..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 15 Januari 2025

DEWA ARAK EPISODE KERIS PEMINUM DARAH

MATJENUH

 

Hari sudah agak siang. Sinar sang surya begitu terik, 

menyengat kulit. Namun semua itu tidak dipedulikan 

oleh dua sosok tubuh yang melangkah bergegas 

memasuki hutan. 

Dua sosok yang ternyata dua orang lelaki itu 

melangkah gesit, dan bersikap penuh tanggap. Jelas 

kalau mereka tidak asing lagi dengan ilmu silat. 

"Masih jauhkah gua itu, Rakapitu?" tanya orang 

yang wajahnya penuh tahi lalat. 

Orang yang dipanggil Rakapitu segera meng-

edarkan pandangan ke sekeliling. Dia adalah seorang 

laki-laki bertubuh tinggi besar, kekar dan berotot. 

Tapi, kepalanya kecil, sehingga kelihatan lucu sekali. 

"Rasanya tidak jauh lagi, Gibang," sahut Rakapitu. 

Tapi, nada suaranya terdengar mengambang. Jelas 

kalau dia merasa bimbang akan jawabannya sendiri. 

"Heh...?! Jadi kau sendiri tidak tahu tempatnya, 

Rakapitu?" Gibang terperanjat dengan dahi berkerut 

dalam. 

"Tentu saja tahu!" sergah Rakapitu keras seraya 

menatap tajam wajah rekannya. 

"Hm.... Lalu..., mengapa sekarang kau kelihatan 

bingung?" secercah senyum mengejek tersungging di 

bibir Gibang. 

"Siapa yang bingung?!" semakin meninggi suara 

Rakapitu. Sikap laki-laki yang wajahnya penuh tahi 

lalat itu menyebabkan amarahnya bangkit. "Aku 

tengah mencari patokannya. Apa kau sudah melihat 

pohon beringin yang batangnya sedikit terkelupas?"


Sambil berkata demikian, kepala laki-laki tinggi 

besar ini menoleh ke kanan dan ke kiri. Gibang pun 

mau tak mau ikut mengedarkan pandangannya, 

mencari-cari pohon beringin seperti yang dikatakan 

rekannya. 

"Itu dia...!" teriak Rakapitu gembira, seraya meng-

arahkan telunjuk kanannya pada sebatang pohon 

beringin. 

Gibang mengikuti arah tudingan itu. Memang 

benar apa yang dikatakan Rakapitu. Batang pohon 

beringin itu terkelupas. 

Seketika itu juga, Rakapitu mempercepat langkah-

nya. Mau tak mau, Gibang pun melakukan hal yang 

sama jika tidak ingin tertinggal. Dari pohon beringin 

itu Rakapitu menuju ke kiri. Dia berjalan menerobos 

kerimbunan semak dan pepohonan yang lebat. 

"Itu tempatnya, Gibang," tunjuk Rakapitu seraya 

menudingkan telunjuk kanannya ke arah sebuah gua 

yang terletak tak jauh di depan mereka. 

"Hm...," hanya gumam pelan dan tak jelas yang 

keluar dari mulut Gibang untuk menyambuti ucapan 

rekannya. 

Begitu telah menemukan apa yang dicari, kedua 

laki-laki ini kian mempercepat langkah. Jelas sudah, 

tujuan mereka adalah ke gua itu. 

Tapi, ketika jarak antara mereka dengan mulut gua 

tinggal sekitar tiga tombak lagi, terdengar suara 

gerengan. Perlahan saja suara itu, tapi akibatnya 

telah membuat wajah Rakapitu dan Gibang memucat. 

Langkah kaki mereka kontan terhenti. Tanpa melihat 

pun, mereka telah tahu kalau suara gerengan itu tak 

lain berasal dari seekor harimau. 

Sebenarnya baik Rakapitu maupun Gibang sama 

sekali tidak merasa gentar terhadap harimau. Tapi



binatang yang terdapat di gua ini tidak bisa dianggap 

sembarangan. Binatang itu adalah seekor macan 

putih ajaib, yang kebal terhadap segala macam 

senjata. Bahkan juga memiliki kekuatan yang 

menggiriskan (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak 

dalam episode "Prahara Hutan Bandan"). 

Belum lagi gema gerengan itu lenyap, dari dalam 

gua keluar seekor macan yang berbulu putih dengan 

langkah tenang. Besarnya mungkin satu setengah kali 

macan biasa yang paling besar. 

"Grrrh...!" 

Kembali macan putih itu menggereng. Kali ini lebih 

keras dari sebelumnya. Sepasang matanya yang 

bersinar kehijauan menatap tajam wajah kedua tamu 

tak diundang itu. Mulutnya terbuka memamerkan 

deretan gigi-gigi yang panjang dan runcing. 

Karuan saja hal itu membuat Rakapitu dan Gibang 

jadi semakin ketakutan. Dengan tubuh gemetar 

kedua orang itu beringsut melangkah ke belakang. 

Tapi ternyata macan putih itu tidak bermaksud 

jahat. Terbukti begitu melihat Rakapitu dan Gibang 

undur, binatang itu pun tidak mengejar. Macan putih 

itu hanya menggereng pelan, kemudian mem-

baringkan tubuhnya di depan gua. Tapi wajahnya 

tetap tertuju pada Rakapitu dan Gibang. 

Melihat macan itu tidak mengejar, rasa takut 

Rakapitu dan Gibang mulai mereda. Kedua orang ini 

tidak lagi melangkah mundur, tapi diam di tempat. 

Beberapa saat lamanya, kedua laki-laki ini berdiam 

diri. Maju tidak, mundur pun tidak. 

"Bagaimana, Gibang?" tanya Rakapitu meminta 

pendapat rekannya. 

"Sudah kepalang basah, Kang. Mandi saja 

sekalian," sahut laki-laki berwajah penuh tahi lalat itu.


Nada suaranya terdengar tegas. Meskipun lebih mirip 

bisikan. 

"Bagaimana dengan macan itu?" Rakapitu 

menunjuk macan putih dengan dagunya. 

Gibang terdiam sejenak. Sesaat lamanya matanya 

menatap macan putih yang terbaring di depan gua. 

Wajah binatang itu tetap tertuju pada mereka. Tapi 

tidak ada tanda-tanda kalau akan melakukan 

sesuatu. Bahkan sepertinya macan putih itu tengah 

bersenang hati. Terbukti, ekornya mengibas ke sana 

kemari. 

"Tampaknya binatang itu tidak buas, Rakapitu." 

"Dugaanmu mungkin benar, Gibang," sahut laki-

laki bertubuh tinggi besar itu mendukung penilaian 

rekannya. 

"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" desak Gibang 

dengan suara pelan. "Kita coba saja masuk ke 

dalam." 

"Bagaimana kalau macan itu menyerang?" 

Rakapitu masih ragu-ragu. 

"Kita usahakan agar binatang itu jangan sampai 

merasa terganggu." 

"Aku mengerti," kata Rakapitu. "Tapi bagaimana 

caranya?" 

"Kita melangkah perlahan-lahan," usul Gibang. 

"Kalau begitu, kau bergerak dulu. Aku rnengikuti 

dari belakang," tambah Rakapitu yang masih khawatir 

kalau macan putih itu akan menyerang. 

"Hhh...!" 

Gibang menghela napas berat, mencoba me-

nenangkan debaran jantungnya yang kembali ber-

detak cepat, begitu memutuskan untuk nekat me-

nerobos masuk ke dalam gua. 

Perlahan dan hati-hati sekali Gibang melangkah


kan kaki. Tapi baru juga melangkah setindak, ekor 

macan itu berhenti mengibas. Tampak jelas kalau 

binatang itu mulai curiga. 

Tentu saja Gibang melihat hal ini, tapi berpura-

pura tidak melihat. Kembali kakinya dilangkahkan. 

Sementara Rakapitu mulai melangkah maju pula. 

"Grrrh...!" 

Macan putih menggereng pelan sambil meng-

gerak-gerakkan misainya. 

Melihat hal ini, Gibang semakin gugup. Jelas kalau 

macan putih itu telah menunjukkan tanda-tanda 

mengkhawatirkan bagi diri dan rekannya. Tapi Gibang 

sudah nekat. Kembali kakinya melangkah. Rakapitu 

pun terpaksa melangkahkan kakinya pula. Tapi kali 

ini langkah kedua orang ini tidak setenang semula, 

dan tampak mulai oleng. Yang pasti, kedua lelaki ini 

dilanda perasaan tegang. 

Mendadak macan putih itu bangkit dari ber-

baringnya seraya terus menggereng. Gerengannya 

kali ini lebih keras dari sebelumnya, pertanda kalau 

mulai marah. 

Kontan wajah Rakapitu dan Gibang memucat. 

Langkah mereka pun terhenti, tapi terlambat. Macan 

itu rupanya sudah merasa terganggu dan marah pada 

kedua laki-laki itu. Sambil mengaum menggetarkan 

dada, macan putih itu melompat menerkam Gibang 

dan Rakapitu. Maka kedua orang ini terkejut bukan 

main. 

"Awas, Rakapitu...!" seru Gibang seraya melempar 

tubuh ke samping kanan. Dan begitu kedua 

tangannya menyentuh tanah, tubuhnya segera ber-

gulingan menjauh. 

Rakapitu tentu saja tidak mau mati konyol. Laki-

laki tinggi besar ini melempar tubuh ke samping


untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Hanya 

bedanya, kalau Gibang melompat ke kanan, dia 

melompat ke kiri. Dan berbareng dengan bangkitnya 

Gibang, Rakapitu juga bangkit dari bergulingannya. 

"Grrrh...!" 

Kembali macan putih ini menggereng begitu 

melihat calon korbannya berhasil meloloskan diri dari 

terkaman. Dan begitu mendarat di tanah, binatang itu 

kebingungan melihat mangsanya berpencar. Tapi 

sesaat kemudian macan putih telah kembali 

menyerang. Kini Gibanglah yang menjadi sasarannya. 

Gibang menggertakkan gigi, bersiap-siap meng-

hadapi serangan macan itu. Di tangan kanannya 

tampak tergenggam sebatang golok besar. Maka 

begitu melihat binatang itu menerkam, segera 

dipapak dengan ayunan goloknya. 

Bukkk...! 

Telak dan keras sekali golok Gibang menghantam 

bahu macan putih itu. Tapi akibatnya, tubuh laki-laki 

berwajah penuh tahi lalat ini malah terjengkang ke 

belakang dan jatuh di tanah. Ini terjadi, karena dia 

terbawa dorongan tenaga terkaman macan putih itu. 

Sementara binatang itu sama sekali tidak merasakan 

apa-apa. Jangankan terluka, merasa sakit pun tidak. 

Sebaliknya, justru Gibang yang merasa tangannya 

seperti lumpuh. Goloknya seperti berbenturan dengan 

sebuah benda yang amat kenyal, dan tanpa dapat 

ditahan lagi terlepas dari pegangan. 

"Auuummm...!" 

Sambil mengeluarkan auman menggelegar, macan 

putih itu kembali menerkam. Padahal saat itu tubuh 

Gibang tengah tergolek di tanah. Rasanya, untuk 

bangkit berdiri atau melompat tidak ada waktu lagi. 

Maka tubuhnya segera bergulingan untuk me


nyelamatkan selembar nyawanya. 

Untuk yang kesekian kalinya, Gibang lolos dari 

maut. Dan sebelum macan putih itu terus memburu, 

bantuan dari rekannya tiba. Rakapitu langsung 

membabatkan goloknya pada punggung binatang itu. 

Bukkk...! 

Seperti yang dialami Gibang, Rakapitu pun merasa 

babatannya seakan-akan menghantam sebuah benda 

kenyal. Akibatnya, tenaga serangannya berbalik, dan 

tangannya terasa lumpuh. Hanya saja, sebelum 

senjata itu terlepas dari pegangan, dia masih mampu 

mencekalnya. 

Macan putih membalikkan tubuhnya menghadap 

Rakapitu. Binatang ini marah bukan main mengetahui 

tindakannya dihalangi. Maka serangannya kini 

dialihkan pada laki-laki tinggi besar itu. Macan putih 

itu mengayunkan kaki kanan depannya, menyampok 

ke arah pelipis Rakapitu. 

Laki-laki tinggi besar itu menggertakkan gigi. 

Seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya 

dikerahkan untuk memapak sampokan macan putih 

itu dengan goloknya. Dia bermaksud membuat kaki 

binatang itu buntung. 

Takkk...! 

Terdengar suara keras seperti bunyi logam beradu. 

Rakapitu begitu terperanjat, menyadari kalau 

sampokan macan itu ternyata kuat bukan main. 

Seketika tangan kanannya terasa sakit-sakit. Bahkan 

lumpuh sejenak. Dan kini tak pelak lagi goloknya 

terlempar jauh. 

Rakapitu tahu kalau dirinya kini terancam. Maka 

tanpa membuang-buang waktu lagi, segera tubuhnya 

dilempar ke samping dan bergulingan menjauh. 

Tapi macan putih itu rupanya tak mau membiarkan


mangsanya lolos. Langsung dikejarnya tubuh yang 

tengah berguling-guling itu. Tapi sebelum macan itu 

kembali menerkam, terdengar seruan mencegah. 

"Putih...! Tahan...!" 

Pelan saja suara bernada perintah itu. Meskipun 

begitu, pengaruh yang ditimbulkannya begitu luar 

biasa. Macan putih itu langsung menghentikan 

gerakannya begitu mendengar cegahan, lalu menoleh 

sebentar. Binatang itu menggereng pelan, kemudian 

melangkah menghampiri si pemilik suara. 

"Hhh...!" 

Hampir berbareng Rakapitu dan Gibang menghela 

napas lega. Keduanya sadar, kalau pertarungan 

dilanjutkan, pasti akan tewas di tangan macan putih 

yang kebal itu. Dengan pandangan penuh rasa 

syukur, kedua lelaki ini mengalihkan pandangan ke 

arah asal seruan itu. 

Di depan gua, tampak berdiri seorang kakek 

berpakaian kuning. Rambut, alis, kumis, dan 

jenggotnya telah memutih semua. Tubuhnya agak 

bungkuk dan kaki kirinya buntung sampai pangkal 

paha. Di tangan kiri kakek ini tergenggam sebatang 

tongkat butut untuk menyangga tubuhnya. 

Rakapitu dan Gibang mengerutkan alisnya, lalu 

melangkah menghampiri kakek itu. Macan putih yang 

kini telah berada di sebelah kakek bertubuh bungkuk 

itu menggereng pelan, penuh kemarahan. 

"Tenanglah, Putih," ujar kakek berpakaian kuning 

menenangkan. Tangan kanannya mengelus-elus 

kepala binatang itu. 

Seketika itu juga, macan putih itu berhenti 

menggereng. Tampak jelas kalau binatang ini amat 

patuh pada kakek bertubuh bungkuk dan berpakaian 

kuning itu. Hal ini tidak aneh, karena binatang itu


memang peliharaannya. 

Kini macan putih itu hanya menatap penuh curiga 

pada Rakapitu dan Gibang yang tengah melangkah 

menghampiri majikannya. 

"Siapa kalian? Dan mengapa mengganggu 

binatang peliharaanku?" tanya kakek berpakaian 

kuning begitu Rakapitu dan Gibang menghentikan 

langkahnya. Sepasang mata kakek itu menatap tajam 

wajah Rakapitu dan Gibang secara bergantian. Jarak 

mereka terpisah sekitar tiga batang tombak. 

"Aku Gibang, Kek," sahut laki-laki berwajah penuh 

tahi lalat mengenalkan diri. "Dan ini kawanku, 

Rakapitu." 

Sambil berkata demikian, Gibang menudingkan 

telunjuk pada rekannya. Rakapitu menganggukkan 

kepala sambil tersenyum. 

"Hm...," kakek berpakaian kuning hanya bergumam 

pelan, tak jelas. 

"Kami tidak menyerang peliharaan Kakek. Sebalik-

nya, binatang itulah yang menyerang kami," sambung 

Gibang memberi penjelasan. 

"Tidak mungkin. Putih tidak pernah menyerang 

orang, terkecuali kalau diganggu lebih dulu," bantah 

kakek berpakaian kuning. 

"Tapi, kami sama sekali tidak mengganggunya, 

Kek," sambut Gibang lagi, membela diri. 

"Benar," sambung Rakapitu. "Kami berdua akan 

masuk ke dalam gua, dan ingin menemui penghuni-

nya yang bernama Eyang Aji Ranta." 

"Akulah orang yang kalian cari itu," kata kakek 

berpakaian kuning, pelan. 

Rakapitu dan Gibang mengerutkan kening. 

Memang beberapa ciri Eyang Aji Ranta ini, mirip 

dengan orang yang mereka cari. Tapi, ada ciri yang


amat penting yang tidak dimiliki kakek berpakaian 

kuning itu. Inilah yang membuat kedua laki-laki ini 

ragu. 

"Jadi, kakek yang bernama Eyang Aji Ranta itu?" 

tanya Gibang masih kurang percaya. 

Kakek berpakaian kuning itu menganggukkan 

kepala sambil tersenyum. 

"Tapi setahu kami, sepasang mata Eyang Aji Ranta 

buta," Rakapitu ikut ambil bagian, mengutarakan 

keragu-raguannya. Sepasang matanya menatap ke 

arah mata kakek berpakaian kuning di depannya. 

Dan memang, sepasang mata kakek itu tidak buta. 

Gibang menganggukkan kepala pertanda mem-

benarkan ucapan rekannya. 

"Aku telah berhasil menyembuhkannya," jawab 

kakek yang ternyata bernama Eyang Aji Ranta, masih 

dengan senyum di bibir. Dan ternyata kakek ini juga 

suami dari Kuntilanak Alam Kubur (Untuk jelasnya, 

baca serial Dewa Arak dalam episode "Prahara Hutan 

Bandan"). 

Rakapitu dan Gibang mengangguk-anggukkan 

kepala pertanda mengerti. 

"Sekarang katakanlah, apa maksud kalian datang 

menemuiku?" tanya Eyang Aji Ranta. Sebagai bekas 

orang buta, perasaannya jauh lebih tajam dibanding 

orang lain. Maka, kakek berpakaian kuning ini sudah 

bisa merasa kalau kedua orang di hadapannya 

adalah orang baik-baik. 

"Ada orang yang sangat membutuhkan bantuan 

Eyang," sahut Gibang. "Dia sakit parah. Karena men-

dengar kabar kalau Eyang ahli dalam pengobatan, 

maka kami lalu memaksakan diri menemui Eyang." 

Eyang Aji Ranta terdiam. Memang, dia sering 

mengobati para penduduk sekitar Hutan Dadap.


Maka mendengar permintaan Rakapitu dan Gibang, 

dia tidak merasa heran. 

"Di mana tempat tinggal kalian?" tanya Eyang Aji 

Ranta setelah beberapa saat lamanya termenung. 

"Desa Pucung, Eyang," jawab Gibang cepat. 

"Desa Pucung...," ulang kakek berpakaian kuning. 

"Bagaimana, Eyang?" tanya Gibang penuh harap. 

"Eyang bersedia?" 

Eyang Aji Ranta menganggukkan kepala. 

"Terima kasih atas kebaikan hati Eyang Aji Ranta," 

ucap Rakapitu dan Gibang berbarengan begitu 

melihat gerak kepala Eyang Aji Ranta. Wajah kedua 

orang itu nampak berseri-seri. 

"Sudahlah. Aku paling tidak suka banyak 

peradatan," sergah Eyang Aji Ranta penuh teguran. 

"Maafkan kami, Eyang," ucap Gibang buru-buru. 

"Kami terlalu gembira karena Eyang bersedia me-

luluskan permintaan kami, sehingga tidak bisa 

menahan luapan perasaan." 

Eyang Aji Ranta tidak menyahut. 

"Putih. Aku akan pergi sebentar. Jaga tempat ini 

baik-baik," ujar kakek berpakaian kuning pada 

binatang peliharaannya. 

"Grrrh...!" 

Macan putih menggereng pelan sebagai jawaban-

nya. 

"Mari kita berangkat," ajak Eyang Aji Ranta sambil 

melangkah mendahului meninggalkan tempat itu. 

Kelihatannya Eyang Aji Ranta hanya melangkah 

perlahan saja. Tapi hebatnya, dia sudah berada 

dalam jarak sepuluh tombak dari tempat semula. 

Karuan saja hal ini membuat Rakapitu dan Gibang 

terkejut bukan kepalang. Jelas terbukti kalau Eyang 

Aji Ranta adalah orang sakti. Tapi mereka tidak bisa


berlama-lama tenggelam dalam keterkejutan, karena 

Eyang Aji Ranta telah berjalan cukup jauh. Kini buru-

buru mereka berlari menyusul. 

*** 

Baru saja tubuh ketiga orang itu lenyap ditelan 

kejauhan, dari arah yang berlawanan bermunculan 

belasan orang berwajah kasar dari balik pepohonan. 

Di tangan mereka tampak tergenggam senjata 

terhunus. 

Rupanya kedatangan belasan orang itu diketahui 

macan putih, maka binatang itu langsung bangkit dari 

berbaringnya. Memang sejak Eyang Aji Ranta pergi, 

macan putih segera membaringkan tubuhnya di 

depan gua. Dan binatang itu baru bangkit begitu 

mencium bau banyak orang yang berdatangan ke 

tempat ini. 

Macan putih menggereng keras, begitu melihat di 

depannya telah berkumpul belasan orang berwajah 

kasar sambil membawa senjata terhunus. Nalurinya 

langsung mengisyaratkan kalau belasan orang itu 

tidak bermaksud baik. 

"Serbu...!" 

Salah seorang yang berikat kepala hitam langsung 

memberi aba-aba. Tangan kanannya yang meng-

genggam sebatang golok besar diangkat ke atas. 

Salah satu mata golok tampak bergerigi. Sepertinya 

dia adalah pemimpin gerombolan ini. 

Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan orang 

itu meluruk ke arah mulut gua. Dan karena macan 

putih berdiri menghadang di depan, mereka terpaksa 

harus merobohkannya terlebih dahulu. 

Suara berdesing nyaring, diiringi kilatan senjata


senjata yang ditimpa sinar matahari mengiringi 

tibanya serangan gerombolan itu. 

"Auuummm...!" 

Sambil mengaum keras menggetarkan jantung, 

macan putih melompat memapak tibanya belasan 

senjata yang siap merajamnya. 

Tak pelak lagi, sekujur tubuh macan putih 

langsung disambut hujan bermacam-macam senjata 

tajam. Dan ternyata belasan penyerang itu harus 

menemui kenyataan pahit. Buktinya, senjata-senjata 

itu malah terpental balik sewaktu menghantam kulit 

binatang itu. Bahkan tubuh macan putih itu terus 

meluncur tanpa bisa ditahan lagi. 

Jerit kematian pun terdengar seketika, saat 

seorang dari mereka diterkam macan putih. Tanpa 

ampun lagi, gigi-gigi runcing binatang itu menghunjam 

leher orang malang itu. Sementara kedua kaki 

depannya, mencengkeram kedua bahunya. 

Berbareng dengan robohnya tubuh itu di tanah, 

nyawanya pun melayang meninggalkan raganya. 

Kematian salah seorang dari mereka, membuat 

belasan orang itu jadi murka. Segera tubuh macan 

putih itu dihujani dengan bacokan dan tusukan 

senjata. 

Lagi-lagi, tindakan gerombolan itu hanya mem-

buang tenaga secara percuma saja. Kulit tubuh 

macan putih itu sama sekali tak mampu ditembus. 

Bahkan senjata-senjata mereka terpental balik. 

Wuttt...! Prattt..! 

Kembali seseorang yang berwajah pucat seperti 

orang penyakitan telah menjadi korban. Kaki kanan 

depan macan putih itu telah menyampok pelipisnya. 

Seketika tubuh laki-laki berwajah pucat itu ter-

pelanting dan jatuh di tanah. Tanpa sempat berteriak


lagi, orang itu tewas seketika. Tulang pelipisnya retak, 

terkena sampokan macan putih yang memang keras 

bukan main. 

Macan putih itu terus mengamuk, menyebar maut 

pada lawan-lawannya. Beberapa saat kemudian, 

kembali jerit memilukan terdengar diiringi robohnya 

anggota gerombolan yang lain. 

Karuan saja hal ini membuat kemarahan 

pemimpin gerombolan itu bergolak. Sementara, 

macan putih itu sama sekali belum terluka. Sedang-

kan empat orang anak buahnya sudah pergi ke alam 

baka. Bukan tidak mungkin kalau dibiarkan terus, 

anak buahnya akan habis dibantai binatang buas itu. 

"Mundur semua...!" teriak laki-laki berikat kepala 

hitam. Suaranya terdengar keras bukan main, karena 

disertai pengerahan tenaga dalam. 

Tanpa diperintah dua kali, anggota gerombolan itu 

saling dahulu-mendahului bergerak mundur. Tapi, 

macan putih tidak mau membiarkan begitu saja. 

Binatang itu terus bergerak mengejar mereka. 

Kembali salah seorang anggota gerombolan 

menjadi korban, karena ditubruk macan putih dari 

bela-kang. Tak pelak lagi, tubuh laki-laki itu pun 

terjerembab ke depan. Sedangkan macan putih 

masih berada di atasnya. 

Sebelum laki-laki berwajah bopeng itu bangkit, 

macan putih telah lebih dahulu menghunjamkan 

giginya di tengkuk. Suara jeritan menyayat terdengar 

ketika laki-laki berwajah bopeng itu meregang nyawa. 

"Keparat..!" maki laki-laki berikat kepala hitam. 

Perasaan geram yang hebat tampak jelas baik pada 

wajah maupun suaranya. 

Seiring hilangnya gema makian itu, tangan 

kanannya bergerak ke arah pinggang. Sesaat


kemudian, di tangan kanannya telah tergenggam 

seutas cambuk berwarna merah darah. Panjangnya, 

tak kurang dari satu setengah tombak. 

Darrr...! 

Ledakan keras yang memekakkan telinga 

terdengar ketika laki-laki berikat kepala hitam ini 

melecutkan cambuknya. 

"Auuummm...!" 

Sambil mengaum keras, macan putih melompat 

menerkam laki-laki berikat kepala hitam. Sedangkan 

yang akan diterkam malah mendengus, namun cepat 

mengelak. Gerakannya gesit juga, laksana kera dia 

menyelinap di bawah tubuh macan itu. Sesaat 

kemudian tubuhnya sudah berada di belakang macan 

putih, mendekati sebuah pohon besar. 

Secepat laki-laki berikat kepala hitam itu berada di 

sana, secepat itu pula cambuknya dilecutkan. 

Darrr...! Rrrt..! 

"Grrrh...!" 

Macan putih menggeram keras ketika kaki kiri 

belakangnya erat sekali terlilit cambuk, dan langsung 

terikat mati. Sebelum tubuh binatang itu menyentuh 

tanah, laki-laki berikat kepala hitam itu segera 

mengikatkan ujung cambuk yang dipegang ke 

sebatang pohon besar di dekatnya. Hal ini memang 

sudah direncanakan. 

Laki-laki berikat kepala hitam itu tersenyum puas 

setelah selesai mengikatkan ujung cambuknya ke 

batang pohon. Sepasang matanya menatap penuh 

kepuasan pada macan putih yang meronta-ronta 

berusaha melepaskan diri, tapi tanpa hasil. Cambuk 

itu bukan cambuk sembarangan, karena terbuat dari 

bahan yang alot dan sulit diputuskan. Bahkan oleh 

senjata tajam sekali pun.


"Cari benda itu..!" perintah laki-laki berikat kepala 

hitam. 

Anak buahnya yang tengah menatap penuh 

kagum, segera bergerak mengikuti perintah 

pemimpinnya. Sama sekali tidak disangka kalau 

macan putih yang menggiriskan itu, dapat dilumpuh-

kan oleh pemimpin mereka dalam segebrakan. 

Padahal, binatang itu kelihatan perkasa. Buktinya, 

beberapa nyawa telah melayang akibat terkamannya. 

Dan kini, binatang itu hanya dapat meronta-ronta, 

tanpa mampu melepaskan diri dari ikatan cambuk 

pada kakinya. 

Dan memang, anggota gerombolan itu tidak bisa 

berlama-lama tenggelam dalam kekaguman. Apa lagi, 

mereka berlomba dengan waktu. Apabila Eyang Aji 

Ranta keburu kembali, mereka akan menghadapi 

kesulitan yang amat besar. Benda yang berada di 

dalam gua harus cepat diambil! 

Maka anggota gerombolan itu bergegas masuk ke 

dalam gua. Tak dihiraukan lagi macan putih yang 

meraung-raung murka melihat anggota gerombolan 

itu memasuki gua tempat tinggal majikannya. 

***


Begitu memasuki mulut gua, gerombolan yang kini 

berjumlah sembilan orang itu bergegas mengedarkan 

pandangan berkeliling, mencari-cari benda yang 

diperintahkan pemimpin mereka. 

Tapi suasana dalam gua yang hanya remang-

remang, rupanya cukup menjadi penghalang juga. 

Besar kemungkinan kalau benda yang dicari tidak 

akan diketemukan. 

Tapi ternyata anggota gerombolan itu sudah 

memperhitungkannya. Dan kini, tiga orang di antara 

mereka segera mengeluarkan tiga batang obor dari 

balik bajunya. Dan berkat tenaga dalam yang 

lumayan, tidak sulit untuk menyalakan api. Dua 

batang obor yang terbuat dari kayu nangka itu 

digosok-gosokkan, hingga menimbulkan percikan api. 

Sementara sebatang obor lain didekatkan ke 

percikan api. Maka begitu ujung obor terkena 

percikannya api langsung membesar menjadi obor 

yang menyala. Kemudian, mereka menyulut dua obor 

berikutnya. Dan kini, suasana dalam gua itu telah 

terang-benderang oleh tiga batang obor. 

Dengan bantuan cahaya obor, sembilan orang 

anggota gerombolan itu meneruskan pencarian. 

Sepasang mata masing-masing menelusuri setiap 

jengkal ruangan yang terdapat dalam gua itu. Dinding, 

lantai, dan atap diperjksa dengan teliti. 

Semakin lama langkah sembilan orang itu semakin 

jauh masuk ke dalam gua. Tapi sampai sekian jauh,


benda yang dicari belum diketemukan. 

Akhirnya mereka sampai di ujung terakhir gua itu, 

di sebuah ruangan yang cukup luas. Di situlah tempat 

Eyang Aji Ranta bersemadi dan beristirahat. 

"Hei...! Kemarii…!" 

Tiba-tiba terdengar seruan salah seorang anggota 

gerombolan yang berambut keriting. Obor di tangan-

nya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Sementara 

sepasang matanya menatap penuh selidik pada 

sebuah benda berwarna gelap sebesar kepala 

manusia. 

Mendengar seruan itu serentak anggota 

gerombolan lainnya bergegas menghampiri. Dengan 

bertambahnya dua batang obor yang menerangi 

tempat laki-laki berambut keriting, maka sekitar 

tempat itu jadi semakin terang-benderang. 

"Benarkah itu benda langit yang dicari-cari Kakang 

Wisesa?" tanya laki-laki berambut keriting. Nada 

suaranya menyiratkan keragu-raguan. Obor yang 

dipegangnya segera diletakkan ke dinding gua. 

"Entahlah...," sahut orang yang mempunyai anting-

anting di hidung. 

"Aku yakin, benda itulah yang dicari Kakang 

Wisesa," tegas orang yang berkulit hitam legam. Nada 

suara dan sikapnya menyiratkan keyakinan besar. 

"Ya," sambut yang lainnya. "Kakang Wisesa telah 

menceritakan ciri-ciri benda langit itu. Dan semua 

yang dikatakan Kakang Wisesa, sesuai dengan benda 

ini." 

"Kalau begitu, tunggu apa lagi?!" tegas orang yang 

berambut keriting. "Ambil benda itu, dan kita berikan 

secepatnya pada Kakang Wisesa!" 

Tapi, tidak ada satu pun yang berani mengulurkan 

tangan untuk mengambilnya. Tak terkecuali, laki-laki


berambut keriting sendiri. 

"Kau saja yang mengambilnya, Guntara," orang 

yang di hidungnya ada anting-anting balas meng-

usulkan pada laki-laki berambut keriting. 

"Heh...?! Mengapa harus aku, Gota?!" laki-laki 

berambut keriting yang bernama Guntara terperanjat. 

"Tentu saja tidak harus kau, Guntara," lanjut laki-

laki beranting di hidung yang ternyata bernama Gota. 

"Tapi, karena kau yang mengusulkan lebih dulu, tidak 

ada salahnya jika kau yang mengambilnya." 

"Apakah benda itu tidak beracun?" tanya Guntara 

ragu-ragu. 

"Itulah yang membuat kami khawatir meng-

ambilnya," sahut Gota tenang. 

Guntara langsung terdiam dengan dahi berkerut. 

Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Sementara 

Gota juga tak melanjutkan ucapannya. Maka, 

keheningan pun menyelimuti tempat itu. 

"Hhh...!" Guntara menghela napas berat, me-

mecahkan keheningan yang menyelimuti tempat itu. 

Semua rekannya tanpa sadar menoleh ke arahnya. 

"Baiklah. Aku akan mengambilnya," ucap laki-laki 

berambut keriting memutuskan. Suaranya terdengar 

agak bergetar, menyiratkan ketegangan hatinya. 

Bukan hanya Guntara saja yang merasa tegang. 

Gota dan rekan-rekan yang lain pun mengalami 

perasaan yang sama. Apakah benda langit itu 

beracun atau tidak, Guntaralah yang menjadi kelinci 

percobaan. 

Guntara membungkukkan badan, lalu perlahan-

lahan menjulurkan tangan kanannya. Tampak tangan 

laki-laki berambut keriting ini gemetar keras. Keringat 

sebesar besar jagung membasahi seluruh tubuhnya. 

Mula-mula hanya tangan kanan saja yang


menyentuh benda berwarna gelap itu. Itu pun hanya 

sekadar menyentuh saja. Beberapa saat lamanya 

Guntara membiarkan tangannya menempel pada 

benda itu. Wajahnya terlihat tegang bukan main. 

Keringat sebesar-besar jagung semakin banyak mem-

basahi wajah dan tubuhnya. 

Tapi setelah menunggu beberapa saat, hal-hal 

yang dikhawatirkan ternyata tidak kunjung terjadi. 

Perlahan-lahan raut ketegangan di wajah Guntara 

mulai sirna. Kini laki-laki berambut keriting itu mulai 

berani mencengkeram benda berwarna gelap itu. 

Ketika tidak juga terjadi apa-apa, Guntara meng-

ulurkan tangan kirinya. Maka dengan kedua tangan, 

diangkatnya benda yang diduga berasal dari langit itu. 

Dengan penuh rasa bangga, Guntara mengangkat 

benda berwarna gelap itu tinggi-tinggi di atas kepala. 

Baru kemudian kakinya melangkah menuju ke luar. 

Tanpa berkata apa-apa, Gota dan yang lainnya 

melangkah mengikuti Guntara dari belakang. 

*** 

"Hhh...!" 

Laki-laki berikat kepala hitam yang bernama 

Wisesa menghela napas berat. Untuk yang kesekian 

kali, pandangannya dialihkan ke arah pintu gua. Tapi 

anak buahnya yang sejak tadi ditunggu-tunggu, tak 

kunjung muncul. 

Wisesa khawatir, macan putih dapat meloloskan 

diri. Masalahnya, sejak tadi binatang itu tak henti-

hentinya meronta. Tapi usaha yang dilakukannya itu 

sia-sia saja. Memang, cambuk yang mengikatnya 

terlalu a lot. 

Wisesa membiarkan saja macan putih itu meronta


ronta, dan sama sekali tidak berusaha mencegah. 

Bahkan laki-laki berikat kepala hitam juga tidak 

mempergunakan kesempatan ini untuk menyerang 

macan putih. Karena dia tahu, semua itu percuma 

saja. Macan putih memiliki kekebalan tubuh yang luar 

biasa. Menyerangnya hanya melelahkan diri sendiri. 

Sambil menunggu anak buahnya keluar dari dalam 

gua, Wisesa mengawasi macan putih itu. Di saat 

kesabaran laki-laki berikat kepala hitam ini hampir 

habis, orang-orang yang ditunggunya muncul. Mula-

mula yang terlihat Guntara. Di tangan laki-laki 

berambut keriting itu tampak sebuah benda berwarna 

gelap, mirip sebuah batu. Tak salah lagi, pasti itu 

benda langit! 

Melihat hal ini, Wisesa tidak mampu menahan 

perasaannya lagi. Dia bergegas berlari menyambut. 

Tak sabar lagi harinya untuk memiliki benda itu. 

Karena kedua belah pihak bergerak saling meng-

hampiri, maka Guntara dan Wisesa telah saling 

berhadapan. 

"Inikah benda langit itu, Kang?" tanya Guntara 

seraya mengangsurkan benda di tangannya. 

Dengan bernafsu sekali laki-laki berikat kepala 

hitam menerima benda berwarna gelap itu, lalu 

diamat-amatinya sejenak. 

"Benar!" sahut Wisesa setelah memeriksa benda 

itu. Nada suaranya menyiratkan perasaan gembira 

yang meledak-ledak. "Inilah benda langit itu!" 

Semua orang yang ada di situ menarik napas lega. 

Mereka tampak tersenyum gembira karena berhasil 

menjalankan tugas. 

"Mari kita tinggalkan tempat ini," ajak Wisesa 

seraya bergerak meninggalkan tempat itu, diikuti oleh 

anak buahnya yang membawa mayat-mayat rekan


mereka. Tak dipedulikannya macan putih yang masih 

meronta-ronta melepaskan diri. 

Sesaat kemudian tubuh mereka telah lenyap 

ditelan kerimbunan pepohonan dan semak-semak 

lebat. 

*** 

Eyang Aji Ranta segera menghentikan langkahnya 

begitu mulai mendekati batas tembok Desa Pucung. 

Dengan sendirinya, Rakapitu dan Gibang yang sejak 

tadi berlari sekuat tenaga untuk mengimbangi kakek 

berpakaian kuning itu berhasil menyusul. Sekujur 

tubuh kedua laki-laki itu nampak dibanjiri peluh, 

dengan napas terengah-engah. 

Dapat dibayangkan, betapa kagetnya hati Rakapitu 

dan Gibang melihat Eyang Aji Ranta sama sekali tidak 

terlihat lelah. Bahkan desah napasnya biasa saja. 

Tidak ada setitik pun peluh nampak di wajahnya, 

maupun tubuhnya. 

"Mengapa tergesa-gesa betul, Eyang?" tanya 

Gibang dengan suara terputus-putus, karena napas-

nya masih memburu hebat. 

Eyang Aji Ranta menoleh. Ditatapnya sejenak 

wajah pemuda berwajah penuh tahi lalat itu. 

"Entahlah, Anak Muda," sahut kakek berpakaian 

kuning, mendesah. "Yang jelas, perasaanku tidak 

enak sekali hari ini." 

"Maksud, Eyang?" tanya Gibang tidak mengerti. 

"Sudahlah, Anak Muda." Eyang Aji Ranta 

mengulapkan tangannya memutuskan pembicaraan. 

Gibang tahu diri. Disadari kalau Eyang Aji Ranta 

tidak ingin memperpanjang pembicaraan itu. Maka 

pemuda berwajah penuh tahi lalat ini tidak bertanya


lagi. 

Kini ketiga orang itu melanjutkan perjalanan tanpa 

berkata-kata. Beberapa kali Rakapitu dan Gibang 

harus tersenyum dan menganggukkan kepala setiap 

kali ada yang menyapanya. 

"Itu rumahnya, Eyang," kata Rakapitu sambil 

menudingkan telunjuknya ke sebuah rumah 

berdinding bilik. Letaknya, terpisah dari rumah-rumah 

lainnya. 

Setelah berkata demikian, Rakapitu bergegas 

mempercepat langkahnya. Laki-laki bertubuh tinggi 

besar ini berjalan mendahului. Sesaat kemudian, 

Rakapitu telah berada di depan pintu yang tertutup 

itu, dan langsung mengetuknya. 

Tok, tok, tok...! 

Rakapitu menunggu sejenak. Dan sebentar saja, 

telinganya menangkap suara langkah kaki mendekati 

pintu. 

Derit daun pintu yang dibuka lebar terdengar, 

bertepatan dengan tibanya Eyang Aji Ranta dan 

Gibang di sebelah Rakapitu. Dan di balik daun pintu 

nampak seraut wajah keriput seorang kakek. 

"Ini Eyang Aji Ranta, Ki," jelas Rakapitu, mem-

perkenalkan laki-laki tua di sebelahnya. "Orang yang 

Aki mintai pertolongannya." 

"Oh, iya. Mengapa aku begini lupa," kakek pemilik 

rumah itu menepak kepala, kemudian segera 

mengulurkan tangan. 

"Waskita," sebut kakek pemilik rumah mengenal-

kan diri. 

"Aji Ranta," balas Eyang Aji Ranta, memperkenal-

kan namanya. 

"Silakan masuk dulu, Eyang Aji Ranta," ujar Ki 

Waskita mempersilakan.


Kakek berpakaian kuning itu terkekeh pelan. 

"Kedengarannya repot sekali mengucapkannya. 

Bagaimana kalau panggil aku, Kang Aji saja. Rasanya 

lebih singkat dan enak didengar," usul Eyang Aji 

Ranta. 

"Dan kau sendiri memanggilku Adi Waskita?!" 

sambung kakek pemilik rumah. Nada suara maupun 

raut wajahnya menyiratkan kegembiraan. "Begitu, 

kan?" 

"Tepat sekali, Adi Waskita!" Eyang Aji Ranta 

menganggukkan kepala. 

"Boleh kulihat orang yang sakit itu, Adi?" pinta 

Eyang Aji Ranta setelah mareka semua duduk di 

dalam. 

Senyum di wajah Ki Waskita seketika lenyap. Tentu 

saja hal itu membuat Eyang Aji Ranta, Rakapitu, dan 

Gibang jadi khawatir. Menilik dari sikap kakek pemilik 

rumah itu, bisa diperkirakan kalau ada hal-hal tidak 

menyenangkan telah terjadi. 

"Orang yang sakit itu telah sembuh," jawab Ki 

Waskita, pelan. 

"Apa??" seru Gibang dan Rakapitu berseru kaget. 

Sementara itu, Eyang Aji Ranta nampak tenang-

tenang saja. Walaupun sebenarnya juga merasa 

terkejut, tapi kakek berpakaian kuning ini bisa 

menyembunyikannya. 

"Mengapa bisa begitu, Ki?!" tanya Gibang 

penasaran. "Bukankah semalam sakitnya amat 

parah? Begitu juga tadi pagi, sebelum kami 

berangkat." 

Rakapitu menganggukkan kepala pertanda men-

dukung ucapan rekannya. Sedangkan Ki Waskita 

hanya mengangkat bahu. 

"Bagaimana ini bisa terjadi, Ki?" tanya Rakapitu


berusaha tenang. 

"Hhh...!" kakek pemilik rumah itu menghela napas. 

"Aku sendiri tidak tahu, Rakapitu. Tapi yang jelas, 

orang itu sembuh, tak lama setelah kalian pergi ke 

Hutan Dadap." 

Rakapitu dan Gibang kontan terdiam. Dahi kedua 

orang ini berkernyit, seperti ada sesuatu yang 

dipikirkan. 

"Sebenarnya... siapakah yang sakit?" tanya Eyang 

Aji Ranta. 

Kakek berpakaian kuning ini tidak kuat menahan 

rasa ingin tahunya. Tapi tidak dijelaskan, pada siapa 

pertanyaan itu ditujukan. 

"Lebih baik kumulai saja dari mula. Agar kau jelas, 

Kang," kata Ki Waskita. "Kemarin sore beberapa 

orang penduduk datang membawa seorang laki-laki 

berpakaian prajurit yang tengah terluka padaku. Di 

antara mereka, terdapat pula Rakapitu dan Gibang. 

Dan memang, keahlianku adalah mengobati orang 

terluka. Maka dia segera kuperiksa. Sedangkan 

Rakapitu dan Gibang menemaniku melakukan 

pengobatan." 

Ki Waskita menghentikan ceritanya sejenak, untuk 

mengambil napas. Ditatapnya wajah Eyang Aji Ranta 

lekat-lekat. Memang kepada kakek berpakaian 

kuning itulah, cerita ini ditujukan. Rakapitu dan 

Gibang sudah mengetahuinya, karena ikut terlibat 

dalam penyelamatan orang itu. 

"Setelah memeriksa beberapa lama, akhirnya aku 

menyerah. Orang itu ternyata terkena racun yang 

amat jahat. Dan aku tidak tahu cara pengobatannya. 

Untunglah, racun itu mempunyai daya kerja lambat. 

Sehingga, orang itu dapat bertahan lama," sambung 

Ki Waskita. "Maka begitu pagi tiba, Rakapitu dan


Gibang segera kuperintahkan untuk menemuimu. Ini 

kulakukan, karena namamu sudah cukup terkenal 

dalam hal pengobatan racun. Apalagi orang yang 

terkena racun juga mengatakan kalau kaulah satu-

satunya yang bisa menyembuhkan lukanya. Tapi, 

sayang...." 

Ki Waskita menghentikan ceritanya. Ditariknya 

napas dalam-dalam lalu dihembuskannya kuat-kuat. 

"Aku tak tahu, bagaimana kejadiannya. Yang jelas 

begitu Rakapitu dan Gibang berangkat ke Hutan 

Dadap, orang itu berangsur-angsur sembuh." 

"Jadi, orang itu telah sembuh, Ki?" tanya Gibang 

ingin lebih jelas lagi. 

Ki Waskita menganggukkan kepala, tapi tidak ada 

sinar kegembiraan di wajahnya. Tentu saja hal ini 

membuat Gibang dan Rakapitu heran. Mengapa Ki 

Waskita sama sekali tidak kelihatan gembira? 

Dengan perasaan agak bingung, kedua orang ini 

mengalihkan pandangan pada Eyang Aji Ranta. Lagi-

lagi mereka terkejut. Wajah kakek berpakaian kuning 

ini juga tidak terlihat gembira. 

"Ada apa ini?" tanya Rakapitu dan Gibang dalam 

hati. 

"Mengapa kau tidak tampak gembira, Ki?" akhirnya 

Gibang tak kuasa menahan pertanyaan yang bergolak 

dalam dadanya. 

"Hhh...!" hanya desah napas berat Ki Waskita yang 

menyahuti pertanyaan laki-laki berwajah penuh tahi 

lalat itu. 

"Katakanlah, Ki," Rakapitu ikut mendesak "Jangan 

biarkan kami dilanda kebingungan." 

Ki Waskita menatap wajah Rakapitu dan Gibang 

berganti-ganti. "Aku mencium adanya hal yang men-

curigakan dalam peristiwa ini...."


Rakapitu mengernyitkan dahi. Pemuda bertubuh 

tinggi besar ini tidak mengerti maksud ucapan kakek 

pemilik rumah. Ditatapnya Gibang, tapi laki-laki yang 

wajahnya penuh tahi lalat itu menggelengkan kepala 

pertanda tidak mengerti. 

"Janganlah berteka-teki, Ki," pinta Gibang 

memohon pengertian. 

"Aku curiga kalau peristiwa ini sudah direncana-

kan," desah Ki Waskita pelan. "Dugaanku, orang itu 

sengaja minum racun. Namun juga membawa 

pemunahnya. Dan begitu Rakapitu dan Gibang pergi, 

obat pemunahnya segera diminum. Pantas saja orang 

itu seperti mendesakku agar memanggil Eyang Aji 

Ranta saja. Hhh.... Memancing harimau keluar 

sarang. Entah apa yang mereka cari di sarang 

harimau...." 

Eyang Aji Ranta terperanjat. Dugaan Ki Waskita 

ternyata tidak berbeda dengan dugaannya. Jelas, 

peristiwa ini sudah direncanakan. Tujuannya, untuk 

memancingnya keluar gua. Seketika itu pula kakek 

berpakaian kuning ini teringat kembali dengan 

perasaan tidak enak yang tadi mengganggunya. 

"Kalau begitu, aku pergi dulu, Adi Waskita." 

Tanpa menunggu jawaban, Eyang Aji Ranta 

bergegas bangkit, dan langsung melangkah ke luar. 

Langkahnya kelihatan perlahan saja, tapi hebatnya 

tubuh kakek berpakaian kuning ini telah berada 

sekitar delapan tombak dari tempat semula. Padahal, 

Eyang Aji Ranta hanya mempunyai sebuah kaki! 

"Hebat...!" 

Ki Waskita menggeleng-gelengkan kepala. 

Perasaan takjub dan kagum menghiasi wajahnya. 

Harus diakui kalau ilmu meringankan tubuh Eyang Aji 

Ranta amat luar biasa.


"Ki...! Maksudmu...," Rakapitu yang masih kurang 

jelas kembali buka suara. 

"Kemungkinan semua ini adalah sebuah siasat, 

yang telah diatur rapi untuk memancing Eyang Aji 

Ranta keluar dari tempat tinggalnya." 

"Apa maksudnya, Ki?" tanya Rakapitu lagi. 

"Aku juga tidak tahu, Rakapitu," jawab Ki Waskita. 

"Mungkin mereka bermaksud menangkap macan 

putih?" Gibang mengajukan dugaannya. 

"Yaaah..., mungkin saja," sambut Ki Waskita. 

***


Kini Eyang Aji Ranta tidak ragu-ragu lagi mengerahkan 

seluruh kemampuan yang dimiliki. Sekarang dia 

sendirian, jadi bebas berlari secepat yang diingin-

kannya. 

Eyang Aji Ranta memang bukan tokoh 

sembarangan. Dia adalah seorang tokoh yang 

memiliki kepandaian tinggi. Kecepatan gerakannya 

pun luar biasa, meskipun hanya mempunyai kaki 

sebelah! 

Tubuh kakek berpakaian kuning ini berkelebat 

cepat laksana anak panah lepas dari busur. Saking 

cepatnya, tubuh kakek ini seperti lenyap bentuknya. 

Yang terlihat hanyalah seleret bayangan kuning 

melesat menuju Hutan Dadap. 

Karuan saja, banyak penduduk Desa Pucung yang 

terheran-heran begitu melihat sekelebatan bayangan 

kuning melesat cepat menuju mulut desa. Mereka 

tidak dapat mengetahui, apakah sebenarnya 

kelebatan bayangan kuning itu. Meskipun begitu, 

memang bisa diduga kalau bayangan kuning itu 

adalah orang yang memiliki kepandaian tinggi. Angin 

menderu keras begitu bayangan kuning itu lewat, 

pertanda kuatnya tenaga yang mendorong gerakan-

nya. 

Dalam sekejapan saja, mulut Desa Pucung telah 

terlewat. Tapi, Eyang Aji Ranta sama sekali tidak 

mengendurkan larinya. Kakek berpakaian kuning ini 

tetap mengerahkan kemampuan lari yang ditunjang



ilmu meringankan tubuh setinggi mungkin. 

Tak lama kemudian, mulut Hutan Dadap telah 

terlihat Hal ini membuat semangat Eyang Aji Ranta 

semakin membesar. Kakek ini terus berlari cepat 

menuju ke sana. 

Eyang Aji Ranta tetap tidak mengendurkan larinya 

ketika melewati kerimbunan semak-semak dan 

pepohonan lebat. Tongkat bututnya bergerak ke kiri 

dan ke kanan, sebagai pembuka jalan. Suara 

berkerosakan keras dari semak-semak yang terlanda, 

dan suara berkeretakannya ranting-ranting patah 

terdengar ketika Eyang Aji Ranta melewatinya. 

Sebentar kemudian, Eyang Aji Ranta sudah berada 

beberapa tombak di depan gua tempat tinggalnya. 

Tercekat hati kakek ini tatkala melihat macan 

putihnya terikat di sebatang pohon. Binatang itu sama 

sekali tidak berusaha melepaskan diri, tapi hanya 

berputar-putar mengelilingi pohon. Bisa diduga kalau 

ada sesuatu yang terjadi pada binatang itu. Dan ini 

membuat Eyang Aji Ranta khawatir bukan main. 

Macan putih mengaum keras begitu melihat 

kedatangan majikannya. Seketika semangat binatang 

itu bangkit kembali untuk melepaskan diri. Macan itu 

kembali meronta-ronta. Tapi seperti kejadian 

sebelumnya, usaha yang dilakukannya sia-sia. 

Eyang Aji Ranta segera melepaskan ikatan yang 

membelenggu binatang peliharaannya. Dengan hati 

cemas sekujur tubuh macan putih itu diperiksanya, 

kalau-kalau ada bagian yang teriuka. Lega hati kakek 

ini begitu tidak terlihat ada luka di tubuh macan 

kesayangannya. 

Macan putih menggereng-gereng. Sementara 

Eyang Aji Ranta mendengarkan penuh perhatian. 

Cukup lama juga binatang itu bersikap demikian. Dan


ketika macan putih menghentikan gerengan, kakek 

berpakaian kuning itu menundukkan kepala. 

Sepertinya Eyang Aji Ranta mengerti arti gerengan 

macan itu. Dan memang binatang itu seperti 

mengungkapkan sesuatu. 

"Hhh...!" 

Eyang Aji Ranta menghela napas berat. Sekarang 

dia tahu maksud orang-orang memancingnya keluar 

dari tempat tinggalnya. Macan putih telah mencerita-

kannya, walau hanya lewat gerengan. 

"Jadi..., benda langit itu yang mereka cari...," 

gumam Eyang Aji Ranta pelan seraya mengangkat 

kepalanya. Sepasang matanya menatap ke atas, 

melihat matahari yang telah melewati atas kepala. 

"Grrrh...!" 

Macan putih menggereng kembali. Tapi nadanya 

kali ini berbeda dengan sebelumnya. Sementara 

Eyang Aji Ranta hanya menggelengkan kepala. 

Secercah senyum pahit tersungging di bibirnya. 

"Terima kasih atas kesediaanmu, Putih," sahut 

kakek berpakaian kuning itu pelan. "Tapi kurasa kita 

tidak perlu mengejar mereka. Aku yakin, kalau saran-

mu kuikuti..., kita akan terlibat kembali dalam 

kekerasan! Padahal, aku sudah muak dengan keras-

nya dunia persilatan. Aku ingin, di sisa-sisa hidupku 

ini dapat hidup tenang." 

Eyang Aji Ranta membelai-belai kepala binatang 

peliharaannya. Dalam hati, dia berterima kasih sekali 

pada macan putih. Binatang itu tadi mengajaknya 

mencari orang-orang yang telah mencuri, kalau dia 

ingin benda langit itu kembali. 

"Maafkan aku, Putih. Bukannya menolak usulmu, 

tapi aku tidak ingin terlibat kembali dalam kekerasan. 

Kau bisa mengerti, Putih?"


Macan putih itu menggereng pelan. 

"Kalau begitu, mari kita kembali ke gua," ajak 

Eyang Aji Ranta seraya melangkahkan kaki menuju 

tempat yang dimaksud. 

Sambil menggereng pelan, macan putih itu 

bergerak mengikuti. Binatang itu berlari-lari kecil di 

sebelah majikannya. 

Tak lama kemudian, tubuh Eyang Aji Ranta dan 

macan putih itu telah tidak terlihat lagi, lenyap ditelan 

kegelapan gua. 

*** 

Waktu berputar sesuai kodratnya. Matahari 

bergerak menurut aturannya. Timbul di langit sebelah 

Timur, dan tenggelam di sebelah Barat. Seiring 

tenggelamnya matahari, kegelapan pun menyelimuti 

bumi. Malam pun datang menjelang. 

Kini kehidupan berganti. Tidak ada lagi cicit burung 

atau keruyuk ayam jantan. Yang terdengar adalah 

kepak sayap kelelawar yang keluar mencari makan. 

Tak jarang pula terdengar kukuk burung hantu 

menguak keheningan malam. 

Tapi ternyata tidak hanya binatang-binatang 

malam itu saja yang keluar meninggalkan tempat 

tinggalnya. Ternyata, masih ada lagi yang berkeliaran 

dalam suasana malam sehening itu. 

'Makhluk' itu adalah sesosok bayangan hitam yang 

bergerak cepat menuju Hutan Dadap. Dalam 

keremangan malam yang hanya diterangi bulan sabit 

di langit, tidak nampak jelas wajah sosok bayangan 

hitam itu. Apalagi dia mengenakan caping bambu 

yang membuat wajahnya terlindung. 

Bukan itu saja. Mulai dari bawah mata sampai


bawah dagu, ditutupi pula oleh sehelai kain yang 

berwarna hitam. Kain itu diikatkan ke belakang 

kepala. Maka lengkaplah sudah tanda tanya, siapa 

sosok bayangan hitam itu. 

Sosok itu melesat terus masuk ke dalam hutan, 

menerobos kerimbunan semak-semak dan pe-

pohonan yang lebat. Namun mendadak langkahnya 

berhenti. Capingnya diangkat sedikit ke atas untuk 

memperjelas pandangannya. Tapi pandangan mata-

nya memang tidak salah. Dalam keremangan malam 

itu, di sebatang pohon beringin yang berjarak sekitar 

dua tombak darinya, tertancap sebatang tombak 

berwarna putih mengkilat. 

Bisa diduga kalau orang yang menancapkan 

tombak di situ memang mempunyai maksud agar hal 

itu diketahui orang yang dituju. 

Sosok bayangan hitam itu kemudian melangkah 

menghampiri. Tampak jelas kalau di dekat mata 

tombak itu terbelit sebuah rantai baja yang juga 

berwarna putih, di ujung rantai itu tergantung sebuah 

tengkorak manusia! Menilik dari ukurannya, dapat 

diketahui kalau tengkorak itu adalah tengkorak 

kepala anak kecil. 

"Hm...," sosok bayangan hitam itu hanya meng-

gumam pelan, seperti tahu maksudnya. 

Tiba-tiba terdengar suara berkaokan keras. 

Panjang dan tiga kali berturut-turut, lalu berhenti. 

Sebentar kemudian suara itu terdengar lagi seperti 

tadi. Panjang dan tiga kali berturut-turut. 

Bagi orang yang tidak terlalu ambil peduli, tentu 

akan menduga kalau suara itu berasal dari burung 

kuak-kuak. Tapi kalau saja orang mau sedikit men-

curahkan perhatian, akan jelas kejanggalannya. 

Suara berkaokan itu nadanya selalu sama. Panjang,



dan tiga kali berturut-turut. Lalu, berhenti sejenak. 

Sesaat terdengar lagi. Begitu seterusnya. 

Memang, suara berkaokan itu bukan berasal dari 

burung kuak-kuak, melainkan dari mulut sosok 

bayangan hitam itu. Tampaknya dia tengah menanti 

sesuatu. 

Tak lama kemudian terdengar suara berkaokan 

keras pula, tapi berirama lain dengan yang sebelum-

nya. Suara kaokan kali ini meskipun nadanya 

panjang, tapi tidak tiga kali berturut-turut. Bunyinya 

cukup dua kali. Bahkan berhenti agak lama, lalu ter-

dengar kembali. 

Tak lama kemudian, terdengar suara gemerisik 

dari rerumputan yang terlanda sesuatu. Sosok 

bayangan hitam itu menoleh ke arah asal suara 

gemerisik. Sepasang matanya menatap ke depan dari 

balik caping yang bertengger di atas kepala. 

Sesaat kemudian, dari balik kerimbunan semak-

semak dan pepohonan, bermunculan beberapa sosok 

tubuh yang semuanya berpakaian hitam. Maka 

seketika sosok bayangan hitam mengangkat sedikit 

capingnya. Dengan tatapan mata, dihitungnya jumlah 

sosok yang berdiri di hadapannya. Ternyata sembilan 

orang. 

"Bagaimana, Wisesa? Berhasil?" tanya sosok 

bercaping itu, seraya menatap sosok yang berdiri 

paling depan. Sembilan sosok yang berdiri di hadapan 

orang bercaping itu memang Wisesa bersama anak 

buahnya. 

"Begitulah, Kang," sahut laki-laki berikat kepala 

hitam itu. Menilik dari panggilan, dapat diketahui 

kalau dirinya mempunyai hubungan baik dengan 

orang bercaping bambu. 

"Bagus..!" puji orang bercaping, gembira. "Cepat


serahkan padaku!" 

"Sabar, Kang," sergah Wisesa buru-buru. "Bagai-

mana dengan janjimu? Perlu kau ketahui, Kang. 

Mengambil benda itu sulit sekali." 

"Hm... Bukankah aku sudah mengirim orang untuk 

memancing kakek jompo itu keluar dari guanya?!" 

sergah orang bercaping penasaran. 

"Apa yang kau katakan itu tidak salah, Kang," 

sahut Wisesa dengan suara tawar. "Tapi, kau 

melupakan binatang peliharaannya." 

"Maksudmu..., macan putih?" orang bercaping 

mulai teringat. 

"Benar, Kang," laki-laki berikat kepala hitam meng-

anggukkan kepalanya. "Binatang itu ternyata kuat 

sekali. Bahkan empat orang anak buahku tewas 

ketika berusaha merobohkannya. Kalau saja aku 

tidak turun tangan, mungkin mereka semua tewas." 

Orang bercaping itu hanya mengangguk-angguk-

kan kepala saja. 

"Permintaan kami tidak berat, Kang. Kami hanya 

mohon agar kau bersedia membantu bila kami 

menghadapi lawan tangguh." 

"Hanya itu yang kau minta, Wisesa?" 

Laki-laki berikat kepala hitam menganggukkan 

kepala. 

"Jadi, kau bersedia memenuhi permintaan kami, 

Kang?" 

Orang bercaping itu menganggukkan kepala. 

"Mana benda itu?" pinta orang bercaping itu. 

"Guntara...!" Wisesa mendongakkan kepala ke atas 

pohon. 

Belum juga lenyap gema teriakan itu, dari atas 

pohon melayang turun sesosok tubuh. Lalu, sosok 

tubuh itu mendarat dengan manisnya di tanah. Di


tangannya tergenggam sebuah benda mirip batu 

berwarna gelap, berukuran sebesar kepala manusia. 

Sepasang mata di balik caping itu berkilat-kilat. 

Secercah senyum mengejek tersungging di mulut 

yang tertutup kain hitam. Diam-diam dipujinya 

kecerdikan laki-laki berikat kepala hitam. Ternyata 

Wisesa tidak meninggalkan kewaspadaannya. Kepala 

rampok itu menyuruh salah seorang anak buahnya 

untuk membawa benda itu, dan bersembunyi. Dia 

berjaga-jaga, kalau-kalau sosok bercaping akan ber-

tindak tidak jujur. 

Wisesa segera mengambil benda itu dari tangan 

anak buahnya. 

"Ini benda itu, Kang," laki-laki berikat kepala hitam 

itu mengangsurkan benda langit pada orang 

bercaping. 

Orang bercaping itu mengulurkan tangan 

menyambut. Beberapa saat diperiksanya benda itu, 

sambil mengetuk sana-sini. 

"Bagaimana, Kang?" tanya Wisesa. 

"Hm...." 

Hanya gumaman tak jelas dari orang bercaping itu 

yang menyambuti ucapan Wisesa. Kemudian benda 

itu dimasukkannya ke dalam buntalan kain hitam 

yang tersampir di punggung. 

Mendadak, tangan sosok bercaping itu bergerak 

ke pinggang. Cepat bukan main gerakannya. Dan 

begitu kembali ke tempat semula, di tangannya telah 

tergenggam sebilah keris berkeluk tujuh. Dan secepat 

keris itu tergenggam, secepat itu pula ditusukkan ke 

leher Wisesa. 

Wisesa terperanjat. Sebagai seorang tokoh hitam, 

tentu saja dia tidak menjadi kaget mendapat 

serangan tak terduga-duga ini. Tapi kecepatan gerak


sosok bercaping itu benar-benar di luar dugaan. 

Karena sejak tadi sudah bersiap siaga, maka 

begitu melihat datangnya serangan maut yang 

mengancam nyawa, Wisesa segera melempar tubuh 

ke samping. Dia langsung bergulingan di tanah 

beberapa kali. 

"Serang...!" 

Sambil terus bergulingan di tanah, laki-laki berikat 

kepala hitam ini memberi perintah. Wisesa juga 

khawatir, selagi dia bergulingan, serangan susulan 

dari orang bercaping itu datang. 

Singgg, singgg, singgg...! 

Sinar-sinar berkilatan berpendar ketika anak buah 

Wisesa menyerbu orang bercaping itu dengan senjata 

terhunus. Suara-suara berdesing nyaring mengiringi 

hujan serangan itu. 

Orang bercaping menggertakkan gigi melihat 

serangannya dapat dielakkan. Belum lagi serangan 

susulan dilancarkan, serangan anak buah Wisesa 

telah datang bertubi-tubi bagai hujan. Terpaksa 

maksudnya dibatalkan untuk mengirimkan serangan 

pada laki-laki berikat kepala hitam itu. 

Tranggg, tranggg...! 

Suara berdentang nyaring terdengar berkali-kali 

begitu orang bercaping menggerakkan kerisnya, 

menangkis tiga buah serangan yang datang lebih 

dulu. Bunga-bunga api seketika memercik ke sana 

kemari. 

Guntara dan dua orang kawannya terperanjat 

begitu merasakan tangan yang berbenturan dengan 

senjata lawan terasa lumpuh. Hampir saja senjata-

senjata mereka terlepas. Dan kini keadaan mereka 

amat berbahaya. 

Untung pada saat yang gawat, serangan rekan


rekan mereka yang lain tiba. Sehingga, orang ber-

caping itu tidak mempunyai kesempatan mengirim-

kan serangan susulan. 

Kembali terdengar suara keras denting senjata 

beradu, diikuti percikan bunga-bunga api di udara. 

Dan di saat itulah, Wisesa telah berhasil memperbaiki 

keadaannya. Dan dia ikut terjun dalam kancah 

pertempuran kembali. 

"Kau ceroboh, Brajageni...! Kau mencari penyakit 

sendiri! Kalau saja tadi kau tidak bertindak macam-

macam, pemunah racun ini akan kuberikan! Tapi 

sekarang, jangan harap!" ancam Wisesa keras. 

"Jangan merasa menang dulu, Wisesa! Kau kira 

aku tidak tahu kalau benda langit itu ditaburi racun? 

Ha ha ha...! Racun bagiku adalah permainan anak-

anak, Wisesa! Racunmu sama sekali tidak berarti bila 

digunakan padaku!" 

"Keparat!" maki Wisesa kalap. "Serbu...!" Tanpa 

menunggu perintah dua kali, anak buah Wisesa 

segera meluruk ke arah Brajageni. 

"Hmh...!" 

Brajageni mendengus. Mendadak tangan kanan-

nya dimasukkan ke balik baju. Dan begitu tangan itu 

dikeluarkan, secepat itu pula dikibaskan. 

Serrr...! 

Wisesa terperanjat. Sebagai tokoh yang telah 

berpengalaman, dia tahu benda yang mengeluarkan 

suara berdesir itu. 

"Awas...!" teriak Wisesa seraya melempar tubuh ke 

samping kanan dan bergulingan menjauh. 

Laki-laki berikat kepala hitam ini berhasil lolos dari 

maut. Tapi tidak demikian anak buahnya. Serangan 

itu sama sekali tidak disangka-sangka. Apalagi, 

datangnya selagi tubuh mereka telah dekat dengan



lawan. Tambahan lagi, suasana malam yang remang-

remang membuat mereka tidak dapat melihat jelas 

benda yang datang menyambar. Tapi meskipun 

begitu, mereka berusaha menyelamatkan diri 

semampunya begitu mengetahui ada bahaya meng-

ancam. 

Suara-suara jerit kesakitan terdengar begitu 

benda-benda yang tak lain adalah jarum-jarum halus 

itu mengenai sasaran. Jarum-jarum itu tentu saja 

bukan jarum sembarangan, karena mengandung 

racun ganas. Terbukti begitu empat di antara mereka 

terkena, langsung saja meringis sambil memegang 

bagian yang terluka. Mereka jatuh menggelepar-

gelepar di tanah beberapa saat lamanya, kemudian 

tidak bergerak lagi untuk selamanya. 

Wisesa meraung keras. Laki-laki berikat kepala 

hitam ini murka bukan kepalang. Segera senjata 

andalannya dicabut. Senjata yang berupa sebatang 

golok besar yang sisi-sisinya bergerigi mirip gergaji itu 

telah diputar-putarnya. 

"Haaat..!" 

Seraya berteriak keras, Wisesa melompat. Dan dari 

atas, golok di tangannya dibabatkan cepat ke arah 

leher Brajageni. Ada suara mengaung yang cukup 

keras mengiringi tibanya serangan itu. Jelas, laki-laki 

berikat kepala hitam ini memiliki tenaga dalam cukup 

tinggi. 

Pada saat yang sama, Guntara dan Gota yang 

berhasil selamat dari serangan jarum-jarum beracun, 

juga meluruk menyerang Brajageni. Guntara 

menyerang dari depan dengan sebuah tusukan 

tombak ke arah dada, sementara Gota menyerang 

dari belakang. Pedangnya menusuk cepat ke arah 

punggung.


Mendapat serangan maut yang berbarengan, tidak 

juga membuat Brajageni gugup. Bahkan malah 

ditunggunya hingga semua serangan itu menyambar 

dekat. Lalu dengan perhitungan matang seorang yang 

memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, 

Brajageni segera melempar tubuh ke belakang. Dan 

dengan sendirinya, serangan yang datang dari 

belakang dan depan kandas. Sementara serangan 

Wisesa ditangkisnya. 

Tranggg...! 

Bunga api memercik ke sana kemari begitu kedua 

senjata beradu keras bukan main. Wisesa menggigit 

bibir ketika merasakan tangannya pegal-pegal. 

Dengan meminjam tenaga benturan, Brajageni 

bersalto ke belakang sekali. Dan ketika berada di 

belakang Gota, tangannya bergerak mendorong. 

Kelihatannya perlahan saja. Tapi akibatnya, tubuh 

laki-laki beranting di hidung itu terhuyung ke depan 

seperti diseruduk banteng! 

Guntara terperanjat kaget. Pada saat itu, tombak-

nya tengah ditusukkan ke depan, dan tidak mampu 

ditahan lagi. Maka dapat dibayangkan betapa kaget 

hatinya ketika melihat tubuh Gota menyambut ujung 

tombaknya. Sementara, ujung pedang Gota pun 

mengarah dadanya. 

Crabbb, cappp...! 

Rentetan kejadian itu berlangsung begitu cepat. 

Dan tahu-tahu, tubuh Gota dan Guntara telah 

tersungkur di tanah dengan senjata yang saling 

hunjam tubuh mereka. Nyawa kedua orang itu 

langsung melayang tanpa memperdengarkan suara 

sedikit pun. 

Tidak hanya sampai di situ saja tindakan 

Brajageni. Begitu kedua kakinya mendarat, tangannya


kembali mengibas. Disambutnya serbuan sisa-sisa 

anak buah Wisesa. 

Singgg, singgg...! 

Cappp, cappp, cappp...! 

Empat senjata rahasia berbentuk bintang itu 

mengenai dahi sisa anak buah Wisesa dengan telak 

dan keras. Senjata rahasia itu menghunjam sampai 

setengahnya lebih. Seketika itu juga tubuh keempat 

orang itu roboh di tanah. Sesaat mereka meng-

gelepar-gelepar, kemudian diam tidak bergerak lagi. 

Wisesa hanya bisa memandang semua ini dengan 

wajah pucat laksana mayat. Semua anak buahnya 

telah tewas. Dan sekarang, dia hanya tinggal seorang 

diri. 

"Bersiaplah untuk mati, Wisesa!" ancam Brajageni 

lambat lambat tapi penuh tekanan. Ada ancaman 

maut dalam suaranya. 

"Keparat kau, Brajageni!" teriak Wisesa kalap. "Kau 

atau aku yang harus mati!" 

Setelah berkata demikian, laki-laki berikat kepala 

hitam menerjang orang bercaping itu. Golok di 

tangannya menusuk cepat ke arah dada. 

Brajageni hanya mendengus. Buru-buru kakinya 

melangkah ke kiri seraya mendoyongkan tubuh. Maka 

serangan itu lewat sejengkal di sebelah kanan 

pinggangnya. Pada saat itulah, keris di tangannya 

dibabatkan ke arah perut lawan. 

Wisesa terperanjat melihat bahaya maut yang 

mengancamnya. Dengan semampu mungkin dia 

berusaha mengelak. Tapi.... 

Crattt..! 

Ujung keris itu menyerempet perut Wisesa. 

Seketika itu juga kulit laki-laki berikat kepala hitam itu 

sobek. Cairan berwarna merah kehitam-hitaman


segera merembes keluar. Ternyata, keris itu 

mengandung racun! 

"Uuuh...!" 

Wisesa mengeluh. Kepalanya dirasakan pusing. 

Pandangan matanya berkunang-kunang. Laki-laki 

berikat kepala hitam ini sadar kalau racun itu telah 

bekerja. 

Perasaan pusing yang menyerangnya semakin 

menjadi-jadi. Tubuh Wisesa mulai oleng, dan 

kemudian jatuh di tanah. Dia menggelepar-gelepar 

meregang nyawa. 

"Ha ha ha...!" Brajageni tertawa terbahak-bahak. 

Sebuah tawa bernada kemenangan. "Selamat tinggal 

Wisesa...!" 

Setelah berkata demikian, Brajageni lalu melesat 

meninggalkan tempat itu. Ditinggalkannya Wisesa 

yang tengah sekarat menanti datangnya maut 

Brajageni yakin kalau laki-laki berikat kepala hitam itu 

akan tewas. Dia yakin, racunnya tidak pernah gagal 

mengambil nyawa orang. Sesaat kemudian, tubuh 

laki-laki bercaping itu telah lenyap ditelan kegelapan 

malam. 

Wisesa tidak mempedulikan Brajageni lagi. Rasa 

sakit yang mendera tubuhnya benar-benar menyiksa. 

Bahkan ucapan terakhir laki-laki bercaping itu tidak 

didengarnya lagi. 

Laki-laki berikat kepala hitam ini hanya bisa 

menyesali dirinya. Mengapa dia mau saja waktu 

diajak bekerja sama untuk mendapatkan benda langit 

itu? Tapi, Wisesa hanya mempunyai waktu menyesal 

sebentar saja. Karena beberapa saat kemudian, 

nyawanya segera pergi ke alam baka. 

***


Brajageni meninggalkan Hutan Dadap dengan diliputi 

perasaan gembira. Sungguh tidak disangka, kalau 

semudah ini masalahnya akan beres. Kini tinggal satu 

pekerjaan lagi yang harus diselesaikannya, maka dia 

akan memiliki sebuah senjata pusaka yang ampuh. 

Laki-laki bercaping ini terus berlari mengerahkan 

seluruh kemampuan yang dimiliki. Dalam waktu 

sebentar saja, Hutan Dadap telah jauh ditinggalkan-

nya. 

Brajageni terus berlari disertai pengerahan ilmu 

meringankan tubuh yang dimilikinya. Lesatannya 

bagaikan bayangan setan yang berkelebat, menye-

lusup rapatnya pepohonan dan semak belukar. 

Lesatannya baru diperlambat ketika terlihat sebuah 

rumah berdinding bilik di kejauhan. Rumah itu letak-

nya terpencil, jauh dari rumah-rumah yang lainnya. Ke 

sanalah laki-laki bercaping ini menuju. 

Semakin lama jarak antara Brajageni dengan 

rumah itu semakin dekat. Ketika jaraknya tinggal 

sekitar dua tombak lagi, laki-laki bercaping ini 

menghentikan larinya sama sekali. Kini Brajageni 

melangkah perlahan mendekati pintu. 

Tok, tok, tok..! 

Kelihatannya perlahan saja Brajageni mengetuk-

kan tangannya. Tapi akibatnya, daun pintu itu 

bergetar keras laksana dipukul palu godam yang 

besar. 

"Siapa?" terdengar suara teguran dari dalam, 

diiringi langkah-langkah kaki mendekati pintu.


Brajageni sama sekali tidak menyahuti. Bahkan 

caping bambunya semakin ditekankan ke bawah. 

Maka, wajahnya jadi semakin tersembunyi. 

Kriiit..! 

Suara berderit tajam terdengar begitu daun pintu 

itu terbuka. Tampaklah seorang kakek di balik pintu. 

Kulitnya hitam legam, bertelanjang dada. Sepasang 

matanya menatap tamu tak diundang ini penuh 

selidik. 

Belum sempat kakek berkulit hitam itu bertanya, 

Brajageni telah mendorong daun pintu, lalu me-

langkah masuk. Langsung ditutupnya daun pintu 

begitu berada di dalam. 

"Kau yang bernama Empu Sawung?" tanya 

Brajageni langsung pada pokok persoalan. 

Kakek berkulit hitam mengerutkan alis. Sungguh 

dia tidak senang mendapat perlakuan yang begitu 

kasar dari tamu tak diundang ini. Apalagi orang ini 

baru pertama kali dilihatnya. Untunglah hati kakek ini 

sedikit sabar. Kalau tidak, pasti langsung dihajarnya 

tamu tak diundang ini. 

Brajageni jadi gusar melihat kakek berkulit hitam 

itu sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. 

Dengan kasar, dicengkeramnya leher baju kakek itu. 

Dan didekatkan wajah kakek itu ke wajahnya. 

"Jawab pertanyaanku!" bentak Brajageni. Se-

pasang mata Brajageni menatap bengis, menusuk 

langsung ke bola mata kakek yang bernama Empu 

Sawung. Ada ancaman maut yang terkandung dalam 

sinar matanya. Tapi kakek berkulit hitam tetap diam, 

dengan sikap tetap tenang. Sepasang matanya malah 

menatap lepas ke atap rumah. 

"Keparat..!" maki Brajageni keras. 

Laki-laki bertubuh tinggi kurus ini tidak bisa


menahan amarahnya lagi. Dengan kasar, didorongnya 

tubuh kakek pemilik rumah itu. 

Brakkk...! 

Punggung kakek berkulit hitam itu membentur 

keras dinding yang terbuat dari papan. Mulut kakek 

itu menyeringai, menahan rasa sakit akibat benturan 

itu. Perlahan-lahan tubuhnya merosot ke bawah. 

Brajageni mencabut kerisnya, kemudian bergerak 

menghampiri. Langkahnya lebar-lebar, sehingga 

dalam beberapa tindak saja, telah berada di depan 

kakek pemilik rumah. Perlahan-lahan Brajageni ber-

jongkok. 

"Jangan buat kesabaranku habis!" ancam laki-laki 

bertubuh tinggi kurus ini "Kaukah orang yang 

bernama Empu Sawung?! Jawab...! Atau kau ingin 

bisu selamanya?!" 

Brajageni mendekatkan kerisnya ke wajah kakek 

berkulit hitam itu, bersikap mengancam. Tapi, kakek 

itu tetap membisu. Maka kesabaran Brajageni pun 

habis. 

"Kau pikir aku main-main, heh?!" 

Setelah berkata demikian, perlahan-lahan keris di 

tangan laki-laki tinggi kurus ini bergerak, siap hendak 

memotong lidah kakek berkulit hitam yang tetap diam 

membisu. Tapi, mendadak saja gerakannya terhenti. 

Pendengarannya yang tajam menangkap adanya 

langkah kaki mendekati ruangan ini. Arahnya dari 

dalam rumah. 

Menilik dari gerakannya, Brajageni tahu kalau 

pemilik langkah itu sama sekali tidak memiliki ilmu 

meringankan tubuh. Andaikata memiliki, tingkatannya 

masih rendah sekali. Langkahnya pun terdengar 

berat. Meskipun begitu, Brajageni tidak bersikap 

ceroboh dan memandang rendah. Kepalanya


menoleh tatkala mendengar langkah kaki itu tiba-tiba 

berhenti. 

Di ambang pintu yang menuju ke dalam, tampak 

berdiri seorang bocah perempuan berusia sekitar 

sebelas tahun. Rambutnya panjang dan berkulit putih 

bersih. 

"Kakek...," panggil bocah perempuan itu. 

Sesaat Brajageni tercenung. Jadi, bocah 

perempuan itu adalah cucu kakek berkulit hitam ini? 

Secercah senyum keji tersungging di bibir yang 

tertutup kain hitam itu. Perlahan dia bangkit berdiri, 

lalu berjalan menghampiri bocah perempuan itu. 

Kakek berkulit hitam ini terkesiap begitu melihat 

laki-laki bercaping melangkah menghampiri cucunya. 

"Ayu! Lari...!" seru kakek berkulit hitam itu seraya 

bergerak bangkit. Dan secepat tubuhnya berdiri, 

secepat itu pula Brajageni diterkamnya. 

Sementara itu gadis kecil itu hanya menatap tak 

mengerti melihat kakeknya diancam. Malah saat 

kakeknya menyuruh pergi, dia seperti tak mampu 

pergi dari situ. Gadis itu kian gemetar melihat laki-laki 

bercaping semakin mendekati. Lidahnya terasa kelu, 

tak mampu mengucapkan kata-kata. 

Namun laki-laki tinggi kurus itu hanya mendengus. 

Dan sekali tangannya bergerak, tangan kanan kakek 

berkulit hitam telah tercekal. Dan sekali Brajageni 

bergerak mendorong, maka tubuh kakek berkulit 

hitam itu langsung terhuyung menabrak dinding. 

Tanpa mempedulikan keadaan kakek berkulit 

hitam itu, Brajageni meneruskan maksudnya. Dengan 

sekali mengulurkan tangan, tubuh bocah perempuan 

bernama Ayu itu telah ditangkapnya. 

"Lepaskan cucuku...!" teriak kakek berkulit hitam 

keras seraya menggoyang-goyangkan kepala, akibat


rasa pusing yang diderita dari benturan tadi. 

"Ha ha ha...!" Brajageni tertawa bergelak. 

Dengan kasar, laki-laki tinggi kurus itu menjambak 

rambut Ayu. Karuan saja gadis kecil itu menjerit 

kesakitan. Tapi Brajageni malah tertawa terbahak-

bahak. Bahkan cengkeramannya semakin diperkuat. 

Maka jerit kesakitan anak itu pun semakin nyaring 

terdengar. 

"Jahanam! Iblis terkutuk!" maki kakek berkulit 

hitam dengan suara mengandung isak tangis. Pilu 

hati kakek ini melihat cucunya disiksa tanpa dia 

mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya. 

"Lepaskan cucuku! Aku berjanji akan memenuhi apa 

pun permintaanmu." 

Kembali Brajageni tertawa bergelak. 

"Kalau saja sejak tadi kau bersikap begitu, kau, 

dan cucumu tidak perlu mengalami hal seperti ini." 

Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi kurus ini 

lalu melepaskan Ayu. Seketika itu juga, bocah 

perempuan itu menghambur ke arah kakek berkulit 

hitam yang segera mengembangkan kedua tangan-

nya. 

"Kakek... Ayu takut..," keluh bocah perempuan itu 

sambil memeluk kakeknya erat-erat. Wajahnya 

disembunyikan di pelukan kakek berkulit hitam. Ayu 

tak berani menoleh, takut melihat Brajageni. 

"Tenanglah, Ayu," hibur kakek berkulit hitam 

sambil mengusap-usap rambut gadis kecil itu penuh 

kasih sayang. 

"Jawab pertanyaanku, sebelum terlambat. Kaukah 

orang yang bernama Empu Sawung?!" selak Brajageni 

tidak sabar. 

Kakek berkulit hitam itu menganggukkan kepala. 

"Jawab...!" hardik Brajageni dengan suara meng



guntur. "Kau punya mulut, bukan?!" 

Keras bukan kepalang bentakan itu. Kakek ber-

kulit hitam sendiri sampai terjingkat kaget. Apalagi 

Ayu. Gadis kecil itu makin erat memeluk kakeknya. 

Bahkan tubuhnya nampak menggigil. 

"Benar. Aku Empu Sawung...," sahut kakek berkulit 

hitam, pelan. 

Brajageni mengambil buntalan yang tersampir di 

punggungnya. Lalu dibuka dan dikeluarkan isinya. 

"Kuminta, kau membuatkan aku sebuah keris. 

Keris yang mempunyai bilah lurus." 

Kakek berkulit hitam yang ternyata bernama Empu 

Sawung itu memperhatikan benda mirip batu, 

berwarna gelap itu. Perlahan-lahan tangan kanannya 

diulurkan. Dirabanya benda langit yang berada di 

tangan Brajageni itu. Untunglah, laki-laki tinggi kurus 

itu telah membersihkan racun yang semula ditabur-

kan Wisesa di batu itu. Kalau tidak, Empu Sawung 

mungkin sudah tidak bernyawa lagi. 

"Bahan yang amat baik," ucap Empu Sawung jujur. 

Tapi Brajageni sama sekali tidak menggubrisnya. 

"Tiga hari lagi aku akan datang untuk mengambil 

pesananku," kata laki-laki tinggi kurus itu dingin. "Dan 

ini bayarannya." 

Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi kurus ini 

melemparkan buntalan kain kecil. 

Cringgg,..! 

Suara berdencing nyaring terdengar begitu 

buntalan kain kecil itu menimpa lantai. 

Eyang Sawung memandang buntalan kain itu 

dengan sinar mata hampa. Kakek ini sama sekali 

tidak berharap kalau laki-laki bercaping ini akan 

membayar pesanannya. Yang ada di benaknya hanya 

satu, Brajageni harus buru-buru angkat kaki dari


rumahnya. 

"Ingat, Sawung!" ancam Brajageni sebelum 

melangkah meninggalkan tempat itu. "Jangan coba-

coba mempermainkanku! Akibatnya akan sangat 

mengerikan!" 

Dan sebelum gema suaranya lenyap, tubuh 

Brajageni sudah tidak berada di situ lagi. Empu 

Sawung seketika bergidik, tidak berani main-main. 

Kakek ini tahu, orang seperti Brajageni bukan ter-

masuk orang yang suka menggertak sambal saja. 

Empu Sawung melihat sinar kekejaman di mata orang 

bercaping itu. 

*** 

Empu Sawung bekerja keras, bagai tidak pernah 

merasa lelah. Kakek ini adalah seorang pandai besi 

sejati. Tidak ada hal yang paling menggembirakan 

hatinya, kecuali membuat sebuah senjata dari bahan 

yang baik. Dan benda yang dibawa Brajageni adalah 

sebuah bahan yang amat bagus. Dan itu diketahuinya 

betul! Maka, kini Eyang Sawung mengerjakannya 

penuh semangat. 

Tanpa mengenal lelah, Eyang Sawung membakar 

benda langit di tungkunya. Sampai warnanya agak 

gelap berubah merah membara, kemudian menempa-

nya. 

Suara berdentang nyaring dari benda logam yang 

beradu selalu terdengar dari ruang kerja Eyang 

Sawung. Kakek berkulit hitam ini bekerja penuh 

ketekunan, berusaha keras untuk merampungkan 

tugas tepat pada waktunya. 

Tepat pada hari yang dijanjikan, keris itu selesai 

dibuat. Sebuah keris yang mempunyai bilah lurus,


tidak berkeluk sama sekali. Kakek berkulit hitam itu 

memandanginya penuh rasa puas. 

Eyang Sawung menghela napas lega. Sebentar lagi 

Brajageni tentu akan datang. Tapi kali ini Eyang 

Sawung sama sekali tidak merasa khawatir. Ayu telah 

kembali ke rumah orang tuanya, dan kini dirinya 

kembali sendirian di rumah yang terpencil ini. Per-

lahan kakinya melangkah kembali ke ruang depan. 

"Hhh...!" 

Eyang Sawung menghela napas berat. Kemudian 

menghempaskan tubuhnya di kursi. Sebentar mata-

nya dipejamkan, tak lama kemudian sudah tertidur. 

Entah sudah berapa lama tertidur, Eyang Sawung 

tidak mengetahuinya. Yang jelas, dia terbangun ketika 

mendengar bentakan keras menggelegar. 

"Bangun, Bandot Tua Pemalas...! Mana pesanan-

ku...?!" 

Eyang Sawung kontan gelagapan begitu tahu-tahu 

di depannya telah berdiri orang yang ditunggu-tunggu. 

Siapa lagi kalau bukan laki-laki bertubuh tinggi kurus 

dan bercaping bambu. 

Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, 

Eyang Sawung menatap ke luar rumah. Ternyata di 

luar gelap. Berarti hari sudah malam. Dalam se-

kejapan itu, otaknya bekerja keras. Dan teringatlah 

kakek ini kalau setelah menyelesaikan pekerjaannya, 

dia duduk di kursi dan memejamkan mata. Jadi, rupa-

nya dia tertidur. 

"Keparat..!" 

Amarah Brajageni meluap begitu melihat Eyang 

Sawung tidak mengambilkan pesanannya, tapi malah 

celingukan. Kakinya pun bergerak menendang. 

Krakkk..! 

Terdengar suara berderak keras ketika kaki salah


satu kursi patah terkena tendangan laki-laki tinggi 

kurus itu. Tak pelak lagi, kursi itu pun oleng. Dan 

karuan saja hal itu membuat Eyang Sawung semakin 

gelagapan, kaget. 

"Bandot tua...!" tanpa peduli kalau Eyang Sawung 

belum sadar sepenuhnya, Brajageni mencekal leher 

baju kakek itu dan mengangkatnya ke atas. "Jangan 

main-main denganku! Bagaimana dengan pesanan-

ku?! Cepat sebelum kupuntir batang lehermu!" 

"Ppp..., pe..., pesanan apa...?" tanya kakek berkulit 

hitam terputus-putus. Dahinya berkernyit dalam 

seperti tengah mengingat-ingat sesuatu. 

Brajageni yang memang pemarah, tidak sabar lagi. 

Tangannya langsung bergerak. Tapi sebelum 

mengenai sasaran, Eyang Sawung telah keburu 

teringat. 

"Ah, ya...! Aku ingat sekarang...! Keris, kan?!" 

Brajageni menurunkan tubuh kakek itu, seraya 

melepaskan leher baju laki-laki tua itu. 

"Ya! Bagaimana? Sudah selesai?!" 

Eyang Sawung menganggukkan kepala, kemudian 

beranjak ke dalam. Sebentar kemudian dia sudah 

kembali lagi. Di tangan kakek berkulit hitam ini sudah 

tergenggam sebilah keris. 

"Ini keris pesananmu," kata Eyang Sawung sambil 

mengangsurkan keris di tangannya. "Sebuah senjata 

pusaka yang hebat." 

Brajageni mengulurkan tangannya. Diambilnya 

keris yang diangsurkan kakek berkulit hitam itu, lalu 

perlahan-lahan dihunusnya. Tampak sebuah keris 

yang bilahnya berwarna hitam pekat. 

Laki-laki tinggi kurus ini mendekatkan keris itu ke 

kulitnya. Dahinya berkernyit ketika tidak merasakan 

akibat apa-apa. Sementara, Eyang Sawung yang


melihat adanya kernyit di dahi Brajageni jadi 

berdebar-debar hatinya. 

"Jangan coba-coba menipuku, Sawung!" ancam 

Brajageni. Keras, dan kasar suaranya. Sepasang 

matanya menatap penuh ancaman pada kakek 

berkulit hitam itu. 

"Aku tidak mengerti maksudmu, Kisanak," jawab 

Eyang Sawung jujur. 

"Keris ini tidak terbuat dari benda pesananku!" 

Merah padam selebar wajah Eyang Sawung 

mendengar tuduhan itu. Betapa tidak? Sebab, 

setengah mati membuat keris itu, malah dituduh 

menipu! 

"Jaga mulutmu, Kisanak! Seumur hidup, belum 

pernah aku menipu orang lain! Keris itu kubuat 

berdasarkan benda yang kau berikan padaku!" 

Brajageni menatap wajah Eyang Sawung tajam-

tajam, mencoba mencari kebenaran di wajah itu. Dan 

laki-laki tinggi kurus ini menghela napas berat tatkala 

menangkap adanya kesungguhan di sana. Jelas kalau 

kakek berwajah hitam itu tidak berbohong. 

Beberapa saat lamanya Brajageni termenung. Dahi 

laki-laki tinggi kurus ini berkernyit, pertanda ada 

sesuatu yang dipikirkannya. Sesaat kemudian, kerut-

kerut di dahinya lenyap. Dengan agak terburu-buru 

keris miliknya yang tergantung di bawah punggung 

dicabut dengan tangan kiri. 

Sekarang di tangan Brajageni terdapat dua bilah 

keris. Keris yang terbuat dari benda langit berada di 

tangan kanan. Sementara keris miliknya berada di 

tangan kiri. Laki-laki tinggi kurus ini menatap kedua 

keris itu berganti-ganti, dengan senyum tersungging. 

Kemudian perhatiannya dipusatkan pada kedua 

tangan. Setelah mengambil napas dalam-dalam,


tenaga dalam di bawah pusarnya disalurkan ke arah 

kedua tangan. Sekejap kemudian sebuah aliran 

tenaga dalam mengalir ke kedua tangannya. 

"Hih...!" 

Brajageni menggertakkan gigi, lalu keris yang 

berada di kedua tangannya diadu. 

Tranggg...! 

Bunga api seketika memercik ke udara begitu 

kedua keris itu berbenturan. Eyang Sawung yang 

semula tidak mengerti maksud orang bercaping itu 

memegang dua buah keris, kini paham. Rupanya, 

Brajageni ingin mencoba keampuhan keris pesanan-

nya. 

Sepasang mata Brajageni terpelalak lebar. Tampak 

keris yang berada di tangan kirinya punggal. Padahal, 

keris miliknya itu bukan keris sembarangan, 

melainkan sebuah keris pusaka yang ampuh. Tak 

diragukan lagi kalau keris yang berada di tangan 

kanannya itu terbuat dari benda langit! 

"Bagaimana, Kisanak?!" tanya Eyang Sawung. Ada 

nada kemenangan dalam suaranya. Sekali lihat saja, 

kakek berkulit hitam itu tahu kalau keris yang punggal 

itu bukan keris sembarangan. 

Sedangkan Brajageni sama sekali tidak menyahuti 

ucapan kakek itu. Benaknya tengah dipenuhi 

pertanyaan yang tidak mampu dijawab. Semua itu 

berpangkal dari keris yang terbuat dari benda langit 

ini. 

Laki-laki tinggi kurus ini tidak bisa menyangkal lagi. 

Jelas sudah kalau keris itu terbuat dari benda langit. 

Dan itu berarti Eyang Sawung tidak menipunya. Kakek 

pandai besi itu telah melakukan pekerjaannya 

dengan baik. 

"Kau benar, Sawung," kata Brajageni pelan. Datar


dan dingin suaranya. "Keris ini memang terbuat dari 

benda pesananku. Kau tahu, dari mana benda ini 

berasal?" 

Eyang Sawung menggelengkan kepala. 

"Selama hidupku, belum pernah kutemukan benda 

seperti itu. Sebuah benda yang terbuat dari campuran 

logam-logam. Beberapa di antaranya sama sekali 

tidak kukenal. Entah, dari mana kau mendapat-

kannya.... Ataukah... benda itu tidak berasal dari 

bumi?" 

"Tepat. Benda itu jatuh dari langit. Jadi, namanya 

benda langit! Benda yang diperebutkan orang-orang 

rimba persilatan!" sahut Brajageni pelan tapi tajam. 

"Ahhh...!" Eyang Sawung terperanjat. 

"Kau tahu, Sawung. Apa yang terjadi jika mereka 

tahu, kalau keris yang terbuat dari benda langit ini 

ada di tanganku?" sambung Brajageni. 

Meskipun Brajageni baru berbicara sampai di sini, 

namun Eyang Sawung sudah menduga kelanjutan 

ucapan laki-laki tinggi kurus itu. Kontan hati kakek ini 

berdebar tegang. Sudah bisa dirasakan, ada bahaya 

maut yang mengancamnya. Tapi, kakek berkulit hitam 

tetap bersikap tenang. Sejak pertama kali bertemu 

dan melihat sikap Brajageni. Eyang Sawung memang 

sudah bersiap untuk menerima kematian. 

Brajageni rupanya memang tidak membutuhkan 

jawaban Eyang Sawung. Terbukti begitu kakek 

berkulit hitam itu sama sekali tidak menanggapi 

pertanyaannya, dia sama sekali tidak peduli. 

"Mereka semua akan memburuku untuk men-

dapatkan keris ini!" tandas Brajageni tajam. "Bila itu 

terjadi, ada dua buah pilihan. Aku atau mereka yang 

mati!" 

Kembali Brajageni menghentikan ucapannya.


Ditatapnya wajah Eyang Sawung dengan sinar mata 

mengandung ancaman. 

"Aku tidak mau hal itu terjadi. Maka sedapat 

mungkin akan kuusahakan untuk mencegah ter-

sebarnya berita ini! Tapi sayang, ternyata sudah ada 

orang yang mengetahuinya! Maka sebelum orang itu 

menyebarluaskan, harus lebih dulu dibungkam 

mulutnya! Kau tahu siapa orang itu, Sawung?!" 

Eyang Sawung tersenyum getir. Perlahan kepala-

nya terangguk. 

"Aku," kata kakek berkulit hitam itu, tenang. 

"Tepat!" Brajageni tertawa bergelak. "Kau harus 

mati, Sawung!" 

"Telah kuduga sebelumnya, Kisanak!" sahut Eyang 

Sawung mantap. Tak ada nada kegentaran dalam 

suaranya. 

"Ha ha ha...!" Brajageni tertawa bergelak. Men-

dadak sekali tawa itu. Dan secara tiba-tiba pula, 

suara tawa itu terhenti. "Kau menjadi orang pertama 

yang akan mencicipi kehebatan keris ini, Sawung!" 

Setelah berkata demikian, Brajageni melompat 

menerjang kakek pandai besi itu. Keris di tangannya 

meluncur deras ke arah dada, menimbulkan suara 

bersiutan nyaring. 

Sebenarnya Eyang Sawung memiliki ilmu silat. 

Tapi, kepandaian yang dimiliki hanya sekadarnya 

saja. Tenaga dalam yang dimilikinya pun hanya 

sedikit saja. Kakek pandai besi ini hanya memiliki 

tenaga luar yang besar. Dan itu tidak aneh, mengingat 

pekerjaan kakek berkulit hitam itu adalah pandai 

besi. 

Sialnya, lawan yang menyerangnya adalah 

Brajageni. Seorang tokoh sesat yang memiliki 

kepandaian tinggi. Eyang Sawung berusaha


semampunya untuk mengelak. Tapi.... 

Cappp...! 

Telak dan keras sekali keris itu menghunjam dada 

Eyang Sawung, sampai hampir ke gagangnya. 

Seketika Brajageni melepaskan pegangan pada keris. 

Sepasang mata kakek pandai besi ini terbelalak. 

Tubuhnya seketika ambruk ke tanah. Dia meng-

gelepar, sesaat kemudian diam tidak bergerak lagi. 

Bukan hanya Eyang Sawung yang membelalakkan 

sepasang matanya. Brajageni pun demikian juga. 

Sepasang matanya terbelalak karena melihat 

kejadian aneh yang terpampang di depannya. 

Begitu keris itu menancap di dada Eyang Sawung, 

sama sekali tidak ada darah yang keluar dari luka 

yang robek itu. Jangankan mengalir, menetes pun 

tidak! Saking terkejutnya, Brajageni tidak buru-buru 

menarik kembali keris itu. Jadi untuk beberapa saat 

lamanya, keris itu terhunjam di dada kakek pandai 

besi itu. 

Kembali kejadian yang aneh terjadi. Entah dari 

bagian dada yang tertembus, atau dari bilah keris 

yang masih terhunjam, yang jelas dari situ keluar 

asap. Semula sedikit dan tipis saja, tapi lama-

kelamaan semakin banyak dan tebal. 

Melihat peristiwa yang sama sekali tidak diduga 

ini, tentu saja Brajageni terpukau. Tapi, hanya sesaat 

saja. Sekejap kemudian, dia sudah bisa bersikap 

biasa kembali. Dengan dahi berkernyit, diperhati-

kannya asap yang semakin menebal itu. 

Tak lama kemudian, asap itu mulai menipis dan 

semakin sedikit. Sampai akhirnya, asap itu lenyap 

sama sekali. Dan begitu asap itu sirna, untuk yang 

kesekian kalinya sepasang mata Brajageni terbelalak. 

Betapa tidak? Tubuh Eyang Sawung yang ter


hunjam keris kini telah berubah kurus dan pucat. 

Tidak ada tanda-tanda darah yang keluar dari tubuh 

kakek pandai besi itu. 

Brajageni memang seorang tokoh hitam yang 

kejam. Tidak ada kata ampun bagi orang yang 

berurusan dengannya. Sudah biasa baginya mem-

bunuh banyak orang sambil tertawa. Menyiksanya 

pun sudah merupakan kegemaran. Tapi melihat 

peristiwa kali ini, tak terasa bulu kuduknya merinding. 

Perasaan ngeri pun mencekam hatinya. 

Masih dengan perasaan ngeri, kerisnya dicabut 

Beberapa saat lamanya, Brajageni menatap mayat 

itu. Kemudian, dia melesat cepat keluar rumah itu, 

menembus gelap dan heningnya malam. 

***


Brajageni berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu 

meringankan tubuh yang dimilikinya. Kenyataan yang 

dihadapi benar-benar membingungkan hatinya. 

Melihat keampuhannya, tak dipungkiri lagi kalau keris 

itu benar terbuat dari benda langit. Tapi, kenapa tidak 

menunjukkan pengaruh lain seperti yang selama ini 

diketahuinya. Hal ini benar-benar membuatnya tidak 

mengerti. 

Belum begitu jauh berlari, laki-laki bertubuh tinggi 

kurus ini terpaksa memperlambat langkahnya. Sekitar 

beberapa tombak di depan nampak berdiri sesosok 

tubuh. Menilik dari sikapnya, dapat diketahui kalau 

orang itu sengaja menghadang perjalanannya. 

Brajageni menghentikan langkahnya ketika telah 

berjarak tiga tombak dari sosok yang menghadang 

perjalanannya. Dalam keremangan cahaya bulan di 

langit, dapat terlihat jelas sosok penghadang jalan-

nya. 

Sosok itu ternyata seorang laki-laki bertubuh 

pendek kekar. Pakaian tanpa lengan membungkus 

tubuhnya yang bulat. Usianya tak lebih dari tiga puluh 

lima tahun. Sebuah cambuk berwarna hitam seperti 

warna pakaiannya, tampak tergenggam di tangan. 

"Cambuk Halilintar...," desis Brajageni. Perlahan 

saja suaranya. Tapi karena suasana malam yang 

hening, ucapan itu terdengar nyaring. 

Berbeda dengan Brajageni, laki-laki pendek kekar 

yang berjuluk Cambuk Halilintar itu sama sekali tidak 

mengenal laki-laki tinggi kurus ini.


"Kalau ingin selamat, serahkan keris itu padaku, 

Kisanak," ancam Cambuk Halilintar. Menilik dari sikap 

dan nada suaranya, Cambuk Halilintar yakin sekali 

kalau dirinya akan mengalahkan Brajageni. 

"Hmh...!" 

Brajageni mendengus. Meskipun telah mengenal 

penghadangnya, dia sama sekali tidak merasa gentar. 

Orang yang berjuluk Cambuk Halilintar ini memang 

terkenal sebagai tokoh sesat yang memiliki kesaktian 

cukup tinggi. 

"Apa maksudmu, Cambuk Halilintar? Aku sama 

sekali tidak mengerti," sahut Brajageni berpura-pura. 

"Kau ingin menyerahkannya baik-baik, atau..., ingin 

aku merampasnya dengan kekerasan?!" ancam 

Cambuk Halilintar. Sama sekali tidak dipedulikan 

jawaban Brajageni tadi. "Perlu kau tahu, Kisanak. Aku 

telah mengetahui semuanya sejak kau ribut-ribut 

dengan Eyang Sawung. Itulah sebabnya, aku 

mencegat di sini. Karena aku tahu kau akan melalui 

jalan ini" 

Mendengar ucapan ini Brajageni sadar kalau tidak 

ada gunanya lagi berpura-pura. Yang harus dilaku-

kannya adalah membungkam mulut Cambuk 

Halilintar selama-lamanya. Kalau tidak, kemungkinan 

besar berita mengenai keris yang berasal dari benda 

langit ini akan tersebar luas. Dan yang pasti, akan 

banyak tokoh persilatan yang datang untuk mem-

perebutkannya. 

Maka jika hal itu terjadi, Brajageni yakin kalau 

dirinya tidak akan sanggup mempertahankannya. 

Tanpa ragu-ragu lagi, Brajageni segera mencabut 

keris yang berasal dari benda langit itu. Dan secepat 

keris itu tercabut, secepat itu pula ditusukkan ke arah 

dada Cambuk Halilintar.


Singgg...! 

Suara berdesing Nyaring mengiringi tibanya 

serangan itu. Cambuk Halilintar seketika terperanjat. 

Sungguh tidak disangka kalau serangan lawan begitu 

dahsyat. Dan ini benar-benar di luar dugaan. Maka, 

laki-laki bertubuh pendek kekar ini langsung bersikap 

waspada, karena baru merasakan kedahsyatan 

serangan lawan. Dengan agak gugup dan terburu-

buru dia mengelak, melempar tubuh ke belakang lalu 

bersalto beberapa kali di udara. 

Tapi Brajageni sama sekali tidak memberinya 

kesempatan. Begitu lawannya melempar tubuh ke 

belakang, segera dikejarnya. Keris di tangannya 

ditusukkan bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh 

Cambuk Halilintar yang mematikan. Dan begitu kedua 

kaki Cambuk Halilintar mendarat di tanah, serangan 

Brajageni telah mengancamnya. 

Meskipun begitu, Cambuk Halilintar mampu juga 

membuktikan kelihaiannya. Sebelum serangan keris 

itu tiba, cambuk di tangannya telah lebih dulu ber-

gerak. 

Darrr...! 

Ledakan keras terdengar, begitu laki-laki pendek 

kekar ini melecutkan cambuknya. Dan seiring ledakan 

itu, ujung cambuk itu meluncur cepat ke arah ubun-

ubun Brajageni. 

Hebat dan berbahaya bukan main serangan 

cambuk ini. Jangankan ubun-ubun yang merupakan 

jalan darah kematian manusia. Bahkan batu karang 

yang paling keras pun akan hancur bila terkena 

lecutan ini. 

Brajageni tentu saja mengenal serangan ber-

bahaya ini. Maka segera serangannya diurungkan. 

Tidak hanya itu saja yang dilakukan laki-laki tinggi


kurus ini. Sambil membatalkan serangan, Brajageni 

melempar tubuhnya ke samping, lalu bergulingan di 

tanah. 

Cambuk Halilintar yang kini telah mengetahui 

kalau lawan di hadapannya bukan tokoh 

sembarangan, tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan 

seluruh ilmu yang dimiliki. Sadar akan kelebihan 

jangkauan senjatanya, maka begitu lawan men-

jauhkan diri, dia segera memburu. Cambuk di 

tangannya meledak-ledak di udara mencari sasaran. 

Sesaat kemudian, terjadilah pertarungan sengit 

antara kedua orang itu. 

Di jurus-jurus awal, pertarungan berlangsung 

menarik dan seru. Masing-masing pihak mengerah-

kan seluruh kemampuan yang dimiliki. Suara men-

desing nyaring dari keris Brajageni, dan suara 

ledakan cambuk dari Cambuk Halilintar menyemaraki 

pertarungan. 

Begitu pertarungan menginjak jurus ketiga puluh, 

mulai tampak keunggulan Brajageni. Kalau dibanding-

kan, laki-laki tinggi kurus ini memang masih lebih 

unggul daripada Cambuk Halilintar. Baik dalam hal 

ilmu meringankan tubuh, maupun ilmu tenaga dalam. 

Hanya saja karena Cambuk Halilintar meng-

gunakan cambuk, keunggulan Brajageni dalam hal 

tenaga dapat tertandingi. Benturan antara cambuk 

dengan keris, sukar terjadi seperti beradunya keris 

dan pedang. 

Itulah yang menyebabkan sampai sekian lama, 

Brajageni belum mampu mendesak lawannya. Dan 

hal ini tentu saja membuat laki-laki tinggi kurus itu 

merasa penasaran bukan main. Sebagai akibatnya, 

serangan-serangannya pun jadi semakin dahsyat. 

Satu hal lagi yang menyulitkan Brajageni men


desak Cambuk Halilintar adalah jangkauan senjata 

lawan yang jauh lebih panjang ketimbang senjatanya. 

Tambahan lagi, Cambuk Halilintar ternyata tahu 

kelebihannya dalam hal jangkauan serangan. Maka 

laki-laki pendek kekar itu selalu mengajak bertanding 

jarak jauh. 

Brajageni tentu saja tidak mau bertindak bodoh. 

Sedapat mungkin diusahakan agar pertarungan dapat 

terjadi dalam jarak dekat. Maka yang terjadi adalah 

pertarungan yang kurang menarik. Di satu pihak, 

Brajageni berusaha keras mengajak lawan bertarung 

jarak dekat dan di lain pihak, Cambuk Halilintar 

berusaha keras agar pertarungan dapat berlangsung 

jarak jauh. 

Itulah sebabnya, mengapa laki-laki bertubuh 

pendek kekar ini selalu melompat ke belakang untuk 

menjaga jarak setiap kali lawan mendesak. Tak lupa, 

dikirimkannya serangan lecutan-lecutan cambuk, 

untuk menahan desakan Brajageni. 

Hasilnya, begitu memasuki jurus kelima puluh, 

pertarungan berlangsung tidak menarik. Mereka 

berdua seperti tidak bertarung, tapi bermain kejar-

kejaran. 

Brajageni di pihak pengejar, sedangkan Cambuk 

Halilintar pihak yang diburu. 

Karena Cambuk Halilintar bertarung sambil 

mundur, maka sedikit demi sedikit pertarungan 

berpindah tempat. Sehingga tanpa disadari, begitu 

pertarungan menginjak jurus ketujuh puluh, per-

tarungan sudah bergeser jauh dari tempat semula. 

Brajageni menggertakkan gigi. Perasaan cemas 

mulai menggayut di dadanya. Dia khawatir kalau 

pertarungan ini akan menarik perhatian orang. Masih 

untung kalau bukan tokoh persilatan. Tapi kalau


tidak? Celakalah dirinya! Cambuk Halilintar harus 

cepat dibereskan sebelum yang dikhawatirkan terjadi. 

"Hih...!" 

Brajageni mengibaskan tangan kirinya. Seketika itu 

pula terdengar suara berdesir pelan. Dan dalam 

keremangan sinar rembulan, tampak benda-benda 

kecil berwarna hitam melesat cepat ke arah Cambuk 

Halilintar. 

Laki-laki bertubuh pendek kekar ini terperanjat. 

Meskipun hanya samar-samar, tapi bisa diduga kalau 

benda yang menuju ke arahnya pasti jarum yang 

mengandung racun ganas! 

Cambuk Halilintar tidak berani bertindak ceroboh. 

Cepat bagai kilat tubuhnya dilempar ke belakang dan 

bersalto beberapa kali di udara. Maka jarum-jarum itu 

hanya mengenai tempat kosong. 

Tapi hal itu sudah diperhitungkan Brajageni. Maka 

begitu lawannya meloloskan diri, tangannya kembali 

mengibas. Lagi-lagi terdengar suara berdesir halus 

ketika jarum-jarum beracunnya meluncur cepat 

menuju sasaran. Tidak hanya itu saja yang dilakukan 

laki-laki bertubuh tinggi kurus itu. Dia juga langsung 

melompat menyusul, melakukan serangan dengan 

kerisnya. 

Cambuk Halilintar terkejut bukan kepalang. 

Serangan kali ini ternyata jauh lebih berbahaya 

daripada sebelumnya. Karena di samping serangan 

itu tiba di saat tubuhnya tengah berada di udara, 

serangan lain pun datang menyusul. 

"Hup!" 

Begitu laki-laki bertubuh pendek kekar ini 

mendaratkan kedua kakinya di tanah, serangan 

jarum-jarum beracun itu telah menyambar dekat. 

Maka sebisa-bisanya cambuknya digerakkan.


Darrr, darrr...! 

Hebat bukan main permainan cambuk laki-laki 

bertubuh pendek kekar ini. Meskipun dalam keadaan 

yang sangat sulit, masih mampu membuktikan kalau 

julukan Cambuk Halilintar yang disandangnya bukan 

sekadar julukan kosong. Nyatanya semua jarum 

beracun itu tersampok runtuh. 

Tapi sebelum Cambuk Halilintar sempat berbuat 

sesuatu, serangan susulan dari Brajageni telah 

menyambar tiba. Keris di tangan laki-laki bertubuh 

tinggi kurus itu meluncur cepat ke arah perutnya. 

Cappp...! 

"Aaakh...!" Cambuk Halilintar menjerit keras. 

Keris itu menghunjam sampai ke gagang. Dan 

kejadian seperti sebelumnya pun kembali terulang. 

Asap yang mula-mula tipis dan sedikit, kemudian 

menebal dan banyak. Sampai akhirnya, asap itu sirna 

dan muncul kembali. Dan begitu asap itu benar-benar 

lenyap, tubuh Cambuk Halilintar yang telah menjadi 

kurus kering karena kehabisan darah, ambruk ke 

tanah dengan nyawa melayang. 

Brajageni terpaku. Kini baru disadari kalau 

kejadian yang menimpa Empu Sawung akibat keris 

yang terbuat dari benda langit itu. Hanya yang 

menjadi tanda tanya, ke mana perginya darah Empu 

Sawung dan Cambuk Halilintar? 

Dengan benak masih dipenuhi tanda tanya, 

Brajageni memasukkan keris itu ke sarungnya. Tapi, 

gerakannya terhenti di udara. Dia merasa seperti ada 

hawa yang cukup dingin menghembus kulitnya, 

berasal dari bilah keris itu. 

Dahi Brajageni seketika berkernyit. Tadi pun, 

sehabis membunuh Empu Sawung, ada hawa cukup 

dingin yang menghembus kulitnya begitu keris itu


akan dimasukkan ke sarungnya. 

Tapi Brajageni buru-buru mengusir pikiran yang 

menggelayuti benaknya. Dia khawatir, kalau berlama-

lama di sini, bukan tidak mungkin akan ada tokoh 

persilatan lain yang datang kemari. Masih untung 

kalau menang. Kalau kalah? 

Itulah sebabnya, meskipun dengan benak yang 

masih dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang 

bergolak, laki-laki tinggi kurus ini bergerak cepat 

meninggalkan tempat itu. 

*** 

Entah sudah berapa lama dan berapa jauh berlari, 

Brajageni tidak mempedulikannya. Yang diketahui 

cuma satu. Dirinya telah berada di dalam Hutan 

Dadap, menembus tempat yang jarang didatangi 

orang. 

Brajageni terus berlari, meskipun malam telah 

mulai berlalu. Dini hari telah mulai datang. Ayam 

jantan mulai berkokok bersahut-sahutan. Sebentar 

lagi, matahari akan menerangi mayapada. 

Laki-laki bertubuh tinggi kurus itu baru mem-

perlambat larinya, tatkala pandangan matanya 

tertumbuk pada sebatang pohon beringin yang tinggi, 

dikelilingi pepohonan dan semak-semak lebat. 

Brajageni menghentikan langkah ketika jaraknya 

dengan pohon beringin itu tinggal dua tombak lagi. 

Pohon itu besar sekali, berukuran lebih dari empat 

pelukan tangan orang dewasa. Ada satu keanehan 

pada pohon itu. Di bagian bawah batangnya terdapat 

sebuah lubang berbentuk setengah lingkaran. Dan 

tanpa ragu-ragu, Brajageni melangkah meng-

hampirinya.


Baru juga melangkah beberapa tindak, dari dalam 

pohon itu melesat sesosok bayangan yang langsung 

melancarkan serangan bertubi-tubi ke dada, ulu hati, 

dan pusar Brajageni. 

Brajageni terkejut bukan main. Apalagi begitu 

merasakan hembusan angin kuat yang menyambar 

sebelum serangan tiba. Karena mengelak sudah tidak 

memungkinkan lagi, maka diputuskan untuk 

menangkisnya. Tahu akan kedahsyatan serangan itu, 

laki-laki tinggi kurus ini mengerahkan seluruh tenaga 

dalamnya untuk menangkis. 

Plak, plak, plak...! 

Benturan keras terdengar berkali-kali begitu 

sepasang tangan yang sama-sama mengandung 

tenaga dalam penuh beradu. Akibatnya, tubuh 

Brajageni terjengkang ke belakang. Kedua tangannya 

dirasakan seperti patah-patah. Bahkan dadanya pun 

terasa sesak bukan main. 

Terdengar suara berdebuk keras ketika tubuh 

Brajageni terjatuh di tanah. Dari seringai yang 

nampak di wajahnya, dapat diketahui kalau dia 

merasa kesakitan. 

Dengan pandangan mata nanar, Brajageni 

menatap penyerangnya. Dalam keremangan malam 

yang telah berganti dini hari, samar-samar dapat 

terlihat wajah dan potongan tubuh sosok yang 

ternyata seorang kakek bertubuh sedang mengena-

kan pakaian serba merah. Kumis dan jenggotnya 

nampak hitam. Tapi anehnya, kulit wajahnya putih 

sekali, seperti kapur. 

"Hm…!" 

Kakek bermuka putih itu mendengus. Kedua 

tangannya dengan jari-jari terbuka, nampak bersilang 

di depan dada. Lalu perlahan-lahan jari-jari tangannya


mengepal, menimbulkan suara berkerotokan keras. 

Wajah Brajageni pucat pasi begitu melihat gerakan 

kakek bermuka putih. 

"Guru...! Tahan...!" teriak laki-laki bertubuh tinggi 

kurus, keras. Nada suaranya terdengar agak bergetar, 

karena dilanda perasaan tegang dan takut yang 

menggelegak. 

Seketika itu juga jari-jari tangan kakek bermuka 

putih yang semula sudah mengepal keras, 

mengendur mendadak. 

"Apa katamu?!" seru kakek bermuka putih. Wajah 

dan suaranya menyiratkan perasaan kaget yang amat 

sangat. "Siapa kau sebenarnya?!" 

"Aku Brajageni, Guru," sahut laki-laki bertubuh 

tinggi kurus cepat "Lupakah Guru padaku?" 

"Brajageni?!" 

"Benar, Guru," Brajageni menganggukkan kepala. 

"Begitu berubahkah wajahku sehingga Guru sampai 

tidak mengenalku lagi. Dan bahkan hampir saja 

membunuhku." 

"Kunyuk!" umpat kakek bermuka kurus itu. 

"Bagaimana aku bisa mengenalmu, kalau wajahmu 

disembunyikan seperti itu?!" 

Brajageni tersentak. Betapa bodohnya dia! Pantas 

saja gurunya sama sekali tidak mengenali. Ternyata 

caping dan kain yang menutup wajahnya belum 

ditanggalkan. Maka buru-buru penyamarannya di-

tanggalkan. 

"Kau mengagetkan aku saja, Brajageni," desah 

kakek muka putih itu setelah menyaksikan sendiri 

kalau orang bercaping itu benar muridnya. "Semula 

aku merasa heran melihat racunku sama sekali tidak 

bekerja. Tapi kini, semuanya telah menjadi jelas." 

Brajageni hanya bisa tersenyum. Gurunya ini


memang berwatak telengas. Dalam setiap serangan, 

racunnya tak pernah ketinggalan. Dan lagi, racun-

racunnya pasti memiliki akibat yang menggiriskan. 

Hal itu sebenarnya tidak aneh. Karena, kakek 

bermuka putih itu berjuluk Raja Racun Muka Putih! 

"Jelaskan, mengapa kau sampai melakukan 

penyamaran seperti ini, Brajageni?" pinta kakek 

bermuka putih, pelan. Ada tuntutan yang besar dalam 

nada suaranya. 

"Terpaksa, Guru. Aku kini membawa keris yang 

terbuat dari benda langit. Kalau wajahku kutampil-

kan, maka seluruh tokoh persilatan pasti akan 

mengejarku. Dan tentu aku bisa celaka, Guru." 

Kemarahan yang melanda hati Raja Racun Muka 

Putih langsung sirna, berganti perasaan kaget yang 

bergelora. Kepalanya menoleh ke sana kemari 

sebentar. 

"Masuk...," ujar Raja Racun Muka Putih seraya 

melangkah memasuki lubang yang terdapat di batang 

pohon. 

Dengan agak bergegas, Brajageni melangkah di 

belakang gurunya. Laki-laki bertubuh tinggi kurus ini 

tahu, di dalam pohon besar inilah tempat tinggal Raja 

Racun Muka Putih. Sebuah tempat yang agak sulit 

untuk diketahui orang lain. Siapa yang menyangka 

kalau sebenarnya bagian dalam pohon itu tak 

ubahnya bagian dalam rumah pada umumnya? 

*** 

"Mana keris yang kau katakan itu, Brajageni?" 

tagih Raja Racun Muka Putih tatkala mereka berdua 

telah duduk di dalam. 

Brajageni segera mengambil keris yang terselip di



belakang tubuhnya, lalu menyerahkan pada gurunya. 

Kakek bermuka putih mengulurkan tangan 

menerima. Diawasinya sejenak benda itu, sebelum 

akhirnya dihunus perlahan-lahan. Sepasang matanya 

merayapi sekujur bilah keris yang terbuat dari benda 

langit, kemudian memasukkannya kembali lambat-

lambat. 

"Ceritakan dengan jelas, bagaimana kau bisa 

mendapatkan benda langit itu. Karena sepenge-

tahuanku, hanya Dewa Arak dan kawan wanitanya 

saja yang berhasil keluar dari Hutan Bandan dalam 

keadaan hidup. Dan sepatutnya, dialah yang men-

dapatkan benda itu. Tapi ternyata tidak. Benda langit 

itu lenyap, seiring lenyapnya peristiwa yang meng-

gegerkan hutan itu." (Untuk lebih jelasnya silakan 

baca serial Dewa Arak dalam episode "Prahara Hutan 

Bandan"). 

"Semua ucapanmu betul, Guru," sahut Brajageni 

membenarkan. "Tapi ternyata ada tokoh yang kita 

lupakan. Eyang Aji Ranta, namanya. Dan ternyata 

Dewa Arak menyerahkan benda langit itu kepadanya." 

"Hm...," Raja Racun Muka Putih hanya meng-

gumam pelan. 

"Itu pun kuketahui setelah beberapa waktu 

lamanya, Guru," sambung Brajageni. "Dan begitu 

kucari, kakek itu ternyata telah tidak berada lagi di 

situ. Eyang Aji Ranta telah pindah ke Hutan Dadap. 

Maka segera kususun rencana untuk mendapatkan 

benda itu. Karena aku merasa bila menghadapi 

secara terang-terangan tidak mungkin menang. 

Terpaksa dia kulawan dengan siasatku." 

Brajageni menghentikan ceritanya sejenak, untuk 

mengambil napas. 

"Waktu itu, kuperintahkan seorang kepala rampok


yang pernah kutolong dari tangan maut seorang 

pendekar untuk melaksanakan rencanaku. Seorang 

anak buahnya yang kuberi pakaian prajurit kulukai 

dengan racun ganas, dan kubuang di dekat Desa 

Pucung. Semuanya berjalan lancar sesuai rencana. 

Dia ditemukan penduduk desa, dan segera dibawa ke 

rumah Ki Waskita, dukun ampuh desa itu." Kembali 

Brajageni menghentikan ceritanya untuk mengambil 

napas seraya mencari kata-kata yang tepat untuk 

melanjutkan ceritanya. 

"Dan seperti yang sudah kuduga, Ki Waskita tidak 

mampu menyembuhkan luka itu. Atas desakan orang 

yang kuracun, Ki Waskita kemudian menyuruh dua 

orang penduduk untuk meminta bantuan Eyang Aji 

Ranta. Kakek itu memang dikenal sebagai orang yang 

ahli mengobati penyakit akibat racun," lanjut laki-laki 

bertubuh tinggi kurus itu. "Tak lama setelah utusan itu 

pergi, orang yang kulukai sembuh. Karena, dia 

kubekali obat penawar racunnya." 

Raja Racun Muka Putih mengangguk-anggukkan 

kepala. 

"Dan begitu Eyang Aji Ranta telah pergi untuk 

mengobati, rombongan perampok mengambil benda 

langit itu. Usaha mereka berhasil, lalu benda langit itu 

diserahkan padaku. Dan setelah itu, mereka semua 

kukirim ke akhirat" 

"Ha ha ha...!" 

Tiba-tiba tawa Raja Racun Muka Putih meledak. 

Tampak jelas kalau hatinya gembira bukan main 

mendengar ucapan muridnya. Memang kakek ini 

memiliki sifat mengerikan. Gembira sekali jika men-

dengar penderitaan orang lain. 

"Hm.... Lalu?" tanya kakek muka putih itu penuh 

gairah.


Brajageni lalu menceritakan semua kejadiannya. 

"Begitulah, Guru," ujar Brajageni menutup cerita-

nya. "Aku ingin menanyakan kepada Guru tentang hal-

hal aneh pada keris ini." 

Raja Racun Muka Putih tercenung sejenak. 

Dahinya berkernyit, seperti tengah berpikir keras. 

Brajageni tidak berani mengganggu. Dibiarkannya 

saja kakek muka putih itu berbuat demikian. Hanya 

sepasang matanya saja yang menatap tajam setiap 

gerak-gerik yang dilakukan Raja Racun Muka Putih. 

Setelah beberapa saat lamanya tercenung, Raja 

Racun Muka Putih menghunus kembali keris itu. 

Diperhatikannya baik-baik bilah keris yang berwarna 

hitam kelam itu. 

"Aku akan memeriksanya dulu, Brajageni. Mungkin 

membutuhkan waktu beberapa hari. Dan selama itu, 

aku tidak mau diganggu. Kau mengerti?!" 

"Mengerti, Guru," sahut Brajageni seraya meng-

anggukkan kepala. "Aku pergi dulu." 

***


6

"Hhh...!" 

Seorang pemuda berwajah tampan menghapus 

keringat yang membasahi wajahnya dengan pung-

gung tangan. Kepalanya mendongak ke atas, 

menatap ke arah matahari yang berada di atas 

kepala. Sinarnya memancar dengan garang ke bumi. 

Pemuda itu berusia sekitar dua puluh satu tahun. 

Tubuhnya tegap berisi, terbungkus pakaian berwarna 

ungu. Sebuah guci arak terbuat dari perak tersampir 

di punggungnya. 

Ada satu hal yang aneh pada diri pemuda ber-

pakaian ungu ini. Rambutnya ternyata tidak berwarna 

hitam seperti layaknya yang terdapat pada pemuda 

umumnya, tapi berwarna putih. Rambutnya benar-

benar seperti orang yang telah berusia tua, hanya 

saja warnanya lebih indah. Putih keperakan! 

Langkah pemuda berambut putih keperakan ini 

berhenti ketika sepasang matanya tertumbuk pada 

sesosok tubuh hitam yang tergolek di tengah jalan. 

Bergegas, dihampirinya sosok yang tergolek itu. 

Sesaat kemudian, pemuda berambut putih 

keperakan ini telah berada di hadapan sosok hitam 

itu. Sekali lihat saja, dia tahu kalau sosok itu telah 

tidak bernyawa lagi. 

Pemuda itu kemudian berjongkok, karena melihat 

mayat yang nampak aneh! Begitu mengenaskan, 

kurus kering, dan pucat pasi. Sepertinya seluruh 

darah di tubuhnya telah habis tanpa sisa. 

Sepasang mata pemuda berpakaian ungu itu



kemudian beredar berkeliling. Di sekitar tempat itu 

tampak jarum-jarum berserakan. Menilik dari warna-

nya, dapat diketahui kalau jarum-jarum itu mengan-

dung racun. 

Bukan hanya itu saja yang ditemukan pemuda 

berambut putih keperakan ini. Ternyata di situ juga 

tergeletak sebuah cambuk berwarna hitam pekat. 

Dan memang, mayat itu adalah mayat Cambuk 

Halilintar yang tewas di tangan Brajageni. 

"Keadaan mayat ini sungguh mengerikan. Seluruh 

darah di tubuhnya habis. Tapi anehnya, tidak ada 

bercak-bercak darah di tanah. Ke manakah perginya 

darah orang ini?" gumam pemuda berambut putih 

keperakan dengan perasaan bingung. "Padahal 

melihat luka di perutnya, jelas kalau orang ini 

tertusuk senjata tajam." 

Tapi walau pemuda berpakaian ungu ini telah 

memutar otaknya untuk mencari-cari jawaban, dia tak 

juga menemukannya. Sebaliknya, dia justru 

kepusingan. Sadar kalau tidak akan menemukan 

jawabannya, pemuda berambut putih keperakan ini 

menghentikan pemikirannya. 

Pemuda itu kemudian bangkit, dan melangkahkan 

kakinya menghampiri sebuah tempat yang terlindung. 

Diambilnya sebatang kayu yang cukup kuat. Lalu 

dengan kayu itu, digalinya tanah. 

Menakjubkan! Hanya menggunakan sebatang 

kayu, pemuda itu membuat sebuah lubang berbentuk 

persegi panjang yang cukup besar. Dan dengan waktu 

yang cukup singkat pula, pekerjaannya diselesaikan. 

Tidak lebih lambat dari orang-orang yang terbiasa 

bekerja kasar membuat lubang menggunakan 

cangkul. 

Ketika sebuah lubang terbuat, pemuda berambut


putih keperakan itu lalu menyeret mayat Cambuk 

Hatitintar. Dan dimasukkannya mayat itu ke dalam 

lubang, kemudian ditimbunnya dengan tanah. Baru 

setelah semuanya selesai, pemuda itu melanjutkan 

langkahnya kembali. 

Kini pemuda berambut putih keperakan itu tidak 

melangkah pelan seperti sebelumnya, tapi bergerak 

mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dalam 

sekali langkah saja, tubuhnya sudah melesat sebelas 

tombak. Luar biasa! 

Pemuda berambut putih keperakan itu terus 

berlari cepat. Kini sinar matahari yang terik dan 

menyengat tidak dirasakan lagi olehnya. Dan tak 

lama kemudian, dia telah melihat tembok batas 

sebuah desa. Maka pemakaian ilmu meringankan 

tubuhnya dihentikan. Kemudian, kakinya melangkah 

seperti biasa. 

Dengan langkah tenang, pemuda berambut putih 

keperakan itu melangkah memasuki mulut desa itu. 

Tak dipedulikannya pandangan mata keheranan dari 

penduduk desa yang melihat keadaan rambutnya 

yang menyolok. Langkahnya tetap tenang ketika 

memasuki sebuah kedai. 

Sesaat pemuda berambut putih keperakan itu 

menatap ke sekeliling. Kedai ini tampak kecil saja, 

dan kebetulan tengah kosong. Dia pun memilih satu 

di antara beberapa meja yang ada di dalamnya. 

Seorang laki-laki setengah tua bermuka codet, 

bergegas menghampiri. Rupanya, dialah pemilik kedai 

ini. 

"Mau pesan apa, Den?" tanya laki-laki bermuka 

codet itu. Pelan dan sopan suaranya. 

"Berikan aku seguci besar arak," sahut pemuda 

berambut putih keperakan itu.


Pemilik kedai itu bergegas kembali ke dalam. Tak 

lama kemudian, dia sudah kembali sambil membawa 

seguci besar arak, berikut sebuah gelas bambu. Dan 

setelah meletakkannya di meja pemuda itu, laki-laki 

bermuka codet itu bergegas kembali. 

Pemuda berambut putih keperakan itu lalu 

menjumput guci arak yang tersampir di punggungnya, 

kemudian meletakkannya di atas meja. Perlahan guci 

arak pesanannya diangkat dengan enaknya. Seolah-

olah yang diangkat hanya sebuah benda ringan saja. 

Suara bercegukan terdengar ketika arak di guci 

besar itu dituang ke guci arak perak yang bentuknya 

jauh lebih kecil. Tak lama kemudian, guci perak itu 

sudah penuh. 

Kini pemuda berambut putih keperakan itu 

menuangkan arak ke dalam gelas bambu. Sesaat 

kemudian, dia sudah menikmati minumannya. 

Entah sudah berapa gelas arak yang masuk ke 

perutnya. Mendadak, pemuda berpakaian ungu itu 

menghentikan minumnya sejenak. Pendengarannya 

yang tajam menangkap adanya banyak langkah kaki 

ringan di luar kedai. Paling tidak pemilik langkah-

langkah itu cukup berisi juga. Seketika, dia bersikap 

waspada. 

Meskipun begitu, pemuda berambut putih 

keperakan itu tetap berlaku tenang. Kembali gelas 

bambunya diangkat, untuk meneruskan minumnya. 

Dia bersikap seolah-olah tidak tahu akan kehadiran 

orang-orang di depan pintu kedai. Tapi pen-

dengarannya dipasang setajam mungkin, bersiap-siap 

menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. 

Dengan sudut matanya, pemuda berambut putih 

keperakan itu melihat dua sosok tubuh yang 

melangkah memasuki pintu kedai, kemudian


menghampiri tempat duduknya. Langkah mereka 

berhenti tepat di sebelah meja pemuda itu. 

Mau tak mau, pemuda berpakaian ungu itu 

menghentikan minumnya. Kepalanya mendongak 

menatap ke arah empat orang yang juga tengah 

menatapnya. 

"Semula aku tidak percaya ketika mendengar 

kalau desa ini kedatangan orang aneh. Pemuda 

berambut putih keperakan menyandang guci, dan 

berpakaian ungu. Tapi ternyata berita itu benar. 

Sungguh tidak kusangka kalau orang sepertimu sudi 

datang ke desa ini, Dewa Arak!" kata seorang laki-laki 

berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya tinggi 

kurus dan berpakaian putih. Kumis dan jenggotnya 

masih berwarna hitam. Tapi rambut di bagian 

pelipisnya telah bercampur warna putih. "Kenalkan, 

aku Ki Jayus! Kepala Desa Pucung!" 

Setelah berkata begitu, laki-laki berpakaian putih 

ini mengulurkan tangan pada pemuda berambut putih 

keperakan. 

Pemuda berpakaian ungu yang memang Dewa 

Arak alias Arya Buana tersenyum. Disambutnya uluran 

tangan kepala desa itu, lalu dijabatnya erat-erat. 

"Kau terlalu berlebih-lebihan, Ki. Panggil saja aku 

Arya," sahut Dewa Arak. Risih hatinya melihat sikap 

kepala desa itu yang terlalu berlebih-lebihan. 

"Dan ini Wikalpa! Guru silat kenamaan Desa 

Pucung!" ujar Ki Jayus lagi seraya melepaskan 

genggaman tangannya, memperkenalkan orang yang 

berada di sebelahnya. 

Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus, 

berusia sekitar empat puluh lima tahun. Pakaiannya 

hitam. Kumis dan jenggot jarang-jarang menghias 

wajahnya.


Arya mengulurkan tangannya, tapi Wikalpa sama 

sekali tidak menyambutnya. Bahkan, sebaliknya 

malah tersenyum mengejek. Terpaksa walau dengan 

muka merah, Dewa Arak menarik kembali tangannya. 

"Memang sifatnya begitu, De... eh! Arya," Ki Jayus 

cepat-cepat menengahi keadaan yang tidak enak itu. 

"Tapi, percayalah. Hatinya sangat baik." 

Dewa Arak hanya menganggukkan kepala, tidak 

menyahuti ucapan Kepala Desa Pucung itu. 

"Sayang sekali kami tidak bisa menemanimu 

minum, Arya. Kami mempunyai sebuah urusan 

penting tentang Empu Sawung. Pandai besi desa 

kami itu telah tewas semalam. Keadaan mayatnya 

rnengerikan sekali. Kurus kering dan pucat pasi 

seperti kehabisan darah...!' 

Setelah berbasa-basi sebentar, Ki Jayus me-

langkah meninggalkan tempat itu. Wikalpa pun 

mengikuti di belakangnya, meninggalkan Dewa Arak 

yang tengah tercenung kaget. Jadi, masih ada lagi 

korban dengan tubuh kurus kering kehabisan darah? 

Kalau begitu, di desa ini tengah terjadi sesuatu. Dewa 

Arak bertekad dalam hati untuk mencoba meng-

ungkap rahasia pembunuhan yang penuh teka-teki 

itu. Makanya dia memutuskan untuk tinggal di sini 

sementara waktu. 

Setelah menyelesaikan minum dan membayar 

pesanannya, Arya melangkah meninggalkan tempat 

itu. Kini tidak ada Melati di sampingnya. Gadis 

berpakaian putih itu, sudah kembali ke Kerajaan 

Bojong Gading. Kerusuhan masih saja terjadi di sana, 

karena ada dugaan Kerajaan Bojong Gading sedang 

lemah akibat pemberontakan Adipati Tasik (Untuk 

jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Banjir 

Darah di Bojong Gading").


*** 

Waktu berlalu tanpa disadari. Terkadang cepat 

laksana anak panah lepas dari busur. Tapi kadang 

pula merayap seperti seekor keong. Tak terasa tiga 

hari telah berlalu, sejak Brajageni menyerahkan keris 

pada gurunya. Dia memang selalu menunggu, 

sehingga terasa membosankan. 

"Bagaimana, Guru?" tanya Brajageni begitu datang 

menagih janji gurunya. 

"Keris ini akan menjadi senjata luar biasa, 

Brajageni," jelas Raja Racun Muka Putih. 

"Maksud, Guru?" tanya Brajageni ingin tahu. 

"Begitu mendengar ceritamu tentang keanehan 

keris ini, aku lalu memeriksanya. Dan hasil yang ku-

dapatkan, begitu mengejutkan!" 

"Apa itu, Guru?" Brajageni mulai bergairah. 

"Keris ini adalah keris peminum darah, Brajageni," 

sahut kakek muka putih itu. 

"Maksud, Guru?" 

"Setiap kali ditusukkan ke tubuh lawan, keris ini 

akan menghisap darahnya." 

"Ahhh...!" Brajageni terperanjat. 

"Setiap kali meminum darah, keris ini akan 

mendapat sebuah kekuatan menggiriskan," sambung 

Raja Racun Muka Putih, tanpa mempedulikan 

keterkejutan muridnya. 

"Kekuatan apa itu, Guru?" 

"Hanya satu yang baru kuketahui, Brajageni," 

jawab Raja Racun Muka Putih bernada mengeluh. 

"Apa itu, Guru?" meskipun hatinya agak kecewa 

mendengar gurunya hanya mengetahui satu, tapi 

Brajageni tak bisa menahan rasa keingintahuannya. 

"Hawa dingin yang luar biasa!"


"Tapi kenyataannya tidak demikian, Guru," bantah 

Brajageni ketika teringat pada salah seorang korban 

keris itu. 

Raja Racun Muka Putih mendengus. Dia sudah 

tahu, mengapa laki-laki tinggi kurus itu berkata 

demikian. 

"Darah yang diminumnya, tidak cukup untuk 

menimbulkan pengaruh sampai seperti itu," selak 

kakek bermuka putih itu. "Itulah sebabnya, hanya 

angin dingin biasa yang menghembus kulitmu. " 

"Jadi, maksud guru...?" 

"Keris itu membutuhkan darah yang lebih banyak, 

Brajageni. Dan juga, selama keris itu belum me-

nunjukkan hasil yang diharapkan, jangan dipisahkan 

dari darah!" 

"Memangnya kenapa kalau dipisahkan, Guru?" 

tanya Brajageni ingin tahu, meskipun sebenarnya 

sudah bisa menduga. 

"Kekuatan yang timbul itu akan kembali lenyap...." 

Brajageni mengangguk-anggukkan kepala. Semua 

yang dikatakan gurunya benar-benar masuk akal. 

"Kesimpulannya..., keris itu harus direndam dalam 

darah. Begitu kan, Guru?" 

"Tepat!" jawab Raja Racun Muka Putih cepat. "Dan 

setelah itu, kita akan membuktikan keampuhan 

senjata ini!" 

"Kalau begitu, malam ini juga aku akan mulai 

bergerak, Guru." 

Raja Racun Muka Putih sama sekali tidak 

menyahut. Hanya bibir atasnya saja yang bergerak 

sedikit, pertanda menanggapi ucapan muridnya. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Brajageni 

segera melesat cepat meningalkan tempat itu.


*** 

Tong tong, tong...! 

Bunyi kentongan terdengar mengiringi langkah dua 

orang peronda, yang berjalan mengelilingi wilayah 

Desa Pucung. Kedua orang ini tak lain dari Rakapitu 

dan Gibang. 

"Rakapitu..." 

Laki-laki bertubuh tinggi besar itu menoleh. 

"Ada apa, Gibang?" tanya Rakapitu. 

Gibang terdiam sesaat, nampak kalau merasa 

ragu-ragu untuk berbicara. Karuan saja hal ini mem-

buat rekannya kesal. Untung, sebelum laki-laki tinggi 

besar itu memuntahkan kekesalannya, Gibang telah 

terlebih dulu membuka suara. 

"Kau tidak merasa ada keanehan malam ini, 

Rakapitu?" 

"Kau ini bicara apa, sih?!" Rakapitu malah balik 

bertanya. Nada suaranya menyiratkan kekesalan. 

Rupanya, dia tengah tidak mau diganggu. 

"Dengar dulu, Rakapitu," sahut Gibang cepat. "Aku 

belum selesai bicara!" 

Rakapitu pun menghentikan ucapannya. Tangan-

nya yang memegang kentongan kembali bekerja. 

Tong, tong, tong...! 

Bunyi kentongan itu terdengar nyaring menembus 

kesunyian malam yang mencekam. 

"Malam ini perasaanku tidak enak sekali, 

Rakapitu," keluh Gibang setelah suara kentongan itu 

lenyap. "Bahkan bulu kudukku sampai berdiri." 

"Hm.... Lalu?" tanya Rakapitu dengan suara 

sumbang, seperti dilanda ketegangan. 

Memang sebenarnya, dia sejak tadi dicekam 

perasaan tidak enak dan rasa takut yang aneh. Itulah


sebabnya, laki-laki tinggi besar ini jadi agak kesal 

ketika Gibang membuka pembicaraan seperti itu. 

Akibatnya, rasa takutnya semakin besar melanda 

hatinya. 

"Perasaanku..., ada sesuatu yang akan terjadi..," 

sambung Gibang pelan, lebih mirip bisikan. 

Belum juga laki-laki berwajah penuh tahi lalat ini 

menutup mulut, pandangan matanya menangkap 

adanya sosok serba hitam tak jauh di depan mereka. 

Sosok serba hitam itu berjarak sekitar lima tombak 

dengan mereka. 

Hati Rakapitu dan Gibang tercekat. Apalagi ketika 

menyadari kalau kini mereka tengah berada di 

tempat yang agak jauh dari rumah-rumah penduduk. 

Rakapitu dan Gibang sudah bisa memperkirakan 

kalau sosok serba hitam itu mempunyai maksud 

buruk. Tanpa ragu-ragu lagi, Gibang segera me-

mindahkan obornya ke tangan kiri. Sementara tangan 

kanannya cepat bergerak ke arah pinggang. 

Srattt..! 

Sinar terang berpendar ketika golok itu keluar dari 

sarung. Sementara Rakapitu masih tetap belum 

bertindak apa-apa. Hanya sepasang matanya saja 

yang menatap sosok serba hitam itu penuh selidik. Di 

tangan kanannya tetap tergenggam kentongan. 

Dalam keremangan sinar bulan, tampak sosok hitam 

itu memang berniat menghadang mereka. 

Sosok bertubuh tinggi kurus. Pakaiannya serba 

hitam. Wajahnya terturup kain hitam mulai dari 

bawah mata. Bukan itu saja. Kepalanya pun ter-

bungkus sebuah caping bambu. Memang tidak ada 

yang menyangka kalau sosok di balik semua itu 

adalah Brajageni. Namun siapa pun orangnya, 

Rakapitu dan Gibang harus bersikap waspada.


"Siapa kau?!" tanya Gibang agak keras, dengan 

jantung berdetak kencang. Sikap dan dandanan 

orang ini menimbulkan kecurigaan di hatinya. 

Namun bukan jawaban yang didapatkan Gibang. 

Tapi terjangan! Tanpa berkata-kata lagi, Brajageni 

segera melompat. Tangan kanannya yang berbentuk 

cakar meluncur deras ke arah dada. 

Wuuut…! 

Angin menderu keras mengiringi tibanya serangan 

Brajageni. Jelas, serangannya itu mengandung tenaga 

dalam tinggi. Hal ini tidak aneh, karena laki-laki 

bertubuh tinggi kurus ini telah mengerahkan seluruh 

tenaga dalam yang dimiliki. 

Gibang terkejut bukan main melihat kecepatan 

gerak lawannya. Dengan gugup, obor yang dipegang 

dilemparkan ke arah tubuh lawan yang tengah 

menuju ke arahnya. 

Brajageni hanya mendengus. Terpaksa serangan-

nya dibatalkan. Dan secepat itu pula tangannya 

dikibaskan ke arah obor yang tengah menyambarnya. 

Takkk...! 

Suara berderak keras terdengar begitu batang 

obor itu hancur berkeping-keping. 

"Haaat..!" 

Gibang berseru keras seraya melompat menerjang. 

Golok di tangannya menusuk cepat ke arah perut 

Brajageni. Rakapitu pun tak tinggal diam. Maka cepat 

dipukulnya kentongan berkali-kali. 

Tong, tong, tong...! 

Suara kentongan tanda bahaya pun terdengar. 

Dan sehabis memberi tanda, laki-laki tinggi besar ini 

mencabut golok untuk membantu rekannya yang 

tengah menghadapi Brajageni. Golok di tangannya 

membabat cepat ke arah leher.


Brajageni geram bukan kepalang melihat Rakapitu 

memukul kentongan tanda bahaya. Sudah dapat 

diperkirakan kalau tak lama lagi penduduk desa akan 

berdatangan. Dan dia tidak ingin masih berada di sini 

saat para penduduk datang. Bila hal itu terjadi, maka 

akan banyak penduduk yang menjadi korban. 

Brajageni tidak menginginkan hal itu. Malam itu 

cukup dua orang saja yang akan dijadikan korban. 

Sisanya esok malam. Makanya, kini dia harus ber-

tindak cepat. 

Brajageni sama sekali tidak berusaha mengelak 

atau menangkis, saat kedua orang lawannya bergerak 

menyerang. Sepertinya laki-laki bertubuh kurus itu 

tidak mempedulikan mereka. Karuan saja hal ini 

membuat Rakapitu dan Gibang jadi gembira. Mereka 

menduga laki-laki bercaping itu tidak mampu meng-

elakkan serangan gabungan yang dilakukan. 

Takkk, takkk...! 

Dua batang golok itu membalik ketika mengenai 

sasaran. Sementara tangan kedua orang penyerang 

itu bergetar hebat, sampai-sampai senjata yang di-

genggam hampir terlepas dari pegangan. 

Tidak hanya itu saja yang dilakukan Brajageni. 

Tubuhnya cepat menyelinap ke belakang. Dan 

setibanya di sana, cepat laksana kilat, kedua 

tangannya menepuk tengkuk Rakapitu dan Gibang 

Gerakan Brajageni cepat bukan mata. Terdengar 

suara keluhan lirih, disusul robohnya tubuh kedua 

orang itu begitu kedua tangan Brajageni hinggap di 

sasaran. Rakapitu dan Gibang kontan pingsan. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Brajageni 

menyambar mereka sebelum menyentuh tanah. Dan 

secepat itu pula laki-laki serba hitam itu melesat 

kabur dari situ, sambil memanggul tubuh kedua orang


yang akan menjadi korbannya. 

Baru saja tubuh Brajageni lenyap ditelan 

kegelapan malam, para penduduk Desa Pucung 

muncul di tempat itu. Jumlah mereka tak kurang dari 

dua puluh orang. Di tangan mereka semua 

tergenggam sebatang obor, membuat suasana di 

tempat itu jadi terang-benderang. 

Dengan dipimpin empat orang peronda lain yang 

tadi berjaga-jaga di pos, para penduduk mencari-cari 

di sekitar tempat itu. 

"Kau yakin suara kentongan itu berasal dari sini, 

Guriang?" tanya salah seorang penduduk yang 

berusia setengah baya. 

Guriang, yang ternyata adalah seorang pemuda, 

langsung menoleh. 

"Aku yakin sekali, Paman," sahut Guriang, mantap. 

"Kalau begitu, mari kita cari di sekitar sini!" seru 

laki-laki setengah baya itu. 

"Hey...!" seru salah seorang penduduk. Telunjuk 

tangan kanannya menuding ke tanah. 

Seperti mendapat aba-aba, belasan orang 

rekannya menoleh ke arah yang ditunjuk, kemudian 

bergegas melangkah menghampiri. 

Guriang membungkukkan tubuhnya, memungut 

dua batang golok. Kemudian diperhatikannya golok 

itu dengan seksama. 

"Ini golok Rakapitu dan Gibang," desak Guriang. 

"Berarti mereka tadi berada di sini...," sambut 

seorang penduduk yang berbibir tebal dan hitam. 

"Benar!" sahut Guriang memberi dukungan. 

"Mekipun tanda-tandanya sedikit, bisa diketahui 

kalau di sini telah terjadi pertarungan...." 

"Tapi, ke mana mereka...?!" tanya seorang 

penduduk yang bertubuh kecil kurus. Tidak jelas,


kepada siapa pertanyaan itu ditujukan. Dan 

andaikata ditujukan pun, orang yang ditanya tidak 

akan bisa menjawabnya. Mereka semua memang 

sama-sama tidak tahu. 

"Kita berpencar mencarinya," lagi-lagi Guriang yang 

mengambil keputusan cepat. "Kita memecah diri 

menjadi empat kelompok. Masing-masing kelompok 

terdiri dari lima orang. Bagaimana? Setuju?!" 

"Setuju...!" sahut belasan orang penduduk 

serentak. 

Guriang tersenyum lebar melihat sambutan yang 

menggembirakan itu. Setelah merundingkan kembali, 

apa-apa yang hams dilakukan, keempat orang itu pun 

segera berpencar. 

Dua puluh orang penduduk yang terbagi menjadi 

empat kelompok mulai menyusuri sekitar daerah itu. 

Mereka mencari-cari dengan penuh semangat. 

Mereka menguak kerimbunan pepohonan dan 

semak-semak seraya memanggil-manggil nama 

kedua orang peronda itu. Tapi, tetap saja tidak ada 

tanda-tanda keberadaan Rakapitu dan Gibang. 

Akhirnya setelah lama mencari-cari tanpa hasil, 

para penduduk putus asa. Kedua kaki mereka telah 

lelah sekali. Leher terasa sakit, dan suara pun serak 

karena terlalu sering memanggil-manggil. Sedangkan, 

yang dicari tak kunjung datang. 

Satu demi satu kelompok pencari itu mulai 

kembali ke pos masing-masing dengan langkah lesu. 

Mereka hanya dapat berharap, agar kedua orang itu 

selamat. 

***


Hari masih pagi di Desa Pucung. Matahari yang 

berbentuk bola raksasa baru saja muncul di ufuk 

Timur. Warnanya merah jingga. Suasana pagi yang 

semula sunyi, mendadak dipecahkan oleh teriakan 

keras diiringi sesosok tubuh yang berlari terpontang-

panting. 

Menilik dari pakaiannya, dia pasti penduduk Desa 

Pucung. Orang itu terus saja berlari cepat, sekalipun 

telah memasuki desa. Tentu saja hal ini menarik 

perhatian beberapa penduduk lainnya. 

"Ada apa, Soma?" tanya seorang yang rambutnya 

dikuncir, pada laki-laki berpakaian kuning yang 

tengah berlari-lari itu. 

Tapi Soma sama sekali tidak menghiraukannya, 

dan malah terus saja berlari. Hal ini membuat laki-laki 

berkuncir itu penasaran. Segera perhatiannya dialih-

kan pada orang yang berada di sebelahnya. 

"Ada apa?" tanya laki-laki berkuncir itu. 

Tapi orang yang ditanya juga hanya meng-

gelengkan kepala. 

"Sepertinya dia menuju ke rumah kepala desa," 

tebak seorang penduduk yang bermata picak. 

"Pasti ada sesuatu yang akan dilaporkannya," 

sambut laki-laki yang berambut dikuncir. 

Karena perasaan ingin tahu, orang-orang itu pun 

bergerak mengikuti. Dan memang, apa yang dikata-

kan orang bermata picak itu benar. Soma ternyata 

menuju rumah kepala desa. 

"Ki..! Ki...!" masih dalam keadaan berlari-lari, dan


dalam jarak tak kurang dari lima tombak, laki-laki 

berpakaian kuning itu berteriak-teriak memanggil Ki 

Jayus yang kebetulan tengah berada di halaman. 

Karuan saja hal ini membuat Kepala Desa Pucung 

itu terperanjat. 

"Ada apa?!" tanya Ki Jayus ketika Soma telah 

berada di hadapannya. 

"Anu, Ki...." Dengan terputus-putus karena napas-

nya masih memburu, Soma berusaha berbicara. 

"Tenanglah dulu," ujar Ki Jayus pelan. "Kau tidak 

akan bisa mengatakannya kalau tidak tenang dulu." 

Laki-laki berpakaian kuning yang bernama Soma 

itu terdiam, berusaha menenangkan diri. 

"Tarik napas dalam-dalam, lalu keluarkan," saran 

Ki Jayus. 

Kembali laki-laki setengah baya itu menuruti 

anjuran Kepala Desa Pucung itu. Napasnya segera 

ditarik dalam-dalam, lalu dihembuskan kuat-kuat. 

Memang setelah beberapa kali melakukan hal itu, dia 

mulai merasa tenang. 

"Sekarang, katakanlah. Mengapa kau bersikap 

seperti itu?" ujar Ki Jayus penuh wibawa. 

"Mereka, Ki. Aku telah menemukannya," Soma 

berusaha menjelaskan. 

"Mereka siapa?" Ki Jayus mengerutkan kening. 

"Bicaralah yang jelas!" 

"Rakapitu dan Gibang, Ki." 

"Rakapitu dan Gibang?!" ulang Ki Jayus lambat-

lambat. "Memangnya, ada apa dengan kedua orang 

itu?!" 

"Jadi..., kau belum mengetahuinya, Ki?" sekarang 

malah laki-laki berpakaian kuning itu yang terheran-

heran. 

"Mengetahui? Mengetahui apa?!" tanya Ki Jayus,


tak mengerti. 

"Rakapitu dan Gibang hilang secara aneh 

semalam, setelah memukul kentongan tanda 

bahaya," jelas laki-laki berpakaian kuning itu. 

"Heh?! Mengapa aku tidak diberi tahu?!" ada nada 

teguran dalam pertanyaan itu. 

"Kami belum sempat memberitahukanmu, Ki," 

selak sebuah suara menyahuti, sebelum Soma 

menjawab. 

Serentak Ki Jayus dan laki-laki setengah baya 

menoleh ke arah asal suara. Di sana berdiri Guriang 

dan tiga orang lainnya. Mereka berempat adalah yang 

bertugas ronda semalam. 

"Semalam kami ingin memberitahukanmu, tapi 

malam sudah terlalu larut. Dan menjelang dini hari, 

kami terpaksa mengurungkannya. Maaf, Ki. Kami 

tidak ingin mengganggumu," jelas Guriang mewakili 

rekan-rekannya. 

"Hm...," hanya gumaman tak jelas yang menyam-

buti ucapan pemuda bertubuh kekar itu. 

"Rencananya, pagi ini kami akan memberitahumu. 

Sekalian meneruskan pencarian. Tapi, rupanya kami 

sudah didahului Kakang Soma." 

"Aku telah menemukan mereka, Guriang," jelas 

Soma. 

"Aku telah mendengarnya tadi, Kang," sahut 

Guriang. "Bagaimana keadaan mereka?" 

"Tidak ada harapan sama sekali," sahut Soma 

bernada mengeluh. 

"Jadi...?" suara Guriang tercekat di tenggorokan. 

"Ya," Soma menganggukkan kepala. "Mereka 

tewas." 

"Ya, Tuhan...!" hampir berbareng, semua mulut 

berseru.


"Mari kita ke sana...!" ajak Ki Jayus yang terlebih 

dulu sadar dari kesedihannya. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, keenam orang 

itu segera meninggalkan tempat itu, menuju tempat 

Rakapitu dan Gibang ditemukan dalam keadaan tidak 

bernyawa lagi. 

Di tengah perjalanan mereka bertemu rombongan 

penduduk yang bermaksud menyusul Soma. Dan 

begitu para penduduk itu mengetahui maksud 

rombongan kecil itu, mereka juga ikut meng-

gabungkan diri. 

Semakin lama rombongan itu semakin banyak 

jumlahnya. Dan menjelang mulut desa, Dewa Arak 

dan Wikalpa yang kebetulan ada di situ segera meng-

gabungkan diri. Suara riuh seperti ada serombongan 

lebah marah terdengar ketika para penduduk ber-

bicara satu sama lain. 

Soma bertindak sebagai penunjuk jalan, mem-

bawa rombongan penduduk ini menuju Hutan Dadap. 

"Bagaimana kau bisa menemukannya, Soma?" 

tanya Guriang. Ada nada penasaran dalam suaranya. 

Maklum, semalam dia bersama rekan-rekannya telah 

mencari-cari sampai semalam suntuk, tapi tanpa 

hasil. 

"Aku pun menemukannya secara tidak sengaja, 

Guriang. Kau tahu kan, aku selalu mencari kayu 

bakar, di hutan ini. Dan secara tidak sengaja aku 

melihat mayat mereka. Mengerikan!" 

Setelah berkata demikian, Soma bergidik. Namun, 

Guriang tidak menanggapi. Sehingga laki-laki 

setengah baya itu pun menghentikan ucapannya. 

Tak lama kemudian rombongan penduduk Desa 

Pucung ini telah memasuki Hutan Dadap. Soma terus 

berjalan di depan, sampai akhirnya tiba di depan



sebatang pohon yang di sekitarnya terdapat semak-

semak. 

"Di situlah mayat mereka kutemukan," tunjuk laki-

laki berpakaian kuning itu memberi tahu. Telunjuk 

tangan kanannya menuding ke arah pohon dan 

semak-semak. 

Guriang dan tiga orang rekannya segera 

melangkah maju, lalu menguak kerimbunan semak-

semak. Sementara yang lainnya menunggu di tempat. 

"Ah...!" 

Terdengar jerit pelan bernada keluhan. Sesaat 

kemudian, keempat orang itu bergerak terhuyung-

huyung keluar kerimbunan. Wajah mereka tampak 

pucat pasi. 

"Guriang! Ada apa...?!" tanya Ki Jayus tak sabar. 

"Mengapa mayat mereka tidak dibawa keluar?!" 

Tapi Guriang sama sekali tidak menyahuti per-

tanyaan Kepala Desa Pucung itu. Tampak jelas kalau 

dia masih dilanda keterkejutan yang amat sangat. 

Melihat hal ini, Wikalpa jadi tidak sabar lagi. 

Segera kakinya melangkah, memasuki kerimbunan 

semak-semak itu. 

Kini para penduduk kembali menanti, dengan 

perasaan tegang. Mereka ingin tahu, apa yang akan 

terjadi lagi. Tapi, tidak terdengar suara keluhan 

sedikit pun dari dalam kerimbunan semak-semak itu. 

Bahkan tak lama kemudian, laki-laki berkumis jarang-

jarang itu telah keluar dari kerimbunan semak-semak. 

Di bahu kanan kirinya sudah terpanggul dua sosok 

tubuh. 

Dengan wajah tenang, Wikalpa menurunkan tubuh 

yang dipanggulnya. Memang yang dikatakan Soma 

benar, bahwa dua sosok mayat itu adalah Rakapitu 

dan Gibang. Tapi, keadaan mereka benar-benar


mengerikan. Kepala hampir terlepas dari leher, 

sedangkan tubuhnya kurus kering dan pucat seolah-

olah tak ada darah setetes pun di tubuh mereka. 

Bukan itu saja. Sekujur tubuh mereka juga penuh 

luka sayatan. Bahkan pakaian kedua orang itu 

compang-camping. 

Arya mengerutkan alisnya. Kembali Dewa Arak 

melihat mayat-mayat dengan luka-luka yang sama 

dengan yang pernah ditemukannya. Apakah ada 

makhluk peminum darah yang berkeliaran di desa 

ini? 

"Keparat...!" Ki Jayus, Kepala Desa Pucung itu 

menggertakkan gigi begitu melihat mayat kedua 

orang warganya. "Iblis mana yang telah melakukan 

semua ini?!" 

Tapi tidak ada satu pun warganya yang menjawab 

pertanyaan itu. Mereka semua sama menundukkan 

kepala. 

"Guriang...! Bagaimana ini bisa terjadi?! Bukankah 

Rakapitu dan Gibang bertugas bersamamu?" 

Guriang mengangkat kepala, menatap sebentar 

wajah Ki Jayus. 

"Maafkan aku, Ki," pinta Guriang. "Waktu peristiwa 

itu terjadi, aku tidak berada bersama mereka." 

"Hm.... Lalu, kau berada di mana?!" sentak Ki 

Jayus. 

"Aku dan yang lain berada di gardu jaga, Ki. 

Sementara Rakapitu dan Gibang berkeliling." 

"Hm...," hanya gumaman pelan yang keluar dari 

mulut Kepala Desa Pucung itu. 

"Ki...," sapa Arya begitu mendapat kesempatan. 

"Ada apa, Arya?" tanya Ki Jayus seraya menoleh ke 

arah pemuda berambut putih keperakan itu. 

"Apakah ini adalah kejadian yang baru pertama


kali?" tanya Arya ingin tahu. 

"Tidak, Arya," Ki Jayus menggelengkan kepala. "Ini 

adalah kejadian yang kedua kalinya. Kejadian 

pertama telah menimpa Empu Sawung." 

Dewa Arak menganggukkan kepala. Jadi, ini 

adalah kejadian ketiga kalinya yang dilihat Arya. Yang 

kedua adalah sosok hitam yang kemudian dikubur-

kannya. 

"Keadaan mayat mereka mengerikan sekali, Ki," 

kata Arya lagi. "Sepertinya darah di seluruh tubuh 

mereka habis! Apa mungkin di desa ini ada makhluk 

peminum darah?" 

Ki Jayus mengangkat bahu. 

"Aku sama sekali tidak tahu, Arya. Tapi yang jelas, 

aku belum pernah mendengarnya." 

Dewa Arak terdiam. 

"Nanti malam penjagaan harap lebih ditingkatkan. 

Kalian semua harus bersikap waspada. Begitu 

melihat gelagat mencurigakan, lekas pukul kentongan 

secepatnya," ujar Ki Jayus pada Guriang. 

"Baik, Ki," semua kepala terangguk pelan. 

"Bagus! Sekarang mari kita kembali, mengurus 

mayat kedua orang ini dulu," ujar Ki Jayus lagi. 

Sesaat kemudian, rombongan penduduk Desa 

Pucung itu pun bergerak meninggalkan Hutan Dadap. 

*** 

Malam itu suasana terasa lebih menyeramkan. 

Kematian demi kematian yang datang susul-

menyusul, benar-benar membuat Desa Pucung geger. 

Para penduduknya kini dicekam rasa ketakutan. 

Mereka khawatir, kalau pembunuh misterius itu akan 

mendatangi mereka.


Tong, tong, tong…! 

Suara kentongan terdengar mengusik keheningan 

malam sepi yang hanya dihiasi bulan sabit di langit. 

Guriang dan ketiga orang kawannya mengedarkan 

pandangan ke sekeliling. Masing-masing mengawasi 

arah yang berlainan. 

"Hei...!" seru Guriang kaget. Mendadak saja, 

sesosok bayangan hitam bertubuh tinggi kurus 

tampak melesat cepat ke arahnya. Pemuda bertubuh 

pendek kekar ini memang bertugas mengawasi 

belakang. "Cepat menyingkir...!" 

Seraya berseru demildan, Guriang melompat ke 

samping, dan membuang tubuhnya ke tanah. Begitu 

juga ketiga orang kawannya. Maka serangan sosok 

hitam itu hanya mengenai tempat kosong. 

"Cepat pukul kentongan...!" teriak Guriang keras 

seraya melompat menyerang sosok hitam itu. Golok 

di tangannya membabat cepat ke arah leher sosok 

bercaping itu. 

"Hmh...!" 

Sosok hitam yang jika dibuka selubung kain 

hitamnya adalah Brajageni, hanya mendengus. 

Tangan kirinya bergerak cepat ke arah golok yang 

menyambarnya. 

Tappp…! 

Guriang terbelalak kaget ketika goloknya dapat 

dicengkeram lawan. Dan sekali Brajageni bergerak 

membetot, kontan tubuh pemuda pendek kekar ini 

terhuyung ke depan. Di saat itulah telunjuk kanan 

laki-laki tinggi kurus ini bergerak cepat ke arah dada. 

Tidak ada pilihan lagi bagi Guriang, kecuali 

melepaskan goloknya dan melempar tubuh ke 

belakang. Maka, serangan Brajageni hanya mengenai 

tempat kosong. Pada saat yang sama, salah seorang


peronda telah memukul kentongan. 

Tong, tong, tong...! 

Suara kentongan tanda bahaya terdengar keras 

menguak keheningan malam sepi. 

Brajageni menggertakkan gigi. Sayang, dia harus 

berusaha keras agar calon korbannya tidak mati. 

Korbannya harus dibawa dalam keadaan hidup kalau 

ingin darah itu berguna untuk kerisnya. 

Dengan perasaan geram, Brajageni melompat 

menyerang. Laki-laki tinggi kurus ini tahu, kalau dia 

harus bertindak cepat. Masalahnya, orang-orang pasti 

akan berkumpul di sini. 

Maka tanpa ragu-ragu lagi, segera dikerahkan 

seluruh kemampuan yang dimilikinya. Betapapun 

Guriang dan ketiga orang kawannya telah 

mengerahkan seluruh kemampuan, namun dalam 

dua gebrakan saja, laki-laki tinggi kurus ini telah 

berhasil menotok lemas dua orang lawannya. 

Dan secepat kedua orang itu roboh, secepat itu 

pula Brajageni memanggulnya. Kemudian, laki-laki 

tinggi kurus itu membawanya kabur. 

Di saat itulah, melesat sesosok bayangan ungu. 

Dan dengan gerakan indah dan manis, sosok 

bayangan itu bersalto beberapa kali di udara, 

kemudian hinggap di hadapan Brajageni. 

"Mau lari ke mana, Penjahat Keji?!" bentak sosok 

ungu yang tak lain dari Dewa Arak. Sepasang mata 

pemuda berambut putih keperakan itu merayapi 

sekujur tubuh laki-laki bercaping. 

Brajageni tercenung bingung. Dia kini tengah 

memanggul tubuh dua orang korbannya. Lalu, 

bagaimana mungkin melawan Dewa Arak? Di saat 

laki-laki bertubuh tinggi kurus ini kebingungan, 

sesosok bayangan merah tiba-tiba menerjang dari


udara ke arah Dewa Arak dengan serangan totokan-

totokan jari tangan terbuka lurus ke arah ubun-ubun 

dan pelipis. 

Arya terperanjat. Sama sekali tidak disangka akan 

mendapat serangan mendadak dan dahsyat begitu. 

Tanpa pikir panjang lagi, pemuda berambut putih 

keperakan itu membalikkan tubuh dan menggerak-

kan tangan menangkis. 

Plak, plak, plak...! 

Terdengar benturan keras seperti dua batang 

logam beradu ketika dua pasang tangan yang sama-

sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. 

Akibatnya sungguh hebat! Tubuh Dewa Arak 

terhuyung dua langkah ke belakang. Sekujur tangan-

nya terasa bergetar hebat. Sementara sosok 

bayangan merah itu terpental balik ke atas. 

Arya terkejut. Disadari kalau penyerangnya 

memiliki tenaga dalam amat kuat. Tenaga sosok 

bayangan merah itu tidak kalah dengan tenaganya 

sendiri. 

Sebenarnya, bukan hanya Dewa Arak saja yang 

terkejut. Ternyata sosok bayangan merah itu pun 

dilanda perasaan yang sama. Dan dengan gerakan 

indah dan manis, kakinya mendarat di tanah. 

Brajageni tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. 

Dia tahu kalau sosok bayangan merah itu adalah 

gurunya yang berjuluk Raja Racun Muka Putih. Maka 

tanpa pikir panjang lagi, laki-laki bertubuh tinggi kurus 

ini melesat kabur. 

"Hey...!" seru Arya keras seraya melesat memburu. 

Tapi sebelum maksud Dewa Arak terlaksana, 

sesosok bayangan merah telah berkelebat cepat dan 

tahu-tahu telah berada di hadapannya. Mau tak mau 

Arya terpaksa mengurungkan niatnya untuk mengejar


Brajageni. Sosok bayangan merah di hadapannya ini 

memang seorang lawan yang amat tangguh. 

Dalam keremangan malam yang hanya diterangi 

cahaya bulan, Dewa Arak menatap penyerangnya. Dia 

adalah seorang kakek bertubuh sedang, berpakaian 

serba merah. Kumis dan jenggotnya berwarna hitam. 

Sangat pas sekali dengan kulit wajahnya yang putih 

seperti kapur. Kulit wajahnya yang putih, nampak 

terlihat jelas dalam suasana malam kelam. 

"Ha ha ha...!" Raja Racun Muka Putih tertawa keras 

sekali. Bahkan bagai menggelegar seperti guntur. 

Jelas kalau tawanya disertai pengerahan tenaga 

dalam. 

Dan akibatnya sungguh hebat. Guriang dan 

seorang temannya yang masih berada di situ seketika 

terjungkal jatuh. Dari mulut, hidung, dan telinga 

kedua orang itu mengalir darah segar. Yang pasti, 

mereka tewas seketika dengan dada pecah. 

Arya kaget bukan main, merasakan pengaruh 

suara tawa itu. Dadanya tergetar hebat dan 

telinganya pun berdengung keras. Buru-buru tenaga 

dalamnya dikerahkan untuk menahan serangan tawa 

Raja Racun Muka Putih. 

Belasan orang penduduk yang berdatangan, dan 

berada dalam jarak yang cukup jauh pun mengalami 

akibat yang serupa. Tubuh mereka terjungkal, lalu 

buru-buru mendekapkan kedua tangan ke telinga 

dalam usaha menahan serangan suara tawa itu. 

Meskipun tidak melihat, Arya tahu apa yang 

dialami para penduduk itu. Dan kalau dibiarkan, 

mereka semua akan tewas. Maka pemuda berambut 

putih keperakan ini segera menghentakkan kedua 

tangannya ke arah lawan menggunakan jurus 

'Pukulan Belalang'.


Wusss...! 

Angin keras berhawa panas menyengat, 

menyambar ke arah Raja Racun Muka Putih. Seketika 

tokoh sesat yang menggiriskan ini terperanjat, 

mengenali serangan berbahaya itu. Maka tanpa 

membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera 

dilempar ke samping dan bergulingan di tanah. 

Dengan sendirinya, suara tawanya pun terhenti. 

Tanpa diduga, begitu kakek bermuka putih ini 

bangkit dari berguling, tubuhnya langsung melesat ke 

arah kerumunan penduduk yang tadi terjungkal di 

tanah sambil mendekap telinga. Dan sekali tangan 

kakek ini terulur, dua sosok tubuh telah berada dalam 

panggulannya. 

Tentu saja Dewa Arak tidak membiarkan begitu 

saja. Cepat laksana kilat tubuhnya melompat mem-

buru. Tapi, rupanya hal itu sudah diperhitungkan Raja 

Racun Muka Putih. Tangan kanannya yang bebas 

langsung dikibaskan. Maka sekumpulan benda-benda 

berbentuk serbuk berbau amis memuakkan, 

meluncur ke arah Arya. 

Pemuda berambut putih keperakan ini tidak punya 

pilihan lagi, kecuali cepat melompat ke samping dan 

bergulingan di tanah. Untunglah taburan serbuk 

beracun dari lawannya mengenai tempat kosong. 

Raja Racun Muka Putih memang tidak bermaksud 

sungguh-sungguh menyerang. Serangan itu ternyata 

dimaksudkan hanya untuk mencegah usaha Dewa 

Arak menghalangi kepergiannya. Maka begitu Arya 

mengelak, kesempatan ini segera dipergunakannya. 

Tubuhnya melesat cepat bagai kilat. Dan dalam 

sekejapan saja, tubuhnya sudah lenyap ditelan 

kerimbunan pepohonan di tengah kegelapan malam.


"Hhh...!" 

Dewa Arak menghela napas berat, dan sama 

sekali tidak mengejar. Dia merasa, hal itu sama sekali 

tidak ada gunanya. Maka bergegas perhatiannya 

dialihkan pada para penduduk desa yang masih 

terduduk di tanah. 

"Mana Ki Jayus dan Wikalpa?" tanya Arya, setelah 

tidak melihat adanya kedua orang itu dalam 

kerumunan penduduk. 

Tidak ada satu pun penduduk yang menyahut. 

"Aneh...," gumam Dewa Arak pelan. "Kedua orang 

itu tidak pernah ada setiap kali terjadi pembunuhan 

seperti ini." 

"Kau menduga, mereka pelakunya, Dewa Arak?" 

tanya Soma begitu mendengar nada suara Arya. 

"Tidak sampai sejauh itu. Aku hanya agak curiga 

saja. Ketidakhadiran merekalah yang membuatku 

curiga. Apalagi ciri-ciri kedua orang itu mirip sosok 

hitam bercaping," sahut Arya tidak berani menduga 

sembarangan. "Tapi yang membuatku ragu, mengapa 

sampai kedua-duanya tidak hadir pada setiap 

kejadian." 

"Jadi, salah satu di antara mereka kau curigai 

sebagai pelakunya, Dewa Arak?" desak Soma lagi. 

Perlahan kepala Arya mengangguk. 

"Andaikata benar, siapa di antara kedua orang itu 

yang lebih kau curigai?" tanya Soma ingin tahu. 

"Ki Jayus," kata Arya pelan.


"Hm...! Mengapa bukan Wikalpa, Dewa Arak?!" 

Soma terkejut. "Aku lebih condong padanya." 

"Mengapa?" tanya Arya ingin tahu. 

"Gerak-geriknya kasar. Dan lagi, pakaiannya pun 

cocok dengan orang tadi," sahut laki-laki berpakaian 

kuning memberi alasan. 

"Aku lebih condong pada Ki Jayus," pelan suara 

Dewa Arak. 

"Apa dasarnya hingga kau menuduh begitu?" kejar 

Soma. Rasa penasarannya terdengar jelas dalam 

suaranya. 

Arya menarik napas dalam-dalam dan meng-

hembuskannya kuat-kuat, sebelum menjawab per-

tanyaan itu. 

"Seorang pembunuh yang tidak ingin dikenali, 

dengan sendirinya berusaha menyamarkan diri. 

Wikalpa terlalu menonjol sikap kasarnya. Juga 

pakaiannya. Jadi, itulah sebabnya aku lebih condong 

pada Ki Jayus," urai Dewa Arak panjang lebar. 

Soma kontan terdiam, kemudian bangkit berdiri. 

Sikapnya diikuti penduduk lainnya. Mereka juga tak 

lupa membawa mayat Guriang dan rekannya. 

Arya pun melangkah di belakang mereka. 

Menjelang tembok batas desa, tampak sosok ber-

pakaian putih berlari-lari menyambut. Sosok itu 

bertubuh tinggi kurus. 

Baik Dewa Arak maupun penduduk Desa Pucung 

segera mengetahui, siapa adanya sosok berpakaian 

putih itu. Meskipun jaraknya masih cukup jauh, 

namun potongan tubuh sosok itu sangat dikenal. 

Siapa lagi kalau bukan Ki Jayus! 

Dugaan mereka memang tidak salah! Laki-laki 

berpakaian putih itu memang Ki Jayus, Kepala Desa 

Pucung. Seketika jantung Dewa Arak dan Soma


berdebar tegang, karena teringat akan pembicaraan 

tadi. 

Begitu telah berada dekat mereka, tanpa mem-

pedulikan yang lain, Ki Jayus berlari mendekati Dewa 

Arak. Kemudian ditariknya tangan Dewa Arak, men-

jauhkannya dari rombongan penduduk 

"Kalian berangkat lebih dulu...!" seru Ki Jayus pada 

para penduduk yang menghentikan langkah, dan baru 

kembali berjalan setelah mendengar perintah itu. 

Setelah rombongan penduduk itu melangkah pergi, 

Ki Jayus menarik tangan Arya melangkah me-

ninggalkan tempat itu. Mereka menuju arah yang 

berlawanan. 

"Ada apa, Ki?" tanya Arya. Teringat akan 

dugaannya, membuat pemuda berambut putih 

keperakan ini bersikap waspada. 

Ki Jayus tidak langsung menjawab, tapi terus saja 

melangkah. Arya yang merasa penasaran terpaksa 

mengikuti, meskipun kini tangannya tidak dituntun 

seperti tadi. 

"Aku telah mengetahui tempat persembunyian 

orang bercaping itu, Arya," jelas Kepala Desa Pucung 

pelan seraya menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri 

sambil tetap melangkah. Jelas kalau Ki Jayus tidak 

ingin ada orang lain yang mendengar ucapannya. 

"Benarkah apa yang kau katakan itu, Ki?" tanya 

Arya meminta ketegasan, seraya ikut melangkah di 

sebelah Kepala Desa Pucung itu. 

Ki Jayus menatap Arya tajam-tajam. 

"Kau tidak mempercayaiku, Arya?" tanya laki-laki 

berpakaian putih itu. Ada nada ketidaksenangan 

dalam suaranya. 

"Bukannya tidak percaya, Ki," sahut Arya 

mengelak. "Tapi merasa ragu...."


"Apa yang membuatmu ragu, Arya?" selak Ki Jayus 

ingin tahu. 

"Dari mana kau mengetahui tempat tinggal orang 

bercaping itu, Ki?" 

"Diam-diam aku mengikutinya," sahut laki-laki 

berpakaian putih itu. 

Dewa Arak menoleh. Menatap wajah Ki Jayus 

tanpa berkata-kata. 

"Begitu mendengar suara kentongan tadi, aku 

segera menuju ke sana. Tapi, kulihat kau tengah 

bertempur menghadapi seorang kakek berpakaian 

merah. Sementara orang bercaping hitam kulihat 

melarikan diri sambil membawa dua orang wargaku. 

Semula aku kebingungan, tapi akhirnya kuputuskan 

untuk mengikuti orang bercaping itu. Ternyata usaha-

ku tidak sia-sia, karena aku berhasil mengetahui 

sarangnya," jelas laki-laki berpakaian putih panjang 

lebar. 

Arya tercenung mendengar uraian panjang lebar Ki 

Jayus. Hatinya jadi ragu dengan dugaannya semula. 

Kalau apa yang di katakan Kepala Desa Pucung ini 

benar, berarti orang bercaping itu adalah Wikalpa! 

Sementara, dugaan kalau orang bercaping adalah Ki 

Jayus kontan menguap. Memang, rasanya tidak 

mungkin kalau Kepala Desa Pucung ini pelakunya. 

Benar kata Soma. Pasti pembunuh biadab itu adalah 

Wikalpa! 

"Sekarang apa rencanamu, Ki?" 

"Kita serbu sarang mereka...!" sahut Ki Jayus. 

Tegas dan mantap kata-katanya. 

"Sekarang, Ki?" tanya Arya memastikan. 

Ki Jayus menggelengkan kepala. 

"Besok," jawab laki-laki berpakaian putih itu.


*** 

Hari masih pagi. Angin yang sejuk dan dingin 

berhembus pelan, terasa nikmat sampai ke dalam 

dada. Tampak dua sosok tubuh melangkah pelan 

memasuki Hutan Dadap. 

Dua sosok itu adalah Dewa Arak dan Ki Jayus. 

"Ki...," ucap Arya memecah keheningan pagi. 

"Hm...," hanya gumam pelan Ki Jayus yang 

menyambuti sapaan Arya. 

"Apakah kau sanggup menghadapi orang ber-

caping itu?" tanya Arya ragu-ragu. 

"Aku tidak berani memastikannya, Arya," jawab 

laki-laki berpakaian putih bernada memutar. 

Dewa Arak terdiam, tidak berkata-kata lagi. Dan 

karena Ki Jayus juga tidak berkata-kata lagi, suasana 

pun jadi hening. Kini yang terdengar hanyalah suara 

kerosak rerumputan dan semak-semak kering yang 

terpijak kaki-kaki mereka. 

Mendadak Arya mengernyitkan keningnya. Pen-

dengarannya yang tajam menangkap adanya suara 

langkah perlahan dan ringan di belakangnya. Tapi, dia 

berpura-pura tidak tahu, dan terus saja melangkah. 

Hanya saja, Dewa Arak mulai bersikap waspada, 

bersiap-siap menghadapi serangan mendadak. 

"Masih jauhkah tempat itu, Ki?" tanya Arya lagi 

ketika mereka telah semakin jauh masuk ke dalam 

hutan. 

Tidak ada sahutan yang menyambuti pertanyaan 

Dewa Arak. Karuan saja hal itu mengherankan hati 

Arya. Apalagi ketika beberapa saat menunggu, juga 

tak terdengar sahutan. 

"Hih...!" 

Mendadak Ki Jayus mendoyongkan tubuh ke


kanan sambil mengirimkan kibasan tangan kiri ke 

arah pelipis Arya. Karuan saja hal ini membuat 

pemuda berambut putih keperakan ini terkejut. Sama 

sekali tidak disangka kalau akan mendapat serangan 

maut yang dilakukan dalam jarak dekat dan tiba-tiba 

sekali. 

Tapi Dewa Arak adalah tokoh berkepandaian 

tinggi, yang telah kenyang bertempur menghadapi 

tokoh-tokoh licik dan menggiriskan. Sudah tak ter-

hitung lagi ancaman maut dan serangan mendadak 

yang dihadapinya. 

Maka meskipun berada dalam keadaan gawat 

seperti itu, Dewa Arak masih mampu menyelamatkan 

diri. Cepat-cepat tubuhnya didoyongkan ke kiri, 

sehingga kibasan itu mengenai tempat kosong. Hanya 

berjarak sekitar tiga jari dari sasaran semula. 

Menilik dari rambut dan pakaian Arya yang ber-

kibaran keras, bisa diperkirakan kekuatan tenaga 

dalam yang terkandung dalam serangan itu. 

Belum juga Dewa Arak berbuat sesuatu, Ki Jayus 

telah melancarkan serangan susulan. Laki-laki ber-

pakaian putih ini mengirimkan tendangan miring ke 

arah pelipis, sambil memutar tubuh. 

Arya tetap bersikap tenang, karena sudah tidak 

berada dalam keadaan berbahaya lagi. Namun 

demikian, dia masih berada dalam keadaan terdesak. 

Tanpa ragu-ragu, segera ditangkisnya serangan lawan 

dengan tangan kanan. 

Plakkk...! 

Ki Jayus memekik tertahan. Tubuh laki-laki ini 

terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara, 

Dewa Arak hanya merasakan tangan yang ber-

benturan dengan kaki Kepala Desa Pucung itu 

bergetar. Dan hebatnya, kuda-kudanya sama sekali


tidak bergeming. 

"Ha ha ha...!" 

Terdengar suara tawa terbahak-bahak mengan-

dung pengerahan tenaga dalam tinggi. Sesaat 

kemudian, di belakang Ki Jayus telah berdiri Raja 

Racun Muka Putih. 

"Ini milikmu, Brajageni...!" kata Raja Racun Muka 

Putih seraya menyerahkan sebilah keris kepada Ki 

Jayus. Laki-laki berpakaian putih itu langsung 

menerimanya. 

"Brajageni?!" ulang Dewa Arak. 

"Ha ha ha...!" Raja Racun Muka Putih tertawa 

bergelak. "Brajageni tunjukkanlah padanya siapa diri-

mu." 

"Baik, Guru," sahut Ki Jayus yang ternyata adalah 

Brajageni. Kemudian laki-laki berpakaian putih ini 

menyelinap ke balik rerimbunan pohon. 

Begitu tubuh Kepala Desa Pucung itu lenyap di 

balik kerimbunan pepohonan, Arya kembali meng-

alihkan perhatian pada Raja Racun Muka Putih. 

Kakek berpakaian merah itu juga balas menatap, tak 

kalah tajam. 

Tapi sebelum kedua orang ini berbuat sesuatu, 

terdengar bentakan keras. 

"Mau kabur ke mana lagi kau, Raja Racun...?!" 

Berbareng dengan lenyapnya bentakan itu, tiba-

tiba di dekat Arya telah berdiri seorang laki-laki 

bertubuh tinggi kurus. 

"Wikalpa...," desis Arya. 

"Malaikat Halilintar...," desah Raja Racun Muka 

Putih. Ada nada kegentaran dalam nada suaranya. 

Sepasang matanya menatap penuh rasa tak percaya 

pada sosok yang berdiri di hadapannya. 

"Malaikat Halilintar...?" desis Arya tak percaya.


Dewa Arak memang pernah mendengar julukan 

itu. Memang, Malaikat Halilintar adalah seorang 

pendekar yang terkenal memiliki kepandaian amat 

tinggi. Hanya sayangnya, dia telah mengundurkan diri 

dari dunia persilatan. Sungguh tidak disangka kalau 

tokoh itu tiba-tiba ada di sini. Kini Dewa Arak tahu, 

langkah ringan yang tadi didengarnya adalah langkah 

kaki Malaikat Halilintar. 

"Uruslah pembunuh itu, Arya," ujar Wikalpa alias 

Malaikat Halilintar. "Biar aku yang mengurus orang 

ini." 

Dewa Arak tidak membantah. Bergegas disusulnya 

Brajageni, alias Ki Jayus. Dan kedatangannya ber-

tepatan dengan selesainya laki-laki bertubuh tinggi 

kurus itu berganti pakaian. 

Brajageni terperanjat, namun sekejap kemudian, 

sudah bisa menguasai diri. Sambil berteriak keras, 

laki-laki bertubuh tinggi kurus ini menghunus keris-

nya. 

Srattt..! 

Bulu tengkuk Dewa Arak meremang ketika melihat 

keris yang digenggam Brajageni, karena memiliki 

perbawa yang begitu menggiriskan. Jantung Arya 

berdetak keras tanpa mampu menahannya. Ada 

hawa dingin yang memancar dari bilah keris itu. 

Tahu akan keampuhan keris lawan, Dewa Arak 

tidak berani bersikap main-main lagi. Cepat-cepat 

guci araknya diangkat, lalu dituangkan ke mulut. 

Gluk... gluk... gluk...! 

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati 

tenggorokan Arya. 

Baru saja Dewa Arak menurunkan guci itu, 

Brajageni sudah melompat menerjang. Keris di 

tangannya ditusukkan cepat ke arah leher Arya.


Dewa Arak terperanjat kaget, merasakan hawa 

dingin yang amat sangat menyambar sebelum 

serangan-serangan keris itu tiba. Hawa dingin itu 

membuat sekujur otot-otot tubuh Dewa Arak kaku 

seperti tak bisa digerakkan. Bahkan giginya pun 

bergemeletukan. 

Begitu serangan itu menyambar dekat, hawa 

dingin yang menyerang Dewa Arak semakin menjadi-

jadi. Buru-buru Arya mengerahkan ilmu 'Tenaga Sakti 

Inti Matahari'nya untuk menghilangkan pengaruh 

hawa dingin yang membuatnya sukar bergerak! 

Untung Dewa Arak bertindak cepat. Kalau tidak, 

mungkin sudah tersambar keris Brajageni karena 

otot-ototnya mendadak kaku. Berkat ilmu 'Tenaga 

Sakti Inti Matahari', pemuda berambut putih 

keperakan itu mampu menggerakkan ototnya 

kembali, meskipun masih kaku. 

Berbeda dengan biasanya, kali ini Arya tidak 

berani, mengelak tanpa berpindah tempat. Apalagi 

tanpa berpindah kaki! Dewa Arak mengelak sejauh-

jauhnya, dengan melempar tubuh ke belakang. Dia 

bersalto beberapa kali di tanah, kemudian hinggap 

dengan agak terhuyung karena kekakuan yang 

melanda otot-ototnya. 

Sesaat kemudian, pertarungan sengit yang tidak 

menarik pun terjadi. Untuk pertama kali dalam 

hidupnya, Dewa Arak mengalami kesulitan me-

mainkan ilmu 'Belalang Sakti'nya. 

Ilmu 'Belalang Sakti' adalah ilmu yang meng-

andalkan kelenturan otot. Tenaga yang terkandung 

dalam setiap serangan ilmu 'Belalang Sakti', adalah 

pengerahan tenaga yang teratur dan tiba-tiba. Jadi 

perubahan yang mendadak seperti yang dialami 

Dewa Arak ini sungguh menyulitkannya dalam


menguasai ilmu 'Belalang Sakti'. 

Dan kali ini, Dewa Arak seperti tidak bisa meng-

gunakan ilmu. 'Belalang Sakti' dengan sempurna. 

Gerakannya kaku dari patah-patah. Menyerang pun 

kelihatannya hampir tidak pernah. Arya selalu 

mengajak lawan agar bertarung jarak jauh. Ini 

dilakukan agar pengaruh keris tidak terlalu 

menekannya. Beberapa kali Dewa Arak menyerang 

lawan dengan semburan araknya. Hebatnya, berkat 

tenaga dalamnya yang telah terlatih baik, semburan 

arak itu tak kalah dengan serangan senjata rahasia 

lainnya! Bila terkena, mampu merobek pakaian dan 

menembus daging! 

Menggiriskan sekali akibat pertarungan yang 

terjadi antara Dewa Arak dan Brajageni. Suasana di 

sekitar arena pertarungan diliputi hawa dingin 

menusuk tulang. Sementara dari atas kepala Arya, 

mengepul uap berwarna putih tebal. Ini karena Dewa 

Arak mengerahkan ilmu 'Tenaga Sakti Inti Matahari' 

untuk mengurangi kekakuan yang melanda otot-

ototnya. 

"Haaat..!" 

Brajageni yang merasa di atas angin melompat 

menerjang. Dan dari atas, kerisnya ditusukkan ke 

arah ubun-ubun Arya. 

Kali ini Arya tidak mengelakkan serangan. Dia, 

memekik keras seraya mengerahkan seluruh tenaga 

dalam. Dan bersamaan dengan itu, gucinya segera 

disampirkan di punggung. Lalu, kedua tangannya 

dihentakkan ke depan. Maka, angin keras berhawa 

panas menyengat seketika berhembus keras ke arah 

laki-laki bercaping itu. Memang, Dewa Arak 

mengerahkan jurus 'Pukulan Belalang'. 

Hebat serangan beruntun yang dilakukan Dewa

Arak. Akibat teriakan yang dikeluarkannya, tubuh 

Brajageni yang tengah di udara, kontan menggeliat. 

Tangan kanannya yang memegang keris nampak 

menggigil. Dada laki-laki bertubuh tinggi kurus ini 

terguncang hebat, dan telinganya pun terasa sakit 

bukan main. 

Di saat itulah serangan jurus 'Pukulan Belalang' 

Dewa Arak tiba, telak dan keras sekali menghantam 

dadanya. Seketika itu juga tubuh Brajageni terlempar 

jauh ke belakang, dan kerisnya pun terlepas dari 

pegangan, terlempar entah ke mana. Dari mulut, 

hidung, dan telinganya, mengalir darah segar. Sekujur 

tubuhnya pun hangus. Brajageni tewas seketika 

sebelum sempat menyentuh tanah. 

Brukkk...! 

Dengan mengeluarkan suara berdebuk keras, 

tubuh laki-laki tinggi kurus itu jatuh ke tanah. 

"Hhh...!" 

Arya menghela napas lega, kemudian mengusap 

peluh yang membasahi wajahnya dengan punggung 

tangan. Ketika mata Dewa Arak melihat keris 

Brajageni yang terjatuh tadi, dia lalu memungutnya. 

Kemudian dimasukkan ke dalam sarungnya. Maka 

kini keris yang telah banyak meminta korban itu 

diselipkan di pinggangnya. Terpaksa Arya mengambil 

keris yang menggiriskan itu agar tidak jatuh ke tangan 

orang yang tidak bertanggung jawab. Telah dirasa-

kannya sendiri kemukjizatan keris itu. Dia me-

mutuskan untuk menyimpannya di tempat yang 

aman. 

"Sebuah pukulan jarak jauh yang ampuh...." 

Tentu saja ucapan itu membuat Arya terperanjat. 

Cepat dia menoleh ke arah asal suara, dan tampak 

Malaikat Halilintar tengah memandangnya takjub.


"Ah! Kau terlalu memuji, Ki," sahut Arya malu-malu. 

"O, ya. Bagaimana dengan Raja Racun...?" 

"Hhh...!" Malaikat Halilintar menghela napas berat. 

Diliriknya sebentar pinggang Arya. Memang laki-laki 

tinggi kurus ini melihat pemuda berpakaian ungu itu 

menyelipkan keris. Tapi karena dia sendiri tengah 

dilibat masalah, hal itu tidak dipedulikannya. "Dia 

kabur." 

"Kabur?" 

"Benar! Dia telah melemparkan sebuah benda 

kepadaku, kemudian meledak. Dan dari situ, keluar 

asap hitam beracun. Di saat itulah dia kabur tanpa 

aku dapat berbuat apa-apa." 

"Kalau boleh kutahu, ada urusan apakah antara 

kau dengannya, Ki?" tanya Arya hati-hati. 

"Dia membunuh muridku. Maka aku harus 

mencarinya, untuk membalaskan dendam. Setelah 

bertemu, kami bertarung, dan dia berhasil ku-

kalahkan. Tapi sayang, dia berhasil melarikan diri dan 

bersembunyi. Bertahun-tahun aku berusaha men-

carinya. Sampai akhirnya, kulihat muridnya di Desa 

Pucung. Aku pun lalu tinggal di sini, berpura-pura 

menjadi guru silat untuk anak-anak kecil." 

Malaikat Halilintar menghentikan ceritanya 

sejenak. 

"Dan akhirnya usahaku tidak sia-sia. Aku berhasil 

bertemu dengannya, hanya sayang... Dia berhasil 

kabur...." 

"Lalu, mengapa waktu itu kau sepertinya tidak 

menyukai kedatanganku, Ki?" tanya Arya begitu 

teringat sikap laki-laki bertubuh tinggi kurus ini 

padanya. 

"Aku khawatir, kau mengganggu usahaku. Takut-

nya pencarianku selama bertahun-tahun akan sia


sia." 

Mendadak Malaikat Halilintar menghentikan 

ucapannya, lalu menoleh. Dewa Arak pun bersikap 

demikian. Mereka mendengar banyak langkah kaki 

menuju ke arah mereka yang ternyata penduduk 

Desa Pucung. 

"Aku pergi dulu, Dewa Arak. Aku harus mencari si 

keparat itu...!" 

Setelah berkata demikian, Malaikat Halilintar 

melesat meninggalkan tempat itu. 

Arya menatap tubuh laki-laki tinggi kurus itu 

sebentar, kemudian menatap ke arah penduduk 

desa. Para penduduk memang tahu kalau dia dan Ki 

Jayus pergi untuk menumpas pembunuh kejam itu. 

Setelah menatap tubuh Brajageni sesaat, Dewa 

Arak kemudian melesat meninggalkan tempat itu. 

Angin yang tidak lagi dingin menggigilkan, meniup 

kulit pemuda berambut putih keperakan itu. 



                              SELESAI 

 




Share:

0 comments:

Posting Komentar