1
Seorang kakek berpakaian kulit ular yang berwajah
bengis, menghentikan semadinya. Perlahan-lahan
kedua kelopak matanya dibuka. Dan begitu telah
bangkit berdiri barulah terlihat kalau kakek berwajah
bengis ini bertubuh tinggi kekar.
Kakek berpakaian kulit ular ini lalu bergegas
menelusuri lorong gua menuju pintu keluar. Rupanya
kakek tinggi kekar ini menghentikan semadinya
karena mendengar suara panggilan yang sangat
dikenalnya dari luar gua.
"Ayah...!"
Kembali suara panggilan itu terdengar. Dan seiring
dengan semakin dekatnya kakek itu dengan mulut
gua, maka panggilan itu pun semakin jelas dari
sebelumnya. Begitu kakek berwajah bengis ini telah
berada di luar gua, mendadak sesosok ramping
berpakaian jingga segera menghambur ke arahnya.
"Ada apa, Karmila?" tanya kakek berpakaian kulit
ular itu pelan. Suaranya lembut, menyiratkan rasa
sayang yang mendalam. Suara laki-laki ini sungguh
berlawanan sekali dengan penampilannya.
"Anu, Ayah...."
"Anu, apa? Katakanlah," desak kakek tinggi kekar
itu sambil tersenyum. Tapi karena wajahnya bengis,
senyumnya lebih mirip sebuah seringai menyeram-
kan.
"Aku sudah bosan berlatih ilmu-ilmu rendahan ini,
Ayah!" sahut gadis berpakaian jingga yang ternyata
bernama Karmila itu ketus. Wajahnya yang cantik
memberengut, menandakan kekesalan hatinya.
"Ha ha ha...!" kakek berwajah bengis itu tertawa
terbahak-bahak. "Kukira ada apa. Lalu, maumu
bagaimana, Karmila?"
"Aku ingin Ayah mengajarku ilmu andalan Ayah.
Ilmu yang telah mengangkat Ayah menjadi datuk tak
terkalahkan!"
"Hah?!" seketika senyum di wajah kakek itu lenyap.
Jelas kalau ucapan putrinya membuatnya terkejut
"Mengapa Ayah terkejut?" tanya Karmila lagi.
"Bukankah wajar kalau aku ingin memiliki ilmu-ilmu
yang dapat kuandalkan. Bukan ilmu-ilmu rendahan
seperti yang Ayah ajarkan selama ini."
"Tapi, Karmila...," kakek berwajah bengis itu men-
coba membantah.
"Pokoknya kalau tidak diajarkan ilmu itu, aku tidak
mau berlatih lagi!" potong gadis berpakaian jingga itu
ketus.
"Tapi ilmu itu adalah ilmu keji, Karmila. Sejak aku
sadar kalau kelakuanku selama ini keliru, aku telah
bersumpah tidak akan menurunkan ilmu ini kepada
siapa pun! Ilmu 'Totokan Penghancur Tulang', tidak
cocok untukmu, Karmila."
"Aku berjanji tidak akan menggunakan ilmu itu
kalau tidak terpaksa, Ayah," sahut Karmila tidak
kehilangan akal. "Pokoknya kalau Ayah tidak bersedia
mengajarkannya, aku tidak mau berlatih lagi. Untuk
apa berlatih ilmu-ilmu rendahan? Hanya buang-buang
waktu saja!"
Kakek berwajah bengis yang ternyata bekas datuk
sesat ini mengerutkan alisnya. Kesal juga hatinya
mendengar Karmila merendahkan ilmu-ilmu yang
telah diajarkannya.
"Kau keliru, Karmila. Ilmu yang kau pelajari selama
ini bukanlah ilmu rendahan. Kau tahu, selama aku
malang melintang merambah rimba persilatan, jarang
sekali aku mengeluarkan ilmu 'Totokan Penghancur
Tulang'! Boleh dibilang hanya dengan menggunakan
ilmu-ilmu yang kuturunkan padamu selama ini, lawan
yang bagaimanapun berhasil kukalahkan."
"Tapi, aku tetap ingin mempelajari ilmu itu, Ayah,"
rengek Karmila merajuk. Gadis berpakaian jingga ini
tahu kalau ayahnya ini sangat menyayanginya.
Hampir tidak ada satu pun permintaan yang ditolak
ayahnya apabila dia telah merajuk seperti itu. Maka
kali ini pun Karmila kembali mempergunakan 'senjata
pamungkasnya' untuk meruntuhkan kekerasan hati
ayahnya.
Beberapa saat lamanya kakek berpakaian kulit
ular itu tercenung. Kemudian menarik napas dalam-
dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Baiklah, Karmila," sahut kakek berwajah bengis
itu mengalah. Jelas sekali terlihat kalau sebenarnya
kakek itu terpaksa menuruti permintaan putrinya.
Seketika itu juga wajah Karmila berubah cerah.
"Terima kasih, Ayah. Sedari tadi, aku pun sudah
yakin kalau Ayah akan mengabulkan permintaanku,"
ucap Karmila seraya tersenyum manja.
Kakek berpakaian kulit ular itu mengurut dada.
Lega sudah hatinya begitu melihat Karmila sudah
tersenyum cerah kembali. Dan seketika itu juga rasa
terpaksa di hatinya menguap entah ke mana. Hal itu
memang kerap terjadi setiap kali melihat
kegembiraan putrinya.
"Kapan Ayah akan mengajarkan ilmu itu?"
"Kapan saja kau siap, Ayah pun siap mengajarmu,"
sahut kakek berwajah bengis itu. Kini suaranya
terdengar mantap.
"Bagaimana kalau sekarang saja, Ayah?"
"Kau sudah benar-benar siap?"
"Siap, Ayah," jawab Karmila mantap.
Lalu kakek berpakaian kulit ular itu pun mulai
memberi petunjuk dasar-dasar ilmu 'Totokan
Penghancur Tulang' pada Karmila. Sementara gadis
berpakaian jingga itu menyimaknya penuh seksama.
Cukup lama juga kakek itu memberi petunjuk
dasar-dasar ilmu 'Totokan Penghancur Tulang' pada
Karmila. Tapi beberapa kali sang Ayah terpaksa harus
mengulang keterangannya kembali bila ada yang
kurang dipahami putrinya.
Baru setelah Karmila mengerti semuanya, sang
Ayah meninggalkannya. Dia kembali meneruskan
semadinya. Sementara Karmila masih tekun mem-
pelajari ilmu yang baru didapatnya.
Sejak hari itu, Karmila sibuk melatih ilmu 'Totokan
Penghancur Tulang'. Gadis berpakaian jingga itu
ternyata sangat tekun melatihnya. Terkadang sampai
lupa makan dan istirahat.
***
Hari masih terlalu pagi. Bahkan kabut pun masih
belum terusir seluruhnya. Di sebuah tanah lapang
terlihat Karmila tengah sibuk melatih ilmu yang baru
diajarkan ayahnya.
"Hih...!"
Dengan jari-jari telunjuk mengacung ke depan
sementara jari-jari tangan lainnya terkepal, Karmila
melakukan totokan bertubi-tubi ke depan. Terdengar
angin bercicitan setiap kali tangan gadis berpakaian
jingga itu bergerak menyerang.
Entah sudah berapa lama gadis berpakaian jingga
ini berlatih. Yang jelas kabut telah sirna. Dan
matahari telah bersinar cukup terik ketika tubuh
gadis itu melompat dan bergulingan ke depan. Lalu
bergegas bangkit seraya melancarkan totokan
beruntun ke arah sebatang pohon besar yang kokoh
di hadapannya.
Crab! Crab...!
Luar biasa! Jari-jari telunjuk Karmila yang lembut,
amblas ke dalam batang pohon ketika totokan-
totokan gadis itu menghunjamnya.
Karmila tersenyum lebar. Hatinya cukup gembira
melihat kemajuan latihannya. Meskipun jika
dibandingkan dengan kesaktian ayahnya, hasil yang
dicapainya ini belumlah seberapa, tapi gadis ini
sudah cukup puas.
Plok, plok, plok...!
Suara tepuk tangan keras membuat Karmila
membalikkan tubuhnya. Dengan perasaan terkejut,
mata gadis berpakaian jingga itu berkeliling mencari
asal suara tepukan. Masalahnya, di tempat ini tidak
ada orang lain selain dia dan ayahnya. Lagi pula
ayahnya tak pernah bertepuk tangan jika memujinya.
Jadi, pasti orang lain yang telah bertepuk tangan!
Keterkejutan Karmila semakin bertambah ketika
melihat tiga sosok berpakaian kuning, berdiri tidak
jauh dari tempatnya berlatih. Rupanya saking asyik-
nya berlatih, dia tidak menyadari kalau ada orang
yang menonton latihannya.
"Luar biasa! Sungguh tak kusangka kalau di
tempat seperti ini ada bidadari tengah menari-nari,"
ucap salah seorang dari ketiga tamu tak diundang itu.
Seorang pemuda yang cukup tampan dan berbadan
lebar. Usianya sekitar tiga puluhan. Sinar mata
pemuda itu merayapi sekujur tubuh Karmila dengan
liar.
"Hm...," seorang yang bertubuh agak pendek, ber-
tubuh tegap dan berkumis jarang bergumam tidak
jelas.
"Ataukah aku salah sangka, Adi Rupangki?!" tanya
pemuda berbadan lebar itu, sambil menoleh ke arah
pemuda bertubuh tinggi kurus.
"Maksudmu bagaimana, Kang Waji?" Rupangki
balas bertanya.
"Heh...?!" pemuda berbadan lebar yang ternyata
bernama Waji, berseru keheranan. "Kau belum
mengerti maksudku, Adi Rupangki?"
"Belum, Kang," sahut pemuda tinggi kurus bermata
sipit itu seraya menggelengkan kepalanya.
"Bagaimana denganmu, Adi Jalasa? Apakah aku
tidak salah kalau menyebut gadis di depan kita
adalah bidadari?" tanya Waji lagi seraya menoleh
pada pemuda bertubuh pendek, tegap, dan berkumis
tipis.
Pemuda bertubuh pendek, tegap, dan berkumis
tipis yang ternyata bernama Jalasa itu hanya meng-
angkat bahu.
"Aku juga tidak mengerti maksudmu, Kang," jawab
Jalasa.
"Aneh! Butakah mata kalian? Aku yakin kalau gadis
di hadapan kita ini bukan bidadari. Tapi iblis betina!"
jawab Waji akhirnya. Tajam dan kasar suaranya.
"Apa alasanmu, Kang?" tanya Jalasa penasaran.
"Kau tidak mengenal jurus-jurus yang dimainkan-
nya?" tukas Waji. "Apakah kau juga lupa, Adi
Rupangki? Coba kau perhatikan baik-baik, bukankah
yang dimainkannya tadi adalah salah satu jurus dari
ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'!"
"Ahhh...!" Jalasa dan Rupangki berseru berbareng.
Kekagetan terlihat jelas pada wajah keduanya.
"Dan kalian tahu siapa pemiliknya?" sambung
pemuda berbadan lebar itu lagi.
"Kalapati...," desis Jalasa dan Rupangki berbareng.
"Ya," Waji menganggukkan kepalanya. "Datuk
sesat yang menggiriskan itu."
Jalasa dan Rupangki saling berpandangan
sejenak.
"Kebetulan sekali!" ucap Waji tiba-tiba seraya
menatap wajah Jalasa dan Rupangki. Sementara yang
ditatap hanya dapat memandang wajah pemuda
berbadan lebar itu. Wajah kedua orang itu terlihat
bingung.
"Apanya yang kebetulan, Kang?" tanya Jalasa.
"Bukankah kedatangan kita kemari adalah untuk
mencari datuk sesat itu?" tanya Waji seraya menatap
pemuda bertubuh pendek tegap itu.
Jalasa mengangguk. Tanpa sadar Rupangki meng-
anggukkan kepalanya juga. Padahal pemuda tinggi
kurus ini sama sekali tidak ditanya.
"Kita culik saja gadis ini! Aku yakin gadis ini ada
hubungannya dengan Kalapati keparat itu!" usul Waji.
Sepasang alis Jalasa berkerut.
"Ingat, Kang. Guru telah berpesan agar kita tidak
lagi memperpanjang urusan dengan Kalapati. Datuk
itu telah menyadari kekeliruannya. Lagi pula, dialah
yang menyelamatkan guru kita dari tangan Setan
Kepala Besi," sahut pemuda bertubuh pendek kekar
itu mengingatkan.
Rupangki mengangguk-anggukkan kepalanya per-
tanda menyetujui ucapan Jalasa.
"Bodoh kalian!" sergah Waji keras. "Apakah kalian
juga berpikiran seperti guru? Menganggap selesai
semua urusan itu?!" tanya Waji bernada penasaran.
Jalasa dan Rupangki menganggukkan kepalanya.
Tentu saja hal ini membuat kegeraman pemuda
berbadan lebar itu semakin menjadi-jadi.
"Lalu, untuk apa kalian mengikutiku kalau bukan
untuk membalas dendam pada iblis itu?!" sentak Waji
gusar.
"Kami ikut karena tidak tega melepasmu sendiri,
Kang," Rupangki yang menyahuti.
"Nah! Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita
tangkap gadis itu. Dan kita paksa Kalapati
menyerah!" ucap Waji bernada memerintah.
Tapi sebelum ketiga orang ini bergerak, Karmila
telah lebih dulu melompat menghadang. Gadis ini
tidak dapat menahan kemarahannya begitu men-
dengar ucapan-ucapan Waji.
"Keparat! Mulut kalian terlalu kotor. Jangan
salahkan kalau aku terpaksa merobek mulut kalian!"
bentak Karmila bernada kemarahan.
"Hm...!" Waji mendengus. "Kaulah yang akan kami
tangkap sebagai balasan atas kekejian ayahmu dulu,
Perempuan Liar. Kau akan kami telanjangi dan kami
perkosa bergantian sampai mati!" ucap pemuda
berbadan lebar itu keras.
Terdengar pekik melengking penuh keterkejutan
dari mulut Karmila. Seketika itu juga sepasang bola
mata gadis berpakaian jingga ini berkilat-kilat penuh
kemarahan.
Bukan hanya Karmila saja yang terkejut men-
dengar ucapan Waji. Jalasa dan Rupangki pun ter-
kejut mendengarnya. Serentak keduanya menatap
wajah pemuda berbadan lebar itu, dengan sorot mata
penuh pertanyaan.
"Kang...!" seru Jalasa dan Rupangki. Ada teguran
keras dalam suaranya. Wajarlah kalau kedua pemuda
itu terkejut. Mereka adalah murid-murid perguruan
beraliran putih yang kelak diharapkan akan menjadi
pendekar-pendekar pembela keadilan. Lagi pula,
perbuatan memperkosa adalah pekerjaan yang hanya
dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah
saja.
"Hiyaaa...!"
Karmila tidak kuat lagi menahan kemarahannya
mendengar penghinaan itu. Seketika itu juga, gadis
berpakaian jingga ini menerjang Waji. Jari-jari tangan-
nya yang menegang kaku disodokkan bertubi-tubi ke
arah dada dan ulu hati pemuda berbadan lebar itu.
Terdengar suara bercicitan nyaring mengiringi
tibanya sodokan tangan Karmila. Kaget juga Waji
melihat keampuhan jurus-jurus lawan. Pemuda ber-
badan lebar ini sama sekali tak menyangka kalau
gadis semuda ini sudah memiliki tenaga dalam
seperti itu. Biasanya hanya tokoh-tokoh tua saja yang
mampu menimbulkan angin bercicitan dalam setiap
serangannya.
Berpikir demikian, maka Waji tidak berani ber-
tindak gegabah. Cepat-cepat kakinya digeser ke
kanan sehingga serangan Karmila lewat di samping
kiri pinggangnya. Lalu sambil melangkahkan kaki
kanannya ke depan, cakar tangan kanannya
menyambar deras ke perut gadis berpakaian jingga
itu.
Karmila terperanjat. Buru-buru gadis ini men-
doyongkan tubuhnya ke belakang seraya menarik
pulang kedua tangannya. Dalam sekejap, kedua
tangan itu sudah berkelebat menangkis serangan
yang mengancam perutnya.
Plak, plak...!
Terdengar benturan keras begitu dua tangan yang
dialiri tenaga dalam itu beradu. Akibatnya Waji
terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang dengan
sekujur tangan terasa patah-patah. Dadanya pun
dirasakan sesak bukan main. Sementara Karmila
hanya terhuyung satu langkah ke belakang.
Waji menggeram murka. Rasa penasaran yang
amat sangat melandanya begitu menyadari kalau
dalam adu tenaga dalam tadi, gadis berpakaian
jingga itu hampir mempecundanginya. Bagaimana
Waji tidak penasaran? Dia adalah salah seorang dari
tiga murid kepala sebuah perguruan silat besar saat
ini. Jalasa dan Rupangki adalah dua orang adik
seperguruannya. Kini menghadapi seorang wanita
muda saja, dia telah dibuat terhuyung-huyung dalam
segebrakan. Hal itulah yang membuatnya menjadi
kalap.
"Haaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Waji kembali menerjang
Karmila. Gadis berpakaian jingga yang memang
sudah murka sejak tadi itu, langsung saja
menyambutnya. Sesaat kemudian, kedua orang itu
pun sudah terlibat dalam pertarungan sengit
Baru beberapa jurus bertarung, Waji sudah berkali-
kali mengeluarkan seruan kaget. Kepandaian gadis
berpakaian jingga ini memang luar biasa. Tidak hanya
dalam adu tenaga dalam saja Karmila lebih unggul,
dalam hal kelincahan pun, gadis berpakaian jingga itu
berada di atasnya.
Waji menggertakkan gigi. Tapi meskipun pemuda
berbadan lebar itu telah mengeluarkan seluruh
kemampuannya, tetap saja tidak merubah keadaan.
Karmila memang lebih unggul segala-galanya. Per-
lahan namun pasti pemuda berbadan lebar ini mulai
terdesak.
Jalasa dan Rupangki menonton jalannya per-
tarungan dengan penuh kekhawatiran. Meskipun
kepandaian mereka masih berada di bawah Waji, tapi
keduanya dapat melihat kalau kakak seperguruan
mereka itu terdesak. Karuan saja hal ini membuat
kedua orang ini bingung. Mereka dihadapkan pada
dua pilihan yang sulit. Membantu Waji berarti
melanggar pesan guru mereka, sedangkan bila tidak
membantu, kakak seperguruan mereka akan celaka.
Sementara itu keadaan Waji semakin meng-
khawatirkan. Pertarungan sudah berlangsung hampir
dua puluh jurus. Dan kini pemuda berbadan lebar itu
tidak mampu lagi balas menyerang. Yang dapat
dilakukannya hanya mengelak terus. Tapi sampai
kapan Waji mampu bertahan?
Mendadak pemuda berbadan lebar ini men-
jatuhkan diri dan terus bergulingan di tanah. Karmila
yang emosinya sudah memuncak, tidak mau mem-
biarkan lawannya lolos. Tanpa membuang-buang
waktu lagi segera dikejarnya tubuh yang tengah
bergulingan itu.
Karmila sama sekali tidak menyangka kalau
semua itu sudah diperhitungkan masak-masak oleh
Waji. Girang hati Waji begitu melihat gadis berpakaian
jingga itu mengejarnya. Tapi Waji tidak mau bertindak
gegabah. Pemuda berbadan lebar ini tidak ingin
rencananya gagal. Maka ditunggunya hingga lawan
mendekat
Dan begitu Karmila telah mendekat, mendadak
tangan Waji mencengkeram tanah, dan secepat itu
pula dilemparkan ke wajah Karmila.
Wuttt..!
Pyarrr...!
Karmila gugup bukan kepalang. Gadis berpakaian
jingga ini sama sekali tidak menyangka kalau lawan
akan berbuat securang itu. Sedapat-dapatnya
sambaran abu itu ditangkis dengan tangannya. Dan
itulah yang dikehendaki Waji. Begitu tertangkis, abu
pun membuyar seketika. Sebagian dari abu itu
menyebar ke wajah Karmila. Kontan matanya terasa
perih. Karuan saja hal ini membuat Karmila
gelagapan. Rupanya ada serpihan abu yang
memasuki matanya.
Di saat Karmila sedang gelagapan, Waji mem-
bokong gadis berpakaian jingga itu. Kaki kanannya
melakukan tendangan lurus ke arah perut.
Wuttt!
Bukkk!
"Hugh...!"
Tubuh Karmila seketika terlipat ke depan. Ada
suara keluhan tertahan keluar dari mulut mungil yang
bentuknya bagus itu. Tendangan Waji telak dan keras
sekali mengenai perut Karmila.
Belum lagi gadis berpakaian jingga itu berbuat
sesuatu, tangan lawan kembali menyambar.
Menyampok ke arah pelipisnya.
Walaupun sepasang matanya tidak mampu
melihat, Karmila dapat mengetahui sambaran itu dari
desir angin yang menyambar sebelum serangan itu
tiba. Karmila mengetahui adanya serangan maut yang
mengancam nyawanya. Cepat-cepat tangan kirinya
diangkat, melindungi pelipis.
Plak!
Karmila terhuyung-huyung ke samping. Kuda-kuda
gadis ini memang berada dalam keadaan yang tidak
menguntungkan. Sehingga tenaga dalamnya tidak
bisa dikerahkan seluruhnya untuk menangkis
serangan itu. Walaupun begitu, setidak-tidaknya
tangkisan Karmila sudah cukup membendung
sambaran lawan.
Kesempatan yang sedikit itu dipergunakan sebaik-
baiknya oleh Karmila. Sambil tetap memejamkan
kedua matanya, gadis itu melenting ke belakang. Lalu
bersalto beberapa kali di udara.
"Hup...!"
Meskipun agak terhuyung, Karmila berhasil men-
daratkan kedua kakinya di tanah. Dan begitu men-
darat, gadis ini berusaha keras membuka kelopak
matanya.
Waji geram bukan main melihat lawan berhasil
meloloskan diri dari cecarannya. Kemarahan pemuda
berbadan lebar ini memang sudah mencapai puncak-
nya. Maka....
Srattt..!
Seketika seberkas sinar terang terpancar, begitu
Waji menghunus pedangnya. Tapi berbeda dengan
pedang umumnya, batang pedang Waji tidak kaku,
melainkan lentur dan lemas.
Secepat senjatanya keluar dari sarungnya, secepat
itu pula tubuhnya kembali menerjang. Pedang
lenturnya cepat dibabatkan ke leher gadis berpakaian
jingga itu.
Wunggg...!
Suara mengaung nyaring mengiringi tibanya
sabetan pedang itu. Sehingga meskipun belum
mampu membuka matanya, Karmila dapat merasa-
kan adanya serangan maut yang mengancam ke
arahnya. Tapi gadis berpakaian jingga ini tidak dapat
menduga arah serangan itu. Walaupun telah
mengerahkan seluruh kemampuan pendengarannya,
tetap saja dia tidak mampu mengetahui arah yang
dituju. Suara mendengung yang timbul dari sambaran
senjata lawan, menyulitkannya untuk mengetahui
arah sasaran yang dituju.
Karmila sama sekali tidak menyadari kalau hal ini
memang disengaja oleh Waji. Pemuda berbadan lebar
ini tahu kalau lawan kini hanya mengandalkan
pendengaran sebagai pengganti mata. Oleh karena
itu, sengaja dimainkannya jurus pedang yang
memang khusus dimainkan untuk menghadapi orang
yang hanya mengandalkan pendengaran. Suara
mengaung yang ditimbulkan gerakan pedangnya
memang sengaja untuk mengacaukan pendengaran
lawan.
Wajah Karmila pucat seketika. Gadis berpakaian
jingga ini segera tersadar kalau dirinya berada dalam
cengkeraman maut. Tapi putri tunggal Kalapati ini
sudah tidak tahu harus berbuat apa untuk
menyelamatkan selembar nyawanya.
Di saat kritis bagi keselamatan Karmila, melesat
sesosok bayangan kekuningan. Bayangan itu
langsung memotong laju tubuh Waji yang tengah
melancarkan serangan maut.
Takkk!
"Akh...!"
Waji memekik tertahan. Sekujur tangannya terasa
lumpuh seketika. Tanpa dapat ditahannya lagi,
pedangnya pun terlepas dari genggaman dan
terlempar jauh. Memang, Waji tadi sempat melihat
sekelebatan bayangan kekuningan yang memapak
sabetan pedangnya. Tapi karena posisi yang sedang
berada di udara, pemuda berbadan lebar ini tidak
mampu berbuat apa-apa, selain meneruskan
serangan itu.
"Hup...!"
Dengan agak terhuyung, Waji menjejakkan kakinya
di tanah. Sepasang matanya menatap lurus ke arah
sosok yang telah menangkis serangannya. Pada saat
yang bersamaan, sosok penolong Karmila juga telah
hinggap di tanah.
***
2
Sekitar tujuh tombak di hadapan Waji, tampak
seorang kakek bertubuh tinggi kekar. Laki-laki tua
berbaju kulit ular itu berdiri membelakangi Karmila.
Sepasang matanya mencorong tajam ke arah Waji.
Sepasang mata yang tajam itu menatap pemuda
berbadan lebar mulai dari kaki hingga ke ujung
rambut. Kemudian beralih ke arah Jalasa dan
Rupangki. Baru setelah itu perhatiannya dialihkan
pada Karmila.
"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya kakek ber-
pakaian kulit ular, sambil merayapi sekujur tubuh
putrinya. Hanya dengan sekali lihat saja, kakek ini
dapat mengetahui luka-luka yang diderita putrinya.
Karmila menggeleng sambil menyunggingkan
senyum lebar di bibirnya.
"Tidak, Ayah," sahut gadis berpakaian jingga itu
seraya menatap wajah ayahnya. Kini Karmila telah
bisa membuka matanya, namun warna merah pada
sepasang bola matanya itu masih tampak jelas.
"Sukar kupercaya, kalau kau bisa dikalahkan,
Karmila," desah kakek bertubuh tinggi kekar itu. Nada
suaranya mengandung ketidakpercayaan yang besar.
"Dia licik, Ayah," sergah Karmila membela diri.
Kakek berwajah bengis ini tersenyum.
"Dalam sebuah pertarungan, cara apa pun
dihalalkan untuk mencapai kemenangan, Karmila.
Apalagi tokoh-tokoh aliran hitam. Mereka tidak segan-
segan menggunakan cara-cara yang paling keji untuk
memperoleh kemenangan. Lain kali kau harus lebih
waspada. Jangan umbar emosimu. Kau mengerti,
Karmila?!"
Karmila menganggukkan kepalanya.
"Tapi, dia telah menghinaku dan menghina Ayah.
Mulutnya kotor sekali, Ayah," ucap gadis berpakaian
jingga ini memberitahu.
"Istirahatlah. Biar Ayah urus orang-orang ini," ucap
kakek berpakaian kulit ular itu. Ada tekanan pada
nada suaranya. Tampaknya dia tidak menghendaki
adanya bantahan. Karmila pun mengerti. Gadis
berpakaian jingga ini terpaksa melangkah mundur.
Meskipun begitu, rasa dongkolnya kepada Waji masih
belum sima. Perutnya yang tadi terkena tendangan
pemuda itu masih terasa mules.
"Bukankah kau murid Perguruan Pedang Ular?"
tanya kakek berpakaian kulit ular itu sambil
melangkah maju beberapa tindak.
"Kalau benar, kau mau apa, Kalapati!? Mau
menghina lagi seperti yang kau lakukan pada guruku
dulu?!" sahut Waji. Keras dan kasar suaranya.
Seketika wajah Kalapati berubah. Sesaat
sepasang matanya mencorong menakutkan. Tapi tak
lama kemudian kembali redup seperti sediakala.
"Mulutmu kotor sekali, Anak Muda. Apa sebenar-
nya keinginanmu?" kakek berwajah bengis ini masih
mencoba bersabar.
"Tidak perlu berbasa-basi, Kalapati! Aku datang
untuk membalas dendam atas penghinaanmu ter-
hadap guru dan perguruanku!" tandas Waji keras.
Terdengar suara menggeram dari kerongkongan
Kalapati. Kakek berbaju kulit ular itu memang marah
bukan main. Kata-kata yang keluar dari mulut Wajilah
yang menjadi penyebab kemarahannya. Kalau saja
tidak teringat sumpahnya untuk meninggalkan segala
kericuhan dunia persilatan, sudah sejak tadi Kalapati
menurunkan tangan maut kepada pemuda ini. Kini
terpaksa ditahan semua kemarahannya.
Waji yang tengah diamuk dendam itu segera
memungut pedangnya yang tergeletak di tanah. Lalu
sambil mengeluarkan suara melengking, pemuda
berbadan lebar ini melompat menerjang. Pedangnya
diputar-putar di atas kepala, sebelum ditusukkan
cepat mengarah ke leher Kalapati. Suara mengaung
keras mengiringi tusukan pedang itu.
"Anak tidak tahu diri!" dengus kakek berbaju kulit
ular. Dengan gerak seadanya, tangannya diulurkan
menangkap pedang yang menuju lehernya. Menilik
dari gerakannya, sepertinya kakek ini sama sekali
tidak mengerahkan tenaga dalam.
Tappp!
Luar biasa! Enak saja Kalapati mencengkeram
mata pedang yang mengancam lehernya. Sepertinya
yang dicengkeram oleh kakek itu bukan sebuah
pedang yang bermata tajam.
"Hm...!"
Kembali Kalapati mendengus keras. Tangan yang
mencengkeram itu bergerak meremas. Luar biasa!
Terdengar suara keras berkeratakan ketika pedang
itu hancur berkeping-keping.
Pucat wajah Waji melihat kejadian ini. Tapi tidak
berarti pemuda berbadan lebar ini mundur. Dengan
pedang yang hanya bermata sepotong itu, tubuhnya
kembali menerjang kakek berbaju kulit ular itu.
Pedang yang matanya tinggal separuh itu dibabatkan
ke leher Kalapati.
Wuttt..!
Kalapati hanya tersenyum sinis. Kakek berbaju
kulit ular ini tidak melakukan gerakan apa pun. Dia
hanya berdiri mematung.
Takkk...!
"Akh...!"
Waji memekik tertahan. Pedang di tangannya
terpental balik! Bahkan sekujur tangannya dirasakan
lumpuh ketika menghantam leher kakek berwajah
bengis itu dengan telak dan keras.
Belum lagi pemuda berbadan lebar ini berbuat
sesuatu, tahu-tahu tangan kanan Kalapati sudah
berkelebat ke perut Waji.
Plak!
"Hugh...!"
Kelihatannya memang perlahan, tapi akibatnya
luar biasa. Tubuh pemuda berbadan lebar itu
terjengkang bagai diseruduk kerbau. Perutnya
dirasakan mual dan mules bukan kepalang. Cairan
merah kental meleleh dari sudut bibirnya.
Patut dipuji kekerasan hati Waji. Sambil mendekap
perutnya, pemuda ini kembali melangkah maju.
Dihampirinya kakek berbaju kulit ular itu. Sementara
itu, Jalasa dan Rupangki menatap ke arah dua orang
yang tengah bertarung itu dengan perasaan tegang.
Jari-jari tangan mereka sudah mencengkeram erat-
erat hulu pedang. Bersiap-siap membantu kakak
seperguruan mereka.
"Kalau tidak mengingat kau murid Gambala, dan
sumpahku untuk tak lagi ikut campur dalam
keributan dunia persilatan, sudah sejak tadi nyawamu
kuhabisi," desis Kalapati bernada peringatan.
Tapi pemuda berbadan lebar itu sama sekali tidak
mempedulikan peringatan Kalapati. Terus saja
dilangkahkan kakinya mendekati Kalapati dengan
pedang patah terhunus.
Melihat kenekatan Waji, kesabaran Kalapati pun
pupus. Segera tangan kanannya dikibaskan.
Kelihatannya perlahan saja, tapi akibatnya luar biasa!
Tubuh pemuda berbadan lebar itu terlempar jauh ke
belakang, dan jatuh bergulingan di tanah.
"Kang Waji...!" teriak Jalasa dan Rupangki
berbareng seraya melesat menghampiri tubuh kakak
seperguruannya.
Waji merayap bangun. Dadanya terasa sesak
bukan main. Tapi pemuda ini sama sekali tidak
mengalami luka dalam. Memang, meskipun berada
dalam kemarahan yang menggelegak, Kalapati masih
ingat akan sumpahnya. Maka dia pun hanya
mengerahkan tenaga untuk melontarkan tubuh
lawannya saja.
"Bawa dia pergi dari sini...!" seru Kalapati keras
pada Jalasa dan Rupangki yang tengah berjongkok di
depan Waji.
Jalasa dan Rupangki segera membantu kakak
seperguruannya berdiri. Kemudian berjalan
meninggalkan tempat itu.
"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya kakek ber-
baju kulit ular itu. Jalasa dan Rupangki terpaksa
menghentikan langkahnya.
"Terus jalan, Jalasa! Rupangki...!" seru Waji keras
bernada perintah. Sepasang matanya menatap penuh
dendam pada Kalapati. Tapi kedua adik seperguruan-
nya itu ternyata tidak menghiraukan ucapannya.
Terbukti Jalasa dan Rupangki menghentikan langkah-
nya dan menoleh ke arah kakek itu.
"Silakan, Kalapati," sahut Jalasa pelan. Sopan dan
lembut suaranya. Pemuda bertubuh pendek kekar ini
memang merasa simpati, begitu melihat sepak
terjang kakek itu. Sementara sikap Waji telah
membuatnya muak. Sikap dan tindak tanduk kakak
seperguruannya benar-benar membuatnya malu.
Apalagi ucapan-ucapannya tadi.
"Apa tujuan kalian kemari?"
"Kakang Waji mengajak kami mencarimu,
Kalapati," jawab Jalasa terus terang.
"Untuk membalas dendam peristiwa lama?" desak
kakek berbaju kulit ular itu lagi.
Jalasa mengangguk perlahan.
"Apakah Ki Gambala mengetahui kepergian
kalian?"
"Tidak, Kalapati," sahut pemuda bertubuh pendek
kekar itu sambil menggelengkan kepalanya.
"Sudah kuduga," desah Kalapati pelan, seraya
mengangguk-anggukkan kepalanya. "O ya, sampaikan
salamku pada guru kalian."
"Baik, Kalapati," sambut Jalasa seraya mem-
balikkan tubuh dan berjalan meninggalkan tempat
itu.
Pemuda pendek kekar itu dan Rupangki bersama-
sama memapah tubuh Waji.
Kalapati memandangi punggung tiga orang itu
sampai lenyap di sebuah tikungan.
"Hhh...! Mudah-mudahan saja masalah ini tidak
berekor panjang," desah kakek berbaju kulit ular itu
penuh harap.
Setelah berkata demikian, kakinya dilangkahkan
menghampiri Karmila.
"Masuk dulu, Karmila," ucap kakek berbaju kulit
ular itu. "Akan kuperiksa luka-lukamu."
Karmila segera mengikuti ayahnya yang telah lebih
dulu berjalan. Perasaan tidak puas masih ber-
kecamuk di hatinya. Mengapa pemuda bernama Waji
itu tidak dibunuh saja? Mengapa harus dilepaskan?
Berbagai macam pertanyaan menggayuti benaknya.
***
Hari sudah menjelang sore. Sang surya pun
perlahan mulai tenggelam ke Barat. Di bawah sorotan
sinar matahari yang mulai temaram itu tampak
seorang pemuda berbadan lebar melangkah ter-
huyung-huyung. Dari sudut mulutnya meleleh darah
segar. Pemuda ini menderita luka dalam!
Pemuda itu terus saja berlari walaupun dengan
terhuyung-huyung. Langkahnya semakin dipercepat,
begitu sepasang matanya melihat bangunan besar di
hadapannya. Sebuah bangunan berhalaman luas
yang dikelilingi pagar tinggi dari kayu bulat. Rupanya
dia tengah menuju bangunan besar itu.
Semakin lama jarak antara pemuda itu dengan
bangunan besar, semakin dekat. Tapi langkah
kakinya semakin terseok-seok.
Ketika jaraknya dengan pintu gerbang bangunan
besar itu tinggal sepuluh tombak lagi, mendadak
pemuda berbadan lebar ini ambruk. Dua orang
penjaga berseragam kuning yang sejak tadi menatap
penuh perharJan, bergegas menghampiri. Mereka
kenal betul dengan sosok tubuh yang tengah berlari
menuju ke arah bangunan. Sosok tubuh dari kakak
seperguruan mereka, Waji.
Memang, bangunan besar berhalaman luas dan
berpagar kayu bulat itu adalah markas Perguruan
Pedang Ular.
Sesaat kemudian, kedua penjaga pintu gerbang itu
telah berada dekat tubuh orang berpakaian kuning
yang mereka duga Waji.
"Kang Waji...! Apa yang terjadi?!" seru salah
seorang di antara penjaga, begitu mengenali kalau
sosok yang tergolek itu benar Waji. Nada suaranya
menyiratkan keterkejutan mendalam. Murid Per-
guruan Pedang Ular ini benar-benar terkejut melihat
keadaan pemuda berbadan lebar itu.
"Bawa aku menghadap guru... aku ingin melapor-
kan sesuatu...," ucap Waji tanpa mempedulikan per-
tanyaan adik seperguruannya.
Tanpa banyak bertanya lagi, dua orang murid
rendahan Perguruan Pedang Ular itu segera
membantu Waji berdiri. Dan kemudian memapahnya
menuju ke dalam perguruan.
Suasana di dalam perguruan kontan gempar
ketika melihat dua orang penjaga pintu gerbang
masuk sambil memapah tubuh Waji. Salah seorang
murid kepala Perguruan Pedang Ular.
Sepanjang perjalanan menuju bangunan utama
perguruan, semua murid memperhatikan dengan
kening berkerut. Dalam hati mereka bergayut
pertanyaan. Apa yang terjadi? Mengapa Waji sampai
terluka?
Sementara itu kedua murid penjaga pintu gerbang,
terus berjalan sambil memapah tubuh Waji. Tak
dipedulikan sama sekali pandang mata penuh
keheranan rekan-rekan mereka.
Tubuh Waji baru berhenti dipapah ketika telah
berada di ruang utama perguruan. Ketiganya segera
menjura hormat pada dua orang kakek yang tengah
duduk di kursi berukir.
"Apa yang terjadi, Waji?" tanya salah seorang
kakek yang bermata sayu. Raut wajahnya
memancarkan kesabaran. Dialah Gambala, Ketua
Perguruan Pedang Ular.
"Kalapati, Guru," jawab pemuda berbadan lebar itu
sambil meringis.
"Kalapati?!" kakek lain yang berhidung besar mirip
hidung kerbau berseru kaget. "Datuk sesat itu?"
"Benar, Paman Guru," sahut Waji seraya meng-
anggukkan kepalanya.
"Keparat!" geram kakek berhidung besar itu keras.
Sepasang matanya memancarkan kemarahan yang
berapi-api.
"Sabar dulu, Adi Gumarang," selak Gambala halus
seraya menatap tajam wajak kakek berhidung besar.
Suara Gambala mengandung tekanan yang tidak
ingin dibantah. Gumarang terpaksa menutup mulut-
nya.
"Ada apa dengan dia?" tanya Gambala. Nada
suaranya masih terdengar tenang. Tidak seperti
Gumarang, yang belum apa-apa sudah kalap.
"Kalapatilah yang telah melakukan semua ini,
Guru!" ucap Waji setengah berteriak.
"Apa?!" sentak Gambala terkejut bukan main.
Bahkan kakek bermata sayu ini sampai terjingkat dari
kursi yang didudukinya. "Sadarkah kau akan ucapan-
mu, Waji?"
Waji menganggukkan kepalanya.
"Aku sadar, Guru," sahut Waji singkat.
"Bagaimana semua ini bisa terjadi, Waji? Coba
ceritakan!" desak Gambala penasaran.
Pemuda berbadan lebar ini tercenung sejenak.
Baru beberapa saat kemudian mulai bercerita.
"Pagi tadi, aku, Adi Jalasa dan Adi Rupangki
berjalan ke hutan. Semula kami berniat berburu
binatang. Di tengah hutan, kami bertemu dengan
seorang wanita cantik berpakaian jingga. Tapi
ternyata gadis itu menyimpan maksud kotor. Kami
tidak meladeninya. Akibatnya dia marah dan
menyerang kami. Melalui suatu pertarungan sengit,
kami berhasil mengalahkan gadis itu. Sungguh di luar
dugaan, kalau gadis itu ternyata putri Kalapati. Tak
lama kemudian, datuk itu muncul dan langsung
marah-marah melihat putrinya kami kalahkan. Susah
payah aku memberi penjelasan, tapi tetap saja datuk
sesat itu tidak mau mengerti," ucap Waji bernada
keluhan.
"Hm.... Lalu?" selak Gumarang cepat
"Akhirnya kami bertarung," sambung pemuda
berbadan lebar itu. "Tapi ternyata iblis itu terlalu lihai,
Guru. Tidak sampai sepuluh jurus, Adi Jalasa dan Adi
Rupangki tewas. Sementara aku diampuni Kalapati
agar mengabarkan berita ini pada Guru."
"Keparat..!" Gumarang berteriak memaki.
Wajahnya merah padam, menahan amarah yang
bergelora.
Berlainan dengan Gumarang, Gambala masih
terlihat tenang. Walaupun begitu kening kakek
bermata sayu ini berkerut. Jelas ada sesuatu yang
merisaukan hatinya. Sikap adik seperguruannya tidak
digubrisnya sama sekali.
"Aneh...," gumam Gambala. Sepasang mata kakek
ini menerawang ke langit-langit ruangan.
"Apanya yang aneh, Kang Gambala?" tanya
Gumarang seraya menatap tajam wajah kakak
seperguruannya.
"Kalapati," sahut kakek bermata sayu ini setengah
bergumam.
"Apa maksudmu, Kang? Aku masih belum
mengerti," desak Gumarang penasaran.
"Apakah kau tidak ingat pada sumpahnya?"
Gambala balik bertanya. Nadanya mengingatkan.
"Sejak dulu aku sama sekali tidak percaya dengan
sumpahnya!" tukas Gumarang tandas.
"Hm...," Gambala hanya menggumam tidak jelas.
"Kau percaya dengan sumpahnya, Kang?"
Gambala menganggukkan kepalanya.
"Mengapa, Kang? Apa alasanmu mempercayai
ucapannya?" desak kakek berhidung besar itu
penasaran.
"Entahlah...," sahut Ketua Perguruan Pedang Ular
itu sambil mengangkat bahunya. "Tapi yang jelas, aku
melihat kesungguhan dalam suara dan sinar
matanya."
"Aaah...! Kau terlalu mengada-ada, Kang!" sergah
Gumarang. "Kau lihat sendiri kenyataannya? Dua
orang murid kita dibantai! Dan bukan hanya itu saja,
datuk itu sengaja membebaskan Waji, untuk
mempermalukan kita. Kalapati tidak memandang
sebelah mata pada kita, Kang. Ini penghinaan yang
menyakitkan!"
"Hhh...!" Gambala hanya menghela napas panjang
sebagai jawabannya. Kelihatannya wajah kakek
bermata sayu ini tenang saja. Padahal, di dalam
hatinya mulai bergolak api kemarahan yang tersulut
akibat ucapan Gumarang.
"Kalau menurut pendapatku, sulit bagi seseorang
untuk meninggalkan kebiasaannya. Mungkin benar
kalau semula Kalapati bermaksud meninggalkan
kebiasaannya. Tapi, sampai berapa lama dia mampu
bertahan? Tapi setelah itu? Sudah pasti timbul
keinginan untuk kembali mengerjakan kebiasaannya.
Dan ini sudah pasti. Aku yakin, Kang!" sambung
Gumarang berapi-api.
Gambala tercenung mendengar penjelasan
panjang lebar adik seperguruannya. Ketua Perguruan
Pedang Ular ini mulai termakan ucapan Gumarang.
Dengan sendirinya, keyakinannya kalau Kalapati telah
meninggalkan dunianya, memudar.
"O ya, Guru. Masih ada satu hal yang kulupakan,"
ucap Waji lagi.
"Apa itu, Waji?" tanya Gambala ingin tahu.
Waji tidak segera menjawab, pemuda berbadan
lebar itu malah termenung. Tentu saja hal ini
membuat Gambala dan Gumarang agak bingung.
"Ada apa denganmu, Waji?" tanya Gambala. Dahi
kakek bermata sayu ini nampak berkernyit.
"Hhh...!" pemuda berbadan lebar itu malah
menghela napas dalam.
"Katakanlah, Waji. Tidak perlu ragu-ragu," desak
Gumarang pula.
"Guru tidak marah kalau kukatakan hal yang
sebenarnya?" tanya Waji ragu-ragu.
"Mengapa harus marah?" sahut Gambala seraya
tersenyum getir. "Katakanlah."
"Kalapati mengungkit-ungkit pertolongannya dulu.
Katanya tanpa pertolongannya, Guru dan juga
Perguruan Pedang Ular sudah musnah sejak dulu!"
Gumarang menggeram keras. Sementara Gambala
hanya berdiri mematung. Tapi dari mulut Ketua
Perguruan Pedang Ular ini terdengar suara gemeretak
keras. Suatu bukti kalau kakek bermata sayu ini
dilanda kemarahan yang amat sangat.
"Benar dia berkata begitu?!" tanya Ketua
Perguruan Pedang Ular ini menegaskan.
"Benar, Guru," sahut Waji.
"Ini tidak bisa dibiarkan, Kang," sahut Gumarang.
"Maksudmu bagaimana, Adi?" tanya Gambala ingin
tahu reaksi adik seperguruannya.
"Kita harus membalas penghinaan ini, Kang!"
tandas Gumarang tegas.
"Jadi...?"
"Kita harus menyerbu tempat kediamannya!" tukas
laki-laki berhidung besar itu.
"Tapi siapa yang tahu kediamannya. Sepenge-
tahuanku dia tinggal di Lereng Gunung Palanjar. Tapi
aku tidak tahu tempat pastinya."
"Aku tahu tempatnya, Guru," sahut Waji cepat.
"Kau tahu?!" tanya Gambala dengan dahi berkerut
Waji menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Kang?" sergah
Gumarang. "Kita serbu saja tempat itu!"
"Baiklah. Kita ke sana besok pagi!" tandas
Gambala memutuskan.
***
3
Cicit suara burung menyambut munculnya matahari
pagi. Angin pagi yang sejuk bertiup lembut. Seorang
pemuda berpakaian ungu merentangkan kedua
tangannya ke samping seraya menarik napas dalam-
dalam. Menghirup udara pagi yang segar sebanyak-
banyaknya.
Pemuda berpakaian ungu itu berbuat begitu
sambil terus melangkahkan kakinya. Sesekali, angin
pagi yang bertiup agak keras membuat rambutnya
yang berwama putih keperakan dan dibiarkan meriap,
berkibaran. Tapi pemuda itu sama sekali tidak
mempedulikannya. Terus saja dilangkahkan kakinya
seraya merentangkan tangan lebar-lebar ke samping
sambil menarik napas dalam-dalam.
Mendadak pemuda berambut putih keperakan itu
menghentikan gerakannya. Dahinya berkernyit, ketika
sepasang matanya menangkap berkelebatnya
beberapa sosok tubuh. Gerakan sosok-sosok itu rata-
rata gesit dan cepat. Hal inilah yang membuat
pemuda itu tertarik mengamatinya.
Pemuda berambut putih keperakan itu
melayangkan pandangan ke arah sosok-sosok itu
berkelebat. Seketika itu juga sepasang matanya
tertumbuk pada sebuah gunung yang menjulang
tinggi di kejauhan.
Sesaat lamanya pemuda berambut putih
keperakan itu bimbang. Antara mengikuti sosok-sosok
bayangan itu atau membiarkannya saja. Tapi, sesaat
kemudian pemuda ini mengambil keputusan untuk
mengikutinya. Perasaan ingin tahu yang besar,
mendorongnya.
Terpaksa pemuda berpakaian ungu itu mengerah-
kan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, begitu
menyadari kalau sosok-sosok bayangan yang ber-
kelebat cepat menuju lereng gunung itu telah berada
jauh di depannya.
Ternyata pemuda berambut putih keperakan itu
memiliki kepandaian tinggi. Hal itu terbukti ketika
jarak antara dia dengan sosok-sosok bayangan tadi
mampu diperpendeknya dalam waktu singkat.
Semakin lama jarak di antara mereka semakin
bertambah dekat. Dan seiring dengan semakin
dekatnya jarak antara mereka, pemuda berambut
putih keperakan itu pun semakin bersikap hati-hati.
Dia tidak berani melakukan pengejaran secara
terang-terangan. Tapi secara sembunyi-sembunyi.
Tentu saja dengan semakin dekatnya jarak
mereka, pemuda berambut putih keperakan itu dapat
melihat jelas sosok-sosok bayangan yang dikejarnya.
Mereka berjumlah lima orang. Tiga di antaranya
berseragam kuning, sementara dua orang lainnya
berseragam coklat.
Kelima sosok itu terus berlari cepat mendaki
Lereng Gunung Palanjar. Sesekali kaki mereka
memijak batu-batuan yang menonjol untuk melompat
dari satu tempat ke tempat lainnya.
Berlari paling depan, yang sepertinya sebagai
penunjuk jalan, adalah seorang pemuda berbadan
lebar. Pada bagian dada sebelah kiri pakaiannya,
tersulam gambar seekor ular melilit sebatang pedang
terhunus. Pemuda ini adalah Waji. Sementara dua
orang yang berlari di belakangnya adalah Ketua dan
Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular.
Sementara di belakang kedua pimpinan Perguruan
Pedang Ular, berlari dua orang kakek berpakaian
coklat. Menilik sikap dan sorot mata mereka yang
tajam berkilat, dapat diperkirakan kalau keduanya
bukanlah orang sembarangan.
Memang, dua orang kakek itu adalah ketua dan
wakil ketua dari sebuah perguruan silat yang tak
kalah besar dari Perguruan Pedang Ular. Kedua kakek
itu adalah pemimpin Perguruan Golok Maut
Tak lama kemudian, Waji menghentikan larinya
ketika tiba di sebuah tempat yang luas.
"Itu si perempuan liar, Guru," desis Waji sambil
menudingkan telunjuknya ke depan.
Sekitar sepuluh tombak dari situ, memang terlihat
jelas seorang gadis cantik jelita yang berpakaian
jingga tengah berlatih silat.
Bukan hanya Gambala saja yang memperhatikan
dari balik kerimbunan semak-semak, tapi juga
Gumarang dan kedua kakek pemimpin Perguruan
Golok Maut
"Ah...!" Gumarang mendesah tertahan. "Bukankah
itu ilmu 'Totokan Penghancur Tulang', Kang?"
"Ya," sahut Gambala seraya mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Perempuan itu adalah calon iblis betina yang akan
mengacaukan dunia persilatan," desis Gumarang.
Jelas ada nada kegentaran tersirat dalam suaranya.
"Hm...," Gambala hanya bergumam tidak jelas.
Sama sekali tidak disahuti ucapan adik seper-
guruannya itu.
"Aku tidak ingin hal itu terjadi, Kang!" tandas Wakil
Ketua Perguruan Pedang Ular itu lagi.
"Maksudmu...?" tanya Gambala seraya menoleh
kan kepalanya. Ditatapnya wajah Gumarang penuh
selidik. Kakek bermata sayu ini belum begitu paham
maksud perkataan adik seperguruannya ini. Tapi
sedikit banyak sudah bisa diraba maksudnya.
"Perempuan itu harus dilenyapkan sebelum ber-
hasil mewarisi seluruh ilmu ayahnya. Terutama sekali
ilmu 'Totokan Penghancur Tulang' itu!"
Gambala tertegun sejenak. Wajah kakek ini
menyiratkan adanya pertentangan di dalam batinnya.
Sementara itu, kedua orang pemimpin Perguruan
Golok Maut, hanya diam membisu. Sepertinya mereka
tidak ingin mencampuri urusan Gambala. Kepergian
mereka bersama orang-orang Perguruan Pedang Ular
adalah untuk membalas dendam pada Kalapati.
Sama sekali bukan dengan putrinya.
"Apa yang dikatakan Paman Guru, tepat sekali
Guru," selak Waji cepat, sebelum Gambala sempat
menjawab. "Memang kalau melihat kecantikannya
kita tidak akan percaya kalau wanita itu seorang iblis
betina yang menjijikkan!"
Gambala mengerutkan alisnya.
"Apa maksud ucapanmu itu, Waji?" tanya kakek
bermata sayu itu. Nampak jelas terdengar ada nada
tuntutan di dalamnya.
Pemuda berbadan lebar itu menundukkan kepala-
nya.
"Aku... aku malu menerangkannya, Guru."
"Malu?!" sentak Gumarang dengan alis berkerut
Waji menganggukkan kepalanya.
"Tidak perlu malu, Waji. Kami adalah guru-gurumu.
Katakanlah terus terang," desak Gambala lembut.
Waji menarik napas dalam-dalam dan
menghembus-kannya kuat-kuat. Sepertinya dia
merasa berat untuk mengatakannya.
"Perempuan itu... perempuan cabul, Guru....
Dengan mempergunakan kepandaiannya dia bisa
memaksa setiap laki-laki memenuhi keinginan
terkutuknya. Dan...."
"Cukup...!" sentak Gambala dengan wajah
memerah.
Seketika Waji menghentikan ucapannya.
"Bagaimana, Kang?" tanya Gumarang. Kakek
berhidung besar ini juga dilanda perasaan yang sama.
Kegeraman yang menggelora.
"Tidak ada jalan lain lagi...," sahut Gambala pelan
setelah beberapa saat lamanya terdiam.
"Jadi...?" tanya Waji menghentikan kalimatnya.
Sebuah senyum gembira menghias bibirnya.
"Yahhh...! Sebelum dia menimbulkan banyak
korban, dan sebelum dia sulit untuk ditaklukkan...."
"Katakan saja secara langsung, Kang. Tidak usah
berbelit-belit begitu!" selak Gumarang bernada
teguran.
"Tanpa kuucapkan secara jelas pun, kau dan Waji
pasti sudah mengerti, Gumarang," jawab Gambala
membela diri.
"Adi Jalasa..., Adi Rupangki..., semoga arwah kalian
tenteram di alam baka. Aku akan mempertaruhkan
nyawaku untuk membalaskan kematian kalian..,"
desah Waji. Nada suaranya pelan tapi tajam,
sehingga terdengar jelas oleh semua yang ada di situ.
Ucapan Waji yang mengingatkan pada kematian
Jalasa dan Rupangki, membuat kemarahan
Gumarang dan Gambala semakin bergolak.
"Mari kita serbu...!" ajak Waji seraya melangkah
keluar dari kerimbunan semak-semak. Gambala dan
Gumarang pun melangkah keluar. Tak lupa Gambala
menarik tangan Ketua Perguruan Golok Maut. Tapi
secara halus uluran tangan itu ditolak.
"Maaf, kami hanya ingin mencari Kalapati. Kami
tidak berurusan dengan gadis itu," sahut Ketua
Perguruan Golok Maut itu halus. Ketua perguruan ini
adalah seorang kakek berjenggot putih panjang
sampai ke bawah dada.
"Ah, maaf...!" ucap Gambala dengan sekujur wajah
merona merah.
"Tidak apa-apa...," jawab Ketua Perguruan Golok
Maut itu sambil tersenyum lebar.
"O..., Kalapati?" selak Waji yang ingin buru-buru
menyelesaikan urusannya. "Dia ada di dalam sana...!"
Kedua orang pemimpin Perguruan Golok Maut
melayangkan pandangannya ke arah tudingan
telunjuk Waji.
"Di dalam gua itu?" tanya kakek berjenggot putih
setelah melihat arah yang ditunjuk Waji.
Waji menganggukkan kepalanya.
"Waktu itu dari situlah kulihat dia keluar," ucap
pemuda berbadan lebar lagi.
"Kalau begitu kami ke sana dulu...!"
Setelah berkata demikian, kedua pemimpin
Perguruan Golok Maut itu melesat cepat menuju gua.
Gambala melayangkan pandangannya ke arah
gadis berpakaian jingga yang tengah berlatih,
kemudian beralih pada adik seperguruannya dan
Waji.
"Kau bantu Waji menghadapi perempuan liar itu,
Gumarang," ucap kakek bermata sayu ini bernada
perintah.
"Baik, Kang," Gumarang menganggukkan
kepalanya.
Tapi Gambala tidak sempat melihat anggukan
Gumarang, karena sehabis mengucapkan kata-kata
itu tubuhnya sudah melesat menuju gua.
***
Karmila mengerutkan alisnya yang berbentuk
indah, begitu melihat dua sosok tubuh keluar dari
rerimbunan pohon. Gadis berpakaian jingga ini
menatap penuh perhatian pada salah seorang dari
mereka.
Dan kemarahannya pun meluap, begitu mengenali-
nya. Orang itu adalah pemuda yang kemarin datang
dan memakinya dengan kata-kata yang tidak
senonoh.
"Keparat..! Kau lagi...!" geram Karmila begitu jarak
antara dia dengan Waji yang datang bersama
Gumarang telah dekat
"Ya. Aku datang untuk menghentikan semua per-
buatan cabulmu! Juga membalas dendam atas
kekejian kau dan ayahmu pada adik-adik seper-
guruanku!" teriak Waji keras seraya meloloskan
pedangnya.
Setelah berkata demikian, Waji melompat me-
nerjang. Pedangnya ditusukkan cepat ke leher
Karmila.
Wunggg...!
Karmila hanya tersenyum sinis. Kakinya segera
dilangkahkan ke kanan seraya mendoyongkan
tubuhnya. Tusukan pedang Waji mengenai tempat
kosong, beberapa jengkal di sebelah kiri pelipisnya.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan gadis berpakaian
jingga ini. Seraya mengelak, tangannya bergerak
cepat mencabut pedangnya. Dan secepat itu pula
dibabatkan ke kaki lawannya.
Waji terperanjat kaget. Tubuhnya yang saat itu
tengah berada di udara, menyulitkannya untuk
mengelak. Serangan itu datang begitu tiba-tiba.
Menangkis mempergunakan pedangnya, sudah tidak
keburu lagi. Pucat wajah pemuda berbadan lebar ini
seketika. Rasa sakit hati pada gadis itu membuatnya
kurang waspada. Padahal sebelumnya dia sudah tahu
kalau Karmila memiliki kepandaian di atasnya.
Untung saja pemuda berbadan lebar ini
menemukan jalan keluar. Segera dicabut sarung
pedangnya, dan dibabatkan menangkis sambaran
pedang yang mengarah ke kakinya.
Trang...!
Terdengar suara berdentang nyaring yang disusul
dengan hancurnya sarung pedang Waji. Pedang
Karmila adalah sebatang pedang pusaka. Apalagi
dibabatkan dengan pengerahan tenaga dalam yang
jelas-jelas berada di atas tenaga dalam Waji.
Sehingga tak mengherankan kalau sarung pedang
Waji hancur berantakan.
"Hih...!"
Dengan mengandalkan dorongan tenaga benturan
tadi, Waji melentingkan tubuhnya. Bersalto beberapa
kali di udara kemudian hinggap ringan tanpa suara di
tanah.
"Hhh...!"
Pemuda berbadan lebar ini menghela napas lega.
Keringat sebesar biji-biji jagung bermunculan di
wajahnya. Tapi sorot matanya memancarkan kelega-
an hati. Nyawanya berhasil diselamatkan. Walaupun
untuk itu, sarung pedangnya terpaksa hancur
berantakan.
Karmila yang memang merasa geram pada
pemuda berbadan lebar di hadapannya ini, tak mau
memberi kesempatan. Baru saja Waji mendarat,
gadis berpakaian jingga itu telah menyusulinya
dengan tusukan ke arah dada. Serangannya aneh
sekali, dan selalu membuat Waji kebingungan.
Memang gadis berpakaian jingga ini selalu
membuka serangannya dengan terlebih dulu
memutar pedangnya membentuk lingkaran. Ter-
kadang lingkaran yang dibuatnya besar. Tapi tak
jarang pula kecil. Baru setelah membuat lingkaran,
pedangnya menyambar cepat. Entah itu menusuk
ataupun membabat.
"Ah...!"
Waji memekik kaget. Buru-buru dibantingkan
tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan menjauh.
Kembali serangan Karmila mengenai tempat kosong.
"Hiyaaa...!"
Gadis berpakaian jingga itu kembali memekik
nyaring, seraya memburu tubuh Waji yang ber-
gulingan. Pedangnya ditusukkan bertubi-tubi ke
berbagai bagian tubuh pemuda berbadan lebar itu.
Kini Waji kalap. Tidak ada jalan lain baginya untuk
mengelakkan serangan itu selain bergulingan. Tapi,
Karmila yang sudah berada dalam posisi mendesak,
mana mau membiarkan lawannya lolos. Tubuh yang
bergulingan itu terus dikejarnya. Kini terjadilah
sebuah pertarungan yang menarik. Yang seorang
berusaha menyarangkan pedangnya, sementara yang
lain bergulingan mengelak.
Gumarang memperhartikan pertarungan di depan
matanya dengan alis berkerut. Dibiarkan saja Waji
menghadapi putri Kalapati itu. Baru setelah pemuda
itu benar-benar terancam bahaya maut, dia akan
turun tangan. Walau bagaimana pun juga, Gumarang
tidak mau mempertaruhkan nama sebagai seorang
tokoh angkatan tua, dan juga seorang Wakil Ketua
Perguruan Pedang Ular, dia merasa malu untuk turun
tangan menghadapi seorang gadis muda belia seperti
Karmila.
***
Sementara itu, dua orang pemimpin Perguruan
Golok Maut telah mulai mendekati mulut gua. Sikap
kedua orang itu begitu berhati-hati sekali. Memang
sebenarnyalah kalau kedua orang itu amat berhati-
hati sekali. Karena keduanya tahu siapa itu Kalapati.
Seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian
amat tinggi.
Tapi belum lagi kedua kaki mereka memasuki
mulut gua, terdengar teguran halus dari dalam.
Perlahan saja kedengarannya. Tapi berakibat hebat
bagi kedua tokoh Perguruan Golok Maut itu. Tubuh
keduanya sampai terjingkat ke belakang. Tanpa sadar
mereka menahan langkah.
"Apa yang kalian cari?"
Dan belum juga hilang gema teguran itu, tahu-tahu
melesat sesosok bayangan yang bergerak cepat
keluar gua. Dua orang pemimpin Perguruan Golok
Maut itu tentu saja terkejut bukan main. Segera
keduanya melentingkan tubuhnya ke belakang. Lalu
bersalto beberapa kali di udara. Dan....
"Hup...!"
Hampir bersamaan kedua kakek sakti itu men-
daratkan kakinya di tanah. Dan langsung memandang
ke depan. Sikap kedua pemimpin Perguruan Golok
Maut itu nampak waspada.
Di hadapan mereka kini telah berdiri seorang
kakek berwajah bengis berpakaian kulit ular. Tubuh-
nya tinggi dan kekar.
"Kalapati...," desis kakek berjenggot panjang.
Kakek ini tak lain adalah Ketua Perguruan Golok
Maut
"Hm..., kalian rupanya! Bukankah kalian dari
Perguruan Golok Maut?" tanya Kalapati begitu
mengenali kedua kakek ini. Nada suaranya terdengar
tenang. Begitu pula raut wajahnya. Tidak seperti
kedua orang pemimpin Perguruan Golok Maut yang
terlihat tegang.
"Tidak salah!" sahut kakek yang bermuka putih
seperti dikapur. Inilah Wakil Ketua Perguruan Golok
Maut.
"Boleh kutahu maksud kalian datang kemari?"
tanya Kalapati, masih terdengar lembut suaranya.
"Tidak usah berpura-pura bodoh, Kalapati!" sentak
kakek berjenggot panjang.
"Apa maksud kalian?" sepasang mata kakek
berpakaian kulit ular mulai berkilat. Jelas kalau kakek
ini tengah dilanda amarah. Ucapan Ketua Perguruan
Golok Maut itulah yang menyebabkannya.
"Kami datang untuk membalas dendam atas
penghinaanmu pada Perguruan Golok Maut!" sahut
kakek berjenggot panjang.
"Aneh...," sahut Kalapati sambil tersenyum
mengejek. "Bukankah aku telah meminta maaf pada
ketua kalian, si Golok Emas? Dan dia telah
memaafkanku dan menganggap habis persoalan.
Kalian pun telah mengetahuinya. Mengapa kini
diperpanjang kembali?"
"Tidak perlu banyak basa-basi, Kalapati. Orang
seperti kau tidak layak dibiarkan hidup. Kakak
seperguruanku dulu memang pengecut, sehingga
menganggap selesai masalah ini. Tapi aku tidak! Aku
akan tetap mempermasalahkan hal ini sampai tuntas!
Bagaimana pun juga penghinaanmu atas Perguruan
Golok Maut harus ditebus!" sahut kakek jenggot
panjang tegas.
"Dan kau akan dihukum oleh kakak seper-
guruanmu atas kelancangan melanggar keputusan-
nya," ejek Kalapati yang sejak tadi sudah merasa
tidak senang melihat sikap kedua orang pimpinan
Perguruan Golok Maut itu.
"Ha ha ha...!" kakek jenggot panjang itu tertawa
bergelak. "Kau lihat ini, Kalapati?!"
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu meng-
hunus golok yang sejak tadi tergantung di
pinggangnya.
Srat..!
Seketika secercah sinar kekuningan berpendar,
ketika kakek berjenggot panjang itu menghunus
goloknya tinggi-tinggi.
"Golok Emas...," desis Kalapati setengah tak
percaya. Kekagetan membayang jelas di wajahnya.
Memang kakek berwajah bengis ini terkejut bukan
main tatkala melihat kakek berjenggot panjang itu
membawa golok emas. Kalapati tahu betul aturan
Perguruan Golok Maut. Sepengetahuannya sang
Ketua mempunyai senjata sebatang golok emas,
sedangkan untuk wakil ketua adalah sebatang golok
perak. Tapi mengapa golok emas dipegang oleh
kakek jenggot panjang ini? Kalapati bertanya dalam
hati.
"Ya, golok emas. Kau kaget, Kalapati?!" tanya
kakek berjenggot panjang bernada mengejek.
"Jadi, kau..."
"Ya. Akulah Ketua Perguruan Golok Maut. Tidak
lagi si tua bangka pengecut itu! Aku telah
menantangnya bertarung memperebutkan golok
emas. Dan dia berhasil kukalahkan!"
"Hhh...!"
Suara helaan napas berat terdengar dari mulut
Kalapati. Kakek berwajah bengis ini menyadari kalau
keributan tidak mungkin dapat dihindari lagi. Padahal
dia sudah bersumpah untuk tidak membunuh lagi.
Hal ini tentu saja membuatnya mengeluh dalam hati.
Mendadak raut wajah Kalapati berubah. Pen-
dengarannya yang tajam mendengar suara-suara
teriakan melengking di kejauhan. Kakek ini kenal
betul suara itu. Suara putrinya! Dan seketika itu juga
rasa khawatir yang amat sangat mencekam hatinya.
Dan kekhawatirannya bertambah besar, begitu
dilihatnya sesosok tubuh bergerak cepat ke arahnya.
Sekali lihat saja, Kalapati telah mengenal orang yang
datang itu.
"Gambala.... Ada masalah apa lagi kakek itu
kemari?" desah kakek berpakaian kulit ular itu dalam
hati.
Sesaat kemudian, Ketua Perguruan Pedang Ular
telah berada di sebelah kedua pemimpin Perguruan
Golok Maut. Kalapati menatap tajam wajah Gambala.
Tapi kakek bermata sayu itu balas menatap tak kalah
tajam.
Belum sempat kakek berwajah bengis ini berbuat
sesuatu, tahu-tahu si Golok Emas telah lebih dulu
menerjang. Golok berwama kuning keemasan di
tangannya berkelebatan cepat, membabat ke arah
leher.
"Hih...!"
Kalapati memekik nyaring. Tapi sebelum serangan
golok itu tiba, tubuhnya sudah melompat cepat ke
depan. Sama sekali tidak ditanggapinya serangan si
Golok Emas. Yang ada dalam benaknya saat ini
adalah keinginan untuk menyelamatkan Karmila.
Memang, setelah melihat kehadiran Gambala,
kekhawatiran Kalapati kian menggelegak. Kakek
berpakaian kulit ular ini tahu, bila ada Gambala,
sudah dapat dipastikan Gumarang pun ada. Dan
tidak adanya kakek berhidung besar itu di sini, sudah
dapat dipastikan kalau Gumarang berhadapan
dengan putrinya. Hal inilah yang dikhawatirkan
Kalapati. Dia tahu pasti kalau saat ini Karmila masih
bukan tandingan Gumarang.
Tapi si Golok Perak tidak tinggal diam. Begitu
dilihatnya kakek berpakaian kulit ular itu melompat
ke depan, segera saja kedua tangannya dihantamkan
ke arah kepala lawannya.
Wuttt..!
Angin keras berkesiur sebelum pukulan Golok
Perak tiba. Tapi Kalapati tidak menjadi gugup
walaupun saat itu tubuhnya berada di udara. Dan
merupakan suatu hal yang muskil untuk dapat
mengelak dari serangan yang datang begitu tiba-tiba,
sementara posisinya berada dalam keadaan tidak
memungkinkan, terpaksa diputuskan untuk me-
nangkis serangan itu.
Buru-buru kedua tangannya dijulurkan memapak
serangan yang menyambar ke arahnya. Rasa cemas
akan keselamatan Karmila, memaksa kakek ini harus
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Wuttt..!
Plak...!
Akibatnya hebat! Tubuh Wakil Ketua Perguruan
Golok Maut terjengkang ke belakang bagai diseruduk
kerbau. Kedua tangannya dirasakan ngilu. Dadanya
pun terasa sesak bukan kepalang.
Sementara Kalapati hanya terlihat bergetar saja
tubuhnya. Tapi dengan gerakan indah dan manis, dia
bersalto di udara. Dan secepat kakek bermuka bengis
itu hinggap di tanah, secepat itu pula melesat kabur
dari situ tanpa mampu dicegah. Semua kejadian itu
berlangsung begitu cepat, sehingga lawan-lawannya
tidak sempat menyadari.
"Kejar...!" teriak si Golok Emas seraya melesat
mengejar Kalapati yang telah lebih dulu melesat dari
situ. Bukan hanya kakek itu saja yang bergerak
mengejar, tapi juga adik seperguruannya dan
Gambala.
Kalapati mengerahkan seluruh ilmu meringankan
tubuh yang dimilikinya. Tubuhnya berkelebat cepat
menuju arah asal jeritan putrinya.
Berkat ketinggian ilmu meringankan tubuhnya,
sebentar saja Kalapati telah berada dekat tempat
Karmila tengah sibuk bertempur. Lega hati kakek
berpakaian kulit ular ini, melihat putrinya masih
selamat. Bahkan tengah mendesak lawannya.
Kalapati menghentikan larinya sekitar beberapa
tombak dari tempat pertarungan. Dilihatnya Karmila
tengah melancarkan serangan bertubi-tubi pada
seorang pemuda berpakaian kuning, yang terus-
menerus bergulingan di tanah. Sementara tak jauh
dari situ, seorang kakek berpakaian kuning berdiri
tegak memperhatikan pertarungan. Kalapati
mengenali kakek itu sebagai Gumarang.
"Haaat..!"
Tiba-tiba Karmila berteriak nyaring. Tubuhnya
melenting memotong alur gulingan tubuh Waji, seraya
menusukkan pedangnya bertubi-tubi ke arah pemuda
berbadan lebar itu.
Crat..!
"Akh...!"
Waji memekik tertahan ketika ujung pedang
Karmila menggores pangkal lengannya. Seketika itu
juga darah mengalir dari luka yang tergores. Belum
sempat Waji berbuat sesuatu, serangan pedang
Karmila kembali menyambar.
Kini Gumarang tidak bisa tinggal diam lagi.
Secepat kilat tubuhnya melesat ke depan. Seuntai
tasbih yang biji-bijinya terbuat dari baja, diayunkan
memapak serangan yang mengancam nyawa
muridnya.
Cringgg...!
Bunga api berpijar begitu pedang dan tasbih itu
beradu. Seketika Karmila memekik tertahan. Sekujur
tangannya yang menggenggam pedang dirasakan
lumpuh. Hampir saja pedang itu lepas dari
genggamannya.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan
Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular itu. Tasbih di
tangannya disabetkan ke arah kepala Karmila.
Wuttt..!
Serangan tasbih itu menyambar tempat kosong
begitu gadis berpakaian jingga itu menundukkan
kepalanya. Sekujur rambut dan pakaian gadis itu
berkibar keras begitu tasbih itu lewat di atas
kepalanya.
Gumarang tertawa terkekeh seraya melayangkan
kakinya ke arah perut Karmila.
Wuttt..!
"Hih...!"
Karmila melempar tubuhnya ke belakang, dan
bersalto beberapa kali di udara. Kedua belah kakinya
mendarat ringan, beberapa tombak dari tempat
semula.
Gumarang sudah bertekad untuk membinasakan
Karmila. Maka begitu dilihatnya gadis berpakaian
jingga itu melempar tubuh ke belakang, segera
melompat memburu.
Tapi niatnya terpaksa diurungkan, begitu dilihatnya
sesosok bayangan berkelebat cepat memotong
lompatannya. Segera tubuhnya dilempar ke samping,
melakukan lompatan harimau.
"Hup...!"
***
4
Gumarang mendaratkan kedua kakinya di tanah.
Sepasang matanya menatap tajam ke depan, ke arah
orang yang tadi memotong laju lompatannya. Dan
seketika itu juga wajahnya memucat
"Kalapati...," desis Wakil Ketua Perguruan Pedang
Ular. Ada nada kegentaran dalam suaranya. Tapi
begitu sudut matanya melihat tiga sosok bayangan
yang bergerak cepat ke arahnya, hari kakek ber-
hidung besar ini kembali tegar.
Kalapati sama sekali tidak mempedulikan
keterkejutan Gumarang. Dengan langkah tenang, dan
tanpa mempedulikan keberadaan kakek berhidung
besar, kakinya dilangkahkan menghampiri Karmila.
"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya kakek
berpakaian kulit ular itu sambil merayapi sekujur
wajah dan tubuh Karmila.
Gadis berpakaian jingga itu menggelengkan
kepalanya.
"Syukurlah...," ucap Kalapati setengah mendesah.
Pandang matanya yang tajam melihat kebenaran
ucapan putrinya.
"Terimalah kematianmu, Kalapati...!"
Terdengar suara bentakan nyaring, disusul dengan
berkelebatnya seleret sinar keemasan ke arah leher
kakek berwajah bengis itu.
"Hm...," Kalapati bergumam tidak jelas. Segera
tubuhnya direndahkan sehingga sambaran sinar
keemasan yang tak lain dari golok emas Ketua
Perguruan Golok Maut lewat di atas kepalanya.
Dan sebelum Kalapati memperbaiki kuda-kudanya,
tahu-tahu seleret sinar keperakan telah meluruk
deras ke arah perutnya. Kakek berpakaian kulit ular
ini tidak menjadi kaget melihat serangan ini. Dia tahu
siapa penyerangnya kali ini. Siapa lagi kalau bukan
Wakil Ketua Perguruan Golok Maut.
Kalapati segera melangkahkan kakinya ke
belakang, sehingga serangan itu mengenai tempat
kosong. Tepat sejengkal di depan perutnya.
Baru saja lolos dari serangan si Golok Perak,
serangan pedang Gambala meluncur tiba. Pedangnya
mengaung dahsyat mengancam berbagai bagian
tubuh Kalapati.
Luar biasa! Walaupun berada dalam keadaan
terjepit, kakek berpakaian kulit ular itu masih mampu
untuk mengelak. Tubuhnya dilempar ke belakang.
Bersalto beberapa kali di udara, kemudian hinggap
beberapa tombak dari tempatnya semula.
"Hm...," Kalapati bergumam tidak jelas. "Rupanya
kalian memang berniat menyingkirkanku!"
"Tidak usah banyak basa-basi, Kalapati!" sergah si
Golok Emas keras. "Penghinaan belasan tahun yang
lalu harus kau tebus dengan nyawamu!"
Setelah berkata demikian, Ketua Perguruan Golok
Maut ini melompat menerjang. Dan dari atas,
goloknya dibabatkan cepat ke arah leher Kalapati.
Belum juga serangan si Golok Emas tiba, adik
seperguruannya pun meluruk menyerbu. Golok
peraknya berputar cepat di depan dada, sebelum
akhirnya ditusukkan ke perut kakek berpakaian kulit
ular itu.
Sedangkan Gambala menahan diri. Dia tidak mau
mencampuri dulu. Dibiarkan saja kedua pemimpin
Perguruan Golok Maut itu menghadapi Kalapati.
Kalapati kali ini harus berhadapan dengan lawan-
lawan yang amat tangguh. Meskipun begitu kematian
bukanlah merupakan sesuatu yang menakutkan bagi
datuk ini. Tapi, bagaimana dengan Karmila kalau dia
tewas? Kalapati tidak sampai hati membiarkan
putrinya hidup sendirian menghadapi kerasnya dunia
persilatan. Karmila masih membutuhkan bimbingan-
nya.
Kekhawatiran akan keselamatan putrinya itulah,
yang menyebabkan Kalapati memutuskan untuk me-
lakukan perlawanan mati-matian. Mau tidak mau ter-
paksa melanggar sumpahnya yang akan menjauhkan
diri dari kekerasan. Tanpa ragu-ragu lagi kakek ber-
pakaian kulit ular ini mengeluarkan ilmu andalannya,
ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'.
Wuttt..!
Serangan si Golok Emas lewat tidak sampai
setengah jengkal di atas kepalanya, begitu bekas
datuk sesat ini memiringkan kepalanya. Dari rambut
di kepalanya yang berkibaran keras dapat diper-
kirakan kekuatan tenaga dalam yang tersimpan
dalam babatan golok itu.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Kalapati.
Begitu golok itu lewat di atas kepalanya, tangan
kanannya melakukan totokan ke arah sikut si Golok
Emas. Berbareng dengan itu tangan kirinya
menangkis tusukan golok perak yang menusuk
perutnya. Luar biasa! Bekas datuk sesat ini
menangkis serangan itu hanya dengan jari
telunjuknya.
"Akh...!"
Si Golok Emas memekik kaget tatkala melihat
totokan jari telunjuk lawan. Ketua Perguruan Golok
Maut ini tahu betul keampuhan jari Kalapati.
Jangankan tubuh manusia yang terdiri dari daging
dan tulang, batu karang yang paling keras pun dapat
tembus terkena totokan jari telunjuk kakek berwajah
beringas itu. Maka tanpa membuang-buang waktu
lagi, tangannya segera ditarik pulang. Tinggg...!
"Akh...!"
Si Golok Perak memekik tertahan ketika jari
telunjuk Kalapati membentur golok pusakanya.
Serangannya kontan menyimpang dari sasaran.
Lewat di samping kiri tubuh bekas datuk sesat itu.
Sedangkan tangan yang memegang golok tergetar
hebat.
Dari sini saja Wakil Ketua Perguruan Golok Maut
ini dapat mengukur tingginya kekuatan tenaga dalam
lawan. Betapa tidak? Meskipun hanya dengan sebuah
jari saja, serangan itu mampu membuat sekujur
tangannya tergetar hebat.
Tapi kenyataan itu tidak berarti membuat kedua
tokoh terlihai Perguruan Golok Maut ini gentar.
Bahkan sebaliknya, kedua orang itu menyerang
semakin dahsyat. Dua batang golok di tangan mereka
pun kembali menyambar bertubi-tubi ke berbagai
bagian tubuh Kalapati.
Tapi ternyata tingkat kepandaian kakek ber-
pakaian kulit ular ini jauh di atas gabungan
kepandaian kedua tokoh utama Perguruan Golok
Maut. Betapapun kedua orang ini mengerahkan
segenap kemampuan, tetap saja tak mampu men-
desak Kalapati. Kakek berwajah beringas ini mampu
mematahkan semua serangan mereka, dan bahkan
balas menyerang tak kalah dahsyat.
Pertarungan antara tokoh-tokoh sakti ini ber-
langsung cepat. Sehingga dalam waktu singkat,
puluhan jurus telah berlalu. Tapi selama itu tidak
nampak tanda-tanda siapa yang akan terdesak.
Pertarungan masih berjalan imbang.
Melihat hal ini, Gambala menjadi tidak sabar.
Setelah mengamati pertarungan itu, segera saja
kakek ini tahu kalau kedua pemimpin Perguruan
Golok Maut tidak akan mampu mengalahkan
Kalapati. Bahkan bukan tidak mungkin keduanya
dirobohkan bekas datuk sesat itu. Dan bila mereka
keburu roboh, dia dan adik seperguruannya pun tidak
akan mampu mengatasi Kalapati. Maka sebelum hal
yang ditakutkannya itu terjadi, Ketua Perguruan
Pedang Ular ini memutuskan untuk membantu si
Golok Emas dan si Golok Perak.
"Aku pun mempunyai perhitungan denganmu,
Kalapati!" teriak Gambala keras seraya memasuki
kancah pertempuran. Pedangnya mengeluarkan bunyi
mengaung keras begitu kakek bermata sayu ini mulai
membuka jurus-jurusnya.
Dan begitu masuk dalam arena pertarungan,
Gambala langsung saja menghujani Kalapati dengan
serangan-serangan maut
"Hm...!" Kalapati hanya mendengus seraya
menggerakkan tubuh, mengelak serangan-serangan
yang dilancarkan Gambala. Kini dengan ikut terjunnya
Ketua Perguruan Pedang Ular, posisi lawan-lawan
Kalapati jadi semakin kuat, sehingga tekanan-
tekanan yang datang ke arahnya pun semakin berat.
Hebat bukan main pertarungan antara keempat
tokoh sakti itu. Deru angin mengaung, mendesing,
dan mencicit menyemarakkan pertarungan itu.
Tanah-tanah terbongkar di sana-sini. Cabang-cabang
pohon, berpatahan tersambar angin serangan nyasar.
Debu pun mengepul tinggi ke angkasa.
***
Gumarang tertawa senang dalam hati setelah
memperhatikan jalannya pertarungan. Laki-laki ber-
hidung besar ini sudah bisa memperkirakan kalau
Kalapati akan mati kutu. Maka kini dialihkan
perhatiannya pada putri bekas datuk sesat itu.
Begitu melihat kakek berhidung besar itu menoleh
ke arahnya, Karmila tidak mau membuang-buang
waktu lagi. Segera saja gadis berpakaian jingga ini
meluruk menyerang Gumarang. Pedangnya diputar
cepat di atas kepala sebelum akhirnya ditusukkan ke
ulu hati Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular itu.
Singgg...!
Suara mendesing nyaring mengawali tibanya
serangan pedang gadis berpakaian jingga itu. Tapi
Gumarang hanya tertawa terkekeh. Dengan sikap
memandang rendah, kakinya dilangkahkan ke kanan
sehingga serangan Karmila lewat di samping kiri
pinggangnya. Berbareng dengan elakan itu, tasbihnya
diayunkan ke pelipis Karmila. Sengaja kakek ber-
hidung besar ini menggunakan tasbih, karena malu
melawan seorang gadis muda dengan senjata
andalan.
Wuttt..!
Karmila cepat menundukkan tubuhnya, sehingga
serangan itu lewat sekitar satu jengkal di atas
kepalanya. Sembari merunduk, tak lupa dikirimkan
serangan ke arah leher Gumarang dengan babatan
pedang miring ke atas.
Singgg...!
"Heh...?!"
Gumarang terperanjat. Serangan yang dilakukan
gadis berpakaian jingga sambil mengelakkan
serangannya itu benar-benar mengejutkan. Tidak ada
jalan lain baginya kecuali melempar tubuh ke depan
dan bergulingan di tanah.
Sesaat kemudian Gumarang bangkit dengan wajah
memerah karena marah dan malu. Tapi sesungguh-
nya rasa malulah yang lebih besar! Dia adalah wakil
ketua perguruan aliran putih terbesar saat ini. Dan
tadi hampir saja kehilangan nyawa di tangan gadis
belia yang sama sekali tidak terkenal. Betapa
memalukan kalau hal ini diketahui oleh tokoh-tokoh
persilatan lain.
Kini kakek berhidung besar ini tidak lagi berani
bersikap memandang rendah. Pengalaman yang baru
saja dialami, membuatnya sadar akan ketangguhan
gadis berpakaian jingga itu. Sekarang Gumarang
bersiap-siap mengerahkan seluruh kemampuannya.
Karmila yang mengetahui keterkejutan lawan,
telah melompat menyerang kembali. Sesaat
kemudian, keduanya sudah terlibat dalam per-
tarungan sengit
***
Sementara itu di cabang pohon beringin, seorang
pemuda berambut putih keperakan memperhatikan
jalannya kedua pertarungan dengan alis berkerut.
Sepasang matanya menatap penuh perhatian pada
kedua pertarungan itu berganti-ganti.
Kepala pemuda berambut putih keperakan itu
menggeleng-geleng setiap kali melihat pertarungan
Kalapati. Mulutnya berdecak pelan, penuh ke-
kaguman pada Kalapati yang mampu menghadapi
ketiga lawannya dengan penuh ketenangan. Padahal,
sekali lihat saja, pemuda berambut putih keperakan
itu mengetahui kalau ketiga lawan bekas datuk sesat
itu berkepandaian tinggi.
Betapapun lihainya Kalapati, tapi karena lawan
yang dihadapinya terlalu banyak, perlahan namun
pasti dia mulai terdesak. Kalau saja hanya
menghadapi dua orang, mungkin kakek berpakaian
kulit ular ini mampu mendesak. Bahkan mengalah-
kannya!
Memasuki jurus kelima puluh, keadaan bekas
datuk sesat ini kian mengkhawatirkan. Tapi meskipun
begitu, dengan kedahsyatan ilmu 'Totokan Peng-
hancur Tulang', Kalapati masih mampu bertahan.
Beberapa kali lawan-lawannya mengeluarkan seruan
kaget, setiap kali ujung jari tangan bekas datuk sesat
ini menangkis senjata mereka.
"Akh...!"
Tiba-tiba terdengar pekikan tertahan dari seorang
perempuan. Jantung Kalapati bagai hendak me-
lompat dari rongga dadanya begitu mendengar jeritan
itu. Dikenalinya betul siapa pemilik suara itu. Karmila,
putri kesayangannya. Perasaan cemas yang amat
sangat melanda kakek berwajah beringas ini. Sambil
terus mengelak dari hujan serangan lawan, sudut
matanya melirik ke arah tempat putrinya bertarung.
Rupanya pedang Karmila terlilit tasbih Gumarang.
Dan hal inilah yang menyebabkan gadis itu memekik
tertahan.
"Hih...!"
Karmila menggertakkan gigi. Seluruh tenaga
dalamnya dikerahkan untuk membebaskan pedang-
nya. Tapi Gumarang mempertahankannya. Kakek
berhidung besar ini pun mengerahkan tenaga
dalamnya untuk mempertahankan belitan tasbihnya.
Sesaat lamanya terjadi adu tenaga dalam yang
menegangkan.
Mendadak, Gumarang melepaskan belitan tasbih-
nya. Dan tak pelak lagi tubuh Karmila terjengkang ke
belakang. Terbawa tarikan tenaganya sendiri.
Di saat itulah, Gumarang melompat memburu.
Tasbihnya disabetkan keras ke arah kepala Karmila.
Gadis berpakaian jingga itu terkejut bukan main.
Sebisa-bisanya sabetan tasbih itu ditangkis dengan
pedangnya.
Cringgg...!
Suara berdenting nyaring terdengar begitu tasbih
beradu dengan pedang. Saking kerasnya benturan,
bunga-bunga api memercik ke udara. Pedang Karmila
kontan terlempar jauh. Memang posisi kuda-kuda
gadis itu tidak memungkinkan untuk mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya.
Tapi serangan Gumarang tidak hanya sampai di
situ saja. Dengan sebuah tamparan dahsyat, tangan
kirinya menyambar ke arah pelipis Karmila.
Kali ini tidak ada ampun lagi bagi Karmila.
Tubuhnya yang masih terhuyung ke belakang, dan
tangannya yang masih terasa lumpuh, membuatnya
pasrah saja pada serangan yang mengancam
pelipisnya.
"Karmila...!" teriak Kalapati kalap begitu melihat
bahaya maut mengancam keselamatan nyawa
putrinya. Bekas datuk sesat ini menggeram murka.
Tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri, kakek
ini menerobos kepungan. Tak dihiraukannya tiga
buah sergapan lawan yang tengah meluncur ke
arahnya.
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan teriakan yang menggetarkan
jantung, Kalapati memotong arah lompatan
Gumarang. Kedua jari telunjuknya bergerak cepat
melakukan tangkisan dan sekaligus serangan pada
Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular itu. Kakek
berpakaian kulit ular ini sama sekali tidak peduli
kalau di belakangnya ada tiga sosok yang melompat
mengejarnya sambil melancarkan serangan.
Singgg! Singgg! Wunggg...!
Plak, crot..!
"Aaakh...!"
Gumarang memekik melengking panjang.
Kejadiannya berlangsung begitu cepat. Memang
gerakan Kalapati cepat bukan main. Berbarengan
dengan telunjuk kanannya yang menangkis tamparan
Gumarang, telunjuk kirinya menusuk deras ke arah
pelipis. Tak pelak lagi, tubuh kakek berhidung besar
itu roboh dengan pelipis bolong! Darah segar mengalir
keluar. Sesaat lamanya Gumarang menggelepar-
gelepar sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Bersamaan dengan robohnya tubuh Gumarang,
serangan dari ketiga orang lawan Kalapati pun telah
menyambar tiba. Namun tubuh kakek berpakaian
kulit ular ini masih berada di udara. Dengan sebisa-
bisanya Kalapati berusaha mengelak. Tapi....
Cappp! Sret! Cras...!
"Aaakh...!"
Kalapati memekik nyaring. Walaupun telah
menghindar, tetap saja tiga serangan itu mengenai
tubuhnya. Namun berkat kelihaiannya, tidak ada satu
pun serangan itu yang mengenai bagian yang
mematikan. Yang telak mengenainya hanya tusukan
pedang Gambala. Itu pun hanya mengenai bagian
atas punggung kanan. Sedangkan dua buah sabetan
golok pimpinan Perguruan Golok Maut hanya
menyerempet pinggangnya.
"Hup...!"
Meskipun agak limbung, Kalapati berhasil
mendaratkan kedua kakinya di tanah. Darah segar
mengalir dari luka-lukanya. Terutama sekali dari luka
di punggung kanan.
"Ayah...!" teriak Karmila seraya menghambur ke
arah ayahnya. Dari sepasang mata yang bening itu
mengalir deras butiran-butiran air bening. Karmila
menangis, walaupun tanpa adanya isak dari
mulutnya. Hati gadis berpakaian jingga ini memang
dilanda rasa cemas yang amat sangat. Disadari kalau
ayahnya mempertaruhkan nyawa karena hendak
menyelamatkan nyawanya. Segumpal perasaan ber-
salah menggayuti hati Karmila. Apalagi tatkala
teringat kalau selama ini dia selalu merepotkan
ayahnya.
"Karmila...! Kau larilah cepat..! Selamatkan dirimu!
Biar Ayah yang akan menahan mereka!"
Mendengar seruan ayahnya, air mata yang keluar
dari sepasang mata bening itu semakin deras.
Keharuan yang amat sangat mendera hati Karmila.
Dadanya serasa sesak menahan rasa haru yang
melanda. Tapi gadis berpakaian jingga ini menguat-
kan hati. Bibirnya digigit menahan isak tangis yang
akan meledak.
"Tidak, Ayah," sahut Karmila dengan suara serak
mengandung isak. "Biar bagaimanapun aku tidak
akan meninggalkan Ayah. Biarlah kita mati
bersama...."
Kalapati tidak sempat menyahuti ucapan putrinya
karena serangan susulan lawan telah meluncur tiba.
Si Golok Emas dan si Golok Perak berbareng
menerjang. Golok emas dan perak pimpinan
Perguruan Golok Maut berkelebat cepat mencari
sasaran.
Kembali Kalapati harus berjuang keras meng-
hadapi dua lawannya. Tapi kali ini, perlawanan yang
dilakukan bekas datuk sesat ini tidak sehebat
sebelumnya. Sungguhpun luka-lukanya tidak terlalu
parah, sedikit banyak telah mengurangi kegesitannya.
"Keparat!" terdengar suara teriakan keras.
Ternyata makian itu berasal dari mulut Gambala.
Memang sehabis menyarangkan serangannya, kakek
bermata sayu ini segera menghambur ke arah tubuh
Gumarang yang tergolek di tanah. Waji yang sejak
tadi hanya menonton pertarungan, ikut berlari mem-
buru dan kemudian duduk bersimpuh di samping
tubuh paman gurunya.
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati
Gambala tatkala mengetahui adik seperguruannya
telah tewas. Terdengar suara berkerotokan keras dari
sekujur tulang-tulangnya ketika Ketua Perguruan
Pedang Ular ini perlahan-lahan bangkit. Sepasang
matanya merah berapi-api, menatap Kalapati penuh
dendam.
"Paman Guru...," panggil Waji bernada desahan.
Kesedihan dan dendam terbayang di wajahnya.
"Kalapati! Kau harus memhayar hutang nyawa adik
seperguruanku!"
Setelah berkata demikian, Gambala menerjang
Kalapati yang masih sibuk menghadapi dua orang
lawannya. Pedang di tangannya berkelebat, me-
nimbulkan suara mengaung keras. Sementara Waji
masih belum bangkit dari jongkoknya. Pemuda
berbadan lebar ini masih terpaku menatap mayat
paman gurunya.
Kalapati terkejut bukan main. Saat tusukan
pedang Gambala datang menyambar, dia baru saja
menangkis dua serangan lawannya. Karuan saja hal
ini membuat bekas datuk sesat ini jadi agak gugup.
Serangan Gambala begitu cepat dan tiba-tiba.
Tapi di saat gawat bagi keselamatan nyawa
Kalapati, berkelebat sesosok bayangan jingga
memapak tusukan itu. Kalapati terkejut bukan main
melihat hal ini. Walaupun tidak melihat jelas,
sekelebatan saja bekas datuk sesat itu dapat
mengetahui siapa sosok bayangan itu. Siapa lagi
kalau bukan Karmila, putrinya!
"Karmila...! Jangan...!" teriak kakek berwajah
bengis ini keras.
Tapi terlambat! Tubuh Karmila telah meluncur
cepat, memapak tusukan pedang Gambala dengan
babatan pedangnya.
Trang...!
"Akh...!"
Karmila memekik tertahan begitu pedangnya
membentur pedang Gambala. Sekujur tangannya
dirasakan lumpuh. Bahkan saking kerasnya benturan,
pedangnya sampai terlepas dari genggaman.
Dan sebelum gadis itu sempat berbuat sesuatu,
tahu-tahu tangan kakek bermata sayu itu telah
mengibas ke arah dadanya. Dengan susah payah
Karmila mencoba mengelak. Tapi....
Plak...!
"Akh...!"
Kembali Karmila memekik tertahan ketika kibasan
tangan Ketua Perguruan Pedang Ular itu
menyerempet pangkal lengannya. Seketika itu juga
tubuhnya terlempar ke belakang. Untunglah di saat-
saat terakhir, gadis ini masih mampu mengelak.
Kalau tidak, mungkin gadis berpakaian jingga ini
sudah tewas dengan seisi dada remuk.
"Karmila...!" teriak Kalapati begitu melihat putrinya
terlempar ke belakang. Datuk ini mencoba meng-
hambur ke arah gadis itu, tapi kedua lawannya tidak
memberikan kesempatan. Kakek berwajah beringas
ini terus dipaksa harus berjuang keras menghadapi
cecaran kedua orang lawannya.
"Kalau terjadi apa-apa dengan putriku, kalian
semua kucincang...!" desis kakek berpakaian kulit
ular itu tajam. Nada suaranya penuh ancaman.
Membuat bulu tengkuk yang mendengarnya
meremang.
Gambala yang tengah diamuk dendam,
melampiaskannya pada Karmila. Gadis binal ini harus
dibinasakan dulu, pikirnya. Paling tidak, kematian
gadis ini akan memecah perhatian Kalapati. Apalagi
gadis itu baru saja menggagalkan serangannya pada
Kalapati.
Setelah memutuskan demikian, Gambala mem-
buru tubuh Karmila yang masih terbawa tenaga
kibasan kakek bermata sayu ini. Pedangnya
dibabatkan ke arah leher gadis berpakaian jingga itu.
Dalam kemarahan yang menggelegak, Gambala lupa
kalau lawannya hanyalah seorang gadis belia yang
memiliki tingkat kepandaian di bawahnya. Apabila
tanpa menggunakan pedang pun, sebenarnya gadis
itu bisa dikalahkannya. Apalagi kini dia menggunakan
pedang.
"Karmila...!"
Kalapati menjerit tatkala melihat bahaya maut
mengancam keselamatan putrinya. Sementara dia
tidak berdaya menolong, karena kedua lawannya
sama sekali tidak memberi kesempatan. Akibatnya
perhatian datuk ini terpecah.
Dan kesempatan ini tidak disia-siakan dua orang
lawannya. Segera mereka memperhebat serangan
serangannya. Dan...
Cappp...!
"Akh...!"
Kalapati memekik keras ketika senjata si Golok
Perak menembus perutnya. Seketika itu juga darah
segar bermuncratan dari perut yang terkoyak lebar.
Tapi daya tahan Kalapati patut dipuji. Meskipun
perutnya telah tertembus golok, dia masih tetap
tangguh. Cepat laksana kilat, tangan kiri datuk ini
menangkap tangan si Golok Perak. Dan secepat itu
pula membetotnya. Berbareng dengan itu, telunjuk
kirinya meluncur deras ke arah ubun-ubun orang
kedua Perguruan Golok Maut.
Wuttt...! Crot..!
"Aaakh...!"
Si Golok Perak menjerit memilukan. Ubun-ubunnya
bolong tertembus jari telunjuk Kalapati. Seketika itu
juga tubuhnya roboh. Menggelepar-gelepar sesaat,
sebelum akhirnya roboh tak berkutik lagi.
Si Golok Emas terpaku melihat kematian adik
seperguruannya. Tapi Kalapati sama sekali tidak
peduli. Bergegas dia menoleh ke arah putrinya.
Legalah hatinya ketika melihat Karmila selamat.
Berdiri membelakangi putrinya, nampak seorang
pemuda berpakaian ungu yang berambut putih
keperakan. Di tangan kanan pemuda tampan itu
tergenggam guci arak.
Rupanya ketika melihat Karmila tengah terancam
maut, pemuda berambut putih keperakan itu tidak
tega. Dan langsung menangkis serangan pedang
Gambala dengan gucinya.
Gambala bersikap hati-hati. Dia sudah merasakan
sendiri kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemuda
berambut putih keperakan itu ketika menangkis
pedangnya. Tenaga dalam pemuda ini amat kuat,
sehingga mampu membuatnya terhuyung-huyung ke
belakang.
Ada dugaan yang muncul di benak Gambala begitu
melihat ciri-ciri pemuda di hadapannya ini. Usia,
rambut, pakaian, dan guci pemuda ini mengingatkan
pada seorang tokoh muda yang akhir-akhir ini
menggemparkan dunia persilatan, Dewa Arak! Tapi,
mungkinkah tokoh yang menggemparkan itu adalah
pemuda ini? Rasanya tidak masuk akal.
Bukan hanya Gambala saja yang dilanda perasaan
kaget, Dewa Arak pun demikian. Sungguh sama sekali
tidak disangkanya kalau tenaga dalam kakek ber-
mata sayu itu amat kuat. Sehingga mampu membuat
tangannya tergetar hebat.
***
Kini ada empat sosok tubuh yang berdiri tertegun.
Kalapati, Karmila, dan Gambala yang menatap Dewa
Arak dengan perasaan takjub, serta si Golok Emas
yang menatap mayat adik seperguruannya dengan
perasaan bingung.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Gambala.
Sepasang matanya menatap pemuda berambut putih
keperakan itu penuh selidik. "Mengapa kau
mencampuri urusanku?"
"Aku Arya, Kek. Aku tidak berniat mencampuri
urusan Kakek. Aku hanya tidak suka melihat
kekejaman berlangsung di depan mataku!" sahut
pemuda berambut putih keperakan yang ternyata
adalah Arya Buana alias Dewa Arak.
"Arya?!" ulang Gambala dengan alis berkerut
"Apakah nama lengkapmu Arya Buana?"
Arya menganggukkan kepalanya.
"Jadi..., kaukah yang berjuluk Dewa Arak?" kejar
Ketua Perguruan Pedang Ular itu lagi.
"Begitulah orang menjulukiku, Kek," sahut Arya
merendah.
"Kalau begitu kita orang segolongan, Dewa Arak.
Menyingkirlah...! Wanita yang kau tolong, dan juga
ayahnya adalah tokoh-tokoh hitam yang kejam dan
jahat! Aku akan melenyapkan mereka sebelum
mengacau dunia persilatan lagi...."
Arya Buana menggelengkan kepalanya.
"Sayang sekali, Kek. Aku tidak melihat adanya
keganasan dan kekejaman seperti yang kau katakan
itu pada diri mereka. Jadi, aku terpaksa tidak bisa
menyingkir dari sini."
"Maksudmu...?" tanya Gambala sambil
mengerutkan keningnya.
"Aku tidak akan menyingkir dari sini!" sahut Arya
tandas.
"Jadi, kau berada di pihak iblis-iblis itu, Dewa
Arak?!" sergah kakek bermata sayu itu. Nada
suaranya menyiratkan ancaman.
"Aku berada di pihak yang benar," ralat Arya.
"Pemuda sombong! Kau kira aku takut pada nama
besarmu!?"
Setelah berkata demikian, Gambala segera
menerjang Arya. Tapi sebelum Dewa Arak berbuat
sesuatu, melesat sesosok bayangan dan memotong
serangan itu. Terpaksa Gambala melempar tubuh ke
belakang, dan bersalto beberapa kali menyelamatkan
diri.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak
tanah. Dan secepat kakinya hinggap, secepat itu pula
sepasang matanya menatap ke depan. Dan di
hadapannya, di sebelah Dewa Arak berdiri Kalapati
dengan posisi kaki agak goyah karena luka-luka yang
dideritanya.
"Pergilah, Dewa Arak. Tolong selamatkan putriku.
Biar kucoba menghadang mereka," ucap kakek
berwajah bengis itu bernada perintah. Rupanya kakek
ini sudah mendengar pembicaraan Gambala dengan
pemuda berambut putih keperakan itu.
"Tapi, Kalapati...," Arya masih mencoba mem-
bantah.
"Pergilah, Dewa Arak. Kau tidak ada urusan
dengan mereka. Lagi pula, mungkin aku tidak akan
bertahan hidup lebih lama lagi! Cepatlah...!"
Dewa Arak tercenung. Disadari adanya kebenaran
dalam ucapan Kalapati.
"Baiklah, Kalapati. Aku berjanji akan menjaga
Karmila dengan taruhan nyawaku," janji Arya.
"Aku percaya padamu, Dewa Arak." Kalapati ber-
paling pada putrinya. "Karmila...! Cepatlah kau pergi!
Dewa Arak akan melindungimu...!"
"Tapi, Ayah...," gadis berpakaian jingga itu masih
mencoba membantah.
"Kau ingin jadi anak yang tidak berbakti, Karmila?!"
terpaksa Kalapati bersikap keras.
Baru saja kakek berwajah beringas ini menyelesai-
kan kata-katanya, serangan dari Gambala meluncur
tiba. Si Golok Emas yang kini sudah tersadar dari rasa
terpukul atas kematian adik seperguruannya, tidak
mau ketinggalan. Ketua Perguruan Golok Maut ini
segera menusukkan pedangnya. Kalapati yang sudah
terluka parah segera menyambutnya. Dikerahkannya
seluruh kemampuan untuk memberikan kesempatan
pada Dewa Arak membawa lari putrinya.
Karmila menahan isak yang merayap naik ke
tenggorokan. Dadanya terasa sesak menahan rasa
haru yang melanda. Baru sekarang gadis ini sadar
akan besarnya kasih sayang ayahnya. Ayahnya rela
mengorbankan nyawa asalkan dia selamat.
Kembali butiran-butiran air bening bergulir dari
sepasang mata indah itu. Karmila harus menyelamat-
kan diri dari sini. Tapi sebelumnya dia ingin memeluk
ayahnya untuk yang terakhir kali.
"Mari kita pergi, Karmila," ajak Arya sambil me-
natap wajah cantik bersimbah air mata di depannya.
Segumpal rasa haru melanda hati pemuda berambut
putih keperakan ini. Dia dapat merasakan perasaan
Karmila. Karena dia sendiri pernah mengalami
kesedihan ditinggal mati orang tua. Apalagi mati
terbunuh! Ibu Arya sendiri mati dibunuh orang yang
mendendam padanya (Untuk jelasnya, baca serial
Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar").
"Benarkah kau Dewa Arak?" tanya gadis ber-
pakaian jingga itu dengan suara serak.
Arya hanya mengangguk pelan. Dia malu
menjawab, karena khawatir kalau suaranya terdengar
gemetar. Dewa Arak tidak ingin gadis ini tahu kalau
dirinya pun tengah dilanda rasa haru.
"Bila kau benar-benar hendak menolong kami,
mengapa kau tidak langsung membantu ayahku?"
"Ayahmu tidak mau menerima pertolonganku,
Karmila," sahut Arya setengah mendesah. "Ayahmu
sudah cukup senang asal kau selamat"
Lagi-lagi dari sepasang mata bening indah itu
bergulir air bening. Arya yang berwatak welas asih jadi
ikut terenyuh. Kalau menuruti perasaannya ingin
dipeluknya gadis itu, dan diusap-usap rambutnya.
Tapi, pemuda ini sadar kalau hal itu tidak mungkin
dilakukannya.
"Maukah kau memenuhi permintaanku, Dewa
Arak?" tanya Karmila lagi.
"Katakanlah, Karmila. Kalau aku mampu, dan
selama tidak bertentangan dengan kebenaran, aku
akan memenuhinya," janji Arya.
"Aku ingin kau menahan musuh-musuh ayah
dulu...."
"Hm..., lalu?" tanya Arya masih belum memahami
tujuan ucapan Karmila.
"Aku ingin meminta maaf atas semua kesalahanku
pada ayah, Dewa Arak..., agar hatiku tenang melepas
kepergiannya...."
Arya segera memalingkan wajahnya. Dewa Arak
hampir tidak kuat lagi menahan rasa haru yang
menggelegak di dadanya. Digigit-gigit bibirnya untuk
menahan luapan keharuan yang menyentak-nyentak
kalbu.
"Maukah kau memenuhi permintaanku, Dewa
Arak?"
Arya menganggukkan kepalanya. Kemudian
pandangannya dialihkan ke arah pertempuran.
Setelah mengamati sejenak, Dewa Arak tahu
kelihaian kedua orang lawan Kalapati. Sebelumnya
dia sudah merasakan sendiri kekuatan tenaga dalam
Gambala. Maka pemuda ini tidak mau bersikap
ceroboh. Segera guci araknya diangkat, dan
dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu melewati
kerongkongannya. Seketika itu juga, ada hawa hangat
yang mengalir dari perutnya, dan perlahan naik ke
kepala.
"Kalapati..., putrimu ingin berbicara sebentar.
Temuilah dia demi ketenangan hatinya. Biar aku yang
menahan mereka...."
Karmila melihat mulut Dewa Arak berkomat-kamit.
Tapi tidak sedikit pun suara yang terdengar. Gadis itu
tidak tahu kalau Arya tengah mengirimkan suara
khusus untuk Kalapati.
Memang, bagi orang berkepandaian tinggi seperti
Dewa Arak, bukan merupakan hal yang sulit untuk
mengirimkan suara hanya kepada orang yang dituju.
Setelah yakin Kalapati telah mendengar pesannya,
Dewa Arak segera maju beberapa tindak.
"Awas serangan...!" teriak Arya seraya meng-
hentakkan kedua tangannya ke depan. Inilah jurus
'Pukulan Belalang'. Jurus yang jarang dikeluarkan
kalau tidak terpaksa sekali.
***
5
Wusss...!
Angin keras berhawa panas menyambar deras ke
arah Gambala dan si Golok Emas. Kedua kakek sakti
ini terkejut bukan main. Mereka menyadari
kedahsyatan pukulan jarak jauh yang mengandung
hawa panas menyengat itu. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, keduanya segera melempar tubuh ke
belakang. Setelah bersalto beberapa kali di udara,
kedua tokoh itu hinggap tanpa suara beberapa
tombak dari tempat semula.
Kesempatan emas itu tidak disia-siakan oleh Dewa
Arak. Segera pemuda berambut putih keperakan ini
melompat maju. Sedangkan Kalapati yang me-
mahami maksud penolongnya, segera bergerak
mundur.
"Terima kasih atas kesempatan yang kau berikan,
Dewa Arak," ucap kakek berwajah beringas itu seraya
berlari menghampiri putrinya yang juga berlari meng-
hambur ke arahnya. Sementara Dewa Arak segera
menghadang Gambala dan si Golok Emas yang sudah
bergerak mengejar Kalapati.
"Dewa Arak!" teriak si Golok Emas keras. "Tak
kusangka kalau nama besarmu yang selama ini
kudengar, tidak sesuai dengan apa yang kusaksikan
di sini! Tahukah kau, siapa orang yang kau bela itu?!"
"Ha ha ha...!" Gambala tertawa mengejek. "Mana
bisa dia membedakan mana yang benar dan mana
yang salah, Golok Emas? Mata dan hatinya telah silau
oleh kecantikan gadis liar itu!"
Merah wajah Arya mendengar kata-kata peng-
hinaan itu.
"Tidak kusangka aku akan mendengar ucapan
kotor seperti ini dari mulut kalian," desah pemuda
berambut putih keperakan itu pelan.
"Kami beri kesempatan kepadamu sekali lagi,
Dewa Arak! Menyingkir atau kami terpaksa akan
menyingkirkanmu dengan kekerasan!" ancam
Gambala.
"Sudah kukatakan. Apa pun yang terjadi, aku tidak
akan menyingkir dari sini!" tandas Dewa Arak tegas.
Guci araknya diangkat kembali, lalu dituangkan ke
mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu melewati
kerongkongannya.
"Kalau begitu, jangan salahkan kalau kau mampus
di tangan kami, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, Gambala melesat me-
nerjang. Pedangnya yang meliuk-liuk aneh seperti
gerakan seekor ular, mengancam Dewa Arak.
Wunggg...!
Dewa Arak mengerutkan alisnya melihat ilmu
pedang yang unik itu. Batang pedang yang tidak kaku
seperti pedang umumnya itu membuat pemuda
berambut putih keperakan ini agak bingung. Setiap
arah serangan yang dituju, tidak dapat diduganya
dengan pasti. Jurus-jurus pedang inilah yang me-
nyebabkan Gambala menamakan perguruannya,
Perguruan Pedang Ular.
Baru tatkala serangan itu telah menyambar dekat,
arah sasarannya dapat diketahui. Ujung pedang itu
ternyata mengancam leher Dewa Arak. Segera
pedang itu ditangkis dengan gucinya.
Klanggg...!
Suara berdentang terdengar begitu pedang itu
berbenturan dengan guci. Bunga-bunga api memercik
ke udara. Akibatnya Gambala terhuyung dua langkah
ke belakang, sedangkan Dewa Arak hanya tergetar
saja. Dari benturan ini dapat diukur kalau tenaga
dalam Dewa Arak masih berada di atas tenaga dalam
Ketua Perguruan Pedang Ular itu.
Tapi sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu,
tahu-tahu si Golok Emas sudah meluruk dengan
sabetan golok mendatar ke arah leher.
Singgg...!
Serangan dari Ketua Perguruan Golok Maut itu
cepat sekali. Dewa Arak yang baru saja menangkis
serangan Gambala tidak punya kesempatan lagi
untuk menangkis. Maka Dewa Arak segera mengelak
dengan mengandalkan langkah unik jurus 'Delapan
Langkah Belalang'.
Wuttt..!
Si Golok Emas terkejut begitu menyadari kalau
sabetan goloknya mengenai tempat kosong. Ketua
Perguruan Golok Maut ini lebih terperanjat lagi ketika
melihat lawan telah lenyap dari hadapannya. Padahal
tadi jelas-jelas dilihatnya kalau Dewa Arak hanya
melangkah dengan gerakan terhuyung-huyung seperti
akan jatuh.
Ketua Perguruan Golok Maut sama sekali tidak
menduga kalau Dewa Arak telah berada di belakang-
nya. Tapi tidak seperti yang sudah-sudah, Arya kali ini
tidak langsung melakukan penyerangan dari
belakang.
Dewa Arak tahu kalau lawan-lawan yang dihadapi-
nya ini adalah tokoh-tokoh persilatan golongan putih.
Maka pemuda berambut putih keperakan ini tidak
mau membuat urusan dengan mereka. Tugasnya
hanyalah memberi kesempatan kepada Karmila
berbincang-bincang dengan ayahnya untuk yang
terakhir kalinya.
Karena hal itulah Dewa Arak tidak mengadakan
perlawanan. Arya hanya mengelak saja dari setiap
serangan kedua lawannya. Untunglah pemuda ini
memiliki jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang unik,
sehingga tidak terlalu repot untuk mengelakkan
setiap serangan yang datang. Hanya sesekali saja
pemuda ini menangkis serangan lawan.
Diam-diam Dewa Arak terkejut juga begitu
mendapat kenyataan kalau kedua lawannya ini
memiliki kepandaian tinggi. Tingkat kepandaian
mereka hanya berselisih sedikit dengannya. Dari sini
sudah dapat diukur tingkat kepandaian Kalapati yang
mampu menahan pengeroyokan ketiga lawannya.
Teringat akan Kalapati, Dewa Arak meluangkan
kesempatan untuk melirik ke arah ayah dan anak itu.
Dilihatnya Karmila dan ayahnya tengah berpelukan
erat.
"A... Ayah...," ucap Karmila terbata-bata dalam
pelukan ayahnya. Sama sekali tidak menghiraukan
pakaiannya yang kotor terkena noda darah dari luka-
luka yang diderita ayahnya.
"Ada apa, Karmila?" tanya Kalapati lembut.
Tangannya mengusap-usap rambut hitam, indah, dan
harum milik putrinya penuh kasih sayang.
"Aku.. aku ingin minta maaf pada Ayah...," jawab
Karmila terputus-putus.
"Heh?! Memangnya kau mempunyai kesalahan
pada Ayah, Karmila?" tanya Kalapati heran.
Sementara tangannya masih terus mengusap-usap
rambut putrinya penuh kasih sayang.
"Aku sering membuat Ayah jengkel...."
"Lupakanlah, Karmila. Ayah sama sekali tidak
menganggap semua itu sebagai suatu kesalahan.
Pergilah! Selamatkan dirimu. Dewa Arak akan
melindungimu."
"Kenapa Ayah tidak ikut pergi bersamaku saja?!"
tanya Karmila penasaran.
"Itu tidak mungkin, Karmila," bantah Kalapati.
"Pantang bagi Ayah untuk melarikan diri dari lawan.
Nah, sekarang keinginanmu sudah terpenuhi. Ayah
akan menggantikan Dewa Arak menghadapi kedua
orang itu, Karmila. Kasihan, pemuda itu...."
Karmila mengikuti arah pandangan ayahnya. Dan
apa yang dikatakan ayahnya memang benar. Pemuda
berambut putih keperakan itu terlihat pontang-
panting menghadapi gempuran kedua orang
lawannya.
Memang dalam pandangan orang yang belum
memiliki tingkat kepandaian tinggi, Dewa Arak
mungkin terlihat terdesak. Tampak jelas kalau
pemuda itu sampai terpontang-panting setiap
mengelak serangan lawan. Bahkan terlihat tidak
memiliki kesempatan untuk balas menyerang.
Tapi tidak demikian halnya dengan pandangan
Kalapati. Diam-diam kakek ini terkejut penuh
kekaguman. Sorot matanya yang tajam, dapat melihat
jelas kalau Dewa Arak sama sekali tidak berniat
membalas, tetapi hanya mengelak saja.
"Itukah jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang
terkenal?" tanya datuk ini dalam hati. "Sungguh luar
biasa."
Kalapati menyadari kalau luka-luka yang di-
deritanya amat parah. Tubuhnya dirasakan semakin
lama semakin melemah. Namun dia masih mem
punyai tugas untuk menahan kedua kakek sakti itu
agar Dewa Arak mempunyai kesempatan membawa
lari Karmila.
"Bersiap-siaplah, Dewa Arak..., aku akan meng-
gantikan tempatmu. Aku mohon kau segera menye-
lamatkan putriku," ucap Kalapati mengirimkan pesan
dari jauh pada Arya.
Dewa Arak menganggukkan kepalanya pertanda
telah mendengar pesan Kalapati. Kakek berwajah
beringas itu gembira melihat Dewa Arak telah
mengerti pesannya.
"Selamat tinggal, Karmila," ujar Kalapati sambil
mencium kening putrinya. Perlahan-lahan pelukan
pada putrinya dilepaskan. Dengan berat hati, Karmila
pun melepaskan pelukannya.
"Selamat tinggal, Ayah," sahut gadis berpakaian
jingga itu tersendat-sendat. Firasat Karmila berkata
kalau perpisahan dengan ayahnya ini, adalah per-
pisahan untuk selama-lamanya.
Sementara itu begitu menerima pesan, Dewa Arak
segera bersiap memberi kesempatan pada Kalapati
untuk menggantikannya. Dan untuk itu dia harus
mendesak lawannya. Maka kini gerakan Dewa Arak
pun mendadak berubah. Langsung saja pemuda itu
memainkan jurus 'Belalang Mabuk'nya.
Gambala dan si Golok Emas terkejut sekali ketika
merasakan perubahan mendadak itu. Memang,
sebagai tokoh sakti mereka tahu kalau sejak tadi
Dewa Arak belum melancarkan serangan balasan.
Dan ini membuat kedua tokoh itu merasa terhina.
Sebagai akibatnya, tentu saja keduanya semakin
marah dan menyerang semakin dahsyat.
Kini begitu Dewa Arak melancarkan serangan
balasan, Gambala dan si Golok Emas terkejut bukan
main. Serangan Dewa Arak yang begitu dahsyat dan
menderu-deru laksana amukan badai, membuat
keduanya melompat mundur ke belakang.
Begitu kedua orang itu melompat mundur, Kalapati
segera melompat ke sebelah Dewa Arak.
"Berhati-hatilah, Dewa Arak. Kau akan mengalami
banyak kesulitan dalam menyelamatkan putriku. Tapi
percayalah, kau membela orang yang benar. Aku dan
putriku sama sekali tidak tahu apa-apa. Kedua orang
inilah yang mendesak kami bertarung," jelas Kalapati
agak terburu-buru.
"Percayalah padaku, Kalapati. Aku akan me-
lindungi putrimu dengan taruhan nyawaku. Aku
percaya kalau kau dan putrimu ada di pihak yang
benar."
"Terima kasih, Dewa Arak. Sayang, aku tidak akan
sempat membalas kebaikan hatimu ini. Hhh...!" keluh
Kalapati.
"Aku mohon, kau jangan menyebut-nyebut
masalah hutang budi, Kalapati. Aku menolong bukan
karena mengharapkan balasanmu," tegas Dewa Arak
bernada memperingatkan.
"Aku percaya, Dewa Arak. Nah, sekarang pergilah.
Aku tidak yakin akan mampu menahan mereka terlalu
lama."
"Kalau begitu, aku pergi dulu, Kalapati," ucap
Dewa Arak sambil menggerakkan kaki. Kelihatannya
pemuda berambut putih keperakan ini hanya
melangkah perlahan saja, tapi hebatnya tahu-tahu
telah berada lebih sepuluh tombak dari tempat
semula. Dan sesaat kemudian, Dewa Arak telah
berada di dekat Karmila.
"Mari kita pergi, Karmila," ajak Dewa Arak.
Karmila menahan isak yang naik ke tenggorokan
nya. Sekilas sepasang bola mata bening itu menatap
ke arah ayahnya yang sudah kembali terlibat
pertarungan dengan kedua lawannya.
"Selamat tinggal, Ayah...!" teriak gadis berpakaian
jingga itu dengan pengerahan tenaga dalam sehingga
suaranya menggema sampai jauh. Kemudian Karmila
melesat cepat meninggalkan tempat itu dengan
diikuti Dewa Arak.
Meskipun tengah sibuk menghadapi desakan
kedua lawannya, Kalapati masih sempat mengirim-
kan suara dari jauh untuk putrinya.
"Selamat tinggal, Karmila...."
Karmila agak menahan langkahnya begitu
mendengar ucapan Kalapati.
"Ada apa, Karmila?" tanya Dewa Arak begitu
melihat Karmila memperlambat langkahnya.
"Tidak ada apa-apa...," sahut gadis berpakaian
jingga itu sambil menggelengkan kepalanya. Langkah-
nya pun kembali dipercepat seperti semula.
Dewa Arak tidak mendesak. Pemuda berambut
putih keperakan ini sengaja membiarkan Karmila
menenangkan batinnya yang terguncang. Terus saja
kakinya dilangkahkan mengikuti Karmila yang telah
bergerak lebih dulu.
***
Kalapati tersenyum begitu melihat tubuh Karmila
dan Dewa Arak telah lenyap dari tempat itu. Seketika
itu juga perlawanannya menurun jauh. Memang,
sebenarnya kakek ini telah terluka parah, dan
tenaganya pun sudah berkurang jauh. Tapi karena
terdorong untuk menyelamatkan putrinya sajalah
yang membuatnya mendapat tenaga baru. Begitu
diyakini Karmila telah selamat, tenaga tambahan itu
pun lenyap seketika.
Dalam beberapa gebrakan, Kalapati telah terdesak
hebat. Bahkan beberapa kali serangan lawan sempat
menyerempet tubuhnya. Luka-lukanya pun semakin
banyak. Dan tentu saja hal ini membuat tenaga
Kalapati menjadi kian susut.
"Haaat..!"
Singgg...!
Sambil berteriak nyaring, Gambala menusukkan
pedangnya ke arah perut Kalapati. Dan seperti
biasanya, pedang lemas itu bergetaran, sehingga
kelihatan banyak dan sukar diduga bagian mana yang
dituju.
"Hiyaaa...!"
Si Golok Emas berteriak pula. Tubuhnya melompat
ke udara. Dan dari atas, goloknya disabetkan ke arah
leher kakek berpakaian kulit ular itu.
Wuttt..!
Kedua serangan itu datang begitu mendadak.
Sedangkan keadaan Kalapati saat itu sudah amat
lemah. Meskipun begitu, kakek berpakaian kulit ular
ini berusaha mengelak. Tapi....
Ceppp, cappp...!
Telak sekah kedua serangan itu mengenai
sasarannya. Seketika itu juga tubuh Kalapati roboh ke
tanah. Darah segar memancar deras dari perut yang
tertembus pedang. Dan juga dari kepala yang terpisah
dengan lehernya. Kalapati tewas tanpa sempat
bersuara!
Gambala dan si Golok Emas memandangi tubuh
Kalapati yang bersimbah darah. Ada kepuasan
terpancar dari sorot mata dan wajah kedua kakek
sakti itu.
"Adi Gumarang..., kau lihatlah. Kematianmu telah
kubalaskan. Pembunuhmu telah kubinasakan.
Semoga kau tenang di alam baka...," desah Gambala
dalam hati.
"Golok Perak..., musuh besarmu telah kubinasa-
kan. Semoga arwahmu tidak penasaran...," ucap Si
Golok Emas dalam hati dengan kepala tertunduk.
Setelah itu, hampir bersamaan kedua tokoh sakti
itu melangkah menuju ke arah mayat adik
seperguruan masing-masing.
"Waji...," panggil Gambala kepada muridnya yang
masih termenung menatap ke arah Barat
Pemuda berbadan lebar itu pun berpaling menatap
gurunya.
"Ke sanakah kedua orang itu melarikan diri, Waji?"
tanya Gambala seraya memandang ke arah
pandangan muridnya tadi.
"Benar, Guru," jawab Waji sambil menganggukkan
kepalanya. "Apakah Guru akan mengejarnya?"
Gambala menggelengkan kepalanya.
"Mengapa, Guru?" tanya Waji. Nada suaranya
menyiratkan rasa penasaran yang mendalam.
"Mengejar kedua orang itu tidak sulit, Waji. Tapi
yang penting sekarang kita urus dulu mayat paman
gurumu ini"
"Maaf, Guru. Aku... aku...."
"Ada apa lagi, Waji?" tanya Gambala dengan alis
berkerut melihat sikap muridnya yang tampak ragu-
ragu melanjutkan ucapannya.
"Aku... aku tidak bisa ikut Guru pulang ke
perguruan...," sahut Waji terputus-putus.
"Mengapa, Waji?"
"Aku ingin mencari mayat Adi Jalasa dan Adi
Rupangki dulu, Guru. Batinku tidak akan tenang
sebelum mayat mereka kutemukan," sahut Waji
tersendat-sendat. Suaranya terdengar parau.
"Hhh...!" Gambala menghela napas berat "Kalau itu
sudah keputusanmu, aku tidak akan mencegah, Waji"
"Terima kasih, Guru," ucap pemuda berbadan lebar
itu terputus-putus.
"Kalau begitu aku akan pergi dulu. Hati-hatilah,
Waji"
"Akan kuperhatikan semua nasihat Guru."
Gambala membungkuk, lalu mengangkat mayat
Gumarang dan diletakkan di bahunya. Sesaat
kemudian Ketua Perguruan Pedang Ular itu melesat
dari situ. Cepat bukan main gerakannya sehingga
yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan kuning.
Waji memandangi tubuh gurunya hingga lenyap di
kejauhan. Kini di tempat itu yang tinggal hanya dia
sendiri. Si Golok Emas pun sudah sejak tadi
meninggalkan tempat itu sambil membawa mayat
adik seperguruannya.
***
Waji tersenyum lebar. Sorot kesedihan mendadak
lenyap di wajahnya. Perlahan kakinya dilangkahkan
menuju batu pipih dan lebar yang terdapat dekat situ.
Kemudian pantatnya dihempaskan, duduk di atasnya.
Cukup lama juga pemuda berbadan lebar itu
duduk di situ. Sampai matahari tepat berada di atas
kepala, Waji tetap duduk di atas batu itu.
"Uhhh...," keluh Waji. Kepalanya ditolehkan ke
bawah lereng. Entah sudah berapa kali pemuda itu
berbuat seperti itu. Jelas ada sesuatu yang
ditunggunya.
"Mengapa lama sekali...?"
Baru saja Waji menyelesaikan ucapannya,
mendadak terdengar suara berkaokan keras dua kali.
Suara itu mengingatkan orang akan suara burung
gagak.
Waji segera berpaling ke arah asal suara.
Pendengarannya dipasang tajam-tajam. Jelas kalau
suara berkaokan itu mempunyai arti bagi pemuda itu.
Belum lagi gema suara itu lenyap, kembali
terdengar lagi. Dua kali berturut-turut dan kemudian
berhenti.
Waji tersenyum lebar. Wajahnya mendadak cerah.
Dari mulutnya terdengar siulan nyaring yang
menggema ke seluruh tempat itu. Hal ini tidak aneh,
karena pemuda berbadan lebar itu mengerahkan
tenaga dalam sewaktu bersiul.
"Ha ha ha...!"
Mendadak terdengar tawa keras bergelak. Tawa
yang menggema ke seluruh penjuru Gunung Paianjar.
Membuat daun-daun di sekitar tempat itu bergetar.
Jelas kalau tawa itu dikeluarkan dengan pengerahan
tenaga dalam.
Belum juga habis gema tawa itu, melesat sesosok
bayangan dan mendarat tepat di depan Waji. Bumi
bergetar hebat begitu kedua kaki bayangan itu
menjejak tanah.
Di hadapan Waji telah berdiri sesosok tinggi besar.
Sekujur tangan dan badan sosok yang bertelanjang
dada ini dipenuhi otot-otot melingkar dan bertonjolan.
Kepalanya botak dan raut wajahnya kasar dengan
mata membelalak lebar. Celananya sebatas lutut, dan
terbuat dari kulit beruang salju.
"Ha ha ha...! Kelihatannya semua rencanamu
berjalan baik, Waji," ucap laki-laki bertubuh tinggi
kekar berotot itu. Suaranya mirip dengan tawanya.
Keras dan menggelegar.
Waji bergegas bangkit dari duduknya dan
kemudian berdiri di hadapan laki-laki tinggi besar
berotot itu. Dan begitu pemuda berbadan lebar ini
berdiri, baru teriihat betapa tingginya orang yang baru
datang itu. Tinggi Waji hanya mencapai dada laki-laki
tinggi besar berotot itu. Padahal Waji terhitung
pemuda yang berpostur tubuh di atas rata-rata.
"Mengapa kau bisa menduga demikian, Setan
Kepala Besi?!" sahut Waji cepat.
"Kulihat sikapmu begitu gembira! Betul kan
dugaanku? Ha ha ha...!" sahut laki-laki berotot kekar
yang ternyata berjuluk Setan Kepala Besi sambil
tertawa bergelak. Kembali suara tawa yang
menggelegar itu menggema ke seluruh penjuru
tempat itu.
Waji menganggukkan kepalanya.
"Bagaimana dengan Kalapati?" tanya Setan Kepala
Besi setengah berbisik. Seketika itu juga lenyap suara
tawanya. Raut wajahnya teriihat serius. Raut wajah
dan suaranya menyorotkan kegentaran. Wajarlah
kalau laki-laki bertubuh tinggi besar dan kekar berotot
itu gentar pada Kalapati, karena belasan tahun yang
lalu dia telah dikalahkan oleh bekas datuk sesat itu.
"Dia telah tewas, Setan Kepala Besi," sahut Waji
memberi tahu.
"Apa...?! Kalapati tewas?!" Sepasang mata Setan
Kepala Besi membelalak. Tentu saja mata yang
memang sudah besar itu, jadi teriihat semakin
membesar.
Waji menganggukkan kepalanya.
"Gila! Sungguh gila!" seru laki-laki tinggi besar
kekar berotot itu sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Nada suara dan sikapnya mengandung
ketidak-percayaan. "Bagaimana dia bisa tewas?"
"Kalapati dikeroyok oleh Gambala, si Golok Emas,
dan si Golok Perak..."
"Pantas...," desah Setan Kepala Besi. Kepalanya
terangguk-angguk.
"Apakah kau ingin melihat mayat Kalapati, Setan
Kepala Besi?" tanya Waji lagi.
"Boleh," sahut Kalapati. "Biar hatiku lebih yakin.
Rasanya aku tidak percaya kalau orang seperti
Kalapati bisa ditewaskan...."
Waji tidak menyahuti ucapan Setan Kepala Besi.
Kakinya dilangkahkan menuju tempat mayat Kalapati
tergolek dengan kepala terpisah dari lehernya. Tanpa
berkata apa-apa, Setan Kepala Besi melangkah di
belakang pemuda berbadan lebar itu.
"Itulah mayat Kalapati," ucap Waji sambil
menudingkan telunjuknya ke arah sosok tubuh yang
tergolek beberapa tombak di depannya. Sementara
kakinya terus saja dilangkahkan.
Setan Kepala Besi menyipitkan mata untuk lebih
memperjelas pandangan. Kalau melihat pakaiannya,
memang dapat dikenali kalau tubuh yang tergolek itu
adalah Kalapati. Tapi laki-laki tinggi besar ini tidak
puas kalau hanya melihat dari jauh, maka kakinya
dilangkahkan mendekat.
"Ha ha ha...!"
Tawa bergelak kembali menggema ke seluruh
tempat itu begitu Setan Kepala Besi melihat jelas
kalau mayat itu benar Kalapati. Orang yang selama ini
sangat ditakutinya.
Waji pun tersenyum lebar begitu melihat ke-
gembiraan laki-laki tinggi besar itu.
"Memangnya untuk apa kau menginginkan
kematian Kalapati, Setan Kepala Besi? Bukankah
kakek itu telah meninggalkan urusan persilatan? Dan
kurasa dia tidak akan mengganggu seandainya kau
ingin menga-caukan dunia persilatan?" tanya Waji
ingin tahu.
"Karena aku menginginkan tempat tinggalnya. Dan
itu tidak mungkin kuperoleh bila Kalapati masih
hidup. Dan...."
"Kau menyuruhku merencanakan sesuatu,
bukan?" sambung Waji cepat.
"Dan..., inilah hasilnya!" tegas Setan Kepala Besi
seraya tertawa bergelak. Waji pun tertawa bergelak.
"Mengapa kau ingin merebut tempat Kalapati,
Setan Kepala Besi? Bukankah tempat tinggalmu lebih
mewah dan indah daripada tempat ini?" tanya Waji
lagi setelah tawanya mereda.
Setan Kepala Besi terdiam seketika. Rupanya
jawaban dari pertanyaan itu merupakan rahasia.
Untuk beberapa saat, laki-laki tinggi besar ini
tercenung.
"Kalau tidak mengingat jasamu, dan juga
hubungan kekeluargaan kita, pertanyaanmu itu dapat
kujadikan alasan untuk membunuhmu, Waji."
Pucat wajah pemuda berbadan lebar itu seketika.
Waji tahu kalau Setan Kepala Besi tidak pemah main-
main dalam ucapannya.
"Memangnya kenapa, Setan Kepala Besi?" tanya
Waji dengan suara bergetar. Seketika perasaan
tegang melandanya.
"Karena rencana ini merupakan rahasiaku," jawab
Setan Kepala Besi dengan suara mendesis tajam.
"Rahasia?!" Sepasang alis Waji berkerut dalam.
"Ya. Kalau seandainya ada orang persilatan yang
tahu, mereka akan berbondong-bondong datang ke
mari," sambung Setan Kepala Besi masih dengan
suara berbisik-bisik.
"Ah...!" seru Waji terkejut "Mengapa bisa begitu,
Setan Kepala Besi?"
"Karena di dalam gua Kalapati tersimpan benda
yang mampu membuat tenaga dalam orang yang
memakannya menjadi berlipat ganda...."
"Ahhh...! Kiranya begitu...," desah Waji kaget.
Kepalanya terangguk-angguk karena mulai mengerti
masalahnya.
"Kau paham, Waji?" tanya Setan Kepala Besi
sambil menatap tajam wajah pemuda di hadapannya.
"Paham, Setan Kepala Besi," sahut Waji sambil
menganggukkan kepalanya.
"Ha ha ha...!"
Kembali Setan Kepala Besi tertawa. Waji yang
semula tidak mengerti apa-apa, ikut pula tertawa
terbahak-bahak. Tapi tiba-tiba pemuda berbadan
lebar itu menghentikan tawanya. Sepasang alisnya
berkerut dalam. Jelas ada sesuatu yang mengganggu
pikirannya. Tentu saja hal ini tidak lepas dari
perhatian Setan Kepala Besi.
"Ada apa, Waji?"
Waji menengadahkan kepala. Ditatapnya wajah
Setan Kepala Besi.
"Putri Kalapati berhasil meloloskan diri...," sahut
pemuda itu pelan, mirip desahan.
"Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa bergelak.
Rupanya kakek tinggi besar ini gemar tertawa. "Kukira
ada apa! Kalau hanya putri Kalapati saja, mengapa
dirisaukan? Sampai seberapa tinggi sih kepandaian-
nya?! Sudahlah, Waji. Lupakan saja masalah kecil
itu!"
"Bukan putri Kalapati yang kurisaukan, Setan
Kepala Besi," sambut Waji lagi.
"Heh...?! Kau ini aneh, Waji! Kalau bukan putri
Kalapati, lalu siapa lagi? Bukankah itu tadi
jawabanmu ketika kutanya?!" sergah Setan Kepala
Besi penuh rasa heran.
"Memang benar putri Kalapati berhasil meloloskan
diri. Tapi, bukan wanita liar itu yang merisaukanku."
"Lalu siapa?"
"Penolongnya," sahut Waji singkat.
"Ah...! Jadi, ada orang yang telah menyelamatkan
putri Kalapati?" sambut Setan Kepala Besi mulai
paham.
Waji hanya menganggukkan kepalanya.
"Siapa orang itu, Waji?"
"Dewa Arak...," jawab pemuda berbadan lebar itu
pelan.
"Dewa Arak?!" ulang Setan Kepala Besi kaget. "Kau
tidak salah lihat, Waji?!"
Waji menggelengkan kepalanya.
"Dari mana kau tahu kalau penolong putri Kalapati
itu Dewa Arak?" desak Setan Kepala Besi ingin tahu.
"Gambala mengenalinya... pemuda itu pun meng-
akuinya. Dan lagi ciri-cirinya memang seperti yang
kudengar selama ini. Hhh...! Kepandaiannya tinggi
sekali. Dia mampu menghadapi Gambala dan si
Golok Emas sekaligus...!"
"Jadi, Dewa Arak sempat bertempur?"
"Ya. Eh..., kenapa aku begini bodoh? Bukankah ini
kesempatan untuk melenyapkan Dewa Arak itu?"
ucap Waji pada dirinya sendiri. Jelas ada suatu
rencana di benaknya. Dan sudah pasti rencana itu
amat diyakini keberhasilannya. Hal ini terbukti
dengan lenyapnya kemuraman pada wajah pemuda
itu. Wajahnya kini mendadak berseri-seri.
"Apa maksudmu, Waji?" tanya Setan Kepala Besi
yang memang tidak mengerti rencana pemuda
berbadan lebar itu.
Waji lalu menceritakan semua kejadiannya.
"Gambala dan juga si Golok Emas bertekad
hendak melenyapkan putri Kalapati. Dan melihat
kegigihan Dewa Arak melindungi putri Kalapati itu,
sudah dapat kupastikan kalau di antara mereka akan
terjadi pertarungan. Kini yang harus kulakukan
hanyalah memanas-manasi Gambala agar per-
tempuran antara mereka terjadi."
"Dan sebagai seorang tokoh persilatan golongan
putih yang mempunyai pergaulan luas, aku yakin
banyak tokoh-tokoh golongan putih yang akan
membantu Gambala dan si Golok Emas dalam
menghadapi Dewa Arak," sambung Setan Kepala Besi
penuh semangat.
"Ha ha ha...!"
Kedua orang ini pun tertawa terbahak-bahak.
Yakin dengan rencana yang akan mereka jalankan.
"Kali ini Dewa Arak akan mati kutu!" seru Waji di
sela-sela tawanya.
***
6
Siang itu udara terik sekali. Matahari tepat berada di
atas ubun-ubun. Sinarnya yang menyengat, menyorot
garang ke bumi. Rasanya di siang bolong itu tidak
akan ada orang yang mau melakukan perjalanan.
Di bawah sebatang pohon besar dan rindang,
nampak dua sosok tubuh berteduh di bawahnya.
Kedua sosok itu adalah seorang pemuda berambut
putih keperakan dan seorang wanita cantik ber-
pakaian jingga.
Dua sosok itu ternyata Dewa Arak dan Karmila.
Sudah dua hari lamanya mereka menempuh per-
jalanan bersama.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat. Dihapusnya
keringat yang membasahi kening dan leher dengan
punggung tangan. Sekilas diliriknya wajah cantik jelita
di sampingnya. Wajah cantik milik Karmila. Sayang,
wanita itu masih terlihat muram. Rupanya gadis ber-
pakaian jingga ini masih belum bisa melupakan
kesedihan ditinggalkan ayahnya yang harus me-
nentang maut.
"Panas sekali hari ini...," ucap Arya seperti ber-
bicara pada diri sendiri. Padahal dalam hati pemuda
berambut putih keperakan ini berharap kalau gadis
yang duduk di sebelahnya menanggapi ucapannya.
Selama dua hari ini, Arya sudah berusaha untuk
mengajak Karmila bicara. Tapi jawaban yang diterima
hanya singkat-singkat saja. Bahkan terkadang tak ada
jawaban sama sekali. Nampaknya gadis berpakaian
jingga ini tidak ingin diajak bicara. Arya pun tahu diri,
maka tidak mengajak bicara lebih lanjut
Tapi setelah dua hari ini kemurungan Karmila
masih belum sirna juga, Arya memutuskan untuk ikut
campur. Itulah sebabnya setelah beberapa saat
lamanya tidak ada sahutan Karmila, Arya lalu
menoleh. Ditatapnya wajah Karmila lekat-lekat.
"Karmila...," panggil Arya pelan.
"Hm...," hanya gumaman pelan yang tak jelas
menyambut panggilan Arya. Sedangkan pandangan
gadis itu masih menatap kosong ke depan.
"Karmila...," panggil Arya lagi, lebih keras.
"Hm...," kembali hanya gumaman tak jelas yang
keluar dari mulut gadis berpakaian jingga itu.
Pandangan matanya masih tetap tertuju ke depan.
"Karmila...," panggil Arya lebih keras lagi. "Pandang
aku, Karmila...."
Kali ini justru tidak ada jawaban sama sekali.
Karmila tetap menatap kosong ke depan pada satu
titik. Jelas kalau pikiran gadis ini tengah menerawang
entah ke mana.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Menghilangkan rasa
mendongkol di hatinya. Dewa Arak mengerti kalau
Karmila bersikap seperti itu karena tengah ada
pertentangan batin di dalamnya. Dan Arya pun tahu
kalau tidak bertindak agak kasar, tidak mungkin dia
dapat menyadarkan gadis berpakaian jingga ini. Kini
pandangannya dialihkan ke depan.
"Tidak kusangka kalau kau ternyata gadis yang
lemah, Karmila. Lemah dan cengeng!" tandas Arya
tegas. Kata-katanya lebih ditekankan pada kalimat
terakhir. Pemuda berambut keperakan ini terpaksa
bersikap begitu walaupun sebenarnya ada rasa tidak
tega di hatinya.
Diam-diam Dewa Arak bersorak dalam hati begitu
melihat ada perubahan pada wajah Karmila. Jelas
kalau kata-kata yang diucapkannya mengenai
sasaran. Sekilas Arya melihat sepasang mata gadis
itu memancarkan sinar berapi. Tapi hal itu hanya ber-
langsung sesaat saja. Tak lama kemudian pandangan
gadis itu sudah kembali seperti semula. Dingin, dan
menatap kosong pada satu titik.
Tapi Dewa Arak tidak putus asa. Tadi telah
dilihatnya sendiri bukti keberhasilan usahanya. Hanya
saja ucapan itu masih belum terlalu tegas untuk
menyadarkan Karmila dari ketermenungannya.
"Kalau saja ayahmu melihat sikapmu ini, aku yakin
beliau akan kecewa. Aku sendiri kecewa! Sungguh
tidak kusangka, kalau orang yang begitu gagah
perkasa seperti ayahmu mempunyai seorang anak
yang berjiwa lembek dan cengeng!" ucap Arya lagi.
Pandangannya tetap menatap lurus ke depan.
Seolah-olah pemuda ini hanya berbicara pada dirinya
sendiri. Tapi tanpa sepengetahuan Karmila, sudut
mata Dewa Arak melirik ke arahnya. Memperhatikan
setiap perubahan wajah gadis berpakaian jingga di
sebelahnya.
Gembira hati Arya begitu melihat perubahan pada
wajah Karmila yang semakin kentara. Sepasang mata
indah itu mulai melirik dengan pandangan berapi-api.
Bahkan suara bergemeretak terdengar dari mulut
gadis itu. Jelas kalau Karmila tengah menahan
amarah yang bergolak. Kedua tangannya pun teriihat
mengepal keras. Tegang penuh kekuatan. Dan inilah
saat yang tepat bagi Arya untuk melancarkan siasat
terakhir.
"Aku yakin..., kalau saja ayahmu tahu kau akan
bersikap cengeng seperti ini. Dia tidak akan mau
mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamat-
kanmu. Ahhh..., kasihan kau, Kalapati. Pengorbanan-
mu sia-sia...," keluh Arya dengan suara mendesah.
Kepalanya tertunduk dalam-dalam ke tanah, seperti
orang yang tengah menyesali sesuatu.
"Diaaam...! Hentikaaan...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari mulut
Karmila. Dan seiring dengan terdengarnya teriakan
itu, gadis berpakaian jingga itu bangkit berdiri.
Wajahnya merah padam. Sepasang matanya berkilat-
kilat menyorotkan api kemarahan. Sementara kedua
tangannya terkepal penuh kekuatan. Bahkan napas-
nya pun menderu keras.
"Heh...?!" Arya pura-pura tidak mengerti. Dengan
pandangan mata bodoh, ditatapnya wajah gadis
berpakaian jingga itu lekat-lekat "Kenapa kau,
Karmila?"
"Tidak usah berpura-pura, Dewa Arak!" sergah
Karmila sengit "Jangan mentang-mentang telah
menolongku, seenaknya saja kau menghinaku!
Bangun dan hadapi aku!"
"Ha ha ha...!" Arya tertawa pelan. Tapi tidak
terdengar ada nada ejekan di dalamnya. "Bagaimana
mungkin kau bisa menghadapi orang lain, Karmila?
Menghadapi dirimu sendiri saja kau tidak mampu!"
"Tidak usah mengejek, Dewa Arak! Kuakui, kau
memang berkepandaian tinggi. Tapi pantang bagiku
diejek orang lain!" tandas Karmila tegas.
"Duduklah dulu, Karmila. Tenangkan pikiranmu.
Nanti akan kujelaskan mengapa aku bersikap yang
berlawanan dengan hati nuraniku sendiri," ucap Arya
bernada membujuk.
Karmila terdiam sejenak. Kemarahan yang
menyesakkan dadanya terpaksa ditahan. Meskipun
ucapan Dewa Arak tadi menyakitkan, tapi gadis ini
menyadari kebenaran ucapan pemuda itu.
Karmila menarik napas dalam-dalam dan meng-
hembuskannya kuat-kuat. Barangkali saja dengan
berbuat begitu, kemarahan yang bergolak di dadanya
dapat berkurang. Dan memang, ternyata amarahnya
kini berkurang banyak. Tidak berkobar-kobar seperti
sebelumnya.
"Sekarang coba kau kemukakan alasanmu, Dewa
Arak!" desak Karmila seraya menghempaskan tubuh
di tempat duduknya semula. Sepasang bola matanya
menatap tajam wajah tampan di depannya. Dan
seketika itu juga, hati Karmila tercekat. Baru kali ini
dia melihat wajah Dewa Arak dengan jelas. Selama ini
Karmila memang tidak sempat memperhatikan wajah
pemuda berambut putih keperakan itu. Seluruh
pikirannya tertuju pada ayahnya. Kini setelah
menatap jelas wajah Arya, ada perasaan aneh yang
menjalar di hatinya.
Wajah pemuda itu begitu tampan dan gagah. Raut
wajah seorang pemuda yang telah matang oleh
tempaan pengalaman hidup. Rambutnya yang ber-
warna putih keperakan itu semakin menambah
kematangan sikapnya. Dan hal ini baru sekarang
disadarinya.
Arya menghela napas panjang sebelum menjawab
pertanyaan Karmila.
"Sikapmulah yang membuatku terpaksa menge-
luarkan kata-kata keras, Karmila," ucap Dewa Arak,
pelan suaranya.
"Maksudmu...?" tanya Karmila tak mengerti.
Sementara sepasang matanya tetap merayapi wajah
tampan di hadapannya. Sikap pemuda itu dalam
mengucapkan setiap kata-katanya terlihat begitu
jantan.
"Selama dua hari ini kau hanya termenung saja.
Bahkan sewaktu kita melakukan perjalanan pun
pikiranmu terus menerawang. Ketika berkali-kali
kuajak bicara, kau hanya menjawab sekali-sekali saja.
Bahkan kadang-kadang tidak sama sekali! Kau terlalu
hanyut dalam lamunan dan kesedihanmu, Karmila."
Arya menghentikan ucapannya sebentar. Ditatap-
nya wajah gadis berpakaian jingga itu lekat-lekat
untuk melihat reaksinya. Sekilas dilihatnya Karmila
mengerutkan alisnya yang berbentuk indah.
Kemudian....
"Teruskan, Dewa Arak...," pinta gadis itu.
"Berkali-kali kucoba dengan lemah lembut untuk
menyadarkanmu, tapi kau tetap saja tidak bereaksi.
Jangankan mendengar, kupanggil-panggil pun kau
tidak menyahut!" sambung Arya lagi.
"Lalu...?" selak Karmila.
"Aku tahu, melalui jalan halus, tidak mungkin akan
berhasil. Jadi, terpaksa kupakai jalan kasar! Aku tahu,
jalan termudah untuk menyadarkan orang yang
dilanda persoalan sepertimu adalah dengan mem-
bangkitkan amarahnya. Tapi kalau perbuatanku
menyinggung perasaanmu, aku mohon maaf," jelas
pemuda berambut putih keperakan itu.
Karmila mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini
telah dimengertinya mengapa Arya mengucapkan
kata-kata kasar padanya. Dan seketika itu juga
kemarahannya lenyap. Bahkan diam-diam, telah ber-
desir perasaan lain dalam hati Karmila pada pemuda
berambut putih keperakan itu.
"Jadi, apakah kita tidak boleh bersedih kalau
kehilangan orang yang sangat kita cintai, Dewa Arak?"
tanya Karmila tiba-tiba.
"Tentu saja boleh, Karmila," jawab Arya sambil
tersenyum. "Tapi, tentu saja tidak boleh sampai
menyiksa diri. Kau paham kata-kataku, Karmila?"
Karmila mengangguk-anggukkan kepalanya per-
tanda mengerti.
"Sekarang aku ingin bertanya padamu. Sebenarnya
persoalan apakah yang menyebabkan kau dan ayah-
mu bentrok dengan para penyerbu itu?" tanya Arya
tanpa membuang-buang waktu lagi. Sudah terlalu
lama pertanyaan ini disimpannya dalam hati.
"Aku sendiri tidak tahu secara pasti, Arya. Kalau
masalah-masalah yang dulu sih..., ayah pernah
menceritakannya. Tapi, sepertinya... orang-orang dari
Perguruan Pedang Ular mempersoalkan masalah
baru. Mereka menuntut kematian dua orang murid
perguruan itu yang katanya dibunuh ayah. Padahal
aku tahu pasti kalau ayah sama sekali tidak mem-
bunuh mereka."
Setelah berkata demikian, Karmila pun men-
ceritakan kejadian beberapa hari yang lalu. Sewaktu
Waji, Jalasa dan Rupangki tiba di tempat Kalapati
menyepi.
"Begitulah ceritanya, Dewa Arak," ucap Karmila
menutup ceritanya. Sedangkan Arya mengerutkan
alisnya begitu gadis berpakaian jingga itu
menyelesaikan ceritanya.
"Aneh...!" ucap Arya. "Kalau melihat kemarahan
kedua orang kakek itu, jelas mereka yakin kalau
pembunuh dua orang muridnya adalah ayahmu. Tapi,
kau sendiri yakin kalau ayahmu sama sekali tidak
membunuh mereka. Aneh...!"
"Aku yakin ayahku tidak membunuh dua orang
murid Perguruan Pedang Ular itu. Orang yang meng-
hina diriku dan ayah adalah pemuda berbadan lebar
itu. Rasanya tak mungkin kalau ayah membunuh dua
orang yang sama sekali tidak berbuat kesalahan,
sementara orang yang menghina itu dibiarkan hidup!"
Karmila meminta pendapat pada Arya dengan nada
berapi-api.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
Bisa diterima alasan yang dikemukakan gadis ber-
pakaian jingga itu.
"Jadi..., kunci jawaban pertanyaan itu ada pada
pemuda yang berbadan lebar," desah pemuda
berambut putih keperakan itu pelan.
"Kau benar, Dewa Arak!" sergah Karmila tiba-tiba.
"Ah...! Mengapa aku sampai tidak berpikir ke sana?"
"Kau terlalu sibuk memikirkan ayahmu, Karmila,"
sahut Arya setengah mencela sambil tertawa. Karmila
hanya bisa meringis. Disadarinya kebenaran ucapan
Dewa Arak itu.
"Mungkin kau benar, Dewa Arak," hanya itu yang
bisa diucapkan gadis berpakaian jingga itu.
"Bisa kau ceritakan padaku tentang ayahmu,
Karmila?" tanya Dewa Arak tiba-tiba. "Barangkali saja
dari situ bisa kuketahui latar belakang semua
keruwetan ini."
Karmila tercenung sejenak. Sepertinya gadis ini
berat untuk menceritakannya.
"Apakah hal ini penting sekali, Dewa Arak?"
"Mana kutahu, Karmila? Tapi seperti yang telah
kukatakan tadi, barangkali saja masalah ini ada
hubungannya dengan masa lalu ayahmu...."
"Baiklah, Dewa Arak," sahut Karmila mengalah.
"Puluhan tahun yang lalu, ayahku adalah seorang
datuk kaum sesat yang amat ditakuti. Telah puluhan,
bahkan mungkin ratusan kali, ayah bertanding tanpa
pernah kalah. Ayah adalah orang yang gila mengadu
ilmu. Setelah tidak ada lagi orang yang berani
menerima tantangannya, dia pun mendatangi
perguruan-perguruan silat besar. Ditantang ketuanya
bertanding."
Karmila menghentikan ucapannya sebentar untuk
mengambil napas. Seraya menunggu, barangkali saja
Dewa Arak hendak memberi tanggapan atas
ceritanya. Tapi ternyata tidak. Pemuda berambut
putih keperakan itu tenang saja mendengarkan
ceritanya.
"Di antara ketua-ketua perguruan yang ditantang
ayah, termasuk Gambala, Ketua Perguruan Pedang
Ular, dan juga Ketua Perguruan Golok Maut yang
bergelar si Golok Emas. Keduanya dikalahkan oleh
ayah. Tapi bertahun-tahun setelah itu, ibuku
meninggal dunia. Ayah merasa terpukul sekali.
Akhirnya beliau memutuskan untuk mundur dari
dunia persilatan. Dan sebelum ayah melaksanakan
sumpahnya, terlebih dulu meminta maaf pada ketua-
ketua perguruan yang telah dikalahkannya. Ke-
datangan ayah sekaligus memberi tahu sumpahnya
yang hendak mengundurkan diri dari dunia
persilatan."
Lagi-lagi Karmila menghentikan ceritanya. Dahinya
nampak berkernyit. Rupanya gadis ini tengah mencari
kata-kata yang tepat untuk melanjutkan ceritanya. Di
samping itu, semua pikirannya dikerahkan untuk
mengingat-ingat cerita ayahnya.
"Gambala menerima permintaan maaf ayah.
Apalagi kedatangan ayah tepat saat Perguruan
Pedang Ular tengah dikacaukan oleh tokoh sesat
yang berjuluk Setan Kepala Besi. Saat itu kebetulan
Gumarang tidak berada di sana, sehingga kalau saja
ayah tidak datang, Gambala pasti sudah tewas.
Begitulah cerita masa lalu Ayah, Dewa arak," ucap
Karmila menutup ceritanya.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dari cerita gadis berpakaian jingga itu, rasanya tidak
mungkin kalau orang-orang Perguruan Pedang Ular
menyerbu Kalapati karena masalah lalu. Lagi pula,
masalah itu telah lama berlalu. Sudah belasan tahun.
"Lalu, sekarang apa yang akan kau lakukan, Dewa
Arak?" tanya Karmila tiba-tiba.
"Memenuhi janjiku pada ayahmu, Karmila," sahut
Arya. Mantap nada suaranya.
"Apa itu, Dewa Arak?" tanya gadis berpakaian
jingga itu meskipun sebenarnya telah didengarnya
sendiri ucapan pemuda itu.
"Melindungimu dengan taruhan nyawaku, Karmila."
Belum sempat Karmila menjawab, tiba-tiba Dewa
Arak memberi isyarat pada Karmila agar diam.
"Ada banyak langkah kaki menuju ke sini, Karmila,"
bisik Arya memberi tahu. "Mudah-mudahan saja
hanya orang-orang yang sekadar lewat"
Karmila terpaksa membatalkan ucapan yang akan
dikeluarkannya. Dia pun diam menanti seperti halnya
Dewa Arak.
Semakin lama derap langkah kaki itu terdengar
semakin jelas. Tak lama kemudian muncullah para
pemilik langkah kaki itu. Seketika itu juga Arya dan
Karmila bergerak bangkit dari duduknya.
Di hadapan Karmila dan Dewa arak kini telah
berdiri belasan sosok tubuh. Dan sosok yang berdiri
paling depan membuat kedua muda-mudi itu terkejut
Orang yang berdiri paling depan adalah Gambala,
Ketua Perguruan Pedang Ular.
Menilik dari wajah mereka, Dewa Arak dan Karmila
sudah bisa menduga kalau belasan orang ini datang
tidak dengan maksud baik. Dan dugaan kedua orang
itu beralasan.
"Hm...," Gambala mendengus. Secercah senyum
sinis tersungging di bibirnya. "Sungguh tak kusangka
kalau tokoh yang menggemparkan dunia persilatan
dengan julukan Dewa Arak, adalah pemuda mata
keranjang yang langsung lupa daratan begitu melihat
dahi licin!"
Merah wajah Dewa arak mendengar ucapan keras
bernada kasar itu. Seketika itu juga rasa marah
menggayuti hatinya. Tapi, pemuda berambut putih
keperakan ini segera menekan amarahnya.
"Ha ha ha...! Kau benar, Gambala," sambut
seorang berwajah gagah yang bersenjatakan se-
pasang tombak pendek. Diam-diam orang ini merasa
iri pada Arya yang bisa begitu dekat dengan seorang
gadis semolek Karmila. Menilik dari potongannya, dia
adalah seorang tokoh persilatan golongan putih.
"Kalau tidak ada apa-apa, mana mungkin Dewa Arak
berani mempertaruhkan nyawa untuk menolong
perempuan liar ini. Setidak-tidaknya, mereka sudah...
ehm... ehm...."
Terdengar suara gemeletuk dari mulut Dewa arak
mendengar ucapan bernada kotor itu. Tanpa sadar
kedua tangannya dikepalkan. Ada suara berkerotokan
keras begitu jari-jemari Arya mengepal. Dewa Arak
memang marah bukan main. Penghinaan orang yang
bersenjatakan sepasang tombak pendek itu telah
melewati batas!
Kalau Dewa Arak saja marah apalagi Karmila.
Wajah gadis berpakaian jingga ini merah padam
karena rasa malu dan terhina. Jari telunjuknya yang
runcing, indah, dan halus ditudingkan ke arah laki-laki
gagah yang tadi mengeluarkan hinaan itu.
***
7
"Manusia berpikiran kotor! Mulutmu yang menjijikkan
itu memang harus dihajar!" sergah Karmila.
Setelah berkata demikian, Karmila melompat
menerjang. Tangannya menampar deras ke arah
mulut laki-laki gagah bersenjatakan sepasang tombak
pendek.
Wuttt..!
Deru angin cukup deras mengawali tibanya
tamparan Karmila. Tapi lawan yang diserang gadis
berpakaian jingga ini ternyata memiliki kepandaian
cukup tinggi. Sungguhpun dengan agak tergesa-gesa,
tubuhnya ditarik ke belakang sehingga serangan itu
lewat setengah jengkal di depan wajahnya. Pada saat
yang bersamaan, tombak di tangan kanannya di-
tusukkan ke leher Karmila.
Wukkk...!
"Ah...!"
Karmila memekik kaget. Buru-buru kakinya di-
langkahkan ke belakang seraya mendoyongkan
tubuhnya. Serangan tombak itu tidak mengenai
sasaran. Setengah jengkal di depan lehernya.
Tapi baru saja mengelak, belasan orang yang
menilik dari sikap dan pakaian mereka adalah tokoh-
tokoh persilatan aliran putih, telah meluruk
menerjang Karmila. Dan sekali menyerang, mereka
semua telah menggunakan senjata. Seketika itu juga
hujan senjata berhamburan ke berbagai bagian tubuh
gadis berpakaian jingga itu. Teringat kalau gadis di
hadapan mereka adalah putri Kalapati, tokoh-tokoh
golongan putih itu tidak ragu-ragu melakukan
pengeroyokan.
Tentu saja Karmila jadi kerepotan menghadapi
serangan yang begitu gencar itu. Apalagi lawan putri
bekas datuk sesat ini bukanlah tokoh-tokoh
rendahan. Masing-masing memiliki kepandaian cukup
tinggi. Tak heran kalau gadis berpakaian jingga ini
jadi terpontang-panting mengelak setiap serbuan
lawan-lawannya.
Melihat hal ini Dewa Arak mengerutkan alisnya.
Segera pemuda berambut putih keperakan ini maju
membantu Karmila. Tapi baru saja beberapa tindak
melangkah, tahu-tahu berkelebat sesosok bayangan
kuning. Dan sesaat kemudian, di hadapan Arya telah
berdiri Gambala. Sebatang pedang telanjang telah
tergenggam di tangan kanannya.
"Tidak kusangka kalau kau bisa tersesat seperti
ini, Dewa Arak! Tapi sebelum kau semakin jauh
tersesat, terpaksa aku harus menyingkirkanmu!"
tandas Ketua Perguruan Pedang Ular itu.
"Menyingkirlah, Kek. Dan biarkan gadis yang tidak
berdosa itu pergi," ucap Dewa Arak tenang.
"Ha ha ha...!" Gambala tertawa bergelak. Kakek
bermata sayu ini menatap Arya dengan sorot mata
penuh ejekan. Senyum sinis pun tersungging di
bibirnya. "Tidak berdosa katamu, Dewa Arak! Dasar
pemuda mata keranjang! Pikiranmu sudah tidak
waras lagi rupanya. Kau benar-benar sudah terpikat
oleh kemolekan wanita iblis itu!"
"Mulutmu terlalu kotor, Kek," sambut Dewa Arak
sambil mengangkat alisnya. Makian Gambala telah
membuat kemarahan Arya bergolak. Tapi meskipun
begitu, pemuda berambut putih keperakan ini
mencoba menahannya.
"Aku hanya memperingatkanmu, Dewa Arak!"
tandas Gambala. "Aku tidak ingin nama besarmu
rusak karena pembelaanmu yang terlalu berlebihan
pada wanita jalang itu! Kau tahu, Dewa Arak.
Sikapmu akan menimbulkan kesulitan bagi dirimu
sendiri. Sekarang, hampir seluruh orang persilatan
golongan putih tengah memburu wanita itu. Dan
kalau kau masih bersikeras melindunginya, kau akan
berhadapan dengan mereka!"
"Demi membela kebenaran, aku tidak akan gentar
menghadapi apa pun juga! Perlu kau ketahui, Kek.
Wanita itu bukanlah wanita jalang seperti yang kau
tuduhkan!" tandas Dewa Arak tegas.
"Ah! Susah bicara denganmu, Dewa Arak! Kau
sudah terjerat oleh kemolekan wajah dan
kemontokan tubuh gadis itu! Sekarang kau kuberi
peringatan terakhir. Kau tinggalkan gadis ini atau...,
kau terpaksa berhadapan denganku!"
"Aku tidak memilih keduanya! Yang kupilih adalah
menyelamatkan gadis itu!" tegas pemuda berambut
putih keperakan itu lagi.
"Kalau begitu kau harus berhadapan denganku,
Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, Gambala menerjang
Dewa Arak. Pedang lentur di tangannya bergetar dan
menyambar ke arah dada Dewa Arak sambil menge-
luarkan suara mengaung.
Menghadapi serangan Gambala, Dewa Arak tidak
berani mengelak tanpa menggeser kaki. Pedang
lawan yang lentur itu menyulitkan pemuda berambut
putih keperakan untuk memastikan arah tujuan
serangan. Maka, segera Arya melangkahkan kakinya
ke kanan, seraya menyondongkan tubuh sehingga
tusukan pedang lewat setengah jengkal di samping
kiri pinggangnya. Pada saat yang bersamaan, tangan
pemuda itu berkelebat cepat, mengambil guci arak
yang tersampir di punggungnya. Kemudian gucinya
diangkat ke atas kepala dan dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu melewati
kerongkongan Dewa Arak. Sesaat kemudian ada
hawa hangat yang menyebar dari perutnya. Dan terus
merayap naik ke atas kepala.
Baru saja Dewa Arak menurunkan gucinya,
serangan susulan dari Gambala meluncur tiba.
Pedang lenturnya bergetar aneh, kemudian
dibabatkan mendatar ke arah leher Arya.
Wunggg...!
Tapi dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang',
tidak sulit bagi Dewi Arak untuk mengelak. Dengan
langkah terhuyung-huyung seperti akan jatuh, Dewa
Arak berkelebat. Sesaat kemudian tubuh pemuda
berpakaian ungu itu sudah lenyap dari situ. Dan tahu-
tahu telah berada di samping lawannya.
Gambala tidak kaget lagi. Beberapa hari yang lalu
dia sudah pemah bertempur dengan Dewa Arak.
Maka, kakek bermata sayu ini tidak menjadi heran
begitu lawannya tahu-tahu lenyap dari hadapannya.
Telah diketahuinya kalau Dewa Arak tidak berada di
belakang, tentu berada di sampingnya.
Sesaat kemudian terjadilah pertarungan sengit
Gambala mempergunakan jurus-jurus 'Pedang Ular'-
nya yang aneh, dan Dewa Arak yang memainkan ilmu
'Belalang Sakti'.
Sebenarnya, kalau saja Dewa Arak mau
mengeluarkan seluruh kemampuannya, dan juga
perhatiannya tidak terpecah pada Karmila, tidak
terlalu sulit bagi Arya untuk mengalahkan lawan.
Dewa Arak unggul dalam segala-galanya dibanding
Gambala. Baik dalam ilmu meringankan tubuh, mau-
pun dalam hal tenaga dalam.
Berkali-kali sepasang mata Dewa Arak dialihkan ke
arah Karmila yang tengah menghadapi belasan
lawan. Nampak jelas kalau gadis berpakaian jingga
itu terdesak. Tapi, pemuda berambut putih keperakan
ini membiarkan saja.
***
Sementara itu Karmila mengamuk dahsyat. Gadis
berpakaian jingga ini segera mencabut pedangnya
ketika melihat belasan orang mulai mengeroyoknya.
Pedangnya berkelebat cepat melakukan tangkisan-
tangkisan. Tapi, sesekali sempat juga putri Kalapati
itu balas menyerang.
Karmila berusaha menyelamatkan selembar
nyawanya dengan mengerahkan seluruh kemam-
puannya.
Tapi karena jumlah lawan terlalu banyak, tetap
saja gadis ini kewalahan. Dan bahkan terdesak.
Gulungan pedangnya yang semula lebar, perlahan-
lahan kian mengecil. Bahkan serangan-serangan
balasannya pun semakin jarang. Karmila lebih sering
menangkis dan mengelak daripada melancarkan
serangan. Hujan serangan lawan tidak memberinya
kesempatan untuk balas menyerang.
"Haaat..!"
Laki-laki gagah bersenjatakan sepasang tombak
pendek menusukkan ujung senjata di tangan
kanannya ke arah dada Karmila. Padahal saat itu
gadis berpakaian jingga itu baru saja berhasil
mengelak serangan salah seorang lawannya. Maka
tidak ada jalan lain bagi Karmila, kecuali menangkis
serangan itu. Segera saja pedangnya digerakkan
menangkis. Dan....
Wuttt..!
Tranggg...!
Suara berdentang keras terdengar begitu kedua
senjata itu beradu. Bunga-bunga api memercik tinggi
ke udara. Laki-laki gagah bersenjatakan sepasang
tombak pendek memekik pelan. Tangan kanannya
bergetar hebat sehingga hampir saja genggaman
tombaknya terlepas. Diakuinya kalau tenaga dalam
miliknya masih kalah bila dibandingkan tenaga dalam
Karmila.
Bagi Karmila pun benturan antara kedua senjata
itu bukannya tidak berakibat sama sekali. Posisinya
yang sangat tidak menguntungkan pada saat
menangkis, membuat tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang. Tepat pada saat itu, salah seorang
pengeroyoknya melancarkan tendangan cepat ke
arah perut.
Wuttt..! Bukkk!
"Hugh...!"
Karmila mengeluh tertahan. Telak dan keras sekali
tendangan itu mengenai perutnya. Seketika itu juga
tubuh gadis berpakaian jingga itu terjengkang ke
belakang. Rasa mual dan mules pun melanda perut-
nya.
Belum lagi Karmila berbuat sesuatu, sergapan-
sergapan dari pengeroyok lainnya datang bertubi-tubi.
"Akh...!"
Karmila menjerit tertahan. Gadis berpakaian jingga
ini menyadari kalau kali ini tidak mungkin lagi baginya
mengelak. Maka dia hanya memejamkan kedua
matanya, menanti datangnya maut.
Di saat kritis bagi keselamatan putri Kalapati itu,
Dewa Arak yang memang sejak tadi tak lepas-
lepasnya mengawasi Karmila, melesat cepat ke arah
gadis itu. Gambala tentu saja mengetahui maksud
pemuda berambut putih keperakan itu. Buru-buru dia
memotong arus lompatan Dewa Arak. Bersamaan
dengan itu, pedang lentur di tangannya ditebaskan ke
arah leher Arya.
Luar biasa! Dewa Arak yang melihat Gambala
berusaha menghalanginya, hanya menggeliatkan
tubuhnya seraya tetap meneruskan gerakannya
menuju ke arah Karmila.
Wusss...!
Hati Gambala tercekat kaget. Sungguh tak
disangkanya kalau lawan mampu berbuat seperti itu.
Saking takjubnya, sepasang kelopak mata Ketua
Perguruan Pedang Ular ini terbelalak lebar!
Tentu saja bagi Dewa Arak gerakan itu bukan
merupakan sesuatu yang aneh. Berkat ilmu "Belalang
Sakti''nya, tidak sulit bagi Arya untuk melakukan
gerakan-gerakan sulit dalam posisi apa pun.
"Hih...!"
Cepat bukan main gerakan Dewa Arak. Belum lagi
senjata para pengeroyok itu mengenai Karmila, tahu-
tahu tubuh pemuda itu sudah berada di atas kepala
gadis berpakaian jingga itu. Dan sekali tangan Dewa
Arak dikibaskan, para pengeroyok Karmila bertebaran
ke belakang laksana diterjang angin topan.
Terdengar pekikan-pekikan tertahan mengiringi
tubuh-tubuh yang berpentalan itu.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara Dewa Arak mendaratkan
kedua kakinya tepat di depan Karmila. Dan secepat
kedua kakinya menjejak tanah, secepat itu pula
kepalanya ditolehkan ke arah gadis berpakaian jingga
itu.
"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya Dewa Arak
seraya merayapi sekujur tubuh putri Kalapati itu. Dan
hatinya lega ketika melihat tidak ada luka berarti yang
diderita gadis itu.
Karmila menggelengkan kepalanya sambil ter-
senyum manis.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak.
Ahhh...! Aku hanya merepotkan dirimu saja.... Awas di
belakangmu, Dewa Arak...!" seru Karmila keras.
Tanpa diperingatkan pun, sebenarnya pemuda
berambut putih keperakan itu mengetahui adanya
angin serangan yang menuju ke arahnya. Segera
kepalanya ditolehkan. Dilihatnya laki-laki gagah
bersenjatakan sepasang tombak pendek tengah
menusukkan kedua tombaknya bertubi-tubi ke arah
tengkuk dan pinggangnya.
***
8
Begitu mengetahui siapa yang telah membokongnya,
Dewa Arak jadi geram. Orang inilah yang tadi telah
mengucapkan kata-kata kotor padanya. Kini terbuka
kesempatan baginya untuk memberi pelajaran pada
laki-laki bersenjatakan sepasang tombak pendek ini.
Tapi hal ini Dewa Arak lakukan bukan karena
menuruti kemarahan hatinya. Melainkan untuk
memberi pelajaran agar orang ini tidak sembarangan
lagi mengucapkan kata-kata kotor.
Setelah mengambil keputusan itu, Dewa Arak
sengaja membiarkan saja serangan tombak itu
meluncur ke arahnya. Begitu mendekat, segera di-
kerahkan tenaga dalam yang dimilikinya.
Tak, tak...!
Terdengar suara keras ketika ujung mata tombak
itu mengenai sasaran. Tapi akibatnya, tombak itu
sendiri yang membalik. Laki-laki gagah bersenjatakan
tombak pendek itu memekik tertahan. Kedua tangan-
nya terasa lumpuh. Dan sebelum dia sempat berbuat
sesuatu, tangan kanan Dewa Arak telah berkelebat
menampar pipinya.
Plak...!
Telak dan keras sekali telapak tangan Dewa Arak
mendarat di pipi laki-laki gagah itu. Seketika itu juga
di pipi orang itu tertera tanda merah bergambar
telapak tangan. Bahkan dari sudut-sudut bibirnya
menetes darah segar. Masih untung baginya, Dewa
Arak hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga
dalam yang dimilikinya. Kalau tidak, tentu saat ini
laki-laki bersenjata sepasang tombak pendek itu
sudah tewas dengan leher patah.
Gambala menggeram melihat Karmila berhasil
diselamatkan Dewa Arak. Sambil mengeluarkan
pekikan nyaring, kakek bermata sayu ini melesat
cepat mendekati Dewa Arak.
"Kau jangan ke mana-mana, Karmila," ucap Dewa
Arak kepada gadis berpakaian jingga itu. "Diamlah di
tempatmu."
Karmila menganggukkan kepala pertanda
mengerti. Tapi Dewa Arak tidak melihat anggukannya
karena saat itu serangan dari Gambala telah tiba.
Segera sambaran pedang lentur itu dielakkan dengan
melangkahkan kakinya ke samping. Pada saat yang
bersamaan, Arya membalas dengan serangan tak
kalah dahsyat. Karena Karmila berada di belakang
Dewa arak, belasan pengeroyoknya tidak bisa lagi
mencecar gadis itu. Maka kini mereka berbondong-
bondong berusaha memecahkan pertahanan Dewa
Arak.
Tapi, meskipun menghadapi keroyokan belasan
lawan, Dewa Arak sama sekali tidak tampak terdesak.
Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit
baginya untuk mengelakkan semua serangan.
Sebaliknya, setiap pemuda berbaju ungu itu balas
menyerang, sudah dapat dipastikan akan ada yang
bertumbangan. Meskipun begitu, tidak ada satu pun
di antara mereka yang tewas.
Gambala menggertakkan gigi. Sudah belasan jurus
berlalu, tapi dia belum juga mampu mendesak
lawannya. Padahal kakek bermata sayu ini telah
dibantu oleh belasan tokoh persilatan aliran putih.
Tapi tetap juga tidak bisa menguasai keadaan.
Bahkan perlahan namun pasti, pihaknya yang mulai
terdesak. Apalagi setelah satu persatu tokoh-tokoh
persilatan yang membantunya berguguran di tanah.
Tak lama kemudian, yang tinggal hanyalah
Gambala seorang. Tapi meskipun begitu, Ketua
Perguruan Pedang Ular ini tidak putus asa. Tetap saja
kakek ini melakukan periawanan sengit
"Jangan khawatir, Gambala! Aku datang mem-
bantu...!"
Terdengar sebuah seruan keras. Dan seiring
dengan lenyapnya seruan itu, berkelebat sesosok
bayangan coklat yang kemudian langsung memasuki
kancah pertempuran.
Singgg...!
Begitu tiba, orang yang baru datang ini langsung
melancarkan serangannya. Seleret sinar keemasan
melesat cepat ke leher Dewa Arak.
Dari kilauan sinar keemasan yang mengiringi
tibanya serangan pendatang itu, baik Dewa Arak
maupun Gambala mengetahui kalau si penyerang itu
adalah si Golok Emas. Ketua Perguruan Golok Maut.
Dewa Arak yang telah mengetahui kelihaian si
Golok Emas, buru-buru mengelakkan serangan itu.
"Terima kasih, Golok Emas!" ucap Gambala.
"Untung kau cepat datang. Mari kita gempur
pendekar murtad ini bersama-sama!"
Untuk kedua kalinya, Dewa Arak harus bertarung
menghadapi dua orang ketua perguruan yang sakti ini
Kini, Arya harus menguras seluruh kemampuannya
bila ingin selamat.
Gambala dan si Golok Emas yang telah
mengetahui kelihaian Dewa Arak, tanpa ragu-ragu lagi
segera menguras segenap kemampuan mereka.
Dengan adanya bantuan si Golok Emas, Gambala
bisa memusatkan perhatiannya pada permainan
jurus-jurus "Pedang Ular'nya. Kini pertarungan ketiga
tokoh itu berlangsung lebih imbang.
Pertarungan antara kedua belah pihak ini
berlangsung cepat. Sehingga tak terasa lima puluh
jurus telah berlalu. Dan sampai sejauh ini belum
nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak.
Pertarungan masih berlangsung seimbang.
Diam-diam dalam hati Gambala dan si Golok Emas
kagum luar biasa pada kelihaian Dewa Arak. Sungguh
sama sekali tidak mereka sangka kalau orang
semuda Dewa Arak bisa memiliki kepandaian setinggi
ini. Rasa-rasanya tingkat kepandaian pemuda
berambut putih keperakan ini tidak kalah dengan
Kalapati.
Selagi pertarungan itu berlangsung seru, di tempat
itu bermunculan kembali belasan tokoh persilatan
golongan putih. Semula mereka hendak membantu
mengeroyok Dewa Arak, tapi mereka segera
mengurungkan niatnya begitu melihat pertarungan
masih berjalan imbang. Kini belasan tokoh itu hanya
menonton saja. Itu pun dari kejauhan.
Belasan tokoh golongan putih itu tidak berani
mendekat lebih dari lima tombak. Angin pukulan
ketiga tokoh sakti yang tengah bertarung itu tidak
dapat mereka tahan. Jadi, jangankan ikut men-
ceburkan diri dalam pertarungan, mendekat pun
harus mempertaruhkan nyawa!
Sementara itu pertarungan antara Dewa Arak
meng-hadapi Gambala dan si Golok Emas ber-
langsung semakin sengit. Kini pertarungan mereka
sudah menginjak jurus ke seratus. Dan sampai
sejauh itu, tetap belum terlihat siapa yang akan ter-
desak.
"Ha ha ha...!"
Mendadak saja terdengar tawa keras menggelegar
yang didorong dengan pengerahan tenaga dalam.
Gema tawa itu terpantul ke seluruh tempat itu.
Kontan semua orang yang menonton pertarungan
berpaling ke arah asal suara. Hanya yang sedang
terlibat pertarungan saja yang tidak terganggu
dengan suara tawa itu.
Seiring dengan lenyapnya suara tawa itu, tahu-tahu
di dekat arena pertarungan telah berdiri seorang laki-
laki bertubuh tinggi besar dan berotot kekar. Seluruh
otot-otot tangan, dada, dan perutnya tampak jelas
bertonjolan. Orang yang baru datang ini bertelanjang
dada. Raut wajahnya yang kasar dan kepalanya yang
botak membuat penampilan orang ini semakin
angker. Celananya yang sebatas lutut terbut dari kulit
beruang salju.
"Setan Kepala Besi...!" desis beberapa orang tokoh
persilatan yang rupanya mengenai orang ini.
Laki-laki tinggi besar yang tak lain dari Setan
Kepala Besi, kembali tertawa bergelak. Tapi,
sepasang matanya tak lepas memandang ke arah
pertarungan, Mengawasinya beberapa saat.
"Ha ha ha...! Gambala, Golok Emas! Lawan terlalu
kuat bagi kalian. Biar aku yang menghadapinya!"
Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi besar ini
langsung menerjang Dewa Arak. Setan Kepala Besi,
adalah seorang yang amat cerdik. Setelah mengamati
beberapa saat, diketahuinya kalau Dewa Arak benar-
benar seorang tokoh yang tangguh bukan main.
Bahkan rasa-rasanya tidak kalah dengan Kalapati.
Maka kini diputuskannya untuk turun tangan mem-
bantu Gambala dan si Golok Emas, menghadapi
tokoh muda yang berkepandaian tinggi itu.
Bahkan bukan hanya itu saja kelicikan Setan
Kepala Besi. Sewaktu menyerang pun ditunggunya
sampai Dewa Arak berada dalam keadaan terjepit.
Begitu dilihatnya pemuda berambut putih keperakan
itu sibuk menghadapi serangan dua orang lawannya,
Setan Kepala Besi melancarkan serangan.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Setan Kepala Besi
menerjang ke arah Dewa Arak. Kedua cakarnya
melakukan sambaran bertubi-tubi ke arah kepala
pemuda berambut putih keperakan itu.
Dewa Arak terkejut bukan main. Saat serangan
Setan Kepala Besi tiba, dia baru saja menangkis
serangan kedua lawannya. Dengan sebisa-bisanya
Arya berusaha menangkis.
Plak, plak, plak...!
Suara benturan keras terdengar berkali-kali,
disusul dengan terjengkangnya Dewa Arak ke
belakang hingga terguling-guling di tanah. Kuda-kuda
Arya memang berada dalam posisi yang tidak
menguntungkan saat itu. Tambahan lagi, sewaktu
menangkis tadi pemuda berambut putih keperakan
ini belum sempat mengerahkan tenaga dalamnya
secara penuh.
"Dewa Arak...!"
Karmila menjerit keras begitu melihat pemuda
berambut putih keperakan itu terjengkang dan
bergulingan di tanah. Cepat dia menghambur dan
berdiri membelakangi Arya yang masih berusaha
bangkit. Darah segar menetes dari sudut-sudut bibir
Dewa Arak.
Setan Kepala Besi tertawa bergelak. Tanpa
memberi kesempatan lagi, tubuhnya melesat untuk
menjatuhkan serangan maut pada lawannya. Tapi
Karmila tetap tidak bergeser dari tempatnya. Gadis
berpakaian jingga ini malah melintangkan pedangnya
di depan dada. Bersiap-siap menentang Setan Kepala
Besi yang akan menjatuhkan tangan maut pada Dewa
Arak yang sudah terluka.
"Hentikan pertempuran...!"
Terdengar suara cegahan keras penuh wibawa.
Seketika itu juga, semua kepala menoleh ke arah asal
suara itu. Tak terkecuali Setan Kepala Besi.
Tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ, semua
mengerutkan alis melihat serombongan prajurit
berkuda yang bersenjata lengkap bergerak mendekati
mereka. Berkuda paling depan adalah seorang wanita
berwajah cantik jelita berpakaian serba putih.
Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai di bahu.
"Melati...," desis Dewa Arak dalam hati begitu
mengenali wanita berpakaian serba putih itu.
"Atas nama Prabu Nalanda, Raja Kerajaan Bojong
Gading, kuharap kalian menghentikan keributan dan
segera meninggalkan tempat ini!" tandas Melati.
Suaranya tegas penuh wibawa.
Tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ saling
berpandangan sejenak. Kemudian serentak meng-
alihkan pandangan ke arah pasukan berkuda yang
ternyata adalah pasukan Kerajaan Bojong Gading.
Memang mereka tahu kalau daerah ini termasuk
wilayah kekuasaan Kerajaan Bojong Gading.
"Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa bergelak.
"Kalau aku tidak mau?"
"Berarti kau menentang perintah Gusti Prabu. Kau
akan dianggap pemberontak, dan terpaksa aku akan
menangkapmu!" sahut Melati tegas.
Setelah berkata demikian, gadis berpakaian serba
putih ini segera melompat dari kudanya. Dan begitu
melihat Melati turun, pasukan yang berada di
belakangnya pun berlompatan menyusul. Jumlah
rombongan ini tak kurang dari tiga puluh orang.
Hati semua orang yang berada di situ terkejut
begitu melihat gerakan pasukan kerajaan itu. Rata-
rata gerakan anggota pasukan itu ringan. Dan
sepasang mata mereka pun mencorong tajam. Hal ini
memang wajar, mereka adalah pasukan khusus
Kerajaan Bojong Gading.
Sadar kalau keadaan tidak menguntungkan,
Gambala dan si Golok Emas tidak berani mencari
penyakit. Sungguhpun mereka bukan warga Kerajaan
Bojong Gading, tapi mereka tahu kalau raja mereka
mempunyai hubungan yang amat baik dengan Raja
Bojong Gading. Maka tanpa berkata apa-apa,
keduanya pun segera meninggalkan tempat itu.
Melihat Gambala dan si Golok Emas beranjak
pergi, puluhan tokoh persilatan golongan putih pun
melangkah meninggalkan tempat itu.
Setan Kepala Besi menggeram begitu menyadari
kalau tak ada gunanya dia berurusan dengan prajurit-
prajurit Kerajaan Bojong Gading. Maka, sambil
mendengus kesal, tubuhnya pun berkelebat me-
ninggalkan tempat itu. Sebagai seorang datuk
persilatan, laki-laki tinggi besar ini mengetahui kalau
gadis yang sepertinya adalah pemimpin rombongan
pasukan berkuda ini berkepandaian amat tinggi.
Sorot mata yang mencorong tajam dan bersinar
kehijauan itu merupakan salah satu buktinya.
"Melati...," panggil Dewa Arak pelan. Sepasang
matanya memandang gadis berpakaian putih penuh
kerinduan. Meskipun begitu, pemuda berambut putih
keperakan itu diam-diam agak heran kalau bisa
bertemu Melati di tempat ini. Tapi kerinduannya
membuat Arya melupakan pertanyaan yang meng
gayuti benaknya itu.
Melati sama sekali tidak menyahuti panggilan
Dewa Arak. Sinar mata gadis berpakaian putih ini
terlihat dingin ketika beradu pandang dengan Arya.
Sepasang mata bening dan indah itu menatap tajam
Dewa Arak dan Karmila bergantian. Pandangannya
pada gadis berpakaian jingga itu menyorot penuh
kebencian. Gadis berpakaian putih itu tidak bisa
menerima kenyataan kalau tunangannya berjalan
berduaan dengan gadis secantik Karmila.
"Melati...," panggil Dewa Arak lagi seraya me-
langkah menghampiri. Karmila hanya berdiri me-
matung memandangi semua itu dengan wajah pucat.
Benak gadis berpakaian jingga ini bisa menduga
adanya hubungan kkusus antara Dewa Arak dengan
gadis pemimpin pasukan Kerajaan Bojong Gading itu.
Dan seketika itu juga merayap rasa kenyerian yang
amat sangat mendera hatinya.
Karmila perlahan-lahan menundukkan kepalanya.
Seketika itu juga ingatannya menerawang kembali
pada ayahnya yang kini pasti sudah tiada. Tak terasa
ada air bening yang bergulir di pipinya yang putih
halus dan mulus itu. Baru saja berkurang kepedihan
hatinya akibat pengorbanan ayahnya, kini dia harus
menerima lagi kepedihan yang lain.
Sementara itu, baru beberapa tindak Dewa Arak
melangkah, mendadak Melati membalikkan tubuh-
nya. Dan secepat kilat melompat ke punggung
kudanya.
"Hup!"
Gadis berpakaian putih itu lalu menghentakkan tali
kekang kudanya. Secepat kilat binatang tunggangan
itu pun melesat meninggalkan tempat itu.
Pasukan Kerajaan Bojong Gading yang sejak tadi
bersikap seolah-olah tak tahu apa-apa, segera
bergerak melompat pula ke atas punggung kuda.
Orang-orang gagah itu cepat menggebah kudanya
menyusul Melati. Sebelum berlalu, tak lupa mereka
memberikan penghormatan pada Dewa Arak.
Dewa Arak hanya dapat memandangi rombongan
berkuda yang semakin bergerak menjauh itu dengan
wajah pucat. Sungguh sama sekali tidak disangkanya
kalau pertemuan kembali dengan tunangannya akan
terjadi seperti ini.
"Melati..., ah Melati...," desah Arya lirih.
"Semua ini karena salahku, Dewa Arak," sahut
Karmila dengan suara serak. "Lebih baik aku pergi
saja...."
Dewa Arak menoleh ke arah Karmila. Ditatapnya
wajah cantik jelita yang terlihat pucat itu lekat-lekat.
"Tidak, Karmila. Melati hanya salah paham. Nanti
pun semua masalah akan menjadi jelas," sahut Dewa
Arak bernada menghibur.
"Kalau begitu, mari kita cari tempat untuk meng-
obati lukamu," ucap Karmila mengalihkan per-
cakapan.
Dengan langkah lesu dan kepala tertunduk, Dewa
Arak dan Karmila meninggalkan tempat itu. Masing-
masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri.
Sementara matahari sudah condong ke Barat. Dan
hari pun perlahan mulai gelap ketika tubuh Arya dan
Karmila lenyap di kejauhan.
Berhasilkah Dewa Arak mengetahui pembunuh
sebenarnya dari Jalasa dan Rupangki? Dan bagai-
manakah hubungan Waji dengan Setan Kepala Besi?
Benda apakah yang dicari oleh Setan Kepala Besi di
gua tempat tinggal Kalapati? Dan terakhir, mampu-
kah Dewa Arak meyakinkan Melati kalau dia dan
Karmila sama sekali tidak ada hubungan apa-apa?
Untuk mengetahui jawabannya, silakan ikuti serial
Dewa Arak dalam episode "Jamur Sisik Naga".
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar