SATU
DARI salah satu ruangan di deretan sebelah kiri
bangunan utama, Guru Besar Liang San keluar den-
gan langkah terhuyung dan hampir saja roboh jika sa-
lah seorang pemuda berkepala gundul tidak segera
menyongsong lalu menahan sosok Guru Besar Liang
San dengan kedua tangannya.
“Guru Besar Liang San...,” kata si pemuda.
Guru Besar Liang San gelengkan kepala seraya le-
paskan pegangan tangan si pemuda. “Aku tak apa-
apa.... Kumpulkan semua murid perguruan!”
Si pemuda masih memandang dengan khawatir. Na-
mun setelah melihat Guru Besar Liang San meman-
dang ke arahnya dengan mata agak melotot, si pemuda
buru-buru berkelebat untuk lakukan perintah Guru
Besar Liang San.
Hanya beberapa saat, di halaman depan bangunan
utama telah tegak berbaris beberapa pemuda berke-
pala gundul. Sebagian di antara mereka ada yang ma-
sih tampak terluka dengan mulut kucurkan darah.
“Dengar.... Kumpulkan semua yang terluka. Lalu
kuburkan yang sudah meninggal! Mulai nanti malam,
lipat gandakan penjagaan! Untuk sementara semua
tamu yang tidak dikenal jangan izinkan masuk!” Guru
Besar Liang San berkata seraya bersandar pada se-
buah tiang bangunan. Sepasang matanya menyapu ke
seluruh halaman. Lalu ke deretan ruang di sebelah
kanan dan kiri bangunan utama. Terakhir dia arahkan
pandang matanya pada ruang penyimpanan.
“Ingat! Jangan ada yang masuk ruang penyimpa-
nan!”
“Amitaba....” Serentak para pemuda di halaman depan bangunan utama takupkan kedua tangan seraya
anggukkan kepala. Saat lain mereka pun bubar.
Begitu halaman depan bangunan utama kosong,
Guru Besar Liang San berkelebat. Tahu-tahu sosoknya
telah tegak di depan pintu sebuah ruangan. Dia melirik
ke kanan kiri.
“Aku tidak melihat Guru Besar Wu Wen She.... Apa-
kah mereka gagal menghabisinya?! Ini tidak boleh ter-
jadi. Walau dia mungkin tidak tahu peristiwa di balik
semua ini, namun bagaimanapun juga dia akan jadi
penghalang jika masih hidup!”
Guru Besar Liang San dorongkan tangan kanan ke
pintu. Perlahan-lahan pintu terbuka. Guru Besar Liang
San memandang berkeliling ke dalam ruangan. Dahi-
nya berkerut. “Kosong...!” desisnya dengan seringai
dingin.
Dengan membuat satu kali gerakan, sosok Guru
Besar Liang San telah berada di dalam ruangan. Kem-
bali sepasang matanya menyapu. Namun dia tidak me-
lihat siapa-siapa!
“Hem.... Mungkinkah dia berhasil meloloskan diri?!
Aku harus segera dapat kepastian! Tapi aku harus
memastikan dahulu keadaan Maha Guru Besar Su
Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!”
Berpikir begitu, Guru Besar Liang San segera berke-
lebat keluar dan terus berlari ke ruang persembaya-
ngan. Matanya segera tertuju pada satu ruangan di se-
belah kanan ruang persembayangan. Pintunya tampak
terbuka. Beberapa pemuda tampak hilir mudik.
Ketika salah seorang pemuda melihat kemunculan
Guru Besar Liang San, si pemuda segera mendekati.
Kedua tangannya ditakupkan di depan dada. Sambil
mengangguk dia berkata.
“Amitaba.... Guru Besar Liang San.... Maha Guru
Besar Su Beng Siok...!” Hanya sampai di situ si pemu-
da berucap. Dia tidak kuasa untuk lanjutkan ucapan.
Sebaliknya hanya arahkan pandang matanya pada sa-
tu sosok tubuh yang diangkat beberapa pemuda dari
sebelah kiri ranjang.
Guru Besar Liang San ikut arahkan pandang mata-
nya pada sosok berlumuran darah yang dipandang
pemuda tadi. Dia bukan lain adalah sosok Maha Guru
Besar Su Beng Siok.
Hanya dengan sekali pandang, Guru Besar Liang
San sudah tahu bagaimana keadaan Maha Guru Besar
Su Beng Siok. Dia menghela napas panjang lalu buka
mulut.
“Kuburkan mayat Maha Guru Besar Su Beng
Siok...!”
Si pemuda di hadapan Guru Besar Liang San segera
anggukkan kepala. Saat lain meninggalkan Guru Besar
Liang San mendekati beberapa pemuda yang meng-
angkat sosok Maha Guru Besar Su Beng Siok.
Baru saja si pemuda berlalu dan belum sampai
Guru Besar Liang San balikkan tubuh, salah seorang
pemuda buru-buru mendekati dari luar ruangan. Se-
telah anggukkan kepala dia berucap.
“Guru Besar Liang San.... Guru Besar Pu Yi te-
lah....”
Belum sampai si pemuda lanjutkan ucapan, Guru
Besar Liang San telah angkat tangan kanannya. Tanpa
berkata apa-apa lagi dia putar diri lalu berkelebat dan
berlari ke salah satu ruangan di sebelah kanan ba-
ngunan utama.
Beberapa pemuda terlihat mengangkat satu sosok
tubuh. Guru Besar Liang San yakinkan diri sebentar.
Lalu berkata.
“Makamkan Guru Besar Pu Yi berdampingan dengan Maha Guru Besar Su Beng Siok!”
Beberapa pemuda yang mengangkat sosok tubuh,
dan bukan lain adalah sosok mayat Guru Besar Pu Yi,
sempat terkesiap. Namun saat mengetahui siapa ada-
nya orang yang baru saja berkata, mereka anggukkan
kepala.
Guru Besar Liang San balikkan tubuh. “Hem.... Gu-
ru Besar Wu Wen She benar-benar lenyap! Aku tahu
apa yang harus kulakukan untuk hindarkan diri dari
rintangannya!”
Setelah membatin begitu, tanpa balikkan tubuh dia
berkata.
“Setelah pemakaman, semua kumpul di halaman!”
Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San berke-
lebat. Dia terus berlari menuju ruang penyimpanan.
Karena di sana tidak ada orang, dia segera masuk. Dia
meneliti sesaat. Lalu anggukkan kepala.
“Sekarang tinggal memburu pemuda asing itu! De-
ngan bantuan prajurit Yang Mulia Baginda Ku Nang,
tidak perlu waktu lama untuk menemukannya!”
Tidak berapa lama, di halaman depan bangunan
utama telah tegak berbaris beberapa pemuda. Guru
Besar Liang San melangkah perlahan-lahan dengan
kepala menunduk. Beberapa pemuda di halaman juga
tundukkan kepala dengan kedua tangan menakup di
depan dada. Tidak ada yang buka suara atau membuat
gerakan.
“Hari ini kita harus belasungkawa atas terbunuhnya
Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu
Yi..,” kata Guru Besar Liang San dengan suara tersen-
dat.
“Aku sangat menyesal dan kecewa dengan peristiwa
inil Aku merasa berdosa tidak bisa menyelamatkan
Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar PuYi.... Setelah ini.... Aku harus meninggalkan kalian se-
mua! Kalian bebas memilih jalan yang kalian kehenda-
ki!”
“Guru Besar Liang San...!” Salah seorang pemuda
yang tampak berusia paling tua angkat suara. “Ini se-
mua bukanlah semata-mata kesalahan Guru Besar
Liang San.... Harap Guru Besar Liang San tidak me-
ninggalkan kami! Kami masih menginginkan Guru Be-
sar Liang San untuk memimpin perguruan ini! Dan
kami siap melakukan apa saja untuk menemukan sia-
pa di balik peristiwa terbunuhnya Maha Guru Besar
Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!”
Guru Besar Liang San gelengkan kepala. “Rasanya
tidak mudah menuruti permintaan kalian.... Lagi pula
aku tidak punya niat untuk memimpin perguruan ini!
Kalian kubebaskan mencari orang yang bisa memim-
pin dan meneruskan perguruan ini!”
“Amitaba.... Guru Besar Liang San...,” kata pemuda
yang tadi angkat suara. “Harap jangan tinggalkan ka-
mi. Kalaupun kami harus mencari orang yang harus
memimpin perguruan ini, tidak lain hanyalah Guru
Besar Liang San! Hari ini juga kami mengangkat Guru
Besar Liang San sebagai pemimpin perguruan ini!”
Habis berkata begitu, si pemuda tekuk kedua lutut-
nya dengan kedua tangan ditakupkan di atas kepala.
“Benar! Kami mengangkat Guru Besar Liang San
menjadi pemimpin perguruan!” serentak beberapa pe-
muda di halaman depan bangunan utama membuat
sikap seperti pemuda yang tadi berkata.
“Amitaba...!” Guru Besar Liang San takupkan kedua
tangan di depan dada dengan kepala mengangguk.
“Sebenarnya aku tak menginginkan semua ini. Tapi
kalau kalian mengharapkan, aku tidak bisa menolak!”
“Amitaba.... Terima kasih, Guru Besar Liang San!”
Para pemuda hampir bersamaan buka mulut. Lalu te-
gakkan tubuh masing-masing. Kedua tangan mereka
kini ditarik dan menakup di depan dada.
“Apa kalian ada yang melihat Guru Besar Wu Wen
She?!” tanya Guru Besar Liang San.
Para pemuda di halaman sama gelengkan kepala.
Guru Besar Liang San tersenyum dingin. Lalu berkata
dengan suara berat.
“Tadi malam terjadi peristiwa yang menyebabkan
terbunuhnya Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Gu-
ru Besar Pu Yi. Lalu satu benda di ruang penyimpanan
lenyap! Bersamaan itu Guru Besar Wu Wen She tidak
kelihatan! Benda yang lenyap dari ruang penyimpanan
adalah benda berharga dan salah seorang yang tahu
rahasianya adalah Guru Besar Wu Wen She...!” Guru
Besar Liang San hentikan sesaat ucapan sebelum ak-
hirnya melanjutkan.
“Aku tak menaruh prasangka buruk. Tapi adalah
aneh kalau tiba-tiba Guru Besar Wu Wen She meng-
hilang! Untuk menjunjung tinggi martabat perguruan
dan menyelesaikan urusan ini, satu-satunya jalan ada-
lah minta keterangan pada Guru Besar Wu Wen She!
Setelah itu, aku akan mengutus beberapa orang dari
kalian untuk mencari jejak Guru Besar Wu Wen She.
Tapi sekali lagi ini bukanlah pernyataan kalau Guru
Besar Wu Wen She adalah orang di balik peristiwa tadi
malam. Ini semua kita lakukan untuk mencari kebena-
ran siapa sebenarnya dalang di balik peristiwa tadi ma-
lam!”
“Kami siap lakukan perintah, Guru Besar Liang
San!” kata beberapa pemuda serentak.
“Bagus! Mulai saat ini perketat penjagaan. Dan un-
tuk beberapa lama aku harus meninggalkan kalian.
Ada satu urusan yang harus kuselesaikan yang masih
ada kaitannya dengan peristiwa tadi malam! Nanti
akan kuputuskan siapa yang akan memimpin kalian
selama aku tidak ada! Sekarang kalian benahi seluruh
ruangan!”
Para pemuda sama anggukkan kepala. Guru Besar
Liang San memandang sejurus pada beberapa pemuda
yang berbaris di halaman bangunan Utama. Saat lain
dia melangkah menuju ruangannya.
***
Tiga hari kemudian....
Malam sudah jauh bergulir. Angin dan udara dini
hari telah menggantikan udara malam. Satu sosok tu-
buh tampak melangkah mondar-mandir di sebuah bu-
kit yang banyak diranggasi pohon-pohon besar dan
semak belukar rimbun. Dia adalah seorang laki-laki
bertubuh kekar mengenakan pakaian hitam-hitam. Dia
juga mengenakan caping lebar dan dimasukkan da-
lam-dalam ke atas kepalanya hingga di tengah gelap
suasana, bukan hanya sosoknya yang terlihat samar-
samar, namun wajahnya sulit dikenali.
Laki-laki berpakaian hitam-hitam bercaping lebar
ini sesekali menghela napas panjang seraya usap ba-
gian bawah wajahnya dengan telapak tangan. Saat lain
dia angkat bagian depan caping lebarnya. Sepasang
matanya memandang lurus ke bawah bukit.
Dari gerak-gerik dan sikap orang, jelas kalau laki-
laki berpakaian hitam-hitam dan bercaping lebar te-
ngah menunggu sesuatu, atau setidaknya tengah me-
nanti kedatangan seseorang.
“Seharusnya dia datang malam ini! Tapi mengapa
hingga hari akan berganti pagi dia belum kelihatan ba-
tang hidungnya?!” gumam si laki-laki seraya turunkan
tangan dari bagian depan capingnya hingga matanya
tidak kelihatan lagi. Dia kembali menghela napas da-
lam lalu melangkah perlahan-lahan di puncak bukit.
Namun baru saja kedua kakinya bergerak, dia sege-
ra balikkan tubuh. Kepalanya sedikit didongakkan.
Sepasang matanya melirik ke bawah.
“Hem.... Akhirnya dia muncul!” desis si laki-laki ber-
pakaian hitam-hitam. Dia luruskan kepala lalu putar
diri.
Laki-laki berpakaian hitam-hitam tidak menunggu
lama. Bersamaan dengan putaran tubuhnya, satu
bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu satu sosok
tubuh telah tegak di sampingnya.
Si laki-laki berpakaian hitam-hitam berpaling pada
sosok yang baru muncul. Perasaan lega yang sesaat
terpancar dari nada desisan si laki-laki yang tadi bera-
da di puncak bukit mendadak sirna.
“Hem.... Tampaknya bukan dia yang datang!
Aneh....”
“Siapa kau?!” Laki-laki berpakaian hitam-hitam ber-
caping buka mulut dengan suara meradang. Dia pa-
lingkan kembali kepalanya lurus ke depan.
“Guru Besar Liang San.... Harap dimaafkan.... Yang
Mulia Baginda Raja Ku Nang tidak dapat menemui Gu-
ru Besar malam ini. Dia menugaskan aku untuk me-
wakilinya.... Aku adalah Wang Su Chin, salah seorang
pengawal kerajaan....”
“Kenapa dia tidak datang?!” Laki-laki berpakaian hi-
tam-hitam dan bercaping lebar yang ternyata adalah
Guru Besar Liang San ajukan tanya dengan suara ma-
sih keras meradang. Jelas kalau orang ini mulai di-
amuk hawa amarah.
“Ada beberapa tamu yang tidak bisa ditinggalkan....
Tapi dia membawa pesan untukmu....”
“Ini adalah urusan sangat rahasia! Tidak seharus-
nya Baginda Ku Nang mewakilkan pada seseorang
meski dia adalah orang kepercayaannya! Baginda Ku
Nang.... Tampaknya dia sudah menomor-satukan tamu
lain setelah kotak berisi peta wasiat itu jatuh ke ta-
ngannya! Aku tak mau dibodohi!” Guru Besar Liang
San membatin.
“Guru Besar Liang San.... Yang Mulia....”
“Cukup!” tukas Guru Besar Liang San. “Tinggalkan
tempat ini! Katakan pada Baginda Ku Nang aku me-
nunggunya besok malam di tempat ini juga! Ingat, su-
ruh dia datang sendiri! Aku tak mau bicara dengan
orang lain! Kau dengar?!”
Tapi....”
Lagi-lagi belum sampai orang teruskan ucapan, Gu-
ru Besar Liang San telah menukas. “Kau dengar uca-
panku. Tinggalkan tempat ini!”
Tanpa menyahut ucapan Guru Besar Liang San,
orang yang baru muncul balikkan tubuh. Dia perde-
ngarkan gumaman tak jelas, lalu putar diri dan berke-
lebat menuruni bukit.
“Aku telah korbankan beberapa nyawa! Aku tak
mau pengorbanan ini tidak ada hasilnya! Kalau besok
malam dia tidak muncul, terpaksa aku akan menuju
istana!”
Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San tekan
caping lebarnya hingga wajahnya makin sulit dikenali.
Saat lain dia berkelebat menerabas dinginnya pagi me-
nuruni bukit.
***
DUA
LAKI-LAKI berbaju kuning berupa pakaian khas
orang Budha dengan kepala mengenakan caping lebar
dan dimasukkan dalam-dalam ke kepalanya seakan
wajahnya tidak ingin dikenali itu hentikan langkahnya
di satu kaki bukit. Dia celingukan sebentar lalu me-
langkah lagi mendekati sebatang pohon. Saat lain laki-
laki ini telah duduk bersandar dengan tangan kanan
diletakkan di atas capingnya hingga raut wajahnya ma-
kin tertutup sulit dikenali. Sementara tangan kirinya
ditopangkan pada dagunya.
“Hem.... Sudah enam hari aku berada di negeri
orang. Tapi banyak kejadian tak terduga yang kualami!
Kalau saja tidak turuti ucapan Guru Besar Pu Yi, tentu
aku sudah tiba di tanah kelahiranku! Namun tujuh
hari lagi bukanlah waktu yang lama.... Mudah-muda-
han tidak terjadi apa-apa dengan Guru Besar Pu Yi.
Hanya saja untuk sementara ini aku harus terus me-
nyamar untuk selamatkan diri dari kejaran beberapa
prajurit kerajaan! Aku juga harus menjauh dari Per-
guruan Shaolin untuk menjaga kecurigaan orang!” La-
ki-laki di bawah pohon perhatikan dirinya dengan ke-
pala ditundukkan. “Untung aku bisa memperoleh pa-
kaian ini dari seseorang penduduk yang baik hati....”
Dia perdengarkan tawa perlahan. Lalu kepalanya kem-
bali diangkat dan diluruskan ke depan.
“Aku heran.... Mengapa Guru Besar Pu Yi memberi-
kan kantong yang katanya berisi peta wasiat padaku?!
Padahal dia baru saja mengenalku dan belum tahu sia-
pa aku sebenarnya! Seharusnya dia tak boleh melaku-
kan hal ini.... Dia terlalu percaya pada orang yang be-
lum dikenalnya.... Tapi.... Ah, mungkin dia telah memikirkan tindakannya dengan matang. Lagi pula me-
ngapa aku berpikir sampai ke sana? Bukankah dia ti-
dak memberikan kantong ini padaku? Dia hanya me-
nitipkan padaku untuk jangka waktu tertentu. Dan
waktu itu tinggal tujuh hari di depan!” Si laki-laki te-
rus bergumam sendiri.
“Setelah tujuh hari di depan, aku harus segera ting-
galkan negeri ini! Dengan peristiwa di atas laut bebe-
rapa hari yang lalu, aku tidak akan aman jika terus
berada di....” Si laki-laki bercaping putuskan guma-
mannya. “Ada seseorang berlari ke arah bukit ini!” Dia
tengadahkan kepala agar matanya dapat melihat.
“Dari pakaiannya jelas dia bukanlah prajurit kera-
jaan. Tapi mengapa dia berlari ke arah bukit ini? Apa-
kah dia salah seorang.... Ah. Siapa pun dia adanya
yang jelas aku tak akan membuat urusan!”
Si laki-laki di bawah pohon tundukkan kepala hing-
ga wajahnya seakan tenggelam di dalam caping lebar-
nya. Namun baru saja kepala si laki-laki bercaping
bergerak menunduk, tahu-tahu orang yang tadi di-
lihatnya berlari dari arah depan sana, mendadak su-
dah tegak hanya berjarak tujuh langkah!
“Heran...,” gumam si laki-laki bercaping di bawah
pohon. Walau kepala orang ini menunduk dan tidak
melihat orang, namun tampaknya dia bisa merasakan
kehadiran orang yang tidak jauh dari tempatnya du-
duk. “Dia tadi masih berada jauh di sana.... Tapi tahu-
tahu dia sudah tidak jauh lagi dari tempatku! Melihat
dia tidak lanjutkan larinya, pasti dia punya kepenti-
ngan denganku! Tapi bagaimana dia tahu kalau
aku....”
Belum selesai si laki-laki bercaping teruskan kata
hatinya, terdengar orang berdehem beberapa kali. Na-
mun laki-laki bercaping coba bertahan untuk tidak
angkat kepala meski dia tahu kalau suara deheman
orang memberi petunjuk akan kehadirannya.
“Selamat jumpa lagi, Sahabat jauh....”
Laki-laki bercaping tersentak. “Telingaku pernah
dengar suaranya!” katanya dalam hati namun dia be-
lum juga angkat kepala untuk dapat melihat siapa
adanya orang yang baru saja perdengarkan suara.
“Dua hari aku mencarimu.... Tak tahunya kau be-
rada di sini! Kuharap keadaanmu baik-baik saja....”
“Betul! Aku pernah dengan suaranya! Dan seper-
tinya dia telah mengenaliku meski aku yakin dia tidak
bisa melihat wajahku!” Laki-laki bercaping di bawah
pohon terus bergumam lalu perlahan-lahan angkat ke-
palanya tengadah. Dari balik capingnya yang lebar, dia
melirik ke depan.
Di depan sana, terlihat seorang laki-laki berusia
lanjut berwajah bulat bermata sipit. Rambutnya pan-
jang dikelabang dan dilingkarkan melilit pada batang
lehernya. Pada daun telinga sebelah kiri tampak meng-
gantung sebuah anting-anting besar. Kakek ini menge-
nakan sebuah jubah tanpa leher berwarna putih.
Laki-laki bercaping di bawah pohon terus arahkan
matanya ke bagian bawah wajah orang. Ternyata ka-
kek di depan sana hanya memiliki tangan sebelah kiri
dan juga kaki sebelah kiri!
“Kakek yang pernah bertemu denganku saat aku
baru saja mengubur mayat Yang Kui Tan!” desis laki-
laki bercaping. “Menurut Guru Besar Pu Yi, kakek ini
bergelar Tiyang Pengembara Agung.... Seorang tokoh
berilmu tinggi dan juga memiliki kepandaian sangat
langka! Hem.... Dengan penyamaran ini, dia masih bisa
tepat menebak, padahal kepalaku sempat kutunduk-
kan!”
Tiyang Pengembara Agung!” kata laki-laki bercaping
lebar seraya bergerak bangkit lalu menjura hormat.
“Hem.... Rupanya kau sudah tambah pengetahuan
meski selama ini kau baru bertemu beberapa orang!”
kata si kakek bertangan dan berkaki satu yang tidak
lain memang seorang tokoh daratan Himalaya yang di-
kenal kalangan persilatan dengan gelar Tiyang Pe-
ngembara Agung.
“Kau mencariku.... Tanpa aku bertanya tentu kau
akan mau menjelaskan!” kata laki-laki bercaping lebar
seraya tersenyum. Dia teringat akan pertemuannya de-
ngan si kakek di dekat pesisir beberapa hari berselang.
Saat itu baik si kakek maupun si laki-laki bercaping
saling tawar menawar untuk jawab pertanyaan satu
sama lain. Namun karena tak ada yang mau mengalah,
akhirnya keduanya gagal mengadakan pembicaraan.
Hanya saja sebelum si kakek pergi, orang tua itu sem-
pat perdengarkan sebuah syair. Dilihat dari sini, jelas
membuktikan kalau laki-laki bercaping tidak bukan
adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng.
(Lebih jelasnya tentang pertemuan Joko dengan Tiyang
Pengembara Agung silakan baca serial Joko Sableng
dalam episode : “Wasiat Agung Dari Tibet”).
Tiyang Pengembara Agung membuat gerakan satu
kali. Tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga langkah di
depan murid Pendeta Sinting yang saat itu memang
tengah menyamar dengan mengenakan pakaian mirip
seorang Budha dan mengenakan caping lebar.
“Anak muda.... Satu peristiwa besar telah terjadi....”
Dada Joko berdebar. Tanpa sadar dia melompat ke
depan lalu buka mulut.
“Harap kakek mau jelaskan peristiwa besar apa
yang telah terjadi!”
“Kau telah bertemu orang yang selama ini kau ca-
ri?!” Tiyang Pengembara Agung bertanya.
Karena telah tahu dari Guru Besar Pu Yi siapa se-
benarnya Tiyang Pengembara Agung, tanpa ragu-ragu
lagi murid Pendeta Sinting anggukkan kepala seraya
berkata.
“Aku memang telah bertemu dengan orang yang ku-
cari! Apakah peristiwa besar yang kau katakan masih
ada hubungannya dengan orang itu?!” Joko balik ber-
tanya dengan dada makin berdebar.
Tiyang Pengembara Agung tidak segera menjawab.
Dia putar kepala sebelum akhirnya buka mulut. “Sebe-
lum pertanyaanmu kujawab, harap kau mau jawab du-
lu pertanyaanku. Kau masih memegang amanat itu?!”
“Hem.... Yang dimaksud tentu kantong ini!” kata
murid Pendeta Sinting dalam hati. Karena tidak lagi
merasa curiga pada Tiyang Pengembara Agung, tanpa
ragu-ragu Joko kembali anggukkan kepala tanpa ang-
kat suara.
Meski tidak melihat orang, tapi Tiyang Pengembara
Agung dapat merasakan gerakan isyarat kepala Joko.
Hingga saat lain dia anggukkan kepala dengan meng-
hela napas panjang dan berujar.
“Syukur.... Berarti mereka belum bisa laksanakan
niatnya! Tapi keselamatanmu makin terancam!”
“Aku belum mengerti maksud ucapanmu, Kek!”
“Anak muda.... Tiga malam yang lalu, telah terjadi
peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin! Sahabat baik
ku Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu
Yi tewas dalam peristiwa itu! Lalu sebuah kotak lenyap
dari ruang penyimpanan!”
Pendekar 131 terlengak. Paras wajahnya langsung
berubah tegang. “Siapa yang melakukannya?!”
“Sekarang tengah dalam penyelidikan! Namun dari
caranya, jelas peristiwa ini melibatkan orang dalam
meski yang banyak berperan adalah orang luar!”
Tiyang Pengembara Agung putar lagi kepalanya meng-
hadap Joko. Lalu lanjutkan ucapannya. “Guru besar
Wu Wen She menghilang. Kini Perguruan Shaolin dipe-
gang oleh Guru Besar Liang San!”
“Apakah kau menduga lenyapnya Guru Besar Wu
Wen She karena dia terlibat dalam peristiwa berdarah
itu?!”
“Aku hanya mengenal baik Guru Besar Pu Yi dan
Maha Guru Besar Su Beng Siok. Namun aku tidak be-
rani menduga keterlibatan Guru Besar Wu Wen She
meski kini semua orang telah menduga bahwa Guru
Besar Wu Wen She adalah orang di balik peristiwa itu!”
“Mengapa kau tidak berani menduganya? Bukan-
kah tindakannya itu telah menunjukkan kalau Guru
Besar Wu Wen She terlibat? Jika tidak, mengapa dia
harus melenyapkan diri?!”
Tiyang Pengembara Agung gelengkan kepala. “Tidak
semudah itu menduga orang, Anak Muda.... Dalam
pandangan dan teori, tindakan Guru Besar Wu Wen
She memang mengarah pada dugaan yang kini telah
meluas. Tapi kita juga harus memandangnya dari sisi
lain!”
“Maksudmu...?!”
“Mungkin saja kepergiannya karena dia merasa ti-
dak mampu melawan dan tahu banyak di balik apa
yang telah terjadi!”
“Sebagai salah seorang pemimpin, seharusnya dia
tidak meloloskan diri demi keselamatan pribadi!” ujar
Pendekar 131.
“Seharusnya memang demikian! Tapi kita pun ha-
rus berpikir panjang. Kalau keselamatannya demi un-
tuk membuka siapa sebenarnya dalang di balik peris-
tiwa berdarah itu dan demi untuk menyusun kekuatan
baru, kurasa apa yang dilakukan Guru Besar Wu Wen
She bisa kita terima.... Meski dia sekarang harus
membangun kepercayaan orang!”
“Baiklah kalau begitu. Sekarang kau dapat men-
duga siapa orang luar yang terlibat dan berperan ba-
nyak dalam peristiwa berdarah itu?!” kata Joko.
“Itu pun masih sulit diduga! Karena harus kau keta-
hui, apa yang lenyap dari ruang penyimpanan adalah
benda yang sejak bertahun-tahun lamanya jadi inca-
ran kalangan Bu Lim...!”
“Bu Lim.... Apa itu?!”
Tiyang Pengembara Agung tertawa. “Bu Lim adalah
istilah negeri ini untuk kalangan orang persilatan!”
Joko ikut tertawa. Tiyang Pengembara Agung ker-
nyitkan dahi. “Apa yang lucu, Anak Muda?!”
“Di kampung halamanku, kalau ada orang menye-
but Bu Lim pasti artinya dia adalah istrinya Pak Lim!”
“Hem.... Ucapanmu membuatku ingat jika kau ada-
lah orang asing di sini. Lebih dari itu kau belum per-
kenalkan diri padaku! Sekarang kau tak merasa kebe-
ratan bukan untuk mengatakannya padaku?!” kata
Tiyang Pengembara Agung.
“Aku berasal dari tanah Jawa bagian timur. Nama-
ku Joko Sableng....”
“Kau tentu punya seorang guru berilmu tinggi! Sia-
pa dia?!”
“Guruku bergelar Pendeta Sinting dari Jurang Tla-
tah Perak!”
Tiyang Pengembara Agung picingkan matanya yang
sipit. “Selain memiliki guru berilmu tinggi, tampaknya
kau juga membekal senjata sakti.... Kau harus hati-
hati membawa senjata saktimu itu, Anak Muda! Kau
tahu.... Kalangan Bu Lim di negeri ini selalu tergila-gila
dengan benda mustika!”
“Hem.... Dia bisa melihat pedang di balik pakaian
ku!” kata Joko dalam hati. Lalu berujar. “Terima kasih
atas nasihatmu, Kek!”
“Lain daripada itu, kau sekarang harus lebih was-
pada lagi. Kau kini membawa amanat besar! Kau telah
bertemu dengan Guru Besar Pu Yi, jadi aku tak perlu
menjelaskan lagi!”
“Tapi aku minta petunjukmu, Kek. Apa yang harus
kulakukan sekarang?! Guru Besar Pu Yi menitipkan
amanat ini padaku. Sekarang Guru Besar Pu Yi telah
tiada. Kepada siapa amanat ini harus kuberikan? Saat
bertemu dengan Guru Besar Pu Yi, dia tidak mengata-
kan kepada siapa amanat ini harus kuberikan!”
“Karena amanat itu diberikan padamu dan Guru
Besar Pu Yi tidak mengatakan kepada siapa lagi ama-
nat itu harus diberikan, berarti kaulah yang harus
mengemban amanat itu!”
“Jadi...?!”
“Mungkin takdir sudah menuliskan meski kau o-
rang dari negeri jauh, namun kau harus mengemban
amanat di negeri ini dan menyelesaikannya sampai
tuntas!”
“Kek! Demi rimba persilatan, sebenarnya aku tidak
keberatan untuk melakukan amanat ini! Tapi bukan-
kah di negeri ini masih banyak orang berilmu tinggi
dan salah satunya adalah kau sendiri? Bukankah lebih
baik kau yang melakukannya?! Apalagi kau telah me-
ngenal benar negeri ini dan orang-orang yang terlibat
di dalamnya?”
Tiyang Pengembara Agung gelengkan kepala. “Tak-
dir telah ditulis, Anak Muda.... Siapa pun tak bisa me-
rubahnya!”
“Tapi sampai di mana amanat ini harus selesai?!”
“Sampai misteri di dalamnya terbuka dan semua o-
rang sadar jika mereka tidak ditakdirkan untuk melakukan amanat itu! Sekaligus mereka harus maklum
jika mereka tidak akan mendapat apa-apa meski me-
reka rela korbankan nyawa untuk mendapatkannya!”
“Hem.... Ini isyarat jika aku masih harus lama di
negeri ini!” Joko membatin. Lalu setelah agak lama
berpikir, dia angkat suara.
“Lalu apa pertama-tama yang harus kulakukan?!”
“Kau harus mendapatkan kembali benda yang le-
nyap dari ruang penyimpanan di Perguruan Shaolin!
Karena dengan bersatunya kembali benda itu dengan
apa yang ada padamu, baru pergolakan di negeri ini
bisa tenang! Jika tidak, gelombang itu akan makin
menggila dan akan banyak jatuh korban!”
Tengkuk murid Pendeta Sinting menjadi dingin de-
mi mendengar keterangan Tiyang Pengembara Agung.
Dengan suara agak bergetar dia berucap.
“Kek.... Dalam perjalananku menuju negeri ini, di
tengah laut aku telah dihadang beberapa prajurit kera-
jaan. Demikian juga pada beberapa malam yang lalu....
Apakah ini satu bukti jika pihak kerajaan juga meng-
inginkan benda yang ada padaku? Dan apakah tidak
mungkin peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin di-
dalangi juga oleh pihak kerajaan?!”
“Itu satu hal yang tidak harus kau tanyakan pada-
ku! Tapi sebaliknya harus segera kau selidiki! Karena
secara tidak langsung kau telah terlibat di dalamnya!”
“Tapi akan lebih enak bagiku jika mendapat sedikit
keterangan darimu, karena aku masih asing dengan
negeri ini!”
“Tidak, Anak Muda.... Tahu dengan pengalaman
sendiri akan lebih baik daripada tahu dengan ketera-
ngan dari mulut orang! Aku harus segera pergi....”
Suara Tiyang Pengembara Agung belum selesai, o-
rang tua bertangan dan berkaki satu itu telah membuat satu gerakan. Sosoknya melesat dan tahu-tahu
sudah berada jauh di depan sana. Saat orang tua ini
membuat gerakan lagi, sosoknya telah lenyap.
“Akar urusan ini dari Perguruan Shaolin. Sementara
orang yang mencurigakan adalah Guru Besar Wu Wen
She. Jalan satu-satunya sekarang adalah menemukan
orang itu! Tapi.... Aku belum pernah bertemu dengan
orangnya! Bagaimana aku bisa mencarinya?!” Murid
Pendeta Sinting kebingungan. Saat itulah terlintas
bayangan seorang gadis cantik di pelupuk matanya.
“Mei Hua.... Ah.... Benar! Aku harus mencarinya!
Siapa tahu dia mengenali Guru Besar Wu Wen She!
Pada beberapa hari yang lalu dia telah memberi kete-
rangan dan ternyata keterangannya benar! Mungkin
dia bisa membantuku lagi.... Kalaupun tidak bisa, se-
tidaknya aku punya teman untuk bicara. Apalagi dia
seorang gadis berwajah jelita!” Joko tersenyum lalu dia
berkelebat begitu saja tanpa arah tujuan meski mak-
sud sebenarnya adalah mencari Mei Hua. (Tentang per-
temuan Joko dengan Mei Hua silakan baca serial Joko
Sableng dalam episode: “Wasiat Agung Dari Tibet”).
***
TIGA
MALAM telah turun ketika satu bayangan hitam
berkelebat laksana kesetanan menuju ke satu bukit.
Dalam beberapa saat si bayangan hitam telah mendaki
dan tahu-tahu telah tegak di puncak bukit dengan ke-
pala lurus ke bawah dan mata terpentang besar mem-
perhatikan ke rimbun pepohonan di bawah sana yang
makin menambah pekatnya suasana.
“Kalau malam ini dia tidak muncul, terpaksa aku
akan mendatangi ke tempatnya! Aku telah melewati
bahaya besar dengan taruhan nyawa! Aku tak akan
tinggal diam kalau dia berani coba-coba mengelabui-
ku!” Orang di atas puncak bukit mendesis. Dia adalah
seorang laki-laki berkepala gundul mengenakan pa-
kaian hitam-hitam. Raut wajahnya agak tirus. Kumis-
nya tipis dengan jenggot jarang dan agak panjang. Se-
pasang matanya besar. Dia bukan lain adalah Guru
Besar Liang San.
Seperti diketahui, Guru Besar Liang San berse-
kongkol dengan Yang Mulia Baginda Ku Nang pengua-
sa kerajaan saat ini. Dengan bantuan Baginda Ku
Nang akhirnya kotak berisi peta wasiat lenyap dari
ruang penyimpanan di Perguruan Shaolin. Namun se-
telah tiga hari berlalu dari peristiwa berdarah di Per-
guruan Shaolin, Baginda Ku Nang tidak muncul di
tempat yang telah disepakati. Malah sang Baginda
mengutus seseorang sebagai wakilnya untuk menemui
Guru Besar Liang San. Tapi Guru Besar Liang San ti-
dak mau bicara dengan utusan Baginda Ku Nang. Dia
berpesan pada si utusan agar Baginda Ku Nang me-
nemuinya sendiri pada malam berikutnya di tempat
yang sama.
Beberapa saat berlalu. Guru Besar Liang San masih
coba menahan diri untuk menunggu meski dengan da-
da mulai geram karena orang yang ditunggu belum ju-
ga menunjukkan tanda-tanda akan muncul.
“Tampaknya dia tidak akan hadir malam ini! Dia pi-
kir aku akan berdiam diri dengan tindakannya!” Guru
Besar Liang San kembali bergumam dengan seringai
dingin. “Dia tak tahu.... Kalau dia coba-coba mengeta-
huiku, berarti baik aku ataupun dia tidak akan men-
dapatkan peta wasiat itu! Apalagi separo peta wasiat
itu masih harus dicari!”
Guru Besar Liang San dongakkan kepala. “Kalau
aku berhasil dengan baik merencanakan peristiwa di
Perguruan Shaolin, apa dia pikir aku tak dapat mene-
robos penjagaan istana?!” Guru Besar Liang San terta-
wa pendek. Saat lain dia putar tubuh. Dia telah memu-
tuskan untuk meninggalkan puncak bukit.
Tapi belum sampai Guru Besar Liang San lakukan
niat, sepasang matanya menangkap gerakan satu
bayangan hitam yang berkelebat di kaki bukit.
“Hem.... Ada orang menuju kemari! Kalau yang
muncul adalah selain orang yang kutunggu, berarti
orang itu bernasib jelek! Dia tak akan turun bukit lagi
dengan nyawa masih utuh!” Guru Besar Liang San
kembali balikkan tubuh. Kepalanya ditengadahkan la-
gi. Dia menunggu dengan kedua tangan telah dialiri
tenaga dalam!
“Harap kau mengerti akan keterlambatan...!” Men-
dadak satu suara terdengar dari arah belakang Guru
Besar Liang San.
“Hem.... Rupanya dia sendiri yang muncul!” kata
Guru Besar Liang San dalam hati lalu balikkan tubuh
dengan kedua tangan menakup di depan dada dan ke-
pala mengangguk.
“Amitaba.... Aku gembira melihat kau sendiri yang
hadir, Yang Mulia Baginda Ku Nang....” Guru Besar
Liang San angkat bicara. Sepasang matanya melirik ta-
jam pada orang di hadapannya.
Dia adalah seorang laki-laki berusia lima puluh ta-
hunan. Kumisnya lebat, jenggotnya lebat, dan panjang.
Kedua alis matanya mencuat ke atas. Sepasang mata-
nya tajam. Rambutnya yang putih panjang digeraikan
di bagian samping. Bagian belakangnya dikuncir agak
tinggi. Dialah orang yang kini menduduki takhta kerajaan di daerah Himalaya. Dia dahulu hanya seorang
pemimpin perguruan silat. Namun karena ambisinya
besar ditambah dengan kepandaiannya mempengaruhi
orang, lambat laun dia hampir bisa menguasai seluruh
perguruan silat yang ada di daratan Tibet. Kesempatan
itu tidak disia-siakan. Dengan caranya sendiri dia ber-
hasil menghasut beberapa pembesar kerajaan yang
saat itu berkuasa di daratan Tibet. Lalu menggandeng
beberapa tokoh aliran sesat.
Pada satu saat yang dirasa tepat, Ku Nang bergerak
dan akhirnya bisa menggulingkan raja yang saat itu
memerintah. Mungkin karena tak mau di kelak kemu-
dian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Ku
Nang sengaja tidak menyisakan satu pun dari kerabat
raja yang digulingkan.
Begitu berhasil memegang tampuk kekuasaan, Ku
Nang tidak segan-segan menyingkirkan orang yang di-
duga akan menjadi duri penghalang. Namun sejauh ini
dia coba menghindarkan diri dari perselisihan dengan
perguruan silat. Tampaknya dia sadar, meski di bela-
kangnya ada beberapa pesilat tangguh, namun sebuah
perguruan silat akan menjadi petaka bagi kekua-
saannya jika dia coba-coba membuat urusan.
Namun begitu, Ku Nang bukanlah orang bodoh. Dia
sengaja memasang beberapa orangnya di setiap pergu-
ruan silat. Atau bahkan dia sengaja mendekati para
pemimpin perguruan silat. Dengan begitu selain ke-
kuasaannya aman, dia tahu apa yang tengah terjadi di
dalam satu perguruan.
Sejak masih menjadi pemimpin sebuah perguruan
silat, Ku Nang telah mendengar jika Perguruan Shaolin
menyimpan sebuah peta rahasia. Dan begitu dia ber-
hasil naik takhta, dia tidak buang kesempatan. Dia
mendekati salah satu pemimpin Perguruan Shaolin.
Karena yang dirasa dapat didekati adalah Guru Besar
Liang San, maka dia pun segera mengadakan pendeka-
tan. Dugaan Baginda Ku Nang tampaknya tidak me-
leset. Guru Besar Liang San menerima uluran tangan
Baginda Ku Nang. Hingga untuk beberapa lama di an-
tara kedua orang ini terjalin persahabatan.
Perlahan-lahan Baginda Ku Nang mengutarakan
maksudnya. Tampaknya Guru Besar Liang San me-
nyambut baik maksud Baginda Ku Nang karena dia
sendiri ternyata menginginkan peta wasiat itu. Apalagi
dia tahu jika peta wasiat itu tidak akan jatuh ke ta-
ngannya karena Maha Guru Besar Su Beng Siok lebih
cenderung dan sangat dekat dengan Guru Besar Pu Yi
yang juga adalah kakak seperguruannya.
“Guru Besar Liang San...,” kata Baginda Ku Nang
setelah agak lama terdiam. “Kuharap kau mengerti me-
ngapa aku tidak bisa menepati janji pada malam ke-
marin. Ada beberapa sahabat datang. Aku tak bisa
meninggalkan mereka! Lagi pula aku harus bisa men-
jelaskan peristiwa yang terjadi di Perguruan Shaolin
meski sebenarnya itu bukanlah urusan kerajaan. Na-
mun kalau mereka tahu dariku soal duduk permasa-
lahannya, kurasa posisimu akan lebih aman!”
“Amitaba.... Tapi apakah kau juga menceritakan
tentang lenyapnya kotak berisi peta wasiat itu?!” Tanya
Guru Besar Liang San.
“Itu harus kuceritakan! Dengan begitu mereka akan
penasaran dan pasti mencari-cari Guru Besar Wu Wen
She!”
“Dari mana kau tahu Wu Wen She lolos?!”
Baginda Ku Nang tertawa pendek. “Itu bukan uru-
san yang sulit bagiku! Dan tentunya kau setuju de-
ngan langkah yang kutempuh! Karena dengan begitu
namamu jadi bersih dan kau tak perlu memusingkan
urusan Guru Besar Wu Wen She! Dia kini telah men-
jadi orang buruan. Bukan saja dari pihak kerajaan na-
mun juga bagi para kalangan rimba persilatan!”
“Amitaba.... Tapi hal itu akan membuat suasana ja-
di kacau!”
“Urusan keamanan daratan Tibet ada di tanganku!
Aku yang menciptakan suasana itu, tentu aku bisa
mengendalikannya! Dan sementara kalangan rimba
persilatan berburu, kita akan teruskan langkah yang
sudah setengah jalan ini!”
“Tapi untuk lebih amannya, harap kau serahkan
kotak itu padaku! Aku akan menyimpannya di tempat
aman sebelum kita menemukan pasangannya!”
Baginda Ku Nang gelengkan kepala perlahan. “Di
tempatmu baru saja terjadi peristiwa berdarah. Itu sa-
tu bukti jika tempat itu tidak aman lagi!”
“Benar! Namun peristiwa itu kita yang merencana-
kan!”
“Kalau rencana kita berhasil, apa orang lain tak bisa
merencanakannya?! Apalagi Perguruan Shaolin tanpa
ditulang-punggungi Maha Guru Besar Su Beng Siok
dan Guru Besar Pu Yi!”
“Aku masih punya kekuatan untuk menghadang se-
tiap orang yang hendak menerobos! Dan aku tak akan
menyimpan kotak itu di tempatnya semula!”
“Bukannya aku meremehkan kekuatanmu! Tapi
bagaimanapun juga kharisma Maha Guru Besar Su
Beng Shiok dan Guru Besar Pu Yi masih melekat di be-
nak siapa saja! Kalau masih ada Maha Guru Besar Su
Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi, mungkin orang akan
berpikir tiga kali untuk datang menerobos. Kini, tanpa
mereka berdua, mungkin mereka hanya berpikir satu
kali!”
“Jadi...?!”
“Kau tak usah khawatir! Untuk sementara ini biar-
lah kotak itu aku yang menyimpannya! Kuharap kau
percaya! Urusan kotak peta wasiat itu, hanya kita ber-
dua yang tahu!”
“Tapi untuk lebih adilnya, bagaimana kalau kita
simpan kotak itu secara bersama-sama?! Maaf.... Bu-
kannya aku tidak percaya. Tapi kotak itu adalah pe-
ninggalan perguruanku! Aku harus tahu di mana letak
penyimpanannya!”
Baginda Ku Nang terdiam beberapa lama. “Baik-
lah.... Besok malam kita bertemu lagi di kaki bukit ini!
Dan agar kau tidak bimbang, aku menurut saja di ma-
na akan kau simpan kotak itu!”
“Amitaba.... Terima kasih atas pengertianmu! Seka-
rang harap kau jelaskan bagaimana pengejaran terha-
dap orang asing yang kau katakan sebagai orang yang
telah menolong dan menyembunyikan Yang Kui Tan!”
“Sampai saat ini belum ada kabar beritanya! Orang
asing itu seakan lenyap!”
“Jangan-jangan dia sudah meninggalkan negeri ini!”
Baginda Ku Nang gelengkan kepala. “Seluruh perba-
tasan baik darat maupun laut telah dijaga ketat! Tak
mungkin seseorang bisa lolos keluar dari negeri ini!”
“Bisa diketahui siapa nama orang itu dan dari mana
asalnya?!”
“Belum bisa diketahui siapa nama orang asing itu!
Namun dari arah datangnya, mungkin dia berasal dari
negeri di sebelah selatan daratan Tibet! Dia seorang
pemuda berparas tampan. Tubuhnya sedang. Namun
melihat dia berhasil lolos dari hadangan Panglima Mu-
da Lie dan beberapa pengawal kerajaan, pasti dia
membekal ilmu tinggi! Dan kalau benar dia bersahabat
dengan Yang Kui Tan, cepat atau lambat dia akan
muncul di tempatmu!”
Kali ini kepala Guru Besar Liang San menggeleng.
“Peristiwa di perguruan telah tersebar luas. Kalau sam-
pai hari ini dia tidak muncul, kecil kemungkinan dia
akan datang ke tempatku! Apalagi jika telah men-
dengar kalau Guru Besar Pu Yi telah mampus!”
“Hem.... Lalu menurutmu, apa sebaiknya yang ha-
rus kita lakukan?!” tanya Baginda Ku Nang.
“Tak ada jalan lain. Kita harus kerahkan orang se-
banyak mungkin untuk mendapatkannya! Tapi mereka
hanya perlu menangkap tanpa harus membunuhnya!
Karena keterangan dari mulutnyalah yang kita perlu-
kan! Karena urusan ini sangat penting, aku juga akan
turun tangan sendiri!”
“Ah.... Terima kasih kalau kau punya gagasan begi-
tu! Tapi harap kau mau memaklumi kalau aku tidak
dapat membantumu!”
“Amitaba.... Aku tahu, Baginda! Lagi pula urusan
ini sangat berbahaya kalau kau ikut turun tangan
sendiri! Kita sedapat mungkin harus hindarkan diri
dari dugaan orang kalau pihak kerajaan ikut campur
urusan perguruan silat! Apalagi ini masih ada hubu-
ngannya dengan peta wasiat yang telah berpuluh-
puluh tahun jadi incaran orang!”
“Sekali lagi kuucapkan terima kasih. Kita harus se-
gera berpisah. Besok malam kita bertemu lagi di kaki
bukit! Kuharap kau telah mendapatkan tempat yang
aman untuk menyimpan kotak itu!”
Guru Besar Liang San menjura. Baginda Ku Nang
anggukkan kepala lalu balikkan tubuh dan berkelebat
menuruni bukit. Tak berselang lama, Guru Besar Liang
San ikut berkelebat dan berlari menuruni bukit. Di ka-
ki bukit, Baginda Ku Nang terus berlari ke arah barat,
sementara Guru Besar Liang San ke arah timur.
****
EMPAT
PADA awalnya Joko memang kebingungan untuk
menemukan arah di mana dia dapat menemukan Mei
Hua. Namun begitu teringat di mana dia bertemu per-
tama kali, murid Pendeta Sinting segera berkelebat ke
tempat di mana dia pernah berjumpa dengan Mei Hua.
Namun Pendekar 131 lebih waspada. Selain dia telah
tahu benda apa yang kini berada di tangannya, dia ju-
ga tahu tempat di mana dia pernah bertemu dengan
Mei Hua bukanlah tempat yang aman. Karena di tem-
pat itu Joko sempat dihadang beberapa prajurit.
Begitu memasuki kawasan luas yang hanya ditum-
buhi bunga-bunga dan ilalang, Joko hentikan larinya.
Caping lebarnya diangkat sedikit ke atas. Dia meman-
dang berkeliling.
“Meski saat itu malam hari, namun aku yakin di
tempat inilah aku berjumpa dengan gadis cantik itu!
Tapi mana dia?!” Murid Pendeta Sinting kembali putar
pandangan. Namun hingga beberapa lama, dia tidak
melihat siapa-siapa!
“Mengapa aku jadi begini bodoh?! Satu purnama
pun aku mencari di sini, gadis itu tak mungkin kute-
mukan! Di sini tidak ada tempat yang didiami pendu-
duk! Yang ada hanya bunga-bunga dan ilalang! Saat
itu pasti dia tengah kebetulan berada di sini! Hem....
Ke mana aku harus mencarinya?!” Joko menggumam
seraya arahkan pandang matanya ke arah barat.
“Perguruan Shaolin tidak jauh dari sini. Apa sebaik-
nya aku menyelidik ke sana?! Tapi dengan peristiwa
berdarah itu, tentu keadaan di sana masih sangat ke
tat! Setiap orang yang datang apalagi secara diam-diam
pasti akan mendapat tuduhan buruk! Belum lagi jika
melihat orang asing sepertiku! Ah.... Untuk sementara
ini aku memang harus menjauhi Perguruan Shaolin!
Tapi ke mana sekarang aku harus pergi?! Aku butuh
seseorang yang....”
“Kau mencari seseorang?!” Mendadak Joko dike-
jutkan dengan satu suara.
“Hem.... Suara perempuan! Tapi rasanya bukan su-
ara gadis cantik itu! Mudah-mudahan perempuan yang
ini tak kalah cantiknya dengan gadis yang tengah ku-
cari! Lebih-lebih bisa membantuku...,” kata Joko da-
lam hati seraya mengatasi rasa kejutnya. Namun dia
tidak segera putar diri menghadap ke arah sumber su-
ara yang tiba-tiba terdengar. Joko tetap tegak tak
membuat gerakan. Kalaupun dia bergerak, itu adalah
tangan kanannya yang menekan caping lebarnya hing-
ga masuk dalam-dalam pada kepalanya hingga raut
wajahnya makin sulit dikenali. Saat lain dia buka sua-
ra menjawab.
“Aku memang tengah mencari dan menunggu sese-
orang! Bahkan hampir saja aku putus asa dan hendak
pergi! Namun syukur kau telah datang!”
Dari tempat suara perempuan yang tadi terdengar,
dua bayangan berkelebat. Lalu terlihat dua sosok tu-
buh tegak sepuluh langkah di belakang murid Pendeta
Sinting. Untuk beberapa saat kedua orang yang baru
muncul saling palingkan kepala ke arah tegaknya ma-
sing-masing orang. Mereka berpandangan sesaat. Jelas
paras wajah mereka membayangkan keheranan.
Orang di sebelah kanan adalah seorang perempuan
berusia lanjut berambut putih. Sepasang matanya sipit
tanpa ditingkahi kedua alis mata di atasnya. Dia me-
ngenakan pakaian panjang warna hitam. Di pundak
nya tampak selendang panjang warna hitam yang di
sampirkan hingga menjulai hampir menyapu tanah.
Di sebelah si nenek, tegak seorang gadis berparas
jelita. Rambutnya yang hitam lebat dibiarkan bergerai
sampai punggung. Sepasang matanya bulat. Kulitnya
putih. Gadis cantik ini mengenakan pakaian warna
kuning agak tipis. Pada bagian dadanya dibuat rendah
dan diberi renda-renda. Hingga busungan dadanya
yang mencuat tampak semakin menggoda. Pinggulnya
besar ditingkah dengan pakaian bawah yang sengaja
diberi belahan pada kedua sisinya. Hingga gadis ini te-
gak dengan kaki sedikit direnggangkan, maka tampak
jelas pahanya yang padat dan mulus. Di pinggangnya
yang ramping melingkar sebuah ikat pinggang dari
kain yang juga berwarna kuning. Tepat di bagian sisi
kiri pinggang terlihat satu pedang pendek bergagang
batu berwarna kuning pula.
Si gadis sorongkan kepala ke arah si nenek lalu
berbisik.
“Guru.... Apakah dia yang hendak kau temui?!”
Si nenek luruskan kepala menatap punggung Joko.
“Dari sikap dan suaranya, meski aku belum tahu wa-
jahnya aku bisa memastikan bukan dia orang yang ki-
ta cari dan sepakat untuk bertemu di sini!”
“Tapi mengapa dia yang muncul? Dan dari ucapan-
nya tadi jelas dia menunggu kita! Jangan-jangan orang
yang hendak kau temui tidak bisa hadir dan dia me-
wakilkan pada orang itu!”
Si nenek menyeringai. “Kalau itu yang dilakukan,
berarti Wang Cen membuat satu kesalahan besar! Na-
ma gelaran si Bayangan Tanpa Wajah yang disandang-
nya hanya besar di suara tapi kosong dalam Kenya-
taan! Terbukti dia tidak berani datang sendiri meng-
hadapiku! Tapi mewakilkan pada manusia kecil tak
berguna! Aku akan memberi peringatan pada Wang
Cen agar tidak meremehkan orang!”
Habis berbisik begitu, si nenek maju dua langkah.
“Mengapa Wang Cen tidak datang sendiri menemuiku?!
Mengapa dia memberiku undangan untuk bertemu di
sini kalau dia takut datang, hah?!” Si nenek perde-
ngarkan bentakan garang.
Ucapan si nenek membuat Pendekar 131 terlengak
kaget. Kali ini dia tak dapat lagi sembunyikan rasa ke-
jutnya. Namun dia masih coba menahan diri untuk ti-
dak segera berbalik menghadap orang. Hanya saja dia
tahu, jika orang di belakangnya bukan satu orang! Dia
tadi mendengar suara bisik-bisik namun dia tak bisa
jelas menangkap apa yang dibicarakan orang.
“Busyet! Dari ucapannya jelas kalau mereka sudah
sepakat untuk bertemu di sini dengan seseorang! Dan
ucapanku tadi tentu mereka artikan akulah orang
yang hendak menemuinya! Sial betul.... Padahal aku
tadi cuma bercanda!” Joko membatin seraya lebih te-
kankan caping di atas kepalanya.
“Kau dengar ucapanku! Kau jawab atau tidak, sama
saja nasib yang akan kau terima!”
“Gawat! Aku harus segera mencari dalih sambil me-
nunggu orang yang sebenarnya hendak ditemuinya
muncul di sini!” gumam murid Pendeta Sinting lalu
perlahan-lahan dia putar diri.
Si nenek dan si gadis sama pentangkan mata. Na-
mun karena caping di kepala Joko masuk terlalu da-
lam, kedua orang di hadapannya tidak bisa mengenali
paras wajah orang. Hal ini membuat dada si nenek
makin bergolak dibuncah rasa marah.
Pendekar 131 angkat kedua tangannya ditakupkan
di depan dada. Seraya bungkukkan sedikit tubuhnya
dia berkata.
“Amitaba.... Harap dimaafkan.... Aku tadi menduga
kalian orang yang tengah kutunggu! Tapi ternyata ka-
lian bukanlah orang yang saat ini kutunggu! Sekali lagi
harap maafkan kekeliruanku....”
Sebenarnya Joko ingin melihat paras kedua orang
di hadapannya. Namun karena dia tak ingin wajahnya
diketahui orang, terpaksa Joko berkata dengan tanpa
angkat caping lebarnya hingga dia sendiri tidak bisa
melihat tampang kedua orang di hadapannya. Hanya
saja Joko bisa menduga-duga berapa kira-kira usia
orang yang tadi angkat suara membentak. Hal ini pula-
lah yang membuatnya enggan untuk angkat caping le-
barnya karena dia sudah bisa mengira kalau perem-
puan di hadapannya tidak muda lagi!
Sementara itu, mendengar ucapan murid Pendeta
Sinting, gadis berparas jelita bertubuh montok di ha-
dapannya berpaling ke arah si nenek yang dari panggi-
lannya tadi jelas menunjukkan kalau si nenek adalah
gurunya. Namun kali ini si nenek tidak ikut menoleh.
Sebaliknya makin pentangkan mata seakan coba tem-
busi caping di kepala orang untuk dapat melihat wajah
di baliknya. Saat lain tiba-tiba si nenek buka suara.
“Kalau bukan aku yang kau tunggu, siapa yang kau
tunggu di sini?! Tak mungkin terjadi satu pertemuan
dalam waktu dan tempat yang sama namun beda
orang!”
“Amitaba.... Kukira kebetulan itu bisa terjadi kapan
dan di mana saja! Dan bisa menimpa pada siapa saja!
Buktinya kebetulan itu terjadi pada kita....”
“Tapi itu adalah hal yang mustahil! Kau pasti orang-
nya Wang Cen!” kata si nenek masih dengan suara ke-
ras.
Joko gerakkan kepala menggeleng. “Harap kalian
percaya padaku! Apa pun yang kau katakan mustahil
terjadi, nyatanya kebetulan itu telah benar-benar ter-
jadi.... Aku menunggu seseorang di tempat ini, tapi
bukan kalian. Aku juga bukan orangnya Wang Cen...!”
“Lalu siapa orang yang hendak kau temui?!” Kali ini
yang angkat suara adalah gadis cantik di sebelah si
nenek.
Dahi di balik caping lebar Pendekar 131 tampak
mengernyit. Diam-diam murid Pendeta Sinting berkata
dalam hati. “Suaranya merdu meski keras. Hem.... Da-
ri suaranya mungkin dia seorang gadis.... Apakah aku
harus melihat parasnya?! Tapi untuk apa? Aku yakin
suara itu bukan milik Mei Hua....”
“Katakan siapa orang yang kau tunggu!” Si nenek
membentak.
“Waduh bagaimana ini? Bagaimana aku harus men-
cari nama...? Tak mungkin aku berterus terang tengah
mencari Mei Hua!”
“Jangan buat kesabaran kami pupus!” kata si gadis
begitu agak lama Joko belum juga mau menjawab.
Entah karena kesulitan mencari nama, akhirnya
enak saja murid Pendeta Sinting angkat suara.
“Aku menunggu seorang bernama Hua Mei....”
“Kau sendiri siapa?!” tanya si nenek.
“Aku.... Aku Lon Tong Bu Lim....”
Si nenek dan si gadis sama kerutkan dahi dan ham-
pir bersamaan sama gerakkan kepala berpaling dan
saling pandang satu sama lain.
“Hidup berpuluh tahun di daratan ini, baru kali ini
aku dengar nama itu!” ujar si nenek. “Sikap orang ini
mencurigakan! Aku makin yakin dia adalah orangnya
Wang Cen! Apalagi dia takut dikenali!”
Rupanya Joko mendengar ucapan si nenek meski
suara tadi sangat pelan. Maka sebelum si nenek sem-
pat angkat bicara, Joko telah buka mulut.
“Harap tidak salah duga.... Nama Lon Tong Bu Lim
memang belum pernah kau dengar dan tak mungkin
akan kau dengar kalau tidak bertemu denganku. Ka-
rena nama itu pemberian seseorang di daerah asalku
yang jauh dari sini!”
“Hem.... Jadi kau orang asing?!” tanya si gadis.
“Dikatakan asing sekali tidak. Karena aku menetap
di sini sudah hampir setengah dari usiaku! Hanya saja
aku dilahirkan jauh dari sini! Kalau orang daerah sini
memanggilku Han Ko! Tentu kalian pernah dengar na-
ma itu.... Nama bagus pemberian seorang sahabat!”
“Lalu mengapa kau tutupi wajah dengan caping?!
Orang yang punya niat baik tentu tak takut tunjukkan
tampang!” ucap si nenek.
“Ini sudah menjadi kebiasaanku.... Dan biasanya
pula, aku baru akan tunjukkan tampang jika orang te-
lah mengatakan siapa dia sebenarnya!”
Mungkin karena ingin dan penasaran untuk segera
melihat tampang orang, si nenek segera menyahut.
“Aku Li Muk Cin. Namun orang lebih mengenalku de-
ngan Ratu Selendang Asmara!”
“Hem.... Gelaran bagus.... Dan orang di sebelah-
mu?!” kata Joko.
“Dia Bang Sun Giok! Tapi kalangan persilatan Hi-
malaya lebih mengenalinya dengan Dewi Bunga Asma-
ra!” Yang menjawab adalah si nenek yang tadi se-
butkan diri dengan gelar Ratu Selendang Asmara.
“Hem.... Gelar kalian membuatku jadi ingin melihat
bagaimana paras wajah kalian! Kalau gelarannya ada
hubungannya dengan kata asmara, tentu orangnya
cantik....”
Seraya berkata, tangan kanan murid Pendeta Sin-
ting terangkat ke atas. Perlahan-lahan caping di kepa-
lanya diangkat. Si nenek dan si gadis sama memandang tak berkesip.
“Hem.... Dari tampangnya, jelas anak muda ini bu-
kan orang daerah sini!” kata si nenek begitu melihat
tampang Pendekar 131.
Di lain pihak, gadis yang bergelar Dewi Bunga As-
mara diam-diam juga membatin. “Hem.... Ternyata seo-
rang pemuda berwajah tampan!”
Pendekar 131 sempat tersentak kala melihat paras
wajah gadis di hadapannya. “Dugaanku ternyata tidak
jauh meleset. Dia benar-benar gadis cantik jelita! Ha-
nya saja aku tidak menyangka kalau dia mengenakan
pakaian begitu menggoda!” Tanpa sadar sepasang ma-
ta Joko terpaku pada dada dan paha Dewi Bunga As-
mara yang tampak jelas busungan dan kemulusannya.
Mendapati pandangan orang, Dewi Bunga Asmara
tersenyum seraya busungkan dadanya dan lebarkan
pentangan kedua kakinya. Hingga cuatan buah dada-
nya makin terlihat dan pakaian bawahnya makin ter-
singkap membuat dada Joko berdebar!
“Han Ko...,” Dewi Bunga Asmara angkat suara. “Ada
yang salah pada diriku?!”
Ucapan si gadis membuat Joko sadar. Dia buru-
buru alihkan pandang matanya pada Ratu Selendang
Asmara dengan tersenyum lebar dan gelengkan kepala.
Caping lebarnya kembali dimasukkan pada kepalanya
namun kini dia sengaja perlihatkan matanya.
“Kau benar-benar tengah menunggu seseorang?!”
tanya Ratu Selendang Asmara.
Joko menjawab dengan isyarat anggukan kepala-
nya. Ratu Selendang Asmara menyeringai dingin. Lalu
kembali buka suara.
“Kalau benar ucapanmu, harap kau tunda niatmu!
Hari ini aku akan bertemu seseorang di sini!”
“Hem.... Begitu?! Baiklah.... Aku akan menunggu
nya di sana....” Joko angkat tangan kanannya menun-
juk pada satu arah.
Si nenek gelengkan kepala. “Kau dengar ucapanku!
Urungkan niatmu! Kau harus pergi tinggalkan tempat
ini! Aku tak mau urusanku dilihat apalagi didengar
orang lain!”
“Nek.... Aku telah berjanji untuk bertemu hari ini di
tempat ini! Kalau kau tak mau urusanmu dilihat atau
didengar orang lain, aku akan pejamkan mata dan tu-
tup telinga! Urusan beres, bukan?!”
“Aku tak mau ada orang lain di tempat ini! Cepat
tinggalkan tempat ini!” hardik si nenek.
Joko alihkan pandangannya pada Dewi Bunga As-
mara. Namun dia segera alihkan pandang matanya ke
jurusan lain, tatkala dilihatnya si gadis tersenyum me-
mandangnya.
“Hem.... Sebenarnya aku ingin melihat apa yang
akan terjadi. Ini untuk menambah pengetahuanku ten-
tang beberapa orang di daerah sini! Tapi kalau dia ti-
dak menghendaki, apa boleh buat. Daripada cari pe-
nyakit, lebih baik aku pergi....”
Membatin begitu, Pendekar 131 Joko Sableng arah-
kan kembali pandang matanya pada Ratu Selendang
Asmara lalu pada Dewi Bunga Asmara. Namun saat
melihat ke arah si gadis, mata Joko bukannya mena-
tap ke arah wajah orang, melainkan pada busungan
dada Dewi Bunga Asmara. Saat bersamaan dia berka-
ta.
“Untuk hari ini aku bersedia mengalah.... Tapi jika
terjadi kebetulan untuk kedua kalinya, kuharap kalian
yang ganti mengalah....”
Joko tersenyum. Lalu gerakkan kaki hendak ting-
galkan tempat itu. Namun baru saja melangkah tiga
tindak, dari arah samping terlihat satu bayangan berkelebat!
***
LIMA
PENDEKAR 131 hentikan gerakan. Kepalanya ber-
paling ke samping. Si gadis berpakaian kuning pen-
tangkan mata lalu ikut menoleh. Hanya si nenek yang
tetap tegak tanpa membuat gerakan! Malah melirik
pun tidak!
Bayangan yang baru muncul tegak dua belas lang-
kah di sebelah samping sana. Joko memperhatikan se-
jenak. Tiba-tiba sepasang matanya mementang lebar.
Keningnya berkerut. Dan seolah belum percaya pada
pandang matanya, dia sorongkan kepala ke depan. Ma-
tanya makin dibeliakkan.
“Astaga! Kurasa mataku benar-benar melihat
bayangan tanpa melihat wajahnya!”
Dewi Bunga Asmara tak kalah kejutnya. Sepasang
matanya juga membelalak. Saat lain dia menoleh pada
Ratu Selendang Asmara. Namun yang dipandang tetap
tegak tanpa berpaling ke arah bayangan yang baru
muncul yang ternyata hanyalah bayangan satu sosok
tubuh. Anehnya, bayangan itu tidak memperlihatkan
wajah orang! Sebaliknya bayangan itu hanyalah se-
buah sosok hitam tanpa bentuk!
“Han Ko! Orang yang kutunggu akan segera mun-
cul! Lekas tinggalkan tempat ini!” Ratu Selendang As-
mara berkata pada murid Pendeta Sinting tanpa gerak-
kan kepala.
Mungkin masih terkesima dengan apa yang dilihat,
Joko tidak turuti ucapan si nenek. Dia terus pandangi
bayangan hitam tanpa bentuk.
Karena ucapannya tak dituruti orang, si nenek ce-
pat melompat. Tangan kanannya bergerak mendorong
ke arah tubuh murid Pendeta Sinting.
Karena masih tercenung, terlambat bagi Joko untuk
berkelit dari dorongan tangan si nenek. Hingga sosok-
nya terlempar satu tombak!
Entah agar tidak dicurigai orang, meski Joko bisa
saja kuasai diri, namun dia tak berusaha untuk mem-
buat gerakan. Hingga tanpa ampun lagi sosoknya ja-
tuh terjengkang!
Saat itulah terdengar suara.
Busss!
Pendekar 131 segera berpaling. Bayangan tanpa
bentuk keluarkan asap hitam. Saat lain si bayangan
tanpa bentuk lenyap tak berbekas! Belum lagi asap hi-
tam sirna, dari arah mana tadi si bayangan tanpa ben-
tuk datang, berkelebat dua bayangan hitam. Kejap lain
tahu-tahu dua bayangan hitam telah tegak tidak jauh
dari bayangan yang baru saja lenyap.
Lagi-lagi Joko dan Dewi Bunga Asmara pentangkan
mata. Di depan sana tegak dua sosok bayangan. Hanya
saja dua bayangan ini punya bentuk mirip sosok ma-
nusia. Cuma keduanya tidak memiliki wajah! Bagian
wajah bayangan hanya merupakan lapisan daging rata.
Ratu Selendang Asmara lagi-lagi tidak pedulikan
dua bayangan sosok manusia tanpa wajah yang baru
muncul, sebaliknya putar kepala ke arah Joko yang
masih terduduk di atas tanah. Sepasang matanya
mendelik angker. Saat lain terdengar bentakannya.
“Kau akan menyesal jika tidak turuti ucapanku!”
Tangan kanan si nenek terangkat. Namun dia urung-
kan niat ketika tiba-tiba dari arah dua bayangan ter-
dengar deruan menyambar!
Ratu Selendang Asmara cepat putar tangan kanan-
nya yang sesaat tadi hendak lepaskan pukulan ke arah
murid Pendeta Sinting. Kejap lain tangan kanannya di-
sentakkan ke arah dua bayangan hitam tanpa wajah
yang ternyata telah gerakkan tangan masing-masing.
Dari gerakan tangan dua bayangan hitam tanpa wa-
jah mencuat dua gelombang hitam disertai menderu-
nya dua gelombang angin dahsyat. Anehnya, begitu ge-
rakkan tangan, dua bayangan hitam tanpa wajah per-
dengarkan suara.
Busss! Busss!
Saat kemudian dua bayangan hitam tanpa wajah
kepulkan asap hitam dan lenyap tanpa bekas!
Blammm! Blammm!
Terdengar dua kali ledakan keras ketika gelombang
angin dari gerakan dua bayangan hitam tanpa wajah
bertemu dengan gelombang yang menyambar dari ta-
ngan kanan Ratu Selendang Asmara.
Beberapa tumbuhan bunga di tempat itu porak-po-
randa membubung ke angkasa. Tanahnya bergetar dan
muncrat pula ke udara.
“Bayangan Tanpa Wajah!” Si nenek berteriak lan-
tang. “Mengapa kau takut unjuk diri?!”
Teriakan Ratu Selendang Darah belum selesai, satu
bayangan hitam berkelebat. Saat lain satu sosok tubuh
telah tegak berjarak sepuluh langkah dari tempat te-
gaknya Ratu Selendang Asmara.
Pendekar 131 segera bergerak bangkit. Lalu arah-
kan pandang matanya pada sosok tubuh yang tegak di
hadapan Ratu Selendang Asmara.
Dia adalah seorang laki-laki mengenakan pakaian
terusan warna hitam panjang sebatas lutut. Rambut-
nya hitam lebat digelung tinggi ke atas. Raut wajahnya
telah dipenuhi dengan kerutan tanda laki-laki ini usia
nya sudah tidak muda lagi. Parasnya agak bulat de-
ngan sepasang mata sipit. Kumis dan jenggotnya lebat
serta hitam. Anehnya, bukan hanya pakaiannya yang
berwarna hitam, namun sekujur kulit laki-laki ini juga
berwarna hitam legam! Hingga yang terlihat putih dari
raut wajahnya adalah larikan kecil pada bagian kedua
matanya!
“Bayangan Tanpa Wajah.... Hem.... Itu pasti gelar
laki-laki aneh itu!” kata Joko dalam hati. “Ternyata
bukan hanya di tanah Jawa ada beberapa orang yang
memiliki keanehan. Dan....” Murid Pendeta Sinting pu-
tuskan kata hatinya. Sepasang matanya mendelik. “As-
taga.... Keanehan apa lagi ini?!”
Laki-laki berwajah hitam di depan sana, tiba-tiba
tersenyum perlihatkan giginya yang putih. Namun saat
lain samar-samar raut wajahnya laksana ditutup de-
ngan daging! Kejap kemudian raut wajahnya berubah
datar tanpa bentuk! Tapi hal itu cuma berlangsung se-
saat. Saat lain kembali parasnya membentuk raut wa-
jah.
Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara terkesima.
Keduanya memandang tak berkesip. Lain halnya de-
ngan Ratu Selendang Asmara. Nenek ini tetap tegak
dan hanya melirik sesaat pada wajah orang yang beru-
bah. Saat lain si nenek telah buka suara.
“Bayangan Tanpa Wajah! Hampir dua belas tahun
aku menunggu pertemuan seperti ini! Kau pasti masih
ingat ucapan terakhirku pada dua belas tahun yang la-
lu!”
Sosok laki-laki hitam yang dipanggil Bayangan Tan-
pa Wajah yang kini rautnya telah kembali membentuk
seperti raut orang biasa, buka matanya lebar-le-bar.
Bukannya memandang ke arah Ratu Selendang Asma-
ra, melainkan menatap tajam pada Dewi Bunga Asma
ra. Lalu kepalanya bergerak. Kini sepasang mata-nya
diarahkan pada sosok murid Pendeta Sinting yang te-
gak di belakang sana.
Masih dengan arahkan pandang matanya pada Pen-
dekar 131, Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan sua-
ra.
“Apa yang terjadi pada dua belas tahun lalu masih
terpacak pada mata dan telingaku! Tapi rupanya kau
masih belum percaya diri! Kau takut kejadian lalu ter-
ulang lagi?!”
Ratu Selendang Asmara dapat menangkap maksud
ucapan Bayangan Tanpa Wajah. Dia tertawa pendek.
Lalu buka mulut.
“Aku memang penuhi undanganmu dengan mem-
bawa satu muridku! Tapi kau tak perlu khawatir! Dia
hanya akan menyaksikan apa yang akan terjadi!”
Ucapan si nenek disambut Bayangan Tanpa Wajah
dengan perdengarkan suara tawa bergelak panjang.
“Tapi aku bukannya melihat satu orang yang kau ba-
wa!”
Ratu Selendang Asmara putar sedikit kepalanya ke
arah Pendekar 131. Di lain pihak, karena dapat me-
nangkap gerakan kepala si nenek, Joko buru-buru a-
lihkan pandang matanya ke jurusan lain dengan mulut
perdengarkan siulan!
“Anak manusia itu bukan aku yang membawa! Dia
berada di sini sebelum aku datang! Kau jangan berpu-
ra-pura membalik kenyataan! Bukankah dia adalah
anak manusia yang kau suruh menyelidik sebelum
aku datang?!”
“Aku punya beberapa sahabat yang kupercaya! Aku
tak butuh bantuan seorang anak manusia! Percuma
aku bergelar Bayangan Tanpa Wajah kalau masih
membutuhkan bantuan manusia!”
Mendengar ucapan Bayangan Tanpa Wajah, Joko
putuskan siulannya. Lalu tanpa memandang ke arah
orang yang berada di situ, dia angkat bicara.
“Nek.... Apa kubilang.... Aku datang ke sini karena
punya janji dengan seseorang!”
“Hem.... Dari penampilan dan sosoknya, sepertinya
dia bukan orang sini! Jangan-jangan....” Bayangan
Tanpa Wajah membatin. Namun belum sempat dia te-
ruskan membatin, Ratu Selendang Asmara telah ber-
suara.
“Kau telah dengar ucapannya, Bayangan Tanpa Wa-
jah! Kalau kau tak suka pertemuan dilihat orang lain,
tidak sulit aku mengusirnya dari sini!”
“Ratu Selendang Asmara! Sebenarnya aku memang
tak ingin pertemuan ini dihadiri orang lain tak terke-
cuali gadis cantik di belakangmu itu!” Sepasang mata
Bayangan Tanpa Wajah mengarah pada dada dan paha
Dewi Bunga Asmara. “Namun, karena sudah terjadi,
apa boleh buat.... Hanya saja kau harus tahu. Unda-
nganku bukannya untuk meneruskan kejadian dua
belas tahun silam!”
Si nenek kerutkan dahi. Kepalanya menyentak
menghadap Bayangan Tanpa Wajah. Sepasang mata-
nya menyengat tajam. Saat lain dia membentak.
“Kau terlambat memberi tahu! Apa pun tujuan un-
danganmu, yang jelas kedatanganku untuk tuntaskan
kejadian dua belas tahun silam! Kau tahu, selama ku-
run waktu dua belas tahun, hatiku tidak bisa tenang,
tidurku tak bisa nyenyak! Aku selalu menunggu dan
menanti pertemuan seperti ini! Jadi jangan coba-coba
berdalih untuk mengalihkan persoalan!”
Bayangan Tanpa Wajah tertawa panjang seraya ge-
lengkan kepala. “Aku tahu apa yang kau rasakan! Ma-
lah sebenarnya aku ingin sekali pertemuan seperti ini
segera berlangsung agar bebanku segera selesai! Aku
tak ingin dendam di dadamu terus membara! Tapi
keadaan rupanya berubah.... Ada sesuatu yang meng-
haruskan kita untuk sementara waktu melupakan ke-
jadian lama!”
“Tak ada keadaan yang bisa merubah niatku, Baya-
ngan Tanpa Wajah!”
“Pada mulanya aku berpendapat sepertimu! Tapi
keadaan ini benar-benar dapat merubah niatanku ju-
ga! Dan kalaupun kau tak setuju dengan usulku nanti,
harap kau sabar menunggu! Aku akan selesaikan tu-
gas terlebih dahulu lalu kita adakan pertemuan lagi
untuk selesaikan sengketa lama!”
“Aku tak bisa menunggu lagi! Aku tak ingin nyawa-
mu tercabut tangan orang lain!” kata si nenek seraya
angkat tangan kiri kanannya.
“Aku bisa menjaga selembar nyawaku! Kau tak per-
lu gelisah pikirkan nyawaku! Dan kuharap kau dengar
dulu ucapanku!”
Ratu Selendang Asmara tertawa sinis. “Baiklah....
Aku akan dengar ucapanmu. Tapi harus kau ingat,
apa pun nanti yang akan kau ucapkan, semua itu tak
dapat merubah niat yang kupendam selama dua belas
tahun!”
Bayangan Tanpa Wajah tak pedulikan ancaman o-
rang. Dia buka mulut tanpa membuat gerakan meski
tahu kalau si nenek telah siap lepaskan pukulan.
“Aku mendapat undangan dari Yang Mulia Baginda
Ku Nang. Dia menjanjikan hadiah besar untuk satu
pekerjaan mudah!”
“Hem.... Jadi kau telah menjadi antek kerajaan! Te-
ruskan bicaramu!” kata Ratu Selendang Asmara seraya
tertawa.
“Aku hanya diberi tugas untuk menangkap seorang
pemuda asing!”
“Hik.... Hik.... Hik...! Untuk menangkap seorang
pemuda asing saja kau mau bersekongkol denganku!”
ujar si nenek dengan tertawa cekikikan.
“Pada awalnya aku memang tidak tertarik dengan
tawaran itu. Hadiah sebesar apa pun juga tak ada gu-
nanya bagiku! Namun satu hal yang membuatku terta-
rik dan menerima tawaran itu....”
“Cukup!” putus Ratu Selendang Asmara. “Aku tidak
tertarik dengan lanjutan ucapanmu! Itu adalah uru-
san-mu dan sekarang kita selesaikan urusan kita!”
“Aku belum selesai berkata!” bentak Bayangan Tan-
pa Wajah yang sedari tadi telah menindih gejolak ama-
rah mendapati ejekan si nenek. “Pemuda asing itu me-
nyembunyikan seseorang bernama Yang Kui Tan yang
diduga membawa bagian dari peta wasiat yang selama
ini diincar kalangan rimba persilatan!”
Sekonyong-konyong Ratu Selendang Asmara pu-
tuskan tawanya. Kedua tangannya serentak diluruh-
kan ke bawah. Saat lain dia melompat lalu tegak enam
langkah di hadapan Bayangan Tanpa Wajah.
Di lain pihak, mendengar percakapan Bayangan
Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara, Pendekar
131 terkesiap kaget. Paras wajahnya berubah tegang.
Dari percakapan kedua orang tadi, dia sudah maklum
siapa gerangan yang dimaksud pemuda asing oleh
Bayangan Tanpa Wajah.
“Apakah aku harus segera tinggalkan tempat ini?!
Ah.... Itu akan menambah kecurigaan mereka! Se-
baiknya aku menunggu seraya mencuri dengar perca-
kapan mereka!” kata Joko dalam hati. Dia kembali ber-
siul namun sepasang telinganya dipasang dengan sek-
sama. Kepalanya didongakkan seolah acuh dengan
keadaan di tempat itu. Namun begitu, dadanya masih
berdebar dan dia makin tingkatkan kewaspadaan.
“Kau tak main-main dengan ucapanmu?!” Ratu Se-
lendang Asmara ajukan tanya.
Mendapati perubahan sikap si nenek, Bayangan
Tanpa Wajah tertawa seraya gelengkan kepala. “Aku
sengaja mengundangmu untuk lakukan pekerjaan ini,
karena aku tahu kaulah salah satu orang yang memi-
liki ilmu tinggi di daratan ini!”
“Tapi kalau nanti aku setuju, bukan berarti aku
mengharapkan imbalan hadiah! Yang kuinginkan ada-
lah peta wasiat itu! Peduli setan dengan keinginan
Yang Mulia Baginda Ku Nang!” kata Ratu Selendang
Asmara.
“Kita punya maksud yang sama! Dan aku tahu ba-
gaimana caranya setelah nanti peta wasiat itu berada
di tangan kita!”
“Tapi menurut yang pernah kudengar, sebagian dari
peta wasiat itu berada di Perguruan Shaolin.”
“Rupanya kau telah lama tak turun gunung hingga
tak tahu apa yang telah terjadi!”
“Apa maksudmu...?!” tanya si nenek.
“Dua atau tiga malam yang lalu, terjadi peristiwa
berdarah di Perguruan Shaolin. Maha Guru Besar Su
Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi tewas dalam peristiwa
itu!”
“Tapi masih ada Guru Besar Liang San dan Guru
Besar Wu Wen She!”
“Guru Besar Wu Wen She lenyap begitu peristiwa
terjadi. Kini perguruan itu dipimpin Guru Besar Liang
San! Tanpa Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru
Besar Pu Yi, rasanya mudah bagi kita untuk menero-
bos masuk!”
“Baik, aku terima usulmu! Kita bersatu untuk men-
dapatkan pemuda asing itu! Tapi apa tidak lebih baik
kalau kita menerobos dahulu Perguruan Shaolin? Begi-
tu kita berhasil, baru kita cari pemuda asing itu!”
Bayangan Tanpa Wajah gelengkan kepala. “Kalau
Yang Mulia Baginda Ku Nang menginginkan peta wa-
siat dari pemuda asing itu, tentu dia tak akan lengah
untuk membiarkan Perguruan Shaolin tanpa penjaga-
an beberapa orang sahabat Baginda Ku Nang. Aku ya-
kin saat ini Perguruan Shaolin dalam pengawasan pi-
hak kerajaan meski pengawasan itu dilakukan bebera-
pa orang dari luar orang kerajaan. Baginda Ku Nang
tidak mungkin ceroboh untuk menempatkan orang-
orang kerajaan untuk mengawasi, karena hal itu akan
menimbulkan urusan!”
Bayangan Tanpa Wajah hentikan ucapannya sesaat.
Lalu meneruskan. “Untuk sementara ini kita terpaksa
mencari pemuda asing itu! Dan sambil lalu kita pasang
telinga mencari kabar bagaimana keadaan di Pergu-
ruan Shaolin!”
“Siapa nama pemuda asing itu? Dan bagaimana ci-
ri-cirinya?!”
Pertanyaan Ratu Selendang Asmara membuat Joko
segera palingkan kepala dengan kuduk merinding. Na-
mun dia sengaja bersikap biasa malah keraskan siu-
lannya dan bergumam tak jelas seperti orang tengah
dendangkan nyanyian.
“Dia mengenakan jubah hitam. Wajahnya tampan.
Tidak seorang pun yang mengetahui siapa namanya!
Hanya saja menurutku dia bukan pemuda sembara-
ngan! Dia berhasil lolos dari hadangan Panglima Muda
Lie dan beberapa pengawal kerajaan! Untuk itulah
mengapa Yang Mulia Baginda Ku Nang mengundang
beberapa sahabatnya yang dikenal memiliki ilmu tinggi
untuk mencari sekaligus menangkap pemuda itu!”
“Bagaimana Baginda bisa yakin pemuda itu yang
membawa peta wasiat?!”
“Aku sendiri tak tahu persis bagaimana duduk uru-
sannya hingga Baginda Ku Nang terlibat dalam masa-
lah ini! Tapi dari peristiwanya, jelas Yang Mulia punya
hubungan dekat dengan orang dalam Perguruan Shao-
lin. Kalau tidak, bagaimana dia tahu kalau seseorang
bernama Yang Kui Tan mengadakan perjalanan untuk
mengambil peta wasiat itu dari tempat penyimpanan-
nya?!” Bayangan Tanpa Wajah hentikan lagi ketera-
ngannya seraya menghela napas. Saat kemudian dia
buka mulut lagi.
“Menurut kabar yang kudengar dari Baginda, Yang
Kui Tan telah terluka parah. Namun dia masih sempat
merebut sebuah perahu milik pengawal kerajaan. Pan-
glima Muda Lie bersama beberapa anak buahnya sege-
ra mengejar. Namun karena besarnya gelombang, Pan-
glima Muda Lie dan beberapa pengawal kerajaan serta
beberapa orang sahabat Baginda kehilangan jejak. Ke-
tika gelombang telah reda, tiba-tiba Panglima Muda Lie
dan anak buahnya melihat perahu yang tadi ditum-
pangi Yang Kui Tan. Namun mereka jadi tercengang
ketika mendapati si penumpang perahu bukanlah
Yang Kui Tan. Melainkan seorang pemuda asing!”
Bayangan Tanpa Wajah mengatur napasnya sejenak
sebelum melanjurkan.
“Namun Panglima Muda Lie merasa curiga pada se-
buah barang di lantai perahu yang ditutup dengan se-
buah jubah hitam. Panglima Muda Lie menduga tubuh
Yang Kui Tan berada di balik jubah hitam itu! Tapi si
pemuda asing penumpang perahu tak mau mengaku!
Akhirnya terjadi bentrok. Beberapa anak buah Pang-
lima Muda Lie tewas. Panglima sendiri terluka! Perahu
itu terus menuju ke pesisir Tibet. Namun sejak keja-
dian itu, si pemuda asing dan Yang Kui Tan lenyap tak
ada kabar beritanya!”
“Apa kira-kira mereka tidak menyelinap masuk ke
dalam Perguruan Shaolin?”
“Beberapa orang kerajaan dan sahabat Baginda Ku
Nang telah diperintahkan berjaga-jaga di perbatasan
daerah yang memasuki Perguruan Shaolin. Tapi sam-
pai sejauh ini tidak ada laporan tentang kedatangan
pemuda asing itu ke Perguruan Shaolin hingga terjadi
peristiwa berdarah yang menewaskan Maha Guru Be-
sar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!”
“Hem.... Lalu apa rencanamu sekarang?!” tanya Ra-
tu Selendang Asmara.
“Kita mulai mencari dari pesisir!”
Habis berkata begitu, Bayangan Tanpa Wajah hen-
dak berkelebat. Namun diurungkan ketika matanya
melirik dia tidak lagi mendapati sosok murid Pendeta
Sinting.
“Siapa pemuda itu tadi?!” Bayangan Tanpa Wajah
bertanya. Sepasang matanya mengedar berkeliling
mencari-cari.
Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara
sama arahkan pandang matanya ke tempat di mana
tadi Pendekar 131 tegak berdiri. Keduanya sama terke-
jut melihat sosok murid Pendeta Sinting telah tidak
ada lagi di tempatnya.
“Dia mengaku bernama Han Ko! Dia tengah me-
nunggu seseorang di sini!” Si nenek menjawab.
“Aneh.... Meski aku hanya melihat sebagian wajah-
nya, namun aku hampir merasa yakin dia bukan orang
sini!” gumam Bayangan Tanpa Wajah.
“Dia memang mengaku dilahirkan jauh dari sini.
Lagi pula mengapa kau menaruh curiga padanya? Dia
tidak memiliki ilmu.... Jadi bukan dia pemuda asing
itu!” kata Ratu Selendang Asmara.
“Sebagai orang yang tengah diburu, tak mungkin
dia mau tunjukkan siapa dia sebenarnya! Dia pasti
akan memerankan sebagai orang bodoh agar luput dari
perhatian orang! Kau tertipu.... Kita kejar dia! Pasti be-
lum jauh dari sini!”
Tanpa menunggu sambutan Ratu Selendang Asma-
ra, Bayangan Tanpa Wajah berkelebat. Ratu Selendang
Asmara menyeringai dan tersenyum mengejek. Namun
dia segera memberi isyarat pada Dewi Bunga Asmara.
Saat lain kedua guru dan murid ini berkelebat menyu-
sul Bayangan Tanpa Wajah!
***
ENAM
PENDEKAR 131 Joko Sableng berlari laksana di-
kejar setan. Karena dia belum paham benar daerah
yang dilewati, dia berlari tanpa memperhatikan arah.
Yang terpikir dalam benaknya, dia harus menjauh dari
tempat di mana terjadi pertemuan antara Bayangan
Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara. Malah dia
sendiri belum tahu apa yang akan dilakukan. Yang ter-
pikir hanya berlari dan berlari menjauh.
Sementara di tempat terpisah, Bayangan Tanpa Wa-
jah tiba-tiba hentikan larinya. Ratu Selendang Asmara
dan Dewi Bunga Asmara ikut berhenti.
“Kalau dia merasa tak ada kaitannya dengan uru-
san yang tengah kita lakukan sekarang ini, tak mung-
kin dia pergi begitu saja! Dan melihat kita kehilangan
jejaknya, apa kau kira dia pemuda bodoh yang tak me-
ngerti ilmu silat?” Bayangan Tanpa Wajah buka mulut
seraya edarkan pandangan.
“Hem....” Ratu Selendang Asmara hanya mendehem
tanpa menyahut. Namun diam-diam dalam hati dia
membenarkan ucapan Bayangan Tanpa Wajah. Se-
mentara Dewi Bunga Asmara juga membatin. “Tak ku-
sangka jika pemuda tampan itu memiliki ilmu tinggi!
Raut wajahnya memang seperti bukan orang daerah
sini! Tapi apa mungkin dia pemuda asing yang dicari
Bayangan Tanpa Wajah?!”
“Kau harus lakukan sesuatu! Setinggi apa pun ilmu
yang dimiliki, pasti dia belum jauh dari sini!” kata Ratu
Selendang Asmara.
Bayangan Tanpa wajah anggukkan kepala. Kedua
tangannya ditakupkan di depan kepala. Saat lain dia
perdengarkan bentakan keras seraya buka takupan
kedua tangannya.
Saat bersamaan dari kedua tangan Bayangan Tanpa
Wajah mengepul asap hitam. Asap itu membentuk ja-
lur lurus ke udara. Lalu melayang jatuh ke bawah. Be-
gitu asap hitam menyentuh tanah, terjadi hal yang luar
biasa.
Asap hitam perdengarkan suara deruan. Saat lain
asap hitam membentuk dua bayangan hitam seperti
sosok manusia. Hanya saja raut wajahnya rata tak
berbentuk. Inilah ilmu ‘Bayangan Asap’. Sebuah ilmu
yang membuat Wang Cen digelari rimba persilatan de-
ngan Bayangan Tanpa Wajah. Karena dia bisa meru-
bah asap hitam menjadi sosok bayangan manusia tan-
pa wajah. Bukan hanya itu saja, dua bayangan tanpa
wajah itu bisa melepas pukulan yang dimiliki Wang
Cen dan bisa menghadang pukulan orang!
Wang Cen alias Bayangan Tanpa Wajah hentakkan
kaki kanan. Saat yang sama mulutnya perdengarkan
perintah.
“Kejar pemuda itu!”
Seolah punya telinga seperti manusia biasa, dua
bayangan hitam putar diri. Saat berkelebat satu berlari
ke arah kanan dan satunya lagi berlari mengambil
arah berlawanan.
“Kita mengambil arah tengah!” kata Bayangan Tan-
pa Wajah. Lalu berkelebat. Ratu Selendang Asmara ti-
dak menunggu lama. Dia memberi isyarat pada Dewi
Bunga Asmara lalu berlari di belakang Bayangan Tan-
pa Wajah.
Sementara itu, di satu tempat yang dirasa agak
aman dan banyak tempat berlindung dari batu-batuan
besar, murid Pendeta Sinting memperlambat larinya.
Dia memilih batu agak besar lalu menyelinap dan du-
duk bersandar seraya menarik napas dalam-dalam.
“Langkahku kini semakin tak bebas lagi! Selain ru-
paku mudah dikenali kalau bukan berasal dari daerah
ini, kini banyak orang yang telah diperintah untuk
mencariku! Hem.... Urusan ini ternyata tak semudah
yang kubayangkan!” gumam Joko lalu pejamkan sepa-
sang matanya berpikir apa yang kini harus dilakukan.
Belum lagi dia dapat menemukan jalan apa yang
harus dilakukan, dia merasakan deruan angin pelan
dari samping kiri. Tanpa buka mata dan berpaling,
murid Pendeta Sinting sudah maklum kalau sekarang
dia tidak berada sendirian di tempat itu. Dan belum
sampai Joko membuat gerakan, satu suara terdengar.
“Jangan mimpi kau bisa lolos sebelum jawab bebe-
rapa pertanyaanku!”
Dengan dada berdebar, Joko bergerak bangkit. Lalu
perlahan-lahan buka sepasang matanya dengan bibir
tersenyum. Namun jelas senyum itu untuk menutupi
rasa kejutnya.
“Bayangan Tanpa Wajah!” gumam Joko dalam hati
begitu melihat sosok yang tegak tidak jauh dari sampingnya. “Ke mana Ratu Selendang Asmara dan Dewi
Bunga Asmara?” Joko edarkan pandangan. Namun ba-
ru saja dia gerakkan kepala, satu suara menyeruak.
“Kau mencariku, Han Ko?!”
Pendekar 131 putar diri. Di belakangnya tegak Ratu
Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara. Joko ter-
senyum seraya mainkan ujung caping lebarnya.
“Kalian mencariku...?! Atau sengaja lewat sini?!” Jo-
ko ajukan tanya.
“Bukan kami yang harus jawab tanyamu! Tapi kau
yang harus jawab pertanyaan kami!” Bayangan Tanpa
Wajah perdengarkan suara. Saat lain kedua tangannya
ditakupkan di depan kepala. Kaki kirinya menghentak
ke tanah. Tiba-tiba dari arah barat dan timur tampak
membubung asap hitam. Asap hitam membentuk jalur
lurus lalu menukik deras dan kejap lain asap hitam
masuk ke dalam kedua tangan Bayangan Tanpa Wa-
jah.
“Siapa kau sebenarnya?!” Bayangan Tanpa Wajah
ajukan tanya dengan suara keras.
Murid Pendeta Sinting putar wajah menghadap
Bayangan Tanpa Wajah. “Apakah kau belum diberi ta-
hu oleh sang Ratu?!”
“Aku tanya! Jangan berani balik ajukan tanya!” sen-
tak Bayangan Tanpa Wajah.
“Masa kecilku aku diberi nama Lon Tong Bu Lim....
Nama itu kusandang hingga aku menginjak usia sepu-
luh tahun. Sepuluh tahun ke atas, aku jumpa dengan
seorang sahabat di sekitar daerah sini. Dia bilang aku
tak cocok menyandang nama Lon Tong Bu Lim. Lalu
dia memberiku nama Han Ko! Nama itulah yang kini
kusandang! Tapi aku menyerah saja pada orang mau
panggil yang mana boleh!”
“Kau dilahirkan di mana?!” Kembali Bayangan Tan
pa Wajah ajukan tanya.
Murid Pendeta Sinting terdiam sesaat. “Aku lahir
di.... Di....”
“Di mana?!” bentak Bayangan Tanpa Wajah karena
Joko tidak segera lanjutkan ucapannya.
“Di kampung Nang Ku!” kata Joko dengan menahan
tawa dalam hati.
Seperti halnya saat ditanya Ratu Selendang Asmara
tengah menunggu siapa, Joko hanya membalik nama
Mei Hua menjadi Hua Mei. Dan begitu ditanya oleh
Bayangan Tanpa Wajah, karena merasa kesulitan un-
tuk mencari nama, akhirnya Joko hanya membalik
nama Baginda Ku Nang menjadi Nang Ku.
Sementara mendengar jawaban murid Pendeta Sin-
ting, kening hitam Bayangan Tanpa Wajah tampak ber-
kerut. Di lain pihak, Ratu Selendang Asmara dan Dewi
Bunga Asmara saling lirik.
“Hem.... Selama hidup aku baru dengar nama kam-
pung yang disebut pemuda ini! Jangan-jangan dia
hanya mengarang!” kata Bayangan Tanpa Wajah dalam
hati. Saat lain orang berwajah hitam legam ini kembali
buka mulut ajukan tanya.
“Kau dari perguruan mana?!”
“Ah.... Aku tidak masuk dalam perguruan mana
pun! Aku hidup berkelana dari satu daerah ke daerah
lainnya! Cuma aku memang agak lama di daerah ini!
Karena terus terang saja, aku punya seorang kekasih
di daerah ini! Jadi tak mungkin aku teruskan perjala-
nan berkelana! Hanya....”
“Hanya apa?!” Kali ini yang menyahut adalah Ratu
Selendang Asmara. Sementara Dewi Bunga Asmara
tampak unjukkan wajah tak senang mendengar kete-
rangan Joko.
“Hanya aku tadi merasa menyesal! Kekasihku tak
menepati janji! Kami telah sepakat untuk bertemu hari
ini di tempat aku jumpa kalian tadi! Namun kalian ta-
hu sendiri. Dia tidak datang untuk tepati janji! Pada-
hal....”
“Cukup!” tukas Bayangan Tanpa Wajah. Dia me-
langkah mendekati murid Pendeta Sinting. Kuduk Jo-
ko jadi dingin. Namun sekuat tenaga dia coba mena-
han diri agar tidak gugup dan membuat orang curiga.
“Kau berkata dusta! Berpuluh-puluh tahun aku hi-
dup di sini. Tapi belum pernah aku dengar kampung
bernama Nang Ku!”
Joko tunjukkan tampang terkejut. Bukan karena o-
rang telah tahu kalau dibohongi, namun karena seolah
heran dengan keterangan orang.
“Jadi kau belum pernah dengar Kampung Nang
Ku?!” tanya Joko seraya tertawa bergelak. “Sekarang
aku tanya, apakah kau dengar kampung bernama San
Liang?!”
Bayangan Tanpa Wajah lagi-lagi kernyitkan kening.
Perubahan sikap orang telah membuat Joko maklum.
Dia alihkan pandang matanya pada Ratu Selendang
Asmara dan Dewi Bunga Asmara. “Kalian pernah de-
ngar?!”
Ratu Selendang Asmara tidak buka mulut menja-
wab atau membuat gerakan jawaban. Di sebelahnya
Dewi Bunga Asmara gelengkan kepala. Joko kembali
arahkan pandangan pada Bayangan Tanpa Wajah.
“Bagaimana?! Kau pernah dengar?!”
“Di daerah ini tak ada kampung bernama San
Liang!”
“Hem.... Aku sekarang tak heran. Kalau kalian tak
tahu Kampung San Liang, mana mungkin kalian akan
tahu Kampung Nang Ku!” kata Joko seraya dongakkan
kepala. Tangan kanannya diangkat lalu berucap
“Kalian pasti tahu Gunung Sim Yao In. Sebelah se-
latan gunung itu berjarak kira-kira seribu lima ratus
tombak, ada sebuah dusun kecil yang dihuni beberapa
orang. Itulah Kampung San Liang. Dari Kampung San
Liang ke arah selatan lagi berjarak lima puluh tombak,
ada sebuah kampung yang juga dihuni beberapa orang
saja. Itulah Kampung Nang Ku! Kalau kalian tak per-
caya, aku bisa mengantar kalian! Tapi tidak hari ini.
Sebab aku masih harus bertemu kekasihku untuk
mengetahui duduk soalnya mengapa dia sampai tak
datang tepati janji!”
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra saling pandang. Joko tersenyum lalu berkata. “Ma-
sih ada yang hendak kalian tanyakan?!”
“Kau bisa berlari cepat. Sementara kau tak berguru
pada perguruan mana pun! Itu adalah hal yang mus-
tahil!”
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. “Di kam-
pung kelahiranku, meski hanya dihuni beberapa o-
rang, namun setiap tujuh hari sekali diadakan lomba
lari mengitari sebuah lapangan! Setiap pemenang akan
mendapatkan hadiah. Malah untuk calon kepala kam-
pung, dia harus orang yang paling cepat larinya! Itulah
sebabnya setiap orang pasti berlatih lari tiap pagi dan
sore. Selain untuk merebut hadiah, siapa tahu dia ke-
lak bisa menjadi kepala kampung! Jadi harap tidak he-
ran kalau aku bisa berlari cepat!”
Pendekar 131 pandang silih berganti pada ketiga
orang yang ada di situ. Lalu tengadah dan berkata.
“Hari sudah akan sore. Aku harus menemui keka-
sihku!” Joko luruskan kepala dan berpaling pada Dewi
Bunga Asmara. Sepasang matanya melirik pada dada
dan paha gadis cantik itu. Lalu tersenyum sembari ke-
dipkan sedikit mata kirinya. Saat lain dia melangkah.
Wajah si gadis tampak sedikit berubah namun bibir-
nya sunggingkan senyum.
“Jangan berani beranjak dari tempatmu!” Bayangan
Tanpa Wajah menahan. Pendekar 131 hentikan lang-
kah lalu menoleh. Tapi kali ini dia tak berusaha untuk
angkat bicara.
“Aku tidak percaya pada semua keteranganmu! Pas-
ti kau orang asing di negeri ini!” kata Bayangan Tanpa
Wajah.
“Hem.... Aku tak aneh mendengar ucapanmu! Kare-
na bukan sekali ini saja aku mendengarnya! Beberapa
orang yang baru pertama kali melihatku pasti menga-
takan seperti ucapanmu!”
“Aku harus mencobanya! Kalau benar-benar tak
dapat menahan pukulanku, berarti bukan dia pemuda
asing itu!” kata Bayangan Tanpa Wajah dalam hati.
Dan tanpa berkata apa-apa lagi, dia angkat kedua ta-
ngannya. Sekonyong-konyong dia sentakkan tangan
kiri kanan melepas pukulan jarak jauh ke arah murid
Pendeta Sinting!
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang deras menghampar. Meski Joko su-
dah waspada dan bisa menahan pukulan orang, na-
mun karena tak mau dicurigai, dia sengaja tidak
menghadang pukulan yang datang ke arahnya. Seba-
liknya dia takupkan kedua tangannya di atas caping
lebarnya. Saat bersamaan dia lorotkan tubuh lalu dis-
entakkan ke bawah. Hingga saat itu juga sosoknya te-
lungkup sejajar tanah! Namun demikian gerakannya
itu menyelamatkannya dari gelombang yang datang
menghajar.
Brakk! Brakk!
Dua gugusan batu di belakang sana langsung pecah
berantakan terhantam pukulan gelombang yang luput
menghajar sasaran.
“Mengapa kalian hendak membunuhku?! Apa salah
dan dosaku?! Apa ada ucapanku yang menyinggung
perasaan kalian?! Apa ada tindakanku yang membuat
kalian....”
Belum sampai murid Pendeta Sinting lanjutkan
ucapannya, dua gelombang kembali telah melabrak ke
arahnya. Tanah tampak berhamburan ke udara karena
tersapu gelombang yang sengaja diarahkan menyusur
tanah karena sosok Joko masih telungkup sejajar ta-
nah.
“Celaka!” gumam Joko seraya mendelik.
Karena pukulan itu dilepas dari jarak yang tidak
jauh, sementara posisi Joko dalam keadaan telungkup,
maka sulit baginya untuk membuat gerakan menghin-
dar. Sebab biarpun dia membuat gerakan melenting Ke
udara, sambaran gelombang itu pasti masih akan me-
labraknya! Maka karena satu-satunya jalan adalah
menghadang pukulan yang datang, terpaksa Joko ang-
kat kedua tangannya lalu disorong ke depan.
Bummm! Bummm!
Terdengar ledakan dua kali. Tanah yang tadi hanya
tersapu kini muncrat sampai satu setengah tombak ke
udara. Bukan hanya itu saja, mungkin masih mengira
orang tidak akan menghadang pukulannya, Bayangan
Tanpa Wajah tidak siap menahan bentroknya pukulan.
Hingga begitu bentrok pukulan terjadi, sosoknya sem-
pat terhuyung tiga langkah ke belakang. Saat bersa-
maan, murid Pendeta Sinting bergerak bangkit sambil
terus tekan caping lebarnya karena khawatir akan ter-
sapu bias bentroknya pukulan. Dan begitu melihat
huyungan sosok Bayangan Tanpa Wajah, dengan mi-
mik seolah tak mengerti dia angkat suara.
“Apa yang terjadi...?!”
Bayangan Tanpa Wajah tegak dengan mata mende-
lik berkilat dan pelipis kiri kanan bergerak-gerak.
“Hem.... Pemuda ini ternyata membekal ilmu! Na-
mun dia coba menutupi dengan lagak konyol!” batin
Ratu Selendang Asmara. “Jangan-jangan dugaan
Bayangan Tanpa Wajah benar jika pemuda inilah
orang asing itu!”
“Han Ko!” bentak Ratu Selendang Asmara. “Kami ti-
dak akan membuat urusan denganmu meski dunia
kami hanya ada dua pilihan yaitu membunuh dan di-
bunuh! Beri keterangan yang jelas di mana kau sem-
bunyikan orang yang bernama Yang Kui Tan! Jika itu
kau lakukan, maka kau akan kubebaskan dalam uru-
san ini!”
“Nek.... Jangan membuatku jadi bingung dengan
pertanyaan yang tak kumengerti! Aku tak kenal de-
ngan orang yang kau sebut!”
“Berarti kau pilih masuk duniaku! Membunuh atau
dibunuh!”
“Tidak, tidak!” kata Joko sembari geleng kepala.
“Aku tak pilih duniamu! Karena duniaku lebih asyik....
Tak ada kata bunuh-bunuhan! Yang ada kata mesra-
mesraan!”
Belum sampai ucapan Joko selesai, Bayangan Tan-
pa Wajah sudah membuat gerakan melompat. Bukan
ke arah Joko melainkan mendekati Ratu Selendang
Asmara. Saat lain dia berbisik.
“Aku makin yakin pemuda inilah orang asing itu.
Tapi ingat, jangan sampai dia mampus! Kita hanya
perlu melumpuhkannya lalu kita korek keterangan da-
ri mulutnya!”
Ratu Selendang Asmara anggukkan kepala. Kejap
lain kedua orang tua ini telah angkat kedua tangan
masing-masing.
“Aku sudah bilang tak mau masuk dunia kalian!
Mengapa kalian sepertinya memaksa?!”
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra tidak ada yang menyahut. Sebaliknya cepat sentak-
kan tangan masing-masing melepas satu pukulan!
***
TUJUH
TERDENGAR deruan dua gelombang luar biasa ga-
nas. Dua angin berkiblat laksana prahara. Untuk ke-
sekian kalinya udara di tempat itu disamaki muncra-
tan tanah yang tersapu gelombang.
Murid Pendeta Sinting tak punya pilihan lain kecua-
li harus menghadang pukulan yang datang. Dia cepat
kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya dan
serta-merta lepaskan pukulan dengan dorong kedua
tangannya.
Dua gelegar segera terdengar saat pukulan yang di-
lepas Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa
Wajah bentrok dengan pukulan jarak jauh yang di-
lepas Joko.
Sosok Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang
Asmara tampak tersurut dua langkah dengan wajah
sama berubah pucat. Tangan masing-masing orang
bergetar keras. Di lain pihak, sosok murid Pendeta
Sinting juga tersapu dan mundur dua tindak. Paras
wajahnya juga pias. Sementara di sebelah samping,
Dewi Bunga Asmara segera melompat begitu bentrok
pukulan terjadi. Namun entah mengapa, begitu leda-
kan terdengar, gadis cantik bertubuh menggoda ini bu-
kannya berpaling ke arah Ratu Selendang Asmara, melainkan menoleh ke tempat Joko tadi tegak berdiri
menghadang pukulan! Wajahnya jelas membayangkan
rasa khawatir dan cemas!
“Hem.... Aku sekarang jadi yakin....” Ratu Selendang
Asmara bergumam dengan kepala menoleh pada
Bayangan Tanpa Wajah. “Pemuda ini membekal ilmu
tinggi! Kita tak boleh memandang sebelah mata kalau
tidak ingin mendapat celaka!”
“Tapi ingat! Keterangan dari mulutnya sangat kita
perlukan! Kalau sampai dia mampus, lepas pula apa
yang kita inginkan!” sahut Bayangan Tanpa Wajah.
“Kita coba dengan bentrok langsung!”
Habis berkata begitu, Bayangan Tanpa Wajah sege-
ra berkelebat ke depan. Ratu Selendang Asmara tidak
menunggu. Begitu Bayangan Tanpa Wajah berkelebat,
dia segera pula melesat ke depan.
Joko tak mau bertindak ayal. Dia tidak menunggu
datangnya pukulan lawan. Begitu melihat gerakan o-
rang berkelebat, dia cepat pula melompat dan me-
nyongsong. Tangan kiri kanan menghadang pukulan
Bayangan Tanpa Wajah, sementara kaki kanannya
membuat gerakan menghadang sergapan kedua tan-
gan Ratu Selendang Asmara!
Sergapan Joko membuat Bayangan Tanpa Wajah
dan Ratu Selendang Asmara sempat terkesiap kaget
karena mereka sama sekali tidak menduga. Hingga
mereka berdua lepaskan pukulan tanpa pengerahan
tenaga dalam penuh karena telah dipotong oleh serga-
pan gerakan murid Pendeta Sinting.
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras tiga kali berturut-turut.
Tubuh Pendekar 131 mental balik dan terhuyung se-
saat. Namun segera dapat kuasai diri meski dia mera-
sakan dadanya nyeri dan kedua tangan serta kaki kanannya laksana menghantam dinding kokoh. Aliran
darahnya menyentak-nyentak dan mulutnya tampak
terbuka menutup megap-megap!
Di pihak lain, tubuh Bayangan Tanpa Wajah mence-
lat terbang seraya perdengarkan seruan tertahan.
Orang berwajah hitam ini memang tidak sampai jatuh
menghantam tanah. Namun karena sewaktu lepaskan
pukulan dalam keadaan belum siap betul, maka tak
ampun lagi dia merasakan dadanya sesak dan kedua
tangannya lunglai. Dia cepat salurkan tenaga dalam
dan mengurut dadanya ketika merasakan perutnya
mual tanda ia mengalami cedera dalam walau tidak
parah.
Di sebelahnya, begitu benturan terjadi, kedua tan-
gan Ratu Selendang Asmara tampak terlempar balik ke
belakang. Hal ini membuat sosoknya terputar di udara
sebelum akhirnya terpelanting di atas udara. Untung
nenek ini cepat membuat gerakan jungkir balik satu
kali, hingga meski sempat terhuyung-huyung kala
mendarat di atas tanah, namun tidak sampai terjerem-
bab!
“Harap dimaafkan.... Aku tidak punya waktu ba-
nyak untuk terus berada di sini! Aku harus menemui
kekasihku...,” ujar Joko.
“Kau tak akan meninggalkan tempat ini tanpa men-
jawab jujur pertanyaan kami!” sahut Ratu Selendang
Asmara. Si nenek telah sentakkan selendang hitam di
pundaknya. Selendang hitam panjang itu diputar-pu-
tar perdengarkan deruan angker. Tidak jauh dari Ratu
Selendang Asmara, Bayangan Tanpa Wajah meman-
dang tajam dengan mulut terkancing rapat. Kedua
tangannya menakup di atas kepala.
Pendekar 131 sempat terkesiap ketika melihat paras
wajah Bayangan Tanpa Wajah. Karena wajah orang ini
berubah-ubah. Sesaat tampak membentuk seperti raut
wajah orang biasa, namun saat lain berubah menjadi
tanpa bentuk. Hal ini berlangsung terus menerus. Ini-
lah tanda jika Bayangan Tanpa Wajah telah dilanda
kemarahan besar!
Mendadak Bayangan Tanpa Wajah hentakkan kaki
kanannya. Dari takupan kedua tangannya melesat
asap hitam ke udara. Dengan cepat asap hitam menu-
kik dan menghantam tanah. Begitu bersentuhan de-
ngan tanah, asap hitam membentuk dua bayangan so-
sok manusia tanpa wajah.
Bayangan Tanpa Wajah buka takupan kedua tan-
gannya lalu disentakkan ke depan. Saat yang sama
dua sosok bayangan hitam tanpa wajah ikut pula ge-
rakkan kedua tangan masing-masing. Bukan hanya
sampai di situ, begitu lepas pukulan, dua sosok
bayangan hitam tanpa wajah segera membuat gerakan
berputar-putar. Kini dua sosok bayangan hitam itu be-
rubah menjadi beberapa bayangan hitam!
Tiga gelombang asap hitam menyergap ganas ke
arah Pendekar 131. Saat bersamaan dua sosok bayan-
gan hitam yang berputar dan berubah menjadi bebera-
pa bayangan terus mengitari sosok murid Pendeta
Sinting. Mereka seolah tidak terpengaruh dengan ge-
lombang asap hitam yang baru saja melesat.
Pendekar 131 cepat siapkan pukulan ‘Lembur Ku-
ning’. Saat itu juga kedua tangannya berubah disem-
burati warna kekuningan. Namun Joko tidak bisa be-
nar-benar pusatkan perhatian. Karena perhatiannya
pecah oleh beberapa bayangan hitam yang terus ber-
putar dan mendekat ke arahnya. Dia jadi serba salah.
Kalau menghadang pukulan orang, dia khawatir bebe-
rapa bayangan hitam yang berputar akan langsung
menyergapnya. Namun kalau tidak menghadang puku
lan orang, niscaya jiwanya tidak akan selamat!
Dalam keadaan begitu rupa, Joko berpikir cepat.
Dia segera melepas pukulan ‘Lembur Kuning’. Dan be-
gitu kedua tangannya telah bergerak, dia melompat ke
atas.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang dahsyat segera menyambar disertai
bertebarannya hawa panas luar biasa. Sinar warna
kuning berkiblat silaukan mata.
Tiga gelombang asap hitam tampak tertahan di atas
udara. Lalu tersapu begitu sinar kuning berkiblat. Tiga
gelombang asap hitam bertabur berantakan. Sinar
kuning mental lalu porak-poranda! Terdengar tiga gele-
gar ledakan.
Sosok Bayangan Tanpa Wajah terbang tersapu sam-
pai satu setengah tombak ke belakang. Bersamaan
dengan itu putaran beberapa bayangan hitam terhenti
lalu ikut bergerak mundur beberapa langkah! Kedua
kaki Bayangan Tanpa Wajah tampak menekuk lalu ja-
tuh terduduk dengan mulut semburkan darah. Hebat-
nya, beberapa bayangan hitam yang sesaat mundur,
tiba-tiba bergerak dan berputar lagi! Malah puta-
rannya makin cepat dan Joko laksana hanya melihat
bayangan samar-samar!
Saat itulah Pendekar 131 mendengar beberapa de-
ruan dahsyat. Joko tak mau menunggu. Dia kembali
siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’ meski sosoknya
sempat terpelanting jungkir balik di atas udara.
Namun belum sampai kedua tangan Joko bergerak
lepaskan pukulan ke arah beberapa bayangan di ba-
wah, satu benda hitam meliuk ganas perdengarkan
suara angker.
Murid Pendeta Sinting urungkan niat untuk le-
paskan pukulan ‘Lembur Kuning’. Sebaliknya segera
hantamkan kedua tangannya ke arah benda hitam
yang bukan lain adalah selendang hitam milik Ratu
Selendang Asmara!
Namun ternyata gerakan selendang hitam lebih ce-
pat dari hantaman kedua tangan Joko. Hingga tanpa
ampun lagi ujung selendang hitam menyambar ke arah
lambung murid Pendeta Sinting.
Breett!
Pakaian Joko langsung robek menganga. Saat yang
sama beberapa gelombang dahsyat menyambar dari
bawah! Joko tersentak. Kedua tangannya yang belum
sempat menghantam cepat ditarik pulang lagi lalu di-
hantamkan ke arah beberapa gelombang yang datang.
Bummm! Bummmm! Bummm! Bummmm!
Terdengar beberapa kali ledakan keras. Beberapa
bayangan hitam langsung perdengarkan suara laksana
api terkena siraman air. Lalu kepulkan asap hitam
membubung ke angkasa. Saat itulah terdengar benta-
kan keras dari mulut Bayangan Tanpa Wajah. Asap hi-
tam menukik deras lalu melesat dan masuk ke dalam
takupan kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah yang
tampak duduk bersila dengan mata terpejam.
Di atas udara sana, sosok murid Pendeta Sinting
terbanting dua kali. Saat lain sosoknya melayang ke
bawah.
Ratu Selendang Asmara tak menunggu lagi. Tangan
kanannya segera bergerak. Selendang hitam meliuk
ganas. Joko masih dapat menangkap gerakan selen-
dang hitam. Namun sudah terlambat baginya untuk
membuat gerakan menghadang atau berkelit.
Ratu Selendang Asmara menyeringai. Tangan ka-
nannya yang memegang selendang hitam bergerak dua
kali. Tahu-tahu tukikan sosok murid Pendeta Sinting
tertahan. Joko melirik karena dia tidak bisa bernapas
Ternyata bagian perut dan dadanya telah terlilit selen-
dang hitam si nenek!
Walau masih menahan sakit pada kedua tangan
dan dadanya akibat bentrok pukulan, namun Joko
masih berusaha untuk hantamkan kedua tangannya
untuk memotong gerakan selendang. Tapi si nenek le-
bih cepat bergerak. Dia sentakkan tangan kanannya.
Selendang hitam yang melilit perut dan dada murid
Pendeta Sinting pun terlepas. Namun bersamaan itu
sosok Joko menukik deras dan akhirnya jatuh terka-
par di atas tanah dengan mulut kucurkan darah!
Bayangan Tanpa Wajah tak sia-siakan kesempatan.
Dia segera melesat ke depan dengan posisi masih du-
duk bersila. Tangan kiri kanannya berkelebat hendak
sarangkan dua totokan dahsyat.
Pendekar 131 hanya bisa memandang pada gerakan
kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah tanpa bisa mem-
buat gerakan apa-apa!
Takkkk!
Tangan kanan Bayangan Tanpa Wajah lakukan to-
tokan pada lambung kiri Pendekar 131. Sementara
tangan kiri terus berkelebat hendak sarangkan totokan
pada pundak kanan murid Pendeta Sinting.
Joko berseru tertahan. Dia merasakan lambungnya
kaku dan separo anggota tubuhnya sebelah kiri tegang
tak bisa digerakkan! Namun Joko masih coba gerak-
kan tangan kanan untuk menghadang kelebatan tan-
gan kiri Bayangan Tanpa Wajah. Tapi gerakan tangan
kiri Bayangan Tanpa Wajah rupanya lebih cepat. Hing-
ga baru saja murid Pendeta Sinting angkat tangan ka-
nannya, tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah sudah
menyusup ke arah ketiaknya!
Satu telunjuk jari lagi tangan kiri Bayangan Tanpa
Wajah sarangkan totokan, mendadak satu bayangan
putih berkelebat. Tidak terdengar adanya gelombang
yang menyambar. Namun bersamaan itu sosok tubuh
murid Pendeta Sinting tersapu ke belakang lalu me-
nyusur tanah dan akhirnya menghantam satu gugu-
san batu di belakang sana. Namun sapuan itu mem-
buat dirinya selamat dari totokan tangan kiri Bayan-
gan Tanpa Wajah.
Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan dengusan ke-
ras. Dia cepat berpaling ke samping kanan. Dia tidak
bisa melihat dengan jelas siapa adanya bayangan pu-
tih. Namun Bayangan Tanpa Wajah tidak peduli. Dia
maklum kalau ada orang yang ikut campur urusan-
nya. Hingga tanpa melihat siapa adanya orang, dia se-
gera hantamkan kedua tangannya.
Ratu Selendang Asmara terlengak melihat muncul-
nya orang. Tanpa pedulikan pula siapa adanya orang,
dia sentakkan selendang di tangan kanannya. Selen-
dang hitam meliuk ganas.
Orang berbaju putih membuat gerakan berputar sa-
tu kali. Tangan kiri kanannya bergerak.
Gelombang yang menggebrak dari kedua tangan
Bayangan Tanpa Wajah langsung ambyar lenyap! Bah-
kan bersamaan itu sosok Bayangan Tanpa Wajah ter-
jengkang jatuh di atas tanah.
Di lain pihak, tiba-tiba gerakan selendang hitam Ra-
tu Selendang Asmara laksana dihempas gelombang
luar biasa dan mental balik! Tangan kanan si nenek
terlempar ke belakang.
Orang berbaju putih gerakkan tangan kirinya sekali
lagi ke arah ujung selendang yang ikut tertarik ke be-
lakang. Selendang hitam milik Ratu Selendang Asmara
meliuk dan tahu-tahu melilit pada tubuh si nenek sen-
diri!
Orang berbaju putih putar pandangan sesaat. Lalu
berkelebat ke arah jatuhnya murid Pendeta Sinting.
Tanpa perdengarkan suara, dia gerakkan tangan ka-
nannya. Tahu-tahu sosok tubuh Joko sudah berada di
pundak kanan orang.
Bayangan Tanpa Wajah menggeram marah. Dia ce-
pat bergerak duduk. Kembali kedua tangannya lepas
pukulan. Ratu Selendang Asmara tak berdiam diri.
Tangan kirinya ikut lepas pukulan.
Di sebelah samping, Dewi Bunga Asmara yang sejak
tadi hanya melihat seraya bergerak mundur hindarkan
diri dari bias bentroknya pukulan, segera pula han-
tamkan kedua tangan begitu melihat orang berbaju
putih angkat tubuh murid Pendeta Sinting.
Gabungan pukulan tiga orang melesat angker ke
arah orang berbaju putih. Di depan sana, orang berba-
ju putih hanya memandang sesaat. Tanpa berusaha
menghadang pukulan, dia sentakkan kedua kakinya.
Sosoknya melesat ke samping lalu berkelebat tinggal-
kan tempat itu.
Blarr! Blarrr! Blarrr!
Gugusan batu di belakang mana tadi Joko terkapar
langsung semburat. Tanahnya ikut bertabur menutup
pemandangan.
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra hendak mengejar. Namun mendadak mereka urung-
kan niat masing-masing tatkala mereka berdua mera-
sakan sekujur tubuhnya kaku tak bisa digerakkan!
Di lain pihak, karena tidak merasakan seperti apa
yang dialami Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selen-
dang Asmara, Dewi Bunga Asmara segera berkelebat.
“Tahan!” seru Ratu Selendang Asmara, membuat
Dewi Bunga Asmara hentikan gerakan. Dia berpaling
pada gurunya yang perlahan-lahan melorot jatuh di
atas tanah dengan selendang masih melilit tubuhnya.
“Bang Sun Giok! Cepat lepas lilitan selendang ini!
Lalu lepas pula totokan keparat di tubuhku!” Ratu Se-
lendang Asmara berteriak.
“Aneh.... Bagaimana mungkin dia bisa terkena toto-
kan?!” kata Bang Sun Giok alias Dewi Bunga Asmara
dalam hati seraya melompat ke arah gurunya. Dia ce-
pat lepaskan lilitan selendang pada tubuh Ratu Selen-
dang Asmara.
“Apa lagi yang kau tunggu! Lepas totokan di empat
jalur darah punggungku!” kata Li Muk Cin alias Ratu
Selendang Asmara ketika mendapati Dewi Bunga As-
mara masih diam memperhatikan.
Walau masih merasa heran, namun Dewi Bunga
Asmara cepat melangkah ke belakang. Kedua tangan-
nya bergerak di empat tempat punggung Ratu Selen-
dang Asmara. Ratu Selendang Asmara sendiri tampak
pejamkan kedua matanya. Dan begitu Dewi Bunga
Asmara telah gerakkan kedua tangannya, si nenek
menghela napas panjang. Perlahan-lahan sepasang
matanya dibuka lalu bangkit berdiri dan melangkah ke
arah Bayangan Tanpa Wajah yang duduk bersimpuh
tak bergerak-gerak.
Ratu Selendang Asmara duduk bersila di depan
Bayangan Tanpa Wajah. Saat bersamaan kedua tan-
gan-nya bergerak. Jari telunjuk kedua tangannya dili-
pat lalu dihantamkan perlahan pada empat tempat di
sekitar dada dan lambung Bayangan Tanpa Wajah.
Bayangan Tanpa Wajah mendongak. “Orang itu me-
lepas pukulan ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’ ting-
kat tiga!”
“Bagaimana mungkin? Bukankah satu-satunya o-
rang yang menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Mataha-
ri’ sudah dikabarkan tewas karena beberapa puluh ta-
hun terakhir tidak terdengar lagi beritanya?!” sahut
Ratu Selendang Asmara dengan wajah keheranan.
“Kabar yang tersiar tidak selamanya benar. Terbukti
masih ada orang yang bisa melepas ilmu ‘Sembilan
Gerbang Matahari’!”
“Jadi...?”
“Aku yakin orang tadi itu adalah Bu Beng La Ma!
Satu-satunya orang di daratan Tibet yang menguasai
ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’!”
“Hem.... Ini satu tanda kalau rencana kita akan ter-
ganjal! Mustahil kita mampu berhadapan dengan Bu
Beng La Ma!”
“Ini juga satu isyarat jika pemuda itulah yang kita
cari! Tak mungkin Bu Beng La Ma turun tangan tanpa
ada sesuatu yang sangat penting! Apalagi akhir-akhir
ini namanya sudah lenyap dari peredaran rimba persi-
latan. Bahkan hampir semua orang sudah menduga
kalau dia telah tewas ditelan usia!” kata Bayangan
Tanpa Wajah seraya beranjak bangkit mengikuti Ratu
Selendang Asmara yang bangkit dahulu.
“Lalu apa yang harus kita perbuat?!”
“Kita teruskan rencana pencarian ini! Tak mungkin
Bu Beng La Ma akan terus mengikuti ke mana langkah
pemuda itu!” jawab Bayangan Tanpa Wajah seraya
menahan dadanya dengan kedua tangan karena masih
terasa nyeri.
“Selama ini aku hanya mengenal Bu Beng La Ma
tanpa tahu di mana tempat tinggalnya! Kau tahu di
mana tokoh itu berdiam diri?!” tanya Ratu Selendang
Asmara.
“Mendiang guruku pernah bercerita. Bu Beng La Ma
tinggal di sebuah kuil di puncak bukit. Karena kuil itu
tidak beratap, kalangan rimba persilatan saat itu me-
namakannya Kuil Atap Langit.”
“Tempatnya...?!”
“Perjalanan dua hari dua malam dari pesisir ke arah
utara!”
“Kita harus ke sana!” kata Ratu Selendang Asmara.
“Kita tunggu sampai pemuda itu turun bukit! Dan se-
dapat mungkin kita hindari bentrok dengan Bu Beng
La Ma!”
Tanpa menunggu jawaban dari Bayangan Tanpa
Wajah, Ratu Selendang Asmara berpaling pada Dewi
Bunga Asmara.
“Sun Giok! Kau pulanglah! Perjalanan ini sangat
berbahaya!”
Dewi Bunga Asmara geleng kepala. “Aku ikut!”
Karena sudah tahu bagaimana sifat muridnya, mes-
ki amat berat pada akhirnya Ratu Selendang Asmara
tak bisa mencegah.
“Tapi kau harus berhati-hati! Jangan berani lancang
melepas pukulan kalau tidak dalam keadaan terpaksa!
Kau kuajak hanya untuk berjaga-jaga bila sesuatu ter-
jadi padaku!”
Dewi Bunga Asmara anggukkan kepala meski dalam
hati dia mengatakan sebaliknya. “Aku sudah besar.
Aku tahu apa yang harus kulakukan!”
“Kita berangkat sekarang!” kata Ratu Selendang As-
mara. Dia memberi isyarat pada Dewi Bunga Asmara.
Saat lain si nenek mendahului berkelebat. Disusul ke-
mudian oleh Dewi Bunga Asmara. Bayangan Tanpa
Wajah menyusul di belakang.
***
DELAPAN
YANG Mulia Baginda Ku Nang melangkah mondar
mandir di ruangan tidak begitu besar yang hanya dite-
rangi sebuah lampu kecil, hingga suasana ruangan itu
tampak temaram. Ruangan itu terletak di bagian sam-
ping ruang tidur yang besar. Namun ruangan di mana
sekarang Baginda Ku Nang berada lebih penting ke-
beradaannya. Karena di ruangan inilah Baginda Ku
Nang meletakkan semua pusaka kerajaan. Di ruangan
ini pula Baginda Ku Nang sering menyendiri.
Yang Mulia Baginda Ku Nang hentikan langkahnya
ketika telinganya mendengar suara langkah-langkah
kaki mendekati ruangan di mana dia berada. Saat lain
pintu ruangan diketuk orang.
“Masuk!” kata Baginda Ku Nang.
Pintu ruangan berderit membuka. Cahaya lampu te-
rang menerobos masuk dari lampu di luar. Satu so-sok
tubuh kekar tampak tegak di ambang pintu. Orang ini
bungkukkan tubuh.
“Panglima Su Jin! Masuklah!” Baginda Ku Nang
kembali buka mulut.
Orang di ambang pintu yang dipanggil Panglima Su
Jin kembali bungkukkan tubuh. Dia adalah seorang
laki-laki berumur empat puluh tahun. Wajahnya ga-
rang. Rambutnya disanggul tinggi. Dia mengenakan
pakaian kebesaran seorang panglima. Tanpa buka mu-
lut, dia melangkah masuk. Setelah menutup pintu dia
melangkah mendekati Baginda Ku Nang yang begitu
buka mulut langsung balikkan tubuh.
“Bagaimana?! Apakah pekerjaan itu selesai?!” Ba-
ginda Ku Nang ajukan tanya dengan tubuh masih
membelakangi Panglima Su Jin. Tangan kirinya tam-
pak dirangkapkan di depan dada, sementara tangan
kanan mengelus jenggotnya.
“Pekerjaan itu selesai, Yang Mulia!”
Baginda Ku Nang cepat balikkan tubuh menghadap
Panglima Su Jin. Sepasang matanya memandang ta-
jam. Bukan pada paras wajah orang di hadapannya,
melainkan pada kedua tangan orang yang memegang
dua kotak kulit.
“Hem.... Bagus! Aku ingin lihat hasilnya!” kata Ba-
ginda Ku Nang. Kedua tangannya diulurkan ke depan.
Panglima Su Jin memberikan dua kotak di tangannya.
Dengan tersenyum Baginda Ku Nang membawa dua
kotak kulit ke sebuah meja. Lalu perlahan-lahan dua
kotak kulit diletakkan berdampingan. Saat lain tangan
kiri kanan sang Baginda telah bergerak membuka dua
kotak kulit di atas meja.
Pada masing-masing kotak, terlihat satu gelang a-
gak besar terbuat dari baja. Lingkaran pada setiap ge-
lang itu sebesar jari telunjuk berwarna putih. Pada se-
tiap gelang terlihat satu sambungan yang nyaris tidak
tampak. Di bawah gelang terlihat kain beludru ber-
warna merah.
“Hem.... Nyaris sempurna tanpa cacat!” gumam Ba-
ginda Ku Nang dalam hati sambil anggukkan kepala.
“Panglima! Mendekatlah kemari!”
Panglima Su Jin melangkah mendekati Baginda Ku
Nang lalu tegak di sampingnya. Matanya memandang
silih berganti pada gelang di dalam kotak kulit.
“Kau tunjuk mana yang asli!” kata Baginda Ku
Nang.
Panglima Su Jin sorongkan kepalanya. Untuk bebe-
rapa lama dia pentangkan mata memandang silih ber-
ganti pada gelang baja.
“Maaf, Yang Mulia.... Mataku tak bisa membedakan
mana yang asli dan mana yang buatan!” ujar Panglima
Su Jin seraya gelengkan kepala.
Baginda Ku Nang tertawa perlahan. “Mundurlah!”
perintahnya.
Panglima Su Jin surutkan langkah. Baginda Ku
Nang maju lalu mengambil salah satu gelang di dalam
kotak. Dia pegang bagian samping kiri kanan sambun-
gan gelang yang nyaris tidak terlihat.
Perlahan-lahan Baginda Ku Nang menarik sambun-
gan gelang. Sambungan gelang bergerak ke samping
kanan kiri. Bersamaan itu terlihat sebuah gulungan
kain kecil berwarna putih di dalam batangan gelang.
Baginda Ku Nang menarik gulungan kain di bata-
ngan gelang. Kain itu agak keras hingga mudah untuk
menarik dari luar. Dengan masih sunggingkan se-
nyum, sang Baginda membuka gulungan kain. Ternya-
ta kain putih itu kosong tanpa ada tulisan atau gam-
bar!
Baginda Ku Nang memperhatikan sesaat. Lalu ang-
kat kain putih dan diterawangkan pada lampu kecil di
sudut meja. Dia anggukkan kepala lalu kembali meng-
gulung kain putih hingga kecil dan saat lain dimasuk-
kan kembali ke dalam batangan gelang.
Kedua kotak kulit ditutup kembali. Lalu Baginda Ku
Nang putar tubuh menghadap Panglima Su Jin.
“Bagaimana dengan si pembuatnya?!”
Panglima Su Jin bungkukkan tubuh. “Sesuai perin-
tah, si pembuat telah kami kubur!”
“Bagus! Ingat, Panglima! Hanya kau seorang yang
tahu urusan ini! Kalau mulutmu membuka, kau tahu
akibatnya!”
Panglima Su Jin anggukkan kepala. “Kami tahu apa
akibatnya, Yang Mulia! Harap Yang Mulia tidak mera-
gukan tindakan kami!”
“Hem.... Sekarang keluarlah! Mulai malam ini per-
ketat penjagaan istana. Jangan biarkan masuk orang
yang tidak dikenal! Lalu cari kabar mengenai beberapa
orang sahabatku yang mendapat tugas mengawasi Perguruan Shaolin. Malam ini aku ada urusan. Siapa pun
yang hendak menemuiku, katakan suruh menunggu
sampai besok!”
Panglima Su Jin kembali anggukkan kepala. Saat
lain dia melangkah ke arah pintu. Setelah membung-
kuk sekali lagi, dia tutupkan pintu dan melangkah
menjauhi ruangan.
Begitu pintu tertutup, Baginda Ku Nang balikkan
tubuh. Dia mengambil salah satu kotak kulit lalu
membuka sebuah almari kecil di pojok ruangan. Kejap
lain dia melompat kembali mendekati meja. Lampu ke-
cil dimatikan. Beberapa saat kemudian dia keluar dari
ruangan dengan mengenakan pakaian hitam-hi-tam.
Tangan kanannya menjinjing kotak kulit.
***
Di kaki bukit, sosok berpakaian hitam-hitam itu
tampak tegak bersandar pada sebatang pohon. Sese-
kali kepalanya bergerak memandang ke satu jurusan.
Meski suasana gelap, namun sosok ini tampaknya bisa
melihat keadaan. Terbukti ketika satu sosok hitam
berkelebat ke arahnya, sosok yang tegak bersandar ke
batangan pohon ini langsung menyongsong.
“Amitaba.... Aku sudah merasa khawatir, Yang Mu-
lia!” kata laki-laki yang tadi bersandar di batangan po-
hon seraya takupkan kedua tangan di depan dada.
Orang yang baru muncul dan ternyata laki-laki ber-
pakaian hitam-hitam yang tangan kanannya membawa
sebuah kotak kulit dan bukan lain adalah Yang Mulia
Baginda Ku Nang tertawa pendek.
“Kita telah melangkah menempuh bahaya, Guru
Besar Liang San! Dan aku tak mau semuanya berakhir
dengan sebuah pengkhianatan!”
“Amitaba.... Terima kasih, Yang Mulia!” kata laki
laki yang tadi tegak bersandar di batangan pohon yang
ternyata adalah Guru Besar Liang San.
“Kau telah menemukan tempat yang aman dan se-
suai untuk menyimpan kotak ini?!” tanya Baginda Ku
Nang.
Guru Besar Liang San menjawab dengan angguk-
kan kepala. Baginda Ku Nang tersenyum lalu membe-
rikan kotak kulit di tangannya pada Guru Besar Liang
San.
Guru Besar Liang San memandang sesaat dengan
sikap bimbang. Baginda Ku Nang lagi-lagi tersenyum.
“Kau yang memilih tempat. Kuharap kau yang mem-
bawanya pula!”
Kebimbangan pada raut wajah Guru Besar Liang
San lenyap seketika. Dia segera sambuti kotak kulit
dari tangan Baginda Ku Nang. Dia memandang sejenak
lalu anggukkan kepala dan berucap.
“Harap Yang Mulia mengikutiku....”
Baginda Ku Nang memberi isyarat dengan lempang-
kan tangan kanannya mempersilakan Guru Besar
Liang San bergerak dahulu.
Tanpa menunggu lama, Guru Besar Liang San ber-
kelebat. Baginda Ku Nang mengikuti dari belakang se-
telah putar pandang berkeliling.
Setelah berlari kira-kira seratus tombak, pada se-
buah aliran sungai kecil, Guru Besar Liang San henti-
kan larinya. Baginda Ku Nang ikut hentikan gerakan.
Lalu mendekati Guru Besar Liang San.
“Kau percaya tempat ini aman?!” tanya Baginda Ku
Nang.
“Aku telah menyelidik tempat ini beberapa purna-
ma. Harap Yang Mulia percaya!”
Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San me-
langkah mendekati sebuah batu padas. Sang Baginda
mengikuti dari belakang dengan mata terus memper-
hatikan berkeliling.
Guru Besar Liang San jongkok di dekat batu padas.
Perlahan tangan kirinya bergerak. Batu padas terang-
kat. Terlihatlah satu batu yang di tengahnya berlobang
agak besar.
“Hem.... Ternyata dia sudah menyiapkan tempat!
Jadi dia benar-benar telah merencanakan semua ini
dengan cermat!” kata sang Baginda dalam hati.
Guru Besar Liang San pandangi kotak kulit di tan-
gan kanannya. Lalu beralih pada Baginda Ku Nang
yang tegak tidak jauh di sampingnya. Rupanya sang
Baginda dapat menangkap arti pandangan orang.
Hingga seraya tersenyum dia berkata.
“Agar tidak terjadi ganjalan hati, harap Guru Besar
Liang San sudi membuka kotak itu!”
Paras wajah Guru Besar Liang San tampak beru-
bah. Namun kotak kulit segera diletakkan di atas ta-
nah. Perlahan-lahan dia buka kotak kulit. Sepasang
matanya membesar memperhatikan gelang di dalam
kotak. Dada Baginda Ku Nang berdebar. Dia tidak per-
hatikan gelang di dalam kotak, melainkan pada gera-
kan kepala Guru Besar Liang San.
Guru Besar Liang San tutupkan kembali kotak ku-
lit. Kepalanya berpaling tengadah ke arah sang Bagin-
da dengan bibir tersenyum. Baginda Ku Nang meng-
hela napas.
Dengan cepat Guru Besar Liang San angkat kotak
kulit. Lalu diletakkan ke dalam lobang batu. Tangan
kirinya yang masih menahan batu padas segera ditu-
runkan. Batu padas kembali ke tempatnya seperti se
mula. Lobang di dalam batu lenyap tidak kelihatan.
“Yang Mulia.... Tempat ini hanya kita berdua yang
tahu. Harap tidak mengambilnya tanpa adanya salah
satu dari kita!”
“Aku mengerti, Guru Besar Liang San! Dan kita ha-
rus cepat tinggalkan tempat ini!”
Baginda Ku Nang berkelebat terlebih dahulu. Guru
Besar Liang San tersenyum lalu melesat menyusul.
Pada satu tempat, Baginda Ku Nang berhenti dan
langsung buka mulut.
“Kau masih tetap dengan rencanamu untuk turun
tangan sendiri memburu setengah dari peta wasiat
itu?!”
“Perjalanan ini telah sampai pada pertengahan. A-
kan sia-sia semua yang telah kita lakukan kalau ber-
henti sampai di sini! Kuharap Yang Mulia bersabar
menunggu kabar! Begitu aku berhasil, aku akan segera
menemuimu!”
“Tapi....”
“Aku tahu, Yang Mulia.... Hari ganda sepuluh me-
mang enam hari di muka. Berarti aku cuma memiliki
waktu enam hari. Tapi aku yakin, dalam kurun waktu
enam hari ini, aku bisa mendapatkan setengah dari pe-
ta wasiat itu! Sekarang juga aku akan mulai melaku-
kan perjalanan!”
Baginda Ku Nang anggukkan kepala tanpa perde-
ngarkan suara. Guru Besar Liang San takupkan kedua
tangan di depan dada. Tanpa berkata lagi, dia segera
berkelebat tinggalkan Baginda Ku Nang yang perhati-
kan kepergian Guru Besar Liang San dengan bibir
sunggingkan senyum!
***
SEMBILAN
KARENA tahu dirinya diselamatkan, Pendekar 131
tidak berusaha buka mulut bertanya pada orang yang
membawanya lari. Bahkan dia juga tidak berusaha un-
tuk mengenali paras wajah orang dengan angkat ke-
palanya yang kini menggelantung tepat di dada orang.
Sebaliknya dia pejamkan mata lalu salurkan tenaga
dalam untuk mengatasi rasa sakit pada dada sekaligus
untuk membuyarkan totokan pada lambung kirinya.
Namun setelah agak lama kerahkan tenaga dalam,
murid Pendeta Sinting hanya bisa kurangi rasa nyeri
pada dadanya dan gagal buyarkan totokan yang bersa-
rang pada lambung.
“Jangan paksakan diri untuk membuyarkan toto-
kan itu, Anak Muda!” Tiba-tiba terdengar teguran dari
mulut orang yang membawa lari ketika Pendekar 131
berusaha lagi kerahkan tenaga dalam untuk mem-
buyarkan totokan orang. “Ilmumu memang tinggi, na-
mun bukan berarti kau mudah untuk melepaskan diri
dari totokan itu! Dibutuhkan cara sendiri untuk laku-
kan hal itu!”
Pendekar 131 urungkan niat. Perlahan-lahan dia
buka sepasang matanya lalu dia coba angkat kepala
untuk mengenali orang. Namun baru saja kepalanya
bergerak, terdengar lagi ucapan.
“Kau nanti akan tahu. Tak usah khawatir atau ce-
mas!”
Murid Pendeta Sinting batalkan angkat kepala. Dan
tanpa banyak mulut, dia pejamkan lagi matanya.
Joko tidak tahu ke mana arah yang tengah dituju
orang yang membawanya lari. Dia baru buka matanya
yang membawanya terasa memperlambat larinya. Malah kini melangkah. Karena saat itu suasana telah ge-
lap, Joko tidak tahu tengah berada di mana. Yang je-
las dia merasa ada di tempat ketinggian karena begitu
arahkan pandangan berkeliling, yang terlihat adalah
hamparan tempat kosong!
Pendekar 131 mulai khawatir. Dia putar kepala me-
lihat ke bawah. Samar-samar matanya melihat tangga
naik dari batu. Tapi Joko segera pejamkan matanya
kembali tatkala merasakan orang yang membawanya
mulai berlari lagi hingga membuat kepalanya pening
jika terus memandang ke arah tangga naik di bawah-
nya.
Joko baru buka matanya kembali ketika merasakan
orang yang membawanya hentikan langkah dan perla-
han-lahan meletakkan tubuhnya di atas lantai batu.
Joko cepat bergerak hendak bangkit. Dia lupa akan
keadaan dirinya yang masih tertotok lambung kirinya
hingga separo tubuhnya tak bisa digerakkan.
“Jangan bergerak dulu, Anak Muda!” Terdengar su-
ara teguran. Saat yang sama Joko merasakan sentu-
han lembut pada dua tempat di lambungnya. Bersa-
maan itu Joko merasakan aliran darahnya lancar. Ke-
tegangan pada lambung kirinya lenyap!
Merasa sudah bisa bergerak, Joko cepat bergerak
duduk. Pandang matanya membentur pada satu sosok
tubuh seorang kakek mengenakan jubah putih duduk
bersila di hadapannya. Parasnya agak tirus. Kumis dan
jenggotnya panjang serta putih. Rambutnya yang juga
telah memutih disanggul tinggi ke atas dan diikat de-
ngan kain warna merah. Sepasang matanya agak sipit.
Tepat di tengah keningnya terdapat bundaran sebesar
ibu jari berwarna putih mengkilat.
“Terima kasih atas bantuanmu, Kek...,” kata Joko
sambil menjura.
Orang tua yang di keningnya terdapat gambar bun-
daran warna putih berkilat tersenyum lalu balas ang-
gukkan kepala.
“Kek.... Boleh aku tahu siapa dirimu?!”
“Itu tidaklah begitu penting, Anak Muda. Sebaliknya
justru aku yang harus ajukan tanya untuk tahu siapa
dirimu dan mengapa sampai terlibat bentrok dengan
tokoh negeri ini yang dikenal orang dengan Bayangan
Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara....”
Pendekar 131 berpikir sesaat. Dia memandang agak
lama pada orang tua yang duduk di hadapannya. O-
rang yang dipandang tampaknya tahu apa yang di-
pikirkan murid Pendeta Sinting. Dengan tersenyum dia
buka mulut.
“Anak muda.... Kau tak usah memaksakan diri ka-
lau merasa keberatan dengan pertanyaanku tadi....”
Joko gelengkan kepala. “Dia telah menyelamatkan
aku. Rasanya tidak pantas kalau aku berdusta pada-
nya. Apalagi kulihat sikapnya seperti orang baik-baik!”
kata Joko dalam hati lalu buka suara.
“Aku Joko Sableng, Kek....”
“Hem.... Dari nama dan paras wajahmu, tentu kau
bukan berasal dari negeri ini!” kata si orang tua berju-
bah putih.
“Benar.... Aku hanya kebetulan hingga sampai di
negeri ini!” Lalu Joko menceritakan mengapa sampai
terlibat bentrok dengan Bayangan Tanpa Wajah dan
Ratu Selendang Asmara. Namun Joko masih coba ti-
dak menyinggung-nyinggung soal peta wasiat.
“Hem.... Biasanya, kalau tokoh macam Bayangan
Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara turun dari
kediamannya, pasti ada sesuatu yang sangat penting!
Dan melihat mereka coba membuat urusan denganmu,
tentu urusan penting itu ada padamu! Dan kalau di
hubungkan dengan kejadian yang peristiwanya baru
saja terjadi di Perguruan Shaolin, mungkin kau masih
ada hubungannya dengan semua itu!”
Pendekar 131 tidak menyahut. Dia tengah tengge-
lam dalam kebimbangan antara menceritakan terus te-
rang apa yang dialaminya semenjak dari pertemuan-
nya dengan Yang Kui Tan hingga sampai terlibat ben-
trok dengan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selen-
dang Asmara.
“Anak muda.... Kau masih beruntung. Saat bentrok
tadi kulihat Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selen-
dang Asmara belum perlihatkan jurus-jurus andalan-
nya! Sepertinya mereka hanya ingin membuatmu lum-
puh. Hal ini makin membuatku yakin jika mereka me-
merlukan sesuatu atau setidaknya ada yang diha-
rapkan darimu! Aku tidak memaksamu untuk mem-
beri keterangan. Namun kalau kau mau mengatakan-
nya, tentu sedikit banyak aku bisa mencarikan jalan
keluar. Karena mereka berdua pasti akan terus menge-
jarmu sebelum mereka dapatkan apa yang mereka ha-
rapkan!”
Mendengar ucapan si orang tua dan setelah menim-
bang-nimbang, akhirnya murid Pendeta Sinting men-
ceritakan terus terang apa yang dialaminya mulai dari
pertemuannya dengan Yang Kui Tan sampai terlibat
bentrok dengan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Se-
lendang Asmara.
Orang tua di hadapan Pendekar 131 tampak sedikit
tercengang mendengar penuturan keterangan Joko.
Dia beberapa kali menghela napas panjang. Lalu ber-
kata setelah Joko mengakhiri penuturannya.
“Kau bernasib baik, Anak Muda.... Tapi kau juga
harus menanggung beban bahaya dalam mengarungi
kebaikan nasibmu ini.... Sejak berpuluh-puluh tahun
yang lalu, urusan peta wasiat itu memang telah ba-
nyak dibuat pembicaraan kalangan rimba persilatan
sampai para penguasa kerajaan meski secara diam-
diam. Hanya saja karena kharisma Maha Guru Besar
Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi, selama ini tidak
pernah terjadi hal-hal buruk apalagi sampai pertum-
pahan darah demi peta wasiat itu! Walau aku punya
dugaan, selama ini banyak orang yang menunggu saat
tepat untuk bergerak dan mengambil peta wasiat itu!”
Si orang tua berjubah putih sesaat hentikan ucapan.
Lalu melanjutkan setelah menghela napas beberapa
kali.
“Beberapa hari yang lalu, aku hendak berkunjung
menemui Maha Guru Besar Su Beng Siok. Ini adalah
untuk pertama kalinya aku turun dari tempatku ini se-
lama hampir sepuluh tahun terakhir. Sebenarnya aku
sudah tak ingin lagi turun, tapi demi mendengar Maha
Guru Besar Su Beng Siok yang juga adalah sahabat
baikku tengah mengalami sakit keras, aku ter-paksa
hendak menemuinya! Tapi ternyata kedatangan-ku
sudah terlambat....” Karena sudah mendengar apa
yang terjadi di Perguruan Shaolin dari Tiyang Pengem-
bara Agung, Joko segera angkat suara.
“Orang tua.... Kau dapat menduga siapa kira-kira di
balik peristiwa berdarah itu?!”
Yang ditanya gelengkan kepala perlahan. “Tidak
baik mencurigai orang tanpa melihat dahulu bukti-
bukti yang kuat! Tapi aku bisa memastikan jika ada
orang dalam yang ikut terlibat dalam peristiwa itu!”
“Orang tua! Kau juga telah dengar kalau Guru Be-
sar Wu Wen She tiba-tiba lenyap begitu peristiwa ter-
jadi?!”
“Aku dengar hal itu. Tapi itu bukanlah satu-satunya
yang dapat dijadikan bukti keterlibatan Guru Besar
Wu Wen She!”
“Lalu mengapa dia melenyapkan diri?! Bukankah
tindakannya itu akan menimbulkan kecurigaan?!”
“Bagi orang yang berpikir panjang, tidak akan se-
mudah itu menjatuhkan kecurigaan!”
“Kau bisa memberikan alasan?!”
“Secara diam-diam aku berhasil masuk Perguruan
Shaolin. Rupanya bukan hanya Guru Besar Wu Wen
She yang lenyap begitu saja!”
Dahi murid Pendeta Sinting berkerut.
“Jadi...?!”
“Seorang anak kecil berusia sepuluh tahun juga le-
nyap! Kuduga anak itu dibawa Guru Besar Wu Wen
She!”
“Tapi apa hubungannya anak kecil itu dengan peris-
tiwa yang terjadi?!”
“Anak muda.... Beberapa tahun yang lalu, saha-
batku Maha Guru Besar Su Beng Siok sempat berkun-
jung kemari. Saat itu baru saja terjadi pergantian ke-
kuasaan dari Yang Mulia Baginda Lo pada Baginda Ku
Nang yang menjadi penguasa sekarang! Dia bercerita
bahwa kalau dirinya telah menyelamatkan seorang
anak kecil. Dan anak kecil Ku adalah putra dari Yang
Mulia Baginda Lo yang digulingkan dengan kekerasan
oleh Yang Mulia Baginda Ku Nang....” Si orang tua ber-
jubah putih berhenti sebentar. Dia alihkan pandang
matanya ke jurusan lain lalu melanjutkan.
“Aku memberi ingat padanya agar berhati-hati. Ka-
rena jika sampai tindakannya itu diketahui pihak kera-
jaan, maka malapetaka tidak akan bisa dihindari lagi.
Maha Guru Besar Su Beng Siok memberi alasan, jika
penyelamatan itu semata-mata didasarkan pada kema-
nusiaan tanpa menghubung-hubungkan dengan kedu-
dukan. Dan dia ingin menjadikan dan membimbing
anak itu agar nantinya dapat menerima kenyataan
tanpa harus membalas apa yang telah terjadi! Dan dia
juga merahasiakan hal ini. Mungkin hanya aku dan
Guru Besar Pu Yi yang tahu. Dan kalau pada akhirnya
Guru Besar Wu Wen She lenyap bersama anak itu, be-
rarti salah satu dari Maha Guru Besar Su Beng Siok
atau Guru Besar Pu Yi telah memberitahukan siapa
sebenarnya anak itu pada Guru Besar Wu Wen She....
Itulah salah satu alasanku mengapa aku menduga
Guru Besar Wu Wen She bukan orang yang di bela-
kang peristiwa berdarah itu!”
“Bagaimana dengan Guru Besar Liang San atau pi-
hak kerajaan sendiri? Karena waktu di atas laut, Pang-
lima Muda Lie jelas-jelas menginginkan tubuh Yang
Kui Tan! Pihak kerajaan tampaknya sudah tahu jika
Yang Kui Tan membawa sebagian peta wasiat itu! Di-
tambah dengan percakapan Ratu Selendang Asmara
dan Bayangan Tanpa Wajah, aku yakin pihak kerajaan
terlibat dalam urusan ini!”
“Ini memang sesuatu yang aneh. Selama ini pihak
kerajaan tidak pernah melibatkan diri dalam urusan
rimba persilatan secara terang-terangan. Dan melihat
pihak kerajaan tahu persis siapa Yang Kui Tan dan
apa yang tengah diembannya, jelas ini memberi bayan-
gan ada orang dalam yang berhubungan erat dengan
pihak kerajaan! Tapi untuk saat ini hal itu tidak begitu
penting untuk dipikirkan, Anak Muda....”..
“Mengapa begitu, Kek?!”
“Kalau kau memikirkan dan hendak menyelidik
urusan itu, dibutuhkan waktu lama. Sementara hari
ganda sepuluh di mana peta wasiat itu bisa terlihat,
sudah tidak lama lagi! Jadi yang penting sekarang ada-
lah mencari jejak di mana peta yang lenyap dari Per-
guruan Shaolin saat terjadinya peristiwa berdarah itu!”
“Tapi tanpa mengetahui siapa orang dalam yang ter-
libat, rasanya akan sulit mencari jejak peta yang le-
nyap itu!”
“Betul, Anak Muda. Tapi kau harus hindarkan diri
menyelidik orang-orang kerajaan! Itu akan membuat
langkahmu tersendat. Kalaupun kau ingin menyelidik,
mulailah dari orang dalam Perguruan Shaolin!”
Joko anggukkan kepala. “Kalau Guru Besar Wu
Wen She sudah termasuk orang yang bersih dari keter-
libatan dengan urusan ini, sekarang tinggal Guru Be-
sar Liang San!” kata murid Pendeta Sinting dalam hati
lalu ajukan tanya.
“Orang tua. Menurut penilaianmu, bagaimana Guru
Besar Liang San?!”
“Aku tak begitu banyak tahu tentang dia. Aku ha-
nya akrab dengan Maha Guru Besar Su Beng Siok dan
Guru Besar Pu Yi!”
“Terima kasih atas semua keteranganmu, Orang
Tua. Tapi sebelum aku pergi, mau kau mengatakan
siapa dirimu?”
Orang tua di hadapan Joko tersenyum. “Aku Bu
Beng La Ma.... Waktu seusiamu dulu, aku memang
pernah melibatkan diri dalam kancah rimba persilatan.
Namun begitu eyang guruku meninggal, aku diberi pe-
san oleh mendiang eyang guruku untuk menetap di si-
ni. Ini adalah tempat tinggal eyang guruku.... Orang-
orang menamakan tempat ini Kuil Atap Langit! Kau li-
hat ke atas....”
Pendekar 131 dongakkan kepala. Tempat di mana
dia berada ternyata memang tidak beratap. Hingga
tatkala kepala Joko mendongak, yang terlihat adalah
hamparan langit!
Joko luruskan kepala. Lalu diputar dengan mata
memperhatikan. Ternyata dia berada di satu ruangan
agak besar dari batu. Di pojok sebelah kanan terlihat
beberapa patung Budha. Di sebelah depan terdapat
sebuah jalan masuk tanpa daun pintu. Joko beranjak
bangkit lalu melangkah ke arah jalan masuk.
Pendekar 131 tercengang sesaat. Di depan jalan
masuk itu ternyata terdapat tangga menurun dari ba-
tu. Tapi bukan tangga batu itu yang membuat Joko
tercengang. Karena ternyata tangga batu itu lurus ke
bawah dan karena saking panjangnya, Joko tidak bisa
melihat tangga di bagian paling bawah! Padahal meski
saat itu malam telah datang, namun sang rembulan
tampak pancarkan sinar terang benderang, hingga ke
mana mata diarahkan, orang tentu masih bisa melihat.
“Anak muda.... Sebenarnya aku sendiri dahulu me-
rasa gamang waktu pertama kali tinggal bersama e-
yang guruku di sini. Namun pada akhirnya aku jadi
terbiasa. Dan sebenarnya, kalau tidak karena pesan
Eyang Guru agar aku menetap di sini, tentu aku pilih
berdiam diri di bawah sana....”
Murid Pendeta Sinting balikkan tubuh. Orang tua
yang mengaku bernama Bu Beng La Ma sudah bang-
kit.
“Kek.... Aku akan pergi sekarang....”
“Anak muda.... Kuharap kau tunda dulu niatmu!
Perjalananmu nanti menempuh bahaya yang tidak ke-
cil. Tidak tertutup kemungkinan kau akan berhadapan
dengan beberapa tokoh negeri ini. Apalagi kini jika ka-
bar lenyapnya peta wasiat itu telah tersebar!”
“Tapi....”
“Aku tahu.... Kau membekal ilmu tinggi. Tapi jangan
lupa, kau kini berada di negeri asing. Kau belum ba-
nyak mengenal tokohnya dan bagaimana kehebatan il-
munya! Aku ingin memberikan sedikit apa yang ku-
miliki. Siapa tahu pemberianku ini nantinya bisa
membantumu dalam perjalanan. Karena hanya ban-
tuan itulah yang dapat kuberikan padamu!”
Pendekar 131 tercenung sesaat lalu memandang Bu
Beng La Ma dengan pandangan hampir tak percaya.
Saat lain Joko telah jatuhkan diri berlutut.
“Terima kasih.... Mulai saat ini kau adalah guruku!”
“Ah.... Aku tidak layak dipanggil Guru! Berdirilah....
Anggap saja kita dua sahabat! Sebagai sahabat, apa
yang kumiliki, patut juga kau miliki!”
Bu Beng La Ma kembali duduk bersila. “Mendekat-
lah. Dan duduklah bersila membelakangiku! Kosong-
kan pikiran!”
Perlahan-lahan Joko beranjak bangkit lalu turuti
ucapan Bu Beng La Ma.
***
SEPULUH
KARENA telah memiliki dasar ilmu silat dan tenaga
dalamnya sudah sangat terlatih, tidak sulit bagi Joko
untuk menyergap semua jurus yang diajarkan Bu
Beng La Ma begitu orang tua ini memberikan petunjuk
setelah sebelumnya sempat alirkan tenaga dalamnya
lewat telapak kedua tangannya pada punggung Pende-
kar 131. Hingga dalam waktu semalam, Joko telah da-
pat kuasai apa yang diajarkan Bu Beng La Ma.
“Anak muda...,” kata Bu Beng La Ma. Saat itu Bu
Beng La Ma dan Pendekar 131 tengah duduk berha-
dap-hadapan. “Kuharap sedikit ilmu yang kuberikan
padamu dapat membantu dalam perjalananmu nanti.
Aku tak akan beri nasihat, kau tentu sudah dapat
mengerti apa yang layak dan tidak layak kau lakukan!”
Pendekar 131 anggukkan kepala. Bu Beng La Ma
arahkan pandang matanya ke jurusan lain. Lalu buka
mulut lagi. “Hindari bentrok selama hal itu bisa kau
lakukan! Dan sedapat mungkin jangan membuat uru-
san dengan pihak kerajaan. Karena hal itu nantinya
dapat menyulut terjadinya salah paham dan bentrok
antara kalangan persilatan negeri ini dengan pihak ke-
rajaan yang berkuasa. Bila itu terjadi, kalangan persi-
latan yang akan merugi. Sebab biasanya, pihak kera-
jaan dengan mudah akan menuduh kalangan persila-
tan sebagai orang-orang yang membawa para pembe-
rontak!”
“Tapi Guru.... Selama ini banyak pihak kerajaan
yang memburuku! Bagaimana aku harus menghindari-
nya?!” Joko memanggil Bu Beng La Ma dengan sebutan
Guru karena ia sudah menganggapnya sebagai guru.
Bu Beng La Ma terdiam beberapa saat mendengar
ucapan Joko. “Hem.... Tampaknya keadaan keruh a-
kan terjadi...,” gumamnya dengan nada menyesal.
“Anak Muda! Aku tak bisa mengatakan bagaimana ca-
ra menghindarinya. Tapi kalau memang keadaan ti-
dak memungkinkan, dan pihak kerajaan memang be-
nar-benar terlibat dalam urusan ini, kau tentu dapat
memilih jalan terbaik! Dan ingat.... Jangan sekali-kali
mudah turunkan tangan sebelum kau tahu pasti bukti
keterlibatannya! Kau sekarang hanya punya tugas un-
tuk mendapatkan peta yang lenyap dari Perguruan
Shaolin. Jadi hindari semua urusan yang tidak ada
hubungannya dengan peta wasiat itu. Karena kau sen-
diri pasti telah tahu, di mana-mana orang rimba persi-
latan pasti akan terpecah dalam dua golongan! Dalam
hal ini kau harus berada di pihak tengah! Tidak mem-
bela pihak putih namun jangan membuat urusan de-
ngan pihak hitam! Sekarang pergilah....”
Pendekar 131 sekali lagi anggukkan kepala. Setelah
menjura dia bergerak bangkit. “Aku akan datang ke-
mari begitu peta wasiat itu telah kudapatkan!”
Habis berkata begitu, Joko melangkah ke arah jalan
masuk. Dia memandang sesaat ke bawah. Karena saat
itu matahari telah muncul dari langit timur, kali ini
meski samar-samar Joko dapat melihat tangga batu
paling bawah.
Murid Pendeta Sinting berpaling lagi pada Bu Beng
La Ma. Menjura sekali lagi lalu mulai melangkah ke-
luar dari ruangan. Saat lain dia berkelebat menuruni
anak tangga menurun dari batu.
Begitu injakkan kakinya di atas tanah, Joko berpa-
ling dengan kepala tengadah. Kuil di mana semalam
dia berada tampak hanya merupakan onggokan batu
hitam yang dihubungkan dengan tangga batu naik
yang tinggi dan panjang.
Joko menunggu beberapa saat berharap Bu Beng La
Ma tunjukkan diri. Namun hingga agak lama dia me-
nunggu, di atas sana tidak terlihat adanya sosok yang
muncul. Joko menghela napas lalu berkelebat.
Baru saja berlari dua puluh lima tombak, murid
Pendeta Sinting mendadak hentikan langkah. Meman-
dang ke depan, dia melihat satu sosok tubuh tegak
dengan sikap menghadang.
Pendekar 131 memperhatikan sesaat. Dia adalah
seorang perempuan berparas cantik berusia empat pu-
luh tahunan. Rambutnya hitam lebat disanggul sedikit
ke atas, sebagian lagi digeraikan di bagian samping pi-
pi kanan kirinya. Bibirnya dipoles merah menyala. Ke-
dua alis matanya ditambah pewarna hitam. Pada le-
hernya yang putih dan jenjang terlihat tato bergambar
bulan sabit. Perempuan cantik ini mengenakan paka-
ian warna putih tipis hingga seluruh lekuk anggota tubuhnya terlihat sangat jelas. Pada kepalanya juga
mengenakan sebuah mahkota yang atasnya bergambar
bulan sabit berwarna kuning keemasan.
Dari sikap orang, tampaknya Joko sudah menang-
kap gelagat tidak baik. Dan karena tidak mau mem-
buat urusan, Joko coba menahan diri untuk tidak bu-
ka mulut bertanya. Dia hanya anggukkan kepala den-
gan tersenyum. Saat kemudian dia menyisi ke samping
lalu hendak teruskan melangkah.
Si perempuan melirik gerakan murid Pendeta Sin-
ting. Tiba-tiba dia perdengarkan bentakan kala Joko
mulai melangkah.
“Tahan gerakan kakimu! Kita perlu bicara!”
Pendekar 131 hentikan tindakan kakinya. Dia ber-
paling dengan dahi berkerut.
“Rasanya kita baru pertama kali ini bertemu. Sebe-
lum kita mulai pembicaraan, harap kau suka sebutkan
diri....”
Si perempuan dongakkan kepala hingga Joko bisa
melihat jelas tato bergambar bulan sabit pada leher-
nya.
“Aku Ouw Kiu Lan! Namun hanya sebagian orang
yang tahu nama itu. Mereka lebih mengenaliku dengan
Bidadari Bulan Emas!”
“Hem.... Aku adalah....”
“Aku tahu siapa kau!” tukas si perempuan yang se-
butkan diri sebagai Ouw Kiu Lan alias Bidadari Bulan
Emas. “Aku hanya perlu menawarkan sesuatu. Ini de-
mi keselamatan jiwamu!”
“Terima kasih kau mau menawarkan jasa baik pa-
daku! Tapi rasanya aku masih bisa menjaga diri. Lagi
pula adalah aneh kalau kau katakan jiwaku perlu dis-
elamatkan! Aku tidak pernah membuat urusan!”
Bidadari Bulan Emas tertawa pendek. “Kau tak perlu berpura-pura! Kau tadi telah dengar ucapanku. Aku
tahu siapa kau! Dengar sekali lagi. Aku tahu siapa
kau!”
Joko gelengkan kepala. “Kalau kau yakin jiwaku
perlu diselamatkan, itu satu petunjuk kalau kau tidak
tahu siapa aku!”
Bidadari Bulan Emas rangkapkan kedua tangan di
depan dada. “Kau seorang pemuda dari negeri asing.
Kau yang menyelamatkan jiwa seorang kepercayaan
Perguruan Shaolin yang membawa tugas mengambil
setengah peta wasiat!” Bidadari Bulan Emas berpaling.
“Serahkan peta wasiat itu. Telah kusiapkan perahu
untukmu! Dan beberapa orang akan mengawal sampai
kau benar-benar aman dan bisa pulang ke kampung
halamanmu dengan selamat!”
Pendekar 131 tersentak. Namun dia masih coba
menutupi dengan tersenyum dan berkata. “Harap kau
perhatikan sekali lagi siapa orang yang ada di hada-
panmu! Mungkin kali ini kau salah lihat!”
“Kau jangan coba memerintahku! Aku tahu banyak
apa yang mungkin tak kau duga!” Bidadari Bulan
Emas melangkah pulang balik. “Di negerimu sana, kau
boleh punya nama besar dengan gelar Pendekar Pe-
dang Tumpul 131 Joko Sableng!” Bidadari Bulan Emas
gelengkan kepala. “Tapi di sini, nama besarmu tak a-
kan ada artinya!” Bidadari Bulan Emas gerakkan ke-
dua tangan membuat sikap seperti orang meminta.
“Serahkan saja peta wasiat itu! Setelah itu pulanglah!
Kehadiranmu di negeri ini hanya akan membuat mala-
petaka! Mungkin di negerimu kau masih dibutuhkan.
Tapi tidak di sini!”
Pendekar 131 tercekat. Kali ini dia tidak bisa lagi
sembunyikan rasa kagetnya. “Busyet! Bagaimana dia
bisa tahu banyak tentang diriku?! Siapa perempuan
cantik ini sebenarnya?!”
“Kurasa keteranganku sudah terlalu banyak! Aku
tak akan ulangi permintaanku! Dan satu hal yang ha-
rus kau ketahui, aku tak akan membiarkan seseorang
pergi jika aku menginginkan sesuatu darinya!”
“Tapi kuharap aku adalah orang pertama yang kau
biarkan pergi meski rasanya aku tidak dapat meme-
nuhi keinginanmu!” ujar Joko seraya tersenyum lebar.
“Syarat yang kuminta tidak sulit, Pendekar 131 Jo-
ko Sableng! Kau tinggal serahkan peta wasiat itu! Dan
kau bebas pergi bahkan aku telah menyiapkan perahu
dan beberapa orang untuk mengawalmu!”
“Bidadari.... Aku belum berniat untuk balik kam-
pung!”
“Kau tahu akibatnya?!”
“Aku tak pernah pikirkan akibat karena aku tak
membuat sebab!”
Bidadari Bulan Emas perdengarkan tawa. “Kau jan-
gan berpikir bodoh! Kedatanganmu ke negeri ini ada-
lah sebab utama yang membuat kau kelak akan men-
dapat akibat yang mungkin tidak pernah terbayang da-
lam benakmu!”
“Aku datang ke negeri ini hanya karena kebetulan!
Tidak terbetik sebelumnya niatan hati untuk datang ke
negeri ini apalagi membuat sebab!”
“Tapi justru kebetulan itulah yang kelak akan men-
gantarmu menemui kesulitan!”
“Aku tidak percaya!” sahut murid Pendeta Sinting
dengan gelengkan kepala.
“Aku akan menunjukkan!” kata Bidadari Bulan E-
mas. Perempuan berparas cantik ini tarik pulang ke-
dua tangannya ke belakang. Saat lain dia membuat ge-
rakan melompat ke arah Joko. Kedua tangannya mele-
sat cepat.
Pendekar 131 terkesiap melihat gerakan cepat o-
rang. Namun dia cepat mundur satu langkah. Kedua
tangannya bergerak menghadang gerakan kedua tan-
gan Bidadari Bulan Emas.
Ternyata Bidadari Bulan Emas bukan lepas puku-
lan, melainkan cepat memutar arah gerakan tangan
dan lancarkan totokan ke arah pergelangan kedua tan-
gan Joko.
Gerakan Bidadari Bulan Emas ternyata sudah da-
pat dimaklumi Joko. Apalagi dia telah mendapat ba-
nyak keterangan dari Bu Beng La Ma tentang gerakan-
gerakan kebanyakan kaum persilatan di negeri Tibet.
Hingga begitu Bidadari Bulan Emas coba lancarkan to-
tokan, Joko segera pula putar arah gerakan kedua
tangannya.
Bidadari Bulan Emas tersentak sesaat melihat gera-
kan kedua tangan murid Pendeta Sinting yang bukan
saja mampu membaca gerakan kedua tangannya na-
mun kini malah balik lakukan penyergapan dengan le-
paskan totokan ke arah lambungnya!
Bidadari Bulan Emas tarik pulang kedua tangannya
lalu cepat disentakkan menghadang lajunya gerakan
kedua tangan Joko.
Bukk! Bukkkk!
Terdengar benturan. Kedua tangan Bidadari Bulan
Emas tampak terpental ke atas. Sementara kedua ta-
ngan Joko terlempar ke bawah. Namun, Bidadari Bu-
lan Emas cepat putar tubuh. Dengan bertumpu pada
kaki kanan, kaki kirinya diangkat membuat gerakan
menendang ke arah dada!
Murid Pendeta Sinting angkat kedua tangannya. Bi-
dadari Bulan Emas tersentak ketika merasakan kaki
kirinya bukan menendang sasaran, melainkan terta-
han di udara dan terasa dipegang tangan orang!
Bidadari Bulan Emas terbelalak melihat bagaimana
kakinya dipegang kedua tangan Joko. Sementara sepa-
sang mata murid Pendeta Sinting tampak terpentang
besar memperhatikan ke arah sibakan pakaian si pe-
rempuan karena kakinya terangkat dan tertahan di
udara.
“Jahanam!” sentak Bidadari Bulan Emas. Kaki kiri-
nya ditarik sedikit ke belakang. Saat lain disentakkan
lagi ke depan. Namun sebelum kaki itu sempat me-
nyentak, Pendekar 131 cepat lepaskan pegangan ta-
ngannya pada kaki si perempuan. Lalu rundukkan ke-
pala dengan mata makin dipentang melihat ke arah
kangkangan kaki Bidadari Bulan Emas!
Mendapati tendangannya menghantam tempat ko-
song, Bidadari Bulan Emas cepat tarik kedua tangan-
nya ke belakang begitu kaki kirinya telah berada di
atas tanah kembali. Kejap lain kedua tangannya me-
lepas pukulan.
Wuutt! Wuuttt!
Satu gelombang angin menderu angker. Karena ja-
rak antara sang Bidadari serta Pendekar 131 tidak ja-
uh, tidak ada jalan lain bagi Joko selain harus meng-
hadang dengan pukulan pula. Maka dia sentakkan ke-
dua tangannya.
Bumm!
Sosok Bidadari Bulan Emas tersapu tiga langkah ke
belakang. Sementara karena saat menghadang puku-
lan dengan posisi setengah merunduk, sosok murid
Pendeta Sinting tempat terhuyung empat langkah.
“Heran... Dia sepertinya menguasai salah satu jurus
aliran negeri ini! Dia berhasil berkelit dari jurus tingkat
pertama dari ‘Delapan Gerbang Rembulan’! Padahal
tak mungkin aliran jurus negeri ini diketahui orang as-
ing! Aku memang belum jelas bisa memperhatikan jurus apa yang dilakukan. Tapi jelas-jelas jurus tadi ada-
lah aliran di negeri ini!” Bidadari Bulan Emas berkata
dalam hati dengan sepasang mata mendelik tak ber-
kesip memperhatikan pada murid Pendeta Sinting.
“Bidadari.... Mungkin kau benar dengan apa yang
kau ketahui tentang diriku. Tapi percayalah, kau salah
jika mengatakan aku membawa atau menyimpan peta
wasiat! Dan aku memang pernah menolong seseorang.
Tapi aku tak tahu siapa dia. Saat itu dia tengah terlu-
ka parah. Aku tak tega untuk ajukan pertanyaan. Ha-
nya saja sebelum dia meninggal, dia berpesan agar ce-
burkan mayatnya ke laut! Setelah itu aku terbawa ge-
lombang sampai negeri ini!”
Bidadari Bulan Emas terdiam sepertinya menyimak
ucapan murid Pendeta Sinting, namun sebenarnya di-
am-diam perempuan ini berkata sendiri dalam hati ti-
dak hiraukan ucapan Joko.
“Hem.... Mengapa aku tidak bertanya pada beberapa
orang yang kusuruh menyelidik ke tempat negeri kela-
hiran pemuda itu tentang ilmu apa saja yang dimiliki?!
Namun itu tidak begitu penting, yang jelas aku masih
yakin dialah yang menyimpan peta wasiat itu, atau se-
tidaknya dia tahu di mana tempat disembunyikannya
peta wasiat itu! Jika tidak, tak mungkin pihak kera-
jaan ikut terlibat memburu pemuda ini! Kalau pi-hak
kerajaan sudah ikut campur tangan, berarti peristiwa
di Perguruan Shaolin melibatkan orang dalam dan ke-
mungkinan besar bersekongkol dengan seseorang dari
pihak kerajaan! Lenyapnya peta wasiat di ruang pe-
nyimpanan Perguruan Shaolin dan ikut turun ta-
ngannya pihak kerajaan memburu pemuda ini mem-
buktikan semua itu!”
Setelah membatin begitu, Bidadari Bulan Emas bu-
ka suara.
“Pendekar 131 Joko Sableng! Aku akan memberita-
hukan sesuatu....”
Belum sampai Bidadari Bulan Emas lanjutkan uca-
pan, Joko telah menukas. “Bidadari.... Aku tak punya
waktu banyak! Lain kali saja kita lanjutkan pembica-
raan ini! Dan kalau nanti aku sudah punya niat dan
rindu kampung halaman, aku akan mencarimu....”
Pendekar 131 berkelebat. Namun Bidadari Bulan
Emas ikut berkelebat memotong gerakan murid Pen-
deta Sinting. Kembali tangan kanannya menjulur ke
depan membuat gerakan orang meminta.
“Ke mana kau pergi, kau akan mendapat halangan
yang sama! Namun aku masih berbaik hati dengan
menyediakan perahu dan beberapa pengawal untuk-
mu! Jika orang lain, mereka pasti menginginkan peta
wasiat itu sekaligus selembar nyawamu!”
“Kau meminta pada orang yang salah!”
Bidadari Bulan Emas tegak dengan mata mendelik
dan pelipis bergerak-gerak.
“Baik! Aku telah tawarkan jalan terbaik, namun
nyatanya kau inginkan agar aku mengambil peta wa-
siat itu beserta nyawamu sekalian!”
Bidadari Bulan Emas angkat kedua tangannya dan
ditarik ke depan kepala. Telapak kedua tangannya dile-
takkan di kening sesaat lalu diangkat ke atas kepala.
Saat bersamaan tampak cahaya kekuningan meman-
car dari kedua tangan sang Bidadari.
“Hem.... Dari sikapnya, mungkin dia tengah menge-
rahkan ilmu andalannya. Aku tadi telah coba jurus
pemberian Bu Beng La Ma tingkat pertama. Karena dia
sekarang tidak main-main dan ingin membunuhku,
terpaksa aku akan menghadang dengan coba tingkat
delapan!” Joko membatin. Lalu angkat kedua tangan-
nya membentuk bundaran besar dengan ujung kedua
jari-jari tangan bertemu di atas kepala. Kaki kanannya
ditarik ke belakang sementara kaki kiri ditekuk.
Bidadari Bulan Emas tersentak. Saat itulah tiba-
tiba terdengar suara.
“Ouw Kiu Lan! Tahan! Biarkan dia pergi!”
Joko berpaling ke arah sumber datangnya suara.
Namun dia tidak melihat siapa-siapa. Namun kesem-
patan ini tak disia-siakan Joko. Dia memandang sesaat
pada Bidadari Bulan Emas untuk yakinkan jika perem-
puan itu benar-benar lakukan ucapan orang. Begitu
yakin, Joko segera balikkan tubuh lalu tanpa berkata-
kata lagi, dia berlari seperti orang kesetanan!
***
SEBELAS
BERSAMAAN dengan berlalunya Pendekar 131, satu
sosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu di hadapan Bi-
dadari Bulan Emas telah tegak seorang laki-laki. Orang
ini berambut tipis tapi panjang sampai punggung. Ke-
dua alis matanya juga menjulai panjang hampir menu-
tupi mata. Sepasang matanya melotot besar. Paras wa-
jahnya bulat dengan kumis dan jenggot lebat. Tepat di
tengah kedua alis matanya terlihat tato bergambar bu-
lan sabit berwarna kekuningan. Laki-laki ini menge-
nakan pakaian berupa jubah panjang warna kuning.
Pada bagian dada kanannya juga terdapat gambar bu-
lan sabit.
“Pemuda asing itu tampaknya telah menguasai ilmu
‘Sembilan Gerbang Matahari’!” kata laki-laki di hada-
pan Bidadari Bulan Emas sambil arahkan pandang
matanya pada kelebatan sosok murid Pendeta Sinting.
Bidadari Bulan Emas memandang sesaat pada laki-
laki yang baru muncul. Pandang matanya jelas mem-
bayangkan rasa tidak senang. Di lain pihak, meski ti-
dak melihat ke arah orang, namun si laki-laki tampak-
nya bisa menangkap bayangan sikap Bidadari Bulan
Emas. Masih tanpa memandang dia berkata.
“Aku tahu kau tak suka dengan teguranku tadi! Ta-
pi....”
Belum sampai si laki-laki teruskan ucapan, Bidada-
ri Bulan Emas telah memotong dengan sengatkan pan-
dangannya pada laki-laki di hadapannya.
“Guru! Aku telah bersusah payah menyelidik! Kalau
pada akhirnya hanya begini yang kudapat, rasanya
percuma apa yang selama ini kulakukan!”
“Ouw Kiu Lan! Selama ini ilmu ‘Delapan Gerbang
Rembulan’ yang kita miliki memang dapat mengim-
bangi ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’. Namun kau
harus sadar, pemuda itu memiliki ilmu lain yang be-
lum kita kenal! Terlalu berbahaya jika berhadapan
dengan orang yang telah tahu ilmu kita tapi kita tidak
tahu ilmu yang dimilikinya!”
“Aku heran.... Bagaimana mungkin pemuda itu da-
pat menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’! Pa-
dahal menurut yang pernah Guru katakan, ilmu itu
hanya ada di negeri ini!”
Laki-laki di hadapan Bidadari Bulan Emas putar di-
ri. Namun pandang matanya bukan mengarah pada
sang Bidadari, melainkan jauh ke depan menembusi
jajaran beberapa pohon.
“Ternyata kabar yang tersiar dalam rimba persilatan
lain dengan kenyataan!” kata si laki-laki yang dari cara
sebut Bidadari Bulan Emas, menunjukkan jika si laki-
laki bertato bulan sabit di antara kedua alis matanya
ini adalah gurunya. “Kenyataan kalau pemuda tadi
menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’ menun-
jukkan kalau Bu Beng La Ma masih bernapas! Pemuda
itu dengan singkat dapat menguasai ilmu ‘Sembilan
Gerbang Matahari’ mungkin saja karena pemuda itu
telah memiliki dasar yang kuat! Hem.... Dengan Kenya-
taan ini, berarti musuh besarku bukan tinggal satu,
namun kini bertambah satu lagi!”
“Ouw Kiu Lan! Ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’
memang hanya ada di negeri ini!” kata si laki-laki di
hadapan Bidadari Bulan Emas setelah terdiam bebera-
pa lama. “Kau tak usah heran kalau pemuda itu dapat
menguasai ilmu itu. Justru ini sangat membuatku
gembira! Karena itu menunjukkan satu hal yang sela-
ma ini masih menjadi tanya bagiku!”
Bidadari Bulan Emas kerutkan dahi. Dia sudah
hendak buka mulut akan bertanya. Namun sebelum
suaranya terdengar, sang Guru sudah mendahului.
“Ini satu pertanda jika orang yang selama ini dika-
barkan tewas berarti masih hidup!”
“Maksudmu...?!”
“Bu Beng La Ma masih bernyawa! Dan rupanya tak-
dir telah menuliskan jika manusia itu akhirnya akan
mampus di tanganku!”
“Guru! Saat ini kurasa yang paling penting adalah
memburu peta wasiat itu! Urusan nyawa Bu Beng La
Ma bisa ditunda!”
“Ouw Kiu Lan! Seribu peta wasiat tidak ada artinya
bagiku dibanding satu nyawa milik Bu Beng La Ma!
Aku mengajakmu turun gunung dengan dua tujuan.
Memburu peta wasiat sekaligus menjajaki kabar berita
tentang Bu Beng La Ma! Kini keduanya sudah jelas ba-
gi kita! Kau tahu siapa pembawa peta wasiat itu, dan
aku yakin Bu Beng La Ma masih hidup! Masih hidup-
nya Bu Beng La Ma membuat aku tidak tertarik lagi
dengan peta wasiat itu!”
“Guru....”
“Ouw Kiu Lan!” potong sang Guru sembari angkat
tangan kirinya. “Aku akan mencari Bu Beng La Ma di
Kuil Atap Langit. Kau teruskan tujuanmu! Tapi harus
kau ingat. Kau tak bisa menghadapi pemuda asing itu
hanya dengan andalkan ilmu ‘Delapan Gerbang Mata-
hari’! Kau harus pergunakan cara lain! Kau adalah pe-
rempuan, sementara orang yang kau hadapi adalah
seorang laki-laki. Tentu kau paham maksudku....”
Bidadari Bulan Emas tersenyum. Sang Guru me-
langkah tiga tindak, lalu lanjutkan ucapan. “Sementa-
ra ini kita harus berpisah! Berhati-hatilah!”
Habis berkata begitu, sang Guru arahkan kembali
pandangannya ke arah jauh di depan sana. Dan tanpa
berkata-kata lagi dia membuat satu kali gerakan. So-
soknya melesat sebelum akhirnya lenyap di kerapatan
jajaran pohon.
Bidadari Bulan Emas berpaling memperhatikan a-
rah kelebatan gurunya. Saat lain perempuan cantik ini
melesat mengambil arah ke mana tadi murid Pendeta
Sinting berkelebat.
***
Kita tinggalkan dahulu pengejaran yang dilakukan
Bidadari Bulan Emas terhadap Pendekar 131 Joko
Sableng. Sekarang kita ikuti perjalanan guru Bidadari
Bulan Emas.
Laki-laki yang tepat di tengah kedua alis matanya
terdapat tato bergambar bulan sabit itu hentikan lari-
nya ketika memasuki sebuah kawasan terbuka di ma-
na ketika mata dilayangkan ke depan, berjarak dua
puluh langkah, terlihat satu tangga naik dari batu.
Tangga naik ini lurus ke atas berujung pada sebuah
onggokan batu berbentuk kuil. Karena ketinggiannya,
bangunan kuil di atas sana terlihat sangat kecil sekali.
Guru Bidadari Bulan Emas tengadahkan kepala
dengan mata dipicingkan. Kejap lain dia berkelebat.
Namun belum sampai sosok tubuhnya melesat, ti-
ba-tiba terdengar satu suara dari puncak bangunan
kuil di atas sana.
“Kwe Bun Lim...! Rasanya tidak baik kalau perte-
muan kita kembali harus diwarnai dengan sisa urusan
lama.... Dan kehadiranmu kali ini kuharap tanpa sisa-
sisa itu!”
Guru Bidadari Bulan Emas yang dipanggil dengan
Kwe Bun Lim batalkan niat menaiki tangga batu. Dia
dongakkan kepala dengan seringai dingin. Lalu mem-
batin.
“Bu Beng La Ma! Ternyata kau benar-benar masih
hidup! Sayang sekali.... Justru sisa urusan itulah aku
datang ke sini!”
Setelah membatin begitu, dia berteriak lantang.
“Bu Beng La Ma! Aku datang memang bukan untuk
sisa-sisa urusan lama! Namun aku datang untuk men-
cabut selembar nyawamu!”
“Kwe Bun Lim! Harap maafkan aku. Kalau itu uru-
sannya, aku tak bisa menemuimu! Rasanya terlalu
sayang jika di akhir usia kita ini harus dilembari den-
gan kucuran darah! Apa yang pernah tertumpah biar-
lah berlalu....”
“Bu Beng La Ma! Itu urusanmu! Kau mau atau ti-
dak, yang jelas aku ingin kucuran darah beberapa pu-
luh tahun yang lalu berakhir hari ini! Turunlah! Atau
aku akan menjemputmu ke atas!
“Kwe Bun Lim! Aku tidak coba mengguruimu. Tapi
kurasa lebih baik kau pikirkan dahulu semuanya....
Cuma, apa pun keputusanmu nanti, aku tetap tidak
akan menemuimu!”
“Bu Beng La Ma! Aku telah punya keputusan. Kau
pun juga telah memutuskan! Mari kita lihat keputusan
siapa yang akan berlaku!”
Habis berteriak begitu, Kwe Bun Lim berkelebat.
Namun baru saja tubuhnya akan bergerak, matanya
menangkap satu sosok bayangan. Kwe Bun Lim cepat
berpaling. Di seberang samping sana tegak seorang la-
ki-laki bertubuh kekar mengenakan pakaian selem-
pang tanpa leher berwarna kuning. Di bagian pundak-
nya melapis kain berwarna merah yang terus dililitkan
pada pinggangnya. Laki-laki ini berkepala gundul dan
tampak beberapa titik putih di batok kepalanya. Paras
wajahnya agak tirus. Kumisnya tipis. Jenggotnya ja-
rang namun panjang.
Kwe Bun Lim sipitkan mata. “Guru Besar Liang
San...,” gumamnya mengenali siapa adanya laki-laki
berpakaian selempang kuning tanpa leher.
“Amitaba....” Laki-laki berpakaian selempang warna
kuning dan bukan lain memang Guru Besar Liang San
adanya buka mulut seraya anggukkan kepala dengan
kedua tangan ditakupkan di depan dada. “Bukankah
yang tegak di hadapanku saat ini adalah sahabat Kwe
Bun Lim...?! Tokoh ternama negeri ini yang dikenal
dengan Hantu Bulan Emas?!”
Kwe Bun Lim yang di negeri Tibet memang lebih di-
kenal kalangan rimba persilatan dengan gelar Hantu
Bulan Emas tidak menyahut. Sebaliknya diam-diam
dia membatin. “Untuk apa dia datang ke sini?! Apakah
peristiwa berdarah di perguruannya melibatkan Bu
Beng La Ma?!”
Masih tanpa buka mulut, Hantu Bulan Emas me-
lesat dan tegak lima langkah di hadapan Guru Besar
Liang San. Guru Besar Liang San melirik tajam lalu
kembali anggukkan kepala.
“Guru Besar Liang San...,” kata Hantu Bulan Emas
dengan nada pelan namun jelas nadanya terdengar
sumbang. “Senang bisa bertemu kau lagi.... Tapi rasa-
nya pertemuan kita kali ini sungguh di luar dugaan!”
Guru Besar Liang San tersenyum. “Aku paham apa
maksudmu. Tapi harap kau tidak berprasangka. Aku
terpaksa keluar sendirian karena ada sesuatu yang ha-
rus segera kuselesaikan. Beberapa...”
Belum sampai Guru Besar Liang San lanjutkan
ucapan, Hantu Bulan Emas sudah menukas. “Aku ikut
belasungkawa dengan peristiwa yang terjadi beberapa
malam yang lalu! Dan kurasa kehadiranmu di sini pas-
ti masih ada hubungannya dengan peristiwa itu! Be-
nar?!”
“Amitaba...! Dugaanmu tidak meleset. Aku perlu
bertemu dengan Bu Beng La Ma.
Hantu Bulan Emas melirik dengan kepala disentak-
kan ke jurusan lain. Sebelum guru Bidadari Bulan
Emas ini buka suara. Guru Besar Liang San telah
sambungi ucapannya. “Guru Besar Wu Wen She le-
nyap begitu saja saat terjadinya peristiwa berdarah di
perguruan kami. Untuk itulah aku perlu datang hen-
dak bertemu dengan Bu Beng La Ma. Mungkin dia ta-
hu atau setidaknya dapat memberi petunjuk ke mana
kira-kira lenyapnya adik Wu Wen She! Bagaimanapun
juga aku harus segera menemukan adik Wu Wen She.
Sebab dalam peristiwa itu, bukan saja Maha Guru Be-
sar Su Beng Shiok dan kakak Pu Yi yang terbunuh,
namun sebuah benda juga hilang dari ruang penyim-
panan!”
“Kau menduga Guru Besar Wu Wen She yang mela-
rikan benda itu?!”
“Amitaba.... Aku tidak berani menduga. Tapi aku
harus menemukan adik Wu Wen She!”
“Hem.... Kalau dia datang ke sini dan langsung
mengatakan hendak bertemu dengan Bu Beng La Ma,
berarti selama ini dia telah tahu kalau Bu Beng La Ma
masih hidup! Aku tidak yakin akan kebenaran uca-
pannya.... Mungkin saja dia yang bersekongkol dengan
Bu Beng La Ma! Apalagi pemuda asing itu jelas telah
bersahabat dengan Bu Beng La Ma, sementara peta
wasiat yang setengahnya, menurut penyelidikan Ouw
Kiu Lan memang berada di tangan pemuda asing itu!
Jadi, Guru Besar Liang San bersekongkol dengan Bu
Beng La Ma untuk mendapatkan peta yang masih ter-
simpan, sementara Bu Beng La Ma bersekutu dengan
pemuda asing itu! Dengan begitu, berarti peta wasiat
itu telah utuh! Dan untuk menghilangkan jejak, mere-
ka sengaja mengkambing-hitamkan Guru Besar Wu
Wen She! Kalau Maha Guru Besar Su Beng Siok dan
Guru Besar Pu Yi mampus, bagaimana mungkin Wu
Wen She bisa lolos! Wu Wen She mungkin sudah te-
was, hanya saja sengaja mereka sembunyikan untuk
dijadikan kambing hitam! Hem....” Hantu Bulan Emas
berkata sendiri menduga-duga dalam hati.
“Sobat Hantu Bulan Emas! Aku tahu kau punya
urusan dengan Bu Beng La Ma.... Tapi kuharap kau
memberiku kesempatan!”
Ucapan Guru Besar Liang San membuat keyakinan
Hantu Bulan Emas makin kuat. “Tentu mereka akan
membicarakan hasil tindakan mereka! Ini satu rejeki
besar bagiku! Berhasil menemukan Bu Beng La Ma se-
kaligus mendapatkan peta wasiat itu dengan utuh!”
Habis membatin begitu, Hantu Bulan Emas buka
mulut. Tapi bersamaan dengan itu, dari kuil di puncak
sana terdengar suara.
“Guru Besar Liang San.... Maaf jika aku tidak bisa
menyambutmu dengan layak! Namun perlu kau keta-
hui, aku tidak tahu menahu dengan lenyapnya Guru
Besar Wu Wen She.... Aku juga tak bisa memberi pe-
tunjuk apa-apa tentang dia....”
“Amitaba.... Sungguh sayang sekali! Tapi harap kau
memberikan izin untuk bertemu denganmu.... Karena
masih ada yang perlu kubicarakan!”
“Guru Besar Liang San.... Aku tak mau membuat
urusan dengan buka mulut membicarakan apa yang
telah terjadi! Aku sudah berniat tak akan ikut campur
dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan du-
nia persilatan.... Mohon dimaafkan!”
Guru Besar Liang San dongakkan kepala meman-
dang ke arah kuil di puncak sana. “Hem.... Kurasa
pemberitahuan ini cukup. Dengan begitu para sahabat
Maha Guru Besar Su Beng Siok tidak akan menaruh
curiga padaku.... Aku harus segera pergi! Hantu Bulan
Emas tampaknya sudah tak sabar! Tapi aku harus ta-
hu bagaimana akhir dari bentrok mereka. Dan kalau
keadaan memungkinkan, aku tak segan membunuh
mereka berdua!” kata Guru Besar Liang San dalam ha-
ti. Lalu luruskan kepala menghadap Hantu Bulan
Emas dan berkata kalem.
“Tampaknya kehadiranku mengganggu urusan ka-
lian. Aku harus segera pergi....”
Hantu Bulan Emas gelengkan kepala, membuat Gu-
ru Besar Liang San kerutkan dahi. Dan belum sempat
dia menduga lebih jauh isyarat gelengan kepala orang,
Hantu Bulan Emas telah angkat suara.
“Tidak akan ada yang pergi dari sini!”
Guru Besar Liang San tersentak. Hantu Bulan E-
mas tertawa panjang. Lalu berkata lagi. “Kau tak usah
bertanya mengapa, karena jawabannya sudah ada pa-
damu!” Hantu Bulan Emas teruskan suara tawanya seraya mendongak. Guru Besar Liang San menduga-
duga dengan paras berubah tegang!
SELESAI
Ikuti lanjutannya dalam episode:
DEWA CADAS PANGERAN
0 comments:
Posting Komentar