..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 04 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE LEMBAH PATAH HATI

JOKO SABLENG EPISODE LEMBAH PATAH HATI

 Hak cipta dan copy right pada 

penerbit di bawah lindungan 

undang-undang

Joko Sableng telah

Terdaftar pada Dept. Kehakiman R. I.

Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan 

Merek di bawah nomor 012875



SATU


BERLARI kira-kira dua puluh tombak, orang tua be-

rambut putih jabrik mendadak berhenti. Di belakang-

nya, Pendekar 131 Joko Sableng yang mengejar karena 

penasaran dengan orang serta ucapan-ucapannya, 

hentikan pula larinya. Si orang tua berambut putih ja-

brik tersenyum lalu putar diri menghadap murid Pen-

deta Sinting.

“Apa yang kau inginkan dariku, Pendekar 131?!” Si 

orang tua angkat bicara.

Pendekar 131 perhatikan sesaat pada orang. Lalu 

berucap. “Orang tua. Sebelum aku menanyakan sesua-

tu, sudi sebutkan diri?!”

“Permintaanmu memberi petunjuk kecurigaan hati!” 

kata si orang tua seraya tertawa pendek. “Jika aku ti-

dak memenuhi permintaanmu, apakah kau urung ber-

tanya?!”

“Bukan begitu. Kau telah mengenaliku walau aku 

percaya kita belum pernah bertemu. Rasanya....”

Belum sampai murid Pendeta Sinting teruskan uca-

pan, si orang tua berambut jabrik telah memotong. 

“Kau nanti akan mengetahuinya! Sekarang katakan 

apa yang hendak kau tanyakan!”

Untuk kesekian kalinya murid Pendeta Sinting 

memperhatikan orang dengan seksama. Seperti di-

ketahui, setelah berpisah dengan Nyai Tandak Kem-

bang dan Putri Kayangan, serta meninggalkan Dewi 

Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk, Joko me-

lihat satu sosok berkelebat. Sebenarnya dia tak mau 

ambil peduli. Namun karena kawasan hutan di mana 

kini dia berada adalah tempat yang diduga beberapa 

orang adalah kawasan orang yang dicari, lebih dari itu 

karena sosok yang berkelebat sepertinya sengaja mem


buat Joko penasaran, akhirnya murid Pendeta Sinting 

ikut berkelebat mengejar.

Ternyata sosok itu adalah seorang laki-laki berusia 

lanjut berambut putih dipotong sangat pendek hingga 

rambutnya tegak-tegak. Dia mengenakan pakaian pu-

tih diselempangkan mirip pakaian para biksu yang ba-

gian dada kanannya terbuka. Di tangan kanannya 

memegang sebuah tasbih pendek dari butiran kayu 

warna coklat. Dia juga mengenakan kalung panjang 

dari butiran kayu berwarna coklat pula.

Pendekar 131 yakin belum pernah bertemu dengan 

si orang tua berambut putih jabrik itu. Anehnya, si 

orang tua sudah mengenalinya. Dan yang menambah 

Joko penasaran serta mengejar lagi begitu si orang tua 

berkelebat adalah ucapan-ucapannya.

“Orang tua!” kata murid Pendeta Sinting setelah 

perhatikan orang untuk yang kesekian kalinya seolah 

ingin yakinkan kalau dia memang belum pernah ber-

jumpa. “Aku tidak mengerti dengan ucapan-ucapanmu 

tadi. Kau mau memberi penjelasan?!”

“Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu! Tapi satu 

hal yang pasti, saat ini kau laksana sudah menebar 

darah di laut. Dan Itu berarti Ikan hiu akan mengejar-

mu!”

“Orang tua! Kau pasti sudah tahu kalau aku tengah 

mencari seseorang! Adalah aneh ucapanmu itu! Men-

gapa aku kau ibaratkan sudah menebar darah dan di-

kejar?! Justru sekarang aku tengah mengejar!”

Si orang tua tertawa. “Itulah mengapa aku tidak bi-

sa memenuhi permintaanmu. Penjelasan apa pun tak 

akan kau mengerti! Dan justru nanti akan kau men-

gerti sendiri bila tiba saatnya!”

“Baiklah! Sekarang apa kau masih tak mau se-

butkan diri?!”

“Selain alasan aku sudah mengenalimu walau kita 

belum pernah bertemu, apakah kau punya alasan lain


hingga kau begitu bernafsu?!”

Murid Pendeta Sinting terdiam beberapa lama. “Ru-

panya orang tua itu tak mau dikenali! Untuk sebutkan 

diri saja minta beberapa alasan! Siapa pun dia aku tak 

peduli. Yang jelas dia bukan orang yang kucari! Mana 

ada laki-laki tua seperti dia bisa bunting?!” kata Joko 

dalam hati. Lalu berkata.

“Orang tua! Dari pertanyaanmu sebenarnya justru 

kau yang punya curiga padaku! Tak apalah.... Aku 

akan percaya pada ucapanmu jika kelak aku akan ta-

hu siapa dirimu dan apa maksud ucapanmu!”

Murid Pendeta Sinting tidak menunggu sahutan 

orang. Dia cepat balikkan tubuh. Namun entah karena 

apa dia tidak segera berkelebat walau sejenak tadi ka-

kinya sudah bergerak. Sebaliknya dia segera buka mu-

lut ajukan tanya.

“Orang tua! Kalau aku tanya kau hendak ke mana, 

apakah kau juga akan tanyakan beberapa alasan?!”

“Tergantung....”

“Apanya yang tergantung?! Maksudku.... Tergan-

tung apa?!” tanya Joko tanpa putar diri menghadap 

orang.

“Tergantung apa maksud keinginanmu hendak ber-

tanya aku akan pergi ke mana!”

“Itu namanya alasan!”

“Terserah mau kau bilang apa! Yang pasti begitulah 

adanya!”

“Orang tua!” kata Joko dengan nada agak tinggi 

namun diseling tertawa. “Kau tahu artinya ‘busyet’?!”

Kali ini lagi-lagi murid Pendeta Sinting tidak me-

nunggu jawaban orang. Dia segera berkelebat seraya 

tertawa bergelak-gelak. Namun sebenarnya gelakan

tawa itu hanya untuk menutupi rasa penasaran dan 

kecewa. Diam-diam dia membatin. “Jangan-jangan 

orang tua itu adalah Kigali yang pernah diceritakan 

Datuk Wahing. Bukankah Nyai Tandak Kembang ber


kata pernah bertemu dengan Kigali?!”

Kebimbangan yang kembali melanda dada Joko 

membuat gerakan kakinya terhenti. Lalu sosoknya ce-

pat memutar. Di depan sana si orang tua tetap tegak 

memperhatikan dengan bibir tersenyum dan tangan 

memutar-mutar tasbih pendeknya.

“Orang tua itu benar-benar bikin hati orang penasa-

ran! Apakah aku harus mengikutinya? Tapi untuk 

apa?! Pitaloka yang kucari, bukan dia! Namun siapa 

tahu dia orang yang menyembunyikan Pitaloka?! 

Ah...!” Joko terus membatin dan berperang dengan ke-

bimbangan. Sementara si orang tua berambut putih 

jabrik di depan sana tetap diam tegak namun kini 

pandangan matanya mengarah ke jurusan lain.

“Akan kucoba sekali lagi bertanya padanya! Siapa 

tahu dia mau buka mulut!” Akhirnya murid Pendeta 

Sinting memutuskan setelah agak tema termenung. 

Namun belum sampai dia bergerak mendekati, si orang 

tua berambut jabrik putih sudah memutar tubuh lalu 

tanpa berkata-kata lagi berkelebat tinggalkan tempat 

itu.

Pendekar 131 tidak urungkan niat. Dia berkelebat 

mengejar. Namun baru saja hendak bergerak, ekor ma-

tanya menangkap satu bayangan yang berhari di sebe-

lah samping sana.

“Ada orang lain lagi di tempat ini!”

Belum sampai habis gumaman murid Pendeta Sint-

ing, berjarak dua belas langkah di seberang samping

sana telah tegak satu sosok tubuh.

Murid Pendeta Sinting cepat berpaling. Sesaat sepa-

sang matanya membeliak. Dia melihat seorang nenek 

berambut putih lebat yang dikelabang dua dan ujung-

nya diberi pita. Sementara rambut bagian depannya 

diponi dan digeraikan di depan kening. Mengenakan 

baju tanpa lengan dan amat cingkrang berwarna me-

rah hingga ketiak dan pusarnya kelihatan. Pakaian


bawahnya berupa celana pendek di atas lutut, mem-

buat pahanya yang berkulit hitam tampak nyata. Ne-

nek ini membedaki wajahnya dengan tebal. Bibirnya 

dipoles merah menyala. Pipi kiri kanannya diberi war-

na merah muda. Tangan kanannya memegang sebuah 

bumbung bambu. Sedang tangan kirinya memegang 

sebuah rumput ilalang agak panjang.

“Bibi Dayang Sepuh!” gumam Joko mengenali siapa 

adanya si nenek berdandan mencorong. “Untuk apa 

dia membawa bumbung bambu dan ilalang?!”

“Setan geblek!” Tiba-tiba si nenek berbaju tanpa 

lengan dan bercelana pendek warna merah perdengar-

kan suara seraya melompat ke depan dan tegak enam 

langkah di hadapan Joko. “Mana nyai setan dan putri 

setan itu?!”

Murid Pendeta Sinting tidak segera menjawab. Se-

baliknya arahkan pandang matanya ke arah berkele-

batnya si orang tua berambut jabrik putih. Ternyata 

sosok si orang tua sudah tidak kelihatan lagi.

Si nenek berdandan mencorong dan bukan lain 

memang Dayang Sepuh adanya tampak geregetan 

mendapati orang yang ditanya tidak segera menjawab 

malah arahkan pandangan ke jurusan lain. Dia segera 

buka mulut lagi. Tapi Joko keburu mendahului.

“Bibi.... Kau melihat orang tua itu tadi?!”

“Setan! Ditanya bukannya memberi jawaban tapi 

balik bertanya!” Dayang Sepuh mendelik sembari 

membentak.

Karena sudah tahu watak si nenek, Joko tidak hi-

raukan bentakan Dayang Sepuh. Malah dia tersenyum 

namun dalam hati berkata. “Rupanya dia tidak menge-

tahui adanya si orang tua itu tadi!” Lalu buka mulut 

menjawab pertanyaan si nenek.

“Bibi.... Mereka berdua entah ke mana. Kami berpi-

sah di sebelah utara sana!”

“Memang lebih baik kau berpisah dengan kedua se


tan perempuan itu! Kalau tidak, aku khawatir kau be-

rubah jadi manusia setan yang bisu dan tidak kuasa 

berbuat apa-apa!”

“Harap maafkan kalau tempo hari aku tidak me-

nyambutmu. Karena aku telah terikat perjanjian den-

gan Nyai Tandak Kembang!”

Seperti dituturkan dalam episode: “Nyai Tandak 

Kembang”, murid Pendeta Sinting yang saat itu bersa-

ma Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang sempat 

bertemu dengan Dayang Sepuh yang saat itu bersama 

Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun. Pendekar 131 

memang tidak berkata apa-apa saat pertemuan itu, ka-

rena dia telah dipesan Nyai Tandak Kembang untuk ti-

dak melakukan atau berkata selain yang diperintah-

kan si nyai. Joko terpaksa mengikuti aturan Nyai Tan-

dak Kembang, karena dia yakin Nyai Tandak Kembang 

akan menemukan Pitaloka dan dia sendiri ingin terus 

bersama Putri Kayangan.

Di lain pihak, Dayang Sepuh sendiri tampak jengkel 

pada Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun. Karena 

saat mengintai Pendekar 131, Putri Kayangan, dan 

Nyai Tandak Kembang, dan munculnya Dewi Ayu 

Lambada, Iblis Ompong, serta Dewa Uuk, ternyata Da-

tuk Wahing dan Gendeng Panuntun sudah pergi tanpa 

memberi tahu. Hingga dengan membawa dada yang 

dongkol, Dayang Sepuh berkelebat pergi untuk menca-

ri Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun.

“Aku mencium aroma seperti di sekitar tanah ke-

tinggian itu!” Tiba-tiba murid Pendeta Sinting berkata 

dalam hati dengan hidung kembang-kempis dan ke-

pala berputar mencari sumber aroma. “Bau kencing...! 

Aroma sedap ini tadi tidak ada, tapi bersamaan dengan 

munculnya nenek itu, hidungku menciumnya! Jangan-

jangan nenek itu terkencing di celana tanpa disadari! 

Jelas bau ini berasal dari sana!” Joko angkat kepa-

lanya lurus ke arah Dayang Sepuh. Matanya bukan


menatap ke arah paras wajah si nenek, melainkan pa-

da celana pendeknya.

“Celananya tidak kelihatan basah! Atau aku sendiri 

yang terkencing-kencing?!” Pendekar 131 kini gerak-

kan kepala menunduk dan memperhatikan bagian ba-

wah pakaiannya. “Pakaianku juga tidak basah! Lalu 

siapa yang kencing di sekitar tempat ini...? Atau jan-

gan-jangan....” Entah karena khawatir, tangan murid 

Pendeta Sinting segera bergerak ke bagian bawah pa-

kaiannya dan mengusap berulang kali lalu tangannya 

ditarik ke depan hidungnya. Dia mengendus tangan-

nya beberapa kali.

Di depan sana Dayang Sepuh tegak mengawasi 

dengan mata melotot namun bahunya berguncang me-

nahan tawa. Dan saat itu juga ilalang di tangan ka-

nannya dimasukkan ke dalam bumbung bambu di 

tangan kirinya. Lalu ditarik dan dikibas-kibaskan.

Bau aroma kencing makin santer. Joko yang masih 

mengendus tangannya tampak kernyitkan dahi. Tam-

pangnya sedikit tegang dan merah padam. “Aroma itu 

makin gila! Jangan-jangan memang aku yang terkenc-

ing di pakaian tanpa sadar! Busyet betul!” Dia sudah 

hendak usapkan tangannya ke pakaian bagian bawah-

nya lagi untuk meyakinkan. Namun diurungkan ketika 

tiba-tiba tawa Dayang Sepuh meledak keras!

Karena ledakan tawanya, bahu si nenek makin ber-

guncang, membuat tangan kanannya yang memegang 

ilalang ikut bergerak-gerak, ilalang di tangan kanan 

Dayang Sepuh muncratkan percikan air.

Pendekar 131 memperhatikan. Kejap itu juga dia 

mendelik. “Busyet! Jadi dia biang bau kencing ini! Be-

rarti bumbung bambu itu terisi air kencing! Hem.... 

Aku tahu sekarang. Aroma kencing di sekitar tanah ke-

tinggian Itu pasti berasal dari dia! Berarti dia berada di 

sekitar tempat itu! Tapi ke mana Kakek Datuk Wahing 

dan Gendeng Panuntun? Tempo hari dia bersama ke


dua kakek itu! Lalu untuk apa dia membawa-bawa air 

kencing?!”

Selagi murid Pendeta Sinting membatin, Dayang 

Sepuh mendadak putuskan ledakan tawanya. Lalu 

bertanya dengan suara keras.

“Setan geblek! Kau tidak melihat dua setan tua 

bangka itu?!”

“Bibi! Kau ini aneh.... Bukankah mereka berdua 

bersamamu? Mengapa sekarang kau bertanya pada-

ku?!”

“Setan-setan itu memisahkan diri tanpa pamit!”

“Kalian bertengkar?!”

“Setan! Apa yang masih sedap dari kedua setan itu 

hingga menimbulkan pertengkaran?! Kau jangan bica-

ra tak karuan!”

“Ah.... Aku hanya menduga!”

“Hem.... Kau tadi menanyakan orang tua! Orang tua 

mana yang kau maksud?!” Tanya Dayang Sepuh se-

raya edarkan pandangan matanya berkeliling.

“Dia sudah pergi begitu melihat kemunculanmu....”

“Kau tak mengenalinya?!”

“Kalau aku kenal, tak mungkin aku bertanya pada-

mu! Anehnya, dia telah mengenaliku bahkan mengena-

limu juga!” ujar Joko berdusta.

Tiba-tiba Dayang Sepuh berkelebat dan tegak tiga 

langkah di depan Joko. Joko terkesiap. Entah karena 

khawatir si nenek marah mendengar ucapannya, mu-

rid Pendeta Sinting segera surutkan langkah satu tin-

dak. Namun dugaan Joko meleset. Dayang Sepuh bu-

kannya marah, sebaliknya tersenyum lebar. Lalu tan-

gan kanannya mengambil kelabangan rambutnya se-

mentara tangan kiri merapikan poni di kening. Lalu 

berkata.

“Bagaimana tampang orang itu? Masih tampan dan 

gagah? Menurutmu apakah serasi dengan diriku?!”

“Edan!” kata Joko dalam hati lalu tertawa ngakak.


Dayang Sepuh lepaskan kelabangan rambutnya 

dengan kepala sedikit disentakkan hingga kelabangan 

rambutnya meliuk dan perdengarkan desiran.

“Katakan padaku bagaimana tampang orang yang 

kau katakan telah mengenalku itu!” pinta Dayang Se-

puh.

“Berusia sekitar tujuh puluh tahunan. Parasnya 

masih lumayan. Rambutnya putih pendek dan begini-

begini!” Joko angkat tangan kanannya. Telunjuk ja-

rinya ditegakkan lalu digerakkan pulang balik ke ba-

wah ke atas. “Pokoknya jabrik!” kata Joko menerang-

kan isyarat telunjuk tangannya. “Dia mengena-kan pa-

kaian selempang warna putih yang terbuka bagian da-

da kanannya. Tangannya memegang tasbih warna cok-

lat pendek. Di lehernya melingkar kalung panjang juga 

berwarna coklat!”

Mendengar keterangan Joko tiba-tiba kembali 

Dayang Sepuh perdengarkan tawa bergelak.

“Kau mengenalinya, Bibi.... Siapa dia?!”

Dayang Sepuh putuskan gelakan tawanya. “Kau ti-

dak berkata dusta, Setan Geblek!”

“Berkata denganmu, mana aku berani bicara tidak 

benar?! Siapa dia, Bibi?!”

“Aku tidak kenal! Dan baru kali ini aku melihat 

orang yang ciri-cirinya seperti baru saja kau katakan!”

Murid Pendeta Sinting menarik napas panjang. “La-

gaknya saja tadi seperti kenal orang! Tak tahunya sa-

ma dengan diriku!” ujar Joko dalam hati dengan pera-

saan kecewa dan sedikit jengkel.

“Aku merasa ada yang tak beres di dalam hutan ini! 

Sudah dua setan manusia yang tiba-tiba mengenaliku 

padahal aku tidak kenal pada mereka!” gumam Dayang 

Sepuh seperti berkata pada diri sendiri. Lalu bertanya.

“Apa pula yang dikatakan padamu?!”

“Aku diibaratkan sudah menebar darah di lautan. 

Berarti ikan hiu akan mengejarku!” kata Joko menerangkan apa yang didengarnya dari si orang tua be-

rambut putih jabrik. “Kau bisa menangkap arti uca-

pannya itu, Bibi?!”

“Ucapan setan begitu mana bisa ditangkap orang?!” 

jawab Dayang Sepuh. “Tentang diriku, apa saja yang 

sempat dikatakan?!” Si nenek kembali ajukan tanya.

“Dia tak bicara apa-apa tentang dirimu. Hanya dia 

menyinggung-nyinggung jika kau tentu masih tetap 

bergaya dan makin cantik!”

“Hem.... Begitu?!”

“Ya.... Begitu!”

“Ke mana dia perginya?!”

“Ke arah sana!” Tangan kanan Joko menunjuk ke 

satu arah.

“Kau di sini sedang menunggu seseorang?!”

Dengan kening berkerut, murid Pendeta Sinting 

memberi isyarat jawaban dengan gelengan kepalanya.

“Bagus! Sekarang kita kejar setan jabrik itu!”

“Tunggu, Bibi!” tahan Joko melihat Dayang Sepuh 

hendak bergerak. “Kurasa tak ada perlunya mengejar 

setan jabrik itu! Karena jelas dia tidak bisa bunting 

dan berarti bukan dia orangnya yang perlu dicari!”

“Memang betul! Tapi aku curiga padanya! Lebih-

lebih aku ingin membungkam mulutnya yang menga-

takan padamu bahwa aku masih tetap bergaya dan 

makin cantik! Jelas meski seperti memuji tapi sebe-

narnya dia menghinaku!”

“Walah.... Ini akan jadi masalah! Padahal orang tua 

itu tadi tidak mengatakan demikian!” kata Joko dalam 

hati. Lalu berucap.

“Bibi.... Lebih baik kita teruskan saja mencari Pita-

loka! Waktu purnama sudah tidak lama lagi. Kalau ki-

ta kedahuluan orang, tentu akan berbahaya!”

“Itu alasan yang masuk akal! Tapi aku menangkap 

ucapan lain di balik alasanmu itu!”

“Maksudmu...?!”


“Kau takut aku membuktikan apa yang diucapkan 

setan jabrik itu padamu!”

Walau dalam hati membenarkan ucapan si nenek, 

namun Joko tak mau kehilangan muka. Maka dia se-

gera gelengkan kepala seraya berkata.

“Bukan begitu, Bibi! Dia mengatakan padaku, suatu 

saat nanti pasti akan bertemu denganku lagi! Jadi 

tanpa dicari pun mungkin kita kelak akan menemu-

kannya! Sementara Pitaloka tidak akan ditemukan jika 

tidak dicari!”

“Hem.... Kau pintar juga beralasan! Baiklah.... Se-

karang kita teruskan perjalanan. Tapi kita mengikuti 

jejak setan jabrik itu! Kemunculannya di hutan ini pas-

ti masih ada sangkut-pautnya dengan urusanmu!”

“Tapi seandainya kita nanti bertemu lebih dahulu 

dengan setan jabrik itu, kuharap Bibi bisa menahan 

diri sementara! Kita tidak usah mencari masalah sebe-

lum urusan Pitaloka rampung!”

“Ucapanmu meyakinkan dugaanku, Setan Geblek! 

Tapi usulmu sementara ini kuterima! Kau tahu mana 

arah yang diambil setan jabrik itu, sekarang kau yang 

ada di depan!”

Joko anggukkan kepala. Namun belum juga dia 

berkelebat. Dayang Sepuh sudah melotot. Namun se-

belum bentakannya terdengar, Joko sudah perdengar-

kan pertanyaan.

“Bibi.... Boleh aku tanya?! Untuk apa bumbung 

bambu berisi air setan itu?!” Joko ikut-ikutan menye-

but kata setan seperti kebiasaan si nenek.

“Nanti saja kuterangkan sambil jalan! Jika tidak, je-

jak setan jabrik itu akan lenyap! Lekas lari!”

Tanpa menunggu lama, murid Pendeta Sinting sege-

ra berkelebat disusul kemudian oleh Dayang Sepuh.

***


DUA


SEMENTARA di tempat lain di dalam hutan sebelah 

barat, tampak dua sosok tubuh melangkah cepat me-

nerabas semak belukar dan sela jajaran pohon. Sese-

kali kedua orang ini hentikan langkah lalu lanjutkan 

perjalanan dengan pandangan selalu curiga pada se-

tiap jengkal tanah yang dilewati.

Berjalan di bagian depan adalah seorang kakek be-

rambut putih dan bermata sedikit sayu malah tak ja-

rang sepasang matanya keluarkan air mata. Mengena-

kan pakaian agak lusuh berwarna putih. Sementara 

orang di belakang si kakek adalah seorang gadis muda 

berparas cantik namun tampak murung. Rambutnya 

hitam dan tampak tidak teratur. Gadis ini mengenakan 

pakaian warna merah. Kala berhenti, gadis muda ini 

sesekali tengadah dengan menggigit bibirnya dan per-

dengarkan keluhan pendek. Kedua tangannya mena-

kup perutnya yang ternyata telah membesar, satu tan-

da kalau gadis muda ini tengah mengandung.

Pada satu tempat, si kakek yang melangkah di de-

pan hentikan tindakannya. Setelah memperhatikan 

berkeliling, dia berpaling pada gadis di belakangnya.

“Pitaloka.... Kuharap kau bertahan....”

Si gadis yang perutnya besar dan bukan lain adalah 

Pitaloka adanya, anggukkan kepala dengan menggigit 

bibirnya. Dia berusaha untuk tidak perdengarkan ke-

luhan meski perutnya terasa melilit sakit bukan main.

“Kakek.... Apakah perjalanan ini masih jauh?! Dan 

ke manakah sebenarnya yang hendak kita tuju?!” Ber-

tanya Pitaloka setelah dapat kuasai rasa melilit pada 

perutnya.

Si kakek yang tidak lain adalah Kigali, tersenyum 

sembari menghela napas dalam. Dia tahu, walau Pita


loka anggukkan kepalanya tapi sebenarnya dia paksa-

kan diri untuk tidak membuat kecewa dirinya.

Kigali melangkah mendekati Pitaloka yang kini du-

duk bersandar pada batangan pohon dengan selonjor-

kan kedua kakinya. Lalu duduk di samping si gadis 

dan berkata pelan.

“Pitaloka.... Pada mulanya aku berencana pergi ke 

sebuah dusun tidak jauh dari hutan ini. Namun fira-

satku tidak enak. Lagi pula kau tampaknya merasa 

keberatan jika harus bertemu orang dalam keadaan 

begini! Maka dari itu kuputuskan untuk pergi ke satu 

tempat di bagian ujung hutan ini di sebelah barat. Di 

sana ada sebuah lembah....”

“Kau pernah ke sana?!” tanya Pitaloka seraya pak-

sakan diri tersenyum.

Kigali gelengkan kepala. “Aku tidak pernah sampai 

ke lembah itu. Tapi aku sering berjalan sampai perba-

tasan lembah!”

“Kek.... Sebenarnya ada apa kau tiba-tiba menga-

jakku pergi?! Kurasa tempat kita semula sudah aman. 

Atau barangkali kau punya musuh?!”

Kigali tidak segera menjawab pertanyaan Pitaloka. 

Dia tengadahkan kepala memandang rimbun dedau-

nan. “Hem.... Aku tak boleh mengatakan apa sebenar-

nya yang telah terjadi di hutan sebelah sana! Itu akan 

membuat pikirannya kalut!” Kigali berkata dalam hati. 

Lalu berkata.

“Anakku.... Separo dari masa hidupku terdahulu 

memang penuh dengan tindakan jahat hingga aku ba-

nyak punya urusan dengan beberapa orang! Namun 

separonya lagi masa hidupku hingga kini, kuhabiskan 

di dalam hutan tanpa melibatkan diri dengan dunia 

luar. Kalaupun masih ada beberapa orang yang dahulu 

pernah punya urusan denganku, kurasa mereka telah 

melupakannya. Malah mungkin mereka sudah tidak 

mengenaliku lagi dan menduga aku sudah binasa ditelan tanah. Jadi jangan beranggapan kepergian kita ini 

karena menghindari musuh!”

“Lalu apa masalahnya?!”

Kigali tampak bimbang. Hingga untuk beberapa 

saat dia terdiam. Pitaloka merasa curiga. Lalu berucap 

seraya tatap Kigali.

“Kek.... Katakanlah terus terang padaku. Kau sudah 

kuanggap sebagai kakekku sendiri. Kau sudah menye-

lamatkan hidupku bahkan kehidupan bayi dalam pe-

rutku ini! Demi kau, nyawa pun akan kukorbankan! 

Jadi jangan menyimpan masalah sendiri!”

“Pitaloka...,” kata Kigali dengan suara bergetar ka-

rena haru mendengar ucapan Pitaloka. “Sebenarnya 

aku telah bertemu dengan beberapa orang di hutan 

saat itu.... Adalah aneh jika mendadak beberapa orang 

mendatangi hutan yang berpuluh-puluh tahun tidak 

menarik minat orang! Tentu mereka punya maksud 

dengan kedatangannya!”

“Kek.... Kau kemarin telah mengatakan itu. Mau 

kau mengatakan siapa mereka?!”

“Anakku.... Aku tidak mengenalnya!” jawab Kigali 

berbohong.

Seperti dituturkan dalam episode: “Nyai Tandak 

Kembang”, Kigali sempat bertemu dengan Nyai Tandak 

Kembang juga dengan Datuk Wahing, Dayang Sepuh, 

dan Gendeng Panuntun. Dari pembicaraan mereka, Ki-

gali rupanya dapat menangkap apa maksud tujuan 

mereka datang ke hutan. Malah Kigali sempat menge-

tahui kemunculan Putri Kayangan bersama Pendekar 

131 Joko Sableng. Hanya saja Kigali tidak berusaha 

untuk menemui keduanya.

“Kek.... Kau telah bertemu mereka dan kau tidak 

mengenali mereka. Sekarang coba kau katakan bagai-

mana ciri-ciri mereka yang sempat kau temui!” ujar Pi-

taloka karena gadis ini dapat menangkap jika Kigali 

masih menyembunyikan sesuatu padanya.


Permintaan Pitaloka membuat Kigali tersentak ka-

get. Namun orang tua yang pada tiga puluhan tahun 

silam memasukkan Maladewa alias Setan Liang Ma-

kam ke dalam makam batu di Kampung Setan ini ce-

pat kuasai diri dan berkata.

“Anakku.... Untuk sementara ini kau tak usah terla-

lu banyak berpikir. Itu akan kurang baik bagi pertum-

buhan bayi dalam perutmu! Nanti bila kau telah mela-

hirkan, semuanya akan kujelaskan padamu!”

“Lalu apakah kau menduga mereka mengenaliku?!” 

kejar Pitaloka.

“Mereka memang tidak menyebut-nyebut namamu. 

Tapi....”

“Tapi apa, Kek?!” sahut Pitaloka seakan tak sabar 

mendapati Kigali putuskan ucapannya.

“Dari pembicaraan mereka, mereka tengah mencari 

seseorang! Aku tidak bisa memastikan siapa yang me-

reka cari. Namun daripada mereka membuat masalah 

dengan kita, kuputuskan untuk mengajakmu pergi!”

Paras wajah Pitaloka tampak berubah. “Siapa ge-

rangan mereka? Beda Kumala? Eyang Guru atau kepa-

rat manusia pemakai Jubah Tanpa Jasad itu? Atau 

Jangan-jangan Pendekar 131.... Ah! Apa mungkin?! 

Bagaimana mereka bisa menduga aku berada di hutan 

ini?! Kalau benar Pendekar 131, apa yang harus kula-

kukan...?!” Pitaloka menduga-duga dalam hati.

Entah sadar atau tidak tiba-tiba Pitaloka bergu-

mam. “Pendekar 131....”

Kigali berpaling dengan air muka sedikit heran. “Pi-

taloka.... Kau sepertinya pernah sebut-sebut nama itu

Pendekar 131.... Siapa dia sebenarnya? Kekasih-

mu...?”

Pitaloka terlengak. Dia tidak dapat lagi sembunyi-

kan keterkejutan. Namun kepalanya segera mengge-

leng. “Kek.... Bagi orang seperti diriku, tidak ada ke-

sempatan lagi untuk mengharapkan seseorang!”


“Anakku.... Tidak semua orang memandang perem-

puan dari segi jeleknya! Apalagi musibah yang menim-

pamu bukanlah kau yang menghendaki! Jadi kau jan-

gan terlalu memojokkan diri sendiri!”

Pitaloka angkat kepalanya dengan dada naik turun. 

Entah apa yang dirasakan gadis saudara kembar Putri 

Kayangan ini, yang jelas dia segera berucap.

“Kek.... Selagi hari belum begitu terik, lebih baik ki-

ta lanjutkan perjalanan!”

Kigali tersenyum lalu beranjak bangkit dan buru-

buru menolong Pitaloka untuk berdiri. Saat lain kedua 

orang ini telah melangkah menyusuri hutan menuju ke 

arah barat.

***

Karena sudah sering menuju ke arah lembah yang 

dikatakan pada Pitaloka, Kigali bisa mencari jalan yang 

selain cepat juga aman. Hingga begitu matahari terge-

lincir dari titik tengahnya, Kigali dan Pitaloka sudah 

sampai pada sebidang tanah terbuka. Memandang 

agak jauh ke depan, terlihat sebuah lembah agak luas 

yang dihiasi aneka bunga berwarna-warni. Di ujung 

lembah tampak bentangan kaki langit cerah. Sementa-

ra di bagian samping kiri kanan lembah terlihat jajaran 

pohon besar seakan membentengi.

“Indah sekali lembah itu, Kek...!” kata Pitaloka se-

raya arahkan pandang matanya ke lembah di depan 

sana.

“Kalau menjelang purnama, aku sering berada di 

tempat ini! Pemandangannya terlihat makin indah! Di 

sinilah kadangkala aku merenungi diri. Di sini pulalah 

aku kemudian sadar tentang segala perbuatanku di 

masa lalu! Di sekitar ciptaan Yang Maha Pencipta ini 

aku seakan menemukan diriku kembali....”

“Tapi mengapa kau tidak pernah sampai ke lembah 

itu?!”


Kigali gelengkan kepala. “Aku sendiri tak tahu ja-

wabannya. Kadangkala aku juga bertanya-tanya. Na-

mun setiap kali keinginan untuk ke lembah itu mun-

cul, seolah ada sesuatu yang membuatku urungkan 

niat! Aku tak tahu apa itu! Mungkin hari inilah keingi-

nanku terlaksana....”

“Atau barangkali kau punya firasat ada sesuatu di 

lembah itu?!”

“Menurutku itu tak mungkin, Anakku! Selain pe-

mandangan yang indah, kurasa lembah itu tidak me-

nyimpan apa-apa! Kalau memang ada sesuatu di da-

lamnya, tentu hutan ini sudah dirambah banyak 

orang! Kau tahu sendiri, dalam rimba persilatan orang-

orangnya pantang menyerah jika memperebutkan se-

suatu! Dengan tidak munculnya orang di hutan ini, sa-

tu bukti bahwa lembah itu tidak ada apa-apanya!”

“Tapi bukankah kau telah bertemu dengan bebera-

pa orang di hutan ini?! Jangan-jangan tanpa sepenge-

tahuanmu di luar telah beredar kabar tentang sesuatu 

yang tersimpan dalam lembah ini! Lalu mereka mulai 

mencari!”

“Ah.... Kau terlalu jauh berpikir. Kalau memang ada 

sesuatu, seharusnya bukan sekarang lembah ini jadi 

berita! Sebaliknya harus sudah tersebar pada ratusan 

tahun yang lalu! Seperti misalnya kabar tentang Kam-

pung Setan!”

“Kek! Dari pembicaraan-pembicaraanmu selama ini 

sepertinya kau mengenal betul Kampung Setan. Siapa 

kau sebenarnya, Kek?! Dari pembicaraanmu, aku 

menduga kau masih ada kaitannya dengan Kampung 

Setan. Apa benar dugaanku?!”

“Pitaloka.... Sebenarnya hal ini kurahasiakan dan 

aku pernah berpikir tak akan kubuka pada siapa saja. 

Kalaupun aku terpaksa mengatakannya padamu, aku 

percaya kau akan menyimpannya sendiri!”

Pitaloka sempat terperangah mendengar ucapan Ki


gali. Ucapannya tadi sebenarnya hanya terdorong agar 

Kigali mengatakan siapa dirinya sebenarnya. Karena 

selama berdua hampir kurang satu setengah purnama, 

Kigali selalu sembunyikan siapa dirinya. Dan kalaupun 

Pitaloka coba mendesak, Kigali selalu alihkan pembica-

raan.

“Kek.... Aku berjanji akan merahasiakan apa yang 

akan kau katakan!” ujar Pitaloka setelah berpikir agak 

lama.

Sementara di sebelahnya Kigali tampak menatap 

jauh ke hamparan lembah. Namun pandangannya se-

benarnya lebih jauh melampaui hamparan lembah ke-

tika dia mulai angkat bicara.

“Anakku.... Seperti yang sering kukatakan padamu, 

separo dari masa usiaku bergelimang dengan kejaha-

tan. Di masa itulah mulai tersiar kabar tentang Kam-

pung Setan yang katanya menyimpan sebuah senjata 

sakti bernama Kembang Darah Setan. Kampung Setan 

memang pernah membuat gempar kalangan jagat per-

silatan pada puluhan tahun sebelumnya. Namun ke-

gemparan itu lenyap begitu para tokoh dari golongan 

hitam dan golongan putih bersatu menumpasnya. Na-

mun begitulah dunia dan watak manusia-nya, di balik 

penumpasan itu ada pula niat tertentu dari sebagian 

tokoh. Dan niatan itu sebenarnya tak lebih daripada 

untuk mendapatkan Kembang Darah Setan serta sen-

jata lainnya yang pada akhirnya kuketahui sebagai 

Jubah Tanpa Jasad.”

Sesaat Kigali hentikan penuturan ceritanya. Lalu 

melangkah ke sebuah pohon dan tegak bersandar den-

gan pandangan terus ke arah hamparan lembah. Di 

sebelahnya Pitaloka ikut melangkah mendekati Kigali 

dan duduk berselonjor.

“Tapi niatan sebagian tokoh itu menemui kegagalan. 

Karena ternyata ada dua orang dari kerabat Kampung 

Setan yang selamat dari penumpasan. Pada akhirnya


kuketahui kedua orang itu adalah Maladewa dan seo-

rang nenek bernama Nyai Suri Agung! Entah bagai-

mana caranya mereka berdua dapat selamat, yang je-

las setelah peristiwa penumpasan itu tanpa diketahui 

oleh siapa pun kedua cucu dan nenek ini segera mem-

bangun kembali Kampung Setan secara diam-diam. 

Malah tak lama kemudian, Nyai Suri Agung mengambil 

murid dari kalangan orang di luar Kampung Setan. 

Orang beruntung itu bernama Galaga.”

Untuk kedua kalinya Kigali hentikan ceritanya se-

raya gerakkan kedua tangannya dan dirangkapkan di 

depan dada. Lalu lanjutkan ucapan.

“Beberapa tahun kemudian, terjadi beda pendapat 

antara Maladewa dengan Nyai Suri Agung. Sebenarnya 

beda pendapat itu karena Maladewa tidak suka sama 

neneknya yang ternyata telah menurunkan sebuah il-

mu langka pada Galaga. Hingga akhirnya Maladewa 

menuntut pada Nyai Suri Agung agar nenek itu mem-

berikan semua warisan leluhur Kampung Setan pa-

danya. Karena terus didesak, Nyai Suri Agung akhir-

nya memberikan Kembang Darah Setan pada Malade-

wa. Dengan Kembang Darah Setan di tangannya, Ma-

ladewa mulai bertingkah. Dan sasaran utamanya tidak 

lain adalah saudara seperguruannya sendiri yakni Ga-

laga dan tentu Nyai Suri Agung yang menurut Malade-

wa bisa jadi batu sandungan. Namun tindakan Mala-

dewa menemui jalan buntu, karena Galaga dan Nyai 

Suri Agung tiba-tiba lenyap. Saat itulah Maladewa mu-

lai panjangkan tangan merambah keluar Kampung Se-

tan. Dia mulai membunuh beberapa orang dan mena-

rik beberapa orang untuk dijadikan sebagai anak 

buahnya!”

Kigali menghela napas panjang sebelum akhirnya 

melanjutkan. “Saat itulah aku bersama sahabat baik-

ku bernama Dadaka bertemu dengan Maladewa. Tidak 

berapa lama, aku dan Dadaka sudah menjadi orang


kepercayaan Maladewa. Tugas kami berdua adalah 

menemukan Galaga dan Nyai Suri Agung sekaligus un-

tuk membunuh keduanya. Namun setelah sekian lama 

mencari, kami berdua gagal mendapatkan apalagi 

membunuh Galaga dan Nyai Suri Agung! Hal ini tam-

paknya membuat Maladewa tidak bisa menerima. Ma-

lah dia hendak menghukum aku dan Galaga dengan 

tangan mautnya!”

“Aku dan Dadaka tidak menyerah begitu saja, apa-

lagi kami berdua sudah mengerti seluk beluk Kampung 

Setan. Di lain pihak, sebenarnya kami berdua meneri-

ma menjalankan tugas dan menjadi orang kepercayaan 

Maladewa dengan niat semata-mata untuk merebut 

Kembang Darah Setan! Perkelahian tak dapat dihin-

darkan lagi. Kemampuan kami memang jauh di bawah 

Maladewa yang saat itu menggenggam Kembang Darah 

Setan. Namun dengan cara kami, pada akhirnya aku

dan Dadaka berhasil memasukkan Maladewa ke dalam 

sebuah batu di Kampung Setan. Namun aku sangat

kecewa dan terpukul. Karena Kembang Darah Setan 

gagal kuperoleh! Kembang Darah Setan ikut amblas 

masuk ke dalam makam batu bersama sosok Malade-

wa!”

Kembali Kigali hentikan keterangannya. Kali ini dia 

terdiam agak lama. Sementara Pitaloka tak berusaha 

berucap. Dia menunggu Kigali lanjutkan ucapan.

“Setelah peristiwa itu aku dan Dadaka berpisah. 

Aku tak tahu ke mana dia pergi dan apakah dia masih 

hidup. Sementara aku sendiri pergi ke hutan Ini kare-

na merasa kecewa dengan kegagalanku mendapatkan 

Kembang Darah Setan. Di hutan inilah akhirnya aku 

menemukan jati diriku hingga akhirnya aku diperte-

mukan denganmu!”

“Kek....” Untuk pertama kalinya Pitaloka angkat bi-

cara. “Saat ini dalam rimba persilatan ada seorang to-

koh bergelar Setan Liang Makam yang mengatakan


bahwa dirinyalah sebenarnya pemilik Kembang Darah 

Setan! Aku pernah bertemu dan bertarung dengannya. 

Apakah mungkin dia cucu Nyai Suri Agung yang ber-

nama Maladewa dan pernah berhasil kau masukkan 

ke dalam makam batu?!”

“Menurut perhitungan manusia biasa, sebagai ma-

nusia adalah satu keajaiban jika Maladewa masih bisa 

hidup selama puluhan tahun dalam makam batu. Na-

mun segala sesuatu akan terjadi bila Yang Maha Kua-

sa menghendaki!”

“Tapi, Kek.... Dari tampangnya memang masuk akal 

kalau dia baru saja bangkit dari makam batu!”

Kigali kerutkan kening. “Bagaimana tampangnya?!”

Pitaloka terdiam sesaat. “Sebenarnya aku pernah 

menyinggung ini, tapi mungkin dia lupa,” kata Pitaloka 

dalam hati lalu menjawab.

“Sosok tubuhnya tinggal susunan kerangka tanpa 

daging!”

“Hem.... Aku tak bisa memastikan dia Maladewa 

atau bukan sebelum aku bertemu dengan orangnya! 

Hanya saja aku bisa memastikan satu hal. Saudara 

seperguruan Maladewa yang bernama Galaga itu ma-

sih hidup!”

“Dari mana kau tahu?!” Tanya Pitaloka sedikit ter-

kejut dan palingkan kepala.

“Salah satu dari beberapa orang yang kutemui di

hutan ini beberapa waktu yang lalu adalah Galaga! 

Saudara seperguruan Maladewa sekaligus murid Nyai 

Suri Agung.”

Sekali lagi Pitaloka tampak tersentak kaget. “Ba-

gaimana kau tahu dia adalah Galaga?! Apakah dia 

mengatakannya padamu?! Padahal bersama berlalunya 

waktu, paras wajah orang pasti berubah. Apalagi su-

dah lama tak bertemu!”

“Dalam rimba persilatan, yang kutahu hanya dua 

orang yang memiliki ilmu ‘Pantulan Tabir’. Dia adalah


Nyai Suri Agung dan Galaga....”

“Jadi orang yang kau duga sebagai Galaga itu sem-

pat menunjukkan ilmu ‘Pantulan Tabir’ saat bertemu 

denganmu?!”

“Aku sendiri tak tahu. Dia memperlihatkan ilmu itu 

untuk pamer atau hanya untuk memberi tahu padaku 

kalau dia adalah Galaga karena sebenarnya dia telah 

mengetahui dahulu siapa aku sebenarnya!”

“Kau bisa mengatakan bagaimana ilmu ‘Pantulan 

Tabir’ itu?!”

“Baik suara atau pukulannya akan pantul-

memantul tiada henti ke seluruh penjuru mata angin!”

“Astaga! Apakah orang yang kau katakan itu sering 

perdengarkan bersinan dan kepalanya selalu bergerak-

gerak ke depan ke belakang?!” tanya Pitaloka.

“Kau pernah bertemu dengannya?!” Kigali balik ber-

tanya setelah anggukkan kepala.

“Benar! Dia adalah tokoh yang kini bergelar Datuk 

Wahing!”

Setelah berkata begitu, tiba-tiba paras wajah Pita-

loka berubah. Kigali tampaknya dapat menangkap pe-

rubahan orang. Namun dia coba menahan diri untuk 

tidak buka mulut bertanya.

***

TIGA



KALAU Datuk Wahing sudah berada di hutan ini, 

kemungkinan besar Pendekar 131 juga ada di sekitar 

hutan ini pula. Dan barangkali Beda Kumala ada juga 

di antara mereka.... Siapa yang dicari mereka?! Aku...? 

Atau lainnya?!” Diam-diam Pitaloka bertanya-tanya 

dengan hatinya sendiri. Di pelupuk matanya terbayang


paras murid Pendeta Sinting lalu wajah saudara kem-

barnya Beda Kumala alias Putri Kayangan.

“Mungkin Beda Kumala lebih beruntung dariku! Si-

kapnya saat bertemu dengan murid Pendeta Sinting itu 

menunjukkan kalau dia tertarik dengan pemuda itu! 

Ah.... Memang tak pantas bagiku mengharapkan cinta! 

Aku sudah bukan Pitaloka yang dulu lagi. Aku manu-

sia kotor!”

Dada Pitaloka tampak berguncang. Dan tanpa dis-

adari air matanya jatuh membasahi pipi kanan kirinya. 

Kigali tampak menarik napas.

“Kau teringat seseorang, Anakku?” tanya Kigali den-

gan suara dipelankan.

Pitaloka coba menahan isakan. Lalu berpaling pada 

Kigali dengan kepala menggeleng. Saat lain dia sudah 

ajukan tanya.

“Kek.... Sekarang apa kau dapat menduga siapa ge-

rangan sosok di balik Jubah Tanpa Jasad itu?!”

“Kalau benar Setan Liang Makam adalah Maladewa 

dan kini tidak lagi menggenggam Kembang Darah Se-

tan, aku yakin orang di balik Jubah Tanpa Jasad ada-

lah orang di luar kerabat Kampung Setan! Herannya.... 

Bagaimana dia bisa tahu rahasia di balik Kampung Se-

tan, bahkan tahu pula bagaimana bisa mengeluarkan 

Maladewa dari makam batu!”

“Apa kira-kira bukan sahabatmu yang kau sebut 

sebagai Dadaka itu?! Bukankah dia tahu banyak raha-

sia Kampung Setan?!”

Kigali terdiam sesaat sebelum akhirnya berucap. 

“Kurasa tak mungkin Dadaka melakukan ini sendirian! 

Apalagi harus mengeluarkan Maladewa dari makam 

batu! Itu sangat berbahaya! Maladewa pasti punya ra-

sa dendam dan tentu dia tak akan tinggal diam! Ka-

laupun ada orang luar yang tahu rahasia Kampung Se-

tan, pasti orang itu mendapat keterangan dari Galaga 

atau Dadaka. Namun mereka berdua tak mungkin


memberi keterangan pada orang lain!”

“Tapi buktinya orang itu telah mendapatkan Kem-

bang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad! Berarti ada 

orang yang memberi keterangan!”

“Itulah yang membuatku masih merasa aneh.... Ta-

pi masalah itu tak usah kita pikirkan terlalu jauh! 

Lambat laun orang pasti bisa mengetahui siapa sebe-

narnya sosok di balik Jubah Tanpa Jasad itu! Kau ta-

hu, Anakku.... Sebagai manusia biasa sosok di balik 

Jubah Tanpa Jasad pasti ingin dikenali siapa dia se-

benarnya! Apalagi dia hidup dalam lingkaran jagat per-

silatan! Yang mana di dunia ini nama orang sudah 

menjadi jaminan!”

“Kek.... Apakah di antara beberapa orang yang kau 

temui ada seorang gadis yang pernah kuceritakan pa-

damu?!”

“Maksudmu saudara kembarmu itu?!” tanya Kigali.

“Benar! Kau melihatnya?!”

Kigali coba menekan perasaan ketika kepalanya 

bergerak menggeleng. “Sudahlah, Pitaloka. Kau tak 

usah cemaskan urusan itu! Mereka katanya memang 

tengah mencari seseorang, tapi aku yakin bukan kau 

yang dicari!” Kigali tarik punggungnya dari batangan 

pohon. “Sekarang kita lanjutkan perjalanan....”

Pitaloka perlahan-lahan bergerak bangkit. Lalu me-

langkah mengikuti Kigali yang sudah melangkah di de-

pan.

Setelah melangkah berjarak lima puluh tombak, Ki-

gali berhenti. Tepat di depannya telah membentang se-

buah lembah agak luas yang banyak dihiasi aneka 

bunga. Di antara kerapatan tumbuhan bunga tampak 

beberapa jalan setapak yang ditumbuhi rumput tebal 

dan tinggi, tanda jika jalanan setapak itu tidak pernah 

diinjak telapak kaki manusia. Sementara di sana-sini 

terlihat luruhan aneka bunga yang sudah mengering.

Kigali berpaling pada Pitaloka yang telah tegak di


sampingnya. “Pitaloka, untuk sementara ini tahan 

keinginanmu memetik bunga atau melakukan sesuatu! 

Lembah ini masih asing bagi kita. Pengalaman berta-

hun-tahun dalam hutan telah membuatku mengerti ji-

ka kita harus waspada saat memasuki kawasan yang 

masih asing!”

Pitaloka tersenyum dan anggukkan kepala. Lalu 

berkata. “Tempat mana yang kita tuju, Kek...?”

Kigali arahkan pandang matanya pada salah satu 

gundukan batu agak besar di depan sana. “Mungkin di 

balik batu itu ada tempat untuk berlindung! Tapi ingat, 

kita harus tetap berhati-hati...!”

Setelah berucap begitu Kigali mulai gerakkan kaki 

dan mengambil jalan setapak berumput tebal dan ting-

gi. Pitaloka berjalan di belakangnya.

Baru saja melangkah lima tindak di atas rumput 

tebal, tiba-tiba terdengar suara umpatan diseling jeri-

tan menyayat. Suara itu laksana diperdengarkan dari 

tempat yang sangat jauh dan dalam.

Kigali dan Pitaloka sama tersentak kaget. Serentak

keduanya hentikan langkah masing-masing dan saling 

berpandangan. Mereka belum bisa menentukan arah 

sumber suara. Namun mereka bisa memastikan jika 

suara itu diperdengarkan oleh seorang perempuan.

“Aneh.... Suara itu tadi tidak terdengar dari perba-

tasan lembah! Dan aku pun baru kali ini mendengar-

nya! Padahal aku sering berada di sekitar tempat ini 

bertahun-tahun lamanya! Tak kusangka sama sekali 

jika lembah ini berpenghuni! Atau jangan-jangan suara 

itu tadi hanya tipuan pendengaranku saja!”

Seolah ingin meyakinkan, Kigali kembali pandangi 

Pitaloka. Namun orang tua bekas orang kepercayaan 

Maladewa ini tidak ajukan tanya. Sikap Pitaloka sudah 

cukup membuatnya yakin kalau suara yang baru saja 

terdengar bukan tipuan pendengarannya.

“Kek...!”


Kigali segera gelengkan kepala dengan telunjuk di-

lintangkan di depan bibir lalu berbisik. “Jangan tanya-

kan padaku! Aku tak akan bisa menjawabnya. Berta-

hun-tahun aku sering mengunjungi kawasan sekitar 

lembah ini. Tapi baru hari ini aku mendengar suara 

itu! Kita harus makin waspada. Suara itu membukti-

kan kita tidak berada sendirian di lembah ini!”

“Kek! Bukannya aku takut.... Tapi kalau kau men-

duga bakal ada urusan, sebaiknya kita cari tempat 

lain. Dengan perut besar begini, aku akan kesulitan 

bergerak jika terjadi apa-apa! Setelah kelahiran anak 

ini, baru kita selidiki ada apa di kawasan lembah ini!”

“Pitaloka.... Coba kau dengar sekali lagi suara pe-

rempuan itu!” ujar Kigali dengan suara dipelankan. 

Saat itu suara makian dan jeritan menyayat memang 

terus terdengar.

“Dari suaranya jelas perempuan itu tengah menga-

lami kesengsaraan! Siapa pun dia adanya, kita harus

menolong!”

“Tapi, Kek! Bagaimana kalau suara itu hanya tipuan 

orang untuk memancing kita?!”

“Kita memang harus waspada, Pitaloka. Tapi dalam 

hal ini kurasa dia tidak menipu! Lagi pula untuk apa 

dia menipu kita? Tidak ada yang bisa diperoleh dari ki-

ta berdua! Dan kalaupun dia memancing kita, apa gu-

nanya? Lembah ini hanya ditumbuhi bunga, ke mana 

pun orang sembunyi akan mudah ditemukan...!”

Kigali putar kepalanya berkeliling dengan mata me-

nyiasati keadaan. Sementara suara makian dan jeritan 

menyayat terus terdengar.

“Pitaloka! Kau menunggu di luar jalan setapak itu. 

Aku akan menyelidik!”

“Kek....”

Lagi-lagi sebelum Pitaloka teruskan ucapannya, Ki-

gali sudah menukas. “Pitaloka, perutmu sudah besar. 

Kau perlu banyak istirahat! Jangan cemaskan diriku.


Aku bisa melakukannya sendiri!”

Sebenarnya Pitaloka enggan menuruti permintaan 

Kigali. Namun begitu si orang tua tersenyum dan ang-

gukkan kepala, Pitaloka perlahan-lahan bergerak 

mundur.

Begitu kaki Pitaloka berada di luar jalanan setapak, 

tiba-tiba gadis ini berkerut. Laksana dirobek setan, su-

ara makian dan jeritan menyayat sekonyong-konyong

lenyap! Pitaloka coba tajamkan pendengaran dan me-

nunggu. Tapi suara makian dan jeritan memang tidak 

terdengar lagi!

“Apa dia hentikan makian dan jeritannya? Tapi 

mengapa diputus mendadak?!”

Karena penasaran, akhirnya Pitaloka angkat bicara. 

“Kek! Kau masih mendengar suara itu?!”

Kigali yang saat itu tengah pusatkan pendengaran 

untuk menentukan di mana sumber suara, berpaling 

dengan wajah heran campur terkejut. Namun karena 

tak mau buang-buang waktu, dia segera menjawab.

“Suara itu malah semakin keras!”

Kali ini ganti Pitaloka yang terkejut dan heran. Dia 

melihat bagaimana mulut Kigali membuka. Anehnya 

dia tidak mendengar suara!

Pitaloka sesaat pandangi Kigali yang telah kembali 

pusatkan pendengarannya. Karena masih penasaran, 

akhirnya kembali Pitaloka berteriak.

“Kek! Kau mendengar suaraku?!”

Untuk kedua kalinya Kigali berpaling dengan wajah 

makin heran. Untuk beberapa saat dia pandangi Pita-

loka. Di depan sana, Pitaloka tersenyum lalu berteriak 

lagi.

“Kek! Aku tidak mendengar suara itu lagi! Jawab-

lah.... Apa kau masih mendengarnya?!”

“Aneh.... Apa dia tidak mendengar ucapanku tadi?!”

Kigali tak mau terus bertanya-tanya. Dia segera bu-

ka mulut dan berteriak.


“Aku masih mendengarnya! Aku juga dengar perta-

nyaanmu!”

Pitaloka makin kerutkan kening. Lagi-lagi dia bisa 

melihat gerakan mulut Kigali, namun dia tidak men-

dengar suara apa-apa!”

“Jangan-jangan dia bercanda! Pura-pura buka mu-

lut tapi tidak perdengarkan suara! Namun rasanya dia 

tidak pernah bercanda dalam menghadapi satu uru-

san!” Pitaloka membatin. Lalu berseru lagi.

“Kek! Aku tidak mendengar suaramu!”

“Aneh.... Main-main atau bagaimana anak itu?! Aku 

sudah berteriak keras. Tapi dia mengatakan tidak 

mendengar suaraku!”

Karena sama-sama merasa heran dan salah satu 

menduga jika di antaranya bercanda, Pitaloka memu-

tuskan berteriak lagi.

“Kek! Aku tidak berdusta. Aku tidak lagi mendengar 

suara itu juga suaramu!”

Tanpa berkata menyahut, Kigali berkelebat. Baru 

saja kakinya tegak di samping Pitaloka, orang bekas 

kepercayaan Maladewa ini terkesiap. Suara makian 

dan jeritan sirna dari pendengarannya!

“Benar! Di sini aku juga tidak mendengar suara itu 

lagi!” gumam Kigali seraya tajamkan pendengaran. 

“Ada yang aneh di lembah ini!”

Entah karena ingin buktikan, Kigali kembali berke-

lebat dan tegak di antara jalan setapak. Dia tersentak. 

Suara makian dan jeritan terdengar lagi. Bahkan ma-

kin keras!

“Hem.... Suara perempuan itu tidak bisa ditangkap 

dari luar kawasan lembah. Demikian pula dengan sua-

raku!” Kigali bergumam lalu berkelebat lagi ke arah Pi-

taloka.

“Anakku.... Kau tunggu di sini! Aku akan memberi 

isyarat jika menemukan sesuatu! Jangan alihkan pan-

danganmu dari tubuhku! Karena suaraku tak mungkin


kau dengar!”

“Jadi....”

“Ada kelainan di lembah ini! Suara yang keluar dari 

kawasan lembah tidak bisa ditangkap di luar! Itulah 

sebabnya mengapa aku tidak pernah mendengar suara 

walau aku sering berada di sekitar kawasan ini!”

Habis berkata begitu, Kigali kembali berkelebat. Da-

lam beberapa saat sosoknya telah tegak di sebelah gu-

gusan batu agak besar di depan sana. Pitaloka terus 

perhatikan dengan mata tak berkesip dan dada dilanda 

keheranan.

Kigali tegak dengan sedikit tengadahkan kepala. Se-

pasang matanya yang sayu dipejamkan lalu menarik 

napas dalam-dalam.

“Aneh.... Suara itu jelas dari sekitar tempat ini! Tapi 

di sini tak ada tempat terbuka untuk berlindung orang! 

Suara itu sepertinya dari tempat yang amat dalam! Pa-

dahal di sekitar sini tidak ada jurang atau lobang!” 

gumam Kigali. Dia kembali pusatkan pendengaran.

“Benar! Suara itu bersumber dari sini! Tapi di ma-

na?!” Kigali meneliti sekitar gugusan batu agak besar. 

“Jangan-jangan di bawah batu ini ada lobang!”

Kigali memperhatikan gugusan batu di depannya. 

Lalu perlahan-lahan mendekat. Dia tempelkan telinga 

kanannya ke batu. Namun secepat kilat dia tarik pu-

lang kepalanya. Saat telinganya bersatu dengan per-

mukaan batu, orang tua ini rasakan getaran hebat, 

malah gendang telinganya laksana ditusuk! Namun hal 

ini memberi keyakinan padanya, jika suara itu benar-

benar berasal dari bawah batu.

Tanpa menunggu lama lagi, kedua tangan Kigali se-

gera ditempelkan pada permukaan batu lalu mendo-

rong. Namun gugusan batu itu tidak bergeming. Kigali 

melangkah mundur. Kedua tangannya diangkat. “Apa 

boleh buat! Akan kuhancurkan batu itu!”

Di seberang luar lembah, Pitaloka tampak melotot


makin besar melihat gerakan Kigali. Dia sudah hendak 

berteriak. Namun diurungkan ketika melihat kedua 

tangan Kigali sudah bergerak menyentak ke arah batu.

Wuuttt! Wuuutt!

Dua gelombang angin deras melesat diiringi suara 

deruan. Saat lain terdengar ledakan. Gugusan batu 

langsung ambyar porak-poranda!

Kalau Kigali dapat mendengar deruan angin yang 

melesat dari kedua tangannya serta ledakan batu, ti-

dak demikian halnya dengan Pitaloka. Dia tidak men-

dengar apa-apa. Dia hanya bisa melihat ambyarnya ba-

tu dan kepingan-kepingan yang menebar ke udara.

Begitu gugusan batu ambyar, Kigali melihat lobang 

menganga. Namun bersamaan itu suara makian dan 

jeritan tidak terdengar lagi!

Dengan waspada, Kigali melangkah mendekati lo-

bang di mana tadi tertutup oleh gugusan batu. Perla-

han-lahan orang tua itu gerakkan kepala melongok ke 

bawah. Berjarak lima tombak di bawah lobang yang 

terlihat adalah tempat berbatu. Kigali melangkah men-

gitari lobang dengan kepala terus memperhatikan ke 

bawah. Namun sejauh ini dia tidak menangkap adanya 

sosok manusia.

“Tempat di bawah itu terlalu luas kalau dilihat dari 

sekitar lobang ini. Aku harus turun!”

Kigali angkat kepalanya dan berpaling ke arah Pita-

loka. Saat bersamaan terdengar Pitaloka sudah berte-

riak.

“Kek! Kau menemukan sesuatu?!”

Kigali tidak menjawab. Dia hanya memberi isyarat 

dengan lambaian tangannya. Pitaloka segera melang-

kah cepat ke arah Kigali. Dan langsung longokkan ke-

pala begitu berada di sekitar lobang.

“Kek.... Suara itu tidak terdengar lagi! Apa kau juga 

tidak mendengarnya?!” tanya Pitaloka khawatir kalau 

hanya dia yang tidak menangkap suara.


“Sejak batu itu terbongkar, suara perempuan itu 

terputus! tapi aku merasa yakin sumbernya dari tem-

pat di bawah itu! Aku harus turun! Kau tetaplah di 

atas!”

“Kek! Lobang ini tidak terlalu dalam. Aku bisa me-

lewatinya!”

“Aku tahu. Tapi kita belum tahu siapa yang kita ha-

dapi! Begitu keadaan aman, aku akan memberi tahu!”

Tanpa menunggu Pitaloka menyahut, Kigali sudah 

berkelebat masuk ke bawah lobang dengan kedua tan-

gan terangkat. Sementara diam-diam Pitaloka kerah-

kan tenaga dalam pada kedua tangannya, lalu mem-

perhatikan sosok Kigali.

***

EMPAT



KITA tinggalkan dulu Kigali dan Pitaloka yang bera-

da di tengah lembah. Kita kembali pada murid Pendeta 

Sinting, Pendekar 131 Joko Sableng. Seperti diketahui, 

dia bertemu dengan Dayang Sepuh. Lalu keduanya 

meneruskan perjalanan mencari Pitaloka. Namun 

Dayang Sepuh mengusulkan mencari dengan Jalan 

mengikuti Jejak orang tua berambut putih jabrik yang 

diceritakan murid Pendeta Sinting. Sebenarnya Joko 

agak enggan memenuhi usul Dayang Sepuh. Namun 

setelah Dayang Sepuh berjanji tidak akan membuat 

urusan dengan orang yang diikuti, akhirnya murid 

Pendeta Sinting berkelebat juga mengikuti arah yang 

diambil orang tua berambut jabrik putih.

Pada satu tempat mendadak Pendekar 131 yang 

berkelebat di depan hentikan larinya. Dayang Sepuh 

segera pula berhenti namun sambil membentak.

“Setan geblek! Mengapa berhenti?!”

Yang dibentak tidak segera menjawab. Melainkan 

edarkan pandangannya berkeliling. Baru buka mulut 

menjawab.

“Bibi.... Kita gagal mendapatkan jejak orang tua be-

rambut jabrik itu! Kau tahu sendiri. Dia raib laksana 

ditelan bumi! Sebaiknya kita teruskan perjalanan tan-

pa harus mengikuti jejak orang itu!”

Dayang Sepuh ikut edarkan pandang matanya. Dia 

memang tidak menangkap adanya sosok orang yang 

dikejar. Apalagi hutan di mana mereka berada sangat 

lebat diranggasi semak belukar dan batangan-

batangan pohon besar berdaun rindang.

“Lalu ke mana kita sekarang?!” tanya Dayang Se-

puh. Matanya terus jelalatan ke seantero tempat di 

mana dia tegak.

“Aku sendiri bingung! Tapi daripada harus diam, ki-

ta berlari saja ke mana kaki ini bergerak! Siapa tahu 

hari ini adalah rejeki besar bagi kita. Kita bisa mene-

mukan orang yang kita cari dan....”

Pendekar 131 putuskan ucapan. Kepalanya berpal-

ing ke samping kanan dengan mata mendelik. Di 

samping kanannya Dayang Sepuh menoleh ke arah 

Joko dengan melotot angker dan langsung membentak 

garang.

“Mengapa mata setanmu memandangku melotot, 

begitu rupa, hah?!” Walau membentak begitu rupa, 

namun saat itu juga si nenek rapikan poni di depan 

keningnya.

“Lihat di sebelah sana!” bisik Joko tanpa alihkan 

pandang matanya lurus melewati pundak si nenek.

Meski dengan mengomel, akhirnya Dayang Sepuh 

berpaling juga ke arah kanan. Tiba-tiba sepasang mata 

nenek berdandan mencorong ini membelalak. Berjarak 

sepuluh tombak di depan sana terlihat satu sosok tu-

buh tegak membelakangi. Dari rambutnya yang putih


tegak dan pakaian selempang putih serta untaian ka-

lung di atas punggungnya, baik Joko maupun Dayang 

Sepuh sudah bisa menduga siapa orang itu.

“Setan itu yang kau katakan sebagai setan jabrik 

berambut putih?!” tanya Dayang Sepuh seolah Ingin 

meyakinkan.

“Benar! Tampaknya dia sengaja memancing kita!” 

gumam Joko. “Pasti dia ada maunya! Jika tidak, tak 

mungkin dia tunjukkan diri dengan cara begitu rupa! 

Atau barangkali dia tertarik padamu, Bibi...!”

Dayang Sepuh cibirkan mulut namun segera rapi-

kan kembali geraian poni rambutnya dan berkata agak 

pelan.

“Kita Ikuti dia! Aku ingin tahu bagaimana tampang 

setannya!”

“Tapi, Nek.... Eh, Bibi....”

“Aku akan tetap memegang janji untuk tidak mem-

buat urusan! Aku hanya ingin lihat tampang setannya! 

Dan Jangan khawatir aku akan tertarik pada setan 

itu!”

Seolah mendengar percakapan orang, orang yang 

tegak membelakangi di depan sana mendadak putar 

diri menghadap murid Pendeta Sinting dan Dayang 

Sepuh.

“Bibi.... Sekarang kau perhatikan.... Dia meman-

dang mu” bisik Joko. Dayang Sepuh benar-benar pen-

tang matinya. Lalu bergumam pelan. “Masih lumayan! 

Diajak jalan-jalan pun tidak membuat malu bila ber-

temu teman-teman!”

“Kau mengenalnya, Bibi?!”

“Tidak! Tapi apa benar dia mengenalku seperti kete-

ranganmu?!” Dayang Sepuh balik bertanya.

Belum sampai Joko buka mulut menjawab, orang di 

depan sana yang ternyata bukan lain adalah orang tua 

berambut putih jabrik mengenakan pakaian selempang 

putih yang dada kanannya terbuka dan tangannya


memegang tasbih pendek, sudah balikkan tubuh.

“Setan! Tunggu!” Dayang Sepuh sudah berteriak 

melihat gelagat orang hendak berkelebat lagi. Bersa-

maan itu si nenek pun sudah melompat ke depan.

Namun si orang tua berambut jabrik putih seolah 

tidak mendengar teriakan Dayang Sepuh. Begitu dia 

balikkan tubuh, dia segera pula berkelebat.

“Setan!” maki Dayang Sepuh lalu percepat keleba-

tan mengejar. Sesaat murid Pendeta Sinting ragu-ragu. 

Antara mengikuti berkelebat atau teruskan perjalanan

sendirian. Namun karena masih dilanda pena-saran 

dengan sikap orang tua berambut jabrik putih, akhir-

nya Joko memutuskan untuk berkelebat mengejar pu-

la.

Setelah sekian lama saling kejar-kejaran, akhirnya 

pada satu tempat Dayang Sepuh berhenti seraya me-

ngomel dengan mulut megap-megap. Di sampingnya 

murid Pendeta Sinting tegak dengan wajah basah oleh 

keringat.

“Mana dia, Bibi?!”

“Mengapa masih bertanya! Apa kau lihat sosok se-

tannya?!”

“Bibi! Kita hanya dipermainkan orang! Rupanya dia 

tahu kawasan hutan ini hingga dia bisa leluasa berge-

rak!”

“Peduli setan dia tahu atau tidak kawasan hutan 

ini! Yang jelas sikapnya membuatku curiga!”

“Curiga atau tertarik?!” tanya Joko dengan terse-

nyum namun tak berani memandang pada si nenek.

“Dia memang masih gagah dan tampan meski usia-

nya sudah lanjut. Tapi hatiku ini hanya milik seseo-

rang!”

“Ah.... Jadi Bibi masih punya kekasih?!”

Dayang Sepuh berpaling dengan bibir sunggingkan 

senyum lebar. “Jangan kaget bila kukatakan kekasih-

ku masih sebaya denganmu bahkan lebih tampan dari


paras setanmu!”

“Hem.... Begitu?! Dia dari golongan manusia biasa 

atau setan?!”

“Sialan! Mana mungkin aku bercinta dengan setan?! 

Lagi pula mana ada setan bertampang keren?!”

Baru saja Dayang Sepuh selesai berucap, tiba-tiba 

dari arah belakang terdengar suara deruan-deruan 

dahsyat. Saat lain satu gelombang ganas menggebrak. 

Rimbun dedaunan tampak tersapu bertaburan. Hebat-

nya luruhan dedaunan yang tersapu gelombang bu-

kannya melayang ke udara lalu turun ke tanah, me-

lainkan membentuk gumpalan dan laksana bola besar, 

gumpalan dedaunan itu melesat ke arah murid Pende-

ta Sinting dan Dayang Sepuh!

Murid Pendeta Sinting dan Dayang Sepuh cepat 

berpaling. Keduanya melengak kaget. Joko cepat ang-

kat tangan kanannya. Namun sebelum tangan kanan-

nya menyentak, si nenek telah mendahului dengan 

lemparkan bumbung bambu di tangan kirinya.

Wuutt!

Bumbung bambu yang masih berisi air kencing Itu 

melesat cepat dan tampak berputar-putar di udara. 

Anehnya air kencing di dalamnya tidak tumpah.

Brakkk!

Gumpalan besar dari dedaunan perdengarkan suara 

berderak ketika lesatannya tertahan bumbung bambu. 

Gumpalan dedaunan langsung hancur berkeping-

keping dan bertabur ke udara. Sementara bumbung 

bambu langsung meledak pecah muncratkan air di da-

lamnya!

Mungkin karena sudah menduga apa yang akan ter-

jadi, begitu sentakkan bumbung bambu di tangan ki-

rinya, Dayang Sepuh segera berkelebat ke samping. 

Namun tidak demikian halnya dengan murid Pendeta 

Sinting. Dia tetap tegak di tempatnya semula dengan 

mata memandang berkeliling ingin tahu siapa geran


gan yang membuat ulah.

Pyurrr!

Tidak ada kesempatan lagi bagi murid Pendeta Sint-

ing untuk berkelebat menghindari muncratan air kenc-

ing. Hingga tanpa ampun lagi sebagian air kencing di 

dalam bumbung yang telah pecah membasahi sebagian 

pakaian dan wajahnya!

“Busyet! Kalau air kencing gadis cantik masih lu-

mayan! Ini air kencing nenek-nenek! Kulitnya hitam 

lagi!” Joko mengumpat dalam hati lalu melompat 

mundur dan cepat usap wajahnya dengan pakaiannya 

yang tidak terkena muncratan air.

Di seberang samping, Dayang Sepuh tak bisa lagi 

menahan ledakan tawanya. “Kau makin tampan saja 

begitu terpercik air kebanggaan itu! Hik.... Hik.... 

Hik...!”

“Jangan tertawa terus, Bibi! Kau nanti bisa terkenc-

ing-kencing di celana!” kata Joko setengah mendongkol 

lalu memandang pada si nenek.

Tiba-tiba Joko terlonjak dengan mata dipentang. 

“Astaga! Celanamu sudah basah, Bibi!”

Dayang Sepuh putuskan ledakan tawanya. Kepa-

lanya cepat menunduk perhatikan celana pendeknya. 

“Setan! Mana yang basah?!” bentak si nenek.

Murid Pendeta Sinting usap-usap kedua matanya. 

“Hem.... Kalau tidak dibohongi begitu dia akan terus 

ngakak tak ada putusnya!” kata Joko dalam hati lalu 

tertawa dan berucap.

“Astaga ternyata aku salah pandang!”

“Dasar mata setan!” maki Dayang Sepuh lalu pen-

tangkan mata dan jelalatan menebar berkeliling. Saat 

yang sama Joko ikut-ikutan pentang mata dan edar-

kan pandang matanya juga. Namun setelah lama ke-

dua orang ini tidak juga menemukan sosok orang di 

sekitar tempat itu.

Karena tak sabar, Dayang Sepuh sudah berteriak


keras.

“Keluarlah dari persembunyianmu, Setan! Atau 

akan kuobrak-abrik hutan ini!”

Dayang Sepuh menunggu sahutan. Namun tidak 

juga terdengar suara jawaban atau adanya orang yang 

muncul di sekitar tempat itu.

“Apa mungkin Ini ulah kakek berambut putih jabrik 

itu?!” gumam murid Pendeta Sinting.

“Di sekitar tempat ini tadi tidak ada setan lain se-

lain setan tua berambut putih jabrik itu! Siapa lagi bi-

angnya kalau bukan dia! Dia telah berani kurang ajar 

padaku, berarti perjanjian kita batal, Setan Geblek!”

“Batal bagaimana, Bibi set....” Pendekar 131 cepat 

katupkan mulut lalu tertawa tertahan.

Dayang Sepuh berpaling dengan mata mendelik 

angker mendengar Joko hendak sebut dirinya Bibi se-

tan. Tapi tak lama kemudian justru nenek ini ikut ter-

tawa tertahan dan berkata.

“Aku akan membuat perhitungan dengan setan be-

rambut putih jabrik itu! Dua kali dia bertindak kurang 

ajar padaku! Pertama menghinaku di depan hidung-

mu. Kedua dia berani menyerang dari belakang!”

Baru saja Dayang Sepuh berkata begitu, mendadak 

mereka berdua dikejutkan dengan terdengarnya suara 

orang batuk-batuk berulang kali. Laksana disentak se-

tan, kepala Dayang Sepuh dan murid Pendeta Sinting 

segera berpaling.

Memandang ke depan, berjarak lima belas tombak 

terlihat kakek berambut putih jabrik tegak menghadap 

ke arah mereka dengan kepala sedikit bergerak-gerak 

karena perdengarkan batuk.

“Setan itu di sana! Kali ini dia tak akan kubiarkan 

lolos!”

“Bibi.... Jangan tergesa-gesa menuduh orang! Puku-

lan tadi datangnya dari arah belakang. Secepat apa 

pun kelebatan orang, mungkin aku masih bisa menangkapnya kalau waktu itu ada yang membuat gera-

kan! Sementara orang tua itu sudah berada di sana!”

“Hem.... Jadi kau kira ada setan lain yang melaku-

kannya?!”

-Mungkin begitu, Bibi!”

“Aku tak percaya ada setan lain di tempat ini! Di-

alah biang pelakunya!”

“Bibi! Tunggu!” tahan murid Pendeta Sinting ketika 

melihat Dayang Sepuh sudah berkelebat ke arah orang 

tua berambut putih jabrik. Namun si nenek tidak pe-

dulikan lagi teriakan Joko. Dia teruskan berkelebat. 

Karena khawatir terjadi sesuatu, Joko cepat pula ber-

kelebat menyusul si nenek.

Kali ini orang tua berambut putih jabrik tidak beru-

saha menghindar dengan berlari. Dia tetap tegak dan 

seolah malah menunggu! Bahkan dia segera angkat bi-

cara begitu Dayang Sepuh tegak lima langkah di de-

pannya.

“Dayang Sepuh! Ada sesuatu yang hendak kau uta-

rakan?!”

Si nenek rapikan dulu geraian poni rambutnya. 

Saat lain dia sudah perdengarkan bentakan keras.

“Kau pandai mengenali orang, Setan! Siapa kau se-

benarnya?!”

Orang tua berambut putih jabrik sunggingkan se-

nyum. Kepalanya menggeleng seraya berucap.

“Tentunya kau telah diberi tahu siapa diriku oleh 

kekasihmu itu!” Mata orang berambut putih jabrik 

mengarah pada murid Pendeta Sinting yang telah tegak 

di samping Dayang Sepuh.

“Setan sialan! Pemuda macam begini belum layak 

mendampingiku sebagai kekasih!” Tangan kanan si 

nenek menunjuk pada murid Pendeta Sinting yang su-

dah tertawa mendengar ucapan Dayang Sepuh.

“Jangan bikin habis kesempatan dan kesabaranku, 

Setan Berambut Putih! Katakan siapa dirimu sebenar


nya?!”

“AKU juga tak punya kesempatan banyak, Dayang 

Sepuh! Tapi satu hal yang pasti kau tak mungkin 

mendapat jawaban sekarang! Kau kelak akan tahu 

siapa diriku!”

Si nenek mendengus. “Aku tak mau menunggu ke-

lak! Sekarang katakan atau....” Si nenek tidak lan-

jutkan ucapan. Melainkan tertawa pendek seraya me-

milin salah satu poni rambutnya. Lalu teruskan uca-

pan. “Kau akan kubuat mampus tanpa dikenali!”

“Aku tidak suka dipaksa, Dayang Sepuh! Dan uru-

san antara kita rasanya belum saatnya dimulai! Bersa-

barlah. Kita nanti pasti akan bertemu untuk selesai-

kan satu urusan!”

“Orang tua!” Kali ini Joko angkat bicara. “Kau 

punya urusan dengan kekasihku ini?!”

Dayang Sepuh sudah membelalak. Namun murid 

Pendeta Sinting tidak ambil peduli. Dia menatap tajam 

pada orang tua berambut putih jabrik.

“Urusannya bukan hanya dengan kekasihmu itu sa-

ja, Pendekar 131! Namun termasuk dengan dirimu ju-

ga! Tapi bukan sekarang saat yang tepat membuka 

urusan itu! Tidak lama lagi.... Segalanya akan terjadi!”

Habis berkata begitu, mendadak si orang tua be-

rambut putih jabrik jejakkan kedua kakinya. Sosoknya 

melesat dua tombak ke udara. Di atas udara kakek ini 

membuat gerakan sekali. Kejap itu juga sosoknya me-

lesat laksana kilat tinggalkan tempat itu!

Anehnya, begitu melayang turun berjarak enam 

tombak di sebelah depan sana, si orang tua berambut 

putih jabrik melangkah perlahan-lahan malah sesekali 

berpaling pada Dayang Sepuh dan Pendekar 131 Joko 

Sableng!

“Setan itu sepertinya sengaja ingin diikuti! Aku jadi 

penasaran!” desis Dayang Sepuh.

“Ah.... Mungkin Bibi tertarik saja padanya dan in


gin mengikutinya!” gumam murid Pendeta Sinting. 

Namun Joko cepat berkelebat mengejar si orang tua 

mendahului Dayang Sepuh.

Dayang Sepuh mencibir lalu seraya mengomel dia 

melompat dan ikut mengejar.

***

LIMA



TAHU kalau dirinya dikejar orang, si orang tua be-

rambut putih jabrik tiba-tiba hentikan langkah. So-

soknya berputar seolah menyongsong kedatangan 

orang. Dan belum sampai Pendekar 131 dan Dayang 

Sepuh mendekat, dia telah perdengarkan suara.

“Jangan memaksakan diri untuk membuka urusan 

sebelum waktunya! Itu akan membuat rencana kalian 

gagal di tengah jalan!”

Murid Pendeta Sinting yang mendekat terlebih da-

hulu belum angkat suara, dari tempat agak jauh 

Dayang Sepuh sudah menyambut dengan bentakan 

keras.

“Kau sudah membuka urusan denganku, Setan Ja-

brik!”

Si orang tua berambut putih jabrik gelengkan kepa-

la dengan senyum dingin. Lalu tanpa memandang pa-

da murid Pendeta Sinting atau Dayang Sepuh yang ki-

ni telah tegak tidak jauh dari Joko, dia berucap.

“Bukan aku yang melakukannya, Dayang Sepuh! 

Karena aku tahu saatnya belum sampai!”

“Di sini tidak ada setan lain yang gentayangan! Jan-

gan takut mengakui perbuatan!”

“Kalau aku mau, tak mungkin aku bermain-main 

dengan gumpalan daun tak berguna itu! Lagi pula

seandainya aku takut, mudah bagiku membuat kalian 

berdua kehilangan jejakku!”

“Orang tua! Agar tidak terjadi kesalah-pahaman, 

kuharap kau mau menjelaskan apa maksudmu sebe-

narnya?!” kata Joko berusaha menengahi.

“Tidak semua urusan harus dikatakan pada orang 

lain, Pendekar 131! Tapi jangan kira aku tidak tahu 

apa maksud dan tujuan kalian berada di hutan ini!”

“Apa urusanmu ada kaitannya dengan urusan ka-

mi?!” Joko mengejar.

“Kita lihat saja nanti! Tak ada gunanya sekarang di-

bicarakan kalau urusan itu belum jelas benar!”

“Setan! Kau seolah tahu banyak urusan orang!”

Mendengar ucapan Dayang Sepuh, si orang tua be-

rambut putih jabrik tertawa pendek. “Kau lupa, 

Dayang Sepuh! Kalau aku tidak tahu banyak urusan 

orang, mana mungkin aku tahu siapa kalian meski ki-

ta belum pernah bertemu sebelumnya!”

“Aku tak percaya sebelum kau bisa katakan apa 

urusanku berada di hutan ini!” sahut Dayang Sepuh.

“Kau tengah mencari seorang gadis yang perutnya 

besar, bukan?!”

Dayang Sepuh menoleh pada murid Pendeta Sint-

ing. “Kau mengatakan padanya?!”

“Bibi.... Dia sudah tahu sebelum kita bertemu den-

gannya!”

“Hem.... Ini rahasia yang hanya diketahui orang ter-

tentu. Kalau orang lain sampai tahu, pasti ada yang 

membocorkan rahasia ini! Mungkin setan Wahing atau 

setan buta itu yang memberi tahu!” gumam Dayang 

Sepuh. Yang dimaksud setan Wahing dan setan buta 

oleh si nenek bukan lain adalah Datuk Wahing dan 

Gendeng Panuntun. Karena dua orang itu salah satu 

dari beberapa orang yang mengerti rahasia itu.

Si orang tua berambut putih jabrik rupanya dapat 

mendengar gumaman Dayang Sepuh. Hingga dia segera buka mulut.

“Dayang Sepuh! Aku tahu.... Datuk Wahing dan 

Gendeng Panuntun ada di dalam hutan ini! Namun 

aku belum bertemu dengan mereka berdua!”

“Hem.... Kalau begitu mungkin setan-setan lain-

nya!”

Si orang tua berambut putih jabrik gelengkan kepa-

la. “Aku Juga tahu jika Dewa Uuk, Iblis Ompong, dan 

Nenek Dewi Ayu Lambada juga berada di hutan ini!

Tapi jangankan mereka memberi tahu, bertemu pun 

aku belum pernah!”

Murid Pendeta Sinting dan Dayang Sepuh tampak 

terkesiap mendengar ucapan orang. Namun Dayang 

Sepuh segera berkata dengan suara agak keras.

“Jadi kau tahu semuanya dari Nyai Tandak Setan 

itu! Apa hubunganmu dengan setan perempuan itu?! 

Semula aku sudah menduga kalau setan perempuan 

itu terlalu buat masalah! Setan betul!”

Pendekar 131 sudah mau buka mulut, namun si 

nenek sudah membentak. “Jangan kau berani membe-

la perempuan setan itu meski aku tahu kau tertarik 

dengan cucunya!”

Murid Pendeta Sinting akhirnya kancingkan mulut 

dan tertawa panjang. Sementara orang tua berambut 

putih jabrik segera angkat suara.

“Kau terlalu mudah mengumbar tuduhan, Dayang 

Sepuh! Perempuan dari lereng Gunung Semeru dan 

cucunya bergelar Putri Kayangan memang tengah 

mencari salah seorang cucunya yang raib entah ke 

mana! Namun jangankan punya hubungan, mimpi ber-

temu dengan mereka pun aku belum pernah!”

Dayang Sepuh mencibir lalu berujar keras. “Siapa 

percaya ocehan mulut setan sepertimu!”

“Itulah sebabnya tadi kukatakan, sekarang belum 

waktunya membuka urusan!”

“Lalu kapan urusan akan dibuka, hah?!” tanya sinenek.

“Purnama tidak akan lama lagi, bukan?!” ujar orang 

berambut putih jabrik. Dia tidak lagi menunggu orang 

angkat bicara. Saat itu juga dia balikkan tubuh lalu 

enak saja melangkah tinggalkan murid Pendeta Sinting 

dan Dayang Sepuh.

“Rupanya dia tahu banyak urusan yang tengah kita 

hadapi, Bibi! Sebaiknya memang kita tunggu sampai 

waktunya datang! Namun secara diam-diam kita ikuti 

terus ke mana dia pergi! Aku menduga dia tahu di ma-

na Pitaloka berada!” bisik Joko seraya terus memper-

hatikan gerakan langkah-langkah orang tua berambut 

putih jabrik.

“Siapa sebenarnya setan jabrik itu?! Dia tahu ba-

nyak urusan orang bahkan mengenali orang yang da-

lam mimpi pun belum sempat muncul!” gumam 

Dayang Sepuh.

“Percuma kita urus hal itu, Bibi! Kau dengar uca-

pannya tadi. Kelak kita akan tahu siapa dia sebenar-

nya!” kata Joko lalu mulai melangkah mengikuti jejak 

si orang tua berambut putih jabrik.

Dayang Sepuh anggukkan kepala lalu ikut melang-

kah. Baik murid Pendeta Sinting maupun Dayang Se-

puh tidak tahu kini tengah menuju ke mana dan arah 

mana yang diambil. Namun begitu Joko melihat sinar 

matahari, dia tahu bahwa mereka kini tengah menuju 

ke arah barat.

Begitu matahari mulai pancarkan sinar kekuningan 

pertanda tak lama lagi akan segera turun di bentangan 

kaki langit sebelah barat, orang tua berambut putih 

jabrik hentikan langkah. Di belakang sana Pendekar 

131 dan Dayang Sepuh ikut pula berhenti. Mereka 

mengikuti tidak secara diam-diam atau sembunyi-

sembunyi. Tapi herannya, si orang tua yang diikuti 

seolah tidak peduli. Dia terus saja melangkah bahkan 

tidak pernah berpaling ke belakang! Padahal Joko ya

kin si orang tua tahu kalau dirinya diikuti orang.

Begitu hentikan langkah, si orang tua berambut pu-

tih jabrik untuk pertama kalinya gerakkan kepala ber-

paling ke belakang pada murid Pendeta Sinting dan 

Dayang Sepuh. Namun cuma sekejap dan tanpa buka 

mulut. Saat lain dia telah putar kembali kepalanya 

menghadap ke depan.

Berjarak lima tombak di seberang depan, terlihat 

hamparan lembah agak luas ditumbuhi aneka macam 

bunga. Matahari senja membuat lembah makin terlihat 

indah.

Untuk beberapa lama si orang tua berambut putih 

jabrik arahkan pandang matanya pada hamparan lem-

bah. Namun orang ini tidak menikmati indahnya pe-

mandangan. Karena sepasang matanya hanya tertuju 

pada satu tempat.

Mendadak kepala si orang tua berambut putih ja-

brik bergerak mengangguk. Bibirnya sunggingkan se-

nyum. Lalu terdengar gumamannya pelan.

“Gugusan batu itu telah lenyap hancur.... Berarti 

buruan telah masuk perangkap! Ternyata waktunya 

lebih cepat dari perhitungan! Sayang sekali.... Ter-

paksa aku harus menunggu beberapa saat lagi di sini! 

Tapi kedua orang itu tidak boleh tahu ada apa di da-

lam lembah ini! Aku akan memancingnya keluar dari 

kawasan lembah!”

Si orang tua berambut putih jabrik sipitkan sepa-

sang matanya. “Berubahnya perhitungan membuat 

aku harus merubah rencana pula! Tapi lebih cepat ku-

rasa akan makin baik!”

Setelah bergumam begitu, si orang tua berambut 

putih jabrik balikkan tubuh menghadap Pendekar 131 

dan Dayang Sepuh yang terus perhatikan orang dari 

belakang. Begitu orang yang diawasi putar diri, murid 

Pendeta Sinting dan si nenek sama arahkan pandang 

mata masing-masing ke orang tua berambut putih jabrik. Namun sebaliknya begitu balikkan tubuh, si ka-

kek berambut putih jabrik bukannya memandang ke 

arah Joko dan Dayang Sepuh, melainkan edarkan 

pandangannya berkeliling. Lalu bergumam lagi.

“Kuharap anak itu datang tepat pada waktunya! 

Bukan karena aku tak mampu menghadapi kedua 

orang di depan itu, namun dengan kedatangannya 

mungkin semuanya akan berjalan makin cepat! Tapi 

seharusnya dia sudah ada di tempat ini! Karena bebe-

rapa saat yang lalu dia telah berada membayangi ke-

dua orang itu! Tapi mengapa dia belum tunjukkan di-

ri?! Aku pun tak menangkap kehadirannya di sekitar 

tempat ini! Ke mana dia?!”

Selagi si kakek berambut putih jabrik bergumam 

begitu, tiba-tiba Dayang Sepuh yang terlihat tidak sa-

baran segera buka suara.

“Setan berambut jabrik! Kurasa waktunya sudah ti-

ba! Kalaupun belum, aku sudah tak mau menunggu 

lagi!”

“Sebenarnya waktu tibanya masih kurang dua belas 

hari lagi, Dayang Sepuh! Karena malam purnama ma-

sih kurang dua belas hari! Namun tampaknya keadaan 

berubah.... Dan waktu itu kurasa hampir tiba!” ujar 

kakek berambut putih masih tanpa memandang pada 

Dayang Sepuh atau murid Pendeta Sinting melainkan 

terus edarkan pandang matanya berkeliling.

“Bibi.... Matanya memberi tanda kalau dia tengah 

mencari seseorang! Setidaknya ada seseorang yang di-

tunggu!”

Mendengar bisikan Joko, tanpa pikir panjang lagi si 

nenek segera perdengarkan tawa panjang lalu berucap 

keras.

“Setan jabrik! Kau menunggu seseorang?!”

Untuk pertama kalinya si kakek tampak sedikit ter-

kejut. Namun dia segera tersenyum. Tapi sejauh ini dia 

masih kancingkan mulut tidak menyahut.


“Hem.... Aku masih belum bisa menebak apa ke-

mauan kakek ini! Mengapa dia menempatkan harinya 

dengan bulan purnama, saat mana diduga bayi itu 

akan lahir?!” Diam-diam murid Pendeta Sinting mem-

batin. Sementara di sebelahnya, mendapati kakek be-

rambut putih jabrik tidak menyambuti ucapannya, 

Dayang Sepuh kembali angkat suara.

“Dengar, Setan Jabrik! Aku sekarang tak peduli kau 

bilang saat itu hampir tiba atau sudah tiba karena pe-

rubahan keadaan! Yang jelas kau sudah berani kurang 

ajar padaku! Lebih-lebih kau bertindak pengecut 

membokongku dari belakang!”

Si kakek berambut putih jabrik belum juga menya-

hut. Namun kali ini matanya menatap tajam pada 

Dayang Sepuh. Saat lain mendadak tangan kanannya 

bergerak berkelebat.

Wuuttt!

Terdengar satu deruan keras. Saat yang sama satu 

gelombang dahsyat melabrak ganas ke arah Dayang 

Sepuh.

Dayang Sepuh hentakkan kaki. Sambil membentak 

dia berkelebat ke depan menyongsong datangnya pu-

kulan. Berjarak dua tombak lagi sosoknya melabrak 

gelombang ganas, si nenek angkat tangan kanan. Lalu 

disentakkan.

Wuuutt!

Byuurr!

Gelombang ganas dari tangan kanan kakek beram-

but putih jabrik ambyar berkeping-keping. Di lain pi-

hak sosok Dayang Sepuh terus berkelebat ke depan. 

Tahu-tahu sosoknya sudah tegak di tempat mana tadi 

si kakek berambut putih berdiri.

Namun Dayang Sepuh segera mendengus. “Setan! 

Dia lenyap!”

Dayang Sepuh pentangkan mata. Sosok kakek be-

rambut putih jabrik memang sudah tidak kelihatan la


gi di sekitar tempat tegaknya si nenek. Joko sendiri 

tampak celingukan. Dia tadi memang tidak perhatikan 

gerakan si kakek. Matanya hanya tertuju pada sosok si 

nenek yang menyongsong pukulan orang. Hingga dia 

sendiri tak tahu ke mana berkelebatnya si kakek be-

rambut putih jabrik!

Selagi kedua orang ini tengah mencari-cari, tiba-tiba 

terdengar suara batuk-batuk tiga kali. Dayang Sepuh 

cepat berpaling ke kanan, sementara murid Pendeta 

Sinting menoleh ke samping kiri.

Di depan sana, si kakek berambut putih terlihat te-

gak membelakangi dengan kepala tengadah. Kejap lain 

terdengar suara tawanya.

Tanpa pikir panjang lagi Dayang Sepuh berkelebat. 

Bukan hanya itu saja. Dari jarak empat tombak kedua 

tangannya segera dikelebatkan melepas satu pukulan!

Wuutt! Wuutt!

Angin menggidikkan berkiblat. Semak belukar yang 

terlewati terlihat bergerak-gerak. Saat lain tanahnya 

rengkah. Ranggasan semak muncrat ke udara! Hebat-

nya ranggasan semak belukar langsung melesat pula 

mengikuti kiblatan angin ke arah kakek berambut pu-

tih jabrik!

Di depan sana, kakek berambut putih jabrik pu-

tuskan tawanya. Saat bersamaan dia membuat satu 

kali gerakan. Sosoknya membal ke udara. Membuat 

gerakan jungkir balik satu kali. Begitu sosoknya me-

layang turun dan membalik menghadap Dayang Se-

puh, saat itu juga kedua tangannya bergerak.

Dari kedua tangan si kakek melesat gelombang ka-

but tipis berwarna putih. 

Blammm!

Terdengar gelegar keras tatkala angin menggidikkan 

dihadang kabut tipis. Saat yang sama, ranggasan se-

mak yang ikut melesat porak-poranda ambyar! Sosok 

Dayang Sepuh yang masih berkelebat di atas udara


laksana ditahan kekuatan luar biasa. Hingga kalau sa-

ja si nenek tidak segera melayang turun, niscaya so-

soknya akan terpental dan jatuh dengan punggung di 

atas rengkahan semak belukar!

Sementara sosok si kakek berambut putih jabrik 

terjajar satu setengah tindak ke sebelah samping. Wa-

lau sosoknya sedikit berguncang, tapi kakek ini sung-

gingkan senyum. Malah saat lain sosoknya sudah me-

lompat ke depan. Tangan kanannya bergerak.

Wuuttt!

Satu lingkaran berwarna coklat tampak berputar-

putar melesat ke arah Dayang Sepuh dengan perden-

garkan desingan tajam.

Dayang Sepuh mendelik perhatikan lingkaran cok-

lat yang ternyata adalah tasbih pendek milik si kakek. 

Saat lain si nenek sentakkan kepalanya ke samping.

Betttt!

Kelabangan rambut Dayang Sepuh berkelebat ang-

ker. Pita warna merah di ujung rambutnya terlepas. 

Bukannya luruh ke bawah, melainkan mencuat me-

nyongsong putaran tasbih pendek!

Trakkk!

Putaran tasbih pendek terhenti saat disongsong pita 

merah. Tasbih pendek dan pita warna merah sama me-

layang deras menghujam tanah. Namun dua jengkal 

lagi tasbih pendek menghantam tanah, kakek beram-

but putih jabrik dorong tangan kanannya.

Tasbih pendek warna coklat tertahan dua jengkal di 

atas rengkahan tanah semak belukar. Saat lain kem-

bali menderu ke arah Dayang Sepuh!

Mendapati hal demikian, si nenek tidak tinggal di-

am. Kedua tangannya segera diangkat lalu membuat 

putaran dua kali di depan dada. Tiba-tiba kedua tan-

gannya disentakkan ke atas.

Wuuttt!

Pita merah yang sudah terhampar di atas rengkahan tanah semak sekonyong-konyong laksana disentak 

setan dan membubung kembali ke udara. Hebatnya 

saat itu juga ikatan pita merah lepas. Lalu melesat ke 

belakang mengejar tasbih pendek.

Dayang Sepuh tertawa. Tangan kirinya segera men-

dorong. Tasbih pendek tertahan di udara. Saat itulah 

tiba-tiba pita merah yang melesat laksana ekor ular 

membelit tasbih pendek!

Si kakek berambut putih pendek ganti tertawa. Saat 

bersamaan kedua tangannya berputar-putar. Tasbih 

pendek di depan sana ikut berputar-putar keras seolah 

ingin lepaskan diri dari libatan pita merah.

Dayang Sepuh membentak. Sosoknya melesat ke 

arah tasbih pendek dengan tangan kiri kanan terang-

kat siap melepas pukulan.

Si kakek terlengak sesaat. Namun segera pula je-

jakkan kaki. Sosoknya ikut pula berkelebat ke depan. 

Tangan kiri kanannya diangkat.

Setengah depa lagi mendekati tasbih pendek, tan-

gan kanan Dayang Sepuh berkelebat dari atas meng-

hantam tasbih pendek. Sementara tangan kiri melesat 

dari arah bawah hendak menarik pita merahnya yang 

masih melibat tasbih pendek coklat.

Si kakek tidak berdiam diri. Dia juga cepat kele-

batkan tangan kanan untuk menghadang pukulan 

tangan kanan si nenek. Sementara tangan kiri meng-

hantam ke arah pita merah yang hendak ditarik si ne-

nek.

Prakkk!

Brettt!

Hantaman tangan kanan Dayang Sepuh tepat men-

genai tasbih pendek. Namun bersamaan itu tangan si 

kakek tepat menghantam pita merah si nenek. Tasbih 

pendek warna coklat milik si kakek berambut putih ja-

brik langsung pecah semburat. Di lain pihak, pita me-

rah milik Dayang Sepuh luruh ke bawah. Sesaat memang tampak utuh, tapi belum sampai pita merah ter-

hampar di atas rengkahan tanah semak, pita merah te-

lah hancur dan semburat terkena bias hantaman tan-

gan kanan Dayang Sepuh dan pukulan tangan kiri ka-

kek berambut putih jabrik!

“Setan! Kau hancurkan pita merahku!” teriak 

Dayang Sepuh. Masih berada di atas udara, kaki ka-

nannya membuat gerakan menendang ke arah si ka-

kek yang juga masih di atas udara.

Si kakek berambut jabrik putih tidak mau me-

nunggu. Saat itu juga kaki kanannya bergerak!

Bukkk!

Sosok Dayang Sepuh terputar di atas udara. Namun 

si nenek begitu sosoknya menghadap kembali ke de-

pan, kaki kirinya melesat melepas tendangan!

Si kakek yang juga terputar, cepat pula angkat kaki 

kirinya. Lalu menghadang tendangan dengan sentak-

kan kaki kiri!

Bukkk!

Untuk kedua kalinya terjadi saling tendang di atas 

udara. Sosok Dayang Sepuh kail ini mental lalu jatuh 

terduduk di atas rengkahan tanah. Di lain pihak, sosok 

si kakek mencelat lalu jatuh dengan kaki tertekuk! Pa-

ras kedua kakek-nenek ini sama berubah pias.

Murid Pendeta Sinting yang sejak tadi hanya diam 

melihat, segera melompat hendak mendekat ke arah 

Dayang Sepuh. Namun gerakannya tertahan tatkala 

mendadak terdengar orang perdengarkan suara laksa-

na bersyair.

***


ENAM


AKU datang bersama angin. 

Aku datang dengan naungan matahari dan rembu-

lan.

Aku datang dari lembah kegelapan. 

Hamparan bumi akan jadi saksi mati. 

Saksi dari tumpahnya darah anak manusia!

Ucapan bersyair belum selesai, satu sosok tubuh te-

lah berkelebat dan di hadapan murid Pendeta Sinting 

telah tegak seorang pemuda berparas tampan beram-

but panjang lebat dengan dagu kokoh dan mata tajam. 

Pemuda ini mengenakan mantel besar berwarna hitam.

“Anak manusia bergelar Pendekar Pedang Tumpul 

131 Joko Sableng!” kata si pemuda yang bukan lain 

adalah pemuda yang beberapa waktu lalu sebutkan di-

ri sebagai Malaikat Berkabung. (Kemunculan pertama 

kali pemuda ini silakan baca serial Joko Sableng dalam 

episode : “Nyai Tandak Kembang”).

“Kepastian yang ditentukan padaku mengharuskan 

kita berjumpa lagi! Ini berarti takdir telah sampai!”

Sembari berkata, Malaikat Berkabung bukannya 

memandang ke arah murid Pendeta Sinting, melainkan 

berpaling pada Dayang Sepuh yang masih terduduk di 

atas rengkahan tanah semak belukar. Namun cuma 

sekejap. Saat lain si pemuda arahkan pandang mata-

nya pada kakek berambut putih jabrik yang Juga ma-

sih di atas tanah. Untuk beberapa saat si pemuda 

memperhatikan. Lalu tersenyum.

“Anak setan ini sudah berada di sini pula!” desis 

Dayang Sepuh melihat kehadiran Malaikat Berkabung. 

“Dari senyumnya pada setan Jabrik tadi, tampaknya 

mereka berdua sudah saling kenal!”

Dayang Sepuh arahkan pandangan pada murid


Pendeta Sinting. “Mengapa Setan geblek satu itu hanya 

diam seperti setan tolol?!” Entah karena tak sabaran 

melihat murid Pendeta Sinting yang hanya diam den-

gan mulut terkancing, si nenek cepat bangkit lalu 

menghardik.

“Setan geblek! Kenapa kau diam saja, hah?!”

Pendekar 131 baru tersenyum. Lalu angkat bicara 

tanpa memandang pada Malaikat Berkabung yang kini 

telah hadapkan wajah ke arahnya.

“Apa yang harus dikatakan pada setan Malaikat se-

perti dia, Bibi?!”

Rahang Malaikat Berkabung mengembung besar. 

“Memang tak ada gunanya kau mengatakan sesuatu! 

Tapi bukan berarti kau harus kancingkan mulut tidak 

jawab pertanyaanku!”

“Hem.... Jadi kau mau bertanya padaku?! Tentang 

apa...?! Takdirmu?!” tanya murid Pendeta Sinting lalu 

buka telapak tangan kirinya dan didekatkan pada wa-

jah. Saat lain Pendekar 131 sudah berucap lagi.

“Wah.... Takdirmu jelek, Malaikat! Pertama. Kau 

akan menemui kegagalan untuk kedua kalinya dalam 

mendapatkan gadis yang kau cari! Kedua....” Murid 

Pendeta Sinting gerak-gerakkan tangan kanannya di 

atas telapak tangan kiri dengan kening berkerut. Lalu 

memandang pada Malaikat Berkabung dan lanjutkan 

ucapan. “Kedua. Kelak kau akan beristri seorang ne-

nek-nenek. Ketiga. Ini yang paling tidak enak. Kelak 

kau akan mati sengsara karena nenek-nenek istrimu 

punya kekasih baru! Dan satu lagi. Kau....”

“Setan! Mengapa kau sebut-sebut diriku dalam ra-

malan setanmu itu!” Dayang Sepuh menukas dengan 

bentakan.

“Ah.... Yang kumaksud nenek-nenek bukan kau, 

Bibi! Tapi nenek-nenek bangsa setan seperti dia!” ke-

pala murid Pendeta Sinting bergerak ke arah Malaikat 

Berkabung.


puh sambil cekikikan. “Kalau buyung kecilnya tak mau 

diajak senang-senang berarti buyung kecilnya....”

“Harap tidak teruskan, Bibi! Jika didengar orang, 

nenek-nenek pun kelak tidak ada yang akan mau di-

persunting!”

“Benar juga.... Nenek-nenek pun mana ada yang 

mau diambil istri kalau buyungnya sekarat?! Hik.... 

Hik.... Hik...!”

Mendengar ucapan-ucapan murid Pendeta Sinting 

dan Dayang Sepuh, sejak tadi pelipis kanan kiri Malai-

kat Berkabung tampak bergerak-gerak. Namun pemu-

da ini masih coba menahan diri untuk tidak buka mu-

lut atau membuat gerakan. Tapi begitu didengarnya 

ucapan-ucapan kedua orang itu ngelantur, Malaikat 

Berkabung tak dapat lagi menahan ledakan dadanya. 

Hingga begitu si nenek selesai berucap, Malaikat Ber-

kabung angkat tangan kanannya dengan telapak di-

kembangkan. Lalu jari tengah kedua tangannya dite-

mukan. Saat lain, seraya perdengarkan bentakan dah-

syat, kedua tangannya didorong ke arah Pendekar 131!

Kabut hitam tipis melesat perdengarkan deruan 

angker. Ranggasan semak yang tersapu tampak mem-

bubung ke udara. Hebatnya ranggasan semak itu tiba-

tiba berputar-putar, saat lain melesat mengikuti kabut 

tipis dan sudah membentuk bundaran!

“Hem.... Jadi yang membuat ulah di sebelah sana 

tadi adalah dia!” gumam Joko melihat bundaran dari 

ranggasan semak yang ikut berkelebat mengikuti ka-

but hitam tipis.

“Setan sialan! Jadi kau yang tadi berlaku kurang 

ajar membokongku!” Dayang Sepuh sudah berteriak 

mendapati apa yang terjadi.

Di seberang depan sana, murid Pendeta Sinting ce-

pat angkat kedua tangannya. Melihat ganasnya puku-

lan orang, Joko tak mau bertindak ayal. Dia cepat ke-

rahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Saat itu


juga mendadak kedua tangannya berubah warna men-

jadi semburat kekuningan. Pertanda jika dia hendak 

melepas pukulan ‘Lembur Kuning’.

Wuutt! Wuuuut!

Kedua tangan murid Pendeta Sinting bergerak ke 

depan. Satu sinar kuning berkiblat, lalu satu gelom-

bang luar biasa dahsyat menggebrak dibarengi meng-

hamparnya hawa panas menyengat.

Blammm!

Kesunyian hutan disentak dengan gelegar hebat. 

Tanah hutan di sekitar bentroknya pukulan bergetar 

keras. Udara yang mulai temaram seketika laksana di-

telan malam karena hamburan tanah dan dedaunan. 

Disusul terdengarnya derakan dan tumbangnya bebe-

rapa pohon.

Kabut hitam tipis berserakan di udara. Bundaran 

ranggasan semak langsung pecah. Sementara gelom-

bang dan sinar kuning ambyar berantakan.

Sosok murid Pendeta Sinting dan Malaikat Berka-

bung sama-sama terpental lima langkah ke belakang. 

Paras keduanya sama berubah pucat pasi. Namun be-

lum sampai semburatan tanah luruh sirna, kedua tan-

gan Malaikat Berkabung bergerak sibakkan mantel hi-

tamnya. Saat itu juga sosoknya melesat menerobos lu-

ruhan tanah.

Pendekar 131 tak tinggal diam. Dia segera jejakkan 

kedua kakinya. Sosoknya tiba-tiba melayang ke depan 

menyongsong sosok Malaikat Berkabung.

Karena suasana masih pekat, tidak terlihat apa 

yang terjadi di udara. Hanya saja, begitu sosok murid 

Pendeta Sinting melesat menghadang, terdengar ben-

turan keras tiga kali berturut-turut. Kejap kemudian 

dari luruhan tanah yang menghambur turun, terlihat 

sosok Malaikat Berkabung dan Pendekar 131 mencelat 

lalu sama jatuh terduduk!

Murid Pendeta Sinting tampak pejamkan sepasang


matanya dengan mulut megap-megap dan dada berge-

rak keras turun naik. Kedua tangannya bergetar. Wa-

jahnya laksana tidak berdarah. Di seberang depannya, 

Malaikat Berkabung kancingkan mulut rapat-rapat 

namun kedua tangannya memegangi perutnya dengan 

tubuh sedikit ditekuk ke depan. Jelas pemuda ini ber-

tahan agar dia tidak muntah.

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Malaikat Berka-

bung perdengarkan dengusan keras. Lalu bergerak 

bangkit dengan mata nyalang ke arah murid Pendeta 

Sinting yang juga tengah beranjak tegak.

“Setan geblek! Kau tidak apa-apa?!” tanya Dayang 

Sepuh merasa khawatir dengan keadaan Pendekar 

131.

Joko tersenyum meski dadanya masih terasa nyeri. 

Lalu berujar.

“Bibi.... Aku tahu dan merasa jika takdirku bukan 

sekarang waktunya! Kalaupun aku terluka parah, ke-

mungkinan hidup masih ada! Namun tidak demikian 

halnya dengan sahabat kita satu itu. Aku khawatir 

tanpa terluka pun dia tidak punya kemungkinan un-

tuk hidup! Jadi sebenarnya percuma saja dia melaku-

kan ini! Lagi pula sebelumnya tidak ada pangkal seng-

keta!”

“Setan! Kau bilang tidak ada pangkal sengketa?! Dia 

telah berlaku kurang ajar membokongku dengan mai-

nan bolanya.. Dia telah membuka pangkal sengketa 

denganku!”

Malaikat Berkabung putar diri menghadap Dayang 

Sepuh. Matanya berkilat-kilat. Saat lain dia telah 

membentak garang.

“Aku menyesal tidak membunuhmu saat itu juga, 

Nenek Muka Badak! Namun aku tak mau menyesal 

dua kali! Lagi pula kepastianmu sudah tiba!”

Dayang Sepuh tertawa cekikikan panjang. “Aku ta-

hu apa sebabnya kau sejak tadi selalu marah-marah


dan ingin membunuh orang! Kau kecewa dengan 

buyung kecilmu bukan? Hik.... Hik.... Hik...! Seharus-

nya kau bersabar, Setan! Itulah kepastian nyata yang 

harus kau terima! Dan jangan cemas.... Walau aku ta-

hu buyungmu tidak bisa bersenang-senang, tapi aku 

akan merahasiakan ini! Hik.... Hik.... Hik...! Kau juga

tak perlu khawatir. Karena sebenarnya aku tahu ba-

gaimana cara menyembuhkan buyung kecilmu! Kau 

mau tanya bagaimana caranya?!”

Malaikat Berkabung tidak menyahut. Sebaliknya 

cepat angkat kedua tangannya dengan telapak dikem-

bangkan. Namun sebelum bergerak lebih jauh, orang 

tua berambut putih jabrik yang sedari tadi hanya me-

mandang dan mendengarkan, segera angkat suara.

“Dia bagianku! Selesaikan saja anak manusia satu-

nya!”

Dayang Sepuh putar diri setengah lingkaran meng-

hadap kakek berambut putih jabrik. Matanya jelalatan

pandangi orang dari rambut sampai kaki seolah belum 

pernah bertemu sebelumnya.

“Kau sejak semula juga menginginkan nyawa orang. 

Jangan-jangan buyung kecilmu juga sudah sekarat! 

Atau barangkali kau sejak lahir tak punya buyung ke-

cil untuk mainan hingga kau hendak membuat mainan 

nyawa orang, he?!”

“Bukan begitu, Bibi!” sahut murid Pendeta Sinting 

seraya pandangi tangan kirinya. “Menurut yang terli-

hat di sini, sebenarnya dia punya buyung kecil, namun 

terlalu kecil sekali bahkan hampir tidak kelihatan....” 

Murid Pendeta Sinting tertawa sebentar sebelum ak-

hirnya melanjutkan ucapan. “Sementara telurnya 

sungguh amat besar! Hingga bentuknya lucu! Heran-

nya dia tidak mensyukuri kelucuan langka itu.... Hing-

ga dia tidak mengambil istri. Padahal kalau dia mau 

beristri, istrinya pasti akan gemas dan tiap hari akan 

selalu tertawa menangis!”


Tampang si kakek berambut putih jabrik langsung 

berubah garang. Tanpa berkata apa-apa lagi dia me-

lompat ke arah Dayang Sepuh. Bersamaan itu, Malai-

kat Berkabung juga membuat gerakan dan tahu-tahu 

telah tegak hanya sejarak empat langkah di hadapan 

murid Pendeta Sinting.

“Sebenarnya apa maumu, Malaikat?!” Murid Pende-

ta Sinting berucap seraya diam-diam kerahkan tenaga 

dalam pada kedua tangannya.

“Kau terlambat untuk bertanya! Jadi jawabannya 

akan kau dapatkan begitu nyawamu putus!”

“Kau percaya nyawaku akan putus hari Ini?!”

Malaikat Berkabung tidak menjawab. Dia terse-

nyum dingin. Lalu mendadak dia tekuk sedikit kedua 

lututnya. Saat lain sosoknya menyergap ke arah Joko 

dengan kedua tangan menghantam. Tangan kanan 

berkelebat ke arah lambung, tangan kiri melesat ganas 

ke arah pelipis. Bukan sampai di situ, bersamaan den-

gan bergeraknya kedua tangan, kaki kiri kanannya 

membuat gerakan menendang!

Mendapat serangan empat pukulan sekaligus, mu-

rid Pendeta Sinting cepat sentakkan tubuhnya ke bela-

kang hingga punggungnya sama rata dengan tanah. 

Dalam posisi telentang begitu rupa, kedua kaki Joko 

cepat bergerak ke atas. Sementara kedua tangannya 

yang bebas segera lepaskan pukulan tangan kosong ja-

rak jauh!

Malaikat Berkabung sempat terkesiap. Dia mungkin 

masih bisa menghadapi gerakan kedua kaki Joko. Na-

mun mungkin dia akan kesulitan untuk menghadang 

pukulan jarak jauh. Maka dengan cepat dia tarik pu-

lang kedua tangannya. Kejap lain dia sentakkan lagi 

menghadang pukulan tangan kosong jarak jauh Joko.

Bukkk! Bukkk!

Tendangan kedua kaki Malaikat Berkabung meng-

hantam kedua kaki Joko. Saat bersamaan terdengar


derakan keras ketika pukulan jarak jauh murid Pende-

ta Sinting bentrok dengan pukulan jarak jauh Malaikat 

Berkabung.

Karena bentroknya pukulan terlalu dekat, sosok 

Malaikat Berkabung yang berada di atas udara lang-

sung terbang setinggi lima tombak. Di lain pihak, so-

sok Joko mental bergulingan sampai dua tombak. Da-

rah segar tampak mengucur dari mulut Pendekar 131. 

Di atas udara, sosok Malaikat Berkabung melayang 

berputar ke bawah. Sebelum tubuhnya jatuh ke atas 

tanah, mulutnya mengembung lalu muncratkan darah!

Namun begitu sosoknya terjerembab, laksana tidak 

mengalami luka dalam, sembari usap lelehan darah di 

mulutnya, Malaikat Berkabung bergerak bangkit. Seje-

nak memang terhuyung-huyung. Tapi begitu kedua 

tangannya sibakkan mantel hitamnya, sosoknya telah 

tegak laksana dipacak! Matanya makin garang berkilat. 

Kedua tangannya yang bergetar mengepal.

Murid Pendeta Sinting sesaat terkesiap melihat-

Malaikat Berkabung sudah bangkit. Padahal dia masih 

merasakan dadanya sesak dan aliran darahnya laksa-

na tersumbat. Namun mendapati orang sudah bangkit 

bahkan sudah siap lepaskan pukulan, murid Pendeta 

Sinting tidak pedulikan lagi luka dalamnya. Dia cepat 

pula berdiri.

Baru saja Joko bangkit berdiri, di seberang samping 

terdengar benturan keras. Malaikat Berkabung yang 

sudah hendak lepaskan pukulan urungkan niat dan 

berpaling. Pendekar 131 ikut-ikutan menoleh.

Bukkk! Bukkk!

Bukkk! Bukkk!

Terdengar kembali benturan keras bertubi-tubi. 

Ternyata Dayang Sepuh dan kakek berambut putih ja-

brik tengah saling tendang dan adu tangan di atas 

udara. Hebatnya, begitu sosok masing-masing orang 

mental ke belakang, keduanya segera sentakkan bahu


masing-masing. Hingga saat itu juga sosok keduanya 

kembali melesat ke depan. Lalu kembali saling ten-

dang. Begitu seterusnya hingga untuk beberapa saat 

tempat itu dibuncah dengan suara benturan berkali-

kali. Suara benturan baru lenyap ketika sosok kedua-

nya mencelat jauh. Lalu sama melayang limbung dari 

jatuh di atas ranggasan semak.

Dayang Sepuh coba bergerak-gerak bangkit dengan 

berusaha katupkan mulut agar erangannya tidak ter-

dengar. Namun tak urung, karena sakitnya bukan 

alang kepalang, si nenek akhirnya tak kuasa katupkan 

mulut. Tapi karena tak mau terdengar mengerang, 

meski terasa sakit luar biasa pada sekujur tubuh apa-

lagi kedua kaki dan tangannya, si nenek menyumpah-

nyumpah. “Setan! Setan! Setan!”

Di seberang lain, kakek berambut putih jabrik mu-

lai tegak terbungkuk-bungkuk dengan kedua tangan 

menakup mulutnya. Dari sela jarinya terlihat rembe-

san darah!

Tanpa disadari oleh murid Pendeta Sinting, ekor 

mata Malaikat Berkabung melirik ke arahnya. Saat 

bersamaan tiba-tiba kedua tangan Malaikat Berkabung 

telah menyentak ke depan. Hingga saat itu juga kabut 

hitam tipis kembali menyeruak dan melesat menggi-

dikkan ke arah Pendekar 131!

Murid Pendeta Sinting sesaat terlengak kaget. Ter-

lambat baginya untuk menghadang pukulan orang. 

Kalaupun dia masih sempat bergerak dan mengha-

dang, maka dia tak akan dapat menghindar dari bias 

bentroknya pukulan yang lebih dekat ke arahnya.

Murid Pendeta Sinting tak mau ambil risiko lebih 

besar dengan tanpa membuat hadangan, meski dia sa-

dar tak mungkin lagi dapat menghindar dari bias ben-

troknya pukulan. Maka dengan cepat dia sentakkan 

kedua tangannya melepas kembali pukulan ‘Lembur 

Kuning’.


Namun belum sampai sinar kuning dan gelombang 

dahsyat yang disertai hawa panas melesat keluar dari 

kedua tangan Joko, mendadak terdengar orang bersin 

tiga kali berturut-turut. Lalu tiga gelombang angin de-

ras mencuat dari semak belukar.

Bummm! Bummm! Bummm!

Kabut hitam tipis dari Malaikat Berkabung porak-

poranda. Sosok Malaikat Berkabung terjajar enam 

langkah dan terhuyung hampir roboh.

“Bruss! Brusss! Heran.... Heran.... Ada apa ini?! 

Semua mulut sama belepotan darah! Sementara yang 

di sana sama main petak umpet di semak-semak!” Ter-

dengar orang bersin lalu disusul dengan terdengarnya 

ucapan.

Ucapan orang belum selesai, dua sosok tubuh tam-

pak melangkah terbungkuk-bungkuk dari balik semak. 

Tangan kiri masing-masing orang ini memegang bum-

bung bambu. Sedangkan tangan kanan memegang ila-

lang!

***

TUJUH



Kita kembali sejenak pada lembah sebelum keda-

tangan orang tua berambut putih jabrik, serta Dayang 

Sepuh, dan Pendekar 131 yang mengikuti si kakek. 

Seperti diketahui, begitu menemukan lobang di bawah 

gugusan batu di tengah lembah, Kigali meminta Pita-

loka untuk menunggu di sekitar lobang sementara di-

rinya masuk ke dalam lobang.

Begitu jejakkan kaki di bawah lobang, Kigali cepat 

pentangkan mata lalu melirik dengan kepala diputar 

perlahan-lahan. Dia memang sudah tidak mendengar


suara makian atau jeritan menyayat. Namun dia masih 

bisa menangkap desahan napas berat.

Tempat di mana sekarang Kigali berada adalah se-

buah ruangan agak luas yang di sana-sini terlihat ba-

nyak tonjolan batu. Di sebelah pojok kanan terlihat 

pancuran air kecil. Di sekitarnya tampak dua batang 

pohon tidak begitu tinggi berdaun agak lebat. Di ba-

gian kiri air pancuran, terdapat tempat agak terbuka 

yang ditumpuki jerami kering.

Untuk beberapa saat Kigali perhatikan tumpukan 

jerami. “Bagian tengah jerami itu tampak melesak ke 

bawah. Pertanda jerami itu ditempati orang! Hem.... 

Beberapa puluh tahun silam berkeliaran di sekitar 

tempat ini, tidak kuduga kalau d! tempat ini ada peng-

huninya! Siapa dia...?!”

Kigali terus perhatikan tempat di sekitar pancuran 

air. Dan diam-diam sepasang mata besar tampak men-

delik dari balik lebatnya dedaunan di sekitar pancuran 

air mengawasi gerak-gerik Kigali. Pemilik mata ini me-

nahan diri untuk tidak perdengarkan suara atau 

membuat gerakan. Bahkan dia sengaja menahan na-

pas.

“Kek.... Bagaimana?! Aku bisa turun?!” Tiba-tiba Pi-

taloka berteriak dari atas. Kigali melangkah agar bisa 

melihat Pitaloka. Lalu tengadah. Dia sebenarnya sedi-

kit bimbang. Karena dia belum tahu siapa penghuni 

tempat di bawah lobang. Namun karena khawatir ada 

orang lain di lembah, akhirnya Kigali memutuskan un-

tuk menyuruh Pitaloka turun ke bawah. Tapi baru saja 

Kigali hendak buka mulut, satu suara terdengar.

“Siapa kau, Orang Asing?!”

Kigali cepat berpaling. Walau dia tadi sudah men-

duga adanya orang di tempat itu, namun tak urung Ki-

gali merasa terkejut. Matanya segera perhatikan ke 

arah lebatnya dedaunan di sekitar pancuran air dari 

mana suara tadi terdengar. Meski Kigali belum bisa jelas melihat sosok orang yang perdengarkan suara, dia 

segera berucap dengan nada rendah.

“Maafkan jika kedatangan kami mengganggumu! 

Aku adalah Kigali....”

“Kau manusia suruhan bangsat keparat itu bukan?! 

Jangan pikir aku menyerah begitu saja! Kalaupun aku 

harus tewas, namun aku tak mau mampus sendiri! 

Kau akan kubawa serta!” Suara itu terdengar bergetar 

dan makin keras.

Kigali berpikir sesaat. Dari ucapan orang dia sedikit 

banyak telah tahu apa yang dialami orang. Seraya te-

rus arahkan pada lebatnya dedaunan, dia angkat sua-

ra.

“Maaf. Aku bukan suruhan siapa-siapa. Kalaupun 

aku sampai datang ke tempat ini, itu adalah satu kebe-

tulan belaka! Karena begitu aku memasuki....”

Belum selesai Kigali teruskan ucapan, terdengar 

suara memotong. “Kau jangan berkata dusta! Mengapa 

bangsat keparat itu tidak datang sendiri mengantar

nyawanya?! Dia takut?!” Lalu terdengar suara tawa 

panjang.

Pitaloka yang masih berada di sekitar lobang atas 

tampak tajamkan telinga untuk simak percakapan 

orang. Dia sesekali rundukkan tubuh untuk melihat 

siapa orang yang bicara dengan Kigali. Namun tidak 

melihat sosok lain di bawah walau dia sudah beberapa 

kali melangkah mengitari lobang dengan kepala me-

runduk. Hingga akhirnya gadis saudara kembar Putri 

Kayangan ini duduk di bibir lobang sambil mendengar-

kan.

“Dengarlah, Sahabat!” kata Kigali. “Aku tidak tahu 

menahu urusanmu. Sekali lagi kami datang hanya ka-

rena kebetulan. Dan kalau kau keberatan atas keda-

tanganku, aku akan tinggalkan tempat ini!”

Sesaat tak ada sahutan suara. Kigali tengadahkan 

kepala ke arah lobang. Lalu diluruskan lagi ke arah lebatnya dedaunan di sekitar pancuran air. Saat lain dia 

berkata lagi.

“Aku datang bersama anak perempuanku.... Sebe-

narnya kami tengah mencari tempat untuk berlindung. 

Sebelum ini kami bertempat di hutan sebelah timur 

lembah ini.”

“Katakan siapa kau sebenarnya?!” Terdengar lagi 

suara dari lebatnya dedaunan.

“Aku hanyalah orang tua biasa.... Terlalu tolol jika 

orang seusiaku masih harus menjadi suruhan orang 

apalagi dalam urusan yang berkaitan dengan nyawa 

manusia. Dan kalaupun aku menjadi suruhan orang, 

tak mungkin hal itu akan kulakukan!”

“Lalu mengapa kau cari tempat untuk berlindung?! 

Sebagai orang biasa tak mungkin kau punya urusan 

dengan orang hingga sampai mencari tempat berlin-

dung! Lalu caramu menghancurkan batu penutup di 

atas sana membuatku belum percaya dengan keteran-

ganmu!”

“Setiap manusia tak bisa lepas dari urusan. Baik itu 

orang biasa atau orang yang berkecimpung dalam rim-

ba persilatan. Bahkan tak jarang orang harus terlibat 

urusan padahal orang itu tidak membuat urusan! Ten-

tang bagaimana caraku menghancurkan batu di atas 

sana, aku hanya melakukan apa yang seharusnya ku-

lakukan!”

“Apa sebenarnya urusanmu?!”

Kigali terdiam beberapa lama. Kembali dia tengadah 

seolah minta persetujuan dari Pitaloka. Rupanya Pita-

loka yang bisa melihat gerak-gerik Kigali dan menden-

garkan pembicaraan dapat menangkap maksud orang. 

Hingga dia segera berkata.

“Kek! Katakan saja apa urusan kita!”

Kigali menghela napas sebelum akhirnya berkata.

“Anak perempuanku itu sekarang tengah mengan-

dung.... Dia perlu istirahat. Sementara akhir-akhir ini


di dalam hutan sana, yang biasanya tidak pernah di-

rambah orang entah apa sebabnya tiba-tiba banyak 

orang bermunculan. Karena kami tak mau terlibat 

urusan, apalagi kulihat orang yang muncul adalah dari 

kalangan orang persilatan, terpaksa kami harus men-

cari tempat baru yang lebih tenang, sekaligus agar ti-

dak ikut terlibat urusan orang! Karena biasanya, ke-

munculan beberapa orang rimba persilatan pasti 

membawa urusan!”

“Rupanya saatnya telah tiba!” Tiba-tiba terdengar 

gumaman pelan dari lebatnya dedaunan membuat Ki-

gali merasa heran namun juga terkejut. Dia belum bisa 

menjabarkan apa maksud ucapan orang. Hingga dia 

segera berucap.

“Apa maksud ucapanmu?”

Tidak terdengar sahutan, sebaliknya lebatnya de-

daunan bergerak-gerak. Saat lain muncullah satu so-

sok tubuh.

Kigali perhatikan dengan seksama. Sosok yang 

muncul dari balik lebatnya dedaunan adalah seorang 

perempuan berusia lanjut. Rambutnya putih panjang 

dan awut-awutan. Sepasang matanya besar dan tam-

pak berwarna agak merah. Dia mengenakan jubah 

yang sudah sangat kumal. Parasnya cekung dan putih 

pucat laksana mayat. Kuku jari kedua tangan dan ka-

kinya panjang dan hitam-hitam.

Kigali memperhatikan dengan mata membeliak tak 

berkesip. Dadanya berdebar keras. Bukan karena tam-

pang dan sosok si perempuan yang pancarkan keang-

keran, namun pada gerak-gerik orang.

Begitu muncul dari lebatnya dedaunan, si nenek 

bukannya tegak berdiri dan melangkah, namun dia 

muncul dengan menyeret tubuhnya dengan pantat di-

jadikan sebagai tumpuan. Nenek ini baru hentikan se-

ret tubuhnya di dekat pancuran air karena tempat itu 

menurun dan ditonjoli batu-batu tak beraturan.


Si nenek memandang pada Kigali dengan seksama. 

Lalu menoleh pada jerami di seberang. Untuk menca-

pai jerami, si nenek harus melompat berjarak tiga 

tombak karena dipisahkan oleh pancuran air.

Entah karena mengerti apa arti pandangan orang, 

Kigali hendak melangkah mendekat bermaksud meno-

long si nenek untuk sampai pada tempat yang ditum-

puki jerami kering. Namun belum sampai Kigali te-

ruskan tindakan, si nenek sudah perdengarkan suara.

“Jangan bergerak dari tempatmu! Suruh saja anak 

perempuanmu turun!”

Bersamaan dengan itu si perempuan berjubah 

kumal gerakkan bahunya ke bawah. Tiba-tiba sosok-

nya melesat dan saat lain telah duduk di atas tumpu-

kan jerami Kering.

Kigali menatap sejenak. “Bukan orang sembaran-

gan...,” katanya dalam hati lalu tengadah. Baru saja 

kepala Kigali mendongak, Pitaloka yang dapat men-

dengar suara orang segera melompat turun dengan ke-

dua tangan menakup menahan perutnya yang telah 

membesar.

Kigali terkesiap kaget. Dia buru-buru melompat un-

tuk menahan layangan tubuh Pitaloka. Dan menyergap 

seraya bergumam.

“Seharusnya kau berhati-hati, Anakku!”

Pitaloka hanya tersenyum lalu anggukkan kepala. 

Saat lain gadis cucu Nyai Tandak Kembang yang juga 

saudara kembar Putri Kayangan ini arahkan pandang 

matanya ke depan. Dia sempat terkesiap dan hendak 

surutkan langkah melihat keangkeran wajah orang

yang duduk di atas jerami kering.

Sementara si nenek langsung sengatkan sepasang 

matanya pada perut Pitaloka. Baru kemudian mem-

perhatikan paras wajah si gadis. Dia perdengarkan 

gumaman tak jelas. Lalu perdengarkan tanya.

“Sudah berapa bulan kandunganmu, Anak Gadis?!”


Mungkin masih terkesima melihat paras orang, Pita-

loka tidak segera menjawab pertanyaan orang. Kigali 

putar tubuh lalu buka mulut.

“Sebenarnya masih dua bulan kurang.... Namun 

aku sendiri tak tahu mengapa sudah begitu besar....”

“Aku tahu...,” ujar si nenek pelan dengan manggut-

manggut. “Mendekatlah kalian kemari! Ada yang harus 

kita bicarakan!”

Pitaloka dan Kigali saling pandang. Namun begitu 

Kigali anggukkan kepala dan mulai melangkah mende-

kati si nenek, Pitaloka ikut melangkah di belakang Ki-

gali dengan dada dipenuhi pertanyaan tak terjawab.

“Untung kalian datang ke tempat yang benar....” 

Berkata si nenek sambil terus memandang ke arah Pi-

taloka. Pitaloka makin tak enak dipandangi begitu ru-

pa, namun dia teruskan juga melangkah.

“Kau duduklah di atas batu itu,” kata si nenek pada 

Kigali. “Dan kau duduklah di atas jerami!” sambung si 

nenek dengan arahkan pandang matanya kembali pa-

da Pitaloka.

Tanpa berkata menyahut, Kigali turuti permintaan 

orang. Dia mengambil tempat di atas batu di sebelah 

tumpukan jerami. Sementara Pitaloka sempat hentikan 

langkah dan memandang silih berganti pada Kigali dan 

nenek di atas jerami.

“Tak usah curiga.... Tampangku memang sudah ha-

rus begini meski aku juga sebenarnya tak mengingin-

kan! Keadaanlah yang membuat semuanya beru-

bah....” Berkata si nenek dengan suara bergetar. Ada 

nada kecewa di dalam suaranya, membuat Pitaloka tak 

ragu lagi untuk teruskan langkah lalu perlahan-lahan 

duduk di atas Jerami tidak jauh dari si nenek.

“Boleh aku tahu siapa kau sebenarnya?!” tanya Ki-

gali membuka pembicaraan.

“Nanti akan kujelaskan semuanya! Sekarang harap 

kau Jawab pertanyaanku tanpa sembunyikan sesuatu!” kata si nenek dengan suara pelan. Nadanya sangat 

beda dengan ketika menegur Kigali untuk pertama ka-

linya saat Kigali turun melalui lobang. “Kurasa kita 

bernasib sama walau urusannya berbeda....”

Si nenek sesaat hentikan ucapan sebelum akhirnya 

berkata lagi. “Betul dia adalah anakmu?” tanya si ne-

nek sambil berpaling pada Kigali.

“Hem.... Rasanya tidak ada gunanya menutup-

nutupi urusan ini! Siapa pun dia adanya yang pasti dia 

orang yang tengah menghadapi nasib kurang baik! Tak 

mungkin dalam keadaan begitu orang akan mencela-

kakan orang lain....”

Berpikir begitu, akhirnya Kigali buka mulut menja-

wab. “Dia sebenarnya bukan anakku.... Kira-kira dua 

purnama yang lalu aku bertemu dengannya di hutan 

sebelah timur lembah ini.”

“Apakah dia sudah bersuami?!”

Paras wajah Pitaloka tampak berubah merah pa-

dam. Sementara Kigali sedikit merasa kaget mendengar 

pertanyaan orang. Dia terdiam untuk beberapa lama. 

Dia melirik pada Pitaloka. Namun yang dilirik tengah 

perhatikan kuku-kuku panjang dan hitam kedua tan-

gan dan kaki si nenek. Pitaloka sebenarnya tidak be-

nar-benar memperhatikan kuku-kuku itu, namun coba 

mengalihkan wajahnya dari pandangan orang untuk 

sembunyikan perasaan.

Tiadanya sahutan membuat si nenek maklum. Lalu 

berkata. “Maaf. Bukannya aku mau menyinggung. Tapi 

aku perlu kejelasan. Jika tidak, kau nanti juga tidak 

akan mendapatkan keterangan berarti!”

“Dia memang belum punya suami!” Akhirnya Kigali 

menjawab.

Si nenek alihkan pandangan matanya pada Pita-

loka. “Siapa namamu, Nak?”

Perlahan-lahan Pitaloka angkat kepalanya. Agak 

lama dia baru menjawab. “Pitaloka....”


“Kau punya saudara kembar?!”

Baik Kigali maupun Pitaloka tersentak kaget. Pita-

loka anggukkan kepala. Untuk pertama kalinya bibir si 

nenek tampak tersenyum. Lalu berujar pelan namun 

membuat Kigali dan Pitaloka makin heran.

“Aku dapat menduga apa yang telah terjadi.... Na-

mun masih ada yang harus kuketahui sebelum aku 

memberi keterangan pada kalian tentang diriku!” Si 

nenek arahkan pandangan pada Kigali. “Kau mengata-

kan telah beberapa orang kalangan rimba persilatan 

yang tiba-tiba muncul di hutan sebelah timur. Kau 

sempat bertatap muka dengan mereka?!”

Dada Kigali berdebar. Diam-diam dia membatin. 

“Bagaimana harus kujawab? Pitaloka akan mengetahui 

kebohonganku jika sampai si nenek ini bertanya siapa 

saja orang yang sempat kutemui...!”

Seperti diketahui, selama ini Kigali memang berdus-

ta pada Pitaloka tentang siapa saja yang sempat di-

jumpainya. Dia hanya sempat mengatakan bertemu 

dengan Datuk Wahing. Dan menyembunyikan perte-

muannya dengan Nyai Tandak Kembang, Gendeng Pa-

nuntun, Dayang Sepuh, dan juga tidak mengatakan 

pernah melihat seorang gadis berbaju merah dengan 

seorang pemuda yang bukan lain adalah Putri Kayan-

gan dan Pendekar 131 Joko Sableng walau Kigali sen-

diri tak sempat bertatap muka dengan keduanya.

Setelah dipikir agak lama, akhirnya Kigali berkas 

juga. “Aku memang bertemu dengan beberapa orang 

dari kalangan rimba persilatan. Namun rasanya aku 

tidak mengenali siapa mereka! Mungkin hanya seorang 

yang kukenali. Itu saja Pitaloka yang memberi keteran-

gan siapa dia adanya!”

“Tapi kau sempat melihat mereka bukan?!”

Dada Kigali makin berdebar. Dia khawatir kalau si 

nenek minta penjelasan ciri-ciri orang yang dijumpai-

nya. Namun setelah memutuskan akan menyimpan


orang yang ada hubungannya dengan Pitaloka, Kigali 

angkat bicara.

“Aku memang sempat melihat mereka....” Mata Ki-

gali melirik pada Pitaloka dengan dada makin tak 

enak. Dia menunggu ucapan si nenek dengan gelisah.

“Apa di antara mereka kau melihat seorang laki-

laki berusia lanjut mengenakan pakaian selempang 

putih dengan dada kanan terbuka?! Orang ini mema-

kai kalung panjang dari butiran kayu warna coklat. 

Tangan kanannya memegang tasbih pendek juga ber-

warna coklat. Rambutnya putih pendek dan tegak-

tegak! Biasanya dia bersama seorang pemuda berman-

tel hitam!”

Mendengar pertanyaan si nenek, Kigali menarik na-

pas lega. Lalu dengan cepat dia menjawab. “Aku tidak 

bertemu dengan orang yang kau sebut!”

Si nenek anggukkan kepala namun raut mukanya 

berubah. Matanya sedikit mendelik. Kigali dapat me-

nangkap bayangan kemarahan di wajah orang. Hingga 

buru-buru ia berujar. “Aku mengatakan apa adanya! 

Aku memang tak pernah bertemu dengan orang yang 

ciri-cirinya kau katakan tadi!”

“Aku percaya.... Tapi bangsat keparat itu pasti akan 

datang!”

“Siapa mereka...?! Mengapa kau bisa memastikan 

mereka pasti datang?! Apa ini ada kaitannya dengan 

kedatanganku di sini?!” tanya Kigali. Kembali dadanya 

dibuncah dengan perasaan tidak enak. Apalagi tatkala 

teringat ucapan si nenek jika mereka beruntung da-

tang ke tempat yang benar dan waktunya sudah tiba.

“Kedatangan mereka tentu ada kaitannya dengan 

kedatangan kalian! Bahkan mereka sudah lama me-

nunggu kedatangan kalian!”

Kigali dan Pitaloka kembali dibuat terkesiap kaget. 

“Apa maksud mereka menunggu kami?!” Kali ini yang 

angkat pertanyaan adalah Pitaloka. “Sepertinya kami

berdua tidak pernah punya urusan dengan mereka! Di 

luar hutan pun aku tidak pernah bertemu dengan

orang yang kau ceritakan!”

“Kalian memang tidak pernah punya urusan. Aku 

pun merasa yakin kalian belum pernah bertemu den-

gan mereka. Tapi mereka telah tahu siapa kalian dan 

tahu ke mana kalian akan datangi. Lebih dari itu me-

reka mengerti apa yang harus dilakukan dengan bayi 

dalam kandunganmu!”

Kali ini Pitaloka tak bisa lagi menahan perasaan. 

“Katakan siapa mereka! Dan apa yang akan dilakukan 

dengan kandunganku ini?!”

“Mereka berdua adalah bangsat keparat yang mem-

buat diriku jadi begini! Merekalah manusia-manusia 

yang membuat derita panjang hidupku! Lihat diriku.... 

Kedua tangan dan kakiku hilang kekuatannya! Otakku 

hampir mereka buat gila! Tapi semua ini juga karena 

kebodohanku.... Aku menjunjung perasaan cinta di 

atas segalanya! Aku berpikir, untuk cinta segalanya 

harus dikorbankan!” Si nenek tiba-tiba sesenggukan. 

Kigali menghela napas lalu alihkan perhatiannya ke ju-

rusan lain. Pitaloka tak berani buka mulut.

“Nek...,” kata Kigali setelah agak lama berlalu dan 

dilihatnya si nenek sudah dapat kuasai diri. “Apa hu-

bungannya peristiwa yang menimpamu dengan keda-

tangan kami? Sekaligus dengan bayi dalam kandungan 

Pitaloka?!”

“Ceritanya panjang.... Aku akan menerangkan ba-

gian yang penting saja pada kalian...,” ujar si nenek 

dengan mata dibeliakkan nyalang ke arah dinding batu 

di depan sana. Namun sebenarnya pandangannya te-

rus menembus dinding batu dan bahkan memandang 

jauh tanpa batas pandang!

***


DELAPAN


AKU adalah seorang anak yatim piatu. Karena tidak 

ada yang merawat, aku hidup terlunta-lunta. Namun 

pantang bagiku yang saat masih berusia sembilan ta-

hun untuk meminta belas kasihan orang. Aku bekerja 

apa saja untuk bisa makan. Malah tak jarang aku per-

gi ke hutan untuk mencari makanan. Beberapa orang 

sempat memperingatkan agar aku tidak memasuki hu-

tan. Karena selain angker dan banyak binatang buas, 

hutan itu jarang sekali bahkan tidak pernah dirambah 

orang. Namun aku tidak peduli dengan peringatan 

orang. Karena mereka hanya memperingatkan tanpa 

memikirkan apa yang menjadi bebanku! Lebih lagi ka-

rena selama ini aku tidak pernah mengalami hal-hal 

yang dibicarakan orang di dalam hutan. Hingga bukan 

saja aku menjadi takut, sebaliknya makin betah di da-

lam hutan, karena makanan tinggal mencari tanpa ha-

rus meminta.

Pada suatu hari, aku bertemu dengan seorang pe-

rempuan berusia enam puluh tahunan. Pada mulanya 

memang ada rasa takut dalam hatiku, apalagi berada 

di hutan sepi. Namun setelah berbicara, ternyata ne-

nek itu orangnya baik. Lalu kami saling tukar cerita. 

Pada akhirnya si nenek mengajakku ikut bersamanya. 

Namun aku menolak. Aku tak mau menjadi beban 

orang lain, apalagi kulihat si nenek juga mencari hidup 

di hutan. Pada awalnya si nenek mau menerima kebe-

ratan ku. Sejak Itulah aku dan si nenek sering berte-

mu di dalam hutan dan mencari makanan bersama-

sama. Aku sempat dibuat kagum. Karena nenek itu be-

rilmu sangat tinggi. Hingga dengan mudah dia bisa 

mendapatkan makanan. Tidak seperti aku yang harus 

memanjat dan tidak jarang jatuh terpeleset dari atas


pohon. Rupanya si nenek sengaja memperlihatkan il-

munya padaku agar aku tertarik dan ikut dengannya. 

Hal ini kuketahui begitu kami berbincang-bincang. Dia 

menerangkan padaku bagaimana enaknya memiliki il-

mu silat. Namun sejauh ini aku belum tertarik. Hingga 

pada satu waktu, aku dihadang kawanan binatang 

buas. Tak mungkin bagiku untuk lolos menyelamatkan 

diri. Ketika nyawaku berada di ujung tanduk, muncul-

lah si nenek menyelamatkan jiwaku!

Peristiwa itu membuatku luluh, hingga pada akhir-

nya aku mau diajak si nenek. Ternyata dia tinggal di 

lembah sebelah barat hutan. Lembah itu sangat indah 

dengan ditumbuhi bermacam-macam aneka bunga. 

Pada akhirnya selain diambil sebagai anak, aku juga 

diangkat sebagai murid. Sejak itu pula aku hidup da-

lam bimbingan si nenek.

Aku pernah bertanya pada nenek yang juga adalah 

guruku tentang apa sebabnya dia hidup menyendiri di 

lembah sunyi berdekatan hutan yang selain sepi juga 

jarang dirambah manusia. Ternyata dia dahulu adalah 

seorang pendekar muda. Saat berkelana mencari pen-

galaman, dia-bertemu dengan seorang pemuda. Mere-

ka berdua saling menyayangi dan akhirnya memu-

tuskan hidup di lembah dengan tujuan agar tidak ter-

libat urusan rimba persilatan yang dapat memisahkan 

mereka. Pada satu hari, tiba-tiba muncul rombongan 

orang yang ternyata punya maksud meneruskan uru-

san dengan kekasih Guru. Sebagai pemuda yang juga 

orang persilatan, tampaknya dia pernah punya masa-

lah. Namun kekasih Guru sebenarnya sudah melupa-

kan semua masalah dan tak ingin lagi terlibat. Namun 

rombongan yang datang tak ambil peduli. Untuk mem-

pertahankan diri, akhirnya terjadilah perkelahian. Ru-

panya saat itu adalah hari naas. Kekasih Guru akhir-

nya harus tewas. Namun rombongan yang datang juga 

tidak bersisa.


Sejak itulah Guru hidup menyendiri. Pengalaman 

yang terjadi membuatnya makin enggan untuk meli-

batkan diri dalam kancah rimba persilatan. Lebih-lebih 

dia tak mau meninggalkan kekasihnya, meski sang ke-

kasih telah tiada. Dia begitu tulus menyayangi keka-

sihnya dan bersumpah tak akan meninggalkan lembah 

di mana kekasihnya dikubur. Karena lembah itulah 

yang memutuskan kasih sayangnya, akhirnya Guru 

menamakan lembah itu Lembah Patah Hati.

Tanpa terasa aku sudah menginjak dewasa. Saat itu 

kira-kira aku seusia Pitaloka. Guru sudah menurun-

kan semua ilmunya padaku. Dalam waktu senggang 

Guru selalu menceritakan kekasihnya, seolah sang ke-

kasih masih hidup. Dan kadang-kadang Guru menyin-

dirku tentang kekasih. Aku memang tak jarang diberi 

kesempatan untuk keluar dari lembah. Meski Guru te-

lah mengalami peristiwa kurang baik, namun dia tak 

mau mencegah dan membunuh masa dewasaku. Dia 

mengerti, aku kelak harus punya seorang pendamping. 

Malah Guru menyarankan agar aku segera memiliki 

kekasih. Dengan begitu kehidupan di lembah tidak 

akan sepi lagi, malah dia sudah sering sebut-sebut in-

gin punya seorang cucu.

Sebenarnya aku masih takut berdekatan dengan 

pemuda walau ketika aku keluar dari lembah banyak 

pemuda yang coba mendekatiku. Namun cinta me-

mang tidak bisa diduga kapan datangnya. Dan cinta 

Itu akhirnya singgah juga di hatiku saat aku bertemu 

dengan seorang pemuda gagah dan tampan. Dari si-

kapnya aku merasa yakin pemuda itu orang baik-baik 

dan punya dasar ilmu silat.

Namun sejauh ini aku belum berani bercerita pada 

Guru. Aku menyimpannya rapat-rapat. Tapi herannya, 

Guru seolah mengerti dan dapat menebak dengan pas-

ti. Aku tidak bisa mungkir ketika akhirnya Guru me-

nyarankan agar mengajak si pemuda berkunjung keLembah Patah Hati.

Permintaan Guru akhirnya kupenuhi. Aku menga-

jak pemuda itu ke Lembah Patah Hati. Kami bertiga bi-

cara panjang lebar. Sejak saat itu si pemuda sering 

berkunjung. Dan entah karena apa, Guru memu-

tuskan untuk mengambil si pemuda sebagai muridnya 

juga. Aku sangat gembira mendengar keputusan Guru. 

Dengan begitu kami akan sering bertemu. Jadi sejak 

itulah si pemuda juga menetap di Lembah Patah Hati. 

Tapi Guru selalu menasihati aku agar berhati-hati 

meski kami berdua tinggal di satu tempat dan saling 

mencintai.

Dalam waktu tidak berapa lama, kekasihku yang 

memang sudah punya dasar ilmu silat sudah mengua-

sai ilmu yang diberikan Guru. Guru tampaknya sangat 

bahagia demikian juga aku.

Tapi perasaan bahagia itu mendadak sirna tatkala 

suatu malam Guru mendatangiku dan mengajakku 

berjalan-jalan di Lembah Patah Hati. Mula-mula Guru 

menanyakan bagaimana hubunganku dengan kekasih-

ku. Aku menjawab apa adanya. Guru tampak berubah 

murung dan sikapnya lain. Aku bertanya apa ada yang 

salah denganku? Dia menghela napas berulang kali 

tanpa menjawab. Aku mendesaknya. Dan jawaban 

yang kuperoleh seakan membuatku disambar petir di 

siang bolong. Guru meragukan itikad baik kekasihku! 

Malah dia menyarankan agar aku berusaha melupa-

kannya! Aku penasaran dan mendesak apa alasan 

Guru meragukan kekasihku. Tapi Guru tidak mau 

menjelaskan. Dia hanya memberi bayangan bahwa ke-

lak aku akan menderita jika meneruskan hubungan!

Sejak saat itu aku sering merenung dan mencari 

kebenaran ucapan Guru. Namun sejauh ini aku tidak 

mengatakan pada kekasihku apa sebenarnya yang te-

lah terjadi. Malah aku berusaha menyelidik pada keka-

sihku. Tapi aku tidak menemukan apa yang menjadi


dugaan Guru. Aku sudah mengatakannya pada Guru. 

Namun Guru tetap pada dugaannya. Anehnya Guru ti-

dak mau menerangkan alasannya! Itulah yang mem-

buatku bingung. Hingga terbetik dugaan jelek pada di-

riku terhadap Guru. Selain itu sikap Guru pada keka-

sihku juga lain. Guru jarang sekali mau menemui ke-

kasihku. Dia lebih suka mengurung diri di ruangan-

nya. Malah perlahan-lahan dia juga berubah sikap pa-

daku walau perubahan itu hanya yang ada kaitannya 

dengan kekasihku.

Karena tidak juga memperoleh jawaban pasti dari 

guruku, akhirnya aku bertanya pada kekasihku apa-

kah dia pernah berlaku yang tidak semestinya pada 

Guru. Aku melihat dia terkejut. Dan balik bertanya apa 

saja yang dikatakan Guru padaku. Sebenarnya aku ti-

dak mau menjelaskan. Namun terdorong oleh perasaan

cinta dan sesungguhnya aku sudah tak mau dipisah-

kan lagi, akhirnya aku menceritakan juga apa yang di-

katakan Guru. Dia malah terkejut dan heran menden-

gar keteranganku. Dia juga mengatakan tidak pernah 

bertindak yang bukan-bukan. Aku coba mengingatkan 

padanya mungkin dia bertindak di luar kesadaran. Ta-

pi dia bersikeras menyangkal. Hal ini membuatku 

tambah bingung. Apalagi tatkala kekasihku mengata-

kan hendak pergi kalau memang Guru sudah tidak 

menyukai keberadaannya di Lembah Patah Hati.

Aku dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Di 

satu pihak, Guru adalah orang yang menyelamatkan 

jiwaku dan mendidikku, di pihak lain hatiku sudah tak 

mungkin diajak kompromi untuk bisa berpisah dengan 

kekasihku! Hingga akhirnya aku memutuskan untuk 

mempertemukan Guru dengan kekasihku. Namun 

usulku ditolak olehnya. Malah dia mengajakku untuk 

sementara waktu keluar dari Lembah Patah Hati sam-

bil mencari jalan keluar yang baik.

Aku minta izin pada Guru. Ternyata dia tidak mencegah. Hanya dia berpesan agar aku waspada dan hati-

hati. Saat itu juga aku keluar dari Lembah Patah Hati. 

Seandainya tidak ada persoalan, tentu saat itu aku 

sangat bahagia. Namun persoalan yang tiba-tiba 

menghadang membuatku tak bisa tenang meski bera-

da di samping kekasihku. Kami berdua mencari tempat 

di dalam hutan. Karena hutan itu adalah tempatku 

bermain sejak kecil, aku paham benar kawasan hutan 

itu.

Tiga hari aku dan kekasihku berada di luar Lembah 

Patah Hati. Namun sejauh ini kami berdua belum juga 

mendapatkan jalan keluar yang baik. Hingga pada sua-

tu malam, aku merasakan sekujur tubuhku terasa pa-

nas bukan alang kepalang. Mula-mula aku menduga 

hanya panas biasa atau karena aku banyak berpikir. 

Namun lambat laun panas tubuhku makin tinggi. Aku 

berusaha menahan dengan kerahkan tenaga dalam. 

Tapi tak membawa hasil. Aku coba berteriak memang-

gil kekasihku yang katanya ingin mencari udara di 

luar. Tapi hingga suaraku serak dan tak terdengar, ti-

dak ada orang yang datang. Aku memutuskan untuk 

mencari. Namun betapa terkejutnya aku, begitu aku 

melangkah, kekuatan kedua kakiku laksana lenyap. 

Aku terjatuh dan tak kuasa bangun lagi. Aku berusaha 

menggapai. Lagi-lagi aku tersentak. Kedua tanganku 

juga hilang kekuatannya. AKU berusaha kerahkan te-

naga dalam Namun tidak bisa membantu banyak. Se-

kuat tenaga aku kembali berteriak. Tapi suaraku lak-

sana lenyap dan hanya sampai tenggorokan.

Keadaan begitu belum juga membuatku berpra-

sangka buruk pada kekasihku. Hanya aku menyesal 

mengapa teriakanku tidak juga didengar. Setelah ham-

pir dini hari dan kekasihku tidak juga kunjung mun-

cul, aku mulai gelisah. Perasaanku mengatakan ada 

yang tak beres dengan dirinya. Aku mulai percaya pa-

da ucapan Guru. Ingat hal itu dengan susah payah


aku menyeret tubuh menuju Lembah Patah Hati. Ka-

rena keadaanku tidak memungkinkan, aku baru sam-

pai Lembah Patah Hati kala matahari sudah terbit.

Dengan sisa-sisa tenagaku aku kembali berteriak 

memanggil Guru. Namun tidak terdengar sahutan. En-

tah karena suaraku sudah serak atau memang Guru 

tidak ada, yang jelas aku tidak mendapat jawaban. 

Aku berusaha merangkak dengan pantatku ke ruan-

gan Guru. Aku terkesima dan hampir tak percaya. 

Guru tergeletak tak bergerak-gerak di atas lantai batu 

dengan ceceran darah di sebelahnya. Laksana hendak 

terbang aku melompat ke arah Guru. Aku sepertinya 

lupa akan keadaanku. Namun aku tak bisa melaku-

kannya. Hingga dengan menyeret tubuh aku bergerak 

mendekat.

Aku melolong begitu melihat keadaan Guru. Dari 

mulutnya terus keluar darah kehitaman. Matanya ter-

pejam dan dadanya tidak berdetak. Sekuat tenaga aku 

berusaha menyadarkan Guru. Ternyata usahaku ber-

hasil. Guru membuka matanya lalu memandangku

dan bertanya dengan suara tersendat-sendat bagaima-

na keadaanku.

Aku tidak kuasa menceritakannya. Yang penting 

adalah keselamatan Guru. Aku kembali berusaha sa-

lurkan tenaga dalam. Namun keadaanku tampaknya 

tidak memungkinkan. Lagi pula pada saat itu, Guru 

gelengkan kepalanya perlahan dan berucap pelan 

bahwa tidak ada gunanya apa yang kulakukan! Tanpa 

kutanya, guru segera menceritakan apa yang telah ter-

jadi. Aku hampir tak percaya mendengarnya. Ternyata 

semua itu adalah tindakan kekasihku!

Menurut Guru, pada mulanya dia memang meman-

dang baik pada kekasihku. Namun pada suatu malam 

ternyata Guru sempat memergoki kekasihku berada di 

ruangannya. Pada malam-malam tertentu, Guru me-

mang keluar dari Lembah Patah Hati. Entah ke mana


dia pergi dia tak pernah mau mengatakannya. Guru 

menegur dan memperingati. Namun hal itu terulang 

lagi hingga sampai tiga kali. Sejak saat itulah Guru be-

rubah sikap dan mengatakan padaku agar melupakan 

pemuda itu.

Pada akhir penuturannya, Guru mengatakan kalau 

selama ini sebenarnya dia tengah membuat sebuah ki-

tab. Entah bagaimana awalnya, yang jelas di dalam ki-

tab itu katanya termuat juga apa yang akan terjadi di 

Lembah Patah Hati. Dia juga menyebut-nyebut nama 

Datuk Wahing, Gendeng Panuntun, Nyai Tandak Kem-

bang, Iblis Ompong, Dewa Uuk, Dewi Ayu Lambada, 

juga seorang pendekar bergelar Pendekar Pedang 

Tumpul 131.

Sebelum menutup mata, Guru sedikit bercerita, 

bahwa kelak akan terjadi peristiwa besar berkaitan 

dengan Kampung Setan. Di dalam Kampung Setan ter-

dapat dua senjata mustika Kembang Darah Setan dan 

Jubah Tanpa Jasad. Senjata mustika itu tak bisa di-

hadapi selain dengan mutiara merah yang ada pada 

pusar seorang bayi yang kelak akan lahir di Lembah 

Patah Hati. Dan bayi itu akan lahir dari salah seorang 

gadis kembar. Cuma saja bayi itu lahir tanpa didam-

pingi ayahnya. Karena....

SI nenek tidak lanjutkan ucapan. Sebaliknya ber-

paling pada Kigali dan Pitaloka yang sedari tadi me-

nyimak cerita orang dengan seksama.

“Kami sudah tahu, Nek.... Sekarang ceritakan bagai-

mana dengan kekasihmu itu!” ujar Kigali dengan meli-

rik pada Pitaloka yang sosoknya tiba-tiba tampak ber-

getar.

“Aku sempat bertanya di mana kitab Guru disim-

pan! Tapi dia gelengkan kepala dan mengatakan tak 

ada gunanya dicari. Karena ternyata kitab itu telah di-

ambil oleh pemuda jahanam itu! Jadi selama ini dia 

diam-diam menyelidik apa yang dilakukan Guru. Aku


tak menyangka sama sekali. Tapi semuanya sudah ter-

lambat.... Saat Guru menutup mata, muncullah jaha-

nam itu! Dia kemudian membeberkan siapa dia sebe-

narnya! Dan tanpa belas kasihan lagi, dia menyeretku

lalu memasukkan aku ke dalam ruangan ini! Berta-

hun-tahun aku berusaha memulihkan keadaan. Na-

mun racun yang sudah merasuk dalam diriku tidak bi-

sa diobati lagi! Sejak itulah penderitaan panjang itu 

mulai.... Aku sudah tak ingat berapa tahun berada di 

sini. Dan bagaimana keadaan di Lembah Patah Hati di 

atas sana. Yang jelas begitu aku dimasukkan ke dalam 

ruangan ini, aku mendengar suara ledakan gelegar be-

berapa kali. Tanah di sini pun porak-poranda. Aku 

hanya berpikir, mungkin pemuda jahanam itu telah 

menghancurkan kediaman Guru....”

Si nenek hentikan ucapannya sambil menyeka air 

mata. Tak lama kemudian dia berucap lagi. “Tidak ber-

selang lama, kira-kira setengah purnama yang lalu, ja-

hanam itu datang lagi ke sini! Dia bersama seorang 

pemuda memakai mantel hitam. Kukira pemuda itu 

adalah muridnya! Walau telah berpuluh tahun tidak 

berjumpa, namun aku masih dapat mengenalinya. Ru-

panya dia sudah memperhitungkan bahwa waktu yang 

dinantikan akan segera tiba! Rupanya dia tergiur den-

gan dua senjata mustika yang tersimpan di Kampung 

Setan. Dengan mutiara di pusar bayi yang akan lahir 

di Lembah Patah Hati ini dia pikir dengan mudah akan 

mendapatkan Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa 

Jasad!”

“Tapi, Nek....”

“Panggil saja aku Umbu Kakani. Usia kita mungkin 

tidak jauh berbeda!” sahut si nenek memotong ucapan 

Kigali.

Kigali anggukkan kepala lalu berucap lagi. “Seka-

rang Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad 

telah keluar dari Kampung Setan. Kini kedua senjata


mustika itu di tangan orang yang belum bisa dikenali 

siapa sebenarnya!”

Umbu Kakani gelengkan kepala. “Kurasa itu tak jadi 

masalah! Dan mungkin akan lebih mudah merebutnya! 

Tapi.... Kuharap kalian nanti mau membantuku. Se-

tidaknya untuk tidak memberikan mutiara merah itu 

kelak pada jahanam bangsat yang telah menipu sekali-

gus menghancurkan hidupku!”

“Aku akan membantumu, Nek!” sahut Pitaloka. 

“Dan mutiara merah itu akan ku pertahankan. Karena 

justru manusia keparat yang membuatku begini ini 

adalah orang di balik Jubah Tanpa Jasad yang di tan-

gannya juga menggenggam Kembang Darah Setan!”

“Nasibmu memang tidak baik, Pitaloka! Tapi ku-

harap kau bersabar menerima kenyataan ini! Percaya-

lah, di balik suatu peristiwa terdapat pelajaran yang 

sangat berharga dan tak mungkin kita lupakan!”

“Umbu Kakani.... Demi keselamatan mutiara merah 

itu, bagaimana kalau kita untuk sementara waktu 

mencari tempat yang aman?!”

Umbu Kakani kembali gelengkan kepala. “Bayi itu 

harus lahir di Lembah Patah Hati ini! Apa pun nanti 

yang akan terjadi, kita harus siap menghadapinya!”

Baru saja Umbu Kakani berucap begitu, mendadak 

terdengar suara gelegar keras. Dan tak lama kemudian 

kembali terdengar dentuman. Saat lain kembali ter-

dengar gelegar.

Umbu Kakani, Kigali, dan Pitaloka saling pandang 

satu sama lain. “Tampaknya telah terjadi bentrokan di 

luar sana. Namun mendengar suaranya, tempat itu 

masih berada di luar Lembah Patah Hati. “Hemmm.... 

Ini satu bukti bahwa bukan hanya keparat bangsat itu 

yang tahu persoalan. Ada orang lain yang mengeta-

huinya!” kata Umbu Kakani.

“Benar...,” sahut Kigali. “Sekarang aku berterus te-

rang. Pada mulanya aku merahasiakan pada Pitaloka


tentang beberapa orang yang kujumpai di dalam hu-

tan. Hal itu kulakukan karena aku tak mau melihat Pi-

taloka selalu berpikir. Kuharap kau mengerti, Anak-

ku...,” kata Kigali seraya memandang pada Pitaloka. Pi-

taloka anggukkan kepala.

“Beberapa orang yang sempat kutemui di dalam hu-

tan itu sebenarnya tengah mencari Pitaloka! Bahkan 

Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun terus terang 

menyebut-nyebut kandungan dan bayi! Bahkan kalau 

tak salah dia juga sebut-sebut malam purnama!”

“Kapan malam purnama itu?!” tanya Umbu Kakani.

“Kira-kira sebelas hari di muka!”

“Kurasa belum sampai purnama depan bayi itu 

akan lahir! Yang menjadi pikiranku sekarang, bagai-

mana cara menghadapi beberapa orang itu! Dengan 

terdengarnya gelegar barusan, berarti mereka sudah 

tidak jauh dari tempat ini! Hem.... Seandainya kea-

daanku normal, mungkin saja aku bisa berbuat ba-

nyak! Tapi apa pun yang nanti akan terjadi, kita harus 

berusaha menyelamatkan mutiara merah itu! Sekali-

gus aku ingin membayarkan nyawa Guru!”

“Oohh.... Ohh...!” Tiba-tiba Pitaloka perdengarkan 

keluhan. Wajahnya pucat pasi. Kedua tangannya me-

nakup pada perutnya. Tubuhnya bagian atas nampak 

menekuk ke bawah.

Umbu Kakani segera melompat menjauh. “Kigali....

Harap letakkan Pitaloka telentang di atas jerami! Sete-

lah itu kuharap kau agak menjauh!”

Tanpa banyak bicara lagi, Kigali segera melakukan 

ucapan Umbu Kakani. Lalu cepat balikkan tubuh dan 

melangkah agak menjauh. Namun diam-diam dia 

membatin. “Dia masuk ke tempat ini dalam usia yang 

masih muda. Apakah dia nanti mengerti bagaimana 

merawat orang akan melahirkan?! Ah.... Sebagai pe-

rempuan, walau belum pernah melahirkan, tapi 

mungkin dengan firasatnya dia tahu bagaimana caranya!”

Walau telah berpikir begitu, namun perasaan kha-

watir masih juga melanda dada Kigali. Hingga perla-

han-lahan dia berpaling. Namun saat itu tepat Umbu 

Kakani juga tengah menoleh. Dengan muka merah pa-

dam, Kigali cepat palingkan kepalanya lagi seraya be-

rujar.

“Maaf.... Aku hanya khawatir. Karena kurasa kau 

belum pernah....”

“Aku memang belum pernah melahirkan. Tapi Guru 

pernah bercerita padaku! Mungkin dia sudah punya fi-

rasat bahwa kelak aku akan menolong gadis yang akan 

melahirkan! Jadi kau tidak usah gelisah....”

Kigali angguk-anggukkan kepala seraya melangkah 

ke arah lobang dari mana dia tadi masuk. Namun da-

danya mulai berdebar. “Tidak kusangka kalau aku ma-

sih saja berurusan dengan masalah Kampung Setan! 

Padahal aku tidak pernah membayangkan!”

***

SEMBILAN



KITA kembali ke tempat tidak jauh dari Lembah Pa-

tah Hati. Seperti diketahui, saat Malaikat Berkabung 

lepaskan pukulan pada murid Pendeta Sinting, dan 

murid Pendeta Sinting dalam keadaan tidak mengun-

tungkan, mendadak terdengar bersinan. Lalu satu ge-

lombang menghadang pukulan Malaikat Berkabung. 

Saat lain terlihat dua sosok keluar dari semak belukar. 

Keduanya melangkah terbungkuk-bungkuk.

Di sebelah kanan adalah seorang kakek berambut 

tipis. Tangan kirinya memegang bumbung bambu. 

Tangan kanan memegang ilalang. Kakek ini kepalanya


selalu bergerak-gerak pulang balik ke depan ke bela-

kang dengan mimik seperti orang hendak bersin.

Di sebelah kiri adalah seorang kakek bertubuh tam-

bun besar mengenakan pakaian gombrong warna hi-

jau. Rambutnya disanggul ke atas. Pada pinggangnya 

yang besar melilit ikat pinggang yang tepat di depan 

perutnya menggantung sebuah cermin bulat. Kakek ini 

terbungkuk-bungkuk dengan sedikit angkat kepalanya 

seolah tengah melihat langit. Padahal sepasang mata-

nya berwarna putih, satu tanda jika orang ini buta.

“Setan-setan tua! Dari mana saja kalian?!” Dayang 

Sepuh sudah membentak melihat kemunculan orang 

yang bukan lain adalah Datuk Wahing dan Gendeng 

Panuntun.

“Bruss! Bruss! Jangan membuatku heran, Nek! Ju-

stru seharusnya kami yang bertanya ke mana saja 

kau! Kami telah mencarimu ke seluruh hutan! Ujung-

ujungnya bertemu di sini tengah main petak umpet

dengan seorang kakek gagah!” kata Datuk Wahing lalu 

hentikan gerakan kepalanya dan memandang pada 

Pendekar 131.

“Bruss! Bruss! Aku juga heran padamu, Anak Mu-

da! Mau-maunya kau bermain-main dengan orang se-

jenis! Padahal kau biasanya lebih suka main-main 

dengan gadis cantik! Apa kau kira enak main-main 

dengan sesama jenis!”

“Lagi pula seharusnya kau mengerti, Anak Muda!” 

Kali ini yang angkat bicara adalah Gendeng Panuntun. 

“Kau tidak boleh main-main di dekat sini! Itu akan 

mengganggu bibimu! Kau lihat sendiri, bagaimana sak-

ing takutnya bibimu sampai ngumpet-ngumpet di balik 

semak!”

“Seharusnya memang begitu, Kek! Tapi aku khawa-

tir Bibi tidak bisa menahan diri! Tapi begitu aku men-

gerti keadaan sebenarnya, kini aku tidak cemas lagi!”

“Bruss! Bruss! Kau membuatku heran dengan ucapanmu, Anak Muda! Bisa menjelaskan sedikit?!”

“Menurut yang kulihat di tangan, kakek gagah itu 

buyungnya sangat kecil sekali. Sebaliknya sarang te-

lurnya sangat besar sekali. Hingga bentuknya mengge-

likan. Sementara sahabat muda itu, buyungnya me-

mang normal. Sayang.... Sudah sejak lama sekarat, 

hingga tak mau diajak bersenang-senang! Makanya 

aku mengajaknya bermain-main agar dapat menghi-

burnya!”

“Tutup mulut setanmu, Geblek!” Dayang Sepuh 

membentak dengan mata mendelik angker.

“Bruss! Bruss! Jangan terburu-buru marah, Nek! 

Kami semua heran dan maklum akan tindakanmu! 

Yang membuatku heran hanyalah mengapa kau memi-

lih kakek gagah yang punya mainan lucu itu?! Apa se-

belumnya kau belum tahu?!”

“Kalau mulut setan kalian tak bisa diam, jangan 

menyesal!” hardik Dayang Sepuh. Si nenek sudah 

hendak bergerak. Namun dia urungkan tatkala tiba-

tiba Gendeng Panuntun buka suara.

“Tahan, Nek! Sebaiknya kau jelaskan saja apa se-

benarnya yang terjadi! Selain main petak umpet tentu 

kau punya acara lain....”

“Setan jabrik itu telah membuka urusan denganku!

Dia juga berpura-pura sok tahu tentang urusan kita!”

Kakek berambut putih jabrik tertawa. “Silakan kau 

bicara seenakmu, Nenek Slebor! Yang pasti aku tahu 

semuanya. Aku juga tahu siapa kedua temanmu itu!” 

Si kakek arahkan pandang matanya pada Datuk Wah-

ing dan Gendeng Panuntun. “Bukankah dia Datuk 

Wahing dan Gendeng Panuntun?! Dan tak lama lagi 

mungkin rombongan Iblis Ompong akan muncul juga 

di sini!”

“Bruss! Bruss! Terima kasih kau telah mengenaliku, 

Sahabat! Tapi akan mengherankan bila kau tak mau 

perkenalkan diri!”


Kakek berambut putih jabrik gelengkan kepala. 

“Rasanya belum saatnya kalian tahu siapa diriku! Lagi 

pula tidak ada gunanya kalian tahu. Karena sebentar 

lagi kalian akan menghadap alam lain!”

“Dan kepastian itu ada tanganku!” Yang menyahut 

adalah Malaikat Berkabung.

“Hebat! Hebat.... Ternyata selain kalian sudah me-

ngerti urusan orang, juga tahu dan bisa memastikan 

kematian orang!” kata Gendeng Panuntun. “Kalau bo-

leh tanya, apakah kalian juga tahu apa kepastian yang 

kelak akan kalian alami?!” Sambil bertanya tangan ka-

nan Gendeng Panuntun usap-usap cermin bulatnya.

Kakek berambut putih jabrik dan Malaikat Berka-

bung tidak ada yang buka mulut menjawab. Gendeng 

Panuntun mendongak lalu berkata lagi.

“Kau, Anak Muda.... Kepastianmu mungkin masih 

lebih baik! Tapi sahabatku kakek berambut putih itu 

akan mengalami nasib yang kurang baik! Dia akan 

mengambil buah dari tindakannya di masa lalu! Dia 

memang berilmu tinggi, namun karma akan tetap 

membelenggunya! Dan itu akan datang tidak lama la-

gi.... Kalau mau kusarankan....” Gendeng Panuntun 

luruskan kepalanya pada Malaikat Berkabung. Lalu te-

ruskan ucapan. “Tinggalkan saja tempat ini, Anak Mu-

da! Kau tidak akan mendapatkan apa-apa selain pera-

saan kecewa dan pulang dengan dendam membara!”

Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun hadapkan 

wajahnya pada kakek berambut putih jabrik. “Saha-

bat.... Sebenarnya aku tidak mau bicara lancang me-

nasihatimu karena usia kita tidak jauh berbeda. Na-

mun demi kebaikan, ini harus kukatakan.... Sebaiknya 

kau minta maaf pada orang yang telah berjasa padamu 

dan kau khianati! Mungkin mereka tidak akan me-

maafkan, tapi setidaknya kau telah memintanya! Hal 

itu akan melepaskan karma dari dirimu! Siapa tahu 

dengan tindakanmu itu, nasibmu akan berubah....”


“Manusia itu ternyata bisa membaca apa yang per-

nah kulakukan! Tapi siapa percaya dengan ramalan-

nya?! Dengan terbongkarnya gugusan batu di Lembah 

Patah Hati, berarti gadis yang akan melahirkan itu 

mungkin telah berada di sana! Aku tak boleh menyia-

nyiakan kesempatan ini! Ramalannya tadi mungkin 

hanya untuk menakut-nakuti agar aku urungkan niat 

dan menggagalkan rencanaku mengambil mutiara me-

rah! Hemm.... Dikira aku manusia bodoh yang mudah 

digertak dengan ramalan busuk!” Diam-diam si kakek 

berambut putih jabrik membatin. Lalu berkata lan-

tang.

“Gendeng Panuntun! Aku tahu apa maksud uca-

panmu! Tapi jangan kira aku takut dan bodoh dengan

turuti ucapanmu! Justru sebaiknya kalian segera ting-

galkan tempat Ini!”

“Benar! Tapi tanpa satu pun yang menyandang 

nyawa!” Malaikat Berkabung menimpali.

Baru saja Malaikat Berkabung sambuti ucapan ka-

kek berambut putih jabrik, tiba-tiba terdengar suara 

lain yang datang dari arah samping agak jauh.

“Nah.... Kalian dengar apa katanya?! Kita akan 

mampus jika ikut-ikutan bergabung ke sana! Bukan-

kah lebih baik kita tinggalkan saja tempat ini sebelum 

terlambat?!”

Datuk Wahing, Gendeng Panuntun, Pendekar 131 

sama mendongak. Dayang Sepuh melirik ke arah 

sumber suara. Malaikat Berkabung dan kakek beram-

but putih jabrik cepat sentakkan kepala masing-

masing ke samping dari mana suara lain tadi terden-

gar.

Belum ada yang tahu siapa adanya orang yang baru 

saja berucap, dan belum juga ada di antara mereka

yang menyahut, terdengar suara sahutan dari tempat 

di mana suara tadi terdengar.

“Mengapa kau takut dengan suara orang?! Dia memang bernama Malaikat, tapi bukan malaikat beneran 

yang bertugas mencabut nyawa orang! Dan kalian 

dengar tadi...? Dia punya buyung yang tengah sekarat. 

Sementara temannya punya buyung sangat kecil ber-

bentuk menggelorakan, eh.... Maksudku berbentuk 

menggelikan. Aku jadi penasaran untuk melihatnya! 

Hik.... Hik.... Hik...! Belum melihat saja aku sudah ge-

regetan dan gemas! Lihat.... Bulu kudukku meregang, 

eh.... Maksudku meremang!” Suara sahutan ini jelas 

diperdengarkan oleh perempuan.

“Uuuukk! Uuukkk! Uuuukkk!” Saat lain terdengar 

sahutan suara tanpa kata.

“Ah.... Bicara sama dia repot! Harus berteriak! Pada-

hal kita tengah mengintip orang!” terdengar lagi suara. 

Sepertinya suara ini adalah suara orang yang pertama.

“Kalian tak usah sembunyi-sembunyi! Tunjukkan 

saja tampang kalian!” Malaikat Berkabung memben-

tak.

Dari balik semak muncul dua kepala. Kali ini Datuk 

Wahing dan Pendekar 131 ikut hadapkan wajah ke 

arah semak dari mana muncul dua kepala. Sementara 

Malaikat Berkabung dan kakek berambut putih jabrik 

makin mendelik tak berkesip. Dayang Sepuh komat-

kamit dan urungkan bentakan.

Dua kepala itu ternyata milik dua orang perem-

puan. Sebelah kanan berambut lebat dihiasi beberapa 

bunga. Sementara di sebelah kiri dibiarkan bergerai. 

Yang dihiasi bunga adalah perempuan berusia empat 

puluhan tahun namun parasnya masih kelihatan can-

tik. Sementara yang rambutnya digeraikan adalah seo-

rang gadis muda berparas luar biasa cantik.

Tanpa ada yang buka suara, kedua orang perem-

puan ini perlahan-lahan keluar dari balik semak. Yang 

berusia agak lanjut ternyata mengenakan pakaian 

warna putih sebatas dada mirip pakaian para penari. 

Kedua tangannya merangkap di depan dada. Pada selajari tengah dan jari telunjuk kedua tangannya terlihat 

sekuntum bunga. Sementara gadis di sampingnya 

mengenakan pakaian warna merah.

“Nyai Tandak Kembang! Putri Kayangan!” gumam 

murid Pendeta Sinting mengenali siapa adanya kedua 

orang yang baru muncul. “Mengapa mereka yang mun-

cul?! Padahal suara tadi jelas bukan suara mereka! 

Mengapa bisa begini?! Atau mereka berdua bisa meni-

rukan suara orang?!” Diam-diam Joko membatin.

Dayang Sepuh tak kalah kagetnya melihat siapa ge-

rangan yang muncul karena di luar dugaannya. “Se-

tan betul! Mengapa setan-setan perempuan ini yang 

nongol?! Seharusnya bukan mereka!”

“Bruss! Bruss!”

Datuk Wahing perdengarkan bersinan dua kali na-

mun tanpa disusuli ucapan. Dia memandang dengan 

kepala disorongkan ke depan seolah belum percaya 

dengan pandangannya.

Yang tak kalah kaget dan terkesima adalah Malaikat 

Berkabung dan kakek serambut jabrik putih. Untuk 

beberapa saat kedua orang ini memandangi kedua 

orang yang baru muncul dan bukan lain adalah Nyai 

Tandak Kembang dan Putri Kayangan dari atas hingga 

bawah.

Hanya Gendeng Panuntun yang terlihat tenang-

tenang saja dan kepala terus mendongak.

“Beda Kumala! Kau tak usah ikut bicara!” gumam 

Nyai Tandak Kembang seraya melirik pada Beda Ku-

mala alias Putri Kayangan yang tegak di sampingnya.

Yang diajak bicara tampak terkejut. Bukan karena 

suara Nyai Tandak Kembang namun karena saat itu si 

gadis tengah memandang pada Pendekar 131 Joko 

Sableng!

Nyai Tandak Kembang arahkan pandang matanya 

ke arah satu persatu orang yang ada di tempat itu. La-

lu pandang matanya beralih ke arah rimbunan semak


belukar agak jauh ke samping kanan. Dia berkata sen-

diri dalam hati.

“Aku tahu mereka bersembunyi di balik semak itu! 

Mereka tadi sengaja memindahkan suara ke tempat 

mana aku dan Beda Kumala berada. Hingga semua 

orang memandang ke tempatku! Hem.... Sebenarnya 

aku tidak akan keluar tunjukkan diri. Namun karena 

semua orang sudah memandang ke tempatku, percu-

ma saja aku bersembunyi! Tapi mereka pun juga harus 

keluar dari persembunyiannya!”

Membatin begitu, tak lama kemudian Nyai Tandak 

Kembang buka mulut. “Kalian yang ada di balik se-

mak! Mengapa takut tunjukkan diri namun berani me-

nunjukkan tempat di mana kami berada?!”

“Nah.... Bagaimana sekarang?! Ini gara-gara renca-

namu! Kau mengajakku memindahkan suara!” Terden-

gar gumaman seseorang. Meski semua orang tahu 

bahwa suara yang baru terdengar adalah suara orang 

yang pertama kali tadi menyeruak, namun suara itu 

datangnya dari tempat lain!

“Kalau sudah telanjur begini apa hendak dikata! 

Tak ada gunanya main intip-intipan lagi! Terlebih-lebih

aku ingin segera beradu tampang dengan anak manu-

sia yang katanya punya barang lucu tadi! Hik.... Hik.... 

Hik...! Ayo kita keluar!” sambut suara seorang perem-

puan ditingkah dengan suara cekikikan.

“Uuukkk! Uuuukk! Uuukkk!” Lalu disusul dengan 

suara lain lagi tanpa kata.

“Dia tidak mau ikut keluar!” kata orang yang perta-

ma. Suara ini adalah suara laki-laki.

“Dasar anak bendel! Kita seret saja kalau masih 

bandel tak mau tunjukkan muka! Lagi pula apa yang 

perlu ditakutkan?! Perlu kita cuma melihat wajah-

wajah orang yang memiliki barang antik lucu!”

Setelah terdengar suara sahutan begitu, dari semak 

di mana Nyai Tandak Kembang tengah memandang,


muncul tiga sosok tubuh. Dua orang melangkah di de-

pan dengan tangan masing-masing menyeret satu so-

sok tubuh yang melangkah terseok-seok di belakang-

nya!

Orang di depan sebelah kanan adalah seorang ka-

kek berpakaian agak lusuh bermuka tirus. Rambutnya 

putih panjang. Orang ini melangkah dengan kepala se-

dikit didongakkan meski sebenarnya dia tidak memiliki 

leher hingga sosoknya agak tertarik sedikit ke bela-

kang. Sambil tengadah mulutnya terbuka lebar. Dan 

ternyata kakek ini tidak mempunyai gigi!

Sementara di sebelah kakek ompong yang bukan 

lain adalah Iblis Ompong, adalah seorang nenek ber-

pakaian agak gombrong berambut putih panjang. Pa-

ras wajahnya hanya terlihat sebagian, karena selain 

tertutup dengan sebagian rambutnya, nenek ini juga 

mengenakan kerudung hitam panjang menjulai sampai 

perut di atas kepalanya. Hingga bagian samping wajah-

nya tertutup. Nenek ini melangkah dengan sedikit ber-

lenggak-lenggok laksana orang akan melakukan se-

buah tarian. Nenek ini tidak lain adalah Dewi Ayu 

Lambada.

Iblis Ompong dan Dewi Ayu Lambada menyeret satu 

sosok tubuh yang terseok-seok. Dia adalah seorang 

kakek yang juga berpakaian agak kumal. Rambutnya 

tipis. Seraya terseok-seok kakek Ini perdengarkan sua-

ra Uuukk! Uuukk! Uukkk! berulang kali. Dari suara 

dan sikapnya semua orang bisa menebak jika kakek 

ini adalah orang bisu. Dia bukan lain adalah Dewa 

Uuk.

Ketiga orang ini berhenti tidak jauh dari Dayang Se-

puh. Iblis Ompong dan Dewi Ayu Lambada lepaskan 

cekalan tangan masing-masing yang menyeret kedua 

tangan Dewa Uuk.

“Urusan akan jadi kesetanan dengan munculnya se-

tan-setan gila ini!” desis Dayang Sepuh. Ekor mata-nya


melirik tajam pada ketiga orang yang telah tegak tidak 

jauh darinya.

“Temanku, Dayang Sepuh.... Mana tampang orang 

yang katanya memiliki buyung lucu Itu?! Kau tampak-

nya sangat gembira hari ini. Apakah karena baru ma-

in-main dengan barang lucu tadi?!” Yang angkat bicara 

adalah Dewi Ayu Lambada.

Walau agak jengkel mendengar kata-kata Dewi Ayu 

Lambada, namun tak lama kemudian Dayang Sepuh 

tertawa bergelak. Dewi Ayu Lambada tidak tinggal di-

am. Tawanya segera pula meledak. Dan entah karena 

apa, tiba-tiba Iblis Ompong ikut pula perdengarkan 

suara tawa. Saat yang sama, mendadak Dewa Uuk lo-

rotkan diri dan duduk menjeplok di atas tanah. Lalu 

perdengarkan suara Uukkk! Uukk! Uuukkk! beberapa 

kali dengan kedua tangan ditadangkan di belakang ke-

dua telinganya.

Datuk Wahing kernyitkan dahi. Namun sesaat ke-

mudian kepalanya telah bergerak pulang balik ke de-

pan ke belakang. Lalu terdengar bersinannya beberapa 

kali bahkan bersinan itu laksana diperdengarkan dari 

delapan penjuru mata angin dan terus pantul meman-

tul ke seantero tempat itu! Hingga tempat itu dibuncah 

suara-suara riuh rendah tak karuan bercampur aduk!

“Tutup jalan pendengaranmu, Beda Kumala!” bisik 

Nyai Tandak Kembang ketika menyadari bahwa suara-

suara yang terdengar bukanlah suara sembarangan. 

Melainkan telah dialiri tenaga dalam kuat.

“Hem.... Tampaknya mereka mau unjuk kebolehan! 

Mereka belum tahu siapa yang dihadapi kali ini!” gu-

mam kakek berambut putih jabrik. Lalu memberi isya-

rat pada Malaikat Berkabung.

Tanpa banyak bicara, Malaikat Berkabung melesat 

dan tegak dua langkah di samping kakek berambut 

putih jabrik.

“Rupanya perhitungan kita meleset! Seharusnya


mereka tidak boleh bertemu jadi satu begini! Bukan-

nya aku keder menghadapi mereka. Tapi kita harus le-

bih banyak keluarkan tenaga!” Si kakek berambut pu-

tih jabrik berbisik pada Malaikat Berkabung.

“Kita masih punya banyak waktu. Apa untuk se-

mentara ini kita permainkan mereka agar mereka ter-

pisah satu sama lain?!”

Si kakek gelengkan kepala. “Tak ada gunanya itu di-

lakukan! Walau kita belum mengenal betul siapa me-

reka, dari kabar yang selama ini kuketahui, mereka 

bukan orang yang mudah dibodohi! Lagi pula waktu 

kita tidak banyak lagi! Gugusan batu penutup itu telah 

lenyap porak-poranda. Berarti ada orang yang telah 

memasuki tempat itu! Aku sudah bisa menebak siapa 

orangnya! Buku warisan itu telah menjelaskan semua-

nya! Apa yang kita cari telah di depan mata.... Kita tak 

boleh menyia-nyiakan! Kita hadapi mereka!” kata ka-

kek berambut putih jabrik lalu anggukkan kepala.

Malaikat Berkabung melirik pada Dewi Ayu Lamba-

da, Dayang Sepuh, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk yang 

telah hentikan suara masing-masing. Saat lain pemuda 

ini melangkah dan tegak satu langkah di depan kakek 

berambut putih jabrik.

Kakek berambut putih jabrik segera angkat kedua 

tangannya dengan telapak terbuka lalu disentakkan 

dan ditempelkan pada punggung Malaikat Berkabung. 

Saat bersamaan kedua orang ini putar diri menghadap

Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada serta Iblis Om-

pong dan Dewa Uuk.

Dua nenek dan dua kakek saling pandang satu sa-

ma lain. Kejap lain Dewi Ayu Lambada rapikan keru-

dung hitamnya. Dayang Sepuh rapikan poni rambut-

nya. Lalu Dewi Ayu Lambada melompat dan tegak di 

belakang Dayang Sepuh. Seperti halnya kakek beram-

but putih jabrik, Dewi Ayu Lambada segera angkat ke-

dua tangannya dengan telapak terbuka lalu ditempel


kan pada punggung Dayang Sepuh. Iblis Ompong tak 

tinggal diam, dia melompat pula ke belakang Dewi Ayu 

Lambada lalu tegak di belakang si nenek. Namun bu-

kan menghadap ke arah Dewi Ayu Lambada, melain-

kan tegak membelakangi! Saat lain dia bungkukkan 

tubuh menungging. Pantatnya ditempelkan pada pan-

tat Dewi Ayu Lambada.

Melihat apa yang dilakukan ketiga orang di sam-

pingnya, Dewa Uuk celingukan sebentar. Lalu sentak-

kan kedua tangannya ke tanah. Sosoknya yang men-

jeplok berkelebat dan duduk lagi menjeplok di depan 

Iblis Ompong yang menungging!

“Ah.... Kau ikut-ikutan juga!” kata Iblis Ompong lalu 

letakkan kedua tangannya di pundak kanan kiri Dewa 

Uuk. Sementara kepalanya memperhatikan Malaikat 

Berkabung dan kakek berambut putih jabrik dari sela 

kedua kakinya yang direnggangkan!

“Jurus ‘Jalur Bertangga’!” Tiba-tiba Gendeng Pa-

nuntun berseru.

Malaikat Berkabung dan kakek berambut putih ja-

brik tampak terkejut namun tidak gerakkan ketika 

berpaling.

“Manusia buta itu tahu jurus yang kita lakukan!” 

bisik kakek berambut putih jabrik.

“Dan keempat tua bangka itu tampaknya juga akan 

melakukan hal yang sama seperti kita!” Malaikat Ber-

kabung menyahut.

“Setan!” Mendadak Dayang Sepuh membentak. 

“Jangan keras-keras menekan punggungku! Geser ke-

dua tanganmu sedikit. Kelabangan rambutku bisa ru-

sak!”

Dewi Ayu Lambada cekikikan lalu menggeser sedikit 

kedua tangannya yang menempel di punggung Dayang 

Sepuh. Namun tiba-tiba orang ini putuskan cekikikan-

nya seraya berpaling sedikit ke belakang dan berseru

keras.


“Setan! Pantatmu jangan terus menggeser-geser be-

gitu! Aku geli!”

Walau berseru begitu, tapi nenek berkerudung ini 

lenggak-lenggokkan pantatnya hingga pantat Iblis Om-

pong yang menempel ke pantatnya ikut bergerak-

gerak.

“Sialan! Siapa yang menggeser-geser! Kau yang dari 

tadi melenggak-lenggok tak karuan!” sahut Iblis Om-

pong. Karena pantatnya bergerak-gerak kedua tangan-

nya yang memegang pundak kanan kiri Dewa Uuk Ikut 

bergoyang-goyang. Hingga sosok Dewa Uuk doyong ke 

samping kiri kanan!

“Uuukkk! Uuukk! Ukkkk!” Dewa Uuk buka mulut 

dengan kedua tangan bergerak pulang balik ke samp-

ing memberi isyarat agar Iblis Ompong hentikan gera-

kannya.

“Bukan aku yang bergerak! Tapi yang di depan!” te-

riak Iblis Ompong dengan keras.

Datuk Wahing tampak terpingkal-pingkal melihat 

keempat orang di depan sana. Murid Pendeta Sinting 

geleng-geleng kepala dan sesekali melirik pada Putri 

Kayangan. Gendeng Panuntun tetap tengadah tanpa 

buka mulut lagi. Hanya Nyai Tandak Kembang yang 

memperhatikan orang dengan mata tak berkesip. Di 

sebelahnya, Putri Kayangan tampak gelisah dan tak ja-

rang melirik juga pada Pendekar 131.

Di depan sana, tiba-tiba kakek berambut putih ja-

brik perdengarkan bentakan garang yang kemudian 

disambut bentakan pula oleh Malaikat Berkabung. 

Saat bersamaan Malaikat Berkabung angkat kedua 

tangannya saling menakup di depan dada lalu dibuka 

dan didorong ke depan.

Tanah di sekitar tempat itu laksana dilanda gempa. 

Daun-daun berguguran. Di seberang sana, Dayang Se-

puh yang tegak paling depan mengikuti gerakan yang

dilakukan Malaikat Berkabung. Kedua tangannya lalu


didorong.

Tanah di tempat itu makin bergetar. Daun-daun 

makin banyak berluruhan. Namun belum sampai dari 

tangan Malaikat Berkabung dan Dayang Sepuh le-

satkan gelombang yang tentu saja sangat dahsyat ka-

rena terdiri dari gabungan beberapa tenaga dalam, ti-

ba-tiba mereka disentakkan oleh terdengarnya tangi-

san bayi dari arah lembah!

***

SEPULUH



MALAIKAT Berkabung cepat tarik pulang kedua 

tangannya. Dayang Sepuh ikut-ikutan urungkan niat 

dorongkan kedua tangannya. Dan laksana disentak se-

tan, kepala semua orang di tempat itu berpaling ke 

arah lembah di depan sana.

Namun yang paling tampak tersentak adalah Nyai 

Tandak Kembang dan kakek berambut putih jabrik. 

Diam-diam Nyai Tandak Kembang membatin.

“Aneh.... Dengan terdengarnya suara bayi itu, aku 

dapat mencium lagi aroma tubuh Pitaloka! Dia berada 

di lembah itu!” Paras wajah perempuan dari lereng 

Gunung Semeru ini tampak berubah. Matanya mende-

lik. Dagunya mengembang dengan pelipis kanan kiri 

bergerak-gerak. “Pitaloka.... Kau benar-benar melahir-

kan bayi! Kau benar-benar mengandung! Bagaimana 

hal ini sampai kau lakukan? Kau benar-benar tak tahu 

diri! Membuat malu!” Mungkin saking geramnya, sosok 

Nyai Tandak Kembang tampak bergetar keras.

Putri Kayangan yang berada di sebelah Nyai Tandak 

Kembang tampaknya dapat menangkap apa yang ada 

dalam benak neneknya. Dia segera berbisik.


“Eyang.... Harap tidak berprasangka dahulu.... Sia-

pa tahu dia bukan bayinya Pitaloka!”

“Jangan bicara, Beda Kumala! Aku dapat mencium 

lagi aroma tubuh Pitaloka!”

“Tapi kita belum melihat sendiri buktinya! Siapa ta-

hu itu bayi orang lain!”

Di seberang sana, kakek berambut putih jabrik di-

am-diam juga membatin. “Luar biasa sekali bayi itu.... 

Beberapa tahun mengenali Lembah Patah Hati, baru 

kali ini ada suara dari Lembah Patah Hati yang bisa 

didengar dari kawasan luar lembah!”

Habis membatin begitu, kakek berambut putih ja-

brik segera berbisik pada Malaikat Berkabung. “Kita 

harus mendahului mereka mendapatkan bayi itu!”

Malaikat Berkabung anggukkan kepala seraya meli-

rik pada Dayang Sepuh dan ketiga orang di belakang-

nya. Saat lain dia dan kakek berambut putih sudah 

bergerak. Namun tiba-tiba Nyai Tandak Kembang pu-

tar diri menghadap lembah dan angkat suara.

“Harap tidak ada yang bertindak! Ini adalah urusan-

ku!”

Malaikat Berkabung dan kakek berambut putih 

urungkan niat berkelebat. Sementara Gendeng Panun-

tun segera mendekati Murid Pendeta Sinting dan ber-

bisik.

“Anak muda! Kalau kau tidak ingin rimba persilatan 

ditelan bencana, kau harus segera mendahului untuk 

mendapatkan apa yang pernah kau dengar!”

“Tapi.... Nyai Tandak Kembang adalah neneknya....”

“Jangan pedulikan urusan itu! Urusan dia adalah 

urusan antara nenek dan cucu yang nakal! Urusanmu 

adalah urusan rimba persilatan!”

“Tapi tentu dia tak akan tinggal diam!” kata Joko 

pula.

Melihat dua orang saling berbisik, Datuk Wahing 

segera pula mendekati Pendekar 131. Tanpa perdengarkan bersinan dahulu, kakek ini ikut berbisik.

“Kau tahu apa yang harus kau lakukan! Jangan 

membuat heran dunia persilatan! Jangan hiraukan 

ucapan perempuan cantik itu! Lekaslah bertindak!”

Di depan Malaikat Berkabung, Dayang Sepuh ber-

paling ke belakang, ke arah Dewi Ayu Lambada. Saat 

yang sama Dewi Ayu Lambada menoleh ke belakang, 

ke arah Iblis Ompong. Iblis Ompong sendiri angkat ke-

palanya lalu memandang ke arah Dewa Uuk. Sementa-

ra Dewa Uuk menggeser sedikit tubuhnya dan me-

mandang jauh ke depan, ke arah Dayang Sepuh!

“Setan berkerudung hitam!” kata Dayang Sepuh pa-

da Dewi Ayu Lambada. “Bagaimana sekarang?!”

Dewi Ayu Lambada gerakkan kepala menghadap ke 

arah Dayang Sepuh. Namun cuma sekejap dan tanpa 

buka mulut menjawab. Saat lain nenek berkerubung 

hitam itu berpaling lagi ke belakang pada Iblis Ompong 

dan berkata.

“Setan Ompong! Bagaimana sekarang?!”

Iblis Ompong gerakkan kepala ke arah Dewi Ayu 

Lambada. Karena kakek ini tidak punya leher, ter-

paksa dia harus lepaskan satu tangannya dari pundak 

Dewa Uuk. Namun Iblis Ompong juga hanya sesaat 

pandangi wajah Dewi Ayu Lambada dan tanpa buka 

mulut pula untuk menjawab. Kejap lain dia berpaling 

lagi ke arah Dewa Uuk yang duduk menjeplok di hada-

pannya. Sambil terus gerakkan pantatnya pada pantat 

Dewi Ayu Lambada yang terus melenggak-lenggok, iblis 

Ompong buka mulut dengan suara keras.

“Setan Uuk! Bagaimana sekarang?!”

Dewa Uuk tadangkan kedua tangannya di belakang 

telinga. Lalu anggukkan kepala dan buka mulut. 

“Uuuukk! Uuuukk! Uuukkkk!”

Iblis Ompong ikut anggukkan kepalanya. Lalu ber-

paling pada Dewi Ayu Lambada dan buka mulut.

“Uukkkk! Uuukkk! Uuuukkk!”


Dewi Ayu Lambada sesaat kerutkan kening. Lalu 

berpaling pada Dayang Sepuh yang masih memandang 

ke arahnya. Nenek berkerudung hitam ini buka mulut.

“Uuuukkk! Uuuukk! Uuuuukkk!”

“Setan! Kalian setan semua!” hardik Dayang Sepuh 

sambil sentakkan kepalanya ke depan. Namun saat itu 

juga tawanya meledak. Disusul oleh Dewi Ayu Lamba-

da kemudian disahut oleh Iblis Ompong dan ditingkahi 

suara Ukkk! Ukkk! Ukkk! oleh Dewa Uuk.

Putri Kayangan yang sempat melirik keempat orang 

ini menahan tawa. Sementara Pendekar 131 dan Da-

tuk Wahing serta Gendeng Panuntun tampak terus 

berbisik-bisik. Hanya Malaikat Berkabung dan kakek 

berambut putih jabrik yang sama kancingkan mulut 

dengan mata sama mengarah pada sosok Nyai Tandak 

Kembang yang membelakangi karena saat itu tengah 

menghadap ke arah Lembah Patah Hati.

“Kita hantam dahulu perempuan itu!” Malaikat Ber-

kabung berbisik pada si kakek seraya gerakkan ba-

hunya ke arah Nyai Tandak Kembang.

Namun belum sampai mendapat jawaban, tiba-tiba 

di depan sana Nyai Tandak Kembang telah berkata pa-

da Putri Kayangan. “Beda Kumala, kau ikut aku!”

Saat bersamaan dan tanpa menunggu sahutan Pu-

tri Kayangan, Nyai Tandak Kembang telah berkelebat 

ke arah Lembah Patah Hati. Putri Kayangan segera pu-

la mengikuti dari belakang.

“Bruss! Brusss! Sekali kesempatan ini lewat, Anak 

Muda.... Kau akan heran dan menyesal seumur-umur!” 

ujar Datuk Wahing dan seolah tak sadar, kedua tan-

gannya segera mendorong sosok murid Pendeta Sin-

ting. Saat yang sama tiba-tiba Gendeng Panuntun juga 

sentakkan kedua tangannya ke arah Pendekar 131.

Joko sempat terkesiap. Belum sampai dia buka sua-

ra, sosoknya telah melenting laksana anak panah bah-

kan mendahului kelebatan Nyai Tandak Kembang yang


bergerak lebih dahulu!

Nyai Tandak Kembang sempat tersentak merasakan 

deruan angin deras di atas kepalanya. Menduga di-

rinya dipukul, perempuan berwajah cantik ini segera 

angkat kedua tangannya sambil mendongak. Dia se-

saat terkejut dan mengikuti gerakan sosok di atas ke-

palanya yang bukan lain adalah sosok murid Pendeta 

Sinting.

“Kau telah kuperingatkan. Tapi kau keras kepala!” 

teriak Nyai Tandak Kembang. Kedua tangannya segera 

dihantamkan ke atas. Putri Kayangan yang berkelebat 

di belakangnya sudah hendak buka mulut. Namun in-

gat dengan siapa dia kini berada, dia segera urungkan 

niat dengan wajah gelisah. Bahkan kedua tangannya 

sudah bergerak. Gadis ini tiba-tiba sudah memu-

tuskan untuk memotong pukulan Nyai Tandak Kem-

bang jika Joko tidak siap.

Sementara di atas udara, murid Pendeta Sinting 

yang sesaat belum sadar karena sentakan tangan Da-

tuk Wahing dan Gendeng Panuntun, terkesiap kaget 

tatkala mendapati gelombang yang dahsyat sudah me-

labrak ke arahnya.

Sekejap Joko jadi bimbang begitu tahu siapa 

adanya orang yang lepaskan pukulan. Kalau dia 

menghadang dengan pukulan, pasti akan terjadi masa-

lah dengan Nyai Tandak Kembang, namun jika tidak 

maka dia akan terhantam pukulan. Akhirnya murid 

Pendeta Sinting memutuskan untuk menghindar. 

Hingga dengan cepat dia sentakkan bahunya. Sosok-

nya menukik deras. Gelombang pukulan Nyai Tandak 

Kembang lewat dua jengkal di sampingnya. Namun tak 

urung bias gelombang masih menyambar. Hingga tan-

pa ampun lagi sosoknya terbanting di udara lalu jatuh 

bergulingan di atas tumbuhan bunga di Lembah Patah 

Hati.

Melihat pukulannya hanya biasnya saja yang menyambar dan justru malah membuat sosok murid 

Pendeta Sinting sudah berada di depan sana, Nyai 

Tandak Kembang mulai jengkel. Sekali lagi dia sentak-

kan kedua tangannya sambil terus berkelebat.

Putri Kayangan yang tadi sempat takupkan kedua 

tangan ke mulut agar tidak terdengar jeritannya me-

lihat sosok murid Pendeta Sinting terbanting di udara 

dan jatuh bergulingan di atas tanah, kini tak dapat lagi 

menahan suara. Dia berseru tertahan. Namun Nyai 

Tandak Kembang tidak peduli. Dia teruskan sentakan 

kedua tangannya! Hingga saat itu juga kembali satu 

gelombang deras melabrak ke arah Joko yang masih 

terus bergulingan.

“Celaka! Dia menyerangku lagi!” gumam murid Pen-

deta Sinting dengan mata dipentang besar. “Kalau saja 

cucunya tidak cantik dan menarik hatiku....” Joko ti-

dak bisa lanjutkan gumaman. Karena gelombang pu-

kulan Nyai Tandak Kembang sudah satu tombak di 

depannya.

Joko berpaling ke kanan kiri untuk mencari tempat 

berlindung menghindar dari pukulan Nyai Tandak 

Kembang. Namun dia tak melihat sesuatu yang cukup 

baik untuk berlindung. Saat itulah matanya menang-

kap lobang agak besar yang di kanan kirinya tampak 

berserakan batu.

“Hem.... Hanya lobang itu satu-satunya tempat ber-

lindung! Mudah-mudahan tidak terlalu dalam!”

Berpikir begitu, akhirnya tanpa bangkit berdiri, Jo-

ko sentakkan kedua tangannya. Gulingannya makin 

cepat dan begitu berada dua tombak dari lobang, kem-

bali Joko sentakkan kedua tangannya. Sosoknya men-

tal ke udara dan melesat ke depan mengarah pada lo-

bang.

Wuusss!

Gelombang pukulan Nyai Tandak Kembang menyer-

gap ganas di bawah sosok Pendekar 131. Namun kali

ini menghantam tempat kosong.

Begitu gelombang lewat, karena khawatir Nyai Tan-

dak Kembang akan menghantam lagi, Joko cepat ber-

kelebat ke arah lobang sebelum akhirnya lenyap ma-

suki

Bukkk!

Karena terlalu khawatir akan hantaman Nyai Tan-

dak Kembang, murid Pendeta Sinting tidak memikir-

kan keadaan dirinya yang tengah melayang masuk ke 

dalam lobang. Hingga tanpa ampun lagi sosoknya 

menghantam lantai batu di bawah lobang!

Jauh di seberang belakang di tempat mana kini mu-

rid Pendeta Sinting berada, dua kepala langsung ber-

paling ke arah sosok Pendekar 131 yang tergeletak di 

lantai. Dua kepala ini kemudian saling berhadapan 

dan mata mereka saling pandang. Pemilik kepala sebe-

lah kanan adalah seorang kakek dan satunya lagi milik 

seorang nenek berambut putih awut-awutan. Mereka 

berdua bukan lain adalah Kigali dan Umbu Kakani.

“Bagaimana Umbu Kakani?!” ujar Kigali seraya me-

lirik ke alas jerami di mana seorang gadis berbaju me-

rah tengah telentang dengan sekujur tubuh basah 

kuyup oleh keringat. Wajahnya pucat pasi. Kedua tan-

gannya mencengkeram alas jerami dengan kuat-kuat. 

Sepasang matanya terpejam rapat dengan bibir saling 

menggigit. Napasnya berhembus panjang-panjang. Pa-

da bagian bawah tubuhnya tampak agak banyak tete-

san darah. Gadis ini tidak lain adalah Pitaloka.

Umbu Kakani gelengkan kepala. Wajahnya murung. 

Lalu kepalanya menatap tajam pada satu sosok tubuh 

kecil berlumur darah di samping Pitaloka. Dengan sua-

ra tersendat, Umbu Kakani berujar pelan.

“Nyawa bayi ini tidak bisa diselamatkan.... Mungkin 

umurnya belum mencukupi! Tapi untungnya Pitaloka 

tidak apa-apa....”

“Bagaimana dengan mutiara merah di pusarnya?!”


Kigali kembali bertanya. Kali ini pandang matanya ter-

tuju pada sosok bayi di samping Pitaloka yang terong-

gok diam.

“Aku telah berusaha mencabutnya. Tapi sepertinya 

ada satu kekuatan yang menahan. Aku tak sanggup 

melakukannya! Bagaimana kalau kau yang mencoba-

nya?! Waktu kita tidak banyak. Lihat seseorang telah 

berada di tempat ini! Tak lama lagi mungkin akan ada 

orang lain yang muncul! Kau mengenal siapa pemuda 

yang baru muncul itu?!”

“Jangan pedulikan dulu siapa adanya orang yang 

muncul! Kita harus mengambil mutiara itu secepat-

nya!”

Habis berkata begitu, Kigali melangkah memutar ke 

arah samping kanan di mana bayi merah itu berada. 

Untuk beberapa saat lamanya Kigali pandangi sosok 

bayi merah dengan tubuh sedikit bergetar. Lalu mata-

nya tertuju pada pusar bayi. Di situ ternyata terlihat 

sinar merah menyala sebesar ujung jari kelingking 

berbentuk bulat.

Kigali julurkan tangan kanannya yang bergetar ke 

arah pusar bayi. Lalu perlahan-lahan mencabut bun-

daran merah pada pusar si bayi. Meski hanya menem-

pel, namun Kigali mengalami kesulitan untuk menca-

but butiran merah di pusar bayi meski dia telah kelua-

rkan segenap tenaga dalam dan luarnya!

“Aneh.... Kelihatannya hanya menempel biasa. Tapi 

aku tak kuasa juga mengambilnya!” ujar Kigali pelan 

seraya memandang pada Umbu Kakani yang saat itu 

terus memperhatikannya.

“Hem.... Kita telah berusaha, Kigali. Namun nyata-

nya kita tak berhasil. Ini mungkin saja satu bukti jika 

kita berdua tidak punya bagian dalam urusan ini!”

Kigali anggukkan kepala seraya menarik tangan ka-

nannya dari pusar bayi. Lalu berkata pelan. “Bayi ini 

adalah anak Pitaloka. Barangkali dia bisa melakukan


nya!”

Umbu Kakani tidak menunggu lama. Begitu men-

dengar ucapan Kigali, dia segera menggoyang-goyang-

kan sosok Pitaloka. Pitaloka perlahan-lahan membuka 

kelopak matanya.

“Nek.... Kek.... Bagaimana dengan....”

Belum sampai Pitaloka teruskan ucapan, Umbu Ka-

kani telah menyahut dengan coba tersenyum. “Anak-

ku.... Kau harus tabah menerima kenyataan. Kau juga 

harus bersyukur karena kau masih selamat....”

“Maksud Nenek...?”

“Anakmu.... Anakmu tidak berumur panjang, Pita-

loka. Dia ada di sampingmu!”

Tanpa pedulikan rasa sakit yang masih terasa 

menghujam tubuhnya, Pitaloka geser tubuhnya ke atas 

lalu perlahan-lahan beranjak duduk. Matanya lang-

sung tertuju pada bayi merah di sebelah kanannya. 

Saat itu juga tangisnya meledak!

“Anakku...,” ujar Umbu Kakani. “Tidak ada gunanya 

kau menangis. Ini sudah jadi perjalanan yang harus 

kau alami. Sekarang ada sesuatu yang harus segera 

kau lakukan! Kau lihat bundaran merah pada pusar 

bayimu. Aku dan Kigali telah berusaha sekat tenaga 

untuk mengambilnya. Tapi kami berdua gagal! Seka-

rang mungkin kaulah yang bisa mengambilnya! Kau 

tahu apa arti benda itu nantinya!”

Dengan masih sesenggukan, Pitaloka mendekati 

bayi di sampingnya. Tangannya yang gemetaran lang-

sung mengangkat orok merah itu. Lalu perlahan-lahan 

tangan kanannya bergerak ke arah bundaran merah di 

pusar bayi. Pitaloka berusaha mengambilnya. Namun 

hingga agak lama, tampaknya Pitaloka gagal untuk 

mengambilnya.

“Letakkan kembali bayimu, Anakku....” Umbu Ka-

kani berkata. Lalu memandang pada Kigali. “Kita ting-

gal menunggu kenyataan.... Namun satu hal, jangan


sampai benda merah itu jatuh ke tangan manusia ke-

parat berambut putih yang sebentar lagi pasti akan 

muncul di tempat ini!”

Pitaloka letakkan bayinya kembali di atas jerami 

kering. Saat dia angkat kepalanya, matanya menang-

kap sosok yang tegak di depan sana. Sesaat matanya 

membelalak. Saat lain bibirnya bergetar perdengarkan 

suara tersendat.

“Pendekar 131....”

Kigali dan Umbu Kakani sama berpaling ke arah 

depan. Dia melihat seorang pemuda berpakaian putih 

berambut panjang sedikit acak-acakan yang dililit ikat 

kepala warna putih pula. Parasnya tampan.

“Hem.... Jadi inikah anak manusianya yang bergelar 

Pendekar 131?!” gumam Umbu Kakani.

Murid Pendeta Sinting yang telah tegak sungging-

kan senyum lebar. Namun sepasang matanya bukan 

pandangi ketiga orang di depan sana, melainkan pada 

orok merah yang diam di samping Pitaloka. Dia tadi 

sempat melihat bagaimana Pitaloka berusaha men-

gambil benda bulat merah di pusar si bayi dan tidak 

berhasil. Dia juga mendengar bisik-bisik Kigali dan 

Umbu Kakani.

“Maaf jika kedatanganku mengejutkan kalian...,” 

kata Joko. “Terus terang saja. Aku datang dengan satu 

maksud....”

“Kau menginginkan mutiara merah itu bukan?!” 

Umbu Kakani telah menyahut.

“Terima kasih kau telah mengerti, Nek! Harap kalian 

tidak punya prasangka buruk. Saat ini rimba persila-

tan tengah mengalami ancaman dari seorang tokoh 

yang di tangannya menggenggam Kembang Darah Se-

tan dan Jubah Tanpa Jasad. Menurut beberapa saha-

batku, tokoh tersebut hanya bisa dihadapi dengan mu-

tiara merah itu! Jadi harap beri kesempatan padaku 

untuk mengambilnya! Kalian boleh bertanya siapa aku


pada Pitaloka.... Kami telah saling kenal....”

Murid Pendeta Sinting arahkan pandang matanya 

pada Umbu Kakani dan Kigali sebelum akhirnya me-

mandang pada Pitaloka. Pitaloka tampak makin pucat 

dan saat lain gadis ini berpaling. Saat itu juga kembali 

tangisnya terdengar!

Pendekar 131 geleng-geleng kepala sambil menarik 

napas dalam. Sebenarnya dalam hatinya masih terber-

sit ketidakpercayaan dengan apa yang dilihatnya. Dia 

juga masih bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan 

laki-laki dari bayi yang telah dilahirkan Pitaloka. Dia 

tahu bagaimana perasaan Pitaloka saat itu. Hingga dia 

segera alihkan pandang matanya pada Umbu Kakani 

dan Kigali. Lalu berucap.

“Nek.... Kek.... Kita memang belum saling kenal. Ta-

pi sekali lagi kuharap kalian tidak berprasangka yang 

bukan-bukan. Semua ini kulakukan karena demi da-

mainya rimba persilatan! Kuharap kalian memberi ke-

sempatan padaku!”

Umbu Kakani dan Kigali saling pandang. Lalu sama 

arahkan pandang matanya pada Pitaloka. Pitaloka 

tampak sesenggukan bahkan kini tutupi mukanya 

dengan kedua telapak tangannya.

“Kek! Nek! Waktuku tidak banyak.... Di luar sana 

beberapa orang telah menunggu dengan maksud yang 

sama namun sebagian bertujuan lain...!”

Umbu Kakani berpaling pada murid Pendeta Sin-

ting. “Anak muda! Bayi ini dilahirkan Pitaloka. Kami 

tidak bisa memutuskan karena haknya berada di Pita-

loka!”

“Bukan dia yang berhak memutuskan! Tapi aku!”

Tiba-tiba satu suara menyahut. Lalu satu sosok tubuh

melayang turun dari lobang dan tegak tidak jauh dari

murid Pendeta Sinting. Tidak berapa lama kemudian

satu sosok tubuh kembali melayang turun dan tegak di 

sebelah sosok yang baru muncul!


***

SEBELAS



SOSOK yang tadi perdengarkan suara dan melayang 

turun pertama adalah seorang perempuan berwajah 

cantik meski usianya tidak muda lagi. Dia bukan lain

adalah Nyai Tandak Kembang. Lalu sosok yang me-

nyusul muncul adalah seorang gadis berpakaian me-

rah juga berparas cantik dan tidak bukan adalah Putri 

Kayangan, saudara kembar Pitaloka.

Begitu injakkan kaki di lantai bawah lobang, Nyai 

Tandak Kembang dan Putri Kayangan segera hujam-

kan mata masing-masing ke depan. Tiba-tiba sosok 

Nyai Tandak Kembang bergetar keras. Bagian atas da-

danya yang terbuka tampak bergerak turun naik den-

gan hebat. Sepasang matanya mendelik angker dengan 

pelipis kanan kiri bergerak-gerak. Jelas perempuan da-

ri lereng Gunung Semeru ini telah dilanda hawa ama-

rah luar biasa! Hingga untuk beberapa saat dia tidak 

kuasa berkata meski mulutnya bergetar membuka!

Di sebelah Nyai Tandak Kembang. Putri Kayangan 

tampak berubah paras. Dia tak kuasa lagi melihat 

keadaan saudara kembarnya. Ditambah lagi tidak da-

pat menahan rasa malu pada murid Pendeta Sinting. 

Hingga dia tidak berani melirik atau memandang pada 

Pendekar 131 maupun pada Pitaloka. Malah tak lama 

kemudian dia palingkan kepala dengan mata merebak 

merah dan teteskan air mata.

“Peristiwa ini benar-benar terjadi! Pitaloka cucuku 

melahirkan bayi!” Nyai Tandak Kembang bergumam. 

“Pitaloka... Mengapa Ini kau lakukan? Mengapa?! Men-

gapa?! Ataukah ini sengaja kau lakukan untuk mem-

buatku malu di hadapan orang?!”

Di seberang sana, Kigali dan Umbu Kakani kembali

saling pandang. “Yang berpakaian putih sebatas dada 

adalah Nyai Tandak Kembang. Menurut pengakuannya 

dia adalah nenek Pitaloka!” ujar Kigali pelan. “Semen-

tara yang gadis aku tidak tahu siapa. Namun dari pa-

ras wajahnya, aku bisa menebak jika dia adalah sau-

dara kembar Pitaloka!”

Umbu Kakani sambuti ucapan Kigali dengan ang-

gukan kepalanya. Lalu memandang pada Pitaloka yang 

masih tutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. 

Entah karena masih tenggelam dalam kesedihan dan 

bingung, Pitaloka tidak mendengar suara Nyai Tandak 

Kembang sebelum sosoknya melayang turun dari lo-

bang. Dia juga tidak mendengar ucapan Kigali yang be-

rucap pada Umbu Kakani memberi tahu siapa adanya 

kedua orang yang muncul.

“Anakku Pitaloka.... Kau harus mengatakan terus 

terang apa yang terjadi pada orang yang muncul itu! 

Tampaknya dia tidak bisa menerima kenyataan yang 

menimpa dirimu!”

Mungkin karena menduga yang dimaksud orang 

yang baru muncul adalah murid Pendeta Sinting, tan-

pa buka kedua tangannya dari wajah, Pitaloka berkata.

“Percuma aku mengatakan padanya! Aku sekarang 

sadar siapa diriku! Dia pasti memandang kotor pada-

ku! Tapi katakan padanya.... Aku rela dia mengambil 

benda merah pada pusar bayi ini....”

Kigali dan Umbu Kakani sama kerutkan dahi. Me-

reka berdua tampaknya mengerti perasaan Pitaloka. 

Umbu Kakani gelengkan kepala dengan perasaan tre-

nyuh. Lalu berkata lagi. “Anakku.... Lihat dulu siapa 

yang datang.... Maksudku, selain Pendekar 131 telah 

muncul lagi dua orang. Kukira kau mengenalinya. Dan 

kau harus mengatakan pada mereka apa yang sebe-

narnya terjadi!”

Pitaloka sempat terkejut. Perlahan-lahan wajahnya 

digerakkan menghadap ke depan. Lalu dengan masih


sesenggukan kedua tangannya diturunkan dari wajah-

nya. Pitaloka seketika rasakan nyawanya melayang. 

Wajahnya berubah sulit dibayangkan. Matanya mem-

belalak dengan mulut terkancing rapat.

Begitu Pitaloka turunkan kedua tangan dari wajah-

nya, mendadak Nyai Tandak Kembang sudah berkele-

bat dan tahu-tahu telah tegak lima langkah di hada-

pan Pitaloka.

“Eyang....” Akhirnya Pitaloka bisa juga bergumam.

Dagu Nyai Tandak Kembang terangkat. Matanya 

menyengat tajam pada sosok Pitaloka. Lalu mulutnya 

terbuka perdengarkan bentakan keras.

“Pitaloka! Kau tak pantas lagi memanggilku Eyang! 

Kau tahu apa yang kau lakukan? Kau tahu?!”

Pitaloka bergerak bangkit meski dengan menahan 

rasa sakit. Umbu Kakani serta Kigali hanya diam dan 

memandang.

“Eyang...,” jerit Pitaloka sambil jatuhkan diri di ha-

dapan Nyai Tandak Kembang. Kedua tangannya meng-

gapai kedua kaki Nyai Tandak Kembang dengan per-

dengarkan tangis.

Namun sebelum kedua tangan Pitaloka sempat 

menggapai. Nyai Tandak Kembang sudah gerakkan 

kakinya. Bukan untuk menghindar, melainkan me-

lakukan tendangan!

Bukkk!

Sosok Pitaloka terangkat lalu terjengkang ke bela-

kang. Namun Pitaloka tidak peduli. Dia cepat tarik pu-

lang tubuhnya lalu merangkak tertatih-tatih mendekati 

eyangnya. Lagi-lagi begitu tangan Pitaloka hendak 

menggapai. Nyai Tandak Kembang sudah lepaskan 

tendangan.

Buuuukk!

Untuk kedua kalinya sosok Pitaloka terjengkang ke-

belakang. Umbu Kakani tampaknya tak kuasa mena-

han iba. Dia segera melompat dengan posisi duduk.


Namun baru saja sosoknya duduk di samping Pitaloka, 

Nyai Tandak Kembang telah menyemprot.

“Jangan melibatkan diri dalam urusan ini! Membu-

nuh pun aku berhak atas dirinya!”

“Nyai Tandak Kembang!” kata Umbu Kakani. “Kau 

memang neneknya. Kau berhak melakukan apa saja 

pada gadis ini! Tapi adalah tidak bijaksana tindakan 

seorang nenek yang tanpa menanyakan dahulu men-

gapa....”

Belum sampai selesai Umbu Kakani berkata, Nyai 

Tandak Kembang sudah memotong.

“Bukti sudah di depan mata! Apa masih perlu ber-

tanya?!”

“Benar, Nyai.... Tapi ini semua adalah akibat! Dan 

pasti ada sebabnya!”

“Mana ada bayi lahir dari seorang gadis yang belum 

punya suami kalau sebabnya tidak karena ulah dan 

tindakan cerobohnya?!”

Umbu Kakani gelengkan kepala. “Di sinilah kesala-

hanmu, Nyai.... Tidak semua bayi lahir dari gadis yang 

belum bersuami sebab ulah dan tindakan ceroboh ga-

dis itu! Ada sebab lain yang bisa saja terjadi dan 

mungkin bisa menimpa perempuan mana pun!”

Kemarahan Nyai Tandak Kembang makin memun-

cak mendengar ucapan Umbu Kakani. Dengan suara 

keras setengah menjerit dia berkata.

“Kuperingatkan kau agar tidak mencampuri uru-

sanku! Aku tidak mau dengar lagi segala macam ala-

san! Pitaloka telah terbukti melahirkan anak padahal 

dia belum punya suami! Hanya gadis tak tahu diri 

yang bisa melakukan hal itu! Gadis seperti dia tak 

pantas lagi ada di atas permukaan bumi!”

“Aku bukannya turut campur urusanmu, Nyai.... 

Aku hanya akan mengatakan apa sebab sebenarnya 

yang menimpa cucumu!”

Nyai Tandak Kembang tidak acuhkan ucapan Umbu


Kakani. Dia mendelik pada Pitaloka dan membentak.

“Pitaloka! Karena bayi itu lahir bukan saja karena 

dirimu sendiri, maka bukan hanya kau saja yang tidak 

pantas hidup! Sekarang katakan, siapa laki-laki ayah 

dari bayi itu!” sambil berkata membentak entah karena 

apa tiba-tiba Nyai Tandak Kembang melirik pada Kigali 

yang masih tegak di sebelah tumpukan jerami dekat 

bayi. Diam-diam dada Nyai Tandak Kembang berdebar 

dan gelisah. “Astaga.... Jangan-jangan laki-laki itu ada-

lah dia.... Tapi apa mungkin?! Ketika jumpa di hutan 

tempo hari, aku sudah curiga padanya.... Ternyata 

memang dia tahu di mana Pitaloka berada. Di hutan 

sana tidak ada orang laki-laki selain dia yang bersama 

Pitaloka.... Apakah mungkin dia?!”

Mendengar pertanyaan Nyai Tandak Kembang, Pita-

loka tidak segera menjawab bahkan tidak berani me-

mandang. Mendapati hal demikian, Umbu Kakani bu-

ka mulut. Namun sebelum suaranya terdengar, Nyai 

Tandak Kembang sudah mendahului.

“Aku hanya minta jawaban dari mulut Pitaloka! Ka-

rena dia yang melakukan dan pasti tahu siapa laki-laki 

pengecut itu!”

Di sebelah belakang, Pendekar 131 hanya bisa di-

am. Tak jauh di sampingnya Putri Kayangan masih pa-

lingkan kepala dengan air mata terus menetes.

“Anakku...,” ujar Umbu Kakani pada Pitaloka. “Ka-

takan terus terang padanya!”

Perlahan-lahan dengan wajah takut Pitaloka angkat 

kepalanya. Mulutnya membuka.

“Eyang.... Aku tak tahu siapa laki-laki itu.... Kare-

na....”

“Dasar gadis tolol!” bentak Nyai Tandak Kembang 

seraya bantingkan kaki. “Kau yang melakukan. Adalah 

aneh kalau kau tak tahu siapa laki-laki itu! Kau masih 

juga menutup-nutupi laki-laki pengecut itu!”

“Eyang.... Aku tak berdusta. Aku tak tahu siapa la


ki-laki itu....”

“Keparat!” maki Nyai Tandak Kembang saking ma-

rahnya. “Siapa percaya pada ucapanmu! Mana mung-

kin kau sampai mengandung dan melahirkan anak 

tanpa tahu dengan siapa kau melakukannya! Kau jan-

gan berlaku bodoh untuk kedua kalinya, Pita-loka!” se-

raya berkata begitu, mata Nyai Tandak Kembang kem-

bali melirik pada Kigali. Saat lain tiba-tiba tangan ka-

nan Nyai Tandak Kembang terangkat dan lurus me-

nunjuk pada Kigali. “Atau dia laki-laki itu?!”

Kigali hanya tersenyum tanpa buka mulut. Semen-

tara Pendekar 131 memandang tajam pada Kigali den-

gan dada terus menduga-duga. Putri Kayangan segera 

pula palingkan kepala begitu mendengar ucapan Nyai 

Tandak Kembang. Dia sebenarnya ingin tahu siapa la-

ki-laki yang dikatakan Nyai Tandak Kembang.

“Eyang.... Bukan dia...,” jawab Pitaloka dengan sua-

ra tetap bergetar.

“Hem.... Kau bisa memastikan bukan dia. Berarti 

kau bisa memastikan pula siapa laki-laki itu!” bentak 

Nyai Tandak Kembang.

Pitaloka gelengkan kepala. Nyai Tandak Kembang 

tak bisa menahan marah. Kedua tangan diangkat. 

“Rupanya kau rela mati hanya demi menutupi seorang 

laki-laki pengecut! Kau lebih suka menabur malu di 

mukaku hanya demi sembunyikan seorang laki-laki!”

Kedua tangan Nyai Tandak Kembang bergerak. Putri 

Kayangan sudah hendak melompat untuk cegah gera-

kan Nyai Tandak Kembang. Di lain pihak, Pendekar 

131 Joko Sableng tak tinggal diam. Dia segera pula 

berkelebat.

“Tahan!” seru Umbu Kakani. “Aku akan menje-

laskan semuanya!” seraya berkata begitu, Umbu Ka-

kani bergerak satu kali. Sosoknya tahu-tahu duduk di 

depan Pitaloka halangi tindakan Nyai Tandak Kembang.


“Apa yang dikatakan Pitaloka benar adanya! Dia ti-

dak tahu siapa laki-laki yang melakukannya! Dia di-

perkosa....”

Nyai Tandak Kembang tahan gerakannya meski ke-

dua tangannya tetap berada di atas udara. Pendekar 

131 dan Putri Kayangan juga urungkan niat berkele-

bat.

“Aku tak percaya! Kalaupun benar diperkosa, seti-

daknya dia tahu siapa laki-laki itu!”

“Di sinilah masalahnya, Nyai.... Si pemerkosa ada-

lah bukan orang sembarangan! Dia memegang Kem-

bang Darah Setan dan mengenakan Jubah Tanpa Ja-

sad hingga siapa orangnya tak bisa dikenali wajahnya!”

Nyai Tandak Kembang terkesiap kaget. Putri Kayan-

gan tak kalah terkejutnya. Tapi yang paling terlihat 

melengak kaget adalah Pendekar 131 Joko Sableng!

SELESAI

Segera ikuti lanjutannya:

TUMBAL PUSAR MERAH


Share:

0 comments:

Posting Komentar