Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Joko Sableng telah
Terdaftar pada Dept. Kehakiman R. I.
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan
Merek di bawah nomor 012875
SATU
BERLARI kira-kira dua puluh tombak, orang tua be-
rambut putih jabrik mendadak berhenti. Di belakang-
nya, Pendekar 131 Joko Sableng yang mengejar karena
penasaran dengan orang serta ucapan-ucapannya,
hentikan pula larinya. Si orang tua berambut putih ja-
brik tersenyum lalu putar diri menghadap murid Pen-
deta Sinting.
“Apa yang kau inginkan dariku, Pendekar 131?!” Si
orang tua angkat bicara.
Pendekar 131 perhatikan sesaat pada orang. Lalu
berucap. “Orang tua. Sebelum aku menanyakan sesua-
tu, sudi sebutkan diri?!”
“Permintaanmu memberi petunjuk kecurigaan hati!”
kata si orang tua seraya tertawa pendek. “Jika aku ti-
dak memenuhi permintaanmu, apakah kau urung ber-
tanya?!”
“Bukan begitu. Kau telah mengenaliku walau aku
percaya kita belum pernah bertemu. Rasanya....”
Belum sampai murid Pendeta Sinting teruskan uca-
pan, si orang tua berambut jabrik telah memotong.
“Kau nanti akan mengetahuinya! Sekarang katakan
apa yang hendak kau tanyakan!”
Untuk kesekian kalinya murid Pendeta Sinting
memperhatikan orang dengan seksama. Seperti di-
ketahui, setelah berpisah dengan Nyai Tandak Kem-
bang dan Putri Kayangan, serta meninggalkan Dewi
Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk, Joko me-
lihat satu sosok berkelebat. Sebenarnya dia tak mau
ambil peduli. Namun karena kawasan hutan di mana
kini dia berada adalah tempat yang diduga beberapa
orang adalah kawasan orang yang dicari, lebih dari itu
karena sosok yang berkelebat sepertinya sengaja mem
buat Joko penasaran, akhirnya murid Pendeta Sinting
ikut berkelebat mengejar.
Ternyata sosok itu adalah seorang laki-laki berusia
lanjut berambut putih dipotong sangat pendek hingga
rambutnya tegak-tegak. Dia mengenakan pakaian pu-
tih diselempangkan mirip pakaian para biksu yang ba-
gian dada kanannya terbuka. Di tangan kanannya
memegang sebuah tasbih pendek dari butiran kayu
warna coklat. Dia juga mengenakan kalung panjang
dari butiran kayu berwarna coklat pula.
Pendekar 131 yakin belum pernah bertemu dengan
si orang tua berambut putih jabrik itu. Anehnya, si
orang tua sudah mengenalinya. Dan yang menambah
Joko penasaran serta mengejar lagi begitu si orang tua
berkelebat adalah ucapan-ucapannya.
“Orang tua!” kata murid Pendeta Sinting setelah
perhatikan orang untuk yang kesekian kalinya seolah
ingin yakinkan kalau dia memang belum pernah ber-
jumpa. “Aku tidak mengerti dengan ucapan-ucapanmu
tadi. Kau mau memberi penjelasan?!”
“Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu! Tapi satu
hal yang pasti, saat ini kau laksana sudah menebar
darah di laut. Dan Itu berarti Ikan hiu akan mengejar-
mu!”
“Orang tua! Kau pasti sudah tahu kalau aku tengah
mencari seseorang! Adalah aneh ucapanmu itu! Men-
gapa aku kau ibaratkan sudah menebar darah dan di-
kejar?! Justru sekarang aku tengah mengejar!”
Si orang tua tertawa. “Itulah mengapa aku tidak bi-
sa memenuhi permintaanmu. Penjelasan apa pun tak
akan kau mengerti! Dan justru nanti akan kau men-
gerti sendiri bila tiba saatnya!”
“Baiklah! Sekarang apa kau masih tak mau se-
butkan diri?!”
“Selain alasan aku sudah mengenalimu walau kita
belum pernah bertemu, apakah kau punya alasan lain
hingga kau begitu bernafsu?!”
Murid Pendeta Sinting terdiam beberapa lama. “Ru-
panya orang tua itu tak mau dikenali! Untuk sebutkan
diri saja minta beberapa alasan! Siapa pun dia aku tak
peduli. Yang jelas dia bukan orang yang kucari! Mana
ada laki-laki tua seperti dia bisa bunting?!” kata Joko
dalam hati. Lalu berkata.
“Orang tua! Dari pertanyaanmu sebenarnya justru
kau yang punya curiga padaku! Tak apalah.... Aku
akan percaya pada ucapanmu jika kelak aku akan ta-
hu siapa dirimu dan apa maksud ucapanmu!”
Murid Pendeta Sinting tidak menunggu sahutan
orang. Dia cepat balikkan tubuh. Namun entah karena
apa dia tidak segera berkelebat walau sejenak tadi ka-
kinya sudah bergerak. Sebaliknya dia segera buka mu-
lut ajukan tanya.
“Orang tua! Kalau aku tanya kau hendak ke mana,
apakah kau juga akan tanyakan beberapa alasan?!”
“Tergantung....”
“Apanya yang tergantung?! Maksudku.... Tergan-
tung apa?!” tanya Joko tanpa putar diri menghadap
orang.
“Tergantung apa maksud keinginanmu hendak ber-
tanya aku akan pergi ke mana!”
“Itu namanya alasan!”
“Terserah mau kau bilang apa! Yang pasti begitulah
adanya!”
“Orang tua!” kata Joko dengan nada agak tinggi
namun diseling tertawa. “Kau tahu artinya ‘busyet’?!”
Kali ini lagi-lagi murid Pendeta Sinting tidak me-
nunggu jawaban orang. Dia segera berkelebat seraya
tertawa bergelak-gelak. Namun sebenarnya gelakan
tawa itu hanya untuk menutupi rasa penasaran dan
kecewa. Diam-diam dia membatin. “Jangan-jangan
orang tua itu adalah Kigali yang pernah diceritakan
Datuk Wahing. Bukankah Nyai Tandak Kembang ber
kata pernah bertemu dengan Kigali?!”
Kebimbangan yang kembali melanda dada Joko
membuat gerakan kakinya terhenti. Lalu sosoknya ce-
pat memutar. Di depan sana si orang tua tetap tegak
memperhatikan dengan bibir tersenyum dan tangan
memutar-mutar tasbih pendeknya.
“Orang tua itu benar-benar bikin hati orang penasa-
ran! Apakah aku harus mengikutinya? Tapi untuk
apa?! Pitaloka yang kucari, bukan dia! Namun siapa
tahu dia orang yang menyembunyikan Pitaloka?!
Ah...!” Joko terus membatin dan berperang dengan ke-
bimbangan. Sementara si orang tua berambut putih
jabrik di depan sana tetap diam tegak namun kini
pandangan matanya mengarah ke jurusan lain.
“Akan kucoba sekali lagi bertanya padanya! Siapa
tahu dia mau buka mulut!” Akhirnya murid Pendeta
Sinting memutuskan setelah agak tema termenung.
Namun belum sampai dia bergerak mendekati, si orang
tua berambut jabrik putih sudah memutar tubuh lalu
tanpa berkata-kata lagi berkelebat tinggalkan tempat
itu.
Pendekar 131 tidak urungkan niat. Dia berkelebat
mengejar. Namun baru saja hendak bergerak, ekor ma-
tanya menangkap satu bayangan yang berhari di sebe-
lah samping sana.
“Ada orang lain lagi di tempat ini!”
Belum sampai habis gumaman murid Pendeta Sint-
ing, berjarak dua belas langkah di seberang samping
sana telah tegak satu sosok tubuh.
