KELELAWAR BERACUN
Oleh Aji Saka
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia. Jakarta
Penyunting : Puji
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka
Serial Dewa Arak
dalam episode: Kelelawar Beracun
128 hal. ; 12 x 18 cm
1
Sang surya sudah lama tenggelam di ufuk Barat. Dan
kini kegelapan menyelimuti bumi. Apalagi awan tebal yang
menghitam ikut bergumpal-gumpal menghalangi bulan
sepotong yang bersinar lemah di langit. Suasana malam jadi
terasa mencekam. Tambahan lagi, angin dingin yang
menggigilkan tulang sesekali berhembus keras. Maka,
lengkaplah sudah keadaan yang terasa menakutkan itu.
Hening, sepi, dan mati!
Tapi keheningan malam itu ternyata tidak berlang-
sung lama. Karena sesaat kemudian, terdengar derap
langkah-langkah kaki kuda yang membuat tanah bergetar.
Bisa diperkirakan kalau jumlah kuda itu mencapai belasan
ekor!
"Hooop...!"
Seorang laki-laki berikat kepala merah dan ber-
pakaian hitam, mengangkat tangan kirinya ke atas seraya
menarik tali kekang kuda dengan tangan kanan. Seketika itu
juga langkah binatang tunggangannya berhenti. Begitu pula
belasan ekor kuda yang berada di belakangnya. Rupanya
laki-laki berpakaian hitam itu bertindak sebagai pemimpin
rombongan.
Menilik dari wajah belasan orang itu yang agak kasar,
dan sikap yang rata-rata liar, bisa diperkirakan kalau mereka
bukan rombongan orang baik-baik.
Laki-laki berpakaian hitam dan berikat kepala merah
itu lalu menatap belasan wajah yang berada di sekitarnya.
"Kali ini kita akan berpesta," ujar laki-laki berikat
kepala merah itu. Suaranya melengking nyaring seperti suara
seorang wanita. "Sasaran kita kali ini adalah Desa Jati Jajar."
Seketika itu juga terdengar suara sorak-sorai riuh
menyambuti perkataan itu.
"Mengapa tidak dari dulu-dulu saja, Kang?" sambut
seorang yang berkepala botak gembira seraya menatap wajah
laki-laki berpakaian hitam itu. "Biar semua tahu, siapa
dirimu. Kang!"
"Ya!" sambut orang bergigi tonggos. "Kita tunjukkan
pada adipati keparat itu, siapa Kakang Kala Ireng!"
"Akur...!" sahut yang lain.
"Benar...!" orang kasar lainnya tak mau ketinggalan.
"Setuju...!"
Seketika itu juga suasana malam yang semula hening,
sepi, dan menyeramkan, berubah riuh gembira. Suara-suara
keras dan kasar terdengar saling susul, tak mau kalah.
Masing-masing orang kasar itu berkata semaunya.
Tapi suara ribut-ribut itu langsung sirna ketika laki-
laki berpakaian hitam yang bernama Kala Ireng ini
mengangkat tangan kanannya ke atas. Jelas, dia adalah
seorang pemimpin yang cukup disegani anak buahnya. Kini
semua pasang mata tertuju padanya, menunggu apa yang
akan dikatakan pemimpin mereka.
Dengan sikap tenang, Kala Ireng menatap satu
persatu wajah-wajah yang tertuju ke arahnya. Raut wajah
Kala Ireng tampak agak kurus. Dahinya terlihat agak lebar
karena bagian depan kepalanya tidak ditumbuhi rambut.
Mungkin karena pakaiannya yang serba hitam, sehingga dia
mendapat julukan Kala Ireng.
"Memang itulah maksud tujuanku sebenarnya," kata
Kala Ireng dengan suara melengking nyaring seperti suara
seorang wanita.
"Horeee...!" seru gembira laki-laki berkepala botak.
"Hidup Kakang Kala Ireng...!" teriak seorang lainnya
yang berkumis tebal sambil mengangkat tangan kanannya ke
atas.
"Hidup...!" sambut semua anggota gerombolan
serentak. Pohon dan semak-semak sampai bergetar hebat
akibat gemuruh suara rawa mereka.
"Ha ha ha...!"
Kala Ireng tertawa terbahak-bahak. Sebuah suara
aneh. Kecil dan melengking nyaring.
Kembali laki-laki berikat kepala merah ini mengangkat
tangan kanannya ke aras. Seketika itu pula, suara ribut-ribut
sirna. Lenyap mendadak, seperti ayam yang dicekik lehernya.
Begitu suasana kembali hening seperti sediakala, Kala
Ireng kembali menggerakkan tangannya yang semula
terangkat ke atas menuju ke depan. Berbareng dengannya
ditarik kembali, tali kekang kudanya dihentakkan. Tidak
hanya itu saja. Bagian belakang tubuh binatang itu juga
dilecutnya.
Sambil meringkik keras, kuda tunggangan laki-laki
berpakaian hitam itu segera melangkah ke depan.
Melihat pemimpinnya telah memacu kuda, belasan
orang kasar itu segera menggebah kudanya. Maka, kuda-
kuda itu pun bergerak menyusul kuda Kala Ireng.
Suara derap kaki kuda yang menggetarkan bumi pun
terdengar. Tujuan mereka sudah jelas. Desa Jati Jajar! Dan
akibatnya bagi desa itu sudah bisa diperkirakan.
Kehancuran!
***
"Kau dengar suara itu, Dawarsa?" tanya seorang laki-
laki bertubuh pendek kekar sambil bergerak bangkit dari
tidur miringnya. Melalui gardu penjagaan yang tidak
mempunyai daun pintu, pandangannya dilayangkan ke
depan, ke arah hutan yang membentang jauh di depan
mereka.
Seorang pemuda yang memakai ikat kepala putih
menoleh. Bisa diduga kalau dialah yang bernama Dawarsa.
Dan memang di gardu penjagaan itu hanya ada dua orang.
Dawarsa menatap wajah rekannya sejenak, kemudian
terdiam. Dicobanya untuk mencari tahu, suara apa yang
dikatakan laki-laki bertubuh pendek kekar itu. Dahinya
berkernyit, berusaha keras membuktikan kebenaran ucapan
rekannya. Tapi sampai beberapa saat berbuat seperti itu, tak
juga terdengar suara apa-apa. Maka Dawarsa menggelengkan
kepala.
"Aku tidak mendengar suara apa-apa, Burasa," tegas
Dawarsa kalem. "Mungkin kau hanya salah dengar saja."
"Tidak mungkin, Dawarsa!" sentak laki-laki bertubuh
pendek kekar yang dipanggil Burasa, bersikeras. "Jelas sekali
aku mendengarnya!"
"Tapi, aku sama sekali tidak mendengarnya, Burasa!"
bantah Dawarsa, tak kalah keras. "Mungkin kau bermimpi."
"Aku tidak tidur, Dawarsa. Mana mungkin bisa
bermimpi! Kau tahu, aku hanya merebahkan diri untuk
menghilangkan rasa pusing yang mendera kepalaku!"
"Hhh...!" Dawarsa menghela napas. "Siapa tahu, tanpa
sadar kau tertidur, meskipun hanya sekejap. Dan dalam
tidurmu itu, kau mendengar sesuatu...."
Seketika Burasa terdiam. Disadari, apa yang dika-
takan rekannya mungkin saja benar. Memang bukan tidak
mungkin dia tertidur sewaktu merebahkan tubuh tadi. Tapi
sesaat kemudian, rasa penasaran timbul dalam diri laki-laki
bertubuh pendek kekar ini. Dirinya, atau Dawarsa yang
salah?
Tentu saja untuk mengetahui hal itu, tidak ada jalan
lain kecuali membuktikan kebenaran ceritanya. Maka tanpa
ragu-ragu lagi Burasa segera merebahkan diri kembali di
bangku panjang di dalam gardu penjagaan.
"Burasa...! Apa yang kau lakukan...?!" tanya Dawarsa
agak kaget campur bingung.
"Mencoba membuktikan kebenaran ucapanku," sahut
Burasa kalem.
Dawarsa hanya menggeleng-gelengkan kepala
mendengar jawaban laki-laki bertubuh pendek kekar. Dia
pun tidak mempersoalkannya lagi. Dibiarkannya saja Burasa
meneruskan maksudnya.
"Ah...!"
Dawarsa sampai terjingkat kaget tatkala mendengar
seru keterkejutan Burasa. Secepat kilat kepalanya menoleh.
Pada saat yang bersamaan, laki-laki bertubuh pendek kekar
ini melonjak bangkit dari berbaringnya seperti tengah dipagut
ular berbisa,
"Ada apa, Burasa?" tanya Dawarsa kaget.
"Apa yang kukatakan tadi tidak salah, Dawarsa," tegas
Burasa terputus-putus.
"Maksudmu...?" tanya Dawarsa masih kurang
mengerti.
"Suara-suara yang kudengar itu," jelas Burasa tidak
sabar lagi.
"Hm…," Dawarsa menggumam pelan. Hanya dia
sendiri yang tahu, apa arti gumamannya itu.
"Kalau kau masih tidak percaya, kemarilah. Akan
kubuktikan, siapa di antara kita yang benar!"
Kata-kata bernada tantangan telah diajukan Burasa.
Mau tak mau, Dawarsa terpaksa menghampirinya. Di
samping karena tantangan yang diajukan Burasa, juga
disebabkan perasaan ingin tahunya. Benarkah apa yang
dikatakan rekannya itu?
Dengan agak ragu-ragu, Dawarsa membaringkan
tubuhnya di bangku panjang itu. Dan secepat tubuhnya
berbaring miring, secepat itu pula tubuhnya terlonjak ke atas
seperti disengat kalajengking.
"Kau benar, Burasa!" pekik laki-laki berikat kepala
putih, terkejut.
"Kau bisa mengira-ngira suara apa itu, Dawarsa?"
tanya Burasa tak menghiraukan ucapan rekannya.
Laki-laki bertubuh pendek kekar sama sekali tidak
meributkan kebenaran ucapannya. Suara yang didengar,
lebih menarik untuk dibahas daripada diributkan.
"Kalau aku tidak keliru, itu adalah suara langkah kaki
kuda. Entah berapa jumlahnya.... Tapi yang jelas, banyak
juga."
"Dugaanmu sama dengan dugaanku, Dawarsa,"
sambut Burasa. "Entah siapa yang di malam seperti ini
mengendarai kuda...."
"Jangan-jangan...," Dawarsa menghentikan ucap-
annya. Sepasang matanya terbelalak lebar menatap ke depan.
"Kau lihat apa yang berada di depan, Burasa?" tanya
pemuda berikat kepala putih itu sambil menudingkan
telunjuk tangan kanannya ke depan.
Burasa menolehkan kepala ke arah yang ditunjuk
rekannya. Dan seketika dia terkejut ketika melihat
sekelompok sosok bayangan hitam di kejauhan sana.
Meskipun tidak jelas bentuknya karena suasana malam, tapi
keduanya dapat menduga kalau sekelompok sosok bayangan
hitam itu adalah manusia. Dan menilik derap kaki kuda yang
terdengar, bisa diperkirakan kalau itu adalah rombongan
orang berkuda.
"Serombongan orang berkuda...," desis Burasa dengan
suara tegang.
"Rombongan berkuda malam-malam begini?
Dugaanmu, siapa mereka, Burasa?"
"Maksudmu...?" Burasa merasakan dadanya berdebar
tegang. Tanpa bertanya lagi pun sudah bisa diduga, apa yang
dikatakan rekannya. Dan hal ini membuatnya tegang.
"Perampok...," desis Dawarsa pelan tapi tajam.
Belum juga gema suara laki-laki berikat kepala putih
itu lenyap, tubuh Burasa sudah berlari cepat menuju
kentongan yang tergantung di sudut depan gardu penjagaan.
Kemudian pemukulnya diambil, dan dihantamkan pada
badan kentongan.
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan tanda bahaya terdengar nyaring
memecahkan kesunyian malam. Dan penduduk yang
mendengar pun memukul pula kentongan yang terdapat di
depan rumah mereka.
Hanya dalam waktu sekejap saja, bunyi kentongan
terdengar bersahut-sahutan. Seketika itu pula para
penduduk berserabutan keluar dari rumah masing-masing
sambil membawa senjata di tangan.
***
8 Singgg...! Cappp...!
"Akh...!"
Terdengar keluhan tertahan dari mulut Burasa,
disusul oleh tubuhnya yang terhuyung-huyung. Tangan
kanannya mendekap bahu kirinya yang tertembus sebuah
logam berbentuk bintang bersegi lima. Seketika cairan merah
kental mengalir deras dari bahu yang terluka, menerobos
lewat celah jari-jemari tangannya.
"Burasa...!"
Dawarsa berseru keras seraya berlari keluar gardu.
Dia tadi juga sempat mendengar adanya suara berdesing
nyaring, sebelum rekannya menjerit.
Dan begitu Dawarsa berada di luar, tampak beberapa
sosok tubuh berlompatan dari punggung belasan ekor kuda
yang larinya dihentikan secara mendadak. Begitu hinggap di
tanah, sosok-sosok tubuh itu segera menyerbu ke arah
Burasa dan Dawarsa.
Tentu saja kedua orang penjaga gardu itu tidak
tinggal diam. Dawarsa cepat mencabut goloknya, langsung
memapak datangnya serangan yang menuju ke arahnya.
Begitu pula Burasa. Tanpa menghiraukan darah yang
mengalir dari bahu kirinya, tubuhnya melesat membantu
laki-laki berikat kepala putih itu.
Baik Burasa maupun Dawarsa memang tidak asing
lagi dengan ilmu silat. Karena kedua orang itu memang
memiliki tingkat kepandaian lumayan. Tapi lawan yang
dihadapi bukan orang lemah! Kali ini yang mereka hadapi
adalah rombongan perampok anak buah Kala Ireng, yang
sudah terkenal kebengisannya. Dalam mempertahankan
selembar nyawa, mereka terkenal paling gigih. Pekerjaan yang
dijalani membuat mereka harus memilih dua kemungkinan.
Dibunuh atau membunuh!
"Haaat..!"
Seraya berteriak keras, Dawarsa menebaskan
goloknya ke arah leher perampok yang berkepala botak.
"Hmh...!"
Laki-laki berkepala botak itu hanya mendengus.
Tubuhnya didoyongkan ke belakang sambil menarik
kepalanya. Maka, serangan golok itu hanya mengenai tempat
kosong. Lewat sejengkal dari sasaran.
Bukan hanya itu saja yang dilakukan laki-laki
berkepala botak. Begitu serangan Dawarsa lewat, golok besar
di tangannya dibabatkan ke arah tangan laki-laki berikat
kepala putih itu. Cepat dan tak terduga gerakan laki-laki
berkepala botak, sehingga Dawarsa hanya mampu berkelit
sedikit.
Wuttt! Crasss...!
Dawarsa memekik keras. Tangan kanannya buntung
sebatas sikut terbabat golok besar laki-laki berkepala botak
Itu. Darah segar seketika berhamburan keluar dari tangan
yang putus. Belum lagi laki-laki berikat kepala putih itu
sempat berbuat sesuatu, kaki kanan laki-laki berkepala
botak melayang cepat ke arah perutnya.
Bukkk...!
"Hugk...!"
Suara keluhan tertahan terdengar dari mulut Da-
warsa. Tubuhnya seketika terbungkuk. Dan di saat itulah,
golok besar lawan kembali menyambar. Maka....
Crasss...!
Tanpa sempat mengeluarkan suara lagi, tubuh Da-
warsa terkulai roboh. Dia tewas seketika dengan seluruh
kepala terpisah dari badan.
Dan pada pertarungan lain, Burasa mengalami nasib
yang sama. Dia tewas dengan perut tertancap pedang hingga
tembus ke punggung.
Tanpa menghiraukan mayat korbannya, kedua orang
perampok itu bergegas menyusul rekan-rekannya yang telah
menyebar maut di dalam desa.
2
Di Desa Jati Jajar pun terjadi kerusuhan yang tidak
kalah mengerikan. Para penduduk yang baru saja keluar dari
rumah masing-masing, segera disambut rombongan
perampok. Maka pertarungan sengit dan mati-matian pun
berlangsung.
Tapi karena sebagian besar para penduduk tidak
menguasai ilmu silat, rombongan perampok itu tidak
mengalami kesulitan untuk membinasakan mereka satu
persatu. Padahal, satu orang perampok menghadapi dua
orang lawan.
Memang ada sebagian kecil penduduk yang me-
nguasai ilmu silat. Tapi, itu pun hanya sekadarnya saja.
Andaikan kepandaian yang dimiliki menyamai para anggota
perampok pun, mereka tetap saja tidak mampu menang.
Sebab, jelas mereka kalah pengalaman dalam pertempuran.
Jadi tidak heran kalau satu persatu para penduduk Desa Jati
Jajar berguguran.
Tapi ternyata tidak semua orang di pihak Desa Jati
Jajar yang mudah dikalahkan. Ada dua orang di antara
mereka yang mampu mengadakan perlawanan sengit. Yang
seorang adalah laki-laki bertubuh kekar berotot. Kumis dan
alisnya tebal. Sedangkan yang seorang lagi adalah laki-laki
setengah baya berpakaian putih. Kumis dan jenggotnya telah
berwarna dua.
Sambil terus mengadakan penawanan sengit terhadap
tiga orang perampok yang mengeroyoknya, laki-laki
berpakaian putih tak henti-hentinya memberi semangat pada
para penduduk Desa Jati Jajar.
"Jangan mundur...! Lawan terus...! Mundur berarti
desa kita hancur...!"
Berkat teriakan laki-laki berpakaian putih itulah,
maka para penduduk Desa Jati Jajar terus mengadakan
perlawanan. Mereka semua tahu, nasib anak dan istri
tergantung pertarungan ini.
Sungguh mengerikan keadaan Desa Jati Jajar. Di
sepanjang jalan utama desa terjadi pertarungan mati-matian.
Di sana-sini bergeletakan sosok-sosok tubuh tanpa nyawa.
Kala Ireng menatap beberapa kelompok pertarungan
dengan wajah dingin. Bibirnya menyunggingkan senyum
kebengisan. Ada seri kegembiraan yang memancar di
wajahnya, tatkala melihat semua anak buahnya berhasil
mengungguli lawan. Dan bahkan terus mendesak masuk ke
dalam desa.
Tapi seri di wajah laki-laki berpakaian hitam ini le-
nyap begitu melihat dua pertarungan lainnya. Pertarungan
antara anak buahnya melawan laki-laki berpakaian putih dan
laki-laki bertubuh kekar berotot. Mereka tertahan di sini.
Baik laki-laki berpakaian putih maupun laki-laki
bertubuh kekar sudah berhasil menewaskan seorang lawan.
Tapi kini mereka belum mampu menambah korban lagi,
karena jumlah lawan bertambah. Laki-laki berpakaian putih
dikeroyok tiga orang perampok.
Sementara laki-laki bertubuh kekar berotot meng-
hadapi empat orang perampok. Dan tampaknya pertarungan
kedua kelompok itu berjalan seimbang.
Kala Ireng menggertakkan gigi. Dikenalinya betul,
siapa kedua orang itu. Laki-laki berpakaian putih adalah
Kepala Desa Jati Jajar. Namanya, Ki Manggala. Sedangkan
laki-laki bertubuh kekar berotot bernama Kanigara, seorang
guru silat dari Desa Cibening. Sebuah desa yang terhitung
besar, tetangga Desa Jati Jajar. Hanya saja Kala Ireng tidak
mengetahui, mengapa guru silat itu bisa berada di desa ini.
Tapi Kala Ireng tidak Ingin memikirkan hal Itu lagi.
Masalahnya kalau tidak cepat-cepat turun tangan, ketujuh
orang anak buahnya pasti akan tetap tertahan di situ.
Sementara, tugas yang harus dikerjakan masih belum selesai.
Maka laki-laki berpakaian hitam ini segera melompat turun
dari punggung kuda.
"Mundur...!" teriak Kala Ireng begitu berada di
belakang anak buahnya yang tengah bertarung menghadapi
Kanigara.
Laki-laki bertubuh kekar berotot ini ternyata hebat
juga. Dengan pedangnya, membuat empat orang lawan tidak
mampu mendesak.
Sementara empat orang lawan Kanigara yang
mendengar seruan itu, langsung berlompatan mundur.
Mereka tentu saja mengenal, siapa pemilik suara itu.
Berbareng dengari berlompatan mundurnya empat
orang perampok itu, Kala Ireng melompat masuk dalam
kancah pertarungan. Dia langsung berdiri berhadapan
dengan Kanigara.
"Kala Ireng...," desis laki-laki bertubuh kekar berotot
itu, begitu melihat laki-laki berpakaian hitam. Ada nada
keterkejutan terdengar dalam suara itu. Dia memang telah
mengenal Kala Ireng, seorang kepala rampok yang telah
malang-melintang dalam Hutan Buaran.
"Hmh...!" Kala Ireng mendengus. "Bersiaplah untuk
mati, Kanigara!"
Kanigara sama sekali tidak menyambuti ancaman itu.
Dia tengah merasa tegang melihat Kala Ireng. Sungguh sama
sekali tidak disangka bisa bertemu kepala rampok itu di sini.
Kala Ireng terkenal amat kejam, di samping memiliki
kepandaian yang tinggi.
Kanigara menggertakkan gigi, kemudian melesat
menyerang lawannya. Pedang di tangannya menusuk cepat
ke arah perut Kala Ireng. Ada suara bercuitan yang cukup
nyaring mengiringi serangan itu.
"Hmh...!"
Lagi-lagi Kala Ireng mendengus. Secercah senyum
mengejek tampak tersungging di bibirnya. Dan masih dengan
senyum ejekan, laki-laki berpakaian hitam ini mengelakkan
serangan Kanlgara.
Mudah saja Kala Ireng mengelak. Kakinya dilang-
kahkan ke kiri sambil tubuhnya didoyongkan. Sehingga,
tusukan pedang itu lewat di sebelah kanan pinggangnya. Dan
sebelum Kanigara berbuat sesuatu, tangan kanan Kala Ireng
telah lebih dulu bergerak.
Wuttt..! Tap...!
Pedang di tangan Kanigara langsung kena ceng keram tangan
Kala Ireng. Karuan saja hal ini membuatnya terkejut bukan
main. Laki-laki bertubuh kekar berotot ini segera
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk
menarik kembali senjatanya. Dan kalau tidak bisa
menariknya kembali, paling tidak tangan Kanigara akan
terluka. Atau bahkan putus sama sekali akibat tersayat mata
pedangnya.
Tapi usaha Kanigara kandas. Wajahnya sampai merah
padam karena mengerahkan seluruh tenaga dalam. Nada
keluhan terdengar dari mulutnya ketika berusaha keras
menarik pulang senjatanya.
***
Berbeda dengan keadaan yang dialami Kanigara,
wajah Kala Ireng tampak biasa-biasa saja. Bahkan tidak
terlihat tanda-tanda kalau tengah mengerahkan tenaga.
"Hmh...!"
Kala Ireng kembali mendengus. Berbareng hilangnya
dengusan itu, tangan kanannya bergerak meremas. Hebat
akibatnya! Bilah pedang Kanigara langsung hancur, seolah-
olah yang diremas laki-laki berpakaian hitam ini hanya
sehelai daun kering rapuh!
Akibat yang terjadi sudah bisa diduga. Pada saat itu
Kanigara tengah mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk
menarik pedangnya, tak pelak lagi tubuhnya terjengkang ke
belakang.
Tapi berkat kelihaiannya, Kanigara tidak sampai
terbanting di tanah. Meskipun agak terhuyung-huyung dan
mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang.
Wajah Kanlgara memucat Sepasang matanya menatap
berganti-ganti pada pedang yang telah tinggal separuh di
tangannya, dan pada jemari Kala Ireng yang lelah meremas
hancur pedangnya. Laki-laki bertubuh kekar ini memang
telah mendengar berita kalau Kala Ireng mempunyai suatu
ilmu yang membuat kedua tangannya jadi sekuat baja! Dan
kini telah dibuktikannya sendiri kebenaran berita itu! Jari-
jari tangan Kala Ireng benar-benar luar biasa!
Wuttt...! Tap...!
Pedang di tangan Kanigara langsung kena ceng-
keraman tangan Kala Ireng. Karuan saja hal ini membuatnya
terkejut bukan main. Laki-laki bertubuh kekar itu segera
mengerahkan seluruh tenaga untuk menarik senjatanya, tapi
tetap tidak berhasil!
Meskipun perasaan gentar merayapi hatinya, Kanigara
pantang mundur. Dia tahu Kala Ireng tidak akan sudi
mengampuninya. Jadi, tidak ada jalan lain baginya kecuali
melawan mati-matian!
"Haaat..!"
Kanigara berseru keras. Pedang yang telah tinggal
separuh di tangannya, ditusukkan cepat ke arah leher Kala
Ireng. Tapi untuk yang kesekian kalinya, pemimpin perampok
ini tidak mengalami kesulitan sedikit pun untuk
memunahkan serangan itu. Tanpa menggeser kaki, Kala
Ireng mendoyongkan kepala ke kanan. Maka serangan itu
lewat beberapa jari di sebetah kiri lehernya.
Pada saat yang bersamaan, tangan kiri Kala Ireng
dengan jari-jari berbentuk cakar itu bergerak.
"Tappp...!"
Mengkelap jantung Kanigara begitu mengetahui
pergelangan tangan kanannya telah tercekal Kala Ireng, Dan
sebelum dia sempat berbuat sesuatu, tangan Kala Ireng yang
kuat itu telah bergerak meremas.
Terdengar suara bergemeretakan keras dari tulang-
tulang yang remuk seiring dengan remasan jari-jari tangan
Kala Ireng.
Kanigara mengigit bibirnya sampai berdarah, dalam
usahanya agar mulutnya tidak mengeluarkan lolongan
kesakitan. Memang rasa sakit yang melanda benar-benar luar
biasa! Keringat sebesar jagung bermunculan di wajah laki-
laki kekar itu.
Dengan sendirinya, laki-laki bertubuh kekar berotot
ini telah dibuat tidak berdaya oleh Kala Ireng. Dan begitu
tangan Kala Ireng bergerak menyentak, tubuh Kanigara
tertarik ke depan. Hal ini memang sudah direncanakan laki-
laki berpakaian hitam itu. Maka begitu tubuh Kanigara
meluruk ke arahnya, cakar tangan kanannya bergerak
menyambut.
Crokkk...!
Suara berderak keras terdengar ketika ubun-ubun
Kanigara pecah. Cairan merah kental bercampur putih
mengalir keluar dari ubun-ubunnya. Hanya sebuah keluhan
pelan terdengar ketika laki-laki bertubuh kekar berotot ini
tewas! Suara berdebuk keras terdengar saat tubuh kekar itu
jatuh di tanah.
***
Kala Ireng menatap mayat lawannya sejenak.
Kemudian....
Cuhhh...!
Sepercik ludah kental meluncur keluar dari mulut
laki-laki berpakaian hitam, dan hinggap di wajah mayat
Kanigara. Kala Ireng kemudian mengalihkan perhatian ke
arah Ki Manggala. Tampak laki-laki berpakaian putih itu
tengah terdesak hebat Karena lawan-lawan yang semula
menghadapi Kanigara, kini ganti mengeroyoknya.
Menghadapi tiga orang saja Ki Manggala tidak mampu
menang. Apalagi kini menjadi tujuh orang lawan. Dalam
beberapa gebrak saja Kepala Desa Jati Jajar ini terdesak
hebat dan terus terhimpit.
Pada jurus ke empat, laki-laki berpakaian putih ini
tidak mampu mengelak atau menangkis lagi. Bahkan kini
tusukan golok laki-laki berkepaia botak telah menghunjam
dalam di perutnya. Darah pun memancar deras dari luka
yang terobek lebar.
Tak sampai sekejapan mata, serangan-serangan lain
pun menyusul tiba. Babatan golok, tusukan tombak, dan
hujan senjata lain hinggap di berbagai bagian tubuhnya. Tapi
meskipun demikian, di saat nyawanya hendak melayang, Ki
Manggala masih sempat mengajak salah seorang pengeroyok
untuk ikut bersamanya ke akhirat!
Ki Manggala melompat menerjang mengerahkan
seluruh sisa-sisa tenaga dalam yang dimiliki. Golok di
tangannya menyambar cepat ke arah salah seorang anggota
perampok.
Perampok berkumis tebal itu terkejut bukan main
mendapat serangan yang tak diduga itu. Maka sebisa bisanya
dia berusaha mengelak, tapi terlambat. Golok Kepala Desa
Jati Jajar itu telah terlebih dulu menyambar lehernya. Tak
pelak lagi, kepala laki-laki berkumis tebal itu pun terpisah
dari tubuh. Dia tewas seketika berbarengan dengan tewasnya
Ki Manggala.
Dengan tewasnya Kanigara dan Ki Manggala, tidak
ada lawan kuat yang dihadapi gerombolan perampok anak
buah Kala Ireng. Kini dengan leluasa semua penduduk yang
menghalangi tindakan mereka dibantai.
Suara teriakan kesakitan diiringi lolong kematian
memecah kesunyian malam, di tengah-tengah hiruk-
pikuknya suara senjata beradu.
Gerombolan perampok anak buah Kala Ireng
bertindak tak kepalang tanggung. Seluruh isi penduduk yang
berjenis laki-laki, tua atau muda, dibantai habis. Bahkan
anak kecil pun dibinasakan. Hanya wanita-wanita saja yang
tidak dibunuh, dan hanya diseret ke luar. Mereka akan
dibawa ke tempat tinggal para perampok untuk dijadikan
pemuas nafsu setan.
"Ha ha ha...!"
Kala hreng tertawa terbahak-bahak melihat seluruh
isi desa porak-poranda. Mayat-mayat penduduk tampak
bergeletakan di sana-sini.
"Bakar...!" seru Kala Ireng, keras.
Tanpa diperintah dua kali, semua anggota gerombolan
itu bergegas mengambil obor-obor yang terpancang di depan
rumah. Kemudian obor itu dilempar ke setiap rumah. Tak
pelak lagi, rumah-rumah itu pun terbakar. Mula-mula hanya
kecil saja, tapi lama kelamaan semakin membesar. Dan
hawanya pun terasa panas menyengat kulit.
"Ha ha ha...!"
Kala Ireng dan anak buahnya tertawa-tawa gembira
melihat seluruh desa mulai diamuk api. Desa Jati Jajar
benar-benar telah menjadi lautan api. Asap tebal dan hitam
membumbung tinggi sampai ke udara.
Sambil terus tertawa-tawa gembira. Kala Ireng
mengangkat tangan kanan ke atas, seraya melompat naik ke
atas punggung kuda. Kemudian tali kekang binatang
tunggangannya dihentakkan. Maka kuda coklat itu pun
bergerak meninggalkan tempat itu.
Melihat pemimpin mereka telah bergerak mening-
galkan tempat itu, seketika para anak buahnya ikut bergerak
pula. Kini, rombongan ini membawa serta barang hasil
jarahan, serta belasan wanita cantik.
Wanita-wanita Desa Jati Jajar hanya dapat menangis
melihat semua kejadian yang menimpa. Menangisi desa
mereka yang kini telah menjadi lautan api. Menangisi ayah
suami, adik, atau anak mereka yang tewas oleh kekejaman
para perampok itu.
Bukan hanya itu saja yang dipikirkan. Kejadian
mengerikan yang akan menimpa mereka pun tak luput dari
pikiran. Ingin rasanya membunuh diri, tapi sayangnya
kesempatan itu tidak pernah ada. Kini mereka hanya dapat
pasrah menerima kenyataan yang ada. Ikut rombongan
perampok Kala Ireng.
3
Siang itu suasana benar-benar tidak menyenangkan.
Matahari yang tepat di atas kepala memancarkan sinarnya
begitu terik ke bumi. Seakan-akan dengan sinarnya, sang
mentari tengah berusaha melelehkan apa pun di bawahnya.
Dalam suasana sepanas itulah, serombongan pasukan
berkuda berpacu cepat menuju Hutan Buaran. Derap
langkah kaki kuda yang berlari cepat itu cukup mengusik
keheningan siang. Debu mengepul tinggi, menambah
pengapnya suasana siang yang sudah terasa tidak nikmat
Rombongan berkuda yang jumlahnya tak kurang dari
dua puluh orang itu mengenakan seragam prajurit kerajaan.
Ternyata rombongan prajurit itu dipimpin seorang gadis yang
berkuda paling depan. Wajahnya begitu cantik, dan
pakaiannya berwarna putih. Rambutnya panjang terurai,
sehingga menambah kecantikannya. Sementara yang
berkuda di sebelahnya, adalah seorang laki-laki setengah
baya.
"Masih jauhkah sarang gerombolan Kala Ireng itu,
Paman Patih?" tanya gadis berpakaian putih seraya menatap
laki-laki setengah baya.
Menilik dari nada suara dan wajahnya, dapat
diketahui kalau gadis itu sudah merasa tidak sabar untuk
bertemu gerombolan Kala Ireng.
"Tidak jauh lagi, Gusti Ayu Melati," sahut laki-laki
setengah baya itu. Suaranya lembut dan penuh kasih sayang,
seperti layaknya ucapan seorang ayah pada anaknya.
Gadis berpakaian putih yang ternyata Melati, putri
angkat Raja Bojong Gading itu menghela napas berat.
Kemudian perhatiannya dialihkan kembali ke depan.
"Memangnya kenapa, Gusti Ayu?" tanya laki-laki
setengah baya yang dipanggil Melati dengan sebutan paman
patih.
Dia memang patih Kerajaan Bojong Gading. Namanya
Rantaka (Baca serial Dewa Arak dalam episode "Banjir Darah
di Bojong Gading").
"Aku sudah tidak sabar lagi untuk membasmi
mereka!" tegas Melati. "Gerombolan itu tidak bisa diampuni
lagi. Mereka harus dibasmi semuanya!"
Patih Rantaka tersenyum mendengar ucapan Melati
yang berapi-api itu.
"Bukankah Gusti Prabu pun memerintahkan begitu,
Gusti Ayu?"
Melati menganggukkan kepala, membenarkan ucapan
Patih Rantaka.
"Ayahanda murka sekali, Paman," desah gadis
berpakaian pulih yang terkadang memanggil Patih Rantaka
dengan paman saja.
"Wajar saja kalau Gusti Prabu marah, Gusti Ayu.
Gerombolan Kala Ireng benar-benar biadab. Bahkan sudah
tiga desa dihancurkan."
"Begitu kuatkah gerombolan Kala Ireng itu, Paman?
Sampai-sampai, Adipati Triwisnu tidak mampu
menanggulanginya," tanya Melati tidak yakin.
"Aku sendiri tidak tahu, Gusti Ayu," jawab Patih
Rantaka. "Tapi kemungkinan besar memang begitu."
Melati mengerutkan alisnya yang berbentuk indah itu.
"Mengapa Paman menduga demikian?" tanya gadis
berpakaian putih itu ingin tahu.
"Apakah Gusti Ayu belum mengetahui, dan belum
mendengar cerita mengenai usaha-usaha yang dilakukan
Adipati Triwisnu untuk menghancurkan gerombolan Kala
Ireng itu?" laki-laki setengah baya malah balik bertanya,
setengah tak percaya.
Melati menggelengkan kepala. "Aku hanya mengetahui
sedikit saja, Paman," sahut Melari pelan. "Aku hanya tahu
kalau gerombolan Kala Ireng telah membumihanguskan tiga
buah desa."
Patih Rantaka tercenung. Sementara Melati pun tidak
melanjutkan kata-katanya. Dengan sendirinya, untuk
beberapa saat kebisuan menyelimuti mereka. Kini yang
terdengar hanyalah derap langkah kaki rombongan berkuda
yang menapak tanah.
"Ketika untuk pertama kalinya gerombolan Kala Ireng
keluar dari Hutan Buaran dan membumihanguskan Desa
Jati Jajar, Adipati Triwisnu langsung bertindak. Pasukannya
dikirimkan untuk menghancurkan gerombolan itu. Dia
merasa bertanggung jawab untuk menumpasnya, karena
semua itu terjadi di daerah kekuasaannya."
Patih Rantaka menghentikan ceritanya sejenak untuk
mengambil napas. Sesaat sepasang matanya menatap wajah
Melati.
"Tapi rombongan yang dikirim Adipati Triwisnu
ternyata tidak pernah kembali lagi. Apa yang terjadi dengan
pasukan itu, tak seorang pun yang tahu. Dan yang jelas,
usaha mereka tidak berhasil. Karena, sebuah desa kembali
dibumihanguskan oleh gerombolan Kala Ireng itu."
"Hm...," Melati hanya menggumam pelan. Entah apa
yang digumamkan, hanya gadis itu sendirilah yang tahu.
"Adipati Triwisnu tidak tinggal diam. Perasaan
penasaran mendorongnya untuk mengirimkan pasukannya
kembali. Dia ingin menumpas gerombolan itu, sekaligus
mencari berita lenyapnya pasukan yang dikirim pertama
kali."
Patih Rantaka kembali menghentikan ceritanya.
Dihirupnya udara sejenak, seraya mencari kata-kata untuk
melanjutkan ceritanya.
"Tapi usaha yang dilakukan Adipati Triwisnu sia-sia.
Pasukan yang dikirimnya itu lagi-lagi tak pernah kembali,
lenyap seperti ditelan bumi. Dan tak lama kemudian, kembali
sebuah desa dibumihanguskan oleh gerombolan Kala Ireng
itu."
Melati mengangguk-anggukkan kepala. Kini baru
disadari, mengapa Adipati Triwisnu sampai mengirim utusan
ke kotaraja. Dan, mengapa pula Prabu Nalanda mengirimkan
pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading untuk menumpas
gerombolan Kala Ireng. Rupanya Prabu Nalanda telah
mendengar kegagalan usaha yang dilakukan Adipati
Triwisnu, sehingga mengambil keputusan itu mengirimkan
pasukan.
"Sekarang aku mengerti, Paman," kata Melati.
Sedangkan Patih Rantaka hanya tersenyum lebar.
"Menurutmu, mengapa pasukan yang dikirim Adipati
Triwisnu itu bisa lenyap, Paman?"
"Aku sendiri juga tidak tahu, Gusti Ayu," sahut Patih
Rantaka tidak berani memastikan. "Tapi kalau menurut
pendapatku, mereka semua telah tewas di tangan gerombolan
itu."
Melati terdiam, tak lagi menyahuti. Patih Rantaka pun
tak lagi melanjutkan ucapan. Kini rombongan pasukan
khusus Kerajaan Bojong Gading Itu pun melanjutkan
perjalanan tanpa berbicara lagi.
***
Begitu mulai memasuki mulut hutan, rombongan
pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading mulai bersikap
waspada. Semua pasang mata beredar berkeliling, merayapi
sekitarnya. Seluruh urat syaraf mereka menegang waspada,
bersiap menghadapi adanya ancaman mendadak.
Tangan-tangan mereka juga telah memegang hulu
senjata masing-masing. Napas pun agak ditahan, khawatir
kalau-kalau mengganggu pendengaran yang telah dipasang
setajam mungkin. Paling tidak, agar suara sekecil apa pun
dapat tertangkap telinga mereka.
"Gusti Ayu...," sapa Patih Rantaka pelan seperti
bisikan.
"Ada apa, Paman?" tanya Melati seraya menolehkan
kepala. Namun demikian, sepasang matanya tak pernah
lepas mengawasi keadaan sekitar.
"Apakah tidak lebih baik kalau kuda-kuda itu kita
tinggalkan saja?"
Melati tercenung. Dahinya berkernyit pertanda tengah
berpikir keras. Sesaat kemudian kepalanya terangguk. Kini
kudanya segera dituntun ke arah pohon yang ada di situ.
Semua pasukannya juga bertindak demikian.
Kini Melati, Patih Rantaka, dan sekitar dua puluh
orang pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading itu berjalan
kaki menerobos ke dalam hutan. Melati dan Patih Rantaka
berjalan paling depan, sementara dua puluh orang lainnya
berjalan di belakang. Semua mata menatap daerah sekitar
dengan sikap waspada.
Mendadak terdengar hentakan pelan. Melati, Patih
Rantaka dan dua puluh orang pasukan khusus mende-
ngarnya. Seketika itu pula perhatian mereka dialihkan ke
arah asal suara dengan sikap siaga penuh. Tapi, setelah
ditunggu beberapa saat, ternyata tidak nampak ada apa-apa.
Tiba tiba Melati mendengar suara berkesiur pelan dari atas,
disusul, bertiupnya angin semilir. Seketika itu juga gadis
berpakaian putih ini mendongakkan kepala ke atas, dan
kontan terperanjat. Tampak dari atas melayang turun sebuah
jaring, yang sudah dapat dipastikan akan mengurung
mereka.
Memang, mereka tepat berada di tengah-tengah sasar-
an jaring.
"Menyingkir...!" seru Melati keras seraya melompat
menghindar. Tak lupa, didorongnya tubuh Patih Rantaka
agar menjauh dari tempat itu.
Dua puluh pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading
itu pun segera berserabutan melompat melarikan diri.
Pasukan khusus itu memang memiliki wawasan
pengetahuan luas. Mereka tahu, apabila terkurung jaring,
tidak sulit bagi lawan untuk menghujani mereka dengan
serangan mematikan.
Luar biasa! Tidak ada seorang pun dari pasukan
khusus itu yang terjaring. Tapi ternyata, hal yang
mengejutkan itu tidak berakhir sampai di situ. Tubuh-tubuh
yang berlompatan itu seketika menerima kejutan masing-
masing.
Ternyata sebagian besar dari mereka mendapat
serangan susulan. Dari segenap penjuru seketika meluncur
senjata rahasia yang mempunyai bentuk dan ukuran
berbeda. Ada logam berbentuk bintang segi-lima, ujung anak
panah, ataupun pisau.
Kembali pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading itu
mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat-cepat serangan gelap
yang mengancam keselamatan nyawa itu ditangkis.
Tring, tring, tring...!
Semua serangan gelap berhasil dikandaskan. Bahkan
ada yang kembali ke pemiliknya semula. Terbukti, terdengar
suara jeritan menyayat dari balik kerimbunan pepohonan
dan semak-semak.
Keadaan yang dialami Melati lebih mengerikan lagi.
Dalam usaha menyelamatkan selembar nyawanya, gadis itu
melakukan lompatan harimau. Kedua tangannya sudah siap
mendarat di tanah, untuk kemudian digunakan sebagai
peredam saat bergulingan.
Sungguh di luar dugaan gadis berpakaian putih itu.
Tanah berumput yang menjadi tempat bertumpu kedua
tangannya tiba-tiba amblas. Tak dapat dicegah lagi, tubuh
Melati pun melayang masuk ke dalam lubang.
Serasa copot jantung Melati mengalami hal yang sama
sekali tidak diduga ini. Apalagi ketika dia melihat puluhan
ujung tombak runcing yang menanti di dasar lubang. Menilik
dari bau amis darah yang menyeruak masuk ke dalam
hidung, bisa diperkirakan kalau lubang jebakan ini sudah
cukup banyak menelan korban.
Melati bertindak cepat. Disadari kalau tidak mungkin
kakinya mendarat di ujung tombak-tombak runcing itu.
Lubang itu terlalu sempit. Apalagi, sulit baginya untuk
memutar tubuh dengan keadaan tengah berada di udara.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pedangnya segera
dihunus.
Srattt...!
Sinar terang membersit ketika pedang itu tercabut
keluar dari sarungnya. Dan secepat pedang itu tergenggam,
secepat itu pula dijulurkan ke bawah.
Trik...!
Luar biasa! Dengan perhitungan matang seorang ahli
pedang tingkat tinggi, Melati berhasil mendaratkan ujung
pedangnya pada salah satu ujung tombak runcing yang
sudah menanti, siap menyate tubuhnya.
Beberapa saat lamanya tubuh Melati berada dalam
keadaan terbalik. Kepala berada di bawah, dan kaki berada di
atas. Ujung pedangnya menempel pada salah satu ujung
tombak runcing di dalam lubang itu. Seluruh kekuatan
bertumpu pada tangan kanannya yang menggenggam
pedang.
"Hih...!"
Perlahan-lahan Melati menekuk tangan kanannya.
Dan dengan demikian tubuhnya perlahan-lahan turun ke
bawah. Tampak tangan kanan gadis berpakaian putih itu
menggigil keras. Memang membutuhkan tenaga dalam yang
luar biasa untuk melakukan hal seperti itu.
Ujung tombak itu terlalu runcing dan licin. Kalau saja
Melati bukan termasuk gadis pemberani, dan tidak memiliki
tenaga dalam tinggi, niscaya tubuhnya akan terpanggang di
ujung-ujung tombak.
Begitu tangan kanannya sudah agak banyak tertekuk,
mendadak tubuh Melati bersalto ke atas. Rupanya hal itu
dilakukan untuk mencari tenaga, dalam usahanya mencapai
mulut lubang.
Dan usaha Melati ternyata tidak sia-sia. Tubuhnya
segera melesat cepat ke atas. Dan begitu telah berada di luar
lubang, gadis berpakaian putih ini bersalto di udara beberapa
kali. Kemudian, kakinya mendarat ringan dan mantap di
tanah.
Semua peristiwa itu berlangsung singkat. Dan ketika
Melati telah mendaratkan kedua kakinya di tanah, pasukan
khusus dan Patih Rantaka telah berhasil menyelamatkan diri
pula.
Kini Melati, Patih Rantaka, dan seluruh pasukan
khusus Kerajaan Bojong Gading berdiri di tempat itu dengan
sikap waspada. Di tangan mereka telah tergenggam senjata
terhunus.
"Gusti Ayu, apakah tidak sebaiknya kalau kita serbu
mereka?" usul seorang anggota pasukan khusus yang bertahi
lalat di pipinya.
"Bagaimana menurut, Paman?" Melati malah
melontarkan pertanyaan itu pada Patih Rantaka.
Gadis berpakaian putih tidak ingin bersikap sem-
brono. Maka hal itu malah ditanyakannya pada Patih
Rantaka, yang sudah pasti mempunyai pengalaman luas.
"Menurut hamba, kalau kita menyerbu merupakan
perbuatan tidak bijaksana. Lawan berada di tempat yang
tidak diketahui. Lagi pula, bukan tidak mungkin kalau
mereka telah menyiapkan jebakan-jebakan untuk kita,"
jawab Patih Rantaka memberi pendapat.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan. Paman?" tanya
Melari bingung. "Apakah kita berdiam diri saja di sini sambil
menanti mereka keluar dan menyerang kita?"
Patih Rantaka tercenung mendengar bantahan itu.
Apa yang dikatakan Melati memang benar. Memang tidak
mungkin kalau hanya menunggu terus. Tapi menyerbu pun
bukan cara yang bijaksana pula. Maka untuk beberapa saat
lamanya, laki-laki setengah baya ini terdiam.
"Bagaimana kalau aku memaksa mereka keluar,
Paman?" usul Melati.
"Sebuah usul yang baik. Gusti Ayu," sahut Patih
Rantaka.
"Tapi, bagaimana caranya? Gerombolan itu bukan
orang bodoh. Mereka pasti tahu kalau kita bukan lawan yang
mudah dikalahkan. Dan sudah pasti mereka tak akan mau
bertarung secara terang-terangan."
"Hal itu sudah kupikirkan, Paman," sahut Melati cepat
"Mudah-mudahan saja caraku ini dapat memaksa mereka
keluar!"
Patih Rantaka terdiam, dan tidak menyahuti lagi.
Laki-laki setengah baya ini ingin tahu juga, bagaimana
caranya putri angkat junjungannya ini akan memaksa
gerombolan itu keluar.
Bukan hanya Patih Rantaka saja yang ingin tahu. Dua
puluh orang pasukan khusus itu pun merasa tertarik juga.
Kini mereka semua diam, sama sekali tidak bersuara atau
bergerak saking ingin tahu apa yang akan dilakukan Melati.
Melati melangkah maju dua tindak. Kedua tangannya
terkembang membentuk cakar naga. Sebentar gadis itu
menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan-lahan.
Pikirannya dipusatkan pada satu titik. Seketika, kedua
tangan Melati sampai sebatas pergelangan, berubah merah,
seperti darah! Dan hal seperti ini selalu terjadi setiap kali
gadis berpakaian putih ini mengeluarkan tenaga dalamnya.
"Hih...!"
Mendadak Melati menghentakkan kedua tangannya ke
depan. Seketika hembusan angin kuat keluar dari kedua
tangan yang dihentakkan itu. Rupanya Melati ingin memaksa
keluar lawan-lawannya dengan Jurus 'Naga Merah
Membuang Mustika'.
Hebat bukan main akibat jurus itu. Sekitar tempat
yang menjadi sasaran pukulan jarak jauh Melati, langsung
porak-poranda seperti habis dilanda badai! Pohon-pohon
bertumbangan, semak-semak berpencaran ke sana kemari
tak tentu arah.
Tidak hanya sekali saja Melati melakukannya.
Diumbarnya jurus 'Naga Merah Membuang Mustika' itu ke
semua arah semak-semak dan pepohonan yang mengelilingi
tempat itu. Sudah dapat diduga akibatnya. Seluruh tempat
itu porak-poranda seperti habis dilanda angin topan!
27
Patih Rantaka dan seluruh pasukan khusus Kerajaan
Bojong Gading sampai bergidik melihat kedahsyatan ilmu
yang dimiliki Melati. Tapi Melati bukan bermaksud pamer
kesaktian di depan mereka. Gadis itu hanya berusaha
memancing lawan agar menampakkan diri. Maka mereka pun
segera mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Usaha yang dilakukan Melati tidak sia-sia. Dan kini
tampak banyak sosok tubuh berlompatan dari balik semak-
semak dan pepohonan yang terbongkar di sana-sini, akibat
terlanda angin pukulan gadis itu.
Tentu saja pasukan khusus ini tidak membiarkan
mereka lari begitu saja. Mereka semua bergegas bergerak
mengejar, kecuali Patih Rantaka dan Melati. Laki-laki
setengah baya ini berdiri di sebelah gadis itu.
Sebagai seorang yang memiliki kepandaian cukup
tinggi, Patih Rantaka tahu kalau gadis berpakaian putih itu
akan lelah setelah mengeluarkan tenaga dalam saat
mengobrak-abrik seluruh tempat ini. Maka dia sengaja tidak
ikut mengejar, tapi melindungi gadis itu dari serangan lawan.
Sementara itu, gerombolan Kala Ireng tidak bisa
menghindar lagi karena pasukan khusus Kerajaan Bojong
Gading telah menghadang langkah mereka.
Maka, pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi.
Sesaat kemudian, denting senjata beradu pun terdengar
ketika kedua belah pihak mulai saling menyerang hebat.
Baru saja Melati menghentikan amukannya, sesosok
bayangan hitam melesat dari balik sebuah kerimbunan
semak-semak. Bayangan itu terus melompat ke atas. Dan
dari atas, kedua tangannya yang berbentuk cakar,
menyambar deras ke arah ubun-ubun gadis itu.
Melati terperanjat melihat serangan maut itu. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, dia segera melompat ke
samping, lalu bergulingan di tanah. Sehingga, serangan itu
hanya menyambar tempat kosong.
Patih Rantaka tidak tinggal diam. Sebelum sosok
bayangan hitam itu kembali menyerang Melati, dia segera
meloncat menerjang. Pedang di tangannya cepat ditusukka
ke arah leher, begitu kedua kaki sosok bayangan hitam itu
mendarat di tanah.
Berbahaya bukan main serangan yang dilakukan
Patih Rantaka. Serangan itu datangnya begitu tiba-tiba, dan
pada saat lawan baru saja hinggap di tanah. Laki-laki
setengah baya itu sudah bisa memperkirakan kalau
serangannya akan berhasil gemilang.
Tapi sungguh di luar dugaan, sosok bayangan hitam
itu ternyata mampu menangkis tusukan pedang dengan
cengkeraman tangan kanannya.
Tappp...!
Bilah pedang Patih Rantaka kini telah dicengkeram
sosok hitam itu. Hal ini membuat Patih Rantaka terperanjat,
tapi hanya sesaat saja. Kemudian laki-laki setengah baya ini
buru-buru mengerahkan tenaga dalam untuk menarik
kembali pedangnya. Atau paling tidak memutuskan jari-jari
tangan yang mencengkeram pedangnya.
Tapi sosok hitam yang tak lain Kala Ireng juga tidak
sudi membiarkan senjata itu berhasil ditarik pulang lawan.
Maka dia pun mengerahkan tenaga dalamnya untuk
mempertahankan tarikan lawan. Tak dapat dihindari, adu
tarik-menarik pedang pun berlangsung.
Ternyata tenaga dalam kedua tokoh ini berimbang.
Tak heran sampai beberapa saat lamanya, Patih Rantaka dan
Kala Ireng saling adu tarik, namun tak juga ada tanda-tanda
yang akan keluar sebagai pemenang.
Dalam hatinya, diam-diam Patih Rantaka terkejut
bukan kepalang melihat Kala Ireng mampu mempertahankan
pedang tanpa terluka. Mungkinkah lawan memiliki ilmu
kebal, sehingga kulit tubuhnya tak bisa dilukai?
Mendadak Kala Ireng melepaskan cengkeramannya.
Padahal, saat itu Patih Rantaka tengah mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya untuk menarik kembali pedangnya.
Akibatnya bisa diduga! Tubuh laki-laki setengah baya ini
terjengkang ke belakang, terbawa tenaga tarikan tangannya.
Dan pada saat yang tepat Kala Ireng siap mengi-
rimkan serangan susulan. Tangannya bergerak ke balik baju.
Dan secepat tangan itu keluar, secepat itu pula dikibaskan.
Dan....
Singgg...!
Suara mendesing nyaring terdengar begitu sebuah
benda logam berbentuk bintang persegi lima, meluruk cepat
ke arah Patih Rantaka. Laki-laki setengah baya ini kaget
bukan kepalang. Padahal, saat itu tubuhnya tengah
terhuyung-huyung ke belakang akibat tenaga tarikannya
sendiri. Mendapat serangan mendadak itu, hatinya
terperanjat bukan main.
Untung saja Melati yang sudah memperbaiki ke-
adaannya dan tengah memperhatikan jalannya pertarungan,
bergegas melesat. Seketika ditariknya tangan Patih Rantaka.
Maka serangan itu lewat di sebelah kiri pinggang laki-laki
setengah baya itu.
"Terima kasih, Gusti Ayu," ucap Patih Rantaka seraya
memberi hormat
"Lupakanlah, Paman. Dan sekarang, menyingkirlah,"
sahut Melati buru-buru. "Biarlah aku yang menghadapinya."
"Tapi, Gusti Ayu...," Patih Rantaka yang merasa
khawatir akan keselamatan Melati mencoba membantah.
Walaupun dia tahu kalau kepandaian gadis berpa-
kaian putih ini memang tinggi, tapi biar bagaimanapun dia
harus bertanggung jawab atas keselamatannya.
"Jangan khawatir, Paman," hibur Melati. "Aku bisa
menjaga diri."
Seketika itu juga Patih Rantaka terdiam, tidak berani
membantah lagi. Laki-laki setengah baya ini mendengar
adanya tekanan yang tidak menghendaki adanya bantahan
dalam suara gadis itu. Dan itulah sebabnya, dia kini tidak
berbicara lagi.
Sementara itu, Kala Ireng menggeram melihat calon
korbannya berhasil lolos dari maut. Dengan wajah gusar,
dipandanginya Melati yang telah menolong Patih Rantaka
tadi. Pada saat yang sama, gadis berpakaian putih itu tengah
menatapnya pula. Tak pelak lagi, dua pasang mata saling
bertemu dan menatap tajam.
"Kaukah orang yang berjuluk Kala Ireng?" tanya
Melati, dingin.
"Tidak salah!" sahut Kala Ireng, tegas. Ada nada
kebanggaan dalam suaranya.
Memang, laki-laki berpakaian hitam ini mempunyai
sifat aneh. Dia merasa bangga kalau ada orang yang
mengenal julukannya. Apalagi, kalau orang yang
mengenalnya adalah seorang gadis cantik seperti Melati.
"Kalau begitu, kau harus mampus!"
Setelah berkata demikian, Melati melompat me-
nerjang. Menyadari kalau laki-laki berpakaian hitam itu
begitu lihai, gadis berpakaian putih ini langsung menge-
luarkan ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah". Kedua
tangannya mengembang membentuk cakar naga.
Melati membuka serangannya dengan sebuah sabetan
tangan kanan ke arah pelipis. Sementara tangan yang lain
menyilang di depan dada, bersiap-siap melancarkan serangan
susulan, sekaligus berjaga-jaga bila lawan melakukan
serangan mendadak.
Kala Ireng adalah seorang tokoh hitam yang memiliki
sifat angkuh. Dia selalu mengagulkan kepandaian sendiri, di
samping suka memandang rendah lawan. Apalagi lawannya
kali ini adalah seorang gadis muda!
Laki-laki berpakaian hitam ini begitu terkejut melihat
serangan Melati yang demikian cepat datangnya. Apalagi
ketika terdengar suara angin mencicit nyaring, mengiringi
tibanya serangan. Dari sini saja, Kala Ireng dapat
memperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung
dalam serangan lawannya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Kala Ireng segera
menarik kaki kanannya ke belakang. Pada saat yang sama,
tangan kirinya digerakkan untuk menangkis sampokan
Melati.
Prattt..!
Benturan antara kedua tangan yang sama-sama
membentuk cakar pun tidak bisa dielakkan lagi. Hasilnya,
kedua belah pihak sama-sama meringis, menahan rasa sakit.
Hanya saja, rasa sakit yang mereka derita tentu berbeda.
Melati meringis. Rasa ngilu dan nyeri yang amat
sangat seketika mendera sekujur jari-jari tangannya. Seluruh
jari tangannya seolah-olah terasa seperti bukan berbenturan
dengan jari-jari tangan manusia, tapi seperti berbenturan
dengan batang-batang logam yang amat keras! Akibatnya,
sekujur tulang-tulang jarinya sakit dan nyeri.
Sementara itu, Kala Ireng pun dilanda rasa sakit pula.
Hanya saja rasa sakit yang diderita bukan pada jari-jari
tangannya, melainkan pada sekujur tangannya. Tangan yang
berbenturan itu terasa bergetar hebat. Bahkan tubuhnya
terhuyung-huyung jauh ke belakang akibat benturan tadi.
Dari benturan ini saja, sudah bisa diperkirakan kalau
dalam hal tenaga dalam. Melati lebih unggul. Sedangkan Kala
Ireng lebih unggul dalam hal kekerasan tulang-tulang jarinya.
Kala Ireng menggeram, seperti tidak bisa menerima
kenyataan kalau lawannya yang masih sangat muda itu
mampu mengunggulinya. Padahal, Patih Rantaka saja tidak
mampu mengalahkan kekuatan tenaga dalamnya. Maka
sambil menggerung keras, laki-laki berpakaian hitam ini
melancarkan serangan. Kedua tangannya membentuk cakar
garuda. Tiga buah jari tangannya terkembang, sementara ibu
jari dan kelingking terlipat ke dalam.
Dan dengan bentuk jari-jari tangan seperti itulah.
Kala Ireng melancarkan serangan. Kedua jari tangannya
meluncur cepat ke arah lawan. Tangan kanan mengancam
leher, sedangkan tangan kiri mengancam dada. Kedudukan
jari-jari tangan kanan menghadap ke atas, sementara ujung-
ujung jari tangan kiri menghadap ke bawah.
Melati yang telah mengetahui betapa kerasnya jari-jari
tangan lawan, tidak ingin mencari penyakit dengan mengadu
tangan kembali. Apalagi rasa ngilu dan sakit yang
menderanya belum lagi hilang. Dan tentu saja dia tidak mau
menambahnya lagi. Maka gadis berpakaian putih ini segera
melompat mundur ke belakang, sehingga serangan itu hanya
mengenai tempat kosong.
Tapi Kala Ireng tidak mungkin akan membiarkan
lawannya lolos. Bahkan memberi kesempatan pun tidak
mungkin. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, segera
dia melompat memburu. Sesaat kemudian, pertarungan yang
cukup sengit pun terjadi.
***
Bukan hanya antara Melati dan Kala Ireng saja yang
mengalami pertarungan sengit dan menarik. Di tempat lain,
juga terjadi pertarungan yang tidak kalah serunya.
Pertarungan antara pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading
menghadapi gerombolan Kala Ireng.
Hanya ada seorang saja yang sama sekali tidak ikut
bertarung. Dia adalah Patih Rantaka. Laki-laki setengah baya
itu kini malah jadi penonton saja. Dan hal ini tentu saja tidak
akan dilakukan kalau pasukannya terdesak. Dan memang,
keadaan pihak Kerajaan Bojong, Gading kelihatannya berada
di atas angin.
Sebetulnya kalau dihitung dalam hal jumlah orang,
gerombolan Kala Ireng masih lebih banyak daripada pihak
prajurit Kerajaan Bojong Gading. Jumlah mereka semua tak
kurang dari tiga puluh orang, sementara di pihak prajurit
hanya dua puluh orang. Maka kini dua orang pasukan
khusus menghadapi tiga orang lawan. Namun demikian
pihak prajurit tetap tidak terdesak. Maka tak heran bila
korban di pihak Kala Ireng mulai berjatuhan.
Bahkan perlahan tapi pasti, pihak pasukan khusus
Kerajaan Bojong Gading mulai dapat mendesak gerombolan
Kala Ireng. Tapi di antara mereka semua, keadaan Kala
Irenglah yang paling mengkhawatirkan.
Laki-laki bengis berpakaian hitam itu memang
terdesak hebat. Dan itu ternyata akibat kesalahannya sendiri
yang terlalu menganggap remeh lawan. Kala Ireng yang
merasa semakin penasaran segera mengeluarkan senjata
andalannya berupa gada berduri. Hal ini membuat Melati
terpaksa harus mengeluarkan pedangnya. Dan dengan
sendirinya, gadis berpakaian putih ini juga mengeluarkan
'Ilmu Pedang Seribu Naga' andalannya.
Kini Melati tidak ragu-ragu lagi untuk mengadu
senjata. Meskipun jika mengadu senjata tangannya selalu
bergetar, tapi hal ini tidak terlalu jadi masalah.
Suara menderu-deru dahsyat terdengar setiap kali
Kala Ireng mengayunkan gada berdurinya. Mengerikan sekali!
Tapi suara itu masih kalah dahsyat dan mengerikan bila
dibanding suara yang keluar dari setiap gerakan pedang
Melati. Suara menggerung keras seperti naga murka
terdengar setiap kali Melati menggerakkan pedangnya.
"Haaat...!"
Kala Ireng membabatkan gada berdurinya ke arah
pinggang Melati. Suara angin keras menderu mengiringi
tibanya serangan itu.
Melati menggertakkan gigi. Kedua kakinya tampak
menekan tanah. Pelan kelihatannya. Namun mendadak saja,
tubuh bagian bawah gadis ini terangkat naik ke belakang.
Sehingga, kini tubuh Melati berada di udara dalam keadaan
menelungkup. Keadaan tubuh bagian bawah tampak lebih
tinggi daripada bagian atas. Rupanya, gadis berpakaian putih
ini telah menggunakan jurus 'Naga Merah Mengangkat Ekor".
Pada saat yang bersamaan, pedang di tangan gadis itu
menusuk ke arah leher Kala Ireng. Cepat bukan main
gerakannya, sehingga Kala Ireng sangat terkejut. Dengan
sebisa-bisanya dia berusaha mengelak. Tapi....
Crottt...!
Telak dan mantap sekali pedang Melati menghunjam
leher Kala Ireng. Cairan merah kental muncrat dari leher
yang berlubang tertembus pedang. Ada suara mengorok
terdengar dari mulut laki-laki bengis berpakaian hitam itu.
Sesaat kemudian, tubuhnya menggelepar, lalu tidak bergerak
lagi untuk selama-lamanya.
Berbarengan dengan diamnya tubuh Kala Ireng,
Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah. Gadis
berpakaian putih ini menatap mayat lawannya sejenak, lalu
menolehkan kepala ke arah Patih Rantaka.
"Luar biasa! Gusti Ayu benar-benar lihai!" puji Patih
Rantaka sambil melangkah mendekati.
"Ah.,.! Paman terlalu memuji...," desah Melati
merendah.
"Sama sekali tidak, Gusti Ayu. Aku bicara sejujurnya,"
tegas Pauh Rantaka. "Kala Ireng yang begitu lihai dapat Gusti
Ayu robohkan. Bahkan tidak sampai sepuluh jurus!"
Melati tersenyum pahit. Sekilas sepasang matanya
menatap ke sekeliling, memperhatikan pertarungan yang
masih berlangsung antara pasukan khusus Kerajaan Bojong
Gading menghadapi gerombolan Kala Ireng. Lega hati gadis
berpakaian putih Ini meiihat pasukannya berada di atas
angin.
Dengan sekali lihat saja Melati tahu kalau keme-
nangan bagi pasukannya hanya tinggal menunggu waktu
saja. Jumlah gerombolan Kala Ireng hanya tinggal beberapa
gelintir saja. Bahkan sebagian anggota pasukan khusus telah
berdiri menganggur, karena kehabisan lawan.
"Jari-Jari tangannya kuat sekali, Paman," kata gadis
berpakaian putih seraya mengalihkan perhatian ke arah
Patih Rantaka. "Jari-jari tanganku sampai sakit-sakit ketika
berbenturan dengan jari-jari tangannya."
Patih Rantaka menganggukkan kepala membenarkan.
"Semula, kukira dia memiliki kulit yang kebal sewaktu
berani mencengkeram pedangku. Ternyata hanya jari-jari dan
telapak tangannya saja yang kuat. Sementara, bagian lainnya
biasa-biasa saja," sahut laki-laki setengah baya itu.
Melati menganggukkan kepala pertanda membe-
narkan ucapan Patih Rantaka.
"Mungkin dia hanya melatih tangan sebatas
pergelangan," duga Melari.
"Benar," sambut Patih Rantaka. "Memang banyak cara
untuk membuat tangan jadi seperti itu."
Melati terdiam. Sementara, Patih Rantaka tidak
melanjutkan ucapannya kembali. Kini kedua pimpinan
pasukan khusus ini mengalihkan perhatian pada per-
tarungan yang terjadi antara pasukan khusus melawan sisa
gerombolan Kala Ireng.
Kembali terdengar lolong kematian, diiringi robohnya
tubuh beberapa orang perampok di tanah untuk selama-
lamanya.
Dan dengan berakhirnya pertarungan itu, maka tidak
ada lagi anggota gerombolan Kala Ireng yang tersisa.
Semuanya tewas. Sementara di pihak pasukan khusus, tak
ada seorang pun yang tewas. Bahkan luka yang diderita
hanya ringan saja.
Bergegas seluruh anggota pasukan khusus meng-
hampiri Melati Gadis berpakaian-putih ini menyambut
mereka sambil tersenyum puas.
"Aku bangga pada kalian semua," puji Melati dengan
senyum di bibir. Sementara Patih Rantaka hanya
mengangguk-anggukkan kepala saja. Meskipun begitu,
mulutnya menyunggingkan senyum pula.
"Kini sudah jelas, mengapa pasukan yang dikirim
Adipati Triwisnu tidak pernah kembali. Pasti mereka semua
telah tewas. Kalau saja bukan rombongan kita yang kemari,
mungkin sebagian besar sudah tewas sebelum berhadapan
dengan mereka," jelas Patih Rantaka teringat pada perangkap
demi perangkap yang hampir saja merenggut nyawa pasukan
khusus Kerajaan Bojong Gading.
Melati sama sekali tidak menyahut, meskipun dalam
hati mengakui kebenaran ucapan laki-laki setengah baya itu.
Memang sulit bagi para prajurit biasa untuk menghindari
serangan jaring yang tiba-tiba. Di perangkap pertama saja,
Melati sudah dapat memperkirakan kalau sebagian dari
prajurit akan terkurung. Sementara yang lolos pun, belum
tentu bisa selamat dari ancaman senjata-senjata rahasia yang
menyambar. Sungguh sebuah persiapan yang matang!
Sesaat kemudian, Melati, Patih Rantaka, dan pa-
sukannya bergegas meninggalkan tempat itu, kembali
menuju Kerajaan Bojong Gadin
EMPAT
Suara kukuk burung hantu terdengar memecah
kesunyian malam. Langit tampak bersih. Hanya ada sedikit
awan yang menggantung di sana. Itu pun tampak tipis saja.
Meskipun bulan hanya sepotong nampak di langit, tapi
suasana malam jadi terlihat cukup terang. Karena, sinar
bulan tidak terhalang.
Dalam suasana seperti itulah, tampak dua sosok
bayangan berkelebat cepat. Dan karena suasana cukup
terang, dua sosok bayangan itu bisa terlihat agak jelas.
"Kau kenal pembunuhnya, Kelelawar Beracun?" tanya
salah satu dari dua orang itu.
Aneh sekali keadaan orang ini. Tubuhnya pendek
seperti anak-anak berusia delapan tahun. Kepalanya botak.
Tidak ada kain yang membungkus tubuhnya, selain secarik
celana pendek. Kulitnya putih seperti warna celananya. Tidak
ada kumis, jenggot, atau cambang yang menghias wajahnya.
Orang yang dipanggil Kelelawar Beracun itu menoleh,
tanpa menghentikan larinya sama sekali. Ciri-ciri yang
dimiliki amat berlainan dengan rekannya. Tubuhnya tinggi
kurus, berpakaian serba hitam dan longgar. Wajahnya putih
pucat. Sementara sepasang matanya kecil dan berwarna
merah. Persis mata kelelawar!
Menilik dari keadaannya, usia orang yang berjuluk
Kelelawar Beracun ini tak kurang dari empat puluh lima
tahun.
"Kenal sih tidak," sahut Kelelawar Beracun Suaranya
terdengar mencicit seperti suara kelelawar. "Tapi, apa
susahnya mengorek keterangan dari mulut para prajurit
nanti, Tuyul Tangan Seribu?"
Laki-laki bertubuh pendek yang ternyata berjuluk
Tuyul Tangan Seribu sama sekali tidak menyahuti. Dan
rupanya Kelelawar Beracun pun juga tidak berminat untuk
melanjutkan ucapannya. Kini kedua orang aneh itu
melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata lagi. Cepat bukan
main ilmu meringankan tubuh kedua orang itu. Sehingga
yang terlihat hanyalah bayangan hitam dan putih yang
berkelebatan cepat.
"Itu bangunan Istana Kerajaan Bojong Gading," unjuk
Kelelawar Beracun seraya menudingkan telunjuknya ke arah
sebuah bangunan besar yang menjulang kokoh di kejauhan,
tanpa mengendurkan kecepatan larinya.
"Hm...," Tuyul Tangan Seribu hanya menggumam
pelan sebagai jawabannya. Sementara kakinya terus saja
melangkah.
Hebat memang laki-laki bertubuh pendek ini.
Meskipun kedua kakinya pendek, namun sama sekail tidak
mengalami kesulitan untuk berlari di sebelah Kelelawar
Beracun.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai
tingkatan tinggi, dalam waktu singkat Istana Kerajaan Bojong
Gading telah berada di hadapan mereka.
Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu segera
merapatkan tubuh ke tembok Istana Kerajaan Bojong Gading.
Kepala mereka didongakkan ke atas sebentar, mengira-ngira
ketinggian tembok itu. Tak kurang dari tiga tombak tinggi
pagar tembok itu.
"Hih...!"
Kelelawar Beracun menjejakkan kedua kakinya di
tanah. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas.
Menggiriskan sekali kelihatannya. Karena, pakaiannya yang
berwarna hitam dan longgar berkibaran tertiup angin. Laki-
laki berwajah pucat ini tak ubahnya seperti seekor kelelawar
raksasa.
Tapi sebelum tubuh itu mencapai atas tembok,
luncuran itu terhenti. Kelelawar Beracun yang sudah
memperhitungkan hal itu sama sekali tidak gugup. Cepat
tangan kanannya dimasukkan ke balik baju. Dan begitu
keluar kembali, sebilah pisau telah berada di tangannya.
Cappp...!
Seketika pisau itu amblas ke dalam pagar tembok
sampai ke gagang ketika Kelelawar Beracun
menancapkannya. Tidak hanya sampai di situ saja yang dila-
kukan laki-laki berwajah pucat ini. Begitu pisau itu amblas,
dengan tangan kanan berpegangan pada gagang pisau,
tubuhnya kembali melenting ke atas.
Hebat cara yang dilakukan Kelelawar Beracun untuk
melewati pagar tembok. Tapi, masih lebih hebat lagi cara
yang dilakukan Tuyul Tangan Seribu. Laki-laki bertubuh
pendek ini berusaha melewati pagar tembok istana dengan
cara merayap, seperti layaknya seekor cecak berjalan di
dinding!
Dari pertunjukan ini saja sudah bisa diperkirakan
kekuatan tenaga dalam yang dimiliki laki-laki bertubuh
pendek itu. Melakukan hal seperti itu paling tidak
membutuhkan tenaga dalam yang sangat tinggi, sehingga
dapat menempelkan tangan dan kaki pada pagar tembok.
Karena Tuyul Tangan Seribu menggunakan cara
seperti itu, tidak aneh jika baru saja mencapai setengah
perjalanan, Kelelawar Beracun telah mendaratkan kakinya di
atas pagar tembok. Namun tiba-tiba....
"Siapa kau?!" terdengar teguran salah seorang prajurit
yang menjaga pagar tembok Istana Kerajaan Bojong Gading
itu.
"Hmh...!"
Kelelawar Beracun hanya mendengus, namun tangan
kanannya cepat bergerak mengibas.
Plakkk...!
Terdengar suara keras ketika dada prajurit itu
terhantam tangan Kelelawar Beracun. Seketika itu juga
tubuh prajurit itu terpental jauh dengan tulang-tulang dada
hancur. Nampaknya seluruh isi dadanya remuk. Cairan
merah kental mengalir deras dari mulut, hidung, dan
telinganya. Prajurit yang malang itu kontan tewas sebelum
tubuhnya sempat mencium tanah.
Karuan saja hal itu mengagetkan prajurit lain. Maka
serentak mereka pun menyerang Kelelawar Beracun. Seketika
itu juga beberapa ujung tombak berkelebatan cepat
mengancam berbagai bagian tubuh laki-laki berwajah pucat
itu.
"Hmh...!"
Lagi-lagi Kelelawar Beracun hanya mendengus. Segera
kakinya dijejakkan. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah
berada di atas kepala para prajurit itu. Dan sekali tangannya
bergerak menepuk, tubuh para prajurit itu terdorong ke
depan. Begitu kuatnya dorongan itu. Sehingga tanpa mampu
dicegah lagi, tubuh para prajurit itu berpentalan menjauh.
Terdengar suara jeritan yang memilukan ketika tubuh
mereka berjatuhan ke bawah.
***
Ringan tanpa suara sama sekali. Kelelawar Beracun
mendaratkan kedua kakinya di tanah. Dia kini telah berada
di dalam istana. Tapi baru saja hinggap, kembali belasan
orang prajurit meluruk menyerbu ke arahnya dengan senjata
terhunus. Memang, keributan yang ditimbulkan tadi telah
memancing tibanya prajurit lain.
Dan kini hujan senjata telah meluruk ke arah ber-
bagai bagian tubuh Kelelawar Beracun. Tapi kembali laki-laki
berwajah pucat ini hanya mendengus pelan. Kedua
tangannya segera bergerak cepat, menangkis serangan-
serangan yang datang.
Tak, tak...!
Suara berdentang keras seperti beradunya dua batang
logam terdengar ketika tangan Kelelawar Beracun
berbenturan dengan senjata para pengeroyoknya. Maka
seketika terdengar seruan keterkejutan dari mulut para
prajurit itu, tatkala merasakan getaran hebat pada tangan
yang menggenggam senjata. Bahkan hampir-hampir senjata
itu terlepas dari tangan.
Belum sempat para prajurit itu berbuat sesuatu,
tangan Kelelawar Beracun bergerak cepat bukan main. Mana
mungkin para prajurit yang hanya mempunyai kemampuan
pas-pasan itu mampu mengelak? Seketika itu juga tubuh tiga
orang prajurit itu terlempar jauh ke belakang seperti
diseruduk kerbau! Darah segar langsung memancar deras
dari mulut, hidung, dan telinga. Mereka langsung tewas
tanpa mampu berteriak lagi.
Kelelawar Beracun tidak bertindak setengah-setengah.
Seluruh kemampuan yang dimilikinya dikerahkan. Akibatnya
sudah bisa diduga. Para prajurit pun berjatuhan saling susul
diiringi jerit kematian mendirikan bulu roma.
Meskipun tahu betapa lihainya laki-laki berwajah
pucat itu, namun para prajurit Kerajaan Bojong Gading tidak
menjadi gentar karenanya. Dengan semangat tanggung jawab
tinggi, mereka segera datang membantu. Maka pembantaian
besar-besaran pun terjadi oleh tangan dingin Kelelawar
Beracun.
Menggiriskan sekali tindakan Kelelawar Beracun ini.
Para prajurit itu seperti semut-semut yang menerjang api.
Mereka semua berguguran tanpa mampu berbuat sesuatu.
Belum juga kerusuhan yang ditimbulkan Kelelawar
Beracun bisa ditanggulangi, Tuyul Tangan Seribu datang.
Dan begitu tiba, langsung saja menceburkan diri dalam arena
pertmpuran. Dan yang lebih mengerikan lagi, tindakan Tuyul
Tangan Seribu tidak kalah dinginnya dengan amukan
Kelelawar Beracun.
Laki-laki bertubuh pendek ini menggerak-gerakkan
tangannya. Dan hebatnya, sepasang tangan itu seperti
berubah menjadi banyak. Kemana pun tangan itu bergerak,
sudah dapat dipastikan ada seorang prajurit yang roboh
untuk selamanya.
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan dua orang tokoh
sakti itu. Tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan di
sana-sini. Sudah tak terhitung lagi, berapa prajurit Kerajaan
Bojong Gading yang tewas. Meskipun begitu, tetap saja yang
lainnya tak menjadi gentar dan tetap saja mengadakan
perlawanan sengit.
"Mari kita berlomba menghabisi lawan, Kelelawar
Beracun!" ajak Tuyul Tangan Seribu sambil tertawa-tawa
gembira.
Tangan kanan laki-laki pendek itu bergerak me-
nampar ke arah kepala seorang prajurit Terdengar suara
berderak keras ketika pelipis prajurit itu pecah. Maka prajurit
malang itu pun tewas seketika.
"Kuterima tantanganmu, Tuyul Tangan Seribu!"
sambut Kelelawar Beracun tak mau kalah.
Kaki laki-laki berwajah pucat ini meluncur cepat ke
arah dada salah seorang prajurit. Terdengar suara berderak
keras diikuti terpentalnya tubuh prajurit yang malang itu
ketika tendangan Kelelawar Beracun mengenai dada. Prajurit
itu pun roboh untuk selama lamanya dengan seluruh tulang
dada hancur!
"Mundur semua...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, diikuti mun-
culnya dua sosok tubuh berpakaian panglima.
Mendengar bentakan keras menggelegar itu, bergegas
belasan orang prajurit yang memang sudah kewalahan itu
berlompatan mundur. Mereka semua mengenal pemilik suara
itu. Siapa lagi kalau bukan Panglima Jatalu.
Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu sama
sekali tidak mengejar para prajurit itu. Mereka hanya berdiri
menanti. Pandangan mata kedua orang sakti ini tertuju pada
dua orang panglima yang bergerak menghampiri mereka.
Dua orang panglima yang tak lain Panglima Jatalu
dan Panglima Garda itu melangkah menghampiri. Panglima
Garda dulu tidak ikut dalam pertempuran peristiwa
pemberontakan di Kerajaan Bojong Gading karena mendapat
tugas dari Prabu Nalanda.
Kali ini Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu
bersikap waspada, tidak lagi sembarangan seperti
sebelumnya. Sekali lihat saja, mereka tahu kalau kedua
orang panglima itu bukan orang sembarangan. Dan itulah
sebabnya, mengapa mereka berlaku hati-hati.
"Siapa kalian?! Dan mengapa mengacau Istana
Kerajaan Bojong Gading?!" tanya Panglima Jatalu dengan
suara khasnya yang keras seperti halilintar.
Laki-laki bertubuh tinggi besar ini memang marah
bukan main melihat banyak prajurit Kerajaan Bojong Gading
yang bergelimpangan tanpa nyawa di tanah.
"Aku Kelelawar Beracun!" sahut laki-laki berwajah
pucat sambil tersenyum mengejek.
"Dan aku, Tuyul Tangan Seribu!" sambung laki-laki
bertubuh pendek tak mau kalah.
Berubah wajah Panglima Jatalu dan Panglima Garda
begitu mendengar julukan kedua orang itu. Sebab, dua tokoh
sesat itu terkenal memiliki kepandaian tinggi dan bersifat
telengas.
"Dan kami datang untuk membalaskan dendam!
Seorang gadis berpakaian putih dan berambut panjang telah
membunuh sahabat kami!" sahut Kelelawar Beracun, dingin.
"Siapa sahabat kalian?" Panglima Garda ikut angkat
bicara.
Sudah bisa diperkirakan kalau gadis berpakaian putih
yang dimaksud laki-laki berwajah pucat itu adalah Melati,
putri angkat Raja Bojong Gading. Melati adalah seorang gadis
pendekar. Dan selama petualangannya memang bukan tidak
mungkin kalau dia telah membunuh seorang yang menjadi
sahabat kedua orang ini.
"Kala Ireng!" tandas Tuyul Tangan Seribu.
"Kala Ireng?!" ulang Panglima Garda dan Panglima
Jatalu berbarengan.
Kala Ireng adalah pemimpin gerombolan perampok
yang memang belum lama ini ditumpas Melati. Jadi, rupanya
kedua orang ini adalah sahabat kepala rampok itu.
"Ya!" Kelelawar Beracun menganggukkan kepala.
"Cepat suruh wanita keparat itu keluar untuk menerima
kematian di tangan kami! Jangan sampai aku berubah
pikiran, hingga harus membunuh kalian!"
Terdengar suara gemeretak keras dari mulut semua
orang yang berada di situ. Mereka memang marah bukan
main mendengar Melati, wanita yang mereka bangga-
banggakan, dimaki seperti itu.
"Sayang sekali, Kisanak!" sahut Panglima Jatalu
keras. "Kami sama sekali tidak bisa memenuhi per-
mintaanmu. Bahkan justru kamilah yang akan mengadili
kalian karena telah membunuh banyak prajurit dan juga
menghina junjungan jami!"
"Ha ha ha...!" Tuyul Tangan Seribu tertawa terbahak-
bahak. "Kalian mencari penyakit rupanya!"
"Hiyaaat..!"
Panglima Garda yang sudah tidak bisa menahan
kemarahannya lagi segera melompat menerjang. Tiga buah
Jari tangannya mengembang membentuk cakar. Sementara
ibu jari dan kelingking terlipat ke dalam. Panglima andalan
Kerajaan Bojong Gading itu menggunakan 'Ilmu Garuda
Sakti'. Tubuhnya kemudian meluncur turun seraya
mengirimkan serangan ke arah ubun-ubun dan pelipis
Kelelawar Beracun.
"Hey...!"
Baik Tuyul Tangan Seribu maupun Kelelawar Beracun
terperanjat melihat ilmu yang digunakan Panglima Garda.
Sebab, kelihatannya mirip sekali dengan ilmu yang dimiliki
rekan mereka, Kala Ireng.
Memang dugaan kedua orang itu sama sekali tidak
salah. Baik Panglima Garda, maupun Kala Ireng sama-sama
mempergunakan ilmu yang diambil dari gerakan burung
garuda. Baik dalam hal bentuk jari tangan, maupun perilaku
binatang itu. Terutama saat menghadapi mangsa maupun
musuh yang lebih kuat. Tidak aneh jika ilmu yang dimainkan
memiliki persamaan.
Kelelawar Beracun tidak berani bertindak main-main.
Dia mendengar adanya suara angin mencicit mengiringi
tibanya serangan lawan. Pertanda kalau serangan itu
mengandung tenaga dalam tinggi.
Tapi laki-laki berwajah pucat ini adalah orang yang
terlalu percaya akan diri sendiri. Dia selalu percaya akan
kelihaian yang dimilikinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi
tangannya segera diangkat untuk menangkis, seraya
mengeluarkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki.
Prattt..!
Tubuh Panglima Garda terpental balik ke atas kembali
begitu tangan mereka saling berbenturan. Sekujur tangannya
terasa sakit bukan main. Bahkan boleh dibilang setengah
lumpuh! Bukan hanya itu saja. Dadanya pun terasa sesak
bukan main.
Sedangkan Kelelawar Beracun hanya merasakan
betapa kedua tangannya agak bergetar. Tapi kuda-kudanya
tetap tidak berubah. Pertanda kalau benturan itu sama sekati
tidak mempengaruhinya.
Dengan agak terhuyung-huyung, Panglima Garda
mendaratkan kedua kakinya di tanah. Panglima Jatalu yang
melihat hal ini menjadi khawatir dan bergegas memburunya.
"Kau tidak apa-apa, Panglima Garda?" tanya Panglima
Jatalu agak khawatir.
Panglima bertubuh tinggi besar ini tentu saja bisa
mengetahui kalau Kelelawar Beracun jauh lebih kuat
daripada rekan sekaligus adik seperguruannya. Memang
Panglima Jatalu dan Panglima Garda adalah saudara
seperguruan. Mereka sama-sama murid utama Perguruan
Garuda Sakti (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam
episode "Banjir Darah di Bojong Gading").
Panglima Garda menggelengkan kepala.
"Tenaga dalamnya luar biasa sekali. Kang," kata
Panglima Garda memberi tahu.
"Biar aku yang menghadapinya," Panglima Jatalu
menawarkan diri. "Kau hadapi saja kawannya"
Panglima Garda sama sekail tidak membantah. Kini
kedua panglima itu bergerak ke arah yang berlawanan.
Panglima Garda ke kiri, sementara Panglima Jatalu ke kanan.
"Ha ha ha...!"
Kelelawar Beracun tertawa bergelak. Laki laki
berwajah pucat ini kembali bangkit kesombongannya, begitu
telah mengetahui tingkat kepandaian lawan. Sambil masih
tertawa-tawa, diperhatikannya Panglima Jatalu yang kini
perlahan-lahan mulai menghampiri.
"Haaat..!"
Panglima Jatalu kini melompat menyerang. Tangan
kanannya yang berbentuk cakar garuda meluncur cepat ke
arah ulu hati Kelelawar Beracun. Sementara tangan kirinya
terpalang di depan dada.
"Hiyaaa...!"
Kelelawar Beracun melesat memapak serangan
Panglima Jatalu. Tangan kanannya dengan jari-jari tangan
terkembang lebar memapak.
Prattt...!
Tubuh Panglima Jatalu terjengkang ke belakang.
Tangan kanannya terasa lumpuh, setelah beradu dengan
tangan Kelelawar Beracun. Rasa sesak yang amat sangat
mendera dadanya. Sementara Kelelawar Beracun sama sekali
tidak terhuyung. Hanya kedua tangannya bergetar. Tubuhnya
yang agak condong ke belakang saja, yang membuktikan
kalau benturan dengan Panglima Jatalu itu cukup
mempengaruhinya.
Tapi sekejap kemudian. Kelelawar Beracun kembali
melompat menerjang, ke atas. Langsung dihujaninya tubuh
yang masih terhuyung-huyung itu dengan serangan tusukan
tangan bertubi-tubi.
Panglima Jatalu terperanjat. Tidak ada lagi kesem-
patan untuk mengelakkan serangan itu, karena dalam
keadaan yang tidak memungkinkan. Jalan satu-satunya
hanya menangkis. Dan itulah yang terpaksa harus dilakukan
panglima bertubuh tinggi besar ini dalam usaha untuk
menyelamatkan nyawanya.
Plak, plak, plak...!
Benturan keras terdengar berkali-kali ketika dua
pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam
tinggi berbenturan. Panglima Jatalu meringis.
Tubuhnya yang memang tengah terhuyung-huyung
itu kontan terjengkang, dan jatuh bergulingan di tanah. Sakit
yang diderita tangannya tadi belum lagi hilang, kini terpaksa
harus berbenturan lagi. Kedua tangannya saat ini benar-
benar tidak bisa digerakkan lagi.
"Ha ha ha...!"
Kembali terdengar suara tawa Kelelawar Beracun.
Seperti sebuah tawa kemenangan.
Panglima Jatalu bergerak bangkit. Diam-diam
disesalinya sendiri keteledorannya. Kalau saja sejak semula
tidak bertindak teledor dengan mengadu benturan tenaga,
tidak akan semudah itu akan dipecundangi lawannya.
"Sudah kubilang, cepat panggil wanita keparat itu
kemari! Sampai saat ini aku masih mau bersabar, dan tidak
membunuhmu. Tapi kalau kau masih bersikeras juga, jangan
salahkan kalau aku akhirnya bertindak keji padamu!" ancam
Kelelawar Beracun seraya menatap tajam wajah Panglima
Jatalu.
"Cuhhh...!" Panglima Jatalu membuang ludah ke
tanah. "Kau kira aku takut mati, Kelelawar Beracun?!"
Merah selebar wajah Kelelawar Beracun. Terdengar
suara gemeretak keras dari gigi-giginya, karena kemarahan
yang menggelegak. Perlahan-lahan kakinya melangkah
menghampiri Panglima Jatalu yang berusaha bangkit berdiri.
Hawa maut terpancar baik pada wajah maupun sorot
matanya.
Tentu saja para prajurit Kerajaan Bojong Gading tidak
tinggal diam melihat atasan mereka terancam bahaya maut.
Serentak mereka semua bergerak, berdiri di depan Panglima
Jatalu dengan senjata terhunus.
"Hmh...!"
Kelelawar Beracun mendengus. Tanpa mempedulikan
adanya para prajurit itu, dia tetap melangkah maju. Rupanya
tokoh sesat ini bersiap mengirim Panglima Jatalu ke alam
baka.
"Serbu...!"
Diiringi teriakan salah seorang prajurit, belasan
prajurit itu menyerang Kelelawar Beracun. Hujan senjata
tajam pun berhamburan ke arah laki-laki berwajah pucat itu.
Kelelawar Beracun menyambut serbuan itu. Tak pelak
lagi, pertarungan sengit di antara mereka terjadi.
LIMA
Berbeda dengan pertarungan Panglima Jatalu yang
hanya berlangsung beberapa gebrakan, pertempuran antara
Panglima Garda dengan Tuyul Tangan Seribu justru
berlangsung lebih lama.
Pengalaman yang diterima ketika menghadapi
Kelelawar Beracun memang membuat panglima itu berhati-
hati. Maka dia tidak berani bertindak ceroboh dengan
sembarangan mengadu tenaga dengan Tuyul Tangan Seribu.
Tapi karena memang tokoh sesat itu lebih unggul segala-
galanya, maka tak heran kalau Panglima Garda terdesak
hebat.
Tuyul Tangan Seribu memang memiliki kepandaian
luar biasa! Terutama sekali gerakan tangannya yang cepat
bukan main. Seolah-olah tangan itu tidak berjumlah dua,
tapi banyak! Mungkin itulah sebabnya, mengapa laki-laki
bertubuh pendek ini mendapat julukan Tuyul Tangan Seribu.
Panglima Garda kebingungan. Kepalanya terasa
pusing bukan main. Sepasang matanya pun berkunang-
kunang akibat pergerakan tangan lawan yang sedemikian
cepatnya. Tidak sampai tiga jurus dia sudah terdesak hebat.
Sudah dapat dipastikan, robohnya Panglima Garda hanya
tinggal menunggu waktu saja.
"Haaat...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang meng-
getarkan jantung. Belum lagi gema teriakan itu lenyap,
sesosok bayangan putih melesat cepat memasuki arena
pertarungan antara Tuyul Tangan Seribu dengan Panglima
Garda.
Begitu masuk kancah pertempuran, sosok bayangan
putih itu langsung melancarkan serangan bertubi-tubi ke
arah kepala dan ubun-ubun Tuyul Tangan Seribu.
Mendapat serangan yang tidak disangka-sangka,
Tuyul Tangan Seribu langsung terperanjat. Meskipun begitu
dia tidak gugup. Buru-buru desakannya pada Panglima
Garda dibatalkan. Lalu, dia melompat ke samping kanan dan
bergulingan menjauh.
Sosok bayangan putih itu sama sekali tidak me-
ngejarnya. Begitu Tuyul Tangan Seribu menjauhkan diri,
tubuhnya kembali melesat ke arah pertarungan yang terjadi
antara Kelelawar Beracun dengan para prajurit Kerajaan
Bojong Gading.
Seperti halnya Tuyul Tangan Seribu, Kelelawar
Beracun pun terkejut bukan main begitu melihat sekelebatan
bayangan putih melesat ke arahnya, menerobos kerumunan
prajurit. Bayangan putih itu melancarkan serangan dengan
kedua tangan membentuk setengah cakar ke arah dada dan
ulu hati.
Angin keras berhembus sebelum serangan itu sendiri
tiba. Dari angin serangan itu saja, Kelelawar Beracun sudah
bisa memperkirakan kedahsyatan tenaga dalam yang
terkandung di dalamnya.
Tapi karena keyakinannya amat kuat terhadap
kemampuan diri, membuat laki-laki berwajah pucat Ini tidak
berusaha mengelakkan serangan itu. Dia malah memapaknya
dengan jari-jari tangan membentuk cakar seperti sosok
bayangan putih itu menyerangnya.
Prattt…!
Tubuh Kelelawar Beracun terhuyung tiga langkah ke
belakang. Sementara sosok bayangan putih itu hanya
terhuyung satu langkah ke belakang. Bukan hanya itu saja
yang dirasakan laki-laki berwajah pucat ini. Kedua tangan
yang berbenturan terasa ngilu bukan main!
"Mundur semua...!" perintah sosok bayangan putih itu
keras begitu kakinya hinggap di tanah. Suaranya terdengar
tegas dan berwibawa.
Tanpa menunggu perintah dua kali, para prajurit yang
mengeroyok Kelelawar Beracun segera berlompatan mundur.
Mereka semua telah mengenal pemilik suara itu.
Kelelawar Beracun menatap tajam wajah sosok
bayangan putih, begitu berhasil memperbaiki berdirinya.
Rasa penasaran menyelimuti hatinya. Baru kali ini ada orang
yang sanggup membuatnya terhuyung-huyung dalam adu
tenaga.
Perasaan penasaran itu semakin menjadi-jadi ketika
melihat sosok bayangan putih itu ternyata adalah seorang
gadis berpakaian putih yang berambut pan jang terurai.
Hanya seorang gadis muda telah mampu membuatnya
terhuyung-huyung! Sungguh sulit dipercaya.
Tapi sesaat kemudian, kemarahan kembali meng-
gelegak dalam hatinya. Dia teringat sesuatu. Ciri-ciri gadis di
hadapannya ini sangat mirip dengan orang yang dikabarkan
telah membunuh Kala Ireng.
"Kaukah orang yang telah membunuh Kala Ireng,
Wanita Liar?!" tanya Kelelawar Beracun kasar. Nada suara
dan sorot matanya memancarkan kemarahan yang amat
sangat.
Wajah gadis berpakaian putih yang tak lain dari
Melati merah padam. Ucapan Kelelawar Beracun membuat
amarahnya bangkit. Meskipun begitu kemarahannya
berusaha ditahan.
"Kalau memang benar, kau mau apa?!" Melati balas
bertanya sambil bertolak pinggang. Sikap maupun nada
suaranya penuh tantangan. "Orang seperti Kala Ireng layak
untuk mampus!"
"Keparat!"
Sambil berteriak memaki, Kelelawar Beracun segera
melancarkan serangan ke arah Melati. Tahu akan kelihaian
lawannya, laki-laki berwajah pucat itu tidak bertindak,
tanggung-tanggung lagi. Segera dikeluarkan Ilmu
andalannya, 'Jari Tombak'.
Kedua tangannya dikepalkan, kecuali jari telunjuknya
yang menegang kaku. Dan dengan bentuk jari-jari tangan
seperti itulah, Kelelawar Beracun menyerang Melati. Dua jari
telunjuknya meluncur cepat ke arah gadis itu, mengancam
leher dan bawah hidung yang merupakan dua jalan darah
kematian!
Terdengar suara mencicit nyaring seperti ada seekor
tikus terjepit, mengiringi datangnya serangan itu.
Melati yang tengah murka bukan main melihat ba-
nyak pasukan Kerajaan Bojong Gading tewas, dan juga
karena ucapan lawan, tidak ingin bertindak main-main lagi.
Segera dikeluarkannya pula ilmu andalannya, 'Cakar Naga
Merah'.
Kedua tangan gadis berpakaian putih ini terkembang
membentuk cakar naga. Ditambah lagi kedua tangan sampai
sebatas pergelangan gadis itu berwarna merah seperti darah.
Melati terkejut bukan main ketika mengetahui
beberapa helai rambutnya berputusan tatkala serangan
Kelelawar Beracun menyambar dekat. Kalau saja dia belum
pernah bertarung dengan orang yang memiliki ilmu semacam
ini, pasti dia akan kebingungan beberapa saat lamanya. Ilmu
yang dimiliki lawannya mirip dengan yang dimiliki Darba
(Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Cinta
Sang Pendekar").
Melihat hal ini, Melati tidak berani bertindak ceroboh.
Bergegas kakinya melangkah ke kanan, sehingga serangan
itu lewat sekitar sejengkal di samping kiri tubuhnya. Dan
secepat dia mengelak, secepat itu pula Melati melancarkan
serangan berupa sampokan tangan kiri ke arah pelipis
Keielawar Beracun.
Kelelawar Beracun menggeram murka. Sungguh di
luar dugaan, kalau dalam segebrakan saja lawannya ini
mampu balik mengancam. Padahal sebelumnya keadaan
gadis berpakaian putih itu berada dalam pihak terancam.
Tapi Kelelawar Beracun memang bukan orang
sembarangan. Menghadapi serangan itu, dia tidak menjadi
bingung atau gugup. Segera kepalanya dirundukkan, seraya
merendahkan tubuh. Dengan sendirinya, serangan itu lewat
sekitar sejengkal di atas kepala.
Rupanya hal itu sudah diperhitungkan Melati.
Terbukti, gadis itu langsung melancarkan serangan susulan.
Kaki kirinya mencuat mengancam perut Kelelawar Beracun.
Andaikan kena, mungkin bisa remuk isi dada laki-laki
berwajah pucat itu.
Tidak ada jalan lain bagi Kelelawar Beracun. Segera
tubuhnya dilempar ke belakang kemudian bersalto beberapa
kali di udara untuk mengelakkan serangan.
Melati sama sekali tidak memberi kesempatan. Begitu
lawannya terlihat melempar tubuh ke belalang, gadis
berpakaian putih ini bergegas bergerak mengejar. Tapi
sebelum niatnya tedaksana, sesosok bayangan berkelebat.
Dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang laki-laki
bertubuh pendek. Siapa lagi kalau bukan Tuyul Tangan
Seribu!
Tuyul Tangan Seribu sama sekali tidak memberi
kesempatan pada Melati. Secepat kedua kakinya hinggap di
tanah, secepat itu pula serangannya dilancarkan ke arah
gadis berpakaian putih. Kedua tangannya menotok bertubi-
tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar. Cepat bukan main
gerakannya.
Melati terperanjat. Kecepatan gerak tangan lawan
benar-benar membingungkan. Gadis berpakaian putih ini
memang tidak ingin bertindak ceroboh, jadi tidak berani
langsung menangkis. Dia belum mengetahui perkembangan
ilmu lawannya, maka cepat-cepat bergerak mengelak.
Baru saja gadis berpakaian putih mengelakkan
serangan itu, Kelelawar Beracun telah kembali menye-
rangnya. Maka, kini putri angkat Raja Bojong Gading ini pun
dikeroyok dua.
***
Panglima Jatalu, Panglima Garda, dan semua prajurit
hanya menonton pertarungan itu dengan hati berdebar
tegang. Diam-diam mereka semua merasa kagum pada
Melati. Dan memang, mereka semua telah merasakan sendiri,
betapa lihainya tokoh yang berjuluk Tuyul Tangan Seribu dan
Kelelawar Beracun itu. Menghadapi satu orang saja, mereka
mengalami kesulitan. Tapi sekarang, putri angkat junjungan
mereka menghadapi keroyokan dua tokoh sakti itu sekaligus.
Dari sini saja mereka sudah bisa memperkirakan kelihaian
gadis berpakaian putih itu.
Di samping perasaan kagum itu, terselip rasa
khawatir yang amat sangat dalam hati mereka semua.
Mereka tidak yakin kalau Melati akan mampu menghadapi
dua orang lawannya. Dan dengan perasaan harap-harap
cemas, mereka menyaksikan jalannya pertarungan.
Meskipun mereka semua menyaksikan jalannya
pertarungan, tapi hanya Panglima Jatalu dan Panglima Garda
saja yang bisa mengira-ngira keadaan kedua belah pihak
yang bertempur.
Pertarungan antara Melati melawan Tuyul Tangan
Seribu dan Kelelawar Beracun memang berlangsung
demikian cepat. Tidak aneh kalau para prajurit Kerajaan
Bojong Gading sama sekali tidak bisa mengikuti jalannya
pertarungan. Bukannya kelihatan, tapi kepala mereka yang
pusing. Dan sepasang mata mereka pun berkunang-kunang
ketika memaksakan diri untuk melihat pertarungan itu.
Panglima Garda dan Panglima Jatalu saja yang telah
memiliki kepandaian tinggi, tidak dapat melihat jelas
pertarungan itu. Sulit untuk mengetahui, mana pihak yang
terdesak, dan yang mendesak. Yang menjadi patokan mereka
adalah bayangan putih dan hitam yang saling menyerang
cepat.
Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu
menggertakkan gigi. Mereka marah dan malu bukan main, di
samping ada perasaan kagum yang terselip. Padahal mereka
telah mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki, tapi
tak juga mampu mengalahkan lawan. Jangankan
mengalahkan, mendesak pun tidak mampu.
Pertarungan memang berlangsung cepat, karena
masing-masing pihak memang mengerahkan seluruh
kemampuan. Sehingga dalam waktu sebentar saja, empat
puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu belum nampak ada
tanda-tanda yang terdesak. Terdengar suara mencicit dan
menderu menyemaraki pertarungan sengit itu.
Bukan hanya Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan
Seribu yang merasa kagum. Melati pun diam-diam merasa
kagum terhadap kedua orang lawannya ini. Mereka memang
memiliki keistimewaan masing masing. Kelelawar Beracun
dengan ilmu 'Jari Tombak'nya, sedangkan Tuyul Tangan
Seribu dengan iimu 'Tangan Seribu'nya. Melati berjuang
keras, mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya
sampai setinggi mungkin. Kedua cakarnya dalam pemakaian
ilmu 'Cakar Naga Merah' menyambar-nyambar mencari
sasaran.
Kembali empat puluh jurus berlalu cepat. Dan selama
itu, belum juga ada tanda-tanda yang akan terdesak maupun
mendesak. Pertarungan masih kelihatan seimbang.
Sementara jumlah prajurit yang menonton pun semakin
banyak. Di antara mereka, ternyata telah hadir pula Panglima
Gotawa, Panglima Tampaya, Patih Rantaka, dan pasukan
khusus kerajaan. Bahkan di sana juga telah berdiri dengan
agungnya Prabu Nalanda.
Melihat hal ini, tentu saja Kelelawar Beracun menjadi
cemas. Betapapun saktinya dia dan Tuyul Tangan Seribu,
tapi tetap saja tidak akan mungkin mampu menghadapi
sekian banyaknya lawan. Maka perasaan cemaslah yang
mendorongnya menggunakan senjata andalan.
Kelelawar Beracun memasukkan tangannya ke balik
baju. Sesaat kemudian tangan itu dikeluarkan kembali, dan
secepat itu pula dikibaskan.
Serrr...!
Terdengar suara berdesir pelan diikuti melesatnya
benda-benda kecil berkilauan ke arah Melati.
Melati terperanjat begitu mendengar suara berdesir
pelan. Tapi karena suasana malam yang cukup terang, gadis
berpakaian putih ini tidak mengalami kesulitan untuk
mengetahuinya. Benda itu ternyata adalah jarum yang
mungkin puluhan jumlahnya. Bau amis yang memuakkan
tercium ketika jarum-jarum itu meluncur.
Bukan hanya Melati saja yang merasa terkejut melihat
hal ini. Semua orang yang menyaksikan pun terperanjat
bukan main. Bahkan Prabu Nalanda tanpa sadar
memukulkan kepalan tangan kanan pada telapak tangan
kirinya.
"Licik...!" seru Raja Bojong Gading ini dengan suara
berdesis. Raut wajah maupun sinar matanya menyorotkan
perasaan cemas yang mendalam.
"Hih...!"
Melati membanting tubuh ke samping kanan,
kemudian bergulingan di tanah menjauhkan diri. Maka
semua serangan jarum itu mengenai tempat kosong.
Tuyul Tangan Seribu tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Buru-buru dia melompat memburu. Kedua
tangannya melakukan serangan bertubi-tubi ke arah tubuh
yang tengah bergulingan.
Sungguh di luar dugaan, ternyata dalam keadaan
seperti itu Melati mampu melenting ke atas. Tak pelak lagi,
semua serangannya mengenai tempat kosong. Sama sekali
laki laki bertubuh pendek ini tidak tahu kalau itu adalah
salah satu jurus dari rangkaian ilmu 'Cakar Naga Merah',
yakni jurus 'Naga Merah Muncul ke Permukaan Laut'. jurus
yang belum pernah digunakan gadis berpakaian putih itu,
kecuali dalam keadaan terdesak.
Sebelum Tuyul Tangan Seribu sempat berbuat
sesuatu, Melati telah melancarkan serangan cakar tangan
kanan ke arah ubun-ubun.
Laki-laki bertubuh pendek ini terkesiap. Dengan agak
gugup, dia melompat mundur ke belakang. Menurut
perhitungannya, cakar tangan Melati tidak akan bisa
mencapainya.
Hampir saja jantung Tuyul Tangan Seribu melompat
keluar ketika cakar tangan lawan tetap saja mengancam
ubun-ubunnya. Bagaimana hal ini bisa terjadi, laki-laki
bertubuh pendek tidak mengetahuinya. Yang jelas, cakar
tangan itu terus memburunya. Sama sekali Tuyul Tangan
Seribu tidak tahu kalau itu adalah jurus 'Naga Merah
Mengulur Kuku'.
Meskipun berada dalam keadaan terjepit, Tuyul
Tangan Seribu masih sanggup membuktikan kalau dirinya
adalah seorang tokoh tingkat tinggi. Dalam kesempatan yang
hanya sedikit sekali, tubuhnya berusaha digeliatkan.
Plakkk...!
Cakar tangan Melati menghantam bahu kiri Tuyui
Tangan Seribu. Telak, dan keras sekali. Akibatnya tubuh laki-
laki bertubuh pendek itu terjengkang ke belakang. Mau tak
mau Tuyul Tangan Seribu harus meringis. Darah segar
menetes dari sudut-sudut mulut nya. Laki-laki bertubuh
pendek ini terluka dalam.
Tapi sebelum Melati sempat mengirimkan serangan
susulan, Kelelawar Beracun kembali mengibaskan
tangannya.
Serrr...!
Suara berdesir pelan terdengar ketika jarum-jarum
beracun itu kembali menyambar ke arah Melati. Gadis
berpakaian putih ini tentu saja terkejut bukan main.
Serangan itu datang terlalu tiba-tiba. Dan lagi, tubuhnya
tengah berada di udara. Sulit baginya untuk mengelakkan
serangan itu.
Meskipun begitu, Melati tetap berusaha keras untuk
menyelamatkan selembar nyawanya. Maka tubuhnya segera
digeliatkan. Tapi....
Crep, crep, crep...!
Beberapa batang jarum beracun itu tetap menancap
di tubuh Melati. Seketika itu juga bagian yang terhunjam
jarum-jarum itu terasa panas dan gatal-gatal. Sebagai
seorang wanita yang telah cukup kenyang merambah dunia
persilatan, dia segera tahu kalau jarum-jarum itu beracun.
Hebatnya, begitu jarum-jarum itu menancap di
tubuhnya. Melati masih mampu melakukan serangan
balasan. Kedua tangannya yang terkembang membentuk
cakar itu dihentakkan ke depan, menggunakan jurus 'Naga
Merah Membuang Mustika'.
Angin keras menderu menyambar ke arah Kelelawar
Beracun. Laki-laki berwajah pucat ini kaget bukan main. Dia
baru saja mengirimkan serangan jarum-jarumnya, dan
tubuhnya masih tengah berada di udara. Karuan saja
serangan mendadak yang tidak disangka-sangka ini
membuat wajahnya pucat seketika.
Sebisa-bisanya Kelelawar Beracun berusaha
mengelakkan serangan itu. Tubuhnya digeliatkan se-
mampunya. Tapi usaha untuk menghindarkan serangan itu
tidak berhasil sepenuhnya. Pukulan jarak jauh yang
dilepaskan Melati telak dan keras sekali menghantam bahu
kanannya, namun agak menyeleweng dari sasaran semula.
Meskipun begitu, akibat yang diderita Kelelawar
Beracun bukan berarti ringan. Tubuh laki-laki berwajah
pucat ini melayang jauh ke belakang, dan jatuh keras sekali
di tanah. Darah segar menitik deras dari hidung dan
mulutnya.
Tapi dalam keadaan seperti itu, Kelelawar Beracun
masih sanggup mempertunjukkan kelihaiannya. Dengan
sebuah gerakan manis, kekuatan yang melontarkan
tubuhnya berhasil dipatahkan. Kemudian, dia bersalto
beberapa kali di udara. Walaupun agak terhuyung-huyung,
Kelelawar Beracun berhasil mendaratkan kedua kakinya di
tanah.
Beberapa saat sebelum Kelelawar Beracun hinggap di
tanah, Melati telah lebih dulu mendarat. Seperti juga halnya
Kelelawar Beracun, gadis berpakaian putih ini juga
terhuyung-huyung waktu mendarat di tanah. Bedanya,
Kelelawar Beracun langsung bisa memperbaiki berdirinya,
sedangkan Melati tidak. Gadis berpakaian putih ini
memegangi kepalanya. Sekelilingnya terasa berputaran.
Sesaat kemudian tubuhnya limbung.
Tentu saja semua orang yang menonton pertarungan
itu jadi terkejut. Hampir berbareng, semuanya bergerak
menghambur ke arah Melari. Prabu Nalanda dan Patih
Rantaka merupakan orang pertama yang berhambur ke arah
Melati. Maka Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu
pun terlupakan.
Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu yang
melihat kesempatan baik ini tidak menyia-nyiakan lagi.
Mereka tahu, tidak ada gunanya lagi berada di situ, karena
telah terluka dalam. Dan bila terus memaksakan diri, mereka
akan tewas di tangan pasukan Kerajaan Bojong Gading.
Maka begitu melihat kesempatan yang baik, di saat
semua perhatian tertumpah pada Melati, kedua orang ini
melesat kabur dari situ. Ada satu alasan lagi yang mendorong
kedua orang itu bergegas kabur. Racun yang terkandung
dalam jarum itu adalah racun yang amat ganas. Kecil sekali
kemungkinannya bagi Melati untuk dapat bertahan hidup.
7
"Melati...!" seru Prabu Nalanda penuh kekhawatiran
seraya bergegas melangkah menghampiri putri angkatnya.
Tapi Melati seperti tidak mendengar panggilan itu, dan
tetap saja memegangi kepalanya. Letak berdirinya pun sudah
tidak tetap lagi. Kadang oleng ke kiri, dan kadang oleng ke
kanan seperti orang mabuk.
Dan tepat ketika Raja Bojong Gading ini berada dekat
Melari, tubuh gadis berpakaian putih itu mendadak roboh.
Sebuah keluhan lirih keluar dari mulutnya. Kelihatannya dia
pingsan. Sudah dapat dipastikan tubuh Melati akan jatuh
membentur tanah. Untung saja Prabu Nalanda bergerak
cepat menyambar.
Tappp...!
Tangan kanan Melati berhasil ditangkap, tapi seketika
itu juga Prabu Nalanda melepaskannya. Ada jerit
keterkejutan keluar dari mulutnya. Betapa Raja Bojong
Gading ini tidak menjadi terkejut. Begitu dipegang, tangan
Melati terasa panas sekali! Menyengat, tak ubahnya bara api!
Lagi-lagi nasib baik tengah berpihak pada Melati.
Tubuh gadis berpakaian putih itu disambar Patih Rantaka
sebelum menyentuh tanah. Tapi seperti juga Prabu Nalanda,
laki-laki setengah baya itu juga terperanjat. Hanya saja, Patih
Rantaka bisa menguasai diri, sehingga tidak sampai
melepaskan tubuh Melati.
Sebagai orang yang telah penuh pengalaman, Patih
Rantaka segera saja mengetahui apa yang terjadi terhadap
Melati. Apalagi ketika perlahan namun pasti, tampak wajah
gadis berpakaian putih itu mulai memerah.
"Cepat panggil Eyang Sagapati...!" seru laki-laki
setengah baya itu pada salah seorang pasukan khusus.
Patih Rantaka sengaja menyuruh salah seorang
anggota pasukan khusus, agar lebih mempercepat datangnya
pertolongan untuk Melati.
Setelah memberi hormat, tanpa membuang-buang
waktu lagi seorang anggota yang berkumis jarang-jarang
segera berkelebat. Cepat juga gerakannya. Sehingga sebentar
saja, tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
"Apa yang terjadi. Patih?" tanya Prabu Nalanda. Nada
suara maupun sikap Raja Bojong Gading ini menyiratkan
perasaan cemas yang tak terhingga.
"Gusti Ayu keracunan, Gusti Prabu," Jelas Patih
Rantaka sambil memberi hormat. Kedua telapak tangannya
dirapatkan kemudian ditempelkan di depan hidung, seraya
membungkukkan tubuh sedikit.
Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya itu
kemudian menelusuri sekujur tubuh Melati. Mencari-cari, di
mana adanya jarum yang menancap di tubuh gadis
berpakaian putih itu. Memang, tadi Patih Rantaka sempat
melihat kalau Melati terkena serangan jarum Kelelawar
Beracun.
Sesaat kemudian, laki-laki setengah baya ini telah
berhasil menemukannya. Tiga batang jarum itu ternyata
menancap di dada atas sebelah kiri. Tanpa ragu-ragu lagi,
Patih Rantaka menggerakkan jarinya menotok di sekitar
tempat yang terkena jarum untuk mencegah menjalarnya
racun ke jantung.
"Cepat bawa dia masuk, Patih...!" sabda Prabu
Nalanda dengan suara bergetar karena cemas.
Tanpa diperintah dua kali, Patih Rantaka segera
membawa masuk tubuh Melati. Prabu Nalanda dan pasukan
khusus segera bergerak mengikuti. Sementara keempat
panglima dan seluruh prajurit lain hanya bisa berdiri diam
terpaku, tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
***
"Bagaimana, Eyang?" tanya Prabu Nalanda tak sabar.
Sepasang mata penguasa Kerajaan Bojong Gading itu
menatap penuh harap pada kakek berjenggot putih panjang
berpakaian coklat, yang tengah sibuk memeriksa Melati.
Sementara gadis berpakaian putih itu kini tergolek di sebuah
pembaringan yang indah dan mewah. Sekujur wajah dan
bagian tubuh yang tidak tertutup pakaian nampak berwarna
merah seperti udang direbus.
"Hhh...!"
Kakek berpakaian coklat menghela napas berat.
Berkali-kali kakek yang tak lain Eyang Sagapati, tabib nomor
satu Istana Kerajaan Bojong Gading, menggeleng-gelengkan
kepala.
"Hamba mohon ampun, Gusti Prabu," sahut Eyang
Sagapati beberapa saat kemudian.
"Apa.... Apa maksudmu, Eyang?" tanya Prabu Nalanda
dengan raut wajah berubah memucat.
Meskipun sudah dapat menduga ketika melihat kakek
itu berkali-kali menggelengkan kepala sewaktu memeriksa,
tapi Raja Bojong Gading ini berusaha meyakinkan dirinya.
Eyang Sagapati adalah tabib Istana Kerajaan Bojong Gading
yang sudah terkenal keahliannya. Belum pemah kakek ini
gagal dalam mengobati orang. Namun sekarang?
Bukan hanya Prabu Nalanda saja yang terperanjat
dan cemas. Patih Rantaka dan seluruh pasukan khusus pun
dilanda perasaan yang sama. Kini semua wajah memucat
begitu mendengar ucapan Eyang Sagapati Meskipun belum
dikatakan secara lengkap, tapi sudah bisa diperkirakan
ucapan yang akan keluar selanjutnya.
"Hamba siap menerima hukuman, Gusti Prabu,"
desah kakek berpakaian coklat itu seraya memberi hormat
"Hamba tidak mampu mengobati Gusti Ayu...."
"Ohhh...!"
Terdengar seruan tertahan dari mulut Prabu Nalanda.
Raja Bojong Gading ini langsung menundukkan kepala.
Kedua tangannya mendekap wajah. Tampak jelas kalau
Prabu Nalanda merasa terpukul mendengar ucapan Eyang
Sagapati.
Patih Rantaka dan seluruh pasukan khusus pun
sama-sama menundukkan kepala. Seperti Prabu Nalanda,
mereka pun terpukul mendengar jawaban itu.
Prabu Nalanda menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat. Tidak hanya sekali saja
berbuat demikian, tapi beberapa kali.
"Mengapa, Eyang?" tanya Prabu Nalanda setelah
berhasil menguasai diri.
Ada nada penasaran dalam suara penguasa Kerajaan
Bojong Gading itu. Memang dia merasa penasaran bukan
main, karena tidak percaya kalau tabib Istana Kerajaan
Bojong Gading yang paling jempolan ini tidak mampu
mengobati luka yang diderita putri angkatnya.
"Ampun, Gusti Prabu," kembali Eyang Sagapati
memberi hormat "Racun yang merasuk ke dalam tubuh Gusti
Ayu adalah racun yang amat ganas. Kalau saja Gusti Ayu
tidak memiliki tenaga dalam yang amat kuat, mungkin sudah
tewas."
Eyang Sagapati menghentikan ceritanya sejenak. Di
samping untuk mengambil napas, juga mencari kata-kata
untuk melanjutkan ceritanya.
"Racun itu amat aneh, Gusti Prabu," sambung kakek
berpakaian coklat lagi. "Dan hamba sama sekali tidak
mengenalnya. Hamba siap menerima hukuman atas
kebodohan hamba, Gusti Prabu."
"Lupakanlah, Eyang," sabda Prabu Nalanda seraya
mengulapkan tangannya.
Suasana menjadi hening sejenak ketika Raja Bojong
Gading ini menghentikan ucapannya.
"Ampun, Gusti Prabu. Boleh hamba bicara?" pinta
Patih Rantaka memecah keheningan yang menyelimuti
tempat itu.
"Silakan, Patih."
"Eyang," sebut laki-laki setengah baya itu seraya
menatap wajah Eyang Sagapati.
Kakek berpakaian coklat itu mengangkat kepala,
menatap wajah Patih Rantaka.
"Ada apa, Gusti Patih?"
"Tadi sebelum membawa Gusti Ayu kemari, aku telah
menotok jalan darah sekitar luka, agar racun itu tidak
menjalar lebih jauh. Lalu, apakah racun itu masih tetap saja
menjalar?" tanya Patih Rantaka.
"Racun yang menyerang Gusti Ayu amat ganas, Gusti
Patih. Begitu benda yang menjadi perantara itu bersarang di
tubuh Gusti Ayu, racun itu langsung menyebar. Jadi, usaha
yang kau lakukan sama sekali tidak berarti."
"Berbuatlah sesuatu. Eyang," selak Prabu Nalanda
dalam cekaman rasa cemas yang menggelegak.
"Ampun, Gusti Prabu," Eyang Sagapati kembali
memberi hormat "Apa yang harus hamba lakukan?"
"Apa saja, Eyang," sahut Raja Bojong Gading se-
kenanya. "Yang penting, nyawa putriku dapat diselamatkan."
Eyang Sagapati tercenung sejenak. Dahinya berkerut
dalam. Jelas kalau tengah berpikir keras.
"Sepengetahuan hamba, ada beberapa macam obat
yang dapat menyelamatkan nyawa Gusti Ayu selain obat
penawar dari pemilik racun ini sendiri," jelas Eyang Sagapati
setelah beberapa saat lamanya termenung.
"Apa itu, Eyang?" tanya Prabu Nalanda penuh gairah.
"Ampun, Gusti Prabu. Andaikata hamba memberi
tahu pun, tidak akan ada gunanya."
"Heh?! Mengapa kau berkata demikian, Eyang?" Raja
Bojong Gading mengerutkan alis tak senang,
"Sebelum obat itu tiba di sini, racun itu telah sampai
di jantung Gusti Ayu...."
Wajah semua orang yang berada di situ pucat pasi
seketika. Ucapan yang keluar dari mulut Eyang Sagapati
membuat mereka cemas bukan main.
"Apakah Eyang tidak mampu memperlambat daya
kerja racun itu? Yahhh...! Paling tidak, sampai obat yang kita
butuhkan itu berhasil didapatkan."
"Hhh...!" kakek berpakaian coklat itu menghela napas
panjang. "Sulit Gusti Prabu...."
Seketika itu juga Prabu Nalanda terdiam. Wajah
maupun sorot matanya diliputi perasaan putus asa.
"Ampun, Gusti Prabu," lagi-lagi Patih Rantaka
menyelak. "Bukankah Gusti Ayu memiliki Batu Kehidupan?"
Prabu Nalanda terlonjak kaget. Melati memang
memiliki Batu Kehidupan yang didapat dari Prabu Nalanda
sendiri. Raja Bojong Gading sendiri yang memberikannya
sebagai bekal bagi gadis itu dalam merambah kerasnya
kehidupan dunia persilatan. Dan memang keampuhan Batu
Kehidupan itu telah terbukti (Untuk jelasnya, baca serial
Dewa Arak dalam episode "Rahasia Surat Berdarah").
"Kau benar, Patih! Ah...! Mengapa aku sampai
melupakannya?" desah Raja Bojong Gading ini pada dirinya
sendiri. Kini raut kecemasan lenyap dari wajahnya Wajah
Prabu Nalanda berseri-seri. Ada secercah harapan yang
muncul di hatinya.
"Batu Kehidupan?!" gumam Eyang Sagapati pula tak
percaya. Memang, kakek berpakaian coklat ini tidak tahu
kalau junjungannya memiliki benda itu. Yang mengetahuinya
hanya Patih Rantaka seorang.
"Ya! Bukankah benda itu berkhasiat menawarkan
segala macam racun. Eyang?" sahut Prabu Nalanda. "Bisakah
benda itu menyembuhkan putriku, Eyang?"
"Entahlah, Gusti Prabu. Hamba tidak bisa memas-
tikan," sahut Eyang Sagapati. "Batu Kehidupan memang
salah satu benda langka. Tapi, racun ini pun aneh sekali.
Mungkin jika racun yang memasuki tubuh Gusti Ayu belum
separah ini, hamba yakin benda itu akan mampu
menyembuhkannya. Tapi sekarang, racun ini telah
menyebar...."
"Jangan berputus asa dulu, Eyang," sergah Patih
Rantaka. "Lebih baik kita segera mengobatinya."
Prabu Nalanda lalu memeriksa bagian pinggang
Melati. Dia tahu gadis berpakaian putih itu menyimpannya di
situ.
Sesaat kemudian, di tangan kanan Raja Bojong
Gading ini telah tercekal sebuah buntalan kain kecil
berwarna hitam. Prabu Nalanda lalu membuka ikatannya,
kemudian mengeluarkan isinya. Ternyata sebuah benda
berwarna bening sebesar kelereng. Inilah Batu Kehidupan itu.
Secepat benda itu dipegangnya, secepat itu pula
diserahkannya pada Eyang Sagapati. Bergegas kakek
berpakaian coklat itu menerima, kemudian mencelupkannya
ke dalam sebuah cawan berisi air putih.
Begitu Batu Kehidupan itu telah tenggelam, dari dasar
cawan melayang naik gelembung-gelembung udara. Mula-
mula sedikit, tapi kian lama kian banyak. Kemudian perlahan
mulai berkurang, sampai akhirnya lenyap sama sekali.
Begitu gelembung-gelembung udara itu lenyap, Eyang
Sagapati segera meminumkan larutan itu pada Melati.
"Kini kita hanya tinggal menunggu hasilnya saja,"
jelas Eyang Sagapati perlahan setelah air itu lenyap ke dalam
mulut Melati.
Tidak ada satu pun yang menyahuti ucapan kakek
berpakaian coklat itu. Semua yang berada di situ sama-sama
dilanda perasaan tegang dan cemas. Eyang Sagapati pun
rupanya tidak terlalu mementingkan adanya sambutan atas
ucapannya tadi.
***
Waktu terasa merayap begitu lambat Prabu Nalanda,
Patih Rantaka, pasukan khusus, dan Eyang Sagapati
memperhatikan wajah Melati dengan perasaan cemas. Tapi
sampai pagi menjelang, warna merah pada wajah gadis itu
tetap tidak lenyap. Hanya saja, warna merahnya tidak lagi
bertambah.
Eyang Sagapati kembali memeriksa Melati.
"Apa yang hamba khawatirkan terjadi juga, Gusti
Prabu," bisik kakek berpakaian coklat itu.
"Maksud, Eyang?"
"Batu Kehidupan tidak mampu mengusir racun yang
telah mengeram dalam tubuh Gusti Ayu...."
"Jadi.... Anakku akan tewas, Eyang?" ada nada
keputusasaan dan rasa sedih yang mendalam pada suara itu.
"Tidak, apabila obat penawar racun ini berhasil
didapatkan," jelas Eyang Sagapati lagi.
"Tapi bukankah akan percuma saja, Eyang?" bantah
Prabu Nalanda. "Mencari obat itu membutuhkan waktu,
sementara Melati sama sekali tidak bisa menunggu."
"Ampun, Gusti Prabu. Batu Kehidupan akan
mempertahankan nyawa Gusti Ayu sampai obat penawarnya
berhasil didapatkan."
"Maksud, Eyang?" tanya Raja Bojong Gading ini tidak
mengerti.
"Meskipun Batu Kehidupan tidak mampu mengusir
racun itu karena kedatangannya sudah amat terlambat, tapi
benda itu masih menunjukkan kegunaannya," ujar Eyang
Sagapati menjelaskan.
"Apa kegunaan benda itu, Eyang?" Prabu Nalanda
ingin tahu.
"Menahan menjalarnya racun itu menuju ke jantung,"
Prabu Nalanda, Patih Rantaka, dan seluruh anggota
pasukan khusus mengangguk-anggukkan kepala. Ada sedikit
rasa lega mendengar nyawa Melati masih bisa diperpanjang.
"Apakah obatnya, Eyang?" tanya Prabu Nalanda
penuh gairah. "Segera akan kuutus para prajuritku untuk
mendapatkannya."
Eyang Sagapati tercenung sejenak, tidak langsung
menjawab pertanyaan itu.
"Menurut sepengetahuan hamba, ada tiga macam
pusaka di dunia ini yang dapat menawarkan segala macam
racun, Gusti Prabu," jawab kakek berpakaian coklat memberi
keterangan. "Pertama, benda langit. Kedua, macan putih. Dan
ketiga, Batu Kehidupan."
Eyang Sagapati menghentikan ceritanya sejenak,
menatap wajah orang-orang yang berada di sekelilingnya.
Tampak, Patih Rantaka mengangguk-anggukkan kepala.
"Di antara ketiga benda pusaka itu, Batu Kehidupan
menempati urutan terbawah dalam hal kemanjuran.
Meskipun begitu, telah kita lihat sendiri keampuhannya."
"Jadi..., benda langit dan macan putih itulah yanti
harus ditemukan, Eyang?" potong Prabu Nalanda tidak sabar.
"Kira-kira, di mana adanya benda itu, Eyang?"
"Hamba juga tidak mengetahuinya, Gusti Prabu,"
sahut Eyang Sagapati seraya menggelengkan kepala.
"Rasanya sulit untuk mendapatkan kedua benda itu,
Eyang Sagapati," Patih Rantaka kembali membuka suara.
"Beberapa waktu yang lalu, memang kudengar ada kabar
mengenai adanya benda langit dan macan putih di Hutan
Bandan. Tapi..., kemudian lenyap begitu saja."
Prabu Nalanda menganggukkan kepala. Memang Raja
Bojong Gading ini juga mendengar berita itu.
"Apakah tidak ada obat lain yang dapat menawarkan
racun itu. Eyang Sagapati?" tanya Patih Rantaka ingin tahu.
"Memang masih ada lagi, Gusti Patih," sahut kakek
berpakaian coklat cepat.
"Apa itu, Eyang?" Prabu Nalanda yang justru
bertanya.
"Obat penawar dari Kelelawar Beracun!" tandas Eyang
Sagapati.
Sepasang mata Prabu Nalanda kembali berbinar.
Secercah harapan kini bersemi kembali di hatinya. Harapan
agar Melati bisa diselamatkan.
"Patih...!" panggil Raja Bojong Gading itu pada Patih
Rantaka.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Patih Rantaka seraya
memberi sembah.
"Perintahkan prajurit untuk mencari benda-benda
itu!" sabda Prabu Nalanda. "Dan jangan lupa, cari pula
Kelelawar Beracun! Dan beri tahu Dewa Arak serta Ki Julaga
mengenal hal ini. Mengerti?!"
"Hamba mengerti. Gusti Prabu!"
"Kalau begitu, cepat pergilah!"
Setelah memberi hormat Patih Rantaka pun bergegas
meninggalkan ruangan itu. Sementara anggota pasukan
khusus langsung berjaga-jaga di sekitar ruangan itu. Mereka
memang pasukan keselamatan raja.
***
Siang itu udara panas sekali. Matahari yang tepat
berada di atas kepala memancarkan sinarnya dengan garang,
seakan-akan ingin melelehkan bumi beserta isinya.
"Hhh...!"
Seorang pemuda berambut putih keperakan menghela
napas lega. Wajahnya, terutama sekali dahi dan bawah
hidungnya nampak dipenuhi butiran-butiran keringat.
Perlahan-lahan kepala pemuda berambut putih
keperakan itu mendongak, menatap sejenak ke arah bola
raksasa yang nampak menyilaukan itu. Lalu tangannya
digerakkan untuk menghapus peluh yang membasahi dan
bawah hidungnya dengan punggung tangan.
Pemuda itu berpakaian ungu. Sebuah guci arak
terbuat dari perak tersampir di punggungnya. Sepertinya
tidak ada yang aneh pada pemuda ini, kecuali warna
rambutnya yang berwarna putih keperakan itu. Tapi jika
orang melihat sepasang matanya, baru terlihat keanehannya.
Sepasang mata pemuda berambut putih keperakan itu
terlihat begitu tajam, mencorong, dan berwarna kehijauan.
Mirip sepasang mata seekor harimau dalam gelap.
Wajah pemuda berambut putih keperakan itu berseri
ketika melihat sebatang pohon besar berdaun rindang, tak
jauh di hadapannya. Bergegas kakinya melangkah
menghampiri, kemudian menghempaskan bokongnya. Dia
duduk sebentar, lalu perlahan merebahkan tubuh
menelentang.
"Hhh...!"
Sebuah hembusan kelegaan keluar dari mulutnya,
kemudian sepasang matanya dipejamkan periahan-lahan.
Belum berapa lama berbaring, pemuda berpakaian
ungu ini mengangkat kembali kepalanya. Telinganya yang
menempel di tanah, menangkap derap kaki kuda. Menilik
dari bunyinya, dia tahu kalau kuda itu tidak hanya seekor
saja.
Tapi begitu kepalanya diangkat, derap langkah kuda
itu lenyap. Betapa pun pemuda berambut putih keperakan
ini memusatkan pendengarannya, tapi bunyi tadi tak juga
tertangkap olehnya.
Kini pemuda berpakaian ungu ini sadar kalau kuda
yang tengah berlari itu masih terlalu jauh, sehingga
pendengarannya yang telah amat tajam itu tidak mampu
menangkapnya. Kini dia bangkit dari berbaringnya, lalu
duduk bersandar pada batang pohon.
Perlahan namun pasti derap kaki kuda itu semakin
keras terdengar. Pertanda kalau kuda itu tengah berlari
menuju ke arahnya. Tapi pemuda berambut putih keperakan
sama sekali tidak mempedulikan, dan tetap saja duduk
bersandar pada sebatang pohon.
Pemuda berpakaian ungu itu tetap saja tak bergeming
dari bersandarnya, meskipun para penunggang kuda sudah
berada dalam jangkauan pandang mata biasa.
Derap langkah kuda itu ternyata berasal dari lima
ekor kuda yang masing-masing ditunggangi seorang
berpakaian prajurit.
Pemuda berambut putih keperakan itu hanya me-
liriknya sekejap, kemudian memejamkan matanya kembali.
Sama sekali tidak ambil peduli atas kehadiran lima orang
penunggang kuda itu. Meskipun begitu, pendengarannya
dipasang tajam-tajam, bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi. Seluruh otot-ototnya tampak
menegang waspada.
Pemuda berpakaian ungu mulai merasa curiga begitu
langkah kaki kuda itu terdengar semakin mendekat ke
arahnya. Tak lama kemudian berhenti sesaat. Lalu, terdengar
suara perlahan dan beberapa pasang kaki yang mendarat di
tanah.
"Raden...," tiba-tiba terdengar oleh telinga pemuda
berambut putih keperakan suara panggilan perlahan.
Karuan saja pemuda itu merasa heran. Dia tidak
mengetahui adanya orang lain di sekitar sini. Tapi mengapa
ada orang yang memanggil raden? Perasaan penasaran
mendorongnya membuka mata.
Seketika sepasang mata pemuda berambut putih
keperakan terbelalak. Betapa tidak? Sekitar tiga tombak di
depannya, berdiri lima orang prajurit yang tadi dilihatnya.
Mereka semua berdiri menghadap ke arahnya dengan kepala
tertunduk. Dirinyalah yang tadi dipanggil raden? Atau orang
lain yang berada di sekitar tempat ini? Mendapat dugaan
demikian, pemuda berambut putih keperakan ini segera
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi, tidak ada
seorang pun yang dilihatnya! Jadi, apakah panggilan raden
itu ditujukan padanya?
"Maaf, siapakah Kisanak semua?" tanya pemuda
berambut pulih keperakan pelan.
"Kami adalah prajurit Kerajaan Bojong Gading,
Raden," sahut seorang prajurit yang beralis tebal.
Kini pemuda berambut putih keperakan itu mengerti,
mengapa kelima orang prajurit itu memanggilnya raden.
"Aku mohon, kalian semua jangan memanggilku
seperti itu," pinta pemuda berambut putih keperakan tegas.
"Dan kalau kalian tetap berkeras, aku akan pergi. Panggil
saja aku Arya!"
Wajah kelima orang prajurit Kerajaan Bojong Gading
berubah. Mereka menangkap adanya nada kesungguhan
dalam suara pemuda berambut putih keperakan yang
memang adalah Arya alias Dewa Arak Maka, mereka tidak
berani bersikap main-main.
"Baiklah, Rad.... Eh! Arya," ujar prajurit beralis tebal
mengalah. Rupanya dialah yang bertugas menjadi juru bicara
dari keempat orang rekannya.
Arya menganggukkan kepala.
"Sekarang katakanlah, mengapa kalian bisa berada di
sini?" tanya Arya.
"Kami memang ditugaskan untuk mencari Rad.. eh!
Mencarimu, Arya?" sahut prajurit beralis tebal, gugup.
"Heh...?!" pemuda berambut putih keperakan
terperanjat "Siapa yang menugaskan kalian?"
"Gusti Prabu."
"Gusti Prabu?!" ulang Arya setengah terpekik kaget.
Kelima orang prajurit Bojong Gading itu meng-
anggukkan kepala, membenarkan.
"Kalau boleh kutahu, apakah keperluan yang
mendorong Gusti Prabu menyuruh kalian mencariku?" tanya
Arya.
Perasaan tidak enak mulai menjalari hati pemuda
berambut putih keperakan ini. Dia tahu, pasti ada suatu
masalah yang penting. Sebab, tidak mungkin Raja Bojong
Gading itu mengirimkan prajurit untuk memanggilnya, jika
tidak ada masalah gawat seperti ini.
Kontan kelima orang prajurit Kerajaan Bojong Gading
itu terdiam. Hanya mata mereka saja yang saling pandang.
Tampak jelas kalau mereka merasa ragu-ragu untuk
menyampaikannya.
"Katakanlah cepat jangan berteka-teki lagi," desak
Arya tak sabar.
"Hhh...!"
Prajurit beralis tebal menghela napas berat. "Gusti
Ayu menderita keracunan hebat..," jawab prajurit beralis
tebal itu. Pelan sekali, mirip desahan.
"Hah...?!" Arya terjingkat bagai disengat kalajengking.
"Melati keracunan? Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?
Bukankah gadis berpakaian putih itu memiliki pusaka yang
dapat menawarkan segala macam racun?"
"Bagaimana kalau kita membicarakannya dalam
perjalanan saja, Arya? Gusti Prabu menyuruh kami untuk
cepat-cepat membawamu ke istana," usul prajurit beralis
tebal hati-hati.
Tanpa pikir panjang lagi, Arya menganggukkan
kepala.
"Kalau begitu, mari cepat terangkat!" sambung
prajurit lain.
Dia lalu melompat naik ke atas punggung kuda,
diikuti keempat orang kawannya. Sementara Arya lebih
memilih berlari daripada menaiki seekor kuda bersama-sama.
Betapapun kelima orang prajurit Kerajaan Bojong Gading itu
mendesak, Arya tetap menolak. Namun akhirnya mereka
mengalah.
Prajurit beralis tebal mendecak pelan seraya menghela
tali kekang kudanya. Keempat orang rekannya pun berbuat
yang sama. Seketika itu juga, binatang-binatang tunggangan
itu melesat cepat meninggalkan tempat itu.
Prajurit Kerajaan Bojong Gading ini telah mengetahui
kelihaian Arya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi mereka segera
memacu lari kuda itu secepatnya. Mereka sebenarnya juga
ingin tahu, mampukah Dewa Arak mengimbangi lari kuda
mereka? Sebab, binatang itu adalah kuda-kuda pilihan yang
kuat dan memiliki kemampuan lari cepat.
Prajurit Kerajaan Bojong Gading ini jadi kagum ketika
mereka melihat sekelebatan bayangan ungu. Dan sesaat
kemudian, di sebelah mereka Arya tengah berlari membarengi
kuda. Wajah pemuda berambut putih keperakan itu tampak
biasa-biasa saja, tidak nampak kalau tengah mengerahkan
tenaga.
Hebatnya, sambil terus beriari Arya menanyakan
sebab-sebab Melati bisa terluka. Dengan bergantian, kelima
orang prajurit itu menceritakan pada Arya.
Bahkan diceritakan pula kalau Prabu Nalanda telah
mengundang seluruh ahli pengobatan di dunia peralatan
untuk mengobati Melati. Imbalan besar menanti mereka bila
berhasil menyembuhkan gadis berpakaian putih. Tapi, satu
persatu ahli-ahli pengobatan itu angkat tangan, tak mampu
mengobati Melati.
Karuan saja mendengar cerita itu, Arya merasa
khawatir bukan kepalang. Tanpa mempedulikan kelima orang
prajurit itu, Dewa Arak lalu menambah kecepatan larinya
sampai setinggi mungkin.
Perlahan namun pasti, Arya mulai meninggalkan
kelima orang prajurit Kerajaan Bojong Gading itu. Semakin
lama semakin jauh, hingga tak dihiraukannya lagi panggilan
para prajurit itu. Yang ada di benaknya hanya satu. Segera
menemui Melati secepatnya.
8
Prajurit penjaga pintu gerbang terperanjat begitu
melihat kedatangan Dewa Arak. Bergegas dia berlari ke dalam
menyampaikan berita itu pada seorang anggota pasukan
khusus, untuk diteruskan pada Prabu Nalanda.
"Ampun, Gusti Prabu," ucap seorang anggota pasukan
khusus seraya memberi hormat.
"Ada apa?" tanya Prabu Nalanda seraya memalingkan
kepala dari tubuh Melati yang masih tergolek di
pembaringan.
Di sebuah kursi Indah berukir di dekat situ, duduk
seorang kakek bertubuh kecil kurus. Alis, kumis, dan
jenggotnya telah memutih semua. Jenggotnya panjang hingga
mencapai dada. Kelihatannya, kakek itu datang dari
kalangan rimba persilatan.
"Prajurit penjaga pintu gerbang melaporkan. Dewa
Arak telah berada di depan," jelas anggota pasukan khusus
Itu.
"Bawa dia masuk!" sabda Prabu Nalanda penuh
wibawa. Wajahnya tampak berseri-seri.
"Baik, Gusti Prabu," sahut anggota pasukan khusus
seraya melangkah meninggalkan tempat Itu. Tak lupa
dihaturkan hormat kepada junjungannya.
Kakek bertubuh kecil kurus itu berdiri dari bangku-
nya begitu mendengar kedatangan Dewa Arak.
"Orang yang kira tunggu-tunggu akhirnya datang
juga, Ki," kata Prabu Nalanda pelan. Nada suara maupun
sorot matanya memancarkan kegembiraan. Meskipun begitu,
sorot kecemasan tidak juga lenyap dari wajahnya.
"Yahhh...!" kakek bertubuh kecil kurus mendesah
pelan. "Memang dialah orang yang harus lebih dulu tahu
mengenai nasib Melati."
Prabu Nalanda hanya menganggukkan kepala.
"Bagaimana usaha pencarian terhadap benda langit
dan macan putih, Gusti Prabu," tanya kakek bertubuh kecil
kurus itu ingin tahu.
"Hhh...!" Raja Bojong Gading menghela napas berat
"Sampai sekarang mereka belum juga kembali."
"Hm...," kakek bertubuh kecil kurus menggumam
pelan. "Lalu..., apakah tempat tinggal Tuyul Tangan Seribu
dan Kelelawar Beracun sudah ditemukan, Gusti Prabu?"
Raja Bojong Gading menggelengkan kepala.
"Kedua tokoh sesat itu telah meninggalkan sarangnya
masing-masing. Rupanya mereka khawatir juga kalau
Kerajaan Bojong Gading akan mengadakan pembalasan. Ki
Temula sendiri yang mengajukan diri, agar aku
mengizinkannya mencari kedua tokoh sesat itu."
"Ki Temula?" ulang kakek bertubuh kecil kurus sambil
mengernyitkan dahi. "Siapa dia, Gusti Prabu?"
"Ketua Perguruan Garuda Sakti, sekaligus guru
beberapa orang panglima Kerajaan Bojong Gading."
Kakek bertubuh kecil kurus mengangguk-anggukkan
kepala.
Sementara itu, percakapan mereka terhenti ketika
Dewa Arak melangkah masuk diiringi seorang anggota
pasukan khusus.
Arya terperanjat ketika melihat kakek bertubuh kecil
kurus berada di situ. Dia kenal betul, siapa adanya kakek itu.
Siapa lagi kalau bukan Ki Julaga? Guru Melati!
Pemuda berambut putih keperakan itu segera
memberi hormat kepada Prabu Nalanda.
"Bagaimana kau bisa berada di sini, Ki?" tanya Arya
heran.
Kakek bertubuh kecil kurus itu tersenyum lebar.
"Pasukan Kerajaan Bojong Gading datang ke
tempatku, Arya. Mereka mengabarkan kalau Melati
keracunan," sahut Ki Julaga memberi tahu. "Maka buru-buru
aku datang ke sini."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini dia
mengerti, mengapa kakek bertubuh kecil kurus itu bisa
berada di dalam Istana Kerajaan Bojong Gading.
"Bagaimana keadaan Melati, Gusti Prabu?" tanya
Arya.
Sebenarnya sudah sejak tadi dia hendak mena-
nyakannya. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini tahu
diri, dengan menahan pertanyaan yang sejak tadi hendak
keluar dari mulutnya.
"Kau lihat saja sendiri, Arya," sahut Raja Bojong
Gading itu mempersilakan.
Dewa Arak segera melangkah menghampiri
pembaringan. Sejak tadi pun gadis berpakaian pulih itu
sudah terlihat. Tapi tanpa perkenan Prabu Nalanda, mana
berani dia bersikap lancang menghampiri pembaringan itu.
Dan kini setelah Prabu Nalanda memperkenankan, tanpa
membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut putih
keperakan ini melangkah menghampiri pembaringan.
Hampir saja air mata Dewa Arak tumpah melihat
pemandangan yang terpampang di hadapannya.
"Melati-kah Ini?" tanya Dewa Arak dalam hati, hampir
tidak percaya.
Gadis berpakaian putih itu kini sungguh berubah
jauh. Meskipun Arya masih bisa mengenali kalau sosok
tubuh yang terbaring lemah di pembaringan itu adalah
Melati, tapi keadaannya membuat kaget bukan main!
Melati kini sangat kurus. Pakaian putih yang mem-
bungkus tubuhnya kini telah longgar. Padahal dulu pakaian
itu amat ketat membungkus tubuhnya yang kini hanya
tinggal tulang terbungkus kulit. Wajah yang dulu cantik
laksana bidadari dan nampak selalu segar berseri itu, kini
nampak cekung. Dan yang lebih mengerikan lagi, sekujur
kulit tubuh Melati nampak merah.
Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih
keperakan itu terpaku. Sepasang matanya terbelalak lebar.
Rasa haru dan kasihan yang amat sangat melanda hatinya.
Ingin rasanya dia menjerit. Memeluk tubuh yang tergolek
lemah dengan sepasang mata terpejam rapat itu.
"Melati! Betapa menderitanya dirimu?" desah Arya
dalam hati dengan perasaan pilu. Kalau saja bisa, ingin
rasanya Dewa Arak memindahkan penyakit yang menimpa
Melati padanya!
Prabu Nalanda, Ki Julaga, Patih Rantaka, dan Eyang
Sagapati sama sekali tidak mengganggu. Dibiarkan saja Arya
dengan kesibukannya. Tidak ada lagi yang berada dalam
ruangan itu kecuali mereka. Prabu Nalanda telah menyuruh
semua anggota pasukan khusus untuk meninggalkan
ruangan, dan berjaga-jaga di luar saja.
"Sudah berapa lama Melati seperti ini, Gusti Prabu?"
tanya Arya setelah sekian lamanya terdiam. Suara pemuda
berambut putih keperakan ini terdengar serak.
"Tujuh hari...," jawab Prabu Nalanda Kini suaranya
terdengar biasa.
Memang, setelah beberapa hari sakitnya Melati, Raja
Bojong Gading ini sudah bisa mengendalikan diri. Tidak lagi
hanyut terbawa perasaan cemas.
"Dan selama itu..., apakah Melati pernah tersadar,
Gusti Prabu?" kembali pemuda berambut putih keperakan ini
mengajukan pertanyaan. Masih dengan suara serak.
Prabu Nalanda menggelengkan kepala.
"Untuk menjaga daya tahan tubuhnya, terpaksa kami
berikan buah-buahan yang terlebih dahulu diperas. Hal itu
dilakukan, agar dia tetap dapat bertahan hidup."
Arya menganggukkan kepala. Kini dia mengerti,
mengapa Melati bisa sekurus ini. Dan sekarang, perlahan
tangan Arya bergerak, membelai wajah dan rambut Melati
penuh kasih sayang. Kalau saja tidak malu, ingin rasanya
Arya menangis sambil memanggil-manggil Melati. Tapi, dia
tahu hal itu tak mungkin dilakukannya. Yang dapat
dilakukan pemuda berambut putih keperakan ini hanyalah
mengepalkan kedua tangan sekeras mungkin. Terdengar
suara berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang yang
berpatahan, ketika Dewa Arak mengepalkan tangannya.
Prabu Nalanda dan Patih Rantaka diam-diam terkejut
bukan main melihat hal ini. Mereka berdua memang telah
mengetahui kelihaian pemuda berambut putih keperakan itu.
"Kelelawar Beracun...!" desis Dewa Arak pelan tapi
tajam. Sepertinya ada ancaman maut tersirat dalam ucapan
itu.
Ki Julaga bergegas menghampiri, langsung menepuk-
nepuk bahu pemuda berambut putih keperakan untuk
menenangkan hatinya.
"Sabarlah, Arya," bujuk kakek bertubuh kecil kurus
itu menasihati. 'Tidak baik menuruti nafsu amarah."
"Tapi, Ki.... Perbuatan Iblis itu sudah sangat
keterlaluan...!" sergah Dewa Arak "Apa pun yang terjadi, aku
harus mencarinya untuk menuntut balas atas kekejiannya
terhadap Melati!"
"Hhh...!"
Hanya sebuah helaan napas panjang Ki Julaga yang
menyahuti ucapan Dewa Arak.
Mendadak Arya membalikkan tubuh. "Maafkan
hamba, Gusti Prabu. Hamba tidak bisa berlama-lama di sini,"
ucap pemuda berambut putih keperakan sambil memberi
hormat.
"Kau hendak ke mana, Arya?" pelan dan lembut suara
Raja Bojong Gading itu. "Kau baru saja tiba. Mengapa buru-
buru pergi?"
"Hamba ingin mencari Kelelawar Beracun! Meminta
obat bagi Melati!" ucap Dewa Arak. Dia tahu kalau arak dan
gucinya pun tak mampu mengobati Melati. Batu Kehidupan
saja tidak mampu! Apalagi guci araknya!
Melihat sikap pemuda berambut putih keperakan, Ki
Julaga dan Prabu Nalanda tidak berusaha menghalangi.
Mereka berdua tahu, Arya tidak mungkin bisa dihalangi lagi.
"Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, pergilah,
Arya," ujar Prabu Nalanda bijaksana. "Kau tidak usah
mengkhawatirkan Melati. Eyang Sagapati berani menjamin,
tunanganmu akan sanggup menanti sampai kau kembali
dengan membawa obat penawar racun itu."
Ki Julaga mengangguk-anggukkan kepala.
"Aku juga akan menjaganya sampai kau kembali,
Arya," Ki Julaga ikut membuka suara.
"Terima kasih, Ki"
Setelah pamit pada semua orang yang berada di
dalam ruangan itu, Dewa Arak bergegas melangkah ke luar.
Tujuannya sudah jelas. Mencari Kelelawar Beracun!
***
Begitu keluar dari pintu gerbang Istana Kerajaan
Bojong Gading, Arya kebingungan. Ke mana harus mencari
Kelelawar Beracun? Sama sekali tidak diketahui, di mana
tempat tinggal tokoh sesat itu! Lagi pula, Kelelawar Beracun
tidak punya tempat tinggal tetap. Di samping itu Kelelawar
Beracun pun bukan orang bodoh! Dia pasti akan
menjauhkan diri, sebab tahu kalau dirinya akan jadi buruan
Kerajaan Bojong Gading.
Menghadapi hal ini, Arya kembali teringat pada
gurunya, Ki Gering Langit! Betapa mudahnya bagi kakek
berpakaian putih bersih itu untuk mengetahui adanya
seseorang. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini
merasa malu untuk meminta bantuan Ki Gering Langit
Sudah terlalu sering gurunya dimintakan bantuan. Dan kali
ini Dewa Arak akan berusaha untuk mencarinya sendiri. Toh,
Eyang Sagapati telah menjamin kalau Melati akan sanggup
bertahan sampai dia berhasil menemukan obat penawar
racun itu.
Kedua hal itulah yang menyebabkan Dewa Arak
bertahan untuk tidak meminta bantuan gurunya. Dia terus
saja melakukan perjalanan, mencari jejak Kelelawar Beracun
dan Tuyul Tangan Seribu. Dari para prajurit Kerajaan Bojong
Gading, sudah diketahuinya ciri-ciri kedua tokoh sesat itu.
Maka di sepanjang perjalanan, Arya tidak henti-hentinya
mencari keterangan tentang keberadaan kedua orang itu.
Tapi sampai lelah bertanya-tanya, tak juga dida-
patkannya jejak kedua orang itu. Entah sudah berapa desa
disinggahi dan ditanyakan hal itu pada penduduk. Tapi, tidak
ada seorang pun yang bisa memberikan jawaban yang
diharapkan.
Telah lima hari Arya berusaha keras mencari jejak
Tuyul Tangan Seribu dan Kelelawar Beracun. Tapi hanya
kegagalan saja yang didapatkan. Gelengan kepala pertanda
tidak tahu selalu menyambut setiap pertanyaannya.
Hari sudah agak siang ketika pemuda berambut putih
keperakan baru saja meninggalkan Desa Karang Sari. Kepala
Dewa Arak tertunduk lesu menekuri tanah. Hatinya terpukul
karena kembali jawaban serupa yang didapat.
Tapi begitu memasuki Hutan Lawang, Dewa Arak
mengangkat kepalanya. Sepasang matanya beredar
mengamati keadaan sekelilingnya. Pendengarannya dipasang
tajam-tajam. Pemuda berambut putih keperakan terus
berlaku seperti itu. Meskipun sampai sekian jauh masuk ke
dalam hutan, tidak juga ditemukan tanda-tanda apa pun.
Yang terdengar hanyalah suara binatang-binatang penghuni
hutan.
Namun mendadak Arya menghentikan langkah.
Pendengarannya yang tajam menangkap adanya rintihan
sayup-sayup. Walaupun hanya sayup-sayup, tapi bagi Arya
hal itu sudah cukup. Sesaat lamanya pemuda berambut
putih keperakan itu tercenung sejenak, memperkirakan arah
suara itu.
Suara itu terlalu lemah. Lagi pula terlalu singkat
sehingga membuat Arya kurang bisa menangkap arahnya.
Kembali terdengar rintihan itu. Sama seperti
sebelumnya, sayup-sayup dan hanya sebentar. Kali ini Dewa
Arak berhasil mengetahui dari mana asal suara itu. Maka
tanpa ragu-ragu lagi, pemuda berambut putih keperakan ini
segera melesat ke arah yang dituju.
Arya bergerak cepat menerobos kerimbunan semak-
semak dan pepohonan lebat Tak jarang dia berlari dan
berlompatan di atas pohon apabila semak-semak dan
pepohonan yang menghadang jalannya terlalu rapat.
"Uhhh...!"
Srakkk...!
Dewa Arak menguak kerimbunan semak-semak
tempat suara itu berasal. Dan begitu kerimbunan semak-
semak itu terkuak, tampak olehnya sesosok tubuh seorang
laki-laki berwajah keras dan bertubuh kekar tengah tergolek
lemah. Menilik dari pakaian yang dikenakan, Arya bisa
mengetahui kalau orang ini adalah penduduk desa.
Laki-laki berwajah keras itu rupanya terkejut juga
melihat tahu-tahu ada seorang pemuda berambut putih
keperakan berada di hadapannya. Wajahnya nampak
memancarkan rasa takut yang amat sangat. Dengan
beringsut-ingsut dia berusaha menjauhkan diri.
Tanpa memperhatikan lebih jauh lagi pun, Arya sudah
bisa memperkirakan apa yang terjadi pada laki laki berwajah
keras itu. Pada pahanya nampak tertancap sebuah logam
berbentuk anak panah. Begitu pula pada bahu kanannya.
Kedua luka itu tampak masih mengucurkan darah.
"Jangan takut Kisanak," bujuk Dewa Arak mene-
nangkan karena tahu kalau laki-laki berwajah keras itu
merasa takut terhadapnya. "Aku bukan orang jahat"
"B... be... benarkah...?" Dengan agak menggigil, laki-
laki berwajah keras itu membuka suara.
Arya mengangguk. Tak lupa diberikan sebuah se-
nyuman lebar untuk lebih menenangkan perasaan orang itu.
"Kau bukan teman orang jahat itu?" tanya laki-laki
berwajah keras itu. Nada suara dan raut wajahnya masih
memancarkan perasaan tidak percaya.
"Percayalah, Kisanak. Aku kebetulan lewat di sekitar
sini. Lalu, aku menuju ke tempat ini karena mendengar
tintihanmu," sahut Arya lagi.
"Hhh...!"
Laki-laki berwajah keras menghela napas lega. Tapi
sesaat kemudian mulutnya menyeringai. Rupanya rasa sakit
karena senjata yang tertancap di bahu dan pahanya kembali
terasa.
"Boleh kuperiksa lukamu, Kisanak?" Arya mena-
warkan diri. "Barangkali saja aku bisa memperingan rasa
sakitmu."
Laki-laki berwajah keras menganggukkan kepala. Kini
sudah lenyap rasa takut di wajahnya. Sekarang dia yakin,
pemuda berambut putih keperakan yang berdiri di
hadapannya adalah orang baik-baik.
Arya menghampiri, kemudian membungkukkan
tubuh. Diperiksanya luka di paha dan bahu laki-laki
berwajah keras itu. Lega hati Dewa Arak ketika tidak melihat
adanya tanda-tanda keracunan pada kedua luka itu, dan
hanya luka biasa. Tanpa mengalami kesulitan, Dewa Arak
mencabut kedua senjata itu. Dibersihkan luka itu, kemudian
ditaburi obat bubuk.
Laki-laki berwajah keras mendesis begitu Arya
menaburkan obat bubuk.
"Memang obat ini sedikit menimbulkan rasa nyeri,"
jelas Dewa Arak melihat laki-laki berwajah keras itu
mendesis. "Tapi percayalah, Kisanak. Obat ini sangat
manjur."
"Ah..., tidak apa-apa," sahut laki-laki berwajah keras
cepat. "O, ya. Terima kasih atas pertolonganmu."
"Lupakanlah," sahut Dewa Arak cepat "Kalau boleh
kutahu, siapa kau, Kisanak? Aku Arya Buana."
Sambil berkata demikian, pemuda berambut putih
keperakan itu mengulurkan tangan. Laki-laki berwajah keras
bergegas menyambut dan menggenggamnya erat-erat.
"Aku Brata, penduduk Desa Karang Sari," jawab laki-
laki berwajah keras seraya melirik sekilas ke arah rambut
Arya.
Memang sebenarnya dia merasa heran melihatnya.
Belum pernah dilihat dan didengarnya ada seorang pemuda
yang mempunyai rambut berwarna putih. Putih, namun
indah! Entah pengalaman apa yang membuat pemuda itu
sampai memiliki rambut demikian. Meskipun begitu, Brata
tidak menampakkan keheranannya. Bahkan bersikap biasa
saja, karena khawatir pemuda berambut putih keperakan di
hadapannya ini akan tersinggung.
"Apakah Kang Brata tidak keberatan menceritakan
mengapa hal ini terjadi?"
Brata menggelengkan kepala.
"Tidak, Arya. Bahkan dengan senang hati aku akan
menceritakannya padamu."
Setelah berkata demikian, laki-laki berwajah keras itu
tercenung sejenak, tidak langsung menjawab. Rupanya dia
tengah mengingat-ingat kejadian yang menimpanya.
"Aku dan dua orang kawanku sengaja datang ke
hutan ini untuk berburu. Hal ini terpaksa kulakukan untuk
memenuhi permintaan istriku...."
Brata menghentikan ceritanya sejenak. Sementara di
dalam hati, Arya merasa heran. Tapi, pemuda berambut
putih keperakan ini diam saja. Tidak menyelak cerita laki-laki
berwajah keras itu.
"Maklum, Arya. Istriku sedang hamil..Dan dia ingin
makan daging kelinci."
Kini Arya tidak heran lagi. Pantas saja! Rupanya istri
Brata ini tengah mengidam!
"Nasib baik tengah berpihak padaku, Arya," sambung
Brata lagi. "Aku berhasil menemukan seekor kelinci. Tapi,
sayang binatang itu keburu melarikan diri sebelum aku
sempat berbuat sesuatu."
Kembali Brata menghentikan ceritanya untuk
mengambil napas sejenak dan mencari kata-kata untuk
melanjutkan ceritanya.
"Tentu saja aku tidak tinggal diam. Segera kuburu
binatang itu. Kedua kawanku pun ikut serta pula. Cukup
lama juga kami mengejar-ngejar binatang itu, sebelum
akhirnya lenyap di balik kerimbunan semak-semak. Tanpa
ragu-ragu aku segera memburu. Ketika semak-semak itu
kusibak, ternyata di baliknya terdapat gua."
Brata menghentikan ceritanya kembali. Wajahnya
nampak murung dan menyorotkan perasaan sedih.
Sedangkan Arya segera mengetahui kalau cerita selanjutnya
menyedihkan hati laki-laki berwajah keras itu. Dan melihat
dari tidak adanya kedua orang kawannya. Dewa Arak bisa
memperkirakan nasib kedua orang kawan Brata.
"Aku dan kawanku segera memasukinya," sambung
Brata kembali. "Tapi ternyata gua itu berpenghuni. Namun,
penghuninya berwatak kejam bukan main. Kedua kawanku
tewas dengan sekali sentuh. Sementara aku karena nasib
baik, berhasil melarikan diri. Tapi tak urung dia berhasil
melukaiku dengan senjata rahasianya."
"Bagaimana ciri-ciri orang Itu?" tanya Arya Ingin tahu.
"Dia adalah seorang laki-laki bertubuh pendek.
Menilik dari perawakan dan wajahnya, dia seperti seorang
anak-anak. Kepalanya botak. Kulitnya putih. Dan hanya
mengenakan sebuah celana pendek berwarna putih."
Arya terkejut bukan main mendengarnya. Kaget
bercampur gembira. Karena sudah bisa diduga, siapa orang
yang telah membunuh dua orang teman Brata.
"Tuyul Tangan Seribu...," desis Dewa Arak. Pelan tapi
tajam. Sorot matanya memancarkan cahaya berseri. Satu
titik terang telah ditemukannya.
Sepasang mata Brata terbelalak. Wajahnya pun
menampakkan keheranan. Dan memang, sebenarnya laki-
laki berwajah keras ini merasa heran bercampur geli ketika
teringat orang yang telah membunuh kedua orang kawannya.
"Mengapa bisa begitu tepat julukan yang dimiliki
orang itu?" tanya hati Brata. Menilik dari potongannya,
memang tidak salah orang itu mendapat julukan tuyul.
Tapi Arya sama sekali tidak mempedulikan perasaan
yang bergolak di dalam dada Brata. Dia telah terlalu gembira
ketika mengetahui ada orang yang berhasil mengetahui Tuyul
Tangan Seribu, sehingga tidak lagi memperhatikan
semuanya.
"Kau masih ingat tempat tinggal pembunuh itu,
Kang?" tanya Arya penuh gairah.
Brata menganggukkan kepala.
"Bisa kau mengantarku ke sana, Kang?" kembali Dewa
Arak bertanya.
Laki-laki berwajah keras terperanjat. Sepasang
matanya memancarkan perasaan kaget yang tidak terkira.
Gilakah pemuda berambut putih keperakan ini, karena
meminta diantar ke tempat Tuyul Tangan Seribu yang
dianggapnya gila itu? Laki-laki bertubuh pendek yang tanpa
masalah telah membunuh kedua rekannya!
Dewa Arak tentu saja tahu mengapa Brata terkejut.
"Mengapa kau ingin ke sana, Arya?" tanya Brata
terbata-bata.
"Orang yang telah membunuh kawanmu adalah orang
yang selama ini kucari-cari, Kang," sahut Arya kalem.
"Lebih baik kau urungkan niatmu, Arya. Kurasa orang
itu gila. Masak, tanpa sebab dia bermaksud membunuh
kami. Lagi pula, dia lihai sekali! Kau akan dibunuhnya, Arya!"
"Biar bagaimanapun juga, aku harus menemukannya,
Kang," tegas Arya. "Orang itu telah meracuni kawanku. Dan
aku harus menemuinya untuk meminta obat penawar racun
darinya."
"Tapi... tapi...," Brata masih mencoba membantah.
"Aku jamin kau selamat, Kang," terpaksa Dewa Arak
agak menyombongkan diri untuk menenangkan hati Brata.
"Orang itu berjuluk Tuyul Tangan Seribu. Dan dia sengaja
bersembunyi, karena tahu kalau tengah dicari-cari. Itulah
sebabnya, begitu kau dan dua orang kawanmu melihatnya,
dia bermaksud membunuh kalian bertiga. Untuk menutupi
jejaknya!"
Brata tercenung sejenak. Alasan yang dikemukakan
Dewa Arak cukup kuat. Memang, Tuyul Tangan Seribu
sepertinya tengah bersembunyi. Tapi, benarkah orang seusia
pemuda berambut putih keperakan di hadapannya mampu
menghadapi seorang yang begitu sakti seperti Tuyul Tangan
Seribu?
"Kalau masih takut, kau boleh memberitahukan
tempatnya dari jarak yang cukup jauh, Kang," desak Dewa
Arak memberi pilihan lain.
Kini Brata tidak membantah lagi, karena merasa tidak
enak. Arya telah terlalu mengalah dalam meminta petunjuk.
Kalau dia masih juga bersikeras, rasanya keterlaluan sekali.
"Bagaimana, Kang?" tanya Dewa Arak lagi begitu
melihat laki-laki berwajah keras itu terdiam. "Atau..., bisakah
kau memberikan petunjuk tempatnya dari sini...?"
Brata tersenyum.
"Aku akan mengantarkanmu, Arya."
Arya balas tersenyum.
"Terima kasih atas kesediaanmu mengantarku, Kang."
Brata tidak menyahuti. Laki-laki berwajah keras ini
hanya tersenyum lebar, kemudian bangkit berdiri. Obat
bubuk yang diberikan Arya temjata manjur sekali. Kaki dan
bahunya sudah tidak terasa sakit lagi. Bahkan terasa enak
dan nyaman.
Dewa Arak pun bangkit berdiri, kemudian melangkah
mengikuti Brata yang melangkah lebih dulu Brata melangkah
menerobos kerimbunan semak-semak dan pepohonan lebat.
Tapi belum juga melangkah jauh, laki-laki berwajah keras ini
menghentikan langkah. Wajahnya seketika pucat. Tanpa
sadar kakinya melangkah mundur beberapa tindak.
Tanpa bertanya pun, Dewa Arak sudah mengetahui
penyebab ketakutan Brata. Sekitar delapan tombak di
hadapan mereka, tampak sesosok tubuh yang mereka cari-
cari. Tuyul Tangan Seribu! Rupanya tokoh sesat itu mengejar
Brata. Dan ketika kehilangan jejak dia mencegatnya di mulut
hutan.
***
"Itulah orang yang telah membunuh kedua orang
kawanku, Arya," jelas Brata.
Tanpa berkata apa-apa, Dewa Arak segera melangkah
maju. Lalu, dia berdiri membelakangi Brata dalam jarak dua
tombak Matanya menatap tajam sekujur wajah Tuyul Tangan
Seribu yang terus melangkah mendekati.
"Inikah tokoh yang berjuluk Tuyul Tangan Seribu?
Tapi mana Kelelawar Beracun?" tanya Arya dalam hati.
Bukan hanya Arya saja yang mengamati. Tuyul
Tangan Seribu pun balas menatap tajam begitu melihat Brata
melangkah mundur, dan sebaliknya seorang pemuda
berambut putih keperakan yang melangkah maju.
Semakin dekat, kedua orang itu semakin mengenal
sosok masing-masing.
"Kau yang berjuluk Tuyul Tangan Seribu?" tanya Arya
ketika jarak mereka tinggal tiga tombak lagi.
Laki-laki bertubuh pendek itu tersenyum mengejek.
"Dan..., kalau tidak salah..., bukankah kau yang
berjuluk Dewa Arak?" Tuyul Tangan Seribu balas menduga.
"Jangan membalas pertanyaanku dengan pertanyaan
pula!" tegas Dewa Arak.
"Jangan coba-coba menggertakku, Dewa Arak!" bentak
Tuyul Tangan Seribu tak mau kalah keras. "Orang lain boleh
takut dengan nama besarmu! Tapi, akan kubuktikan pada
dunia persilatan kalau Dewa Arak akan tewas di tangan
Tuyul Tangan Seribu!"
"Tuyul Tangan Seribu!" sebut Dewa Arak dingin. "Kau
tidak usah berlagak sok gagah! Semua orang tahu, kau
bersama Kelelawar Beracun telah mengeroyok seorang wanita
muda dan melukainya secara licik! Cepat beritahukan
padaku, di mana Kelelawar Beracun! Dan aku berjanji tidak
akan mengusikmu lagi!"
"Dewa Arak! Manusia sombong! Jangan kira aku takut
padamu!" ejek Tuyul Tangan Seribu keras.
Belum lagi gema ucapannya habis, laki-laki bertubuh
pendek itu telah melesat ke arah Dewa Arak. Kedua
tangannya berputaran cepat laksana baling-baling. Seketika
bertiup angin kuat dari kedua tangan yang berputaran itu.
"Menjauh, Kang...!" teriak Dewa Arak keras. Kemudian
tanpa membuang-buang waktu lagi, gucinya segera dijumput
dan dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokannya. Seketika itu pula ada hawa hangat yang
menyebar di dalam perutnya, kemudian perlahan naik ke
atas kepala.
Bersamaan dengan Arya mengambil guci araknya,
Brata segera berlari menjauh.
Wuuuttt...!
Selagi tubuhnya berada di udara. Tuyul Tangan
Seribu segera melancarkan serangan ke arah Dewa Arak.
Kedua tangannya yang bergerak cepat dan seperti telah
berubah menjadi puluhan pasang, menyambar cepat ke arah
pelipis dan ubun-ubun.
Dan dengan langkah terhuyung-huyung, Dewa Arak
berhasil mengelakkannya. Kaki kanannya melangkah
mundur ke belakang, dengan tubuh agak membungkuk
sedikit. Gerakannya begitu aneh, terhuyung-huyung seperti
orang mabuk! Hebatnya, serangan-serangan Tuyul Tangan
Seribu hanya menyambar tempat kosong!
Dengan keras dan penuh kekuatan, kaki kanan Dewa
Arak menyambar cepat ke arah Tuyul Tangan Seribu.
Luar biasanya, laki-laki bertubuh pendek dan
berkepala botak itu hanya memutar-mutarkan kedua
tangannya untuk mematahkan serangan itu!
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Dewa
Arak. Mendadak kaki kanannya kembali dilangkahkan ke
depan. Gerakannya pun tidak lagi meliuk-liuk, lemas, dan
sempoyongan seperti sebelumnya. Kemudian dengan keras
dan penuh kekuatan, kaki kanannya menyambar cepat ke
arah dada lawan.
Luar biasa! Hanya dengan memutar-mutarkan kedua
tangannya ke bawah, dengan arah gerakan dari luar ke
dalam, laki-laki bertubuh pendek ini mampu mengelakkan
serangan itu. Tubuhnya bersalto ke atas melewati atas kepala
Dewa Arak.
Bukan hanya itu saja! Begitu tubuhnya berada di atas
kepala Dewa Arak, kedua tangannya menyampok cepat ke
arah belakang kepala Arya. Kalau kena, tak pelak lagi kepala
pemuda berambut putih keperakan itu akan hancur.
Lagi-lagi, Dewa Arak membuktikan kelihaian jurus
'Delapan Langkah Belalang'nya! Kaki kanannya kembali
melangkah ke belakang. Sementara kaki kirinya ditekuk
dalam-dalam. Sedangkan tubuhnya dicondongkan ke depan.
Wusss...!
Untuk yang kedua kalinya sampokan Tuyul Tangan
Seribu mengenal tempat kosong, lewat sekitar dua jengkal
dari sasaran.
Kembali Arya tidak tinggal diam. Begitu serangan
lawan berhasil dielakkan, guci araknya diayunkan ke arah
kepala Tuyul Tangan Seribu.
Kuat bukan kepalang tenaga yang terkandung dalam
ayunan guci itu. Jangankan kepala manusia, batu karang
yang paling keras pun akan hancur berkeping-keping bila
terkena. Ada hembusan angin keras yang membuktikan
kalau kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalam
ayunan guci itu begitu kuat.
Tuyul Tangan Seribu memang luar biasa! Ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya benar-benar me-
ngagumkan! Gerakannya gesit dan lincah bukan main. Dia
bisa melayang-layang di udara tak ubahnya seperti seekor
bengkarung. Memang, laki-laki bertubuh pendek ini
menciptakan ilmu itu dengan mengamati perilaku
bengkarung.
Menakjubkan dan indah dilihat pertarungan antara
kedua tokoh sakti itu. Keduanya sama-sama memiliki ilmu
meringankan tubuh yang amat tinggi. Sehingga, pertarungan
antara kedua orang itu tak ubahnya pertarungan dua
bayangan saja. Yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan
putih dan ungu yang saling sambar, kemudian saling pisah.
Hebat bukan main akibat pertarungan itu. Tanah
terbongkar di sana-sini. Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Suara mendecit dan menderu mengiringi terjadinya
pertarungan.
Pada jurus-jurus awal pertarungan memang ber-
langsung imbang. Dewa Arak masih bersikap hati-hati,
karena belum mengenal keistimewaan ilmu lawannya. Tapi
menginjak jurus kedua puluh lima, pemuda berambut putih
keperakan sudah mulai menguasai keadaan. Dewa Arak kini
mampu mendesak lawan.
Hal ini tidak aneh, karena Tuyul Tangan Seribu hanya
mampu mengimbangi Dewa Arak dalam hal ilmu
meringankan tubuh. Sementara dalam hal mutu ilmu silat
dan tenaga dalam, dia kalah jauh. Berkali-kali sewaktu
benturan tenaga di antara mereka sudah tidak bisa
dihindarkan lagi, Tuyul Tangan Seribu terhuyung-huyung ke
belakang. Sekujur tangannya terasa sakit-sakit, dan dadanya
terasa sesak bukan main.
Sebuah keuntungan bagi Tuyul Tangan Seribu. Dewa
Arak ternyata tidak bersungguh-sungguh menghadapinya.
Tuyul Tangan Seribu bertarung seperti macan luka. Seluruh
kemampuan yang dimilikinya dikerahkan. Hanya ada dua
pilihan baginya. Membunuh atau dibunuh!
Sementara Arya tidak bermaksud seperti itu. Pemuda
berambut putih keperakan ini tidak bermaksud membunuh
lawannya. Dia masih membutuhkan Tuyul Tangan Seribu
agar dapat menemukan tempat persembunyian Kelelawar
Beracun. Itulah sebabnya, Dewa Arak tidak bermaksud
membunuh atau melukainya tedalu berat Dengan demikian,
dia harus selalu bersikap hati-hati. Hal ini sedikit banyak
mengurangi kelihaiannya.
Meskipun begitu, karena memang tingkat kemampuan
Dewa Arak berada cukup jauh di atas Tuyul Tangan Seribu,
tetap saja pemuda berambut putih keperakan mampu
mendesak lawannya.
"Haaat..!"
Sambil memekik nyaring, Tuyul Tangan Seribu
menyerang. Kedua tangannya menyerang bertubi-tubi ke
arah dada, ulu hati, dan pusar. Cepat bukan main
gerakannya.
Tapi gerakan Dewa Arak masih lebih cepat lagi
Kakinya menjejak tanah, kemudian bersalto ke atas melewati
kepala Tuyul Tangan Seribu. Dan selagi berada di udara,
kedua tangannya meluncur deras ke arah punggung.
Tuyul Tangan Seribu terperanjat Dengan sebisa-
bisanya dia berusaha mengelak. Tapi....
Buk, bukkk...!
Tubuh Tuyul Tangan Seribu terhuyung-huyung ke
depan. Darah segar melesat keluar dari mulutnya. Pukulan
yang menghantam tubuhnya memang telak dan keras bukan
main. Laki-laki bertubuh pendek ini jelas terluka dalam.
Sebelum Tuyul Tangan Seribu memperbaiki ber-
dirinya, Dewa Arak telah hinggap di tanah. Langsung
dikirimkannya serangan susulan. Kaki kanannya bergerak
menyapu.
Dukkk…!
Seketika itu juga tubuh Tuyul Tangan Seribu
terjerembab dan jatuh telentang. Baru saja laki-laki bertubuh
pendek ini hendak bangkit, kaki kanan Dewa Arak kembali
bergerak dan menempel di lehernya. Mau tak mau, Tuyul
Tangan Seribu mengurungkan niatnya
"Katakan! Di mana Kelelawar Beracun?! Maka aku
akan mengampunimu," desak Dewa Arak penuh wibawa.
"Kau kira aku takut mati. Dewa Arak?" Tuyul Tangan
Seribu tersenyum mengejek. "Kau keliru kalau menyangka
aku dapat digertak seperti itu!"
"Jangan paksa aku berbuat kejam. Tuyul Tangan
Seribu!" ancam Dewa Arak. "Kau kira aku akan
membunuhmu begitu saja? Tidak! Aku akan menyiksamu
sampai kau mau memberi tahu, di mana Kelelawar Beracun!
Sebaliknya, aku akan membebaskanmu kalau kau mau
memberi petunjuk tempat persembunyian Kelelawar
Beracun!"
"Cuhhh...!"
Tuyul Tangan Seribu meludah ke tanah.
"Aku tidak yakin kalau kau masih mau bertahan
apabila aku menyiksamu!"
Setelah berkata demikian, Arya segera menggerakkan
tangannya ke arah bahu kanan Tuyul Tangan Seribu. Dia
hendak menotok jalan darah di bahu kanan itu.
Seketika wajah Tuyul Tangan Seribu memucat.
Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, dia tahu kalau jalan
darah di bahu kanan yang akan ditotok Dewa Arak akan
menimbulkan rasa sakit yang amat sangat. Betapapun
beraninya laki-laki bertubuh pendek gemuk ini, tapi
menghadapi siksaan seperti itu, tentu saja akan takut juga.
"Bukan hanya ini saja yang akan kulakukan, Tuyul
Tangan Seribu! Aku akan menghancurkan seluruh tulang-
belulang di tubuhmu! Maka, kau akan mati setelah
mengalami siksaan yang mengerikan!"
Kian memucat wajah Tuyul Tangan Seribu. Dirasakan
adanya nada kesungguhan dalam ancaman Dewa Arak. Bulu
tengkuknya meremang seketika itu juga.
"Baik! Aku akan memulainya...!" ancam Arya.
Seiring dengan selesai ucapannya, Dewa Arak
mengulurkan tangannya ke arah jalan darah di bahu kanan
Tuyul Tangan Seribu.
"Tunggu, Dewa Arak...!" cegah Tuyul Tangan Seribu
kalap.
"Hm..., mengapa?" tanya Arya.
"Aku mengaku kalah. Kelelawar Beracun tidak berada
di sini lagi...."
"Lalu, di mana dia sekarang?"
"Di Pulau Ular...."
"Pulau Ular?" Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Ya!" sahut Tuyul Tangan Seribu membenarkan. "Dia
memang tinggal di sana. Di Rawa Neraka!"
Seketika Dewa Arak tercenung. Dia memang telah
mendengar berita mengenai Pulau Ular. Sebuah pulau
menyeramkan yang sepatutnya hanya dihuni iblis-iblis saja.
Pulau itu benar-benar menyeramkan, penuh dengan bahaya.
Letaknya pun jarang orang yang tahu. Jadi, di sanakah
Kelelawar Beracun tinggal?
Melihat Dewa Arak tercenung, dan begitu merasakan
jejakan pada lehernya mengendur, Tuyul Tangan Seribu
bertindak nekat. Tangannya cepat bergerak mengibas.
Seketika itu juga sekelebatan benda hitam menyambar ke
arah Dewa Arak. Benda itu tak lain adalah logam berbentuk
mata anak panah.
Arya terkejut dan cepat melompat mundur. Maka
serangan gelap itu mengenai tempat kosong.
Kesempatan yang hanya sedikit itu tidak disia-siakan
Tuyul Tangan Seribu. Dia cepat bergerak menerjang Arya
dengan serangan maut ke arah ubun-ubun.
Melihat hal ini, Dewa Arak jadi geram. Kedua
tangannya dihentakkan ke depan. Melancarkan jurus
'Pukulan Belalang'.
Wusss...! Bresss...!
Tuyul Tangan Seribu menjerit memilukan ketika angin
keras berhawa panas menyengat telak menghantam dadanya.
Seketika itu juga laki-laki bertubuh pendek itu terlempar
jauh. Sekujur tubuhnya hangus. Tuyul Tangan Seribu tewas
seketika!
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat. Ada sedikit rasa
penasaran di hatinya melihat kematian Tuyul Tangan Seribu.
Dia memang tidak bermaksud membunuhnya.
Setelah mengamati mayat Tuyul Tangan Seribu
sejenak, Dewa Arak melangkah meninggalkan tempat itu.
Masih ada tugas baginya, yakni mencari Kelelawar Beracun
untuk menyelamatkan nyawa Melati. Dewa Arak tak ingat lagi
kalau masih ada Brata yang berdiri terpaku melihat
kepergiannya.
Berhasilkah Dewa Arak mencari obat untuk me-
nyembuhkan Melati? Padahal, Kelelawar Beracun pemilik
obat penawar itu berada di Pulau Ular. Sebuah pulau yang
penuh tabir rahasia yang letaknya jarang diketahui orang.
Banyak maut yang terbentang sepanjang perjalanan menuju
ke sana. "Perjalanan Menantang Maut" menceritakan
tentang perjalanan Dewa Arak menuju ke sana!
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar