..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 15 Januari 2025

DEWA ARAK EPISODE KELELAWAR BERACUN

Matjenuh

 

KELELAWAR BERACUN

Oleh Aji Saka

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia. Jakarta

Penyunting : Puji

Gambar sampul oleh Pro's

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Aji Saka

Serial Dewa Arak

dalam episode: Kelelawar Beracun

128 hal. ; 12 x 18 cm


1

Sang surya sudah lama tenggelam di ufuk Barat. Dan

kini kegelapan menyelimuti bumi. Apalagi awan tebal yang

menghitam ikut bergumpal-gumpal menghalangi bulan

sepotong yang bersinar lemah di langit. Suasana malam jadi

terasa mencekam. Tambahan lagi, angin dingin yang

menggigilkan tulang sesekali berhembus keras. Maka,

lengkaplah sudah keadaan yang terasa menakutkan itu.

Hening, sepi, dan mati!

Tapi keheningan malam itu ternyata tidak berlang-

sung lama. Karena sesaat kemudian, terdengar derap

langkah-langkah kaki kuda yang membuat tanah bergetar.

Bisa diperkirakan kalau jumlah kuda itu mencapai belasan

ekor!

"Hooop...!"

Seorang laki-laki berikat kepala merah dan ber-

pakaian hitam, mengangkat tangan kirinya ke atas seraya

menarik tali kekang kuda dengan tangan kanan. Seketika itu

juga langkah binatang tunggangannya berhenti. Begitu pula

belasan ekor kuda yang berada di belakangnya. Rupanya

laki-laki berpakaian hitam itu bertindak sebagai pemimpin

rombongan.

Menilik dari wajah belasan orang itu yang agak kasar,

dan sikap yang rata-rata liar, bisa diperkirakan kalau mereka

bukan rombongan orang baik-baik.

Laki-laki berpakaian hitam dan berikat kepala merah

itu lalu menatap belasan wajah yang berada di sekitarnya.

"Kali ini kita akan berpesta," ujar laki-laki berikat

kepala merah itu. Suaranya melengking nyaring seperti suara

seorang wanita. "Sasaran kita kali ini adalah Desa Jati Jajar."

Seketika itu juga terdengar suara sorak-sorai riuh

menyambuti perkataan itu.

"Mengapa tidak dari dulu-dulu saja, Kang?" sambut

seorang yang berkepala botak gembira seraya menatap wajah

laki-laki berpakaian hitam itu. "Biar semua tahu, siapa

dirimu. Kang!"

"Ya!" sambut orang bergigi tonggos. "Kita tunjukkan

pada adipati keparat itu, siapa Kakang Kala Ireng!"

"Akur...!" sahut yang lain.


"Benar...!" orang kasar lainnya tak mau ketinggalan.

"Setuju...!"

Seketika itu juga suasana malam yang semula hening,

sepi, dan menyeramkan, berubah riuh gembira. Suara-suara

keras dan kasar terdengar saling susul, tak mau kalah.

Masing-masing orang kasar itu berkata semaunya.

Tapi suara ribut-ribut itu langsung sirna ketika laki-

laki berpakaian hitam yang bernama Kala Ireng ini

mengangkat tangan kanannya ke atas. Jelas, dia adalah

seorang pemimpin yang cukup disegani anak buahnya. Kini

semua pasang mata tertuju padanya, menunggu apa yang

akan dikatakan pemimpin mereka.

Dengan sikap tenang, Kala Ireng menatap satu

persatu wajah-wajah yang tertuju ke arahnya. Raut wajah

Kala Ireng tampak agak kurus. Dahinya terlihat agak lebar

karena bagian depan kepalanya tidak ditumbuhi rambut.

Mungkin karena pakaiannya yang serba hitam, sehingga dia

mendapat julukan Kala Ireng.

"Memang itulah maksud tujuanku sebenarnya," kata

Kala Ireng dengan suara melengking nyaring seperti suara

seorang wanita.

"Horeee...!" seru gembira laki-laki berkepala botak.

"Hidup Kakang Kala Ireng...!" teriak seorang lainnya

yang berkumis tebal sambil mengangkat tangan kanannya ke

atas.

"Hidup...!" sambut semua anggota gerombolan

serentak. Pohon dan semak-semak sampai bergetar hebat

akibat gemuruh suara rawa mereka.

"Ha ha ha...!"

Kala Ireng tertawa terbahak-bahak. Sebuah suara

aneh. Kecil dan melengking nyaring.

Kembali laki-laki berikat kepala merah ini mengangkat

tangan kanannya ke aras. Seketika itu pula, suara ribut-ribut

sirna. Lenyap mendadak, seperti ayam yang dicekik lehernya.

Begitu suasana kembali hening seperti sediakala, Kala

Ireng kembali menggerakkan tangannya yang semula

terangkat ke atas menuju ke depan. Berbareng dengannya

ditarik kembali, tali kekang kudanya dihentakkan. Tidak

hanya itu saja. Bagian belakang tubuh binatang itu juga

dilecutnya.


Sambil meringkik keras, kuda tunggangan laki-laki

berpakaian hitam itu segera melangkah ke depan.

Melihat pemimpinnya telah memacu kuda, belasan

orang kasar itu segera menggebah kudanya. Maka, kuda-

kuda itu pun bergerak menyusul kuda Kala Ireng.

Suara derap kaki kuda yang menggetarkan bumi pun

terdengar. Tujuan mereka sudah jelas. Desa Jati Jajar! Dan

akibatnya bagi desa itu sudah bisa diperkirakan.

Kehancuran!

***

"Kau dengar suara itu, Dawarsa?" tanya seorang laki-

laki bertubuh pendek kekar sambil bergerak bangkit dari

tidur miringnya. Melalui gardu penjagaan yang tidak

mempunyai daun pintu, pandangannya dilayangkan ke

depan, ke arah hutan yang membentang jauh di depan

mereka.

Seorang pemuda yang memakai ikat kepala putih

menoleh. Bisa diduga kalau dialah yang bernama Dawarsa.

Dan memang di gardu penjagaan itu hanya ada dua orang.

Dawarsa menatap wajah rekannya sejenak, kemudian

terdiam. Dicobanya untuk mencari tahu, suara apa yang

dikatakan laki-laki bertubuh pendek kekar itu. Dahinya

berkernyit, berusaha keras membuktikan kebenaran ucapan

rekannya. Tapi sampai beberapa saat berbuat seperti itu, tak

juga terdengar suara apa-apa. Maka Dawarsa menggelengkan

kepala.

"Aku tidak mendengar suara apa-apa, Burasa," tegas

Dawarsa kalem. "Mungkin kau hanya salah dengar saja."

"Tidak mungkin, Dawarsa!" sentak laki-laki bertubuh

pendek kekar yang dipanggil Burasa, bersikeras. "Jelas sekali

aku mendengarnya!"

"Tapi, aku sama sekali tidak mendengarnya, Burasa!"

bantah Dawarsa, tak kalah keras. "Mungkin kau bermimpi."

"Aku tidak tidur, Dawarsa. Mana mungkin bisa

bermimpi! Kau tahu, aku hanya merebahkan diri untuk

menghilangkan rasa pusing yang mendera kepalaku!"

"Hhh...!" Dawarsa menghela napas. "Siapa tahu, tanpa

sadar kau tertidur, meskipun hanya sekejap. Dan dalam

tidurmu itu, kau mendengar sesuatu...."


Seketika Burasa terdiam. Disadari, apa yang dika-

takan rekannya mungkin saja benar. Memang bukan tidak

mungkin dia tertidur sewaktu merebahkan tubuh tadi. Tapi

sesaat kemudian, rasa penasaran timbul dalam diri laki-laki

bertubuh pendek kekar ini. Dirinya, atau Dawarsa yang

salah?

Tentu saja untuk mengetahui hal itu, tidak ada jalan

lain kecuali membuktikan kebenaran ceritanya. Maka tanpa

ragu-ragu lagi Burasa segera merebahkan diri kembali di

bangku panjang di dalam gardu penjagaan.

"Burasa...! Apa yang kau lakukan...?!" tanya Dawarsa

agak kaget campur bingung.

"Mencoba membuktikan kebenaran ucapanku," sahut

Burasa kalem.

Dawarsa hanya menggeleng-gelengkan kepala

mendengar jawaban laki-laki bertubuh pendek kekar. Dia

pun tidak mempersoalkannya lagi. Dibiarkannya saja Burasa

meneruskan maksudnya.

"Ah...!"

Dawarsa sampai terjingkat kaget tatkala mendengar

seru keterkejutan Burasa. Secepat kilat kepalanya menoleh.

Pada saat yang bersamaan, laki-laki bertubuh pendek kekar

ini melonjak bangkit dari berbaringnya seperti tengah dipagut

ular berbisa,

"Ada apa, Burasa?" tanya Dawarsa kaget.

"Apa yang kukatakan tadi tidak salah, Dawarsa," tegas

Burasa terputus-putus.

"Maksudmu...?" tanya Dawarsa masih kurang

mengerti.

"Suara-suara yang kudengar itu," jelas Burasa tidak

sabar lagi.

"Hm…," Dawarsa menggumam pelan. Hanya dia

sendiri yang tahu, apa arti gumamannya itu.

"Kalau kau masih tidak percaya, kemarilah. Akan

kubuktikan, siapa di antara kita yang benar!"

Kata-kata bernada tantangan telah diajukan Burasa.

Mau tak mau, Dawarsa terpaksa menghampirinya. Di

samping karena tantangan yang diajukan Burasa, juga

disebabkan perasaan ingin tahunya. Benarkah apa yang

dikatakan rekannya itu?


Dengan agak ragu-ragu, Dawarsa membaringkan

tubuhnya di bangku panjang itu. Dan secepat tubuhnya

berbaring miring, secepat itu pula tubuhnya terlonjak ke atas

seperti disengat kalajengking.

"Kau benar, Burasa!" pekik laki-laki berikat kepala

putih, terkejut.

"Kau bisa mengira-ngira suara apa itu, Dawarsa?"

tanya Burasa tak menghiraukan ucapan rekannya.

Laki-laki bertubuh pendek kekar sama sekali tidak

meributkan kebenaran ucapannya. Suara yang didengar,

lebih menarik untuk dibahas daripada diributkan.

"Kalau aku tidak keliru, itu adalah suara langkah kaki

kuda. Entah berapa jumlahnya.... Tapi yang jelas, banyak

juga."

"Dugaanmu sama dengan dugaanku, Dawarsa,"

sambut Burasa. "Entah siapa yang di malam seperti ini

mengendarai kuda...."

"Jangan-jangan...," Dawarsa menghentikan ucap-

annya. Sepasang matanya terbelalak lebar menatap ke depan.

"Kau lihat apa yang berada di depan, Burasa?" tanya

pemuda berikat kepala putih itu sambil menudingkan

telunjuk tangan kanannya ke depan.

Burasa menolehkan kepala ke arah yang ditunjuk

rekannya. Dan seketika dia terkejut ketika melihat

sekelompok sosok bayangan hitam di kejauhan sana.

Meskipun tidak jelas bentuknya karena suasana malam, tapi

keduanya dapat menduga kalau sekelompok sosok bayangan

hitam itu adalah manusia. Dan menilik derap kaki kuda yang

terdengar, bisa diperkirakan kalau itu adalah rombongan

orang berkuda.

"Serombongan orang berkuda...," desis Burasa dengan

suara tegang.

"Rombongan berkuda malam-malam begini?

Dugaanmu, siapa mereka, Burasa?"

"Maksudmu...?" Burasa merasakan dadanya berdebar

tegang. Tanpa bertanya lagi pun sudah bisa diduga, apa yang

dikatakan rekannya. Dan hal ini membuatnya tegang.

"Perampok...," desis Dawarsa pelan tapi tajam.

Belum juga gema suara laki-laki berikat kepala putih

itu lenyap, tubuh Burasa sudah berlari cepat menuju

kentongan yang tergantung di sudut depan gardu penjagaan.


Kemudian pemukulnya diambil, dan dihantamkan pada

badan kentongan.

Tong, tong, tong...!

Suara kentongan tanda bahaya terdengar nyaring

memecahkan kesunyian malam. Dan penduduk yang

mendengar pun memukul pula kentongan yang terdapat di

depan rumah mereka.

Hanya dalam waktu sekejap saja, bunyi kentongan

terdengar bersahut-sahutan. Seketika itu pula para

penduduk berserabutan keluar dari rumah masing-masing

sambil membawa senjata di tangan.

***

8 Singgg...! Cappp...!

"Akh...!"

Terdengar keluhan tertahan dari mulut Burasa,

disusul oleh tubuhnya yang terhuyung-huyung. Tangan

kanannya mendekap bahu kirinya yang tertembus sebuah

logam berbentuk bintang bersegi lima. Seketika cairan merah

kental mengalir deras dari bahu yang terluka, menerobos

lewat celah jari-jemari tangannya.

"Burasa...!"

Dawarsa berseru keras seraya berlari keluar gardu.

Dia tadi juga sempat mendengar adanya suara berdesing

nyaring, sebelum rekannya menjerit.

Dan begitu Dawarsa berada di luar, tampak beberapa

sosok tubuh berlompatan dari punggung belasan ekor kuda

yang larinya dihentikan secara mendadak. Begitu hinggap di

tanah, sosok-sosok tubuh itu segera menyerbu ke arah

Burasa dan Dawarsa.

Tentu saja kedua orang penjaga gardu itu tidak

tinggal diam. Dawarsa cepat mencabut goloknya, langsung

memapak datangnya serangan yang menuju ke arahnya.

Begitu pula Burasa. Tanpa menghiraukan darah yang

mengalir dari bahu kirinya, tubuhnya melesat membantu

laki-laki berikat kepala putih itu.

Baik Burasa maupun Dawarsa memang tidak asing

lagi dengan ilmu silat. Karena kedua orang itu memang

memiliki tingkat kepandaian lumayan. Tapi lawan yang

dihadapi bukan orang lemah! Kali ini yang mereka hadapi

adalah rombongan perampok anak buah Kala Ireng, yang


sudah terkenal kebengisannya. Dalam mempertahankan

selembar nyawa, mereka terkenal paling gigih. Pekerjaan yang

dijalani membuat mereka harus memilih dua kemungkinan.

Dibunuh atau membunuh!

"Haaat..!"

Seraya berteriak keras, Dawarsa menebaskan

goloknya ke arah leher perampok yang berkepala botak.

"Hmh...!"

Laki-laki berkepala botak itu hanya mendengus.

Tubuhnya didoyongkan ke belakang sambil menarik

kepalanya. Maka, serangan golok itu hanya mengenai tempat

kosong. Lewat sejengkal dari sasaran.

Bukan hanya itu saja yang dilakukan laki-laki

berkepala botak. Begitu serangan Dawarsa lewat, golok besar

di tangannya dibabatkan ke arah tangan laki-laki berikat

kepala putih itu. Cepat dan tak terduga gerakan laki-laki

berkepala botak, sehingga Dawarsa hanya mampu berkelit

sedikit.

Wuttt! Crasss...!

Dawarsa memekik keras. Tangan kanannya buntung

sebatas sikut terbabat golok besar laki-laki berkepala botak

Itu. Darah segar seketika berhamburan keluar dari tangan

yang putus. Belum lagi laki-laki berikat kepala putih itu

sempat berbuat sesuatu, kaki kanan laki-laki berkepala

botak melayang cepat ke arah perutnya.

Bukkk...!

"Hugk...!"

Suara keluhan tertahan terdengar dari mulut Da-

warsa. Tubuhnya seketika terbungkuk. Dan di saat itulah,

golok besar lawan kembali menyambar. Maka....

Crasss...!

Tanpa sempat mengeluarkan suara lagi, tubuh Da-

warsa terkulai roboh. Dia tewas seketika dengan seluruh

kepala terpisah dari badan.

Dan pada pertarungan lain, Burasa mengalami nasib

yang sama. Dia tewas dengan perut tertancap pedang hingga

tembus ke punggung.

Tanpa menghiraukan mayat korbannya, kedua orang

perampok itu bergegas menyusul rekan-rekannya yang telah

menyebar maut di dalam desa.


2

Di Desa Jati Jajar pun terjadi kerusuhan yang tidak

kalah mengerikan. Para penduduk yang baru saja keluar dari

rumah masing-masing, segera disambut rombongan

perampok. Maka pertarungan sengit dan mati-matian pun

berlangsung.

Tapi karena sebagian besar para penduduk tidak

menguasai ilmu silat, rombongan perampok itu tidak

mengalami kesulitan untuk membinasakan mereka satu

persatu. Padahal, satu orang perampok menghadapi dua

orang lawan.

Memang ada sebagian kecil penduduk yang me-

nguasai ilmu silat. Tapi, itu pun hanya sekadarnya saja.

Andaikan kepandaian yang dimiliki menyamai para anggota

perampok pun, mereka tetap saja tidak mampu menang.

Sebab, jelas mereka kalah pengalaman dalam pertempuran.

Jadi tidak heran kalau satu persatu para penduduk Desa Jati

Jajar berguguran.

Tapi ternyata tidak semua orang di pihak Desa Jati

Jajar yang mudah dikalahkan. Ada dua orang di antara

mereka yang mampu mengadakan perlawanan sengit. Yang

seorang adalah laki-laki bertubuh kekar berotot. Kumis dan

alisnya tebal. Sedangkan yang seorang lagi adalah laki-laki

setengah baya berpakaian putih. Kumis dan jenggotnya telah

berwarna dua.

Sambil terus mengadakan penawanan sengit terhadap

tiga orang perampok yang mengeroyoknya, laki-laki

berpakaian putih tak henti-hentinya memberi semangat pada

para penduduk Desa Jati Jajar.

"Jangan mundur...! Lawan terus...! Mundur berarti

desa kita hancur...!"

Berkat teriakan laki-laki berpakaian putih itulah,

maka para penduduk Desa Jati Jajar terus mengadakan

perlawanan. Mereka semua tahu, nasib anak dan istri

tergantung pertarungan ini.

Sungguh mengerikan keadaan Desa Jati Jajar. Di

sepanjang jalan utama desa terjadi pertarungan mati-matian.

Di sana-sini bergeletakan sosok-sosok tubuh tanpa nyawa.


Kala Ireng menatap beberapa kelompok pertarungan

dengan wajah dingin. Bibirnya menyunggingkan senyum

kebengisan. Ada seri kegembiraan yang memancar di

wajahnya, tatkala melihat semua anak buahnya berhasil

mengungguli lawan. Dan bahkan terus mendesak masuk ke

dalam desa.

Tapi seri di wajah laki-laki berpakaian hitam ini le-

nyap begitu melihat dua pertarungan lainnya. Pertarungan

antara anak buahnya melawan laki-laki berpakaian putih dan

laki-laki bertubuh kekar berotot. Mereka tertahan di sini.

Baik laki-laki berpakaian putih maupun laki-laki

bertubuh kekar sudah berhasil menewaskan seorang lawan.

Tapi kini mereka belum mampu menambah korban lagi,

karena jumlah lawan bertambah. Laki-laki berpakaian putih

dikeroyok tiga orang perampok.

Sementara laki-laki bertubuh kekar berotot meng-

hadapi empat orang perampok. Dan tampaknya pertarungan

kedua kelompok itu berjalan seimbang.

Kala Ireng menggertakkan gigi. Dikenalinya betul,

siapa kedua orang itu. Laki-laki berpakaian putih adalah

Kepala Desa Jati Jajar. Namanya, Ki Manggala. Sedangkan

laki-laki bertubuh kekar berotot bernama Kanigara, seorang

guru silat dari Desa Cibening. Sebuah desa yang terhitung

besar, tetangga Desa Jati Jajar. Hanya saja Kala Ireng tidak

mengetahui, mengapa guru silat itu bisa berada di desa ini.

Tapi Kala Ireng tidak Ingin memikirkan hal Itu lagi.

Masalahnya kalau tidak cepat-cepat turun tangan, ketujuh

orang anak buahnya pasti akan tetap tertahan di situ.

Sementara, tugas yang harus dikerjakan masih belum selesai.

Maka laki-laki berpakaian hitam ini segera melompat turun

dari punggung kuda.

"Mundur...!" teriak Kala Ireng begitu berada di

belakang anak buahnya yang tengah bertarung menghadapi

Kanigara.

Laki-laki bertubuh kekar berotot ini ternyata hebat

juga. Dengan pedangnya, membuat empat orang lawan tidak

mampu mendesak.

Sementara empat orang lawan Kanigara yang

mendengar seruan itu, langsung berlompatan mundur.

Mereka tentu saja mengenal, siapa pemilik suara itu.


Berbareng dengari berlompatan mundurnya empat

orang perampok itu, Kala Ireng melompat masuk dalam

kancah pertarungan. Dia langsung berdiri berhadapan

dengan Kanigara.

"Kala Ireng...," desis laki-laki bertubuh kekar berotot

itu, begitu melihat laki-laki berpakaian hitam. Ada nada

keterkejutan terdengar dalam suara itu. Dia memang telah

mengenal Kala Ireng, seorang kepala rampok yang telah

malang-melintang dalam Hutan Buaran.

"Hmh...!" Kala Ireng mendengus. "Bersiaplah untuk

mati, Kanigara!"

Kanigara sama sekali tidak menyambuti ancaman itu.

Dia tengah merasa tegang melihat Kala Ireng. Sungguh sama

sekali tidak disangka bisa bertemu kepala rampok itu di sini.

Kala Ireng terkenal amat kejam, di samping memiliki

kepandaian yang tinggi.

Kanigara menggertakkan gigi, kemudian melesat

menyerang lawannya. Pedang di tangannya menusuk cepat

ke arah perut Kala Ireng. Ada suara bercuitan yang cukup

nyaring mengiringi serangan itu.

"Hmh...!"

Lagi-lagi Kala Ireng mendengus. Secercah senyum

mengejek tampak tersungging di bibirnya. Dan masih dengan

senyum ejekan, laki-laki berpakaian hitam ini mengelakkan

serangan Kanlgara.

Mudah saja Kala Ireng mengelak. Kakinya dilang-

kahkan ke kiri sambil tubuhnya didoyongkan. Sehingga,

tusukan pedang itu lewat di sebelah kanan pinggangnya. Dan

sebelum Kanigara berbuat sesuatu, tangan kanan Kala Ireng

telah lebih dulu bergerak.

Wuttt..! Tap...!

Pedang di tangan Kanigara langsung kena ceng keram tangan

Kala Ireng. Karuan saja hal ini membuatnya terkejut bukan

main. Laki-laki bertubuh kekar berotot ini segera

mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk

menarik kembali senjatanya. Dan kalau tidak bisa

menariknya kembali, paling tidak tangan Kanigara akan

terluka. Atau bahkan putus sama sekali akibat tersayat mata

pedangnya.

Tapi usaha Kanigara kandas. Wajahnya sampai merah

padam karena mengerahkan seluruh tenaga dalam. Nada


keluhan terdengar dari mulutnya ketika berusaha keras

menarik pulang senjatanya.

