1
Hari sudah agak siang. Sinar sang surya begitu terik,
menyengat kulit. Namun semua itu tidak dipedulikan
oleh dua sosok tubuh yang melangkah bergegas
memasuki hutan.
Dua sosok yang ternyata dua orang lelaki itu
melangkah gesit, dan bersikap penuh tanggap. Jelas
kalau mereka tidak asing lagi dengan ilmu silat.
"Masih jauhkah gua itu, Rakapitu?" tanya orang
yang wajahnya penuh tahi lalat.
Orang yang dipanggil Rakapitu segera meng-
edarkan pandangan ke sekeliling. Dia adalah seorang
laki-laki bertubuh tinggi besar, kekar dan berotot.
Tapi, kepalanya kecil, sehingga kelihatan lucu sekali.
"Rasanya tidak jauh lagi, Gibang," sahut Rakapitu.
Tapi, nada suaranya terdengar mengambang. Jelas
kalau dia merasa bimbang akan jawabannya sendiri.
"Heh...?! Jadi kau sendiri tidak tahu tempatnya,
Rakapitu?" Gibang terperanjat dengan dahi berkerut
dalam.
"Tentu saja tahu!" sergah Rakapitu keras seraya
menatap tajam wajah rekannya.
"Hm.... Lalu..., mengapa sekarang kau kelihatan
bingung?" secercah senyum mengejek tersungging di
bibir Gibang.
"Siapa yang bingung?!" semakin meninggi suara
Rakapitu. Sikap laki-laki yang wajahnya penuh tahi
lalat itu menyebabkan amarahnya bangkit. "Aku
tengah mencari patokannya. Apa kau sudah melihat
pohon beringin yang batangnya sedikit terkelupas?"
Sambil berkata demikian, kepala laki-laki tinggi
besar ini menoleh ke kanan dan ke kiri. Gibang pun
mau tak mau ikut mengedarkan pandangannya,
mencari-cari pohon beringin seperti yang dikatakan
rekannya.
"Itu dia...!" teriak Rakapitu gembira, seraya meng-
arahkan telunjuk kanannya pada sebatang pohon
beringin.
Gibang mengikuti arah tudingan itu. Memang
benar apa yang dikatakan Rakapitu. Batang pohon
beringin itu terkelupas.
Seketika itu juga, Rakapitu mempercepat langkah-
nya. Mau tak mau, Gibang pun melakukan hal yang
sama jika tidak ingin tertinggal. Dari pohon beringin
itu Rakapitu menuju ke kiri. Dia berjalan menerobos
kerimbunan semak dan pepohonan yang lebat.
"Itu tempatnya, Gibang," tunjuk Rakapitu seraya
menudingkan telunjuk kanannya ke arah sebuah gua
yang terletak tak jauh di depan mereka.
"Hm...," hanya gumam pelan dan tak jelas yang
keluar dari mulut Gibang untuk menyambuti ucapan
rekannya.
Begitu telah menemukan apa yang dicari, kedua
laki-laki ini kian mempercepat langkah. Jelas sudah,
tujuan mereka adalah ke gua itu.
Tapi, ketika jarak antara mereka dengan mulut gua
tinggal sekitar tiga tombak lagi, terdengar suara
gerengan. Perlahan saja suara itu, tapi akibatnya
telah membuat wajah Rakapitu dan Gibang memucat.
Langkah kaki mereka kontan terhenti. Tanpa melihat
pun, mereka telah tahu kalau suara gerengan itu tak
lain berasal dari seekor harimau.
Sebenarnya baik Rakapitu maupun Gibang sama
sekali tidak merasa gentar terhadap harimau. Tapi
binatang yang terdapat di gua ini tidak bisa dianggap
sembarangan. Binatang itu adalah seekor macan
putih ajaib, yang kebal terhadap segala macam
senjata. Bahkan juga memiliki kekuatan yang
menggiriskan (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak
dalam episode "Prahara Hutan Bandan").
Belum lagi gema gerengan itu lenyap, dari dalam
gua keluar seekor macan yang berbulu putih dengan
langkah tenang. Besarnya mungkin satu setengah kali
macan biasa yang paling besar.
"Grrrh...!"
Kembali macan putih itu menggereng. Kali ini lebih
keras dari sebelumnya. Sepasang matanya yang
bersinar kehijauan menatap tajam wajah kedua tamu
tak diundang itu. Mulutnya terbuka memamerkan
deretan gigi-gigi yang panjang dan runcing.
Karuan saja hal itu membuat Rakapitu dan Gibang
jadi semakin ketakutan. Dengan tubuh gemetar
kedua orang itu beringsut melangkah ke belakang.
Tapi ternyata macan putih itu tidak bermaksud
jahat. Terbukti begitu melihat Rakapitu dan Gibang
undur, binatang itu pun tidak mengejar. Macan putih
itu hanya menggereng pelan, kemudian mem-
baringkan tubuhnya di depan gua. Tapi wajahnya
tetap tertuju pada Rakapitu dan Gibang.
Melihat macan itu tidak mengejar, rasa takut
Rakapitu dan Gibang mulai mereda. Kedua orang ini
tidak lagi melangkah mundur, tapi diam di tempat.
Beberapa saat lamanya, kedua laki-laki ini berdiam
diri. Maju tidak, mundur pun tidak.
"Bagaimana, Gibang?" tanya Rakapitu meminta
pendapat rekannya.
"Sudah kepalang basah, Kang. Mandi saja
sekalian," sahut laki-laki berwajah penuh tahi lalat itu.
Nada suaranya terdengar tegas. Meskipun lebih mirip
bisikan.
"Bagaimana dengan macan itu?" Rakapitu
menunjuk macan putih dengan dagunya.
Gibang terdiam sejenak. Sesaat lamanya matanya
menatap macan putih yang terbaring di depan gua.
Wajah binatang itu tetap tertuju pada mereka. Tapi
tidak ada tanda-tanda kalau akan melakukan
sesuatu. Bahkan sepertinya macan putih itu tengah
bersenang hati. Terbukti, ekornya mengibas ke sana
kemari.
"Tampaknya binatang itu tidak buas, Rakapitu."
"Dugaanmu mungkin benar, Gibang," sahut laki-
laki bertubuh tinggi besar itu mendukung penilaian
rekannya.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" desak Gibang
dengan suara pelan. "Kita coba saja masuk ke
dalam."
"Bagaimana kalau macan itu menyerang?"
Rakapitu masih ragu-ragu.
"Kita usahakan agar binatang itu jangan sampai
merasa terganggu."
"Aku mengerti," kata Rakapitu. "Tapi bagaimana
caranya?"
"Kita melangkah perlahan-lahan," usul Gibang.
"Kalau begitu, kau bergerak dulu. Aku rnengikuti
dari belakang," tambah Rakapitu yang masih khawatir
kalau macan putih itu akan menyerang.
"Hhh...!"
Gibang menghela napas berat, mencoba me-
nenangkan debaran jantungnya yang kembali ber-
detak cepat, begitu memutuskan untuk nekat me-
nerobos masuk ke dalam gua.
Perlahan dan hati-hati sekali Gibang melangkah
kan kaki. Tapi baru juga melangkah setindak, ekor
macan itu berhenti mengibas. Tampak jelas kalau
binatang itu mulai curiga.
Tentu saja Gibang melihat hal ini, tapi berpura-
pura tidak melihat. Kembali kakinya dilangkahkan.
Sementara Rakapitu mulai melangkah maju pula.
"Grrrh...!"
Macan putih menggereng pelan sambil meng-
gerak-gerakkan misainya.
Melihat hal ini, Gibang semakin gugup. Jelas kalau
macan putih itu telah menunjukkan tanda-tanda
mengkhawatirkan bagi diri dan rekannya. Tapi Gibang
sudah nekat. Kembali kakinya melangkah. Rakapitu
pun terpaksa melangkahkan kakinya pula. Tapi kali
ini langkah kedua orang ini tidak setenang semula,
dan tampak mulai oleng. Yang pasti, kedua lelaki ini
dilanda perasaan tegang.
Mendadak macan putih itu bangkit dari ber-
baringnya seraya terus menggereng. Gerengannya
kali ini lebih keras dari sebelumnya, pertanda kalau
mulai marah.
Kontan wajah Rakapitu dan Gibang memucat.
Langkah mereka pun terhenti, tapi terlambat. Macan
itu rupanya sudah merasa terganggu dan marah pada
kedua laki-laki itu. Sambil mengaum menggetarkan
dada, macan putih itu melompat menerkam Gibang
dan Rakapitu. Maka kedua orang ini terkejut bukan
main.
"Awas, Rakapitu...!" seru Gibang seraya melempar
tubuh ke samping kanan. Dan begitu kedua
tangannya menyentuh tanah, tubuhnya segera ber-
gulingan menjauh.
Rakapitu tentu saja tidak mau mati konyol. Laki-
laki tinggi besar ini melempar tubuh ke samping
untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Hanya
bedanya, kalau Gibang melompat ke kanan, dia
melompat ke kiri. Dan berbareng dengan bangkitnya
Gibang, Rakapitu juga bangkit dari bergulingannya.
"Grrrh...!"
Kembali macan putih ini menggereng begitu
melihat calon korbannya berhasil meloloskan diri dari
terkaman. Dan begitu mendarat di tanah, binatang itu
kebingungan melihat mangsanya berpencar. Tapi
sesaat kemudian macan putih telah kembali
menyerang. Kini Gibanglah yang menjadi sasarannya.
Gibang menggertakkan gigi, bersiap-siap meng-
hadapi serangan macan itu. Di tangan kanannya
tampak tergenggam sebatang golok besar. Maka
begitu melihat binatang itu menerkam, segera
dipapak dengan ayunan goloknya.
Bukkk...!
Telak dan keras sekali golok Gibang menghantam
bahu macan putih itu. Tapi akibatnya, tubuh laki-laki
berwajah penuh tahi lalat ini malah terjengkang ke
belakang dan jatuh di tanah. Ini terjadi, karena dia
terbawa dorongan tenaga terkaman macan putih itu.
Sementara binatang itu sama sekali tidak merasakan
apa-apa. Jangankan terluka, merasa sakit pun tidak.
Sebaliknya, justru Gibang yang merasa tangannya
seperti lumpuh. Goloknya seperti berbenturan dengan
sebuah benda yang amat kenyal, dan tanpa dapat
ditahan lagi terlepas dari pegangan.
"Auuummm...!"
Sambil mengeluarkan auman menggelegar, macan
putih itu kembali menerkam. Padahal saat itu tubuh
Gibang tengah tergolek di tanah. Rasanya, untuk
bangkit berdiri atau melompat tidak ada waktu lagi.
Maka tubuhnya segera bergulingan untuk me
nyelamatkan selembar nyawanya.
Untuk yang kesekian kalinya, Gibang lolos dari
maut. Dan sebelum macan putih itu terus memburu,
bantuan dari rekannya tiba. Rakapitu langsung
membabatkan goloknya pada punggung binatang itu.
Bukkk...!
Seperti yang dialami Gibang, Rakapitu pun merasa
babatannya seakan-akan menghantam sebuah benda
kenyal. Akibatnya, tenaga serangannya berbalik, dan
tangannya terasa lumpuh. Hanya saja, sebelum
senjata itu terlepas dari pegangan, dia masih mampu
mencekalnya.
Macan putih membalikkan tubuhnya menghadap
Rakapitu. Binatang ini marah bukan main mengetahui
tindakannya dihalangi. Maka serangannya kini
dialihkan pada laki-laki tinggi besar itu. Macan putih
itu mengayunkan kaki kanan depannya, menyampok
ke arah pelipis Rakapitu.
Laki-laki tinggi besar itu menggertakkan gigi.
Seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya
dikerahkan untuk memapak sampokan macan putih
itu dengan goloknya. Dia bermaksud membuat kaki
binatang itu buntung.
Takkk...!
Terdengar suara keras seperti bunyi logam beradu.
Rakapitu begitu terperanjat, menyadari kalau
sampokan macan itu ternyata kuat bukan main.
Seketika tangan kanannya terasa sakit-sakit. Bahkan
lumpuh sejenak. Dan kini tak pelak lagi goloknya
terlempar jauh.
Rakapitu tahu kalau dirinya kini terancam. Maka
tanpa membuang-buang waktu lagi, segera tubuhnya
dilempar ke samping dan bergulingan menjauh.
Tapi macan putih itu rupanya tak mau membiarkan
mangsanya lolos. Langsung dikejarnya tubuh yang
tengah berguling-guling itu. Tapi sebelum macan itu
kembali menerkam, terdengar seruan mencegah.
"Putih...! Tahan...!"
Pelan saja suara bernada perintah itu. Meskipun
begitu, pengaruh yang ditimbulkannya begitu luar
biasa. Macan putih itu langsung menghentikan
gerakannya begitu mendengar cegahan, lalu menoleh
sebentar. Binatang itu menggereng pelan, kemudian
melangkah menghampiri si pemilik suara.
"Hhh...!"
Hampir berbareng Rakapitu dan Gibang menghela
napas lega. Keduanya sadar, kalau pertarungan
dilanjutkan, pasti akan tewas di tangan macan putih
yang kebal itu. Dengan pandangan penuh rasa
syukur, kedua lelaki ini mengalihkan pandangan ke
arah asal seruan itu.
Di depan gua, tampak berdiri seorang kakek
berpakaian kuning. Rambut, alis, kumis, dan
jenggotnya telah memutih semua. Tubuhnya agak
bungkuk dan kaki kirinya buntung sampai pangkal
paha. Di tangan kiri kakek ini tergenggam sebatang
tongkat butut untuk menyangga tubuhnya.
Rakapitu dan Gibang mengerutkan alisnya, lalu
melangkah menghampiri kakek itu. Macan putih yang
kini telah berada di sebelah kakek bertubuh bungkuk
itu menggereng pelan, penuh kemarahan.
"Tenanglah, Putih," ujar kakek berpakaian kuning
menenangkan. Tangan kanannya mengelus-elus
kepala binatang itu.
Seketika itu juga, macan putih itu berhenti
menggereng. Tampak jelas kalau binatang ini amat
patuh pada kakek bertubuh bungkuk dan berpakaian
kuning itu. Hal ini tidak aneh, karena binatang itu
memang peliharaannya.
Kini macan putih itu hanya menatap penuh curiga
pada Rakapitu dan Gibang yang tengah melangkah
menghampiri majikannya.
"Siapa kalian? Dan mengapa mengganggu
binatang peliharaanku?" tanya kakek berpakaian
kuning begitu Rakapitu dan Gibang menghentikan
langkahnya. Sepasang mata kakek itu menatap tajam
wajah Rakapitu dan Gibang secara bergantian. Jarak
mereka terpisah sekitar tiga batang tombak.
"Aku Gibang, Kek," sahut laki-laki berwajah penuh
tahi lalat mengenalkan diri. "Dan ini kawanku,
Rakapitu."
Sambil berkata demikian, Gibang menudingkan
telunjuk pada rekannya. Rakapitu menganggukkan
kepala sambil tersenyum.
"Hm...," kakek berpakaian kuning hanya bergumam
pelan, tak jelas.
"Kami tidak menyerang peliharaan Kakek. Sebalik-
nya, binatang itulah yang menyerang kami," sambung
Gibang memberi penjelasan.
"Tidak mungkin. Putih tidak pernah menyerang
orang, terkecuali kalau diganggu lebih dulu," bantah
kakek berpakaian kuning.
"Tapi, kami sama sekali tidak mengganggunya,
Kek," sambut Gibang lagi, membela diri.
"Benar," sambung Rakapitu. "Kami berdua akan
masuk ke dalam gua, dan ingin menemui penghuni-
nya yang bernama Eyang Aji Ranta."
"Akulah orang yang kalian cari itu," kata kakek
berpakaian kuning, pelan.
Rakapitu dan Gibang mengerutkan kening.
Memang beberapa ciri Eyang Aji Ranta ini, mirip
dengan orang yang mereka cari. Tapi, ada ciri yang
amat penting yang tidak dimiliki kakek berpakaian
kuning itu. Inilah yang membuat kedua laki-laki ini
ragu.
"Jadi, kakek yang bernama Eyang Aji Ranta itu?"
tanya Gibang masih kurang percaya.
Kakek berpakaian kuning itu menganggukkan
kepala sambil tersenyum.
"Tapi setahu kami, sepasang mata Eyang Aji Ranta
buta," Rakapitu ikut ambil bagian, mengutarakan
keragu-raguannya. Sepasang matanya menatap ke
arah mata kakek berpakaian kuning di depannya.
Dan memang, sepasang mata kakek itu tidak buta.
Gibang menganggukkan kepala pertanda mem-
benarkan ucapan rekannya.
"Aku telah berhasil menyembuhkannya," jawab
kakek yang ternyata bernama Eyang Aji Ranta, masih
dengan senyum di bibir. Dan ternyata kakek ini juga
suami dari Kuntilanak Alam Kubur (Untuk jelasnya,
baca serial Dewa Arak dalam episode "Prahara Hutan
Bandan").
Rakapitu dan Gibang mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti.
"Sekarang katakanlah, apa maksud kalian datang
menemuiku?" tanya Eyang Aji Ranta. Sebagai bekas
orang buta, perasaannya jauh lebih tajam dibanding
orang lain. Maka, kakek berpakaian kuning ini sudah
bisa merasa kalau kedua orang di hadapannya
adalah orang baik-baik.
"Ada orang yang sangat membutuhkan bantuan
Eyang," sahut Gibang. "Dia sakit parah. Karena men-
dengar kabar kalau Eyang ahli dalam pengobatan,
maka kami lalu memaksakan diri menemui Eyang."
Eyang Aji Ranta terdiam. Memang, dia sering
mengobati para penduduk sekitar Hutan Dadap.
Maka mendengar permintaan Rakapitu dan Gibang,
dia tidak merasa heran.
"Di mana tempat tinggal kalian?" tanya Eyang Aji
Ranta setelah beberapa saat lamanya termenung.
"Desa Pucung, Eyang," jawab Gibang cepat.
"Desa Pucung...," ulang kakek berpakaian kuning.
"Bagaimana, Eyang?" tanya Gibang penuh harap.
"Eyang bersedia?"
Eyang Aji Ranta menganggukkan kepala.
"Terima kasih atas kebaikan hati Eyang Aji Ranta,"
ucap Rakapitu dan Gibang berbarengan begitu
melihat gerak kepala Eyang Aji Ranta. Wajah kedua
orang itu nampak berseri-seri.
"Sudahlah. Aku paling tidak suka banyak
peradatan," sergah Eyang Aji Ranta penuh teguran.
"Maafkan kami, Eyang," ucap Gibang buru-buru.
"Kami terlalu gembira karena Eyang bersedia me-
luluskan permintaan kami, sehingga tidak bisa
menahan luapan perasaan."
Eyang Aji Ranta tidak menyahut.
"Putih. Aku akan pergi sebentar. Jaga tempat ini
baik-baik," ujar kakek berpakaian kuning pada
binatang peliharaannya.
"Grrrh...!"
Macan putih menggereng pelan sebagai jawaban-
nya.
"Mari kita berangkat," ajak Eyang Aji Ranta sambil
melangkah mendahului meninggalkan tempat itu.
Kelihatannya Eyang Aji Ranta hanya melangkah
perlahan saja. Tapi hebatnya, dia sudah berada
dalam jarak sepuluh tombak dari tempat semula.
Karuan saja hal ini membuat Rakapitu dan Gibang
terkejut bukan kepalang. Jelas terbukti kalau Eyang
Aji Ranta adalah orang sakti. Tapi mereka tidak bisa
berlama-lama tenggelam dalam keterkejutan, karena
Eyang Aji Ranta telah berjalan cukup jauh. Kini buru-
buru mereka berlari menyusul.
***
Baru saja tubuh ketiga orang itu lenyap ditelan
kejauhan, dari arah yang berlawanan bermunculan
belasan orang berwajah kasar dari balik pepohonan.
Di tangan mereka tampak tergenggam senjata
terhunus.
Rupanya kedatangan belasan orang itu diketahui
macan putih, maka binatang itu langsung bangkit dari
berbaringnya. Memang sejak Eyang Aji Ranta pergi,
macan putih segera membaringkan tubuhnya di
depan gua. Dan binatang itu baru bangkit begitu
mencium bau banyak orang yang berdatangan ke
tempat ini.
Macan putih menggereng keras, begitu melihat di
depannya telah berkumpul belasan orang berwajah
kasar sambil membawa senjata terhunus. Nalurinya
langsung mengisyaratkan kalau belasan orang itu
tidak bermaksud baik.
"Serbu...!"
Salah seorang yang berikat kepala hitam langsung
memberi aba-aba. Tangan kanannya yang meng-
genggam sebatang golok besar diangkat ke atas.
Salah satu mata golok tampak bergerigi. Sepertinya
dia adalah pemimpin gerombolan ini.
Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan orang
itu meluruk ke arah mulut gua. Dan karena macan
putih berdiri menghadang di depan, mereka terpaksa
harus merobohkannya terlebih dahulu.
Suara berdesing nyaring, diiringi kilatan senjata
senjata yang ditimpa sinar matahari mengiringi
tibanya serangan gerombolan itu.
"Auuummm...!"
Sambil mengaum keras menggetarkan jantung,
macan putih melompat memapak tibanya belasan
senjata yang siap merajamnya.
Tak pelak lagi, sekujur tubuh macan putih
langsung disambut hujan bermacam-macam senjata
tajam. Dan ternyata belasan penyerang itu harus
menemui kenyataan pahit. Buktinya, senjata-senjata
itu malah terpental balik sewaktu menghantam kulit
binatang itu. Bahkan tubuh macan putih itu terus
meluncur tanpa bisa ditahan lagi.
Jerit kematian pun terdengar seketika, saat
seorang dari mereka diterkam macan putih. Tanpa
ampun lagi, gigi-gigi runcing binatang itu menghunjam
leher orang malang itu. Sementara kedua kaki
depannya, mencengkeram kedua bahunya.
Berbareng dengan robohnya tubuh itu di tanah,
nyawanya pun melayang meninggalkan raganya.
Kematian salah seorang dari mereka, membuat
belasan orang itu jadi murka. Segera tubuh macan
putih itu dihujani dengan bacokan dan tusukan
senjata.
Lagi-lagi, tindakan gerombolan itu hanya mem-
buang tenaga secara percuma saja. Kulit tubuh
macan putih itu sama sekali tak mampu ditembus.
Bahkan senjata-senjata mereka terpental balik.
Wuttt...! Prattt..!
Kembali seseorang yang berwajah pucat seperti
orang penyakitan telah menjadi korban. Kaki kanan
depan macan putih itu telah menyampok pelipisnya.
Seketika tubuh laki-laki berwajah pucat itu ter-
pelanting dan jatuh di tanah. Tanpa sempat berteriak
lagi, orang itu tewas seketika. Tulang pelipisnya retak,
terkena sampokan macan putih yang memang keras
bukan main.
Macan putih itu terus mengamuk, menyebar maut
pada lawan-lawannya. Beberapa saat kemudian,
kembali jerit memilukan terdengar diiringi robohnya
anggota gerombolan yang lain.
Karuan saja hal ini membuat kemarahan
pemimpin gerombolan itu bergolak. Sementara,
macan putih itu sama sekali belum terluka. Sedang-
kan empat orang anak buahnya sudah pergi ke alam
baka. Bukan tidak mungkin kalau dibiarkan terus,
anak buahnya akan habis dibantai binatang buas itu.
"Mundur semua...!" teriak laki-laki berikat kepala
hitam. Suaranya terdengar keras bukan main, karena
disertai pengerahan tenaga dalam.
