..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 05 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE TUMBAL PUSAR MERAH

JOKO SABLENG EPISODE TUMBAL PUSAR MERAH

 Hak cipta dan copy right pada 

penerbit di bawah lindungan 

undang-undang

Joko Sableng telah

Terdaftar pada Dept. Kehakiman R. I.

Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan

Merek di bawah nomor 012875


SATU



DI HADAPAN Pendekar 131 Joko Sableng, Kigali 

dan Umbu Kakani sama kerutkan kening. Mereka bisa 

memaklumi kalau Nyai Tandak Kembang akan kaget 

mendengar keterangan Umbu Kakani. Namun yang 

mereka agak heran, justru murid Pendeta Sinting lebih 

terkejut dibanding Nyai Tandak Kembang.

“Kau dapat menduga siapa gerangan di balik Jubah 

Tanpa Jasad itu, Pendekar?!” Umbu Kakani segera aju-

kan tanya.

Namun sebelum murid Pendeta Sinting sempat bu-

ka mulut menjawab, Nyai Tandak Kembang sudah 

angkat bicara.

“Pitaloka! Benar keterangan tadi?!” Mata perempuan 

dari lereng. Gunung Semeru ini masih menyengat ta-

jam pada Pitaloka.

Pitaloka gerakkan kepala mengangguk. Namun se-

pasang matanya melirik pada murid Pendeta Sinting 

lalu beralih pada Putri Kayangan. Entah apa yang di-

rasakan gadis ini. Yang jelas paras wajahnya yang mu-

rung tampak membayangkan rasa kecewa dan penye-

salan.

“Bagaimana semua itu bisa terjadi?!” Nyai Tandak 

Kembang kembali ajukan tanya seolah belum percaya 

dengan keterangan orang.

Kigali sudah hendak buka mulut. Namun Nyai Tan-

dak Kembang sudah mendahului.

“Aku bertanya pada Pitaloka! Aku ingin keterangan 

dari mulutnya. Harap jangan ada yang ikut bicara!”

Kigali kancingkan mulutnya kembali. Lalu melirik 

pada Pitaloka. Pitaloka tampak menarik napas pan-

jang. Putri Kayangan memperhatikan dengan seksama. 

Sementara diam-diam murid Pendeta Sinting merasa


gelisah dan membatin.

“Kalau aku menunggu orang-orang ini membicara-

kan kejadian yang menimpa Pitaloka, kakek berambut 

jabrik dan Malaikat Berkabung tentu akan keburu da-

tang ke tempat ini! Hem....” Sepasang mata Joko me-

mandang tajam pada bayi yang telah meninggal di 

samping sosok Kigali.

Seperti diceritakan dalam episode: “Lembah Patah 

Hati”, Nyai Tandak Kembang, Putri Kayangan, dan 

Pendekar 131 berhasil memasuki lobang di mana Pita-

loka, Kigali, dan Umbu Kakani berada, mendahului 

kakek berambut putih jabrik dan Malaikat Berkabung.

Nyai Tandak Kembang langsung marah melihat ke-

nyataan Pitaloka telah melahirkan seorang bayi. Dia 

mencerca Pitaloka dengan berbagai pertanyaan. Dan 

akhirnya menanyakan siapa laki-laki ayah dari bayi 

itu. Umbu Kakani yang sebelumnya sudah mendengar 

penuturan Pitaloka dari Kigali memberi keterangan 

siapa adanya laki-laki ayah dari bayi Pitaloka. Men-

dengar keterangan Umbu Kakani yang mengatakan 

bahwa laki-laki itu tidak bisa dikenali wajahnya karena 

mengenakan Jubah Tanpa Jasad, Nyai Tandak Kem-

bang sempat terkesima. Tapi yang tak kalah kagetnya 

mendengar keterangan Umbu Kakani adalah murid 

Pendeta Sinting.

“Pitaloka! Aku ingin keterangan darimu! Mengapa 

kau diam?!” Nyai Tandak Kembang membentak ketika 

Pitaloka tidak segera buka mulut.

“Eyang....” Joko menyela sebelum Pitaloka angkat 

suara. Nyai Tandak Kembang buka mulut tanpa ber-

paling.

“Aku juga tak minta keterangan padamu!”

“Eyang.... Aku bukannya akan memberi keterangan! 

Tapi....”

“Aku sedang bicara dengan Pitaloka!” tukas Nyai


Tandak Kembang. “Kalau kau ingin bicara, tunggu 

sampai aku selesai! Atau keluarlah dari tempat ini!”

“Eyang.... Apa yang akan kubicarakan lebih penting 

daripada urusan Pitaloka!”

Kepala Nyai Tandak Kembang berpaling dengan ma-

ta mendelik besar. “Anak muda! Tak ada yang lebih 

penting bagiku selain urusan Pitaloka! Dia cucuku! 

Aku harus tahu benar bagaimana dan apa sebenarnya 

yang terjadi! Kuperingatkan kau untuk tidak buka su-

ara!”

“Eyang.... Keterangan dari Pitaloka masih bisa di-

tangguhkan! Dan urusan yang akan kubicarakan rasa-

nya sudah sangat mendesak! Kalau kita terlambat, aku 

tak bisa bayangkan apa yang akan terjadi!”

“Jangan kau libatkan aku dalam urusanmu! Perse-

tan pula dengan apa yang akan terjadi! itu urusanmu!”

“Hem.... Gawat menghadapi orang macam begini...!” 

gumam Joko seraya tengadahkan sedikit kepalanya ke 

arah lobang. Dia khawatir kakek berambut putih jabrik 

dan Malaikat Berkabung segera muncul. “Apa boleh 

buat.... Daripada urusan tambah panjang, aku akan 

katakan terus terang!”

Berpikir begitu, akhirnya murid Pendeta Sinting 

berkata.

“Eyang.... Rimba persilatan saat ini tengah teran-

cam. Ancaman itu justru datang dari manusia pemakai 

Jubah Tanpa Jasad yang sampai kini belum bisa di-

kenali siapa orangnya. Menurut beberapa sahabatku, 

si pemakai Jubah Tanpa Jasad hanya bisa dihadapi 

dengan benda merah yang ada dalam pusar bayi Pita-

loka!”

“Urusan Pitaloka lebih penting dari hal itu semua!

Lagi pula aku belum mendengar keterangan Pitaloka 

sendiri apa benar manusia di balik Jubah Tanpa Jasad 

itu adalah laki-laki pengecut yang melakukannya! Tin

dakan Pitaloka selama ini membuatku tidak mudah la-

gi percaya pada keterangannya! Apalagi keterangan itu 

diucapkan orang yang belum kukenal benar dan tam-

pak dekat dengan Pitaloka!”

“Eyang.... Kurasa itu semua bisa dibicarakan nanti. 

Kini kita bicarakan apa yang ada di depan kita!”

“Anak muda! Aku hanya akan bicara sekali lagi! 

Jangan libatkan aku dalam urusanmu!”

“Baiklah...,” ujar Joko lalu melangkah mendekati 

Kigali.

“Hentikan langkahmu! Apa yang akan kau laku-

kan?!” bentak Nyai Tandak Kembang.

“Pitaloka telah mengizinkan aku untuk mengambil 

benda dalam bayinya!”

“Dia cucuku! Aku ikut berhak memutuskan!”

Murid Pendeta Sinting memandang sesaat pada 

Nyai Tandak Kembang dengan perasaan tidak enak. 

Lalu berkata. “Kuharap kau tidak keberatan, Eyang.... 

Ini untuk kedamaian jagat persilatan!”

Nyai Tandak Kembang arahkan pandang matanya 

pada bayi di dekat Kigali. Tidak bisa ditebak apa yang 

dirasakan perempuan cantik ini. Beberapa kali dia me-

narik napas panjang.

Mungkin tak dapat menahan perasaan gelisah, mu-

rid Pendeta Sinting segera berucap lagi. “Eyang.... Kau 

tak keberatan, bukan?”

Belum sampai Nyai Tandak Kembang menjawab, ti-

ba-tiba satu sosok tubuh melayang dari atas lobang. 

Saat lain satu sosok tubuh menyusul. Tahu-tahu ke-

dua sosok ini telah tegak berjajar dengan mata masing-

masing memandang tajam ke depan.

“Urusan benar-benar jari runyam! Bagaimana me-

reka bisa masuk?! Apakah Datuk Wahing, Gendeng 

Panuntun, dan lain-lainnya tidak berusaha mengha-

dang?!” Pendekar 131 bergumam sambil memandang


ke arah dua sosok yang baru muncul. Namun cuma 

sekejap. Saat lain sepasang matanya melirik ke arah 

lobang, dari mana dua sosok tadi melayang turun.

“Hem.... Tidak kudengar bersinan Datuk Wahing 

atau suara bentakan Nenek Dayang Sepuh. Suara 

aneh Dewa Uuk pun tidak ada! Apa kedua orang itu 

berhasil melewati orang-orang itu?!” Murid Pendeta 

Sinting tambah gelisah.

Seperti diketahui, ketika mengikuti jejak kakek be-

rambut putih jabrik, murid Pendeta Sinting dan 

Dayang Sepuh akhirnya sampai di perbatasan Lembah 

Patah Hati. Tak berselang lama, tiba-tiba muncullah 

Malaikat Berkabung. Saat terjadi bentrok antara Pen-

dekar 131 dan Malaikat Berkabung, muncul Datuk 

Wahing dan Gender Panuntun. Tidak berapa lama ke-

mudian hadir pula Nyai Tandak Kembang dan Putri 

Kayangan yang disusul oleh Dewi Ayu Lambada, Iblis 

Ompong, dan Dewa Uuk.

Ketika hendak terjadi bentrok, tiba-tiba semua 

orang di perbatasan Lembah Patah Hati dikejutkan 

dengan suara tangisan bayi. Pendekar 131 berhasil 

mendahului ke tempat terdengarnya suara tangisan 

bayi dengan bantuan Datuk Wahing dan Gendeng Pa-

nuntun. Kemudian disusul oleh Nyai Tandak Kembang 

dan Putri Kayangan.

Walau Joko agak gelisah dengan kakek berambut 

putih jabrik dan Malaikat Berkabung, namun masih 

agak tenang mendapati di situ ada rombongan Datuk 

Wahing. Joko berpikir, rombongan Datuk Wahing tidak 

akan membiarkan kakek berambut putih jabrik dan 

Malaikat Berkabung untuk menyusul masuk ke dalam 

lobang.

Namun melihat siapa adanya dua sosok tubuh yang 

baru melayang masuk dari lobang, yang ternyata ada-

lah seorang kakek mengenakan pakaian selempang


warna putih dengan dada kanan terbuka, di lehernya 

melingkar kalung dari untaian kayu warna coklat, dan 

rambutnya putih dipotong jabrik serta seorang pemuda 

berparas tampan dan keras mengenakan mantel warna 

hitam yang tidak bukan adalah si kakek berambut pu-

tih jabrik dan Malaikat Berkabung, dada Joko jadi ber-

tanya-tanya. Mengapa rombongan Datuk Wahing tidak 

menghadang kedua orang ini hingga keduanya bisa 

masuk.

Di lain pihak, melihat kedatangan kakek berambut 

putih jabrik dan Malaikat Berkabung, Nyai Tandak 

Kembang segera berpaling pada Putri Kayangan Lalu 

berbisik.

“Beda Kumala! Lindungi bayi Pitaloka dari tangan 

siapa saja!”

“Tapi, Eyang.... Pendekar 131....”

“Persetan siapa pun! Pokoknya lindungi bayi Pita-

loka! Jangan campur adukkan urusan perasaanmu 

dengan urusan Pitaloka! Kau paham?!”

“Jadi kau keberatan jika benda di pusar bayi itu di-

ambil murid Pendeta Sinting?!” Putri Kayangan masih 

belum puas dengan ucapan Nyai Tandak Kembang.

“Ucapanmu itu keluar karena kau tertarik dengan 

pemuda itu, Beda Kumala! Ingat, urusan ini belum je-

las benar! Aku akan memutuskan setelah urusannya 

jelas!”

“Eyang.... Kalau beberapa orang hebat seperti Datuk 

Wahing dan Gendeng Panuntun ikut turun tangan, ku-

kira urusan benda itu tidak main-main....”

“Beda Kumala! Bagi mereka mungkin urusannya 

sudah jelas. Tapi tidak bagiku! Dan aku tidak mau 

hanya ikut-ikutan orang! Lakukan saja perintahku! 

Jangan banyak berdalih!”

Walau dengan agak jengkel akhirnya Beda Kumala 

alias Putri Kayangan anggukkan kepala dan melang


kah mendekati Kigali yang tegak di samping bayi Pita-

loka.

Sementara itu, Umbu Kakani langsung menyeringai 

melihat kehadiran kakek berambut putih jabrik dan 

Malaikat Berkabung. Sepasang matanya langsung 

mendelik pandangi kakek berambut putih jabrik. Dan 

begitu melihat Putri Kayangan gerakkan kaki mende-

kati Kigali, Umbu Kakani segera angkat suara dengan 

keras. Matanya tak beranjak dari sosok kakek beram-

but putih jabrik.

“Lingga Buana! Akhirnya penantianmu hanya sia-

sia! Kedatanganmu memang tepat! Tapi perhitungan-

mu meleset!”

Mendengar ucapan Umbu Kakani, kakek berambut 

putih jabrik yang dipanggil dengan Lingga Buana per-

dengarkan tawa. Lalu berucap.

“Aku tak pernah salah menghitung, Umbu Kakani! 

Kalau aku dapat menyingkirkanmu dan gurumu, apa 

kau kira aku tak bisa menyingkirkan semua manusia 

di dalam ruangan ini?!”

“Kau bisa menyingkirkan Guru karena kau bertin-

dak licik! Lagi pula kau harus sadar, peristiwa itu su-

dah lewat beberapa puluh tahun. Kini saat sudah ber-

ganti, keadaan sudah berubah!”

“Kau salah ucap, Umbu Kakani! Peristiwa puluhan 

tahun lalu bukan semata-mata karena aku licik. Na-

mun karena ketololanmu dan Guru! Dan kau salah 

duga. Saat boleh berganti, keadaan boleh berubah. Ta-

pi Lingga Buana tidak bisa terkecoh apalagi salah hi-

tung!”

“Hem.... Ternyata kedua orang ini sudah saling ken-

al! Dan tampaknya mereka juga sudah tahu apa yang 

akan terjadi.... Tak heran kalau kakek bernama Lingga 

Buana itu tahu jalan....” Murid Pendeta Sinting mem


batin.

Umbu Kakani tertawa pendek mendengar ucapan 

Lingga Buana. “Aku tahu.... Kau selama ini tak mung-

kin memperhitungkan beberapa orang yang hadir di 

tempat ini! Lebih-lebih kau tak sadar kalau kehadi-

ranmu hanya untuk menebus nyawa Guru!”

Lingga Buana berbisik pada Malaikat Berkabung 

yang tegak di sebelahnya.

Muridku! Cegah siapa saja yang coba-coba mende-

kati bayi itu!”

Malaikat Berkabung tidak buka mulut menjawab. 

Namun saat itu juga si pemuda melangkah ke sebelah 

samping dan tegak lurus ke arah Putri Kayangan dan 

Kigali yang berada di dekat bayi Pitaloka.

Mendapati gerakan Malaikat Berkabung, Nyai Tan-

dak Kembang sudah dapat menangkap gelagat. Perem-

puan dari lereng Gunung Semeru ini segera berkata.

“Aku tak punya urusan dengan kalian berdua! Ha-

rap jangan mencampuri urusanku!”

Lingga Buana memandang sesaat pada Nyai Tandak

Kembang. Lalu memandang silih berganti pada Putri 

Kayangan dan Pitaloka. “Nyai...,” katanya. “Kita me-

mang tidak punya urusan. Namun keadaan mengha-

ruskan kita bertemu untuk satu urusan! Yang kuminta 

kau mau mengerti agar di antara kita tidak terjadi sa-

lah paham!”

Walau sudah bisa menebak maksud ucapan Lingga 

Buana, namun Nyai Tandak Kembang berkata juga 

ajukan tanya.

“Urusan apa maksudmu?!”

“Aku hanya minta bayi Ku!”

“Aku tak akan membiarkan siapa saja menyentuh-

nya!”

“Itu akan membuka salah paham, Nyai!”

“Kau yang membuka! Bukan aku!”


“Tapi kalau kau mau mengerti, tidak akan terjadi 

salah paham!”

“Hal itu terjadi karena kau minta milik orang lain!”

“Hem.... Jadi kau keberatan?!” tanya Lingga Buana”

“Aku berhak memutuskan barang milik cucuku!

Dan kuputuskan tak seorang pun akan kubiarkan me-

nyentuh bayi itu!”

“Lingga Buana!” Umbu Kakani menyesal. “Lupakan 

dulu bayi itu. Kita bereskan urusan lama yang tertun-

da!”

“Tampaknya kau sudah bosan menderita, Umbu 

Kakani! Gurumu memang sudah lama menunggu ke-

datanganmu di alam neraka. Aku akan segera turuti 

keinginanmu!”

Umbu Kakani berpaling pada murid Pendeta Sin-

ting, Kigali, Putri Kayangan, dan terakhir pada Nyai 

Tandak Kembang sebelum akhirnya berujar.

“Kuharap kalian tidak ikut turun tangan! Ini uru-

sanku dengan jahanam itu!”

Kepercayaan diri Umbu Kakani membuat Lingga 

Buana kerutkan dahi. “Perempuan ini tampaknya me-

nyembunyikan sesuatu! Dalam keadaan tak berdaya 

begitu rupa dia berani berucap lantang menantangku 

sendirian! Padahal dia tahu, kitab ciptaan Guru jatuh 

ke tanganku! Apa selama ini Guru menurunkan ilmu 

yang tidak kuketahui...?”

Umbu Kakani rupanya dapat menangkap apa yang 

ada di benak orang. “Lingga Buana. Kau boleh memili-

ki kitab ciptaan Guru! Tapi bukan berarti kau mudah 

membunuhku!”

Dada Lingga Buana panas mendengar ucapan Um-

bu Kakani. Tanpa menyahut lagi kedua tangannya di-

angkat ditakupkan di depan dada.

“Nyai Tandak Kembang! Harap menyingkir!” kata 

Umbu Kakani melihat Nyai Tandak Kembang yang te


gak di hadapannya tidak membuat gerakan melompat 

ke samping walau sudah tahu kalau Lingga Buana 

hendak lepaskan pukulan.

Nyai Tandak Kembang memandang sesaat pada 

Umbu Kakani. Nyai Tandak Kembang rupanya punya 

perasaan hampir sama dengan Lingga Buana. Dia me-

ragukan apakah Umbu Kakani benar-benar mampu 

menghadapi Lingga Buana. Selain melihat keadaan 

Umbu Kakani dia juga telah tahu bagaimana kedah-

syatan pukulan Lingga Buana saat bentrok dengan 

Dayang Sepuh.

“Nyai.... Aku memang tidak punya ilmu tinggi! Tapi 

kurasa aku mampu menghadapi laki-laki keparat itu!” 

kata Umbu Kakani membuat Nyai Tandak Kembang 

perlahan-lahan melangkah ke samping.

***

DUA



PENDEKAR 131 Joko Sableng sempat pula cemas 

mendengar ucapan-ucapan Umbu Kakani. Apalagi saat 

dilihatnya Umbu Kakani belum juga membuat gerakan 

meski Lingga Buana sudah takupkan kedua tangan di 

depan dada dan siap lepaskan pukulan.

“Nenek ini nekat betul! Apa benar ucapan Lingga 

Buana jika Umbu Kakani berani hanya karena ingin 

deritanya segera pupus?! Kulihat kedua tangan dan 

kakinya tak bisa digerakkan.... Bagaimana mungkin

dia bisa menghadang pukulan Lingga Buana?!”

Entah karena apa, diam-diam murid Pendeta Sin-

ting kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. 

Namun dia juga terus perhatikan setiap gerak-gerik 

Malaikat Berkabung. Hanya saja dia mulai tidak enak


dengan Putri Kayangan. Dia memang tidak mendengar 

percakapan Nyai Tandak Kembang dengan Putri 

Kayangan. Tapi dari sikap si gadis yang mendekati bayi 

Pitaloka, sedikit banyak Joko bisa menduga. Apalagi 

bila dia ingat ucapan Nyai Tandak Kembang yang tak 

akan biarkan siapa pun menyentuh bayi Pitaloka.

Sementara itu, walau dirinya tengah dilanda pera-

saan tak karuan melihat kehadiran Nyai Tandak Kem-

bang dan Putri Kayangan serta Pendekar 131, namun 

Pitaloka masih sempat mengkhawatirkan Umbu Kaka-

ni yang duduk di depannya.

“Nek...,” kata Pitaloka pelan. “Sebaiknya dia tak kau 

hadapi sendirian....”

“Pitaloka!” sahut Umbu Kakani tanpa berpaling. 

“Kau bisa bergerak bukan?! Kuharap kau menjauh! 

Dan satu pesanku.... Berikan apa yang diminta Pende-

kar 131! Untuk urusan itu, terpaksa kau harus me-

nentang eyangmu kalau dia tidak memberi izin! Lekas 

lakukan!”

Perlahan-lahan Pitaloka bergerak bangkit. Tanpa 

berani memandang pada Nyai Tandak Kembang, gadis 

saudara kembar Putri Kayangan ini melangkah men-

dekati Kigali.

“Pitaloka....” Putri Kayangan berbisik dengan suara 

tersendat dan mata berkaca-kaca. Saat lain dia me-

lompat dan tegak di samping Pitaloka. Karena tak da-

pat menahan perasaan, begitu injakkan kaki, Putri 

Kayangan segera memeluk saudaranya.

Pitaloka tak bisa membendung rasa haru. Dia sege-

ra memeluk Putri Kayangan dan kejap lain kedua gadis 

ini sama terisak saling berpelukan.

“Kuharap kau memaafkan sikapku tempo hari, Be-

da...,” bisik Pitaloka dengan bahu berguncang.

“Lupakan semua itu.... Kita harus segera tinggalkan 

tempat ini bersama bayimu, Pitaloka!”


“Anakku telah mati, Beda.... Lebih dari itu tak pan-

tas rasanya aku bersamamu lagi! Kau kini tahu siapa 

diriku.... Benar kata Eyang. Manusia sepertiku tak la-

yak diberi hidup!”

“Mungkin Eyang masih marah hingga berucap begi-

tu! Kau harus mengerti keadaan Eyang saat ini. Dia 

terkejut dan malu.... Apalagi selama ini Eyang tidak 

percaya dengan ucapan beberapa orang sahabat Pen-

dekar 131....”

“Kau beruntung, Beda.... Tidak seperti aku!”

“Kau tidak boleh berkata begitu, Pitaloka! Semua ini 

terjadi bukan karena kehendakmu, bukan?!”

“Aku memang bukan gadis baik-baik, Beda.... Tapi 

aku belum bisa untuk melakukan tindakan di luar ba-

tas! Jahanam itu memperkosaku tanpa aku bisa ber-

buat apa-apa! Dan aku tak akan bisa hidup tenang se-

lamanya sebelum membayar tuntas tindakannya!”

“Kau tak usah berpikir terlalu jauh, Pitaloka! Kau 

tahu siapa yang akan kau hadapi!”

“Mati pun aku tidak menyesal kalau untuk mem-

bayar semua ini!” kata Pitaloka dengan suara bergetar.

“Tidak, Pitaloka! Itu bunuh diri.... Dan itu akan 

membuat Eyang makin kecewa! Percayalah.... Eyang 

pasti dapat mengerti!”

“Kalau Eyang mengerti, pasti dia tak akan mengha-

langi niatku! Juga niatku untuk memberi izin pada 

Pendekar 131 mengambil benda merah di pusar anak-

ku!”

Putri Kayangan lepaskan pelukannya. Dia pandangi 

wajah Pitaloka. “Kuharap kau juga tidak menghalangi 

niatku meski aku tahu Eyang memerintahmu untuk 

menjaga anakku!” Pitaloka sambungi ucapannya.

Putri Kayangan melirik pada Nyai Tandak Kembang 

lalu pada murid Pendeta Sinting.

“Beda Kumala.... Aku tahu bagaimana perasaanmu!


Juga bagaimana perasaanmu pada Pendekar 131!”

Paras wajah Putri Kayangan seketika berubah. Dia 

sudah buka mulut. Tapi Pitaloka mendahului. “Kau 

tak perlu sembunyikan sesuatu padaku, Beda.... Sejak 

pertemuan kita tempo hari, aku sudah bisa membaca 

perasaanmu pada pemuda itu! Kau memang pantas.... 

Untuk itulah aku minta padamu jangan halangi 

niatku! Ini juga demi kau! Kau tak ingin pemuda itu 

menghadapi rintangan besar, bukan?!”

Putri Kayangan tak bisa menjawab. Sebaliknya 

langsung memeluk kembali tubuh Pitaloka karena ha-

rus mendengar ucapan saudara kembarnya.

“Pitaloka.... Sebenarnya aku tadi enggan untuk me-

lakukan perintah Eyang. Tapi kau tahu sendiri.... Da-

lam keadaan seperti saat ini, aku serba salah....”

“Beda.... Serahkan semua itu padaku! Aku yang 

akan menghadapi Eyang....”

Habis berucap begitu, Pitaloka lepaskan pelukan 

saudara kembarnya. Dia tabahkan hati dan beranikan 

diri memandang pada Nyai Tandak Kembang yang se-

dari tadi terus perhatikan kedua cucunya.

Namun sebelum Pitaloka sempat berucap sesuatu, 

tiba-tiba di depan sana Lingga Buana buka takupan 

kedua tangannya. Kejap lain kedua tangannya mem-

buka dan didorong ke arah Umbu Kakani.

“Singkirkan bayi itu!” teriak Umbu Kakani. Saat 

bersamaan perempuan berambut putih awut-awutan 

ini sentakkan pantatnya ke lantai di mana dia duduk. 

Sosoknya melesat ke udara. Tanpa membuat gerakan 

jungkir balik, di atas udara kembali dia sentakkan tu-

buhnya. Kini sosoknya melesat ke depan dengan jung-

kir balik berputar-putar.

Wusss! Wusss!

Gelombang kabut tipis yang mencuat dari dorongan 

kedua tangan Lingga Buana melesat ganas tiga jengkal


di bawah sosok Umbu Kakani. Lalu melaju lurus ke 

tempat di mana tadi Umbu Kakani duduk. Karena 

Umbu Kakani telah melesat, gelombang kabut putih ti-

pis menghantam tempat kosong dan terus melabrak ke 

depan. Di depan sana tampak tumpukan jerami di 

mana bayi Pitaloka tergolek.

Kigali, Nyai Tandak Kembang, murid Pendeta Sin-

ting sudah hendak berkelebat selamatkan si bayi. Na-

mun sebelum ketiga orang ini bergerak, Pitaloka yang 

berada paling dekat dengan si bayi langsung bergerak 

menyambar anaknya dan melompat ke arah Pendekar 

131.

Sementara di sebelah depan, sosok Umbu Kakani 

terus jungkir balik mendekati Lingga Buana. Empat 

langkah lagi sampai, mendadak Umbu Kakani henti-

kan jungkir baliknya. Kini dia membelakangi Lingga 

Buana dalam posisi setengah menungging. Sementara 

sosoknya makin cepat melesat!

Lingga Buana sempat terkesima. Saat lain tiba-tiba 

kedua tangannya dikelebatkan seraya melompat me-

nyongsong sosok Umbu Kakani.

Bukkk! Bukkk!

Kedua tangan Lingga Buana menghantam tepat 

pantat Umbu Kakani. Sosok Umbu Kakani terhenti 

dan mental di udara satu tombak ke belakang. Namun 

Lingga Buana terlengak.

Kedua tangannya yang menghantam pantat Umbu 

Kakani tadi telah dialiri tenaga dalam tinggi. Sosok 

Umbu Kakani memang terpental. Namun bukannya 

langsung jatuh terjerembab dengan pantat hancur, 

melainkan terpental ke belakang lalu melayang turun 

perlahan-lahan dan saat lain telah duduk di seberang 

depan dengan bibir sunggingkan senyum! Bukan 

hanya itu saja, kedua tangan Lingga Buana sempat 

mencelat balik begitu menghantam pantat Umbu Kakani. Sosoknya pun terjajar dua langkah. Kedua tan-

gannya bergetar keras. Dia merasakan baru saja 

menghantam bongkahan batu keras!

Bersamaan dengan terdengarnya benturan kedua 

tangan Lingga Buana dengan pantat Umbu Kakani, di 

depan sana terdengar ledakan menggelegar. Kepingan 

batu tampak bertabur ke udara dengan disemburati je-

rami yang telah hancur lebur!

Putri Kayangan dan Kigali yang tadi tegak di sebelah 

tumpukan jerami telah melompat dan tegak menjauh 

sebelum pukulan Lingga Buana menghantam tumpu-

kan jerami.

Sementara itu melihat Pitaloka menyambar anaknya 

dan melompat ke arahnya, murid Pendeta Sinting bu-

ru-buru menyongsong. Nyai Tandak Kembang sudah 

berteriak.

Namun sebelum suara teriakannya terdengar, men-

dadak Malaikat Berkabung sudah sentakkan kedua 

tangannya ke arah Pendekar 131!

“Pendekar 131! Awas!” Pitaloka berseru lalu cepat-

cepat belokkan lompatan. Bayi di tangannya didekap 

erat-erat.

Murid Pendeta Sinting urungkan niat menyongsong 

Pitaloka. Dia cepat putar diri. Saat lain kedua tangan-

nya sudah bergerak lepaskan pukulan.

Wuutt! Wuutt!

Blammm! Blammm!

Dua gelegar beruntun segera terdengar begitu pu-

kulan Malaikat Berkabung dihadang pukulan murid 

Pendeta Sinting. Kedua pemuda ini sama tersurut satu 

tindak.

Malaikat Berkabung kertakkan rahang. Kejap lain 

kedua tangannya dibuka lalu diangkat di depan wajah 

dengan jari tengah saling ditemukan.

Karena sudah tahu apa yang akan dilakukan Malai

kat Berkabung, Joko cepat pula kerahkan tenaga da-

lam siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’.

“Pitaloka! Bergabunglah dengan Putri Kayangan dan 

kakek itu!” teriak Pendekar 131 seraya angkat kedua 

tangannya. Saat itu kedua tangannya telah disembura-

ti sinar berwarna kuning. Tanda dia siap lepaskan pu-

kulan ‘Lembur Kuning’.

Pitaloka tak pikir panjang. Dia segera melompat lagi 

ke arah Putri Kayangan dan Kigali yang tegak tidak 

berjauhan. Bersamaan itu tiba-tiba Malaikat Berka-

bung sudah dorong kedua tangannya. Murid Pendeta 

Sinting tidak menunggu. Kedua tangannya segera pula 

didorong.

Dari kedua tangan Malaikat Berkabung melesat ka-

but hitam tipis. Di seberang, terdengar deruan gelom-

bang dahsyat yang disertai semburatnya sinar kuning 

dengan membawa hawa panas luar biasa.

Bummmm!

Ruangan di bawah Lembah Patah Hati laksana di-

landa gempa luar biasa. Malah bibir lobang masuk ke 

ruangan langsung terbongkar dan longsor! Sosok Ma-

laikat Berkabung dan murid Pendeta Sinting sama ter-

pental ke belakang. Malaikat Berkabung terhuyung 

dan jatuh terduduk tepat di bawah lobang masuk yang 

baru saja longsor. Di lain pihak, sosok murid Pendeta 

Sinting juga terhuyung tapi tak tampak terjatuh meski 

kedua lututnya sempat menekuk.

Malaikat Berkabung pentangkan mata. Lalu berge-

rak bangkit. Namun baru saja tegak, tubuh bagian 

atasnya tertekuk sedikit ke depan. Mulutnya mengem-

bung. Kejap lain mulutnya semburkan darah! Tanda 

pemuda ini telah terluka dalam cukup parah.

Murid Pendeta Sinting pun ternyata bukan tidak 

mengalami luka dalam akibat bentroknya pukulan. Ka-

rena begitu dia kerahkan tenaga dalam kembali, da


danya terasa sesak. Saat tangan kanannya diangkat ke 

mulut dan ditarik pulang, punggung tangannya telah 

terpercik darah!

Rupanya Lingga Buana sadar akan keadaan Malai-

kat Berkabung hingga dia urungkan niat yang hendak 

lepaskan pukulan lagi ke arah Umbu Kakani. Kakek 

berambut putih jabrik ini berpaling pada muridnya, la-

lu berkata.

“Jurus ‘Jalur Bertangga’!”

Malaikat Berkabung mengerti maksud gurunya. 

Saat itu juga dia melompat ke arah Lingga Buana. Na-

mun belum sampai bergerak, ruangan itu dibuncah 

bau tak sedap! Belum sampai tahu apa sebabnya, dari 

lobang yang sebagian telah longsor mengucur air ber-

warna kekuningan dan langsung mengguyur Malaikat 

Berkabung!

Malaikat Berkabung memaki tak karuan begitu 

maklum air apa yang telah mengguyur tubuhnya. Dia 

batalkan niat melompat, sebaliknya dengan dada dide-

ra kemarahan luar biasa, kedua tangannya segera me-

nyentak ke atas.

Namun belum sampai pemuda itu sempat sentak-

kan kedua tangannya, dari lobang di atas sana melun-

cur deras dua benda.

Prakk! Prakk!

Malaikat Berkabung hantam kedua benda yang me-

luncur ke arahnya hingga kedua benda yang ternyata 

dua buah bumbung bambu pecah berantakan. Namun 

Malaikat Berkabung makin kalap ketika begitu bum-

bung bambu pecah, saat itu juga muncrat lagi cairan 

tak sedap mengguyur tubuhnya!

Saat bersamaan, terdengar suara gelakan tawa ber-

talu-talu yang diseling dengan suara bersinan berulang 

kali lalu ditingkah dengan suara Uuukk! Uuukk! Ukkk!

Malaikat Berkabung usap wajahnya yang basah


kuyup dengan menahan napas dan mata terpejam. Pa-

ras pemuda itu tidak bisa lagi dibayangkan. Sosoknya 

bergetar keras, rahangnya terangkat. Begitu matanya 

terbuka langsung terpentang besar. Namun karena 

khawatir masih ada air kencing yang akan mengguyur, 

dia tidak berani tengadah, sebaliknya melompat den-

gan kedua tangan terangkat dan jari tengah saling di-

temukan.

“Jahanam-jahanam itu harus kita hancurkan dahu-

lu!” kata Malaikat Berkabung. Walau dia tidak meng-

hadap Lingga Buana, namun si kakek dapat menang-

kap maksud ucapan Malaikat Berkabung. Hingga saat 

itu juga dia melompat dan langsung tegak di belakang 

Malaikat Berkabung dengan kedua tangan ditempelkan 

di punggungnya.

Mendadak suara buncahan gelakan tawa di atas 

sana putus. Saat lain dari lobang muncul satu sosok 

tubuh. Orang ini melayang turun dengan posisi teng-

kurap! Dia adalah seorang nenek mengenakan pakaian 

atas berupa baju tanpa lengan dan cingkrang. Pakaian 

bawahnya berupa celana pendek di atas lutut berwar-

na merah. Rambutnya yang putih dikelabang dua. Ba-

gian depannya diponi. Wajahnya dibedaki tebal dan bi-

birnya dipoles merah menyala. Nenek ini tidak lain 

adalah Dayang Sepuh.

Dayang Sepuh melayang turun perlahan-lahan. 

Ternyata dia tidak sendirian. Begitu sosok si nenek ter-

lihat, di atasnya telah terlihat pula satu sosok tubuh 

melayang dengan posisi tengkurap pula. Malah kedua 

tangannya ditempelkan pada punggung Dayang Sepuh. 

Dia adalah seorang perempuan berusia lanjut menge-

nakan pakaian agak gombrong. Wajahnya tidak begitu 

jelas karena selain tertutup sebagian rambutnya, juga 

terlindungi kerudung hitam panjang yang ada di atas 

kepalanya. Nenek ini bukan lain adalah Dewi Ayu


Lambada.

Dewi Ayu Lambada melayang dengan pantat di-

goyang-goyangkan. Dan ternyata dia tidak bergoyang 

sendirian. Begitu sosok Dewi Ayu Lambada terlihat, di 

atasnya muncul lagi satu sosok tubuh. Orang yang 

muncul di atas Dewi Ayu Lambada bukannya dalam 

posisi tengkurap, tapi telentang dengan kedua kaki se-

dikit dijungkatkan ke atas hingga pantatnya mencuat 

ke bawah. Pantat orang ini ditempelkan pada pantat 

Dewi Ayu Lambada dan ikut digoyang-goyang! Dia ada-

lah seorang kakek berwajah tirus panjang. Kakek ini 

tidak memiliki leher dan mulutnya menganga lebar 

seolah ingin perlihatkan giginya yang ompong. Dia ti-

dak lain memang adalah tokoh rimba persilatan yang 

dikenal dengan Iblis Ompong.

Di atas sosok Iblis Ompong, ternyata masih muncul 

lagi satu sosok tubuh. Orang ini melayang turun den-

gan duduk mencangklong di atas kedua kaki Iblis Om-

pong yang terjungkat ke atas. Dia adalah seorang ka-

kek berpakaian agak lusuh. Kedua tangannya tampak 

ditadangkan di belakang kedua telinganya! Dia bukan 

lain adalah tokoh bisu dan tuli yang berjuluk Dewa 

Uuk.

Dayang Sepuh yang berada di bawah tiba-tiba 

membuat gerakan jungkir balik satu kali lalu tegak di 

atas lantai ruangan dengan kedua tangan merangkap 

di depan dada. Sepasang matanya dipicingkan me-

mandang pada Malaikat Berkabung.

Di belakang Dayang Sepuh, Dewi Ayu Lambada 

membuat gerakan jungkir balik pula. Lalu tegak di be-

lakang Dayang Sepuh dengan kedua tangan menempel 

di punggung nenek bercelana pendek merah itu.

Iblis Ompong tidak tinggal diam. Tanpa memberi 

tahu Dewa Uuk yang duduk di atas kedua kakinya, dia 

membuat gerakan jungkir balik. Dewa Uuk terkesiap


kaget. Sosoknya langsung terpental ke atas. Sementara 

Iblis Ompong terus melayang turun dan tegak membe-

lakang di belakang Dewi Ayu Lambada. Sesaat kakek 

ompong ini tengadahkan sedikit kepalanya dengan mu-

lut dibuka lebar-lebar. Saat lain dia bungkukkan tu-

buh. Pantatnya ditempelkan pada pantat Dewi Ayu 

Lambada yang terus bergerak-gerak.

Begitu pantat Iblis Ompong menempel pada pantat 

Dewi Ayu Lambada, tiba-tiba sosok Dewa Uuk me-

layang jatuh dan langsung duduk di hadapan Iblis 

Ompong dengan kedua tangan tetap ditadangkan di 

belakang telinganya. Iblis Ompong sendiri segera ge-

rakkan kedua tangannya dan diletakkan di atas pun-

dak kanan kiri Dewa Uuk yang duduk di hadapannya.

Dayang Sepuh buka rangkapan kedua tangannya. 

Bukannya untuk apa, melainkan rapikan poni di de-

pan keningnya. Sementara tangan satunya kibas-

kibaskan kelabangan rambutnya.

Dewi Ayu Lambada tarik pulang kedua tangannya 

yang menempel di punggung Dayang Sepuh lalu rapi-

kan kerudung hitamnya yang menjulai panjang sampai 

depan perutnya. Saat kemudian nenek berkerudung 

hitam ini kembang-kempiskan hidung, kepalanya ber-

gerak ke kanan kiri lalu ke bawah. Tiba-tiba nenek ini 

melonjak berjingkrak-jingkrak.

“Sialan! Kepalaku.... Eh, kakiku menginjak air surga 

itu!” serunya.

Dayang Sepuh terkejut. Tanpa sadar dia gerakkan 

kepalanya memandang ke bawah.

“Setan! Kakiku juga menginjak air setan itu!” te-

riaknya lalu ikut berjingkrak-jingkrak! Dan melompat 

ke samping. Dewi Ayu Lambada bantingkan kaki sekali 

lagi lalu ikut melompat dan kembali tegak di belakang 

Dayang Sepuh dengan kedua tangan sudah menempel 

di punggung Dayang Sepuh.


Iblis Ompong hentikan goyangan pantatnya. Lalu 

kepalanya ikut-ikutan memandang ke bawah. Dia ber-

gumam tak jelas namun saat itu juga dia tarik pulang 

kedua tangannya dari pundak Dewa Uuk dan melom-

pat lalu tegak kembali di belakang Dewi Ayu Lambada 

dengan posisi tetap menungging dan pantat ditempel-

kan pada pantat Dewi Ayu Lambada.

Dewa Uuk sesaat bengong. Dia gerakkan kepalanya 

pandangi ketiga orang yang telah tegak di samping. 

Seolah belum mengerti apa yang terjadi, kakek bisu 

dan tuli ini arahkan telunjuknya pada ketiga orang te-

mannya lalu buka mulut.

“Uuukkk! Uuukk! Uuuukkk!” Kepalanya bergerak-

gerak ke depan ke belakang memberi isyarat minta ke-

terangan ada apa.

Dayang Sepuh berpaling. “Dasar setan budek! Apa 

dia tidak merasa kalau celananya basah?!” gumamnya 

seraya perhatikan pakaian bagian bawah Dewa Uuk.

“Setan itu adikmu, bukan?!” ujar Dayang Sepuh 

pada Dewi Ayu Lambada. “Kau tentu bisa memberi 

isyarat bagaimana menerangkan kalau celana bawah-

nya sudah basah terkena air kencing dua setan tua di 

atas sana tadi!”

“Dia memang adikku!” kata Dewi Ayu Lambada. 

“Tapi aku sendiri tak tahu bagaimana isyarat ucapan-

mu tadi! Kau saja yang memberi isyarat! Lagi pula dia 

kurang percaya kalau aku yang memberi tahu!”

“Setan Uuk!” teriak Dayang Sepuh. “Cepat pindah 

dari tempat itu! Lihat celanamu sudah basah terkena 

air setan!”

Dewa Uuk tadangkan kembali kedua tangan di be-

lakang kedua telinganya. Namun agaknya dia belum 

bisa mendengar ucapan Dayang Sepuh. Karena tangan 

kanannya bergerak-gerak membuka menutup memberi 

isyarat agar Dayang Sepuh perkeras suaranya.


“Mana dia mengerti air setan! Katakan saja air kenc-

ing!” kata Dewi Ayu Lambada.

Karena sudah agak jengkel, Dayang Sepuh tidak 

buka suara lagi. Melainkan memberi isyarat dengan 

menunjuk bagian bawah tubuh Dewa Uuk yang tengah 

duduk.

Dewa Uuk terkesiap kaget. Kedua tangannya cepat 

ditarik dan menakup ke bagian bawah tubuhnya tepat 

di pangkal paha, karena tempat itu yang tadi ditunjuk-

tunjuk oleh tangan Dayang Sepuh.

“Uuukk! Uuukk! Uuukkk!” Dewa Uuk buka mulut 

dengan kepala menggeleng-geleng. Kedua tangannya 

makin erat menakup selangkangannya.

“Dasar tolol!” maki Dayang Sepuh. Lalu berteriak 

keras. “Burung setanmu tidak apa-apa! Tapi lihat tem-

patnya burung setanmu itu!”

Dewa Uuk tersenyum lega. Lalu menunduk dan me-

lihat bagian bawah. Kakek ini sesaat kerutkan dahi 

tatkala merasakan kedua tangannya basah. Perlahan-

lahan dia tarik kedua tangannya lalu diangkat ke de-

pan hidungnya. Hidungnya kembang-kempis sejenak. 

Saat lain dikibas-kibaskan dan serentak bergerak 

bangkit.

“Uuukkk! Uuukkk! Uuukkk!” Dewa Uuk buka mulut 

seraya menunjuk-nunjuk ke lobang lalu salah satu 

tangannya diletakkan di bawah perutnya dengan men-

gepal dan jari telunjuk mencuat!

Dayang Sepuh tertawa terbahak. Dewi Ayu Lamba-

da tertawa tertahan-tahan. Iblis Ompong buka mulut-

nya makin lebar tanpa perdengarkan suara.

“Uuukk! Uuukkk! Uuukkk!” Kembali Dewa Uuk bu-

ka mulut lalu melompat dengan tangan kiri kibas-

kibaskan pakaian di bagian pantatnya.

Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada putuskan 

tawa masing-masing. Iblis Ompong cepat takupkan


mulutnya rapat-rapat dengan mata dipejamkan. Saat 

kemudian ketiga orang ini berlompatan semburat. Ka-

rena dari pakaian bagian bawah Dewa Uuk muncrat 

percikan air kencing yang tadi diduduki si kakek!

Saat itulah, Malaikat Berkabung yang dari tadi per-

hatikan orang dengan dada bergemuruh, sentakkan 

kedua tangannya!

***

TIGA



MESKI tadi sudah terluka dalam akibat bentrok 

dengan murid Pendeta Sinting, namun karena kali ini 

Lingga Buana ikut menggebrak dengan salurkan tena-

ga dalam lewat kedua tangannya yang ditempelkan pa-

da punggung Malaikat Berkabung, maka dari kedua 

tangan si pemuda bermantel hitam ini melesat dua 

rangkum gelombang luar biasa dahsyat yang begitu 

melesat langsung melebar hingga walau saat itu keem-

pat orang di hadapannya sama berpencar, tapi tak sa-

tu pun dari mereka yang bisa enak-enakan lolos dari 

sergapan gelombang. Dan saat itu juga Malaikat Ber-

kabung rasakan luka dalamnya agak berkurang. Ini 

karena selain menambah daya pukulan, kedua tangan 

Lingga Buana juga meredam luka dalam yang dialami 

Malaikat Berkabung.

Dayang Sepuh, Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, 

dan Dewa Uuk sama terkejut dan mata masing-masing 

orang terpentang besar-besar saling pandang satu sa-

ma lain. Karena tak ada kesempatan lagi bagi mereka 

untuk melompat dan bergabung, maka akhirnya ma-

sing-masing orang terpaksa menghadang pukulan 

yang datang dengan sendiri-sendiri.

Dayang Sepuh takupkan kedua tangan di depan 

wajah. Lalu dibuka dan disentakkan ke depan. Dewi 

Ayu Lambada angkat kedua tangannya lalu seraya 

goyangkan pantat dia menghadang dengan mendorong 

kedua tangannya. Iblis Ompong cepat balikkan tubuh, 

kedua tangannya segera disentakkan ke belakang dari 

bawah pinggangnya. Dewa Uuk gerakkan kedua tan-

gannya kibaskan pakaiannya yang basah.

Tempat itu seketika dibuncah deruan-deruan dah-

syat yang melesat dari kedua tangan Dayang Sepuh 

dan Dewi Ayu Lambada. Disusul dengan mencuatnya 

dua bongkahan awan dari kedua tangan Iblis Ompong 

yang makin lama makin besar dan bergerak naik tu-

run. Lalu ditingkah dengan sapuan-sapuan dahsyat 

yang dibarengi muncratnya percikan air dari kibasan 

kedua tangan Dewa Uuk.

Bummm! Bummm! Bummm!

Ruangan di bawah Lembah Patah Hati bergetar he-

bat. Gelombang angin bertenaga dalam tinggi yang sal-

ing bentrok timbulkan gelegar dahsyat lalu sama am-

byar. Bongkahan awan dari kedua tangan Iblis Om-

pong pecah berantakan. Percikan air dari kibasan ke-

dua tangan Dewa Uuk langsung amblas menguap lak-

sana embun terkena sinar matahari!

Sosok Malaikat Berkabung dan Lingga Buana terdo-

rong deras ke belakang dan jatuh bertindihan. Dari 

mulut Malaikat Berkabung kembali kucurkan darah. 

Lingga Buana sendiri tampak berubah paras. Dia me-

rasakan mulutnya asin. Tapi karena tak mau diketahui 

kalau dirinya terluka dalam dan kucurkan darah dari 

mulut, kakek ini cepat katupkan mulut rapat-rapat 

dan salurkan tenaga dalam. Saat lain dia sentakkan 

kedua tangannya lalu bergerak bangkit. Tangan kiri-

nya dijulurkan pada Malaikat Berkabung untuk meno-

long si pemuda berdiri.

Di seberang sana, sosok Dayang Sepuh terjajar lima 

langkah. Sosoknya melengkung karena kedua kakinya 

tertekuk. Namun sejengkal lagi pantatnya menyentuh 

lantai, tiba-tiba kedua lututnya yang telah berada di 

lantai bergerak menghentak. Saat itu juga sosok 

Dayang Sepuh melenting ke atas lalu melayang turun 

dan tegak kokoh di atas lantai dengan bibir sungging-

kan senyum. Tangan kanan kirinya terangkat lalu ra-

pikan geraian poni rambutnya!

Dewi Ayu Lambada juga tampak terpental ke bela-

kang saat terdengar gelegar. Nenek berpakaian agak 

gombrong yang juga adalah kakak kandung Dewa Uuk 

ini sesaat perdengarkan seruan tertahan ketika tubuh-

nya hendak jatuh terjerembab di atas lantai. Namun 

dua jengkal lagi sosoknya menghantam lantai, seruan-

nya terputus. Kejap lain terdengar suara Beett! Betttt! 

Satu benda panjang hitam melesat dan tegak di atas si 

nenek.

Dewi Ayu Lambada tertawa, lalu perlahan-lahan so-

soknya merambat naik melalui benda hitam panjang 

yang tegak mengapung ternyata adalah kerudung hi-

tam si nenek! Hebatnya meski kerudung hitam itu ter-

buat dari kain, namun tidak melengkung saat sosok 

Dewi Ayu Lambada merambat naik! Bahkan hingga si 

nenek sampai di ujung bagian atas kerudung!

Iblis Ompong yang sosoknya juga mental ke depan 

begitu terdengar gelegar, segera julurkan kedua tan-

gannya. Lalu bagian atas tubuhnya ditekuk. Saat lain 

sosoknya terhenti dengan kedua tangan di atas lantai 

menopang tubuhnya dalam posisi menungging dan 

perhatikan Malaikat Berkabung serta Lingga Buana 

dari sela kedua kakinya yang direnggangkan lebar-

lebar!

Dewa Uuk tak luput dari bias bentroknya beberapa 

pukulan hingga sosoknya juga terpelanting ke belakang malah tampak terbanting di udara! Lalu me-

layang jatuh ke bawah. Entah karena tidak dapat kua-

sai diri, Dewa Uuk tidak membuat gerakan apa-apa 

untuk menahan tubuhnya dari benturan dengan lantai 

hingga sosoknya terus melayang deras menghantam 

lantai!

“Sialan! Apa dia sudah ingin mampus?!” seru Dewi 

Ayu Lambada dari atas kerudung hitamnya. Sepasang 

matanya mendelik besar mengawasi sosok Dewa Uuk. 

Dan begitu dilihatnya Dewa Uuk tidak berbuat apa-

apa, seraya mengomel panjang pendek, si nenek ge-

rakkan tangan kanan.

Beeett!

Ujung bagian bawah kerudung hitam berkelebat. 

Sosok Dewi Ayu Lambada yang berada di bagian atas 

ikut melayang mengikuti kelebatan ujung bawah keru-

dung hitam yang melesat ke arah sosok Dewa Uuk.

Satu jengkal lagi sosok Dewa Uuk menghantam lan-

tai, tiba-tiba ujung bawah kerudung hitam menyam-

bar. Saat lain sosok Dewa Uuk terangkat ke udara 

dengan kedua ketiak telah terlilit kerudung hitam.

Dewi Ayu Lambada membuat satu kali gerakan lagi. 

Sosoknya yang berada di atas kerudung melesat ke 

arah Iblis Ompong. Sosok Dewa Uuk ikut pula me-

layang.

Plukkk!

Tepat berada di atas tubuh Iblis Ompong yang me-

nungging, Dewi Ayu Lambada sentakkan kerudung hi-

tamnya. Sosok Dewa Uuk terlepas dan jatuh terduduk 

tepat di atas punggung Iblis Ompong!

Sesaat Iblis Ompong hanya senyum-senyum. Se-

mentara Dewa Uuk telengkan kepala ke samping kiri 

kanan lalu ke atas melihat sosok Dewi Ayu Lambada. 

Kepalanya digerakkan pulang balik ke depan ke bela-

kang dengan kedua tangan menakup di depan dada

memberi isyarat berterima kasih.

“Sialan! Bau apa ini? Dan punggungku terasa ba-

sah!” Tiba-tiba Iblis Ompong bergumam. Lalu tarik ke-

palanya dan dipalingkan ke atas punggungnya.

“Sialan! Sialan!” Kembali Iblis Ompong memaki ke-

tika mendapati sosok Dewa Uuk nongkrong di atas 

punggungnya. “Pakaian dan punggungku terkena pa-

kaiannya yang basah air kencing!”

Karena tidak mendengar gumaman Iblis Ompong, 

Dewa Uuk masih enak-enakan saja duduk di atas 

punggung Iblis Ompong.

Iblis Ompong tekuk kedua kakinya. Lalu disentak-

kan ke atas. Dewa Uuk terkejut mendapati dirinya 

mencelat ke atas. Namun karena menduga Dewi Ayu 

Lambada akan menolongnya lagi, dia tidak berusaha 

membuat gerakan apa-apa meski sosoknya telah me-

layang kembali ke bawah. Lagi pula dia masih mengira 

jika jatuhnya akan di atas punggung orang. Dia tidak 

tahu, kalau bersamaan dengan mencelatnya sosok 

Dewa Uuk, Iblis Ompong melompat ke samping dan 

kembali menungging berjarak lima langkah dari tem-

patnya semula.

Kesadaran Dewa Uuk baru muncul tatkala dia tidak 

merasakan kelebatan kerudung Dewi Ayu Lambada 

dan empuknya punggung orang meski sosoknya sudah 

setengah depa lagi dari lantai. Kakek ini segera mem-

buat gerakan. Namun terlambat.

Bukkk!

Dewa Uuk jatuh terduduk di atas lantai dengan 

pantat menghantam keras ke lantai di bawahnya. Ka-

kek ini berseru. Namun yang terdengar adalah suara 

Uukkk! Uukkk! Uuukk! berulang kali.

“Setan-setan!” teriak Dayang Sepuh. “Mengapa ka-

lian masih juga bergurau! Lihat ke depan!”

Dewi Ayu Lambada turuti ucapan Dayang Sepuh.


Iblis Ompong melihat melalui sela kedua kakinya. 

Hanya Dewa Uuk yang telengkan kepala ke kanan kiri 

karena tidak mendengar seruan Dayang Sepuh.

Di depan sana, ternyata Malaikat Berkabung dan 

Lingga Buana telah tegak dengan Malaikat Berkabung 

di depan dan Lingga Buana di belakangnya. Kedua 

tangan Lingga Buana telah menempel kembali pada 

punggung muridnya. Sementara kedua tangan Malai-

kat Berkabung telah terbuka dengan jari tengah saling 

ditemukan dan siap lepaskan pukulan!

Dayang Sepuh segera memberi isyarat. Dewi Ayu 

Lambada berkelebat lalu melayang turun dan tegak di 

belakang Dayang Sepuh. Sesaat dia tekuk kerudung 

hitamnya lalu dikenakan di atas kepalanya. Iblis Om-

pong terbengong sesaat, lalu melompat dan menungg-

ing di belakang Dewi Ayu Lambada dengan pantat di-

tempelkan pada pantat si nenek yang sudah mulai 

bergerak bergoyang-goyang.

Melihat ketiga temannya tegak berbaris, Dewa Uuk 

mengerti. Dia cepat berkelebat masih dengan posisi 

duduk dan duduk ongkang-ongkang di hadapan Iblis 

Ompong.

Namun begitu duduk, Dewa Uuk segera kerutkan 

dahi. Tangan kirinya ditarik ke atas lalu pencet hi-

dungnya. Tangan kanan menunjuk-nunjuk pada Iblis 

Ompong.

“Sialan! Kau yang bau kencing! Bukan aku!” bentak 

Iblis Ompong. Lalu angkat sebelah tangannya untuk 

menutup hidungnya. Namun karena mulutnya terbuka 

lebar, mau tak mau hidungnya tidak bisa tertutup ra-

pat. Hingga dia kembali memaki-maki Dewa Uuk! Se-

mentara di hadapannya, Dewa Uuk terus tunjuk-

tunjuk Iblis Ompong seraya tertawa bergelak-gelak!

Di belakang Iblis Ompong, mendadak Dewi Ayu 

Lambada hentikan goyangan pantatnya. Hidungnya


kembang-kempis. “Astaga! Bukankah punggung ma-

nusia ompong tadi terkena air kencing?!” gumam Dewi 

Ayu Lambada. “Jangan-jangan pantatku sudah basah 

pula!”

Khawatir akan hal itu, Dewi Ayu Lambada segera 

berpaling ke belakang. Namun belum sampai kepala-

nya bergerak, Dayang Sepuh sudah membentak.

“Apa kalian ingin mampus?! Cepat salurkan tenaga 

setan kalian!”

Dewi Ayu Lambada batalkan niat berpaling. Dia ce-

pat salurkan tenaga dalam melalui kedua tangannya 

yang ditempelkan pada punggung Dayang Sepuh. Iblis 

Ompong segera pula salurkan tenaga dalam melalui 

pantatnya yang ditempelkan pada pantat Dewi Ayu 

Lambada. Di belakang sendiri, Dewa Uuk segera pe-

gangi kedua tangan Iblis Ompong lalu salurkan tenaga 

dalam.

Di seberang depan, Malaikat Berkabung dan Lingga 

Buana sudah pejamkan mata masing-masing. Sosok 

keduanya bergetar. Tanda kali ini kedua guru dan mu-

rid ini kerahkan hampir seluruh tenaga dalam mereka.

Namun belum sampai tangan Malaikat Berkabung 

bergerak lepaskan pukulan dengan tenaga dalam be-

rantai, Umbu Kakani yang dari tadi melihat tingkah 

empat orang di depan sana dengan senyum-senyum, 

perdengarkan suara keras.

“Lingga Buana! Kedatanganmu bukan untuk mere-

ka! Aku pun tak menginginkan nyawamu putus den-

gan tangan orang lain!”

Mungkin khawatir Lingga Buana dan Malaikat Ber-

kabung tidak hiraukan bentakannya dan teruskan le-

pas pukulan ke arah empat orang di seberang sana, 

Umbu Kakani gerakkan bagian atas tubuhnya lalu di-

dorong ke depan.

Beettt!


Satu gelombang angin menggebrak ganas ke arah 

Lingga Buana yang tegak di belakang Malaikat Berka-

bung.

Lingga Buana terkesiap. Kalau dia teruskan salur-

kan tenaga dalam pada Malaikat Berkabung dan me-

maksakan diri agar Malaikat Berkabung melepas pu-

kulan, maka tak ampun lagi sosoknya akan terhantam 

gelombang dahsyat yang datang dari arah belakang.

Berpikir sampai ke sana, dengan kertakkan rahang 

Lingga Buana tarik pulang kedua tangannya dari 

punggung Malaikat Berkabung. Lalu mendorong sosok 

Malaikat Berkabung ke samping untuk selamatkan si 

murid dari gempuran gelombang.

Malaikat Berkabung terdorong ke samping. Bersa-

maan dengan itu Lingga Buana balikkan tubuh lalu 

sentakkan kedua tangannya.

Brakkk!

Gelombang dahsyat yang datang langsung porak-

poranda. Sosok Umbu Kakani tampak bergoyang-

goyang. Sosok Lingga Buana sendiri tampak bergetar 

keras walau tidak bergeming dari tempatnya.

Saking marahnya, Lingga Buana cepat melompat ke 

depan. Umbu Kakani tidak mau berdiam diri. Dia cepat 

pula melesat ke depan dengan posisi tetap duduk dan 

hentikan lesatannya lima langkah di hadapan Lingga 

Buana!

“Nenek itu benar-benar nekat!” gumam Pendekar 

131 dari tempatnya tegak. Namun kekhawatirannya 

sedikit sirna tatkala tadi sudah tahu bagaimana Umbu 

Kakani sanggup menghadang pukulan kedua tangan 

Lingga Buana dengan pantatnya.

“Aku tak boleh sia-siakan kesempatan ini!” kata Jo-

ko dalam hati lalu melirik pada Pitaloka yang makin 

erat mendekap anaknya dan tegak berdampingan den-

gan Kigali dan Putri Kayangan. Saat lain dia arahkan


pandang matanya pada Malaikat Berkabung. Dia men-

gukur jarak. Lalu menunggu Umbu Kakani dan Lingga 

Buana.

Lingga Buana menatap tajam pada Umbu Kakani. 

Umbu Kakani sendiri balas hujamkan sepasang mata-

nya pada sosok Lingga Buana, laki-laki yang pernah 

dicintai yang pada akhirnya berkhianat bahkan mem-

bunuh gurunya!

“Aku menyesal tak membunuhnya saat itu! Tapi 

tanpa dirinya, bayi itu tak akan lahir di sini! Lagi pula 

apa yang perlu ditakutkan?! Aku punya kedua tangan 

dan kaki juga kekuatan! Dia punya tangan dan kaki 

tapi tak bisa digunakan!” kata Lingga Buana dalam ha-

ti lalu lipat gandakan tenaga dalam pada kedua tan-

gannya.

“Sebelum kubayar nyawa Guru, ada sesuatu yang 

ingin kau katakan?!” Berkata Umbu Kakani sambil 

alihkan pandang matanya ke jurusan lain.

“Karena kau akan menyusul gurumu, aku titip sa-

lam padanya!” ujar Lingga Buana sambil tertawa pen-

dek. Saat lain laki-laki berambut putih jabrik ini telah 

menyergap ke arah Umbu Kakani dengan kedua tan-

gan berkelebat ke arah kepala dan dada.

Umbu Kakani hentakkan pantat. Sosoknya me-

nyongsong kelebatan kedua tangan Lingga Buana. He-

batnya dia tidak berusaha mengelakkan dadanya dari 

hantaman tangan orang. Dia hanya sentakkan kepa-

lanya menghindar lalu kepalanya didorong menerabas 

di antara kedua tangan Lingga Buana.

Bukkk! Bukkk!

Kepala Umbu Kakani menghantam deras dada Ling-

ga Buana. Saat bersamaan tangan kanan Lingga Bua-

na menggebrak dada Umbu Kakani. Hingga terdengar 

dua kali benturan keras.

Sosok Umbu Kakani mencelat ke belakang dan melayang jatuh bergulingan. Di lain pihak, Lingga Buana 

terpental dan terhuyung-huyung namun segera dapat 

kuasai diri meski dari mulutnya kucurkan darah.

Kalau saja seandainya Lingga Buana tadi tidak ter-

luka akibat bentrok pukulan dengan rombongan 

Dayang Sepuh, mungkin saja kakek berambut putih 

jabrik ini masih bisa tahan kucuran darah dari mulut-

nya. Tapi karena tadi sudah terluka dalam walau tidak 

terlalu parah, begitu dadanya terhantam kepala Umbu 

Kakani yang ternyata telah melatih diri selama berta-

hun-tahun, akhirnya Lingga Buana tidak bisa lagi me-

nahan kucuran darahnya.

Di seberang sana, begitu sosok Umbu Kakani berge-

rak duduk, perempuan ini sudah semburkan darah 

dari mulutnya. Namun perempuan ini tampaknya su-

dah memperhitungkan segalanya. Hingga dia tidak lagi 

pedulikan luka dalam yang didera. Begitu duduk dia 

cepat kerahkan tenaga dalam pada dadanya. Selama 

berada di ruangan bawah Lembah Patah Hati, perem-

puan ini memang sengaja melatih dada dan kepalanya, 

karena anggota tubuh lainnya tidak bisa di-gunakan 

lagi meski masih utuh. Ini karena racun yang diberi-

kan Lingga Buana pada beberapa puluh tahun silam.

***

EMPAT



DI TEMPAT lain, begitu Lingga Buana tadi berkele-

bat ke arah Umbu Kakani dan Umbu Kakani menyong-

song, Pendekar 131 segera melesat ke arah Pitaloka.

Pitaloka! Harap kau mengerti apa maksudku. Wak-

tu kita tidak banyak!” kata Joko seraya arahkan pan-

dangannya pada Nyai Tandak Kembang.


Pitaloka anggukkan kepala. Kedua tangannya yang 

mendekap erat anaknya segera direnggangkan dan 

perlahan-lahan disorongkan pada Joko. Joko segera 

berpaling dan menatap tajam pada pusar bayi di mana 

terlihat benda bulat sebesar kelereng menempel pada 

pusarnya.

“Umbu Kakani, kakek itu dan Pitaloka gagal men-

gambil benda merah itu. Apakah aku sanggup?!” Se-

saat Joko tercenung bimbang. Namun saat lain tangan 

kanannya segera menjulur ke depan, sementara tan-

gan kiri ikut pula bergerak pegangi bagian pinggang 

bayi Pitaloka.

Dengan tangan gemetar dan dada berdebar, murid 

Pendeta Sinting mulai menyentuh benda bulat merah 

di pusar bayi Pitaloka. Namun belum sampai Joko me-

narik benda merah, satu sosok putih berkelebat dan 

tegak di samping Pitaloka. Satu tangan menahan gera-

kan tangan kanan Joko. Lalu terdengar suara.

“Kau teruskan maksudmu, berarti kau buat pang-

kal sengketa denganku!”

Joko angkat kepalanya. Nyai Tandak kembang tegak 

memandang tak berkesip. Tangan kanan menahan 

tangan Joko, tangan kiri sedikit terangkat ke atas.

Eyang.... Harap kau percaya pada keteranganku!-

Manusia pemakai Jubah Tanpa Jasad dan berbekal 

Kembang Darah Setan hanya bisa dihadapi dengan 

benda merah itu!”

“Kalau kau berharap aku percaya, kau juga harus 

percaya pada ucapanku! Semua ucapanmu hanya du-

gaan! Mana mungkin senjata sakti bisa dihadapi den-

gan benda ini?” Kepala Nyai Tandak Kembang berpal-

ing ke arah pusar bayi Pitaloka.

“Pada mulanya kau juga tidak percaya apa yang ter-

jadi pada Pitaloka. Namun apa kenyataannya?! Seka-

rang apakah kau juga masih mengira keteranganku


hanya dugaan? Eyang.... Sebelum Lingga Buana tahu

semua ini, sebaiknya....”

“Aku tak peduli dia tahu atau tidak! Yang jelas tak 

seorang pun kubiarkan mengambil sesuatu dari bayi 

itu!” Nyai Tandak Kembang menukas.

“Nyai.... Aku bukan mau melibatkan diri. Tapi se-

baiknya jangan halangi dia.... Kalaupun nanti keteran-

gannya tidak jadi kenyataan, kau sudah tahu bukan 

siapa orang yang mengambilnya!” Kigali menyahut.

“Eyang...!” Kini Pitaloka beranikan diri angkat bi-

cara. “Selama ini aku telah mengotori rimba persilatan! 

Hanya dengan serahkan benda ini aku bisa mengha-

pusnya walau itu masih belum cukup!”

“Kau tahu apa, Pitaloka!” bentak Nyai Tandak Kem-

bang. “Kau bukan saja telah mengotori rimba persila-

tan, tapi kau juga corengkan arang hitam di mukaku! 

Aku masih ingin buktikan keterangan yang kudengar 

jika kau memang diperkosa orang! Kalau nantinya ke-

terangan itu dusta, aku tak segan membunuhmu!”

“Eyang... Aku telah berkata apa adanya! Dan kau 

tak usah tunggu untuk membuktikan! Sekarang juga 

aku rela kau bunuh! Aku memang telah mencoreng 

mukamu dan mati rasanya belum cukup untuk mene-

busnya! Bunuhlah aku sekarang, Eyang.... Aku tak 

pantas lagi menjadi cucumu! Aku tak layak hidup! Bu-

nuh! Bunuhlah, Eyang....” Pitaloka berkata sambil se-

senggukan. Matanya yang berkaca-kaca menatap ta-

jam pada Nyai Tandak Kembang.

Nyai Tandak Kembang tergagu diam beberapa lama. 

Putri Kayangan yang tegak tidak jauh dari tempat itu 

tak bisa lagi membendung air mata. Kigali menarik na-

pas panjang lalu berbisik pelan.

“Nyai.... Bukannya aku ingin unjukkan budi. Sebe-

narnya cucumu itu kutemukan saat hendak bunuh di-

ri dari jurang dalam hutan sana! Kalau ucapannya tidak benar, mana mungkin ada gadis mengandung be-

rusaha bunuh diri?! Pitaloka memang cucumu, namun 

bukan berarti kau berhak seluruhnya atas bayi Pitalo-

ka! Biarkan dia memutuskan....”

“Eyang....” Putri Kayangan ikut perdengarkan suara 

dengan tersendat. “Aku sendiri memang mendengar 

bahwa benda dalam bayi ini yang bisa menghadapi 

orang di balik Jubah Tanpa Jasad. Orang yang menga-

takan itu juga yang memberi keterangan jika Pitaloka 

kelak akan mengandung....”

Nyai Tandak Kembang masih diam membisu. Pe-

rempuan dari lereng Gunung Semeru ini menarik na-

pas dalam-dalam. Entah apa yang dirasakan, yang je-

las dadanya bergerak turun naik dengan keras. Saat 

lain sepasang matanya berkaca-kaca. Dan perlahan-

lahan dia lepaskan pegangan tangannya yang mena-

han tangan Joko. Tangan kirinya pun diluruhkan ke 

bawah.

“Eyang.... Aku siap kau bunuh. Tapi sebelum aku 

mati, aku punya pesan. Serahkan bayi ini pada dia!” 

Pitaloka berkata seraya memandang pada Pendekar 

131. “Jangan halangi apa yang akan dilakukannya! 

Karena hanya itu yang dapat kuberikan sebelum aku 

mati!”

Pitaloka angkat kedua tangannya yang memegangi 

bayi. Lalu dengan gemetar disorongkan pada murid 

Pendeta Sinting.

Joko ragu-ragu. Dia melirik pada Nyai Tandak Kem-

bang. Nyai Tandak Kembang tengadahkan kepala. Pipi 

kanan kirinya telah basah.

“Pendekar 131.... Terimalah pemberian Pitaloka!” 

ujar Nyai Tandak Kembang.

Joko menghela napas lega. Lalu menerima bayi dari 

tangan Pitaloka dengan tangan masih gemetar. Entah 

karena masih belum bisa menahan perasaan, untuk


beberapa lama Joko hanya diam tercenung dan mem-

perhatikan Nyai Tandak Kembang.

“Anak muda.... Kesempatanmu hanya sedikit! Lekas 

kau lakukan apa yang kau inginkan!” Kigali menegur.

Joko tersadar dan cepat dekatkan bayi di tangannya 

ke dada. Dengan tangan kiri menopang sosok si bayi, 

tangan kanan Joko bergerak ke arah pusar bayi. Tan-

gan dan dadanya berdebar kala dia teringat kegagalan 

Umbu Kakani dan Kigali serta Pitaloka untuk men-

gambil benda merah pada pusar bayi.

“Hilangkan perasaan bimbang dan ragu, Anak Mu-

da!” Kigali kembali berucap melihat keraguan pada si-

kap Joko. “Kau belum mencobanya! Tiap orang dicip-

takan punya kelebihan dan kekurangan. Siapa tahu 

kau punya yang lebih dalam urusan ini!”

Dengan salurkan tenaga dalam pada tangan kanan, 

Joko mulai menyentuh benda merah di pusar bayi. La-

lu menariknya perlahan-lahan. Sesaat pusar bayi tam-

pak terangkat.

Kigali, Putri Kayangan, Pitaloka, dan Nyai Tandak 

Kembang yang telah luruskan kepala menatap bersa-

ma dengan wajah tegang dan menahan napas. Saat 

lain keempat orang ini menghela napas lega tatkala 

melihat kulit di sekitar pusar bayi yang tadi terangkat 

telah kembali ke asalnya. Dan benda merah bulat se-

besar kelereng itu telah lenyap berpindah ke tangan 

kanan Pendekar 131.

Kigali segera melangkah maju. “Pendekar 131.... 

Saat Pitaloka mengandung, dia telah memberikan bayi 

dalam kandungannya padaku. Walau dia sudah tidak 

bernyawa lagi, izinkan aku untuk menggendong dan 

menguburkannya....”

Murid Pendeta Sinting memandang pada Pitaloka 

dan Nyai Tandak Kembang. Di sebelahnya Kigali sudah 

ulurkan kedua tangannya dengan mata berkaca-kaca.


Pitaloka anggukkan kepala. Nyai Tandak Kembang 

tak kuasa untuk buka mulut. Hingga dia pun hanya 

memberi isyarat dengan gerakkan kepala mengangguk.

Perlahan-lahan Pendekar 131 Joko Sableng berikan 

bayi dalam pelukannya pada Kigali yang kemudian 

mendekapnya. Pitaloka dan Nyai Tandak Kembang tak 

bisa menahan haru. Kedua perempuan cucu dan ne-

nek ini sama teteskan air mata lalu saling berpelukan.

Putri Kayangan yang sejak tadi sudah sesenggukan se-

gera pula merangkul sosok Pitaloka dan Nyai Tandak 

Kembang.

“Pitaloka.... Beda Kumala.... Kita harus segera ting-

galkan tempat ini. Kita kembali ke lereng Gunung Se-

meru. Hidup di luar lereng Gunung Semeru nyatanya 

tidak menambah kedamaian! Justru mendatangkan 

bencana dan malapetaka....” Nyai Tandak Kembang 

berbisik pada Pitaloka dan Putri Kayangan yang sama 

merangkul dirinya.

“Eyang.... Kalau kau masih memberiku kesempatan 

untuk hidup, kuharap Eyang mau menuruti satu per-

mintaanku....” Pitaloka berkata dengan usap air mata-

nya.

“Dari dulu mana aku pernah tidak turuti permin-

taan kalian berdua?!” sahut Nyai Tandak Kembang lalu 

perlahan-lahan melepaskan rangkulan Pitaloka dan 

Putri Kayangan. Memandang sejenak pada kedua cu-

cunya lalu sambung ucapan. “Tapi setelah kejadian ini, 

aku akan turuti permintaan kalian selain minta untuk 

turun dari lereng Gunung Semeru....”

Pitaloka dan Putri Kayangan sama terdiam. Namun 

dada kedua gadis ini dilanda perasaan berlainan. Di-

am-diam Pitaloka membatin.

“Aku sudah bersumpah untuk membalas pada ma-

nusia keparat pemakai Jubah Tanpa Jasad! Maksudku 

tidak akan tercapai kalau Eyang tidak mengizinkan


aku turun lereng Gunung Semeru lagi.... Hem.... Sebe-

lum pulang ke lereng Gunung Semeru, aku harus da-

pat melakukan maksudku! Apa pun caranya akan ku-

lakukan....”

Kalau Pitaloka membatin begitu, diam-diam Putri 

Kayangan juga berkata dalam hati. “Kalau Eyang tidak 

mengizinkan lagi turun lereng Gunung Semeru, berarti 

aku tidak bisa bertemu dengan....” Putri Kayangan tak 

lanjutkan kata hatinya. Dia melirik pada murid Pende-

ta Sinting yang saat itu tengah selinapkan tangan ka-

nan ke balik pakaiannya.

Putri Kayangan menghela napas panjang. “Mung-

kinkah aku bisa memendam perasaan di lereng Gu-

nung Semeru yang sunyi?! Seandainya aku tidak ber-

temu dengan Pendekar 131.... Mungkin aku senang 

hidup damai di sana. Tapi kini.... Sanggupkah aku me-

lakukannya?”

“Kalian mungkin keberatan dengan ucapanku!” Nyai 

Tandak Kembang berkata seolah bisa menangkap be-

nak Pitaloka dan Putri Kayangan. “Tapi itu harus ka-

lian lakukan.... Aku tidak mau lagi menerima malape-

taka lebih besar! Aku sudah tua... Aku tak ingin akhir 

usiaku dipenuhi dengan ketegangan apalagi bencana! 

Kuharap kalian mengerti....”

“Eyang.... Aku mengerti!” ujar Pitaloka pelan seraya 

melirik pada Putri Kayangan. Saat itu Putri Kayangan 

tengah melirik pada Pendekar 131. “Hemm.... Beda 

Kumala pasti merasa keberatan jika harus berpisah 

dengan pemuda itu.... Ini gara-gara aku....” Pitaloka 

membatin lalu berkata teruskan ucapannya. “Tapi se-

belum kembali ke lereng Gunung Semeru, aku minta 

waktu pada Eyang! Ada sesuatu yang harus kuselesai-

kan!”

“Apa pun urusannya, kalau memang ada kita sele-

saikan bersama-sama!”


Pitaloka gelengkan kepala. “Tidak, Eyang. Ini harus 

kuselesaikan sendiri!”

Kini ganti Nyai Tandak Kembang yang geleng kepa-

la. “Aku tak ingin kau lakukan sesuatu tanpa kuketa-

hui!”

“Eyang.... Aku telah melakukan kesalahan dan tahu 

apa akibatnya! Adalah tolol bila aku mengulangi kesa-

lahan yang kedua kalinya! Harap Eyang kali ini per-

caya padaku!”

“Baik! Tapi katakan dahulu apa yang akan kau la-

kukan!”

“Eyang.... Untuk yang satu ini biarlah aku sendiri 

yang tahu.... Percayalah. Bila telah selesai, aku akan 

segera menyusulmu ke lereng Gunung Semeru. Jika 

tidak, rasanya aku tak bisa hidup tenang di sana!”

“Pitaloka! Kau akan membalas dendam?!” tanya 

Nyai Tandak Kembang dapat menebak maksud Pita-

loka.

Namun tampaknya Pitaloka maklum jika mengaku 

terus terang maka Nyai Tandak Kembang akan meng-

halangi. Seraya gelengkan kepala perlahan dia beru-

cap.

“Dendam dalam dadaku memang tidak akan punah 

sampai aku menutup mata. Tapi adalah bodoh jika 

aku melakukan hal itu, Eyang! Aku tahu siapa manu-

sia keparat itu. Hanya buang-buang nyawa jika aku 

melawannya! Lebih-lebih lagi kurasa Pendekar 131 ti-

dak akan tinggal diam....”

Nyai Tandak Kembang kerutkan dahi coba men-

duga-duga apa maksud sebenarnya Pitaloka. “Kau 

punya seorang kekasih?!”

Pitaloka tersenyum datar. Namun justru paras Putri 

Kayangan yang berubah. Dada gadis ini berdebar dan 

alihkan pandangannya seraya menunggu jawaban Pi-

taloka.


“Eyang.... Seandainya pun aku punya seorang ke-

kasih, aku tak pantas lagi untuk menemuinya! Aku 

sadar siapa diriku sekarang.... Bahkan mungkin aku 

sudah tak ingin lagi punya pendamping sampai akhir 

usiaku nanti....”

Nyai Tandak Kembang merasa trenyuh mendengar 

ucapan Pitaloka. Dia menarik napas panjang. Lalu be-

rucap pelan.

“Pitaloka.... Aku mengerti perasaanmu. Tapi kuha-

rap kau mau berterus terang padaku. Aku tak ingin 

menantimu dengan perasaan cemas dan khawatir!”

“Eyang.... Kau tak perlu khawatir. Atau kalau kau 

belum percaya padaku, izinkan Beda Kumala untuk 

pergi bersamaku....”

Beda Kumala alias Putri Kayangan terkejut. Nyai 

Tandak Kembang berpikir sesaat. Lalu berkata. “Baik-

lah.... Kalian berdua kuizinkan menyusul. Tapi kalian 

cuma kuberi waktu satu purnama! Selesai atau tidak 

urusanmu, kalian harus kembali ke lereng Gunung 

Semeru!”

Saat itulah tiba-tiba dari arah depan terdengar ben-

takan. “Mengapa kau diam saja?! Mengapa tidak kau 

lakukan apa yang kuperintahkan?!”

Yang perdengarkan bentakan ternyata Lingga Bua-

na. Begitu dia terhuyung-huyung laki-laki berambut 

putih jabrik ini sempat melihat Pendekar 131 membe-

rikan bayi Pitaloka pada Kigali.

Malaikat Berkabung sendiri sebenarnya melihat ba-

gaimana murid Pendeta Sinting mengambil bayi dari 

tangan Pitaloka. Dia sudah hendak berkelebat. Namun 

tiba-tiba hatinya bimbang apalagi tatkala melirik pada 

rombongan Dayang Sepuh.

“Aku mungkin dapat berkelebat ke sana. Tapi jaha-

nam-jahanam tua bangka itu tentu tidak akan tinggal 

diam! Aku telah terluka.... Kalau aku memaksakan di


ri, aku hanya akan mati konyol!” Malaikat Berkabung 

membatin. Hingga pada akhirnya dia hanya bisa tegak 

melihat tanpa berbuat apa-apa.

Lingga Buana pentangkan mata menatap pada Pen-

dekar 131. Walau tidak tahu persis apa yang terjadi, 

namun dia tampaknya sudah bisa membaca gelagat 

orang.

“Kalau bayi itu sudah dikembalikan pada orang 

lain, berarti apa yang diinginkannya sudah diambil! 

Keparat betul! Ini gara-gara perempuan itu!” Lingga 

Buana alihkan pandang matanya pada Umbu Kakani. 

Semua kemarahannya kini ditumpahkan pada perem-

puan yang beberapa puluh tahun silam pernah men-

cintainya.

Sementara di hadapannya, Umbu Kakani tersenyum 

dingin. “Lingga Buana! Kau masih berprasangka hi-

tunganmu benar?!” Umbu Kakani gelengkan kepala. 

“Jangankan untuk mengambil benda itu, menyentuh 

pun kau tak akan sampai!”

Dada Lingga Buana laksana terbakar. Namun orang 

tua ini masih berpikir tenang. “Kalau aku turuti pe-

rempuan ini, aku tak akan mendapat benda itu!” Per-

lahan-lahan niat semula yang hendak langsung meng-

habisi Umbu Kakani ditangguhkan. Sebaliknya ia meli-

rik pada Pendekar 131.

Tanpa diduga, tiba-tiba Lingga Buana berkelebat ke 

depan. Bukan ke arah Umbu Kakani, melainkan ke 

arah murid Pendeta Sinting!

***


LIMA


UMBU Kakani tidak tinggal diam, dia segera hen-

takkan pantat. Sosoknya berkelebat memotong gera-

kan Lingga Buana.

Lingga Buana marah besar. Dia kerahkan hampir 

segenap tenaga dalamnya. Didahului bentakan meng-

gelegar, dia sentakkan kedua tangannya. Dia tidak 

mau lagi bentrok langsung. Dia lepas pukulan jarak 

jauh meski jarak keduanya hanya lima langkah!

Wuutt! Wuuuutt!

Dua gelombang kabut tipis putih mencuat menggi-

dikkan ke arah sosok Umbu Kakani yang berkelebat 

memotong. Pendekar 131 sudah hendak berkelebat 

menghadang. Namun apa pun yang akan dilakukan 

sudah terlambat untuk bergerak. Selain cuatan gelom-

bang itu begitu cepat, sosok Umbu Kakani terus mela-

ju, membuat jarak pukulan dengan sasaran makin ce-

pat dan dekat. Hingga akhirnya murid Pendeta Sinting 

hanya dapat memandang dengan perasaan khawatir. 

Pitaloka tak kalah cemasnya. Dia juga sudah berniat 

membantu. Namun tangan Nyai Tandak Kembang ce-

pat menghalangi.

“Pitaloka.... Percuma! Jarak mereka sudah terlalu 

dekat! Bahkan kalau salah, akan lebih celaka!”

Di depan sana. Umbu Kakani bukannya merubah 

arah kelebatan. Sebaliknya teruskan kelebatan lurus 

ke arah Lingga Buana. Hingga tanpa ampun lagi ge-

lombang kabut putih tipis mengarah tepat ke arahnya!

Setengah depa lagi kabut putih tipis menggebrak, 

tiba-tiba Umbu Kakani tarik dadanya ke belakang. 

Saat lain seraya perdengarkan seruan garang, dia sen-

takkan dadanya ke depan.

Betttt!


Satu gelombang berkiblat dari dada Umbu Kakani 

menghadang kabut putih tipis. Hebatnya dan sungguh 

di luar dugaan semua orang, begitu sentakkan dada, 

Umbu Kakani sentakkan bahunya. Hingga sosoknya 

makin kencang berkelebat ke depan menyusuli gelom-

bang dari dadanya!

Bummm!

Ledakan keras terdengar bergemuruh. Kabut tipis 

dan gelombang sama semburat dan menebar ke Sean-

tero ruangan. Semua mata membelalak. Bukan karena 

melihat bentroknya dua pukulan, melainkan meman-

dang bagaimana sejengkal lagi dua pukulan bertenaga 

dalam itu bertemu, Umbu Kakani sekali lagi hentakkan 

bahu. Hingga sosoknya melesat melewati dua pukulan 

yang hendak bentrok!

Begitu terdengar gelegar, sosok Umbu Kakani men-

celat lurus ke depan seolah mengejar sosok Lingga Bu-

ana yang juga mental ke belakang.

Lingga Buana terkesiap kaget. Karena sosok Umbu 

Kakani lebih dekat dengan terjadi benturan, maka 

mentalan sosok Umbu Kakani lebih deras lesatannya 

dibanding mentalan sosok Lingga Buana.

Lingga Buana cepat kelebatkan kedua tangannya. 

Namun karena harus imbangi diri agar tidak jatuh ter-

kapar, gerakannya terlambat.

Bukkkk!

Kepala Umbu Kakani menghantam deras dada Ling-

ga Buana. Namun Lingga Buana masih sempat han-

tamkan kedua tangannya ke arah lambung Umbu Ka-

kani.

Bukkkk! Bukkkk!

Sosok Umbu Kakani mencelat lagi ke belakang. Da-

rah sudah tampak menyembur dari mulutnya sebelum 

sosoknya sendiri melayang jatuh. Dan karena sudah 

tak dapat kuasai diri, perempuan ini tidak berusaha


membuat gerakan apa-apa meski tahu sosoknya hen-

dak jatuh menghantam lantai.

Saat itulah satu bayangan putih berkelebat me-

nyongsong sosok Umbu Kakani. Lalu menurunkan pe-

rempuan itu perlahan-lahan ke atas lantai.

“Kau sudah dapatkan benda itu, Pendekar 131?!” 

tanya Umbu Kakani tersendat karena banyaknya da-

rah yang menyembur dari mulutnya.

Pendekar 131 yang ternyata telah menghadang 

menghantamnya sosok Umbu Kakani dan kini letak-

kan Umbu Kakani di atas pangkuannya gerakkan ke-

pala mengangguk.

“Jangan banyak bicara dahulu, Nek! Aku akan alir-

kan tenaga dalam untuk....”

Umbu Kakani gelengkan kepala pelan. “Tak ada gu-

nanya, Pendekar 131. Aku sudah tahu apa akibat-nya. 

Tapi aku merasa lega. Setidaknya aku bisa me-lakukan 

sesuatu untuk arwah guruku.... Satu pintaku.... Jan-

gan biarkan jahanam itu merebut benda itu dari tan-

ganmu.... Aku tahu.... Dia masih menyimpan ilmu.... 

Berhati-hatilah menghadapinya!”

Habis berucap begitu, sepasang mata Umbu Kakani 

memejam. Sosoknya mengejang sesaat sebelum akhir-

nya diam tak bergerak-gerak lagi.

Pitaloka segera melompat disusul kemudian oleh 

Putri Kayangan. Pitaloka berteriak memanggil-manggil 

seraya mengguncang sosok Umbu Kakani.

Joko menahan tangan Pitaloka. “Dia sudah mening-

gal, Pitaloka....”

Pitaloka menahan napas lalu rebahkan kepalanya 

pada dada Umbu Kakani. Tangisnya meledak. “Dia 

dengan susah payah menolong kelahiran anakku.... 

Padahal dia tidak bisa gunakan kedua tangannya.... 

Aku belum bisa membalas budinya.... Tapi....”

“Sudahlah, Pitaloka.... Bahaya belum selesai. Harap


kau dan Putri Kayangan membawanya ke samping 

orang tua yang membawa bayimu!” ujar murid Pendeta 

Sinting.

Pitaloka angkat kepalanya lalu berpaling ke arah 

Lingga Buana. Pendekar 131 Joko Sableng segera men-

cekal lengan Pitaloka begitu mengetahui maksud gadis 

itu. “Kau masih perlu istirahat.... Biar aku yang me-

nyelesaikannya!”

Putri Kayangan memandang pada Joko. Joko ang-

gukkan kepala. Paras si gadis berubah. “Rasanya sulit 

aku akan bisa melupakannya....” Diam-diam Putri 

Kayangan membatin. Lalu menoleh pada Pitaloka dan 

berkata.

“Benar, Pitaloka. Tubuhmu masih lemah.... Jangan 

paksakan diri! Nenek ini perlu dikuburkan.... Begitu 

juga anakmu!”

Seraya berucap, tangan Putri Kayangan lepaskan 

cekalan tangan Joko pada lengan Pitaloka. Ada getaran 

aneh yang menjalar hingga dadanya. Diam-diam Putri 

Kayangan teringat saat bergenggaman tangan dengan 

Joko di dalam hutan namun belum sampai lama men-

dadak muncul Nyai Tandak Kembang. Ingat hal itu Pu-

tri Kayangan jadi tersenyum sendiri. Dia memandang 

pada murid Pendeta Sinting. Saat itu Joko sendiri ten-

gah pandangi wajah Putri Kayangan. Untuk beberapa 

saat kedua orang ini saling pandang tanpa ada yang 

buka suara.

“Kuharap kalian nanti berbahagia!” Tiba-tiba Pita-

loka bergumam pelan. Tangan kanannya terangkat lalu 

diletakkan di atas tangan Putri Kayangan yang saat itu 

tengah memegang tangan Pendekar 131.

Putri Kayangan tak bisa menahan perasaan. Paras-

nya merah padam. Namun dia tidak berusaha menarik 

tangannya. Di lain pihak, Joko jadi salah, tingkah. 

Apalagi dia tahu Nyai Tandak Kembang pasti melihat


nya.

“Setan!” Tiba-tiba terdengar teriakan dari seberang 

sana. “Sekarang bukan saatnya main pegang-

pegangan!” Yang berteriak bukan lain adalah Dayang 

Sepuh.

“Benar! Musim bercinta belum datang! Tunggulah 

sampai semuanya beres. Percayalah.... Angin pasti ber-

lalu! Eh, maksudku badai pasti berlalu!” timpal Dewi 

Ayu Lambada.

“Lagi pula tak pantas mengiringi perkabungan den-

gan kemesraan begitu! Simpan dahulu masing-masing 

rasa di dalam dada! Yakinlah.... Ini rindu ha-nya 

buatmu!” Iblis Ompong menyahut.

“Ukkk! Uuukkk! Uuukkk!” Dewa Uuk ikut buka mu-

lut. Kedua tangannya diangkat ke atas membuat gera-

kan seperti orang tengah melantunkan nyanyian syair.

Putri Kayangan tersentak dan buru-buru tarik tan-

gannya dengan raut merah padam. Joko tak kalah ka-

getnya dan jadi salah tingkah. Dia tarik pula tangan-

nya sambil cengar-cengir dan melirik pada Nyai Tan-

dak Kembang.

“Angkat nenek Umbu Kakani menjauh dari sini...,” 

kata Joko.

Pitaloka dan Putri Kayangan segera lakukan ucapan 

murid Pendeta Sinting. Mengangkat pelan-pelan sosok 

mayat Umbu Kakani mendekat pada Kigali dan Nyai 

Tandak Kembang.

Di seberang depan sana, sosok Lingga Buana tam-

pak tegak bersandar pada kedua tangan Malaikat Ber-

kabung. Ketika Lingga Buana mencelat terhuyung aki-

bat benturan kepala Umbu Kakani pada dadanya, so-

sok Lingga Buana memang mencelat terhuyung ke be-

lakang. Saat itulah Malaikat Berkabung melompat lalu 

menahan sosok Lingga Buana. Hingga selamatlah 

Lingga Buana dari benturan dengan lantai ruangan.


Namun benturan kepala Umbu Kakani tak urung 

membuat parasnya berubah dan mulutnya kucurkan 

darah lagi!

“Kau kurang waspada!” kata Lingga Buana pada 

Malaikat Berkabung. “Benda itu sekarang ada pada 

Pendekar 131! Ini akan membuat usaha makin sulit!”

“Tapi kita masih mampu merebutnya!” sahut Malai-

kat Berkabung.

“Hanya dengan jurus ‘Tangga Bertingkat’ kita mam-

pu melakukannya! Cepat siapkan tenaga dalam! Kita 

hantam dia dengan jurus ‘Tangga Bertingkat’!” kata 

Lingga Buana.

Malaikat Berkabung melepas tahanan kedua tan-

gannya pada punggung Lingga Buana. Lalu melompat 

dan tahu-tahu telah duduk bersila di hadapan Lingga 

Buana dengan kedua tangan menakup di depan dada. 

Sepasang matanya terpejam rapat.

Lingga Buana pandangi sesaat sosok Pendekar 131 

yang bergerak bangkit di depan sana. Saat lain orang 

tua berambut putih jabrik ini membuat gerakan satu 

kali. Sosoknya tiba-tiba sudah berada di atas tubuh 

Malaikat Berkabung. Kedua kakinya mengapit leher si 

pemuda dan masuk ke sela antara dada dan kedua 

tangan Malaikat Berkabung. Kedua tangannya disatu-

kan terbuka di depan dada. Matanya sudah terpejam.

“Hem.... Mungkin inilah yang dikatakan Nenek Um-

bu Kakani. Lingga Buana-masih menyimpan ilmu!” ka-

ta Joko dalam hati. “Kalau aku menggunakan pukulan 

‘Lembur Kuning’, mungkin belum bisa menghalau me-

reka! Akan kuhadang dengan ‘Serat Biru’!”

Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting cepat kerah-

kan tenaga dalam pada tangan kirinya. Kejap itu juga 

tangan kiri Joko laksana dialiri sinar biru terang. In-

ilah tanda kalau murid Pendeta Sinting siap lepaskan 

pukulan ‘Serat Biru’.


Nyai Tandak Kembang memandang dengan picing-

kan sedikit matanya. Pitaloka sedikit cemas. Tapi yang 

paling terlihat gelisah adalah Putri Kayangan. Dia me-

mandang tak berkesip. Bila turutkan kata hati rasanya 

dia ingin melompat dan membantu. Namun dia sadar 

hal itu tak mungkin dilakukannya. Apalagi ada Nyai 

Tandak Kembang. Tapi diam-diam dia kerahkan pula 

tenaga dalam dan berbisik pada Pitaloka. “Pitaloka! 

Kau pegangi erat-erat nenek ini!”

Tanpa bertanya rupanya Pitaloka sudah maklum 

apa yang akan dilakukan saudara kembarnya. Hingga 

dia hanya anggukkan kepala.

Di tempat lain, Dayang Sepuh berpaling pada Dewi 

Ayu Lambada. “Tegak berbaris ini sudah tak perlu lagi! 

Sekarang kita tinggal nonton setan-setan itu!” Dayang 

Sepuh melompat.

Karena kedua tangan Dewi Ayu Lambada masih 

menekan punggung Dayang Sepuh dan Dayang Sepuh 

melompat secara tiba-tiba, membuat Dewi Ayu Lamba-

da terlengak. Sosoknya terhuyung ke depan dan ham-

pir saja menyusup ke lantai ruangan. Untung si nenek 

cepat kuasai diri. Sebelum sosoknya menghantam lan-

tai, dia kebutkan julaian bagian bawah kerudung hi-

tamnya yang ada di bagian perut. Sosoknya membal ke 

udara lalu melayang turun dan tegak di samping 

Dayang Sepuh.

“Kalau mau hindarkan orang, bilang-bilang dulu!” 

Dewi Ayu Lambada sudah mengomel begitu tegak. 

“Kau lihat sendiri, hampir saja aku cekakakan! Eh, 

maksudku hampir saja aku kecelakaan!”

Di lain pihak, karena pantat Iblis Ompong yang me-

nungging menempel dan bersandar pada pantat Dewi 

Ayu Lambada, begitu sosok Dewi Ayu Lambada ter-

huyung ke depan, Iblis Ompong tersentak. Karena tan-

gannya tidak lagi mencekal pundak Dewa Uuk yang


duduk di hadapannya melainkan tekap hidungnya 

akibat bau kencing dari tubuh Dewa Uuk, membuat 

sosok Iblis Ompong tertarik ke belakang dan akhirnya 

sosok orang tua tak bergigi ini terjengkang di atas lan-

tai.

Yang sial adalah Dewa Uuk. Dengan Iblis Ompong 

terjengkang, maka kedua kakinya terjungkat ke atas. 

Padahal Dewa Uuk tepat duduk di hadapan Iblis Om-

pong hingga tanpa ampun lagi kedua kaki Iblis Om-

pong yang terangkat ke atas menghantam sosok Dewa 

Uuk!

Bukkkk!

“Uuukkk!” Dewa Uuk perdengarkan suara. Sosok-

nya mencelat ke belakang dengan kedua kaki terjung-

kat. Namun Dewa Uuk tampaknya tak mau tinggal di-

am. Saat kedua kakinya terangkat akibat tubuhnya 

terdorong, Dewa Uuk cepat luruskan kedua kakinya 

dan ditengadahkan ke arah kedua kaki Iblis Ompong 

yang baru saja menghantam tubuhnya.

Bukkk!

Kedua kaki Iblis Ompong yang berada di atas udara 

terpental, membuat sosok Iblis Ompong jungkir balik 

di atas lantai ruangan! Namun begitu jungkir balik dua 

kali, Iblis Ompong sentakkan kedua tangannya mene-

kan ke atas lantai. Sosoknya melesat dan tahu-tahu te-

lah tegak di samping Dewi Ayu Lambada. Namun orang 

tua ini bukannya menghadap ke depan melainkan ke 

belakang!

Sementara di belakang sana Dewa Uuk juga tergul-

ing-guling. Tapi begitu sosoknya hendak terhenti, 

mendadak orang tua bisu dan tuli ini membuat gera-

kan satu kali.

Wuuuttt!

Tubuh Dewa Uuk berkelebat ke depan lalu duduk 

bersila di samping Iblis Ompong.


“Kau tak apa-apa?!” teriak Iblis Ompong pada Dewa 

Uuk.

Dewa Uuk menoleh dengan tadangkan kedua tan-

gan di belakang kedua telinganya. Lalu tertawa sambil 

anggukkan kepala.

“Untung adikmu tidak mendapat cedera! Kalau 

main-main jangan keterlaluan! Kalau dia tadi men-

dapat cedera, pasti aku yang disalahkan! Padahal kau 

yang buat ulah!” Iblis Ompong menyemprot pada Dewi 

Ayu Lambada.

“Sialan! Mengapa kau salahkan aku?! Dia yang 

memulai! Melompat tanpa bilang-bilang!” sahut Dewi 

Ayu Lambada membela diri dengan suara keras. Lalu 

berpaling pada Dayang Sepuh.

“Gara-gara kau, aku disalahkan orang katanya 

hendak mencelakai adik sendiri!”

Dayang Sepuh menoleh dengan mata dipentangkan. 

Bukan ke arah Dewi Ayu Lambada melainkan pada 

Dewa Uuk.

“Setan macam begitu rupanya pandai juga menga-

du! Akan kubuat mulut setannya tak bisa mengadu 

dan membuat orang saling bermusuhan!” bentak 

Dayang Sepuh.

“Sudah! Sudah! Lihat pertunjukan akan segera di-

mulai!” Iblis Ompong menengahi seraya tekuk tubuh-

nya hingga membuat sikap menungging dan meman-

dang ke depan lewat sela kedua kakinya yang dibuka 

lebar-lebar!

Dayang Sepuh sentakkan kepala menghadap ke de-

pan seraya rapikan poni rambutnya. Sementara tangan 

satunya kibas-kibaskan kelabangan rambutnya.

Dewi Ayu Lambada ikut pula hadapkan wajahnya 

ke depan. Kedua tangannya diangkat betulkan keru-

dung hitam di atas kepalanya.

Dewa Uuk angkat bahu lalu hadapkan muka ke de


pan namun sepasang matanya dipejamkan dan raut 

wajahnya membuat mimik ngeri!

***

ENAM



DI DEPAN sana, tiba-tiba hampir bersamaan Malai-

kat Berkabung dan Lingga Buana sama sentakkan ke-

dua tangan masing-masing ke arah murid Pendeta 

Sinting.

Wuutt! Wuutt!

Wuuuut! Wuutt!

Terdengar deruan gelombang dahsyat laksana amu-

kan badai. Kabut hitam dan putih tipis berkiblat 

menggidikkan. Hebatnya, begitu gelombang kabut hi-

tam dan putih melesat, saat lain dari kedua tangan 

masing-masing orang kembali cuatkan gelombang ka-

but hitam dan putih! Itu pun tak lama, kejap lain 

kembali kabut hitam dan putih melesat! Inilah keheba-

tan jurus ‘Tangga Bertingkat’. Hanya dengan sekali 

sentakan, namun pukulan yang melesat keluar tiga 

kali berturut-turut!

Mendapati hal demikian, kalau pada mulanya Joko 

hanya siapkan pukulan ‘Serat Biru’ pada tangan kiri-

nya, kini dia salurkan tenaga dalam pula pada tangan 

kanannya dan siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’. 

Hingga ketika kedua tangannya mendorong, dari tan-

gan kiri Joko melesat serat-serat biru laksana benang. 

Tidak perdengarkan suara atau gelombang angin yang 

dahsyat. Sementara dari tangan kanan murid Pendeta 

Sinting menderu gelombang laksana hamparan ombak 

disertai melesatnya sinar kuning terang yang memba-

wa hawa menyengat panas luar biasa.

Dentuman-dentuman dahsyat memekakkan gen-

dang telinga memecah ruangan di bawah Lembah Pa-

tah Hati itu. Ruangan laksana digoyang gempa luar bi-

asa dahsyat. Dinding-dinding ruangan perdengarkan 

suara gemeretak rengkah. Lobang di atas sana kembali 

longsor hingga lobangnya semakin lebar.

Kabut hitam dan putih bertebaran ke Seantero 

ruangan disusul bertaburnya serat-serat biru dan ki-

lauan sinar kuning. Sosok murid Pendeta Sinting men-

celat sampai tiga tombak ke belakang dan menghan-

tam dinding ruangan sebelum akhirnya jatuh terduduk 

dengan punggung bersandar pada dinding. Dari mu-

lutnya semburkan darah. Air mukanya pucat pasi lak-

sana tidak dialiri darah. Kedua tangannya lunglai se-

perti tak punya tenaga. Dadanya turun naik bergun-

cang-guncang. Mulutnya yang-semburkan darah m-

gap-megap!

Di seberang sana, sosok Lingga Buana terpental da-

hulu disusul kemudian oleh Malaikat Berkabung. Wa-

jah guru dan murid ini pias putih. Dari masing-masing 

mulutnya kucurkan darah. Sosok mereka bergetar he-

bat. Sepasang mata mereka terpejam terbuka dengan 

mulut perdengarkan erangan tertahan.

Karena sebelumnya sudah terluka dalam, mereka 

memerlukan waktu agak lama untuk dapat bergerak 

bangkit. Malah sesaat keduanya terhuyung-huyung 

saat kakinya tegak. Sementara di depan, dengan tum-

pukan kedua tangannya ke dinding di belakangnya, 

Joko sudah merambat tegak terlebih dahulu dan ke-

rahkan tenaga dalam mengatasi rasa sakit pada dada. 

Lalu menutup jalan mulutnya hingga aliran darah ter-

henti.

Beberapa saat berlalu. Puti Kayangan yang semakin 

gelisah mendapati Joko terluka tampak mondar-man-

dir dan sesekali melirik pada Nyai Tandak Kembang.


Rupanya Nyai Tandak Kembang bisa melihat kegelisa-

han cucunya. Sambil memandang pada Joko dia beru-

cap.

“Beda.... Kau tak perlu berlaku seperti itu.... Kurasa 

dia masih mampu mengatasi diri sendiri! Dan apa kau 

kira aku akan diam saja jika aku tahu dia tak mampu 

menghadang pukulan orang?!”

Putri Kayangan hentikan gerakan kakinya yang me-

langkah mondar-mandir. Walau kini merasa agak lega 

mendengar ucapan Nyai Tandak Kembang, namun ke-

gelisahannya tidak bisa pupus semua.

“Lingga Buana!” Joko angkat bicara. “Turut kete-

rangan Umbu Kakani, seharusnya kau tidak pantas la-

gi berpijak di atas bumi! Tapi kali ini kau dan Malaikat 

Berkabung masih kuberi kesempatan untuk memper-

baiki diri! Tinggalkan tempat ini segera!”

Sambil berkata, Pendekar 131 melangkah maju. En-

tah untuk menggertak orang, dia angkat kedua tan-

gannya.

“Aku sudah terlalu tua untuk digertak apalagi takut 

mati, Pendekar 131! Kau dan teman-temanmu yang 

harus enyah dari tempat ini! Tapi tanpa harus mem-

bawa benda merah itu!” Lingga Buana menyahut den-

gan suara keras dan mata mendelik.

“Kau tak akan mendapatkan apa-apa, Lingga Bua-

na! Bahkan kesempatan untuk hidup pun seharusnya 

tidak layak kau miliki!”

“Ucapan itu pantas kau katakan pada anak bawang, 

Pendekar 131! Dan aku bukan anak ingusan!”

“Kalian dengar ucapannya?!” Tiba-tiba Dayang Se-

puh angkat suara. “Setan jabrik itu mengatakan bukan 

anak ingusan! Padahal baru saja ingusnya menyembur 

dari mulut setannya! Hik.... Hik.... Hik...!”

“Kakek-kakek biasanya memang punya penyakit lu-

pa! Malah kadang-kadang sudah beristri tapi masih ju


ga terbirit-birit mengejar nenek-nenek! Eh.... Maksud-

ku terbirit-birit mengejar gadis ayu!” Dewi Ayu Lamba-

da menimpali.

“Husss! Enak saja kau bicara! Kalau kakek-kakek 

sudah terbirit mengejar gadis, itu bukan karena lupa! 

Tapi sengaja! Kalau nenek-nenek mengejar pemuda itu 

baru namanya lupa diri!” Iblis Ompong menyahut. 

“Bukankah begitu?!” Iblis Ompong berpaling pada De-

wa Uuk.

Dewa Uuk terperanjat lalu tadangkan kedua tangan 

di belakang telinganya dan manggut-manggut.

“Lingga Buana!” Joko kembali perdengarkan suara. 

“Kita masih punya acara lain. Jadi lekas ambil kesem-

patan yang kuberikan!”

“Kau tak akan teruskan acaramu! Karena acara 

perkabunganmu akan tiba!”

Suara Lingga Buana belum selesai, orang tua be-

rambut putih jabrik ini sudah melesat ke depan. Dari 

bentrokan tenaga dalam tadi, tampaknya dia sudah 

sadar kalau tenaganya tak mungkin lagi menghadapi 

tenaga dalam murid Pendeta Sinting, apalagi dia telah 

terluka dalam cukup parah. Maka dia kini melesat co-

ba bertarung jarak dekat.

Joko tidak mau bertindak ayal. Meski Lingga Buana 

sudah terluka dalam, namun bagaimanapun juga pu-

kulannya terlalu berbahaya jika dibiarkan. Maka begi-

tu Lingga Buana melesat ke depan, Joko segera me-

nyongsong.

Lingga Buana angkat kedua tangannya. Joko ikut 

angkat kedua tangan. Namun kali ini Joko tertipu. Se-

cepat kilat Lingga Buana bergerak ke bawah. Tapi ini 

adalah kesalahan fatal yang dibuat Lingga Buana. 

Tangan kiri kanannya memang berhasil menggebuk 

lambung murid Pendeta Sinting. Namun saat itu juga 

kedua tangan Joko yang terangkat tidak terhalang lagi


untuk menggebrak kepala dan dada Lingga Buana.

Bukkk! Bukkk!

Prakkk! Prakkk!

Pendekar 131 berseru tertahan. Sosoknya terpental 

dan jatuh terduduk. Pakaian bagian lambung kanan 

kirinya robek menganga. Joko cepat kerahkan tenaga 

dalam lalu selinapkan tangan kanan ke balik pakaian. 

Dia menarik napas lega ketika tangannya masih me-

nyentuh benda merah yang tadi diambil dari pusar 

bayi Pitaloka.

Sementara di depan, sosok Lingga Buana tampak 

limbung lalu jatuh terkapar dengan kepala kucurkan 

darah. Mulut dan hidungnya pun semburkan darah 

kental. Malaikat Berkabung cepat melompat. Namun 

begitu kedua tangannya menyentuh tubuh Lingga Bu-

ana, orang tua berambut jabrik ini berseru tertahan. 

Kedua kakinya meregang. Saat lain seruannya terpu-

tus dan kedua kakinya diam kaku! Nyawa laki-laki 

yang pernah dicintai Umbu Kakani ini melayang.

Kuduk Malaikat Berkabung merinding dingin. Dia 

melirik pada Joko yang telah bangkit dan melangkah 

ke arahnya. Malaikat Berkabung cepat tegak. Nyalinya 

sudah menciut. Namun karena keadaan, akhirnya dia 

kerahkan tenaga dalam dan nekat hendak menghadapi 

murid Pendeta Sinting.

“Malaikat Berkabung!” kata Joko. “Cukup sampai di 

sini saja urusan antara kita! Tinggalkan tempat ini dan 

lupakan apa yang telah terjadi!”

Karena sudah maklum tak mungkin menghadapi 

Joko, diberi kesempatan begitu rupa Malaikat Berka-

bung cepat putar diri, malah lupakan apa yang harus 

dilakukan pada sosok mayat Lingga Buana.

Namun Malaikat Berkabung tidak teruskan gera-

kan. Melainkan arahkan pandang matanya pada rom-

bongan Dayang Sepuh. Dada pemuda ini berdebar ke


tika melihat Dayang Sepuh pasang tampang angker 

dengan kedua tangan diletakkan pada pinggang kiri 

kanan.

Di sampingnya, Dewi Ayu Lambada tak tinggal di-

am. Dia rangkapkan kedua tangan di depan dada. Se-

pasang matanya membelalak besar. Lalu angkat kaki 

kanannya dan diletakkan bersilang di atas betis kaki 

kirinya. Mulutnya menyeringai dingin.

Iblis Ompong cepat balikkan tubuh. Kalau biasanya 

mulut dibuka lebar-lebar walau tidak perdengarkan 

suara, kali ini si orang tua tak bergigi ini katupkan 

mulut rapat-rapat. Kedua tangannya diangkat ke atas. 

Kedua kakinya membuat kuda-kuda siap melompat.

Di sebelah Iblis Ompong, Dewa Uuk yang sedari tadi 

pejamkan matanya perlahan-lahan buka kelopak ma-

tanya. Saat bersamaan dia melompat bangkit. Sosok-

nya disorongkan ke depan. Tangan kanan diangkat ke 

atas tangan kiri diluruskan dengan telapak terbuka lu-

rus ke arah Malaikat Berkabung.

Malaikat Berkabung tercekat. Sosoknya bergetar. 

Dia hendak buka mulut namun yang dilakukannya ju-

stru menggigit atas bawah bibirnya!

“Aku datang bersama air kencing!

Aku datang dengan naungan air kencing dan

air kencing lagi!

Aku datang dari lembah air kencing!

Air kencing akan jadi saksi mati.

Saksi dari aliran air kencing anak manusia!”

Dayang Sepuh berucap lantunkan syair seperti yang 

biasa diucapkan Malaikat Berkabung. Namun sebagian 

kalimatnya dirubah. Saat lain Dayang Sepuh tertawa 

bergelak. Dewi Ayu Lambada sesaat pandangi Malaikat 

Berkabung pada bagian bawah tubuhnya. Tiba-tiba


tawa nenek berkerudung hitam ini meledak keras!

Iblis Ompong cepat tekap hidungnya dengan tarik 

kedua tangannya yang tadi terangkat. Lalu mengomel.

“Sialan! Sialan kau! Sudah gede masih juga terkenc-

ing-kencing di celana!”

“Uuukkk! Uuukkk! Uuukkk!” Dewa Uuk angkat su-

ara. Tangan kirinya yang tadi terbuka dikepalkan den-

gan telunjuk ditegakkan dan menunjuk-nunjuk pada 

celana Malaikat Berkabung. Lalu tawanya menyentak-

nyentak!

Malaikat Berkabung pelan-pelan melirik ke bawah. 

Parasnya merah padam antara takut dan malu. Ter-

nyata karena saking takutnya tanpa terasa dia sudah 

keluarkan air kencing di celana!

Semua orang di ruangan bawah Lembah Patah Hati 

sama tertawa bergelak-gelak.

“Jahanam! Apa boleh buat.... Kalau mereka tak 

membiarkan aku pergi, aku akan menghadapi mere-

ka!” desis Malaikat Berkabung lalu diam-diam kerah-

kan tenaga dalam. Dan mulai melangkah ke arah lo-

bang.

Tepat di samping Dayang Sepuh, Malaikat Berka-

bung sudah siap. Namun ternyata Dayang Sepuh tidak 

membuat gerakan apa-apa, melainkan makin keraskan 

gelakan tawanya.

Malaikat Berkabung teruskan langkah. Dan baru 

berhenti tepat di bawah lobang yang telah makin men-

ganga lebar karena longsor beberapa kali. Malaikat 

Berkabung arahkan pandang matanya ke atas. lalu ke

arah beberapa orang di tempat itu yang masih tertawa

berbahak-bahak.

“Kalian kelak akan merasakan akibatnya!” gumam 

Malaikat Berkabung lalu jejakkan kedua kakinya. So-

soknya melenting ke atas.

Namun baru saja kepalanya hendak melewati lo

bang, tiba-tiba....

“Brusss! Brusss! Brusss!”

Terdengar bersinan tiga kali berturut-turut. Malai-

kat Berkabung tersentak kaget. Bukan saja karena 

terdengarnya suara bersinan, namun bersamaan den-

gan itu sosoknya laksana dilabrak gelombang angin 

dahsyat. Hingga sosoknya kembali melayang ke bawah 

makin deras!

Bukkk!

Malaikat Berkabung terjengkang jatuh. Serentak 

Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada putar diri. De-

mikian juga Dewa Uuk. Hanya Iblis Ompong yang tetap 

hadapkan tubuh ke depan. Namun saat itu juga tubuh 

bagian atasnya menukik ke depan dengan kedua kaki 

direnggangkan. Lalu memandang orang di belakangnya 

dari sela kedua kaki seraya menungging!

Dada Malaikat Berkabung bergemuruh marah. Na-

mun dia tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi kini tahu di 

atas sana masih ada orang lain. Entah karena tak mau 

terus dipermalukan orang, dia kerahkan tenaga dalam 

dan kembali melesat ke atas dengan kedua tangan siap 

lepaskan pukulan.

Namun bersamaan dengan melesatnya Malaikat 

Berkabung dari atas lobang meluncur satu sosok tu-

buh. Untuk kedua kalinya si pemuda terkejut. Ini 

membuatnya lengah dan tak sempat lagi lepaskan pu-

kulan.

“Bruss! Brusss!”

Kembali terdengar bersinan. Lalu sosok yang me-

layang turun terlihat gerakkan kaki.

Bukkkk!

Sosok Malaikat Berkabung kembali melayang deras 

ke bawah, malah kini terpental sebelum akhirnya 

menghantam dinding di belakang sana dan jatuh ter-

kapar!

“Brusss! Brusss! Aku heran.... Mengapa ada orang 

terus menghalangiku!” kata orang yang baru bersin. 

Dia bukan lain adalah Datuk Wahing.

Malaikat Berkabung bangkit tegak terhuyung-

huyung. Melihat Datuk Wahing tidak memandangnya 

bahkan terus arahkan pandang matanya pada rom-

bongan Dayang Sepuh, si pemuda cepat berkelebat la-

lu tegak di bawah lobang. Tanpa menunggu lama lagi 

Malaikat Berkabung segera melesat ke atas. Karena 

tergesa-gesa dan menyangka sudah tidak ada orang la-

gi dia enak saja melesat.

Tapi tiba-tiba satu sosok bayangan besar meluncur 

dari lobang di atas. Saling terkejutnya dan takut han-

taman orang, Malaikat Berkabung tak dapat kuasai di-

ri. Hingga sosoknya limbung dan jatuh melayang lagi 

ke bawah!

Bukkkk!

Sosok Malaikat Berkabung untuk kesekian kalinya 

terjengkang di atas lantai.

“Ada apa, Anak Muda?!” Bertanya sosok besar yang 

baru saja melayang turun dan kini telah tegak di 

samping Dayang Sepuh. Dia adalah seorang kakek be-

rambut putih disanggul tinggi bermata putih. Dia men-

genakan pakaian gombrong warna hijau. Sosoknya 

tambun besar. Pinggangnya dililit ikat pinggang besar 

yang pada bagian perutnya terdapat cermin bulat. 

Orang tua ini tidak lain adalah Gendeng Panuntun.

“Maaf.... Aku tidak berbuat apa-apa padamu! Kau 

jatuh sendiri...,” kata Gendeng Panuntun.

Malaikat Berkabung kancingkan mulut tidak me-

nyahut. Sebaliknya cepat bangkit. Dan tanpa meman-

dang pada orang dia melesat sekali lagi ke atas. Kali ini 

karena khawatir masih ada orang, dia kerahkan sege-

nap tenaga dalam yang dimiliki. Namun Malaikat Ber-

kabung merasa lega, karena sampai sosoknya melewati

lobang, dia tidak menemui hadangan!

***

TUJUH



BEGITU sosok Malaikat Berkabung lenyap di atas 

lobang, Gendeng Panuntun balikkan tubuh mengha-

dap ke arah Pendekar 131 di depan sana.

“Sahabat muda.... Masih ada yang harus kau kerja-

kan! Jangan lama-lama di tempat ini, meski terasa be-

rat kau harus berpisah untuk sementara waktu!”

“Busyet! Dia tampaknya sudah tahu kalau aku be-

rat meninggalkan Putri Kayangan apalagi setelah ini 

mungkin tak bisa bertemu lagi!” Murid Pendeta Sinting 

membatin tahu arah pembicaraan Gendeng Panuntun. 

Tanpa sadar kepalanya berpaling pada Putri Kayangan.

“Bruss! Bruss! Berpisah dengan kekasih memang 

berat.... Apalagi tidak ada kepastian kapan bisa ber-

jumpa lagi! Brusss! Tapi adalah mengherankan kalau 

seseorang harus tenggelam pada kesedihan hati pa-

dahal ada tugas penting di pundaknya demi kepentin-

gan orang banyak!” Datuk Wahing sambungi ucapan 

Gendeng Panuntun.

“Bukan saja mengherankan, tapi dia adalah setan 

tolol kalau sampai mendahulukan cinta daripada ke-

pentingan orang banyak yang tengah terancam!” 

Dayang Sepuh sudah menyahut.

“Betul! Kerjaku akan sia-sia kalau akhirnya hanya 

tergusur urusan cinta!” Dewi Ayu Lambada ikut ambil 

suara. Dan iblis Ompong tak tinggal diam. Dia buka 

mulut pula tanpa angkat kepalanya.

“Urusan cinta memang gampang-gampang susah! 

Tapi kalau aku punya murid yang mendahulukan cinta

daripada tugas, akan kugebuk dia sampai terkencing-

kencing!”

Mendengar ucapan-ucapan beberapa orang di tem-

pat itu, Joko segera berkelebat ke depan. Lalu arahkan 

pandang matanya pada satu persatu orang dan berka-

ta.

“Aku berterima kasih atas bantuan kalian semua! 

Dan harap tidak khawatir atau salah duga. Aku tahu 

apa yang harus kulakukan sekarang!”

Pendekar 131 putar diri, memandang pada Pitaloka, 

Nyai Tandak Kembang, Kigali, dan terakhir pada Putri 

Kayangan. Untuk beberapa saat dia pandangi si gadis 

lalu tersenyum dan anggukkan kepala tanpa berkata 

apa-apa.

Saat lain murid Pendeta Sinting balikkan lagi tu-

buh, lalu berujar.

“Aku akan berangkat sekarang!”

Rombongan Dayang Sepuh tersenyum lalu sama 

anggukkan kepala. Hanya Dewa Uuk yang kerutkan 

dahi dengan kepala tetap diam karena tak mendengar 

ucapan Joko.

Namun tiba-tiba Joko urungkan niat berkelebat. 

Sebaliknya balikkan tubuh lagi menghadap rombongan 

Nyai Tandak Kembang. Kali ini pandang matanya bu-

kannya mengarah pada Putri Kayangan, melainkan 

pada Pitaloka.

Putri Kayangan berdebar. Dia menduga-duga den-

gan gelisah. Joko tersenyum lalu angkat bicara.

“Pitaloka.... Kau tahu di mana manusia pemakai 

Jubah Tanpa Jasad itu?!”

Putri Kayangan menarik napas lega. Pitaloka ang-

gukkan kepala dan menjawab.

“Terakhir kali aku melihatnya di kaki Bukit Kaling-

ga....”

Pendekar 131 tersentak. “Bukit Kalingga.... Astaga!


Bukankah aku pernah bertemu Kiai Laras di sana...? 

Apakah....” Joko tidak lanjutkan gumamannya. Seba-

liknya cepat berbalik, lalu berkelebat. Dia berhenti se-

jenak di bawah lobang. Memandang pada semua orang 

di ruangan, lalu melesat dan lenyap di atas lobang.

Gendeng Panuntun kerjapkan sepasang matanya 

yang putih. Lalu berkata.

“Nyai Tandak Kembang.... Aku sebagai wakil dari 

sahabat-sahabat yang ada di sini minta maaf kalau se-

lama ini bertindak kurang sopan padamu!”

“Ah.... Lupakan semua itu. Justru aku yang berte-

rima kasih padamu serta sahabat-sahabat sekalian!” 

sambut Nyai Tandak Kembang seraya anggukkan ke-

pala menjura.

“Setan! Aku tidak merasa bertindak kurang sopan 

pada setan perempuan itu!” Dayang Sepuh bergumam 

dengan cibirkan mulut.

“Aku pun merasa begitu!” Dewi Ayu Lambada me-

nimpali gumaman Dayang Sepuh.

“Aku juga demikian!” Iblis Ompong ikut-ikutan ber-

gumam.

“Brusss! Brusss! Ah.... Mengherankan sekali. Apa 

kalian tak tahu bahasa basa-basi?!” Datuk Wahing 

mengingatkan.

Dayang Sepuh sudah hendak angkat bicara menya-

hut. Namun Gendeng Panuntun mendahului buka mu-

lut. Bukan sambuti gumaman beberapa orang di sam-

pingnya, melainkan bicara seraya hadapkan wajah lu-

rus ke arah Pitaloka.

“Gadis cantik.... Aku punya satu saran untukmu! 

Sebaiknya kau turuti saran eyangmu Jangan pertu-

rutkan kata hati!”

Hem.... Apakah dia tahu rencanaku? Lalu mengapa 

dia mencegahku?!” Pitaloka diam-diam berkata sendiri 

dalam hati. Mungkin tak mau berpanjang lebar dan bi


sa-bisa Nyai Tandak Kembang menarik izinnya, Pitalo-

ka buka suara menyahut.

“Terima kasih atas saranmu. Aku akan berusaha 

melakukannya....”

“Brusss! Brusss! Rasa-rasanya aku ingat siapa kau 

sekarang!” Datuk Wahing berkata seraya hadapkan 

wajah dan memandang pada Kigali. “Tapi aku masih 

ragu dan heran. Apakah benar penglihatanku ini?”

“Aku memang Kigali.... Apa kau hendak teruskan 

ucapan usang, Galaga?!” Kigali berterus terang sambil 

menyebut nama asli Datuk Wahing.

Seperti diketahui, Kigali pernah menjadi orang ke-

percayaan Maladewa alias Setan Liang Makam pada 

beberapa puluh tahun silam. Bahkan Kigali punya tu-

gas untuk mencari sekaligus membunuh Galaga alias 

Datuk Wahing.

“Brusss! Jangan berkata mengherankan, Sahabat! 

Aku tak ingin membangkitkan kisah lama. Malah aku 

bersyukur bisa bertemu kau lagi....”

“Datuk.... Sudah saatnya kita pergi dari sini! Lagi 

pula mereka masih punya pekerjaan....” Gendeng Pa-

nuntun berkata seraya menoleh pada Datuk Wahing.

Datuk Wahing berpaling pada rombongan Dayang 

Sepuh.

“Bruss! Brusss! Kalian juga sudah waktunya ting-

galkan tempat ini! Walau bagaimanapun kita tidak bisa 

membiarkan seorang anak pergi sendirian! Kita pergi 

bersama-sama sekarang....”

“Nyai Tandak Kembang...,!” kata Gendeng Panuntun 

lagi. “Kami harus pergi sekarang. Kelak mudah-

mudahan kita bisa bertemu lagi....”

Nyai Tandak Kembang anggukkan kepala. Gendeng 

Panuntun balikkan tubuh lalu perlahan melangkah. 

Datuk Wahing anggukkan kepala pada beberapa orang 

di depan sana. Lalu putar diri dan melangkah mengikuti Gendeng Panuntun.

Dayang Sepuh, Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, 

dan Dewa Uuk saling pandang satu sama lain. Tanpa 

ada yang buka suara keempatnya berbalik kecuali Iblis 

Ompong yang memang dari tadi memunggungi bebera-

pa orang di depan. Mereka berempat melangkah berja-

jar. Gendeng Panuntun membuka satu gerakan dis-

usul Datuk Wahing. Sosok keduanya melenting lalu 

lenyap keluar lobang.

Dayang Sepuh bergumam tak jelas. Lalu melesat 

menyusul. Di belakangnya Dewi Ayu Lambada mem-

buntuti yang tak lama kemudian diikuti Iblis Ompong. 

Dewa Uuk adalah orang terakhir yang meninggalkan 

ruangan bawah Lembah Patah Hati.

“Kita harus kuburkan dahulu bayi Pitaloka dan 

Umbu Kakani, juga mayat Lingga Buana!” Nyai Tandak 

Kembang berkata.

Kigali anggukkan kepala. Lalu serahkan bayi Pita-

loka pada Nyai Tandak Kembang. “Pitaloka dan Putri 

Kayangan biar membawa mayat Umbu Kakani. Aku 

akan mengangkat mayat Lingga Buana. Meski mereka 

berdua pada akhirnya harus bermusuhan, tapi pada 

mulanya mereka berdua adalah sepasang kekasih. Tak 

ada salahnya kalau mereka kita kuburkan berdampin-

gan!”

Kigali melangkah mendekati sosok mayat Lingga 

Buana. Pitaloka dan Putri Kayangan mengangkat 

mayat Umbu Kakani. Lalu mereka melangkah tanpa 

ada lagi yang buka suara.

***

Kita tinggalkan dahulu rombongan Dayang Sepuh 

dan rombongan Nyai Tandak Kembang. Juga kepergian 

Pendekar 131. Kita kembali dahulu ke sebuah bukit di 

sebelah timur sebuah hutan.


Saat itu matahari baru saja menapak dari bentan-

gan kaki langit sebelah timur. Cahayanya menerabas 

sela dedaunan jajaran pohon di sebuah kaki bukit di 

mana terlihat satu sosok tubuh tengah duduk bersila 

di bawah pohon besar dengan punggung bersandar 

pada batangan pohon.

Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut beram-

but putih agak panjang. Mengenakan pakaian warna 

putih. Di pangkuan orang tua ini tampak sebuah ju-

bah hitam yang dipegang erat-erat seolah takut jubah 

hitam itu terbang terbawa angin. Padahal saat itu an-

gin berhambus semilir dan tak mungkin mampu me-

nerbangkan jubah hitam di pangkuan orang.

Orang tua ini sesekali arahkan pandang matanya ke 

satu jurusan jalan menuju arah bukit di mana dia kini 

berada. Dari sikapnya jelas orang tua ini tengah me-

nanti seseorang.

“Hem.... Ke mana keparat-keparat itu pergi?! Seha-

rusnya mereka sudah datang ke tempat ini! Apa mere-

ka mendapat halangan atau barangkali mampus?!” Si 

orang tua di bawah pohon bergumam sendiri.

“Aneh.... Sudah hampir satu purnama lebih aku tak 

mendengar kabar berita tentang Pendekar 131 dan te-

man-temannya! Ke mana mereka?! Pitaloka juga tak 

ada beritanya! Hem.... Gadis itu menggairahkan! Sean-

dainya dia tidak pergi meloloskan diri dari tanganku, 

tentu malam-malamku tak akan merasa kedinginan 

lagi! Pitaloka.... Hem....” Si orang tua sunggingkan se-

nyum. Di sepasang matanya tiba-tiba terpampang seo-

rang gadis muda berparas cantik mengenakan pakaian 

warna merah. 

Saat itulah tiba-tiba entah dari mana sumbernya 

terdengar suara.

“Siapa pun kau adanya. Kelak kau akan mengambil 

buah dari perbuatanmu! Kau boleh punya Kembang


Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad. Tapi Sang Pen-

cipta akan menciptakan pamungkasnya! Dan pamung-

kas itu akan hadir dari darah dagingmu sendiri!”

Suara itu menggema ke seantero kaki bukit. Aneh-

nya suara itu laksana diperdengarkan dari tempat 

yang sangat jauh dan dalam!

Si orang tua di bawah pohon tersentak. Dia sentak-

kan kepalanya berputar. Namun dia tidak melihat sia-

pa-siapa!

“Kala Marica! Itu suara Kala Marica!” gumam si 

orang tua. “Bagaimana ini bisa terjadi! Sudah dua kali 

ini dia perdengarkan suara! Apa dia belum tewas?!” 

Seolah untuk yakinkan diri, si orang tua kembali putar 

pandangan berkeliling. Namun sampai matanya lelah 

memandang, dia tidak juga melibat adanya orang lain 

di tempat itu.

“Keparat! Mungkin ini hanya tipuan telingaku saja!” 

sentak si orang tua. “Lagi pula apa yang perlu di-

takutkan! Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Ja-

sad berada di tanganku!”

Entah karena apa, meski dia tadi percaya suara 

yang baru didengar adalah tipuan telinganya, si orang 

tua ini tengadahkan kepala lalu berteriak.

“Kala Marica! Kalau kau bukan manusia pengecut, 

mengapa tidak berani unjuk tampang?! Dan jangan 

mimpi kau bisa menggertak Kiai Laras! Keluarlah dari 

tempatmu dan perlihatkan nama besarmu!”

Si orang tua yang tidak lain adalah Kiai Laras putar 

pandangan sekali lagi. Namun sejauh ini dia lagi-lagi 

tidak melihat siapa-siapa. Bahkan dia juga tidak men-

dengar suara sahutan!

“Ah.... Mengapa aku tolol turuti tipuan telinga?!” 

Kiai Laras akhirnya sadar akan tindakannya meski da-

danya terus dibuncah perasaan tidak enak.

Seperti diketahui, Kiai Laras dengan muslihatnya


sendiri akhirnya dapat menguasai Kembang Darah Se-

tan serta Jubah Tanpa Jasad. Pada satu saat, dia terli-

bat bentrok dengan seorang tokoh tua yang dikenal da-

lam kalangan rimba persilatan berilmu sangat tinggi 

dan punya ilmu langka. Dia adalah Kala Marica. Sebe-

narnya Kala Marica tidak mau meladeni Kiai Laras. 

Namun Kiai Laras tak ambil peduli. Pada akhirnya Kiai 

Laras berhasil melukai Kala Marica dan bahkan me-

nendangnya masuk ke dalam jurang. Saat sosok Kala 

Marica amblas masuk ke dalam jurang itulah, Kala 

Marica sempat berucap seperti kata-kata yang di-

dengar oleh Kiai Laras yang sedang termenung sendiri. 

(Lebih jelasnya tentang Kala Marica silakan baca serial 

Joko Sableng dalam episode : “Kutuk Sang Angkara”).

Kiai Laras bergerak bangkit. Saat itulah sepasang 

matanya menangkap satu bayangan berkelebat menu-

ju arah bukit.

“Hem.... Tampaknya dia datang membawa tangan 

hampa!” desis Kiai Laras lalu kenakan jubah hitam 

yang tadi diletakkan di atas pangkuannya.

Begitu jubah hitam telah terpakai, mendadak sosok 

Kiai Laras raib tidak kelihatan! Yang terlihat sekarang 

hanyalah jubah hitam yang terapung di atas udara di 

bawah pohon. Inilah satu petunjuk kalau jubah hitam 

yang dikenakan Kiai Laras adalah Jubah Tanpa Jasad. 

Jubah peninggalan leluhur dari Kampung Setan. Ju-

bah yang akan membuat sosok pemakainya tidak bisa 

ditangkap dengan pandangan mata biasa.

Kiai Laras yang sosoknya tidak kelihatan lagi mem-

buat satu kali gerakan. Jubah Tanpa Jasad bergerak

dan tahu-tahu telah berada di antara lebatnya rimbun 

dedaunan pohon di mana tadi Kiai Laras duduk ber-

sandar.

Begitu sosok Kiai Laras lenyap dari bagian bawah 

pohon, satu sosok tubuh berkelebat dan tegak sepuluh


langkah dari pohon di mana Kiai Laras berada. Orang 

ini lirikan ekor matanya ke seantero tempat itu.

“Dia cepat sekali lenyap...,” gumam orang yang baru 

muncul. “Mengapa dia sembunyikan diri? Bukankah 

aku datang untuk menemuinya dan dia menunggu-

ku?!”

Baru saja orang menggumam, Kiai Laras melayang 

turun dan berdiri delapan tindak di hadapan orang.

“Kau tahu apa yang seharusnya kau katakan!” Kiai 

Laras sudah buka suara.

***

DELAPAN



ORANG di hadapan Kiai Laras terdiam beberapa la-

ma. Dia adalah seorang laki-laki yang paras wajahnya 

tidak mudah dikenali. Selain angker, laki-laki ini 

punya raut muka sedikit aneh. Karena raut itu hanya 

terdiri dari kerangka tanpa daging! Dan ternyata bu-

kan hanya wajahnya saja yang tidak disamaki daging. 

Sekujur tubuhnya pun hanya merupakan susu-nan 

kerangka! Sepasang matanya besar berputar liar di da-

lam cekungan kerangka mata yang menjorok dalam.

Laki-laki ini tidak lain adalah Maladewa. Generasi 

terakhir dari kerabat penghuni Kampung setan. Seperti 

diketahui, karena terburu-buru dan marah pada ne-

neknya si Nyai Suri Agung, Maladewa akhirnya me-

minta semua warisan leluhur Kampung Setan. Mala-

dewa tidak hiraukan lagi nasihat Nyai Suri Agung. 

Hingga pada akhirnya si nenek memberikan Kembang 

Darah Setan, salah satu senjata mustika dari leluhur 

Kampung Setan.

Dengan Kembang Darah Setan di tangannya, Maladewa mulai merambah rimba persilatan, bahkan dia 

berniat pula menghabisi Nyai Suri Agung dan Galaga, 

saudara seperguruannya dari orang di luar kerabat 

Kampung Setan.

Untuk memenuhi niatannya, Maladewa bersekutu 

dengan beberapa orang. Dua di antara orang keper-

cayaannya adalah Kigali dan Dadaka. Kedua orang ini 

malah diberi tugas khusus untuk memburu Nyai Suri 

Agung dan Galaga. Namun kedua orang ini gagal. Bah-

kan dengan muslihatnya, kedua orang kepercayaan

Maladewa ini bisa menjerumuskan Maladewa ke dalam 

makam batu di Kampung Setan.

Maladewa harus menunggu selama tiga puluh enam 

tahun kemudian untuk bisa keluar dari makam batu. 

Tapi dia juga akhirnya harus merelakan Kembang Da-

rah Setan lepas dari tangannya karena itulah satu-

satunya syarat. Begitu keluar dari makam batu, sosok 

Maladewa telah berubah. Tiga puluh enam tahun diku-

rung di dalam makam batu membuat daging sekujur 

tubuhnya mengelupas hingga tinggal kerangka. Saat 

Maladewa keluar itulah dia menggelari diri dengan se-

butan Setan Liang Makam.

Perjalanannya setelah mendekam dalam makam ba-

tu ternyata tidak lagi mulus, la harus berhadapan den-

gan beberapa tokoh yang tiba-tiba muncul begitu ter-

siar kembali tentang senjata mustika Kembang Darah 

Setan. Hingga sampai tertipu oleh muslihat Kiai Laras 

yang pada akhirnya Kiai Laras-lah yang berhasil men-

dapatkan Jubah Tanpa Jasad, senjata mustika sa-

tunya lagi milik leluhur Kampung Setan.

Namun Setan Liang Makam tidak putus asa. Dia 

bertekad merebut kembali dua pusaka Kampung Setan 

yang telah jatuh ke tangan orang lain. Tapi tanpa sen-

jata mustika di tangan, Setan Liang Makam tidak bisa 

berbuat banyak. Hingga sampai dia sendiri harus menjadi orang suruhan Kiai Laras!

“Setan Liang Makam!” Kiai Laras membentak ketika 

Setan Liang Makam alias Maladewa tidak segera buka 

mulut. “Jangan buat kesabaran hatiku pupus dan aku 

berubah pikiran! Lekas katakan apa yang kau bawa 

padaku!”

Setan Liang Makam gelengkan kepala. “Aku sudah 

menjelajah mencari Pendekar 131 dan beberapa te-

mannya. Namun mereka tiba-tiba tak ada kabar beri-

tanya pergi entah ke mana!”

“Hem.... Aku juga merasa heran! Keparat-keparat 

itu lenyap begitu saja! Perturutkan hati rasanya ingin 

aku menghabisi manusia setan itu! Tapi... walau bagai-

mana tenaganya masih kubutuhkan! Apalagi aku ha-

rus menyelidik ke mana keparat-keparat itu sembu-

nyikan diri!” kata Kiai Laras dalam hati. Lalu bertanya.

“Selama perjalanan, apa kau sempat bertemu den-

gan gadis baju merah itu?!”

Setan Liang Makam geleng kepala. Sepasang mata-

nya terus perhatikan Jubah Tanpa Jasad yang menga-

pung di udara karena sosok Kiai Laras tidak kelihatan. 

“Hem.... Rasanya sulit merebut Jubah Tanpa Jasad 

dan Kembang Darah Setan dari jahanam ini! Tapi aku 

tetap menunggu! Satu saat pasti dia akan lengah!” Se-

tan Liang Makam diam-diam juga membatin.

“Aku tahu bagaimana memancing keparat-keparat 

itu tunjuk diri lagi!” gumam Kiai Laras pada akhirnya 

setelah berpikir beberapa saat.

“Setan Liang Makam! Seharusnya kau tidak pantas 

hidup lagi karena kegagalanmu ini! Tapi kesetiaanmu 

membuat pikiranku berubah! Kau kini kuangkat seba-

gai wakilku dan sebentar lagi kita akan melakukan pe-

kerjaan besar! Kita akan bangun kembali kejayaan 

Kampung Setan. Jalan pertama yang harus kita tem-

puh adalah mengubur semua tokoh rimba persilatan!”


Ucapan Kiai Laras membuat Setan Liang Makam 

melonjak girang dalam hati. “Aku akan berada di bela-

kangmu! Dan siap membantu sampai titik darah peng-

habisan!”

Walau berucap begitu, sebenarnya lain dengan apa 

yang terucap dalam hati. “Ini kesempatan baik! Ke-

sempatanku makin terbuka lebar! Dan tak lama lagi 

Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad akan 

kembali ke tanganku!”

Kiai Laras manggut-manggut. Lalu berujar. “Aku tak 

butuh ucapan kesetiaan, Setan Liang Makam! Tapi be-

gitu aku tahu kau berkhianat, aku akan membunuh-

mu dua kali! Kau dengar itu?!”

Setan Liang Makam tersenyum dingin dengan ang-

gukkan kepala. “Dan ingat. Jangan bantah apa yang 

kuperintahkan padamu!” Kiai Laras sambungi uca-

pannya. Lalu balikkan tubuh. Jubah Tanpa Jasad ber-

putar. “Sekarang pekerjaan itu kita mulai!”

Habis berkata begitu, Kiai Laras berkelebat mengi-

tari bukit lewat sebelah timur. Tanpa banyak pikir Se-

tan Liang Makam berkelebat mengikuti di belakang. 

Kiai Laras hentikan langkah di depan sebuah lobang 

batu berbentuk goa. Dia menoleh sesaat pada Setan 

Liang Makam. Lalu melompat dan masuk ke dalam 

goa. Setan Uang Makam terus mengikuti tanpa buka 

suara.

Begitu berada di dalam ruangan goa, Kiai Laras ce-

pat menuju pojok ruangan di mana terdapat tumpu-

kan kayu arang bekas perapian. Setan Liang Makam 

tak tahu apa yang dilakukan Kiai Laras. Yang terlihat 

olehnya adalah gerakan pada tumpukan kayu pera-

pian. Saat lain terdengar suara berderit.

Setan Liang Makam pentangkan mata memandang 

ke pojok ruangan dari mana sumber suara deritan ter-

dengar. Ternyata bagian pojok ruangan goa membuka


membentuk sebuah pintu. Di belakang pintu terlihat 

tangga naik dari batu.

Kiai Laras melompat melewati pintu lalu naik tang-

ga batu perlahan-lahan. Tanpa disuruh Setan Liang 

Makam mengikuti. Kiai Laras tegak di sebuah pinggi-

ran lobang menganga dan memperhatikan ke bawah 

lobang. Setan Liang Makam yang juga telah tegak di 

samping Kiai Laras ikut arahkan pandang matanya ke 

bawah lobang.

“Kau lihat mereka?!” Kiai Laras ajukan tanya.

Setan Liang Makam anggukkan kepala tatkala ma-

tanya menangkap dua sosok tubuh duduk bersandar 

pada lamping lobang di bawah sana. Namun dia belum 

bisa menduga siapa adanya dua orang itu. Selain lo-

bang itu diselimuti kabut tipis putih, kedua orang yang 

duduk di bawah tidak angkat kepalanya.

“Bunuh mereka!” kata Kiai Laras.

“Kau dengar suara itu?!” Tiba-tiba orang di bawah 

lobang Sebelah kanan perdengarkan bisikan pada 

orang yang duduk di sebelahnya. Kepalanya berpaling. 

Dia adalah seorang nenek berambut putih. Di tangan 

kanannya yang bersedekap di depan dada terlihat se-

buah tusuk konde besar berwarna hitam. Nenek ini 

bukan lain adalah Ni Luh Padmi. Seorang tokoh dari 

tanah seberang yang berkelana mencari Pendeta Sin-

ting guru Pendekar 131 Joko Sableng karena satu uru-

san.

Seperti pernah dituturkan, Ni Luh Padmi pada satu 

kesempatan bertemu dengan Kiai Laras. Kiai Laras 

menunjukkan di mana Pendeta Sinting berada. Tanpa 

banyak menunggu, Ni Luh Padmi menuju tempat yang 

dikatakan Kiai Laras yang saat itu tengah menyamar 

sebagai murid Pendeta Sinting. Begitu sampai di tem-

pat yang dikatakan, ternyata Ni Luh Padmi tertipu. 

Hingga akhirnya Ni Luh Padmi harus masuk ke dalam


lobang di balik ruangan goa. (Lebih jelasnya silakan 

baca serial Joko Sableng dalam episode : “Geger To-

peng Sang Pendekar”).

Orang di samping Ni Luh Padmi menoleh dan ang-

gukkan kepala. Dia juga adalah seorang perempuan 

berusia agak lanjut namun parasnya masih kelihatan 

cantik. Rambutnya panjang dengan mata agak bulat. 

Dia adalah Lasmini. Seperti dituturkan, Lasmini yang 

bersekutu dengan Kiai Lidah Wetan, kakek kandung 

Kiai Laras akhirnya menyelidik. Kemudian dia bertemu 

dengan Kiai Laras. Seperti halnya Ni Luh Padmi, Las-

mini juga tertipu oleh Kiai Laras hingga akhirnya pe-

rempuan ibu kandung Saraswati ini bisa dijebloskan 

Kiai Laras ke dalam lobang di balik ruangan goa. (Le-

bih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam 

episode : “Liang Makam di Bukit Kalingga”).

“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Nek?!” 

Lasmini angkat bicara.

Ni Luh Padmi geleng kepala. “Aku tak tahu harus 

berbuat apa! Keadaan kita sudah sangat lemah!”

“Nek.... Tanpa usaha kita sudah pasti akan mam-

pus juga terus menerus berada di tempat celaka ini! 

Bukankah lebih baik kita berusaha?! Apalagi ucapan 

tadi ditujukan pada kita! Apa yang kita tunggu?!”

“Tapi....”

Belum sampai Ni Luh Padmi lanjutkan ucapan, 

Lasmini telah menyahut. “Sekarang tidak ada tapi, 

Nek!”_Lasmini beranjak bangkit. Ni Luh Padmi sesaat 

bimbang tapi tak lama kemudian dia pun bergerak 

bangkit dan sama-sama tengadahkan kepala meman-

dang ke atas.

“Lasmini!” desis Setan Liang Makam begitu melihat 

Lasmini dongakkan kepala.

“Hem.... Kau telah mengenalnya. Bagus! Pekerjaan 

kita dimulai dari mereka! Dan kau telah dengar apa


yang harus kau lakukan!” kata Kiai Laras. Jubah Tan-

pa Jasad bergerak ke samping. Lengan kanan jubah 

bergerak menunjuk pada Ni Luh Padmi. “Yang tua itu 

bernama Ni Luh Padmi! Kau tertarik padanya?!”

“Apa maksudmu?!” tanya Setan Liang Makam sedi-

kit heran. Karena tadi Kiai Laras menyuruhnya mem-

bunuh kedua-duanya. Sekarang dia mengatakan lain.

“Kalau kau tertarik, kau boleh merasakan kehanga-

tannya sebelum kau kirim dia ke alam lain!”

“Sialan! Untuk apa tubuh peot begitu rupa ditawar-

kan padaku?!” Setan Liang Makam memaki dalam hati 

lalu berujar.

“Untuk sementara ini aku belum tertarik pada pe-

rempuan! Entah nanti....”

“Bagus! Kalau begitu lakukan tugasmu! Aku akan 

menunggu di luar!”

Kiai Laras bergerak menuruni tangga lalu melompat 

dan tegak di mulut goa dengan bibir sunggingkan se-

nyum.

Di lobang bagian bawah, Lasmini tersentak kaget 

mendapati siapa adanya sosok yang tegak di atas. Seo-

lah belum percaya, dia picingkan mata berulang kali.

“Kau mengenal siapa manusia itu?!” Ni Luh Padmi 

bertanya seraya pandangi sosok angker Setan Liang 

Makam.

“Tempo hari aku pernah bersama-sama dengan ma-

nusia itu! Dia adalah Setan Liang Makam!”

“Hem.... Kau punya sengketa dengannya?!” tanya Ni 

Luh Padmi.

Lasmini geleng kepala. “Kami bersama-sama men-

cari seseorang. Namun gagal menemukannya! Setelah 

itu kami berpisah!”

“Kalau demikian, mungkin dia bisa menolong kita!”

“Kurasa tidak! Kau dengar perintah orang tadi! Be-

rarti dia akan menghabisi kita!”


“Jangan pedulikan ucapan orang! Bukankah kau 

tadi berkata kita harus berusaha?! Kita coba.... Siapa 

tahu dia berubah niat!”

Lasmini merenung sejenak. Saat lain dia berteriak. 

“Setan Liang Makam! Kau masih ingat padaku, bu-

kan?!”

“Aku tidak pernah lupa pada setiap orang yang per-

nah kutemui!” jawab Setan Liang Makam seraya ber-

kacak pinggang.

“Aku gembira mendengarnya.... Dan lebih gembira 

lagi jika kau mau membantu kami untuk keluar dari 

lobang ini!”

Setan Liang Makam perhatikan sekeliling lobang. 

“Aneh.... Lobang ini memang agak dalam. Tapi sebagai 

orang berilmu, mustahil mereka tidak bisa melompat 

keluar! Pasti ada sesuatu di lobang ini!” Membatin Se-

tan Liang Makam. Karena ingin tahu, Setan Liang Ma-

kam berkata.

“Tanpa bantuanku, kau bisa melompat dari bawah!”

“Berarti dia belum tahu tempat ini!” bisik Ni Luh 

Padmi mendengar suara Setan Liang Makam. Lalu 

angkat suara.

“Sebenarnya memang begitu. Tapi ruangan ini telah 

ditaburi hawa beracun! Sekali kami kerahkan tenaga

dalam, maka habis riwayat kami! Padahal untuk me-

lompat ke atas, kami harus kerahkan tenaga dalam....”

“Hem.... Begitu?! Nasib kalian rupanya sangat je-

lek!” ujar Setan Liang Makam.

“Jadi kau tak mau membantu...?!” tanya Lasmini 

dengan tengkuk mulai dingin.

“Membantu keluar dari sini memang tidak bisa! Aku 

hanya bisa membantu kalian untuk sempurnakan na-

sib jelek kalian!”

Lasmini saling pandang dengan Ni Luh Padmi. Pa-

ras keduanya berubah. “Tidak ada artinya lagi kita bicara! Terpaksa kita cari jalan lain! Setidaknya berusa-

ha mempertahankan diri!” kata Lasmini setengah pu-

tus asa.

“Sobat!” Ni Luh Padmi berusaha buka suara. “Di an-

tara kita tidak ada pertentangan. Lebih dari itu sebe-

narnya kau ditipu orang seperti halnya kami berdua! 

Begitu kau nanti sadar, pasti kau telah berada di tem-

pat lain menggantikan kami berdua!”

“Orang boleh menipuku! Tapi aku tidak bodoh se-

perti kalian berdua! Dan perlu kalian ketahui, membu-

nuh orang tidak lagi diperlukan adanya pertentangan! 

Akan kubuktikan ucapanku!”

Ucapan Setan Liang Makam belum sirna gemanya, 

cucu Nyai Suri Agung dari Kampung Setan ini telah ge-

rakkan kedua tangannya melepas satu pukulan ke 

arah Lasmini dan Ni Luh Padmi!

Wuuutt! Wuuutt!

Satu gelombang dahsyat melesat ganas ke arah 

Lasmini. Satunya lagi berkiblat ke arah Ni Luh Padmi. 

Lobang di mana kedua perempuan itu berada bergetar.

“Sedapat mungkin kita menghindar! Berbahaya ka-

lau kita menghadang pukulan setan keparat itu! Kare-

na kita harus kerahkan tenaga dalam!” bisik Ni Luh 

Padmi.

Tapi Lasmini tampaknya sudah nekat. Dia tidak pe-

dulikan peringatan Ni Luh Padmi. Dia menghela napas 

lalu salurkan tenaga dalam. Kedua tangannya diang-

kat.

“Bodoh! Kenekatanmu bukan pada tempatnya!” 

hardik Ni Luh Padmi lalu mendorong sosok Lasmini. 

Hingga belum sampai Lasmini kerahkan tenaga dalam 

untuk menghadang gelombang pukulan yang datang, 

sosoknya telah terdorong deras ke samping dan ter-

huyung hampir roboh. Saat yang sama Ni Luh Padmi 

berkelebat selamatkan diri.


Bummm! Bummm!

Dua gelegar ledakan mengguncang lobang. Bibir lo-

bang tampak gemeretak rengkah lalu longsor dengan 

taburkan hamparan batu. Saat yang sama lantai lo-

bang muncratkan pula kepingan batu akibat terhan-

tam pukulan Setan Liang Makam yang gagal melabrak 

sosok Lasmini dan Ni Luh Padmi.

Melihat pukulannya dapat dihindari orang, Setan 

Liang Makam jadi geram. Dia putar diri setengah ling-

karan lurus ke arah sosok Ni Luh Padmi yang mendo-

rong Lasmini hingga selamat.

Tanpa berkata dahulu, kedua tangan Setan Liang 

Makam bergerak lagi melepas satu pukulan.

Di bagian bawah, Ni Luh Padmi cepat menyingkir 

dengan melompat. Namun kali ini Setan Liang Makam 

tak memberi kesempatan. Tangan kirinya bergerak ke 

arah mana Ni Luh Padmi melompat.

Ni Luh Padmi menyumpah habis-habisan seraya 

kembali berkelebat. Namun tangan kanan Setan Liang 

Makam terus memburu dengan menyentak mengikuti 

arah kelebatan sosok Ni Luh Padmi.

Ni Luh Padmi jadi kebingungan. Dia akan melompat 

lagi. Tapi tempat di mana ia akan melompat saat itu 

dua pukulan pertama Setan Liang Makam telah menu-

ju ke sana. Hingga satu-satunya jalan untuk sela-

matkan diri adalah menghadang pukulan orang.

Lasmini sendiri tampak meringkuk di bagian samp-

ing dengan mata memperhatikan apa yang akan dila-

kukan si nenek. Dan diam-diam pula dia telah memu-

tuskan kerahkan tenaga dalam, karena bagaimanapun 

juga bias pukulan yang dilepas Setan Liang Makam 

akan melabrak ke arahnya apalagi dia meringkuk tak 

jauh dari Ni Luh Padmi.

Dengan tangan bergetar, akhirnya Ni Luh Padmi ke-

rahkan juga tenaga dalam. Lalu dengan cepat disentakkan ke atas menghadang pukulan Setan Liang Ma-

kam.

Beberapa ledakan berturut-turut mengguncang lo-

bang. Tiga yang pertama adalah gelegar akibat puku-

lan Setan Liang Makam yang menghantam lantai lo-

bang karena dihindari Ni Luh Padmi. Satu lagi ledakan 

karena pukulan tangan kanan Setan Liang Makam 

bentrok dengan pukulan yang dilepas Ni Luh Padmi.

Lobang di balik ruangan goa itu beberapa lama dis-

elimuti taburan kepingan batu hingga suasana agak 

pekat. Dan begitu keadaan agak terang kembali, sosok 

Ni Luh Padmi tampak tegak bersandar dengan muka 

pucat. Dia memang tidak mengalami cedera berarti, 

bahkan saat itu juga melangkah Hendak mendekati 

Lasmini yang juga bersandar dan terus memperhati-

kan Ni Luh Padmi.

“Nek! Kita tertipu.... Ruangan ini tidak beracun! 

Buktinya kau tidak apa-apa!” kata Lasmini lalu hendak 

melangkah menyongsong Ni Luh Padmi.

Tiba-tiba Lasmini hentikan kaki. Sepasang matanya 

mendelik dengan dahi berkerut. Di depan, terlihat so-

sok Ni Luh Padmi bergetar keras. Saat lain kedua lu-

tutnya menekuk. Tubuhnya doyong ke muka lalu terje-

rembab jatuh menelungkup dengan mulut perdengar-

kan erangan tertahan.

Lasmini cepat melompat. Lalu jongkok dan balikkan 

tubuh Ni Luh Padmi. Paras wajah Lasmini seketika 

tercekat. Tengkuknya laksana diguyur es. Paras muka 

si nenek ternyata telah berubah menghitam! Dan per-

lahan-lahan sekujur tubuhnya juga berubah menghi-

tam.

“Kau salah terka.... Ruangan ini mengandung racun 

sangat ganas! Ini bukan karena bentrok pukulan den-

gan setan di atas itu! Melainkan akibat racun yang te-

lah masuk ke aliran darahku karena aku tadi terpaksa kerahkan tenaga dalam....” Ni Luh Padmi per-

dengarkan suara dengan tersendat-sendat. “Aku.... tak 

bisa memberi tahu bagaimana kau menghadapi apa 

yang akan terjadi.... Kau sudah tahu akibatnya....”

Habis berucap begitu, kepala Ni Luh Padmi teleng 

ke kanan. Kedua kakinya mengejang sebentar lalu di-

am tak bergerak. Nyawa nenek dari seberang ini putus 

dengan sekujur tubuh menghitam! Tusuk konde hitam 

di tangan kanannya lepas dan tergeletak di atas lantai.

***

SEMBILAN



TENGKUK Lasmini merinding. Dia tak tahu apa 

yang harus dilakukan. Tekadnya pelan-pelan padam. 

Sementara di atas lobang, Setan Liang Makam per-

dengarkan suara tawa panjang.

Lasmini bergerak bangkit dan melangkah ke tengah 

ruangan lobang. Kepalanya mendongak. Saat itulah ti-

ba-tiba terbayang sosok Saraswati di depan matanya.

“Anakku.... Tampaknya takdir sudah mengha-

ruskan kita tak bisa hidup berdampingan! Aku kini 

menyesal mengapa tidak pedulikan peringatanmu.... 

Seandainya saja saat itu aku turuti ucapanmu, mung-

kin kita telah hidup damai.... Anakku.... Bagaimana 

kau sekarang?! Terakhir jumpa, kau juga tengah men-

galami perlakuan-tidak baik dari manusia jahanam 

yang memasukkan aku ke tempat celaka ini! Anakku, 

tentu kau juga berusaha....”

Sampai di situ tiba-tiba Lasmini kepalkan kedua 

tangannya. “Kalau kau berusaha mengapa aku tidak?! 

Aku tidak boleh pasrah dengan keadaan ini! Mati pun 

aku puas karena setidaknya aku telah berusaha untuk


selamat dan bertemu denganmu!” Semangat Lasmini 

mendadak muncul kembali malah kini berkobar-kobar. 

Dia tidak lagi merasa takut meski telah tahu apa yang 

menimpa Ni Luh Padmi. Hingga saat itu juga dia berte-

riak lantang.

“Setan Liang Makam! Kau boleh puas dengan se-

mua ini! Tapi jangan mimpi aku takut menghadapi-

mu!”

Setan Liang Makam putuskan gelakan tawanya. Se-

pasang matanya berkilat pandangi sosok Lasmini. Na-

mun tak lama kemudian dia perdengarkan tawa lagi 

seraya berucap.

“Ucapan orang akan mampus kadang-kadang me-

mang menyala-nyala! Sayang, nasib tidak ikut berpi-

hak!”

Selesai berucap begitu, tangan kanan Setan Liang 

Makam telah berkelebat. Sementara tangan kiri di atas 

udara siap dikelebatkan dengan mata terus perhatikan 

gerakan Lasmini.

Lasmini segera melompat ke belakang. Tusuk konde 

besar milik Ni Luh Padmi disambar. Tangan kiri Setan 

Liang Makam berkelebat ke arah sosok Lasmini yang 

melompat ke belakang.

Dua gelombang dahsyat berkiblat perdengarkan de-

ruan keras. Seraya menghindar ke samping, Lasmini 

sentakkan tangan kanan yang telah menggenggam tu-

suk konde. Dia sengaja arahkan sentakan tusuk konde 

lurus melalui gelombang yang menghantam ke bawah. 

Karena dia sadar, akan percuma kalau sentakannya 

lewat di samping gelombang. Sebab selain ruangan lo-

bang itu ditebari racun, hebatnya ruangan itu bisa 

mementalkan pukulan ke atas lobang.

Dengan berkelebatnya gelombang dari atas, maka 

tabir yang bisa mementalkan pukulan itu terbuka. Itu-

lah sebabnya Lasmini sengaja arahkan sentakan tusuk


konde melalui gelombang yang datang dari atas.

Blaar! Blaarr!

Dua gelombang terdengar. Dua pukulan Setan 

Liang Makam menghantam tempat kosong karena 

Lasmini telah berkelebat menghindar.

Sementara di atas lobang, Setan Liang Makam ter-

sentak kaget melihat satu benda hitam berdesing lurus 

ke arahnya. Karena tadi dia tengah perhatikan keleba-

tan sosok Lasmini, terlambat baginya untuk menghin-

dar meski dia sempat doyongkan tubuh.

Cleepp!

Setan Liang Makam berseru tertahan. Tusuk konde 

besar menancap tembus pakaiannya dan merobek tu-

lang bagian dada kiri.

“Jahanam!” maki Setan Liang Makam. Dia cepat 

menutup dengan kerahkan tenaga dalam ke sekitar 

dada kiri. Tangan kanan cepat bergerak mencabut tu-

suk konde. Kejap kemudian tangan kirinya berkelebat 

lagi. Karena dia marah, kali ini Setan Liang Makam ke-

rahkan hampir setengah dari tenaga dalamnya. Hingga 

tatkala gelombang melesat ke bawah tampak disertai

gelombang warna hitam!

Lasmini tak mau bertindak ayal. Dia kembali me-

lompat menghindar. Tapi karena kali ini tenaga dalam 

Setan Liang Makam telah dilipatgandakan, sejauh ma-

na pun Lasmini melompat pasti akan terhantam bias 

pukulan orang.

Tapi Lasmini tak mau ambil risiko besar. Dia tidak 

berusaha menghadang pukulan sebaliknya teruskan 

berkelebat hindarkan diri.

Bummm!

Untuk kesekian kalinya lobang itu bergetar hebat. 

Lasmini tampak terdorong oleh bias pukulan dan ter-

banting di udara karena gema pukulan.

Setan Liang Makam tak ambil peduli. Kembali tan

gan kirinya melepas pukulan. Kali ini tak ada jalan lain 

bagi Lasmini. Karena tidak mungkin lagi bergerak 

menghindar. Hingga terpaksa dia memutuskan meng-

hadang pukulan lawan walau dia tahu apa risikonya!

Lasmini kerahkan tenaga dalam lalu angkat kedua 

tangannya dan didorong ke atas.

Blammm!

Kembali terdengar ledakan. Kali ini malah lebih 

dahsyat karena pukulan Setan-Liang Makam dihadang 

pukulan Lasmini.

Sosok Lasmini tampak mental dan menghantam 

dinding ruangan lobang. Darah mengucur deras dari 

mulutnya. Belum sampai dia bergerak bangkit, tangan 

kanan Setan Liang Makam yang memegang tusuk 

konde besar milik Ni Luh Padmi disentakkan!

Lasmini hanya bisa memandang lesatan tusuk 

konde tanpa bisa berbuat apa-apa. Karena sekujur tu-

buh-nya terasa panas bukan alang kepalang. Tangan 

dan kakinya laksana tidak bertenaga dan sepasang 

mata-nya berkunang-kunang!

Cleeepp!

Tusuk konde besar menancap hampir separo ke 

lambung Lasmini. Darah kehitaman muncrat dan se-

bagian memercik ke wajah Lasmini.

Lasmini menjerit seakan merobek langit. Tapi jeri-

tannya terputus di tengah jalan. Sosok ibu kandung 

Saraswati ini lunglai dengan tubuh mengejang.

“Saraswati anakku....” Hanya itu ucapan terakhir 

yang terdengar dari mulut Lasmini. Saat berikutnya 

nyawanya melayang dengan sekujur tubuh menghi-

tam!

Setan Liang Makam perhatikan sesaat mayat Las-

mini dan Ni Luh Padmi yang telah berpindah tempat 

karena tersambar pukulan. Saat lain cucu Nyai Suri 

Agung dari Kampung Setan ini putar diri dan melangkah menuruni tangga dengan tangan kanan mendekap 

dada kirinya yang berdenyut sakit.

Kiai Laras yang tegak di lobang masuk goa berpal-

ing. Dia perhatikan dada Setan Liang Makam. Saat 

kemudian laki-laki ini selinapkan tangan kiri ke balik 

jubah hitamnya. Ketika tangannya ditarik dia meng-

genggam sesuatu dan dilemparkan pada Setan Liang 

Makam yang melangkah keluar dari pintu di pojok 

ruangan goa.

Setan Liang Makam melihat satu bulatan sebesar 

buah duku menggelinding dan berhenti di dekat pera-

pian.

“Telan benda itu!” Kiai Laras buka suara.

Tanpa banyak kata, Setan Liang Makam ambil bula-

tan warna kuning di dekat perapian. Lalu menelan-

nya. Seketika tubuhnya berubah panas dingin. Setan 

Liang Makam mendelik pada Kiai Laras meski tidak bi-

sa melihat sosok orangnya.

“Jangan berprasangka buruk! Kalau hanya mem-

bunuhmu tak usah menggunakan racun yang ada pa-

da bulatan itu!” kata Kiai Laras dapat menangkap arti 

pandangan Setan Liang Makam.

Setan Liang Makam masih bimbang dengan ucapan 

Kiai Laras. Namun begitu panas dingin tubuhnya sir-

na, dia menghela napas lega dan angguk-anggukkan 

kepala.

Kiai Laras berkelebat ke dekat perapian. Kayu pera-

pian kembali bergerak-gerak. Saat bersamaan terden-

gar lagi suara berderit. Pintu di pojok ruangan goa ter-

tutup kembali.

“Langkah awal telah kita mulai! Kita teruskan lang-

kah ini! Kita jadikan Kampung Setan sebagai tempat 

baru bagi kita! Kita tegakkan kembali kejayaan Kam-

pung Setan! Dan aku adalah penguasanya!”

Kiai Laras tertawa bergelak. Lalu berkelebat keluar

dari goa. Setan Liang Makam bergumam tak jelas. Na-

mun segera pula berkelebat tinggalkan goa di kaki Bu-

kit Kalingga.

***

Bayangan putih itu berkelebat laksana setan. Dia 

baru memperlambat kelebatan saat sampai perbatasan 

hutan di mana dari perbatasan itu memandang ke se-

belah timur tampak menjulang sebuah bukit.

Sesaat si bayangan tadi yang ternyata adalah seo-

rang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian 

warna putih berambut panjang acak-acakan dililit 

dengan ikat kepala warna putih dan bukan lain adalah 

Pendekar 131 Joko Sableng luruskan pandangan ke 

arah bukit.

“Hem.... Apakah mungkin Kiai Laras manusia di ba-

lik Jubah Tanpa Jasad itu?! Kalau benar dia, orang 

yang selama ini menyamar sebagai diriku adalah dia 

juga! Pada mulanya aku memang menaruh curiga pa-

danya. Tapi untuk melakukan hal itu pasti ada sebab-

nya. Padahal aku tidak punya urusan apa-apa dengan 

orang tua itu!” Joko geleng-geleng kepala.

“Tapi siapa pun dia adanya, yang jelas perbuatan-

nya harus dihentikan! Sayangnya.... Aku belum tahu 

bagaimana caranya menggunakan benda merah yang 

kuambil dari pusar bayinya Pitaloka ini! Seharusnya 

aku tanya dahulu pada Gendeng Panuntun. Mungkin 

dia tahu bagaimana menggunakannya! Tapi sekarang 

percuma.... Mencari orang seperti dia susah-susah 

gampang! Mungkin dia sudah pergi dari Lembah Patah 

Hati....”

Setelah berpikir sejenak, akhirnya Joko memu-

tuskan untuk segera menuju bukit di depan sana. Ka-

rena sudah pernah ke bukit itu, tidak sulit bagi murid 

Pendeta Sinting untuk menemukan goa di mana dulu

dia pernah bertemu dengan Kiai Laras.

“Sepertinya tak ada orang...!” gumam Joko seraya 

memperhatikan dari balik batangan pohon sepuluh 

langkah dari mulut goa. Namun Joko tetap berhati-hati 

dan sekali lagi meyakinkan.

Setelah yakin di luar tak ada orang lain, Joko cepat 

berkelebat dan tegak mengendap-endap ke mulut goa 

dari sebelah kanan. Kepalanya perlahan-lahan dis-

orongkan ke bibir mulut goa. Lalu matanya diedarkan 

ke dalam.

“Kosong...!” kata Joko dalam hati. Lalu dengan ke-

dua tangan siap lepaskan pukulan, dia berkelebat ma-

suk dan tegak di balik mulut goa dengan mata dipen-

tangkan. Namun hingga kepalanya berputar dua kali, 

dia tidak melihat siapa-siapa!

Murid Pendeta Sinting menarik napas dalam. Lalu 

perlahan melangkah mendekati kayu perapian.

“Walau sudah padam, tapi belum lama.... Tempat 

ini memang dihuni orang! Tapi ke mana dia?! Sebaik-

nya aku menunggu....”

Joko melangkah ke pojok ruangan goa lalu duduk 

meringkuk dengan mata memperhatikan ke arah mu-

lut goa. Namun hingga Joko menguap beberapa kali 

dan hampir saja terlelap, tidak juga muncul seseorang!

“Ah.... Lebih baik aku terus menunggu! Kalau tem-

pat ini dihuni, penghuninya cepat atau lambat pasti 

akan pulang!” Joko berkata pada diri sendiri lalu se-

lonjorkan kaki dan pejamkan mata. Tidak berapa lama 

sudah terdengar suara dengkurnya memecah ruangan 

goa di kaki Bukit Kalingga.

Beberapa saat berlalu. Joko tampak menggeliat lalu 

kedua matanya terbuka dan langsung memandang 

berkeliling. Tapi keadaan masih tetap seperti semula. 

Joko bergerak bangkit dan melangkah ke mulut goa 

seraya melongok melihat cahaya matahari.


“Sudah hampir setengah hari aku berada di sini! Ti-

dak lama lagi hari akan gelap....” Joko putar diri lalu 

melangkah balik mendekati perapian. Saat itu mataha-

ri memang sudah condong ke arah barat. Udara mulai 

berubah. Angin dingin berhembus menggantikan uda-

ra panas.

“Sambil menunggu aku akan nyalakan perapian itu! 

Mungkin sisa-sisa baranya masih bisa menyala lagi! 

Udara sudah mulai dingin.... Hem.... Seandainya saat 

ini bersama Putri Kayangan.... Mungkin aku tidak ke-

dinginan! Gila! Mengapa aku selalu memikirkan dia? 

Lagi pula aku tidak akan bisa berbuat macam-macam 

sama dia! Nyai Tandak Kembang pasti tahu di mana 

cucunya itu berada.... Macam-macam saja keahlian 

orang! Nyai Tandak Kembang bisa menemukan orang 

dengan mencium aroma.... Ah. Mengapa aku berpikir 

sesuatu yang tak mungkin. Nyai Tandak Kembang su-

dah mengatakan tidak mengizinkan kedua cucunya 

untuk turun dari lereng Gunung Semeru. Berarti aku 

sudah tidak bisa bertemu dengan Putri Kayangan!”

Sambil terus berkata dalam hati, Joko jongkok di 

dekat perapian dan mulai mencungkil-cungkil pera-

pian mencari sisa-sisa bara di bagian bawah. Saat itu-

lah matanya menangkap sesuatu yang menonjol. Joko 

kerutkan dahi. Lalu sibakkan kayu perapian.

“Tonjolan batu.... Aneh. Tonjolan batu ini punya lo-

bang memanjang sepanjang bagian tonjolan yang be-

rada di atas. Ini bukan tonjolan biasa! Hem.... Kayu 

perapian ini mungkin saja hanya sebagai tipuan untuk 

mengelabui orang! Orang tidak akan menduga di ba-

wah kayu perapian akan ada tonjolan batu!”

Perlahan-lahan Joko julurkan tangan ke arah tonjo-

lan batu. Namun baru saja tangannya menyentuh ton-

jolan batu, mendadak satu suara terdengar.

“Apakah sekarang kau masih mungkir?!”


Joko angkat kepalanya. Tangan kanannya ditarik 

pulang. Sepasang matanya dipicingkan lalu dibuka le-

bar-lebar. Mendadak ketegangan sesaat di wajahnya 

sirna. Kini bibirnya kembangkan senyum.

Tepat di mulut goa, tegak berdiri satu sosok tubuh 

milik seorang gadis muda berparas cantik mengenakan 

pakaian warna abu-abu. Rambutnya dikuncir tinggi. 

Matanya bulat.

Namun sunggingan senyum murid Pendeta Sinting 

pupus ketika gadis cantik di mulut goa balas senyu-

man dengan seringai dingin dan buang muka!

***

SEPULUH



SARASWATI!” teriak murid Pendeta Sinting seraya 

bangkit. Diam-diam Joko membatin. “Tampaknya per-

soalan lama akan terus berlanjut! Tapi.... Bagaimana 

dia bisa ada di tempat ini? Tak mungkin dia mengikuti 

langkahku. Karena selama ini aku sengaja sembunyi-

kan diri, malah beberapa hari belakangan berada di 

hutan....”

“Jangan melangkah!” bentak si gadis berparas can-

tik yang bukan lain Saraswati adanya. Anak kandung 

Lasmini, ketika dilirik Joko hendak langkahkan kaki 

mendekati ke arahnya.

Pendekar 131 terpaksa urungkan niat dan tegak di-

am menunggu dengan mata memandang tak berkesip.

“Aku sudah menunggu hampir satu purnama lebih. 

Namun sejauh ini kau tidak bisa buktikan kebenaran 

ucapanmu tempo hari! Bahkan kini kau tertangkap 

basah mataku sendiri! Dalih apa yang akan kau kata-

kan sekarang, hah?!” Saraswati buka mulut tanpa


memandang.

Joko tampak gelagapan. “Bagaimana menjelaskan-

nya?!” gumam murid Pendeta Sinting dalam hati.

Saraswati menoleh. Matanya menusuk tajam ke da-

lam bola mata Joko. “Sekarang tak ada lagi orang yang 

akan membantumu berdalih! Kalau saja saat itu tidak 

ada gadis berbaju merah sialan itu, mungkin urusan-

nya sudah selesai! Aku menyesal mengapa saat itu aku 

percaya pada omongan gadis sialan itu! Juga pada ga-

dis bernama Dewi Seribu Bunga itu!”

Seperti pernah dituturkan, Saraswati pernah men-

dapat perlakuan tidak senonoh dari Kiai Laras yang 

saat itu masih menyamar sebagai murid Pendeta Sin-

ting. Saraswati sangat marah dan mendendam. Hanya 

karena ada perasaan cinta dalam hatinya saja yang 

membuat dia masih coba menahan gejolak dadanya. 

Lagi pula saat itu Joko berjanji akan membuktikan 

bahwa bukan dirinya yang melakukan perbuatan itu. 

Malah saat itu Putri Kayangan dan Dewi Seribu Bunga 

juga menguatkan Joko meski Dewi Seribu Bunga cuma 

memberi waktu pada Joko untuk membuktikan diri 

bahwa memang bukan dia yang melakukan semuanya.

“Pendekar 131! Mungkin aku masih bisa memaaf-

kan tindakanmu. Tapi tunjukkan dahulu di mana ibu-

ku!” kata Saraswati.

“Saraswati.... Aku tak tahu di mana ibumu berada!”

Mata Saraswati makin berkilat mendengar jawaban 

Joko. Kaki kanannya bergerak menghentak lantai goa. 

“Lalu untuk apa kau berada di sini?! Bukankah kau 

dahulu menyeret ibuku masuk ke dalam goa ini?!” So-

sok Saraswati bergetar keras tanda gadis ini hampir 

tak dapat kuasai gemuruh amarah.

“Saraswati.... Aku memang pernah datang ke tem-

pat ini dan bertemu seseorang bernama Kiai Laras. Ta-

pi percayalah.... Aku tak pernah berbuat seperti yang


kau katakan! Ada orang lain yang menyamar sebagai 

diriku!”

“Sekarang aku tanya. Apa kau bukan Pendekar 131 

Joko Sableng murid Pendeta Sinting?!”

Joko menghela napas. “Aku memang Joko Sableng 

murid Pendeta Sinting!”

“Bagus! Aku dulu jumpa denganmu di sini! Aku du-

lu juga mendengar ucapan yang sama seperti yang ba-

ru kau katakan! Mataku tidak mungkin dapat dibodo-

hi!”

“Saraswati.... Memang agak sulit menjelaskan se-

muanya! Kuharap kau bersabar. Aku hampir bisa 

membuka siapa dalang di belakang semua ini!”

“Kau pernah mengatakan itu juga pada satu seten-

gah purnama yang lalu! Tapi mana buktinya?! Mana?! 

Kau jangan berdalih macam-macam! Kau tak akan da-

pat membuka siapa dalang di belakang semua ini, ka-

rena dalang itu adalah kau sendiri!”

“Saraswati!” kata Joko dengan suara agak keras ka-

rena mulai jengkel dengan tuduhan si gadis. “Untuk 

mengungkap hal ini bukanlah pekerjaan gampang! Se-

karang terserah padamu untuk percaya atau tidak! 

Dan perlu kau ingat, saat ini aku tidak punya waktu 

banyak untuk berdebat yang tiada artinya!”

“Hem.... Begitu?! Jadi kalau sudah tidak ada dalih, 

kau coba mengalihkan urusan dengan cara begitu?!” 

Saraswati tersenyum dan tertawa pendek mengejek.

“Sekarang katakan saja apa kemauanmu!”

“Aku mau tahu di mana ibuku kau sembunyikan 

atau nyawamu sebagai gantinya!”

“Aku tak tahu di mana ibumu! Kalau kau mau nya-

waku, silakan kau ambil!”

Saraswati menggeram dengan kedua tangan diang-

kat. Namun entah karena apa perlahan-lahan kedua 

tangannya diturunkan. Murid Pendeta Sinting pandan


gi si gadis dengan kepala menggeleng pelan.

“Saraswati.... Aku berkata apa adanya! Lagi pula 

untuk apa aku mencelakakan ibumu?! Antara aku dan 

ibumu memang pernah ada silang sengketa. Tapi tidak 

layak perselisihan itu diakhiri dengan perbuatan tak 

pantas! Bahkan aku telah melupakan semuanya!”

“Aku masih belum bisa percaya ucapanmu sepe-

nuhnya...,” ujar Saraswati namun kali ini suaranya 

sudah direndahkan.

“Sebenarnya aku pun tak ingin mengatakan apa-

apa padamu! Karena yang kau perlukan adalah bukti, 

bukan ucapan! Dan justru aku di sini ini hendak mulai 

mencari bukti itu!”

Saraswati kerjapkan sepasang matanya. Joko mera-

sa sedikit lega. Lalu berkata.

“Aku menemukan sesuatu yang mencurigakan...!”

“Apa?!” tanya Saraswati cepat.

“Sebelum kukatakan, aku ingin tanya dahulu. Be-

nar kau dan ibumu pernah ke tempat ini?!”

“Kalau tidak, aku tak mungkin bisa menemukanmu 

di sini!”

“Apa yang kau ketahui tentang tempat ini?!”

“Aku tak tahu banyak! Aku hanya berada di luar!

Ibuku yang masuk goa ini dengan kau seret!”

“Kau masih juga menuduhku.... Tapi tak apalah!”

“Apa sesuatu yang mencurigakan?!” Saraswati ber-

tanya.

Joko memberi isyarat pada Saraswati untuk men-

dekat. Saraswati tampak bimbang. Hingga untuk bebe-

rapa saat dia diam dengan memandang penuh curiga, 

membuat Joko tertawa pendek dan berucap.

“Aku memang bukan manusia baik-baik, Saraswati! 

Tapi aku tidak terlalu picik untuk melakukan sesuatu 

yang macam-macam padamu!”

Paras wajah Saraswati berubah. Dia melangkah


mendekati Joko. “Katakan, apa yang membuatmu cu-

riga!”

Joko berpaling ke arah Saraswati yang tegak lima 

langkah di sampingnya. Dengan tersenyum, karena 

masih menangkap gelagat curiga pada diri Saraswati, 

Joko arahkan telunjuknya pada tumpukan kayu pera-

pian yang tampak sedikit berserakan.

“Itu hanya tumpukan kayu bekas perapian! Lalu 

apanya yang membuatmu curiga?!” tanya Saraswati 

dengan kening berkerut memperhatikan kayu pera-

pian.

“Orang yang melihat sepintas lalu akan mengatakan 

seperti ucapanmu! Tapi tidak bagi orang yang melihat 

dengan seksama!”

Karena penasaran, Saraswati pentangkan mata se-

raya melangkah lebih dekat. Pendekar 131 ambil salah 

satu kayu perapian yang agak panjang. Lalu dengan 

kayu itu dia sibakkan tumpukan kayu perapian.

“Tumpukan kayu ini bukan perapian! Tapi kayu un-

tuk menutupi sesuatu!” kata Joko lalu menunjuk ton-

jolan batu di antara serakan kayu.

Saraswati sesaat perhatikan tonjolan batu. Belum 

sampai dia utarakan apa yang ada dalam hatinya, Jo-

ko telah lemparkan kayu di tangannya lalu bergerak 

jongkok. Tangan kanannya menyentuh tonjolan batu 

lalu ditekan ke arah lobang memanjang di belakang 

tonjolan batu.

Terdengar suara berderit. Pendekar 131 dan Saras-

wati tersentak kaget. Keduanya sama sentakkan kepa-

la ke arah deritan. Keduanya sama belalakkan mata.

“Pintu...!” gumam Joko. “Ada tempat rahasia di ba-

lik ruangan goa ini!”

Murid Pendeta Sinting sudah melompat ke arah pin-

tu di pojok ruangan goa yang terbuka. Saraswati ikut 

melompat. Namun Joko cepat palangkan tangan kiri


nya.

“Hati-hati, Saraswati.... Di tempat seperti ini banyak 

sesuatu yang tak terduga!”

“Ini bukan sandiwaramu, bukan?!”

“Busyet!” maki Joko dalam hati namun bibirnya 

sunggingkan senyum.

“Aku tak tahu bagaimana membuatmu percaya, Sa-

raswati! Tapi sudahlah.... Yang jelas titik terang telah 

kudapatkan!”

Habis berkata begitu, perlahan-lahan Joko melang-

kah mendekati pintu di pojok ruangan. Kepalanya di-

longokkan ke dalam. Yakin tak ada orang, Joko me-

lompat dan tegak di tangga batu. Dia edarkan pandan-

gan berkeliling. Lalu memberi isyarat pada Saraswati. 

Tanpa banyak mulut Saraswati melompat. Saat yang 

sama Joko mulai melangkah menaiki tangga batu. Sa-

raswati mengikuti di belakangnya.

Murid Pendeta Sinting kembali edarkan pandang 

matanya begitu tegak di atas lobang agak besar. Tiba-

tiba sepasang matanya menyipit tatkala menangkap 

dua sosok tubuh tergeletak di bawah lobang.

“Ada yang tak beres!” gumam Joko tanpa berpaling 

pada Saraswati yang telah tegak di sampingnya.

Saraswati tidak pedulikan atau menyahut ucapan 

Joko. Matanya tertuju pada salah satu sosok yang ter-

geletak di bawah sana. Dadanya tiba-tiba berdebar.

“Aku sepertinya mengenali pakaian yang dikena-

kan.... Apakah....” Saraswati tidak lanjutkan ucapan, 

sebaliknya langsung melompat turun.

“Saraswati! Tunggu!” tahan Joko. Tapi terlambat. 

Saraswati sudah melayang turun dan tahu-tahu telah 

tegak di samping salah satu sosok yang tergeletak.

Dengan dada makin berdebar Saraswati bergerak 

jongkok. Lalu memperhatikan. Mendadak gadis ini 

menjerit. Lalu hempaskan tubuhnya di atas sosok


yang tergeletak.

“Ibu.... Ibu.... Siapa yang melakukan ini?! Siapa?!” 

teriak Saraswati.

Jeritan Saraswati sudah cukup membuat Joko tahu 

apa yang telah terjadi. Tanpa buka mulut lagi dia lang-

sung berkelebat turun dan tegak di samping Saraswati. 

Dia menatap sejenak pada sosok yang ada di bawah 

Saraswati.

“Tusuk konde itu.... Aku seperti pernah melihat-

nya!” kata Joko dalam hati memperhatikan tusuk 

konde hitam besar yang menancap masuk hampir se-

paro ke dalam lambung orang.

Saat lain Joko arahkan pandang matanya pada so-

sok yang satunya. Karena belum jelas benar, apalagi 

sosok itu telungkup, Joko segera berkelebat. Lalu 

membalikkan si sosok.

“Astaga! Ni Luh Padmi....” Pendekar 131 masih da-

pat mengenali orang meski wajah dan sekujur tubuh-

nya menghitam.

“Melihat tusuk konde si nenek ini menancap di lam-

bung ibu Saraswati, besar kemungkinan mereka ber-

dua terlibat bentrok! Tapi.... Ada yang aneh. Mengapa 

keduanya sama menghitam! Tidak mungkin dua orang 

berilmu berlainan punya pukulan yang sama! Berarti 

ada orang lain yang melakukan pembunuh ini! Lalu 

sengaja menusukkan tusuk konde si nenek agar di-

sangka mereka berdua terlibat bentrok!”

Murid Pendeta Sinting memandang berkeliling. 

“Udara di sini lain...” Mungkin khawatir, Joko cepat 

kerahkan tenaga dalam. Tapi sebelum tenaga dalam 

benar-benar dikerahkan dia merasakan sesuatu. Joko 

urungkan niat. “Dugaanku benar.... Hawa di sini 

lain.... Mungkin udaranya telah ditaburi racun! Aku 

merasakan hawa aneh tatkala hendak salurkan tenaga 

dalam! Mungkin ini penyebab kematian kedua orang


itu!”

Berpikir begitu, Joko cepat melompat ke arah Sa-

raswati. Dia hendak mengatakan apa yang diduganya. 

Namun belum sempat dia buka mulut, Saraswati telah 

angkat kepalanya dari sosok mayat Lasmini.

“Pendekar 131!”

Sebelum Saraswati lanjutkan ucapan, murid Pende-

ta Sinting sudah menukas karena tak ingin terus-

terusan dituduh dan tahu bahwa apa yang akan di-

ucapkan Saraswati adalah tuduhan itu.

“Saraswati! Jangan kau terus menuduhku! Aku tak 

tahu apa-apa dalam urusan ini! Bahkan kita rupanya 

juga masuk dalam perangkap bahaya!”

“Apa maksudmu?!”

“Hawa di tempat ini beracun! Jangan sekali-kali kau 

kerahkan tenaga dalam!”

“Bagaimana kau bisa tahu?!”

“Kau masih juga curiga padaku!”

“Curiga memang benar! Tapi aku tanya sesungguh-

nya! Bagaimana kau tahu hawa di tempat ini bera-

cun?!”

“Aku akan kerahkan tenaga dalam. Tapi aku mera-

sakan hawa aneh.... Dan kau lihat sosok di sana itu! 

Sekujur tubuhnya juga menghitam sama seperti tubuh 

ibumu! Aku lalu siapa dia.... Dia adalah nenek berna-

ma Ni Luh Padmi! Dan tusuk konde hitam yang me-

nancap di lambung ibumu adalah tusuk konde milik 

nenek itu!”

“Berarti jahanam itu yang melakukan pembunuhan 

pada Ibu!”

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. “Pada mu-

lanya aku menduga demikian.... Tapi kurasa itu ha-

nyalah permainan agar orang menduga seperti du-

gaan-mu!”

“Aku tak mengerti ucapanmu!”


“Kalau benar antara ibumu dan nenek itu terlibat 

bentrok, bagaimana mungkin mereka berdua bisa 

mengalami nasib sama?! Aku memang tak mengenal 

betul siapa ibumu juga nenek itu. Tapi aku jelas sekali 

tahu kalau nenek itu berasal dari daerah seberang. 

Jadi kecil kemungkinan dia dan ibumu mendapatkan 

ilmu dari satu orang! Aneh bukan kalau sekarang 

mengalami nasib yang sama dengan tubuh sama hi-

tam? Ada orang lain yang melakukan! Lalu menyerang 

ibumu dengan tusuk konde si nenek agar orang men-

duga keduanya terlibat bentrok!”

Saraswati anggukkan kepalanya mengerti apa mak-

sud Joko. “Anehnya lagi, dan ini yang membuatku ma-

kin percaya kalau hawa di sini beracun!” sambung Jo-

ko. Lalu tengadahkan kepala.

“Kau lihat jarak antara bagian bawah lobang ini 

dengan di atas sana. Aneh bukan kalau bagi mereka 

tidak bisa melompat keluar?!”

Saraswati mengukur jarak. Diam-diam dia membe-

narkan ucapan murid Pendeta Sinting.

Joko merenung sejenak sebelum akhirnya lanjutkan 

ucapan. “Mereka kesulitan naik karena untuk melom-

pat ke atas sana diperlukan pengerahan tenaga dalam 

meski tidak seberapa! Dan menurut dugaanku, mereka 

takut mengerahkan tenaga dalam karena tahu tempat 

ini telah ditaburi racun! Dan tidak tertutup kemungki-

nan, racun itulah yang menyebabkan sekujur tubuh 

ibumu dan nenek itu menjadi hitam! Karena tidak ada 

bekas pukulan yang berarti di tubuhnya! Mereka nekat 

mengerahkan tenaga dalam karena terpaksa....”

“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?!” 

tanya Saraswati. Perlahan-lahan kecurigaan gadis ini 

pada Joko mulai lenyap.

“Aku tak tahu.... Mungkin mereka berdua sudah be-

rusaha. Tapi nyatanya mereka tidak berhasil....”


Mendengar ucapan Joko, tengkuk Saraswati jadi 

dingin. Sementara Joko mulai melangkah mengitari lo-

bang. Kedua tangannya sesekali mengetuk-ngetuk 

dinding lobang! Tapi sampai berputar tiga kali, dia ti-

dak menemukan sesuatu yang mencurigakan.

“Di sini tidak ada tempat rahasia lagi.... Berarti 

tempat ini memang sengaja disiapkan. Entah untuk 

apa.... Yang jelas, sekarang kita harus cari akal untuk 

naik ke atas tanpa harus kerahkan tenaga dalam!”

Pendekar 131 mendekati dinding lobang tidak jauh 

dari Saraswati lalu tegak bersandar. Saraswati sendiri 

tercenung diam. Hanya matanya yang mengedar ke 

atas lobang lalu sesekali memandangi sosok mayat 

ibunya.

***

SEBELAS



AKAN kucoba!” Tiba-tiba Joko bergumam seraya 

melangkah ke dinding seberang. Di bawah mana dia 

tadi tegak di atas. Saraswati memperhatikan dengan 

kancingkan mulut. Namun seraya terus mengawasi 

langkah-langkah kaki Joko, gadis anak Lasmini ini 

berkata dalam hati.

“Selama ini aku telah berburuk sangka padanya! 

Walau aku belum percaya sepenuhnya, tapi aku sudah 

tidak punya curiga lagi padanya! Anehnya, siapa ge-

rangan orang yang menyamar sebagai dirinya?! Apa-

kah Kiai Laras...?! Bukankah orang tua itu yang me-

nunjukkan tempat ini pada Ibu?! Saat itu juga aku me-

lihat pemuda yang menyamar itu mengeluarkan se-

kuntum bunga bersinar-sinar di balik pakaiannya! 

Menurut beberapa keterangan yang kusirap, bunga


itulah yang kini banyak dibicarakan orang dan dis-

ebut-sebut sebagai Kembang Darah Setan! Tapi....” Sa-

raswati tidak lanjutkan kata hatinya ketika melihat 

Joko telah keluarkan Pedang Tumpul 131 dari balik 

pakaiannya.

Ruangan lobang itu seketika bertabur kemilau kee-

masan karena sinar yang dipancarkan pedang di tan-

gan Joko.

“Apa yang hendak dilakukannya?!” bisik Saraswati.

Di depan sana Joko angkat pedangnya tinggi-tinggi 

dengan andalkan tenaga luar. Saat lain tangan Joko 

yang memegang pedang berkelebat.

Craakk!

Dinding lobang perdengarkan benturan keras. Tan-

gan kanan Joko terpental ke belakang. Dinding lobang 

bergetar. Saat bersamaan terlihat muncratan api di-

sertai bertaburnya batu.

“Kita berhasil!” teriak murid Pendeta Sinting saat 

melihat satu rengkahan agak besar di dinding lobang 

yang terhantam pedang.

Joko mundur dua langkah. Lalu melompat ke atas. 

Pedang Tumpul 131 kembali berkelebat. Untuk kedua 

kalinya kembali terdengar benturan keras. Taburan 

batu kembali menebar. Saat taburan luruh, di atas 

rengkahan yang pertama terlihat lagi rengkahan lain.

Joko memperhatikan sesaat. Lalu maju dan ba-

batkan kembali pedangnya. Kini terlihat rengkahan 

lain di samping rengkahan yang pertama.

Joko angkat kaki kanannya dan diletakkan pada 

rengkahan yang pertama. Lalu angkat kaki kirinya dan 

diletakkan pada rengkahan di samping rengkahan 

yang pertama. Tangan kirinya segera menggapai reng-

kahan di atas rengkahan yang pertama. Kini tubuh 

Joko menempel di dinding dengan bertumpu pada tan-

gan kiri yang berpegangan pada rengkahan di atas


rengkahan yang pertama.

Joko tarik tubuhnya sedikit ke belakang. Pedang 

Tumpul 131 di tangan kanannya kembali dikelebatkan. 

Begitu seterusnya hingga terlihat beberapa rengkahan. 

Dan Joko setapak demi setapak naik ke atas sampai 

akhirnya tiba di bagian atas lobang.

Joko menarik napas panjang. Pedang Tumpul 131 

dipandangi sesaat lalu dimasukkan lagi ke dalam sa-

rungnya di balik pakaiannya.

“Saraswati.... Tunggu sebentar!” teriak murid Pende-

ta Sinting lalu berkelebat. Tak lama kemudian dia te-

lah muncul lagi dengan tangan membawa tali dari akar 

panjang. Tali akar segera dilemparkan ke bawah. Sa-

raswati angkat mayat ibunya dan mendekati ujung tali 

akar.

“Ibumu bisa kau ikat di ujung. Kamu nanti meng-

gantung di atasnya!” teriak Joko dari atas.

Saraswati segera lakukan ucapan Joko. Ujung akar 

dililitkan berputar pada tubuh ibunya. Lalu perlahan-

lahan didekatkan ke dinding. Saraswati sendiri tampak 

pegang tali akar kuat-kuat di atas sosok Lasmini.

“Tarik!” seru Saraswati.

Perlahan-lahan Joko menarik tali akar ke atas. Lalu 

menolong Saraswati begitu si gadis telah muncul di bi-

bir lobang. Saat lain keduanya mengambil mayat Las-

mini yang tergantung di bibir lobang.

Joko cepat lepaskan lilitan akar pada sosok Lasmi-

ni. Lalu kembali lemparkan ujung akar ke bawah. 

“Mayat nenek itu harus kita angkat sekalian! Bagai-

manapun juga menurut kabar yang kudengar, nenek 

itu adalah bekas kekasih eyang guruku! Kau nanti 

yang menarik. Aku akan ke atas lewat rengkahan itu!”

Tanpa menunggu sahutan dari Saraswati, murid 

Pendeta Sinting melayang ke bawah lalu mengangkat 

mayat Ni Luh Padmi ke pinggiran dinding dan melilit


tubuh si nenek dengan ujung akar.

“Tarik pelan-pelan! Aku akan memeganginya sambil 

naik melalui rengkahan!” teriak Joko.

Saraswati tarik tali akar perlahan-lahan. Sementara 

Joko menopang dari bawah dengan bertumpu pada 

beberapa rengkahan yang dibuatnya.

“Kita harus segera menguburkan mereka!” ujar Joko 

begitu sampai di atas seraya lepaskan lilitan akar pada 

mayat Ni Luh Padmi.

Masih tanpa buka suara, Saraswati mengangkat 

mayat ibunya. Joko mengangkat mayat Ni Luh Padmi.

Keduanya melangkah keluar dari ruangan goa.

“Sudahlah, Saraswati.... Semuanya sudah terjadi! 

Yang kita pikirkan sekarang adalah mencari siapa ge-

rangan di balik pembunuhan ini! Aku rasa, yang mela-

kukannya tidak lain adalah orang yang selama ini me-

nyamar sebagai diriku!” kata Joko seraya pegangi len-

gan Saraswati yang sesenggukan di samping makam 

ibunya.

“Semua memang sudah terjadi! Tapi seandainya 

saat itu Ibu turuti nasihatku.... Tak mungkin semua 

ini akan terjadi!”

“Kau jangan banyak berandai-andai. Terimalah ke-

nyataan ini...!”

Saraswati berpaling pada murid Pendeta Sinting. 

Matanya yang masih digenangi air mata menatap sen-

du lalu berucap.

“Sekarang ke mana akan kita cari jahanam itu?! La-

gi pula kita belum tahu siapa dia sebenarnya!”

“Aku sedikit banyak bisa menduga siapa dia se-

benarnya! Tapi aku tidak berani memastikan dahulu!”

“Maksudmu di balik semua ini adalah orang tua 

bernama Kiai Laras itu?!”

“Ini masih dugaan...,” kata Joko sambil anggukkan 

kepala. “Tapi melihat beberapa peristiwa yang terjadi,


besar kemungkinan dugaan ini banyak benarnya!” La-

lu Joko menceritakan pertemuannya dengan Kiai La-

ras. Juga menceritakan musibah yang dialami Pitaloka 

sampai akhirnya Pitaloka menunjukkan tempat di ma-

na akhirnya ditemukan mayat Lasmini dan Ni Luh 

Padmi. Namun sejauh ini Joko tidak menceritakan pe-

rihal benda merah yang diambilnya dari pusar bayi Pi-

taloka.

Mendengar keterangan murid Pendeta Sinting, Sa-

raswati terkejut. Lalu dengan tundukkan kepala dia 

bergumam pelan.

“Joko.... Kau mau memaafkan aku?! Selama ini aku 

telah menaruh prasangka buruk padamu....”

“Aku tak bisa memaafkanmu! Kecuali dengan satu 

syarat!” Joko menyahut dengan suara agak keras.

Saraswati terlengak kaget. Dia angkat kepala. Joko 

sudah berpaling terlebih dahulu hingga tak melihat pe-

rubahan pada wajah Saraswati.

“Joko! Apa pun syaratmu akan kupenuhi! Katakan 

saja...,” gumam Saraswati dengan suara bergetar dan 

tersendat.

Beberapa saat Joko belum juga buka suara. Tapi 

tak lama kemudian dia buka mulut namun masih tan-

pa memandang ke arah Saraswati.

“Benar kau akan penuhi syaratku?!”

“Katakanlah...!” ujar Saraswati sembari anggukkan 

kepala meski dia tahu orang tidak memandangnya.

Pendekar 131 berpaling. Matanya mendelik. Mulut-

nya terkancing rapat. Saraswati terkesiap dengan dada 

berdebar. Namun mendadak mulut Joko bergerak 

sunggingkan senyum seringai dan berkata.

“Tersenyumlah!”

Saraswati kerutkan kening. Joko tersenyum dan 

berkata. “Aku mau memaafkanmu kalau kau mau ter-

senyum!”


Belum sampai ucapan Joko selesai, Saraswati su-

dah membuat senyum lebar. Dan tanpa sadar gadis ini 

memegang lengan Joko sembari berkata pelan.

“Benar hanya itu syarat yang kau minta?!” tanya 

Saraswati dan kini sudah rebahkan kepalanya di 

samping dada Joko.

“Kalau aku minta lainnya, jangan-jangan kau kebe-

ratan!”

“Apa pun permintaanmu, akan kupenuhi...!” kata 

Saraswati seraya mendongak. Dagu murid Pendeta 

Sinting tampak bersentuhan dengan kening Saraswati.

Darah Pendekar 131 berdesir. Apalagi kini tangan 

sebelah Saraswati tiba-tiba sudah melingkar di ping-

gangnya. Entah karena khawatir terdorong ke samp-

ing, Joko terpaksa lingkarkan tangannya pula pada 

pinggang Saraswati. Saraswati pejamkan mata. “Beta-

pa bahagia jika Ibu masih ada dan menyaksikan aku 

hidup berdampingan dengan pemuda seperti dia....”

Tanpa disadari oleh murid Pendeta Sinting dan Sa-

raswati yang tengah berangkulan di dekat makam 

Lasmini, dua pasang mata dari tadi tampak terus 

memperhatikan dari rimbunan semak. Sepasang mata 

sebelah kanan terlihat biasa-biasa saja meski meman-

dang tak berkesip. Namun sepasang mata satunya 

tampak mengerjap beberapa kali dan kejap lain berka-

ca-kaca! Malah tak lama kemudian dua telapak tangan 

halus tampak menutup mata yang berkaca-kaca itu!

“Tabahkan diri! Jangan membuat mereka tahu ke-

hadiran kita dengan suara tangismu!” Terdengar bisi-

kan lembut. Jelas suara itu terdengar dari orang yang 

memiliki mata sebelah kanan dan tampak terus me-

mandang tak berkesip ke arah Joko dan Saraswati.

Kedua tangan halus yang tadi menutupi mata yang 

berkaca-kaca diturunkan ke bawah. Sepasang mata itu 

masih terlihat tergenangi air mata. Saat lain sepasang


mata ini berpaling ke kanan, dan ke arah sepasang 

mata yang terus memandang. Saat bersamaan terden-

gar suara lembut.

“Kita harus pergi menjauh.... Tidak pantas kita me-

lihat orang yang tengah berkasih-kasihan....”

“Bukan kita yang tidak pantas! Tapi mereka berdua! 

Tega-teganya mereka saling berpelukan di dekat ma-

kam! Padahal aku yakin orang di makam itu baru di-

kuburkan! Dan pasti makam itu adalah makam kera-

bat dekatnya!”

“Ah.... Mungkin mereka tak sadar...,” sahut pemilik 

mata yang berkaca-kaca.

“Ini bukan masalah sadar atau tidak!”

“Kau terlalu berprasangka.... Lagi pula apa urusan 

kita dengan mereka?!”

Mata yang sejak tadi memandang tak berkesip ber-

gerak memaling ke kiri. Ke arah mata yang tadi berka-

ca-kaca. Lalu terdengar bisikan lembut meski nada-

nya keras.

“Kau jangan menutupi perasaan! Aku tahu bagai-

mana perasaanmu melihat pemuda itu berpelukan 

dengan seorang gadis! Dan kau pula tahu apa urusan 

kita dengan pemuda itu!”

“Kita sudah menyerahkan semua urusan padanya! 

Berarti urusan kita dengannya sudah selesai! Dan te-

rus terang.... Sebelumnya aku memang tertarik pada 

pemuda itu, tapi kini.... Ah, percuma kita bicarakan! 

Kita sudah tahu apa yang terjadi!” kata suara pemilik 

mata yang berkaca-kaca.

“Tidak! Aku harus menyelesaikannya! Urusan itu 

belum selesai sampai di sini! Kau tahu.... Pada awal-

nya sebenarnya aku juga tertarik pada pemuda itu. 

Namun kini aku sadar siapa diriku. Lagi pula aku tahu 

kau menyukainya. Aku ingin kau berbahagia dengan 

pemuda itu! Aku harus dapat menyatukan kau dan


pemuda itu! Karena itulah yang bisa kuberikan sebagai 

tebusan atas segala perbuatanku yang menyakitkan 

hatimu....”

“Kau jangan bicara yang bukan-bukan! Perasaan 

cinta tidak bisa dipaksakan! Dan jangan ungkit-ungkit

lagi peristiwa yang telah berlalu.... Sebaiknya kita se-

gera pergi dari sini....”

“Tunggu! Lihat mereka!” kata suara pemilik mata 

yang tadi terus mengawasi.

Mata yang tadi berkaca-kaca dan kini masih terge-

nangi air mata kembali memandang pada murid Pen-

deta Sinting dan Saraswati yang beranjak bangkit dari 

samping makam. Kedua orang pemilik dua pasang ma-

ta di balik semak ini tidak bisa mendengar apa yang di-

bicarakan Joko dan Saraswati. Karena Joko dan Sa-

raswati bicara amat pelan malah setengah berbisik.

“Jangan-jangan mereka sudah tahu kehadiran ki-

ta...!” ujar suara pemilik mata yang berkaca-kaca.

“Itu lebih baik! Berarti kita selesaikan sekalian uru-

sannya di sini!” sahut pemilik mata satunya.

“Jangan membuat urusan baru.... Percayalah. Aku 

bisa menerima semua ini....”

“Aku tahu bagaimana perasaanmu sebenarnya! Apa 

yang baru kau ucapkan bertolak belakang dengan apa 

sesungguhnya yang ada dalam hatimu!”

Si pemilik mata yang berkaca-kaca tergagu diam tak 

bersuara lagi. Sementara di depan sana, Pendekar 131 

dan Saraswati tampak saling pandang, lalu masih den-

gan saling berangkulan, mereka berdua melangkah 

tinggalkan tempat pemakaman.

“Kita ikuti mereka!” kata pemilik mata yang terus 

memandang tak berkesip.

“Tidak ada gunanya! Bukannya karena aku tak ta-

han melihat mereka, tapi kurasa kau mengajakku bu-

kan untuk mengikuti orang yang tengah berkasih


kasihan!”

“Hem.... Ucapanmu benar. Tapi sebenarnya salah!”

“Maksudmu...?!” tanya si pemilik mata yang berka-

ca-kaca.

“Aku sengaja minta izin waktu pada Eyang semata-

mata hanya untuk mengikuti pemuda itu! Karena pe-

muda itu pasti tengah mencari jahanam keparat yang 

kini kucari!”

“Jadi...?”

“Aku memang hendak membalas tindakan manusia 

berjubah hitam yang memperkosaku itu! Kalau murid 

Pendeta Sinting meninggalkan tempat ini, berarti jaha-

nam keparat itu juga tidak berada di tempat ini! Jadi 

kita harus mengikutinya!”

“Kau jangan gila! Kau tahu siapa yang akan kau 

hadapi?!”

“Benda untuk menghadapinya sudah berada di tan-

gan Pendekar 131! Aku tinggal menunggu kesempatan. 

Yang jelas selembar nyawanya aku yang punya hak 

untuk memutusnya!”

“Tapi....”

“Aku sudah bersumpah! Dan aku harus lakukan 

sumpahku! Kita ikuti mereka!”

Habis terdengar suara begitu, satu sosok bayangan 

merah tampak berkelebat ke arah mana tadi Joko dan 

Saraswati melangkah. Saat lain satu bayangan merah 

juga berkelebat dari balik semak menyusul bayangan 

merah yang berkelebat lebih dahulu.



                  SELESAI



Segera terbit:

PENGADILAN NERAKA



















Share:

0 comments:

Posting Komentar