..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 05 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE PENGADILAN NERAKA

JOKO SABLENG EPISODE PENGADILAN NERAKA

 SATU


PEREMPUAN setengah baya berparas cantik itu te-

gak terpaku dengan mata memandang ke satu juru-

san. Beberapa untaian bunga yang terdapat pada ram-

butnya tampak bergerak-gerak ditiup angin. Sesekali 

perempuan ini mengusap wajahnya dengan kedua te-

lapak tangan. Selain di rambutnya, ternyata pada sela 

antara jari telunjuk dan jari tengah kedua tangan pe-

rempuan ini juga terdapat sekuntum bunga. Perem-

puan ini mengenakan pakaian berwarna putih sebatas 

dada mirip pakaian yang dikenakan seorang penari.

Di belakang perempuan berparas cantik walau 

usianya tidak muda lagi itu, berdiri satu sosok tubuh 

milik se-orang laki-laki berusia lanjut. Pakaiannya lu-

suh. Se-pasang matanya agak sayu. Kakek ini seperti 

halnya si perempuan, tampak berdiri dengan arahkan 

pandang matanya ke satu jurusan.

Untuk beberapa lama kedua orang ini sama kan-

cingkan mulut. Mereka seolah tenggelam dalam pikiran 

masing-masing. Hingga pada akhirnya si kakek buka 

mulut.

“Nyai Tandak Kembang.... Kau telah memutuskan. 

Biarlah mereka melakukan apa yang hendak dilaku-

kan!”

Perempuan berwajah cantik walau usianya tidak 

muda lagi dan bukan lain adalah Nyai Tandak Kem-

bang ada-nya, berpaling pada laki-laki di belakangnya.

“Kigali.... Aku memang telah memutuskan memberi 

izin pada Pitaloka dan Beda Kumala pergi sementara 

waktu sebelum kembali ke lereng Gunung Semeru. Ta-

pi sebenarnya aku melakukan hal itu dengan terpaksa.

Dan begitu mereka benar-benar pergi, aku sekarang 

jadi bimbang dan cemas. Entah apa sebenarnya.... Aku


mendapat firasat tidak baik!”

Laki-laki di belakang Nyai Tandak Kembang dan ter-

nyata adalah Kigali alihkan pandang matanya pada 

Nyai Tandak Kembang. Orang tua ini mau buka mulut, 

tapi Nyai Tandak Kembang sudah sambungi ucapan-

nya.

“Apa selama bersamamu Pitaloka pernah mengata-

kan satu rencana?!”

Kigali termenung sesaat sebelum akhirnya angkat 

suara. “Terlalu banyak yang kubicarakan dengan Pita-

loka, hingga aku tidak bisa ingat lagi apakah Pitaloka 

pernah mengatakan satu rencana atau tidak.... Tapi te-

rus terang, sebenarnya aku curiga padanya. Dan kalau 

saja aku tidak bertemu dengan kau, mungkin aku su-

dah meminta pada Pitaloka untuk terus bersamaku di 

hutan ini. Tapi kau adalah neneknya. Dan kau telah 

memutuskan agar Pitaloka kembali ke lereng Gunung 

Semeru.... Apa hendak dikata....”

“Kigali.... Aku menghargai permintaanmu. Tapi sete-

lah peristiwa ini, aku benar-benar takut!” Nyai Tandak 

Kembang tampak menghela napas. Lalu lanjutkan 

ucapan.

“Mau kau mengatakan apa kecurigaanmu?!”

“Pitaloka baru saja mengalami peristiwa buruk yang 

tak mungkin dapat dilupakan sepanjang hidupnya. 

Aku khawatir kepergian Pitaloka kali ini untuk mem-

balaskan sakit hatinya....”

“Hem.... Sebenarnya aku sudah berpikir ke arah sa-

na. Tapi apakah anak itu akan begitu bodoh mengam-

bil tindakan? Apakah dia tidak berpikir siapa gerangan 

yang akan dihadapi?!”

“Nyai.... Orang yang sudah terluka tidak akan terla-

lu banyak pikirkan akibat! Yang ada dalam benaknya 

hanya membalas dan membalas! Apalagi Pitaloka ma-

sih muda....”


“Hem.... Benar juga ucapan orang tua ini.... Apa 

yang harus kulakukan sekarang?” kata Nyai Tandak 

Kembang dalam hati. Lalu bertanya.

“Kau tahu di mana letak Kampung Setan?!”

“Aku pernah hidup di sana.... Tapi kalau benar ke-

terangan Pitaloka, berarti saat ini Kampung Setan su-

dah kosong! Percuma kau akan ke sana. Kalaupun kau 

ingin pergi, lebih baik menuju Bukit Kalingga. Seperti 

keterangan Pitaloka pada Pendekar 131 Joko Sableng.”

Seperti diketahui, Nyai Tandak Kembang sudah 

memutuskan untuk melarang Pitaloka dan Beda Ku-

mala alias Putri Kayangan turun dari lereng Gunung 

Semeru begitu nanti mereka pulang dari Lembah Patah 

Hati. Namun tampaknya Pitaloka dan Putri Kayangan 

merasa keberatan dengan keputusan Nyai Tandak 

Kembang. Tapi keberatan kedua gadis ini punya alasan 

masing-masing. Pitaloka masih ingin membalas sakit 

hatinya pada orang yang telah memperkosanya, se-

mentara Putri Kayangan takut tidak bisa bertemu lagi 

dengan Pendekar 131. Karena gadis ini telah jatuh hati 

pada murid Pendeta Sinting.

Putri Kayangan tidak berani mengutarakan kebera-

tannya pada Nyai Tandak Kembang. Tapi Pitaloka ber-

terus terang dan minta izin pada neneknya agar diberi 

waktu sebelum balik ke lereng Gunung Semeru. Pada 

dasarnya Nyai Tandak Kembang ragu-ragu dengan 

permintaan Pitaloka, apalagi setelah peristiwa yang ter-

jadi. Lagi pula Pitaloka tidak mau mengatakan apa se-

benarnya yang hendak dilakukan sebelum pulang ke 

lereng Gunung Semeru.

Karena Pitaloka bersikeras, akhirnya Nyai Tandak 

Kembang tidak bisa menghalang-halangi. Hanya saja 

Nyai Tandak Kembang memerintahkan pada Putri 

Kayangan untuk mendampingi. Pitaloka tidak kebera-

tan. Sementara Putri Kayangan sendiri tampak gembira, karena berarti masih ada kesempatan untuk ber-

temu dengan Pendekar 131 sebelum nanti pulang ke 

lereng Gunung Semeru.

Begitu pemakaman bayi Pitaloka dan Umbu Kakani 

serta Lingga Buana selesai, Pitaloka dan Putri Kayan-

gan berangkat meninggalkan Lembah Patah Hati.

“Kigali.... Sekali lagi aku ucapkan terima kasih atas 

semua yang kau lakukan selama ini. Sekarang aku ha-

rus pergi!” kata Nyai Tandak Kembang setelah agak 

lama terdiam.

“Kalau tak keberatan, mau mengatakan padaku. 

Kau hendak langsung ke lereng Gunung Semeru atau 

mengikuti kedua cucumu?!” Kigali ajukan tanya.

Beberapa saat Nyai Tandak Kembang terdiam. Lalu 

alihkan pandangan dan menghela napas panjang. “Se-

benarnya aku ingin segera pulang ke lereng Gunung 

Semeru karena aku sudah tak ingin libatkan diri da-

lam urusan dunia persilatan. Tapi saat ini aku 

mengkhawatirkan keselamatan Pitaloka dan Beda Ku-

mala. Mungkin aku akan menyusul dahulu kedua-

nya....”

“Nyai.... Tidak keberatan kalau aku ikut serta?!”

Nyai Tandak Kembang menoleh. “Bukannya aku ke-

beratan atau tidak menghargai perhatianmu. Tapi ku-

rasa aku bisa pergi sendiri....”

“Nyai.... Bukannya aku mau ikut campur urusan. 

Hanya saja aku telah menganggap Pitaloka seperti 

anakku sendiri. Kalau kau sebagai neneknya sangat 

khawatir dengan keselamatannya. Aku tidak jauh ber-

beda.... Jadi harap kau mengerti dan tidak keberatan 

pergi bersama denganku! Lagi pula aku tahu banyak

tentang Kampung Setan. Mungkin kau nanti membu-

tuhkan beberapa keterangan dalam perjalanan kali 

ini.... Apalagi semua urusan ini tidak terlepas kaitan-

nya dengan Kampung Setan....”


“Hem.... Kalau kau berpikir begitu, aku menyerah-

kan semuanya padamu. Hanya saja kuharap kau me-

ngerti, perjalanan ini bukannya tanpa risiko!”

Kigali tersenyum. Lalu berucap. “Nyai.... Separo dari 

hidupku habis bergelimang dengan kejahatan. Kalau-

pun nanti aku harus menyerahkan nyawa, aku ingin 

berakhir untuk kebaikan. Ini sebagai penebus atas 

perbuatanku di masa lalu. Selain itu aku ingin berte-

mu dengan teman-teman lama....”

“Semua manusia telah digariskan jalannya.... Dan 

kita tidak tahu apa yang akan terjadi...,” ujar Nyai 

Tandak Kembang dengan tersenyum. Perempuan dari 

le-reng Gunung Semeru ini dongakkan sedikit kepa-

lanya lalu bertanya.

“Kau tahu mana arah menuju Bukit Kalingga?!”

“Sudah beberapa puluh tahun aku tidak keluar dari 

hutan. Aku juga sudah lupa nama-nama tempat. Tapi 

kita nanti bisa bertanya sambil jalan....”

Habis berkata begitu, Kigali melangkah menjajari 

Nyai Tandak Kembang lalu anggukkan kepala memberi 

isyarat. Nyai Tandak Kembang luruskan kepala. Saat 

lain kedua orang ini berkelebat meninggalkan hutan 

yang berbatasan dengan Lembah Patah Hati.

Setelah menempuh perjalanan selama dua hari dua 

malam, dan setelah bertanya ke sana kemari, akhirnya 

Kigali dan Nyai Tandak Kembang sampai di perbatasan 

hutan yang dari tempat mereka kini berada terlihat ju-

langan satu bukit yang menurut beberapa orang bukit 

itu adalah Bukit Kalingga.

Nyai Tandak Kembang dan Kigali berdiri berdam-

pingan sambil arahkan mata masing-masing ke arah 

bukit di depan sana. Nyai Tandak Kembang menghela 

napas dalam-dalam. Dalam hati perempuan dari lereng 

Gunung Semeru ini berkata.

“Mereka berdua tidak ada di sana.... Kalau mereka


di sana, sejarak ini tentu aku mampu mencium aroma-

nya.... Ke mana mereka pergi? Aku tidak bisa menjaja-

ki dengan penciumanku. Berarti mereka berdua jauh 

dari tempat ini!”

“Kau tampak gelisah.... Ada sesuatu yang kau pikir-

kan?!” tanya Kigali seraya melirik.

Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala. Kigali ti-

dak tahu kalau Nyai Tandak Kembang punya kemam-

puan untuk menangkap keberadaan orang dengan 

penciumannya.

“Aku hanya menduga.... Mungkin mereka berdua ti-

dak ada di bukit itu!” kata Nyai Tandak Kembang.

“Bagaimana kau bisa menduga begitu?!”

“Aku tak bisa mengatakannya padamu. Tapi aku 

hampir bisa memastikan. Bahkan aku bisa menduga 

kalau bukit itu kosong!”

Kigali tersenyum. “Nyai.... Kita tengah mengkhawa-

tirkan keselamatan nyawa orang yang kita cintai. Jadi 

jangan menggantungkan pada dugaan. Menduga boleh 

saja, tapi sebaiknya kita selidiki dahulu! Lagi pula Pen-

dekar 131 pasti juga berada di sini!”

Nyai Tandak Kembang anggukkan kepala. Saat lain 

dia sudah berkelebat mendahului. Karena sudah dapat 

memastikan tidak ada orang lain di tempat itu, Nyai 

Tandak Kembang melesat tanpa kebimbangan. Sebaik-

nya Kigali tampak berhati-hati bahkan sesekali dia 

masih putar pandangan berkeliling.

Setelah berputar di kaki bukit, mereka berdua me-

nemukan lobang mulut goa. Tanpa banyak bicara lagi 

Nyai Tandak Kembang berkelebat masuk kemudian di 

susul Kigali yang tampak makin khawatir dengan tin-

dakan Nyai Tandak Kembang yang begitu percaya diri 

tanpa menghiraukan keadaan sekeliling. Namun se-

jauh ini Kigali belum berani menegur. Dia hanya ber-

tanya-tanya dalam hati.


Begitu memasuki goa, mereka menemukan satu 

pintu terbuka di pojok ruangan goa. Lagi-lagi tanpa 

melihat sekeliling, Nyai Tandak Kembang sudah me-

lesat masuk.

“Tindakannya sangat berbahaya.... Tapi kurasa dia 

tahu apa yang dilakukannya!” gumam Kigali yang seje-

nak tegak di tengah ruangan goa dengan mata menge-

dar berkeliling. Begitu yakin tidak ada orang, baru Ki-

gali melesat masuk menyusul Nyai Tandak Kembang.

Kigali dan Nyai Tandak Kembang akhirnya mene-

mukan sebuah lobang besar menganga diselimuti ka-

but setelah mereka menaiki tangga batu di balik pintu. 

Namun meski Kigali sudah memperhatikan dengan 

seksama ke seantero tempat itu, dia tidak melihat sia-

pa-siapa! 

“Dugaannya benar.... Putri Kayangan dan Pitaloka 

tidak ada di tempat ini! Malah benar juga ucapannya 

jika tempat ini kosong! Heran, bagaimana dia bisa 

menduga dengan tepat?!” Diam-diam Kigali bertanya 

dalam hati. Dia sebenarnya ingin bertanya. Namun se-

belum sempat buka mulut, Nyai Tandak Kembang su-

dah berkata.

“Sebenarnya tempat ini tidak kosong.... Hanya saja 

baru ditinggalkan penghuninya! Kita harus mencari 

mereka di tempat lain!”

Karena sudah membuktikan kebenaran dugaan 

Nyai Tandak Kembang, Kigali tidak buka mulut lagi 

untuk bertanya. Dia balikkan tubuh lalu berkelebat 

mengikuti Nyai Tandak Kembang yang sudah terlebih 

dahulu melesat keluar.

“Ke mana kita sekarang?!” Kigali baru bertanya be-

gitu mereka berdua telah berada di luar goa.

Nyai Tandak Kembang tidak segera menjawab. Me-

lainkan menghela napas dalam-dalam. “Aku tak mam-

pu mencium jejak keduanya. Berarti mereka telah jauh


dari tempat ini. Hem.... Urusan ini masih ada hubun-

gannya dengan Kampung Setan. Apa tidak mungkin 

mereka tengah menuju ke sana?!” Nyai Tandak Kem-

bang berkata dalam hati lalu bertanya.

“Kau masih ingat jalan menuju Kampung Setan?!”

Kigali tampak sedikit terkejut. Namun segera men-

jawab. “Aku sudah lupa-lupa ingat. Tapi aku masih ta-

hu arahnya!”

“Baik.... Kita menuju ke Kampung Setan!”

“Kau yakin mereka menuju ke sana?!”

“Aku hanya menduga.... Tapi kemungkinan besar 

dugaanku tidak salah.... Bukankah kau tadi mengata-

kan urusan ini tidak bisa diputuskan dengan urusan 

Kampung Setan? Kalau mereka tidak berada di sini, ke 

mana lagi kalau tidak ke sana?!”

Entah karena sudah membuktikan kebenaran du-

gaan Nyai Tandak Kembang, meski masih diselimuti 

kebimbangan, akhirnya Kigali berkelebat juga. Nyai 

Tandak Kembang mengikuti di belakangnya.

***

DUA



PEMUDA berparas tampan dan gadis berwajah can-

tik itu berlari tidak begitu kencang. Malah sesekali me-

reka berdua berhenti lalu melangkah perlahan. Si ga-

dis tampak terus kembangkan senyum dan tangan-nya 

melingkar pada pinggang si pemuda begitu mereka me-

langkah. Sementara si pemuda terlihat sering melirik 

pada si gadis dengan sesekali menghela napas pan-

jang. Parasnya jelas membayangkan ketidakenakan 

hati. Tapi si pemuda tampak sembunyikan ketidakena-

kan hatinya dan sunggingkan senyum kala si gadis


memandangnya.

Pada satu tempat, kedua orang muda ini hentikan 

langkah. Si gadis sandarkan kepala pada dada si pe-

muda. Lalu sedikit tengadahkan kepalanya seraya ber-

kata.

“Joko.... Kita hendak ke mana?!”

Si pemuda yang ternyata bukan lain adalah Pende-

kar 131 Joko Sableng tersenyum. Namun dia belum 

menyahut pertanyaan si gadis. Dia hanya memandang 

sejenak lalu alihkan pandang matanya jauh ke depan.

Dalam hati dia berkata. “Bagaimana ini?! tidak mung-

kin aku mengajaknya ke Kampung Setan.... Ini sangat 

berbahaya! Tapi bagaimana aku harus memberi pe-

ngertian padanya?!”

Karena agak lama tidak juga menjawab, si gadis 

kembali angkat suara.

“Joko.... Kau terlihat gelisah. Ada sesuatu yang 

mengganjal?!”

Joko gelengkan kepala. Namun belum juga angkat 

bicara membuat si gadis makin curiga. Gadis cantik 

bermata bulat bersinar ini tarik kepalanya dari dada 

murid Pendeta Sinting. Dengan menatap tajam, dia 

berkata.

“Joko.... Kau jangan berdusta padaku. Sikapmu 

lain.... Kau menyembunyikan sesuatu padaku! Kata-

kanlah terus terang.... Atau kau keberatan pergi ber-

samaku?! Atau ada gadis lain yang membuatmu geli-

sah?!”

“Saraswati.... Jangan terlalu jauh menduga. Aku 

senang pergi bersamamu.... Hanya saja....”

Si gadis yang ternyata bukan lain adalah Saraswati 

cepat menyahut tatkala Joko tidak lanjutkan ucapan. 

“Hanya apa? Kau keberatan, bukan?!”

“Masalahnya bukan keberatan atau tidak. Kau tahu 

hendak ke mana aku sebenarnya?”


“Aku tidak peduli kau hendak ke mana!”

“Itulah masalahnya....”

“Aku sudah mengatakannya tidak peduli kau hen-

dak ke mana! Berarti tidak ada masalah, bukan?!”

“Justru karena kau tidak peduli aku hendak ke 

mana itulah masalahnya!”

Saraswati kerutkan dahi. Seperti diketahui, Saras-

wati yang selama ini masih menduga jika orang yang 

melakukan perbuatan tidak senonoh padanya adalah 

murid Pendeta Sinting terus mencari-cari. Akhirnya dia 

menemukan Joko di goa Bukit Kalingga di mana dahu-

lu Saraswati pernah mengalami peristiwa buruk.

Setelah diberi pengertian oleh Joko, akhirnya Saras-

wati sedikit sadar meski belum sepenuhnya percaya 

pada keterangan Joko. Saraswati baru benar-benar 

percaya setelah dia dan murid Pendeta Sinting mene-

mukan ruangan rahasia di balik goa. Dan pada akhir-

nya menemukan mayat ibunya serta Ni Luh Padmi.

Setelah mengubur ibu Saraswati yang tidak lain 

adalah Lasmini dan Ni Luh Padmi, Joko memutuskan 

hendak mencari sosok di balik Jubah Tanpa Jasad ke 

Kampung Setan. Tapi dia kebingungan bagaimana me-

ngutarakannya pada Saraswati. Dia ingin pergi ke 

Kampung Setan tanpa Saraswati, karena dia maklum, 

perjalanan menuju Kampung Setan sangat berbahaya 

apalagi orang yang hendak dicari bukan orang semba-

rangan. Selain mengenakan Jubah Tanpa Jasad, orang 

ini juga membekal Kembang Darah Setan. Dua pusaka 

mustika peninggalan leluhur Kampung Setan.

“Joko! Katakan terus terang. Apa masalah sebenar-

nya!” kata Saraswati pada akhirnya setelah agak lama 

kedua orang ini saling berdiam diri.

“Aku akan ke Kampung Setan!”

“Hem.... Bagiku pergi ke Kampung Setan bukan ma-

salah! Malah sebenarnya aku selama ini mencari-cari


keterangan di mana letak Kampung Setan!”

“Saraswati.... Kampung Setan bukanlah tempat

yang aman untuk sekarang ini! Lebih baik aku pergi 

sendiri....”

“Kalau kau tak ingin aku ikut, mengapa sedari tadi 

kau tidak mengatakannya malah coba mencari-cari 

alasan?!”

“Aku tidak mencari-cari alasan! Apa yang kukata-

kan benar adanya! Aku tak mau kau nanti mendapat 

celaka!”

“Itu hanya alasanmu! Aku sudah mengatakan tak 

peduli kau hendak ke mana!”

“Saraswati....”

“Sudahlah!” tukas Saraswati. “Kalau kau tak men-

ginginkan aku bersamamu, aku tidak akan memaksa! 

Tapi sebelum kita berpisah, aku ingin tanya padamu!”

Murid Pendeta Sinting tersenyum mendengar Saras-

wati mau mengerti. Dia segera saja berkata. “Apa yang 

hendak kau tanyakan?!”

“Harap kau jawab dengan jujur. Di mana letak Kam-

pung Setan?!”

Pendekar 131 jadi terlengak mendengar pertanyaan 

Saraswati. “Busyet! Ini namanya sama saja! Dia tidak 

akan ikut, tapi tanya di mana Kampung Setan! Berarti 

dia akan pergi ke sana juga kalau kuberi tahu...,” kata 

Joko dalam hati.

“Saraswati.... Bukannya aku tak mau menunjukkan 

di mana Kampung Setan. Tapi sebenarnya tempat itu 

sangat berbahaya!”

“Aku tidak ingin keterangan tempat itu bahaya atau 

tidak. Aku tanya di mana letak Kampung Setan?” kata 

Saraswati dengan suara agak tinggi.

Tanpa disadari oleh Pendekar 131 dan Saraswati, 

sejak tadi tampak dua sosok tubuh mengendap-endap 

seraya mencuri dengar. Mereka adalah dua gadis berpakaian warna merah-merah. Mereka mengendap tan-

pa ada yang buka suara dan tanpa berani membuat 

gerakan. Hanya sesekali mereka berdua saling berpan-

dangan. Di sebelah kanan terlihat agak geram malah 

matanya membelalak dengan rahang sedikit terangkat. 

Sementara yang satu tampak agak murung dan tidak 

berani langsung memandang ke arah murid Pendeta 

Sinting. Mereka berdua tidak lain adalah Pitaloka dan 

Putri Kayangan.

Seperti dituturkan, Pitaloka minta izin pada Nyai 

Tandak Kembang untuk menyelesaikan satu urusan. 

Nyai Tandak Kembang sebenarnya merasa keberatan. 

Namun karena Pitaloka bersikeras, akhirnya Nyai Tan-

dak Kembang memberi izin, tapi dia meminta Putri 

Kayangan untuk mendampingi Pitaloka.

Setelah pemakaman bayi Pitaloka dan Umbu Kakani 

serta Lingga Buana di Lembah Patah Hati, Pitaloka dan 

Putri Kayangan meninggalkan Kampung Setan. Pita-

loka sengaja tidak memberitahukan pada Nyai Tandak 

Kembang juga pada Putri Kayangan hendak ke mana. 

Sementara Putri Kayangan sendiri meski masih berta-

nya-tanya hendak ke mana tujuan Pitaloka, tapi yang 

paling menjadi beban pikirannya adalah keputusan 

Nyai Tandak Kembang yang telah memutuskan mela-

rang Pitaloka dan dirinya untuk turun lereng Gunung 

Semeru begitu mereka nanti pulang. Maka kesempatan 

yang diberikan Nyai Tandak Kembang pada dirinya un-

tuk mendampingi Pitaloka tidak disia-siakan. Dia ingin 

sekali bertemu dengan Pendekar 131 karena mungkin 

setelah itu mereka tidak bisa berjumpa lagi.

Namun begitu Pitaloka dan Putri Kayangan sampai 

di Bukit Kalingga, tempat di mana dulu Pitaloka per-

nah hampir diperkosa oleh Kiai Laras yang mengena-

kan Jubah Tanpa Jasad, mereka berdua menemukan 

Pendekar 131 tengah bermesraan dengan Saraswati.


Pitaloka sangat geram, karena dia sebenarnya ingin 

agar Pendekar 131 bisa berdampingan dengan Putri 

Kayangan. Sementara Putri Kayangan sendiri tampak 

masih bisa menahan diri walau hatinya didera rasa ke-

cewa dan cemburu.

Ketika Pendekar 131 dan Saraswati meninggalkan 

Bukit Kalingga, Pitaloka mengajak Putri Kayangan un-

tuk terus mengikuti. Sebenarnya Putri Kayangan me-

rasa enggan. Selain akan menambah rasa kecewa dia 

juga tak akan tahan melihat terus-terusan murid Pen-

deta Sinting berkasih-kasihan dengan gadis lain di de-

pan matanya. Namun Pitaloka bersikeras mengajak 

Putri Kayangan karena dia berpikir tujuan Pendekar 

131 pasti mencari sosok manusia yang mengenakan 

Jubah Tanpa Jasad yang kini tengah dicarinya.

“Pitaloka...!” bisik Putri Kayangan. “Lebih baik kita 

tinggalkan tempat ini. Tidak ada artinya kita terus 

mengikuti mereka!”

“Kuharap kau tabahkan hati melihat semua ini! Bu-

kan hanya kau saja yang merasa sakit. Aku lebih sakit 

lagi melihat dia bermesraan dengan gadis sialan itu!”

“Pitaloka.... Kau jangan menyalahkan mereka.... 

Mungkin mereka sudah jadi kekasih sebelum ini. Ha-

nya saja kita tidak tahu.... Justru akulah yang salah.... 

Untung aku belum terlambat untuk mengetahuinya. 

Jika terlambat, mungkin aku dituduh merebut kekasih 

orang....”

“Kau terlalu menyudutkan diri sendiri! Kalau pemu-

da itu sebelumnya sudah punya kekasih, seharusnya 

dia tidak memberi harapan padamu! Kau lihat sendiri 

tatkala di Lembah Patah Hati. Dia seolah-olah masih 

belum punya seorang kekasih.... Dialah sebenarnya 

yang patut disalahkan! Dia pengecut! Sudah punya ke-

kasih tapi masih juga berlagak....”

Belum sampai Pitaloka teruskan ucapan, Putri Kayangan sudah memotong. “Sudahlah, Pitaloka.... Tak 

ada gunanya lagi kita perdebatkan soal itu! Aku dapat 

menerima semua ini.... Sekarang yang penting adalah 

segera menyelesaikan urusanmu dan segera kembali 

ke lereng Gunung Semeru....”

Pitaloka berpaling pada Putri Kayangan. “Ucapan itu 

keluar dari hati nuranimu? Bukan karena kecewa de-

ngan semua yang kau lihat?!”

Putri Kayangan tersenyum walau terlihat dipaksa-

kan. “Pitaloka.... Untuk apa harus kecewa? Urusan ha-

ti tidak boleh terlalu dipaksakan....”

Pitaloka menatap Putri Kayangan dengan wajah 

yang sulit dimengerti. Putri Kayangan sendiri alihkan 

pandang matanya ke jurusan lain. Walau gadis ini tadi 

berucap seolah tidak merasa kecewa dan dapat me-

nerima kenyataan apa yang terlihat, namun paras wa-

jahnya tidak dapat menyembunyikan perasaan kecewa.

“Pitaloka.... Sebenarnya apa maksudmu minta wak-

tu pada Eyang.... Kurasa bukan untuk mengikuti ke-

dua orang itu bukan?!”

“Pada mulanya memang tidak, tapi sekarang kita 

harus terus mengikutinya! Aku telah bersumpah un-

tuk membalas dendam pada manusia yang bertindak 

menjijikkan itu! Kalau dia tidak ada di Bukit Kalingga, 

hanya satu tempat yang mungkin didiaminya! Tempat 

itu adalah Kampung Setan!”

“Ucapanmu bukan hanya karena kau mendengar 

percakapan pemuda dan gadis itu tadi, bukan?!”

“Aku tahu siapa jahanam pemerkosa itu. Dia sering 

kali mengatakan sebagai penguasa baru Kampung Se-

tan! Jadi kalau dia sudah enyah dari Bukit Kalingga, 

satu-satunya tempat yang dihuni adalah Kampung Se-

tan! Dan kau tahu.... Aku tidak tahu di mana letak 

Kampung Setan! Sementara kita sendiri mendengar 

kalau Pendekar 131 akan menuju Kampung Setan. Berarti dia tahu di mana Kampung Setan! Bagaimana ki-

ta akan menemukan Kampung Setan kalau tidak terus 

mengikutinya?!”

“Tapi....”

“Aku tahu...,” ujar Pitaloka menukas ucapan Putri 

Kayangan. “Orang yang akan kuhadapi adalah manu-

sia berkepandaian sangat tinggi karena dia mengena-

kan Jubah Tanpa Jasad dan memegang Kembang Da-

rah Setan. Tapi satu-satunya benda untuk menghada-

pi jahanam itu telah ada! Aku tak akan bertindak bo-

doh untuk menghadapinya kalau tidak tahu bagaima-

na cara menghadapinya!”

“Tapi bukankah benda itu telah berada di tangan 

Pendekar 131?”

“Itu pula sebabnya mengapa aku mengajakmu un-

tuk terus mengikutinya!”

Baru saja Pitaloka menyahut ucapan Putri Kayang-

an, tiba-tiba kedua gadis ini menangkap satu sosok 

bayangan berkelebat dan tahu-tahu satu sosok tubuh 

telah tegak tidak jauh dari murid Pendeta Sinting dan 

Saraswati.

Bukan hanya Pitaloka dan Putri Kayangan yang ter-

kejut. Namun Saraswati dan Pendekar 131 tak kalah 

melengaknya!

Joko dan Saraswati saling pandang sejenak. Lalu 

hampir bersamaan mereka berdua arahkan panda-

ngannya pada sosok yang baru muncul. Sementara da-

ri tempat persembunyiannya, Pitaloka dan Putri Ka-

yangan sama memandang tak berkesip pada orang 

yang tiba-tiba muncul.

Semua mata di tempat itu melihat seorang gadis 

berparas jelita mengenakan pakaian warna merah. 

Rambutnya yang hitam lebat dikuncir ekor kuda. Hi-

dungnya mancung dengan mata berbinar.

“Aku pernah bertemu dengan gadis ini! Malah dia


pula yang mengusulkan agar aku memberi kesempa-

tan pada Pendekar 131 untuk membuktikan bahwa 

bukan dia yang melakukan semua tindakan menjijik-

kan itu! Hem.... Tampangnya aneh.... Ada apa ini? Apa 

karena dia tahu aku bersama Pendekar 131?!” Diam-

diam Saraswati membatin seraya perhatikan gadis 

yang baru saja muncul.

“Aku pernah melihatnya!” Dari balik persembunyi-

annya Putri Kayangan berbisik pada Pitaloka.

“Siapa dia?!” tanya Pitaloka.

“Kalau tak salah.... Dewi Seribu Bunga!”

Di depan sana, murid Pendeta Sinting diam-diam 

juga berkata sendiri dalam hati. “Melihat gelagat, tentu 

dia akan meneruskan kisah lama! Hem.... Urusannya 

tambah sulit. Apalagi pandangannya terasa tidak 

enak.... Matanya bukan saja masih menuduh, tapi juga 

bercampur pandangan cemburu!”

“Pendekar 131!” Tiba-tiba gadis yang baru muncul 

angkat suara dengan keras. “Kesempatan yang kuberi-

kan padamu untuk membuktikan bahwa bukan kau 

manusianya yang melakukan tindakan tidak terpuji 

itu! Bukan untuk hal-hal lainnya!”

“Benar dugaanku!” batin Joko. “Dia cemburu.... Di-

kira aku selama ini pergunakan waktu untuk berse-

nang-senang!”

Saraswati rupanya maklum akan arti ucapan si ga-

dis yang bukan lain memang Dewi Seribu Bunga ada-

nya. Paras Saraswati sedikit merah. Sebelum murid 

Pendeta Sinting sempat angkat suara, dia telah me-

nyahut.

“Harap tidak cepat menuduh! Dia telah pergunakan 

waktunya selama ini untuk menyingkap siapa manusia 

di belakang semua tindakan keji itu!”

Dewi Seribu Bunga mendengus pelan. Tanpa berpa-

ling pada Saraswati, dia bersuara. “Aku tidak bicara


padamu! Aku ingin keterangan dari dia!”

“Tapi ucapanmu tadi seolah-olah menuduh bahwa 

kesempatan itu digunakan untuk hal-hal yang bukan 

semestinya!” kata Saraswati menyahut dengan tam-

pang tidak senang.

“Aku bicara apa adanya! Karena selama ini aku 

mendengar belum ada kabar perubahan yang berarti! 

Lalu kulihat kalian enak-enakan di tempat Ini!” Kali ini 

seraya bicara, Dewi Seribu Bunga berpaling meman-

dang tajam pada Saraswati. Saraswati sendiri balas 

pandangan orang dengan mata berkilat. Untuk bebe-

rapa lama dua pasang mata berperang pandang.

“Dengar! Kami bukan tengah enak-enakan! Kami 

justru tengah mencari biang petaka jahanam itu!” Sa-

raswati sambuti ucapan Dewi Seribu Bunga.

“Hem.... Begitu? Jadi kalian berdua berada di tem-

pat sepi begini kau anggap tengah mencari biang peta-

ka itu?! Lihat berkeliling! Kau ada di mana?! Apa yang 

bisa kau dapatkan di tempat seperti ini?! Kau juga ti-

dak sadar.... Kalau kau diintai oleh mata-mata di balik 

tempat tersembunyi! Apakah ini bukti bahwa kalian 

berdua memang tengah mencari seseorang atau seba-

liknya?!”

Saraswati dan Pendekar 131 sama terkejut. Untuk 

beberapa saat keduanya sama saling pandang lalu 

arahkan pandang mata masing-masing ke seantero 

tempat itu.

Sementara di balik tempat persembunyiannya, Pita-

loka dan Putri Kayangan juga saling pandang. “Gadis 

itu telah tahu kehadiran kita dan apa yang kita laku-

kan!” Putri Kayangan berbisik dengan dada berdebar 

tidak enak. “Sebelum kita mendapat malu, lebih baik 

kita pergi saja dari tempat ini!”

Pitaloka mencekal lengan Putri Kayangan. “Meng-

hadapi urusan kali ini lenyapkan semua pikiran yang


berhubungan dengan perasaan! Jika tidak, kita akan 

kembali ke lereng Gunung Semeru dengan tangan 

hampa! Bila itu terjadi, aku tak akan bisa hidup te-

nang di sana!”

“Tapi mereka akan menuduh kita melakukan sesua-

tu yang kurang pantas!”

“Persetan dengan semua itu! Mereka sebenarnya 

yang melakukan pekerjaan kurang pantas! Bukan ki-

ta!”

“Apa benar ucapan Dewi Seribu Bunga jika di tem-

pat ini ada orang lain?! Siapa? Apa orang itu mengiku-

ti?! Celaka.... Kalau orang itu belum kukenal masih 

lumayan! Tapi bagaimana kalau orang itu adalah orang 

yang kukenal? Sialnya lagi kalau orang itu sebenarnya 

telah mengikutiku sejak dari Bukit Kalingga! Aduh.... 

Pasti dia tahu apa yang kulakukan bersama Saraswa-

ti....” Pendekar 131 terus edarkan mata dengan hati 

berkata sendiri. Namun sejauh ini dia dan Saraswati 

belum juga bisa menemukan orang lain.

Melihat sikap murid Pendeta Sinting dan Saraswati, 

Dewi Seribu Bunga tertawa pendek dengan nada meng-

ejek sebelum akhirnya berujar.

“Kalau kalian tidak berlaku enak-enakan mana 

mungkin kalian sampai tidak sadar kalau tengah diin-

tip mata?”

Mungkin merasa jengkel dengan ucapan Dewi Seri-

bu Bunga, Saraswati cepat berteriak. “Siapa pun kau 

yang bersembunyi, mengapa takut perlihatkan diri?!”

“Kita akan dianggap manusia pengecut kalau tidak 

keluar tunjukkan diri!” bisik Pitaloka merasa dadanya 

terbakar mendengar teriakan Saraswati. Apalagi sejak 

dari Bukit Kalingga sebenarnya Pitaloka sudah mena-

han perasaan tidak sabar.

“Tunggu, Pitaloka!” tahan Putri Kayangan. Kali ini 

ganti Putri Kayangan yang mencekal lengan Pitaloka


karena saat itu juga Pitaloka hendak melompat keluar. 

“Kalau perturutkan ucapan orang, aku khawatir akan 

terjadi keributan yang tidak berarti!”

“Hem.... Lalu apa kemauanmu?!” tanya Pitaloka.

“Sebaiknya kita berlalu saja dari tempat ini!”

“Kau takut menghadapi perempuan itu?!”

Putri Kayangan geleng kepala. “Bukan karena takut. 

Tapi sebaiknya kita menghindari keributan yang tidak 

berguna!”

“Justru kalau kita menghindar, urusannya jadi ma-

kin berlarut-larut! Aku tak mau itu terjadi! Kita harus 

tuntaskan sekarang juga! Bahkan kalau perlu, aku 

akan meminta kembali benda merah di tangan Pende-

kar 131!”

“Pitaloka! Kau telah memberikan benda itu!”

“Betul! Tapi kalau dia tidak bisa menggunakannya, 

bukankah lebih baik kuambil kembali?!”

“Bukannya dia tidak bisa menggunakannya, tapi 

waktunya belum tiba!”

“Kapan waktu itu akan tiba kalau dia terus-terusan 

dikejar urusan perempuan?!” jawab Pitaloka agak sen-

git.

“Bukankah kalau kita keluar berarti menambah u-

rusannya dengan perempuan?!” balik Putri Kayangan.

“Tapi urusan kita berbeda! Bukan untuk....”

Pitaloka tidak lanjutkan ucapan, karena saat itu 

kembali terdengar teriakan Saraswati. “Hai.... Aku tahu 

di mana kalian berada! Jangan sampai aku menyuruh 

kalian keluar dengan cara lain!”

Teriakan Saraswati makin membakar dada Pitaloka. 

Dia cepat sentakkan cekalan tangan Putri Kayangan. 

Saat lain dia telah berkelebat dan tegak berjarak se-

puluh langkah dari tempat Dewi Seribu Bunga. Sepa-

sang mata Pitaloka langsung menghujam tajam pada 

sosok Saraswati.


Putri Kayangan sebenarnya sudah coba menahan. 

Tapi terlambat. Dan karena dipikir tak ada gunanya 

lagi bersembunyi, juga khawatir akan terjadi keributan 

dan salah paham, dengan muka sedikit merah padam 

akhirnya Putri Kayangan ikut berkelebat keluar dan 

tegak di samping Pitaloka. Hanya saja begitu tegak, 

Putri Kayangan tidak langsung memandang pada Sa-

raswati atau Pendekar 131, melainkan arahkan pan-

dang matanya pada Dewi Seribu Bunga.

Mendapati siapa yang muncul, Saraswati tampak 

tersenyum dingin walau sejenak tampak terkejut. Dewi 

Seribu Bunga sendiri tak bisa sembunyikan rasa kaget. 

Gadis cantik bekas murid tunggal tokoh hitam bergelar 

Maut Mata Satu yang akhirnya diambil murid oleh De-

wi Es ini memang tahu ada orang yang sembunyi di 

sekitar tempat itu. Namun dia sama sekali tidak men-

duga kalau orang itu adalah Pitaloka dan Putri Kayan-

gan. Namun yang paling terlihat terkesiap adalah Pen-

dekar 1311 Malah dia tampak salah tingkah dan bi-

ngung, hingga untuk beberapa saat dia bengong dan 

memandang silih berganti pada empat gadis yang be-

rada di tempat itu!

“Aku sudah turuti permintaanmu! Sekarang kata-

kan apa maumu!” Pitaloka sudah angkat suara dengan 

keras. Matanya terus saling berperang dengan mata 

Saraswati.

Saraswati sesaat pandang silih berganti pada Pita-

loka dan Putri Kayangan. Dia tampak sedikit kebin-

gungan. “Aneh.... Ternyata ada dua gadis yang ru-

panya sama persis. Aku tak bisa memastikan mana 

yang per-nah kutemui beberapa waktu yang lalu!” Di-

am-diam Saraswati membatin. Dia memang pernah 

bertemu dengan Putri Kayangan. Namun karena tidak 

tahu kalau Putri Kayangan punya saudara kembar 

yang wajah dan pakaiannya sama, membuat dia tidak


bisa menentukan siapa yang sempat bertemu dengan-

nya!

Sama seperti halnya Saraswati, Dewi Seribu Bunga 

juga tidak bisa menentukan mana gadis yang pernah 

jumpa dengannya. Sebenarnya Pendekar 131 juga 

agak sulit membedakan. Namun dengan sikap Pita-

loka, Joko segera saja bisa membedakan. Karena dia 

tahu sikap Putri Kayangan sedikit lembut dibanding 

Pitaloka. Hingga dia bisa segera menebak jika yang ba-

ru angkat bicara pada Saraswati adalah Pitaloka. Se-

mentara gadis yang muncul belakangan adalah Putri 

Kayangan. Dugaannya makin kuat, begitu dia melihat 

sikap Putri Kayangan yang tidak memandang ke arah-

nya maupun ke arah Saraswati. Namun di balik semua 

itu, sebenarnya murid Pendeta Sinting merasa tidak 

enak dengan kehadiran Putri Kayangan. Karena tidak 

tahu harus berbuat bagaimana, akhirnya Joko memu-

tuskan.

“Urusan di depan masih banyak! Kalau aku larut 

dengan urusan di sini, perjalananku akan makin la-

ma!”

Berpikir begitu, akhirnya Joko balikkan tubuh lalu 

berkelebat tinggalkan tempat itu.

Namun baru saja Pendekar 131 balikkan tubuh dan 

belum sempat bergerak lebih jauh, sudah terdengar 

suara teguran keras.

“Pendekar 131! Jangan jadi manusia pengecut ting-

galkan urusan sebelum selesai!” Yang angkat suara 

ternyata Pitaloka.

***

TIGA


“ANEH. Di antara kita ada urusan apa?!” gumam 

Joko seraya urungkan niat dan putar tubuh kembali. 

Walau dia tadi tahu yang perdengarkan teguran adalah 

Pitaloka, namun begitu berbalik Joko bukannya me-

mandang ke arah Pitaloka melainkan pada Putri Kaya-

ngan yang saat itu juga tengah memandangnya.

Sikap murid Pendeta Sinting membuat dada Saras-

wati sedikit panas. Dia arahkan pandang matanya pa-

da Putri Kayangan. Sementara Pitaloka menatap tajam 

pada Pendekar 131 dan berucap lagi.

“Setelah keluar dari Lembah Patah Hati, kurasa di 

antara kita memang tidak ada urusan lagi! Tapi begitu 

aku tahu apa yang kau lakukan, rasanya sulit untuk 

mengatakan jika di antara kita tidak ada urusan yang 

harus diselesaikan! Tapi tunggulah dahulu, aku akan 

bertanya apa kemauan gadismu itu!” Selesai berkata, 

Pitaloka arahkan pandangannya pada Saraswati. Lalu 

berkata.

“Aku tak mau menunggu terlalu lama! Katakan apa 

maumu!”

Sambil gerakkan kepala menoleh, Saraswati me-

nyambut. “Mengapa kalian berdua mengikuti kami?! 

Kalau tidak punya maksud jahat, mana mungkin ka-

lian sembunyi-sembunyi?!”

Pitaloka tertawa pendek mendengar ucapan Saras-

wati. “Aku tidak bermaksud mengikutimu! Aku mengi-

kuti pemuda itu! Karena ada yang harus kuselesaikan 

dengannya!”

Kini ganti Saraswati yang tertawa pendek. Lalu ber-

kata. “Kalau benar kalian mengikutinya, seharusnya 

kalian menunggu sampai kami berpisah!”

“Hem.... Lalu sampai kapan kami harus menung-

gu?! Apa kau kira aku tak tahu.... Kau enggan ber-

pisah dengannya! Padahal dia sudah memintamu un-

tuk pergi!”


Paras wajah Saraswati berubah merah padam. Pita-

loka tersenyum mengejek. Lalu sambungi ucapannya. 

“Kalian manusia-manusia tak tahu diri dan tak tahu 

tempat! Apakah pantas orang bercumbu di dekat ma-

kam, hah?!”

“Pitaloka!” seru Putri Kayangan mencoba menahan 

agar keributan tidak makin seru. Lagi pula dia merasa 

malu dikira telah mengintip orang. Tapi sebelum Putri 

Kayangan sempat lanjutkan ucapan, Pitaloka sudah 

memotong tanpa memandang.

“Beda Kumala! Kau jangan ikut bicara! Orang-orang 

seperti mereka akan berbuat makin gila jika dibiarkan 

tanpa teguran!”

Mendengar kata-kata Pitaloka, selain makin merah 

padam, dada Saraswati seakan bergemuruh meledak-

ledak. Di sebelahnya, murid Pendeta Sinting makin sa-

lah tingkah. Kini bukan saja tidak berani memandang 

pada Putri Kayangan, tapi juga makin bingung tak ta-

hu apa nanti yang harus dikatakan. Karena dia sudah 

maklum jika Pitaloka dan Putri Kayangan telah tahu 

apa yang dilakukannya bersama Saraswati di kaki Bu-

kit Kalingga setelah pemakaman Lasmini dan Ni Luh 

Padmi.

Saraswati menarik napas panjang. Saat lain dia ber-

ucap dengan suara keras.

“Kau terlalu usil mencampuri urusanku! Dan kau 

tahu! Justru kalian yang tak tahu diri! Mengintip orang 

dan terus mengikuti dengan sembunyi-sembunyi! Jan-

gan-jangan kalian gadis-gadis yang kerjanya cuma tu

kang intip! Kasihan....” Saraswati gelengkan kepala. 

“Kalian gadis-gadis berwajah cantik. Mungkin banyak 

pemuda yang tertarik dengan kecantikan kalian. Cuma 

mungkin kalian punya kerja suka ngintip, mereka se-

gan pada kalian!”

“Kami tidak akan jual murah tubuh kami pada setiap pemuda sepertimu!” sahut Pitaloka.

“Hem.... Manusia kadang sering sembunyikan diri di 

balik ucapan sok sucinya! Apa kau kira aku tak tahu 

kalau kau baru saja melahirkan anak tanpa diketahui 

siapa laki-lakinya, he?! Apa perbuatanmu itu tidak le-

bih gila? Apa dengan begitu kau masih menganggap 

tubuhmu kau jual mahal?! Kasihan....” Saraswati kini 

ganti yang gelengkan kepala seraya tersenyum meng-

ejek. “Kau bisa menegur orang, tapi kau sendiri tidak 

bisa kuasai nafsu! Kalau aku jadi kau, jangankan ber-

kata menasihati orang, bertatap muka dengan orang 

saja kurasa aku malu mengangkat kepala!”

“Tutup mulutmu!” teriak Pitaloka setengah menjerit. 

Dada gadis ini menggelegak dengan tubuh bergetar 

keras. Kini pandangannya dialihkan pada Pendekar 

131 yang makin salah tingkah. Apalagi setelah mende-

ngar ucapan Saraswati. Dia sama sekali tidak men-

duga kalau Saraswati akan mengucapkan hal itu.

“Kau!” Tiba-tiba Pitaloka berteriak dengan telunjuk 

diluruskan pada Joko. “Mulutmu ternyata lebih busuk 

dari mulut perempuan liar! Tak kusangka kalau kau 

berani menebar berita tak benar ini! Sebelum mulutmu 

makin menebar berita, lebih baik kuhancurkan seka-

rang juga!”

Pendekar 131 memang telah menceritakan apa yang 

dialaminya selama ini pada Saraswati kala berada di 

dekat pemakaman ibunya. Namun ceritanya itu sema-

ta-mata bukan untuk menebarkan berita yang tak se-

dap itu, melainkan agar Saraswati lebih percaya pada 

dirinya.

Sementara itu, sebenarnya Saraswati sendiri tidak 

tahu mana gadis yang bernama Pitaloka. Namun begi-

tu mendengar Putri Kayangan tadi menyebut nama Pi-

taloka, Saraswati segera bisa menebak. Dan begitu 

mendengar sambutan Pitaloka, Saraswati makin yakin


bahwa gadis yang diceritakan Pendekar 131 adalah 

gadis yang ada di hadapannya.

Mungkin karena merasa tahu kelemahan orang, Sa-

raswati segera pula menyahut ucapan Pitaloka. “Jan-

gan berharap bangkai busuk dapat ditutupi-dengan 

ucapan dan perbuatan sok suci! Itu hanya akan mem-

buat orang makin curiga dan berita makin tersebar 

luas! Lebih baik kau akui terus terang dan tunjukkan 

siapa dirimu sebenarnya! Orang akan menghargai ma-

nusia yang tidak sembunyikan diri di balik ucapan sok 

sucinya!”

“Kalau kau terus buka bacot, mulutmu akan ku-

hancurkan juga!” Pitaloka menghardik tanpa berpaling 

pada Saraswati. Sebaliknya terus memandang ke da-

lam bola mata Pendekar 131 yang makin salah ting-

kah.

Sementara Dewi Seribu Bunga tampak bengong dan 

hanya bisa memandang silih berganti tanpa buka mu-

lut. Putri Kayangan mau mencegah, tapi karena sudah 

tahu tabiat Pitaloka, dia akhirnya hanya bisa diam.

“Pitaloka....” Akhirnya Joko angkat bicara. “Maaf.... 

Bukan aku sengaja menebar berita. Tapi semua itu ha-

rus kuceritakan, karena....”

Belum sampai murid Pendeta Sinting lanjutkan 

ucapan, Pitaloka sudah menukas.

“Karena kau tertarik pada gadis itu! Aku tidak mau 

membicarakan segala macam budi, tapi kau adalah 

manusia bodoh kalau berlaku begini setelah kau da-

patkan apa yang kau perlukan!”

“Pitaloka.... Aku paham maksudmu. Kuakui kau te-

lah banyak berjasa padaku. Tapi kuharap kau juga 

mengerti. Semua ini kulakukan karena aku tidak mau 

terus-terusan dituduh macam-macam! Lagi pula aku 

tahu siapa Saraswati. Dia tak akan menebarkan berita 

ini pada orang lain....”


“Mana ada orang mencela gadisnya di hadapan 

orang lain!” sahut Pitaloka masih dengan suara keras. 

“Sekarang hanya ada satu jalan untuk menyelesaikan 

urusan ini! Serahkan kembali benda merah itu!”

Joko terkesiap mendengar permintaan Pitaloka. Se-

mentara Saraswati kerutkan dahi. Dia bertanya-tanya 

benda apa yang dimaksud Pitaloka, karena Pendekar 

131 memang tidak sebut-sebut benda merah dalam ke-

terangannya saat menceritakan tentang musibah yang 

dialami Pitaloka. Di lain pihak, Dewi Seribu Bunga 

makin tidak mengerti.

“Pitaloka.... Sekali ini kuminta pengertianmu. Ka-

laupun kau minta kembali benda itu, akan kuberikan 

setelah semuanya selesai....”

Pitaloka geleng kepala. “Mulanya aku memang per-

caya padamu hingga rela menyerahkan benda itu. Tapi 

melihat tingkahmu, kepercayaanku jadi luntur! Kau 

bukannya segera menyelesaikan urusan, sebaliknya 

kau enak-enakan bercumbu-ria dengan gadis itu! Ka-

lau hal ini kau teruskan, sampai kapan aku harus me-

nunggu?! Padahal kau tahu, kami harus segera kem-

bali ke lereng Gunung Semeru!”

Mendengar ucapan Pitaloka, gemuruh dada Saras-

wati yang sejenak tadi sedikit mereda bergolak lagi. 

Dengan mata berkilat, anak gadis Lasmini ini buka su-

ara.

“Sedari tadi kau terus mengurusi perbuatan orang! 

Aku tahu kau cemburu. Tapi seharusnya kau sadar 

siapa dirimu! Mana mungkin ada laki-laki yang mena-

ruh perhatian padamu jika kau pernah hamil malah 

melahirkan dan tidak diketahui siapa laki-lakinya?!”

“Jahanam!” teriak Pitaloka. “Aku memang bukan 

orang baik-baik! Tapi aku tidak akan bertindak gila di 

depan makam orang!”

“Mana aku tahu...?! Mungkin ucapanmu itu hanya


sebagai tutup! Yang jelas tindakanmu sampai hamil 

adalah lebih gila!”

Saking marahnya, Pitaloka langsung angkat kedua 

tangannya. Tubuhnya diputar sedikit menghadap Sa-

raswati. Saraswati tidak tinggal diam. Dia cepat angkat 

kedua tangannya.

“Tahan!” Hampir bersamaan Pendekar 131 dan Pu-

tri Kayangan berteriak. Murid Pendeta Sinting melom-

pat dan menahan kedua tangan Saraswati, sementara 

Putri Kayangan mencekal kedua lengan Pitaloka dan 

tegak menghalangi di depannya.

“Beda Kumala.... Jangan halangi aku! Gadis liar 

macam dia perlu sesekali mendapat hajaran agar bisa 

jaga mulut!” Pitaloka tepiskan cekalan tangan Putri 

Kayangan.

“Kau jangan ikut campur, Pendekar 131! Atau kau 

laki-laki yang menghamili gadis itu, hah?!” desis Saras-

wati dengan bibir bergetar. Dia cepat pula mendorong 

tubuh Joko hingga tersurut dua langkah.

“Saraswati.... Jangan memperkeruh masalah!”

“Dia yang bikin masalah! Bukan aku!” jawab Saras-

wati dengan ketus.

“Pitaloka...,” ujar Putri Kayangan di seberang depan. 

“Tidak ada gunanya masalah ini diteruskan. Sebaiknya 

kita tinggalkan saja tempat ini!”

Pitaloka gelengkan kepala. “Aku tak akan pergi tan-

pa benda merah itu di tanganku! Itu benda milikku! 

Aku yang berhak menggenggamnya! Bukan manusia 

bodoh yang hanya perturutkan kesenangan!”

Habis berucap begitu, tanpa diduga Putri Kayangan, 

kedua tangan Pitaloka mendorong ke depan. Sosok Pu-

tri Kayangan terjajar ke samping. Saat bersamaan, Pi-

taloka angkat kembali kedua tangannya dan serta-

merta disentakkan ke arah Saraswati.

Di seberang depan, karena tidak tertahan lagi oleh


sosok murid Pendeta Sinting, Saraswati tidak berdiam 

diri. Kedua tangannya segera pula didorong mengha-

dang pukulan yang telah dilepas Pitaloka!

Walau Pendekar 131 dan Putri Kayangan sudah sa-

ma bergerak hendak menahan, tapi gerakan keduanya 

sudah sangat terlambat. Hingga bentrok pukulan anta-

ra Pitaloka dan Saraswati tak dapat dihindarkan lagi.

Blaarr!

Terdengar ledakan dahsyat kala pukulan yang di-

lepas Pitaloka dihadang pukulan Saraswati. Kedua so-

sok gadis ini sama mental ke belakang lalu sama jatuh 

terduduk dengan tubuh masing-masing bergetar dan 

paras pias.

Namun karena masing-masing orang sudah diamuk 

gejolak hawa amarah, baik Pitaloka maupun Saraswati 

segera bergerak bangkit. Putri Kayangan segera me-

lompat. Di seberang sana, Joko ikut pula bergerak. Pu-

tri Kayangan menghalangi Pitaloka sementara Pende-

kar 131 mencegah Saraswati.

“Beda Kumala! Kalau kau ingin pergi, tinggalkan 

aku sendiri di sini! Tapi kalau kau ingin tetap bersa-

ma-ku, jangan coba-coba mencegah apa yang akan ku-

lakukan!” kata Pitaloka seraya angkat kedua tangan-

nya dan matanya menusuk tajam pada Saraswati.

Sementara di depan sana, Saraswati juga arahkan 

pandang matanya menyengat pada Pitaloka seraya be-

rucap pada murid Pendeta Sinting yang berada di de-

pannya

“Pendekar 131! Kalau kau inginkan gadis liar itu se-

lamat, suruh dia hengkang dari tempat ini!”

“Saraswati.... Sebaiknya kita bicarakan semua ini 

dengan kepala dingin. Urusan di depan masih besar 

dan banyak. Kalau urusan sepele ini harus dibesar-be-

sarkan, kurasa kita akan rugi sendiri!”

“Kau sudah dengar ucapanku! Suruh gadis liar itu


hengkang! Jika tidak jangan harap tak akan ada darah 

mengalir di sini! Dan jangan kira urusan ini cuma se-

pele! Kalaupun dia hengkang, kelak kalau bertemu, 

aku akan meneruskan urusan sampai tuntas!”

“Saraswati! Sebaiknya kita saja yang tinggalkan 

tempat ini.... Nanti akan kujelaskan lagi masalahnya!”

“Kau selalu membelanya!” hardik Saraswati. “Aku 

makin yakin kau adalah laki-laki yang menghamili-

nya!”

“Saraswati....”

Joko tidak bisa lanjutkan ucapan, karena saat Itu 

juga Saraswati sudah lepaskan satu tendangan pada 

dada murid Pendeta Sinting.

Karena tidak menduga, Joko terlambat untuk 

menghindar atau menghadang tendangan Saraswati.

Bukkk!

Pendekar 131 terhuyung-huyung ke belakang. Saat 

lain Saraswati sudah sentakkan kedua tangannya.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang luar biasa dahsyat menggebrak ga-

nas ke arah Pitaloka. Dari ganasnya gelombang yang 

melesat, jelas Saraswati tidak main-main lagi.

Pitaloka terkesiap. Kedua tangannya segera dido-

rong kembali ke arah Putri Kayangan yang tegak meng-

halangi di depannya. Sementara Putri Kayangan yang 

sudah maklum kalau Saraswati telah lepaskan puku-

lan lagi, segera menyergap tubuh Pitaloka agar tidak 

terjadi lagi bentrok pukulan dan hindarkan pukulan 

Saraswati.

Namun sergapan dan niat Putri Kayangan ditang-

kap lain oleh Pitaloka. Hingga dia tarik pulang kedua 

tangannya yang mendorong tubuh Putri Kayangan. 

Saat lain ketika Putri Kayangan menyergap, Pitaloka 

berkelit ke samping seraya doyongkan sedikit bagian 

atas tubuh. Saat lain kakinya melesat.


Bukkkl

Meski kedua tangan Putri Kayangan sempat mela-

kukan hadangan, tapi tendangan kaki Pitaloka lebih 

cepat datangnya. Hingga tanpa ampun lagi sosok Putri 

Kayangan terjajar beberapa langkah. Kejap lain, Pita-

loka tekuk sedikit lututnya lalu didahului bentakan ga-

rang, dia sentakkan kedua tangannya dengan kerah-

kan hampir segenap tenaga dalam yang dimiliki.

Wuuttl Wuutt!

Dua gelombang yang tak kalah ganasnya dengan 

pukulan Saraswati tampak berkiblat menghadang.

“Celaka! Mereka pasti akan terluka...,” gumam Joko 

lalu cepat angkat kedua tangannya untuk menghadang 

agar dua gelombang pukulan tidak saling berbenturan. 

Karena benturan gelombang pukulan pasti akan mem-

buat Pitaloka dan Saraswati terluka sebab kedua gadis 

ini telah melepas pukulan dengan pengerahan tenaga 

dalam tinggi.

Tapi belum sempat kedua tangan murid Pendeta 

Sinting bergerak, terdengar suara orang bersin-bersin. 

Saat yang sama satu deruan angin melesat ke arah ge-

lombang pukulan Saraswati. Hampir berbarengan de-

ngan melesatnya deruan angin, satu cahaya putih ber-

kiblat ke arah gelombang pukulan Pitaloka!

***

EMPAT



“BUSSSS! Busss!”

Terdengar suara laksana api terkena siraman air.

Gelombang yang melesat dari kedua tangan Saras-

wati langsung mental ke samping dan menghantam 

beberapa jajaran pohon. Tiga pohon agak besar tam


pak perdengarkan derakan, saat lain jatuh tumbang!

Saat berikutnya gelombang yang berkiblat dari ke-

dua tangan Pitaloka semburat bertaburan terkena ser-

gapan cahaya putih.

Gagalnya benturan pukulan yang dilancarkan Sa-

raswati dan Pitaloka memang membuat kedua gadis ini 

terhindar dari luka. Tapi sergapan yang tiba-tiba mun-

cul dan bisa menggagalkan benturan dan pukulan 

mau tak mau masih membuat Saraswati dan Pitaloka 

sama terjajar meski tidak mengalami cedera yang be-

rarti.

“Bruss! Bruss! Satu laki-laki empat perempuan. Aku 

tidak heran, pasti pangkal sebab adalah perasaan cem-

buru!”

Terdengar suara orang bersin dua kali disusul de-

ngan terdengarnya suara. Lalu ditingkah dengan suara 

tawa panjang.

Anehnya, semua orang yang ada di situ tidak bisa 

menentukan dari mana sumber suara-suara tadi ter-

dengar, karena suara-suara itu laksana diperdengar-

kan dari delapan penjuru mata angin! Malah suara itu 

terus pantul memantul tak putus-putusnya!

“Kakek Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun!” de-

sis murid Pendeta Sinting tahu benar siapa orang yang 

baru saja menggagalkan bentroknya pukulan Saraswa-

ti dan Pitaloka. Namun karena belum bisa melihat di 

mana kedua orang itu berada, Joko beberapa saat pu-

tar kepala dengan mata mengedar berkeliling.

Sementara Saraswati, Pitaloka, Putri Kayangan, dan 

Dewi Seribu Bunga juga sempat terkesiap. Mereka le-

bih terkejut lagi tatkala kepala masing-masing gadis ini 

sudah bergerak memutar tapi tidak juga melihat siapa-

siapa.

Saat itulah, tiba-tiba terdengar suara.

“Kuharap kalian tunda dulu urusan. Masih ada se


suatu yang harus dilakukan oleh pemuda itu!”

Walau tidak tahu di mana beradanya orang yang 

bersuara, namun Pitaloka segera menyahut.

“Dia akan kubiarkan melakukan apa yang kau ka-

takan! Tapi sebelum dia pergi, aku ingin dia mengem-

balikan benda milikku!”

“Bruss! Bruss! Jangan membuat orang merasa he-

ran, Anakku.... Kudengar kau telah memberikan benda 

itu. Mengapa kau kini hendak memintanya kembali?!” 

terdengar sahutan. Kalau suara yang pertama tanpa 

didahului bersinan tadi mungkin masih bisa ditebak 

dari mana sumbernya, namun suara yang kedua dan 

didahului suara bersinan, siapa pun tidak bisa mene-

bak dari mana sumbernya! Apalagi gema suara itu me-

mantul ke segenap tempat!

“Dia bukannya segera menggunakan benda itu! Tapi 

lebih tertarik untuk bersenang-senang dengan gadis 

binal itu!” Pitaloka menyahut dan seolah orang me-

lihat, ia arahkan telunjuknya lurus-lurus ke arah Sa-

raswati.

Saraswati tak bisa lagi menahan hawa amarah. Dia 

kini angkat tangan kiri dan jari telunjuk ganti diarah-

kan pada Pitaloka.

“Kalau aku yang bersenang-senang saja kau sebut 

gadis binal, lalu kata apa yang pantas untuk menyebut

gadis hamil tanpa laki-laki sepertimu?!”

“Keparat!” maki Pitaloka. Untuk kesekian kalinya 

kedua tangannya diangkat ke udara tinggi-tinggi. Sa-

raswati ikut-ikutan angkat kedua tangannya. Tampak-

nya bentrok pukulan tak dapat dihindarkan lagi.

Namun sebelum sempat kedua gadis ini sentakkan 

tangan masing-masing, terdengar suara bersinan tiga 

kali berturut-turut. Kemudian disusul dengan suara.

“Aku akan merasa heran jika sebuah salah paham 

bisa selesai dengan cara kekerasan! Kalaupun selesai,


justru itu adalah awal sebuah urusan besar! Jadi ha-

rap bisa menahan diri...!”

“Dia yang memulai!” teriak Pitaloka. Tangannya te-

tap berada di atas udara.

“Kau yang mulai! Kau sengaja mengintipku lalu me-

ngikuti ke mana aku pergi dengan secara diam-diam! 

Seharusnya kau sadar dan mengaca siapa dirimu! Pe-

muda mana pun tak akan ada yang mendekatimu! 

Percuma kau mengikuti dia!” sambut Saraswati dengan 

kepala menoleh pada murid Pendeta Sinting. “Kalau-

pun ada pemuda yang mendekatimu mungkin pemuda 

itu manusia bodoh!”

Pitaloka sudah hendak angkat bicara, namun sebe-

lum ucapannya terdengar, satu suara sudah menyahu-

ti dari tempat lain.

“Sudahlah.... Tak ada artinya perselisihan ini di-

teruskan! Sekarang masih ada hal penting yang mung-

kin masih menjadi tanggung jawab kalian juga! Untuk 

Pitaloka, kuharap kau merelakan benda itu sementara 

di tangan sahabat muda itu! Percayalah.... Kalau sam-

pai dia mempergunakan untuk hal-hal lain, aku yang 

akan mengambilnya sendiri dan menyerahkannya pa-

damu!”

Baik Pitaloka maupun Putri Kayangan rupanya su-

dah dapat menebak siapa adanya kedua orang yang 

baru saja perdengarkan suara. Karena mereka berdua 

baru saja bertemu di Lembah Patah Hati dan masih 

hafal suaranya meski tidak melihat orangnya.

Entah karena apa, Pitaloka perlahan-lahan turun-

kan kedua tangannya. Saat bersamaan Putri Kayangan 

segera melompat mendekat dan berbisik.

“Pitaloka.... Sebaiknya kau turuti ucapan orang itu 

tadi!”

Pitaloka pandangi saudara kembarnya. “Baik.... Ini 

kulakukan bukan karena permintaan orang atau turuti ucapan Pendekar 131. Ini semata kulakukan ka-

rena kau!”

Murid Pendeta Sinting mendekati Saraswati. “Sa-

raswati.... Kuharap salah paham ini selesai sampai di 

sini.... Dan sekarang aku harus pergi!” Tanpa me-

nunggu sahutan Saraswati, Joko hadangkan wajah ke 

arah Pitaloka yang tegak berdampingan dengan Putri 

Kayangan.

“Pitaloka.... Terima kasih atas pengertianmu. Maaf 

kalau aku telah melakukan sesuatu yang kau anggap 

keliru. Aku harus pergi....”

Seraya berkata begitu, mata Joko terus pandangi 

Putri Kayangan yang saat itu juga tengah meman-

dangnya. Diam-diam murid Pendeta Sinting berkata 

sendiri dalam hati. “Mungkin dia punya pikiran yang 

tidak-tidak. Tapi satu waktu kelak aku akan menjer-

nihkan persoalan ini.

Kalau Pendekar 131 membatin begitu, ternyata Pu-

tri Kayangan juga berkata dalam hati. “Sebenarnya, 

apa pun yang dilakukan aku dapat memahaminya. 

Hanya saja mengapa dia sepertinya memberi harapan 

padaku.... Padahal dia sudah punya kekasih.... Mung-

kinkah aku masih harus menaruh harapan padanya? 

Apakah dia tidak tahu. Kalau aku begitu gembira men-

dapat kesempatan sebelum kembali ke lereng Gunung 

Semeru. Semula aku mengharap kesempatan ini akan 

kujadikan kenangan indah bersamanya.... Tapi seka-

rang, apakah mungkin hal itu akan terjadi...?!”

“Putri Kayangan....” Entah sadar atau tidak, murid 

Pendeta Sinting bergumam. Tapi ucapannya terhenti 

sampai di situ walau mulutnya terus membuka. Putri 

Kayangan putuskan kata hatinya dan menunggu. Na-

mun sampai sekian jauh gadis cantik salah satu cucu 

dari Nyai Tandak Kembang ini tidak mendengar lanju-

tan suara Pendekar 131. Sebaliknya habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting balikkan tubuh lalu berke-

lebat tinggalkan tempat itu.

Sikap murid Pendeta Sinting mau tak mau mem-

buat dada Saraswati mulai terbakar kecemburuan. Dia 

menatap tajam pada Putri Kayangan dengan mata ber-

kilat-kilat. Sementara Putri Kayangan sendiri merasa-

kan dadanya berdebar dan memperhatikan terus kele-

batan sosok Joko hingga lenyap di depan sana.

Semua orang di situ tidak tahu, jika semenjak tadi 

Dewi Seribu Bunga yang tegak diam dan hanya men-

dengarkan, tampaknya gigit kedua bibirnya.

“Begitu banyak gadis cantik yang coba menarik ha-

tinya...,” Dewi Seribu Bunga membatin. “Jadi percuma 

selama ini aku selalu mengenangnya! Apakah dia tidak 

tahu kalau kepergianku ini semata-mata hanya karena 

aku rindu padanya.... Hem.... Dia sama sekali meman-

dang sebelah mata padaku. Bahkan dia seolah tidak 

melihat keberadaanku di tempat ini! Dia pergi begitu 

saja tanpa berkata sepatah kata padaku!” Dengan ber-

bagai perasaan akhirnya Dewi Seribu Bunga balikkan 

tubuh. Dan tanpa buka mulut lagi dia melesat pergi. 

Namun berjarak lima belas tombak, gadis murid Dewi 

Es ini berbalik lalu berkelebat ke arah mana tadi mu-

rid Pendeta Sinting pergi!

Saraswati melirik pada Pitaloka. “Sebenarnya saat 

ini kesempatanku memberi hajaran pada gadis itu! Ta-

pi kalau itu kulakukan, aku akan kehilangan jejak 

Pendekar 131. Aku harus segera menyusulnya!”

Berpikir begitu, akhirnya Saraswati balikkan tubuh. 

Namun sebelum dia benar-benar berkelebat, dia masih 

sempat buka mulut.

“Urusan di antara kita jangan dianggap selesai! Kita 

akan lanjutkan bila ada kesempatan!”

“Ucapanmu menunjukkan kau hanya berani me-

nantangku kalau ada pemuda itu! Kalau memang kau


bukan pengecut, untuk apa harus menunggu ada ke-

sempatan?! Sekaranglah kesempatan itu!”

“Pitaloka! Jangan memperpanjang urusan...!” kata 

Putri Kayangan.

“Urusan akan jadi panjang kalau tidak diselesaikan 

sekarang! Bukan tak mungkin mulutnya akan berkoar 

ke mana-mana!”

Sebenarnya dada Saraswati sudah bergemuruh. Ta-

pi karena dia khawatir kehilangan jejak murid Pendeta 

Sinting, dia menindih perasaan. Lalu berkelebat ting-

galkan tempat Ku seraya berkata lantang.

“Aku masih bisa menjaga mulut dan seluruh anggo-

ta tubuh lainnya! Pada pertemuan kelak, kuharap kau 

tidak kurang suatu apa! Lebih-lebih kau bisa menjaga 

agar tidak hamil lagi!”

“Jahanam keparat!” teriak Pitaloka. Kedua tangan-

nya disentakkan seraya berkelebat. Satu gelombang 

ganas berkiblat ke arah Saraswati. Tapi Saraswati su-

dah berkelebat jauh. Gelombang pukulan itu hanya 

menghantam udara kosong!

“Kita ikuti Pendekar 131!” seru Pitaloka seraya te-

ruskan berkelebat. Putri Kayangan sebenarnya hendak 

berkata, Namun karena Pitaloka sudah berada di de-

pan sana, terpaksa dia urungkan niat lalu berkelebat 

menyusul.

Dari balik sebuah batangan pohon besar, dua orang 

laki-laki tampak duduk bersila. Sebelah kanan adalah 

orang tua bertubuh besar tambun mengenakan pa-

kaian warna hijau gombrong. Sepasang matanya ber-

warna putih. Di sebelah orang tua ini adalah seorang 

kakek yang kepalanya terus bergerak pulang balik ke 

depan ke belakang dengan wajah membuat mimik se-

perti orang hendak bersin. Mereka berdua bukan lain 

adalah Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun.

“Brusss! Bagaimana sekarang? Aku tak heran....


Mereka berempat tadi pasti mengikuti jejak murid Pen-

deta Sinting.... Kalau hal ini dibiarkan, tentu perjala-

nan pemuda itu tidak akan mulus!” kata Datuk Wah-

ing.

“Inilah susahnya kalau urusan sudah melibatkan 

perempuan! Urusan sepele bisa jadi panjang lebar tak 

karuan! Apa boleh buat, sementara ini kita punya tu-

gas. Kita harus tetap mengawasi gadis-gadis itu. Kita 

cegah agar tidak terjadi bentrok sampai urusan pemu-

da itu beres!” sahut Gendeng Panuntun.

Tanpa banyak bicara lagi, kedua orang tua ini ber-

anjak bangkit. Saat lain mereka sama membuat satu 

gerakan. Sosok masing-masing orang berkelebat dan 

tahu-tahu sudah berada di depan sana. Malah sosok 

mereka tampak mendahului kelebatan Putri Kayangan 

dan Pitaloka. Saat lain telah melewati kelebatan Saras-

wati!

***

LIMA



PENDEKAR 131 Joko Sableng hentikan larinya kala 

memasuki sebuah kawasan tanah terbuka yang di se-

kelilingnya dijajari beberapa julangan batu karang 

tinggi seakan memagari tanah terbuka tadi. Tepat di 

tengah tanah terbuka tampak altar batu agak besar 

berbentuk datar. Di sebelah altar batu terlihat bong-

karan lobang menganga.

Murid Pendeta Sinting putar kepala memandang 

berkeliling. “Hem.... Tempat ini belum berubah...,” gu-

mamnya seraya memperhatikan julangan batu karang 

sebelah kiri altar yang tampak terbongkar. “Apa duga-

anku tidak salah...? Tapi mengapa belum juga terlihat

ada tanda-tanda munculnya seseorang?!”

Joko berpaling ke belakang dari mana dia tadi da-

tang. Dia menghela napas dalam seraya gelengkan ke-

pala. “Mudah-mudahan gadis-gadis itu tidak mengiku-

tiku.... Kehadiran mereka hanya akan memperkeruh 

keadaan!”

Tanpa diketahui murid Pendeta Sinting, dari celah 

salah satu julangan batu karang, dua sosok tubuh 

tampak tegak memperhatikan. Yang sebelah kanan 

adalah sosok mengerikan. Seorang laki-laki yang usia-

nya tidak bisa ditentukan. Paras wajahnya juga tidak 

bisa dikenali. Karena susunan anggota tubuh orang ini 

hanya terdiri dari susunan kerangka tanpa dilapisi 

daging sama sekali!

Di sebelah laki-laki yang anggota tubuhnya hanya 

merupakan susunan kerangka dan tidak lain adalah 

Setan Liang Makam, tegak satu sosok yang tidak bisa 

dilihat bagaimana wujudnya. Yang terlihat tegak ha-

nyalah jubah hitam besar. Jubah hitam itu menga-

pung di atas udara. Jubah itu bukan lain adalah Ju-

bah Tan-pa Jasad, salah satu benda mustika pening-

galan kerabat Kampung Setan. Sosok tidak terlihat di 

balik Jubah Tanpa Jasad bukan lain adalah Kiai Laras.

“Hem.... Rupanya tanpa diundang pun manusia itu 

akan dating! Ini satu petunjuk jika tidak lama lagi 

akan datang yang lainnya! Dengan begitu, kejayaan 

Kampung Setan akan kita tegakkan tanpa harus k-

keluar dari Kampung Setan! Aku tak akan membiar-

kan satu pun dari kalangan orang persilatan bisa ke-

luar dari Kampung Setan dalam keadaan hidup! Aku 

akan jadikan Kampung Setan sebagai tempat angker 

yang tidak mudah diinjak telapak manusia yang tidak 

ku-inginkan! Aku akan kendalikan rimba persilatan 

dari Kampung Setan! Sekarang kau tahu apa yang ha-

rus kau lakukan pada manusia tak diundang itu! Untuk yang satu itu kalau bisa bikin tak berkutik tanpa 

memutus selembar nyawanya! Karena dia nanti bisa 

kita buat sebagai umpan untuk memancing datangnya 

orang lain!” Terdengar suara dari sosok tidak kelihatan 

di balik Jubah Tanpa Jasad yang bukan lain adalah 

suara Kiai Laras.

Setan Liang Makam hanya anggukkan kepala tanpa 

perdengarkan suara sahutan. Namun diam-diam da-

lam hati dia membatin. “Tak akan kusisakan nyawa 

pemuda jahanam itu! Inilah saatnya aku membalas 

urusan tempo hari! Hem.... Sayang. Kembang Darah 

Setan berada di tangan jahanam tidak kelihatan ini! 

Kalau tidak, sudah kulumat habis pemuda jahanam 

itu beberapa waktu yang lalu!”

“Setan Liang Makam! Lekas hadang manusia itu se-

belum masuk ke Istana Sekar Jagat!” gumam Kiai La-

ras pelan namun nadanya keras memerintah.

Dengan memaki dalam hati, Setan Liang Makam 

berpaling sejenak pada Jubah Tanpa Jasad. Saat lain 

sosoknya berkelebat keluar.

Sementara di depan sana, Joko serentak hentikan 

langkah kala ekor matanya menangkap satu bayangan 

berkelebat keluar dari salah satu julangan batu ka-

rang.

“Setan Liang Makam!” desis Pendekar 131 begitu 

melihat siapa manusia yang tegak sepuluh langkah di 

seberang depan. “Ternyata dugaanku tidak keliru. Ka-

lau dia berada di ini, pasti orang pemakai Jubah Tanpa 

Jasad di sini juga!”

“Setan Liang Makam!” kata Joko. “Sebenarnya di 

antara kita tidak ada urusan berarti. Aku datang un-

tuk bertemu dengan orang yang mengenakan Jubah 

Tanpa Jasad! Bisa tunjukkan padaku di mana dia be-

rada?!”

Setan Liang Makam tidak menyahut. Hanya sepasang matanya perhatikan orang dengan pandangan 

berkilat marah. Murid Pendeta Sinting tersenyum dan 

maklum akan sikap orang karena dia dan Setan Liang 

Makam memang beberapa kali bertemu dan sempat 

bentrok.

“Setan Liang Makam!” kata Joko dengan suara sedi-

kit dikeraskan meski dia tahu kalau Setan Liang Ma-

kam tadi sudah dengar ucapannya. “Aku datang untuk 

bertemu dengan orang yang mengenakan Jubah Tanpa 

Jasad! Harap tunjukkan di mana dia berada!”

Setan Liang Makam masih juga kancingkan mulut. 

Namun tak lama kemudian dia sudah perdengarkan 

suara. “Kau bisa menemuinya di liang neraka!”

“Ah.... Terima kasih atas keteranganmu! Sekarang 

mau tunjukkan padaku di mana tempat yang baru sa-

ja kau katakan?!”

“Akan kuturuti permintaanmu!” sentak Setan Liang 

Makam. Saat bersamaan kedua tangannya diangkat la-

lu didorong. Dua gelombang angin dahsyat mengham-

par.

Karena sudah waspada, begitu kedua tangan Setan 

Liang Makam terangkat, murid Pendeta Sinting berke-

lebat ke samping selamatkan diri. Gelombang hampa-

ran angin lewat setengah depa di samping sosok Pen-

dekar 131 dan terus lurus ke belakang menghantam 

salah satu julangan batu karang.

Brakkk!

Sebelah sisi kanan julangan batu karang yang tadi 

berada di belakang Pendekar 131 langsung muncrat 

semburkan pecahan kepingan batu. Saat muncratan 

luruh, tampak sebelah sisi julangan batu karang ge-

rompal besar!

“Sobatku, Setan Liang Makam! Aku tanya baik-baik. 

Mengapa kau menyerangku?!”

“Sebelum kutunjukkan tempat di mana orang yang


kau cari, kita selesaikan dahulu urusan lama kita!”

“Urusan lama? Urusan lama yang mana?!”

“Akan kuingatkan otakmu dengan caraku!” hardik 

Setan Liang Makam. Kedua tangannya kembali diang-

kat.

“Tunggu! Tahan dulu.... Aku ingat sekarang. Yang 

kau maksud tentu pertemuan kita beberapa waktu 

yang lalu. Kukira kejadian itu hanyalah salah paham 

semata! Dan seharusnya kau yang minta maaf padaku. 

Karena kau selama ini menuduhku sebagai orang yang 

mengambil Kembang Darah Setan! Sekarang kau sen-

diri telah lihat buktinya! Aku bukanlah orang yang kau 

tuduh! Tapi.... Sudahlah.... Lupakan semua itu! Seka-

rang kita berteman! Dan aku sekarang butuh bantuan-

mu!”

“Aku hanya bisa membantu untuk tunjukkan jalan-

mu ke neraka!”

“Sobat! Untuk jalan itu aku sudah tahu karena aku 

pernah ke sana! Aku minta bantuan lain! Bagaimana? 

Atau kau minta imbalan?! Katakan saja apa imbalan 

yang kau inginkan?! Harta...?! Tubuh molek...?! 

Atau....”

Joko tidak segera lanjutkan ucapan sebaliknya me-

lompat mendekat lalu lanjutkan ucapan dengan suara 

direndahkan. “Atau kau inginkan Kembang Darah Se-

tan dan Jubah Tanpa Jasad kembali ke tanganmu?!”

Ucapan murid Pendeta Sinting membuat Setan Li-

ang Makam picingkan sedikit sepasang matanya. Tu-

lang dahinya bergerak tanda dia berpikir. Sikapnya ter-

lihat ragu-ragu.

Pendekar 131 tersenyum. “Sobat.... Aku tahu. Kau-

lah sebenarnya yang berhak atas Kembang Darah Se-

tan serta Jubah Tanpa Jasad. Sebab kedua barang 

mustika itu adalah peninggalan leluhurmu! Aku berse-

dia membantumu mendapatkan benda itu....”


“Bantuan apa yang bisa kau lakukan untukku?!” 

tanya Setan Liang Makam terpancing. Namun sebelum 

buka mulut bertanya, cucu Nyai Suri Agung ini sempat 

berpaling sesaat ke tempat Kiai Laras. Dan begitu dia 

yakin sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa Ja-

sad tidak ada di tempatnya tadi berada, dia baru be-

rani buka mulut. Di lain pihak, sikap Setan Liang Ma-

kam telah membuat murid Pendeta Sinting tahu di 

mana adanya orang yang dicari! Dia segera pula meli-

rik. Tapi keningnya berkerut.

“Dari pandangannya, jelas di balik julangan ke ma-

na matanya memandang ada orang lain bersembunyi. 

Aku belum tahu siapa adanya orang itu! Terakhir kali 

berpisah, dia bergabung dengan sosok pemakai Jubah 

Tanpa Jasad, Pitaloka, dan orang tua yang wajahnya 

mirip dengan Kiai Laras.... Hem.... Pitaloka jelas sudah 

tak mungkin orangnya. Jadi sekarang yang mungkin 

tinggal orang tua yang parasnya mirip dengan Kiai La-

ras dan mungkin sosok pemakai Jubah Tanpa Jasad 

itu sendiri! Tapi.... Aku sekarang tidak melihat tanda-

tanda orang di balik itu! Hem.... Mungkin Setan Liang 

Makam baru berani bertanya setelah yakin pula bahwa 

orang di balik batu sudah tidak ada.... Hem.... Seba-

liknya aku terus memancingnya!” kata Joko dalam ha-

ti.

“Kau jangan berani main-main denganku! Katakan 

bantuan apa yang akan kau lakukan untukku!” kata 

Setan Liang Makam mengulangi ucapannya karena un-

tuk beberapa lama Joko tidak menyambut.

“Bukankah kau inginkan kedua benda itu kembali 

ke tanganmu lagi?!”

“Jahanam! Aku tanya bantuan apa yang bisa kau 

lakukan untukku?!” hardik Setan Liang Makam mulai 

kesal.

“Tentu saja untuk mengembalikan kedua benda itu


padamu!”

“Keparat! Yang kutanyakan untuk mendapatkan 

kedua benda itu, apa yang akan kau lakukan?!”

Joko anggukkan kepala. “Setinggi apa pun ilmu se-

orang manusia, pasti ada kelemahannya! Dan aku ta-

hu apa kelemahan orang pemakai Jubah Tanpa Jasad 

itu!”

“Katakan padaku apa kelemahannya!” sahut Setan 

Liang Makam.

“Sobat.... Bukan hanya manusia yang punya telinga! 

Tanah, julangan batu karang, langit, mendung, dan 

batangan pohon bisa mendengar. Sementara aku tak 

ingin telinga lain mendengarkan. Karena itu tidak 

baik.... Sebab ini menyangkut kelemahan orang!”

Setan Liang Makam katupkan tulang mulut. Tulang 

keningnya bergerak-gerak. Saat lain dia perdengarkan 

suara setelah edarkan pandangan berkeliling.

“Lalu apa maumu?!”

“Bawa saja aku ke tempat orang yang mengenakan 

Jubah Tanpa Jasad itu!”

“Hem.... Kau kira aku bisa kau bodohi, he?!”

“Tunggu! Jangan salah sangka! Aku tidak punya 

maksud macam-macam padamu!”

“Kau menginginkan kedua benda itu juga, bukan?!”

Pendekar 131 tertawa seraya gelengkan kepala. 

“Aku tahu orang itu berada di sekitar tempat ini! 

Kalau aku mau.... Tidak sulit aku menemukannya! La-

gi pula aku telah tahu kelemahannya.... Jadi kalau 

aku menginginkan kedua benda itu mudah saja!”

“Lalu mengapa tidak kau lakukan?!”

“Aku masih menghargaimu sebagai pemilik sah 

benda keramat itu! Lagi pula ini adalah tempatmu!”

“Benarkah ucapannya?! Tapi kalau benar, mengapa 

saat bentrok beberapa waktu lalu dia tidak bisa me-

naklukkan jahanam pemakai Jubah Tanpa Jasad itu?!


Padahal saat itu dia dibantu beberapa temannya?! Ja-

ngan-jangan dia hanya mengelabuiku!” Setan Liang 

Makam membatin ingat akan pertemuan murid Pen-

deta Sinting yang saat itu bersama Datuk Wahing, 

Gendeng Panuntun bentrok dengan pemakai Jubah 

Tanpa Jasad.

Mengingat akan hal itu, Setan Liang Makam segera 

angkat suara.

“Kalau benar kau tahu kelemahannya, bagaimana 

mungkin kau tak dapat mengalahkannya saat bentrok 

beberapa waktu lalu?! Padahal saat itu kau tidak sen-

dirian!”

“Terus terang.... Saat itu aku memang belum tahu 

kelemahannya! Tapi sekarang aku tahu bagaimana 

menaklukkannya! Tunjukkan saja di mana dia! Atau 

suruh keluar!”

Belum sampai suara murid Pendeta Sinting selesai, 

dari salah satu puncak julangan batu karang tiba-tiba 

satu benda hitam berkelebat turun. Belum sampai 

benda hitam yang ternyata adalah sebuah jubah hi-

tam, berada di atas tanah, satu suara terdengar.

“Setan Liang Makam! Lakukan apa yang kuperin-

tah! Atau kau sendiri yang akan kulumat!”

Wusss!

Bersamaan dengan terdengarnya suara, satu gelom-

bang ganas berkiblat ke arah Setan Liang Makam. Se-

tan Liang Makam terkesiap. Sesaat dia berpikir. Meng-

hadang gelombang yang datang atau menghindar se-

lamatkan diri. Akhirnya Setan Liang Makam memu-

tuskan berkelebat menghindar karena sebenarnya dia 

belum percaya benar dengan ucapan murid Pendeta 

Sinting. Sementara kalau dia menghadang gelombang 

yang datang, mungkin dia akan mengalami hal lebih 

naas. Bukan tak mungkin sosok di balik Jubah Tanpa 

Jasad akan marah besar.


Bummmm!

Tanah di sekitar terbuka dan bergetar keras. Saat 

yang sama tanah itu semburat terhantam gelombang.

Jubah Tanpa Jasad tegak sepuluh langkah di sam-

ping tempat tegaknya Setan Liang Makam. Bagian le-

ngan dan bahu Jubah Tanpa Jasad bergerak ke sam-

ping, ke arah Setan Liang Makam.

“Aku tak mau dikhianati! Dan kau dengar ucapan-

ku! Lakukan atau kau yang akan kukirim menyusul 

nenekmu!”

“Jahanam! Jadi dia telah membunuh Nyai Suri A-

gung!” maki Setan Liang Makam dalam hati. Dada cu-

cu Nyai Suri Agung ini sudah dibungkus luapan hawa 

amarah luar biasa. Namun karena kini dia sadar siapa 

orang yang dihadapi, bagaimanapun besar luapan ke-

marahannya, dia coba menahan. Lalu berkelebat ke 

depan dan tegak di hadapan Pendekar 131!

Sementara melihat munculnya sosok tak kelihatan 

yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad, murid Pendeta 

Sinting selinapkan tangan kanannya ke balik pakaian.

“Busyet! Aku lupa lagi.... Seharusnya aku bertanya 

pada Kakek Gendeng Panuntun atau Kakek Datuk Wa-

hing bagaimana caranya menggunakan benda ini!” 

gumam Joko dalam hati menyesal. “Ini gara-gara ribut 

urusan dengan beberapa gadis itu! Membuat aku sam-

pai lupa menanyakan! Padahal aku tahu, kedua orang 

yang muncul saat itu adalah Kakek Gendeng Panun-

tun dan Datuk Wahing! Bagaimana sekarang...? Hem... 

Akan kucoba dengan kemampuanku sendiri dahulu. 

Jika tak berhasil, entah bagaimana caranya nanti!”

Memutuskan demikian, akhirnya Joko urung me-

ngeluarkan benda merah yang diambilnya dari pusar 

bayi Pitaloka. Lalu tarik pulang tangannya keluar. Se-

tan Liang Makam dan sosok tidak kelihatan di balik 

Jubah Tanpa Jasad yang bukan lain adalah Kiai Laras


sesaat memperhatikan gerakan tangan Joko yang ke-

luar dari balik pakaiannya.

“Apa lagi yang kau tunggu, Setan Liang Makam?!” 

Kiai Laras membentak.

Setan Liang Makam menggeram. Selain marah akan 

perintah Kiai Laras, juga marah melihat sikap murid 

Pendeta Sinting. Pada mulanya Setan Liang Makam 

menduga orang hendak mengeluarkan sesuatu. Na-

mun ternyata tangan Joko keluar tanpa menggenggam 

sesuatu! Setan Liang Makam merasa sudah ditipu.

“Penipu busuk!” hardik Setan Liang Makam. Saat 

bersamaan dia melesat ke depan. Kedua tangannya di-

kelebatkan ke arah kepala murid Pendeta Sinting!

“Tahan!” teriak Joko dengan angkat kedua tangan-

nya di atas kepala.

Setan Liang Makam tak pedulikan lagi teriakan o-

rang. Kedua tangannya terus dikelebatkan. Joko men-

dorong kedua tangannya ke atas menyongsong.

Bukkk! Bukkk!

Sosok Setan Liang Makam mental dan tegak tiga 

langkah dari tempat terjadinya benturan pukulan. Di 

depannya, Joko tersurut satu langkah dengan kibas-

kibaskan kedua tangannya yang baru saja berbentu-

ran dengan kedua tangan Setan Liang Makam.

“Sobat!” kata Joko dengan senyam-senyum meski 

merasakan kedua tangannya kesemutan. “Kalau kau 

benar-benar ingin lanjutkan urusan lama, tetap akan 

kulayani. Tapi biar aku bicara dahulu dengan sobat 

yang baru muncul itu!” Tangan kanan Joko menunjuk 

pada Jubah Tanpa Jasad yang mengapung di atas 

udara.

Tanpa menunggu sambutan Setan Liang Makam, 

murid Pendeta Sinting berkelebat melewati sisi Setan 

Liang Makam lalu tegak berhadapan dengan Jubah 

Tanpa Jasad!


***

ENAM



BARU saja Pendekar 131 buka mulut dan suaranya 

belum terdengar, kedua lengan Jubah Tanpa Jasad su-

dah berkelebat!

Weerr! Weeerr!

Dua gemuruh angin berkiblat angker melesat dari 

kedua lengan jubah.

Karena tidak menduga, murid Pendeta Sinting sem-

pat kelabakan. Namun seraya berkelebat menghindar, 

kedua tangan Joko lakukan satu pukulan ke depan.

Bummm! Bummm!

Kawasan Kampung Setan sesaat dilanda gelegar. 

Karena tempat di mana terjadi bentrok pukulan dikeli-

lingi beberapa julangan batu karang, suara beradunya 

pukulan menggema seakan hendak meruntuhkan ju-

langan batu karang!

Tampaknya Kiai Laras tidak mau memberi kesem-

patan. Begitu Joko dapat hindarkan diri dan mengha-

dang gelombang dari kedua lengan Jubah Tanpa Ja-

sad, Kiai Laras cepat melesat mengejar. Kembali kedua 

lengan jubah hitam bergerak. Malah kali ini bagian 

bawah jubah juga sedikit terangkat ke atas.

Meski Joko tidak melihat sosok orang di balik ju-

bah, namun dari gerakan jubah yang melayang di atas 

udara, dia dapat menduga gerakan apa yang dibuat 

orang. Maka seraya melenting satu tombak ke udara, 

kedua tangannya dipukulkan ke depan menghadang 

gerakan kedua lengan jubah. Saat bersamaan kaki ka-

nan kirinya juga membuat gerakan menendang, meng-

hadang gerakan jubah bagian bawah!

Bukkk! Bukkk! Bukkk!

Terdengar benturan keras tiga berturut-turut. Murid 

Pendeta Sinting rasakan kedua tangannya menghan-

tam benda keras luar biasa. Dia sama sekali tidak me-

rasakan bersentuhan dengan kain jubah!

Kalau murid Pendeta Sinting tidak merasakan ber-

singgungan dengan kain jubah, tidak demikian halnya 

dengan kedua kakinya. Dia masih merasakan bentu-

ran dengan anggota tubuh orang.

Sosok Pendekar 131 terjajar satu setengah tombak 

di atas udara. Lalu meluncur turun dan tegak di atas 

tanah setelah membuat gerakan jungkir-balik satu 

kali. Joko cepat salurkan tenaga dalam pada kedua 

tangannya. Karena dirasakan aliran darah pada kedua 

tangannya laksana tersumbat. Dadanya sesak. Semen-

tara di seberang sana, sosok jubah hitam tampak me-

lintir bagian bawahnya. Namun sesaat kemudian telah 

tegak mengapung di atas tanah.

“Hem.... Berarti anggota tubuhnya yang tidak terla-

pisi jubah hitam itu bisa digebuk! Jadi aku harus me-

nyerang bagian kaki dan wajahnya!” kata Joko dalam 

hati.

Kalau Joko membatin begitu, Kiai Laras diam-diam 

juga berkata dalam hati. “Aku masih bisa bersinggun-

gan dengan kakinya. Berarti jubah ini hanya dapat me-

lapis bagian tubuhku yang tertutup jubah! Aku harus 

berhati-hati.... Dan aku sekarang tak akan memukul-

nya dari jarak dekat kecuali dengan kedua tanganku! 

Lagi pula bukankah aku membekal Kembang Darah 

Setan?! Hem.... Sebenarnya aku menginginkan anak 

manusia itu hidup sementara waktu. Tapi kurasa ia 

terlalu berbahaya kalau dibiarkan hidup! Dia mati atau 

hidup pasti jahanam gurunya akan mencarinya kema-

ri! Saat itulah yang kutunggu-tunggu!”

“Hai! Aku datang bukan cari keributan! Aku hanya 

ingin....”


“Persetan dengan maksudmu! Yang jelas siapa pun 

yang datang ke tempat ini berarti akan pulang nama-

nya saja! Apalagi kau! Sebelum ini kita sudah membu-

ka urusan. Dan hari ini urusan itu akan selesai!”

Kiai Laras tidak menunggu Joko buka mulut me-

nyahut. Saat itu juga kedua tangannya diangkat. Na-

mun tiba-tiba salah satu tangannya diturunkan lalu 

bergerak menyelinap ke balik jubah. Saat lain tangan-

nya keluar lagi. Namun bersamaan dengan keluarnya 

tangan dari balik jubah hitam, terlihat pancaran sinar 

tiga warna. Merah, hitam, dan putih.

“Kembang Darah Setan!” desis Setan Liang Makam 

mengenali cahaya tiga warna. Sepasang matanya 

memperhatikan tak berkesip pada bagian ujung lengan 

jubah. Berjarak satu jengkal di depan ujung sebelah le-

ngan jubah hitam terlihat sekuntum bunga menga-

pung di atas udara. Bunga itu memiliki tiga daun. Satu 

berwarna merah, satu berwarna hitam, dan satunya 

lagi berwarna putih. Pada kuncup bunga juga berwar-

na merah.

Baik Joko maupun Setan Liang Makam sepertinya 

melihat bunga mengapung di atas udara. Padahal se-

benarnya bunga itu yang bukan lain memang Kem-

bang Darah Setan, digenggam tangan Kiai Laras. 

Hanya karena tangan Kiai Laras tidak kelihatan mata

biasa, maka Kembang Darah Setan seolah-olah men-

gapung di atas udara!

Kalau perturutkan kata hati, ingin rasanya Setan 

Liang Makam melesat dan menyambar Kembang Darah 

Setan yang pernah digenggamnya pada tiga puluhan 

tahun silam. Namun dia cepat sadar. Kalau dia paksa-

kan diri merebut Kembang Darah Setan, maka dia 

akan mendapat celaka. Hanya saja sekarang dia me-

nunggu kebenaran ucapan murid Pendeta Sinting yang 

tadi mengatakan tahu kelemahan orang. Namun dia


tak berani bertindak ayal. Walau kini dia tidak ikut ter-

libat, dia tetap kerahkan tenaga dalam. Dan sepasang 

matanya terus mengawasi gerakan Kembang Darah Se-

tan. Setan Liang Makam seakan tengah menunggu ke-

sempatan yang baik untuk menyambar Kembang Da-

rah Setan.

Sementara melihat Kembang Darah Setan sudah ke-

luar, Joko tidak berani lagi bertindak sembrono. Dia 

telah tahu bagaimana kedahsyatan Kembang Darah 

Setan. Maka begitu Kembang Darah Setan terlihat, Jo-

ko cepat siapkan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’. Ma-

lah setelah berpikir sesaat, dia alirkan tenaga lipat 

ganda pada tangan kiri siapkan pukulan ‘Serat Biru’! 

Saat itu juga tangan kanan Joko berubah warna men-

jadi kuning, sementara tangan kiri disemburati warna 

biru.

Kiai Laras perdengarkan suara tawa panjang. Na-

mun tiba-tiba suara tawanya diputus. Saat bersamaan 

tangannya yang memegang Kembang Darah Setan di-

angkat. Joko tidak tinggal diam. Dia juga angkat tan-

gan kiri kanan. Ketika Kembang Darah Setan berkele-

bat, Joko sentakkan pula tangan kiri kanan sekaligus!

Wuuttt!

Kembang Darah Setan berkelebat. Tiga sinar berkib-

lat. Merah, hitam, dan putih perdengarkan deruan luar 

biasa dahsyat.

Wuutt! Wuutt!

Kedua tangan murid Pendeta Sinting bergerak. Dari 

tangan kanan melesat sinar berwarna kekuningan dis-

ertai gelombang ganas. Saat bersamaan hawa panas 

menghampar. Saat yang sama dari tangan kiri Joko 

melesat serat-serat biru laksana benang.

Blammm! Blammm!

Terdengar ledakan dahsyat laksana hendak mero-

bohkan julangan beberapa batu karang. Sinar tiga


warna yang berkiblat dari Kembang Darah Setan sem-

burat.

Hebatnya semburatan sinar tiga warna masih terus 

menebar ke arah Pendekar 131 Joko Sableng! Namun 

sebelum tebaran sinar tiga warna sempat melabrak, 

serat-serat biru sudah menghadang! Serat-serat biru 

menebar panjang lalu meliuk-liuk dan laksana seekor 

ular, serat-serat biru menghampar lalu melilit tebaran 

sinar tiga warna.

Buss! Busss!

Tebaran sinar tiga warna yang terlilit serat-serat bi-

ru langsung ambyar. Saat yang sama, lilitan serat-

serat biru juga terputus-putus!

Pendekar 131 rasakan sosoknya seperti disentak-

sentak. Hingga ketika tubuhnya terpental ke belakang, 

terlihat tubuhnya beberapa saat terhenti lalu terpental 

lagi, terhenti lagi dan akhirnya melayang ke belakang 

sebelum jatuh terduduk dengan kedua tangan lunglai 

dan mulut terbuka megap-megap! Sosoknya bergetar 

keras, lalu tak lama kemudian murid Pendeta Sinting 

cepat-cepat katupkan mulutnya ketika merasakan pe-

rutnya mual dan rasa darah telah keluar dari teng-

gorokannya. Jelas ini pertanda kalau bentroknya pu-

kulan tadi telah membuat murid Pendeta Sinting ter-

luka dalam.

Sementara itu begitu terdengar ledakan, Jubah Tan-

pa Jasad tampak mencelat beberapa langkah ke bela-

kang. Saat berikutnya, ketika tebaran sinar tiga warna 

ambyar terkena lilitan serat-serat biru, Jubah Tanpa 

Jasad melenting tersentak-sentak ke belakang.

Sebenarnya Kiai Laras tidak begitu merasakan aki-

bat dari bentroknya pukulan. Karena sosoknya dilapis 

dengan Jubah Tanpa Jasad. Namun karena bagian ka-

kinya tidak terlapis jubah, maka saat sosoknya tersen-

tak ke belakang, Kiai Laras tidak bisa bertahan. Hingga


tak lama kemudian kedua lututnya goyah dan mene-

kuk. Saat lain Jubah Tanpa Jasad bergerak menekuk 

dan jatuh di atas tanah!

Karena sosoknya tidak kelihatan, murid Pendeta 

Sinting dan Setan Liang Makam tidak bisa mengetahui 

bagaimana paras wajah Kiai Laras. Namun hal itu ti-

dak begitu terpikirkan oleh Setan Liang Makam. Seba-

liknya dia tampak sangat kecewa. Karena dia berharap 

dengan terjadi bentrok, Kembang Darah Setan bisa le-

pas dari genggaman tangan orang.

Di lain pihak, meski merasakan sosoknya terpelan-

ting, namun Kiai Laras tidak mau Kembang Darah Se-

tan di tangannya lepas. Hingga dia pegang erat-erat 

Kembang Darah Setan. Apalagi dia menangkap gelagat 

mencurigakan dari pandangan mata Setan Liang Ma-

kam.

Kiai Laras cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu de-

ngan cepat bergerak bangkit. Joko memperhatikan se-

saat. “Busyet! Dia sepertinya tidak mengalami cedera 

sama sekali! Akan kucoba dengan pukulan ‘Sundrik 

Cakra’!”

Berpikir begitu, sembari bangkit berdiri, Joko pu-

satkan seluruh tenaga dalam pada tangan kanan. Lalu 

tangan kanannya diangkat. Jari tengah, jari telunjuk 

serta jari manis dicuatkan ke atas. Sementara ibu jari 

dan jari kelingking ditekuk saling bertemu. Inilah tan-

da kalau Pendekar 131 telah siapkan pukulan ‘Sundrik 

Cakra’.

Kiai Laras lipat gandakan tenaga dalam pada tan-

gan kanannya yang menggenggam Kembang Darah Se-

tan. Saat berikutnya tangan kanannya bergerak.

Wuuttt!

Kembang Darah Setan berkelebat. Untuk kedua ka-

linya sinar tiga warna berkiblatan. Karena Kiai Laras 

lipat gandakan tenaga dalam saat gerakkan tangan,


maka kiblatan sinar tiga warna melesat lebih ganas da-

ri yang pertama!

Wuuttt!

Kembang Darah Setan berkelebat. Untuk kedua ka-

linya sinar tiga warna berkiblat. Karena Kiai Laras lipat 

gandakan tenaga dalam saat gerakkan tangan, maka 

kiblatan sinar tiga warna melesat lebih ganas dari yang 

pertama!

Pendekar 131 segera pula mendorong tangan ka-

nannya. Tiga larik sinar kuning sebesar jari melesat ke 

depan. Hebatnya, larikan sinar itu makin lama makin 

besar. Tidak terdengar gemuruh suara gelombang. Na-

mun begitu larikan sinar kuning bertemu sinar tiga 

warna, terdengar gelegar maha dahsyat.

Bagian ujung julangan batu karang di tempat itu 

tampak bergetar keras sebelum akhirnya terbongkar 

dan mental semburat. Setan Liang Makam yang berada 

di tempat itu terhuyung-huyung. Untung cucu Nyai 

Suri Agung ini dapat segera sadar dan kuasai diri. Jika 

tidak, niscaya sosoknya akan terbanting.

Sementara sosok murid Pendeta Sinting tampak 

mencelat sampai tiga tombak sebelum akhirnya jatuh 

terkapar dengan mulut semburkan darah. Di seberang 

sana, sosok Jubah Tanpa Jasad terjajar sampai dua 

tombak sebelum akhirnya juga terkapar. Terdengar 

suara tersedak, disusul kemudian dengan muncratnya 

darah dari bagian atas leher jubah. Tanda jika kini Kiai 

Laras juga mengalami cedera dalam. Bahkan Kembang 

Darah Setan di tangannya terpental lepas!

Setan Liang Makam yang sejak tadi menunggu ke-

sempatan segera melirik pada Jubah Tanpa Jasad. 

Saat lain sosoknya berkelebat.

“Jahanam! Dugaanku tidak meleset!” desis Kiai La-

ras melihat gerakan Setan Liang Makam. Walau masih 

belum bisa kuasai diri sepenuhnya, namun karena tak


mau kehilangan Kembang Darah Setan, dia segera sen-

takkan kedua tangannya seraya bergulingan mendeka-

ti tergeletaknya Kembang Darah Setan.

Setan Liang Makam rupanya sudah memperhitung-

kan tindakan. Begitu menangkap gerakan kedua le-

ngan Jubah Tanpa Jasad, dia segera jatuhkan diri ke 

atas tanah seraya bergulingan pula. Saat lain kedua 

tangannya mendorong ke depan menghadang pukulan 

yang dilepas Kiai Laras.

Blaarr!

Terdengar ledakan dahsyat. Gulingan sosok Setan 

Liang Makam dan Kiai Laras sama-sama terhenti. Wa-

lau Setan Liang Makam merasakan aliran darahnya 

laksana disentak-sentak, dia tidak peduli. Begitu so-

soknya terhenti karena bentroknya pukulan, dia segera 

pula sentakkan kedua tangannya kembali ke tanah. 

Sosoknya kembali bergerak berguling-guling mendekati 

Kembang Darah Setan.

“Jangan biarkan setan itu menjamahnya!” Tiba-tiba 

terdengar suara teguran. “Kerudung setanmu mungkin 

bisa berbuat sesuatu! Karena tak mungkin kita ber-

buat lain!”

Bersamaan suara teguran yang tiba-tiba menyeruak 

di tempat itu, tampak melesat benda hitam panjang 

yang bergerak meliuk-liuk di atas udara ke arah terge-

letaknya Kembang Darah Setan.

“Keparat! Ada orang lain lagi di tempat ini yang in-

ginkan Kembang Darah Setan!” gumam Kiai Laras.

“Jahanam! Siapa pula ini?!” desis Setan Liang Ma-

kam terkejut melihat berkelebatnya benda hitam pan-

jang yang ternyata adalah sebuah kerudung.

Mungkin karena sama-sama tak mau kedahuluan, 

sementara mereka sudah sangat terlambat untuk men-

dekati Kembang Darah Setan, Kiai Laras dan Setan 

Liang Makam hampir berbarengan sama lepaskan satu


pukulan ke arah kerudung hitam yang makin mende-

kati Kembang Darah Setan.

“Sialan! Bagaimana sekarang?! Mereka sama hen-

dak merusak kerudungku! Daripada kehilangan keru-

dung kesayangan, lebih baik tak mendapatkan Kem-

bang Darah Setan!” Terdengar suara teriakan orang. 

Saat bersamaan kerudung hitam yang berkelebat me-

liuk mendekati Kembang Darah Setan laksana ditarik 

kekuatan dahsyat. Kejap lain kerudung hitam berkele-

bat ke belakang lalu melayang lurus ke arah salah satu 

puncak julangan batu karang!

Karena dihindari kerudung hitam, tak ampun lagi 

pukulan Setan Liang Makam dan Kiai Laras yang sa-

ma-sama mengarah pada kerudung hitam bertemu di 

udara! Hingga saat itu juga terdengar lagi gelegar leda-

kan. Sosok Setan Liang Makam dan Jubah Tanpa Ja-

sad sama bergulingan. Mereka tidak menyangka kalau 

pukulannya akan bentrok di udara karena dihindari 

kerudung hitam. Hingga kedua orang ini tidak siap 

tatkala bentrok pukulan itu terjadi.

Kiai Laras segera bisa kuasai diri. Karena dirinya 

masih dilapis Jubah Tanpa Jasad hingga meski tidak 

siap dengan terjadinya bentrok pukulan, namun tidak 

mengalami cedera yang berarti. Lain halnya dengan Se-

tan Liang Makam. Walau dia segera bisa bergerak 

bangkit, namun tak urung masih terhuyung-huyung 

bahkan hampir jatuh lagi.

Pendekar 131, Kiai Laras, dan Setan Liang Makam 

segera gerakkan kepala berpaling ke arah sumber sua-

ra yang tadi tiba-tiba menyeruak.

Saat itulah dari salah satu julangan batu karang 

melayang turun satu bayangan merah. Hampir bersa-

maan, dari julangan batu karang lainnya satu sosok 

tubuh juga melesat turun. Tak lama kemudian dari ju-

langan batu karang lainnya lagi dua sosok tubuh ber


kelebat dengan membuat beberapa kali putaran di atas 

udara sebelum akhirnya keempat sosok ini tegak berja-

jar di atas tanah terbuka!

***

TUJUH



PALING kanan adalah seorang nenek berambut pu-

tih lebat. Bagian belakang rambutnya dikelabang dua. 

Sedang bagian depannya diponi. Wajahnya dibedaki 

tebal. Bibirnya dipoles merah menyala. Pipi kanan kiri-

nya diberi pewarna merah muda tipis-tipis. Nenek ini 

mengenakan pakaian atas berupa baju tanpa lengan 

dan sangat cingkrang. Hingga ketiak dan pusarnya ke-

lihatan. Sementara pakaian bawahnya berupa celana 

pendek di atas lutut. Baju dan celana pendeknya ber-

warna merah. Nenek ini bukan lain adalah Dayang Se-

puh.

Di sebelah Dayang Sepuh, tegak pula seorang nenek 

berpakaian agak gombrong. Paras wajahnya hanya ke-

lihatan sebagian karena bagian kiri kanannya tertutup 

oleh rambut dan kerudung hitamnya yang diletakkan 

di atas kepala melingkar ke leher terus menjulai sam-

pai bagian depan perutnya. Nenek berkerudung hitam 

ini tidak bukan adalah Dewi Ayu Lambada.

Di sebelah Dewi Ayu Lambada, tegak seorang kakek 

bermuka tirus panjang. Rambutnya putih dibiarkan 

bergerai. Kakek ini tegak dengan kepala sedikit didon-

gakkan dan kedua tangan berkacak pinggang. Saat 

mendongak bagian atas tubuhnya tampak sedikit me-

lengkung. Karena ternyata kakek ini tidak memiliki 

leher! Sambil mendongak, kakek ini bukan mulutnya 

le-bar-lebar seolah ingin memperlihatkan mulutnya

yang tidak ditumbuhi gigi! Kakek ompong ini tidak lain 

adalah dedengkot rimba persilatan yang dikenal den-

gan gelar Iblis Ompong.

Di samping Iblis Ompong, tegak seorang kakek ber-

pakaian agak lusuh. Rambutnya putih tipis. Seraya te-

gak, kakek ini tadangkan kedua tangan di belakang 

kedua telinganya. Begitu tegak kakek ini memandang 

beberapa saat ke arah tiga orang di sebelahnya. Dia 

sepertinya ingin berkata. Namun yang keluar hanyalah 

suara Uuukk! Uuukkk! Uuukkk! berulang kali. Ini satu 

tanda jika kakek ini adalah orang bisu. Dia memang 

kakek bisu dan tuli yang dikenal dengan sebutan Dewa 

Uuk.

Melihat beberapa orang yang muncul, sesaat Kiai 

Laras menggeram. Namun dia tidak begitu pedulikan 

kemunculan orang. Justru pikirannya masih tertuju 

pada Kembang Darah Setan yang masih tergeletak di 

atas tanah.

Setan Liang Makam pun rupanya tidak, acuh de-

ngan kehadiran orang. Malah dia hanya melirik. Saat 

lain pandang matanya sudah tertuju pada Kembang 

Darah Setan.

Tiba-tiba Kiai Laras melesat ke depan. Masih di atas 

udara kedua tangannya disentakkan ke arah Setan 

Liang Makam. Setan Liang Makam tak punya pilihan 

lain kecuali menghadang serangan lawan. Karena ka-

lau menghindar, berarti memberi kesempatan pada 

orang untuk mendekati Kembang Darah Setan. Hingga 

begitu melihat sosok jubah hitam berkelebat ke depan 

dan kedua lengannya bergerak, cucu Nyai Suri Agung 

ini cepat menyongsong ke depan dengan kedua tangan 

membuat gerakan memukul. Rupanya Setan Liang Ma-

kam sudah nekat. Karena sekarang Kiai Laras sudah 

tahu kalau dirinya berkhianat bahkan hendak merebut 

kembali Kembang Darah Setan.


Blammm!

Untuk kesekian kalinya kawasan Kampung Setan 

dirancah suara ledakan. Saat lain sosok Setan Liang 

Makam terpental dan jatuh terkapar. Di seberang, Kiai 

Laras perdengarkan tawa panjang sebab sosoknya ti-

dak bergeming sama sekali. Hingga sosoknya terus me-

lesat ke depan. Saat lain tangan kanannya menyambar 

Kembang Darah Setan. Dan seolah tidak memberi ke-

sempatan pada orang, begitu Kembang Darah Setan 

berada di tangannya langsung dikelebatkan ke arah 

sosok Setan Liang Makam!

Wuuttt!

Tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih ber-

kiblat angker. Setan Liang Makam terkesiap. Sudah 

sangat terlambat baginya jika berkelebat hindarkan di-

ri. Maka dengan segenap tenaga dalam yang dimiliki, 

cucu Nyai Suri Agung ini angkat kedua tangannya lalu 

disentakkan menghadang kiblatan sinar tiga warna 

yang mencuat dari Kembang Darah Setan. Senjata sak-

ti yang pernah digenggamnya pada tiga puluhan tahun 

silam.

Di sebelah samping, mungkin karena masih salur-

kan tenaga untuk mengatasi luka dalamnya, murid 

Pendeta Sinting tidak berani menghadang pukulan 

yang melabrak ke arah Setan Liang Makam. Dia tadi 

juga tidak berani berbuat ayal ikut memperebutkan 

Kembang Darah Setan yang sudah lepas dari gengga-

man tangan Kiai Laras dan tergeletak di atas tanah. 

Karena dia maklum, jika sosok tidak kelihatan di balik 

Jubah Tanpa Jasad masih mampu untuk menghadang 

dan berbuat sesuatu. Sementara dirinya harus pulih-

kan dahulu keadaan tubuhnya yang terluka dalam 

akibat bentrokan dengan Kiai Laras. Hingga dia hanya 

bisa memandang bagaimana sinar tiga warna melesat 

ganas ke arah Setan Liang Makam.


Sementara melihat berkiblatnya sinar tiga warna, 

Dewi Ayu Lambada sudah hendak berkelebat dan ikut 

menghadang kiblatan sinar tiga warna yang menjurus 

ke arah Setan Liang Makam. Namun belum sampai 

Dewi Ayu Lambada berbuat lebih jauh, Dayah Sepuh 

yang tegak di samping segera palangkan tangan kanan

menghalangi gerakan Dewi Ayu Lambada seraya ber-

ucap.

“Jangan berani bertindak seperti orang kesetanan! 

Pukulan itu bukan sembarangan!”

Dewi Ayu Lambada urungkan niat menolong Setan 

Liang Makam. Lalu berpaling pada Iblis Ompong seolah 

ingin minta pendapat tentang ucapan Dayang Sepuh. 

Iblis Ompong rupanya dapat menangkap maksud 

orang. Tanpa menoleh pada Dewi Ayu Lambada, kakek 

ompong ini berkata.

“Aku melihat sesuatu yang tidak biasanya pada di-

rimu, Nek! Tidak biasanya kau ringan tangan memban-

tu orang! Tapi kali ini begitu melihat tampang jerang-

kong itu kau jadi lain! Kau sepertinya rela mati demi 

dia! Jangan-jangan kau telah kasmaran pada jerang-

kong hidup itu! Hik.... Hik.... Hik...!”

Habis berkata begitu, Iblis Ompong berpaling pada 

Dewa Uuk yang juga adalah adik kandung Dewi Ayu 

Lambada. Lalu lanjutkan ucapan.

“Bagaimana pendapatmu tentang saudaramu itu?! 

Kau bangga punya ipar seperti dia?!” Iblis Ompong 

arahkan telunjuk tangan kanan pada Setan Liang Ma-

kam yang tengah sentakkan kedua tangannya meng-

hadang kiblatan sinar tiga warna.

Dewa Uuk dekatkan telinganya pada Iblis Ompong. 

Saat lain dia tarik pulang kepalanya. Entah karena ti-

dak bisa mendengar ucapan Iblis Ompong atau salah 

artikan isyarat telunjuk Iblis Ompong, Dewa Uuk tiba-

tiba tertawa panjang! Tapi dia tidak memberi isyarat


jawaban atas ucapan iblis Ompong.

“Dasar budek! Ditanya pendapat malah tertawa nga-

kak!” maki Iblis Ompong. Lalu mendongak dengan mu-

lut dibuka lebar-lebar.

Dewi Ayu Lambada amat geram mendengar ucapan 

Iblis Ompong. Dia sudah hendak gerakkan tangan kiri-

nya. Namun sebelum berbuat sesuatu, terdengar leda-

kan menggelegar.

Entah karena kaget, Iblis Ompong mental ke bela-

kang. Sosoknya terhuyung-huyung hendak jatuh. Tapi 

begitu bagian atas tubuhnya sudah tertarik ke bela-

kang hendak terjengkang, kakek ini julurkan kedua ta-

ngannya ke bawah. Sosoknya terhenti tertahan kedua 

tangannya yang menekan tanah. Saat lain dia mem-

buat gerakan jungkir-balik lalu tegak membelakangi 

orang-orang di depan!

Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada sesaat tam-

pak juga terkejut mendengar suara gelegar ledakan a-

kibat bentroknya sinar tiga warna dan gelombang dah-

syat yang melesat dari kedua tangan Setan Liang Ma-

kam. Sosok kedua nenek ini terjajar ke belakang lalu 

tegak di samping Iblis Ompong. Hanya Dewa Uuk yang 

terlihat tenang-tenang saja. Malah sosoknya tidak ber-

geming sedikit pun meski gelegar di tempat itu laksana 

hendak meruntuhkan julangan beberapa batu karang.

Namun begitu dia berpaling dan tidak lagi melihat 

ketiga orang sahabatnya, dia perlihatkan tampang ke-

takutan. Lalu putar kepala ke belakang. Kejap lain dia 

cepat-cepat berkelebat ke belakang dan tegak menjajari 

Iblis Ompong.

Di seberang depan sana, sosok Setan Liang Makam 

sudah terkapar di atas tanah dengan pakaian sebagian 

hangus! Untuk beberapa saat, sosoknya diam tak ber-

gerak. Cucu Nyai Suri Agung dari kerabat Kampung 

Setan ini merasakan sekujur tubuhnya panas laksana


dipanggang. Dadanya seolah hendak meledak. Namun 

begitu, dia tidak juga semburkan darah dari mulutnya 

meski keadaannya sudah sangat parah. Ini mungkin 

karena susunan anggota tubuhnya hanya kerangka.

Sementara di lain pihak, Kiai Laras hanya merasa-

kan sentakan kecil pada dadanya. Kalaupun dia masih 

merasakan dadanya berdenyut nyeri, itu akibat ben-

trok pukulan dengan Pendekar 131.

Kiai Laras putar tubuh menghadap murid Pendeta 

Sinting. Tanpa banyak bicara lagi Kembang Darah Se-

tan diangkat. Murid Pendeta Sinting sesaat bimbang. 

Lalu selinapkan tangan kanan ke balik pakaiannya. 

Ketika ditarik di genggaman tangannya terlihat benda 

berwarna merah sebesar dua kali ibu jari.

“Bagaimana aku harus menggunakan benda merah 

ini?! Langsung kuhantamkan begitu saja atau....” Joko 

berpikir dan sekali lagi menyesali diri mengapa tidak 

bertanya dahulu pada Gendeng Panuntun bagaimana 

cara menggunakan benda merah yang diambilnya dari 

pusar bayinya Pitaloka itu.

Di pihak lain, melihat benda merah di tangan Joko, 

Kiai Laras urungkan niat untuk kelebatkan Kembang 

Darah Setan. Sepasang matanya memperhatikan sek-

sama benda merah itu. Entah karena apa tiba-tiba da-

da Kiai Laras mulai berdebar. Namun dia segera te-

nangkan diri seraya berucap dalam hati.

“Tubuhku masih dilapis Jubah Tanpa Jasad. Tan-

ganku masih menggenggam Kembang Darah Setan. 

Apa yang perlu ditakutkan! Mereka boleh mengeroyok-

ku bersama-sama!”

Membatin begitu, Kembang Darah Setan segera di-

kelebatkan ke arah Joko!

Wuuttt!

Sinar tiga warna berkiblat lagi dari tangan Kiai La-

ras yang tidak kelihatan.


Pendekar 131 bingung sesaat. Seraya melompat 

mundur, dia kerahkan tenaga dalam pada tangan ka-

nannya yang menggenggam benda merah. Saat beri-

kutnya tangan kanan disentakkan.

Satu gelombang angin bergemuruh dahsyat ke de-

pan. Namun Joko jadi tersentak sendiri. Benda merah 

di genggaman tangannya tidak membawa pengaruh 

sama sekali pada pukulannya. Hingga yang keluar me-

lesat hanyalah gelombang angin biasa bertenaga da-

lam. Joko cepat hendak susuli pukulannya dengan pu-

kulan ‘Sundrik Cakra’ yang tadi sempat membuat so-

sok Jubah Tanpa Jasad terkapar dan semburkan da-

rah. Tapi keadaan Joko sudah sangat terlambat untuk 

kerahkan tenaga dalam. Hingga belum sampai tenaga 

dalam dikerahkan, di depan sana sinar tiga warna te-

lah memporak-porandakan gelombang pukulan Joko!

Saat bersamaan sosok Pendekar 131 sudah mencelat 

dan terbanting di atas tanah. Saat itulah tebaran sinar 

tiga warna melesat ganas ke arah Joko yang masih ter-

geletak di atas tanah!

Kiai Laras perdengarkan tawa bergelak panjang. 

Apalagi saat melihat Pendekar 131 terkesiap dengan 

datangnya tebaran sinar tiga warna dan tidak bisa ber-

buat apa-apa!

Dua jengkal lagi tebaran sinar tiga warna menghan-

tam hangus sosok murid Pendeta Sinting, mendadak 

terdengar orang bersin-bersin beberapa kali. Saat yang 

sama beberapa gelombang menghampar ke arah te-

baran sinar tiga warna. Di lain kejap satu cahaya putih 

berkiblat juga mengarah pada tebaran sinar tiga war-

na.

Terdengar beberapa kali letusan. Tebaran sinar tiga 

warna semburat membubung ke udara. Gelombang 

yang datang melabrak serta cahaya putih yang berki-

blat juga porak-poranda!

Gelakan tawa Kiai Laras terputus. Sosoknya tersen-

tak-sentak ke belakang. Di salah satu julangan batu 

karang terlihat dua sosok tubuh duduk bersila dengan 

tubuh masing-masing sama bergetar keras dan mata 

sama terpejam rapat.

Kiai Laras kembali rasakan dadanya makin berde-

nyut nyeri. Namun perasaan marah membuat dia tidak 

pedulikan lagi sakit yang mendera dadanya. Dia segera 

berpaling ke arah salah satu julangan batu karang. Dia 

tahu pasti dari mana gelombang dan cahaya putih 

yang menghadang tebaran sinar tiga warna bersumber.

“Datuk Wahing! Gendeng Panuntun!” desis Kiai La-

ras mendapati siapa gerangan adanya dua sosok yang 

duduk bersila di lamping salah satu julangan batu ka-

rang.

Rombongan Dayang Sepuh yang sesaat tadi sudah 

akan lakukan hadangan juga segera menoleh.

“Untung setan-setan itu sigap dan melakukan tugas 

dengan baik! Kalau tidak, mungkin pemuda setan itu 

sudah pulang ke tanah asalnya!” Dayang Sepuh ber-

gumam.

Setan Liang Makam yang tergeletak tak bergerak ju-

ga pentangkan mata dan melirik. Dia merasa sedikit 

lega melihat kemunculan dua orang sudah dikenalnya. 

Apalagi salah seorang yang duduk itu baru perdengar-

kan bersinan berkepanjangan dan laksana diperde-

ngarkan dari delapan penjuru mata angin. Dia tahu 

benar ilmu apa yang baru saja dikerahkan orang. Ka-

rena ilmu itu satu-satunya ilmu langka yang dimiliki 

oleh mendiang neneknya dan diwariskan pada seorang 

muridnya yang bukan lain adalah Galaga atau seka-

rang dikenal kalangan rimba persilatan dengan gelaran 

Datuk Wahing. Orang di luar kerabat Kampung Setan 

yang diambil murid oleh Nyai Suri Agung dan menjadi 

saudara seperguruan Maladewa alias Setan Liang Ma


kam.

Dua kakek yang duduk bersila di samping julangan 

batu karang membuka kelopak mata masing-masing. 

Yang sebelah kiri bermata agak besar. Sementara yang 

sebelah kanan bermata putih tanda orang ini buta. 

Yang sebelah kiri tampak gerakkan kepalanya pulang 

balik ke depan ke belakang saat sepasang matanya 

terbuka. Mimik wajahnya membuat sikap seperti orang 

hendak bersin. Sementara orang yang matanya ber-

warna putih dongakkan sedikit kepalanya lalu mengu-

sap cermin bulat pada bagian depan perutnya. Mereka 

berdua bukan lain adalah Datuk Wahing dan Gendeng 

Panuntun.

Sementara itu, begitu dirinya selamat dari tebaran 

sinar tiga warna, Pendekar 131 segera kerahkan tena-

ga dalam. Dadanya sudah tidak terkirakan lagi sakit-

nya karena dia tadi menghadang kiblatan sinar tiga 

warna dengan andalkan pukulan biasa sebab menduga 

benda merah di genggaman tangan kanannya akan 

membawa pengaruh. Namun ternyata dugaan Joko 

meleset. Hingga tak ampun lagi dia harus menerima 

akibat agak fatal. Bahkan tatkala dia coba bergerak 

bangkit, dari mulutnya kembali kucurkan darah! Na-

mun Joko tak mau menyerah begitu saja. Dia ber-

usaha kuasai diri dengan kerahkan tenaga murni pada 

dadanya yang dirasa paling nyeri.

“Hem.... Untung mereka datang.... Anehnya, men-

gapa benda merah ini tidak membawa pengaruh sama 

sekali?! Jangan-jangan semua keterangan orang sela-

ma ini hanya mainan saja! Tapi bagaimana bisa begi-

tu?! Bukankah adanya benda merah di pusar bayi Pi-

taloka itu sudah merupakan sesuatu yang langka?! 

Hem.... Mungkin saja aku belum tahu bagaimana cara 

menggunakannya! Mudah-mudahan salah satu dari 

mereka yang ada di sini tahu bagaimana cara menggunakannya! Jika tidak.... Alamat akan celaka!”

Berpikir begitu, setelah merasa dapat kuasai diri, 

murid Pendeta Sinting angkat suara.

“Kek! Bagaimana cara menggunakannya?!”

Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun tidak me-

nyahut meski mereka berdua tahu kalau pertanyaan 

Joko ditujukan pada mereka. Sementara Dayang Se-

puh menoleh pada Dewi Ayu Lambada.

“Hem.... Rupanya setan itu kebingungan mengguna-

kan benda setan itu! Kau tahu bagaimana kira-kira 

menggunakannya?!”

Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya se-

raya gelengkan kepala. “Kalau benda lain mungkin aku 

tahu!”

“Benda lain yang mana yang kau maksud?!” Iblis 

Ompong menyahut. Lalu memandang pada Dewi Ayu 

Lambada dari sela kedua kangkangan kakinya.

“Ya.... Pokoknya benda lain selain benda merah itu! 

Kalau belum jelas maksudku, pokoknya benda-benda 

yang membawa nikmatlah...!”

“Setan gila! Kalau benda-benda yang membawa 

nikmat, tanpa bertanya pun aku sudah tahu bagaima-

na cara menggunakannya!” sambut Dayang Sepuh.

“Ah.... Aku tahu benda apa yang kalian maksud! 

Apa kalian masih sering bermain-main dengan benda 

nikmat itu?!”

Dewi Ayu Lambada menoleh pada Dayang Sepuh. 

“Kau masih sering bermain-main dengan benda nikmat 

itu?!”

“Kau tanya pada orang yang salah!” Iblis Ompong 

buka suara. “Mana mungkin dia sering bermain-main 

dengan benda nikmat itu kalau kawin saja belum per-

nah?!”

“Ah.... Kau juga salah ucap!” Dewi Ayu Lambada tak 

mau kalah. “Apa kalau untuk bermain-main saja perlu


kawin dahulu?!”

“Gila! Kalian setan gila semua!” seru Dayang Sepuh. 

Namun sesaat kemudian telah tertawa mengekeh.

***

DELAPAN



BRUSSS! Bruss! Anak muda itu belum tahu bagai-

mana cara menggunakan benda merah di tangannya. 

Seandainya aku tahu, aku tak akan membuat orang 

merasa heran dengan ajukan tanya.... Kau tahu bagai-

mana menggunakannya?!” Datuk Wahing bergumam 

seraya berpaling pada Gendeng Panuntun.

Sementara itu mendengar teriakan tanya murid 

Pendeta Sinting, Kiai Laras sedikit terkejut. Sepasang 

matanya langsung menghujam tajam pada tangan Jo-

ko yang masih menggenggam benda merah yang diam-

bilnya dari pusar bayi Pitaloka. Dia bertanya-tanya da-

lam hati. Namun sejauh ini dia masih percaya diri bah-

wa Kembang Darah Setan tidak bisa dihadang oleh apa 

pun. Apalagi sosoknya masih dilapis Jubah Tanpa Ja-

sad.

Di lain pihak, Setan Liang Makam juga melirik pada 

murid Pendeta Sinting. Cucu Nyai Suri Agung ini se-

ngaja tidak menggerakkan anggota tubuhnya. Malah 

dia memandang dengan mata disipitkan. Dia coba 

membuat semua orang menduga kalau dirinya sudah 

tewas. Namun diam-diam dia berkata dalam hati.

“Benar ucapan pemuda itu! Tampaknya dia meng-

genggam sesuatu yang dikiranya dapat menghadang 

kedahsyatan Kembang Darah Setan! Apa mungkin...? 

Hem.... Aku harus pura-pura tewas! Lalu menunggu 

kesempatan seraya mengembalikan keadaanku!” Setan


Liang Makam pejamkan matanya. Dia tidak membuat 

gerakan atau perdengarkan suara. Tapi sesekali sepa-

sang matanya sedikit membuka memperhatikan gerak-

gerik Joko.

“Datuk Wahing dan lain-lainnya tidak ada yang 

menjawab! Berarti mereka tidak tahu bagaimana cara 

menggunakan benda ini! Celaka.... Terpaksa aku harus 

menghadang serangannya dengan ‘Sundrik Cakra’! Ta-

pi apakah aku masih mampu?! Luka dalam ini terasa 

sangat mengganggu....” Murid Pendeta Sinting akhir-

nya memutuskan setelah ditunggu agak lama tidak ju-

ga ada yang buka mulut menjawab pertanyaannya.

Mendadak Gendeng Panuntun beranjak bangkit. 

Kepalanya ditengadahkan dengan mata dipejamkan. 

Tangan kanannya bergerak mengusap-usap cermin bu-

lat di depan perutnya. Saat lain orang tua bertubuh 

tambun besar ini angkat suara.

“Manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke 

tanah. Ke mana pun air mengalir, akhirnya akan ber-

satu juga ke laut! Kembalikan semua pada asalnya!”

Joko simak ucapan Gendeng Panuntun. Lalu ulangi 

ucapan orang berulang-ulang. Murid Pendeta Sinting 

tahu jika ucapan Gendeng Panuntun adalah satu pe-

tunjuk bagaimana cara menggunakan benda merah di 

tangannya. Namun sejauh ini dia belum bisa meng-

artikan ucapan Gendeng Panuntun.

Sementara itu mendengar ucapan Gendeng Panun-

tun, Dayang Sepuh kembali menoleh pada Dewi Ayu 

Lambada. Namun belum sampai Dayang Sepuh sem-

pat buka mulut, Dewi Ayu Lambada telah berpaling

pada Iblis Ompong dengan turunkan sedikit bagian 

atas tubuhnya karena Iblis Ompong berdiri dalam po-

sisi menungging. Anehnya, sebelum Dewi Ayu Lamba-

da buka suara, kepala Iblis Ompong yang terlihat dari 

kangkangan kedua kakinya telah bergerak ke arah


Dewa Uuk. Sementara Dewa Uuk berpaling dari pan-

dangan Iblis Ompong dengan tadangkan tangan di be-

lakang telinganya dan didekatkan pada paha Iblis Om-

pong seolah menunggu ucapan orang!

“Setan!” maki Dayang Sepuh. Tangan kanannya se-

gera menjulur lalu menarik bahu Dewi Ayu Lambada 

hingga nenek berkerudung hitam itu menghadap ke 

arahnya. “Kau telah dengar ucapan setan buta itu. Kau 

tahu maknanya?!” Dayang Sepuh lepaskan cekalan 

tangannya pada bahu Dewi Ayu Lambada. Lalu te-

ruskan ucapan. “Sekarang jangan bergurau lagi. Pe-

muda setan itu dalam keadaan bahaya!”

Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya ka-

rena tertarik tangan Dayang Sepuh. “Sebenarnya aku 

tadi hendak berkata seperti yang baru saja kau Tanya-

kan pada setan ompong itu! Jadi kau tahu bukan apa 

jawabanku...?!”

“Aku juga begitu....” Iblis Ompong menyahut. “Se-

benarnya aku hendak bertanya pada Setan Uuk apa 

makna ucapan sahabat buta itu tadi!”

Karena sudah maklum tidak ada yang tahu makna 

ucapan Gendeng Panuntun, akhirnya Dayang Sepuh 

berteriak pada Gendeng Panuntun.

“Setan buta! Kau bicara dengan bangsa manusia bi-

asa! Bukan bangsanya setan yang tahu makna uca-

panmu! Katakan saja terus terang bagaimana cara 

menggunakannya!”

“Betul, Kek! Aku masih kesulitan menjabarkan uca-

panmu! Bicaralah tanpa harus dengan bahasa-bahasa 

yang sulit begitu!” Joko berteriak di depan sana sam-

buti ucapan Dayang Sepuh.

Gendeng Panuntun gelengkan kepala. “Aku bicara 

apa adanya seperti yang tertera dalam pikiranku! Aku 

tak bisa menjabarkan lebih jauh! Dan tentunya kalian 

bisa mengerti maknanya kalau benar-benar berpikir!


Kembalikan semua pada asalnya! Itulah yang pen-

ting.... Kembalikan semua pada asalnya!” Gendeng Pa-

nuntun ulangi ucapan dua kali.

“Kembalikan semua pada asalnya!” Murid Pendeta 

Sinting ikut-ikutan ulangi ucapan Gendeng Panuntun 

seraya menimang-nimang benda merah di tangan ka-

nannya. “Apa maksudnya aku harus mengembalikan 

benda ini pada asalnya?! Bagaimana mungkin? Bayi 

Pitaloka tentu sudah dikuburkan.... Lalu bagaimana 

aku harus mengembalikannya...?! Aneh. Apa dia tidak 

salah ucap?!” Pendekar 131 bergumam.

Mendapati apa yang terjadi, Kiai Laras sunggingkan 

senyum. Kejap kemudian dia mendongak lalu berkata 

lantang.

“Apa kalian kira dengan benda busuk itu kalian bi-

sa menghadang rencanaku?!” Kiai Laras perdengarkan 

tawa bergelak. Lalu angkat tangan kanannya yang 

memegang Kembang Darah Setan.

Pendekar 131 tercekat. Nyawanya seolah sudah me-

layang. Sementara rombongan Dayang Sepuh saling 

pandang satu sama lain. Dan entah karena ikut ter-

sentak dengan apa yang akan dilakukan Kiai Laras, Ib-

lis Ompong tarik tubuhnya lurus ke atas lalu berbalik 

menghadap ke arah murid Pendeta Sinting dengan mu-

lut menganga lebar-lebar.

“Celaka! Kita tampaknya akan kehilangan seorang 

sahabat!” Akhirnya Iblis Ompong buka suara juga de-

ngan mimik ketakutan.

“Kita hadang ramai-ramai!” usul Dayang Sepuh 

sembari rapikan geraian poni rambutnya. Lalu takup-

kan kedua tangan di depan wajah.

“Tidak bisa! Tindakan itu hanya akan membuat kita 

ramai-ramai menuju liang kubur! Aku tak mau bersa-

ma-sama dengan kalian ramai-ramai masuk liang ku-

bur! Di sana nanti pasti kalian akan bertindak memalukan!” Iblis Ompong menjawab ucapan Dayang Se-

puh.

“Kau kira aku juga mau masuk liang kubur bersa-

ma setan sepertimu?! Perlu kau tahu, sekarang ini 

adalah saat terakhir kita bersama-sama! Setelah itu 

aku tak peduli ke mana kau akan pergi!” Dayang Se-

puh sambuti kata-kata Iblis Ompong.

“Kurasa benar ucapan Manusia Ompong ini.... Aku 

memang belum pernah bentrok dengan manusia tak 

berwujud itu. Tapi melihat apa yang tadi terjadi, kita 

akan sia-sia paksakan diri menghadang ramai-ramai!” 

Dewi Ayu Lambada membenarkan ucapan Iblis Om-

pong.

Dayang Sepuh berpaling dengan mata mendelik 

angker. “Lalu apakah kita harus diam melihat setan 

muda itu mampus terbunuh?!”

“Itu mungkin jalan nasibnya.... Kita pun pasti akan 

mengalaminya. Cuma kita belum tahu kapan dating-

nya!” Dewi Ayu Lambada berkata dengan suara pelan.

“Kalian ternyata setan-setan pengecut!” desis 

Dayang Sepuh. Kepalanya kembali diluruskan ke arah 

Pendekar 131 di depan sana yang karena belum bisa 

menjabarkan ucapan Gendeng Panuntun terpaksa pu-

satkan tenaga dalam pada tangan kanannya siapkan 

pukulan ‘Sundrik Cakra’. Karena pukulan itulah yang 

tadi bisa menghadang kiblatan Kembang Darah Setan 

meski dia sendiri harus mengalami luka dalam. Namun 

paras wajah Joko sedikit cemas, karena dia maklum 

kalau telah terluka dalam dan bila kembali terjadi ben-

trok, mungkin akan berakibat makin fatal.

Kecemasan Pendekar 131 tampaknya bisa ditang-

kap oleh pandangan Kiai Laras. Hingga orang yang so-

soknya tidak kelihatan ini sunggingkan senyum. Na-

mun saat lain tangan kanannya yang memegang Kem-

bang Darah Setan sudah bergerak.


Saat itulah tiba-tiba satu bayangan merah berkele-

bat disertai terdengarnya suara orang lain. “Tahan! Ja-

ngan lakukan itu!”

Dari sumber terdengarnya suara orang serta berke-

lebatnya bayangan merah, jelas suara tadi mencegah 

berkelebatnya si bayangan merah. Namun si bayangan 

merah tidak pedulikan teriakan orang. Dia terus berke-

lebat ke arah sosok Jubah Tanpa Jasad. Berjarak se-

puluh langkah, si bayangan merah yang masih di atas 

udara lepaskan satu pukulan dahsyat ke arah Jubah 

Tanpa Jasad!

“Sialan! Siapa setan yang berani mati ini?!” teriak 

Dayang Sepuh.

“Pitaloka!” desis murid Pendeta Sinting dapat me-

ngenali sosok bayangan merah yang tengah berkelebat 

karena dia dari arah depan. “Celaka! Apa yang akan di-

lakukan...?!”

Kiai Laras berpaling begitu telinganya mendengar 

deruan angin dari arah samping. Dan begitu tahu apa 

yang dilakukan orang, Kembang Darah Setan yang tadi 

akan dikelebatkan ke arah Joko ditarik ke samping. 

Sosoknya berputar setengah lingkaran. Saat lain Kem-

bang Darah Setan dihantamkan ke arah sosok yang te-

lah lepaskan pukulan ke arahnya!

Wuuttt!

Sinar tiga warna berkiblat menghadang gelombang 

yang datang.

“Pitaloka! Cepat menyingkir!” teriak Joko. Namun 

Pitaloka sepertinya tak pedulikan teriakan orang. Ma-

lah begitu tahu kiblatan sinar tiga warna, Pitaloka 

kembali sentakkan kedua tangannya. Hingga saat itu 

juga dari kedua tangannya melesat lagi dua gelombang 

menyusuli gelombang pukulan yang pertama.

Terlambat bagi Joko untuk membuat gerakan. Se-

mentara Datuk Wahing hanya bisa perdengarkan bersinan beberapa kali. Gendeng Panuntun gelengkan ke-

pala dan bergumam pelan.

“Jalan hidup manusia sudah ditentukan. Apa pun

yang dilakukan orang tidak bisa menghalangi bila Yang 

Maha Pencipta sudah menentukannya!”

Blaarr! Blaarr!

Dua ledakan keras terdengar saat gelombang berun-

tun dari tangan Pitaloka menghantam kiblatan sinar 

tiga warna.

Pitaloka perdengarkan seruan tertahan. Sosoknya 

mencelat deras ke belakang. Darah sudah tampak me-

ngucur saat sosoknya melayang.

“Pitaloka!” seru satu suara bergetar parau. Lalu sa-

tu bayangan merah berkelebat menyongsong tubuh Pi-

taloka yang masih melayang. Saat lain bayangan me-

rah yang menyongsong sosok Pitaloka menyambar. La-

lu melayang turun dengan membopong tubuh Pitaloka.

“Putri Kayangan...,” gumam Joko mengenali siapa 

sosok bayangan merah yang melayang turun membo-

pong Pitaloka.

“Mengapa kau lakukan ini, Pitaloka?! Seharusnya 

kau menunggu.... Kau pun harus sadar siapa orang 

yang kau hadapi!” kata bayangan merah di samping 

sosok Pitaloka yang diletakkan di atas pangkuannya. 

Dia adalah seorang gadis cantik jelita mengenakan pa-

kaian warna merah dan bukan lain adalah Putri Ka-

yangan.

Pitaloka gelengkan kepala. “Aku tak bisa menahan 

diri melihat jahanam itu.... Beda Kumala.... Kalau nan-

ti kau pulang ke lereng Gunung Semeru, sampaikan 

maafku pada Eyang.... Aku juga minta maaf padamu 

karena selama ini telah membuatmu susah...,” kata Pi-

taloka dengan suara tersendat karena mulutnya telah 

dipenuhi kucuran darah hitam.

Beda Kumala alias Putri Kayangan mendekap sosok


Pitaloka. “Pitaloka.... Jangan kau berkata yang tidak-

tidak. Kita akan kembali bersama-sama ke lereng Gu-

nung Semeru....”

“Jangan menghiburku, Beda.... Aku tahu, ajal telah 

di depan mataku.... Cuma saja aku masih menyesal.... 

aku tak bisa mempersatukanmu dengan Pendekar 

131....”

“Pitaloka.... Jangan kau pikirkan itu dahulu! Kau 

telah berbuat banyak padaku! Aku akan salurkan te-

naga dalam. Pejamkan matamu....” Putri Kayangan ge-

rakkan tangan untuk membalikkan tubuh Pitaloka.

“Beda.... Percuma saja.... Biarkan aku sejenak me-

mandangmu sebelum kita berpisah...,” ujar Pitaloka 

seraya tepiskan perlahan kedua tangan Putri Kayan-

gan yang hendak balikkan tubuhnya. Matanya yang 

mulai membiru dipaksa mementang besar pandangi 

wajah Putri Kayangan.

Putri Kayangan balas memandang dengan mata su-

dah basah berkaca-kaca. Bahunya pun sudah bergun-

cang-guncang. Lalu kedua tangannya mengambil ke-

dua tangan Pitaloka dan digenggamnya erat-erat. Cucu 

Nyai Tandak Kembang ini coba hendak buka suara. 

Tapi meski mulutnya sudah terbuka, tidak ada suara 

yang terdengar. Malah sesaat kemudian yang terdengar 

adalah deraian tangis tatkala Putri Kayangan merasa-

kan hawa dingin menjalari kedua tangannya yang 

menggenggam kedua tangan Pitaloka.

Putri Kayangan memandang tajam pada mata Pita-

loka. Mata itu memang masih terbuka. Namun tata-

pannya kosong. Putri Kayangan arahkan pandang ma-

tanya pada dada Pitaloka. Saat yang sama salah satu 

tangannya digerakkan lepas dari genggaman tangan Pi-

taloka. Lalu mencekal pergelangan tangan Pitaloka. Ke-

jap lain terdengar jeritan tinggi! Lalu Putri Kayangan 

menarik tubuh pitaloka dan didekapnya erat-erat dengan tangis meledak.

Pendekar 131 menghela napas dalam. Sikap Putri 

Kayangan sudah membuatnya tahu apa yang dialami

Pitaloka. Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. 

Sementara Gendeng Panuntun mendongak sambil 

menghembuskan napas. Rombongan Dayang Sepuh 

saling pandang namun kali ini sama kancingkan mu-

lut.

“Hem.... Bagaimana sekarang? Orang pemakai Ju-

bah Tanpa Jasad itu masih tangguhi Benda merah 

yang katanya dapat menghadapi sudah berada di tan-

ganku. Tapi percuma juga kalau aku tak bisa meng-

gunakannya!” gumam murid Pendeta Sinting lalu ber-

paling pada Gendeng Panuntun. “Mengapa dia tidak 

mau mengatakan terus terang bagaimana caranya 

menggunakan benda ini?!”

Joko kerjapkan mata. Saat lain dia berteriak. “Kek! 

Kau masih tak mau mengatakan bagaimana caranya?! 

Korban telah jatuh.... Harap jangan sembunyikan se-

suatu lagi!”

“Sahabat Muda.... Kau tahu dari mana benda itu!” 

Gendeng Panuntun menyahut.

“Semua orang tahu! Yang kutanyakan bagaimana 

cara menggunakannya!”

“Kau tahu dari mana, mengapa kau susah-susah 

bertanya! Kembalikan benda itu seperti saat kau men-

dapatkannya!”

Entah karena sudah banyak yang dipikir apalagi su-

dah melihat nasib yang menimpa Pitaloka, murid Pen-

deta Sinting tak mau berpikir lagi. Dia segera sambuti 

ucapan Gendeng Panuntun. “Kek! Anak Pitaloka 

mungkin sudah dikubur! Bagaimana aku harus me-

ngembalikannya?!”

“Bruss! Bruss! Kau membuatku heran, Sahabat 

Muda! Aku yang sudah tua begini saja kini dapat mengerti apa maksud sahabatku ini. Bagaimana kau yang 

masih muda tak dapat menangkap maksudnya?!” Da-

tuk Wahing ambil suara.

“Sudahlah, Kek! Kalau kau tahu, jangan membua-

tku heran dengan tidak mau mengatakannya padaku!” 

kata Joko sudah habis pikir.

“Bruss! Bruss! Kau tahu dari mana benda itu kau 

ambil! Sekarang letakkan benda itu di tempat seperti 

saat kau mengambilnya! Tapi jangan heran.... Itu ha-

nya dugaanku!”

“Astaga! Mengapa kau bodoh! Benar juga ucapan-

nya!” gumam Joko setelah mendengar ucapan Datuk 

Wahing. Saat lain tanpa buka mulut lagi, dia sing-

kapkan pakaiannya! Benda merah yang diambil dari 

pusar bayi Pitaloka ditempelkan pada pusarnya!

***

SEMBILAN



PENDEKAR 131 rasakan hawa dingin menjalar dari 

bagian pusarnya. Lalu menjalar ke seluruh tubuh. Kiai 

Laras mengawasi dengan seksama. Setan Liang Ma-

kam perlahan-lahan buka kelopak matanya. Karena 

semua orang tengah memperhatikan ke arah murid 

Pendeta Sinting, semua orang tidak tahu kalau Setan 

Liang Makam juga tengah buka matanya dan meman-

dang ke arah Joko. Cucu Nyai Suri Agung ini memang 

berusaha tidak membuat gerakan. Dia tetap terkapar 

di atas tanah. Walau sudah terluka cukup parah tapi 

Setan Liang Makam masih mencari kesempatan untuk 

dapat merebut kembali Kembang Darah Setan.

Begitu hawa dingin di sekujur tubuhnya lenyap, 

perlahan-lahan murid Pendeta Sinting kerahkan kembali tenaga dalamnya dan dipusatkan pada tangan ka-

nan siapkan pukulan ‘Sundrik Cakra’. Ini dilakukan 

selain pukulan itu yang tadi bisa menghadang kiblatan 

sinar tiga warna dari Kembang Darah Setan, juga un-

tuk berjaga-jaga kalau benda merah yang kini sudah 

berada di pusarnya tidak membawa pengaruh.

Kiai Laras angkat tangan kanannya yang memegang 

Kembang Darah Setan. Saat lain tangan kirinya juga 

diangkat. Walau dia belum tahu untuk apa benda me-

rah yang tadi berada di tangan murid Pendeta Sinting, 

namun kali ini dia tidak berani bertindak ayal. Apalagi 

begitu mendengar ucapan-ucapan Pendekar 131 yang 

menyebut-nyebut anak. Entah karena apa, dia tiba-

tiba teringat akan ucapan Kala Marica! Hatinya makin 

berdebar tatkala tahu kemunculan Pitaloka.

“Apakah gadis itu hamil dan melahirkan?! Tapi 

waktunya belum lama. Tak mungkin hal itu terjadi!” 

Kiai Laras menenangkan diri. Tapi debaran dadanya 

tak juga bisa ditenangkan. Malah ucapan Kala Marica 

seakan terngiang kembali di telinganya!

“Ah, peduli setan! Dia telah mampus! Pitaloka sen-

diri tak mungkin melahirkan anak! Manusia-manusia 

keparat yang ada di sini harus kuhancurkan satu per-

satu! Dan aku akan jadi penguasa Kampung Setan 

tanpa ada yang menghalangi!”

Berpikir begitu, tiba-tiba Kiai Laras berkelebat ke 

depan. Joko melihat bergeraknya Jubah Tanpa Jasad. 

Dia menunggu sejenak seraya lipat gandakan seluruh 

tenaga dalamnya. Begitu Kembang Darah Setan berke-

lebat, Pendekar 131 segera pula membentak. Saat ber-

samaan tangan kanannya didorong dengan jari telun-

juk, jari manis, dan jari tengahnya ditegakkan. Se-

dangkan ibu jari dan jari kelingking ditekuk saling ber-

temu.

Sinar berwarna merah, hitam, dan putih berkiblat


angker. Karena kali ini Kiai Laras kelebatkan Kembang 

Darah Setan dengan kerahkan tenaga dalam hampir 

seluruhnya, maka kiblatan sinar tiga warna itu selain 

berkelebat makin cepat, juga perdengarkan gemuruh 

luar biasa dahsyat.

Melihat ganasnya kiblatan sinar, sesaat murid Pen-

deta Sinting jadi terkesiap dan hampir didera perasaan 

bingung. Namun karena tak ada jalan lain, akhirnya 

tangan kanannya segera disentakkan.

Wuuttt!

Tiga larik sinar kuning mencuat dahsyat. Pendekar 

131 terpana. Kalau biasanya hanya tiga sinar kuning 

yang melesat kala dia lepaskan pukulan ‘Sundrik Ca-

kra’, kini begitu larikan sinar kuning melesat, satu ki-

blatan warna merah menyusuli dari belakang.

Bummm! Bummm!

Kawasan Kampung Setan laksana dilanda gempa 

luar biasa dahsyat. Puncak julangan beberapa batu 

karang terbongkar semburatkan kepingan. Tanah tem-

pat bertemunya dua pukulan muncrat sampai lima 

tombak ke udara dan menebar berkeliling hingga sua-

sana berubah pekat. Sosok Putri Kayangan yang masih 

mendekap Pitaloka yang sudah tidak bernyawa lagi 

mencelat mental. Namun Putri Kayangan tak hendak 

lepaskan dekapannya pada sosok mayat Pitaloka hing-

ga dia tak pedulikan lagi tubuhnya yang melayang de-

ras hendak menghantam tanah!

Namun setengah depa lagi sosok Putri Kayangan 

hendak menghujam tanah, satu bayangan putih berke-

lebat menyambar sosok Putri Kayangan.

“Apa yang kalian lakukan?!” satu suara terdengar.

Putri Kayangan yang masih mendekap erat sosok 

mayat Pitaloka buka matanya lalu memandang pada 

orang yang telah menyelamatkannya.

“Eyang....” Putri Kayangan bergumam.


Di sebelah kanan Putri Kayangan tegak seorang pe-

rempuan berwajah cantik walau usianya tidak muda 

lagi. Pada rambutnya terdapat beberapa untaian bu-

nga. Demikian pula pada sela jari kedua tangannya. 

Perempuan ini mengenakan pakaian putih sebatas da-

da. Dia tidak lain adalah Nyai Tandak Kembang. Nenek 

Pitaloka dan Putri Kayangan sendiri.

Nyai Tandak Kembang sesaat memperhatikan Putri 

Kayangan. Namun begitu pandang matanya beralih pa-

da Pitaloka kontan perempuan dari lereng Gunung 

Semeru ini menghambur.

Di lain tempat, begitu terdengar gelegar dahsyat, so-

sok Setan Liang Makam yang pura-pura tewas terka-

par di atas tanah ikut pula tersapu ke belakang sebe-

lum akhirnya terhenti dengan menghantam salah satu 

lamping julangan batu karang.

Karena tidak mau semua orang tahu kalau dirinya 

masih hidup, Setan Liang Makam coba tahan seruan-

nya meski sekujur tubuhnya sakit bukan alang kepa-

lang. Malah beberapa anggota tubuhnya terdengar pa-

tah!

Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun yang berada 

di dekat lamping julangan batu karang sama tersurut 

beberapa tindak ke belakang dan akhirnya bersandar 

dengan mata sama terpejam.

Rombongan Dayang Sepuh melompat berpelanti-

ngan namun karena sudah berjaga-jaga, keempat 

orang ini bisa tegak kembali berjajar.

Beberapa saat berlalu. Semua orang yang ada di si-

tu tidak ada yang perdengarkan suara atau membuat 

gerakan. Mereka sama diam dengan wajah tegang. Ma-

ta mereka coba menerobos pekatnya suasana untuk 

melihat apa yang terjadi.

Dan begitu hamburan tanah dan semburatan kepi-

ngan batu luruh, semua mata sama melihat ke satu


arah. Tidak jauh dari julangan batu karang di sebelah 

depan sana, terlihat sosok Pendekar 131 terkapar de-

ngan pakaian sedikit hangus dan dibercaki warna me-

rah darah. Sosoknya diam tak bergerak-gerak. Di sebe-

rang, tampak sosok Jubah Tanpa Jasad tergeletak di-

am. Simbahan darah juga membercaki jubah hitam 

peninggalan kerabat leluhur Kampung Setan itu. Kem-

bang Darah Setan yang tadi berkelebat kiblatkan sinar 

tiga warna terhampar lima langkah di sebelah sosok 

Jubah Tanpa Jasad. Namun Kembang Darah Setan itu 

kali ini tidak lagi pancarkan sinar seperti sediakala! 

Sinar itu laksana redup!

“Dia harus segera diberi pertolongan. Terlambat se-

dikit, nyawanya akan putus!” Gendeng Panuntun buka 

suara dengan wajah dihadapkan pada sosok Pendekar 

131.

Ucapan Gendeng Panuntun belum selesai, Datuk 

Wahing sudah beranjak bangkit lalu berkelebat. Saat 

lain orang tua yang kepalanya selalu bergerak pulang 

balik ke depan ke belakang ini telah balik ke dekat 

Gendeng Panuntun dengan pundak menggendong so-

sok Pendekar 131.

“Bruss! Brusss! Harap jangan heran kalau aku me-

mintamu yang menolong pemuda ini!” kata Datuk 

Wahing lalu meletakkan sosok murid Pendeta Sinting 

di hadapan Gendeng Panuntun. Gendeng Panuntun 

duduk bersila lalu membalikkan tubuh Joko. Saat ber-

samaan kedua tangannya mengusap cermin bulat pa-

da depan perutnya. Lalu ditarik pulang dan diletakkan 

pada punggung Joko.

“Bruss! Aku akan melihat gadis-gadis itu.... Harap 

tidak bertanya atau heran. Mungkin ada sesuatu yang 

bisa kuperbuat!” kata Datuk Wahing lalu berkelebat ke 

arah Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang yang 

tengah sama menangis sesenggukan.


“Hem.... Terlambat!” gumam Datuk Wahing begitu 

tegak di dekat Nyai Tandak Kembang. Saat itulah satu 

sosok tubuh melangkah mendekati dari belakang. Dia 

adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Sepasang ma-

ta-nya agak sayu.

“Apakah dia tidak bisa ditolong lagi?!” Bertanya 

orang yang mendekati Datuk Wahing.

“Brusss!”

Datuk Wahing bersin namun tidak disambung de-

ngan ucapan. Sebaliknya berpaling lalu kepalanya 

menggeleng. Orang di hadapan Datuk Wahing yang ter-

nyata adalah Kigali menghela napas panjang lalu te-

ruskan langkah mendekati Nyai Tandak Kembang.

“Nyai.... Sudahlah.... Mungkin ini jalan hidup yang 

harus dialami Pitaloka,” kata Kigali.

Nyai Tandak Kembang angkat kepalanya. Meman-

dang silih berganti pada Datuk Wahing dan Kigali. Se-

pasang matanya telah basah dan bahunya masih ber-

guncang.

“Seandainya aku menyadari sejak semula apa yang 

hendak dilakukan, aku tak akan mengizinkan dia per-

gi...,” kata Nyai Tandak Kembang dengan suara ter-

sendat.

“Eyang.... Akulah yang salah. Aku tak bisa mena-

han Pitaloka!” Putri Kayangan angkat pula kepalanya 

seraya berucap dan memandang sayu pada Nyai Tan-

dak Kembang.

“Tidak ada yang patut disalahkan dalam hal ini...,” 

ujar Kigali. “Seandainya aku Pitaloka, pasti aku juga a-

kan melakukan hal yang sama! Pitaloka berpikir 

mungkin inilah jalan yang harus dilakukan untuk 

mengakhiri penderitaannya.... Sekarang dia harus se-

gera kita bawa pergi dari sini! Terserah pada kalian. 

Kalian kuburkan di dekat daerah sini atau kalian bawa 

serta ke lereng Gunung Semeru....”


“Bagaimanapun juga dia adalah cucuku. Aku tak 

mau jauh darinya meski dia telah tiada.... Aku akan 

membawanya ke lereng Gunung Semeru.” Nyai Tandak 

Kembang berkata.

Selagi orang tengah berbincang-bincang dan Gen-

deng Panuntun berusaha memulihkan keadaan Pen-

dekar 131, Setan Liang Makam buka kelopak matanya. 

Dia sejenak edarkan pandang matanya berkeliling me-

nyiasati keadaan. Saat lain sepasang matanya telah 

tertuju pada sosok Jubah Tanpa Jasad dan Kembang 

Darah Setan yang tergeletak di atas tanah.

“Aneh.... Kembang Darah Setan tidak bersinar la-

gi.... Ah. Itu bukan persoalan! Yang jelas inilah kesem-

patanku untuk mendapatkannya kembali! Jahanam di 

balik jubah hitam itu tampaknya sudah mampus!”

Setan Liang Makam kerahkan segenap sisa tenaga 

luar dan dalamnya. Saat berikutnya dia bergerak bang-

kit. Saat lain berkelebat ke arah Kembang Darah Se-

tan.

“Jerangkong setan itu belum mampus!” Tiba-tiba 

Dayang Sepuh berteriak melihat gerakan Setan Liang 

Makam. Rombongan Dayang Sepuh serta-merta sama 

arahkan pandang matanya ke arah kelebatan Setan 

Liang Makam. Sementara Nyai Tandak Kembang dan 

Kigali serta Putri Kayangan tidak ambil peduli, dengan 

teriakan Dayang Sepuh.

Namun rombongan Dayang Sepuh tidak ada yang 

membuat gerakan untuk menghadang Setan Liang 

Makam karena mereka sadar sudah sangat terlambat 

untuk lakukan hadangan. Hingga keempat orang ini 

akhirnya hanya bisa diam menyaksikan.

Dua jengkal lagi tangan Setan Liang Maka dapat 

menyambar Kembang Darah Setan, mendadak lengan 

kedua Jubah Tanpa Jasad bergerak.

“Setan! Dia juga belum tewas!” Kembali Dayang Sepuh berseru.

Wuuttt! Wuuttt!

Dua gelombang melesat dari kelebatan lengan jubah 

hitam. Karena tidak menduga sama sekali, Setan Liang 

Makam tidak bisa berbuat banyak. Apalagi jarak anta-

ra dirinya dengan Jubah Tanpa Jasad cuma lima lang-

kah.

Tapi Setan Liang Makam tak hendak urungkan niat. 

Maklum tidak bisa menghadang gelombang yang da-

tang, dia percepat sambaran kedua tangannya ke arah 

Kembang Darah Setan.

Usaha Setan Liang Makam tidak sia-sia. Tangan 

kanannya sempat memegang Kembang Darah Setan. 

Namun belum sampai cucu Nyai Suri Agung ini sempat 

angkat tangan kanannya, gelombang yang mencuat 

dari kelebatan kedua tangan Kiai Laras sudah dating 

menerjang.

Setan Liang Makam berseru tertahan. Meski gelom-

bang yang menghantam tidak begitu kuat aliran tenaga 

dalamnya, namun karena Setan Liang Makam tidak bi-

sa menghadang sama sekali, dan keadaannya sudah 

terluka parah, membuat cucu Nyai Suri Agung ini 

mencelat mental.

Dalam keadaan begitu rupa, Setan Liang Makam 

masih mampu berpikir. Kalau dia tidak berhasil men-

dapatkan Kembang Darah Setan, orang lain pun tidak 

boleh mendapatkannya juga! Maka begitu sosoknya 

terpental, tangan kanannya yang memegang Kembang 

Darah Setan segera disentakkan ke bawah!

Brakkk!

Terdengar derakan keras. Kembang Darah Setan 

yang sinarnya telah redup karena bentrok dengan pu-

kulan yang dilancarkan Pendekar 131, pecah beranta-

kan! Sementara sosok Setan Liang Makam terus tersa-

pu sebelum akhirnya terguling di atas tanah dengan


perdengarkan derakan patahnya beberapa tulang! Se-

ruan Setan Liang Makam terputus seketika. Sosoknya 

mengejang sebentar sebelum akhirnya terdiam dengan 

nyawa melayang!

Kiai Laras mendengus marah melihat Kembang Da-

rah Setan berantakan pecah di atas tanah. Dia sendiri 

merasa heran bagaimana senjata mustika dahsyat itu 

bisa pecah berantakan.

“Jahanam!” Tiba-tiba Kiai Laras memaki. “Ini pasti 

akibat pukulan yang dilancarkan pendekar keparat 

itu!” Mata Kiai Laras mencari. Begitu mendapatkan 

Pendekar 131 tengah telungkup di dekat Gendeng Pa-

nuntun. Kiai Laras cepat kerahkan sisa tenaga dalam-

nya. Dia masih percaya kalau Jubah Tanpa Jasad yang 

dikenakannya masih mampu melapis tubuhnya dari 

pukulan orang. Maka tanpa pikir panjang lagi dan tan-

pa pikirkan keadaan dirinya yang terluka dalam, dia 

segera berkelebat. Berjarak sepuluh langkah, kedua 

tangannya dihantamkan pada sosok murid Pendeta 

Sinting yang tengah dipulihkan Gendeng Panuntun.

“Setan! Kita harus lakukan sesuatu!” teriak Dayang 

Sepuh. Kedua tangannya sudah bergerak. Namun se-

belum pukulannya melesat keluar, satu benda hitam 

panjang melayang ke udara. Pada bagian ujung bela-

kang benda terlihat satu sosok tubuh mengikuti de-

ngan tangan mengendalikan benda hitam panjang 

yang ternyata adalah sebuah kerudung hitam panjang. 

Sosok ini bukan lain adalah Dewi Ayu Lambada.

Seett! Setttt!

Ujung depan kerudung hitam menyapu. Kiai Laras 

terkesima. Namun dia teruskan hantamannya. Dewi 

Ayu Lambada gerakkan bagian belakang kerudung. 

Kerudung hitam meliuk ganas.

Bettt! Bettt!

Ujung depan kerudung menyambar ke arah kedua


tangan Kiai Laras. Kiai Laras kembali terkesiap. Jubah 

Tanpa Jasad sepertinya tidak lagi punya kekuatan un-

tuk mementalkan pukulan orang. Hingga tanpa ampun 

lagi kedua tangan Kiai Laras tersapu ke samping. Han-

taman kedua tangannya tetap menebarkan gelombang, 

namun arahnya sudah jauh melenceng dari sasaran 

yang dituju.

Kiai Laras jadi kalap. Dia putar tubuh setengah 

lingkaran menghadap datangnya kerudung hitam. Na-

mun sebelum orang ini melakukan gerakan, ujung de-

pan selendang telah melilit tubuhnya.

Kiai Laras mendelik. Kedua tangannya yang hendak 

lakukan hantaman ditarik pulang lalu bergerak hen-

dak lepaskan lilitan kerudung. Tapi baru saja kedua 

tangannya menyentuh kerudung, Dewi Ayu Lambada 

sekali lagi gerakkan tangannya yang memegang ujung 

belakang kerudung.

Wuutt! Wuuutt!

Kerudung hitam meliuk. Sosok Kiai Laras melayang 

ke atas. Belum lagi berbuat sesuatu, Dewi Ayu Lamba-

da tarik pulang kerudungnya.

Sosok Kiai Laras terputar di udara. Ketika Dewi Ayu 

Lambada sentakkan kerudung, sosok Kiai Laras me-

layang deras ke bawah sebelum akhirnya menghantam 

tanah dengan kepala terlebih dahulu!

Praakk!

Darah tampak mengalir meski belum juga kelihatan 

dari mana aliran darah itu keluar. Namun bersamaan 

dengan mengalirnya darah, sosok Jubah Tanpa Jasad 

diam tak bergerak lagi!

Dayang Sepuh, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk segera 

berkelebat mendekati Dewi Ayu Lambada yang tegak 

delapan langkah di samping Jubah Tanpa Jasad.

“Jangan-jangan setan itu belum mampus!” gumam 

Dayang Sepuh.


“Nah.... Ini kesempatanmu bermain-main dengan 

barang nikmat itu!” kata Iblis Ompong. “Kau raba dan 

kau main-mainkan.... Kalau masih sempat bergerak-

gerak liar karena sentuhan tangan lembut, berarti se-

tan itu belum tewas! Jika dingin dan diam tak ada de-

nyutan, berarti setan itu sudah kojor!”

“Mulut setan sialan! Siapa mau turuti ucapanmu!” 

hardik Dayang Sepuh namun dengan bibir tersenyum

dan tangan kiri rapikan geraian poni rambutnya.

“Ah.... Kau malu-malu kucing! Cepat lakukanlah.... 

Kesempatan ini jangan disia-siakan! Lagi pula kita be-

lum tahu siapa adanya sosok di balik jubah hitam itu. 

Siapa tahu ternyata dia adalah seorang pemuda gagah 

dan tampan! Kau nanti akan menyesal seumur-umur 

kalau sia-siakan kesempatan ini! Lihat tangan sahabat

di sampingmu itu seperti sudah tidak sabar! Daripada 

kedahuluan orang...!”

“Setan Ompong sialan!” Dewi Ayu Lambada mem-

bentak. “Tangan siapa yang tidak sabar?! Untuk uru-

san sentuh-menyentuh begitu aku sudah kenyang!”

“Hem.... Jadi kalian berdua tidak ada yang mau 

membuktikan setan itu sudah mampus atau belum?!” 

Iblis Ompong bertanya.

“Biar dia saja yang membuktikan! Bukankah dia be-

lum pernah kawin?! Yang berarti pula belum pernah 

bermain-main dengan benda nikmat?!”

“Bruss! Brusss! Jangan membuat heran orang de-

ngan bergurau mempermainkan tubuh orang! Bukti-

kan saja dengan pegang pergelangan tangannya! Tapi 

jika di antara kalian ada yang ingin buktikan dengan 

pegang benda lainnya, silakan saja....” Datuk Wahing 

perdengarkan suara.

“Dasar orang-orang gila!” rutuk Dayang Sepuh. Lalu 

melompat dan dengan hati-hati dia julurkan tangan ke 

arah salah satu lengan jubah. Lengan Jubah Tanpa


Jasad diangkat dengan tangan kiri. Lalu tangan kanan 

meraba-raba. Semua orang melihat tangan Dayang Se-

puh mengapung memegang sesuatu di udara.

Mendadak Dayang Sepuh lepaskan lengan jubah di 

tangan kirinya. Saat lain dia melompat ke dekat Dewi 

Ayu Lambada. Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan 

Dewa Uuk terkesiap. Ketiganya sudah siapkan puku-

lan melihat ketegangan mimik Dayang Sepuh. Mereka 

menunggu dengan pentangkan mata. Namun setelah 

agak lama Jubah Tanpa Jasad tidak juga melakukan 

gerakan, Iblis Ompong buka mulut.

“Apa yang terjadi? Apa yang kau rasakan?!”

“Setan itu sudah mampus!” jawab Dayang Sepuh.

“Setan!” hampir berbarengan Dewi Ayu Lambada 

dan Iblis Ompong memaki. “Kalau tahu orang sudah

mampus mengapa bertindak seolah-olah seperti setan 

kalap?!” gerutu Iblis Ompong agak jengkel karena ter-

tipu sikap Dayang Sepuh.

Dayang Sepuh tertawa cekikikan. Dewi Ayu Lamba-

da pasang kembali kerudung hitam di atas kepalanya. 

Hanya Dewa Uuk yang sedari tadi memandang silih 

berganti pada ketiga orang di sampingnya dengan ke-

dua tangan ditadangkan di belakang kedua telinganya. 

Dia tidak mendengar apa yang diucapkan orang. Na-

mun begitu melihat Dayang Sepuh tertawa cekikikan, 

orang tua bisu dan tuli ini ikut pula perdengarkan su-

ara tawa panjang!

***

SEPULUH



“BAGAIMANA, Sahabat Muda? Ada perubahan?!” 

Gendeng Panuntun ajukan tanya seraya tarik pulang


kedua tangannya dari punggung Pendekar 131.

Joko rasakan hawa panas yang sejak tadi menyeli-

muti sekujur tubuh dan aliran darahnya perlahan-la-

han lenyap. Dadanya memang masih sesak dan ber-

denyut nyeri kala dibuat bernapas. Tapi sudah jauh 

lebih berkurang daripada saat baru bentrok dengan 

Kiai Laras. Dia buka kelopak matanya lalu bergerak 

membalik dan duduk dengan takupkan kedua tangan 

di depan dada. Matanya kembali dipejamkan. Beberapa 

saat kemudian dia buka kembali kelopak matanya.

“Terima kasih, Kek...,” kata Joko sambil menjura 

hormat.

“Simpan dulu ucapan itu, Sahabat Muda. Sekarang 

hiburlah gadis baju merah itu. Mungkin setelah ini ka-

lian lama tidak akan bertemu lagi.... Ucapkan selamat 

jalan padanya....”

Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi dengan dada 

berdebar. “Aneh ucapan kakek ini. Apa arti ucapan-

nya?! Bikin hatiku tidak enak saja!” kata Joko dalam 

hati lalu berpaling ke arah Putri Kayangan yang masih 

mendekap sosok mayat Pitaloka. Joko maklum kalau 

yang dimaksud gadis baju merah oleh Gendeng Panun-

tun adalah Putri Kayangan.

“Kek.... Apa maksud ucapanmu?! Mengapa aku ha-

rus mengucapkan selamat jalan padanya?! Aku tahu di 

mana dia berada.... Lereng Gunung Semeru. Kalau aku 

ingin bertemu bukankah mudah saja bagiku?!”

Gendeng Panuntun gelengkan kepala. “Kau memang 

tahu di mana gadis itu bertempat tinggal. Namun tidak 

begitu gampang kau menemuinya!”

Kini ganti Joko yang gelengkan kepala. “Kurasa Nyai 

Tandak Kembang mau mengerti, Keki Dia tak mungkin 

menghalangiku untuk bertemu dengan Putri Kaya-

ngan!”

“Benar! Tapi halangan itu bukan datang dari Nyai


Tandak Kembang. Tapi jarak tempat yang kelak akan 

memisahkan kalian berdua!”

“Kek.... Sementara ini aku memang akan pergi. Tapi 

tidak jauh. Aku akan mencari Eyang Guru di Jurang 

Tlatah Perak. Kurasa jarak antara Jurang Tlatah Perak 

dan lereng Gunung Semeru tidak begitu jauh....”

“Itu rencanamu, Sahabat Muda. Tapi kalau Yang 

Maha Pembuat Rencana sudah menuliskan rencana 

lain, kau tak dapat mengubahnya!”

“Apa maksudmu, Kek?!”

“Aku tak bisa menerangkan lebih jauh. Aku tak 

mau mendahului Sang Maha Pembuat Rencana. Aku 

hanya bisa mengatakan isyarat! Sebenarnya aku tidak 

tega mengatakannya padamu, karena aku tahu bagai-

mana perasaanmu pada gadis baju merah itu. Namun

terpaksa harus kukatakan agar kau siap sebelum se-

muanya terjadi.... Dengan begitu, dalam perjalananmu 

nanti kau tidak diganggu pikiran yang bukan-bukan! 

Kerinduan pada seorang gadis kadangkala membuat 

perjalanan tidak mulus dan kau akan melupakan pela-

jaran yang mungkin nanti akan kau dapatkan dalam 

perjalananmu!”

“Aneh.... Dia terus mengatakan aku akan pergi 

jauh.... Ke mana?!” gumam Pendekar 131 dalam hati.

“Sudahlah, Sahabat Muda! Waktumu tidak banyak 

untuk memikirkan apa yang kelak akan kau lakukan. 

Biarlah nanti semua berjalan seperti kehendak dan 

rencana-Nya!”

Walau dengan dada dibuncah berbagai pertanyaan

dan dugaan, Joko beranjak juga lalu melangkah ke 

arah Putri Kayangan setelah memperhatikan ke arah 

sosok Setan Liang Makam dan Jubah Tanpa Jasad.

“Brussl Brusss! Aku heran melihat tampangmu. Ada 

yang hendak kau katakan?!” Datuk Wahing sudah 

angkat bicara begitu Joko tegak di sampingnya.


“Kek!” bisik Joko pelan. “Kakek Gendeng Panuntun 

pernah mengatakan padamu ke mana sebenarnya aku 

akan pergi setelah ini?!”

“Bruss! Kau membuatku heran! Bagaimana kau 

bertanya hal itu padaku?! Telingaku yang salah dengar 

atau ucapanmu yang salah tempat?!”

Belum sampai Joko berucap lagi, dari arah samping 

sudah terdengar Nyai Tandak Kembang berkata. “Beda 

Kumala.... Kita tinggalkan tempat ini....”

“Biar aku yang membawanya!” Kigali menyahut se-

raya mendekati Putri Kayangan lalu mengambil sosok 

mayat Pitaloka dari dekapan Putri Kayangan.

Putri Kayangan beranjak bangkit lalu hendak me-

langkah ke arah Nyai Tandak Kembang. Tapi gerakan 

kakinya tertahan tatkala dilihatnya murid Pendeta Sin-

ting berada di situ. Sesaat dia pandangi paras wajah 

Joko lalu alihkan pandang matanya ke tempat lain. 

Nyai Tandak Kembang melirik namun tidak buka sua-

ra.

“Nyai.... Aku akan bicara sebentar dengan Putri Ka-

yangan!”

Nyai Tandak Kembang tetap kancingkan mulut ti-

dak menyahut. Perempuan dari lereng Gunung Semeru 

ini memandang pada Putri Kayangan. Putri Kayangan 

rasakan dadanya berdebar keras. Dia menunggu suara 

sahutan dari eyangnya. Namun setelah ditunggu agak 

lama tidak juga ada suara sahutan, Putri Kayangan 

berpaling pada Nyai Tandak Kembang.

“Kalau memang ingin bicara, bicaralah, Anak Muda! 

Kami tidak punya waktu banyak!” Nyai Tandak Kem-

bang angkat suara.

Murid Pendeta Sinting tersenyum lega. Lalu me-

langkah mendekati Putri Kayangan yang juga terse-

nyum namun malu-malu.

“Bicara dari tempatmu saja, Anak Muda!” Nyai Tan


dak Kembang kembali angkat bicara membuat langkah 

kaki Joko tertahan.

“Ah.... Bagaimana aku harus mengatakannya kalau 

di depan orang banyak begini?! Sebenarnya aku akan 

menjelaskan persoalan Saraswati.... Tapi rasanya tak 

enak kalau mengatakannya di sini! Hem....” Pendekar 

131 membatin.

Entah karena tak tahu apa yang harus dikatakan, 

akhirnya Joko buka mulut.

“Putri.... Aku minta maaf karena peristiwa beberapa 

saat yang lalu. Aku juga minta maaf karena tak bisa 

menyelamatkan Pitaloka....”

Putri Kayangan gelengkan kepala dengan tatapan 

sayu. Dia teringat akan peristiwa di dekat Bukit Ka-

lingga. Dadanya sesak. Terbayang kembali di pelupuk 

matanya bagaimana Pendekar 131 tengah berpelukan 

dan jalan berangkulan dengan Saraswati.

“Hanya itu yang hendak kau bicarakan?!” Nyai Tan-

dak Kembang membuyarkan lamunan Putri Kayangan.

Joko gelagapan. Belum sempat dia berkata, Nyai 

Tandak Kembang sudah mendekati Putri Kayangan 

dan berkata.

“Kita harus segera kembali, Beda....” Nyai Tandak 

Kembang sudah bergerak bersamaan dengan selesai-

nya ucapan.

Kigali anggukkan kepala pada Putri Kayangan dan 

Pendekar 131, lalu mendekati Datuk Wahing dan ber-

bisik.