Tanpa diperintah dua kali, anggota gerombolan itu
saling dahulu-mendahului bergerak mundur. Tapi,
macan putih tidak mau membiarkan begitu saja.
Binatang itu terus bergerak mengejar mereka.
Kembali salah seorang anggota gerombolan
menjadi korban, karena ditubruk macan putih dari
bela-kang. Tak pelak lagi, tubuh laki-laki itu pun
terjerembab ke depan. Sedangkan macan putih
masih berada di atasnya.
Sebelum laki-laki berwajah bopeng itu bangkit,
macan putih telah lebih dahulu menghunjamkan
giginya di tengkuk. Suara jeritan menyayat terdengar
ketika laki-laki berwajah bopeng itu meregang nyawa.
"Keparat..!" maki laki-laki berikat kepala hitam.
Perasaan geram yang hebat tampak jelas baik pada
wajah maupun suaranya.
Seiring hilangnya gema makian itu, tangan
kanannya bergerak ke arah pinggang. Sesaat
kemudian, di tangan kanannya telah tergenggam
seutas cambuk berwarna merah darah. Panjangnya,
tak kurang dari satu setengah tombak.
Darrr...!
Ledakan keras yang memekakkan telinga
terdengar ketika laki-laki berikat kepala hitam ini
melecutkan cambuknya.
"Auuummm...!"
Sambil mengaum keras, macan putih melompat
menerkam laki-laki berikat kepala hitam. Sedangkan
yang akan diterkam malah mendengus, namun cepat
mengelak. Gerakannya gesit juga, laksana kera dia
menyelinap di bawah tubuh macan itu. Sesaat
kemudian tubuhnya sudah berada di belakang macan
putih, mendekati sebuah pohon besar.
Secepat laki-laki berikat kepala hitam itu berada di
sana, secepat itu pula cambuknya dilecutkan.
Darrr...! Rrrt..!
"Grrrh...!"
Macan putih menggeram keras ketika kaki kiri
belakangnya erat sekali terlilit cambuk, dan langsung
terikat mati. Sebelum tubuh binatang itu menyentuh
tanah, laki-laki berikat kepala hitam itu segera
mengikatkan ujung cambuk yang dipegang ke
sebatang pohon besar di dekatnya. Hal ini memang
sudah direncanakan.
Laki-laki berikat kepala hitam itu tersenyum puas
setelah selesai mengikatkan ujung cambuknya ke
batang pohon. Sepasang matanya menatap penuh
kepuasan pada macan putih yang meronta-ronta
berusaha melepaskan diri, tapi tanpa hasil. Cambuk
itu bukan cambuk sembarangan, karena terbuat dari
bahan yang alot dan sulit diputuskan. Bahkan oleh
senjata tajam sekali pun.
"Cari benda itu..!" perintah laki-laki berikat kepala
hitam.
Anak buahnya yang tengah menatap penuh
kagum, segera bergerak mengikuti perintah
pemimpinnya. Sama sekali tidak disangka kalau
macan putih yang menggiriskan itu, dapat dilumpuh-
kan oleh pemimpin mereka dalam segebrakan.
Padahal, binatang itu kelihatan perkasa. Buktinya,
beberapa nyawa telah melayang akibat terkamannya.
Dan kini, binatang itu hanya dapat meronta-ronta,
tanpa mampu melepaskan diri dari ikatan cambuk
pada kakinya.
Dan memang, anggota gerombolan itu tidak bisa
berlama-lama tenggelam dalam kekaguman. Apa lagi,
mereka berlomba dengan waktu. Apabila Eyang Aji
Ranta keburu kembali, mereka akan menghadapi
kesulitan yang amat besar. Benda yang berada di
dalam gua harus cepat diambil!
Maka anggota gerombolan itu bergegas masuk ke
dalam gua. Tak dihiraukan lagi macan putih yang
meraung-raung murka melihat anggota gerombolan
itu memasuki gua tempat tinggal majikannya.
***
2
Begitu memasuki mulut gua, gerombolan yang kini
berjumlah sembilan orang itu bergegas mengedarkan
pandangan berkeliling, mencari-cari benda yang
diperintahkan pemimpin mereka.
Tapi suasana dalam gua yang hanya remang-
remang, rupanya cukup menjadi penghalang juga.
Besar kemungkinan kalau benda yang dicari tidak
akan diketemukan.
Tapi ternyata anggota gerombolan itu sudah
memperhitungkannya. Dan kini, tiga orang di antara
mereka segera mengeluarkan tiga batang obor dari
balik bajunya. Dan berkat tenaga dalam yang
lumayan, tidak sulit untuk menyalakan api. Dua
batang obor yang terbuat dari kayu nangka itu
digosok-gosokkan, hingga menimbulkan percikan api.
Sementara sebatang obor lain didekatkan ke
percikan api. Maka begitu ujung obor terkena
percikannya api langsung membesar menjadi obor
yang menyala. Kemudian, mereka menyulut dua obor
berikutnya. Dan kini, suasana dalam gua itu telah
terang-benderang oleh tiga batang obor.
Dengan bantuan cahaya obor, sembilan orang
anggota gerombolan itu meneruskan pencarian.
Sepasang mata masing-masing menelusuri setiap
jengkal ruangan yang terdapat dalam gua itu. Dinding,
lantai, dan atap diperjksa dengan teliti.
Semakin lama langkah sembilan orang itu semakin
jauh masuk ke dalam gua. Tapi sampai sekian jauh,
benda yang dicari belum diketemukan.
Akhirnya mereka sampai di ujung terakhir gua itu,
di sebuah ruangan yang cukup luas. Di situlah tempat
Eyang Aji Ranta bersemadi dan beristirahat.
"Hei...! Kemarii…!"
Tiba-tiba terdengar seruan salah seorang anggota
gerombolan yang berambut keriting. Obor di tangan-
nya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Sementara
sepasang matanya menatap penuh selidik pada
sebuah benda berwarna gelap sebesar kepala
manusia.
Mendengar seruan itu serentak anggota
gerombolan lainnya bergegas menghampiri. Dengan
bertambahnya dua batang obor yang menerangi
tempat laki-laki berambut keriting, maka sekitar
tempat itu jadi semakin terang-benderang.
"Benarkah itu benda langit yang dicari-cari Kakang
Wisesa?" tanya laki-laki berambut keriting. Nada
suaranya menyiratkan keragu-raguan. Obor yang
dipegangnya segera diletakkan ke dinding gua.
"Entahlah...," sahut orang yang mempunyai anting-
anting di hidung.
"Aku yakin, benda itulah yang dicari Kakang
Wisesa," tegas orang yang berkulit hitam legam. Nada
suara dan sikapnya menyiratkan keyakinan besar.
"Ya," sambut yang lainnya. "Kakang Wisesa telah
menceritakan ciri-ciri benda langit itu. Dan semua
yang dikatakan Kakang Wisesa, sesuai dengan benda
ini."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?!" tegas orang yang
berambut keriting. "Ambil benda itu, dan kita berikan
secepatnya pada Kakang Wisesa!"
Tapi, tidak ada satu pun yang berani mengulurkan
tangan untuk mengambilnya. Tak terkecuali, laki-laki
berambut keriting sendiri.
"Kau saja yang mengambilnya, Guntara," orang
yang di hidungnya ada anting-anting balas meng-
usulkan pada laki-laki berambut keriting.
"Heh...?! Mengapa harus aku, Gota?!" laki-laki
berambut keriting yang bernama Guntara terperanjat.
"Tentu saja tidak harus kau, Guntara," lanjut laki-
laki beranting di hidung yang ternyata bernama Gota.
"Tapi, karena kau yang mengusulkan lebih dulu, tidak
ada salahnya jika kau yang mengambilnya."
"Apakah benda itu tidak beracun?" tanya Guntara
ragu-ragu.
"Itulah yang membuat kami khawatir meng-
ambilnya," sahut Gota tenang.
Guntara langsung terdiam dengan dahi berkerut.
Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Sementara
Gota juga tak melanjutkan ucapannya. Maka,
keheningan pun menyelimuti tempat itu.
"Hhh...!" Guntara menghela napas berat, me-
mecahkan keheningan yang menyelimuti tempat itu.
Semua rekannya tanpa sadar menoleh ke arahnya.
"Baiklah. Aku akan mengambilnya," ucap laki-laki
berambut keriting memutuskan. Suaranya terdengar
agak bergetar, menyiratkan ketegangan hatinya.
Bukan hanya Guntara saja yang merasa tegang.
Gota dan rekan-rekan yang lain pun mengalami
perasaan yang sama. Apakah benda langit itu
beracun atau tidak, Guntaralah yang menjadi kelinci
percobaan.
Guntara membungkukkan badan, lalu perlahan-
lahan menjulurkan tangan kanannya. Tampak tangan
laki-laki berambut keriting ini gemetar keras. Keringat
sebesar besar jagung membasahi seluruh tubuhnya.
Mula-mula hanya tangan kanan saja yang
menyentuh benda berwarna gelap itu. Itu pun hanya
sekadar menyentuh saja. Beberapa saat lamanya
Guntara membiarkan tangannya menempel pada
benda itu. Wajahnya terlihat tegang bukan main.
Keringat sebesar-besar jagung semakin banyak mem-
basahi wajah dan tubuhnya.
Tapi setelah menunggu beberapa saat, hal-hal
yang dikhawatirkan ternyata tidak kunjung terjadi.
Perlahan-lahan raut ketegangan di wajah Guntara
mulai sirna. Kini laki-laki berambut keriting itu mulai
berani mencengkeram benda berwarna gelap itu.
Ketika tidak juga terjadi apa-apa, Guntara meng-
ulurkan tangan kirinya. Maka dengan kedua tangan,
diangkatnya benda yang diduga berasal dari langit itu.
Dengan penuh rasa bangga, Guntara mengangkat
benda berwarna gelap itu tinggi-tinggi di atas kepala.
Baru kemudian kakinya melangkah menuju ke luar.
Tanpa berkata apa-apa, Gota dan yang lainnya
melangkah mengikuti Guntara dari belakang.
***
"Hhh...!"
Laki-laki berikat kepala hitam yang bernama
Wisesa menghela napas berat. Untuk yang kesekian
kali, pandangannya dialihkan ke arah pintu gua. Tapi
anak buahnya yang sejak tadi ditunggu-tunggu, tak
kunjung muncul.
Wisesa khawatir, macan putih dapat meloloskan
diri. Masalahnya, sejak tadi binatang itu tak henti-
hentinya meronta. Tapi usaha yang dilakukannya itu
sia-sia saja. Memang, cambuk yang mengikatnya
terlalu a lot.
Wisesa membiarkan saja macan putih itu meronta
ronta, dan sama sekali tidak berusaha mencegah.
Bahkan laki-laki berikat kepala hitam juga tidak
mempergunakan kesempatan ini untuk menyerang
macan putih. Karena dia tahu, semua itu percuma
saja. Macan putih memiliki kekebalan tubuh yang luar
biasa. Menyerangnya hanya melelahkan diri sendiri.
Sambil menunggu anak buahnya keluar dari dalam
gua, Wisesa mengawasi macan putih itu. Di saat
kesabaran laki-laki berikat kepala hitam ini hampir
habis, orang-orang yang ditunggunya muncul. Mula-
mula yang terlihat Guntara. Di tangan laki-laki
berambut keriting itu tampak sebuah benda berwarna
gelap, mirip sebuah batu. Tak salah lagi, pasti itu
benda langit!
Melihat hal ini, Wisesa tidak mampu menahan
perasaannya lagi. Dia bergegas berlari menyambut.
Tak sabar lagi harinya untuk memiliki benda itu.
Karena kedua belah pihak bergerak saling meng-
hampiri, maka Guntara dan Wisesa telah saling
berhadapan.
"Inikah benda langit itu, Kang?" tanya Guntara
seraya mengangsurkan benda di tangannya.
Dengan bernafsu sekali laki-laki berikat kepala
hitam menerima benda berwarna gelap itu, lalu
diamat-amatinya sejenak.
"Benar!" sahut Wisesa setelah memeriksa benda
itu. Nada suaranya menyiratkan perasaan gembira
yang meledak-ledak. "Inilah benda langit itu!"
Semua orang yang ada di situ menarik napas lega.
Mereka tampak tersenyum gembira karena berhasil
menjalankan tugas.
"Mari kita tinggalkan tempat ini," ajak Wisesa
seraya bergerak meninggalkan tempat itu, diikuti oleh
anak buahnya yang membawa mayat-mayat rekan
mereka. Tak dipedulikannya macan putih yang masih
meronta-ronta melepaskan diri.
Sesaat kemudian tubuh mereka telah lenyap
ditelan kerimbunan pepohonan dan semak-semak
lebat.
***
Eyang Aji Ranta segera menghentikan langkahnya
begitu mulai mendekati batas tembok Desa Pucung.
Dengan sendirinya, Rakapitu dan Gibang yang sejak
tadi berlari sekuat tenaga untuk mengimbangi kakek
berpakaian kuning itu berhasil menyusul. Sekujur
tubuh kedua laki-laki itu nampak dibanjiri peluh,
dengan napas terengah-engah.
Dapat dibayangkan, betapa kagetnya hati Rakapitu
dan Gibang melihat Eyang Aji Ranta sama sekali tidak
terlihat lelah. Bahkan desah napasnya biasa saja.
Tidak ada setitik pun peluh nampak di wajahnya,
maupun tubuhnya.
"Mengapa tergesa-gesa betul, Eyang?" tanya
Gibang dengan suara terputus-putus, karena napas-
nya masih memburu hebat.
Eyang Aji Ranta menoleh. Ditatapnya sejenak
wajah pemuda berwajah penuh tahi lalat itu.
"Entahlah, Anak Muda," sahut kakek berpakaian
kuning, mendesah. "Yang jelas, perasaanku tidak
enak sekali hari ini."
"Maksud, Eyang?" tanya Gibang tidak mengerti.
"Sudahlah, Anak Muda." Eyang Aji Ranta
mengulapkan tangannya memutuskan pembicaraan.
Gibang tahu diri. Disadari kalau Eyang Aji Ranta
tidak ingin memperpanjang pembicaraan itu. Maka
pemuda berwajah penuh tahi lalat ini tidak bertanya
lagi.
Kini ketiga orang itu melanjutkan perjalanan tanpa
berkata-kata. Beberapa kali Rakapitu dan Gibang
harus tersenyum dan menganggukkan kepala setiap
kali ada yang menyapanya.
"Itu rumahnya, Eyang," kata Rakapitu sambil
menudingkan telunjuknya ke sebuah rumah
berdinding bilik. Letaknya, terpisah dari rumah-rumah
lainnya.
Setelah berkata demikian, Rakapitu bergegas
mempercepat langkahnya. Laki-laki bertubuh tinggi
besar ini berjalan mendahului. Sesaat kemudian,
Rakapitu telah berada di depan pintu yang tertutup
itu, dan langsung mengetuknya.
Tok, tok, tok...!
Rakapitu menunggu sejenak. Dan sebentar saja,
telinganya menangkap suara langkah kaki mendekati
pintu.
Derit daun pintu yang dibuka lebar terdengar,
bertepatan dengan tibanya Eyang Aji Ranta dan
Gibang di sebelah Rakapitu. Dan di balik daun pintu
nampak seraut wajah keriput seorang kakek.
"Ini Eyang Aji Ranta, Ki," jelas Rakapitu, mem-
perkenalkan laki-laki tua di sebelahnya. "Orang yang
Aki mintai pertolongannya."
"Oh, iya. Mengapa aku begini lupa," kakek pemilik
rumah itu menepak kepala, kemudian segera
mengulurkan tangan.
"Waskita," sebut kakek pemilik rumah mengenal-
kan diri.
"Aji Ranta," balas Eyang Aji Ranta, memperkenal-
kan namanya.
"Silakan masuk dulu, Eyang Aji Ranta," ujar Ki
Waskita mempersilakan.
Kakek berpakaian kuning itu terkekeh pelan.
"Kedengarannya repot sekali mengucapkannya.
Bagaimana kalau panggil aku, Kang Aji saja. Rasanya
lebih singkat dan enak didengar," usul Eyang Aji
Ranta.
"Dan kau sendiri memanggilku Adi Waskita?!"
sambung kakek pemilik rumah. Nada suara maupun
raut wajahnya menyiratkan kegembiraan. "Begitu,
kan?"
"Tepat sekali, Adi Waskita!" Eyang Aji Ranta
menganggukkan kepala.
"Boleh kulihat orang yang sakit itu, Adi?" pinta
Eyang Aji Ranta setelah mareka semua duduk di
dalam.
Senyum di wajah Ki Waskita seketika lenyap. Tentu
saja hal itu membuat Eyang Aji Ranta, Rakapitu, dan
Gibang jadi khawatir. Menilik dari sikap kakek pemilik
rumah itu, bisa diperkirakan kalau ada hal-hal tidak
menyenangkan telah terjadi.
"Orang yang sakit itu telah sembuh," jawab Ki
Waskita, pelan.
"Apa??" seru Gibang dan Rakapitu berseru kaget.
Sementara itu, Eyang Aji Ranta nampak tenang-
tenang saja. Walaupun sebenarnya juga merasa
terkejut, tapi kakek berpakaian kuning ini bisa
menyembunyikannya.
"Mengapa bisa begitu, Ki?!" tanya Gibang
penasaran. "Bukankah semalam sakitnya amat
parah? Begitu juga tadi pagi, sebelum kami
berangkat."
Rakapitu menganggukkan kepala pertanda men-
dukung ucapan rekannya. Sedangkan Ki Waskita
hanya mengangkat bahu.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Ki?" tanya Rakapitu
berusaha tenang.
"Hhh...!" kakek pemilik rumah itu menghela napas.
"Aku sendiri tidak tahu, Rakapitu. Tapi yang jelas,
orang itu sembuh, tak lama setelah kalian pergi ke
Hutan Dadap."
Rakapitu dan Gibang kontan terdiam. Dahi kedua
orang ini berkernyit, seperti ada sesuatu yang
dipikirkan.
"Sebenarnya... siapakah yang sakit?" tanya Eyang
Aji Ranta.
Kakek berpakaian kuning ini tidak kuat menahan
rasa ingin tahunya. Tapi tidak dijelaskan, pada siapa
pertanyaan itu ditujukan.
"Lebih baik kumulai saja dari mula. Agar kau jelas,
Kang," kata Ki Waskita. "Kemarin sore beberapa
orang penduduk datang membawa seorang laki-laki
berpakaian prajurit yang tengah terluka padaku. Di
antara mereka, terdapat pula Rakapitu dan Gibang.
Dan memang, keahlianku adalah mengobati orang
terluka. Maka dia segera kuperiksa. Sedangkan
Rakapitu dan Gibang menemaniku melakukan
pengobatan."
Ki Waskita menghentikan ceritanya sejenak, untuk
mengambil napas. Ditatapnya wajah Eyang Aji Ranta
lekat-lekat. Memang kepada kakek berpakaian
kuning itulah, cerita ini ditujukan. Rakapitu dan
Gibang sudah mengetahuinya, karena ikut terlibat
dalam penyelamatan orang itu.
"Setelah memeriksa beberapa lama, akhirnya aku
menyerah. Orang itu ternyata terkena racun yang
amat jahat. Dan aku tidak tahu cara pengobatannya.
Untunglah, racun itu mempunyai daya kerja lambat.
Sehingga, orang itu dapat bertahan lama," sambung
Ki Waskita. "Maka begitu pagi tiba, Rakapitu dan
Gibang segera kuperintahkan untuk menemuimu. Ini
kulakukan, karena namamu sudah cukup terkenal
dalam hal pengobatan racun. Apalagi orang yang
terkena racun juga mengatakan kalau kaulah satu-
satunya yang bisa menyembuhkan lukanya. Tapi,
sayang...."
Ki Waskita menghentikan ceritanya. Ditariknya
napas dalam-dalam lalu dihembuskannya kuat-kuat.
"Aku tak tahu, bagaimana kejadiannya. Yang jelas
begitu Rakapitu dan Gibang berangkat ke Hutan
Dadap, orang itu berangsur-angsur sembuh."
"Jadi, orang itu telah sembuh, Ki?" tanya Gibang
ingin lebih jelas lagi.
Ki Waskita menganggukkan kepala, tapi tidak ada
sinar kegembiraan di wajahnya. Tentu saja hal ini
membuat Gibang dan Rakapitu heran. Mengapa Ki
Waskita sama sekali tidak kelihatan gembira?
Dengan perasaan agak bingung, kedua orang ini
mengalihkan pandangan pada Eyang Aji Ranta. Lagi-
lagi mereka terkejut. Wajah kakek berpakaian kuning
ini juga tidak terlihat gembira.
"Ada apa ini?" tanya Rakapitu dan Gibang dalam
hati.
"Mengapa kau tidak tampak gembira, Ki?" akhirnya
Gibang tak kuasa menahan pertanyaan yang bergolak
dalam dadanya.
"Hhh...!" hanya desah napas berat Ki Waskita yang
menyahuti pertanyaan laki-laki berwajah penuh tahi
lalat itu.
"Katakanlah, Ki," Rakapitu ikut mendesak "Jangan
biarkan kami dilanda kebingungan."
Ki Waskita menatap wajah Rakapitu dan Gibang
berganti-ganti. "Aku mencium adanya hal yang men-
curigakan dalam peristiwa ini...."
Rakapitu mengernyitkan dahi. Pemuda bertubuh
tinggi besar ini tidak mengerti maksud ucapan kakek
pemilik rumah. Ditatapnya Gibang, tapi laki-laki yang
wajahnya penuh tahi lalat itu menggelengkan kepala
pertanda tidak mengerti.
"Janganlah berteka-teki, Ki," pinta Gibang
memohon pengertian.
"Aku curiga kalau peristiwa ini sudah direncana-
kan," desah Ki Waskita pelan. "Dugaanku, orang itu
sengaja minum racun. Namun juga membawa
pemunahnya. Dan begitu Rakapitu dan Gibang pergi,
obat pemunahnya segera diminum. Pantas saja orang
itu seperti mendesakku agar memanggil Eyang Aji
Ranta saja. Hhh.... Memancing harimau keluar
sarang. Entah apa yang mereka cari di sarang
harimau...."
Eyang Aji Ranta terperanjat. Dugaan Ki Waskita
ternyata tidak berbeda dengan dugaannya. Jelas,
peristiwa ini sudah direncanakan. Tujuannya, untuk
memancingnya keluar gua. Seketika itu pula kakek
berpakaian kuning ini teringat kembali dengan
perasaan tidak enak yang tadi mengganggunya.
"Kalau begitu, aku pergi dulu, Adi Waskita."
Tanpa menunggu jawaban, Eyang Aji Ranta
bergegas bangkit, dan langsung melangkah ke luar.
Langkahnya kelihatan perlahan saja, tapi hebatnya
tubuh kakek berpakaian kuning ini telah berada
sekitar delapan tombak dari tempat semula. Padahal,
Eyang Aji Ranta hanya mempunyai sebuah kaki!
"Hebat...!"
Ki Waskita menggeleng-gelengkan kepala.
Perasaan takjub dan kagum menghiasi wajahnya.
Harus diakui kalau ilmu meringankan tubuh Eyang Aji
Ranta amat luar biasa.
"Ki...! Maksudmu...," Rakapitu yang masih kurang
jelas kembali buka suara.
"Kemungkinan semua ini adalah sebuah siasat,
yang telah diatur rapi untuk memancing Eyang Aji
Ranta keluar dari tempat tinggalnya."
"Apa maksudnya, Ki?" tanya Rakapitu lagi.
"Aku juga tidak tahu, Rakapitu," jawab Ki Waskita.
"Mungkin mereka bermaksud menangkap macan
putih?" Gibang mengajukan dugaannya.
"Yaaah..., mungkin saja," sambut Ki Waskita.
***
3
Kini Eyang Aji Ranta tidak ragu-ragu lagi mengerahkan
seluruh kemampuan yang dimiliki. Sekarang dia
sendirian, jadi bebas berlari secepat yang diingin-
kannya.
Eyang Aji Ranta memang bukan tokoh
sembarangan. Dia adalah seorang tokoh yang
memiliki kepandaian tinggi. Kecepatan gerakannya
pun luar biasa, meskipun hanya mempunyai kaki
sebelah!
Tubuh kakek berpakaian kuning ini berkelebat
cepat laksana anak panah lepas dari busur. Saking
cepatnya, tubuh kakek ini seperti lenyap bentuknya.
Yang terlihat hanyalah seleret bayangan kuning
melesat menuju Hutan Dadap.
Karuan saja, banyak penduduk Desa Pucung yang
terheran-heran begitu melihat sekelebatan bayangan
kuning melesat cepat menuju mulut desa. Mereka
tidak dapat mengetahui, apakah sebenarnya
kelebatan bayangan kuning itu. Meskipun begitu,
memang bisa diduga kalau bayangan kuning itu
adalah orang yang memiliki kepandaian tinggi. Angin
menderu keras begitu bayangan kuning itu lewat,
pertanda kuatnya tenaga yang mendorong gerakan-
nya.
Dalam sekejapan saja, mulut Desa Pucung telah
terlewat. Tapi, Eyang Aji Ranta sama sekali tidak
mengendurkan larinya. Kakek berpakaian kuning ini
tetap mengerahkan kemampuan lari yang ditunjang
ilmu meringankan tubuh setinggi mungkin.
Tak lama kemudian, mulut Hutan Dadap telah
terlihat Hal ini membuat semangat Eyang Aji Ranta
semakin membesar. Kakek ini terus berlari cepat
menuju ke sana.
Eyang Aji Ranta tetap tidak mengendurkan larinya
ketika melewati kerimbunan semak-semak dan
pepohonan lebat. Tongkat bututnya bergerak ke kiri
dan ke kanan, sebagai pembuka jalan. Suara
berkerosakan keras dari semak-semak yang terlanda,
dan suara berkeretakannya ranting-ranting patah
terdengar ketika Eyang Aji Ranta melewatinya.
Sebentar kemudian, Eyang Aji Ranta sudah berada
beberapa tombak di depan gua tempat tinggalnya.
Tercekat hati kakek ini tatkala melihat macan
putihnya terikat di sebatang pohon. Binatang itu sama
sekali tidak berusaha melepaskan diri, tapi hanya
berputar-putar mengelilingi pohon. Bisa diduga kalau
ada sesuatu yang terjadi pada binatang itu. Dan ini
membuat Eyang Aji Ranta khawatir bukan main.
Macan putih mengaum keras begitu melihat
kedatangan majikannya. Seketika semangat binatang
itu bangkit kembali untuk melepaskan diri. Macan itu
kembali meronta-ronta. Tapi seperti kejadian
sebelumnya, usaha yang dilakukannya sia-sia.
Eyang Aji Ranta segera melepaskan ikatan yang
membelenggu binatang peliharaannya. Dengan hati
cemas sekujur tubuh macan putih itu diperiksanya,
kalau-kalau ada bagian yang teriuka. Lega hati kakek
ini begitu tidak terlihat ada luka di tubuh macan
kesayangannya.
Macan putih menggereng-gereng. Sementara
Eyang Aji Ranta mendengarkan penuh perhatian.
Cukup lama juga binatang itu bersikap demikian. Dan
ketika macan putih menghentikan gerengan, kakek
berpakaian kuning itu menundukkan kepala.
Sepertinya Eyang Aji Ranta mengerti arti gerengan
macan itu. Dan memang binatang itu seperti
mengungkapkan sesuatu.
"Hhh...!"
Eyang Aji Ranta menghela napas berat. Sekarang
dia tahu maksud orang-orang memancingnya keluar
dari tempat tinggalnya. Macan putih telah mencerita-
kannya, walau hanya lewat gerengan.
"Jadi..., benda langit itu yang mereka cari...,"
gumam Eyang Aji Ranta pelan seraya mengangkat
kepalanya. Sepasang matanya menatap ke atas,
melihat matahari yang telah melewati atas kepala.
"Grrrh...!"
Macan putih menggereng kembali. Tapi nadanya
kali ini berbeda dengan sebelumnya. Sementara
Eyang Aji Ranta hanya menggelengkan kepala.
Secercah senyum pahit tersungging di bibirnya.
"Terima kasih atas kesediaanmu, Putih," sahut
kakek berpakaian kuning itu pelan. "Tapi kurasa kita
tidak perlu mengejar mereka. Aku yakin, kalau saran-
mu kuikuti..., kita akan terlibat kembali dalam
kekerasan! Padahal, aku sudah muak dengan keras-
nya dunia persilatan. Aku ingin, di sisa-sisa hidupku
ini dapat hidup tenang."
Eyang Aji Ranta membelai-belai kepala binatang
peliharaannya. Dalam hati, dia berterima kasih sekali
pada macan putih. Binatang itu tadi mengajaknya
mencari orang-orang yang telah mencuri, kalau dia
ingin benda langit itu kembali.
"Maafkan aku, Putih. Bukannya menolak usulmu,
tapi aku tidak ingin terlibat kembali dalam kekerasan.
Kau bisa mengerti, Putih?"
Macan putih itu menggereng pelan.
"Kalau begitu, mari kita kembali ke gua," ajak
Eyang Aji Ranta seraya melangkahkan kaki menuju
tempat yang dimaksud.
Sambil menggereng pelan, macan putih itu
bergerak mengikuti. Binatang itu berlari-lari kecil di
sebelah majikannya.
Tak lama kemudian, tubuh Eyang Aji Ranta dan
macan putih itu telah tidak terlihat lagi, lenyap ditelan
kegelapan gua.
***
Waktu berputar sesuai kodratnya. Matahari
bergerak menurut aturannya. Timbul di langit sebelah
Timur, dan tenggelam di sebelah Barat. Seiring
tenggelamnya matahari, kegelapan pun menyelimuti
bumi. Malam pun datang menjelang.
Kini kehidupan berganti. Tidak ada lagi cicit burung
atau keruyuk ayam jantan. Yang terdengar adalah
kepak sayap kelelawar yang keluar mencari makan.
Tak jarang pula terdengar kukuk burung hantu
menguak keheningan malam.
Tapi ternyata tidak hanya binatang-binatang
malam itu saja yang keluar meninggalkan tempat
tinggalnya. Ternyata, masih ada lagi yang berkeliaran
dalam suasana malam sehening itu.
'Makhluk' itu adalah sesosok bayangan hitam yang
bergerak cepat menuju Hutan Dadap. Dalam
keremangan malam yang hanya diterangi bulan sabit
di langit, tidak nampak jelas wajah sosok bayangan
hitam itu. Apalagi dia mengenakan caping bambu
yang membuat wajahnya terlindung.
Bukan itu saja. Mulai dari bawah mata sampai
bawah dagu, ditutupi pula oleh sehelai kain yang
berwarna hitam. Kain itu diikatkan ke belakang
kepala. Maka lengkaplah sudah tanda tanya, siapa
sosok bayangan hitam itu.
Sosok itu melesat terus masuk ke dalam hutan,
menerobos kerimbunan semak-semak dan pe-
pohonan yang lebat. Namun mendadak langkahnya
berhenti. Capingnya diangkat sedikit ke atas untuk
memperjelas pandangannya. Tapi pandangan mata-
nya memang tidak salah. Dalam keremangan malam
itu, di sebatang pohon beringin yang berjarak sekitar
dua tombak darinya, tertancap sebatang tombak
berwarna putih mengkilat.
Bisa diduga kalau orang yang menancapkan
tombak di situ memang mempunyai maksud agar hal
itu diketahui orang yang dituju.
Sosok bayangan hitam itu kemudian melangkah
menghampiri. Tampak jelas kalau di dekat mata
tombak itu terbelit sebuah rantai baja yang juga
berwarna putih, di ujung rantai itu tergantung sebuah
tengkorak manusia! Menilik dari ukurannya, dapat
diketahui kalau tengkorak itu adalah tengkorak
kepala anak kecil.
"Hm...," sosok bayangan hitam itu hanya meng-
gumam pelan, seperti tahu maksudnya.
Tiba-tiba terdengar suara berkaokan keras.
Panjang dan tiga kali berturut-turut, lalu berhenti.
Sebentar kemudian suara itu terdengar lagi seperti
tadi. Panjang dan tiga kali berturut-turut.
Bagi orang yang tidak terlalu ambil peduli, tentu
akan menduga kalau suara itu berasal dari burung
kuak-kuak. Tapi kalau saja orang mau sedikit men-
curahkan perhatian, akan jelas kejanggalannya.
Suara berkaokan itu nadanya selalu sama. Panjang,
dan tiga kali berturut-turut. Lalu, berhenti sejenak.
Sesaat terdengar lagi. Begitu seterusnya.
Memang, suara berkaokan itu bukan berasal dari
burung kuak-kuak, melainkan dari mulut sosok
bayangan hitam itu. Tampaknya dia tengah menanti
sesuatu.
Tak lama kemudian terdengar suara berkaokan
keras pula, tapi berirama lain dengan yang sebelum-
nya. Suara kaokan kali ini meskipun nadanya
panjang, tapi tidak tiga kali berturut-turut. Bunyinya
cukup dua kali. Bahkan berhenti agak lama, lalu ter-
dengar kembali.
Tak lama kemudian, terdengar suara gemerisik
dari rerumputan yang terlanda sesuatu. Sosok
bayangan hitam itu menoleh ke arah asal suara
gemerisik. Sepasang matanya menatap ke depan dari
balik caping yang bertengger di atas kepala.
Sesaat kemudian, dari balik kerimbunan semak-
semak dan pepohonan, bermunculan beberapa sosok
tubuh yang semuanya berpakaian hitam. Maka
seketika sosok bayangan hitam mengangkat sedikit
capingnya. Dengan tatapan mata, dihitungnya jumlah
sosok yang berdiri di hadapannya. Ternyata sembilan
orang.
"Bagaimana, Wisesa? Berhasil?" tanya sosok
bercaping itu, seraya menatap sosok yang berdiri
paling depan. Sembilan sosok yang berdiri di hadapan
orang bercaping itu memang Wisesa bersama anak
buahnya.
"Begitulah, Kang," sahut laki-laki berikat kepala
hitam itu. Menilik dari panggilan, dapat diketahui
kalau dirinya mempunyai hubungan baik dengan
orang bercaping bambu.
"Bagus..!" puji orang bercaping, gembira. "Cepat
serahkan padaku!"
"Sabar, Kang," sergah Wisesa buru-buru. "Bagai-
mana dengan janjimu? Perlu kau ketahui, Kang.
Mengambil benda itu sulit sekali."
"Hm... Bukankah aku sudah mengirim orang untuk
memancing kakek jompo itu keluar dari guanya?!"
sergah orang bercaping penasaran.
"Apa yang kau katakan itu tidak salah, Kang,"
sahut Wisesa dengan suara tawar. "Tapi, kau
melupakan binatang peliharaannya."
"Maksudmu..., macan putih?" orang bercaping
mulai teringat.
"Benar, Kang," laki-laki berikat kepala hitam meng-
anggukkan kepalanya. "Binatang itu ternyata kuat
sekali. Bahkan empat orang anak buahku tewas
ketika berusaha merobohkannya. Kalau saja aku
tidak turun tangan, mungkin mereka semua tewas."
Orang bercaping itu hanya mengangguk-angguk-
kan kepala saja.
"Permintaan kami tidak berat, Kang. Kami hanya
mohon agar kau bersedia membantu bila kami
menghadapi lawan tangguh."
"Hanya itu yang kau minta, Wisesa?"
Laki-laki berikat kepala hitam menganggukkan
kepala.
"Jadi, kau bersedia memenuhi permintaan kami,
Kang?"
Orang bercaping itu menganggukkan kepala.
"Mana benda itu?" pinta orang bercaping itu.
"Guntara...!" Wisesa mendongakkan kepala ke atas
pohon.
Belum juga lenyap gema teriakan itu, dari atas
pohon melayang turun sesosok tubuh. Lalu, sosok
tubuh itu mendarat dengan manisnya di tanah. Di
tangannya tergenggam sebuah benda mirip batu
berwarna gelap, berukuran sebesar kepala manusia.
Sepasang mata di balik caping itu berkilat-kilat.
Secercah senyum mengejek tersungging di mulut
yang tertutup kain hitam. Diam-diam dipujinya
kecerdikan laki-laki berikat kepala hitam. Ternyata
Wisesa tidak meninggalkan kewaspadaannya. Kepala
rampok itu menyuruh salah seorang anak buahnya
untuk membawa benda itu, dan bersembunyi. Dia
berjaga-jaga, kalau-kalau sosok bercaping akan ber-
tindak tidak jujur.
Wisesa segera mengambil benda itu dari tangan
anak buahnya.
"Ini benda itu, Kang," laki-laki berikat kepala hitam
itu mengangsurkan benda langit pada orang
bercaping.
Orang bercaping itu mengulurkan tangan
menyambut. Beberapa saat diperiksanya benda itu,
sambil mengetuk sana-sini.
"Bagaimana, Kang?" tanya Wisesa.
"Hm...."
Hanya gumaman tak jelas dari orang bercaping itu
yang menyambuti ucapan Wisesa. Kemudian benda
itu dimasukkannya ke dalam buntalan kain hitam
yang tersampir di punggung.
Mendadak, tangan sosok bercaping itu bergerak
ke pinggang. Cepat bukan main gerakannya. Dan
begitu kembali ke tempat semula, di tangannya telah
tergenggam sebilah keris berkeluk tujuh. Dan secepat
keris itu tergenggam, secepat itu pula ditusukkan ke
leher Wisesa.
Wisesa terperanjat. Sebagai seorang tokoh hitam,
tentu saja dia tidak menjadi kaget mendapat
serangan tak terduga-duga ini. Tapi kecepatan gerak
sosok bercaping itu benar-benar di luar dugaan.
Karena sejak tadi sudah bersiap siaga, maka
begitu melihat datangnya serangan maut yang
mengancam nyawa, Wisesa segera melempar tubuh
ke samping. Dia langsung bergulingan di tanah
beberapa kali.
"Serang...!"
Sambil terus bergulingan di tanah, laki-laki berikat
kepala hitam ini memberi perintah. Wisesa juga
khawatir, selagi dia bergulingan, serangan susulan
dari orang bercaping itu datang.
Singgg, singgg, singgg...!
Sinar-sinar berkilatan berpendar ketika anak buah
Wisesa menyerbu orang bercaping itu dengan senjata
terhunus. Suara-suara berdesing nyaring mengiringi
hujan serangan itu.
Orang bercaping menggertakkan gigi melihat
serangannya dapat dielakkan. Belum lagi serangan
susulan dilancarkan, serangan anak buah Wisesa
telah datang bertubi-tubi bagai hujan. Terpaksa
maksudnya dibatalkan untuk mengirimkan serangan
pada laki-laki berikat kepala hitam itu.
Tranggg, tranggg...!
Suara berdentang nyaring terdengar berkali-kali
begitu orang bercaping menggerakkan kerisnya,
menangkis tiga buah serangan yang datang lebih
dulu. Bunga-bunga api seketika memercik ke sana
kemari.
Guntara dan dua orang kawannya terperanjat
begitu merasakan tangan yang berbenturan dengan
senjata lawan terasa lumpuh. Hampir saja senjata-
senjata mereka terlepas. Dan kini keadaan mereka
amat berbahaya.
Untung pada saat yang gawat, serangan rekan
rekan mereka yang lain tiba. Sehingga, orang ber-
caping itu tidak mempunyai kesempatan mengirim-
kan serangan susulan.
Kembali terdengar suara keras denting senjata
beradu, diikuti percikan bunga-bunga api di udara.
Dan di saat itulah, Wisesa telah berhasil memperbaiki
keadaannya. Dan dia ikut terjun dalam kancah
pertempuran kembali.
"Kau ceroboh, Brajageni...! Kau mencari penyakit
sendiri! Kalau saja tadi kau tidak bertindak macam-
macam, pemunah racun ini akan kuberikan! Tapi
sekarang, jangan harap!" ancam Wisesa keras.
"Jangan merasa menang dulu, Wisesa! Kau kira
aku tidak tahu kalau benda langit itu ditaburi racun?
Ha ha ha...! Racun bagiku adalah permainan anak-
anak, Wisesa! Racunmu sama sekali tidak berarti bila
digunakan padaku!"
"Keparat!" maki Wisesa kalap. "Serbu...!" Tanpa
menunggu perintah dua kali, anak buah Wisesa
segera meluruk ke arah Brajageni.
"Hmh...!"
Brajageni mendengus. Mendadak tangan kanan-
nya dimasukkan ke balik baju. Dan begitu tangan itu
dikeluarkan, secepat itu pula dikibaskan.
Serrr...!
Wisesa terperanjat. Sebagai tokoh yang telah
berpengalaman, dia tahu benda yang mengeluarkan
suara berdesir itu.
"Awas...!" teriak Wisesa seraya melempar tubuh ke
samping kanan dan bergulingan menjauh.
Laki-laki berikat kepala hitam ini berhasil lolos dari
maut. Tapi tidak demikian anak buahnya. Serangan
itu sama sekali tidak disangka-sangka. Apalagi,
datangnya selagi tubuh mereka telah dekat dengan
lawan. Tambahan lagi, suasana malam yang remang-
remang membuat mereka tidak dapat melihat jelas
benda yang datang menyambar. Tapi meskipun
begitu, mereka berusaha menyelamatkan diri
semampunya begitu mengetahui ada bahaya meng-
ancam.
Suara-suara jerit kesakitan terdengar begitu
benda-benda yang tak lain adalah jarum-jarum halus
itu mengenai sasaran. Jarum-jarum itu tentu saja
bukan jarum sembarangan, karena mengandung
racun ganas. Terbukti begitu empat di antara mereka
terkena, langsung saja meringis sambil memegang
bagian yang terluka. Mereka jatuh menggelepar-
gelepar di tanah beberapa saat lamanya, kemudian
tidak bergerak lagi untuk selamanya.
Wisesa meraung keras. Laki-laki berikat kepala
hitam ini murka bukan kepalang. Segera senjata
andalannya dicabut. Senjata yang berupa sebatang
golok besar yang sisi-sisinya bergerigi mirip gergaji itu
telah diputar-putarnya.
"Haaat..!"
Seraya berteriak keras, Wisesa melompat. Dan dari
atas, golok di tangannya dibabatkan cepat ke arah
leher Brajageni. Ada suara mengaung yang cukup
keras mengiringi tibanya serangan itu. Jelas, laki-laki
berikat kepala hitam ini memiliki tenaga dalam cukup
tinggi.
Pada saat yang sama, Guntara dan Gota yang
berhasil selamat dari serangan jarum-jarum beracun,
juga meluruk menyerang Brajageni. Guntara
menyerang dari depan dengan sebuah tusukan
tombak ke arah dada, sementara Gota menyerang
dari belakang. Pedangnya menusuk cepat ke arah
punggung.
Mendapat serangan maut yang berbarengan, tidak
juga membuat Brajageni gugup. Bahkan malah
ditunggunya hingga semua serangan itu menyambar
dekat. Lalu dengan perhitungan matang seorang yang
memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi,
Brajageni segera melempar tubuh ke belakang. Dan
dengan sendirinya, serangan yang datang dari
belakang dan depan kandas. Sementara serangan
Wisesa ditangkisnya.
Tranggg...!
Bunga api memercik ke sana kemari begitu kedua
senjata beradu keras bukan main. Wisesa menggigit
bibir ketika merasakan tangannya pegal-pegal.
Dengan meminjam tenaga benturan, Brajageni
bersalto ke belakang sekali. Dan ketika berada di
belakang Gota, tangannya bergerak mendorong.
Kelihatannya perlahan saja. Tapi akibatnya, tubuh
laki-laki beranting di hidung itu terhuyung ke depan
seperti diseruduk banteng!
Guntara terperanjat kaget. Pada saat itu, tombak-
nya tengah ditusukkan ke depan, dan tidak mampu
ditahan lagi. Maka dapat dibayangkan betapa kaget
hatinya ketika melihat tubuh Gota menyambut ujung
tombaknya. Sementara, ujung pedang Gota pun
mengarah dadanya.
Crabbb, cappp...!
Rentetan kejadian itu berlangsung begitu cepat.
Dan tahu-tahu, tubuh Gota dan Guntara telah
tersungkur di tanah dengan senjata yang saling
hunjam tubuh mereka. Nyawa kedua orang itu
langsung melayang tanpa memperdengarkan suara
sedikit pun.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan
Brajageni. Begitu kedua kakinya mendarat, tangannya
kembali mengibas. Disambutnya serbuan sisa-sisa
anak buah Wisesa.
Singgg, singgg...!
Cappp, cappp, cappp...!
Empat senjata rahasia berbentuk bintang itu
mengenai dahi sisa anak buah Wisesa dengan telak
dan keras. Senjata rahasia itu menghunjam sampai
setengahnya lebih. Seketika itu juga tubuh keempat
orang itu roboh di tanah. Sesaat mereka meng-
gelepar-gelepar, kemudian diam tidak bergerak lagi.
Wisesa hanya bisa memandang semua ini dengan
wajah pucat laksana mayat. Semua anak buahnya
telah tewas. Dan sekarang, dia hanya tinggal seorang
diri.
"Bersiaplah untuk mati, Wisesa!" ancam Brajageni
lambat lambat tapi penuh tekanan. Ada ancaman
maut dalam suaranya.
"Keparat kau, Brajageni!" teriak Wisesa kalap. "Kau
atau aku yang harus mati!"
Setelah berkata demikian, laki-laki berikat kepala
hitam menerjang orang bercaping itu. Golok di
tangannya menusuk cepat ke arah dada.
Brajageni hanya mendengus. Buru-buru kakinya
melangkah ke kiri seraya mendoyongkan tubuh. Maka
serangan itu lewat sejengkal di sebelah kanan
pinggangnya. Pada saat itulah, keris di tangannya
dibabatkan ke arah perut lawan.
Wisesa terperanjat melihat bahaya maut yang
mengancamnya. Dengan semampu mungkin dia
berusaha mengelak. Tapi....
Crattt..!
Ujung keris itu menyerempet perut Wisesa.
Seketika itu juga kulit laki-laki berikat kepala hitam itu
sobek. Cairan berwarna merah kehitam-hitaman
segera merembes keluar. Ternyata, keris itu
mengandung racun!
"Uuuh...!"
Wisesa mengeluh. Kepalanya dirasakan pusing.
Pandangan matanya berkunang-kunang. Laki-laki
berikat kepala hitam ini sadar kalau racun itu telah
bekerja.
Perasaan pusing yang menyerangnya semakin
menjadi-jadi. Tubuh Wisesa mulai oleng, dan
kemudian jatuh di tanah. Dia menggelepar-gelepar
meregang nyawa.
"Ha ha ha...!" Brajageni tertawa terbahak-bahak.
Sebuah tawa bernada kemenangan. "Selamat tinggal
Wisesa...!"
Setelah berkata demikian, Brajageni lalu melesat
meninggalkan tempat itu. Ditinggalkannya Wisesa
yang tengah sekarat menanti datangnya maut
Brajageni yakin kalau laki-laki berikat kepala hitam itu
akan tewas. Dia yakin, racunnya tidak pernah gagal
mengambil nyawa orang. Sesaat kemudian, tubuh
laki-laki bercaping itu telah lenyap ditelan kegelapan
malam.
Wisesa tidak mempedulikan Brajageni lagi. Rasa
sakit yang mendera tubuhnya benar-benar menyiksa.
Bahkan ucapan terakhir laki-laki bercaping itu tidak
didengarnya lagi.
Laki-laki berikat kepala hitam ini hanya bisa
menyesali dirinya. Mengapa dia mau saja waktu
diajak bekerja sama untuk mendapatkan benda langit
itu? Tapi, Wisesa hanya mempunyai waktu menyesal
sebentar saja. Karena beberapa saat kemudian,
nyawanya segera pergi ke alam baka.
***
4
Brajageni meninggalkan Hutan Dadap dengan diliputi
perasaan gembira. Sungguh tidak disangka, kalau
semudah ini masalahnya akan beres. Kini tinggal satu
pekerjaan lagi yang harus diselesaikannya, maka dia
akan memiliki sebuah senjata pusaka yang ampuh.
Laki-laki bercaping ini terus berlari mengerahkan
seluruh kemampuan yang dimiliki. Dalam waktu
sebentar saja, Hutan Dadap telah jauh ditinggalkan-
nya.
Brajageni terus berlari disertai pengerahan ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya. Lesatannya
bagaikan bayangan setan yang berkelebat, menye-
lusup rapatnya pepohonan dan semak belukar.
Lesatannya baru diperlambat ketika terlihat sebuah
rumah berdinding bilik di kejauhan. Rumah itu letak-
nya terpencil, jauh dari rumah-rumah yang lainnya. Ke
sanalah laki-laki bercaping ini menuju.
Semakin lama jarak antara Brajageni dengan
rumah itu semakin dekat. Ketika jaraknya tinggal
sekitar dua tombak lagi, laki-laki bercaping ini
menghentikan larinya sama sekali. Kini Brajageni
melangkah perlahan mendekati pintu.
Tok, tok, tok..!
Kelihatannya perlahan saja Brajageni mengetuk-
kan tangannya. Tapi akibatnya, daun pintu itu
bergetar keras laksana dipukul palu godam yang
besar.
"Siapa?" terdengar suara teguran dari dalam,
diiringi langkah-langkah kaki mendekati pintu.
Brajageni sama sekali tidak menyahuti. Bahkan
caping bambunya semakin ditekankan ke bawah.
Maka, wajahnya jadi semakin tersembunyi.
Kriiit..!
Suara berderit tajam terdengar begitu daun pintu
itu terbuka. Tampaklah seorang kakek di balik pintu.
Kulitnya hitam legam, bertelanjang dada. Sepasang
matanya menatap tamu tak diundang ini penuh
selidik.
Belum sempat kakek berkulit hitam itu bertanya,
Brajageni telah mendorong daun pintu, lalu me-
langkah masuk. Langsung ditutupnya daun pintu
begitu berada di dalam.
"Kau yang bernama Empu Sawung?" tanya
Brajageni langsung pada pokok persoalan.
Kakek berkulit hitam mengerutkan alis. Sungguh
dia tidak senang mendapat perlakuan yang begitu
kasar dari tamu tak diundang ini. Apalagi orang ini
baru pertama kali dilihatnya. Untunglah hati kakek ini
sedikit sabar. Kalau tidak, pasti langsung dihajarnya
tamu tak diundang ini.
Brajageni jadi gusar melihat kakek berkulit hitam
itu sama sekali tidak menjawab pertanyaannya.
Dengan kasar, dicengkeramnya leher baju kakek itu.
Dan didekatkan wajah kakek itu ke wajahnya.
"Jawab pertanyaanku!" bentak Brajageni. Se-
pasang mata Brajageni menatap bengis, menusuk
langsung ke bola mata kakek yang bernama Empu
Sawung. Ada ancaman maut yang terkandung dalam
sinar matanya. Tapi kakek berkulit hitam tetap diam,
dengan sikap tetap tenang. Sepasang matanya malah
menatap lepas ke atap rumah.
"Keparat..!" maki Brajageni keras.
Laki-laki bertubuh tinggi kurus ini tidak bisa
menahan amarahnya lagi. Dengan kasar, didorongnya
tubuh kakek pemilik rumah itu.
Brakkk...!
Punggung kakek berkulit hitam itu membentur
keras dinding yang terbuat dari papan. Mulut kakek
itu menyeringai, menahan rasa sakit akibat benturan
itu. Perlahan-lahan tubuhnya merosot ke bawah.
Brajageni mencabut kerisnya, kemudian bergerak
menghampiri. Langkahnya lebar-lebar, sehingga
dalam beberapa tindak saja, telah berada di depan
kakek pemilik rumah. Perlahan-lahan Brajageni ber-
jongkok.
"Jangan buat kesabaranku habis!" ancam laki-laki
bertubuh tinggi kurus ini "Kaukah orang yang
bernama Empu Sawung?! Jawab...! Atau kau ingin
bisu selamanya?!"
Brajageni mendekatkan kerisnya ke wajah kakek
berkulit hitam itu, bersikap mengancam. Tapi, kakek
itu tetap membisu. Maka kesabaran Brajageni pun
habis.
"Kau pikir aku main-main, heh?!"
Setelah berkata demikian, perlahan-lahan keris di
tangan laki-laki tinggi kurus ini bergerak, siap hendak
memotong lidah kakek berkulit hitam yang tetap diam
membisu. Tapi, mendadak saja gerakannya terhenti.
Pendengarannya yang tajam menangkap adanya
langkah kaki mendekati ruangan ini. Arahnya dari
dalam rumah.
Menilik dari gerakannya, Brajageni tahu kalau
pemilik langkah itu sama sekali tidak memiliki ilmu
meringankan tubuh. Andaikata memiliki, tingkatannya
masih rendah sekali. Langkahnya pun terdengar
berat. Meskipun begitu, Brajageni tidak bersikap
ceroboh dan memandang rendah. Kepalanya
menoleh tatkala mendengar langkah kaki itu tiba-tiba
berhenti.
Di ambang pintu yang menuju ke dalam, tampak
berdiri seorang bocah perempuan berusia sekitar
sebelas tahun. Rambutnya panjang dan berkulit putih
bersih.
"Kakek...," panggil bocah perempuan itu.
Sesaat Brajageni tercenung. Jadi, bocah
perempuan itu adalah cucu kakek berkulit hitam ini?
Secercah senyum keji tersungging di bibir yang
tertutup kain hitam itu. Perlahan dia bangkit berdiri,
lalu berjalan menghampiri bocah perempuan itu.
Kakek berkulit hitam ini terkesiap begitu melihat
laki-laki bercaping melangkah menghampiri cucunya.
"Ayu! Lari...!" seru kakek berkulit hitam itu seraya
bergerak bangkit. Dan secepat tubuhnya berdiri,
secepat itu pula Brajageni diterkamnya.
Sementara itu gadis kecil itu hanya menatap tak
mengerti melihat kakeknya diancam. Malah saat
kakeknya menyuruh pergi, dia seperti tak mampu
pergi dari situ. Gadis itu kian gemetar melihat laki-laki
bercaping semakin mendekati. Lidahnya terasa kelu,
tak mampu mengucapkan kata-kata.
Namun laki-laki tinggi kurus itu hanya mendengus.
Dan sekali tangannya bergerak, tangan kanan kakek
berkulit hitam telah tercekal. Dan sekali Brajageni
bergerak mendorong, maka tubuh kakek berkulit
hitam itu langsung terhuyung menabrak dinding.
Tanpa mempedulikan keadaan kakek berkulit
hitam itu, Brajageni meneruskan maksudnya. Dengan
sekali mengulurkan tangan, tubuh bocah perempuan
bernama Ayu itu telah ditangkapnya.
"Lepaskan cucuku...!" teriak kakek berkulit hitam
keras seraya menggoyang-goyangkan kepala, akibat
rasa pusing yang diderita dari benturan tadi.
"Ha ha ha...!" Brajageni tertawa bergelak.
Dengan kasar, laki-laki tinggi kurus itu menjambak
rambut Ayu. Karuan saja gadis kecil itu menjerit
kesakitan. Tapi Brajageni malah tertawa terbahak-
bahak. Bahkan cengkeramannya semakin diperkuat.
Maka jerit kesakitan anak itu pun semakin nyaring
terdengar.
"Jahanam! Iblis terkutuk!" maki kakek berkulit
hitam dengan suara mengandung isak tangis. Pilu
hati kakek ini melihat cucunya disiksa tanpa dia
mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya.
"Lepaskan cucuku! Aku berjanji akan memenuhi apa
pun permintaanmu."
Kembali Brajageni tertawa bergelak.
"Kalau saja sejak tadi kau bersikap begitu, kau,
dan cucumu tidak perlu mengalami hal seperti ini."
Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi kurus ini
lalu melepaskan Ayu. Seketika itu juga, bocah
perempuan itu menghambur ke arah kakek berkulit
hitam yang segera mengembangkan kedua tangan-
nya.
"Kakek... Ayu takut..," keluh bocah perempuan itu
sambil memeluk kakeknya erat-erat. Wajahnya
disembunyikan di pelukan kakek berkulit hitam. Ayu
tak berani menoleh, takut melihat Brajageni.
"Tenanglah, Ayu," hibur kakek berkulit hitam
sambil mengusap-usap rambut gadis kecil itu penuh
kasih sayang.
"Jawab pertanyaanku, sebelum terlambat. Kaukah
orang yang bernama Empu Sawung?!" selak Brajageni
tidak sabar.
Kakek berkulit hitam itu menganggukkan kepala.
"Jawab...!" hardik Brajageni dengan suara meng
guntur. "Kau punya mulut, bukan?!"
Keras bukan kepalang bentakan itu. Kakek ber-
kulit hitam sendiri sampai terjingkat kaget. Apalagi
Ayu. Gadis kecil itu makin erat memeluk kakeknya.
Bahkan tubuhnya nampak menggigil.
"Benar. Aku Empu Sawung...," sahut kakek berkulit
hitam, pelan.
Brajageni mengambil buntalan yang tersampir di
punggungnya. Lalu dibuka dan dikeluarkan isinya.
"Kuminta, kau membuatkan aku sebuah keris.
Keris yang mempunyai bilah lurus."
Kakek berkulit hitam yang ternyata bernama Empu
Sawung itu memperhatikan benda mirip batu,
berwarna gelap itu. Perlahan-lahan tangan kanannya
diulurkan. Dirabanya benda langit yang berada di
tangan Brajageni itu. Untunglah, laki-laki tinggi kurus
itu telah membersihkan racun yang semula ditabur-
kan Wisesa di batu itu. Kalau tidak, Empu Sawung
mungkin sudah tidak bernyawa lagi.
"Bahan yang amat baik," ucap Empu Sawung jujur.
Tapi Brajageni sama sekali tidak menggubrisnya.
"Tiga hari lagi aku akan datang untuk mengambil
pesananku," kata laki-laki tinggi kurus itu dingin. "Dan
ini bayarannya."
Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi kurus ini
melemparkan buntalan kain kecil.
Cringgg,..!
Suara berdencing nyaring terdengar begitu
buntalan kain kecil itu menimpa lantai.
Eyang Sawung memandang buntalan kain itu
dengan sinar mata hampa. Kakek ini sama sekali
tidak berharap kalau laki-laki bercaping ini akan
membayar pesanannya. Yang ada di benaknya hanya
satu, Brajageni harus buru-buru angkat kaki dari
rumahnya.
"Ingat, Sawung!" ancam Brajageni sebelum
melangkah meninggalkan tempat itu. "Jangan coba-
coba mempermainkanku! Akibatnya akan sangat
mengerikan!"
Dan sebelum gema suaranya lenyap, tubuh
Brajageni sudah tidak berada di situ lagi. Empu
Sawung seketika bergidik, tidak berani main-main.
Kakek ini tahu, orang seperti Brajageni bukan ter-
masuk orang yang suka menggertak sambal saja.
Empu Sawung melihat sinar kekejaman di mata orang
bercaping itu.
***
Empu Sawung bekerja keras, bagai tidak pernah
merasa lelah. Kakek ini adalah seorang pandai besi
sejati. Tidak ada hal yang paling menggembirakan
hatinya, kecuali membuat sebuah senjata dari bahan
yang baik. Dan benda yang dibawa Brajageni adalah
sebuah bahan yang amat bagus. Dan itu diketahuinya
betul! Maka, kini Eyang Sawung mengerjakannya
penuh semangat.
Tanpa mengenal lelah, Eyang Sawung membakar
benda langit di tungkunya. Sampai warnanya agak
gelap berubah merah membara, kemudian menempa-
nya.
Suara berdentang nyaring dari benda logam yang
beradu selalu terdengar dari ruang kerja Eyang
Sawung. Kakek berkulit hitam ini bekerja penuh
ketekunan, berusaha keras untuk merampungkan
tugas tepat pada waktunya.
Tepat pada hari yang dijanjikan, keris itu selesai
dibuat. Sebuah keris yang mempunyai bilah lurus,
tidak berkeluk sama sekali. Kakek berkulit hitam itu
memandanginya penuh rasa puas.
Eyang Sawung menghela napas lega. Sebentar lagi
Brajageni tentu akan datang. Tapi kali ini Eyang
Sawung sama sekali tidak merasa khawatir. Ayu telah
kembali ke rumah orang tuanya, dan kini dirinya
kembali sendirian di rumah yang terpencil ini. Per-
lahan kakinya melangkah kembali ke ruang depan.
"Hhh...!"
Eyang Sawung menghela napas berat. Kemudian
menghempaskan tubuhnya di kursi. Sebentar mata-
nya dipejamkan, tak lama kemudian sudah tertidur.
Entah sudah berapa lama tertidur, Eyang Sawung
tidak mengetahuinya. Yang jelas, dia terbangun ketika
mendengar bentakan keras menggelegar.
"Bangun, Bandot Tua Pemalas...! Mana pesanan-
ku...?!"
Eyang Sawung kontan gelagapan begitu tahu-tahu
di depannya telah berdiri orang yang ditunggu-tunggu.
Siapa lagi kalau bukan laki-laki bertubuh tinggi kurus
dan bercaping bambu.
Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih,
Eyang Sawung menatap ke luar rumah. Ternyata di
luar gelap. Berarti hari sudah malam. Dalam se-
kejapan itu, otaknya bekerja keras. Dan teringatlah
kakek ini kalau setelah menyelesaikan pekerjaannya,
dia duduk di kursi dan memejamkan mata. Jadi, rupa-
nya dia tertidur.
"Keparat..!"
Amarah Brajageni meluap begitu melihat Eyang
Sawung tidak mengambilkan pesanannya, tapi malah
celingukan. Kakinya pun bergerak menendang.
Krakkk..!
Terdengar suara berderak keras ketika kaki salah
satu kursi patah terkena tendangan laki-laki tinggi
kurus itu. Tak pelak lagi, kursi itu pun oleng. Dan
karuan saja hal itu membuat Eyang Sawung semakin
gelagapan, kaget.
"Bandot tua...!" tanpa peduli kalau Eyang Sawung
belum sadar sepenuhnya, Brajageni mencekal leher
baju kakek itu dan mengangkatnya ke atas. "Jangan
main-main denganku! Bagaimana dengan pesanan-
ku?! Cepat sebelum kupuntir batang lehermu!"
"Ppp..., pe..., pesanan apa...?" tanya kakek berkulit
hitam terputus-putus. Dahinya berkernyit dalam
seperti tengah mengingat-ingat sesuatu.
Brajageni yang memang pemarah, tidak sabar lagi.
Tangannya langsung bergerak. Tapi sebelum
mengenai sasaran, Eyang Sawung telah keburu
teringat.
"Ah, ya...! Aku ingat sekarang...! Keris, kan?!"
Brajageni menurunkan tubuh kakek itu, seraya
melepaskan leher baju laki-laki tua itu.
"Ya! Bagaimana? Sudah selesai?!"
Eyang Sawung menganggukkan kepala, kemudian
beranjak ke dalam. Sebentar kemudian dia sudah
kembali lagi. Di tangan kakek berkulit hitam ini sudah
tergenggam sebilah keris.
"Ini keris pesananmu," kata Eyang Sawung sambil
mengangsurkan keris di tangannya. "Sebuah senjata
pusaka yang hebat."
Brajageni mengulurkan tangannya. Diambilnya
keris yang diangsurkan kakek berkulit hitam itu, lalu
perlahan-lahan dihunusnya. Tampak sebuah keris
yang bilahnya berwarna hitam pekat.
Laki-laki tinggi kurus ini mendekatkan keris itu ke
kulitnya. Dahinya berkernyit ketika tidak merasakan
akibat apa-apa. Sementara, Eyang Sawung yang
melihat adanya kernyit di dahi Brajageni jadi
berdebar-debar hatinya.
"Jangan coba-coba menipuku, Sawung!" ancam
Brajageni. Keras, dan kasar suaranya. Sepasang
matanya menatap penuh ancaman pada kakek
berkulit hitam itu.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kisanak," jawab
Eyang Sawung jujur.
"Keris ini tidak terbuat dari benda pesananku!"
Merah padam selebar wajah Eyang Sawung
mendengar tuduhan itu. Betapa tidak? Sebab,
setengah mati membuat keris itu, malah dituduh
menipu!
"Jaga mulutmu, Kisanak! Seumur hidup, belum
pernah aku menipu orang lain! Keris itu kubuat
berdasarkan benda yang kau berikan padaku!"
Brajageni menatap wajah Eyang Sawung tajam-
tajam, mencoba mencari kebenaran di wajah itu. Dan
laki-laki tinggi kurus ini menghela napas berat tatkala
menangkap adanya kesungguhan di sana. Jelas kalau
kakek berwajah hitam itu tidak berbohong.
Beberapa saat lamanya Brajageni termenung. Dahi
laki-laki tinggi kurus ini berkernyit, pertanda ada
sesuatu yang dipikirkannya. Sesaat kemudian, kerut-
kerut di dahinya lenyap. Dengan agak terburu-buru
keris miliknya yang tergantung di bawah punggung
dicabut dengan tangan kiri.
Sekarang di tangan Brajageni terdapat dua bilah
keris. Keris yang terbuat dari benda langit berada di
tangan kanan. Sementara keris miliknya berada di
tangan kiri. Laki-laki tinggi kurus ini menatap kedua
keris itu berganti-ganti, dengan senyum tersungging.
Kemudian perhatiannya dipusatkan pada kedua
tangan. Setelah mengambil napas dalam-dalam,
tenaga dalam di bawah pusarnya disalurkan ke arah
kedua tangan. Sekejap kemudian sebuah aliran
tenaga dalam mengalir ke kedua tangannya.
"Hih...!"
Brajageni menggertakkan gigi, lalu keris yang
berada di kedua tangannya diadu.
Tranggg...!
Bunga api seketika memercik ke udara begitu
kedua keris itu berbenturan. Eyang Sawung yang
semula tidak mengerti maksud orang bercaping itu
memegang dua buah keris, kini paham. Rupanya,
Brajageni ingin mencoba keampuhan keris pesanan-
nya.
Sepasang mata Brajageni terpelalak lebar. Tampak
keris yang berada di tangan kirinya punggal. Padahal,
keris miliknya itu bukan keris sembarangan,
melainkan sebuah keris pusaka yang ampuh. Tak
diragukan lagi kalau keris yang berada di tangan
kanannya itu terbuat dari benda langit!
"Bagaimana, Kisanak?!" tanya Eyang Sawung. Ada
nada kemenangan dalam suaranya. Sekali lihat saja,
kakek berkulit hitam itu tahu kalau keris yang punggal
itu bukan keris sembarangan.
Sedangkan Brajageni sama sekali tidak menyahuti
ucapan kakek itu. Benaknya tengah dipenuhi
pertanyaan yang tidak mampu dijawab. Semua itu
berpangkal dari keris yang terbuat dari benda langit
ini.
Laki-laki tinggi kurus ini tidak bisa menyangkal lagi.
Jelas sudah kalau keris itu terbuat dari benda langit.
Dan itu berarti Eyang Sawung tidak menipunya. Kakek
pandai besi itu telah melakukan pekerjaannya
dengan baik.
"Kau benar, Sawung," kata Brajageni pelan. Datar
dan dingin suaranya. "Keris ini memang terbuat dari
benda pesananku. Kau tahu, dari mana benda ini
berasal?"
Eyang Sawung menggelengkan kepala.
"Selama hidupku, belum pernah kutemukan benda
seperti itu. Sebuah benda yang terbuat dari campuran
logam-logam. Beberapa di antaranya sama sekali
tidak kukenal. Entah, dari mana kau mendapat-
kannya.... Ataukah... benda itu tidak berasal dari
bumi?"
"Tepat. Benda itu jatuh dari langit. Jadi, namanya
benda langit! Benda yang diperebutkan orang-orang
rimba persilatan!" sahut Brajageni pelan tapi tajam.
"Ahhh...!" Eyang Sawung terperanjat.
"Kau tahu, Sawung. Apa yang terjadi jika mereka
tahu, kalau keris yang terbuat dari benda langit ini
ada di tanganku?" sambung Brajageni.
Meskipun Brajageni baru berbicara sampai di sini,
namun Eyang Sawung sudah menduga kelanjutan
ucapan laki-laki tinggi kurus itu. Kontan hati kakek ini
berdebar tegang. Sudah bisa dirasakan, ada bahaya
maut yang mengancamnya. Tapi, kakek berkulit hitam
tetap bersikap tenang. Sejak pertama kali bertemu
dan melihat sikap Brajageni. Eyang Sawung memang
sudah bersiap untuk menerima kematian.
Brajageni rupanya memang tidak membutuhkan
jawaban Eyang Sawung. Terbukti begitu kakek
berkulit hitam itu sama sekali tidak menanggapi
pertanyaannya, dia sama sekali tidak peduli.
"Mereka semua akan memburuku untuk men-
dapatkan keris ini!" tandas Brajageni tajam. "Bila itu
terjadi, ada dua buah pilihan. Aku atau mereka yang
mati!"
Kembali Brajageni menghentikan ucapannya.
Ditatapnya wajah Eyang Sawung dengan sinar mata
mengandung ancaman.
"Aku tidak mau hal itu terjadi. Maka sedapat
mungkin akan kuusahakan untuk mencegah ter-
sebarnya berita ini! Tapi sayang, ternyata sudah ada
orang yang mengetahuinya! Maka sebelum orang itu
menyebarluaskan, harus lebih dulu dibungkam
mulutnya! Kau tahu siapa orang itu, Sawung?!"
Eyang Sawung tersenyum getir. Perlahan kepala-
nya terangguk.
"Aku," kata kakek berkulit hitam itu, tenang.
"Tepat!" Brajageni tertawa bergelak. "Kau harus
mati, Sawung!"
"Telah kuduga sebelumnya, Kisanak!" sahut Eyang
Sawung mantap. Tak ada nada kegentaran dalam
suaranya.
"Ha ha ha...!" Brajageni tertawa bergelak. Men-
dadak sekali tawa itu. Dan secara tiba-tiba pula,
suara tawa itu terhenti. "Kau menjadi orang pertama
yang akan mencicipi kehebatan keris ini, Sawung!"
Setelah berkata demikian, Brajageni melompat
menerjang kakek pandai besi itu. Keris di tangannya
meluncur deras ke arah dada, menimbulkan suara
bersiutan nyaring.
Sebenarnya Eyang Sawung memiliki ilmu silat.
Tapi, kepandaian yang dimiliki hanya sekadarnya
saja. Tenaga dalam yang dimilikinya pun hanya
sedikit saja. Kakek pandai besi ini hanya memiliki
tenaga luar yang besar. Dan itu tidak aneh, mengingat
pekerjaan kakek berkulit hitam itu adalah pandai
besi.
Sialnya, lawan yang menyerangnya adalah
Brajageni. Seorang tokoh sesat yang memiliki
kepandaian tinggi. Eyang Sawung berusaha
semampunya untuk mengelak. Tapi....
Cappp...!
Telak dan keras sekali keris itu menghunjam dada
Eyang Sawung, sampai hampir ke gagangnya.
Seketika Brajageni melepaskan pegangan pada keris.
Sepasang mata kakek pandai besi ini terbelalak.
Tubuhnya seketika ambruk ke tanah. Dia meng-
gelepar, sesaat kemudian diam tidak bergerak lagi.
Bukan hanya Eyang Sawung yang membelalakkan
sepasang matanya. Brajageni pun demikian juga.
Sepasang matanya terbelalak karena melihat
kejadian aneh yang terpampang di depannya.
Begitu keris itu menancap di dada Eyang Sawung,
sama sekali tidak ada darah yang keluar dari luka
yang robek itu. Jangankan mengalir, menetes pun
tidak! Saking terkejutnya, Brajageni tidak buru-buru
menarik kembali keris itu. Jadi untuk beberapa saat
lamanya, keris itu terhunjam di dada kakek pandai
besi itu.
Kembali kejadian yang aneh terjadi. Entah dari
bagian dada yang tertembus, atau dari bilah keris
yang masih terhunjam, yang jelas dari situ keluar
asap. Semula sedikit dan tipis saja, tapi lama-
kelamaan semakin banyak dan tebal.
Melihat peristiwa yang sama sekali tidak diduga
ini, tentu saja Brajageni terpukau. Tapi, hanya sesaat
saja. Sekejap kemudian, dia sudah bisa bersikap
biasa kembali. Dengan dahi berkernyit, diperhati-
kannya asap yang semakin menebal itu.
Tak lama kemudian, asap itu mulai menipis dan
semakin sedikit. Sampai akhirnya, asap itu lenyap
sama sekali. Dan begitu asap itu sirna, untuk yang
kesekian kalinya sepasang mata Brajageni terbelalak.
Betapa tidak? Tubuh Eyang Sawung yang ter
hunjam keris kini telah berubah kurus dan pucat.
Tidak ada tanda-tanda darah yang keluar dari tubuh
kakek pandai besi itu.
Brajageni memang seorang tokoh hitam yang
kejam. Tidak ada kata ampun bagi orang yang
berurusan dengannya. Sudah biasa baginya mem-
bunuh banyak orang sambil tertawa. Menyiksanya
pun sudah merupakan kegemaran. Tapi melihat
peristiwa kali ini, tak terasa bulu kuduknya merinding.
Perasaan ngeri pun mencekam hatinya.
Masih dengan perasaan ngeri, kerisnya dicabut
Beberapa saat lamanya, Brajageni menatap mayat
itu. Kemudian, dia melesat cepat keluar rumah itu,
menembus gelap dan heningnya malam.
***
5
Brajageni berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya. Kenyataan yang
dihadapi benar-benar membingungkan hatinya.
Melihat keampuhannya, tak dipungkiri lagi kalau keris
itu benar terbuat dari benda langit. Tapi, kenapa tidak
menunjukkan pengaruh lain seperti yang selama ini
diketahuinya. Hal ini benar-benar membuatnya tidak
mengerti.
Belum begitu jauh berlari, laki-laki bertubuh tinggi
kurus ini terpaksa memperlambat langkahnya. Sekitar
beberapa tombak di depan nampak berdiri sesosok
tubuh. Menilik dari sikapnya, dapat diketahui kalau
orang itu sengaja menghadang perjalanannya.
Brajageni menghentikan langkahnya ketika telah
berjarak tiga tombak dari sosok yang menghadang
perjalanannya. Dalam keremangan cahaya bulan di
langit, dapat terlihat jelas sosok penghadang jalan-
nya.
Sosok itu ternyata seorang laki-laki bertubuh
pendek kekar. Pakaian tanpa lengan membungkus
tubuhnya yang bulat. Usianya tak lebih dari tiga puluh
lima tahun. Sebuah cambuk berwarna hitam seperti
warna pakaiannya, tampak tergenggam di tangan.
"Cambuk Halilintar...," desis Brajageni. Perlahan
saja suaranya. Tapi karena suasana malam yang
hening, ucapan itu terdengar nyaring.
Berbeda dengan Brajageni, laki-laki pendek kekar
yang berjuluk Cambuk Halilintar itu sama sekali tidak
mengenal laki-laki tinggi kurus ini.
"Kalau ingin selamat, serahkan keris itu padaku,
Kisanak," ancam Cambuk Halilintar. Menilik dari sikap
dan nada suaranya, Cambuk Halilintar yakin sekali
kalau dirinya akan mengalahkan Brajageni.
"Hmh...!"
Brajageni mendengus. Meskipun telah mengenal
penghadangnya, dia sama sekali tidak merasa gentar.
Orang yang berjuluk Cambuk Halilintar ini memang
terkenal sebagai tokoh sesat yang memiliki kesaktian
cukup tinggi.
"Apa maksudmu, Cambuk Halilintar? Aku sama
sekali tidak mengerti," sahut Brajageni berpura-pura.
"Kau ingin menyerahkannya baik-baik, atau..., ingin
aku merampasnya dengan kekerasan?!" ancam
Cambuk Halilintar. Sama sekali tidak dipedulikan
jawaban Brajageni tadi. "Perlu kau tahu, Kisanak. Aku
telah mengetahui semuanya sejak kau ribut-ribut
dengan Eyang Sawung. Itulah sebabnya, aku
mencegat di sini. Karena aku tahu kau akan melalui
jalan ini"
Mendengar ucapan ini Brajageni sadar kalau tidak
ada gunanya lagi berpura-pura. Yang harus dilaku-
kannya adalah membungkam mulut Cambuk
Halilintar selama-lamanya. Kalau tidak, kemungkinan
besar berita mengenai keris yang berasal dari benda
langit ini akan tersebar luas. Dan yang pasti, akan
banyak tokoh persilatan yang datang untuk mem-
perebutkannya.
Maka jika hal itu terjadi, Brajageni yakin kalau
dirinya tidak akan sanggup mempertahankannya.
Tanpa ragu-ragu lagi, Brajageni segera mencabut
keris yang berasal dari benda langit itu. Dan secepat
keris itu tercabut, secepat itu pula ditusukkan ke arah
dada Cambuk Halilintar.
Singgg...!
Suara berdesing Nyaring mengiringi tibanya
serangan itu. Cambuk Halilintar seketika terperanjat.
Sungguh tidak disangka kalau serangan lawan begitu
dahsyat. Dan ini benar-benar di luar dugaan. Maka,
laki-laki bertubuh pendek kekar ini langsung bersikap
waspada, karena baru merasakan kedahsyatan
serangan lawan. Dengan agak gugup dan terburu-
buru dia mengelak, melempar tubuh ke belakang lalu
bersalto beberapa kali di udara.
Tapi Brajageni sama sekali tidak memberinya
kesempatan. Begitu lawannya melempar tubuh ke
belakang, segera dikejarnya. Keris di tangannya
ditusukkan bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh
Cambuk Halilintar yang mematikan. Dan begitu kedua
kaki Cambuk Halilintar mendarat di tanah, serangan
Brajageni telah mengancamnya.
Meskipun begitu, Cambuk Halilintar mampu juga
membuktikan kelihaiannya. Sebelum serangan keris
itu tiba, cambuk di tangannya telah lebih dulu ber-
gerak.
Darrr...!
Ledakan keras terdengar, begitu laki-laki pendek
kekar ini melecutkan cambuknya. Dan seiring ledakan
itu, ujung cambuk itu meluncur cepat ke arah ubun-
ubun Brajageni.
Hebat dan berbahaya bukan main serangan
cambuk ini. Jangankan ubun-ubun yang merupakan
jalan darah kematian manusia. Bahkan batu karang
yang paling keras pun akan hancur bila terkena
lecutan ini.
Brajageni tentu saja mengenal serangan ber-
bahaya ini. Maka segera serangannya diurungkan.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan laki-laki tinggi
kurus ini. Sambil membatalkan serangan, Brajageni
melempar tubuhnya ke samping, lalu bergulingan di
tanah.
Cambuk Halilintar yang kini telah mengetahui
kalau lawan di hadapannya bukan tokoh
sembarangan, tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan
seluruh ilmu yang dimiliki. Sadar akan kelebihan
jangkauan senjatanya, maka begitu lawan men-
jauhkan diri, dia segera memburu. Cambuk di
tangannya meledak-ledak di udara mencari sasaran.
Sesaat kemudian, terjadilah pertarungan sengit
antara kedua orang itu.
Di jurus-jurus awal, pertarungan berlangsung
menarik dan seru. Masing-masing pihak mengerah-
kan seluruh kemampuan yang dimiliki. Suara men-
desing nyaring dari keris Brajageni, dan suara
ledakan cambuk dari Cambuk Halilintar menyemaraki
pertarungan.
Begitu pertarungan menginjak jurus ketiga puluh,
mulai tampak keunggulan Brajageni. Kalau dibanding-
kan, laki-laki tinggi kurus ini memang masih lebih
unggul daripada Cambuk Halilintar. Baik dalam hal
ilmu meringankan tubuh, maupun ilmu tenaga dalam.
Hanya saja karena Cambuk Halilintar meng-
gunakan cambuk, keunggulan Brajageni dalam hal
tenaga dapat tertandingi. Benturan antara cambuk
dengan keris, sukar terjadi seperti beradunya keris
dan pedang.
Itulah yang menyebabkan sampai sekian lama,
Brajageni belum mampu mendesak lawannya. Dan
hal ini tentu saja membuat laki-laki tinggi kurus itu
merasa penasaran bukan main. Sebagai akibatnya,
serangan-serangannya pun jadi semakin dahsyat.
Satu hal lagi yang menyulitkan Brajageni men
desak Cambuk Halilintar adalah jangkauan senjata
lawan yang jauh lebih panjang ketimbang senjatanya.
Tambahan lagi, Cambuk Halilintar ternyata tahu
kelebihannya dalam hal jangkauan serangan. Maka
laki-laki pendek kekar itu selalu mengajak bertanding
jarak jauh.
Brajageni tentu saja tidak mau bertindak bodoh.
Sedapat mungkin diusahakan agar pertarungan dapat
terjadi dalam jarak dekat. Maka yang terjadi adalah
pertarungan yang kurang menarik. Di satu pihak,
Brajageni berusaha keras mengajak lawan bertarung
jarak dekat dan di lain pihak, Cambuk Halilintar
berusaha keras agar pertarungan dapat berlangsung
jarak jauh.
Itulah sebabnya, mengapa laki-laki bertubuh
pendek kekar ini selalu melompat ke belakang untuk
menjaga jarak setiap kali lawan mendesak. Tak lupa,
dikirimkannya serangan lecutan-lecutan cambuk,
untuk menahan desakan Brajageni.
Hasilnya, begitu memasuki jurus kelima puluh,
pertarungan berlangsung tidak menarik. Mereka
berdua seperti tidak bertarung, tapi bermain kejar-
kejaran.
Brajageni di pihak pengejar, sedangkan Cambuk
Halilintar pihak yang diburu.
Karena Cambuk Halilintar bertarung sambil
mundur, maka sedikit demi sedikit pertarungan
berpindah tempat. Sehingga tanpa disadari, begitu
pertarungan menginjak jurus ketujuh puluh, per-
tarungan sudah bergeser jauh dari tempat semula.
Brajageni menggertakkan gigi. Perasaan cemas
mulai menggayut di dadanya. Dia khawatir kalau
pertarungan ini akan menarik perhatian orang. Masih
untung kalau bukan tokoh persilatan. Tapi kalau
tidak? Celakalah dirinya! Cambuk Halilintar harus
cepat dibereskan sebelum yang dikhawatirkan terjadi.
"Hih...!"
Brajageni mengibaskan tangan kirinya. Seketika itu
pula terdengar suara berdesir pelan. Dan dalam
keremangan sinar rembulan, tampak benda-benda
kecil berwarna hitam melesat cepat ke arah Cambuk
Halilintar.
Laki-laki bertubuh pendek kekar ini terperanjat.
Meskipun hanya samar-samar, tapi bisa diduga kalau
benda yang menuju ke arahnya pasti jarum yang
mengandung racun ganas!
Cambuk Halilintar tidak berani bertindak ceroboh.
Cepat bagai kilat tubuhnya dilempar ke belakang dan
bersalto beberapa kali di udara. Maka jarum-jarum itu
hanya mengenai tempat kosong.
Tapi hal itu sudah diperhitungkan Brajageni. Maka
begitu lawannya meloloskan diri, tangannya kembali
mengibas. Lagi-lagi terdengar suara berdesir halus
ketika jarum-jarum beracunnya meluncur cepat
menuju sasaran. Tidak hanya itu saja yang dilakukan
laki-laki bertubuh tinggi kurus itu. Dia juga langsung
melompat menyusul, melakukan serangan dengan
kerisnya.
Cambuk Halilintar terkejut bukan kepalang.
Serangan kali ini ternyata jauh lebih berbahaya
daripada sebelumnya. Karena di samping serangan
itu tiba di saat tubuhnya tengah berada di udara,
serangan lain pun datang menyusul.
"Hup!"
Begitu laki-laki bertubuh pendek kekar ini
mendaratkan kedua kakinya di tanah, serangan
jarum-jarum beracun itu telah menyambar dekat.
Maka sebisa-bisanya cambuknya digerakkan.
Darrr, darrr...!
Hebat bukan main permainan cambuk laki-laki
bertubuh pendek kekar ini. Meskipun dalam keadaan
yang sangat sulit, masih mampu membuktikan kalau
julukan Cambuk Halilintar yang disandangnya bukan
sekadar julukan kosong. Nyatanya semua jarum
beracun itu tersampok runtuh.
Tapi sebelum Cambuk Halilintar sempat berbuat
sesuatu, serangan susulan dari Brajageni telah
menyambar tiba. Keris di tangan laki-laki bertubuh
tinggi kurus itu meluncur cepat ke arah perutnya.
Cappp...!
"Aaakh...!" Cambuk Halilintar menjerit keras.
Keris itu menghunjam sampai ke gagang. Dan
kejadian seperti sebelumnya pun kembali terulang.
Asap yang mula-mula tipis dan sedikit, kemudian
menebal dan banyak. Sampai akhirnya, asap itu sirna
dan muncul kembali. Dan begitu asap itu benar-benar
lenyap, tubuh Cambuk Halilintar yang telah menjadi
kurus kering karena kehabisan darah, ambruk ke
tanah dengan nyawa melayang.
Brajageni terpaku. Kini baru disadari kalau
kejadian yang menimpa Empu Sawung akibat keris
yang terbuat dari benda langit itu. Hanya yang
menjadi tanda tanya, ke mana perginya darah Empu
Sawung dan Cambuk Halilintar?
Dengan benak masih dipenuhi tanda tanya,
Brajageni memasukkan keris itu ke sarungnya. Tapi,
gerakannya terhenti di udara. Dia merasa seperti ada
hawa yang cukup dingin menghembus kulitnya,
berasal dari bilah keris itu.
Dahi Brajageni seketika berkernyit. Tadi pun,
sehabis membunuh Empu Sawung, ada hawa cukup
dingin yang menghembus kulitnya begitu keris itu
akan dimasukkan ke sarungnya.
Tapi Brajageni buru-buru mengusir pikiran yang
menggelayuti benaknya. Dia khawatir, kalau berlama-
lama di sini, bukan tidak mungkin akan ada tokoh
persilatan lain yang datang kemari. Masih untung
kalau menang. Kalau kalah?
Itulah sebabnya, meskipun dengan benak yang
masih dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang
bergolak, laki-laki tinggi kurus ini bergerak cepat
meninggalkan tempat itu.
***
Entah sudah berapa lama dan berapa jauh berlari,
Brajageni tidak mempedulikannya. Yang diketahui
cuma satu. Dirinya telah berada di dalam Hutan
Dadap, menembus tempat yang jarang didatangi
orang.
Brajageni terus berlari, meskipun malam telah
mulai berlalu. Dini hari telah mulai datang. Ayam
jantan mulai berkokok bersahut-sahutan. Sebentar
lagi, matahari akan menerangi mayapada.
Laki-laki bertubuh tinggi kurus itu baru mem-
perlambat larinya, tatkala pandangan matanya
tertumbuk pada sebatang pohon beringin yang tinggi,
dikelilingi pepohonan dan semak-semak lebat.
Brajageni menghentikan langkah ketika jaraknya
dengan pohon beringin itu tinggal dua tombak lagi.
Pohon itu besar sekali, berukuran lebih dari empat
pelukan tangan orang dewasa. Ada satu keanehan
pada pohon itu. Di bagian bawah batangnya terdapat
sebuah lubang berbentuk setengah lingkaran. Dan
tanpa ragu-ragu, Brajageni melangkah meng-
hampirinya.
Baru juga melangkah beberapa tindak, dari dalam
pohon itu melesat sesosok bayangan yang langsung
melancarkan serangan bertubi-tubi ke dada, ulu hati,
dan pusar Brajageni.
Brajageni terkejut bukan main. Apalagi begitu
merasakan hembusan angin kuat yang menyambar
sebelum serangan tiba. Karena mengelak sudah tidak
memungkinkan lagi, maka diputuskan untuk
menangkisnya. Tahu akan kedahsyatan serangan itu,
laki-laki tinggi kurus ini mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya untuk menangkis.
Plak, plak, plak...!
Benturan keras terdengar berkali-kali begitu
sepasang tangan yang sama-sama mengandung
tenaga dalam penuh beradu. Akibatnya, tubuh
Brajageni terjengkang ke belakang. Kedua tangannya
dirasakan seperti patah-patah. Bahkan dadanya pun
terasa sesak bukan main.
Terdengar suara berdebuk keras ketika tubuh
Brajageni terjatuh di tanah. Dari seringai yang
nampak di wajahnya, dapat diketahui kalau dia
merasa kesakitan.
Dengan pandangan mata nanar, Brajageni
menatap penyerangnya. Dalam keremangan malam
yang telah berganti dini hari, samar-samar dapat
terlihat wajah dan potongan tubuh sosok yang
ternyata seorang kakek bertubuh sedang mengena-
kan pakaian serba merah. Kumis dan jenggotnya
nampak hitam. Tapi anehnya, kulit wajahnya putih
sekali, seperti kapur.
"Hm…!"
Kakek bermuka putih itu mendengus. Kedua
tangannya dengan jari-jari terbuka, nampak bersilang
di depan dada. Lalu perlahan-lahan jari-jari tangannya
mengepal, menimbulkan suara berkerotokan keras.
Wajah Brajageni pucat pasi begitu melihat gerakan
kakek bermuka putih.
"Guru...! Tahan...!" teriak laki-laki bertubuh tinggi
kurus, keras. Nada suaranya terdengar agak bergetar,
karena dilanda perasaan tegang dan takut yang
menggelegak.
Seketika itu juga jari-jari tangan kakek bermuka
putih yang semula sudah mengepal keras,
mengendur mendadak.
"Apa katamu?!" seru kakek bermuka putih. Wajah
dan suaranya menyiratkan perasaan kaget yang amat
sangat. "Siapa kau sebenarnya?!"
"Aku Brajageni, Guru," sahut laki-laki bertubuh
tinggi kurus cepat "Lupakah Guru padaku?"
"Brajageni?!"
"Benar, Guru," Brajageni menganggukkan kepala.
"Begitu berubahkah wajahku sehingga Guru sampai
tidak mengenalku lagi. Dan bahkan hampir saja
membunuhku."
"Kunyuk!" umpat kakek bermuka kurus itu.
"Bagaimana aku bisa mengenalmu, kalau wajahmu
disembunyikan seperti itu?!"
Brajageni tersentak. Betapa bodohnya dia! Pantas
saja gurunya sama sekali tidak mengenali. Ternyata
caping dan kain yang menutup wajahnya belum
ditanggalkan. Maka buru-buru penyamarannya di-
tanggalkan.
"Kau mengagetkan aku saja, Brajageni," desah
kakek muka putih itu setelah menyaksikan sendiri
kalau orang bercaping itu benar muridnya. "Semula
aku merasa heran melihat racunku sama sekali tidak
bekerja. Tapi kini, semuanya telah menjadi jelas."
Brajageni hanya bisa tersenyum. Gurunya ini
memang berwatak telengas. Dalam setiap serangan,
racunnya tak pernah ketinggalan. Dan lagi, racun-
racunnya pasti memiliki akibat yang menggiriskan.
Hal itu sebenarnya tidak aneh. Karena, kakek
bermuka putih itu berjuluk Raja Racun Muka Putih!
"Jelaskan, mengapa kau sampai melakukan
penyamaran seperti ini, Brajageni?" pinta kakek
bermuka putih, pelan. Ada tuntutan yang besar dalam
nada suaranya.
"Terpaksa, Guru. Aku kini membawa keris yang
terbuat dari benda langit. Kalau wajahku kutampil-
kan, maka seluruh tokoh persilatan pasti akan
mengejarku. Dan tentu aku bisa celaka, Guru."
Kemarahan yang melanda hati Raja Racun Muka
Putih langsung sirna, berganti perasaan kaget yang
bergelora. Kepalanya menoleh ke sana kemari
sebentar.
"Masuk...," ujar Raja Racun Muka Putih seraya
melangkah memasuki lubang yang terdapat di batang
pohon.
Dengan agak bergegas, Brajageni melangkah di
belakang gurunya. Laki-laki bertubuh tinggi kurus ini
tahu, di dalam pohon besar inilah tempat tinggal Raja
Racun Muka Putih. Sebuah tempat yang agak sulit
untuk diketahui orang lain. Siapa yang menyangka
kalau sebenarnya bagian dalam pohon itu tak
ubahnya bagian dalam rumah pada umumnya?
***
"Mana keris yang kau katakan itu, Brajageni?"
tagih Raja Racun Muka Putih tatkala mereka berdua
telah duduk di dalam.
Brajageni segera mengambil keris yang terselip di
belakang tubuhnya, lalu menyerahkan pada gurunya.
Kakek bermuka putih mengulurkan tangan
menerima. Diawasinya sejenak benda itu, sebelum
akhirnya dihunus perlahan-lahan. Sepasang matanya
merayapi sekujur bilah keris yang terbuat dari benda
langit, kemudian memasukkannya kembali lambat-
lambat.
"Ceritakan dengan jelas, bagaimana kau bisa
mendapatkan benda langit itu. Karena sepenge-
tahuanku, hanya Dewa Arak dan kawan wanitanya
saja yang berhasil keluar dari Hutan Bandan dalam
keadaan hidup. Dan sepatutnya, dialah yang men-
dapatkan benda itu. Tapi ternyata tidak. Benda langit
itu lenyap, seiring lenyapnya peristiwa yang meng-
gegerkan hutan itu." (Untuk lebih jelasnya silakan
baca serial Dewa Arak dalam episode "Prahara Hutan
Bandan").
"Semua ucapanmu betul, Guru," sahut Brajageni
membenarkan. "Tapi ternyata ada tokoh yang kita
lupakan. Eyang Aji Ranta, namanya. Dan ternyata
Dewa Arak menyerahkan benda langit itu kepadanya."
"Hm...," Raja Racun Muka Putih hanya meng-
gumam pelan.
"Itu pun kuketahui setelah beberapa waktu
lamanya, Guru," sambung Brajageni. "Dan begitu
kucari, kakek itu ternyata telah tidak berada lagi di
situ. Eyang Aji Ranta telah pindah ke Hutan Dadap.
Maka segera kususun rencana untuk mendapatkan
benda itu. Karena aku merasa bila menghadapi
secara terang-terangan tidak mungkin menang.
Terpaksa dia kulawan dengan siasatku."
Brajageni menghentikan ceritanya sejenak, untuk
mengambil napas.
"Waktu itu, kuperintahkan seorang kepala rampok
yang pernah kutolong dari tangan maut seorang
pendekar untuk melaksanakan rencanaku. Seorang
anak buahnya yang kuberi pakaian prajurit kulukai
dengan racun ganas, dan kubuang di dekat Desa
Pucung. Semuanya berjalan lancar sesuai rencana.
Dia ditemukan penduduk desa, dan segera dibawa ke
rumah Ki Waskita, dukun ampuh desa itu." Kembali
Brajageni menghentikan ceritanya untuk mengambil
napas seraya mencari kata-kata yang tepat untuk
melanjutkan ceritanya.
"Dan seperti yang sudah kuduga, Ki Waskita tidak
mampu menyembuhkan luka itu. Atas desakan orang
yang kuracun, Ki Waskita kemudian menyuruh dua
orang penduduk untuk meminta bantuan Eyang Aji
Ranta. Kakek itu memang dikenal sebagai orang yang
ahli mengobati penyakit akibat racun," lanjut laki-laki
bertubuh tinggi kurus itu. "Tak lama setelah utusan itu
pergi, orang yang kulukai sembuh. Karena, dia
kubekali obat penawar racunnya."
Raja Racun Muka Putih mengangguk-anggukkan
kepala.
"Dan begitu Eyang Aji Ranta telah pergi untuk
mengobati, rombongan perampok mengambil benda
langit itu. Usaha mereka berhasil, lalu benda langit itu
diserahkan padaku. Dan setelah itu, mereka semua
kukirim ke akhirat"
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba tawa Raja Racun Muka Putih meledak.
Tampak jelas kalau hatinya gembira bukan main
mendengar ucapan muridnya. Memang kakek ini
memiliki sifat mengerikan. Gembira sekali jika men-
dengar penderitaan orang lain.
"Hm.... Lalu?" tanya kakek muka putih itu penuh
gairah.
Brajageni lalu menceritakan semua kejadiannya.
"Begitulah, Guru," ujar Brajageni menutup cerita-
nya. "Aku ingin menanyakan kepada Guru tentang hal-
hal aneh pada keris ini."
Raja Racun Muka Putih tercenung sejenak.
Dahinya berkernyit, seperti tengah berpikir keras.
Brajageni tidak berani mengganggu. Dibiarkannya
saja kakek muka putih itu berbuat demikian. Hanya
sepasang matanya saja yang menatap tajam setiap
gerak-gerik yang dilakukan Raja Racun Muka Putih.
Setelah beberapa saat lamanya tercenung, Raja
Racun Muka Putih menghunus kembali keris itu.
Diperhatikannya baik-baik bilah keris yang berwarna
hitam kelam itu.
"Aku akan memeriksanya dulu, Brajageni. Mungkin
membutuhkan waktu beberapa hari. Dan selama itu,
aku tidak mau diganggu. Kau mengerti?!"
"Mengerti, Guru," sahut Brajageni seraya meng-
anggukkan kepala. "Aku pergi dulu."
***
6
"Hhh...!"
Seorang pemuda berwajah tampan menghapus
keringat yang membasahi wajahnya dengan pung-
gung tangan. Kepalanya mendongak ke atas,
menatap ke arah matahari yang berada di atas
kepala. Sinarnya memancar dengan garang ke bumi.
Pemuda itu berusia sekitar dua puluh satu tahun.
Tubuhnya tegap berisi, terbungkus pakaian berwarna
ungu. Sebuah guci arak terbuat dari perak tersampir
di punggungnya.
Ada satu hal yang aneh pada diri pemuda ber-
pakaian ungu ini. Rambutnya ternyata tidak berwarna
hitam seperti layaknya yang terdapat pada pemuda
umumnya, tapi berwarna putih. Rambutnya benar-
benar seperti orang yang telah berusia tua, hanya
saja warnanya lebih indah. Putih keperakan!
Langkah pemuda berambut putih keperakan ini
berhenti ketika sepasang matanya tertumbuk pada
sesosok tubuh hitam yang tergolek di tengah jalan.
Bergegas, dihampirinya sosok yang tergolek itu.
Sesaat kemudian, pemuda berambut putih
keperakan ini telah berada di hadapan sosok hitam
itu. Sekali lihat saja, dia tahu kalau sosok itu telah
tidak bernyawa lagi.
Pemuda itu kemudian berjongkok, karena melihat
mayat yang nampak aneh! Begitu mengenaskan,
kurus kering, dan pucat pasi. Sepertinya seluruh
darah di tubuhnya telah habis tanpa sisa.
Sepasang mata pemuda berpakaian ungu itu
kemudian beredar berkeliling. Di sekitar tempat itu
tampak jarum-jarum berserakan. Menilik dari warna-
nya, dapat diketahui kalau jarum-jarum itu mengan-
dung racun.
Bukan hanya itu saja yang ditemukan pemuda
berambut putih keperakan ini. Ternyata di situ juga
tergeletak sebuah cambuk berwarna hitam pekat.
Dan memang, mayat itu adalah mayat Cambuk
Halilintar yang tewas di tangan Brajageni.
"Keadaan mayat ini sungguh mengerikan. Seluruh
darah di tubuhnya habis. Tapi anehnya, tidak ada
bercak-bercak darah di tanah. Ke manakah perginya
darah orang ini?" gumam pemuda berambut putih
keperakan dengan perasaan bingung. "Padahal
melihat luka di perutnya, jelas kalau orang ini
tertusuk senjata tajam."
Tapi walau pemuda berpakaian ungu ini telah
memutar otaknya untuk mencari-cari jawaban, dia tak
juga menemukannya. Sebaliknya, dia justru
kepusingan. Sadar kalau tidak akan menemukan
jawabannya, pemuda berambut putih keperakan ini
menghentikan pemikirannya.
Pemuda itu kemudian bangkit, dan melangkahkan
kakinya menghampiri sebuah tempat yang terlindung.
Diambilnya sebatang kayu yang cukup kuat. Lalu
dengan kayu itu, digalinya tanah.
Menakjubkan! Hanya menggunakan sebatang
kayu, pemuda itu membuat sebuah lubang berbentuk
persegi panjang yang cukup besar. Dan dengan waktu
yang cukup singkat pula, pekerjaannya diselesaikan.
Tidak lebih lambat dari orang-orang yang terbiasa
bekerja kasar membuat lubang menggunakan
cangkul.
Ketika sebuah lubang terbuat, pemuda berambut
putih keperakan itu lalu menyeret mayat Cambuk
Hatitintar. Dan dimasukkannya mayat itu ke dalam
lubang, kemudian ditimbunnya dengan tanah. Baru
setelah semuanya selesai, pemuda itu melanjutkan
langkahnya kembali.
Kini pemuda berambut putih keperakan itu tidak
melangkah pelan seperti sebelumnya, tapi bergerak
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dalam
sekali langkah saja, tubuhnya sudah melesat sebelas
tombak. Luar biasa!
Pemuda berambut putih keperakan itu terus
berlari cepat. Kini sinar matahari yang terik dan
menyengat tidak dirasakan lagi olehnya. Dan tak
lama kemudian, dia telah melihat tembok batas
sebuah desa. Maka pemakaian ilmu meringankan
tubuhnya dihentikan. Kemudian, kakinya melangkah
seperti biasa.
Dengan langkah tenang, pemuda berambut putih
keperakan itu melangkah memasuki mulut desa itu.
Tak dipedulikannya pandangan mata keheranan dari
penduduk desa yang melihat keadaan rambutnya
yang menyolok. Langkahnya tetap tenang ketika
memasuki sebuah kedai.
Sesaat pemuda berambut putih keperakan itu
menatap ke sekeliling. Kedai ini tampak kecil saja,
dan kebetulan tengah kosong. Dia pun memilih satu
di antara beberapa meja yang ada di dalamnya.
Seorang laki-laki setengah tua bermuka codet,
bergegas menghampiri. Rupanya, dialah pemilik kedai
ini.
"Mau pesan apa, Den?" tanya laki-laki bermuka
codet itu. Pelan dan sopan suaranya.
"Berikan aku seguci besar arak," sahut pemuda
berambut putih keperakan itu.
Pemilik kedai itu bergegas kembali ke dalam. Tak
lama kemudian, dia sudah kembali sambil membawa
seguci besar arak, berikut sebuah gelas bambu. Dan
setelah meletakkannya di meja pemuda itu, laki-laki
bermuka codet itu bergegas kembali.
Pemuda berambut putih keperakan itu lalu
menjumput guci arak yang tersampir di punggungnya,
kemudian meletakkannya di atas meja. Perlahan guci
arak pesanannya diangkat dengan enaknya. Seolah-
olah yang diangkat hanya sebuah benda ringan saja.
Suara bercegukan terdengar ketika arak di guci
besar itu dituang ke guci arak perak yang bentuknya
jauh lebih kecil. Tak lama kemudian, guci perak itu
sudah penuh.
Kini pemuda berambut putih keperakan itu
menuangkan arak ke dalam gelas bambu. Sesaat
kemudian, dia sudah menikmati minumannya.
Entah sudah berapa gelas arak yang masuk ke
perutnya. Mendadak, pemuda berpakaian ungu itu
menghentikan minumnya sejenak. Pendengarannya
yang tajam menangkap adanya banyak langkah kaki
ringan di luar kedai. Paling tidak pemilik langkah-
langkah itu cukup berisi juga. Seketika, dia bersikap
waspada.
Meskipun begitu, pemuda berambut putih
keperakan itu tetap berlaku tenang. Kembali gelas
bambunya diangkat, untuk meneruskan minumnya.
Dia bersikap seolah-olah tidak tahu akan kehadiran
orang-orang di depan pintu kedai. Tapi pen-
dengarannya dipasang setajam mungkin, bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Dengan sudut matanya, pemuda berambut putih
keperakan itu melihat dua sosok tubuh yang
melangkah memasuki pintu kedai, kemudian
menghampiri tempat duduknya. Langkah mereka
berhenti tepat di sebelah meja pemuda itu.
Mau tak mau, pemuda berpakaian ungu itu
menghentikan minumnya. Kepalanya mendongak
menatap ke arah empat orang yang juga tengah
menatapnya.
"Semula aku tidak percaya ketika mendengar
kalau desa ini kedatangan orang aneh. Pemuda
berambut putih keperakan menyandang guci, dan
berpakaian ungu. Tapi ternyata berita itu benar.
Sungguh tidak kusangka kalau orang sepertimu sudi
datang ke desa ini, Dewa Arak!" kata seorang laki-laki
berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya tinggi
kurus dan berpakaian putih. Kumis dan jenggotnya
masih berwarna hitam. Tapi rambut di bagian
pelipisnya telah bercampur warna putih. "Kenalkan,
aku Ki Jayus! Kepala Desa Pucung!"
Setelah berkata begitu, laki-laki berpakaian putih
ini mengulurkan tangan pada pemuda berambut putih
keperakan.
Pemuda berpakaian ungu yang memang Dewa
Arak alias Arya Buana tersenyum. Disambutnya uluran
tangan kepala desa itu, lalu dijabatnya erat-erat.
"Kau terlalu berlebih-lebihan, Ki. Panggil saja aku
Arya," sahut Dewa Arak. Risih hatinya melihat sikap
kepala desa itu yang terlalu berlebih-lebihan.
"Dan ini Wikalpa! Guru silat kenamaan Desa
Pucung!" ujar Ki Jayus lagi seraya melepaskan
genggaman tangannya, memperkenalkan orang yang
berada di sebelahnya.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus,
berusia sekitar empat puluh lima tahun. Pakaiannya
hitam. Kumis dan jenggot jarang-jarang menghias
wajahnya.
Arya mengulurkan tangannya, tapi Wikalpa sama
sekali tidak menyambutnya. Bahkan, sebaliknya
malah tersenyum mengejek. Terpaksa walau dengan
muka merah, Dewa Arak menarik kembali tangannya.
"Memang sifatnya begitu, De... eh! Arya," Ki Jayus
cepat-cepat menengahi keadaan yang tidak enak itu.
"Tapi, percayalah. Hatinya sangat baik."
Dewa Arak hanya menganggukkan kepala, tidak
menyahuti ucapan Kepala Desa Pucung itu.
"Sayang sekali kami tidak bisa menemanimu
minum, Arya. Kami mempunyai sebuah urusan
penting tentang Empu Sawung. Pandai besi desa
kami itu telah tewas semalam. Keadaan mayatnya
rnengerikan sekali. Kurus kering dan pucat pasi
seperti kehabisan darah...!'
Setelah berbasa-basi sebentar, Ki Jayus me-
langkah meninggalkan tempat itu. Wikalpa pun
mengikuti di belakangnya, meninggalkan Dewa Arak
yang tengah tercenung kaget. Jadi, masih ada lagi
korban dengan tubuh kurus kering kehabisan darah?
Kalau begitu, di desa ini tengah terjadi sesuatu. Dewa
Arak bertekad dalam hati untuk mencoba meng-
ungkap rahasia pembunuhan yang penuh teka-teki
itu. Makanya dia memutuskan untuk tinggal di sini
sementara waktu.
Setelah menyelesaikan minum dan membayar
pesanannya, Arya melangkah meninggalkan tempat
itu. Kini tidak ada Melati di sampingnya. Gadis
berpakaian putih itu, sudah kembali ke Kerajaan
Bojong Gading. Kerusuhan masih saja terjadi di sana,
karena ada dugaan Kerajaan Bojong Gading sedang
lemah akibat pemberontakan Adipati Tasik (Untuk
jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Banjir
Darah di Bojong Gading").
***
Waktu berlalu tanpa disadari. Terkadang cepat
laksana anak panah lepas dari busur. Tapi kadang
pula merayap seperti seekor keong. Tak terasa tiga
hari telah berlalu, sejak Brajageni menyerahkan keris
pada gurunya. Dia memang selalu menunggu,
sehingga terasa membosankan.
"Bagaimana, Guru?" tanya Brajageni begitu datang
menagih janji gurunya.
"Keris ini akan menjadi senjata luar biasa,
Brajageni," jelas Raja Racun Muka Putih.
"Maksud, Guru?" tanya Brajageni ingin tahu.
"Begitu mendengar ceritamu tentang keanehan
keris ini, aku lalu memeriksanya. Dan hasil yang ku-
dapatkan, begitu mengejutkan!"
"Apa itu, Guru?" Brajageni mulai bergairah.
"Keris ini adalah keris peminum darah, Brajageni,"
sahut kakek muka putih itu.
"Maksud, Guru?"
"Setiap kali ditusukkan ke tubuh lawan, keris ini
akan menghisap darahnya."
"Ahhh...!" Brajageni terperanjat.
"Setiap kali meminum darah, keris ini akan
mendapat sebuah kekuatan menggiriskan," sambung
Raja Racun Muka Putih, tanpa mempedulikan
keterkejutan muridnya.
"Kekuatan apa itu, Guru?"
"Hanya satu yang baru kuketahui, Brajageni,"
jawab Raja Racun Muka Putih bernada mengeluh.
"Apa itu, Guru?" meskipun hatinya agak kecewa
mendengar gurunya hanya mengetahui satu, tapi
Brajageni tak bisa menahan rasa keingintahuannya.
"Hawa dingin yang luar biasa!"
"Tapi kenyataannya tidak demikian, Guru," bantah
Brajageni ketika teringat pada salah seorang korban
keris itu.
Raja Racun Muka Putih mendengus. Dia sudah
tahu, mengapa laki-laki tinggi kurus itu berkata
demikian.
"Darah yang diminumnya, tidak cukup untuk
menimbulkan pengaruh sampai seperti itu," selak
kakek bermuka putih itu. "Itulah sebabnya, hanya
angin dingin biasa yang menghembus kulitmu. "
"Jadi, maksud guru...?"
"Keris itu membutuhkan darah yang lebih banyak,
Brajageni. Dan juga, selama keris itu belum me-
nunjukkan hasil yang diharapkan, jangan dipisahkan
dari darah!"
"Memangnya kenapa kalau dipisahkan, Guru?"
tanya Brajageni ingin tahu, meskipun sebenarnya
sudah bisa menduga.
"Kekuatan yang timbul itu akan kembali lenyap...."
Brajageni mengangguk-anggukkan kepala. Semua
yang dikatakan gurunya benar-benar masuk akal.
"Kesimpulannya..., keris itu harus direndam dalam
darah. Begitu kan, Guru?"
"Tepat!" jawab Raja Racun Muka Putih cepat. "Dan
setelah itu, kita akan membuktikan keampuhan
senjata ini!"
"Kalau begitu, malam ini juga aku akan mulai
bergerak, Guru."
Raja Racun Muka Putih sama sekali tidak
menyahut. Hanya bibir atasnya saja yang bergerak
sedikit, pertanda menanggapi ucapan muridnya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Brajageni
segera melesat cepat meningalkan tempat itu.
***
Tong tong, tong...!
Bunyi kentongan terdengar mengiringi langkah dua
orang peronda, yang berjalan mengelilingi wilayah
Desa Pucung. Kedua orang ini tak lain dari Rakapitu
dan Gibang.
"Rakapitu..."
Laki-laki bertubuh tinggi besar itu menoleh.
"Ada apa, Gibang?" tanya Rakapitu.
Gibang terdiam sesaat, nampak kalau merasa
ragu-ragu untuk berbicara. Karuan saja hal ini mem-
buat rekannya kesal. Untung, sebelum laki-laki tinggi
besar itu memuntahkan kekesalannya, Gibang telah
terlebih dulu membuka suara.
"Kau tidak merasa ada keanehan malam ini,
Rakapitu?"
"Kau ini bicara apa, sih?!" Rakapitu malah balik
bertanya. Nada suaranya menyiratkan kekesalan.
Rupanya, dia tengah tidak mau diganggu.
"Dengar dulu, Rakapitu," sahut Gibang cepat. "Aku
belum selesai bicara!"
Rakapitu pun menghentikan ucapannya. Tangan-
nya yang memegang kentongan kembali bekerja.
Tong, tong, tong...!
Bunyi kentongan itu terdengar nyaring menembus
kesunyian malam yang mencekam.
"Malam ini perasaanku tidak enak sekali,
Rakapitu," keluh Gibang setelah suara kentongan itu
lenyap. "Bahkan bulu kudukku sampai berdiri."
"Hm.... Lalu?" tanya Rakapitu dengan suara
sumbang, seperti dilanda ketegangan.
Memang sebenarnya, dia sejak tadi dicekam
perasaan tidak enak dan rasa takut yang aneh. Itulah
sebabnya, laki-laki tinggi besar ini jadi agak kesal
ketika Gibang membuka pembicaraan seperti itu.
Akibatnya, rasa takutnya semakin besar melanda
hatinya.
"Perasaanku..., ada sesuatu yang akan terjadi..,"
sambung Gibang pelan, lebih mirip bisikan.
Belum juga laki-laki berwajah penuh tahi lalat ini
menutup mulut, pandangan matanya menangkap
adanya sosok serba hitam tak jauh di depan mereka.
Sosok serba hitam itu berjarak sekitar lima tombak
dengan mereka.
Hati Rakapitu dan Gibang tercekat. Apalagi ketika
menyadari kalau kini mereka tengah berada di
tempat yang agak jauh dari rumah-rumah penduduk.
Rakapitu dan Gibang sudah bisa memperkirakan
kalau sosok serba hitam itu mempunyai maksud
buruk. Tanpa ragu-ragu lagi, Gibang segera me-
mindahkan obornya ke tangan kiri. Sementara tangan
kanannya cepat bergerak ke arah pinggang.
Srattt..!
Sinar terang berpendar ketika golok itu keluar dari
sarung. Sementara Rakapitu masih tetap belum
bertindak apa-apa. Hanya sepasang matanya saja
yang menatap sosok serba hitam itu penuh selidik. Di
tangan kanannya tetap tergenggam kentongan.
Dalam keremangan sinar bulan, tampak sosok hitam
itu memang berniat menghadang mereka.
Sosok bertubuh tinggi kurus. Pakaiannya serba
hitam. Wajahnya terturup kain hitam mulai dari
bawah mata. Bukan itu saja. Kepalanya pun ter-
bungkus sebuah caping bambu. Memang tidak ada
yang menyangka kalau sosok di balik semua itu
adalah Brajageni. Namun siapa pun orangnya,
Rakapitu dan Gibang harus bersikap waspada.
"Siapa kau?!" tanya Gibang agak keras, dengan
jantung berdetak kencang. Sikap dan dandanan
orang ini menimbulkan kecurigaan di hatinya.
Namun bukan jawaban yang didapatkan Gibang.
Tapi terjangan! Tanpa berkata-kata lagi, Brajageni
segera melompat. Tangan kanannya yang berbentuk
cakar meluncur deras ke arah dada.
Wuuut…!
Angin menderu keras mengiringi tibanya serangan
Brajageni. Jelas, serangannya itu mengandung tenaga
dalam tinggi. Hal ini tidak aneh, karena laki-laki
bertubuh tinggi kurus ini telah mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang dimiliki.
Gibang terkejut bukan main melihat kecepatan
gerak lawannya. Dengan gugup, obor yang dipegang
dilemparkan ke arah tubuh lawan yang tengah
menuju ke arahnya.
Brajageni hanya mendengus. Terpaksa serangan-
nya dibatalkan. Dan secepat itu pula tangannya
dikibaskan ke arah obor yang tengah menyambarnya.
Takkk...!
Suara berderak keras terdengar begitu batang
obor itu hancur berkeping-keping.
"Haaat..!"
Gibang berseru keras seraya melompat menerjang.
Golok di tangannya menusuk cepat ke arah perut
Brajageni. Rakapitu pun tak tinggal diam. Maka cepat
dipukulnya kentongan berkali-kali.
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan tanda bahaya pun terdengar.
Dan sehabis memberi tanda, laki-laki tinggi besar ini
mencabut golok untuk membantu rekannya yang
tengah menghadapi Brajageni. Golok di tangannya
membabat cepat ke arah leher.
Brajageni geram bukan kepalang melihat Rakapitu
memukul kentongan tanda bahaya. Sudah dapat
diperkirakan kalau tak lama lagi penduduk desa akan
berdatangan. Dan dia tidak ingin masih berada di sini
saat para penduduk datang. Bila hal itu terjadi, maka
akan banyak penduduk yang menjadi korban.
Brajageni tidak menginginkan hal itu. Malam itu
cukup dua orang saja yang akan dijadikan korban.
Sisanya esok malam. Makanya, kini dia harus ber-
tindak cepat.
Brajageni sama sekali tidak berusaha mengelak
atau menangkis, saat kedua orang lawannya bergerak
menyerang. Sepertinya laki-laki bertubuh kurus itu
tidak mempedulikan mereka. Karuan saja hal ini
membuat Rakapitu dan Gibang jadi gembira. Mereka
menduga laki-laki bercaping itu tidak mampu meng-
elakkan serangan gabungan yang dilakukan.
Takkk, takkk...!
Dua batang golok itu membalik ketika mengenai
sasaran. Sementara tangan kedua orang penyerang
itu bergetar hebat, sampai-sampai senjata yang di-
genggam hampir terlepas dari pegangan.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Brajageni.
Tubuhnya cepat menyelinap ke belakang. Dan
setibanya di sana, cepat laksana kilat, kedua
tangannya menepuk tengkuk Rakapitu dan Gibang
Gerakan Brajageni cepat bukan mata. Terdengar
suara keluhan lirih, disusul robohnya tubuh kedua
orang itu begitu kedua tangan Brajageni hinggap di
sasaran. Rakapitu dan Gibang kontan pingsan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Brajageni
menyambar mereka sebelum menyentuh tanah. Dan
secepat itu pula laki-laki serba hitam itu melesat
kabur dari situ, sambil memanggul tubuh kedua orang
yang akan menjadi korbannya.
Baru saja tubuh Brajageni lenyap ditelan
kegelapan malam, para penduduk Desa Pucung
muncul di tempat itu. Jumlah mereka tak kurang dari
dua puluh orang. Di tangan mereka semua
tergenggam sebatang obor, membuat suasana di
tempat itu jadi terang-benderang.
Dengan dipimpin empat orang peronda lain yang
tadi berjaga-jaga di pos, para penduduk mencari-cari
di sekitar tempat itu.
"Kau yakin suara kentongan itu berasal dari sini,
Guriang?" tanya salah seorang penduduk yang
berusia setengah baya.
Guriang, yang ternyata adalah seorang pemuda,
langsung menoleh.
"Aku yakin sekali, Paman," sahut Guriang, mantap.
"Kalau begitu, mari kita cari di sekitar sini!" seru
laki-laki setengah baya itu.
"Hey...!" seru salah seorang penduduk. Telunjuk
tangan kanannya menuding ke tanah.
Seperti mendapat aba-aba, belasan orang
rekannya menoleh ke arah yang ditunjuk, kemudian
bergegas melangkah menghampiri.
Guriang membungkukkan tubuhnya, memungut
dua batang golok. Kemudian diperhatikannya golok
itu dengan seksama.
"Ini golok Rakapitu dan Gibang," desak Guriang.
"Berarti mereka tadi berada di sini...," sambut
seorang penduduk yang berbibir tebal dan hitam.
"Benar!" sahut Guriang memberi dukungan.
"Mekipun tanda-tandanya sedikit, bisa diketahui
kalau di sini telah terjadi pertarungan...."
"Tapi, ke mana mereka...?!" tanya seorang
penduduk yang bertubuh kecil kurus. Tidak jelas,
kepada siapa pertanyaan itu ditujukan. Dan
andaikata ditujukan pun, orang yang ditanya tidak
akan bisa menjawabnya. Mereka semua memang
sama-sama tidak tahu.
"Kita berpencar mencarinya," lagi-lagi Guriang yang
mengambil keputusan cepat. "Kita memecah diri
menjadi empat kelompok. Masing-masing kelompok
terdiri dari lima orang. Bagaimana? Setuju?!"
"Setuju...!" sahut belasan orang penduduk
serentak.
Guriang tersenyum lebar melihat sambutan yang
menggembirakan itu. Setelah merundingkan kembali,
apa-apa yang hams dilakukan, keempat orang itu pun
segera berpencar.
Dua puluh orang penduduk yang terbagi menjadi
empat kelompok mulai menyusuri sekitar daerah itu.
Mereka mencari-cari dengan penuh semangat.
Mereka menguak kerimbunan pepohonan dan
semak-semak seraya memanggil-manggil nama
kedua orang peronda itu. Tapi, tetap saja tidak ada
tanda-tanda keberadaan Rakapitu dan Gibang.
Akhirnya setelah lama mencari-cari tanpa hasil,
para penduduk putus asa. Kedua kaki mereka telah
lelah sekali. Leher terasa sakit, dan suara pun serak
karena terlalu sering memanggil-manggil. Sedangkan,
yang dicari tak kunjung datang.
Satu demi satu kelompok pencari itu mulai
kembali ke pos masing-masing dengan langkah lesu.
Mereka hanya dapat berharap, agar kedua orang itu
selamat.
***
7
Hari masih pagi di Desa Pucung. Matahari yang
berbentuk bola raksasa baru saja muncul di ufuk
Timur. Warnanya merah jingga. Suasana pagi yang
semula sunyi, mendadak dipecahkan oleh teriakan
keras diiringi sesosok tubuh yang berlari terpontang-
panting.
Menilik dari pakaiannya, dia pasti penduduk Desa
Pucung. Orang itu terus saja berlari cepat, sekalipun
telah memasuki desa. Tentu saja hal ini menarik
perhatian beberapa penduduk lainnya.
"Ada apa, Soma?" tanya seorang yang rambutnya
dikuncir, pada laki-laki berpakaian kuning yang
tengah berlari-lari itu.
Tapi Soma sama sekali tidak menghiraukannya,
dan malah terus saja berlari. Hal ini membuat laki-laki
berkuncir itu penasaran. Segera perhatiannya dialih-
kan pada orang yang berada di sebelahnya.
"Ada apa?" tanya laki-laki berkuncir itu.
Tapi orang yang ditanya juga hanya meng-
gelengkan kepala.
"Sepertinya dia menuju ke rumah kepala desa,"
tebak seorang penduduk yang bermata picak.
"Pasti ada sesuatu yang akan dilaporkannya,"
sambut laki-laki yang berambut dikuncir.
Karena perasaan ingin tahu, orang-orang itu pun
bergerak mengikuti. Dan memang, apa yang dikata-
kan orang bermata picak itu benar. Soma ternyata
menuju rumah kepala desa.
"Ki..! Ki...!" masih dalam keadaan berlari-lari, dan
dalam jarak tak kurang dari lima tombak, laki-laki
berpakaian kuning itu berteriak-teriak memanggil Ki
Jayus yang kebetulan tengah berada di halaman.
Karuan saja hal ini membuat Kepala Desa Pucung
itu terperanjat.
"Ada apa?!" tanya Ki Jayus ketika Soma telah
berada di hadapannya.
"Anu, Ki...." Dengan terputus-putus karena napas-
nya masih memburu, Soma berusaha berbicara.
"Tenanglah dulu," ujar Ki Jayus pelan. "Kau tidak
akan bisa mengatakannya kalau tidak tenang dulu."
Laki-laki berpakaian kuning yang bernama Soma
itu terdiam, berusaha menenangkan diri.
"Tarik napas dalam-dalam, lalu keluarkan," saran
Ki Jayus.
Kembali laki-laki setengah baya itu menuruti
anjuran Kepala Desa Pucung itu. Napasnya segera
ditarik dalam-dalam, lalu dihembuskan kuat-kuat.
Memang setelah beberapa kali melakukan hal itu, dia
mulai merasa tenang.
"Sekarang, katakanlah. Mengapa kau bersikap
seperti itu?" ujar Ki Jayus penuh wibawa.
"Mereka, Ki. Aku telah menemukannya," Soma
berusaha menjelaskan.
"Mereka siapa?" Ki Jayus mengerutkan kening.
"Bicaralah yang jelas!"
"Rakapitu dan Gibang, Ki."
"Rakapitu dan Gibang?!" ulang Ki Jayus lambat-
lambat. "Memangnya, ada apa dengan kedua orang
itu?!"
"Jadi..., kau belum mengetahuinya, Ki?" sekarang
malah laki-laki berpakaian kuning itu yang terheran-
heran.
"Mengetahui? Mengetahui apa?!" tanya Ki Jayus,
tak mengerti.
"Rakapitu dan Gibang hilang secara aneh
semalam, setelah memukul kentongan tanda
bahaya," jelas laki-laki berpakaian kuning itu.
"Heh?! Mengapa aku tidak diberi tahu?!" ada nada
teguran dalam pertanyaan itu.
"Kami belum sempat memberitahukanmu, Ki,"
selak sebuah suara menyahuti, sebelum Soma
menjawab.
Serentak Ki Jayus dan laki-laki setengah baya
menoleh ke arah asal suara. Di sana berdiri Guriang
dan tiga orang lainnya. Mereka berempat adalah yang
bertugas ronda semalam.
"Semalam kami ingin memberitahukanmu, tapi
malam sudah terlalu larut. Dan menjelang dini hari,
kami terpaksa mengurungkannya. Maaf, Ki. Kami
tidak ingin mengganggumu," jelas Guriang mewakili
rekan-rekannya.
"Hm...," hanya gumaman tak jelas yang menyam-
buti ucapan pemuda bertubuh kekar itu.
"Rencananya, pagi ini kami akan memberitahumu.
Sekalian meneruskan pencarian. Tapi, rupanya kami
sudah didahului Kakang Soma."
"Aku telah menemukan mereka, Guriang," jelas
Soma.
"Aku telah mendengarnya tadi, Kang," sahut
Guriang. "Bagaimana keadaan mereka?"
"Tidak ada harapan sama sekali," sahut Soma
bernada mengeluh.
"Jadi...?" suara Guriang tercekat di tenggorokan.
"Ya," Soma menganggukkan kepala. "Mereka
tewas."
"Ya, Tuhan...!" hampir berbareng, semua mulut
berseru.
"Mari kita ke sana...!" ajak Ki Jayus yang terlebih
dulu sadar dari kesedihannya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, keenam orang
itu segera meninggalkan tempat itu, menuju tempat
Rakapitu dan Gibang ditemukan dalam keadaan tidak
bernyawa lagi.
Di tengah perjalanan mereka bertemu rombongan
penduduk yang bermaksud menyusul Soma. Dan
begitu para penduduk itu mengetahui maksud
rombongan kecil itu, mereka juga ikut meng-
gabungkan diri.
Semakin lama rombongan itu semakin banyak
jumlahnya. Dan menjelang mulut desa, Dewa Arak
dan Wikalpa yang kebetulan ada di situ segera meng-
gabungkan diri. Suara riuh seperti ada serombongan
lebah marah terdengar ketika para penduduk ber-
bicara satu sama lain.
Soma bertindak sebagai penunjuk jalan, mem-
bawa rombongan penduduk ini menuju Hutan Dadap.
"Bagaimana kau bisa menemukannya, Soma?"
tanya Guriang. Ada nada penasaran dalam suaranya.
Maklum, semalam dia bersama rekan-rekannya telah
mencari-cari sampai semalam suntuk, tapi tanpa
hasil.
"Aku pun menemukannya secara tidak sengaja,
Guriang. Kau tahu kan, aku selalu mencari kayu
bakar, di hutan ini. Dan secara tidak sengaja aku
melihat mayat mereka. Mengerikan!"
Setelah berkata demikian, Soma bergidik. Namun,
Guriang tidak menanggapi. Sehingga laki-laki
setengah baya itu pun menghentikan ucapannya.
Tak lama kemudian rombongan penduduk Desa
Pucung ini telah memasuki Hutan Dadap. Soma terus
berjalan di depan, sampai akhirnya tiba di depan
sebatang pohon yang di sekitarnya terdapat semak-
semak.
"Di situlah mayat mereka kutemukan," tunjuk laki-
laki berpakaian kuning itu memberi tahu. Telunjuk
tangan kanannya menuding ke arah pohon dan
semak-semak.
Guriang dan tiga orang rekannya segera
melangkah maju, lalu menguak kerimbunan semak-
semak. Sementara yang lainnya menunggu di tempat.
"Ah...!"
Terdengar jerit pelan bernada keluhan. Sesaat
kemudian, keempat orang itu bergerak terhuyung-
huyung keluar kerimbunan. Wajah mereka tampak
pucat pasi.
"Guriang! Ada apa...?!" tanya Ki Jayus tak sabar.
"Mengapa mayat mereka tidak dibawa keluar?!"
Tapi Guriang sama sekali tidak menyahuti per-
tanyaan Kepala Desa Pucung itu. Tampak jelas kalau
dia masih dilanda keterkejutan yang amat sangat.
Melihat hal ini, Wikalpa jadi tidak sabar lagi.
Segera kakinya melangkah, memasuki kerimbunan
semak-semak itu.
Kini para penduduk kembali menanti, dengan
perasaan tegang. Mereka ingin tahu, apa yang akan
terjadi lagi. Tapi, tidak terdengar suara keluhan
sedikit pun dari dalam kerimbunan semak-semak itu.
Bahkan tak lama kemudian, laki-laki berkumis jarang-
jarang itu telah keluar dari kerimbunan semak-semak.
Di bahu kanan kirinya sudah terpanggul dua sosok
tubuh.
Dengan wajah tenang, Wikalpa menurunkan tubuh
yang dipanggulnya. Memang yang dikatakan Soma
benar, bahwa dua sosok mayat itu adalah Rakapitu
dan Gibang. Tapi, keadaan mereka benar-benar
mengerikan. Kepala hampir terlepas dari leher,
sedangkan tubuhnya kurus kering dan pucat seolah-
olah tak ada darah setetes pun di tubuh mereka.
Bukan itu saja. Sekujur tubuh mereka juga penuh
luka sayatan. Bahkan pakaian kedua orang itu
compang-camping.
Arya mengerutkan alisnya. Kembali Dewa Arak
melihat mayat-mayat dengan luka-luka yang sama
dengan yang pernah ditemukannya. Apakah ada
makhluk peminum darah yang berkeliaran di desa
ini?
"Keparat...!" Ki Jayus, Kepala Desa Pucung itu
menggertakkan gigi begitu melihat mayat kedua
orang warganya. "Iblis mana yang telah melakukan
semua ini?!"
Tapi tidak ada satu pun warganya yang menjawab
pertanyaan itu. Mereka semua sama menundukkan
kepala.
"Guriang...! Bagaimana ini bisa terjadi?! Bukankah
Rakapitu dan Gibang bertugas bersamamu?"
Guriang mengangkat kepala, menatap sebentar
wajah Ki Jayus.
"Maafkan aku, Ki," pinta Guriang. "Waktu peristiwa
itu terjadi, aku tidak berada bersama mereka."
"Hm.... Lalu, kau berada di mana?!" sentak Ki
Jayus.
"Aku dan yang lain berada di gardu jaga, Ki.
Sementara Rakapitu dan Gibang berkeliling."
"Hm...," hanya gumaman pelan yang keluar dari
mulut Kepala Desa Pucung itu.
"Ki...," sapa Arya begitu mendapat kesempatan.
"Ada apa, Arya?" tanya Ki Jayus seraya menoleh ke
arah pemuda berambut putih keperakan itu.
"Apakah ini adalah kejadian yang baru pertama
kali?" tanya Arya ingin tahu.
"Tidak, Arya," Ki Jayus menggelengkan kepala. "Ini
adalah kejadian yang kedua kalinya. Kejadian
pertama telah menimpa Empu Sawung."
Dewa Arak menganggukkan kepala. Jadi, ini
adalah kejadian ketiga kalinya yang dilihat Arya. Yang
kedua adalah sosok hitam yang kemudian dikubur-
kannya.
"Keadaan mayat mereka mengerikan sekali, Ki,"
kata Arya lagi. "Sepertinya darah di seluruh tubuh
mereka habis! Apa mungkin di desa ini ada makhluk
peminum darah?"
Ki Jayus mengangkat bahu.
"Aku sama sekali tidak tahu, Arya. Tapi yang jelas,
aku belum pernah mendengarnya."
Dewa Arak terdiam.
"Nanti malam penjagaan harap lebih ditingkatkan.
Kalian semua harus bersikap waspada. Begitu
melihat gelagat mencurigakan, lekas pukul kentongan
secepatnya," ujar Ki Jayus pada Guriang.
"Baik, Ki," semua kepala terangguk pelan.
"Bagus! Sekarang mari kita kembali, mengurus
mayat kedua orang ini dulu," ujar Ki Jayus lagi.
Sesaat kemudian, rombongan penduduk Desa
Pucung itu pun bergerak meninggalkan Hutan Dadap.
***
Malam itu suasana terasa lebih menyeramkan.
Kematian demi kematian yang datang susul-
menyusul, benar-benar membuat Desa Pucung geger.
Para penduduknya kini dicekam rasa ketakutan.
Mereka khawatir, kalau pembunuh misterius itu akan
mendatangi mereka.
Tong, tong, tong…!
Suara kentongan terdengar mengusik keheningan
malam sepi yang hanya dihiasi bulan sabit di langit.
Guriang dan ketiga orang kawannya mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Masing-masing mengawasi
arah yang berlainan.
"Hei...!" seru Guriang kaget. Mendadak saja,
sesosok bayangan hitam bertubuh tinggi kurus
tampak melesat cepat ke arahnya. Pemuda bertubuh
pendek kekar ini memang bertugas mengawasi
belakang. "Cepat menyingkir...!"
Seraya berseru demildan, Guriang melompat ke
samping, dan membuang tubuhnya ke tanah. Begitu
juga ketiga orang kawannya. Maka serangan sosok
hitam itu hanya mengenai tempat kosong.
"Cepat pukul kentongan...!" teriak Guriang keras
seraya melompat menyerang sosok hitam itu. Golok
di tangannya membabat cepat ke arah leher sosok
bercaping itu.
"Hmh...!"
Sosok hitam yang jika dibuka selubung kain
hitamnya adalah Brajageni, hanya mendengus.
Tangan kirinya bergerak cepat ke arah golok yang
menyambarnya.
Tappp…!
Guriang terbelalak kaget ketika goloknya dapat
dicengkeram lawan. Dan sekali Brajageni bergerak
membetot, kontan tubuh pemuda pendek kekar ini
terhuyung ke depan. Di saat itulah telunjuk kanan
laki-laki tinggi kurus ini bergerak cepat ke arah dada.
Tidak ada pilihan lagi bagi Guriang, kecuali
melepaskan goloknya dan melempar tubuh ke
belakang. Maka, serangan Brajageni hanya mengenai
tempat kosong. Pada saat yang sama, salah seorang
peronda telah memukul kentongan.
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan tanda bahaya terdengar keras
menguak keheningan malam sepi.
Brajageni menggertakkan gigi. Sayang, dia harus
berusaha keras agar calon korbannya tidak mati.
Korbannya harus dibawa dalam keadaan hidup kalau
ingin darah itu berguna untuk kerisnya.
Dengan perasaan geram, Brajageni melompat
menyerang. Laki-laki tinggi kurus ini tahu, kalau dia
harus bertindak cepat. Masalahnya, orang-orang pasti
akan berkumpul di sini.
Maka tanpa ragu-ragu lagi, segera dikerahkan
seluruh kemampuan yang dimilikinya. Betapapun
Guriang dan ketiga orang kawannya telah
mengerahkan seluruh kemampuan, namun dalam
dua gebrakan saja, laki-laki tinggi kurus ini telah
berhasil menotok lemas dua orang lawannya.
Dan secepat kedua orang itu roboh, secepat itu
pula Brajageni memanggulnya. Kemudian, laki-laki
tinggi kurus itu membawanya kabur.
Di saat itulah, melesat sesosok bayangan ungu.
Dan dengan gerakan indah dan manis, sosok
bayangan itu bersalto beberapa kali di udara,
kemudian hinggap di hadapan Brajageni.
"Mau lari ke mana, Penjahat Keji?!" bentak sosok
ungu yang tak lain dari Dewa Arak. Sepasang mata
pemuda berambut putih keperakan itu merayapi
sekujur tubuh laki-laki bercaping.
Brajageni tercenung bingung. Dia kini tengah
memanggul tubuh dua orang korbannya. Lalu,
bagaimana mungkin melawan Dewa Arak? Di saat
laki-laki bertubuh tinggi kurus ini kebingungan,
sesosok bayangan merah tiba-tiba menerjang dari
udara ke arah Dewa Arak dengan serangan totokan-
totokan jari tangan terbuka lurus ke arah ubun-ubun
dan pelipis.
Arya terperanjat. Sama sekali tidak disangka akan
mendapat serangan mendadak dan dahsyat begitu.
Tanpa pikir panjang lagi, pemuda berambut putih
keperakan itu membalikkan tubuh dan menggerak-
kan tangan menangkis.
Plak, plak, plak...!
Terdengar benturan keras seperti dua batang
logam beradu ketika dua pasang tangan yang sama-
sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan.
Akibatnya sungguh hebat! Tubuh Dewa Arak
terhuyung dua langkah ke belakang. Sekujur tangan-
nya terasa bergetar hebat. Sementara sosok
bayangan merah itu terpental balik ke atas.
Arya terkejut. Disadari kalau penyerangnya
memiliki tenaga dalam amat kuat. Tenaga sosok
bayangan merah itu tidak kalah dengan tenaganya
sendiri.
Sebenarnya, bukan hanya Dewa Arak saja yang
terkejut. Ternyata sosok bayangan merah itu pun
dilanda perasaan yang sama. Dan dengan gerakan
indah dan manis, kakinya mendarat di tanah.
Brajageni tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Dia tahu kalau sosok bayangan merah itu adalah
gurunya yang berjuluk Raja Racun Muka Putih. Maka
tanpa pikir panjang lagi, laki-laki bertubuh tinggi kurus
ini melesat kabur.
"Hey...!" seru Arya keras seraya melesat memburu.
Tapi sebelum maksud Dewa Arak terlaksana,
sesosok bayangan merah telah berkelebat cepat dan
tahu-tahu telah berada di hadapannya. Mau tak mau
Arya terpaksa mengurungkan niatnya untuk mengejar
Brajageni. Sosok bayangan merah di hadapannya ini
memang seorang lawan yang amat tangguh.
Dalam keremangan malam yang hanya diterangi
cahaya bulan, Dewa Arak menatap penyerangnya. Dia
adalah seorang kakek bertubuh sedang, berpakaian
serba merah. Kumis dan jenggotnya berwarna hitam.
Sangat pas sekali dengan kulit wajahnya yang putih
seperti kapur. Kulit wajahnya yang putih, nampak
terlihat jelas dalam suasana malam kelam.
"Ha ha ha...!" Raja Racun Muka Putih tertawa keras
sekali. Bahkan bagai menggelegar seperti guntur.
Jelas kalau tawanya disertai pengerahan tenaga
dalam.
Dan akibatnya sungguh hebat. Guriang dan
seorang temannya yang masih berada di situ seketika
terjungkal jatuh. Dari mulut, hidung, dan telinga
kedua orang itu mengalir darah segar. Yang pasti,
mereka tewas seketika dengan dada pecah.
Arya kaget bukan main, merasakan pengaruh
suara tawa itu. Dadanya tergetar hebat dan
telinganya pun berdengung keras. Buru-buru tenaga
dalamnya dikerahkan untuk menahan serangan tawa
Raja Racun Muka Putih.
Belasan orang penduduk yang berdatangan, dan
berada dalam jarak yang cukup jauh pun mengalami
akibat yang serupa. Tubuh mereka terjungkal, lalu
buru-buru mendekapkan kedua tangan ke telinga
dalam usaha menahan serangan suara tawa itu.
Meskipun tidak melihat, Arya tahu apa yang
dialami para penduduk itu. Dan kalau dibiarkan,
mereka semua akan tewas. Maka pemuda berambut
putih keperakan ini segera menghentakkan kedua
tangannya ke arah lawan menggunakan jurus
'Pukulan Belalang'.
Wusss...!
Angin keras berhawa panas menyengat,
menyambar ke arah Raja Racun Muka Putih. Seketika
tokoh sesat yang menggiriskan ini terperanjat,
mengenali serangan berbahaya itu. Maka tanpa
membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera
dilempar ke samping dan bergulingan di tanah.