***

Berbeda dengan keadaan yang dialami Kanigara,

wajah Kala Ireng tampak biasa-biasa saja. Bahkan tidak

terlihat tanda-tanda kalau tengah mengerahkan tenaga.

"Hmh...!"

Kala Ireng kembali mendengus. Berbareng hilangnya

dengusan itu, tangan kanannya bergerak meremas. Hebat

akibatnya! Bilah pedang Kanigara langsung hancur, seolah-

olah yang diremas laki-laki berpakaian hitam ini hanya

sehelai daun kering rapuh!

Akibat yang terjadi sudah bisa diduga. Pada saat itu

Kanigara tengah mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk

menarik pedangnya, tak pelak lagi tubuhnya terjengkang ke

belakang.

Tapi berkat kelihaiannya, Kanigara tidak sampai

terbanting di tanah. Meskipun agak terhuyung-huyung dan

mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya

terhuyung-huyung ke belakang.

Wajah Kanlgara memucat Sepasang matanya menatap

berganti-ganti pada pedang yang telah tinggal separuh di

tangannya, dan pada jemari Kala Ireng yang lelah meremas

hancur pedangnya. Laki-laki bertubuh kekar ini memang

telah mendengar berita kalau Kala Ireng mempunyai suatu

ilmu yang membuat kedua tangannya jadi sekuat baja! Dan

kini telah dibuktikannya sendiri kebenaran berita itu! Jari-

jari tangan Kala Ireng benar-benar luar biasa!


Wuttt...! Tap...!

Pedang di tangan Kanigara langsung kena ceng-

keraman tangan Kala Ireng. Karuan saja hal ini membuatnya

terkejut bukan main. Laki-laki bertubuh kekar itu segera

mengerahkan seluruh tenaga untuk menarik senjatanya, tapi

tetap tidak berhasil!


Meskipun perasaan gentar merayapi hatinya, Kanigara

pantang mundur. Dia tahu Kala Ireng tidak akan sudi

mengampuninya. Jadi, tidak ada jalan lain baginya kecuali

melawan mati-matian!

"Haaat..!"

Kanigara berseru keras. Pedang yang telah tinggal

separuh di tangannya, ditusukkan cepat ke arah leher Kala

Ireng. Tapi untuk yang kesekian kalinya, pemimpin perampok

ini tidak mengalami kesulitan sedikit pun untuk

memunahkan serangan itu. Tanpa menggeser kaki, Kala

Ireng mendoyongkan kepala ke kanan. Maka serangan itu

lewat beberapa jari di sebetah kiri lehernya.

Pada saat yang bersamaan, tangan kiri Kala Ireng

dengan jari-jari berbentuk cakar itu bergerak.

"Tappp...!"

Mengkelap jantung Kanigara begitu mengetahui

pergelangan tangan kanannya telah tercekal Kala Ireng, Dan

sebelum dia sempat berbuat sesuatu, tangan Kala Ireng yang

kuat itu telah bergerak meremas.

Terdengar suara bergemeretakan keras dari tulang-

tulang yang remuk seiring dengan remasan jari-jari tangan

Kala Ireng.

Kanigara mengigit bibirnya sampai berdarah, dalam

usahanya agar mulutnya tidak mengeluarkan lolongan

kesakitan. Memang rasa sakit yang melanda benar-benar luar

biasa! Keringat sebesar jagung bermunculan di wajah laki-

laki kekar itu.

Dengan sendirinya, laki-laki bertubuh kekar berotot

ini telah dibuat tidak berdaya oleh Kala Ireng. Dan begitu

tangan Kala Ireng bergerak menyentak, tubuh Kanigara

tertarik ke depan. Hal ini memang sudah direncanakan laki-

laki berpakaian hitam itu. Maka begitu tubuh Kanigara

meluruk ke arahnya, cakar tangan kanannya bergerak

menyambut.

Crokkk...!

Suara berderak keras terdengar ketika ubun-ubun

Kanigara pecah. Cairan merah kental bercampur putih

mengalir keluar dari ubun-ubunnya. Hanya sebuah keluhan

pelan terdengar ketika laki-laki bertubuh kekar berotot ini

tewas! Suara berdebuk keras terdengar saat tubuh kekar itu

jatuh di tanah.


***

Kala Ireng menatap mayat lawannya sejenak.

Kemudian....

Cuhhh...!

Sepercik ludah kental meluncur keluar dari mulut

laki-laki berpakaian hitam, dan hinggap di wajah mayat

Kanigara. Kala Ireng kemudian mengalihkan perhatian ke

arah Ki Manggala. Tampak laki-laki berpakaian putih itu

tengah terdesak hebat Karena lawan-lawan yang semula

menghadapi Kanigara, kini ganti mengeroyoknya.

Menghadapi tiga orang saja Ki Manggala tidak mampu

menang. Apalagi kini menjadi tujuh orang lawan. Dalam

beberapa gebrak saja Kepala Desa Jati Jajar ini terdesak

hebat dan terus terhimpit.

Pada jurus ke empat, laki-laki berpakaian putih ini

tidak mampu mengelak atau menangkis lagi. Bahkan kini

tusukan golok laki-laki berkepaia botak telah menghunjam

dalam di perutnya. Darah pun memancar deras dari luka

yang terobek lebar.

Tak sampai sekejapan mata, serangan-serangan lain

pun menyusul tiba. Babatan golok, tusukan tombak, dan

hujan senjata lain hinggap di berbagai bagian tubuhnya. Tapi

meskipun demikian, di saat nyawanya hendak melayang, Ki

Manggala masih sempat mengajak salah seorang pengeroyok

untuk ikut bersamanya ke akhirat!

Ki Manggala melompat menerjang mengerahkan

seluruh sisa-sisa tenaga dalam yang dimiliki. Golok di

tangannya menyambar cepat ke arah salah seorang anggota

perampok.

Perampok berkumis tebal itu terkejut bukan main

mendapat serangan yang tak diduga itu. Maka sebisa bisanya

dia berusaha mengelak, tapi terlambat. Golok Kepala Desa

Jati Jajar itu telah terlebih dulu menyambar lehernya. Tak

pelak lagi, kepala laki-laki berkumis tebal itu pun terpisah

dari tubuh. Dia tewas seketika berbarengan dengan tewasnya

Ki Manggala.

Dengan tewasnya Kanigara dan Ki Manggala, tidak

ada lawan kuat yang dihadapi gerombolan perampok anak


buah Kala Ireng. Kini dengan leluasa semua penduduk yang

menghalangi tindakan mereka dibantai.

Suara teriakan kesakitan diiringi lolong kematian

memecah kesunyian malam, di tengah-tengah hiruk-

pikuknya suara senjata beradu.

Gerombolan perampok anak buah Kala Ireng

bertindak tak kepalang tanggung. Seluruh isi penduduk yang

berjenis laki-laki, tua atau muda, dibantai habis. Bahkan

anak kecil pun dibinasakan. Hanya wanita-wanita saja yang

tidak dibunuh, dan hanya diseret ke luar. Mereka akan

dibawa ke tempat tinggal para perampok untuk dijadikan

pemuas nafsu setan.

"Ha ha ha...!"

Kala hreng tertawa terbahak-bahak melihat seluruh

isi desa porak-poranda. Mayat-mayat penduduk tampak

bergeletakan di sana-sini.

"Bakar...!" seru Kala Ireng, keras.

Tanpa diperintah dua kali, semua anggota gerombolan

itu bergegas mengambil obor-obor yang terpancang di depan

rumah. Kemudian obor itu dilempar ke setiap rumah. Tak

pelak lagi, rumah-rumah itu pun terbakar. Mula-mula hanya

kecil saja, tapi lama kelamaan semakin membesar. Dan

hawanya pun terasa panas menyengat kulit.

"Ha ha ha...!"

Kala Ireng dan anak buahnya tertawa-tawa gembira

melihat seluruh desa mulai diamuk api. Desa Jati Jajar

benar-benar telah menjadi lautan api. Asap tebal dan hitam

membumbung tinggi sampai ke udara.

Sambil terus tertawa-tawa gembira. Kala Ireng

mengangkat tangan kanan ke atas, seraya melompat naik ke

atas punggung kuda. Kemudian tali kekang binatang

tunggangannya dihentakkan. Maka kuda coklat itu pun

bergerak meninggalkan tempat itu.

Melihat pemimpin mereka telah bergerak mening-

galkan tempat itu, seketika para anak buahnya ikut bergerak

pula. Kini, rombongan ini membawa serta barang hasil

jarahan, serta belasan wanita cantik.

Wanita-wanita Desa Jati Jajar hanya dapat menangis

melihat semua kejadian yang menimpa. Menangisi desa

mereka yang kini telah menjadi lautan api. Menangisi ayah

suami, adik, atau anak mereka yang tewas oleh kekejaman

para perampok itu.

Bukan hanya itu saja yang dipikirkan. Kejadian

mengerikan yang akan menimpa mereka pun tak luput dari

pikiran. Ingin rasanya membunuh diri, tapi sayangnya

kesempatan itu tidak pernah ada. Kini mereka hanya dapat

pasrah menerima kenyataan yang ada. Ikut rombongan

perampok Kala Ireng.


3

Siang itu suasana benar-benar tidak menyenangkan.

Matahari yang tepat di atas kepala memancarkan sinarnya

begitu terik ke bumi. Seakan-akan dengan sinarnya, sang

mentari tengah berusaha melelehkan apa pun di bawahnya.

Dalam suasana sepanas itulah, serombongan pasukan

berkuda berpacu cepat menuju Hutan Buaran. Derap

langkah kaki kuda yang berlari cepat itu cukup mengusik

keheningan siang. Debu mengepul tinggi, menambah

pengapnya suasana siang yang sudah terasa tidak nikmat

Rombongan berkuda yang jumlahnya tak kurang dari

dua puluh orang itu mengenakan seragam prajurit kerajaan.

Ternyata rombongan prajurit itu dipimpin seorang gadis yang

berkuda paling depan. Wajahnya begitu cantik, dan

pakaiannya berwarna putih. Rambutnya panjang terurai,

sehingga menambah kecantikannya. Sementara yang

berkuda di sebelahnya, adalah seorang laki-laki setengah

baya.

"Masih jauhkah sarang gerombolan Kala Ireng itu,

Paman Patih?" tanya gadis berpakaian putih seraya menatap

laki-laki setengah baya.

Menilik dari nada suara dan wajahnya, dapat

diketahui kalau gadis itu sudah merasa tidak sabar untuk

bertemu gerombolan Kala Ireng.

"Tidak jauh lagi, Gusti Ayu Melati," sahut laki-laki

setengah baya itu. Suaranya lembut dan penuh kasih sayang,

seperti layaknya ucapan seorang ayah pada anaknya.

Gadis berpakaian putih yang ternyata Melati, putri

angkat Raja Bojong Gading itu menghela napas berat.

Kemudian perhatiannya dialihkan kembali ke depan.

"Memangnya kenapa, Gusti Ayu?" tanya laki-laki

setengah baya yang dipanggil Melati dengan sebutan paman

patih.

Dia memang patih Kerajaan Bojong Gading. Namanya

Rantaka (Baca serial Dewa Arak dalam episode "Banjir Darah

di Bojong Gading").

"Aku sudah tidak sabar lagi untuk membasmi

mereka!" tegas Melati. "Gerombolan itu tidak bisa diampuni

lagi. Mereka harus dibasmi semuanya!"


Patih Rantaka tersenyum mendengar ucapan Melati

yang berapi-api itu.

"Bukankah Gusti Prabu pun memerintahkan begitu,

Gusti Ayu?"

Melati menganggukkan kepala, membenarkan ucapan

Patih Rantaka.

"Ayahanda murka sekali, Paman," desah gadis

berpakaian pulih yang terkadang memanggil Patih Rantaka

dengan paman saja.

"Wajar saja kalau Gusti Prabu marah, Gusti Ayu.

Gerombolan Kala Ireng benar-benar biadab. Bahkan sudah

tiga desa dihancurkan."

"Begitu kuatkah gerombolan Kala Ireng itu, Paman?

Sampai-sampai, Adipati Triwisnu tidak mampu

menanggulanginya," tanya Melati tidak yakin.

"Aku sendiri tidak tahu, Gusti Ayu," jawab Patih

Rantaka. "Tapi kemungkinan besar memang begitu."

Melati mengerutkan alisnya yang berbentuk indah itu.

"Mengapa Paman menduga demikian?" tanya gadis

berpakaian putih itu ingin tahu.

"Apakah Gusti Ayu belum mengetahui, dan belum

mendengar cerita mengenai usaha-usaha yang dilakukan

Adipati Triwisnu untuk menghancurkan gerombolan Kala

Ireng itu?" laki-laki setengah baya malah balik bertanya,

setengah tak percaya.

Melati menggelengkan kepala. "Aku hanya mengetahui

sedikit saja, Paman," sahut Melari pelan. "Aku hanya tahu

kalau gerombolan Kala Ireng telah membumihanguskan tiga

buah desa."

Patih Rantaka tercenung. Sementara Melati pun tidak

melanjutkan kata-katanya. Dengan sendirinya, untuk

beberapa saat kebisuan menyelimuti mereka. Kini yang

terdengar hanyalah derap langkah kaki rombongan berkuda

yang menapak tanah.

"Ketika untuk pertama kalinya gerombolan Kala Ireng

keluar dari Hutan Buaran dan membumihanguskan Desa

Jati Jajar, Adipati Triwisnu langsung bertindak. Pasukannya

dikirimkan untuk menghancurkan gerombolan itu. Dia

merasa bertanggung jawab untuk menumpasnya, karena

semua itu terjadi di daerah kekuasaannya."


Patih Rantaka menghentikan ceritanya sejenak untuk

mengambil napas. Sesaat sepasang matanya menatap wajah

Melati.

"Tapi rombongan yang dikirim Adipati Triwisnu

ternyata tidak pernah kembali lagi. Apa yang terjadi dengan

pasukan itu, tak seorang pun yang tahu. Dan yang jelas,

usaha mereka tidak berhasil. Karena, sebuah desa kembali

dibumihanguskan oleh gerombolan Kala Ireng itu."

"Hm...," Melati hanya menggumam pelan. Entah apa

yang digumamkan, hanya gadis itu sendirilah yang tahu.

"Adipati Triwisnu tidak tinggal diam. Perasaan

penasaran mendorongnya untuk mengirimkan pasukannya

kembali. Dia ingin menumpas gerombolan itu, sekaligus

mencari berita lenyapnya pasukan yang dikirim pertama

kali."

Patih Rantaka kembali menghentikan ceritanya.

Dihirupnya udara sejenak, seraya mencari kata-kata untuk

melanjutkan ceritanya.

"Tapi usaha yang dilakukan Adipati Triwisnu sia-sia.

Pasukan yang dikirimnya itu lagi-lagi tak pernah kembali,

lenyap seperti ditelan bumi. Dan tak lama kemudian, kembali

sebuah desa dibumihanguskan oleh gerombolan Kala Ireng

itu."

Melati mengangguk-anggukkan kepala. Kini baru

disadari, mengapa Adipati Triwisnu sampai mengirim utusan

ke kotaraja. Dan, mengapa pula Prabu Nalanda mengirimkan

pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading untuk menumpas

gerombolan Kala Ireng. Rupanya Prabu Nalanda telah

mendengar kegagalan usaha yang dilakukan Adipati

Triwisnu, sehingga mengambil keputusan itu mengirimkan

pasukan.

"Sekarang aku mengerti, Paman," kata Melati.

Sedangkan Patih Rantaka hanya tersenyum lebar.

"Menurutmu, mengapa pasukan yang dikirim Adipati

Triwisnu itu bisa lenyap, Paman?"

"Aku sendiri juga tidak tahu, Gusti Ayu," sahut Patih

Rantaka tidak berani memastikan. "Tapi kalau menurut

pendapatku, mereka semua telah tewas di tangan gerombolan

itu."

Melati terdiam, tak lagi menyahuti. Patih Rantaka pun

tak lagi melanjutkan ucapan. Kini rombongan pasukan


khusus Kerajaan Bojong Gading Itu pun melanjutkan

perjalanan tanpa berbicara lagi.

***

Begitu mulai memasuki mulut hutan, rombongan

pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading mulai bersikap

waspada. Semua pasang mata beredar berkeliling, merayapi

sekitarnya. Seluruh urat syaraf mereka menegang waspada,

bersiap menghadapi adanya ancaman mendadak.

Tangan-tangan mereka juga telah memegang hulu

senjata masing-masing. Napas pun agak ditahan, khawatir

kalau-kalau mengganggu pendengaran yang telah dipasang

setajam mungkin. Paling tidak, agar suara sekecil apa pun

dapat tertangkap telinga mereka.

"Gusti Ayu...," sapa Patih Rantaka pelan seperti

bisikan.

"Ada apa, Paman?" tanya Melati seraya menolehkan

kepala. Namun demikian, sepasang matanya tak pernah

lepas mengawasi keadaan sekitar.

"Apakah tidak lebih baik kalau kuda-kuda itu kita

tinggalkan saja?"

Melati tercenung. Dahinya berkernyit pertanda tengah

berpikir keras. Sesaat kemudian kepalanya terangguk. Kini

kudanya segera dituntun ke arah pohon yang ada di situ.

Semua pasukannya juga bertindak demikian.

Kini Melati, Patih Rantaka, dan sekitar dua puluh

orang pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading itu berjalan

kaki menerobos ke dalam hutan. Melati dan Patih Rantaka

berjalan paling depan, sementara dua puluh orang lainnya

berjalan di belakang. Semua mata menatap daerah sekitar

dengan sikap waspada.

Mendadak terdengar hentakan pelan. Melati, Patih

Rantaka dan dua puluh orang pasukan khusus mende-

ngarnya. Seketika itu pula perhatian mereka dialihkan ke

arah asal suara dengan sikap siaga penuh. Tapi, setelah

ditunggu beberapa saat, ternyata tidak nampak ada apa-apa.

Tiba tiba Melati mendengar suara berkesiur pelan dari atas,

disusul, bertiupnya angin semilir. Seketika itu juga gadis

berpakaian putih ini mendongakkan kepala ke atas, dan

kontan terperanjat. Tampak dari atas melayang turun sebuah


jaring, yang sudah dapat dipastikan akan mengurung

mereka.

Memang, mereka tepat berada di tengah-tengah sasar-

an jaring.

"Menyingkir...!" seru Melati keras seraya melompat

menghindar. Tak lupa, didorongnya tubuh Patih Rantaka

agar menjauh dari tempat itu.

Dua puluh pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading

itu pun segera berserabutan melompat melarikan diri.

Pasukan khusus itu memang memiliki wawasan

pengetahuan luas. Mereka tahu, apabila terkurung jaring,

tidak sulit bagi lawan untuk menghujani mereka dengan

serangan mematikan.

Luar biasa! Tidak ada seorang pun dari pasukan

khusus itu yang terjaring. Tapi ternyata, hal yang

mengejutkan itu tidak berakhir sampai di situ. Tubuh-tubuh

yang berlompatan itu seketika menerima kejutan masing-

masing.

Ternyata sebagian besar dari mereka mendapat

serangan susulan. Dari segenap penjuru seketika meluncur

senjata rahasia yang mempunyai bentuk dan ukuran

berbeda. Ada logam berbentuk bintang segi-lima, ujung anak

panah, ataupun pisau.

Kembali pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading itu

mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat-cepat serangan gelap

yang mengancam keselamatan nyawa itu ditangkis.

Tring, tring, tring...!

Semua serangan gelap berhasil dikandaskan. Bahkan

ada yang kembali ke pemiliknya semula. Terbukti, terdengar

suara jeritan menyayat dari balik kerimbunan pepohonan

dan semak-semak.

Keadaan yang dialami Melati lebih mengerikan lagi.

Dalam usaha menyelamatkan selembar nyawanya, gadis itu

melakukan lompatan harimau. Kedua tangannya sudah siap

mendarat di tanah, untuk kemudian digunakan sebagai

peredam saat bergulingan.

Sungguh di luar dugaan gadis berpakaian putih itu.

Tanah berumput yang menjadi tempat bertumpu kedua

tangannya tiba-tiba amblas. Tak dapat dicegah lagi, tubuh

Melati pun melayang masuk ke dalam lubang.


Serasa copot jantung Melati mengalami hal yang sama

sekali tidak diduga ini. Apalagi ketika dia melihat puluhan

ujung tombak runcing yang menanti di dasar lubang. Menilik

dari bau amis darah yang menyeruak masuk ke dalam

hidung, bisa diperkirakan kalau lubang jebakan ini sudah

cukup banyak menelan korban.

Melati bertindak cepat. Disadari kalau tidak mungkin

kakinya mendarat di ujung tombak-tombak runcing itu.

Lubang itu terlalu sempit. Apalagi, sulit baginya untuk

memutar tubuh dengan keadaan tengah berada di udara.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, pedangnya segera

dihunus.

Srattt...!

Sinar terang membersit ketika pedang itu tercabut

keluar dari sarungnya. Dan secepat pedang itu tergenggam,

secepat itu pula dijulurkan ke bawah.

Trik...!

Luar biasa! Dengan perhitungan matang seorang ahli

pedang tingkat tinggi, Melati berhasil mendaratkan ujung

pedangnya pada salah satu ujung tombak runcing yang

sudah menanti, siap menyate tubuhnya.

Beberapa saat lamanya tubuh Melati berada dalam

keadaan terbalik. Kepala berada di bawah, dan kaki berada di

atas. Ujung pedangnya menempel pada salah satu ujung

tombak runcing di dalam lubang itu. Seluruh kekuatan

bertumpu pada tangan kanannya yang menggenggam

pedang.

"Hih...!"

Perlahan-lahan Melati menekuk tangan kanannya.

Dan dengan demikian tubuhnya perlahan-lahan turun ke

bawah. Tampak tangan kanan gadis berpakaian putih itu

menggigil keras. Memang membutuhkan tenaga dalam yang

luar biasa untuk melakukan hal seperti itu.

Ujung tombak itu terlalu runcing dan licin. Kalau saja

Melati bukan termasuk gadis pemberani, dan tidak memiliki

tenaga dalam tinggi, niscaya tubuhnya akan terpanggang di

ujung-ujung tombak.

Begitu tangan kanannya sudah agak banyak tertekuk,

mendadak tubuh Melati bersalto ke atas. Rupanya hal itu

dilakukan untuk mencari tenaga, dalam usahanya mencapai

mulut lubang.


Dan usaha Melati ternyata tidak sia-sia. Tubuhnya

segera melesat cepat ke atas. Dan begitu telah berada di luar

lubang, gadis berpakaian putih ini bersalto di udara beberapa

kali. Kemudian, kakinya mendarat ringan dan mantap di

tanah.

Semua peristiwa itu berlangsung singkat. Dan ketika

Melati telah mendaratkan kedua kakinya di tanah, pasukan

khusus dan Patih Rantaka telah berhasil menyelamatkan diri

pula.

Kini Melati, Patih Rantaka, dan seluruh pasukan

khusus Kerajaan Bojong Gading berdiri di tempat itu dengan

sikap waspada. Di tangan mereka telah tergenggam senjata

terhunus.

"Gusti Ayu, apakah tidak sebaiknya kalau kita serbu

mereka?" usul seorang anggota pasukan khusus yang bertahi

lalat di pipinya.

"Bagaimana menurut, Paman?" Melati malah

melontarkan pertanyaan itu pada Patih Rantaka.

Gadis berpakaian putih tidak ingin bersikap sem-

brono. Maka hal itu malah ditanyakannya pada Patih

Rantaka, yang sudah pasti mempunyai pengalaman luas.

"Menurut hamba, kalau kita menyerbu merupakan

perbuatan tidak bijaksana. Lawan berada di tempat yang

tidak diketahui. Lagi pula, bukan tidak mungkin kalau

mereka telah menyiapkan jebakan-jebakan untuk kita,"

jawab Patih Rantaka memberi pendapat.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan. Paman?" tanya

Melari bingung. "Apakah kita berdiam diri saja di sini sambil

menanti mereka keluar dan menyerang kita?"

Patih Rantaka tercenung mendengar bantahan itu.

Apa yang dikatakan Melati memang benar. Memang tidak

mungkin kalau hanya menunggu terus. Tapi menyerbu pun

bukan cara yang bijaksana pula. Maka untuk beberapa saat

lamanya, laki-laki setengah baya ini terdiam.

"Bagaimana kalau aku memaksa mereka keluar,

Paman?" usul Melati.

"Sebuah usul yang baik. Gusti Ayu," sahut Patih

Rantaka.

"Tapi, bagaimana caranya? Gerombolan itu bukan

orang bodoh. Mereka pasti tahu kalau kita bukan lawan yang


mudah dikalahkan. Dan sudah pasti mereka tak akan mau

bertarung secara terang-terangan."

"Hal itu sudah kupikirkan, Paman," sahut Melati cepat

"Mudah-mudahan saja caraku ini dapat memaksa mereka

keluar!"

Patih Rantaka terdiam, dan tidak menyahuti lagi.

Laki-laki setengah baya ini ingin tahu juga, bagaimana

caranya putri angkat junjungannya ini akan memaksa

gerombolan itu keluar.

Bukan hanya Patih Rantaka saja yang ingin tahu. Dua

puluh orang pasukan khusus itu pun merasa tertarik juga.

Kini mereka semua diam, sama sekali tidak bersuara atau

bergerak saking ingin tahu apa yang akan dilakukan Melati.

Melati melangkah maju dua tindak. Kedua tangannya

terkembang membentuk cakar naga. Sebentar gadis itu

menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan-lahan.

Pikirannya dipusatkan pada satu titik. Seketika, kedua

tangan Melati sampai sebatas pergelangan, berubah merah,

seperti darah! Dan hal seperti ini selalu terjadi setiap kali

gadis berpakaian putih ini mengeluarkan tenaga dalamnya.

"Hih...!"

Mendadak Melati menghentakkan kedua tangannya ke

depan. Seketika hembusan angin kuat keluar dari kedua

tangan yang dihentakkan itu. Rupanya Melati ingin memaksa

keluar lawan-lawannya dengan Jurus 'Naga Merah

Membuang Mustika'.

Hebat bukan main akibat jurus itu. Sekitar tempat

yang menjadi sasaran pukulan jarak jauh Melati, langsung

porak-poranda seperti habis dilanda badai! Pohon-pohon

bertumbangan, semak-semak berpencaran ke sana kemari

tak tentu arah.

Tidak hanya sekali saja Melati melakukannya.

Diumbarnya jurus 'Naga Merah Membuang Mustika' itu ke

semua arah semak-semak dan pepohonan yang mengelilingi

tempat itu. Sudah dapat diduga akibatnya. Seluruh tempat

itu porak-poranda seperti habis dilanda angin topan!


27

Patih Rantaka dan seluruh pasukan khusus Kerajaan

Bojong Gading sampai bergidik melihat kedahsyatan ilmu

yang dimiliki Melati. Tapi Melati bukan bermaksud pamer

kesaktian di depan mereka. Gadis itu hanya berusaha

memancing lawan agar menampakkan diri. Maka mereka pun

segera mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Usaha yang dilakukan Melati tidak sia-sia. Dan kini

tampak banyak sosok tubuh berlompatan dari balik semak-

semak dan pepohonan yang terbongkar di sana-sini, akibat

terlanda angin pukulan gadis itu.

Tentu saja pasukan khusus ini tidak membiarkan

mereka lari begitu saja. Mereka semua bergegas bergerak

mengejar, kecuali Patih Rantaka dan Melati. Laki-laki

setengah baya ini berdiri di sebelah gadis itu.

Sebagai seorang yang memiliki kepandaian cukup

tinggi, Patih Rantaka tahu kalau gadis berpakaian putih itu

akan lelah setelah mengeluarkan tenaga dalam saat

mengobrak-abrik seluruh tempat ini. Maka dia sengaja tidak

ikut mengejar, tapi melindungi gadis itu dari serangan lawan.

Sementara itu, gerombolan Kala Ireng tidak bisa

menghindar lagi karena pasukan khusus Kerajaan Bojong

Gading telah menghadang langkah mereka.

Maka, pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi.

Sesaat kemudian, denting senjata beradu pun terdengar

ketika kedua belah pihak mulai saling menyerang hebat.

Baru saja Melati menghentikan amukannya, sesosok

bayangan hitam melesat dari balik sebuah kerimbunan

semak-semak. Bayangan itu terus melompat ke atas. Dan

dari atas, kedua tangannya yang berbentuk cakar,

menyambar deras ke arah ubun-ubun gadis itu.

Melati terperanjat melihat serangan maut itu. Tanpa

membuang-buang waktu lagi, dia segera melompat ke

samping, lalu bergulingan di tanah. Sehingga, serangan itu

hanya menyambar tempat kosong.

Patih Rantaka tidak tinggal diam. Sebelum sosok

bayangan hitam itu kembali menyerang Melati, dia segera

meloncat menerjang. Pedang di tangannya cepat ditusukka


ke arah leher, begitu kedua kaki sosok bayangan hitam itu

mendarat di tanah.

Berbahaya bukan main serangan yang dilakukan

Patih Rantaka. Serangan itu datangnya begitu tiba-tiba, dan

pada saat lawan baru saja hinggap di tanah. Laki-laki

setengah baya itu sudah bisa memperkirakan kalau

serangannya akan berhasil gemilang.

Tapi sungguh di luar dugaan, sosok bayangan hitam

itu ternyata mampu menangkis tusukan pedang dengan

cengkeraman tangan kanannya.

Tappp...!

Bilah pedang Patih Rantaka kini telah dicengkeram

sosok hitam itu. Hal ini membuat Patih Rantaka terperanjat,

tapi hanya sesaat saja. Kemudian laki-laki setengah baya ini

buru-buru mengerahkan tenaga dalam untuk menarik

kembali pedangnya. Atau paling tidak memutuskan jari-jari

tangan yang mencengkeram pedangnya.

Tapi sosok hitam yang tak lain Kala Ireng juga tidak

sudi membiarkan senjata itu berhasil ditarik pulang lawan.

Maka dia pun mengerahkan tenaga dalamnya untuk

mempertahankan tarikan lawan. Tak dapat dihindari, adu

tarik-menarik pedang pun berlangsung.

Ternyata tenaga dalam kedua tokoh ini berimbang.

Tak heran sampai beberapa saat lamanya, Patih Rantaka dan

Kala Ireng saling adu tarik, namun tak juga ada tanda-tanda

yang akan keluar sebagai pemenang.

Dalam hatinya, diam-diam Patih Rantaka terkejut

bukan kepalang melihat Kala Ireng mampu mempertahankan

pedang tanpa terluka. Mungkinkah lawan memiliki ilmu

kebal, sehingga kulit tubuhnya tak bisa dilukai?

Mendadak Kala Ireng melepaskan cengkeramannya.

Padahal, saat itu Patih Rantaka tengah mengerahkan seluruh

tenaga dalamnya untuk menarik kembali pedangnya.

Akibatnya bisa diduga! Tubuh laki-laki setengah baya ini

terjengkang ke belakang, terbawa tenaga tarikan tangannya.

Dan pada saat yang tepat Kala Ireng siap mengi-

rimkan serangan susulan. Tangannya bergerak ke balik baju.

Dan secepat tangan itu keluar, secepat itu pula dikibaskan.

Dan....

Singgg...!


Suara mendesing nyaring terdengar begitu sebuah

benda logam berbentuk bintang persegi lima, meluruk cepat

ke arah Patih Rantaka. Laki-laki setengah baya ini kaget

bukan kepalang. Padahal, saat itu tubuhnya tengah

terhuyung-huyung ke belakang akibat tenaga tarikannya

sendiri. Mendapat serangan mendadak itu, hatinya

terperanjat bukan main.

Untung saja Melati yang sudah memperbaiki ke-

adaannya dan tengah memperhatikan jalannya pertarungan,

bergegas melesat. Seketika ditariknya tangan Patih Rantaka.

Maka serangan itu lewat di sebelah kiri pinggang laki-laki

setengah baya itu.

"Terima kasih, Gusti Ayu," ucap Patih Rantaka seraya

memberi hormat

"Lupakanlah, Paman. Dan sekarang, menyingkirlah,"

sahut Melati buru-buru. "Biarlah aku yang menghadapinya."

"Tapi, Gusti Ayu...," Patih Rantaka yang merasa

khawatir akan keselamatan Melati mencoba membantah.

Walaupun dia tahu kalau kepandaian gadis berpa-

kaian putih ini memang tinggi, tapi biar bagaimanapun dia

harus bertanggung jawab atas keselamatannya.

"Jangan khawatir, Paman," hibur Melati. "Aku bisa

menjaga diri."

Seketika itu juga Patih Rantaka terdiam, tidak berani

membantah lagi. Laki-laki setengah baya ini mendengar

adanya tekanan yang tidak menghendaki adanya bantahan

dalam suara gadis itu. Dan itulah sebabnya, dia kini tidak

berbicara lagi.

Sementara itu, Kala Ireng menggeram melihat calon

korbannya berhasil lolos dari maut. Dengan wajah gusar,

dipandanginya Melati yang telah menolong Patih Rantaka

tadi. Pada saat yang sama, gadis berpakaian putih itu tengah

menatapnya pula. Tak pelak lagi, dua pasang mata saling

bertemu dan menatap tajam.

"Kaukah orang yang berjuluk Kala Ireng?" tanya

Melati, dingin.

"Tidak salah!" sahut Kala Ireng, tegas. Ada nada

kebanggaan dalam suaranya.

Memang, laki-laki berpakaian hitam ini mempunyai

sifat aneh. Dia merasa bangga kalau ada orang yang


mengenal julukannya. Apalagi, kalau orang yang

mengenalnya adalah seorang gadis cantik seperti Melati.

"Kalau begitu, kau harus mampus!"

Setelah berkata demikian, Melati melompat me-

nerjang. Menyadari kalau laki-laki berpakaian hitam itu

begitu lihai, gadis berpakaian putih ini langsung menge-

luarkan ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah". Kedua

tangannya mengembang membentuk cakar naga.

Melati membuka serangannya dengan sebuah sabetan

tangan kanan ke arah pelipis. Sementara tangan yang lain

menyilang di depan dada, bersiap-siap melancarkan serangan

susulan, sekaligus berjaga-jaga bila lawan melakukan

serangan mendadak.

Kala Ireng adalah seorang tokoh hitam yang memiliki

sifat angkuh. Dia selalu mengagulkan kepandaian sendiri, di

samping suka memandang rendah lawan. Apalagi lawannya

kali ini adalah seorang gadis muda!

Laki-laki berpakaian hitam ini begitu terkejut melihat

serangan Melati yang demikian cepat datangnya. Apalagi

ketika terdengar suara angin mencicit nyaring, mengiringi

tibanya serangan. Dari sini saja, Kala Ireng dapat

memperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung

dalam serangan lawannya.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Kala Ireng segera

menarik kaki kanannya ke belakang. Pada saat yang sama,

tangan kirinya digerakkan untuk menangkis sampokan

Melati.

Prattt..!

Benturan antara kedua tangan yang sama-sama

membentuk cakar pun tidak bisa dielakkan lagi. Hasilnya,

kedua belah pihak sama-sama meringis, menahan rasa sakit.

Hanya saja, rasa sakit yang mereka derita tentu berbeda.

Melati meringis. Rasa ngilu dan nyeri yang amat

sangat seketika mendera sekujur jari-jari tangannya. Seluruh

jari tangannya seolah-olah terasa seperti bukan berbenturan

dengan jari-jari tangan manusia, tapi seperti berbenturan

dengan batang-batang logam yang amat keras! Akibatnya,

sekujur tulang-tulang jarinya sakit dan nyeri.

Sementara itu, Kala Ireng pun dilanda rasa sakit pula.

Hanya saja rasa sakit yang diderita bukan pada jari-jari

tangannya, melainkan pada sekujur tangannya. Tangan yang


berbenturan itu terasa bergetar hebat. Bahkan tubuhnya

terhuyung-huyung jauh ke belakang akibat benturan tadi.

Dari benturan ini saja, sudah bisa diperkirakan kalau

dalam hal tenaga dalam. Melati lebih unggul. Sedangkan Kala

Ireng lebih unggul dalam hal kekerasan tulang-tulang jarinya.

Kala Ireng menggeram, seperti tidak bisa menerima

kenyataan kalau lawannya yang masih sangat muda itu

mampu mengunggulinya. Padahal, Patih Rantaka saja tidak

mampu mengalahkan kekuatan tenaga dalamnya. Maka

sambil menggerung keras, laki-laki berpakaian hitam ini

melancarkan serangan. Kedua tangannya membentuk cakar

garuda. Tiga buah jari tangannya terkembang, sementara ibu

jari dan kelingking terlipat ke dalam.

Dan dengan bentuk jari-jari tangan seperti itulah.

Kala Ireng melancarkan serangan. Kedua jari tangannya

meluncur cepat ke arah lawan. Tangan kanan mengancam

leher, sedangkan tangan kiri mengancam dada. Kedudukan

jari-jari tangan kanan menghadap ke atas, sementara ujung-

ujung jari tangan kiri menghadap ke bawah.

Melati yang telah mengetahui betapa kerasnya jari-jari

tangan lawan, tidak ingin mencari penyakit dengan mengadu

tangan kembali. Apalagi rasa ngilu dan sakit yang

menderanya belum lagi hilang. Dan tentu saja dia tidak mau

menambahnya lagi. Maka gadis berpakaian putih ini segera

melompat mundur ke belakang, sehingga serangan itu hanya

mengenai tempat kosong.

Tapi Kala Ireng tidak mungkin akan membiarkan

lawannya lolos. Bahkan memberi kesempatan pun tidak

mungkin. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, segera

dia melompat memburu. Sesaat kemudian, pertarungan yang

cukup sengit pun terjadi.

***

Bukan hanya antara Melati dan Kala Ireng saja yang

mengalami pertarungan sengit dan menarik. Di tempat lain,

juga terjadi pertarungan yang tidak kalah serunya.

Pertarungan antara pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading

menghadapi gerombolan Kala Ireng.

Hanya ada seorang saja yang sama sekali tidak ikut

bertarung. Dia adalah Patih Rantaka. Laki-laki setengah baya


itu kini malah jadi penonton saja. Dan hal ini tentu saja tidak

akan dilakukan kalau pasukannya terdesak. Dan memang,

keadaan pihak Kerajaan Bojong, Gading kelihatannya berada

di atas angin.

Sebetulnya kalau dihitung dalam hal jumlah orang,

gerombolan Kala Ireng masih lebih banyak daripada pihak

prajurit Kerajaan Bojong Gading. Jumlah mereka semua tak

kurang dari tiga puluh orang, sementara di pihak prajurit

hanya dua puluh orang. Maka kini dua orang pasukan

khusus menghadapi tiga orang lawan. Namun demikian

pihak prajurit tetap tidak terdesak. Maka tak heran bila

korban di pihak Kala Ireng mulai berjatuhan.

Bahkan perlahan tapi pasti, pihak pasukan khusus

Kerajaan Bojong Gading mulai dapat mendesak gerombolan

Kala Ireng. Tapi di antara mereka semua, keadaan Kala

Irenglah yang paling mengkhawatirkan.

Laki-laki bengis berpakaian hitam itu memang

terdesak hebat. Dan itu ternyata akibat kesalahannya sendiri

yang terlalu menganggap remeh lawan. Kala Ireng yang

merasa semakin penasaran segera mengeluarkan senjata

andalannya berupa gada berduri. Hal ini membuat Melati

terpaksa harus mengeluarkan pedangnya. Dan dengan

sendirinya, gadis berpakaian putih ini juga mengeluarkan

'Ilmu Pedang Seribu Naga' andalannya.

Kini Melati tidak ragu-ragu lagi untuk mengadu

senjata. Meskipun jika mengadu senjata tangannya selalu

bergetar, tapi hal ini tidak terlalu jadi masalah.

Suara menderu-deru dahsyat terdengar setiap kali

Kala Ireng mengayunkan gada berdurinya. Mengerikan sekali!

Tapi suara itu masih kalah dahsyat dan mengerikan bila

dibanding suara yang keluar dari setiap gerakan pedang

Melati. Suara menggerung keras seperti naga murka

terdengar setiap kali Melati menggerakkan pedangnya.

"Haaat...!"

Kala Ireng membabatkan gada berdurinya ke arah

pinggang Melati. Suara angin keras menderu mengiringi

tibanya serangan itu.

Melati menggertakkan gigi. Kedua kakinya tampak

menekan tanah. Pelan kelihatannya. Namun mendadak saja,

tubuh bagian bawah gadis ini terangkat naik ke belakang.

Sehingga, kini tubuh Melati berada di udara dalam keadaan


menelungkup. Keadaan tubuh bagian bawah tampak lebih

tinggi daripada bagian atas. Rupanya, gadis berpakaian putih

ini telah menggunakan jurus 'Naga Merah Mengangkat Ekor".

Pada saat yang bersamaan, pedang di tangan gadis itu

menusuk ke arah leher Kala Ireng. Cepat bukan main

gerakannya, sehingga Kala Ireng sangat terkejut. Dengan

sebisa-bisanya dia berusaha mengelak. Tapi....

Crottt...!

Telak dan mantap sekali pedang Melati menghunjam

leher Kala Ireng. Cairan merah kental muncrat dari leher

yang berlubang tertembus pedang. Ada suara mengorok

terdengar dari mulut laki-laki bengis berpakaian hitam itu.

Sesaat kemudian, tubuhnya menggelepar, lalu tidak bergerak

lagi untuk selama-lamanya.

Berbarengan dengan diamnya tubuh Kala Ireng,

Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah. Gadis

berpakaian putih ini menatap mayat lawannya sejenak, lalu

menolehkan kepala ke arah Patih Rantaka.

"Luar biasa! Gusti Ayu benar-benar lihai!" puji Patih

Rantaka sambil melangkah mendekati.

"Ah.,.! Paman terlalu memuji...," desah Melati

merendah.

"Sama sekali tidak, Gusti Ayu. Aku bicara sejujurnya,"

tegas Pauh Rantaka. "Kala Ireng yang begitu lihai dapat Gusti

Ayu robohkan. Bahkan tidak sampai sepuluh jurus!"

Melati tersenyum pahit. Sekilas sepasang matanya

menatap ke sekeliling, memperhatikan pertarungan yang

masih berlangsung antara pasukan khusus Kerajaan Bojong

Gading menghadapi gerombolan Kala Ireng. Lega hati gadis

berpakaian putih Ini meiihat pasukannya berada di atas

angin.

Dengan sekali lihat saja Melati tahu kalau keme-

nangan bagi pasukannya hanya tinggal menunggu waktu

saja. Jumlah gerombolan Kala Ireng hanya tinggal beberapa

gelintir saja. Bahkan sebagian anggota pasukan khusus telah

berdiri menganggur, karena kehabisan lawan.

"Jari-Jari tangannya kuat sekali, Paman," kata gadis

berpakaian putih seraya mengalihkan perhatian ke arah

Patih Rantaka. "Jari-jari tanganku sampai sakit-sakit ketika

berbenturan dengan jari-jari tangannya."

Patih Rantaka menganggukkan kepala membenarkan.



"Semula, kukira dia memiliki kulit yang kebal sewaktu

berani mencengkeram pedangku. Ternyata hanya jari-jari dan

telapak tangannya saja yang kuat. Sementara, bagian lainnya

biasa-biasa saja," sahut laki-laki setengah baya itu.

Melati menganggukkan kepala pertanda membe-

narkan ucapan Patih Rantaka.

"Mungkin dia hanya melatih tangan sebatas

pergelangan," duga Melari.

"Benar," sambut Patih Rantaka. "Memang banyak cara

untuk membuat tangan jadi seperti itu."

Melati terdiam. Sementara, Patih Rantaka tidak

melanjutkan ucapannya kembali. Kini kedua pimpinan

pasukan khusus ini mengalihkan perhatian pada per-

tarungan yang terjadi antara pasukan khusus melawan sisa

gerombolan Kala Ireng.

Kembali terdengar lolong kematian, diiringi robohnya

tubuh beberapa orang perampok di tanah untuk selama-

lamanya.

Dan dengan berakhirnya pertarungan itu, maka tidak

ada lagi anggota gerombolan Kala Ireng yang tersisa.

Semuanya tewas. Sementara di pihak pasukan khusus, tak

ada seorang pun yang tewas. Bahkan luka yang diderita

hanya ringan saja.

Bergegas seluruh anggota pasukan khusus meng-

hampiri Melati Gadis berpakaian-putih ini menyambut

mereka sambil tersenyum puas.

"Aku bangga pada kalian semua," puji Melati dengan

senyum di bibir. Sementara Patih Rantaka hanya

mengangguk-anggukkan kepala saja. Meskipun begitu,

mulutnya menyunggingkan senyum pula.

"Kini sudah jelas, mengapa pasukan yang dikirim

Adipati Triwisnu tidak pernah kembali. Pasti mereka semua

telah tewas. Kalau saja bukan rombongan kita yang kemari,

mungkin sebagian besar sudah tewas sebelum berhadapan

dengan mereka," jelas Patih Rantaka teringat pada perangkap

demi perangkap yang hampir saja merenggut nyawa pasukan

khusus Kerajaan Bojong Gading.

Melati sama sekali tidak menyahut, meskipun dalam

hati mengakui kebenaran ucapan laki-laki setengah baya itu.

Memang sulit bagi para prajurit biasa untuk menghindari

serangan jaring yang tiba-tiba. Di perangkap pertama saja,


Melati sudah dapat memperkirakan kalau sebagian dari

prajurit akan terkurung. Sementara yang lolos pun, belum

tentu bisa selamat dari ancaman senjata-senjata rahasia yang

menyambar. Sungguh sebuah persiapan yang matang!

Sesaat kemudian, Melati, Patih Rantaka, dan pa-

sukannya bergegas meninggalkan tempat itu, kembali

menuju Kerajaan Bojong Gadin


EMPAT


Suara kukuk burung hantu terdengar memecah

kesunyian malam. Langit tampak bersih. Hanya ada sedikit

awan yang menggantung di sana. Itu pun tampak tipis saja.

Meskipun bulan hanya sepotong nampak di langit, tapi

suasana malam jadi terlihat cukup terang. Karena, sinar

bulan tidak terhalang.

Dalam suasana seperti itulah, tampak dua sosok

bayangan berkelebat cepat. Dan karena suasana cukup

terang, dua sosok bayangan itu bisa terlihat agak jelas.

"Kau kenal pembunuhnya, Kelelawar Beracun?" tanya

salah satu dari dua orang itu.

Aneh sekali keadaan orang ini. Tubuhnya pendek

seperti anak-anak berusia delapan tahun. Kepalanya botak.

Tidak ada kain yang membungkus tubuhnya, selain secarik

celana pendek. Kulitnya putih seperti warna celananya. Tidak

ada kumis, jenggot, atau cambang yang menghias wajahnya.

Orang yang dipanggil Kelelawar Beracun itu menoleh,

tanpa menghentikan larinya sama sekali. Ciri-ciri yang

dimiliki amat berlainan dengan rekannya. Tubuhnya tinggi

kurus, berpakaian serba hitam dan longgar. Wajahnya putih

pucat. Sementara sepasang matanya kecil dan berwarna

merah. Persis mata kelelawar!

Menilik dari keadaannya, usia orang yang berjuluk

Kelelawar Beracun ini tak kurang dari empat puluh lima

tahun.

"Kenal sih tidak," sahut Kelelawar Beracun Suaranya

terdengar mencicit seperti suara kelelawar. "Tapi, apa

susahnya mengorek keterangan dari mulut para prajurit

nanti, Tuyul Tangan Seribu?"

Laki-laki bertubuh pendek yang ternyata berjuluk

Tuyul Tangan Seribu sama sekali tidak menyahuti. Dan

rupanya Kelelawar Beracun pun juga tidak berminat untuk

melanjutkan ucapannya. Kini kedua orang aneh itu

melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata lagi. Cepat bukan

main ilmu meringankan tubuh kedua orang itu. Sehingga

yang terlihat hanyalah bayangan hitam dan putih yang

berkelebatan cepat.


"Itu bangunan Istana Kerajaan Bojong Gading," unjuk

Kelelawar Beracun seraya menudingkan telunjuknya ke arah

sebuah bangunan besar yang menjulang kokoh di kejauhan,

tanpa mengendurkan kecepatan larinya.

"Hm...," Tuyul Tangan Seribu hanya menggumam

pelan sebagai jawabannya. Sementara kakinya terus saja

melangkah.

Hebat memang laki-laki bertubuh pendek ini.

Meskipun kedua kakinya pendek, namun sama sekail tidak

mengalami kesulitan untuk berlari di sebelah Kelelawar

Beracun.

Berkat ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai

tingkatan tinggi, dalam waktu singkat Istana Kerajaan Bojong

Gading telah berada di hadapan mereka.

Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu segera

merapatkan tubuh ke tembok Istana Kerajaan Bojong Gading.

Kepala mereka didongakkan ke atas sebentar, mengira-ngira

ketinggian tembok itu. Tak kurang dari tiga tombak tinggi

pagar tembok itu.

"Hih...!"

Kelelawar Beracun menjejakkan kedua kakinya di

tanah. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas.

Menggiriskan sekali kelihatannya. Karena, pakaiannya yang

berwarna hitam dan longgar berkibaran tertiup angin. Laki-

laki berwajah pucat ini tak ubahnya seperti seekor kelelawar

raksasa.

Tapi sebelum tubuh itu mencapai atas tembok,

luncuran itu terhenti. Kelelawar Beracun yang sudah

memperhitungkan hal itu sama sekali tidak gugup. Cepat

tangan kanannya dimasukkan ke balik baju. Dan begitu

keluar kembali, sebilah pisau telah berada di tangannya.

Cappp...!

Seketika pisau itu amblas ke dalam pagar tembok

sampai ke gagang ketika Kelelawar Beracun

menancapkannya. Tidak hanya sampai di situ saja yang dila-

kukan laki-laki berwajah pucat ini. Begitu pisau itu amblas,

dengan tangan kanan berpegangan pada gagang pisau,

tubuhnya kembali melenting ke atas.

Hebat cara yang dilakukan Kelelawar Beracun untuk

melewati pagar tembok. Tapi, masih lebih hebat lagi cara

yang dilakukan Tuyul Tangan Seribu. Laki-laki bertubuh



pendek ini berusaha melewati pagar tembok istana dengan

cara merayap, seperti layaknya seekor cecak berjalan di

dinding!

Dari pertunjukan ini saja sudah bisa diperkirakan

kekuatan tenaga dalam yang dimiliki laki-laki bertubuh

pendek itu. Melakukan hal seperti itu paling tidak

membutuhkan tenaga dalam yang sangat tinggi, sehingga

dapat menempelkan tangan dan kaki pada pagar tembok.

Karena Tuyul Tangan Seribu menggunakan cara

seperti itu, tidak aneh jika baru saja mencapai setengah

perjalanan, Kelelawar Beracun telah mendaratkan kakinya di

atas pagar tembok. Namun tiba-tiba....

"Siapa kau?!" terdengar teguran salah seorang prajurit

yang menjaga pagar tembok Istana Kerajaan Bojong Gading

itu.

"Hmh...!"

Kelelawar Beracun hanya mendengus, namun tangan

kanannya cepat bergerak mengibas.

Plakkk...!

Terdengar suara keras ketika dada prajurit itu

terhantam tangan Kelelawar Beracun. Seketika itu juga

tubuh prajurit itu terpental jauh dengan tulang-tulang dada

hancur. Nampaknya seluruh isi dadanya remuk. Cairan

merah kental mengalir deras dari mulut, hidung, dan

telinganya. Prajurit yang malang itu kontan tewas sebelum

tubuhnya sempat mencium tanah.

Karuan saja hal itu mengagetkan prajurit lain. Maka

serentak mereka pun menyerang Kelelawar Beracun. Seketika

itu juga beberapa ujung tombak berkelebatan cepat

mengancam berbagai bagian tubuh laki-laki berwajah pucat

itu.

"Hmh...!"

Lagi-lagi Kelelawar Beracun hanya mendengus. Segera

kakinya dijejakkan. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah

berada di atas kepala para prajurit itu. Dan sekali tangannya

bergerak menepuk, tubuh para prajurit itu terdorong ke

depan. Begitu kuatnya dorongan itu. Sehingga tanpa mampu

dicegah lagi, tubuh para prajurit itu berpentalan menjauh.

Terdengar suara jeritan yang memilukan ketika tubuh

mereka berjatuhan ke bawah.


***

Ringan tanpa suara sama sekali. Kelelawar Beracun

mendaratkan kedua kakinya di tanah. Dia kini telah berada

di dalam istana. Tapi baru saja hinggap, kembali belasan

orang prajurit meluruk menyerbu ke arahnya dengan senjata

terhunus. Memang, keributan yang ditimbulkan tadi telah

memancing tibanya prajurit lain.

Dan kini hujan senjata telah meluruk ke arah ber-

bagai bagian tubuh Kelelawar Beracun. Tapi kembali laki-laki

berwajah pucat ini hanya mendengus pelan. Kedua

tangannya segera bergerak cepat, menangkis serangan-

serangan yang datang.

Tak, tak...!

Suara berdentang keras seperti beradunya dua batang

logam terdengar ketika tangan Kelelawar Beracun

berbenturan dengan senjata para pengeroyoknya. Maka

seketika terdengar seruan keterkejutan dari mulut para

prajurit itu, tatkala merasakan getaran hebat pada tangan

yang menggenggam senjata. Bahkan hampir-hampir senjata

itu terlepas dari tangan.

Belum sempat para prajurit itu berbuat sesuatu,

tangan Kelelawar Beracun bergerak cepat bukan main. Mana

mungkin para prajurit yang hanya mempunyai kemampuan

pas-pasan itu mampu mengelak? Seketika itu juga tubuh tiga

orang prajurit itu terlempar jauh ke belakang seperti

diseruduk kerbau! Darah segar langsung memancar deras

dari mulut, hidung, dan telinga. Mereka langsung tewas

tanpa mampu berteriak lagi.

Kelelawar Beracun tidak bertindak setengah-setengah.

Seluruh kemampuan yang dimilikinya dikerahkan. Akibatnya

sudah bisa diduga. Para prajurit pun berjatuhan saling susul

diiringi jerit kematian mendirikan bulu roma.

Meskipun tahu betapa lihainya laki-laki berwajah

pucat itu, namun para prajurit Kerajaan Bojong Gading tidak

menjadi gentar karenanya. Dengan semangat tanggung jawab

tinggi, mereka segera datang membantu. Maka pembantaian

besar-besaran pun terjadi oleh tangan dingin Kelelawar

Beracun.


Menggiriskan sekali tindakan Kelelawar Beracun ini.

Para prajurit itu seperti semut-semut yang menerjang api.

Mereka semua berguguran tanpa mampu berbuat sesuatu.

Belum juga kerusuhan yang ditimbulkan Kelelawar

Beracun bisa ditanggulangi, Tuyul Tangan Seribu datang.

Dan begitu tiba, langsung saja menceburkan diri dalam arena

pertmpuran. Dan yang lebih mengerikan lagi, tindakan Tuyul

Tangan Seribu tidak kalah dinginnya dengan amukan

Kelelawar Beracun.

Laki-laki bertubuh pendek ini menggerak-gerakkan

tangannya. Dan hebatnya, sepasang tangan itu seperti

berubah menjadi banyak. Kemana pun tangan itu bergerak,

sudah dapat dipastikan ada seorang prajurit yang roboh

untuk selamanya.

Hebat sekali akibat yang ditimbulkan dua orang tokoh

sakti itu. Tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan di

sana-sini. Sudah tak terhitung lagi, berapa prajurit Kerajaan

Bojong Gading yang tewas. Meskipun begitu, tetap saja yang

lainnya tak menjadi gentar dan tetap saja mengadakan

perlawanan sengit.

"Mari kita berlomba menghabisi lawan, Kelelawar

Beracun!" ajak Tuyul Tangan Seribu sambil tertawa-tawa

gembira.

Tangan kanan laki-laki pendek itu bergerak me-

nampar ke arah kepala seorang prajurit Terdengar suara

berderak keras ketika pelipis prajurit itu pecah. Maka prajurit

malang itu pun tewas seketika.

"Kuterima tantanganmu, Tuyul Tangan Seribu!"

sambut Kelelawar Beracun tak mau kalah.

Kaki laki-laki berwajah pucat ini meluncur cepat ke

arah dada salah seorang prajurit. Terdengar suara berderak

keras diikuti terpentalnya tubuh prajurit yang malang itu

ketika tendangan Kelelawar Beracun mengenai dada. Prajurit

itu pun roboh untuk selama lamanya dengan seluruh tulang

dada hancur!

"Mundur semua...!"

Tiba-tiba terdengar bentakan keras, diikuti mun-

culnya dua sosok tubuh berpakaian panglima.

Mendengar bentakan keras menggelegar itu, bergegas

belasan orang prajurit yang memang sudah kewalahan itu



berlompatan mundur. Mereka semua mengenal pemilik suara

itu. Siapa lagi kalau bukan Panglima Jatalu.

Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu sama

sekali tidak mengejar para prajurit itu. Mereka hanya berdiri

menanti. Pandangan mata kedua orang sakti ini tertuju pada

dua orang panglima yang bergerak menghampiri mereka.

Dua orang panglima yang tak lain Panglima Jatalu

dan Panglima Garda itu melangkah menghampiri. Panglima

Garda dulu tidak ikut dalam pertempuran peristiwa

pemberontakan di Kerajaan Bojong Gading karena mendapat

tugas dari Prabu Nalanda.

Kali ini Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu

bersikap waspada, tidak lagi sembarangan seperti

sebelumnya. Sekali lihat saja, mereka tahu kalau kedua

orang panglima itu bukan orang sembarangan. Dan itulah

sebabnya, mengapa mereka berlaku hati-hati.

"Siapa kalian?! Dan mengapa mengacau Istana

Kerajaan Bojong Gading?!" tanya Panglima Jatalu dengan

suara khasnya yang keras seperti halilintar.

Laki-laki bertubuh tinggi besar ini memang marah

bukan main melihat banyak prajurit Kerajaan Bojong Gading

yang bergelimpangan tanpa nyawa di tanah.

"Aku Kelelawar Beracun!" sahut laki-laki berwajah

pucat sambil tersenyum mengejek.

"Dan aku, Tuyul Tangan Seribu!" sambung laki-laki

bertubuh pendek tak mau kalah.

Berubah wajah Panglima Jatalu dan Panglima Garda

begitu mendengar julukan kedua orang itu. Sebab, dua tokoh

sesat itu terkenal memiliki kepandaian tinggi dan bersifat

telengas.

"Dan kami datang untuk membalaskan dendam!

Seorang gadis berpakaian putih dan berambut panjang telah

membunuh sahabat kami!" sahut Kelelawar Beracun, dingin.

"Siapa sahabat kalian?" Panglima Garda ikut angkat

bicara.

Sudah bisa diperkirakan kalau gadis berpakaian putih

yang dimaksud laki-laki berwajah pucat itu adalah Melati,

putri angkat Raja Bojong Gading. Melati adalah seorang gadis

pendekar. Dan selama petualangannya memang bukan tidak

mungkin kalau dia telah membunuh seorang yang menjadi

sahabat kedua orang ini.


"Kala Ireng!" tandas Tuyul Tangan Seribu.

"Kala Ireng?!" ulang Panglima Garda dan Panglima

Jatalu berbarengan.

Kala Ireng adalah pemimpin gerombolan perampok

yang memang belum lama ini ditumpas Melati. Jadi, rupanya

kedua orang ini adalah sahabat kepala rampok itu.

"Ya!" Kelelawar Beracun menganggukkan kepala.

"Cepat suruh wanita keparat itu keluar untuk menerima

kematian di tangan kami! Jangan sampai aku berubah

pikiran, hingga harus membunuh kalian!"

Terdengar suara gemeretak keras dari mulut semua

orang yang berada di situ. Mereka memang marah bukan

main mendengar Melati, wanita yang mereka bangga-

banggakan, dimaki seperti itu.

"Sayang sekali, Kisanak!" sahut Panglima Jatalu

keras. "Kami sama sekali tidak bisa memenuhi per-

mintaanmu. Bahkan justru kamilah yang akan mengadili

kalian karena telah membunuh banyak prajurit dan juga

menghina junjungan jami!"

"Ha ha ha...!" Tuyul Tangan Seribu tertawa terbahak-

bahak. "Kalian mencari penyakit rupanya!"

"Hiyaaat..!"

Panglima Garda yang sudah tidak bisa menahan

kemarahannya lagi segera melompat menerjang. Tiga buah

Jari tangannya mengembang membentuk cakar. Sementara

ibu jari dan kelingking terlipat ke dalam. Panglima andalan

Kerajaan Bojong Gading itu menggunakan 'Ilmu Garuda

Sakti'. Tubuhnya kemudian meluncur turun seraya

mengirimkan serangan ke arah ubun-ubun dan pelipis

Kelelawar Beracun.

"Hey...!"

Baik Tuyul Tangan Seribu maupun Kelelawar Beracun

terperanjat melihat ilmu yang digunakan Panglima Garda.

Sebab, kelihatannya mirip sekali dengan ilmu yang dimiliki

rekan mereka, Kala Ireng.

Memang dugaan kedua orang itu sama sekali tidak

salah. Baik Panglima Garda, maupun Kala Ireng sama-sama

mempergunakan ilmu yang diambil dari gerakan burung

garuda. Baik dalam hal bentuk jari tangan, maupun perilaku

binatang itu. Terutama saat menghadapi mangsa maupun


musuh yang lebih kuat. Tidak aneh jika ilmu yang dimainkan

memiliki persamaan.

Kelelawar Beracun tidak berani bertindak main-main.

Dia mendengar adanya suara angin mencicit mengiringi

tibanya serangan lawan. Pertanda kalau serangan itu

mengandung tenaga dalam tinggi.

Tapi laki-laki berwajah pucat ini adalah orang yang

terlalu percaya akan diri sendiri. Dia selalu percaya akan

kelihaian yang dimilikinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi

tangannya segera diangkat untuk menangkis, seraya

mengeluarkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki.

Prattt..!

Tubuh Panglima Garda terpental balik ke atas kembali

begitu tangan mereka saling berbenturan. Sekujur tangannya

terasa sakit bukan main. Bahkan boleh dibilang setengah

lumpuh! Bukan hanya itu saja. Dadanya pun terasa sesak

bukan main.

Sedangkan Kelelawar Beracun hanya merasakan

betapa kedua tangannya agak bergetar. Tapi kuda-kudanya

tetap tidak berubah. Pertanda kalau benturan itu sama sekati

tidak mempengaruhinya.

Dengan agak terhuyung-huyung, Panglima Garda

mendaratkan kedua kakinya di tanah. Panglima Jatalu yang

melihat hal ini menjadi khawatir dan bergegas memburunya.

"Kau tidak apa-apa, Panglima Garda?" tanya Panglima

Jatalu agak khawatir.

Panglima bertubuh tinggi besar ini tentu saja bisa

mengetahui kalau Kelelawar Beracun jauh lebih kuat

daripada rekan sekaligus adik seperguruannya. Memang

Panglima Jatalu dan Panglima Garda adalah saudara

seperguruan. Mereka sama-sama murid utama Perguruan

Garuda Sakti (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam

episode "Banjir Darah di Bojong Gading").

Panglima Garda menggelengkan kepala.

"Tenaga dalamnya luar biasa sekali. Kang," kata

Panglima Garda memberi tahu.

"Biar aku yang menghadapinya," Panglima Jatalu

menawarkan diri. "Kau hadapi saja kawannya"

Panglima Garda sama sekail tidak membantah. Kini

kedua panglima itu bergerak ke arah yang berlawanan.

Panglima Garda ke kiri, sementara Panglima Jatalu ke kanan.


"Ha ha ha...!"

Kelelawar Beracun tertawa bergelak. Laki laki

berwajah pucat ini kembali bangkit kesombongannya, begitu

telah mengetahui tingkat kepandaian lawan. Sambil masih

tertawa-tawa, diperhatikannya Panglima Jatalu yang kini

perlahan-lahan mulai menghampiri.

"Haaat..!"

Panglima Jatalu kini melompat menyerang. Tangan

kanannya yang berbentuk cakar garuda meluncur cepat ke

arah ulu hati Kelelawar Beracun. Sementara tangan kirinya

terpalang di depan dada.

"Hiyaaa...!"

Kelelawar Beracun melesat memapak serangan

Panglima Jatalu. Tangan kanannya dengan jari-jari tangan

terkembang lebar memapak.

Prattt...!

Tubuh Panglima Jatalu terjengkang ke belakang.

Tangan kanannya terasa lumpuh, setelah beradu dengan

tangan Kelelawar Beracun. Rasa sesak yang amat sangat

mendera dadanya. Sementara Kelelawar Beracun sama sekali

tidak terhuyung. Hanya kedua tangannya bergetar. Tubuhnya

yang agak condong ke belakang saja, yang membuktikan

kalau benturan dengan Panglima Jatalu itu cukup

mempengaruhinya.

Tapi sekejap kemudian. Kelelawar Beracun kembali

melompat menerjang, ke atas. Langsung dihujaninya tubuh

yang masih terhuyung-huyung itu dengan serangan tusukan

tangan bertubi-tubi.

Panglima Jatalu terperanjat. Tidak ada lagi kesem-

patan untuk mengelakkan serangan itu, karena dalam

keadaan yang tidak memungkinkan. Jalan satu-satunya

hanya menangkis. Dan itulah yang terpaksa harus dilakukan

panglima bertubuh tinggi besar ini dalam usaha untuk

menyelamatkan nyawanya.

Plak, plak, plak...!

Benturan keras terdengar berkali-kali ketika dua

pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam

tinggi berbenturan. Panglima Jatalu meringis.

Tubuhnya yang memang tengah terhuyung-huyung

itu kontan terjengkang, dan jatuh bergulingan di tanah. Sakit

yang diderita tangannya tadi belum lagi hilang, kini terpaksa


harus berbenturan lagi. Kedua tangannya saat ini benar-

benar tidak bisa digerakkan lagi.

"Ha ha ha...!"

Kembali terdengar suara tawa Kelelawar Beracun.

Seperti sebuah tawa kemenangan.

Panglima Jatalu bergerak bangkit. Diam-diam

disesalinya sendiri keteledorannya. Kalau saja sejak semula

tidak bertindak teledor dengan mengadu benturan tenaga,

tidak akan semudah itu akan dipecundangi lawannya.

"Sudah kubilang, cepat panggil wanita keparat itu

kemari! Sampai saat ini aku masih mau bersabar, dan tidak

membunuhmu. Tapi kalau kau masih bersikeras juga, jangan

salahkan kalau aku akhirnya bertindak keji padamu!" ancam

Kelelawar Beracun seraya menatap tajam wajah Panglima

Jatalu.

"Cuhhh...!" Panglima Jatalu membuang ludah ke

tanah. "Kau kira aku takut mati, Kelelawar Beracun?!"

Merah selebar wajah Kelelawar Beracun. Terdengar

suara gemeretak keras dari gigi-giginya, karena kemarahan

yang menggelegak. Perlahan-lahan kakinya melangkah

menghampiri Panglima Jatalu yang berusaha bangkit berdiri.

Hawa maut terpancar baik pada wajah maupun sorot

matanya.

Tentu saja para prajurit Kerajaan Bojong Gading tidak

tinggal diam melihat atasan mereka terancam bahaya maut.

Serentak mereka semua bergerak, berdiri di depan Panglima

Jatalu dengan senjata terhunus.

"Hmh...!"

Kelelawar Beracun mendengus. Tanpa mempedulikan

adanya para prajurit itu, dia tetap melangkah maju. Rupanya

tokoh sesat ini bersiap mengirim Panglima Jatalu ke alam

baka.

"Serbu...!"

Diiringi teriakan salah seorang prajurit, belasan

prajurit itu menyerang Kelelawar Beracun. Hujan senjata

tajam pun berhamburan ke arah laki-laki berwajah pucat itu.

Kelelawar Beracun menyambut serbuan itu. Tak pelak

lagi, pertarungan sengit di antara mereka terjadi.


LIMA


Berbeda dengan pertarungan Panglima Jatalu yang

hanya berlangsung beberapa gebrakan, pertempuran antara

Panglima Garda dengan Tuyul Tangan Seribu justru

berlangsung lebih lama.

Pengalaman yang diterima ketika menghadapi

Kelelawar Beracun memang membuat panglima itu berhati-

hati. Maka dia tidak berani bertindak ceroboh dengan

sembarangan mengadu tenaga dengan Tuyul Tangan Seribu.

Tapi karena memang tokoh sesat itu lebih unggul segala-

galanya, maka tak heran kalau Panglima Garda terdesak

hebat.

Tuyul Tangan Seribu memang memiliki kepandaian

luar biasa! Terutama sekali gerakan tangannya yang cepat

bukan main. Seolah-olah tangan itu tidak berjumlah dua,

tapi banyak! Mungkin itulah sebabnya, mengapa laki-laki

bertubuh pendek ini mendapat julukan Tuyul Tangan Seribu.

Panglima Garda kebingungan. Kepalanya terasa

pusing bukan main. Sepasang matanya pun berkunang-

kunang akibat pergerakan tangan lawan yang sedemikian

cepatnya. Tidak sampai tiga jurus dia sudah terdesak hebat.

Sudah dapat dipastikan, robohnya Panglima Garda hanya

tinggal menunggu waktu saja.

"Haaat...!"

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang meng-

getarkan jantung. Belum lagi gema teriakan itu lenyap,

sesosok bayangan putih melesat cepat memasuki arena

pertarungan antara Tuyul Tangan Seribu dengan Panglima

Garda.

Begitu masuk kancah pertempuran, sosok bayangan

putih itu langsung melancarkan serangan bertubi-tubi ke

arah kepala dan ubun-ubun Tuyul Tangan Seribu.

Mendapat serangan yang tidak disangka-sangka,

Tuyul Tangan Seribu langsung terperanjat. Meskipun begitu

dia tidak gugup. Buru-buru desakannya pada Panglima

Garda dibatalkan. Lalu, dia melompat ke samping kanan dan

bergulingan menjauh.


Sosok bayangan putih itu sama sekali tidak me-

ngejarnya. Begitu Tuyul Tangan Seribu menjauhkan diri,

tubuhnya kembali melesat ke arah pertarungan yang terjadi

antara Kelelawar Beracun dengan para prajurit Kerajaan

Bojong Gading.

Seperti halnya Tuyul Tangan Seribu, Kelelawar

Beracun pun terkejut bukan main begitu melihat sekelebatan

bayangan putih melesat ke arahnya, menerobos kerumunan

prajurit. Bayangan putih itu melancarkan serangan dengan

kedua tangan membentuk setengah cakar ke arah dada dan

ulu hati.

Angin keras berhembus sebelum serangan itu sendiri

tiba. Dari angin serangan itu saja, Kelelawar Beracun sudah

bisa memperkirakan kedahsyatan tenaga dalam yang

terkandung di dalamnya.

Tapi karena keyakinannya amat kuat terhadap

kemampuan diri, membuat laki-laki berwajah pucat Ini tidak

berusaha mengelakkan serangan itu. Dia malah memapaknya

dengan jari-jari tangan membentuk cakar seperti sosok

bayangan putih itu menyerangnya.

Prattt…!

Tubuh Kelelawar Beracun terhuyung tiga langkah ke

belakang. Sementara sosok bayangan putih itu hanya

terhuyung satu langkah ke belakang. Bukan hanya itu saja

yang dirasakan laki-laki berwajah pucat ini. Kedua tangan

yang berbenturan terasa ngilu bukan main!

"Mundur semua...!" perintah sosok bayangan putih itu

keras begitu kakinya hinggap di tanah. Suaranya terdengar

tegas dan berwibawa.

Tanpa menunggu perintah dua kali, para prajurit yang

mengeroyok Kelelawar Beracun segera berlompatan mundur.

Mereka semua telah mengenal pemilik suara itu.

Kelelawar Beracun menatap tajam wajah sosok

bayangan putih, begitu berhasil memperbaiki berdirinya.

Rasa penasaran menyelimuti hatinya. Baru kali ini ada orang

yang sanggup membuatnya terhuyung-huyung dalam adu

tenaga.

Perasaan penasaran itu semakin menjadi-jadi ketika

melihat sosok bayangan putih itu ternyata adalah seorang

gadis berpakaian putih yang berambut pan jang terurai.


Hanya seorang gadis muda telah mampu membuatnya

terhuyung-huyung! Sungguh sulit dipercaya.

Tapi sesaat kemudian, kemarahan kembali meng-

gelegak dalam hatinya. Dia teringat sesuatu. Ciri-ciri gadis di

hadapannya ini sangat mirip dengan orang yang dikabarkan

telah membunuh Kala Ireng.

"Kaukah orang yang telah membunuh Kala Ireng,

Wanita Liar?!" tanya Kelelawar Beracun kasar. Nada suara

dan sorot matanya memancarkan kemarahan yang amat

sangat.

Wajah gadis berpakaian putih yang tak lain dari

Melati merah padam. Ucapan Kelelawar Beracun membuat

amarahnya bangkit. Meskipun begitu kemarahannya

berusaha ditahan.

"Kalau memang benar, kau mau apa?!" Melati balas

bertanya sambil bertolak pinggang. Sikap maupun nada

suaranya penuh tantangan. "Orang seperti Kala Ireng layak

untuk mampus!"

"Keparat!"

Sambil berteriak memaki, Kelelawar Beracun segera

melancarkan serangan ke arah Melati. Tahu akan kelihaian

lawannya, laki-laki berwajah pucat itu tidak bertindak,

tanggung-tanggung lagi. Segera dikeluarkan Ilmu

andalannya, 'Jari Tombak'.

Kedua tangannya dikepalkan, kecuali jari telunjuknya

yang menegang kaku. Dan dengan bentuk jari-jari tangan

seperti itulah, Kelelawar Beracun menyerang Melati. Dua jari

telunjuknya meluncur cepat ke arah gadis itu, mengancam

leher dan bawah hidung yang merupakan dua jalan darah

kematian!

Terdengar suara mencicit nyaring seperti ada seekor

tikus terjepit, mengiringi datangnya serangan itu.

Melati yang tengah murka bukan main melihat ba-

nyak pasukan Kerajaan Bojong Gading tewas, dan juga

karena ucapan lawan, tidak ingin bertindak main-main lagi.

Segera dikeluarkannya pula ilmu andalannya, 'Cakar Naga

Merah'.

Kedua tangan gadis berpakaian putih ini terkembang

membentuk cakar naga. Ditambah lagi kedua tangan sampai

sebatas pergelangan gadis itu berwarna merah seperti darah.


Melati terkejut bukan main ketika mengetahui

beberapa helai rambutnya berputusan tatkala serangan

Kelelawar Beracun menyambar dekat. Kalau saja dia belum

pernah bertarung dengan orang yang memiliki ilmu semacam

ini, pasti dia akan kebingungan beberapa saat lamanya. Ilmu

yang dimiliki lawannya mirip dengan yang dimiliki Darba

(Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Cinta

Sang Pendekar").

Melihat hal ini, Melati tidak berani bertindak ceroboh.

Bergegas kakinya melangkah ke kanan, sehingga serangan

itu lewat sekitar sejengkal di samping kiri tubuhnya. Dan

secepat dia mengelak, secepat itu pula Melati melancarkan

serangan berupa sampokan tangan kiri ke arah pelipis

Keielawar Beracun.

Kelelawar Beracun menggeram murka. Sungguh di

luar dugaan, kalau dalam segebrakan saja lawannya ini

mampu balik mengancam. Padahal sebelumnya keadaan

gadis berpakaian putih itu berada dalam pihak terancam.

Tapi Kelelawar Beracun memang bukan orang

sembarangan. Menghadapi serangan itu, dia tidak menjadi

bingung atau gugup. Segera kepalanya dirundukkan, seraya

merendahkan tubuh. Dengan sendirinya, serangan itu lewat

sekitar sejengkal di atas kepala.

Rupanya hal itu sudah diperhitungkan Melati.

Terbukti, gadis itu langsung melancarkan serangan susulan.

Kaki kirinya mencuat mengancam perut Kelelawar Beracun.

Andaikan kena, mungkin bisa remuk isi dada laki-laki

berwajah pucat itu.

Tidak ada jalan lain bagi Kelelawar Beracun. Segera

tubuhnya dilempar ke belakang kemudian bersalto beberapa

kali di udara untuk mengelakkan serangan.

Melati sama sekali tidak memberi kesempatan. Begitu

lawannya terlihat melempar tubuh ke belalang, gadis

berpakaian putih ini bergegas bergerak mengejar. Tapi

sebelum niatnya tedaksana, sesosok bayangan berkelebat.

Dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang laki-laki

bertubuh pendek. Siapa lagi kalau bukan Tuyul Tangan

Seribu!

Tuyul Tangan Seribu sama sekali tidak memberi

kesempatan pada Melati. Secepat kedua kakinya hinggap di

tanah, secepat itu pula serangannya dilancarkan ke arah


gadis berpakaian putih. Kedua tangannya menotok bertubi-

tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar. Cepat bukan main

gerakannya.

Melati terperanjat. Kecepatan gerak tangan lawan

benar-benar membingungkan. Gadis berpakaian putih ini

memang tidak ingin bertindak ceroboh, jadi tidak berani

langsung menangkis. Dia belum mengetahui perkembangan

ilmu lawannya, maka cepat-cepat bergerak mengelak.

Baru saja gadis berpakaian putih mengelakkan

serangan itu, Kelelawar Beracun telah kembali menye-

rangnya. Maka, kini putri angkat Raja Bojong Gading ini pun

dikeroyok dua.

***

Panglima Jatalu, Panglima Garda, dan semua prajurit

hanya menonton pertarungan itu dengan hati berdebar

tegang. Diam-diam mereka semua merasa kagum pada

Melati. Dan memang, mereka semua telah merasakan sendiri,

betapa lihainya tokoh yang berjuluk Tuyul Tangan Seribu dan

Kelelawar Beracun itu. Menghadapi satu orang saja, mereka

mengalami kesulitan. Tapi sekarang, putri angkat junjungan

mereka menghadapi keroyokan dua tokoh sakti itu sekaligus.

Dari sini saja mereka sudah bisa memperkirakan kelihaian

gadis berpakaian putih itu.

Di samping perasaan kagum itu, terselip rasa

khawatir yang amat sangat dalam hati mereka semua.

Mereka tidak yakin kalau Melati akan mampu menghadapi

dua orang lawannya. Dan dengan perasaan harap-harap

cemas, mereka menyaksikan jalannya pertarungan.

Meskipun mereka semua menyaksikan jalannya

pertarungan, tapi hanya Panglima Jatalu dan Panglima Garda

saja yang bisa mengira-ngira keadaan kedua belah pihak

yang bertempur.

Pertarungan antara Melati melawan Tuyul Tangan

Seribu dan Kelelawar Beracun memang berlangsung

demikian cepat. Tidak aneh kalau para prajurit Kerajaan

Bojong Gading sama sekali tidak bisa mengikuti jalannya

pertarungan. Bukannya kelihatan, tapi kepala mereka yang

pusing. Dan sepasang mata mereka pun berkunang-kunang

ketika memaksakan diri untuk melihat pertarungan itu.


Panglima Garda dan Panglima Jatalu saja yang telah

memiliki kepandaian tinggi, tidak dapat melihat jelas

pertarungan itu. Sulit untuk mengetahui, mana pihak yang

terdesak, dan yang mendesak. Yang menjadi patokan mereka

adalah bayangan putih dan hitam yang saling menyerang

cepat.

Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu

menggertakkan gigi. Mereka marah dan malu bukan main, di

samping ada perasaan kagum yang terselip. Padahal mereka

telah mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki, tapi

tak juga mampu mengalahkan lawan. Jangankan

mengalahkan, mendesak pun tidak mampu.

Pertarungan memang berlangsung cepat, karena

masing-masing pihak memang mengerahkan seluruh

kemampuan. Sehingga dalam waktu sebentar saja, empat

puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu belum nampak ada

tanda-tanda yang terdesak. Terdengar suara mencicit dan

menderu menyemaraki pertarungan sengit itu.

Bukan hanya Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan

Seribu yang merasa kagum. Melati pun diam-diam merasa

kagum terhadap kedua orang lawannya ini. Mereka memang

memiliki keistimewaan masing masing. Kelelawar Beracun

dengan ilmu 'Jari Tombak'nya, sedangkan Tuyul Tangan

Seribu dengan iimu 'Tangan Seribu'nya. Melati berjuang

keras, mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya

sampai setinggi mungkin. Kedua cakarnya dalam pemakaian

ilmu 'Cakar Naga Merah' menyambar-nyambar mencari

sasaran.

Kembali empat puluh jurus berlalu cepat. Dan selama

itu, belum juga ada tanda-tanda yang akan terdesak maupun

mendesak. Pertarungan masih kelihatan seimbang.

Sementara jumlah prajurit yang menonton pun semakin

banyak. Di antara mereka, ternyata telah hadir pula Panglima

Gotawa, Panglima Tampaya, Patih Rantaka, dan pasukan

khusus kerajaan. Bahkan di sana juga telah berdiri dengan

agungnya Prabu Nalanda.

Melihat hal ini, tentu saja Kelelawar Beracun menjadi

cemas. Betapapun saktinya dia dan Tuyul Tangan Seribu,

tapi tetap saja tidak akan mungkin mampu menghadapi

sekian banyaknya lawan. Maka perasaan cemaslah yang

mendorongnya menggunakan senjata andalan.


Kelelawar Beracun memasukkan tangannya ke balik

baju. Sesaat kemudian tangan itu dikeluarkan kembali, dan

secepat itu pula dikibaskan.

Serrr...!

Terdengar suara berdesir pelan diikuti melesatnya

benda-benda kecil berkilauan ke arah Melati.

Melati terperanjat begitu mendengar suara berdesir

pelan. Tapi karena suasana malam yang cukup terang, gadis

berpakaian putih ini tidak mengalami kesulitan untuk

mengetahuinya. Benda itu ternyata adalah jarum yang

mungkin puluhan jumlahnya. Bau amis yang memuakkan

tercium ketika jarum-jarum itu meluncur.

Bukan hanya Melati saja yang merasa terkejut melihat

hal ini. Semua orang yang menyaksikan pun terperanjat

bukan main. Bahkan Prabu Nalanda tanpa sadar

memukulkan kepalan tangan kanan pada telapak tangan

kirinya.

"Licik...!" seru Raja Bojong Gading ini dengan suara

berdesis. Raut wajah maupun sinar matanya menyorotkan

perasaan cemas yang mendalam.

"Hih...!"

Melati membanting tubuh ke samping kanan,

kemudian bergulingan di tanah menjauhkan diri. Maka

semua serangan jarum itu mengenai tempat kosong.

Tuyul Tangan Seribu tidak menyia-nyiakan

kesempatan ini. Buru-buru dia melompat memburu. Kedua

tangannya melakukan serangan bertubi-tubi ke arah tubuh

yang tengah bergulingan.

Sungguh di luar dugaan, ternyata dalam keadaan

seperti itu Melati mampu melenting ke atas. Tak pelak lagi,

semua serangannya mengenai tempat kosong. Sama sekali

laki laki bertubuh pendek ini tidak tahu kalau itu adalah

salah satu jurus dari rangkaian ilmu 'Cakar Naga Merah',

yakni jurus 'Naga Merah Muncul ke Permukaan Laut'. jurus

yang belum pernah digunakan gadis berpakaian putih itu,

kecuali dalam keadaan terdesak.

Sebelum Tuyul Tangan Seribu sempat berbuat

sesuatu, Melati telah melancarkan serangan cakar tangan

kanan ke arah ubun-ubun.

Laki-laki bertubuh pendek ini terkesiap. Dengan agak

gugup, dia melompat mundur ke belakang. Menurut


perhitungannya, cakar tangan Melati tidak akan bisa

mencapainya.

Hampir saja jantung Tuyul Tangan Seribu melompat

keluar ketika cakar tangan lawan tetap saja mengancam

ubun-ubunnya. Bagaimana hal ini bisa terjadi, laki-laki

bertubuh pendek tidak mengetahuinya. Yang jelas, cakar

tangan itu terus memburunya. Sama sekali Tuyul Tangan

Seribu tidak tahu kalau itu adalah jurus 'Naga Merah

Mengulur Kuku'.

Meskipun berada dalam keadaan terjepit, Tuyul

Tangan Seribu masih sanggup membuktikan kalau dirinya

adalah seorang tokoh tingkat tinggi. Dalam kesempatan yang

hanya sedikit sekali, tubuhnya berusaha digeliatkan.

Plakkk...!

Cakar tangan Melati menghantam bahu kiri Tuyui

Tangan Seribu. Telak, dan keras sekali. Akibatnya tubuh laki-

laki bertubuh pendek itu terjengkang ke belakang. Mau tak

mau Tuyul Tangan Seribu harus meringis. Darah segar

menetes dari sudut-sudut mulut nya. Laki-laki bertubuh

pendek ini terluka dalam.

Tapi sebelum Melati sempat mengirimkan serangan

susulan, Kelelawar Beracun kembali mengibaskan

tangannya.

Serrr...!

Suara berdesir pelan terdengar ketika jarum-jarum

beracun itu kembali menyambar ke arah Melati. Gadis

berpakaian putih ini tentu saja terkejut bukan main.

Serangan itu datang terlalu tiba-tiba. Dan lagi, tubuhnya

tengah berada di udara. Sulit baginya untuk mengelakkan

serangan itu.

Meskipun begitu, Melati tetap berusaha keras untuk

menyelamatkan selembar nyawanya. Maka tubuhnya segera

digeliatkan. Tapi....

Crep, crep, crep...!

Beberapa batang jarum beracun itu tetap menancap

di tubuh Melati. Seketika itu juga bagian yang terhunjam

jarum-jarum itu terasa panas dan gatal-gatal. Sebagai

seorang wanita yang telah cukup kenyang merambah dunia

persilatan, dia segera tahu kalau jarum-jarum itu beracun.

Hebatnya, begitu jarum-jarum itu menancap di

tubuhnya. Melati masih mampu melakukan serangan


balasan. Kedua tangannya yang terkembang membentuk

cakar itu dihentakkan ke depan, menggunakan jurus 'Naga

Merah Membuang Mustika'.

Angin keras menderu menyambar ke arah Kelelawar

Beracun. Laki-laki berwajah pucat ini kaget bukan main. Dia

baru saja mengirimkan serangan jarum-jarumnya, dan

tubuhnya masih tengah berada di udara. Karuan saja

serangan mendadak yang tidak disangka-sangka ini

membuat wajahnya pucat seketika.

Sebisa-bisanya Kelelawar Beracun berusaha

mengelakkan serangan itu. Tubuhnya digeliatkan se-

mampunya. Tapi usaha untuk menghindarkan serangan itu

tidak berhasil sepenuhnya. Pukulan jarak jauh yang

dilepaskan Melati telak dan keras sekali menghantam bahu

kanannya, namun agak menyeleweng dari sasaran semula.

Meskipun begitu, akibat yang diderita Kelelawar

Beracun bukan berarti ringan. Tubuh laki-laki berwajah

pucat ini melayang jauh ke belakang, dan jatuh keras sekali

di tanah. Darah segar menitik deras dari hidung dan

mulutnya.

Tapi dalam keadaan seperti itu, Kelelawar Beracun

masih sanggup mempertunjukkan kelihaiannya. Dengan

sebuah gerakan manis, kekuatan yang melontarkan

tubuhnya berhasil dipatahkan. Kemudian, dia bersalto

beberapa kali di udara. Walaupun agak terhuyung-huyung,

Kelelawar Beracun berhasil mendaratkan kedua kakinya di

tanah.

Beberapa saat sebelum Kelelawar Beracun hinggap di

tanah, Melati telah lebih dulu mendarat. Seperti juga halnya

Kelelawar Beracun, gadis berpakaian putih ini juga

terhuyung-huyung waktu mendarat di tanah. Bedanya,

Kelelawar Beracun langsung bisa memperbaiki berdirinya,

sedangkan Melati tidak. Gadis berpakaian putih ini

memegangi kepalanya. Sekelilingnya terasa berputaran.

Sesaat kemudian tubuhnya limbung.

Tentu saja semua orang yang menonton pertarungan

itu jadi terkejut. Hampir berbareng, semuanya bergerak

menghambur ke arah Melari. Prabu Nalanda dan Patih

Rantaka merupakan orang pertama yang berhambur ke arah

Melati. Maka Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu

pun terlupakan.


Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu yang

melihat kesempatan baik ini tidak menyia-nyiakan lagi.

Mereka tahu, tidak ada gunanya lagi berada di situ, karena

telah terluka dalam. Dan bila terus memaksakan diri, mereka

akan tewas di tangan pasukan Kerajaan Bojong Gading.

Maka begitu melihat kesempatan yang baik, di saat

semua perhatian tertumpah pada Melati, kedua orang ini

melesat kabur dari situ. Ada satu alasan lagi yang mendorong

kedua orang itu bergegas kabur. Racun yang terkandung

dalam jarum itu adalah racun yang amat ganas. Kecil sekali

kemungkinannya bagi Melati untuk dapat bertahan hidup.


7

"Melati...!" seru Prabu Nalanda penuh kekhawatiran

seraya bergegas melangkah menghampiri putri angkatnya.

Tapi Melati seperti tidak mendengar panggilan itu, dan

tetap saja memegangi kepalanya. Letak berdirinya pun sudah

tidak tetap lagi. Kadang oleng ke kiri, dan kadang oleng ke

kanan seperti orang mabuk.

Dan tepat ketika Raja Bojong Gading ini berada dekat

Melari, tubuh gadis berpakaian putih itu mendadak roboh.

Sebuah keluhan lirih keluar dari mulutnya. Kelihatannya dia

pingsan. Sudah dapat dipastikan tubuh Melati akan jatuh

membentur tanah. Untung saja Prabu Nalanda bergerak

cepat menyambar.

Tappp...!

Tangan kanan Melati berhasil ditangkap, tapi seketika

itu juga Prabu Nalanda melepaskannya. Ada jerit

keterkejutan keluar dari mulutnya. Betapa Raja Bojong

Gading ini tidak menjadi terkejut. Begitu dipegang, tangan

Melati terasa panas sekali! Menyengat, tak ubahnya bara api!

Lagi-lagi nasib baik tengah berpihak pada Melati.

Tubuh gadis berpakaian putih itu disambar Patih Rantaka

sebelum menyentuh tanah. Tapi seperti juga Prabu Nalanda,

laki-laki setengah baya itu juga terperanjat. Hanya saja, Patih

Rantaka bisa menguasai diri, sehingga tidak sampai

melepaskan tubuh Melati.

Sebagai orang yang telah penuh pengalaman, Patih

Rantaka segera saja mengetahui apa yang terjadi terhadap

Melati. Apalagi ketika perlahan namun pasti, tampak wajah

gadis berpakaian putih itu mulai memerah.

"Cepat panggil Eyang Sagapati...!" seru laki-laki

setengah baya itu pada salah seorang pasukan khusus.

Patih Rantaka sengaja menyuruh salah seorang

anggota pasukan khusus, agar lebih mempercepat datangnya

pertolongan untuk Melati.

Setelah memberi hormat, tanpa membuang-buang

waktu lagi seorang anggota yang berkumis jarang-jarang

segera berkelebat. Cepat juga gerakannya. Sehingga sebentar

saja, tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.


"Apa yang terjadi. Patih?" tanya Prabu Nalanda. Nada

suara maupun sikap Raja Bojong Gading ini menyiratkan

perasaan cemas yang tak terhingga.

"Gusti Ayu keracunan, Gusti Prabu," Jelas Patih

Rantaka sambil memberi hormat. Kedua telapak tangannya

dirapatkan kemudian ditempelkan di depan hidung, seraya

membungkukkan tubuh sedikit.

Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya itu

kemudian menelusuri sekujur tubuh Melati. Mencari-cari, di

mana adanya jarum yang menancap di tubuh gadis

berpakaian putih itu. Memang, tadi Patih Rantaka sempat

melihat kalau Melati terkena serangan jarum Kelelawar

Beracun.

Sesaat kemudian, laki-laki setengah baya ini telah

berhasil menemukannya. Tiga batang jarum itu ternyata

menancap di dada atas sebelah kiri. Tanpa ragu-ragu lagi,

Patih Rantaka menggerakkan jarinya menotok di sekitar

tempat yang terkena jarum untuk mencegah menjalarnya

racun ke jantung.

"Cepat bawa dia masuk, Patih...!" sabda Prabu

Nalanda dengan suara bergetar karena cemas.

Tanpa diperintah dua kali, Patih Rantaka segera

membawa masuk tubuh Melati. Prabu Nalanda dan pasukan

khusus segera bergerak mengikuti. Sementara keempat

panglima dan seluruh prajurit lain hanya bisa berdiri diam

terpaku, tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

***

"Bagaimana, Eyang?" tanya Prabu Nalanda tak sabar.

Sepasang mata penguasa Kerajaan Bojong Gading itu

menatap penuh harap pada kakek berjenggot putih panjang

berpakaian coklat, yang tengah sibuk memeriksa Melati.

Sementara gadis berpakaian putih itu kini tergolek di sebuah

pembaringan yang indah dan mewah. Sekujur wajah dan

bagian tubuh yang tidak tertutup pakaian nampak berwarna

merah seperti udang direbus.

"Hhh...!"

Kakek berpakaian coklat menghela napas berat.

Berkali-kali kakek yang tak lain Eyang Sagapati, tabib nomor


satu Istana Kerajaan Bojong Gading, menggeleng-gelengkan

kepala.

"Hamba mohon ampun, Gusti Prabu," sahut Eyang

Sagapati beberapa saat kemudian.

"Apa.... Apa maksudmu, Eyang?" tanya Prabu Nalanda

dengan raut wajah berubah memucat.

Meskipun sudah dapat menduga ketika melihat kakek

itu berkali-kali menggelengkan kepala sewaktu memeriksa,

tapi Raja Bojong Gading ini berusaha meyakinkan dirinya.

Eyang Sagapati adalah tabib Istana Kerajaan Bojong Gading

yang sudah terkenal keahliannya. Belum pemah kakek ini

gagal dalam mengobati orang. Namun sekarang?

Bukan hanya Prabu Nalanda saja yang terperanjat

dan cemas. Patih Rantaka dan seluruh pasukan khusus pun

dilanda perasaan yang sama. Kini semua wajah memucat

begitu mendengar ucapan Eyang Sagapati Meskipun belum

dikatakan secara lengkap, tapi sudah bisa diperkirakan

ucapan yang akan keluar selanjutnya.

"Hamba siap menerima hukuman, Gusti Prabu,"

desah kakek berpakaian coklat itu seraya memberi hormat

"Hamba tidak mampu mengobati Gusti Ayu...."

"Ohhh...!"

Terdengar seruan tertahan dari mulut Prabu Nalanda.

Raja Bojong Gading ini langsung menundukkan kepala.

Kedua tangannya mendekap wajah. Tampak jelas kalau

Prabu Nalanda merasa terpukul mendengar ucapan Eyang

Sagapati.

Patih Rantaka dan seluruh pasukan khusus pun

sama-sama menundukkan kepala. Seperti Prabu Nalanda,

mereka pun terpukul mendengar jawaban itu.

Prabu Nalanda menarik napas dalam-dalam dan

menghembuskannya kuat-kuat. Tidak hanya sekali saja

berbuat demikian, tapi beberapa kali.

"Mengapa, Eyang?" tanya Prabu Nalanda setelah

berhasil menguasai diri.

Ada nada penasaran dalam suara penguasa Kerajaan

Bojong Gading itu. Memang dia merasa penasaran bukan

main, karena tidak percaya kalau tabib Istana Kerajaan

Bojong Gading yang paling jempolan ini tidak mampu

mengobati luka yang diderita putri angkatnya.


"Ampun, Gusti Prabu," kembali Eyang Sagapati

memberi hormat "Racun yang merasuk ke dalam tubuh Gusti

Ayu adalah racun yang amat ganas. Kalau saja Gusti Ayu

tidak memiliki tenaga dalam yang amat kuat, mungkin sudah

tewas."

Eyang Sagapati menghentikan ceritanya sejenak. Di

samping untuk mengambil napas, juga mencari kata-kata

untuk melanjutkan ceritanya.

"Racun itu amat aneh, Gusti Prabu," sambung kakek

berpakaian coklat lagi. "Dan hamba sama sekali tidak

mengenalnya. Hamba siap menerima hukuman atas

kebodohan hamba, Gusti Prabu."

"Lupakanlah, Eyang," sabda Prabu Nalanda seraya

mengulapkan tangannya.

Suasana menjadi hening sejenak ketika Raja Bojong

Gading ini menghentikan ucapannya.

"Ampun, Gusti Prabu. Boleh hamba bicara?" pinta

Patih Rantaka memecah keheningan yang menyelimuti

tempat itu.

"Silakan, Patih."

"Eyang," sebut laki-laki setengah baya itu seraya

menatap wajah Eyang Sagapati.

Kakek berpakaian coklat itu mengangkat kepala,

menatap wajah Patih Rantaka.

"Ada apa, Gusti Patih?"

"Tadi sebelum membawa Gusti Ayu kemari, aku telah

menotok jalan darah sekitar luka, agar racun itu tidak

menjalar lebih jauh. Lalu, apakah racun itu masih tetap saja

menjalar?" tanya Patih Rantaka.

"Racun yang menyerang Gusti Ayu amat ganas, Gusti

Patih. Begitu benda yang menjadi perantara itu bersarang di

tubuh Gusti Ayu, racun itu langsung menyebar. Jadi, usaha

yang kau lakukan sama sekali tidak berarti."

"Berbuatlah sesuatu. Eyang," selak Prabu Nalanda

dalam cekaman rasa cemas yang menggelegak.

"Ampun, Gusti Prabu," Eyang Sagapati kembali

memberi hormat "Apa yang harus hamba lakukan?"

"Apa saja, Eyang," sahut Raja Bojong Gading se-

kenanya. "Yang penting, nyawa putriku dapat diselamatkan."

Eyang Sagapati tercenung sejenak. Dahinya berkerut

dalam. Jelas kalau tengah berpikir keras.


"Sepengetahuan hamba, ada beberapa macam obat

yang dapat menyelamatkan nyawa Gusti Ayu selain obat

penawar dari pemilik racun ini sendiri," jelas Eyang Sagapati

setelah beberapa saat lamanya termenung.

"Apa itu, Eyang?" tanya Prabu Nalanda penuh gairah.

"Ampun, Gusti Prabu. Andaikata hamba memberi

tahu pun, tidak akan ada gunanya."

"Heh?! Mengapa kau berkata demikian, Eyang?" Raja

Bojong Gading mengerutkan alis tak senang,

"Sebelum obat itu tiba di sini, racun itu telah sampai

di jantung Gusti Ayu...."

Wajah semua orang yang berada di situ pucat pasi

seketika. Ucapan yang keluar dari mulut Eyang Sagapati

membuat mereka cemas bukan main.

"Apakah Eyang tidak mampu memperlambat daya

kerja racun itu? Yahhh...! Paling tidak, sampai obat yang kita

butuhkan itu berhasil didapatkan."

"Hhh...!" kakek berpakaian coklat itu menghela napas

panjang. "Sulit Gusti Prabu...."

Seketika itu juga Prabu Nalanda terdiam. Wajah

maupun sorot matanya diliputi perasaan putus asa.

"Ampun, Gusti Prabu," lagi-lagi Patih Rantaka

menyelak. "Bukankah Gusti Ayu memiliki Batu Kehidupan?"

Prabu Nalanda terlonjak kaget. Melati memang

memiliki Batu Kehidupan yang didapat dari Prabu Nalanda

sendiri. Raja Bojong Gading sendiri yang memberikannya

sebagai bekal bagi gadis itu dalam merambah kerasnya

kehidupan dunia persilatan. Dan memang keampuhan Batu

Kehidupan itu telah terbukti (Untuk jelasnya, baca serial

Dewa Arak dalam episode "Rahasia Surat Berdarah").

"Kau benar, Patih! Ah...! Mengapa aku sampai

melupakannya?" desah Raja Bojong Gading ini pada dirinya

sendiri. Kini raut kecemasan lenyap dari wajahnya Wajah

Prabu Nalanda berseri-seri. Ada secercah harapan yang

muncul di hatinya.

"Batu Kehidupan?!" gumam Eyang Sagapati pula tak

percaya. Memang, kakek berpakaian coklat ini tidak tahu

kalau junjungannya memiliki benda itu. Yang mengetahuinya

hanya Patih Rantaka seorang.


"Ya! Bukankah benda itu berkhasiat menawarkan

segala macam racun. Eyang?" sahut Prabu Nalanda. "Bisakah

benda itu menyembuhkan putriku, Eyang?"

"Entahlah, Gusti Prabu. Hamba tidak bisa memas-

tikan," sahut Eyang Sagapati. "Batu Kehidupan memang

salah satu benda langka. Tapi, racun ini pun aneh sekali.

Mungkin jika racun yang memasuki tubuh Gusti Ayu belum

separah ini, hamba yakin benda itu akan mampu

menyembuhkannya. Tapi sekarang, racun ini telah

menyebar...."

"Jangan berputus asa dulu, Eyang," sergah Patih

Rantaka. "Lebih baik kita segera mengobatinya."

Prabu Nalanda lalu memeriksa bagian pinggang

Melati. Dia tahu gadis berpakaian putih itu menyimpannya di

situ.

Sesaat kemudian, di tangan kanan Raja Bojong

Gading ini telah tercekal sebuah buntalan kain kecil

berwarna hitam. Prabu Nalanda lalu membuka ikatannya,

kemudian mengeluarkan isinya. Ternyata sebuah benda

berwarna bening sebesar kelereng. Inilah Batu Kehidupan itu.

Secepat benda itu dipegangnya, secepat itu pula

diserahkannya pada Eyang Sagapati. Bergegas kakek

berpakaian coklat itu menerima, kemudian mencelupkannya

ke dalam sebuah cawan berisi air putih.

Begitu Batu Kehidupan itu telah tenggelam, dari dasar

cawan melayang naik gelembung-gelembung udara. Mula-

mula sedikit, tapi kian lama kian banyak. Kemudian perlahan

mulai berkurang, sampai akhirnya lenyap sama sekali.

Begitu gelembung-gelembung udara itu lenyap, Eyang

Sagapati segera meminumkan larutan itu pada Melati.

"Kini kita hanya tinggal menunggu hasilnya saja,"

jelas Eyang Sagapati perlahan setelah air itu lenyap ke dalam

mulut Melati.

Tidak ada satu pun yang menyahuti ucapan kakek

berpakaian coklat itu. Semua yang berada di situ sama-sama

dilanda perasaan tegang dan cemas. Eyang Sagapati pun

rupanya tidak terlalu mementingkan adanya sambutan atas

ucapannya tadi.

***


Waktu terasa merayap begitu lambat Prabu Nalanda,

Patih Rantaka, pasukan khusus, dan Eyang Sagapati

memperhatikan wajah Melati dengan perasaan cemas. Tapi

sampai pagi menjelang, warna merah pada wajah gadis itu

tetap tidak lenyap. Hanya saja, warna merahnya tidak lagi

bertambah.

Eyang Sagapati kembali memeriksa Melati.

"Apa yang hamba khawatirkan terjadi juga, Gusti

Prabu," bisik kakek berpakaian coklat itu.

"Maksud, Eyang?"

"Batu Kehidupan tidak mampu mengusir racun yang

telah mengeram dalam tubuh Gusti Ayu...."

"Jadi.... Anakku akan tewas, Eyang?" ada nada

keputusasaan dan rasa sedih yang mendalam pada suara itu.

"Tidak, apabila obat penawar racun ini berhasil

didapatkan," jelas Eyang Sagapati lagi.

"Tapi bukankah akan percuma saja, Eyang?" bantah

Prabu Nalanda. "Mencari obat itu membutuhkan waktu,

sementara Melati sama sekali tidak bisa menunggu."

"Ampun, Gusti Prabu. Batu Kehidupan akan

mempertahankan nyawa Gusti Ayu sampai obat penawarnya

berhasil didapatkan."

"Maksud, Eyang?" tanya Raja Bojong Gading ini tidak

mengerti.

"Meskipun Batu Kehidupan tidak mampu mengusir

racun itu karena kedatangannya sudah amat terlambat, tapi

benda itu masih menunjukkan kegunaannya," ujar Eyang

Sagapati menjelaskan.

"Apa kegunaan benda itu, Eyang?" Prabu Nalanda

ingin tahu.

"Menahan menjalarnya racun itu menuju ke jantung,"

Prabu Nalanda, Patih Rantaka, dan seluruh anggota

pasukan khusus mengangguk-anggukkan kepala. Ada sedikit

rasa lega mendengar nyawa Melati masih bisa diperpanjang.

"Apakah obatnya, Eyang?" tanya Prabu Nalanda

penuh gairah. "Segera akan kuutus para prajuritku untuk

mendapatkannya."

Eyang Sagapati tercenung sejenak, tidak langsung

menjawab pertanyaan itu.

"Menurut sepengetahuan hamba, ada tiga macam

pusaka di dunia ini yang dapat menawarkan segala macam


racun, Gusti Prabu," jawab kakek berpakaian coklat memberi

keterangan. "Pertama, benda langit. Kedua, macan putih. Dan

ketiga, Batu Kehidupan."

Eyang Sagapati menghentikan ceritanya sejenak,

menatap wajah orang-orang yang berada di sekelilingnya.

Tampak, Patih Rantaka mengangguk-anggukkan kepala.

"Di antara ketiga benda pusaka itu, Batu Kehidupan

menempati urutan terbawah dalam hal kemanjuran.

Meskipun begitu, telah kita lihat sendiri keampuhannya."

"Jadi..., benda langit dan macan putih itulah yanti

harus ditemukan, Eyang?" potong Prabu Nalanda tidak sabar.

"Kira-kira, di mana adanya benda itu, Eyang?"

"Hamba juga tidak mengetahuinya, Gusti Prabu,"

sahut Eyang Sagapati seraya menggelengkan kepala.

"Rasanya sulit untuk mendapatkan kedua benda itu,

Eyang Sagapati," Patih Rantaka kembali membuka suara.

"Beberapa waktu yang lalu, memang kudengar ada kabar

mengenai adanya benda langit dan macan putih di Hutan

Bandan. Tapi..., kemudian lenyap begitu saja."

Prabu Nalanda menganggukkan kepala. Memang Raja

Bojong Gading ini juga mendengar berita itu.

"Apakah tidak ada obat lain yang dapat menawarkan

racun itu. Eyang Sagapati?" tanya Patih Rantaka ingin tahu.

"Memang masih ada lagi, Gusti Patih," sahut kakek

berpakaian coklat cepat.

"Apa itu, Eyang?" Prabu Nalanda yang justru

bertanya.

"Obat penawar dari Kelelawar Beracun!" tandas Eyang

Sagapati.

Sepasang mata Prabu Nalanda kembali berbinar.

Secercah harapan kini bersemi kembali di hatinya. Harapan

agar Melati bisa diselamatkan.

"Patih...!" panggil Raja Bojong Gading itu pada Patih

Rantaka.

"Hamba, Gusti Prabu," sahut Patih Rantaka seraya

memberi sembah.

"Perintahkan prajurit untuk mencari benda-benda

itu!" sabda Prabu Nalanda. "Dan jangan lupa, cari pula

Kelelawar Beracun! Dan beri tahu Dewa Arak serta Ki Julaga

mengenal hal ini. Mengerti?!"

"Hamba mengerti. Gusti Prabu!"


"Kalau begitu, cepat pergilah!"

Setelah memberi hormat Patih Rantaka pun bergegas

meninggalkan ruangan itu. Sementara anggota pasukan

khusus langsung berjaga-jaga di sekitar ruangan itu. Mereka

memang pasukan keselamatan raja.

***

Siang itu udara panas sekali. Matahari yang tepat

berada di atas kepala memancarkan sinarnya dengan garang,

seakan-akan ingin melelehkan bumi beserta isinya.

"Hhh...!"

Seorang pemuda berambut putih keperakan menghela

napas lega. Wajahnya, terutama sekali dahi dan bawah

hidungnya nampak dipenuhi butiran-butiran keringat.

Perlahan-lahan kepala pemuda berambut putih

keperakan itu mendongak, menatap sejenak ke arah bola

raksasa yang nampak menyilaukan itu. Lalu tangannya

digerakkan untuk menghapus peluh yang membasahi dan

bawah hidungnya dengan punggung tangan.

Pemuda itu berpakaian ungu. Sebuah guci arak

terbuat dari perak tersampir di punggungnya. Sepertinya

tidak ada yang aneh pada pemuda ini, kecuali warna

rambutnya yang berwarna putih keperakan itu. Tapi jika

orang melihat sepasang matanya, baru terlihat keanehannya.

Sepasang mata pemuda berambut putih keperakan itu

terlihat begitu tajam, mencorong, dan berwarna kehijauan.

Mirip sepasang mata seekor harimau dalam gelap.

Wajah pemuda berambut putih keperakan itu berseri

ketika melihat sebatang pohon besar berdaun rindang, tak

jauh di hadapannya. Bergegas kakinya melangkah

menghampiri, kemudian menghempaskan bokongnya. Dia

duduk sebentar, lalu perlahan merebahkan tubuh

menelentang.

"Hhh...!"

Sebuah hembusan kelegaan keluar dari mulutnya,

kemudian sepasang matanya dipejamkan periahan-lahan.

Belum berapa lama berbaring, pemuda berpakaian

ungu ini mengangkat kembali kepalanya. Telinganya yang

menempel di tanah, menangkap derap kaki kuda. Menilik



dari bunyinya, dia tahu kalau kuda itu tidak hanya seekor

saja.

Tapi begitu kepalanya diangkat, derap langkah kuda

itu lenyap. Betapa pun pemuda berambut putih keperakan

ini memusatkan pendengarannya, tapi bunyi tadi tak juga

tertangkap olehnya.

Kini pemuda berpakaian ungu ini sadar kalau kuda

yang tengah berlari itu masih terlalu jauh, sehingga

pendengarannya yang telah amat tajam itu tidak mampu

menangkapnya. Kini dia bangkit dari berbaringnya, lalu

duduk bersandar pada batang pohon.

Perlahan namun pasti derap kaki kuda itu semakin

keras terdengar. Pertanda kalau kuda itu tengah berlari

menuju ke arahnya. Tapi pemuda berambut putih keperakan

sama sekali tidak mempedulikan, dan tetap saja duduk

bersandar pada sebatang pohon.

Pemuda berpakaian ungu itu tetap saja tak bergeming

dari bersandarnya, meskipun para penunggang kuda sudah

berada dalam jangkauan pandang mata biasa.

Derap langkah kuda itu ternyata berasal dari lima

ekor kuda yang masing-masing ditunggangi seorang

berpakaian prajurit.

Pemuda berambut putih keperakan itu hanya me-

liriknya sekejap, kemudian memejamkan matanya kembali.

Sama sekali tidak ambil peduli atas kehadiran lima orang

penunggang kuda itu. Meskipun begitu, pendengarannya

dipasang tajam-tajam, bersiap-siap menghadapi segala

kemungkinan yang akan terjadi. Seluruh otot-ototnya tampak

menegang waspada.

Pemuda berpakaian ungu mulai merasa curiga begitu

langkah kaki kuda itu terdengar semakin mendekat ke

arahnya. Tak lama kemudian berhenti sesaat. Lalu, terdengar

suara perlahan dan beberapa pasang kaki yang mendarat di

tanah.

"Raden...," tiba-tiba terdengar oleh telinga pemuda

berambut putih keperakan suara panggilan perlahan.

Karuan saja pemuda itu merasa heran. Dia tidak

mengetahui adanya orang lain di sekitar sini. Tapi mengapa

ada orang yang memanggil raden? Perasaan penasaran

mendorongnya membuka mata.


Seketika sepasang mata pemuda berambut putih

keperakan terbelalak. Betapa tidak? Sekitar tiga tombak di

depannya, berdiri lima orang prajurit yang tadi dilihatnya.

Mereka semua berdiri menghadap ke arahnya dengan kepala

tertunduk. Dirinyalah yang tadi dipanggil raden? Atau orang

lain yang berada di sekitar tempat ini? Mendapat dugaan

demikian, pemuda berambut putih keperakan ini segera

mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi, tidak ada

seorang pun yang dilihatnya! Jadi, apakah panggilan raden

itu ditujukan padanya?

"Maaf, siapakah Kisanak semua?" tanya pemuda

berambut pulih keperakan pelan.

"Kami adalah prajurit Kerajaan Bojong Gading,

Raden," sahut seorang prajurit yang beralis tebal.

Kini pemuda berambut putih keperakan itu mengerti,

mengapa kelima orang prajurit itu memanggilnya raden.

"Aku mohon, kalian semua jangan memanggilku

seperti itu," pinta pemuda berambut putih keperakan tegas.

"Dan kalau kalian tetap berkeras, aku akan pergi. Panggil

saja aku Arya!"

Wajah kelima orang prajurit Kerajaan Bojong Gading

berubah. Mereka menangkap adanya nada kesungguhan

dalam suara pemuda berambut putih keperakan yang

memang adalah Arya alias Dewa Arak Maka, mereka tidak

berani bersikap main-main.

"Baiklah, Rad.... Eh! Arya," ujar prajurit beralis tebal

mengalah. Rupanya dialah yang bertugas menjadi juru bicara

dari keempat orang rekannya.

Arya menganggukkan kepala.

"Sekarang katakanlah, mengapa kalian bisa berada di

sini?" tanya Arya.

"Kami memang ditugaskan untuk mencari Rad.. eh!

Mencarimu, Arya?" sahut prajurit beralis tebal, gugup.

"Heh...?!" pemuda berambut putih keperakan

terperanjat "Siapa yang menugaskan kalian?"

"Gusti Prabu."

"Gusti Prabu?!" ulang Arya setengah terpekik kaget.

Kelima orang prajurit Bojong Gading itu meng-

anggukkan kepala, membenarkan.


"Kalau boleh kutahu, apakah keperluan yang

mendorong Gusti Prabu menyuruh kalian mencariku?" tanya

Arya.

Perasaan tidak enak mulai menjalari hati pemuda

berambut putih keperakan ini. Dia tahu, pasti ada suatu

masalah yang penting. Sebab, tidak mungkin Raja Bojong

Gading itu mengirimkan prajurit untuk memanggilnya, jika

tidak ada masalah gawat seperti ini.

Kontan kelima orang prajurit Kerajaan Bojong Gading

itu terdiam. Hanya mata mereka saja yang saling pandang.

Tampak jelas kalau mereka merasa ragu-ragu untuk

menyampaikannya.

"Katakanlah cepat jangan berteka-teki lagi," desak

Arya tak sabar.

"Hhh...!"

Prajurit beralis tebal menghela napas berat. "Gusti

Ayu menderita keracunan hebat..," jawab prajurit beralis

tebal itu. Pelan sekali, mirip desahan.

"Hah...?!" Arya terjingkat bagai disengat kalajengking.

"Melati keracunan? Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?

Bukankah gadis berpakaian putih itu memiliki pusaka yang

dapat menawarkan segala macam racun?"

"Bagaimana kalau kita membicarakannya dalam

perjalanan saja, Arya? Gusti Prabu menyuruh kami untuk

cepat-cepat membawamu ke istana," usul prajurit beralis

tebal hati-hati.

Tanpa pikir panjang lagi, Arya menganggukkan

kepala.

"Kalau begitu, mari cepat terangkat!" sambung

prajurit lain.

Dia lalu melompat naik ke atas punggung kuda,

diikuti keempat orang kawannya. Sementara Arya lebih

memilih berlari daripada menaiki seekor kuda bersama-sama.

Betapapun kelima orang prajurit Kerajaan Bojong Gading itu

mendesak, Arya tetap menolak. Namun akhirnya mereka

mengalah.

Prajurit beralis tebal mendecak pelan seraya menghela

tali kekang kudanya. Keempat orang rekannya pun berbuat

yang sama. Seketika itu juga, binatang-binatang tunggangan

itu melesat cepat meninggalkan tempat itu.


Prajurit Kerajaan Bojong Gading ini telah mengetahui

kelihaian Arya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi mereka segera

memacu lari kuda itu secepatnya. Mereka sebenarnya juga

ingin tahu, mampukah Dewa Arak mengimbangi lari kuda

mereka? Sebab, binatang itu adalah kuda-kuda pilihan yang

kuat dan memiliki kemampuan lari cepat.

Prajurit Kerajaan Bojong Gading ini jadi kagum ketika

mereka melihat sekelebatan bayangan ungu. Dan sesaat

kemudian, di sebelah mereka Arya tengah berlari membarengi

kuda. Wajah pemuda berambut putih keperakan itu tampak

biasa-biasa saja, tidak nampak kalau tengah mengerahkan

tenaga.

Hebatnya, sambil terus beriari Arya menanyakan

sebab-sebab Melati bisa terluka. Dengan bergantian, kelima

orang prajurit itu menceritakan pada Arya.

Bahkan diceritakan pula kalau Prabu Nalanda telah

mengundang seluruh ahli pengobatan di dunia peralatan

untuk mengobati Melati. Imbalan besar menanti mereka bila

berhasil menyembuhkan gadis berpakaian putih. Tapi, satu

persatu ahli-ahli pengobatan itu angkat tangan, tak mampu

mengobati Melati.

Karuan saja mendengar cerita itu, Arya merasa

khawatir bukan kepalang. Tanpa mempedulikan kelima orang

prajurit itu, Dewa Arak lalu menambah kecepatan larinya

sampai setinggi mungkin.

Perlahan namun pasti, Arya mulai meninggalkan

kelima orang prajurit Kerajaan Bojong Gading itu. Semakin

lama semakin jauh, hingga tak dihiraukannya lagi panggilan

para prajurit itu. Yang ada di benaknya hanya satu. Segera

menemui Melati secepatnya.


8

Prajurit penjaga pintu gerbang terperanjat begitu

melihat kedatangan Dewa Arak. Bergegas dia berlari ke dalam

menyampaikan berita itu pada seorang anggota pasukan

khusus, untuk diteruskan pada Prabu Nalanda.

"Ampun, Gusti Prabu," ucap seorang anggota pasukan

khusus seraya memberi hormat.

"Ada apa?" tanya Prabu Nalanda seraya memalingkan

kepala dari tubuh Melati yang masih tergolek di

pembaringan.

Di sebuah kursi Indah berukir di dekat situ, duduk

seorang kakek bertubuh kecil kurus. Alis, kumis, dan

jenggotnya telah memutih semua. Jenggotnya panjang hingga

mencapai dada. Kelihatannya, kakek itu datang dari

kalangan rimba persilatan.

"Prajurit penjaga pintu gerbang melaporkan. Dewa

Arak telah berada di depan," jelas anggota pasukan khusus

Itu.

"Bawa dia masuk!" sabda Prabu Nalanda penuh

wibawa. Wajahnya tampak berseri-seri.

"Baik, Gusti Prabu," sahut anggota pasukan khusus

seraya melangkah meninggalkan tempat Itu. Tak lupa

dihaturkan hormat kepada junjungannya.

Kakek bertubuh kecil kurus itu berdiri dari bangku-

nya begitu mendengar kedatangan Dewa Arak.

"Orang yang kira tunggu-tunggu akhirnya datang

juga, Ki," kata Prabu Nalanda pelan. Nada suara maupun

sorot matanya memancarkan kegembiraan. Meskipun begitu,

sorot kecemasan tidak juga lenyap dari wajahnya.

"Yahhh...!" kakek bertubuh kecil kurus mendesah

pelan. "Memang dialah orang yang harus lebih dulu tahu

mengenai nasib Melati."

Prabu Nalanda hanya menganggukkan kepala.

"Bagaimana usaha pencarian terhadap benda langit

dan macan putih, Gusti Prabu," tanya kakek bertubuh kecil

kurus itu ingin tahu.

"Hhh...!" Raja Bojong Gading menghela napas berat

"Sampai sekarang mereka belum juga kembali."


"Hm...," kakek bertubuh kecil kurus menggumam

pelan. "Lalu..., apakah tempat tinggal Tuyul Tangan Seribu

dan Kelelawar Beracun sudah ditemukan, Gusti Prabu?"

Raja Bojong Gading menggelengkan kepala.

"Kedua tokoh sesat itu telah meninggalkan sarangnya

masing-masing. Rupanya mereka khawatir juga kalau

Kerajaan Bojong Gading akan mengadakan pembalasan. Ki

Temula sendiri yang mengajukan diri, agar aku

mengizinkannya mencari kedua tokoh sesat itu."

"Ki Temula?" ulang kakek bertubuh kecil kurus sambil

mengernyitkan dahi. "Siapa dia, Gusti Prabu?"

"Ketua Perguruan Garuda Sakti, sekaligus guru

beberapa orang panglima Kerajaan Bojong Gading."

Kakek bertubuh kecil kurus mengangguk-anggukkan

kepala.

Sementara itu, percakapan mereka terhenti ketika

Dewa Arak melangkah masuk diiringi seorang anggota

pasukan khusus.

Arya terperanjat ketika melihat kakek bertubuh kecil

kurus berada di situ. Dia kenal betul, siapa adanya kakek itu.

Siapa lagi kalau bukan Ki Julaga? Guru Melati!

Pemuda berambut putih keperakan itu segera

memberi hormat kepada Prabu Nalanda.

"Bagaimana kau bisa berada di sini, Ki?" tanya Arya

heran.

Kakek bertubuh kecil kurus itu tersenyum lebar.

"Pasukan Kerajaan Bojong Gading datang ke

tempatku, Arya. Mereka mengabarkan kalau Melati

keracunan," sahut Ki Julaga memberi tahu. "Maka buru-buru

aku datang ke sini."

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini dia

mengerti, mengapa kakek bertubuh kecil kurus itu bisa

berada di dalam Istana Kerajaan Bojong Gading.

"Bagaimana keadaan Melati, Gusti Prabu?" tanya

Arya.

Sebenarnya sudah sejak tadi dia hendak mena-

nyakannya. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini tahu

diri, dengan menahan pertanyaan yang sejak tadi hendak

keluar dari mulutnya.

"Kau lihat saja sendiri, Arya," sahut Raja Bojong

Gading itu mempersilakan.


Dewa Arak segera melangkah menghampiri

pembaringan. Sejak tadi pun gadis berpakaian pulih itu

sudah terlihat. Tapi tanpa perkenan Prabu Nalanda, mana

berani dia bersikap lancang menghampiri pembaringan itu.

Dan kini setelah Prabu Nalanda memperkenankan, tanpa

membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut putih

keperakan ini melangkah menghampiri pembaringan.

Hampir saja air mata Dewa Arak tumpah melihat

pemandangan yang terpampang di hadapannya.

"Melati-kah Ini?" tanya Dewa Arak dalam hati, hampir

tidak percaya.

Gadis berpakaian putih itu kini sungguh berubah

jauh. Meskipun Arya masih bisa mengenali kalau sosok

tubuh yang terbaring lemah di pembaringan itu adalah

Melati, tapi keadaannya membuat kaget bukan main!

Melati kini sangat kurus. Pakaian putih yang mem-

bungkus tubuhnya kini telah longgar. Padahal dulu pakaian

itu amat ketat membungkus tubuhnya yang kini hanya

tinggal tulang terbungkus kulit. Wajah yang dulu cantik

laksana bidadari dan nampak selalu segar berseri itu, kini

nampak cekung. Dan yang lebih mengerikan lagi, sekujur

kulit tubuh Melati nampak merah.

Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih

keperakan itu terpaku. Sepasang matanya terbelalak lebar.

Rasa haru dan kasihan yang amat sangat melanda hatinya.

Ingin rasanya dia menjerit. Memeluk tubuh yang tergolek

lemah dengan sepasang mata terpejam rapat itu.

"Melati! Betapa menderitanya dirimu?" desah Arya

dalam hati dengan perasaan pilu. Kalau saja bisa, ingin

rasanya Dewa Arak memindahkan penyakit yang menimpa

Melati padanya!

Prabu Nalanda, Ki Julaga, Patih Rantaka, dan Eyang

Sagapati sama sekali tidak mengganggu. Dibiarkan saja Arya

dengan kesibukannya. Tidak ada lagi yang berada dalam

ruangan itu kecuali mereka. Prabu Nalanda telah menyuruh

semua anggota pasukan khusus untuk meninggalkan

ruangan, dan berjaga-jaga di luar saja.

"Sudah berapa lama Melati seperti ini, Gusti Prabu?"

tanya Arya setelah sekian lamanya terdiam. Suara pemuda

berambut putih keperakan ini terdengar serak.


"Tujuh hari...," jawab Prabu Nalanda Kini suaranya

terdengar biasa.

Memang, setelah beberapa hari sakitnya Melati, Raja

Bojong Gading ini sudah bisa mengendalikan diri. Tidak lagi

hanyut terbawa perasaan cemas.

"Dan selama itu..., apakah Melati pernah tersadar,

Gusti Prabu?" kembali pemuda berambut putih keperakan ini

mengajukan pertanyaan. Masih dengan suara serak.

Prabu Nalanda menggelengkan kepala.

"Untuk menjaga daya tahan tubuhnya, terpaksa kami

berikan buah-buahan yang terlebih dahulu diperas. Hal itu

dilakukan, agar dia tetap dapat bertahan hidup."

Arya menganggukkan kepala. Kini dia mengerti,

mengapa Melati bisa sekurus ini. Dan sekarang, perlahan

tangan Arya bergerak, membelai wajah dan rambut Melati

penuh kasih sayang. Kalau saja tidak malu, ingin rasanya

Arya menangis sambil memanggil-manggil Melati. Tapi, dia

tahu hal itu tak mungkin dilakukannya. Yang dapat

dilakukan pemuda berambut putih keperakan ini hanyalah

mengepalkan kedua tangan sekeras mungkin. Terdengar

suara berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang yang

berpatahan, ketika Dewa Arak mengepalkan tangannya.

Prabu Nalanda dan Patih Rantaka diam-diam terkejut

bukan main melihat hal ini. Mereka berdua memang telah

mengetahui kelihaian pemuda berambut putih keperakan itu.

"Kelelawar Beracun...!" desis Dewa Arak pelan tapi

tajam. Sepertinya ada ancaman maut tersirat dalam ucapan

itu.

Ki Julaga bergegas menghampiri, langsung menepuk-

nepuk bahu pemuda berambut putih keperakan untuk

menenangkan hatinya.

"Sabarlah, Arya," bujuk kakek bertubuh kecil kurus

itu menasihati. 'Tidak baik menuruti nafsu amarah."

"Tapi, Ki.... Perbuatan Iblis itu sudah sangat

keterlaluan...!" sergah Dewa Arak "Apa pun yang terjadi, aku

harus mencarinya untuk menuntut balas atas kekejiannya

terhadap Melati!"

"Hhh...!"

Hanya sebuah helaan napas panjang Ki Julaga yang

menyahuti ucapan Dewa Arak.


Mendadak Arya membalikkan tubuh. "Maafkan

hamba, Gusti Prabu. Hamba tidak bisa berlama-lama di sini,"

ucap pemuda berambut putih keperakan sambil memberi

hormat.

"Kau hendak ke mana, Arya?" pelan dan lembut suara

Raja Bojong Gading itu. "Kau baru saja tiba. Mengapa buru-

buru pergi?"

"Hamba ingin mencari Kelelawar Beracun! Meminta

obat bagi Melati!" ucap Dewa Arak. Dia tahu kalau arak dan

gucinya pun tak mampu mengobati Melati. Batu Kehidupan

saja tidak mampu! Apalagi guci araknya!

Melihat sikap pemuda berambut putih keperakan, Ki

Julaga dan Prabu Nalanda tidak berusaha menghalangi.

Mereka berdua tahu, Arya tidak mungkin bisa dihalangi lagi.

"Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, pergilah,

Arya," ujar Prabu Nalanda bijaksana. "Kau tidak usah

mengkhawatirkan Melati. Eyang Sagapati berani menjamin,

tunanganmu akan sanggup menanti sampai kau kembali

dengan membawa obat penawar racun itu."

Ki Julaga mengangguk-anggukkan kepala.

"Aku juga akan menjaganya sampai kau kembali,

Arya," Ki Julaga ikut membuka suara.

"Terima kasih, Ki"

Setelah pamit pada semua orang yang berada di

dalam ruangan itu, Dewa Arak bergegas melangkah ke luar.

Tujuannya sudah jelas. Mencari Kelelawar Beracun!

***

Begitu keluar dari pintu gerbang Istana Kerajaan

Bojong Gading, Arya kebingungan. Ke mana harus mencari

Kelelawar Beracun? Sama sekali tidak diketahui, di mana

tempat tinggal tokoh sesat itu! Lagi pula, Kelelawar Beracun

tidak punya tempat tinggal tetap. Di samping itu Kelelawar

Beracun pun bukan orang bodoh! Dia pasti akan

menjauhkan diri, sebab tahu kalau dirinya akan jadi buruan

Kerajaan Bojong Gading.

Menghadapi hal ini, Arya kembali teringat pada

gurunya, Ki Gering Langit! Betapa mudahnya bagi kakek

berpakaian putih bersih itu untuk mengetahui adanya

seseorang. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini


merasa malu untuk meminta bantuan Ki Gering Langit

Sudah terlalu sering gurunya dimintakan bantuan. Dan kali

ini Dewa Arak akan berusaha untuk mencarinya sendiri. Toh,

Eyang Sagapati telah menjamin kalau Melati akan sanggup

bertahan sampai dia berhasil menemukan obat penawar

racun itu.

Kedua hal itulah yang menyebabkan Dewa Arak

bertahan untuk tidak meminta bantuan gurunya. Dia terus

saja melakukan perjalanan, mencari jejak Kelelawar Beracun

dan Tuyul Tangan Seribu. Dari para prajurit Kerajaan Bojong

Gading, sudah diketahuinya ciri-ciri kedua tokoh sesat itu.

Maka di sepanjang perjalanan, Arya tidak henti-hentinya

mencari keterangan tentang keberadaan kedua orang itu.

Tapi sampai lelah bertanya-tanya, tak juga dida-

patkannya jejak kedua orang itu. Entah sudah berapa desa

disinggahi dan ditanyakan hal itu pada penduduk. Tapi, tidak

ada seorang pun yang bisa memberikan jawaban yang

diharapkan.

Telah lima hari Arya berusaha keras mencari jejak

Tuyul Tangan Seribu dan Kelelawar Beracun. Tapi hanya

kegagalan saja yang didapatkan. Gelengan kepala pertanda

tidak tahu selalu menyambut setiap pertanyaannya.

Hari sudah agak siang ketika pemuda berambut putih

keperakan baru saja meninggalkan Desa Karang Sari. Kepala

Dewa Arak tertunduk lesu menekuri tanah. Hatinya terpukul

karena kembali jawaban serupa yang didapat.

Tapi begitu memasuki Hutan Lawang, Dewa Arak

mengangkat kepalanya. Sepasang matanya beredar

mengamati keadaan sekelilingnya. Pendengarannya dipasang

tajam-tajam. Pemuda berambut putih keperakan terus

berlaku seperti itu. Meskipun sampai sekian jauh masuk ke

dalam hutan, tidak juga ditemukan tanda-tanda apa pun.

Yang terdengar hanyalah suara binatang-binatang penghuni

hutan.

Namun mendadak Arya menghentikan langkah.

Pendengarannya yang tajam menangkap adanya rintihan

sayup-sayup. Walaupun hanya sayup-sayup, tapi bagi Arya

hal itu sudah cukup. Sesaat lamanya pemuda berambut

putih keperakan itu tercenung sejenak, memperkirakan arah

suara itu.


Suara itu terlalu lemah. Lagi pula terlalu singkat

sehingga membuat Arya kurang bisa menangkap arahnya.

Kembali terdengar rintihan itu. Sama seperti

sebelumnya, sayup-sayup dan hanya sebentar. Kali ini Dewa

Arak berhasil mengetahui dari mana asal suara itu. Maka

tanpa ragu-ragu lagi, pemuda berambut putih keperakan ini

segera melesat ke arah yang dituju.

Arya bergerak cepat menerobos kerimbunan semak-

semak dan pepohonan lebat Tak jarang dia berlari dan

berlompatan di atas pohon apabila semak-semak dan

pepohonan yang menghadang jalannya terlalu rapat.

"Uhhh...!"

Srakkk...!

Dewa Arak menguak kerimbunan semak-semak

tempat suara itu berasal. Dan begitu kerimbunan semak-

semak itu terkuak, tampak olehnya sesosok tubuh seorang

laki-laki berwajah keras dan bertubuh kekar tengah tergolek

lemah. Menilik dari pakaian yang dikenakan, Arya bisa

mengetahui kalau orang ini adalah penduduk desa.

Laki-laki berwajah keras itu rupanya terkejut juga

melihat tahu-tahu ada seorang pemuda berambut putih

keperakan berada di hadapannya. Wajahnya nampak

memancarkan rasa takut yang amat sangat. Dengan

beringsut-ingsut dia berusaha menjauhkan diri.

Tanpa memperhatikan lebih jauh lagi pun, Arya sudah

bisa memperkirakan apa yang terjadi pada laki laki berwajah

keras itu. Pada pahanya nampak tertancap sebuah logam

berbentuk anak panah. Begitu pula pada bahu kanannya.

Kedua luka itu tampak masih mengucurkan darah.

"Jangan takut Kisanak," bujuk Dewa Arak mene-

nangkan karena tahu kalau laki-laki berwajah keras itu

merasa takut terhadapnya. "Aku bukan orang jahat"

"B... be... benarkah...?" Dengan agak menggigil, laki-

laki berwajah keras itu membuka suara.

Arya mengangguk. Tak lupa diberikan sebuah se-

nyuman lebar untuk lebih menenangkan perasaan orang itu.

"Kau bukan teman orang jahat itu?" tanya laki-laki

berwajah keras itu. Nada suara dan raut wajahnya masih

memancarkan perasaan tidak percaya.


"Percayalah, Kisanak. Aku kebetulan lewat di sekitar

sini. Lalu, aku menuju ke tempat ini karena mendengar

tintihanmu," sahut Arya lagi.

"Hhh...!"

Laki-laki berwajah keras menghela napas lega. Tapi

sesaat kemudian mulutnya menyeringai. Rupanya rasa sakit

karena senjata yang tertancap di bahu dan pahanya kembali

terasa.

"Boleh kuperiksa lukamu, Kisanak?" Arya mena-

warkan diri. "Barangkali saja aku bisa memperingan rasa

sakitmu."

Laki-laki berwajah keras menganggukkan kepala. Kini

sudah lenyap rasa takut di wajahnya. Sekarang dia yakin,

pemuda berambut putih keperakan yang berdiri di

hadapannya adalah orang baik-baik.

Arya menghampiri, kemudian membungkukkan

tubuh. Diperiksanya luka di paha dan bahu laki-laki

berwajah keras itu. Lega hati Dewa Arak ketika tidak melihat

adanya tanda-tanda keracunan pada kedua luka itu, dan

hanya luka biasa. Tanpa mengalami kesulitan, Dewa Arak

mencabut kedua senjata itu. Dibersihkan luka itu, kemudian

ditaburi obat bubuk.

Laki-laki berwajah keras mendesis begitu Arya

menaburkan obat bubuk.

"Memang obat ini sedikit menimbulkan rasa nyeri,"

jelas Dewa Arak melihat laki-laki berwajah keras itu

mendesis. "Tapi percayalah, Kisanak. Obat ini sangat

manjur."

"Ah..., tidak apa-apa," sahut laki-laki berwajah keras

cepat. "O, ya. Terima kasih atas pertolonganmu."

"Lupakanlah," sahut Dewa Arak cepat "Kalau boleh

kutahu, siapa kau, Kisanak? Aku Arya Buana."

Sambil berkata demikian, pemuda berambut putih

keperakan itu mengulurkan tangan. Laki-laki berwajah keras

bergegas menyambut dan menggenggamnya erat-erat.

"Aku Brata, penduduk Desa Karang Sari," jawab laki-

laki berwajah keras seraya melirik sekilas ke arah rambut

Arya.

Memang sebenarnya dia merasa heran melihatnya.

Belum pernah dilihat dan didengarnya ada seorang pemuda

yang mempunyai rambut berwarna putih. Putih, namun



indah! Entah pengalaman apa yang membuat pemuda itu

sampai memiliki rambut demikian. Meskipun begitu, Brata

tidak menampakkan keheranannya. Bahkan bersikap biasa

saja, karena khawatir pemuda berambut putih keperakan di

hadapannya ini akan tersinggung.

"Apakah Kang Brata tidak keberatan menceritakan

mengapa hal ini terjadi?"

Brata menggelengkan kepala.

"Tidak, Arya. Bahkan dengan senang hati aku akan

menceritakannya padamu."

Setelah berkata demikian, laki-laki berwajah keras itu

tercenung sejenak, tidak langsung menjawab. Rupanya dia

tengah mengingat-ingat kejadian yang menimpanya.

"Aku dan dua orang kawanku sengaja datang ke

hutan ini untuk berburu. Hal ini terpaksa kulakukan untuk

memenuhi permintaan istriku...."

Brata menghentikan ceritanya sejenak. Sementara di

dalam hati, Arya merasa heran. Tapi, pemuda berambut

putih keperakan ini diam saja. Tidak menyelak cerita laki-laki

berwajah keras itu.

"Maklum, Arya. Istriku sedang hamil..Dan dia ingin

makan daging kelinci."

Kini Arya tidak heran lagi. Pantas saja! Rupanya istri

Brata ini tengah mengidam!

"Nasib baik tengah berpihak padaku, Arya," sambung

Brata lagi. "Aku berhasil menemukan seekor kelinci. Tapi,

sayang binatang itu keburu melarikan diri sebelum aku

sempat berbuat sesuatu."

Kembali Brata menghentikan ceritanya untuk

mengambil napas sejenak dan mencari kata-kata untuk

melanjutkan ceritanya.

"Tentu saja aku tidak tinggal diam. Segera kuburu

binatang itu. Kedua kawanku pun ikut serta pula. Cukup

lama juga kami mengejar-ngejar binatang itu, sebelum

akhirnya lenyap di balik kerimbunan semak-semak. Tanpa

ragu-ragu aku segera memburu. Ketika semak-semak itu

kusibak, ternyata di baliknya terdapat gua."

Brata menghentikan ceritanya kembali. Wajahnya

nampak murung dan menyorotkan perasaan sedih.

Sedangkan Arya segera mengetahui kalau cerita selanjutnya

menyedihkan hati laki-laki berwajah keras itu. Dan melihat


dari tidak adanya kedua orang kawannya. Dewa Arak bisa

memperkirakan nasib kedua orang kawan Brata.

"Aku dan kawanku segera memasukinya," sambung

Brata kembali. "Tapi ternyata gua itu berpenghuni. Namun,

penghuninya berwatak kejam bukan main. Kedua kawanku

tewas dengan sekali sentuh. Sementara aku karena nasib

baik, berhasil melarikan diri. Tapi tak urung dia berhasil

melukaiku dengan senjata rahasianya."

"Bagaimana ciri-ciri orang Itu?" tanya Arya Ingin tahu.

"Dia adalah seorang laki-laki bertubuh pendek.

Menilik dari perawakan dan wajahnya, dia seperti seorang

anak-anak. Kepalanya botak. Kulitnya putih. Dan hanya

mengenakan sebuah celana pendek berwarna putih."

Arya terkejut bukan main mendengarnya. Kaget

bercampur gembira. Karena sudah bisa diduga, siapa orang

yang telah membunuh dua orang teman Brata.

"Tuyul Tangan Seribu...," desis Dewa Arak. Pelan tapi

tajam. Sorot matanya memancarkan cahaya berseri. Satu

titik terang telah ditemukannya.

Sepasang mata Brata terbelalak. Wajahnya pun

menampakkan keheranan. Dan memang, sebenarnya laki-

laki berwajah keras ini merasa heran bercampur geli ketika

teringat orang yang telah membunuh kedua orang kawannya.

"Mengapa bisa begitu tepat julukan yang dimiliki

orang itu?" tanya hati Brata. Menilik dari potongannya,

memang tidak salah orang itu mendapat julukan tuyul.

Tapi Arya sama sekali tidak mempedulikan perasaan

yang bergolak di dalam dada Brata. Dia telah terlalu gembira

ketika mengetahui ada orang yang berhasil mengetahui Tuyul

Tangan Seribu, sehingga tidak lagi memperhatikan

semuanya.

"Kau masih ingat tempat tinggal pembunuh itu,

Kang?" tanya Arya penuh gairah.

Brata menganggukkan kepala.

"Bisa kau mengantarku ke sana, Kang?" kembali Dewa

Arak bertanya.

Laki-laki berwajah keras terperanjat. Sepasang

matanya memancarkan perasaan kaget yang tidak terkira.

Gilakah pemuda berambut putih keperakan ini, karena

meminta diantar ke tempat Tuyul Tangan Seribu yang


dianggapnya gila itu? Laki-laki bertubuh pendek yang tanpa

masalah telah membunuh kedua rekannya!

Dewa Arak tentu saja tahu mengapa Brata terkejut.

"Mengapa kau ingin ke sana, Arya?" tanya Brata

terbata-bata.

"Orang yang telah membunuh kawanmu adalah orang

yang selama ini kucari-cari, Kang," sahut Arya kalem.

"Lebih baik kau urungkan niatmu, Arya. Kurasa orang

itu gila. Masak, tanpa sebab dia bermaksud membunuh

kami. Lagi pula, dia lihai sekali! Kau akan dibunuhnya, Arya!"

"Biar bagaimanapun juga, aku harus menemukannya,

Kang," tegas Arya. "Orang itu telah meracuni kawanku. Dan

aku harus menemuinya untuk meminta obat penawar racun

darinya."

"Tapi... tapi...," Brata masih mencoba membantah.

"Aku jamin kau selamat, Kang," terpaksa Dewa Arak

agak menyombongkan diri untuk menenangkan hati Brata.

"Orang itu berjuluk Tuyul Tangan Seribu. Dan dia sengaja

bersembunyi, karena tahu kalau tengah dicari-cari. Itulah

sebabnya, begitu kau dan dua orang kawanmu melihatnya,

dia bermaksud membunuh kalian bertiga. Untuk menutupi

jejaknya!"

Brata tercenung sejenak. Alasan yang dikemukakan

Dewa Arak cukup kuat. Memang, Tuyul Tangan Seribu

sepertinya tengah bersembunyi. Tapi, benarkah orang seusia

pemuda berambut putih keperakan di hadapannya mampu

menghadapi seorang yang begitu sakti seperti Tuyul Tangan

Seribu?

"Kalau masih takut, kau boleh memberitahukan

tempatnya dari jarak yang cukup jauh, Kang," desak Dewa

Arak memberi pilihan lain.

Kini Brata tidak membantah lagi, karena merasa tidak

enak. Arya telah terlalu mengalah dalam meminta petunjuk.

Kalau dia masih juga bersikeras, rasanya keterlaluan sekali.

"Bagaimana, Kang?" tanya Dewa Arak lagi begitu

melihat laki-laki berwajah keras itu terdiam. "Atau..., bisakah

kau memberikan petunjuk tempatnya dari sini...?"

Brata tersenyum.

"Aku akan mengantarkanmu, Arya."

Arya balas tersenyum.

"Terima kasih atas kesediaanmu mengantarku, Kang."


Brata tidak menyahuti. Laki-laki berwajah keras ini

hanya tersenyum lebar, kemudian bangkit berdiri. Obat

bubuk yang diberikan Arya temjata manjur sekali. Kaki dan

bahunya sudah tidak terasa sakit lagi. Bahkan terasa enak

dan nyaman.

Dewa Arak pun bangkit berdiri, kemudian melangkah

mengikuti Brata yang melangkah lebih dulu Brata melangkah

menerobos kerimbunan semak-semak dan pepohonan lebat.

Tapi belum juga melangkah jauh, laki-laki berwajah keras ini

menghentikan langkah. Wajahnya seketika pucat. Tanpa

sadar kakinya melangkah mundur beberapa tindak.

Tanpa bertanya pun, Dewa Arak sudah mengetahui

penyebab ketakutan Brata. Sekitar delapan tombak di

hadapan mereka, tampak sesosok tubuh yang mereka cari-

cari. Tuyul Tangan Seribu! Rupanya tokoh sesat itu mengejar

Brata. Dan ketika kehilangan jejak dia mencegatnya di mulut

hutan.

***

"Itulah orang yang telah membunuh kedua orang

kawanku, Arya," jelas Brata.

Tanpa berkata apa-apa, Dewa Arak segera melangkah

maju. Lalu, dia berdiri membelakangi Brata dalam jarak dua

tombak Matanya menatap tajam sekujur wajah Tuyul Tangan

Seribu yang terus melangkah mendekati.

"Inikah tokoh yang berjuluk Tuyul Tangan Seribu?

Tapi mana Kelelawar Beracun?" tanya Arya dalam hati.

Bukan hanya Arya saja yang mengamati. Tuyul

Tangan Seribu pun balas menatap tajam begitu melihat Brata

melangkah mundur, dan sebaliknya seorang pemuda

berambut putih keperakan yang melangkah maju.

Semakin dekat, kedua orang itu semakin mengenal

sosok masing-masing.

"Kau yang berjuluk Tuyul Tangan Seribu?" tanya Arya

ketika jarak mereka tinggal tiga tombak lagi.

Laki-laki bertubuh pendek itu tersenyum mengejek.

"Dan..., kalau tidak salah..., bukankah kau yang

berjuluk Dewa Arak?" Tuyul Tangan Seribu balas menduga.

"Jangan membalas pertanyaanku dengan pertanyaan

pula!" tegas Dewa Arak.


"Jangan coba-coba menggertakku, Dewa Arak!" bentak

Tuyul Tangan Seribu tak mau kalah keras. "Orang lain boleh

takut dengan nama besarmu! Tapi, akan kubuktikan pada

dunia persilatan kalau Dewa Arak akan tewas di tangan

Tuyul Tangan Seribu!"

"Tuyul Tangan Seribu!" sebut Dewa Arak dingin. "Kau

tidak usah berlagak sok gagah! Semua orang tahu, kau

bersama Kelelawar Beracun telah mengeroyok seorang wanita

muda dan melukainya secara licik! Cepat beritahukan

padaku, di mana Kelelawar Beracun! Dan aku berjanji tidak

akan mengusikmu lagi!"

"Dewa Arak! Manusia sombong! Jangan kira aku takut

padamu!" ejek Tuyul Tangan Seribu keras.

Belum lagi gema ucapannya habis, laki-laki bertubuh

pendek itu telah melesat ke arah Dewa Arak. Kedua

tangannya berputaran cepat laksana baling-baling. Seketika

bertiup angin kuat dari kedua tangan yang berputaran itu.

"Menjauh, Kang...!" teriak Dewa Arak keras. Kemudian

tanpa membuang-buang waktu lagi, gucinya segera dijumput

dan dituangkan ke mulutnya.

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati

tenggorokannya. Seketika itu pula ada hawa hangat yang

menyebar di dalam perutnya, kemudian perlahan naik ke

atas kepala.

Bersamaan dengan Arya mengambil guci araknya,

Brata segera berlari menjauh.

Wuuuttt...!

Selagi tubuhnya berada di udara. Tuyul Tangan

Seribu segera melancarkan serangan ke arah Dewa Arak.

Kedua tangannya yang bergerak cepat dan seperti telah

berubah menjadi puluhan pasang, menyambar cepat ke arah

pelipis dan ubun-ubun.

Dan dengan langkah terhuyung-huyung, Dewa Arak

berhasil mengelakkannya. Kaki kanannya melangkah

mundur ke belakang, dengan tubuh agak membungkuk

sedikit. Gerakannya begitu aneh, terhuyung-huyung seperti

orang mabuk! Hebatnya, serangan-serangan Tuyul Tangan

Seribu hanya menyambar tempat kosong!


Dengan keras dan penuh kekuatan, kaki kanan Dewa

Arak menyambar cepat ke arah Tuyul Tangan Seribu.

Luar biasanya, laki-laki bertubuh pendek dan

berkepala botak itu hanya memutar-mutarkan kedua

tangannya untuk mematahkan serangan itu!

Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Dewa

Arak. Mendadak kaki kanannya kembali dilangkahkan ke

depan. Gerakannya pun tidak lagi meliuk-liuk, lemas, dan

sempoyongan seperti sebelumnya. Kemudian dengan keras

dan penuh kekuatan, kaki kanannya menyambar cepat ke

arah dada lawan.


Luar biasa! Hanya dengan memutar-mutarkan kedua

tangannya ke bawah, dengan arah gerakan dari luar ke

dalam, laki-laki bertubuh pendek ini mampu mengelakkan

serangan itu. Tubuhnya bersalto ke atas melewati atas kepala

Dewa Arak.

Bukan hanya itu saja! Begitu tubuhnya berada di atas

kepala Dewa Arak, kedua tangannya menyampok cepat ke

arah belakang kepala Arya. Kalau kena, tak pelak lagi kepala

pemuda berambut putih keperakan itu akan hancur.

Lagi-lagi, Dewa Arak membuktikan kelihaian jurus

'Delapan Langkah Belalang'nya! Kaki kanannya kembali

melangkah ke belakang. Sementara kaki kirinya ditekuk

dalam-dalam. Sedangkan tubuhnya dicondongkan ke depan.

Wusss...!

Untuk yang kedua kalinya sampokan Tuyul Tangan

Seribu mengenal tempat kosong, lewat sekitar dua jengkal

dari sasaran.

Kembali Arya tidak tinggal diam. Begitu serangan

lawan berhasil dielakkan, guci araknya diayunkan ke arah

kepala Tuyul Tangan Seribu.

Kuat bukan kepalang tenaga yang terkandung dalam

ayunan guci itu. Jangankan kepala manusia, batu karang

yang paling keras pun akan hancur berkeping-keping bila

terkena. Ada hembusan angin keras yang membuktikan

kalau kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalam

ayunan guci itu begitu kuat.

Tuyul Tangan Seribu memang luar biasa! Ilmu

meringankan tubuh yang dimilikinya benar-benar me-

ngagumkan! Gerakannya gesit dan lincah bukan main. Dia

bisa melayang-layang di udara tak ubahnya seperti seekor

bengkarung. Memang, laki-laki bertubuh pendek ini

menciptakan ilmu itu dengan mengamati perilaku

bengkarung.

Menakjubkan dan indah dilihat pertarungan antara

kedua tokoh sakti itu. Keduanya sama-sama memiliki ilmu

meringankan tubuh yang amat tinggi. Sehingga, pertarungan

antara kedua orang itu tak ubahnya pertarungan dua

bayangan saja. Yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan

putih dan ungu yang saling sambar, kemudian saling pisah.

Hebat bukan main akibat pertarungan itu. Tanah

terbongkar di sana-sini. Debu pun mengepul tinggi ke udara.


Suara mendecit dan menderu mengiringi terjadinya

pertarungan.

Pada jurus-jurus awal pertarungan memang ber-

langsung imbang. Dewa Arak masih bersikap hati-hati,

karena belum mengenal keistimewaan ilmu lawannya. Tapi

menginjak jurus kedua puluh lima, pemuda berambut putih

keperakan sudah mulai menguasai keadaan. Dewa Arak kini

mampu mendesak lawan.

Hal ini tidak aneh, karena Tuyul Tangan Seribu hanya

mampu mengimbangi Dewa Arak dalam hal ilmu

meringankan tubuh. Sementara dalam hal mutu ilmu silat

dan tenaga dalam, dia kalah jauh. Berkali-kali sewaktu

benturan tenaga di antara mereka sudah tidak bisa

dihindarkan lagi, Tuyul Tangan Seribu terhuyung-huyung ke

belakang. Sekujur tangannya terasa sakit-sakit, dan dadanya

terasa sesak bukan main.

Sebuah keuntungan bagi Tuyul Tangan Seribu. Dewa

Arak ternyata tidak bersungguh-sungguh menghadapinya.

Tuyul Tangan Seribu bertarung seperti macan luka. Seluruh

kemampuan yang dimilikinya dikerahkan. Hanya ada dua

pilihan baginya. Membunuh atau dibunuh!

Sementara Arya tidak bermaksud seperti itu. Pemuda

berambut putih keperakan ini tidak bermaksud membunuh

lawannya. Dia masih membutuhkan Tuyul Tangan Seribu

agar dapat menemukan tempat persembunyian Kelelawar

Beracun. Itulah sebabnya, Dewa Arak tidak bermaksud

membunuh atau melukainya tedalu berat Dengan demikian,

dia harus selalu bersikap hati-hati. Hal ini sedikit banyak

mengurangi kelihaiannya.

Meskipun begitu, karena memang tingkat kemampuan

Dewa Arak berada cukup jauh di atas Tuyul Tangan Seribu,

tetap saja pemuda berambut putih keperakan mampu

mendesak lawannya.

"Haaat..!"

Sambil memekik nyaring, Tuyul Tangan Seribu

menyerang. Kedua tangannya menyerang bertubi-tubi ke

arah dada, ulu hati, dan pusar. Cepat bukan main

gerakannya.

Tapi gerakan Dewa Arak masih lebih cepat lagi

Kakinya menjejak tanah, kemudian bersalto ke atas melewati


kepala Tuyul Tangan Seribu. Dan selagi berada di udara,

kedua tangannya meluncur deras ke arah punggung.

Tuyul Tangan Seribu terperanjat Dengan sebisa-

bisanya dia berusaha mengelak. Tapi....

Buk, bukkk...!

Tubuh Tuyul Tangan Seribu terhuyung-huyung ke

depan. Darah segar melesat keluar dari mulutnya. Pukulan

yang menghantam tubuhnya memang telak dan keras bukan

main. Laki-laki bertubuh pendek ini jelas terluka dalam.

Sebelum Tuyul Tangan Seribu memperbaiki ber-

dirinya, Dewa Arak telah hinggap di tanah. Langsung

dikirimkannya serangan susulan. Kaki kanannya bergerak

menyapu.

Dukkk…!

Seketika itu juga tubuh Tuyul Tangan Seribu

terjerembab dan jatuh telentang. Baru saja laki-laki bertubuh

pendek ini hendak bangkit, kaki kanan Dewa Arak kembali

bergerak dan menempel di lehernya. Mau tak mau, Tuyul

Tangan Seribu mengurungkan niatnya

"Katakan! Di mana Kelelawar Beracun?! Maka aku

akan mengampunimu," desak Dewa Arak penuh wibawa.

"Kau kira aku takut mati. Dewa Arak?" Tuyul Tangan

Seribu tersenyum mengejek. "Kau keliru kalau menyangka

aku dapat digertak seperti itu!"

"Jangan paksa aku berbuat kejam. Tuyul Tangan

Seribu!" ancam Dewa Arak. "Kau kira aku akan

membunuhmu begitu saja? Tidak! Aku akan menyiksamu

sampai kau mau memberi tahu, di mana Kelelawar Beracun!

Sebaliknya, aku akan membebaskanmu kalau kau mau

memberi petunjuk tempat persembunyian Kelelawar

Beracun!"

"Cuhhh...!"

Tuyul Tangan Seribu meludah ke tanah.

"Aku tidak yakin kalau kau masih mau bertahan

apabila aku menyiksamu!"

Setelah berkata demikian, Arya segera menggerakkan

tangannya ke arah bahu kanan Tuyul Tangan Seribu. Dia

hendak menotok jalan darah di bahu kanan itu.

Seketika wajah Tuyul Tangan Seribu memucat.

Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, dia tahu kalau jalan

darah di bahu kanan yang akan ditotok Dewa Arak akan


menimbulkan rasa sakit yang amat sangat. Betapapun

beraninya laki-laki bertubuh pendek gemuk ini, tapi

menghadapi siksaan seperti itu, tentu saja akan takut juga.

"Bukan hanya ini saja yang akan kulakukan, Tuyul

Tangan Seribu! Aku akan menghancurkan seluruh tulang-

belulang di tubuhmu! Maka, kau akan mati setelah

mengalami siksaan yang mengerikan!"

Kian memucat wajah Tuyul Tangan Seribu. Dirasakan

adanya nada kesungguhan dalam ancaman Dewa Arak. Bulu

tengkuknya meremang seketika itu juga.

"Baik! Aku akan memulainya...!" ancam Arya.

Seiring dengan selesai ucapannya, Dewa Arak

mengulurkan tangannya ke arah jalan darah di bahu kanan

Tuyul Tangan Seribu.

"Tunggu, Dewa Arak...!" cegah Tuyul Tangan Seribu

kalap.

"Hm..., mengapa?" tanya Arya.

"Aku mengaku kalah. Kelelawar Beracun tidak berada

di sini lagi...."

"Lalu, di mana dia sekarang?"

"Di Pulau Ular...."

"Pulau Ular?" Dewa Arak mengerutkan alisnya.

"Ya!" sahut Tuyul Tangan Seribu membenarkan. "Dia

memang tinggal di sana. Di Rawa Neraka!"

Seketika Dewa Arak tercenung. Dia memang telah

mendengar berita mengenai Pulau Ular. Sebuah pulau

menyeramkan yang sepatutnya hanya dihuni iblis-iblis saja.

Pulau itu benar-benar menyeramkan, penuh dengan bahaya.

Letaknya pun jarang orang yang tahu. Jadi, di sanakah

Kelelawar Beracun tinggal?

Melihat Dewa Arak tercenung, dan begitu merasakan

jejakan pada lehernya mengendur, Tuyul Tangan Seribu

bertindak nekat. Tangannya cepat bergerak mengibas.

Seketika itu juga sekelebatan benda hitam menyambar ke

arah Dewa Arak. Benda itu tak lain adalah logam berbentuk

mata anak panah.

Arya terkejut dan cepat melompat mundur. Maka

serangan gelap itu mengenai tempat kosong.

Kesempatan yang hanya sedikit itu tidak disia-siakan

Tuyul Tangan Seribu. Dia cepat bergerak menerjang Arya

dengan serangan maut ke arah ubun-ubun.


Melihat hal ini, Dewa Arak jadi geram. Kedua

tangannya dihentakkan ke depan. Melancarkan jurus

'Pukulan Belalang'.

Wusss...! Bresss...!

Tuyul Tangan Seribu menjerit memilukan ketika angin

keras berhawa panas menyengat telak menghantam dadanya.

Seketika itu juga laki-laki bertubuh pendek itu terlempar

jauh. Sekujur tubuhnya hangus. Tuyul Tangan Seribu tewas

seketika!

"Hhh...!"

Dewa Arak menghela napas berat. Ada sedikit rasa

penasaran di hatinya melihat kematian Tuyul Tangan Seribu.

Dia memang tidak bermaksud membunuhnya.

Setelah mengamati mayat Tuyul Tangan Seribu

sejenak, Dewa Arak melangkah meninggalkan tempat itu.

Masih ada tugas baginya, yakni mencari Kelelawar Beracun

untuk menyelamatkan nyawa Melati. Dewa Arak tak ingat lagi

kalau masih ada Brata yang berdiri terpaku melihat

kepergiannya.

Berhasilkah Dewa Arak mencari obat untuk me-

nyembuhkan Melati? Padahal, Kelelawar Beracun pemilik

obat penawar itu berada di Pulau Ular. Sebuah pulau yang

penuh tabir rahasia yang letaknya jarang diketahui orang.

Banyak maut yang terbentang sepanjang perjalanan menuju

ke sana. "Perjalanan Menantang Maut" menceritakan

tentang perjalanan Dewa Arak menuju ke sana!




                                   SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar