Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Joko Sableng telah
Terdaftar pada Dept. Kehakiman R. I.
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan
Merek di bawah nomor 012875
SATU
DI HADAPAN Pendekar 131 Joko Sableng, Kigali
dan Umbu Kakani sama kerutkan kening. Mereka bisa
memaklumi kalau Nyai Tandak Kembang akan kaget
mendengar keterangan Umbu Kakani. Namun yang
mereka agak heran, justru murid Pendeta Sinting lebih
terkejut dibanding Nyai Tandak Kembang.
“Kau dapat menduga siapa gerangan di balik Jubah
Tanpa Jasad itu, Pendekar?!” Umbu Kakani segera aju-
kan tanya.
Namun sebelum murid Pendeta Sinting sempat bu-
ka mulut menjawab, Nyai Tandak Kembang sudah
angkat bicara.
“Pitaloka! Benar keterangan tadi?!” Mata perempuan
dari lereng. Gunung Semeru ini masih menyengat ta-
jam pada Pitaloka.
Pitaloka gerakkan kepala mengangguk. Namun se-
pasang matanya melirik pada murid Pendeta Sinting
lalu beralih pada Putri Kayangan. Entah apa yang di-
rasakan gadis ini. Yang jelas paras wajahnya yang mu-
rung tampak membayangkan rasa kecewa dan penye-
salan.
“Bagaimana semua itu bisa terjadi?!” Nyai Tandak
Kembang kembali ajukan tanya seolah belum percaya
dengan keterangan orang.
Kigali sudah hendak buka mulut. Namun Nyai Tan-
dak Kembang sudah mendahului.
“Aku bertanya pada Pitaloka! Aku ingin keterangan
dari mulutnya. Harap jangan ada yang ikut bicara!”
Kigali kancingkan mulutnya kembali. Lalu melirik
pada Pitaloka. Pitaloka tampak menarik napas pan-
jang. Putri Kayangan memperhatikan dengan seksama.
Sementara diam-diam murid Pendeta Sinting merasa
gelisah dan membatin.
“Kalau aku menunggu orang-orang ini membicara-
kan kejadian yang menimpa Pitaloka, kakek berambut
jabrik dan Malaikat Berkabung tentu akan keburu da-
tang ke tempat ini! Hem....” Sepasang mata Joko me-
mandang tajam pada bayi yang telah meninggal di
samping sosok Kigali.
Seperti diceritakan dalam episode: “Lembah Patah
Hati”, Nyai Tandak Kembang, Putri Kayangan, dan
Pendekar 131 berhasil memasuki lobang di mana Pita-
loka, Kigali, dan Umbu Kakani berada, mendahului
kakek berambut putih jabrik dan Malaikat Berkabung.
Nyai Tandak Kembang langsung marah melihat ke-
nyataan Pitaloka telah melahirkan seorang bayi. Dia
mencerca Pitaloka dengan berbagai pertanyaan. Dan
akhirnya menanyakan siapa laki-laki ayah dari bayi
itu. Umbu Kakani yang sebelumnya sudah mendengar
penuturan Pitaloka dari Kigali memberi keterangan
siapa adanya laki-laki ayah dari bayi Pitaloka. Men-
dengar keterangan Umbu Kakani yang mengatakan
bahwa laki-laki itu tidak bisa dikenali wajahnya karena
mengenakan Jubah Tanpa Jasad, Nyai Tandak Kem-
bang sempat terkesima. Tapi yang tak kalah kagetnya
mendengar keterangan Umbu Kakani adalah murid
Pendeta Sinting.
“Pitaloka! Aku ingin keterangan darimu! Mengapa
kau diam?!” Nyai Tandak Kembang membentak ketika
Pitaloka tidak segera buka mulut.
“Eyang....” Joko menyela sebelum Pitaloka angkat
suara. Nyai Tandak Kembang buka mulut tanpa ber-
paling.
“Aku juga tak minta keterangan padamu!”
“Eyang.... Aku bukannya akan memberi keterangan!
Tapi....”
“Aku sedang bicara dengan Pitaloka!” tukas Nyai
Tandak Kembang. “Kalau kau ingin bicara, tunggu
sampai aku selesai! Atau keluarlah dari tempat ini!”
“Eyang.... Apa yang akan kubicarakan lebih penting
daripada urusan Pitaloka!”
Kepala Nyai Tandak Kembang berpaling dengan ma-
ta mendelik besar. “Anak muda! Tak ada yang lebih
penting bagiku selain urusan Pitaloka! Dia cucuku!
Aku harus tahu benar bagaimana dan apa sebenarnya
yang terjadi! Kuperingatkan kau untuk tidak buka su-
ara!”
“Eyang.... Keterangan dari Pitaloka masih bisa di-
tangguhkan! Dan urusan yang akan kubicarakan rasa-
nya sudah sangat mendesak! Kalau kita terlambat, aku
tak bisa bayangkan apa yang akan terjadi!”
“Jangan kau libatkan aku dalam urusanmu! Perse-
tan pula dengan apa yang akan terjadi! itu urusanmu!”
“Hem.... Gawat menghadapi orang macam begini...!”
gumam Joko seraya tengadahkan sedikit kepalanya ke
arah lobang. Dia khawatir kakek berambut putih jabrik
dan Malaikat Berkabung segera muncul. “Apa boleh
buat.... Daripada urusan tambah panjang, aku akan
katakan terus terang!”
Berpikir begitu, akhirnya murid Pendeta Sinting
berkata.
“Eyang.... Rimba persilatan saat ini tengah teran-
cam. Ancaman itu justru datang dari manusia pemakai
Jubah Tanpa Jasad yang sampai kini belum bisa di-
kenali siapa orangnya. Menurut beberapa sahabatku,
si pemakai Jubah Tanpa Jasad hanya bisa dihadapi
dengan benda merah yang ada dalam pusar bayi Pita-
loka!”
“Urusan Pitaloka lebih penting dari hal itu semua!
Lagi pula aku belum mendengar keterangan Pitaloka
sendiri apa benar manusia di balik Jubah Tanpa Jasad
itu adalah laki-laki pengecut yang melakukannya! Tin
dakan Pitaloka selama ini membuatku tidak mudah la-
gi percaya pada keterangannya! Apalagi keterangan itu
diucapkan orang yang belum kukenal benar dan tam-
pak dekat dengan Pitaloka!”
“Eyang.... Kurasa itu semua bisa dibicarakan nanti.
Kini kita bicarakan apa yang ada di depan kita!”
“Anak muda! Aku hanya akan bicara sekali lagi!
Jangan libatkan aku dalam urusanmu!”
“Baiklah...,” ujar Joko lalu melangkah mendekati
Kigali.
“Hentikan langkahmu! Apa yang akan kau laku-
kan?!” bentak Nyai Tandak Kembang.
“Pitaloka telah mengizinkan aku untuk mengambil
benda dalam bayinya!”
“Dia cucuku! Aku ikut berhak memutuskan!”
Murid Pendeta Sinting memandang sesaat pada
Nyai Tandak Kembang dengan perasaan tidak enak.
Lalu berkata. “Kuharap kau tidak keberatan, Eyang....
Ini untuk kedamaian jagat persilatan!”
Nyai Tandak Kembang arahkan pandang matanya
pada bayi di dekat Kigali. Tidak bisa ditebak apa yang
dirasakan perempuan cantik ini. Beberapa kali dia me-
narik napas panjang.
Mungkin tak dapat menahan perasaan gelisah, mu-
rid Pendeta Sinting segera berucap lagi. “Eyang.... Kau
tak keberatan, bukan?”
Belum sampai Nyai Tandak Kembang menjawab, ti-
ba-tiba satu sosok tubuh melayang dari atas lobang.
Saat lain satu sosok tubuh menyusul. Tahu-tahu ke-
dua sosok ini telah tegak berjajar dengan mata masing-
masing memandang tajam ke depan.
“Urusan benar-benar jari runyam! Bagaimana me-
reka bisa masuk?! Apakah Datuk Wahing, Gendeng
Panuntun, dan lain-lainnya tidak berusaha mengha-
dang?!” Pendekar 131 bergumam sambil memandang
ke arah dua sosok yang baru muncul. Namun cuma
sekejap. Saat lain sepasang matanya melirik ke arah
lobang, dari mana dua sosok tadi melayang turun.
“Hem.... Tidak kudengar bersinan Datuk Wahing
atau suara bentakan Nenek Dayang Sepuh. Suara
aneh Dewa Uuk pun tidak ada! Apa kedua orang itu
berhasil melewati orang-orang itu?!” Murid Pendeta
Sinting tambah gelisah.
Seperti diketahui, ketika mengikuti jejak kakek be-
rambut putih jabrik, murid Pendeta Sinting dan
Dayang Sepuh akhirnya sampai di perbatasan Lembah
Patah Hati. Tak berselang lama, tiba-tiba muncullah
Malaikat Berkabung. Saat terjadi bentrok antara Pen-
dekar 131 dan Malaikat Berkabung, muncul Datuk
Wahing dan Gender Panuntun. Tidak berapa lama ke-
mudian hadir pula Nyai Tandak Kembang dan Putri
Kayangan yang disusul oleh Dewi Ayu Lambada, Iblis
Ompong, dan Dewa Uuk.
Ketika hendak terjadi bentrok, tiba-tiba semua
orang di perbatasan Lembah Patah Hati dikejutkan
dengan suara tangisan bayi. Pendekar 131 berhasil
mendahului ke tempat terdengarnya suara tangisan
bayi dengan bantuan Datuk Wahing dan Gendeng Pa-
nuntun. Kemudian disusul oleh Nyai Tandak Kembang
dan Putri Kayangan.
Walau Joko agak gelisah dengan kakek berambut
putih jabrik dan Malaikat Berkabung, namun masih
agak tenang mendapati di situ ada rombongan Datuk
Wahing. Joko berpikir, rombongan Datuk Wahing tidak
akan membiarkan kakek berambut putih jabrik dan
Malaikat Berkabung untuk menyusul masuk ke dalam
lobang.
Namun melihat siapa adanya dua sosok tubuh yang
baru melayang masuk dari lobang, yang ternyata ada-
lah seorang kakek mengenakan pakaian selempang
warna putih dengan dada kanan terbuka, di lehernya
melingkar kalung dari untaian kayu warna coklat, dan
rambutnya putih dipotong jabrik serta seorang pemuda
berparas tampan dan keras mengenakan mantel warna
hitam yang tidak bukan adalah si kakek berambut pu-
tih jabrik dan Malaikat Berkabung, dada Joko jadi ber-
tanya-tanya. Mengapa rombongan Datuk Wahing tidak
menghadang kedua orang ini hingga keduanya bisa
masuk.
Di lain pihak, melihat kedatangan kakek berambut
putih jabrik dan Malaikat Berkabung, Nyai Tandak
Kembang segera berpaling pada Putri Kayangan Lalu
berbisik.
“Beda Kumala! Lindungi bayi Pitaloka dari tangan
siapa saja!”
“Tapi, Eyang.... Pendekar 131....”
“Persetan siapa pun! Pokoknya lindungi bayi Pita-
loka! Jangan campur adukkan urusan perasaanmu
dengan urusan Pitaloka! Kau paham?!”
“Jadi kau keberatan jika benda di pusar bayi itu di-
ambil murid Pendeta Sinting?!” Putri Kayangan masih
belum puas dengan ucapan Nyai Tandak Kembang.
“Ucapanmu itu keluar karena kau tertarik dengan
pemuda itu, Beda Kumala! Ingat, urusan ini belum je-
las benar! Aku akan memutuskan setelah urusannya
jelas!”
“Eyang.... Kalau beberapa orang hebat seperti Datuk
Wahing dan Gendeng Panuntun ikut turun tangan, ku-
kira urusan benda itu tidak main-main....”
“Beda Kumala! Bagi mereka mungkin urusannya
sudah jelas. Tapi tidak bagiku! Dan aku tidak mau
hanya ikut-ikutan orang! Lakukan saja perintahku!
Jangan banyak berdalih!”
Walau dengan agak jengkel akhirnya Beda Kumala
alias Putri Kayangan anggukkan kepala dan melang
kah mendekati Kigali yang tegak di samping bayi Pita-
loka.
Sementara itu, Umbu Kakani langsung menyeringai
melihat kehadiran kakek berambut putih jabrik dan
Malaikat Berkabung. Sepasang matanya langsung
mendelik pandangi kakek berambut putih jabrik. Dan
begitu melihat Putri Kayangan gerakkan kaki mende-
kati Kigali, Umbu Kakani segera angkat suara dengan
keras. Matanya tak beranjak dari sosok kakek beram-
but putih jabrik.
“Lingga Buana! Akhirnya penantianmu hanya sia-
sia! Kedatanganmu memang tepat! Tapi perhitungan-
mu meleset!”
Mendengar ucapan Umbu Kakani, kakek berambut
putih jabrik yang dipanggil dengan Lingga Buana per-
dengarkan tawa. Lalu berucap.
“Aku tak pernah salah menghitung, Umbu Kakani!
Kalau aku dapat menyingkirkanmu dan gurumu, apa
kau kira aku tak bisa menyingkirkan semua manusia
di dalam ruangan ini?!”
“Kau bisa menyingkirkan Guru karena kau bertin-
dak licik! Lagi pula kau harus sadar, peristiwa itu su-
dah lewat beberapa puluh tahun. Kini saat sudah ber-
ganti, keadaan sudah berubah!”
“Kau salah ucap, Umbu Kakani! Peristiwa puluhan
tahun lalu bukan semata-mata karena aku licik. Na-
mun karena ketololanmu dan Guru! Dan kau salah
duga. Saat boleh berganti, keadaan boleh berubah. Ta-
pi Lingga Buana tidak bisa terkecoh apalagi salah hi-
tung!”
“Hem.... Ternyata kedua orang ini sudah saling ken-
al! Dan tampaknya mereka juga sudah tahu apa yang
akan terjadi.... Tak heran kalau kakek bernama Lingga
Buana itu tahu jalan....” Murid Pendeta Sinting mem
batin.
Umbu Kakani tertawa pendek mendengar ucapan
Lingga Buana. “Aku tahu.... Kau selama ini tak mung-
kin memperhitungkan beberapa orang yang hadir di
tempat ini! Lebih-lebih kau tak sadar kalau kehadi-
ranmu hanya untuk menebus nyawa Guru!”
Lingga Buana berbisik pada Malaikat Berkabung
yang tegak di sebelahnya.
Muridku! Cegah siapa saja yang coba-coba mende-
kati bayi itu!”
Malaikat Berkabung tidak buka mulut menjawab.
Namun saat itu juga si pemuda melangkah ke sebelah
samping dan tegak lurus ke arah Putri Kayangan dan
Kigali yang berada di dekat bayi Pitaloka.
Mendapati gerakan Malaikat Berkabung, Nyai Tan-
dak Kembang sudah dapat menangkap gelagat. Perem-
puan dari lereng Gunung Semeru ini segera berkata.
“Aku tak punya urusan dengan kalian berdua! Ha-
rap jangan mencampuri urusanku!”
Lingga Buana memandang sesaat pada Nyai Tandak
Kembang. Lalu memandang silih berganti pada Putri
Kayangan dan Pitaloka. “Nyai...,” katanya. “Kita me-
mang tidak punya urusan. Namun keadaan mengha-
ruskan kita bertemu untuk satu urusan! Yang kuminta
kau mau mengerti agar di antara kita tidak terjadi sa-
lah paham!”
Walau sudah bisa menebak maksud ucapan Lingga
Buana, namun Nyai Tandak Kembang berkata juga
ajukan tanya.
“Urusan apa maksudmu?!”
“Aku hanya minta bayi Ku!”
“Aku tak akan membiarkan siapa saja menyentuh-
nya!”
“Itu akan membuka salah paham, Nyai!”
“Kau yang membuka! Bukan aku!”
“Tapi kalau kau mau mengerti, tidak akan terjadi
salah paham!”
“Hal itu terjadi karena kau minta milik orang lain!”
“Hem.... Jadi kau keberatan?!” tanya Lingga Buana”
“Aku berhak memutuskan barang milik cucuku!
Dan kuputuskan tak seorang pun akan kubiarkan me-
nyentuh bayi itu!”
“Lingga Buana!” Umbu Kakani menyesal. “Lupakan
dulu bayi itu. Kita bereskan urusan lama yang tertun-
da!”
“Tampaknya kau sudah bosan menderita, Umbu
Kakani! Gurumu memang sudah lama menunggu ke-
datanganmu di alam neraka. Aku akan segera turuti
keinginanmu!”
Umbu Kakani berpaling pada murid Pendeta Sin-
ting, Kigali, Putri Kayangan, dan terakhir pada Nyai
Tandak Kembang sebelum akhirnya berujar.
“Kuharap kalian tidak ikut turun tangan! Ini uru-
sanku dengan jahanam itu!”
Kepercayaan diri Umbu Kakani membuat Lingga
Buana kerutkan dahi. “Perempuan ini tampaknya me-
nyembunyikan sesuatu! Dalam keadaan tak berdaya
begitu rupa dia berani berucap lantang menantangku
sendirian! Padahal dia tahu, kitab ciptaan Guru jatuh
ke tanganku! Apa selama ini Guru menurunkan ilmu
yang tidak kuketahui...?”
Umbu Kakani rupanya dapat menangkap apa yang
ada di benak orang. “Lingga Buana. Kau boleh memili-
ki kitab ciptaan Guru! Tapi bukan berarti kau mudah
membunuhku!”
Dada Lingga Buana panas mendengar ucapan Um-
bu Kakani. Tanpa menyahut lagi kedua tangannya di-
angkat ditakupkan di depan dada.
“Nyai Tandak Kembang! Harap menyingkir!” kata
Umbu Kakani melihat Nyai Tandak Kembang yang te
gak di hadapannya tidak membuat gerakan melompat
ke samping walau sudah tahu kalau Lingga Buana
hendak lepaskan pukulan.
Nyai Tandak Kembang memandang sesaat pada
Umbu Kakani. Nyai Tandak Kembang rupanya punya
perasaan hampir sama dengan Lingga Buana. Dia me-
ragukan apakah Umbu Kakani benar-benar mampu
menghadapi Lingga Buana. Selain melihat keadaan
Umbu Kakani dia juga telah tahu bagaimana kedah-
syatan pukulan Lingga Buana saat bentrok dengan
Dayang Sepuh.
“Nyai.... Aku memang tidak punya ilmu tinggi! Tapi
kurasa aku mampu menghadapi laki-laki keparat itu!”
kata Umbu Kakani membuat Nyai Tandak Kembang
perlahan-lahan melangkah ke samping.
***
DUA
PENDEKAR 131 Joko Sableng sempat pula cemas
mendengar ucapan-ucapan Umbu Kakani. Apalagi saat
dilihatnya Umbu Kakani belum juga membuat gerakan
meski Lingga Buana sudah takupkan kedua tangan di
depan dada dan siap lepaskan pukulan.
“Nenek ini nekat betul! Apa benar ucapan Lingga
Buana jika Umbu Kakani berani hanya karena ingin
deritanya segera pupus?! Kulihat kedua tangan dan
kakinya tak bisa digerakkan.... Bagaimana mungkin
dia bisa menghadang pukulan Lingga Buana?!”
Entah karena apa, diam-diam murid Pendeta Sin-
ting kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Namun dia juga terus perhatikan setiap gerak-gerik
Malaikat Berkabung. Hanya saja dia mulai tidak enak
dengan Putri Kayangan. Dia memang tidak mendengar
percakapan Nyai Tandak Kembang dengan Putri
Kayangan. Tapi dari sikap si gadis yang mendekati bayi
Pitaloka, sedikit banyak Joko bisa menduga. Apalagi
bila dia ingat ucapan Nyai Tandak Kembang yang tak
akan biarkan siapa pun menyentuh bayi Pitaloka.
Sementara itu, walau dirinya tengah dilanda pera-
saan tak karuan melihat kehadiran Nyai Tandak Kem-
bang dan Putri Kayangan serta Pendekar 131, namun
Pitaloka masih sempat mengkhawatirkan Umbu Kaka-
ni yang duduk di depannya.
“Nek...,” kata Pitaloka pelan. “Sebaiknya dia tak kau
hadapi sendirian....”
“Pitaloka!” sahut Umbu Kakani tanpa berpaling.
“Kau bisa bergerak bukan?! Kuharap kau menjauh!
Dan satu pesanku.... Berikan apa yang diminta Pende-
kar 131! Untuk urusan itu, terpaksa kau harus me-
nentang eyangmu kalau dia tidak memberi izin! Lekas
lakukan!”
Perlahan-lahan Pitaloka bergerak bangkit. Tanpa
berani memandang pada Nyai Tandak Kembang, gadis
saudara kembar Putri Kayangan ini melangkah men-
dekati Kigali.
“Pitaloka....” Putri Kayangan berbisik dengan suara
tersendat dan mata berkaca-kaca. Saat lain dia me-
lompat dan tegak di samping Pitaloka. Karena tak da-
pat menahan perasaan, begitu injakkan kaki, Putri
Kayangan segera memeluk saudaranya.
Pitaloka tak bisa membendung rasa haru. Dia sege-
ra memeluk Putri Kayangan dan kejap lain kedua gadis
ini sama terisak saling berpelukan.
“Kuharap kau memaafkan sikapku tempo hari, Be-
da...,” bisik Pitaloka dengan bahu berguncang.
“Lupakan semua itu.... Kita harus segera tinggalkan
tempat ini bersama bayimu, Pitaloka!”
“Anakku telah mati, Beda.... Lebih dari itu tak pan-
tas rasanya aku bersamamu lagi! Kau kini tahu siapa
diriku.... Benar kata Eyang. Manusia sepertiku tak la-
yak diberi hidup!”
“Mungkin Eyang masih marah hingga berucap begi-
tu! Kau harus mengerti keadaan Eyang saat ini. Dia
terkejut dan malu.... Apalagi selama ini Eyang tidak
percaya dengan ucapan beberapa orang sahabat Pen-
dekar 131....”
“Kau beruntung, Beda.... Tidak seperti aku!”
“Kau tidak boleh berkata begitu, Pitaloka! Semua ini
terjadi bukan karena kehendakmu, bukan?!”
“Aku memang bukan gadis baik-baik, Beda.... Tapi
aku belum bisa untuk melakukan tindakan di luar ba-
tas! Jahanam itu memperkosaku tanpa aku bisa ber-
buat apa-apa! Dan aku tak akan bisa hidup tenang se-
lamanya sebelum membayar tuntas tindakannya!”
“Kau tak usah berpikir terlalu jauh, Pitaloka! Kau
tahu siapa yang akan kau hadapi!”
“Mati pun aku tidak menyesal kalau untuk mem-
bayar semua ini!” kata Pitaloka dengan suara bergetar.
“Tidak, Pitaloka! Itu bunuh diri.... Dan itu akan
membuat Eyang makin kecewa! Percayalah.... Eyang
pasti dapat mengerti!”
“Kalau Eyang mengerti, pasti dia tak akan mengha-
langi niatku! Juga niatku untuk memberi izin pada
Pendekar 131 mengambil benda merah di pusar anak-
ku!”
Putri Kayangan lepaskan pelukannya. Dia pandangi
wajah Pitaloka. “Kuharap kau juga tidak menghalangi
niatku meski aku tahu Eyang memerintahmu untuk
menjaga anakku!” Pitaloka sambungi ucapannya.
Putri Kayangan melirik pada Nyai Tandak Kembang
lalu pada murid Pendeta Sinting.
“Beda Kumala.... Aku tahu bagaimana perasaanmu!
Juga bagaimana perasaanmu pada Pendekar 131!”
Paras wajah Putri Kayangan seketika berubah. Dia
sudah buka mulut. Tapi Pitaloka mendahului. “Kau
tak perlu sembunyikan sesuatu padaku, Beda.... Sejak
pertemuan kita tempo hari, aku sudah bisa membaca
perasaanmu pada pemuda itu! Kau memang pantas....
Untuk itulah aku minta padamu jangan halangi
niatku! Ini juga demi kau! Kau tak ingin pemuda itu
menghadapi rintangan besar, bukan?!”
Putri Kayangan tak bisa menjawab. Sebaliknya
langsung memeluk kembali tubuh Pitaloka karena ha-
rus mendengar ucapan saudara kembarnya.
“Pitaloka.... Sebenarnya aku tadi enggan untuk me-
lakukan perintah Eyang. Tapi kau tahu sendiri.... Da-
lam keadaan seperti saat ini, aku serba salah....”
“Beda.... Serahkan semua itu padaku! Aku yang
akan menghadapi Eyang....”
Habis berucap begitu, Pitaloka lepaskan pelukan
saudara kembarnya. Dia tabahkan hati dan beranikan
diri memandang pada Nyai Tandak Kembang yang se-
dari tadi terus perhatikan kedua cucunya.
Namun sebelum Pitaloka sempat berucap sesuatu,
tiba-tiba di depan sana Lingga Buana buka takupan
kedua tangannya. Kejap lain kedua tangannya mem-
buka dan didorong ke arah Umbu Kakani.
“Singkirkan bayi itu!” teriak Umbu Kakani. Saat
bersamaan perempuan berambut putih awut-awutan
ini sentakkan pantatnya ke lantai di mana dia duduk.
Sosoknya melesat ke udara. Tanpa membuat gerakan
jungkir balik, di atas udara kembali dia sentakkan tu-
buhnya. Kini sosoknya melesat ke depan dengan jung-
kir balik berputar-putar.
