Krik, krik, krik...!
Riuh suara jangkrik dan binatang malam lain mengusik keheningan malam yang hanya
diterangi sinar bulan sepotong. Angin dingin yang sesekali berhembus keras semakin
menambah heningnya suasana malam.
Tapi ternyata suasana seperti itu tidak menghalangi perjalanan sebuah kereta yang ditarik
dua ekor kuda. Perlahan-lahan kereta kuda yang jendela-jendelanya tertutup kain hitam
bergerak menuju mulut hutan.
Ctar, ctar...!
Sang Kusir melecutkan cambuk ke pantat dua ekor kuda di depannya. Seketika langkah
binatang penarik kereta yang sudah kelihatan lelah kembali bergerak cepat.
"Uhk,..! Uhk!"
Terdengar batuk keras beruntun dari dalam kereta yang mempunyai pintu di samping
kanan kiri.
"Masih jauhkah Hutan Karimun, Pandora?" tanya orang di dalam kereta setelah batuknya
mereda.
"Tidak, Tuan," sahut kusir yangg dipanggil Pandora. "Hutan Karimun sudah di depan kita."
"Syukurlah...!" sambut orang di dalam kereta yang temyata majikan Pandora. Nada
suaranya menyiratkan perasaan lega. Seketika suasana kembali hening setelah orang
yang berada di dalam kereta menghentikan ucapannya. Kini yang terdengar hanya derap
langkah dua ekor kuda dan suara gemeretak roda kereta.
"Mudah-mudahan tidak ada orang persilatan yang mencium kepergian kita," ucap orang
yang berada di dalam kereta penuh harap. "Hhh...! Sepasang Iblis Gurun Banjar benar-
benar tangguh."
'Tapi biar bagaimanapun Tuan berhasil mengalahkan mereka," bantah Pandora. Hatinya
tidak senang mendengar majikannya memuji-muji sepasang iblis itu. "Padahal Tuan
belum menggunakan mantel pusaka...."
"Jangan sebut-sebut benda itu lagi, Pandora," tegur orang di dalam kereta tidak senang
"Maafkan aku, Tuan," desah Pandora. Dari nada suaranya dapat dirasakan adanya
penyesalan.
"Sampai kapan pun aku tidak akan menggunakan benda itu. Dan kepergianku
membawanya bukan karena aku ingin memilikinya. Tapi karena aku tidak ingin pusaka ini
jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab! Biarlah pusaka-pusaka leluhurku ini
tidak mendapatkan ahli waris, daripada jatuh ke tangan orang-orang sesat seperti
Sepasang Iblis Gurun Banjar! Kau mengerti, Pandora?"
"Mengerti, Tuan," sahut kusir yang kepalanya tertutup caping bambu dengan suara
mendesah.
Orang yang berada di dalam kereta menghentikan ucapannya. Sementara Pandora pun
tidak berkata kata lagi. Pelayan setia yang merangkap sebagai kusir ini sibuk melecutkan
cambuk, memaksa kuda-kuda pe- narik kereta terus melangkah.
Tapi tiba-tiba Pandora memandang berkeliling. Sepasang matanya merayapi pohon-
pohon di sekitar penuh curiga.
Pendengaran Pandora yang tajam merangkap suara-suara mencurigakan di
sekelilingnya. Tentu saja hal ini membuat urat-urat syarafnya menegang.
Dan kecurigaan Pandora memang beralasan. Barn beberapa tombak kereta kuda itu
bergerak maju, tiba-tiba terdengar suara oerdesingan nyaring yang disusul
berkelebatannya beberapa benda berkilat ke arahnya dan juga ke arah kuda-kuda penarik
kereta.
"Hmh...!"
Pandora hanya mendengus. Cepat laksana kilat cambuknya berkelebat
Ctar, ctar, ctar...!
Terdengar suara lecutan beberapa kali. Dan seketika itu juga benda-benda berkilat yang
ternyata adalah beberapa bilah pisau terbang rontok ke tanah. Tidak satu pun pisau-pisau
terbang yang lolos dari sambaran cambuk. Jelas, kalau kusir ini bukan kusir
sembarangan.
Bertepatan dengan runtuhnya pisau-pisau terbang, tiba-tiba dari balik rerimbunan pohon
dan semak yang lebat melesat beberapa sosok bayangan.
"Ada ара, Pandora?" tanya orang di dalam kereta. Rupanya majikan Pandora juga
mendengar keributan di luar.
"Tidak ada apa-apa, Tuan," jawab Pandora cepat "Hanya hambatan kecil,"
Setelah menjawab pertanyaan sang Majikan, Pandora memandang lurus ke depan. Di
hadapan kereta, kini menghadang beberapa sosok berpakaian serba hitam. Pandora
menghitung jumlah penghadang dengan matanya. Tujuh orang, desis kusir ini dalam hati.
"Mengapa kalian menghadang perjalananku?" tanya Pandora tenang. Jelas kalau kusir ini
tidak menganggap hadangan tujuh orang berpakaian bitam sebagai masalah besar.
"Serahkan pusaka peninggalan Iblis Hitam. Baru kami biarkan kalian melanjutkan
perjalanan," ucap laki-laki bertubuh kurus dan berwajah kuning yang rupanya pimpinan
penghadang.
"Hm...," Pandora bergumam tak jelas. Dibukanya caping yang menutupi kepalanya. Kini
wajah kusir itu tertihat jelas di bawah keremangan cahaya bulan. Tampak jelas kalau
Pandora temyata adalah seorang kakek. Kulit wajahnya yang berwarna coklat dipenuhi
bintik-bintik putih.
"Cepat serahkan pusaka itu sebelum kesabaran kami hilangl" bentak laki-laki berwajah
kuning bemada peringatan.
"Kalian sudah buta rupanya! Mengapa meminta pusaka peninggalan Iblis Hitam padaku?!
Memangnya ada hubungan ара aku dengan Iblis Hitam?" sahut Pandora mengelak.
'Так usah pura-pura bodoh!" sergah si muka kuning cepat "Kau memang tidak memiliki
pusaka itu. Tapi majikanmu yang di dalam memilildnya! Cepat serahkan! Atau..., kau ingin
kami merebutnya dengan kekerasan?!"
Setelah berkata demikian, laki-laki bermuka kuning mengeHing ke arah kereta.
"Majikanku memilikinya? Kalian keliru rupanya! Majikanku bukan tokoh aliran sesat. Ара
kau tidak pemah mendengar julukan Pendekar Golok Baja?" gertak kusir kereta kuda.
"Keparat! Kau kira kami bisa kau bodohi? Kami pun tahu kalau majikanmu berjuluk
Pendekar Golok Baja! Tapi jangan kira kami bisa tertipu. Semua tokoh persilatan sudah
tahu kalau majikanmu keturunan Iblis Hitam!" tandas pimpinan penghadang keras.
Wajah Pandora seketika pucat. Sungguh tidak disangka kalau rahasia majikannya sudah
terbongkar. Entah siapa yang membocorkan rahasia yang selama Ini tersimpan rapi.
Kalau begitu mulut tujuh orang ini harus dibungkam agar tidak menimbulkan bahaya yang
lebih besar, tekad Pandora dalam hati.
"Kalau begitu, kalian harus mati! " tegas kakek berwajah bintik-bintik putih seraya
melompat dari kereta.
"Ha ha ha...!" pimpinan penghadang tertawa bergelak. "Kaulah yang akan kami bereskan
sebelum majikanmu yang kini sudah jadi macan ompong!"
Setelah berkata demikian, laki-laki berwajah kuning itu mengibaskan tangannya. Kontan
enam orang anak buahnya segera melangkah maju.
Sraffi, srattt...!
Sinar terang berkilatan begjtu tujuh orang ini menghunus senjata masing-masing. Tujuh
orang berpakaian serba hitam itu temyata bersenjata pedang semua.
"Kalian bereskan pelayan busuk ini! Biar aku yang urus macan ompong itu!" perintah si
muka kuning sambil menudingkan jari telunjuk ke arah kereta.
"Baik, Kang," sahut enam anak buahnya berbareng.
Perlahan-lahan laki-laki berwajah kuning mendekati kereta. Tapi baru beberapa tindak
kakinya melangkah, tiba-tiba berkesiur angin dingin. Sesaat kemudian di hadapan si muka
kuning telah berdiri Pandora.
"Langkahi dulu mayatku. Baru kalian bisa men- jamah kereta ini!" ujar kakek berwajah
bintik-bintik putih itu penuh wibawa.
"Kalau memang itu maumu, mampuslah kau...!" teriak pimpinan penghadang seraya
menusukkan pedang ke arah perut Pandora.
Angin dingin bersiutan cukup keras sebelum tusukan pedang tiba. Tapi Pandora hanya
mendengus. Kakek berwajah bintik-bintik putih ini memang bukan orang sembarangan.
Dia adalah pelayan kesayangan .
Pendekar Golok Baja yang sudah puluhan tahun ikut majikannya. Dan Pendekar Golok
Baja yang tahu kesetiaan Pandora, tidak segan-segan menurunkan kepandaiannya
kepada kakek itu. Walaupun tidak berbakat, tapi berkat ketekunan Pandoro akhimya
sebagian besar ilmu sang Majikan berhasil dikuasai.
Мака tidak mengherankan ketika menghadapi tusukan pedang lawan, kakek berwajah
bintik-bintik putih itu tidak menjadi gugup. Segera kakinya dilangkahkan ke kanan seraya
mendoyongkan tubuh, sehingga serangan lawan lewat di sebelah kiri pinggangnya.
Belum lagi si muka kuning sempat berbuat sesuatu, tangan Pandora cepat melakukan
bacokan dengan sisi tangan dimiringkan pada pergelangan tangan yang menggenggam
pedang. Laki-laki berwajah kuning itu kaget dan berusaha menarik pulang tangannya.
Tapi ...
"Akh...!"
Pimpinan penghadang memekik tertahan. Pergelangan tangan yang terkena bacokan
pelayan Pendekar Golok Baja terasa seperti patah tulangnya. Dan seketika itu pula
pedangnya terlepas dari genggaman.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Pandora. Secepat bacokan tangan
kosongnya menge- nai sasaran, secepat itu pula posisi tangannya dike- palkan. Dan
langsung dihantamkan ke wajah lawan dengan punggung tangan.
Desss!
"Akh...!"
Untuk ke dua kalinya laki-laki berwajah kuning memekik ketika pukulan Pandora telak dan
keras menghantam wajahnya. Dan seketika itu pula terdengar suara berderak keras dari
tulang-tulangnya yang retak. Sesaat tubuh pimpinan penghadang itu menggelepar-
gelepar. Sekejap kemudian tubuhnya sudah tidak bergerak lagi untuk selamanya dengan
hidung dan mulut mengalir darah segar! Rupanya Pandora yang tengah dilanda rasa
cemas telah mengerahkan seluruh kepandaian yang dimilikinya.
Melihat pemimpinnya tewas, tentu saja enam penghadang lain menjadi terkejut Keenam
orang berpakaian serba hitam itu sama sekali tak menyangka kalau ketua mereka dapat
ditewaskan pelayan Pendekar Golok Baja secara mudah. Memang kejadian itu
berlangsung begitu cepet, sehingga mereka tidak sempat berbuat apa-apa. Sesaat
lamanya keenam orang itu terpaku menatap mayat ketuanya, seolah-olah tak percaya
pada ара yang dilihatnya.
Tapi begitu orang-orang itu sadar dari keterpakuan, kemarahan yang amat sangatlah
yang timbul Disertai teriakan nyaring, enam laki-laki berpakaian serba hitam menerjang
Pandora. Sinar-sinar berkilat dari enam batang pedang yang berkelebatan ke arah
pelayan Pendekar Golok Baja untuk beberapa saat membuat suasana malam yang
remang-remang menjadi terang.
Melihat lawan-lawannya menyerang kalap. Pandora tetap bersikap tenang. Sekali lihat
saja pelayan setia berwajah bintik-bintik putih itu sudah dapat mengukur tingkat
kepandaian enam laki-laki berpakaian serba hitam. Dan dengan mengandalkan ke-
pandaian yang jauh di atas lawan-lawannya, enak saja Pandora mengelakkan semua
serangan. Tubuhnya menyelinap di antara kelebatan sinar pedang yang sewaktu-waktu
bisa saja merenggut selembar nyawanya.
Memang, dengan ilmu meringankan tubuh yang jauh di atas lawan-lawannya, tidak sulit
bagi Pandora mengelakkan hujan senjata lawan. Dan begitu kakek Ini balas menyerang,
terdengar jerit memilukan saling susul yang diiringi dengan robohnya enam penghadang
satu demi satu. Roboh dan tidak pernah bangkit lagi untuk selamanya!
Dalam waktu singkat sudah tidak ada lagi lawan yang berdiri tegak. Semua penghadang
telah bergeletakan bersimbah darah di tanah. Pandora meman- dangi tujuh mayat yang
bergelimpangan di tanah dengan sorot mata sedih.
Kakek berwajah bintik-bintik putih ini membunuh tujuh orang lawan bukan karena jiwanya
yang kejam, tapi karena terpaksa. Kalau mereka segera tidak dibunuh, Pandora khawatir
orang-orang ini akan menyebarkan berita mengenai majikannya. Dan hal inilah yang ingin
dihindari pelayan setia Pendekar Golok Baja.
Orang-orang persilatan memang sudah lama mengincar pusaka peninggalan Iblis Hitam.
Sedangkan majikannya yang menyimpan pusaka itu adalah ketu- runan Iblis Hitam. Dan
seandainya tokoh-tokoh persilatan tahu siара majikannya, sudah dapat dipastikan kalau
mereka akan memburu Pendekar Golok Baja. Sedangkan pendekar itu kini sedang dalam
keadaan terluka parah.
"Hhh...!"
Pandora menghela napas panjang untuk menguat- kan hatinya yang agak terguncang.
Pelayan setia ini sadar kalau bukan hanya untuk sekali ini saja dirinya harus bertindak
keras. Seandainya tokoh tokoh persilatan telah mencium berita tentang pusaka pening-
galan Iblis Hitam ada di tangan Pendekar Golok Baja, mau tidak mau dia harus bertindak
kejam untuk menyelamatkan majikannya. Dan juga pusaka warisan Iblis Hitam tentunya.
Pandora kembali menaiki kereta. Tapi baru saja pantatnya diletakkan, terdengar teguran
dari dalam kereta.
"Bagaimana, Pandora?"
"Maafkan aku, Tuan. Aku terpaksa membunuh mereka."
"Hhh...!"
Terdengar suara hempasan napas berat dari dalam kereta. Tapi biar bagaimanapun,
Pendekar Golok Baja tidak bisa menyalahkan perbuatan pelayan setianya. Tadi, pendekar
ini juga telah mendengar pembicaraan antara Pandora dengan rombongan penghadang.
Mungkin seandainya dirinya tidak teriuka parah, dia pun akan turun tangan membantu
Pandora.
Pandora kembali menghentakkan tali kekang kuda sambil mendecakkan mulutnya. Dan
kereta itu bergerak kembali setelah beberapa saat tertahan.
********************
Kereta kuda terus bergerak di bawah keremangan malam memasuki Hutan Karimun.
"Pandora...," kembali terdengar suara teguran pelan dari dalam kereta.
"Ada ара, Tuan?" tanya Pandora.
"Setelah tiba di tempat tinggal paman guruku, kau boleh pergi, Pandora."
"Maksud, Tuan...?" tanya Pandora gugup. Jelas ada keterkejutan yang amat sangat
dalam nada suaranya.
"Barangkali kau ingin bebas..., tidak terikat Aku ikhlas. Pandora," sambung Pendekar
Golok Baja.
"Tidak, Tuan," bantah Pandora tegas. "Aku tidak akan meninggalkan Tuan. Kecuali...,
Tuan sudah tidak membutuhkanku lagi...."
Seketika suasana menjadi hening ketika Pandora menyelesaikan ucapannya. Baik
Pendekar Golok Baja maupun pelayan setianya tidak berkata apa-apa. Keduanya
tenggelam dalam lamunan masing-masing.
Sesekali Pandora melecutkan cambuk bila melihat langkah kudanya mulai pelan.
Sedangkan Pendekar Golok Baja masih tenggelam dalam lamunannya. Orang yang
disebut paman guru, sebenarnya adalah gurunya sendiri Karena gurunya adalah adik
seperguruan ayahnya.
"Hhh...!" Pendekar Golok Baja menghela napas berat "Berhenti dulu, Pandora...!"
Kakek berwajah bintik-bintik putih segera menarik tali kekang, sehingga kuda-kuda
penarik kereta meng- hentikan larinya.
"Ada ара, Tuan?" tanya Pandora.
"Aku ingin duduk di luar saja, Pandora," sahut Pendekar Golok Baja, seraya membuka
pintu kereta.
Melihat hal ini, buru-buru pelayan setia itu melompat dari tempat duduknya. Ingin
membantu sang Majikan naik ke sebelah tempat duduk kusir.
'Tidak usah, Pandora," cegah Pendekar Golok Baja. "Biar aku naik sendiri."
Pandora pun mengurungkan niatnya. Baru setelah Pendekar Golok Baja sudah duduk di
sebelah kursi kusir, dia bergegas naik dan duduk di kursinya.
"Mengapa Tuan pindah kemari?" tanya pelayan setia itu heran.
"Aku ingin berbincang-bincang denganmu, Pandora," sahut sang Majikan.
Pandora hanya mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. Kemudian
menghentakkan tali kekang seraya berdecak pelan. Sesaat kemudian kuda-kuda itu pun
sudah kembali melangkah. Dan roda kereta kembali bergulir, menembus kegelapan
Hutan Karimun.
"Pandora...," ucap Pendekar Golok Baja ketika kereta sudah bergerak cukup jauh.
"Ya, Tuan," sahut Pandora sambil memalingkan wajahnya, menatap majikannya.
Dilihatnya seraut wajah pucat dari seorang laki-laki gagah berusia lima puluh tahun. Raut
wajahnya kelihatan keras dihiasi cambang lebat. Dan, pakaian sang Majikan yang
berwama putih kian menambah kewibawaan.
"Aku masih terharu kalau teringat kebaikan paman guru."
"Maksud, Tuan?" tanya Pandora, masih belum mengerti.
"Coba pikir. Pandora. Kau kan tahu bagaimana hubungan antara kakekku dengan ayah
paman guru,bukan?"
Kakek berwajah bintik-bintik putih itu menganggukkan kepala.
"Kakek Tuan adalah kakak seperguman ayah paman guru Tuan."
"Benar," jawab Pendekar Golok Baja sambil menganggukkan kepala.
"Tapi, kau tahu cerita selanjutnya, Pandora?"
"Hanya sedikit, Tuan," jawab pelayan setia itu sejujumya. Memang, kakek ini hanya tahu
sedikit mengenai leluhur majikannya. Pandora tidak berani lancang, bertanya kalau tidak
majikannya sendiri yang membicarakannya.
"Hampir seratus tahun lalu," ucap Pendekar Golok Baja memulai cerita.
"Kakek punya adik seperguruan, yaitu ayah paman guru. Tapi, antara kakek dengan adik
seperguruannya ada pertentangan pendirian Kakek mengambil jalan sesat Dan akhimya
mcnjadi datuk sesat yang tidak terkalahkan, berjuluk Iblis Hitam. Sementara adik
seperguruan kakek tetap mengambil jalan lurus. Akibatnya hubungan antara kakek dan
adik seperguruannya pun putus."
Pendekar Golok Baja menghentikan ceritanya sebentar. Sementara Pandora tetap
mendengarkan cerita majikannya penuh perhatian.
"Kebrutalan kakek dilanjutkan ayah. Ayah menggantikan kedudukan kakek sebagai Iblis
Hitam."
Kembali Pendekar Golok Baja menghentikan cerita. Sepasang matanya, dan juga
wajahnya mendadak berubah muram. Jelas kalau kelanjutannya amat menyedihkan
hatinya.
"Suatu hari, selagi hendak memperkosa seorang gadis pendekar, beliau dikeroyok orang-
orang persilatan aliran putih yang sudah sejak lama mengincarnya. Betapapun saktinya
ayah, tapi karena jumlah pengeroyok terlalu banyak, akhimya beliau terdesak hebat dan
terluka parah."
"Ya, aku pun telah mendengar cerita itu, Tuan," selak Pandora, begitu sang Majikan
menghentikan ceritanya. "Kalau saja saat itu ayah Tuan sempat mengenakan mantel
pusaka, beliau tak mungkin bisa dilukai."
"Hhh...!" Pendekar Golok Baja menghela napas berat. "Kedatangan para pengeroyok
ayah terlalu tiba- tiba, Pandora. Beliau tidak sempat mengenakan kembali mantel
pusaka...."
'Tapi, meskipun tanpa pusaka itu.... Ayah Tuan masih mampu menunjukkan kelihaiannya.
Beliau mampu meloloskan diri dari kepungan para pengeroyok, dan membawa lari mantel
pusaka."
Pendekar Golok Baja mengangguk-anggukkan kepala.
"Ada beberapa hal yang membuatku kagum pada almarhum ayah," ucap Pendekar Golok
Baja lagi.
Pandora terdiam seketika, menunggu kelanjutan ucapan majikannya.
"Hal pertama yang membuatku kagum adalah pesan pertama beliau padaku..."
"Pesan ара, Tuan?" tanya Pandora.
"Ayah berpesan, aku tidak boleh membalas dendam atas kematiannya."
Pandora mengangguk-anggukkan kepala. Meinang, dia sudah mendengar semua pesan
yang ditujukan pada Pendekar Golok Baja sebelum ayah majikannya itu menghembuskan
napas terakhir.
"Kau tahu pesan ayah yang lain, Pandora?"
'Tahu, Tuan."
"Ара itu, Pandora?" tanya Pendekar Golok Baja Ingin tahu.
"Majikan Tuan memberi nasihat agar Tuan tidak mengikuti jejak leluhur Tuan," jawab
Pandora.
"Itulah yang menyebabkan aku kagum pada Ayah," ucap Pendekar Golok Baja lagi
dengan suara mendesah. ingatannya langsung menerawang pada kejadian puluhan
tahun silam.
Di saat menjelang ajal, Iblis Hitam memberikan pesan pesan terakhir pada kedua anak
dan pembantunya.
Pendekar Golok Baja saat itu baru berusia tujuh belas tahun. Sedangkan adiknya sepuluh
tahun. Sementara Pandora berusia tiga puluh tahunan. Saat itu Iblis Hitam menyuruh
Pandora mengantar kedua majikan mudanya ke Hutan Karimun, menjumpai adik
sepergumannya. Juga tak lupa datuk sesat itu menitipkan sebuah surat untuk adik
seperguruannya yang menyepi di Hutan Karimun.
Setelah meninggalkan pesan, Akhimya Iblis Hitam menghembuskan napas terakhir.
Tanpa sempat mengubur mayat Iblis Hitam, Pandora segera membawa kedua anak
majikannya ke Hutan Karimun. Pelayan setia itu khawatir para pengeroyok yang mengejar
Iblis Hitam keburu datang. Dan bila hal itu sampai terjadi, celakalah nasib kedua majikan
mudanya.
"Hhh...!" untuk kesekian kalinya Pendekar Golok Baja menghela napas berat. Ada rasa
ham yang melanda haflnya setiap kali teringat almarhum ayahnya. Bagaimana tidak?
Sang Ayah meninggal di depan matanya sementara dia tidak sempat mengubur
mayatnya.
Pandora menolehkan kepala. Sepasang matanya yang sejak tadi menatap ke depan, kini
beralih memandang wajah majikannya penuh selidik. Pendekar Golok Baja pun menatap
wajah pelayan setianya lekat-lekat.
"Ada yang meresahkan hati Tuan?" tanya kakek berwajah bintik-bintik putih itu setengah
hati. Sebenarnya dia ingin membantu meringankan keruwetan pikiran majikannya, tapi
khawatir dituduh lancang.
"Aku teringat pada Adi Kala Sunggi...," desah Pendekar Golok Baja pelan. Suaranya
hampir tidak terdengar.
Wajah Pandora seketika berabah, begitu mendengar ucapan junjungannya. Kala Sunggi
adalah adik kandung Pendekar Golok Baja. Dia lenyap begitu saja sewaktu berburu
bersama kakaknya dan Pandora. Meskipun sudah dibantu paman guru majikan mudanya,
Kala Sunggi tetap tidak berhasil mereka temukan."Нооор...!"
Pandora menarik tali kekang kuda. Sekefika itu Juga kuda-kuda berhenti berlari. Dan
dengan sendi- rlnya kereta pun berhenti melaju.
"Hup...!"
Pandora melompat dari kereta. Pendekar Golok Baja pun melompat turun. Tapi berbeda
dengan pelayannya yang mendarat dengan mantap, laki-lald gagah bercambang lebat itu
mendarat di tanah dengan agak terhuyung-huyung. Bergegas Pandora memegangi
tangan majikan mudanya. Tapi dengan halus Pendekar Golok Baja menolak.
"Uhk... uhk...!"
Kembali terdengar batuk-batuk beruntun dari mulut Pendekar Golok Baja. Pandora hanya
dapat me- mandangi majikannya dengan perasaan khawabr. Apa- lagi ketika melihat
percikan cairan merah rnengiringi suara batuk-batuk itu.
"Bawa peti ini, Pandora," ucap Pendekar Golok Baja seraya menyerahkan sebuah
buntalan kain berwarna hitam pekat.
Pandora yang tahu isi buntalan itu, segera mengulurkan tangan menyambut. Sebuah peti
terbuat dari kayu jati berwarna hitam mengkilat,yang di dalamnya berisi mantel pusaka
dan kitab-kitab ilmu silat peninggalan Iblis Hitam.
"Apakah Tuan perlu kupapah?" tanya Pandora menawarkan diri.
'Tidak perlu," sahut Pendekar Golok Baja seraya menggelengkan kepala. "Aku masih
sanggup berjalan sampai di tempat tinggal paman guru."
Pandora tercenung sesaat. Kemudian bergegas melepaskan ikatan kuda dari keretanya.
Ctar, ctar...!
Beberapa kali Pandora melecutkan cambuk di udara dengan mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang dimilikinya. Hebat akibatnya! Suara lecutan cambuk tak ubahnya
suara petir. Karuan saja suara itu membuat kedua ekor kuda jadi terkejut. Sambil
meringkik keras, kedua binatang itu berlari cepat meninggalkan kedua majikannya.
Pandora menatap kuda-kuda itu hingga lenyap ditelan keremangan malam. Baru setelah
itu meng- hampiri kereta. Sesaat kemudian tangan dan kaklnya berkelebat.
Krakkk, brakkk...!
Terdengar suara-suara berderak keras setiap kali tangan dan kaki pelayan renta itu
bergerak. Pendekar Golok Baja hanya memandangi perbuatan Pandora tanpa berkata
apa-apa. Laki-laki gagah bercambang lebat ini sudah tahu maksud pelayan setianya
menghancurkan kereta.
Так lama kemudian kereta itu pun sudah tidak berbentuk lagi Yang tertinggal hanyalah
serpihan-serpihan kayu belaka Kakek berwajah bintik-bintik putih pun menghentikan
gerakannya. Kemudian mengambil pecahan-pecahan kereta, lalu disebarkan di
rerimbunan semak yang terpisah.
"Mudah-mudahan dengan cara begini, jejak pelarian kita tidak dapat ditemukan, Tuan,"
ucap Pandora setengah berharap.
"Hm...,"
Pendekar Golok Baja hanya bergumam tidak jelas. Dia tidak begitu yakin kalau usaha
yang dilakukan pelayannya akan berhasil. Tapi pendekar ini tidak mau mengecilkan hati
kakek itu dengan mengatakan ketidak yakinannya.
Pandora menghapus sedikit peluh yang membasahi kening. Rupanya pekerjaan
menghancurkan kereta tadi cukup menguras tenaga.
"Mari kita lanjutkan perjalanan, Pandora," ajak Pendekar Golok Baja seraya berjalan
mendahului pelayannya.
Tanpa berkata-kata apa-apa lagi, Pandora mengikuti majikannya. Memang, perjalanan di
tempat ini tidak bisa dilalui dengan berkuda. Apalagi dengan kereta kuda. Itulah sebabnya
mengapa Pandora terpaksa menghancurkan kereta dan mengusir kuda-kuda itu.
Dengan langkah terhuyung-huyung dan sesekali diselingi batuk-batuk keras, Pendekar
Golok Baja menerobos rerimbunan semak. Bahkan tak jarang tangan pendekar ini harus
bekerja keras menguak rerimbunan semak-semak yang terlalu rapat.
Setelah melalui jalan berkelok-kelok, akhimya kedua orang itu tiba di sebuah lembah.
Meskipun suasana malam remang-remang, tak jauh dari situ terlihat cukup jelas sebuah
pondok berdinding bilik.
Pendekar Golok Baja segera mempercepat langkahnya begitu melihat pondok berdinding
bilik itu.
Dan Pandora pun terpaksa mempercepat langkahnya. Kakek berwajah bintik-bintik putih
ini sebenarnya khawatir pada luka-luka parah yang diderita sang Majikan. Semestinya
saat ini tidak boleh terlalu banyak mengeluarkan tenaga. Tapi, ара dayanya? Pendekar
Golok Baja tidak mau dibantah.
Так lama kemudian, Pendekar Golok Baja telah berada di depan pondok berdinding bilik
itu.
Ток, tok, tok...!
Terdengar suara ketukan, begjtu kepalan tangan laki-laki gagah itu menyentuh pintu.
Pelahan saja pintu itu diketuk. Tapi karena suasana malam sangat hening, ketukan tadi
terdengar agak keras.
Kriiit...!
Terdengar suara berderit tajam begitu pintu terbuka. Disusul munculnya seraut wajah
keriput dari balik pintu. Kekagetan terbayang jelas di wajah orang Itu begitu melihat siapa
yang telah mengetuk pintu. Memang suasana malam remang-remang, tapi cukup untuk
menerangi wajah Pendekar Golok Baja.
Mendadak saja tubuh Pendekar Golok Baja ambruk. Kalau saja kakek pemilik pondok
tidak cepat-cepat menangkap, tentu tubuh laki-laki gagah bertam- bang bauk lebat itu
sudah mencium tanah.
"Prajasena...?!" pekik kakek pemilikpondok. Suaranya jelas mengandung kekagetan.
"Tuan...!" ucap Pandora seraya bergegas menn- buru tubuh junjungannya.
Melihat ada orang lain memburu tubuh Pendekar Golok Baja, kakek pemilik pondok baru
sadar kalau orang yang dipanggilnya Prajasena tidak datang sen- dirian. Perhatiannya
segera dialihkan pada kakek berwajah bintik-bintik putih itu. Sesaat lamanya sepasang
mata pemilik pondok menatap penuh selidik.
"Kau... kau..., Pandora?" tanya kakek pemilik pondok dengan wajah berseri-seri.
Walaupun cukup lama Pandora dan Pendekar Golok Baja pergi meninggalkan Hutan
Karimun, na- mun wajah kedua orang itu masih tertanam dalam ingatannya. Sehingga
tidak aneh kalau pemilik pondok yang temyata adalah paman guru Pendekar Golok Baja
masih mengenal Pandora.
"Benar, Tuan," jawab kakek berwajah bintik-bintik putih seraya menganggukkan kepala.
Pandora me- manggil paman guru majikan mudanya dengan pang- gilan tuan juga.
"Ара yang terjadi, Pandora? Katakanlah...! Ada ара dengan Prajasena? Siapa yang telah
melakukan semua ini padanya?" kakek pemilik pondok membe- rondong Pandora dengan
pertanyaan bertubi-tubi,
"Ceritanya cukup panjang, Tuan," sahut Pandora.
"Apakah tidak lebih baik kalau Tuan memeriksanya dulu?"
"Akh..., kau benar," sambut paman guru Pendekar Golok Baja. Kini perhatiannya segera
dialihkan pada Prajasena yang berada dalam pelukannya.
"Man masuk dulu, Pandora," ajak kakek pemilik pondok pada pelayan setia Pendekar
Golok Baja alias Prajasena, seraya mendahului masuk ke dalam.
Tanpa berkata apa-apa, Pandora segera melangkah masuk. Dan begitu telah berada di
dalam, dia segera menutup pintu pondok.
Paman guru Pendekar Golok Baja membawa Prajasena ke dalam kamar khusus semadi
yang cukup luas. Kemudian tubuh yang tergolek pingsan itu di- rebahkan perlahan-lahan
di atas balai-balai bambu.
Sepasang alis yang sudah berwarna dua itu tampak berkerut ketika memeriksa sekujur
tubuh Prajasena.
"Racun...," desah kakek pemilik pondok seraya menatap tajam wajah Pandora yang
berdiri di sampingnya Sepasang mata paman gum Prajasena penuh pertanyaan.
"Hhh...!"
Pandora hanya menghela napas berat. Pandang mata penuh pertanyaan dari pemilik
pondok sama sekali tidak dihiraukannya. Kakek berwajah bintik-bintik putih ini terlalu
mengkhawatirkan keadaan majikan mudanya. Yang ada dalam benaknya hanyalah,
bagaimana secepatnya memberi pertolongan kepada Prajasena. Masalah-masalah lain
bisa diurus belakangan.
Kakek pemilik pondok rupanya dapat merasakan ара yang dirasakan Pandora.
Dihampirinya pelayan setia itu sambil tersenyum lebar, kemudian menepuk-nepuk
bahunya.
"Tenanglah, Pandora. Pertanyaanku tadi bukan karena aku tidak ingin buru-buru
menolong Prajasena. Tapi agar aku tahu jenis racun yang mengeram di dalam tubuhnya.
Kau bisa mengerti, bukan?"
Pandora menganggukkan kepala pertanda mengerti. Diam-diam dia memaki kebodohan
dirinya sendiri. Kakek di depannya ini adalah paman guru dan sekaligus gum majikan
mudanya. Dan belum tentu kasih sayang kakek itu pada Prajasena kalah besar jlka di-
bandingkan dengan kasih sayangnya.
Lagi pula, mana mungkin seorang gum tidak khawatir bila muridnya sedang sekarat? maki
Pandora dalam hati.
"Katakanlah, dengan siapa Prajasena bertarung?" tanya kakek pemilik pondok lagi.
"Tuan bertarung dengan Sepasang Iblis Gumn Banjar," sahut pelayan setia Pendekar
Golok Baja pelan.
"Sepasang Iblis Gurun Banjar...," ulang paman gum Prajasena dengan alis berkemt.
"Jadi, dugaanku tepat rupanya...."
"Tuan sudah tahu...?" tanya Pandora setengah tak percaya.
Kakek pemilik pondok hanya menganggukkan kepala.
"Aku sudah menduganya begitu memeriksa luka- nya. Pertanyaanku hanya untuk
memastikan saja. Dan, temyata dugaanku memang benar. Hhh...! Sungguh tidak
kusangka kalau Sepasang Iblis Gurun Banjar bentrok dengan Prajasena."
"Dalam salah satu pengembaraannya, tuan telah membunuh murid Sepasang Iblis Gurun
Banjar," ucap Pandora menjelaskan.
"Pantas...," sambut kakek pemilik pondok sete- ngah mendesah. "Rupanya mereka ingin
membalas dendam...."
"Benar, Tuan."
"Pandora, kumohon kau jangan memanggilku dengan panggilan tuan lagi. Gatal telingaku
rasanya. Panggil aku dengan namaku saja, Wirageni."
"Baiklah, Tu... eh, Eyang." Pandora sengaja menyebut eyang karena penduduk dusun di
sekitar Hutan Karimun memanggil paman guru Prajasena ini dengan sebutan Eyang
Wirageni.
"Sekarang kau tenanglah, Pandora. Atau... lebih baik kau berjaga-jaga. Barangkali ada
tamu-tamu tak diundang yang datang kemari. Malam ini aku punya firasat tidak enak,
Pandora."
Ucapan Eyang Wirageni membuat Pandora gelisah. Laki-laki berwajah bintik-bintik putih
ini kenal betul siapa Eyang Wirageni. Beliau adalah seorang tokoh sakti yang memiliki
perasaan amat tajam.
"Apakah pengobatan majikanku butuh waktu cukup lama, Eyang?" tanya Pandora ingin
tahu.
"Lama sih, tidak. Tapi, pengobatan ini butuh tenaga dalam yang amat kuat. Dan sudah
pasti akan inenguras seluruh tenagaku. Perlu kau ketahui, Pandora. Prajasena terkena
racun yang bernpa uap. Jadi, aku harus mengobatinya dengan cara mendorong uap
beracun itu dengan tenaga dalamku. Kau tahu, Pandora, dalam keadaan begitu, mudah
saja begi seseorang membunuhku. Dan kalau pengobatan sudah ku- mulai, di
tanganmulah terfetak keselamatanku dan majikanmu. Mengerti, Pandora?"
"Mengerti, Eyang," sahut Pandora sambil menganggukkan kepala. Diam-diam jantung
kakek berwajah bintik-bintik putih ini berdebar tegang, mengingat tugas berat yang harus
diemban Dua nyawa orang-orang yang sangat dihormati, kini bergantung kepadanya.
Mudah-mudahan saja tidak ada apa-apa, harap pelayan setia ini dalam hati.
"Bersiaplah, Pandora. Aku akan mulai" Setelah berkata demikian, Eyang Wirageni naik ke
balai-balai bambu, kemudian duduk bersila. Perlahan- lahan tubuh Pendekar Golok Baja
yang tertelentang, dibalikkan jadi tertelungkup. Kemudian dibukanya pakaian pendekar
itu.
Eyang Wirageni menarik napas dalam-dalam seraya menarik tangannya yang terkepal di
kedua sisi pinggang .
"Ssshhh...!"
Terdengar suara berdesis begitu Eyang Wirageni mengeluarkan udara yang tadi disedot.
Berbarengan dengan hembusan napas melalui muiut, kedua tangan- нуа didorong ke
depan dengan jari-jari terbuka.
Lambat dan perlahan-lahan kedua tangan keriput itu didorong. Dan setelah itu, Eyang
Wirageni kembali mengepalkan kedua tangannya ke sisi pinggang. Kali ini tanpa
mengambil napas.
Kemudian kedua telapak tangannya ditempelkan pada punggung Pendekar Golok Baja.
Kakek pemilik pondok ini mulai menyalurkan tenaga dalam untuk mengusir uap racun
yang mengendap di tubuh murid keponakannya.
Pandora mulai pasang sikap waspada. Buntalan kain hitam yang sejak tadi dijinjing,
ditaruh di bawah balai-balai bambu. Sepasang matanya diedarkan ber- keliling, ke setiap
sudut ruangan.
Kakek berwajah bintik-bintik putih ini merasa waktu berjalan begitu lambat Sebentar-
sebentar sepasang matanya dialihkan, antara sekeliling ruangan dan dua sosok tubuh
yang berada di balai-balai bambu. Dan kini dilihatnya bintik-bintik keringat mulai
membasahi wajah Eyang Wirageni. Mula-mula hanya sedikit, tapi semakin lama semakin
banyak. Sampai akhimya sekujur tubuh kakek itu mandi keringat.
Sepasang mata Pandora membelalak begitu melihat uap tipis berwarna kehijauan, keluar
dari kedua lubang hidung majikan mudanya. Pelayan setia ini tahu kalau asap itu adalah
uap racun yang berhasil didesak keluar oleh hawa murni Eyang Wirageni.
Semakin lama uap itu semakin bertambah tebal. Dan Pandora melihat kedua tangan
Eyang Wirageni yang ditempel di punggung Pendekar Golok Baja mulai beigetar. Tahu
kalau Eyang Wirageni telah mengerahkan tenaga dalam melewati batas, diam-diam
jantung Pandora berdebar tegang.
Mendadak wajah Pandora berubah ketika pendengarannya yang tajam mendengar suara
banyak lang- kah kaki mendekati pondok. Suara langkah yang ringan, pertanda
pemiliknya memiliki ilmu meringankan tubuh cukup tinggj. Karuan saja suara-suara tadi
membuat pelayan setia ini jadi gelisah. Ternyata dugaan Eyang Wirageni tidak meleset,
banyak tamu- tamu tak diundang yang berkunjung ke pondok ini.
Dengan gerak mata kalap, Pandora melirik ke arah dua sosok yang masih berada di atas
balai-balai bambu. Tampak olehnya kalau asap yang keluar dari lubang hidung sang
Majikan sudah menipis. Rerarti tak lama lagi seluruh uap racun akan musnah dari tubuh
majikannya.
Sementara itu, kedua tangan Eyang Wirageni semakin keras bergetar. Samar-samar
tampak asap Bpis mengepul dari kepala Eyang Wirageni yang wajahnya merah padam.
Kian lama uap itu kian me- nebal. Pandora khawatir andaikan racun dalam diri Pendekar
Golok Baja belum habis keluar, tapi Eyang Wirageni sudah roboh kehabisan tenaga.
Di saat-saat yang menegangkan itu, tiba-tiba....
Brakkk...!
Terdengar suara berderak keras dari arah luar kamar. Tanpa melihat pun Pandora tahu
kalau pintu depan pondok telah dibobol orang. Jantung pelayan setia ini semakin
berdebar keras karena tahu kalau tamu-tamu tak diundang sudah masuk di dalam pon-
dok.
Meskipun begitu, Pandora tetap tidak bergeming dari tempatnya. Kakek berwajah bintik-
bintik putih ini tidak berani meninggalkan kedua tubuh tak berdaya Itu begitu saja.
Khawatir kalau begitu ditinggalkan, tamu tak diundang masuk ke kamar dan membunuh
kedua orang itu.
Kekhawatiran itulah yang membuat Pandora mengambil keputusan menunggu
kedatangan tamu- tamu tak diundang di dalam kamar semadi Eyang Wirageni. Kakek
berwajah bintik-bintik putih ini tahu kalau tamu tak diundang itu akhimya akan mencari
majikannya ke ruangan ini juga.
Dan dugaan Pandora tidak meleset! Beberapa saat setelah suara berderak keras
terdengar, tahu-tahu di ambang pintu kamar, berdiri beberapa sosok berpakaian serba
merah. Sekelebatan saja kakek berwajah bintik-bintik putih ini tahu jumlah mereka. Lima
orang, desis Pandora.
Lima orang berpakaian serba merah melangkah memasuki pintu kamar. Sekilas
pandangan mereka melirik ke arah balai-balai bambu. Так sadar kakek berwajah bintik-
bintik putih itu pun mengikuti arah lirikan tamu-tamu tak diundang Dan diam-diam pelayan
setia ini bersyukur dalam hati melihat Eyang Wirageni telah menyelesaikan pengobatan.
Dan kini dilihatnya tengah bersemadi memuShkan tenaga dalam yang terkuras tadi.
"Serahkan pusaka Iblis Hitam. Dan kami berjanji tidak akan mengganggu kalian," ujar
salah seorang tamu tak diundang. Pandang matanya ditujukan pada Pandora.
"Siapa kalian? Dan ара yang kalian maksudkan dengan pusaka Iblis Hitam?" tanya
Pandora, pura-pura tidak mengerti.
"Kami adalah Lima Alap-alap Bukit Jabal," jawab laki-laki berkumis melintang, yang tadi
meminta pusaka peninggalan Iblis Hitam. "Dan kami tidak suka main-main. Cepat
serahkan pusaka itu. Atau..., kami ambil dengan kekerasan?!"
Pandora tidak mau bersikap main-main lagi. Sebelum tamu-tamu tak diundang lain
berdatangan ke- mari, kelima orang ini harus cepat dibungkam.
"Kalian boleh mengambil pusaka itu setelah melangkahi mayatku!" tandas Pandora tegas.
"Keparat!" teriak laki-laki berkumis melintang, sambil melesat ke depan. Kaki kanannya
dikibaskan ke arah pelayan setia Pendekar Golok Baja seraya memutar tubuh.
Wuttt...!
Angin cukup keras berkesiut mengiringi tibanya serangan laki-laki berkumis melintang.
Pandora menyeringai lebar. Dari deru angin yang mengiringi tibanya serangan, kekuatan
tenaga dalam lawan sudah bisa diukurnya. Мака tanpa ragu-ragu lagi tangan kirinya
segera diangkat melindungi pelipis sambil melontarkan tendangan kaki kanannya ke arah
lutut kiri laki-laki berkumis melintang itu.
Plakkk...! Tukkk!
"AkK..!"
Laki-laki berkumis melintang yang juga merupakan orang pertama dari Lima Alap-alap
Bulat Jabal berseru tertahan. Kaki kanannya yang tertangkis tangan kakek berwajah
bintik-bintik putih tadi terasa sakit dan ngilu bukan main. Dan belum lagi rasa sakit itu
hllang, tendangan lawan telah mengenai lutut kirinya. Kontan sambungan tulang lututnya
terlepas.
Melihat dalam segebrakan saja rekan mereka telah dipecundangi, tentu saja keempat
Alap-alap Bukit Jabal terkejut bukan main Salah seorang dari mereka bergegas
menangkap tubuh sahabatnya yang terhuyung-huyung.
"Kiгапуа kau memiliki kepandaian juga, Kakek Peot," ucap salah seorang Alap-alap Bukit
Jabal yang bermata plcak. Selesai berkata begitu, diterjangnya Pandora dengan serangan
bertubi-tubi,
Dan belum lagi serangan laki-laki bermata picak tiba, empat kawannya yang kini telah
tahu kalau kakek berwajah bintik-bintik putih bukan orang sembarangan, segera ikut
menyerang. Так terkecuali laki-laki berkumis melintang Dengan agak terpincang-pincang,
dia Ikut membantu serangan saudara-saudaranya.
Dan sekali menyerang, Lima Alap-alap Bukit Jabal Hah menggunakan senjata andalaa
Mereka semua menggunakan sepasang pedang pendek berwama hitam mengkilat.
Suara berkesiutan nyaring dari udara yang terbesel kelebatan pedang-pedang pendek
Lima Alap-alap Bukit Jabal memecah keheningan malam. Pandora yang memang sudah
memutuskan untuk tidak bertindak setengah-setengah, segera mencabut sebatang go lok
pendek berwarna putih mengkilat.
Srattt!
Seketika memancar sinar terang menyilaukan mata ketika golok pendek keluar dari
sarungnya. Dan secepat golok itu tercabut, secepat itu pula Pandora i menangkis hujan
serangan tamu tak diundang.
Trang, trang, tranggg...!
Terdengar suara berdentangan nyaring yang di- iringi pijaran bunga-bunga api di udara,
tatkala golok pelayan setia itu berbenturan dengan senjata-senjata para pengeroyok.
Suara-suara pekikan kaget segera terdengar dari mulut Lima Alap-alap Bukit Jabal.
Bahkan bukan itu saja, tubuh-tubuh merekapun terhuyung-huyung ke belakang. Jelas
kalau tenaga dalam yang dimiliki keltma pemburu pusaka peninggalan Iblis Hitam itu
masih jauh di bawah tenaga dalam Pandora.
Dan selagi tubuh-tubuh mereka terhuyung-hu- yung, pelayan setia Pendekar Golok Baja
itu kembali menyabetkan golok berwarna putih mengkilat. Dan....
Srattt, srattt...!
"Aaakh...! Aaa...!
Terdengar jeritan-jeritan panjang menyayat begitu golok Pandora membabat leher Lima
Alap-alap Bukit Jabal satu persatu. Darah segar kontan bermuncratan dari leher mereka
yang terkoyak lebar. Seketika itu juga tubuh kelima orang itu roboh ke tanah. Setelah
menggelepar-gelepar sesaat, akhimya diam tidak bergerak lagi. Tragis sekali nasib Lima
Alap-alap Bukit Jabal, mereka tewas di tangan orang yang sama sekali tidak terkenaL
"Hhh...!"
Terdengar helaan napas berat dari mulut Pandora. Wajah pelayan setia Prajasena ini
tidak tampak gem- bira meskipun melihat kelima lawan telah tewas. Bah- kan terlihat
penyesalan mendalam di wajah tua yang berbintik-bintik putih itu. Memang sebenarnya
Pandora inenyesal sekali telah membunuh Lima Alap-alap Bukit Jabal. Kalau saja bukan
karena terpaksa, belum tentu kakek ini tega membunuh kelima orang itu. Tapi setidak-
tidaknya kematian Lima Alap-alap Bukit Jabal Itu telah mengurangi momok yang selama
ini menakut- nakuti penduduk sekitar bukit itu.
Setelah memandangi lima sosok mayat yang tergolek bermandi darah sejenak, Pandora
segera menyarungkan kembali goloknya. Так lupa menyeka dulu darah yang menodai
batang golok dengan pa- kaian salah seorang mayat Lima Alap-alap Bukit Jabal.
Trekkk!
Kini golok putih berkilat telah masuk kembali ke dalam sarungnya. Baru setelah itu,
Pandora mengalih- kan perhatian ke arah dua sosok tubuh yang tergolek di atas balai-
balai bambu. Ditatapnya Eyang Wirageni yang masih khusuk bersemadi penuh perhatian.
Terdengar desahan lembut berirama tetap setiap kali paman guru majikannya itu menarik
dan mengeluarkan napas.
Sesaat kemudian, Pandora mengalihkan pandangan ke arah tubuh junjungan mudanya
yang masih tergolek di balai-balai bambu. Desah napas lembut tapi teratur menandakan
kalau Pendekar Golok Baja tengah tertidur lelap.
"Uuuhhh...!"
Mendadak terdengar keluhan pelan mengiringi tubuh Prajasena yang menggeliat. Melihat
hal ini, seketjka wajah Pandora berseri-seri. Bergegas dia mendekati balai-balai bambu.
"Tuan...," panggil kakek berwajah bintik-bintik putih itu. Nada suaranya menyiratkan rasa
gembira yang menggelora.
"Pandora...," desah Pendekar Golok Baja pelan. Setelah mengerjap-ngerjap beberapa
saat, baru kemudian sepasang kelopak matanya membuka. Dan yang pertama kali dilihat
adalah wajah pelayan setianya. Tapi, masih teriihat samar-samar. Memang tadi Prajasena
memanggil nama Pandora sebelum membuka matanya. Dia memanggil pelayannya
karena mende- ngar panggilan Pandora.
"Ya, Tuan...," sahut Pandora gembira.
Pandora tahu kalau majikan mudanya telah bebas dari cengkeraman racun jahat
Sepasang Iblis Gurun Banjar. Wajah itu telah agak memerah kembali, sungguhpun masih
agakpucat. Dan sepasang bola mata yang tidak kehijauan seperti sebelumnya, telah
inenjadi bukti nyata kalau Pendekar Golok Baja telah Iwbas dari racun. Memang, semula
wajah dan sepasang bola mata Prajasena berubah kehijauan.
"Di manakah aku, Pandora...," tanya Prajasena ftambil mengedarkan pandangan
berkeliling.
'Tuan, lupa...?" Pandora sengaja tidak segera inenjawab pertanyaan Pendekar Golok
Baja. Dibiar- kannya Prajasena mengamati seluruh penjuru tempat itu .
"Rasanya aku mengenal tempat ini...," gumam Prajasena pelan sambil mengernyitkan
dahi. Jelas kalau Pendekar Golok Baja tengah menguras ingatannya.
"Ingat-ingatlah, Tuan...," sambut Pandora. 'Teru- tama sejak Tuan berhasil mengusir
Sepasang Iblis Gurun Banjar."
"Ah...! Aku ingat sekarang...!" sentak Pendekar Golok Baja setelah termenung sejenak.
Apalagi setelah terpandang olehnya tubuh Eyang Wirageni yang tengah bersemadi.
"Ара yang telah terjadi, Pandora? Dan mengapa eyang bersemadi?"
Pandora tertegun sejenak. Dan sebelum sempat menjawab pertanyaan junjungannya,
kembali terdengar suara bernada terkejut dari mulut Prajasena.
"Siapakah mereka, Pandora?" tanya Pendekar Golok Baja sambil menudingkan jari
telunjuk pada lima sosok mayat yang tergolek di'lantai. "Dan..., siapa yang membunuh
mereka?"
"Hhh...!"
Kembali terdengar helaan napas berat dari mulut Pandora. Akhimya kakek ini pun
menceritakan semua yang telah terjadi.
Sambil tetap berbaring di balai-balai bambu, Pendekar Golok Baja mendengar penuturan
pelayannya penuh perhatian Sesekali terdengar seruan kaget dari mulutnya, selagi
pelayan setia itu bercerita.
"Jadi, Eyang bersemadi untuk memulihkan tenaganya yang terkuras ketika mengusir
racun yang mengeram di tubuhku," gumam Prajasena setengah berdesah.
"Dan..., sungguh sama sekali tidak kusangka kalau Lima Alap-alap Bukit Jabal bisa
sampai kemari Ahhh...! Sudah dapat kuduga kalau berita pusaka Iblis Hitam telah tersiar
luas di dunia persilatan...."
"Ара yang kau katakan sama sekali tidak salah, Pendekar Golok Baja," sahut sebuah
suara, me- nanggapi gumaman laki-laki bercambang lebat itu.
Tentu saja sambutan yang sama sekali Hdak di- sangka-sangka Itu membuat Prajasena
terkejut. Bah- kan bukan hanya Pendekar Golok Baja saja, Pandora pun dilanda perasaan
yang sama. Sebelumnya mereka sama sekali tidak mendengar langkah orang mendekati
tempat ini. Hampir berbareng Pendekar Golok Baja
dan Pandora menoleh ke arah asal suara.
********************
Di ambang pintu pondok Eyang Wirageni telah lwrdiri sesosok tubuh kurus kering. Usia
laki-laki yang hnmpir-hampir tak berdaging ini sukar ditebak. Tapi, yang Jelas sudah lebih
dari enam puluh tahun. Warna kulit yang kemerahan berlawanan sekali dengan pakaian
serba putih yang dikenakannya. Sementara di tangan kanan tergenggam sebatang
tongkat merah ber- u)ung tengkorak kepala manusia.
"Tengkorak Merah...," desis Pendekar Golok Baja pelan. Nada suara dan wajahnya
memperlihatkan ke- terkejutan yang amat sangat. Laki-laki gagah bercambang lebat ini
memang pemah mendengar julukan tokoh itu. Tengkorak Merah adalah salah seorang
tokoh allran hitam yang terkenal dengan kesaktian dan kekejamannya. Bahkan nama
besar Tengkorak Merah tak kalah tenar dengan Sepasang Iblis Gurun Banjar.
Pandora terkejut bukan main manakala tahu kalau lamu tak diundang yang berdiri di
ambang pintu adalah Tengkorak Merah. Mendadak wajah pelayan setia ini seketika pucat
pasi. Karena mengkhawatirkan kese- lamatan majikannya. Meskipun racun yang
mengeram di tubuh Prajasena telah lenyap, tapi Pandora tahu kalau saat ini tubuh
majikan mudanya itu berada dalam keadaan tidak berdaya. Tenaga dalam Pendekar
Golok Baja belum pulih sama sekali.
"Ah...! Temyata matamu masih awas juga, Pei dekar Golok Baja," ucap Tengkorak Merah
sambil tersenyum mengejek. Suaranya melengking mirip suar; wanita. "Sayang..., saat ini
kau dalam keadaan lemah. Kalau tidak..., mungkin akan sangat membahagiakan hatiku.
Sudah lama aku bem'iat menguji kepandaian-i mu. Sekadar ingin tahu, apakah nama
besarmu setara | dengan kepandaianmu."
'Tidak usah bertele-tele, Tengkorak Merah!" sergah Pendekar Golok Baja keras, seraya
berusah bangkit dari pembaringan. Kedua tangannya menggigil ketika berusaha bangkit
dengan bertumpu pada kedua I tangannya. "Langsung katakan saja maksud kedatang-1
anmu kemari!"
Sepasang mata laki-laki bertubuh kurus kering itu nampak berkilat-kilat penuh kemarahan
ketika mendengar jawaban yang bernada kasar.
"Sungguh tidak kusangka kalau dalam keadaan seperti ini pun kau masih bersikap galak,
Pendek Golok Baja. Kau lahu, kalau aku mau, mudah saja I aku membunuhmu!" ancam
Tengkorak Merah.
"Kalau mau bunuh, silakan bunuh! Kau pildr aku I takut mati?" sahutan dari Prajasena
masih tetap kasar | dan bemada tinggi.
"Kaparat! Mulutmu semakin kurang ajar, Pendekar Golok Baja Kalau tidak kuberi
pelajaran, kau akan menginjak kepalaku!"Setelah berkata demikian, Tengkorak Merah
me- ngibaskan tangan kin. Pelan saja kelihatannya. Tapi hebatnya, dari tangan kurus itu
berhernbus serangkum angin keras ke arah Prajasena yang sudah mampu duduk di atas
balai-balai.
Wuttt...! Bresss...!
"Akh!"
Pendekar Golok Baja memekik tertahan ketika lubuhnya teHempar hingga menabrak
dinding di belakangnya.
Brukkk!
Terdengar suara berdebukan keras ketika tubuh laki-laki gagah bercambang lebat itu
jatuh ke tanah.
"Tuan...!"
Pandora berseru kaget melihat keadaan majikan mudanya Cepat-cepat kakek berwajah
bintik-bintik putih itu melesat menghampiri Pendekar Golok Baja. Kejadian itu memang
begitu mendadak sehingga Pandora tadi tidak sempat memberi pertolongan.
Pendekar Golok Baja meringis merasakan sekujur tubuhnya sakit-sakit akibat membentur
dinding. Prajasena berusaha bangkit, namun temyata tidak mampu. Pendekar ini
membutuhkan waktu cukup lama untuk bersemadi kalau ingin memulihkan tenaganya.
Pandora segera membungkukkan tubuh untuk memeriksa keadaan majikan mudanya.
Lega rasa hatinya ketika mengetahui Pendekar Golok Baja sama sekali tidak teriuka.
Hanya rasa sakit dan nyeri-nyeri yang melanda sekujur tubuh laki-laki gagah bercambang
lebat ini. Itu pun karena benturan dengan dinding dan lantai, bukan karena serangan yang
di lakukan Tengkorak Merah. Memang laki-laki bertubuh kurus kering itu hanya
bermaksud melempar tubuh I Prajasena, sama sekali tidak bermaksud melukai.
"!tu hanya sekadar pelajaran saja, Pendekar Golok I Baja, agar kau bisa berkata sedikit
lembut kepadaku!" ejek Tengkorak Merah.
Pendekar Golok Baja hanya mendengus.
"Cepat serahkan pusaka peninggalan Iblis Hitam padaku kalau kau ingin selamat,
Pendekar Golok Ba-i ja!"
"Kau hanya dapat memffikinya kalau aku telah jadi mayat!" tandas Prajasena tegas.
"Keparat! Kalau memang itu keinginanmu, mam- puslah...!"
Setelah berkata demikian, Tengkorak Merah melompat menerjang. Tongkat merah
berujung tengkorak diayunkan ke arah kepala Pendekar Golok Baja.
Wuuut..!
Angin keras beihembus deras sebelum sambaran tongkat tiba. Pandora tentu saja Hdak
membiarkar kepala majikan mudanya pecah terhantam tongkai laki-laki bertubuh kurus
kering Secepat kilat kakek berwajah bintik-bintik putih itu bangkit seraya menghunus golok
pendeknya. Srattt!
Begitu golok berwarna putih mengkilat keluar dari •nrungnya, langsung saja Pandora
memapak samb.irari inngkat Tengkorak Merah.
Tranggg...!
Terdengar suara berdentang nyaring begitu kedua «irjata berbenturan. Seketika bunga-
bunga api berpijaran di udara.
"Akh...!"
Pandora memekik tertahan. Tubuhnya kontan wrhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang. Sekujur tangannya terasa kesemutan, bahkan golok yang dgenggam hampir-
hampir teriepas dari pegangan. Sementara Tengkorak Merah sama sekali tidak
leipengaruh. Jelas kalau tenaga dalam laki-laki bertubuh kurus kering itu jauh di atas
tenaga dalam yang dimiliki Pandora.
"Pelayan keparat!" maki Tengkorak Merah keras. Tokoh aliran hitam ini merasa geram
bukan main melihat serangannya ditangkis Pandora. Dan kini kemarahannya
dilampiaskan pada kakek berwajah bintik-bintik putih itu.
Wuuut..!
Kembali Tengkorak Merah melancarkan serangan. Tnpl kali ini kepada Pandora. Tongkat
berkepala tengkoraknya ditusukkan cepat ke arah dada Pandora yang masih terhuyung-
huyung.
Pandora kaget bukan main. Untuk mengelak ra- tanya sudah tidak mungkin lagi dapat
dilakukan. Jangankan mengelak, mematahkan daya dorong yang membuat tubuhnya
terhuyung-huyungpun dia tak mampu Tidak ada jalan lain baginya kecuali menangkis
tusukan tongkat berujung tengkorak kepala manusia. Dan itulah yang dilakukan Pandora
untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Buru-buru goloknya digerakkan menangkis.
Tranggg...!
"Akh...!"
Untuk kedua kalinya Pandora memekik tertahan Tubuhnya kembali terhuyung-huyung ke
belakang Bahkan kali ini diikuti dengan terlepasnya golok dari genggam nya.
"Haaat..!"
Disertai teriakan nyaring, Tengkorak Merah kembali menyabetkan tongkat merahnya ke
arah Pandora .
Kali ini Pandora tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Kakek berwajah bintik-bintik putih ini
hanya dapat pasrah menanti ajal datang menjemput. Tubuh yang masih terhuyung-
huyung, menyulitkan dirinya mengelakkan sabetan tongkat.
Tapi di saat kritis bagi keselamatan Pandora terdengar suara berdesing nyaring yang
disusul denga melesatnya seleret sinar putih berkilat ke arah tongkat yang mengancam
kepala pelayan setia itu.
Tranggg...!
Seketika itu juga benda putih berkilat terpenta balik ketika berbenturan dengan tongkat
berujung tengkorak kepala manusia milik Tengkorak Merah Dan langsung menancap di
dinding sampai tembus ke gagangnya. Rupanya benda putih berkilat itu adalah sebilah
pisau terbang.
Tengkorak Merah menggeram keras, manakala mendapati serangannya kembali
digagalkan orang. Dan belum lagi dia sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu melesat
sesosok bayangan putih. Sesaat kemudian di tk'pan laki-laki bertubuh kurtis kering itu
telah berdiri I yang Wirageni dengan tenangnya. Rupanya begitu melihat keselamatan
Pandora terancam, kakek ini se- цега turun tangan tanpa mempedulikan tenaganya yang
belum pulih seluruhnya. Karena waktu yang sudah mendesak, dilemparkannya sebilah
pisau terbang sebagai penghambat serangan Tengkorak Merah.
"Pandora..., cepat kau bawa Prajasena dari sini!" sambil berkata begitu, Eyang Wirageni
segera menerjang Tengkorak Merah. Tongkat baja yang sejak tadi lergenggam di
tangannya segera menotok cepat ke arah ulu hati lawan.
Pandora adalah seorang yang telah kenyang pe- ngalaman. Мака sekali lihat saja kakek
berwajah hlntik-bintik putih Ini lahu kalau Eyang Wirageni •engaja mengorbankan
nyawanya untuk keselamatan ilia, Pendekar Golok Baja, dan terutama sekali pusaka Iblis
Hitam. Pandora tahu kalau Eyang Wirageni belum herhasil memulihkan seluruh
tenaganya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandora segera menghampiri Pendekar Golok Baja
dan memanggulnya. Так lupa menyambar buntalan kain hitam yang berisi pusaka
peninggalan Iblis Hitam. Dan sebelum melesat kabur dari situ, dia menyempatkan melirlk
pertarungan yang terjadi antara Tengkok Merah dengan Eyang Wirageni.
Sementara itu, Eyang Wirageni terus menghujani Tengkorak Merah dengan serangan-
serangan dahsyat untuk memberi kesempatan Pandora kabur.
Tengkorak Merah meraung murka melihat Pindora berhasil kabur dengan membawa
pusaka yang diincamya. Kini kemarahannya dilampiaskan pada Eyang Wirageni.
Eyang Wirageni menggertakkan giginya, mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimilikinya. Tapi, temyata hasilnya tetap sia-sia. Tenaga dalamnya belum kembali
seluruhnya. Dan dengan berkurai tenaga dalam, berkurang pula kemampuannya.
Sesekali kedua senjata mereka beradu, Eyang Wiragei selalu terhuyung ke belakang
dengan tangan yang menggenggam tongkat tergetar hebat. Sementara lawannya sama
sekali tidak menderita suatu ара. DI jurus-jurus awal, pertarungan antara kedua orang
tokoh sakti ini masih berlangsung imbang. Tapi menginjak jurus ke lima belas, tampak
keunggulan Tengkorak Merah.
Sebenamya kalau saja Eyang Wirageni berad dalam kondisi biasa, belum tentu
Tengkorak Метан! mampu mendesak. Tapi, karena kakek yang menjadi guru Pendekar
Golok Baja ini belum berhasil memulihkan seluruh tenaga dalamnya, laki-laki bertubuh
kurus kering itu bisa mendesaknya.
Tranggg...!
Kembali untuk kesekian kalinya senjata kedua tokoh sakti berbenturan. Kali ini benturan
yang terjadi demikian keras, sehingga tak pelak lagi Eyang Wirageni terjengkang ke
belakang. Dan sebelum paman guru Prajasena ini berbuat sesuatu, tahu-tahu tongkat
berujung kepala tengkorak lawan telah meluruk cepat ke dada.
Wuuut...! Bukkk!
"Huakkk...!"
Terdengar suara berderak keras ketika tongkat bemjung kepala menghantam telak dan
keras dada Eyang Wirageni. Seketika itu juga tubuh paman guru Pendekar Golok Baja
terlempar jauh ke belakang. Darah segar berhamburan deras dari mulut, hidung, dan
telinga Eyang Wirageni. Nyawa Eyang Wirageni meninggalkan raganya dengan sekujur
tulang dada remuk.
Melihat lawannya tewas, tanpa membuang-buang waktu lagi Tengkorak Merah melesat
meninggalkan pondok. Mengejar Pandora yang telah membawa lari pusaka dan juga
majikan mudanya.
Sementara itu Pandora terus berlari cepat meninggalkan pondok Eyang Wirageni
Walaupun agak repot karena tangan kanannya harus memegangi tubuh Pendekar Golok
Baja yang terpanggul di bahu, sedangkan tangan kiri sibuk menjunjung buntalan kain
hitam, kakek berwajah bintik-bintik putih terus berlari.
Tapi belum berapa jauh melangkah, mendadak Pandora berhenti berlari. Kedua kaki
kakek ini menggigil keras, sementara sepasang matanya membelalak ke depan. Kalau
saja suasana malam tidak remang- remang, tentu akan. terlihat jelas betapa pucatnya
wajah pelayan setia ini.
"Ada ара, Pandora?" tanya Pendekar Golok Baja begitu merasakan kakek itu
menghentikan larinya secara tiba-tiba.
"T... Ttt.., Tuan lihat saja sendiri...," sahut pelayan setia itu. Suaranya terputus-putus
seperti orang diserang demam hebat .
"Kalau begitu..., turunkan aku, Pandora," pinta Prajasena. Laki-laki gagah ini jadi ingin
tahu ара yang telah membuat pelayan setianya kelihatan takut bukan main.
Pandora segera menurunkan tubuh majikan mudanya dengan pandangan mata masih
tertuju ke depan.
Ternyata bukan hanya Pandora saja yang terkejut melihat pemandangan yang
terpampang di depan, Pendekar Golok Baja pun dilanda perasaan serupa.
"M.... Mmm... mustahil...," meskipun dengai agak gagap akhimya keluar juga ucapan
bernada terkejut itu. Mungkin sebenarnya akan keras suara yang keluar dari mulut
Pendekar Golok Baja. Tapi karena keterkejutan yang amat sangat, suaranya malah
tersumbat di tenggorokan.
"Tidak salahkah yang kita tihat ini, Tuan?" tanya Pandora yang telah berhasil mengatasi
rasa terkejut.
'Tidak, Pandora," sahut Pendekar Golok Baja nambil menggelengkan kepala. "Dia
memang Iblis Hitam...."
Di bawah keremangan malam, di hadapan kedua orang itu, terlihat sesosok tubuh
berpakaian serba hitam tengah mengamuk menghadapi belasan pengeroyok. Sosok itu
memang pantas bila dijuluki Iblis Hitam, karena sekujur tubuhnya terbalut kain serba
hitam. Mulai dari kepalanya yang tertutup selubung berwarna hitam, dan yang terlihat
hanya sepasang matanya saja, sampai ke kaki dan sepatunya berwarna hitam. Kedua
tangannya terbungkus sepasang sarung tangan yang juga berwarna hitam.
Pakaian sosok serba hitam yang berjuluk Iblis Hitam adalah sebuah mantel hitam yang
berkibaran keras setiap kali tubuhnya bergerak.
"Lalu..., bagaimana dengan isi buntalan ini, Tuan?" tanya Pandora lagi, seraya
mengangkat buntalan kain hitam yang sejak tadi dijinjingnya.
Pendekar Golok Baja terperanjat kaget, laki-laki gagah ini baru teringat pada buntalan
kain hitam yang selama ini diketahuinya berisi seluruh perlengkapan Iblis Hitam. Apakah
Iblis Hitam ada dua? tanyanya dalam hati dengan perasaan bingung. Atau..., memang
реti kayu jati yang terdapat dalam buntalan kain hitam ini sebenamya tidak berisi apa-
apa?
Teringat semua itu, Prajasena kembali memperhatikan sosok serba hitam yang masih
saja melakukan pembantaian. Jelas terlihat kalau di kedua belah tangan sosok serba
hitam itu tergenggam sepasang kapak hitam mengkilat Tidak salah lagi! Sosok serba
hitam itu adalah Iblis Hitam!
"Buka buntalan itu, Pandora," ucap Pendekar Golok Baja setelah tercenung sesaat. Ingin
membuktikan apakah semua benda yang terdapat dalam peti kayu jati hitam masih ada di
dalamnya? Terlihat jelas kalau sosok serba hitam itu memiliki semua ciri-ciri Iblis Hitam.
Mulai dari perlengkapan, sampai pada jurus-jurus yang dimainkannya.
Pandora segera membuka buntalan kain hitam, dan menyerahkan peti kayu jati pada
majikan mudanya, Setelah menerimanya, Pendekar Golok Baja memperhatikan seluruh
bagian luar peti sejenak. Baru kemudian mengeluarkan sebuah anak kunci dari balik baju.
Memang peti itu terkunci dengan sebuah gembok.
Tanpa sepengetahuan Pendekar Golok Baja dan Pandora, Tengkorak Merah diam-diam
sudah berada di belakang mereka. Dan seperfi juga kedua orang itu, Tengkorak Merah
juga merasa terkejut begitu melihat sosok serba hitam yang diketahuinya berjuluk Iblis
Hitam tengah mengamuk menghadapi belasan tokoh- tokoh persilatan. Так salah lagi,
orang-orang itu berusaha memperebutkan pusaka warisan Iblis Hitam, juga Tengkorak
Merah.
Seperti juga Pendekar Golok Baja dan Pandora, Tengkorak Merah pun tidak percaya
kalau sosok serba hitam di hadapannya adalah Iblis Hitam. Sepengetahuannya, tokoh
aliran hitam yang mengerikan itu lelah meninggal dunia puluhan tahun silam. Dan pusaka
iblis itu kini ada di tangan Pendekar Golok Haja. Bagaimana mungkin Iblis Hitam bisa
muncul dan mengamuk di sanа ? Tengkorak Merah tak habis mengerti.
Didorong oleh rasa ingin tahu, diam-diam Tengkorak Merah mengintai Pendekar Golok
Baja yang tengah membuka peti.
Dengan jantung berdebar-debar, Prajasena membuka tutup peti yang telah dibuka
gemboknya. Dan....
"Kosong...?!"
Hampir serentak Pendekar Golok Baja dan Pandora mendesis begitu melihat di dalam
peti tidak lerdapat apa-apa, kecuali sebuah balok kayu yang mungkin sengaja
dimasukkan agar peti tidak kosong sama sekali , Kalau saja suasana malam tidak
remang-remang, akan terlihat jelas kalau wajah Prajasena dan pelayan setianya pucat
pasi. Jantung keduanya berdebar keras saking tegangnya.
Pendekar Golok Baja kembali memandang ke depan. Dilihatnya pengeroyok Iblis Hitam
yang semula berjumlah puluhan tinggal beberapa gelintir lagi.
"Aaakh...!"
Kembali untuk kesekian kali terdengar jeritan memilukan yang disusul dengan robohnya
sesosok tu-buh tanpa nyawa di tanah. Pemt orang itu robek lebai terkena babatan kapak
Iblis Hitam.
"Ha ha ha...!"
Sosok serba hitam itu memperdengarkan tawa aneh. Suaranya pelan, berat, tapi
bergaung. Dan semakin lama semakin mengeras. Para pengeroyok yang sejak tadi sudah
merasa gentar, segera melesat kabur Tapi sebelum mereka melangkah jauh, terdengar
suara mendengus keras. Dan belum lagi gema lengusan lenyap, sesosok bayangan hitam
menyambar tubuh mereka. Dan....
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Sisa pengeroyok menjerit memilukan. Sebentar mereka bergeleparan di tanah, sebelum
akhimya diam tidak bergerak lagi. Tewas dengan luka-luka mengang; akibat sambaran
sepasang kapak sosok serba hitam!
'Itulah hukuman bagi orang yang mencoba-col memperebutkan pusaka Iblis Hitam! Ha ha
ha...!" lagi-lagi terdengar tawa aneh dari mulut sosok tubi serba hitam.
Setelah puas tertawa, Iblis Hitam mengalihl pandangan ke arah dua sosok yang sejak tadi
mem] hafikan dengan sorot mata tegang. Siapa lagi kala! bukan Pandora dan Pendekar
Golok Baja. Sedangkai Tengkorak Merah yang melihat kalau peti pusaka Ibl Hitam
kosong, sudah sejak tadi kabur dari situ.
Так sadar Pendekar Golok Baja dan Pandon melangkah tiga tindak ke belakang begitu
Iblis Hitai nn.natap ke arah mereka. Perbawa Iblis Hitam sejak puluhan tahun bahkan
mungkin seratus tahun yang lulu memang menggiriskan. Ternyata bukan hanya Pandora
dan Pendekar Golok Baja yang terkejut, Iblis Hitam pun dilanda perasaan serupa.
Tampak sepasang mata yang mencorong itu terbelalak kaget.
Luar biasa! hanya dengan sekali melangkah, tubuh Iblis Hitam sudah berada lebih dari
sepuluh tombak di depan.
"Luar biasa...," desah Pendekar Golok Baja begitu perasaan tegang yang melanda
hafinya mulai ama. Kepandaiannya luar biasa sekali...."
"Tuan...," ucap Pandora ragu-ragu.
"Ada ара, Pandora?" tanya Prajasena, tanpa inengalihkan pandangan ke arah Iblis hitam
lenyap ditelan kegelapan malam.
"Sejarah akan berulang, Tuan," keluh kakek berwajah bintik-bintik putih itu. Suaranya
pelan.
"Ара maksudmu, Pandora?" tanya Pendekar Golok Baja belum mengerti karena
perhatiannya masih tertuju pada Iblis Hitam.
"Sejarah Iblis Hitam yang berlumuran darah...," Jawab Pandora dengan suara
mengambang.
"Hhh...!"
Pendekar Golok Baja menghela napas berat. Nampak jelas kalau laki-laki gagah ini
merasa tertekan melihat kenyataan yang dihadapinya.
"Tidak ada yang bisa kulakukan, Pandora," setelah sekian lama akhimya keluar Juga
ucapan dari mulut Prajasena.
"Maksud, Tuan...?" Pandora masih belum jela» dengan ucapan sang Majikan.
"Kepandaianku sama sekali tidak berarti bll« dibandingkan dengan kepandaiannya...,"
keluh Prajasena.
"Bagaimana Tuan bisa tahu?" tanya Pandora. Ada nada penasaran dalam suaranya.
"Apakah Tuan pernah bertarung dengan dia?"
Pendekar Golok Baja menggelengkan kepala.
"Eyang Wirageni yang mengatakan padaku."
"Maksud..., Tuan...?"
"Sejak zaman Iblis Hitam pertama sampai yang terakhir, yaitu ayahku, leluhur-leluhur
Eyang Wirageni berusaha menahan sepak terjang Iblis Hitam. Baik dengan cara halus
maupun cara kasar."
"Lalu..., hasilnya bagaimana, Tuan?" tanya Pandora ingin tahu.
"Iblis Hitam menaklukkan mereka," keluh Prajasena. "Kepandaian Iblis Hitam turun
temurun jauh diatas keturunan Eyang Wirageni."
"Apakah Iblis Hitam dan keturunannya membasmi leluhur-leluhur Eyang Wirageni?" tanya
Pandora lagi.
Pendekar Golok Baja menggelengkan kepala.
"ltulah hebatnya," sahut Prajasena bemada me muji. "Betapapun sesatnya Iblis Hitam dan
keturunannya..., mereka tetap tidak membunuh leluhur-leluhur Eyang Wirageni turun
temurun. Padahal jelas-jelas kalau dari dulu leluhur Eyang Wirageni berusaha sekuat
tenaga menaklukkan mereka."
"Pantas Eyang Wirageni mau menerima Tuan dan ndlk tuan. Meskipun dia tahu kalau
Tuan dan adik luan adalah keturunan Iblis Hitam," sambut pelayan setia itu mulai paham.
"Yahhh...! Eyang Wirageni merasa berhutang budi."
Suasana menjadi hening ketika Pendekar Golok Baja menyelesaikan ucapannya. Kini
yang terdengar ditempat itu hanya suara jangkrik dan serangga malam lainnya.
"Jadi..., atas dasar kekalahan leluhur-leluhur Eyang Wirageni turun temurun itulah yang
menyebabkan Tuan tidak yakin mampu mengalahkan Iblis Hitam?" tanya Pandora lagi,
memecahkan keheningan malam .
"Ya," sahut Prajasena. "Kini aku terhitung keturunan Eyang Wirageni. Dan aku telah
menguasai seluruh ilmu leluhurnya. Tapi, Iblis Hitam yang tadi muncul juga telah
menguasai seluruh ilmu warisan Iblis Hitam. Jadi, mana mungkin aku mampu
mengalahkan dia. Di samping itu ada pantangan besar menentang leluhurku."
Pandora terdiam seketika.
"Hanya yang masih membuatku bingung, dari mana Iblis Hitam tadi mendapatkan pusaka-
pusakanya? Padahal, aku tahu pasti kalau ayah telah mewaris- kan semuanya padaku.
Dan sejak diwariskan, peti itu sdalu kubawa-bawa. Dan hampir setiap hari aku memeriksa
gemboknya," ucap Prajasena dengan suara mengandung keheranan besar.
"Sewaktu Tuan memeriksa peti, apakah Tuan juga memeriksa isinya?" tanya Pandora
ingin tahu.
"Kuakui aku memang ceroboh, Pandora. Aku sama sekali tidak memeriksa isinya. Begitu
kulihat tutup peti masih tergembok, dan keadaan gembok tidak mengalami suatu ара,
tenanglah hatiku. Sungguh tidak kusangka kalau kecerobohanku berakibat fatal."
Pandora menatap wajah majikan mudanya yang dipenuhi rasa penyesalan mendalam.
Pelayan setia ini tidak berani mengeluarkan kata-kata lagi.
"Entah sejak kapan pusaka itu telah lenyap dari tempatnya," kembali Pendekar Golok
Baja menggumam pelan.
"Hhh...!"
Suara helaan napas berat Pandora saja yang menjawab pertanyaan Prajasena. Kakek
berwajah bintik-bintik putih itu tidak tahu harus berkata ара.
"Entah siapa orang yang telah mencemari nama leluhurku," ucap laki-laki gagah
bercambang lebat itu lagi. Masih bernada keluhan.
"Dunia persilatan akan gempar kembali, Tuan," akhimya keluar juga kata-kata dari mulut
Pandora.
"Yahhh...!" Pendekar Golok Baja hanya mendesah pelan.
"Iblis Hitam akan merajalela kembali tanpa ada seorang pun yang bisa menahannya," sela
Pandora.
Pendekar Golok Baja sama sekali tidak menanggapi ucapan Pandora. Kakinya kembali
dilangkahkan menuju pondok Eyang Wirageni. Kehadiran Iblis Hitam membuat Prajasena
mendadak bisa bangkit berdiri dan berjalan normal. Hanya saja tenaga dalamnya belum
pulih secara keseluruhan.
"Eyang...!" seru Pendekar Golok Baja begitu melihat tubuh paman gurunya tergeletak tak
berdaya di lantai. Darah menggenang di sekitar tubuh Eyang Wirageni. Dengan langkah
terhuyung-huyung karena kondisi yang memang masih lemah, Prajasena berlari
menghambur ke arah tubuh yang tergolek.
Terdengar suara berkerotokan keras ketika laki- laki gagah bercambang lebat itu
menggertakkan gigi. Kemarahan bercampur kesedihan yang amat sangat melanda hati
Prajasena.
"Aku berjanji Eyang. Akan kubalas kekejian ini. Tengkorak Merah! Tunggulah
pembalasanku!" desis Prajasena penuh ancaman.
"Pandora...! tolong angkat mayat Eyang," ucap Pendekar Golok Baja pada Pandora,
setelah berhasil meredakan perasaan hatinya yang terguncang. Suaranya masih
terdengar serak. Jelas kalau Prajasena dilanda perasaan sedih yang menggelegak. Kalau
saja kondisi pendekar ini tidak dalam keadaan lemah, mayat Eyang Wirageni sudah
diangkatnya sendiri.
"Hhh...!"
Hanya helaan napas berat yang dapat dikeluarkan oleh Pendekar Golok Baja untuk
melampiaskan perasaan geram yang melanda dirinya. Selain itu, aра lagi yang dapat
dilakukannya dalam keadaan tidak berdaya seperti ini?
Pandora segera membungkukkan tubuh. Lalu mengangkat mayat Eyang Wirageni, dan
membawanya keluar rumah. Prajasena mengikuti di belakang. Dan malam itu juga, mayat
Eyang Wirageni dikuburkan.
********************
Tengkorak Merah bertari cepat mengerahkan selurah ilmu meringankan tubuhnya. Sekali
lihat, laki-laki bertubuh kurus kering ini sadar kalau dirinya bukan tandingan Iblis Hitam
yang menggiriskan. Itulah sebabnya dia mengambil keputusan untuk melarikan diri
sebelum Iblis Hitam menghabiskan semua lawannya .
Hati laki-laki bertubuh kurus kering ini sudah agak lega setelah beberapa saat berlari,
temyata tidak ada tanda-tanda yang mengejamya. Tapi, mendadak jantung Tengkorak
Merah berdebar tegang melihat sosok serba hitam berdiri beberapa tombak di
hadapannya Iblis Hitamkah sosok yang menghadang jalannya ! desis laki-laki kurus
kering ini dalam hati.
"Ha ha ha...!"
Sosok serba hitam itu memperdengarkan tawa aneh. Suaranya pelan, berat, tapi
bergaung. Sepertl tawa itu terdengar dari mulut setan penghuni kuburan.
"Iblis Hitam...," desis Tengkorak Merah. Suaranya bergetar karena ketegangan yang
melanda hatinya.
"Ha ha ha...!"
Hanya tawa aneh Iblis Hitam saja yang menyahut ucapan Tengkorak Merah.
"Mengapa kau hadang jalanku, Iblis Hitam?" tanya laki-laki bertubuh kurus kering itu
parau. "Bukankah aku tidak pernah punya urusan denganmu?!"
"Hmh...!" Iblis Hitam mendengus. "Tidak usah berdusta, Tengkorak Merah!"
"Aku tidak berdusta," Tengkorak Merah mencoba membantah.
"Hmh...!" kembali Iblis Hitam mendengus. "Kini kau sudah membuat tiga kesalahan,
Tengkorak Merah!"
'Tiga kesalahan?"
"Ya!" Iblis Hitam menganggukkan kepala.
"Pertama, kau ikut memperebutkan pusaka peninggalan leluhurku! Kedua, kau telah
membunuh Eyang Wira- geni, keturunan adik seperguruan leluhurku. Dan ketiga, kau
telah berdusta padaku! Kau punya tiga ke- salahan, Tengkorak Merah. Nyawa busukmu
tidak akan cukup untuk menebus kesalahanmu!"
Seketika wajah Tengkorak Merah pucat karena tahu kalau dirinya bukan tandingan Iblis
Hitam. Meskipun begitu, tentu saja lald-laki kurus kering ini tidak mau menyerahkan
nyawa begitu saja. Sadar kalau tidak akan mendapat ampunan Iblis Hitam, perasaan
gentarnya berubah menjadi rasa nekat.
"Keparat! Kaulah yang akan mampus di tanganku, Iblis Hitam!"
Setelah berkata demikian, Tengkorak Merah segera memutar-mutar tongkat merah
berujung tengkorak kepala manusia yang tergenggam di tangannya.
Wukkk, wukkk, wukkk...!
Angin menderu keras mengiringi putaran tongkat Itu. Kemudian disertai teriakan nyaring,
Tengkorak Merah menyodokkan tongkatnya ke dada Iblis Hitam .
"Ha ha ha...!"
Iblis Hitam hanya tertawa menyeramkan. Serangan maut yang mengancamnya sama
sekali tidak dihiraukan. Padahal angin serangan tongkat itu saja sudah membuat batu-
batu kecil beterbangan tak tentu arah.
Tengkorak Merah agak terkejut juga melihat kejadian ini, Dia memang sudah mendengar
legenda kalau Iblis Hitam tak mungkin bisa dilukai oleh serangan ара pun karena
kemukjizatan pusakanya. Bahkan tadi pun telah disaksikannya sendiri kalau iblis itu
memang tidak bisa dilukai. Tapi, sebelum membuktikanriyi sendiri, laki-laki bertubuh kurus
kering ini tidak percaya. Dan inilah kesalahannya!
Bukkk!
Telak dan cepat sekali ujung tongkat yang berbentuk tengkorak kepala manusia menusuk
dada Iblis Hitam Tapi aneh! Sosok itu tak bergeming sedikit pun .
"Ah...!"
Tengkorak Merah memekik kaget. Dan sebelui sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu kaki
kanan Iblis Hitam telah melesat ke perutnya.
Wuttt! Bukkk!
"Hugh!"
Tengkorak Merah mengeluh tertahan dengan tubuh terbungkuk. Seketika rasa sakit dan
mual melanda perut laki-laki bertubuh kurus kering ini. Tendangan keras itu telak
mengenai perut Ada cairan merah kental menitik di sudut-sudut mulutnya.
Iblis Hitam tidak hanya bertindak sampai di situ saja , Cepat laksana kilat tangan tokoh
sesat yang menggiriskan itu menampar deras ke arah pelipis.
Wuttt! Plakkk!
Krakkk!
Terdengar suara berderak keras ketika tamparan Iblis Hitam telak mengenai pelipis
Tengkorak Merah.
Dan, kontan tubuh laki-laki kurus kering ini terpelanting dengan mulut, hidung, dan telinga
mengalir darah se- gar. Tengkorak Merah tewas seketika! Tewas sebelum sempat
ambruk ke tanah.
Menyedihkan sekali! Seorang tokoh sesat. yang memiliki kepandaian tinggi, tewas hanya
dalam tiga gebrakan saja. Dan itu teijadi karena keteledora Tengkorak Merah sendiri.
Kalau saja dia bersikap waspada begitu melihat sikap Iblis Hitam yang tidak
menghiraukan serangannya, tak akan semudah itu Tengkorak Merah bisa ditewaskan.
"Ha ha ha...!"
Iblis Hitam kembali tertawa menyeramkan. Setelah memandangi sejenak mayat
Tengkorak Merah yang tergolek di tanah, tubuhnya melesat meninggal кап tempat itu.
Sesaat kemudian suasana di situ kembali sepi. Yang terdengar hanyalah gema suara
tawa IbBs Hitam yang melayang terbawa angin.
********************
Hari mulai siang ketika matahaii perlahan lahan merangkak ke arah Barat. Udara pun
sudah tidak lagi segar, ketika seorang pemuda dan seorang wanita muda melangkah
pelan memasuki sebuah kedai di Desa Jolang.
Pemuda itu paling banyak baru berusia dua puluh satu tahun. Rambut panjangnya yang
berwarna putih keperakan dibiarkan riap-riapan. Di punggung pemuda berpakaian ungu
itu tersampir sebuah guci arak dari perak.
Sementara wanita muda berpakaian serba putih yang beijalan di sebelahnya, berusia
sekitar dua puluh tahun. Wajahnya cantik bukan main. Rambut hitam dan panjang yang
dibiarkan terurai, loan menambah daya tank penampilannya.
Sejenak kedua muda-mudi itu tertegun di pintu kedai. Sepasang mata mereka merayapi
setiap sudut kedai, mencari meja yang masih kosong. Saat Ini kedai memang ramai
dipenuhi pengunjung. Banyak orang yang tengah bersantap di dalamnya. Dan menilik dari
pakaian yang mereka kenakan, bisa ditebak kalau pengunjung kedai adalah orang-orang
persilatan.
Untunglah masih ada sebuah meja yang masih kosong. Agak bergegas kedua muda-mudi
itu meng- hampiri. Kemudian menghenyakkan tubuh di kursi.
Seorang laki-laki setengah tua, bertubuh pendek tergopoh-gopoh menghampiri. Sewaktu
berjalan, perutnya yang buncit mirip gentong air, terlihat bergoyang-goyang.
"Mau makan ара, Den?" tanya laki-laki yang ternyata adalah pemilik kedai.
"Kau mau pesan ара, Melati?" tanya pemuda berambut putih keperakan seraya menatap
wajah temannya.
"Terserah kau sajalah, Kang Arya," sahut gadis berpakaian serba putih yang temyata
adalah Melati. Putri angkat Raja Kerajaan Bojong Gading.
Pemuda berambut putih keperakan yang memang adalah Arya Buana alias Dewa Arak,
mengangkat bahunya. Kemudian memesan beberapa macam ma- kanan dan minuman.
Dan khusus untuknya dipesan seguci arak.
Laki-laki bertubuh pendek dan berperut buncit itu bergegas melangkah ke dalam. Так
lama kemudian sudah kembali dengan membawa pesanan Arya.
"Mari kita makan, Melati," ucap pemuda berambut putih keperakan seraya menjumput
guci arak di punggungnya. Guci itu telah kosong.
Arya meletakkan guci arak di atas meja. Kemudian mengambil guci arak pesanan, lalu
dituangkan ke dalam gucinya sendiri.
Melati belum menyantap makanan, menunggu Arуа selesai mengisi penuh-penuh guci
araknya. Gadis ini tahu arti penting arak itu bagi pemuda berambut putih keperakan yang
sekaligus tunangannya. Baru setelah melihat Arya selesai mengisi penuh guci arak, Melati
mulai menyantap makanannya.
"Dunia persilatan kembali geger...."
Terdengar oleh Arya dan Melati ucapan salah seorang pengunjung kedai. Ucapan itu
keluar dart mulut seorang laki-laki bertubuh kekar, berwajah merah. Mau tidak mau
ucapan tadi membuat kedua muda mudi ini tertarik mendengarkan.
Memang, sejak tadi Arya dan Melati sudah agak curiga melihat banyaknya pengunjung
kedai ini. Menilik dari sikap dan pakaian yang mereka kenakan, Arya dan Melati tahu
kalau orang-orang ini adalal tokoh-tokoh persilatan aliran putih. Itulah sebabnya kedua
muda-mudi ini tertarik mendengar ucapan laki-laki berkulit merah tadi. Terutama sekali
Arya!
Tadi sebelum duduk di kursi, secara sambil lalu Dewa Arak sempat melihat wajah-wajah
para pengunjung. Dan, pemuda berambut putih keperakan ini jadi agak terkejut melihat
wajah-wajah yang rata-rata menyorotkan kegagahan itu diliputi kecemasan.
Ucapan laki-laki bertubuh kekar berwajah meral. tidak ada yang menanggapi. Sehingga
suasana di kedai pun jadi hening. Yang terdengar hanyalah suara berisik makanan dan
minuman disantap.
"Ара yang kau katakan tidak salah, Ular Merah, ucap seorang laki-laki berwajah hitam,
bertubuh kecil dan ramping. "Malapetaka besar akan menimpa golongan kita. Hhh...!
Sungguh tidak kusangka kalau iblis yang telah sekian puluh tahun lenyap, kini muncul
lagi."
"Dan.., seperti kejadian sebelumnya... sudah bisa kuperldrakan kalau kali ini pun Iblis
Hitam tidak akan mengalami kesulitan melakukan kejahatannya," sambut Ular Merah.
Suaranya terdengar penuh keputus-asaan.
"Dia pasti akan membalas sakit hati leluhurnya dulu...," sambung salah seorang lainnya .
"Kau ketinggalan berita, Kisanak," selak laki-laki berwajah hitam. "Iblis Hitam telah
melancarkan pem- balasannya."
"Benarkah itu, Kucing Muka Hitam?" tanya Ular Merah setengah tidak percaya.
Laki-laki yang yang ternyata berjuluk Kucing Muka Hitam itu menganggukkan kepalanya.
"Kemarin malam Perguruan Bangau Tong-tong telah hancur diobrak-abrik Iblis Hitam!"
"Ah...! Kalau begitu benar! Iblis Itu mulai membalaskan dendam leluhurnya!" sambut Ular
Merah kaget ."Ketua Perguruan Bangau Tong-tong dulunya adalah salah seorang
pengeroyok Iblis Hitam."
"Benar," Kucing Muka Hitam menganggukkan kepala. "Dan nanti malam..., Iblis Hitam
akan menyatroni Perguruan Cakar Harimau. Si Harimau Terbang, Ketua Perguruan Cakar
Harimau juga salah seorang pembunuh leluhur Iblis Hitam."
"Apakah kau benar-benar yakin, Kucing Muka Hitam?" tanya salah seorang tokoh
persilatan lain, meminta ketegasan.
Laki-laki berwajah hitam, bertubuh kecil dan ramping itu menganggukkan kepala.
"Kemarin malam..., Perguruan Cakar Harimau telah menerima ancaman itu. Di papan
nama perguruan mereka terdapat tanda tapak tangan hitam. Tanda khas Iblis Hitam."
"Kita tidak boleh tinggal diam!" sambut tokoh persilatan yang Iain lagi.
"Ya!" sambut yang seorang lagi.
"Betul!" sahut lainnya menyetujui.
"Kita bantu Perguruan Cakar Harimau menghadapi iblis keparat itu!"
"Akur...!"
Seluruh dinding kedai bergetar begitu para tokoh yang jumlahnya dua belas orang
berikrar berbarengan. Так lama kemudian, mereka bergegas meninggalkan kedai setelah
membayar pesanannya pada pemilik kedai.
Так sedikit pun mereka menoleh pada Arya atau Melati. Seluruh pikiran mereka tertuju
pada tokoh yang berjuluk Iblis Hitam.
Sepeninggal tokoh-tokoh persilatan golongan putih itu, Arya termenung. Dahi pemuda
berambut putih keperakan ini berkemyit dalam. Jelas ada sesuatu yang mengganggu
pikirannya.
"Paman...!"
Arya melambaikan tangan memanggil laki-laki tua pemilik kedai.
"Ada ара, Den?" tanya laki-laki berperat buncit Itu seraya bergegas menghampiri.
Sejak tadi pemilik kedai ini memang dilanda perasaan bingung melihat Arya. Seumur
hidupnya, dia belum pernah melihat orang yang masih begitu muda memiliki rambut putih.
Putihnya indah lagi! Apakah yang menyebabkannya? tanya laki-laki setengah tua,
berperut buncit ini dalam hati.
"Bisa kau ceritakan padaku, ара yang tengah terjadi di desa ini?" tanya Arya seraya
menatap tajam wajah pemilik kedai. Karuan saja laki-laki setengah tua tni menjadi gugup.
Sepasang bola mata pemuda berambut putih.keperakan dilihatnya mencorong. tajam,
seperti mata seekor harimau dalam gelap.
"Ses... sebetulnya..., tidak ada ара-ара. Den...," eahut pemilik kedai setelah beberapa
saat terdiam. Ucapannya terbata-bata.
'Tapi, sebenamya ada kan, Paman?" Arya memojokkan laki-laki berperut buncit itu.
Periahan kepala laki-laki pemilik kedai itu terngguk pelan.
'Tapi..., belum menimpa para penduduk desa...."
"Jadi...," Arya mulai mengerti.
"Ya..., hanya menimpa orang-orang persilatan saja," sambung pemilik kedai. "Mungkin
bagian untuk penduduk desa hanya tinggal menunggu waktu saja. Iblis Hitam telah turun
temurun merajalela tanpa ter- tandingi. Saat ini dia belum meresahkan penduduk karena
ingin membalaskan kematian leluhurnya dulu Bagitulah menurut pendapatku, Den."
"Kau tahu.., di mana letak Perguruan Cakar Harimau, Paman?" tanya Arya yang telah
memutuskan untuk melihat sendiri, seperti ара tokoh yang begitu ditakuti itu.
"Kau... kau hendak ke sana, Den?!" laki-laki ретШк kedai Itu tampak terkejut. "Kalau mau
mendengar nasihatku..., pergilah jauh-jauh dari desa ini. Dan..., jangan coba-coba
mencampuri urusan Iblis Hitam, Den. Percuma!"
"Memangnya kenapa, Paman?" Melati yang sejak tadi diam, akhimya tidak tahan
memendam rasa ingin tahu. Sikap lald-laki berperut buncit yang terlalu meremehkan Arya
dan dia, membuat hatinya dongkoL
"Iblis Hitam tidak akan pernah bisa dikalahkan oleh siapa pun! Dan itu memang telah
terbukti. Lebih dari seratus tahun Iblis Hitam bercokol di wilayah Utara ini tanpa ada
seorang pun yang sanggup mencegah."
"Seratus tahun?!" pekik Arya karena terkejut "Jadi, Iblis Hitam sudah tua, Paman?!"
"Sama sekali tidak, Den," sahut pemilik kedai. "Kejahatan Iblis Hitam dilanjutkan oleh
keturunan-keturunannya. Baru pada keturunan yang entah ke berapa..., akhimya Iblis
Hitam berhasil ditewaskan. Itu pun karena Iblis Hitam tidak sempat menggunakan
pusakanya. Tambahan lagi pengeroyoknya adalah pentolan tokoh-tokoh persilatan aliran
putih. Sungguh tidak disangka setelah puluhan tahun menghilang,keturunan Iblis Hitam
muncul kembali," ucap laki-laki itu mengakhiri ceritanya. "Bagaimana? Masih kepingin ke
Perguruan Cakar Harimau, Den?"
"Maaf, Paman. Bukannya aku tidak menghargai nasihatmu. Tapi, aku ingin sekali melihat
tokoh yang begitu menggiriskan itu!"
"Hhh...!"
Pemilik kedai menghela napas berat Kemudian menunjukkan jalan yang harus ditempuh
menuju Perguruan Cakar Harimau.
"Terima kasih, Paman," ucap Arya. Setelah membayar pesanannya, kedua muda-mudi ini
bergegas meninggalkan kedai dengan tergesa-gesa.
********************
Suara kukuk burung hantu menguak keheningan malam. Langit nampak bersih, tak
terlihat sedikit pun awan yang menggantung. Bulan penuh di langit nampak Indah,
terselaput warna kuning keemasan. Sementara bintang-bintang yang berkelap-kelip
semakin me- nambah indahnya malam.
Di bawah terangnya suasana malam pumama, nampak sesosok bayangan hitam
berkelebat, Gerakan- nya cepat bukan main. Sehingga yang terlihat hanyalah sekelebat
bayangan hitam saja.
Sosok bayangan serba hitam itu terus berkelebat. Rupa sosok bayangan hitam itu terlihat
jelas di bawah Jllatan sinar rembulan. Sosok bayangan itu temyata Iblis Hitam.
Iblis Hitam terus berlari cepat. Langkahnya baru agak diperiambat ketika mulai mendekati
bangunan besar berhalaman luas. Sebuah bangunan megah yang dikelilingi pagar kayu
bulat tinggi.
Sepasang mata Iblis Hitam berbinar-binar begitu menatap bagian atas pintu gerbang Di
sana terpampang sebuah papan tebal berukir yang bertufiskan huruf-huruf indah.
'Perguruan Cakar Harimau'.
Sekali melompat, tubuh iblis itu telah berada tepat di depan pintu gerbang Perguruan
Cakar Harimau Dan, begitu telah berada tepat di depannya, Iblis Hitam menghantamkan
kedua tangannya yang terbungkus sarung tangan hitam ke daun pintu.
Brakkk!
Terdengar suara berderak keras yang diikuti dengan hancurnya pintu gerbang berkeping-
keping.
Tentu saja suara hiruk-pikuk itu mengejutkan orang-orang yang berada di bagian dalam
pintu gerbang. Sejak tadi mereka memang telah bersiap-siap menyambut kedatangan
iblis yang menggiriskan itu Di antara murid-murid Perguruan Cakar Harimau itu sendiri,
terlihat Ular Merah, Kucing Muka Hitam, dan semua tokoh persilatan yang tadi ada di
kedai.
"Ha ha ha...!"
Iblis Hitam memperdengarkan tawa aneh. Suaranya pelan, tapi berat dan bergaung.
Sepertinya tawa itu tidak mungkin keluar dari mulut manusia biasa.
Iblis Hitam menatap puluhan sosok yang berdiri sekitar lima tombak di depannya sambil
terus tertawa. Di tangan mereka telah tergenggam berbagai jenis senjata.
"Rupanya kau sudah siap menyambut kedatanganku, Harimau Terbang," dengus Iblis
Hitam.
"Tidak usah banyak basa-basi, Iblis Hitam!" sergah Harimau Terbang keras.
"Aku memang tidak ingin berbasa-basi dengan pembunuh leluhurku!" sahut Iblis Hitam
dingin. "Aku datang untuk mengambil nyawamu, Harimau Terbang!"
Begitu menyelesaikan ucapannya, Iblis Hitam yang memang sudah tidak sabar lagi
segera bersiap-siар mengeluarakan ilmu andalannya, 'Ilmu Tapak Penggetar Jagat'.
Aneh sekali jurus pembukaan ilmu ini. Dada dan perutnya dihadapkan ke samping kiri.
Begitu juga arah ujung-ujung jari kaki. Kedua kaki Iblis Hitam agak menjinjit. Posisi jari-jari
kedua tangannya terbuka. Bagian tubuh sebelah kanan agak direndahkan sambil menarik
tangan kirinya ke pinggang. Sementara tangan kanan yang semula berada di depan dada,
perlahan- lahan tapi penuh tenaga didorong ke depan. Seketika terdengar suara angin
berkerosak nyaring ketika tangan itu bergerak mendorong.
Dan secepat jurus pembukaannya dimulai, secepat ttu pula tokoh hitam ini melesat. Cepat
bukan main gerakannya. Sehingga yang terlihat hanya sekelebat bayangan hitam yang
meluruk cepat ke arah KetuaPerguruan Cakar Harimau. Jubahnya berkibaran terhembus
angin.
Aneh bukan main ilmu yang dimainkan oleh Iblis Hitam. Mula-mula kedua tangannya,
dengan jail-jari tangan terbuka disilangkan di depan dada. Tangan kanan berada di atas
tangan kiri. Kemudian, cepat bukan main badannya agak diputar sedikit ke kanan sambil
menyampokan kedua tangannya berbarengan mengancam dada dan ulu hati lawan.
Suara berkerosakan nyaring terdengar sebelum serangan Iblis Hitam tiba.
Harimau Terbang tidak berani bersikap main-main. Kakek berkumis mirip harimau ini
segera mencabut sebatang pedang bergagang kepala harimau. Dan kemudian
dikelebatkan, menangkis serangan yang mengancam dada dan ulu hatinya.
Singgg! Trakkk!
Benturan antara sebatang pedang dan sepasang tangan terbungkus sarung tangan hitam
terdengar ke- ras. Akibatnya, tubuh Harimau Terbang terhuyung-huyung lima tombak ke
belakang. Sekujur tangan yang memegang pedang dirasakan lumpuh seketika. Bahkan
dadanya pun terasa sesak bukan main. Так dapat dicegah lagi, keluar keluhan tertahan
dari mulutnya.
Iblis Hitam yang sama sekali tidak terpengaruh oleh tangkisan pedang Harimau Terbang
kembali mendengus. Bahkan kini dia sudah memburu tubuh yang tengah terhuyung-
huyung itu.
Melihat nyawa Harimau Terbang terancam, tentu saja murid murid dan rekan-rekannya
tidak tinggal diam. Mereka bergegas melompat, mencoba menjegal serangan Iblis Hitam.
Sebenamya mereka tahu kalau sekujur tubuh Iblis Hitam tidak dapat dilukai oleh senjata
ара pun. Tapi, sasaran mereka adalah menghalau cecaran Iblis Hitam pada Ketua
Perguruan Harimau Terbang. Dan, itulah yang sekarang mereka lakukan.
IbBs Hitam mendengus begitu menyadari usahanya untuk membunuh musuh besar
leluhurnya dihalangi hujan senjata yang mengarah berbagai bagian tubuhnya sama sekali
tidak dihiraukan. Tapi mendadak kedua tangannya berkelebatan cepat.
Bukkk! Takkk! Dukkk!
Telak dan keras bukan main berbagai macam senjata itu mengenai sasaran. Tapi, tidak
sedikit pun ada yang melukai kulit tubuhnya. Bahkan sebaliknya, terdengar jerit-jerit
mengerikan begitu sepasang tangan Iblis Hitam menyambar para pengeroyoknya.
Murid-murid Perguruan Cakar Harimau berpentalan bagai dilanda angin topan. Mereka
tewas seketika sebelum sempat jatuh ke tanah. Beruntung, Ular Merah dan Kucing Muka
Hitam cepat melemparkan tubuhnya dan berguling menjauh. Sehingga mereka selamat
dari tangan maut Iblis Hitam.MeBhat banyak saudara-saudara mereka merijadi korban,
murid-murid Perguruan Cakar Harimau lainnya menjadi geram.
Berbondong-bondong mereka menyerbu Iblis Hitam. Так ketinggalan pula Ular Merah dan
Kucing Muka Hitam serta Harimau Terbang.
Sesaat kemudian pertarungan sengit pun terjadi. Iblis Hitam yang sudah mulai
mengamuk. Sama sekali tidak mempedulikan setiap serangan yang mengancam berbagai
bagian tubuhnya.
Terdengar jerit kematian saling susul dari pengeroyok yang roboh setiap kali sepasang
telapak tangan Iblis Hitam berkelebat. Mengerikan, setiap orang yang tersambar serangan
balasan Iblis Hitam tidak akan pernah bangkit lagi selamanya. Malam itu halaman depan
Perguruan Harimau Terbang benar-benar menjadi arena pembantaian besar-besaran.
Harimau Terbang menggertakkan gigi. Pedang bergagang kepala harimau di tangannya
berkelebatan semakin dahsyat Berbagai macam perasaan bercampur aduk dalam hati
Ketua Perguruan Cakar Harimau ini. Perasaan sedih, marah, dan sakit hati bercampur
baur melihat murid-muridnya berguguran tanpa mampu melindungi mereka. Kini
kemarahannya diiampias- kan dalam serangannya.
Belum lagi sepuluh jurus pertarungan berlangsung, sudah tidak terhitung lagi jumlah
korban amukan Iblis Hitam. Dan beberapa jurus selanjutnya yang tinggal hanyalah
Harimau Terbang, Kucing Muka Hitam, dan Ular Merah. Akhir dari pertarungan sudah
bisa dira- malkan. Iblis Hitam akan keluar sebagai pemenang.
"Ha ha ha...l" Iblis Hitam kembali tertawa ter- bahak-bahak. "Kematianmu sudah di
ambang pintu, Harimau Terbang."
Harimau Terbang hanya dapat menggertakkan gigi untuk mengusir kegeraman hatinya
Sejak awal sebenarnya kakek ini menyadari tidak ada gunanya menyarangkan serangan.
Tapi, Ketua Perguruan Cakar Harimau ini tetap memaksakan diri terus menyerang.
"Haaat...!"
Disertai teriakan keras, Ular Merah mengayunkan ruyungnya ke arah pelipis kiri lawan
dengan kekuatan penuh. Dia tidak percaya seandainya kepala Iblis Hitam mampu
bertahan terhadap pukulan ruyungnya
Wuttt..!
Angin bertiup keras mengiringi tibanya serangan ruyung Ular Merah. Dan pada saat yang
bersamaan, cakar baja Kucing Muka Hitam ditusukkan ke pelipis kanan Iblis Hitam.
Sedangkan Harimau Terbang melompat dan menusukkan pedang ke arah mata.
Iblis Hitam hanya mendengus. Tahu-tahu tangannya bergerak dengan kecepatan yang
sukar diikuti mata biasa. Dan sesaat kemudian di kedua tangannya telah tergenggam
sebatang kapak hitam mengkilat, Secepat kedua kapak telah berada di tangan, secepat
itu pula tubuhnya dirundukkan dan menyelinap ke depan seraya membabatkan kapaknya.
Wuttt! Wuttt!
Crattt! Crattt!
Tubuh Harimau Terbang, Kucing Muka Hitam, dan Ular Merah menggelepar. Tepat sekali
sepasang kapak di tangan Iblis Hitam menyerempet perut mereka. Seketika itu juga darah
mengalir dari luka di perut yang menganga lebar.
"Ha ha ha...!"
Iblis Hitam tertawa bergelak melihat tubuh ketiga pengeroyoknya mulai limbung. Tapi, hal
itu hanya ber langsung sesaat saja. Kemudian tubuh mereka roboh di lanah sambil
bergeleparan sebelum akhimya diam tidak bergerak lagi. Harimau Terbang, Kucing Muka
Hitam, dan Ular Merah tewas dengan sekujur kulit membiru.
"Kau dengar suara tawa itu, Melati?" tanya Dewa Атак tanpa mengurangi kecepatan
larinya. Kepalanya ditolehkan ke arah seraut wajah cantik jelita yang tengah berlari di
sebelahnya.
"Ya, Kang," sahut gadis berpakaian putih seraya menganggukkan kepala.
"Aku khawatir kita teriambat, Melati," ucap Arya lagi.
"Maksudmu...?" tanya Melati walaupun sebenarnya sudah bisa menduga arah
pembicaraan tunangannya.
"Iblis Hitam telah membalas dendamnya!"
"Ahhh...!" hanya suara keluh keterkejutan saja yang terdengar dari mulut gadis berpakaian
putih itu.
Arya tidak berkata-kata lagi. Sepasang kaldnya terns saja bergerak cepat menuju markas
Perguruan Cakar Harimau.
"Hey...!"
Arya berseru kaget ketika di depannya melesat eesosok bayangan hitam yang memotong
arah larinya. Terpaksa pemuda berambut putih keperakan ini agak menahan langkahnya
agar tidak menabrak sosok bayangan hitam ladi.Sementara sosok bayangan hitam yang
ternyata adalah Iblis Hitam sama sekali tidak ambil peduli. Iblis itu terus berlari cepat
Arya menghnfikan larinya sejenak. Sepasang matanya menyipilmemperhatikan sosok
bayangan hitam yang semakin lama semakin menjauh. Dan akhir nya lenyap ditela
kegelapan malam.
Melati juga berhenti berlari. Gadis berpakaian putih ini juga meliat sosok bayangan hitam
yang memotong di depan kekasihnya.
"Siapa dia, Kang Arya?" tanya Melati.
"Mungkin... dia adalah Iblis Hitam...?!" gumam Dewa Arak seper bertanya pada dirinya
sendiri.
"Memangnya kalau orang tadi Iblis Hitam kenapa?" Melati malal balas bertanya.
Arya tidak lagsung menjawab. Sepasang mata nya dialihkan ke arah asal bayangan itu.
Seketika alis pemuda berambu putih keperakan ini berkerut Arah yang ditinggalkan
bayangan hitam tadi adalah tempat yang akan ditujunya. Markas Perguruan Cakar Hari-
mau.
"Ahhh.... Kedatangan kita terlambat," ucap Arya bemada mengelu.
"Maksudmu.?" dada Melati berdebar tegang.
"Iblis Hitam telah menyelesa kan tugasnya. Dan... Perguruan Cakar larimau hanya tinggal
nama saja," sahut pemuda berambut putih keperakan, bernada memberi tahu.
"Dari mana ka mengambil kesimpulan demikian,Kang Arya?" tanya Melati ingin tahu.
"Kau tahu, dari arah mana bayangan hitam tadi berasal?" Dewa Arak malah balas
bertanya.
Tanpa dugaan apa-apa, Melati mengarahkan pandangannya ke arah asal sosok
bayangan hitam tadi. Dan seketika gadis ini terkejut .
"Perguruan Cakar Harimau...," desis Melati pelan.
Nada keterkejutan yang amat sangat terlihat jelas di wajahnya. Arya sama sekali tidak
menanggapi, hanya kepalanya saja yang mengangguk pelan. Meskipun begitu, sudah
cukup dimengerti oleh Melati.
"Kalau begitu..., kita harus cepat-cepat ke sana, Kang Arya."
Belum habis gema ucapan Melati, tahu-tahu tubuh Arya dan kekasihnya telah melesat
dari situ.
********************
Berkat ilmu meringankan tubuh kedua muda-mudi yang telah mencapai tingkat tinggi,
dalam waktu ringkat markas Perguruan Cakar Harimau telah tampak.
"Ah...!"
Terdengar pekik tertahan dari mulut Arya.
"Ada ара, Kang Arya?" tanya Melati yang sama sekali tidak tahu ара yang telah membuat
pemuda berambut putih keperakan itu terkejut .
"Kau lihat pintu gerbang perguruan itu, Melati,"sahut Dewa Arak.
Seiring dengan semakin dekatnya jarak antara mereka dengan markas Perguruan Cakar
Harimau, ара yang tampak oleh mata muda-mudi itu pun semakin jelas. Dan Melati
melihat jelas ара yang ditunjukkan Arya.
Sekejap kemudian Dewa Arak dan Melati tiba di depan pintu gerbang Perguruan Cakar
Harimau.
"Ара yang semula kukhawatirkan akhirnya terjadi juga...," keluh Dewa Arak begitu
sepasang matanya tertumbuk pada puluhan mayat yang bergeletakan di halaman
Perguruan Cakar Harimau.
Dengan langkah lesu, Arya menghampiri orang orang malang itu. Melati pun mengikuti di
belakang dengan bulu kuduk merinding.
Arya menggeleng-gelengkan kepala begitu melihal mayat-mayat yang bergeletakan di
tanah. Semuanya sudah mulai kaku.
"Keji...," hanya ucapan Itu yang keluar dari mulut Arya.
Mendadak pemuda berambut putih keperakan itu menelengkan kepala ketika menangkap
suara langkah kaki mendekat. Pendengarannya yang tajam menangkap kalau pendatang
itu tidak hanya satu orang .
Temyata bukan hanya Arya saja yang mendengar suara itu. Melati pun mendengarnya.
Terbukti, gadis ini menoleh ke arah kekasihnya.
Bagaikan dikomando, Arya dan Melati bergegas bersembunyi di balik rerimbunan pohon
yang ada di halaman Perguruan Cakar Harimau dari situ, kedua muda-mudi ini menanti
langkah yang mendekati tempat itu.
Так lama kemudian dari arah pintu gerbang melesat cepat dua sosok tubuh. Yang
seorang adalah laki-laki gagah berusia sekitar empat puluh tahun. Wajahnya terlihat
keras, dihiasi kumis dan jenggot yang terpelihara baik Sementara orang kedua adalah se-
orang kakek berusia seita lima puluh tahun. Bertubuh sedang, dan berwajah bintik-bintik
putih. Kedua orang ini adalah Pendekar Golok Baja dan Pandora.
Tanpa mengetahui adanya Arya dan Melati, Pendekar Golok Baja dan Pandora segera
menghampiri puluhan mayat yang beijekakan.
"Lagi-lagi kita terlambat, Pandora," ucap Pendekar Golok Baja. Nada suranya
menyiratkan rasa sesal yang tidak terhinga. Bahkan wajah laki-laki gagah ini terlihat
murung .
"Tuan harus bertindak "ucap Pandora lembut
"Ара dayaku, Pandra':Aku tidak akan mampu menandinginya. Dan lagi ..,sepertinya Iblis
Hitam selalu menghindari kita. Dia tidak mau bentrok dengan kita."
"Tapi, Tuan ..."
"Pandora, aku tidak bisa bertarung dengan leluhurku sendiri!" tandas Pedkar Golok Baja
yang sebenarnya bemama Prajasen.
"Maaf, Tuan,"selakPriora. "Bukan aku hendak menentang Tuan. Tapi.. aku tidak percaya
kalau orang di balik seragam Iblis Hitam adalah Ieluhur Tuan!"
"Hhh...!" Pendekar Golok Baja menghela napas sambil tetap memperhatikan mayat-mayat
yang bergeletakan.
"Ada yang belum kau ketahui tentang Iblis Hitam dan keturunannya, Pandora."
"Maksud, Tuan?" tanya pelayan setia itu tak mengerti.
"Kalau bukan keturunan Iblis Hitam, kegunaan pusaka-pusaka itu tidak akan berarti
banyak," jawab Prajasena mencoba memberi tahu.
Pandora mengemyitkan kening, sementara sepa sang matanya menatap majikan
mudanya dengan sorot mata penuh tanda tanya.
Pendekar Golok Baja yang tahu kalau laki-laki berwajah bintik-bintik putih ini belum
mengerti maksud kata-katanya, menerangkan lebih lanjut
"Lama sebelum tiba hari naasnya, ayah telah men- ceritakan semua kegunaan pusaka
peninggalan leluhurku. Yang terutama sekali adalah mantel, dan se lubung. Perlu kau
tahu, Pandora. Jika pusaka peninggalan leluhurku jatuh ke tangan orang lain, tubuh
pemakainya hanya kebal terhadap senjata-senjata tajam."
Pendekar Golok Baja menghentikan cerita untuk mengambil napas. Ditatapnya wajah
Pandora sejenak. Tapi temyata kakek itu tengah serius memperhatikan penuturannya.
Tanpa sepengetahuan kedua orang itu, Arya dan Melati ikut mendengar percakapan dari
balik pepo honan.
"Menghadapi serangan-serangan benda tumpul, seperti gada, ruyung, atau tongkat,
mantel itu sama sekali tidak berguna. Jadi, boleh dibilang, untuk pemakai yang bukan
keturunan Iblis Hitam, pusaka Itu hanya berguna sedikit sekali. Jadi walaupun sudah
mengenakan semua perlengkapan Iblis Hitam, orang itu akan tetap terluka bila terkena
pukulan atau ten- dangan lawannya."
"Jadi..., mantel dan selubung itu hanya berguna pada saat berhadapan dengan orang
yang bersenjata tajam saja, Tuan?" Pandora kini mulai mengerti.
Pendekar Golok Baja menganggukkan kepalanya.
"Kenapa bisa begitu, Tuan? Mengapa hanya pada keturunan Iblis Hitam saja, pusaka-
pusaka itu berguna sampai ke puncaknya?"
"Ada rahasianya, Pandora," sahut Prajasena setelah beberapa saat termenung.
"Boleh aku tahu, Tuan?"
"Kau betjanji tidak akan mengatakannya pada orang lain?" Pendekar Golok Baja malah
balik bertanya. Pertanyaan pelayan setianya sama sekali tak dihi- raukan.
"Aku beijanji, Tuan!" tandas Pandora tegas.
"Kalau begitu, dengar baik-baik cerita yang kudengar dari ayahku ini."
Prajasena tercenung sejenak. Entah untuk ара laki-laki gagah ini tercenung. Mungkin
mencari kata-kata untuk mulai bercerita. Atau mengerahkan ingatan pada cerita ayahnya.
"Menurut cerita almarhum ayah, leluhurku mem- buat seragam Iblis Hitam sekitar seratus
tahun yang lalu. Entah dari bahan ара, ayah pun Hdak tahu, ka- rena kakek memang
tidak menceritakan padanya."
Pandora mengangguk-anggukkan kepala. Sementara Arya dan Melati semakin tertarik
mendengarkan Rupanya tokoh sesat yang berjuluk Iblis Hitam meml- lild riwayat yang
menarik, pikir kedua muda-mudi itu kagum.
"Tapi yang jelas, keistimewaan semua perleng kapan yang dibuat leluhurku tidak seperti
yang selama ini kita dengar. Dengan berbagai macam cara, leluhurku berusaha
menambah kegunaan periengkapannya. Campuran antara ilmu hitam, racun dan entah
ара lagi yang aku tidak tahu.
Hingga akhimya per- lengkapan itu mempunyai kegunaan seperti sekarang."
"Lalu..., mengapa pada orang lain kegunaannya Hdak bisa sampai ke puncaknya, Tuan?"
tanya Pandora tidak sabar begitu melihat majikannya menghentikan cerita.
"Karena leluhur-Ieluhur Iblis Hitam telah member! ramuan-ramuan dan cara-cara aneh
sehingga pusaka peninggalan mereka menyatu dengan keturunannya."
"Tuan tahu cara-caranya?" tanya Pandora irigin tahu.
Pendekar Golok Baja menggelengkan kepala.
"Pelajaran mengenai cara-cara itu ada di dalam kitab pusaka peninggalan leluhurku."
"Kitab pusaka yang hilang itu, Tuan?!" Pandora meminta ketegasan.
Prajasena mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kini, aku baru tahu... mengapa Tuan tidak ingin bentrok dengan Iblis Hitam...."
"Bukannya aku tidak mau bentrok dengan Iblis Hitam, Pandora," ralat Pendekar Golok
Baja. "Biar bagaimanapun, sudah jadi kewajibanku sebagai keturunan Iblis Hitam untuk
mengetahui, siapa sebenamya orang yang berada di balik seragam Iblis Hitam. Mungkin
saja ayahku punya saudara, dan apabila benar, orang yang berada di balik seragam itu
adalah adik atau kakak ayahku. Dan sudah menjadi kewajibanku menyampaikan pesan
almarhum ayah padanya."
Pandora mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Sudahlah, Pandora. Mari kita ikuti jejak Iblis Hitam," ajak Prajasena seraya meninggalkan
halaman Perguruan Cakar Harimau. Dan tanpa banyak tanya lagi, pelayan setia itu
mengikuti tuannya.
Beberapa saat kemudian, Pendekar Golok Baja dan Pandora sudah Ienyap dari situ.
Setelah yakin kalau kedua orang itu sudah pergi jauh, Dewa Arak dan Melati baru keluar
dari tempat persembunyian.
"Ара yang harus kita lakukan sekarang, Kang Arya?" tanya Melati meminta pendapat
kekasihnya
Dewa Arak menatap wajah cantik di sebelahnya."Kita harus mencari jejak Iblis Hitam!"
"Ke mana, Kang?"
"Ke Desa Jolang!" sahut Arya mantap.
"Lalu..., akan lata apakan mayat-mayat ini, Kanq Arya?" tanya Melati sambil menunjuk
mayat-mayat yang berserakan di tanah.
'Tidak ada yang dapat kita lakukan, Melati," keluh Dewa Arak. "Mayat-mayat ini terlalu
banyak. Meski pun beketja sampai pagi, kurasa kita tidak akan selesai mengubur semua
mayat-mayat ini "
"Jadi...?"
"Biarlah penduduk desa yang mengurus," sahut Arya kalem.
"Kok begitu, Kang?" tanya Melati dengan alis berkerut
"Bagaimana kalau kau bakar saja mayat mereka? Dengan jurus 'Membakar Matahari'
mu, kurasa peker- jaan itu tidak sulit."
"Aku juga punya pikiran begitu, Melati," sahut Dewa Arak sabar. 'Tapi..., biarkan orang-
orang me- ngetahui peristiwa ini dulu. Barangkali orang yang punya hubungan dengan
salah satu mayat-mayat ini ingin melihat wajah si mayat Kau mengerti, Melati?"
Gadis berpakaian putih itu menganggukkan kepala.
"Mari kita menuju Desa Jolang," ajak pemuda berambut putih keperakan itu. Sesaat
kemudian, Dewa Arak dan Melati telah bergegas meninggalkan halaman Perguruan
Cakar Harimau yang baru saja menjadiajang pembantaian.
"Mengapa harus ke Desa Jolang, Kang Arya?" tanya Melati seraya menatap wajah
tampan di sebelah- nya, tanpa mengurangi kecepatan larinya.
"Kau tidak ingat cerita kakek pemffik kedai?" Aiya malah balas bertanya.
"Cerita yang mana, Kang Arya?" gadis berpakaian putih itu malah balas bertanya lagi.
Cerita pemilik kedai memang terlalu banyak. Dan Melati tidak tahu cerita mana yang
dimaksud tunangannya.
"Cerita mengenai kebiasaan IbBs Hitam turun temurun," jawab Dewa Arak. "Mereka
selalu mencari wanita untuk dijadikan pemuas nafsunya."
'Tapi..., mengapa harus ke Desa Jolang, Kang?" tanya Melati..Masih dengan nada
bingung.
"Karena desa itulah yang paling dekat dengan lempat ini," jawab Arya memberi tahu.
Hening sejenak setelah Arya menghentikan ucap- annya karena Melati tidak bertanya
lagi. Tapi langkah- langkah kaki mereka terns bergerak cepat menuju Desa Jolang.
ter saat kemudian, Arya dan Melati mulai memasup hutan kecil. Di balik hutan ftulah Desa
Jolang I
Tanpa ragu-ragu Melati dan Arya memasuki hutan. Tapi baru beberapa tindak, tiba-tiba
kedua sejoli ini menghentikan langkah. Ada rintihan lirih tertangkap oleh pendengaran
mereka. Rintihan seorang wanita. Tapi sesaat kemudian rintihan itu lenyap.Meskipun
hanya mendengar sebentar, Arya dan Melati dapat mengetahui asal suara rintlhan. Kini
mereka bergegas melesat ke arah asal suara.
Arya dan Melati terperanjat kaget begitu melihat sosok serba hitam tengah berdiri bertolak
pinggang di hadapan seorang wanita muda berwajah cantik yang tergolek dalam keadaan
tanpa busana Sekali lihat, Dewa Arak maupun Melati tahu kalau wanita itu telah tewas
setelah lebih dulu diperkosa.
Hanya sekilas saja Melati dan Arya melihat wanita malang itu. Kedua sejoli ini merasa
risih melihat pe- mandangan di depan mereka. Terutama sekali Arya. Seketika itu juga
wajah pemuda ini memerah. Apalagl ketika teringat di sebelahnya ada Melati. Мака buru-
buru perhatiannya dialihkan pada sosok serba hitam.
Diam-diam jantung pemuda berambut putih keperakan ini berdetak keras.
"lnikah Iblis Hitam? Wajarlah kalau dia begitu ditakuti," pikir Dewa Arak dalam hati.
Wibawa Iblis Hitam memang sangat luar biasa. Sekujur tubuhnya mulai dari ujung rambut
sampa ujung kaki hitam semua. Tapi matanya... mencorong tajam, menyorotkan sinar
kehijauan. Mirip mata seekor harimau dalam gelap. Ada pengaruh aneh yang memancar
dari sepasang mata itu.
Arya saja sampai terpengaruh oleh wibawa yang dipancarkan Iblis Hitam, apalagi Melati!
Gadis berpakaian putih ini merasakan bulu kuduknya merinding.
Arya menggertakkan gigi untuk mengusir pengaruh aneh yang mencekam dirinya.
"Kaukah yang membunuh wanita itu?" tanya Arya. Dan inilah kelebihan sikap Dewa Arak.
Meskipun sudah yakin kalau pembunuh wanita itu adalah sosok serba hitam di
hadapannya, tapi pemuda berambut putih keperakan ini masih tetap merianyakan keje-
lasannya
"Ha ha ha..!"
Hanya suara tawa menyeramkan yang menyahuti pertanyaan Arya. Suara tawa yang
tidak sepantasnya keluar dari mulut manusia. Tapi dari mulut setan penghuni kuburan.
"Memang aku yang membunuhnya, setelah lebih dulu kuperkosa!" sahut sosok serba
hitam dengan nada tajam. "Aku...! Kau dengar...? Aku yang melakukannya. Aku! Iblis
Hitam!"
Deg!
Arya dan Melati terhenyak kaget. Walaupun sudah menduga sebelumnya, tetap saja
pengakuan itu me- ngejutkan mereka. Cepat Arya memasang sikap waspada. Pemuda
berambut putih keperakan ini sadar kalau kali ini sedang berhadapan dengan tokoh yang
sukar diukur kepandaiannya.
Kenyataan kalau Iblis Hitam turun temurun mampu merajalela tanpa ada orang yang
mampu menandinginya menjadi bukti kesaktian tokoh sesat ini!
"Sungguh tidak kusangka kalau malam ini aku untung besar. Ada bidadari nyasar datang
menyerahkan diri. Orang secantik kau tentu saja punya umur lebih lama di tanganku!"
ucap Ibliss Hitam sambil menundingkan Jari tehinjuk pada Melati. Suaranya
menggetarkan hati. "Tidak seperti dia yang hanya berumur sehari! Ha ha ha...!"
"Iblis terkutuk!" maki Dewa Arak. Seketika kemarahannya berkobar. Iblis itu harus
melangkahi mayatnya dulu sebelum menjadikan Melati sebagai pemuas nafsu
binatangnya. Seketika itu juga dijumput guci araknya dan dituangkan ke mulut
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara berceglukan ketika arak melewati kerongkongan Arya. Kontan ada hawa
hangat yang berputar di perutnya, kemudian pedahan naik ke kepala.
Tapi, Arya masih kalah cepat Terdengar pekik melengking dari mulut Melati begitu
mendengar ucapan kotor sosok serba hitam tadi. Dan setting dengan keluarnya
lengkingan itu, gadis berpakaian serba putih ini melompat menerjang. Kedua tangannya
yang membentuk cakar naga dan berwama merah sampal ke pergelangan, meluncur
cepat ke arah Iblis Hitam. Yang kanan mengarah ke leher, sementara yang kiri ke arah
perut .
Dalam kemarahan dan keyakinan kalau yang dihadapi kali Ini adalah lawan yang amat
tangguh, Melati langsung memainkan ilmu 'Cakar Naga Merah'!
Terdengar suara mendengus dari balik selubung Iblis Hitam. Kemudian kaki kanannya
ditarik ke belakang seraya langsung menekuk lututnya. Seluruh kekuatan kuda-kuda
bertumpu di kaki itu. Dengan sendirinya serangan yang mengarah ke lehemya me- ngenai
tempat kosong. Sekitar sejengkal di depan wajahnya. Sementara serangan yang
mengancam perut, dipapak dengan tepakan tangan kiri dari atas ke bawa
Plakkk!
Melati menyeringaL Seluruh jari-jari tangannya sakit bukan main begitu berbenturan
dengan tangan Iblis Hitam. Bahkan sekujur tangannya dirasakan lumpuh. Dan sebelum
gadis berpakaian putih ini sempat berbuat sesuatu, Iblis Hitam telah merubah posisinya
menjadi kuda-kuda serong. Dan seketika itu juga tangan kiri yang habis menangkis
serangan, melakukan gedoran dengan tangan terbuka.
Melati terkejut bukan main melihat serangan sosok serba hitam yang datang begitu tiba-
tiba. Dengan sebisa-bisanya serangan itu ditangkis dengan kedua tangannya.
Plakkk!
Untuk kedua kalinya tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi kembali
beradu. Akibatnya, tubuh Melati terjengkang lima tombak ke belakang dengan isi dada
terasa sesak. Sementara kedua tangannya terasa lumpuh seketika. Apalagi tangan
kanannya!
********************
Tapi sebelum Iblis Hitam mengirimkan serangan susulan pada Melati, Dewa Arak lebih
dulu memotong arah serangannya. Arya melancarkan tendangan terbang ke arah dada
Iblis Hitam.
Wuttt!
Angin berkesiut nyaring mengiringi tibanya tendangan Dewa Arak. Tapi sungguh di luar
dugaan, tokoh sesat yang menggiriskan itu sama sekali tidak mengelakkan serangan.
Bersamaan dengan tibanya serangan Dewa Arak, Iblis Hitam melancarkan serangan
bacokan sisi telapak tangan ke arah kaki itu.
Dukkk! Takkk!
Hampir berbarengan dengan tibanya tendangan Dewa Arak pada dada Iblis Hitam,
tangan kanan tokoh sesat itu pun telak menghantam tulang betis Arya.
Iblis Hitam terlempar jauh ke belakang akibat kuatnya tendangan Dewa Arak.
Luncurannya baru terhenti ketika menghantam sebatang pohon yang cukup besar.
Brakkk!
Seketika pohon tadi ambruk ke tanah sambil mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Bahkan
langsung menimpa tubuh Iblis Hitam di bawahnya.
Bukan hanya Iblis Hitam saja yang menerima akibat itu. Dewa Arak pun demikian pula.
Tubuh pemuda itu tersungkur ke tanah. Mulutnya menyeringai menahan rasa sakit yang
mendera tulang betis. Dengan terpincang-pincang, Dewa Arak berusaha berdiri. Rasa
sakit dan nyeri bukan kepalang melanda sekujur kakinya.
Dewa Arak menatap ke arah tubuh Iblis Hitam yang tertindih pohon. Seketika perasaan
curiga melanda hatinya. Begitu mudahkah tokoh yang berjuluk Iblis Hitam itu dapat
ditaklukkannya? Atau..., jangan-jangan dia Iblis Hitam palsu! Kemudian sekilas ditatapnya
Melati.
Gadis itu kini sudah bisa memperbaiki posisinya walaupun dengan mulut agak
menyeringai menahan rasa sakit yang masih mendera kedua tangannya
Mendadak terdengar suara hiruk-pikuk yang disu- sul dengan terpentalnya pohon yang
tadi m'enindih tubuh Iblis Hitam. Tapi Arya sama sekali tidak terkejut. Kemungkinan ini
memang sudah diperhitungkan! Kalau benar orang ini Iblis Hitam, mana mungkjn se-
mudah itu bisa ditaklukkan?
Yang semakin membuat hati pemuda ini terkejut adalah ketika mengetahui Iblis Hitam
sama sekali tidak teriuka! Arya menatap dengan sorot mata tidak per caya pada ара yang
dilihatnya. Bukankah tendangan- nya tadi dilakukan dengan pengerahan seluruh tenaga
dalam. Jangankan tubuh manusia yang hanya terdiri dari daging dan tulang, batu karang
yang paling keras pun akan hancur lebur terkena tendangan itu.
"Ha ha ha...! Kaget?!" Iblis Hitam berseru mengejek, Tahu kalau lawannya terkejut melihat
keadaannya.
Tapi, hanya sesaat saja perasaan kaget yang melanda Dewa Arak. Segera saja dia
teringat penuturan yang didengar dari cerita kakek pemilik kedai maupun oleh orang yang
diketahuinya sebagai majikan Pandora.
Tiba-tiba tawa Iblis Hitam hilang. Kepalanya ditelengkan seperti hendak mendengarkan
sesuatu. Arya pun jadi agak heran melihat sikap tokoh sesat itu. Dahinya berkemyit
dalam. Tapi sesaat kemudian baru Dewa Arak tahu penyebab Iblis Hitam bersikap aneh.
Ada dua pasang kaki bergerak cepat mendekati tempat mereka.
Kembali Dewa Arak dilanda perasaan terkejut yang amat sangat Terpaksa harus diakui
kalau pendengaran Iblis Hitam masih lebih unggul darinya. Iblis itu telah dapat mendengar
kedatangan orang ke tempat Itu sebelum Aiya mendengar apa-apa!
"Hih...!"
Seraya mengeluarkan seruan tertahan, sosok serba hitam melompat. Karuan saja Dewa
Arak menjadi kaget. Dan seketika itu juga bersiap siap menghadapi segala kemungkinan.
Tapi, Arya kecelik. Temyata Iblis Hitam sama sekali tidak menyerangnya, melainkan
melompat ke arah... Melafi! Iblis ini rupanya takut kepada pemilik langkah yang
mendatangi.
Gadis berpakaian putih itu terkejut bukan main melihat peibuatan sosok serba hitam. Ара
yang di lakukan Iblis Hitam, terlalu mendadak sekali datang- nya Meskipun begitu, Melafi
sempat mempertunjuk- kan kelihaiannya. Cepat laksana kilat, dipapaknya Iblis Hitam
yang meluncur ke arahnya dengan serangan- serangan ilmu 'Cakar Naga Merah'.
Iblis Hitam hanya mendengus. Dibiarkan saja semua serangan yang tertuju ke arahnya
seraya balas melancarkan totokan bertubi-tubi ke arah gadis berpakaian putih itu.
Bukkk! Bukkk! Tukkk!
"Akh...!"
Melati memekik tertahan. Seketika tubuhnya terasa lemas begitu tangan Iblis Hitam
menotok jalan darah di punggungnya. Sementara pukulan bertubi-tubi yang menghantam
dada sosok serba hitam, sama sekali tidak membawa pengaruh bagi tokoh sesat itu.
Dan begitu Melafi terkulai lemas, Iblis Hitam segera menyambar dan membawanya lari.
Semua kejadian itu memang berlangsung begitu cepat Sehingga Dewa Arak sendiri tidak
sempat ber- buat sesuatu untuk mencegah. Baru ketika melihat Iblis Hitam melesat kabur
sambil membawa tubuh Melati, Arya segera bergerak mengejar.
Bertepatan dengan melesatnya tubuh Dewa Arak, fiba-fiba dari balik rerimbunan semak-
semak muncul dua sosok tubuh yang tak Iain dari Pendekar Golok Baja dan Pandora.
Dewa Arak sama sekali tidak mempedulikan keha- diran orang itu. Sungguhpun di hatinya
ada rasa heran melihat Iblis Hitam sepertinya takut terhadap dua orang itu, tapi Dewa
Arak tidak bisa berpikir lebih lama la®. Saat ini Melati berada dalam bahaya besar dan
memerlukan pertolongan secepat mungkin. Segera rasa herannya dibuang jauh-jauh, dan
segera memu- satkan perhatian pada sosok serba hitam di hadapannya.
Kembali Dewa Arak mengeluh dalam hati. Sung- guh tidak disangka kalau ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki tokoh sesat yang menggiriskan itu benar-benar luar
biasa. Tidak kalah dengan ilmu meringankan tubuh miliknya. Jangankan mengejar,
memperpendek jarak pun sulit.
Kegelisahan yang amat sangat melanda hati Dewa Arak. Bagaimana hatinya tidak
menjadi khawatir? Kalau saja adu kejar terjadi di tempat terbuka, dia tidak akan secemas
ini. Tapi kejar-kejaran ini terjadi di dalam hutan yang dipervuhi pohon-pohon dan
kerimbunan semak-semak. Di waktu malam lagi! Setiap saat bisa saja musuhnya lenyap
di balik rerimbunan pohon dan semak yang lebat.
Tapi rupanya Iblis Hitam tidak menggunakan kesempatan itu. Iblis itu terus berlari melalui
tempat terbuka. Dan hal ini tentu saja membuat hati Arya lega, karena tidak terlalu sulit
mengikuti jejak Iblis itu.
Baru saja Dewa Arak merasa lega. Tiba-tiba Iblis Hitam melesat ke dalam kerimbunan
semak-semak.
Dengan kekhawatiran yang menggelegak, beberapa saat kemudian Arya segera
menyusul ke dalam rim- bunan semak Dan, ара yang dikhawatirkan akhimya terjadi. Iblis
Hitam telah lenyap.
"Melati...!" Dalam cekaman kekhawatiran yang menggelegak pada malapetaka yang akan
menimpa kekasihnya, Arya berteriak keras. Berteriak dengan mengerahkan seluruh
tenaga dalam. Dan akibatnya, seisi hutan seperti diaduk-aduk angin. topan dahsyat.
Dewa Arak menunggu sia-sia. Panggjlannya sama sekali tidak ada sahutan. Dan hal ini
pun sebenamya sudah diduga oleh pemuda berambut putih keperakan II itu. Tapi
kekhawatiran yang menggelegak membuat- I nya lupa. Hanya gema suara panggilannya
saja yang menyambuti .
Sekujur tubuh Arya menggigil hebat akibat rasa cemas yang belum pemah dia rasakan
sebelumnya. Kecemasan yang timbul pada keselamatan gadis yang dicintainya.
"Iblis Hitammm...!!! Keluar kau!!! Ayo, hadapl aku! Pengecuti IbBs Hitam...! Pengecut...!"
Dalam puncak kecemasan, Arya memaki penculik tunangannya sejadi-jadinya. Untuk
pertama kalinya pikiran jernih Dewa Arak menguap entah ke mana. Yang ada di dalam
hatinya hanyalah perasaan khawatir yang amat sangat!
"Keluar kau, Iblis Hitam! Hiyaaa...!"
Dewa Arak berteriak nyaring sambil menghentakkan sepasang tangan ke arah
rerimbunan semak dan pepohonan di sekitamya.
Wusss! Wusss!
Angin keras berhembus deras ke arah rerimbunan pepohonan dan semak yang ada di
depannya.
Brakkk...!
Terdengar suara hiruk-pikuk begitu angin pukulan Dewa Arak menghantam sasaran.
Seketika itu juga pepohonan bertumbangan, semak-semak beterbangan, tercabut hingga
ke akamya.
Arya yang masih penasaran, kembali menghentakkan kedua tangannya ke rerimbunan
semak-semak dan pepohonan lain. Kembali hal yang sama terulang kembali. Dewa Arak
terus saja mengamuk menghambur-hamburkan pukulan yang sudah dialiri tenaga dalam.
Dan dalam sekejap, keadaan di sekitar tempat itu porak-poranda.
Dalam puncak kecemasan yang amat sangat akan keselamatan gadis yang amat
dicintainya, Dewa Arak kehilangan kontrol diri. Dan kekhawatirannya dilampiaskan dalam
serentetan pukulan ke arah rerimbunan semak-semak dan pepohonan sekitarnya. Di
samping sebagai sasaran pelampiasan, juga ada secercah harap- an kalau Iblis Hitam
masih bersembunyi di situ.
Mendadak pendengarannya yang tajam menangkap langkah-langkah kaki mendatangi
tempatnya. Ada dua orang yang menuju ke arahnya. Secepat kilat Dewa Arak menoleh ke
arah asal suara. Siapa tahu Iblis Hitam yang datang. Walaupun sebenarnya harapan itu
kecil sekali.
Rasanya tak mungkin kalau iblis itumempunyai langkah kaki yang begitu berat
Memang benar! Yang datang bukan Iblis Hitam, melainkan Pendekar Golok Baja dan
Pandora.
Sepasang alis Pendekar Golok Baja berkerut melihat keadaan hutan. Seketika timbul
kembali se mangat Dewa Arak begitu melihat kehadiran Pandora dan Pendekar Golok
Baja Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau majikan Pandora ini adalah
keturunan langsung Iblis Hitam.
"Siapa kau, Anak Muda? Dan..., kaukah yang melakukan semua ini?" tanya Pendekar
Golok Baja Nada suaranya penuh teguran.
Sepasang matanya menatap wajah pemuda di hadapannya penuh rasa ingin tahu. Jelas
ada sesuatu yang menarik perhatian iaki-laki gagah ini.
Dewa Arak tidak langsung menjawab pertanyaan Pendekar Golok Baja. Meskipun kini
dadanya sudah terasa agak lega setelah melampiaskan kekhawatiran pada pepohonan
dan semak-semak di sekitamya. Tapi tak urung Arya masih menyempatkan diri menarik
napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat- kuat untuk menenangkan hati Dan
memang, usaha yang dilakukannya membuahkan hasil. Hatinya kembali tenang.
"Aku Arya. Dan..., aku terpaksa melakukan semua ini agar Iblis Hitam keluar dari tempat
persembunyiannya!"
Berubah wajah Pendekar Golok Baja mendengar ucapan Dewa Arak.
"Arya? Apakah паша lengkapmu Arya Buana?" kembali Prajasena bertanya.
Sementara pandang matanya semakin lekat tertuju ke sekujur tubuh pemuda di
hadapannya. Memang, sebagai pendekar besar yang telah malang-melintang di dunia
persilatan, Pendekar Golok Baja telah mendengar kabar angin tentang se- orang tokoh
muda yang menggempatkan dunia persilatan. Pendekar muda itu bernama Arya Buana
dan berjuluk Dewa Arak.
"Begitulah nama yang diberikan orang tuaku."
"Kalau begitu..., kaukah tokoh yang telah menggemparkan dunia persilatan?! Kaukah
tokoh yang berjuluk Dewa Arak?!"
"Ah, cerita kosong itu terlalu berlebih-lebihan," sahut Arya merendah.
"Sama sekali tidak, Dewa Arak! Bukti kehebatanmu telah kulihat sendiri," bantah
Prajasena seraya memandang berkeliling ke arah semak-semak dan pepohonan yang
porak-poranda di sana-sini. "Aku Prajasena. Orang-orang persilatan menjulukiku Pende-
kar Golok Baja."
"Aku mohon..., panggillah aku dengan nama pemberian orang tuaku. Risih rasanya
mendengar orang seperti kau memanggilku seperti itu, Paman," pinta Dewa Arak.
"Baiklah, Arya," Prajasena mengalah. "Sekarang, ceritakan padaku. Mengapa kau
mencari Iblis Hitam?!"
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat. Pertanyaan Pendekar Golok Baja membuatnya
teringat kembali keadaan Melati. Seketika itu juga kekhawatirannya timbul kembali.
"Iblis Hitam telah menculik teman wanitaku...," jawab Dewa Arak separuh benar,
separuhnya lagi dusta. Sebab Melati bukan hanya sekadar kawan, melainkan
tunangannya
"Ahhh...!"
Terdengar seruan terkejut dari mulut Pandora. Karuan saja seruan itu membuat Dewa
Arak mengalih kan perhatian ke arahnya.
"Mengapa, Paman?" tanya Dewa Arak seraya menatap kakek berwajah bintik-bintik putih
itu tajam- tajam.
"Bahaya sekali, Arya," hanya itu yang diucapkan Pandora. Kakek ini memang tahu
kebiasaan Iblis Hitam turun temurun. Kekhawatiran Dewa Arak pun semakin menjadi-jadi
mendengar ucapan pelayan setia Pendekar Golok Baja itu.
"Tenangkan hatimu, Arya," Pendekar Golok Baja ikut buka suara. "Percayalah padaku.
Untuk malam ini kawan wanitamu pasti selamat."
"Akan kuingat kata-katamu, Pendekar Golok Baja. Aku tahu ара hubunganmu dengan
Iblis Hitam...."
"Kau tahu...?!" Pendekar Golok Baja setengah tidak percaya
"Aku dan teman wanitaku telah mendengar pembicaraanmu di halaman Perguruan Cakar
Harimau, Pendekar Golok Baja. Tapi, aku mohon, kau bersedia menjelaskan agar hatiku
jadi tenang. Mengapa kau begitu yakin kalau kawan wanitaku pasti selamat malam ini.
Padahal sudah menjadi rahasia umum kalau kebiasaan leluhurmu pada wanita-wanita
muda kurang baik?"
'Yahhh...!" Pendekar Golok Baja menghela napas pelan. "Aku pun menyesali hal itu, Arya.
Tapi, perlu kau ketahui, apabila malam ini Iblis Hitam telah menyelesalkan 'tugas' dengan
korban wanitanya. Korban selanjutnya mendapat giliran malam berikutnya."
Memang, Pendekar Golok Baja dan Pandora telah melihat mayat seorang wanita yang
kelihatannya sebelum dibunuh, diperkosa lebih dulu. Sekali lihat saja, mereka dapat
menebak kalau yang melakukan perbuatan keji itu adalah Iblis Hitam.
"Kalau begitu..., aku hanya punya waktu satu malam saja untuk mengetahui ke mana Iblis
Hitam membawa lari temanku."
Pendekar Golok Baja menganggukkan kepala.
"Bisakah kau menunjukkan tempatnya padaku, Pendekar Golok Baja?" pinta Dewa Arak.
"Sayang sekali, Aiya. Aku tidak berani mengkhia- nati leluhurku. Merupakan pantangan
besar bagi keturunan Iblis Hitam untuk menentang orang yang lebih tua. Aku sendiri tidak
tahu mengapa Tapi, begitulah pesan ayahku. Dan aku harus mematuhinya Jadi, maafkan
aku, Arya. Aku tidak bisa memberitahukan- rau."
"Hhh..!"Dewa Arak menghela napas, bingung. Perasaan cemas pada keselamatan Melati
kembali melanda hatinya.
"Kalau begitu, aku permisi dulu, Pendekar Golok Baja."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak melesat dari situ. Meninggalkan Pendekar Golok
Baja dan Pandora yang hanya dapat memandang kepergiannya. Dalam waktu sekejap
saja bayangan pemuda berambut putih keperakan itu telah lenyap ditelan kegelapan
malam.
Suara kokok ayam hutan dan cicit burung di dahan menyambut riang datangnya mentari.
Bola raksasa berwarna merah mulai nampak di ufuk Timur ketika Arya masih berada di
dalam hutan kecil. Sepasang matanya menatap nyalang merayapi setiap sudut hutan.
Meskipun semalaman Dewa Arak tidak tidur, tapi perasaan kantuk yang menyerangnya
ditahan sekuat tenaga. Dijelajahinya seluruh penjuru hutan. Tapi, tetap saja jejak Iblis
Hitam tidak berhasil ditemukan. Suaranya sudah mulai serak karena berkali-kali berteriak
memanggil nama Melati dan menantang Iblis Hitam.
Arya menggertakkan gigi. Baru sekali inilah pemuda berambut putih keperakan ini merasa
tidak berdaya Perasaan marah, kecewa, khawatir dan berbagai ma- cam perasaan lain
berkecamuk dalam hatinya.
Perasaan cemas di hatinya semakin besar seiring dengan hari yang telah semakin siang.
"Melati, ah..., Melati...," rintih Dewa Arak lirih. Untuk kesekian kalinya Arya menyebut
nama kekasih- nya. Dihempaskan tubuhnya di bawah sebatang pohon. Kepalanya
tertunduk dalam, sementara kedua ta-ngannya menutupi wajah.
"Hhh...!"
Entah untuk yang ke berapa puluh kali Dewa Arak menghela napas panjang. Wajahnya
ditengadahkan, menatap hamparan langit biru di atas sana Tapi mendadak pemuda
berambut putih keperakan ini tersentak. Mengapa dia tidak meminta pertolongan
gurunya? pikir Dewa Arak dengan mata berbinar-binar.
Semangat Dewa Arak pun bangkit kembali. Meski- pun ada perasaan malu karena
meminta bantuan gurunya, tapi ditekannya perasaan itu demi keselamatan Melati! Gadis
yang disayanginya melebihi rasa sayang pada dirinya sendiri. Sekarang ini hanya gurunya
saja yang dapat menolong. Gurunya banyak memiliki ilmu-ilmu ajaib!
Dengan semangat berkobar-kobar, Arya bangldt dari duduknya. Kemudian menyebut
nama gurunya tiga kali, lalu menghentakkan kaki kanannya ke tanah sekali.
Derrr!
Ajaib! Kini di hadapan Dewa Arak telah berdiri se- orang kakek berpakaian serba putih.
Rambutnya di- gelung ke atas. Di tangannya tergenggam seuntai tasbeK Alis, kumis,
jenggot, dan cambangnya telah memutih semua. Bahkan panjang jenggotnya pun telah
melewati dada. Sekujur tubuh kakek ini seperti bersinar. Terutama sekali wajahnya. Inilah
guru Aiya, Ki Gering Langit.
"Guru...!" seru Arya sambil memberi hormat tanpa berani bertama-lama menatap wajah
gurunya Sepasang matanya tak kuat memandang wajah yang bersinar menyilaukan itu.
Ki Gering Langit tersenyum sambil mengusap usap rambut Aiya yang setengah berlutut di
hadapan- nya.
"Bangunlah, Muridku. Katakanlah..., ара yang membuatmu memanggilku...?" tanya kakek
berpakaian seiba putih itu lembut.
"Aku hanya ingin minta petunjuk Guru...."
"Petunjuk? Petunjuk ара, Aiya?" suara Ki Gering Langit tetap lembut. Setiap ucapan yang
keluar dari mulutnya, menimbulkan perasaan tenang di hati Arya.
Tanpa ragu-ragu Arya segera menceritakan kesu- litannya.
"Begitulah kejadiannya, Guru," ucap Aiya menutup ceritanya.
Ki Gering Langit mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian memegang tangan kanan
Aiya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya menuding ke samping kanan.
Ajaib! Di sebelah kiri Arya terpampang sebuah gua berbentuk tengkorak kepala manusia.
Di dalamnya, di sebuah balai-balai bambu, tergolek tubuh seorang wanita cantik jelita
berpakaian serba putih. Sementara tak jauh dari situ duduk sosok berselubung dan ber-
pakaian serba hitam.
"Kau tahu di mana tempat itu, Arya?" tanya Ki Gering Langit.'Tahu, Guru," sahut Aiya
seraya menganggukkan kepala. Dan memang sebenarnya pemuda berambut putih
keperakan ini mengetahuinya. Dia sering mendengamya dari mulut para penduduk sekitar
Gunung Jolang, tempat Gua Tangkorak itu berada. Jadi rupanya Iblis Hitam membawa
Melati ke sana. Tempat yang dijauhi para penduduk.
Ki Gering Langit pun melepaskan pegangannya. Dan seketika itu juga ара yang tad dilihat
Arya, kembali lenyap. Kini yang nampak hanyalah rerimbunan semak dan pepohonan
yang lebat.
"Aku melihat kekuatan aneh yang dimi|iki sosok serba hitam itu, Arya," ucap Ki Gering
Langit pelan. "Kau tidak akan mampu mengalahkan dia. Ada kekuatan campuran yang
membuat orang itu tak bisa dibunuh atau dilukai."
'Tapi, biar bagaimanapun..., aku akan tetap ke sana dan menyelamatkan Melati, Guru.
Meskipun aku harus тай di tangan iblis itu," mantap dan tegas sekali kata-kata yang
keluar dari mulut Arya.
"Kalau begitu..., kau tunggu sebentar, Arya."
Setelah berkata demikian, kakek berpakaian serba putth itu mendadak lenyap dari
pandangan. Arya hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala melihat ke- saktian
gurunya.
Sesaat kemudian, Ki Gering Langit telah kembali berada di hadapan Arya. Di tangan
kanannya tergeng- gam sebatang pedang. Aiya kenal pedang itu. Pedang Bintang!
Sebilah pedang pusaka yang telah mengan- tarnya menjadi seoiang tokoh
menggemparkan ber- juluk Dewa Arak (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam
episode perdananya, "Pedang Bintang").
Srattt!
Ki Gering Langjt menghunus Pedang Bintang dengan tangan kanannya. Ujung pedang
diacungkan ke langit Sejenak kakek berpakaian serba putih itu memejamkan matanya.
Kemudian pedahan-lahan tangan kirinya terangkat naik.
Tiba-tiba sepasang mata Arya terbelalak melihat tangan ldri gurunya, sebatas
pergelangan, meman- carkan sinar terang yang menyilaukan. Arya yang tidak sanggup
memandangnya, terpaksa menundukkan kepala. Dan menggntai melalui celah-celah jari
tangan yang menutupi wajahnya.
Sesaat kemudian tangan kiri Ki Gering Langit di- usapkan ke arah batang pedang. Mulai
dari pangkal sampai ke ujungnya. Pada saat tangan kiri Ki Gering Langit mengusap, mata
Pedang Bintang diselimuti sinar putih berkilauan yang menyilaukan mata. Sesaat
kemudian cahaya menyilaukan tadi lenyap pedahan- lahan.
Trekkk!
Ki Gering Langit menyarungkan Pedang Bintang kembali. Kemudian diberikan pada Arya.
"Pergunakan pedang ini untuk menghadapi Iblis Hitam."
"Baik, Guru," sahut Arya seraya menevima Pedang Bintang penuh hormat."Ada yang
ingin kau utarakan lagj padaku, Arya?" tanya Ki Gering Langit
"Anu, Guru...," sahut Dewa Arak ragu-ragu.
"Ара itu, Arya? Katakanlah...."
"Aku hanya ingin tahu.... Ilmu apakah yang membuat Guru datang dan per® ke setiap
tempat dengan begitu mudah?" tanya Arya ingin tahu.
"Ooo... itu," Ki Gering Langit tertawa terkekeh. "Ada dua, Arya. Yang pertama adalah ilmu
'Urai Bumi', yaitu apabila kau memanggilku. Sedangkan bila aku datang tanpa
pariggilanmu, itu adalah ilmu 'Ring- kas Bumi'. Puas? Lain kali akan kuterangkan panjang
lebar. Sekarang selamatkan dulu calon istrimu...."
Setelah berkata demikian, Ki Gering Langit men- dadak lenyap. Arya segera memberi
penghormatan melepas kepergian gurunya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi Arya segera melesat dari situ. Perasaan cemasnya
telah berganti dengan perasaan tenang. Bahkan kini ada rasa sejuk di dalam dadanya.
Dan ini dialaminya setiap kali dia habis berjumpa dengan gurunya!
Matahari telah mulai condong ke Barat. Semburat warna lembayung pun telah nampak di
lan®t sebelah Barat ketika Dewa Arak tiba di depan gua tempat Melati disekap.
Baru saja Arya hendak melangkah masuk, tiba-tiba dari dalam melesat sesosok tubuh
serba hitam yang memiliki sepasang mata bersinar kehijauan. Siapa tagi kalau bukan Iblis
Hitam!
"Ha ha ha..!" Iblis Hitam tertawa bergelak melihat kedatangan Dewa Arak. "Rupanya kau
in®n kukirim ke neraka juga, heh!"
"Kita lihat saja, Iblis Hitam!" sahut Dewa Arak tak kalah gertak. "Siapa di antara kita yang
akan pergi ke neraka?! Kau atau aku!"
Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera men- cabut Pedang Bintang yang
tergantung di pinggangnya.
Srattt!
Teipancar sinar terang berwarna putih menyi laukan begitu Pedang Bintang tercabut dari
sarungnya.
"Ah...!"
Iblis Hitam berseru kaget ketika sepasang matanya menatap pedang yang terhunus di
tangan lawan. Kakinya pun melangkah mundur ke belakang .
Diam-diam Dewa Arak terkejut. Rupanya tokoh sesat ini tahu kalau pedang di tangannya
bakal mampu menembus pusakanya.
Cepat laksana kiiat kedua tangan Iblis Hitam bergerak. Sesaat kemudian di kedua
tangannya telah tergenggam dua batang kapak berwarna hitam mengkilat. Kapak yang
mengandung racun ganas tak terkira.
Wukkk, wukkk!
Secepat kedua kapak itu berada di tangannya, secepat itu pula diputar-putar di depan
dada Anginbercuitan nyaring mengiringi setiap gerakan kedua kapak.
Cuittt, cuittt!
Dewa Arak yang tidak mau kalah, segera memu- tar-mutarkan Pedang Bintang di depan
dada. Sekejap kemudian sekujur tubuhnya terbungkus sinar berwama putih menyilaukan.
Dan begitu pemuda berambut putih keperakan ini menghenfikan putaran pedang, dia
langsung dengan pembukaan 'Ити Pedang Pembunuh Naga'. llmu yang diwarisi dari
Pendekar Ruyung Maut, ayah Arya (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam
episode perdananya, "Pedang Bintang").
Dewa Arak membentuk kuda-kuda rendah dengan lutut kiri ditekuk ke belakang. Kaki
kanan dijulurkan ke depan dengan ujung kaki menyentuh tanah. Sepasang malanya
menatap ke depan. Tangan ldri terkepal di pinggang.
Sementara tangan kanan mengacungkan pedang yang dijulurkan menukik ke depan.
Ujung pedang menyentuh tanah. Inilah pembukaan 'Ити Pedang Pembunuh Naga' yang
telah disesuaikan dengan ilmu andalannya, 'Dmu Belalang Sakti'!
Iblis Hitam tidak mau kalah. Tokoh sesat ini pun membentuk pembukaan ilmunya. Mirip
dengan kuda- kuda Dewa Arak. Hanya saja posisi kuda-kudanya tidak terlalu rendah. Kaki
larinya berada di depan. Dan jarak antara tapak kaki kiri dan kaki kanan pun Hdak sejauh
kuda-kuda Dewa Arak. Kedua kapaknya disi- langkan di depan wajah.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluatkan teriakan nyaring, Arya me- loncat menyerang. Pedang di tangan
kanannya ditu- sukkan bertubi-tubi ke arah leher.
Siiingg!
Terdengar suara mendesing nyaring yang menya- kitkan telinga, mengiringi
berkelebatnya sebaris sinar berwarna putih menyilaukan mata.
Kali ini Iblis Hitam rupanya tidak berani gegabah mengandalkan keistimewaan pusakanya.
Kapak di tangan kirinya segera digerakkan menangkis, seraya me- miringkan tubuh
bagian kanan ke bawah. Berbareng dengan itu, kapaknya diayunkan ke perut Dewa Arak.
Tranggg!
Bunga api berpijar ketika dua buah senjata pusaka beradu. Baik Dewa Arak maupun Iblis
Hitam merasa- kan tangan yang menggenggam senjata tergetar hebat.
Begitu serangannya tertangkis, Dewa Arak segera melempar tubuh ke belakang dengan
memarifaatkan daya dorong benturan kedua senjata tadi.
Wusss!
Sambaran kapak Iblis Hitam lewat sejengkal di depan perut Dewa Arak.Tapi Iblis Hitam
yang tidak ingin memberi kesempatan lawanhya memperbaiki posisi kuda-kuda, kembali
melompat memburu. Sepasang kapaknya berkele- batan menyambar berbagai bagian
tubuh Dewa Arak.
Tapi Arya yang memang sejak semula sudah bersiap sedia, segera menghadapi amukan
Iblis Hitam dengan 'llmu Pedang Pembunuh Naga'. Pedang Bintang A tangannya pun
berkelebatan ke sana kemarl mencari sasaran
.
Hebat bukan main akibat pertarungan kedua tokoh sakti ini. Angin bercicitan tajam dari
udara yang terobek mengiringi setiap gerakan senjata mereka.
Pertarungan antara Dewa Arak dan Iblis Hitam berlangsung cepat, sehingga sebentar
saja lima puluh jurus telah berialu. Dan sampai sejauh itu behim nampak tanda-tanda ada
yang akan terdesak. Tanah sudah terbongkar di sana-sini. Debu pun mengepul tings ke
udara. Sementara batu-batu besar-kecil ber- pentalan tak tentu arah. Suasana di sekitar
mulut gua seketika jadi kacau-balau.
Menginjak jurus ke seratus, Dewa Arak mulai nampak terdesak. Memang dalam. hal ilmu
meri- ngankan tubuh dan tenaga dalam, keduanya berimbang. Tapi dalam hal mutu ilmu
silat, Iblis Hitam masih lebih unggul. Permainan sepasang kapak Iblis Hitam berada di
atas mutu 'Ilmu Pedang Pembunuh Naga' milik Dewa Arak. Мака tidak mengherankan
kalau perlahan namun pasti Arya mulai terdesak hebat!
"Ha ha ha...!"
Iblis Hitam tertawa bergelak. Gerakan sepasang kapak di tangannya pun semakin
menghebat Dewa Arak kini hanya mampu menangkis dan mengelak. Hanya sesekali saja
mengirimkan serangan balasan.
Tanpa sepengetahuan kedua orang itu, ada dua sosok yang menyaksikan pertarungan.
Pendekar Golok Baja dan Pandora diam-diam sudah tiba di tempat itu sejak Dewa Arak
dan Iblis Hitam ribut mulut sampai keduanya bertarung.
Pendekar Golok Baja mengerutkan alisnya begitu melihat gulungan sinar putih
menyllaukan semakin kecil. Sementara gulungan sinar berwarna hitam semakin
merajalela. Pendekar ini segera tahu kalau Dewa Arak terdesak hebat
"Sungguh tidak kusangka kalau Iblis Hitam adalah dia...," ucap Pendekar Golok Baja
setengah mengeluh. Memang, Prajasena telah mengetahui orang di balik seragam Iblis
Hitam.
Kini suara orang yang berada di balik pusaka-peninggalan Iblis Hitam amat dikenalnya,
karena sangat jelas terdengar. Bahkan bukan hanya Pendekar Golok Baja saja. Pandora
pun mengenalnya.
"Jadi..., Tuan bisa mencegah mereka berdua mengadu nyawa...," sahut Pandora.
"Mudah-mudahan saja Pandora," ucap Pendekar Golok Baja setengah mengharap.
"Mudah-mudahan saja dia masih taat pada aturan leluhur Iblis Hitam."
"Bukankah Tuan pernah bercerita... kalau aturan leluhur Tuan harus ditaati setiap
keturunannya?" tanya Pandora mengingatkan.
Belum juga Pendekar Golok Baja menjawab, terdengar suara melengking nyaring.
Seketika itu juga pandangan laki-laki gagah ini dialihkan ke arah pertempuran. Kontan
sepasang matanya terbelalak. Pandora pun mengalihkan perhatiannya.
Rupanya saat itu Dewa Arak tengah melancarkan serangan ke arah IbBs Hitam. Batang
pedangnya tiba-tiba bergetar hebat, sehingga terlihat menjadi belasan pedang yang
semuanya menuju ke arah Iblis Hitam.
"Hih!"
Iblis Hitam yang tidak berani mengelakkan serangan, segera mengayunkan kedua kapak
di tangannya. Melakukan tangkisan menggunting.
Tranggg!
Bunga api memercik ke udara ketika tiga buah senjata pusaka beradu. Seketika tubuh
kedua orang sakti itu sama-sama terhuyung-huyung ke belakang. Tapi, secepat itu pula
keduanya kembali melancarkan serangan susulan ke arah lawan masing-masing.
Cappp! Srattt!
Perisflwa yang teijadi berlangsung begitu cepat. Pedang Bintang Dewa Arak menusuk
bagian atas dada kiri Iblis Hitam. Sebaliknya, kapak di tangan kanan tokoh sesat itu
menyerempet dada Arya.
Kedua tokoh sakti itu sama-sama memekik tertahan. Tubuh keduanya pun langsung
terhuyung ke belakang. Balk Dewa Arak maupun Iblis Hitam sama- sama mendekap luka
masing-masing.
Dewa Arak terkejut bukan main ketika merasakan hawa dingin yang amat sangat
menyebar dari luka di dadanya. Hawa dingin yang hampir membuat sekujur ototnya
mendadak kaku. Seketika itu juga tubuhnya terguling di tanah.
"Racun...," desis Dewa Arak terkejut, seraya buru-buru menjumput guci araknya.
Diangkatnya ke atas kepala, dan dituangkan ke mulut Tampak jelas kalau Arya harus
berjuang keras meraih guci dan menuangkan ke mulutnya. Kekakuan yang melanda
sekujur otot-otot dan urut-urat tubuhnya membuat dia susah menggerakkan anggota
tubuh.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara berceglukan terdengar begitu arak melewatt kerongkongan Dewa Arak. Arya tahu
kalau arak yang berada di dalam gucinya sanggup menawarkan racun. Dan itulah
keistimewaan guci pusaka miliknya. Setiap racun yang, masuk ke dalam guci langsung
tawar. Bahkan bukan hanya itu saja, setiap arak yang masuk ke dalam guci pusakanya
langsung keras dan dapat langsung merjadi obat penawar racun.
"Ha ha ha...I"
Iblis Hitam tertawa bergelak begitu melihat Dewa Arak terkena babatan kapaknya.
Sungguhpun dia sendiri teriuka, tapi jelas terlihat kalau tokoh sesat ini gembira bukan
main. Iblis Hitam tahu kaiau racun kapaknya sudah bekeija.
Arya menggertakkan gigi. Racun yang terkandung dalam kapak sosok serba hitam itu
ternyata benar-benar racun luar biasa. Padahal dia telah minum arak dari guci pusakanya.
Tapi, kekakuan pada sekujur Otot-otot dan urat-urat di sekujur tubuhnya trtap saja tidak
berkurang. Hanya rasa pening yang tadi melan- danya, kini telah lenyap.
Selangkah demi selangkah Iblis Hitam menghampiri Dewa Arak yang teigeletak kaku di
tanah. Betapapun pemuda berambut putih keperakan itu mencoba mengerahkan 'Tenaga
Sakti lnti Matahari' miliknya untuk mengusir hawa dingin, namun tetap saja hasilnya nihil.
ha ha...!"
Iblis Hitam yang tahu keadaan lawannya, terns menghampiri sambil tertawa terkekeh-
kekeh. Jaraknya dengan pemuda berambut putih keperakan itu tinggal lima langkah lagi.
"Hentikan, Kala Sunggi!"
Mendengar bentakan itu, Iblis Hitam terlonjak kaget bagai disengat kalajengking. Bahkan
tubuhnya sampai beijingkat Jelas kegugupannya terlihat ketika kepalanya menoleh ke
arah asal bentakan.
Terkejut juga hati Dewa Arak ketika melihat Iblis Hitam yang menggiriskan itu melangkah
ke belakang. Sementara orang yang mengeluarkan suara bentakan tengah melangkah
menghampiri tokoh sesat itu. Dia adalah Pendekar Golok Baja!
"Sudah terlalu banyak orang yang kau bunuh, Kala Sunggi Dan..., aku tidak ingin kau
mengotori tanganmu dengan darah orang-orang tak berdosa lagi!" ucap Prajasena penuh
wibawa. Kakinya tetap melangkah mendekati Iblis Hitam yang diyakininya adalah Kala
Sunggi "Cepat buka seragam leluhur kita! Kau tidak berhak memakainya, Kala Sunggi!"
"Tapi..., aku hanya bermaksud membalas dendam kematian ayah, Kakang Prajasena...,"
Iblis Hitam membela diri dengan suara gugup. Hilang sudah kegarangannya. Rupanya
Iblis Hitam adalah Kala Sunggi, adik kandung Pendekar Golok Baja yang hilang beberapa
tahun yang lalu. Kiranya Kala Sunggi menghilang setelah mencuri pusaka peninggalan
Iblis Hitam, dan mempelajarinya.
"Hm.... Bukankah semua pembunuh ayah sudah kau binasakan? Bahkan aku juga tahu
kalau kau telah membunuh Tengkorak Merah.; Tapi, mengapa kau hendak membunuh
pemuda itu?" -desak Pendekar Golok Baja sarpbil menuding ke arah Dewa Arak.
"Dia yang mencari urusan denganku, Kang," bantah Iblis Hitam.
"Pemuda itu hanya ingin menyelamatkan teman wanitanya yang kau culik?" sentak
Prajasena keras.
Iblis Hitam pun terdiam. Kepalanya tertunduk dalam.
"Ingat, Kala Sunggi. Selama masih ada aku..., kau tidak boleh mengambil peninggalan
Iblis Hitam! Aku yang berhak. Itu adalah aturan turun temurun leluhur kita. Kau tahu....,
sepanjang sejarah, tidak ada seorang pun keturunan leluhur kita yang menentang aturan
itu. Apakah kau hendak menentangnya? Dan..., beranikah kau menentangnya?"
"Tidak, Kang. Aku tidak berani menentang," sahut Iblis Hitam lirih.
"Kalau kau sudah menyadari kesalahanmu, cepat kau berikan penawar racun untuk
pemuda itu!" ucap Prajasena bemada memerintah.
"Baik, Kang," sahut Iblis Hitam seraya menghampiri Dewa Arak yang masih tergolek di
tanah. Kemudian mengeluarkan sebutir pil berwarna kemerahan. Lalu diberikan pada
Dewa Arak yang segera menetannya.
Arya takjub. Pil berwarna kemerahan itu temyata memiliki khasiat yang sangat mujarab.
Begitu masuk ke dalam perutnya, langsung bereaksi dengan cepat Perlahan-lahan rasa
dingin yang melanda sekujur tubuhnya mulai berkurang. Setelah semakin berkurang,
pemuda berambut putih keperakan itu mengusir pengaruh hawa dingin yang tersisa
dengan mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Matahari'.
Sesaat kemudian Dewa Arak sudah bisa bangkit kembali.
"Cepat kau minta maaf pada Dewa Arak!" ucap Pendekar Golok Baja.
Tanpa banyak membantah, Kala Sunggi alias Iblis Hitam segera menghampiri Dewa Arak
Kemudian mengulurkan tangannya.
"Maafkan semua kesalahanku, Dewa Arak," ucap Kala Sunggi pelan.
"Lupakanlah, Iblis Hitam," sahut Arya seraya menggenggam tangan tokoh sesat itu erat
erat.
"O, ya... Kawanmu ada di dalam," beri tahu Iblis Hitam. Nada suaranya tidak terdengar
garang lagi.
"Mari kita pergi," ajak Pendekar Golok Baja.
Sesaat kemudian, tiga sosok tubuh tadi sudah melesat meninggalkan sekitar mulut gua.
Kini di tempat itu tinggal Dewa Arak seorang diri.
"Hhh...!"
Arya menghela napas lega. Sungguh tidak disangka kalau persoalan ini akan selesai
begitu mudah. Sejenak ditatapnya tubuh ketiga orang yang sudah kian mengecil, sebelum
kakinya sendiri bergerak cepat masuk ke gua.
Dan seperti ара yang diperlihatkan gurunya, Melati terbaring di atas balai-balai bambu.
Kaki dan tangan gadis berpakaian putih itu terikat di tiap sudut balai- balai. Terikat
terpentang.
"Melati...," desis Arya, antara perasaan lega dan haru yang menyemak.
"Kang Arya...," Melati balas menyahut Suaranya pelan mirip desahan. Bahkan terdengar
sedikit isakan keluar dari mulutnya.
Walaupun masih tampak pucat, tapi sinar matanya memancarkan kegembiraan yang
amat sangat .
Memang sejak kemarin Melati telah dicekam rasa takut pada malapetaka yang akan
menimpanya. Так sanggup gadis ini membayangkan apabila yang ditakutkannya benar
benar terjadi. Mungkin seumur hidup dia tidak akan berani bertemu muka dengan
tunangannya.
"Kau tidak apa-apa, Melati?" tanya Dewa Arak.
Ada nada kekhawatiran yang amat sangat dalam suaranya. Sepasang matanya merayapi
sekujur wajahdan tubuh Melafi dengan pandang mata cemas. Sementara tangannya yang
menggenggam Pedang Bintang mengiris tali-tali yang mengikat tangan dan kaki Melati.
Tali itu ternyata alot bukan main. Pantaslah kalau Melati tidak mampu membebaskan diri,
pikir Arya maklum.
"Kang Arya...!"
Melati langsung bangkit duduk. Kemudian dipeluknya tubuh Arya, begitu tali-tali
pengikatnya putus. Pemuda berambut putih keperakan itu pun balas memeluk gadis yang
dicintainya erat-erat, seolah-olah tidak ingin dilepaskan lagi. Diusap usapnya rambut
Melati yang hitam, panjang dan indah dengan penuh kasih sayang.
"Untung kau cepat datang, Kang Arya," ucap Melati dengan suara mengandung isak.
Untuk pertama kalinya Melati dicekam rasa takut yang hebat. Sepasang matanya
berkaca-kaca menahan rasa haru.
"Lupakanlah..., semuanya sudah berlalu," ucap Dewa Arak sambil melepaskan
pelukannya pedahan- lahan, kemudian menceritakan semua yang terjadi. Sementara
Melati hanya mendengarkan saja. Sedangkan sepasang matanya yang bening dan indah
merayapi wajah tampan di depannya.
"Mari kita tinggalkan tempat ini, sebelum hari menjadi gelap," ajak Arya.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak pun bangkit dari duduknya seraya menggandeng
tangan Melati.
Mereka berdua bergegas keluar dari gua. Keadaan di luar gua memang sudah mulai
gelap. Matahari sudah condong ke Barat, dan bercak sinar lembayung nampak di kaki
langit sebelah Barat ketika Dewa Arak dan Melati bergegas menuruni lereng gunung .
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar