..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 05 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE KUIL ATAP LANGIT

JOKO SABLENG EPISODE KUIL ATAP LANGIT

SATU


DARI salah satu ruangan di deretan sebelah kiri 

bangunan utama, Guru Besar Liang San keluar den-

gan langkah terhuyung dan hampir saja roboh jika sa-

lah seorang pemuda berkepala gundul tidak segera 

menyongsong lalu menahan sosok Guru Besar Liang 

San dengan kedua tangannya.

“Guru Besar Liang San...,” kata si pemuda.

Guru Besar Liang San gelengkan kepala seraya le-

paskan pegangan tangan si pemuda. “Aku tak apa-

apa.... Kumpulkan semua murid perguruan!”

Si pemuda masih memandang dengan khawatir. Na-

mun setelah melihat Guru Besar Liang San meman-

dang ke arahnya dengan mata agak melotot, si pemuda 

buru-buru berkelebat untuk lakukan perintah Guru 

Besar Liang San.

Hanya beberapa saat, di halaman depan bangunan 

utama telah tegak berbaris beberapa pemuda berke-

pala gundul. Sebagian di antara mereka ada yang ma-

sih tampak terluka dengan mulut kucurkan darah.

“Dengar.... Kumpulkan semua yang terluka. Lalu 

kuburkan yang sudah meninggal! Mulai nanti malam, 

lipat gandakan penjagaan! Untuk sementara semua 

tamu yang tidak dikenal jangan izinkan masuk!” Guru 

Besar Liang San berkata seraya bersandar pada se-

buah tiang bangunan. Sepasang matanya menyapu ke 

seluruh halaman. Lalu ke deretan ruang di sebelah 

kanan dan kiri bangunan utama. Terakhir dia arahkan 

pandang matanya pada ruang penyimpanan.

“Ingat! Jangan ada yang masuk ruang penyimpa-

nan!”

“Amitaba....” Serentak para pemuda di halaman depan bangunan utama takupkan kedua tangan seraya 

anggukkan kepala. Saat lain mereka pun bubar.

Begitu halaman depan bangunan utama kosong, 

Guru Besar Liang San berkelebat. Tahu-tahu sosoknya 

telah tegak di depan pintu sebuah ruangan. Dia melirik 

ke kanan kiri.

“Aku tidak melihat Guru Besar Wu Wen She.... Apa-

kah mereka gagal menghabisinya?! Ini tidak boleh ter-

jadi. Walau dia mungkin tidak tahu peristiwa di balik 

semua ini, namun bagaimanapun juga dia akan jadi 

penghalang jika masih hidup!”

Guru Besar Liang San dorongkan tangan kanan ke 

pintu. Perlahan-lahan pintu terbuka. Guru Besar Liang 

San memandang berkeliling ke dalam ruangan. Dahi-

nya berkerut. “Kosong...!” desisnya dengan seringai 

dingin.

Dengan membuat satu kali gerakan, sosok Guru 

Besar Liang San telah berada di dalam ruangan. Kem-

bali sepasang matanya menyapu. Namun dia tidak me-

lihat siapa-siapa!

“Hem.... Mungkinkah dia berhasil meloloskan diri?! 

Aku harus segera dapat kepastian! Tapi aku harus 

memastikan dahulu keadaan Maha Guru Besar Su 

Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!”

Berpikir begitu, Guru Besar Liang San segera berke-

lebat keluar dan terus berlari ke ruang persembaya-

ngan. Matanya segera tertuju pada satu ruangan di se-

belah kanan ruang persembayangan. Pintunya tampak 

terbuka. Beberapa pemuda tampak hilir mudik.

Ketika salah seorang pemuda melihat kemunculan 

Guru Besar Liang San, si pemuda segera mendekati. 

Kedua tangannya ditakupkan di depan dada. Sambil 

mengangguk dia berkata.

“Amitaba.... Guru Besar Liang San.... Maha Guru


Besar Su Beng Siok...!” Hanya sampai di situ si pemu-

da berucap. Dia tidak kuasa untuk lanjutkan ucapan. 

Sebaliknya hanya arahkan pandang matanya pada sa-

tu sosok tubuh yang diangkat beberapa pemuda dari 

sebelah kiri ranjang.

Guru Besar Liang San ikut arahkan pandang mata-

nya pada sosok berlumuran darah yang dipandang 

pemuda tadi. Dia bukan lain adalah sosok Maha Guru 

Besar Su Beng Siok.

Hanya dengan sekali pandang, Guru Besar Liang 

San sudah tahu bagaimana keadaan Maha Guru Besar 

Su Beng Siok. Dia menghela napas panjang lalu buka 

mulut.

“Kuburkan mayat Maha Guru Besar Su Beng 

Siok...!”

Si pemuda di hadapan Guru Besar Liang San segera 

anggukkan kepala. Saat lain meninggalkan Guru Besar 

Liang San mendekati beberapa pemuda yang meng-

angkat sosok Maha Guru Besar Su Beng Siok.

Baru saja si pemuda berlalu dan belum sampai 

Guru Besar Liang San balikkan tubuh, salah seorang 

pemuda buru-buru mendekati dari luar ruangan. Se-

telah anggukkan kepala dia berucap.

“Guru Besar Liang San.... Guru Besar Pu Yi te-

lah....”

Belum sampai si pemuda lanjutkan ucapan, Guru 

Besar Liang San telah angkat tangan kanannya. Tanpa 

berkata apa-apa lagi dia putar diri lalu berkelebat dan 

berlari ke salah satu ruangan di sebelah kanan ba-

ngunan utama.

Beberapa pemuda terlihat mengangkat satu sosok 

tubuh. Guru Besar Liang San yakinkan diri sebentar. 

Lalu berkata.

“Makamkan Guru Besar Pu Yi berdampingan dengan Maha Guru Besar Su Beng Siok!”

Beberapa pemuda yang mengangkat sosok tubuh, 

dan bukan lain adalah sosok mayat Guru Besar Pu Yi, 

sempat terkesiap. Namun saat mengetahui siapa ada-

nya orang yang baru saja berkata, mereka anggukkan 

kepala.

Guru Besar Liang San balikkan tubuh. “Hem.... Gu-

ru Besar Wu Wen She benar-benar lenyap! Aku tahu 

apa yang harus kulakukan untuk hindarkan diri dari 

rintangannya!”

Setelah membatin begitu, tanpa balikkan tubuh dia 

berkata.

“Setelah pemakaman, semua kumpul di halaman!”

Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San berke-

lebat. Dia terus berlari menuju ruang penyimpanan. 

Karena di sana tidak ada orang, dia segera masuk. Dia 

meneliti sesaat. Lalu anggukkan kepala.

“Sekarang tinggal memburu pemuda asing itu! De-

ngan bantuan prajurit Yang Mulia Baginda Ku Nang, 

tidak perlu waktu lama untuk menemukannya!”

Tidak berapa lama, di halaman depan bangunan 

utama telah tegak berbaris beberapa pemuda. Guru 

Besar Liang San melangkah perlahan-lahan dengan 

kepala menunduk. Beberapa pemuda di halaman juga 

tundukkan kepala dengan kedua tangan menakup di 

depan dada. Tidak ada yang buka suara atau membuat 

gerakan.

“Hari ini kita harus belasungkawa atas terbunuhnya 

Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu 

Yi..,” kata Guru Besar Liang San dengan suara tersen-

dat.

“Aku sangat menyesal dan kecewa dengan peristiwa 

inil Aku merasa berdosa tidak bisa menyelamatkan 

Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar PuYi.... Setelah ini.... Aku harus meninggalkan kalian se-

mua! Kalian bebas memilih jalan yang kalian kehenda-

ki!”

“Guru Besar Liang San...!” Salah seorang pemuda 

yang tampak berusia paling tua angkat suara. “Ini se-

mua bukanlah semata-mata kesalahan Guru Besar 

Liang San.... Harap Guru Besar Liang San tidak me-

ninggalkan kami! Kami masih menginginkan Guru Be-

sar Liang San untuk memimpin perguruan ini! Dan 

kami siap melakukan apa saja untuk menemukan sia-

pa di balik peristiwa terbunuhnya Maha Guru Besar 

Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!”

Guru Besar Liang San gelengkan kepala. “Rasanya 

tidak mudah menuruti permintaan kalian.... Lagi pula 

aku tidak punya niat untuk memimpin perguruan ini! 

Kalian kubebaskan mencari orang yang bisa memim-

pin dan meneruskan perguruan ini!”

“Amitaba.... Guru Besar Liang San...,” kata pemuda 

yang tadi angkat suara. “Harap jangan tinggalkan ka-

mi. Kalaupun kami harus mencari orang yang harus 

memimpin perguruan ini, tidak lain hanyalah Guru 

Besar Liang San! Hari ini juga kami mengangkat Guru 

Besar Liang San sebagai pemimpin perguruan ini!”

Habis berkata begitu, si pemuda tekuk kedua lutut-

nya dengan kedua tangan ditakupkan di atas kepala.

“Benar! Kami mengangkat Guru Besar Liang San 

menjadi pemimpin perguruan!” serentak beberapa pe-

muda di halaman depan bangunan utama membuat 

sikap seperti pemuda yang tadi berkata.

“Amitaba...!” Guru Besar Liang San takupkan kedua 

tangan di depan dada dengan kepala mengangguk. 

“Sebenarnya aku tak menginginkan semua ini. Tapi 

kalau kalian mengharapkan, aku tidak bisa menolak!”

“Amitaba.... Terima kasih, Guru Besar Liang San!”


Para pemuda hampir bersamaan buka mulut. Lalu te-

gakkan tubuh masing-masing. Kedua tangan mereka

kini ditarik dan menakup di depan dada.

“Apa kalian ada yang melihat Guru Besar Wu Wen 

She?!” tanya Guru Besar Liang San.

Para pemuda di halaman sama gelengkan kepala. 

Guru Besar Liang San tersenyum dingin. Lalu berkata 

dengan suara berat.

“Tadi malam terjadi peristiwa yang menyebabkan 

terbunuhnya Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Gu-

ru Besar Pu Yi. Lalu satu benda di ruang penyimpanan 

lenyap! Bersamaan itu Guru Besar Wu Wen She tidak 

kelihatan! Benda yang lenyap dari ruang penyimpanan 

adalah benda berharga dan salah seorang yang tahu 

rahasianya adalah Guru Besar Wu Wen She...!” Guru 

Besar Liang San hentikan sesaat ucapan sebelum ak-

hirnya melanjutkan.

“Aku tak menaruh prasangka buruk. Tapi adalah 

aneh kalau tiba-tiba Guru Besar Wu Wen She meng-

hilang! Untuk menjunjung tinggi martabat perguruan 

dan menyelesaikan urusan ini, satu-satunya jalan ada-

lah minta keterangan pada Guru Besar Wu Wen She! 

Setelah itu, aku akan mengutus beberapa orang dari 

kalian untuk mencari jejak Guru Besar Wu Wen She. 

Tapi sekali lagi ini bukanlah pernyataan kalau Guru 

Besar Wu Wen She adalah orang di balik peristiwa tadi 

malam. Ini semua kita lakukan untuk mencari kebena-

ran siapa sebenarnya dalang di balik peristiwa tadi ma-

lam!”

“Kami siap lakukan perintah, Guru Besar Liang 

San!” kata beberapa pemuda serentak.

“Bagus! Mulai saat ini perketat penjagaan. Dan un-

tuk beberapa lama aku harus meninggalkan kalian. 

Ada satu urusan yang harus kuselesaikan yang masih


ada kaitannya dengan peristiwa tadi malam! Nanti 

akan kuputuskan siapa yang akan memimpin kalian 

selama aku tidak ada! Sekarang kalian benahi seluruh 

ruangan!”

Para pemuda sama anggukkan kepala. Guru Besar 

Liang San memandang sejurus pada beberapa pemuda 

yang berbaris di halaman bangunan Utama. Saat lain 

dia melangkah menuju ruangannya.

***

Tiga hari kemudian....

Malam sudah jauh bergulir. Angin dan udara dini 

hari telah menggantikan udara malam. Satu sosok tu-

buh tampak melangkah mondar-mandir di sebuah bu-

kit yang banyak diranggasi pohon-pohon besar dan 

semak belukar rimbun. Dia adalah seorang laki-laki 

bertubuh kekar mengenakan pakaian hitam-hitam. Dia 

juga mengenakan caping lebar dan dimasukkan da-

lam-dalam ke atas kepalanya hingga di tengah gelap 

suasana, bukan hanya sosoknya yang terlihat samar-

samar, namun wajahnya sulit dikenali.

Laki-laki berpakaian hitam-hitam bercaping lebar 

ini sesekali menghela napas panjang seraya usap ba-

gian bawah wajahnya dengan telapak tangan. Saat lain 

dia angkat bagian depan caping lebarnya. Sepasang 

matanya memandang lurus ke bawah bukit.

Dari gerak-gerik dan sikap orang, jelas kalau laki-

laki berpakaian hitam-hitam dan bercaping lebar te-

ngah menunggu sesuatu, atau setidaknya tengah me-

nanti kedatangan seseorang.

“Seharusnya dia datang malam ini! Tapi mengapa 

hingga hari akan berganti pagi dia belum kelihatan ba-

tang hidungnya?!” gumam si laki-laki seraya turunkan


tangan dari bagian depan capingnya hingga matanya 

tidak kelihatan lagi. Dia kembali menghela napas da-

lam lalu melangkah perlahan-lahan di puncak bukit.

Namun baru saja kedua kakinya bergerak, dia sege-

ra balikkan tubuh. Kepalanya sedikit didongakkan. 

Sepasang matanya melirik ke bawah.

“Hem.... Akhirnya dia muncul!” desis si laki-laki ber-

pakaian hitam-hitam. Dia luruskan kepala lalu putar 

diri.

Laki-laki berpakaian hitam-hitam tidak menunggu 

lama. Bersamaan dengan putaran tubuhnya, satu 

bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu satu sosok 

tubuh telah tegak di sampingnya.

Si laki-laki berpakaian hitam-hitam berpaling pada 

sosok yang baru muncul. Perasaan lega yang sesaat 

terpancar dari nada desisan si laki-laki yang tadi bera-

da di puncak bukit mendadak sirna.

“Hem.... Tampaknya bukan dia yang datang! 

Aneh....”

“Siapa kau?!” Laki-laki berpakaian hitam-hitam ber-

caping buka mulut dengan suara meradang. Dia pa-

lingkan kembali kepalanya lurus ke depan.

“Guru Besar Liang San.... Harap dimaafkan.... Yang 

Mulia Baginda Raja Ku Nang tidak dapat menemui Gu-

ru Besar malam ini. Dia menugaskan aku untuk me-

wakilinya.... Aku adalah Wang Su Chin, salah seorang 

pengawal kerajaan....”

“Kenapa dia tidak datang?!” Laki-laki berpakaian hi-

tam-hitam dan bercaping lebar yang ternyata adalah 

Guru Besar Liang San ajukan tanya dengan suara ma-

sih keras meradang. Jelas kalau orang ini mulai di-

amuk hawa amarah.

“Ada beberapa tamu yang tidak bisa ditinggalkan.... 

Tapi dia membawa pesan untukmu....”



“Ini adalah urusan sangat rahasia! Tidak seharus-

nya Baginda Ku Nang mewakilkan pada seseorang 

meski dia adalah orang kepercayaannya! Baginda Ku 

Nang.... Tampaknya dia sudah menomor-satukan tamu 

lain setelah kotak berisi peta wasiat itu jatuh ke ta-

ngannya! Aku tak mau dibodohi!” Guru Besar Liang 

San membatin.

“Guru Besar Liang San.... Yang Mulia....”

“Cukup!” tukas Guru Besar Liang San. “Tinggalkan 

tempat ini! Katakan pada Baginda Ku Nang aku me-

nunggunya besok malam di tempat ini juga! Ingat, su-

ruh dia datang sendiri! Aku tak mau bicara dengan 

orang lain! Kau dengar?!”

Tapi....”

Lagi-lagi belum sampai orang teruskan ucapan, Gu-

ru Besar Liang San telah menukas. “Kau dengar uca-

panku. Tinggalkan tempat ini!”

Tanpa menyahut ucapan Guru Besar Liang San, 

orang yang baru muncul balikkan tubuh. Dia perde-

ngarkan gumaman tak jelas, lalu putar diri dan berke-

lebat menuruni bukit.

“Aku telah korbankan beberapa nyawa! Aku tak 

mau pengorbanan ini tidak ada hasilnya! Kalau besok 

malam dia tidak muncul, terpaksa aku akan menuju 

istana!”

Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San tekan 

caping lebarnya hingga wajahnya makin sulit dikenali. 

Saat lain dia berkelebat menerabas dinginnya pagi me-

nuruni bukit.

***


DUA


LAKI-LAKI berbaju kuning berupa pakaian khas 

orang Budha dengan kepala mengenakan caping lebar 

dan dimasukkan dalam-dalam ke kepalanya seakan 

wajahnya tidak ingin dikenali itu hentikan langkahnya 

di satu kaki bukit. Dia celingukan sebentar lalu me-

langkah lagi mendekati sebatang pohon. Saat lain laki-

laki ini telah duduk bersandar dengan tangan kanan 

diletakkan di atas capingnya hingga raut wajahnya ma-

kin tertutup sulit dikenali. Sementara tangan kirinya 

ditopangkan pada dagunya.

“Hem.... Sudah enam hari aku berada di negeri 

orang. Tapi banyak kejadian tak terduga yang kualami! 

Kalau saja tidak turuti ucapan Guru Besar Pu Yi, tentu 

aku sudah tiba di tanah kelahiranku! Namun tujuh 

hari lagi bukanlah waktu yang lama.... Mudah-muda-

han tidak terjadi apa-apa dengan Guru Besar Pu Yi. 

Hanya saja untuk sementara ini aku harus terus me-

nyamar untuk selamatkan diri dari kejaran beberapa 

prajurit kerajaan! Aku juga harus menjauh dari Per-

guruan Shaolin untuk menjaga kecurigaan orang!” La-

ki-laki di bawah pohon perhatikan dirinya dengan ke-

pala ditundukkan. “Untung aku bisa memperoleh pa-

kaian ini dari seseorang penduduk yang baik hati....” 

Dia perdengarkan tawa perlahan. Lalu kepalanya kem-

bali diangkat dan diluruskan ke depan.

“Aku heran.... Mengapa Guru Besar Pu Yi memberi-

kan kantong yang katanya berisi peta wasiat padaku?! 

Padahal dia baru saja mengenalku dan belum tahu sia-

pa aku sebenarnya! Seharusnya dia tak boleh melaku-

kan hal ini.... Dia terlalu percaya pada orang yang be-

lum dikenalnya.... Tapi.... Ah, mungkin dia telah memikirkan tindakannya dengan matang. Lagi pula me-

ngapa aku berpikir sampai ke sana? Bukankah dia ti-

dak memberikan kantong ini padaku? Dia hanya me-

nitipkan padaku untuk jangka waktu tertentu. Dan 

waktu itu tinggal tujuh hari di depan!” Si laki-laki te-

rus bergumam sendiri.

“Setelah tujuh hari di depan, aku harus segera ting-

galkan negeri ini! Dengan peristiwa di atas laut bebe-

rapa hari yang lalu, aku tidak akan aman jika terus 

berada di....” Si laki-laki bercaping putuskan guma-

mannya. “Ada seseorang berlari ke arah bukit ini!” Dia 

tengadahkan kepala agar matanya dapat melihat.

“Dari pakaiannya jelas dia bukanlah prajurit kera-

jaan. Tapi mengapa dia berlari ke arah bukit ini? Apa-

kah dia salah seorang.... Ah. Siapa pun dia adanya 

yang jelas aku tak akan membuat urusan!”

Si laki-laki di bawah pohon tundukkan kepala hing-

ga wajahnya seakan tenggelam di dalam caping lebar-

nya. Namun baru saja kepala si laki-laki bercaping 

bergerak menunduk, tahu-tahu orang yang tadi di-

lihatnya berlari dari arah depan sana, mendadak su-

dah tegak hanya berjarak tujuh langkah!

“Heran...,” gumam si laki-laki bercaping di bawah 

pohon. Walau kepala orang ini menunduk dan tidak 

melihat orang, namun tampaknya dia bisa merasakan 

kehadiran orang yang tidak jauh dari tempatnya du-

duk. “Dia tadi masih berada jauh di sana.... Tapi tahu-

tahu dia sudah tidak jauh lagi dari tempatku! Melihat 

dia tidak lanjutkan larinya, pasti dia punya kepenti-

ngan denganku! Tapi bagaimana dia tahu kalau 

aku....”

Belum selesai si laki-laki bercaping teruskan kata 

hatinya, terdengar orang berdehem beberapa kali. Na-

mun laki-laki bercaping coba bertahan untuk tidak


angkat kepala meski dia tahu kalau suara deheman 

orang memberi petunjuk akan kehadirannya.

“Selamat jumpa lagi, Sahabat jauh....”

Laki-laki bercaping tersentak. “Telingaku pernah 

dengar suaranya!” katanya dalam hati namun dia be-

lum juga angkat kepala untuk dapat melihat siapa 

adanya orang yang baru saja perdengarkan suara.

“Dua hari aku mencarimu.... Tak tahunya kau be-

rada di sini! Kuharap keadaanmu baik-baik saja....”

“Betul! Aku pernah dengan suaranya! Dan seper-

tinya dia telah mengenaliku meski aku yakin dia tidak 

bisa melihat wajahku!” Laki-laki bercaping di bawah 

pohon terus bergumam lalu perlahan-lahan angkat ke-

palanya tengadah. Dari balik capingnya yang lebar, dia 

melirik ke depan.

Di depan sana, terlihat seorang laki-laki berusia 

lanjut berwajah bulat bermata sipit. Rambutnya pan-

jang dikelabang dan dilingkarkan melilit pada batang 

lehernya. Pada daun telinga sebelah kiri tampak meng-

gantung sebuah anting-anting besar. Kakek ini menge-

nakan sebuah jubah tanpa leher berwarna putih.

Laki-laki bercaping di bawah pohon terus arahkan 

matanya ke bagian bawah wajah orang. Ternyata ka-

kek di depan sana hanya memiliki tangan sebelah kiri 

dan juga kaki sebelah kiri!

“Kakek yang pernah bertemu denganku saat aku 

baru saja mengubur mayat Yang Kui Tan!” desis laki-

laki bercaping. “Menurut Guru Besar Pu Yi, kakek ini 

bergelar Tiyang Pengembara Agung.... Seorang tokoh 

berilmu tinggi dan juga memiliki kepandaian sangat 

langka! Hem.... Dengan penyamaran ini, dia masih bisa 

tepat menebak, padahal kepalaku sempat kutunduk-

kan!”

Tiyang Pengembara Agung!” kata laki-laki bercaping


lebar seraya bergerak bangkit lalu menjura hormat.

“Hem.... Rupanya kau sudah tambah pengetahuan 

meski selama ini kau baru bertemu beberapa orang!” 

kata si kakek bertangan dan berkaki satu yang tidak 

lain memang seorang tokoh daratan Himalaya yang di-

kenal kalangan persilatan dengan gelar Tiyang Pe-

ngembara Agung.

“Kau mencariku.... Tanpa aku bertanya tentu kau 

akan mau menjelaskan!” kata laki-laki bercaping lebar 

seraya tersenyum. Dia teringat akan pertemuannya de-

ngan si kakek di dekat pesisir beberapa hari berselang. 

Saat itu baik si kakek maupun si laki-laki bercaping 

saling tawar menawar untuk jawab pertanyaan satu 

sama lain. Namun karena tak ada yang mau mengalah, 

akhirnya keduanya gagal mengadakan pembicaraan. 

Hanya saja sebelum si kakek pergi, orang tua itu sem-

pat perdengarkan sebuah syair. Dilihat dari sini, jelas 

membuktikan kalau laki-laki bercaping tidak bukan 

adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. 

(Lebih jelasnya tentang pertemuan Joko dengan Tiyang 

Pengembara Agung silakan baca serial Joko Sableng 

dalam episode : “Wasiat Agung Dari Tibet”).

Tiyang Pengembara Agung membuat gerakan satu 

kali. Tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga langkah di 

depan murid Pendeta Sinting yang saat itu memang 

tengah menyamar dengan mengenakan pakaian mirip 

seorang Budha dan mengenakan caping lebar.

“Anak muda.... Satu peristiwa besar telah terjadi....”

Dada Joko berdebar. Tanpa sadar dia melompat ke 

depan lalu buka mulut.

“Harap kakek mau jelaskan peristiwa besar apa 

yang telah terjadi!”

“Kau telah bertemu orang yang selama ini kau ca-

ri?!” Tiyang Pengembara Agung bertanya.


Karena telah tahu dari Guru Besar Pu Yi siapa se-

benarnya Tiyang Pengembara Agung, tanpa ragu-ragu 

lagi murid Pendeta Sinting anggukkan kepala seraya 

berkata.

“Aku memang telah bertemu dengan orang yang ku-

cari! Apakah peristiwa besar yang kau katakan masih 

ada hubungannya dengan orang itu?!” Joko balik ber-

tanya dengan dada makin berdebar.

Tiyang Pengembara Agung tidak segera menjawab. 