Wusss! Wusss!
Gelombang kabut tipis yang mencuat dari dorongan
kedua tangan Lingga Buana melesat ganas tiga jengkal
di bawah sosok Umbu Kakani. Lalu melaju lurus ke
tempat di mana tadi Umbu Kakani duduk. Karena
Umbu Kakani telah melesat, gelombang kabut putih ti-
pis menghantam tempat kosong dan terus melabrak ke
depan. Di depan sana tampak tumpukan jerami di
mana bayi Pitaloka tergolek.
Kigali, Nyai Tandak Kembang, murid Pendeta Sin-
ting sudah hendak berkelebat selamatkan si bayi. Na-
mun sebelum ketiga orang ini bergerak, Pitaloka yang
berada paling dekat dengan si bayi langsung bergerak
menyambar anaknya dan melompat ke arah Pendekar
131.
Sementara di sebelah depan, sosok Umbu Kakani
terus jungkir balik mendekati Lingga Buana. Empat
langkah lagi sampai, mendadak Umbu Kakani henti-
kan jungkir baliknya. Kini dia membelakangi Lingga
Buana dalam posisi setengah menungging. Sementara
sosoknya makin cepat melesat!
Lingga Buana sempat terkesima. Saat lain tiba-tiba
kedua tangannya dikelebatkan seraya melompat me-
nyongsong sosok Umbu Kakani.
Bukkk! Bukkk!
Kedua tangan Lingga Buana menghantam tepat
pantat Umbu Kakani. Sosok Umbu Kakani terhenti
dan mental di udara satu tombak ke belakang. Namun
Lingga Buana terlengak.
Kedua tangannya yang menghantam pantat Umbu
Kakani tadi telah dialiri tenaga dalam tinggi. Sosok
Umbu Kakani memang terpental. Namun bukannya
langsung jatuh terjerembab dengan pantat hancur,
melainkan terpental ke belakang lalu melayang turun
perlahan-lahan dan saat lain telah duduk di seberang
depan dengan bibir sunggingkan senyum! Bukan
hanya itu saja, kedua tangan Lingga Buana sempat
mencelat balik begitu menghantam pantat Umbu Kakani. Sosoknya pun terjajar dua langkah. Kedua tan-
gannya bergetar keras. Dia merasakan baru saja
menghantam bongkahan batu keras!
Bersamaan dengan terdengarnya benturan kedua
tangan Lingga Buana dengan pantat Umbu Kakani, di
depan sana terdengar ledakan menggelegar. Kepingan
batu tampak bertabur ke udara dengan disemburati je-
rami yang telah hancur lebur!
Putri Kayangan dan Kigali yang tadi tegak di sebelah
tumpukan jerami telah melompat dan tegak menjauh
sebelum pukulan Lingga Buana menghantam tumpu-
kan jerami.
Sementara itu melihat Pitaloka menyambar anaknya
dan melompat ke arahnya, murid Pendeta Sinting bu-
ru-buru menyongsong. Nyai Tandak Kembang sudah
berteriak.
Namun sebelum suara teriakannya terdengar, men-
dadak Malaikat Berkabung sudah sentakkan kedua
tangannya ke arah Pendekar 131!
“Pendekar 131! Awas!” Pitaloka berseru lalu cepat-
cepat belokkan lompatan. Bayi di tangannya didekap
erat-erat.
Murid Pendeta Sinting urungkan niat menyongsong
Pitaloka. Dia cepat putar diri. Saat lain kedua tangan-
nya sudah bergerak lepaskan pukulan.
Wuutt! Wuutt!
Blammm! Blammm!
Dua gelegar beruntun segera terdengar begitu pu-
kulan Malaikat Berkabung dihadang pukulan murid
Pendeta Sinting. Kedua pemuda ini sama tersurut satu
tindak.
Malaikat Berkabung kertakkan rahang. Kejap lain
kedua tangannya dibuka lalu diangkat di depan wajah
dengan jari tengah saling ditemukan.
Karena sudah tahu apa yang akan dilakukan Malai
kat Berkabung, Joko cepat pula kerahkan tenaga da-
lam siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’.
“Pitaloka! Bergabunglah dengan Putri Kayangan dan
kakek itu!” teriak Pendekar 131 seraya angkat kedua
tangannya. Saat itu kedua tangannya telah disembura-
ti sinar berwarna kuning. Tanda dia siap lepaskan pu-
kulan ‘Lembur Kuning’.
Pitaloka tak pikir panjang. Dia segera melompat lagi
ke arah Putri Kayangan dan Kigali yang tegak tidak
berjauhan. Bersamaan itu tiba-tiba Malaikat Berka-
bung sudah dorong kedua tangannya. Murid Pendeta
Sinting tidak menunggu. Kedua tangannya segera pula
didorong.
Dari kedua tangan Malaikat Berkabung melesat ka-
but hitam tipis. Di seberang, terdengar deruan gelom-
bang dahsyat yang disertai semburatnya sinar kuning
dengan membawa hawa panas luar biasa.
Bummmm!
Ruangan di bawah Lembah Patah Hati laksana di-
landa gempa luar biasa. Malah bibir lobang masuk ke
ruangan langsung terbongkar dan longsor! Sosok Ma-
laikat Berkabung dan murid Pendeta Sinting sama ter-
pental ke belakang. Malaikat Berkabung terhuyung
dan jatuh terduduk tepat di bawah lobang masuk yang
baru saja longsor. Di lain pihak, sosok murid Pendeta
Sinting juga terhuyung tapi tak tampak terjatuh meski
kedua lututnya sempat menekuk.
Malaikat Berkabung pentangkan mata. Lalu berge-
rak bangkit. Namun baru saja tegak, tubuh bagian
atasnya tertekuk sedikit ke depan. Mulutnya mengem-
bung. Kejap lain mulutnya semburkan darah! Tanda
pemuda ini telah terluka dalam cukup parah.
Murid Pendeta Sinting pun ternyata bukan tidak
mengalami luka dalam akibat bentroknya pukulan. Ka-
rena begitu dia kerahkan tenaga dalam kembali, da
danya terasa sesak. Saat tangan kanannya diangkat ke
mulut dan ditarik pulang, punggung tangannya telah
terpercik darah!
Rupanya Lingga Buana sadar akan keadaan Malai-
kat Berkabung hingga dia urungkan niat yang hendak
lepaskan pukulan lagi ke arah Umbu Kakani. Kakek
berambut putih jabrik ini berpaling pada muridnya, la-
lu berkata.
“Jurus ‘Jalur Bertangga’!”
Malaikat Berkabung mengerti maksud gurunya.
Saat itu juga dia melompat ke arah Lingga Buana. Na-
mun belum sampai bergerak, ruangan itu dibuncah
bau tak sedap! Belum sampai tahu apa sebabnya, dari
lobang yang sebagian telah longsor mengucur air ber-
warna kekuningan dan langsung mengguyur Malaikat
Berkabung!
Malaikat Berkabung memaki tak karuan begitu
maklum air apa yang telah mengguyur tubuhnya. Dia
batalkan niat melompat, sebaliknya dengan dada dide-
ra kemarahan luar biasa, kedua tangannya segera me-
nyentak ke atas.
Namun belum sampai pemuda itu sempat sentak-
kan kedua tangannya, dari lobang di atas sana melun-
cur deras dua benda.
Prakk! Prakk!
Malaikat Berkabung hantam kedua benda yang me-
luncur ke arahnya hingga kedua benda yang ternyata
dua buah bumbung bambu pecah berantakan. Namun
Malaikat Berkabung makin kalap ketika begitu bum-
bung bambu pecah, saat itu juga muncrat lagi cairan
tak sedap mengguyur tubuhnya!
Saat bersamaan, terdengar suara gelakan tawa ber-
talu-talu yang diseling dengan suara bersinan berulang
kali lalu ditingkah dengan suara Uuukk! Uuukk! Ukkk!
Malaikat Berkabung usap wajahnya yang basah
kuyup dengan menahan napas dan mata terpejam. Pa-
ras pemuda itu tidak bisa lagi dibayangkan. Sosoknya
bergetar keras, rahangnya terangkat. Begitu matanya
terbuka langsung terpentang besar. Namun karena
khawatir masih ada air kencing yang akan mengguyur,
dia tidak berani tengadah, sebaliknya melompat den-
gan kedua tangan terangkat dan jari tengah saling di-
temukan.
“Jahanam-jahanam itu harus kita hancurkan dahu-
lu!” kata Malaikat Berkabung. Walau dia tidak meng-
hadap Lingga Buana, namun si kakek dapat menang-
kap maksud ucapan Malaikat Berkabung. Hingga saat
itu juga dia melompat dan langsung tegak di belakang
Malaikat Berkabung dengan kedua tangan ditempelkan
di punggungnya.
Mendadak suara buncahan gelakan tawa di atas
sana putus. Saat lain dari lobang muncul satu sosok
tubuh. Orang ini melayang turun dengan posisi teng-
kurap! Dia adalah seorang nenek mengenakan pakaian
atas berupa baju tanpa lengan dan cingkrang. Pakaian
bawahnya berupa celana pendek di atas lutut berwar-
na merah. Rambutnya yang putih dikelabang dua. Ba-
gian depannya diponi. Wajahnya dibedaki tebal dan bi-
birnya dipoles merah menyala. Nenek ini tidak lain
adalah Dayang Sepuh.
Dayang Sepuh melayang turun perlahan-lahan.
Ternyata dia tidak sendirian. Begitu sosok si nenek ter-
lihat, di atasnya telah terlihat pula satu sosok tubuh
melayang dengan posisi tengkurap pula. Malah kedua
tangannya ditempelkan pada punggung Dayang Sepuh.
Dia adalah seorang perempuan berusia lanjut menge-
nakan pakaian agak gombrong. Wajahnya tidak begitu
jelas karena selain tertutup sebagian rambutnya, juga
terlindungi kerudung hitam panjang yang ada di atas
kepalanya. Nenek ini bukan lain adalah Dewi Ayu
Lambada.
Dewi Ayu Lambada melayang dengan pantat di-
goyang-goyangkan. Dan ternyata dia tidak bergoyang
sendirian. Begitu sosok Dewi Ayu Lambada terlihat, di
atasnya muncul lagi satu sosok tubuh. Orang yang
muncul di atas Dewi Ayu Lambada bukannya dalam
posisi tengkurap, tapi telentang dengan kedua kaki se-
dikit dijungkatkan ke atas hingga pantatnya mencuat
ke bawah. Pantat orang ini ditempelkan pada pantat
Dewi Ayu Lambada dan ikut digoyang-goyang! Dia ada-
lah seorang kakek berwajah tirus panjang. Kakek ini
tidak memiliki leher dan mulutnya menganga lebar
seolah ingin perlihatkan giginya yang ompong. Dia ti-
dak lain memang adalah tokoh rimba persilatan yang
dikenal dengan Iblis Ompong.
Di atas sosok Iblis Ompong, ternyata masih muncul
lagi satu sosok tubuh. Orang ini melayang turun den-
gan duduk mencangklong di atas kedua kaki Iblis Om-
pong yang terjungkat ke atas. Dia adalah seorang ka-
kek berpakaian agak lusuh. Kedua tangannya tampak
ditadangkan di belakang kedua telinganya! Dia bukan
lain adalah tokoh bisu dan tuli yang berjuluk Dewa
Uuk.
Dayang Sepuh yang berada di bawah tiba-tiba
membuat gerakan jungkir balik satu kali lalu tegak di
atas lantai ruangan dengan kedua tangan merangkap
di depan dada. Sepasang matanya dipicingkan me-
mandang pada Malaikat Berkabung.
Di belakang Dayang Sepuh, Dewi Ayu Lambada
membuat gerakan jungkir balik pula. Lalu tegak di be-
lakang Dayang Sepuh dengan kedua tangan menempel
di punggung nenek bercelana pendek merah itu.
Iblis Ompong tidak tinggal diam. Tanpa memberi
tahu Dewa Uuk yang duduk di atas kedua kakinya, dia
membuat gerakan jungkir balik. Dewa Uuk terkesiap
kaget. Sosoknya langsung terpental ke atas. Sementara
Iblis Ompong terus melayang turun dan tegak membe-
lakang di belakang Dewi Ayu Lambada. Sesaat kakek
ompong ini tengadahkan sedikit kepalanya dengan mu-
lut dibuka lebar-lebar. Saat lain dia bungkukkan tu-
buh. Pantatnya ditempelkan pada pantat Dewi Ayu
Lambada yang terus bergerak-gerak.
Begitu pantat Iblis Ompong menempel pada pantat
Dewi Ayu Lambada, tiba-tiba sosok Dewa Uuk me-
layang jatuh dan langsung duduk di hadapan Iblis
Ompong dengan kedua tangan tetap ditadangkan di
belakang telinganya. Iblis Ompong sendiri segera ge-
rakkan kedua tangannya dan diletakkan di atas pun-
dak kanan kiri Dewa Uuk yang duduk di hadapannya.
Dayang Sepuh buka rangkapan kedua tangannya.
Bukannya untuk apa, melainkan rapikan poni di de-
pan keningnya. Sementara tangan satunya kibas-
kibaskan kelabangan rambutnya.
Dewi Ayu Lambada tarik pulang kedua tangannya
yang menempel di punggung Dayang Sepuh lalu rapi-
kan kerudung hitamnya yang menjulai panjang sampai
depan perutnya. Saat kemudian nenek berkerudung
hitam ini kembang-kempiskan hidung, kepalanya ber-
gerak ke kanan kiri lalu ke bawah. Tiba-tiba nenek ini
melonjak berjingkrak-jingkrak.
“Sialan! Kepalaku.... Eh, kakiku menginjak air surga
itu!” serunya.
Dayang Sepuh terkejut. Tanpa sadar dia gerakkan
kepalanya memandang ke bawah.
“Setan! Kakiku juga menginjak air setan itu!” te-
riaknya lalu ikut berjingkrak-jingkrak! Dan melompat
ke samping. Dewi Ayu Lambada bantingkan kaki sekali
lagi lalu ikut melompat dan kembali tegak di belakang
Dayang Sepuh dengan kedua tangan sudah menempel
di punggung Dayang Sepuh.
Iblis Ompong hentikan goyangan pantatnya. Lalu
kepalanya ikut-ikutan memandang ke bawah. Dia ber-
gumam tak jelas namun saat itu juga dia tarik pulang
kedua tangannya dari pundak Dewa Uuk dan melom-
pat lalu tegak kembali di belakang Dewi Ayu Lambada
dengan posisi tetap menungging dan pantat ditempel-
kan pada pantat Dewi Ayu Lambada.
Dewa Uuk sesaat bengong. Dia gerakkan kepalanya
pandangi ketiga orang yang telah tegak di samping.
Seolah belum mengerti apa yang terjadi, kakek bisu
dan tuli ini arahkan telunjuknya pada ketiga orang te-
mannya lalu buka mulut.
“Uuukkk! Uuukk! Uuuukkk!” Kepalanya bergerak-
gerak ke depan ke belakang memberi isyarat minta ke-
terangan ada apa.
Dayang Sepuh berpaling. “Dasar setan budek! Apa
dia tidak merasa kalau celananya basah?!” gumamnya
seraya perhatikan pakaian bagian bawah Dewa Uuk.
“Setan itu adikmu, bukan?!” ujar Dayang Sepuh
pada Dewi Ayu Lambada. “Kau tentu bisa memberi
isyarat bagaimana menerangkan kalau celana bawah-
nya sudah basah terkena air kencing dua setan tua di
atas sana tadi!”
“Dia memang adikku!” kata Dewi Ayu Lambada.
“Tapi aku sendiri tak tahu bagaimana isyarat ucapan-
mu tadi! Kau saja yang memberi isyarat! Lagi pula dia
kurang percaya kalau aku yang memberi tahu!”
“Setan Uuk!” teriak Dayang Sepuh. “Cepat pindah
dari tempat itu! Lihat celanamu sudah basah terkena
air setan!”
Dewa Uuk tadangkan kembali kedua tangan di be-
lakang kedua telinganya. Namun agaknya dia belum
bisa mendengar ucapan Dayang Sepuh. Karena tangan
kanannya bergerak-gerak membuka menutup memberi
isyarat agar Dayang Sepuh perkeras suaranya.
“Mana dia mengerti air setan! Katakan saja air kenc-
ing!” kata Dewi Ayu Lambada.
Karena sudah agak jengkel, Dayang Sepuh tidak
buka suara lagi. Melainkan memberi isyarat dengan
menunjuk bagian bawah tubuh Dewa Uuk yang tengah
duduk.
Dewa Uuk terkesiap kaget. Kedua tangannya cepat
ditarik dan menakup ke bagian bawah tubuhnya tepat
di pangkal paha, karena tempat itu yang tadi ditunjuk-
tunjuk oleh tangan Dayang Sepuh.
“Uuukk! Uuukk! Uuukkk!” Dewa Uuk buka mulut
dengan kepala menggeleng-geleng. Kedua tangannya
makin erat menakup selangkangannya.
“Dasar tolol!” maki Dayang Sepuh. Lalu berteriak
keras. “Burung setanmu tidak apa-apa! Tapi lihat tem-
patnya burung setanmu itu!”
Dewa Uuk tersenyum lega. Lalu menunduk dan me-
lihat bagian bawah. Kakek ini sesaat kerutkan dahi
tatkala merasakan kedua tangannya basah. Perlahan-
lahan dia tarik kedua tangannya lalu diangkat ke de-
pan hidungnya. Hidungnya kembang-kempis sejenak.
Saat lain dikibas-kibaskan dan serentak bergerak
bangkit.
“Uuukkk! Uuukkk! Uuukkk!” Dewa Uuk buka mulut
seraya menunjuk-nunjuk ke lobang lalu salah satu
tangannya diletakkan di bawah perutnya dengan men-
gepal dan jari telunjuk mencuat!
Dayang Sepuh tertawa terbahak. Dewi Ayu Lamba-
da tertawa tertahan-tahan. Iblis Ompong buka mulut-
nya makin lebar tanpa perdengarkan suara.
“Uuukk! Uuukkk! Uuukkk!” Kembali Dewa Uuk bu-
ka mulut lalu melompat dengan tangan kiri kibas-
kibaskan pakaian di bagian pantatnya.
Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada putuskan
tawa masing-masing. Iblis Ompong cepat takupkan
mulutnya rapat-rapat dengan mata dipejamkan. Saat
kemudian ketiga orang ini berlompatan semburat. Ka-
rena dari pakaian bagian bawah Dewa Uuk muncrat
percikan air kencing yang tadi diduduki si kakek!
Saat itulah, Malaikat Berkabung yang dari tadi per-
hatikan orang dengan dada bergemuruh, sentakkan
kedua tangannya!
***
TIGA
MESKI tadi sudah terluka dalam akibat bentrok
dengan murid Pendeta Sinting, namun karena kali ini
Lingga Buana ikut menggebrak dengan salurkan tena-
ga dalam lewat kedua tangannya yang ditempelkan pa-
da punggung Malaikat Berkabung, maka dari kedua
tangan si pemuda bermantel hitam ini melesat dua
rangkum gelombang luar biasa dahsyat yang begitu
melesat langsung melebar hingga walau saat itu keem-
pat orang di hadapannya sama berpencar, tapi tak sa-
tu pun dari mereka yang bisa enak-enakan lolos dari
sergapan gelombang. Dan saat itu juga Malaikat Ber-
kabung rasakan luka dalamnya agak berkurang. Ini
karena selain menambah daya pukulan, kedua tangan
Lingga Buana juga meredam luka dalam yang dialami
Malaikat Berkabung.
Dayang Sepuh, Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong,
dan Dewa Uuk sama terkejut dan mata masing-masing
orang terpentang besar-besar saling pandang satu sa-
ma lain. Karena tak ada kesempatan lagi bagi mereka
untuk melompat dan bergabung, maka akhirnya ma-
sing-masing orang terpaksa menghadang pukulan
yang datang dengan sendiri-sendiri.
Dayang Sepuh takupkan kedua tangan di depan
wajah. Lalu dibuka dan disentakkan ke depan. Dewi
Ayu Lambada angkat kedua tangannya lalu seraya
goyangkan pantat dia menghadang dengan mendorong
kedua tangannya. Iblis Ompong cepat balikkan tubuh,
kedua tangannya segera disentakkan ke belakang dari
bawah pinggangnya. Dewa Uuk gerakkan kedua tan-
gannya kibaskan pakaiannya yang basah.
Tempat itu seketika dibuncah deruan-deruan dah-
syat yang melesat dari kedua tangan Dayang Sepuh
dan Dewi Ayu Lambada. Disusul dengan mencuatnya
dua bongkahan awan dari kedua tangan Iblis Ompong
yang makin lama makin besar dan bergerak naik tu-
run. Lalu ditingkah dengan sapuan-sapuan dahsyat
yang dibarengi muncratnya percikan air dari kibasan
kedua tangan Dewa Uuk.
Bummm! Bummm! Bummm!
Ruangan di bawah Lembah Patah Hati bergetar he-
bat. Gelombang angin bertenaga dalam tinggi yang sal-
ing bentrok timbulkan gelegar dahsyat lalu sama am-
byar. Bongkahan awan dari kedua tangan Iblis Om-
pong pecah berantakan. Percikan air dari kibasan ke-
dua tangan Dewa Uuk langsung amblas menguap lak-
sana embun terkena sinar matahari!
Sosok Malaikat Berkabung dan Lingga Buana terdo-
rong deras ke belakang dan jatuh bertindihan. Dari
mulut Malaikat Berkabung kembali kucurkan darah.
Lingga Buana sendiri tampak berubah paras. Dia me-
rasakan mulutnya asin. Tapi karena tak mau diketahui
kalau dirinya terluka dalam dan kucurkan darah dari
mulut, kakek ini cepat katupkan mulut rapat-rapat
dan salurkan tenaga dalam. Saat lain dia sentakkan
kedua tangannya lalu bergerak bangkit. Tangan kiri-
nya dijulurkan pada Malaikat Berkabung untuk meno-
long si pemuda berdiri.
Di seberang sana, sosok Dayang Sepuh terjajar lima
langkah. Sosoknya melengkung karena kedua kakinya
tertekuk. Namun sejengkal lagi pantatnya menyentuh
lantai, tiba-tiba kedua lututnya yang telah berada di
lantai bergerak menghentak. Saat itu juga sosok
Dayang Sepuh melenting ke atas lalu melayang turun
dan tegak kokoh di atas lantai dengan bibir sungging-
kan senyum. Tangan kanan kirinya terangkat lalu ra-
pikan geraian poni rambutnya!
Dewi Ayu Lambada juga tampak terpental ke bela-
kang saat terdengar gelegar. Nenek berpakaian agak
gombrong yang juga adalah kakak kandung Dewa Uuk
ini sesaat perdengarkan seruan tertahan ketika tubuh-
nya hendak jatuh terjerembab di atas lantai. Namun
dua jengkal lagi sosoknya menghantam lantai, seruan-
nya terputus. Kejap lain terdengar suara Beett! Betttt!
Satu benda panjang hitam melesat dan tegak di atas si
nenek.
Dewi Ayu Lambada tertawa, lalu perlahan-lahan so-
soknya merambat naik melalui benda hitam panjang
yang tegak mengapung ternyata adalah kerudung hi-
tam si nenek! Hebatnya meski kerudung hitam itu ter-
buat dari kain, namun tidak melengkung saat sosok
Dewi Ayu Lambada merambat naik! Bahkan hingga si
nenek sampai di ujung bagian atas kerudung!
Iblis Ompong yang sosoknya juga mental ke depan
begitu terdengar gelegar, segera julurkan kedua tan-
gannya. Lalu bagian atas tubuhnya ditekuk. Saat lain
sosoknya terhenti dengan kedua tangan di atas lantai
menopang tubuhnya dalam posisi menungging dan
perhatikan Malaikat Berkabung serta Lingga Buana
dari sela kedua kakinya yang direnggangkan lebar-
lebar!
Dewa Uuk tak luput dari bias bentroknya beberapa
pukulan hingga sosoknya juga terpelanting ke belakang malah tampak terbanting di udara! Lalu me-
layang jatuh ke bawah. Entah karena tidak dapat kua-
sai diri, Dewa Uuk tidak membuat gerakan apa-apa
untuk menahan tubuhnya dari benturan dengan lantai
hingga sosoknya terus melayang deras menghantam
lantai!
“Sialan! Apa dia sudah ingin mampus?!” seru Dewi
Ayu Lambada dari atas kerudung hitamnya. Sepasang
matanya mendelik besar mengawasi sosok Dewa Uuk.
Dan begitu dilihatnya Dewa Uuk tidak berbuat apa-
apa, seraya mengomel panjang pendek, si nenek ge-
rakkan tangan kanan.
Beeett!
Ujung bagian bawah kerudung hitam berkelebat.
Sosok Dewi Ayu Lambada yang berada di bagian atas
ikut melayang mengikuti kelebatan ujung bawah keru-
dung hitam yang melesat ke arah sosok Dewa Uuk.
Satu jengkal lagi sosok Dewa Uuk menghantam lan-
tai, tiba-tiba ujung bawah kerudung hitam menyam-
bar. Saat lain sosok Dewa Uuk terangkat ke udara
dengan kedua ketiak telah terlilit kerudung hitam.
Dewi Ayu Lambada membuat satu kali gerakan lagi.
Sosoknya yang berada di atas kerudung melesat ke
arah Iblis Ompong. Sosok Dewa Uuk ikut pula me-
layang.
Plukkk!
Tepat berada di atas tubuh Iblis Ompong yang me-
nungging, Dewi Ayu Lambada sentakkan kerudung hi-
tamnya. Sosok Dewa Uuk terlepas dan jatuh terduduk
tepat di atas punggung Iblis Ompong!
Sesaat Iblis Ompong hanya senyum-senyum. Se-
mentara Dewa Uuk telengkan kepala ke samping kiri
kanan lalu ke atas melihat sosok Dewi Ayu Lambada.
Kepalanya digerakkan pulang balik ke depan ke bela-
kang dengan kedua tangan menakup di depan dada
memberi isyarat berterima kasih.
“Sialan! Bau apa ini? Dan punggungku terasa ba-
sah!” Tiba-tiba Iblis Ompong bergumam. Lalu tarik ke-
palanya dan dipalingkan ke atas punggungnya.
“Sialan! Sialan!” Kembali Iblis Ompong memaki ke-
tika mendapati sosok Dewa Uuk nongkrong di atas
punggungnya. “Pakaian dan punggungku terkena pa-
kaiannya yang basah air kencing!”
Karena tidak mendengar gumaman Iblis Ompong,
Dewa Uuk masih enak-enakan saja duduk di atas
punggung Iblis Ompong.
Iblis Ompong tekuk kedua kakinya. Lalu disentak-
kan ke atas. Dewa Uuk terkejut mendapati dirinya
mencelat ke atas. Namun karena menduga Dewi Ayu
Lambada akan menolongnya lagi, dia tidak berusaha
membuat gerakan apa-apa meski sosoknya telah me-
layang kembali ke bawah. Lagi pula dia masih mengira
jika jatuhnya akan di atas punggung orang. Dia tidak
tahu, kalau bersamaan dengan mencelatnya sosok
Dewa Uuk, Iblis Ompong melompat ke samping dan
kembali menungging berjarak lima langkah dari tem-
patnya semula.
Kesadaran Dewa Uuk baru muncul tatkala dia tidak
merasakan kelebatan kerudung Dewi Ayu Lambada
dan empuknya punggung orang meski sosoknya sudah
setengah depa lagi dari lantai. Kakek ini segera mem-
buat gerakan. Namun terlambat.
Bukkk!
Dewa Uuk jatuh terduduk di atas lantai dengan
pantat menghantam keras ke lantai di bawahnya. Ka-
kek ini berseru. Namun yang terdengar adalah suara
Uukkk! Uukkk! Uuukk! berulang kali.
“Setan-setan!” teriak Dayang Sepuh. “Mengapa ka-
lian masih juga bergurau! Lihat ke depan!”
Dewi Ayu Lambada turuti ucapan Dayang Sepuh.
Iblis Ompong melihat melalui sela kedua kakinya.
Hanya Dewa Uuk yang telengkan kepala ke kanan kiri
karena tidak mendengar seruan Dayang Sepuh.
Di depan sana, ternyata Malaikat Berkabung dan
Lingga Buana telah tegak dengan Malaikat Berkabung
di depan dan Lingga Buana di belakangnya. Kedua
tangan Lingga Buana telah menempel kembali pada
punggung muridnya. Sementara kedua tangan Malai-
kat Berkabung telah terbuka dengan jari tengah saling
ditemukan dan siap lepaskan pukulan!
Dayang Sepuh segera memberi isyarat. Dewi Ayu
Lambada berkelebat lalu melayang turun dan tegak di
belakang Dayang Sepuh. Sesaat dia tekuk kerudung
hitamnya lalu dikenakan di atas kepalanya. Iblis Om-
pong terbengong sesaat, lalu melompat dan menungg-
ing di belakang Dewi Ayu Lambada dengan pantat di-
tempelkan pada pantat si nenek yang sudah mulai
bergerak bergoyang-goyang.
Melihat ketiga temannya tegak berbaris, Dewa Uuk
mengerti. Dia cepat berkelebat masih dengan posisi
duduk dan duduk ongkang-ongkang di hadapan Iblis
Ompong.
Namun begitu duduk, Dewa Uuk segera kerutkan
dahi. Tangan kirinya ditarik ke atas lalu pencet hi-
dungnya. Tangan kanan menunjuk-nunjuk pada Iblis
Ompong.
“Sialan! Kau yang bau kencing! Bukan aku!” bentak
Iblis Ompong. Lalu angkat sebelah tangannya untuk
menutup hidungnya. Namun karena mulutnya terbuka
lebar, mau tak mau hidungnya tidak bisa tertutup ra-
pat. Hingga dia kembali memaki-maki Dewa Uuk! Se-
mentara di hadapannya, Dewa Uuk terus tunjuk-
tunjuk Iblis Ompong seraya tertawa bergelak-gelak!
Di belakang Iblis Ompong, mendadak Dewi Ayu
Lambada hentikan goyangan pantatnya. Hidungnya
kembang-kempis. “Astaga! Bukankah punggung ma-
nusia ompong tadi terkena air kencing?!” gumam Dewi
Ayu Lambada. “Jangan-jangan pantatku sudah basah
pula!”
Khawatir akan hal itu, Dewi Ayu Lambada segera
berpaling ke belakang. Namun belum sampai kepala-
nya bergerak, Dayang Sepuh sudah membentak.
“Apa kalian ingin mampus?! Cepat salurkan tenaga
setan kalian!”
Dewi Ayu Lambada batalkan niat berpaling. Dia ce-
pat salurkan tenaga dalam melalui kedua tangannya
yang ditempelkan pada punggung Dayang Sepuh. Iblis
Ompong segera pula salurkan tenaga dalam melalui
pantatnya yang ditempelkan pada pantat Dewi Ayu
Lambada. Di belakang sendiri, Dewa Uuk segera pe-
gangi kedua tangan Iblis Ompong lalu salurkan tenaga
dalam.
Di seberang depan, Malaikat Berkabung dan Lingga
Buana sudah pejamkan mata masing-masing. Sosok
keduanya bergetar. Tanda kali ini kedua guru dan mu-
rid ini kerahkan hampir seluruh tenaga dalam mereka.
Namun belum sampai tangan Malaikat Berkabung
bergerak lepaskan pukulan dengan tenaga dalam be-
rantai, Umbu Kakani yang dari tadi melihat tingkah
empat orang di depan sana dengan senyum-senyum,
perdengarkan suara keras.
“Lingga Buana! Kedatanganmu bukan untuk mere-
ka! Aku pun tak menginginkan nyawamu putus den-
gan tangan orang lain!”
Mungkin khawatir Lingga Buana dan Malaikat Ber-
kabung tidak hiraukan bentakannya dan teruskan le-
pas pukulan ke arah empat orang di seberang sana,
Umbu Kakani gerakkan bagian atas tubuhnya lalu di-
dorong ke depan.
Beettt!
Satu gelombang angin menggebrak ganas ke arah
Lingga Buana yang tegak di belakang Malaikat Berka-
bung.
Lingga Buana terkesiap. Kalau dia teruskan salur-
kan tenaga dalam pada Malaikat Berkabung dan me-
maksakan diri agar Malaikat Berkabung melepas pu-
kulan, maka tak ampun lagi sosoknya akan terhantam
gelombang dahsyat yang datang dari arah belakang.
Berpikir sampai ke sana, dengan kertakkan rahang
Lingga Buana tarik pulang kedua tangannya dari
punggung Malaikat Berkabung. Lalu mendorong sosok
Malaikat Berkabung ke samping untuk selamatkan si
murid dari gempuran gelombang.
Malaikat Berkabung terdorong ke samping. Bersa-
maan dengan itu Lingga Buana balikkan tubuh lalu
sentakkan kedua tangannya.
Brakkk!
Gelombang dahsyat yang datang langsung porak-
poranda. Sosok Umbu Kakani tampak bergoyang-
goyang. Sosok Lingga Buana sendiri tampak bergetar
keras walau tidak bergeming dari tempatnya.
Saking marahnya, Lingga Buana cepat melompat ke
depan. Umbu Kakani tidak mau berdiam diri. Dia cepat
pula melesat ke depan dengan posisi tetap duduk dan
hentikan lesatannya lima langkah di hadapan Lingga
Buana!
“Nenek itu benar-benar nekat!” gumam Pendekar
131 dari tempatnya tegak. Namun kekhawatirannya
sedikit sirna tatkala tadi sudah tahu bagaimana Umbu
Kakani sanggup menghadang pukulan kedua tangan
Lingga Buana dengan pantatnya.
“Aku tak boleh sia-siakan kesempatan ini!” kata Jo-
ko dalam hati lalu melirik pada Pitaloka yang makin
erat mendekap anaknya dan tegak berdampingan den-
gan Kigali dan Putri Kayangan. Saat lain dia arahkan
pandang matanya pada Malaikat Berkabung. Dia men-
gukur jarak. Lalu menunggu Umbu Kakani dan Lingga
Buana.
Lingga Buana menatap tajam pada Umbu Kakani.
Umbu Kakani sendiri balas hujamkan sepasang mata-
nya pada sosok Lingga Buana, laki-laki yang pernah
dicintai yang pada akhirnya berkhianat bahkan mem-
bunuh gurunya!
“Aku menyesal tak membunuhnya saat itu! Tapi
tanpa dirinya, bayi itu tak akan lahir di sini! Lagi pula
apa yang perlu ditakutkan?! Aku punya kedua tangan
dan kaki juga kekuatan! Dia punya tangan dan kaki
tapi tak bisa digunakan!” kata Lingga Buana dalam ha-
ti lalu lipat gandakan tenaga dalam pada kedua tan-
gannya.
“Sebelum kubayar nyawa Guru, ada sesuatu yang
ingin kau katakan?!” Berkata Umbu Kakani sambil
alihkan pandang matanya ke jurusan lain.
“Karena kau akan menyusul gurumu, aku titip sa-
lam padanya!” ujar Lingga Buana sambil tertawa pen-
dek. Saat lain laki-laki berambut putih jabrik ini telah
menyergap ke arah Umbu Kakani dengan kedua tan-
gan berkelebat ke arah kepala dan dada.
Umbu Kakani hentakkan pantat. Sosoknya me-
nyongsong kelebatan kedua tangan Lingga Buana. He-
batnya dia tidak berusaha mengelakkan dadanya dari
hantaman tangan orang. Dia hanya sentakkan kepa-
lanya menghindar lalu kepalanya didorong menerabas
di antara kedua tangan Lingga Buana.
Bukkk! Bukkk!
Kepala Umbu Kakani menghantam deras dada Ling-
ga Buana. Saat bersamaan tangan kanan Lingga Bua-
na menggebrak dada Umbu Kakani. Hingga terdengar
dua kali benturan keras.
Sosok Umbu Kakani mencelat ke belakang dan melayang jatuh bergulingan. Di lain pihak, Lingga Buana
terpental dan terhuyung-huyung namun segera dapat
kuasai diri meski dari mulutnya kucurkan darah.
Kalau saja seandainya Lingga Buana tadi tidak ter-
luka akibat bentrok pukulan dengan rombongan
Dayang Sepuh, mungkin saja kakek berambut putih
jabrik ini masih bisa tahan kucuran darah dari mulut-
nya. Tapi karena tadi sudah terluka dalam walau tidak
terlalu parah, begitu dadanya terhantam kepala Umbu
Kakani yang ternyata telah melatih diri selama berta-
hun-tahun, akhirnya Lingga Buana tidak bisa lagi me-
nahan kucuran darahnya.
Di seberang sana, begitu sosok Umbu Kakani berge-
rak duduk, perempuan ini sudah semburkan darah
dari mulutnya. Namun perempuan ini tampaknya su-
dah memperhitungkan segalanya. Hingga dia tidak lagi
pedulikan luka dalam yang didera. Begitu duduk dia
cepat kerahkan tenaga dalam pada dadanya. Selama
berada di ruangan bawah Lembah Patah Hati, perem-
puan ini memang sengaja melatih dada dan kepalanya,
karena anggota tubuh lainnya tidak bisa di-gunakan
lagi meski masih utuh. Ini karena racun yang diberi-
kan Lingga Buana pada beberapa puluh tahun silam.
***
EMPAT
DI TEMPAT lain, begitu Lingga Buana tadi berkele-
bat ke arah Umbu Kakani dan Umbu Kakani menyong-
song, Pendekar 131 segera melesat ke arah Pitaloka.
Pitaloka! Harap kau mengerti apa maksudku. Wak-
tu kita tidak banyak!” kata Joko seraya arahkan pan-
dangannya pada Nyai Tandak Kembang.
Pitaloka anggukkan kepala. Kedua tangannya yang
mendekap erat anaknya segera direnggangkan dan
perlahan-lahan disorongkan pada Joko. Joko segera
berpaling dan menatap tajam pada pusar bayi di mana
terlihat benda bulat sebesar kelereng menempel pada
pusarnya.
“Umbu Kakani, kakek itu dan Pitaloka gagal men-
gambil benda merah itu. Apakah aku sanggup?!” Se-
saat Joko tercenung bimbang. Namun saat lain tangan
kanannya segera menjulur ke depan, sementara tan-
gan kiri ikut pula bergerak pegangi bagian pinggang
bayi Pitaloka.
Dengan tangan gemetar dan dada berdebar, murid
Pendeta Sinting mulai menyentuh benda bulat merah
di pusar bayi Pitaloka. Namun belum sampai Joko me-
narik benda merah, satu sosok putih berkelebat dan
tegak di samping Pitaloka. Satu tangan menahan gera-
kan tangan kanan Joko. Lalu terdengar suara.
“Kau teruskan maksudmu, berarti kau buat pang-
kal sengketa denganku!”
Joko angkat kepalanya. Nyai Tandak kembang tegak
memandang tak berkesip. Tangan kanan menahan
tangan Joko, tangan kiri sedikit terangkat ke atas.
Eyang.... Harap kau percaya pada keteranganku!-
Manusia pemakai Jubah Tanpa Jasad dan berbekal
Kembang Darah Setan hanya bisa dihadapi dengan
benda merah itu!”
“Kalau kau berharap aku percaya, kau juga harus
percaya pada ucapanku! Semua ucapanmu hanya du-
gaan! Mana mungkin senjata sakti bisa dihadapi den-
gan benda ini?” Kepala Nyai Tandak Kembang berpal-
ing ke arah pusar bayi Pitaloka.
“Pada mulanya kau juga tidak percaya apa yang ter-
jadi pada Pitaloka. Namun apa kenyataannya?! Seka-
rang apakah kau juga masih mengira keteranganku
hanya dugaan? Eyang.... Sebelum Lingga Buana tahu
semua ini, sebaiknya....”
“Aku tak peduli dia tahu atau tidak! Yang jelas tak
seorang pun kubiarkan mengambil sesuatu dari bayi
itu!” Nyai Tandak Kembang menukas.
“Nyai.... Aku bukan mau melibatkan diri. Tapi se-
baiknya jangan halangi dia.... Kalaupun nanti keteran-
gannya tidak jadi kenyataan, kau sudah tahu bukan
siapa orang yang mengambilnya!” Kigali menyahut.
“Eyang...!” Kini Pitaloka beranikan diri angkat bi-
cara. “Selama ini aku telah mengotori rimba persilatan!
Hanya dengan serahkan benda ini aku bisa mengha-
pusnya walau itu masih belum cukup!”
“Kau tahu apa, Pitaloka!” bentak Nyai Tandak Kem-
bang. “Kau bukan saja telah mengotori rimba persila-
tan, tapi kau juga corengkan arang hitam di mukaku!
Aku masih ingin buktikan keterangan yang kudengar
jika kau memang diperkosa orang! Kalau nantinya ke-
terangan itu dusta, aku tak segan membunuhmu!”
“Eyang... Aku telah berkata apa adanya! Dan kau
tak usah tunggu untuk membuktikan! Sekarang juga
aku rela kau bunuh! Aku memang telah mencoreng
mukamu dan mati rasanya belum cukup untuk mene-
busnya! Bunuhlah aku sekarang, Eyang.... Aku tak
pantas lagi menjadi cucumu! Aku tak layak hidup! Bu-
nuh! Bunuhlah, Eyang....” Pitaloka berkata sambil se-
senggukan. Matanya yang berkaca-kaca menatap ta-
jam pada Nyai Tandak Kembang.
Nyai Tandak Kembang tergagu diam beberapa lama.
Putri Kayangan yang tegak tidak jauh dari tempat itu
tak bisa lagi membendung air mata. Kigali menarik na-
pas panjang lalu berbisik pelan.
“Nyai.... Bukannya aku ingin unjukkan budi. Sebe-
narnya cucumu itu kutemukan saat hendak bunuh di-
ri dari jurang dalam hutan sana! Kalau ucapannya tidak benar, mana mungkin ada gadis mengandung be-
rusaha bunuh diri?! Pitaloka memang cucumu, namun
bukan berarti kau berhak seluruhnya atas bayi Pitalo-
ka! Biarkan dia memutuskan....”
“Eyang....” Putri Kayangan ikut perdengarkan suara
dengan tersendat. “Aku sendiri memang mendengar
bahwa benda dalam bayi ini yang bisa menghadapi
orang di balik Jubah Tanpa Jasad. Orang yang menga-
takan itu juga yang memberi keterangan jika Pitaloka
kelak akan mengandung....”
Nyai Tandak Kembang masih diam membisu. Pe-
rempuan dari lereng Gunung Semeru ini menarik na-
pas dalam-dalam. Entah apa yang dirasakan, yang je-
las dadanya bergerak turun naik dengan keras. Saat
lain sepasang matanya berkaca-kaca. Dan perlahan-
lahan dia lepaskan pegangan tangannya yang mena-
han tangan Joko. Tangan kirinya pun diluruhkan ke
bawah.
“Eyang.... Aku siap kau bunuh. Tapi sebelum aku
mati, aku punya pesan. Serahkan bayi ini pada dia!”
Pitaloka berkata seraya memandang pada Pendekar
131. “Jangan halangi apa yang akan dilakukannya!
Karena hanya itu yang dapat kuberikan sebelum aku
mati!”
Pitaloka angkat kedua tangannya yang memegangi
bayi. Lalu dengan gemetar disorongkan pada murid
Pendeta Sinting.
Joko ragu-ragu. Dia melirik pada Nyai Tandak Kem-
bang. Nyai Tandak Kembang tengadahkan kepala. Pipi
kanan kirinya telah basah.
“Pendekar 131.... Terimalah pemberian Pitaloka!”
ujar Nyai Tandak Kembang.
Joko menghela napas lega. Lalu menerima bayi dari
tangan Pitaloka dengan tangan masih gemetar. Entah
karena masih belum bisa menahan perasaan, untuk
beberapa lama Joko hanya diam tercenung dan mem-
perhatikan Nyai Tandak Kembang.
“Anak muda.... Kesempatanmu hanya sedikit! Lekas
kau lakukan apa yang kau inginkan!” Kigali menegur.
Joko tersadar dan cepat dekatkan bayi di tangannya
ke dada. Dengan tangan kiri menopang sosok si bayi,
tangan kanan Joko bergerak ke arah pusar bayi. Tan-
gan dan dadanya berdebar kala dia teringat kegagalan
Umbu Kakani dan Kigali serta Pitaloka untuk men-
gambil benda merah pada pusar bayi.
“Hilangkan perasaan bimbang dan ragu, Anak Mu-
da!” Kigali kembali berucap melihat keraguan pada si-
kap Joko. “Kau belum mencobanya! Tiap orang dicip-
takan punya kelebihan dan kekurangan. Siapa tahu
kau punya yang lebih dalam urusan ini!”
Dengan salurkan tenaga dalam pada tangan kanan,
Joko mulai menyentuh benda merah di pusar bayi. La-
lu menariknya perlahan-lahan. Sesaat pusar bayi tam-
pak terangkat.
Kigali, Putri Kayangan, Pitaloka, dan Nyai Tandak
Kembang yang telah luruskan kepala menatap bersa-
ma dengan wajah tegang dan menahan napas. Saat
lain keempat orang ini menghela napas lega tatkala
melihat kulit di sekitar pusar bayi yang tadi terangkat
telah kembali ke asalnya. Dan benda merah bulat se-
besar kelereng itu telah lenyap berpindah ke tangan
kanan Pendekar 131.
Kigali segera melangkah maju. “Pendekar 131....
Saat Pitaloka mengandung, dia telah memberikan bayi
dalam kandungannya padaku. Walau dia sudah tidak
bernyawa lagi, izinkan aku untuk menggendong dan
menguburkannya....”
Murid Pendeta Sinting memandang pada Pitaloka
dan Nyai Tandak Kembang. Di sebelahnya Kigali sudah
ulurkan kedua tangannya dengan mata berkaca-kaca.
Pitaloka anggukkan kepala. Nyai Tandak Kembang
tak kuasa untuk buka mulut. Hingga dia pun hanya
memberi isyarat dengan gerakkan kepala mengangguk.
Perlahan-lahan Pendekar 131 Joko Sableng berikan
bayi dalam pelukannya pada Kigali yang kemudian
mendekapnya. Pitaloka dan Nyai Tandak Kembang tak
bisa menahan haru. Kedua perempuan cucu dan ne-
nek ini sama teteskan air mata lalu saling berpelukan.
Putri Kayangan yang sejak tadi sudah sesenggukan se-
gera pula merangkul sosok Pitaloka dan Nyai Tandak
Kembang.
“Pitaloka.... Beda Kumala.... Kita harus segera ting-
galkan tempat ini. Kita kembali ke lereng Gunung Se-
meru. Hidup di luar lereng Gunung Semeru nyatanya
tidak menambah kedamaian! Justru mendatangkan
bencana dan malapetaka....” Nyai Tandak Kembang
berbisik pada Pitaloka dan Putri Kayangan yang sama
merangkul dirinya.
“Eyang.... Kalau kau masih memberiku kesempatan
untuk hidup, kuharap Eyang mau menuruti satu per-
mintaanku....” Pitaloka berkata dengan usap air mata-
nya.
“Dari dulu mana aku pernah tidak turuti permin-
taan kalian berdua?!” sahut Nyai Tandak Kembang lalu
perlahan-lahan melepaskan rangkulan Pitaloka dan
Putri Kayangan. Memandang sejenak pada kedua cu-
cunya lalu sambung ucapan. “Tapi setelah kejadian ini,
aku akan turuti permintaan kalian selain minta untuk
turun dari lereng Gunung Semeru....”
Pitaloka dan Putri Kayangan sama terdiam. Namun
dada kedua gadis ini dilanda perasaan berlainan. Di-
am-diam Pitaloka membatin.
“Aku sudah bersumpah untuk membalas pada ma-
nusia keparat pemakai Jubah Tanpa Jasad! Maksudku
tidak akan tercapai kalau Eyang tidak mengizinkan
aku turun lereng Gunung Semeru lagi.... Hem.... Sebe-
lum pulang ke lereng Gunung Semeru, aku harus da-
pat melakukan maksudku! Apa pun caranya akan ku-
lakukan....”
Kalau Pitaloka membatin begitu, diam-diam Putri
Kayangan juga berkata dalam hati. “Kalau Eyang tidak
mengizinkan lagi turun lereng Gunung Semeru, berarti
aku tidak bisa bertemu dengan....” Putri Kayangan tak
lanjutkan kata hatinya. Dia melirik pada murid Pende-
ta Sinting yang saat itu tengah selinapkan tangan ka-
nan ke balik pakaiannya.
Putri Kayangan menghela napas panjang. “Mung-
kinkah aku bisa memendam perasaan di lereng Gu-
nung Semeru yang sunyi?! Seandainya aku tidak ber-
temu dengan Pendekar 131.... Mungkin aku senang
hidup damai di sana. Tapi kini.... Sanggupkah aku me-
lakukannya?”
“Kalian mungkin keberatan dengan ucapanku!” Nyai
Tandak Kembang berkata seolah bisa menangkap be-
nak Pitaloka dan Putri Kayangan. “Tapi itu harus ka-
lian lakukan.... Aku tidak mau lagi menerima malape-
taka lebih besar! Aku sudah tua... Aku tak ingin akhir
usiaku dipenuhi dengan ketegangan apalagi bencana!
Kuharap kalian mengerti....”
“Eyang.... Aku mengerti!” ujar Pitaloka pelan seraya
melirik pada Putri Kayangan. Saat itu Putri Kayangan
tengah melirik pada Pendekar 131. “Hemm.... Beda
Kumala pasti merasa keberatan jika harus berpisah
dengan pemuda itu.... Ini gara-gara aku....” Pitaloka
membatin lalu berkata teruskan ucapannya. “Tapi se-
belum kembali ke lereng Gunung Semeru, aku minta
waktu pada Eyang! Ada sesuatu yang harus kuselesai-
kan!”
“Apa pun urusannya, kalau memang ada kita sele-
saikan bersama-sama!”
Pitaloka gelengkan kepala. “Tidak, Eyang. Ini harus
kuselesaikan sendiri!”
Kini ganti Nyai Tandak Kembang yang geleng kepa-
la. “Aku tak ingin kau lakukan sesuatu tanpa kuketa-
hui!”
“Eyang.... Aku telah melakukan kesalahan dan tahu
apa akibatnya! Adalah tolol bila aku mengulangi kesa-
lahan yang kedua kalinya! Harap Eyang kali ini per-
caya padaku!”
“Baik! Tapi katakan dahulu apa yang akan kau la-
kukan!”
“Eyang.... Untuk yang satu ini biarlah aku sendiri
yang tahu.... Percayalah. Bila telah selesai, aku akan
segera menyusulmu ke lereng Gunung Semeru. Jika
tidak, rasanya aku tak bisa hidup tenang di sana!”
“Pitaloka! Kau akan membalas dendam?!” tanya
Nyai Tandak Kembang dapat menebak maksud Pita-
loka.
Namun tampaknya Pitaloka maklum jika mengaku
terus terang maka Nyai Tandak Kembang akan meng-
halangi. Seraya gelengkan kepala perlahan dia beru-
cap.
“Dendam dalam dadaku memang tidak akan punah
sampai aku menutup mata. Tapi adalah bodoh jika
aku melakukan hal itu, Eyang! Aku tahu siapa manu-
sia keparat itu. Hanya buang-buang nyawa jika aku
melawannya! Lebih-lebih lagi kurasa Pendekar 131 ti-
dak akan tinggal diam....”
Nyai Tandak Kembang kerutkan dahi coba men-
duga-duga apa maksud sebenarnya Pitaloka. “Kau
punya seorang kekasih?!”
Pitaloka tersenyum datar. Namun justru paras Putri
Kayangan yang berubah. Dada gadis ini berdebar dan
alihkan pandangannya seraya menunggu jawaban Pi-
taloka.
“Eyang.... Seandainya pun aku punya seorang ke-
kasih, aku tak pantas lagi untuk menemuinya! Aku
sadar siapa diriku sekarang.... Bahkan mungkin aku
sudah tak ingin lagi punya pendamping sampai akhir
usiaku nanti....”
Nyai Tandak Kembang merasa trenyuh mendengar
ucapan Pitaloka. Dia menarik napas panjang. Lalu be-
rucap pelan.
“Pitaloka.... Aku mengerti perasaanmu. Tapi kuha-
rap kau mau berterus terang padaku. Aku tak ingin
menantimu dengan perasaan cemas dan khawatir!”
“Eyang.... Kau tak perlu khawatir. Atau kalau kau
belum percaya padaku, izinkan Beda Kumala untuk
pergi bersamaku....”
Beda Kumala alias Putri Kayangan terkejut. Nyai
Tandak Kembang berpikir sesaat. Lalu berkata. “Baik-
lah.... Kalian berdua kuizinkan menyusul. Tapi kalian
cuma kuberi waktu satu purnama! Selesai atau tidak
urusanmu, kalian harus kembali ke lereng Gunung
Semeru!”
Saat itulah tiba-tiba dari arah depan terdengar ben-
takan. “Mengapa kau diam saja?! Mengapa tidak kau
lakukan apa yang kuperintahkan?!”
Yang perdengarkan bentakan ternyata Lingga Bua-
na. Begitu dia terhuyung-huyung laki-laki berambut
putih jabrik ini sempat melihat Pendekar 131 membe-
rikan bayi Pitaloka pada Kigali.
Malaikat Berkabung sendiri sebenarnya melihat ba-
gaimana murid Pendeta Sinting mengambil bayi dari
tangan Pitaloka. Dia sudah hendak berkelebat. Namun
tiba-tiba hatinya bimbang apalagi tatkala melirik pada
rombongan Dayang Sepuh.
“Aku mungkin dapat berkelebat ke sana. Tapi jaha-
nam-jahanam tua bangka itu tentu tidak akan tinggal
diam! Aku telah terluka.... Kalau aku memaksakan di
ri, aku hanya akan mati konyol!” Malaikat Berkabung
membatin. Hingga pada akhirnya dia hanya bisa tegak
melihat tanpa berbuat apa-apa.
Lingga Buana pentangkan mata menatap pada Pen-
dekar 131. Walau tidak tahu persis apa yang terjadi,
namun dia tampaknya sudah bisa membaca gelagat
orang.
“Kalau bayi itu sudah dikembalikan pada orang
lain, berarti apa yang diinginkannya sudah diambil!
Keparat betul! Ini gara-gara perempuan itu!” Lingga
Buana alihkan pandang matanya pada Umbu Kakani.
Semua kemarahannya kini ditumpahkan pada perem-
puan yang beberapa puluh tahun silam pernah men-
cintainya.
Sementara di hadapannya, Umbu Kakani tersenyum
dingin. “Lingga Buana! Kau masih berprasangka hi-
tunganmu benar?!” Umbu Kakani gelengkan kepala.
“Jangankan untuk mengambil benda itu, menyentuh
pun kau tak akan sampai!”
Dada Lingga Buana laksana terbakar. Namun orang
tua ini masih berpikir tenang. “Kalau aku turuti pe-
rempuan ini, aku tak akan mendapat benda itu!” Per-
lahan-lahan niat semula yang hendak langsung meng-
habisi Umbu Kakani ditangguhkan. Sebaliknya ia meli-
rik pada Pendekar 131.
Tanpa diduga, tiba-tiba Lingga Buana berkelebat ke
depan. Bukan ke arah Umbu Kakani, melainkan ke
arah murid Pendeta Sinting!
***
LIMA
UMBU Kakani tidak tinggal diam, dia segera hen-
takkan pantat. Sosoknya berkelebat memotong gera-
kan Lingga Buana.
Lingga Buana marah besar. Dia kerahkan hampir
segenap tenaga dalamnya. Didahului bentakan meng-
gelegar, dia sentakkan kedua tangannya. Dia tidak
mau lagi bentrok langsung. Dia lepas pukulan jarak
jauh meski jarak keduanya hanya lima langkah!
Wuutt! Wuuuutt!
Dua gelombang kabut tipis putih mencuat menggi-
dikkan ke arah sosok Umbu Kakani yang berkelebat
memotong. Pendekar 131 sudah hendak berkelebat
menghadang. Namun apa pun yang akan dilakukan
sudah terlambat untuk bergerak. Selain cuatan gelom-
bang itu begitu cepat, sosok Umbu Kakani terus mela-
ju, membuat jarak pukulan dengan sasaran makin ce-
pat dan dekat. Hingga akhirnya murid Pendeta Sinting
hanya dapat memandang dengan perasaan khawatir.
Pitaloka tak kalah cemasnya. Dia juga sudah berniat
membantu. Namun tangan Nyai Tandak Kembang ce-
pat menghalangi.
“Pitaloka.... Percuma! Jarak mereka sudah terlalu
dekat! Bahkan kalau salah, akan lebih celaka!”
Di depan sana. Umbu Kakani bukannya merubah
arah kelebatan. Sebaliknya teruskan kelebatan lurus
ke arah Lingga Buana. Hingga tanpa ampun lagi ge-
lombang kabut putih tipis mengarah tepat ke arahnya!
Setengah depa lagi kabut putih tipis menggebrak,
tiba-tiba Umbu Kakani tarik dadanya ke belakang.
Saat lain seraya perdengarkan seruan garang, dia sen-
takkan dadanya ke depan.
Betttt!
Satu gelombang berkiblat dari dada Umbu Kakani
menghadang kabut putih tipis. Hebatnya dan sungguh
di luar dugaan semua orang, begitu sentakkan dada,
Umbu Kakani sentakkan bahunya. Hingga sosoknya
makin kencang berkelebat ke depan menyusuli gelom-
bang dari dadanya!
Bummm!
Ledakan keras terdengar bergemuruh. Kabut tipis
dan gelombang sama semburat dan menebar ke Sean-
tero ruangan. Semua mata membelalak. Bukan karena
melihat bentroknya dua pukulan, melainkan meman-
dang bagaimana sejengkal lagi dua pukulan bertenaga
dalam itu bertemu, Umbu Kakani sekali lagi hentakkan
bahu. Hingga sosoknya melesat melewati dua pukulan
yang hendak bentrok!
Begitu terdengar gelegar, sosok Umbu Kakani men-
celat lurus ke depan seolah mengejar sosok Lingga Bu-
ana yang juga mental ke belakang.
Lingga Buana terkesiap kaget. Karena sosok Umbu
Kakani lebih dekat dengan terjadi benturan, maka
mentalan sosok Umbu Kakani lebih deras lesatannya
dibanding mentalan sosok Lingga Buana.
Lingga Buana cepat kelebatkan kedua tangannya.
Namun karena harus imbangi diri agar tidak jatuh ter-
kapar, gerakannya terlambat.
Bukkkk!
Kepala Umbu Kakani menghantam deras dada Ling-
ga Buana. Namun Lingga Buana masih sempat han-
tamkan kedua tangannya ke arah lambung Umbu Ka-
kani.
Bukkkk! Bukkkk!
Sosok Umbu Kakani mencelat lagi ke belakang. Da-
rah sudah tampak menyembur dari mulutnya sebelum
sosoknya sendiri melayang jatuh. Dan karena sudah
tak dapat kuasai diri, perempuan ini tidak berusaha
membuat gerakan apa-apa meski tahu sosoknya hen-
dak jatuh menghantam lantai.
Saat itulah satu bayangan putih berkelebat me-
nyongsong sosok Umbu Kakani. Lalu menurunkan pe-
rempuan itu perlahan-lahan ke atas lantai.
“Kau sudah dapatkan benda itu, Pendekar 131?!”
tanya Umbu Kakani tersendat karena banyaknya da-
rah yang menyembur dari mulutnya.
Pendekar 131 yang ternyata telah menghadang
menghantamnya sosok Umbu Kakani dan kini letak-
kan Umbu Kakani di atas pangkuannya gerakkan ke-
pala mengangguk.
“Jangan banyak bicara dahulu, Nek! Aku akan alir-
kan tenaga dalam untuk....”
Umbu Kakani gelengkan kepala pelan. “Tak ada gu-
nanya, Pendekar 131. Aku sudah tahu apa akibat-nya.
Tapi aku merasa lega. Setidaknya aku bisa me-lakukan
sesuatu untuk arwah guruku.... Satu pintaku.... Jan-
gan biarkan jahanam itu merebut benda itu dari tan-
ganmu.... Aku tahu.... Dia masih menyimpan ilmu....
Berhati-hatilah menghadapinya!”
Habis berucap begitu, sepasang mata Umbu Kakani
memejam. Sosoknya mengejang sesaat sebelum akhir-
nya diam tak bergerak-gerak lagi.
Pitaloka segera melompat disusul kemudian oleh
Putri Kayangan. Pitaloka berteriak memanggil-manggil
seraya mengguncang sosok Umbu Kakani.
Joko menahan tangan Pitaloka. “Dia sudah mening-
gal, Pitaloka....”
Pitaloka menahan napas lalu rebahkan kepalanya
pada dada Umbu Kakani. Tangisnya meledak. “Dia
dengan susah payah menolong kelahiran anakku....
Padahal dia tidak bisa gunakan kedua tangannya....
Aku belum bisa membalas budinya.... Tapi....”
“Sudahlah, Pitaloka.... Bahaya belum selesai. Harap
kau dan Putri Kayangan membawanya ke samping
orang tua yang membawa bayimu!” ujar murid Pendeta
Sinting.
Pitaloka angkat kepalanya lalu berpaling ke arah
Lingga Buana. Pendekar 131 Joko Sableng segera men-
cekal lengan Pitaloka begitu mengetahui maksud gadis
itu. “Kau masih perlu istirahat.... Biar aku yang me-
nyelesaikannya!”
Putri Kayangan memandang pada Joko. Joko ang-
gukkan kepala. Paras si gadis berubah. “Rasanya sulit
aku akan bisa melupakannya....” Diam-diam Putri
Kayangan membatin. Lalu menoleh pada Pitaloka dan
berkata.
“Benar, Pitaloka. Tubuhmu masih lemah.... Jangan
paksakan diri! Nenek ini perlu dikuburkan.... Begitu
juga anakmu!”
Seraya berucap, tangan Putri Kayangan lepaskan
cekalan tangan Joko pada lengan Pitaloka. Ada getaran
aneh yang menjalar hingga dadanya. Diam-diam Putri
Kayangan teringat saat bergenggaman tangan dengan
Joko di dalam hutan namun belum sampai lama men-
dadak muncul Nyai Tandak Kembang. Ingat hal itu Pu-
tri Kayangan jadi tersenyum sendiri. Dia memandang
pada murid Pendeta Sinting. Saat itu Joko sendiri ten-
gah pandangi wajah Putri Kayangan. Untuk beberapa
saat kedua orang ini saling pandang tanpa ada yang
buka suara.
“Kuharap kalian nanti berbahagia!” Tiba-tiba Pita-
loka bergumam pelan. Tangan kanannya terangkat lalu
diletakkan di atas tangan Putri Kayangan yang saat itu
tengah memegang tangan Pendekar 131.
Putri Kayangan tak bisa menahan perasaan. Paras-
nya merah padam. Namun dia tidak berusaha menarik
tangannya. Di lain pihak, Joko jadi salah, tingkah.
Apalagi dia tahu Nyai Tandak Kembang pasti melihat
nya.
“Setan!” Tiba-tiba terdengar teriakan dari seberang
sana. “Sekarang bukan saatnya main pegang-
pegangan!” Yang berteriak bukan lain adalah Dayang
Sepuh.
“Benar! Musim bercinta belum datang! Tunggulah
sampai semuanya beres. Percayalah.... Angin pasti ber-
lalu! Eh, maksudku badai pasti berlalu!” timpal Dewi
Ayu Lambada.
“Lagi pula tak pantas mengiringi perkabungan den-
gan kemesraan begitu! Simpan dahulu masing-masing
rasa di dalam dada! Yakinlah.... Ini rindu ha-nya
buatmu!” Iblis Ompong menyahut.
“Ukkk! Uuukkk! Uuukkk!” Dewa Uuk ikut buka mu-
lut. Kedua tangannya diangkat ke atas membuat gera-
kan seperti orang tengah melantunkan nyanyian syair.
Putri Kayangan tersentak dan buru-buru tarik tan-
gannya dengan raut merah padam. Joko tak kalah ka-
getnya dan jadi salah tingkah. Dia tarik pula tangan-
nya sambil cengar-cengir dan melirik pada Nyai Tan-
dak Kembang.
“Angkat nenek Umbu Kakani menjauh dari sini...,”
kata Joko.
Pitaloka dan Putri Kayangan segera lakukan ucapan
murid Pendeta Sinting. Mengangkat pelan-pelan sosok
mayat Umbu Kakani mendekat pada Kigali dan Nyai
Tandak Kembang.
Di seberang depan sana, sosok Lingga Buana tam-
pak tegak bersandar pada kedua tangan Malaikat Ber-
kabung. Ketika Lingga Buana mencelat terhuyung aki-
bat benturan kepala Umbu Kakani pada dadanya, so-
sok Lingga Buana memang mencelat terhuyung ke be-
lakang. Saat itulah Malaikat Berkabung melompat lalu
menahan sosok Lingga Buana. Hingga selamatlah
Lingga Buana dari benturan dengan lantai ruangan.
Namun benturan kepala Umbu Kakani tak urung
membuat parasnya berubah dan mulutnya kucurkan
darah lagi!
“Kau kurang waspada!” kata Lingga Buana pada
Malaikat Berkabung. “Benda itu sekarang ada pada
Pendekar 131! Ini akan membuat usaha makin sulit!”
“Tapi kita masih mampu merebutnya!” sahut Malai-
kat Berkabung.
“Hanya dengan jurus ‘Tangga Bertingkat’ kita mam-
pu melakukannya! Cepat siapkan tenaga dalam! Kita
hantam dia dengan jurus ‘Tangga Bertingkat’!” kata
Lingga Buana.
Malaikat Berkabung melepas tahanan kedua tan-
gannya pada punggung Lingga Buana. Lalu melompat
dan tahu-tahu telah duduk bersila di hadapan Lingga
Buana dengan kedua tangan menakup di depan dada.
Sepasang matanya terpejam rapat.
Lingga Buana pandangi sesaat sosok Pendekar 131
yang bergerak bangkit di depan sana. Saat lain orang
tua berambut putih jabrik ini membuat gerakan satu
kali. Sosoknya tiba-tiba sudah berada di atas tubuh
Malaikat Berkabung. Kedua kakinya mengapit leher si
pemuda dan masuk ke sela antara dada dan kedua
tangan Malaikat Berkabung. Kedua tangannya disatu-
kan terbuka di depan dada. Matanya sudah terpejam.
“Hem.... Mungkin inilah yang dikatakan Nenek Um-
bu Kakani. Lingga Buana-masih menyimpan ilmu!” ka-
ta Joko dalam hati. “Kalau aku menggunakan pukulan
‘Lembur Kuning’, mungkin belum bisa menghalau me-
reka! Akan kuhadang dengan ‘Serat Biru’!”
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting cepat kerah-
kan tenaga dalam pada tangan kirinya. Kejap itu juga
tangan kiri Joko laksana dialiri sinar biru terang. In-
ilah tanda kalau murid Pendeta Sinting siap lepaskan
pukulan ‘Serat Biru’.
Nyai Tandak Kembang memandang dengan picing-
kan sedikit matanya. Pitaloka sedikit cemas. Tapi yang
paling terlihat gelisah adalah Putri Kayangan. Dia me-
mandang tak berkesip. Bila turutkan kata hati rasanya
dia ingin melompat dan membantu. Namun dia sadar
hal itu tak mungkin dilakukannya. Apalagi ada Nyai
Tandak Kembang. Tapi diam-diam dia kerahkan pula
tenaga dalam dan berbisik pada Pitaloka. “Pitaloka!
Kau pegangi erat-erat nenek ini!”
Tanpa bertanya rupanya Pitaloka sudah maklum
apa yang akan dilakukan saudara kembarnya. Hingga
dia hanya anggukkan kepala.
Di tempat lain, Dayang Sepuh berpaling pada Dewi
Ayu Lambada. “Tegak berbaris ini sudah tak perlu lagi!
Sekarang kita tinggal nonton setan-setan itu!” Dayang
Sepuh melompat.
Karena kedua tangan Dewi Ayu Lambada masih
menekan punggung Dayang Sepuh dan Dayang Sepuh
melompat secara tiba-tiba, membuat Dewi Ayu Lamba-
da terlengak. Sosoknya terhuyung ke depan dan ham-
pir saja menyusup ke lantai ruangan. Untung si nenek
cepat kuasai diri. Sebelum sosoknya menghantam lan-
tai, dia kebutkan julaian bagian bawah kerudung hi-
tamnya yang ada di bagian perut. Sosoknya membal ke
udara lalu melayang turun dan tegak di samping
Dayang Sepuh.
“Kalau mau hindarkan orang, bilang-bilang dulu!”
Dewi Ayu Lambada sudah mengomel begitu tegak.
“Kau lihat sendiri, hampir saja aku cekakakan! Eh,
maksudku hampir saja aku kecelakaan!”
Di lain pihak, karena pantat Iblis Ompong yang me-
nungging menempel dan bersandar pada pantat Dewi
Ayu Lambada, begitu sosok Dewi Ayu Lambada ter-
huyung ke depan, Iblis Ompong tersentak. Karena tan-
gannya tidak lagi mencekal pundak Dewa Uuk yang
duduk di hadapannya melainkan tekap hidungnya
akibat bau kencing dari tubuh Dewa Uuk, membuat
sosok Iblis Ompong tertarik ke belakang dan akhirnya
sosok orang tua tak bergigi ini terjengkang di atas lan-
tai.
Yang sial adalah Dewa Uuk. Dengan Iblis Ompong
terjengkang, maka kedua kakinya terjungkat ke atas.
Padahal Dewa Uuk tepat duduk di hadapan Iblis Om-
pong hingga tanpa ampun lagi kedua kaki Iblis Om-
pong yang terangkat ke atas menghantam sosok Dewa
Uuk!
Bukkkk!
“Uuukkk!” Dewa Uuk perdengarkan suara. Sosok-
nya mencelat ke belakang dengan kedua kaki terjung-
kat. Namun Dewa Uuk tampaknya tak mau tinggal di-
am. Saat kedua kakinya terangkat akibat tubuhnya
terdorong, Dewa Uuk cepat luruskan kedua kakinya
dan ditengadahkan ke arah kedua kaki Iblis Ompong
yang baru saja menghantam tubuhnya.
Bukkk!
Kedua kaki Iblis Ompong yang berada di atas udara
terpental, membuat sosok Iblis Ompong jungkir balik
di atas lantai ruangan! Namun begitu jungkir balik dua
kali, Iblis Ompong sentakkan kedua tangannya mene-
kan ke atas lantai. Sosoknya melesat dan tahu-tahu te-
lah tegak di samping Dewi Ayu Lambada. Namun orang
tua ini bukannya menghadap ke depan melainkan ke
belakang!
Sementara di belakang sana Dewa Uuk juga tergul-
ing-guling. Tapi begitu sosoknya hendak terhenti,
mendadak orang tua bisu dan tuli ini membuat gera-
kan satu kali.
Wuuuttt!
Tubuh Dewa Uuk berkelebat ke depan lalu duduk
bersila di samping Iblis Ompong.
“Kau tak apa-apa?!” teriak Iblis Ompong pada Dewa
Uuk.
Dewa Uuk menoleh dengan tadangkan kedua tan-
gan di belakang kedua telinganya. Lalu tertawa sambil
anggukkan kepala.
“Untung adikmu tidak mendapat cedera! Kalau
main-main jangan keterlaluan! Kalau dia tadi men-
dapat cedera, pasti aku yang disalahkan! Padahal kau
yang buat ulah!” Iblis Ompong menyemprot pada Dewi
Ayu Lambada.
“Sialan! Mengapa kau salahkan aku?! Dia yang
memulai! Melompat tanpa bilang-bilang!” sahut Dewi
Ayu Lambada membela diri dengan suara keras. Lalu
berpaling pada Dayang Sepuh.
“Gara-gara kau, aku disalahkan orang katanya
hendak mencelakai adik sendiri!”
Dayang Sepuh menoleh dengan mata dipentangkan.
Bukan ke arah Dewi Ayu Lambada melainkan pada
Dewa Uuk.
“Setan macam begitu rupanya pandai juga menga-
du! Akan kubuat mulut setannya tak bisa mengadu
dan membuat orang saling bermusuhan!” bentak
Dayang Sepuh.
“Sudah! Sudah! Lihat pertunjukan akan segera di-
mulai!” Iblis Ompong menengahi seraya tekuk tubuh-
nya hingga membuat sikap menungging dan meman-
dang ke depan lewat sela kedua kakinya yang dibuka
lebar-lebar!
Dayang Sepuh sentakkan kepala menghadap ke de-
pan seraya rapikan poni rambutnya. Sementara tangan
satunya kibas-kibaskan kelabangan rambutnya.
Dewi Ayu Lambada ikut pula hadapkan wajahnya
ke depan. Kedua tangannya diangkat betulkan keru-
dung hitam di atas kepalanya.
Dewa Uuk angkat bahu lalu hadapkan muka ke de
pan namun sepasang matanya dipejamkan dan raut
wajahnya membuat mimik ngeri!
***
ENAM
DI DEPAN sana, tiba-tiba hampir bersamaan Malai-
kat Berkabung dan Lingga Buana sama sentakkan ke-
dua tangan masing-masing ke arah murid Pendeta
Sinting.
Wuutt! Wuutt!
Wuuuut! Wuutt!
Terdengar deruan gelombang dahsyat laksana amu-
kan badai. Kabut hitam dan putih tipis berkiblat
menggidikkan. Hebatnya, begitu gelombang kabut hi-
tam dan putih melesat, saat lain dari kedua tangan
masing-masing orang kembali cuatkan gelombang ka-
but hitam dan putih! Itu pun tak lama, kejap lain
kembali kabut hitam dan putih melesat! Inilah keheba-
tan jurus ‘Tangga Bertingkat’. Hanya dengan sekali
sentakan, namun pukulan yang melesat keluar tiga
kali berturut-turut!
Mendapati hal demikian, kalau pada mulanya Joko
hanya siapkan pukulan ‘Serat Biru’ pada tangan kiri-
nya, kini dia salurkan tenaga dalam pula pada tangan
kanannya dan siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’.
Hingga ketika kedua tangannya mendorong, dari tan-
gan kiri Joko melesat serat-serat biru laksana benang.
Tidak perdengarkan suara atau gelombang angin yang
dahsyat. Sementara dari tangan kanan murid Pendeta
Sinting menderu gelombang laksana hamparan ombak
disertai melesatnya sinar kuning terang yang memba-
wa hawa menyengat panas luar biasa.
Dentuman-dentuman dahsyat memekakkan gen-
dang telinga memecah ruangan di bawah Lembah Pa-
tah Hati itu. Ruangan laksana digoyang gempa luar bi-
asa dahsyat. Dinding-dinding ruangan perdengarkan
suara gemeretak rengkah. Lobang di atas sana kembali
longsor hingga lobangnya semakin lebar.
Kabut hitam dan putih bertebaran ke Seantero
ruangan disusul bertaburnya serat-serat biru dan ki-
lauan sinar kuning. Sosok murid Pendeta Sinting men-
celat sampai tiga tombak ke belakang dan menghan-
tam dinding ruangan sebelum akhirnya jatuh terduduk
dengan punggung bersandar pada dinding. Dari mu-
lutnya semburkan darah. Air mukanya pucat pasi lak-
sana tidak dialiri darah. Kedua tangannya lunglai se-
perti tak punya tenaga. Dadanya turun naik bergun-
cang-guncang. Mulutnya yang-semburkan darah m-
gap-megap!
Di seberang sana, sosok Lingga Buana terpental da-
hulu disusul kemudian oleh Malaikat Berkabung. Wa-
jah guru dan murid ini pias putih. Dari masing-masing
mulutnya kucurkan darah. Sosok mereka bergetar he-
bat. Sepasang mata mereka terpejam terbuka dengan
mulut perdengarkan erangan tertahan.
Karena sebelumnya sudah terluka dalam, mereka
memerlukan waktu agak lama untuk dapat bergerak
bangkit. Malah sesaat keduanya terhuyung-huyung
saat kakinya tegak. Sementara di depan, dengan tum-
pukan kedua tangannya ke dinding di belakangnya,
Joko sudah merambat tegak terlebih dahulu dan ke-
rahkan tenaga dalam mengatasi rasa sakit pada dada.
Lalu menutup jalan mulutnya hingga aliran darah ter-
henti.
Beberapa saat berlalu. Puti Kayangan yang semakin
gelisah mendapati Joko terluka tampak mondar-man-
dir dan sesekali melirik pada Nyai Tandak Kembang.
Rupanya Nyai Tandak Kembang bisa melihat kegelisa-
han cucunya. Sambil memandang pada Joko dia beru-
cap.
“Beda.... Kau tak perlu berlaku seperti itu.... Kurasa
dia masih mampu mengatasi diri sendiri! Dan apa kau
kira aku akan diam saja jika aku tahu dia tak mampu
menghadang pukulan orang?!”
Putri Kayangan hentikan gerakan kakinya yang me-
langkah mondar-mandir. Walau kini merasa agak lega
mendengar ucapan Nyai Tandak Kembang, namun ke-
gelisahannya tidak bisa pupus semua.
“Lingga Buana!” Joko angkat bicara. “Turut kete-
rangan Umbu Kakani, seharusnya kau tidak pantas la-
gi berpijak di atas bumi! Tapi kali ini kau dan Malaikat
Berkabung masih kuberi kesempatan untuk memper-
baiki diri! Tinggalkan tempat ini segera!”
Sambil berkata, Pendekar 131 melangkah maju. En-
tah untuk menggertak orang, dia angkat kedua tan-
gannya.
“Aku sudah terlalu tua untuk digertak apalagi takut
mati, Pendekar 131! Kau dan teman-temanmu yang
harus enyah dari tempat ini! Tapi tanpa harus mem-
bawa benda merah itu!” Lingga Buana menyahut den-
gan suara keras dan mata mendelik.
“Kau tak akan mendapatkan apa-apa, Lingga Bua-
na! Bahkan kesempatan untuk hidup pun seharusnya
tidak layak kau miliki!”
“Ucapan itu pantas kau katakan pada anak bawang,
Pendekar 131! Dan aku bukan anak ingusan!”
“Kalian dengar ucapannya?!” Tiba-tiba Dayang Se-
puh angkat suara. “Setan jabrik itu mengatakan bukan
anak ingusan! Padahal baru saja ingusnya menyembur
dari mulut setannya! Hik.... Hik.... Hik...!”
“Kakek-kakek biasanya memang punya penyakit lu-
pa! Malah kadang-kadang sudah beristri tapi masih ju
ga terbirit-birit mengejar nenek-nenek! Eh.... Maksud-
ku terbirit-birit mengejar gadis ayu!” Dewi Ayu Lamba-
da menimpali.
“Husss! Enak saja kau bicara! Kalau kakek-kakek
sudah terbirit mengejar gadis, itu bukan karena lupa!
Tapi sengaja! Kalau nenek-nenek mengejar pemuda itu
baru namanya lupa diri!” Iblis Ompong menyahut.
“Bukankah begitu?!” Iblis Ompong berpaling pada De-
wa Uuk.
Dewa Uuk terperanjat lalu tadangkan kedua tangan
di belakang telinganya dan manggut-manggut.
“Lingga Buana!” Joko kembali perdengarkan suara.
“Kita masih punya acara lain. Jadi lekas ambil kesem-
patan yang kuberikan!”
“Kau tak akan teruskan acaramu! Karena acara
perkabunganmu akan tiba!”
Suara Lingga Buana belum selesai, orang tua be-
rambut putih jabrik ini sudah melesat ke depan. Dari
bentrokan tenaga dalam tadi, tampaknya dia sudah
sadar kalau tenaganya tak mungkin lagi menghadapi
tenaga dalam murid Pendeta Sinting, apalagi dia telah
terluka dalam cukup parah. Maka dia kini melesat co-
ba bertarung jarak dekat.
Joko tidak mau bertindak ayal. Meski Lingga Buana
sudah terluka dalam, namun bagaimanapun juga pu-
kulannya terlalu berbahaya jika dibiarkan. Maka begi-
tu Lingga Buana melesat ke depan, Joko segera me-
nyongsong.
Lingga Buana angkat kedua tangannya. Joko ikut
angkat kedua tangan. Namun kali ini Joko tertipu. Se-
cepat kilat Lingga Buana bergerak ke bawah. Tapi ini
adalah kesalahan fatal yang dibuat Lingga Buana.
Tangan kiri kanannya memang berhasil menggebuk
lambung murid Pendeta Sinting. Namun saat itu juga
kedua tangan Joko yang terangkat tidak terhalang lagi
untuk menggebrak kepala dan dada Lingga Buana.
Bukkk! Bukkk!
Prakkk! Prakkk!
Pendekar 131 berseru tertahan. Sosoknya terpental
dan jatuh terduduk. Pakaian bagian lambung kanan
kirinya robek menganga. Joko cepat kerahkan tenaga
dalam lalu selinapkan tangan kanan ke balik pakaian.
Dia menarik napas lega ketika tangannya masih me-
nyentuh benda merah yang tadi diambil dari pusar
bayi Pitaloka.
Sementara di depan, sosok Lingga Buana tampak
limbung lalu jatuh terkapar dengan kepala kucurkan
darah. Mulut dan hidungnya pun semburkan darah
kental. Malaikat Berkabung cepat melompat. Namun
begitu kedua tangannya menyentuh tubuh Lingga Bu-
ana, orang tua berambut jabrik ini berseru tertahan.
Kedua kakinya meregang. Saat lain seruannya terpu-
tus dan kedua kakinya diam kaku! Nyawa laki-laki
yang pernah dicintai Umbu Kakani ini melayang.
Kuduk Malaikat Berkabung merinding dingin. Dia
melirik pada Joko yang telah bangkit dan melangkah
ke arahnya. Malaikat Berkabung cepat tegak. Nyalinya
sudah menciut. Namun karena keadaan, akhirnya dia
kerahkan tenaga dalam dan nekat hendak menghadapi
murid Pendeta Sinting.
“Malaikat Berkabung!” kata Joko. “Cukup sampai di
sini saja urusan antara kita! Tinggalkan tempat ini dan
lupakan apa yang telah terjadi!”
Karena sudah maklum tak mungkin menghadapi
Joko, diberi kesempatan begitu rupa Malaikat Berka-
bung cepat putar diri, malah lupakan apa yang harus
dilakukan pada sosok mayat Lingga Buana.
Namun Malaikat Berkabung tidak teruskan gera-
kan. Melainkan arahkan pandang matanya pada rom-
bongan Dayang Sepuh. Dada pemuda ini berdebar ke
tika melihat Dayang Sepuh pasang tampang angker
dengan kedua tangan diletakkan pada pinggang kiri
kanan.
Di sampingnya, Dewi Ayu Lambada tak tinggal di-
am. Dia rangkapkan kedua tangan di depan dada. Se-
pasang matanya membelalak besar. Lalu angkat kaki
kanannya dan diletakkan bersilang di atas betis kaki
kirinya. Mulutnya menyeringai dingin.
Iblis Ompong cepat balikkan tubuh. Kalau biasanya
mulut dibuka lebar-lebar walau tidak perdengarkan
suara, kali ini si orang tua tak bergigi ini katupkan
mulut rapat-rapat. Kedua tangannya diangkat ke atas.
Kedua kakinya membuat kuda-kuda siap melompat.
Di sebelah Iblis Ompong, Dewa Uuk yang sedari tadi
pejamkan matanya perlahan-lahan buka kelopak ma-
tanya. Saat bersamaan dia melompat bangkit. Sosok-
nya disorongkan ke depan. Tangan kanan diangkat ke
atas tangan kiri diluruskan dengan telapak terbuka lu-
rus ke arah Malaikat Berkabung.
Malaikat Berkabung tercekat. Sosoknya bergetar.
Dia hendak buka mulut namun yang dilakukannya ju-
stru menggigit atas bawah bibirnya!
“Aku datang bersama air kencing!
Aku datang dengan naungan air kencing dan
air kencing lagi!
Aku datang dari lembah air kencing!
Air kencing akan jadi saksi mati.
Saksi dari aliran air kencing anak manusia!”
Dayang Sepuh berucap lantunkan syair seperti yang
biasa diucapkan Malaikat Berkabung. Namun sebagian
kalimatnya dirubah. Saat lain Dayang Sepuh tertawa
bergelak. Dewi Ayu Lambada sesaat pandangi Malaikat
Berkabung pada bagian bawah tubuhnya. Tiba-tiba
tawa nenek berkerudung hitam ini meledak keras!
Iblis Ompong cepat tekap hidungnya dengan tarik
kedua tangannya yang tadi terangkat. Lalu mengomel.
“Sialan! Sialan kau! Sudah gede masih juga terkenc-
ing-kencing di celana!”
“Uuukkk! Uuukkk! Uuukkk!” Dewa Uuk angkat su-
ara. Tangan kirinya yang tadi terbuka dikepalkan den-
gan telunjuk ditegakkan dan menunjuk-nunjuk pada
celana Malaikat Berkabung. Lalu tawanya menyentak-
nyentak!
Malaikat Berkabung pelan-pelan melirik ke bawah.
Parasnya merah padam antara takut dan malu. Ter-
nyata karena saking takutnya tanpa terasa dia sudah
keluarkan air kencing di celana!
Semua orang di ruangan bawah Lembah Patah Hati
sama tertawa bergelak-gelak.
“Jahanam! Apa boleh buat.... Kalau mereka tak
membiarkan aku pergi, aku akan menghadapi mere-
ka!” desis Malaikat Berkabung lalu diam-diam kerah-
kan tenaga dalam. Dan mulai melangkah ke arah lo-
bang.
Tepat di samping Dayang Sepuh, Malaikat Berka-
bung sudah siap. Namun ternyata Dayang Sepuh tidak
membuat gerakan apa-apa, melainkan makin keraskan
gelakan tawanya.
Malaikat Berkabung teruskan langkah. Dan baru
berhenti tepat di bawah lobang yang telah makin men-
ganga lebar karena longsor beberapa kali. Malaikat
Berkabung arahkan pandang matanya ke atas. lalu ke
arah beberapa orang di tempat itu yang masih tertawa
berbahak-bahak.
“Kalian kelak akan merasakan akibatnya!” gumam
Malaikat Berkabung lalu jejakkan kedua kakinya. So-
soknya melenting ke atas.
Namun baru saja kepalanya hendak melewati lo
bang, tiba-tiba....
“Brusss! Brusss! Brusss!”
Terdengar bersinan tiga kali berturut-turut. Malai-
kat Berkabung tersentak kaget. Bukan saja karena
terdengarnya suara bersinan, namun bersamaan den-
gan itu sosoknya laksana dilabrak gelombang angin
dahsyat. Hingga sosoknya kembali melayang ke bawah
makin deras!
Bukkk!
Malaikat Berkabung terjengkang jatuh. Serentak
Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada putar diri. De-
mikian juga Dewa Uuk. Hanya Iblis Ompong yang tetap
hadapkan tubuh ke depan. Namun saat itu juga tubuh
bagian atasnya menukik ke depan dengan kedua kaki
direnggangkan. Lalu memandang orang di belakangnya
dari sela kedua kaki seraya menungging!
Dada Malaikat Berkabung bergemuruh marah. Na-
mun dia tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi kini tahu di
atas sana masih ada orang lain. Entah karena tak mau
terus dipermalukan orang, dia kerahkan tenaga dalam
dan kembali melesat ke atas dengan kedua tangan siap
lepaskan pukulan.
Namun bersamaan dengan melesatnya Malaikat
Berkabung dari atas lobang meluncur satu sosok tu-
buh. Untuk kedua kalinya si pemuda terkejut. Ini
membuatnya lengah dan tak sempat lagi lepaskan pu-
kulan.
“Bruss! Brusss!”
Kembali terdengar bersinan. Lalu sosok yang me-
layang turun terlihat gerakkan kaki.
Bukkkk!
Sosok Malaikat Berkabung kembali melayang deras
ke bawah, malah kini terpental sebelum akhirnya
menghantam dinding di belakang sana dan jatuh ter-
kapar!
“Brusss! Brusss! Aku heran.... Mengapa ada orang
terus menghalangiku!” kata orang yang baru bersin.
Dia bukan lain adalah Datuk Wahing.
Malaikat Berkabung bangkit tegak terhuyung-
huyung. Melihat Datuk Wahing tidak memandangnya
bahkan terus arahkan pandang matanya pada rom-
bongan Dayang Sepuh, si pemuda cepat berkelebat la-
lu tegak di bawah lobang. Tanpa menunggu lama lagi
Malaikat Berkabung segera melesat ke atas. Karena
tergesa-gesa dan menyangka sudah tidak ada orang la-
gi dia enak saja melesat.
Tapi tiba-tiba satu sosok bayangan besar meluncur
dari lobang di atas. Saling terkejutnya dan takut han-
taman orang, Malaikat Berkabung tak dapat kuasai di-
ri. Hingga sosoknya limbung dan jatuh melayang lagi
ke bawah!
Bukkkk!
Sosok Malaikat Berkabung untuk kesekian kalinya
terjengkang di atas lantai.
“Ada apa, Anak Muda?!” Bertanya sosok besar yang
baru saja melayang turun dan kini telah tegak di
samping Dayang Sepuh. Dia adalah seorang kakek be-
rambut putih disanggul tinggi bermata putih. Dia men-
genakan pakaian gombrong warna hijau. Sosoknya
tambun besar. Pinggangnya dililit ikat pinggang besar
yang pada bagian perutnya terdapat cermin bulat.
Orang tua ini tidak lain adalah Gendeng Panuntun.
“Maaf.... Aku tidak berbuat apa-apa padamu! Kau
jatuh sendiri...,” kata Gendeng Panuntun.
Malaikat Berkabung kancingkan mulut tidak me-
nyahut. Sebaliknya cepat bangkit. Dan tanpa meman-
dang pada orang dia melesat sekali lagi ke atas. Kali ini
karena khawatir masih ada orang, dia kerahkan sege-
nap tenaga dalam yang dimiliki. Namun Malaikat Ber-
kabung merasa lega, karena sampai sosoknya melewati
lobang, dia tidak menemui hadangan!
***
TUJUH
BEGITU sosok Malaikat Berkabung lenyap di atas
lobang, Gendeng Panuntun balikkan tubuh mengha-
dap ke arah Pendekar 131 di depan sana.
“Sahabat muda.... Masih ada yang harus kau kerja-
kan! Jangan lama-lama di tempat ini, meski terasa be-
rat kau harus berpisah untuk sementara waktu!”
“Busyet! Dia tampaknya sudah tahu kalau aku be-
rat meninggalkan Putri Kayangan apalagi setelah ini
mungkin tak bisa bertemu lagi!” Murid Pendeta Sinting
membatin tahu arah pembicaraan Gendeng Panuntun.
Tanpa sadar kepalanya berpaling pada Putri Kayangan.
“Bruss! Bruss! Berpisah dengan kekasih memang
berat.... Apalagi tidak ada kepastian kapan bisa ber-
jumpa lagi! Brusss! Tapi adalah mengherankan kalau
seseorang harus tenggelam pada kesedihan hati pa-
dahal ada tugas penting di pundaknya demi kepentin-
gan orang banyak!” Datuk Wahing sambungi ucapan
Gendeng Panuntun.
“Bukan saja mengherankan, tapi dia adalah setan
tolol kalau sampai mendahulukan cinta daripada ke-
pentingan orang banyak yang tengah terancam!”
Dayang Sepuh sudah menyahut.
“Betul! Kerjaku akan sia-sia kalau akhirnya hanya
tergusur urusan cinta!” Dewi Ayu Lambada ikut ambil
suara. Dan iblis Ompong tak tinggal diam. Dia buka
mulut pula tanpa angkat kepalanya.
“Urusan cinta memang gampang-gampang susah!
Tapi kalau aku punya murid yang mendahulukan cinta
daripada tugas, akan kugebuk dia sampai terkencing-
kencing!”
Mendengar ucapan-ucapan beberapa orang di tem-
pat itu, Joko segera berkelebat ke depan. Lalu arahkan
pandang matanya pada satu persatu orang dan berka-
ta.
“Aku berterima kasih atas bantuan kalian semua!
Dan harap tidak khawatir atau salah duga. Aku tahu
apa yang harus kulakukan sekarang!”
Pendekar 131 putar diri, memandang pada Pitaloka,
Nyai Tandak Kembang, Kigali, dan terakhir pada Putri
Kayangan. Untuk beberapa saat dia pandangi si gadis
lalu tersenyum dan anggukkan kepala tanpa berkata
apa-apa.
Saat lain murid Pendeta Sinting balikkan lagi tu-
buh, lalu berujar.
“Aku akan berangkat sekarang!”
Rombongan Dayang Sepuh tersenyum lalu sama
anggukkan kepala. Hanya Dewa Uuk yang kerutkan
dahi dengan kepala tetap diam karena tak mendengar
ucapan Joko.
Namun tiba-tiba Joko urungkan niat berkelebat.
Sebaliknya balikkan tubuh lagi menghadap rombongan
Nyai Tandak Kembang. Kali ini pandang matanya bu-
kannya mengarah pada Putri Kayangan, melainkan
pada Pitaloka.
Putri Kayangan berdebar. Dia menduga-duga den-
gan gelisah. Joko tersenyum lalu angkat bicara.
“Pitaloka.... Kau tahu di mana manusia pemakai
Jubah Tanpa Jasad itu?!”
Putri Kayangan menarik napas lega. Pitaloka ang-
gukkan kepala dan menjawab.
“Terakhir kali aku melihatnya di kaki Bukit Kaling-
ga....”
Pendekar 131 tersentak. “Bukit Kalingga.... Astaga!
Bukankah aku pernah bertemu Kiai Laras di sana...?
Apakah....” Joko tidak lanjutkan gumamannya. Seba-
liknya cepat berbalik, lalu berkelebat. Dia berhenti se-
jenak di bawah lobang. Memandang pada semua orang
di ruangan, lalu melesat dan lenyap di atas lobang.
Gendeng Panuntun kerjapkan sepasang matanya
yang putih. Lalu berkata.
“Nyai Tandak Kembang.... Aku sebagai wakil dari
sahabat-sahabat yang ada di sini minta maaf kalau se-
lama ini bertindak kurang sopan padamu!”
“Ah.... Lupakan semua itu. Justru aku yang berte-
rima kasih padamu serta sahabat-sahabat sekalian!”
sambut Nyai Tandak Kembang seraya anggukkan ke-
pala menjura.
“Setan! Aku tidak merasa bertindak kurang sopan
pada setan perempuan itu!” Dayang Sepuh bergumam
dengan cibirkan mulut.
“Aku pun merasa begitu!” Dewi Ayu Lambada me-
nimpali gumaman Dayang Sepuh.
“Aku juga demikian!” Iblis Ompong ikut-ikutan ber-
gumam.
“Brusss! Brusss! Ah.... Mengherankan sekali. Apa
kalian tak tahu bahasa basa-basi?!” Datuk Wahing
mengingatkan.
Dayang Sepuh sudah hendak angkat bicara menya-
hut. Namun Gendeng Panuntun mendahului buka mu-
lut. Bukan sambuti gumaman beberapa orang di sam-
pingnya, melainkan bicara seraya hadapkan wajah lu-
rus ke arah Pitaloka.
“Gadis cantik.... Aku punya satu saran untukmu!
Sebaiknya kau turuti saran eyangmu Jangan pertu-
rutkan kata hati!”
Hem.... Apakah dia tahu rencanaku? Lalu mengapa
dia mencegahku?!” Pitaloka diam-diam berkata sendiri
dalam hati. Mungkin tak mau berpanjang lebar dan bi
sa-bisa Nyai Tandak Kembang menarik izinnya, Pitalo-
ka buka suara menyahut.
“Terima kasih atas saranmu. Aku akan berusaha
melakukannya....”
“Brusss! Brusss! Rasa-rasanya aku ingat siapa kau
sekarang!” Datuk Wahing berkata seraya hadapkan
wajah dan memandang pada Kigali. “Tapi aku masih
ragu dan heran. Apakah benar penglihatanku ini?”
“Aku memang Kigali.... Apa kau hendak teruskan
ucapan usang, Galaga?!” Kigali berterus terang sambil
menyebut nama asli Datuk Wahing.
Seperti diketahui, Kigali pernah menjadi orang ke-
percayaan Maladewa alias Setan Liang Makam pada
beberapa puluh tahun silam. Bahkan Kigali punya tu-
gas untuk mencari sekaligus membunuh Galaga alias
Datuk Wahing.
“Brusss! Jangan berkata mengherankan, Sahabat!
Aku tak ingin membangkitkan kisah lama. Malah aku
bersyukur bisa bertemu kau lagi....”
“Datuk.... Sudah saatnya kita pergi dari sini! Lagi
pula mereka masih punya pekerjaan....” Gendeng Pa-
nuntun berkata seraya menoleh pada Datuk Wahing.
Datuk Wahing berpaling pada rombongan Dayang
Sepuh.
“Bruss! Brusss! Kalian juga sudah waktunya ting-
galkan tempat ini! Walau bagaimanapun kita tidak bisa
membiarkan seorang anak pergi sendirian! Kita pergi
bersama-sama sekarang....”
“Nyai Tandak Kembang...,!” kata Gendeng Panuntun
lagi. “Kami harus pergi sekarang. Kelak mudah-
mudahan kita bisa bertemu lagi....”
Nyai Tandak Kembang anggukkan kepala. Gendeng
Panuntun balikkan tubuh lalu perlahan melangkah.
Datuk Wahing anggukkan kepala pada beberapa orang
di depan sana. Lalu putar diri dan melangkah mengikuti Gendeng Panuntun.
Dayang Sepuh, Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong,
dan Dewa Uuk saling pandang satu sama lain. Tanpa
ada yang buka suara keempatnya berbalik kecuali Iblis
Ompong yang memang dari tadi memunggungi bebera-
pa orang di depan. Mereka berempat melangkah berja-
jar. Gendeng Panuntun membuka satu gerakan dis-
usul Datuk Wahing. Sosok keduanya melenting lalu
lenyap keluar lobang.
Dayang Sepuh bergumam tak jelas. Lalu melesat
menyusul. Di belakangnya Dewi Ayu Lambada mem-
buntuti yang tak lama kemudian diikuti Iblis Ompong.
Dewa Uuk adalah orang terakhir yang meninggalkan
ruangan bawah Lembah Patah Hati.
“Kita harus kuburkan dahulu bayi Pitaloka dan
Umbu Kakani, juga mayat Lingga Buana!” Nyai Tandak
Kembang berkata.
Kigali anggukkan kepala. Lalu serahkan bayi Pita-
loka pada Nyai Tandak Kembang. “Pitaloka dan Putri
Kayangan biar membawa mayat Umbu Kakani. Aku
akan mengangkat mayat Lingga Buana. Meski mereka
berdua pada akhirnya harus bermusuhan, tapi pada
mulanya mereka berdua adalah sepasang kekasih. Tak
ada salahnya kalau mereka kita kuburkan berdampin-
gan!”
Kigali melangkah mendekati sosok mayat Lingga
Buana. Pitaloka dan Putri Kayangan mengangkat
mayat Umbu Kakani. Lalu mereka melangkah tanpa
ada lagi yang buka suara.
***
Kita tinggalkan dahulu rombongan Dayang Sepuh
dan rombongan Nyai Tandak Kembang. Juga kepergian
Pendekar 131. Kita kembali dahulu ke sebuah bukit di
sebelah timur sebuah hutan.
Saat itu matahari baru saja menapak dari bentan-
gan kaki langit sebelah timur. Cahayanya menerabas
sela dedaunan jajaran pohon di sebuah kaki bukit di
mana terlihat satu sosok tubuh tengah duduk bersila
di bawah pohon besar dengan punggung bersandar
pada batangan pohon.
Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut beram-
but putih agak panjang. Mengenakan pakaian warna
putih. Di pangkuan orang tua ini tampak sebuah ju-
bah hitam yang dipegang erat-erat seolah takut jubah
hitam itu terbang terbawa angin. Padahal saat itu an-
gin berhambus semilir dan tak mungkin mampu me-
nerbangkan jubah hitam di pangkuan orang.
Orang tua ini sesekali arahkan pandang matanya ke
satu jurusan jalan menuju arah bukit di mana dia kini
berada. Dari sikapnya jelas orang tua ini tengah me-
nanti seseorang.
“Hem.... Ke mana keparat-keparat itu pergi?! Seha-
rusnya mereka sudah datang ke tempat ini! Apa mere-
ka mendapat halangan atau barangkali mampus?!” Si
orang tua di bawah pohon bergumam sendiri.
“Aneh.... Sudah hampir satu purnama lebih aku tak
mendengar kabar berita tentang Pendekar 131 dan te-
man-temannya! Ke mana mereka?! Pitaloka juga tak
ada beritanya! Hem.... Gadis itu menggairahkan! Sean-
dainya dia tidak pergi meloloskan diri dari tanganku,
tentu malam-malamku tak akan merasa kedinginan
lagi! Pitaloka.... Hem....” Si orang tua sunggingkan se-
nyum. Di sepasang matanya tiba-tiba terpampang seo-
rang gadis muda berparas cantik mengenakan pakaian
warna merah.
Saat itulah tiba-tiba entah dari mana sumbernya
terdengar suara.
“Siapa pun kau adanya. Kelak kau akan mengambil
buah dari perbuatanmu! Kau boleh punya Kembang
Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad. Tapi Sang Pen-
cipta akan menciptakan pamungkasnya! Dan pamung-
kas itu akan hadir dari darah dagingmu sendiri!”
Suara itu menggema ke seantero kaki bukit. Aneh-
nya suara itu laksana diperdengarkan dari tempat
yang sangat jauh dan dalam!
Si orang tua di bawah pohon tersentak. Dia sentak-
kan kepalanya berputar. Namun dia tidak melihat sia-
pa-siapa!
“Kala Marica! Itu suara Kala Marica!” gumam si
orang tua. “Bagaimana ini bisa terjadi! Sudah dua kali
ini dia perdengarkan suara! Apa dia belum tewas?!”
Seolah untuk yakinkan diri, si orang tua kembali putar
pandangan berkeliling. Namun sampai matanya lelah
memandang, dia tidak juga melibat adanya orang lain
di tempat itu.
“Keparat! Mungkin ini hanya tipuan telingaku saja!”
sentak si orang tua. “Lagi pula apa yang perlu di-
takutkan! Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Ja-
sad berada di tanganku!”
Entah karena apa, meski dia tadi percaya suara
yang baru didengar adalah tipuan telinganya, si orang
tua ini tengadahkan kepala lalu berteriak.
“Kala Marica! Kalau kau bukan manusia pengecut,
mengapa tidak berani unjuk tampang?! Dan jangan
mimpi kau bisa menggertak Kiai Laras! Keluarlah dari
tempatmu dan perlihatkan nama besarmu!”
Si orang tua yang tidak lain adalah Kiai Laras putar
pandangan sekali lagi. Namun sejauh ini dia lagi-lagi
tidak melihat siapa-siapa. Bahkan dia juga tidak men-
dengar suara sahutan!
“Ah.... Mengapa aku tolol turuti tipuan telinga?!”
Kiai Laras akhirnya sadar akan tindakannya meski da-
danya terus dibuncah perasaan tidak enak.
Seperti diketahui, Kiai Laras dengan muslihatnya
sendiri akhirnya dapat menguasai Kembang Darah Se-
tan serta Jubah Tanpa Jasad. Pada satu saat, dia terli-
bat bentrok dengan seorang tokoh tua yang dikenal da-
lam kalangan rimba persilatan berilmu sangat tinggi
dan punya ilmu langka. Dia adalah Kala Marica. Sebe-
narnya Kala Marica tidak mau meladeni Kiai Laras.
Namun Kiai Laras tak ambil peduli. Pada akhirnya Kiai
Laras berhasil melukai Kala Marica dan bahkan me-
nendangnya masuk ke dalam jurang. Saat sosok Kala
Marica amblas masuk ke dalam jurang itulah, Kala
Marica sempat berucap seperti kata-kata yang di-
dengar oleh Kiai Laras yang sedang termenung sendiri.
(Lebih jelasnya tentang Kala Marica silakan baca serial
Joko Sableng dalam episode : “Kutuk Sang Angkara”).
Kiai Laras bergerak bangkit. Saat itulah sepasang
matanya menangkap satu bayangan berkelebat menu-
ju arah bukit.
“Hem.... Tampaknya dia datang membawa tangan
hampa!” desis Kiai Laras lalu kenakan jubah hitam
yang tadi diletakkan di atas pangkuannya.
Begitu jubah hitam telah terpakai, mendadak sosok
Kiai Laras raib tidak kelihatan! Yang terlihat sekarang
hanyalah jubah hitam yang terapung di atas udara di
bawah pohon. Inilah satu petunjuk kalau jubah hitam
yang dikenakan Kiai Laras adalah Jubah Tanpa Jasad.
Jubah peninggalan leluhur dari Kampung Setan. Ju-
bah yang akan membuat sosok pemakainya tidak bisa
ditangkap dengan pandangan mata biasa.
Kiai Laras yang sosoknya tidak kelihatan lagi mem-
buat satu kali gerakan. Jubah Tanpa Jasad bergerak
dan tahu-tahu telah berada di antara lebatnya rimbun
dedaunan pohon di mana tadi Kiai Laras duduk ber-
sandar.
Begitu sosok Kiai Laras lenyap dari bagian bawah
pohon, satu sosok tubuh berkelebat dan tegak sepuluh
langkah dari pohon di mana Kiai Laras berada. Orang
ini lirikan ekor matanya ke seantero tempat itu.
“Dia cepat sekali lenyap...,” gumam orang yang baru
muncul. “Mengapa dia sembunyikan diri? Bukankah
aku datang untuk menemuinya dan dia menunggu-
ku?!”
Baru saja orang menggumam, Kiai Laras melayang
turun dan berdiri delapan tindak di hadapan orang.
“Kau tahu apa yang seharusnya kau katakan!” Kiai
Laras sudah buka suara.
***
DELAPAN
ORANG di hadapan Kiai Laras terdiam beberapa la-
ma. Dia adalah seorang laki-laki yang paras wajahnya
tidak mudah dikenali. Selain angker, laki-laki ini
punya raut muka sedikit aneh. Karena raut itu hanya
terdiri dari kerangka tanpa daging! Dan ternyata bu-
kan hanya wajahnya saja yang tidak disamaki daging.
Sekujur tubuhnya pun hanya merupakan susu-nan
kerangka! Sepasang matanya besar berputar liar di da-
lam cekungan kerangka mata yang menjorok dalam.
Laki-laki ini tidak lain adalah Maladewa. Generasi
terakhir dari kerabat penghuni Kampung setan. Seperti
diketahui, karena terburu-buru dan marah pada ne-
neknya si Nyai Suri Agung, Maladewa akhirnya me-
minta semua warisan leluhur Kampung Setan. Mala-
dewa tidak hiraukan lagi nasihat Nyai Suri Agung.
Hingga pada akhirnya si nenek memberikan Kembang
Darah Setan, salah satu senjata mustika dari leluhur
Kampung Setan.
Dengan Kembang Darah Setan di tangannya, Maladewa mulai merambah rimba persilatan, bahkan dia
berniat pula menghabisi Nyai Suri Agung dan Galaga,
saudara seperguruannya dari orang di luar kerabat
Kampung Setan.
Untuk memenuhi niatannya, Maladewa bersekutu
dengan beberapa orang. Dua di antara orang keper-
cayaannya adalah Kigali dan Dadaka. Kedua orang ini
malah diberi tugas khusus untuk memburu Nyai Suri
Agung dan Galaga. Namun kedua orang ini gagal. Bah-
kan dengan muslihatnya, kedua orang kepercayaan
Maladewa ini bisa menjerumuskan Maladewa ke dalam
makam batu di Kampung Setan.
Maladewa harus menunggu selama tiga puluh enam
tahun kemudian untuk bisa keluar dari makam batu.
Tapi dia juga akhirnya harus merelakan Kembang Da-
rah Setan lepas dari tangannya karena itulah satu-
satunya syarat. Begitu keluar dari makam batu, sosok
Maladewa telah berubah. Tiga puluh enam tahun diku-
rung di dalam makam batu membuat daging sekujur
tubuhnya mengelupas hingga tinggal kerangka. Saat
Maladewa keluar itulah dia menggelari diri dengan se-
butan Setan Liang Makam.
Perjalanannya setelah mendekam dalam makam ba-
tu ternyata tidak lagi mulus, la harus berhadapan den-
gan beberapa tokoh yang tiba-tiba muncul begitu ter-
siar kembali tentang senjata mustika Kembang Darah
Setan. Hingga sampai tertipu oleh muslihat Kiai Laras
yang pada akhirnya Kiai Laras-lah yang berhasil men-
dapatkan Jubah Tanpa Jasad, senjata mustika sa-
tunya lagi milik leluhur Kampung Setan.
Namun Setan Liang Makam tidak putus asa. Dia
bertekad merebut kembali dua pusaka Kampung Setan
yang telah jatuh ke tangan orang lain. Tapi tanpa sen-
jata mustika di tangan, Setan Liang Makam tidak bisa
berbuat banyak. Hingga sampai dia sendiri harus menjadi orang suruhan Kiai Laras!
“Setan Liang Makam!” Kiai Laras membentak ketika
Setan Liang Makam alias Maladewa tidak segera buka
mulut. “Jangan buat kesabaran hatiku pupus dan aku
berubah pikiran! Lekas katakan apa yang kau bawa
padaku!”
Setan Liang Makam gelengkan kepala. “Aku sudah
menjelajah mencari Pendekar 131 dan beberapa te-
mannya. Namun mereka tiba-tiba tak ada kabar beri-
tanya pergi entah ke mana!”
“Hem.... Aku juga merasa heran! Keparat-keparat
itu lenyap begitu saja! Perturutkan hati rasanya ingin
aku menghabisi manusia setan itu! Tapi... walau bagai-
mana tenaganya masih kubutuhkan! Apalagi aku ha-
rus menyelidik ke mana keparat-keparat itu sembu-
nyikan diri!” kata Kiai Laras dalam hati. Lalu bertanya.
“Selama perjalanan, apa kau sempat bertemu den-
gan gadis baju merah itu?!”
Setan Liang Makam geleng kepala. Sepasang mata-
nya terus perhatikan Jubah Tanpa Jasad yang menga-
pung di udara karena sosok Kiai Laras tidak kelihatan.
“Hem.... Rasanya sulit merebut Jubah Tanpa Jasad
dan Kembang Darah Setan dari jahanam ini! Tapi aku
tetap menunggu! Satu saat pasti dia akan lengah!” Se-
tan Liang Makam diam-diam juga membatin.
“Aku tahu bagaimana memancing keparat-keparat
itu tunjuk diri lagi!” gumam Kiai Laras pada akhirnya
setelah berpikir beberapa saat.
“Setan Liang Makam! Seharusnya kau tidak pantas
hidup lagi karena kegagalanmu ini! Tapi kesetiaanmu
membuat pikiranku berubah! Kau kini kuangkat seba-
gai wakilku dan sebentar lagi kita akan melakukan pe-
kerjaan besar! Kita akan bangun kembali kejayaan
Kampung Setan. Jalan pertama yang harus kita tem-
puh adalah mengubur semua tokoh rimba persilatan!”
Ucapan Kiai Laras membuat Setan Liang Makam
melonjak girang dalam hati. “Aku akan berada di bela-
kangmu! Dan siap membantu sampai titik darah peng-
habisan!”
Walau berucap begitu, sebenarnya lain dengan apa
yang terucap dalam hati. “Ini kesempatan baik! Ke-
sempatanku makin terbuka lebar! Dan tak lama lagi
Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad akan
kembali ke tanganku!”
Kiai Laras manggut-manggut. Lalu berujar. “Aku tak
butuh ucapan kesetiaan, Setan Liang Makam! Tapi be-
gitu aku tahu kau berkhianat, aku akan membunuh-
mu dua kali! Kau dengar itu?!”
Setan Liang Makam tersenyum dingin dengan ang-
gukkan kepala. “Dan ingat. Jangan bantah apa yang
kuperintahkan padamu!” Kiai Laras sambungi uca-
pannya. Lalu balikkan tubuh. Jubah Tanpa Jasad ber-
putar. “Sekarang pekerjaan itu kita mulai!”
Habis berkata begitu, Kiai Laras berkelebat mengi-
tari bukit lewat sebelah timur. Tanpa banyak pikir Se-
tan Liang Makam berkelebat mengikuti di belakang.
Kiai Laras hentikan langkah di depan sebuah lobang
batu berbentuk goa. Dia menoleh sesaat pada Setan
Liang Makam. Lalu melompat dan masuk ke dalam
goa. Setan Uang Makam terus mengikuti tanpa buka
suara.
Begitu berada di dalam ruangan goa, Kiai Laras ce-
pat menuju pojok ruangan di mana terdapat tumpu-
kan kayu arang bekas perapian. Setan Liang Makam
tak tahu apa yang dilakukan Kiai Laras. Yang terlihat
olehnya adalah gerakan pada tumpukan kayu pera-
pian. Saat lain terdengar suara berderit.
Setan Liang Makam pentangkan mata memandang
ke pojok ruangan dari mana sumber suara deritan ter-
dengar. Ternyata bagian pojok ruangan goa membuka
membentuk sebuah pintu. Di belakang pintu terlihat
tangga naik dari batu.
Kiai Laras melompat melewati pintu lalu naik tang-
ga batu perlahan-lahan. Tanpa disuruh Setan Liang
Makam mengikuti. Kiai Laras tegak di sebuah pinggi-
ran lobang menganga dan memperhatikan ke bawah
lobang. Setan Liang Makam yang juga telah tegak di
samping Kiai Laras ikut arahkan pandang matanya ke
bawah lobang.
“Kau lihat mereka?!” Kiai Laras ajukan tanya.
Setan Liang Makam anggukkan kepala tatkala ma-
tanya menangkap dua sosok tubuh duduk bersandar
pada lamping lobang di bawah sana. Namun dia belum
bisa menduga siapa adanya dua orang itu. Selain lo-
bang itu diselimuti kabut tipis putih, kedua orang yang
duduk di bawah tidak angkat kepalanya.
“Bunuh mereka!” kata Kiai Laras.
“Kau dengar suara itu?!” Tiba-tiba orang di bawah
lobang Sebelah kanan perdengarkan bisikan pada
orang yang duduk di sebelahnya. Kepalanya berpaling.
Dia adalah seorang nenek berambut putih. Di tangan
kanannya yang bersedekap di depan dada terlihat se-
buah tusuk konde besar berwarna hitam. Nenek ini
bukan lain adalah Ni Luh Padmi. Seorang tokoh dari
tanah seberang yang berkelana mencari Pendeta Sin-
ting guru Pendekar 131 Joko Sableng karena satu uru-
san.
Seperti pernah dituturkan, Ni Luh Padmi pada satu
kesempatan bertemu dengan Kiai Laras. Kiai Laras
menunjukkan di mana Pendeta Sinting berada. Tanpa
banyak menunggu, Ni Luh Padmi menuju tempat yang
dikatakan Kiai Laras yang saat itu tengah menyamar
sebagai murid Pendeta Sinting. Begitu sampai di tem-
pat yang dikatakan, ternyata Ni Luh Padmi tertipu.
Hingga akhirnya Ni Luh Padmi harus masuk ke dalam
lobang di balik ruangan goa. (Lebih jelasnya silakan
baca serial Joko Sableng dalam episode : “Geger To-
peng Sang Pendekar”).
Orang di samping Ni Luh Padmi menoleh dan ang-
gukkan kepala. Dia juga adalah seorang perempuan
berusia agak lanjut namun parasnya masih kelihatan
cantik. Rambutnya panjang dengan mata agak bulat.
Dia adalah Lasmini. Seperti dituturkan, Lasmini yang
bersekutu dengan Kiai Lidah Wetan, kakek kandung
Kiai Laras akhirnya menyelidik. Kemudian dia bertemu
dengan Kiai Laras. Seperti halnya Ni Luh Padmi, Las-
mini juga tertipu oleh Kiai Laras hingga akhirnya pe-
rempuan ibu kandung Saraswati ini bisa dijebloskan
Kiai Laras ke dalam lobang di balik ruangan goa. (Le-
bih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam
episode : “Liang Makam di Bukit Kalingga”).
“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Nek?!”
Lasmini angkat bicara.
Ni Luh Padmi geleng kepala. “Aku tak tahu harus
berbuat apa! Keadaan kita sudah sangat lemah!”
“Nek.... Tanpa usaha kita sudah pasti akan mam-
pus juga terus menerus berada di tempat celaka ini!
Bukankah lebih baik kita berusaha?! Apalagi ucapan
tadi ditujukan pada kita! Apa yang kita tunggu?!”
“Tapi....”
Belum sampai Ni Luh Padmi lanjutkan ucapan,
Lasmini telah menyahut. “Sekarang tidak ada tapi,
Nek!”_Lasmini beranjak bangkit. Ni Luh Padmi sesaat
bimbang tapi tak lama kemudian dia pun bergerak
bangkit dan sama-sama tengadahkan kepala meman-
dang ke atas.
“Lasmini!” desis Setan Liang Makam begitu melihat
Lasmini dongakkan kepala.
“Hem.... Kau telah mengenalnya. Bagus! Pekerjaan
kita dimulai dari mereka! Dan kau telah dengar apa
yang harus kau lakukan!” kata Kiai Laras. Jubah Tan-
pa Jasad bergerak ke samping. Lengan kanan jubah
bergerak menunjuk pada Ni Luh Padmi. “Yang tua itu
bernama Ni Luh Padmi! Kau tertarik padanya?!”
“Apa maksudmu?!” tanya Setan Liang Makam sedi-
kit heran. Karena tadi Kiai Laras menyuruhnya mem-
bunuh kedua-duanya. Sekarang dia mengatakan lain.
“Kalau kau tertarik, kau boleh merasakan kehanga-
tannya sebelum kau kirim dia ke alam lain!”
“Sialan! Untuk apa tubuh peot begitu rupa ditawar-
kan padaku?!” Setan Liang Makam memaki dalam hati
lalu berujar.
“Untuk sementara ini aku belum tertarik pada pe-
rempuan! Entah nanti....”
“Bagus! Kalau begitu lakukan tugasmu! Aku akan
menunggu di luar!”
Kiai Laras bergerak menuruni tangga lalu melompat
dan tegak di mulut goa dengan bibir sunggingkan se-
nyum.
Di lobang bagian bawah, Lasmini tersentak kaget
mendapati siapa adanya sosok yang tegak di atas. Seo-
lah belum percaya, dia picingkan mata berulang kali.
“Kau mengenal siapa manusia itu?!” Ni Luh Padmi
bertanya seraya pandangi sosok angker Setan Liang
Makam.
“Tempo hari aku pernah bersama-sama dengan ma-
nusia itu! Dia adalah Setan Liang Makam!”
“Hem.... Kau punya sengketa dengannya?!” tanya Ni
Luh Padmi.
Lasmini geleng kepala. “Kami bersama-sama men-
cari seseorang. Namun gagal menemukannya! Setelah
itu kami berpisah!”
“Kalau demikian, mungkin dia bisa menolong kita!”
“Kurasa tidak! Kau dengar perintah orang tadi! Be-
rarti dia akan menghabisi kita!”
“Jangan pedulikan ucapan orang! Bukankah kau
tadi berkata kita harus berusaha?! Kita coba.... Siapa
tahu dia berubah niat!”
Lasmini merenung sejenak. Saat lain dia berteriak.
“Setan Liang Makam! Kau masih ingat padaku, bu-
kan?!”
“Aku tidak pernah lupa pada setiap orang yang per-
nah kutemui!” jawab Setan Liang Makam seraya ber-
kacak pinggang.
“Aku gembira mendengarnya.... Dan lebih gembira
lagi jika kau mau membantu kami untuk keluar dari
lobang ini!”
Setan Liang Makam perhatikan sekeliling lobang.
“Aneh.... Lobang ini memang agak dalam. Tapi sebagai
orang berilmu, mustahil mereka tidak bisa melompat
keluar! Pasti ada sesuatu di lobang ini!” Membatin Se-
tan Liang Makam. Karena ingin tahu, Setan Liang Ma-
kam berkata.
“Tanpa bantuanku, kau bisa melompat dari bawah!”
“Berarti dia belum tahu tempat ini!” bisik Ni Luh
Padmi mendengar suara Setan Liang Makam. Lalu
angkat suara.
“Sebenarnya memang begitu. Tapi ruangan ini telah
ditaburi hawa beracun! Sekali kami kerahkan tenaga
dalam, maka habis riwayat kami! Padahal untuk me-
lompat ke atas, kami harus kerahkan tenaga dalam....”
“Hem.... Begitu?! Nasib kalian rupanya sangat je-
lek!” ujar Setan Liang Makam.
“Jadi kau tak mau membantu...?!” tanya Lasmini
dengan tengkuk mulai dingin.
“Membantu keluar dari sini memang tidak bisa! Aku
hanya bisa membantu kalian untuk sempurnakan na-
sib jelek kalian!”
Lasmini saling pandang dengan Ni Luh Padmi. Pa-
ras keduanya berubah. “Tidak ada artinya lagi kita bicara! Terpaksa kita cari jalan lain! Setidaknya berusa-
ha mempertahankan diri!” kata Lasmini setengah pu-
tus asa.
“Sobat!” Ni Luh Padmi berusaha buka suara. “Di an-
tara kita tidak ada pertentangan. Lebih dari itu sebe-
narnya kau ditipu orang seperti halnya kami berdua!
Begitu kau nanti sadar, pasti kau telah berada di tem-
pat lain menggantikan kami berdua!”
“Orang boleh menipuku! Tapi aku tidak bodoh se-
perti kalian berdua! Dan perlu kalian ketahui, membu-
nuh orang tidak lagi diperlukan adanya pertentangan!
Akan kubuktikan ucapanku!”
Ucapan Setan Liang Makam belum sirna gemanya,
cucu Nyai Suri Agung dari Kampung Setan ini telah ge-
rakkan kedua tangannya melepas satu pukulan ke
arah Lasmini dan Ni Luh Padmi!
Wuuutt! Wuuutt!
Satu gelombang dahsyat melesat ganas ke arah
Lasmini. Satunya lagi berkiblat ke arah Ni Luh Padmi.
Lobang di mana kedua perempuan itu berada bergetar.
“Sedapat mungkin kita menghindar! Berbahaya ka-
lau kita menghadang pukulan setan keparat itu! Kare-
na kita harus kerahkan tenaga dalam!” bisik Ni Luh
Padmi.
Tapi Lasmini tampaknya sudah nekat. Dia tidak pe-
dulikan peringatan Ni Luh Padmi. Dia menghela napas
lalu salurkan tenaga dalam. Kedua tangannya diang-
kat.
“Bodoh! Kenekatanmu bukan pada tempatnya!”
hardik Ni Luh Padmi lalu mendorong sosok Lasmini.
Hingga belum sampai Lasmini kerahkan tenaga dalam
untuk menghadang gelombang pukulan yang datang,
sosoknya telah terdorong deras ke samping dan ter-
huyung hampir roboh. Saat yang sama Ni Luh Padmi
berkelebat selamatkan diri.
Bummm! Bummm!
Dua gelegar ledakan mengguncang lobang. Bibir lo-
bang tampak gemeretak rengkah lalu longsor dengan
taburkan hamparan batu. Saat yang sama lantai lo-
bang muncratkan pula kepingan batu akibat terhan-
tam pukulan Setan Liang Makam yang gagal melabrak
sosok Lasmini dan Ni Luh Padmi.
Melihat pukulannya dapat dihindari orang, Setan
Liang Makam jadi geram. Dia putar diri setengah ling-
karan lurus ke arah sosok Ni Luh Padmi yang mendo-
rong Lasmini hingga selamat.
Tanpa berkata dahulu, kedua tangan Setan Liang
Makam bergerak lagi melepas satu pukulan.
Di bagian bawah, Ni Luh Padmi cepat menyingkir
dengan melompat. Namun kali ini Setan Liang Makam
tak memberi kesempatan. Tangan kirinya bergerak ke
arah mana Ni Luh Padmi melompat.
Ni Luh Padmi menyumpah habis-habisan seraya
kembali berkelebat. Namun tangan kanan Setan Liang
Makam terus memburu dengan menyentak mengikuti
arah kelebatan sosok Ni Luh Padmi.
Ni Luh Padmi jadi kebingungan. Dia akan melompat
lagi. Tapi tempat di mana ia akan melompat saat itu
dua pukulan pertama Setan Liang Makam telah menu-
ju ke sana. Hingga satu-satunya jalan untuk sela-
matkan diri adalah menghadang pukulan orang.
Lasmini sendiri tampak meringkuk di bagian samp-
ing dengan mata memperhatikan apa yang akan dila-
kukan si nenek. Dan diam-diam pula dia telah memu-
tuskan kerahkan tenaga dalam, karena bagaimanapun
juga bias pukulan yang dilepas Setan Liang Makam
akan melabrak ke arahnya apalagi dia meringkuk tak
jauh dari Ni Luh Padmi.
Dengan tangan bergetar, akhirnya Ni Luh Padmi ke-
rahkan juga tenaga dalam. Lalu dengan cepat disentakkan ke atas menghadang pukulan Setan Liang Ma-
kam.
Beberapa ledakan berturut-turut mengguncang lo-
bang. Tiga yang pertama adalah gelegar akibat puku-
lan Setan Liang Makam yang menghantam lantai lo-
bang karena dihindari Ni Luh Padmi. Satu lagi ledakan
karena pukulan tangan kanan Setan Liang Makam
bentrok dengan pukulan yang dilepas Ni Luh Padmi.
Lobang di balik ruangan goa itu beberapa lama dis-
elimuti taburan kepingan batu hingga suasana agak
pekat. Dan begitu keadaan agak terang kembali, sosok
Ni Luh Padmi tampak tegak bersandar dengan muka
pucat. Dia memang tidak mengalami cedera berarti,
bahkan saat itu juga melangkah Hendak mendekati
Lasmini yang juga bersandar dan terus memperhati-
kan Ni Luh Padmi.
“Nek! Kita tertipu.... Ruangan ini tidak beracun!
Buktinya kau tidak apa-apa!” kata Lasmini lalu hendak
melangkah menyongsong Ni Luh Padmi.
Tiba-tiba Lasmini hentikan kaki. Sepasang matanya
mendelik dengan dahi berkerut. Di depan, terlihat so-
sok Ni Luh Padmi bergetar keras. Saat lain kedua lu-
tutnya menekuk. Tubuhnya doyong ke muka lalu terje-
rembab jatuh menelungkup dengan mulut perdengar-
kan erangan tertahan.
Lasmini cepat melompat. Lalu jongkok dan balikkan
tubuh Ni Luh Padmi. Paras wajah Lasmini seketika
tercekat. Tengkuknya laksana diguyur es. Paras muka
si nenek ternyata telah berubah menghitam! Dan per-
lahan-lahan sekujur tubuhnya juga berubah menghi-
tam.
“Kau salah terka.... Ruangan ini mengandung racun
sangat ganas! Ini bukan karena bentrok pukulan den-
gan setan di atas itu! Melainkan akibat racun yang te-
lah masuk ke aliran darahku karena aku tadi terpaksa kerahkan tenaga dalam....” Ni Luh Padmi per-
dengarkan suara dengan tersendat-sendat. “Aku.... tak
bisa memberi tahu bagaimana kau menghadapi apa
yang akan terjadi.... Kau sudah tahu akibatnya....”
Habis berucap begitu, kepala Ni Luh Padmi teleng
ke kanan. Kedua kakinya mengejang sebentar lalu di-
am tak bergerak. Nyawa nenek dari seberang ini putus
dengan sekujur tubuh menghitam! Tusuk konde hitam
di tangan kanannya lepas dan tergeletak di atas lantai.
***
SEMBILAN
TENGKUK Lasmini merinding. Dia tak tahu apa
yang harus dilakukan. Tekadnya pelan-pelan padam.
Sementara di atas lobang, Setan Liang Makam per-
dengarkan suara tawa panjang.
Lasmini bergerak bangkit dan melangkah ke tengah
ruangan lobang. Kepalanya mendongak. Saat itulah ti-
ba-tiba terbayang sosok Saraswati di depan matanya.
“Anakku.... Tampaknya takdir sudah mengha-
ruskan kita tak bisa hidup berdampingan! Aku kini
menyesal mengapa tidak pedulikan peringatanmu....
Seandainya saja saat itu aku turuti ucapanmu, mung-
kin kita telah hidup damai.... Anakku.... Bagaimana
kau sekarang?! Terakhir jumpa, kau juga tengah men-
galami perlakuan-tidak baik dari manusia jahanam
yang memasukkan aku ke tempat celaka ini! Anakku,
tentu kau juga berusaha....”
Sampai di situ tiba-tiba Lasmini kepalkan kedua
tangannya. “Kalau kau berusaha mengapa aku tidak?!
Aku tidak boleh pasrah dengan keadaan ini! Mati pun
aku puas karena setidaknya aku telah berusaha untuk
selamat dan bertemu denganmu!” Semangat Lasmini
mendadak muncul kembali malah kini berkobar-kobar.
Dia tidak lagi merasa takut meski telah tahu apa yang
menimpa Ni Luh Padmi. Hingga saat itu juga dia berte-
riak lantang.
“Setan Liang Makam! Kau boleh puas dengan se-
mua ini! Tapi jangan mimpi aku takut menghadapi-
mu!”
Setan Liang Makam putuskan gelakan tawanya. Se-
pasang matanya berkilat pandangi sosok Lasmini. Na-
mun tak lama kemudian dia perdengarkan tawa lagi
seraya berucap.
“Ucapan orang akan mampus kadang-kadang me-
mang menyala-nyala! Sayang, nasib tidak ikut berpi-
hak!”
Selesai berucap begitu, tangan kanan Setan Liang
Makam telah berkelebat. Sementara tangan kiri di atas
udara siap dikelebatkan dengan mata terus perhatikan
gerakan Lasmini.
Lasmini segera melompat ke belakang. Tusuk konde
besar milik Ni Luh Padmi disambar. Tangan kiri Setan
Liang Makam berkelebat ke arah sosok Lasmini yang
melompat ke belakang.
Dua gelombang dahsyat berkiblat perdengarkan de-
ruan keras. Seraya menghindar ke samping, Lasmini
sentakkan tangan kanan yang telah menggenggam tu-
suk konde. Dia sengaja arahkan sentakan tusuk konde
lurus melalui gelombang yang menghantam ke bawah.
Karena dia sadar, akan percuma kalau sentakannya
lewat di samping gelombang. Sebab selain ruangan lo-
bang itu ditebari racun, hebatnya ruangan itu bisa
mementalkan pukulan ke atas lobang.
Dengan berkelebatnya gelombang dari atas, maka
tabir yang bisa mementalkan pukulan itu terbuka. Itu-
lah sebabnya Lasmini sengaja arahkan sentakan tusuk
konde melalui gelombang yang datang dari atas.
Blaar! Blaarr!
Dua gelombang terdengar. Dua pukulan Setan
Liang Makam menghantam tempat kosong karena
Lasmini telah berkelebat menghindar.
Sementara di atas lobang, Setan Liang Makam ter-
sentak kaget melihat satu benda hitam berdesing lurus
ke arahnya. Karena tadi dia tengah perhatikan keleba-
tan sosok Lasmini, terlambat baginya untuk menghin-
dar meski dia sempat doyongkan tubuh.
Cleepp!
Setan Liang Makam berseru tertahan. Tusuk konde
besar menancap tembus pakaiannya dan merobek tu-
lang bagian dada kiri.
“Jahanam!” maki Setan Liang Makam. Dia cepat
menutup dengan kerahkan tenaga dalam ke sekitar
dada kiri. Tangan kanan cepat bergerak mencabut tu-
suk konde. Kejap kemudian tangan kirinya berkelebat
lagi. Karena dia marah, kali ini Setan Liang Makam ke-
rahkan hampir setengah dari tenaga dalamnya. Hingga
tatkala gelombang melesat ke bawah tampak disertai
gelombang warna hitam!
Lasmini tak mau bertindak ayal. Dia kembali me-
lompat menghindar. Tapi karena kali ini tenaga dalam
Setan Liang Makam telah dilipatgandakan, sejauh ma-
na pun Lasmini melompat pasti akan terhantam bias
pukulan orang.
Tapi Lasmini tak mau ambil risiko besar. Dia tidak
berusaha menghadang pukulan sebaliknya teruskan
berkelebat hindarkan diri.
Bummm!
Untuk kesekian kalinya lobang itu bergetar hebat.
Lasmini tampak terdorong oleh bias pukulan dan ter-
banting di udara karena gema pukulan.
Setan Liang Makam tak ambil peduli. Kembali tan
gan kirinya melepas pukulan. Kali ini tak ada jalan lain
bagi Lasmini. Karena tidak mungkin lagi bergerak
menghindar. Hingga terpaksa dia memutuskan meng-
hadang pukulan lawan walau dia tahu apa risikonya!
Lasmini kerahkan tenaga dalam lalu angkat kedua
tangannya dan didorong ke atas.
Blammm!
Kembali terdengar ledakan. Kali ini malah lebih
dahsyat karena pukulan Setan-Liang Makam dihadang
pukulan Lasmini.
Sosok Lasmini tampak mental dan menghantam
dinding ruangan lobang. Darah mengucur deras dari
mulutnya. Belum sampai dia bergerak bangkit, tangan
kanan Setan Liang Makam yang memegang tusuk
konde besar milik Ni Luh Padmi disentakkan!
Lasmini hanya bisa memandang lesatan tusuk
konde tanpa bisa berbuat apa-apa. Karena sekujur tu-
buh-nya terasa panas bukan alang kepalang. Tangan
dan kakinya laksana tidak bertenaga dan sepasang
mata-nya berkunang-kunang!
Cleeepp!
Tusuk konde besar menancap hampir separo ke
lambung Lasmini. Darah kehitaman muncrat dan se-
bagian memercik ke wajah Lasmini.
Lasmini menjerit seakan merobek langit. Tapi jeri-
tannya terputus di tengah jalan. Sosok ibu kandung
Saraswati ini lunglai dengan tubuh mengejang.
“Saraswati anakku....” Hanya itu ucapan terakhir
yang terdengar dari mulut Lasmini. Saat berikutnya
nyawanya melayang dengan sekujur tubuh menghi-
tam!
Setan Liang Makam perhatikan sesaat mayat Las-
mini dan Ni Luh Padmi yang telah berpindah tempat
karena tersambar pukulan. Saat lain cucu Nyai Suri
Agung dari Kampung Setan ini putar diri dan melangkah menuruni tangga dengan tangan kanan mendekap
dada kirinya yang berdenyut sakit.
Kiai Laras yang tegak di lobang masuk goa berpal-
ing. Dia perhatikan dada Setan Liang Makam. Saat
kemudian laki-laki ini selinapkan tangan kiri ke balik
jubah hitamnya. Ketika tangannya ditarik dia meng-
genggam sesuatu dan dilemparkan pada Setan Liang
Makam yang melangkah keluar dari pintu di pojok
ruangan goa.
Setan Liang Makam melihat satu bulatan sebesar
buah duku menggelinding dan berhenti di dekat pera-
pian.
“Telan benda itu!” Kiai Laras buka suara.
Tanpa banyak kata, Setan Liang Makam ambil bula-
tan warna kuning di dekat perapian. Lalu menelan-
nya. Seketika tubuhnya berubah panas dingin. Setan
Liang Makam mendelik pada Kiai Laras meski tidak bi-
sa melihat sosok orangnya.
“Jangan berprasangka buruk! Kalau hanya mem-
bunuhmu tak usah menggunakan racun yang ada pa-
da bulatan itu!” kata Kiai Laras dapat menangkap arti
pandangan Setan Liang Makam.
Setan Liang Makam masih bimbang dengan ucapan
Kiai Laras. Namun begitu panas dingin tubuhnya sir-
na, dia menghela napas lega dan angguk-anggukkan
kepala.
Kiai Laras berkelebat ke dekat perapian. Kayu pera-
pian kembali bergerak-gerak. Saat bersamaan terden-
gar lagi suara berderit. Pintu di pojok ruangan goa ter-
tutup kembali.
“Langkah awal telah kita mulai! Kita teruskan lang-
kah ini! Kita jadikan Kampung Setan sebagai tempat
baru bagi kita! Kita tegakkan kembali kejayaan Kam-
pung Setan! Dan aku adalah penguasanya!”
Kiai Laras tertawa bergelak. Lalu berkelebat keluar
dari goa. Setan Liang Makam bergumam tak jelas. Na-
mun segera pula berkelebat tinggalkan goa di kaki Bu-
kit Kalingga.
***
Bayangan putih itu berkelebat laksana setan. Dia
baru memperlambat kelebatan saat sampai perbatasan
hutan di mana dari perbatasan itu memandang ke se-
belah timur tampak menjulang sebuah bukit.
Sesaat si bayangan tadi yang ternyata adalah seo-
rang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian
warna putih berambut panjang acak-acakan dililit
dengan ikat kepala warna putih dan bukan lain adalah
Pendekar 131 Joko Sableng luruskan pandangan ke
arah bukit.
“Hem.... Apakah mungkin Kiai Laras manusia di ba-
lik Jubah Tanpa Jasad itu?! Kalau benar dia, orang
yang selama ini menyamar sebagai diriku adalah dia
juga! Pada mulanya aku memang menaruh curiga pa-
danya. Tapi untuk melakukan hal itu pasti ada sebab-
nya. Padahal aku tidak punya urusan apa-apa dengan
orang tua itu!” Joko geleng-geleng kepala.
“Tapi siapa pun dia adanya, yang jelas perbuatan-
nya harus dihentikan! Sayangnya.... Aku belum tahu
bagaimana caranya menggunakan benda merah yang
kuambil dari pusar bayinya Pitaloka ini! Seharusnya
aku tanya dahulu pada Gendeng Panuntun. Mungkin
dia tahu bagaimana menggunakannya! Tapi sekarang
percuma.... Mencari orang seperti dia susah-susah
gampang! Mungkin dia sudah pergi dari Lembah Patah
Hati....”
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Joko memu-
tuskan untuk segera menuju bukit di depan sana. Ka-
rena sudah pernah ke bukit itu, tidak sulit bagi murid
Pendeta Sinting untuk menemukan goa di mana dulu
dia pernah bertemu dengan Kiai Laras.
“Sepertinya tak ada orang...!” gumam Joko seraya
memperhatikan dari balik batangan pohon sepuluh
langkah dari mulut goa. Namun Joko tetap berhati-hati
dan sekali lagi meyakinkan.
Setelah yakin di luar tak ada orang lain, Joko cepat
berkelebat dan tegak mengendap-endap ke mulut goa
dari sebelah kanan. Kepalanya perlahan-lahan dis-
orongkan ke bibir mulut goa. Lalu matanya diedarkan
ke dalam.
“Kosong...!” kata Joko dalam hati. Lalu dengan ke-
dua tangan siap lepaskan pukulan, dia berkelebat ma-
suk dan tegak di balik mulut goa dengan mata dipen-
tangkan. Namun hingga kepalanya berputar dua kali,
dia tidak melihat siapa-siapa!
Murid Pendeta Sinting menarik napas dalam. Lalu
perlahan melangkah mendekati kayu perapian.
“Walau sudah padam, tapi belum lama.... Tempat
ini memang dihuni orang! Tapi ke mana dia?! Sebaik-
nya aku menunggu....”
Joko melangkah ke pojok ruangan goa lalu duduk
meringkuk dengan mata memperhatikan ke arah mu-
lut goa. Namun hingga Joko menguap beberapa kali
dan hampir saja terlelap, tidak juga muncul seseorang!
“Ah.... Lebih baik aku terus menunggu! Kalau tem-
pat ini dihuni, penghuninya cepat atau lambat pasti
akan pulang!” Joko berkata pada diri sendiri lalu se-
lonjorkan kaki dan pejamkan mata. Tidak berapa lama
sudah terdengar suara dengkurnya memecah ruangan
goa di kaki Bukit Kalingga.
Beberapa saat berlalu. Joko tampak menggeliat lalu
kedua matanya terbuka dan langsung memandang
berkeliling. Tapi keadaan masih tetap seperti semula.
Joko bergerak bangkit dan melangkah ke mulut goa
seraya melongok melihat cahaya matahari.
“Sudah hampir setengah hari aku berada di sini! Ti-
dak lama lagi hari akan gelap....” Joko putar diri lalu
melangkah balik mendekati perapian. Saat itu mataha-
ri memang sudah condong ke arah barat. Udara mulai
berubah. Angin dingin berhembus menggantikan uda-
ra panas.
“Sambil menunggu aku akan nyalakan perapian itu!
Mungkin sisa-sisa baranya masih bisa menyala lagi!
Udara sudah mulai dingin.... Hem.... Seandainya saat
ini bersama Putri Kayangan.... Mungkin aku tidak ke-
dinginan! Gila! Mengapa aku selalu memikirkan dia?
Lagi pula aku tidak akan bisa berbuat macam-macam
sama dia! Nyai Tandak Kembang pasti tahu di mana
cucunya itu berada.... Macam-macam saja keahlian
orang! Nyai Tandak Kembang bisa menemukan orang
dengan mencium aroma.... Ah. Mengapa aku berpikir
sesuatu yang tak mungkin. Nyai Tandak Kembang su-
dah mengatakan tidak mengizinkan kedua cucunya
untuk turun dari lereng Gunung Semeru. Berarti aku
sudah tidak bisa bertemu dengan Putri Kayangan!”
Sambil terus berkata dalam hati, Joko jongkok di
dekat perapian dan mulai mencungkil-cungkil pera-
pian mencari sisa-sisa bara di bagian bawah. Saat itu-
lah matanya menangkap sesuatu yang menonjol. Joko
kerutkan dahi. Lalu sibakkan kayu perapian.
“Tonjolan batu.... Aneh. Tonjolan batu ini punya lo-
bang memanjang sepanjang bagian tonjolan yang be-
rada di atas. Ini bukan tonjolan biasa! Hem.... Kayu
perapian ini mungkin saja hanya sebagai tipuan untuk
mengelabui orang! Orang tidak akan menduga di ba-
wah kayu perapian akan ada tonjolan batu!”
Perlahan-lahan Joko julurkan tangan ke arah tonjo-
lan batu. Namun baru saja tangannya menyentuh ton-
jolan batu, mendadak satu suara terdengar.
“Apakah sekarang kau masih mungkir?!”
Joko angkat kepalanya. Tangan kanannya ditarik
pulang. Sepasang matanya dipicingkan lalu dibuka le-
bar-lebar. Mendadak ketegangan sesaat di wajahnya
sirna. Kini bibirnya kembangkan senyum.
Tepat di mulut goa, tegak berdiri satu sosok tubuh
milik seorang gadis muda berparas cantik mengenakan
pakaian warna abu-abu. Rambutnya dikuncir tinggi.
Matanya bulat.
Namun sunggingan senyum murid Pendeta Sinting
pupus ketika gadis cantik di mulut goa balas senyu-
man dengan seringai dingin dan buang muka!
***
SEPULUH
SARASWATI!” teriak murid Pendeta Sinting seraya
bangkit. Diam-diam Joko membatin. “Tampaknya per-
soalan lama akan terus berlanjut! Tapi.... Bagaimana
dia bisa ada di tempat ini? Tak mungkin dia mengikuti
langkahku. Karena selama ini aku sengaja sembunyi-
kan diri, malah beberapa hari belakangan berada di
hutan....”
“Jangan melangkah!” bentak si gadis berparas can-
tik yang bukan lain Saraswati adanya. Anak kandung
Lasmini, ketika dilirik Joko hendak langkahkan kaki
mendekati ke arahnya.
Pendekar 131 terpaksa urungkan niat dan tegak di-
am menunggu dengan mata memandang tak berkesip.
“Aku sudah menunggu hampir satu purnama lebih.
Namun sejauh ini kau tidak bisa buktikan kebenaran
ucapanmu tempo hari! Bahkan kini kau tertangkap
basah mataku sendiri! Dalih apa yang akan kau kata-
kan sekarang, hah?!” Saraswati buka mulut tanpa
memandang.
Joko tampak gelagapan. “Bagaimana menjelaskan-
nya?!” gumam murid Pendeta Sinting dalam hati.
Saraswati menoleh. Matanya menusuk tajam ke da-
lam bola mata Joko. “Sekarang tak ada lagi orang yang
akan membantumu berdalih! Kalau saja saat itu tidak
ada gadis berbaju merah sialan itu, mungkin urusan-
nya sudah selesai! Aku menyesal mengapa saat itu aku
percaya pada omongan gadis sialan itu! Juga pada ga-
dis bernama Dewi Seribu Bunga itu!”
Seperti pernah dituturkan, Saraswati pernah men-
dapat perlakuan tidak senonoh dari Kiai Laras yang
saat itu masih menyamar sebagai murid Pendeta Sin-
ting. Saraswati sangat marah dan mendendam. Hanya
karena ada perasaan cinta dalam hatinya saja yang
membuat dia masih coba menahan gejolak dadanya.
Lagi pula saat itu Joko berjanji akan membuktikan
bahwa bukan dirinya yang melakukan perbuatan itu.
Malah saat itu Putri Kayangan dan Dewi Seribu Bunga
juga menguatkan Joko meski Dewi Seribu Bunga cuma
memberi waktu pada Joko untuk membuktikan diri
bahwa memang bukan dia yang melakukan semuanya.
“Pendekar 131! Mungkin aku masih bisa memaaf-
kan tindakanmu. Tapi tunjukkan dahulu di mana ibu-
ku!” kata Saraswati.
“Saraswati.... Aku tak tahu di mana ibumu berada!”
Mata Saraswati makin berkilat mendengar jawaban
Joko. Kaki kanannya bergerak menghentak lantai goa.
“Lalu untuk apa kau berada di sini?! Bukankah kau
dahulu menyeret ibuku masuk ke dalam goa ini?!” So-
sok Saraswati bergetar keras tanda gadis ini hampir
tak dapat kuasai gemuruh amarah.
“Saraswati.... Aku memang pernah datang ke tem-
pat ini dan bertemu seseorang bernama Kiai Laras. Ta-
pi percayalah.... Aku tak pernah berbuat seperti yang
kau katakan! Ada orang lain yang menyamar sebagai
diriku!”
“Sekarang aku tanya. Apa kau bukan Pendekar 131
Joko Sableng murid Pendeta Sinting?!”
Joko menghela napas. “Aku memang Joko Sableng
murid Pendeta Sinting!”
“Bagus! Aku dulu jumpa denganmu di sini! Aku du-
lu juga mendengar ucapan yang sama seperti yang ba-
ru kau katakan! Mataku tidak mungkin dapat dibodo-
hi!”
“Saraswati.... Memang agak sulit menjelaskan se-
muanya! Kuharap kau bersabar. Aku hampir bisa
membuka siapa dalang di belakang semua ini!”
“Kau pernah mengatakan itu juga pada satu seten-
gah purnama yang lalu! Tapi mana buktinya?! Mana?!
Kau jangan berdalih macam-macam! Kau tak akan da-
pat membuka siapa dalang di belakang semua ini, ka-
rena dalang itu adalah kau sendiri!”
“Saraswati!” kata Joko dengan suara agak keras ka-
rena mulai jengkel dengan tuduhan si gadis. “Untuk
mengungkap hal ini bukanlah pekerjaan gampang! Se-
karang terserah padamu untuk percaya atau tidak!
Dan perlu kau ingat, saat ini aku tidak punya waktu
banyak untuk berdebat yang tiada artinya!”
“Hem.... Begitu?! Jadi kalau sudah tidak ada dalih,
kau coba mengalihkan urusan dengan cara begitu?!”
Saraswati tersenyum dan tertawa pendek mengejek.
“Sekarang katakan saja apa kemauanmu!”
“Aku mau tahu di mana ibuku kau sembunyikan
atau nyawamu sebagai gantinya!”
“Aku tak tahu di mana ibumu! Kalau kau mau nya-
waku, silakan kau ambil!”
Saraswati menggeram dengan kedua tangan diang-
kat. Namun entah karena apa perlahan-lahan kedua
tangannya diturunkan. Murid Pendeta Sinting pandan
gi si gadis dengan kepala menggeleng pelan.
“Saraswati.... Aku berkata apa adanya! Lagi pula
untuk apa aku mencelakakan ibumu?! Antara aku dan
ibumu memang pernah ada silang sengketa. Tapi tidak
layak perselisihan itu diakhiri dengan perbuatan tak
pantas! Bahkan aku telah melupakan semuanya!”
“Aku masih belum bisa percaya ucapanmu sepe-
nuhnya...,” ujar Saraswati namun kali ini suaranya
sudah direndahkan.
“Sebenarnya aku pun tak ingin mengatakan apa-
apa padamu! Karena yang kau perlukan adalah bukti,
bukan ucapan! Dan justru aku di sini ini hendak mulai
mencari bukti itu!”
Saraswati kerjapkan sepasang matanya. Joko mera-
sa sedikit lega. Lalu berkata.
“Aku menemukan sesuatu yang mencurigakan...!”
“Apa?!” tanya Saraswati cepat.
“Sebelum kukatakan, aku ingin tanya dahulu. Be-
nar kau dan ibumu pernah ke tempat ini?!”
“Kalau tidak, aku tak mungkin bisa menemukanmu
di sini!”
“Apa yang kau ketahui tentang tempat ini?!”
“Aku tak tahu banyak! Aku hanya berada di luar!
Ibuku yang masuk goa ini dengan kau seret!”
“Kau masih juga menuduhku.... Tapi tak apalah!”
“Apa sesuatu yang mencurigakan?!” Saraswati ber-
tanya.
Joko memberi isyarat pada Saraswati untuk men-
dekat. Saraswati tampak bimbang. Hingga untuk bebe-
rapa saat dia diam dengan memandang penuh curiga,
membuat Joko tertawa pendek dan berucap.
“Aku memang bukan manusia baik-baik, Saraswati!
Tapi aku tidak terlalu picik untuk melakukan sesuatu
yang macam-macam padamu!”
Paras wajah Saraswati berubah. Dia melangkah
mendekati Joko. “Katakan, apa yang membuatmu cu-
riga!”
Joko berpaling ke arah Saraswati yang tegak lima
langkah di sampingnya. Dengan tersenyum, karena
masih menangkap gelagat curiga pada diri Saraswati,
Joko arahkan telunjuknya pada tumpukan kayu pera-
pian yang tampak sedikit berserakan.
“Itu hanya tumpukan kayu bekas perapian! Lalu
apanya yang membuatmu curiga?!” tanya Saraswati
dengan kening berkerut memperhatikan kayu pera-
pian.
“Orang yang melihat sepintas lalu akan mengatakan
seperti ucapanmu! Tapi tidak bagi orang yang melihat
dengan seksama!”
Karena penasaran, Saraswati pentangkan mata se-
raya melangkah lebih dekat. Pendekar 131 ambil salah
satu kayu perapian yang agak panjang. Lalu dengan
kayu itu dia sibakkan tumpukan kayu perapian.
“Tumpukan kayu ini bukan perapian! Tapi kayu un-
tuk menutupi sesuatu!” kata Joko lalu menunjuk ton-
jolan batu di antara serakan kayu.
Saraswati sesaat perhatikan tonjolan batu. Belum
sampai dia utarakan apa yang ada dalam hatinya, Jo-
ko telah lemparkan kayu di tangannya lalu bergerak
jongkok. Tangan kanannya menyentuh tonjolan batu
lalu ditekan ke arah lobang memanjang di belakang
tonjolan batu.
Terdengar suara berderit. Pendekar 131 dan Saras-
wati tersentak kaget. Keduanya sama sentakkan kepa-
la ke arah deritan. Keduanya sama belalakkan mata.
“Pintu...!” gumam Joko. “Ada tempat rahasia di ba-
lik ruangan goa ini!”
Murid Pendeta Sinting sudah melompat ke arah pin-
tu di pojok ruangan goa yang terbuka. Saraswati ikut
melompat. Namun Joko cepat palangkan tangan kiri
nya.
“Hati-hati, Saraswati.... Di tempat seperti ini banyak
sesuatu yang tak terduga!”
“Ini bukan sandiwaramu, bukan?!”
“Busyet!” maki Joko dalam hati namun bibirnya
sunggingkan senyum.
“Aku tak tahu bagaimana membuatmu percaya, Sa-
raswati! Tapi sudahlah.... Yang jelas titik terang telah
kudapatkan!”
Habis berkata begitu, perlahan-lahan Joko melang-
kah mendekati pintu di pojok ruangan. Kepalanya di-
longokkan ke dalam. Yakin tak ada orang, Joko me-
lompat dan tegak di tangga batu. Dia edarkan pandan-
gan berkeliling. Lalu memberi isyarat pada Saraswati.
Tanpa banyak mulut Saraswati melompat. Saat yang
sama Joko mulai melangkah menaiki tangga batu. Sa-
raswati mengikuti di belakangnya.
Murid Pendeta Sinting kembali edarkan pandang
matanya begitu tegak di atas lobang agak besar. Tiba-
tiba sepasang matanya menyipit tatkala menangkap
dua sosok tubuh tergeletak di bawah lobang.
“Ada yang tak beres!” gumam Joko tanpa berpaling
pada Saraswati yang telah tegak di sampingnya.
Saraswati tidak pedulikan atau menyahut ucapan
Joko. Matanya tertuju pada salah satu sosok yang ter-
geletak di bawah sana. Dadanya tiba-tiba berdebar.
“Aku sepertinya mengenali pakaian yang dikena-
kan.... Apakah....” Saraswati tidak lanjutkan ucapan,
sebaliknya langsung melompat turun.
“Saraswati! Tunggu!” tahan Joko. Tapi terlambat.
Saraswati sudah melayang turun dan tahu-tahu telah
tegak di samping salah satu sosok yang tergeletak.
Dengan dada makin berdebar Saraswati bergerak
jongkok. Lalu memperhatikan. Mendadak gadis ini
menjerit. Lalu hempaskan tubuhnya di atas sosok
yang tergeletak.
“Ibu.... Ibu.... Siapa yang melakukan ini?! Siapa?!”
teriak Saraswati.
Jeritan Saraswati sudah cukup membuat Joko tahu
apa yang telah terjadi. Tanpa buka mulut lagi dia lang-
sung berkelebat turun dan tegak di samping Saraswati.
Dia menatap sejenak pada sosok yang ada di bawah
Saraswati.
“Tusuk konde itu.... Aku seperti pernah melihat-
nya!” kata Joko dalam hati memperhatikan tusuk
konde hitam besar yang menancap masuk hampir se-
paro ke dalam lambung orang.
Saat lain Joko arahkan pandang matanya pada so-
sok yang satunya. Karena belum jelas benar, apalagi
sosok itu telungkup, Joko segera berkelebat. Lalu
membalikkan si sosok.
“Astaga! Ni Luh Padmi....” Pendekar 131 masih da-
pat mengenali orang meski wajah dan sekujur tubuh-
nya menghitam.
“Melihat tusuk konde si nenek ini menancap di lam-
bung ibu Saraswati, besar kemungkinan mereka ber-
dua terlibat bentrok! Tapi.... Ada yang aneh. Mengapa
keduanya sama menghitam! Tidak mungkin dua orang
berilmu berlainan punya pukulan yang sama! Berarti
ada orang lain yang melakukan pembunuh ini! Lalu
sengaja menusukkan tusuk konde si nenek agar di-
sangka mereka berdua terlibat bentrok!”
Murid Pendeta Sinting memandang berkeliling.
“Udara di sini lain...” Mungkin khawatir, Joko cepat
kerahkan tenaga dalam. Tapi sebelum tenaga dalam
benar-benar dikerahkan dia merasakan sesuatu. Joko
urungkan niat. “Dugaanku benar.... Hawa di sini
lain.... Mungkin udaranya telah ditaburi racun! Aku
merasakan hawa aneh tatkala hendak salurkan tenaga
dalam! Mungkin ini penyebab kematian kedua orang
itu!”
Berpikir begitu, Joko cepat melompat ke arah Sa-
raswati. Dia hendak mengatakan apa yang diduganya.
Namun belum sempat dia buka mulut, Saraswati telah
angkat kepalanya dari sosok mayat Lasmini.
“Pendekar 131!”
Sebelum Saraswati lanjutkan ucapan, murid Pende-
ta Sinting sudah menukas karena tak ingin terus-
terusan dituduh dan tahu bahwa apa yang akan di-
ucapkan Saraswati adalah tuduhan itu.
“Saraswati! Jangan kau terus menuduhku! Aku tak
tahu apa-apa dalam urusan ini! Bahkan kita rupanya
juga masuk dalam perangkap bahaya!”
“Apa maksudmu?!”
“Hawa di tempat ini beracun! Jangan sekali-kali kau
kerahkan tenaga dalam!”
“Bagaimana kau bisa tahu?!”
“Kau masih juga curiga padaku!”
“Curiga memang benar! Tapi aku tanya sesungguh-
nya! Bagaimana kau tahu hawa di tempat ini bera-
cun?!”
“Aku akan kerahkan tenaga dalam. Tapi aku mera-
sakan hawa aneh.... Dan kau lihat sosok di sana itu!
Sekujur tubuhnya juga menghitam sama seperti tubuh
ibumu! Aku lalu siapa dia.... Dia adalah nenek berna-
ma Ni Luh Padmi! Dan tusuk konde hitam yang me-
nancap di lambung ibumu adalah tusuk konde milik
nenek itu!”
“Berarti jahanam itu yang melakukan pembunuhan
pada Ibu!”
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. “Pada mu-
lanya aku menduga demikian.... Tapi kurasa itu ha-
nyalah permainan agar orang menduga seperti du-
gaan-mu!”
“Aku tak mengerti ucapanmu!”
“Kalau benar antara ibumu dan nenek itu terlibat
bentrok, bagaimana mungkin mereka berdua bisa
mengalami nasib sama?! Aku memang tak mengenal
betul siapa ibumu juga nenek itu. Tapi aku jelas sekali
tahu kalau nenek itu berasal dari daerah seberang.
Jadi kecil kemungkinan dia dan ibumu mendapatkan
ilmu dari satu orang! Aneh bukan kalau sekarang
mengalami nasib yang sama dengan tubuh sama hi-
tam? Ada orang lain yang melakukan! Lalu menyerang
ibumu dengan tusuk konde si nenek agar orang men-
duga keduanya terlibat bentrok!”
Saraswati anggukkan kepalanya mengerti apa mak-
sud Joko. “Anehnya lagi, dan ini yang membuatku ma-
kin percaya kalau hawa di sini beracun!” sambung Jo-
ko. Lalu tengadahkan kepala.
“Kau lihat jarak antara bagian bawah lobang ini
dengan di atas sana. Aneh bukan kalau bagi mereka
tidak bisa melompat keluar?!”
Saraswati mengukur jarak. Diam-diam dia membe-
narkan ucapan murid Pendeta Sinting.
Joko merenung sejenak sebelum akhirnya lanjutkan
ucapan. “Mereka kesulitan naik karena untuk melom-
pat ke atas sana diperlukan pengerahan tenaga dalam
meski tidak seberapa! Dan menurut dugaanku, mereka
takut mengerahkan tenaga dalam karena tahu tempat
ini telah ditaburi racun! Dan tidak tertutup kemungki-
nan, racun itulah yang menyebabkan sekujur tubuh
ibumu dan nenek itu menjadi hitam! Karena tidak ada
bekas pukulan yang berarti di tubuhnya! Mereka nekat
mengerahkan tenaga dalam karena terpaksa....”
“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?!”
tanya Saraswati. Perlahan-lahan kecurigaan gadis ini
pada Joko mulai lenyap.
“Aku tak tahu.... Mungkin mereka berdua sudah be-
rusaha. Tapi nyatanya mereka tidak berhasil....”
Mendengar ucapan Joko, tengkuk Saraswati jadi
dingin. Sementara Joko mulai melangkah mengitari lo-
bang. Kedua tangannya sesekali mengetuk-ngetuk
dinding lobang! Tapi sampai berputar tiga kali, dia ti-
dak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
“Di sini tidak ada tempat rahasia lagi.... Berarti
tempat ini memang sengaja disiapkan. Entah untuk
apa.... Yang jelas, sekarang kita harus cari akal untuk
naik ke atas tanpa harus kerahkan tenaga dalam!”
Pendekar 131 mendekati dinding lobang tidak jauh
dari Saraswati lalu tegak bersandar. Saraswati sendiri
tercenung diam. Hanya matanya yang mengedar ke
atas lobang lalu sesekali memandangi sosok mayat
ibunya.
***
SEBELAS
AKAN kucoba!” Tiba-tiba Joko bergumam seraya
melangkah ke dinding seberang. Di bawah mana dia
tadi tegak di atas. Saraswati memperhatikan dengan
kancingkan mulut. Namun seraya terus mengawasi
langkah-langkah kaki Joko, gadis anak Lasmini ini
berkata dalam hati.
“Selama ini aku telah berburuk sangka padanya!
Walau aku belum percaya sepenuhnya, tapi aku sudah
tidak punya curiga lagi padanya! Anehnya, siapa ge-
rangan orang yang menyamar sebagai dirinya?! Apa-
kah Kiai Laras...?! Bukankah orang tua itu yang me-
nunjukkan tempat ini pada Ibu?! Saat itu juga aku me-
lihat pemuda yang menyamar itu mengeluarkan se-
kuntum bunga bersinar-sinar di balik pakaiannya!
Menurut beberapa keterangan yang kusirap, bunga
itulah yang kini banyak dibicarakan orang dan dis-
ebut-sebut sebagai Kembang Darah Setan! Tapi....” Sa-
raswati tidak lanjutkan kata hatinya ketika melihat
Joko telah keluarkan Pedang Tumpul 131 dari balik
pakaiannya.
Ruangan lobang itu seketika bertabur kemilau kee-
masan karena sinar yang dipancarkan pedang di tan-
gan Joko.
“Apa yang hendak dilakukannya?!” bisik Saraswati.
Di depan sana Joko angkat pedangnya tinggi-tinggi
dengan andalkan tenaga luar. Saat lain tangan Joko
yang memegang pedang berkelebat.
Craakk!
Dinding lobang perdengarkan benturan keras. Tan-
gan kanan Joko terpental ke belakang. Dinding lobang
bergetar. Saat bersamaan terlihat muncratan api di-
sertai bertaburnya batu.
“Kita berhasil!” teriak murid Pendeta Sinting saat
melihat satu rengkahan agak besar di dinding lobang
yang terhantam pedang.
Joko mundur dua langkah. Lalu melompat ke atas.
Pedang Tumpul 131 kembali berkelebat. Untuk kedua
kalinya kembali terdengar benturan keras. Taburan
batu kembali menebar. Saat taburan luruh, di atas
rengkahan yang pertama terlihat lagi rengkahan lain.
Joko memperhatikan sesaat. Lalu maju dan ba-
batkan kembali pedangnya. Kini terlihat rengkahan
lain di samping rengkahan yang pertama.
Joko angkat kaki kanannya dan diletakkan pada
rengkahan yang pertama. Lalu angkat kaki kirinya dan
diletakkan pada rengkahan di samping rengkahan
yang pertama. Tangan kirinya segera menggapai reng-
kahan di atas rengkahan yang pertama. Kini tubuh
Joko menempel di dinding dengan bertumpu pada tan-
gan kiri yang berpegangan pada rengkahan di atas
rengkahan yang pertama.
Joko tarik tubuhnya sedikit ke belakang. Pedang
Tumpul 131 di tangan kanannya kembali dikelebatkan.
Begitu seterusnya hingga terlihat beberapa rengkahan.
Dan Joko setapak demi setapak naik ke atas sampai
akhirnya tiba di bagian atas lobang.
Joko menarik napas panjang. Pedang Tumpul 131
dipandangi sesaat lalu dimasukkan lagi ke dalam sa-
rungnya di balik pakaiannya.
“Saraswati.... Tunggu sebentar!” teriak murid Pende-
ta Sinting lalu berkelebat. Tak lama kemudian dia te-
lah muncul lagi dengan tangan membawa tali dari akar
panjang. Tali akar segera dilemparkan ke bawah. Sa-
raswati angkat mayat ibunya dan mendekati ujung tali
akar.
“Ibumu bisa kau ikat di ujung. Kamu nanti meng-
gantung di atasnya!” teriak Joko dari atas.
Saraswati segera lakukan ucapan Joko. Ujung akar
dililitkan berputar pada tubuh ibunya. Lalu perlahan-
lahan didekatkan ke dinding. Saraswati sendiri tampak
pegang tali akar kuat-kuat di atas sosok Lasmini.
“Tarik!” seru Saraswati.
Perlahan-lahan Joko menarik tali akar ke atas. Lalu
menolong Saraswati begitu si gadis telah muncul di bi-
bir lobang. Saat lain keduanya mengambil mayat Las-
mini yang tergantung di bibir lobang.
Joko cepat lepaskan lilitan akar pada sosok Lasmi-
ni. Lalu kembali lemparkan ujung akar ke bawah.
“Mayat nenek itu harus kita angkat sekalian! Bagai-
manapun juga menurut kabar yang kudengar, nenek
itu adalah bekas kekasih eyang guruku! Kau nanti
yang menarik. Aku akan ke atas lewat rengkahan itu!”
Tanpa menunggu sahutan dari Saraswati, murid
Pendeta Sinting melayang ke bawah lalu mengangkat
mayat Ni Luh Padmi ke pinggiran dinding dan melilit
tubuh si nenek dengan ujung akar.
“Tarik pelan-pelan! Aku akan memeganginya sambil
naik melalui rengkahan!” teriak Joko.
Saraswati tarik tali akar perlahan-lahan. Sementara
Joko menopang dari bawah dengan bertumpu pada
beberapa rengkahan yang dibuatnya.
“Kita harus segera menguburkan mereka!” ujar Joko
begitu sampai di atas seraya lepaskan lilitan akar pada
mayat Ni Luh Padmi.
Masih tanpa buka suara, Saraswati mengangkat
mayat ibunya. Joko mengangkat mayat Ni Luh Padmi.
Keduanya melangkah keluar dari ruangan goa.
“Sudahlah, Saraswati.... Semuanya sudah terjadi!
Yang kita pikirkan sekarang adalah mencari siapa ge-
rangan di balik pembunuhan ini! Aku rasa, yang mela-
kukannya tidak lain adalah orang yang selama ini me-
nyamar sebagai diriku!” kata Joko seraya pegangi len-
gan Saraswati yang sesenggukan di samping makam
ibunya.
“Semua memang sudah terjadi! Tapi seandainya
saat itu Ibu turuti nasihatku.... Tak mungkin semua
ini akan terjadi!”
“Kau jangan banyak berandai-andai. Terimalah ke-
nyataan ini...!”
Saraswati berpaling pada murid Pendeta Sinting.
Matanya yang masih digenangi air mata menatap sen-
du lalu berucap.
“Sekarang ke mana akan kita cari jahanam itu?! La-
gi pula kita belum tahu siapa dia sebenarnya!”
“Aku sedikit banyak bisa menduga siapa dia se-
benarnya! Tapi aku tidak berani memastikan dahulu!”
“Maksudmu di balik semua ini adalah orang tua
bernama Kiai Laras itu?!”
“Ini masih dugaan...,” kata Joko sambil anggukkan
kepala. “Tapi melihat beberapa peristiwa yang terjadi,
besar kemungkinan dugaan ini banyak benarnya!” La-
lu Joko menceritakan pertemuannya dengan Kiai La-
ras. Juga menceritakan musibah yang dialami Pitaloka
sampai akhirnya Pitaloka menunjukkan tempat di ma-
na akhirnya ditemukan mayat Lasmini dan Ni Luh
Padmi. Namun sejauh ini Joko tidak menceritakan pe-
rihal benda merah yang diambilnya dari pusar bayi Pi-
taloka.
Mendengar keterangan murid Pendeta Sinting, Sa-
raswati terkejut. Lalu dengan tundukkan kepala dia
bergumam pelan.
“Joko.... Kau mau memaafkan aku?! Selama ini aku
telah menaruh prasangka buruk padamu....”
“Aku tak bisa memaafkanmu! Kecuali dengan satu
syarat!” Joko menyahut dengan suara agak keras.
Saraswati terlengak kaget. Dia angkat kepala. Joko
sudah berpaling terlebih dahulu hingga tak melihat pe-
rubahan pada wajah Saraswati.
“Joko! Apa pun syaratmu akan kupenuhi! Katakan
saja...,” gumam Saraswati dengan suara bergetar dan
tersendat.
Beberapa saat Joko belum juga buka suara. Tapi
tak lama kemudian dia buka mulut namun masih tan-
pa memandang ke arah Saraswati.
“Benar kau akan penuhi syaratku?!”
“Katakanlah...!” ujar Saraswati sembari anggukkan
kepala meski dia tahu orang tidak memandangnya.
Pendekar 131 berpaling. Matanya mendelik. Mulut-
nya terkancing rapat. Saraswati terkesiap dengan dada
berdebar. Namun mendadak mulut Joko bergerak
sunggingkan senyum seringai dan berkata.
“Tersenyumlah!”
Saraswati kerutkan kening. Joko tersenyum dan
berkata. “Aku mau memaafkanmu kalau kau mau ter-
senyum!”
Belum sampai ucapan Joko selesai, Saraswati su-
dah membuat senyum lebar. Dan tanpa sadar gadis ini
memegang lengan Joko sembari berkata pelan.
“Benar hanya itu syarat yang kau minta?!” tanya
Saraswati dan kini sudah rebahkan kepalanya di
samping dada Joko.
“Kalau aku minta lainnya, jangan-jangan kau kebe-
ratan!”
“Apa pun permintaanmu, akan kupenuhi...!” kata
Saraswati seraya mendongak. Dagu murid Pendeta
Sinting tampak bersentuhan dengan kening Saraswati.
Darah Pendekar 131 berdesir. Apalagi kini tangan
sebelah Saraswati tiba-tiba sudah melingkar di ping-
gangnya. Entah karena khawatir terdorong ke samp-
ing, Joko terpaksa lingkarkan tangannya pula pada
pinggang Saraswati. Saraswati pejamkan mata. “Beta-
pa bahagia jika Ibu masih ada dan menyaksikan aku
hidup berdampingan dengan pemuda seperti dia....”
Tanpa disadari oleh murid Pendeta Sinting dan Sa-
raswati yang tengah berangkulan di dekat makam
Lasmini, dua pasang mata dari tadi tampak terus
memperhatikan dari rimbunan semak. Sepasang mata
sebelah kanan terlihat biasa-biasa saja meski meman-
dang tak berkesip. Namun sepasang mata satunya
tampak mengerjap beberapa kali dan kejap lain berka-
ca-kaca! Malah tak lama kemudian dua telapak tangan
halus tampak menutup mata yang berkaca-kaca itu!
“Tabahkan diri! Jangan membuat mereka tahu ke-
hadiran kita dengan suara tangismu!” Terdengar bisi-
kan lembut. Jelas suara itu terdengar dari orang yang
memiliki mata sebelah kanan dan tampak terus me-
mandang tak berkesip ke arah Joko dan Saraswati.
Kedua tangan halus yang tadi menutupi mata yang
berkaca-kaca diturunkan ke bawah. Sepasang mata itu
masih terlihat tergenangi air mata. Saat lain sepasang
mata ini berpaling ke kanan, dan ke arah sepasang
mata yang terus memandang. Saat bersamaan terden-
gar suara lembut.
“Kita harus pergi menjauh.... Tidak pantas kita me-
lihat orang yang tengah berkasih-kasihan....”
“Bukan kita yang tidak pantas! Tapi mereka berdua!
Tega-teganya mereka saling berpelukan di dekat ma-
kam! Padahal aku yakin orang di makam itu baru di-
kuburkan! Dan pasti makam itu adalah makam kera-
bat dekatnya!”
“Ah.... Mungkin mereka tak sadar...,” sahut pemilik
mata yang berkaca-kaca.
“Ini bukan masalah sadar atau tidak!”
“Kau terlalu berprasangka.... Lagi pula apa urusan
kita dengan mereka?!”
Mata yang sejak tadi memandang tak berkesip ber-
gerak memaling ke kiri. Ke arah mata yang tadi berka-
ca-kaca. Lalu terdengar bisikan lembut meski nada-
nya keras.
“Kau jangan menutupi perasaan! Aku tahu bagai-
mana perasaanmu melihat pemuda itu berpelukan
dengan seorang gadis! Dan kau pula tahu apa urusan
kita dengan pemuda itu!”
“Kita sudah menyerahkan semua urusan padanya!
Berarti urusan kita dengannya sudah selesai! Dan te-
rus terang.... Sebelumnya aku memang tertarik pada
pemuda itu, tapi kini.... Ah, percuma kita bicarakan!
Kita sudah tahu apa yang terjadi!” kata suara pemilik
mata yang berkaca-kaca.
“Tidak! Aku harus menyelesaikannya! Urusan itu
belum selesai sampai di sini! Kau tahu.... Pada awal-
nya sebenarnya aku juga tertarik pada pemuda itu.
Namun kini aku sadar siapa diriku. Lagi pula aku tahu
kau menyukainya. Aku ingin kau berbahagia dengan
pemuda itu! Aku harus dapat menyatukan kau dan
pemuda itu! Karena itulah yang bisa kuberikan sebagai
tebusan atas segala perbuatanku yang menyakitkan
hatimu....”
“Kau jangan bicara yang bukan-bukan! Perasaan
cinta tidak bisa dipaksakan! Dan jangan ungkit-ungkit
lagi peristiwa yang telah berlalu.... Sebaiknya kita se-
gera pergi dari sini....”
“Tunggu! Lihat mereka!” kata suara pemilik mata
yang tadi terus mengawasi.
Mata yang tadi berkaca-kaca dan kini masih terge-
nangi air mata kembali memandang pada murid Pen-
deta Sinting dan Saraswati yang beranjak bangkit dari
samping makam. Kedua orang pemilik dua pasang ma-
ta di balik semak ini tidak bisa mendengar apa yang di-
bicarakan Joko dan Saraswati. Karena Joko dan Sa-
raswati bicara amat pelan malah setengah berbisik.
“Jangan-jangan mereka sudah tahu kehadiran ki-
ta...!” ujar suara pemilik mata yang berkaca-kaca.
“Itu lebih baik! Berarti kita selesaikan sekalian uru-
sannya di sini!” sahut pemilik mata satunya.
“Jangan membuat urusan baru.... Percayalah. Aku
bisa menerima semua ini....”
“Aku tahu bagaimana perasaanmu sebenarnya! Apa
yang baru kau ucapkan bertolak belakang dengan apa
sesungguhnya yang ada dalam hatimu!”
Si pemilik mata yang berkaca-kaca tergagu diam tak
bersuara lagi. Sementara di depan sana, Pendekar 131
dan Saraswati tampak saling pandang, lalu masih den-
gan saling berangkulan, mereka berdua melangkah
tinggalkan tempat pemakaman.
“Kita ikuti mereka!” kata pemilik mata yang terus
memandang tak berkesip.
“Tidak ada gunanya! Bukannya karena aku tak ta-
han melihat mereka, tapi kurasa kau mengajakku bu-
kan untuk mengikuti orang yang tengah berkasih
kasihan!”
“Hem.... Ucapanmu benar. Tapi sebenarnya salah!”
“Maksudmu...?!” tanya si pemilik mata yang berka-
ca-kaca.
“Aku sengaja minta izin waktu pada Eyang semata-
mata hanya untuk mengikuti pemuda itu! Karena pe-
muda itu pasti tengah mencari jahanam keparat yang
kini kucari!”
“Jadi...?”
“Aku memang hendak membalas tindakan manusia
berjubah hitam yang memperkosaku itu! Kalau murid
Pendeta Sinting meninggalkan tempat ini, berarti jaha-
nam keparat itu juga tidak berada di tempat ini! Jadi
kita harus mengikutinya!”
“Kau jangan gila! Kau tahu siapa yang akan kau
hadapi?!”
“Benda untuk menghadapinya sudah berada di tan-
gan Pendekar 131! Aku tinggal menunggu kesempatan.
Yang jelas selembar nyawanya aku yang punya hak
untuk memutusnya!”
“Tapi....”
“Aku sudah bersumpah! Dan aku harus lakukan
sumpahku! Kita ikuti mereka!”
Habis terdengar suara begitu, satu sosok bayangan
merah tampak berkelebat ke arah mana tadi Joko dan
Saraswati melangkah. Saat lain satu bayangan merah
juga berkelebat dari balik semak menyusul bayangan
merah yang berkelebat lebih dahulu.
SELESAI
Segera terbit:
PENGADILAN NERAKA
0 comments:
Posting Komentar