JAMUR SISIK NAGA Oleh Aji Saka
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia,
Jakarta
Penyunting : Widarto K Gambar sampul oleh
Pro's
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit.
Aji Saka
Serial Dewa Arak
dalam episode: Jamur Sisik Naga 128 hal ;
12 x 18 cm
1
Matahari telah condong ke Barat. Kegelapan
pun mulai menyelimuti bumi ketika dua sosok
tubuh melangkah perlahan memasuki hutan.
Kepala kedua sosok itu tertunduk menekuri
tanah. Jelas ada sesuatu yang merisaukan hati
keduanya.
Perlahan kegelapan mulai sirna ketika
rembulan menampakkan diri di langit. Walaupun
hanya remang-remang, tapi sinarnya cukup untuk
mengusir kegelapan di hutan itu.
Dua sosok tubuh itu terus saja melangkah
lesu dengan kepala tertunduk. Di bawah
keremangan cahaya bulan, wujud dua sosok tubuh
itu terlihat cukup jelas. Yang seorang adalah
pemuda tampan berambut putih keperakan dengan
sebuah guci arak tersampir di punggungnya.
Sedangkan sosok kedua adalah seorang gadis
cantik berpakaian jingga.
"Dewa Arak," ucap gadis berpakaian Jingga
itu. Suaranya pelan dan agak parau.
Pemuda berambut putih keperakan yang
ternyata adalah Dewa Arak, menoleh.
"Kumohon, kau tidak memanggilku dengan
sebutan itu, Karmila," pinta Dewa Arak.
"Panggii saja Arya."
"Baiklah, De... eh... Arya," sahut gadis
berpakaian jingga yang ternyata bernama
Karmila, mengalah
(Untuk jelasnya mengenai keberadaan gadis
ini bersama Arya, bacalah serial Dewa Arak
dalam episode "Memburu Putri Datuk").
Begitu Karmila menghentikan ucapannya,
suasana kembali hening. Kini keduanya
melangkah tanpa berbicara lagi.
"O ya..., di mana kau akan mengobati
lukamu, Arya?" tanya Karmila memecahkan
keheningan. Matanya yang bening menatap wajah
tampan di sebelahnya.
"Nanti.., agak ke dalam sedikit..," sahut
Dewa Arak pelan.
Karmila hanya mengangguk. Kembali
keheningan menyelimuti mereka. Kini yang
terdengar hanyalah suara kerosak rerumputan
dan dahan-dahan kering yang terpijak kaki
mereka. "Aku menyesal sekali, Arya," kembali
Karmila membuka percakapan. Suaranya sarat
dengan penyesalan.
"Apa yang kau sesali, Karmila?" tanya Dewa
Arak seraya menatap wajah gadis berpakaian
jingga itu lekat-lekat. Rupanya pemuda
berambut putih keperakan ini belum mengerti
maksud ucapan Karmila.
"Diriku...," sahut Karmila mendesah. Ada
nada kesedihan yang dalam pada suaranya.
"Dirimu...?!" tanya Arya heran. Dahi
pemuda berambut putih keperakan ini berkernyit
dalam.
Karmila hanya mengangguk pelan sebagai
jawabannya.
"Mengapa kau sesali dirimu sendiri,
Karmila?" desak Dewa Arak "Apakah kau teringat
pada mendiang ayahmu lagi?"
Gadis berpakaian jingga itu menggeleng.
"Lalu, apa?" desak Arya. "Katakan yang jelas,
Karmila. Agar aku mengerti...." "Hhh...!"
Karmila menghela napas berat "Aku
menyesal, mengapa hidupku selalu menimbulkan
kesulitan bagi orang lain. Ibu dan ayahku
meninggal karena menyelamatkanku...."
"Sudahlah...! Tak perlu kau sesali
peristiwa yang telah terjadi. Yang lalu,
biarlah berlalu...," hibur Arya.
"Dan kini..., aku telah menyusahkanmu...,"
sambung Karmila. Seolah-olah tak didengarnya
nasihat Dewa Arak.
"Menyusahkanku...?!" tanya Arya dengan
alis berkerut. "Kau terlalu mengada-ada,
Karmila. Kau tahu, memang sudah menjadi
tekadku untuk selalu ikut campur bila ada
tindak ketidakadilan. Jadi, kuharap kau tidak
mengungkit-ungkit masalah ini lagi."
"Tapi, aku telah membuat hubunganmu dengan
wanita cantik berpakaian putih jadi putus,"
lanjut gadis berpakaian jingga itu. Ada rasa
nyeri yang menggigit hatinya ketika teringat
Melati.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat.
"Tak usah kau pikirkan masalah itu. Melati
memang berwatak agak keras. Tapi
percayalah..., sebenarnya hatinya baik."
Karmila tercenung sejenak. Ada rasa tidak
enak yang menyeruak di hatinya mendengar Arya
memuji Melati.
"Sebenarnya..., apa hubunganmu dengan
gadis itu, Arya?" tanya Karmila ingin tahu.
"Melati adalah tunanganku...," sahut Dewa
Arak mantap. Sepasang mata pemuda itu nampak
berbinar-binar ketika mengucapkannya.
Deg!
Karmila terhenyak. Jawaban pemuda berambut
putih keperakan itu tak ubahnya serudukan
kerbau liar yang menghantam dadanya. Terasa
sesak dan sakit bukan main. Seketika itu juga
wajah gadis berpakaian jingga ini memucat.
Untunglah malam itu suasananya remang-remang,
sehingga kepucatan wajahnya tak terlihat oleh
Dewa Arak.
Karmila mengeluh dalam hati. Tak
disangkanya kalau benih-benih cintanya akan
kandas secepat ini. Dewa Arak sudah mempunyai
seorang calon pendamping. Seorang gadis yang
memang cocok untuk menjadi jodoh pendekar muda
yang tersohor ini. Seorang pendekar wanita
cantik, gagah dan juga kelihatannya merupakan
orang penting di Kerajaan Bojong Gading. Tidak
seperti dirinya, putri bekas datuk sesat yang
kejam. Perasaan rendah diri pun menyeruak
dalam hati Karmila.
"Ada apa, Karmila?" tanya Dewa Arak begitu
melihat gadis berpakaian jingga itu
menghentikan langkahnya.
"Ti... tidak ada apa-apa," sahut Karmila
cepat. Buru-buru kakinya dilangkahkan kembali.
Arya yang tadi juga menghentikan langkahnya
kembali meneruskan langkahnya.
Kedua orang itu terus melanjutkan
perjalanannya. Baru setelah tiba di sebuah
rerimbunan semak-semak yang agak terlindung,
Dewa Arak menghentikan langkahnya.
"Sebentar, Karmila," ucap pemuda berambut
putih keperakan itu. Karmila pun menghentikan
langkahnya. Sebentar gadis itu memandangi
Arya, tapi kemudian pandangannya segera
dialihkan lagi.
"Aku rasa tempat ini cocok untuk
bersemadi," sambung Dewa Arak lagi. Karmila
hanya mengangkat bahu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda
berambut putih keperakan itu segera duduk
bersila. Tak lama kemudian Arya pun telah
tenggelam dalam semadinya.
Karmila memandangi raut wajah pemuda
berambut putih keperakan itu dengan hari
tersayat perih. Sesaat kemudian ditariknya
napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-
kuat. Ada luka yang mendera hatinya, begitu
mengingat pemuda yang telah mencuri hatinya
ini ternyata telah dimiliki orang lain.
Suasana seketika menjadi hening. Yang
terdengar hanyalah desah napas teratur ketika
Dewa Arak mengatur pernapasannya.
***
Entah sudah berapa lama Dewa Arak
tenggelam dalam semadinya Yang jelas, begitu
pemuda ini membuka sepasang matanya, malam
telah berganti pagi. Sinar mentari telah
menyinari bumi. Cicit suara burung pun mulai
riuh terdengar.
Yang pertama kali terlihat oleh Arya
adalah tubuh Karmila yang tergolek di
depannya. Gadis itu tidur dengan beralaskan
ranting-ranting kering dan dedaunan semak-
semak.
Perlahan Dewa Arak beranjak bangkit.
Terdengar suara berkeresekan dari ranting
kering begitu pemuda berambut putih keperakan
ini bangkit berdiri. Meskipun pelan, tapi
suara itu sudah cukup untuk membuat Karmila
terjaga dari tidurnya.
Perlahan-lahan sepasang kelopak mata gadis
itu membuka. Tapi kemudian segera menutup
kembali begitu matanya terasa silau oleh
sorotan sinar matahari. Beberapa saat lamanya
Karmila mengerjap-nger japkan matanya, baru
setelah terbiasa, sepasang matanya dibuka
lebar-lebar.
"Akan ke mana lagi kita, Arya?" tanya
Karmila.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas panjang. Sepasang
alisnya hampir bertautan. Jelas ada sesuatu
yang dipikirkannya. Sementara Karmila hanya
memandanginya saja.
"Kau tidak mempunyai tujuan, Karmila?"
pemuda berambut putih keperakan itu balik
bertanya.
"Semula tidak," sahut Karmila setelah
termenung beberapa saat.
"Lalu sekarang, sudah punya tujuan?"
Gadis berpakaian jingga itu mengangguk.
"Ke mana?" tanya Dewa Arak lagi.
"Danau Bagal," jawab Karmila singkat.
"Danau Bagal?" ulang Dewa Arak dengan alis
berkerut. "Di mana tempat itu, Karmila?"
"Aku sendiri juga tidak tahu, Arya," jawab
gadis berpakaian jingga itu seraya
menggelengkan kepalanya.
"Aneh...," gumam Arya. "Kau tidak tahu
tempatnya, tapi ingin ke sana. Dari mana kau
tahu nama tempat itu, Karmila?"
"Dari ayahku."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Lalu mengapa kau hendak ke sana?" tanya Dewa
Arak heran.
"Karena orang yang tinggal di Danau Bagal
itu adalah satu-satunya orang yang mempunyai
hubungan denganku," jawab gadis itu bernada
sedih sehingga membuat hati Arya terenyuh.
"Kalau boleh kutahu, apa hubunganmu dengan
orang yang tinggal di sana?" tanya Dewa Arak
ingin tahu.
Karmila tercenung sejenak. "Orang yang
tinggal di sana adalah sahabat karib ayahku."
Kembali Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Sebenarnya..., aku punya sebuah rencana,
Karmila," ucap pemuda berambut putih keperakan
itu, setelah beberapa saat lamanya terdiam.
"Rencana apa, Arya?"
"Menyingkap misteri pembunuhan dua orang
murid Perguruan Pedang Ular."
"Aku rasa tidak perlu, Arya," sahut
Karmila.
"Mengapa, Karmila?" dahi Dewa Arak
berkernyit.
"Hal itu hanya merepotkanmu saja. Apalagi
akui memang tidak berniat membalas dendam.
Ayah sering sekali menasihatiku. Katanya,
kalau sewaktu-waktu ada orang yang datang
membunuhnya, aku tidak boleh membalas
kematiannya. Semua itu adalah buah dari
perbuatannya sendiri. Ayah telah terlalu
banyak merugikan orang lain. Dan kalau
sekarang aku membalas kematiannya, arwah ayah
pasti tidak akan tenangi di alam baka," jelas
gadis berpakaian jingga itu panjang lebar.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas
panjang. "Kau salah dua kali, Karmila."
"Maksudmu?" tanya gadis berpakaian jingga
itu dengan alis berkerut.
"Pertama, kau salah bila mengatakan kalau
aku menjadi repot kalau mengusut persoalan
ini. Bukankah sudah kukatakan berkali-kali,
aku melakukan semua ini karena memang sudah
jadi tekadku untuk turun tangan setiap kali
ada tindak ketidakadilan. Sekali lagi
kutegaskan, Karmila ini memang sudah menjadi
tekadku sejak aku mulai belajar ilmu silat,"
tegas Dewa Arak tandas.
Karmila sama sekali tidak menyahut
Kepalanya tertunduk menekuri tanah.
"Dan yang kedua," sambung Dewa Arak lagi.
"Kau salah mengerti maksud pesan ayahmu."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Arya," ucap
gadis berpakaian jingga itu seraya memandang
wajah pemuda berambut putih keperakan itu
dengan sinar mata bodoh.
Dewa Arak membalas tatapan Karmila. Sinar
mata dan suara pemuda berambut putih keperakan
ini nampak bersungguh-sungguh.
"Ayahmu memang berpesan begitu apabila dia
terbunuh akibat kesalahan-kesalahannya di masa
lalu. Tapi, kejadian ini berbeda, Karmila.
Ayahmu tewas karena difitnah. Dan kalau kita
tidak menyingkap rahasia ini, nama ayahmu akan
tetap rusak. Dan yang lebih gawat lagi,
seluruh orang-orang persilatan golongan putih
akan terus memburumu."
Arya menghentikan ucapannya sejenak.
Dilihatnya dahi gadis itu berkernyit, sebelum
akhirnya menganggukkan kepala.
"Sekalipun kau bersembunyi ke Danau Bagal,
aku yakin mereka akan tetap memburumu. Dan kau
tahu apa yang akan terjadi? Sahabat baik
ayahmu itu mau tak mau akan terseret dalam
persoalan ini pula. Kau ingin hal itu terjadi,
Karmila?"
Mendengar penjelasan panjang lebar Dewa
Arak, wajah gadis berpakaian jingga itu
seketika memucat Kini baru disadarinya
keluasan wawasan berpikir pemuda berambut
putih keperakan ini. Semua yang dikatakan Arya
benar. Selama misteri terbunuhnya dua orang
murid Perguruan Pedang Ular belum terungkap,
tokoh-tokoh persilatan golongan putih akan
terus memburunya. Dan dirinya akan terus
mengundang bahaya pada setiap orang yang
dikunjunginya.
"Bagaimana, Karmila?" tanya Dewa Arak
begitu melihat gadis berpakaian jingga itu
terdiam.
"Kau benar, Arya," sahut Karmila setelah
beberapa saat lamanya bimbang. "Jadi...?"
"Ya. Kita harus menyingkap misteri
pembunuhan ini!" jawab gadis berpakaian Jingga
itu tandas.
"Dan itu berarti kita harus kembali ke
Gunung Palanjar," ucap Dewa Arak.
"Mengapa harus ke sana lagi, Arya?" tanya
Karmila tak mengerti.
"Karena dari sanalah asal muasal kejadian
ini. Kita harus menelusuri perjalanan ketiga
murid Perguruan Pedang Ular mulai dari lereng
Gunung Palanjar sampai ke perguruannya.
Barangkali saja kira dapat menemukan petunjuk
di sana."
Karmila mengangguk-anggukkan kepalanya
pertanda mengerti. Dewa Arak benar-benar
memiliki wawasan pengetahuan yang luas,
pikirnya. Dan seketika itu juga rasa kagumnya
semakin menebal. Tapi gadis berpakaian jingga
ini segera sadar kalau perasaan itu harus
dibuangnya jauh-jauh. Sudah ada orang yang
berhak memikirkan pemuda berambut putih
keperakan ini. Dan orang itu adalah Melati.
"Kapan kita berangkat, Arya?" tanya
Karmila.
"Secepatnya," sambut Dewa Arak. "Aku tidak
ingin masalah ini semakin berlarut-larut"
"Kalau begitu kita harus berkemas-kemas
dulu," ucap Karmila seraya meninggalkan tempat
itu untuk membersihkan tubuhnya.
Tak lama kemudian, sehabis membersihkan
tubuh dan mengisi perut, kedua muda-muda itu
pun meninggalkan hutan.
***
"Hooop...!"
Seorang gadis berpakaian serba putih
mengangkat tangan kanannya. Sedangkan tangan
kirinya menarik tali kekang kudanya kuat-kuat.
Seketika itu juga kuda tunggangannya berhenti
melangkah. Begitu pula puluhan kuda yang yang
ditunggangi oleh orang-orang berseragam
prajurit kerajaan di belakangnya.
"Patih Rantaka," panggil gadis berpakaian
putih itu pada penunggang kuda di belakangnya.
"Hamba, Gusti Ayu Melati," sahut laki-laki
setengah baya itu penuh hormat.
"Tugas yang diembankan Ayahanda Prabu
padaku telah selesai kukerjakan. Dan para
perampok yang menimbulkan kekacauan telah
berhasil kita tumpas. Sekarang kau kuserahkan
tugas untuk mengambil alih pimpinan pasukan
ini pulang ke kotaraja," ucap wanita
berpakaian putih yang ternyata bernama Melati
itu.
"Lalu..., Gusti Ayu mau ke mana?" tanya
Patih Rantaka agak bingung.
"Aku masih punya urusan lain, Paman
Patih."
Patih Rantaka tersenyum. Tanpa diberi tahu
pun laki-laki setengah baya ini dapat menduga
urusan yang dimaksud putri angkat Raja
Kerajaan Bojong Gading ini.
"Hamba mengerti, Gusti Ayu. Tapi...,
bagaimana kalau Gusti Prabu menanyakannya?"
Patih Rantaka meminta pendapat.
"Katakan saja apa adanya!" tandas MelatI
tegas. Dan sebelum laki-laki setengah baya itu
menyahut, gadis berpakaian putih itu telah
menggebah kudanya.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Debu mengepul tinggi ke udara, begitu kuda
tunggangan Melati meninggalkan tempat itu.
Patih Rantaka dan pasukan khusus lainnya hanya
terpaku memandangi gadis berpakaian putih itu
hingga lenyap ditelan kejauhan. Kepala laki-
laki setengah baya ini menggeleng-geleng.
Sementara itu Melati terus menggebah
kudanya agar berlari lebih cepat. Dari berita
yang didapat, diketahuinya kalau wanita yang
ditolong Dewa Arak adalah putri seorang datuk
sesat. Melati bermaksud menyusul pemuda
berambut putih keperakan itu untuk menanyakan
hubungan mereka. Apakah masih ingin
diteruskan, atau memilih putri datuk sesat
itu.
Sepanjang perjalanan, Melati terus mencari
tahu arah yang dituju Dewa Arak dan Karmila.
Memang tidak sulit untuk mengikuti jejak kedua
orang itu. Karena di samping ciri-ciri Arya
yang sangat menyolok, di sepanjang perjalanan
pun banyak dijumpainya tokoh-tokoh persilatan
aliran putih yang dirobohkan Dewa Arak.
Mendengar semua ini, Melati bertambah
geram. Kekesalannya dilampiaskan dengan
memaksa kuda nya berlari secepat mungkin. Kini
gadis berpakaian putih ini tahu kalau kedua
buruannya menuju ke Gunung Palanjar.
"Hooop...!"
Melati menarik tali kekang kudanya ketika
telah mendekati kaki Gunung Palanjar. Dan
seketika itu juga, binatang itu menghentikan
larinya.
"Hup!"
Gadis berpakaian putih itu melompat dari
kudanya. Ringan tanpa suara kedua kakinya yang
mungil mendarat di tanah. Kudanya ditambatkan
agak tergesa-gesa. Kemudian melesat cepat
mendaki lereng.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang memang
sudah mencapai tingkat tinggi, mudah saja
gadis berpakaian putih itu mendaki lereng yang
sebenarnya bermedan cukup berat itu. Tapi
mendadak....
"Hik hik hik...!"
Terdengar tawa mengikik yang memecahkan
kesunyian lereng Gunung Palanjar. "Hup!"
Begitu kedua kakinya menjejak tanah,
Melati langsung bersikap waspada. Sepasang
bola matanya menatap garang ke arah tawa itu
berasal. Urat-urat syaraf gadis itu seketika
menegang tatkala menyadari kehebatan tenaga
dalam yang terkandung dalam suara tawa itu.
Sesaat kemudian, dari rerimbunan pohon
muncul dua sosok tubuh menghadang. Melati
menatap kedua sosok itu penuh selidik.
Orang pertama adalah pemuda berbadan lebar
yang berpakaian kuning. Usianya sekitar tiga
puluh tahun. Di bagian dada kiri pakaiannya
tersulam gambar sebatang pedang terhunus yang
tengah dililit seekor ular.
Sementara sosok kedua adalah seorang
wanita setengah baya yang berpakaian merah
menyala. Rambutnya setengah digelung ke atas,
berhiaskan sebuah tusuk konde berujung kepala
ular kobra.
"Ah! Ternyata dia gadis yang amat cantik,
Bu," ucap pemuda berbadan lebar itu seraya
merayapi sekujur tubuh gadis berpakaian putih
itu dengan sorot mata liar. Tentu saja hal ini
membuat Melati bangkit kemarahannya.
"Memangnya kenapa kalau gadis ini berwajah
cantik, Waji?" tanya wanita berpakaian merah
menyala yang ternyata adalah ibu dari pemuda
berbadan lebar itu. Mulutnya menyunggingkan
senyum ejekan.
Pemuda berbadan lebar yang ternyata
bernama Waji menelan ludahnya.
"Aku ingin Ibu menangkapkannya untukku.
Aku ingin bersenang-senang dengan dia sebentar
saja. Bu," sahut Waji Sorot matanya semakin
kurang ajar.
"Yang ada di otakmu hanya itu saja, Waji!"
cemooh wanita berpakaian merah menyala itu..
"Tidak tahukah kau kalau gadis ini bukan
orang sembarangan?! Sebelum kau sempat
melaksanakan niat kotormu nyawamu pasti sudah
melayang terlebih dahulu!"
"Itulah sebabnya, aku meminta Ibu
menangkapkannya," tangkis Waji cepat.
Melati yang sejak tadi masih berusaha
memben dung amarahnya, akhirnya tidak tahan
lagi. Kedua ibu dan anak ini ternyata sama
bejatnya. Enak saja mereka membicarakan diri
seseorang di depan yang bersangkutan.
"Kalian benar-benar bermulut kotor!" umpat
gadis berpakaian putih itu galak.
"Jaga mulutmu, Perempuan Liar!" bentak
wanita berpakaian merah menyala itu tak mau
kalah. Rupanya ibu Waji ini tergolong wanita
pemarah, dan pantang mendengar kata-kata kasar
yang ditujukan kepadanya. Begitu mendengar
ucapan kasar tadi, kontan darahnya langsung
mendidih.
"Apa hakmu menyuruhku menjaga mulut, tua
bangka bermulut kotor?!" Melati memang
memiliki watak keras dan tak mau kalah.
Bentakan wanita berpakaian merah itu
dibalasnya tak kalah kasar.
"Kubilang jaga mulutmu! Atau..., kau ingin
aku menutupnya dengan kekerasan?.'" teriak
wanita berpakaian merah menyala itu dengan
suara yang lebih keras lagi.
"Cobalah kalau kau mampu, tua bangka tak
tahu diri!" sambut gadis berpakaian putih itu
tak kalah gertak.
"Keparat! Kalau aku tak mampu merobek
mulutmu..., jangan panggil aku Dewi Pencabut
Nyawa!"
Setelah berkata demikian, wanita
berpakaian merah menyala yang ternyata
berjuluk Dewi Pencabut Nyawa segera melangkah
maju. Sikapnya terlihat penuh ancaman. Hal ini
tentu saja membuat Waji yang merasa tertarik
pada Melati menjadi khawatir.
"Aku mohon kau tidak membunuhnya, Ibu,"
pinta pemuda berbadan lebar itu cepat.
"Berilah aku kesempatan untuk bersenang-senang
dengannya. Ibu. Baru setelah itu kau boleh
merobek-robek mulut atau buat apa saja
padanya."
Tapi Dewi Pencabut Nyawa hanya mendengus
saja. Tanpa mempedulikan ucapan putranya,
wanita berpakaian merah menyala itu menerjang
Melati. Kedua tangannya mengembang membentuk
cakar. Tangan kanannya menyampok ke arah
pelipis anak angkat Raja Kerajaan Bojong
Gading ini. Sementara tangan kirinya
disilangkan di depan dada.
Wuuut!
Deru angin keras mengiringi tibanya
serangan wanita berpakaian merah menyala itu.
Melati kalau serangan lawan ini tidak bisa
dibuat main-main. Dari desir angin pukulannya
saja sudah bisa diukur kedahsyatan serangan
itu.
Melati buru-buru mendoyongkan tubuhnya
seraya menarik kepalanya ke belakang. Sambaran
cakar Dewi Pencabut Nyawa berada setengah
jengkal di depan wajahnya. Rambut dan pakaian
gadis itu berkibaran keras akibat kuatnya
tenaga dalam yang terkandung dalam serangan
itu.
Tapi tidak hanya itu saja yang dilakukan
Melati. Berbareng dengan menarik tubuhnya ke
belakang, kaki kanannya mencuat ke arah perut
lawan.
Wuttt...!
"Hm...!"
Terdengar suara mendengus dari mulut Dewi
Pencabut Nyawa. Tangan kirinya yang
disilangkan di depan dada, dibacokkan ke
bawah, menangkis tendangan yang mengancam
perutnya.
***
2
Takkk!
Suara berderak keras seperti beradunya dua
batang besi mengiringi benturan tangan dan
kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam
tinggi itu.
Melati terdorong mundur satu langkah,
sedangkan Dewi Pencabut Nyawa terhuyung dua
langkah ke belakang. Jelas kalau dalam adu
tenaga dalam tadi, gadis berpakaian putih itu
lebih unggul dari lawannya.
Dewi Pencabut Nyawa meringis. Tangan yang
berbenturan dengan kaki gadis berpakaian putih
itu terasa sakit bukan main. Dan hal ini tentu
saja membuat kemarahan wanita berpakaian merah
menyala itu semakin berkobar.
"Pantas kau berani kurang ajar di depanku,
Perempuan Liar! Rupanya kau memiliki sedikit
kepandaian!" desis Dewi Pencabut Nyawa geram.
"Tapi jangan bangga dulu! Aku belum kalah!"
Setelah berkata demikian, wanita
berpakaian merah menyala itu menggosok-
gosokkan kedua telapak tangannya satu sama
lain. Akibatnya, perlahan-lahan sepasang
tangan itu mulai berubah menghitam. Semakin
lama tangan itu semakin hitam. Dan samar-samar
tercium bau amis yang memuakkan.
Melati memperhatikan semua itu dengan
sikap waspada. Gadis berpakaian putih ini
menyadari kalau wanita di hadapannya ini
merupakan lawan yang amat tangguh. Dahinya
sedikit berkernyit ketika melihat kedua tangan
wanita berpakaian merah menyala itu menghitam
sampai sebatas pergelangan. Apalagi begitu
hidungnya yang berbentuk indah itu samar-samar
mencium bau amis.
"Racun...," desis gadis berpakaian putih
itu pelan. Melati tahu kalau Dewi Pencabut
Nyawa telah mengeluarkan ilmu andalannya. Maka
tanpa ragu-ragu lagi, segera dikeluarkan ilmu
andalannya, 'Cakar Naga Merah'.
Dewi Pencabut Nyawa terperanjat kaget
begitu melihat kedua tangan Melati juga
berubah warna sampai ke pergelangan. Hanya
saja warnanya tidak hitam seperti tangannya,
tapi merah. Semerah darah!
"Hiyaaa...!"
Seraya berteriak nyaring, Dewi Pencabut
Nyawa melompat ke atas. Dan selagi tubuhnya
berada di udara, kedua tangannya tiba-tiba
membentuk cakar garuda. Ibu jari dan
kelingking dilipat ke dalam, sementara jari-
jari lainnya mengembang. Dan dari atas, kedua
cakar wanita berpakaian merah menyala itu
mencengkeram bertubi-tubi ke arah pelipis dan
ubun-ubun Melati.
Wuttt!
Suara berciutan nyaring bercampur bau amis
yang memuakkan mengiringi tibanya serangan
Dewi Pencabut Nyawa.
Melatti tetap bersikap tenang. Tanpa ragu-
ragu lagi ditangkisnya sambaran cakar yang
mengancamnya. Dengan mengerahkan ilmu 'Cakar
Naga Merah', gadis berpakaian putih itu sama
sekali tidak khawatir berbenturan dengan
tangan lawan yang beracun. Warna merah pada
kedua tangannya, bukan hanya hiasan belaka.
Tapi mampu menghalau racun yang mencoba masuk
ke dalam tubuhnya. Takkk, plakkk!
Untuk yang kedua kalinya terdengar suara
berderak keras akibat benturan kedua pasang
tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam
tinggi itu. Kali ini lebih keras dari
sebelumnya, sehingga membuat tubuh Melati
terhuyung-huyung ke belakang.
Tapi keadaan yang dialami Dewi Pencabut
Nyawa lebih hebat lagi. Tubuh wanita
berpakaian merah menyala yang tadi sedang
berada di udara, kontan terlontar kembali ke
atas. Ada suara pekikan halus keluar dari
mulutnya.
"Hup!"
Hampir bersamaan dengan hinggapnya Dewi
Pencabut Nyawa di tanah, Melati telah mampu
memperbaiki posisi kuda-kudanya.
Sepasang mata Dewi Pencabut Nyawa
terbelalak lebar begitu melihat gadis
berpakaian putih itu masih berdiri gagah.
Padahal selama ini setiap lawan yang
berbenturan tangan dengannya pasti tewas
dengan sekujur tubuh hangus.
Semula, begitu melihat Melati menangkis
serangannya, wanita berpakaian merah menyala
itu sudah girang bukan main. Dia yakin sekali
kalau gadis berpakaian putih ini akan tewas!
Tapi kenyataan yang dilihatnya berbeda. Melati
masih berdiri segar bugar. Tak kurang suatu
apa!
"Kaget, Dewi Pencabut Nyawa?" ejek Melati
sambil tersenyum sinis. Gadis berpakaian putih
ini dapat merasakan keterkejutan lawannya.
"Jangan harap racunmu akan mampu melukaiku!"
Wanita berpakaian merah menyala itu sama
sekali tidak menanggapi ejekan Melati. Dia
masih belum percaya kalau racun 'Ular Karang'
yang terkenal mematikan itu tidak berpengaruh
apa-apa pada gadis berpakaian putih di
hadapannya ini. Maka ditunggunya beberapa
saat, barangkali saja racunnya kali ini tidak
bereaksi cepat seperti biasanya, hibur Dewi
Pencabut Nyawa pada dirinya sendiri.
Melihat lawannya hanya berdiri diam,
Melati jadi tidak sabaran. Sama sekali tidak
tampak tanda-tanda kalau wanita berpakaian
merah menyala itu akan kembali menyerang. Dan
gadis berpakaian putih itu tahu apa yang
tengah ditunggu lawannya.
"Tunggu apa lagi, Dewi Pencabut Nyawa?
Percuma, racunmu sama sekali tidak ada artinya
bagiku!"
"Keparat!" maki Dewi Pencabut Nyawa gusar.
Kini wanita berpakaian merah menyala itu yakin
kalau gadis ini memang benar-benar kebal
terhadap racunnya. Maka wanita berpakaian
merah menyala itu kembali menerjang Melati.
Kedua tangannya berkelebat cepat, menyambar
berbagai bagian tubuh Melati yang mematikan.
Tapi Melati bersikap tenang. Gadis
berpakaian putih ini memang bukan orang
sembarangan. Bahkan masih terhitung seorang
wanita yang berkepandaian tinggi, dan berjuluk
Dewi Penyebar Maut (Untuk jelasnya, bacalah
serial Dewa Arak dalam episode "Dewi Penyebar
Maut"). Tidak terlalu sulit bagi Melati untuk
mengelak dan membalas setiap serangan lawan.
Di jurus-jurus awal, pertarungan kedua
wanita yang sama-sama berilmu tinggi ini
berlangsung imbang. Keduanya sama-sama lincah.
Namun masih terlihat jelas kalau dalam hal
tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh,
tingkat kepandaian Melati masih unggul satu
tingkat ketimbang lawannya.
Tapi keunggulan Melati tertutup oleh
kelebihan-kelebihan yang dimiliki Dewi
Pencabut Nyawa. Wanita berpakaian merah
menyala ini memiliki berbagai macam perubahan
jurus yang penuh tipuan. Penuh kecurangan.
Hebat bukan main akibat pertarungan yang
ditimbulkan kedua wanita sakti ini. Tanah
terbongkar di sana-sini. Pohon-pohon besar
kecil yang terlanda angin pukulan mereka
bertumbangan tak tentu arah. Suara angin
mencicit tajam mengiringi pertarungan itu.
Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Pertarungan antara kedua wanita yang sama-
sama memiliki gerakan lincah itu berlangsung
cepat. Sehingga tak terasa tujuh puluh lima
jurus telah berlalu. Dan sampai sejauh ini
belum nampak tanda-tanda ada yang akan
terdesak.
"Keparat!"
Dewi Pencabut Nyawa menggeram murka.
Wanita berpakaian merah menyala ini memang
marah bukan main. Seumur hidupnya belum pernah
dia bertempur sampai sekian lamanya tanpa
mampu mendesak. "Hih!"
Tiba-tiba saja, wanita berpakaian merah
menyala itu memekik keras. Dan seiring dengan
lenyapnya pekikan tadi, di tangan kanannya
telah tergenggam sebatang cambuk berujung
tiga. Ctarrr!
Secepat cambuk itu berada di tangannya,
secepat itu pula dilecutkan ke arah kepala
Melati. Luar biasa! Ketiga ujung cambuk itu
masing-masing menuju sasaran yang berbeda-
beda! Pelipis, ubun-ubun, dan bawah hidung.
Semuanya merupakan tempat-tempat jalani darah
yang mematikan.
Melati agak terkejut mendapat serangan
mendadak ini. Tapi meskipun begitu, gadis
berpakaian putih itu tidak menjadi gugup.
Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang,
kemudian bersalto beberapa kali di udara.
Tapi mana mau Dewi Pencabut Nyawa
membiarkan lawan tangguhnya lolos? Begitu
dilihatnya gadis berpakaian putih itu
melenting ke belakang, wanita berpakaian merah
menyala itu segera mengejar. Cambuk berujung
tiga mencecar berbagai bagian berbahaya di
tubuh Melati.
Melati yang tahu kalau lawan terus
mengejarnya, terus saja bersalto di udara.
Selagi tubuhnya berada di udara, gadis
berpakaian putih itu memutar otaknya untuk
melepaskan diri dari cecaran ujung cambuk Dewi
Pencabut Nyawa.
"Hup!"
Begitu mendapat kesempatan, buru-buru
gadis berpakaian putih itu mendaratkan kedua
kakinya di tanah. Dan bersamaan dengan
hinggapnya Melati, di tangannya telah
tergenggam sebilah pedang telanjang.
Pada saat yang bersamaan, lecutan cambuk
berujung tiga dari Dewi Pencabut Nyawa
menyambar ke arah tenggorokan, bawah hidung,
dan ulu hati. Lagi-lagi bagian mematikan yang
diincarnya.
Ctarrrr! Wuttt!
Wunggg!
Terdengar suara mengaung dahsyat begitu
Melati menggerakkan pedangnya. Inilah 'Ilmu
Pedang Seribu Naga'!
Rrrttt...!
Tiga buah serangan itu kandas begitu
Melati menyabetkan pedangnya. Tapi tak urung
ujung cambuk itu melilit pedang gadis
berpakaian putih yang pernah mendapat julukan
Dewi Penyebar Maut itu.
"Hih!"
Dewi Pencabut Nyawa segera mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya untuk membetot
cambuknya. Tentu saja gadis berpakaian putih
itu tidak mau melepaskan pedangnya. Seluruh
tenaga dalamnya dikerahkan untuk balas
menarik. Sesaat lamanya terjadi adu tarik-
menarik. Semula terlihat imbang. Tapi,
beberapa saat kemudian mulai nampak keunggulan
Melati.
Di saat itulah Waji yang sejak tadi
menonton jalannya pertarungan, mendadak
melompat menerjang.
Srattt!
Selagi tubuhnya berada di udara, pemuda
berbadan lebar itu mencabut pedangnya dan
langsung membabatkannya ke arah punggung
Melati. Wunggg!
Suara mengaung keras terdengar begitu
pedang Waji meluncur.
Melati yang tidak menyangka kalau pemuda
berbadan lebar itu akan bertindak selicik ini,
menjadi terkejut. Seketika itu juga
perhatiannya terpecah. Dan dengan sendirinya
tenaga tarikannya berkurang. Akibatnya tubuh
gadis berpakaian putih itu terbawa tarikan
Dewi Pencabut Nyawa ke depan. Tapi justru hal
ini malah menguntungkannya. Wusss!
Serangan pedang Waji menyambar lewat di
belakang punggung Melati. Hanya setengah
jengkal dari tubuh gadis berpakaian putih itu.
Melati memang berhasil lolos dari babatan
pedang Waji. Tapi, hal ini bukan berarti
dirinya sudah lolos dari maut. Karena begitu
tubuhnya tertarik oleh betotan Dewi Pencabut
Nyawa, kaki wanita berpakaian merah menyala
itu melayang ke arah perutnya. Bukkk! "Hugh!"
Telak dan keras sekali tendangan itu
menghantam perut Melati. Seketika itu juga
gadis berpakaian putih itu terjengkang ke
belakang. Sekujur perutnya dirasakan mual dan
mules bukan main. Darah segar pun menetes
deras dari sudut-sudut mulutnya.
Tapi hebatnya, meskipun terjengkang,
Melati mari mampu membebaskan pedangnya dari
belitan cambuk lawan. Dan begitu pedangnya
bebas, tubuh gadis berpakaian putih ini segera
melesat kabur.
Dewi Pencabut Nyawa menggertakkan gigi.
Segera dia bergerak hendak mengejar. Wanita
berpakaian merah menyala ini yakin akan mampu
mengejar gadis berpakaian putih itu. Apalagi
Melati sudah terluka!. Tapi....
"Ibu...! Tahan...!"
Wanita berpakaian merah menyala itu
terpaksa mengurungkan langkahnya. Kepalanya
ditolehkan kearah putranya. Sinar matanya
tajam, penuh tuntutan.
"Kita masih ada urusan yang lebih penting
lagi, Ibu," ucap pemuda berbadan lebar itu
sebelum Dewi Pencabut Nyawa mengajukan
pertanyaan.
"Ah...! Kau benar, Waji! Urusan dengan
gadis itu bisa ditunda nanti. Sedangkan urusan
kita tidak bisa ditunda lebih lama lagi!"
sambut Dewi Pencabut Nyawa baru teringat.
"Itulah sebabnya aku menahan Ibu," sahut
Waji lagi seraya tersenyum lebar.
Dewi Pencabut Nyawa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sepasang matanya menatap jauh ke
depan. Ke arah Melati tadi melarikan diri.
Tapi kini gadis berpakaian putih itu telah
lenyap ditelan jalan.
"Tunggulah, Gadis Liar...," desis wanita
berpakaian merah menyala itu penuh ancaman.
"Sekarang kau boleh lolos dari tanganku.
Tapi..., lain kali jangan harap akan semujur
ini...!"
"Sudahlah, Ibu," potong Waji cepat "Nanti,
Setan Kepala Besi akan marah jika kita
terlambat."
Di mulutnya, pemuda berbadan lebar ini
berkata begitu, tapi di hatinya terselip
penyesalan yang besar. Sungguh di luar
dugaannya kalau gadis berpakaian putih yang
telah membangkitkan nafsunya itu berhasil
meloloskan diri. Kalau saja tidak mengingat
urusan penting yang harus dilakukannya, tentu
Waji tidak akan mencegah ibunya mengejar
Melati.
"Hhh...!" Dewi Pencabut Nyawa menghela
napas panjang. Kemudian melesat meninggalkan
tempat itu. Menyusul putranya yang telah
berkelebat lebih dulu.
***
"Hhh...!"
Seorang laki-laki tinggi besar berkepala
botak menghela napas berat. Sepasang matanya
kembali menatap ke bawah lereng. Entah untuk
yang ke berapa kalinya dia berbuat begitu. Dan
setiap kali menatap ke arah lereng yang sunyi,
desah kekesalan terlontar dari mulutnya. Jelas
ada sesuatu yang ditunggu orang yang berjuluk
Setan Kepala Besi itu.
"Ke mana, si keparat Waji," keluh laki-
laki tinggi besar berkepala botak kesal.
Rupanya Setan Kepala Besi tengah menunggu
pemuda berbadan lebar.
Baru saja keluar kekesalan hatinya,
pendengarannya yang tajam menangkap suara
langkah kaki mendekat. Semula wajah laki-laki
tinggi besar berkepala botak ini berseri-seri.
Tapi begitu tahu kalau langkah yang bergerak
mendekat itu tidak hanya sepasang, dahinya
berkemyit dalam. Meskipun begitu, Setan Kepala
Besi tetap saja berdiri menunggu.
Sesaat kemudian berkelebat dua sosok
tubuh, yang kemudian mendarat ringan di depan
laki-laki tinggi besar berkepala botak itu.
Setan Kepala Besi menatap kedua sosok
tubuh yang berdiri di hadapannya. Dan seketika
itu juga senyumnya mengembang begitu mengenali
kedua sosok tubuh itu. Yang seorang adalah
Waji. Sedangkan seorang lagi, adalah wanita
setengah baya berpakaian merah menyala.
Dandanannya terlihat begitu seronok. Sementara
di pinggangnya terselip sebatang cambuk.
"Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa
bergelak. "Sungguh tidak kusangka kalau kau
akan datang ke sini, Dewi Pencabut Nyawa. Ha
ha ha...!"
"Siapa yang tidak tertarik dengan jamur
ajaib itu, Setan Kepala Besi!" sahut wanita
berpakaian merah menyala yang ternyata adalah
Dewi Pencabut Nyawa. "Tidak percuma kau
menjadi suamiku!"
"Ah, jangan terlalu memujiku, Dewi
Pencabut Nyawa. Yang paling berjasa adalah
anakmu. Waji! Dialah yang merencanakan
semuanya," jawab Setan Kepala Besi mengelak.
Wajah Dewi Pencabut Nyawa nampak merengut
begitu mendengar ucapan Setan Kepala Besi.
"Jadi, kau masih belum menganggap Waji
sebagai anakmu sendiri? Bukankah kita telah
sepuluh tahun lebih menjadi suami istri, Setan
Kepala Besi?!" tegur wanita berpakaian merah
menyala Itu bernada keras.
"Maafkan aku, Dewi Pencabut Nyawa," ucap
laki-laki tinggi besar berkepala botak itu
cepat. "Bukannya aku tidak mengakuinya. Tapi,
mulutku yang ceplas-ceplos inilah yang kadang
membuatku lupa. Tapi, percayalah.... Aku telah
menganggap Waji sebagai anakku sendiri."
Seketika itu juga, wajah Dewi Pencabut
Nyawa kembali berseri-seri. Jelas kalau Setan
Kepala Besi telah berhasil membujuknya.
"Nanti malam, bulan akan bersinar penuh,
Setan Kepala Besi," ucap wanita berpakaian
merah menyali itu bernada memberi tahu.
"Aku juga tahu, Dewi Pencabut Nyawa,"
sambut laki-laki berkepala botak itu tak mau
kalah.
"Dan itu berarti..., jamur-jamur ajaib itu
telah tumbuh. Bukankah begitu, Setan Kepala
Besi?"
"Tidak salah, Dewi Pencabut Nyawa," jawab
laki-laki berkepala botak itu sambil
mengangguk-angguk.
"Kau sudah memeriksanya, Setan Kepala
Besi?" tanya wanita berpakaian merah menyala
itu sambil menatap tajam wajah laki-laki
berkepala botak di hadapannya. Sorot matanya
menampakkan kecurigaan. Setan Kepala Besi
menggelengkan kepala. "Aku menunggu kalian
dulu agar kita bisa melihatnya bersama-sama.
Tadi aku sudah mengambil keputusan, kalau
kutunggu kalian sebentar lagi, tidak juga
datang... aku akan melihatnya sendirian!"
"Untung kami segera datang...," sahut Waji
yang sejak tadi berdiam diri saja.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita
ke sana!"
sambut Dewi Pencabut Nyawa tak sabar. "He
he he...!"
Setan Kepala Besi tertawa terkekeh. "Kau
ini masih seperti dulu saja, Dewi Pencabut
Nyawa! Tidak sabaran!" ucap laki-laki
berkepala botak itu menyindir.
Tapi wanita berpakaian merah menyala itu
sama sekali tidak menanggapi sindiran itu.
Hanya suara dengusan dari hidungnya saja yang
terdengar.
"Sekarang bukan waktunya untuk bermain-
main, Setan Kepala Besi!" tandas Dewi Pencabut
Nyawa keras. Tapi mulutnya menyunggingkan
senyuman. Jelas kalau jawaban keras itu tak
keluar dari hatinya.
"Kalau begitu..., mari ikut aku, Dewi
Pencabut Nyawa," ajak Setan Kepala Besi seraya
melesat meninggalkan tempat itu. Sudah bisa
diduga kalau laki-laki tinggi besar berkepala
botak ini akan menuju ke gua bekas tempat
tinggal Kalapati.
Dewi Pencabut Nyawa hanya tertawa mengikik
sesaat. Kemudian tubuhnya pun telah menyusul
Setan Kepala Besi yang telah melesat lebih
dulu.
Waji pun tak mau ketinggalan. Pemuda
berbadan lebar yang ternyata putra Dewi
Pencabut Nyawa ini, segera berlari menyusul
kedua tokoh sesat itu.
***
Terdengar tawa keras bergelak dari dalam
sebuah gua di lereng Gunung Palanjar. Menilik
dari tawa yang menggelegar itu, dapat
diperkirakan kalau pemiliknya memiliki tenaga
dalam yang amat tinggi.
Belum juga habis gema suara tawa itu,
sebuah tawa lain yang melengking nyaring
terdengar menyahuti. Jelas dapat diketahui
kalau pemilik suara tawa yang kedua ini adalah
seorang wanita.
Di dalam gua yang semula merupakan tempat
tinggal Kalapati, nampak tiga sosok tubuh
berjongkok menatap ke salah satu sudut gua.
Jelas ada sesuatu yang menarik perhatian
mereka.
"Ha ha ha...!"
Kembali terdengar tawa keras menggelegar.
Suara tawa itu ternyata keluar dari mulut
Setan Kepala Besi.
"Jamur ajaib ini akan menjadi milik
kita...! Ha ha ha...!" teriak laki-laki tinggi
besar berkepala botak itu sambil tertawa
bergelak. Pandangan matanya menatapi ke arah
jamur-jamur putih yang tumbuh berkelompok di
salah satu sudut gua.
"Benar, Setan Kepala Besi! Dan kita akan
menjadi orang yang sakti yang tak terkalahkan!
Hi hi hi...!" sambut Dewi Pencabut Nyawa
seraya menatap wajah laki-laki tinggi besar
berkepala botak itu.
"Sebenarnya..., apakah kegunaan jamur itu
selain untuk menambah tenaga dalam, Bu?" tanya
seorang pemuda berbadan lebar yang ternyata
adalah Waji.
Dewi Pencabut Nyawa menatap tajam wajah
putranya.
"Memang hanya itulah kegunaan jamur ini,
Waji," jawab wanita berpakaian merah menyala
itu memberi tahu.
"Ah...! Khasiatnya ternyata tidak sebesar
namanya...," ucap Waji bernada mencemooh.
"Kau ini memang aneh, Waji," selak Setan
Kepala Besi. "Kadang-kadang kau bertindak
cerdik Cerdik sekali malah. Tapi..., tak
jarang pula kau bodoh seperti kerbau!"
Merah wajah Waji mendengar ucapan laki-
laki tinggi besar berkepala botak itu.
"Atas dasar apa, kau menuduhku demikian,
Setan Kepala Besi?" tanya pemuda berbadan
lebar itu. Nada penasaran nampak jelas dalam
suaranya.
"Ucapanmu yang tadi," sahut Setan Kepala
Besi tak acuh. Sepasang matanya kembali
dialihkan pada kelompok jamur putih.
"Hm.... Mengenai jamur itu, Setan Kepala
Besi?" tanya Waji memastikan.
"Memangnya, kau pikir ucapanmu yang mana?"
Setan Kepala Best balas bertanya lagi.
Sementara Dewi Pencabut Nyawa sama sekali
tidak mempedulikan keributan itu. Wanita
berpakaian merah menyala ini masih saja sibuk
dengan tanaman jamur itu.
"Bukankah ucapanku benar. Setan Kepala
Besi?!" sambut Waji tak mau kalah. "Tanaman
itu hanya besar di namanya saja. Jamur Sisik
Naga! Tak tahunya kegunaannya hanya untuk
menambah tenaga dalam saja!"
"Kau memang berotak kerbau, Waji!"
akhirnya Dewi Pencabut Nyawa ikut angkat suara
pula. Ucapan pemuda berbadan lebar itu
setidak-tidaknya telah menuduh dia dan Setan
Kepala Besi mengejar-ngejar sesuatu yang sama
sekali tidak berharga.
Semakin merah wajah Waji mendengar ibunya
juga menyalahkannya. Bahkan makian dari wanita
berpakaian merah menyala itu malah lebih keras
daripada makian Setan Kepala Besi.
"Di mana kau bisa mendapatkan tambahan
tenaga dalam?!" tanya Dewi Pencabut Nyawa
dengan suara keras.
"Apa susahnya, Bu?" jawab Waji ringan.
"Dengan semadi dan pemapasan, aku dapat
menambah kekuatan tenaga dalamku!"
"Anak berotak kerbau!" maki Dewi Pencabut
Nyawa. Rupanya makian yang baru saja
didapatkan Setan Kepala Besi, terasa enak
diucapkan. Terbukti wanita berpakaian merah
menyala itu tidak bosan-bosannya memaki
anaknya sendiri dengan makian itu. "Berapa
besar sih, tambahan tenaga dalam yang kau
peroleh dari semadi dan pemapasan?! Kau tahu,
dengan makan sebuah jamur ini, kau akan
mendapat tambahan tenaga dalam yang sama
seperti kau berlatih pernapasan dan semadi
satu tahun!"
"Hah...?!" Waji melongo. "Bbb... benarkah
apa yang Ibu katakan...?"
"Kalau tidak begitu, buat apa jamur ini
mempunyai nama begitu keren, Jamur Sisik Naga.
Dan juga untuk apa aku dan Setan Kepala Besi
bersusah payah untuk mendapatkannya!" sahut
Dewi Pencabut Nyawa dengan raut wajah
menyiratkan kemenangan.
"Pantas...," gumam pemuda berbadan lebar
itu pelan. Kepalanya mengangguk-angguk Jelas
ada satu kesimpulan yang telah didapatkannya.
"Apanya yang pantas?" tanya Dewi Pencabut
Nyawa Ingin tahu.
"Setan Kepala Besi sangat takut rahasia
ini tercium oleh orang persilatan.... Kiranya
khasiat jamur ini begitu hebat..."
Setan Kepala Besi hanya mendengus. Sama
sekali tidak disahutinya ucapan pemuda
berbadan lebar itu.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita
petik jamur-jamur ini!" ucap Waji tiba-tiba
sambil menghampiri kelompok tanaman jamur itu.
Tapi belum juga kedua tangan pemuda
berbadan lebar itu menjangkau tanaman jamur
itu, sebuah tangan berotot kekar telah
mencekal pergelangan tangannya.
"Diam di situ dulu, Waji!" ucap Setan
Kepala Besi bernada perintah.
"Mengapa, Setan Kepala Besi? Apakah aku
tidak boleh memakannya? Dan Jamur Sisik Naga
itu hanya untukmu semua?!" sahut pemuda
berbadan lebar itu bernada menuduh.
Setan Kepala Besi menatap tajam wajah
Waji. "Tutup mulutmu, Waji! Sebelum aku yang
menutupnya!" ancam laki-laki tinggi besar
berkepala botak itu. Setan Kepala Besi ini
memang tersinggung sekali mendapat tuduhan
seperti tadi. "Kau tahu, saat ini Jamur Sisik
Naga belum bisa dimakan. Tapi kalau sudah
bosan hidup, kau boleh memakannya."
"Mengapa begitu, Setan Kepala Besi?" tanya
Waji. Suaranya kini mulai pelan kembali.
Keterangan laki-laki tinggi besar berkepala
botak itu membuat emosi nya mereda.
"Memang begitulah keanehan Jamur Sisik
Naga ini, Waji," jawab Setan Kepala Besi
memberi tahu. "Selagi berwarna putih, jamur
ini mengandung racun mematikan! Jangankan
termakan, tersentuh pun sudah berbahaya."
"Lalu..., kapan jamur itu akan berguna
untuk menambah tenaga?" tanya Waji lagi.
"Besok. Setelah bulan purnama telah
lenyap."
"Jadi.., sewaktu masih ada bulan purnama,
Jamur Sisik Naga mengandung racun mematikan?
sambut Waji yang mulai mengerti.
"Dan besok.., apabila jamur ini telah
berubah jadi hijau dan bersisik seperti naga,
baru kita bisa memakannya," sambung laki-laki
tinggi besar berkepala botak itu cepat.
"Jamur ini akan berubah seperti itu?!"
tanya Waji setengah tak percaya.
"Benar," sahut Dewi Pencabut Nyawa.
"Itulah sebabnya diberi nama Jamur Sisik
Naga!"
"Kitalah yang beruntung mendapatkannya,
Waji," sambung Setan Kepala Besi
"Dan... kita akan menjadi tokoh tak
terkalahkan! Ha ha ha...!" Dewi Pencabut Nyawa
ikut menimpali.
Sesaat kemudian, di dalam gua tempat
tinggal Kalapati itu terdengar suara tawa
bergelak. Suara tawa yang sambung menyambung
seperti tidak akan pernah berhenti.
***
3
Seorang pemuda berambut putih keperakan
dan seorang gadis berpakaian jingga melangkah
perlahan menuju mulut sebuah desa. Keduanya
tak lain adalah Dewa Arak dan Karmila yang
tengah dalam perjalanan menuju Gunung
Palanjar.
Tapi ketika jarak antara kedua orang itu
dengan tembok batas desa telah tinggal sekitar
belasan tombak, Dewa Arak dan Karmila
menolehkan kepalanya ke arah semak-semak di
sekeliling mereka. Pendengaran kedua muda-mudi
yang terlatih baik itu menangkap adanya suara
berkeresekan dari arah itu.
Belum lagi kedua muda-mudi itu berbuat
sesuatu, dari balik kerimbunan semak-semak itu
melesat belasan sosok tubuh dengan senjata
terhunus. Dan secepat sosok-sosok tubuh itu
keluar dari semak-semak, secepat itu pula
bergerak mengurung Arya dan Karmila.
Dewa Arak dan Karmila terpaksa
menghentikan langkahnya. Sepasang mata kedua
orang itu menatap berkeliling. Ternyata mereka
telah terkurung! "Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat. Pemuda
berambut putih keperakan itu tidak merasa
kaget melihat kejadian ini. Hal seperti ini
memang kerap terjadi setelah dia melibatkan
diri dalam persoalan ini. Dan pandang mata
Arya yang tajam, langsung mengenal kalau
sebagian besar dari mereka adalah
pengeroyoknya beberapa hari yang lalu.
"Sekarang kita bebas untuk bertarung
kembali Dewa Sesat!" teriak laki-laki gagah
bersenjataka sepasang tombak pendek. Suaranya
keras dan kasar. Jelas kalau orang ini masih
memendam rasa penasaran pada Dewa Arak.
"Ya. Kini kita sudah berada di luar
wilayah Kerajaan Bojong Gading!" sambung tokoh
persilatan lainnya.
Suara-suara bernada cemoohan terhadap Dewa
Arak terdengar susul-menyusul. Tapi, pemuda
berambut putih keperakan itu hanya tersenyum
getir. Semua cemoohan itu sama sekali tidak
ditanggapinya.
"Kalian tidak percaya, kalau kukatakan
bahwa, gadis ini sama sekali tidak bersalah?"
sahut Arya begitu suara-suara riuh itu telah
mereda.
"Bicaralah dengan nenek moyangmu!" sergah
laki-laki bersenjata sepasang tombak pendek
keras "Kawan-kawan...! Serang...!"
Setelah berkata demikian, laki-laki ini
lalu menerjang Dewa Arak. Sepasang tombak
pendeknya berkelebat cepat ke berbagai bagian
tubuh pemuda berambut putih keperakan itu.
Belum juga sergapan sepasang tombak itu
tiba, serangan tokoh-tokoh persilatan lainnya
juga meluncur tiba. Sebagian di antara mereka
menyerang Dewa Arak Sedangkan yang sebagian
lagi menyerbu Karmila.
Sesaat kemudian, hujan senjata pun
berhamburan di sekujur tubuh Dewa Arak. Tapi
pemuda berambut putih keperakan itu tidak
menjadi gugup. Dari desir angin yang
mengiringi serangan senjata itu, sudah dapat
diukur kekuatan tenaga dalam para
pengeroyoknya.
Maka tanpa ragu-ragu lagi segera ditangkis
dengan tangan dan kakinya. Itu pun hanya
serangan yang menuju ke arah mata.
Takkk, takkk!
Terdengar suara keras beberapa kali ketika
Dewa Arak menangkis hujan senjata yang menuju
mata dengan tangannya. Hebat akibatnya!
Senjata-senjata itu terpental balik ke arah
asalnya. Sementara tangan pemiliknya tergetar
hebat.
Sementara itu serangan yang menuju ke arah
berbagai bagian tubuh yang lain, dibiarkan
saja. Luar biasa! Setiap kali sambaran senjata
itu mengenai tubuh pemuda itu, tak secuil pun
kulitnya terluka. Bahkan
sebaliknya senjata-senjata itu sendiri
yang membalik. Bukan hanya itu saja. Tangan
yang menggenggam senjata itu pun terasa sakit-
sakit.
Sebaliknya, setiap kali Arya balas
menyerang, sudah dapat dipastikan ada tubuh
pengeroyok yang roboh ke tanah.
Berlainan dengan Dewa Arak yang begitu
mudah menghadapi pengeroyoknya, Karmila
terlihat repot sekali. Pedangnya berkelebatan
cepat menangkis setiap serangan lawannya.
Terdengar suara berdentangan keras berkali-
kali setiap pedang gadis ini berbenturan
dengan senjata lawannya.
Sebenarnya, tingkat kepandaian gadis
berpakaian jingga itu jauh di atas para
pengeroyoknya. karena lawan terlalu banyak,
tak urung gadis ini terdesak juga. Meskipun
begitu, sulit bagi para pengeroyoknya untuk
menyarangkan senjatanya ke tubuh Karmila.
"Hih...!"
Karmila menggertakkan gigi. Pedangnya
berputar-putar membentuk lingkaran di depan
dada. Kemudian membabat cepat ke leher salah
seorang pengeroyoknya.
Crattt! "Aaakh...!"
Suara jerit lengking kematian terdengar,
begitu ujung pedang Karmila mengoyak leher
pengeroyok yang sial itu Seketika itu juga,
tubuh tokoh persilatan itu roboh ke tanah.
Menggelepar-gelepar sejenak kemudian diam
tidak bergerak lagi.
Kematian salah seorang rekannya, tentu
saja mengakibatkan para pengeroyok itu semakin
beringas. Dan dengan sendirinya, serangan
mereka pun semakin berbahaya.
"Hiyaaa...!"
Karmila memekik nyaring. Gadis berpakaian
jingga itu mengamuk dahsyat. Pedang di
tangannya berkelebatan cepat mencari sasaran.
***
Dewa Arak berbeda dengan Karmila yang demi
untuk menyelamatkan selembar nyawanya tidak
segan-segan menjatuhkan tangan maut pada para
pengeroyoknya. Pemuda berambut putih keperakan
itu sama sekali tidak menggunakan ilmu
andalannya. Ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan
Harimau' pun sudah lebih dari cukup untuk
menghadapi para pengeroyoknya.
Memang menggiriskan akibat sepak terjang
pemuda berambut putih keperakan itu. Ke mana
saja tangan atau kakinya berkelebat, sudah
dapat dipastikan ada lawan yang roboh dan
kemudian tak mampu melanjutkan pertarungan
lagi. Meskipun begitu, tak seorang pun di
antara mereka yang tewas atau terluka berat.
Tak sampai delapan jurus, pengeroyok Dewa Arak
yang tadi berjumlah belasan, kini tinggal dua
orang, salah seorang di antaranya adalah laki-
laki gagah bersenjatakan sepasang tombak
pendek. Dan memang Dewa Arak sengaja
menjatuhkannya belakangan. Arya Ingin memberi
pelajaran yang lebih keras pada laki-laki yang
bermulut dan berpikiran kotor itu.
"Akh...!"
Lagi-lagi terdengar suara pekikan tertahan
diiringi robohnya salah seorang pengeroyoknya
ketika tangan Dewa Arak berkelebat. Kini hanya
tinggal laki-laki gagah bertombak pendek yang
masih mampu berdiri tegak.
Walaupun hanya tinggal sendiri, dan yakin
kalau dirinya tak akan mungkin menang
menghadapi lawan yang amat tangguh ini, laki-
laki bertombak pendek itu tidak menjadi
gentar. Dia masih tetap mengadakan perlawanan
sengit. Dan hal ini tentu saja membuat Dewa
Arak menjadi kagum. "Haaat..!"
Sepasang tombak pendeknya meluruk deras.
Yang kanan disabetkan ke arah leher, sementara
yang kiri ditusukkan ke perut Dewa Arak.
Wukkk, wuttt!
Arya hanya tersenyum hambar. Tangan
kirinya bergerak memapak serangan tombak yang
menuju ke lehernya dengan menggerakkan
tangannya dari dalam keluar. Sementara
serangan yang menuju ke perurnya ditangkapnya.
Takkk, tappp!
"Akh...!"
Laki-laki gagah bersenjata tombak pendek
itu memekik tertahan. Tangan kanannya terasa
lumpuh seketika begitu tombaknya berbenturan
dengan tangan kiri Dewa Arak.
Belum lagi laki-laki itu sadar dari
keterkejutannya, Dewa Arak telah menggertakkan
tombak yang tadi telah dicengkeramnya.
"Ah...!"
Tanpa sadar laki-laki gagah bertombak
pendek itu memekik tertahan, begitu tubuhnya
melayang tinggi ke udara.
Brukkk!
Suara berdebuk keras terdengar begitu
tubuh laki-laki itu terbanting keras di tanah,
lalu menggeliat-geliat kesakitan di tanah.
Selesai membereskan pengeroyoknya, Dewa
Arak
segera melompat ke arah Karmila yang masih
sibuk menghadapi hujan senjata lawan. Dan
begitu pemuda berambut putih keperakan itu
turun tangan, dalam beberapa gebrakan saja
pengeroyok gadis berpakaian jingga itu kocar
kacir tak tentu arah. Pekik-pekik kesakitan
diiringi dengan berpentalannya tubuh-tubuh,
segera terdengar susul-menyusul.
Dewa Arak memandangi sosok-sosok tubuh
yang bergeletakan di tanah sejenak. Kemudian
pandangannya dialihkan pada Karmila.
"Mari kita lanjutkan perjalanan kita,
Karmila," ajak Arya.
Tanpa berkata apa-apa, Karmila segera
melangkah meninggalkan tempat itu. Mengikuti
Dewa Arak yang telah berjalan lebih dulu.
***
Akhirnya, setelah melalui berbagai
hambatan dan gangguan di perjalanan, kedua
muda-mudi itu tiba di kaki Gunung Palanjar.
Dewa Arak sama sekali tidak tahu kalau Melati
telah tiba di sini lebih dulu, dan hampir
celaka di tangan Dewi Pencabut Nyawa.
Arya mengedarkan pandangannya berkeliling.
Diam-diam ada rasa kecut di hatinya, tatkala
membayangkan kalau seandainya dia gagal
menyingkap rahasia terbunuhnya dua orang murid
Perguruan Pedang Ular. Seumur hidupnya Dewa
Arak akan dikejar-kejar dan diburu oleh tokoh-
tokoh persilatan golongan putih. Dia akan
dianggap mencemarkan nama pendekar.
Tapi Dewa Arak tidak bisa termenung lebih
lama lagi karena Karmila telah bergerak
mendaki lereng. Tubuh gadis itu melesat cepat
ke atas. Sesekali kakinya memijak batu-batu
yang menonjol, sebagai landasan untuk
melompat. Sesaat kemudian tubuhnya melenring
ke atas. Dan begitu seterusnya.
Arya segera bergerak mengikuti. Sengaja
pemuda berambut putih keperakan itu tidak
mengerahkah seluruh ilmu meringankan tubuhnya
agar tetap berada di belakang gadis itu.
Cukup lama juga Dewa Arak mendaki lereng
Gunung Palanjar. Melesat ke sana kemari.
Menotong sana-sini. Sampai akhirnya pemuda
berambut putih keperakan itu terpaksa
menghentikan larinya begitu melihat Karmila
berdiri termenung. Arya bergegas menghampiri.
"Ada apa, Karmila?" tanya Dewa Arak
lembut. "Ah... aku..., aku lupa jalannya,
Arya," sahut gadis berpakaian jingga itu
gugup. Menilik dari raut wajahnya yang merah
padam. Jelas kalau gadis ini merasa malu. Maka
Dewa Arak tidak mendesaknya.
"Sudahlah, Karmila. Tidak usah kau
pikirkan. Adalah suatu hal yang wajar, apabila
seseorang lupa," sahut pemuda berambut putih
keperakan itu bernada menghibur.
"Tapi, mana bisa aku lupa, Arya. Aku telah
tinggal di sini selama belasan tahun. Dan aku
tahu betul jalannya. Aku yakin kalau telah
menempuh jalan yang benar. Tapi..., rasanya
jalan ini tidak pernah ada sebelumnya," bantah
Karmila tidak mau dianggap lupa.
"Aku belum paham maksudmu, Karmila?"
sambut Arya yang merasa bingung mendengar
ucapan gadis berpakalan jingga itu.
"Jalan ini tidak pernah ada
sebelumnya...," sambut Karmila setengah
bergumam.
Mendengar ucapan gadis itu, Dewa Arak jadi
penasaran. Bergegas dihampirinya tempat yang
membuat gadis itu bingung. Kemudian
diperiksanya.
"Kau benar, Karmila," ucap Dewa Arak
setelah memeriksanya beberapa saat. "Ada
perubahan yang terjadi di sekitar tempat ini.
Mungkin karena tanahnya longsor..., atau
terjadi pergeseran tanah di sini."
"Lalu, kalau begitu... bagaimana, Arya?"
tanya Karmila meminta pendapat pemuda berambut
putih keperakan itu.
Dewa Arak tercenung sejenak. Jelas tampak
kalau Arya tengah berpikir.
"Lebih baik kita kembali dulu, Karmila,"
usul Arya. "Dan nanti kalau kita sampai di
tempat yang kau kenali, kita ambil jalan
memutar saja. Bukankah ada jalan lain menuju
tempat tinggal ayahmu?" tanya Dewa Arak
meminta kepastian.
Karmila menganggukkan kepalanya. "Tapi...,
kita akan menempuh jalan yang agak jauh,
Arya," sahut gadis berpakaian jingga itu
bernada ragu-ragu.
"Tidak mengapa, Karmila," sambut Dewa Arak
cepat "Yang penting..., masalah ini akan cepat
Karmila tidak bisa membantah lagi. Gadis itu
bergegas menuruni lereng. Sementara Dewa Arak
mengikuti di belakang. Kini keduanya menuju
bekas tempat tinggal Kalapati melalui jalan
memutar.
Dewa Arak baru menyadari alasan Karmila
segan melalui jalan memutar. Jalan ini terlalu
sulit untuk dilalui. Jalan-jalannya licin,
bahkan kadang-kadang harus menembus rerimbunan
semak-semak berduri yang lebat. Dan masih
banyak lagi kesulitan yang mereka alami.
"Hup!"
Karmila melompat lalu hinggap di atas
sebongkah batu besar. Tapi baru saja hendak
melompat lagi pendengarannya yang tajam
mendengar adanya suara rintihan samar-samar.
Tentu saja hal ini membuat gadis berpakaian
jingga itu menghentikan gerakannya. Dan segera
dicarinya asal rintihan lirih itu.
"Hup!"
Indah dan manis sekali tubuh Dewa Arak
melompat. Sesaat kemudian, kedua kakinya telah
mendarat tanpa suara di sebelah Karmila.
"Ada apa, Karmila?" tanya pemuda berambaut
putih keperakan itu. Arya sudah merasa curiga
begitu melihat gadis berpakaian jingga itu
menghentikan gerakannya. Apalagi ketika
melihat Karmila seolah-olah tengah mencari-
cari sesuatu.
"Entahlah, Arya," sahut Karmila dengan
suara mengambang. "Tadi sepertinya aku
mendengar suara orang merintih. Tapi...."
Dewa Arak mengerutkan alisnya. "Apakah kau
yakin, Karmila? Tidakkah suara itu tercipta
karena khayalanmu sendiri?" tanya Arya meminta
kepastian.
"Aku tidak tahu," jawab gadis berpakaian
jingga itu sambil mengangkat bahu. "Tapi,
suara itu sepertinya benar-benar nyata. Bukan
khayalan...."
"Kalau begitu... kita harus menyelidiki
tempat ini," ucap Dewa Arak memutuskan. "Aku
yakin kalau apa yang kau dengar itu benar...
orang itu pasti tidak jauh dari sini."
"Tapi, Arya...," bantah Karmila ragu. "Ada
apa, Karmila?" tanya pemuda berambut putih
keperakan itu. Nada suaranya masih tetap
sabar.
"Bagaimana kalau suara yang kudengar itu
hanya khayalanku saja, Arya? Bukankah itu
berarti... perjalanan kita akan semaian
terhambat?"
Dewa Arak hanya tersenyum sabar. Dia tahu
kalau ucapan yang tadi akan dilanjutkan oleh
Karmila, bukan itu. Kalimat yang akan
dilanjutkan Karmila sudah bisa diduganya. Apa
lagi kalau bukan merasa merepotkan dirinya?
Memang, setelah melakukan perjalanan bersama
beberapa lama, pemuda berambut putih keperakan
itu sudah bisa menebak sifat Karmila. Gadis
itu memiliki sifat tak mau merepotkan orang!
"Tidak apa-apa, Karmila! Sebaliknya, kalau
ternyata suara itu memang benar ada, lalu kita
melewatkannya. Bukankah itu berarti kita telah
menyia-nyiakan orang yang berniat meminta
pertolongan?" hibur Dewa Arak sebisa-bisanya.
"Tapi..."
"Sudahlah, Karmila," potong Arya cepat.
"Mari kita cari asal suara rintihan itu."
Setelah berkata dmikian, pemuda berambut
putih keperakan itu segera mengedarkan
pandangannya berkeliling.
Dan selagi Dewa Arak sibuk mencari-cari,
terdengar suara rintihan lemah tadi. Kali ini
bukan hanya Karmila saja yang mendengar, tapi
juga Dewa Arak. "Nah, itulah rintihan yang
tadi kudengar, Arya," seru gadis berpakaian
jingga itu sambil menoleh ke arah asal suara.
Hanya anggukan kepala pemuda berambut
putih keperakan saja yang menjawab ucapan
Karmila. Arya sendiri sudah sibuk mengalihkan
perhatian ke arah suara itu.
"Hih...!"
Mendadak Dewa Arak melompat dari batu
besar tempatnya berdiri. Seketika itu juga
tubuhnya melayang ke bawah.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat
di tanah. Cepat pemuda berambut putih
keperakan menoleh ke sana kemari. Dan belum
lagi Arya menemukan pemilik suara rintihan
itu, Karmila telah mendarat di sebelahnya.
Sama seperti Dewa Arak, Karmila pun langsung
mengawasi sekelilingnya begitu tiba di tanah.
"Aaah...!"
Rintihan memilukan itu kembali terdengar.
Kali ini suara lebih jelas dari sebelumnya.
Jelas kalau kedua muda-mudi itu semakin dekat
dengan asal suara rintihan itu.
"Suara rintihan itu berasal dari bawah
sana," ucap Dewa Arak seraya menunjuk ke arah
bawah. Memang Arya dan Karmila berada di
tempat yang agak tinggi. Tanah di depan kedua
muda-mudi itu menurun agak curam. Dan di bawah
sana terhampar rerimbunan semak-semak dan
pohon-pohon yang cukup lebat.
"Benar, Arya," dukung gadis berpakaian
jingga itu Kepala gadis itu mengangguk pelan.
Setelah yakin akan kebenaran dugaannya,
Dewa Arak dan Karmila kemudian bergerak menuju
ke sana. Dan semakin mereka mendekat, suara
rintihan itu semakin jelas terdengar. "Itu
dia...!"
Karmila berseru keras saking gembiranya.
Tangan kanannya menuding ke satu arah. Dewa
Arak mengikuti arah telunjuk gadis berpakaian
jingga itu.
Sekitar tiga tombak dari tempat mereka
berdiri, tergolek sesosok tubuh berpakaian
kuning. Sekujur tubuhnya penuh luka-luka.
Darah yang telah mengering nampak di sekujur
tubuhnya.
Bergegas Dewa Arak dan Karmila menghampiri
sosok tubuh berpakaian kuning itu.
"Ihhh...!"
Terdengar seruan kaget dari mulut Karmila
ketika melihat wajah sosok tubuh berpakaian
kuning itu. Dewa Arak sampai terjingkat saking
kagetnya.
"Ada apa, Karmila?" tanya pemuda berambut
putih keperakan begitu melihat keterkejutan
gadis berpakaian Jingga itu.
"Dia... dia salah seorang dari tiga murid
Perguruan Pedang Ular yang kuceritakan itu,
Arya," jawab karmila memberi tahu.
"Jadi, inikah orang yang katanya telah
terbunuh oleh ayahmu itu?" Dewa Arak balas
bertanya. Dahi pemuda berambut putih keperakan
berkerut. Jelas ada sesuatu yang tengah
dipikirkannya.
"Ya," sahut Karmila singkat.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ditatapnya sekujur tubuh yang tergolek itu
penuh perhatian. Sosok tubuh itu ternyata
adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi
kurus dan bermata sipit. Dan memang apa yang
dikatakan Karmila benar. Sosok tubuh yang
tergolek itu adalah Rupangki. Salah seorang
murid utama Perguruan Pedang Ular.
Beberapa saat lamanya, Dewa Arak meneliti
pemuda berpakaian serba kuning yang tergolek
di hadapannya. Baru setelah itu, tubuhnya
dibungkukkan untuk memeriksa luka-luka di
sekujur tubuh pemuda itu.
Ternyata hampir tidak ada luka yang
terjadi akibat pukulan tenaga dalam. Darah
kering yang menempel di sekujur tubuhnya,
jelas bukan karena terkena senjata tajam. Tapi
jelas karena tersayat duri atau ranting pohon.
Sebagian besar hanya lecet-lecet. Hanya saja
sambungan kedua tulang lututnya lepas. Begitu
pula dengan sambungan sikut tangan kirinya.
Melihat keadaan yang dideritanya, tidak
aneh kalau Rupangki hanya dapat tergolek tanpa
daya.
Tubuh pemuda itu yang memang sudah kurus,
kini hanya tinggal tulang dan kulit. Rupanya,
Rupangki sudah cukup lama berada di tempat
ini. Pemuda bertubuh tinggi kurus itu hanya
makan seadanya. Kalau saja Karmila tidak
melihat lambang pedang terhunus terlilit
seekor ular, tentu sudah tidak mengenalinya
lagi.
"Benar, kau murid Perguruan Pedang Ular?"
tanya Dewa Arak seraya menatap tajam wajah
Rupangki.
"Benar," sahut pemuda bertubuh tinggi
kurus itu sambil menganggukkan kepalanya.
"Kalau boleh kutahu, siapakah namamu,
Kisanak?"
"Rupangki," sahut pemuda tinggi kurus itu
pelan.
Dewa Arak hanya manggut-manggut
"Dan..., kau sendiri siapa, Kisanak?"
tanya pemuda bertubuh tinggi kurus itu pula.
"Panggillah aku Arya," sahut Dewa Arak
memperkenalkan diri. "Apakah kau yang
mengunjungi tempat kediaman Kalapati?"
"Ya. Kami bertiga memang mengunjungi
tempat kediaman Kalapati. Tapi semua itu
adalah keinginan Kakang Waji. Aku dan Kakang
Jalasa hanya ikut saja."
"Lalu, ke mana perginya teman-temanmu yang
lain?" desak pemuda berambut putih keperakan
itu lebih jauh. Berpura-pura tidak tahu.
"Kakang Jalasa telah tewas...."
"Tewas?! Lalu... bagaimana dengan Waji?"
Arya berpura-pura tidak tahu.
"Kakang Waji?!" Ada kegeraman terkandung
dalam suara pemuda bertubuh tinggi kurus itu.
"Justru keparat Waji itulah yang telah
melakukan semua ini!"
"Maksudmu bagaimana, Rupangki? Aku belum
mengerti," tanya Dewa Arak lagi, sebenarnya
Arya yang cerdik ini sudah bisa menduganya.
Rupangki menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat.
"Mulanya kami mengira Kakang Waji cukup
parah... sehingga aku bersama Kakang Jalasa
memapahnya," ucap pemuda bertubuh tinggi itu
memulai ceritanya seraya menatap wajah
Karmila. Gadis yang telah memikat hatinya
sejak pertemuan pertama mereka. Hanya saja
Rupangki terhitung pemuda yang kurang bisa
bercakap-cakap dan lebih su!ka memendam
perasaannya di hati.
"Hm...," Dewa Arak hanya bergumam tak
jelas. Sementara Karmila mendengarkan semua
cerita Rupangki dengan jantung berdebar
tegang.
"Sungguh sama sekali tidak kami sangka...,
begitu tiba di sebuah lereng terjal, Kakang
Waji berontak. Kuat sekali rontaannya,
sehingga aku yang sama sekali tidak menduga
apa-apa, terpental bergulingan."
Kembali pemuda tinggi kurus itu
menghentikan ceritanya. Ditariknya napas
dalam-dalam, mungkin untuk melonggarkan
dadanya yang terasa sesak begitu mengingat
semua kejadian yang dialaminya.
"Aku terpental deras ke arah jurang. Tapi
untunglah kedua tanganku sempat menggapai
bibir jurang. Di saat itulah kulihat
pemandangan yang sampai mati pun tidak akan
kulupakan." Lagi-lagi Rupangki menghentikan
ceritanya. Sepasang matanya nampak merembang
berkaca-kaca. Karuan saja Karmila yang ingin
buru-buru mengetahui akhir cerita itu jadi
agak kesal juga. Tapi, mau tidak mau rasa
kesal itu terpaksa ditahannya.
"Apa yang kau lihat, Rupangki?" tanya Dewa
Arak ingin tahu.
"Kakang Waji menusukkan pedangnya ke perut
Kakang Jalasa yang tengah terhuyung-huyung.
Dan kemudian menendang mayatnya ke dalam
jurang," ucap Rupangki terputus-putus. "Bahkan
bukan hanya itu saja. Begitu dilihatnya aku
belum masuk ke jurang, dia pun lalu
menghampiriku. Akhirnya, tanpa peduli pada
keselamatanku lagi, kuputuskan untuk melompat
ke dalam jurang. Dan... inilah akibatnya...."
"Jadi..., kiranya pemuda keparat itulah
biang keladinya...! Awas kau, Waji! Akan
kucincang tubuhmu!" ancam Karmila. Keras dan
kasar suaranya. Bahkan sepasang mata gadis itu
memancarkan sinar berkilat. Jelas kalau gadis
berpakaian jingga ini dilanda kemarahan yang
amat sangat.
"Tenangkan hatimu dulu, Karmila," ucap
Dewa Arak memberi nasihat. "Yang penting, kita
harus menyembuhkan luka-luka Rupangki dulu.
Karena dialah satu-satunya saksi yang dapat
menyelamatkan kita dari buruan orang-orang
persilatan golongan putih. Di samping itu
juga..., untuk membersihkan nama baik ayahmu."
Karmila langsung terdiam. Gadis itu
menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya
kuat-kuat.
Dicobanya meredakan kemarahan yang
bergolak.
"Sebenarnya..., apa yang terjadi, Arya?"
tanya Rupangki ingin tahu. Pemuda bertubuh
tinggi kurus itu tidak bertanya kepada
Karmila. Dia masih merasa tidak enak pada
gadis berpakaian jingga itu mengingat sikap
yang tidak pantas dari kakak seperguruannya.
Dewa Arak pun menceritakan semua yang
dialami Karmila.
"Ahhh...!" seru Rupangki terkejut begitu
Arya menyelesaikan ceritanya. "Kalau begitu,
aku harus cepat-cepat ke Perguruan Pedang
Ular."
"Untuk apa?" tanya Karmila.
"Untuk memberitahukan kejadian yang
sebenarnya," sahut pemuda tinggi kurus itu
tandas. "Keterlaluan sekali, Kakang Waji.
Jangan khawatir, Nini. Aku akan membantumu
menangkapnya!"
"Terima kasih, Rupangki," hanya itu yang
diucapkan Karmila.
"Tapi, sebelum kita ke Perguruan Pedang
Ular. Luka-lukamu harus disembuhkan dulu,
Rupangki, ucap Dewa Arak.
"Tapi... tidakkah hal itu jadi terlalu
lama? Dan..., urusan Nini Karmila akan semakin
berlarut-larut." Rupangki mencoba membantah.
Dia kini telah mendapat kesempatan untuk
menunjukkan perhatiannya pada gadis berpakaian
jingga yang telah menarik hatinya itu.
"Tidak mengapa, Rupangki," sahut Karmila
cepat.
"Kalau begitu..., terserah kalian saja,"
ucap pemuda bertubuh tinggi kurus itu
mengalah.
Dewa Arak bersyukur dalam hati melihat hal
ini. Arya tahu kalau Rupangki mempunyai
perasaan lain terhadap Karmila. Bahkan
berharap semoga saja gadis berpakaian jingga
itu akan membalas rasa simpati pemuda bertubuh
tinggi kurus itu.
"Kalau begitu..., mari kita cari tempat
yang layak untuk mengobati luka Rupangki,
Karmila," ajak Dewa Arak sambil memondong
tubuh Rupangki.
Tak lama kemudian, ketiganya sudah
meninggalkan tempat itu. Mencari tempat untuk
mengobati luka-luka murid Perguruan Pedang
Ular itu.
***
4
Plak, plak, plak..!
Suara kelepak sayap kelelawar, mengusik
keheningan malam sepi. Bulan bulat penuh
nampak di langit. Memang, malam ini adalah
malam bulan purnama. Di bawah keremangan sinar
rembulan, nampak berkelebat sesosok tubuh
berpakaian kuning. Gerakannya cepat bukan
main, sehingga yang terlihat hanyalah
sekelebat bayangan kekuningan yang membelah
keremangan malam.
Sosok berpakaian kuning itu terus melesat
cepat. Menilik dari kecepatan geraknya, bisa
diperkirakan kalau sosok bayangan kuning ini
memiliki kepandaian tinggi.
Kecepatan lari sosok bayangan kuning itu
baru berkurang, ketika mulai mendekati
bangunan besar berhalaman luas. Sebuah
bangunan megah yang dikelilingi pagar tinggi
dari kayu bulat.
"Hup!"
Tepat di depan pintu gerbang, bayangan
kuning itu menghentikan larinya. Sekilas
sepasang matanya menatap sebuah papan tebal
berukir yang terpampang di atas pintu gerbang.
Tampak jelas huruf-huruf yang tertera di papan
berukir itu, Perguruan Golok Maut.
Perlahan sosok bayangan kuning itu
mendekati pintu gerbang. Kemudian tangannya
diulurkan mengetuk.
Tok, tok, tok!
Kelihatan perlahan saja, tangan sosok
berpakaian kuning itu mengenai daun pintu
gerbang. Tapi akibatnya luar biasa! Terdengar
suara keras, seolah-olah pintu gerbang itu
dipukul dengan sebuah balok besar.
Tentu saja suara berisik dari pintu
gerbang itu membuat beberapa murid Perguruan
Golok Maut yang tengah bertugas jaga,
berhamburan ke arah pintu gerbang.
"Sepertinya ada tamu yang datang," sahut
salah seorang di antara mereka yang berperut
gendut.
"Buka pintu gerbang," perintah salah
seorang yang berwajah hitam. Rupanya dialah
yang bertugas menjadi kepala jaga.
"Tapi, Kang Tarji," salah seorang yang
bertubuh kecil kurus mencoba membantah.
"Bagaimana kalau orang yang baru datang,
bermaksud tidak baik?"
"Aku yang bertanggung jawab!" tandas laki-
laki berwajah hitam yang ternyata bernama
Tarji. Bukan karena kesombongan kepala jaga
ini berkata begitu, tapi karena keyakinannya
kalau orang yang datang secara terang-terangan
begitu, tidak mungkin bermaksud jelek.
Murid Perguruan Golok Maut yang bertubuh
kecil kurus, tidak membantah. Segera saja dia
beranjak ke pintu gerbang. Mengangkat palang
pintu gerbang dan kemudian menarik daun pintu-
gerbang yang besar dan berat .
Kriiit..!
Terdengar suara berderit tajam begitu
pintu gerbang itu membuka.
"Ketua kalian ada?" tanya sosok tubuh
berpakaian kuning itu.
"Ah, kiranya Ki Gambala...!" seru murid
Perguruan Golok Maut yang bertubuh kecil
kurus, begitu melihat orang yang berdiri di
balik pintu gerbang itu. "Ada, Kek"
"Bisa mengantarku padanya?" tanya sosok
berpakaian kuning yang ternyata Gambala itu.
"Ooo..., bisa. Bisa, Kek," sahut Tarji
mendahului menjawab. "Mari kuantar."
Setelah berkata demikian, kepala jaga ini
pun meninggalkan tempat itu. Sementara murid
yang bertubuh kecil kurus, kembali menutup
pintu gerbang. Lalu bersama rekan-rekan
lainnya meneruskan penjagaan kembali.
Tarji membawa Ketua Perguruan Pedang Ular
itu ke ruang semadi si Golok Emas. Memang
sejak kematian adik seperguruannya beberapa
hari yang lalu, Ketua Perguruan Golok Maut itu
lebih suka mengurung diri di ruang semadinya.
Tok, tok, tok...!
Laki-laki berwajah hitam itu mengetuk
pintu ruang semadi si Golok Emas. Ruangan itu
hanya kecil saja. Ukurannya paling banyak tiga
kali tiga tombak.
"Siapa di luar?" tanya sebuah suara. Baik
Tarji maupun Gambala mengenali siapa pemilik
suara itu. Siapa lagi kalau bukan Ketua
Perguruan Golok Maut, Si Golok Emas!
"Tarji, Guru," sahut laki-laki berwajah
hitam itu cepat.
Hening sejenak. Tak terdengar sahutan
setelah Tarji menjawab pertanyaan si Golok
Emas.
"Apa keperluanmu, Tarji?" kembali
terdengar suara Ketua Perguruan Golok Maut
itu.
"Anu, Guru.., Ketua Perguruan Pedang Ular
ingin bertemu Guru."
Sesaat kemudian, pintu ruangan itu pun
terkuak. Dan dari balik daun pintu itu muncul
seraut wajah seorang kakek berjenggot putih
panjang. Itulah Ketua Perguruan Golok Maut
"Silakan masuk, Gambala," ucap si Golok
Emas mempersilakan. Raut wajahnya terlihat
muram. Rupanya kakek berjenggot panjang ini
masih terpukul dengan kematian adik
seperguruannya.
"Aku mohon diri dulu, Guru," ucap Tarji
seraya menjura hormat. Dan segera berlalu
begitu. Ketua Perguruan Golok Maut itu
menganggukkan kepalanya.
Gambala melangkah masuk. Dan setelah kakek
bermata sayu itu telah berada di dalam, si
Golok Emas segera menutup pintu.
"Apakah keperiuanmu datang malam-malam
begini, Gambala?" tanya Ketua Perguruan Golok
Maut itu begitu keduanya telah bersila. Nada
suara kakek berjenggot panjang ini terdengar
datar.
"Kau tidak ingin membalaskan sakit hati
adik seperguruanmu, Golok Emas?" kakek bermata
sayu itu balas bertanya. Langsung pada pokok
persoalan. Sama sekali tidak dipedulikannya
pertanyaan Ketua Perguruan Golok Maut tadi.
Si Golok Emas menggelengkan kepalanya.
"Mengapa?" desak Ketua Perguruan Pedang
Ular itu lagi.
"Lupakah kau, Gambala?!" sergah kakek
berjenggot panjang itu. "Bukankah Kalapati
telah tewas?!"
"Kalapati memang benar telah tewas. Tapi
tidakkah kau ingin membalaskan dendammu pada
putrinya?! Kau tahu putrinya itu tak kalah
jahat ketimbang ayahnya!" sahut Gambala
bernada membakar.
"Sayang sekali, Gambala. Aku sama sekali
tidak berminat..," jawab kakek berjenggot
panjang itu pelan.
"Hhh...!" Ketua Perguruan Pedang Ular itu
menghela napas berat.
"Mengapa tidak kau sendiri saja yang
melenyapkan putri Kalapati itu, Gambala?"
tanya si Golok Emas bernada menyelidik.
"Ada orang kuat yang berdiri di
belakangnya," sahut Ketua Perguruan Pedang
Ular itu bernada keluhan.
"Dewa Arak, maksudmu?" tebak kakek
berjenggot panjang itu.
Gambala menganggukkan kepalanya.
"Dia memang seorang pemuda yang luar
biasa!" puji Ketua Perguruan Golok Maut itu
itu tulus. "Aku yakin, kalau Kalapati masih
hidup..., belum tentu datuk sesat itu mampu
mengalahkannya...."
"Ya," Gambala menganggukkan kepalanya
"Sayangnya, pendekar itu telah terpikat pada
kecantikan putri Kalapati. Dan kini..., Dewa
Arak akan jadi ancaman besar bagi dunia
persilatan. Khususnya untuk tokoh-tokoh
golongan putih. Kalau tidak buru-buru
dilenyapkan, bukan tidak mungkin kelak akan
membunuh kita semua...."
"Aku kira hal itu tidak mungkin terjadi,
Gambala," bantah si Golok Emas. "Menurut
berita yang kudengar, Dewa Arak tidak pernah
membunuh tokoh-tokoh persilatan golongan putih
yang mengeroyoknya. Bahkan melukai secara
berat pun tidak juga."
Seketika itu juga, wajah Ketua Perguruan
Pedang Ular itu berubah merah padam.
"Mungkin sekarang tidak, Golok Emas.
Tapi..., nanti siapa tahu?" ucap Gambala
dengan suara mengambang.
Si Golok Emas sama sekali tidak menyahuti
ucapan kakek bermata sayu itu. Ketua Perguruan
Golok Maut itu hanya mengangkat bahu saja.
Setelah Gambala menghentikan ucapannya,
suasana pun menjadi hening.
"Jadi..., kau tidak berniat melenyapkan
iblis betina itu, Golok Emas?" tanya Ketua
Perguruan Pedang Ular itu meminta ketegasan.
"Ya," jawab kakek berjenggot panjang itu.
"Berita yang kudengar selama ini membuatku
ragu akan kebenaran berita kalau Dewa Arak
tersesat. Mata hatiku yakin kalau pemuda itu
berada di jalan yang benar."
Gambala sama sekali tidak menanggapi
ucapan Ketua Perguruan Golok Maut itu.
"Kalau begitu..., aku permisi saja, Golok
Emass!" ucap kakek bermata sayu itu seraya
bangkit berdiri.
"Ah...! Mengapa terburu-buru, Gambala,"
sahut kakek berjenggot panjang itu agak
terkejut.
"Masih banyak urusan yang harus
kuselesaikan, Golok Emas."
Setelah berkata demikian, Ketua Perguruan
Pedang Ular segera melangkah keluar. Si Golok
Emas mengantarnya. Sesaat kemudian kedua ketua
perguruan besar beraliran putih ini sudah
melangkah berdampingan tanpa mengucapkan
sepatah kata pun.
Ketua Perguruan Golok Maut mengantar
tamunya sampai keluar pintu gerbang
perguruannya. Kemudian setelah tamunya lenyap
ditelan kegelapan malam, diperintahkannya
murid peronda untuk menutup pintu gerbang
kembali.
***
Untuk kesekian kalinya sang surya kembali
muncul di ufuk Timur. Sinarnya yang lembut
menyorot persada. Burung-burung bercicit riang
menyambut terbitnya bola api besar yang masih
berwarna merah itu. Binatang-binatang pun
tahu, telah tiba saatnya bagi mereka untuk
mencari makan.
Tiga sosok bayangan berkelebat cepat
menuruni lereng Gunung Palanjar. Rata-rata
gerakan mereka cepat dan gesit bukan main.
Sehingga yang tampak hanyalah sekelebatan
bayangan jingga, ungu, dan biru.
Dua di antara tiga bayangan itu berlari
berdampingan. Sementara sosok yang berwarna
ungu, berlari di belakang mereka.
Tiga sosok tubuh yang sedang menuruni
lereng Gunung Palanjar adalah Karmila,
Rupangki, dan Dewa Arak Berkat kemahiran Arya
dan terutama sekali karena Karmila mempunyai
obat yang mujarab, Rupangki kembali sembuh
seperti sediakala, setelah beristirahat selama
dua hari. Dan pagi ini, ketiga muda-mudi ini
memutuskan untuk pergi ke Perguruan Pedang
Ular untuk memberi tahu hal yang sebenarnya.
"Aku turut berduka cita atas kematian
ayahmu, Karmila," entah untuk yang ke berapa
kalinya kata-kata itu keluar dari mulut
Rupangki. Memang pemuda bertubuh tinggi kurus
itu kurang bisa mencari bahan percakapan,
padahal dia ingin sekali selalu berdekatan dan
berbincang-bincang dengan gadis berpakaian
jingga yang berwajah molek dan bertubuh
ramping itu. Sehingga hanya ucapan itu saja
yang diulang-ulangnya.
Arya yang berlari di belakang, sengaja
memberi kesempatan pada Rupangki berbincang-
bincang dengan Karmila, diam-diam tersenyum
geli. Ucapan itu selalu diulang-ulang oleh
pemuda bertubuh tinggi kurus itu, setiap kali
hendak mengajak Karmila berbincang-bincang.
Sekuat tenaga ditahannya ledakan tawa yang
hampir keluar dari mulutnya.
"Terima kasih, Rupangki," sahut Karmila
sambil terus berlari. Gadis berpakaian jingga
ini tentu saja dapat merasakan kalau pemuda
bertubuh tinggi kurus itu mempunyai perhatian
lain terhadapnya. Tapi bagaimana dengan Dewa
Arak yang dikaguminya? Seorang pemuda yang
matang, bijaksana, dan berani memegang prinsip
meskipun harus berhadapan dengan apa pun!
Pemuda yang telah membuat rasa kagumnya
semakin lama semakin bertambah!
Sehabis gadis berpakaian jingga itu
menghentikan ucapannya, suasana pun kembali
hening. Kaki-kaki mereka terus bergerak. Tapi
pikiran mereka melayang-layang entah ke mana.
Sementara di belakang kedua orang itu, Dewa
Arak hanya memperhatikan saja. Rasa geli dan
kasihan melilit hari Arya begitu melihat
Rupangki yang ingin sekali berbincang-bincang
dengan Karmila, tapi tidak mempunyai bahan
percakapan.
Berkat pengalamannya menghadapi berbagai
ragam tabiat manusia, Dewa Arak tahu kalau
gadis seperti Karmila haus akan kasih sayang
dan perhatian. Gadis berpakaian jingga itu
adalah gadis yang manja dan biasa mendapat
kasih sayang dan pematian penuh dari ayahnya.
Dan kini setelah sang Ayah tiada, dengan
sendirinya apa yang biasa didapatkan kini
tidak dapat diterimanya lagi. Saat ini Karmila
pasti merindukan kasih sayang dan perhatian
seperti yang dulu diterimanya. Tapi tentu saja
kini bukan dari ayahnya lagi, tapi dari
seorang laki-laki yang bukan ayahnya dan juga
bukan keluarga atau temannya.
"Untuk menaklukkan hati Karmila, berikan
perhatian penuh kepadanya, Rupangki."
Rupangki terlonjak kaget begitu mendengar
suara yang amat dikenal menggema di
telinganya. Saking kagetnya, langkah kaki
pemuda ini sampai terhenti seketika. Suara itu
adalah suara Arya! Tanpa sadar pemuda bertubuh
tinggi kurus itu menoleh ke belakang.
"Ada apa, Rupangki?" tanya Karmila seraya
menghentikan larinya pula. Gadis berpakaian
jingga itu memang terkejut melihat pemuda
tinggi kurus itu tiba-tiba menghentikan
larinya. "Apakah masih ada rasa sakit yang kau
rasakan?"
"Ah..., eh... ti... tidak ada apa-apa,"
sahut Rupangki agak gugup. "Mari kita
lanjutkan perjalanan kita."
Setelah berkata demikian, Rupangki kembali
melanjutkan langkahnya. Mau tidak mau Karmila
pun melangkahkan kakinya pula. Gadis
berpakaian jingga itu tahu kalau ada sesuatu
yang membuat Rupangki terkejut. Hanya
sayangnya, pemuda bertubuh tinggi kurus itu
tidak mau berterus-terang.
"Tanyakanlah padanya tentang bunga
kesenangannya..., pakaian kesukaannya..., ilmu
silatnya..., dan masih banyak lagi...."
Lagi-lagi suara Arya bergema di telinga
pemuda bertubuh tinggi kurus itu. Seketika
wajah Rupangki berseri-seri. Kini pikirannya
telah terbuka. Dia sudah mendapat bahan
pembicaran untuk berbincang-bincang dengan
gadis berwajah molek dan bertubuh ramping yang
telah menarik hatinya itu. Pemberitahuan Dewa
Arak telah membuka pikirannya. Diam-diam
pemuda bertubuh tinggi kurus ini merasa sangat
berterima kasih sekali atas petunjuk pemuda
berambut putih keperakan itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rupangki
segera mempraktekkan semua ajaran Arya. Dan
memang setelah itu pembicaraan pun menjadi
berlangsung panjang. Pemuda bertubuh tinggi
kurus itu kini telah bisa mengembangkan bahan
pembicaraan sendiri. Sepanjang perjalanan
menuju Perguruan Pedang Ular, kedua orang itu
terus terlibat pembicaraan.
Dewa Arak tak henti-hentinya memberi
petunjuk pada Rupangki untuk bersikap
bagaimana terhadap Karmila. Bahkan atas
anjuran pemuda berambut putih keperakan itu
pula, pada saat mereka beristirahat, pemuda
bertubuh tinggi kurus itu mencarikan bunga
kesukaan Karmila. Dan memberikannya pada gadis
berpakaian jingga itu. Hampir-hampir Rupangki
melompat girang dan memeluk Arya sebagai tanda
rasa terima kasih yang amat sangat, begitu
dilihatnya Karmila menerima bunga
pemberiannya. Dan yang lebih membuat Rupangki
lebih gembira adalah ketika gadis pujaannya
menerima bunga itu dengan senyum ceria.
***
Ketiga orang itu melakukan perjalanan
dengan tidak tergesa-gesa. Pada keesokan
harinya, barulah tampak bangunan Perguruan
Pedang Ular di kejauhan.
"Itu dia Perguruan Pedang Ular, Karmila,"
ucap Rupangki memberitahu sambil menudingkan
jari telunjuknya.
Karmila dan Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya pertanda mengerti.
"Mari kita bergegas ke sana," ajak pemuda
tinggi kurus itu lagi sambil menarik tangan
Karmila. Memang, kini hubungan antara Rupangki
dan gadis berpakaian jingga itu sudah semakin
akrab.
Karmila tidak banyak membantah. Meskipun
begitu, ada segumpal rasa khawatir yang
mencekam hati gadis berpakaian jingga itu.
Rasa khawatir kalau murid-murid Perguruan
Pedang Ular langsung menyerangnya. Tapi,
Karmila percaya penuh kalau Rupangki dapat
menjelaskan permasalahannya. Dan lagi...,
bukankah ada Dewa Arak di situ?
Bukan hanya Karmila saja yang dilanda rasa
khawatir. Dewa Arak pun dilanda perasaan
serupa. Tapi seperti biasa, pemuda berambut
putih keperakan itu mampu menyembunyikan rasa
cemasnya. Dia percaya penuh kalau Rupangki
akan berundak cepat begitu melihat gelagat
yang tidak baik. Memang, selagi mereka
melakukan perjalanan kemari, pemuda tinggi
kurus itu berjanji akan menjernihkan
persoalan.
Apa yang dikhawatirkan Arya dan Karmila
tepat sekali. Begitu murid-murid penjaga pintu
gerbang Perguruan Pedang Ular melihat
kedatangan Karmila dan Dewa Arak, mereka
segera menghunus senjata masing-masing dan
bersikap waspada. Sedangkan salah seorang di
antaranya segera berlari ke dalam, memberi
tahu kedatangan musuh-musuh mereka kepada
Gambala.
Kedua murid penjaga pintu gerbang
Perguruan Pedang Ular tidak segera dapat
mengenali Rupangki. Karena pemuda tinggi kurus
itu kini sudah tidak mengenakan seragam
perguruan lagi. Pakaian seragam Perguruan
Pedang Ular telah dibuangnya karena telah
kotor dan habis terkoyak-koyak. Yang segera
langsung dikenali oleh penjaga pintu gerbang
itu adalah Dewa Arak dan Karmila yang memiliki
ciri-ciri menyolok.
Baru setelah ketiga orang itu semakin
dekat dengan pintu gerbang, murid-murid
Perguruan Pedang Ular yang semuanya sudah
bergerak keluar menjadi terkejut. Mereka
mengenali Rupangki yang menurut cerita Waji
telah tewas di tangan Kalapati. Dan tentu saja
hal ini membuat mereka semua terkejut.
"Kakang Rupangki! Kaukah itu?!" seru salah
seorang murid Perguruan Pedang Ular kaget
bercampur gembira.
"Ya. Aku Rupangki! Lupakah kalian semua?!"
sahut pemuda bertubuh tinggi kurus itu
membenarkan.
"Rupangki! Apa yang kau lakukan ini?!"
tegur laki-laki bertubuh kekar berotot dan
berambut kepang. Inilah salah seorang dari
empat murid kepala Perguruan Pedang Ular.
Setingkat dengan Waji. Nama orang ini adalah
Jirin. "Bukankah kau telah tewas?! Mengapa
tiba-tiba kau datang, dan bersama musuh besar
kita?!"
"Ceritanya panjang, Kakang Jirin. Tapi
percayalah, kedua orang ini bukanlah musuh.
Kang. Bahkan sebaliknya..., merekalah yang
telah menyelamatkan aku dari kematian," ucap
pemuda bertubuh tinggi kurus itu memberi tahu.
"Omongan macam apa itu?!" sergah Jirin
keras.
"Rupangki! Rupanya kedua orang itu telah
menyihirmu! Sehingga kau tidak dapat
membedakan mana kawan dan mana lawan!"
"Percayalah, Kang Jirin. Kedua orang ini
bukanlah musuh!" sambut Rupangki lagi seraya
terus melangkah maju. Tangan kirinya masih
tetap menggenggam tangan kanan Karmila. Dan
dengan sendirinya, gadis berpakaian jingga itu
ikut melangkah ke depan.
Mau tidak mau Dewa Arak terpaksa ikut
melangkah maju. Arya khawatir akan terjadinya
sesuatu yang sama sekati tidak diharapkan.
Dalam hatinya, pemuda ini menyesali sikap
Rupangki yang tidak tahu gelagat dengan terus
melangkah maju. Padahal saudara-saudara
seperguruannya telah siap dengan senjata
terhunus.
"Kau telah tidak waras lagi, Rupangki!"
bentak
Jirin keras. "Serang...!"
Tentu saja murid-murid Perguruan Pedang
Ular yang sejak tadi telah siaga dengan
senjata terhunus, segera menerjang Rupangki.
Tapi tentu saja serangan mereka ditujukan pada
Karmila.
Rupangki terkejut bukan main mendapat
serangan yang tidak disangka-sangka itu.
Apalagi yang menyerang bukan hanya seorang,
melainkan belasan. Hujan senjata kontan
meluruk ke arah Karmila. "Kakang! Tahan...!"
Di saat-saat terakhir, Rupangki masih
mencoba mencegah. Tapi sia-sia. Kakak
seperguruannya, dan juga rekan-rekannya sama
sekali tidak mempedulikannya. Mereka yakin
kalau pemuda bertubuh tinggi kurus itu telah
dipengaruhi oleh putri Kalapati. Entah ilmu
sihir atau ilmu apa, mereka tidak tahu.
Melihat saudara-saudara seperguruannya
sama sekali tidak mempedulikan teriakannya,
Rupangki menjadi kalap. Secepat kilat
pedangnya dicabut, dan ditangkisnya serangan
yang mengancam gadis ber pakaian jingga itu.
Berbarengan dengan itu, pegangangnya pada
tangan Karmila dilepaskan. Dan begitu
tangannya terlepas, putri Kalapati itu segera
melempar tubuhnya ke belakang dan bergulingan
menjauh.
Trang, trang...!
Suara berdentang nyaring segera terdengar
begitu pedang Rupangki berbenturan dengan
senjata saudara-saudara seperguruannya. Tak
pelak lagi, pemuda bertubuh tinggi kurus itu
pun terhuyung ke belakang. Dan di saat itulah,
hujan senjata meluruk ke arah Karmila yang
tengah bergulingan. Melihat banyaknya serangan
yang menyambar ke arah tubuh gadis berpakaian
jingga itu, sudah bisa diperkirakan kalau
Karmila akan sulit lolos dari maut
"Karmila...!"
Rupangki menjerit melihat bahaya maut
mengancam keselamatan gadis yang dicintainya.
Suara pemuda bertubuh tinggi kurus itu
melengking bercampur isak. Suara yang keluar
dari mulut seorang yang melihat kekasihnya
terancam maut tanpa mampu menolongnya, karena
tubuh Rupangki sendiri tengah terhuyung-
huyung.
Di saat-saat kritis bagi keselamatan
Karmila, Dewa Arak segera melesat ke arah
putri Kalapati itu. Dan begitu tiba, pemuda
berambut putih keperakan ini segera memutar-
mutarkan kedua tangannya.
Hebat bukan main! Dari kedua tangan yang
berputaran di depan dada itu, timbul angin
keras yang membuat murid-murid Perguruan
Pedang Ular berpentalan seperti dilanda angin
topan.
Brukkk!
Suara berdebukan keras segera terdengar
begitu belasan sosok tubuh itu berjatuhan di
tanah. Senjata-senjata mereka telah
berpentalan entah ke mana.
"Ah...!" Rupangki berseru kaget bercampur
girang. Cepat laksana kilat pemuda bertubuh
tinggi kurus itu menghambur ke arah Karmila
yang kini telah bangkit dari bergulingnya.
Wajah gadis itu masih nampak pucat Jelas kalau
tadi pun gadis berpakaian jingga itu telah
dilanda perasaan terkejut yang amat sangat.
"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya
Rupangki terbata-bata. Sebenarnya bodoh sekali
pertanyaan itu. Sudah jelas kalau gadis itu
sama sekali tidak apa-apa. Tapi masih juga
ditanyakan demikian. Ketegangan Rupangki yang
masih tersisa, membuat kata-kata yang keluar
dari mulutnya tidak terkontrol lagi.
"Untung, Dewa Arak cepat bertindak," sahut
Karmila bernada mendesah. Seketika itu juga
ada rasa rendah diri di hati Rupangki,
mendengar ucapan itu. Mengapa harus Dewa Arak
yang menolong Karmila? Kenapa tidak dia saja?
Sesalnya dalam hati.
"Kau harus hati-hati, Rupangki," ucap Dewa
Arak memberi nasihat "Rekan-rekanmu kati ini
tidak segan-segan untuk membunuhmu."
"Mengapa begitu, Arya?" tanya pemuda
bertubuh tinggi kurus itu tidak mengerti.
"Mungkin mereka mengira kalau kau sudah
kami pengaruhi," jelas Arya.
"Ahhh...! Kiranya begitu...," sahut
Rupangki mulai paham masalahnya.
Tapi Dewa Arak tidak bisa melanjutkan
ucapannya lagi karena murid-murid Perguruan
Pedang Ular yang dirobohkannya telah bangkit
kembali. Memang pemuda berambut putih
keperakan itu tadi hanya mengerahkan tenaga
untuk melontarkan mereka saja. Arya tidak
bermaksud melukai mereka. Dewa Arak hanya
ingin menyelamatkan Karmila.
"Tahan...!"
Terdengar teriakan mencegah begitu murid-
murid Perguruan Pedang Ular kembali hendak
menyerang. Serentak semua murid itu
menghentikan gerakan dan memandang ke arah
asal teriakan itu. Tak terkecuali juga Dewa
Arak, Karmila, dan Rupangki. Dari dalam pintu
gerbang, melangkah dengan sikap gagah seorang
kakek bermata sayu.
"Guru...," seru semua murid Perguruan
Pedang Ular sambil memberi hormat. Tak
terkecuali Rupangki.
"Gambala...," desis Dewa Arak yang segera
mengenali kakek itu.
Orang yang baru datang memang Gambala,
Ketua Perguruan Pedang Ular. Dengan tatapan
sayu, dipandangnya sekeliling tempat itu. Dan
terakhir ke arah Dewa Arak, Karmila, dan
Rupangki.
"Guru...," ucap Rupangki begitu melihat
sorot mata Ketua Perguruan Pedang Ular tertuju
padanya.
"Kemarilah, Rupangki," ucap Gambala sambil
melambaikan tangannya.
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu segera
menghampiri gurunya. Tapi baru saja satu
tindak kakinya melangkah, sebuah tangan telah
menangkap pergelangan tangannya.
"Tunggu dulu, Rupangki," cegah sang
pemilik tangan yang ternyata adalah Dewa Arak.
"Mengapa, Arya?" tanya pemuda tinggi kurus
itu dengan alis berkerut. Hatinya menjadi
heran melihat pemuda berambut putih keperakan
itu mencegah tindakannya. "Aku hendak menemui
guruku."
"Untuk apa, Rupangki?" tanya pemuda
berambut putih keperakan itu.
"Menjelaskan kesalahpahaman ini." "Dari
sini saja, Rupangki!" tandas Dewa Arak tegas.
"Tapi...," Rupangki masih mencoba
membantah.
"Kau ingin berpisah dengan Karmila,
Rupangki?" tanya pemuda berambut putih
keperakan itu menggertak. Sementara Gambala
memperhatikan saja ribut mulut yang terjadi di
depannya.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Arya," sahut
pemuda bertubuh tinggi kurus itu masih dengan
alis berkerut. "Kau tidak ingat peristiwa yang
baru saja terjadi?" ucap Dewa Arak bernada
mengingatkan. "Asal kau tahu saja, Rupangki.
Kau sama sekali tidak dipercaya! Kau dianggap
berada dalam pengaruh sihir! Jadi, begitu kau
mendekati gurumu, kau akan dibuat pingsan.
Dan..., kami berdua akan dikeroyok kembali,
jelas Dewa Arak panjang lebar.
"Jadi, bagaimana aku harus menjelaskan
kesalah pahaman ini?" tanya pemuda bertubuh
tinggi kurus itu lagi. Nada suaranya terdengar
putus asa.
"Dari sini saja, Rupangki!" sahut Dewa
Arak tegas. "Cepat kau ceritakan semuanya
dengan jelas. Syukur-syukur kalau akhirnya
mereka mengerti dan sadar...."
Rupangki mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu menyadari
kebenaran ucapan Arya. Dan kembali rasa
kagumnya semakin bertambah. Dewa Arak meskipun
masih muda tapi memiliki wawasan berpikir yang
demikian luas.
"Kau mengerti, Rupangki?" tanya Dewa Arak
begitu melihat pemuda bertubuh tinggi kurus
itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya," sahut Rupangki singkat.
"Kau bisa menjelaskan semuanya dari sini?"
tanya Dewa Arak lagi.
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu
menganggukkan kepalanya.
Dewa Arak memandang ke sekelilingnya
begitu melihat kesediaan Rupangki. Dilihatnya
Gambala dan murid-murid Perguruan Pedang Ular,
masih berdiri terpaku. Rupanya mereka ingin
mendengar apa yang ingin dikatakan Rupangki.
"Kalian semua dengarkan!" teriak Arya
seraya mengerahkan tenaga dalam. Suaranya
menggema sampai ke tempat yang jauh.
Seketika itu juga suasana menjadi hening.
Suara yang keluar dari mulut Dewa Arak benar-
benar membuat mereka terpaku kaku. Tak
terkecuali Gambala.
***
5
"Guru..., dan juga saudara-saudaraku
semua...!" ucap Rupangki memulai keterangan.
Pandangannya diedarkan berkeliling. Menatap
satu persatu wajah murid-murid Perguruan
Pedang Ular. "Beberapa hari yang lalu...,
Kakang Waji mengajak Kakang Jalasa dan aku
mencari tempat penyepian Kalapati...."
Rupangki menghentikan ceritanya sejenak
begitu mendengar seruan-seruan kaget dari
mulut beberapa murid Perguruan Pedang Ular.
Cerita yang didengar dari mulut Rupangki
berbeda dengan yang mereka denngar dari Waji.
Hanya Gambala seorang yang tidak terlihat
terkejut. Alis kakek bermata sayu ini
berkernyit dalam, pertanda sedang berpikir
keras. Mana cerita di antara kedua muridnya
itu yang benar? pikir kakek ini bingung.
Akhirnya diputuskan untuk mendengarkan cerita
Rupangki lebih lanjut.
"Semula aku dan Kakang Jalasa keberatan.
Tapi karena Kakang Waji mengatakan kalau
maksudnya hanya untuk sekadar berbincang-
bincang dengan datuk itu, kami akhirnya
mengalah. Kami pun ikut mencari tempat
penyepian Kalapati."
Pemuda bertubuh tinggi kurus Ini
menghentikan ceritanya untuk mengambil napas.
Kembali pandangannya diedarkan berkeliling.
Dilihatnya wajah guru dan rekan-rekannya
nampak serius mendengar penjelasannya. Dan
dengan sendirinya, Rupangki semakin
bersemangat melanjutkan ceritanya.
"Di hari pertama, kami tidak berhasil.
Lalu kami kembali ke perguruan. Hari kedua,
begitu pula. Baru pada hari ketiga, kami
bertemu dengan seorang gadis berpakaian jingga
yang tengah berlatih ilmu 'Totokan Penghancur
Tulang'. Dan itulah awal kami menemukan tempat
penyepian Kalapati. Tempat itu begitu
tersembunyi. Kalau saja tidak mendengar
teriakan-teriakan gadis itu, tentu kami tidak
berhasil menemukan tempat Kalapati."
Lagi-lagi Rupangki menghentikan ceritanya.
Sementara kerut-kerut di dahi Gambala dan
beberapa orang murid Perguruan Pedang Ular
semakin banyak terlihat. Cerita yang mereka
dengar dari mulut Rupangki jelas-jelas berbeda
dengan apa yang diceritakan Waji.
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu
melanjutkan ceritanya kembali hingga selesai.
Semua kejadian diceritakannya dengan gamblang.
Tak ada satu pun yang ditutup tutupinya.
"Begitulah semua kejadiannya, Guru," ucap
Rupangki menutup ceritanya. "Jadi, tidak benar
kalau Kalapati dan putrinya yang membunuh
Kakang Jalasa dan aku."
"Hhh...!"
Setelah tercenung beberapa saat lamanya
akhirnya Gambala menghela napas berat. Sambil
mendengarkan cerita, kakek bermata sayu ini
sibuk membandingkan cerita yang didengar dari
kedua muridnya.
Baru dirasakan adanya kejanggalan pada
cerita Waji. Kejanggalan yang baru kini
disadarinya. Dari mana Waji tahu tempat
tinggal Kalapati, sewaktu mengantarkan
dirinya, adik seperguruannya, dan juga kedua
ketua Perguruan Golok Maut? Kini, dari cerita
Rupangki, kakek bermata sayu itu mengerti
kalau Waji pernah ke sana sebelumnya!
Rupangki menunggu dengan perasaan tegang.
Jantungnya berdetak keras, melihat Ketua
Perguruan Pedang Ular itu menghela napas dan
tercenung kembali. Memang Gambala tengah
berpikir keras. Benaknya sibuk mengingat-ingat
semua kata-kata dan kejadian yang telah
terjadi, berkenaan dengan peristiwa Kalapati.
Dan semakin benaknya mengingat-ingat,
semakin ditemukan kejanggalan cerita Waji.
Kalau saja dulu dia tidak terlalu dikuasai
amarah, mungkin dapat melihat kejanggalan-
kejanggalan ini. Sikap Kalapati dalam
pertempuran tempo hari, jelas-jelas mengalah.
Padahal dalam cerita Waji dikatakan kalau
Kalapati telah menantangnya.
"Jadi, Waji telah menipuku...," desah
Ketua Perguruan Pedang Ular pelan. "Tapi...,
untuk apa dia melakukan semua ini?"
Perlahan kakinya dilangkahkan mendekati
tempat Karmila, Dewa Arak, dan Rupangki
berdiri. Gadis berpakaian jingga itu segera
memasang sikap waspada. Tapi, Dewa Arak dan
Rupangki sama sekali tidak bersikap demikian.
Tentu saja kedua pemuda itu mempunyai alasan
yang berbeda.
Rupangki tidak bersikap waspada, karena
yakin kalau gurunya tidak akan mencelakakan
dirinya. Di samping itu kurang pantas rasanya
kalau dia mencurigai Gambala.
Sedangkan Dewa Arak sama sekali tidak
menaruh curiga. Pemuda berambut putih
keperakan itu yakin kalau Ketua Perguruan
Pedang Ular telah sadar dari kekeliruannya.
***
Gambala menghentikan langkahnya tepat di
depan Karmila. Kemudian tangannya diulurkan ke
arah gadis berpakaian jingga itu.
"Aku minta maaf, Nini," ucap kakek bermata
sayu itu. Nada suaranya menyiratkan penyesalan
yang mendalam. "Aku mengaku salah.... Dan
tidak akan melawan seandainya kau berniat
membalaskan dendam ayahmu."
Mengalami hal yang sama sekali tidak
diduganya ini, Karmila kebingungan. Kalau
menuruti perasaan hatinya, gadis itu ingin
membalaskan kematian ayahnya. Kedua tangannya
sudah mengejang. Tapi, putri Kalapati itu
teringat pesan mendiang ayahnya. Maka
ditekannya keinginan untuk membalas dendam
itu.
Karena perasaan bingung yang melanda,
wajahnya ditolehkan ke arah Dewa Arak.
Sepasang matanya menatap wajah pemuda berambut
putih keperakan itu penuh permohonan. Dewa
Arak menggeleng pelan.
Pertanda melarang Karmila membalas sakit
hatinya.
Masih tidak puas dengan jawaban yang
diperolehnya dari Dewa Arak, Karmila pun
mengalihkan pandangannya pada Rupangki. Tapi
seperti juga Dewa Arak. Pemuda bertubuh tinggi
kurus ini menggeleng kan kepalanya.
Keyakinan hati Karmila bertambah. Pesan
ayahnya dan gelengan kepala Dewa Arak dan
Rupangki telah memperkuat keinginan untuk
melupakan dendamnya. Lagi pula, kakek bermata
sayu itu sama sekali tidak bersalah. Ketua
Perguruan Pedang Ular termakan hasutan
muridnya yang culas, Waji.
"Aku sama sekali tidak memendam dendam
pada mu, Kek," ucap gadis berpakaian Jingga
itu lirih. "Ayah melarang aku membalaskan
dendam kematiannya. Tapi selama aku yakin
kalau ayahku tidak bersalah... aku akan tetap
membalaskan dendamnya. Tapi.... Tidak padamu,
Kek! Kau tidak bersalah!"
Gambala hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Diam-diam hari kakek ini terharu
melihat kebesaran jiwa gadis berpakaian jingga
itu.
"Aku harap Kakek tidak menghalangi niatku
untuk membalas dendam pada orang yang memang
benar-benar bersalah atas kematian ayahku,"
sambung Karmila tegas.
"Maksudmu pada Waji, Nini?" tanya Gambala
meminta kepastian "Benar, Kek!"
"He he he...!" Gambala tertawa pelan,
lenyap sudah rasa haru di hatinya. Ucapan
Karmila membuat nya geli. "Kau terlalu
berprasangka, Nini. Kau tahu, bukan hanya kau
saja yang ingin membunuh murid murtad itu!"
"Jadi, Kakek..?"
"Ya!" sahut Ketua Perguruan Pedang Ular
cepat.
"Aku pun ingin menghukum murid murtad
itu!"
"Mengapa, Kek?" tanya Karmila tak
mengerti.
"Mengapa?!" ulang Gambala dengan alis
berkerut. "Murid murtad itu telah menyebabkan
kericuhan yang amat besar! Bukan hanya di
perguruanku saja, tapi Juga di dunia
persilatan!"
Ketua Perguruan Pedang Ular itu
menghentikan sebentar ucapannya untuk
mengambil napas. Ucapan yang dikeluarkannya
terlalu berapi-api sehingga membuat napasnya
memburu.
"Dan bukan hanya itu saja!" sambung
Gambala lagi. "Dia pun telah merusak nama baik
orang lain! Nama baik ayahmu, dan juga nama
baik seorang pendekar tenar berjiwa besar
seperti Dewa Arak! Perbuatannya sudah tidak
bisa diampuni lagi! Waji harus mati!"
Setelah berkata demikian, kakek bermata
sayu itu lalu mendekati Arya. Kemudian setelah
berada di depan pemuda berambut putih
keperakan itu tangannya diulurkan.
"Aku minta maaf atas semua ucapan tidak
pantas yang telah kutuduhkan padamu, Dewa Arak
Ternyata kau benar. Ahhh...! Berapa kerdilnya
pemikiranku, sehingga tidak bisa mengetahui
mana yang benar dan mana yang salah," ucap
kakek bermata sayu itu menyesali dirinya.
Arya buru-buru menyambut uluran tangan
Ketua Perguruan Pedang Ular, lalu
menggenggamnya erat-erat.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kek,"
sahut Dewa Arak bijaksana. "Semua ini hanya
kesalahpahaman belaka."
"Kau memang berhati mulia, Dewa Arak.
Semua berita yang kudengar tentang dirimu
ternyata benar. Ahhh...! Dasar aku saja yang
bodoh. Padahal sahabat ku, si Golok Emas,
telah tahu kalau kau berada di jalan yang
benar. Mataku memang buta! Semakin tua,
bukannya semakin arif, tapi malah semakin
memperbesar emosi."
"Kakek terlalu menyalahkan diri sendiri,
seandainya aku menjadi Kakek, mungkin aku akan
bertindak seperti yang Kakek lakukan," sambut
Dewa Arak merendah. Setidak-tidaknya sekadar
untuk menghilangkan rasa risihnya mendapat
pujian bertubi-tubi dari Ketua Perguruan
Pedang Ular.
Begitu Dewa Arak menyelesaikan kata-
katanya, seketika suasana menjadi hening.
"Tapi..., untuk apa sebenarnya Kakang Waji
melakukan semua ini, Guru?" tanya Rupangki,
memecahkan keheningan.
"Hhh...!" Gambala menghela napas berat.
"Aku sendiri tidak mengerti, Rupangki."
"Kalau kulihat..., sepertinya Kakang Waji
memendam dendam yang amat besar pada Kalapati,
Guru," ucap pemuda bertubuh tinggi kurus itu
lagi.
Ketua Perguruan Pedang Ular itu
mengerutkan alisnya.
"Entahlah...! Aku tidak tahu, Rupangki,"
sahut Ketua Perguruan Pedang Ular sambil
mengangkat bahu. "Sekarang..., yang paling
penting adalah mencari di mana murid murtad
itu! Kau bisa mengira-ngira di mana adanya
dia, Rupangki?"
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu
menggelengkan kepalanya.
"Jadi..., Waji tidak pernah kembali ke
perguruan, Kek?" tanya Dewa Arak agak bingung.
"Tidak, Dewa Arak," sahut kakek bermata
sayu itu sambil menggelengkan kepalanya.
"Entah ke mana perginya murid murtad itu."
"Apakah kau tidak tahu tempat yang biasa
dikunjungi Waji, Kek?" tanya pemuda berambut
putih keperakan itu lagi.
Gambala hanya menggelengkan kepalanya.
"Kau barangkali tahu, Rupangki?" kembali Dewa
Arak bertanya. Tapi kali ini ditujukan pada
pemuda bertubuh tinggi kurus itu.
Lagi-lagi hanya gelengan kepala yang
menyambut pertanyaan pemuda berambut putih
keperakan itu.
"Guru...," tiba-tiba salah seorang murid
Perguruan Pedang Ular berucap pelan, bernada
ragu-ragu. Gambala menolehkan kepalanya. "Ada
apa, Pardi?" tanya kakek bermata sayu itu
pelan.
"Beberapa hari yang lalu..., sewaktu aku
pergi mencari kayu bakar... aku melihat Kakang
Waji bersama-sama seorang wanita. Semula aku
hendak memanggilnya. Tapi melihat sikap dan
tindak-tanduk wanita setengah baya yang berada
bersamanya, aku jadi ragu-ragu. Untung dia
tidak melihatku."
"Kau tahu dia menuju ke mana, Pardi?"
tanya Ketua Perguruan Pedang Ular yang merasa
tertarik dengan cerita muridnya.
Pardi menggelengkan kepalanya. "Tapi...,
ada yang membuatku heran, Guru." "Hm.... Apa
itu, Pardi?" tanya Gambala tidak bersemangat
lagi mendengar muridnya itu tidak mengetahui
tempat yang dituju Waji.
"Kakang Waji memanggil wanita setengah
baya itu dengan sebutan ibu, Guru," jawab
Pardi.
"Apa?!" sergah Ketua Perguruan Pedang Ular
keras. Keterkejutan yang amat sangat membayang
di wajah kakek bermata sayu itu. Bahkan
sepasang mata yang biasanya sayu itu tiba-tiba
membelalak. "Kau tidak salah dengar, Pardi?"
"Aku mendengarnya dengan jelas sekali,
Guru," tegas Pardi meyakinkan gurunya.
"Jadi..., aku yakin tidak salah dengar."
"Aneh...," gumam Ketua Perguruan Pedang
Ular pelan. "Padahal, sewaktu kupungut sekitar
dua puluh tahun lalu, dia mengatakan ayah dan
ibunya telah tewas di tangan seorang tokoh
sesat..."
"Tokoh sesat...?!" selak Dewa Arak cepat.
"Mengapa Dewa Arak? Ada yang menarik pada
ucapanku?" Gambala yang merasa heran melihat
keterkejutan pemuda berambut putih keperakan
itu segera bertanya.
"Bukankah Kalapati dulunya adalah seorang
tokoh sesat, Kek?" Dewa Arak malah balas
bertanya.
"Ah...! Kau benar, Dewa Arak! Jadi...,
kalau begitu, tokoh sesat yang katanya telah
membunuh orang tuanya adalah Kalapati!" sambut
kakek bermata sayu yang kini mulai mengerti.
"Jadi, dugaanku benar, Guru. Kakang Waji
benar mendendam pada Kalapati!" sahut Rupangki
pula.
"Itu baru dugaan saja, Rupangki," ralat
Dewa Arak buru-buru. "Kita belum memperoleh
kepastiannya."
"Aku rasa dugaan itu benar, Dewa Arak,"
sergah Pardi cepat.
"Heh...?! Kenapa kau yakin begitu, Pardi?"
Gambala yang malah menyambut! ucapan muridnya.
"Karena sebagian dari pembicaraan yang
kudengar, adalah ucapan Kakang Waji yang
mengatakan kalau dia telah berhasil menewaskan
Kalapati...."
Gambala, Dewa Arak, dan Rupangki mengang-
guk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti.
"Jadi, ibu Waji belum tewas...," gumam
Gambala lirih. "Berarti waktu itu dia
berbohong.... O ya, Pardi. Bisa kau ceritakan
ciri-ciri ibu Waji itu?"
Pardi mengernyitkan keningnya beberapa
saat. Jelas terlihat kalau dia tengah berusaha
keras mengingat-ingat.
"Seorang wanita setengah baya berpakaian
merah menyala. Rambutnya agak digulung, dihias
tusuk konde yang berujung kepala ular
kobra...," jawab Pardi terputus-putus.
"Dewi Pencabut Nyawa...," desah Gambala.
Nampak jelas keterkejutan di wajahnya.
Kini kakek itu tahu siapa ayah Waji. Karena
Gambala mengenal Dewi Pencabut Nyawa. Suami
wanita berpakaian merah menyala itu berjuluk
Serigala Hitam.
"Siapa itu Dewi Pencabut Nyawa, Kek?"
tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Seorang wanita sesat yang kejam dan
berkepandaian tinggi," jawab Ketua Perguruan
Pedang pelan.
"Mereka memperbincangkan tentang Jamur
Sisik Naga, Guru," tambah Pardi lagi.
"Jamur Sisik Naga?!" ulang Gambala dengan
muka berubah. Sementara Dewa Arak yang memang
tidak tahu-menahu, hanya menatap kakek bermata
sayu itu dengan sorot mata penuh pertanyaan.
Ketua Perguruan Pedang Ular itu mengerti arti
pandangan Arya.
"Jamur Sisik Naga adalah jamur yang tumbuh
dua puluh lima tahun sekali. Dan tanaman itu
tumbuh menjelang malam bulan purnama. Tapi...,
sepanjang yang kuketahui.... tanaman itu hanya
tumbuh di sebuah gua yang bernama Gua Naga.
Hanya sayangnya, aku sendiri tidak tahu di
mana adanya gua itu."
"Gua Naga?!" Rupangki menyahuti dengan
alis berkerut. "Apakah memang benar di gua itu
ada naganya, Guru?"
Gambala mengangkat bahunya.
"Mana aku tahu, Rupangki?" sahut Ketua
Perguruan Pedang Ular itu. "Yang jelas...,
sejak puluhan tahun lalu, gua itu bernama
begitu. Mungkin..., dulu ada naga yang tinggal
di gua itu."
"Gua Naga?!" Karmila yang sejak tadi
mengikuti percakapan itu mengulang nama gua
itu dengan bibir bergetar hebat.
Tentu saja sikap gadis berpakaian jingga
itu menarik perhatian semua yang hadir di
situ. Dengan sorot mata penuh pertanyaan,
mereka menatap ke arah Karmila.
"Ya, Gua Naga," ucap Gambala lagi
menekankan. "Kau pernah mendengar atau
setidak-tidaknya mengetahui di mana gua itu,
Nini?"
Karmila menganggukkan kepalanya.
"Ah! Kalau begitu, cepat katakan, Nini.
Biar kita dapat segera meringkus murid murtad
itu," ucap Gambala agak terburu-buru. "Kau
tahu di mana letak Gua Naga itu, atau... hanya
sekadar mendengarnya saja?"
"Aku tahu tempatnya."
"Kau tahu? Di mana, Nini?" desak Gambala
bernada tak sabar.
"Di lereng Gunung Palanjar."
"Ah...! Kira-kira... di sebelah mana gua
tempat tinggal ayahmu?" tanya Ketua Perguruan
Pedang Ular bernafsu.
"Gua tempat tinggal Ayah itulah yang
bernama Gua Naga...," lirih jawaban yang
keluar dari mulut gadis berpakaian Jingga itu.
"Ah...!"
Terdengar seruan-seruan terkejut dari
semua yang hadir di situ. Sementara Dewa Arak
dan Gambala hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya .Pantas saja kalau Waji bertekad
untuk melenyapkan Kalapati dan putrinya. Di
samping untuk membalaskan dendamnya dia juga
menginginkan jamur ajaib itu.
"Kalau begitu mari kita ke sana!" ajak
Ketua Perguruan Pedang Ular pada Rupangki,
Dewa Arak, dan Karmila. "Jirin, kau ambil alih
jabatanku selama aku pergi!"
"Baik, Guru," sahut murid kepala itu.
Dewa Arak sebenarnya ingin mengetahui
lebih jelas tentang Gua Naga dan Jamur Sisik
Naga. Tapi karena kelihatannya Gambala begitu
tergesa-gesa, pemuda berambut putih keperakan
ini menahan pertanyaannya.
"Mari kita berangkat!" ucap Ketua
Perguruan Pedang Ular itu lagi.
Setelah berkata demikian, kakek bermata
sayu itu segera melesat dari situ. Rupangki,
Karmila dan Dewa Arak pun mengikuti. Tentu
saja baik Gambala maupun Dewa Arak tidak
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya,
mereka tahu kalau Rupangki dan Karmila tidak
akan mampu mengikuti.
Sesaat kemudian, keempat orang itu pun
sudah lenyap dari situ. Tujuan mereka Jelas,
menangkap biang keladi yang telah mengacaukan
dunia persilatan.
***
6
Di saat matahari siang menyorotkan
sinarnya yang hangat ke bumi, tampak empat
sosok tubuh berkelebat cepat mendaki lereng
Gunung Palanjar.
Empat orang itu adalah Dewa Arak, Gambala,
Karmila, dan Rupangki yang hendak menuju Gua
Naga. Dewa Arak dan Gambala berada paling
depan. Sementara Karmila dan Rupangki
mengikuti di belakang.
"Aku khawatir, Dewa Arak," terdengar suara
kakek bermata sayu itu. Walaupun tengah
berlari dan mendaki, suara Gambala terdengar
biasa saja. Tidak memburu.
"Mengenal apa, Kek?" tanya Dewa Arak
seraya menolehkan kepalanya. Suara pemuda ini
terdengar lembut Dan memang sudah menjadi
sikap pemuda berambut putih keperakan itu
untuk bersikap seperti itu. Bersikap hormat
pada orang yang lebih tua, dan bersikap
melindungi pada yang lebih muda.
"Jamur Sisik Naga itu, Dewa Arak..," sahut
Gambala bernada keluhan.
Dewa Arak mengerutkan alisnya. Arya masih
belum dapat menangkap maksud pembicaraan kakek
bermata sayu itu. Tapi meskipun begitu, pemuda
berambut putih keperakan itu tidak mau
menyelak pembicaraan. Dengan sabar ditunggunya
kelanjutan ucapan Ketua Perguruan Pedang Ular
itu.
"Aku khawatir..., Dewi Pencabut Nyawa
telah memakannya, Dewa Arak," sambung Gambala
lagi.
"Sebenarnya..., apa khasiat Jamur Sisik
Naga, Kek?" tanya Dewa Arak Dikeluarkannya
pertanyaan yang sejak tadi disimpannya.
"Menambah tenaga dalam," sahut Ketua
Perguruan Pedang Ular itu pelan.
"Maksudmu, Kek... Bila ada orang yang
memakan jamur itu... tenaga dalamnya akan
bertambah?" Gambala menganggukkan kepalanya.
"Kalau saja Dewi Pencabut Nyawa sudah memakan
Jamur Sisik Naga itu, tenaga dalamnya akan
menjadi semakin berlipat ganda," sahut kakek
bermata sayu itu bernada mengeluh.
"Kalau boleh kutahu, sampai seberapa
besarkah kegunaan Jamur Sisik Naga itu, Kek?"
tanya Arya lagi. Pemuda berambut putih
keperakan itu masih belum jelas pada
keterangan yang baru didengarnya.
"Memakan satu buah jamur..., sama dengan
melakukan semadi dan pernapasan selama
setahun," sahut Gambala memberitahu.
"Hebat...!" ucap Dewa Arak takjub.
"Yahhh... kira-kira begitulah, Dewa Arak,"
sambut Ketua Perguruan Pedang Ular itu lesu.
"Lalu..., kira-kira apakah mereka telah
memakannya, Kek?" desak pemuda berambut putih
keperakan itu lagi.
"Entahlah...;" Gambala mengangkat bahu.
"Tapi, kemungkinan besar, mereka sudah
memakannya, Dewa Arak."
"Dari mana kau mendapatkan kesimpulan
demikian, Kek?" tanya Dewa Arak ingin tahu
seraya terus berlari cepat.
"Bulan purnama sudah berlalu dua hari yang
lalu, Dewa Arak," sahut Gambala. "Sedangkan
jamur itu sudah bisa dimakan, sehari setelah
bulan purnama."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya
pertanda menyetujui.
Setelah itu mereka meneruskan perjalanan
tanpa berkata-kata lagi.
Keempat orang itu sama sekali tidak
menyadari kalau ada seorang gadis berpakaian
putih yang mengikuti perjalanan mereka. Gadis
berpakaian putih itu adalah Melati. Selama
berhari-hari gadis berpakaian putih itu
mengelilingi seluruh Gunung Palanjar. Baru
pada hari ini dia melihat adanya empat orang
yang bergerak cepat mendaki lereng.
Meskipun jaraknya masih cukup jauh, tapi
karena ciri-ciri Dewa Arak amat menyolok,
Melati segera mengenalinya. Rasa gembira
bercampur marah pun melanda hatinya. Gembira
karena akhirnya menemukan pemuda yang telah
susah payah dicari-carinya. Marah, karena
mengingat begitu besarnya pembelaan Arya pada
gadis berpakaian jingga itu. Marah yang
sebenarnya adalah rasa cemburu.
***
Melati mengerutkan alisnya melihat Dewa
Arak ternyata berlari berdampingan dengan
seorang kakek bermata sayu. Rasa heran melanda
hati gadis berpakaian putih itu. Bukankah
kakek itu yang tempo hari mengeroyok Arya?
Mengapa kini mereka berdua tampak akur?
Keheranan Melati semakin bertambah besar
begitu melihat gadis yang dicemburuinya,
berlari berdampingan dengan pemuda bertubuh
tinggi kurus. Keduanya kelihatan mesra sekali.
Rupanya Karmila yang haus kasih sayang,
timbul juga rasa simpatinya pada Rupangki.
Perlahan namun pasti, gadis berpakaian jingga
itu akhirnya mampu mengusir bayang-bayang
wajah Dewa Arak dari lubuk hatinya. Kini
dicobanya mengukir bayangan baru Seorang
pemuda bernama Rupangki.
"Mengapa jamur itu mempunyai nama demikian
aneh, Kek?" tanya Arya lagi yang belum juga
puas dengan keterangan yang diberikan Gambala.
"Jamur Sisik Naga maksudmu. Dewa Arak?"
tanya kakek bermata sayu itu. Mulutnya
menyunggingkan senyuman
Pemuda berambut putih keperakan itu
menganggukkan kepalanya.
"Aku sendiri tidak tahu pasti, Dewa Arak,"
sahut Ketua Perguruan Pedang Ular itu pelan.
"Mungkin karena gua tempat tanamam itu tumbuh
yang bernama Gua Naga. Atau..., mungkin juga
karena warna jamur itu sendiri."
"Memangnya warna jamur itu bagaimana,
Kek?" desak Dewa Arak penasaran.
"Aku sendiri belum pernah melihatnya, Dewa
Arak Tapi..., menurut cerita yang kudengar,
jamur itu berwarna hijau dan bersisik seperti
ular. Aku juga heran, kenapa jamur itu tidak
diberi nama Jamur Sisik Ular?!"
Dewa Arak tersenyum lebar mendengar
guyonan kakek bermata sayu itu. Rupanya Ketua
Perguruan Pedang Ular itu bisa juga melucu,
ucap pemuda berambut putih keperakan itu dalam
hati.
"Sekarang kau yang jadi penunjuk jalan,
Karmila," ucap Arya sambil menoleh ke arah
Karmila. Sebelum dia dan Gambala tiba di
tempat yang entah mengapa tiba-tiba muncul dan
membuat gadis itu kebingungan "Heh...?! Ada
apa, Dewa Arak ?" tanya kakek bermata sayu itu
heran. "Aku masih ingat tempat itu, kok?! Dan
lagi..., bukankah kau sendiri juga pernah ke
sana?"
"Sekarang jalan menuju ke sana telah
berubah, Kek," jawab Arya kalem. "Jangankan
aku yang baru satu kali kemari. Karmila yang
sudah belasan tahun tinggal di sini pun tidak
mengetahuinya."
"Jadi..., bagaimana kita ke sana?" tanya
Ketua Perguruan Pedang Ular itu agak bingung.
"Ambil jalan memutar, Kek," Karmila yang
menyahuti.
Gambala mengangguk-anggukkan kepalanya
pertanda mengerti. Dan kini, Karmila dan
Rupangki yang berada di depan.
"Kalau begitu.., jangan-jangan Waji dan
Dewi Pencabut Nyawa tidak pernah sampai ke
sini pula?" gumam Rupangki pelan
Karmila mengangkat bahunya. Kemudian Arya
menyahuti.
"Menilik dari keadaannya, aku yakin
perubahan tempat ini belum lama terjadi.
Mungkin, terjadi sehari sebelum aku tiba di
sana. Jadi..., kemungkinan besar Waji dan
ibunya telah tiba di sana sebelum perubahan
itu terjadi."
"Ah...! Kini aku ingat!" sambut Gambala
agak keras sehingga membuat Dewa Arak,
Rupangki, dan Karmila terkejut.
"Ingat apa, Kek?"
Ketua Perguruan Pedang Ular itu tidak
langsung menjawab pertanyaan itu. Sambil terus
melangkahkan kaki, ditatapnya wajah Arya yang
berlari di sebelahnya lekat-lekat.
"Aku pernah dengar cerita dari almarhum
guruku," akhirnya keluar juga jawaban dari
mulut kakek bermata sayu itu.
"Mengenai apa, Kek?" tanya Dewa Arak ingin
tahu.
"Mengenai Jamur Sisik Naga itu," jawab
Gambala. "Menurut cerita guruku... apabila
tiba waktunya jamur itu tumbuh, jalan menuju
ke Gua Naga akan tertutup."
"Jadi..., dengan kata lain benar kalau
Jamur Sisik Naga itu telah tumbuh, Kek?"
"Yahhh...! Begitulah kira-kira, Arya.
Padahal, semula kukira semua itu hanya dongeng
belaka," ucap Ketua Perguruan Pedang Ular itu
setengah mengeluh.
Suasana jadi hening, begitu Gambala
menghentikan ucapannya. Kini perhatian empat
orang itu tertuju pada medan yang harus mereka
lalui. Medan yang sulit bukan main. Melalui
jalan setapak yang licin dan berjurang terjal.
Semak-semak yang rapat dengan tumbuhan
berduri, dan masih banyak kesulitan lainnya.
Bagi Dewa Arak dan Gambala, tentu saja
medan itu tidak terlalu sulit. Tapi tidak
demikian halnya dengan Karmila dan Rupangki.
Tingkat ilmu meringankan tubuh mereka jauh di
bawah kedua orang itu. Keduanya harus berusaha
keras untuk menaklukkan sulitnya medan.
Tak lama kemudian, keempat orang itu pun
sudah tiba di tempat Karmila dulu berlatih
ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'. Keempat
orang itu segera bersembunyi begitu mendengar
tawa menggelegar dari dalam gua tempat tanggal
Kalapati. "Ha ha ha...!"
Gambala saling pandang dengan Dewa Arak
Kedua alis kakek bermata sayu itu nampak
berkerut.
"Aneh, suara tawa itu sepertinya..., bukan
suara tawa seorang wanita," desah Ketua
Perguruan Pedang Ular itu pelan. Gambala
mengira yang berada dalam gua itu hanya Dewi
Pencabut Nyawa dan Waji.
Dewa Arak mengangguk, pertanda sepaham
dengan dugaan Ketua Perguruan Pedang Ular itu.
"Apakah suara tawa Waji seperti itu,
Rupangki?" tanya Gambala. Kini ucapan itu
ditujukan pada muridnya.
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu
menggelengkan kepalanya.
"Aku yakin itu bukan suara Kakang Waji,
Guru," jawab pemuda bertubuh tinggi kurus itu
penuh hormat.
"Jangan panggil dia kakang lagi,
Rupangki!" tegur kakek bermata sayu itu keras.
"Dia sudah tidak kuanggap lagi sebagai murid!
Kau mengerti?!"
"Mengerti, Guru."
"Rasanya... aku seperti pernah mendengar
suara tawa itu, Kek," selak Dewa Arak setelah
termenung beberapa saat. Dahi pemuda berambut
putih keperakan itu nampak berkernyit. Jelas
ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Ah...! Kau benar, Dewa Arak!" gumam
Gambala menyahuti ucapan Dewa Arak
"Sepertinya..., aku sudah beberapa kali
mendengar suara tawa itu. Tapi aku lupa. Kapan
dan di mana aku mendengarnya?"
Dewa Arak terus berpikir keras.
Diyakininya kalau tawa itu belum lama
didengarnya. Seluruh pikirannya dipusatkan
untuk mengingat di mana pemah mendengar suara
tawa itu. Tapi....
"Bukankah pemilik tawa itu adalah kakek
berkepala botak yang hampir saja membunuhmu,
Arya?" tiba-tiba Karmila menyelak.
"Ah...! Kau benar, Karmila!" sentak Dewa
Arak. Tubuhnya sampai terjingkat saking
kagetnya. Kini pemuda berambut putih keperakan
itu teringat pada seorang bertubuh tinggi
besar, berkepala botak yang telah membuatnya
terluka dan mungkin binasa, kalau saja Melati
tidak datang menolongnya.
"Setan Kepala Besi...," desis Gambala
dengan raut wajah berubah. Kakek bermata sayu
itu kini telah mengenali suara tawa itu.
Memang, Ketua Perguruan Pedang Ular itu telah
dua kali mendengar suara tawa itu. Pertama
kali didengarnya puluhan tahun yang lalu,
ketika laki-laki tinggi besar berkepala botak
itu mendatangi Perguruan Pedang Ular, dan
hampir saja berhasil membunuh Gambala kalau
saja tidak muncul Kalapati menolongnya. Dan
yang kedua, sewaktu dia bersama si Golok Emas,
dan tokoh persilatan lainnya mengeroyok Dewa
Arak (Untuk jelasnya, bacalah serial Dewa Arak
dalam episode "Memburu Putri Datuk").
Gambala menatap wajah Dewa Arak lekat-
lekat. "Mengapa Setan Kepala Besi bisa ada di
sini?" tanya Ketua Perguruan Pedang Ular itu
pelan. Entah bertanya pada siapa. "Lalu..., ke
mana perginya Waji dan Dewi Pencabut Nyawa?"
Jawaban bagi pertanyaan Gambala adalah
melesatnya tiga sosok tubuh dari dalam gua
milik Kalapati.
"Waji...," Karmila mendesis tajam.
Sepasang mata bening dan indah milik gadis
berwajah cantik bertubuh ramping ini, menatap
penuh amarah pada pemuda berbadan lebar dan
berpakaian kuning yang baru keluar dari gua.
"Setan Kepala Besi...," Gambala berdesis
tak kalah tajam. Wajahnya menampakkan
kekagetan yang amat sangat. Sungguh tidak
disangkanya kalau Setan Kepala Besi bisa
bersama-sama dengan bekas muridnya.
"Wanita berpakaian merah itu mungkin ibu
Waji," ucap Rupangki pelan.
"Ya," Gambala menyahuti. "Dialah Dewi
Pencabut Nyawa. Sungguh di luar dugaanku kalau
mereka bertiga bisa berkumpul di sini...."
Belum juga gema suara ucapan kakek bermata
sayu itu lenyap. Karmila sudah melesat keluar
dari tempat persembunyiannya.
"Waji! Manusia terkutuk! Sekarang
terimalah pembalasanku!"
"Karmila!" seru Rupangki yang sama sekali
tidak menduga kenekatan gadis itu. Tapi,
seruan pemuda bertubuh tinggi kurus itu
terlambat...
Singgg...!
Suara mendesing nyaring mengiringi tibanya
serangan Karmila.
Waji terkejut bukan main mendengar
bentakan itu. Apalagi begitu melihat sebatang
pedang meluncur deras ke arah lehernya. Tapi
meskipun begitu, pemuda berbadan lebar itu
tidak menjadi gugup. Inilah kesempatan untuk
menguji khasiat Jamur Sisik Naga yang telah
dimakannya, ucap Waji dalam hati.
Pikiran itulah yang membuat pemuda
berbadan lebar itu ini segera meloloskan
pedangnya. Dan langsung menangkis serangan
Karmila.
Wunggg!
Tranggg!
Bunga api berpijar, begitu kedua senjata
itu beradu. Dan akibatnya, tubuh Karmila yang
tengah berada di udara terjengkang ke
belakang. Sementara Waji hanya terhuyung dua
langkah.
Karmila menggertakkan gigi. Gadis
berpakaian jingga ini merasakan betapa
tangannya yang menggenggam pedang tergetar
hebat Terasa agak pegal-pegal dan kesemutan.
Padahal, beberapa hari yang lalu tidak seperti
ini. Jelas kalau tenaga dalam pemuda berbadan
lebar itu telah meningkat pesat. Dan Karmila
tahu penyebabnya. Apa lagi kalau bukan karena
Jamur Sisik Naga?! "Hup!"
Angin berkesiur pelan. Sesaat kemudian, di
sebelah gadis berpakaian jingga itu telah
berdiri Rupangki.
"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya pemuda
tinggi kurus itu penuh kekhawatiran.
"Tidak, Rupangki," sahut Karmila seraya
tersenyum manis.
"Syukurlah...!" sambut Rupangki gembira.
***
7
"Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa
terbahak-bahak. Sepasang matanya yang besar
menatap dua sosok tubuh yang berdiri di
sebelah Karmila dan Rupangki.
"Kiranya Dewa Arak dan Gambala!" ucap
laki-laki tinggi besar dan berkepala botak
itu, keras. "Sungguh kebetulan sekari! Aku
baru saja hendak mencari kalian!"
Gambala sama sekali tidak mempedulikan
ucapan Setan Kepala Besi. Ditatapnya wajah
Waji lekat-lekat. Tapi sungguh di luar dugaan,
pemuda berbadan lebar itu ternyata malah balas
menatap tak kalah tajam.
"Sungguh tak kusangka kalau kau ternyata
bersekongkol dengan Setan Kepala Besi, Waji!"
ucap Ketua Perguruan Pedang Ular itu pelan
tapi tajam. Ada kegetiran dalam nada suaranya.
"Kau terkejut, Tua Bangka?!" sahut Waji
sambil tersenyum sinis. Tak ada nada
penghormatan sama sekali baik pada suara,
maupun sikapnya kepada bekas gurunya.
"Keparat!" maki Gambala keras. Sudah dapat
dipastikan kalau kakek bermata sayu ini akan
menyerang bekas muridnya. Tapi sebelum itu
terjadi, sebuah tangan kekar telah menyentuh
bahunya. Perlahan saja.
Gambala menoleh. Orang yang menyentuhnya
adalah Dewa Arak.
"Biarkan Karmila yang menyelesaikannya,
Kek," ucap Arya mengingatkan. "Kita sudah
mempunyai lawan."
Ketua Perguruan Pedang Ular itu
menghembuskan napas berat Diam-diam Gambala
bersyukur ketika Dewa Arak mengingatkannya.
Memang, Karmila lebih berhak membunuh Waji.
"Karmila..., kau selesaikan urusanmu. Biar
aku dan Kakek Gambala yang menghadap! dua
iblis itu," ucap Arya pada Karmila.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak
menghampiri Setan Kepala Besi. Sementara
Gambala bergerak mendekati Dewi Pencabut Nyawa
sambil meloloskan pedang lentur yang melilit
pinggangnya. Kedua tokoh sesat ini sejak tadi
hanya diam saja. Mereka yakin akan mampu
mengatasi Dewa Arak dan yang lain-lain karena
telah memakan Jamur Sisik Naga. Tenaga dalam
mereka kini telah dapat diandalkan untuk
memainkan jurus-jurus andalan.
"Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa
bergelak melihat Arya menghampirinya. "Kali
ini kau tidak akan lolos lagi dari tanganku,
Dewa Arak!"
Arya sama sekali tidak menanggapi ucapan
laki-laki tinggi besar berkepala botak itu.
Tenang saja Dewa Arak mengambil guci yang
tersampir di punggungnya. Kemudian diangkatnya
ke atas kepala, dan dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu
melewati kerongkongan Dewa Arak Seketika itu
juga ada hawa hangat menyebar di perut pemuda
berambut putih keperakan ini. Dan perlahan
hawa itu naik ke kepalanya.
"Hup!"
Arya kembali menyampirkan gucinya di
punggung. Kemudian membentuk posisi kuda-kuda
rendah. Sepasang matanya mencorong tajam ke
depan. Kaki kiri Dewa Arak ditekuk ke
belakang, sementara kaki kanan menjulur ke
depan dengan bertumpu pada ujung kaki. Kedua
sikutnya yang tertekuk, diangkat ke kiri kanan
kepala. Jari telunjuk mengacung ke bawah.
Sementara ibu jarinya yang terjulur ke depan,
menempel di pertengahan jari telunjuk
Sedangkan jari-jari yang lain mengepal.
Sekujur tangan mulai dari pangkal sampai
pergelangan, mengejang dan tampak bergetar.
Pertanda telah dialiri tenaga dalam tinggi.
Inilah pembukaan ilmu 'Belalang Sakti'.
Kemudian beberapa saat tubuh Dewa Arak
berkelojotan, seperti orang demam. Seluruh
tubuh Arya mulai dari pinggang ke atas
bergoyang-goyang. Bahkan kedudukan kakinya pun
oleng! Inilah pembukaan jurus 'Belalang
Mabuk'!
"Hiyaaa...!"
Seraya berteriak keras melengking nyaring,
Dewa Arak menerjang Setan Kepala Besi. Kedua
tangannya yang mengejang bergerak-gerak aneh,
menyerang beruntun ke arah ulu hati dan leher!
Wuttt!
Suara hembusan angin keras mengiringi
tibanya serangan Dewa Arak. Tapi Setan Kepala
Besi hanya mengeluarkan suara dengusan
mengejek Laki-laki tinggi besar berkepala
botak ini memang yakin betul akan kekuatan
tenaga dalamnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi,
segera dipapaknya serangan Dewa Arak Tahu
kalau pemuda berambut putih keperakan itu
adalah lawan tangguh, Setan Kepala Besi
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. "Hlh!"
Plak, plak plak!
Terdengar suara keras berkali-kali, begitu
kedua pasang tangan yang sama-sama dialiri
tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya
hebat bukan main! Tubuh Dewa Arak terlempar ke
belakang. Sementara Setan Kepala Besi hanya
terhuyung-huyung dua langkah.
Arya terkejut bukan main menyadari hal
ini. Sama sekali di luar dugaannya kalau
tenaga dalam lawan bisa sekuat ini. Sekujur
tangannya dirasakan sakit bukan main. Bahkan
isi dadanya pun terguncang hebat. Jelas, kalau
tenaga dalam laki-laki tinggi besar berkepala
botak itu lebih kuat darinya.
"Ha ha ha...!"
Setan Kepala Besi tertawa bergerak melihat
keunggulannya. Kini dia benar-benar yakin pada
khasiat Jamur Sisik Naga yang telah
dimakannya. Walaupun baru sekali ini bentrok
tenaga dalam dengan Dewa Arak, laki-laki
tinggi besar berkepala botak ini tahu kalau
sebelum memakan jamur ajaib, tenaga dalamnya
masih setingkat dengan Dewa Arak.
Setelah puas tertawa bergelak Setan Kepala
Besi segera menerjang Dewa Arak. Kaki kanannya
menendang lurus ke arah dada Arya.
Wuttt!
Walaupun Arya masih terhuyung-huyung, tapi
berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Saka',
tidak sulit mematahkan serangan itu. Segera
dilangkahkan kakinya ke kanan sambil
mendoyongkan tubuh, sehingga tendangan itu
lewat di samping kiri pinggangnya.
Setan Kepala Besi mendengus seraya
melancarkan serangan susulan. Telapak kaki
kirinya segera diputar tanpa berpindah tempat
Kemudian kaki kanannya mengirimkan tendangan
miring ke arah kepala.
Lagi-lagi dengan keunikan jurus 'Delapan
Langkah Belalang', Dewa Arak dapat mengelak.
Dan sekali pemuda ini melangkah mengelak,
seketika itu juga sudah berbalik mengancam
lawan.
Tak lama kemudian, kedua tokoh
berkepandaian tinggi ini sudah terlibat dalam
pertarungan sengit.
Dewa Arak menggertakkan gigi. Setan Kepala
Besi ternyata memang memiliki kepandaian luar
biasa. Ilmu 'Tendangan Angin Topan dan Badai'
yang menjadi andalan tokoh sesat itu, benar-
benar membuat Arya kewalahan.
Beberapa kali sewaktu tangan atau kaki
mereka berbenturan, Dewa Arak selalu
terhuyung-huyung ke belakang. Tenaga dalam
Setan Kepala Besi memang lebih unggul daripada
Arya. Tapi untunglah ilmu meringankan tubuh
Dewa Arak tidak kalah. Di samping itu Arya
masih mempunyai keunggulan lain, yaitu jurus
'Delapan Langkah Belalang'. Sehingga sedikit
banyak jurus ini bisa menutupi keunggulan
lawannya.
Pertarungan antara Dewa Arak dan Setan.
Kepala Besi berlangsung cepat Sehingga dalam
waktu singkat, lima belas jurus telah berlalu.
Dan sampai sejauh ini, belum nampak tanda-
tanda ada yang terdesak
***
Sementara di arena lainnya, tampak Karmila
tengah berjuang keras menaklukkan Waji. Pedang
gadis itu telah berkali-kali menyambar tubuh
pemuda berbadan lebar itu. Namun sampai sekian
jauh, belum ada satu pun yang mengenai
sasaran.
Telah lebih lima belas jurus Karmila
menyerang kalang kabut. Tapi Waji masih mampu
menahannya. Semua ini adalah berkat tenaga
dalamnya yang kini sudah meningkat jauh lebih
kuat dari tenaga dalam Karmila.
Berlainan dengan keadaan Dewa Arak dan
Karmila yang masih mampu mengimbangi lawan,
Gambala berada dalam keadaan mengkhawatirkan.
Lawan yang dihadapi Ketua Perguruan Pedang
Ular ini adalah Dewi Pencabut Nyawa! Seorang
tokoh sesat yang berkepandaian tinggi dan
bertenaga dalam kuat. Apalagi setelah memakan
beberapa buah Jamur Sisik Naga. Tenaga
dalamnya jadi berlipat ganda.
Gambala menggertakkan gigi. Seluruh
kemampuannya dikerahkan untuk mendesak lawan.
Tapi tetap saja kakek bermata sayu ini tidak
berhasil. Gambala memang kalah segala-galanya
dibanding Dewi Pencabut Nyawa Kalah tenaga
dalam dan juga dalam hal ilmu meringankan
tubuh.
Menginjak jurus ke lima puluh, Ketua
Perguruan Pedang Ular itu mulai terdesak
Cambuk berujung tiga milik wanita berpakaian
merah menyala itu membuatnya repot bukan main.
Rupangki mengawasi semua pertarungan itu
dengan hati berdebar tegang. Apalagi ketika
melihat Dewa Arak Gambala, dan Karmila
berkali-kali dibuat terhuyung-huyung. Terutama
yang paling sering terhuyung adalah Gambala.
Sampai suatu saat...
Ctarrr! Rrrttt!
"Alih!"
Gambala memekik kaget ketika pedang
lenturnya, tahu-tahu sudah terlilit cambuk
berujung tiga milik lawannya. Kakek bermata
sayu ini sama sekali tak menduga kalau Dewi
Pencabut Nyawa bisa berbuat demikian. Pedang
bagi Gambala adalah nyawa keduanya. Oleh
karena itu segera saja tenaga dalamnya
dikerahkan untuk membebaskan pedang dari
belitan cambuk.
Dewi Pencabut Nyawa tentu saja tidak mau
membiarkannya. Dia pun balas menarik Sehingga
untuk beberapa saat lamanya terjadi adu tenaga
dalam yang menegangkan.
"Uh... uh...!"
Wajah Gambala merah padam ketika
mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk menarik
pedangnya. Tapi karena tenaganya memang kalah
kuat, perlahan namun pasti tubuh Ketua
Perguruan Pedang Ular itu mulai condong ke
depan. Terbawa tarikan tenaga Dewi Pencabut
Nyawa.
Dewi Pencabut Nyawa menggeram murka.
Meskipun sedikit demi sedikit berhasil
memenangkan adu tarik-menarik, namun wanita
berpakaian merah menyala ini tetap tidak puas.
Dia sudah tidak sabar lagi menunggu. Cara apa
pun akan digunakan untuk mempercepat
kemenangannya.
Cuhhh...!
Tiba-tiba saja Dewi Pencabut Nyawa
menyemburkan ludahnya ke wajah Gambala. Tentu
saja bukan sembarangan ludah. Tapi ludah yang
dilepaskan dengan pengerahan tenaga dalam
tinggi. Ludah itu pun melesat cepat seraya
mengeluarkan desingan nyaring. Jangankan kulit
manusia. Tembok batu pun akan berlubang bila
terkena semburan ludah itu.
Gambala yang sama sekali tidak menduga
serangan itu menjadi terkejut. Meskipun dalam
keadaan terjepit kakek bermata sayu ini
membuktikan kalau dirinya adalah seorang ketua
perguruan silat besar. Cepat-cepat kepalanya
diegoskan ke karian, sehingga serangan ludah
itu lewat setengah jengkal dari wajahnya.
Meskipun begitu, semburan ludah tadi
membuat perhatian Gambala jadi terpecah. Dan
hal itulah yang diinginkan Dewi Pencabut
Nyawa! Tanpa membuang-buang waktu lagi,
cambuknya dihentakkan. Ketua Perguruan Pedang
Ular yang sama sekali tidak menduga hal itu,
tidak sempat berbuat apa-apa. Tubuhnya kontan
tertarik ke depan. Dan di saat itulah kaki
kanan wanita sesat itu menendang lurus ke
perut Gambala.
Bukkk!
"Hugh!"
Telak dan keras sekali tendangan Dewi
Pencabut Nyawa menghantam perut Gambala.
Seketika tubuh kakek itu terjengkang ke
belakang. Terdengar keluhan pelan dari
mulutnya. Bahkan ada cairan merah menitik di
sudut-sudut mulutnya. Gambala terluka dalam!
Dewi Pencabut Nyawa memang sudah bertekad
untuk menghabisi lawannya. Oleh karena itu
segera saja wanita sesat ini menerjang hendak
melancarkan serangan terakhir yang mematikan.
Tapi tiba-tiba....
"Tahan! Dewi Pencabut Nyawa...!"
Wanita berpakaian merah itu menghentikan
serangannya begitu mendengar bentakan keras
mengandung tenaga dalam tinggi. Segera
kepalanya ditolehkan, ke arah bentakan tadi
berasal.
Sekitar beberapa tombak di hadapan Dewi
Pencabut Nyawa, berdiri seorang gadis cantik
jelita berpakaian putih. Rambutnya yang hitam
dan panjang dibiarkan tergerai dipermainkan
angin. Menambah kecantikannya.
"Kau...?!" desis Dewi Pencabut Nyawa
begitu mengenali orang yang mengeluarkan
bentakan itu. "Kali ini kau tidak akan
kubiarkan lolos!"
Gadis yang sebenarnya adalah Melati itu,
tersenyum. Manis sekali senyumnya. Apalagi
bila Arya yang melihatnya.
"Kita lanjutkan pertarungan kita yang
tertunda, Dewi Culas!" ejek Melati. Gadis
berpakaian putih Ini mempunyai watak aneh.
Mudah marah dan mudah meminta maaf, tapi
juga... suka mengejek!
"Kubunuh kau, Gadis Liar!" teriak Dewi
Pencabut Nyawa. Wanita sesat ini memang
mempunyai sifat pemarah. Ejekan Melati tadi
membuatnya kalap bukan kepalang.
Ctarrr!
Cambuk berujung tiga di tangannya
dilecutkan ke udara. Lalu menyambar deras ke
berbagai bagian yang berbahaya di tubuh
Melati. Tapi, gadis berpakaian putih ini
segera melempar tubuhnya ke belakang sambil
tersenyum mengejek. Bersalto beberapa kali di
udara. Dan ketika Melati mendarat, di
tangannya tergenggam sebilah pedang pusaka.
Terdengar suara menggerung seperti ada
seekor naga yang tengah murka ketika Melati
memainkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. Gadis
berpakaian putih ini langsung menerjang Dewi
Pencabut Nyawa dengan sabetan-sabetan pedang
yang mematikan. Sesaat kemudian kedua wanita
sakti ini sudah terlibat dalam pertarungan
sengit dan imbang.
***
8
"Karmila...!"
Rupangki berseru keras ketika gadis itu
terhuyung ke belakang sambil menekap wajahnya.
Pengalaman yang dulu terulang kembali pada
Karmila. Waji kembali menggunakan abu untuk
membuat sepasang mata gadis itu tak berdaya.
Dan selagi Karmila melangkah mundur sambil
menekap wajahnya, Waji melompat tinggi ke
udara. Dan dari atas, pedangnya membabat ke
arah leher putri Kalapati itu.
"Hiyaaa...!"
Singgg! Singgg!
Kalap melihat keselamatan kekasihnya,
tanpa pikir panjang lagi Rupangki segera
melemparkan beberapa pisau terbang ke arah
bekas kakak seperguruannya itu. Tidak hanya
itu saja, pemuda bertubuh tinggi kurus ini pun
menyusul tubuh Waji yang tengah berada di
udara. Pedang di tangannya ditusukkan ke
depan.
Waji terkejut bukan main melihat serangan
beruntun ini. Padahal saat itu tubuhnya tengah
berada di udara. Dengan agak gugup disampoknya
pisau terbang itu dengan sabetan pedangnya.
Serangan pada Karmila terpaksa dibatalkan.
Trang, trang!
Pisau-pisau terbang itu terpental balik
begitu tertangkis pedang Waji.
Tapi sebelum pemuda berbadan lebar ini
sempat menjejak tanah, serangan Rupangki telah
tiba.
Cappp!
"Akh...!"
Waji menjerit tertahan ketika pedang
Rupangki menghunjam pangkal lengannya.
Seketika itu juga pedangnya terlepas dari
pegangan.
Tubuh pemuda berbadan lebar itu meluncur
deras ke tanah, dan hinggap dengan agak
terhuyung-huyung. Dan saat itulah Karmila yang
sudah bisa melihat lagi, menusukkan pedangnya
ke arah perut.
"Aaakh...!"
Waji menjerit memilukan begitu pedang
Karmila bersarang di perutnya hingga tembus ke
punggung. Seketika itu juga tubuhnya ambruk ke
tanah. Berkelojotan beberapa saat. Dan
kemudian diam tidak bergerak lagi untuk
selamanya.
"Karmila...!
Rupangki berlari menghambur ke arah gadis
berpakaian jingga itu.
"Kau tidak apa-apa?" tanya pemuda tinggi
kurus itu. Sepasang matanya menatap putri
Kalapati penuh kekhawatiran.
Karmila menggeleng pelan. Bibirnya yang
semerah delima tersenyum.
"Ah, syukurlah...," desah Rupangki seraya
memeluk gadis berpakaian jingga itu erat-erat.
Karmila membiarkan saja pemuda tinggi kurus
itu memeluknya. Gadis itu merasa aman berada
dalam pelukan pemuda itu.
"Ehm... ehm...," suara mendehem yang
keluar dari mulut Gambala menyadarkan kedua
muda-mudi ini dari keasyikannya. Seketika itu
juga keduanya saling melepaskan pelukan dengan
wajah merah padam. Terutama sekali Karmila.
Betapa bodohnya! maki kedua muda-mudi itu
dalam hati. Mengapa mereka sampai melupakan
orang-orang yang berada di sekitar situ?
Dengan pandangan malu-malu, Rupangki dan
Karmila menatap Gambala. Tapi kakek bermata
sayu itu rupanya kembali sibuk memperhatikan
jalannya pertarungan. Kini tinggal dua
pertarungan lagi yang tersisa. Pertarungan
antara Melati menghadapi Dewi Pencabut Nyawa,
dan antara Dewa Arak dengan Setan Kepala Besi.
***
Melati mengerutkan alisnya. Gadis
berpakaian putih ini merasa heran begitu
menyadari kalau tenaga dalam lawan meningkat
jauh lebih kuat. Kini tenaga dalam Dewi
Pencabut Nyawa sudah berimbang dengan tenaga
dalamnya! Melati rupanya sama sekali tidak
tahu kalau semua itu adalah khasiat Jamur
Sisik Naga!
Pertarungan antara kedua wanita sakti itu
berlangsung cepat. Seratus jurus telah
berlalu. Dan selama itu pertarungan masih
berlangsung imbang. Tingkat kepandaian Melati
dan Dewi Pencabut Nyawa memang berimbang. Baik
dalam hal ilmu meringankan tubuh maupun tenaga
dalam. Sehingga tidak aneh kalau pertarungan
antara kedua orang itu berlangsung seru.
Suara ledakan yang berasal dari lecutan
cambuk, dan suara menggerung keras seperti
naga murka dari gerakan pedang Melati,
menyemaraki jalannya pertarungan itu.
Dewi Pencabut Nyawa menggerung murka.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan lengkingan nyaring,
wanita berpakaian merah menyala itu melompat
ke atas. Dan dari atas, ujung cambuk perempuan
sesat itu menyambar deras ke pelipis, ubun-
ubun, dan bawah hidung. Tiga jalan darah
kematian.
"Hih!"
Melati menggertakkan gigi. Pedang di
tangannya kembali mengeluarkan suara
menggerung, seperti seekor naga marah.
Prat! Rrrt....!
Seketika itu juga tiga buah ujung cambuk
itu melilit mata pedang Melati. Gadis
berpakaian putih ini cepat-cepat membetotnya.
Terdengar pekikan lirih dari mulut Dewi
Pencabut Nyawa, begitu tubuhnya yang masih
berada di udara tertarik turun. Tapi wanita
sesat ini tidak gugup. Bersamaan dengan
tubuhnya turun, kaki wanita berpakaian merah
menyala ini dijejakkan ke dada Melati.
Pada saat yang bersamaan, cakar kiri yang
berwarna kemerahan menyambar ke dada Dewi
Pencabut Nyawa yang meluncur turun.
Dewi Pencabut Nyawa tersenyum lebar. Dalam
hatinya berkata, sebelum cakar gadis
berpakaian putih itu mengenai dadanya, tentu
jejakan kakinya akan lebih dulu mendarat di
dada Melati.
Sungguh di luar dugaan Dewi Pencabut
Nyawa. Tangan Melati tiba-tiba memanjang,
hampir dua kali lipat semula. Wanita sesat ini
sama sekali tidak tahu kalau Melati
menggunakan jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku'.
Maka....
Desss!
"Akh...!"
Dewi Pencabut Nyawa terpental tinggi ke
atas. Seketika itu juga cambuknya terlepas.
Darah segar bermuncratan dari mulut, hidung,
dan telinga wanita berpakaian merah menyala
ini.
Bruk!
Tubuh Dewi Pencabut Nyawa roboh di tanah
tanpa bergerak lagi. Ilmu 'Cakar Naga Merah'
memang dahsyat! Sekali terkena lawan akan
berakibat fatal!
Melati memandangi tubuh yang telah tidak
bernyawa lagi itu sejenak Kemudian
pandangannya dialihkan pada pertarungan antara
Dewa Arak melawan Setan Kepala Besi.
***
Pertarungan antara Dewa Arak melawan Setan
Kepala Besi sudah berlangsung lebih dari dua
ratus jurus. Sungguhpun sebenarnya Arya kalah
dalam hal tenaga dalam, tapi Dewa Arak masih
memiliki jurus 'Delapan Langkah Belalang'.
Jurus yang membuat pemuda itu mampu bergerak
cepat dalam posisi apa pun.
Napas Setan Kepala Besi sudah memburu.
Usia laki-laki tinggi besar ini memang cukup
tua, sehingga tidak mengherankan kalau
tenaganya cepat terkuras habis. Apalagi jurus
yang dimainkannya adalah jurus 'Tendangan
Angin Topan dan Badai'. Jurus yang sangat
banyak menguras tenaga.
Kagum juga hati tokoh sesat ini, begitu
melihat lawannya sedikit pun tidak terlihat
lelah. Bahkan serangan-serangan pemuda
berambut putih keperakan itu masih sedahsyat
semula.
Bukan hanya Setan Kepala Besi saja yang
merasa kagum. Dewa Arak pun dilanda perasaan
yang sama. Baru sekali ini ditemuinya tokoh
yang sanggup memecahkan keistimewaan jurus
'Delapan Langkah Belalang'. Meskipun tadi Dewa
Arak selalu dapat mengelakkan serangan, tapi
Setan Kepala Besi dapat membaca ke mana arah
elakan Dewa Arak. Hal inilah yang membuat
pertarungan kedua tokoh sakti ini berlangsung
lama.
Tiba-tiba Setan Kepala Besi melempar tubuh
ke belakang. Setelah bersalto beberapa kali di
udara, tubuhnya hinggap beberapa tombak
menjauhi lawan.
Dewa Arak sama sekali tidak mengejarnya.
Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau
lawan akan mengeluarkan ilmu lain. Dan tak
terasa jantung Dewa Arak berdebar tegang.
Sudah bisa diperkirakan kalau ilmu yang akan
dikeluarkan kali ini lebih dahsyat dari
sebelumnya.
"Kau memang hebat, Dewa Arak! Tapi...,
jaga seranganku ini!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba Setan
Kepala Besi berlari kencang sambil menjulurkan
kepalanya. Rupanya laki-laki tinggi besar
berkepala botak ini menyeruduk dengan
menggunakan kepalanya. Seperti layaknya kerbau
atau banteng!
Wusss!
Angin berhembus keras sebelum serudukan
kepala Setan Kepala Besi tiba. Dewa Arak kaget
bukan kepalang melihat jurus aneh lawannya
ini. Ada pengaruh aneh yang membuat Arya sukar
untuk mengelakkan serangan itu. Tidak ada
jalan lain bagi Dewa Arak kecuali
menangkisnya.
"Hiyaaa...!"
Untuk pertama kalinya Dewa Arak berteriak
keras dalam upaya mengumpulkan seluruh tenaga
dalamnya. Luar biasa akibat teriakan pemuda
itu. Rupangki dan Karmila seketika jatuh
terduduk. Lutut mereka seketika terasa lemas.
Bahkan tubuh Gambala sampai menggigil.
Dan sebelum gema teriakan itu habis,
dengan kecepatan sukar diikuti mata, tangan
Dewa Arak menjumput guci arak di punggungnya.
Bersamaan dengan itu seluruh tenaga dalamnya
dikerahkan untuk memberatkan tubuh. Inilah
ilmu 'Pasak Bumi' yang membuat kedua kaki Dewa
Arak seperti berakar di tanah.
Rambut dan seluruh pakaian Dewa Arak
berkibaran keras. Batu-batu besar kecil
beterbangan, dan debu pun mengepul tinggi ke
udara. Keadaan di tempat itu seperti dilanda
angin topan ketika serudukan Setan Kepala Besi
itu mendekat.
"Hih!"
Klanggg!
Terdengar suara berdentang memekakkan
telinga, ketika Dewa Arak menangkis serudukan
kepala lawan dengan guci araknya.
Hebat akibatnya! Tubuh Dewa Arak terseret
lima tombak dari tempat semula. Gucinya
terpental entah ke mana karena sekujur kedua
tangannya kontan seperti lumpuh! Bahkan isi
dadanya terguncang keras. Tapi anehnya, kedua
kakinya tetap tidak terlepas dari tanah.
Inilah kehebatan ilmu 'Pasak Bumi'.
Sementara keadaan Setan Kepala Besi tidak
lebih baik dari Dewa Arak Kali ini laki-laki
tinggi besar itu kena batunya. Kepalanya
memang kebal, tapi yang kali ini dibenturnya
bukan benda main-main. Sebuah guci pusaka!
Kepalanya pun dirasakan pening bukan main.
Setan Kepala Besi sadar kalau kekebalan
kepalanya kemungkinan telah lenyap akibat
benturan ini. Dan ini belum pernah dialaminya.
Sekalipun menghadapi Kalapati. Tak terasa
dalam hati Setan Kepala Besi timbul perasaan
sayang, kalau seorang pemuda yang memiliki
tingkat kepandaian seperti Dewa Arak ini harus
mati di tangannya. Terlebih lagi dia pun sadar
kalau Dewa Arak belum tentu bisa
dikalahkannya. Setan Kepala Besi ini memang
tidak terhitung tokoh sesat yang terlalu
jahat. Tidak sama sekali. Bahkan bila
dibanding Kalapati, masih lebih jahat ayah
Karmila daripada Setan Kepala Besi.
Maka sambil menahan rasa pusing dan sakit
yang amat sangat pada kepalanya, Setan Kepala
Besi menghampiri Dewa Arak.
"Aku mengaku kalah, Dewa Arak" "Kau tidak
kalah olehku," Setan Kepala Besi. Malah aku
harus kagum pada kekebalan kepalamu yang
sangat keras itu," jawab Arya jujur. Karena
dia pun merasakan sakit yang amat sangat pada
kedua tangannya, ketika menahan serudukan
kepala Setan Kepala Besi tadi.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Setan
Kepala Besi pun segera menghampiri mayat Dewi
Pencabut Nyawa dan Waji. Kemudian kedua mayat
itu sekaligus dipanggulnya. Lalu segera
melesat meninggalkan tempat itu.
Melati bergerak ingin mencegahnya. Tapi...
"Biarkan dia pergi, Melati," cegah Dewa
Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini
tahu, tak seorang pun di tempat ini yang mampu
menandingi kesaktian Setan Kepala Besi. Dewa
Arak bersyukur ketika tokoh sesat itu tidak
berniat memperpanjang urusan lagi.
Gadis berpakaian putih itu pun
menghentikan gerakannya. Ditatapnya bayangan
Setan Kepala Besi hingga lenyap di kejauhan.
"Kau tidak apa-apa, Kang Arya?" tanya
Melati sambil berlari menghambur ke arah Dewa
Arak.
Arya menggelengkan kepalanya. Walaupun
sebenarnya ada rasa sakit yang mendera kedua
tangan dan dadanya, tapi Dewa Arak tidak ingin
memperlihatkan kepada tunangannya. Dihampainya
guci arak yang tergeletak agak jauh dari
tempat pemuda Itu berdiri.
"Kami pergi dulu, Kek," pamit Arya pada
Gambala setelah menyampirkan guci arak di
punggungnya. Beberapa saat kemudian pemuda
berambut putih keperakan itu sudah bergerak
melesat dari situ bersama Melati.
"Tunggu dulu, Dewa Arak!" cegah Gambala.
"Ada apa, Kek?" Arya menghentikan
langkahnya.
"Bulan purnama depan, aku mengundangmu
datang ke Perguruan Pedang Ular."
"Memangnya ada apa, Kek?" kali ini Melati
yang bertanya.
Gambala tidak langsung menjawab. Ekor
matanya melirik ke arah Rupangki dan Karmila.
"Pernikahan Rupangki dan Karmila!" jawab
kakek bermata sayu itu seraya tertawa
bergelak. Karuan saja wajah Rupangki dan
Karmila jadi merah padam. Rupangki hanya bisa
tersenyum bingung. Walaupun sebenarnya hati
pemuda ini gembira sekali. Sementara Karmila
hanya menundukkan kepalanya saja.
Dewa Arak dan Melati tersenyum lebar
melihat tingkah kedua muda-mudi itu.
"Kami pasti datang, Kek," sahut Arya. Dan
sebelum Gambala berkata lagi, tubuh pemuda
berbaju ungu itu telah berkelebat dari situ.
Gambala hanya dapat menggeleng-gelengkan
kepala.
"Mari kita kembali ke perguruan!" ajak
kakek bermata sayu itu pada Rupangki dan
Karmila. Sesaat kemudian ketiga orang itu
berkelebat menuruni lereng Gunung Palanjar.
***
Setelah cukup jauh dari tempat Gambala,
Arya menghentikan ayunan kakinya. Tentu saja
Melati pun menghentikan langkah.
"Kau tidak marah lagi, Melati?" goda Arya
sambil memegang jari-jemari gadis berpakaian
putih itu.
Melati hanya menggelengkan kepalanya.
Sementara sepasang matanya yang bening dan
bidah itu merayapi wajah tampan yang berdiri
di hadapannya.
Arya menelan ludah melihat wajah cantik
yang berada di hadapannya. Dirayapi wajah
gadis berpakaian putih itu dengan sorot mata
penuh kasih sayang. "Melati...," panggil Arya.
Suaranya agak serak. "Hm...," gumam gadis
berpakaian putih itu manja. "Nggg..., aku
ingin mengatakan sesuatu padamu, Melati...,"
ujar Arya terbata-bata. Jari-jari tangannya
meremas-remas jemari Melati yang lentik dan
halus. "Katakanlah, Kang," sahut Melati
memberi angin. "Kau..., kau janji tidak akan
marah...?" "Mengapa harus marah, Kang?" Melati
balas bertanya.
"Betul?" tanya Arya masih kurang yakin.
"Betul," Melati menganggukkan kepalanya.
"Katakanlah, Kang."
"Nggg...," Arya mengangguk-anggukkan
kepalanya yang tidak gatal. "Aku ingin...
ingin...."
"Katakan cepat, Kang," selak Melati tak
sabar. "Aku jadi sakit perut nih, gara-gara
kelakuanmu itu."
"Aku ingin..., tapi kau janji tidak akan
marah, kan?"
Melati menghentak-hentakkan kakinya kesal.
"Kalau kau begitu terus, aku akan marah!"
gertak gadis itu kesal. Rupanya gadis itu
sudah tak sabar menunggu ucapan yang tidak
kunjung keluar dari mulut Dewa Arak
"Baiklah, Melati," sambut Arya menguatkan
hati. "Aku ingin... ingin menciummu, Melati."
Hampir meledak tawa gadis berpakaian putih
itu mendengar ucapan Arya. Hanya ingin
mengucapkan kata seperti itu saja, telah
membuatnya sakit perut.
"Bagaimana, Melati? Boleh?" tanya Arya
dengan harap-harap cemas begitu melihat gadis
itu diam tak menjawab.
Bukannya menjawab, Melati malah memejamkan
kelopak matanya. Sesaat lamanya pemuda
berambut putih keperakan ini kebingungan,
sebelum akhirnya mengerti. Rupanya bagi wanita
menyatakan persetujuannya tidak perlu dengan
mengucapkan 'iya' atau menganggukkan kepala.
Diam saja pun telah berarti setuju.
Perlahan tangan Arya berpindah ke kuduk
Melati. Dan dengan perlahan pula ditariknya
wajah itu mendekat. Pemuda berambut putih
keperakan itu menelan ludahnya tatkala mencium
keharuman khas seorang gadis. Dengan agak
gemetar, dikecupnya bibir gadis itu.
Melati pun balas melingkarkan tangannya di
leher Arya. Dan dibalasnya ciuman pemuda
berambut putih keperakan itu tak kalah hangat
Beberapa saat lamanya mereka berdiri
berpelukan dan saling berciuman.
Tak mereka sadari, matahari telah condong
ke Barat. Dan kegelapan pun perlahan mulai
turun menyelimuti bumi. Tak lama lagi rembulan
akan menjelang, menggantikan tugas matahari
yang sudah seharian penuh menyinari bumi. Dan
dalam suasana yang mulai gelap itu, nampak dua
sosok tubuh berjalan perlahan meninggalkan
tempat itu. Tangan mereka bergandengan Kedua
sosok tubuh itu tak lain adalah Dewa Arak dan
Melati, yang akan terus melanjutkan perjalanan
untuk memenuhi tugas mereka sebagai pendekar
pembela kebenaran.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar