras. Tegang penuh kekuatan. Dan inilah 

saat yang tepat bagi Arya untuk melancarkan siasat 

terakhir. 

"Aku yakin..., kalau saja ayahmu tahu kau akan


bersikap cengeng seperti ini. Dia tidak akan mau 

mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamat-

kanmu. Ahhh..., kasihan kau, Kalapati. Pengorbanan-

mu sia-sia...," keluh Arya dengan suara mendesah. 

Kepalanya tertunduk dalam-dalam ke tanah, seperti 

orang yang tengah menyesali sesuatu. 

"Diaaam...! Hentikaaan...!" 

Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari mulut 

Karmila. Dan seiring dengan terdengarnya teriakan 

itu, gadis berpakaian jingga itu bangkit berdiri. 

Wajahnya merah padam. Sepasang matanya berkilat-

kilat menyorotkan api kemarahan. Sementara kedua 

tangannya terkepal penuh kekuatan. Bahkan napas-

nya pun menderu keras. 

"Heh...?!" Arya pura-pura tidak mengerti. Dengan 

pandangan mata bodoh, ditatapnya wajah gadis 

berpakaian jingga itu lekat-lekat "Kenapa kau, 

Karmila?" 

"Tidak usah berpura-pura, Dewa Arak!" sergah 

Karmila sengit "Jangan mentang-mentang telah 

menolongku, seenaknya saja kau menghinaku! 

Bangun dan hadapi aku!" 

"Ha ha ha...!" Arya tertawa pelan. Tapi tidak 

terdengar ada nada ejekan di dalamnya. "Bagaimana 

mungkin kau bisa menghadapi orang lain, Karmila? 

Menghadapi dirimu sendiri saja kau tidak mampu!" 

"Tidak usah mengejek, Dewa Arak! Kuakui, kau 

memang berkepandaian tinggi. Tapi pantang bagiku 

diejek orang lain!" tandas Karmila tegas. 

"Duduklah dulu, Karmila. Tenangkan pikiranmu. 

Nanti akan kujelaskan mengapa aku bersikap yang 

berlawanan dengan hati nuraniku sendiri," ucap Arya 

bernada membujuk.


Karmila terdiam sejenak. Kemarahan yang 

menyesakkan dadanya terpaksa ditahan. Meskipun 

ucapan Dewa Arak tadi menyakitkan, tapi gadis ini 

menyadari kebenaran ucapan pemuda itu. 

Karmila menarik napas dalam-dalam dan meng-

hembuskannya kuat-kuat. Barangkali saja dengan 

berbuat begitu, kemarahan yang bergolak di dadanya 

dapat berkurang. Dan memang, ternyata amarahnya 

kini berkurang banyak. Tidak berkobar-kobar seperti 

sebelumnya. 

"Sekarang coba kau kemukakan alasanmu, Dewa 

Arak!" desak Karmila seraya menghempaskan tubuh 

di tempat duduknya semula. Sepasang bola matanya 

menatap tajam wajah tampan di depannya. Dan 

seketika itu juga, hati Karmila tercekat. Baru kali ini 

dia melihat wajah Dewa Arak dengan jelas. Selama ini 

Karmila memang tidak sempat memperhatikan wajah 

pemuda berambut putih keperakan itu. Seluruh 

pikirannya tertuju pada ayahnya. Kini setelah 

menatap jelas wajah Arya, ada perasaan aneh yang 

menjalar di hatinya. 

Wajah pemuda itu begitu tampan dan gagah. Raut 

wajah seorang pemuda yang telah matang oleh 

tempaan pengalaman hidup. Rambutnya yang ber-

warna putih keperakan itu semakin menambah 

kematangan sikapnya. Dan hal ini baru sekarang 

disadarinya. 

Arya menghela napas panjang sebelum menjawab 

pertanyaan Karmila. 

"Sikapmulah yang membuatku terpaksa menge-

luarkan kata-kata keras, Karmila," ucap Dewa Arak, 

pelan suaranya. 

"Maksudmu...?" tanya Karmila tak mengerti. 

Sementara sepasang matanya tetap merayapi wajah


tampan di hadapannya. Sikap pemuda itu dalam 

mengucapkan setiap kata-katanya terlihat begitu 

jantan. 

"Selama dua hari ini kau hanya termenung saja. 

Bahkan sewaktu kita melakukan perjalanan pun 

pikiranmu terus menerawang. Ketika berkali-kali 

kuajak bicara, kau hanya menjawab sekali-sekali saja. 

Bahkan kadang-kadang tidak sama sekali! Kau terlalu 

hanyut dalam lamunan dan kesedihanmu, Karmila." 

Arya menghentikan ucapannya sebentar. Ditatap-

nya wajah gadis berpakaian jingga itu lekat-lekat 

untuk melihat reaksinya. Sekilas dilihatnya Karmila 

mengerutkan alisnya yang berbentuk indah. 

Kemudian.... 

"Teruskan, Dewa Arak...," pinta gadis itu. 

"Berkali-kali kucoba dengan lemah lembut untuk 

menyadarkanmu, tapi kau tetap saja tidak bereaksi. 

Jangankan mendengar, kupanggil-panggil pun kau 

tidak menyahut!" sambung Arya lagi. 

"Lalu...?" selak Karmila. 

"Aku tahu, melalui jalan halus, tidak mungkin akan 

berhasil. Jadi, terpaksa kupakai jalan kasar! Aku tahu, 

jalan termudah untuk menyadarkan orang yang 

dilanda persoalan sepertimu adalah dengan mem-

bangkitkan amarahnya. Tapi kalau perbuatanku 

menyinggung perasaanmu, aku mohon maaf," jelas 

pemuda berambut putih keperakan itu. 

Karmila mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini 

telah dimengertinya mengapa Arya mengucapkan 

kata-kata kasar padanya. Dan seketika itu juga 

kemarahannya lenyap. Bahkan diam-diam, telah ber-

desir perasaan lain dalam hati Karmila pada pemuda 

berambut putih keperakan itu. 

"Jadi, apakah kita tidak boleh bersedih kalau


kehilangan orang yang sangat kita cintai, Dewa Arak?" 

tanya Karmila tiba-tiba. 

"Tentu saja boleh, Karmila," jawab Arya sambil 

tersenyum. "Tapi, tentu saja tidak boleh sampai 

menyiksa diri. Kau paham kata-kataku, Karmila?" 

Karmila mengangguk-anggukkan kepalanya per-

tanda mengerti. 

"Sekarang aku ingin bertanya padamu. Sebenarnya 

persoalan apakah yang menyebabkan kau dan ayah-

mu bentrok dengan para penyerbu itu?" tanya Arya 

tanpa membuang-buang waktu lagi. Sudah terlalu 

lama pertanyaan ini disimpannya dalam hati. 

"Aku sendiri tidak tahu secara pasti, Arya. Kalau 

masalah-masalah yang dulu sih..., ayah pernah 

menceritakannya. Tapi, sepertinya... orang-orang dari 

Perguruan Pedang Ular mempersoalkan masalah 

baru. Mereka menuntut kematian dua orang murid 

perguruan itu yang katanya dibunuh ayah. Padahal 

aku tahu pasti kalau ayah sama sekali tidak mem-

bunuh mereka." 

Setelah berkata demikian, Karmila pun men-

ceritakan kejadian beberapa hari yang lalu. Sewaktu 

Waji, Jalasa dan Rupangki tiba di tempat Kalapati 

menyepi. 

"Begitulah ceritanya, Dewa Arak," ucap Karmila 

menutup ceritanya. Sedangkan Arya mengerutkan 

alisnya begitu gadis berpakaian jingga itu 

menyelesaikan ceritanya. 

"Aneh...!" ucap Arya. "Kalau melihat kemarahan 

kedua orang kakek itu, jelas mereka yakin kalau 

pembunuh dua orang muridnya adalah ayahmu. Tapi, 

kau sendiri yakin kalau ayahmu sama sekali tidak 

membunuh mereka. Aneh...!" 

"Aku yakin ayahku tidak membunuh dua orang


murid Perguruan Pedang Ular itu. Orang yang meng-

hina diriku dan ayah adalah pemuda berbadan lebar 

itu. Rasanya tak mungkin kalau ayah membunuh dua 

orang yang sama sekali tidak berbuat kesalahan, 

sementara orang yang menghina itu dibiarkan hidup!" 

Karmila meminta pendapat pada Arya dengan nada 

berapi-api. 

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Bisa diterima alasan yang dikemukakan gadis ber-

pakaian jingga itu. 

"Jadi..., kunci jawaban pertanyaan itu ada pada 

pemuda yang berbadan lebar," desah pemuda 

berambut putih keperakan itu pelan. 

"Kau benar, Dewa Arak!" sergah Karmila tiba-tiba. 

"Ah...! Mengapa aku sampai tidak berpikir ke sana?" 

"Kau terlalu sibuk memikirkan ayahmu, Karmila," 

sahut Arya setengah mencela sambil tertawa. Karmila 

hanya bisa meringis. Disadarinya kebenaran ucapan 

Dewa Arak itu. 

"Mungkin kau benar, Dewa Arak," hanya itu yang 

bisa diucapkan gadis berpakaian jingga itu. 

"Bisa kau ceritakan padaku tentang ayahmu, 

Karmila?" tanya Dewa Arak tiba-tiba. "Barangkali saja 

dari situ bisa kuketahui latar belakang semua 

keruwetan ini." 

Karmila tercenung sejenak. Sepertinya gadis ini 

berat untuk menceritakannya. 

"Apakah hal ini penting sekali, Dewa Arak?" 

"Mana kutahu, Karmila? Tapi seperti yang telah 

kukatakan tadi, barangkali saja masalah ini ada 

hubungannya dengan masa lalu ayahmu...." 

"Baiklah, Dewa Arak," sahut Karmila mengalah. 

"Puluhan tahun yang lalu, ayahku adalah seorang 

datuk kaum sesat yang amat ditakuti. Telah puluhan,


bahkan mungkin ratusan kali, ayah bertanding tanpa 

pernah kalah. Ayah adalah orang yang gila mengadu 

ilmu. Setelah tidak ada lagi orang yang berani 

menerima tantangannya, dia pun mendatangi 

perguruan-perguruan silat besar. Ditantang ketuanya 

bertanding." 

Karmila menghentikan ucapannya sebentar untuk 

mengambil napas. Seraya menunggu, barangkali saja 

Dewa Arak hendak memberi tanggapan atas 

ceritanya. Tapi ternyata tidak. Pemuda berambut 

putih keperakan itu tenang saja mendengarkan 

ceritanya. 

"Di antara ketua-ketua perguruan yang ditantang 

ayah, termasuk Gambala, Ketua Perguruan Pedang 

Ular, dan juga Ketua Perguruan Golok Maut yang 

bergelar si Golok Emas. Keduanya dikalahkan oleh 

ayah. Tapi bertahun-tahun setelah itu, ibuku 

meninggal dunia. Ayah merasa terpukul sekali. 

Akhirnya beliau memutuskan untuk mundur dari 

dunia persilatan. Dan sebelum ayah melaksanakan 

sumpahnya, terlebih dulu meminta maaf pada ketua-

ketua perguruan yang telah dikalahkannya. Ke-

datangan ayah sekaligus memberi tahu sumpahnya 

yang hendak mengundurkan diri dari dunia 

persilatan." 

Lagi-lagi Karmila menghentikan ceritanya. Dahinya 

nampak berkernyit. Rupanya gadis ini tengah mencari 

kata-kata yang tepat untuk melanjutkan ceritanya. Di 

samping itu, semua pikirannya dikerahkan untuk 

mengingat-ingat cerita ayahnya. 

"Gambala menerima permintaan maaf ayah. 

Apalagi kedatangan ayah tepat saat Perguruan 

Pedang Ular tengah dikacaukan oleh tokoh sesat 

yang berjuluk Setan Kepala Besi. Saat itu kebetulan


Gumarang tidak berada di sana, sehingga kalau saja 

ayah tidak datang, Gambala pasti sudah tewas. 

Begitulah cerita masa lalu Ayah, Dewa arak," ucap 

Karmila menutup ceritanya. 

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Dari cerita gadis berpakaian jingga itu, rasanya tidak 

mungkin kalau orang-orang Perguruan Pedang Ular 

menyerbu Kalapati karena masalah lalu. Lagi pula, 

masalah itu telah lama berlalu. Sudah belasan tahun. 

"Lalu, sekarang apa yang akan kau lakukan, Dewa 

Arak?" tanya Karmila tiba-tiba. 

"Memenuhi janjiku pada ayahmu, Karmila," sahut 

Arya. Mantap nada suaranya. 

"Apa itu, Dewa Arak?" tanya gadis berpakaian 

jingga itu meskipun sebenarnya telah didengarnya 

sendiri ucapan pemuda itu. 

"Melindungimu dengan taruhan nyawaku, Karmila." 

Belum sempat Karmila menjawab, tiba-tiba Dewa 

Arak memberi isyarat pada Karmila agar diam. 

"Ada banyak langkah kaki menuju ke sini, Karmila," 

bisik Arya memberi tahu. "Mudah-mudahan saja 

hanya orang-orang yang sekadar lewat" 

Karmila terpaksa membatalkan ucapan yang akan 

dikeluarkannya. Dia pun diam menanti seperti halnya 

Dewa Arak. 

Semakin lama derap langkah kaki itu terdengar 

semakin jelas. Tak lama kemudian muncullah para 

pemilik langkah kaki itu. Seketika itu juga Arya dan 

Karmila bergerak bangkit dari duduknya. 

Di hadapan Karmila dan Dewa arak kini telah 

berdiri belasan sosok tubuh. Dan sosok yang berdiri 

paling depan membuat kedua muda-mudi itu terkejut 

Orang yang berdiri paling depan adalah Gambala, 

Ketua Perguruan Pedang Ular.



Menilik dari wajah mereka, Dewa Arak dan Karmila 

sudah bisa menduga kalau belasan orang ini datang 

tidak dengan maksud baik. Dan dugaan kedua orang 

itu beralasan. 

"Hm...," Gambala mendengus. Secercah senyum 

sinis tersungging di bibirnya. "Sungguh tak kusangka 

kalau tokoh yang menggemparkan dunia persilatan 

dengan julukan Dewa Arak, adalah pemuda mata 

keranjang yang langsung lupa daratan begitu melihat 

dahi licin!" 

Merah wajah Dewa arak mendengar ucapan keras 

bernada kasar itu. Seketika itu juga rasa marah 

menggayuti hatinya. Tapi, pemuda berambut putih 

keperakan ini segera menekan amarahnya. 

"Ha ha ha...! Kau benar, Gambala," sambut 

seorang berwajah gagah yang bersenjatakan se-

pasang tombak pendek. Diam-diam orang ini merasa 

iri pada Arya yang bisa begitu dekat dengan seorang 

gadis semolek Karmila. Menilik dari potongannya, dia 

adalah seorang tokoh persilatan golongan putih. 

"Kalau tidak ada apa-apa, mana mungkin Dewa Arak 

berani mempertaruhkan nyawa untuk menolong 

perempuan liar ini. Setidak-tidaknya, mereka sudah... 

ehm... ehm...." 

Terdengar suara gemeletuk dari mulut Dewa arak 

mendengar ucapan bernada kotor itu. Tanpa sadar 

kedua tangannya dikepalkan. Ada suara berkerotokan 

keras begitu jari-jemari Arya mengepal. Dewa Arak 

memang marah bukan main. Penghinaan orang yang 

bersenjatakan sepasang tombak pendek itu telah 

melewati batas! 

Kalau Dewa Arak saja marah apalagi Karmila. 

Wajah gadis berpakaian jingga ini merah padam


karena rasa malu dan terhina. Jari telunjuknya yang 

runcing, indah, dan halus ditudingkan ke arah laki-laki 

gagah yang tadi mengeluarkan hinaan itu. 

***


"Manusia berpikiran kotor! Mulutmu yang menjijikkan 

itu memang harus dihajar!" sergah Karmila. 

Setelah berkata demikian, Karmila melompat 

menerjang. Tangannya menampar deras ke arah 

mulut laki-laki gagah bersenjatakan sepasang tombak 

pendek. 

Wuttt..! 

Deru angin cukup deras mengawali tibanya 

tamparan Karmila. Tapi lawan yang diserang gadis 

berpakaian jingga ini ternyata memiliki kepandaian 

cukup tinggi. Sungguhpun dengan agak tergesa-gesa, 

tubuhnya ditarik ke belakang sehingga serangan itu 

lewat setengah jengkal di depan wajahnya. Pada saat 

yang bersamaan, tombak di tangan kanannya di-

tusukkan ke leher Karmila. 

Wukkk...! 

"Ah...!" 

Karmila memekik kaget. Buru-buru kakinya di-

langkahkan ke belakang seraya mendoyongkan 

tubuhnya. Serangan tombak itu tidak mengenai 

sasaran. Setengah jengkal di depan lehernya. 

Tapi baru saja mengelak, belasan orang yang 

menilik dari sikap dan pakaian mereka adalah tokoh-

tokoh persilatan aliran putih, telah meluruk 

menerjang Karmila. Dan sekali menyerang, mereka 

semua telah menggunakan senjata. Seketika itu juga 

hujan senjata berhamburan ke berbagai bagian tubuh 

gadis berpakaian jingga itu. Teringat kalau gadis di 

hadapan mereka adalah putri Kalapati, tokoh-tokoh


golongan putih itu tidak ragu-ragu melakukan 

pengeroyokan. 

Tentu saja Karmila jadi kerepotan menghadapi 

serangan yang begitu gencar itu. Apalagi lawan putri 

bekas datuk sesat ini bukanlah tokoh-tokoh 

rendahan. Masing-masing memiliki kepandaian cukup 

tinggi. Tak heran kalau gadis berpakaian jingga ini 

jadi terpontang-panting mengelak setiap serbuan 

lawan-lawannya. 

Melihat hal ini Dewa Arak mengerutkan alisnya. 

Segera pemuda berambut putih keperakan ini maju 

membantu Karmila. Tapi baru saja beberapa tindak 

melangkah, tahu-tahu berkelebat sesosok bayangan 

kuning. Dan sesaat kemudian, di hadapan Arya telah 

berdiri Gambala. Sebatang pedang telanjang telah 

tergenggam di tangan kanannya. 

"Tidak kusangka kalau kau bisa tersesat seperti 

ini, Dewa Arak! Tapi sebelum kau semakin jauh 

tersesat, terpaksa aku harus menyingkirkanmu!" 

tandas Ketua Perguruan Pedang Ular itu. 

"Menyingkirlah, Kek. Dan biarkan gadis yang tidak 

berdosa itu pergi," ucap Dewa Arak tenang. 

"Ha ha ha...!" Gambala tertawa bergelak. Kakek 

bermata sayu ini menatap Arya dengan sorot mata 

penuh ejekan. Senyum sinis pun tersungging di 

bibirnya. "Tidak berdosa katamu, Dewa Arak! Dasar 

pemuda mata keranjang! Pikiranmu sudah tidak 

waras lagi rupanya. Kau benar-benar sudah terpikat 

oleh kemolekan wanita iblis itu!" 

"Mulutmu terlalu kotor, Kek," sambut Dewa Arak 

sambil mengangkat alisnya. Makian Gambala telah 

membuat kemarahan Arya bergolak. Tapi meskipun 

begitu, pemuda berambut putih keperakan ini 

mencoba menahannya.


"Aku hanya memperingatkanmu, Dewa Arak!" 

tandas Gambala. "Aku tidak ingin nama besarmu 

rusak karena pembelaanmu yang terlalu berlebihan 

pada wanita jalang itu! Kau tahu, Dewa Arak. 

Sikapmu akan menimbulkan kesulitan bagi dirimu 

sendiri. Sekarang, hampir seluruh orang persilatan 

golongan putih tengah memburu wanita itu. Dan 

kalau kau masih bersikeras melindunginya, kau akan 

berhadapan dengan mereka!" 

"Demi membela kebenaran, aku tidak akan gentar 

menghadapi apa pun juga! Perlu kau ketahui, Kek. 

Wanita itu bukanlah wanita jalang seperti yang kau 

tuduhkan!" tandas Dewa Arak tegas. 

"Ah! Susah bicara denganmu, Dewa Arak! Kau 

sudah terjerat oleh kemolekan wajah dan 

kemontokan tubuh gadis itu! Sekarang kau kuberi 

peringatan terakhir. Kau tinggalkan gadis ini atau..., 

kau terpaksa berhadapan denganku!" 

"Aku tidak memilih keduanya! Yang kupilih adalah 

menyelamatkan gadis itu!" tegas pemuda berambut 

putih keperakan itu lagi. 

"Kalau begitu kau harus berhadapan denganku, 

Dewa Arak!" 

Setelah berkata demikian, Gambala menerjang 

Dewa Arak. Pedang lentur di tangannya bergetar dan 

menyambar ke arah dada Dewa Arak sambil menge-

luarkan suara mengaung. 

Menghadapi serangan Gambala, Dewa Arak tidak 

berani mengelak tanpa menggeser kaki. Pedang 

lawan yang lentur itu menyulitkan pemuda berambut 

putih keperakan untuk memastikan arah tujuan 

serangan. Maka, segera Arya melangkahkan kakinya 

ke kanan, seraya menyondongkan tubuh sehingga 

tusukan pedang lewat setengah jengkal di samping


kiri pinggangnya. Pada saat yang bersamaan, tangan 

pemuda itu berkelebat cepat, mengambil guci arak 

yang tersampir di punggungnya. Kemudian gucinya 

diangkat ke atas kepala dan dituangkan ke mulutnya. 

Gluk... gluk... gluk...! 

Suara tegukan terdengar begitu arak itu melewati 

kerongkongan Dewa Arak. Sesaat kemudian ada 

hawa hangat yang menyebar dari perutnya. Dan terus 

merayap naik ke atas kepala. 

Baru saja Dewa Arak menurunkan gucinya, 

serangan susulan dari Gambala meluncur tiba. 

Pedang lenturnya bergetar aneh, kemudian 

dibabatkan mendatar ke arah leher Arya. 

Wunggg...! 

Tapi dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', 

tidak sulit bagi Dewi Arak untuk mengelak. Dengan 

langkah terhuyung-huyung seperti akan jatuh, Dewa 

Arak berkelebat. Sesaat kemudian tubuh pemuda 

berpakaian ungu itu sudah lenyap dari situ. Dan tahu-

tahu telah berada di samping lawannya. 

Gambala tidak kaget lagi. Beberapa hari yang lalu 

dia sudah pemah bertempur dengan Dewa Arak. 

Maka, kakek bermata sayu ini tidak menjadi heran 

begitu lawannya tahu-tahu lenyap dari hadapannya. 

Telah diketahuinya kalau Dewa Arak tidak berada di 

belakang, tentu berada di sampingnya. 

Sesaat kemudian terjadilah pertarungan sengit 

Gambala mempergunakan jurus-jurus 'Pedang Ular'-

nya yang aneh, dan Dewa Arak yang memainkan ilmu 

'Belalang Sakti'. 

Sebenarnya, kalau saja Dewa Arak mau 

mengeluarkan seluruh kemampuannya, dan juga 

perhatiannya tidak terpecah pada Karmila, tidak 

terlalu sulit bagi Arya untuk mengalahkan lawan.


Dewa Arak unggul dalam segala-galanya dibanding 

Gambala. Baik dalam ilmu meringankan tubuh, mau-

pun dalam hal tenaga dalam. 

Berkali-kali sepasang mata Dewa Arak dialihkan ke 

arah Karmila yang tengah menghadapi belasan 

lawan. Nampak jelas kalau gadis berpakaian jingga 

itu terdesak. Tapi, pemuda berambut putih keperakan 

ini membiarkan saja. 

*** 

Sementara itu Karmila mengamuk dahsyat. Gadis 

berpakaian jingga ini segera mencabut pedangnya 

ketika melihat belasan orang mulai mengeroyoknya. 

Pedangnya berkelebat cepat melakukan tangkisan-

tangkisan. Tapi, sesekali sempat juga putri Kalapati 

itu balas menyerang. 

Karmila berusaha menyelamatkan selembar 

nyawanya dengan mengerahkan seluruh kemam-

puannya. 

Tapi karena jumlah lawan terlalu banyak, tetap 

saja gadis ini kewalahan. Dan bahkan terdesak. 

Gulungan pedangnya yang semula lebar, perlahan-

lahan kian mengecil. Bahkan serangan-serangan 

balasannya pun semakin jarang. Karmila lebih sering 

menangkis dan mengelak daripada melancarkan 

serangan. Hujan serangan lawan tidak memberinya 

kesempatan untuk balas menyerang. 

"Haaat..!" 

Laki-laki gagah bersenjatakan sepasang tombak 

pendek menusukkan ujung senjata di tangan 

kanannya ke arah dada Karmila. Padahal saat itu 

gadis berpakaian jingga itu baru saja berhasil 

mengelak serangan salah seorang lawannya. Maka


tidak ada jalan lain bagi Karmila, kecuali menangkis 

serangan itu. Segera saja pedangnya digerakkan 

menangkis. Dan.... 

Wuttt..! 

Tranggg...! 

Suara berdentang keras terdengar begitu kedua 

senjata itu beradu. Bunga-bunga api memercik tinggi 

ke udara. Laki-laki gagah bersenjatakan sepasang 

tombak pendek memekik pelan. Tangan kanannya 

bergetar hebat sehingga hampir saja genggaman 

tombaknya terlepas. Diakuinya kalau tenaga dalam 

miliknya masih kalah bila dibandingkan tenaga dalam 

Karmila. 

Bagi Karmila pun benturan antara kedua senjata 

itu bukannya tidak berakibat sama sekali. Posisinya 

yang sangat tidak menguntungkan pada saat 

menangkis, membuat tubuhnya terhuyung-huyung ke 

belakang. Tepat pada saat itu, salah seorang 

pengeroyoknya melancarkan tendangan cepat ke 

arah perut. 

Wuttt..! Bukkk! 

"Hugh...!" 

Karmila mengeluh tertahan. Telak dan keras sekali 

tendangan itu mengenai perutnya. Seketika itu juga 

tubuh gadis berpakaian jingga itu terjengkang ke 

belakang. Rasa mual dan mules pun melanda perut-

nya. 

Belum lagi Karmila berbuat sesuatu, sergapan-

sergapan dari pengeroyok lainnya datang bertubi-tubi. 

"Akh...!" 

Karmila menjerit tertahan. Gadis berpakaian jingga 

ini menyadari kalau kali ini tidak mungkin lagi baginya 

mengelak. Maka dia hanya memejamkan kedua 

matanya, menanti datangnya maut.


Di saat kritis bagi keselamatan putri Kalapati itu, 

Dewa Arak yang memang sejak tadi tak lepas-

lepasnya mengawasi Karmila, melesat cepat ke arah 

gadis itu. Gambala tentu saja mengetahui maksud 

pemuda berambut putih keperakan itu. Buru-buru dia 

memotong arus lompatan Dewa Arak. Bersamaan 

dengan itu, pedang lentur di tangannya ditebaskan ke 

arah leher Arya. 

Luar biasa! Dewa Arak yang melihat Gambala 

berusaha menghalanginya, hanya menggeliatkan 

tubuhnya seraya tetap meneruskan gerakannya 

menuju ke arah Karmila. 

Wusss...! 

Hati Gambala tercekat kaget. Sungguh tak 

disangkanya kalau lawan mampu berbuat seperti itu. 

Saking takjubnya, sepasang kelopak mata Ketua 

Perguruan Pedang Ular ini terbelalak lebar! 

Tentu saja bagi Dewa Arak gerakan itu bukan 

merupakan sesuatu yang aneh. Berkat ilmu "Belalang 

Sakti''nya, tidak sulit bagi Arya untuk melakukan 

gerakan-gerakan sulit dalam posisi apa pun. 

"Hih...!" 

Cepat bukan main gerakan Dewa Arak. Belum lagi 

senjata para pengeroyok itu mengenai Karmila, tahu-

tahu tubuh pemuda itu sudah berada di atas kepala 

gadis berpakaian jingga itu. Dan sekali tangan Dewa 

Arak dikibaskan, para pengeroyok Karmila bertebaran 

ke belakang laksana diterjang angin topan. 

Terdengar pekikan-pekikan tertahan mengiringi 

tubuh-tubuh yang berpentalan itu. 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara Dewa Arak mendaratkan 

kedua kakinya tepat di depan Karmila. Dan secepat 

kedua kakinya menjejak tanah, secepat itu pula



kepalanya ditolehkan ke arah gadis berpakaian jingga 

itu. 

"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya Dewa Arak 

seraya merayapi sekujur tubuh putri Kalapati itu. Dan 

hatinya lega ketika melihat tidak ada luka berarti yang 

diderita gadis itu. 

Karmila menggelengkan kepalanya sambil ter-

senyum manis. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak. 

Ahhh...! Aku hanya merepotkan dirimu saja.... Awas di 

belakangmu, Dewa Arak...!" seru Karmila keras. 

Tanpa diperingatkan pun, sebenarnya pemuda 

berambut putih keperakan itu mengetahui adanya 

angin serangan yang menuju ke arahnya. Segera 

kepalanya ditolehkan. Dilihatnya laki-laki gagah 

bersenjatakan sepasang tombak pendek tengah 

menusukkan kedua tombaknya bertubi-tubi ke arah 

tengkuk dan pinggangnya. 

***


Begitu mengetahui siapa yang telah membokongnya, 

Dewa Arak jadi geram. Orang inilah yang tadi telah 

mengucapkan kata-kata kotor padanya. Kini terbuka 

kesempatan baginya untuk memberi pelajaran pada 

laki-laki bersenjatakan sepasang tombak pendek ini. 

Tapi hal ini Dewa Arak lakukan bukan karena 

menuruti kemarahan hatinya. Melainkan untuk 

memberi pelajaran agar orang ini tidak sembarangan 

lagi mengucapkan kata-kata kotor. 

Setelah mengambil keputusan itu, Dewa Arak 

sengaja membiarkan saja serangan tombak itu 

meluncur ke arahnya. Begitu mendekat, segera di-

kerahkan tenaga dalam yang dimilikinya. 

Tak, tak...! 

Terdengar suara keras ketika ujung mata tombak 

itu mengenai sasaran. Tapi akibatnya, tombak itu 

sendiri yang membalik. Laki-laki gagah bersenjatakan 

tombak pendek itu memekik tertahan. Kedua tangan-

nya terasa lumpuh. Dan sebelum dia sempat berbuat 

sesuatu, tangan kanan Dewa Arak telah berkelebat 

menampar pipinya. 

Plak...! 

Telak dan keras sekali telapak tangan Dewa Arak 

mendarat di pipi laki-laki gagah itu. Seketika itu juga 

di pipi orang itu tertera tanda merah bergambar 

telapak tangan. Bahkan dari sudut-sudut bibirnya 

menetes darah segar. Masih untung baginya, Dewa 

Arak hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga 

dalam yang dimilikinya. Kalau tidak, tentu saat ini


laki-laki bersenjata sepasang tombak pendek itu 

sudah tewas dengan leher patah. 

Gambala menggeram melihat Karmila berhasil 

diselamatkan Dewa Arak. Sambil mengeluarkan 

pekikan nyaring, kakek bermata sayu ini melesat 

cepat mendekati Dewa Arak. 

"Kau jangan ke mana-mana, Karmila," ucap Dewa 

Arak kepada gadis berpakaian jingga itu. "Diamlah di 

tempatmu." 

Karmila menganggukkan kepala pertanda 

mengerti. Tapi Dewa Arak tidak melihat anggukannya 

karena saat itu serangan dari Gambala telah tiba. 

Segera sambaran pedang lentur itu dielakkan dengan 

melangkahkan kakinya ke samping. Pada saat yang 

bersamaan, Arya membalas dengan serangan tak 

kalah dahsyat. Karena Karmila berada di belakang 

Dewa arak, belasan pengeroyoknya tidak bisa lagi 

mencecar gadis itu. Maka kini mereka berbondong-

bondong berusaha memecahkan pertahanan Dewa 

Arak. 

Tapi, meskipun menghadapi keroyokan belasan 

lawan, Dewa Arak sama sekali tidak tampak terdesak. 

Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit 

baginya untuk mengelakkan semua serangan. 

Sebaliknya, setiap pemuda berbaju ungu itu balas 

menyerang, sudah dapat dipastikan akan ada yang 

bertumbangan. Meskipun begitu, tidak ada satu pun 

di antara mereka yang tewas. 

Gambala menggertakkan gigi. Sudah belasan jurus 

berlalu, tapi dia belum juga mampu mendesak 

lawannya. Padahal kakek bermata sayu ini telah 

dibantu oleh belasan tokoh persilatan aliran putih. 

Tapi tetap juga tidak bisa menguasai keadaan. 

Bahkan perlahan namun pasti, pihaknya yang mulai


terdesak. Apalagi setelah satu persatu tokoh-tokoh 

persilatan yang membantunya berguguran di tanah. 

Tak lama kemudian, yang tinggal hanyalah 

Gambala seorang. Tapi meskipun begitu, Ketua 

Perguruan Pedang Ular ini tidak putus asa. Tetap saja 

kakek ini melakukan periawanan sengit 

"Jangan khawatir, Gambala! Aku datang mem-

bantu...!" 

Terdengar sebuah seruan keras. Dan seiring 

dengan lenyapnya seruan itu, berkelebat sesosok 

bayangan coklat yang kemudian langsung memasuki 

kancah pertempuran. 

Singgg...! 

Begitu tiba, orang yang baru datang ini langsung 

melancarkan serangannya. Seleret sinar keemasan 

melesat cepat ke leher Dewa Arak. 

Dari kilauan sinar keemasan yang mengiringi 

tibanya serangan pendatang itu, baik Dewa Arak 

maupun Gambala mengetahui kalau si penyerang itu 

adalah si Golok Emas. Ketua Perguruan Golok Maut. 

Dewa Arak yang telah mengetahui kelihaian si 

Golok Emas, buru-buru mengelakkan serangan itu. 

"Terima kasih, Golok Emas!" ucap Gambala. 

"Untung kau cepat datang. Mari kita gempur 

pendekar murtad ini bersama-sama!" 

Untuk kedua kalinya, Dewa Arak harus bertarung 

menghadapi dua orang ketua perguruan yang sakti ini 

Kini, Arya harus menguras seluruh kemampuannya 

bila ingin selamat. 

Gambala dan si Golok Emas yang telah 

mengetahui kelihaian Dewa Arak, tanpa ragu-ragu lagi 

segera menguras segenap kemampuan mereka. 

Dengan adanya bantuan si Golok Emas, Gambala 

bisa memusatkan perhatiannya pada permainan


jurus-jurus "Pedang Ular'nya. Kini pertarungan ketiga 

tokoh itu berlangsung lebih imbang. 

Pertarungan antara kedua belah pihak ini 

berlangsung cepat. Sehingga tak terasa lima puluh 

jurus telah berlalu. Dan sampai sejauh ini belum 

nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. 

Pertarungan masih berlangsung seimbang. 

Diam-diam dalam hati Gambala dan si Golok Emas 

kagum luar biasa pada kelihaian Dewa Arak. Sungguh 

sama sekali tidak mereka sangka kalau orang 

semuda Dewa Arak bisa memiliki kepandaian setinggi 

ini. Rasa-rasanya tingkat kepandaian pemuda 

berambut putih keperakan ini tidak kalah dengan 

Kalapati. 

Selagi pertarungan itu berlangsung seru, di tempat 

itu bermunculan kembali belasan tokoh persilatan 

golongan putih. Semula mereka hendak membantu 

mengeroyok Dewa Arak, tapi mereka segera 

mengurungkan niatnya begitu melihat pertarungan 

masih berjalan imbang. Kini belasan tokoh itu hanya 

menonton saja. Itu pun dari kejauhan. 

Belasan tokoh golongan putih itu tidak berani 

mendekat lebih dari lima tombak. Angin pukulan 

ketiga tokoh sakti yang tengah bertarung itu tidak 

dapat mereka tahan. Jadi, jangankan ikut men-

ceburkan diri dalam pertarungan, mendekat pun 

harus mempertaruhkan nyawa! 

Sementara itu pertarungan antara Dewa Arak 

meng-hadapi Gambala dan si Golok Emas ber-

langsung semakin sengit. Kini pertarungan mereka 

sudah menginjak jurus ke seratus. Dan sampai 

sejauh itu, tetap belum terlihat siapa yang akan ter-

desak. 

"Ha ha ha...!"


Mendadak saja terdengar tawa keras menggelegar 

yang didorong dengan pengerahan tenaga dalam. 

Gema tawa itu terpantul ke seluruh tempat itu. 

Kontan semua orang yang menonton pertarungan 

berpaling ke arah asal suara. Hanya yang sedang 

terlibat pertarungan saja yang tidak terganggu 

dengan suara tawa itu. 

Seiring dengan lenyapnya suara tawa itu, tahu-tahu 

di dekat arena pertarungan telah berdiri seorang laki-

laki bertubuh tinggi besar dan berotot kekar. Seluruh 

otot-otot tangan, dada, dan perutnya tampak jelas 

bertonjolan. Orang yang baru datang ini bertelanjang 

dada. Raut wajahnya yang kasar dan kepalanya yang 

botak membuat penampilan orang ini semakin 

angker. Celananya yang sebatas lutut terbut dari kulit 

beruang salju. 

"Setan Kepala Besi...!" desis beberapa orang tokoh 

persilatan yang rupanya mengenai orang ini. 

Laki-laki tinggi besar yang tak lain dari Setan 

Kepala Besi, kembali tertawa bergelak. Tapi, 

sepasang matanya tak lepas memandang ke arah 

pertarungan, Mengawasinya beberapa saat. 

"Ha ha ha...! Gambala, Golok Emas! Lawan terlalu 

kuat bagi kalian. Biar aku yang menghadapinya!" 

Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi besar ini 

langsung menerjang Dewa Arak. Setan Kepala Besi, 

adalah seorang yang amat cerdik. Setelah mengamati 

beberapa saat, diketahuinya kalau Dewa Arak benar-

benar seorang tokoh yang tangguh bukan main. 

Bahkan rasa-rasanya tidak kalah dengan Kalapati. 

Maka kini diputuskannya untuk turun tangan mem-

bantu Gambala dan si Golok Emas, menghadapi 

tokoh muda yang berkepandaian tinggi itu. 

Bahkan bukan hanya itu saja kelicikan Setan


Kepala Besi. Sewaktu menyerang pun ditunggunya 

sampai Dewa Arak berada dalam keadaan terjepit. 

Begitu dilihatnya pemuda berambut putih keperakan 

itu sibuk menghadapi serangan dua orang lawannya, 

Setan Kepala Besi melancarkan serangan. 

"Hiyaaa...!" 

Sambil berteriak keras, Setan Kepala Besi 

menerjang ke arah Dewa Arak. Kedua cakarnya 

melakukan sambaran bertubi-tubi ke arah kepala 

pemuda berambut putih keperakan itu. 

Dewa Arak terkejut bukan main. Saat serangan 

Setan Kepala Besi tiba, dia baru saja menangkis 

serangan kedua lawannya. Dengan sebisa-bisanya 

Arya berusaha menangkis. 

Plak, plak, plak...! 

Suara benturan keras terdengar berkali-kali, 

disusul dengan terjengkangnya Dewa Arak ke 

belakang hingga terguling-guling di tanah. Kuda-kuda 

Arya memang berada dalam posisi yang tidak 

menguntungkan saat itu. Tambahan lagi, sewaktu 

menangkis tadi pemuda berambut putih keperakan 

ini belum sempat mengerahkan tenaga dalamnya 

secara penuh. 

"Dewa Arak...!" 

Karmila menjerit keras begitu melihat pemuda 

berambut putih keperakan itu terjengkang dan 

bergulingan di tanah. Cepat dia menghambur dan 

berdiri membelakangi Arya yang masih berusaha 

bangkit. Darah segar menetes dari sudut-sudut bibir 

Dewa Arak. 

Setan Kepala Besi tertawa bergelak. Tanpa 

memberi kesempatan lagi, tubuhnya melesat untuk 

menjatuhkan serangan maut pada lawannya. Tapi 

Karmila tetap tidak bergeser dari tempatnya. Gadis


berpakaian jingga ini malah melintangkan pedangnya 

di depan dada. Bersiap-siap menentang Setan Kepala 

Besi yang akan menjatuhkan tangan maut pada Dewa 

Arak yang sudah terluka. 

"Hentikan pertempuran...!" 

Terdengar suara cegahan keras penuh wibawa. 

Seketika itu juga, semua kepala menoleh ke arah asal 

suara itu. Tak terkecuali Setan Kepala Besi. 

Tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ, semua 

mengerutkan alis melihat serombongan prajurit 

berkuda yang bersenjata lengkap bergerak mendekati 

mereka. Berkuda paling depan adalah seorang wanita 

berwajah cantik jelita berpakaian serba putih. 

Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai di bahu. 

"Melati...," desis Dewa Arak dalam hati begitu 

mengenali wanita berpakaian serba putih itu. 

"Atas nama Prabu Nalanda, Raja Kerajaan Bojong 

Gading, kuharap kalian menghentikan keributan dan 

segera meninggalkan tempat ini!" tandas Melati. 

Suaranya tegas penuh wibawa. 

Tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ saling 

berpandangan sejenak. Kemudian serentak meng-

alihkan pandangan ke arah pasukan berkuda yang 

ternyata adalah pasukan Kerajaan Bojong Gading. 

Memang mereka tahu kalau daerah ini termasuk 

wilayah kekuasaan Kerajaan Bojong Gading. 

"Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa bergelak. 

"Kalau aku tidak mau?" 

"Berarti kau menentang perintah Gusti Prabu. Kau 

akan dianggap pemberontak, dan terpaksa aku akan 

menangkapmu!" sahut Melati tegas. 

Setelah berkata demikian, gadis berpakaian serba 

putih ini segera melompat dari kudanya. Dan begitu 

melihat Melati turun, pasukan yang berada di


belakangnya pun berlompatan menyusul. Jumlah 

rombongan ini tak kurang dari tiga puluh orang. 

Hati semua orang yang berada di situ terkejut 

begitu melihat gerakan pasukan kerajaan itu. Rata-

rata gerakan anggota pasukan itu ringan. Dan 

sepasang mata mereka pun mencorong tajam. Hal ini 

memang wajar, mereka adalah pasukan khusus 

Kerajaan Bojong Gading. 

Sadar kalau keadaan tidak menguntungkan, 

Gambala dan si Golok Emas tidak berani mencari 

penyakit. Sungguhpun mereka bukan warga Kerajaan 

Bojong Gading, tapi mereka tahu kalau raja mereka 

mempunyai hubungan yang amat baik dengan Raja 

Bojong Gading. Maka tanpa berkata apa-apa, 

keduanya pun segera meninggalkan tempat itu. 

Melihat Gambala dan si Golok Emas beranjak 

pergi, puluhan tokoh persilatan golongan putih pun 

melangkah meninggalkan tempat itu. 

Setan Kepala Besi menggeram begitu menyadari 

kalau tak ada gunanya dia berurusan dengan prajurit-

prajurit Kerajaan Bojong Gading. Maka, sambil 

mendengus kesal, tubuhnya pun berkelebat me-

ninggalkan tempat itu. Sebagai seorang datuk 

persilatan, laki-laki tinggi besar ini mengetahui kalau 

gadis yang sepertinya adalah pemimpin rombongan 

pasukan berkuda ini berkepandaian amat tinggi. 

Sorot mata yang mencorong tajam dan bersinar 

kehijauan itu merupakan salah satu buktinya. 

"Melati...," panggil Dewa Arak pelan. Sepasang 

matanya memandang gadis berpakaian putih penuh 

kerinduan. Meskipun begitu, pemuda berambut putih 

keperakan itu diam-diam agak heran kalau bisa 

bertemu Melati di tempat ini. Tapi kerinduannya 

membuat Arya melupakan pertanyaan yang meng


gayuti benaknya itu. 

Melati sama sekali tidak menyahuti panggilan 

Dewa Arak. Sinar mata gadis berpakaian putih ini 

terlihat dingin ketika beradu pandang dengan Arya. 

Sepasang mata bening dan indah itu menatap tajam 

Dewa Arak dan Karmila bergantian. Pandangannya 

pada gadis berpakaian jingga itu menyorot penuh 

kebencian. Gadis berpakaian putih itu tidak bisa 

menerima kenyataan kalau tunangannya berjalan 

berduaan dengan gadis secantik Karmila. 

"Melati...," panggil Dewa Arak lagi seraya me-

langkah menghampiri. Karmila hanya berdiri me-

matung memandangi semua itu dengan wajah pucat. 

Benak gadis berpakaian jingga ini bisa menduga 

adanya hubungan kkusus antara Dewa Arak dengan 

gadis pemimpin pasukan Kerajaan Bojong Gading itu. 

Dan seketika itu juga merayap rasa kenyerian yang 

amat sangat mendera hatinya. 

Karmila perlahan-lahan menundukkan kepalanya. 

Seketika itu juga ingatannya menerawang kembali 

pada ayahnya yang kini pasti sudah tiada. Tak terasa 

ada air bening yang bergulir di pipinya yang putih 

halus dan mulus itu. Baru saja berkurang kepedihan 

hatinya akibat pengorbanan ayahnya, kini dia harus 

menerima lagi kepedihan yang lain. 

Sementara itu, baru beberapa tindak Dewa Arak 

melangkah, mendadak Melati membalikkan tubuh-

nya. Dan secepat kilat melompat ke punggung 

kudanya. 

"Hup!" 

Gadis berpakaian putih itu lalu menghentakkan tali 

kekang kudanya. Secepat kilat binatang tunggangan 

itu pun melesat meninggalkan tempat itu. 

Pasukan Kerajaan Bojong Gading yang sejak tadi


bersikap seolah-olah tak tahu apa-apa, segera 

bergerak melompat pula ke atas punggung kuda. 

Orang-orang gagah itu cepat menggebah kudanya 

menyusul Melati. Sebelum berlalu, tak lupa mereka 

memberikan penghormatan pada Dewa Arak. 

Dewa Arak hanya dapat memandangi rombongan 

berkuda yang semakin bergerak menjauh itu dengan 

wajah pucat. Sungguh sama sekali tidak disangkanya 

kalau pertemuan kembali dengan tunangannya akan 

terjadi seperti ini. 

"Melati..., ah Melati...," desah Arya lirih. 

"Semua ini karena salahku, Dewa Arak," sahut 

Karmila dengan suara serak. "Lebih baik aku pergi 

saja...." 

Dewa Arak menoleh ke arah Karmila. Ditatapnya 

wajah cantik jelita yang terlihat pucat itu lekat-lekat. 

"Tidak, Karmila. Melati hanya salah paham. Nanti 

pun semua masalah akan menjadi jelas," sahut Dewa 

Arak bernada menghibur. 

"Kalau begitu, mari kita cari tempat untuk meng-

obati lukamu," ucap Karmila mengalihkan per-

cakapan. 

Dengan langkah lesu dan kepala tertunduk, Dewa 

Arak dan Karmila meninggalkan tempat itu. Masing-

masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. 

Sementara matahari sudah condong ke Barat. Dan 

hari pun perlahan mulai gelap ketika tubuh Arya dan 

Karmila lenyap di kejauhan. 

Berhasilkah Dewa Arak mengetahui pembunuh 

sebenarnya dari Jalasa dan Rupangki? Dan bagai-

manakah hubungan Waji dengan Setan Kepala Besi? 

Benda apakah yang dicari oleh Setan Kepala Besi di 

gua tempat tinggal Kalapati? Dan terakhir, mampu-

kah Dewa Arak meyakinkan Melati kalau dia dan


Karmila sama sekali tidak ada hubungan apa-apa? 

Untuk mengetahui jawabannya, silakan ikuti serial 

Dewa Arak dalam episode "Jamur Sisik Naga".


                          SELESAI 

 




Share:

0 comments:

Posting Komentar