Murid Pendeta Sinting cepat berpaling. Sesaat sepa-
sang matanya membeliak. Dia melihat seorang nenek
berambut putih lebat yang dikelabang dua dan ujung-
nya diberi pita. Sementara rambut bagian depannya
diponi dan digeraikan di depan kening. Mengenakan
baju tanpa lengan dan amat cingkrang berwarna me-
rah hingga ketiak dan pusarnya kelihatan. Pakaian
bawahnya berupa celana pendek di atas lutut, mem-
buat pahanya yang berkulit hitam tampak nyata. Ne-
nek ini membedaki wajahnya dengan tebal. Bibirnya
dipoles merah menyala. Pipi kiri kanannya diberi war-
na merah muda. Tangan kanannya memegang sebuah
bumbung bambu. Sedang tangan kirinya memegang
sebuah rumput ilalang agak panjang.
“Bibi Dayang Sepuh!” gumam Joko mengenali siapa
adanya si nenek berdandan mencorong. “Untuk apa
dia membawa bumbung bambu dan ilalang?!”
“Setan geblek!” Tiba-tiba si nenek berbaju tanpa
lengan dan bercelana pendek warna merah perdengar-
kan suara seraya melompat ke depan dan tegak enam
langkah di hadapan Joko. “Mana nyai setan dan putri
setan itu?!”
Murid Pendeta Sinting tidak segera menjawab. Se-
baliknya arahkan pandang matanya ke arah berkele-
batnya si orang tua berambut jabrik putih. Ternyata
sosok si orang tua sudah tidak kelihatan lagi.
Si nenek berdandan mencorong dan bukan lain
memang Dayang Sepuh adanya tampak geregetan
mendapati orang yang ditanya tidak segera menjawab
malah arahkan pandangan ke jurusan lain. Dia segera
buka mulut lagi. Tapi Joko keburu mendahului.
“Bibi.... Kau melihat orang tua itu tadi?!”
“Setan! Ditanya bukannya memberi jawaban tapi
balik bertanya!” Dayang Sepuh mendelik sembari
membentak.
Karena sudah tahu watak si nenek, Joko tidak hi-
raukan bentakan Dayang Sepuh. Malah dia tersenyum
namun dalam hati berkata. “Rupanya dia tidak menge-
tahui adanya si orang tua itu tadi!” Lalu buka mulut
menjawab pertanyaan si nenek.
“Bibi.... Mereka berdua entah ke mana. Kami berpi-
sah di sebelah utara sana!”
“Memang lebih baik kau berpisah dengan kedua se
tan perempuan itu! Kalau tidak, aku khawatir kau be-
rubah jadi manusia setan yang bisu dan tidak kuasa
berbuat apa-apa!”
“Harap maafkan kalau tempo hari aku tidak me-
nyambutmu. Karena aku telah terikat perjanjian den-
gan Nyai Tandak Kembang!”
Seperti dituturkan dalam episode: “Nyai Tandak
Kembang”, murid Pendeta Sinting yang saat itu bersa-
ma Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang sempat
bertemu dengan Dayang Sepuh yang saat itu bersama
Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun. Pendekar 131
memang tidak berkata apa-apa saat pertemuan itu, ka-
rena dia telah dipesan Nyai Tandak Kembang untuk ti-
dak melakukan atau berkata selain yang diperintah-
kan si nyai. Joko terpaksa mengikuti aturan Nyai Tan-
dak Kembang, karena dia yakin Nyai Tandak Kembang
akan menemukan Pitaloka dan dia sendiri ingin terus
bersama Putri Kayangan.
Di lain pihak, Dayang Sepuh sendiri tampak jengkel
pada Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun. Karena
saat mengintai Pendekar 131, Putri Kayangan, dan
Nyai Tandak Kembang, dan munculnya Dewi Ayu
Lambada, Iblis Ompong, serta Dewa Uuk, ternyata Da-
tuk Wahing dan Gendeng Panuntun sudah pergi tanpa
memberi tahu. Hingga dengan membawa dada yang
dongkol, Dayang Sepuh berkelebat pergi untuk menca-
ri Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun.
“Aku mencium aroma seperti di sekitar tanah ke-
tinggian itu!” Tiba-tiba murid Pendeta Sinting berkata
dalam hati dengan hidung kembang-kempis dan ke-
pala berputar mencari sumber aroma. “Bau kencing...!
Aroma sedap ini tadi tidak ada, tapi bersamaan dengan
munculnya nenek itu, hidungku menciumnya! Jangan-
jangan nenek itu terkencing di celana tanpa disadari!
Jelas bau ini berasal dari sana!” Joko angkat kepa-
lanya lurus ke arah Dayang Sepuh. Matanya bukan
menatap ke arah paras wajah si nenek, melainkan pa-
da celana pendeknya.
“Celananya tidak kelihatan basah! Atau aku sendiri
yang terkencing-kencing?!” Pendekar 131 kini gerak-
kan kepala menunduk dan memperhatikan bagian ba-
wah pakaiannya. “Pakaianku juga tidak basah! Lalu
siapa yang kencing di sekitar tempat ini...? Atau jan-
gan-jangan....” Entah karena khawatir, tangan murid
Pendeta Sinting segera bergerak ke bagian bawah pa-
kaiannya dan mengusap berulang kali lalu tangannya
ditarik ke depan hidungnya. Dia mengendus tangan-
nya beberapa kali.
Di depan sana Dayang Sepuh tegak mengawasi
dengan mata melotot namun bahunya berguncang me-
nahan tawa. Dan saat itu juga ilalang di tangan ka-
nannya dimasukkan ke dalam bumbung bambu di
tangan kirinya. Lalu ditarik dan dikibas-kibaskan.
Bau aroma kencing makin santer. Joko yang masih
mengendus tangannya tampak kernyitkan dahi. Tam-
pangnya sedikit tegang dan merah padam. “Aroma itu
makin gila! Jangan-jangan memang aku yang terkenc-
ing di pakaian tanpa sadar! Busyet betul!” Dia sudah
hendak usapkan tangannya ke pakaian bagian bawah-
nya lagi untuk meyakinkan. Namun diurungkan ketika
tiba-tiba tawa Dayang Sepuh meledak keras!
Karena ledakan tawanya, bahu si nenek makin ber-
guncang, membuat tangan kanannya yang memegang
ilalang ikut bergerak-gerak, ilalang di tangan kanan
Dayang Sepuh muncratkan percikan air.
Pendekar 131 memperhatikan. Kejap itu juga dia
mendelik. “Busyet! Jadi dia biang bau kencing ini! Be-
rarti bumbung bambu itu terisi air kencing! Hem....
Aku tahu sekarang. Aroma kencing di sekitar tanah ke-
tinggian Itu pasti berasal dari dia! Berarti dia berada di
sekitar tempat itu! Tapi ke mana Kakek Datuk Wahing
dan Gendeng Panuntun? Tempo hari dia bersama ke
dua kakek itu! Lalu untuk apa dia membawa-bawa air
kencing?!”
Selagi murid Pendeta Sinting membatin, Dayang
Sepuh mendadak putuskan ledakan tawanya. Lalu
bertanya dengan suara keras.
“Setan geblek! Kau tidak melihat dua setan tua
bangka itu?!”
“Bibi! Kau ini aneh.... Bukankah mereka berdua
bersamamu? Mengapa sekarang kau bertanya pada-
ku?!”
“Setan-setan itu memisahkan diri tanpa pamit!”
“Kalian bertengkar?!”
“Setan! Apa yang masih sedap dari kedua setan itu
hingga menimbulkan pertengkaran?! Kau jangan bica-
ra tak karuan!”
“Ah.... Aku hanya menduga!”
“Hem.... Kau tadi menanyakan orang tua! Orang tua
mana yang kau maksud?!” Tanya Dayang Sepuh se-
raya edarkan pandangan matanya berkeliling.
“Dia sudah pergi begitu melihat kemunculanmu....”
“Kau tak mengenalinya?!”
“Kalau aku kenal, tak mungkin aku bertanya pada-
mu! Anehnya, dia telah mengenaliku bahkan mengena-
limu juga!” ujar Joko berdusta.
Tiba-tiba Dayang Sepuh berkelebat dan tegak tiga
langkah di depan Joko. Joko terkesiap. Entah karena
khawatir si nenek marah mendengar ucapannya, mu-
rid Pendeta Sinting segera surutkan langkah satu tin-
dak. Namun dugaan Joko meleset. Dayang Sepuh bu-
kannya marah, sebaliknya tersenyum lebar. Lalu tan-
gan kanannya mengambil kelabangan rambutnya se-
mentara tangan kiri merapikan poni di kening. Lalu
berkata.
“Bagaimana tampang orang itu? Masih tampan dan
gagah? Menurutmu apakah serasi dengan diriku?!”
“Edan!” kata Joko dalam hati lalu tertawa ngakak.
Dayang Sepuh lepaskan kelabangan rambutnya
dengan kepala sedikit disentakkan hingga kelabangan
rambutnya meliuk dan perdengarkan desiran.
“Katakan padaku bagaimana tampang orang yang
kau katakan telah mengenalku itu!” pinta Dayang Se-
puh.
“Berusia sekitar tujuh puluh tahunan. Parasnya
masih lumayan. Rambutnya putih pendek dan begini-
begini!” Joko angkat tangan kanannya. Telunjuk ja-
rinya ditegakkan lalu digerakkan pulang balik ke ba-
wah ke atas. “Pokoknya jabrik!” kata Joko menerang-
kan isyarat telunjuk tangannya. “Dia mengena-kan pa-
kaian selempang warna putih yang terbuka bagian da-
da kanannya. Tangannya memegang tasbih warna cok-
lat pendek. Di lehernya melingkar kalung panjang juga
berwarna coklat!”
Mendengar keterangan Joko tiba-tiba kembali
Dayang Sepuh perdengarkan tawa bergelak.
“Kau mengenalinya, Bibi.... Siapa dia?!”
Dayang Sepuh putuskan gelakan tawanya. “Kau ti-
dak berkata dusta, Setan Geblek!”
“Berkata denganmu, mana aku berani bicara tidak
benar?! Siapa dia, Bibi?!”
“Aku tidak kenal! Dan baru kali ini aku melihat
orang yang ciri-cirinya seperti baru saja kau katakan!”
Murid Pendeta Sinting menarik napas panjang. “La-
gaknya saja tadi seperti kenal orang! Tak tahunya sa-
ma dengan diriku!” ujar Joko dalam hati dengan pera-
saan kecewa dan sedikit jengkel.
“Aku merasa ada yang tak beres di dalam hutan ini!
Sudah dua setan manusia yang tiba-tiba mengenaliku
padahal aku tidak kenal pada mereka!” gumam Dayang
Sepuh seperti berkata pada diri sendiri. Lalu bertanya.
“Apa pula yang dikatakan padamu?!”
“Aku diibaratkan sudah menebar darah di lautan.
Berarti ikan hiu akan mengejarku!” kata Joko menerangkan apa yang didengarnya dari si orang tua be-
rambut putih jabrik. “Kau bisa menangkap arti uca-
pannya itu, Bibi?!”
“Ucapan setan begitu mana bisa ditangkap orang?!”
jawab Dayang Sepuh. “Tentang diriku, apa saja yang
sempat dikatakan?!” Si nenek kembali ajukan tanya.
“Dia tak bicara apa-apa tentang dirimu. Hanya dia
menyinggung-nyinggung jika kau tentu masih tetap
bergaya dan makin cantik!”
“Hem.... Begitu?!”
“Ya.... Begitu!”
“Ke mana dia perginya?!”
“Ke arah sana!” Tangan kanan Joko menunjuk ke
satu arah.
“Kau di sini sedang menunggu seseorang?!”
Dengan kening berkerut, murid Pendeta Sinting
memberi isyarat jawaban dengan gelengan kepalanya.
“Bagus! Sekarang kita kejar setan jabrik itu!”
“Tunggu, Bibi!” tahan Joko melihat Dayang Sepuh
hendak bergerak. “Kurasa tak ada perlunya mengejar
setan jabrik itu! Karena jelas dia tidak bisa bunting
dan berarti bukan dia orangnya yang perlu dicari!”
“Memang betul! Tapi aku curiga padanya! Lebih-
lebih aku ingin membungkam mulutnya yang menga-
takan padamu bahwa aku masih tetap bergaya dan
makin cantik! Jelas meski seperti memuji tapi sebe-
narnya dia menghinaku!”
“Walah.... Ini akan jadi masalah! Padahal orang tua
itu tadi tidak mengatakan demikian!” kata Joko dalam
hati. Lalu berucap.
“Bibi.... Lebih baik kita teruskan saja mencari Pita-
loka! Waktu purnama sudah tidak lama lagi. Kalau ki-
ta kedahuluan orang, tentu akan berbahaya!”
“Itu alasan yang masuk akal! Tapi aku menangkap
ucapan lain di balik alasanmu itu!”
“Maksudmu...?!”
“Kau takut aku membuktikan apa yang diucapkan
setan jabrik itu padamu!”
Walau dalam hati membenarkan ucapan si nenek,
namun Joko tak mau kehilangan muka. Maka dia se-
gera gelengkan kepala seraya berkata.
“Bukan begitu, Bibi! Dia mengatakan padaku, suatu
saat nanti pasti akan bertemu denganku lagi! Jadi
tanpa dicari pun mungkin kita kelak akan menemu-
kannya! Sementara Pitaloka tidak akan ditemukan jika
tidak dicari!”
“Hem.... Kau pintar juga beralasan! Baiklah.... Se-
karang kita teruskan perjalanan. Tapi kita mengikuti
jejak setan jabrik itu! Kemunculannya di hutan ini pas-
ti masih ada sangkut-pautnya dengan urusanmu!”
“Tapi seandainya kita nanti bertemu lebih dahulu
dengan setan jabrik itu, kuharap Bibi bisa menahan
diri sementara! Kita tidak usah mencari masalah sebe-
lum urusan Pitaloka rampung!”
“Ucapanmu meyakinkan dugaanku, Setan Geblek!
Tapi usulmu sementara ini kuterima! Kau tahu mana
arah yang diambil setan jabrik itu, sekarang kau yang
ada di depan!”
Joko anggukkan kepala. Namun belum juga dia
berkelebat. Dayang Sepuh sudah melotot. Namun se-
belum bentakannya terdengar, Joko sudah perdengar-
kan pertanyaan.
“Bibi.... Boleh aku tanya?! Untuk apa bumbung
bambu berisi air setan itu?!” Joko ikut-ikutan menye-
but kata setan seperti kebiasaan si nenek.
“Nanti saja kuterangkan sambil jalan! Jika tidak, je-
jak setan jabrik itu akan lenyap! Lekas lari!”
Tanpa menunggu lama, murid Pendeta Sinting sege-
ra berkelebat disusul kemudian oleh Dayang Sepuh.
***
DUA
SEMENTARA di tempat lain di dalam hutan sebelah
barat, tampak dua sosok tubuh melangkah cepat me-
nerabas semak belukar dan sela jajaran pohon. Sese-
kali kedua orang ini hentikan langkah lalu lanjutkan
perjalanan dengan pandangan selalu curiga pada se-
tiap jengkal tanah yang dilewati.
Berjalan di bagian depan adalah seorang kakek be-
rambut putih dan bermata sedikit sayu malah tak ja-
rang sepasang matanya keluarkan air mata. Mengena-
kan pakaian agak lusuh berwarna putih. