SATU
PENDEKAR 131 Joko Sableng picingkan mata bebe-
rapa saat. Lalu dipentang besar-besar. Saat lain dia
bergerak bangkit dan memperhatikan perahu yang te-
rus meluncur deras dimainkan gelombang ombak.
“Hem.... Rupanya perahu itu memang tidak berpe-
numpang! Apakah perahu nelayan yang penumpang-
nya terhantam gelombang?! Tapi... Itu tidak mungkin!
Di sekitar sini tidak ada nelayan yang menangkap
ikan. Di sini ombaknya terlalu besar. Para nelayan
pasti sudah memperhitungkan dan tak mungkin be-
rani melaut di sekitar tempat ini! Jangan-jangan inilah
awal kebenaran ucapan Kakek Gendeng Panuntun....”
Murid Pendeta Sinting teringat akan ucapan Kakek
Gendeng Panuntun saat berada di kawasan Kampung
Setan. Seperti diceritakan dalam episode : “Pengadilan
Neraka” ketika bentrok antara Setan Liang Makam,
Kiai Laras, dan Joko telah usai, Gendeng Panuntun
memberi isyarat pada murid Pendeta Sinting jika tidak
lama lagi mereka akan berpisah untuk beberapa saat
lamanya. Untuk itu Gendeng Panuntun minta agar Jo-
ko mengucapkan selamat jalan pada Putri Kayangan.
Namun karena di situ ada Nyai Tandak Kembang dan
beberapa orang lainnya, Joko tidak enak untuk bicara.
Hingga akhirnya dia tidak kuasa untuk mengatakan
apa-apa. Hanya saja Pendekar 131 sudah me-
mutuskan akan pergi menyusul ke lereng Gunung Se-
meru begitu dia selesai bertemu dengan eyang gurunya
Pendeta Sinting guna menjernihkan persoalannya de-
ngan Putri Kayangan.
Seperti juga dituturkan, Putri Kayangan sempat ke-
cewa dan cemburu ketika mengetahui Pendekar 131
bermesraan dengan Saraswati di dekat Bukit Kalingga.
Hingga kala Pendekar 131 hendak bicara ketika Putri
Kayangan akan pergi meninggalkan Kampung Setan,
gadis jelita cucu Nyai Tandak Kembang itu sempat me-
nunjukkan tampang tidak senang. Apalagi tiba-tiba
saat itu di Kampung Setan muncul pula Saraswati dan
Dewi Seribu Bunga.
Begitu Putri Kayangan, Dewi Seribu Bunga, dan Sa-
raswati berkelebat meninggalkan Kampung Setan,
Pendekar 131 sudah hendak pergi guna menemui Pen-
deta Sinting. Namun Gendeng Panuntun mencegah,
malah memerintahkan pada murid Pendeta Sinting un-
tuk pergi ke pesisir Laut Utara.
Gendeng Panuntun tidak mau menjelaskan ada apa
di pesisir Laut Utara. Kakek buta itu justru mengata-
kan bahwa jawabannya akan diperoleh Joko jika su-
dah tiba di pesisir Laut Utara.
Walau dada dibuncah dengan berbagai pertanyaan,
akhirnya Joko turuti juga ucapan Gendeng Panuntun
untuk pergi ke pesisir Laut Utara. Beberapa saat se-
telah tiba di pesisir Laut Utara, ternyata Joko tidak
menemukan siapa-siapa. Akhirnya Joko memutuskan
akan meninggalkan pesisir Laut Utara jika hari telah
gelap. Namun belum sampai hari gelap, mendadak
pandang matanya menangkap sebuah perahu yang
meluncur dimainkan alunan gelombang ombak. Joko
sedikit merasa heran, karena dia yakin jika perahu itu
tak berpenumpang! Dia juga yakin, jika perahu itu bu-
kanlah milik seorang nelayan yang diterjang gelombang
ombak, karena di pesisir Laut Utara di mana sekarang
Joko berada, gelombangnya terlalu ganas untuk para
nelayan yang mencari ikan.
Kecurigaan Joko membuat dia segera berkelebat
mendekati perahu. Lagi pula saat itu tiba-tiba dia te-
ringat akan ucapan Gendeng Panuntun.
Pendekar 131 tegak di tepian dengan mata meman
dang tak berkesip. Berjarak dua puluh lima tombak di
depan sana, perahu tanpa penumpang terus terom-
bang-ambing dialun gempuran ombak yang makin
menggila karena air laut sudah mulai pasang.
“Ah.... Kenapa aku tertarik dengan sebuah perahu?!
Ucapan Gendeng Panuntun pasti ada hubungannya
dengan seseorang! Bukan dengan sebuah perahu! Apa-
lagi perahu tidak...,” gumaman murid Pendeta Sinting
mendadak terputus. Matanya membelalak ketika me-
nangkap sebuah tangan menggapai bagian samping
perahu!
“Perahu itu berpenumpang!” desis Joko seraya me-
lompat ke depan. Air laut membasahi celananya kare-
na dia kini tegak sepuluh langkah memasuki air. Dia
ma-sih belum berani mengarungi gelombang menuju
perahu karena selain amukan gelombang itu makin
menggila, dia masih ingin yakinkan penglihatannya.
Sementara perahu di depan sana makin terombang-
ambing dan makin tenggelam dalam amukan gelom-
bang, hingga makin sulit bagi Joko untuk yakinkan
pandang matanya.
Setelah agak lama berpikir, akhirnya murid Pendeta
Sinting memutuskan untuk berkelebat ke arah perahu,
karena gulungan ombak bukannya membawa perahu
mendekat ke arah pesisir, namun kini makin menjauh.
“Siapa pun dia, pasti dia dalam keadaan tidak ber-
daya!” gumam Joko lalu berkelebat menembus hempa-
san gelombang. Setelah melewati gempuran ombak dan
berenang, akhirnya Joko bisa menggapai bagian samp-
ing perahu. Mulutnya tampak megap-megap. Setelah
sentakkan kepala ke samping kiri kanan, dia melompat
memasuki perahu. Sementara perahu terus melaju ke
tengah laut.
Begitu kaki Pendekar 131 menginjak kabin perahu,
saat itulah pandangannya membentur satu sosok tubuh yang tergeletak menelungkup dengan kedua ta-
ngan menggapai-gapai. Dari sikap orang, murid Pen-
deta Sinting sudah maklum kalau orang itu terluka!
Tanpa pikir panjang, Joko segera mendekat. Kedua
tangannya segera menelentangkan orang. Joko tersen-
tak. Dugaannya tidak meleset. Orang di atas perahu
memang dalam keadaan terluka. Namun bukan karena
terjangan gelombang, melainkan karena perbuatan ta-
ngan orang.
Orang di dekat Joko adalah seorang laki-laki beru-
sia empat puluh tahunan. Kepalanya gundul. Pada ke-
palanya terlihat titik-titik warna putih. Dia mengena-
kan pakaian warna kuning panjang tanpa leher. Pada
pundaknya sebelah kiri menyelempang kain warna me-
rah yang terus diikatkan pada bagian pinggangnya.
Dari pakaian dan ciri-ciri orang, jelas bila orang ini
adalah seorang biksu Budha.
Laki-laki berkepala gundul itu berparas agak bulat.
Dari mulutnya masih kucurkan darah. Di hidungnya
juga terlihat gumpalan darah yang menyumbat hingga
laki-laki ini sulit mengambil napas. Pakaian di bagian
dada dan lambungnya tampak robek menganga dan
alirkan darah. Pada lengan kiri kanannya tampak luka
memanjang goresan pedang yang juga semburkan da-
rah!
Setelah melihat keadaan orang sejurus, murid Pen-
deta Sinting cepat hendak telungkupkan kembali tu-
buh orang agar bisa salurkan tenaga dalam lewat
punggung orang. Namun begitu kedua tangan Joko pe-
gang pundak orang, laki-laki berkepala gundul buka
sepasang matanya. Tangan kiri kanannya coba meng-
gapai kedua tangan Joko. Bersamaan dengan itu kepa-
lanya bergerak menggeleng perlahan.
“Kita harus berusaha...,” gumam Joko tahu isyarat
orang.
Namun kembali kepala gundul milik laki-laki itu
bergerak menggeleng. Mulutnya yang masih kucurkan
darah membuka. Saat lain terdengar ucapannya perla-
han.
“Amitaba.... Kita memang harus berusaha.... Tapi
ada yang lebih penting dari itu....”
Belum sampai murid Pendeta Sinting buka mulut,
laki-laki berkepala gundul lepaskan gapaian kedua ta-
ngannya pada kedua tangan Joko. Perlahan dan ge-
metar, tangan kanannya bergerak menyelinap ke balik
pakaiannya. Saat ditarik keluar, tangan kanannya me-
megang sebuah kantong dari kain agak besar berwarna
putih. Mata laki-laki itu sesaat pandangi paras wajah
Pendekar 131. Bibirnya yang tertutup kucuran darah
coba tersenyum sebelum akhirnya tangan kanannya
yang memegang kantong putih menjulur ke arah Joko.
Karena ingin segera memberi pertolongan, tanpa
banyak tanya lagi, Pendekar 131 menerima kantong
putih. Lalu diletakkan. Saat lain kedua tangan Joko
kembali hendak balikkan tubuh orang seraya berkata.
“Sekarang aku akan salurkan tenaga dalam....”
Namun laki-laki berkepala gundul tarik kedua tan-
gannya lalu ditakupkan di depan dada. “Amitaba....
Mudah-mudahan kau mendapat anugerah atas niat
baikmu.... Tapi masih ada yang harus kukatakan pa-
damu, Anak Muda.... Aku tak mau terlambat mengata-
kannya....”
“Itu bisa kau katakan nanti....”
“Jangan membuang kesempatan selagi kesempatan
itu ada...,” sahut laki-laki berkepala gundul. “Manusia
diciptakan sudah pasti akan kembali pada Sang Pen-
cipta. Namun satu kesempatan tidak akan terulang
untuk kedua kalinya....”
“Tapi ini juga kesempatanmu untuk berusaha hi-
dup...,” kata Joko.
“Benar.... Tapi apalah artinya bila nyawa satu orang
harus ditebus dengan beberapa nyawa....”
“Apa maksudmu...?”
“Aku tak bisa memberi keterangan banyak. Hanya
kumohon kau sampaikan isi dalam kantong itu pada
seseorang bernama Guru Besar Pu Yi.... Dia adalah sa-
lah seorang Guru di Kuil Shaolin.... Ingat.... Kumohon
jangan berikan kantong itu pada siapa saja selain
Guru Besar Pu Yi....”
“Tapi di mana kuil itu berada...?!”
“Dia berada di perbatasan Tibet dan Tiongkok.... Ji-
ka kau nanti sampai ke pesisir tanah Tibet, pergilah ke
Gunung Sim Yao In. Dari gunung itu pergilah ke arah
barat. Setelah melewati lima kawasan hutan, kau akan
menemukan kawasan tanah lapang. Tanah lapang itu
dibelah sebuah sungai. Itulah perbatasan Tibet dan
Tiongkok. Di perbatasan itu nanti kau akan menemu-
kan sebuah kuil.”
“Baiklah.... Sekarang waktunya aku memberimu
pertolongan....”
“Amitaba.... Bukan aku tak mau menerima perto-
longan. Tapi kesanggupanmu merupakan pertolongan
besar bagiku.... Mudah-mudahan.... Kau diberkati da-
lam... perjalananmu....” Mulut laki-laki berkepala gun-
dul coba membuka lagi. Tapi suaranya sudah tidak
terdengar. Saat lain perlahan-lahan sepasang matanya
meredup.
Joko tidak lagi hiraukan ucapan orang yang dari ta-
di terus mencegahnya. Dia cepat gerakkan bahu orang
untuk ditelungkupkan. Saat lain kedua tangannya di-
tempelkan pada punggung orang. Namun baru saja
kedua tangannya menempel, Pendekar 131 menarik
napas panjang.
“Dia sudah meninggal...,” gumam Joko ketika mera-
sakan kedua telapak tangannya tidak lagi dialiri hawa
hangat.
Pendekar 131 kembali balikkan tubuh orang. Lalu
untuk meyakinkan, kedua tangannya ditempelkan pa-
da dada orang. Detak dan denyutan dada laki-laki ber-
kepala gundul itu memang sudah terhenti.
“Bagaimana ini?! Aku belum tahu arah mana dara-
tan yang diucapkannya! Sementara aku telah me-
nyanggupi permintaannya...,” Joko bergumam sendiri
seraya memperhatikan sekujur tubuh orang yang kini
terbujur kaku.
Saat itulah matanya melihat kantong putih yang ta-
di diletakkan di kabin perahu. Joko julurkan tangan
kanan mengambil kantong putih. Sesaat kantong itu
diperhatikan dengan seksama. Perturutkan rasa hati
yang penasaran, ingin rasanya dia membuka kantong
itu. Tapi setelah dipikir-pikir, akhirnya dia masukkan
kantong putih ke baik pakaiannya tanpa dibuka terle-
bih dahulu.
“Apa pun yang akan terjadi, aku sudah telanjur me-
nyanggupi permintaannya.... Mudah-mudahan perahu
ini membawaku ke tempat yang dikehendaki orang!”
Pendekar 131 letakkan sosok mayat laki-laki ber-
kepala gundul ke tepi kabin perahu. Lalu dia mulai
memeriksa di bagian belakang perahu. Di sana murid
Pendeta Sinting menemukan bekal bahan makanan.
“Hem.... Tampaknya dia memang bertujuan pergi
jauh... tapi mengapa sampai terluka begitu rupa?! Tak
mungkin dia terluka di daratan. Pasti dia terlibat ben-
trok di atas laut....” Pendekar 131 kembali pandangi
wajah orang. “Hem.... Aku sampai lupa bertanya siapa
namanya.... Tapi yang jelas dia adalah dari Perguruan
Shaolin!”
Joko terus menduga-duga dan bertanya pada diri
sendiri. Sementara perahu yang ditumpangi terus me-
laju menembus gelombang. Pendekar 131 tidak tahu
ke mana arahnya sekarang, apalagi hari sudah mulai
gelap. Yang dia tahu, dari arah matahari terbenam, dia
tengah melaju ke arah selatan.
***
DUA
MASIH untung di dalam perahu ada bekal maka-
nan, hingga meski Pendekar 131 sudah empat hari li-
ma malam berada di tengah laut, namun soal maka-
nan dia tidak perlu merasa kebingungan. Justru yang
membuatnya bingung adalah arah tujuan melajunya
perahu. Dia tak tahu harus dibawa ke mana perahu
itu. Hingga dia hanya menurut saja ke mana gelom-
bang laut membawanya. Hanya saja saat hari ke-lima,
dia melihat gugusan beberapa gunung nun jauh di sa-
na. Lalu terlihat beberapa perahu.
“Hem.... Aku harus mendekat ke sana. Aku nanti
bisa bertanya pada seorang nelayan...,” kata Joko. Ke-
palanya berputar memandang ke arah sosok mayat di
belakangnya. Sekujur tubuh laki-laki itu telah mulai
membiru.
“Tibet.... Hem.... Nyatanya ucapan Gendeng Panun-
tun benar. Dari perjalanan ini rasanya aku untuk se-
mentara waktu harus lama meninggalkan tanah Jawa.
Hanya saja mudah-mudahan aku tidak menghadapi
halangan berarti sampai bertemu dengan orang yang
bernama Guru Besar Pu Yi.... Jika tidak, rasanya uru-
sanku dengan Putri Kayangan tidak akan kunjung jer-
nih!”
Ingat akan hal itu, ditambah dengan terlihatnya be-
berapa perahu di depan sana, Pendekar 131 cepat am-
bil dayung yang sudah beberapa hari tidak digunakan.
Saat lain kedua tangannya telah bergerak mendayung.
Perahu tumpangannya melaju ke arah beberapa pera-
hu yang terlihat.
Beberapa saat berlalu. Harapan murid Pendeta Sin-
ting untuk segera bertanya rupanya akan tercapai. Ka-
rena bukan saja perahunya yang melaju mendatangi
beberapa perahu yang tadi terlihat, namun ada dua
perahu agak besar dan satu lagi perahu besar melaju
cepat ke arahnya.
Pendekar 131 merasa lega namun juga mulai kha-
watir begitu matanya dapat melihat ke arah tiga pera-
hu yang melaju ke arahnya. Dua perahu agak besar
yang melaju mengapit perahu besar, baik warna mau-
pun modelnya mirip persis dengan perahu yang kini di-
tumpangi!
Murid Pendeta Sinting pentangkan mata tembusi
gelombang ombak yang sesekali halangi pandang ma-
tanya. Dia belum bisa dengan jelas melihat wajah
orang di atas perahu. Dia hanya dapat melihat dua so-
sok tubuh di masing-masing perahu yang mengapit pe-
rahu besar. Sementara di perahu besar, terlihat bebe-
rapa sosok tubuh.
“Aku tak mau membuat urusan dengan kematian
orang itu! Untuk sementara dia harus kututupi! Jika
tidak, mungkin mereka akan menuduh macam-
macam....”
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting yang saat itu
masih mengenakan Jubah Tanpa Jasad segera le-
paskan jubah peninggalan kerabat Kampung Setan
yang kini kesaktiannya sudah punah akibat bentrok
dengan benda merah yang diambil Joko dari pusar
bayinya Pitaloka.
Jubah hitam segera ditutupkan rapi ke tubuh laki-
laki berkepala gundul. Saat lain dia kembali ke bagian
depan perahu. Sementara tiga perahu di depan sana
sudah makin mendekat.
Begitu jarak tinggal dua puluh lima tombak, dan
murid Pendeta Sinting mulai dapat melihat sosok-
sosok di atas perahu, tiba-tiba dua perahu yang men-
gapit perahu besar bergerak menjauhi perahu besar
yang di apit. Saat lain dua perahu itu melaju dari sebe-
lah kanan kiri perahu Joko. Sementara perahu besar
terus melaju lurus dari arah depan.
Gerakan tiga perahu di depan mulai membuat mu-
rid Pendeta Sinting rasakan gelagat tidak baik. Apalagi
sesaat kemudian terdengar teriakan lantang dari pera-
hu yang melaju dari bagian sisi samping kanan.
“Berhenti!”
Pendekar 131 yang sesaat tadi terus perhatikan pe-
rahu besar yang melaju lurus dari arah depan segera
berpaling. Karena jaraknya kini makin dekat, Joko bisa
melihat tampang-tampang orang di atas perahu yang
menyusur dari arah samping kiri kanannya.
Di sebelah kanan, di mana baru saja terdengar te-
riakan, tegak seorang laki-laki bertubuh tinggi besar.
Rambutnya panjang berkibar-kibar ditiup angin laut.
Laki-laki ini mengenakan pakaian keprajuritan. Di
punggungnya terlihat sembulan gagang pedang. Pada
lengan laki-laki berusia empat puluh lima tahunan ini
terlihat melilit ban kain berwarna merah. Di sebelah
laki-laki ini duduk sambil ayunkan dayung seorang la-
ki-laki yang juga mengenakan pakaian keprajuritan. Di
lengan tangannya melilit ban kain berwarna kuning.
Usianya tidak beda jauh dengan laki-laki yang tegak.
Pendekar 131 arahkan pandang matanya ke perahu
satunya. Di sana dia melihat pula dua orang laki-laki.
Yang satu tegak memperhatikan ke arah Joko, satunya
lagi juga mengawasi seraya gerakkan dayung. Kedua
laki-laki ini usianya juga kira-kira empat puluhan ta-
hun. Hanya saja kedua orang ini mengenakan pakaian
panjang mirip jubah berwarna hitam dan putih.
Kini murid Pendeta Sinting luruskan pandangannya
ke depan. Ke arah perahu besar. Di bagian depan pe-
rahu besar tampak tegak empat sosok tubuh mengena-
kan seragam keprajuritan. Pada lengan masing-masing
orang melilit juga ban kain warna merah. Joko hanya
sekilas memperhatikan keempat orang di bagian pera-
hu besar. Matanya terus memandang melalui pundak
masing-masing orang ke arah satu anjungan di bela-
kang keempat laki-laki. Di sana terlihat sebuah kursi
agak besar. Duduk di atasnya seorang laki-laki seten-
gah baya mengenakan pakaian kebesaran seorang
panglima.
“Berhenti!” Kembali terdengar teriakan garang dari
laki-laki di perahu sebelah kanan yang di lengannya
melilit ban kain warna merah.
Pendekar 131 Joko Sableng kerahkan sedikit tenaga
dalamnya. Perahu yang ditumpangi seketika berhenti
dan terayun-ayun dimainkan gelombang. Ekor mata-
nya melirik ke samping kanan dari mana suara teria-
kan terdengar. Lalu melirik ke kiri dan ke depan.
Murid Pendeta Sinting tahu, beberapa orang di atas
perahu hanya memandang sekilas ke arahnya. Lalu
sama memperhatikan ke arah lantai perahu yang di-
tumpanginya.
“Katakan siapa kau adanya! Beri juga penjelasan
bagaimana kau dapatkan perahu itu!” Laki-laki yang
tadi berteriak kembali buka mulut ajukan tanya serta
minta keterangan. Seperti halnya Joko, masing-masing
orang di atas perahu kerahkan tenaga dalam hingga
perahu masing-masing orang juga berhenti melaju dan
diam terapung-apung dimainkan gelombang.
“Aku hanyalah seorang nelayan biasa.... Perahuku
terhantam badai dan hancur porak-poranda. Beberapa
temanku tenggelam. Aku berhasil selamat dengan bantuan serpihan kayu dari perahuku yang hancur. Sehari
semalam aku terapung-apung di atas laut hingga a-
khirnya aku menemukan perahu ini....” Pendekar 131
angkat suara. Dia sengaja tidak mau berterus terang
karena belum tahu maksud orang. Lagi pula dia men-
dapat gelagat tidak baik. Apalagi ketika ingat pesan la-
ki-laki berkepala gundul yang memberikan kantong
putih kepadanya.
Laki-laki yang tadi buka mulut, sesaat pandangi
Joko dari atas hingga bawah. Saat lain dia kembali
angkat bicara.
“Kami tidak akan berpanjang lebar. Jawab dengan
jujur pertanyaanku! Ingat, bila kau coba berani menu-
tupi sesuatu, bentangan laut telah menanti mayatmu!
Kau paham?!”
“Ah.... Apalah untungnya bagiku berani menutupi
sesuatu. Bisa selamat saja aku sudah banyak-banyak
ucapkan terima kasih.... Apalagi jika kalian mengizin-
kan aku meneruskan perjalanan ke pantai sana! Terus
terang.... Aku sekarang sudah ngeri berada di atas
laut....”
“Bagus! Kau bukan saja akan kami izinkan mene-
ruskan perjalanan. Namun kami akan mengiringi per-
jalananmu dan memberi hadiah padamu! Bukankah
begitu, Panglima Muda Lie?!” kata laki-laki yang len-
gannya dililit ban kain warna merah yang tadi buka
suara. Kepala laki-laki ini berpaling pada perahu be-
sar. Matanya tertuju pada laki-laki yang duduk di atas
kursi di bagian anjungan perahu.
Laki-laki setengah baya di atas kursi yang menge-
nakan pakaian panglima anggukkan kepala. Bibirnya
sunggingkan senyum. Namun matanya tertuju jauh ke
tengah laut.
“Mudah-mudahan ini tidak ada hubungannya de-
ngan...,” gumaman Joko belum berlanjut, tiba-tiba la
ki-laki yang tadi bicara kembali perdengarkan suara.
“Kau menemukan seseorang di atas perahu yang
kini kau tumpangi?!”
“Celaka!” desis murid Pendeta Sinting. Namun dia
tidak berani membuat curiga orang dengan tidak sege-
ra menjawab. Seraya sunggingkan senyum, Joko ge-
lengkan kepala dan menjawab.
“Pada mulanya aku memang berharap bisa me-
nemukan orang di perahu ini! Dengan begitu aku bisa
bertanya sekaligus menumpang. Tapi nyatanya aku ti-
dak menemukan siapa-siapa! Perahu ini terombang-
ambing tanpa penumpang!”
Seraya berkata, ingin rasanya Joko berpaling ke
arah sosok mayat yang ditutup dengan jubah hitam.
Dia khawatir jubah hitam itu tidak bisa menutupi ke-
beradaan orang, apalagi ayunan gelombang bisa saja
membuat jubah hitam berubah letaknya. Namun Joko
berusaha keras menahan keinginan. Dia tidak mau si-
kapnya akan membuat orang jadi menaruh curiga. Ma-
lah mungkin agar tidak dicurigai, Joko segera sam-
bungi ucapannya.
“Kalian tengah mencari seseorang?! Siapa...?!”
Laki-laki yang lengannya dililit ban kain merah ti-
dak segera menjawab. Sebaliknya menatap tajam pada
jubah hitam di lantai perahu. Untung jarak antara ke-
dua perahu itu agak jauh dan bagian samping perahu
agak tinggi.
“Anak muda! Benar ucapanmu?!” Akhirnya si laki-
laki yang dari tadi angkat bicara ajukan tanya.
“Sudah kukatakan, tak ada untungnya menutupi
sesuatu! Karena keselamatan adalah hal paling penting
bagiku saat ini!”
“Hem.... Lalu apa di bawah jubah hitam itu?!”
Dada murid Pendeta Sinting berdebar. Namun dia
tetap bertahan tak hendak membuat orang merasa curiga. Lagi pula ini adalah kesempatan baginya meme-
riksa. Maka semberi tersenyum, kepala Joko berpaling
ke arah jubah hitam di lantai perahu. Dia sedikit me-
rasa lega karena sosok tubuh orang di bawah jubah hi-
tam tetap tertutup.
“Ini adalah bekal makanan yang kutemukan di pe-
rahu. Karena aku takut terkena muncratan gelombang
air, aku menutupnya dengan jubahku. Lagi pula, de-
ngan mengenakan jubah, kurasa akan menghambat
laju perahu karena jubah itu akan menahan hembu-
san angin!”
“Buka jubah hitam itu!” Terdengar suara perintah.
Kali ini datangnya dari perahu sebelah kiri. Kepala Jo-
ko berpaling ke kiri. Tengkuknya diam-diam terasa
dingin. Namun dia masih coba menutupi dengan sung-
gingkan senyum dan buka mulut.
“Kurasa lebih baik kita bicara di pesisir sana. Nanti
akan kujelaskan semuanya. Kalian tahu, badai gelom-
bang yang menghancurkan perahuku dan menengge-
lamkan beberapa temanku membuat aku terus-mene-
rus dihantui perasaan ngeri berada di atas laut!”
“Kau dengar perintah! Buka jubah hitam itu!” Laki-
laki di perahu sebelah kiri kembali perdengarkan pe-
rintah dengan bentakan keras.
“Aku masih memerlukan bekal makanan itu. Kare-
na di daratan sana pasti belum ada orang yang kuke-
nali Jika sampai bekal itu terkena air, berarti aku se-
lamat di laut tapi celaka di darat! Sebab aku akan mati
kelaparan!” kata Joko lalu ambil dayung. Enak saja
Joko hendak ayunkan dayung di tangannya seraya be-
rucap menyambungi kata-katanya. “Kalian tadi belum
jawab pertanyaanku. Kalian tengah mencari seseo-
rang?!”
“itu bukan urusanmu! Turuti saja perintah yang
kau dengar jika kau ingin sampai daratan dengan selamat!”
Kali ini suara itu diperdengarkan laki-laki di perahu
sebelah kanan yang lengannya terlilit ban kain warna
merah.
“Kalian tak mau menjawab pertanyaanku. Bagai-
mana mungkin kalian bisa memerintah orang?! Aku
juga sudah menawarkan pembicaraan nanti di darat
sana, tapi kalian rupanya memaksakan kehendak! Pa-
dahal aku sudah ketakutan....”
Belum sampai ucapan murid Pendeta Sinting se-
lesai, orang di perahu sebelah kiri sudah membuat ge-
rakan dengan kelebatkan kedua tangannya.
Wuuutt! Wuuttt!
Air laut yang berada di antara perahu orang dan pe-
rahu Joko tampak bergelombang dahsyat. Saat lain
terdengar deruan keras.
Byurrr! Byuurr!
Air laut muncrat ke udara setinggi tiga tombak. Pe-
rahu yang ditumpangi Joko tampak naik turun diterpa
gelombang akibat pukulan orang ke arah air laut. Joko
berteriak-teriak ngeri. Kedua tangannya ditadangkan
di atas kepala menahan muncratan air yang meng-
guyur ke arahnya.
“Apa yang kalian lakukan padaku?!” tanya murid
Pendeta Sinting seraya mengusap wajahnya yang ba-
sah. Lalu kedua tangannya kibas-kibaskan pakaian
yang dikenakan yang ternyata telah basah kuyup.
Karena tidak mau dicurigai, Joko tidak berusaha
kerahkan tenaga dalam untuk hentikan gerakan pera-
hu yang naik turun akibat terpaan gelombang. Malah
dia juga tidak kuasai diri dengan pengerahan tenaga
dalam, hingga sosoknya tampak terhuyung-huyung di
lantai perahu. Kesempatan ini dipergunakan Joko. Dia
sengaja arahkan huyungan tubuhnya mendekati jubah
hitam. Lalu kedua kakinya menginjak jubah yang menutupi sosok orang. Hingga meski terpaan gelombang
air laut membuat perahu bergerak naik turun dengan
keras, tapi jubah hitam tidak bergerak dari tempatnya.
“Kalian membuatku makin takut! Padahal aku telah
mengatakan apa yang kulihat dan kalian tanyakan!”
seru Joko begitu gerakan perahu agak mereda.
“Itu adalah satu peringatan! Jika kau masih tidak
turuti perintah, tidak sulit bagi kami menghancurkan
perahu itu!” bentak orang di perahu sebelah kiri.
“Hem.... Tak mungkin mereka akan menghancurkan
perahu ini selama mereka masih belum mendapat ke-
pastian! Aku hampir yakin, mereka mencari laki-laki
berkepala gundul itu! Hem.... Kalau tak salah, ini pasti
masih ada kaitannya dengan kantong putih itu! Ru-
panya aku harus menghadapi beberapa aral.... Apa
hendak dikata. Aku telah telanjur menyanggupi per-
mintaan orang.... Sedapat mungkin aku tidak akan
membuat urusan. Tapi kalau keadaan terpaksa, apa
pun akan kulakukan! Apalagi tampang-tampang mere-
ka memberi isyarat jika mereka bukan orang baik-
baik!” Joko diam-diam membatin.
“Orang asing tak dikenal! Kami masih memberi wak-
tu! Singkapkan jubah hitam itu atau kusingkap selem-
bar nyawamu!” Laki-laki di perahu sebelah kiri kembali
perdengarkan perintah.
“Apa yang ada di balik jubah itu adalah nyawaku!
Aku tidak akan membukanya! Namun aku berjanji
akan membuka bila nanti telah tiba di pesisir! Dengan
begitu bekal makanan itu tidak akan terkena air! Ba-
gaimana?!”
Sebenarnya, seraya berkata diam-diam Joko menca-
ri jalan bagaimana caranya bila nanti orang-orang di
atas perahu menuruti kehendaknya. Sementara begitu
mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, orang di pe-
rahu sebelah kanan perdengarkan tawa panjang lalu
berucap.
“Anak muda! Soal makanan kau tak usah khawatir!
Kami nanti akan menggantinya berapa banyak yang
kau minta!”
Pendekar 131 gelengkan kepala. “Aku adalah orang
kecil yang telah kenyang dengan pengalaman pahit.
Banyak orang yang memberi janji-janji padaku. Tapi
kebanyakan janji tinggal hanya janji! Aku bukannya ti-
dak percaya pada janji ucapan kalian, tapi sebenar-nya
aku khawatir pengalaman pahit akan terulang! Jadi....”
“Kau manusia kecil yang keras kepala! Kau tahu
siapa yang tengah kau hadapi?!” kata laki-laki di pera-
hu sebelah kanan.
“Bagiku, lebih penting apa yang akan kumakan ke-
lak, daripada siapa yang saat ini kuhadapi!”
“Berarti kau lebih sayang makanan daripada nya-
wamu!”
“Terserah bagaimana penilaianmu. Yang jelas tanpa
makanan, nyawaku akan melayang! Maka dari itu ma-
kanan adalah yang utama dan lebih penting daripada
nyawa!”
Laki-laki di perahu sebelah kanan rupanya tidak
dapat lagi menahan kesabaran, tanpa menyahut uca-
pan Joko kedua tangannya bergerak!
***
TIGA
SATU deruan keras terdengar. Bersamaan dengan
itu dua gelombang tampak berkiblat menyusur satu
tombak di atas air laut. Air laut kembali bergolak. Na-
mun kali ini tidak sedahsyat pukulan dari laki-laki di
perahu sebelah kiri karena pukulan laki-laki di perahu
sebelah kanan sengaja diarahkan langsung pada sosok
Pendekar 131!
Karena tahu jika pukulan itu diarahkan pada diri-
nya bukan pada lambung perahu, murid Pendeta Sin-
ting segera sentakkan tubuhnya ke depan. Sosoknya
melengkung lalu terjerembab sama rata dengan lantai
perahu. Gelombang angin pukulan orang menderu ga-
nas di atas tubuhnya lalu terus menerabas melewati
perahu.
Dua orang laki-laki yang berada di perahu sebelah
kiri sesaat sama terkesiap. Karena gelombang pukulan
yang berhasil dihindari Joko melaju deras ke arah me-
reka! Terlambat bagi kedua orang ini untuk gerakkan
perahu menghindar. Hingga satu-satunya jalan adalah
menghadang pukulan dengan pukulan pula.
Laki-laki yang tegak di perahu sebelah kiri serta-
merta angkat kedua tangannya lalu disentakkan ke
depan.
Bummm!
Terdengar ledakan. Air laut di bawah mana gelom-
bang pukulan bertemu bergolak muncrat. Perahu di
sebelah kiri Joko tampak terangkat bagian depannya.
Untung kedua penumpangnya cepat kerahkan tenaga
dalam masing-masing hingga dalam beberapa saat me-
reka segera dapat kuasai perahunya.
Bentroknya pukulan tak luput pula membuat pera-
hu yang ditumpangi murid Pendeta Sinting bergerak
naik turun dengan keras. Namun kali ini Joko cepat
kerahkan tenaga dalam hingga gerakannya segera ter-
henti.
Pendekar 131 nongolkan kepalanya di bibir perahu.
Dengan unjuk tampang ketakutan dia berseru.
“Mengapa kalian mempermainkan orang yang be-
nar-benar ketakutan?! Tampaknya kalian ingin aku
mati ketakutan di atas laut!”
“Anak muda itu punya ilmu!” Laki-laki di perahu
sebelah kanan yang duduk dengan memegang dayung
bergumam pada laki-laki yang tegak, yang di lengan-
nya ada lilitan ban kain warna merah.
“Tapi kalau langsung kita hantam perahunya, aku
khawatir buruan kita lolos! Aku curiga pada sesuatu
yang ditutup jubah hitam itu!”
“Yang Kui Tan sudah terluka parah! Sebagai seo-
rang anak murid Perguruan Shaolin yang dipercaya
mengemban tugas penting, kurasa dia rela mati tanpa
diketahui jejaknya daripada gagal melaksanakan tu-
gas!” Laki-laki yang duduk menyahut. “Di sini ada
Panglima Muda Lie, sebaiknya kau minta pendapat
padanya!”
Kalau kedua laki-laki berseragam prajurit di perahu
sebelah kanan berbincang demikian, tidak begitu hal-
nya dengan kedua laki-laki yang berada di perahu se-
belah kiri. Kedua laki-laki yang tidak mengenakan se-
ragam prajurit ini saling pandang. Laki-laki yang tegak
dengan mengenakan jubah warna putih ini buka suara
pelan.
“Tampaknya ada yang tidak beres! Pukulan tadi se-
ngaja diarahkan pada kita! Kita harus berlaku waspa-
da! Siapa tahu anak buah Panglima Muda Lie akan
menghabisi kita begitu tujuan mereka tercapai!”
“Jangan mudah terbawa prasangka buruk! Kurasa
pukulan tadi diarahkan pada orang muda di atas pe-
rahu itu! Hanya saja mereka tidak menduga kalau
orang di atas perahu itu bisa berkelit hindari pukulan!
Mereka sengaja tidak langsung menghantam ke arah
perahu karena takut Yang Kui Tan masih berada di pe-
rahu itu! Jika benar dan perahunya hancur, maka se-
mua rencana perburuan ini akan gagal total!”
“Hem.... Meski demikian, kita harus tetap hati-hati!
Kita tahu siapa Panglima Muda Lie!”
“Kita tak usah terlalu pikirkan hal itu! Justru kita
harus berhati-hati pada orang-orang dari Perguruan
Shaolin. Sekali penyamaran kita diketahui, kegempa-
ran besar akan terjadi! Perguruan Shaolin akan bergo-
lak!”
Laki-laki berjubah hitam yang duduk dengan pe-
gang dayung sudah hendak menyahut. Namun belum
sampai suaranya terdengar, dari arah perahu sebelah
kanan Joko terdengar teriakan.
“Panglima Muda Lie! Harap beri keputusan apa yang
harus kami lakukan!” Yang berteriak ternyata laki-laki
yang di lengannya ada lilitan ban kain warna merah.
Laki-laki yang duduk di atas kursi dengan pakaian
kebesaran seorang panglima dan dipanggil dengan
Panglima Muda Lie bergerak turun dari kursi. Empat
orang yang berada di bagian depan perahu besar ber-
gerak geser tubuh masing-masing ke samping.
Panglima Muda Lie adalah laki-laki berusia sete-
ngah baya. Wajahnya dingin. Alisnya tebal sedikit men-
cuat ke atas bagian ujung sampingnya. Sepasang ma-
tanya tajam. Pada bagian bawah mata kirinya terlihat
tahi lalat agak besar.
Panglima Muda Lie tegak di tengah-tengah empat
orang berseragam prajurit yang berada di bagian depan
perahu besar. Pandang matanya sejenak menyusur ke
arah gelombang laut di depan perahunya. Lalu terus
lurus ke arah murid Pendeta Sinting yang masih te-
lungkup di atas lantai perahu dengan kepala terangkat
ke bibir lambung perahu.
“Anak muda!” Panglima Muda Lie buka suara. Kini
pandangannya beralih jauh ke tengah laut. “Aku ada-
lah wakil Penguasa Daratan Tibet. Urusan makanan
jangan kau cemaskan! Aku bisa menjamin hidupmu
sampai kau tua! Tapi.... Satu permintaanku. Dan per-
mintaan ini adalah satu dari dua pilihan yang harus
kau ambil!”
Panglima Muda Lie sesaat hentikan ucapannya. Kini
pandang matanya menusuk tajam pada Pendekar 131
yang simak ucapan orang dengan seksama meski sese-
kali ekor matanya melirik pada jubah hitam penutup
sosok mayat laki-laki berkepala gundul.
“Buka jubah hitam itu atau kau akan mampus di
tengah laut!” Panglima Muda Lie sambungi ucapannya.
Nadanya keras memerintah.
“Maaf.... Aku bukannya tidak percaya dengan uca-
pan seorang panglima. Namun kalau kalian semua
yang ada di sini tidak percaya pada keteranganku, ba-
gaimana mungkin aku bisa percaya?! Padahal aku
hanya minta kesempatan untuk membuka jubah hi-
tam itu di pesisir sana! Bukankah jaraknya sudah ti-
dak jauh lagi?! Di sini ada beberapa prajurit dan wakil
Penguasa Daratan Tibet. Kurasa tidak ada yang perlu
ditakutkan, bukan?!” Pendekar 131 angkat suara lalu
perlahan bergerak bangkit Kaki kanannya tetap injak
ujung jubah hitam yang menutupi sosok mayat orang.
“Kami tidak bisa menunggu!” kata Panglima Muda
Lie.
“Aneh.... Ada apa ini sebenarnya?! Hem.... Tak ku-
sangka sama sekali. Pada mulanya aku gembira men-
dapat tumpangan perahu dan bekal makanan banyak!
Tak tahu kalau semua ini akan membawa urusan!”
Pendekar 131 berkata seolah menyesali diri sendiri. La-
lu seperti sikap Panglima Muda Lie, Joko bukannya
memandang ke arah sang Panglima, melainkan pada
gelombang laut jauh di sana. Saat lain Joko telah sam-
bungi ucapannya. “Kalau aku boleh dengar. Apa sebe-
narnya yang kalian cari?! Seseorang atau hanya bekal
makanan?! Kalau hanya bekal makanan bukankah
kau telah punya banyak?! Tentu dugaanku yang per-
tama yang tak keliru. Kalian tengah mencari seseorang
dan menduga aku yang menyembunyikannya! Benar,
bukan?!”
“Anak muda! Kami memang tengah mencari sese-
orang!” Akhirnya Panglima Muda Lie berterus terang.
Meski dada murid Pendeta Sinting makin berdebar,
namun dia coba sembunyikan rasa kejutnya. Dia ter-
senyum lebar lalu berkata.
“Boleh aku dengar juga, mengapa kalian menduga
aku menyembunyikan orang yang tengah kalian cari?!”
“Perahu yang kau tumpangi, Anak Muda!” ujar Pan-
glima Muda Lie. Laki-laki ini berkata dengan suara
agak rendah meski sebenarnya dadanya sudah mulai
diamuk dengan hawa amarah.
“Panglima! Kau harus percaya padaku. Aku mene-
mukan perahu ini dalam keadaan kosong!”
“Anak muda! Aku baru pertama kali ini memberi
kesempatan pada orang! Tapi sayang.... Kau tak mau
mempergunakan kesempatan yang kuberikan! Sekali
lagi kuperintahkan kau untuk membuka jubah hitam
itu!”
Pendekar 131 tersenyum lebar walau dadanya ma-
kin berdebar dan tengkuknya mulai dingin. Lalu kepa-
lanya menggeleng perlahan dan berkata.
“Aku baru akan membukanya setelah perahu men-
darat di pesisir!”
Panglima Muda Lie sentakkan tangan kirinya ke
bawah. Lalu putar diri. Bersamaan dengan itu laki-laki
yang tegak di perahu sebelah kanan dan laki-laki yang
tegak di perahu sebelah kiri sudah sentakkan kedua
tangan masing-masing.
Dua gelombang dahsyat menderu dari sebelah ka-
nan dan kiri perahu tumpangan murid Pendeta Sin-
ting. Kali ini pukulan orang tidak langsung diarahkan
pada tubuh Pendekar 131 Joko Sableng. Namun lang-
sung ke arah perahu.
Namun bersamaan dengan menderunya gelombang
pukulan, Panglima Muda Lie yang telah balikkan tu-
buh berbisik pada keempat orang prajurit di samping-
nya.
“Perhatikan apa yang ada di bawah jubah hitam!
Kalian harus siap menyelam untuk mendapatkannya
jika perahu itu hancur!”
Keempat laki-laki di samping Panglima Muda Lie
anggukkan kepala lalu pentang mata masing-masing
ke arah jubah hitam.
Di lain pihak, Joko tidak lagi berusaha hindarkan
diri karena dia tahu persis pukulan orang yang kini
melabrak ke arahnya bukan saja ditujukan pada diri-
nya, namun juga pada perahu tumpangannya. Semen-
tara dia tak mau sosok mayat yang ada di perahu ikut
porak-poranda.
Joko angkat kedua tangannya. Lalu disentakkan ke
samping kanan kiri.
Bummm! Bummm!
Terdengar gelegar bentroknya pukulan di tengah
suara bergemuruhnya gelombang ombak. Air laut ber-
tabur muncrat. Tiga perahu tampak berguncang keras.
Laki-laki yang tadi lepaskan pukulan jarak jauh di pe-
rahu sebelah kanan dan kiri tampak terhuyung dan
hampir saja roboh karena bias bentroknya pukulan
dan guncangan perahu.
Sementara karena tidak mau orang makin curiga,
meski tidak mengalami cedera apa-apa oleh bentrok-
nya pukulan, Joko langsung jatuhkan diri di lantai pe-
rahu seraya perdengarkan keluhan tertahan. Kedua
tangannya ditakupkan menutupi kepalanya!
“Kau lihat! Dia berhasil menghadang pukulan!” Ber-
kata laki-laki yang duduk di perahu sebelah kanan.
“Kurasa dia hanya berpura-pura! Kita akan celaka jika
meremehkan dia!”
Laki-laki yang tegak di perahu sebelah kanan cepat
lipat gandakan tenaga dalam. Laki-laki yang tegak di
perahu sebelah kiri tak tinggal diam. Dia segera pula
siapkan pukulan. Malah laki-laki yang duduk di sebe-
lahnya ikut bergerak bangkit.
Di perahu besar, Panglima Muda Lie picingkan ma-
ta. Dia sedikit terkejut melihat Joko mampu mengha-
dang pukulan orang. Kemarahannya tidak bisa diben-
dung lagi. Kedua tangannya disentakkan pada tanga-
nan kursi seraya berteriak.
“Hancurkan perahu itu beserta penumpangnya!”
Tapi setelah membentak begitu, Panglima Muda Lie
berkata pelan pada keempat orang di hadapannya. “Li-
hat dengan seksama jubah hitam itu! Awasi jangan ada
sesuatu yang lolos!”
Keempat laki-laki di depan Panglima Muda Lie lagi-
lagi hanya anggukkan kepala dengan mata makin di-
pentang besar-besar ke arah jubah hitam di lantai pe-
rahu Joko.
Sementara begitu mendengar perintah sang Pang-
lima, laki-laki di perahu sebelah kanan segera han-
tamkan kedua tangannya dengan tenaga dalam penuh.
Sementara dua laki-laki di perahu sebelah kiri juga se-
gera lepaskan pukulan.
Ganasnya pukulan yang datang membuat murid
Pendeta Sinting tidak bisa berbuat lain kecuali harus
siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’. Karena jika tidak,
perahu yang ditumpanginya akan porak-poranda! Apa-
lagi Panglima Muda Lie telah keluarkan perintah.
Wuuttt! Wuuttt!
Dua tangan Pendekar 131 mendorong ke samping
kanan kiri. Dua sinar kuning melesat hamparkan ge-
lombang dahsyat dan hawa panas luar biasa. Inilah
tanda jika murid Pendeta Sinting telah lepaskan puku-
lan ‘Lembur Kuning’.
Blammm! Blammm!
Byuurr! Byuurr! Brakkk! Brakkk!
Terdengar ledakan dahsyat. Tiga gelombang yang
datang dari perahu sebelah kiri kanan langsung ber-
hamburan semburat. Air laut bergolak. Lalu terdengar
suara derakan. Dua laki-laki yang berada di perahu
sebelah kiri langsung mencelat mental. Perahu yang di-
tumpangi pecah jadi dua dan terpelanting diterjang
amukan gelombang akibat bias bentroknya pukulan.
Sementara dua laki-laki di perahu sebelah kanan juga
mencelat lalu meluncur amblas ke dalam air laut. Pe-
rahu yang ditumpangi porak-poranda lalu hanyut ter-
bawa alunan gelombang!
Gelombang laut yang bergerak turun naik tampak
berubah warna disemburati semburan darah. Empat
sosok tubuh tampak timbul tenggelam di sela amukan
gelombang. Kedua tangan masing-masing orang meng-
gapai-gapai. Terdengar suara jeritan namun tiba-tiba
terputus karena kepala orang tenggelam kembali dite-
lan gelombang. Saat lain keempat sosok tadi tidak
muncul lagi! Keempat prajurit di bagian depan perahu
besar sama bergerak hendak terjun. Namun satu suara
menahan.
“Tetap di tempat kalian masing-masing! Lakukan
saja apa yang kuperintahkan! Awasi terus jubah hitam
itu!” Yang perdengarkan suara adalah Panglima Muda
Lie.
Keempat laki-laki di perahu besar urungkan niat.
Lalu tegakkan kepala masing-masing menatap pada
jubah yang ada di lantai perahu tumpangan Pendekar
131.
Sementara murid Pendeta Sinting sendiri tetap ma-
sih tegak meski sesaat tadi terhuyung hendak jatuh
akibat bentroknya pukulan dan gerakan perahu kare-
na bergolaknya gelombang air laut.
Panglima Muda Lie turun dari kursi dan membuat
satu gerakan. Tahu-tahu sosoknya telah tegak di ba-
gian depan perahu. Sepasang matanya menyengat ta-
jam pada sosok Joko.
“Anak muda! Kau telah membunuh empat anak bu-
ahku! Tapi aku masih bisa menahan diri! Aku tahu
siapa yang ada di balik jubah hitam itu! Empat nyawa
anak buahku bukan menjadi hitungan kalau kau me-
nyerahkan orang di balik jubah hitam itu!”
“Panglima....”
“Aku tak minta penjelasan apa-apa! Kau telah de-
ngar apa yang kumau! Tinggalkan perahu itu tanpa
orang di balik jubah hitam!”
“Panglima Muda! Aku tak bisa berenang.... Bagai-
mana aku harus menuju pesisir pantai sana jika kau
memerintahku tinggalkan perahu?! Bukankah tawa-
ranku tadi lebih baik?! Kita akan bicara baik-baik saat
mendarat di pesisir!”
Panglima Muda Lie menyeringai dingin. Kepalanya
berpaling. Namun tiba-tiba tangan kiri kanannya ber-
gerak!
***
EMPAT
TERDENGAR dua deruan luar biasa keras. Dua ge-
lombang berkiblat ganas ke arah Pendekar 131. Air
laut di depan perahu tumpangan Joko untuk kesekian
kalinya bergelombang laksana diterjang badai.
Murid Pendeta Sinting tak mau bertindak ayal. Dan
mungkin berpikir bukan saja dirinya yang harus me-
nyelamatkan diri dari pukulan maut yang dilepas sang
Panglima, namun Pendekar 131 harus pula menyela
matkan sosok mayat di bawah jubah hitam, maka Joko
segera lepas pukulan ‘Lembur Kuning’.
Sinar yang disemburati warna kuning membawa ge-
lombang dahsyat dan hawa panas menyengat menderu
menghadang gelombang yang dilepas sang Panglima.
Air laut makin bergolak hebat. Perahu yang ditum-
pangi murid Pendeta Sinting melambung sampai satu
tombak ke udara. Sementara perahu besar yang di-
tumpangi sang Panglima dan keempat anak buahnya
yang masih hidup, tampak bergoyang-goyang keras.
Bummm! Bummm!
Gelegar dahsyat terdengar saat dua pukulan ben-
trok di udara Sosok tubuh sang Panglima langsung
terjajar tujuh langkah ke belakang. Paras wajahnya be-
rubah pucat pasi. Kedua tangannya bergetar keras.
Kedua lututnya hampir saja menekuk. Namun sang
Panglima cepat sentakkan kaki kanan. Tubuhnya me-
lenting setengah tombak ke udara lalu tegak di lantai
perahu dengan kedua tangan langsung menakup di
depan dada.
Di lain pihak, tubuh murid Pendeta Sinting terhu-
yung tiga langkah ke belakang. Paras wajahnya juga
berubah pias. Namun dia tidak mengalami cedera be-
rarti meski dadanya terasa sesak.
Panglima Muda Lie pejamkan sepasang matanya.
Namun cuma sekejap. Di lain saat matanya dibuka la-
gi. Mendadak dia berkelebat ke depan. Kedua tangan-
nya bergerak ke kiri kanan pada punggung dua orang
anak buahnya.
Wuutt! Wuutt!
Dua benda putih berkilat melesat ke arah murid
Pendeta Sinting perdengarkan desingan tajam. Ter-
nyata Panglima Muda Lie telah menyambar dua pe-
dang di punggung anak buahnya dan serta-merta disentakkan ke depan.
Begitu dua pedang melesat, sang Panglima segera
angkat kedua tangannya ke depan dada. Tangan ka-
nan dibuka lalu diluruskan ke depan. Sementara te-
lapak tangan kiri dibuka lalu dilapis di bawahnya den-
gan telapak menghadap ke atas. Saat lain tiba-tiba dia
tarik pulang kedua tangannya sedikit ke belakang. La-
lu ketika melihat Joko bergerak hindarkan diri dari ke-
lebatan dua pedang, kedua tangan sang Panglima
mendorong ke depan. Tampaknya lesatan dua pedang
tadi hanya untuk mengalihkan perhatian murid Pen-
deta Sinting.
Di depan sana, Joko memang sempat terkesiap me-
lihat dua gelombang asap putih mencuat begitu dia
hindarkan diri dari lesatan dua pedang Murid Pendeta
Sinting tidak menunggu sampai dia mendarat di lantai
perahu. Begitu dia bisa selamatkan diri dari kelebatan
pedang dengan melenting ke udara, saat itu juga dia
segera dorong kedua tangannya lepas lagi pukulan
‘Lembur Kuning’!
Kembali terdengar ledakan di atas laut. Karena Joko
menghadang pukulan orang dengan tubuh di atas
udara, maka begitu terdengar ledakan, sosoknya lang-
sung mencelat mental lalu menghantam bagian bela-
kang perahu.
Di seberang depan, sosok sang Panglima terjeng-
kang roboh. Keempat laki-laki anak buahnya berpelan-
tingan ke belakang lalu berkaparan di lantai perahu.
Satu di antaranya langsung muntahkan darah.
Panglima Muda Lie cepat kerahkan tenaga dalam
untuk kuasai diri. Lalu bergerak bangkit. Namun baru
saja sosoknya naik ke atas, dari mulutnya semburkan
darah. Saat lain sosoknya terhuyung ke belakang. Un-
tung di belakangnya ada kursi. Hingga huyungan tu-
buhnya tertahan.
Kesempatan ini tak disia-siakan Joko. Setelah memeriksa diri dan tidak mengalami cedera dalam yang
begitu berarti, murid Pendeta Sinting cepat melompat
ke depan. Dayung di lantai perahu disambar. Saat lain
dia hujamkan dayung ke air laut yang masih bergolak.
Perahu yang ditumpangi Pendekar 131 menepi dari
depan perahu besar yang ditumpangi sang Panglima.
Saat lain melesat menerjang hempasan gelombang me-
lewati perahu besar.
“Kejar!” teriak sang Panglima.
Keempat prajurit segera terhuyung bangkit. Masing-
masing orang segera berhamburan menyambar da-
yung. Saat lain perahu besar itu putar haluan lalu me-
nerjang gelombang mengejar perahu yang ditumpangi
Pendekar 131.
Panglima Muda Lie pentingkan mata. Pelipis kiri
kanannya bergerak-gerak. Dari mulutnya terdengar
gumaman tak jelas. Saat lain laki-laki setengah baya
ini tekuk sedikit kedua lututnya. Sekonyong-konyong
kedua tangannya disentakkan ke arah Joko yang terus
mendayung dengan kerahkan tenaga dalam agar laju
perahunya makin cepat.
Dua gelombang asap putih menderu dari sentakan
kedua tangan Panglima Muda Lie. Air laut di belakang
perahu Joko bergelombang ganas.
Suara deruan dan makin menggilanya gelombang
cukup membuat murid Pendeta Sinting maklum. Dia
cepat lemparkan dayung di tangannya. Saat lain dia
berbalik lalu lepaskan lagi pukulan ‘Lembur Kuning”.
Untuk yang kesekian kalinya buncahan suara ge-
lombang ditingkahi dengan suara gelegar. Sosok sang
Panglima mental menghantam lambung perahu. Darah
kembali muntah dari mulutnya. Keempat prajurit yang
mendayung ikut pula mencelat. Dayung di tangan
masing-masing orang semburat bermentalan lalu am-
blas masuk ke dalam laut. Perahu besar yang ditumpangi Panglima Muda Lie tertahan lajunya bahkan
tampak terayun-ayun keras.
Di depan, sosok Pendekar 131 terhuyung dan ham-
pir saja tubuhnya terbanting masuk ke dalam air laut
tatkala kedua kakinya menghantam bagian depan pe-
rahu yang ada di belakangnya. Namun begitu tubuh
bagian atasnya tertekuk ke belakang, kedua tangannya
cepat berkelebat berpegangan pada kayu ujung depan
perahu. Hingga gerakan tubuhnya tertahan. Saat lain
murid Pendeta Sinting sentakkan tubuhnya kembali ke
depan. Parasnya makin pias dan kedua tangannya
bergetar keras. Mulutnya megap-megap dan dadanya
berdenyut nyeri. Namun murid Pendeta Sinting tidak
begitu pedulikan keadaan dirinya. Dia cepat melompat
ke depan untuk rapikan jubah hitam yang ternyata te-
lah berserakan hingga sosok mayat laki-laki berkepala
gundul terlihat jelas.
Seraya rapikan jubah hitam, Joko tembusi golakan
gelombang untuk melihat ke arah perahu besar. Begitu
gelombang turun dan Joko bisa melihat keadaan di pe-
rahu besar, dia cepat melompat lagi ke depan. Dayung
disambarnya lalu dengan kerahkan tenaga dalam dia
hujamkan dayung ke air laut. Perahu yang ditumpangi
Joko melaju deras menuju pesisir.
Belum sampai perahu mencapai pesisir, Pendekar
131 telah melompat ke belakang. Sekali gerak, sosok
mayat di lantai perahu yang tertutup jubah hitam telah
berada di pundaknya. Saat lain laksana dikejar setan,
dia berkelebat menyusuri pesisir, lalu lenyap di antara
batu-batu karang yang banyak bertebaran.
***
Pendekar 131 duduk bersimpuh di antara dua gu-
gusan batu karang di samping hamparan pasir putih
yang agak menggunung panjang. Saat itu matahari te-
lah lama tenggelam. Namun pancaran sinar bulan
yang menggantung di atas bentangan laut membuat ke
mana arah mata memandang, maka suasana tampak
terang benderang.
“Hem.... Aku masih belum tahu pasti mengapa
orang ini dicari seorang panglima! Hanya saja mungkin
masih ada kaitannya dengan kantong putih yang di-
berikannya padaku....” Tanpa sadar tangan kanan mu-
rid Pendeta Sinting menyelinap ke balik pakaiannya.
Saat itu dia telah mengenakan kembali jubah hitam
yang tadi siang dibuat menutupi sosok mayat laki-laki
berkepala gundul yang baru saja dimakamkan di sam-
pingnya.
Murid Pendeta Sinting terpaksa menunggu hari ge-
lap untuk menguburkan mayat orang. Dia masih kha-
watir beberapa prajurit akan mencarinya. Dan begitu
keadaan dirasa aman dan suasana mulai gelap, Joko
segera kuburkan mayat orang.
“Dari ucapan orang-orang di perahu tadi siang, be-
rarti aku kini telah berada di daerah Tibet! Dan me-
nurut laki-laki yang terluka itu, aku harus mencari
Gunung Sim Yao In. Lalu pergi ke arah barat. Melewati
lima kawasan hutan dan menemukan kawasan tanah
lapang yang dibelah sebuah sungai. Di sana aku akan
menemukan sebuah kuil. Dan aku harus menemui se-
orang bernama Guru Besar Pu Yi! Hem.... Urusan apa
sebenarnya yang tengah kujalani ini?! Di daerah ini be-
lum ada orang yang kukenal. Ke mana aku harus ber-
tanya?! Sementara mungkin Panglima itu tidak akan
tinggal diam!” Pendekar 131 bergerak bangkit. Lalu
melangkah mondar-mandir di samping pasir putih
yang agak menggunung karena baru saja ditanami
mayat seorang manusia.
“Aku harus segera menemukan Gunung Sim Yao In.
Dengan suasana malam, gerakanku akan lebih lelua-
sa...! Tapi mana arah yang harus kuambil?!” Pendekar
131 melangkah keluar dari tengah apitan dua batu ka-
rang. Pandang matanya mengedar berkeliling. “Ah....
itu urusan nanti. Aku akan tanya orang di tengah ja-
lan!”
Berpikir begitu, akhirnya Joko memutuskan untuk
berkelebat. Namun belum sampai sosoknya bergerak,
sekonyong-konyong terdengar satu suara.
“Langkah dan sikapmu menunjukkan kebimbangan
hati. Kau ragu menentukan arah! Berarti kau bukan
orang daerah sini!”
Kepala Joko berpaling ke satu gugusan batu ka-
rang. Parasnya tampak sedikit tegang. Matanya samar-
samar melihat satu sosok tubuh duduk bersila di atas
gugusan batu karang membelakangi.
“Hem.... Kehadirannya tak bisa kuketahui. Walau
dia tidak memandang ke arahku, tapi dia dapat me-
nangkap sikapku dan menduga dengan benar! Siapa
pun dia, yang pasti dia bukan orang berilmu rendah!”
Membatin Joko. Dia hendak berkelebat untuk melihat
tampang orang yang duduk bersila membelakangi. Ta-
pi belum sampai Joko membuat gerakan, orang yang
duduk bersila di atas gugusan batu karang telah putar
diri!
Pendekar 131 pentangkan mata. Dia melihat seo-
rang kakek berwajah agak bulat bermata sipit. Ram-
butnya panjang dikelabang dan dilingkarkan melilit
pada lehernya. Pada daun telinga sebelah kiri tampak
menggantung sebuah anting-anting agak besar. Kakek
ini mengenakan pakaian berupa jubah tanpa leher
berwarna putih.
Murid Pendeta Sinting makin besarkan mata ketika
mendapati si kakek ini ternyata hanya memiliki satu
tangan sebelah kiri dan juga satu kaki sebelah kiri.
“Katakan padaku mana daerah yang akan kau kun-
jungi, Anak Muda!” Si kakek angkat suara. Namun se-
pasang matanya yang sipit bukannya memperhatikan
Joko melainkan mengatup rapat!
Pendekar 131 tidak segera menjawab. Dalam hati
dia berkata. “Aku tak boleh mengatakan tujuanku pa-
da orang yang belum kukenal dan kuketahui memiliki
kepandaian tinggi! Bukan tak mungkin orang itu ada-
lah orang-orang yang diperintah untuk mencariku....
Aku baru akan bertanya pada penduduk biasa yang
tak tahu menahu soal ilmu silat....”
Mendapati Joko tidak menjawab ucapannya, si ka-
kek di atas gugusan batu karang perdengarkan tawa
panjang dengan mata masih mengatup. Lalu berkata.
“Aku ikut belasungkawa atas kematian temanmu....
Kini kau sendirian. Kau tentu butuh orang tempat ber-
tanya. Mengapa kau bimbang mengatakannya pada-
ku?!”
Ucapan orang membuat Joko tersentak kaget.
“Hem.... Berarti dia sudah lama berada di sini! Apakah
aku harus bertanya padanya?! Tapi....” Joko masih di-
landa keragu-raguan. Hingga akhirnya dia angkat bi-
cara.
“Kek.... Aku memang butuh orang tempat bertanya.
Tapi kurasa saat ini belum waktunya aku bertanya!
Mungkin Idin saat aku akan bertanya padamu....
Hem... Boleh aku bertanya siapa, kau adanya?!”
Si kakek kembali perdengarkan tawa panjang. Ma-
sih dengan mata terkatup rapat, dia selingi suara ta-
wanya dengan angkat bicara.
“Kau ini aneh, Anak Muda.... Kau baru saja bilang
saat ini belum waktunya bertanya. Tapi baru saja kau
ajukan satu pertanyaan.... Apakah menurutmu aku
harus buka mulut menjawab?!”
Murid Pendeta Sinting cengar-cengir. Tangan kiri
nya diangkat sejajar telinga. Lalu jari kelingkingnya di-
masukkan ke lobang telinganya. Kedua telapak kaki-
nya bergerak berjingkat lalu kepalanya pulang balik ke
samping keenakan.
“Kek.... Maksudku, saat ini belum waktunya aku
bertanya soal ke mana daerah yang akan kukunjungi!
Soal tanya lain dari itu, kurasa boleh-boleh saja dan
tentu aku memerlukannya saat ini!”
“Hem.... Begitu?!” gumam si kakek. Kali ini sepa-
sang mata orang tua ini bergerak membuka. Namun
bukannya untuk memandang ke arah murid Pendeta
Sinting, melainkan ke arah hamparan pasir. Saat ke-
mudian kepalanya tengadah melihat bulan.
“Sayang sekali, Anak Muda...,” si kakek lanjutkan
ucapannya. “Saat ini aku hanya bisa memberi jawaban
jika kau bertanya tentang daerah yang akan kau kun-
jungi! Pertanyaan yang lain dari soal itu, kurasa kau
tidak akan mendapatkan jawaban!”
“Hem.... Begitu?!” Joko ikut-ikutan bergumam se-
perti halnya si kakek tadi. Lalu kepalanya berpaling
dan sedikit didongakkan memandang ke arah rembu-
lan. Saat lain dia sambungi ucapannya. “Hari makin
larut. Aku harus segera pergi....”
“Benar kau tidak mau mengatakan padaku daerah
mana yang akan kau kunjungi?!” Si kakek menahan
kepergian Joko dengan satu pertanyaan.
“Kau boleh bertanya seribu pertanyaan. Tapi kalau
soal tadi itu, belum saatnya aku bertanya dan menga-
takannya pada siapa saja!”
“Baiklah.... Aku juga akan pergi. Tapi sebelum kita
berpisah, kau mau mendengarkan syairku?!”
“Hem.... Rupanya kau seorang penyair! Sebenarnya
aku harus segera pergi, tapi untuk kali ini aku akan
penuhi permintaanmu!”
Tanpa berpaling pada Joko dan tetap arahkan pandang matanya pada sang rembulan si kakek di atas
gugusan batu karang buka mulut perdengarkan syair.
‘Wahai sang Pengembara di bawah lintasan rembu-
lan.
Kau datang membawa amanat yang terpisah.
Ke mana kakimu melangkah, di sana akan kau da-
patkan aral.
Darah telah kau alirkan di atas permukaan laut.
Darah itu akan terus mengalir sampai sebelah
barat Gunung Sim Yao In.
Darah itu tak akan terhenti sebelum amanat
disatukan.
Berlalulah menembus kabut.
Di sana nanti akan kau dapatkan satu jawaban’
Pendekar 131 melengak kaget mendengar syair si
kakek yang sebut-sebut Gunung Sim Yao In. Kening-
nya berkerut. “Syair orang tua itu tampaknya melam-
bangkan apa yang tengah kulakukan! Siapa dia?!” Jo-
ko berpaling pada si kakek. Meski tadi sudah men-
dengar pernyataan orang kalau tidak akan menjawab
pertanyaan selain ke mana daerah yang akan dikun-
jungi Joko, namun murid Pendeta Sinting memu-
tuskan akan bertanya juga siapa adanya si kakek.
Tapi Sebelum Pendekar 131 buka mulut meng-
utarakan maksudnya, si kakek di atas gugusan batu
karang telah bergerak bangkit. Joko sekali lagi pen-
tangkan mata. Ternyata bukan hanya tangannya saja
yang tinggal sebelah, kaki orang tua itu juga hanya sa-
tu, yakni kaki sebelah kiri!
“Anak muda.... Syairku hanya ungkapan hati dan
tidak ada hubungannya dengan orang lain! Selamat
tinggal....”
“Kek! Tunggu!” teriak Joko. Namun si orang tua di
atas gugusan batu telah balikkan tubuh lalu melesat
turun. Joko mengejar. Namun dia hanya bisa melihat
sosok bayangan si kakek berjarak lima belas tombak.
Selebihnya dia tidak bisa melihat apa-apa lagi!
***
LIMA
MATAHARI sudah beranjak dari titik kaki langit se-
belah timur. Satu sosok tubuh tampak berkelebat me-
nuju bangunan biara shaolin. Setelah melewati pelata-
ran luas halaman shaolin, dia terus berlari menuju
ruang persembayangan. Orang ini sesaat melirik kanan
kiri. Saat lain tangan kanannya bergerak mendorong
pintu di hadapannya.
Memandang ke depan, tampak beberapa orang te-
gak berjajar. Mereka adalah beberapa laki-laki berke-
pala gundul mengenakan seragam berupa pakaian se-
lempang warna abu-abu. Kepala mereka sama tertun-
duk.
Di bagian paling depan, terlihat dua orang laki-laki
yang mengenakan pakaian selempang warna kuning.
Pada pundak tampak kain warna merah yang melapis
dan dililitkan pada pinggangnya.
Meski terbukanya pintu tidak perdengarkan suara,
namun dua orang laki-laki yang tegak paling depan se-
gera palingkan kepala ke belakang. Saat lain keduanya
putar diri. Lalu melangkah melewati beberapa laki-laki
berkepala gundul yang mengenakan seragam abu-abu.
Orang yang berada di ambang pintu cepat angkat
kedua tangannya menakup di depan dada. Kepalanya
menunduk. Lalu terdengar suaranya.
“Amitaba.... Harap kakak berdua maafkan.... Aku
datang agak terlambat!”
Dua laki-laki yang mengenakan pakaian warna ku-
ning sama sunggingkan senyum. Lalu sama takupkan
kedua tangan di depan dada dengan kepala menun-
duk. Yang sebelah kanan angkat suara.
“Amitaba.... Memang ada beberapa hal yang harus
kau lakukan. Jadi kami maklum atas keterangan-
mu....”
Orang di ambang pintu anggukkan kepala. Dia ada-
lah laki-laki berusia lima puluh tahunan. Sosoknya
kekar. Kepalanya gundul dan terlihat beberapa titik
putih di batok kepalanya. Paras wajahnya agak besar.
Dia mengenakan pakaian selempang tanpa leher ber-
warna kuning yang dilapis kain warna merah diletak-
kan di atas pundak dan bagian bawahnya dililitkan
pada pinggangnya.
“Bagaimana keadaan Maha Guru Besar...?” tanya
laki-laki yang berada di ambang pintu seraya melang-
kah masuk.
Dua laki-laki yang tadi menyambut sejenak saling
pandang. Yang berada di sebelah kanan adalah laki-
laki berkepala gundul. Pada batok kepalanya juga ter-
dapat beberapa titik putih. Wajahnya agak bulat. So-
soknya juga kekar. Usianya tidak jauh beda dengan la-
ki-laki yang baru saja masuk. Orang ini tidak memeli-
hara kumis juga jenggot. Hanya saja pada bagian
samping mata kanannya terlihat sebuah tahi lalat yang
ditumbuhi empat rambut agak panjang.
Sementara orang yang berada di sebelah kiri adalah
laki-laki yang juga berkepala gundul dan terdapat be-
berapa titik putih pada batok kepalanya. Usianya lebih
muda dari laki-laki yang ada di sebelah kanannya. Pa-
ras wajahnya bulat telur. Air mukanya bersih. Sepa-
sang matanya agak sipit tapi tajam. Hidungnya man-
cung dan sosoknya agak kurus.
“Guru Besar Pu Yi.... Bagaimana keadaan Maha
Guru Besar?!” Laki-laki yang baru masuk kembali aju-
kan tanya dengan mata memandang pada laki-laki
berkepala gundul yang pada samping mata kanannya
terdapat tahi lalat ditumbuhi rambut yang tegak di se-
belah kanan.
Laki-laki di sebelah kanan yang dipanggil dengan
Guru Besar Pu Yi menghela napas dalam. Dia tidak se-
gera menjawab. Melainkan putar kepala ke arah bebe-
rapa laki-laki berseragam abu-abu. Saat lain orang ini
berujar pelan.
“Kalian semua harap tinggalkan ruangan persem-
bayangan....”
Beberapa laki-laki berkepala gundul mengenakan
seragam abu-abu sama angkat tangan masing-masing
ditakupkan di depan dada dengan kepala bergerak
menunduk. Tanpa ada yang buka suara atau meman-
dang pada laki-laki yang tadi dipanggil Guru Besar Pu
Yi, beberapa laki-laki berseragam abu-abu segera ba-
likkan tubuh lalu melangkah keluar.
Guru Besar Pu Yi balikkan tubuh lalu melangkah
diikuti laki-laki yang tadi tegak di sebelah kirinya. La-
ki-laki yang tadi baru muncul ikut gerakkan kaki men-
gikuti dari belakang.
Dapat enam langkah, Guru Besar Pu Yi kembali pu-
tar diri menghadap Laki-laki yang baru masuk. Me-
mandang sesaat sebelum akhirnya buka mulut.
“Adik Liang San.... Tampaknya tidak ada perkem-
bangan berarti pada Maha Guru Besar....”
“Boleh aku menemuinya?!” tanya laki-laki berkepala
gundul yang tadi baru masuk dan dipanggil dengan
Liang San.
“Amitaba.... Dalam keadaan sakit begitu rupa, ku-
rasa Maha Guru Besar perlu banyak istirahat. Kalau
ada sesuatu yang hendak kau utarakan, kita bisa bicarakan bertiga.”
Liang San tersenyum seraya gelengkan kepala. “Aku
hanya ingin melihat keadaannya....”
“Aku dan adik Wu Wen She punya keinginan sa-
ma,” kata Pu Yi sembari memandang pada laki-laki
berkepala gundul yang usianya paling muda dan tegak
di sebelah kirinya. “Namun kami berdua tidak berani
masuk menemuinya tanpa ada permintaan dari Maha
Guru Besar....”
“Amitaba.... Memang demikian, Kakak Liang San.”
Laki-laki yang berada di sebelah Guru Besar Pu Yi dan
disebut dengan nama Wu Wen She sambuti ucapan
Guru Besar Pu Yi.
“Hem.... Bagaimana kalau kita mencari tabib dari
luar shaolin?!” Liang San angkat suara.
“Amitaba.... Kuhargai usil adik Liang San. Aku juga
punya maksud demikian. Tapi Maha Guru Besar me-
nolak.... Bahkan ramuan obat dari tabib shaolin sen-
diri sudah dua hari tidak disentuh.... Ini memang
membuat keadaannya lemah. Namun aku tidak berani
memaksa....” Guru Besar Pu Yi berkata.
Wu Wen She sudah buka mulut. Namun bersamaan
itu sebuah pintu yang ada di sebelah kanan terbuka.
Pu Yi, Liang San, dan Wu Wen She serentak berpaling.
Terlihat seorang anak tanggung berkepala gundul te-
gak dengan kedua tangan menakup di depan dada lalu
perdengarkan suara.
“Maha Guru Besar memanggil Guru Besar Pu Yi....”
Guru Besar Pu Yi takupkan kedua tangan di depan
dada. Berpaling pada Liang San dan Wu Wen She den-
gan kepala mengangguk lalu bergegas melangkah ke
arah pintu yang baru saja terbuka.
Begitu Guru Besar Pu Yi masuk, anak tanggung
berkepala gundul tutupkan pintu lalu tegak di balik
pintu dengan mata memandang ke arah satu ranjang
agak besar di mana Guru Besar Pu Yi telah tegak di
sampingnya dengan kepala menunduk dan kedua tan-
gan tetap menakup di depan dada.
Sepasang mata Guru Besar Pu Yi menatap ke arah
ranjang agak besar. Di atas ranjang tampak tergolek
satu sosok tubuh kurus berusia sangat lanjut. Kepa-
lanya gundul. Kumis dan jenggotnya tebal serta pan-
jang. Sepasang matanya terpejam rapat dengan dada
bergerak turun naik keras.
“Pu Yi....” Mulut orang tua di atas ranjang membuka
perdengarkan suara. Saat bersamaan sepasang mata-
nya dibuka memandang ke arah Guru Besar Pu Yi.
“Kau adalah yang paling tua di biara shaolin ini! Usia-
ku tampaknya sudah tidak memungkinkan lagi untuk
terus memegang kepemimpinan shaolin....”
“Maha Guru Besar Su Beng Siok.... Harap tidak ber-
kata begitu....”
“Pu Yi.... Setelah aku tiada nanti, harap kau pimpin
biara shaolin. Kau sudah tahu apa saja yang harus
dan tidak boleh kau lakukan! Jagalah keutuhan dan
kebersamaan....” Orang tua yang dipanggil dengan Ma-
ha Guru Besar Su Beng Siok sudah angkat suara me-
motong ucapan Guru Besar Pu Yi.
“Amitaba.... Terima kasih atas kepercayaan Maha
Guru Besar. Tapi hal ini harus kubicarakan dahulu
dengan adik Liang San dan adik Wu Wen She.... Kalau
ada di antara mereka berdua yang ingin memimpin
shaolin, kurasa lebih baik di antara mereka saja yang
kelak memimpin biara shaolin....”
“Pu Yi.... Liang San dan Wu Wen She memang layak
juga memimpin shaolin. Namun aku khawatir mereka
berdua tidak mampu menjaga keutuhan. Untuk itulah
mengapa aku secara diam-diam menyuruhmu mencari
seorang yang kau percaya untuk mengambil peta wa-
siat itu.... Sekarang aku ingin dengar bagaimana kabar
berita orang kepercayaanmu itu?!”
Guru Besar Pu Yi tundukkan kepala dengan mena-
rik napas panjang. Lalu berkata pelan. “Seharusnya
Yang Kui Tan sudah tiba kembali.... Tapi....”
“Kau tidak salah mengatakan di mana harus meng-
ambil peta wasiat itu?!” Maha Guru Besar Su Beng
Siok menukas dengan satu pertanyaan.
Guru Besar Pu Yi gelengkan kepala. “Aku khawatir
dia mendapat halangan dalam perjalanannya....”
Maha Guru Besar Su Beng Siok perdengarkan ba-
tuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya tampak mun-
cratan darah. Guru Besar Pu Yi cepat mendekat. Na-
mun Maha Guru Besar segera gelengkan kepala de-
ngan pegangi dadanya sembari berkata.
“Kau harus segera mencari tahu kabar tentang
orang kepercayaanmu itu. Sejak kerajaan jatuh ke
tangan Ku Nang, situasi tidak begitu aman.... Aku ti-
dak berprasangka buruk pada Ku Nang, namun jika
sampai peta wasiat itu jatuh ke tangan orang lain, aku
tak bisa bayangkan apa yang akan terjadi....”
Guru Besar Pu Yi anggukkan kepala. Maha Gua Be-
sar Su Beng Siok teruskan ucapan. “Pesanku juga....
Hindari hubungan yang erat dengan pihak kerajaan.
Kau harus mempertahankan tradisi shaolin yang tidak
memihak pada siapa saja!”
Kembali Guru Besar Pu Yi anggukkan kepala. Na-
mun kini dia sorongkan kepalanya mendekat ke arah
Maha Guru Besar Su Beng Siok. Dia buka mulut den-
gan mata melirik pada anak tanggung yang tegak di
dekat pintu.
“Maha Guru Besar.... Bagaimana dengan putra
mahkota Oh Lui Hong itu?”
“Selama ini kukira tidak ada orang yang tahu selain
kita berdua siapa sebenarnya Oh Lui Hong.... Malah
dia mungkin juga tidak merasa kalau dia sebenarnya
adalah putra mahkota yang haknya telah diambil oleh
Ku Nang. Simpan baik-baik rahasia ini. Juga jangan
ceritakan pada anak itu siapa dia sebenarnya. Itu bu-
kan saja akan membawa celaka pada Oh Lui Hong, ta-
pi juga pada Perguruan Shaolin!” Maha Guru Besar Su
Beng Siok melirik pada anak tanggung di dekat pintu.
Lalu dengan suara tersendat-sendat, dia sambungi ka-
ta-katanya.
“Aku menyelamatkan dia bukannya aku ikut cam-
pur urusan kerajaan. Namun semata-mata demi me-
nyelamatkan nyawa seorang anak manusia! Perlahan-
lahan kau bimbing dia. Hingga kalau saja nanti takdir
menuliskan dia tahu siapa dirinya sebenarnya, maka
dalam dadanya telah tertanam bahwa rasa balas den-
dam itu percuma dan tidak baik.... Dia harus bisa me-
nerima apa yang telah dijalaninya.... Sekarang kau ha-
rus cepat cari kabar tentang orang kepercayaanmu itu.
Dan tempatkan beberapa orang untuk berjaga di seki-
tar ruang penyimpanan!”
Guru Besar Pu Yi anggukkan kepala lagi lalu mun-
dur satu langkah. “Bagaimana dengan sakitmu? Apa
tidak sebaiknya kita menerima kehadiran tabib di luar
shaolin?”
Maha Guru Besar Su Beng Siok gelengkan kepala.
“Rasa sakit, bahkan kematian bukanlah sesuatu yang
kutakutkan.... Yang lebih kukhawatirkan adalah jatuh-
nya peta wasiat itu ke tangan orang lain. Karena bila
itu terjadi, bencana besar dan pertumpahan darah ti-
dak bisa kita hindarkan lagi.... Ingat, Pu Yi. Hanya kau
yang tahu peta wasiat itu! Sekarang semuanya berada
di pundakmu. Kelak bakal terjadi bencana atau tidak,
itu langkahmu yang menentukan!”
Guru Besar Pu Yi hanya anggukkan kepala. Lalu
melangkah dari sisi ranjang ke arah pintu. Su Beng
Siok pejamkan sepasang matanya kembali lalu mengatur napas.
“Oh Lui Hong.... Jaga Maha Guru Besar.... Kalau
ada apa-apa cepat temui aku....” Guru Besar Pu Yi ber-
kata pada anak tanggung di dekat pintu.
Oh Lui Hong takupkan kedua tangan di depan dada
seraya anggukkan kepala. “Baik Guru Besar Pu Yi....”
Habis berkata begitu, Oh Lui Hong balikkan tubuh
lalu membuka pintu. Guru Besar Pu Yi arahkan pan-
dang matanya sejenak pada sosok Su Beng Siok. Saat
kemudian dia putar diri lalu melangkah keluar dari
ruangan.
Liang San cepat sengatkan pandangannya pada
ranjang di dalam ruangan. Tapi belum sampai pan-
dang matanya dapat melihat sosok Su Beng Siok, Oh
Lui Hong telah tutupkan kembali pintu ruangan.
“Bagaimana keadaan Maha Guru Besar?!” Liang San
langsung ajukan tanya pada Guru Besar Pu Yi.
Guru Besar Pu Yi sesaat memandang pada Liang
San. “Dia tetap menolak untuk menerima kehadiran
tabib dari luar shaolin.... Dia hanya berpesan agar
memperketat penjagaan pada ruang penyimpanan....”
Liang San tampak kerutkan dahi. “Kurasa hal itu
sangat berlebihan. Bertahun-tahun hidup di Pergu-
ruan Shaolin, belum pernah kudengar ada orang yang
hendak mencuri sesuatu dari ruang penyimpanan! Ju-
stru yang sekarang perlu kita pikirkan adalah bagai-
mana memulihkan keadaan Maha Guru Besar....”
“Itu adalah pesan, Adik Liang San.... Bagaimanapun
juga harus kita turuti permintaannya! Lagi pula ruang
penyimpanan sangat berarti bagi Perguruan Shao-
lin....”
“Hem.... Pesan itu seakan memberi isyarat ada se-
seorang yang hendak bermaksud buruk...,” ujar Liang
San sembari melirik pada Pu Yi dan Wu Wen She.
Guru Besar Pu Yi gelengkan kepala dan tersenyum.
Lalu berkata. “Kita tidak pernah membuat urusan de-
ngan pihak luar. Jadi tidak mungkin ada orang yang
hendak membuat urusan dengan kita. Pesan itu
mungkin semata-mata sebagai hal biasa untuk men-
gingatkan kita....!”
Guru Besar Pu Yi arahkan pandang matanya keluar
ruangan. Dia sebenarnya ingin mengutarakan apa
yang baru saja dibicarakan dengan Maha Guru Besar
Su Beng Siok tentang masa depan kepemimpinan
shaolin. Namun setelah dipikir agak panjang, ia memu-
tus-kan untuk menunda pembicaraan itu.
“Hem.... Maha Guru Besar masih ada. Tidak pantas
rasanya kalau saat ini aku membicarakan masa depan
kepemimpinan shaolin. Lagi pula biarlah Maha Guru
Besar nanti yang akan mengatakannya sendiri.... Aku
merasa tidak enak jika harus mengutarakan pada adik
Liang San dan adik Wu Wen She.... Aku khawatir di
antara mereka menduga aku terlalu punya milik pada
kepemimpinan shaolin.... Sekarang aku harus cepat
mencari tahu kabar Yang Kui Tan....”
Berpikir begitu, akhirnya Guru Besar Pu Yi buka
mulut. “Kalau tidak ada yang ingin kalian bicarakan,
aku akan mengutus beberapa orang untuk laksanakan
pesan Maha Guru Besar....” Guru Besar Pu Yi meman-
dang silih berganti pada Liang San dan Wu Wen She.
Karena kedua orang ini tidak ada yang buka suara,
akhirnya Guru Besar Pu Yi takupkan kedua ta-ngan di
depan dada seraya mengangguk. Saat lain dia melang-
kah keluar diikuti Liang San dan Wu Wen She.
Di luar ruangan, Guru Besar Pu Yi berbelok ke ka-
nan. Wu Wen She ke arah kiri. Liang San tetap tegak
dengan mata sesekali memperhatikan pada sosok
Guru Besar Pu Yi dan Wu Wen She. Begitu kedua
orang ini lenyap masuk ke salah satu ruangan di de-
pan sana, Liang San berkelebat lurus ke depan.
Sampai pintu gerbang bangunan yang tegak kokoh
di depan, Liang San hentikan larinya. Kepalanya berge-
rak ke kiri kanan. Terlihat beberapa orang berkepala
gundul tegak berjaga-jaga. Liang San arahkan pandang
matanya ke depan. Di hadapannya terlihat tangga me-
nurun. Empat pemuda berkepala gundul tampak pula
tegak dengan tangan masing-masing membawa tong-
kat.
Liang San terlihat bimbang. Saat lain dia putar diri
lalu berkelebat kembali dari mana dia tadi datang.
Saat kemudian dia lenyap masuk ke dalam satu ruan-
gan.
***
ENAM
SENJA perlahan-lahan turun. Cahaya sang mataha-
ri sudah berganti warna kekuningan. Bangunan megah
Perguruan Shaolin yang terletak di perbatasan Tibet
dan Tiongkok pantulkan bayang keemasan terjilat
warna kuning cahaya matahari.
Bangunan itu terdiri atas dua bagian. Di sebelah
depan, tegak kokoh pintu gerbang yang dilatari hala-
man sangat luas. Pada bagian bawah pintu gerbang
terdapat tangga naik dari batu. Di belakang pintu ger-
bang membentang pula halaman luas. Lalu terlihat
bangunan besar yang di bawah pintu masuknya juga
terdapat tangga dari batu. Inilah bangunan utama
tempat murid Perguruan Shaolin melatih ilmu silat. Di
sebelah kanan kiri bangunan utama, terdapat deretan
ruangan. Lalu di sebelah kanan berjarak dua puluh
sembilan tombak dari bangunan utama, berdiri satu
bangunan agak besar. Bangunan ini dijaga beberapa
orang pada pintunya. Inilah bangunan yang disebut
ruang penyimpanan.
Tiba-tiba salah satu pintu di deretan ruangan yang
ada di sebelah kanan bangunan utama, terkuak sedi-
kit. Lalu terlihat satu mata memperhatikan keluar
bangunan. Saat lain mata itu mengawasi matahari
yang hampir tenggelam. Kejap kemudian memperhati-
kan lagi ke seantero halaman di depan bangunan uta-
ma. Lalu perlahan-lahan beralih pada beberapa orang
yang tegak berjaga-jaga di sekitar halaman dan pojok
ruangan. Namun cuma sekejap. Baru ketika matanya
memandang ke ruang penyimpanan, mata itu meman-
dang berlama-lama tak berkesip pada beberapa pemu-
da berkepala gundul yang tegak berjaga-jaga. Pemuda
yang tidak lain adalah beberapa murid Perguruan
Shaolin itu berjumlah delapan orang. Tangan masing-
masing orang memegang tongkat panjang. Mereka ti-
dak ada yang buka suara atau membuat gerakan.
Mata di celah pintu yang terbuka, menyipit. Lalu
perlahan-lahan menjauh dari celah sebelum akhirnya
pintu itu tertutup kembali. Bersamaan dengan itu, pa-
da salah satu ruangan di deretan sebelah kiri bangu-
nan utama juga bergerak membuka. Kali ini terlihat
sepasang mata memperhatikan ke halaman di depan
bangunan utama. Lalu beralih ke arah ruang penyim-
panan. Saat berikutnya memandang ke arah matahari
yang sudah mulai tenggelam. Lalu pintu ruangan itu
menutup.
Beberapa saat berlalu. Matahari sudah tenggelam.
Suasana sudah gelap. Beberapa pemuda murid Pergu-
ruan Shaolin tampak melangkah hilir mudik untuk
nyalakan beberapa ruangan kecuali ruangan penyim-
panan.
Saat itulah ruangan di deretan sebelah kanan ban-
gunan utama, yang tadi terkuak dan terlihat satu mata, terbuka perlahan. Satu sosok tubuh menyelinap ke-
luar lalu buru-buru tutupkan kembali pintu ruangan.
Suasana gelap dan hilir mudiknya beberapa murid
Perguruan Shaolin membuat gerakan sosok ini tampak
leluasa. Di hanya perlu memperhatikan sejenak pada
deretan ruangan di sebelah kiri bangunan utama. Saat
lain dia hentakkan kedua kaki. Sosoknya melesat ke
udara dan tahu-tahu telah tegak di atas ruangan dari
mana dia tadi menyelinap keluar. Dia mengawasi sean-
tero tempat di bawahnya sejenak, lalu membuat satu
kali gerakan lagi. Sosoknya berkelebat ke belakang se-
belum akhirnya lenyap ditelan kegelapan.
Bersamaan dengan lenyapnya sosok tubuh di atas
ruangan sebelah kanan bangunan utama, salah satu
pintu ruangan di sebelah kiri bangunan yang tadi ter-
buka sedikit dan terlihat sepasang mata, kembali ter-
buka. Satu sosok tubuh perlahan-lahan keluar. Sete-
lah menutup pintu, tanpa memandang kiri kanan, so-
sok ini seperti halnya sosok di ruangan sebelah kanan
bangunan utama, melenting ke atap ruangan dari ma-
na dia baru saja keluar. Saat lain sosoknya berkelebat
lalu melayang turun lewat belakang dan lenyap ditelan
suasana malam.
Sosok yang menyelinap keluar pertama, berkelebat
laksana kesetanan ke arah selatan. Sementara sosok
yang menyelinap kedua berkelebat ke arah utara. So-
sok yang ke arah selatan sesekali putar pandangan
berkeliling perhatikan tempat yang dilewati dan tak ja-
rang berpaling ke belakang. Setelah melewati sebuah
kawasan rawa dan padang rumput luas, sosok tubuh
ini memperlambat larinya. Ketika di depan sana terli-
hat jembatan bambu yang melintang di atas sungai
agak besar, baru sosok ini hentikan langkah. Dia tegak
dengan kepala tengadah pandangi sang rembulan. Lalu
kepalanya diluruskan ke arah jembatan di hadapannya
dan terus tembusi padang ilalang tinggi yang ada di
seberang.
Saat itulah mendadak dari kawasan ilalang luas di
seberang sana terlihat cahaya obor menyala. Tapi cu-
ma sekejap. Saat lain cahaya obor itu padam kembali.
Sosok yang berada di padang rumput luas putar tu-
buh perlahan-lahan memperhatikan kawasan padang
rumput. Saat lain dia kembali menghadap jembatan.
Lalu berkelebat melewati jembatan bambu dan berhen-
ti tidak jauh dari cahaya obor yang tadi menyala se-
bentar.
“Terima kasih kau mau datang....” Mendadak terde-
ngar suara pelan. Lalu satu sosok tubuh keluar dari
ranggasan ilalang tinggi. Dia adalah seorang laki-laki
berusia empat puluh lima tahunan. Wajahnya garang.
Kumisnya lebat dengan jenggot panjang. Sepasang ma-
tanya tajam. Kedua alis matanya mencuat ke atas.
Rambutnya lebat dan masih hitam serta panjang dan
digelung ke atas. Orang ini mengenakan pakaian war-
na hitam-hitam. Di tangannya terlihat bumbung bam-
bu yang dibuat sebagai obor.
“Tuan Baginda Ku Nang.... Kita tak punya waktu
banyak!” Sosok yang tadi menyeberangi jembatan ang-
kat bicara. Dia adalah seorang laki-laki mengenakan
pakaian warna kuning tanpa leher. Paras wajahnya
agak sulit dikenali karena di atas kepalanya menge-
nakan caping lebar yang dimasukkan dalam-dalam
hingga dari paras mukanya yang terlihat hanyalah ba-
gian bawah wajahnya. Orang ini berkumis tipis dan
berjenggot panjang tapi agak jarang.
“Guru Besar Liang San...!” kata orang yang meme-
gang bumbung obor dan tadi dipanggil dengan Tuan
Baginda Ku Nang. “Kau tak perlu khawatir. Beberapa
orang sudah kutempatkan pada jalan masuk menuju
padang rumput dan kawasan ilalang ini. Jika ada se-
seorang yang mencurigakan, kita akan segera tahu....”
Laki-laki bercaping lebar yang ternyata adalah Liang
San, angkat tangan kirinya. Telunjuk jarinya didorong-
kan pada bagian depan caping lebarnya. Kini terlihat
jelas paras wajah orang ini.
“Tuan Baginda Ku Nang.... Walau kau telah me-
nempatkan beberapa orang, tapi kita harus tetap ber-
hati-hati. Dan seharusnya kau tidak perlu menem-
patkan beberapa orang, karena....”
Belum sampai Liang San teruskan ucapan, Baginda
Ku Nang telah perdengarkan tawa pendek lalu ber-
ucap.
“Guru Besar Liang San tak usah cemas. Orang-
orangku tidak akan pernah ada yang berkhianat! Me-
reka adalah orang-orang pilihan! Lagi pula mereka ti-
dak tahu siapa kau sebenarnya! Mereka hanya tahu
bahwa mereka harus menghadang orang yang ciri-
cirinya lain dari yang kau kenakan!”
Guru Besar Liang San takupkan kedua tangannya
di depan dada. “Baiklah.... Mudah-mudahan dugaan-
mu tidak meleset!”
Baginda Ku Nang lagi-lagi tertawa pendek mende-
ngar ucapan Guru Besar Liang San. “Semua sudah ku-
perhitungkan masak-masak, Guru Besar Liang San.
Aku tak ingin mengalami kegagalan untuk kedua ka-
linya!”
Dahi di balik caping lebar Guru Besar Liang San
bergerak mengerut. “Maksudmu...?!”
“Yang Kui Tan gagal ditemukan.... Malah yang ber-
hasil kembali dengan selamat hanya Panglima Muda
Lie!”
“Apa yang terjadi?!” Guru Besar Liang San cepat
menyahut.
“Perahu yang ditumpangi Yang Kui Tan memang di.
temukan. Namun sosoknya lenyap! Ada seorang pe-
muda berilmu tinggi tidak dikenal yang menumpang
perahu yang tadinya ditumpangi Yang Kui Tan! Hanya
saja, menurut Panglima Muda Lie, pemuda itu me-
nyembunyikan Yang Kui Tan!”
“Berarti....”
“Peta wasiat itu gagal kita peroleh!” Baginda Ku
Nang menyahut. “Tapi Guru Besar Liang San tak perlu
terlalu khawatir. Pemuda asing itu berada di daerah
Tibet. Dan aku telah memerintahkan pencarian pada
seluruh prajurit kerajaanl Tidak lama lagi pemuda tak
dikenal itu pasti kita temukan!”
“Ah.... Tidak ada gunanya mencari pemuda asing
itu! Kita harus terus memburu Yang Kui Tan! Karena
aku yakin, dia tak akan memberikan peta wasiat itu
pada siapa saja apalagi pada pemuda asing yang be-
lum dikenal!”
“Tapi Panglima Muda Lie yakin kalau Yan Kui Tan
disembunyikan pemuda asing itu! Kalau kita men-
dapatkan pemuda itu, berarti mudah pula bagi kita
mendapatkan Yang Kui Tan!”
Guru Besar Liang San gelengkan kepala dengan wa-
jah kecewa, “Tidak semudah itu, Tuan Baginda.... Yang
Kui Tan orangnya cerdik. Bisa saja dia mempengaruhi
pemuda asing itu untuk mengalihkan perhatian kita!”
Mendengar kata-kata Guru Besar Liang San ganti
Baginda Ku Nang yang gelengkan kepala. “Yang Kui
Tan telah terluka parah, Guru Besar! Bahkan Panglima
Muda Lie memperkirakan Yang Kui Tan telah mam-
pus!”
“Amitaba.... Urusan ini jadi makin sulit.... Dan itu
mengharuskan kita mengubah rencana semula!”
“Maksud, Guru Besar Liang San...?!”
“Semula kita berencana mendapatkan peta wasiat
yang berada di tangan Yang Kui Tan dahulu, baru kemudian mengambil yang ada di ruang penyimpanan!
Tapi sekarang harus kita rubah. Kita dapatkan dahulu
yang ada di ruang penyimpanan, lalu seraya jalan kita
memburu Yang Kui Tan dan pemuda asing itu! Dan
harap kau perintahkan beberapa orangmu untuk me-
nutup jalan menuju biara shaolin! Jangan biarkan
orang tak dikenal menerobos masuk sebelum rencana
kita berjalan!”
Baginda Ku Nang tersenyum seraya anggukkan ke-
pala. “Lalu kapan rencana ini kita lakukan?!”
“Dua hari di muka! Harap siapkan beberapa orang
pilihan! Semuanya harus mengenakan penutup wajah.
Hindarkan semua yang dapat membuat orang curiga
jika orang-orang itu masih ada hubungannya dengan
kerajaan! Tepat tengah malam bergeraklah dari arah
kiri bangunan utama. Aku tahu apa yang akan kula-
kukan sebelum orang-orang itu datang!”
Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San balik-
kan tubuh. Namun sebelum dia bergerak, Baginda Ku
Nang buka suara.
“Tunggu!”
Guru Besar Liang Sang urungkan niat namun tidak
perdengarkan suara. Sepasang matanya tembusi ila-
lang tinggi lalu menebar ke kawasan rumput luas di
seberang sana.
“Bagaimana dengan Guru Besar Pu Yi dan Guru Be-
sar Wu Wen She?!”
“Urusan di dalam sana, serahkan saja padaku! Tapi
harap Baginda nanti tidak menyalahi perjanjian yang
kita sepakati! Aku harus segera pergi!”
Tanpa menunggu sahutan orang, Guru Besar Liang
San berkelebat. Baginda Kunang memperhatikan se-
saat. Lalu berbalik dan berkelebat di antara ranggasan
ilalang tinggi.
***
Sementara sosok yang menyelinap keluar dari Per-
guruan Shaloin dan berkelebat ke arah utara, baru
hentikan larinya tatkala sampai di sebuah bukit. Dia
memandang berkeliling sesaat. Kejap lain telah berge-
rak mendaki. Tidak berapa lama sosoknya telah tegak
di puncak bukit. Dia tengadahkan kepala pandangi
sang rembulan. Lalu arahkan pandang matanya ke
hamparan gelap di bawahnya. Nun jauh di sana terli-
hat beberapa titik cahaya.
“Hem.... Apa yang terjadi hingga Yang Kui Tan tidak
muncul sampai hari ini...? Adakah dia mendapat hala-
ngan?! Tapi bagaimana bisa terjadi? Bukankah urusan
ini tidak ada yang tahu selain aku, Maha Guru Besar,
dan Yang Kui Tan? Ataukah dia salah jalan...? Namun
itu tak mungkin!” Sosok di puncak bukit perdengarkan
gumaman.
Dia adalah seorang laki-laki berusia empat puluh
lima tahunan. Sosoknya kekar dengan paras wajah
agak bulat. Pada sebelah samping mata kanannya ter-
dapat tahi lalat yang ditumbuhi beberapa rambut agak
panjang. Orang ini berkepala gundul, la mengenakan
pakaian selempang warna kuning yang dilapis kain
warna merah di atas pundaknya dan terus dililitkan
pada pinggangnya. Orang tua ini bukan lain adalah
Guru Besar Pu Yi.
Guru Besar Pu Yi edarkan pandang matanya berke-
liling di puncak bukit. “Puncak bukit ini belum ber-
ubah. Ini satu bukti jika Yang Kui Tan memang belum
sampai.... Menurut rencana, empat hari yang lalu dia
sebenarnya harus sudah menunggu di sini! Ke mana
aku harus mencari? Tak mungkin aku meninggalkan
shaolin untuk mencarinya! Selain kesehatan Maha
Guru Besar mengkhawatirkan, kepergianku ini akan
membawa dugaan yang tidak-tidak.... Hem.... Ataukah
aku harus mencari orang yang dapat kupercaya untuk
mencari Yang Kui Tan?! Namun bukankah itu akan
membawa urusan makin panjang seandainya nanti
Yang Kui Tan salah tanggap? Karena selama ini aku
dan dia telah sepakat untuk tidak memberitahukan
urusan ini pada siapa-siapa! Hemmm....”
Guru Besar Pu Yi menghela napas panjang. “Kalau
sampai terjadi sesuatu pada Yang Kui Tan, alamat
akan muncul bencana.... Ah. Mungkinkah hal itu akan
terjadi? Atau jangan-jangan Yang Kui Tan.... Amita-
ba.... Mengapa aku punya prasangka buruk padanya?
Dia adalah orang yang paling kupercaya! Kalau sampai
hari ini dia belum datang, pasti ada sesuatu yang
menghadang di luar perhitungan!”
Guru Besar Pu Yi kembali arahkan pandang mata-
nya ke hamparan tanah luas di bawah sana. Tapi
mendadak matanya cepat melirik ke samping kanan
kiri. Saat lain dia takupkan kedua tangan di depan
mata.
“Ada orang di sekitar tempat ini.... Siapa dia? Tak
mungkin Yang Kui Tan! Bagaimana dia sampai berada
di sekitar tempat ini? Apakah kehadirannya di bukit ini
ada sangkut pautnya dengan keterlambatan Yang Kui
Tan?!”
Guru Besar Pu Yi perlahan-lahan balikkan tubuh.
Lalu kepalanya memutar setengah lingkaran dengan
mata memandang ke satu batangan pohon agak besar.
Walau tadi sudah menduga, namun begitu matanya
dapat menangkap satu sosok tubuh yang duduk ber-
sandar pada batangan pohon, dia sempat pula terke-
siap!
***
TUJUH
GURU Besar Pu Yi melihat seorang laki-laki berusia
lanjut mengenakan pakaian berupa jubah tanpa leher
berwarna putih. Paras wajahnya agak bulat dengan
mata sipit. Rambutnya yang putih di kelabang dan dili-
litkan melingkar pada lehernya. Pada daun telinga kiri-
nya terlihat menggantung sebuah anting-anting agak
besar. Kakek ini hanya memiliki satu tangan yang di-
angkat dengan telapak terbuka lurus menghadap ke
depan sejajar dengan dada.
“Amitaba.... Bukankah dia Tiyang Pengembara
Agung?” Guru Besar Pu Yi bergumam. Lalu angkat ke-
dua tangannya sejajar dada dengan kepala meng-
angguk dan buka mulut.
“Amitaba.... Kalau tak salah lihat, bukankah yang
duduk di hadapanku adalah seorang tokoh yang tak
asing lagi bagi kalangan dunia persilatan bergelar
Tiyang Pengembara Agung?!”
Orang yang duduk bersandar pada batangan pohon
perdengarkan tawa. Lalu gerakkan kepala menunduk.
“Guru Besar Pu Yi.... Kau terlalu memuji orang. Aku
jadi tidak enak hati.... Lama kita tidak berjumpa. Ku-
harap kau baik-baik saja.... Bagaimana keadaan Maha
Guru Besar Su Beng Siok?!”
Pertanyaan orang tua yang dipanggil dengan Tiyang
Pengembara Agung membuat Guru Besar Pu Yi sempat
terperanjat. Diam-diam dalam hati dia berkata. “Ter-
nyata dia memang memiliki ilmu langka. Selama ini
semua murid dan penghuni Shaolin telah dipesan agar
merahasiakan keadaan Maha Guru Besar. Tapi nyata-
nya dia berhasil mengetahuinya.... Hem. .. Apa keha-
dirannya saat ini ada kaitannya dengan Yang Kui
Karena tak ada gunanya lagi sembunyikan kenya-
taan, Guru Besar Pu Yi menjawab. “Maha Guru Besar
sedang sakit....”
“Ah.... Seandainya ada waktu, aku ingin menengok-
nya. Cuma aku terbentur pada peraturan shaolin....”
“Amitaba.... Kalau Tiyang Pengembara Agung berke-
hendak melihatnya, aku tawarkan diri untuk mengan-
tar. Siapa tahu pula dengan kehadiran Tiyang Pe-
ngembara Agung, Maha Guru Besar Su Beng Siok ber-
ubah pikiran....”
“Hem.... Dia dahulu adalah sahabatku meski tidak
terlalu dekat. Aku tahu bagaimana sifatnya. Dia sangat
teguh pendirian. Tak seorang pun bisa merubah piki-
rannya. Tapi harap kau tidak memaksakan diri terha-
dapnya. Dia telah tahu apa yang dilakukannya....”
“Maaf...,” kata Guru Besar Pu Yi. “Bukan maksudku
menyinggung perasaanmu. Tapi kehadiranmu di tem-
pat ini kurasa bukanlah satu kebetulan semata. Ada
seseorang yang hendak kau temui di tempat ini?!”
Tiyang Pengembara Agung bergerak bangkit. Selain
hanya memiliki satu tangan, orang tua ini juga hanya
memiliki satu kaki. Dia tengah memandang rembulan
lalu sandarkan punggungnya kembali ke batangan po-
hon di belakangnya. Saat kemudian dia sambuti uca-
pan Guru Besar Pu Yi.
“Aku juga tak hendak menyinggung perasaanmu.
Kalau aku boleh berterus terang, sebenarnya bukan
aku yang tengah menunggu atau hendak menemui se-
seorang di tempat ini. Tapi yang hendak menemui se-
seorang adalah dirimu....”
“Amitaba.... Ternyata dia juga telah tahu mengapa
aku berada di sini! Berarti dia juga tahu urusan Yang
Kui Tan....” Guru Besar Pu Yi berkata dalam hati.
“Guru Besar Pu Yi.... Aku tak hendak mendahului
ketentuan yang telah ditulis dan akan kita jalani. Namun rasanya aku bisa memberi satu saran padamu.
Tinggalkan saja bukit ini. Dan jangan pernah datang
lagi ke sini. Orang yang selama ini kau tunggu tidak
akan muncul! Lebih baik sekarang kau pusatkan per-
hatian ke dalam lingkungan shaolin!”
Guru Besar Pu Yi tak dapat menyimpan rasa kejut-
nya. Walau selama ini dia telah mendengar siapa
Tiyang Pengembara Agung dan baru saja membuktikan
kalau orang itu dapat mengetahui keadaan Maha Guru
Besar Su Beng Siok padahal selama ini semua murid
Perguruan Shaolin tidak ada yang membocorkan, na-
mun kali ini Guru Besar Pu Yi rasanya masih meragu-
kan ucapan Tiyang Pengembara Agung.
“Harap kau jelaskan bagaimana mungkin orang
yang kutunggu tidak akan muncul?” tanya Guru Besar
Pu Yi.
Tiyang Pengembara Agun tertawa. “Sayang sekali,
Guru Besar Pu Yi. Aku tidak bisa memenuhi permin-
taanmu. Mungkin kelak akan datang seorang tamu tak
dikenal yang dapat menjelaskannya!” .
“Amitaba.... Aku tidak akan memaksakan untuk
menjelaskannya. Tapi untuk pertanyaanmu yang mem-
beri saran agar aku memusatkan perhatian ke dalam
lingkungan shaolin, apakah ini ada kaitannya dengan
urusan orang yang kutunggu ini?!”
“Segala kemungkinan bisa saja terjadi!”
“Berarti aku harus mencurigai orang di lingkungan
shaolin?!”
“Siapa pun manusia di permukaan bumi ini, pasti
tak luput dari kehendak ingin memiliki sesuatu yang
lebih. Tak terkecuali orang lingkungan shaolin sendiri!”
“Amitaba.... Harap maafkan aku. Rasanya aku tak
bisa melakukan saranmu! Ucapanmu memang benar.
Namun kalangan shaolin telah diajarkan untuk me-
nerima apa adanya tanpa harus punya keinginan memiliki sesuatu yang lebih, apalagi dengan jalan sa-
lah...”
“Tidak berprasangka buruk pada orang memang
baik. Tapi jika tanda-tanda telah muncul dan kita te-
tap berpendirian semua orang pasti baik, maka kita
akan terlambat untuk sadari. Dan keterlambatan sa-
dar ini mungkin saja akan mengakibatkan timbulnya
satu malapetaka besar!”
“Terima kasih atas saranmu.... Mudah-mudahan
malapetaka itu tak akan terjadi. Sekarang boleh aku
tahu, siapa yang kau maksud dengan seorang tamu
tak dikenal?!”
“Aku hanya tahu wajahnya tapi tak tahu namanya!
Aku hanya sempat bertemu satu kali dan tak bicara
banyak. Karena itu, harap kau segera tinggalkan bukit
ini. Siapa tahu tamu itu akan segera muncul. Kalau
kau tidak berada di tempat, bukan saja akan merasa
menyesal, namun akan menimbulkan kecurigaan
orang!”
“Mau mengatakan bagaimana ciri-ciri tamu itu?!”
tanya Guru Besar Pu Yi.
“Seorang pemuda berwajah tampan. Melihat dari
sosok dan penampilannya, dia datang dari seberang
laut....”
“Aneh.... Bagaimana ini? Seorang pemuda tak di-
kenal datang dari seberang laut. Namun menurutnya
pemuda itu nanti dapat menjelaskan perihal Yang Kui
Tan. Hem.... Bagaimana bisa hal ini terjadi?!” Guru Be-
sar Pu Yi membatin.
“Guru Besar Pu Yi.... Kadang-kadang ada satu pe-
ristiwa yang menurut perhitungan kita tidak mungkin.
Tapi kenyataannya benar-benar terjadi! Begitu pula
sebaliknya!”
“Amitaba.... Dia seakan-akan tahu apa yang ada
dalam pikiranku! Ucapannya benar.... Sebaiknya aku
segera kembali ke shaolin!” Guru Besar Pu Yi masih
membatin begitu mendengar ucapan Tiyang Pengem-
bara Agung.
“Kau masih ingin menengok Maha Guru Besar Su
Beng Siok?” tanya Guru Besar Pu Yi.
“Hasrat hati memang demikian. Tapi biarlah untuk
sementara waktu hasratku kutunda dahulu. Aku tidak
mau kau nanti mendapat tudingan tak enak kalau
sampai mengajakku menemui Maha Guru Besar Su
Beng Siok. Hanya saja sampaikan salamku pada-
nya....”
Lagi-lagi kening Guru Besar Pu Yi berkerut men-
dengar ucapan Tiyang Pengembara Agung. Namun kali
ini dia tak mau mengutarakan apa yang mengganjal
dalam hatinya walau sebenarnya hatinya mulai tidak
enak.
“Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas saranmu.
Aku tetap menunggu kehadiranmu di shaolin. Selamat
malam....”
Guru Besar Pu Yi anggukkan kepala. Lalu melang-
kah tujuh tindak. Saat lain sosoknya telah melesat
menuruni bukit.
***
Begitu tiba di ruangannya kembali, Guru Besar Pu
Yi tampak resah. Dia melangkah mondar-mandir de-
ngan pikiran tak karuan. Terngiang kembali di telinga-
nya semua ucapan Tiyang Pengembara Agung. Hatinya
makin cemas dan khawatir kala mengingat bahwa
Yang Kui Tan tidak akan muncul lagi.
“Ucapan Tiyang Pengembara Agung memberi isyarat
kalau anak itu mendapat halangan.... Amitaba.... Apa
yang harus kulakukan sekarang? Memberitahukan
urusan ini pada Maha Guru Besar?! Kurasa itu tidak
layak. Dia tengah sakit keras.... Hem.... Peta wasiat
itu.... Bagaimana kalau sampai jatuh ke tangan orang
lain?! Lalu siapa? Pemuda tampan tak dikenal yang di-
katakan Tiyang Pengembara Agung?! Ah.... Urusan ini
tampaknya akan jadi panjang. Hem.... Penjagaan
ruang penyimpanan memang harus dilipatgandakan.
Kalau peta wasiat itu benar-benar jatuh ke tangan
orang lain, pasti dia akan mencari pasangannya di
ruang penyimpanan!”
Berpikir sampai ke sana, mendadak Guru Besar Pu
Yi melangkah menuju pintu ruangan. Perlahan-lahan
dia membuka pintu. Lalu melangkah ke arah bangu-
nan di seberang yang merupakan ruang penyimpanan.
Namun langkahnya tertahan saat sepasang mata-
nya menangkap satu sosok kekar muncul dari pojok
ruangan di samping bangunan ruang penyimpanan.
Guru Besar Pu Yi sesaat perhatikan orang yang juga
tengah melangkah.
“Adik Liang San...,” gumam Guru Besar Pu Yi begitu
matanya dapat mengenali siapa adanya orang yang
melangkah dari pojok ruangan di samping ruang pe-
nyimpanan.
Orang yang melangkah muncul dari pojok ruangan
sempat terkejut melihat kemunculan Guru Besar Pu
Yi. Namun orang ini yang ternyata memang Liang San
segera bergegas mendekati Guru Besar Pu Yi dan beru-
jar pelan.
“Aku mendapat firasat tidak enak. Untuk itulah aku
keluar melihat-lihat keadaan....”
Guru Besar Pu Yi tersenyum. “Amitaba.... Mudah-
mudahan firasatmu tidak menjadi kenyataan. Namun
begitu aku berterima kasih kau masih menyempatkan
diri untuk keluar melihat-lihat!”
Liang San takupkan kedua tangannya di depan da-
da. Kepalanya menunduk meski sepasang matanya
melirik tajam pada Guru Besar Pu Yi. Tanpa berkata
apa-apa lagi dia teruskan langkah lalu memasuki
ruangannya di salah satu deretan ruangan di sebelah
kanan bangunan utama.
Guru Besar Pu Yi tersenyum. Lalu teruskan langkah
pula ke ruang penyimpanan. Beberapa pemuda ber-
kepala gundul yang tegak berjaga-jaga di depan ruang
penyimpanan tampak anggukkan kepala.
“Kalian harus lebih waspada. Awasi setiap gerak-
gerik orang yang mencurigakan. Dan segera laporkan
kalau terjadi apa-apa!” Guru Besar Pu Yi berkata de-
ngan memperhatikan pintu ruang penyimpanan.
“Semua perintah akan kami laksanakan!” Salah
seorang pemuda yang tampak sebagai pimpinan penja-
gaan di ruang penyimpanan sambuti ucapan Guru Be-
sar Pu Yi.
Guru Besar Pu Yi tersenyum. Lalu melangkah lagi
ke ruangan dari mana tadi dia keluar. Saat lain orang
ini telah lenyap masuk. Tanpa sepengetahuan orang,
dari ruangannya, Guru Besar Liang San tampak mem-
perhatikan dengan seringai dingin!
***
DELAPAN
SETELAH bertanya kian kemari pada beberapa o-
rang penduduk, akhirnya Pendekar 131 sampai juga di
kaki Gunung Sim Yao In. Dia tegak dengan tadangkan
tangan di depan kening untuk hindari silaunya mata-
hari. Saat itu matahari sudah mulai bergerak dari titik
tengahnya. Sementara murid Pendeta Sinting tegak
menghadap ke arah barat, karena menurut laki-laki
gundul yang ditemuinya di atas perahu, dia harus menuju arah barat dari Gunung Sim Yao In.
“Aku akan melewati lima kawasan hutan.... Berarti
aku belum bisa menentukan kapan sampai di tempat
tujuan! Mudah-mudahan aku bisa segera menemukan
orang yang bernama Guru Besar Pu Yi. Dengan demi-
kian, urusan ini cepat selesai dan aku bisa segera
kembali ke tanah Jawa! Sebelum jumpa dengan Putri
Kayangan dan menjernihkan persoalan dengannya, ra-
sanya hatiku masih tidak enak! Setelah itu aku harus
mencari Dewi Seribu Bunga. Bagaimanapun juga aku
harus memberi keterangan padanya. Dia sekarang
adalah murid Dewi Es yang juga adalah saudara se-
perguruan beberapa sahabatku! Kalau sampai terjadi
kesalahpahaman, bukan tak mungkin persoalannya
akan jadi besar dan melibatkan beberapa orang tua!
Habis itu baru aku akan mencari Saraswati.... Ah....
Terlibat urusan dengan para gadis ternyata lebih su-
sah cara menyelesaikannya....” Pendekar 131 Joko
Sableng tersenyum sendiri. Lalu mulai gerakkan kaki
melangkah meninggalkan kaki Gunung Sim Yao In.
Namun baru saja mendapat beberapa langkah, ter-
dengar satu bentakan.
“Berhenti!”
Beberapa sosok tubuh berkelebat. Saat murid Pen-
deta Sinting putar kepala ke samping kanan kiri, terli-
hat lima orang laki-laki berseragam prajurit tegak
mengitarinya dengan tangan masing-masing orang
menghunus pedang.
“Hem.... Ini pasti ada hubungannya dengan peristi-
wa di tengah laut kemarin!” kata Joko dalam hati lalu
perhatikan satu persatu pada lima laki-laki yang tegak
mengelilinginya. Seraya cengar-cengir, murid Pendeta
Sinting buka suara.
“Ada sesuatu yang hendak kalian utarakan?!”
“Kau bisa teruskan perjalanan!” kata salah seorang
yang tegak tepat di hadapan Joko. Tampaknya laki-laki
ini adalah pimpinan dari kelima orang prajurit.
“Terima kasih!” sahut Joko meski dia tahu jika uca-
pan laki-laki di hadapannya belum selesai, karena mu-
lutnya masih terbuka dan jelas hendak terus? ucapan.
Habis berkata, murid Pendeta Sinting enak saja
hendak teruskan langkah. Namun laki-laki di hada-
pannya segera luruskan pedang di tangannya seraya
membentak.
“Ucapanku belum selesai! Jangan berani melangkah
dari tempatmu!”
Pendekar 131 hentikan langkah. “Apa lagi yang in-
gin kalian katakan?!”
“Kau bisa teruskan perjalanan. Tapi jawab dulu dua
pertanyaan kami!”
“Aduh.... Banyak sekali permintaan kalian! Seha-
rusnya justru aku yang ajukan dua pertanyaan pada
kalian! Karena terus terang saja, aku belum paham
dengan daerah sekitar sini! Jadi bagaimana kalau ka-
lian jawab dahulu pertanyaanku?!”
Lima laki-laki yang mengepung Joko tampak saling
pandang dengan mata mendelik. Saat kemudian sama
arahkan pandang mata masing-masing ke arah murid
Pendeta Sinting.
“Dengar, Orang Asing1” Laki-laki yang tegak tepat di
hadapan Joko kembali buka suara. “Kau telah mema-
suki daerah kekuasaan kami. Kau tak punya hak un-
tuk ajukan tanyai”
“Ah.... Kalian tentu salah bicara! Ada yang lebih
berkuasa atas daerah ini!”
“Jahanam! Siapa dia?!” bentak laki-laki yang dari
tadi buka mulut.
Murid Pendeta Sinting angkat tangan kanannya ke
atas kepala. Jari telunjuknya diacungkan lurus ke atas
menunjuk langit.
Lima prajurit di sekeliling Joko sama tengadahkan
kepala mengikuti arah telunjuk tangan kanan Pende-
kar 131.
“Yang di atas sana kurasa lebih berkuasa atas dae-
rah ini.... Bukankah begitu? Jadi kalau kalian berhak
ajukan tanya di daerah ini, aku pun punya hak yang
sama!”
Salah seorang dari lima laki-laki yang tampaknya
tidak sabaran, maju dua langkah dengan pedang dita-
rik ke belakang siap dibabatkan.
“Tahan!” Laki-laki di hadapan Joko mencegah den-
gan tangan kiri disentakkan ke bawah. Orang yang ba-
ru saja hendak babatkan pedang urungkan niat lalu
luruhkan kembali pedangnya.
“Siapa kalian sebenarnya?! Dan apa maksud kalian
menghadangku?!” Pendekar 131 telah dahului ajukan
tanya.
“Keparat! Kau tak akan mendapat jawaban dari per-
tanyaanmu!” hardik laki-laki yang jadi pemimpin rom-
bongan kelima orang. Lalu dia teruskan ucapan. “Di
mana kau sembunyikan Yang Kui Tan?! Dan ke mana
kau akan pergi?!”
“Hem.... Yang Kui Tan.... Yang dimaksud pasti laki-
laki berkepala gundul yang kutemukan terluka di atas
perahu!” Joko membatin. Lalu dengan tersenyum dia
angkat suara.
“Jadi dua pertanyaan yang harus kujawab adalah
pertanyaan yang baru saja kalian ucapkan itu?!”
“Jangan banyak mulut! Bisa saja kami tambah lagi
dengan beberapa pertanyaan kalau keteranganmu ti-
dak jelas! Dan jika kau tidak menjawab, bukan saja
kau tidak akan teruskan perjalanan, tapi kau akan
terkubur jauh dari daerah asalmu!”
Pendekar 131 angguk-anggukkan kepala. “Kalian
tahu aku adalah orang yang datang dari jauh. Adalah
aneh bukan kalau aku mengenal orang yang bernama
Yang Kui Tan?! Siapa dia...? Dari mana asalnya? Ba-
gaimana kalian menanyakan dia padaku...? Apa hu-
bungan orang itu denganku?! Dan bagaimana pangkal
sebabnya kalian menduga aku menyembunyikan orang
itu?!” Joko ajukan rentetan pertanyaan.
Kelima orang yang mengelilingi Joko kembali saling
pandang. Salah seorang di antaranya mendekati pim-
pinan rombongan lalu berbisik. “Jelaskan saja pada-
nya siapa Yang Kui Tan agar urusan ini tidak berlarut-
larut dan cepat selesai! Kau telah dengar sendiri, walau
tampak cengengesan, pemuda itu mampu lolos dari
hadangan Panglima Muda Lie dan beberapa orang pe-
ngawal kerajaan! Aku bukannya takut, tapi kalau uru-
san bisa selesai tanpa pertumpahan darah, kurasa itu
lebih baik!
Pimpinan rombongan tampak menyeringai namun
diam-diam membenarkan ucapan salah seorang anak
buahnya. Hingga tak lama kemudian dia berkata.
“Yang Kui Tan adalah salah seorang utusan dari
Perguruan Shaolin!”
“Hem.... Begitu?! Lalu apa hubungan orang itu den-
ganku?! Kurasa aku tak pernah mengenalnya!”
“Mengenal atau tidak, itu bukan urusanku! Yang je-
las kau telah membawa dan menyembunyikannya!”
“Dari mana kalian tahu?!”
“Kau datang ke sini menggunakan perahu yang se-
belumnya ditumpangi Yang Kui Tan!”
“Kalian teman-temannya Yang Kui Tan?!”
“Itu bukan urusanmu! Jawab saja di mana Yang
Kui Tan!”
“Baiklah.... Aku akan menjawab pertanyaanmu. Ta-
pi aku ingin tahu dahulu, mengapa kalian mencari
Yang Kui Tan?!” tanya murid Pendeta Sinting.
“Dia mencuri benda milik kerajaan!”
Mimik Pendekar 131 sedikit berubah. Hatinya bim-
bang. “Benarkah...? Apakah yang dimaksud benda mi-
lik kerajaan itu kantong putih yang diberikannya pa-
daku?! Au harus tahu urusan ini dengan jelas!” kata
Joko dalam hati. Lalu buka mulut.
“Benda apa yang dicurinya?!”
“Itu rahasia kerajaan! Sekarang jawab pertanyaan
kami tadi!” kata pimpinan rombongan.
“Hem.... Bagaimana mungkin orang dari Perguruan
Shaolin bisa mencuri benda milik kerajaan?!” tanya
Joko tanpa pedulikan permintaan orang.
“Itu bukan sesuatu yang harus kau ketahui!”
“Apa selama ini terjadi silang sengketa antara kera-
jaan dan Perguruan Shaolin?” Murid Pendeta Sinting
masih juga ajukan tanya, membuat kelima orang tam-
pak kesal.
“Pertanyaanmu sudah terlalu banyak! Jangan buat
kami habis kesabaran!” pimpinan rombongan mengan-
cam lalu tarik pedang di tangan kanannya sedikit ke
belakang. Keempat orang lainnya ikut membuat ge-
rakan yang sama.
“Aku harus segera bertemu dengan Guru Besar Pu
Yi! Tak enak kalau hanya mendengar keterangan dari
satu pihak!” gumam murid Pendeta Sinting dalam hati.
“Karena menurut apa yang pernah kudengar, Pergu-
ruan Shaolin sangat taat pada peraturan!”
“Aku memang sempat bertemu Yang Kui Tan!” A-
khirnya Joko buka suara. “Pertemuan itu terjadi di
tengah laut, karena aku adalah seorang nelayan! Saat
itu dia terluka parah dan tak lama kemudian dia me-
ninggal!”
“Lalu di mana mayatnya?!” Pimpinan rombongan
bertanya.
“Sebelum meninggal, dia menghadiahkan perahu-
nya padaku namun dengan satu permintaan!”
“Apa permintaannya?!”
“Dia minta diceburkan ke dalam laut!”
“Kau jangan berani berkata dusta pada kami! Pang-
lima Muda Lie tahu kalau Yang Kui Tan masih ada di
perahu!”
Pendekar 131 gelengkan kepala seraya tersenyum.
“Dia salah pandang. Yang dikira Yang Kui Tan adalah
bekal makanan yang kututup dengan jubah hitam
yang kupakai ini. Karena saat itu gelombang sedang
naik pitam, terpaksa aku menutup bekal makanan
Yang Kui Tan dengan jubah hitam ini. Sebab bagai-
manapun juga aku masih memerlukan bekal makanan
dalam perjalanan! Apalagi saat itu aku tak tahu harus
ke mana, karena aku sendiri sebenarnya tengah me-
nyelamatkan diri dari hantaman gelombang yang ten-
gah memporak-porandakan perahu milikku dan telah
menenggelamkan beberapa teman nelayanku!”
Pimpinan rombongan memandang pada keempat
orang anak buahnya. Orang yang tadi berbisik kembali
sorongkan wajahnya ke dekat telinga pimpinan rom-
bongan lalu berbisik lagi.
“Kita harus menggeledahnya! Sekalian membawa
dia menghadap Panglima Muda Lie!”
Pimpinan rombongan anggukkan kepala. Lalu ber-
kata.
“Aku percaya pada keteranganmu! Namun satu lagi
pertanyaan kami. Ke mana tujuanmu sekarang?!”
“Ini adalah daerah asing bagiku! Sementara karena
aku semula tidak pernah punya niat untuk datang ke
daerah ini, aku akan menurut saja ke mana kakiku
bergerak! Tapi kalau bisa aku ingin segera kembali ke
kampung halamanku sendiri! Aku meninggalkan bebe-
rapa istri cantik-cantik! Belum lagi beberapa gadis
simpanan! Aku tak bisa hidup tanpa didampingi pe-
rempuan cantik! Sementara sudah dua hari di daerah
ini, aku belum pernah bertemu dengan gadis cantik!
Apa daerah ini memang tidak pernah melahirkan pe-
rempuan cantik?!”
“Orang asing! Kami dengan senang hati akan mem-
berimu beberapa gadis cantik!”
Murid Pendeta Sinting buru-buru angguk-angguk-
kan kepala dan dengan cepat segera menyahut. “Ah....
Terima kasih. Terima kasih....”
“Tapi kami harus menggeledahmu terlebih dahulu!”
Pimpinan rombongan sambungi ucapannya membuat
gerakan kepala Joko terhenti laksana dipacak tangan
setan.
“Apa yang hendak kalian lakukan?! Mengapa kalian
harus menggeledahku dahulu sebelum memberikan
beberapa gadis cantik?! Kalian tidak percaya kalau aku
laki-laki tulen?! Atau kalian khawatir barang orang da-
ri seberang lain dengan barang orang-orang di sini?!”
Murid Pendeta Sinting geleng-geleng kepala. “Percaya-
lah.... Semuanya pasti tidak ada bedanya! Kalaupun
ada perbedaan, kukira itu hanya masalah warna!”
“Dari tadi kau terlalu banyak bicara!” bentak pimpi-
nan rombongan yang tak tahan lagi menindih rasa ge-
ram. Dia maju beberapa langkah. “Turuti saja permin-
taan kami!”
Pendekar 131 julurkan kedua tangannya ke depan
dan digerak-gerakkan pulang balik ke kanan kiri mem-
beri isyarat agar orang tidak lakukan ucapannya. “Ku-
harap jangan lakukan itu padaku.... Kalian tahu, aku
geli sekaligus ngeri jika diraba-raba tangan laki-laki!”
“Kalau kau menolak, terpaksa kami akan menggele-
dahmu dengan pedang ini!” Pimpinan rombongan ang-
kat pedangnya tinggi-tinggi di atas kepalanya.
Murid Pendeta Sinting celingukan ke kanan kiri. Ke-
empat orang lainnya ikut-ikutan angkat pedang ma-
sing-masing ke atas kepala.
Joko takupkan kedua tangan di atas kepalanya de-
ngan tampang tegang. “Bagaimana kalau kalian cari-
kan saja beberapa gadis cantik untuk menggeledah-
ku?! Terus terang bulu kudukku sudah meremang,
padahal tangan kalian belum menyentuh!”
Wuutt!
Pimpinan rombongan yang sudah habis kesabaran
tidak menyahut dengan ucapan. Melainkan segera ba-
batkan pedang di tangannya. Keempat orang lainnya
tidak tinggal diam. Mereka segera pula gerakkan pe-
dang di tangan masing-masing! Hingga saat itu terde-
ngar lima desingan tajam ke arah sosok murid Pendeta
Sinting. Lima cahaya putih berkiblat!
Masih dengan takupkan kedua tangan di atas ke-
pala dan wajah tegang, Pendekar 131 hentakkan ke-
dua kakinya. Sosoknya melenting tiga tombak ke uda-
ra lalu melesat dan jatuh bergedebukan sepuluh lang-
kah dari lima orang yang tadi sama babatkan pedang!
Craakk! Crakk! Crakk! Trangg! Trangg!
Terdengar tiga suara pedang menghantam. Lalu
disusul terdengarnya bentrok antara pedang. Tanah
muncrat ke udara. Lalu terlihat percikan api.
Kelima orang langsung mendelik besar tatkala me-
ngetahui tiga pedang mereka hanya menghantam ta-
nah, sementara dua lainnya sama berbenturan!
Laksana dikomando, kepala masing-masing orang
sama menyentak ke samping dan ke depan kala telinga
mereka mendengar suara benda jatuh bergedebukan.
Mereka melihat sosok orang yang tadi dihantam duduk
berselonjor dengan tangan kiri kanan memijit-mijit
pantatnya!
“Kalian benar-benar tega membuatku jatuh tak ka-
ruan begini rupa!” ujar murid Pendeta Sinting. Namun
diam-diam dia berkata dalam hati. “Mereka harus se-
gera kuselesaikan! Jika tidak, perjalanan ini akan tertunda-tunda!”
Lima orang prajurit sama tegak berjajar. Sebenar-
nya nyali mereka sudah mulai ciut melihat orang ber-
hasil lolos dari serangan lima pedang yang berkelebat
menghajar. Apalagi sebelumnya sudah mendengar ka-
lau orang itu berhasil lolos dari hadangan Panglima
Muda Lie dan beberapa pengawal kerajaan yang il-
munya di atas mereka. Namun sebagai prajurit yang
menjalankan perintah, meski dengan hati ragu-ragu
akhirnya mereka berlari ke arah Joko dengan pedang
diangkat.
Murid Pendeta Sinting tarik pulang kedua tangan-
nya yang memijit-mijit pantat. Saat kemudian kedua
tangannya didorong ke depan.
Wuutt! Wuuttt!
Dua gelombang dahsyat menghampar. Gerak lang-
kah kelima prajurit mendadak terhenti. Saat lain ke-
lima sosok ini mencelat balik ke belakang. Kelima pe-
dang di tangan masing-masing orang lepas mental. La-
lu terdengar suara bergedebukan lima kali berturut-
turut.
Pendekar 131 bergerak bangkit dan segera melom-
pat ke depan lalu tegak berjarak sepuluh langkah dari
lima sosok yang terkapar di atas tanah. Joko menyeri-
ngai dengan tampang dibuat garang. Kedua tangannya
diangkat ke atas.
“Kalian telah ingkari janji yang hendak memberiku
beberapa gadis cantik! Sekarang kalian harus meneri-
ma hukuman!”
Kelima orang prajurit sama tegang dan melirik satu
sama lain. “Kita harus cepat tinggalkan tempat ini!” ka-
ta pimpinan rombongan. ,
“Tapi kita akan menerima hukuman lebih berat dari
kerajaan!” bisik satunya.
“Itu nanti bisa kita atur! Kita lapor tidak bertemu
orang yang kita cari!”
“Tapi....”
“Kerajaan masih bisa kita bohongi! Tapi tindakan
pemuda itu tidak mungkin bisa kita halangi! Jangan
banyak bicara di sini! Ayo kita segera lari!” bisik pim-
pinan rombongan. Dia beranjak dahulu dengan mata
terus memperhatikan pada kedua tangan Joko. Saat
berikutnya dia berbalik lalu menghambur lari.
Melihat pimpinan rombongannya telah kabur, ke-
empat anak buahnya sama saling lirik dengan tubuh
tergetar. Hampir bersamaan, mereka bergerak bangkit
lalu lari tunggang langgang!
“Kalian bisa lari sampai ujung dunia, tapi jangan
harap bisa lolos!” teriak Joko lalu sentakkan kedua
tangannya. Namun Joko sengaja arahkan pukulannya
pada hamparan tanah di belakang keempat orang yang
lari.
Bummm! Bummm!
Terdengar dua ledakan keras. Tanah bertabur ke
udara. Keempat orang yang lari belakangan makin per-
cepat larinya. Namun karena suasana berubah gelap
akibat taburan tanah, keempat prajurit ini tidak bisa
lagi melihat ke depan. Dua orang sama bertabrakan la-
lu jatuh bergulingan. Dua lainnya menabrak pohon la-
lu mental dan jatuh berkaparan dengan mulut dan hi-
dung kucurkan darah karena berbenturan dengan ba-
tangan pohon.
Begitu tanah telah luruh kembali dan suasana te-
rang, keempat prajurit perlahan-lahan sama buka ke-
lopak mata masing-masing dengan wajah makin te-
gang. Namun keempatnya sama menghela napas lega
tatkala mata mereka tidak lagi melihat orang lain di
tempat itu. Tapi mungkin masih kurang yakin dan ti-
dak mau membuat urusan lebih panjang, begitu tidak
melihat orang lain, keempatnya saling pandang. Saat
lain mereka cepat beranjak bangkit lalu menghambur
lari!
“Dasar manusia-manusia pengecut!” Tiba-tiba ter-
dengar satu suara bergumam dari balik salah satu ba-
tangan pohon. Lalu satu sosok tubuh keluar. Dia me-
mandang ke arah empat orang prajurit yang terus ber-
lari laksana dikejar setan dan tidak pedulikan kanan
kiri. Malah di antaranya ada yang jatuh bangun. Na-
mun segera berlari kembali!
Orang yang baru muncul dari batangan pohon pu-
tar kepala. “Hem.... Apa yang kudengar benar adanya.
Pemuda itu memiliki ilmu tinggi! Namun dia tidak ja-
hat. Terbukti, kalau saja dia mau, tidak sulit baginya
membunuh kelima prajurit tadi! Padahal kelima pra-
jurit tadi telah memperlakukannya dengan kasar!
Hem.... Siapa dia sebenarnya?! Apakah benar dia telah
menyembunyikan Yang Kui Tan...?! Aku belum me-
ngerti dengan jelas apa sebenarnya yang dicari kera-
jaan hingga memerintahkan seluruh orang kerajaan
mencari Yang Kui Tan atau pemuda itu!”
Orang yang tadi keluar dari balik batangan pohon
arahkan pandang matanya ke arah mana tadi dia me-
lihat Pendekar 131 berkelebat.
“Menurut arah yang diambil, pasti dia tengah me-
nuju Perguruan Shaolin! Berarti dia memang berhu-
bungan dengan Yang Kui Tan. Apa yang harus kula-
kukan?! Dia pasti tidak tahu kalau arah jalan yang
menuju Perguruan Shaolin telah dikepung dengan be-
berapa orang kerajaan berilmu tinggi!” Orang ini sesaat
bimbang.
“Aku harus memberi tahu padanya.... Tapi bagai-
mana kalau nanti.... Ah. Itu bisa kuatur!” orang ini ter-
senyum sendiri namun tiba-tiba senyumnya pupus.
Dia bergumam lagi. “Aneh.... Mengapa aku tak tega
melihat dia nanti mendapat celaka?! Ada apa dengan
diriku?!” orang ini gelengkan kepala perlahan seraya
menarik napas. Dia adalah seorang gadis berparas jeli-
ta berkulit putih kekuningan. Sepasang matanya bu-
lat. Rambutnya panjang digeraikan dan diberi pita di
atas. Gadis ini mengenakan pakaian warna merah mu-
da.
“Dia belum jauh.... Aku harus segera menyusul!”
Gadis berbaju merah muda berkata dalam hati. Den-
gan senyum mengembang di bibirnya yang merah, dia
segera berkelebat ke arah yang tadi diambil murid
Pendeta Sinting.
***
SEMBILAN
SEMENTARA sambil berlari, Pendekar 131 terus di-
buncah berbagai pertanyaan dalam hati. “Apakah be-
nar kantong putih ini benda milik kerajaan yang dicuri
oleh Yang Kui Tan?! Melihat yang memburu bukan sa-
ja beberapa prajurit, namun Panglima Muda Lie ikut
turun tangan, berarti benda ini sangat berharga! Tapi
mengapa Yang Kui Tan berpesan agar memberikan
benda ini pada Guru Besar Pu Yi?! Hem.... Kalau benar
benda ini milik kerajaan, berarti ada apa-apa antara
kerajaan dengan Perguruan Shaolin! Aku harus segera
jumpa dengan Guru Besar Pu Yi.... Hem.... Sebenarnya
apa isi kantong putih ini?!”
Terusik akan pertanyaannya sendiri, murid Pendeta
Sinting hentikan larinya. Dia putar kepala sesaat. Lalu
tangan kanannya diselinapkan ke balik pakaiannya.
Saat ini dia masih mengenakan Jubah Tanpa Jasad
yang kesaktiannya telah lenyap. (Mengenai Jubah
Tanpa Jasad, silakan baca serial Joko Sableng dalam
episode : “Jubah Tanpa Jasad”).
Dia sesaat menimang-nimang kantong putih yang
diberikan Yang Kui Tan. Kedua tangannya sudah ber-
gerak untuk membuka kantong. Namun tiba-tiba dia
urungkan niat. “Ah.... Rasanya tak pantas kalau mem-
buka kantong orang! Lebih baik aku nanti bertanya
pada Guru Besar Pu Yi. Karena aku yang membawa,
mungkin dia tak akan keberatan memberitahukan pa-
daku!”
Pendekar 131 selinapkan kembali kantong putih ke
balik pakaiannya. Saat lain dia berkelebat lagi menuju
ke arah barat seperti pesan Yang Kui Tan. Namun be-
lum sampai sosoknya bergerak, satu suara menahan.
“Tunggu!”
“Suara perempuan! Hem.... Baru kali ini aku jumpa
dengan perempuan. Mudah-mudahan paras dan ben-
tuk tubuhnya tidak mengecewakan dan enak dipan-
dang! Tapi bagaimana kalau dia adalah salah seorang
utusan kerajaan yang juga tengah memburuku? Apa-
kah aku harus teruskan perjalanan saja?!” Joko u-
rungkan niat seraya berpikir namun belum juga balik-
kan tubuh melihat siapa adanya orang yang baru saja
berseru.
“Boleh aku tahu, hendak ke mana kau?!”
Suara itu kini terdengar agak dekat. Menunjukkan
bahwa orangnya tidak berada jauh. Namun pertanyaan
itu membuat dada murid Pendeta Sinting jadi tak
enak. Masih tanpa balikkan tubuh dia berkata menja-
wab.
“Aku cuma ingin jalan-jalan! Kau sendiri hendak ke
mana?!”
“Hem.... Orang ini aneh...,” kata orang di belakang
Joko pelan seraya pandangi punggung Joko. Lalu ber-
kata.
“Jalan-jalan ke mana?!”
“Kau tahu di mana ada aliran sungai?!”
“Kau hendak ke sungai?!”
Pendekar 131 menjawab dengan anggukkan kepala.
“Perutku dari tadi mulas! Rasanya aku hampir tak ta-
han lagi! Harap tunjukkan padaku ke mana arah me-
nuju sungai!”
Terdengar suara tawa merdu tertahan. Sebenarnya
Joko ingin berpaling begitu mendengar suara tawa
merdu orang. Namun khawatir orang di belakangnya
adalah salah seorang yang tengah memburunya, Joko
menahan keinginannya.
“Pergilah ke arah selatan. Dua puluh lima tombak
dari sini kau akan menemukan sebuah sungai kecil!”
terdengar suara jawaban dari belakang.
“Terima kasih.... Kau mau ikut?!” tanya Joko.
Tidak terdengar sahutan. Joko sudah memutuskan
untuk berkelebat pergi. Namun kali ini dia tak kuasa
menahan diri untuk mengetahui orang di belakangnya.
Hingga seraya hendak berkelebat, dia berpaling ke be-
lakang.
Murid Pendeta Sinting hentikan gerakannya. Saat
lain justru dia balikkan tubuh. Sepasang matanya se-
dikit dibeliakkan. Dia melihat seorang gadis berparas
jelita dengan rambut digerai dan diberi pita di bagian
atasnya. Gadis itu mengenakan pakaian warna merah
muda.
Dipandangi orang begitu rupa, membuat gadis di
hadapan Joko jadi salah tingkah dan tundukkan ke-
pala. Wajahnya bersemu merah. Tapi ingat akan ha-
dangan beberapa orang dan ingat pula bahwa perta-
nyaan si gadis sama dengan beberapa orang yang
sempat menghadangnya, membuat murid Pendeta Sin-
ting memutuskan untuk pergi meski hatinya ingin se-
jenak berbincang-bincang.
“Benar di sebelah selatan ada sungai?!” Joko ajukan
tanya.
Si gadis anggukkan kepala tanpa memandang. Joko
balikkan tubuh. Namun entah mengapa dia tidak sege-
ra berkelebat. Sebaliknya putar diri lagi menghadap si
gadis dan bertanya.
“Kau sendiri hendak ke mana?!”
Si gadis berpakaian merah muda angkat kepalanya
memandang wajah murid Pendeta Sinting. Lalu kepa-
lanya menggeleng.
“Jadi kau tak punya tujuan? Kau tersesat...?!”
Lagi-lagi gadis jelita di hadapan Joko gelengkan. La-
lu bergumam. “Ditanya hendak ke mana menggeleng.
Ditanya tidak punya tujuan menggeleng. Ditanya ter-
sesat menggeleng....”
“Kau bilang perutmu mulas.... Mengapa masih juga
tidak segera ke sungai?!” Gadis di hadapan Joko buka
suara.
“Tadinya memang begitu. Tapi demi melihat wajah-
mu, perutku tidak mulas lagi! Tidak keberatan menga-
takan siapa dirimu?!”
Paras wajah si gadis kembali bersemu merah. Mu-
lutnya sudah membuka, namun suaranya tidak juga
terdengar.
“Aku Joko.... Joko Sableng!” Murid Pendeta Sinting
mendahului memperkenalkan diri.
“Dari namamu.... Pasti kau bukan berasal dari dae-
rah sini! Kalau orang datang dari seberang jauh dan
mengadakan perjalanan di sini, pasti bukan semata
untuk mencari sebuah sungai karena perut mulas!”
Gadis berpakaian merah muda berujar.
“Hem.... Gadis ini bukan hanya berwajah cantik,
namun juga cerdik!” kata Joko dalam hati. Lalu berka-
ta.
“Dugaanmu benar.... Tapi tidak seluruhnya! Aku ta-
di benar-benar tengah mencari sungai karena perut-ku
mulas....”
Si gadis tertawa pendek. “Aku tahu ke mana sebe-
narnya tujuanmu!”
Murid Pendeta Sinting kerutkan kening. “Siapa ga-
dis cantik ini sebenarnya...? Kemarin malam aku jum-
pa dengan orang tua yang ucapannya seakan ingin ta-
hu apa tujuanku. Orang tua itu sebut-sebut Gunung
Sim Yan In dalam syairnya. Padahal aku belum menga-
takan pada siapa-siapa ke mana aku hendak melang-
kah. Sekarang juga aku jumpa dengan gadis cantik
yang mengatakan dia tahu ke mana sebenarnya tujua-
nku! Heran.... Jangan-jangan daerah ini tempat ber-
kumpulnya beberapa tukang ramal....”
Mungkin karena penasaran dengan ucapan si gadis,
Joko segera buka mulut bertanya. “Coba katakan ke
mana tujuanku!”
Gadis di hadapan Joko sesaat memandang pada pa-
ras wajah murid Pendeta Sinting. Lalu alihkan pan-
dang matanya ke arah bergeraknya sang matahari.
Saat kemudian dia berkata.
“Kau hendak menuju Perguruan Shaolin!”
Joko sempat tersentak. Namun dia coba menutupi
rasa kejutnya dengan tertawa panjang. Lalu menyusuli
suara tawanya dengan ucapan.
“Kau salah tebak.... Aku sampai di daerah ini kare-
na terbawa perahu. Jadi sebenarnya aku tidak punya
tujuan pasti! Kalaupun aku punya tujuan, itu bagai-
mana aku bisa pulang ke kampung halamanku lagi!”
Kini gadis di hadapan Joko yang ganti kernyitkan
kening. Murid Pendeta Sinting tersenyum. Lalu sam-
bungi ucapannya. “Aku memang tidak sepandai kau,
tapi aku mungkin bisa menebak ke mana sebenarnya
tujuanmu!”
Karena penasaran juga, si gadis bertanya. “Coba katakan!”
“Kau pasti akan melangkah mengikutiku!”
Paras wajah si gadis berubah merah padam. Semen-
tara Joko sendiri sebenarnya sudah tidak enak karena
mendapati si gadis tahu ke mana sebenarnya dia hen-
dak pergi.
“Kau juga salah tebak!” Mendadak si gadis buka su-
ara. “Aku tidak bermaksud mengikutimu! Aku hanya
ingin....” Si gadis tidak lanjutkan ucapan. Melainkan
putar kepalanya dengan mata menyelidik.
“Ingin apa? Ingin ikut ke sungai?!”
Si gadis gelengkan kepala. “Aku tahu kau berdus-
ta.... Kau akan pergi ke Perguruan Shaolin. Kau tak
usah khawatir kalau aku akan terus mengikutimu.
Aku hanya ingin menyarankan agar kau berhati-
hati....”
Murid Pendeta Sinting melompat. Tanpa sadar ke-
dua tangannya memegang kedua lengan si gadis. “Sia-
pa kau sebenarnya?! Dan ada apa...?!”
“Beberapa orang telah menutup jalan masuk me-
nuju Perguruan Shaolin. Mereka bukan orang semba-
rangan! Kalau kau masih berniat menuju shaolin, lebih
baik kau tunda dulu keinginanmu sampai suasana
agak aman!”
“Siapa kau sebenarnya?!” Joko ulangi pertanyaan-
nya.
Si gadis gelengkan kepala dengan mata memandang
ke arah kedua tangan Joko yang memegang kedua len-
gannya. Murid Pendeta Sinting buru-buru sadar dan
lepaskan pegangan kedua tangannya.
“Aku.... Namaku Mei Hua....”
“Kau tahu banyak tentang diriku. Siapa kau se-
benarnya?!”
“Aku tidak punya waktu banyak.... Silakan kau per-
gi ke sungai. Di sana nanti kau bisa merenung apa
yang baru kukatakan!”
Habis berkata begitu, gadis yang sebutkan diri Mei
Hua balikkan tubuh. Namun Joko cepat pegang lengan
kanan si gadis.
“Tunggu! Bagaimana....”
Belum sampai Joko teruskan ucapan, Mei Hua telah
menukas. “Kalau kita terus bicara di sini, bukan saja
kau yang akan mendapat celaka, tapi aku juga akan
ikut terlibat!”
“Lalu di mana kita bisa bicara?!” tanya Joko.
“Untuk sementara ini keadaan tidak memungkin-
kan. Mungkin kelak kita akan punya banyak waktu....
Aku harus segera pergi....” Tangan kanan Mei Hua
mencekal tangan murid Pendeta Sinting yang meme-
gang lengannya. Perlahan-lahan tangan gadis ini le-
paskan tangan Joko. Saat lain si gadis berpaling den-
gan tersenyum. Lalu anggukkan kepala dan berkelebat
pergi.
Pendekar 131 pandangi punggung Mei Hua hingga
lenyap di depan sana. “Hem.... Ucapannya kuyakin
pasti benar.... Apakah aku harus turuti ucapannya un-
tuk menunda pergi ke Perguruan Shaolin?! Lalu aku
hendak ke mana?! Daerah ini masih asing bagiku....
Ah, lebih baik aku cepat menemui Guru Besar Pu Yi....
Aku akan memasuki shaolin saat hari telah gelap. De-
ngan begitu aku tidak punya beban lagi....”
Berpikir begitu, akhirnya Pendekar 131 teruskan
perjalanan ke arah barat. Namun kali ini dia makin
waspada dan sengaja memperlambat larinya dengan
maksud menunggu hari gelap.
Sementara Mei Hua terus berlari. Namun begitu
mendapat dua puluh tombak, mendadak gadis ber-
wajah cantik ini hentikan larinya. Saat lain dia berba-
lik dan kembali berkelebat dari arah mana dia tadi ber-
lari.
Ketika matanya dapat menangkap kembali sosok
murid Pendeta Sinting, Mei Hua memperlambat larinya
dan berkelebat dengan secara sembunyi-sembunyi
mengikuti Pendekar 131 Joko Sableng dengan wajah
sedikit tegang dan cemas!
***
SEPULUH
SETELAH melakukan perjalanan satu hari dan me-
lewati lima kawasan hutan, akhirnya Pendekar 131
Joko Sableng tiba di satu kawasan tanah lapang. Saat
itu matahari hampir tenggelam tapi suasana belum ge-
lap. Memandang jauh ke depan, Joko melihat aliran
sungai yang membelah kawasan tanah lapang. Dan ke-
tika murid Pendeta Sinting palingkan kepala ke ka-
nan, tampaklah sebuah bangunan tinggi berbentuk
kuil. Joko anggukkan kepala. Lalu putar kepala me-
nyiasati keadaan.
Dalam perjalanannya Joko memang sengaja berke-
lebat secara hati-hati dan sembunyi-sembunyi. Dia
akhirnya juga membuktikan kebenaran Mei Hua. Ka-
rena dia sempat melihat beberapa orang yang mende-
kam sembunyi di balik pohon. Namun sejauh ini dia
tidak sadar kalau secara diam-diam pula Mei Hua te-
rus mengikuti di belakangnya.
Paras wajah Mei Hua tampak semakin cemas dan
gelisah ketika tahu jika jarak antara Pendekar 131 dan
Perguruan Shaolin tidak jauh lagi. Dan dia hentikan
larinya ketika di depan sana terlihat murid Pendeta
Sinting hentikan kelebatan.
Murid Pendeta Sinting tampak putar kepala me-
nembusi suasana yang hampir, gelap. Dia masih bisa
me-lihat keadaan sekeliling karena meski malam sudah menjelang, namun sang rembulan tampak pan-
carkan cahayanya dari arah sebelah timur.
“Hem.... Banyak orang di depan sana.” gumam Joko
ketika matanya bisa menangkap beberapa orang di ke-
remangan malam. “Terpaksa aku harus jalan memuta-
ri” putus Joko. Saat lain dia balikkan tubuh itu berlari
balik.
Melihat hal ini Mei Hua terkesiap kaget karena Joko
berlari menuju ke arahnya. Dia segera turunkan tubuh
dan langsung telungkup sejajar tanah. Gadis cantik ini
tidak berani membuat suara atau membuat gerakan.
Hanya sepasang matanya yang tampak bergerak-gerak
memperhatikan arah kelebatan murid Pendeta Sinting.
Gadis ini sempat menahan napas ketika Joko berkele-
bat hanya berjarak tujuh langkah di sebelah samping-
nya. Namun ketegangan gadis cantik ini pupus tatkala
melihat Joko teruskan kelebatannya.
Mei Hua tidak mengerti benar mengapa tiba-tiba
murid Pendeta Sinting berkelebat balik. Namun keleba-
tan ini membuat dada Mei Hua sedikit merasa lega.
Dia menduga Joko urungkan niat untuk pergi ke Per-
guruan Shaolin. Hingga dengan bibir tersenyum, Mei
Hua segera bangkit begitu melihat sosok murid Pen-
deta Sinting sudah berada jauh di depan sana.
Namun mata Mei Hua sedikit menyipit ketika tiba-
tiba melihat sosok murid Pendeta Sinting membelok
dan berkelebat kembali ke arah Perguruan Shaolin.
“Hem.... Tampaknya dia cuma menghindari ketat-
nya penjagaan orang! Dia akan teruskan niat menuju
Perguruan Shaolin!” Ketegangan di wajah Mei Hua
kembali terbayang. Dengan cepat gadis cantik ini sege-
ra berkelebat mengikuti larinya Joko. Dugaan Mei Hua
ternyata tidak meleset. Murid Pendeta Sinting memang
teruskan niat menuju Perguruan Shaolin hanya de-
ngan mengambil jalan di sisi lain.
Pada satu tempat kembali Joko hentikan larinya.
“Busyet! Rupanya memang tidak ada jalan yang lowong
tanpa orang!” gumamnya saat matanya menangkap ti-
ga orang tengah mendekam sembunyi. “Apa boleh
buat. Aku harus melewatinya meski harus membuat
se-dikit urusan!”
Berpikir begitu, akhirnya Joko teruskan larinya.
Namun baru saja dia hendak berkelebat, satu sosok
bayangan melesat di sebelah samping sana. Karena
suasana agak gelap dan sosok itu berkelebat amat ce-
pat, Joko tidak bisa menentukan siapa adanya orang.
Dia hanya bisa melihat berkelebatnya satu bayangan.
Sosok bayangan itu terus berkelebat menuju tiga orang
yang sembunyi di depan sana. Saat lain mendadak
bayangan itu angkat kedua tangannya. Terdengar de-
ruan keras. Dua gelombang berkiblat ke arah tiga
orang yang mendekam sembunyi.
Tiga orang yang mendekam sembunyi sama berke-
lebat keluar dari tempat masing-masing lalu melompat
hindarkan diri. Begitu dua gelombang lewat, salah se-
orang di antaranya segera berteriak.
“Kejar!”
Tiga orang berkelebat. Karena ternyata begitu le-
paskan satu pukulan, si bayangan langsung berkele-
bat.
“Hem.... Apa maksud orang tadi?! Kalau dia berniat
menyerang tentu tidak akan terus berlari begitu lepas
pukulan. Ah.... Itu urusan mereka. Yang jelas sekarang
aku agak leluasa bergerak!” Joko sempat memikirkan
tindakan si bayangan. Namun karena tak mau sia-
siakan kesempatan, dia cepat berkelebat dan melewati
tempat di mana tiga orang tadi mendekam sembunyi.
Murid Pendeta Sinting terus berkelebat. Karena sa-
dar tempat di sekitarnya banyak orang, dia sengaja ke-
rahkan segenap ilmu peringan tubuhnya. Dengan bantuan suasana malam, akhirnya murid Pendeta Sinting
tiba di tempat yang dari tempat itu terlihat bangunan
megah shaolin tanpa rintangan berarti.
Empat pemuda berkepala gundul segera menyong-
song begitu mereka melihat satu sosok tubuh melang-
kah cepat ke arah pintu gerbang.
“Amitaba....” Salah seorang dari keempat murid Per-
guruan Shaolin takupkan kedua tangan di depan dada
seraya melangkah dua tindak lebih maju dari tiga te-
mannya yang tegak di belakang. “Harap terangkan apa
tujuanmu datang ke shaolin...!”
Joko ikut-ikutan takupkan kedua tangan di depan
dada. Lalu anggukkan kepala dan berkata.
“Aku ingin bertemu dengan Guru Besar Pu Yi!”
Salah seorang dari Perguruan Shaolin yang tegak
paling depan sesaat pandangi Pendekar 131 dari atas
hingga bawah.
“Sebutkan siapa dirimu dan apa keperluanmu hen-
dak bertemu Guru Besar Pu Yi!”
“Wah.... Peraturan di sini terlalu ketat! Padahal aku
harus segera bertemu dengan Guru Besar Pu Yi!” kata
Joko dalam hati. Lalu enak saja dia buka mulut.
“Aku Han Ko.... Dan harap dimaafkan. Aku tak bisa
memberi tahu apa keperluanku bertemu dengan Guru
Besar Pu Yi!”
“Amitaba.... Mohon dimaafkan juga. Kami tidak bisa
memberimu izin bertemu dengan Guru Besar Pu Yi.
Kau kembalilah besok pagi....”
“Amitaba....” Joko ikut-ikutan buka mulut. “Aku tak
bisa menunggu! Malam ini juga aku harus bisa berte-
mu dengan Guru Besar Pu Yi! Ada masalah penting
yang harus kubicarakan dengannya!”
“Guru Besar Pu Yi sedang berada di kamar per-
sembayangan. Dia tidak bisa diganggu! Harap maafkan
kami....”
“Katakan saja ada masalah penting! Pasti dia dapat
memaklumi!”
Pemuda berkepala gundul yang tampaknya jadi
pimpinan regu jaga gelengkan kepala. “Amitaba.... Me-
nurut peraturan yang berlaku, masalah apa pun tidak
bisa mengganggu jika Guru Besar telah masuk ruang
persembayangan!”
“Sial! Bagaimana sekarang?! Aku tidak bisa me-
nunggu lagi! Malam ini juga aku harus lepaskan be-
ban!” kata Joko dalam hati. Dia berpikir sesaat lalu
berkata.
“Kapan dia akan keluar dari kamar persembayan-
gan?!”
“Tak bisa ditentukan waktunya. Kadang-kadang dia
baru keluar setelah tiga hari tiga malam!”
“Busyet! Ini tidak boleh terjadi!” batin Joko lalu
kembali bertanya.
“Kalau Guru Besar Pu Yi tidak bisa ditentukan ka-
pan keluarnya dari kamar persembayangan, mengapa
kau menyuruhku untuk kembali ke sini besok?!”
“Siapa tahu Guru Besar Pu Yi sudah keluar. Lagi
pula kau nanti bisa bertemu dengan Guru Besar Liang
San dan Guru Besar Wu Wen She jika Guru Besar Pu
Yi belum juga keluar dari kamar persembayangan....”
“Amitaba.... Aku hanya hendak bertemu dengan
Guru Besar Pu Yi! Bukan Guru Besar lainnya!” kata
Joko.
“Itu urusanmu. Yang jelas kalau kau ingin bertemu
dengan Guru Besar Pu Yi, kau harus menunggu sam-
pai dia keluar dari kamar persembayangan! Waktunya
kami tidak bisa menentukan!”
“Bagaimana kalau sekali ini saja kalian beri tahu
pada Guru Besar Pu Yi?!”
“Amitaba.... Kami tidak berani melakukannya!”
“Kalian takut dihukum?!”
“Bukan hukuman yang kami takutkan. Tapi kami
tidak mau melanggar peraturan!”
“Kalau begitu, antar saja aku ke tempat kamar per-
sembayangan. Aku nanti yang akan memberi tahu
maksud kedatanganku!”
“Harap dimaafkan. Kami juga tidak berani me-
lakukan tindakan itu!”
“Apa boleh buat.... Terpaksa aku harus menerobos!”
kata Joko dalam hati. Lalu memperhatikan suasana
sebentar. Saat lain dia buka mulut.
“Baiklah.... Aku akan kembali besok pagi! Amita-
ba....” Joko anggukkan kepala lalu putar diri dan me-
langkah perlahan meninggalkan halaman Perguruan
Shaolin.
“Selamat jalan.... Silakan kau datang besok pagi!”
sahut pemuda yang tegak di sebelah depan seraya ikut
anggukkan kepala. Keempat pemuda berkepala gundul
ini segera balikkan tubuh lalu melangkah kembali ke
arah pintu gerbang.
Namun keempat pemuda ini tersentak tatkala ma-
tanya melihat satu sosok bayangan berkelebat melewa-
tinya dari sebelah samping.
Tanpa ada yang buka suara, keempat pemuda sege-
ra mengejar. Namun karena sadar tidak bisa mengejar
orang, salah seorang dari keempat pemuda ini segera
berteriak.
“Ada tamu menerobos masuk! Semua harus siap!”
Joko tidak pedulikan teriakan orang. Dia teruskan
kelebatan. Namun baru saja hendak melewati tangga
di bawah pintu gerbang, mendadak satu bayangan
kuning berkelebat dari dalam pintu gerbang dan tahu-
tahu tegak menghadang. Tangan kanannya diangkat
memberi isyarat. Keempat pemuda berkepala gundul
yang masih berada di halaman pintu gerbang sama
hentikan larinya. Lalu takupkan kedua tangan masing
masing dan mengangguk.
“Amitaba.... Harap katakan perlumu, Anak Muda....”
Orang yang tegak menghadang Joko anggukkan kepala
dengan bibir tersenyum. Namun matanya memperhati-
kan orang di hadapannya dengan seksama.
Murid Pendeta Sinting yang berhenti ketika melihat
munculnya orang, segera pula mengawasi orang. Dia
adalah seorang laki-laki berusia empat puluh lima ta-
hunan. Sosoknya kekar. Kepalanya gundul dan terda-
pat beberapa titik putih. Paras wajahnya agak bulat.
Pada sebelah samping kanan matanya terdapat tahi la-
lat yang ditumbuhi helaian beberapa rambut panjang.
Laki-laki ini mengenakan pakaian warna kuning tanpa
leher. Pada pundaknya melapis kain warna merah
yang terus dililitkan pada pinggangnya.
Karena Joko tidak segera menjawab, laki-laki di ha-
dapannya kembali buka mulut.
“Amitaba.... Mau sebutkan siapa dirimu, Anak Mu-
da?!”
“Namaku Han Ko.... Aku ingin bertemu dengan Gu-
ru Besar Pu Yi! Mereka itu tidak mengizinkan aku ma-
suk. Maka terpaksa aku berusaha menerobos!” kata
Joko berterus terang.
Laki-laki di hadapan murid Pendeta Sinting sekali
lagi perhatikan orang di hadapannya lebih seksama.
Keningnya berkerut. Mulutnya bergumam perlahan.
“Ucapan Tiyang Pengembara Agung jadi kenyataan!
Akhirnya aku kedatangan tamu tak dikenal! Hem....
Dia sebutkan diri bernama Han Ko.... Rasanya baru
kali ini aku mendengar nama itu!” Kepala orang ini
berpaling ke kanan kiri lalu ke belakang. “Tak mung-
kin aku mengajaknya masuk.... Urusan ini sangat ra-
hasia jika benar masih ada hubungannya dengan tidak
kembalinya Yang Kui Tan....”
“Anak muda...,” kata laki-laki di hadapan Joko seraya menuruni tangga mendekat ke arah murid Pende-
ta Sinting. “Aku tahu kau akan datang.... Aku adalah
orang yang kau cari! Tapi kita tak bisa bicara di sini....
Kita harus cari tempat di luar shaolin....”
“Amitaba.... Kau tidak berdusta?!”
Orang di hadapan Joko dan bukan lain memang
Guru Besar Pu Yi angkat tangan kanannya seraya ber-
kata pelan.
“Bagi kalangan shaolin, berdusta adalah tindakan
tidak terpuji!”
“Bagaimana aku bisa mempercayai kalau kau ada-
lah Guru Besar Pu Yi?!” tanya Joko dengan suara pe-
lan pula hingga keempat pemuda di halaman pintu
gerbang tidak bisa mendengar percakapan mereka
berdua.
“Itu akan kujelaskan nanti, Anak Muda....”
“Lalu kenapa kau takut untuk bicara di sini?!”
“Amitaba.... Keadaan saat ini sangat rawan. Aku tak
mau ambil risiko terjadi keributan....”
“Baik.... Lalu di mana kita bisa bertemu?! Namun
kuharap pertemuan itu berlangsung malam ini juga.
Aku tidak bisa menunggu sampai besok!”
Guru Besar Pu Yi anggukkan kepala. “Pergilah ke
sebelah utara berjarak tiga puluh tombak dari sini!”
Joko gelengkan kepala. “Kurasa itu tak bisa kula-
kukan!”
“Mengapa?!” tanya Guru Besar Pu Yi sambil ke-
rutkan dahi.
Orang ini benar-benar tidak tahu atau pura-pura?”
tanya Joko dalam hati. Lalu berkata. “Di perbatasan
menuju tempat ini, kulihat beberapa orang mendekam
sembunyi!”
Guru Basar Pu Yi terkejut. “Amitaba.... Benar ucap-
anmu, Anak Muda?!”
“Walau aku bukan dari kalangan shaolin, namun
bagiku berkata dusta tetaplah hal yang tak patut di-
lakukan!”
“Hem.... Baiklah.... Tunggu saja di sebelah utara li-
ma belas tombak dari sini!”
Murid Pendeta Sinting anggukkan kepala. Tanpa
berkata apa-apa lagi dia balikkan tubuh lalu berkele-
bat.
Keempat pemuda yang tadi berjaga di pintu gerbang
segera melangkah mendekati Guru Besar Pu Yi. Guru
Besar Pu Yi menuruni tangga lalu berkata.
“Salah satu dari kalian masuk ke dalam. Beri pe-
ringatan seluruh regu jaga agar lebih waspada. Aku
akan mengikuti ke mana anak muda itu tadi!”
Keempat pemuda di hadapan Guru Besar Pu Yi sa-
ma anggukkan kepala. Dan begitu Guru Besar Pu Yi
berkelebat, pemuda yang menjadi pimpinan regu jaga
segera berlari masuk untuk laksanakan perintah Guru
Besar Pu Yi.
Sementara itu di perbatasan jalan menuju Pergu-
ruan Shaolin, terdengar makian orang. Lalu tiga sosok
tubuh berkelebat dan tegak berjajar dengan mata ter-
pentang tembusi kegelapan.
“Jahanam! Manusia itu lenyap!” maki salah se-
orang.
“Siapa dia?! Mengapa tiba-tiba membokong kita dari
belakang!” salah seorang lainnya buka mulut per-
dengarkan tanya.
“Siapa pun adanya jahanam itu, yang jelas kita te-
lah terkecoh!”
“Terkecoh bagaimana?!”
“Aku sempat menangkap berkelebatnya seseorang
begitu kita mengejar orang yang telah membokong kita!
Jadi jelas orang tadi itu sebagai umpan untuk menga-
lihkan perhatian kita! Sialnya orang itu ciri-cirinya
hampir seperti orang yang harus kita buru dan kita
hadang!”
“Kita harus mengejarnya!”
“Tak mungkin lagi. Kita hanya bisa bergerak di per-
batasan ini, kecuali besok malam! Itu pun harus kita
tunggu perintah!”
“Lalu...?!” Terdengar lagi pertanyaan.
“Apa hendak dikata. Daripada kita mendapat cela-
ka, kita pura-pura tidak tahu jika ada orang yang telah
berhasil menerobos melewati kita!”
Setelah terdengar ucapan itu, tiga orang ini segera
berkelebat lalu kembali mendekam sembunyi dengan
mata masing-masing diarahkan jauh ke depan, di ma-
na terlihat tegak hitam bangunan utama Perguruan
Shaolin.
Berjarak dua puluh lima langkah dari tempat men-
dekatnya tiga orang yang baru saja berbicara, Mei Hua
tampak menarik napas lega.
“Hem.... Siasatku berhasil. Pemuda itu bisa lewat
dengan selamat! Tapi aku tak bisa terus-terusan bera-
da di sini! Aku harus segera kembali!”
Mei Hua arahkan pandang matanya ke tempat di
mana tiga orang bersembunyi. Perlahan-lahan dia ke-
luar dari tempat mendekamnya. Lalu berkelebat ting-
galkan tempat itu.
***
SEBELAS
BARU saja Pendekar 131 tegak di tempat agak ter-
lindung lima belas tombak dari halaman Perguruan
Shaolin, dia merasakan desiran angin dari sebelah be-
lakang. Dengan cepat, murid Pendeta Sinting balikkan
tubuh. Ternyata Guru Besar Pu Yi telah tegak di belakangnya dengan tersenyum dan kedua tangan mena-
kup di depan dada.
“Harap buktikan kalau kau adalah Guru Besar Pu
Yi!” Joko langsung angkat suara.
“Amitaba.... Semua orang pasti menjalani takdirnya,
Anak Muda! Kau telah ditulis untuk bertemu dengan-
ku meski sebelumnya kita tak pernah jumpa! Aku
memang tak bisa membuktikan dengan jelas kalau aku
adalah orang yang kau cari! Tapi mungkin kau bisa
menerima keteranganku....”
“Keterangan apa?!”
“Sebelum kukatakan, harap kau mau berjanji untuk
tidak memberitahukan hal ini kepada siapa saja. Kare-
na kaulah satu-satunya orang di luar shaolin yang ta-
hu!”
“Baik.... Katakanlah...!” kata Joko seraya angguk-
kan kepala.
“Pada beberapa waktu lalu, aku mengutus salah
seorang kepercayaanku. Seharusnya dia sudah datang
enam hari yang lalu. Tapi hingga kini dia tidak juga
kunjung muncul.... Dia bernama Yang Kui Tan....”
Guru Besar Pu Yi menghela napas panjang. Lalu terus-
kan ucapan. “Namun kini aku tidak mengharapkan ke-
hadirannya lagi.... Seorang sahabat telah mengatakan
padaku jika dia tidak akan kembali!”
“Dari mana sahabatmu tahu kalau orang keper-
cayaanmu tidak akan kembali?!”
“Aku tidak tahu.... Tapi yang jelas semua ucapan-
nya banyak yang jadi kenyataan. Dia adalah seorang
tokoh di daratan Himalaya yang ilmunya sulit dijajaki!
Bukan itu saja.... Dia memiliki ilmu langka yang tak
bisa dipelajari orang biasa.... Siapa nama sebenarnya
sampai kini tidak ada orang yang tahu. Dia hanya di-
kenal dengan julukan Tiyang Pengembara Agung.... Ka-
lau tidak salah, dia pernah bertemu denganmu....”
“Astaga! Jangan-jangan orang tua bertangan dan
berkaki satu itu!” gumam Joko lalu dia mengatakan ci-
ri-ciri orang yang pernah ditemuinya setelah mengu-
burkan mayat Yang Kui Tan.
“Amitaba.... Memang dialah orangnya...,” kata Guru
Besar Pu Yi.
“Hem.... Makanya orang tua itu tahu apa yang ada
dalam benakku meski dia ucapkan lewat syairnya...,”
Joko terus membatin begitu mendengar ucapan Guru
Besar Pu Yi.
“Anak muda.... Aku juga tahu akan kedatanganmu
dari Tiyang Pengembara Agung.... Sayang dia tak mau
memberi penjelasan lebih jauh soal maksud kedata-
nganmu! Kalau kau tidak keberatan, harap, kau kata-
kan apa perlumu menemuiku....”
Keterangan Guru Besar Pu Yi membuat Joko jadi
yakin kalau orang di hadapannya adalah Guru Besar
Pu Yi. Maka tanpa bicara lagi, dia segera selinapkan
tangan kanan ke balik pakaiannya. Kantong putih di-
keluarkan lalu diberikan pada Guru Besar Pu Yi.
Guru Besar Pu Yi terbelalak. “Amitaba.... Ternyata
Sang Pencipta masih menyelamatkan peta wasiat itu
dari tangan orang yang tidak bertanggung jawab!” kata
Guru Besar Pu Yi. Namun sejauh ini dia belum juga
ulurkan tangan untuk menerima.
“Aku bertemu Yang Kui Tan di tengah laut. Dia da-
lam keadaan terluka parah. Sebelum menghembuskan
napas terakhir, dia sempat memberikan kantong putih
ini padaku. Dia berpesan agar memberikan kantong ini
pada Guru Besar Pu Yi. Terimalah!”
“Amitaba...,” ujar Guru Besar Pu Yi. Kedua tangan-
nya yang menakup di depan dada diturunkan. Lalu
dengan sedikit bergetar dia ambil kantong putih dari
tangan Joko.
“Terima kasih, Anak Muda.... Tapi seharusnya ucapan itu belum cukup kalau dibandingkan dengan jasa-
mu!”
“Aku bisa bertemu dan memberikan kantong itu pa-
da orang yang berhak, merupakan satu kebahagiaan
tersendiri bagiku. Tanpa itu, mungkin kita tak akan
bertemu dan aku tidak akan bisa melihat indahnya da-
ratan Himalaya!”
Guru Besar Pu Yi memperhatikan sejenak kantong
putih di tangan kanannya. Dia tampak bimbang. Murid
Pendeta Sinting dapat menangkap kebimbangan orang.
“Guru Besar Pu Yi.... Aku belum membuka kantong
itu!”
“Amitaba.... Jangan salah sangka, Anak Muda. Ter-
lalu tak pantas kalau aku menuduhmu yang bukan-
bukan. Bahkan seandainya kau telah membuka kan-
tong ini, aku merasa maklum....”
Pendekar 131 tersenyum. “Guru Besar Pu Yi.... Aku
telah memberikan kantong pesanan itu padamu. Be-
rarti urusanku telah selesai.... Aku harus segera kem-
bali!”
“Anak muda ini dapat dipercaya.... Hem.... Keadaan
di shaolin tampaknya tidak aman lagi. Aku tak tahu
apa yang akan terjadi.... Tapi dari ucapan Tiyang Pe-
ngembara Agung, aku mendapat firasat akan terjadi
sesuatu....”
“Anak muda...,” kata Guru Besar Pu Yi setelah ber-
pikir beberapa saat. “Kuharap kau mau membantuku
sekali lagi! Kau tak keberatan, bukan?!”
“Membantu apa?!”
Guru Besar Pu Yi memberikan kantong putih di
tangannya pada Joko. “Simpan ini baik-baik!”
Pendekar 131 gelengkan kepala. “Aku tak mau
membawa sesuatu yang belum kuketahui apa isinya
dan untuk apa....”
“Amitaba.... Anak Muda, aku akan memberi keterangan padamu! Tapi terimalah kantong ini terlebih
dahulu!”
Murid Pendeta Sinting ulurkan tangan kanan untuk
menerima kantong putih kembali dari tangan Guru
Besar Pu Yi.
“Anak muda.... Perguruan Shaolin memiliki sebuah
peta wasiat. Peta itu tertulis dalam dua kain yang ber-
beda. Salah satunya adalah yang berada di kantong
putih itu. Sementara setengahnya lagi berada di ruang
penyimpanan. Semua kalangan dunia persilatan telah
mendengar tentang itu. Beberapa orang memang ada
yang coba mencari peta itu. Namun karena kerahasia-
annya sangat dijaga, maka sampai sekarang peta itu
masih utuh meski tempatnya berlainan....”
“Lalu mengapa peta ini berada di tangan Yang Ku
Tan?!”
“Peta itu baru bisa dibuka pada hari ganda sepuluh
bulan ini! Untuk itulah aku memerintahkan pada Yang
Kui Tan untuk mengambil dari tempat penyimpanan-
nya di luar shaolin....”
“Bagaimana bisa begitu?”
“Aku sendiri kurang tahu. Yang pasti dua peta ter-
pisah itu baru bisa terlihat gambarnya saat hari ganda
sepuluh nanti! Berarti waktu itu tinggal sepuluh hari
lagi.”
“Lalu mengapa kau memberikan ini padaku?!”
“Aku mendapat firasat kurang baik. Apalagi me-
nurutmu ada beberapa orang bersembunyi di perbata-
san menuju Perguruan Shaolin. Kuharap kau menyim-
pan kantong itu sampai menjelang hari ganda sepuluh.
Jika sampai menjelang hari itu, tidak terjadi apa-apa,
kuharap kau menemuiku lagi di Perguruan Shaolin!”
“Ah.... Bukankah lebih baik kau yang menyimpan-
nya?!”
“Tidak, Anak Muda.... Tindakanmu telah membua
tku percaya bahwa kaulah yang harus menyimpan-
nya!”
“Ah.... Ini membuatku harus lebih lama lagi di tem-
pat ini!” kata Joko dalam hati. Namun dia tidak bisa
menolak permintaan Guru Besar Pu Yi. Apalagi dia pi-
kir hal itu masih ada hubungannya dengan urusan
rimba persilatan.
“Anak muda.... Aku harus segera kembali! Terima
kasih atas kesediaanmu membantuku.... Mudah-mu-
dahan kita nanti bisa bertemu kembali. Aku belum
mengenal betul siapa dirimu. Aku ingin tahu siapa kau
sebenarnya.... Kuharap kau nanti tak keberatan untuk
menceritakannya padaku. Sekarang aku harus per-
gi....”
Tanpa menunggu sahutan Joko, Guru Besar Pu Yi
anggukkan kepala seraya takupkan kedua tangannya
di depan dada. Saat lain dia balikkan tubuh lalu berke-
lebat.
Pendekar 131 masukkan kembali kantong putih ke
balik pakaiannya. Dia memandang sampai sosok Guru
Besar Pu Yi lenyap di depan sana. Saat kemudian dia
berkelebat pula tinggalkan tempat itu.
***
DUA BELAS
SATU malam kemudian....
Awan Hitam sudah tampak berarak begitu matahari
akan tenggelam. Saat bersamaan angin kencang ber-
tiup. Ketika matahari benar-benar tenggelam, di sebe-
lah utara bentangan langit berkiblat kilatan warna
kuning sekejap. Disusul terdengarnya petir. Sang rem-
bulan yang tadi sempat hendak muncul lenyap seketi
ka ditelan awan hitam yang laksana dimuntahkan dari
seantero bentangan langit. Gelapnya suasana karena
tenggelamnya matahari makin membuat dataran bumi
hitam pekat.
Tidak berapa lama kemudian, hujan pun datang
mengguyur meningkahi suara petir dan bertiupnya an-
gin.
Di tengah cuaca yang sedang menggila, satu sosok
tubuh tampak berkelebat melayang dari salah satu
atap ruangan yang berderet di sebelah kanan ba-
ngunan utama Perguruan Shaolin. Sosok ini menero-
bos curahan hujan dan salakan petir menuju arah ti-
mur.
Pada satu tempat, si sosok bayangan hentikan lari-
nya. Belum sampai dia bergerak lebih jauh, dari balik
sebatang pohon muncul satu sosok tubuh. Lalu ter-
dengar suara.
“Kau Guru Besar Liang San...?!”
Sosok yang tadi berkelebat dari Perguruan Shaolin
memandang sesaat pada sosok yang baru keluar dari
balik batangan pohon.
“Benar, Yang Mulia Baginda Ku Nang...!” sosok yang
tadi berkelebat dari Perguruan Shaolin angkat suara
menjawab.
Sosok bayangan yang muncul dari balik batangan
pohon melangkah mendekat. Dia adalah seorang laki-
laki berpakaian hitam-hitam. Seluruh anggota tubuh-
nya tertutup. Yang terlihat hanya sepasang mata dan
kedua telapak tangan serta kakinya.
Sementara orang yang tadi berkelebat dari Pergu-
ruan Shaolin juga laki-laki yang seluruh anggota tu-
buh-nya juga tertutup pakaian hitam-hitam. Dari
orang ini, yang terlihat juga hanya sepasang mata dan
kedua telapak tangannya.
Meski kedua laki-laki berpakaian hitam-hitam, ini
tidak bisa dikenali wajahnya, namun dari ucapan me-
reka jelas jika orang yang berkelebat dari Perguruan
Shaolin adalah Guru Besar Liang San. Sementara laki-
laki yang muncul dari balik batangan pohon adalah
Baginda Ku Nang.
“Bagaimana...? Apakah rencana itu kita laksanakan
sekarang juga?!” Bertanya Baginda Ku Nang.
“Kita tak boleh lagi membuang-buang waktu. Cuaca
begini membantu kita untuk lebih enak bergerak! Aku
akan kembali dahulu. Kau atur beberapa anak buah-
mu. Pancing beberapa penjaga di pintu gerbang. Seba-
gian langsung masuk melalui pagar samping dan bela-
kang. Aku akan memberi isyarat dengan suitan kapan
waktunya masuk ke sasaran utama. Kau langsung ke
ruang Maha Guru Besar. Beberapa orang lainnya me-
nerobos ke ruang Guru Besar Pu Yi dan Guru Besar
Wu Wen She. Aku akan menelusup ke ruang penyim-
panan! Begitu kau selesaikan tugas, segera kau sam-
but aku di pojok ruangan sebelah ruang penyimpanan!
Setelah itu kita berpencar dan bertemu tiga hari ke-
mudian di tempat biasa!” Guru Besar Liang San mem-
beri keterangan.
Baginda Ku Nang anggukkan kepala. Dia angkat
tangannya. Sat itu juga dari balik beberapa batangan
pohon muncul beberapa orang. Mereka semua me-
ngenakan pakaian hitam-hitam. Yang terlihat dari me-
reka juga hanya mata dan telapak tangannya.
Guru Besar Liang San memandang sesaat pada be-
berapa orang yang baru muncul. Lalu berujar pelan.
“Aku tak mengenal mereka. Tapi aku yakin kau ti-
dak akan salah memilih orang!”
“Ini adalah peristiwa berbahaya karena menyangkut
harkat! Aku tak mau mengalami kegagalan!” Baginda
Ku Nang perdengarkan suara lalu mengusap wajahnya
yang tertutup kain. Sekujur tubuh orang ini telah basah kuyup.
“Aku harus segera kembali. Begitu aku bergerak,
kau bisa memulai!” kata Guru Besar Liang San. Tanpa
menunggu sahutan orang, Guru Besar Liang San ber-
kelebat dari arah mana dia tadi datang.
Bersamaan dengan berkelebatnya sosok Guru Besar
Liang San, Baginda Ku Nang bertepuk lima kali. Kali
ini muncul beberapa orang lagi dari balik ranggasan
semak.
Baginda Ku Nang sapukan pandang matanya. Meski
suasana gelap gulita, namun seakan dia tahu di mana
tegaknya beberapa orang itu. Lalu dia buka mulut.
“Lima di antara kalian langsung menyongsong dari
arah pintu gerbang. Lima lainnya berjaga-jaga di setiap
sudut luar halaman. Begitu terdengar suitan, kalian
semua langsung melompat dan menerobos masuk le-
wat atas. Setelah itu rencana berjalan seperti yang te-
lah kita atur!”
“Titah tang Mulia akan kami laksanakan!” Terde-
ngar suara sahutan hampir bersamaan.
“Tapi ingat! Ini adalah tugas kerajaan! Lebih baik
mati daripada harus menjadi tawanan! Kalian dengar
itu?!”
“Kami dengar, Yang Mulia!”
“Bagus! Kita berangkat sekarang!”
Habis berkata begitu, Baginda Ku Nang berkelebat
diikuti beberapa orang. Begitu halaman dan bangunan
Perguruan Shaolin sudah terlihat, beberapa orang ini
berpencar. Hanya lima sosok hitam yang terus berke-
lebat lurus menuju pintu gerbang.
Di lain pihak, begitu samar-samar dapat menang-
kap gerakan orang di halaman depan, empat penjaga
pintu gerbang segera menyongsong. Namun baru saja
mereka injakkan kaki di halaman, lima orang berpa-
kaian hitam-hitam telah menyambut dengan sentak
kan tangan masing-masing.
Lima gelombang dahsyat melabrak ganas menera-
bas curahan hujan. Mungkin karena tidak menduga,
keempat penjaga terlambat untuk menghadang puku-
lan atau membuat gerakan menghindar. Hingga tanpa
ampun lagi, keempat orang penjaga pintu gerbang
langsung mental dan jatuh menghantam tangga. Ter-
dengar beberapa seruan tertahan. Lima orang yang da-
tang tidak memberi kesempatan. Begitu sosok para
penjaga mental, mereka lepas lagi pukulan!
Mendapati hal demikian, salah seorang penjaga
yang sigap segera berteriak.
“Kita diserbu!”
Bersamaan dengan terdengarnya suara itu, keempat
penjaga yang sudah terlambat untuk menghadang pu-
kulan orang ini kembali mencelat. Dua di antaranya
langsung lewat pintu gerbang dan jatuh terkapar di ha-
laman depan bangunan utama.
Beberapa saat kemudian terdengar suara hiruk-
pikuk. Beberapa sosok pemuda gundul segera berla-
rian. Saat itulah terdengar suara suitan beberapa kali.
Kejap lain beberapa sosok hitam telah melayang dari
tembok samping lalu melayang turun ke halaman de-
pan bangunan utama. Tiga orang tampak berkelebat
menuju ruang persembayangan. Setelah menghantam
dua penjaga, pintu ruang persembayangan didobrak.
Ketiga orang ini seakan sudah tahu situasi ruangan,
segera berkelebat ke sebuah pintu. Orang sebelah de-
pan segera hantamkan kedua tangannya.
Brakkk!
Pintu di sebelah ruang persembayangan terhantam
porak-poranda. Tanpa banyak bicara, ketiganya lang-
sung menerobos masuk dan mendekati sebuah ranjang
agak besar di mana terbaring satu sosok tubuh.
Lagi-lagi tanpa buka suara, orang yang tadi menghantam pintu segera sentakkan kedua tangannya ke
arah sosok yang terbaring di atas ranjang. Dua gelom-
bang melesat ganas.
Sosok yang terbaring di atas ranjang dan bukan lain
adalah Maha Guru Besar Su Beng Siok buka kelopak
matanya. Kedua tangannya yang tampak lemah dige-
rakkan. Hebatnya, gerakan yang lemah itu mampu me-
lesatkan dua gelombang ganas!
Bummm! Bummm!
Ruang kamar tempat Maha Guru Besar Su Beng
Siok bergetar keras. Sosok hitam yang tadi melepas
pu-kulan ke arah Maha Guru Besar Su Beng Siok ter-
pental dan terhuyung-huyung. Dari mulutnya tampak
muncratkan darah. Di lain pihak, sosok Maha Guru
Besar Su Beng Siok langsung mencelat dan terguling
jatuh dari ranjang. Mulutnya juga semburkan darah.
Dua sosok hitam lainnya segera memburu. Saat lain
sama sentakkan tangan masing-masing ke arah Maha
Guru Besar Su Beng Siok. Karena dalam keadaan sa-
kit, terlambat bagi Maha Guru Besar Su Beng Siok un-
tuk menghadang pukulan yang datang. Hingga saat itu
juga sosoknya terbang sebelum akhirnya menghantam
dinding dan jatuh bergedebukan dengan nyawa me-
layang.
Orang yang melepas pukulan pertama kali segera
memberi isyarat lalu mereka bertiga berkelebat keluar.
Di ruang lain, Guru Besar Pu Yi tampak terkesiap
mendengar kegaduhan di luar. Namun baru saja dia
hendak buka pintu, pintu ruangannya telah dilabrak
satu pukulan hingga hancur porak-poranda. Saat lain
enam sosok hitam berkelebat masuk dan sekonyong-
konyong lepaskan pukulan ke arah Guru Besar Pu Yi.
Guru Besar Pu Yi tak tinggal diam. Dia angkat ke-
dua tangannya lalu dipukulkan dengan tubuh diputar.
Terdengar beberapa kali ledakan keras. Tiga sosok
hitam yang menerobos masuk terpental keluar ruan-
gan. Sementara tiga lainnya terjengkang menghantam
dinding ruangan. Namun Guru Besar Pu Yi tak luput
dari bias bentroknya pukulan. Apalagi dia harus meng-
hadang pukulan enam orang. Hingga begitu terdengar
ledakan, sosok Guru Besar Pu Yi terlempar ke bela-
kang dan jatuh terkapar dengan mulut kucurkan da-
rah.
Saat itulah tiga orang yang keluar dari ruangan Ma-
ha Guru Besar Su Beng Siok menerabas masuk. Den-
gan cepat ketiga orang ini segera pula lepaskan puku-
lan ke arah Guru Besar Pu Yi.
Dengan posisi duduk, Guru Besar Pu Yi pejamkan
mata. Kedua tangan diangkat sejajar dada. Lalu dibu-
ka dan didorong ke depan.
Blammm! Blammm! Blammm!
Ruangan Guru Besar Pu Yi laksana dilanda gempa
luar biasa. Langit-langitnya runtuh. Dinding ruangan
rengkah. Sosok Guru Besar Pu Yi kembali terpental la-
lu jatuh ke atas lantai setelah terlebih dahulu meng-
hantam dinding hingga jebol. Darah makin banyak
mengucur dari mulut dan hidungnya. Namun orang
tua ini segera menotok jalan darahnya hingga saat itu
juga kucuran darahnya terhenti. Namun sekonyong-
konyong tiga orang yang tadi menghantam dinding se-
gera berkelebat. Disusul dengan berkelebatnya tiga so-
sok yang tadi mencelat keluar. Keenam sosok ini ber-
kelebat ke arah Guru Besar Pu Yi. Kali ini mereka ti-
dak lepaskan pukulan jarak jauh. Namun arahkan ke-
lebatan tangan masing-masing ke arah sosok Guru Be-
sar Pu Yi.
Guru Besar Pu Yi jatuhkan diri sama rata dengan
lantai ruangan. Saat bersamaan kakinya diangkat. La-
lu diputar dengan gerakkan tubuhnya terputar. Kedua
tangannya pun ikut berkelebat.
masuk. Dia putar pandangan sesaat. Lalu melompat ke
arah sebuah almari agak besar dari kayu.
Sekali sentak almari kayu porak-poranda dan ter-
buka. Orang ini cepat mengambil sebuah kotak dari
kulit. Saat lain berkelebat keluar lalu berlari ke arah
pojok ruangan di samping ruang penyimpanan.
Saat itulah kesembilan orang keluar dari ruangan
Guru Besar Pu Yi. Salah seorang di antaranya memberi
isyarat. Lalu sendirian orang ini berkelebat ke arah so-
sok yang memegang kotak dan tegak di pojok ruangan
dekat ruang penyimpanan.
Tanpa banyak bicara, orang yang memegang kotak
memberikan kotak kulit pada sosok hitam yang da-
tang. Saat lain orang ini berkelebat lalu menerobos ke
bagian belakang sebelum akhirnya lenyap.
Orang yang baru memberikan kotak kayu berkele-
bat ke sebuah ruangan lalu lenyap. Sementara hiruk-
pikuk masih terdengar di seluruh penjuru ruangan di-
tingkahi suara seruan tertahan dan jeritan.
Tak berapa lama kemudian, terdengar suitan pan-
jang. Beberapa sosok hitam yang masih melepas puku-
lan menghadang beberapa murid Perguruan Shaolin,
segera lepas pukulan sekali lagi. Saat berikutnya me-
reka berkelebat berpencar. Ada sebagian yang berkele-
bat dengan melewati pagar. Sebagian lagi tampak ber-
kelebat melewati pintu gerbang di depan.
Beberapa murid Perguruan Shaolin ada yang terus
lari mengejar. Namun suasana gelap dan curahan hu-
jan membuat murid Perguruan Shaolin akhirnya kehi-
langan jejak orang yang mereka kejar.
Ketika hujan telah reda dan matahari mulai pan-
carkan warna kekuningan di bentangan sebelah timur,
terlihat pemandangan lain di Perguruan Shaolin. Aro-
ma hawa kematian menebar di mana-mana hampir di
setiap ruangan!
SELESAI
Segera menyusul:
KUIL ATAP LANGIT
0 comments:
Posting Komentar