Dengan sendirinya, suara tawanya pun terhenti.
Tanpa diduga, begitu kakek bermuka putih ini
bangkit dari berguling, tubuhnya langsung melesat ke
arah kerumunan penduduk yang tadi terjungkal di
tanah sambil mendekap telinga. Dan sekali tangan
kakek ini terulur, dua sosok tubuh telah berada dalam
panggulannya.
Tentu saja Dewa Arak tidak membiarkan begitu
saja. Cepat laksana kilat tubuhnya melompat mem-
buru. Tapi, rupanya hal itu sudah diperhitungkan Raja
Racun Muka Putih. Tangan kanannya yang bebas
langsung dikibaskan. Maka sekumpulan benda-benda
berbentuk serbuk berbau amis memuakkan,
meluncur ke arah Arya.
Pemuda berambut putih keperakan ini tidak punya
pilihan lagi, kecuali cepat melompat ke samping dan
bergulingan di tanah. Untunglah taburan serbuk
beracun dari lawannya mengenai tempat kosong.
Raja Racun Muka Putih memang tidak bermaksud
sungguh-sungguh menyerang. Serangan itu ternyata
dimaksudkan hanya untuk mencegah usaha Dewa
Arak menghalangi kepergiannya. Maka begitu Arya
mengelak, kesempatan ini segera dipergunakannya.
Tubuhnya melesat cepat bagai kilat. Dan dalam
sekejapan saja, tubuhnya sudah lenyap ditelan
kerimbunan pepohonan di tengah kegelapan malam.
8
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat, dan sama
sekali tidak mengejar. Dia merasa, hal itu sama sekali
tidak ada gunanya. Maka bergegas perhatiannya
dialihkan pada para penduduk desa yang masih
terduduk di tanah.
"Mana Ki Jayus dan Wikalpa?" tanya Arya, setelah
tidak melihat adanya kedua orang itu dalam
kerumunan penduduk.
Tidak ada satu pun penduduk yang menyahut.
"Aneh...," gumam Dewa Arak pelan. "Kedua orang
itu tidak pernah ada setiap kali terjadi pembunuhan
seperti ini."
"Kau menduga, mereka pelakunya, Dewa Arak?"
tanya Soma begitu mendengar nada suara Arya.
"Tidak sampai sejauh itu. Aku hanya agak curiga
saja. Ketidakhadiran merekalah yang membuatku
curiga. Apalagi ciri-ciri kedua orang itu mirip sosok
hitam bercaping," sahut Arya tidak berani menduga
sembarangan. "Tapi yang membuatku ragu, mengapa
sampai kedua-duanya tidak hadir pada setiap
kejadian."
"Jadi, salah satu di antara mereka kau curigai
sebagai pelakunya, Dewa Arak?" desak Soma lagi.
Perlahan kepala Arya mengangguk.
"Andaikata benar, siapa di antara kedua orang itu
yang lebih kau curigai?" tanya Soma ingin tahu.
"Ki Jayus," kata Arya pelan.
"Hm...! Mengapa bukan Wikalpa, Dewa Arak?!"
Soma terkejut. "Aku lebih condong padanya."
"Mengapa?" tanya Arya ingin tahu.
"Gerak-geriknya kasar. Dan lagi, pakaiannya pun
cocok dengan orang tadi," sahut laki-laki berpakaian
kuning memberi alasan.
"Aku lebih condong pada Ki Jayus," pelan suara
Dewa Arak.
"Apa dasarnya hingga kau menuduh begitu?" kejar
Soma. Rasa penasarannya terdengar jelas dalam
suaranya.
Arya menarik napas dalam-dalam dan meng-
hembuskannya kuat-kuat, sebelum menjawab per-
tanyaan itu.
"Seorang pembunuh yang tidak ingin dikenali,
dengan sendirinya berusaha menyamarkan diri.
Wikalpa terlalu menonjol sikap kasarnya. Juga
pakaiannya. Jadi, itulah sebabnya aku lebih condong
pada Ki Jayus," urai Dewa Arak panjang lebar.
Soma kontan terdiam, kemudian bangkit berdiri.
Sikapnya diikuti penduduk lainnya. Mereka juga tak
lupa membawa mayat Guriang dan rekannya.
Arya pun melangkah di belakang mereka.
Menjelang tembok batas desa, tampak sosok ber-
pakaian putih berlari-lari menyambut. Sosok itu
bertubuh tinggi kurus.
Baik Dewa Arak maupun penduduk Desa Pucung
segera mengetahui, siapa adanya sosok berpakaian
putih itu. Meskipun jaraknya masih cukup jauh,
namun potongan tubuh sosok itu sangat dikenal.
Siapa lagi kalau bukan Ki Jayus!
Dugaan mereka memang tidak salah! Laki-laki
berpakaian putih itu memang Ki Jayus, Kepala Desa
Pucung. Seketika jantung Dewa Arak dan Soma
berdebar tegang, karena teringat akan pembicaraan
tadi.
Begitu telah berada dekat mereka, tanpa mem-
pedulikan yang lain, Ki Jayus berlari mendekati Dewa
Arak. Kemudian ditariknya tangan Dewa Arak, men-
jauhkannya dari rombongan penduduk
"Kalian berangkat lebih dulu...!" seru Ki Jayus pada
para penduduk yang menghentikan langkah, dan baru
kembali berjalan setelah mendengar perintah itu.
Setelah rombongan penduduk itu melangkah pergi,
Ki Jayus menarik tangan Arya melangkah me-
ninggalkan tempat itu. Mereka menuju arah yang
berlawanan.
"Ada apa, Ki?" tanya Arya. Teringat akan
dugaannya, membuat pemuda berambut putih
keperakan ini bersikap waspada.
Ki Jayus tidak langsung menjawab, tapi terus saja
melangkah. Arya yang merasa penasaran terpaksa
mengikuti, meskipun kini tangannya tidak dituntun
seperti tadi.
"Aku telah mengetahui tempat persembunyian
orang bercaping itu, Arya," jelas Kepala Desa Pucung
pelan seraya menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri
sambil tetap melangkah. Jelas kalau Ki Jayus tidak
ingin ada orang lain yang mendengar ucapannya.
"Benarkah apa yang kau katakan itu, Ki?" tanya
Arya meminta ketegasan, seraya ikut melangkah di
sebelah Kepala Desa Pucung itu.
Ki Jayus menatap Arya tajam-tajam.
"Kau tidak mempercayaiku, Arya?" tanya laki-laki
berpakaian putih itu. Ada nada ketidaksenangan
dalam suaranya.
"Bukannya tidak percaya, Ki," sahut Arya
mengelak. "Tapi merasa ragu...."
"Apa yang membuatmu ragu, Arya?" selak Ki Jayus
ingin tahu.
"Dari mana kau mengetahui tempat tinggal orang
bercaping itu, Ki?"
"Diam-diam aku mengikutinya," sahut laki-laki
berpakaian putih itu.
Dewa Arak menoleh. Menatap wajah Ki Jayus
tanpa berkata-kata.
"Begitu mendengar suara kentongan tadi, aku
segera menuju ke sana. Tapi, kulihat kau tengah
bertempur menghadapi seorang kakek berpakaian
merah. Sementara orang bercaping hitam kulihat
melarikan diri sambil membawa dua orang wargaku.
Semula aku kebingungan, tapi akhirnya kuputuskan
untuk mengikuti orang bercaping itu. Ternyata usaha-
ku tidak sia-sia, karena aku berhasil mengetahui
sarangnya," jelas laki-laki berpakaian putih panjang
lebar.
Arya tercenung mendengar uraian panjang lebar Ki
Jayus. Hatinya jadi ragu dengan dugaannya semula.
Kalau apa yang di katakan Kepala Desa Pucung ini
benar, berarti orang bercaping itu adalah Wikalpa!
Sementara, dugaan kalau orang bercaping adalah Ki
Jayus kontan menguap. Memang, rasanya tidak
mungkin kalau Kepala Desa Pucung ini pelakunya.
Benar kata Soma. Pasti pembunuh biadab itu adalah
Wikalpa!
"Sekarang apa rencanamu, Ki?"
"Kita serbu sarang mereka...!" sahut Ki Jayus.
Tegas dan mantap kata-katanya.
"Sekarang, Ki?" tanya Arya memastikan.
Ki Jayus menggelengkan kepala.
"Besok," jawab laki-laki berpakaian putih itu.
***
Hari masih pagi. Angin yang sejuk dan dingin
berhembus pelan, terasa nikmat sampai ke dalam
dada. Tampak dua sosok tubuh melangkah pelan
memasuki Hutan Dadap.
Dua sosok itu adalah Dewa Arak dan Ki Jayus.
"Ki...," ucap Arya memecah keheningan pagi.
"Hm...," hanya gumam pelan Ki Jayus yang
menyambuti sapaan Arya.
"Apakah kau sanggup menghadapi orang ber-
caping itu?" tanya Arya ragu-ragu.
"Aku tidak berani memastikannya, Arya," jawab
laki-laki berpakaian putih bernada memutar.
Dewa Arak terdiam, tidak berkata-kata lagi. Dan
karena Ki Jayus juga tidak berkata-kata lagi, suasana
pun jadi hening. Kini yang terdengar hanyalah suara
kerosak rerumputan dan semak-semak kering yang
terpijak kaki-kaki mereka.
Mendadak Arya mengernyitkan keningnya. Pen-
dengarannya yang tajam menangkap adanya suara
langkah perlahan dan ringan di belakangnya. Tapi, dia
berpura-pura tidak tahu, dan terus saja melangkah.
Hanya saja, Dewa Arak mulai bersikap waspada,
bersiap-siap menghadapi serangan mendadak.
"Masih jauhkah tempat itu, Ki?" tanya Arya lagi
ketika mereka telah semakin jauh masuk ke dalam
hutan.
Tidak ada sahutan yang menyambuti pertanyaan
Dewa Arak. Karuan saja hal itu mengherankan hati
Arya. Apalagi ketika beberapa saat menunggu, juga
tak terdengar sahutan.
"Hih...!"
Mendadak Ki Jayus mendoyongkan tubuh ke
kanan sambil mengirimkan kibasan tangan kiri ke
arah pelipis Arya. Karuan saja hal ini membuat
pemuda berambut putih keperakan ini terkejut. Sama
sekali tidak disangka kalau akan mendapat serangan
maut yang dilakukan dalam jarak dekat dan tiba-tiba
sekali.
Tapi Dewa Arak adalah tokoh berkepandaian
tinggi, yang telah kenyang bertempur menghadapi
tokoh-tokoh licik dan menggiriskan. Sudah tak ter-
hitung lagi ancaman maut dan serangan mendadak
yang dihadapinya.
Maka meskipun berada dalam keadaan gawat
seperti itu, Dewa Arak masih mampu menyelamatkan
diri. Cepat-cepat tubuhnya didoyongkan ke kiri,
sehingga kibasan itu mengenai tempat kosong. Hanya
berjarak sekitar tiga jari dari sasaran semula.
Menilik dari rambut dan pakaian Arya yang ber-
kibaran keras, bisa diperkirakan kekuatan tenaga
dalam yang terkandung dalam serangan itu.
Belum juga Dewa Arak berbuat sesuatu, Ki Jayus
telah melancarkan serangan susulan. Laki-laki ber-
pakaian putih ini mengirimkan tendangan miring ke
arah pelipis, sambil memutar tubuh.
Arya tetap bersikap tenang, karena sudah tidak
berada dalam keadaan berbahaya lagi. Namun
demikian, dia masih berada dalam keadaan terdesak.
Tanpa ragu-ragu, segera ditangkisnya serangan lawan
dengan tangan kanan.
Plakkk...!
Ki Jayus memekik tertahan. Tubuh laki-laki ini
terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara,
Dewa Arak hanya merasakan tangan yang ber-
benturan dengan kaki Kepala Desa Pucung itu
bergetar. Dan hebatnya, kuda-kudanya sama sekali
tidak bergeming.
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa terbahak-bahak mengan-
dung pengerahan tenaga dalam tinggi. Sesaat
kemudian, di belakang Ki Jayus telah berdiri Raja
Racun Muka Putih.
"Ini milikmu, Brajageni...!" kata Raja Racun Muka
Putih seraya menyerahkan sebilah keris kepada Ki
Jayus. Laki-laki berpakaian putih itu langsung
menerimanya.
"Brajageni?!" ulang Dewa Arak.
"Ha ha ha...!" Raja Racun Muka Putih tertawa
bergelak. "Brajageni tunjukkanlah padanya siapa diri-
mu."
"Baik, Guru," sahut Ki Jayus yang ternyata adalah
Brajageni. Kemudian laki-laki berpakaian putih ini
menyelinap ke balik rerimbunan pohon.
Begitu tubuh Kepala Desa Pucung itu lenyap di
balik kerimbunan pepohonan, Arya kembali meng-
alihkan perhatian pada Raja Racun Muka Putih.
Kakek berpakaian merah itu juga balas menatap, tak
kalah tajam.
Tapi sebelum kedua orang ini berbuat sesuatu,
terdengar bentakan keras.
"Mau kabur ke mana lagi kau, Raja Racun...?!"
Berbareng dengan lenyapnya bentakan itu, tiba-
tiba di dekat Arya telah berdiri seorang laki-laki
bertubuh tinggi kurus.
"Wikalpa...," desis Arya.
"Malaikat Halilintar...," desah Raja Racun Muka
Putih. Ada nada kegentaran dalam nada suaranya.
Sepasang matanya menatap penuh rasa tak percaya
pada sosok yang berdiri di hadapannya.
"Malaikat Halilintar...?" desis Arya tak percaya.
Dewa Arak memang pernah mendengar julukan
itu. Memang, Malaikat Halilintar adalah seorang
pendekar yang terkenal memiliki kepandaian amat
tinggi. Hanya sayangnya, dia telah mengundurkan diri
dari dunia persilatan. Sungguh tidak disangka kalau
tokoh itu tiba-tiba ada di sini. Kini Dewa Arak tahu,
langkah ringan yang tadi didengarnya adalah langkah
kaki Malaikat Halilintar.
"Uruslah pembunuh itu, Arya," ujar Wikalpa alias
Malaikat Halilintar. "Biar aku yang mengurus orang
ini."
Dewa Arak tidak membantah. Bergegas disusulnya
Brajageni, alias Ki Jayus. Dan kedatangannya ber-
tepatan dengan selesainya laki-laki bertubuh tinggi
kurus itu berganti pakaian.
Brajageni terperanjat, namun sekejap kemudian,
sudah bisa menguasai diri. Sambil berteriak keras,
laki-laki bertubuh tinggi kurus ini menghunus keris-
nya.
Srattt..!
Bulu tengkuk Dewa Arak meremang ketika melihat
keris yang digenggam Brajageni, karena memiliki
perbawa yang begitu menggiriskan. Jantung Arya
berdetak keras tanpa mampu menahannya. Ada
hawa dingin yang memancar dari bilah keris itu.
Tahu akan keampuhan keris lawan, Dewa Arak
tidak berani bersikap main-main lagi. Cepat-cepat
guci araknya diangkat, lalu dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokan Arya.
Baru saja Dewa Arak menurunkan guci itu,
Brajageni sudah melompat menerjang. Keris di
tangannya ditusukkan cepat ke arah leher Arya.
Dewa Arak terperanjat kaget, merasakan hawa
dingin yang amat sangat menyambar sebelum
serangan-serangan keris itu tiba. Hawa dingin itu
membuat sekujur otot-otot tubuh Dewa Arak kaku
seperti tak bisa digerakkan. Bahkan giginya pun
bergemeletukan.
Begitu serangan itu menyambar dekat, hawa
dingin yang menyerang Dewa Arak semakin menjadi-
jadi. Buru-buru Arya mengerahkan ilmu 'Tenaga Sakti
Inti Matahari'nya untuk menghilangkan pengaruh
hawa dingin yang membuatnya sukar bergerak!
Untung Dewa Arak bertindak cepat. Kalau tidak,
mungkin sudah tersambar keris Brajageni karena
otot-ototnya mendadak kaku. Berkat ilmu 'Tenaga
Sakti Inti Matahari', pemuda berambut putih
keperakan itu mampu menggerakkan ototnya
kembali, meskipun masih kaku.
Berbeda dengan biasanya, kali ini Arya tidak
berani, mengelak tanpa berpindah tempat. Apalagi
tanpa berpindah kaki! Dewa Arak mengelak sejauh-
jauhnya, dengan melempar tubuh ke belakang. Dia
bersalto beberapa kali di tanah, kemudian hinggap
dengan agak terhuyung karena kekakuan yang
melanda otot-ototnya.
Sesaat kemudian, pertarungan sengit yang tidak
menarik pun terjadi. Untuk pertama kali dalam
hidupnya, Dewa Arak mengalami kesulitan me-
mainkan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Ilmu 'Belalang Sakti' adalah ilmu yang meng-
andalkan kelenturan otot. Tenaga yang terkandung
dalam setiap serangan ilmu 'Belalang Sakti', adalah
pengerahan tenaga yang teratur dan tiba-tiba. Jadi
perubahan yang mendadak seperti yang dialami
Dewa Arak ini sungguh menyulitkannya dalam
menguasai ilmu 'Belalang Sakti'.
Dan kali ini, Dewa Arak seperti tidak bisa meng-
gunakan ilmu. 'Belalang Sakti' dengan sempurna.
Gerakannya kaku dari patah-patah. Menyerang pun
kelihatannya hampir tidak pernah. Arya selalu
mengajak lawan agar bertarung jarak jauh. Ini
dilakukan agar pengaruh keris tidak terlalu
menekannya. Beberapa kali Dewa Arak menyerang
lawan dengan semburan araknya. Hebatnya, berkat
tenaga dalamnya yang telah terlatih baik, semburan
arak itu tak kalah dengan serangan senjata rahasia
lainnya! Bila terkena, mampu merobek pakaian dan
menembus daging!
Menggiriskan sekali akibat pertarungan yang
terjadi antara Dewa Arak dan Brajageni. Suasana di
sekitar arena pertarungan diliputi hawa dingin
menusuk tulang. Sementara dari atas kepala Arya,
mengepul uap berwarna putih tebal. Ini karena Dewa
Arak mengerahkan ilmu 'Tenaga Sakti Inti Matahari'
untuk mengurangi kekakuan yang melanda otot-
ototnya.
"Haaat..!"
Brajageni yang merasa di atas angin melompat
menerjang. Dan dari atas, kerisnya ditusukkan ke
arah ubun-ubun Arya.
Kali ini Arya tidak mengelakkan serangan. Dia,
memekik keras seraya mengerahkan seluruh tenaga
dalam. Dan bersamaan dengan itu, gucinya segera
disampirkan di punggung. Lalu, kedua tangannya
dihentakkan ke depan. Maka, angin keras berhawa
panas menyengat seketika berhembus keras ke arah
laki-laki bercaping itu. Memang, Dewa Arak
mengerahkan jurus 'Pukulan Belalang'.
Hebat serangan beruntun yang dilakukan Dewa
Arak. Akibat teriakan yang dikeluarkannya, tubuh
Brajageni yang tengah di udara, kontan menggeliat.
Tangan kanannya yang memegang keris nampak
menggigil. Dada laki-laki bertubuh tinggi kurus ini
terguncang hebat, dan telinganya pun terasa sakit
bukan main.
Di saat itulah serangan jurus 'Pukulan Belalang'
Dewa Arak tiba, telak dan keras sekali menghantam
dadanya. Seketika itu juga tubuh Brajageni terlempar
jauh ke belakang, dan kerisnya pun terlepas dari
pegangan, terlempar entah ke mana. Dari mulut,
hidung, dan telinganya, mengalir darah segar. Sekujur
tubuhnya pun hangus. Brajageni tewas seketika
sebelum sempat menyentuh tanah.
Brukkk...!
Dengan mengeluarkan suara berdebuk keras,
tubuh laki-laki tinggi kurus itu jatuh ke tanah.
"Hhh...!"
Arya menghela napas lega, kemudian mengusap
peluh yang membasahi wajahnya dengan punggung
tangan. Ketika mata Dewa Arak melihat keris
Brajageni yang terjatuh tadi, dia lalu memungutnya.
Kemudian dimasukkan ke dalam sarungnya. Maka
kini keris yang telah banyak meminta korban itu
diselipkan di pinggangnya. Terpaksa Arya mengambil
keris yang menggiriskan itu agar tidak jatuh ke tangan
orang yang tidak bertanggung jawab. Telah dirasa-
kannya sendiri kemukjizatan keris itu. Dia me-
mutuskan untuk menyimpannya di tempat yang
aman.
"Sebuah pukulan jarak jauh yang ampuh...."
Tentu saja ucapan itu membuat Arya terperanjat.
Cepat dia menoleh ke arah asal suara, dan tampak
Malaikat Halilintar tengah memandangnya takjub.
"Ah! Kau terlalu memuji, Ki," sahut Arya malu-malu.
"O, ya. Bagaimana dengan Raja Racun...?"
"Hhh...!" Malaikat Halilintar menghela napas berat.
Diliriknya sebentar pinggang Arya. Memang laki-laki
tinggi kurus ini melihat pemuda berpakaian ungu itu
menyelipkan keris. Tapi karena dia sendiri tengah
dilibat masalah, hal itu tidak dipedulikannya. "Dia
kabur."
"Kabur?"
"Benar! Dia telah melemparkan sebuah benda
kepadaku, kemudian meledak. Dan dari situ, keluar
asap hitam beracun. Di saat itulah dia kabur tanpa
aku dapat berbuat apa-apa."
"Kalau boleh kutahu, ada urusan apakah antara
kau dengannya, Ki?" tanya Arya hati-hati.
"Dia membunuh muridku. Maka aku harus
mencarinya, untuk membalaskan dendam. Setelah
bertemu, kami bertarung, dan dia berhasil ku-
kalahkan. Tapi sayang, dia berhasil melarikan diri dan
bersembunyi. Bertahun-tahun aku berusaha men-
carinya. Sampai akhirnya, kulihat muridnya di Desa
Pucung. Aku pun lalu tinggal di sini, berpura-pura
menjadi guru silat untuk anak-anak kecil."
Malaikat Halilintar menghentikan ceritanya
sejenak.
"Dan akhirnya usahaku tidak sia-sia. Aku berhasil
bertemu dengannya, hanya sayang... Dia berhasil
kabur...."
"Lalu, mengapa waktu itu kau sepertinya tidak
menyukai kedatanganku, Ki?" tanya Arya begitu
teringat sikap laki-laki bertubuh tinggi kurus ini
padanya.
"Aku khawatir, kau mengganggu usahaku. Takut-
nya pencarianku selama bertahun-tahun akan sia
sia."
Mendadak Malaikat Halilintar menghentikan
ucapannya, lalu menoleh. Dewa Arak pun bersikap
demikian. Mereka mendengar banyak langkah kaki
menuju ke arah mereka yang ternyata penduduk
Desa Pucung.
"Aku pergi dulu, Dewa Arak. Aku harus mencari si
keparat itu...!"
Setelah berkata demikian, Malaikat Halilintar
melesat meninggalkan tempat itu.
Arya menatap tubuh laki-laki tinggi kurus itu
sebentar, kemudian menatap ke arah penduduk
desa. Para penduduk memang tahu kalau dia dan Ki
Jayus pergi untuk menumpas pembunuh kejam itu.
Setelah menatap tubuh Brajageni sesaat, Dewa
Arak kemudian melesat meninggalkan tempat itu.
Angin yang tidak lagi dingin menggigilkan, meniup
kulit pemuda berambut putih keperakan itu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar