..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 14 Januari 2025

DEWA ARAK EPISODE JAMUR SISIK NAGA

matjenuh

 

JAMUR SISIK NAGA Oleh Aji Saka 

Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, 

Jakarta 

Penyunting : Widarto K Gambar sampul oleh 

Pro's 

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 

sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin 

tertulis dari penerbit. 

Aji Saka 

Serial Dewa Arak 

dalam episode: Jamur Sisik Naga 128 hal ; 

12 x 18 cm 


Matahari telah condong ke Barat. Kegelapan 

pun mulai menyelimuti bumi ketika dua sosok 

tubuh melangkah perlahan memasuki hutan. 

Kepala kedua sosok itu tertunduk menekuri 

tanah. Jelas ada sesuatu yang merisaukan hati 

keduanya. 

Perlahan kegelapan mulai sirna ketika 

rembulan menampakkan diri di langit. Walaupun 

hanya remang-remang, tapi sinarnya cukup untuk 

mengusir kegelapan di hutan itu. 

Dua sosok tubuh itu terus saja melangkah 

lesu dengan kepala tertunduk. Di bawah 

keremangan cahaya bulan, wujud dua sosok tubuh 

itu terlihat cukup jelas. Yang seorang adalah 

pemuda tampan berambut putih keperakan dengan 

sebuah guci arak tersampir di punggungnya.


Sedangkan sosok kedua adalah seorang gadis 

cantik berpakaian jingga. 

"Dewa Arak," ucap gadis berpakaian Jingga 

itu. Suaranya pelan dan agak parau. 

Pemuda berambut putih keperakan yang 

ternyata adalah Dewa Arak, menoleh. 

"Kumohon, kau tidak memanggilku dengan 

sebutan itu, Karmila," pinta Dewa Arak. 

"Panggii saja Arya." 

"Baiklah, De... eh... Arya," sahut gadis 

berpakaian jingga yang ternyata bernama 

Karmila, mengalah 

(Untuk jelasnya mengenai keberadaan gadis 

ini bersama Arya, bacalah serial Dewa Arak 

dalam episode "Memburu Putri Datuk"). 

Begitu Karmila menghentikan ucapannya, 

suasana kembali hening. Kini keduanya 

melangkah tanpa berbicara lagi. 

"O ya..., di mana kau akan mengobati 

lukamu, Arya?" tanya Karmila memecahkan 

keheningan. Matanya yang bening menatap wajah 

tampan di sebelahnya. 

"Nanti.., agak ke dalam sedikit..," sahut 

Dewa Arak pelan. 

Karmila hanya mengangguk. Kembali 

keheningan menyelimuti mereka. Kini yang 

terdengar hanyalah suara kerosak rerumputan 

dan dahan-dahan kering yang terpijak kaki 

mereka. "Aku menyesal sekali, Arya," kembali 

Karmila membuka percakapan. Suaranya sarat 

dengan penyesalan. 

"Apa yang kau sesali, Karmila?" tanya Dewa 

Arak seraya menatap wajah gadis berpakaian 

jingga itu lekat-lekat. Rupanya pemuda 

berambut putih keperakan ini belum mengerti 

maksud ucapan Karmila. 

"Diriku...," sahut Karmila mendesah. Ada 

nada kesedihan yang dalam pada suaranya.



"Dirimu...?!" tanya Arya heran. Dahi 

pemuda berambut putih keperakan ini berkernyit 

dalam. 

Karmila hanya mengangguk pelan sebagai 

jawabannya. 

"Mengapa kau sesali dirimu sendiri, 

Karmila?" desak Dewa Arak "Apakah kau teringat 

pada mendiang ayahmu lagi?" 

Gadis berpakaian jingga itu menggeleng. 

"Lalu, apa?" desak Arya. "Katakan yang jelas, 

Karmila. Agar aku mengerti...." "Hhh...!" 

Karmila menghela napas berat "Aku 

menyesal, mengapa hidupku selalu menimbulkan 

kesulitan bagi orang lain. Ibu dan ayahku 

meninggal karena menyelamatkanku...." 

"Sudahlah...! Tak perlu kau sesali 

peristiwa yang telah terjadi. Yang lalu, 

biarlah berlalu...," hibur Arya. 

"Dan kini..., aku telah menyusahkanmu...," 

sambung Karmila. Seolah-olah tak didengarnya 

nasihat Dewa Arak. 

"Menyusahkanku...?!" tanya Arya dengan 

alis berkerut. "Kau terlalu mengada-ada, 

Karmila. Kau tahu, memang sudah menjadi 

tekadku untuk selalu ikut campur bila ada 

tindak ketidakadilan. Jadi, kuharap kau tidak 

mengungkit-ungkit masalah ini lagi." 

"Tapi, aku telah membuat hubunganmu dengan 

wanita cantik berpakaian putih jadi putus," 

lanjut gadis berpakaian jingga itu. Ada rasa 

nyeri yang menggigit hatinya ketika teringat 

Melati. 

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat. 

"Tak usah kau pikirkan masalah itu. Melati 

memang berwatak agak keras. Tapi 

percayalah..., sebenarnya hatinya baik."


Karmila tercenung sejenak. Ada rasa tidak 

enak yang menyeruak di hatinya mendengar Arya 

memuji Melati. 

"Sebenarnya..., apa hubunganmu dengan 

gadis itu, Arya?" tanya Karmila ingin tahu. 

"Melati adalah tunanganku...," sahut Dewa 

Arak mantap. Sepasang mata pemuda itu nampak 

berbinar-binar ketika mengucapkannya. 

Deg! 

Karmila terhenyak. Jawaban pemuda berambut 

putih keperakan itu tak ubahnya serudukan 

kerbau liar yang menghantam dadanya. Terasa 

sesak dan sakit bukan main. Seketika itu juga 

wajah gadis berpakaian jingga ini memucat. 

Untunglah malam itu suasananya remang-remang, 

sehingga kepucatan wajahnya tak terlihat oleh 

Dewa Arak. 

Karmila mengeluh dalam hati. Tak 

disangkanya kalau benih-benih cintanya akan 

kandas secepat ini. Dewa Arak sudah mempunyai 

seorang calon pendamping. Seorang gadis yang 

memang cocok untuk menjadi jodoh pendekar muda 

yang tersohor ini. Seorang pendekar wanita 

cantik, gagah dan juga kelihatannya merupakan 

orang penting di Kerajaan Bojong Gading. Tidak 

seperti dirinya, putri bekas datuk sesat yang 

kejam. Perasaan rendah diri pun menyeruak 

dalam hati Karmila. 

"Ada apa, Karmila?" tanya Dewa Arak begitu 

melihat gadis berpakaian jingga itu 

menghentikan langkahnya. 

"Ti... tidak ada apa-apa," sahut Karmila 

cepat. Buru-buru kakinya dilangkahkan kembali. 

Arya yang tadi juga menghentikan langkahnya 

kembali meneruskan langkahnya. 

Kedua orang itu terus melanjutkan 

perjalanannya. Baru setelah tiba di sebuah


rerimbunan semak-semak yang agak terlindung, 

Dewa Arak menghentikan langkahnya. 

"Sebentar, Karmila," ucap pemuda berambut 

putih keperakan itu. Karmila pun menghentikan 

langkahnya. Sebentar gadis itu memandangi 

Arya, tapi kemudian pandangannya segera 

dialihkan lagi. 

"Aku rasa tempat ini cocok untuk 

bersemadi," sambung Dewa Arak lagi. Karmila 

hanya mengangkat bahu. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda 

berambut putih keperakan itu segera duduk 

bersila. Tak lama kemudian Arya pun telah 

tenggelam dalam semadinya. 

Karmila memandangi raut wajah pemuda 

berambut putih keperakan itu dengan hari 

tersayat perih. Sesaat kemudian ditariknya 

napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-

kuat. Ada luka yang mendera hatinya, begitu 

mengingat pemuda yang telah mencuri hatinya 

ini ternyata telah dimiliki orang lain. 

Suasana seketika menjadi hening. Yang 

terdengar hanyalah desah napas teratur ketika 

Dewa Arak mengatur pernapasannya. 

*** 

Entah sudah berapa lama Dewa Arak 

tenggelam dalam semadinya Yang jelas, begitu 

pemuda ini membuka sepasang matanya, malam 

telah berganti pagi. Sinar mentari telah 

menyinari bumi. Cicit suara burung pun mulai 

riuh terdengar. 

Yang pertama kali terlihat oleh Arya 

adalah tubuh Karmila yang tergolek di 

depannya. Gadis itu tidur dengan beralaskan 

ranting-ranting kering dan dedaunan semak-

semak.


Perlahan Dewa Arak beranjak bangkit. 

Terdengar suara berkeresekan dari ranting 

kering begitu pemuda berambut putih keperakan 

ini bangkit berdiri. Meskipun pelan, tapi 

suara itu sudah cukup untuk membuat Karmila 

terjaga dari tidurnya. 

Perlahan-lahan sepasang kelopak mata gadis 

itu membuka. Tapi kemudian segera menutup 

kembali begitu matanya terasa silau oleh 

sorotan sinar matahari. Beberapa saat lamanya 

Karmila mengerjap-nger japkan matanya, baru 

setelah terbiasa, sepasang matanya dibuka 

lebar-lebar. 

"Akan ke mana lagi kita, Arya?" tanya 

Karmila. 

"Hhh...!" 

Dewa Arak menghela napas panjang. Sepasang 

alisnya hampir bertautan. Jelas ada sesuatu 

yang dipikirkannya. Sementara Karmila hanya 

memandanginya saja. 

"Kau tidak mempunyai tujuan, Karmila?" 

pemuda berambut putih keperakan itu balik 

bertanya. 

"Semula tidak," sahut Karmila setelah 

termenung beberapa saat. 

"Lalu sekarang, sudah punya tujuan?" 

Gadis berpakaian jingga itu mengangguk. 

"Ke mana?" tanya Dewa Arak lagi. 

"Danau Bagal," jawab Karmila singkat. 

"Danau Bagal?" ulang Dewa Arak dengan alis 

berkerut. "Di mana tempat itu, Karmila?" 

"Aku sendiri juga tidak tahu, Arya," jawab 

gadis berpakaian jingga itu seraya 

menggelengkan kepalanya. 

"Aneh...," gumam Arya. "Kau tidak tahu 

tempatnya, tapi ingin ke sana. Dari mana kau 

tahu nama tempat itu, Karmila?" 

"Dari ayahku."


Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Lalu mengapa kau hendak ke sana?" tanya Dewa 

Arak heran. 

"Karena orang yang tinggal di Danau Bagal 

itu adalah satu-satunya orang yang mempunyai 

hubungan denganku," jawab gadis itu bernada 

sedih sehingga membuat hati Arya terenyuh. 

"Kalau boleh kutahu, apa hubunganmu dengan 

orang yang tinggal di sana?" tanya Dewa Arak 

ingin tahu. 

Karmila tercenung sejenak. "Orang yang 

tinggal di sana adalah sahabat karib ayahku." 

Kembali Dewa Arak mengangguk-anggukkan 

kepalanya. 

"Sebenarnya..., aku punya sebuah rencana, 

Karmila," ucap pemuda berambut putih keperakan 

itu, setelah beberapa saat lamanya terdiam. 

"Rencana apa, Arya?" 

"Menyingkap misteri pembunuhan dua orang 

murid Perguruan Pedang Ular." 

"Aku rasa tidak perlu, Arya," sahut 

Karmila. 

"Mengapa, Karmila?" dahi Dewa Arak 

berkernyit. 

"Hal itu hanya merepotkanmu saja. Apalagi 

akui memang tidak berniat membalas dendam. 

Ayah sering sekali menasihatiku. Katanya, 

kalau sewaktu-waktu ada orang yang datang 

membunuhnya, aku tidak boleh membalas 

kematiannya. Semua itu adalah buah dari 

perbuatannya sendiri. Ayah telah terlalu 

banyak merugikan orang lain. Dan kalau 

sekarang aku membalas kematiannya, arwah ayah 

pasti tidak akan tenangi di alam baka," jelas 

gadis berpakaian jingga itu panjang lebar. 

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas 

panjang. "Kau salah dua kali, Karmila."


"Maksudmu?" tanya gadis berpakaian jingga 

itu dengan alis berkerut. 

"Pertama, kau salah bila mengatakan kalau 

aku menjadi repot kalau mengusut persoalan 

ini. Bukankah sudah kukatakan berkali-kali, 

aku melakukan semua ini karena memang sudah 

jadi tekadku untuk turun tangan setiap kali 

ada tindak ketidakadilan. Sekali lagi 

kutegaskan, Karmila ini memang sudah menjadi 

tekadku sejak aku mulai belajar ilmu silat," 

tegas Dewa Arak tandas. 

Karmila sama sekali tidak menyahut 

Kepalanya tertunduk menekuri tanah. 

"Dan yang kedua," sambung Dewa Arak lagi. 

"Kau salah mengerti maksud pesan ayahmu." 

"Aku tidak mengerti maksudmu, Arya," ucap 

gadis berpakaian jingga itu seraya memandang 

wajah pemuda berambut putih keperakan itu 

dengan sinar mata bodoh. 

Dewa Arak membalas tatapan Karmila. Sinar 

mata dan suara pemuda berambut putih keperakan 

ini nampak bersungguh-sungguh. 

"Ayahmu memang berpesan begitu apabila dia 

terbunuh akibat kesalahan-kesalahannya di masa 

lalu. Tapi, kejadian ini berbeda, Karmila. 

Ayahmu tewas karena difitnah. Dan kalau kita 

tidak menyingkap rahasia ini, nama ayahmu akan 

tetap rusak. Dan yang lebih gawat lagi, 

seluruh orang-orang persilatan golongan putih 

akan terus memburumu." 

Arya menghentikan ucapannya sejenak. 

Dilihatnya dahi gadis itu berkernyit, sebelum 

akhirnya menganggukkan kepala. 

"Sekalipun kau bersembunyi ke Danau Bagal, 

aku yakin mereka akan tetap memburumu. Dan kau 

tahu apa yang akan terjadi? Sahabat baik 

ayahmu itu mau tak mau akan terseret dalam


persoalan ini pula. Kau ingin hal itu terjadi, 

Karmila?" 

Mendengar penjelasan panjang lebar Dewa 

Arak, wajah gadis berpakaian jingga itu 

seketika memucat Kini baru disadarinya 

keluasan wawasan berpikir pemuda berambut 

putih keperakan ini. Semua yang dikatakan Arya 

benar. Selama misteri terbunuhnya dua orang 

murid Perguruan Pedang Ular belum terungkap, 

tokoh-tokoh persilatan golongan putih akan 

terus memburunya. Dan dirinya akan terus 

mengundang bahaya pada setiap orang yang 

dikunjunginya. 

"Bagaimana, Karmila?" tanya Dewa Arak 

begitu melihat gadis berpakaian jingga itu 

terdiam. 

"Kau benar, Arya," sahut Karmila setelah 

beberapa saat lamanya bimbang. "Jadi...?" 

"Ya. Kita harus menyingkap misteri 

pembunuhan ini!" jawab gadis berpakaian Jingga 

itu tandas. 

"Dan itu berarti kita harus kembali ke 

Gunung Palanjar," ucap Dewa Arak. 

"Mengapa harus ke sana lagi, Arya?" tanya 

Karmila tak mengerti. 

"Karena dari sanalah asal muasal kejadian 

ini. Kita harus menelusuri perjalanan ketiga 

murid Perguruan Pedang Ular mulai dari lereng 

Gunung Palanjar sampai ke perguruannya. 

Barangkali saja kira dapat menemukan petunjuk 

di sana." 

Karmila mengangguk-anggukkan kepalanya 

pertanda mengerti. Dewa Arak benar-benar 

memiliki wawasan pengetahuan yang luas, 

pikirnya. Dan seketika itu juga rasa kagumnya 

semakin menebal. Tapi gadis berpakaian jingga 

ini segera sadar kalau perasaan itu harus 

dibuangnya jauh-jauh. Sudah ada orang yang


berhak memikirkan pemuda berambut putih 

keperakan ini. Dan orang itu adalah Melati. 

"Kapan kita berangkat, Arya?" tanya 

Karmila. 

"Secepatnya," sambut Dewa Arak. "Aku tidak 

ingin masalah ini semakin berlarut-larut" 

"Kalau begitu kita harus berkemas-kemas 

dulu," ucap Karmila seraya meninggalkan tempat 

itu untuk membersihkan tubuhnya. 

Tak lama kemudian, sehabis membersihkan 

tubuh dan mengisi perut, kedua muda-muda itu 

pun meninggalkan hutan. 

*** 

"Hooop...!" 

Seorang gadis berpakaian serba putih 

mengangkat tangan kanannya. Sedangkan tangan 

kirinya menarik tali kekang kudanya kuat-kuat. 

Seketika itu juga kuda tunggangannya berhenti 

melangkah. Begitu pula puluhan kuda yang yang 

ditunggangi oleh orang-orang berseragam 

prajurit kerajaan di belakangnya. 

"Patih Rantaka," panggil gadis berpakaian 

putih itu pada penunggang kuda di belakangnya. 

"Hamba, Gusti Ayu Melati," sahut laki-laki 

setengah baya itu penuh hormat. 

"Tugas yang diembankan Ayahanda Prabu 

padaku telah selesai kukerjakan. Dan para 

perampok yang menimbulkan kekacauan telah 

berhasil kita tumpas. Sekarang kau kuserahkan 

tugas untuk mengambil alih pimpinan pasukan 

ini pulang ke kotaraja," ucap wanita 

berpakaian putih yang ternyata bernama Melati 

itu. 

"Lalu..., Gusti Ayu mau ke mana?" tanya 

Patih Rantaka agak bingung.


"Aku masih punya urusan lain, Paman 

Patih." 

Patih Rantaka tersenyum. Tanpa diberi tahu 

pun laki-laki setengah baya ini dapat menduga 

urusan yang dimaksud putri angkat Raja 

Kerajaan Bojong Gading ini. 

"Hamba mengerti, Gusti Ayu. Tapi..., 

bagaimana kalau Gusti Prabu menanyakannya?" 

Patih Rantaka meminta pendapat. 

"Katakan saja apa adanya!" tandas MelatI 

tegas. Dan sebelum laki-laki setengah baya itu 

menyahut, gadis berpakaian putih itu telah 

menggebah kudanya. 

"Hiya! Hiyaaa...!" 

Debu mengepul tinggi ke udara, begitu kuda 

tunggangan Melati meninggalkan tempat itu. 

Patih Rantaka dan pasukan khusus lainnya hanya 

terpaku memandangi gadis berpakaian putih itu 

hingga lenyap ditelan kejauhan. Kepala laki-

laki setengah baya ini menggeleng-geleng. 

Sementara itu Melati terus menggebah 

kudanya agar berlari lebih cepat. Dari berita 

yang didapat, diketahuinya kalau wanita yang 

ditolong Dewa Arak adalah putri seorang datuk 

sesat. Melati bermaksud menyusul pemuda 

berambut putih keperakan itu untuk menanyakan 

hubungan mereka. Apakah masih ingin 

diteruskan, atau memilih putri datuk sesat 

itu. 

Sepanjang perjalanan, Melati terus mencari 

tahu arah yang dituju Dewa Arak dan Karmila. 

Memang tidak sulit untuk mengikuti jejak kedua 

orang itu. Karena di samping ciri-ciri Arya 

yang sangat menyolok, di sepanjang perjalanan 

pun banyak dijumpainya tokoh-tokoh persilatan 

aliran putih yang dirobohkan Dewa Arak. 

Mendengar semua ini, Melati bertambah 

geram. Kekesalannya dilampiaskan dengan


memaksa kuda nya berlari secepat mungkin. Kini 

gadis berpakaian putih ini tahu kalau kedua 

buruannya menuju ke Gunung Palanjar. 

"Hooop...!" 

Melati menarik tali kekang kudanya ketika 

telah mendekati kaki Gunung Palanjar. Dan 

seketika itu juga, binatang itu menghentikan 

larinya. 

"Hup!" 

Gadis berpakaian putih itu melompat dari 

kudanya. Ringan tanpa suara kedua kakinya yang 

mungil mendarat di tanah. Kudanya ditambatkan 

agak tergesa-gesa. Kemudian melesat cepat 

mendaki lereng. 

Berkat ilmu meringankan tubuh yang memang 

sudah mencapai tingkat tinggi, mudah saja 

gadis berpakaian putih itu mendaki lereng yang 

sebenarnya bermedan cukup berat itu. Tapi 

mendadak.... 

"Hik hik hik...!" 

Terdengar tawa mengikik yang memecahkan 

kesunyian lereng Gunung Palanjar. "Hup!" 

Begitu kedua kakinya menjejak tanah, 

Melati langsung bersikap waspada. Sepasang 

bola matanya menatap garang ke arah tawa itu 

berasal. Urat-urat syaraf gadis itu seketika 

menegang tatkala menyadari kehebatan tenaga 

dalam yang terkandung dalam suara tawa itu. 

Sesaat kemudian, dari rerimbunan pohon 

muncul dua sosok tubuh menghadang. Melati 

menatap kedua sosok itu penuh selidik. 

Orang pertama adalah pemuda berbadan lebar 

yang berpakaian kuning. Usianya sekitar tiga 

puluh tahun. Di bagian dada kiri pakaiannya 

tersulam gambar sebatang pedang terhunus yang 

tengah dililit seekor ular. 

Sementara sosok kedua adalah seorang 

wanita setengah baya yang berpakaian merah


menyala. Rambutnya setengah digelung ke atas, 

berhiaskan sebuah tusuk konde berujung kepala 

ular kobra. 

"Ah! Ternyata dia gadis yang amat cantik, 

Bu," ucap pemuda berbadan lebar itu seraya 

merayapi sekujur tubuh gadis berpakaian putih 

itu dengan sorot mata liar. Tentu saja hal ini 

membuat Melati bangkit kemarahannya. 

"Memangnya kenapa kalau gadis ini berwajah 

cantik, Waji?" tanya wanita berpakaian merah 

menyala yang ternyata adalah ibu dari pemuda 

berbadan lebar itu. Mulutnya menyunggingkan 

senyum ejekan. 

Pemuda berbadan lebar yang ternyata 

bernama Waji menelan ludahnya. 

"Aku ingin Ibu menangkapkannya untukku. 

Aku ingin bersenang-senang dengan dia sebentar 

saja. Bu," sahut Waji Sorot matanya semakin 

kurang ajar. 

"Yang ada di otakmu hanya itu saja, Waji!" 

cemooh wanita berpakaian merah menyala itu.. 

"Tidak tahukah kau kalau gadis ini bukan 

orang sembarangan?! Sebelum kau sempat 

melaksanakan niat kotormu nyawamu pasti sudah 

melayang terlebih dahulu!" 

"Itulah sebabnya, aku meminta Ibu 

menangkapkannya," tangkis Waji cepat. 

Melati yang sejak tadi masih berusaha 

memben dung amarahnya, akhirnya tidak tahan 

lagi. Kedua ibu dan anak ini ternyata sama 

bejatnya. Enak saja mereka membicarakan diri 

seseorang di depan yang bersangkutan. 

"Kalian benar-benar bermulut kotor!" umpat 

gadis berpakaian putih itu galak. 

"Jaga mulutmu, Perempuan Liar!" bentak 

wanita berpakaian merah menyala itu tak mau 

kalah. Rupanya ibu Waji ini tergolong wanita 

pemarah, dan pantang mendengar kata-kata kasar


yang ditujukan kepadanya. Begitu mendengar 

ucapan kasar tadi, kontan darahnya langsung 

mendidih. 

"Apa hakmu menyuruhku menjaga mulut, tua 

bangka bermulut kotor?!" Melati memang 

memiliki watak keras dan tak mau kalah. 

Bentakan wanita berpakaian merah itu 

dibalasnya tak kalah kasar. 

"Kubilang jaga mulutmu! Atau..., kau ingin 

aku menutupnya dengan kekerasan?.'" teriak 

wanita berpakaian merah menyala itu dengan 

suara yang lebih keras lagi. 

"Cobalah kalau kau mampu, tua bangka tak 

tahu diri!" sambut gadis berpakaian putih itu 

tak kalah gertak. 

"Keparat! Kalau aku tak mampu merobek 

mulutmu..., jangan panggil aku Dewi Pencabut 

Nyawa!" 

Setelah berkata demikian, wanita 

berpakaian merah menyala yang ternyata 

berjuluk Dewi Pencabut Nyawa segera melangkah 

maju. Sikapnya terlihat penuh ancaman. Hal ini 

tentu saja membuat Waji yang merasa tertarik 

pada Melati menjadi khawatir. 

"Aku mohon kau tidak membunuhnya, Ibu," 

pinta pemuda berbadan lebar itu cepat. 

"Berilah aku kesempatan untuk bersenang-senang 

dengannya. Ibu. Baru setelah itu kau boleh 

merobek-robek mulut atau buat apa saja 

padanya." 

Tapi Dewi Pencabut Nyawa hanya mendengus 

saja. Tanpa mempedulikan ucapan putranya, 

wanita berpakaian merah menyala itu menerjang 

Melati. Kedua tangannya mengembang membentuk 

cakar. Tangan kanannya menyampok ke arah 

pelipis anak angkat Raja Kerajaan Bojong 

Gading ini. Sementara tangan kirinya 

disilangkan di depan dada.


Wuuut! 

Deru angin keras mengiringi tibanya 

serangan wanita berpakaian merah menyala itu. 

Melati kalau serangan lawan ini tidak bisa 

dibuat main-main. Dari desir angin pukulannya 

saja sudah bisa diukur kedahsyatan serangan 

itu. 

Melati buru-buru mendoyongkan tubuhnya 

seraya menarik kepalanya ke belakang. Sambaran 

cakar Dewi Pencabut Nyawa berada setengah 

jengkal di depan wajahnya. Rambut dan pakaian 

gadis itu berkibaran keras akibat kuatnya 

tenaga dalam yang terkandung dalam serangan 

itu. 

Tapi tidak hanya itu saja yang dilakukan 

Melati. Berbareng dengan menarik tubuhnya ke 

belakang, kaki kanannya mencuat ke arah perut 

lawan. 

Wuttt...! 

"Hm...!" 

Terdengar suara mendengus dari mulut Dewi 

Pencabut Nyawa. Tangan kirinya yang 

disilangkan di depan dada, dibacokkan ke 

bawah, menangkis tendangan yang mengancam 

perutnya. 

*** 

Takkk! 

Suara berderak keras seperti beradunya dua 

batang besi mengiringi benturan tangan dan 

kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam 

tinggi itu. 

Melati terdorong mundur satu langkah, 

sedangkan Dewi Pencabut Nyawa terhuyung dua 

langkah ke belakang. Jelas kalau dalam adu


tenaga dalam tadi, gadis berpakaian putih itu 

lebih unggul dari lawannya. 

Dewi Pencabut Nyawa meringis. Tangan yang 

berbenturan dengan kaki gadis berpakaian putih 

itu terasa sakit bukan main. Dan hal ini tentu 

saja membuat kemarahan wanita berpakaian merah 

menyala itu semakin berkobar. 

"Pantas kau berani kurang ajar di depanku, 

Perempuan Liar! Rupanya kau memiliki sedikit 

kepandaian!" desis Dewi Pencabut Nyawa geram. 

"Tapi jangan bangga dulu! Aku belum kalah!" 

Setelah berkata demikian, wanita 

berpakaian merah menyala itu menggosok-

gosokkan kedua telapak tangannya satu sama 

lain. Akibatnya, perlahan-lahan sepasang 

tangan itu mulai berubah menghitam. Semakin 

lama tangan itu semakin hitam. Dan samar-samar 

tercium bau amis yang memuakkan. 

Melati memperhatikan semua itu dengan 

sikap waspada. Gadis berpakaian putih ini 

menyadari kalau wanita di hadapannya ini 

merupakan lawan yang amat tangguh. Dahinya 

sedikit berkernyit ketika melihat kedua tangan 

wanita berpakaian merah menyala itu menghitam 

sampai sebatas pergelangan. Apalagi begitu 

hidungnya yang berbentuk indah itu samar-samar 

mencium bau amis. 

"Racun...," desis gadis berpakaian putih 

itu pelan. Melati tahu kalau Dewi Pencabut 

Nyawa telah mengeluarkan ilmu andalannya. Maka 

tanpa ragu-ragu lagi, segera dikeluarkan ilmu 

andalannya, 'Cakar Naga Merah'. 

Dewi Pencabut Nyawa terperanjat kaget 

begitu melihat kedua tangan Melati juga 

berubah warna sampai ke pergelangan. Hanya 

saja warnanya tidak hitam seperti tangannya, 

tapi merah. Semerah darah! 

"Hiyaaa...!"


Seraya berteriak nyaring, Dewi Pencabut 

Nyawa melompat ke atas. Dan selagi tubuhnya 

berada di udara, kedua tangannya tiba-tiba 

membentuk cakar garuda. Ibu jari dan 

kelingking dilipat ke dalam, sementara jari-

jari lainnya mengembang. Dan dari atas, kedua 

cakar wanita berpakaian merah menyala itu 

mencengkeram bertubi-tubi ke arah pelipis dan 

ubun-ubun Melati. 

Wuttt! 

Suara berciutan nyaring bercampur bau amis 

yang memuakkan mengiringi tibanya serangan 

Dewi Pencabut Nyawa. 

Melatti tetap bersikap tenang. Tanpa ragu-

ragu lagi ditangkisnya sambaran cakar yang 

mengancamnya. Dengan mengerahkan ilmu 'Cakar 

Naga Merah', gadis berpakaian putih itu sama 

sekali tidak khawatir berbenturan dengan 

tangan lawan yang beracun. Warna merah pada 

kedua tangannya, bukan hanya hiasan belaka. 

Tapi mampu menghalau racun yang mencoba masuk 

ke dalam tubuhnya. Takkk, plakkk! 

Untuk yang kedua kalinya terdengar suara 

berderak keras akibat benturan kedua pasang 

tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam 

tinggi itu. Kali ini lebih keras dari 

sebelumnya, sehingga membuat tubuh Melati 

terhuyung-huyung ke belakang. 

Tapi keadaan yang dialami Dewi Pencabut 

Nyawa lebih hebat lagi. Tubuh wanita 

berpakaian merah menyala yang tadi sedang 

berada di udara, kontan terlontar kembali ke 

atas. Ada suara pekikan halus keluar dari 

mulutnya. 

 "Hup!" 

Hampir bersamaan dengan hinggapnya Dewi 

Pencabut Nyawa di tanah, Melati telah mampu 

memperbaiki posisi kuda-kudanya.



Sepasang mata Dewi Pencabut Nyawa 

terbelalak lebar begitu melihat gadis 

berpakaian putih itu masih berdiri gagah. 

Padahal selama ini setiap lawan yang 

berbenturan tangan dengannya pasti tewas 

dengan sekujur tubuh hangus. 

Semula, begitu melihat Melati menangkis 

serangannya, wanita berpakaian merah menyala 

itu sudah girang bukan main. Dia yakin sekali 

kalau gadis berpakaian putih ini akan tewas! 

Tapi kenyataan yang dilihatnya berbeda. Melati 

masih berdiri segar bugar. Tak kurang suatu 

apa! 

"Kaget, Dewi Pencabut Nyawa?" ejek Melati 

sambil tersenyum sinis. Gadis berpakaian putih 

ini dapat merasakan keterkejutan lawannya. 

"Jangan harap racunmu akan mampu melukaiku!" 

Wanita berpakaian merah menyala itu sama 

sekali tidak menanggapi ejekan Melati. Dia 

masih belum percaya kalau racun 'Ular Karang' 

yang terkenal mematikan itu tidak berpengaruh 

apa-apa pada gadis berpakaian putih di 

hadapannya ini. Maka ditunggunya beberapa 

saat, barangkali saja racunnya kali ini tidak 

bereaksi cepat seperti biasanya, hibur Dewi 

Pencabut Nyawa pada dirinya sendiri. 

Melihat lawannya hanya berdiri diam, 

Melati jadi tidak sabaran. Sama sekali tidak 

tampak tanda-tanda kalau wanita berpakaian 

merah menyala itu akan kembali menyerang. Dan 

gadis berpakaian putih itu tahu apa yang 

tengah ditunggu lawannya. 

"Tunggu apa lagi, Dewi Pencabut Nyawa? 

Percuma, racunmu sama sekali tidak ada artinya 

bagiku!" 

"Keparat!" maki Dewi Pencabut Nyawa gusar. 

Kini wanita berpakaian merah menyala itu yakin 

kalau gadis ini memang benar-benar kebal


terhadap racunnya. Maka wanita berpakaian 

merah menyala itu kembali menerjang Melati. 

Kedua tangannya berkelebat cepat, menyambar 

berbagai bagian tubuh Melati yang mematikan. 

Tapi Melati bersikap tenang. Gadis 

berpakaian putih ini memang bukan orang 

sembarangan. Bahkan masih terhitung seorang 

wanita yang berkepandaian tinggi, dan berjuluk 

Dewi Penyebar Maut (Untuk jelasnya, bacalah 

serial Dewa Arak dalam episode "Dewi Penyebar 

Maut"). Tidak terlalu sulit bagi Melati untuk 

mengelak dan membalas setiap serangan lawan. 

Di jurus-jurus awal, pertarungan kedua 

wanita yang sama-sama berilmu tinggi ini 

berlangsung imbang. Keduanya sama-sama lincah. 

Namun masih terlihat jelas kalau dalam hal 

tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh, 

tingkat kepandaian Melati masih unggul satu 

tingkat ketimbang lawannya. 

Tapi keunggulan Melati tertutup oleh 

kelebihan-kelebihan yang dimiliki Dewi 

Pencabut Nyawa. Wanita berpakaian merah 

menyala ini memiliki berbagai macam perubahan 

jurus yang penuh tipuan. Penuh kecurangan. 

Hebat bukan main akibat pertarungan yang 

ditimbulkan kedua wanita sakti ini. Tanah 

terbongkar di sana-sini. Pohon-pohon besar 

kecil yang terlanda angin pukulan mereka 

bertumbangan tak tentu arah. Suara angin 

mencicit tajam mengiringi pertarungan itu. 

Debu pun mengepul tinggi ke udara. 

Pertarungan antara kedua wanita yang sama-

sama memiliki gerakan lincah itu berlangsung 

cepat. Sehingga tak terasa tujuh puluh lima 

jurus telah berlalu. Dan sampai sejauh ini 

belum nampak tanda-tanda ada yang akan 

terdesak. 

"Keparat!"


Dewi Pencabut Nyawa menggeram murka. 

Wanita berpakaian merah menyala ini memang 

marah bukan main. Seumur hidupnya belum pernah 

dia bertempur sampai sekian lamanya tanpa 

mampu mendesak. "Hih!" 

Tiba-tiba saja, wanita berpakaian merah 

menyala itu memekik keras. Dan seiring dengan 

lenyapnya pekikan tadi, di tangan kanannya 

telah tergenggam sebatang cambuk berujung 

tiga. Ctarrr! 

Secepat cambuk itu berada di tangannya, 

secepat itu pula dilecutkan ke arah kepala 

Melati. Luar biasa! Ketiga ujung cambuk itu 

masing-masing menuju sasaran yang berbeda-

beda! Pelipis, ubun-ubun, dan bawah hidung. 

Semuanya merupakan tempat-tempat jalani darah 

yang mematikan. 

Melati agak terkejut mendapat serangan 

mendadak ini. Tapi meskipun begitu, gadis 

berpakaian putih itu tidak menjadi gugup. 

Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang, 

kemudian bersalto beberapa kali di udara. 

Tapi mana mau Dewi Pencabut Nyawa 

membiarkan lawan tangguhnya lolos? Begitu 

dilihatnya gadis berpakaian putih itu 

melenting ke belakang, wanita berpakaian merah 

menyala itu segera mengejar. Cambuk berujung 

tiga mencecar berbagai bagian berbahaya di 

tubuh Melati. 

Melati yang tahu kalau lawan terus 

mengejarnya, terus saja bersalto di udara. 

Selagi tubuhnya berada di udara, gadis 

berpakaian putih itu memutar otaknya untuk 

melepaskan diri dari cecaran ujung cambuk Dewi 

Pencabut Nyawa. 

"Hup!" 

Begitu mendapat kesempatan, buru-buru 

gadis berpakaian putih itu mendaratkan kedua


kakinya di tanah. Dan bersamaan dengan 

hinggapnya Melati, di tangannya telah 

tergenggam sebilah pedang telanjang. 

Pada saat yang bersamaan, lecutan cambuk 

berujung tiga dari Dewi Pencabut Nyawa 

menyambar ke arah tenggorokan, bawah hidung, 

dan ulu hati. Lagi-lagi bagian mematikan yang 

diincarnya. 

Ctarrrr! Wuttt! 

Wunggg! 

Terdengar suara mengaung dahsyat begitu 

Melati menggerakkan pedangnya. Inilah 'Ilmu 

Pedang Seribu Naga'! 

Rrrttt...! 

Tiga buah serangan itu kandas begitu 

Melati menyabetkan pedangnya. Tapi tak urung 

ujung cambuk itu melilit pedang gadis 

berpakaian putih yang pernah mendapat julukan 

Dewi Penyebar Maut itu. 

"Hih!" 

Dewi Pencabut Nyawa segera mengerahkan 

seluruh tenaga dalamnya untuk membetot 

cambuknya. Tentu saja gadis berpakaian putih 

itu tidak mau melepaskan pedangnya. Seluruh 

tenaga dalamnya dikerahkan untuk balas 

menarik. Sesaat lamanya terjadi adu tarik-

menarik. Semula terlihat imbang. Tapi, 

beberapa saat kemudian mulai nampak keunggulan 

Melati. 

Di saat itulah Waji yang sejak tadi 

menonton jalannya pertarungan, mendadak 

melompat menerjang. 

Srattt! 

Selagi tubuhnya berada di udara, pemuda 

berbadan lebar itu mencabut pedangnya dan 

langsung membabatkannya ke arah punggung 

Melati. Wunggg!


Suara mengaung keras terdengar begitu 

pedang Waji meluncur. 

Melati yang tidak menyangka kalau pemuda 

berbadan lebar itu akan bertindak selicik ini, 

menjadi terkejut. Seketika itu juga 

perhatiannya terpecah. Dan dengan sendirinya 

tenaga tarikannya berkurang. Akibatnya tubuh 

gadis berpakaian putih itu terbawa tarikan 

Dewi Pencabut Nyawa ke depan. Tapi justru hal 

ini malah menguntungkannya. Wusss! 

Serangan pedang Waji menyambar lewat di 

belakang punggung Melati. Hanya setengah 

jengkal dari tubuh gadis berpakaian putih itu. 

Melati memang berhasil lolos dari babatan 

pedang Waji. Tapi, hal ini bukan berarti 

dirinya sudah lolos dari maut. Karena begitu 

tubuhnya tertarik oleh betotan Dewi Pencabut 

Nyawa, kaki wanita berpakaian merah menyala 

itu melayang ke arah perutnya. Bukkk! "Hugh!" 

Telak dan keras sekali tendangan itu 

menghantam perut Melati. Seketika itu juga 

gadis berpakaian putih itu terjengkang ke 

belakang. Sekujur perutnya dirasakan mual dan 

mules bukan main. Darah segar pun menetes 

deras dari sudut-sudut mulutnya. 

Tapi hebatnya, meskipun terjengkang, 

Melati mari mampu membebaskan pedangnya dari 

belitan cambuk lawan. Dan begitu pedangnya 

bebas, tubuh gadis berpakaian putih ini segera 

melesat kabur. 

Dewi Pencabut Nyawa menggertakkan gigi. 

Segera dia bergerak hendak mengejar. Wanita 

berpakaian merah menyala ini yakin akan mampu 

mengejar gadis berpakaian putih itu. Apalagi 

Melati sudah terluka!. Tapi.... 

"Ibu...! Tahan...!" 

Wanita berpakaian merah menyala itu 

terpaksa mengurungkan langkahnya. Kepalanya


ditolehkan kearah putranya. Sinar matanya 

tajam, penuh tuntutan. 

"Kita masih ada urusan yang lebih penting 

lagi, Ibu," ucap pemuda berbadan lebar itu 

sebelum Dewi Pencabut Nyawa mengajukan 

pertanyaan. 

"Ah...! Kau benar, Waji! Urusan dengan 

gadis itu bisa ditunda nanti. Sedangkan urusan 

kita tidak bisa ditunda lebih lama lagi!" 

sambut Dewi Pencabut Nyawa baru teringat. 

"Itulah sebabnya aku menahan Ibu," sahut 

Waji lagi seraya tersenyum lebar. 

Dewi Pencabut Nyawa mengangguk-anggukkan 

kepalanya. Sepasang matanya menatap jauh ke 

depan. Ke arah Melati tadi melarikan diri. 

Tapi kini gadis berpakaian putih itu telah 

lenyap ditelan jalan. 

"Tunggulah, Gadis Liar...," desis wanita 

berpakaian merah menyala itu penuh ancaman. 

"Sekarang kau boleh lolos dari tanganku. 

Tapi..., lain kali jangan harap akan semujur 

ini...!" 

"Sudahlah, Ibu," potong Waji cepat "Nanti, 

Setan Kepala Besi akan marah jika kita 

terlambat." 

Di mulutnya, pemuda berbadan lebar ini 

berkata begitu, tapi di hatinya terselip 

penyesalan yang besar. Sungguh di luar 

dugaannya kalau gadis berpakaian putih yang 

telah membangkitkan nafsunya itu berhasil 

meloloskan diri. Kalau saja tidak mengingat 

urusan penting yang harus dilakukannya, tentu 

Waji tidak akan mencegah ibunya mengejar 

Melati. 

"Hhh...!" Dewi Pencabut Nyawa menghela 

napas panjang. Kemudian melesat meninggalkan 

tempat itu. Menyusul putranya yang telah 

berkelebat lebih dulu.


*** 

"Hhh...!" 

Seorang laki-laki tinggi besar berkepala 

botak menghela napas berat. Sepasang matanya 

kembali menatap ke bawah lereng. Entah untuk 

yang ke berapa kalinya dia berbuat begitu. Dan 

setiap kali menatap ke arah lereng yang sunyi, 

desah kekesalan terlontar dari mulutnya. Jelas 

ada sesuatu yang ditunggu orang yang berjuluk 

Setan Kepala Besi itu. 

"Ke mana, si keparat Waji," keluh laki-

laki tinggi besar berkepala botak kesal. 

Rupanya Setan Kepala Besi tengah menunggu 

pemuda berbadan lebar. 

Baru saja keluar kekesalan hatinya, 

pendengarannya yang tajam menangkap suara 

langkah kaki mendekat. Semula wajah laki-laki 

tinggi besar berkepala botak ini berseri-seri. 

Tapi begitu tahu kalau langkah yang bergerak 

mendekat itu tidak hanya sepasang, dahinya 

berkemyit dalam. Meskipun begitu, Setan Kepala 

Besi tetap saja berdiri menunggu. 

Sesaat kemudian berkelebat dua sosok 

tubuh, yang kemudian mendarat ringan di depan 

laki-laki tinggi besar berkepala botak itu. 

Setan Kepala Besi menatap kedua sosok 

tubuh yang berdiri di hadapannya. Dan seketika 

itu juga senyumnya mengembang begitu mengenali 

kedua sosok tubuh itu. Yang seorang adalah 

Waji. Sedangkan seorang lagi, adalah wanita 

setengah baya berpakaian merah menyala. 

Dandanannya terlihat begitu seronok. Sementara 

di pinggangnya terselip sebatang cambuk. 

"Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa 

bergelak. "Sungguh tidak kusangka kalau kau


akan datang ke sini, Dewi Pencabut Nyawa. Ha 

ha ha...!" 

"Siapa yang tidak tertarik dengan jamur 

ajaib itu, Setan Kepala Besi!" sahut wanita 

berpakaian merah menyala yang ternyata adalah 

Dewi Pencabut Nyawa. "Tidak percuma kau 

menjadi suamiku!" 

"Ah, jangan terlalu memujiku, Dewi 

Pencabut Nyawa. Yang paling berjasa adalah 

anakmu. Waji! Dialah yang merencanakan 

semuanya," jawab Setan Kepala Besi mengelak. 

Wajah Dewi Pencabut Nyawa nampak merengut 

begitu mendengar ucapan Setan Kepala Besi. 

"Jadi, kau masih belum menganggap Waji 

sebagai anakmu sendiri? Bukankah kita telah 

sepuluh tahun lebih menjadi suami istri, Setan 

Kepala Besi?!" tegur wanita berpakaian merah 

menyala Itu bernada keras. 

"Maafkan aku, Dewi Pencabut Nyawa," ucap 

laki-laki tinggi besar berkepala botak itu 

cepat. "Bukannya aku tidak mengakuinya. Tapi, 

mulutku yang ceplas-ceplos inilah yang kadang 

membuatku lupa. Tapi, percayalah.... Aku telah 

menganggap Waji sebagai anakku sendiri." 

Seketika itu juga, wajah Dewi Pencabut 

Nyawa kembali berseri-seri. Jelas kalau Setan 

Kepala Besi telah berhasil membujuknya. 

"Nanti malam, bulan akan bersinar penuh, 

Setan Kepala Besi," ucap wanita berpakaian 

merah menyali itu bernada memberi tahu. 

"Aku juga tahu, Dewi Pencabut Nyawa," 

sambut laki-laki berkepala botak itu tak mau 

kalah. 

"Dan itu berarti..., jamur-jamur ajaib itu 

telah tumbuh. Bukankah begitu, Setan Kepala 

Besi?"



"Tidak salah, Dewi Pencabut Nyawa," jawab 

laki-laki berkepala botak itu sambil 

mengangguk-angguk. 

"Kau sudah memeriksanya, Setan Kepala 

Besi?" tanya wanita berpakaian merah menyala 

itu sambil menatap tajam wajah laki-laki 

berkepala botak di hadapannya. Sorot matanya 

menampakkan kecurigaan. Setan Kepala Besi 

menggelengkan kepala. "Aku menunggu kalian 

dulu agar kita bisa melihatnya bersama-sama. 

Tadi aku sudah mengambil keputusan, kalau 

kutunggu kalian sebentar lagi, tidak juga 

datang... aku akan melihatnya sendirian!" 

"Untung kami segera datang...," sahut Waji 

yang sejak tadi berdiam diri saja. 

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita 

ke sana!" 

sambut Dewi Pencabut Nyawa tak sabar. "He 

he he...!" 

Setan Kepala Besi tertawa terkekeh. "Kau 

ini masih seperti dulu saja, Dewi Pencabut 

Nyawa! Tidak sabaran!" ucap laki-laki 

berkepala botak itu menyindir. 

Tapi wanita berpakaian merah menyala itu 

sama sekali tidak menanggapi sindiran itu. 

Hanya suara dengusan dari hidungnya saja yang 

terdengar. 

"Sekarang bukan waktunya untuk bermain-

main, Setan Kepala Besi!" tandas Dewi Pencabut 

Nyawa keras. Tapi mulutnya menyunggingkan 

senyuman. Jelas kalau jawaban keras itu tak 

keluar dari hatinya. 

"Kalau begitu..., mari ikut aku, Dewi 

Pencabut Nyawa," ajak Setan Kepala Besi seraya 

melesat meninggalkan tempat itu. Sudah bisa 

diduga kalau laki-laki tinggi besar berkepala 

botak ini akan menuju ke gua bekas tempat 

tinggal Kalapati.


Dewi Pencabut Nyawa hanya tertawa mengikik 

sesaat. Kemudian tubuhnya pun telah menyusul 

Setan Kepala Besi yang telah melesat lebih 

dulu. 

Waji pun tak mau ketinggalan. Pemuda 

berbadan lebar yang ternyata putra Dewi 

Pencabut Nyawa ini, segera berlari menyusul 

kedua tokoh sesat itu. 

*** 

Terdengar tawa keras bergelak dari dalam 

sebuah gua di lereng Gunung Palanjar. Menilik 

dari tawa yang menggelegar itu, dapat 

diperkirakan kalau pemiliknya memiliki tenaga 

dalam yang amat tinggi. 

Belum juga habis gema suara tawa itu, 

sebuah tawa lain yang melengking nyaring 

terdengar menyahuti. Jelas dapat diketahui 

kalau pemilik suara tawa yang kedua ini adalah 

seorang wanita. 

Di dalam gua yang semula merupakan tempat 

tinggal Kalapati, nampak tiga sosok tubuh 

berjongkok menatap ke salah satu sudut gua. 

Jelas ada sesuatu yang menarik perhatian 

mereka. 

"Ha ha ha...!" 

Kembali terdengar tawa keras menggelegar. 

Suara tawa itu ternyata keluar dari mulut 

Setan Kepala Besi. 

"Jamur ajaib ini akan menjadi milik 

kita...! Ha ha ha...!" teriak laki-laki tinggi 

besar berkepala botak itu sambil tertawa 

bergelak. Pandangan matanya menatapi ke arah 

jamur-jamur putih yang tumbuh berkelompok di 

salah satu sudut gua. 

"Benar, Setan Kepala Besi! Dan kita akan 

menjadi orang yang sakti yang tak terkalahkan!


Hi hi hi...!" sambut Dewi Pencabut Nyawa 

seraya menatap wajah laki-laki tinggi besar 

berkepala botak itu. 

"Sebenarnya..., apakah kegunaan jamur itu 

selain untuk menambah tenaga dalam, Bu?" tanya 

seorang pemuda berbadan lebar yang ternyata 

adalah Waji. 

Dewi Pencabut Nyawa menatap tajam wajah 

putranya. 

"Memang hanya itulah kegunaan jamur ini, 

Waji," jawab wanita berpakaian merah menyala 

itu memberi tahu. 

"Ah...! Khasiatnya ternyata tidak sebesar 

namanya...," ucap Waji bernada mencemooh. 

"Kau ini memang aneh, Waji," selak Setan 

Kepala Besi. "Kadang-kadang kau bertindak 

cerdik Cerdik sekali malah. Tapi..., tak 

jarang pula kau bodoh seperti kerbau!" 

Merah wajah Waji mendengar ucapan laki-

laki tinggi besar berkepala botak itu. 

"Atas dasar apa, kau menuduhku demikian, 

Setan Kepala Besi?" tanya pemuda berbadan 

lebar itu. Nada penasaran nampak jelas dalam 

suaranya. 

"Ucapanmu yang tadi," sahut Setan Kepala 

Besi tak acuh. Sepasang matanya kembali 

dialihkan pada kelompok jamur putih. 

"Hm.... Mengenai jamur itu, Setan Kepala 

Besi?" tanya Waji memastikan. 

"Memangnya, kau pikir ucapanmu yang mana?" 

Setan Kepala Best balas bertanya lagi. 

Sementara Dewi Pencabut Nyawa sama sekali 

tidak mempedulikan keributan itu. Wanita 

berpakaian merah menyala ini masih saja sibuk 

dengan tanaman jamur itu. 

"Bukankah ucapanku benar. Setan Kepala 

Besi?!" sambut Waji tak mau kalah. "Tanaman 

itu hanya besar di namanya saja. Jamur Sisik


Naga! Tak tahunya kegunaannya hanya untuk 

menambah tenaga dalam saja!" 

"Kau memang berotak kerbau, Waji!" 

akhirnya Dewi Pencabut Nyawa ikut angkat suara 

pula. Ucapan pemuda berbadan lebar itu 

setidak-tidaknya telah menuduh dia dan Setan 

Kepala Besi mengejar-ngejar sesuatu yang sama 

sekali tidak berharga. 

Semakin merah wajah Waji mendengar ibunya 

juga menyalahkannya. Bahkan makian dari wanita 

berpakaian merah menyala itu malah lebih keras 

daripada makian Setan Kepala Besi. 

"Di mana kau bisa mendapatkan tambahan 

tenaga dalam?!" tanya Dewi Pencabut Nyawa 

dengan suara keras. 

"Apa susahnya, Bu?" jawab Waji ringan. 

"Dengan semadi dan pemapasan, aku dapat 

menambah kekuatan tenaga dalamku!" 

"Anak berotak kerbau!" maki Dewi Pencabut 

Nyawa. Rupanya makian yang baru saja 

didapatkan Setan Kepala Besi, terasa enak 

diucapkan. Terbukti wanita berpakaian merah 

menyala itu tidak bosan-bosannya memaki 

anaknya sendiri dengan makian itu. "Berapa 

besar sih, tambahan tenaga dalam yang kau 

peroleh dari semadi dan pemapasan?! Kau tahu, 

dengan makan sebuah jamur ini, kau akan 

mendapat tambahan tenaga dalam yang sama 

seperti kau berlatih pernapasan dan semadi 

satu tahun!" 

"Hah...?!" Waji melongo. "Bbb... benarkah 

apa yang Ibu katakan...?" 

"Kalau tidak begitu, buat apa jamur ini 

mempunyai nama begitu keren, Jamur Sisik Naga. 

Dan juga untuk apa aku dan Setan Kepala Besi 

bersusah payah untuk mendapatkannya!" sahut 

Dewi Pencabut Nyawa dengan raut wajah 

menyiratkan kemenangan.


"Pantas...," gumam pemuda berbadan lebar 

itu pelan. Kepalanya mengangguk-angguk Jelas 

ada satu kesimpulan yang telah didapatkannya. 

"Apanya yang pantas?" tanya Dewi Pencabut 

Nyawa Ingin tahu. 

"Setan Kepala Besi sangat takut rahasia 

ini tercium oleh orang persilatan.... Kiranya 

khasiat jamur ini begitu hebat..." 

Setan Kepala Besi hanya mendengus. Sama 

sekali tidak disahutinya ucapan pemuda 

berbadan lebar itu. 

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita 

petik jamur-jamur ini!" ucap Waji tiba-tiba 

sambil menghampiri kelompok tanaman jamur itu. 

Tapi belum juga kedua tangan pemuda 

berbadan lebar itu menjangkau tanaman jamur 

itu, sebuah tangan berotot kekar telah 

mencekal pergelangan tangannya. 

"Diam di situ dulu, Waji!" ucap Setan 

Kepala Besi bernada perintah. 

"Mengapa, Setan Kepala Besi? Apakah aku 

tidak boleh memakannya? Dan Jamur Sisik Naga 

itu hanya untukmu semua?!" sahut pemuda 

berbadan lebar itu bernada menuduh. 

Setan Kepala Besi menatap tajam wajah 

Waji. "Tutup mulutmu, Waji! Sebelum aku yang 

menutupnya!" ancam laki-laki tinggi besar 

berkepala botak itu. Setan Kepala Besi ini 

memang tersinggung sekali mendapat tuduhan 

seperti tadi. "Kau tahu, saat ini Jamur Sisik 

Naga belum bisa dimakan. Tapi kalau sudah 

bosan hidup, kau boleh memakannya." 

"Mengapa begitu, Setan Kepala Besi?" tanya 

Waji. Suaranya kini mulai pelan kembali. 

Keterangan laki-laki tinggi besar berkepala 

botak itu membuat emosi nya mereda. 

"Memang begitulah keanehan Jamur Sisik 

Naga ini, Waji," jawab Setan Kepala Besi


memberi tahu. "Selagi berwarna putih, jamur 

ini mengandung racun mematikan! Jangankan 

termakan, tersentuh pun sudah berbahaya." 

"Lalu..., kapan jamur itu akan berguna 

untuk menambah tenaga?" tanya Waji lagi. 

"Besok. Setelah bulan purnama telah 

lenyap." 

"Jadi.., sewaktu masih ada bulan purnama, 

Jamur Sisik Naga mengandung racun mematikan? 

sambut Waji yang mulai mengerti. 

"Dan besok.., apabila jamur ini telah 

berubah jadi hijau dan bersisik seperti naga, 

baru kita bisa memakannya," sambung laki-laki 

tinggi besar berkepala botak itu cepat. 

"Jamur ini akan berubah seperti itu?!" 

tanya Waji setengah tak percaya. 

"Benar," sahut Dewi Pencabut Nyawa. 

"Itulah sebabnya diberi nama Jamur Sisik 

Naga!" 

"Kitalah yang beruntung mendapatkannya, 

Waji," sambung Setan Kepala Besi 

"Dan... kita akan menjadi tokoh tak 

terkalahkan! Ha ha ha...!" Dewi Pencabut Nyawa 

ikut menimpali. 

Sesaat kemudian, di dalam gua tempat 

tinggal Kalapati itu terdengar suara tawa 

bergelak. Suara tawa yang sambung menyambung 

seperti tidak akan pernah berhenti. 

*** 

Seorang pemuda berambut putih keperakan 

dan seorang gadis berpakaian jingga melangkah 

perlahan menuju mulut sebuah desa. Keduanya 

tak lain adalah Dewa Arak dan Karmila yang


tengah dalam perjalanan menuju Gunung 

Palanjar. 

Tapi ketika jarak antara kedua orang itu 

dengan tembok batas desa telah tinggal sekitar 

belasan tombak, Dewa Arak dan Karmila 

menolehkan kepalanya ke arah semak-semak di 

sekeliling mereka. Pendengaran kedua muda-mudi 

yang terlatih baik itu menangkap adanya suara 

berkeresekan dari arah itu. 

Belum lagi kedua muda-mudi itu berbuat 

sesuatu, dari balik kerimbunan semak-semak itu 

melesat belasan sosok tubuh dengan senjata 

terhunus. Dan secepat sosok-sosok tubuh itu 

keluar dari semak-semak, secepat itu pula 

bergerak mengurung Arya dan Karmila. 

Dewa Arak dan Karmila terpaksa 

menghentikan langkahnya. Sepasang mata kedua 

orang itu menatap berkeliling. Ternyata mereka 

telah terkurung! "Hhh...!" 

Dewa Arak menghela napas berat. Pemuda 

berambut putih keperakan itu tidak merasa 

kaget melihat kejadian ini. Hal seperti ini 

memang kerap terjadi setelah dia melibatkan 

diri dalam persoalan ini. Dan pandang mata 

Arya yang tajam, langsung mengenal kalau 

sebagian besar dari mereka adalah 

pengeroyoknya beberapa hari yang lalu. 

"Sekarang kita bebas untuk bertarung 

kembali Dewa Sesat!" teriak laki-laki gagah 

bersenjataka sepasang tombak pendek. Suaranya 

keras dan kasar. Jelas kalau orang ini masih 

memendam rasa penasaran pada Dewa Arak. 

"Ya. Kini kita sudah berada di luar 

wilayah Kerajaan Bojong Gading!" sambung tokoh 

persilatan lainnya. 

Suara-suara bernada cemoohan terhadap Dewa 

Arak terdengar susul-menyusul. Tapi, pemuda 

berambut putih keperakan itu hanya tersenyum


getir. Semua cemoohan itu sama sekali tidak 

ditanggapinya. 

"Kalian tidak percaya, kalau kukatakan 

bahwa, gadis ini sama sekali tidak bersalah?" 

sahut Arya begitu suara-suara riuh itu telah 

mereda. 

"Bicaralah dengan nenek moyangmu!" sergah 

laki-laki bersenjata sepasang tombak pendek 

keras "Kawan-kawan...! Serang...!" 

Setelah berkata demikian, laki-laki ini 

lalu menerjang Dewa Arak. Sepasang tombak 

pendeknya berkelebat cepat ke berbagai bagian 

tubuh pemuda berambut putih keperakan itu. 

Belum juga sergapan sepasang tombak itu 

tiba, serangan tokoh-tokoh persilatan lainnya 

juga meluncur tiba. Sebagian di antara mereka 

menyerang Dewa Arak Sedangkan yang sebagian 

lagi menyerbu Karmila. 

Sesaat kemudian, hujan senjata pun 

berhamburan di sekujur tubuh Dewa Arak. Tapi 

pemuda berambut putih keperakan itu tidak 

menjadi gugup. Dari desir angin yang 

mengiringi serangan senjata itu, sudah dapat 

diukur kekuatan tenaga dalam para 

pengeroyoknya. 

Maka tanpa ragu-ragu lagi segera ditangkis 

dengan tangan dan kakinya. Itu pun hanya 

serangan yang menuju ke arah mata. 

Takkk, takkk! 

Terdengar suara keras beberapa kali ketika 

Dewa Arak menangkis hujan senjata yang menuju 

mata dengan tangannya. Hebat akibatnya! 

Senjata-senjata itu terpental balik ke arah 

asalnya. Sementara tangan pemiliknya tergetar 

hebat. 

Sementara itu serangan yang menuju ke arah 

berbagai bagian tubuh yang lain, dibiarkan 

saja. Luar biasa! Setiap kali sambaran senjata


itu mengenai tubuh pemuda itu, tak secuil pun 

kulitnya terluka. Bahkan 

sebaliknya senjata-senjata itu sendiri 

yang membalik. Bukan hanya itu saja. Tangan 

yang menggenggam senjata itu pun terasa sakit-

sakit. 

Sebaliknya, setiap kali Arya balas 

menyerang, sudah dapat dipastikan ada tubuh 

pengeroyok yang roboh ke tanah. 

Berlainan dengan Dewa Arak yang begitu 

mudah menghadapi pengeroyoknya, Karmila 

terlihat repot sekali. Pedangnya berkelebatan 

cepat menangkis setiap serangan lawannya. 

Terdengar suara berdentangan keras berkali-

kali setiap pedang gadis ini berbenturan 

dengan senjata lawannya. 

Sebenarnya, tingkat kepandaian gadis 

berpakaian jingga itu jauh di atas para 

pengeroyoknya. karena lawan terlalu banyak, 

tak urung gadis ini terdesak juga. Meskipun 

begitu, sulit bagi para pengeroyoknya untuk 

menyarangkan senjatanya ke tubuh Karmila. 

"Hih...!" 

Karmila menggertakkan gigi. Pedangnya 

berputar-putar membentuk lingkaran di depan 

dada. Kemudian membabat cepat ke leher salah 

seorang pengeroyoknya. 

Crattt! "Aaakh...!" 

Suara jerit lengking kematian terdengar, 

begitu ujung pedang Karmila mengoyak leher 

pengeroyok yang sial itu Seketika itu juga, 

tubuh tokoh persilatan itu roboh ke tanah. 

Menggelepar-gelepar sejenak kemudian diam 

tidak bergerak lagi. 

Kematian salah seorang rekannya, tentu 

saja mengakibatkan para pengeroyok itu semakin 

beringas. Dan dengan sendirinya, serangan 

mereka pun semakin berbahaya.


"Hiyaaa...!" 

Karmila memekik nyaring. Gadis berpakaian 

jingga itu mengamuk dahsyat. Pedang di 

tangannya berkelebatan cepat mencari sasaran. 

*** 

Dewa Arak berbeda dengan Karmila yang demi 

untuk menyelamatkan selembar nyawanya tidak 

segan-segan menjatuhkan tangan maut pada para 

pengeroyoknya. Pemuda berambut putih keperakan 

itu sama sekali tidak menggunakan ilmu 

andalannya. Ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan 

Harimau' pun sudah lebih dari cukup untuk 

menghadapi para pengeroyoknya. 

Memang menggiriskan akibat sepak terjang 

pemuda berambut putih keperakan itu. Ke mana 

saja tangan atau kakinya berkelebat, sudah 

dapat dipastikan ada lawan yang roboh dan 

kemudian tak mampu melanjutkan pertarungan 

lagi. Meskipun begitu, tak seorang pun di 

antara mereka yang tewas atau terluka berat. 

Tak sampai delapan jurus, pengeroyok Dewa Arak 

yang tadi berjumlah belasan, kini tinggal dua 

orang, salah seorang di antaranya adalah laki-

laki gagah bersenjatakan sepasang tombak 

pendek. Dan memang Dewa Arak sengaja 

menjatuhkannya belakangan. Arya Ingin memberi 

pelajaran yang lebih keras pada laki-laki yang 

bermulut dan berpikiran kotor itu. 

"Akh...!" 

Lagi-lagi terdengar suara pekikan tertahan 

diiringi robohnya salah seorang pengeroyoknya 

ketika tangan Dewa Arak berkelebat. Kini hanya 

tinggal laki-laki gagah bertombak pendek yang 

masih mampu berdiri tegak. 

Walaupun hanya tinggal sendiri, dan yakin 

kalau dirinya tak akan mungkin menang


menghadapi lawan yang amat tangguh ini, laki-

laki bertombak pendek itu tidak menjadi 

gentar. Dia masih tetap mengadakan perlawanan 

sengit. Dan hal ini tentu saja membuat Dewa 

Arak menjadi kagum. "Haaat..!" 

Sepasang tombak pendeknya meluruk deras. 

Yang kanan disabetkan ke arah leher, sementara 

yang kiri ditusukkan ke perut Dewa Arak. 

Wukkk, wuttt! 

Arya hanya tersenyum hambar. Tangan 

kirinya bergerak memapak serangan tombak yang 

menuju ke lehernya dengan menggerakkan 

tangannya dari dalam keluar. Sementara 

serangan yang menuju ke perurnya ditangkapnya. 

Takkk, tappp! 

"Akh...!" 

Laki-laki gagah bersenjata tombak pendek 

itu memekik tertahan. Tangan kanannya terasa 

lumpuh seketika begitu tombaknya berbenturan 

dengan tangan kiri Dewa Arak. 

Belum lagi laki-laki itu sadar dari 

keterkejutannya, Dewa Arak telah menggertakkan 

tombak yang tadi telah dicengkeramnya. 

"Ah...!" 

Tanpa sadar laki-laki gagah bertombak 

pendek itu memekik tertahan, begitu tubuhnya 

melayang tinggi ke udara. 

Brukkk! 

Suara berdebuk keras terdengar begitu 

tubuh laki-laki itu terbanting keras di tanah, 

lalu menggeliat-geliat kesakitan di tanah. 

Selesai membereskan pengeroyoknya, Dewa 

Arak 

segera melompat ke arah Karmila yang masih 

sibuk menghadapi hujan senjata lawan. Dan 

begitu pemuda berambut putih keperakan itu 

turun tangan, dalam beberapa gebrakan saja 

pengeroyok gadis berpakaian jingga itu kocar


kacir tak tentu arah. Pekik-pekik kesakitan 

diiringi dengan berpentalannya tubuh-tubuh, 

segera terdengar susul-menyusul. 

Dewa Arak memandangi sosok-sosok tubuh 

yang bergeletakan di tanah sejenak. Kemudian 

pandangannya dialihkan pada Karmila. 

"Mari kita lanjutkan perjalanan kita, 

Karmila," ajak Arya. 

Tanpa berkata apa-apa, Karmila segera 

melangkah meninggalkan tempat itu. Mengikuti 

Dewa Arak yang telah berjalan lebih dulu. 

*** 

Akhirnya, setelah melalui berbagai 

hambatan dan gangguan di perjalanan, kedua 

muda-mudi itu tiba di kaki Gunung Palanjar. 

Dewa Arak sama sekali tidak tahu kalau Melati 

telah tiba di sini lebih dulu, dan hampir 

celaka di tangan Dewi Pencabut Nyawa. 

Arya mengedarkan pandangannya berkeliling. 

Diam-diam ada rasa kecut di hatinya, tatkala 

membayangkan kalau seandainya dia gagal 

menyingkap rahasia terbunuhnya dua orang murid 

Perguruan Pedang Ular. Seumur hidupnya Dewa 

Arak akan dikejar-kejar dan diburu oleh tokoh-

tokoh persilatan golongan putih. Dia akan 

dianggap mencemarkan nama pendekar. 

Tapi Dewa Arak tidak bisa termenung lebih 

lama lagi karena Karmila telah bergerak 

mendaki lereng. Tubuh gadis itu melesat cepat 

ke atas. Sesekali kakinya memijak batu-batu 

yang menonjol, sebagai landasan untuk 

melompat. Sesaat kemudian tubuhnya melenring 

ke atas. Dan begitu seterusnya. 

Arya segera bergerak mengikuti. Sengaja 

pemuda berambut putih keperakan itu tidak


mengerahkah seluruh ilmu meringankan tubuhnya 

agar tetap berada di belakang gadis itu. 

Cukup lama juga Dewa Arak mendaki lereng 

Gunung Palanjar. Melesat ke sana kemari. 

Menotong sana-sini. Sampai akhirnya pemuda 

berambut putih keperakan itu terpaksa 

menghentikan larinya begitu melihat Karmila 

berdiri termenung. Arya bergegas menghampiri. 

"Ada apa, Karmila?" tanya Dewa Arak 

lembut. "Ah... aku..., aku lupa jalannya, 

Arya," sahut gadis berpakaian jingga itu 

gugup. Menilik dari raut wajahnya yang merah 

padam. Jelas kalau gadis ini merasa malu. Maka 

Dewa Arak tidak mendesaknya. 

"Sudahlah, Karmila. Tidak usah kau 

pikirkan. Adalah suatu hal yang wajar, apabila 

seseorang lupa," sahut pemuda berambut putih 

keperakan itu bernada menghibur. 

"Tapi, mana bisa aku lupa, Arya. Aku telah 

tinggal di sini selama belasan tahun. Dan aku 

tahu betul jalannya. Aku yakin kalau telah 

menempuh jalan yang benar. Tapi..., rasanya 

jalan ini tidak pernah ada sebelumnya," bantah 

Karmila tidak mau dianggap lupa. 

"Aku belum paham maksudmu, Karmila?" 

sambut Arya yang merasa bingung mendengar 

ucapan gadis berpakalan jingga itu. 

"Jalan ini tidak pernah ada 

sebelumnya...," sambut Karmila setengah 

bergumam. 

Mendengar ucapan gadis itu, Dewa Arak jadi 

penasaran. Bergegas dihampirinya tempat yang 

membuat gadis itu bingung. Kemudian 

diperiksanya. 

"Kau benar, Karmila," ucap Dewa Arak 

setelah memeriksanya beberapa saat. "Ada 

perubahan yang terjadi di sekitar tempat ini.



Mungkin karena tanahnya longsor..., atau 

terjadi pergeseran tanah di sini." 

"Lalu, kalau begitu... bagaimana, Arya?" 

tanya Karmila meminta pendapat pemuda berambut 

putih keperakan itu. 

Dewa Arak tercenung sejenak. Jelas tampak 

kalau Arya tengah berpikir. 

"Lebih baik kita kembali dulu, Karmila," 

usul Arya. "Dan nanti kalau kita sampai di 

tempat yang kau kenali, kita ambil jalan 

memutar saja. Bukankah ada jalan lain menuju 

tempat tinggal ayahmu?" tanya Dewa Arak 

meminta kepastian. 

Karmila menganggukkan kepalanya. "Tapi..., 

kita akan menempuh jalan yang agak jauh, 

Arya," sahut gadis berpakaian jingga itu 

bernada ragu-ragu. 

"Tidak mengapa, Karmila," sambut Dewa Arak 

cepat "Yang penting..., masalah ini akan cepat 

Karmila tidak bisa membantah lagi. Gadis itu 

bergegas menuruni lereng. Sementara Dewa Arak 

mengikuti di belakang. Kini keduanya menuju 

bekas tempat tinggal Kalapati melalui jalan 

memutar. 

Dewa Arak baru menyadari alasan Karmila 

segan melalui jalan memutar. Jalan ini terlalu 

sulit untuk dilalui. Jalan-jalannya licin, 

bahkan kadang-kadang harus menembus rerimbunan 

semak-semak berduri yang lebat. Dan masih 

banyak lagi kesulitan yang mereka alami. 

"Hup!" 

Karmila melompat lalu hinggap di atas 

sebongkah batu besar. Tapi baru saja hendak 

melompat lagi pendengarannya yang tajam 

mendengar adanya suara rintihan samar-samar. 

Tentu saja hal ini membuat gadis berpakaian 

jingga itu menghentikan gerakannya. Dan segera 

dicarinya asal rintihan lirih itu.



"Hup!" 

Indah dan manis sekali tubuh Dewa Arak 

melompat. Sesaat kemudian, kedua kakinya telah 

mendarat tanpa suara di sebelah Karmila. 

"Ada apa, Karmila?" tanya pemuda berambaut 

putih keperakan itu. Arya sudah merasa curiga 

begitu melihat gadis berpakaian jingga itu 

menghentikan gerakannya. Apalagi ketika 

melihat Karmila seolah-olah tengah mencari-

cari sesuatu. 

"Entahlah, Arya," sahut Karmila dengan 

suara mengambang. "Tadi sepertinya aku 

mendengar suara orang merintih. Tapi...." 

Dewa Arak mengerutkan alisnya. "Apakah kau 

yakin, Karmila? Tidakkah suara itu tercipta 

karena khayalanmu sendiri?" tanya Arya meminta 

kepastian. 

"Aku tidak tahu," jawab gadis berpakaian 

jingga itu sambil mengangkat bahu. "Tapi, 

suara itu sepertinya benar-benar nyata. Bukan 

khayalan...." 

"Kalau begitu... kita harus menyelidiki 

tempat ini," ucap Dewa Arak memutuskan. "Aku 

yakin kalau apa yang kau dengar itu benar... 

orang itu pasti tidak jauh dari sini." 

"Tapi, Arya...," bantah Karmila ragu. "Ada 

apa, Karmila?" tanya pemuda berambut putih 

keperakan itu. Nada suaranya masih tetap 

sabar. 

"Bagaimana kalau suara yang kudengar itu 

hanya khayalanku saja, Arya? Bukankah itu 

berarti... perjalanan kita akan semaian 

terhambat?" 

Dewa Arak hanya tersenyum sabar. Dia tahu 

kalau ucapan yang tadi akan dilanjutkan oleh 

Karmila, bukan itu. Kalimat yang akan 

dilanjutkan Karmila sudah bisa diduganya. Apa 

lagi kalau bukan merasa merepotkan dirinya?


Memang, setelah melakukan perjalanan bersama 

beberapa lama, pemuda berambut putih keperakan 

itu sudah bisa menebak sifat Karmila. Gadis 

itu memiliki sifat tak mau merepotkan orang! 

"Tidak apa-apa, Karmila! Sebaliknya, kalau 

ternyata suara itu memang benar ada, lalu kita 

melewatkannya. Bukankah itu berarti kita telah 

menyia-nyiakan orang yang berniat meminta 

pertolongan?" hibur Dewa Arak sebisa-bisanya. 

"Tapi..." 

"Sudahlah, Karmila," potong Arya cepat. 

"Mari kita cari asal suara rintihan itu." 

Setelah berkata dmikian, pemuda berambut 

putih keperakan itu segera mengedarkan 

pandangannya berkeliling. 

Dan selagi Dewa Arak sibuk mencari-cari, 

terdengar suara rintihan lemah tadi. Kali ini 

bukan hanya Karmila saja yang mendengar, tapi 

juga Dewa Arak. "Nah, itulah rintihan yang 

tadi kudengar, Arya," seru gadis berpakaian 

jingga itu sambil menoleh ke arah asal suara. 

Hanya anggukan kepala pemuda berambut 

putih keperakan saja yang menjawab ucapan 

Karmila. Arya sendiri sudah sibuk mengalihkan 

perhatian ke arah suara itu. 

"Hih...!" 

Mendadak Dewa Arak melompat dari batu 

besar tempatnya berdiri. Seketika itu juga 

tubuhnya melayang ke bawah. 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat 

di tanah. Cepat pemuda berambut putih 

keperakan menoleh ke sana kemari. Dan belum 

lagi Arya menemukan pemilik suara rintihan 

itu, Karmila telah mendarat di sebelahnya. 

Sama seperti Dewa Arak, Karmila pun langsung 

mengawasi sekelilingnya begitu tiba di tanah. 

"Aaah...!"


Rintihan memilukan itu kembali terdengar. 

Kali ini suara lebih jelas dari sebelumnya. 

Jelas kalau kedua muda-mudi itu semakin dekat 

dengan asal suara rintihan itu. 

"Suara rintihan itu berasal dari bawah 

sana," ucap Dewa Arak seraya menunjuk ke arah 

bawah. Memang Arya dan Karmila berada di 

tempat yang agak tinggi. Tanah di depan kedua 

muda-mudi itu menurun agak curam. Dan di bawah 

sana terhampar rerimbunan semak-semak dan 

pohon-pohon yang cukup lebat. 

"Benar, Arya," dukung gadis berpakaian 

jingga itu Kepala gadis itu mengangguk pelan. 

Setelah yakin akan kebenaran dugaannya, 

Dewa Arak dan Karmila kemudian bergerak menuju 

ke sana. Dan semakin mereka mendekat, suara 

rintihan itu semakin jelas terdengar. "Itu 

dia...!" 

Karmila berseru keras saking gembiranya. 

Tangan kanannya menuding ke satu arah. Dewa 

Arak mengikuti arah telunjuk gadis berpakaian 

jingga itu. 

Sekitar tiga tombak dari tempat mereka 

berdiri, tergolek sesosok tubuh berpakaian 

kuning. Sekujur tubuhnya penuh luka-luka. 

Darah yang telah mengering nampak di sekujur 

tubuhnya. 

Bergegas Dewa Arak dan Karmila menghampiri 

sosok tubuh berpakaian kuning itu. 

 "Ihhh...!" 

Terdengar seruan kaget dari mulut Karmila 

ketika melihat wajah sosok tubuh berpakaian 

kuning itu. Dewa Arak sampai terjingkat saking 

kagetnya. 

"Ada apa, Karmila?" tanya pemuda berambut 

putih keperakan begitu melihat keterkejutan 

gadis berpakaian Jingga itu.


"Dia... dia salah seorang dari tiga murid 

Perguruan Pedang Ular yang kuceritakan itu, 

Arya," jawab karmila memberi tahu. 

"Jadi, inikah orang yang katanya telah 

terbunuh oleh ayahmu itu?" Dewa Arak balas 

bertanya. Dahi pemuda berambut putih keperakan 

berkerut. Jelas ada sesuatu yang tengah 

dipikirkannya. 

"Ya," sahut Karmila singkat. 

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Ditatapnya sekujur tubuh yang tergolek itu 

penuh perhatian. Sosok tubuh itu ternyata 

adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi 

kurus dan bermata sipit. Dan memang apa yang 

dikatakan Karmila benar. Sosok tubuh yang 

tergolek itu adalah Rupangki. Salah seorang 

murid utama Perguruan Pedang Ular. 

Beberapa saat lamanya, Dewa Arak meneliti 

pemuda berpakaian serba kuning yang tergolek 

di hadapannya. Baru setelah itu, tubuhnya 

dibungkukkan untuk memeriksa luka-luka di 

sekujur tubuh pemuda itu. 

Ternyata hampir tidak ada luka yang 

terjadi akibat pukulan tenaga dalam. Darah 

kering yang menempel di sekujur tubuhnya, 

jelas bukan karena terkena senjata tajam. Tapi 

jelas karena tersayat duri atau ranting pohon. 

Sebagian besar hanya lecet-lecet. Hanya saja 

sambungan kedua tulang lututnya lepas. Begitu 

pula dengan sambungan sikut tangan kirinya. 

Melihat keadaan yang dideritanya, tidak 

aneh kalau Rupangki hanya dapat tergolek tanpa 

daya. 

Tubuh pemuda itu yang memang sudah kurus, 

kini hanya tinggal tulang dan kulit. Rupanya, 

Rupangki sudah cukup lama berada di tempat 

ini. Pemuda bertubuh tinggi kurus itu hanya 

makan seadanya. Kalau saja Karmila tidak


melihat lambang pedang terhunus terlilit 

seekor ular, tentu sudah tidak mengenalinya 

lagi. 

"Benar, kau murid Perguruan Pedang Ular?" 

tanya Dewa Arak seraya menatap tajam wajah 

Rupangki. 

"Benar," sahut pemuda bertubuh tinggi 

kurus itu sambil menganggukkan kepalanya. 

"Kalau boleh kutahu, siapakah namamu, 

Kisanak?" 

"Rupangki," sahut pemuda tinggi kurus itu 

pelan. 

Dewa Arak hanya manggut-manggut 

"Dan..., kau sendiri siapa, Kisanak?" 

tanya pemuda bertubuh tinggi kurus itu pula. 

"Panggillah aku Arya," sahut Dewa Arak 

memperkenalkan diri. "Apakah kau yang 

mengunjungi tempat kediaman Kalapati?" 

"Ya. Kami bertiga memang mengunjungi 

tempat kediaman Kalapati. Tapi semua itu 

adalah keinginan Kakang Waji. Aku dan Kakang 

Jalasa hanya ikut saja." 

"Lalu, ke mana perginya teman-temanmu yang 

lain?" desak pemuda berambut putih keperakan 

itu lebih jauh. Berpura-pura tidak tahu. 

"Kakang Jalasa telah tewas...." 

"Tewas?! Lalu... bagaimana dengan Waji?" 

Arya berpura-pura tidak tahu. 

"Kakang Waji?!" Ada kegeraman terkandung 

dalam suara pemuda bertubuh tinggi kurus itu. 

"Justru keparat Waji itulah yang telah 

melakukan semua ini!" 

"Maksudmu bagaimana, Rupangki? Aku belum 

mengerti," tanya Dewa Arak lagi, sebenarnya 

Arya yang cerdik ini sudah bisa menduganya. 

Rupangki menarik napas dalam-dalam dan 

menghembuskannya kuat-kuat.


"Mulanya kami mengira Kakang Waji cukup 

parah... sehingga aku bersama Kakang Jalasa 

memapahnya," ucap pemuda bertubuh tinggi itu 

memulai ceritanya seraya menatap wajah 

Karmila. Gadis yang telah memikat hatinya 

sejak pertemuan pertama mereka. Hanya saja 

Rupangki terhitung pemuda yang kurang bisa 

bercakap-cakap dan lebih su!ka memendam 

perasaannya di hati. 

"Hm...," Dewa Arak hanya bergumam tak 

jelas. Sementara Karmila mendengarkan semua 

cerita Rupangki dengan jantung berdebar 

tegang. 

"Sungguh sama sekali tidak kami sangka..., 

begitu tiba di sebuah lereng terjal, Kakang 

Waji berontak. Kuat sekali rontaannya, 

sehingga aku yang sama sekali tidak menduga 

apa-apa, terpental bergulingan." 

Kembali pemuda tinggi kurus itu 

menghentikan ceritanya. Ditariknya napas 

dalam-dalam, mungkin untuk melonggarkan 

dadanya yang terasa sesak begitu mengingat 

semua kejadian yang dialaminya. 

"Aku terpental deras ke arah jurang. Tapi 

untunglah kedua tanganku sempat menggapai 

bibir jurang. Di saat itulah kulihat 

pemandangan yang sampai mati pun tidak akan 

kulupakan." Lagi-lagi Rupangki menghentikan 

ceritanya. Sepasang matanya nampak merembang 

berkaca-kaca. Karuan saja Karmila yang ingin 

buru-buru mengetahui akhir cerita itu jadi 

agak kesal juga. Tapi, mau tidak mau rasa 

kesal itu terpaksa ditahannya. 

"Apa yang kau lihat, Rupangki?" tanya Dewa 

Arak ingin tahu. 

"Kakang Waji menusukkan pedangnya ke perut 

Kakang Jalasa yang tengah terhuyung-huyung. 

Dan kemudian menendang mayatnya ke dalam




jurang," ucap Rupangki terputus-putus. "Bahkan 

bukan hanya itu saja. Begitu dilihatnya aku 

belum masuk ke jurang, dia pun lalu 

menghampiriku. Akhirnya, tanpa peduli pada 

keselamatanku lagi, kuputuskan untuk melompat 

ke dalam jurang. Dan... inilah akibatnya...." 

"Jadi..., kiranya pemuda keparat itulah 

biang keladinya...! Awas kau, Waji! Akan 

kucincang tubuhmu!" ancam Karmila. Keras dan 

kasar suaranya. Bahkan sepasang mata gadis itu 

memancarkan sinar berkilat. Jelas kalau gadis 

berpakaian jingga ini dilanda kemarahan yang 

amat sangat. 

"Tenangkan hatimu dulu, Karmila," ucap 

Dewa Arak memberi nasihat. "Yang penting, kita 

harus menyembuhkan luka-luka Rupangki dulu. 

Karena dialah satu-satunya saksi yang dapat 

menyelamatkan kita dari buruan orang-orang 

persilatan golongan putih. Di samping itu 

juga..., untuk membersihkan nama baik ayahmu." 

Karmila langsung terdiam. Gadis itu 

menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya 

kuat-kuat. 

Dicobanya meredakan kemarahan yang 

bergolak. 

"Sebenarnya..., apa yang terjadi, Arya?" 

tanya Rupangki ingin tahu. Pemuda bertubuh 

tinggi kurus itu tidak bertanya kepada 

Karmila. Dia masih merasa tidak enak pada 

gadis berpakaian jingga itu mengingat sikap 

yang tidak pantas dari kakak seperguruannya. 

Dewa Arak pun menceritakan semua yang 

dialami Karmila. 

"Ahhh...!" seru Rupangki terkejut begitu 

Arya menyelesaikan ceritanya. "Kalau begitu, 

aku harus cepat-cepat ke Perguruan Pedang 

Ular." 

"Untuk apa?" tanya Karmila.



"Untuk memberitahukan kejadian yang 

sebenarnya," sahut pemuda tinggi kurus itu 

tandas. "Keterlaluan sekali, Kakang Waji. 

Jangan khawatir, Nini. Aku akan membantumu 

menangkapnya!" 

"Terima kasih, Rupangki," hanya itu yang 

diucapkan Karmila. 

"Tapi, sebelum kita ke Perguruan Pedang 

Ular. Luka-lukamu harus disembuhkan dulu, 

Rupangki, ucap Dewa Arak. 

"Tapi... tidakkah hal itu jadi terlalu 

lama? Dan..., urusan Nini Karmila akan semakin 

berlarut-larut." Rupangki mencoba membantah. 

Dia kini telah mendapat kesempatan untuk 

menunjukkan perhatiannya pada gadis berpakaian 

jingga yang telah menarik hatinya itu. 

"Tidak mengapa, Rupangki," sahut Karmila 

cepat. 

"Kalau begitu..., terserah kalian saja," 

ucap pemuda bertubuh tinggi kurus itu 

mengalah. 

Dewa Arak bersyukur dalam hati melihat hal 

ini. Arya tahu kalau Rupangki mempunyai 

perasaan lain terhadap Karmila. Bahkan 

berharap semoga saja gadis berpakaian jingga 

itu akan membalas rasa simpati pemuda bertubuh 

tinggi kurus itu. 

"Kalau begitu..., mari kita cari tempat 

yang layak untuk mengobati luka Rupangki, 

Karmila," ajak Dewa Arak sambil memondong 

tubuh Rupangki. 

Tak lama kemudian, ketiganya sudah 

meninggalkan tempat itu. Mencari tempat untuk 

mengobati luka-luka murid Perguruan Pedang 

Ular itu. 

***


Plak, plak, plak..! 

Suara kelepak sayap kelelawar, mengusik 

keheningan malam sepi. Bulan bulat penuh 

nampak di langit. Memang, malam ini adalah 

malam bulan purnama. Di bawah keremangan sinar 

rembulan, nampak berkelebat sesosok tubuh 

berpakaian kuning. Gerakannya cepat bukan 

main, sehingga yang terlihat hanyalah 

sekelebat bayangan kekuningan yang membelah 

keremangan malam. 

Sosok berpakaian kuning itu terus melesat 

cepat. Menilik dari kecepatan geraknya, bisa 

diperkirakan kalau sosok bayangan kuning ini 

memiliki kepandaian tinggi. 

Kecepatan lari sosok bayangan kuning itu 

baru berkurang, ketika mulai mendekati 

bangunan besar berhalaman luas. Sebuah 

bangunan megah yang dikelilingi pagar tinggi 

dari kayu bulat. 

"Hup!" 

Tepat di depan pintu gerbang, bayangan 

kuning itu menghentikan larinya. Sekilas 

sepasang matanya menatap sebuah papan tebal 

berukir yang terpampang di atas pintu gerbang. 

Tampak jelas huruf-huruf yang tertera di papan 

berukir itu, Perguruan Golok Maut. 

Perlahan sosok bayangan kuning itu 

mendekati pintu gerbang. Kemudian tangannya 

diulurkan mengetuk. 

Tok, tok, tok! 

Kelihatan perlahan saja, tangan sosok 

berpakaian kuning itu mengenai daun pintu 

gerbang. Tapi akibatnya luar biasa! Terdengar 

suara keras, seolah-olah pintu gerbang itu 

dipukul dengan sebuah balok besar.



Tentu saja suara berisik dari pintu 

gerbang itu membuat beberapa murid Perguruan 

Golok Maut yang tengah bertugas jaga, 

berhamburan ke arah pintu gerbang. 

"Sepertinya ada tamu yang datang," sahut 

salah seorang di antara mereka yang berperut 

gendut. 

"Buka pintu gerbang," perintah salah 

seorang yang berwajah hitam. Rupanya dialah 

yang bertugas menjadi kepala jaga. 

"Tapi, Kang Tarji," salah seorang yang 

bertubuh kecil kurus mencoba membantah. 

"Bagaimana kalau orang yang baru datang, 

bermaksud tidak baik?" 

"Aku yang bertanggung jawab!" tandas laki-

laki berwajah hitam yang ternyata bernama 

Tarji. Bukan karena kesombongan kepala jaga 

ini berkata begitu, tapi karena keyakinannya 

kalau orang yang datang secara terang-terangan 

begitu, tidak mungkin bermaksud jelek. 

Murid Perguruan Golok Maut yang bertubuh 

kecil kurus, tidak membantah. Segera saja dia 

beranjak ke pintu gerbang. Mengangkat palang 

pintu gerbang dan kemudian menarik daun pintu-

gerbang yang besar dan berat . 

Kriiit..! 

Terdengar suara berderit tajam begitu 

pintu gerbang itu membuka. 

"Ketua kalian ada?" tanya sosok tubuh 

berpakaian kuning itu. 

"Ah, kiranya Ki Gambala...!" seru murid 

Perguruan Golok Maut yang bertubuh kecil 

kurus, begitu melihat orang yang berdiri di 

balik pintu gerbang itu. "Ada, Kek" 

"Bisa mengantarku padanya?" tanya sosok 

berpakaian kuning yang ternyata Gambala itu. 

"Ooo..., bisa. Bisa, Kek," sahut Tarji 

mendahului menjawab. "Mari kuantar."


Setelah berkata demikian, kepala jaga ini 

pun meninggalkan tempat itu. Sementara murid 

yang bertubuh kecil kurus, kembali menutup 

pintu gerbang. Lalu bersama rekan-rekan 

lainnya meneruskan penjagaan kembali. 

Tarji membawa Ketua Perguruan Pedang Ular 

itu ke ruang semadi si Golok Emas. Memang 

sejak kematian adik seperguruannya beberapa 

hari yang lalu, Ketua Perguruan Golok Maut itu 

lebih suka mengurung diri di ruang semadinya. 

Tok, tok, tok...! 

Laki-laki berwajah hitam itu mengetuk 

pintu ruang semadi si Golok Emas. Ruangan itu 

hanya kecil saja. Ukurannya paling banyak tiga 

kali tiga tombak. 

"Siapa di luar?" tanya sebuah suara. Baik 

Tarji maupun Gambala mengenali siapa pemilik 

suara itu. Siapa lagi kalau bukan Ketua 

Perguruan Golok Maut, Si Golok Emas! 

"Tarji, Guru," sahut laki-laki berwajah 

hitam itu cepat. 

Hening sejenak. Tak terdengar sahutan 

setelah Tarji menjawab pertanyaan si Golok 

Emas. 

"Apa keperluanmu, Tarji?" kembali 

terdengar suara Ketua Perguruan Golok Maut 

itu. 

"Anu, Guru.., Ketua Perguruan Pedang Ular 

ingin bertemu Guru." 

Sesaat kemudian, pintu ruangan itu pun 

terkuak. Dan dari balik daun pintu itu muncul 

seraut wajah seorang kakek berjenggot putih 

panjang. Itulah Ketua Perguruan Golok Maut 

"Silakan masuk, Gambala," ucap si Golok 

Emas mempersilakan. Raut wajahnya terlihat 

muram. Rupanya kakek berjenggot panjang ini 

masih terpukul dengan kematian adik 

seperguruannya.


"Aku mohon diri dulu, Guru," ucap Tarji 

seraya menjura hormat. Dan segera berlalu 

begitu. Ketua Perguruan Golok Maut itu 

menganggukkan kepalanya. 

Gambala melangkah masuk. Dan setelah kakek 

bermata sayu itu telah berada di dalam, si 

Golok Emas segera menutup pintu. 

"Apakah keperiuanmu datang malam-malam 

begini, Gambala?" tanya Ketua Perguruan Golok 

Maut itu begitu keduanya telah bersila. Nada 

suara kakek berjenggot panjang ini terdengar 

datar. 

"Kau tidak ingin membalaskan sakit hati 

adik seperguruanmu, Golok Emas?" kakek bermata 

sayu itu balas bertanya. Langsung pada pokok 

persoalan. Sama sekali tidak dipedulikannya 

pertanyaan Ketua Perguruan Golok Maut tadi. 

Si Golok Emas menggelengkan kepalanya. 

"Mengapa?" desak Ketua Perguruan Pedang 

Ular itu lagi. 

"Lupakah kau, Gambala?!" sergah kakek 

berjenggot panjang itu. "Bukankah Kalapati 

telah tewas?!" 

"Kalapati memang benar telah tewas. Tapi 

tidakkah kau ingin membalaskan dendammu pada 

putrinya?! Kau tahu putrinya itu tak kalah 

jahat ketimbang ayahnya!" sahut Gambala 

bernada membakar. 

"Sayang sekali, Gambala. Aku sama sekali 

tidak berminat..," jawab kakek berjenggot 

panjang itu pelan. 

"Hhh...!" Ketua Perguruan Pedang Ular itu 

menghela napas berat. 

"Mengapa tidak kau sendiri saja yang 

melenyapkan putri Kalapati itu, Gambala?" 

tanya si Golok Emas bernada menyelidik.


"Ada orang kuat yang berdiri di 

belakangnya," sahut Ketua Perguruan Pedang 

Ular itu bernada keluhan. 

"Dewa Arak, maksudmu?" tebak kakek 

berjenggot panjang itu. 

Gambala menganggukkan kepalanya. 

"Dia memang seorang pemuda yang luar 

biasa!" puji Ketua Perguruan Golok Maut itu 

itu tulus. "Aku yakin, kalau Kalapati masih 

hidup..., belum tentu datuk sesat itu mampu 

mengalahkannya...." 

"Ya," Gambala menganggukkan kepalanya 

"Sayangnya, pendekar itu telah terpikat pada 

kecantikan putri Kalapati. Dan kini..., Dewa 

Arak akan jadi ancaman besar bagi dunia 

persilatan. Khususnya untuk tokoh-tokoh 

golongan putih. Kalau tidak buru-buru 

dilenyapkan, bukan tidak mungkin kelak akan 

membunuh kita semua...." 

"Aku kira hal itu tidak mungkin terjadi, 

Gambala," bantah si Golok Emas. "Menurut 

berita yang kudengar, Dewa Arak tidak pernah 

membunuh tokoh-tokoh persilatan golongan putih 

yang mengeroyoknya. Bahkan melukai secara 

berat pun tidak juga." 

Seketika itu juga, wajah Ketua Perguruan 

Pedang Ular itu berubah merah padam. 

"Mungkin sekarang tidak, Golok Emas. 

Tapi..., nanti siapa tahu?" ucap Gambala 

dengan suara mengambang. 

Si Golok Emas sama sekali tidak menyahuti 

ucapan kakek bermata sayu itu. Ketua Perguruan 

Golok Maut itu hanya mengangkat bahu saja. 

Setelah Gambala menghentikan ucapannya, 

suasana pun menjadi hening. 

"Jadi..., kau tidak berniat melenyapkan 

iblis betina itu, Golok Emas?" tanya Ketua 

Perguruan Pedang Ular itu meminta ketegasan.


"Ya," jawab kakek berjenggot panjang itu. 

"Berita yang kudengar selama ini membuatku 

ragu akan kebenaran berita kalau Dewa Arak 

tersesat. Mata hatiku yakin kalau pemuda itu 

berada di jalan yang benar." 

Gambala sama sekali tidak menanggapi 

ucapan Ketua Perguruan Golok Maut itu. 

"Kalau begitu..., aku permisi saja, Golok 

Emass!" ucap kakek bermata sayu itu seraya 

bangkit berdiri. 

"Ah...! Mengapa terburu-buru, Gambala," 

sahut kakek berjenggot panjang itu agak 

terkejut. 

"Masih banyak urusan yang harus 

kuselesaikan, Golok Emas." 

Setelah berkata demikian, Ketua Perguruan 

Pedang Ular segera melangkah keluar. Si Golok 

Emas mengantarnya. Sesaat kemudian kedua ketua 

perguruan besar beraliran putih ini sudah 

melangkah berdampingan tanpa mengucapkan 

sepatah kata pun. 

Ketua Perguruan Golok Maut mengantar 

tamunya sampai keluar pintu gerbang 

perguruannya. Kemudian setelah tamunya lenyap 

ditelan kegelapan malam, diperintahkannya 

murid peronda untuk menutup pintu gerbang 

kembali. 

*** 

Untuk kesekian kalinya sang surya kembali 

muncul di ufuk Timur. Sinarnya yang lembut 

menyorot persada. Burung-burung bercicit riang 

menyambut terbitnya bola api besar yang masih 

berwarna merah itu. Binatang-binatang pun 

tahu, telah tiba saatnya bagi mereka untuk 

mencari makan.


Tiga sosok bayangan berkelebat cepat 

menuruni lereng Gunung Palanjar. Rata-rata 

gerakan mereka cepat dan gesit bukan main. 

Sehingga yang tampak hanyalah sekelebatan 

bayangan jingga, ungu, dan biru. 

Dua di antara tiga bayangan itu berlari 

berdampingan. Sementara sosok yang berwarna 

ungu, berlari di belakang mereka. 

Tiga sosok tubuh yang sedang menuruni 

lereng Gunung Palanjar adalah Karmila, 

Rupangki, dan Dewa Arak Berkat kemahiran Arya 

dan terutama sekali karena Karmila mempunyai 

obat yang mujarab, Rupangki kembali sembuh 

seperti sediakala, setelah beristirahat selama 

dua hari. Dan pagi ini, ketiga muda-mudi ini 

memutuskan untuk pergi ke Perguruan Pedang 

Ular untuk memberi tahu hal yang sebenarnya. 

"Aku turut berduka cita atas kematian 

ayahmu, Karmila," entah untuk yang ke berapa 

kalinya kata-kata itu keluar dari mulut 

Rupangki. Memang pemuda bertubuh tinggi kurus 

itu kurang bisa mencari bahan percakapan, 

padahal dia ingin sekali selalu berdekatan dan 

berbincang-bincang dengan gadis berpakaian 

jingga yang berwajah molek dan bertubuh 

ramping itu. Sehingga hanya ucapan itu saja 

yang diulang-ulangnya. 

Arya yang berlari di belakang, sengaja 

memberi kesempatan pada Rupangki berbincang-

bincang dengan Karmila, diam-diam tersenyum 

geli. Ucapan itu selalu diulang-ulang oleh 

pemuda bertubuh tinggi kurus itu, setiap kali 

hendak mengajak Karmila berbincang-bincang. 

Sekuat tenaga ditahannya ledakan tawa yang 

hampir keluar dari mulutnya. 

"Terima kasih, Rupangki," sahut Karmila 

sambil terus berlari. Gadis berpakaian jingga 

ini tentu saja dapat merasakan kalau pemuda


bertubuh tinggi kurus itu mempunyai perhatian 

lain terhadapnya. Tapi bagaimana dengan Dewa 

Arak yang dikaguminya? Seorang pemuda yang 

matang, bijaksana, dan berani memegang prinsip 

meskipun harus berhadapan dengan apa pun! 

Pemuda yang telah membuat rasa kagumnya 

semakin lama semakin bertambah! 

Sehabis gadis berpakaian jingga itu 

menghentikan ucapannya, suasana pun kembali 

hening. Kaki-kaki mereka terus bergerak. Tapi 

pikiran mereka melayang-layang entah ke mana. 

Sementara di belakang kedua orang itu, Dewa 

Arak hanya memperhatikan saja. Rasa geli dan 

kasihan melilit hari Arya begitu melihat 

Rupangki yang ingin sekali berbincang-bincang 

dengan Karmila, tapi tidak mempunyai bahan 

percakapan. 

Berkat pengalamannya menghadapi berbagai 

ragam tabiat manusia, Dewa Arak tahu kalau 

gadis seperti Karmila haus akan kasih sayang 

dan perhatian. Gadis berpakaian jingga itu 

adalah gadis yang manja dan biasa mendapat 

kasih sayang dan pematian penuh dari ayahnya. 

Dan kini setelah sang Ayah tiada, dengan 

sendirinya apa yang biasa didapatkan kini 

tidak dapat diterimanya lagi. Saat ini Karmila 

pasti merindukan kasih sayang dan perhatian 

seperti yang dulu diterimanya. Tapi tentu saja 

kini bukan dari ayahnya lagi, tapi dari 

seorang laki-laki yang bukan ayahnya dan juga 

bukan keluarga atau temannya. 

"Untuk menaklukkan hati Karmila, berikan 

perhatian penuh kepadanya, Rupangki." 

Rupangki terlonjak kaget begitu mendengar 

suara yang amat dikenal menggema di 

telinganya. Saking kagetnya, langkah kaki 

pemuda ini sampai terhenti seketika. Suara itu


adalah suara Arya! Tanpa sadar pemuda bertubuh 

tinggi kurus itu menoleh ke belakang. 

"Ada apa, Rupangki?" tanya Karmila seraya 

menghentikan larinya pula. Gadis berpakaian 

jingga itu memang terkejut melihat pemuda 

tinggi kurus itu tiba-tiba menghentikan 

larinya. "Apakah masih ada rasa sakit yang kau 

rasakan?" 

"Ah..., eh... ti... tidak ada apa-apa," 

sahut Rupangki agak gugup. "Mari kita 

lanjutkan perjalanan kita." 

Setelah berkata demikian, Rupangki kembali 

melanjutkan langkahnya. Mau tidak mau Karmila 

pun melangkahkan kakinya pula. Gadis 

berpakaian jingga itu tahu kalau ada sesuatu 

yang membuat Rupangki terkejut. Hanya 

sayangnya, pemuda bertubuh tinggi kurus itu 

tidak mau berterus-terang. 

"Tanyakanlah padanya tentang bunga 

kesenangannya..., pakaian kesukaannya..., ilmu 

silatnya..., dan masih banyak lagi...." 

Lagi-lagi suara Arya bergema di telinga 

pemuda bertubuh tinggi kurus itu. Seketika 

wajah Rupangki berseri-seri. Kini pikirannya 

telah terbuka. Dia sudah mendapat bahan 

pembicaran untuk berbincang-bincang dengan 

gadis berwajah molek dan bertubuh ramping yang 

telah menarik hatinya itu. Pemberitahuan Dewa 

Arak telah membuka pikirannya. Diam-diam 

pemuda bertubuh tinggi kurus ini merasa sangat 

berterima kasih sekali atas petunjuk pemuda 

berambut putih keperakan itu. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rupangki 

segera mempraktekkan semua ajaran Arya. Dan 

memang setelah itu pembicaraan pun menjadi 

berlangsung panjang. Pemuda bertubuh tinggi 

kurus itu kini telah bisa mengembangkan bahan 

pembicaraan sendiri. Sepanjang perjalanan



menuju Perguruan Pedang Ular, kedua orang itu 

terus terlibat pembicaraan. 

Dewa Arak tak henti-hentinya memberi 

petunjuk pada Rupangki untuk bersikap 

bagaimana terhadap Karmila. Bahkan atas 

anjuran pemuda berambut putih keperakan itu 

pula, pada saat mereka beristirahat, pemuda 

bertubuh tinggi kurus itu mencarikan bunga 

kesukaan Karmila. Dan memberikannya pada gadis 

berpakaian jingga itu. Hampir-hampir Rupangki 

melompat girang dan memeluk Arya sebagai tanda 

rasa terima kasih yang amat sangat, begitu 

dilihatnya Karmila menerima bunga 

pemberiannya. Dan yang lebih membuat Rupangki 

lebih gembira adalah ketika gadis pujaannya 

menerima bunga itu dengan senyum ceria. 

*** 

Ketiga orang itu melakukan perjalanan 

dengan tidak tergesa-gesa. Pada keesokan 

harinya, barulah tampak bangunan Perguruan 

Pedang Ular di kejauhan. 

"Itu dia Perguruan Pedang Ular, Karmila," 

ucap Rupangki memberitahu sambil menudingkan 

jari telunjuknya. 

Karmila dan Dewa Arak mengangguk-anggukkan 

kepalanya pertanda mengerti. 

"Mari kita bergegas ke sana," ajak pemuda 

tinggi kurus itu lagi sambil menarik tangan 

Karmila. Memang, kini hubungan antara Rupangki 

dan gadis berpakaian jingga itu sudah semakin 

akrab. 

Karmila tidak banyak membantah. Meskipun 

begitu, ada segumpal rasa khawatir yang 

mencekam hati gadis berpakaian jingga itu. 

Rasa khawatir kalau murid-murid Perguruan 

Pedang Ular langsung menyerangnya. Tapi,


Karmila percaya penuh kalau Rupangki dapat 

menjelaskan permasalahannya. Dan lagi..., 

bukankah ada Dewa Arak di situ? 

Bukan hanya Karmila saja yang dilanda rasa 

khawatir. Dewa Arak pun dilanda perasaan 

serupa. Tapi seperti biasa, pemuda berambut 

putih keperakan itu mampu menyembunyikan rasa 

cemasnya. Dia percaya penuh kalau Rupangki 

akan berundak cepat begitu melihat gelagat 

yang tidak baik. Memang, selagi mereka 

melakukan perjalanan kemari, pemuda tinggi 

kurus itu berjanji akan menjernihkan 

persoalan. 

Apa yang dikhawatirkan Arya dan Karmila 

tepat sekali. Begitu murid-murid penjaga pintu 

gerbang Perguruan Pedang Ular melihat 

kedatangan Karmila dan Dewa Arak, mereka 

segera menghunus senjata masing-masing dan 

bersikap waspada. Sedangkan salah seorang di 

antaranya segera berlari ke dalam, memberi 

tahu kedatangan musuh-musuh mereka kepada 

Gambala. 

Kedua murid penjaga pintu gerbang 

Perguruan Pedang Ular tidak segera dapat 

mengenali Rupangki. Karena pemuda tinggi kurus 

itu kini sudah tidak mengenakan seragam 

perguruan lagi. Pakaian seragam Perguruan 

Pedang Ular telah dibuangnya karena telah 

kotor dan habis terkoyak-koyak. Yang segera 

langsung dikenali oleh penjaga pintu gerbang 

itu adalah Dewa Arak dan Karmila yang memiliki 

ciri-ciri menyolok. 

Baru setelah ketiga orang itu semakin 

dekat dengan pintu gerbang, murid-murid 

Perguruan Pedang Ular yang semuanya sudah 

bergerak keluar menjadi terkejut. Mereka 

mengenali Rupangki yang menurut cerita Waji


telah tewas di tangan Kalapati. Dan tentu saja 

hal ini membuat mereka semua terkejut. 

"Kakang Rupangki! Kaukah itu?!" seru salah 

seorang murid Perguruan Pedang Ular kaget 

bercampur gembira. 

"Ya. Aku Rupangki! Lupakah kalian semua?!" 

sahut pemuda bertubuh tinggi kurus itu 

membenarkan. 

"Rupangki! Apa yang kau lakukan ini?!" 

tegur laki-laki bertubuh kekar berotot dan 

berambut kepang. Inilah salah seorang dari 

empat murid kepala Perguruan Pedang Ular. 

Setingkat dengan Waji. Nama orang ini adalah 

Jirin. "Bukankah kau telah tewas?! Mengapa 

tiba-tiba kau datang, dan bersama musuh besar 

kita?!" 

"Ceritanya panjang, Kakang Jirin. Tapi 

percayalah, kedua orang ini bukanlah musuh. 

Kang. Bahkan sebaliknya..., merekalah yang 

telah menyelamatkan aku dari kematian," ucap 

pemuda bertubuh tinggi kurus itu memberi tahu. 

"Omongan macam apa itu?!" sergah Jirin 

keras. 

"Rupangki! Rupanya kedua orang itu telah 

menyihirmu! Sehingga kau tidak dapat 

membedakan mana kawan dan mana lawan!" 

"Percayalah, Kang Jirin. Kedua orang ini 

bukanlah musuh!" sambut Rupangki lagi seraya 

terus melangkah maju. Tangan kirinya masih 

tetap menggenggam tangan kanan Karmila. Dan 

dengan sendirinya, gadis berpakaian jingga itu 

ikut melangkah ke depan. 

Mau tidak mau Dewa Arak terpaksa ikut 

melangkah maju. Arya khawatir akan terjadinya 

sesuatu yang sama sekati tidak diharapkan. 

Dalam hatinya, pemuda ini menyesali sikap 

Rupangki yang tidak tahu gelagat dengan terus 

melangkah maju. Padahal saudara-saudara


seperguruannya telah siap dengan senjata 

terhunus. 

"Kau telah tidak waras lagi, Rupangki!" 

bentak 

Jirin keras. "Serang...!" 

Tentu saja murid-murid Perguruan Pedang 

Ular yang sejak tadi telah siaga dengan 

senjata terhunus, segera menerjang Rupangki. 

Tapi tentu saja serangan mereka ditujukan pada 

Karmila. 

Rupangki terkejut bukan main mendapat 

serangan yang tidak disangka-sangka itu. 

Apalagi yang menyerang bukan hanya seorang, 

melainkan belasan. Hujan senjata kontan 

meluruk ke arah Karmila. "Kakang! Tahan...!" 

Di saat-saat terakhir, Rupangki masih 

mencoba mencegah. Tapi sia-sia. Kakak 

seperguruannya, dan juga rekan-rekannya sama 

sekali tidak mempedulikannya. Mereka yakin 

kalau pemuda bertubuh tinggi kurus itu telah 

dipengaruhi oleh putri Kalapati. Entah ilmu 

sihir atau ilmu apa, mereka tidak tahu. 

Melihat saudara-saudara seperguruannya 

sama sekali tidak mempedulikan teriakannya, 

Rupangki menjadi kalap. Secepat kilat 

pedangnya dicabut, dan ditangkisnya serangan 

yang mengancam gadis ber pakaian jingga itu. 

Berbarengan dengan itu, pegangangnya pada 

tangan Karmila dilepaskan. Dan begitu 

tangannya terlepas, putri Kalapati itu segera 

melempar tubuhnya ke belakang dan bergulingan 

menjauh. 

Trang, trang...! 

Suara berdentang nyaring segera terdengar 

begitu pedang Rupangki berbenturan dengan 

senjata saudara-saudara seperguruannya. Tak 

pelak lagi, pemuda bertubuh tinggi kurus itu 

pun terhuyung ke belakang. Dan di saat itulah,


hujan senjata meluruk ke arah Karmila yang 

tengah bergulingan. Melihat banyaknya serangan 

yang menyambar ke arah tubuh gadis berpakaian 

jingga itu, sudah bisa diperkirakan kalau 

Karmila akan sulit lolos dari maut 

"Karmila...!" 

Rupangki menjerit melihat bahaya maut 

mengancam keselamatan gadis yang dicintainya. 

Suara pemuda bertubuh tinggi kurus itu 

melengking bercampur isak. Suara yang keluar 

dari mulut seorang yang melihat kekasihnya 

terancam maut tanpa mampu menolongnya, karena 

tubuh Rupangki sendiri tengah terhuyung-

huyung. 

Di saat-saat kritis bagi keselamatan 

Karmila, Dewa Arak segera melesat ke arah 

putri Kalapati itu. Dan begitu tiba, pemuda 

berambut putih keperakan ini segera memutar-

mutarkan kedua tangannya. 

Hebat bukan main! Dari kedua tangan yang 

berputaran di depan dada itu, timbul angin 

keras yang membuat murid-murid Perguruan 

Pedang Ular berpentalan seperti dilanda angin 

topan. 

Brukkk! 

Suara berdebukan keras segera terdengar 

begitu belasan sosok tubuh itu berjatuhan di 

tanah. Senjata-senjata mereka telah 

berpentalan entah ke mana. 

"Ah...!" Rupangki berseru kaget bercampur 

girang. Cepat laksana kilat pemuda bertubuh 

tinggi kurus itu menghambur ke arah Karmila 

yang kini telah bangkit dari bergulingnya. 

Wajah gadis itu masih nampak pucat Jelas kalau 

tadi pun gadis berpakaian jingga itu telah 

dilanda perasaan terkejut yang amat sangat. 

"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya 

Rupangki terbata-bata. Sebenarnya bodoh sekali


pertanyaan itu. Sudah jelas kalau gadis itu 

sama sekali tidak apa-apa. Tapi masih juga 

ditanyakan demikian. Ketegangan Rupangki yang 

masih tersisa, membuat kata-kata yang keluar 

dari mulutnya tidak terkontrol lagi. 

"Untung, Dewa Arak cepat bertindak," sahut 

Karmila bernada mendesah. Seketika itu juga 

ada rasa rendah diri di hati Rupangki, 

mendengar ucapan itu. Mengapa harus Dewa Arak 

yang menolong Karmila? Kenapa tidak dia saja? 

Sesalnya dalam hati. 

"Kau harus hati-hati, Rupangki," ucap Dewa 

Arak memberi nasihat "Rekan-rekanmu kati ini 

tidak segan-segan untuk membunuhmu." 

"Mengapa begitu, Arya?" tanya pemuda 

bertubuh tinggi kurus itu tidak mengerti. 

"Mungkin mereka mengira kalau kau sudah 

kami pengaruhi," jelas Arya. 

"Ahhh...! Kiranya begitu...," sahut 

Rupangki mulai paham masalahnya. 

Tapi Dewa Arak tidak bisa melanjutkan 

ucapannya lagi karena murid-murid Perguruan 

Pedang Ular yang dirobohkannya telah bangkit 

kembali. Memang pemuda berambut putih 

keperakan itu tadi hanya mengerahkan tenaga 

untuk melontarkan mereka saja. Arya tidak 

bermaksud melukai mereka. Dewa Arak hanya 

ingin menyelamatkan Karmila. 

"Tahan...!" 

Terdengar teriakan mencegah begitu murid-

murid Perguruan Pedang Ular kembali hendak 

menyerang. Serentak semua murid itu 

menghentikan gerakan dan memandang ke arah 

asal teriakan itu. Tak terkecuali juga Dewa 

Arak, Karmila, dan Rupangki. Dari dalam pintu 

gerbang, melangkah dengan sikap gagah seorang 

kakek bermata sayu.


"Guru...," seru semua murid Perguruan 

Pedang Ular sambil memberi hormat. Tak 

terkecuali Rupangki. 

"Gambala...," desis Dewa Arak yang segera 

mengenali kakek itu. 

Orang yang baru datang memang Gambala, 

Ketua Perguruan Pedang Ular. Dengan tatapan 

sayu, dipandangnya sekeliling tempat itu. Dan 

terakhir ke arah Dewa Arak, Karmila, dan 

Rupangki. 

"Guru...," ucap Rupangki begitu melihat 

sorot mata Ketua Perguruan Pedang Ular tertuju 

padanya. 

"Kemarilah, Rupangki," ucap Gambala sambil 

melambaikan tangannya. 

Pemuda bertubuh tinggi kurus itu segera 

menghampiri gurunya. Tapi baru saja satu 

tindak kakinya melangkah, sebuah tangan telah 

menangkap pergelangan tangannya. 

"Tunggu dulu, Rupangki," cegah sang 

pemilik tangan yang ternyata adalah Dewa Arak. 

"Mengapa, Arya?" tanya pemuda tinggi kurus 

itu dengan alis berkerut. Hatinya menjadi 

heran melihat pemuda berambut putih keperakan 

itu mencegah tindakannya. "Aku hendak menemui 

guruku." 

"Untuk apa, Rupangki?" tanya pemuda 

berambut putih keperakan itu. 

"Menjelaskan kesalahpahaman ini." "Dari 

sini saja, Rupangki!" tandas Dewa Arak tegas. 

"Tapi...," Rupangki masih mencoba 

membantah. 

"Kau ingin berpisah dengan Karmila, 

Rupangki?" tanya pemuda berambut putih 

keperakan itu menggertak. Sementara Gambala 

memperhatikan saja ribut mulut yang terjadi di 

depannya.



"Aku tidak mengerti maksudmu, Arya," sahut 

pemuda bertubuh tinggi kurus itu masih dengan 

alis berkerut. "Kau tidak ingat peristiwa yang 

baru saja terjadi?" ucap Dewa Arak bernada 

mengingatkan. "Asal kau tahu saja, Rupangki. 

Kau sama sekali tidak dipercaya! Kau dianggap 

berada dalam pengaruh sihir! Jadi, begitu kau 

mendekati gurumu, kau akan dibuat pingsan. 

Dan..., kami berdua akan dikeroyok kembali, 

jelas Dewa Arak panjang lebar. 

"Jadi, bagaimana aku harus menjelaskan 

kesalah pahaman ini?" tanya pemuda bertubuh 

tinggi kurus itu lagi. Nada suaranya terdengar 

putus asa. 

"Dari sini saja, Rupangki!" sahut Dewa 

Arak tegas. "Cepat kau ceritakan semuanya 

dengan jelas. Syukur-syukur kalau akhirnya 

mereka mengerti dan sadar...." 

Rupangki mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Pemuda bertubuh tinggi kurus itu menyadari 

kebenaran ucapan Arya. Dan kembali rasa 

kagumnya semakin bertambah. Dewa Arak meskipun 

masih muda tapi memiliki wawasan berpikir yang 

demikian luas. 

"Kau mengerti, Rupangki?" tanya Dewa Arak 

begitu melihat pemuda bertubuh tinggi kurus 

itu mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Ya," sahut Rupangki singkat. 

"Kau bisa menjelaskan semuanya dari sini?" 

tanya Dewa Arak lagi. 

Pemuda bertubuh tinggi kurus itu 

menganggukkan kepalanya. 

Dewa Arak memandang ke sekelilingnya 

begitu melihat kesediaan Rupangki. Dilihatnya 

Gambala dan murid-murid Perguruan Pedang Ular, 

masih berdiri terpaku. Rupanya mereka ingin 

mendengar apa yang ingin dikatakan Rupangki.


"Kalian semua dengarkan!" teriak Arya 

seraya mengerahkan tenaga dalam. Suaranya 

menggema sampai ke tempat yang jauh. 

Seketika itu juga suasana menjadi hening. 

Suara yang keluar dari mulut Dewa Arak benar-

benar membuat mereka terpaku kaku. Tak 

terkecuali Gambala. 

*** 

"Guru..., dan juga saudara-saudaraku 

semua...!" ucap Rupangki memulai keterangan. 

Pandangannya diedarkan berkeliling. Menatap 

satu persatu wajah murid-murid Perguruan 

Pedang Ular. "Beberapa hari yang lalu..., 

Kakang Waji mengajak Kakang Jalasa dan aku 

mencari tempat penyepian Kalapati...." 

Rupangki menghentikan ceritanya sejenak 

begitu mendengar seruan-seruan kaget dari 

mulut beberapa murid Perguruan Pedang Ular. 

Cerita yang didengar dari mulut Rupangki 

berbeda dengan yang mereka denngar dari Waji. 

Hanya Gambala seorang yang tidak terlihat 

terkejut. Alis kakek bermata sayu ini 

berkernyit dalam, pertanda sedang berpikir 

keras. Mana cerita di antara kedua muridnya 

itu yang benar? pikir kakek ini bingung. 

Akhirnya diputuskan untuk mendengarkan cerita 

Rupangki lebih lanjut. 

"Semula aku dan Kakang Jalasa keberatan. 

Tapi karena Kakang Waji mengatakan kalau 

maksudnya hanya untuk sekadar berbincang-

bincang dengan datuk itu, kami akhirnya 

mengalah. Kami pun ikut mencari tempat 

penyepian Kalapati."


Pemuda bertubuh tinggi kurus Ini 

menghentikan ceritanya untuk mengambil napas. 

Kembali pandangannya diedarkan berkeliling. 

Dilihatnya wajah guru dan rekan-rekannya 

nampak serius mendengar penjelasannya. Dan 

dengan sendirinya, Rupangki semakin 

bersemangat melanjutkan ceritanya. 

"Di hari pertama, kami tidak berhasil. 

Lalu kami kembali ke perguruan. Hari kedua, 

begitu pula. Baru pada hari ketiga, kami 

bertemu dengan seorang gadis berpakaian jingga 

yang tengah berlatih ilmu 'Totokan Penghancur 

Tulang'. Dan itulah awal kami menemukan tempat 

penyepian Kalapati. Tempat itu begitu 

tersembunyi. Kalau saja tidak mendengar 

teriakan-teriakan gadis itu, tentu kami tidak 

berhasil menemukan tempat Kalapati." 

Lagi-lagi Rupangki menghentikan ceritanya. 

Sementara kerut-kerut di dahi Gambala dan 

beberapa orang murid Perguruan Pedang Ular 

semakin banyak terlihat. Cerita yang mereka 

dengar dari mulut Rupangki jelas-jelas berbeda 

dengan apa yang diceritakan Waji. 

Pemuda bertubuh tinggi kurus itu 

melanjutkan ceritanya kembali hingga selesai. 

Semua kejadian diceritakannya dengan gamblang. 

Tak ada satu pun yang ditutup tutupinya. 

"Begitulah semua kejadiannya, Guru," ucap 

Rupangki menutup ceritanya. "Jadi, tidak benar 

kalau Kalapati dan putrinya yang membunuh 

Kakang Jalasa dan aku." 

"Hhh...!" 

Setelah tercenung beberapa saat lamanya 

akhirnya Gambala menghela napas berat. Sambil 

mendengarkan cerita, kakek bermata sayu ini 

sibuk membandingkan cerita yang didengar dari 

kedua muridnya.


Baru dirasakan adanya kejanggalan pada 

cerita Waji. Kejanggalan yang baru kini 

disadarinya. Dari mana Waji tahu tempat 

tinggal Kalapati, sewaktu mengantarkan 

dirinya, adik seperguruannya, dan juga kedua 

ketua Perguruan Golok Maut? Kini, dari cerita 

Rupangki, kakek bermata sayu itu mengerti 

kalau Waji pernah ke sana sebelumnya! 

Rupangki menunggu dengan perasaan tegang. 

Jantungnya berdetak keras, melihat Ketua 

Perguruan Pedang Ular itu menghela napas dan 

tercenung kembali. Memang Gambala tengah 

berpikir keras. Benaknya sibuk mengingat-ingat 

semua kata-kata dan kejadian yang telah 

terjadi, berkenaan dengan peristiwa Kalapati. 

Dan semakin benaknya mengingat-ingat, 

semakin ditemukan kejanggalan cerita Waji. 

Kalau saja dulu dia tidak terlalu dikuasai 

amarah, mungkin dapat melihat kejanggalan-

kejanggalan ini. Sikap Kalapati dalam 

pertempuran tempo hari, jelas-jelas mengalah. 

Padahal dalam cerita Waji dikatakan kalau 

Kalapati telah menantangnya. 

"Jadi, Waji telah menipuku...," desah 

Ketua Perguruan Pedang Ular pelan. "Tapi..., 

untuk apa dia melakukan semua ini?" 

Perlahan kakinya dilangkahkan mendekati 

tempat Karmila, Dewa Arak, dan Rupangki 

berdiri. Gadis berpakaian jingga itu segera 

memasang sikap waspada. Tapi, Dewa Arak dan 

Rupangki sama sekali tidak bersikap demikian. 

Tentu saja kedua pemuda itu mempunyai alasan 

yang berbeda. 

Rupangki tidak bersikap waspada, karena 

yakin kalau gurunya tidak akan mencelakakan 

dirinya. Di samping itu kurang pantas rasanya 

kalau dia mencurigai Gambala.


Sedangkan Dewa Arak sama sekali tidak 

menaruh curiga. Pemuda berambut putih 

keperakan itu yakin kalau Ketua Perguruan 

Pedang Ular telah sadar dari kekeliruannya. 

*** 

Gambala menghentikan langkahnya tepat di 

depan Karmila. Kemudian tangannya diulurkan ke 

arah gadis berpakaian jingga itu. 

"Aku minta maaf, Nini," ucap kakek bermata 

sayu itu. Nada suaranya menyiratkan penyesalan 

yang mendalam. "Aku mengaku salah.... Dan 

tidak akan melawan seandainya kau berniat 

membalaskan dendam ayahmu." 

Mengalami hal yang sama sekali tidak 

diduganya ini, Karmila kebingungan. Kalau 

menuruti perasaan hatinya, gadis itu ingin 

membalaskan kematian ayahnya. Kedua tangannya 

sudah mengejang. Tapi, putri Kalapati itu 

teringat pesan mendiang ayahnya. Maka 

ditekannya keinginan untuk membalas dendam 

itu. 

Karena perasaan bingung yang melanda, 

wajahnya ditolehkan ke arah Dewa Arak. 

Sepasang matanya menatap wajah pemuda berambut 

putih keperakan itu penuh permohonan. Dewa 

Arak menggeleng pelan. 

Pertanda melarang Karmila membalas sakit 

hatinya. 

Masih tidak puas dengan jawaban yang 

diperolehnya dari Dewa Arak, Karmila pun 

mengalihkan pandangannya pada Rupangki. Tapi 

seperti juga Dewa Arak. Pemuda bertubuh tinggi 

kurus ini menggeleng kan kepalanya. 

Keyakinan hati Karmila bertambah. Pesan 

ayahnya dan gelengan kepala Dewa Arak dan 

Rupangki telah memperkuat keinginan untuk



melupakan dendamnya. Lagi pula, kakek bermata 

sayu itu sama sekali tidak bersalah. Ketua 

Perguruan Pedang Ular termakan hasutan 

muridnya yang culas, Waji. 

"Aku sama sekali tidak memendam dendam 

pada mu, Kek," ucap gadis berpakaian Jingga 

itu lirih. "Ayah melarang aku membalaskan 

dendam kematiannya. Tapi selama aku yakin 

kalau ayahku tidak bersalah... aku akan tetap 

membalaskan dendamnya. Tapi.... Tidak padamu, 

Kek! Kau tidak bersalah!" 

Gambala hanya mengangguk-anggukkan 

kepalanya. Diam-diam hari kakek ini terharu 

melihat kebesaran jiwa gadis berpakaian jingga 

itu. 

"Aku harap Kakek tidak menghalangi niatku 

untuk membalas dendam pada orang yang memang 

benar-benar bersalah atas kematian ayahku," 

sambung Karmila tegas. 

"Maksudmu pada Waji, Nini?" tanya Gambala 

meminta kepastian "Benar, Kek!" 

"He he he...!" Gambala tertawa pelan, 

lenyap sudah rasa haru di hatinya. Ucapan 

Karmila membuat nya geli. "Kau terlalu 

berprasangka, Nini. Kau tahu, bukan hanya kau 

saja yang ingin membunuh murid murtad itu!" 

"Jadi, Kakek..?" 

"Ya!" sahut Ketua Perguruan Pedang Ular 

cepat. 

"Aku pun ingin menghukum murid murtad 

itu!" 

"Mengapa, Kek?" tanya Karmila tak 

mengerti. 

"Mengapa?!" ulang Gambala dengan alis 

berkerut. "Murid murtad itu telah menyebabkan 

kericuhan yang amat besar! Bukan hanya di 

perguruanku saja, tapi Juga di dunia 

persilatan!"



Ketua Perguruan Pedang Ular itu 

menghentikan sebentar ucapannya untuk 

mengambil napas. Ucapan yang dikeluarkannya 

terlalu berapi-api sehingga membuat napasnya 

memburu. 

"Dan bukan hanya itu saja!" sambung 

Gambala lagi. "Dia pun telah merusak nama baik 

orang lain! Nama baik ayahmu, dan juga nama 

baik seorang pendekar tenar berjiwa besar 

seperti Dewa Arak! Perbuatannya sudah tidak 

bisa diampuni lagi! Waji harus mati!" 

Setelah berkata demikian, kakek bermata 

sayu itu lalu mendekati Arya. Kemudian setelah 

berada di depan pemuda berambut putih 

keperakan itu tangannya diulurkan. 

"Aku minta maaf atas semua ucapan tidak 

pantas yang telah kutuduhkan padamu, Dewa Arak 

Ternyata kau benar. Ahhh...! Berapa kerdilnya 

pemikiranku, sehingga tidak bisa mengetahui 

mana yang benar dan mana yang salah," ucap 

kakek bermata sayu itu menyesali dirinya. 

Arya buru-buru menyambut uluran tangan 

Ketua Perguruan Pedang Ular, lalu 

menggenggamnya erat-erat. 

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kek," 

sahut Dewa Arak bijaksana. "Semua ini hanya 

kesalahpahaman belaka." 

"Kau memang berhati mulia, Dewa Arak. 

Semua berita yang kudengar tentang dirimu 

ternyata benar. Ahhh...! Dasar aku saja yang 

bodoh. Padahal sahabat ku, si Golok Emas, 

telah tahu kalau kau berada di jalan yang 

benar. Mataku memang buta! Semakin tua, 

bukannya semakin arif, tapi malah semakin 

memperbesar emosi." 

"Kakek terlalu menyalahkan diri sendiri, 

seandainya aku menjadi Kakek, mungkin aku akan 

bertindak seperti yang Kakek lakukan," sambut


Dewa Arak merendah. Setidak-tidaknya sekadar 

untuk menghilangkan rasa risihnya mendapat 

pujian bertubi-tubi dari Ketua Perguruan 

Pedang Ular. 

Begitu Dewa Arak menyelesaikan kata-

katanya, seketika suasana menjadi hening. 

"Tapi..., untuk apa sebenarnya Kakang Waji 

melakukan semua ini, Guru?" tanya Rupangki, 

memecahkan keheningan. 

"Hhh...!" Gambala menghela napas berat. 

"Aku sendiri tidak mengerti, Rupangki." 

"Kalau kulihat..., sepertinya Kakang Waji 

memendam dendam yang amat besar pada Kalapati, 

Guru," ucap pemuda bertubuh tinggi kurus itu 

lagi. 

Ketua Perguruan Pedang Ular itu 

mengerutkan alisnya. 

"Entahlah...! Aku tidak tahu, Rupangki," 

sahut Ketua Perguruan Pedang Ular sambil 

mengangkat bahu. "Sekarang..., yang paling 

penting adalah mencari di mana murid murtad 

itu! Kau bisa mengira-ngira di mana adanya 

dia, Rupangki?" 

Pemuda bertubuh tinggi kurus itu 

menggelengkan kepalanya. 

"Jadi..., Waji tidak pernah kembali ke 

perguruan, Kek?" tanya Dewa Arak agak bingung. 

"Tidak, Dewa Arak," sahut kakek bermata 

sayu itu sambil menggelengkan kepalanya. 

"Entah ke mana perginya murid murtad itu." 

"Apakah kau tidak tahu tempat yang biasa 

dikunjungi Waji, Kek?" tanya pemuda berambut 

putih keperakan itu lagi. 

Gambala hanya menggelengkan kepalanya. 

"Kau barangkali tahu, Rupangki?" kembali Dewa 

Arak bertanya. Tapi kali ini ditujukan pada 

pemuda bertubuh tinggi kurus itu.


Lagi-lagi hanya gelengan kepala yang 

menyambut pertanyaan pemuda berambut putih 

keperakan itu. 

"Guru...," tiba-tiba salah seorang murid 

Perguruan Pedang Ular berucap pelan, bernada 

ragu-ragu. Gambala menolehkan kepalanya. "Ada 

apa, Pardi?" tanya kakek bermata sayu itu 

pelan. 

"Beberapa hari yang lalu..., sewaktu aku 

pergi mencari kayu bakar... aku melihat Kakang 

Waji bersama-sama seorang wanita. Semula aku 

hendak memanggilnya. Tapi melihat sikap dan 

tindak-tanduk wanita setengah baya yang berada 

bersamanya, aku jadi ragu-ragu. Untung dia 

tidak melihatku." 

"Kau tahu dia menuju ke mana, Pardi?" 

tanya Ketua Perguruan Pedang Ular yang merasa 

tertarik dengan cerita muridnya. 

Pardi menggelengkan kepalanya. "Tapi..., 

ada yang membuatku heran, Guru." "Hm.... Apa 

itu, Pardi?" tanya Gambala tidak bersemangat 

lagi mendengar muridnya itu tidak mengetahui 

tempat yang dituju Waji. 

"Kakang Waji memanggil wanita setengah 

baya itu dengan sebutan ibu, Guru," jawab 

Pardi. 

"Apa?!" sergah Ketua Perguruan Pedang Ular 

keras. Keterkejutan yang amat sangat membayang 

di wajah kakek bermata sayu itu. Bahkan 

sepasang mata yang biasanya sayu itu tiba-tiba 

membelalak. "Kau tidak salah dengar, Pardi?" 

"Aku mendengarnya dengan jelas sekali, 

Guru," tegas Pardi meyakinkan gurunya. 

"Jadi..., aku yakin tidak salah dengar." 

"Aneh...," gumam Ketua Perguruan Pedang 

Ular pelan. "Padahal, sewaktu kupungut sekitar 

dua puluh tahun lalu, dia mengatakan ayah dan


ibunya telah tewas di tangan seorang tokoh 

sesat..." 

"Tokoh sesat...?!" selak Dewa Arak cepat. 

"Mengapa Dewa Arak? Ada yang menarik pada 

ucapanku?" Gambala yang merasa heran melihat 

keterkejutan pemuda berambut putih keperakan 

itu segera bertanya. 

"Bukankah Kalapati dulunya adalah seorang 

tokoh sesat, Kek?" Dewa Arak malah balas 

bertanya. 

"Ah...! Kau benar, Dewa Arak! Jadi..., 

kalau begitu, tokoh sesat yang katanya telah 

membunuh orang tuanya adalah Kalapati!" sambut 

kakek bermata sayu yang kini mulai mengerti. 

"Jadi, dugaanku benar, Guru. Kakang Waji 

benar mendendam pada Kalapati!" sahut Rupangki 

pula. 

"Itu baru dugaan saja, Rupangki," ralat 

Dewa Arak buru-buru. "Kita belum memperoleh 

kepastiannya." 

"Aku rasa dugaan itu benar, Dewa Arak," 

sergah Pardi cepat. 

"Heh...?! Kenapa kau yakin begitu, Pardi?" 

Gambala yang malah menyambut! ucapan muridnya. 

"Karena sebagian dari pembicaraan yang 

kudengar, adalah ucapan Kakang Waji yang 

mengatakan kalau dia telah berhasil menewaskan 

Kalapati...." 

Gambala, Dewa Arak, dan Rupangki mengang-

guk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti. 

"Jadi, ibu Waji belum tewas...," gumam 

Gambala lirih. "Berarti waktu itu dia 

berbohong.... O ya, Pardi. Bisa kau ceritakan 

ciri-ciri ibu Waji itu?" 

Pardi mengernyitkan keningnya beberapa 

saat. Jelas terlihat kalau dia tengah berusaha 

keras mengingat-ingat.


"Seorang wanita setengah baya berpakaian 

merah menyala. Rambutnya agak digulung, dihias 

tusuk konde yang berujung kepala ular 

kobra...," jawab Pardi terputus-putus. 

"Dewi Pencabut Nyawa...," desah Gambala. 

Nampak jelas keterkejutan di wajahnya. 

Kini kakek itu tahu siapa ayah Waji. Karena 

Gambala mengenal Dewi Pencabut Nyawa. Suami 

wanita berpakaian merah menyala itu berjuluk 

Serigala Hitam. 

"Siapa itu Dewi Pencabut Nyawa, Kek?" 

tanya Dewa Arak ingin tahu. 

"Seorang wanita sesat yang kejam dan 

berkepandaian tinggi," jawab Ketua Perguruan 

Pedang pelan. 

"Mereka memperbincangkan tentang Jamur 

Sisik Naga, Guru," tambah Pardi lagi. 

"Jamur Sisik Naga?!" ulang Gambala dengan 

muka berubah. Sementara Dewa Arak yang memang 

tidak tahu-menahu, hanya menatap kakek bermata 

sayu itu dengan sorot mata penuh pertanyaan. 

Ketua Perguruan Pedang Ular itu mengerti arti 

pandangan Arya. 

"Jamur Sisik Naga adalah jamur yang tumbuh 

dua puluh lima tahun sekali. Dan tanaman itu 

tumbuh menjelang malam bulan purnama. Tapi..., 

sepanjang yang kuketahui.... tanaman itu hanya 

tumbuh di sebuah gua yang bernama Gua Naga. 

Hanya sayangnya, aku sendiri tidak tahu di 

mana adanya gua itu." 

"Gua Naga?!" Rupangki menyahuti dengan 

alis berkerut. "Apakah memang benar di gua itu 

ada naganya, Guru?" 

Gambala mengangkat bahunya. 

"Mana aku tahu, Rupangki?" sahut Ketua 

Perguruan Pedang Ular itu. "Yang jelas..., 

sejak puluhan tahun lalu, gua itu bernama


begitu. Mungkin..., dulu ada naga yang tinggal 

di gua itu." 

"Gua Naga?!" Karmila yang sejak tadi 

mengikuti percakapan itu mengulang nama gua 

itu dengan bibir bergetar hebat. 

Tentu saja sikap gadis berpakaian jingga 

itu menarik perhatian semua yang hadir di 

situ. Dengan sorot mata penuh pertanyaan, 

mereka menatap ke arah Karmila. 

"Ya, Gua Naga," ucap Gambala lagi 

menekankan. "Kau pernah mendengar atau 

setidak-tidaknya mengetahui di mana gua itu, 

Nini?" 

Karmila menganggukkan kepalanya. 

"Ah! Kalau begitu, cepat katakan, Nini. 

Biar kita dapat segera meringkus murid murtad 

itu," ucap Gambala agak terburu-buru. "Kau 

tahu di mana letak Gua Naga itu, atau... hanya 

sekadar mendengarnya saja?" 

"Aku tahu tempatnya." 

"Kau tahu? Di mana, Nini?" desak Gambala 

bernada tak sabar. 

"Di lereng Gunung Palanjar." 

"Ah...! Kira-kira... di sebelah mana gua 

tempat tinggal ayahmu?" tanya Ketua Perguruan 

Pedang Ular bernafsu. 

"Gua tempat tinggal Ayah itulah yang 

bernama Gua Naga...," lirih jawaban yang 

keluar dari mulut gadis berpakaian Jingga itu. 

"Ah...!" 

Terdengar seruan-seruan terkejut dari 

semua yang hadir di situ. Sementara Dewa Arak 

dan Gambala hanya mengangguk-anggukkan 

kepalanya .Pantas saja kalau Waji bertekad 

untuk melenyapkan Kalapati dan putrinya. Di 

samping untuk membalaskan dendamnya dia juga 

menginginkan jamur ajaib itu.


"Kalau begitu mari kita ke sana!" ajak 

Ketua Perguruan Pedang Ular pada Rupangki, 

Dewa Arak, dan Karmila. "Jirin, kau ambil alih 

jabatanku selama aku pergi!" 

"Baik, Guru," sahut murid kepala itu. 

Dewa Arak sebenarnya ingin mengetahui 

lebih jelas tentang Gua Naga dan Jamur Sisik 

Naga. Tapi karena kelihatannya Gambala begitu 

tergesa-gesa, pemuda berambut putih keperakan 

ini menahan pertanyaannya. 

"Mari kita berangkat!" ucap Ketua 

Perguruan Pedang Ular itu lagi. 

Setelah berkata demikian, kakek bermata 

sayu itu segera melesat dari situ. Rupangki, 

Karmila dan Dewa Arak pun mengikuti. Tentu 

saja baik Gambala maupun Dewa Arak tidak 

mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, 

mereka tahu kalau Rupangki dan Karmila tidak 

akan mampu mengikuti. 

Sesaat kemudian, keempat orang itu pun 

sudah lenyap dari situ. Tujuan mereka Jelas, 

menangkap biang keladi yang telah mengacaukan 

dunia persilatan. 

*** 

Di saat matahari siang menyorotkan 

sinarnya yang hangat ke bumi, tampak empat 

sosok tubuh berkelebat cepat mendaki lereng 

Gunung Palanjar. 

Empat orang itu adalah Dewa Arak, Gambala, 

Karmila, dan Rupangki yang hendak menuju Gua 

Naga. Dewa Arak dan Gambala berada paling 

depan. Sementara Karmila dan Rupangki 

mengikuti di belakang.


"Aku khawatir, Dewa Arak," terdengar suara 

kakek bermata sayu itu. Walaupun tengah 

berlari dan mendaki, suara Gambala terdengar 

biasa saja. Tidak memburu. 

"Mengenal apa, Kek?" tanya Dewa Arak 

seraya menolehkan kepalanya. Suara pemuda ini 

terdengar lembut Dan memang sudah menjadi 

sikap pemuda berambut putih keperakan itu 

untuk bersikap seperti itu. Bersikap hormat 

pada orang yang lebih tua, dan bersikap 

melindungi pada yang lebih muda. 

"Jamur Sisik Naga itu, Dewa Arak..," sahut 

Gambala bernada keluhan. 

Dewa Arak mengerutkan alisnya. Arya masih 

belum dapat menangkap maksud pembicaraan kakek 

bermata sayu itu. Tapi meskipun begitu, pemuda 

berambut putih keperakan itu tidak mau 

menyelak pembicaraan. Dengan sabar ditunggunya 

kelanjutan ucapan Ketua Perguruan Pedang Ular 

itu. 

"Aku khawatir..., Dewi Pencabut Nyawa 

telah memakannya, Dewa Arak," sambung Gambala 

lagi. 

"Sebenarnya..., apa khasiat Jamur Sisik 

Naga, Kek?" tanya Dewa Arak Dikeluarkannya 

pertanyaan yang sejak tadi disimpannya. 

"Menambah tenaga dalam," sahut Ketua 

Perguruan Pedang Ular itu pelan. 

"Maksudmu, Kek... Bila ada orang yang 

memakan jamur itu... tenaga dalamnya akan 

bertambah?" Gambala menganggukkan kepalanya. 

"Kalau saja Dewi Pencabut Nyawa sudah memakan 

Jamur Sisik Naga itu, tenaga dalamnya akan 

menjadi semakin berlipat ganda," sahut kakek 

bermata sayu itu bernada mengeluh. 

"Kalau boleh kutahu, sampai seberapa 

besarkah kegunaan Jamur Sisik Naga itu, Kek?" 

tanya Arya lagi. Pemuda berambut putih


keperakan itu masih belum jelas pada 

keterangan yang baru didengarnya. 

"Memakan satu buah jamur..., sama dengan 

melakukan semadi dan pernapasan selama 

setahun," sahut Gambala memberitahu. 

"Hebat...!" ucap Dewa Arak takjub. 

"Yahhh... kira-kira begitulah, Dewa Arak," 

sambut Ketua Perguruan Pedang Ular itu lesu. 

"Lalu..., kira-kira apakah mereka telah 

memakannya, Kek?" desak pemuda berambut putih 

keperakan itu lagi. 

"Entahlah...;" Gambala mengangkat bahu. 

"Tapi, kemungkinan besar, mereka sudah 

memakannya, Dewa Arak." 

"Dari mana kau mendapatkan kesimpulan 

demikian, Kek?" tanya Dewa Arak ingin tahu 

seraya terus berlari cepat. 

"Bulan purnama sudah berlalu dua hari yang 

lalu, Dewa Arak," sahut Gambala. "Sedangkan 

jamur itu sudah bisa dimakan, sehari setelah 

bulan purnama." 

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya 

pertanda menyetujui. 

Setelah itu mereka meneruskan perjalanan 

tanpa berkata-kata lagi. 

Keempat orang itu sama sekali tidak 

menyadari kalau ada seorang gadis berpakaian 

putih yang mengikuti perjalanan mereka. Gadis 

berpakaian putih itu adalah Melati. Selama 

berhari-hari gadis berpakaian putih itu 

mengelilingi seluruh Gunung Palanjar. Baru 

pada hari ini dia melihat adanya empat orang 

yang bergerak cepat mendaki lereng. 

Meskipun jaraknya masih cukup jauh, tapi 

karena ciri-ciri Dewa Arak amat menyolok, 

Melati segera mengenalinya. Rasa gembira 

bercampur marah pun melanda hatinya. Gembira 

karena akhirnya menemukan pemuda yang telah


susah payah dicari-carinya. Marah, karena 

mengingat begitu besarnya pembelaan Arya pada 

gadis berpakaian jingga itu. Marah yang 

sebenarnya adalah rasa cemburu. 

*** 

Melati mengerutkan alisnya melihat Dewa 

Arak ternyata berlari berdampingan dengan 

seorang kakek bermata sayu. Rasa heran melanda 

hati gadis berpakaian putih itu. Bukankah 

kakek itu yang tempo hari mengeroyok Arya? 

Mengapa kini mereka berdua tampak akur? 

Keheranan Melati semakin bertambah besar 

begitu melihat gadis yang dicemburuinya, 

berlari berdampingan dengan pemuda bertubuh 

tinggi kurus. Keduanya kelihatan mesra sekali. 

Rupanya Karmila yang haus kasih sayang, 

timbul juga rasa simpatinya pada Rupangki. 

Perlahan namun pasti, gadis berpakaian jingga 

itu akhirnya mampu mengusir bayang-bayang 

wajah Dewa Arak dari lubuk hatinya. Kini 

dicobanya mengukir bayangan baru Seorang 

pemuda bernama Rupangki. 

"Mengapa jamur itu mempunyai nama demikian 

aneh, Kek?" tanya Arya lagi yang belum juga 

puas dengan keterangan yang diberikan Gambala. 

"Jamur Sisik Naga maksudmu. Dewa Arak?" 

tanya kakek bermata sayu itu. Mulutnya 

menyunggingkan senyuman 

Pemuda berambut putih keperakan itu 

menganggukkan kepalanya. 

"Aku sendiri tidak tahu pasti, Dewa Arak," 

sahut Ketua Perguruan Pedang Ular itu pelan. 

"Mungkin karena gua tempat tanamam itu tumbuh 

yang bernama Gua Naga. Atau..., mungkin juga 

karena warna jamur itu sendiri."


"Memangnya warna jamur itu bagaimana, 

Kek?" desak Dewa Arak penasaran. 

"Aku sendiri belum pernah melihatnya, Dewa 

Arak Tapi..., menurut cerita yang kudengar, 

jamur itu berwarna hijau dan bersisik seperti 

ular. Aku juga heran, kenapa jamur itu tidak 

diberi nama Jamur Sisik Ular?!" 

Dewa Arak tersenyum lebar mendengar 

guyonan kakek bermata sayu itu. Rupanya Ketua 

Perguruan Pedang Ular itu bisa juga melucu, 

ucap pemuda berambut putih keperakan itu dalam 

hati. 

"Sekarang kau yang jadi penunjuk jalan, 

Karmila," ucap Arya sambil menoleh ke arah 

Karmila. Sebelum dia dan Gambala tiba di 

tempat yang entah mengapa tiba-tiba muncul dan 

membuat gadis itu kebingungan "Heh...?! Ada 

apa, Dewa Arak ?" tanya kakek bermata sayu itu 

heran. "Aku masih ingat tempat itu, kok?! Dan 

lagi..., bukankah kau sendiri juga pernah ke 

sana?" 

"Sekarang jalan menuju ke sana telah 

berubah, Kek," jawab Arya kalem. "Jangankan 

aku yang baru satu kali kemari. Karmila yang 

sudah belasan tahun tinggal di sini pun tidak 

mengetahuinya." 

"Jadi..., bagaimana kita ke sana?" tanya 

Ketua Perguruan Pedang Ular itu agak bingung. 

"Ambil jalan memutar, Kek," Karmila yang 

menyahuti. 

Gambala mengangguk-anggukkan kepalanya 

pertanda mengerti. Dan kini, Karmila dan 

Rupangki yang berada di depan. 

"Kalau begitu.., jangan-jangan Waji dan 

Dewi Pencabut Nyawa tidak pernah sampai ke 

sini pula?" gumam Rupangki pelan 

Karmila mengangkat bahunya. Kemudian Arya 

menyahuti.


"Menilik dari keadaannya, aku yakin 

perubahan tempat ini belum lama terjadi. 

Mungkin, terjadi sehari sebelum aku tiba di 

sana. Jadi..., kemungkinan besar Waji dan 

ibunya telah tiba di sana sebelum perubahan 

itu terjadi." 

"Ah...! Kini aku ingat!" sambut Gambala 

agak keras sehingga membuat Dewa Arak, 

Rupangki, dan Karmila terkejut. 

"Ingat apa, Kek?" 

Ketua Perguruan Pedang Ular itu tidak 

langsung menjawab pertanyaan itu. Sambil terus 

melangkahkan kaki, ditatapnya wajah Arya yang 

berlari di sebelahnya lekat-lekat. 

"Aku pernah dengar cerita dari almarhum 

guruku," akhirnya keluar juga jawaban dari 

mulut kakek bermata sayu itu. 

"Mengenai apa, Kek?" tanya Dewa Arak ingin 

tahu. 

"Mengenai Jamur Sisik Naga itu," jawab 

Gambala. "Menurut cerita guruku... apabila 

tiba waktunya jamur itu tumbuh, jalan menuju 

ke Gua Naga akan tertutup." 

"Jadi..., dengan kata lain benar kalau 

Jamur Sisik Naga itu telah tumbuh, Kek?" 

"Yahhh...! Begitulah kira-kira, Arya. 

Padahal, semula kukira semua itu hanya dongeng 

belaka," ucap Ketua Perguruan Pedang Ular itu 

setengah mengeluh. 

Suasana jadi hening, begitu Gambala 

menghentikan ucapannya. Kini perhatian empat 

orang itu tertuju pada medan yang harus mereka 

lalui. Medan yang sulit bukan main. Melalui 

jalan setapak yang licin dan berjurang terjal. 

Semak-semak yang rapat dengan tumbuhan 

berduri, dan masih banyak kesulitan lainnya. 

Bagi Dewa Arak dan Gambala, tentu saja 

medan itu tidak terlalu sulit. Tapi tidak


demikian halnya dengan Karmila dan Rupangki. 

Tingkat ilmu meringankan tubuh mereka jauh di 

bawah kedua orang itu. Keduanya harus berusaha 

keras untuk menaklukkan sulitnya medan. 

Tak lama kemudian, keempat orang itu pun 

sudah tiba di tempat Karmila dulu berlatih 

ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'. Keempat 

orang itu segera bersembunyi begitu mendengar 

tawa menggelegar dari dalam gua tempat tanggal 

Kalapati. "Ha ha ha...!" 

Gambala saling pandang dengan Dewa Arak 

Kedua alis kakek bermata sayu itu nampak 

berkerut. 

"Aneh, suara tawa itu sepertinya..., bukan 

suara tawa seorang wanita," desah Ketua 

Perguruan Pedang Ular itu pelan. Gambala 

mengira yang berada dalam gua itu hanya Dewi 

Pencabut Nyawa dan Waji. 

Dewa Arak mengangguk, pertanda sepaham 

dengan dugaan Ketua Perguruan Pedang Ular itu. 

"Apakah suara tawa Waji seperti itu, 

Rupangki?" tanya Gambala. Kini ucapan itu 

ditujukan pada muridnya. 

Pemuda bertubuh tinggi kurus itu 

menggelengkan kepalanya. 

"Aku yakin itu bukan suara Kakang Waji, 

Guru," jawab pemuda bertubuh tinggi kurus itu 

penuh hormat. 

"Jangan panggil dia kakang lagi, 

Rupangki!" tegur kakek bermata sayu itu keras. 

"Dia sudah tidak kuanggap lagi sebagai murid! 

Kau mengerti?!" 

"Mengerti, Guru." 

"Rasanya... aku seperti pernah mendengar 

suara tawa itu, Kek," selak Dewa Arak setelah 

termenung beberapa saat. Dahi pemuda berambut 

putih keperakan itu nampak berkernyit. Jelas 

ada sesuatu yang dipikirkannya.


"Ah...! Kau benar, Dewa Arak!" gumam 

Gambala menyahuti ucapan Dewa Arak 

"Sepertinya..., aku sudah beberapa kali 

mendengar suara tawa itu. Tapi aku lupa. Kapan 

dan di mana aku mendengarnya?" 

Dewa Arak terus berpikir keras. 

Diyakininya kalau tawa itu belum lama 

didengarnya. Seluruh pikirannya dipusatkan 

untuk mengingat di mana pemah mendengar suara 

tawa itu. Tapi.... 

"Bukankah pemilik tawa itu adalah kakek 

berkepala botak yang hampir saja membunuhmu, 

Arya?" tiba-tiba Karmila menyelak. 

"Ah...! Kau benar, Karmila!" sentak Dewa 

Arak. Tubuhnya sampai terjingkat saking 

kagetnya. Kini pemuda berambut putih keperakan 

itu teringat pada seorang bertubuh tinggi 

besar, berkepala botak yang telah membuatnya 

terluka dan mungkin binasa, kalau saja Melati 

tidak datang menolongnya. 

"Setan Kepala Besi...," desis Gambala 

dengan raut wajah berubah. Kakek bermata sayu 

itu kini telah mengenali suara tawa itu. 

Memang, Ketua Perguruan Pedang Ular itu telah 

dua kali mendengar suara tawa itu. Pertama 

kali didengarnya puluhan tahun yang lalu, 

ketika laki-laki tinggi besar berkepala botak 

itu mendatangi Perguruan Pedang Ular, dan 

hampir saja berhasil membunuh Gambala kalau 

saja tidak muncul Kalapati menolongnya. Dan 

yang kedua, sewaktu dia bersama si Golok Emas, 

dan tokoh persilatan lainnya mengeroyok Dewa 

Arak (Untuk jelasnya, bacalah serial Dewa Arak 

dalam episode "Memburu Putri Datuk"). 

Gambala menatap wajah Dewa Arak lekat-

lekat. "Mengapa Setan Kepala Besi bisa ada di 

sini?" tanya Ketua Perguruan Pedang Ular itu


pelan. Entah bertanya pada siapa. "Lalu..., ke 

mana perginya Waji dan Dewi Pencabut Nyawa?" 

Jawaban bagi pertanyaan Gambala adalah 

melesatnya tiga sosok tubuh dari dalam gua 

milik Kalapati. 

"Waji...," Karmila mendesis tajam. 

Sepasang mata bening dan indah milik gadis 

berwajah cantik bertubuh ramping ini, menatap 

penuh amarah pada pemuda berbadan lebar dan 

berpakaian kuning yang baru keluar dari gua. 

"Setan Kepala Besi...," Gambala berdesis 

tak kalah tajam. Wajahnya menampakkan 

kekagetan yang amat sangat. Sungguh tidak 

disangkanya kalau Setan Kepala Besi bisa 

bersama-sama dengan bekas muridnya. 

"Wanita berpakaian merah itu mungkin ibu 

Waji," ucap Rupangki pelan. 

"Ya," Gambala menyahuti. "Dialah Dewi 

Pencabut Nyawa. Sungguh di luar dugaanku kalau 

mereka bertiga bisa berkumpul di sini...." 

Belum juga gema suara ucapan kakek bermata 

sayu itu lenyap. Karmila sudah melesat keluar 

dari tempat persembunyiannya. 

"Waji! Manusia terkutuk! Sekarang 

terimalah pembalasanku!" 

"Karmila!" seru Rupangki yang sama sekali 

tidak menduga kenekatan gadis itu. Tapi, 

seruan pemuda bertubuh tinggi kurus itu 

terlambat... 

Singgg...! 

Suara mendesing nyaring mengiringi tibanya 

serangan Karmila. 

Waji terkejut bukan main mendengar 

bentakan itu. Apalagi begitu melihat sebatang 

pedang meluncur deras ke arah lehernya. Tapi 

meskipun begitu, pemuda berbadan lebar itu 

tidak menjadi gugup. Inilah kesempatan untuk


menguji khasiat Jamur Sisik Naga yang telah 

dimakannya, ucap Waji dalam hati. 

Pikiran itulah yang membuat pemuda 

berbadan lebar itu ini segera meloloskan 

pedangnya. Dan langsung menangkis serangan 

Karmila. 

Wunggg! 

Tranggg! 

Bunga api berpijar, begitu kedua senjata 

itu beradu. Dan akibatnya, tubuh Karmila yang 

tengah berada di udara terjengkang ke 

belakang. Sementara Waji hanya terhuyung dua 

langkah. 

Karmila menggertakkan gigi. Gadis 

berpakaian jingga ini merasakan betapa 

tangannya yang menggenggam pedang tergetar 

hebat Terasa agak pegal-pegal dan kesemutan. 

Padahal, beberapa hari yang lalu tidak seperti 

ini. Jelas kalau tenaga dalam pemuda berbadan 

lebar itu telah meningkat pesat. Dan Karmila 

tahu penyebabnya. Apa lagi kalau bukan karena 

Jamur Sisik Naga?! "Hup!" 

Angin berkesiur pelan. Sesaat kemudian, di 

sebelah gadis berpakaian jingga itu telah 

berdiri Rupangki. 

"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya pemuda 

tinggi kurus itu penuh kekhawatiran. 

"Tidak, Rupangki," sahut Karmila seraya 

tersenyum manis. 

"Syukurlah...!" sambut Rupangki gembira. 

*** 

"Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa 

terbahak-bahak. Sepasang matanya yang besar


menatap dua sosok tubuh yang berdiri di 

sebelah Karmila dan Rupangki. 

"Kiranya Dewa Arak dan Gambala!" ucap 

laki-laki tinggi besar dan berkepala botak 

itu, keras. "Sungguh kebetulan sekari! Aku 

baru saja hendak mencari kalian!" 

Gambala sama sekali tidak mempedulikan 

ucapan Setan Kepala Besi. Ditatapnya wajah 

Waji lekat-lekat. Tapi sungguh di luar dugaan, 

pemuda berbadan lebar itu ternyata malah balas 

menatap tak kalah tajam. 

"Sungguh tak kusangka kalau kau ternyata 

bersekongkol dengan Setan Kepala Besi, Waji!" 

ucap Ketua Perguruan Pedang Ular itu pelan 

tapi tajam. Ada kegetiran dalam nada suaranya. 

"Kau terkejut, Tua Bangka?!" sahut Waji 

sambil tersenyum sinis. Tak ada nada 

penghormatan sama sekali baik pada suara, 

maupun sikapnya kepada bekas gurunya. 

"Keparat!" maki Gambala keras. Sudah dapat 

dipastikan kalau kakek bermata sayu ini akan 

menyerang bekas muridnya. Tapi sebelum itu 

terjadi, sebuah tangan kekar telah menyentuh 

bahunya. Perlahan saja. 

Gambala menoleh. Orang yang menyentuhnya 

adalah Dewa Arak. 

"Biarkan Karmila yang menyelesaikannya, 

Kek," ucap Arya mengingatkan. "Kita sudah 

mempunyai lawan." 

Ketua Perguruan Pedang Ular itu 

menghembuskan napas berat Diam-diam Gambala 

bersyukur ketika Dewa Arak mengingatkannya. 

Memang, Karmila lebih berhak membunuh Waji. 

"Karmila..., kau selesaikan urusanmu. Biar 

aku dan Kakek Gambala yang menghadap! dua 

iblis itu," ucap Arya pada Karmila. 

Setelah berkata demikian, Dewa Arak 

menghampiri Setan Kepala Besi. Sementara


Gambala bergerak mendekati Dewi Pencabut Nyawa 

sambil meloloskan pedang lentur yang melilit 

pinggangnya. Kedua tokoh sesat ini sejak tadi 

hanya diam saja. Mereka yakin akan mampu 

mengatasi Dewa Arak dan yang lain-lain karena 

telah memakan Jamur Sisik Naga. Tenaga dalam 

mereka kini telah dapat diandalkan untuk 

memainkan jurus-jurus andalan. 

"Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa 

bergelak melihat Arya menghampirinya. "Kali 

ini kau tidak akan lolos lagi dari tanganku, 

Dewa Arak!" 

Arya sama sekali tidak menanggapi ucapan 

laki-laki tinggi besar berkepala botak itu. 

Tenang saja Dewa Arak mengambil guci yang 

tersampir di punggungnya. Kemudian diangkatnya 

ke atas kepala, dan dituangkan ke mulutnya. 

Gluk... gluk... gluk...! 

Terdengar suara tegukan ketika arak itu 

melewati kerongkongan Dewa Arak Seketika itu 

juga ada hawa hangat menyebar di perut pemuda 

berambut putih keperakan ini. Dan perlahan 

hawa itu naik ke kepalanya. 

"Hup!" 

Arya kembali menyampirkan gucinya di 

punggung. Kemudian membentuk posisi kuda-kuda 

rendah. Sepasang matanya mencorong tajam ke 

depan. Kaki kiri Dewa Arak ditekuk ke 

belakang, sementara kaki kanan menjulur ke 

depan dengan bertumpu pada ujung kaki. Kedua 

sikutnya yang tertekuk, diangkat ke kiri kanan 

kepala. Jari telunjuk mengacung ke bawah. 

Sementara ibu jarinya yang terjulur ke depan, 

menempel di pertengahan jari telunjuk 

Sedangkan jari-jari yang lain mengepal. 

Sekujur tangan mulai dari pangkal sampai 

pergelangan, mengejang dan tampak bergetar.


Pertanda telah dialiri tenaga dalam tinggi. 

Inilah pembukaan ilmu 'Belalang Sakti'. 

Kemudian beberapa saat tubuh Dewa Arak 

berkelojotan, seperti orang demam. Seluruh 

tubuh Arya mulai dari pinggang ke atas 

bergoyang-goyang. Bahkan kedudukan kakinya pun 

oleng! Inilah pembukaan jurus 'Belalang 

Mabuk'! 

"Hiyaaa...!" 

Seraya berteriak keras melengking nyaring, 

Dewa Arak menerjang Setan Kepala Besi. Kedua 

tangannya yang mengejang bergerak-gerak aneh, 

menyerang beruntun ke arah ulu hati dan leher! 

Wuttt! 

Suara hembusan angin keras mengiringi 

tibanya serangan Dewa Arak. Tapi Setan Kepala 

Besi hanya mengeluarkan suara dengusan 

mengejek Laki-laki tinggi besar berkepala 

botak ini memang yakin betul akan kekuatan 

tenaga dalamnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi, 

segera dipapaknya serangan Dewa Arak Tahu 

kalau pemuda berambut putih keperakan itu 

adalah lawan tangguh, Setan Kepala Besi 

mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. "Hlh!" 

Plak, plak plak! 

Terdengar suara keras berkali-kali, begitu 

kedua pasang tangan yang sama-sama dialiri 

tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya 

hebat bukan main! Tubuh Dewa Arak terlempar ke 

belakang. Sementara Setan Kepala Besi hanya 

terhuyung-huyung dua langkah. 

Arya terkejut bukan main menyadari hal 

ini. Sama sekali di luar dugaannya kalau 

tenaga dalam lawan bisa sekuat ini. Sekujur 

tangannya dirasakan sakit bukan main. Bahkan 

isi dadanya pun terguncang hebat. Jelas, kalau 

tenaga dalam laki-laki tinggi besar berkepala 

botak itu lebih kuat darinya.


"Ha ha ha...!" 

Setan Kepala Besi tertawa bergerak melihat 

keunggulannya. Kini dia benar-benar yakin pada 

khasiat Jamur Sisik Naga yang telah 

dimakannya. Walaupun baru sekali ini bentrok 

tenaga dalam dengan Dewa Arak, laki-laki 

tinggi besar berkepala botak ini tahu kalau 

sebelum memakan jamur ajaib, tenaga dalamnya 

masih setingkat dengan Dewa Arak. 

Setelah puas tertawa bergelak Setan Kepala 

Besi segera menerjang Dewa Arak. Kaki kanannya 

menendang lurus ke arah dada Arya. 

Wuttt! 

Walaupun Arya masih terhuyung-huyung, tapi 

berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Saka', 

tidak sulit mematahkan serangan itu. Segera 

dilangkahkan kakinya ke kanan sambil 

mendoyongkan tubuh, sehingga tendangan itu 

lewat di samping kiri pinggangnya. 

Setan Kepala Besi mendengus seraya 

melancarkan serangan susulan. Telapak kaki 

kirinya segera diputar tanpa berpindah tempat 

Kemudian kaki kanannya mengirimkan tendangan 

miring ke arah kepala. 

Lagi-lagi dengan keunikan jurus 'Delapan 

Langkah Belalang', Dewa Arak dapat mengelak. 

Dan sekali pemuda ini melangkah mengelak, 

seketika itu juga sudah berbalik mengancam 

lawan. 

Tak lama kemudian, kedua tokoh 

berkepandaian tinggi ini sudah terlibat dalam 

pertarungan sengit. 

Dewa Arak menggertakkan gigi. Setan Kepala 

Besi ternyata memang memiliki kepandaian luar 

biasa. Ilmu 'Tendangan Angin Topan dan Badai' 

yang menjadi andalan tokoh sesat itu, benar-

benar membuat Arya kewalahan.


Beberapa kali sewaktu tangan atau kaki 

mereka berbenturan, Dewa Arak selalu 

terhuyung-huyung ke belakang. Tenaga dalam 

Setan Kepala Besi memang lebih unggul daripada 

Arya. Tapi untunglah ilmu meringankan tubuh 

Dewa Arak tidak kalah. Di samping itu Arya 

masih mempunyai keunggulan lain, yaitu jurus 

'Delapan Langkah Belalang'. Sehingga sedikit 

banyak jurus ini bisa menutupi keunggulan 

lawannya. 

Pertarungan antara Dewa Arak dan Setan. 

Kepala Besi berlangsung cepat Sehingga dalam 

waktu singkat, lima belas jurus telah berlalu. 

Dan sampai sejauh ini, belum nampak tanda-

tanda ada yang terdesak 

*** 

Sementara di arena lainnya, tampak Karmila 

tengah berjuang keras menaklukkan Waji. Pedang 

gadis itu telah berkali-kali menyambar tubuh 

pemuda berbadan lebar itu. Namun sampai sekian 

jauh, belum ada satu pun yang mengenai 

sasaran. 

Telah lebih lima belas jurus Karmila 

menyerang kalang kabut. Tapi Waji masih mampu 

menahannya. Semua ini adalah berkat tenaga 

dalamnya yang kini sudah meningkat jauh lebih 

kuat dari tenaga dalam Karmila. 

Berlainan dengan keadaan Dewa Arak dan 

Karmila yang masih mampu mengimbangi lawan, 

Gambala berada dalam keadaan mengkhawatirkan. 

Lawan yang dihadapi Ketua Perguruan Pedang 

Ular ini adalah Dewi Pencabut Nyawa! Seorang 

tokoh sesat yang berkepandaian tinggi dan 

bertenaga dalam kuat. Apalagi setelah memakan 

beberapa buah Jamur Sisik Naga. Tenaga 

dalamnya jadi berlipat ganda.


Gambala menggertakkan gigi. Seluruh 

kemampuannya dikerahkan untuk mendesak lawan. 

Tapi tetap saja kakek bermata sayu ini tidak 

berhasil. Gambala memang kalah segala-galanya 

dibanding Dewi Pencabut Nyawa Kalah tenaga 

dalam dan juga dalam hal ilmu meringankan 

tubuh. 

Menginjak jurus ke lima puluh, Ketua 

Perguruan Pedang Ular itu mulai terdesak 

Cambuk berujung tiga milik wanita berpakaian 

merah menyala itu membuatnya repot bukan main. 

Rupangki mengawasi semua pertarungan itu 

dengan hati berdebar tegang. Apalagi ketika 

melihat Dewa Arak Gambala, dan Karmila 

berkali-kali dibuat terhuyung-huyung. Terutama 

yang paling sering terhuyung adalah Gambala. 

Sampai suatu saat... 

Ctarrr! Rrrttt! 

"Alih!" 

Gambala memekik kaget ketika pedang 

lenturnya, tahu-tahu sudah terlilit cambuk 

berujung tiga milik lawannya. Kakek bermata 

sayu ini sama sekali tak menduga kalau Dewi 

Pencabut Nyawa bisa berbuat demikian. Pedang 

bagi Gambala adalah nyawa keduanya. Oleh 

karena itu segera saja tenaga dalamnya 

dikerahkan untuk membebaskan pedang dari 

belitan cambuk. 

Dewi Pencabut Nyawa tentu saja tidak mau 

membiarkannya. Dia pun balas menarik Sehingga 

untuk beberapa saat lamanya terjadi adu tenaga 

dalam yang menegangkan. 

"Uh... uh...!" 

Wajah Gambala merah padam ketika 

mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk menarik 

pedangnya. Tapi karena tenaganya memang kalah 

kuat, perlahan namun pasti tubuh Ketua 

Perguruan Pedang Ular itu mulai condong ke


depan. Terbawa tarikan tenaga Dewi Pencabut 

Nyawa. 

Dewi Pencabut Nyawa menggeram murka. 

Meskipun sedikit demi sedikit berhasil 

memenangkan adu tarik-menarik, namun wanita 

berpakaian merah menyala ini tetap tidak puas. 

Dia sudah tidak sabar lagi menunggu. Cara apa 

pun akan digunakan untuk mempercepat 

kemenangannya. 

Cuhhh...! 

Tiba-tiba saja Dewi Pencabut Nyawa 

menyemburkan ludahnya ke wajah Gambala. Tentu 

saja bukan sembarangan ludah. Tapi ludah yang 

dilepaskan dengan pengerahan tenaga dalam 

tinggi. Ludah itu pun melesat cepat seraya 

mengeluarkan desingan nyaring. Jangankan kulit 

manusia. Tembok batu pun akan berlubang bila 

terkena semburan ludah itu. 

Gambala yang sama sekali tidak menduga 

serangan itu menjadi terkejut. Meskipun dalam 

keadaan terjepit kakek bermata sayu ini 

membuktikan kalau dirinya adalah seorang ketua 

perguruan silat besar. Cepat-cepat kepalanya 

diegoskan ke karian, sehingga serangan ludah 

itu lewat setengah jengkal dari wajahnya. 

Meskipun begitu, semburan ludah tadi 

membuat perhatian Gambala jadi terpecah. Dan 

hal itulah yang diinginkan Dewi Pencabut 

Nyawa! Tanpa membuang-buang waktu lagi, 

cambuknya dihentakkan. Ketua Perguruan Pedang 

Ular yang sama sekali tidak menduga hal itu, 

tidak sempat berbuat apa-apa. Tubuhnya kontan 

tertarik ke depan. Dan di saat itulah kaki 

kanan wanita sesat itu menendang lurus ke 

perut Gambala. 

Bukkk! 

"Hugh!"


Telak dan keras sekali tendangan Dewi 

Pencabut Nyawa menghantam perut Gambala. 

Seketika tubuh kakek itu terjengkang ke 

belakang. Terdengar keluhan pelan dari 

mulutnya. Bahkan ada cairan merah menitik di 

sudut-sudut mulutnya. Gambala terluka dalam! 

Dewi Pencabut Nyawa memang sudah bertekad 

untuk menghabisi lawannya. Oleh karena itu 

segera saja wanita sesat ini menerjang hendak 

melancarkan serangan terakhir yang mematikan. 

Tapi tiba-tiba.... 

"Tahan! Dewi Pencabut Nyawa...!" 

Wanita berpakaian merah itu menghentikan 

serangannya begitu mendengar bentakan keras 

mengandung tenaga dalam tinggi. Segera 

kepalanya ditolehkan, ke arah bentakan tadi 

berasal. 

Sekitar beberapa tombak di hadapan Dewi 

Pencabut Nyawa, berdiri seorang gadis cantik 

jelita berpakaian putih. Rambutnya yang hitam 

dan panjang dibiarkan tergerai dipermainkan 

angin. Menambah kecantikannya. 

"Kau...?!" desis Dewi Pencabut Nyawa 

begitu mengenali orang yang mengeluarkan 

bentakan itu. "Kali ini kau tidak akan 

kubiarkan lolos!" 

Gadis yang sebenarnya adalah Melati itu, 

tersenyum. Manis sekali senyumnya. Apalagi 

bila Arya yang melihatnya. 

"Kita lanjutkan pertarungan kita yang 

tertunda, Dewi Culas!" ejek Melati. Gadis 

berpakaian putih Ini mempunyai watak aneh. 

Mudah marah dan mudah meminta maaf, tapi 

juga... suka mengejek! 

"Kubunuh kau, Gadis Liar!" teriak Dewi 

Pencabut Nyawa. Wanita sesat ini memang 

mempunyai sifat pemarah. Ejekan Melati tadi 

membuatnya kalap bukan kepalang.


Ctarrr! 

Cambuk berujung tiga di tangannya 

dilecutkan ke udara. Lalu menyambar deras ke 

berbagai bagian yang berbahaya di tubuh 

Melati. Tapi, gadis berpakaian putih ini 

segera melempar tubuhnya ke belakang sambil 

tersenyum mengejek. Bersalto beberapa kali di 

udara. Dan ketika Melati mendarat, di 

tangannya tergenggam sebilah pedang pusaka. 

Terdengar suara menggerung seperti ada 

seekor naga yang tengah murka ketika Melati 

memainkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. Gadis 

berpakaian putih ini langsung menerjang Dewi 

Pencabut Nyawa dengan sabetan-sabetan pedang 

yang mematikan. Sesaat kemudian kedua wanita 

sakti ini sudah terlibat dalam pertarungan 

sengit dan imbang. 

*** 

"Karmila...!" 

Rupangki berseru keras ketika gadis itu 

terhuyung ke belakang sambil menekap wajahnya. 

Pengalaman yang dulu terulang kembali pada 

Karmila. Waji kembali menggunakan abu untuk 

membuat sepasang mata gadis itu tak berdaya. 

Dan selagi Karmila melangkah mundur sambil 

menekap wajahnya, Waji melompat tinggi ke 

udara. Dan dari atas, pedangnya membabat ke 

arah leher putri Kalapati itu. 

"Hiyaaa...!" 

Singgg! Singgg! 

Kalap melihat keselamatan kekasihnya, 

tanpa pikir panjang lagi Rupangki segera 

melemparkan beberapa pisau terbang ke arah 

bekas kakak seperguruannya itu. Tidak hanya


itu saja, pemuda bertubuh tinggi kurus ini pun 

menyusul tubuh Waji yang tengah berada di 

udara. Pedang di tangannya ditusukkan ke 

depan. 

Waji terkejut bukan main melihat serangan 

beruntun ini. Padahal saat itu tubuhnya tengah 

berada di udara. Dengan agak gugup disampoknya 

pisau terbang itu dengan sabetan pedangnya. 

Serangan pada Karmila terpaksa dibatalkan. 

Trang, trang! 

Pisau-pisau terbang itu terpental balik 

begitu tertangkis pedang Waji. 

Tapi sebelum pemuda berbadan lebar ini 

sempat menjejak tanah, serangan Rupangki telah 

tiba. 

Cappp! 

"Akh...!" 

Waji menjerit tertahan ketika pedang 

Rupangki menghunjam pangkal lengannya. 

Seketika itu juga pedangnya terlepas dari 

pegangan. 

Tubuh pemuda berbadan lebar itu meluncur 

deras ke tanah, dan hinggap dengan agak 

terhuyung-huyung. Dan saat itulah Karmila yang 

sudah bisa melihat lagi, menusukkan pedangnya 

ke arah perut. 

"Aaakh...!" 

Waji menjerit memilukan begitu pedang 

Karmila bersarang di perutnya hingga tembus ke 

punggung. Seketika itu juga tubuhnya ambruk ke 

tanah. Berkelojotan beberapa saat. Dan 

kemudian diam tidak bergerak lagi untuk 

selamanya. 

"Karmila...! 

Rupangki berlari menghambur ke arah gadis 

berpakaian jingga itu.


"Kau tidak apa-apa?" tanya pemuda tinggi 

kurus itu. Sepasang matanya menatap putri 

Kalapati penuh kekhawatiran. 

Karmila menggeleng pelan. Bibirnya yang 

semerah delima tersenyum. 

"Ah, syukurlah...," desah Rupangki seraya 

memeluk gadis berpakaian jingga itu erat-erat. 

Karmila membiarkan saja pemuda tinggi kurus 

itu memeluknya. Gadis itu merasa aman berada 

dalam pelukan pemuda itu. 

"Ehm... ehm...," suara mendehem yang 

keluar dari mulut Gambala menyadarkan kedua 

muda-mudi ini dari keasyikannya. Seketika itu 

juga keduanya saling melepaskan pelukan dengan 

wajah merah padam. Terutama sekali Karmila. 

Betapa bodohnya! maki kedua muda-mudi itu 

dalam hati. Mengapa mereka sampai melupakan 

orang-orang yang berada di sekitar situ? 

Dengan pandangan malu-malu, Rupangki dan 

Karmila menatap Gambala. Tapi kakek bermata 

sayu itu rupanya kembali sibuk memperhatikan 

jalannya pertarungan. Kini tinggal dua 

pertarungan lagi yang tersisa. Pertarungan 

antara Melati menghadapi Dewi Pencabut Nyawa, 

dan antara Dewa Arak dengan Setan Kepala Besi. 

*** 

Melati mengerutkan alisnya. Gadis 

berpakaian putih ini merasa heran begitu 

menyadari kalau tenaga dalam lawan meningkat 

jauh lebih kuat. Kini tenaga dalam Dewi 

Pencabut Nyawa sudah berimbang dengan tenaga 

dalamnya! Melati rupanya sama sekali tidak 

tahu kalau semua itu adalah khasiat Jamur 

Sisik Naga! 

Pertarungan antara kedua wanita sakti itu 

berlangsung cepat. Seratus jurus telah


berlalu. Dan selama itu pertarungan masih 

berlangsung imbang. Tingkat kepandaian Melati 

dan Dewi Pencabut Nyawa memang berimbang. Baik 

dalam hal ilmu meringankan tubuh maupun tenaga 

dalam. Sehingga tidak aneh kalau pertarungan 

antara kedua orang itu berlangsung seru. 

Suara ledakan yang berasal dari lecutan 

cambuk, dan suara menggerung keras seperti 

naga murka dari gerakan pedang Melati, 

menyemaraki jalannya pertarungan itu. 

Dewi Pencabut Nyawa menggerung murka. 

"Hiyaaa...!" 

Sambil mengeluarkan lengkingan nyaring, 

wanita berpakaian merah menyala itu melompat 

ke atas. Dan dari atas, ujung cambuk perempuan 

sesat itu menyambar deras ke pelipis, ubun-

ubun, dan bawah hidung. Tiga jalan darah 

kematian. 

"Hih!" 

Melati menggertakkan gigi. Pedang di 

tangannya kembali mengeluarkan suara 

menggerung, seperti seekor naga marah. 

Prat! Rrrt....! 

Seketika itu juga tiga buah ujung cambuk 

itu melilit mata pedang Melati. Gadis 

berpakaian putih ini cepat-cepat membetotnya. 

Terdengar pekikan lirih dari mulut Dewi 

Pencabut Nyawa, begitu tubuhnya yang masih 

berada di udara tertarik turun. Tapi wanita 

sesat ini tidak gugup. Bersamaan dengan 

tubuhnya turun, kaki wanita berpakaian merah 

menyala ini dijejakkan ke dada Melati. 

Pada saat yang bersamaan, cakar kiri yang 

berwarna kemerahan menyambar ke dada Dewi 

Pencabut Nyawa yang meluncur turun. 

Dewi Pencabut Nyawa tersenyum lebar. Dalam 

hatinya berkata, sebelum cakar gadis 

berpakaian putih itu mengenai dadanya, tentu



jejakan kakinya akan lebih dulu mendarat di 

dada Melati. 

Sungguh di luar dugaan Dewi Pencabut 

Nyawa. Tangan Melati tiba-tiba memanjang, 

hampir dua kali lipat semula. Wanita sesat ini 

sama sekali tidak tahu kalau Melati 

menggunakan jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku'. 

Maka.... 

Desss! 

"Akh...!" 

Dewi Pencabut Nyawa terpental tinggi ke 

atas. Seketika itu juga cambuknya terlepas. 

Darah segar bermuncratan dari mulut, hidung, 

dan telinga wanita berpakaian merah menyala 

ini. 

Bruk! 

Tubuh Dewi Pencabut Nyawa roboh di tanah 

tanpa bergerak lagi. Ilmu 'Cakar Naga Merah' 

memang dahsyat! Sekali terkena lawan akan 

berakibat fatal! 

Melati memandangi tubuh yang telah tidak 

bernyawa lagi itu sejenak Kemudian 

pandangannya dialihkan pada pertarungan antara 

Dewa Arak melawan Setan Kepala Besi. 

*** 

Pertarungan antara Dewa Arak melawan Setan 

Kepala Besi sudah berlangsung lebih dari dua 

ratus jurus. Sungguhpun sebenarnya Arya kalah 

dalam hal tenaga dalam, tapi Dewa Arak masih 

memiliki jurus 'Delapan Langkah Belalang'. 

Jurus yang membuat pemuda itu mampu bergerak 

cepat dalam posisi apa pun. 

Napas Setan Kepala Besi sudah memburu. 

Usia laki-laki tinggi besar ini memang cukup 

tua, sehingga tidak mengherankan kalau 

tenaganya cepat terkuras habis. Apalagi jurus


yang dimainkannya adalah jurus 'Tendangan 

Angin Topan dan Badai'. Jurus yang sangat 

banyak menguras tenaga. 

Kagum juga hati tokoh sesat ini, begitu 

melihat lawannya sedikit pun tidak terlihat 

lelah. Bahkan serangan-serangan pemuda 

berambut putih keperakan itu masih sedahsyat 

semula. 

Bukan hanya Setan Kepala Besi saja yang 

merasa kagum. Dewa Arak pun dilanda perasaan 

yang sama. Baru sekali ini ditemuinya tokoh 

yang sanggup memecahkan keistimewaan jurus 

'Delapan Langkah Belalang'. Meskipun tadi Dewa 

Arak selalu dapat mengelakkan serangan, tapi 

Setan Kepala Besi dapat membaca ke mana arah 

elakan Dewa Arak. Hal inilah yang membuat 

pertarungan kedua tokoh sakti ini berlangsung 

lama. 

Tiba-tiba Setan Kepala Besi melempar tubuh 

ke belakang. Setelah bersalto beberapa kali di 

udara, tubuhnya hinggap beberapa tombak 

menjauhi lawan. 

Dewa Arak sama sekali tidak mengejarnya. 

Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau 

lawan akan mengeluarkan ilmu lain. Dan tak 

terasa jantung Dewa Arak berdebar tegang. 

Sudah bisa diperkirakan kalau ilmu yang akan 

dikeluarkan kali ini lebih dahsyat dari 

sebelumnya. 

"Kau memang hebat, Dewa Arak! Tapi..., 

jaga seranganku ini!" 

Setelah berkata demikian, tiba-tiba Setan 

Kepala Besi berlari kencang sambil menjulurkan 

kepalanya. Rupanya laki-laki tinggi besar 

berkepala botak ini menyeruduk dengan 

menggunakan kepalanya. Seperti layaknya kerbau 

atau banteng! 

Wusss!


Angin berhembus keras sebelum serudukan 

kepala Setan Kepala Besi tiba. Dewa Arak kaget 

bukan kepalang melihat jurus aneh lawannya 

ini. Ada pengaruh aneh yang membuat Arya sukar 

untuk mengelakkan serangan itu. Tidak ada 

jalan lain bagi Dewa Arak kecuali 

menangkisnya. 

"Hiyaaa...!" 

Untuk pertama kalinya Dewa Arak berteriak 

keras dalam upaya mengumpulkan seluruh tenaga 

dalamnya. Luar biasa akibat teriakan pemuda 

itu. Rupangki dan Karmila seketika jatuh 

terduduk. Lutut mereka seketika terasa lemas. 

Bahkan tubuh Gambala sampai menggigil. 

Dan sebelum gema teriakan itu habis, 

dengan kecepatan sukar diikuti mata, tangan 

Dewa Arak menjumput guci arak di punggungnya. 

Bersamaan dengan itu seluruh tenaga dalamnya 

dikerahkan untuk memberatkan tubuh. Inilah 

ilmu 'Pasak Bumi' yang membuat kedua kaki Dewa 

Arak seperti berakar di tanah. 

Rambut dan seluruh pakaian Dewa Arak 

berkibaran keras. Batu-batu besar kecil 

beterbangan, dan debu pun mengepul tinggi ke 

udara. Keadaan di tempat itu seperti dilanda 

angin topan ketika serudukan Setan Kepala Besi 

itu mendekat. 

"Hih!" 

Klanggg! 

Terdengar suara berdentang memekakkan 

telinga, ketika Dewa Arak menangkis serudukan 

kepala lawan dengan guci araknya. 

Hebat akibatnya! Tubuh Dewa Arak terseret 

lima tombak dari tempat semula. Gucinya 

terpental entah ke mana karena sekujur kedua 

tangannya kontan seperti lumpuh! Bahkan isi 

dadanya terguncang keras. Tapi anehnya, kedua


kakinya tetap tidak terlepas dari tanah. 

Inilah kehebatan ilmu 'Pasak Bumi'. 

Sementara keadaan Setan Kepala Besi tidak 

lebih baik dari Dewa Arak Kali ini laki-laki 

tinggi besar itu kena batunya. Kepalanya 

memang kebal, tapi yang kali ini dibenturnya 

bukan benda main-main. Sebuah guci pusaka! 

Kepalanya pun dirasakan pening bukan main. 

Setan Kepala Besi sadar kalau kekebalan 

kepalanya kemungkinan telah lenyap akibat 

benturan ini. Dan ini belum pernah dialaminya. 

Sekalipun menghadapi Kalapati. Tak terasa 

dalam hati Setan Kepala Besi timbul perasaan 

sayang, kalau seorang pemuda yang memiliki 

tingkat kepandaian seperti Dewa Arak ini harus 

mati di tangannya. Terlebih lagi dia pun sadar 

kalau Dewa Arak belum tentu bisa 

dikalahkannya. Setan Kepala Besi ini memang 

tidak terhitung tokoh sesat yang terlalu 

jahat. Tidak sama sekali. Bahkan bila 

dibanding Kalapati, masih lebih jahat ayah 

Karmila daripada Setan Kepala Besi. 

Maka sambil menahan rasa pusing dan sakit 

yang amat sangat pada kepalanya, Setan Kepala 

Besi menghampiri Dewa Arak. 

"Aku mengaku kalah, Dewa Arak" "Kau tidak 

kalah olehku," Setan Kepala Besi. Malah aku 

harus kagum pada kekebalan kepalamu yang 

sangat keras itu," jawab Arya jujur. Karena 

dia pun merasakan sakit yang amat sangat pada 

kedua tangannya, ketika menahan serudukan 

kepala Setan Kepala Besi tadi. 

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Setan 

Kepala Besi pun segera menghampiri mayat Dewi 

Pencabut Nyawa dan Waji. Kemudian kedua mayat 

itu sekaligus dipanggulnya. Lalu segera 

melesat meninggalkan tempat itu. 

Melati bergerak ingin mencegahnya. Tapi...



"Biarkan dia pergi, Melati," cegah Dewa 

Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini 

tahu, tak seorang pun di tempat ini yang mampu 

menandingi kesaktian Setan Kepala Besi. Dewa 

Arak bersyukur ketika tokoh sesat itu tidak 

berniat memperpanjang urusan lagi. 

Gadis berpakaian putih itu pun 

menghentikan gerakannya. Ditatapnya bayangan 

Setan Kepala Besi hingga lenyap di kejauhan. 

"Kau tidak apa-apa, Kang Arya?" tanya 

Melati sambil berlari menghambur ke arah Dewa 

Arak. 

Arya menggelengkan kepalanya. Walaupun 

sebenarnya ada rasa sakit yang mendera kedua 

tangan dan dadanya, tapi Dewa Arak tidak ingin 

memperlihatkan kepada tunangannya. Dihampainya 

guci arak yang tergeletak agak jauh dari 

tempat pemuda Itu berdiri. 

"Kami pergi dulu, Kek," pamit Arya pada 

Gambala setelah menyampirkan guci arak di 

punggungnya. Beberapa saat kemudian pemuda 

berambut putih keperakan itu sudah bergerak 

melesat dari situ bersama Melati. 

"Tunggu dulu, Dewa Arak!" cegah Gambala. 

"Ada apa, Kek?" Arya menghentikan 

langkahnya. 

"Bulan purnama depan, aku mengundangmu 

datang ke Perguruan Pedang Ular." 

"Memangnya ada apa, Kek?" kali ini Melati 

yang bertanya. 

Gambala tidak langsung menjawab. Ekor 

matanya melirik ke arah Rupangki dan Karmila. 

"Pernikahan Rupangki dan Karmila!" jawab 

kakek bermata sayu itu seraya tertawa 

bergelak. Karuan saja wajah Rupangki dan 

Karmila jadi merah padam. Rupangki hanya bisa 

tersenyum bingung. Walaupun sebenarnya hati



pemuda ini gembira sekali. Sementara Karmila 

hanya menundukkan kepalanya saja. 

Dewa Arak dan Melati tersenyum lebar 

melihat tingkah kedua muda-mudi itu. 

"Kami pasti datang, Kek," sahut Arya. Dan 

sebelum Gambala berkata lagi, tubuh pemuda 

berbaju ungu itu telah berkelebat dari situ. 

Gambala hanya dapat menggeleng-gelengkan 

kepala. 

"Mari kita kembali ke perguruan!" ajak 

kakek bermata sayu itu pada Rupangki dan 

Karmila. Sesaat kemudian ketiga orang itu 

berkelebat menuruni lereng Gunung Palanjar. 

*** 

Setelah cukup jauh dari tempat Gambala, 

Arya menghentikan ayunan kakinya. Tentu saja 

Melati pun menghentikan langkah. 

"Kau tidak marah lagi, Melati?" goda Arya 

sambil memegang jari-jemari gadis berpakaian 

putih itu. 

Melati hanya menggelengkan kepalanya. 

Sementara sepasang matanya yang bening dan 

bidah itu merayapi wajah tampan yang berdiri 

di hadapannya. 

Arya menelan ludah melihat wajah cantik 

yang berada di hadapannya. Dirayapi wajah 

gadis berpakaian putih itu dengan sorot mata 

penuh kasih sayang. "Melati...," panggil Arya. 

Suaranya agak serak. "Hm...," gumam gadis 

berpakaian putih itu manja. "Nggg..., aku 

ingin mengatakan sesuatu padamu, Melati...," 

ujar Arya terbata-bata. Jari-jari tangannya 

meremas-remas jemari Melati yang lentik dan 

halus. "Katakanlah, Kang," sahut Melati 

memberi angin. "Kau..., kau janji tidak akan


marah...?" "Mengapa harus marah, Kang?" Melati 

balas bertanya. 

"Betul?" tanya Arya masih kurang yakin. 

"Betul," Melati menganggukkan kepalanya. 

"Katakanlah, Kang." 

"Nggg...," Arya mengangguk-anggukkan 

kepalanya yang tidak gatal. "Aku ingin... 

ingin...." 

"Katakan cepat, Kang," selak Melati tak 

sabar. "Aku jadi sakit perut nih, gara-gara 

kelakuanmu itu." 

"Aku ingin..., tapi kau janji tidak akan 

marah, kan?" 

Melati menghentak-hentakkan kakinya kesal. 

"Kalau kau begitu terus, aku akan marah!" 

gertak gadis itu kesal. Rupanya gadis itu 

sudah tak sabar menunggu ucapan yang tidak 

kunjung keluar dari mulut Dewa Arak 

"Baiklah, Melati," sambut Arya menguatkan 

hati. "Aku ingin... ingin menciummu, Melati." 

Hampir meledak tawa gadis berpakaian putih 

itu mendengar ucapan Arya. Hanya ingin 

mengucapkan kata seperti itu saja, telah 

membuatnya sakit perut. 

"Bagaimana, Melati? Boleh?" tanya Arya 

dengan harap-harap cemas begitu melihat gadis 

itu diam tak menjawab. 

Bukannya menjawab, Melati malah memejamkan 

kelopak matanya. Sesaat lamanya pemuda 

berambut putih keperakan ini kebingungan, 

sebelum akhirnya mengerti. Rupanya bagi wanita 

menyatakan persetujuannya tidak perlu dengan 

mengucapkan 'iya' atau menganggukkan kepala. 

Diam saja pun telah berarti setuju. 

Perlahan tangan Arya berpindah ke kuduk 

Melati. Dan dengan perlahan pula ditariknya 

wajah itu mendekat. Pemuda berambut putih 

keperakan itu menelan ludahnya tatkala mencium


keharuman khas seorang gadis. Dengan agak 

gemetar, dikecupnya bibir gadis itu. 

Melati pun balas melingkarkan tangannya di 

leher Arya. Dan dibalasnya ciuman pemuda 

berambut putih keperakan itu tak kalah hangat 

Beberapa saat lamanya mereka berdiri 

berpelukan dan saling berciuman. 

Tak mereka sadari, matahari telah condong 

ke Barat. Dan kegelapan pun perlahan mulai 

turun menyelimuti bumi. Tak lama lagi rembulan 

akan menjelang, menggantikan tugas matahari 

yang sudah seharian penuh menyinari bumi. Dan 

dalam suasana yang mulai gelap itu, nampak dua 

sosok tubuh berjalan perlahan meninggalkan 

tempat itu. Tangan mereka bergandengan Kedua 

sosok tubuh itu tak lain adalah Dewa Arak dan 

Melati, yang akan terus melanjutkan perjalanan 

untuk memenuhi tugas mereka sebagai pendekar 

pembela kebenaran. 



                                SELESAI 




Share:

0 comments:

Posting Komentar