SATU
PEREMPUAN setengah baya berparas cantik itu te-
gak terpaku dengan mata memandang ke satu juru-
san. Beberapa untaian bunga yang terdapat pada ram-
butnya tampak bergerak-gerak ditiup angin. Sesekali
perempuan ini mengusap wajahnya dengan kedua te-
lapak tangan. Selain di rambutnya, ternyata pada sela
antara jari telunjuk dan jari tengah kedua tangan pe-
rempuan ini juga terdapat sekuntum bunga. Perem-
puan ini mengenakan pakaian berwarna putih sebatas
dada mirip pakaian yang dikenakan seorang penari.
Di belakang perempuan berparas cantik walau
usianya tidak muda lagi itu, berdiri satu sosok tubuh
milik se-orang laki-laki berusia lanjut. Pakaiannya lu-
suh. Se-pasang matanya agak sayu. Kakek ini seperti
halnya si perempuan, tampak berdiri dengan arahkan
pandang matanya ke satu jurusan.
Untuk beberapa lama kedua orang ini sama kan-
cingkan mulut. Mereka seolah tenggelam dalam pikiran
masing-masing. Hingga pada akhirnya si kakek buka
mulut.
“Nyai Tandak Kembang.... Kau telah memutuskan.
Biarlah mereka melakukan apa yang hendak dilaku-
kan!”
Perempuan berwajah cantik walau usianya tidak
muda lagi dan bukan lain adalah Nyai Tandak Kem-
bang ada-nya, berpaling pada laki-laki di belakangnya.
“Kigali.... Aku memang telah memutuskan memberi
izin pada Pitaloka dan Beda Kumala pergi sementara
waktu sebelum kembali ke lereng Gunung Semeru. Ta-
pi sebenarnya aku melakukan hal itu dengan terpaksa.
Dan begitu mereka benar-benar pergi, aku sekarang
jadi bimbang dan cemas. Entah apa sebenarnya.... Aku
mendapat firasat tidak baik!”
Laki-laki di belakang Nyai Tandak Kembang dan ter-
nyata adalah Kigali alihkan pandang matanya pada
Nyai Tandak Kembang. Orang tua ini mau buka mulut,
tapi Nyai Tandak Kembang sudah sambungi ucapan-
nya.
“Apa selama bersamamu Pitaloka pernah mengata-
kan satu rencana?!”
Kigali termenung sesaat sebelum akhirnya angkat
suara. “Terlalu banyak yang kubicarakan dengan Pita-
loka, hingga aku tidak bisa ingat lagi apakah Pitaloka
pernah mengatakan satu rencana atau tidak.... Tapi te-
rus terang, sebenarnya aku curiga padanya. Dan kalau
saja aku tidak bertemu dengan kau, mungkin aku su-
dah meminta pada Pitaloka untuk terus bersamaku di
hutan ini. Tapi kau adalah neneknya. Dan kau telah
memutuskan agar Pitaloka kembali ke lereng Gunung
Semeru.... Apa hendak dikata....”
“Kigali.... Aku menghargai permintaanmu. Tapi sete-
lah peristiwa ini, aku benar-benar takut!” Nyai Tandak
Kembang tampak menghela napas. Lalu lanjutkan
ucapan.
“Mau kau mengatakan apa kecurigaanmu?!”
“Pitaloka baru saja mengalami peristiwa buruk yang
tak mungkin dapat dilupakan sepanjang hidupnya.
Aku khawatir kepergian Pitaloka kali ini untuk mem-
balaskan sakit hatinya....”
“Hem.... Sebenarnya aku sudah berpikir ke arah sa-
na. Tapi apakah anak itu akan begitu bodoh mengam-
bil tindakan? Apakah dia tidak berpikir siapa gerangan
yang akan dihadapi?!”
“Nyai.... Orang yang sudah terluka tidak akan terla-
lu banyak pikirkan akibat! Yang ada dalam benaknya
hanya membalas dan membalas! Apalagi Pitaloka ma-
sih muda....”
“Hem.... Benar juga ucapan orang tua ini.... Apa
yang harus kulakukan sekarang?” kata Nyai Tandak
Kembang dalam hati. Lalu bertanya.
“Kau tahu di mana letak Kampung Setan?!”
“Aku pernah hidup di sana.... Tapi kalau benar ke-
terangan Pitaloka, berarti saat ini Kampung Setan su-
dah kosong! Percuma kau akan ke sana. Kalaupun kau
ingin pergi, lebih baik menuju Bukit Kalingga. Seperti
keterangan Pitaloka pada Pendekar 131 Joko Sableng.”
Seperti diketahui, Nyai Tandak Kembang sudah
memutuskan untuk melarang Pitaloka dan Beda Ku-
mala alias Putri Kayangan turun dari lereng Gunung
Semeru begitu nanti mereka pulang dari Lembah Patah
Hati. Namun tampaknya Pitaloka dan Putri Kayangan
merasa keberatan dengan keputusan Nyai Tandak
Kembang. Tapi keberatan kedua gadis ini punya alasan
masing-masing. Pitaloka masih ingin membalas sakit
hatinya pada orang yang telah memperkosanya, se-
mentara Putri Kayangan takut tidak bisa bertemu lagi
dengan Pendekar 131. Karena gadis ini telah jatuh hati
pada murid Pendeta Sinting.
Putri Kayangan tidak berani mengutarakan kebera-
tannya pada Nyai Tandak Kembang. Tapi Pitaloka ber-
terus terang dan minta izin pada neneknya agar diberi
waktu sebelum balik ke lereng Gunung Semeru. Pada
dasarnya Nyai Tandak Kembang ragu-ragu dengan
permintaan Pitaloka, apalagi setelah peristiwa yang ter-
jadi. Lagi pula Pitaloka tidak mau mengatakan apa se-
benarnya yang hendak dilakukan sebelum pulang ke
lereng Gunung Semeru.
Karena Pitaloka bersikeras, akhirnya Nyai Tandak
Kembang tidak bisa menghalang-halangi. Hanya saja
Nyai Tandak Kembang memerintahkan pada Putri
Kayangan untuk mendampingi. Pitaloka tidak kebera-
tan. Sementara Putri Kayangan sendiri tampak gembira, karena berarti masih ada kesempatan untuk ber-
temu dengan Pendekar 131 sebelum nanti pulang ke
lereng Gunung Semeru.
Begitu pemakaman bayi Pitaloka dan Umbu Kakani
serta Lingga Buana selesai, Pitaloka dan Putri Kayan-
gan berangkat meninggalkan Lembah Patah Hati.
“Kigali.... Sekali lagi aku ucapkan terima kasih atas
semua yang kau lakukan selama ini. Sekarang aku ha-
rus pergi!” kata Nyai Tandak Kembang setelah agak
lama terdiam.
“Kalau tak keberatan, mau mengatakan padaku.
Kau hendak langsung ke lereng Gunung Semeru atau
mengikuti kedua cucumu?!” Kigali ajukan tanya.
Beberapa saat Nyai Tandak Kembang terdiam. Lalu
alihkan pandangan dan menghela napas panjang. “Se-
benarnya aku ingin segera pulang ke lereng Gunung
Semeru karena aku sudah tak ingin libatkan diri da-
lam urusan dunia persilatan. Tapi saat ini aku
mengkhawatirkan keselamatan Pitaloka dan Beda Ku-
mala. Mungkin aku akan menyusul dahulu kedua-
nya....”
“Nyai.... Tidak keberatan kalau aku ikut serta?!”
Nyai Tandak Kembang menoleh. “Bukannya aku ke-
beratan atau tidak menghargai perhatianmu. Tapi ku-
rasa aku bisa pergi sendiri....”
“Nyai.... Bukannya aku mau ikut campur urusan.
Hanya saja aku telah menganggap Pitaloka seperti
anakku sendiri. Kalau kau sebagai neneknya sangat
khawatir dengan keselamatannya. Aku tidak jauh ber-
beda.... Jadi harap kau mengerti dan tidak keberatan
pergi bersama denganku! Lagi pula aku tahu banyak
tentang Kampung Setan. Mungkin kau nanti membu-
tuhkan beberapa keterangan dalam perjalanan kali
ini.... Apalagi semua urusan ini tidak terlepas kaitan-
nya dengan Kampung Setan....”
“Hem.... Kalau kau berpikir begitu, aku menyerah-
kan semuanya padamu. Hanya saja kuharap kau me-
ngerti, perjalanan ini bukannya tanpa risiko!”
Kigali tersenyum. Lalu berucap. “Nyai.... Separo dari
hidupku habis bergelimang dengan kejahatan. Kalau-
pun nanti aku harus menyerahkan nyawa, aku ingin
berakhir untuk kebaikan. Ini sebagai penebus atas
perbuatanku di masa lalu. Selain itu aku ingin berte-
mu dengan teman-teman lama....”
“Semua manusia telah digariskan jalannya.... Dan
kita tidak tahu apa yang akan terjadi...,” ujar Nyai
Tandak Kembang dengan tersenyum. Perempuan dari
le-reng Gunung Semeru ini dongakkan sedikit kepa-
lanya lalu bertanya.
“Kau tahu mana arah menuju Bukit Kalingga?!”
“Sudah beberapa puluh tahun aku tidak keluar dari
hutan. Aku juga sudah lupa nama-nama tempat. Tapi
kita nanti bisa bertanya sambil jalan....”
Habis berkata begitu, Kigali melangkah menjajari
Nyai Tandak Kembang lalu anggukkan kepala memberi
isyarat. Nyai Tandak Kembang luruskan kepala. Saat
lain kedua orang ini berkelebat meninggalkan hutan
yang berbatasan dengan Lembah Patah Hati.
Setelah menempuh perjalanan selama dua hari dua
malam, dan setelah bertanya ke sana kemari, akhirnya
Kigali dan Nyai Tandak Kembang sampai di perbatasan
hutan yang dari tempat mereka kini berada terlihat ju-
langan satu bukit yang menurut beberapa orang bukit
itu adalah Bukit Kalingga.
Nyai Tandak Kembang dan Kigali berdiri berdam-
pingan sambil arahkan mata masing-masing ke arah
bukit di depan sana. Nyai Tandak Kembang menghela
napas dalam-dalam. Dalam hati perempuan dari lereng
Gunung Semeru ini berkata.
“Mereka berdua tidak ada di sana.... Kalau mereka
di sana, sejarak ini tentu aku mampu mencium aroma-
nya.... Ke mana mereka pergi? Aku tidak bisa menjaja-
ki dengan penciumanku. Berarti mereka berdua jauh
dari tempat ini!”
“Kau tampak gelisah.... Ada sesuatu yang kau pikir-
kan?!” tanya Kigali seraya melirik.
Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala. Kigali ti-
dak tahu kalau Nyai Tandak Kembang punya kemam-
puan untuk menangkap keberadaan orang dengan
penciumannya.
“Aku hanya menduga.... Mungkin mereka berdua ti-
dak ada di bukit itu!” kata Nyai Tandak Kembang.
“Bagaimana kau bisa menduga begitu?!”
“Aku tak bisa mengatakannya padamu. Tapi aku
hampir bisa memastikan. Bahkan aku bisa menduga
kalau bukit itu kosong!”
Kigali tersenyum. “Nyai.... Kita tengah mengkhawa-
tirkan keselamatan nyawa orang yang kita cintai. Jadi
jangan menggantungkan pada dugaan. Menduga boleh
saja, tapi sebaiknya kita selidiki dahulu! Lagi pula Pen-
dekar 131 pasti juga berada di sini!”
Nyai Tandak Kembang anggukkan kepala. Saat lain
dia sudah berkelebat mendahului. Karena sudah dapat
memastikan tidak ada orang lain di tempat itu, Nyai
Tandak Kembang melesat tanpa kebimbangan. Sebaik-
nya Kigali tampak berhati-hati bahkan sesekali dia
masih putar pandangan berkeliling.
Setelah berputar di kaki bukit, mereka berdua me-
nemukan lobang mulut goa. Tanpa banyak bicara lagi
Nyai Tandak Kembang berkelebat masuk kemudian di
susul Kigali yang tampak makin khawatir dengan tin-
dakan Nyai Tandak Kembang yang begitu percaya diri
tanpa menghiraukan keadaan sekeliling. Namun se-
jauh ini Kigali belum berani menegur. Dia hanya ber-
tanya-tanya dalam hati.
Begitu memasuki goa, mereka menemukan satu
pintu terbuka di pojok ruangan goa. Lagi-lagi tanpa
melihat sekeliling, Nyai Tandak Kembang sudah me-
lesat masuk.
“Tindakannya sangat berbahaya.... Tapi kurasa dia
tahu apa yang dilakukannya!” gumam Kigali yang seje-
nak tegak di tengah ruangan goa dengan mata menge-
dar berkeliling. Begitu yakin tidak ada orang, baru Ki-
gali melesat masuk menyusul Nyai Tandak Kembang.
Kigali dan Nyai Tandak Kembang akhirnya mene-
mukan sebuah lobang besar menganga diselimuti ka-
but setelah mereka menaiki tangga batu di balik pintu.
Namun meski Kigali sudah memperhatikan dengan
seksama ke seantero tempat itu, dia tidak melihat sia-
pa-siapa!
“Dugaannya benar.... Putri Kayangan dan Pitaloka
tidak ada di tempat ini! Malah benar juga ucapannya
jika tempat ini kosong! Heran, bagaimana dia bisa
menduga dengan tepat?!” Diam-diam Kigali bertanya
dalam hati. Dia sebenarnya ingin bertanya. Namun se-
belum sempat buka mulut, Nyai Tandak Kembang su-
dah berkata.
“Sebenarnya tempat ini tidak kosong.... Hanya saja
baru ditinggalkan penghuninya! Kita harus mencari
mereka di tempat lain!”
Karena sudah membuktikan kebenaran dugaan
Nyai Tandak Kembang, Kigali tidak buka mulut lagi
untuk bertanya. Dia balikkan tubuh lalu berkelebat
mengikuti Nyai Tandak Kembang yang sudah terlebih
dahulu melesat keluar.
“Ke mana kita sekarang?!” Kigali baru bertanya be-
gitu mereka berdua telah berada di luar goa.
Nyai Tandak Kembang tidak segera menjawab. Me-
lainkan menghela napas dalam-dalam. “Aku tak mam-
pu mencium jejak keduanya. Berarti mereka telah jauh
dari tempat ini. Hem.... Urusan ini masih ada hubun-
gannya dengan Kampung Setan. Apa tidak mungkin
mereka tengah menuju ke sana?!” Nyai Tandak Kem-
bang berkata dalam hati lalu bertanya.
“Kau masih ingat jalan menuju Kampung Setan?!”
Kigali tampak sedikit terkejut. Namun segera men-
jawab. “Aku sudah lupa-lupa ingat. Tapi aku masih ta-
hu arahnya!”
“Baik.... Kita menuju ke Kampung Setan!”
“Kau yakin mereka menuju ke sana?!”
“Aku hanya menduga.... Tapi kemungkinan besar
dugaanku tidak salah.... Bukankah kau tadi mengata-
kan urusan ini tidak bisa diputuskan dengan urusan
Kampung Setan? Kalau mereka tidak berada di sini, ke
mana lagi kalau tidak ke sana?!”
Entah karena sudah membuktikan kebenaran du-
gaan Nyai Tandak Kembang, meski masih diselimuti
kebimbangan, akhirnya Kigali berkelebat juga. Nyai
Tandak Kembang mengikuti di belakangnya.
***
DUA
PEMUDA berparas tampan dan gadis berwajah can-
tik itu berlari tidak begitu kencang. Malah sesekali me-
reka berdua berhenti lalu melangkah perlahan. Si ga-
dis tampak terus kembangkan senyum dan tangan-nya
melingkar pada pinggang si pemuda begitu mereka me-
langkah. Sementara si pemuda terlihat sering melirik
pada si gadis dengan sesekali menghela napas pan-
jang. Parasnya jelas membayangkan ketidakenakan
hati. Tapi si pemuda tampak sembunyikan ketidakena-
kan hatinya dan sunggingkan senyum kala si gadis
memandangnya.
Pada satu tempat, kedua orang muda ini hentikan
langkah. Si gadis sandarkan kepala pada dada si pe-
muda. Lalu sedikit tengadahkan kepalanya seraya ber-
kata.
“Joko.... Kita hendak ke mana?!”
Si pemuda yang ternyata bukan lain adalah Pende-
kar 131 Joko Sableng tersenyum. Namun dia belum
menyahut pertanyaan si gadis. Dia hanya memandang
sejenak lalu alihkan pandang matanya jauh ke depan.
Dalam hati dia berkata. “Bagaimana ini?! tidak mung-
kin aku mengajaknya ke Kampung Setan.... Ini sangat
berbahaya! Tapi bagaimana aku harus memberi pe-
ngertian padanya?!”
Karena agak lama tidak juga menjawab, si gadis
kembali angkat suara.
“Joko.... Kau terlihat gelisah. Ada sesuatu yang
mengganjal?!”
Joko gelengkan kepala. Namun belum juga angkat
bicara membuat si gadis makin curiga. Gadis cantik
bermata bulat bersinar ini tarik kepalanya dari dada
murid Pendeta Sinting. Dengan menatap tajam, dia
berkata.
“Joko.... Kau jangan berdusta padaku. Sikapmu
lain.... Kau menyembunyikan sesuatu padaku! Kata-
kanlah terus terang.... Atau kau keberatan pergi ber-
samaku?! Atau ada gadis lain yang membuatmu geli-
sah?!”
“Saraswati.... Jangan terlalu jauh menduga. Aku
senang pergi bersamamu.... Hanya saja....”
Si gadis yang ternyata bukan lain adalah Saraswati
cepat menyahut tatkala Joko tidak lanjutkan ucapan.
“Hanya apa? Kau keberatan, bukan?!”
“Masalahnya bukan keberatan atau tidak. Kau tahu
hendak ke mana aku sebenarnya?”
“Aku tidak peduli kau hendak ke mana!”
“Itulah masalahnya....”
“Aku sudah mengatakannya tidak peduli kau hen-
dak ke mana! Berarti tidak ada masalah, bukan?!”
“Justru karena kau tidak peduli aku hendak ke
mana itulah masalahnya!”
Saraswati kerutkan dahi. Seperti diketahui, Saras-
wati yang selama ini masih menduga jika orang yang
melakukan perbuatan tidak senonoh padanya adalah
murid Pendeta Sinting terus mencari-cari. Akhirnya dia
menemukan Joko di goa Bukit Kalingga di mana dahu-
lu Saraswati pernah mengalami peristiwa buruk.
Setelah diberi pengertian oleh Joko, akhirnya Saras-
wati sedikit sadar meski belum sepenuhnya percaya
pada keterangan Joko. Saraswati baru benar-benar
percaya setelah dia dan murid Pendeta Sinting mene-
mukan ruangan rahasia di balik goa. Dan pada akhir-
nya menemukan mayat ibunya serta Ni Luh Padmi.
Setelah mengubur ibu Saraswati yang tidak lain
adalah Lasmini dan Ni Luh Padmi, Joko memutuskan
hendak mencari sosok di balik Jubah Tanpa Jasad ke
Kampung Setan. Tapi dia kebingungan bagaimana me-
ngutarakannya pada Saraswati. Dia ingin pergi ke
Kampung Setan tanpa Saraswati, karena dia maklum,
perjalanan menuju Kampung Setan sangat berbahaya
apalagi orang yang hendak dicari bukan orang semba-
rangan. Selain mengenakan Jubah Tanpa Jasad, orang
ini juga membekal Kembang Darah Setan. Dua pusaka
mustika peninggalan leluhur Kampung Setan.
“Joko! Katakan terus terang. Apa masalah sebenar-
nya!” kata Saraswati pada akhirnya setelah agak lama
kedua orang ini saling berdiam diri.
“Aku akan ke Kampung Setan!”
“Hem.... Bagiku pergi ke Kampung Setan bukan ma-
salah! Malah sebenarnya aku selama ini mencari-cari
keterangan di mana letak Kampung Setan!”
“Saraswati.... Kampung Setan bukanlah tempat
yang aman untuk sekarang ini! Lebih baik aku pergi
sendiri....”
“Kalau kau tak ingin aku ikut, mengapa sedari tadi
kau tidak mengatakannya malah coba mencari-cari
alasan?!”
“Aku tidak mencari-cari alasan! Apa yang kukata-
kan benar adanya! Aku tak mau kau nanti mendapat
celaka!”
“Itu hanya alasanmu! Aku sudah mengatakan tak
peduli kau hendak ke mana!”
“Saraswati....”
“Sudahlah!” tukas Saraswati. “Kalau kau tak men-
ginginkan aku bersamamu, aku tidak akan memaksa!
Tapi sebelum kita berpisah, aku ingin tanya padamu!”
Murid Pendeta Sinting tersenyum mendengar Saras-
wati mau mengerti. Dia segera saja berkata. “Apa yang
hendak kau tanyakan?!”
“Harap kau jawab dengan jujur. Di mana letak Kam-
pung Setan?!”
Pendekar 131 jadi terlengak mendengar pertanyaan
Saraswati. “Busyet! Ini namanya sama saja! Dia tidak
akan ikut, tapi tanya di mana Kampung Setan! Berarti
dia akan pergi ke sana juga kalau kuberi tahu...,” kata
Joko dalam hati.
“Saraswati.... Bukannya aku tak mau menunjukkan
di mana Kampung Setan. Tapi sebenarnya tempat itu
sangat berbahaya!”
“Aku tidak ingin keterangan tempat itu bahaya atau
tidak. Aku tanya di mana letak Kampung Setan?” kata
Saraswati dengan suara agak tinggi.
Tanpa disadari oleh Pendekar 131 dan Saraswati,
sejak tadi tampak dua sosok tubuh mengendap-endap
seraya mencuri dengar. Mereka adalah dua gadis berpakaian warna merah-merah. Mereka mengendap tan-
pa ada yang buka suara dan tanpa berani membuat
gerakan. Hanya sesekali mereka berdua saling berpan-
dangan. Di sebelah kanan terlihat agak geram malah
matanya membelalak dengan rahang sedikit terangkat.
Sementara yang satu tampak agak murung dan tidak
berani langsung memandang ke arah murid Pendeta
Sinting. Mereka berdua tidak lain adalah Pitaloka dan
Putri Kayangan.
Seperti dituturkan, Pitaloka minta izin pada Nyai
Tandak Kembang untuk menyelesaikan satu urusan.
Nyai Tandak Kembang sebenarnya merasa keberatan.
Namun karena Pitaloka bersikeras, akhirnya Nyai Tan-
dak Kembang memberi izin, tapi dia meminta Putri
Kayangan untuk mendampingi Pitaloka.
Setelah pemakaman bayi Pitaloka dan Umbu Kakani
serta Lingga Buana di Lembah Patah Hati, Pitaloka dan
Putri Kayangan meninggalkan Kampung Setan. Pita-
loka sengaja tidak memberitahukan pada Nyai Tandak
Kembang juga pada Putri Kayangan hendak ke mana.
Sementara Putri Kayangan sendiri meski masih berta-
nya-tanya hendak ke mana tujuan Pitaloka, tapi yang
paling menjadi beban pikirannya adalah keputusan
Nyai Tandak Kembang yang telah memutuskan mela-
rang Pitaloka dan dirinya untuk turun lereng Gunung
Semeru begitu mereka nanti pulang. Maka kesempatan
yang diberikan Nyai Tandak Kembang pada dirinya un-
tuk mendampingi Pitaloka tidak disia-siakan. Dia ingin
sekali bertemu dengan Pendekar 131 karena mungkin
setelah itu mereka tidak bisa berjumpa lagi.
Namun begitu Pitaloka dan Putri Kayangan sampai
di Bukit Kalingga, tempat di mana dulu Pitaloka per-
nah hampir diperkosa oleh Kiai Laras yang mengena-
kan Jubah Tanpa Jasad, mereka berdua menemukan
Pendekar 131 tengah bermesraan dengan Saraswati.
Pitaloka sangat geram, karena dia sebenarnya ingin
agar Pendekar 131 bisa berdampingan dengan Putri
Kayangan. Sementara Putri Kayangan sendiri tampak
masih bisa menahan diri walau hatinya didera rasa ke-
cewa dan cemburu.
Ketika Pendekar 131 dan Saraswati meninggalkan
Bukit Kalingga, Pitaloka mengajak Putri Kayangan un-
tuk terus mengikuti. Sebenarnya Putri Kayangan me-
rasa enggan. Selain akan menambah rasa kecewa dia
juga tak akan tahan melihat terus-terusan murid Pen-
deta Sinting berkasih-kasihan dengan gadis lain di de-
pan matanya. Namun Pitaloka bersikeras mengajak
Putri Kayangan karena dia berpikir tujuan Pendekar
131 pasti mencari sosok manusia yang mengenakan
Jubah Tanpa Jasad yang kini tengah dicarinya.
“Pitaloka...!” bisik Putri Kayangan. “Lebih baik kita
tinggalkan tempat ini. Tidak ada artinya kita terus
mengikuti mereka!”
“Kuharap kau tabahkan hati melihat semua ini! Bu-
kan hanya kau saja yang merasa sakit. Aku lebih sakit
lagi melihat dia bermesraan dengan gadis sialan itu!”
“Pitaloka.... Kau jangan menyalahkan mereka....
Mungkin mereka sudah jadi kekasih sebelum ini. Ha-
nya saja kita tidak tahu.... Justru akulah yang salah....
Untung aku belum terlambat untuk mengetahuinya.
Jika terlambat, mungkin aku dituduh merebut kekasih
orang....”
“Kau terlalu menyudutkan diri sendiri! Kalau pemu-
da itu sebelumnya sudah punya kekasih, seharusnya
dia tidak memberi harapan padamu! Kau lihat sendiri
tatkala di Lembah Patah Hati. Dia seolah-olah masih
belum punya seorang kekasih.... Dialah sebenarnya
yang patut disalahkan! Dia pengecut! Sudah punya ke-
kasih tapi masih juga berlagak....”
Belum sampai Pitaloka teruskan ucapan, Putri Kayangan sudah memotong. “Sudahlah, Pitaloka.... Tak
ada gunanya lagi kita perdebatkan soal itu! Aku dapat
menerima semua ini.... Sekarang yang penting adalah
segera menyelesaikan urusanmu dan segera kembali
ke lereng Gunung Semeru....”
Pitaloka berpaling pada Putri Kayangan. “Ucapan itu
keluar dari hati nuranimu? Bukan karena kecewa de-
ngan semua yang kau lihat?!”
Putri Kayangan tersenyum walau terlihat dipaksa-
kan. “Pitaloka.... Untuk apa harus kecewa? Urusan ha-
ti tidak boleh terlalu dipaksakan....”
Pitaloka menatap Putri Kayangan dengan wajah
yang sulit dimengerti. Putri Kayangan sendiri alihkan
pandang matanya ke jurusan lain. Walau gadis ini tadi
berucap seolah tidak merasa kecewa dan dapat me-
nerima kenyataan apa yang terlihat, namun paras wa-
jahnya tidak dapat menyembunyikan perasaan kecewa.
“Pitaloka.... Sebenarnya apa maksudmu minta wak-
tu pada Eyang.... Kurasa bukan untuk mengikuti ke-
dua orang itu bukan?!”
“Pada mulanya memang tidak, tapi sekarang kita
harus terus mengikutinya! Aku telah bersumpah un-
tuk membalas dendam pada manusia yang bertindak
menjijikkan itu! Kalau dia tidak ada di Bukit Kalingga,
hanya satu tempat yang mungkin didiaminya! Tempat
itu adalah Kampung Setan!”
“Ucapanmu bukan hanya karena kau mendengar
percakapan pemuda dan gadis itu tadi, bukan?!”
“Aku tahu siapa jahanam pemerkosa itu. Dia sering
kali mengatakan sebagai penguasa baru Kampung Se-
tan! Jadi kalau dia sudah enyah dari Bukit Kalingga,
satu-satunya tempat yang dihuni adalah Kampung Se-
tan! Dan kau tahu.... Aku tidak tahu di mana letak
Kampung Setan! Sementara kita sendiri mendengar
kalau Pendekar 131 akan menuju Kampung Setan. Berarti dia tahu di mana Kampung Setan! Bagaimana ki-
ta akan menemukan Kampung Setan kalau tidak terus
mengikutinya?!”
“Tapi....”
“Aku tahu...,” ujar Pitaloka menukas ucapan Putri
Kayangan. “Orang yang akan kuhadapi adalah manu-
sia berkepandaian sangat tinggi karena dia mengena-
kan Jubah Tanpa Jasad dan memegang Kembang Da-
rah Setan. Tapi satu-satunya benda untuk menghada-
pi jahanam itu telah ada! Aku tak akan bertindak bo-
doh untuk menghadapinya kalau tidak tahu bagaima-
na cara menghadapinya!”
“Tapi bukankah benda itu telah berada di tangan
Pendekar 131?”
“Itu pula sebabnya mengapa aku mengajakmu un-
tuk terus mengikutinya!”
Baru saja Pitaloka menyahut ucapan Putri Kayang-
an, tiba-tiba kedua gadis ini menangkap satu sosok
bayangan berkelebat dan tahu-tahu satu sosok tubuh
telah tegak tidak jauh dari murid Pendeta Sinting dan
Saraswati.
Bukan hanya Pitaloka dan Putri Kayangan yang ter-
kejut. Namun Saraswati dan Pendekar 131 tak kalah
melengaknya!
Joko dan Saraswati saling pandang sejenak. Lalu
hampir bersamaan mereka berdua arahkan panda-
ngannya pada sosok yang baru muncul. Sementara da-
ri tempat persembunyiannya, Pitaloka dan Putri Ka-
yangan sama memandang tak berkesip pada orang
yang tiba-tiba muncul.
Semua mata di tempat itu melihat seorang gadis
berparas jelita mengenakan pakaian warna merah.
Rambutnya yang hitam lebat dikuncir ekor kuda. Hi-
dungnya mancung dengan mata berbinar.
“Aku pernah bertemu dengan gadis ini! Malah dia
pula yang mengusulkan agar aku memberi kesempa-
tan pada Pendekar 131 untuk membuktikan bahwa
bukan dia yang melakukan semua tindakan menjijik-
kan itu! Hem.... Tampangnya aneh.... Ada apa ini? Apa
karena dia tahu aku bersama Pendekar 131?!” Diam-
diam Saraswati membatin seraya perhatikan gadis
yang baru saja muncul.
“Aku pernah melihatnya!” Dari balik persembunyi-
annya Putri Kayangan berbisik pada Pitaloka.
“Siapa dia?!” tanya Pitaloka.
“Kalau tak salah.... Dewi Seribu Bunga!”
Di depan sana, murid Pendeta Sinting diam-diam
juga berkata sendiri dalam hati. “Melihat gelagat, tentu
dia akan meneruskan kisah lama! Hem.... Urusannya
tambah sulit. Apalagi pandangannya terasa tidak
enak.... Matanya bukan saja masih menuduh, tapi juga
bercampur pandangan cemburu!”
“Pendekar 131!” Tiba-tiba gadis yang baru muncul
angkat suara dengan keras. “Kesempatan yang kuberi-
kan padamu untuk membuktikan bahwa bukan kau
manusianya yang melakukan tindakan tidak terpuji
itu! Bukan untuk hal-hal lainnya!”
“Benar dugaanku!” batin Joko. “Dia cemburu.... Di-
kira aku selama ini pergunakan waktu untuk berse-
nang-senang!”
Saraswati rupanya maklum akan arti ucapan si ga-
dis yang bukan lain memang Dewi Seribu Bunga ada-
nya. Paras Saraswati sedikit merah. Sebelum murid
Pendeta Sinting sempat angkat suara, dia telah me-
nyahut.
“Harap tidak cepat menuduh! Dia telah pergunakan
waktunya selama ini untuk menyingkap siapa manusia
di belakang semua tindakan keji itu!”
Dewi Seribu Bunga mendengus pelan. Tanpa berpa-
ling pada Saraswati, dia bersuara. “Aku tidak bicara
padamu! Aku ingin keterangan dari dia!”
“Tapi ucapanmu tadi seolah-olah menuduh bahwa
kesempatan itu digunakan untuk hal-hal yang bukan
semestinya!” kata Saraswati menyahut dengan tam-
pang tidak senang.
“Aku bicara apa adanya! Karena selama ini aku
mendengar belum ada kabar perubahan yang berarti!
Lalu kulihat kalian enak-enakan di tempat Ini!” Kali ini
seraya bicara, Dewi Seribu Bunga berpaling meman-
dang tajam pada Saraswati. Saraswati sendiri balas
pandangan orang dengan mata berkilat. Untuk bebe-
rapa lama dua pasang mata berperang pandang.
“Dengar! Kami bukan tengah enak-enakan! Kami
justru tengah mencari biang petaka jahanam itu!” Sa-
raswati sambuti ucapan Dewi Seribu Bunga.
“Hem.... Begitu? Jadi kalian berdua berada di tem-
pat sepi begini kau anggap tengah mencari biang peta-
ka itu?! Lihat berkeliling! Kau ada di mana?! Apa yang
bisa kau dapatkan di tempat seperti ini?! Kau juga ti-
dak sadar.... Kalau kau diintai oleh mata-mata di balik
tempat tersembunyi! Apakah ini bukti bahwa kalian
berdua memang tengah mencari seseorang atau seba-
liknya?!”
Saraswati dan Pendekar 131 sama terkejut. Untuk
beberapa saat keduanya sama saling pandang lalu
arahkan pandang mata masing-masing ke seantero
tempat itu.
Sementara di balik tempat persembunyiannya, Pita-
loka dan Putri Kayangan juga saling pandang. “Gadis
itu telah tahu kehadiran kita dan apa yang kita laku-
kan!” Putri Kayangan berbisik dengan dada berdebar
tidak enak. “Sebelum kita mendapat malu, lebih baik
kita pergi saja dari tempat ini!”
Pitaloka mencekal lengan Putri Kayangan. “Meng-
hadapi urusan kali ini lenyapkan semua pikiran yang
berhubungan dengan perasaan! Jika tidak, kita akan
kembali ke lereng Gunung Semeru dengan tangan
hampa! Bila itu terjadi, aku tak akan bisa hidup te-
nang di sana!”
“Tapi mereka akan menuduh kita melakukan sesua-
tu yang kurang pantas!”
“Persetan dengan semua itu! Mereka sebenarnya
yang melakukan pekerjaan kurang pantas! Bukan ki-
ta!”
“Apa benar ucapan Dewi Seribu Bunga jika di tem-
pat ini ada orang lain?! Siapa? Apa orang itu mengiku-
ti?! Celaka.... Kalau orang itu belum kukenal masih
lumayan! Tapi bagaimana kalau orang itu adalah orang
yang kukenal? Sialnya lagi kalau orang itu sebenarnya
telah mengikutiku sejak dari Bukit Kalingga! Aduh....
Pasti dia tahu apa yang kulakukan bersama Saraswa-
ti....” Pendekar 131 terus edarkan mata dengan hati
berkata sendiri. Namun sejauh ini dia dan Saraswati
belum juga bisa menemukan orang lain.
Melihat sikap murid Pendeta Sinting dan Saraswati,
Dewi Seribu Bunga tertawa pendek dengan nada meng-
ejek sebelum akhirnya berujar.
“Kalau kalian tidak berlaku enak-enakan mana
mungkin kalian sampai tidak sadar kalau tengah diin-
tip mata?”
Mungkin merasa jengkel dengan ucapan Dewi Seri-
bu Bunga, Saraswati cepat berteriak. “Siapa pun kau
yang bersembunyi, mengapa takut perlihatkan diri?!”
“Kita akan dianggap manusia pengecut kalau tidak
keluar tunjukkan diri!” bisik Pitaloka merasa dadanya
terbakar mendengar teriakan Saraswati. Apalagi sejak
dari Bukit Kalingga sebenarnya Pitaloka sudah mena-
han perasaan tidak sabar.
“Tunggu, Pitaloka!” tahan Putri Kayangan. Kali ini
ganti Putri Kayangan yang mencekal lengan Pitaloka
karena saat itu juga Pitaloka hendak melompat keluar.
“Kalau perturutkan ucapan orang, aku khawatir akan
terjadi keributan yang tidak berarti!”
“Hem.... Lalu apa kemauanmu?!” tanya Pitaloka.
“Sebaiknya kita berlalu saja dari tempat ini!”
“Kau takut menghadapi perempuan itu?!”
Putri Kayangan geleng kepala. “Bukan karena takut.
Tapi sebaiknya kita menghindari keributan yang tidak
berguna!”
“Justru kalau kita menghindar, urusannya jadi ma-
kin berlarut-larut! Aku tak mau itu terjadi! Kita harus
tuntaskan sekarang juga! Bahkan kalau perlu, aku
akan meminta kembali benda merah di tangan Pende-
kar 131!”
“Pitaloka! Kau telah memberikan benda itu!”
“Betul! Tapi kalau dia tidak bisa menggunakannya,
bukankah lebih baik kuambil kembali?!”
“Bukannya dia tidak bisa menggunakannya, tapi
waktunya belum tiba!”
“Kapan waktu itu akan tiba kalau dia terus-terusan
dikejar urusan perempuan?!” jawab Pitaloka agak sen-
git.
“Bukankah kalau kita keluar berarti menambah u-
rusannya dengan perempuan?!” balik Putri Kayangan.
“Tapi urusan kita berbeda! Bukan untuk....”
Pitaloka tidak lanjutkan ucapan, karena saat itu
kembali terdengar teriakan Saraswati. “Hai.... Aku tahu
di mana kalian berada! Jangan sampai aku menyuruh
kalian keluar dengan cara lain!”
Teriakan Saraswati makin membakar dada Pitaloka.
Dia cepat sentakkan cekalan tangan Putri Kayangan.
Saat lain dia telah berkelebat dan tegak berjarak se-
puluh langkah dari tempat Dewi Seribu Bunga. Sepa-
sang mata Pitaloka langsung menghujam tajam pada
sosok Saraswati.
Putri Kayangan sebenarnya sudah coba menahan.
Tapi terlambat. Dan karena dipikir tak ada gunanya
lagi bersembunyi, juga khawatir akan terjadi keributan
dan salah paham, dengan muka sedikit merah padam
akhirnya Putri Kayangan ikut berkelebat keluar dan
tegak di samping Pitaloka. Hanya saja begitu tegak,
Putri Kayangan tidak langsung memandang pada Sa-
raswati atau Pendekar 131, melainkan arahkan pan-
dang matanya pada Dewi Seribu Bunga.
Mendapati siapa yang muncul, Saraswati tampak
tersenyum dingin walau sejenak tampak terkejut. Dewi
Seribu Bunga sendiri tak bisa sembunyikan rasa kaget.
Gadis cantik bekas murid tunggal tokoh hitam bergelar
Maut Mata Satu yang akhirnya diambil murid oleh De-
wi Es ini memang tahu ada orang yang sembunyi di
sekitar tempat itu. Namun dia sama sekali tidak men-
duga kalau orang itu adalah Pitaloka dan Putri Kayan-
gan. Namun yang paling terlihat terkesiap adalah Pen-
dekar 1311 Malah dia tampak salah tingkah dan bi-
ngung, hingga untuk beberapa saat dia bengong dan
memandang silih berganti pada empat gadis yang be-
rada di tempat itu!
“Aku sudah turuti permintaanmu! Sekarang kata-
kan apa maumu!” Pitaloka sudah angkat suara dengan
keras. Matanya terus saling berperang dengan mata
Saraswati.
Saraswati sesaat pandang silih berganti pada Pita-
loka dan Putri Kayangan. Dia tampak sedikit kebin-
gungan. “Aneh.... Ternyata ada dua gadis yang ru-
panya sama persis. Aku tak bisa memastikan mana
yang per-nah kutemui beberapa waktu yang lalu!” Di-
am-diam Saraswati membatin. Dia memang pernah
bertemu dengan Putri Kayangan. Namun karena tidak
tahu kalau Putri Kayangan punya saudara kembar
yang wajah dan pakaiannya sama, membuat dia tidak
bisa menentukan siapa yang sempat bertemu dengan-
nya!
Sama seperti halnya Saraswati, Dewi Seribu Bunga
juga tidak bisa menentukan mana gadis yang pernah
jumpa dengannya. Sebenarnya Pendekar 131 juga
agak sulit membedakan. Namun dengan sikap Pita-
loka, Joko segera saja bisa membedakan. Karena dia
tahu sikap Putri Kayangan sedikit lembut dibanding
Pitaloka. Hingga dia bisa segera menebak jika yang ba-
ru angkat bicara pada Saraswati adalah Pitaloka. Se-
mentara gadis yang muncul belakangan adalah Putri
Kayangan. Dugaannya makin kuat, begitu dia melihat
sikap Putri Kayangan yang tidak memandang ke arah-
nya maupun ke arah Saraswati. Namun di balik semua
itu, sebenarnya murid Pendeta Sinting merasa tidak
enak dengan kehadiran Putri Kayangan. Karena tidak
tahu harus berbuat bagaimana, akhirnya Joko memu-
tuskan.
“Urusan di depan masih banyak! Kalau aku larut
dengan urusan di sini, perjalananku akan makin la-
ma!”
Berpikir begitu, akhirnya Joko balikkan tubuh lalu
berkelebat tinggalkan tempat itu.
Namun baru saja Pendekar 131 balikkan tubuh dan
belum sempat bergerak lebih jauh, sudah terdengar
suara teguran keras.
“Pendekar 131! Jangan jadi manusia pengecut ting-
galkan urusan sebelum selesai!” Yang angkat suara
ternyata Pitaloka.
***
TIGA
“ANEH. Di antara kita ada urusan apa?!” gumam
Joko seraya urungkan niat dan putar tubuh kembali.
Walau dia tadi tahu yang perdengarkan teguran adalah
Pitaloka, namun begitu berbalik Joko bukannya me-
mandang ke arah Pitaloka melainkan pada Putri Kaya-
ngan yang saat itu juga tengah memandangnya.
Sikap murid Pendeta Sinting membuat dada Saras-
wati sedikit panas. Dia arahkan pandang matanya pa-
da Putri Kayangan. Sementara Pitaloka menatap tajam
pada Pendekar 131 dan berucap lagi.
“Setelah keluar dari Lembah Patah Hati, kurasa di
antara kita memang tidak ada urusan lagi! Tapi begitu
aku tahu apa yang kau lakukan, rasanya sulit untuk
mengatakan jika di antara kita tidak ada urusan yang
harus diselesaikan! Tapi tunggulah dahulu, aku akan
bertanya apa kemauan gadismu itu!” Selesai berkata,
Pitaloka arahkan pandangannya pada Saraswati. Lalu
berkata.
“Aku tak mau menunggu terlalu lama! Katakan apa
maumu!”
Sambil gerakkan kepala menoleh, Saraswati me-
nyambut. “Mengapa kalian berdua mengikuti kami?!
Kalau tidak punya maksud jahat, mana mungkin ka-
lian sembunyi-sembunyi?!”
Pitaloka tertawa pendek mendengar ucapan Saras-
wati. “Aku tidak bermaksud mengikutimu! Aku mengi-
kuti pemuda itu! Karena ada yang harus kuselesaikan
dengannya!”
Kini ganti Saraswati yang tertawa pendek. Lalu ber-
kata. “Kalau benar kalian mengikutinya, seharusnya
kalian menunggu sampai kami berpisah!”
“Hem.... Lalu sampai kapan kami harus menung-
gu?! Apa kau kira aku tak tahu.... Kau enggan ber-
pisah dengannya! Padahal dia sudah memintamu un-
tuk pergi!”
Paras wajah Saraswati berubah merah padam. Pita-
loka tersenyum mengejek. Lalu sambungi ucapannya.
“Kalian manusia-manusia tak tahu diri dan tak tahu
tempat! Apakah pantas orang bercumbu di dekat ma-
kam, hah?!”
“Pitaloka!” seru Putri Kayangan mencoba menahan
agar keributan tidak makin seru. Lagi pula dia merasa
malu dikira telah mengintip orang. Tapi sebelum Putri
Kayangan sempat lanjutkan ucapan, Pitaloka sudah
memotong tanpa memandang.
“Beda Kumala! Kau jangan ikut bicara! Orang-orang
seperti mereka akan berbuat makin gila jika dibiarkan
tanpa teguran!”
Mendengar kata-kata Pitaloka, selain makin merah
padam, dada Saraswati seakan bergemuruh meledak-
ledak. Di sebelahnya, murid Pendeta Sinting makin sa-
lah tingkah. Kini bukan saja tidak berani memandang
pada Putri Kayangan, tapi juga makin bingung tak ta-
hu apa nanti yang harus dikatakan. Karena dia sudah
maklum jika Pitaloka dan Putri Kayangan telah tahu
apa yang dilakukannya bersama Saraswati di kaki Bu-
kit Kalingga setelah pemakaman Lasmini dan Ni Luh
Padmi.
Saraswati menarik napas panjang. Saat lain dia ber-
ucap dengan suara keras.
“Kau terlalu usil mencampuri urusanku! Dan kau
tahu! Justru kalian yang tak tahu diri! Mengintip orang
dan terus mengikuti dengan sembunyi-sembunyi! Jan-
gan-jangan kalian gadis-gadis yang kerjanya cuma tu
kang intip! Kasihan....” Saraswati gelengkan kepala.
“Kalian gadis-gadis berwajah cantik. Mungkin banyak
pemuda yang tertarik dengan kecantikan kalian. Cuma
mungkin kalian punya kerja suka ngintip, mereka se-
gan pada kalian!”
“Kami tidak akan jual murah tubuh kami pada setiap pemuda sepertimu!” sahut Pitaloka.
“Hem.... Manusia kadang sering sembunyikan diri di
balik ucapan sok sucinya! Apa kau kira aku tak tahu
kalau kau baru saja melahirkan anak tanpa diketahui
siapa laki-lakinya, he?! Apa perbuatanmu itu tidak le-
bih gila? Apa dengan begitu kau masih menganggap
tubuhmu kau jual mahal?! Kasihan....” Saraswati kini
ganti yang gelengkan kepala seraya tersenyum meng-
ejek. “Kau bisa menegur orang, tapi kau sendiri tidak
bisa kuasai nafsu! Kalau aku jadi kau, jangankan ber-
kata menasihati orang, bertatap muka dengan orang
saja kurasa aku malu mengangkat kepala!”
“Tutup mulutmu!” teriak Pitaloka setengah menjerit.
Dada gadis ini menggelegak dengan tubuh bergetar
keras. Kini pandangannya dialihkan pada Pendekar
131 yang makin salah tingkah. Apalagi setelah mende-
ngar ucapan Saraswati. Dia sama sekali tidak men-
duga kalau Saraswati akan mengucapkan hal itu.
“Kau!” Tiba-tiba Pitaloka berteriak dengan telunjuk
diluruskan pada Joko. “Mulutmu ternyata lebih busuk
dari mulut perempuan liar! Tak kusangka kalau kau
berani menebar berita tak benar ini! Sebelum mulutmu
makin menebar berita, lebih baik kuhancurkan seka-
rang juga!”
Pendekar 131 memang telah menceritakan apa yang
dialaminya selama ini pada Saraswati kala berada di
dekat pemakaman ibunya. Namun ceritanya itu sema-
ta-mata bukan untuk menebarkan berita yang tak se-
dap itu, melainkan agar Saraswati lebih percaya pada
dirinya.
Sementara itu, sebenarnya Saraswati sendiri tidak
tahu mana gadis yang bernama Pitaloka. Namun begi-
tu mendengar Putri Kayangan tadi menyebut nama Pi-
taloka, Saraswati segera bisa menebak. Dan begitu
mendengar sambutan Pitaloka, Saraswati makin yakin
bahwa gadis yang diceritakan Pendekar 131 adalah
gadis yang ada di hadapannya.
Mungkin karena merasa tahu kelemahan orang, Sa-
raswati segera pula menyahut ucapan Pitaloka. “Jan-
gan berharap bangkai busuk dapat ditutupi-dengan
ucapan dan perbuatan sok suci! Itu hanya akan mem-
buat orang makin curiga dan berita makin tersebar
luas! Lebih baik kau akui terus terang dan tunjukkan
siapa dirimu sebenarnya! Orang akan menghargai ma-
nusia yang tidak sembunyikan diri di balik ucapan sok
sucinya!”
“Kalau kau terus buka bacot, mulutmu akan ku-
hancurkan juga!” Pitaloka menghardik tanpa berpaling
pada Saraswati. Sebaliknya terus memandang ke da-
lam bola mata Pendekar 131 yang makin salah ting-
kah.
Sementara Dewi Seribu Bunga tampak bengong dan
hanya bisa memandang silih berganti tanpa buka mu-
lut. Putri Kayangan mau mencegah, tapi karena sudah
tahu tabiat Pitaloka, dia akhirnya hanya bisa diam.
“Pitaloka....” Akhirnya Joko angkat bicara. “Maaf....
Bukan aku sengaja menebar berita. Tapi semua itu ha-
rus kuceritakan, karena....”
Belum sampai murid Pendeta Sinting lanjutkan
ucapan, Pitaloka sudah menukas.
“Karena kau tertarik pada gadis itu! Aku tidak mau
membicarakan segala macam budi, tapi kau adalah
manusia bodoh kalau berlaku begini setelah kau da-
patkan apa yang kau perlukan!”
“Pitaloka.... Aku paham maksudmu. Kuakui kau te-
lah banyak berjasa padaku. Tapi kuharap kau juga
mengerti. Semua ini kulakukan karena aku tidak mau
terus-terusan dituduh macam-macam! Lagi pula aku
tahu siapa Saraswati. Dia tak akan menebarkan berita
ini pada orang lain....”
“Mana ada orang mencela gadisnya di hadapan
orang lain!” sahut Pitaloka masih dengan suara keras.
“Sekarang hanya ada satu jalan untuk menyelesaikan
urusan ini! Serahkan kembali benda merah itu!”
Joko terkesiap mendengar permintaan Pitaloka. Se-
mentara Saraswati kerutkan dahi. Dia bertanya-tanya
benda apa yang dimaksud Pitaloka, karena Pendekar
131 memang tidak sebut-sebut benda merah dalam ke-
terangannya saat menceritakan tentang musibah yang
dialami Pitaloka. Di lain pihak, Dewi Seribu Bunga
makin tidak mengerti.
“Pitaloka.... Sekali ini kuminta pengertianmu. Ka-
laupun kau minta kembali benda itu, akan kuberikan
setelah semuanya selesai....”
Pitaloka geleng kepala. “Mulanya aku memang per-
caya padamu hingga rela menyerahkan benda itu. Tapi
melihat tingkahmu, kepercayaanku jadi luntur! Kau
bukannya segera menyelesaikan urusan, sebaliknya
kau enak-enakan bercumbu-ria dengan gadis itu! Ka-
lau hal ini kau teruskan, sampai kapan aku harus me-
nunggu?! Padahal kau tahu, kami harus segera kem-
bali ke lereng Gunung Semeru!”
Mendengar ucapan Pitaloka, gemuruh dada Saras-
wati yang sejenak tadi sedikit mereda bergolak lagi.
Dengan mata berkilat, anak gadis Lasmini ini buka su-
ara.
“Sedari tadi kau terus mengurusi perbuatan orang!
Aku tahu kau cemburu. Tapi seharusnya kau sadar
siapa dirimu! Mana mungkin ada laki-laki yang mena-
ruh perhatian padamu jika kau pernah hamil malah
melahirkan dan tidak diketahui siapa laki-lakinya?!”
“Jahanam!” teriak Pitaloka. “Aku memang bukan
orang baik-baik! Tapi aku tidak akan bertindak gila di
depan makam orang!”
“Mana aku tahu...?! Mungkin ucapanmu itu hanya
sebagai tutup! Yang jelas tindakanmu sampai hamil
adalah lebih gila!”
Saking marahnya, Pitaloka langsung angkat kedua
tangannya. Tubuhnya diputar sedikit menghadap Sa-
raswati. Saraswati tidak tinggal diam. Dia cepat angkat
kedua tangannya.
“Tahan!” Hampir bersamaan Pendekar 131 dan Pu-
tri Kayangan berteriak. Murid Pendeta Sinting melom-
pat dan menahan kedua tangan Saraswati, sementara
Putri Kayangan mencekal kedua lengan Pitaloka dan
tegak menghalangi di depannya.
“Beda Kumala.... Jangan halangi aku! Gadis liar
macam dia perlu sesekali mendapat hajaran agar bisa
jaga mulut!” Pitaloka tepiskan cekalan tangan Putri
Kayangan.
“Kau jangan ikut campur, Pendekar 131! Atau kau
laki-laki yang menghamili gadis itu, hah?!” desis Saras-
wati dengan bibir bergetar. Dia cepat pula mendorong
tubuh Joko hingga tersurut dua langkah.
“Saraswati.... Jangan memperkeruh masalah!”
“Dia yang bikin masalah! Bukan aku!” jawab Saras-
wati dengan ketus.
“Pitaloka...,” ujar Putri Kayangan di seberang depan.
“Tidak ada gunanya masalah ini diteruskan. Sebaiknya
kita tinggalkan saja tempat ini!”
Pitaloka gelengkan kepala. “Aku tak akan pergi tan-
pa benda merah itu di tanganku! Itu benda milikku!
Aku yang berhak menggenggamnya! Bukan manusia
bodoh yang hanya perturutkan kesenangan!”
Habis berucap begitu, tanpa diduga Putri Kayangan,
kedua tangan Pitaloka mendorong ke depan. Sosok Pu-
tri Kayangan terjajar ke samping. Saat bersamaan, Pi-
taloka angkat kembali kedua tangannya dan serta-
merta disentakkan ke arah Saraswati.
Di seberang depan, karena tidak tertahan lagi oleh
sosok murid Pendeta Sinting, Saraswati tidak berdiam
diri. Kedua tangannya segera pula didorong mengha-
dang pukulan yang telah dilepas Pitaloka!
Walau Pendekar 131 dan Putri Kayangan sudah sa-
ma bergerak hendak menahan, tapi gerakan keduanya
sudah sangat terlambat. Hingga bentrok pukulan anta-
ra Pitaloka dan Saraswati tak dapat dihindarkan lagi.
Blaarr!
Terdengar ledakan dahsyat kala pukulan yang di-
lepas Pitaloka dihadang pukulan Saraswati. Kedua so-
sok gadis ini sama mental ke belakang lalu sama jatuh
terduduk dengan tubuh masing-masing bergetar dan
paras pias.
Namun karena masing-masing orang sudah diamuk
gejolak hawa amarah, baik Pitaloka maupun Saraswati
segera bergerak bangkit. Putri Kayangan segera me-
lompat. Di seberang sana, Joko ikut pula bergerak. Pu-
tri Kayangan menghalangi Pitaloka sementara Pende-
kar 131 mencegah Saraswati.
“Beda Kumala! Kalau kau ingin pergi, tinggalkan
aku sendiri di sini! Tapi kalau kau ingin tetap bersa-
ma-ku, jangan coba-coba mencegah apa yang akan ku-
lakukan!” kata Pitaloka seraya angkat kedua tangan-
nya dan matanya menusuk tajam pada Saraswati.
Sementara di depan sana, Saraswati juga arahkan
pandang matanya menyengat pada Pitaloka seraya be-
rucap pada murid Pendeta Sinting yang berada di de-
pannya
“Pendekar 131! Kalau kau inginkan gadis liar itu se-
lamat, suruh dia hengkang dari tempat ini!”
“Saraswati.... Sebaiknya kita bicarakan semua ini
dengan kepala dingin. Urusan di depan masih besar
dan banyak. Kalau urusan sepele ini harus dibesar-be-
sarkan, kurasa kita akan rugi sendiri!”
“Kau sudah dengar ucapanku! Suruh gadis liar itu
hengkang! Jika tidak jangan harap tak akan ada darah
mengalir di sini! Dan jangan kira urusan ini cuma se-
pele! Kalaupun dia hengkang, kelak kalau bertemu,
aku akan meneruskan urusan sampai tuntas!”
“Saraswati! Sebaiknya kita saja yang tinggalkan
tempat ini.... Nanti akan kujelaskan lagi masalahnya!”
“Kau selalu membelanya!” hardik Saraswati. “Aku
makin yakin kau adalah laki-laki yang menghamili-
nya!”
“Saraswati....”
Joko tidak bisa lanjutkan ucapan, karena saat Itu
juga Saraswati sudah lepaskan satu tendangan pada
dada murid Pendeta Sinting.
Karena tidak menduga, Joko terlambat untuk
menghindar atau menghadang tendangan Saraswati.
Bukkk!
Pendekar 131 terhuyung-huyung ke belakang. Saat
lain Saraswati sudah sentakkan kedua tangannya.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang luar biasa dahsyat menggebrak ga-
nas ke arah Pitaloka. Dari ganasnya gelombang yang
melesat, jelas Saraswati tidak main-main lagi.
Pitaloka terkesiap. Kedua tangannya segera dido-
rong kembali ke arah Putri Kayangan yang tegak meng-
halangi di depannya. Sementara Putri Kayangan yang
sudah maklum kalau Saraswati telah lepaskan puku-
lan lagi, segera menyergap tubuh Pitaloka agar tidak
terjadi lagi bentrok pukulan dan hindarkan pukulan
Saraswati.
Namun sergapan dan niat Putri Kayangan ditang-
kap lain oleh Pitaloka. Hingga dia tarik pulang kedua
tangannya yang mendorong tubuh Putri Kayangan.
Saat lain ketika Putri Kayangan menyergap, Pitaloka
berkelit ke samping seraya doyongkan sedikit bagian
atas tubuh. Saat lain kakinya melesat.
Bukkkl
Meski kedua tangan Putri Kayangan sempat mela-
kukan hadangan, tapi tendangan kaki Pitaloka lebih
cepat datangnya. Hingga tanpa ampun lagi sosok Putri
Kayangan terjajar beberapa langkah. Kejap lain, Pita-
loka tekuk sedikit lututnya lalu didahului bentakan ga-
rang, dia sentakkan kedua tangannya dengan kerah-
kan hampir segenap tenaga dalam yang dimiliki.
Wuuttl Wuutt!
Dua gelombang yang tak kalah ganasnya dengan
pukulan Saraswati tampak berkiblat menghadang.
“Celaka! Mereka pasti akan terluka...,” gumam Joko
lalu cepat angkat kedua tangannya untuk menghadang
agar dua gelombang pukulan tidak saling berbenturan.
Karena benturan gelombang pukulan pasti akan mem-
buat Pitaloka dan Saraswati terluka sebab kedua gadis
ini telah melepas pukulan dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi.
Tapi belum sempat kedua tangan murid Pendeta
Sinting bergerak, terdengar suara orang bersin-bersin.
Saat yang sama satu deruan angin melesat ke arah ge-
lombang pukulan Saraswati. Hampir berbarengan de-
ngan melesatnya deruan angin, satu cahaya putih ber-
kiblat ke arah gelombang pukulan Pitaloka!
***
EMPAT
“BUSSSS! Busss!”
Terdengar suara laksana api terkena siraman air.
Gelombang yang melesat dari kedua tangan Saras-
wati langsung mental ke samping dan menghantam
beberapa jajaran pohon. Tiga pohon agak besar tam
pak perdengarkan derakan, saat lain jatuh tumbang!
Saat berikutnya gelombang yang berkiblat dari ke-
dua tangan Pitaloka semburat bertaburan terkena ser-
gapan cahaya putih.
Gagalnya benturan pukulan yang dilancarkan Sa-
raswati dan Pitaloka memang membuat kedua gadis ini
terhindar dari luka. Tapi sergapan yang tiba-tiba mun-
cul dan bisa menggagalkan benturan dan pukulan
mau tak mau masih membuat Saraswati dan Pitaloka
sama terjajar meski tidak mengalami cedera yang be-
rarti.
“Bruss! Bruss! Satu laki-laki empat perempuan. Aku
tidak heran, pasti pangkal sebab adalah perasaan cem-
buru!”
Terdengar suara orang bersin dua kali disusul de-
ngan terdengarnya suara. Lalu ditingkah dengan suara
tawa panjang.
Anehnya, semua orang yang ada di situ tidak bisa
menentukan dari mana sumber suara-suara tadi ter-
dengar, karena suara-suara itu laksana diperdengar-
kan dari delapan penjuru mata angin! Malah suara itu
terus pantul memantul tak putus-putusnya!
“Kakek Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun!” de-
sis murid Pendeta Sinting tahu benar siapa orang yang
baru saja menggagalkan bentroknya pukulan Saraswa-
ti dan Pitaloka. Namun karena belum bisa melihat di
mana kedua orang itu berada, Joko beberapa saat pu-
tar kepala dengan mata mengedar berkeliling.
Sementara Saraswati, Pitaloka, Putri Kayangan, dan
Dewi Seribu Bunga juga sempat terkesiap. Mereka le-
bih terkejut lagi tatkala kepala masing-masing gadis ini
sudah bergerak memutar tapi tidak juga melihat siapa-
siapa.
Saat itulah, tiba-tiba terdengar suara.
“Kuharap kalian tunda dulu urusan. Masih ada se
suatu yang harus dilakukan oleh pemuda itu!”
Walau tidak tahu di mana beradanya orang yang
bersuara, namun Pitaloka segera menyahut.
“Dia akan kubiarkan melakukan apa yang kau ka-
takan! Tapi sebelum dia pergi, aku ingin dia mengem-
balikan benda milikku!”
“Bruss! Bruss! Jangan membuat orang merasa he-
ran, Anakku.... Kudengar kau telah memberikan benda
itu. Mengapa kau kini hendak memintanya kembali?!”
terdengar sahutan. Kalau suara yang pertama tanpa
didahului bersinan tadi mungkin masih bisa ditebak
dari mana sumbernya, namun suara yang kedua dan
didahului suara bersinan, siapa pun tidak bisa mene-
bak dari mana sumbernya! Apalagi gema suara itu me-
mantul ke segenap tempat!
“Dia bukannya segera menggunakan benda itu! Tapi
lebih tertarik untuk bersenang-senang dengan gadis
binal itu!” Pitaloka menyahut dan seolah orang me-
lihat, ia arahkan telunjuknya lurus-lurus ke arah Sa-
raswati.
Saraswati tak bisa lagi menahan hawa amarah. Dia
kini angkat tangan kiri dan jari telunjuk ganti diarah-
kan pada Pitaloka.
“Kalau aku yang bersenang-senang saja kau sebut
gadis binal, lalu kata apa yang pantas untuk menyebut
gadis hamil tanpa laki-laki sepertimu?!”
“Keparat!” maki Pitaloka. Untuk kesekian kalinya
kedua tangannya diangkat ke udara tinggi-tinggi. Sa-
raswati ikut-ikutan angkat kedua tangannya. Tampak-
nya bentrok pukulan tak dapat dihindarkan lagi.
Namun sebelum sempat kedua gadis ini sentakkan
tangan masing-masing, terdengar suara bersinan tiga
kali berturut-turut. Kemudian disusul dengan suara.
“Aku akan merasa heran jika sebuah salah paham
bisa selesai dengan cara kekerasan! Kalaupun selesai,
justru itu adalah awal sebuah urusan besar! Jadi ha-
rap bisa menahan diri...!”
“Dia yang memulai!” teriak Pitaloka. Tangannya te-
tap berada di atas udara.
“Kau yang mulai! Kau sengaja mengintipku lalu me-
ngikuti ke mana aku pergi dengan secara diam-diam!
Seharusnya kau sadar dan mengaca siapa dirimu! Pe-
muda mana pun tak akan ada yang mendekatimu!
Percuma kau mengikuti dia!” sambut Saraswati dengan
kepala menoleh pada murid Pendeta Sinting. “Kalau-
pun ada pemuda yang mendekatimu mungkin pemuda
itu manusia bodoh!”
Pitaloka sudah hendak angkat bicara, namun sebe-
lum ucapannya terdengar, satu suara sudah menyahu-
ti dari tempat lain.
“Sudahlah.... Tak ada artinya perselisihan ini di-
teruskan! Sekarang masih ada hal penting yang mung-
kin masih menjadi tanggung jawab kalian juga! Untuk
Pitaloka, kuharap kau merelakan benda itu sementara
di tangan sahabat muda itu! Percayalah.... Kalau sam-
pai dia mempergunakan untuk hal-hal lain, aku yang
akan mengambilnya sendiri dan menyerahkannya pa-
damu!”
Baik Pitaloka maupun Putri Kayangan rupanya su-
dah dapat menebak siapa adanya kedua orang yang
baru saja perdengarkan suara. Karena mereka berdua
baru saja bertemu di Lembah Patah Hati dan masih
hafal suaranya meski tidak melihat orangnya.
Entah karena apa, Pitaloka perlahan-lahan turun-
kan kedua tangannya. Saat bersamaan Putri Kayangan
segera melompat mendekat dan berbisik.
“Pitaloka.... Sebaiknya kau turuti ucapan orang itu
tadi!”
Pitaloka pandangi saudara kembarnya. “Baik.... Ini
kulakukan bukan karena permintaan orang atau turuti ucapan Pendekar 131. Ini semata kulakukan ka-
rena kau!”
Murid Pendeta Sinting mendekati Saraswati. “Sa-
raswati.... Kuharap salah paham ini selesai sampai di
sini.... Dan sekarang aku harus pergi!” Tanpa me-
nunggu sahutan Saraswati, Joko hadangkan wajah ke
arah Pitaloka yang tegak berdampingan dengan Putri
Kayangan.
“Pitaloka.... Terima kasih atas pengertianmu. Maaf
kalau aku telah melakukan sesuatu yang kau anggap
keliru. Aku harus pergi....”
Seraya berkata begitu, mata Joko terus pandangi
Putri Kayangan yang saat itu juga tengah meman-
dangnya. Diam-diam murid Pendeta Sinting berkata
sendiri dalam hati. “Mungkin dia punya pikiran yang
tidak-tidak. Tapi satu waktu kelak aku akan menjer-
nihkan persoalan ini.
Kalau Pendekar 131 membatin begitu, ternyata Pu-
tri Kayangan juga berkata dalam hati. “Sebenarnya,
apa pun yang dilakukan aku dapat memahaminya.
Hanya saja mengapa dia sepertinya memberi harapan
padaku.... Padahal dia sudah punya kekasih.... Mung-
kinkah aku masih harus menaruh harapan padanya?
Apakah dia tidak tahu. Kalau aku begitu gembira men-
dapat kesempatan sebelum kembali ke lereng Gunung
Semeru. Semula aku mengharap kesempatan ini akan
kujadikan kenangan indah bersamanya.... Tapi seka-
rang, apakah mungkin hal itu akan terjadi...?!”
“Putri Kayangan....” Entah sadar atau tidak, murid
Pendeta Sinting bergumam. Tapi ucapannya terhenti
sampai di situ walau mulutnya terus membuka. Putri
Kayangan putuskan kata hatinya dan menunggu. Na-
mun sampai sekian jauh gadis cantik salah satu cucu
dari Nyai Tandak Kembang ini tidak mendengar lanju-
tan suara Pendekar 131. Sebaliknya habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting balikkan tubuh lalu berke-
lebat tinggalkan tempat itu.
Sikap murid Pendeta Sinting mau tak mau mem-
buat dada Saraswati mulai terbakar kecemburuan. Dia
menatap tajam pada Putri Kayangan dengan mata ber-
kilat-kilat. Sementara Putri Kayangan sendiri merasa-
kan dadanya berdebar dan memperhatikan terus kele-
batan sosok Joko hingga lenyap di depan sana.
Semua orang di situ tidak tahu, jika semenjak tadi
Dewi Seribu Bunga yang tegak diam dan hanya men-
dengarkan, tampaknya gigit kedua bibirnya.
“Begitu banyak gadis cantik yang coba menarik ha-
tinya...,” Dewi Seribu Bunga membatin. “Jadi percuma
selama ini aku selalu mengenangnya! Apakah dia tidak
tahu kalau kepergianku ini semata-mata hanya karena
aku rindu padanya.... Hem.... Dia sama sekali meman-
dang sebelah mata padaku. Bahkan dia seolah tidak
melihat keberadaanku di tempat ini! Dia pergi begitu
saja tanpa berkata sepatah kata padaku!” Dengan ber-
bagai perasaan akhirnya Dewi Seribu Bunga balikkan
tubuh. Dan tanpa buka mulut lagi dia melesat pergi.
Namun berjarak lima belas tombak, gadis murid Dewi
Es ini berbalik lalu berkelebat ke arah mana tadi mu-
rid Pendeta Sinting pergi!
Saraswati melirik pada Pitaloka. “Sebenarnya saat
ini kesempatanku memberi hajaran pada gadis itu! Ta-
pi kalau itu kulakukan, aku akan kehilangan jejak
Pendekar 131. Aku harus segera menyusulnya!”
Berpikir begitu, akhirnya Saraswati balikkan tubuh.
Namun sebelum dia benar-benar berkelebat, dia masih
sempat buka mulut.
“Urusan di antara kita jangan dianggap selesai! Kita
akan lanjutkan bila ada kesempatan!”
“Ucapanmu menunjukkan kau hanya berani me-
nantangku kalau ada pemuda itu! Kalau memang kau
bukan pengecut, untuk apa harus menunggu ada ke-
sempatan?! Sekaranglah kesempatan itu!”
“Pitaloka! Jangan memperpanjang urusan...!” kata
Putri Kayangan.
“Urusan akan jadi panjang kalau tidak diselesaikan
sekarang! Bukan tak mungkin mulutnya akan berkoar
ke mana-mana!”
Sebenarnya dada Saraswati sudah bergemuruh. Ta-
pi karena dia khawatir kehilangan jejak murid Pendeta
Sinting, dia menindih perasaan. Lalu berkelebat ting-
galkan tempat Ku seraya berkata lantang.
“Aku masih bisa menjaga mulut dan seluruh anggo-
ta tubuh lainnya! Pada pertemuan kelak, kuharap kau
tidak kurang suatu apa! Lebih-lebih kau bisa menjaga
agar tidak hamil lagi!”
“Jahanam keparat!” teriak Pitaloka. Kedua tangan-
nya disentakkan seraya berkelebat. Satu gelombang
ganas berkiblat ke arah Saraswati. Tapi Saraswati su-
dah berkelebat jauh. Gelombang pukulan itu hanya
menghantam udara kosong!
“Kita ikuti Pendekar 131!” seru Pitaloka seraya te-
ruskan berkelebat. Putri Kayangan sebenarnya hendak
berkata, Namun karena Pitaloka sudah berada di de-
pan sana, terpaksa dia urungkan niat lalu berkelebat
menyusul.
Dari balik sebuah batangan pohon besar, dua orang
laki-laki tampak duduk bersila. Sebelah kanan adalah
orang tua bertubuh besar tambun mengenakan pa-
kaian warna hijau gombrong. Sepasang matanya ber-
warna putih. Di sebelah orang tua ini adalah seorang
kakek yang kepalanya terus bergerak pulang balik ke
depan ke belakang dengan wajah membuat mimik se-
perti orang hendak bersin. Mereka berdua bukan lain
adalah Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun.
“Brusss! Bagaimana sekarang? Aku tak heran....
Mereka berempat tadi pasti mengikuti jejak murid Pen-
deta Sinting.... Kalau hal ini dibiarkan, tentu perjala-
nan pemuda itu tidak akan mulus!” kata Datuk Wah-
ing.
“Inilah susahnya kalau urusan sudah melibatkan
perempuan! Urusan sepele bisa jadi panjang lebar tak
karuan! Apa boleh buat, sementara ini kita punya tu-
gas. Kita harus tetap mengawasi gadis-gadis itu. Kita
cegah agar tidak terjadi bentrok sampai urusan pemu-
da itu beres!” sahut Gendeng Panuntun.
Tanpa banyak bicara lagi, kedua orang tua ini ber-
anjak bangkit. Saat lain mereka sama membuat satu
gerakan. Sosok masing-masing orang berkelebat dan
tahu-tahu sudah berada di depan sana. Malah sosok
mereka tampak mendahului kelebatan Putri Kayangan
dan Pitaloka. Saat lain telah melewati kelebatan Saras-
wati!
***
LIMA
PENDEKAR 131 Joko Sableng hentikan larinya kala
memasuki sebuah kawasan tanah terbuka yang di se-
kelilingnya dijajari beberapa julangan batu karang
tinggi seakan memagari tanah terbuka tadi. Tepat di
tengah tanah terbuka tampak altar batu agak besar
berbentuk datar. Di sebelah altar batu terlihat bong-
karan lobang menganga.
Murid Pendeta Sinting putar kepala memandang
berkeliling. “Hem.... Tempat ini belum berubah...,” gu-
mamnya seraya memperhatikan julangan batu karang
sebelah kiri altar yang tampak terbongkar. “Apa duga-
anku tidak salah...? Tapi mengapa belum juga terlihat
ada tanda-tanda munculnya seseorang?!”
Joko berpaling ke belakang dari mana dia tadi da-
tang. Dia menghela napas dalam seraya gelengkan ke-
pala. “Mudah-mudahan gadis-gadis itu tidak mengiku-
tiku.... Kehadiran mereka hanya akan memperkeruh
keadaan!”
Tanpa diketahui murid Pendeta Sinting, dari celah
salah satu julangan batu karang, dua sosok tubuh
tampak tegak memperhatikan. Yang sebelah kanan
adalah sosok mengerikan. Seorang laki-laki yang usia-
nya tidak bisa ditentukan. Paras wajahnya juga tidak
bisa dikenali. Karena susunan anggota tubuh orang ini
hanya terdiri dari susunan kerangka tanpa dilapisi
daging sama sekali!
Di sebelah laki-laki yang anggota tubuhnya hanya
merupakan susunan kerangka dan tidak lain adalah
Setan Liang Makam, tegak satu sosok yang tidak bisa
dilihat bagaimana wujudnya. Yang terlihat tegak ha-
nyalah jubah hitam besar. Jubah hitam itu menga-
pung di atas udara. Jubah itu bukan lain adalah Ju-
bah Tan-pa Jasad, salah satu benda mustika pening-
galan kerabat Kampung Setan. Sosok tidak terlihat di
balik Jubah Tanpa Jasad bukan lain adalah Kiai Laras.
“Hem.... Rupanya tanpa diundang pun manusia itu
akan dating! Ini satu petunjuk jika tidak lama lagi
akan datang yang lainnya! Dengan begitu, kejayaan
Kampung Setan akan kita tegakkan tanpa harus k-
keluar dari Kampung Setan! Aku tak akan membiar-
kan satu pun dari kalangan orang persilatan bisa ke-
luar dari Kampung Setan dalam keadaan hidup! Aku
akan jadikan Kampung Setan sebagai tempat angker
yang tidak mudah diinjak telapak manusia yang tidak
ku-inginkan! Aku akan kendalikan rimba persilatan
dari Kampung Setan! Sekarang kau tahu apa yang ha-
rus kau lakukan pada manusia tak diundang itu! Untuk yang satu itu kalau bisa bikin tak berkutik tanpa
memutus selembar nyawanya! Karena dia nanti bisa
kita buat sebagai umpan untuk memancing datangnya
orang lain!” Terdengar suara dari sosok tidak kelihatan
di balik Jubah Tanpa Jasad yang bukan lain adalah
suara Kiai Laras.
Setan Liang Makam hanya anggukkan kepala tanpa
perdengarkan suara sahutan. Namun diam-diam da-
lam hati dia membatin. “Tak akan kusisakan nyawa
pemuda jahanam itu! Inilah saatnya aku membalas
urusan tempo hari! Hem.... Sayang. Kembang Darah
Setan berada di tangan jahanam tidak kelihatan ini!
Kalau tidak, sudah kulumat habis pemuda jahanam
itu beberapa waktu yang lalu!”
“Setan Liang Makam! Lekas hadang manusia itu se-
belum masuk ke Istana Sekar Jagat!” gumam Kiai La-
ras pelan namun nadanya keras memerintah.
Dengan memaki dalam hati, Setan Liang Makam
berpaling sejenak pada Jubah Tanpa Jasad. Saat lain
sosoknya berkelebat keluar.
Sementara di depan sana, Joko serentak hentikan
langkah kala ekor matanya menangkap satu bayangan
berkelebat keluar dari salah satu julangan batu ka-
rang.
“Setan Liang Makam!” desis Pendekar 131 begitu
melihat siapa manusia yang tegak sepuluh langkah di
seberang depan. “Ternyata dugaanku tidak keliru. Ka-
lau dia berada di ini, pasti orang pemakai Jubah Tanpa
Jasad di sini juga!”
“Setan Liang Makam!” kata Joko. “Sebenarnya di
antara kita tidak ada urusan berarti. Aku datang un-
tuk bertemu dengan orang yang mengenakan Jubah
Tanpa Jasad! Bisa tunjukkan padaku di mana dia be-
rada?!”
Setan Liang Makam tidak menyahut. Hanya sepasang matanya perhatikan orang dengan pandangan
berkilat marah. Murid Pendeta Sinting tersenyum dan
maklum akan sikap orang karena dia dan Setan Liang
Makam memang beberapa kali bertemu dan sempat
bentrok.
“Setan Liang Makam!” kata Joko dengan suara sedi-
kit dikeraskan meski dia tahu kalau Setan Liang Ma-
kam tadi sudah dengar ucapannya. “Aku datang untuk
bertemu dengan orang yang mengenakan Jubah Tanpa
Jasad! Harap tunjukkan di mana dia berada!”
Setan Liang Makam masih juga kancingkan mulut.
Namun tak lama kemudian dia sudah perdengarkan
suara. “Kau bisa menemuinya di liang neraka!”
“Ah.... Terima kasih atas keteranganmu! Sekarang
mau tunjukkan padaku di mana tempat yang baru sa-
ja kau katakan?!”
“Akan kuturuti permintaanmu!” sentak Setan Liang
Makam. Saat bersamaan kedua tangannya diangkat la-
lu didorong. Dua gelombang angin dahsyat mengham-
par.
Karena sudah waspada, begitu kedua tangan Setan
Liang Makam terangkat, murid Pendeta Sinting berke-
lebat ke samping selamatkan diri. Gelombang hampa-
ran angin lewat setengah depa di samping sosok Pen-
dekar 131 dan terus lurus ke belakang menghantam
salah satu julangan batu karang.
Brakkk!
Sebelah sisi kanan julangan batu karang yang tadi
berada di belakang Pendekar 131 langsung muncrat
semburkan pecahan kepingan batu. Saat muncratan
luruh, tampak sebelah sisi julangan batu karang ge-
rompal besar!
“Sobatku, Setan Liang Makam! Aku tanya baik-baik.
Mengapa kau menyerangku?!”
“Sebelum kutunjukkan tempat di mana orang yang
kau cari, kita selesaikan dahulu urusan lama kita!”
“Urusan lama? Urusan lama yang mana?!”
“Akan kuingatkan otakmu dengan caraku!” hardik
Setan Liang Makam. Kedua tangannya kembali diang-
kat.
“Tunggu! Tahan dulu.... Aku ingat sekarang. Yang
kau maksud tentu pertemuan kita beberapa waktu
yang lalu. Kukira kejadian itu hanyalah salah paham
semata! Dan seharusnya kau yang minta maaf padaku.
Karena kau selama ini menuduhku sebagai orang yang
mengambil Kembang Darah Setan! Sekarang kau sen-
diri telah lihat buktinya! Aku bukanlah orang yang kau
tuduh! Tapi.... Sudahlah.... Lupakan semua itu! Seka-
rang kita berteman! Dan aku sekarang butuh bantuan-
mu!”
“Aku hanya bisa membantu untuk tunjukkan jalan-
mu ke neraka!”
“Sobat! Untuk jalan itu aku sudah tahu karena aku
pernah ke sana! Aku minta bantuan lain! Bagaimana?
Atau kau minta imbalan?! Katakan saja apa imbalan
yang kau inginkan?! Harta...?! Tubuh molek...?!
Atau....”
Joko tidak segera lanjutkan ucapan sebaliknya me-
lompat mendekat lalu lanjutkan ucapan dengan suara
direndahkan. “Atau kau inginkan Kembang Darah Se-
tan dan Jubah Tanpa Jasad kembali ke tanganmu?!”
Ucapan murid Pendeta Sinting membuat Setan Li-
ang Makam picingkan sedikit sepasang matanya. Tu-
lang dahinya bergerak tanda dia berpikir. Sikapnya ter-
lihat ragu-ragu.
Pendekar 131 tersenyum. “Sobat.... Aku tahu. Kau-
lah sebenarnya yang berhak atas Kembang Darah Se-
tan serta Jubah Tanpa Jasad. Sebab kedua barang
mustika itu adalah peninggalan leluhurmu! Aku berse-
dia membantumu mendapatkan benda itu....”
“Bantuan apa yang bisa kau lakukan untukku?!”
tanya Setan Liang Makam terpancing. Namun sebelum
buka mulut bertanya, cucu Nyai Suri Agung ini sempat
berpaling sesaat ke tempat Kiai Laras. Dan begitu dia
yakin sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa Ja-
sad tidak ada di tempatnya tadi berada, dia baru be-
rani buka mulut. Di lain pihak, sikap Setan Liang Ma-
kam telah membuat murid Pendeta Sinting tahu di
mana adanya orang yang dicari! Dia segera pula meli-
rik. Tapi keningnya berkerut.
“Dari pandangannya, jelas di balik julangan ke ma-
na matanya memandang ada orang lain bersembunyi.
Aku belum tahu siapa adanya orang itu! Terakhir kali
berpisah, dia bergabung dengan sosok pemakai Jubah
Tanpa Jasad, Pitaloka, dan orang tua yang wajahnya
mirip dengan Kiai Laras.... Hem.... Pitaloka jelas sudah
tak mungkin orangnya. Jadi sekarang yang mungkin
tinggal orang tua yang parasnya mirip dengan Kiai La-
ras dan mungkin sosok pemakai Jubah Tanpa Jasad
itu sendiri! Tapi.... Aku sekarang tidak melihat tanda-
tanda orang di balik itu! Hem.... Mungkin Setan Liang
Makam baru berani bertanya setelah yakin pula bahwa
orang di balik batu sudah tidak ada.... Hem.... Seba-
liknya aku terus memancingnya!” kata Joko dalam ha-
ti.
“Kau jangan berani main-main denganku! Katakan
bantuan apa yang akan kau lakukan untukku!” kata
Setan Liang Makam mengulangi ucapannya karena un-
tuk beberapa lama Joko tidak menyambut.
“Bukankah kau inginkan kedua benda itu kembali
ke tanganmu lagi?!”
“Jahanam! Aku tanya bantuan apa yang bisa kau
lakukan untukku?!” hardik Setan Liang Makam mulai
kesal.
“Tentu saja untuk mengembalikan kedua benda itu
padamu!”
“Keparat! Yang kutanyakan untuk mendapatkan
kedua benda itu, apa yang akan kau lakukan?!”
Joko anggukkan kepala. “Setinggi apa pun ilmu se-
orang manusia, pasti ada kelemahannya! Dan aku ta-
hu apa kelemahan orang pemakai Jubah Tanpa Jasad
itu!”
“Katakan padaku apa kelemahannya!” sahut Setan
Liang Makam.
“Sobat.... Bukan hanya manusia yang punya telinga!
Tanah, julangan batu karang, langit, mendung, dan
batangan pohon bisa mendengar. Sementara aku tak
ingin telinga lain mendengarkan. Karena itu tidak
baik.... Sebab ini menyangkut kelemahan orang!”
Setan Liang Makam katupkan tulang mulut. Tulang
keningnya bergerak-gerak. Saat lain dia perdengarkan
suara setelah edarkan pandangan berkeliling.
“Lalu apa maumu?!”
“Bawa saja aku ke tempat orang yang mengenakan
Jubah Tanpa Jasad itu!”
“Hem.... Kau kira aku bisa kau bodohi, he?!”
“Tunggu! Jangan salah sangka! Aku tidak punya
maksud macam-macam padamu!”
“Kau menginginkan kedua benda itu juga, bukan?!”
Pendekar 131 tertawa seraya gelengkan kepala.
“Aku tahu orang itu berada di sekitar tempat ini!
Kalau aku mau.... Tidak sulit aku menemukannya! La-
gi pula aku telah tahu kelemahannya.... Jadi kalau
aku menginginkan kedua benda itu mudah saja!”
“Lalu mengapa tidak kau lakukan?!”
“Aku masih menghargaimu sebagai pemilik sah
benda keramat itu! Lagi pula ini adalah tempatmu!”
“Benarkah ucapannya?! Tapi kalau benar, mengapa
saat bentrok beberapa waktu lalu dia tidak bisa me-
naklukkan jahanam pemakai Jubah Tanpa Jasad itu?!
Padahal saat itu dia dibantu beberapa temannya?! Ja-
ngan-jangan dia hanya mengelabuiku!” Setan Liang
Makam membatin ingat akan pertemuan murid Pen-
deta Sinting yang saat itu bersama Datuk Wahing,
Gendeng Panuntun bentrok dengan pemakai Jubah
Tanpa Jasad.
Mengingat akan hal itu, Setan Liang Makam segera
angkat suara.
“Kalau benar kau tahu kelemahannya, bagaimana
mungkin kau tak dapat mengalahkannya saat bentrok
beberapa waktu lalu?! Padahal saat itu kau tidak sen-
dirian!”
“Terus terang.... Saat itu aku memang belum tahu
kelemahannya! Tapi sekarang aku tahu bagaimana
menaklukkannya! Tunjukkan saja di mana dia! Atau
suruh keluar!”
Belum sampai suara murid Pendeta Sinting selesai,
dari salah satu puncak julangan batu karang tiba-tiba
satu benda hitam berkelebat turun. Belum sampai
benda hitam yang ternyata adalah sebuah jubah hi-
tam, berada di atas tanah, satu suara terdengar.
“Setan Liang Makam! Lakukan apa yang kuperin-
tah! Atau kau sendiri yang akan kulumat!”
Wusss!
Bersamaan dengan terdengarnya suara, satu gelom-
bang ganas berkiblat ke arah Setan Liang Makam. Se-
tan Liang Makam terkesiap. Sesaat dia berpikir. Meng-
hadang gelombang yang datang atau menghindar se-
lamatkan diri. Akhirnya Setan Liang Makam memu-
tuskan berkelebat menghindar karena sebenarnya dia
belum percaya benar dengan ucapan murid Pendeta
Sinting. Sementara kalau dia menghadang gelombang
yang datang, mungkin dia akan mengalami hal lebih
naas. Bukan tak mungkin sosok di balik Jubah Tanpa
Jasad akan marah besar.
Bummmm!
Tanah di sekitar terbuka dan bergetar keras. Saat
yang sama tanah itu semburat terhantam gelombang.
Jubah Tanpa Jasad tegak sepuluh langkah di sam-
ping tempat tegaknya Setan Liang Makam. Bagian le-
ngan dan bahu Jubah Tanpa Jasad bergerak ke sam-
ping, ke arah Setan Liang Makam.
“Aku tak mau dikhianati! Dan kau dengar ucapan-
ku! Lakukan atau kau yang akan kukirim menyusul
nenekmu!”
“Jahanam! Jadi dia telah membunuh Nyai Suri A-
gung!” maki Setan Liang Makam dalam hati. Dada cu-
cu Nyai Suri Agung ini sudah dibungkus luapan hawa
amarah luar biasa. Namun karena kini dia sadar siapa
orang yang dihadapi, bagaimanapun besar luapan ke-
marahannya, dia coba menahan. Lalu berkelebat ke
depan dan tegak di hadapan Pendekar 131!
Sementara melihat munculnya sosok tak kelihatan
yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad, murid Pendeta
Sinting selinapkan tangan kanannya ke balik pakaian.
“Busyet! Aku lupa lagi.... Seharusnya aku bertanya
pada Kakek Gendeng Panuntun atau Kakek Datuk Wa-
hing bagaimana caranya menggunakan benda ini!”
gumam Joko dalam hati menyesal. “Ini gara-gara ribut
urusan dengan beberapa gadis itu! Membuat aku sam-
pai lupa menanyakan! Padahal aku tahu, kedua orang
yang muncul saat itu adalah Kakek Gendeng Panun-
tun dan Datuk Wahing! Bagaimana sekarang...? Hem...
Akan kucoba dengan kemampuanku sendiri dahulu.
Jika tak berhasil, entah bagaimana caranya nanti!”
Memutuskan demikian, akhirnya Joko urung me-
ngeluarkan benda merah yang diambilnya dari pusar
bayi Pitaloka. Lalu tarik pulang tangannya keluar. Se-
tan Liang Makam dan sosok tidak kelihatan di balik
Jubah Tanpa Jasad yang bukan lain adalah Kiai Laras
sesaat memperhatikan gerakan tangan Joko yang ke-
luar dari balik pakaiannya.
“Apa lagi yang kau tunggu, Setan Liang Makam?!”
Kiai Laras membentak.
Setan Liang Makam menggeram. Selain marah akan
perintah Kiai Laras, juga marah melihat sikap murid
Pendeta Sinting. Pada mulanya Setan Liang Makam
menduga orang hendak mengeluarkan sesuatu. Na-
mun ternyata tangan Joko keluar tanpa menggenggam
sesuatu! Setan Liang Makam merasa sudah ditipu.
“Penipu busuk!” hardik Setan Liang Makam. Saat
bersamaan dia melesat ke depan. Kedua tangannya di-
kelebatkan ke arah kepala murid Pendeta Sinting!
“Tahan!” teriak Joko dengan angkat kedua tangan-
nya di atas kepala.
Setan Liang Makam tak pedulikan lagi teriakan o-
rang. Kedua tangannya terus dikelebatkan. Joko men-
dorong kedua tangannya ke atas menyongsong.
Bukkk! Bukkk!
Sosok Setan Liang Makam mental dan tegak tiga
langkah dari tempat terjadinya benturan pukulan. Di
depannya, Joko tersurut satu langkah dengan kibas-
kibaskan kedua tangannya yang baru saja berbentu-
ran dengan kedua tangan Setan Liang Makam.
“Sobat!” kata Joko dengan senyam-senyum meski
merasakan kedua tangannya kesemutan. “Kalau kau
benar-benar ingin lanjutkan urusan lama, tetap akan
kulayani. Tapi biar aku bicara dahulu dengan sobat
yang baru muncul itu!” Tangan kanan Joko menunjuk
pada Jubah Tanpa Jasad yang mengapung di atas
udara.
Tanpa menunggu sambutan Setan Liang Makam,
murid Pendeta Sinting berkelebat melewati sisi Setan
Liang Makam lalu tegak berhadapan dengan Jubah
Tanpa Jasad!
***
ENAM
BARU saja Pendekar 131 buka mulut dan suaranya
belum terdengar, kedua lengan Jubah Tanpa Jasad su-
dah berkelebat!
Weerr! Weeerr!
Dua gemuruh angin berkiblat angker melesat dari
kedua lengan jubah.
Karena tidak menduga, murid Pendeta Sinting sem-
pat kelabakan. Namun seraya berkelebat menghindar,
kedua tangan Joko lakukan satu pukulan ke depan.
Bummm! Bummm!
Kawasan Kampung Setan sesaat dilanda gelegar.
Karena tempat di mana terjadi bentrok pukulan dikeli-
lingi beberapa julangan batu karang, suara beradunya
pukulan menggema seakan hendak meruntuhkan ju-
langan batu karang!
Tampaknya Kiai Laras tidak mau memberi kesem-
patan. Begitu Joko dapat hindarkan diri dan mengha-
dang gelombang dari kedua lengan Jubah Tanpa Ja-
sad, Kiai Laras cepat melesat mengejar. Kembali kedua
lengan jubah hitam bergerak. Malah kali ini bagian
bawah jubah juga sedikit terangkat ke atas.
Meski Joko tidak melihat sosok orang di balik ju-
bah, namun dari gerakan jubah yang melayang di atas
udara, dia dapat menduga gerakan apa yang dibuat
orang. Maka seraya melenting satu tombak ke udara,
kedua tangannya dipukulkan ke depan menghadang
gerakan kedua lengan jubah. Saat bersamaan kaki ka-
nan kirinya juga membuat gerakan menendang, meng-
hadang gerakan jubah bagian bawah!
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras tiga berturut-turut. Murid
Pendeta Sinting rasakan kedua tangannya menghan-
tam benda keras luar biasa. Dia sama sekali tidak me-
rasakan bersentuhan dengan kain jubah!
Kalau murid Pendeta Sinting tidak merasakan ber-
singgungan dengan kain jubah, tidak demikian halnya
dengan kedua kakinya. Dia masih merasakan bentu-
ran dengan anggota tubuh orang.
Sosok Pendekar 131 terjajar satu setengah tombak
di atas udara. Lalu meluncur turun dan tegak di atas
tanah setelah membuat gerakan jungkir-balik satu
kali. Joko cepat salurkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. Karena dirasakan aliran darah pada kedua
tangannya laksana tersumbat. Dadanya sesak. Semen-
tara di seberang sana, sosok jubah hitam tampak me-
lintir bagian bawahnya. Namun sesaat kemudian telah
tegak mengapung di atas tanah.
“Hem.... Berarti anggota tubuhnya yang tidak terla-
pisi jubah hitam itu bisa digebuk! Jadi aku harus me-
nyerang bagian kaki dan wajahnya!” kata Joko dalam
hati.
Kalau Joko membatin begitu, Kiai Laras diam-diam
juga berkata dalam hati. “Aku masih bisa bersinggun-
gan dengan kakinya. Berarti jubah ini hanya dapat me-
lapis bagian tubuhku yang tertutup jubah! Aku harus
berhati-hati.... Dan aku sekarang tak akan memukul-
nya dari jarak dekat kecuali dengan kedua tanganku!
Lagi pula bukankah aku membekal Kembang Darah
Setan?! Hem.... Sebenarnya aku menginginkan anak
manusia itu hidup sementara waktu. Tapi kurasa ia
terlalu berbahaya kalau dibiarkan hidup! Dia mati atau
hidup pasti jahanam gurunya akan mencarinya kema-
ri! Saat itulah yang kutunggu-tunggu!”
“Hai! Aku datang bukan cari keributan! Aku hanya
ingin....”
“Persetan dengan maksudmu! Yang jelas siapa pun
yang datang ke tempat ini berarti akan pulang nama-
nya saja! Apalagi kau! Sebelum ini kita sudah membu-
ka urusan. Dan hari ini urusan itu akan selesai!”
Kiai Laras tidak menunggu Joko buka mulut me-
nyahut. Saat itu juga kedua tangannya diangkat. Na-
mun tiba-tiba salah satu tangannya diturunkan lalu
bergerak menyelinap ke balik jubah. Saat lain tangan-
nya keluar lagi. Namun bersamaan dengan keluarnya
tangan dari balik jubah hitam, terlihat pancaran sinar
tiga warna. Merah, hitam, dan putih.
“Kembang Darah Setan!” desis Setan Liang Makam
mengenali cahaya tiga warna. Sepasang matanya
memperhatikan tak berkesip pada bagian ujung lengan
jubah. Berjarak satu jengkal di depan ujung sebelah le-
ngan jubah hitam terlihat sekuntum bunga menga-
pung di atas udara. Bunga itu memiliki tiga daun. Satu
berwarna merah, satu berwarna hitam, dan satunya
lagi berwarna putih. Pada kuncup bunga juga berwar-
na merah.
Baik Joko maupun Setan Liang Makam sepertinya
melihat bunga mengapung di atas udara. Padahal se-
benarnya bunga itu yang bukan lain memang Kem-
bang Darah Setan, digenggam tangan Kiai Laras.
Hanya karena tangan Kiai Laras tidak kelihatan mata
biasa, maka Kembang Darah Setan seolah-olah men-
gapung di atas udara!
Kalau perturutkan kata hati, ingin rasanya Setan
Liang Makam melesat dan menyambar Kembang Darah
Setan yang pernah digenggamnya pada tiga puluhan
tahun silam. Namun dia cepat sadar. Kalau dia paksa-
kan diri merebut Kembang Darah Setan, maka dia
akan mendapat celaka. Hanya saja sekarang dia me-
nunggu kebenaran ucapan murid Pendeta Sinting yang
tadi mengatakan tahu kelemahan orang. Namun dia
tak berani bertindak ayal. Walau kini dia tidak ikut ter-
libat, dia tetap kerahkan tenaga dalam. Dan sepasang
matanya terus mengawasi gerakan Kembang Darah Se-
tan. Setan Liang Makam seakan tengah menunggu ke-
sempatan yang baik untuk menyambar Kembang Da-
rah Setan.
Sementara melihat Kembang Darah Setan sudah ke-
luar, Joko tidak berani lagi bertindak sembrono. Dia
telah tahu bagaimana kedahsyatan Kembang Darah
Setan. Maka begitu Kembang Darah Setan terlihat, Jo-
ko cepat siapkan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’. Ma-
lah setelah berpikir sesaat, dia alirkan tenaga lipat
ganda pada tangan kiri siapkan pukulan ‘Serat Biru’!
Saat itu juga tangan kanan Joko berubah warna men-
jadi kuning, sementara tangan kiri disemburati warna
biru.
Kiai Laras perdengarkan suara tawa panjang. Na-
mun tiba-tiba suara tawanya diputus. Saat bersamaan
tangannya yang memegang Kembang Darah Setan di-
angkat. Joko tidak tinggal diam. Dia juga angkat tan-
gan kiri kanan. Ketika Kembang Darah Setan berkele-
bat, Joko sentakkan pula tangan kiri kanan sekaligus!
Wuuttt!
Kembang Darah Setan berkelebat. Tiga sinar berkib-
lat. Merah, hitam, dan putih perdengarkan deruan luar
biasa dahsyat.
Wuutt! Wuutt!
Kedua tangan murid Pendeta Sinting bergerak. Dari
tangan kanan melesat sinar berwarna kekuningan dis-
ertai gelombang ganas. Saat bersamaan hawa panas
menghampar. Saat yang sama dari tangan kiri Joko
melesat serat-serat biru laksana benang.
Blammm! Blammm!
Terdengar ledakan dahsyat laksana hendak mero-
bohkan julangan beberapa batu karang. Sinar tiga
warna yang berkiblat dari Kembang Darah Setan sem-
burat.
Hebatnya semburatan sinar tiga warna masih terus
menebar ke arah Pendekar 131 Joko Sableng! Namun
sebelum tebaran sinar tiga warna sempat melabrak,
serat-serat biru sudah menghadang! Serat-serat biru
menebar panjang lalu meliuk-liuk dan laksana seekor
ular, serat-serat biru menghampar lalu melilit tebaran
sinar tiga warna.
Buss! Busss!
Tebaran sinar tiga warna yang terlilit serat-serat bi-
ru langsung ambyar. Saat yang sama, lilitan serat-
serat biru juga terputus-putus!
Pendekar 131 rasakan sosoknya seperti disentak-
sentak. Hingga ketika tubuhnya terpental ke belakang,
terlihat tubuhnya beberapa saat terhenti lalu terpental
lagi, terhenti lagi dan akhirnya melayang ke belakang
sebelum jatuh terduduk dengan kedua tangan lunglai
dan mulut terbuka megap-megap! Sosoknya bergetar
keras, lalu tak lama kemudian murid Pendeta Sinting
cepat-cepat katupkan mulutnya ketika merasakan pe-
rutnya mual dan rasa darah telah keluar dari teng-
gorokannya. Jelas ini pertanda kalau bentroknya pu-
kulan tadi telah membuat murid Pendeta Sinting ter-
luka dalam.
Sementara itu begitu terdengar ledakan, Jubah Tan-
pa Jasad tampak mencelat beberapa langkah ke bela-
kang. Saat berikutnya, ketika tebaran sinar tiga warna
ambyar terkena lilitan serat-serat biru, Jubah Tanpa
Jasad melenting tersentak-sentak ke belakang.
Sebenarnya Kiai Laras tidak begitu merasakan aki-
bat dari bentroknya pukulan. Karena sosoknya dilapis
dengan Jubah Tanpa Jasad. Namun karena bagian ka-
kinya tidak terlapis jubah, maka saat sosoknya tersen-
tak ke belakang, Kiai Laras tidak bisa bertahan. Hingga
tak lama kemudian kedua lututnya goyah dan mene-
kuk. Saat lain Jubah Tanpa Jasad bergerak menekuk
dan jatuh di atas tanah!
Karena sosoknya tidak kelihatan, murid Pendeta
Sinting dan Setan Liang Makam tidak bisa mengetahui
bagaimana paras wajah Kiai Laras. Namun hal itu ti-
dak begitu terpikirkan oleh Setan Liang Makam. Seba-
liknya dia tampak sangat kecewa. Karena dia berharap
dengan terjadi bentrok, Kembang Darah Setan bisa le-
pas dari genggaman tangan orang.
Di lain pihak, meski merasakan sosoknya terpelan-
ting, namun Kiai Laras tidak mau Kembang Darah Se-
tan di tangannya lepas. Hingga dia pegang erat-erat
Kembang Darah Setan. Apalagi dia menangkap gelagat
mencurigakan dari pandangan mata Setan Liang Ma-
kam.
Kiai Laras cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu de-
ngan cepat bergerak bangkit. Joko memperhatikan se-
saat. “Busyet! Dia sepertinya tidak mengalami cedera
sama sekali! Akan kucoba dengan pukulan ‘Sundrik
Cakra’!”
Berpikir begitu, sembari bangkit berdiri, Joko pu-
satkan seluruh tenaga dalam pada tangan kanan. Lalu
tangan kanannya diangkat. Jari tengah, jari telunjuk
serta jari manis dicuatkan ke atas. Sementara ibu jari
dan jari kelingking ditekuk saling bertemu. Inilah tan-
da kalau Pendekar 131 telah siapkan pukulan ‘Sundrik
Cakra’.
Kiai Laras lipat gandakan tenaga dalam pada tan-
gan kanannya yang menggenggam Kembang Darah Se-
tan. Saat berikutnya tangan kanannya bergerak.
Wuuttt!
Kembang Darah Setan berkelebat. Untuk kedua ka-
linya sinar tiga warna berkiblatan. Karena Kiai Laras
lipat gandakan tenaga dalam saat gerakkan tangan,
maka kiblatan sinar tiga warna melesat lebih ganas da-
ri yang pertama!
Wuuttt!
Kembang Darah Setan berkelebat. Untuk kedua ka-
linya sinar tiga warna berkiblat. Karena Kiai Laras lipat
gandakan tenaga dalam saat gerakkan tangan, maka
kiblatan sinar tiga warna melesat lebih ganas dari yang
pertama!
Pendekar 131 segera pula mendorong tangan ka-
nannya. Tiga larik sinar kuning sebesar jari melesat ke
depan. Hebatnya, larikan sinar itu makin lama makin
besar. Tidak terdengar gemuruh suara gelombang. Na-
mun begitu larikan sinar kuning bertemu sinar tiga
warna, terdengar gelegar maha dahsyat.
Bagian ujung julangan batu karang di tempat itu
tampak bergetar keras sebelum akhirnya terbongkar
dan mental semburat. Setan Liang Makam yang berada
di tempat itu terhuyung-huyung. Untung cucu Nyai
Suri Agung ini dapat segera sadar dan kuasai diri. Jika
tidak, niscaya sosoknya akan terbanting.
Sementara sosok murid Pendeta Sinting tampak
mencelat sampai tiga tombak sebelum akhirnya jatuh
terkapar dengan mulut semburkan darah. Di seberang
sana, sosok Jubah Tanpa Jasad terjajar sampai dua
tombak sebelum akhirnya juga terkapar. Terdengar
suara tersedak, disusul kemudian dengan muncratnya
darah dari bagian atas leher jubah. Tanda jika kini Kiai
Laras juga mengalami cedera dalam. Bahkan Kembang
Darah Setan di tangannya terpental lepas!
Setan Liang Makam yang sejak tadi menunggu ke-
sempatan segera melirik pada Jubah Tanpa Jasad.
Saat lain sosoknya berkelebat.
“Jahanam! Dugaanku tidak meleset!” desis Kiai La-
ras melihat gerakan Setan Liang Makam. Walau masih
belum bisa kuasai diri sepenuhnya, namun karena tak
mau kehilangan Kembang Darah Setan, dia segera sen-
takkan kedua tangannya seraya bergulingan mendeka-
ti tergeletaknya Kembang Darah Setan.
Setan Liang Makam rupanya sudah memperhitung-
kan tindakan. Begitu menangkap gerakan kedua le-
ngan Jubah Tanpa Jasad, dia segera jatuhkan diri ke
atas tanah seraya bergulingan pula. Saat lain kedua
tangannya mendorong ke depan menghadang pukulan
yang dilepas Kiai Laras.
Blaarr!
Terdengar ledakan dahsyat. Gulingan sosok Setan
Liang Makam dan Kiai Laras sama-sama terhenti. Wa-
lau Setan Liang Makam merasakan aliran darahnya
laksana disentak-sentak, dia tidak peduli. Begitu so-
soknya terhenti karena bentroknya pukulan, dia segera
pula sentakkan kedua tangannya kembali ke tanah.
Sosoknya kembali bergerak berguling-guling mendekati
Kembang Darah Setan.
“Jangan biarkan setan itu menjamahnya!” Tiba-tiba
terdengar suara teguran. “Kerudung setanmu mungkin
bisa berbuat sesuatu! Karena tak mungkin kita ber-
buat lain!”
Bersamaan suara teguran yang tiba-tiba menyeruak
di tempat itu, tampak melesat benda hitam panjang
yang bergerak meliuk-liuk di atas udara ke arah terge-
letaknya Kembang Darah Setan.
“Keparat! Ada orang lain lagi di tempat ini yang in-
ginkan Kembang Darah Setan!” gumam Kiai Laras.
“Jahanam! Siapa pula ini?!” desis Setan Liang Ma-
kam terkejut melihat berkelebatnya benda hitam pan-
jang yang ternyata adalah sebuah kerudung.
Mungkin karena sama-sama tak mau kedahuluan,
sementara mereka sudah sangat terlambat untuk men-
dekati Kembang Darah Setan, Kiai Laras dan Setan
Liang Makam hampir berbarengan sama lepaskan satu
pukulan ke arah kerudung hitam yang makin mende-
kati Kembang Darah Setan.
“Sialan! Bagaimana sekarang?! Mereka sama hen-
dak merusak kerudungku! Daripada kehilangan keru-
dung kesayangan, lebih baik tak mendapatkan Kem-
bang Darah Setan!” Terdengar suara teriakan orang.
Saat bersamaan kerudung hitam yang berkelebat me-
liuk mendekati Kembang Darah Setan laksana ditarik
kekuatan dahsyat. Kejap lain kerudung hitam berkele-
bat ke belakang lalu melayang lurus ke arah salah satu
puncak julangan batu karang!
Karena dihindari kerudung hitam, tak ampun lagi
pukulan Setan Liang Makam dan Kiai Laras yang sa-
ma-sama mengarah pada kerudung hitam bertemu di
udara! Hingga saat itu juga terdengar lagi gelegar leda-
kan. Sosok Setan Liang Makam dan Jubah Tanpa Ja-
sad sama bergulingan. Mereka tidak menyangka kalau
pukulannya akan bentrok di udara karena dihindari
kerudung hitam. Hingga kedua orang ini tidak siap
tatkala bentrok pukulan itu terjadi.
Kiai Laras segera bisa kuasai diri. Karena dirinya
masih dilapis Jubah Tanpa Jasad hingga meski tidak
siap dengan terjadinya bentrok pukulan, namun tidak
mengalami cedera yang berarti. Lain halnya dengan Se-
tan Liang Makam. Walau dia segera bisa bergerak
bangkit, namun tak urung masih terhuyung-huyung
bahkan hampir jatuh lagi.
Pendekar 131, Kiai Laras, dan Setan Liang Makam
segera gerakkan kepala berpaling ke arah sumber sua-
ra yang tadi tiba-tiba menyeruak.
Saat itulah dari salah satu julangan batu karang
melayang turun satu bayangan merah. Hampir bersa-
maan, dari julangan batu karang lainnya satu sosok
tubuh juga melesat turun. Tak lama kemudian dari ju-
langan batu karang lainnya lagi dua sosok tubuh ber
kelebat dengan membuat beberapa kali putaran di atas
udara sebelum akhirnya keempat sosok ini tegak berja-
jar di atas tanah terbuka!
***
TUJUH
PALING kanan adalah seorang nenek berambut pu-
tih lebat. Bagian belakang rambutnya dikelabang dua.
Sedang bagian depannya diponi. Wajahnya dibedaki
tebal. Bibirnya dipoles merah menyala. Pipi kanan kiri-
nya diberi pewarna merah muda tipis-tipis. Nenek ini
mengenakan pakaian atas berupa baju tanpa lengan
dan sangat cingkrang. Hingga ketiak dan pusarnya ke-
lihatan. Sementara pakaian bawahnya berupa celana
pendek di atas lutut. Baju dan celana pendeknya ber-
warna merah. Nenek ini bukan lain adalah Dayang Se-
puh.
Di sebelah Dayang Sepuh, tegak pula seorang nenek
berpakaian agak gombrong. Paras wajahnya hanya ke-
lihatan sebagian karena bagian kiri kanannya tertutup
oleh rambut dan kerudung hitamnya yang diletakkan
di atas kepala melingkar ke leher terus menjulai sam-
pai bagian depan perutnya. Nenek berkerudung hitam
ini tidak bukan adalah Dewi Ayu Lambada.
Di sebelah Dewi Ayu Lambada, tegak seorang kakek
bermuka tirus panjang. Rambutnya putih dibiarkan
bergerai. Kakek ini tegak dengan kepala sedikit didon-
gakkan dan kedua tangan berkacak pinggang. Saat
mendongak bagian atas tubuhnya tampak sedikit me-
lengkung. Karena ternyata kakek ini tidak memiliki
leher! Sambil mendongak, kakek ini bukan mulutnya
le-bar-lebar seolah ingin memperlihatkan mulutnya
yang tidak ditumbuhi gigi! Kakek ompong ini tidak lain
adalah dedengkot rimba persilatan yang dikenal den-
gan gelar Iblis Ompong.
Di samping Iblis Ompong, tegak seorang kakek ber-
pakaian agak lusuh. Rambutnya putih tipis. Seraya te-
gak, kakek ini tadangkan kedua tangan di belakang
kedua telinganya. Begitu tegak kakek ini memandang
beberapa saat ke arah tiga orang di sebelahnya. Dia
sepertinya ingin berkata. Namun yang keluar hanyalah
suara Uuukk! Uuukkk! Uuukkk! berulang kali. Ini satu
tanda jika kakek ini adalah orang bisu. Dia memang
kakek bisu dan tuli yang dikenal dengan sebutan Dewa
Uuk.
Melihat beberapa orang yang muncul, sesaat Kiai
Laras menggeram. Namun dia tidak begitu pedulikan
kemunculan orang. Justru pikirannya masih tertuju
pada Kembang Darah Setan yang masih tergeletak di
atas tanah.
Setan Liang Makam pun rupanya tidak, acuh de-
ngan kehadiran orang. Malah dia hanya melirik. Saat
lain pandang matanya sudah tertuju pada Kembang
Darah Setan.
Tiba-tiba Kiai Laras melesat ke depan. Masih di atas
udara kedua tangannya disentakkan ke arah Setan
Liang Makam. Setan Liang Makam tak punya pilihan
lain kecuali menghadang serangan lawan. Karena ka-
lau menghindar, berarti memberi kesempatan pada
orang untuk mendekati Kembang Darah Setan. Hingga
begitu melihat sosok jubah hitam berkelebat ke depan
dan kedua lengannya bergerak, cucu Nyai Suri Agung
ini cepat menyongsong ke depan dengan kedua tangan
membuat gerakan memukul. Rupanya Setan Liang Ma-
kam sudah nekat. Karena sekarang Kiai Laras sudah
tahu kalau dirinya berkhianat bahkan hendak merebut
kembali Kembang Darah Setan.
Blammm!
Untuk kesekian kalinya kawasan Kampung Setan
dirancah suara ledakan. Saat lain sosok Setan Liang
Makam terpental dan jatuh terkapar. Di seberang, Kiai
Laras perdengarkan tawa panjang sebab sosoknya ti-
dak bergeming sama sekali. Hingga sosoknya terus me-
lesat ke depan. Saat lain tangan kanannya menyambar
Kembang Darah Setan. Dan seolah tidak memberi ke-
sempatan pada orang, begitu Kembang Darah Setan
berada di tangannya langsung dikelebatkan ke arah
sosok Setan Liang Makam!
Wuuttt!
Tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih ber-
kiblat angker. Setan Liang Makam terkesiap. Sudah
sangat terlambat baginya jika berkelebat hindarkan di-
ri. Maka dengan segenap tenaga dalam yang dimiliki,
cucu Nyai Suri Agung ini angkat kedua tangannya lalu
disentakkan menghadang kiblatan sinar tiga warna
yang mencuat dari Kembang Darah Setan. Senjata sak-
ti yang pernah digenggamnya pada tiga puluhan tahun
silam.
Di sebelah samping, mungkin karena masih salur-
kan tenaga untuk mengatasi luka dalamnya, murid
Pendeta Sinting tidak berani menghadang pukulan
yang melabrak ke arah Setan Liang Makam. Dia tadi
juga tidak berani berbuat ayal ikut memperebutkan
Kembang Darah Setan yang sudah lepas dari gengga-
man tangan Kiai Laras dan tergeletak di atas tanah.
Karena dia maklum, jika sosok tidak kelihatan di balik
Jubah Tanpa Jasad masih mampu untuk menghadang
dan berbuat sesuatu. Sementara dirinya harus pulih-
kan dahulu keadaan tubuhnya yang terluka dalam
akibat bentrokan dengan Kiai Laras. Hingga dia hanya
bisa memandang bagaimana sinar tiga warna melesat
ganas ke arah Setan Liang Makam.
Sementara melihat berkiblatnya sinar tiga warna,
Dewi Ayu Lambada sudah hendak berkelebat dan ikut
menghadang kiblatan sinar tiga warna yang menjurus
ke arah Setan Liang Makam. Namun belum sampai
Dewi Ayu Lambada berbuat lebih jauh, Dayah Sepuh
yang tegak di samping segera palangkan tangan kanan
menghalangi gerakan Dewi Ayu Lambada seraya ber-
ucap.
“Jangan berani bertindak seperti orang kesetanan!
Pukulan itu bukan sembarangan!”
Dewi Ayu Lambada urungkan niat menolong Setan
Liang Makam. Lalu berpaling pada Iblis Ompong seolah
ingin minta pendapat tentang ucapan Dayang Sepuh.
Iblis Ompong rupanya dapat menangkap maksud
orang. Tanpa menoleh pada Dewi Ayu Lambada, kakek
ompong ini berkata.
“Aku melihat sesuatu yang tidak biasanya pada di-
rimu, Nek! Tidak biasanya kau ringan tangan memban-
tu orang! Tapi kali ini begitu melihat tampang jerang-
kong itu kau jadi lain! Kau sepertinya rela mati demi
dia! Jangan-jangan kau telah kasmaran pada jerang-
kong hidup itu! Hik.... Hik.... Hik...!”
Habis berkata begitu, Iblis Ompong berpaling pada
Dewa Uuk yang juga adalah adik kandung Dewi Ayu
Lambada. Lalu lanjutkan ucapan.
“Bagaimana pendapatmu tentang saudaramu itu?!
Kau bangga punya ipar seperti dia?!” Iblis Ompong
arahkan telunjuk tangan kanan pada Setan Liang Ma-
kam yang tengah sentakkan kedua tangannya meng-
hadang kiblatan sinar tiga warna.
Dewa Uuk dekatkan telinganya pada Iblis Ompong.
Saat lain dia tarik pulang kepalanya. Entah karena ti-
dak bisa mendengar ucapan Iblis Ompong atau salah
artikan isyarat telunjuk Iblis Ompong, Dewa Uuk tiba-
tiba tertawa panjang! Tapi dia tidak memberi isyarat
jawaban atas ucapan iblis Ompong.
“Dasar budek! Ditanya pendapat malah tertawa nga-
kak!” maki Iblis Ompong. Lalu mendongak dengan mu-
lut dibuka lebar-lebar.
Dewi Ayu Lambada amat geram mendengar ucapan
Iblis Ompong. Dia sudah hendak gerakkan tangan kiri-
nya. Namun sebelum berbuat sesuatu, terdengar leda-
kan menggelegar.
Entah karena kaget, Iblis Ompong mental ke bela-
kang. Sosoknya terhuyung-huyung hendak jatuh. Tapi
begitu bagian atas tubuhnya sudah tertarik ke bela-
kang hendak terjengkang, kakek ini julurkan kedua ta-
ngannya ke bawah. Sosoknya terhenti tertahan kedua
tangannya yang menekan tanah. Saat lain dia mem-
buat gerakan jungkir-balik lalu tegak membelakangi
orang-orang di depan!
Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada sesaat tam-
pak juga terkejut mendengar suara gelegar ledakan a-
kibat bentroknya sinar tiga warna dan gelombang dah-
syat yang melesat dari kedua tangan Setan Liang Ma-
kam. Sosok kedua nenek ini terjajar ke belakang lalu
tegak di samping Iblis Ompong. Hanya Dewa Uuk yang
terlihat tenang-tenang saja. Malah sosoknya tidak ber-
geming sedikit pun meski gelegar di tempat itu laksana
hendak meruntuhkan julangan beberapa batu karang.
Namun begitu dia berpaling dan tidak lagi melihat
ketiga orang sahabatnya, dia perlihatkan tampang ke-
takutan. Lalu putar kepala ke belakang. Kejap lain dia
cepat-cepat berkelebat ke belakang dan tegak menjajari
Iblis Ompong.
Di seberang depan sana, sosok Setan Liang Makam
sudah terkapar di atas tanah dengan pakaian sebagian
hangus! Untuk beberapa saat, sosoknya diam tak ber-
gerak. Cucu Nyai Suri Agung dari kerabat Kampung
Setan ini merasakan sekujur tubuhnya panas laksana
dipanggang. Dadanya seolah hendak meledak. Namun
begitu, dia tidak juga semburkan darah dari mulutnya
meski keadaannya sudah sangat parah. Ini mungkin
karena susunan anggota tubuhnya hanya kerangka.
Sementara di lain pihak, Kiai Laras hanya merasa-
kan sentakan kecil pada dadanya. Kalaupun dia masih
merasakan dadanya berdenyut nyeri, itu akibat ben-
trok pukulan dengan Pendekar 131.
Kiai Laras putar tubuh menghadap murid Pendeta
Sinting. Tanpa banyak bicara lagi Kembang Darah Se-
tan diangkat. Murid Pendeta Sinting sesaat bimbang.
Lalu selinapkan tangan kanan ke balik pakaiannya.
Ketika ditarik di genggaman tangannya terlihat benda
berwarna merah sebesar dua kali ibu jari.
“Bagaimana aku harus menggunakan benda merah
ini?! Langsung kuhantamkan begitu saja atau....” Joko
berpikir dan sekali lagi menyesali diri mengapa tidak
bertanya dahulu pada Gendeng Panuntun bagaimana
cara menggunakan benda merah yang diambilnya dari
pusar bayinya Pitaloka itu.
Di pihak lain, melihat benda merah di tangan Joko,
Kiai Laras urungkan niat untuk kelebatkan Kembang
Darah Setan. Sepasang matanya memperhatikan sek-
sama benda merah itu. Entah karena apa tiba-tiba da-
da Kiai Laras mulai berdebar. Namun dia segera te-
nangkan diri seraya berucap dalam hati.
“Tubuhku masih dilapis Jubah Tanpa Jasad. Tan-
ganku masih menggenggam Kembang Darah Setan.
Apa yang perlu ditakutkan! Mereka boleh mengeroyok-
ku bersama-sama!”
Membatin begitu, Kembang Darah Setan segera di-
kelebatkan ke arah Joko!
Wuuttt!
Sinar tiga warna berkiblat lagi dari tangan Kiai La-
ras yang tidak kelihatan.
Pendekar 131 bingung sesaat. Seraya melompat
mundur, dia kerahkan tenaga dalam pada tangan ka-
nannya yang menggenggam benda merah. Saat beri-
kutnya tangan kanan disentakkan.
Satu gelombang angin bergemuruh dahsyat ke de-
pan. Namun Joko jadi tersentak sendiri. Benda merah
di genggaman tangannya tidak membawa pengaruh
sama sekali pada pukulannya. Hingga yang keluar me-
lesat hanyalah gelombang angin biasa bertenaga da-
lam. Joko cepat hendak susuli pukulannya dengan pu-
kulan ‘Sundrik Cakra’ yang tadi sempat membuat so-
sok Jubah Tanpa Jasad terkapar dan semburkan da-
rah. Tapi keadaan Joko sudah sangat terlambat untuk
kerahkan tenaga dalam. Hingga belum sampai tenaga
dalam dikerahkan, di depan sana sinar tiga warna te-
lah memporak-porandakan gelombang pukulan Joko!
Saat bersamaan sosok Pendekar 131 sudah mencelat
dan terbanting di atas tanah. Saat itulah tebaran sinar
tiga warna melesat ganas ke arah Joko yang masih ter-
geletak di atas tanah!
Kiai Laras perdengarkan tawa bergelak panjang.
Apalagi saat melihat Pendekar 131 terkesiap dengan
datangnya tebaran sinar tiga warna dan tidak bisa ber-
buat apa-apa!
Dua jengkal lagi tebaran sinar tiga warna menghan-
tam hangus sosok murid Pendeta Sinting, mendadak
terdengar orang bersin-bersin beberapa kali. Saat yang
sama beberapa gelombang menghampar ke arah te-
baran sinar tiga warna. Di lain kejap satu cahaya putih
berkiblat juga mengarah pada tebaran sinar tiga war-
na.
Terdengar beberapa kali letusan. Tebaran sinar tiga
warna semburat membubung ke udara. Gelombang
yang datang melabrak serta cahaya putih yang berki-
blat juga porak-poranda!
Gelakan tawa Kiai Laras terputus. Sosoknya tersen-
tak-sentak ke belakang. Di salah satu julangan batu
karang terlihat dua sosok tubuh duduk bersila dengan
tubuh masing-masing sama bergetar keras dan mata
sama terpejam rapat.
Kiai Laras kembali rasakan dadanya makin berde-
nyut nyeri. Namun perasaan marah membuat dia tidak
pedulikan lagi sakit yang mendera dadanya. Dia segera
berpaling ke arah salah satu julangan batu karang. Dia
tahu pasti dari mana gelombang dan cahaya putih
yang menghadang tebaran sinar tiga warna bersumber.
“Datuk Wahing! Gendeng Panuntun!” desis Kiai La-
ras mendapati siapa gerangan adanya dua sosok yang
duduk bersila di lamping salah satu julangan batu ka-
rang.
Rombongan Dayang Sepuh yang sesaat tadi sudah
akan lakukan hadangan juga segera menoleh.
“Untung setan-setan itu sigap dan melakukan tugas
dengan baik! Kalau tidak, mungkin pemuda setan itu
sudah pulang ke tanah asalnya!” Dayang Sepuh ber-
gumam.
Setan Liang Makam yang tergeletak tak bergerak ju-
ga pentangkan mata dan melirik. Dia merasa sedikit
lega melihat kemunculan dua orang sudah dikenalnya.
Apalagi salah seorang yang duduk itu baru perdengar-
kan bersinan berkepanjangan dan laksana diperde-
ngarkan dari delapan penjuru mata angin. Dia tahu
benar ilmu apa yang baru saja dikerahkan orang. Ka-
rena ilmu itu satu-satunya ilmu langka yang dimiliki
oleh mendiang neneknya dan diwariskan pada seorang
muridnya yang bukan lain adalah Galaga atau seka-
rang dikenal kalangan rimba persilatan dengan gelaran
Datuk Wahing. Orang di luar kerabat Kampung Setan
yang diambil murid oleh Nyai Suri Agung dan menjadi
saudara seperguruan Maladewa alias Setan Liang Ma
kam.
Dua kakek yang duduk bersila di samping julangan
batu karang membuka kelopak mata masing-masing.
Yang sebelah kiri bermata agak besar. Sementara yang
sebelah kanan bermata putih tanda orang ini buta.
Yang sebelah kiri tampak gerakkan kepalanya pulang
balik ke depan ke belakang saat sepasang matanya
terbuka. Mimik wajahnya membuat sikap seperti orang
hendak bersin. Sementara orang yang matanya ber-
warna putih dongakkan sedikit kepalanya lalu mengu-
sap cermin bulat pada bagian depan perutnya. Mereka
berdua bukan lain adalah Datuk Wahing dan Gendeng
Panuntun.
Sementara itu, begitu dirinya selamat dari tebaran
sinar tiga warna, Pendekar 131 segera kerahkan tena-
ga dalam. Dadanya sudah tidak terkirakan lagi sakit-
nya karena dia tadi menghadang kiblatan sinar tiga
warna dengan andalkan pukulan biasa sebab menduga
benda merah di genggaman tangan kanannya akan
membawa pengaruh. Namun ternyata dugaan Joko
meleset. Hingga tak ampun lagi dia harus menerima
akibat agak fatal. Bahkan tatkala dia coba bergerak
bangkit, dari mulutnya kembali kucurkan darah! Na-
mun Joko tak mau menyerah begitu saja. Dia ber-
usaha kuasai diri dengan kerahkan tenaga murni pada
dadanya yang dirasa paling nyeri.
“Hem.... Untung mereka datang.... Anehnya, men-
gapa benda merah ini tidak membawa pengaruh sama
sekali?! Jangan-jangan semua keterangan orang sela-
ma ini hanya mainan saja! Tapi bagaimana bisa begi-
tu?! Bukankah adanya benda merah di pusar bayi Pi-
taloka itu sudah merupakan sesuatu yang langka?!
Hem.... Mungkin saja aku belum tahu bagaimana cara
menggunakannya! Mudah-mudahan salah satu dari
mereka yang ada di sini tahu bagaimana cara menggunakannya! Jika tidak.... Alamat akan celaka!”
Berpikir begitu, setelah merasa dapat kuasai diri,
murid Pendeta Sinting angkat suara.
“Kek! Bagaimana cara menggunakannya?!”
Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun tidak me-
nyahut meski mereka berdua tahu kalau pertanyaan
Joko ditujukan pada mereka. Sementara Dayang Se-
puh menoleh pada Dewi Ayu Lambada.
“Hem.... Rupanya setan itu kebingungan mengguna-
kan benda setan itu! Kau tahu bagaimana kira-kira
menggunakannya?!”
Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya se-
raya gelengkan kepala. “Kalau benda lain mungkin aku
tahu!”
“Benda lain yang mana yang kau maksud?!” Iblis
Ompong menyahut. Lalu memandang pada Dewi Ayu
Lambada dari sela kedua kangkangan kakinya.
“Ya.... Pokoknya benda lain selain benda merah itu!
Kalau belum jelas maksudku, pokoknya benda-benda
yang membawa nikmatlah...!”
“Setan gila! Kalau benda-benda yang membawa
nikmat, tanpa bertanya pun aku sudah tahu bagaima-
na cara menggunakannya!” sambut Dayang Sepuh.
“Ah.... Aku tahu benda apa yang kalian maksud!
Apa kalian masih sering bermain-main dengan benda
nikmat itu?!”
Dewi Ayu Lambada menoleh pada Dayang Sepuh.
“Kau masih sering bermain-main dengan benda nikmat
itu?!”
“Kau tanya pada orang yang salah!” Iblis Ompong
buka suara. “Mana mungkin dia sering bermain-main
dengan benda nikmat itu kalau kawin saja belum per-
nah?!”
“Ah.... Kau juga salah ucap!” Dewi Ayu Lambada tak
mau kalah. “Apa kalau untuk bermain-main saja perlu
kawin dahulu?!”
“Gila! Kalian setan gila semua!” seru Dayang Sepuh.
Namun sesaat kemudian telah tertawa mengekeh.
***
DELAPAN
BRUSSS! Bruss! Anak muda itu belum tahu bagai-
mana cara menggunakan benda merah di tangannya.
Seandainya aku tahu, aku tak akan membuat orang
merasa heran dengan ajukan tanya.... Kau tahu bagai-
mana menggunakannya?!” Datuk Wahing bergumam
seraya berpaling pada Gendeng Panuntun.
Sementara itu mendengar teriakan tanya murid
Pendeta Sinting, Kiai Laras sedikit terkejut. Sepasang
matanya langsung menghujam tajam pada tangan Jo-
ko yang masih menggenggam benda merah yang diam-
bilnya dari pusar bayi Pitaloka. Dia bertanya-tanya da-
lam hati. Namun sejauh ini dia masih percaya diri bah-
wa Kembang Darah Setan tidak bisa dihadang oleh apa
pun. Apalagi sosoknya masih dilapis Jubah Tanpa Ja-
sad.
Di lain pihak, Setan Liang Makam juga melirik pada
murid Pendeta Sinting. Cucu Nyai Suri Agung ini se-
ngaja tidak menggerakkan anggota tubuhnya. Malah
dia memandang dengan mata disipitkan. Dia coba
membuat semua orang menduga kalau dirinya sudah
tewas. Namun diam-diam dia berkata dalam hati.
“Benar ucapan pemuda itu! Tampaknya dia meng-
genggam sesuatu yang dikiranya dapat menghadang
kedahsyatan Kembang Darah Setan! Apa mungkin...?
Hem.... Aku harus pura-pura tewas! Lalu menunggu
kesempatan seraya mengembalikan keadaanku!” Setan
Liang Makam pejamkan matanya. Dia tidak membuat
gerakan atau perdengarkan suara. Tapi sesekali sepa-
sang matanya sedikit membuka memperhatikan gerak-
gerik Joko.
“Datuk Wahing dan lain-lainnya tidak ada yang
menjawab! Berarti mereka tidak tahu bagaimana cara
menggunakan benda ini! Celaka.... Terpaksa aku harus
menghadang serangannya dengan ‘Sundrik Cakra’! Ta-
pi apakah aku masih mampu?! Luka dalam ini terasa
sangat mengganggu....” Murid Pendeta Sinting akhir-
nya memutuskan setelah ditunggu agak lama tidak ju-
ga ada yang buka mulut menjawab pertanyaannya.
Mendadak Gendeng Panuntun beranjak bangkit.
Kepalanya ditengadahkan dengan mata dipejamkan.
Tangan kanannya bergerak mengusap-usap cermin bu-
lat di depan perutnya. Saat lain orang tua bertubuh
tambun besar ini angkat suara.
“Manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke
tanah. Ke mana pun air mengalir, akhirnya akan ber-
satu juga ke laut! Kembalikan semua pada asalnya!”
Joko simak ucapan Gendeng Panuntun. Lalu ulangi
ucapan orang berulang-ulang. Murid Pendeta Sinting
tahu jika ucapan Gendeng Panuntun adalah satu pe-
tunjuk bagaimana cara menggunakan benda merah di
tangannya. Namun sejauh ini dia belum bisa meng-
artikan ucapan Gendeng Panuntun.
Sementara itu mendengar ucapan Gendeng Panun-
tun, Dayang Sepuh kembali menoleh pada Dewi Ayu
Lambada. Namun belum sampai Dayang Sepuh sem-
pat buka mulut, Dewi Ayu Lambada telah berpaling
pada Iblis Ompong dengan turunkan sedikit bagian
atas tubuhnya karena Iblis Ompong berdiri dalam po-
sisi menungging. Anehnya, sebelum Dewi Ayu Lamba-
da buka suara, kepala Iblis Ompong yang terlihat dari
kangkangan kedua kakinya telah bergerak ke arah
Dewa Uuk. Sementara Dewa Uuk berpaling dari pan-
dangan Iblis Ompong dengan tadangkan tangan di be-
lakang telinganya dan didekatkan pada paha Iblis Om-
pong seolah menunggu ucapan orang!
“Setan!” maki Dayang Sepuh. Tangan kanannya se-
gera menjulur lalu menarik bahu Dewi Ayu Lambada
hingga nenek berkerudung hitam itu menghadap ke
arahnya. “Kau telah dengar ucapan setan buta itu. Kau
tahu maknanya?!” Dayang Sepuh lepaskan cekalan
tangannya pada bahu Dewi Ayu Lambada. Lalu te-
ruskan ucapan. “Sekarang jangan bergurau lagi. Pe-
muda setan itu dalam keadaan bahaya!”
Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya ka-
rena tertarik tangan Dayang Sepuh. “Sebenarnya aku
tadi hendak berkata seperti yang baru saja kau Tanya-
kan pada setan ompong itu! Jadi kau tahu bukan apa
jawabanku...?!”
“Aku juga begitu....” Iblis Ompong menyahut. “Se-
benarnya aku hendak bertanya pada Setan Uuk apa
makna ucapan sahabat buta itu tadi!”
Karena sudah maklum tidak ada yang tahu makna
ucapan Gendeng Panuntun, akhirnya Dayang Sepuh
berteriak pada Gendeng Panuntun.
“Setan buta! Kau bicara dengan bangsa manusia bi-
asa! Bukan bangsanya setan yang tahu makna uca-
panmu! Katakan saja terus terang bagaimana cara
menggunakannya!”
“Betul, Kek! Aku masih kesulitan menjabarkan uca-
panmu! Bicaralah tanpa harus dengan bahasa-bahasa
yang sulit begitu!” Joko berteriak di depan sana sam-
buti ucapan Dayang Sepuh.
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. “Aku bicara
apa adanya seperti yang tertera dalam pikiranku! Aku
tak bisa menjabarkan lebih jauh! Dan tentunya kalian
bisa mengerti maknanya kalau benar-benar berpikir!
Kembalikan semua pada asalnya! Itulah yang pen-
ting.... Kembalikan semua pada asalnya!” Gendeng Pa-
nuntun ulangi ucapan dua kali.
“Kembalikan semua pada asalnya!” Murid Pendeta
Sinting ikut-ikutan ulangi ucapan Gendeng Panuntun
seraya menimang-nimang benda merah di tangan ka-
nannya. “Apa maksudnya aku harus mengembalikan
benda ini pada asalnya?! Bagaimana mungkin? Bayi
Pitaloka tentu sudah dikuburkan.... Lalu bagaimana
aku harus mengembalikannya...?! Aneh. Apa dia tidak
salah ucap?!” Pendekar 131 bergumam.
Mendapati apa yang terjadi, Kiai Laras sunggingkan
senyum. Kejap kemudian dia mendongak lalu berkata
lantang.
“Apa kalian kira dengan benda busuk itu kalian bi-
sa menghadang rencanaku?!” Kiai Laras perdengarkan
tawa bergelak. Lalu angkat tangan kanannya yang
memegang Kembang Darah Setan.
Pendekar 131 tercekat. Nyawanya seolah sudah me-
layang. Sementara rombongan Dayang Sepuh saling
pandang satu sama lain. Dan entah karena ikut ter-
sentak dengan apa yang akan dilakukan Kiai Laras, Ib-
lis Ompong tarik tubuhnya lurus ke atas lalu berbalik
menghadap ke arah murid Pendeta Sinting dengan mu-
lut menganga lebar-lebar.
“Celaka! Kita tampaknya akan kehilangan seorang
sahabat!” Akhirnya Iblis Ompong buka suara juga de-
ngan mimik ketakutan.
“Kita hadang ramai-ramai!” usul Dayang Sepuh
sembari rapikan geraian poni rambutnya. Lalu takup-
kan kedua tangan di depan wajah.
“Tidak bisa! Tindakan itu hanya akan membuat kita
ramai-ramai menuju liang kubur! Aku tak mau bersa-
ma-sama dengan kalian ramai-ramai masuk liang ku-
bur! Di sana nanti pasti kalian akan bertindak memalukan!” Iblis Ompong menjawab ucapan Dayang Se-
puh.
“Kau kira aku juga mau masuk liang kubur bersa-
ma setan sepertimu?! Perlu kau tahu, sekarang ini
adalah saat terakhir kita bersama-sama! Setelah itu
aku tak peduli ke mana kau akan pergi!” Dayang Se-
puh sambuti kata-kata Iblis Ompong.
“Kurasa benar ucapan Manusia Ompong ini.... Aku
memang belum pernah bentrok dengan manusia tak
berwujud itu. Tapi melihat apa yang tadi terjadi, kita
akan sia-sia paksakan diri menghadang ramai-ramai!”
Dewi Ayu Lambada membenarkan ucapan Iblis Om-
pong.
Dayang Sepuh berpaling dengan mata mendelik
angker. “Lalu apakah kita harus diam melihat setan
muda itu mampus terbunuh?!”
“Itu mungkin jalan nasibnya.... Kita pun pasti akan
mengalaminya. Cuma kita belum tahu kapan dating-
nya!” Dewi Ayu Lambada berkata dengan suara pelan.
“Kalian ternyata setan-setan pengecut!” desis
Dayang Sepuh. Kepalanya kembali diluruskan ke arah
Pendekar 131 di depan sana yang karena belum bisa
menjabarkan ucapan Gendeng Panuntun terpaksa pu-
satkan tenaga dalam pada tangan kanannya siapkan
pukulan ‘Sundrik Cakra’. Karena pukulan itulah yang
tadi bisa menghadang kiblatan Kembang Darah Setan
meski dia sendiri harus mengalami luka dalam. Namun
paras wajah Joko sedikit cemas, karena dia maklum
kalau telah terluka dalam dan bila kembali terjadi ben-
trok, mungkin akan berakibat makin fatal.
Kecemasan Pendekar 131 tampaknya bisa ditang-
kap oleh pandangan Kiai Laras. Hingga orang yang so-
soknya tidak kelihatan ini sunggingkan senyum. Na-
mun saat lain tangan kanannya yang memegang Kem-
bang Darah Setan sudah bergerak.
Saat itulah tiba-tiba satu bayangan merah berkele-
bat disertai terdengarnya suara orang lain. “Tahan! Ja-
ngan lakukan itu!”
Dari sumber terdengarnya suara orang serta berke-
lebatnya bayangan merah, jelas suara tadi mencegah
berkelebatnya si bayangan merah. Namun si bayangan
merah tidak pedulikan teriakan orang. Dia terus berke-
lebat ke arah sosok Jubah Tanpa Jasad. Berjarak se-
puluh langkah, si bayangan merah yang masih di atas
udara lepaskan satu pukulan dahsyat ke arah Jubah
Tanpa Jasad!
“Sialan! Siapa setan yang berani mati ini?!” teriak
Dayang Sepuh.
“Pitaloka!” desis murid Pendeta Sinting dapat me-
ngenali sosok bayangan merah yang tengah berkelebat
karena dia dari arah depan. “Celaka! Apa yang akan di-
lakukan...?!”
Kiai Laras berpaling begitu telinganya mendengar
deruan angin dari arah samping. Dan begitu tahu apa
yang dilakukan orang, Kembang Darah Setan yang tadi
akan dikelebatkan ke arah Joko ditarik ke samping.
Sosoknya berputar setengah lingkaran. Saat lain Kem-
bang Darah Setan dihantamkan ke arah sosok yang te-
lah lepaskan pukulan ke arahnya!
Wuuttt!
Sinar tiga warna berkiblat menghadang gelombang
yang datang.
“Pitaloka! Cepat menyingkir!” teriak Joko. Namun
Pitaloka sepertinya tak pedulikan teriakan orang. Ma-
lah begitu tahu kiblatan sinar tiga warna, Pitaloka
kembali sentakkan kedua tangannya. Hingga saat itu
juga dari kedua tangannya melesat lagi dua gelombang
menyusuli gelombang pukulan yang pertama.
Terlambat bagi Joko untuk membuat gerakan. Se-
mentara Datuk Wahing hanya bisa perdengarkan bersinan beberapa kali. Gendeng Panuntun gelengkan ke-
pala dan bergumam pelan.
“Jalan hidup manusia sudah ditentukan. Apa pun
yang dilakukan orang tidak bisa menghalangi bila Yang
Maha Pencipta sudah menentukannya!”
Blaarr! Blaarr!
Dua ledakan keras terdengar saat gelombang berun-
tun dari tangan Pitaloka menghantam kiblatan sinar
tiga warna.
Pitaloka perdengarkan seruan tertahan. Sosoknya
mencelat deras ke belakang. Darah sudah tampak me-
ngucur saat sosoknya melayang.
“Pitaloka!” seru satu suara bergetar parau. Lalu sa-
tu bayangan merah berkelebat menyongsong tubuh Pi-
taloka yang masih melayang. Saat lain bayangan me-
rah yang menyongsong sosok Pitaloka menyambar. La-
lu melayang turun dengan membopong tubuh Pitaloka.
“Putri Kayangan...,” gumam Joko mengenali siapa
sosok bayangan merah yang melayang turun membo-
pong Pitaloka.
“Mengapa kau lakukan ini, Pitaloka?! Seharusnya
kau menunggu.... Kau pun harus sadar siapa orang
yang kau hadapi!” kata bayangan merah di samping
sosok Pitaloka yang diletakkan di atas pangkuannya.
Dia adalah seorang gadis cantik jelita mengenakan pa-
kaian warna merah dan bukan lain adalah Putri Ka-
yangan.
Pitaloka gelengkan kepala. “Aku tak bisa menahan
diri melihat jahanam itu.... Beda Kumala.... Kalau nan-
ti kau pulang ke lereng Gunung Semeru, sampaikan
maafku pada Eyang.... Aku juga minta maaf padamu
karena selama ini telah membuatmu susah...,” kata Pi-
taloka dengan suara tersendat karena mulutnya telah
dipenuhi kucuran darah hitam.
Beda Kumala alias Putri Kayangan mendekap sosok
Pitaloka. “Pitaloka.... Jangan kau berkata yang tidak-
tidak. Kita akan kembali bersama-sama ke lereng Gu-
nung Semeru....”
“Jangan menghiburku, Beda.... Aku tahu, ajal telah
di depan mataku.... Cuma saja aku masih menyesal....
aku tak bisa mempersatukanmu dengan Pendekar
131....”
“Pitaloka.... Jangan kau pikirkan itu dahulu! Kau
telah berbuat banyak padaku! Aku akan salurkan te-
naga dalam. Pejamkan matamu....” Putri Kayangan ge-
rakkan tangan untuk membalikkan tubuh Pitaloka.
“Beda.... Percuma saja.... Biarkan aku sejenak me-
mandangmu sebelum kita berpisah...,” ujar Pitaloka
seraya tepiskan perlahan kedua tangan Putri Kayan-
gan yang hendak balikkan tubuhnya. Matanya yang
mulai membiru dipaksa mementang besar pandangi
wajah Putri Kayangan.
Putri Kayangan balas memandang dengan mata su-
dah basah berkaca-kaca. Bahunya pun sudah bergun-
cang-guncang. Lalu kedua tangannya mengambil ke-
dua tangan Pitaloka dan digenggamnya erat-erat. Cucu
Nyai Tandak Kembang ini coba hendak buka suara.
Tapi meski mulutnya sudah terbuka, tidak ada suara
yang terdengar. Malah sesaat kemudian yang terdengar
adalah deraian tangis tatkala Putri Kayangan merasa-
kan hawa dingin menjalari kedua tangannya yang
menggenggam kedua tangan Pitaloka.
Putri Kayangan memandang tajam pada mata Pita-
loka. Mata itu memang masih terbuka. Namun tata-
pannya kosong. Putri Kayangan arahkan pandang ma-
tanya pada dada Pitaloka. Saat yang sama salah satu
tangannya digerakkan lepas dari genggaman tangan Pi-
taloka. Lalu mencekal pergelangan tangan Pitaloka. Ke-
jap lain terdengar jeritan tinggi! Lalu Putri Kayangan
menarik tubuh pitaloka dan didekapnya erat-erat dengan tangis meledak.
Pendekar 131 menghela napas dalam. Sikap Putri
Kayangan sudah membuatnya tahu apa yang dialami
Pitaloka. Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya.
Sementara Gendeng Panuntun mendongak sambil
menghembuskan napas. Rombongan Dayang Sepuh
saling pandang namun kali ini sama kancingkan mu-
lut.
“Hem.... Bagaimana sekarang? Orang pemakai Ju-
bah Tanpa Jasad itu masih tangguhi Benda merah
yang katanya dapat menghadapi sudah berada di tan-
ganku. Tapi percuma juga kalau aku tak bisa meng-
gunakannya!” gumam murid Pendeta Sinting lalu ber-
paling pada Gendeng Panuntun. “Mengapa dia tidak
mau mengatakan terus terang bagaimana caranya
menggunakan benda ini?!”
Joko kerjapkan mata. Saat lain dia berteriak. “Kek!
Kau masih tak mau mengatakan bagaimana caranya?!
Korban telah jatuh.... Harap jangan sembunyikan se-
suatu lagi!”
“Sahabat Muda.... Kau tahu dari mana benda itu!”
Gendeng Panuntun menyahut.
“Semua orang tahu! Yang kutanyakan bagaimana
cara menggunakannya!”
“Kau tahu dari mana, mengapa kau susah-susah
bertanya! Kembalikan benda itu seperti saat kau men-
dapatkannya!”
Entah karena sudah banyak yang dipikir apalagi su-
dah melihat nasib yang menimpa Pitaloka, murid Pen-
deta Sinting tak mau berpikir lagi. Dia segera sambuti
ucapan Gendeng Panuntun. “Kek! Anak Pitaloka
mungkin sudah dikubur! Bagaimana aku harus me-
ngembalikannya?!”
“Bruss! Bruss! Kau membuatku heran, Sahabat
Muda! Aku yang sudah tua begini saja kini dapat mengerti apa maksud sahabatku ini. Bagaimana kau yang
masih muda tak dapat menangkap maksudnya?!” Da-
tuk Wahing ambil suara.
“Sudahlah, Kek! Kalau kau tahu, jangan membua-
tku heran dengan tidak mau mengatakannya padaku!”
kata Joko sudah habis pikir.
“Bruss! Bruss! Kau tahu dari mana benda itu kau
ambil! Sekarang letakkan benda itu di tempat seperti
saat kau mengambilnya! Tapi jangan heran.... Itu ha-
nya dugaanku!”
“Astaga! Mengapa kau bodoh! Benar juga ucapan-
nya!” gumam Joko setelah mendengar ucapan Datuk
Wahing. Saat lain tanpa buka mulut lagi, dia sing-
kapkan pakaiannya! Benda merah yang diambil dari
pusar bayi Pitaloka ditempelkan pada pusarnya!
***
SEMBILAN
PENDEKAR 131 rasakan hawa dingin menjalar dari
bagian pusarnya. Lalu menjalar ke seluruh tubuh. Kiai
Laras mengawasi dengan seksama. Setan Liang Ma-
kam perlahan-lahan buka kelopak matanya. Karena
semua orang tengah memperhatikan ke arah murid
Pendeta Sinting, semua orang tidak tahu kalau Setan
Liang Makam juga tengah buka matanya dan meman-
dang ke arah Joko. Cucu Nyai Suri Agung ini memang
berusaha tidak membuat gerakan. Dia tetap terkapar
di atas tanah. Walau sudah terluka cukup parah tapi
Setan Liang Makam masih mencari kesempatan untuk
dapat merebut kembali Kembang Darah Setan.
Begitu hawa dingin di sekujur tubuhnya lenyap,
perlahan-lahan murid Pendeta Sinting kerahkan kembali tenaga dalamnya dan dipusatkan pada tangan ka-
nan siapkan pukulan ‘Sundrik Cakra’. Ini dilakukan
selain pukulan itu yang tadi bisa menghadang kiblatan
sinar tiga warna dari Kembang Darah Setan, juga un-
tuk berjaga-jaga kalau benda merah yang kini sudah
berada di pusarnya tidak membawa pengaruh.
Kiai Laras angkat tangan kanannya yang memegang
Kembang Darah Setan. Saat lain tangan kirinya juga
diangkat. Walau dia belum tahu untuk apa benda me-
rah yang tadi berada di tangan murid Pendeta Sinting,
namun kali ini dia tidak berani bertindak ayal. Apalagi
begitu mendengar ucapan-ucapan Pendekar 131 yang
menyebut-nyebut anak. Entah karena apa, dia tiba-
tiba teringat akan ucapan Kala Marica! Hatinya makin
berdebar tatkala tahu kemunculan Pitaloka.
“Apakah gadis itu hamil dan melahirkan?! Tapi
waktunya belum lama. Tak mungkin hal itu terjadi!”
Kiai Laras menenangkan diri. Tapi debaran dadanya
tak juga bisa ditenangkan. Malah ucapan Kala Marica
seakan terngiang kembali di telinganya!
“Ah, peduli setan! Dia telah mampus! Pitaloka sen-
diri tak mungkin melahirkan anak! Manusia-manusia
keparat yang ada di sini harus kuhancurkan satu per-
satu! Dan aku akan jadi penguasa Kampung Setan
tanpa ada yang menghalangi!”
Berpikir begitu, tiba-tiba Kiai Laras berkelebat ke
depan. Joko melihat bergeraknya Jubah Tanpa Jasad.
Dia menunggu sejenak seraya lipat gandakan seluruh
tenaga dalamnya. Begitu Kembang Darah Setan berke-
lebat, Pendekar 131 segera pula membentak. Saat ber-
samaan tangan kanannya didorong dengan jari telun-
juk, jari manis, dan jari tengahnya ditegakkan. Se-
dangkan ibu jari dan jari kelingking ditekuk saling ber-
temu.
Sinar berwarna merah, hitam, dan putih berkiblat
angker. Karena kali ini Kiai Laras kelebatkan Kembang
Darah Setan dengan kerahkan tenaga dalam hampir
seluruhnya, maka kiblatan sinar tiga warna itu selain
berkelebat makin cepat, juga perdengarkan gemuruh
luar biasa dahsyat.
Melihat ganasnya kiblatan sinar, sesaat murid Pen-
deta Sinting jadi terkesiap dan hampir didera perasaan
bingung. Namun karena tak ada jalan lain, akhirnya
tangan kanannya segera disentakkan.
Wuuttt!
Tiga larik sinar kuning mencuat dahsyat. Pendekar
131 terpana. Kalau biasanya hanya tiga sinar kuning
yang melesat kala dia lepaskan pukulan ‘Sundrik Ca-
kra’, kini begitu larikan sinar kuning melesat, satu ki-
blatan warna merah menyusuli dari belakang.
Bummm! Bummm!
Kawasan Kampung Setan laksana dilanda gempa
luar biasa dahsyat. Puncak julangan beberapa batu
karang terbongkar semburatkan kepingan. Tanah tem-
pat bertemunya dua pukulan muncrat sampai lima
tombak ke udara dan menebar berkeliling hingga sua-
sana berubah pekat. Sosok Putri Kayangan yang masih
mendekap Pitaloka yang sudah tidak bernyawa lagi
mencelat mental. Namun Putri Kayangan tak hendak
lepaskan dekapannya pada sosok mayat Pitaloka hing-
ga dia tak pedulikan lagi tubuhnya yang melayang de-
ras hendak menghantam tanah!
Namun setengah depa lagi sosok Putri Kayangan
hendak menghujam tanah, satu bayangan putih berke-
lebat menyambar sosok Putri Kayangan.
“Apa yang kalian lakukan?!” satu suara terdengar.
Putri Kayangan yang masih mendekap erat sosok
mayat Pitaloka buka matanya lalu memandang pada
orang yang telah menyelamatkannya.
“Eyang....” Putri Kayangan bergumam.
Di sebelah kanan Putri Kayangan tegak seorang pe-
rempuan berwajah cantik walau usianya tidak muda
lagi. Pada rambutnya terdapat beberapa untaian bu-
nga. Demikian pula pada sela jari kedua tangannya.
Perempuan ini mengenakan pakaian putih sebatas da-
da. Dia tidak lain adalah Nyai Tandak Kembang. Nenek
Pitaloka dan Putri Kayangan sendiri.
Nyai Tandak Kembang sesaat memperhatikan Putri
Kayangan. Namun begitu pandang matanya beralih pa-
da Pitaloka kontan perempuan dari lereng Gunung
Semeru ini menghambur.
Di lain tempat, begitu terdengar gelegar dahsyat, so-
sok Setan Liang Makam yang pura-pura tewas terka-
par di atas tanah ikut pula tersapu ke belakang sebe-
lum akhirnya terhenti dengan menghantam salah satu
lamping julangan batu karang.
Karena tidak mau semua orang tahu kalau dirinya
masih hidup, Setan Liang Makam coba tahan seruan-
nya meski sekujur tubuhnya sakit bukan alang kepa-
lang. Malah beberapa anggota tubuhnya terdengar pa-
tah!
Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun yang berada
di dekat lamping julangan batu karang sama tersurut
beberapa tindak ke belakang dan akhirnya bersandar
dengan mata sama terpejam.
Rombongan Dayang Sepuh melompat berpelanti-
ngan namun karena sudah berjaga-jaga, keempat
orang ini bisa tegak kembali berjajar.
Beberapa saat berlalu. Semua orang yang ada di si-
tu tidak ada yang perdengarkan suara atau membuat
gerakan. Mereka sama diam dengan wajah tegang. Ma-
ta mereka coba menerobos pekatnya suasana untuk
melihat apa yang terjadi.
Dan begitu hamburan tanah dan semburatan kepi-
ngan batu luruh, semua mata sama melihat ke satu
arah. Tidak jauh dari julangan batu karang di sebelah
depan sana, terlihat sosok Pendekar 131 terkapar de-
ngan pakaian sedikit hangus dan dibercaki warna me-
rah darah. Sosoknya diam tak bergerak-gerak. Di sebe-
rang, tampak sosok Jubah Tanpa Jasad tergeletak di-
am. Simbahan darah juga membercaki jubah hitam
peninggalan kerabat leluhur Kampung Setan itu. Kem-
bang Darah Setan yang tadi berkelebat kiblatkan sinar
tiga warna terhampar lima langkah di sebelah sosok
Jubah Tanpa Jasad. Namun Kembang Darah Setan itu
kali ini tidak lagi pancarkan sinar seperti sediakala!
Sinar itu laksana redup!
“Dia harus segera diberi pertolongan. Terlambat se-
dikit, nyawanya akan putus!” Gendeng Panuntun buka
suara dengan wajah dihadapkan pada sosok Pendekar
131.
Ucapan Gendeng Panuntun belum selesai, Datuk
Wahing sudah beranjak bangkit lalu berkelebat. Saat
lain orang tua yang kepalanya selalu bergerak pulang
balik ke depan ke belakang ini telah balik ke dekat
Gendeng Panuntun dengan pundak menggendong so-
sok Pendekar 131.
“Bruss! Brusss! Harap jangan heran kalau aku me-
mintamu yang menolong pemuda ini!” kata Datuk
Wahing lalu meletakkan sosok murid Pendeta Sinting
di hadapan Gendeng Panuntun. Gendeng Panuntun
duduk bersila lalu membalikkan tubuh Joko. Saat ber-
samaan kedua tangannya mengusap cermin bulat pa-
da depan perutnya. Lalu ditarik pulang dan diletakkan
pada punggung Joko.
“Bruss! Aku akan melihat gadis-gadis itu.... Harap
tidak bertanya atau heran. Mungkin ada sesuatu yang
bisa kuperbuat!” kata Datuk Wahing lalu berkelebat ke
arah Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang yang
tengah sama menangis sesenggukan.
“Hem.... Terlambat!” gumam Datuk Wahing begitu
tegak di dekat Nyai Tandak Kembang. Saat itulah satu
sosok tubuh melangkah mendekati dari belakang. Dia
adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Sepasang ma-
ta-nya agak sayu.
“Apakah dia tidak bisa ditolong lagi?!” Bertanya
orang yang mendekati Datuk Wahing.
“Brusss!”
Datuk Wahing bersin namun tidak disambung de-
ngan ucapan. Sebaliknya berpaling lalu kepalanya
menggeleng. Orang di hadapan Datuk Wahing yang ter-
nyata adalah Kigali menghela napas panjang lalu te-
ruskan langkah mendekati Nyai Tandak Kembang.
“Nyai.... Sudahlah.... Mungkin ini jalan hidup yang
harus dialami Pitaloka,” kata Kigali.
Nyai Tandak Kembang angkat kepalanya. Meman-
dang silih berganti pada Datuk Wahing dan Kigali. Se-
pasang matanya telah basah dan bahunya masih ber-
guncang.
“Seandainya aku menyadari sejak semula apa yang
hendak dilakukan, aku tak akan mengizinkan dia per-
gi...,” kata Nyai Tandak Kembang dengan suara ter-
sendat.
“Eyang.... Akulah yang salah. Aku tak bisa mena-
han Pitaloka!” Putri Kayangan angkat pula kepalanya
seraya berucap dan memandang sayu pada Nyai Tan-
dak Kembang.
“Tidak ada yang patut disalahkan dalam hal ini...,”
ujar Kigali. “Seandainya aku Pitaloka, pasti aku juga a-
kan melakukan hal yang sama! Pitaloka berpikir
mungkin inilah jalan yang harus dilakukan untuk
mengakhiri penderitaannya.... Sekarang dia harus se-
gera kita bawa pergi dari sini! Terserah pada kalian.
Kalian kuburkan di dekat daerah sini atau kalian bawa
serta ke lereng Gunung Semeru....”
“Bagaimanapun juga dia adalah cucuku. Aku tak
mau jauh darinya meski dia telah tiada.... Aku akan
membawanya ke lereng Gunung Semeru.” Nyai Tandak
Kembang berkata.
Selagi orang tengah berbincang-bincang dan Gen-
deng Panuntun berusaha memulihkan keadaan Pen-
dekar 131, Setan Liang Makam buka kelopak matanya.
Dia sejenak edarkan pandang matanya berkeliling me-
nyiasati keadaan. Saat lain sepasang matanya telah
tertuju pada sosok Jubah Tanpa Jasad dan Kembang
Darah Setan yang tergeletak di atas tanah.
“Aneh.... Kembang Darah Setan tidak bersinar la-
gi.... Ah. Itu bukan persoalan! Yang jelas inilah kesem-
patanku untuk mendapatkannya kembali! Jahanam di
balik jubah hitam itu tampaknya sudah mampus!”
Setan Liang Makam kerahkan segenap sisa tenaga
luar dan dalamnya. Saat berikutnya dia bergerak bang-
kit. Saat lain berkelebat ke arah Kembang Darah Se-
tan.
“Jerangkong setan itu belum mampus!” Tiba-tiba
Dayang Sepuh berteriak melihat gerakan Setan Liang
Makam. Rombongan Dayang Sepuh serta-merta sama
arahkan pandang matanya ke arah kelebatan Setan
Liang Makam. Sementara Nyai Tandak Kembang dan
Kigali serta Putri Kayangan tidak ambil peduli, dengan
teriakan Dayang Sepuh.
Namun rombongan Dayang Sepuh tidak ada yang
membuat gerakan untuk menghadang Setan Liang
Makam karena mereka sadar sudah sangat terlambat
untuk lakukan hadangan. Hingga keempat orang ini
akhirnya hanya bisa diam menyaksikan.
Dua jengkal lagi tangan Setan Liang Maka dapat
menyambar Kembang Darah Setan, mendadak lengan
kedua Jubah Tanpa Jasad bergerak.
“Setan! Dia juga belum tewas!” Kembali Dayang Sepuh berseru.
Wuuttt! Wuuttt!
Dua gelombang melesat dari kelebatan lengan jubah
hitam. Karena tidak menduga sama sekali, Setan Liang
Makam tidak bisa berbuat banyak. Apalagi jarak anta-
ra dirinya dengan Jubah Tanpa Jasad cuma lima lang-
kah.
Tapi Setan Liang Makam tak hendak urungkan niat.
Maklum tidak bisa menghadang gelombang yang da-
tang, dia percepat sambaran kedua tangannya ke arah
Kembang Darah Setan.
Usaha Setan Liang Makam tidak sia-sia. Tangan
kanannya sempat memegang Kembang Darah Setan.
Namun belum sampai cucu Nyai Suri Agung ini sempat
angkat tangan kanannya, gelombang yang mencuat
dari kelebatan kedua tangan Kiai Laras sudah dating
menerjang.
Setan Liang Makam berseru tertahan. Meski gelom-
bang yang menghantam tidak begitu kuat aliran tenaga
dalamnya, namun karena Setan Liang Makam tidak bi-
sa menghadang sama sekali, dan keadaannya sudah
terluka parah, membuat cucu Nyai Suri Agung ini
mencelat mental.
Dalam keadaan begitu rupa, Setan Liang Makam
masih mampu berpikir. Kalau dia tidak berhasil men-
dapatkan Kembang Darah Setan, orang lain pun tidak
boleh mendapatkannya juga! Maka begitu sosoknya
terpental, tangan kanannya yang memegang Kembang
Darah Setan segera disentakkan ke bawah!
Brakkk!
Terdengar derakan keras. Kembang Darah Setan
yang sinarnya telah redup karena bentrok dengan pu-
kulan yang dilancarkan Pendekar 131, pecah beranta-
kan! Sementara sosok Setan Liang Makam terus tersa-
pu sebelum akhirnya terguling di atas tanah dengan
perdengarkan derakan patahnya beberapa tulang! Se-
ruan Setan Liang Makam terputus seketika. Sosoknya
mengejang sebentar sebelum akhirnya terdiam dengan
nyawa melayang!
Kiai Laras mendengus marah melihat Kembang Da-
rah Setan berantakan pecah di atas tanah. Dia sendiri
merasa heran bagaimana senjata mustika dahsyat itu
bisa pecah berantakan.
“Jahanam!” Tiba-tiba Kiai Laras memaki. “Ini pasti
akibat pukulan yang dilancarkan pendekar keparat
itu!” Mata Kiai Laras mencari. Begitu mendapatkan
Pendekar 131 tengah telungkup di dekat Gendeng Pa-
nuntun. Kiai Laras cepat kerahkan sisa tenaga dalam-
nya. Dia masih percaya kalau Jubah Tanpa Jasad yang
dikenakannya masih mampu melapis tubuhnya dari
pukulan orang. Maka tanpa pikir panjang lagi dan tan-
pa pikirkan keadaan dirinya yang terluka dalam, dia
segera berkelebat. Berjarak sepuluh langkah, kedua
tangannya dihantamkan pada sosok murid Pendeta
Sinting yang tengah dipulihkan Gendeng Panuntun.
“Setan! Kita harus lakukan sesuatu!” teriak Dayang
Sepuh. Kedua tangannya sudah bergerak. Namun se-
belum pukulannya melesat keluar, satu benda hitam
panjang melayang ke udara. Pada bagian ujung bela-
kang benda terlihat satu sosok tubuh mengikuti de-
ngan tangan mengendalikan benda hitam panjang
yang ternyata adalah sebuah kerudung hitam panjang.
Sosok ini bukan lain adalah Dewi Ayu Lambada.
Seett! Setttt!
Ujung depan kerudung hitam menyapu. Kiai Laras
terkesima. Namun dia teruskan hantamannya. Dewi
Ayu Lambada gerakkan bagian belakang kerudung.
Kerudung hitam meliuk ganas.
Bettt! Bettt!
Ujung depan kerudung menyambar ke arah kedua
tangan Kiai Laras. Kiai Laras kembali terkesiap. Jubah
Tanpa Jasad sepertinya tidak lagi punya kekuatan un-
tuk mementalkan pukulan orang. Hingga tanpa ampun
lagi kedua tangan Kiai Laras tersapu ke samping. Han-
taman kedua tangannya tetap menebarkan gelombang,
namun arahnya sudah jauh melenceng dari sasaran
yang dituju.
Kiai Laras jadi kalap. Dia putar tubuh setengah
lingkaran menghadap datangnya kerudung hitam. Na-
mun sebelum orang ini melakukan gerakan, ujung de-
pan selendang telah melilit tubuhnya.
Kiai Laras mendelik. Kedua tangannya yang hendak
lakukan hantaman ditarik pulang lalu bergerak hen-
dak lepaskan lilitan kerudung. Tapi baru saja kedua
tangannya menyentuh kerudung, Dewi Ayu Lambada
sekali lagi gerakkan tangannya yang memegang ujung
belakang kerudung.
Wuutt! Wuuutt!
Kerudung hitam meliuk. Sosok Kiai Laras melayang
ke atas. Belum lagi berbuat sesuatu, Dewi Ayu Lamba-
da tarik pulang kerudungnya.
Sosok Kiai Laras terputar di udara. Ketika Dewi Ayu
Lambada sentakkan kerudung, sosok Kiai Laras me-
layang deras ke bawah sebelum akhirnya menghantam
tanah dengan kepala terlebih dahulu!
Praakk!
Darah tampak mengalir meski belum juga kelihatan
dari mana aliran darah itu keluar. Namun bersamaan
dengan mengalirnya darah, sosok Jubah Tanpa Jasad
diam tak bergerak lagi!
Dayang Sepuh, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk segera
berkelebat mendekati Dewi Ayu Lambada yang tegak
delapan langkah di samping Jubah Tanpa Jasad.
“Jangan-jangan setan itu belum mampus!” gumam
Dayang Sepuh.
“Nah.... Ini kesempatanmu bermain-main dengan
barang nikmat itu!” kata Iblis Ompong. “Kau raba dan
kau main-mainkan.... Kalau masih sempat bergerak-
gerak liar karena sentuhan tangan lembut, berarti se-
tan itu belum tewas! Jika dingin dan diam tak ada de-
nyutan, berarti setan itu sudah kojor!”
“Mulut setan sialan! Siapa mau turuti ucapanmu!”
hardik Dayang Sepuh namun dengan bibir tersenyum
dan tangan kiri rapikan geraian poni rambutnya.
“Ah.... Kau malu-malu kucing! Cepat lakukanlah....
Kesempatan ini jangan disia-siakan! Lagi pula kita be-
lum tahu siapa adanya sosok di balik jubah hitam itu.
Siapa tahu ternyata dia adalah seorang pemuda gagah
dan tampan! Kau nanti akan menyesal seumur-umur
kalau sia-siakan kesempatan ini! Lihat tangan sahabat
di sampingmu itu seperti sudah tidak sabar! Daripada
kedahuluan orang...!”
“Setan Ompong sialan!” Dewi Ayu Lambada mem-
bentak. “Tangan siapa yang tidak sabar?! Untuk uru-
san sentuh-menyentuh begitu aku sudah kenyang!”
“Hem.... Jadi kalian berdua tidak ada yang mau
membuktikan setan itu sudah mampus atau belum?!”
Iblis Ompong bertanya.
“Biar dia saja yang membuktikan! Bukankah dia be-
lum pernah kawin?! Yang berarti pula belum pernah
bermain-main dengan benda nikmat?!”
“Bruss! Brusss! Jangan membuat heran orang de-
ngan bergurau mempermainkan tubuh orang! Bukti-
kan saja dengan pegang pergelangan tangannya! Tapi
jika di antara kalian ada yang ingin buktikan dengan
pegang benda lainnya, silakan saja....” Datuk Wahing
perdengarkan suara.
“Dasar orang-orang gila!” rutuk Dayang Sepuh. Lalu
melompat dan dengan hati-hati dia julurkan tangan ke
arah salah satu lengan jubah. Lengan Jubah Tanpa
Jasad diangkat dengan tangan kiri. Lalu tangan kanan
meraba-raba. Semua orang melihat tangan Dayang Se-
puh mengapung memegang sesuatu di udara.
Mendadak Dayang Sepuh lepaskan lengan jubah di
tangan kirinya. Saat lain dia melompat ke dekat Dewi
Ayu Lambada. Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan
Dewa Uuk terkesiap. Ketiganya sudah siapkan puku-
lan melihat ketegangan mimik Dayang Sepuh. Mereka
menunggu dengan pentangkan mata. Namun setelah
agak lama Jubah Tanpa Jasad tidak juga melakukan
gerakan, Iblis Ompong buka mulut.
“Apa yang terjadi? Apa yang kau rasakan?!”
“Setan itu sudah mampus!” jawab Dayang Sepuh.
“Setan!” hampir berbarengan Dewi Ayu Lambada
dan Iblis Ompong memaki. “Kalau tahu orang sudah
mampus mengapa bertindak seolah-olah seperti setan
kalap?!” gerutu Iblis Ompong agak jengkel karena ter-
tipu sikap Dayang Sepuh.
Dayang Sepuh tertawa cekikikan. Dewi Ayu Lamba-
da pasang kembali kerudung hitam di atas kepalanya.
Hanya Dewa Uuk yang sedari tadi memandang silih
berganti pada ketiga orang di sampingnya dengan ke-
dua tangan ditadangkan di belakang kedua telinganya.
Dia tidak mendengar apa yang diucapkan orang. Na-
mun begitu melihat Dayang Sepuh tertawa cekikikan,
orang tua bisu dan tuli ini ikut pula perdengarkan su-
ara tawa panjang!
***
SEPULUH
“BAGAIMANA, Sahabat Muda? Ada perubahan?!”
Gendeng Panuntun ajukan tanya seraya tarik pulang
kedua tangannya dari punggung Pendekar 131.
Joko rasakan hawa panas yang sejak tadi menyeli-
muti sekujur tubuh dan aliran darahnya perlahan-la-
han lenyap. Dadanya memang masih sesak dan ber-
denyut nyeri kala dibuat bernapas. Tapi sudah jauh
lebih berkurang daripada saat baru bentrok dengan
Kiai Laras. Dia buka kelopak matanya lalu bergerak
membalik dan duduk dengan takupkan kedua tangan
di depan dada. Matanya kembali dipejamkan. Beberapa
saat kemudian dia buka kembali kelopak matanya.
“Terima kasih, Kek...,” kata Joko sambil menjura
hormat.
“Simpan dulu ucapan itu, Sahabat Muda. Sekarang
hiburlah gadis baju merah itu. Mungkin setelah ini ka-
lian lama tidak akan bertemu lagi.... Ucapkan selamat
jalan padanya....”
Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi dengan dada
berdebar. “Aneh ucapan kakek ini. Apa arti ucapan-
nya?! Bikin hatiku tidak enak saja!” kata Joko dalam
hati lalu berpaling ke arah Putri Kayangan yang masih
mendekap sosok mayat Pitaloka. Joko maklum kalau
yang dimaksud gadis baju merah oleh Gendeng Panun-
tun adalah Putri Kayangan.
“Kek.... Apa maksud ucapanmu?! Mengapa aku ha-
rus mengucapkan selamat jalan padanya?! Aku tahu di
mana dia berada.... Lereng Gunung Semeru. Kalau aku
ingin bertemu bukankah mudah saja bagiku?!”
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. “Kau memang
tahu di mana gadis itu bertempat tinggal. Namun tidak
begitu gampang kau menemuinya!”
Kini ganti Joko yang gelengkan kepala. “Kurasa Nyai
Tandak Kembang mau mengerti, Keki Dia tak mungkin
menghalangiku untuk bertemu dengan Putri Kaya-
ngan!”
“Benar! Tapi halangan itu bukan datang dari Nyai
Tandak Kembang. Tapi jarak tempat yang kelak akan
memisahkan kalian berdua!”
“Kek.... Sementara ini aku memang akan pergi. Tapi
tidak jauh. Aku akan mencari Eyang Guru di Jurang
Tlatah Perak. Kurasa jarak antara Jurang Tlatah Perak
dan lereng Gunung Semeru tidak begitu jauh....”
“Itu rencanamu, Sahabat Muda. Tapi kalau Yang
Maha Pembuat Rencana sudah menuliskan rencana
lain, kau tak dapat mengubahnya!”
“Apa maksudmu, Kek?!”
“Aku tak bisa menerangkan lebih jauh. Aku tak
mau mendahului Sang Maha Pembuat Rencana. Aku
hanya bisa mengatakan isyarat! Sebenarnya aku tidak
tega mengatakannya padamu, karena aku tahu bagai-
mana perasaanmu pada gadis baju merah itu. Namun
terpaksa harus kukatakan agar kau siap sebelum se-
muanya terjadi.... Dengan begitu, dalam perjalananmu
nanti kau tidak diganggu pikiran yang bukan-bukan!
Kerinduan pada seorang gadis kadangkala membuat
perjalanan tidak mulus dan kau akan melupakan pela-
jaran yang mungkin nanti akan kau dapatkan dalam
perjalananmu!”
“Aneh.... Dia terus mengatakan aku akan pergi
jauh.... Ke mana?!” gumam Pendekar 131 dalam hati.
“Sudahlah, Sahabat Muda! Waktumu tidak banyak
untuk memikirkan apa yang kelak akan kau lakukan.
Biarlah nanti semua berjalan seperti kehendak dan
rencana-Nya!”
Walau dengan dada dibuncah berbagai pertanyaan
dan dugaan, Joko beranjak juga lalu melangkah ke
arah Putri Kayangan setelah memperhatikan ke arah
sosok Setan Liang Makam dan Jubah Tanpa Jasad.
“Brussl Brusss! Aku heran melihat tampangmu. Ada
yang hendak kau katakan?!” Datuk Wahing sudah
angkat bicara begitu Joko tegak di sampingnya.
“Kek!” bisik Joko pelan. “Kakek Gendeng Panuntun
pernah mengatakan padamu ke mana sebenarnya aku
akan pergi setelah ini?!”
“Bruss! Kau membuatku heran! Bagaimana kau
bertanya hal itu padaku?! Telingaku yang salah dengar
atau ucapanmu yang salah tempat?!”
Belum sampai Joko berucap lagi, dari arah samping
sudah terdengar Nyai Tandak Kembang berkata. “Beda
Kumala.... Kita tinggalkan tempat ini....”
“Biar aku yang membawanya!” Kigali menyahut se-
raya mendekati Putri Kayangan lalu mengambil sosok
mayat Pitaloka dari dekapan Putri Kayangan.
Putri Kayangan beranjak bangkit lalu hendak me-
langkah ke arah Nyai Tandak Kembang. Tapi gerakan
kakinya tertahan tatkala dilihatnya murid Pendeta Sin-
ting berada di situ. Sesaat dia pandangi paras wajah
Joko lalu alihkan pandang matanya ke tempat lain.
Nyai Tandak Kembang melirik namun tidak buka sua-
ra.
“Nyai.... Aku akan bicara sebentar dengan Putri Ka-
yangan!”
Nyai Tandak Kembang tetap kancingkan mulut ti-
dak menyahut. Perempuan dari lereng Gunung Semeru
ini memandang pada Putri Kayangan. Putri Kayangan
rasakan dadanya berdebar keras. Dia menunggu suara
sahutan dari eyangnya. Namun setelah ditunggu agak
lama tidak juga ada suara sahutan, Putri Kayangan
berpaling pada Nyai Tandak Kembang.
“Kalau memang ingin bicara, bicaralah, Anak Muda!
Kami tidak punya waktu banyak!” Nyai Tandak Kem-
bang angkat suara.
Murid Pendeta Sinting tersenyum lega. Lalu me-
langkah mendekati Putri Kayangan yang juga terse-
nyum namun malu-malu.
“Bicara dari tempatmu saja, Anak Muda!” Nyai Tan
dak Kembang kembali angkat bicara membuat langkah
kaki Joko tertahan.
“Ah.... Bagaimana aku harus mengatakannya kalau
di depan orang banyak begini?! Sebenarnya aku akan
menjelaskan persoalan Saraswati.... Tapi rasanya tak
enak kalau mengatakannya di sini! Hem....” Pendekar
131 membatin.
Entah karena tak tahu apa yang harus dikatakan,
akhirnya Joko buka mulut.
“Putri.... Aku minta maaf karena peristiwa beberapa
saat yang lalu. Aku juga minta maaf karena tak bisa
menyelamatkan Pitaloka....”
Putri Kayangan gelengkan kepala dengan tatapan
sayu. Dia teringat akan peristiwa di dekat Bukit Ka-
lingga. Dadanya sesak. Terbayang kembali di pelupuk
matanya bagaimana Pendekar 131 tengah berpelukan
dan jalan berangkulan dengan Saraswati.
“Hanya itu yang hendak kau bicarakan?!” Nyai Tan-
dak Kembang membuyarkan lamunan Putri Kayangan.
Joko gelagapan. Belum sempat dia berkata, Nyai
Tandak Kembang sudah mendekati Putri Kayangan
dan berkata.
“Kita harus segera kembali, Beda....” Nyai Tandak
Kembang sudah bergerak bersamaan dengan selesai-
nya ucapan.
Kigali anggukkan kepala pada Putri Kayangan dan
Pendekar 131, lalu mendekati Datuk Wahing dan ber-
bisik.
“Galaga.... Mudah-mudahan kita nanti bisa bertemu
lagi. Banyak hal sebenarnya yang ingin kubicarakan
denganmu. Tapi aku harus mengantarkan Nyai Tandak
Kembang dan Pitaloka ke lereng Gunung Semeru....”
“Bruss! Brusss! Aku tak heran dengan ucapanmu.
Waktu kita masih banyak! Kalau ada kesempatan, aku
akan mengunjungimu ke lereng Gunung Semeru! Pesanku.... Jika sahabat muda ini nanti datang ke lereng
Gunung Semeru, jaga dia baik-baik. Awasi semua ge-
rak-geriknya! Jangan beri dia kesempatan untuk ber-
dua-duaan tanpa penjaga dengan gadis baju merah
itu!”
Joko dan Putri Kayangan sama berubah paras. Ki-
gali tersenyum lalu melangkah menyusul Nyai Tandak
Kembang yang tegak menunggu di depan sana.
“Putri.... Setelah dari sini nanti, aku akan menemui
eyang guruku. Setelah itu aku akan menyusulmu ke
lereng Gunung Semeru. Aku ingin membicarakan uru-
san kejadian beberapa saat yang lalu....”
“Rasanya tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Pen-
dekar 131! Lihat.... Mereka berdua telah menunggu!
Mungkin kau harus bicara dulu dengan mereka!” se-
lesai berkata, Putri Kayangan arahkan pandang mata-
nya ke salah satu julangan batu karang.
Joko dan Datuk Wahing ikuti arah pandangan Putri
Kayangan. Datuk Wahing perdengarkan bersinan be-
berapa kali. Sementara murid Pendeta Sinting mende-
lik tak berkesip.
Di depan sana, di salah satu julangan batu karang,
tampak tegak dua orang gadis. Mereka berdiri berjarak
lima belas langkah dan sama arahkan pandangannya
pada Pendekar 131.
“Saraswati.... Dewi Seribu Bunga!” gumam murid
Pendeta Sinting mengenali siapa adanya kedua gadis
yang tegak di depan sana.
“Putri.... Tunggu!” tahan Joko begitu matanya me-
nangkap gerakan Putri Kayangan yang sudah melang-
kah menyusul Kigali. Namun Putri Kayangan seakan
tidak mendengarkan ucapan orang. Malah dia mem-
percepat langkah!
“Brusss! Brusss! Jangan berbuat mengherankan,
Anak Muda! Ucapannya benar. Kau harus bicara dahulu dengan kedua gadis cantik di depan sana itu! Pe-
rasaan cemburu seorang perempuan tidak bisa begitu
saja kau lenyapkan dengan ucapan! Kau harus ber-
buat sesuatu untuk meyakinkannya meski rasanya
kau sulit untuk melakukannya! Karena kau juga terta-
rik dengan kedua gadis cantik yang menunggu itu!”
Datuk Wahing berkata seraya mencekal lengan murid
Pendeta Sinting yang sesaat tadi hendak mengejar Pu-
tri Kayangan.
Pendekar 131 angkat bahu lalu melangkah ke arah
dua orang gadis di depan sana yang ternyata bukan
lain adalah Saraswati dan Dewi Seribu Bunga.
Namun baru saja mendapat tiga langkah, mendadak
Dewi Seribu Bunga sudah putar diri. Tanpa berkata
apa-apa gadis cantik murid Dewi Es ini berkelebat.
“Dewi! Tunggu!” teriak murid Pendeta Sinting. Na-
mun seperti halnya Putri Kayangan, Dewi Seribu Bu-
nga tidak pedulikan teriakan orang. Dia malah mem-
percepat kelebatannya sebelum akhirnya lenyap di de-
pan sana.
Joko urungkan niat mengejar karena tidak enak sa-
ma Saraswati yang masih tegak memperhatikan. Murid
Pendeta Sinting alihkan pandangannya pada Saraswa-
ti. Dia sudah buka mulut. Tapi sebelum suaranya ter-
dengar, tiba-tiba Saraswati balikkan tubuh dan berlari
meninggalkan tempat itu.
“Saraswati...!” Pendekar 131 berteriak memanggil.
Tapi Saraswati terus berkelebat dan menghilang.
Terdengar riuh rendah suara tawa. Lalu diseling su-
ara.
“Makanya.... Jadi pemuda jangan terlalu banyak
membagi hati! Akhirnya kau tak mendapatkan satu
pun!” Yang angkat suara ternyata iblis Ompong.
“Dasar gadis-gadis setan tolol! Pemuda setan begitu
rupa masih juga diharap. Seharusnya mereka bikin
perhitungan agar dia tidak berani lagi bertindak ma-
cam-macam!” Dayang Sepuh menyahut.
“Aku menyesal sekarang! Tahu kalau setan itu
punya banyak gadis, tentu aku tak mau susah-susah
sampai ke sini!” Dewi Ayu Lambada ikut angkat bicara.
“Sudahlah.... Itu urusan dia sendiri! Kalau sudah
tahu begini akibatnya pasti dia nanti akan berpikir la-
gi! Sekarang masih ada yang harus kita lakukan! Ku-
rasa Jubah Tanpa Jasad itu masih dikenakan orang!
Bukankah selama ini kita hanya bisa menduga-duga
siapa adanya orang di balik jubah itu?!” Gendeng Pa-
nuntun berkata.
Semua orang di tempat itu serentak sama alihkan
pandang mata masing-masing pada sosok Jubah Tan-
pa Jasad yang tergeletak di atas tanah. Hampir bersa-
maan mereka semua berlompatan mendekati Jubah
Tanpa Jasad. Hanya Gendeng Panuntun yang tetap te-
gak di tempatnya dengan kepala sedikit ditengadah-
kan.
***
SEBELAS
BIAR aku yang membuka jubah setan itu!” Dayang
Sepuh sudah berkata begitu injakkan kaki di dekat so-
sok Jubah Tanpa Jasad.
“Hem.... Begitu gadis-gadis cantik sudah sama per-
gi, kau tampaknya tidak malu-malu lagi!” Iblis Ompong
berujar.
Dayang Sepuh berpaling dengan mata mendelik.
“Setan sialan! Mengapa harus malu-malu kalau hanya
membuka jubah setan ini?!”
Mendadak Iblis Ompong tertawa bergerai. Lalu dekatkan kepalanya pada telinga Datuk Wahing dan ber-
bisik pelan.
“Dia tidak tahu....”
Datuk Wahing kerutkan dahi namun dia anggukkan
kepala. Lalu perdengarkan bersinan tiga kali dan ber-
ucap.
“Aku jadi heran. Apa benar...?!”
Iblis Ompong sentakkan kepalanya ke arah telinga
Dewa Uuk yang tegak di sebelah kirinya. Lalu berteriak
keras-keras.
“Kau dengar?! Teman kita itu berani-beraninya mau
membuka jubah sakti! Ha.... Ha.... Ha...!”
Dewa Uuk tadangkan tangan di belakang daun te-
linganya. Lalu buka suara.
“Uuukk! Uuukkk! Uuukkk!” Tangan satunya tam-
pak digerakkan ke samping bolak-balik memberi isya-
rat agar Dayang Sepuh tidak melakukan niatnya.
“Setan! Apa yang kalian bicarakan?! Mengapa kalian
tidak senang kalau aku buka jubah setan itu?!”
“Ah.... Kau salah sangka! Justru aku dan teman-
teman akan sangat senang mendengar kau tawarkan
diri untuk membuka jubah itu! Mungkin inilah penga-
laman pertamamu.... Hik.... Hik.... Hi...! Silakan saja
buka! Tapi tunggu dahulu! Aku dan teman-teman akan
berpaling agar kau nanti sedikit lama bisa menikma-
tinya!”
Habis berkata begitu, Iblis Ompong balikkan tubuh
setelah memberi isyarat pada Datuk Wahing dan Dewa
Uuk. Iblis Ompong juga kedipkan matanya pada Pen-
dekar 131. Murid Pendeta Sinting sesaat tak tahu apa
maksud isyarat Iblis Ompong. Namun begitu Datuk
Wahing dan dewa Uuk balikkan tubuh, Joko ikut-
ikutan pula putar diri.
Kini tinggal Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada
yang tegak menghadap Jubah Tanpa Jasad. Kedua nenek ini saling pandang sejenak. Namun jelas paras wa-
jah Dayang Sepuh membayangkan kebimbangan.
“Setan! Ada apa sebenarnya dengan jubah ini,
hah?!” Dayang Sepuh membentak.
“Kau pura-pura tanya atau memang tidak tahu?!”
Iblis Ompong balik bertanya.
Pendekar 131 yang tegak di depan Iblis Ompong
berpaling ke arah orang tua tak bergigi itu dan berbi-
sik. “Kek.... Sebenarnya ada apa?!”
Iblis Ompong dorongkan tangannya pada dagu mu-
rid Pendeta Sinting hingga kepala Joko kembali lurus
ke depan. Iblis Ompong berbisik.
“Biasanya.... Kalau orang mengenakan jubah sakti,
maka dia tidak boleh mengenakan rangkapan pakaian
lagi!”
“Jadi di balik jubah itu dia bugil?!” tanya Joko.
“Benar! Di balik itu dia pasti bugil! Dayang Sepuh
itu pasti hanya berpura-pura tidak tahu persoalan. Se-
benarnya dia ingin lihat sesuatu! Kau tahu bukan?
Nenek setan itu belum pernah kawin hingga jadi ne-
nek-nenek begitu!”
Joko angguk-anggukkan kepala dengan coba mena-
han tawa. Namun karena tak kuasa menahan tawa,
bahunya tampak berguncang-guncang. Saat lain mu-
lutnya perdengarkan tawa perlahan-lahan.
Dayang Sepuh melompat ke depan Pendekar 131.
Tangan kanannya diangkat. Lalu perdengarkan benta-
kan garang.
“Apa yang kau tertawakan?! Lekas jawab atau mu-
lutmu akan mendapat tamparan!”
Joko bukannya putuskan tawa tertahannya. Seba-
liknya suara tawanya meledak seketika.
“Setan!” maki Dayang Sepuh. Tangan kanannya ber-
gerak.
“Tunggu, Nek!” tahan Joko seraya putuskan golakan
tawanya. Dayang Sepuh tahan gerakan tangan kanan-
nya dua jengkal di depan wajah murid Pendeta Sinting.
“Aku tak akan bertanya lagi! Lekas buka mulut!”
“Kau benar mau membuka jubah hitam itu?!” tanya
Joko.
“Kau tadi sudah dengar ucapanku!”
“Kau memang tidak tahu persoalannya?!”
“Kalau kau balik bertanya, tanganku akan menam-
par mukamu!”
“Menurut apa yang kuketahui, biasanya kalau se-
seorang mengenakan jubah sakti, maka orang itu tidak
mengenakan apa-apa lagi! Entah benar atau tidak apa
yang kudengar itu, aku sendiri tak pernah membukti-
kan! Tapi kalau kau ingin membuktikan, semua orang
di sini tentu akan merasa maklum....”
Dayang Sepuh kerutkan kening. Lalu melompat
mendekati Dewi Ayu Lambada dan berkata pelan. “Kau
pernah dengar urusan begitu itu?!”
“Baru kali ini aku mendengarnya! Tapi lebih baik
kau buktikan sendiri! Siapa tahu dia adalah pemuda
tampan! Kalau kau malu juga padaku, aku akan ber-
balik seperti mereka!”
“Setan! Aku ini kau anggap apa, hah?!”
“Bagaimana, Nek?! Sudah kau buka?!” Iblis Ompong
ajukan tanya tatkala suara Dayang Sepuh tidak ter-
dengar lagi.
“Aku bukan perempuan setan yang ingin lihat ba-
rang-barang menjijikkan begitu rupa!”
“Jadi kau batalkan niatmu?!” tanya Iblis Ompong
sambil putar tubuh. Datuk Wahing, Dewa Uuk, dan
Pendekar 131 ikut-ikutan balikkan tubuh.
Dayang Sepuh memberengut tanpa menyahut, iblis
Ompong berpaling pada Joko.
“Anak muda! Kulihat pakaianmu sudah tak pantas
lagi dikenakan! Lebih baik kau yang melepasnya dan
mengenakan jubah hitam itu!”
Tapi, Kek....”
“Sudahlah! Lepas saja jubah hitam itu! Kalau ne-
nek-nenek ini masih pentang mata di sini, itu urusan
mereka!”
Perlahan Joko melangkah mendekati sosok Jubah
Tanpa Jasad. Lalu jongkok sembari angkat kepalanya
memandang silih berganti pada Dayang Sepuh dan
Dewi Ayu Lambada.
Pendekar 131 tersenyum. Kedua tangannya menju-
lur ke arah kancing-kancing Jubah Tanpa Jasad. Ka-
rena takut kebenaran ucapan orang, Dewi Ayu Lamba-
da segera balikkan tubuh dengan cekikikan. Dayang
Sepuh mendengus. Lalu ikut putar diri.
Pendekar 131 cepat melepas kancing-kancing pada
Jubah Tanpa Jasad. Dia bisa merasakan sosok tubuh
seseorang meski sosok itu belum bisa dilihatnya.
Begitu Jubah Tanpa Jasad lepas dari sosok orang,
maka murid Pendeta Sinting, Dewa Uuk, dan Iblis Om-
pong sama pentangkan mata. Datuk Wahing bersin-
bersin beberapa kali.
“Rupanya memang dia!” gumam Joko. Kini begitu
Jubah Tanpa Jasad lepas, semua orang bisa melihat
sosok orang yang tadi mengenakan jubah. Dia adalah
seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih. Pa-
kaian yang dikenakan hangus. Pada mulutnya terlihat
darah agak mengering. Karena Joko pernah bertemu
Kiai Laras, maka dia segera bisa mengenali sosok di
hadapannya yang tadi mengenakan Jubah Tanpa Ja-
sad, la bukan lain memang Kiai Laras.
“Kenakan jubah itu!” Iblis Ompong angkat suara.
Joko bergerak bangkit dengan tangan kanan meme-
gang Jubah Tanpa Jasad. Dia tampak ragu-ragu. Saat
itulah Gendeng Panuntun berkata dari tempatnya tegak.
“Kenakan saja.... Mungkin jubah itu sekarang su-
dah lenyap kesaktiannya! Kalau tidak, mana mungkin
dia bisa terhantam pukulan sahabat Setan Liang Ma-
kam?!”
Meski masih ragu-ragu, akhirnya Joko mengenakan
juga jubah hitam di tangannya. Ucapan Gendeng Pa-
nuntun ternyata benar. Walau kini murid Pendeta
Sinting telah mengenakan Jubah Tanpa Jasad, namun
sosoknya masih terlihat.
“Aneh.... Bagaimana ini? Kalau benar-benar kesak-
tiannya sudah hilang, tentu Kiai Laras sudah bisa ter-
lihat wujudnya meski jubah ini belum kulepas!” Joko
membatin. Dia sebenarnya hendak mengutarakan apa
yang ada dalam benaknya. Namun belum sampai dia
berucap, Gendeng Panuntun sudah angkat bicara.
“Kau jangan lupa.... Di tubuhmu sekarang ada ben-
da merah yang bisa menghadang kedahsyatan jubah
serta Kembang Darah Setan!”
Mendengar ucapan Gendeng Panuntun, Joko ter-
ingat akan benda merah yang diletakkan pada pusar-
nya. Dia cepat selinapkan tangan kanannya. Namun
dia tersentak. Dia tak merasakan benda itu berada lagi
di pusarnya. Dia segera singkapkan pakaiannya. Ben-
da merah yang beberapa hari lalu diambilnya dari pu-
sar bayi Pitaloka memang sudah lenyap dari pusarnya.
Karena masih khawatir benda itu jatuh tanpa disadari,
murid Pendeta Sinting merogohkan tangannya ke ba-
wah.
“Masih ada?!” tanya Iblis Ompong.
“Tidak ada, Kek! Lenyap!” jawab Joko.
“Yang benar! Dari sini aku masih melihat tonjolan-
nya! Coba sedikit ke bawah lagi!”
Tangan Joko terus bergerak ke bawah. “Benar, Kek!
Tidak ada!”
“Celaka! Kau akan menyesal seumur-umur kalau
ucapanmu benar!”
“Benar, Kek! Aku tidak berdusta! Aku tidak bisa me-
nemukannya lagi!” kata Joko.
“Setan, apamu yang lenyap?!” tanya Dayang Sepuh
tanpa berani berpaling karena khawatir orang yang ta-
di mengenakan Jubah Tanpa Jasad benar-benar bugil.
“Aku dengar tonjol-tonjolan. Tonjolan apamu yang
hilang?!” Dewi Ayu Lambada menyahut.
“Bendanya lenyap! Padahal benda itu sangat berarti
bagi seorang laki-laki!”
“Aduh.... Kasihan! Bagaimana bisa terjadi begitu?!”
ujar Dayang Sepuh.
“Aku tak tahu pasti bagaimana bisa terjadi begitu!
Yang jelas menurut dia bendanya lenyap tak berbe-
kas!” kata Iblis Omong. “Tapi mataku tidak buta! Aku
masih bisa melihat tonjolannya!”
“Aku jadi ingin melihatnya!” kata Dayang Sepuh.
“Apa mayat setan yang tadi mengenakan jubah itu su-
dah....!”
“Ternyata dia tidak bugil, Nek!” Joko sudah menya-
hut sebelum Dayang Sepuh meneruskan ucapannya.
“Dasar kalian setan semua!” kata Dayang Sepuh la-
lu perlahan-lahan membalik. Entah karena masih kha-
watir ditipu orang, nenek berambut poni ini tutupi wa-
jahnya dengan kedua telapak tangan. Anehnya jari-jari
tangannya dibuka lebar-lebar!
Sementara Dewi Ayu Lambada juga terdengar men-
gomel. Lalu putar diri. Sama seperti halnya Dayang
Sepuh, karena khawatir ditipu orang, nenek ini tutupi
wajahnya dengan kerudung hitamnya!
Begitu melihat sosok yang terhampar di atas tanah
masih mengenakan pakaian, Dayang Sepuh segera tu-
runkan telapak tangannya. Dewi Ayu Lambada sentak-
kan kerudung hitamnya. Lalu kedua nenek ini pen-
tangkan mata memperhatikan sosok mayat di bawah.
“Setan Laras!” desis Dayang Sepuh mengenali
orang.
“Namanya Kiai Laras, Nek! Bukan Setan Laras!” ujar
Pendekar 131.
Dayang Sepuh angkat kepalanya ke samping meng-
hadap murid Pendeta Sinting. Bukan memandang pa-
da raut wajahnya, melainkan pada bagian bawah Joko.
Saat itu tangan Joko masih masuk ke balik pakaian-
nya dan meraba-raba mencari benda merah. Dewi Ayu
Lambada ikut-ikutan perhatikan bagian bawah tubuh
Joko.
“Ah.... Setan itu menipu kita!” kata Dayang Sepuh.
“Aku masih melihat bendanya!”
“Betul! Aku juga masih bisa merasakan!” Dewi Ayu
Lambada menyahut.
“Hem.... Jadi mataku memang tidak menipu!” Iblis
Ompong menimpali.
“Kalian ada-ada saja! Aku mengatakan terus te-
rang! Banda itu lenyap!”
“Yang kau raba-raba itu apa kalau lenyap?!” bentak
Dayang Sepuh.
“Ini benda sakti, Nek! Maksudku.... Yang lenyap itu
benda merah yang kuambil dari anaknya Pitaloka!”
“Setan! Mengapa kau tidak dari tadi mengatakan
kalau yang lenyap itu benda merah! Kukira yang le-
nyap benda saktimu!” ujar Dayang Sepuh lalu tertawa
cekikikan.
“Ah.... Kau juga bikin aku ikut deg-degan saja! Ku-
kira yang hilang tak berbekas adalah tonjolan benda
mu itu!” Dewi Ayu Lambada mengomel lalu ikut terta-
wa.
Pendekar 131 cepat tarik pulang tangannya keluar.
Paras wajahnya berubah merah padam. Apalagi tatkala
melihat Dewi Ayu Lambada dan Dayang Sepuh tertawa
seraya terus memperhatikan bagian bawah tubuhnya!
“Sahabat Muda....” Mendadak Gendeng Panuntun
angkat suara. “Panggilanmu kurasa sudah dekat! Kau
harus segera angkat kaki dari sini!” Sambil berucap
begitu, Gendeng Panuntun berkelebat lalu tegak tidak
jauh dari murid Pendeta Sinting.
“Panggilan apa, Kek?!”
“Aku tak tahu. Aku hanya dapat merasakan! Pergi-
lah kau ke Pesisir Laut Utara. Mungkin di sana nanti
kau akan mendapat jawabannya!”
“Tapi, Kek. Aku ingin bertemu dahulu dengan E-
yang Guru!”
“Jangan sia-siakan panggilan, Sahabat Muda! Aku
nanti bisa memberi keterangan pada gurumu! Hanya
saja.... Untuk kali ini kau harus berjuang sendirian!
Selamat jalan!”
“Kek! Aku tak mengerti maksudmu!”
“Kau tak akan mengerti sebelum kau sampai Pesisir
Laut Utara! Berangkatlah sekarang juga!”
“Hem.... Ucapannya belum kumengerti benar! Na-
mun aku bisa menebak! Pasti ada sesuatu yang harus
kuselesaikan! Ah.... Terpaksa keinginanku menemui
Putri Kayangan di lereng Gunung Semeru harus ter-
tunda...,” kata Joko dalam hati. Lalu anggukkan ke-
pala pada semua orang di tempat itu.
“Terima kasih atas bantuan kalian selama ini. Se-
karang aku harus pergi....”
Pendekar 131 balikkan tubuh. Lalu melangkah me-
ninggalkan kawasan Kampung Setan. Begitu hendak
berkelebat di depan sana, Joko sempat berpaling ke
belakang.
Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada tampak lam-
baikan tangannya. Bahkan karena terhalang sosok Ib-
lis Ompong dan Datuk Wahing, kedua nenek ini ber-
jingkat agar supaya lambaian tangannya terlihat oleh
Pendekar 131. Pendekar 131 Joko Sableng membalas
lambaian tangan Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lamba-
da. Lalu putar diri dan berkelebat.
“Ayo kita pulang!” kata Dewi Ayu Lambada seraya
menarik lengan Dewa Uuk yang juga adalah adik kan-
dungnya.
“Selamat jalan, Sahabat.... Mudah-mudahan kita
nanti bisa bertemu lagi!” kata Gendeng Panuntun.
“Aku tak berharap bisa bertemu lagi! Urusan de-
ngan kalian bisa membuat kepalaku pusing!” timpal
Dewi Ayu Lambada lalu melangkah sambil terus meng-
gandeng lengan adiknya.
“Uuuukkk! Uuuukkk! Uuukkk!” Dewa Uuk buka
mulut sambil lambaikan tangannya pada Dayang Se-
puh dan Iblis Ompong. Lalu letakkan jari telunjuknya
menyilang di depan keningnya. Saat lain menunjuk
pada Dewi Ayu Lambada.
“Dari dulu aku sudah tahu kalau kakakmu itu se-
tengah sinting!” Dayang Sepuh bergumam. Lalu berke-
lebat. Disusul kemudian oleh Iblis Ompong, Datuk
Wahing, dan Gendeng Panuntun.
Di lain tempat, Pendekar 131 terus berkelebat se-
raya menduga-duga. Namun sejauh ini dia tidak bisa
menduga dengan tepat apa yang hendak ditemuinya.
Hal ini membuat dia penasaran dan makin memperce-
pat larinya.
Setelah melakukan perjalanan dua hari tiga malam,
akhirnya Pendekar 131 memasuki kawasan Laut U-
tara. Karena saat itu matahari tepat berada di puncak-
nya, murid Pendeta Sinting mencari tempat berlindung
di gugusan batu karang. Namun setelah lama me-
nunggu, dia tidak juga melihat siapa-siapa.
“Hem.... Apa maksud Kakek Gendeng Panuntun
memerintahkan aku datang ke sini? Melihat gulungan
ombak?! Atau dia sengaja agar aku pergi terlebih dahu-
lu karena mereka hendak membicarakan sesuatu?!
Akan kutunggu sampai hari hampir gelap. Jika tidak
ada apa-apa, aku akan menuju Jurang Tlatah Perak....
Lalu mengunjungi Putri Kayangan di lereng Gunung
Semeru!” Tanpa terasa saat itu juga muncul bayangan
Putri Kayangan.
Namun samar-samar bayangan Putri Kayangan le-
nyap. Di matanya kini terlihat sebuah perahu terayun-
ayun gulungan ombak ke arah pesisir. Joko gelengkan
kepala lalu kucek-kucek matanya dengan punggung
tangan.
“Ini bukan bayangan! Ini nyata! Aku melihat perahu
terayun-ayun ombak!”
Pendekar 131 Joko Sableng bergerak bangkit. Mata-
nya dipentang besar-besar perhatikan perahu yang te-
rus bergerak-gerak timbul tenggelam dibuncah gulun-
gan tombak. Murid Pendeta Sinting kernyitkan kening
dengan mata makin dibeliakkan. Perahu itu tiba-tiba
meluncur deras menuju pesisir seakan dikemudikan
seseorang. Padahal Joko jelas tidak melihat siapa-
siapa di atas perahu!
SELESAI
Segera menyusul:
WASIAT AGUNG DARI TIBET
0 comments:
Posting Komentar