“Galaga.... Mudah-mudahan kita nanti bisa bertemu 

lagi. Banyak hal sebenarnya yang ingin kubicarakan 

denganmu. Tapi aku harus mengantarkan Nyai Tandak 

Kembang dan Pitaloka ke lereng Gunung Semeru....”

“Bruss! Brusss! Aku tak heran dengan ucapanmu. 

Waktu kita masih banyak! Kalau ada kesempatan, aku 

akan mengunjungimu ke lereng Gunung Semeru! Pesanku.... Jika sahabat muda ini nanti datang ke lereng 

Gunung Semeru, jaga dia baik-baik. Awasi semua ge-

rak-geriknya! Jangan beri dia kesempatan untuk ber-

dua-duaan tanpa penjaga dengan gadis baju merah 

itu!”

Joko dan Putri Kayangan sama berubah paras. Ki-

gali tersenyum lalu melangkah menyusul Nyai Tandak 

Kembang yang tegak menunggu di depan sana.

“Putri.... Setelah dari sini nanti, aku akan menemui 

eyang guruku. Setelah itu aku akan menyusulmu ke 

lereng Gunung Semeru. Aku ingin membicarakan uru-

san kejadian beberapa saat yang lalu....”

“Rasanya tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Pen-

dekar 131! Lihat.... Mereka berdua telah menunggu! 

Mungkin kau harus bicara dulu dengan mereka!” se-

lesai berkata, Putri Kayangan arahkan pandang mata-

nya ke salah satu julangan batu karang.

Joko dan Datuk Wahing ikuti arah pandangan Putri 

Kayangan. Datuk Wahing perdengarkan bersinan be-

berapa kali. Sementara murid Pendeta Sinting mende-

lik tak berkesip.

Di depan sana, di salah satu julangan batu karang, 

tampak tegak dua orang gadis. Mereka berdiri berjarak 

lima belas langkah dan sama arahkan pandangannya 

pada Pendekar 131.

“Saraswati.... Dewi Seribu Bunga!” gumam murid 

Pendeta Sinting mengenali siapa adanya kedua gadis 

yang tegak di depan sana.

“Putri.... Tunggu!” tahan Joko begitu matanya me-

nangkap gerakan Putri Kayangan yang sudah melang-

kah menyusul Kigali. Namun Putri Kayangan seakan

tidak mendengarkan ucapan orang. Malah dia mem-

percepat langkah!

“Brusss! Brusss! Jangan berbuat mengherankan, 

Anak Muda! Ucapannya benar. Kau harus bicara dahulu dengan kedua gadis cantik di depan sana itu! Pe-

rasaan cemburu seorang perempuan tidak bisa begitu 

saja kau lenyapkan dengan ucapan! Kau harus ber-

buat sesuatu untuk meyakinkannya meski rasanya 

kau sulit untuk melakukannya! Karena kau juga terta-

rik dengan kedua gadis cantik yang menunggu itu!” 

Datuk Wahing berkata seraya mencekal lengan murid 

Pendeta Sinting yang sesaat tadi hendak mengejar Pu-

tri Kayangan.

Pendekar 131 angkat bahu lalu melangkah ke arah 

dua orang gadis di depan sana yang ternyata bukan 

lain adalah Saraswati dan Dewi Seribu Bunga.

Namun baru saja mendapat tiga langkah, mendadak 

Dewi Seribu Bunga sudah putar diri. Tanpa berkata 

apa-apa gadis cantik murid Dewi Es ini berkelebat.

“Dewi! Tunggu!” teriak murid Pendeta Sinting. Na-

mun seperti halnya Putri Kayangan, Dewi Seribu Bu-

nga tidak pedulikan teriakan orang. Dia malah mem-

percepat kelebatannya sebelum akhirnya lenyap di de-

pan sana.

Joko urungkan niat mengejar karena tidak enak sa-

ma Saraswati yang masih tegak memperhatikan. Murid 

Pendeta Sinting alihkan pandangannya pada Saraswa-

ti. Dia sudah buka mulut. Tapi sebelum suaranya ter-

dengar, tiba-tiba Saraswati balikkan tubuh dan berlari 

meninggalkan tempat itu.

“Saraswati...!” Pendekar 131 berteriak memanggil. 

Tapi Saraswati terus berkelebat dan menghilang.

Terdengar riuh rendah suara tawa. Lalu diseling su-

ara.

“Makanya.... Jadi pemuda jangan terlalu banyak 

membagi hati! Akhirnya kau tak mendapatkan satu 

pun!” Yang angkat suara ternyata iblis Ompong.

“Dasar gadis-gadis setan tolol! Pemuda setan begitu 

rupa masih juga diharap. Seharusnya mereka bikin


perhitungan agar dia tidak berani lagi bertindak ma-

cam-macam!” Dayang Sepuh menyahut.

“Aku menyesal sekarang! Tahu kalau setan itu 

punya banyak gadis, tentu aku tak mau susah-susah 

sampai ke sini!” Dewi Ayu Lambada ikut angkat bicara.

“Sudahlah.... Itu urusan dia sendiri! Kalau sudah 

tahu begini akibatnya pasti dia nanti akan berpikir la-

gi! Sekarang masih ada yang harus kita lakukan! Ku-

rasa Jubah Tanpa Jasad itu masih dikenakan orang! 

Bukankah selama ini kita hanya bisa menduga-duga 

siapa adanya orang di balik jubah itu?!” Gendeng Pa-

nuntun berkata.

Semua orang di tempat itu serentak sama alihkan 

pandang mata masing-masing pada sosok Jubah Tan-

pa Jasad yang tergeletak di atas tanah. Hampir bersa-

maan mereka semua berlompatan mendekati Jubah 

Tanpa Jasad. Hanya Gendeng Panuntun yang tetap te-

gak di tempatnya dengan kepala sedikit ditengadah-

kan.

***

SEBELAS



BIAR aku yang membuka jubah setan itu!” Dayang 

Sepuh sudah berkata begitu injakkan kaki di dekat so-

sok Jubah Tanpa Jasad.

“Hem.... Begitu gadis-gadis cantik sudah sama per-

gi, kau tampaknya tidak malu-malu lagi!” Iblis Ompong 

berujar.

Dayang Sepuh berpaling dengan mata mendelik. 

“Setan sialan! Mengapa harus malu-malu kalau hanya 

membuka jubah setan ini?!”

Mendadak Iblis Ompong tertawa bergerai. Lalu dekatkan kepalanya pada telinga Datuk Wahing dan ber-

bisik pelan.

“Dia tidak tahu....”

Datuk Wahing kerutkan dahi namun dia anggukkan 

kepala. Lalu perdengarkan bersinan tiga kali dan ber-

ucap.

“Aku jadi heran. Apa benar...?!”

Iblis Ompong sentakkan kepalanya ke arah telinga 

Dewa Uuk yang tegak di sebelah kirinya. Lalu berteriak 

keras-keras.

“Kau dengar?! Teman kita itu berani-beraninya mau 

membuka jubah sakti! Ha.... Ha.... Ha...!”

Dewa Uuk tadangkan tangan di belakang daun te-

linganya. Lalu buka suara.

“Uuukk! Uuukkk! Uuukkk!” Tangan satunya tam-

pak digerakkan ke samping bolak-balik memberi isya-

rat agar Dayang Sepuh tidak melakukan niatnya.

“Setan! Apa yang kalian bicarakan?! Mengapa kalian 

tidak senang kalau aku buka jubah setan itu?!”

“Ah.... Kau salah sangka! Justru aku dan teman-

teman akan sangat senang mendengar kau tawarkan 

diri untuk membuka jubah itu! Mungkin inilah penga-

laman pertamamu.... Hik.... Hik.... Hi...! Silakan saja 

buka! Tapi tunggu dahulu! Aku dan teman-teman akan 

berpaling agar kau nanti sedikit lama bisa menikma-

tinya!”

Habis berkata begitu, Iblis Ompong balikkan tubuh 

setelah memberi isyarat pada Datuk Wahing dan Dewa 

Uuk. Iblis Ompong juga kedipkan matanya pada Pen-

dekar 131. Murid Pendeta Sinting sesaat tak tahu apa 

maksud isyarat Iblis Ompong. Namun begitu Datuk 

Wahing dan dewa Uuk balikkan tubuh, Joko ikut-

ikutan pula putar diri.

Kini tinggal Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada 

yang tegak menghadap Jubah Tanpa Jasad. Kedua nenek ini saling pandang sejenak. Namun jelas paras wa-

jah Dayang Sepuh membayangkan kebimbangan.

“Setan! Ada apa sebenarnya dengan jubah ini, 

hah?!” Dayang Sepuh membentak.

“Kau pura-pura tanya atau memang tidak tahu?!” 

Iblis Ompong balik bertanya.

Pendekar 131 yang tegak di depan Iblis Ompong 

berpaling ke arah orang tua tak bergigi itu dan berbi-

sik. “Kek.... Sebenarnya ada apa?!”

Iblis Ompong dorongkan tangannya pada dagu mu-

rid Pendeta Sinting hingga kepala Joko kembali lurus 

ke depan. Iblis Ompong berbisik.

“Biasanya.... Kalau orang mengenakan jubah sakti, 

maka dia tidak boleh mengenakan rangkapan pakaian 

lagi!”

“Jadi di balik jubah itu dia bugil?!” tanya Joko.

“Benar! Di balik itu dia pasti bugil! Dayang Sepuh 

itu pasti hanya berpura-pura tidak tahu persoalan. Se-

benarnya dia ingin lihat sesuatu! Kau tahu bukan? 

Nenek setan itu belum pernah kawin hingga jadi ne-

nek-nenek begitu!”

Joko angguk-anggukkan kepala dengan coba mena-

han tawa. Namun karena tak kuasa menahan tawa, 

bahunya tampak berguncang-guncang. Saat lain mu-

lutnya perdengarkan tawa perlahan-lahan.

Dayang Sepuh melompat ke depan Pendekar 131. 

Tangan kanannya diangkat. Lalu perdengarkan benta-

kan garang.

“Apa yang kau tertawakan?! Lekas jawab atau mu-

lutmu akan mendapat tamparan!”

Joko bukannya putuskan tawa tertahannya. Seba-

liknya suara tawanya meledak seketika.

“Setan!” maki Dayang Sepuh. Tangan kanannya ber-

gerak.

“Tunggu, Nek!” tahan Joko seraya putuskan golakan


tawanya. Dayang Sepuh tahan gerakan tangan kanan-

nya dua jengkal di depan wajah murid Pendeta Sinting.

“Aku tak akan bertanya lagi! Lekas buka mulut!”

“Kau benar mau membuka jubah hitam itu?!” tanya 

Joko.

“Kau tadi sudah dengar ucapanku!”

“Kau memang tidak tahu persoalannya?!”

“Kalau kau balik bertanya, tanganku akan menam-

par mukamu!”

“Menurut apa yang kuketahui, biasanya kalau se-

seorang mengenakan jubah sakti, maka orang itu tidak 

mengenakan apa-apa lagi! Entah benar atau tidak apa 

yang kudengar itu, aku sendiri tak pernah membukti-

kan! Tapi kalau kau ingin membuktikan, semua orang 

di sini tentu akan merasa maklum....”

Dayang Sepuh kerutkan kening. Lalu melompat 

mendekati Dewi Ayu Lambada dan berkata pelan. “Kau 

pernah dengar urusan begitu itu?!”

“Baru kali ini aku mendengarnya! Tapi lebih baik 

kau buktikan sendiri! Siapa tahu dia adalah pemuda 

tampan! Kalau kau malu juga padaku, aku akan ber-

balik seperti mereka!”

“Setan! Aku ini kau anggap apa, hah?!”

“Bagaimana, Nek?! Sudah kau buka?!” Iblis Ompong 

ajukan tanya tatkala suara Dayang Sepuh tidak ter-

dengar lagi.

“Aku bukan perempuan setan yang ingin lihat ba-

rang-barang menjijikkan begitu rupa!”

“Jadi kau batalkan niatmu?!” tanya Iblis Ompong 

sambil putar tubuh. Datuk Wahing, Dewa Uuk, dan 

Pendekar 131 ikut-ikutan balikkan tubuh.

Dayang Sepuh memberengut tanpa menyahut, iblis 

Ompong berpaling pada Joko.

“Anak muda! Kulihat pakaianmu sudah tak pantas 

lagi dikenakan! Lebih baik kau yang melepasnya dan


mengenakan jubah hitam itu!”

Tapi, Kek....”

“Sudahlah! Lepas saja jubah hitam itu! Kalau ne-

nek-nenek ini masih pentang mata di sini, itu urusan 

mereka!”

Perlahan Joko melangkah mendekati sosok Jubah 

Tanpa Jasad. Lalu jongkok sembari angkat kepalanya 

memandang silih berganti pada Dayang Sepuh dan 

Dewi Ayu Lambada.

Pendekar 131 tersenyum. Kedua tangannya menju-

lur ke arah kancing-kancing Jubah Tanpa Jasad. Ka-

rena takut kebenaran ucapan orang, Dewi Ayu Lamba-

da segera balikkan tubuh dengan cekikikan. Dayang 

Sepuh mendengus. Lalu ikut putar diri.

Pendekar 131 cepat melepas kancing-kancing pada 

Jubah Tanpa Jasad. Dia bisa merasakan sosok tubuh 

seseorang meski sosok itu belum bisa dilihatnya.

Begitu Jubah Tanpa Jasad lepas dari sosok orang, 

maka murid Pendeta Sinting, Dewa Uuk, dan Iblis Om-

pong sama pentangkan mata. Datuk Wahing bersin-

bersin beberapa kali.

“Rupanya memang dia!” gumam Joko. Kini begitu 

Jubah Tanpa Jasad lepas, semua orang bisa melihat 

sosok orang yang tadi mengenakan jubah. Dia adalah 

seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih. Pa-

kaian yang dikenakan hangus. Pada mulutnya terlihat 

darah agak mengering. Karena Joko pernah bertemu 

Kiai Laras, maka dia segera bisa mengenali sosok di 

hadapannya yang tadi mengenakan Jubah Tanpa Ja-

sad, la bukan lain memang Kiai Laras.

“Kenakan jubah itu!” Iblis Ompong angkat suara.

Joko bergerak bangkit dengan tangan kanan meme-

gang Jubah Tanpa Jasad. Dia tampak ragu-ragu. Saat 

itulah Gendeng Panuntun berkata dari tempatnya tegak.

“Kenakan saja.... Mungkin jubah itu sekarang su-

dah lenyap kesaktiannya! Kalau tidak, mana mungkin 

dia bisa terhantam pukulan sahabat Setan Liang Ma-

kam?!”

Meski masih ragu-ragu, akhirnya Joko mengenakan 

juga jubah hitam di tangannya. Ucapan Gendeng Pa-

nuntun ternyata benar. Walau kini murid Pendeta 

Sinting telah mengenakan Jubah Tanpa Jasad, namun 

sosoknya masih terlihat.

“Aneh.... Bagaimana ini? Kalau benar-benar kesak-

tiannya sudah hilang, tentu Kiai Laras sudah bisa ter-

lihat wujudnya meski jubah ini belum kulepas!” Joko 

membatin. Dia sebenarnya hendak mengutarakan apa 

yang ada dalam benaknya. Namun belum sampai dia 

berucap, Gendeng Panuntun sudah angkat bicara.

“Kau jangan lupa.... Di tubuhmu sekarang ada ben-

da merah yang bisa menghadang kedahsyatan jubah 

serta Kembang Darah Setan!”

Mendengar ucapan Gendeng Panuntun, Joko ter-

ingat akan benda merah yang diletakkan pada pusar-

nya. Dia cepat selinapkan tangan kanannya. Namun 

dia tersentak. Dia tak merasakan benda itu berada lagi 

di pusarnya. Dia segera singkapkan pakaiannya. Ben-

da merah yang beberapa hari lalu diambilnya dari pu-

sar bayi Pitaloka memang sudah lenyap dari pusarnya. 

Karena masih khawatir benda itu jatuh tanpa disadari, 

murid Pendeta Sinting merogohkan tangannya ke ba-

wah.

“Masih ada?!” tanya Iblis Ompong.

“Tidak ada, Kek! Lenyap!” jawab Joko.

“Yang benar! Dari sini aku masih melihat tonjolan-

nya! Coba sedikit ke bawah lagi!”

Tangan Joko terus bergerak ke bawah. “Benar, Kek! 

Tidak ada!”

“Celaka! Kau akan menyesal seumur-umur kalau


ucapanmu benar!”

“Benar, Kek! Aku tidak berdusta! Aku tidak bisa me-

nemukannya lagi!” kata Joko.

“Setan, apamu yang lenyap?!” tanya Dayang Sepuh 

tanpa berani berpaling karena khawatir orang yang ta-

di mengenakan Jubah Tanpa Jasad benar-benar bugil.

“Aku dengar tonjol-tonjolan. Tonjolan apamu yang 

hilang?!” Dewi Ayu Lambada menyahut.

“Bendanya lenyap! Padahal benda itu sangat berarti 

bagi seorang laki-laki!”

“Aduh.... Kasihan! Bagaimana bisa terjadi begitu?!” 

ujar Dayang Sepuh.

“Aku tak tahu pasti bagaimana bisa terjadi begitu! 

Yang jelas menurut dia bendanya lenyap tak berbe-

kas!” kata Iblis Omong. “Tapi mataku tidak buta! Aku 

masih bisa melihat tonjolannya!”

“Aku jadi ingin melihatnya!” kata Dayang Sepuh. 

“Apa mayat setan yang tadi mengenakan jubah itu su-

dah....!”

“Ternyata dia tidak bugil, Nek!” Joko sudah menya-

hut sebelum Dayang Sepuh meneruskan ucapannya.

“Dasar kalian setan semua!” kata Dayang Sepuh la-

lu perlahan-lahan membalik. Entah karena masih kha-

watir ditipu orang, nenek berambut poni ini tutupi wa-

jahnya dengan kedua telapak tangan. Anehnya jari-jari 

tangannya dibuka lebar-lebar!

Sementara Dewi Ayu Lambada juga terdengar men-

gomel. Lalu putar diri. Sama seperti halnya Dayang 

Sepuh, karena khawatir ditipu orang, nenek ini tutupi 

wajahnya dengan kerudung hitamnya!

Begitu melihat sosok yang terhampar di atas tanah 

masih mengenakan pakaian, Dayang Sepuh segera tu-

runkan telapak tangannya. Dewi Ayu Lambada sentak-

kan kerudung hitamnya. Lalu kedua nenek ini pen-

tangkan mata memperhatikan sosok mayat di bawah.


“Setan Laras!” desis Dayang Sepuh mengenali 

orang.

“Namanya Kiai Laras, Nek! Bukan Setan Laras!” ujar 

Pendekar 131.

Dayang Sepuh angkat kepalanya ke samping meng-

hadap murid Pendeta Sinting. Bukan memandang pa-

da raut wajahnya, melainkan pada bagian bawah Joko. 

Saat itu tangan Joko masih masuk ke balik pakaian-

nya dan meraba-raba mencari benda merah. Dewi Ayu 

Lambada ikut-ikutan perhatikan bagian bawah tubuh 

Joko.

“Ah.... Setan itu menipu kita!” kata Dayang Sepuh. 

“Aku masih melihat bendanya!”

“Betul! Aku juga masih bisa merasakan!” Dewi Ayu 

Lambada menyahut.

“Hem.... Jadi mataku memang tidak menipu!” Iblis 

Ompong menimpali.

“Kalian ada-ada saja! Aku mengatakan terus te-

rang! Banda itu lenyap!”

“Yang kau raba-raba itu apa kalau lenyap?!” bentak 

Dayang Sepuh.

“Ini benda sakti, Nek! Maksudku.... Yang lenyap itu 

benda merah yang kuambil dari anaknya Pitaloka!”

“Setan! Mengapa kau tidak dari tadi mengatakan 

kalau yang lenyap itu benda merah! Kukira yang le-

nyap benda saktimu!” ujar Dayang Sepuh lalu tertawa 

cekikikan.

“Ah.... Kau juga bikin aku ikut deg-degan saja! Ku-

kira yang hilang tak berbekas adalah tonjolan benda

mu itu!” Dewi Ayu Lambada mengomel lalu ikut terta-

wa.

Pendekar 131 cepat tarik pulang tangannya keluar. 

Paras wajahnya berubah merah padam. Apalagi tatkala 

melihat Dewi Ayu Lambada dan Dayang Sepuh tertawa 

seraya terus memperhatikan bagian bawah tubuhnya!


“Sahabat Muda....” Mendadak Gendeng Panuntun 

angkat suara. “Panggilanmu kurasa sudah dekat! Kau 

harus segera angkat kaki dari sini!” Sambil berucap 

begitu, Gendeng Panuntun berkelebat lalu tegak tidak 

jauh dari murid Pendeta Sinting.

“Panggilan apa, Kek?!”

“Aku tak tahu. Aku hanya dapat merasakan! Pergi-

lah kau ke Pesisir Laut Utara. Mungkin di sana nanti 

kau akan mendapat jawabannya!”

“Tapi, Kek. Aku ingin bertemu dahulu dengan E-

yang Guru!”

“Jangan sia-siakan panggilan, Sahabat Muda! Aku 

nanti bisa memberi keterangan pada gurumu! Hanya 

saja.... Untuk kali ini kau harus berjuang sendirian! 

Selamat jalan!”

“Kek! Aku tak mengerti maksudmu!”

“Kau tak akan mengerti sebelum kau sampai Pesisir 

Laut Utara! Berangkatlah sekarang juga!”

“Hem.... Ucapannya belum kumengerti benar! Na-

mun aku bisa menebak! Pasti ada sesuatu yang harus 

kuselesaikan! Ah.... Terpaksa keinginanku menemui 

Putri Kayangan di lereng Gunung Semeru harus ter-

tunda...,” kata Joko dalam hati. Lalu anggukkan ke-

pala pada semua orang di tempat itu.

“Terima kasih atas bantuan kalian selama ini. Se-

karang aku harus pergi....”

Pendekar 131 balikkan tubuh. Lalu melangkah me-

ninggalkan kawasan Kampung Setan. Begitu hendak 

berkelebat di depan sana, Joko sempat berpaling ke 

belakang.

Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada tampak lam-

baikan tangannya. Bahkan karena terhalang sosok Ib-

lis Ompong dan Datuk Wahing, kedua nenek ini ber-

jingkat agar supaya lambaian tangannya terlihat oleh 

Pendekar 131. Pendekar 131 Joko Sableng membalas


lambaian tangan Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lamba-

da. Lalu putar diri dan berkelebat.

“Ayo kita pulang!” kata Dewi Ayu Lambada seraya 

menarik lengan Dewa Uuk yang juga adalah adik kan-

dungnya.

“Selamat jalan, Sahabat.... Mudah-mudahan kita 

nanti bisa bertemu lagi!” kata Gendeng Panuntun.

“Aku tak berharap bisa bertemu lagi! Urusan de-

ngan kalian bisa membuat kepalaku pusing!” timpal 

Dewi Ayu Lambada lalu melangkah sambil terus meng-

gandeng lengan adiknya.

“Uuuukkk! Uuuukkk! Uuukkk!” Dewa Uuk buka 

mulut sambil lambaikan tangannya pada Dayang Se-

puh dan Iblis Ompong. Lalu letakkan jari telunjuknya 

menyilang di depan keningnya. Saat lain menunjuk 

pada Dewi Ayu Lambada.

“Dari dulu aku sudah tahu kalau kakakmu itu se-

tengah sinting!” Dayang Sepuh bergumam. Lalu berke-

lebat. Disusul kemudian oleh Iblis Ompong, Datuk 

Wahing, dan Gendeng Panuntun.

Di lain tempat, Pendekar 131 terus berkelebat se-

raya menduga-duga. Namun sejauh ini dia tidak bisa 

menduga dengan tepat apa yang hendak ditemuinya. 

Hal ini membuat dia penasaran dan makin memperce-

pat larinya.

Setelah melakukan perjalanan dua hari tiga malam, 

akhirnya Pendekar 131 memasuki kawasan Laut U-

tara. Karena saat itu matahari tepat berada di puncak-

nya, murid Pendeta Sinting mencari tempat berlindung 

di gugusan batu karang. Namun setelah lama me-

nunggu, dia tidak juga melihat siapa-siapa.

“Hem.... Apa maksud Kakek Gendeng Panuntun 

memerintahkan aku datang ke sini? Melihat gulungan 

ombak?! Atau dia sengaja agar aku pergi terlebih dahu-

lu karena mereka hendak membicarakan sesuatu?!


Akan kutunggu sampai hari hampir gelap. Jika tidak 

ada apa-apa, aku akan menuju Jurang Tlatah Perak.... 

Lalu mengunjungi Putri Kayangan di lereng Gunung 

Semeru!” Tanpa terasa saat itu juga muncul bayangan 

Putri Kayangan.

Namun samar-samar bayangan Putri Kayangan le-

nyap. Di matanya kini terlihat sebuah perahu terayun-

ayun gulungan ombak ke arah pesisir. Joko gelengkan 

kepala lalu kucek-kucek matanya dengan punggung 

tangan.

“Ini bukan bayangan! Ini nyata! Aku melihat perahu 

terayun-ayun ombak!”

Pendekar 131 Joko Sableng bergerak bangkit. Mata-

nya dipentang besar-besar perhatikan perahu yang te-

rus bergerak-gerak timbul tenggelam dibuncah gulun-

gan tombak. Murid Pendeta Sinting kernyitkan kening 

dengan mata makin dibeliakkan. Perahu itu tiba-tiba 

meluncur deras menuju pesisir seakan dikemudikan 

seseorang. Padahal Joko jelas tidak melihat siapa-

siapa di atas perahu!


                       SELESAI


Segera menyusul:


WASIAT AGUNG DARI TIBET


Share:

0 comments:

Posting Komentar