Dia putar kepala sebelum akhirnya buka mulut. “Sebe-

lum pertanyaanmu kujawab, harap kau mau jawab du-

lu pertanyaanku. Kau masih memegang amanat itu?!”

“Hem.... Yang dimaksud tentu kantong ini!” kata 

murid Pendeta Sinting dalam hati. Karena tidak lagi 

merasa curiga pada Tiyang Pengembara Agung, tanpa 

ragu-ragu Joko kembali anggukkan kepala tanpa ang-

kat suara.

Meski tidak melihat orang, tapi Tiyang Pengembara 

Agung dapat merasakan gerakan isyarat kepala Joko. 

Hingga saat lain dia anggukkan kepala dengan meng-

hela napas panjang dan berujar.

“Syukur.... Berarti mereka belum bisa laksanakan 

niatnya! Tapi keselamatanmu makin terancam!”

“Aku belum mengerti maksud ucapanmu, Kek!”

“Anak muda.... Tiga malam yang lalu, telah terjadi 

peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin! Sahabat baik

ku Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu 

Yi tewas dalam peristiwa itu! Lalu sebuah kotak lenyap 

dari ruang penyimpanan!”

Pendekar 131 terlengak. Paras wajahnya langsung 

berubah tegang. “Siapa yang melakukannya?!”

“Sekarang tengah dalam penyelidikan! Namun dari 

caranya, jelas peristiwa ini melibatkan orang dalam 

meski yang banyak berperan adalah orang luar!”


Tiyang Pengembara Agung putar lagi kepalanya meng-

hadap Joko. Lalu lanjutkan ucapannya. “Guru besar 

Wu Wen She menghilang. Kini Perguruan Shaolin dipe-

gang oleh Guru Besar Liang San!”

“Apakah kau menduga lenyapnya Guru Besar Wu 

Wen She karena dia terlibat dalam peristiwa berdarah 

itu?!”

“Aku hanya mengenal baik Guru Besar Pu Yi dan 

Maha Guru Besar Su Beng Siok. Namun aku tidak be-

rani menduga keterlibatan Guru Besar Wu Wen She 

meski kini semua orang telah menduga bahwa Guru 

Besar Wu Wen She adalah orang di balik peristiwa itu!”

“Mengapa kau tidak berani menduganya? Bukan-

kah tindakannya itu telah menunjukkan kalau Guru 

Besar Wu Wen She terlibat? Jika tidak, mengapa dia 

harus melenyapkan diri?!”

Tiyang Pengembara Agung gelengkan kepala. “Tidak 

semudah itu menduga orang, Anak Muda.... Dalam 

pandangan dan teori, tindakan Guru Besar Wu Wen 

She memang mengarah pada dugaan yang kini telah 

meluas. Tapi kita juga harus memandangnya dari sisi 

lain!”

“Maksudmu...?!”

“Mungkin saja kepergiannya karena dia merasa ti-

dak mampu melawan dan tahu banyak di balik apa 

yang telah terjadi!”

“Sebagai salah seorang pemimpin, seharusnya dia 

tidak meloloskan diri demi keselamatan pribadi!” ujar 

Pendekar 131.

“Seharusnya memang demikian! Tapi kita pun ha-

rus berpikir panjang. Kalau keselamatannya demi un-

tuk membuka siapa sebenarnya dalang di balik peris-

tiwa berdarah itu dan demi untuk menyusun kekuatan 

baru, kurasa apa yang dilakukan Guru Besar Wu Wen


She bisa kita terima.... Meski dia sekarang harus 

membangun kepercayaan orang!”

“Baiklah kalau begitu. Sekarang kau dapat men-

duga siapa orang luar yang terlibat dan berperan ba-

nyak dalam peristiwa berdarah itu?!” kata Joko.

“Itu pun masih sulit diduga! Karena harus kau keta-

hui, apa yang lenyap dari ruang penyimpanan adalah 

benda yang sejak bertahun-tahun lamanya jadi inca-

ran kalangan Bu Lim...!”

“Bu Lim.... Apa itu?!”

Tiyang Pengembara Agung tertawa. “Bu Lim adalah 

istilah negeri ini untuk kalangan orang persilatan!”

Joko ikut tertawa. Tiyang Pengembara Agung ker-

nyitkan dahi. “Apa yang lucu, Anak Muda?!”

“Di kampung halamanku, kalau ada orang menye-

but Bu Lim pasti artinya dia adalah istrinya Pak Lim!”

“Hem.... Ucapanmu membuatku ingat jika kau ada-

lah orang asing di sini. Lebih dari itu kau belum per-

kenalkan diri padaku! Sekarang kau tak merasa kebe-

ratan bukan untuk mengatakannya padaku?!” kata 

Tiyang Pengembara Agung.

“Aku berasal dari tanah Jawa bagian timur. Nama-

ku Joko Sableng....”

“Kau tentu punya seorang guru berilmu tinggi! Sia-

pa dia?!”

“Guruku bergelar Pendeta Sinting dari Jurang Tla-

tah Perak!”

Tiyang Pengembara Agung picingkan matanya yang 

sipit. “Selain memiliki guru berilmu tinggi, tampaknya 

kau juga membekal senjata sakti.... Kau harus hati-

hati membawa senjata saktimu itu, Anak Muda! Kau 

tahu.... Kalangan Bu Lim di negeri ini selalu tergila-gila 

dengan benda mustika!”

“Hem.... Dia bisa melihat pedang di balik pakaian


ku!” kata Joko dalam hati. Lalu berujar. “Terima kasih 

atas nasihatmu, Kek!”

“Lain daripada itu, kau sekarang harus lebih was-

pada lagi. Kau kini membawa amanat besar! Kau telah 

bertemu dengan Guru Besar Pu Yi, jadi aku tak perlu 

menjelaskan lagi!”

“Tapi aku minta petunjukmu, Kek. Apa yang harus 

kulakukan sekarang?! Guru Besar Pu Yi menitipkan 

amanat ini padaku. Sekarang Guru Besar Pu Yi telah 

tiada. Kepada siapa amanat ini harus kuberikan? Saat 

bertemu dengan Guru Besar Pu Yi, dia tidak mengata-

kan kepada siapa amanat ini harus kuberikan!”

“Karena amanat itu diberikan padamu dan Guru 

Besar Pu Yi tidak mengatakan kepada siapa lagi ama-

nat itu harus diberikan, berarti kaulah yang harus 

mengemban amanat itu!”

“Jadi...?!”

“Mungkin takdir sudah menuliskan meski kau o-

rang dari negeri jauh, namun kau harus mengemban 

amanat di negeri ini dan menyelesaikannya sampai 

tuntas!”

“Kek! Demi rimba persilatan, sebenarnya aku tidak 

keberatan untuk melakukan amanat ini! Tapi bukan-

kah di negeri ini masih banyak orang berilmu tinggi 

dan salah satunya adalah kau sendiri? Bukankah lebih 

baik kau yang melakukannya?! Apalagi kau telah me-

ngenal benar negeri ini dan orang-orang yang terlibat

di dalamnya?”

Tiyang Pengembara Agung gelengkan kepala. “Tak-

dir telah ditulis, Anak Muda.... Siapa pun tak bisa me-

rubahnya!”

“Tapi sampai di mana amanat ini harus selesai?!”

“Sampai misteri di dalamnya terbuka dan semua o-

rang sadar jika mereka tidak ditakdirkan untuk melakukan amanat itu! Sekaligus mereka harus maklum 

jika mereka tidak akan mendapat apa-apa meski me-

reka rela korbankan nyawa untuk mendapatkannya!”

“Hem.... Ini isyarat jika aku masih harus lama di 

negeri ini!” Joko membatin. Lalu setelah agak lama 

berpikir, dia angkat suara.

“Lalu apa pertama-tama yang harus kulakukan?!”

“Kau harus mendapatkan kembali benda yang le-

nyap dari ruang penyimpanan di Perguruan Shaolin! 

Karena dengan bersatunya kembali benda itu dengan 

apa yang ada padamu, baru pergolakan di negeri ini 

bisa tenang! Jika tidak, gelombang itu akan makin 

menggila dan akan banyak jatuh korban!”

Tengkuk murid Pendeta Sinting menjadi dingin de-

mi mendengar keterangan Tiyang Pengembara Agung. 

Dengan suara agak bergetar dia berucap.

“Kek.... Dalam perjalananku menuju negeri ini, di 

tengah laut aku telah dihadang beberapa prajurit kera-

jaan. Demikian juga pada beberapa malam yang lalu.... 

Apakah ini satu bukti jika pihak kerajaan juga meng-

inginkan benda yang ada padaku? Dan apakah tidak 

mungkin peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin di-

dalangi juga oleh pihak kerajaan?!”

“Itu satu hal yang tidak harus kau tanyakan pada-

ku! Tapi sebaliknya harus segera kau selidiki! Karena 

secara tidak langsung kau telah terlibat di dalamnya!”

“Tapi akan lebih enak bagiku jika mendapat sedikit 

keterangan darimu, karena aku masih asing dengan 

negeri ini!”

“Tidak, Anak Muda.... Tahu dengan pengalaman 

sendiri akan lebih baik daripada tahu dengan ketera-

ngan dari mulut orang! Aku harus segera pergi....”

Suara Tiyang Pengembara Agung belum selesai, o-

rang tua bertangan dan berkaki satu itu telah membuat satu gerakan. Sosoknya melesat dan tahu-tahu 

sudah berada jauh di depan sana. Saat orang tua ini 

membuat gerakan lagi, sosoknya telah lenyap.

“Akar urusan ini dari Perguruan Shaolin. Sementara 

orang yang mencurigakan adalah Guru Besar Wu Wen 

She. Jalan satu-satunya sekarang adalah menemukan 

orang itu! Tapi.... Aku belum pernah bertemu dengan 

orangnya! Bagaimana aku bisa mencarinya?!” Murid 

Pendeta Sinting kebingungan. Saat itulah terlintas 

bayangan seorang gadis cantik di pelupuk matanya.

“Mei Hua.... Ah.... Benar! Aku harus mencarinya! 

Siapa tahu dia mengenali Guru Besar Wu Wen She! 

Pada beberapa hari yang lalu dia telah memberi kete-

rangan dan ternyata keterangannya benar! Mungkin 

dia bisa membantuku lagi.... Kalaupun tidak bisa, se-

tidaknya aku punya teman untuk bicara. Apalagi dia 

seorang gadis berwajah jelita!” Joko tersenyum lalu dia 

berkelebat begitu saja tanpa arah tujuan meski mak-

sud sebenarnya adalah mencari Mei Hua. (Tentang per-

temuan Joko dengan Mei Hua silakan baca serial Joko 

Sableng dalam episode: “Wasiat Agung Dari Tibet”).

***

TIGA



MALAM telah turun ketika satu bayangan hitam 

berkelebat laksana kesetanan menuju ke satu bukit. 

Dalam beberapa saat si bayangan hitam telah mendaki 

dan tahu-tahu telah tegak di puncak bukit dengan ke-

pala lurus ke bawah dan mata terpentang besar mem-

perhatikan ke rimbun pepohonan di bawah sana yang 

makin menambah pekatnya suasana.

“Kalau malam ini dia tidak muncul, terpaksa aku 

akan mendatangi ke tempatnya! Aku telah melewati 

bahaya besar dengan taruhan nyawa! Aku tak akan 

tinggal diam kalau dia berani coba-coba mengelabui-

ku!” Orang di atas puncak bukit mendesis. Dia adalah 

seorang laki-laki berkepala gundul mengenakan pa-

kaian hitam-hitam. Raut wajahnya agak tirus. Kumis-

nya tipis dengan jenggot jarang dan agak panjang. Se-

pasang matanya besar. Dia bukan lain adalah Guru 

Besar Liang San.

Seperti diketahui, Guru Besar Liang San berse-

kongkol dengan Yang Mulia Baginda Ku Nang pengua-

sa kerajaan saat ini. Dengan bantuan Baginda Ku 

Nang akhirnya kotak berisi peta wasiat lenyap dari 

ruang penyimpanan di Perguruan Shaolin. Namun se-

telah tiga hari berlalu dari peristiwa berdarah di Per-

guruan Shaolin, Baginda Ku Nang tidak muncul di 

tempat yang telah disepakati. Malah sang Baginda 

mengutus seseorang sebagai wakilnya untuk menemui 

Guru Besar Liang San. Tapi Guru Besar Liang San ti-

dak mau bicara dengan utusan Baginda Ku Nang. Dia 

berpesan pada si utusan agar Baginda Ku Nang me-

nemuinya sendiri pada malam berikutnya di tempat 

yang sama.

Beberapa saat berlalu. Guru Besar Liang San masih

coba menahan diri untuk menunggu meski dengan da-

da mulai geram karena orang yang ditunggu belum ju-

ga menunjukkan tanda-tanda akan muncul.

“Tampaknya dia tidak akan hadir malam ini! Dia pi-

kir aku akan berdiam diri dengan tindakannya!” Guru 

Besar Liang San kembali bergumam dengan seringai 

dingin. “Dia tak tahu.... Kalau dia coba-coba mengeta-

huiku, berarti baik aku ataupun dia tidak akan men-

dapatkan peta wasiat itu! Apalagi separo peta wasiat


itu masih harus dicari!”

Guru Besar Liang San dongakkan kepala. “Kalau 

aku berhasil dengan baik merencanakan peristiwa di 

Perguruan Shaolin, apa dia pikir aku tak dapat mene-

robos penjagaan istana?!” Guru Besar Liang San terta-

wa pendek. Saat lain dia putar tubuh. Dia telah memu-

tuskan untuk meninggalkan puncak bukit.

Tapi belum sampai Guru Besar Liang San lakukan 

niat, sepasang matanya menangkap gerakan satu 

bayangan hitam yang berkelebat di kaki bukit.

“Hem.... Ada orang menuju kemari! Kalau yang 

muncul adalah selain orang yang kutunggu, berarti 

orang itu bernasib jelek! Dia tak akan turun bukit lagi 

dengan nyawa masih utuh!” Guru Besar Liang San 

kembali balikkan tubuh. Kepalanya ditengadahkan la-

gi. Dia menunggu dengan kedua tangan telah dialiri 

tenaga dalam!

“Harap kau mengerti akan keterlambatan...!” Men-

dadak satu suara terdengar dari arah belakang Guru 

Besar Liang San.

“Hem.... Rupanya dia sendiri yang muncul!” kata 

Guru Besar Liang San dalam hati lalu balikkan tubuh 

dengan kedua tangan menakup di depan dada dan ke-

pala mengangguk.

“Amitaba.... Aku gembira melihat kau sendiri yang 

hadir, Yang Mulia Baginda Ku Nang....” Guru Besar 

Liang San angkat bicara. Sepasang matanya melirik ta-

jam pada orang di hadapannya.

Dia adalah seorang laki-laki berusia lima puluh ta-

hunan. Kumisnya lebat, jenggotnya lebat, dan panjang. 

Kedua alis matanya mencuat ke atas. Sepasang mata-

nya tajam. Rambutnya yang putih panjang digeraikan 

di bagian samping. Bagian belakangnya dikuncir agak 

tinggi. Dialah orang yang kini menduduki takhta kerajaan di daerah Himalaya. Dia dahulu hanya seorang 

pemimpin perguruan silat. Namun karena ambisinya 

besar ditambah dengan kepandaiannya mempengaruhi 

orang, lambat laun dia hampir bisa menguasai seluruh 

perguruan silat yang ada di daratan Tibet. Kesempatan 

itu tidak disia-siakan. Dengan caranya sendiri dia ber-

hasil menghasut beberapa pembesar kerajaan yang 

saat itu berkuasa di daratan Tibet. Lalu menggandeng 

beberapa tokoh aliran sesat.

Pada satu saat yang dirasa tepat, Ku Nang bergerak 

dan akhirnya bisa menggulingkan raja yang saat itu 

memerintah. Mungkin karena tak mau di kelak kemu-

dian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Ku 

Nang sengaja tidak menyisakan satu pun dari kerabat 

raja yang digulingkan.

Begitu berhasil memegang tampuk kekuasaan, Ku 

Nang tidak segan-segan menyingkirkan orang yang di-

duga akan menjadi duri penghalang. Namun sejauh ini 

dia coba menghindarkan diri dari perselisihan dengan 

perguruan silat. Tampaknya dia sadar, meski di bela-

kangnya ada beberapa pesilat tangguh, namun sebuah 

perguruan silat akan menjadi petaka bagi kekua-

saannya jika dia coba-coba membuat urusan.

Namun begitu, Ku Nang bukanlah orang bodoh. Dia 

sengaja memasang beberapa orangnya di setiap pergu-

ruan silat. Atau bahkan dia sengaja mendekati para 

pemimpin perguruan silat. Dengan begitu selain ke-

kuasaannya aman, dia tahu apa yang tengah terjadi di 

dalam satu perguruan.

Sejak masih menjadi pemimpin sebuah perguruan 

silat, Ku Nang telah mendengar jika Perguruan Shaolin 

menyimpan sebuah peta rahasia. Dan begitu dia ber-

hasil naik takhta, dia tidak buang kesempatan. Dia 

mendekati salah satu pemimpin Perguruan Shaolin.

Karena yang dirasa dapat didekati adalah Guru Besar 

Liang San, maka dia pun segera mengadakan pendeka-

tan. Dugaan Baginda Ku Nang tampaknya tidak me-

leset. Guru Besar Liang San menerima uluran tangan 

Baginda Ku Nang. Hingga untuk beberapa lama di an-

tara kedua orang ini terjalin persahabatan.

Perlahan-lahan Baginda Ku Nang mengutarakan 

maksudnya. Tampaknya Guru Besar Liang San me-

nyambut baik maksud Baginda Ku Nang karena dia 

sendiri ternyata menginginkan peta wasiat itu. Apalagi 

dia tahu jika peta wasiat itu tidak akan jatuh ke ta-

ngannya karena Maha Guru Besar Su Beng Siok lebih 

cenderung dan sangat dekat dengan Guru Besar Pu Yi 

yang juga adalah kakak seperguruannya.

“Guru Besar Liang San...,” kata Baginda Ku Nang 

setelah agak lama terdiam. “Kuharap kau mengerti me-

ngapa aku tidak bisa menepati janji pada malam ke-

marin. Ada beberapa sahabat datang. Aku tak bisa 

meninggalkan mereka! Lagi pula aku harus bisa men-

jelaskan peristiwa yang terjadi di Perguruan Shaolin 

meski sebenarnya itu bukanlah urusan kerajaan. Na-

mun kalau mereka tahu dariku soal duduk permasa-

lahannya, kurasa posisimu akan lebih aman!”

“Amitaba.... Tapi apakah kau juga menceritakan 

tentang lenyapnya kotak berisi peta wasiat itu?!” Tanya 

Guru Besar Liang San.

“Itu harus kuceritakan! Dengan begitu mereka akan 

penasaran dan pasti mencari-cari Guru Besar Wu Wen 

She!”

“Dari mana kau tahu Wu Wen She lolos?!”

Baginda Ku Nang tertawa pendek. “Itu bukan uru-

san yang sulit bagiku! Dan tentunya kau setuju de-

ngan langkah yang kutempuh! Karena dengan begitu 

namamu jadi bersih dan kau tak perlu memusingkan


urusan Guru Besar Wu Wen She! Dia kini telah men-

jadi orang buruan. Bukan saja dari pihak kerajaan na-

mun juga bagi para kalangan rimba persilatan!”

“Amitaba.... Tapi hal itu akan membuat suasana ja-

di kacau!”

“Urusan keamanan daratan Tibet ada di tanganku! 

Aku yang menciptakan suasana itu, tentu aku bisa 

mengendalikannya! Dan sementara kalangan rimba 

persilatan berburu, kita akan teruskan langkah yang 

sudah setengah jalan ini!”

“Tapi untuk lebih amannya, harap kau serahkan 

kotak itu padaku! Aku akan menyimpannya di tempat 

aman sebelum kita menemukan pasangannya!”

Baginda Ku Nang gelengkan kepala perlahan. “Di 

tempatmu baru saja terjadi peristiwa berdarah. Itu sa-

tu bukti jika tempat itu tidak aman lagi!”

“Benar! Namun peristiwa itu kita yang merencana-

kan!”

“Kalau rencana kita berhasil, apa orang lain tak bisa 

merencanakannya?! Apalagi Perguruan Shaolin tanpa 

ditulang-punggungi Maha Guru Besar Su Beng Siok 

dan Guru Besar Pu Yi!”

“Aku masih punya kekuatan untuk menghadang se-

tiap orang yang hendak menerobos! Dan aku tak akan 

menyimpan kotak itu di tempatnya semula!”

“Bukannya aku meremehkan kekuatanmu! Tapi 

bagaimanapun juga kharisma Maha Guru Besar Su 

Beng Shiok dan Guru Besar Pu Yi masih melekat di be-

nak siapa saja! Kalau masih ada Maha Guru Besar Su 

Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi, mungkin orang akan 

berpikir tiga kali untuk datang menerobos. Kini, tanpa 

mereka berdua, mungkin mereka hanya berpikir satu 

kali!”

“Jadi...?!”


“Kau tak usah khawatir! Untuk sementara ini biar-

lah kotak itu aku yang menyimpannya! Kuharap kau 

percaya! Urusan kotak peta wasiat itu, hanya kita ber-

dua yang tahu!”

“Tapi untuk lebih adilnya, bagaimana kalau kita 

simpan kotak itu secara bersama-sama?! Maaf.... Bu-

kannya aku tidak percaya. Tapi kotak itu adalah pe-

ninggalan perguruanku! Aku harus tahu di mana letak 

penyimpanannya!”

Baginda Ku Nang terdiam beberapa lama. “Baik-

lah.... Besok malam kita bertemu lagi di kaki bukit ini! 

Dan agar kau tidak bimbang, aku menurut saja di ma-

na akan kau simpan kotak itu!”

“Amitaba.... Terima kasih atas pengertianmu! Seka-

rang harap kau jelaskan bagaimana pengejaran terha-

dap orang asing yang kau katakan sebagai orang yang 

telah menolong dan menyembunyikan Yang Kui Tan!”

“Sampai saat ini belum ada kabar beritanya! Orang 

asing itu seakan lenyap!”

“Jangan-jangan dia sudah meninggalkan negeri ini!”

Baginda Ku Nang gelengkan kepala. “Seluruh perba-

tasan baik darat maupun laut telah dijaga ketat! Tak 

mungkin seseorang bisa lolos keluar dari negeri ini!”

“Bisa diketahui siapa nama orang itu dan dari mana 

asalnya?!”

“Belum bisa diketahui siapa nama orang asing itu! 

Namun dari arah datangnya, mungkin dia berasal dari 

negeri di sebelah selatan daratan Tibet! Dia seorang 

pemuda berparas tampan. Tubuhnya sedang. Namun 

melihat dia berhasil lolos dari hadangan Panglima Mu-

da Lie dan beberapa pengawal kerajaan, pasti dia 

membekal ilmu tinggi! Dan kalau benar dia bersahabat 

dengan Yang Kui Tan, cepat atau lambat dia akan 

muncul di tempatmu!”


Kali ini kepala Guru Besar Liang San menggeleng. 

“Peristiwa di perguruan telah tersebar luas. Kalau sam-

pai hari ini dia tidak muncul, kecil kemungkinan dia 

akan datang ke tempatku! Apalagi jika telah men-

dengar kalau Guru Besar Pu Yi telah mampus!”

“Hem.... Lalu menurutmu, apa sebaiknya yang ha-

rus kita lakukan?!” tanya Baginda Ku Nang.

“Tak ada jalan lain. Kita harus kerahkan orang se-

banyak mungkin untuk mendapatkannya! Tapi mereka 

hanya perlu menangkap tanpa harus membunuhnya! 

Karena keterangan dari mulutnyalah yang kita perlu-

kan! Karena urusan ini sangat penting, aku juga akan 

turun tangan sendiri!”

“Ah.... Terima kasih kalau kau punya gagasan begi-

tu! Tapi harap kau mau memaklumi kalau aku tidak 

dapat membantumu!”

“Amitaba.... Aku tahu, Baginda! Lagi pula urusan 

ini sangat berbahaya kalau kau ikut turun tangan 

sendiri! Kita sedapat mungkin harus hindarkan diri 

dari dugaan orang kalau pihak kerajaan ikut campur 

urusan perguruan silat! Apalagi ini masih ada hubu-

ngannya dengan peta wasiat yang telah berpuluh-

puluh tahun jadi incaran orang!”

“Sekali lagi kuucapkan terima kasih. Kita harus se-

gera berpisah. Besok malam kita bertemu lagi di kaki 

bukit! Kuharap kau telah mendapatkan tempat yang 

aman untuk menyimpan kotak itu!”

Guru Besar Liang San menjura. Baginda Ku Nang 

anggukkan kepala lalu balikkan tubuh dan berkelebat 

menuruni bukit. Tak berselang lama, Guru Besar Liang 

San ikut berkelebat dan berlari menuruni bukit. Di ka-

ki bukit, Baginda Ku Nang terus berlari ke arah barat, 

sementara Guru Besar Liang San ke arah timur.


****


EMPAT


PADA awalnya Joko memang kebingungan untuk 

menemukan arah di mana dia dapat menemukan Mei 

Hua. Namun begitu teringat di mana dia bertemu per-

tama kali, murid Pendeta Sinting segera berkelebat ke 

tempat di mana dia pernah berjumpa dengan Mei Hua. 

Namun Pendekar 131 lebih waspada. Selain dia telah 

tahu benda apa yang kini berada di tangannya, dia ju-

ga tahu tempat di mana dia pernah bertemu dengan 

Mei Hua bukanlah tempat yang aman. Karena di tem-

pat itu Joko sempat dihadang beberapa prajurit.

Begitu memasuki kawasan luas yang hanya ditum-

buhi bunga-bunga dan ilalang, Joko hentikan larinya. 

Caping lebarnya diangkat sedikit ke atas. Dia meman-

dang berkeliling.

“Meski saat itu malam hari, namun aku yakin di 

tempat inilah aku berjumpa dengan gadis cantik itu! 

Tapi mana dia?!” Murid Pendeta Sinting kembali putar 

pandangan. Namun hingga beberapa lama, dia tidak 

melihat siapa-siapa!

“Mengapa aku jadi begini bodoh?! Satu purnama 

pun aku mencari di sini, gadis itu tak mungkin kute-

mukan! Di sini tidak ada tempat yang didiami pendu-

duk! Yang ada hanya bunga-bunga dan ilalang! Saat 

itu pasti dia tengah kebetulan berada di sini! Hem.... 

Ke mana aku harus mencarinya?!” Joko menggumam 

seraya arahkan pandang matanya ke arah barat.

“Perguruan Shaolin tidak jauh dari sini. Apa sebaik-

nya aku menyelidik ke sana?! Tapi dengan peristiwa 

berdarah itu, tentu keadaan di sana masih sangat ke


tat! Setiap orang yang datang apalagi secara diam-diam 

pasti akan mendapat tuduhan buruk! Belum lagi jika 

melihat orang asing sepertiku! Ah.... Untuk sementara 

ini aku memang harus menjauhi Perguruan Shaolin! 

Tapi ke mana sekarang aku harus pergi?! Aku butuh 

seseorang yang....”

“Kau mencari seseorang?!” Mendadak Joko dike-

jutkan dengan satu suara.

“Hem.... Suara perempuan! Tapi rasanya bukan su-

ara gadis cantik itu! Mudah-mudahan perempuan yang 

ini tak kalah cantiknya dengan gadis yang tengah ku-

cari! Lebih-lebih bisa membantuku...,” kata Joko da-

lam hati seraya mengatasi rasa kejutnya. Namun dia 

tidak segera putar diri menghadap ke arah sumber su-

ara yang tiba-tiba terdengar. Joko tetap tegak tak 

membuat gerakan. Kalaupun dia bergerak, itu adalah 

tangan kanannya yang menekan caping lebarnya hing-

ga masuk dalam-dalam pada kepalanya hingga raut 

wajahnya makin sulit dikenali. Saat lain dia buka sua-

ra menjawab.

“Aku memang tengah mencari dan menunggu sese-

orang! Bahkan hampir saja aku putus asa dan hendak 

pergi! Namun syukur kau telah datang!”

Dari tempat suara perempuan yang tadi terdengar, 

dua bayangan berkelebat. Lalu terlihat dua sosok tu-

buh tegak sepuluh langkah di belakang murid Pendeta 

Sinting. Untuk beberapa saat kedua orang yang baru 

muncul saling palingkan kepala ke arah tegaknya ma-

sing-masing orang. Mereka berpandangan sesaat. Jelas 

paras wajah mereka membayangkan keheranan.

Orang di sebelah kanan adalah seorang perempuan 

berusia lanjut berambut putih. Sepasang matanya sipit 

tanpa ditingkahi kedua alis mata di atasnya. Dia me-

ngenakan pakaian panjang warna hitam. Di pundak


nya tampak selendang panjang warna hitam yang di 

sampirkan hingga menjulai hampir menyapu tanah.

Di sebelah si nenek, tegak seorang gadis berparas 

jelita. Rambutnya yang hitam lebat dibiarkan bergerai 

sampai punggung. Sepasang matanya bulat. Kulitnya 

putih. Gadis cantik ini mengenakan pakaian warna 

kuning agak tipis. Pada bagian dadanya dibuat rendah 

dan diberi renda-renda. Hingga busungan dadanya 

yang mencuat tampak semakin menggoda. Pinggulnya 

besar ditingkah dengan pakaian bawah yang sengaja 

diberi belahan pada kedua sisinya. Hingga gadis ini te-

gak dengan kaki sedikit direnggangkan, maka tampak 

jelas pahanya yang padat dan mulus. Di pinggangnya 

yang ramping melingkar sebuah ikat pinggang dari 

kain yang juga berwarna kuning. Tepat di bagian sisi 

kiri pinggang terlihat satu pedang pendek bergagang 

batu berwarna kuning pula.

Si gadis sorongkan kepala ke arah si nenek lalu 

berbisik.

“Guru.... Apakah dia yang hendak kau temui?!”

Si nenek luruskan kepala menatap punggung Joko. 

“Dari sikap dan suaranya, meski aku belum tahu wa-

jahnya aku bisa memastikan bukan dia orang yang ki-

ta cari dan sepakat untuk bertemu di sini!”

“Tapi mengapa dia yang muncul? Dan dari ucapan-

nya tadi jelas dia menunggu kita! Jangan-jangan orang 

yang hendak kau temui tidak bisa hadir dan dia me-

wakilkan pada orang itu!”

Si nenek menyeringai. “Kalau itu yang dilakukan, 

berarti Wang Cen membuat satu kesalahan besar! Na-

ma gelaran si Bayangan Tanpa Wajah yang disandang-

nya hanya besar di suara tapi kosong dalam Kenya-

taan! Terbukti dia tidak berani datang sendiri meng-

hadapiku! Tapi mewakilkan pada manusia kecil tak


berguna! Aku akan memberi peringatan pada Wang 

Cen agar tidak meremehkan orang!”

Habis berbisik begitu, si nenek maju dua langkah. 

“Mengapa Wang Cen tidak datang sendiri menemuiku?! 

Mengapa dia memberiku undangan untuk bertemu di 

sini kalau dia takut datang, hah?!” Si nenek perde-

ngarkan bentakan garang.

Ucapan si nenek membuat Pendekar 131 terlengak 

kaget. Kali ini dia tak dapat lagi sembunyikan rasa ke-

jutnya. Namun dia masih coba menahan diri untuk ti-

dak segera berbalik menghadap orang. Hanya saja dia 

tahu, jika orang di belakangnya bukan satu orang! Dia 

tadi mendengar suara bisik-bisik namun dia tak bisa 

jelas menangkap apa yang dibicarakan orang.

“Busyet! Dari ucapannya jelas kalau mereka sudah 

sepakat untuk bertemu di sini dengan seseorang! Dan 

ucapanku tadi tentu mereka artikan akulah orang 

yang hendak menemuinya! Sial betul.... Padahal aku 

tadi cuma bercanda!” Joko membatin seraya lebih te-

kankan caping di atas kepalanya.

“Kau dengar ucapanku! Kau jawab atau tidak, sama 

saja nasib yang akan kau terima!”

“Gawat! Aku harus segera mencari dalih sambil me-

nunggu orang yang sebenarnya hendak ditemuinya 

muncul di sini!” gumam murid Pendeta Sinting lalu 

perlahan-lahan dia putar diri.

Si nenek dan si gadis sama pentangkan mata. Na-

mun karena caping di kepala Joko masuk terlalu da-

lam, kedua orang di hadapannya tidak bisa mengenali 

paras wajah orang. Hal ini membuat dada si nenek 

makin bergolak dibuncah rasa marah.

Pendekar 131 angkat kedua tangannya ditakupkan 

di depan dada. Seraya bungkukkan sedikit tubuhnya

dia berkata.


“Amitaba.... Harap dimaafkan.... Aku tadi menduga 

kalian orang yang tengah kutunggu! Tapi ternyata ka-

lian bukanlah orang yang saat ini kutunggu! Sekali lagi 

harap maafkan kekeliruanku....”

Sebenarnya Joko ingin melihat paras kedua orang 

di hadapannya. Namun karena dia tak ingin wajahnya 

diketahui orang, terpaksa Joko berkata dengan tanpa 

angkat caping lebarnya hingga dia sendiri tidak bisa 

melihat tampang kedua orang di hadapannya. Hanya 

saja Joko bisa menduga-duga berapa kira-kira usia 

orang yang tadi angkat suara membentak. Hal ini pula-

lah yang membuatnya enggan untuk angkat caping le-

barnya karena dia sudah bisa mengira kalau perem-

puan di hadapannya tidak muda lagi!

Sementara itu, mendengar ucapan murid Pendeta 

Sinting, gadis berparas jelita bertubuh montok di ha-

dapannya berpaling ke arah si nenek yang dari panggi-

lannya tadi jelas menunjukkan kalau si nenek adalah 

gurunya. Namun kali ini si nenek tidak ikut menoleh. 

Sebaliknya makin pentangkan mata seakan coba tem-

busi caping di kepala orang untuk dapat melihat wajah 

di baliknya. Saat lain tiba-tiba si nenek buka suara.

“Kalau bukan aku yang kau tunggu, siapa yang kau 

tunggu di sini?! Tak mungkin terjadi satu pertemuan 

dalam waktu dan tempat yang sama namun beda 

orang!”

“Amitaba.... Kukira kebetulan itu bisa terjadi kapan 

dan di mana saja! Dan bisa menimpa pada siapa saja! 

Buktinya kebetulan itu terjadi pada kita....”

“Tapi itu adalah hal yang mustahil! Kau pasti orang-

nya Wang Cen!” kata si nenek masih dengan suara ke-

ras.

Joko gerakkan kepala menggeleng. “Harap kalian 

percaya padaku! Apa pun yang kau katakan mustahil


terjadi, nyatanya kebetulan itu telah benar-benar ter-

jadi.... Aku menunggu seseorang di tempat ini, tapi 

bukan kalian. Aku juga bukan orangnya Wang Cen...!”

“Lalu siapa orang yang hendak kau temui?!” Kali ini 

yang angkat suara adalah gadis cantik di sebelah si 

nenek.

Dahi di balik caping lebar Pendekar 131 tampak 

mengernyit. Diam-diam murid Pendeta Sinting berkata 

dalam hati. “Suaranya merdu meski keras. Hem.... Da-

ri suaranya mungkin dia seorang gadis.... Apakah aku 

harus melihat parasnya?! Tapi untuk apa? Aku yakin 

suara itu bukan milik Mei Hua....”

“Katakan siapa orang yang kau tunggu!” Si nenek 

membentak.

“Waduh bagaimana ini? Bagaimana aku harus men-

cari nama...? Tak mungkin aku berterus terang tengah 

mencari Mei Hua!”

“Jangan buat kesabaran kami pupus!” kata si gadis 

begitu agak lama Joko belum juga mau menjawab.

Entah karena kesulitan mencari nama, akhirnya 

enak saja murid Pendeta Sinting angkat suara.

“Aku menunggu seorang bernama Hua Mei....”

“Kau sendiri siapa?!” tanya si nenek.

“Aku.... Aku Lon Tong Bu Lim....”

Si nenek dan si gadis sama kerutkan dahi dan ham-

pir bersamaan sama gerakkan kepala berpaling dan 

saling pandang satu sama lain.

“Hidup berpuluh tahun di daratan ini, baru kali ini 

aku dengar nama itu!” ujar si nenek. “Sikap orang ini 

mencurigakan! Aku makin yakin dia adalah orangnya 

Wang Cen! Apalagi dia takut dikenali!”

Rupanya Joko mendengar ucapan si nenek meski 

suara tadi sangat pelan. Maka sebelum si nenek sem-

pat angkat bicara, Joko telah buka mulut.


“Harap tidak salah duga.... Nama Lon Tong Bu Lim 

memang belum pernah kau dengar dan tak mungkin 

akan kau dengar kalau tidak bertemu denganku. Ka-

rena nama itu pemberian seseorang di daerah asalku 

yang jauh dari sini!”

“Hem.... Jadi kau orang asing?!” tanya si gadis.

“Dikatakan asing sekali tidak. Karena aku menetap 

di sini sudah hampir setengah dari usiaku! Hanya saja 

aku dilahirkan jauh dari sini! Kalau orang daerah sini 

memanggilku Han Ko! Tentu kalian pernah dengar na-

ma itu.... Nama bagus pemberian seorang sahabat!”

“Lalu mengapa kau tutupi wajah dengan caping?! 

Orang yang punya niat baik tentu tak takut tunjukkan 

tampang!” ucap si nenek.

“Ini sudah menjadi kebiasaanku.... Dan biasanya 

pula, aku baru akan tunjukkan tampang jika orang te-

lah mengatakan siapa dia sebenarnya!”

Mungkin karena ingin dan penasaran untuk segera 

melihat tampang orang, si nenek segera menyahut. 

“Aku Li Muk Cin. Namun orang lebih mengenalku de-

ngan Ratu Selendang Asmara!”

“Hem.... Gelaran bagus.... Dan orang di sebelah-

mu?!” kata Joko.

“Dia Bang Sun Giok! Tapi kalangan persilatan Hi-

malaya lebih mengenalinya dengan Dewi Bunga Asma-

ra!” Yang menjawab adalah si nenek yang tadi se-

butkan diri dengan gelar Ratu Selendang Asmara.

“Hem.... Gelar kalian membuatku jadi ingin melihat 

bagaimana paras wajah kalian! Kalau gelarannya ada 

hubungannya dengan kata asmara, tentu orangnya 

cantik....”

Seraya berkata, tangan kanan murid Pendeta Sin-

ting terangkat ke atas. Perlahan-lahan caping di kepa-

lanya diangkat. Si nenek dan si gadis sama memandang tak berkesip.

“Hem.... Dari tampangnya, jelas anak muda ini bu-

kan orang daerah sini!” kata si nenek begitu melihat 

tampang Pendekar 131.

Di lain pihak, gadis yang bergelar Dewi Bunga As-

mara diam-diam juga membatin. “Hem.... Ternyata seo-

rang pemuda berwajah tampan!”

Pendekar 131 sempat tersentak kala melihat paras 

wajah gadis di hadapannya. “Dugaanku ternyata tidak 

jauh meleset. Dia benar-benar gadis cantik jelita! Ha-

nya saja aku tidak menyangka kalau dia mengenakan 

pakaian begitu menggoda!” Tanpa sadar sepasang ma-

ta Joko terpaku pada dada dan paha Dewi Bunga As-

mara yang tampak jelas busungan dan kemulusannya.

Mendapati pandangan orang, Dewi Bunga Asmara 

tersenyum seraya busungkan dadanya dan lebarkan 

pentangan kedua kakinya. Hingga cuatan buah dada-

nya makin terlihat dan pakaian bawahnya makin ter-

singkap membuat dada Joko berdebar!

“Han Ko...,” Dewi Bunga Asmara angkat suara. “Ada 

yang salah pada diriku?!”

Ucapan si gadis membuat Joko sadar. Dia buru-

buru alihkan pandang matanya pada Ratu Selendang 

Asmara dengan tersenyum lebar dan gelengkan kepala. 

Caping lebarnya kembali dimasukkan pada kepalanya 

namun kini dia sengaja perlihatkan matanya.

“Kau benar-benar tengah menunggu seseorang?!” 

tanya Ratu Selendang Asmara.

Joko menjawab dengan isyarat anggukan kepala-

nya. Ratu Selendang Asmara menyeringai dingin. Lalu 

kembali buka suara.

“Kalau benar ucapanmu, harap kau tunda niatmu!

Hari ini aku akan bertemu seseorang di sini!”

“Hem.... Begitu?! Baiklah.... Aku akan menunggu


nya di sana....” Joko angkat tangan kanannya menun-

juk pada satu arah.

Si nenek gelengkan kepala. “Kau dengar ucapanku! 

Urungkan niatmu! Kau harus pergi tinggalkan tempat 

ini! Aku tak mau urusanku dilihat apalagi didengar 

orang lain!”

“Nek.... Aku telah berjanji untuk bertemu hari ini di 

tempat ini! Kalau kau tak mau urusanmu dilihat atau 

didengar orang lain, aku akan pejamkan mata dan tu-

tup telinga! Urusan beres, bukan?!”

“Aku tak mau ada orang lain di tempat ini! Cepat 

tinggalkan tempat ini!” hardik si nenek.

Joko alihkan pandangannya pada Dewi Bunga As-

mara. Namun dia segera alihkan pandang matanya ke 

jurusan lain, tatkala dilihatnya si gadis tersenyum me-

mandangnya.

“Hem.... Sebenarnya aku ingin melihat apa yang 

akan terjadi. Ini untuk menambah pengetahuanku ten-

tang beberapa orang di daerah sini! Tapi kalau dia ti-

dak menghendaki, apa boleh buat. Daripada cari pe-

nyakit, lebih baik aku pergi....”

Membatin begitu, Pendekar 131 Joko Sableng arah-

kan kembali pandang matanya pada Ratu Selendang 

Asmara lalu pada Dewi Bunga Asmara. Namun saat 

melihat ke arah si gadis, mata Joko bukannya mena-

tap ke arah wajah orang, melainkan pada busungan 

dada Dewi Bunga Asmara. Saat bersamaan dia berka-

ta.

“Untuk hari ini aku bersedia mengalah.... Tapi jika 

terjadi kebetulan untuk kedua kalinya, kuharap kalian 

yang ganti mengalah....”

Joko tersenyum. Lalu gerakkan kaki hendak ting-

galkan tempat itu. Namun baru saja melangkah tiga 

tindak, dari arah samping terlihat satu bayangan berkelebat!

***

LIMA



PENDEKAR 131 hentikan gerakan. Kepalanya ber-

paling ke samping. Si gadis berpakaian kuning pen-

tangkan mata lalu ikut menoleh. Hanya si nenek yang 

tetap tegak tanpa membuat gerakan! Malah melirik 

pun tidak!

Bayangan yang baru muncul tegak dua belas lang-

kah di sebelah samping sana. Joko memperhatikan se-

jenak. Tiba-tiba sepasang matanya mementang lebar. 

Keningnya berkerut. Dan seolah belum percaya pada 

pandang matanya, dia sorongkan kepala ke depan. Ma-

tanya makin dibeliakkan.

“Astaga! Kurasa mataku benar-benar melihat 

bayangan tanpa melihat wajahnya!”

Dewi Bunga Asmara tak kalah kejutnya. Sepasang 

matanya juga membelalak. Saat lain dia menoleh pada 

Ratu Selendang Asmara. Namun yang dipandang tetap 

tegak tanpa berpaling ke arah bayangan yang baru 

muncul yang ternyata hanyalah bayangan satu sosok 

tubuh. Anehnya, bayangan itu tidak memperlihatkan 

wajah orang! Sebaliknya bayangan itu hanyalah se-

buah sosok hitam tanpa bentuk!

“Han Ko! Orang yang kutunggu akan segera mun-

cul! Lekas tinggalkan tempat ini!” Ratu Selendang As-

mara berkata pada murid Pendeta Sinting tanpa gerak-

kan kepala.

Mungkin masih terkesima dengan apa yang dilihat, 

Joko tidak turuti ucapan si nenek. Dia terus pandangi


bayangan hitam tanpa bentuk.

Karena ucapannya tak dituruti orang, si nenek ce-

pat melompat. Tangan kanannya bergerak mendorong 

ke arah tubuh murid Pendeta Sinting.

Karena masih tercenung, terlambat bagi Joko untuk 

berkelit dari dorongan tangan si nenek. Hingga sosok-

nya terlempar satu tombak!

Entah agar tidak dicurigai orang, meski Joko bisa 

saja kuasai diri, namun dia tak berusaha untuk mem-

buat gerakan. Hingga tanpa ampun lagi sosoknya ja-

tuh terjengkang!

Saat itulah terdengar suara.

Busss!

Pendekar 131 segera berpaling. Bayangan tanpa 

bentuk keluarkan asap hitam. Saat lain si bayangan 

tanpa bentuk lenyap tak berbekas! Belum lagi asap hi-

tam sirna, dari arah mana tadi si bayangan tanpa ben-

tuk datang, berkelebat dua bayangan hitam. Kejap lain 

tahu-tahu dua bayangan hitam telah tegak tidak jauh 

dari bayangan yang baru saja lenyap.

Lagi-lagi Joko dan Dewi Bunga Asmara pentangkan 

mata. Di depan sana tegak dua sosok bayangan. Hanya 

saja dua bayangan ini punya bentuk mirip sosok ma-

nusia. Cuma keduanya tidak memiliki wajah! Bagian 

wajah bayangan hanya merupakan lapisan daging rata.

Ratu Selendang Asmara lagi-lagi tidak pedulikan 

dua bayangan sosok manusia tanpa wajah yang baru 

muncul, sebaliknya putar kepala ke arah Joko yang 

masih terduduk di atas tanah. Sepasang matanya 

mendelik angker. Saat lain terdengar bentakannya.

“Kau akan menyesal jika tidak turuti ucapanku!” 

Tangan kanan si nenek terangkat. Namun dia urung-

kan niat ketika tiba-tiba dari arah dua bayangan ter-

dengar deruan menyambar!


Ratu Selendang Asmara cepat putar tangan kanan-

nya yang sesaat tadi hendak lepaskan pukulan ke arah 

murid Pendeta Sinting. Kejap lain tangan kanannya di-

sentakkan ke arah dua bayangan hitam tanpa wajah 

yang ternyata telah gerakkan tangan masing-masing.

Dari gerakan tangan dua bayangan hitam tanpa wa-

jah mencuat dua gelombang hitam disertai menderu-

nya dua gelombang angin dahsyat. Anehnya, begitu ge-

rakkan tangan, dua bayangan hitam tanpa wajah per-

dengarkan suara.

Busss! Busss!

Saat kemudian dua bayangan hitam tanpa wajah 

kepulkan asap hitam dan lenyap tanpa bekas!

Blammm! Blammm!

Terdengar dua kali ledakan keras ketika gelombang 

angin dari gerakan dua bayangan hitam tanpa wajah 

bertemu dengan gelombang yang menyambar dari ta-

ngan kanan Ratu Selendang Asmara.

Beberapa tumbuhan bunga di tempat itu porak-po-

randa membubung ke angkasa. Tanahnya bergetar dan 

muncrat pula ke udara.

“Bayangan Tanpa Wajah!” Si nenek berteriak lan-

tang. “Mengapa kau takut unjuk diri?!”

Teriakan Ratu Selendang Darah belum selesai, satu 

bayangan hitam berkelebat. Saat lain satu sosok tubuh 

telah tegak berjarak sepuluh langkah dari tempat te-

gaknya Ratu Selendang Asmara.

Pendekar 131 segera bergerak bangkit. Lalu arah-

kan pandang matanya pada sosok tubuh yang tegak di 

hadapan Ratu Selendang Asmara.

Dia adalah seorang laki-laki mengenakan pakaian 

terusan warna hitam panjang sebatas lutut. Rambut-

nya hitam lebat digelung tinggi ke atas. Raut wajahnya 

telah dipenuhi dengan kerutan tanda laki-laki ini usia


nya sudah tidak muda lagi. Parasnya agak bulat de-

ngan sepasang mata sipit. Kumis dan jenggotnya lebat 

serta hitam. Anehnya, bukan hanya pakaiannya yang 

berwarna hitam, namun sekujur kulit laki-laki ini juga 

berwarna hitam legam! Hingga yang terlihat putih dari 

raut wajahnya adalah larikan kecil pada bagian kedua 

matanya!

“Bayangan Tanpa Wajah.... Hem.... Itu pasti gelar 

laki-laki aneh itu!” kata Joko dalam hati. “Ternyata 

bukan hanya di tanah Jawa ada beberapa orang yang 

memiliki keanehan. Dan....” Murid Pendeta Sinting pu-

tuskan kata hatinya. Sepasang matanya mendelik. “As-

taga.... Keanehan apa lagi ini?!”

Laki-laki berwajah hitam di depan sana, tiba-tiba 

tersenyum perlihatkan giginya yang putih. Namun saat 

lain samar-samar raut wajahnya laksana ditutup de-

ngan daging! Kejap kemudian raut wajahnya berubah 

datar tanpa bentuk! Tapi hal itu cuma berlangsung se-

saat. Saat lain kembali parasnya membentuk raut wa-

jah.

Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara terkesima. 

Keduanya memandang tak berkesip. Lain halnya de-

ngan Ratu Selendang Asmara. Nenek ini tetap tegak 

dan hanya melirik sesaat pada wajah orang yang beru-

bah. Saat lain si nenek telah buka suara.

“Bayangan Tanpa Wajah! Hampir dua belas tahun 

aku menunggu pertemuan seperti ini! Kau pasti masih 

ingat ucapan terakhirku pada dua belas tahun yang la-

lu!”

Sosok laki-laki hitam yang dipanggil Bayangan Tan-

pa Wajah yang kini rautnya telah kembali membentuk 

seperti raut orang biasa, buka matanya lebar-le-bar. 

Bukannya memandang ke arah Ratu Selendang Asma-

ra, melainkan menatap tajam pada Dewi Bunga Asma


ra. Lalu kepalanya bergerak. Kini sepasang mata-nya 

diarahkan pada sosok murid Pendeta Sinting yang te-

gak di belakang sana.

Masih dengan arahkan pandang matanya pada Pen-

dekar 131, Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan sua-

ra.

“Apa yang terjadi pada dua belas tahun lalu masih 

terpacak pada mata dan telingaku! Tapi rupanya kau 

masih belum percaya diri! Kau takut kejadian lalu ter-

ulang lagi?!”

Ratu Selendang Asmara dapat menangkap maksud 

ucapan Bayangan Tanpa Wajah. Dia tertawa pendek. 

Lalu buka mulut.

“Aku memang penuhi undanganmu dengan mem-

bawa satu muridku! Tapi kau tak perlu khawatir! Dia 

hanya akan menyaksikan apa yang akan terjadi!”

Ucapan si nenek disambut Bayangan Tanpa Wajah 

dengan perdengarkan suara tawa bergelak panjang. 

“Tapi aku bukannya melihat satu orang yang kau ba-

wa!”

Ratu Selendang Asmara putar sedikit kepalanya ke 

arah Pendekar 131. Di lain pihak, karena dapat me-

nangkap gerakan kepala si nenek, Joko buru-buru a-

lihkan pandang matanya ke jurusan lain dengan mulut 

perdengarkan siulan!

“Anak manusia itu bukan aku yang membawa! Dia 

berada di sini sebelum aku datang! Kau jangan berpu-

ra-pura membalik kenyataan! Bukankah dia adalah 

anak manusia yang kau suruh menyelidik sebelum 

aku datang?!”

“Aku punya beberapa sahabat yang kupercaya! Aku 

tak butuh bantuan seorang anak manusia! Percuma 

aku bergelar Bayangan Tanpa Wajah kalau masih 

membutuhkan bantuan manusia!”


Mendengar ucapan Bayangan Tanpa Wajah, Joko 

putuskan siulannya. Lalu tanpa memandang ke arah 

orang yang berada di situ, dia angkat bicara.

“Nek.... Apa kubilang.... Aku datang ke sini karena 

punya janji dengan seseorang!”

“Hem.... Dari penampilan dan sosoknya, sepertinya 

dia bukan orang sini! Jangan-jangan....” Bayangan 

Tanpa Wajah membatin. Namun belum sempat dia te-

ruskan membatin, Ratu Selendang Asmara telah ber-

suara.

“Kau telah dengar ucapannya, Bayangan Tanpa Wa-

jah! Kalau kau tak suka pertemuan dilihat orang lain, 

tidak sulit aku mengusirnya dari sini!”

“Ratu Selendang Asmara! Sebenarnya aku memang 

tak ingin pertemuan ini dihadiri orang lain tak terke-

cuali gadis cantik di belakangmu itu!” Sepasang mata 

Bayangan Tanpa Wajah mengarah pada dada dan paha 

Dewi Bunga Asmara. “Namun, karena sudah terjadi, 

apa boleh buat.... Hanya saja kau harus tahu. Unda-

nganku bukannya untuk meneruskan kejadian dua 

belas tahun silam!”

Si nenek kerutkan dahi. Kepalanya menyentak 

menghadap Bayangan Tanpa Wajah. Sepasang mata-

nya menyengat tajam. Saat lain dia membentak.

“Kau terlambat memberi tahu! Apa pun tujuan un-

danganmu, yang jelas kedatanganku untuk tuntaskan 

kejadian dua belas tahun silam! Kau tahu, selama ku-

run waktu dua belas tahun, hatiku tidak bisa tenang, 

tidurku tak bisa nyenyak! Aku selalu menunggu dan 

menanti pertemuan seperti ini! Jadi jangan coba-coba 

berdalih untuk mengalihkan persoalan!”

Bayangan Tanpa Wajah tertawa panjang seraya ge-

lengkan kepala. “Aku tahu apa yang kau rasakan! Ma-

lah sebenarnya aku ingin sekali pertemuan seperti ini


segera berlangsung agar bebanku segera selesai! Aku 

tak ingin dendam di dadamu terus membara! Tapi 

keadaan rupanya berubah.... Ada sesuatu yang meng-

haruskan kita untuk sementara waktu melupakan ke-

jadian lama!”

“Tak ada keadaan yang bisa merubah niatku, Baya-

ngan Tanpa Wajah!”

“Pada mulanya aku berpendapat sepertimu! Tapi 

keadaan ini benar-benar dapat merubah niatanku ju-

ga! Dan kalaupun kau tak setuju dengan usulku nanti, 

harap kau sabar menunggu! Aku akan selesaikan tu-

gas terlebih dahulu lalu kita adakan pertemuan lagi 

untuk selesaikan sengketa lama!”

“Aku tak bisa menunggu lagi! Aku tak ingin nyawa-

mu tercabut tangan orang lain!” kata si nenek seraya 

angkat tangan kiri kanannya.

“Aku bisa menjaga selembar nyawaku! Kau tak per-

lu gelisah pikirkan nyawaku! Dan kuharap kau dengar 

dulu ucapanku!”

Ratu Selendang Asmara tertawa sinis. “Baiklah.... 

Aku akan dengar ucapanmu. Tapi harus kau ingat, 

apa pun nanti yang akan kau ucapkan, semua itu tak 

dapat merubah niat yang kupendam selama dua belas 

tahun!”

Bayangan Tanpa Wajah tak pedulikan ancaman o-

rang. Dia buka mulut tanpa membuat gerakan meski 

tahu kalau si nenek telah siap lepaskan pukulan.

“Aku mendapat undangan dari Yang Mulia Baginda 

Ku Nang. Dia menjanjikan hadiah besar untuk satu 

pekerjaan mudah!”

“Hem.... Jadi kau telah menjadi antek kerajaan! Te-

ruskan bicaramu!” kata Ratu Selendang Asmara seraya 

tertawa.

“Aku hanya diberi tugas untuk menangkap seorang


pemuda asing!”

“Hik.... Hik.... Hik...! Untuk menangkap seorang 

pemuda asing saja kau mau bersekongkol denganku!” 

ujar si nenek dengan tertawa cekikikan.

“Pada awalnya aku memang tidak tertarik dengan 

tawaran itu. Hadiah sebesar apa pun juga tak ada gu-

nanya bagiku! Namun satu hal yang membuatku terta-

rik dan menerima tawaran itu....”

“Cukup!” putus Ratu Selendang Asmara. “Aku tidak 

tertarik dengan lanjutan ucapanmu! Itu adalah uru-

san-mu dan sekarang kita selesaikan urusan kita!”

“Aku belum selesai berkata!” bentak Bayangan Tan-

pa Wajah yang sedari tadi telah menindih gejolak ama-

rah mendapati ejekan si nenek. “Pemuda asing itu me-

nyembunyikan seseorang bernama Yang Kui Tan yang 

diduga membawa bagian dari peta wasiat yang selama 

ini diincar kalangan rimba persilatan!”

Sekonyong-konyong Ratu Selendang Asmara pu-

tuskan tawanya. Kedua tangannya serentak diluruh-

kan ke bawah. Saat lain dia melompat lalu tegak enam 

langkah di hadapan Bayangan Tanpa Wajah.

Di lain pihak, mendengar percakapan Bayangan 

Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara, Pendekar 

131 terkesiap kaget. Paras wajahnya berubah tegang. 

Dari percakapan kedua orang tadi, dia sudah maklum 

siapa gerangan yang dimaksud pemuda asing oleh 

Bayangan Tanpa Wajah.

“Apakah aku harus segera tinggalkan tempat ini?! 

Ah.... Itu akan menambah kecurigaan mereka! Se-

baiknya aku menunggu seraya mencuri dengar perca-

kapan mereka!” kata Joko dalam hati. Dia kembali ber-

siul namun sepasang telinganya dipasang dengan sek-

sama. Kepalanya didongakkan seolah acuh dengan 

keadaan di tempat itu. Namun begitu, dadanya masih


berdebar dan dia makin tingkatkan kewaspadaan.

“Kau tak main-main dengan ucapanmu?!” Ratu Se-

lendang Asmara ajukan tanya.

Mendapati perubahan sikap si nenek, Bayangan 

Tanpa Wajah tertawa seraya gelengkan kepala. “Aku 

sengaja mengundangmu untuk lakukan pekerjaan ini, 

karena aku tahu kaulah salah satu orang yang memi-

liki ilmu tinggi di daratan ini!”

“Tapi kalau nanti aku setuju, bukan berarti aku 

mengharapkan imbalan hadiah! Yang kuinginkan ada-

lah peta wasiat itu! Peduli setan dengan keinginan 

Yang Mulia Baginda Ku Nang!” kata Ratu Selendang 

Asmara.

“Kita punya maksud yang sama! Dan aku tahu ba-

gaimana caranya setelah nanti peta wasiat itu berada 

di tangan kita!”

“Tapi menurut yang pernah kudengar, sebagian dari 

peta wasiat itu berada di Perguruan Shaolin.”

“Rupanya kau telah lama tak turun gunung hingga 

tak tahu apa yang telah terjadi!”

“Apa maksudmu...?!” tanya si nenek.

“Dua atau tiga malam yang lalu, terjadi peristiwa 

berdarah di Perguruan Shaolin. Maha Guru Besar Su 

Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi tewas dalam peristiwa 

itu!”

“Tapi masih ada Guru Besar Liang San dan Guru 

Besar Wu Wen She!”

“Guru Besar Wu Wen She lenyap begitu peristiwa 

terjadi. Kini perguruan itu dipimpin Guru Besar Liang 

San! Tanpa Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru 

Besar Pu Yi, rasanya mudah bagi kita untuk menero-

bos masuk!”

“Baik, aku terima usulmu! Kita bersatu untuk men-

dapatkan pemuda asing itu! Tapi apa tidak lebih baik


kalau kita menerobos dahulu Perguruan Shaolin? Begi-

tu kita berhasil, baru kita cari pemuda asing itu!”

Bayangan Tanpa Wajah gelengkan kepala. “Kalau 

Yang Mulia Baginda Ku Nang menginginkan peta wa-

siat dari pemuda asing itu, tentu dia tak akan lengah 

untuk membiarkan Perguruan Shaolin tanpa penjaga-

an beberapa orang sahabat Baginda Ku Nang. Aku ya-

kin saat ini Perguruan Shaolin dalam pengawasan pi-

hak kerajaan meski pengawasan itu dilakukan bebera-

pa orang dari luar orang kerajaan. Baginda Ku Nang 

tidak mungkin ceroboh untuk menempatkan orang-

orang kerajaan untuk mengawasi, karena hal itu akan 

menimbulkan urusan!”

Bayangan Tanpa Wajah hentikan ucapannya sesaat. 

Lalu meneruskan. “Untuk sementara ini kita terpaksa 

mencari pemuda asing itu! Dan sambil lalu kita pasang 

telinga mencari kabar bagaimana keadaan di Pergu-

ruan Shaolin!”

“Siapa nama pemuda asing itu? Dan bagaimana ci-

ri-cirinya?!”

Pertanyaan Ratu Selendang Asmara membuat Joko 

segera palingkan kepala dengan kuduk merinding. Na-

mun dia sengaja bersikap biasa malah keraskan siu-

lannya dan bergumam tak jelas seperti orang tengah 

dendangkan nyanyian.

“Dia mengenakan jubah hitam. Wajahnya tampan. 

Tidak seorang pun yang mengetahui siapa namanya! 

Hanya saja menurutku dia bukan pemuda sembara-

ngan! Dia berhasil lolos dari hadangan Panglima Muda 

Lie dan beberapa pengawal kerajaan! Untuk itulah 

mengapa Yang Mulia Baginda Ku Nang mengundang 

beberapa sahabatnya yang dikenal memiliki ilmu tinggi 

untuk mencari sekaligus menangkap pemuda itu!”

“Bagaimana Baginda bisa yakin pemuda itu yang


membawa peta wasiat?!”

“Aku sendiri tak tahu persis bagaimana duduk uru-

sannya hingga Baginda Ku Nang terlibat dalam masa-

lah ini! Tapi dari peristiwanya, jelas Yang Mulia punya 

hubungan dekat dengan orang dalam Perguruan Shao-

lin. Kalau tidak, bagaimana dia tahu kalau seseorang 

bernama Yang Kui Tan mengadakan perjalanan untuk 

mengambil peta wasiat itu dari tempat penyimpanan-

nya?!” Bayangan Tanpa Wajah hentikan lagi ketera-

ngannya seraya menghela napas. Saat kemudian dia 

buka mulut lagi.

“Menurut kabar yang kudengar dari Baginda, Yang 

Kui Tan telah terluka parah. Namun dia masih sempat 

merebut sebuah perahu milik pengawal kerajaan. Pan-

glima Muda Lie bersama beberapa anak buahnya sege-

ra mengejar. Namun karena besarnya gelombang, Pan-

glima Muda Lie dan beberapa pengawal kerajaan serta 

beberapa orang sahabat Baginda kehilangan jejak. Ke-

tika gelombang telah reda, tiba-tiba Panglima Muda Lie 

dan anak buahnya melihat perahu yang tadi ditum-

pangi Yang Kui Tan. Namun mereka jadi tercengang

ketika mendapati si penumpang perahu bukanlah 

Yang Kui Tan. Melainkan seorang pemuda asing!” 

Bayangan Tanpa Wajah mengatur napasnya sejenak 

sebelum melanjurkan.

“Namun Panglima Muda Lie merasa curiga pada se-

buah barang di lantai perahu yang ditutup dengan se-

buah jubah hitam. Panglima Muda Lie menduga tubuh 

Yang Kui Tan berada di balik jubah hitam itu! Tapi si 

pemuda asing penumpang perahu tak mau mengaku! 

Akhirnya terjadi bentrok. Beberapa anak buah Pang-

lima Muda Lie tewas. Panglima sendiri terluka! Perahu 

itu terus menuju ke pesisir Tibet. Namun sejak keja-

dian itu, si pemuda asing dan Yang Kui Tan lenyap tak


ada kabar beritanya!”

“Apa kira-kira mereka tidak menyelinap masuk ke 

dalam Perguruan Shaolin?”

“Beberapa orang kerajaan dan sahabat Baginda Ku 

Nang telah diperintahkan berjaga-jaga di perbatasan 

daerah yang memasuki Perguruan Shaolin. Tapi sam-

pai sejauh ini tidak ada laporan tentang kedatangan 

pemuda asing itu ke Perguruan Shaolin hingga terjadi 

peristiwa berdarah yang menewaskan Maha Guru Be-

sar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!”

“Hem.... Lalu apa rencanamu sekarang?!” tanya Ra-

tu Selendang Asmara.

“Kita mulai mencari dari pesisir!”

Habis berkata begitu, Bayangan Tanpa Wajah hen-

dak berkelebat. Namun diurungkan ketika matanya 

melirik dia tidak lagi mendapati sosok murid Pendeta 

Sinting.

“Siapa pemuda itu tadi?!” Bayangan Tanpa Wajah 

bertanya. Sepasang matanya mengedar berkeliling 

mencari-cari.

Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara 

sama arahkan pandang matanya ke tempat di mana 

tadi Pendekar 131 tegak berdiri. Keduanya sama terke-

jut melihat sosok murid Pendeta Sinting telah tidak 

ada lagi di tempatnya.

“Dia mengaku bernama Han Ko! Dia tengah me-

nunggu seseorang di sini!” Si nenek menjawab.

“Aneh.... Meski aku hanya melihat sebagian wajah-

nya, namun aku hampir merasa yakin dia bukan orang 

sini!” gumam Bayangan Tanpa Wajah.

“Dia memang mengaku dilahirkan jauh dari sini. 

Lagi pula mengapa kau menaruh curiga padanya? Dia 

tidak memiliki ilmu.... Jadi bukan dia pemuda asing 

itu!” kata Ratu Selendang Asmara.


“Sebagai orang yang tengah diburu, tak mungkin 

dia mau tunjukkan siapa dia sebenarnya! Dia pasti 

akan memerankan sebagai orang bodoh agar luput dari 

perhatian orang! Kau tertipu.... Kita kejar dia! Pasti be-

lum jauh dari sini!”

Tanpa menunggu sambutan Ratu Selendang Asma-

ra, Bayangan Tanpa Wajah berkelebat. Ratu Selendang 

Asmara menyeringai dan tersenyum mengejek. Namun 

dia segera memberi isyarat pada Dewi Bunga Asmara. 

Saat lain kedua guru dan murid ini berkelebat menyu-

sul Bayangan Tanpa Wajah!

***

ENAM



PENDEKAR 131 Joko Sableng berlari laksana di-

kejar setan. Karena dia belum paham benar daerah 

yang dilewati, dia berlari tanpa memperhatikan arah. 

Yang terpikir dalam benaknya, dia harus menjauh dari 

tempat di mana terjadi pertemuan antara Bayangan 

Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara. Malah dia 

sendiri belum tahu apa yang akan dilakukan. Yang ter-

pikir hanya berlari dan berlari menjauh.

Sementara di tempat terpisah, Bayangan Tanpa Wa-

jah tiba-tiba hentikan larinya. Ratu Selendang Asmara 

dan Dewi Bunga Asmara ikut berhenti.

“Kalau dia merasa tak ada kaitannya dengan uru-

san yang tengah kita lakukan sekarang ini, tak mung-

kin dia pergi begitu saja! Dan melihat kita kehilangan 

jejaknya, apa kau kira dia pemuda bodoh yang tak me-

ngerti ilmu silat?” Bayangan Tanpa Wajah buka mulut 

seraya edarkan pandangan.

“Hem....” Ratu Selendang Asmara hanya mendehem 

tanpa menyahut. Namun diam-diam dalam hati dia 

membenarkan ucapan Bayangan Tanpa Wajah. Se-

mentara Dewi Bunga Asmara juga membatin. “Tak ku-

sangka jika pemuda tampan itu memiliki ilmu tinggi! 

Raut wajahnya memang seperti bukan orang daerah 

sini! Tapi apa mungkin dia pemuda asing yang dicari 

Bayangan Tanpa Wajah?!”

“Kau harus lakukan sesuatu! Setinggi apa pun ilmu 

yang dimiliki, pasti dia belum jauh dari sini!” kata Ratu 

Selendang Asmara.

Bayangan Tanpa wajah anggukkan kepala. Kedua 

tangannya ditakupkan di depan kepala. Saat lain dia

perdengarkan bentakan keras seraya buka takupan 

kedua tangannya.

Saat bersamaan dari kedua tangan Bayangan Tanpa 

Wajah mengepul asap hitam. Asap itu membentuk ja-

lur lurus ke udara. Lalu melayang jatuh ke bawah. Be-

gitu asap hitam menyentuh tanah, terjadi hal yang luar 

biasa.

Asap hitam perdengarkan suara deruan. Saat lain 

asap hitam membentuk dua bayangan hitam seperti 

sosok manusia. Hanya saja raut wajahnya rata tak 

berbentuk. Inilah ilmu ‘Bayangan Asap’. Sebuah ilmu 

yang membuat Wang Cen digelari rimba persilatan de-

ngan Bayangan Tanpa Wajah. Karena dia bisa meru-

bah asap hitam menjadi sosok bayangan manusia tan-

pa wajah. Bukan hanya itu saja, dua bayangan tanpa 

wajah itu bisa melepas pukulan yang dimiliki Wang 

Cen dan bisa menghadang pukulan orang!

Wang Cen alias Bayangan Tanpa Wajah hentakkan 

kaki kanan. Saat yang sama mulutnya perdengarkan 

perintah.

“Kejar pemuda itu!”


Seolah punya telinga seperti manusia biasa, dua 

bayangan hitam putar diri. Saat berkelebat satu berlari 

ke arah kanan dan satunya lagi berlari mengambil 

arah berlawanan.

“Kita mengambil arah tengah!” kata Bayangan Tan-

pa Wajah. Lalu berkelebat. Ratu Selendang Asmara ti-

dak menunggu lama. Dia memberi isyarat pada Dewi 

Bunga Asmara lalu berlari di belakang Bayangan Tan-

pa Wajah.

Sementara itu, di satu tempat yang dirasa agak 

aman dan banyak tempat berlindung dari batu-batuan 

besar, murid Pendeta Sinting memperlambat larinya. 

Dia memilih batu agak besar lalu menyelinap dan du-

duk bersandar seraya menarik napas dalam-dalam.

“Langkahku kini semakin tak bebas lagi! Selain ru-

paku mudah dikenali kalau bukan berasal dari daerah 

ini, kini banyak orang yang telah diperintah untuk 

mencariku! Hem.... Urusan ini ternyata tak semudah 

yang kubayangkan!” gumam Joko lalu pejamkan sepa-

sang matanya berpikir apa yang kini harus dilakukan.

Belum lagi dia dapat menemukan jalan apa yang 

harus dilakukan, dia merasakan deruan angin pelan 

dari samping kiri. Tanpa buka mata dan berpaling, 

murid Pendeta Sinting sudah maklum kalau sekarang 

dia tidak berada sendirian di tempat itu. Dan belum 

sampai Joko membuat gerakan, satu suara terdengar.

“Jangan mimpi kau bisa lolos sebelum jawab bebe-

rapa pertanyaanku!”

Dengan dada berdebar, Joko bergerak bangkit. Lalu 

perlahan-lahan buka sepasang matanya dengan bibir 

tersenyum. Namun jelas senyum itu untuk menutupi 

rasa kejutnya.

“Bayangan Tanpa Wajah!” gumam Joko dalam hati 

begitu melihat sosok yang tegak tidak jauh dari sampingnya. “Ke mana Ratu Selendang Asmara dan Dewi 

Bunga Asmara?” Joko edarkan pandangan. Namun ba-

ru saja dia gerakkan kepala, satu suara menyeruak.

“Kau mencariku, Han Ko?!”

Pendekar 131 putar diri. Di belakangnya tegak Ratu 

Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara. Joko ter-

senyum seraya mainkan ujung caping lebarnya.

“Kalian mencariku...?! Atau sengaja lewat sini?!” Jo-

ko ajukan tanya.

“Bukan kami yang harus jawab tanyamu! Tapi kau 

yang harus jawab pertanyaan kami!” Bayangan Tanpa 

Wajah perdengarkan suara. Saat lain kedua tangannya 

ditakupkan di depan kepala. Kaki kirinya menghentak 

ke tanah. Tiba-tiba dari arah barat dan timur tampak 

membubung asap hitam. Asap hitam membentuk jalur 

lurus lalu menukik deras dan kejap lain asap hitam 

masuk ke dalam kedua tangan Bayangan Tanpa Wa-

jah.

“Siapa kau sebenarnya?!” Bayangan Tanpa Wajah 

ajukan tanya dengan suara keras.

Murid Pendeta Sinting putar wajah menghadap 

Bayangan Tanpa Wajah. “Apakah kau belum diberi ta-

hu oleh sang Ratu?!”

“Aku tanya! Jangan berani balik ajukan tanya!” sen-

tak Bayangan Tanpa Wajah.

“Masa kecilku aku diberi nama Lon Tong Bu Lim.... 

Nama itu kusandang hingga aku menginjak usia sepu-

luh tahun. Sepuluh tahun ke atas, aku jumpa dengan 

seorang sahabat di sekitar daerah sini. Dia bilang aku 

tak cocok menyandang nama Lon Tong Bu Lim. Lalu 

dia memberiku nama Han Ko! Nama itulah yang kini 

kusandang! Tapi aku menyerah saja pada orang mau 

panggil yang mana boleh!”

“Kau dilahirkan di mana?!” Kembali Bayangan Tan


pa Wajah ajukan tanya.

Murid Pendeta Sinting terdiam sesaat. “Aku lahir 

di.... Di....”

“Di mana?!” bentak Bayangan Tanpa Wajah karena 

Joko tidak segera lanjutkan ucapannya.

“Di kampung Nang Ku!” kata Joko dengan menahan 

tawa dalam hati.

Seperti halnya saat ditanya Ratu Selendang Asmara 

tengah menunggu siapa, Joko hanya membalik nama 

Mei Hua menjadi Hua Mei. Dan begitu ditanya oleh 

Bayangan Tanpa Wajah, karena merasa kesulitan un-

tuk mencari nama, akhirnya Joko hanya membalik 

nama Baginda Ku Nang menjadi Nang Ku.

Sementara mendengar jawaban murid Pendeta Sin-

ting, kening hitam Bayangan Tanpa Wajah tampak ber-

kerut. Di lain pihak, Ratu Selendang Asmara dan Dewi 

Bunga Asmara saling lirik.

“Hem.... Selama hidup aku baru dengar nama kam-

pung yang disebut pemuda ini! Jangan-jangan dia 

hanya mengarang!” kata Bayangan Tanpa Wajah dalam 

hati. Saat lain orang berwajah hitam legam ini kembali 

buka mulut ajukan tanya.

“Kau dari perguruan mana?!”

“Ah.... Aku tidak masuk dalam perguruan mana 

pun! Aku hidup berkelana dari satu daerah ke daerah 

lainnya! Cuma aku memang agak lama di daerah ini! 

Karena terus terang saja, aku punya seorang kekasih 

di daerah ini! Jadi tak mungkin aku teruskan perjala-

nan berkelana! Hanya....”

“Hanya apa?!” Kali ini yang menyahut adalah Ratu 

Selendang Asmara. Sementara Dewi Bunga Asmara 

tampak unjukkan wajah tak senang mendengar kete-

rangan Joko.

“Hanya aku tadi merasa menyesal! Kekasihku tak


menepati janji! Kami telah sepakat untuk bertemu hari 

ini di tempat aku jumpa kalian tadi! Namun kalian ta-

hu sendiri. Dia tidak datang untuk tepati janji! Pada-

hal....”

“Cukup!” tukas Bayangan Tanpa Wajah. Dia me-

langkah mendekati murid Pendeta Sinting. Kuduk Jo-

ko jadi dingin. Namun sekuat tenaga dia coba mena-

han diri agar tidak gugup dan membuat orang curiga.

“Kau berkata dusta! Berpuluh-puluh tahun aku hi-

dup di sini. Tapi belum pernah aku dengar kampung 

bernama Nang Ku!”

Joko tunjukkan tampang terkejut. Bukan karena o-

rang telah tahu kalau dibohongi, namun karena seolah 

heran dengan keterangan orang.

“Jadi kau belum pernah dengar Kampung Nang 

Ku?!” tanya Joko seraya tertawa bergelak. “Sekarang 

aku tanya, apakah kau dengar kampung bernama San 

Liang?!”

Bayangan Tanpa Wajah lagi-lagi kernyitkan kening. 

Perubahan sikap orang telah membuat Joko maklum. 

Dia alihkan pandang matanya pada Ratu Selendang 

Asmara dan Dewi Bunga Asmara. “Kalian pernah de-

ngar?!”

Ratu Selendang Asmara tidak buka mulut menja-

wab atau membuat gerakan jawaban. Di sebelahnya 

Dewi Bunga Asmara gelengkan kepala. Joko kembali 

arahkan pandangan pada Bayangan Tanpa Wajah.

“Bagaimana?! Kau pernah dengar?!”

“Di daerah ini tak ada kampung bernama San 

Liang!”

“Hem.... Aku sekarang tak heran. Kalau kalian tak 

tahu Kampung San Liang, mana mungkin kalian akan 

tahu Kampung Nang Ku!” kata Joko seraya dongakkan 

kepala. Tangan kanannya diangkat lalu berucap

“Kalian pasti tahu Gunung Sim Yao In. Sebelah se-

latan gunung itu berjarak kira-kira seribu lima ratus 

tombak, ada sebuah dusun kecil yang dihuni beberapa 

orang. Itulah Kampung San Liang. Dari Kampung San 

Liang ke arah selatan lagi berjarak lima puluh tombak, 

ada sebuah kampung yang juga dihuni beberapa orang 

saja. Itulah Kampung Nang Ku! Kalau kalian tak per-

caya, aku bisa mengantar kalian! Tapi tidak hari ini. 

Sebab aku masih harus bertemu kekasihku untuk 

mengetahui duduk soalnya mengapa dia sampai tak 

datang tepati janji!”

Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-

ra saling pandang. Joko tersenyum lalu berkata. “Ma-

sih ada yang hendak kalian tanyakan?!”

“Kau bisa berlari cepat. Sementara kau tak berguru 

pada perguruan mana pun! Itu adalah hal yang mus-

tahil!”

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. “Di kam-

pung kelahiranku, meski hanya dihuni beberapa o-

rang, namun setiap tujuh hari sekali diadakan lomba 

lari mengitari sebuah lapangan! Setiap pemenang akan 

mendapatkan hadiah. Malah untuk calon kepala kam-

pung, dia harus orang yang paling cepat larinya! Itulah 

sebabnya setiap orang pasti berlatih lari tiap pagi dan 

sore. Selain untuk merebut hadiah, siapa tahu dia ke-

lak bisa menjadi kepala kampung! Jadi harap tidak he-

ran kalau aku bisa berlari cepat!”

Pendekar 131 pandang silih berganti pada ketiga 

orang yang ada di situ. Lalu tengadah dan berkata.

“Hari sudah akan sore. Aku harus menemui keka-

sihku!” Joko luruskan kepala dan berpaling pada Dewi 

Bunga Asmara. Sepasang matanya melirik pada dada 

dan paha gadis cantik itu. Lalu tersenyum sembari ke-

dipkan sedikit mata kirinya. Saat lain dia melangkah.


Wajah si gadis tampak sedikit berubah namun bibir-

nya sunggingkan senyum.

“Jangan berani beranjak dari tempatmu!” Bayangan 

Tanpa Wajah menahan. Pendekar 131 hentikan lang-

kah lalu menoleh. Tapi kali ini dia tak berusaha untuk 

angkat bicara.

“Aku tidak percaya pada semua keteranganmu! Pas-

ti kau orang asing di negeri ini!” kata Bayangan Tanpa 

Wajah.

“Hem.... Aku tak aneh mendengar ucapanmu! Kare-

na bukan sekali ini saja aku mendengarnya! Beberapa 

orang yang baru pertama kali melihatku pasti menga-

takan seperti ucapanmu!”

“Aku harus mencobanya! Kalau benar-benar tak 

dapat menahan pukulanku, berarti bukan dia pemuda 

asing itu!” kata Bayangan Tanpa Wajah dalam hati. 

Dan tanpa berkata apa-apa lagi, dia angkat kedua ta-

ngannya. Sekonyong-konyong dia sentakkan tangan 

kiri kanan melepas pukulan jarak jauh ke arah murid 

Pendeta Sinting!

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang deras menghampar. Meski Joko su-

dah waspada dan bisa menahan pukulan orang, na-

mun karena tak mau dicurigai, dia sengaja tidak 

menghadang pukulan yang datang ke arahnya. Seba-

liknya dia takupkan kedua tangannya di atas caping 

lebarnya. Saat bersamaan dia lorotkan tubuh lalu dis-

entakkan ke bawah. Hingga saat itu juga sosoknya te-

lungkup sejajar tanah! Namun demikian gerakannya 

itu menyelamatkannya dari gelombang yang datang 

menghajar.

Brakk! Brakk!

Dua gugusan batu di belakang sana langsung pecah 

berantakan terhantam pukulan gelombang yang luput


menghajar sasaran.

“Mengapa kalian hendak membunuhku?! Apa salah 

dan dosaku?! Apa ada ucapanku yang menyinggung 

perasaan kalian?! Apa ada tindakanku yang membuat 

kalian....”

Belum sampai murid Pendeta Sinting lanjutkan 

ucapannya, dua gelombang kembali telah melabrak ke 

arahnya. Tanah tampak berhamburan ke udara karena 

tersapu gelombang yang sengaja diarahkan menyusur 

tanah karena sosok Joko masih telungkup sejajar ta-

nah.

“Celaka!” gumam Joko seraya mendelik.

Karena pukulan itu dilepas dari jarak yang tidak 

jauh, sementara posisi Joko dalam keadaan telungkup, 

maka sulit baginya untuk membuat gerakan menghin-

dar. Sebab biarpun dia membuat gerakan melenting Ke 

udara, sambaran gelombang itu pasti masih akan me-

labraknya! Maka karena satu-satunya jalan adalah 

menghadang pukulan yang datang, terpaksa Joko ang-

kat kedua tangannya lalu disorong ke depan.

Bummm! Bummm!

Terdengar ledakan dua kali. Tanah yang tadi hanya 

tersapu kini muncrat sampai satu setengah tombak ke 

udara. Bukan hanya itu saja, mungkin masih mengira 

orang tidak akan menghadang pukulannya, Bayangan 

Tanpa Wajah tidak siap menahan bentroknya pukulan. 

Hingga begitu bentrok pukulan terjadi, sosoknya sem-

pat terhuyung tiga langkah ke belakang. Saat bersa-

maan, murid Pendeta Sinting bergerak bangkit sambil 

terus tekan caping lebarnya karena khawatir akan ter-

sapu bias bentroknya pukulan. Dan begitu melihat 

huyungan sosok Bayangan Tanpa Wajah, dengan mi-

mik seolah tak mengerti dia angkat suara.

“Apa yang terjadi...?!”


Bayangan Tanpa Wajah tegak dengan mata mende-

lik berkilat dan pelipis kiri kanan bergerak-gerak.

“Hem.... Pemuda ini ternyata membekal ilmu! Na-

mun dia coba menutupi dengan lagak konyol!” batin 

Ratu Selendang Asmara. “Jangan-jangan dugaan 

Bayangan Tanpa Wajah benar jika pemuda inilah 

orang asing itu!”

“Han Ko!” bentak Ratu Selendang Asmara. “Kami ti-

dak akan membuat urusan denganmu meski dunia 

kami hanya ada dua pilihan yaitu membunuh dan di-

bunuh! Beri keterangan yang jelas di mana kau sem-

bunyikan orang yang bernama Yang Kui Tan! Jika itu 

kau lakukan, maka kau akan kubebaskan dalam uru-

san ini!”

“Nek.... Jangan membuatku jadi bingung dengan 

pertanyaan yang tak kumengerti! Aku tak kenal de-

ngan orang yang kau sebut!”

“Berarti kau pilih masuk duniaku! Membunuh atau 

dibunuh!”

“Tidak, tidak!” kata Joko sembari geleng kepala. 

“Aku tak pilih duniamu! Karena duniaku lebih asyik.... 

Tak ada kata bunuh-bunuhan! Yang ada kata mesra-

mesraan!”

Belum sampai ucapan Joko selesai, Bayangan Tan-

pa Wajah sudah membuat gerakan melompat. Bukan 

ke arah Joko melainkan mendekati Ratu Selendang 

Asmara. Saat lain dia berbisik.

“Aku makin yakin pemuda inilah orang asing itu. 

Tapi ingat, jangan sampai dia mampus! Kita hanya 

perlu melumpuhkannya lalu kita korek keterangan da-

ri mulutnya!”

Ratu Selendang Asmara anggukkan kepala. Kejap 

lain kedua orang tua ini telah angkat kedua tangan 

masing-masing.


“Aku sudah bilang tak mau masuk dunia kalian! 

Mengapa kalian sepertinya memaksa?!”

Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-

ra tidak ada yang menyahut. Sebaliknya cepat sentak-

kan tangan masing-masing melepas satu pukulan!

***

TUJUH



TERDENGAR deruan dua gelombang luar biasa ga-

nas. Dua angin berkiblat laksana prahara. Untuk ke-

sekian kalinya udara di tempat itu disamaki muncra-

tan tanah yang tersapu gelombang.

Murid Pendeta Sinting tak punya pilihan lain kecua-

li harus menghadang pukulan yang datang. Dia cepat 

kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya dan 

serta-merta lepaskan pukulan dengan dorong kedua 

tangannya.

Dua gelegar segera terdengar saat pukulan yang di-

lepas Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa 

Wajah bentrok dengan pukulan jarak jauh yang di-

lepas Joko.

Sosok Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang 

Asmara tampak tersurut dua langkah dengan wajah 

sama berubah pucat. Tangan masing-masing orang 

bergetar keras. Di lain pihak, sosok murid Pendeta 

Sinting juga tersapu dan mundur dua tindak. Paras 

wajahnya juga pias. Sementara di sebelah samping, 

Dewi Bunga Asmara segera melompat begitu bentrok 

pukulan terjadi. Namun entah mengapa, begitu leda-

kan terdengar, gadis cantik bertubuh menggoda ini bu-

kannya berpaling ke arah Ratu Selendang Asmara, melainkan menoleh ke tempat Joko tadi tegak berdiri 

menghadang pukulan! Wajahnya jelas membayangkan 

rasa khawatir dan cemas!

“Hem.... Aku sekarang jadi yakin....” Ratu Selendang 

Asmara bergumam dengan kepala menoleh pada 

Bayangan Tanpa Wajah. “Pemuda ini membekal ilmu 

tinggi! Kita tak boleh memandang sebelah mata kalau 

tidak ingin mendapat celaka!”

“Tapi ingat! Keterangan dari mulutnya sangat kita 

perlukan! Kalau sampai dia mampus, lepas pula apa 

yang kita inginkan!” sahut Bayangan Tanpa Wajah. 

“Kita coba dengan bentrok langsung!”

Habis berkata begitu, Bayangan Tanpa Wajah sege-

ra berkelebat ke depan. Ratu Selendang Asmara tidak 

menunggu. Begitu Bayangan Tanpa Wajah berkelebat, 

dia segera pula melesat ke depan.

Joko tak mau bertindak ayal. Dia tidak menunggu 

datangnya pukulan lawan. Begitu melihat gerakan o-

rang berkelebat, dia cepat pula melompat dan me-

nyongsong. Tangan kiri kanan menghadang pukulan 

Bayangan Tanpa Wajah, sementara kaki kanannya 

membuat gerakan menghadang sergapan kedua tan-

gan Ratu Selendang Asmara!

Sergapan Joko membuat Bayangan Tanpa Wajah 

dan Ratu Selendang Asmara sempat terkesiap kaget 

karena mereka sama sekali tidak menduga. Hingga 

mereka berdua lepaskan pukulan tanpa pengerahan 

tenaga dalam penuh karena telah dipotong oleh serga-

pan gerakan murid Pendeta Sinting.

Bukkk! Bukkk! Bukkk!

Terdengar benturan keras tiga kali berturut-turut. 

Tubuh Pendekar 131 mental balik dan terhuyung se-

saat. Namun segera dapat kuasai diri meski dia mera-

sakan dadanya nyeri dan kedua tangan serta kaki kanannya laksana menghantam dinding kokoh. Aliran 

darahnya menyentak-nyentak dan mulutnya tampak 

terbuka menutup megap-megap!

Di pihak lain, tubuh Bayangan Tanpa Wajah mence-

lat terbang seraya perdengarkan seruan tertahan. 

Orang berwajah hitam ini memang tidak sampai jatuh 

menghantam tanah. Namun karena sewaktu lepaskan 

pukulan dalam keadaan belum siap betul, maka tak 

ampun lagi dia merasakan dadanya sesak dan kedua 

tangannya lunglai. Dia cepat salurkan tenaga dalam 

dan mengurut dadanya ketika merasakan perutnya 

mual tanda ia mengalami cedera dalam walau tidak 

parah.

Di sebelahnya, begitu benturan terjadi, kedua tan-

gan Ratu Selendang Asmara tampak terlempar balik ke 

belakang. Hal ini membuat sosoknya terputar di udara 

sebelum akhirnya terpelanting di atas udara. Untung 

nenek ini cepat membuat gerakan jungkir balik satu 

kali, hingga meski sempat terhuyung-huyung kala 

mendarat di atas tanah, namun tidak sampai terjerem-

bab!

“Harap dimaafkan.... Aku tidak punya waktu ba-

nyak untuk terus berada di sini! Aku harus menemui 

kekasihku...,” ujar Joko.

“Kau tak akan meninggalkan tempat ini tanpa men-

jawab jujur pertanyaan kami!” sahut Ratu Selendang 

Asmara. Si nenek telah sentakkan selendang hitam di 

pundaknya. Selendang hitam panjang itu diputar-pu-

tar perdengarkan deruan angker. Tidak jauh dari Ratu 

Selendang Asmara, Bayangan Tanpa Wajah meman-

dang tajam dengan mulut terkancing rapat. Kedua 

tangannya menakup di atas kepala.

Pendekar 131 sempat terkesiap ketika melihat paras 

wajah Bayangan Tanpa Wajah. Karena wajah orang ini


berubah-ubah. Sesaat tampak membentuk seperti raut 

wajah orang biasa, namun saat lain berubah menjadi 

tanpa bentuk. Hal ini berlangsung terus menerus. Ini-

lah tanda jika Bayangan Tanpa Wajah telah dilanda 

kemarahan besar!

Mendadak Bayangan Tanpa Wajah hentakkan kaki 

kanannya. Dari takupan kedua tangannya melesat 

asap hitam ke udara. Dengan cepat asap hitam menu-

kik dan menghantam tanah. Begitu bersentuhan de-

ngan tanah, asap hitam membentuk dua bayangan so-

sok manusia tanpa wajah.

Bayangan Tanpa Wajah buka takupan kedua tan-

gannya lalu disentakkan ke depan. Saat yang sama 

dua sosok bayangan hitam tanpa wajah ikut pula ge-

rakkan kedua tangan masing-masing. Bukan hanya 

sampai di situ, begitu lepas pukulan, dua sosok 

bayangan hitam tanpa wajah segera membuat gerakan 

berputar-putar. Kini dua sosok bayangan hitam itu be-

rubah menjadi beberapa bayangan hitam!

Tiga gelombang asap hitam menyergap ganas ke 

arah Pendekar 131. Saat bersamaan dua sosok bayan-

gan hitam yang berputar dan berubah menjadi bebera-

pa bayangan terus mengitari sosok murid Pendeta 

Sinting. Mereka seolah tidak terpengaruh dengan ge-

lombang asap hitam yang baru saja melesat.

Pendekar 131 cepat siapkan pukulan ‘Lembur Ku-

ning’. Saat itu juga kedua tangannya berubah disem-

burati warna kekuningan. Namun Joko tidak bisa be-

nar-benar pusatkan perhatian. Karena perhatiannya 

pecah oleh beberapa bayangan hitam yang terus ber-

putar dan mendekat ke arahnya. Dia jadi serba salah. 

Kalau menghadang pukulan orang, dia khawatir bebe-

rapa bayangan hitam yang berputar akan langsung 

menyergapnya. Namun kalau tidak menghadang puku


lan orang, niscaya jiwanya tidak akan selamat!

Dalam keadaan begitu rupa, Joko berpikir cepat. 

Dia segera melepas pukulan ‘Lembur Kuning’. Dan be-

gitu kedua tangannya telah bergerak, dia melompat ke 

atas.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang dahsyat segera menyambar disertai 

bertebarannya hawa panas luar biasa. Sinar warna 

kuning berkiblat silaukan mata.

Tiga gelombang asap hitam tampak tertahan di atas 

udara. Lalu tersapu begitu sinar kuning berkiblat. Tiga 

gelombang asap hitam bertabur berantakan. Sinar 

kuning mental lalu porak-poranda! Terdengar tiga gele-

gar ledakan.

Sosok Bayangan Tanpa Wajah terbang tersapu sam-

pai satu setengah tombak ke belakang. Bersamaan 

dengan itu putaran beberapa bayangan hitam terhenti 

lalu ikut bergerak mundur beberapa langkah! Kedua 

kaki Bayangan Tanpa Wajah tampak menekuk lalu ja-

tuh terduduk dengan mulut semburkan darah. Hebat-

nya, beberapa bayangan hitam yang sesaat mundur, 

tiba-tiba bergerak dan berputar lagi! Malah puta-

rannya makin cepat dan Joko laksana hanya melihat 

bayangan samar-samar!

Saat itulah Pendekar 131 mendengar beberapa de-

ruan dahsyat. Joko tak mau menunggu. Dia kembali 

siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’ meski sosoknya 

sempat terpelanting jungkir balik di atas udara.

Namun belum sampai kedua tangan Joko bergerak 

lepaskan pukulan ke arah beberapa bayangan di ba-

wah, satu benda hitam meliuk ganas perdengarkan 

suara angker.

Murid Pendeta Sinting urungkan niat untuk le-

paskan pukulan ‘Lembur Kuning’. Sebaliknya segera


hantamkan kedua tangannya ke arah benda hitam 

yang bukan lain adalah selendang hitam milik Ratu 

Selendang Asmara!

Namun ternyata gerakan selendang hitam lebih ce-

pat dari hantaman kedua tangan Joko. Hingga tanpa 

ampun lagi ujung selendang hitam menyambar ke arah 

lambung murid Pendeta Sinting.

Breett!

Pakaian Joko langsung robek menganga. Saat yang 

sama beberapa gelombang dahsyat menyambar dari 

bawah! Joko tersentak. Kedua tangannya yang belum 

sempat menghantam cepat ditarik pulang lagi lalu di-

hantamkan ke arah beberapa gelombang yang datang.

Bummm! Bummmm! Bummm! Bummmm!

Terdengar beberapa kali ledakan keras. Beberapa 

bayangan hitam langsung perdengarkan suara laksana 

api terkena siraman air. Lalu kepulkan asap hitam 

membubung ke angkasa. Saat itulah terdengar benta-

kan keras dari mulut Bayangan Tanpa Wajah. Asap hi-

tam menukik deras lalu melesat dan masuk ke dalam 

takupan kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah yang 

tampak duduk bersila dengan mata terpejam.

Di atas udara sana, sosok murid Pendeta Sinting 

terbanting dua kali. Saat lain sosoknya melayang ke 

bawah.

Ratu Selendang Asmara tak menunggu lagi. Tangan 

kanannya segera bergerak. Selendang hitam meliuk 

ganas. Joko masih dapat menangkap gerakan selen-

dang hitam. Namun sudah terlambat baginya untuk 

membuat gerakan menghadang atau berkelit.

Ratu Selendang Asmara menyeringai. Tangan ka-

nannya yang memegang selendang hitam bergerak dua 

kali. Tahu-tahu tukikan sosok murid Pendeta Sinting 

tertahan. Joko melirik karena dia tidak bisa bernapas

Ternyata bagian perut dan dadanya telah terlilit selen-

dang hitam si nenek!

Walau masih menahan sakit pada kedua tangan 

dan dadanya akibat bentrok pukulan, namun Joko 

masih berusaha untuk hantamkan kedua tangannya 

untuk memotong gerakan selendang. Tapi si nenek le-

bih cepat bergerak. Dia sentakkan tangan kanannya. 

Selendang hitam yang melilit perut dan dada murid 

Pendeta Sinting pun terlepas. Namun bersamaan itu 

sosok Joko menukik deras dan akhirnya jatuh terka-

par di atas tanah dengan mulut kucurkan darah!

Bayangan Tanpa Wajah tak sia-siakan kesempatan. 

Dia segera melesat ke depan dengan posisi masih du-

duk bersila. Tangan kiri kanannya berkelebat hendak 

sarangkan dua totokan dahsyat.

Pendekar 131 hanya bisa memandang pada gerakan 

kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah tanpa bisa mem-

buat gerakan apa-apa!

Takkkk!

Tangan kanan Bayangan Tanpa Wajah lakukan to-

tokan pada lambung kiri Pendekar 131. Sementara 

tangan kiri terus berkelebat hendak sarangkan totokan 

pada pundak kanan murid Pendeta Sinting.

Joko berseru tertahan. Dia merasakan lambungnya 

kaku dan separo anggota tubuhnya sebelah kiri tegang 

tak bisa digerakkan! Namun Joko masih coba gerak-

kan tangan kanan untuk menghadang kelebatan tan-

gan kiri Bayangan Tanpa Wajah. Tapi gerakan tangan 

kiri Bayangan Tanpa Wajah rupanya lebih cepat. Hing-

ga baru saja murid Pendeta Sinting angkat tangan ka-

nannya, tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah sudah 

menyusup ke arah ketiaknya!

Satu telunjuk jari lagi tangan kiri Bayangan Tanpa 

Wajah sarangkan totokan, mendadak satu bayangan


putih berkelebat. Tidak terdengar adanya gelombang 

yang menyambar. Namun bersamaan itu sosok tubuh 

murid Pendeta Sinting tersapu ke belakang lalu me-

nyusur tanah dan akhirnya menghantam satu gugu-

san batu di belakang sana. Namun sapuan itu mem-

buat dirinya selamat dari totokan tangan kiri Bayan-

gan Tanpa Wajah.

Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan dengusan ke-

ras. Dia cepat berpaling ke samping kanan. Dia tidak 

bisa melihat dengan jelas siapa adanya bayangan pu-

tih. Namun Bayangan Tanpa Wajah tidak peduli. Dia 

maklum kalau ada orang yang ikut campur urusan-

nya. Hingga tanpa melihat siapa adanya orang, dia se-

gera hantamkan kedua tangannya.

Ratu Selendang Asmara terlengak melihat muncul-

nya orang. Tanpa pedulikan pula siapa adanya orang, 

dia sentakkan selendang di tangan kanannya. Selen-

dang hitam meliuk ganas.

Orang berbaju putih membuat gerakan berputar sa-

tu kali. Tangan kiri kanannya bergerak.

Gelombang yang menggebrak dari kedua tangan 

Bayangan Tanpa Wajah langsung ambyar lenyap! Bah-

kan bersamaan itu sosok Bayangan Tanpa Wajah ter-

jengkang jatuh di atas tanah.

Di lain pihak, tiba-tiba gerakan selendang hitam Ra-

tu Selendang Asmara laksana dihempas gelombang 

luar biasa dan mental balik! Tangan kanan si nenek 

terlempar ke belakang.

Orang berbaju putih gerakkan tangan kirinya sekali 

lagi ke arah ujung selendang yang ikut tertarik ke be-

lakang. Selendang hitam milik Ratu Selendang Asmara 

meliuk dan tahu-tahu melilit pada tubuh si nenek sen-

diri!

Orang berbaju putih putar pandangan sesaat. Lalu


berkelebat ke arah jatuhnya murid Pendeta Sinting. 

Tanpa perdengarkan suara, dia gerakkan tangan ka-

nannya. Tahu-tahu sosok tubuh Joko sudah berada di 

pundak kanan orang.

Bayangan Tanpa Wajah menggeram marah. Dia ce-

pat bergerak duduk. Kembali kedua tangannya lepas 

pukulan. Ratu Selendang Asmara tak berdiam diri. 

Tangan kirinya ikut lepas pukulan.

Di sebelah samping, Dewi Bunga Asmara yang sejak 

tadi hanya melihat seraya bergerak mundur hindarkan 

diri dari bias bentroknya pukulan, segera pula han-

tamkan kedua tangan begitu melihat orang berbaju 

putih angkat tubuh murid Pendeta Sinting.

Gabungan pukulan tiga orang melesat angker ke 

arah orang berbaju putih. Di depan sana, orang berba-

ju putih hanya memandang sesaat. Tanpa berusaha 

menghadang pukulan, dia sentakkan kedua kakinya. 

Sosoknya melesat ke samping lalu berkelebat tinggal-

kan tempat itu.

Blarr! Blarrr! Blarrr!

Gugusan batu di belakang mana tadi Joko terkapar 

langsung semburat. Tanahnya ikut bertabur menutup 

pemandangan.

Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-

ra hendak mengejar. Namun mendadak mereka urung-

kan niat masing-masing tatkala mereka berdua mera-

sakan sekujur tubuhnya kaku tak bisa digerakkan!

Di lain pihak, karena tidak merasakan seperti apa 

yang dialami Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selen-

dang Asmara, Dewi Bunga Asmara segera berkelebat.

“Tahan!” seru Ratu Selendang Asmara, membuat 

Dewi Bunga Asmara hentikan gerakan. Dia berpaling 

pada gurunya yang perlahan-lahan melorot jatuh di 

atas tanah dengan selendang masih melilit tubuhnya.


“Bang Sun Giok! Cepat lepas lilitan selendang ini! 

Lalu lepas pula totokan keparat di tubuhku!” Ratu Se-

lendang Asmara berteriak.

“Aneh.... Bagaimana mungkin dia bisa terkena toto-

kan?!” kata Bang Sun Giok alias Dewi Bunga Asmara

dalam hati seraya melompat ke arah gurunya. Dia ce-

pat lepaskan lilitan selendang pada tubuh Ratu Selen-

dang Asmara.

“Apa lagi yang kau tunggu! Lepas totokan di empat 

jalur darah punggungku!” kata Li Muk Cin alias Ratu 

Selendang Asmara ketika mendapati Dewi Bunga As-

mara masih diam memperhatikan.

Walau masih merasa heran, namun Dewi Bunga 

Asmara cepat melangkah ke belakang. Kedua tangan-

nya bergerak di empat tempat punggung Ratu Selen-

dang Asmara. Ratu Selendang Asmara sendiri tampak 

pejamkan kedua matanya. Dan begitu Dewi Bunga 

Asmara telah gerakkan kedua tangannya, si nenek 

menghela napas panjang. Perlahan-lahan sepasang 

matanya dibuka lalu bangkit berdiri dan melangkah ke 

arah Bayangan Tanpa Wajah yang duduk bersimpuh 

tak bergerak-gerak.

Ratu Selendang Asmara duduk bersila di depan 

Bayangan Tanpa Wajah. Saat bersamaan kedua tan-

gan-nya bergerak. Jari telunjuk kedua tangannya dili-

pat lalu dihantamkan perlahan pada empat tempat di 

sekitar dada dan lambung Bayangan Tanpa Wajah.

Bayangan Tanpa Wajah mendongak. “Orang itu me-

lepas pukulan ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’ ting-

kat tiga!”

“Bagaimana mungkin? Bukankah satu-satunya o-

rang yang menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Mataha-

ri’ sudah dikabarkan tewas karena beberapa puluh ta-

hun terakhir tidak terdengar lagi beritanya?!” sahut


Ratu Selendang Asmara dengan wajah keheranan.

“Kabar yang tersiar tidak selamanya benar. Terbukti 

masih ada orang yang bisa melepas ilmu ‘Sembilan 

Gerbang Matahari’!”

“Jadi...?”

“Aku yakin orang tadi itu adalah Bu Beng La Ma! 

Satu-satunya orang di daratan Tibet yang menguasai 

ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’!”

“Hem.... Ini satu tanda kalau rencana kita akan ter-

ganjal! Mustahil kita mampu berhadapan dengan Bu 

Beng La Ma!”

“Ini juga satu isyarat jika pemuda itulah yang kita 

cari! Tak mungkin Bu Beng La Ma turun tangan tanpa 

ada sesuatu yang sangat penting! Apalagi akhir-akhir 

ini namanya sudah lenyap dari peredaran rimba persi-

latan. Bahkan hampir semua orang sudah menduga 

kalau dia telah tewas ditelan usia!” kata Bayangan 

Tanpa Wajah seraya beranjak bangkit mengikuti Ratu 

Selendang Asmara yang bangkit dahulu.

“Lalu apa yang harus kita perbuat?!”

“Kita teruskan rencana pencarian ini! Tak mungkin 

Bu Beng La Ma akan terus mengikuti ke mana langkah 

pemuda itu!” jawab Bayangan Tanpa Wajah seraya 

menahan dadanya dengan kedua tangan karena masih 

terasa nyeri.

“Selama ini aku hanya mengenal Bu Beng La Ma 

tanpa tahu di mana tempat tinggalnya! Kau tahu di 

mana tokoh itu berdiam diri?!” tanya Ratu Selendang 

Asmara.

“Mendiang guruku pernah bercerita. Bu Beng La Ma 

tinggal di sebuah kuil di puncak bukit. Karena kuil itu 

tidak beratap, kalangan rimba persilatan saat itu me-

namakannya Kuil Atap Langit.”

“Tempatnya...?!”


“Perjalanan dua hari dua malam dari pesisir ke arah 

utara!”

“Kita harus ke sana!” kata Ratu Selendang Asmara. 

“Kita tunggu sampai pemuda itu turun bukit! Dan se-

dapat mungkin kita hindari bentrok dengan Bu Beng 

La Ma!”

Tanpa menunggu jawaban dari Bayangan Tanpa 

Wajah, Ratu Selendang Asmara berpaling pada Dewi 

Bunga Asmara.

“Sun Giok! Kau pulanglah! Perjalanan ini sangat 

berbahaya!”

Dewi Bunga Asmara geleng kepala. “Aku ikut!”

Karena sudah tahu bagaimana sifat muridnya, mes-

ki amat berat pada akhirnya Ratu Selendang Asmara 

tak bisa mencegah.

“Tapi kau harus berhati-hati! Jangan berani lancang 

melepas pukulan kalau tidak dalam keadaan terpaksa! 

Kau kuajak hanya untuk berjaga-jaga bila sesuatu ter-

jadi padaku!”

Dewi Bunga Asmara anggukkan kepala meski dalam 

hati dia mengatakan sebaliknya. “Aku sudah besar. 

Aku tahu apa yang harus kulakukan!”

“Kita berangkat sekarang!” kata Ratu Selendang As-

mara. Dia memberi isyarat pada Dewi Bunga Asmara. 

Saat lain si nenek mendahului berkelebat. Disusul ke-

mudian oleh Dewi Bunga Asmara. Bayangan Tanpa 

Wajah menyusul di belakang.

***


DELAPAN


YANG Mulia Baginda Ku Nang melangkah mondar


mandir di ruangan tidak begitu besar yang hanya dite-

rangi sebuah lampu kecil, hingga suasana ruangan itu 

tampak temaram. Ruangan itu terletak di bagian sam-

ping ruang tidur yang besar. Namun ruangan di mana 

sekarang Baginda Ku Nang berada lebih penting ke-

beradaannya. Karena di ruangan inilah Baginda Ku 

Nang meletakkan semua pusaka kerajaan. Di ruangan 

ini pula Baginda Ku Nang sering menyendiri.

Yang Mulia Baginda Ku Nang hentikan langkahnya 

ketika telinganya mendengar suara langkah-langkah 

kaki mendekati ruangan di mana dia berada. Saat lain 

pintu ruangan diketuk orang.

“Masuk!” kata Baginda Ku Nang.

Pintu ruangan berderit membuka. Cahaya lampu te-

rang menerobos masuk dari lampu di luar. Satu so-sok 

tubuh kekar tampak tegak di ambang pintu. Orang ini 

bungkukkan tubuh.

“Panglima Su Jin! Masuklah!” Baginda Ku Nang 

kembali buka mulut.

Orang di ambang pintu yang dipanggil Panglima Su 

Jin kembali bungkukkan tubuh. Dia adalah seorang 

laki-laki berumur empat puluh tahun. Wajahnya ga-

rang. Rambutnya disanggul tinggi. Dia mengenakan 

pakaian kebesaran seorang panglima. Tanpa buka mu-

lut, dia melangkah masuk. Setelah menutup pintu dia 

melangkah mendekati Baginda Ku Nang yang begitu 

buka mulut langsung balikkan tubuh.

“Bagaimana?! Apakah pekerjaan itu selesai?!” Ba-

ginda Ku Nang ajukan tanya dengan tubuh masih 

membelakangi Panglima Su Jin. Tangan kirinya tam-

pak dirangkapkan di depan dada, sementara tangan 

kanan mengelus jenggotnya.

“Pekerjaan itu selesai, Yang Mulia!”

Baginda Ku Nang cepat balikkan tubuh menghadap


Panglima Su Jin. Sepasang matanya memandang ta-

jam. Bukan pada paras wajah orang di hadapannya, 

melainkan pada kedua tangan orang yang memegang 

dua kotak kulit.

“Hem.... Bagus! Aku ingin lihat hasilnya!” kata Ba-

ginda Ku Nang. Kedua tangannya diulurkan ke depan. 

Panglima Su Jin memberikan dua kotak di tangannya.

Dengan tersenyum Baginda Ku Nang membawa dua 

kotak kulit ke sebuah meja. Lalu perlahan-lahan dua 

kotak kulit diletakkan berdampingan. Saat lain tangan 

kiri kanan sang Baginda telah bergerak membuka dua 

kotak kulit di atas meja.

Pada masing-masing kotak, terlihat satu gelang a-

gak besar terbuat dari baja. Lingkaran pada setiap ge-

lang itu sebesar jari telunjuk berwarna putih. Pada se-

tiap gelang terlihat satu sambungan yang nyaris tidak 

tampak. Di bawah gelang terlihat kain beludru ber-

warna merah.

“Hem.... Nyaris sempurna tanpa cacat!” gumam Ba-

ginda Ku Nang dalam hati sambil anggukkan kepala.

“Panglima! Mendekatlah kemari!”

Panglima Su Jin melangkah mendekati Baginda Ku 

Nang lalu tegak di sampingnya. Matanya memandang 

silih berganti pada gelang di dalam kotak kulit.

“Kau tunjuk mana yang asli!” kata Baginda Ku 

Nang.

Panglima Su Jin sorongkan kepalanya. Untuk bebe-

rapa lama dia pentangkan mata memandang silih ber-

ganti pada gelang baja.

“Maaf, Yang Mulia.... Mataku tak bisa membedakan 

mana yang asli dan mana yang buatan!” ujar Panglima 

Su Jin seraya gelengkan kepala.

Baginda Ku Nang tertawa perlahan. “Mundurlah!” 

perintahnya.


Panglima Su Jin surutkan langkah. Baginda Ku 

Nang maju lalu mengambil salah satu gelang di dalam 

kotak. Dia pegang bagian samping kiri kanan sambun-

gan gelang yang nyaris tidak terlihat.

Perlahan-lahan Baginda Ku Nang menarik sambun-

gan gelang. Sambungan gelang bergerak ke samping 

kanan kiri. Bersamaan itu terlihat sebuah gulungan 

kain kecil berwarna putih di dalam batangan gelang.

Baginda Ku Nang menarik gulungan kain di bata-

ngan gelang. Kain itu agak keras hingga mudah untuk 

menarik dari luar. Dengan masih sunggingkan se-

nyum, sang Baginda membuka gulungan kain. Ternya-

ta kain putih itu kosong tanpa ada tulisan atau gam-

bar!

Baginda Ku Nang memperhatikan sesaat. Lalu ang-

kat kain putih dan diterawangkan pada lampu kecil di 

sudut meja. Dia anggukkan kepala lalu kembali meng-

gulung kain putih hingga kecil dan saat lain dimasuk-

kan kembali ke dalam batangan gelang.

Kedua kotak kulit ditutup kembali. Lalu Baginda Ku 

Nang putar tubuh menghadap Panglima Su Jin.

“Bagaimana dengan si pembuatnya?!”

Panglima Su Jin bungkukkan tubuh. “Sesuai perin-

tah, si pembuat telah kami kubur!”

“Bagus! Ingat, Panglima! Hanya kau seorang yang 

tahu urusan ini! Kalau mulutmu membuka, kau tahu 

akibatnya!”

Panglima Su Jin anggukkan kepala. “Kami tahu apa 

akibatnya, Yang Mulia! Harap Yang Mulia tidak mera-

gukan tindakan kami!”

“Hem.... Sekarang keluarlah! Mulai malam ini per-

ketat penjagaan istana. Jangan biarkan masuk orang 

yang tidak dikenal! Lalu cari kabar mengenai beberapa 

orang sahabatku yang mendapat tugas mengawasi Perguruan Shaolin. Malam ini aku ada urusan. Siapa pun 

yang hendak menemuiku, katakan suruh menunggu 

sampai besok!”

Panglima Su Jin kembali anggukkan kepala. Saat 

lain dia melangkah ke arah pintu. Setelah membung-

kuk sekali lagi, dia tutupkan pintu dan melangkah 

menjauhi ruangan.

Begitu pintu tertutup, Baginda Ku Nang balikkan 

tubuh. Dia mengambil salah satu kotak kulit lalu 

membuka sebuah almari kecil di pojok ruangan. Kejap 

lain dia melompat kembali mendekati meja. Lampu ke-

cil dimatikan. Beberapa saat kemudian dia keluar dari 

ruangan dengan mengenakan pakaian hitam-hi-tam. 

Tangan kanannya menjinjing kotak kulit.

***

Di kaki bukit, sosok berpakaian hitam-hitam itu 

tampak tegak bersandar pada sebatang pohon. Sese-

kali kepalanya bergerak memandang ke satu jurusan. 

Meski suasana gelap, namun sosok ini tampaknya bisa 

melihat keadaan. Terbukti ketika satu sosok hitam 

berkelebat ke arahnya, sosok yang tegak bersandar ke 

batangan pohon ini langsung menyongsong.

“Amitaba.... Aku sudah merasa khawatir, Yang Mu-

lia!” kata laki-laki yang tadi bersandar di batangan po-

hon seraya takupkan kedua tangan di depan dada.

Orang yang baru muncul dan ternyata laki-laki ber-

pakaian hitam-hitam yang tangan kanannya membawa 

sebuah kotak kulit dan bukan lain adalah Yang Mulia 

Baginda Ku Nang tertawa pendek.

“Kita telah melangkah menempuh bahaya, Guru 

Besar Liang San! Dan aku tak mau semuanya berakhir 

dengan sebuah pengkhianatan!”

“Amitaba.... Terima kasih, Yang Mulia!” kata laki


laki yang tadi tegak bersandar di batangan pohon yang 

ternyata adalah Guru Besar Liang San.

“Kau telah menemukan tempat yang aman dan se-

suai untuk menyimpan kotak ini?!” tanya Baginda Ku 

Nang.

Guru Besar Liang San menjawab dengan angguk-

kan kepala. Baginda Ku Nang tersenyum lalu membe-

rikan kotak kulit di tangannya pada Guru Besar Liang 

San.

Guru Besar Liang San memandang sesaat dengan 

sikap bimbang. Baginda Ku Nang lagi-lagi tersenyum.

“Kau yang memilih tempat. Kuharap kau yang mem-

bawanya pula!”

Kebimbangan pada raut wajah Guru Besar Liang 

San lenyap seketika. Dia segera sambuti kotak kulit 

dari tangan Baginda Ku Nang. Dia memandang sejenak 

lalu anggukkan kepala dan berucap.

“Harap Yang Mulia mengikutiku....”

Baginda Ku Nang memberi isyarat dengan lempang-

kan tangan kanannya mempersilakan Guru Besar 

Liang San bergerak dahulu.

Tanpa menunggu lama, Guru Besar Liang San ber-

kelebat. Baginda Ku Nang mengikuti dari belakang se-

telah putar pandang berkeliling.

Setelah berlari kira-kira seratus tombak, pada se-

buah aliran sungai kecil, Guru Besar Liang San henti-

kan larinya. Baginda Ku Nang ikut hentikan gerakan. 

Lalu mendekati Guru Besar Liang San.

“Kau percaya tempat ini aman?!” tanya Baginda Ku 

Nang.

“Aku telah menyelidik tempat ini beberapa purna-

ma. Harap Yang Mulia percaya!”

Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San me-

langkah mendekati sebuah batu padas. Sang Baginda


mengikuti dari belakang dengan mata terus memper-

hatikan berkeliling.

Guru Besar Liang San jongkok di dekat batu padas. 

Perlahan tangan kirinya bergerak. Batu padas terang-

kat. Terlihatlah satu batu yang di tengahnya berlobang 

agak besar.

“Hem.... Ternyata dia sudah menyiapkan tempat! 

Jadi dia benar-benar telah merencanakan semua ini 

dengan cermat!” kata sang Baginda dalam hati.

Guru Besar Liang San pandangi kotak kulit di tan-

gan kanannya. Lalu beralih pada Baginda Ku Nang 

yang tegak tidak jauh di sampingnya. Rupanya sang 

Baginda dapat menangkap arti pandangan orang. 

Hingga seraya tersenyum dia berkata.

“Agar tidak terjadi ganjalan hati, harap Guru Besar 

Liang San sudi membuka kotak itu!”

Paras wajah Guru Besar Liang San tampak beru-

bah. Namun kotak kulit segera diletakkan di atas ta-

nah. Perlahan-lahan dia buka kotak kulit. Sepasang 

matanya membesar memperhatikan gelang di dalam 

kotak. Dada Baginda Ku Nang berdebar. Dia tidak per-

hatikan gelang di dalam kotak, melainkan pada gera-

kan kepala Guru Besar Liang San.

Guru Besar Liang San tutupkan kembali kotak ku-

lit. Kepalanya berpaling tengadah ke arah sang Bagin-

da dengan bibir tersenyum. Baginda Ku Nang meng-

hela napas.

Dengan cepat Guru Besar Liang San angkat kotak 

kulit. Lalu diletakkan ke dalam lobang batu. Tangan 

kirinya yang masih menahan batu padas segera ditu-

runkan. Batu padas kembali ke tempatnya seperti se 

mula. Lobang di dalam batu lenyap tidak kelihatan.

“Yang Mulia.... Tempat ini hanya kita berdua yang 

tahu. Harap tidak mengambilnya tanpa adanya salah


satu dari kita!”

“Aku mengerti, Guru Besar Liang San! Dan kita ha-

rus cepat tinggalkan tempat ini!”

Baginda Ku Nang berkelebat terlebih dahulu. Guru 

Besar Liang San tersenyum lalu melesat menyusul.

Pada satu tempat, Baginda Ku Nang berhenti dan 

langsung buka mulut.

“Kau masih tetap dengan rencanamu untuk turun 

tangan sendiri memburu setengah dari peta wasiat 

itu?!”

“Perjalanan ini telah sampai pada pertengahan. A-

kan sia-sia semua yang telah kita lakukan kalau ber-

henti sampai di sini! Kuharap Yang Mulia bersabar 

menunggu kabar! Begitu aku berhasil, aku akan segera 

menemuimu!”

“Tapi....”

“Aku tahu, Yang Mulia.... Hari ganda sepuluh me-

mang enam hari di muka. Berarti aku cuma memiliki 

waktu enam hari. Tapi aku yakin, dalam kurun waktu 

enam hari ini, aku bisa mendapatkan setengah dari pe-

ta wasiat itu! Sekarang juga aku akan mulai melaku-

kan perjalanan!”

Baginda Ku Nang anggukkan kepala tanpa perde-

ngarkan suara. Guru Besar Liang San takupkan kedua 

tangan di depan dada. Tanpa berkata lagi, dia segera 

berkelebat tinggalkan Baginda Ku Nang yang perhati-

kan kepergian Guru Besar Liang San dengan bibir 

sunggingkan senyum!

***

SEMBILAN


KARENA tahu dirinya diselamatkan, Pendekar 131 

tidak berusaha buka mulut bertanya pada orang yang 

membawanya lari. Bahkan dia juga tidak berusaha un-

tuk mengenali paras wajah orang dengan angkat ke-

palanya yang kini menggelantung tepat di dada orang. 

Sebaliknya dia pejamkan mata lalu salurkan tenaga 

dalam untuk mengatasi rasa sakit pada dada sekaligus 

untuk membuyarkan totokan pada lambung kirinya. 

Namun setelah agak lama kerahkan tenaga dalam, 

murid Pendeta Sinting hanya bisa kurangi rasa nyeri 

pada dadanya dan gagal buyarkan totokan yang bersa-

rang pada lambung.

“Jangan paksakan diri untuk membuyarkan toto-

kan itu, Anak Muda!” Tiba-tiba terdengar teguran dari 

mulut orang yang membawa lari ketika Pendekar 131 

berusaha lagi kerahkan tenaga dalam untuk mem-

buyarkan totokan orang. “Ilmumu memang tinggi, na-

mun bukan berarti kau mudah untuk melepaskan diri 

dari totokan itu! Dibutuhkan cara sendiri untuk laku-

kan hal itu!”

Pendekar 131 urungkan niat. Perlahan-lahan dia 

buka sepasang matanya lalu dia coba angkat kepala 

untuk mengenali orang. Namun baru saja kepalanya 

bergerak, terdengar lagi ucapan.

“Kau nanti akan tahu. Tak usah khawatir atau ce-

mas!”

Murid Pendeta Sinting batalkan angkat kepala. Dan 

tanpa banyak mulut, dia pejamkan lagi matanya.

Joko tidak tahu ke mana arah yang tengah dituju 

orang yang membawanya lari. Dia baru buka matanya

yang membawanya terasa memperlambat larinya. Malah kini melangkah. Karena saat itu suasana telah ge-

lap, Joko tidak tahu tengah berada di mana. Yang je-

las dia merasa ada di tempat ketinggian karena begitu 

arahkan pandangan berkeliling, yang terlihat adalah 

hamparan tempat kosong!

Pendekar 131 mulai khawatir. Dia putar kepala me-

lihat ke bawah. Samar-samar matanya melihat tangga 

naik dari batu. Tapi Joko segera pejamkan matanya 

kembali tatkala merasakan orang yang membawanya 

mulai berlari lagi hingga membuat kepalanya pening 

jika terus memandang ke arah tangga naik di bawah-

nya.

Joko baru buka matanya kembali ketika merasakan 

orang yang membawanya hentikan langkah dan perla-

han-lahan meletakkan tubuhnya di atas lantai batu.

Joko cepat bergerak hendak bangkit. Dia lupa akan 

keadaan dirinya yang masih tertotok lambung kirinya 

hingga separo tubuhnya tak bisa digerakkan.

“Jangan bergerak dulu, Anak Muda!” Terdengar su-

ara teguran. Saat yang sama Joko merasakan sentu-

han lembut pada dua tempat di lambungnya. Bersa-

maan itu Joko merasakan aliran darahnya lancar. Ke-

tegangan pada lambung kirinya lenyap!

Merasa sudah bisa bergerak, Joko cepat bergerak 

duduk. Pandang matanya membentur pada satu sosok 

tubuh seorang kakek mengenakan jubah putih duduk 

bersila di hadapannya. Parasnya agak tirus. Kumis dan 

jenggotnya panjang serta putih. Rambutnya yang juga 

telah memutih disanggul tinggi ke atas dan diikat de-

ngan kain warna merah. Sepasang matanya agak sipit. 

Tepat di tengah keningnya terdapat bundaran sebesar 

ibu jari berwarna putih mengkilat.

“Terima kasih atas bantuanmu, Kek...,” kata Joko 

sambil menjura.


Orang tua yang di keningnya terdapat gambar bun-

daran warna putih berkilat tersenyum lalu balas ang-

gukkan kepala.

“Kek.... Boleh aku tahu siapa dirimu?!”

“Itu tidaklah begitu penting, Anak Muda. Sebaliknya 

justru aku yang harus ajukan tanya untuk tahu siapa 

dirimu dan mengapa sampai terlibat bentrok dengan 

tokoh negeri ini yang dikenal orang dengan Bayangan 

Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara....”

Pendekar 131 berpikir sesaat. Dia memandang agak 

lama pada orang tua yang duduk di hadapannya. O-

rang yang dipandang tampaknya tahu apa yang di-

pikirkan murid Pendeta Sinting. Dengan tersenyum dia 

buka mulut.

“Anak muda.... Kau tak usah memaksakan diri ka-

lau merasa keberatan dengan pertanyaanku tadi....”

Joko gelengkan kepala. “Dia telah menyelamatkan 

aku. Rasanya tidak pantas kalau aku berdusta pada-

nya. Apalagi kulihat sikapnya seperti orang baik-baik!” 

kata Joko dalam hati lalu buka suara.

“Aku Joko Sableng, Kek....”

“Hem.... Dari nama dan paras wajahmu, tentu kau 

bukan berasal dari negeri ini!” kata si orang tua berju-

bah putih.

“Benar.... Aku hanya kebetulan hingga sampai di 

negeri ini!” Lalu Joko menceritakan mengapa sampai 

terlibat bentrok dengan Bayangan Tanpa Wajah dan 

Ratu Selendang Asmara. Namun Joko masih coba ti-

dak menyinggung-nyinggung soal peta wasiat.

“Hem.... Biasanya, kalau tokoh macam Bayangan 

Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara turun dari 

kediamannya, pasti ada sesuatu yang sangat penting! 

Dan melihat mereka coba membuat urusan denganmu, 

tentu urusan penting itu ada padamu! Dan kalau di


hubungkan dengan kejadian yang peristiwanya baru 

saja terjadi di Perguruan Shaolin, mungkin kau masih 

ada hubungannya dengan semua itu!”

Pendekar 131 tidak menyahut. Dia tengah tengge-

lam dalam kebimbangan antara menceritakan terus te-

rang apa yang dialaminya semenjak dari pertemuan-

nya dengan Yang Kui Tan hingga sampai terlibat ben-

trok dengan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selen-

dang Asmara.

“Anak muda.... Kau masih beruntung. Saat bentrok 

tadi kulihat Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selen-

dang Asmara belum perlihatkan jurus-jurus andalan-

nya! Sepertinya mereka hanya ingin membuatmu lum-

puh. Hal ini makin membuatku yakin jika mereka me-

merlukan sesuatu atau setidaknya ada yang diha-

rapkan darimu! Aku tidak memaksamu untuk mem-

beri keterangan. Namun kalau kau mau mengatakan-

nya, tentu sedikit banyak aku bisa mencarikan jalan 

keluar. Karena mereka berdua pasti akan terus menge-

jarmu sebelum mereka dapatkan apa yang mereka ha-

rapkan!”

Mendengar ucapan si orang tua dan setelah menim-

bang-nimbang, akhirnya murid Pendeta Sinting men-

ceritakan terus terang apa yang dialaminya mulai dari 

pertemuannya dengan Yang Kui Tan sampai terlibat 

bentrok dengan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Se-

lendang Asmara.

Orang tua di hadapan Pendekar 131 tampak sedikit 

tercengang mendengar penuturan keterangan Joko. 

Dia beberapa kali menghela napas panjang. Lalu ber-

kata setelah Joko mengakhiri penuturannya.

“Kau bernasib baik, Anak Muda.... Tapi kau juga 

harus menanggung beban bahaya dalam mengarungi 

kebaikan nasibmu ini.... Sejak berpuluh-puluh tahun


yang lalu, urusan peta wasiat itu memang telah ba-

nyak dibuat pembicaraan kalangan rimba persilatan 

sampai para penguasa kerajaan meski secara diam-

diam. Hanya saja karena kharisma Maha Guru Besar 

Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi, selama ini tidak 

pernah terjadi hal-hal buruk apalagi sampai pertum-

pahan darah demi peta wasiat itu! Walau aku punya 

dugaan, selama ini banyak orang yang menunggu saat 

tepat untuk bergerak dan mengambil peta wasiat itu!” 

Si orang tua berjubah putih sesaat hentikan ucapan. 

Lalu melanjutkan setelah menghela napas beberapa 

kali.

“Beberapa hari yang lalu, aku hendak berkunjung 

menemui Maha Guru Besar Su Beng Siok. Ini adalah 

untuk pertama kalinya aku turun dari tempatku ini se-

lama hampir sepuluh tahun terakhir. Sebenarnya aku 

sudah tak ingin lagi turun, tapi demi mendengar Maha 

Guru Besar Su Beng Siok yang juga adalah sahabat 

baikku tengah mengalami sakit keras, aku ter-paksa 

hendak menemuinya! Tapi ternyata kedatangan-ku 

sudah terlambat....” Karena sudah mendengar apa 

yang terjadi di Perguruan Shaolin dari Tiyang Pengem-

bara Agung, Joko segera angkat suara.

“Orang tua.... Kau dapat menduga siapa kira-kira di 

balik peristiwa berdarah itu?!”

Yang ditanya gelengkan kepala perlahan. “Tidak 

baik mencurigai orang tanpa melihat dahulu bukti-

bukti yang kuat! Tapi aku bisa memastikan jika ada 

orang dalam yang ikut terlibat dalam peristiwa itu!”

“Orang tua! Kau juga telah dengar kalau Guru Be-

sar Wu Wen She tiba-tiba lenyap begitu peristiwa ter-

jadi?!”

“Aku dengar hal itu. Tapi itu bukanlah satu-satunya 

yang dapat dijadikan bukti keterlibatan Guru Besar


Wu Wen She!”

“Lalu mengapa dia melenyapkan diri?! Bukankah 

tindakannya itu akan menimbulkan kecurigaan?!”

“Bagi orang yang berpikir panjang, tidak akan se-

mudah itu menjatuhkan kecurigaan!”

“Kau bisa memberikan alasan?!”

“Secara diam-diam aku berhasil masuk Perguruan 

Shaolin. Rupanya bukan hanya Guru Besar Wu Wen 

She yang lenyap begitu saja!”

Dahi murid Pendeta Sinting berkerut. 

“Jadi...?!”

“Seorang anak kecil berusia sepuluh tahun juga le-

nyap! Kuduga anak itu dibawa Guru Besar Wu Wen 

She!”

“Tapi apa hubungannya anak kecil itu dengan peris-

tiwa yang terjadi?!”

“Anak muda.... Beberapa tahun yang lalu, saha-

batku Maha Guru Besar Su Beng Siok sempat berkun-

jung kemari. Saat itu baru saja terjadi pergantian ke-

kuasaan dari Yang Mulia Baginda Lo pada Baginda Ku 

Nang yang menjadi penguasa sekarang! Dia bercerita 

bahwa kalau dirinya telah menyelamatkan seorang 

anak kecil. Dan anak kecil Ku adalah putra dari Yang 

Mulia Baginda Lo yang digulingkan dengan kekerasan 

oleh Yang Mulia Baginda Ku Nang....” Si orang tua ber-

jubah putih berhenti sebentar. Dia alihkan pandang 

matanya ke jurusan lain lalu melanjutkan.

“Aku memberi ingat padanya agar berhati-hati. Ka-

rena jika sampai tindakannya itu diketahui pihak kera-

jaan, maka malapetaka tidak akan bisa dihindari lagi. 

Maha Guru Besar Su Beng Siok memberi alasan, jika 

penyelamatan itu semata-mata didasarkan pada kema-

nusiaan tanpa menghubung-hubungkan dengan kedu-

dukan. Dan dia ingin menjadikan dan membimbing


anak itu agar nantinya dapat menerima kenyataan 

tanpa harus membalas apa yang telah terjadi! Dan dia 

juga merahasiakan hal ini. Mungkin hanya aku dan 

Guru Besar Pu Yi yang tahu. Dan kalau pada akhirnya 

Guru Besar Wu Wen She lenyap bersama anak itu, be-

rarti salah satu dari Maha Guru Besar Su Beng Siok 

atau Guru Besar Pu Yi telah memberitahukan siapa 

sebenarnya anak itu pada Guru Besar Wu Wen She.... 

Itulah salah satu alasanku mengapa aku menduga 

Guru Besar Wu Wen She bukan orang yang di bela-

kang peristiwa berdarah itu!”

“Bagaimana dengan Guru Besar Liang San atau pi-

hak kerajaan sendiri? Karena waktu di atas laut, Pang-

lima Muda Lie jelas-jelas menginginkan tubuh Yang 

Kui Tan! Pihak kerajaan tampaknya sudah tahu jika 

Yang Kui Tan membawa sebagian peta wasiat itu! Di-

tambah dengan percakapan Ratu Selendang Asmara 

dan Bayangan Tanpa Wajah, aku yakin pihak kerajaan 

terlibat dalam urusan ini!”

“Ini memang sesuatu yang aneh. Selama ini pihak 

kerajaan tidak pernah melibatkan diri dalam urusan 

rimba persilatan secara terang-terangan. Dan melihat 

pihak kerajaan tahu persis siapa Yang Kui Tan dan 

apa yang tengah diembannya, jelas ini memberi bayan-

gan ada orang dalam yang berhubungan erat dengan 

pihak kerajaan! Tapi untuk saat ini hal itu tidak begitu 

penting untuk dipikirkan, Anak Muda....”..

“Mengapa begitu, Kek?!”

“Kalau kau memikirkan dan hendak menyelidik 

urusan itu, dibutuhkan waktu lama. Sementara hari 

ganda sepuluh di mana peta wasiat itu bisa terlihat, 

sudah tidak lama lagi! Jadi yang penting sekarang ada-

lah mencari jejak di mana peta yang lenyap dari Per-

guruan Shaolin saat terjadinya peristiwa berdarah itu!”


“Tapi tanpa mengetahui siapa orang dalam yang ter-

libat, rasanya akan sulit mencari jejak peta yang le-

nyap itu!”

“Betul, Anak Muda. Tapi kau harus hindarkan diri 

menyelidik orang-orang kerajaan! Itu akan membuat 

langkahmu tersendat. Kalaupun kau ingin menyelidik, 

mulailah dari orang dalam Perguruan Shaolin!”

Joko anggukkan kepala. “Kalau Guru Besar Wu 

Wen She sudah termasuk orang yang bersih dari keter-

libatan dengan urusan ini, sekarang tinggal Guru Be-

sar Liang San!” kata murid Pendeta Sinting dalam hati 

lalu ajukan tanya.

“Orang tua. Menurut penilaianmu, bagaimana Guru 

Besar Liang San?!”

“Aku tak begitu banyak tahu tentang dia. Aku ha-

nya akrab dengan Maha Guru Besar Su Beng Siok dan 

Guru Besar Pu Yi!”

“Terima kasih atas semua keteranganmu, Orang 

Tua. Tapi sebelum aku pergi, mau kau mengatakan 

siapa dirimu?”

Orang tua di hadapan Joko tersenyum. “Aku Bu 

Beng La Ma.... Waktu seusiamu dulu, aku memang 

pernah melibatkan diri dalam kancah rimba persilatan. 

Namun begitu eyang guruku meninggal, aku diberi pe-

san oleh mendiang eyang guruku untuk menetap di si-

ni. Ini adalah tempat tinggal eyang guruku.... Orang-

orang menamakan tempat ini Kuil Atap Langit! Kau li-

hat ke atas....”

Pendekar 131 dongakkan kepala. Tempat di mana 

dia berada ternyata memang tidak beratap. Hingga 

tatkala kepala Joko mendongak, yang terlihat adalah 

hamparan langit!

Joko luruskan kepala. Lalu diputar dengan mata 

memperhatikan. Ternyata dia berada di satu ruangan


agak besar dari batu. Di pojok sebelah kanan terlihat 

beberapa patung Budha. Di sebelah depan terdapat 

sebuah jalan masuk tanpa daun pintu. Joko beranjak

bangkit lalu melangkah ke arah jalan masuk.

Pendekar 131 tercengang sesaat. Di depan jalan 

masuk itu ternyata terdapat tangga menurun dari ba-

tu. Tapi bukan tangga batu itu yang membuat Joko 

tercengang. Karena ternyata tangga batu itu lurus ke 

bawah dan karena saking panjangnya, Joko tidak bisa 

melihat tangga di bagian paling bawah! Padahal meski 

saat itu malam telah datang, namun sang rembulan 

tampak pancarkan sinar terang benderang, hingga ke 

mana mata diarahkan, orang tentu masih bisa melihat.

“Anak muda.... Sebenarnya aku sendiri dahulu me-

rasa gamang waktu pertama kali tinggal bersama e-

yang guruku di sini. Namun pada akhirnya aku jadi 

terbiasa. Dan sebenarnya, kalau tidak karena pesan 

Eyang Guru agar aku menetap di sini, tentu aku pilih 

berdiam diri di bawah sana....”

Murid Pendeta Sinting balikkan tubuh. Orang tua 

yang mengaku bernama Bu Beng La Ma sudah bang-

kit.

“Kek.... Aku akan pergi sekarang....”

“Anak muda.... Kuharap kau tunda dulu niatmu! 

Perjalananmu nanti menempuh bahaya yang tidak ke-

cil. Tidak tertutup kemungkinan kau akan berhadapan 

dengan beberapa tokoh negeri ini. Apalagi kini jika ka-

bar lenyapnya peta wasiat itu telah tersebar!”

“Tapi....”

“Aku tahu.... Kau membekal ilmu tinggi. Tapi jangan 

lupa, kau kini berada di negeri asing. Kau belum ba-

nyak mengenal tokohnya dan bagaimana kehebatan il-

munya! Aku ingin memberikan sedikit apa yang ku-

miliki. Siapa tahu pemberianku ini nantinya bisa


membantumu dalam perjalanan. Karena hanya ban-

tuan itulah yang dapat kuberikan padamu!”

Pendekar 131 tercenung sesaat lalu memandang Bu 

Beng La Ma dengan pandangan hampir tak percaya. 

Saat lain Joko telah jatuhkan diri berlutut.

“Terima kasih.... Mulai saat ini kau adalah guruku!”

“Ah.... Aku tidak layak dipanggil Guru! Berdirilah.... 

Anggap saja kita dua sahabat! Sebagai sahabat, apa 

yang kumiliki, patut juga kau miliki!”

Bu Beng La Ma kembali duduk bersila. “Mendekat-

lah. Dan duduklah bersila membelakangiku! Kosong-

kan pikiran!”

Perlahan-lahan Joko beranjak bangkit lalu turuti 

ucapan Bu Beng La Ma.

***

SEPULUH



KARENA telah memiliki dasar ilmu silat dan tenaga 

dalamnya sudah sangat terlatih, tidak sulit bagi Joko 

untuk menyergap semua jurus yang diajarkan Bu 

Beng La Ma begitu orang tua ini memberikan petunjuk 

setelah sebelumnya sempat alirkan tenaga dalamnya 

lewat telapak kedua tangannya pada punggung Pende-

kar 131. Hingga dalam waktu semalam, Joko telah da-

pat kuasai apa yang diajarkan Bu Beng La Ma.

“Anak muda...,” kata Bu Beng La Ma. Saat itu Bu 

Beng La Ma dan Pendekar 131 tengah duduk berha-

dap-hadapan. “Kuharap sedikit ilmu yang kuberikan 

padamu dapat membantu dalam perjalananmu nanti. 

Aku tak akan beri nasihat, kau tentu sudah dapat 

mengerti apa yang layak dan tidak layak kau lakukan!”


Pendekar 131 anggukkan kepala. Bu Beng La Ma 

arahkan pandang matanya ke jurusan lain. Lalu buka 

mulut lagi. “Hindari bentrok selama hal itu bisa kau 

lakukan! Dan sedapat mungkin jangan membuat uru-

san dengan pihak kerajaan. Karena hal itu nantinya 

dapat menyulut terjadinya salah paham dan bentrok 

antara kalangan persilatan negeri ini dengan pihak ke-

rajaan yang berkuasa. Bila itu terjadi, kalangan persi-

latan yang akan merugi. Sebab biasanya, pihak kera-

jaan dengan mudah akan menuduh kalangan persila-

tan sebagai orang-orang yang membawa para pembe-

rontak!”

“Tapi Guru.... Selama ini banyak pihak kerajaan 

yang memburuku! Bagaimana aku harus menghindari-

nya?!” Joko memanggil Bu Beng La Ma dengan sebutan 

Guru karena ia sudah menganggapnya sebagai guru.

Bu Beng La Ma terdiam beberapa saat mendengar 

ucapan Joko. “Hem.... Tampaknya keadaan keruh a-

kan terjadi...,” gumamnya dengan nada menyesal. 

“Anak Muda! Aku tak bisa mengatakan bagaimana ca-

ra menghindarinya. Tapi kalau memang keadaan ti-

dak memungkinkan, dan pihak kerajaan memang be-

nar-benar terlibat dalam urusan ini, kau tentu dapat 

memilih jalan terbaik! Dan ingat.... Jangan sekali-kali 

mudah turunkan tangan sebelum kau tahu pasti bukti 

keterlibatannya! Kau sekarang hanya punya tugas un-

tuk mendapatkan peta yang lenyap dari Perguruan 

Shaolin. Jadi hindari semua urusan yang tidak ada 

hubungannya dengan peta wasiat itu. Karena kau sen-

diri pasti telah tahu, di mana-mana orang rimba persi-

latan pasti akan terpecah dalam dua golongan! Dalam 

hal ini kau harus berada di pihak tengah! Tidak mem-

bela pihak putih namun jangan membuat urusan de-

ngan pihak hitam! Sekarang pergilah....”


Pendekar 131 sekali lagi anggukkan kepala. Setelah 

menjura dia bergerak bangkit. “Aku akan datang ke-

mari begitu peta wasiat itu telah kudapatkan!”

Habis berkata begitu, Joko melangkah ke arah jalan 

masuk. Dia memandang sesaat ke bawah. Karena saat 

itu matahari telah muncul dari langit timur, kali ini 

meski samar-samar Joko dapat melihat tangga batu 

paling bawah.

Murid Pendeta Sinting berpaling lagi pada Bu Beng 

La Ma. Menjura sekali lagi lalu mulai melangkah ke-

luar dari ruangan. Saat lain dia berkelebat menuruni 

anak tangga menurun dari batu.

Begitu injakkan kakinya di atas tanah, Joko berpa-

ling dengan kepala tengadah. Kuil di mana semalam 

dia berada tampak hanya merupakan onggokan batu 

hitam yang dihubungkan dengan tangga batu naik 

yang tinggi dan panjang.

Joko menunggu beberapa saat berharap Bu Beng La 

Ma tunjukkan diri. Namun hingga agak lama dia me-

nunggu, di atas sana tidak terlihat adanya sosok yang 

muncul. Joko menghela napas lalu berkelebat.

Baru saja berlari dua puluh lima tombak, murid 

Pendeta Sinting mendadak hentikan langkah. Meman-

dang ke depan, dia melihat satu sosok tubuh tegak 

dengan sikap menghadang.

Pendekar 131 memperhatikan sesaat. Dia adalah 

seorang perempuan berparas cantik berusia empat pu-

luh tahunan. Rambutnya hitam lebat disanggul sedikit 

ke atas, sebagian lagi digeraikan di bagian samping pi-

pi kanan kirinya. Bibirnya dipoles merah menyala. Ke-

dua alis matanya ditambah pewarna hitam. Pada le-

hernya yang putih dan jenjang terlihat tato bergambar 

bulan sabit. Perempuan cantik ini mengenakan paka-

ian warna putih tipis hingga seluruh lekuk anggota tubuhnya terlihat sangat jelas. Pada kepalanya juga 

mengenakan sebuah mahkota yang atasnya bergambar 

bulan sabit berwarna kuning keemasan.

Dari sikap orang, tampaknya Joko sudah menang-

kap gelagat tidak baik. Dan karena tidak mau mem-

buat urusan, Joko coba menahan diri untuk tidak bu-

ka mulut bertanya. Dia hanya anggukkan kepala den-

gan tersenyum. Saat kemudian dia menyisi ke samping 

lalu hendak teruskan melangkah.

Si perempuan melirik gerakan murid Pendeta Sin-

ting. Tiba-tiba dia perdengarkan bentakan kala Joko 

mulai melangkah.

“Tahan gerakan kakimu! Kita perlu bicara!”

Pendekar 131 hentikan tindakan kakinya. Dia ber-

paling dengan dahi berkerut.

“Rasanya kita baru pertama kali ini bertemu. Sebe-

lum kita mulai pembicaraan, harap kau suka sebutkan 

diri....”

Si perempuan dongakkan kepala hingga Joko bisa 

melihat jelas tato bergambar bulan sabit pada leher-

nya.

“Aku Ouw Kiu Lan! Namun hanya sebagian orang 

yang tahu nama itu. Mereka lebih mengenaliku dengan 

Bidadari Bulan Emas!”

“Hem.... Aku adalah....”

“Aku tahu siapa kau!” tukas si perempuan yang se-

butkan diri sebagai Ouw Kiu Lan alias Bidadari Bulan 

Emas. “Aku hanya perlu menawarkan sesuatu. Ini de-

mi keselamatan jiwamu!”

“Terima kasih kau mau menawarkan jasa baik pa-

daku! Tapi rasanya aku masih bisa menjaga diri. Lagi 

pula adalah aneh kalau kau katakan jiwaku perlu dis-

elamatkan! Aku tidak pernah membuat urusan!”

Bidadari Bulan Emas tertawa pendek. “Kau tak perlu berpura-pura! Kau tadi telah dengar ucapanku. Aku 

tahu siapa kau! Dengar sekali lagi. Aku tahu siapa 

kau!”

Joko gelengkan kepala. “Kalau kau yakin jiwaku 

perlu diselamatkan, itu satu petunjuk kalau kau tidak 

tahu siapa aku!”

Bidadari Bulan Emas rangkapkan kedua tangan di 

depan dada. “Kau seorang pemuda dari negeri asing. 

Kau yang menyelamatkan jiwa seorang kepercayaan 

Perguruan Shaolin yang membawa tugas mengambil 

setengah peta wasiat!” Bidadari Bulan Emas berpaling. 

“Serahkan peta wasiat itu. Telah kusiapkan perahu 

untukmu! Dan beberapa orang akan mengawal sampai 

kau benar-benar aman dan bisa pulang ke kampung 

halamanmu dengan selamat!”

Pendekar 131 tersentak. Namun dia masih coba 

menutupi dengan tersenyum dan berkata. “Harap kau 

perhatikan sekali lagi siapa orang yang ada di hada-

panmu! Mungkin kali ini kau salah lihat!”

“Kau jangan coba memerintahku! Aku tahu banyak 

apa yang mungkin tak kau duga!” Bidadari Bulan 

Emas melangkah pulang balik. “Di negerimu sana, kau 

boleh punya nama besar dengan gelar Pendekar Pe-

dang Tumpul 131 Joko Sableng!” Bidadari Bulan Emas 

gelengkan kepala. “Tapi di sini, nama besarmu tak a-

kan ada artinya!” Bidadari Bulan Emas gerakkan ke-

dua tangan membuat sikap seperti orang meminta. 

“Serahkan saja peta wasiat itu! Setelah itu pulanglah! 

Kehadiranmu di negeri ini hanya akan membuat mala-

petaka! Mungkin di negerimu kau masih dibutuhkan. 

Tapi tidak di sini!”

Pendekar 131 tercekat. Kali ini dia tidak bisa lagi 

sembunyikan rasa kagetnya. “Busyet! Bagaimana dia 

bisa tahu banyak tentang diriku?! Siapa perempuan


cantik ini sebenarnya?!”

“Kurasa keteranganku sudah terlalu banyak! Aku 

tak akan ulangi permintaanku! Dan satu hal yang ha-

rus kau ketahui, aku tak akan membiarkan seseorang 

pergi jika aku menginginkan sesuatu darinya!”

“Tapi kuharap aku adalah orang pertama yang kau 

biarkan pergi meski rasanya aku tidak dapat meme-

nuhi keinginanmu!” ujar Joko seraya tersenyum lebar.

“Syarat yang kuminta tidak sulit, Pendekar 131 Jo-

ko Sableng! Kau tinggal serahkan peta wasiat itu! Dan 

kau bebas pergi bahkan aku telah menyiapkan perahu 

dan beberapa orang untuk mengawalmu!”

“Bidadari.... Aku belum berniat untuk balik kam-

pung!”

“Kau tahu akibatnya?!”

“Aku tak pernah pikirkan akibat karena aku tak 

membuat sebab!”

Bidadari Bulan Emas perdengarkan tawa. “Kau jan-

gan berpikir bodoh! Kedatanganmu ke negeri ini ada-

lah sebab utama yang membuat kau kelak akan men-

dapat akibat yang mungkin tidak pernah terbayang da-

lam benakmu!”

“Aku datang ke negeri ini hanya karena kebetulan! 

Tidak terbetik sebelumnya niatan hati untuk datang ke 

negeri ini apalagi membuat sebab!”

“Tapi justru kebetulan itulah yang kelak akan men-

gantarmu menemui kesulitan!”

“Aku tidak percaya!” sahut murid Pendeta Sinting 

dengan gelengkan kepala.

“Aku akan menunjukkan!” kata Bidadari Bulan E-

mas. Perempuan berparas cantik ini tarik pulang ke-

dua tangannya ke belakang. Saat lain dia membuat ge-

rakan melompat ke arah Joko. Kedua tangannya mele-

sat cepat.


Pendekar 131 terkesiap melihat gerakan cepat o-

rang. Namun dia cepat mundur satu langkah. Kedua 

tangannya bergerak menghadang gerakan kedua tan-

gan Bidadari Bulan Emas.

Ternyata Bidadari Bulan Emas bukan lepas puku-

lan, melainkan cepat memutar arah gerakan tangan 

dan lancarkan totokan ke arah pergelangan kedua tan-

gan Joko.

Gerakan Bidadari Bulan Emas ternyata sudah da-

pat dimaklumi Joko. Apalagi dia telah mendapat ba-

nyak keterangan dari Bu Beng La Ma tentang gerakan-

gerakan kebanyakan kaum persilatan di negeri Tibet. 

Hingga begitu Bidadari Bulan Emas coba lancarkan to-

tokan, Joko segera pula putar arah gerakan kedua 

tangannya.

Bidadari Bulan Emas tersentak sesaat melihat gera-

kan kedua tangan murid Pendeta Sinting yang bukan 

saja mampu membaca gerakan kedua tangannya na-

mun kini malah balik lakukan penyergapan dengan le-

paskan totokan ke arah lambungnya!

Bidadari Bulan Emas tarik pulang kedua tangannya 

lalu cepat disentakkan menghadang lajunya gerakan 

kedua tangan Joko.

Bukk! Bukkkk!

Terdengar benturan. Kedua tangan Bidadari Bulan 

Emas tampak terpental ke atas. Sementara kedua ta-

ngan Joko terlempar ke bawah. Namun, Bidadari Bu-

lan Emas cepat putar tubuh. Dengan bertumpu pada 

kaki kanan, kaki kirinya diangkat membuat gerakan 

menendang ke arah dada!

Murid Pendeta Sinting angkat kedua tangannya. Bi-

dadari Bulan Emas tersentak ketika merasakan kaki 

kirinya bukan menendang sasaran, melainkan terta-

han di udara dan terasa dipegang tangan orang!


Bidadari Bulan Emas terbelalak melihat bagaimana 

kakinya dipegang kedua tangan Joko. Sementara sepa-

sang mata murid Pendeta Sinting tampak terpentang 

besar memperhatikan ke arah sibakan pakaian si pe-

rempuan karena kakinya terangkat dan tertahan di 

udara.

“Jahanam!” sentak Bidadari Bulan Emas. Kaki kiri-

nya ditarik sedikit ke belakang. Saat lain disentakkan 

lagi ke depan. Namun sebelum kaki itu sempat me-

nyentak, Pendekar 131 cepat lepaskan pegangan ta-

ngannya pada kaki si perempuan. Lalu rundukkan ke-

pala dengan mata makin dipentang melihat ke arah 

kangkangan kaki Bidadari Bulan Emas!

Mendapati tendangannya menghantam tempat ko-

song, Bidadari Bulan Emas cepat tarik kedua tangan-

nya ke belakang begitu kaki kirinya telah berada di 

atas tanah kembali. Kejap lain kedua tangannya me-

lepas pukulan.

Wuutt! Wuuttt!

Satu gelombang angin menderu angker. Karena ja-

rak antara sang Bidadari serta Pendekar 131 tidak ja-

uh, tidak ada jalan lain bagi Joko selain harus meng-

hadang dengan pukulan pula. Maka dia sentakkan ke-

dua tangannya.

Bumm!

Sosok Bidadari Bulan Emas tersapu tiga langkah ke

belakang. Sementara karena saat menghadang puku-

lan dengan posisi setengah merunduk, sosok murid 

Pendeta Sinting tempat terhuyung empat langkah.

“Heran... Dia sepertinya menguasai salah satu jurus 

aliran negeri ini! Dia berhasil berkelit dari jurus tingkat

pertama dari ‘Delapan Gerbang Rembulan’! Padahal 

tak mungkin aliran jurus negeri ini diketahui orang as-

ing! Aku memang belum jelas bisa memperhatikan jurus apa yang dilakukan. Tapi jelas-jelas jurus tadi ada-

lah aliran di negeri ini!” Bidadari Bulan Emas berkata 

dalam hati dengan sepasang mata mendelik tak ber-

kesip memperhatikan pada murid Pendeta Sinting.

“Bidadari.... Mungkin kau benar dengan apa yang 

kau ketahui tentang diriku. Tapi percayalah, kau salah 

jika mengatakan aku membawa atau menyimpan peta 

wasiat! Dan aku memang pernah menolong seseorang. 

Tapi aku tak tahu siapa dia. Saat itu dia tengah terlu-

ka parah. Aku tak tega untuk ajukan pertanyaan. Ha-

nya saja sebelum dia meninggal, dia berpesan agar ce-

burkan mayatnya ke laut! Setelah itu aku terbawa ge-

lombang sampai negeri ini!”

Bidadari Bulan Emas terdiam sepertinya menyimak 

ucapan murid Pendeta Sinting, namun sebenarnya di-

am-diam perempuan ini berkata sendiri dalam hati ti-

dak hiraukan ucapan Joko.

“Hem.... Mengapa aku tidak bertanya pada beberapa 

orang yang kusuruh menyelidik ke tempat negeri kela-

hiran pemuda itu tentang ilmu apa saja yang dimiliki?! 

Namun itu tidak begitu penting, yang jelas aku masih 

yakin dialah yang menyimpan peta wasiat itu, atau se-

tidaknya dia tahu di mana tempat disembunyikannya 

peta wasiat itu! Jika tidak, tak mungkin pihak kera-

jaan ikut terlibat memburu pemuda ini! Kalau pi-hak 

kerajaan sudah ikut campur tangan, berarti peristiwa

di Perguruan Shaolin melibatkan orang dalam dan ke-

mungkinan besar bersekongkol dengan seseorang dari 

pihak kerajaan! Lenyapnya peta wasiat di ruang pe-

nyimpanan Perguruan Shaolin dan ikut turun ta-

ngannya pihak kerajaan memburu pemuda ini mem-

buktikan semua itu!”

Setelah membatin begitu, Bidadari Bulan Emas bu-

ka suara.


“Pendekar 131 Joko Sableng! Aku akan memberita-

hukan sesuatu....”

Belum sampai Bidadari Bulan Emas lanjutkan uca-

pan, Joko telah menukas. “Bidadari.... Aku tak punya 

waktu banyak! Lain kali saja kita lanjutkan pembica-

raan ini! Dan kalau nanti aku sudah punya niat dan 

rindu kampung halaman, aku akan mencarimu....”

Pendekar 131 berkelebat. Namun Bidadari Bulan 

Emas ikut berkelebat memotong gerakan murid Pen-

deta Sinting. Kembali tangan kanannya menjulur ke 

depan membuat gerakan orang meminta.

“Ke mana kau pergi, kau akan mendapat halangan 

yang sama! Namun aku masih berbaik hati dengan 

menyediakan perahu dan beberapa pengawal untuk-

mu! Jika orang lain, mereka pasti menginginkan peta 

wasiat itu sekaligus selembar nyawamu!”

“Kau meminta pada orang yang salah!”

Bidadari Bulan Emas tegak dengan mata mendelik 

dan pelipis bergerak-gerak.

“Baik! Aku telah tawarkan jalan terbaik, namun 

nyatanya kau inginkan agar aku mengambil peta wa-

siat itu beserta nyawamu sekalian!”

Bidadari Bulan Emas angkat kedua tangannya dan 

ditarik ke depan kepala. Telapak kedua tangannya dile-

takkan di kening sesaat lalu diangkat ke atas kepala. 

Saat bersamaan tampak cahaya kekuningan meman-

car dari kedua tangan sang Bidadari.

“Hem.... Dari sikapnya, mungkin dia tengah menge-

rahkan ilmu andalannya. Aku tadi telah coba jurus 

pemberian Bu Beng La Ma tingkat pertama. Karena dia 

sekarang tidak main-main dan ingin membunuhku, 

terpaksa aku akan menghadang dengan coba tingkat 

delapan!” Joko membatin. Lalu angkat kedua tangan-

nya membentuk bundaran besar dengan ujung kedua


jari-jari tangan bertemu di atas kepala. Kaki kanannya 

ditarik ke belakang sementara kaki kiri ditekuk.

Bidadari Bulan Emas tersentak. Saat itulah tiba-

tiba terdengar suara.

“Ouw Kiu Lan! Tahan! Biarkan dia pergi!”

Joko berpaling ke arah sumber datangnya suara. 

Namun dia tidak melihat siapa-siapa. Namun kesem-

patan ini tak disia-siakan Joko. Dia memandang sesaat 

pada Bidadari Bulan Emas untuk yakinkan jika perem-

puan itu benar-benar lakukan ucapan orang. Begitu 

yakin, Joko segera balikkan tubuh lalu tanpa berkata-

kata lagi, dia berlari seperti orang kesetanan!

***

SEBELAS



BERSAMAAN dengan berlalunya Pendekar 131, satu 

sosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu di hadapan Bi-

dadari Bulan Emas telah tegak seorang laki-laki. Orang 

ini berambut tipis tapi panjang sampai punggung. Ke-

dua alis matanya juga menjulai panjang hampir menu-

tupi mata. Sepasang matanya melotot besar. Paras wa-

jahnya bulat dengan kumis dan jenggot lebat. Tepat di 

tengah kedua alis matanya terlihat tato bergambar bu-

lan sabit berwarna kekuningan. Laki-laki ini menge-

nakan pakaian berupa jubah panjang warna kuning. 

Pada bagian dada kanannya juga terdapat gambar bu-

lan sabit.

“Pemuda asing itu tampaknya telah menguasai ilmu 

‘Sembilan Gerbang Matahari’!” kata laki-laki di hada-

pan Bidadari Bulan Emas sambil arahkan pandang 

matanya pada kelebatan sosok murid Pendeta Sinting.


Bidadari Bulan Emas memandang sesaat pada laki-

laki yang baru muncul. Pandang matanya jelas mem-

bayangkan rasa tidak senang. Di lain pihak, meski ti-

dak melihat ke arah orang, namun si laki-laki tampak-

nya bisa menangkap bayangan sikap Bidadari Bulan 

Emas. Masih tanpa memandang dia berkata.

“Aku tahu kau tak suka dengan teguranku tadi! Ta-

pi....”

Belum sampai si laki-laki teruskan ucapan, Bidada-

ri Bulan Emas telah memotong dengan sengatkan pan-

dangannya pada laki-laki di hadapannya.

“Guru! Aku telah bersusah payah menyelidik! Kalau 

pada akhirnya hanya begini yang kudapat, rasanya 

percuma apa yang selama ini kulakukan!”

“Ouw Kiu Lan! Selama ini ilmu ‘Delapan Gerbang 

Rembulan’ yang kita miliki memang dapat mengim-

bangi ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’. Namun kau 

harus sadar, pemuda itu memiliki ilmu lain yang be-

lum kita kenal! Terlalu berbahaya jika berhadapan 

dengan orang yang telah tahu ilmu kita tapi kita tidak 

tahu ilmu yang dimilikinya!”

“Aku heran.... Bagaimana mungkin pemuda itu da-

pat menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’! Pa-

dahal menurut yang pernah Guru katakan, ilmu itu 

hanya ada di negeri ini!”

Laki-laki di hadapan Bidadari Bulan Emas putar di-

ri. Namun pandang matanya bukan mengarah pada 

sang Bidadari, melainkan jauh ke depan menembusi 

jajaran beberapa pohon.

“Ternyata kabar yang tersiar dalam rimba persilatan 

lain dengan kenyataan!” kata si laki-laki yang dari cara 

sebut Bidadari Bulan Emas, menunjukkan jika si laki-

laki bertato bulan sabit di antara kedua alis matanya 

ini adalah gurunya. “Kenyataan kalau pemuda tadi


menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’ menun-

jukkan kalau Bu Beng La Ma masih bernapas! Pemuda 

itu dengan singkat dapat menguasai ilmu ‘Sembilan 

Gerbang Matahari’ mungkin saja karena pemuda itu 

telah memiliki dasar yang kuat! Hem.... Dengan Kenya-

taan ini, berarti musuh besarku bukan tinggal satu, 

namun kini bertambah satu lagi!”

“Ouw Kiu Lan! Ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’ 

memang hanya ada di negeri ini!” kata si laki-laki di 

hadapan Bidadari Bulan Emas setelah terdiam bebera-

pa lama. “Kau tak usah heran kalau pemuda itu dapat 

menguasai ilmu itu. Justru ini sangat membuatku 

gembira! Karena itu menunjukkan satu hal yang sela-

ma ini masih menjadi tanya bagiku!”

Bidadari Bulan Emas kerutkan dahi. Dia sudah 

hendak buka mulut akan bertanya. Namun sebelum 

suaranya terdengar, sang Guru sudah mendahului.

“Ini satu pertanda jika orang yang selama ini dika-

barkan tewas berarti masih hidup!”

“Maksudmu...?!”

“Bu Beng La Ma masih bernyawa! Dan rupanya tak-

dir telah menuliskan jika manusia itu akhirnya akan 

mampus di tanganku!”

“Guru! Saat ini kurasa yang paling penting adalah 

memburu peta wasiat itu! Urusan nyawa Bu Beng La 

Ma bisa ditunda!”

“Ouw Kiu Lan! Seribu peta wasiat tidak ada artinya 

bagiku dibanding satu nyawa milik Bu Beng La Ma! 

Aku mengajakmu turun gunung dengan dua tujuan. 

Memburu peta wasiat sekaligus menjajaki kabar berita 

tentang Bu Beng La Ma! Kini keduanya sudah jelas ba-

gi kita! Kau tahu siapa pembawa peta wasiat itu, dan 

aku yakin Bu Beng La Ma masih hidup! Masih hidup-

nya Bu Beng La Ma membuat aku tidak tertarik lagi


dengan peta wasiat itu!”

“Guru....”

“Ouw Kiu Lan!” potong sang Guru sembari angkat 

tangan kirinya. “Aku akan mencari Bu Beng La Ma di 

Kuil Atap Langit. Kau teruskan tujuanmu! Tapi harus 

kau ingat. Kau tak bisa menghadapi pemuda asing itu 

hanya dengan andalkan ilmu ‘Delapan Gerbang Mata-

hari’! Kau harus pergunakan cara lain! Kau adalah pe-

rempuan, sementara orang yang kau hadapi adalah 

seorang laki-laki. Tentu kau paham maksudku....”

Bidadari Bulan Emas tersenyum. Sang Guru me-

langkah tiga tindak, lalu lanjutkan ucapan. “Sementa-

ra ini kita harus berpisah! Berhati-hatilah!”

Habis berkata begitu, sang Guru arahkan kembali 

pandangannya ke arah jauh di depan sana. Dan tanpa 

berkata-kata lagi dia membuat satu kali gerakan. So-

soknya melesat sebelum akhirnya lenyap di kerapatan 

jajaran pohon.

Bidadari Bulan Emas berpaling memperhatikan a-

rah kelebatan gurunya. Saat lain perempuan cantik ini 

melesat mengambil arah ke mana tadi murid Pendeta 

Sinting berkelebat.

***

Kita tinggalkan dahulu pengejaran yang dilakukan 

Bidadari Bulan Emas terhadap Pendekar 131 Joko 

Sableng. Sekarang kita ikuti perjalanan guru Bidadari 

Bulan Emas.

Laki-laki yang tepat di tengah kedua alis matanya 

terdapat tato bergambar bulan sabit itu hentikan lari-

nya ketika memasuki sebuah kawasan terbuka di ma-

na ketika mata dilayangkan ke depan, berjarak dua 

puluh langkah, terlihat satu tangga naik dari batu. 

Tangga naik ini lurus ke atas berujung pada sebuah


onggokan batu berbentuk kuil. Karena ketinggiannya, 

bangunan kuil di atas sana terlihat sangat kecil sekali.

Guru Bidadari Bulan Emas tengadahkan kepala 

dengan mata dipicingkan. Kejap lain dia berkelebat.

Namun belum sampai sosok tubuhnya melesat, ti-

ba-tiba terdengar satu suara dari puncak bangunan 

kuil di atas sana.

“Kwe Bun Lim...! Rasanya tidak baik kalau perte-

muan kita kembali harus diwarnai dengan sisa urusan 

lama.... Dan kehadiranmu kali ini kuharap tanpa sisa-

sisa itu!”

Guru Bidadari Bulan Emas yang dipanggil dengan 

Kwe Bun Lim batalkan niat menaiki tangga batu. Dia 

dongakkan kepala dengan seringai dingin. Lalu mem-

batin.

“Bu Beng La Ma! Ternyata kau benar-benar masih 

hidup! Sayang sekali.... Justru sisa urusan itulah aku 

datang ke sini!”

Setelah membatin begitu, dia berteriak lantang.

“Bu Beng La Ma! Aku datang memang bukan untuk 

sisa-sisa urusan lama! Namun aku datang untuk men-

cabut selembar nyawamu!”

“Kwe Bun Lim! Harap maafkan aku. Kalau itu uru-

sannya, aku tak bisa menemuimu! Rasanya terlalu 

sayang jika di akhir usia kita ini harus dilembari den-

gan kucuran darah! Apa yang pernah tertumpah biar-

lah berlalu....”

“Bu Beng La Ma! Itu urusanmu! Kau mau atau ti-

dak, yang jelas aku ingin kucuran darah beberapa pu-

luh tahun yang lalu berakhir hari ini! Turunlah! Atau 

aku akan menjemputmu ke atas!

“Kwe Bun Lim! Aku tidak coba mengguruimu. Tapi 

kurasa lebih baik kau pikirkan dahulu semuanya.... 

Cuma, apa pun keputusanmu nanti, aku tetap tidak


akan menemuimu!”

“Bu Beng La Ma! Aku telah punya keputusan. Kau 

pun juga telah memutuskan! Mari kita lihat keputusan 

siapa yang akan berlaku!”

Habis berteriak begitu, Kwe Bun Lim berkelebat. 

Namun baru saja tubuhnya akan bergerak, matanya 

menangkap satu sosok bayangan. Kwe Bun Lim cepat 

berpaling. Di seberang samping sana tegak seorang la-

ki-laki bertubuh kekar mengenakan pakaian selem-

pang tanpa leher berwarna kuning. Di bagian pundak-

nya melapis kain berwarna merah yang terus dililitkan 

pada pinggangnya. Laki-laki ini berkepala gundul dan 

tampak beberapa titik putih di batok kepalanya. Paras 

wajahnya agak tirus. Kumisnya tipis. Jenggotnya ja-

rang namun panjang.

Kwe Bun Lim sipitkan mata. “Guru Besar Liang 

San...,” gumamnya mengenali siapa adanya laki-laki 

berpakaian selempang kuning tanpa leher.

“Amitaba....” Laki-laki berpakaian selempang warna 

kuning dan bukan lain memang Guru Besar Liang San 

adanya buka mulut seraya anggukkan kepala dengan

kedua tangan ditakupkan di depan dada. “Bukankah 

yang tegak di hadapanku saat ini adalah sahabat Kwe 

Bun Lim...?! Tokoh ternama negeri ini yang dikenal 

dengan Hantu Bulan Emas?!”

Kwe Bun Lim yang di negeri Tibet memang lebih di-

kenal kalangan rimba persilatan dengan gelar Hantu 

Bulan Emas tidak menyahut. Sebaliknya diam-diam 

dia membatin. “Untuk apa dia datang ke sini?! Apakah 

peristiwa berdarah di perguruannya melibatkan Bu 

Beng La Ma?!”

Masih tanpa buka mulut, Hantu Bulan Emas me-

lesat dan tegak lima langkah di hadapan Guru Besar 

Liang San. Guru Besar Liang San melirik tajam lalu


kembali anggukkan kepala.

“Guru Besar Liang San...,” kata Hantu Bulan Emas 

dengan nada pelan namun jelas nadanya terdengar 

sumbang. “Senang bisa bertemu kau lagi.... Tapi rasa-

nya pertemuan kita kali ini sungguh di luar dugaan!”

Guru Besar Liang San tersenyum. “Aku paham apa 

maksudmu. Tapi harap kau tidak berprasangka. Aku 

terpaksa keluar sendirian karena ada sesuatu yang ha-

rus segera kuselesaikan. Beberapa...”

Belum sampai Guru Besar Liang San lanjutkan 

ucapan, Hantu Bulan Emas sudah menukas. “Aku ikut 

belasungkawa dengan peristiwa yang terjadi beberapa 

malam yang lalu! Dan kurasa kehadiranmu di sini pas-

ti masih ada hubungannya dengan peristiwa itu! Be-

nar?!”

“Amitaba...! Dugaanmu tidak meleset. Aku perlu 

bertemu dengan Bu Beng La Ma.

Hantu Bulan Emas melirik dengan kepala disentak-

kan ke jurusan lain. Sebelum guru Bidadari Bulan 

Emas ini buka suara. Guru Besar Liang San telah 

sambungi ucapannya. “Guru Besar Wu Wen She le-

nyap begitu saja saat terjadinya peristiwa berdarah di 

perguruan kami. Untuk itulah aku perlu datang hen-

dak bertemu dengan Bu Beng La Ma. Mungkin dia ta-

hu atau setidaknya dapat memberi petunjuk ke mana 

kira-kira lenyapnya adik Wu Wen She! Bagaimanapun 

juga aku harus segera menemukan adik Wu Wen She. 

Sebab dalam peristiwa itu, bukan saja Maha Guru Be-

sar Su Beng Shiok dan kakak Pu Yi yang terbunuh, 

namun sebuah benda juga hilang dari ruang penyim-

panan!”

“Kau menduga Guru Besar Wu Wen She yang mela-

rikan benda itu?!”

“Amitaba.... Aku tidak berani menduga. Tapi aku


harus menemukan adik Wu Wen She!”

“Hem.... Kalau dia datang ke sini dan langsung 

mengatakan hendak bertemu dengan Bu Beng La Ma, 

berarti selama ini dia telah tahu kalau Bu Beng La Ma 

masih hidup! Aku tidak yakin akan kebenaran uca-

pannya.... Mungkin saja dia yang bersekongkol dengan 

Bu Beng La Ma! Apalagi pemuda asing itu jelas telah 

bersahabat dengan Bu Beng La Ma, sementara peta 

wasiat yang setengahnya, menurut penyelidikan Ouw 

Kiu Lan memang berada di tangan pemuda asing itu! 

Jadi, Guru Besar Liang San bersekongkol dengan Bu 

Beng La Ma untuk mendapatkan peta yang masih ter-

simpan, sementara Bu Beng La Ma bersekutu dengan 

pemuda asing itu! Dengan begitu, berarti peta wasiat 

itu telah utuh! Dan untuk menghilangkan jejak, mere-

ka sengaja mengkambing-hitamkan Guru Besar Wu 

Wen She! Kalau Maha Guru Besar Su Beng Siok dan 

Guru Besar Pu Yi mampus, bagaimana mungkin Wu 

Wen She bisa lolos! Wu Wen She mungkin sudah te-

was, hanya saja sengaja mereka sembunyikan untuk 

dijadikan kambing hitam! Hem....” Hantu Bulan Emas 

berkata sendiri menduga-duga dalam hati.

“Sobat Hantu Bulan Emas! Aku tahu kau punya 

urusan dengan Bu Beng La Ma.... Tapi kuharap kau 

memberiku kesempatan!”

Ucapan Guru Besar Liang San membuat keyakinan 

Hantu Bulan Emas makin kuat. “Tentu mereka akan 

membicarakan hasil tindakan mereka! Ini satu rejeki 

besar bagiku! Berhasil menemukan Bu Beng La Ma se-

kaligus mendapatkan peta wasiat itu dengan utuh!”

Habis membatin begitu, Hantu Bulan Emas buka 

mulut. Tapi bersamaan dengan itu, dari kuil di puncak 

sana terdengar suara.

“Guru Besar Liang San.... Maaf jika aku tidak bisa


menyambutmu dengan layak! Namun perlu kau keta-

hui, aku tidak tahu menahu dengan lenyapnya Guru 

Besar Wu Wen She.... Aku juga tak bisa memberi pe-

tunjuk apa-apa tentang dia....”

“Amitaba.... Sungguh sayang sekali! Tapi harap kau 

memberikan izin untuk bertemu denganmu.... Karena 

masih ada yang perlu kubicarakan!”

“Guru Besar Liang San.... Aku tak mau membuat 

urusan dengan buka mulut membicarakan apa yang 

telah terjadi! Aku sudah berniat tak akan ikut campur 

dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan du-

nia persilatan.... Mohon dimaafkan!”

Guru Besar Liang San dongakkan kepala meman-

dang ke arah kuil di puncak sana. “Hem.... Kurasa 

pemberitahuan ini cukup. Dengan begitu para sahabat 

Maha Guru Besar Su Beng Siok tidak akan menaruh 

curiga padaku.... Aku harus segera pergi! Hantu Bulan 

Emas tampaknya sudah tak sabar! Tapi aku harus ta-

hu bagaimana akhir dari bentrok mereka. Dan kalau 

keadaan memungkinkan, aku tak segan membunuh 

mereka berdua!” kata Guru Besar Liang San dalam ha-

ti. Lalu luruskan kepala menghadap Hantu Bulan 

Emas dan berkata kalem.

“Tampaknya kehadiranku mengganggu urusan ka-

lian. Aku harus segera pergi....”

Hantu Bulan Emas gelengkan kepala, membuat Gu-

ru Besar Liang San kerutkan dahi. Dan belum sempat 

dia menduga lebih jauh isyarat gelengan kepala orang, 

Hantu Bulan Emas telah angkat suara.

“Tidak akan ada yang pergi dari sini!”

Guru Besar Liang San tersentak. Hantu Bulan E-

mas tertawa panjang. Lalu berkata lagi. “Kau tak usah 

bertanya mengapa, karena jawabannya sudah ada pa-

damu!” Hantu Bulan Emas teruskan suara tawanya seraya mendongak. Guru Besar Liang San menduga-

duga dengan paras berubah tegang!


                   SELESAI


Ikuti lanjutannya dalam episode:


DEWA CADAS PANGERAN






























 

Share:

0 comments:

Posting Komentar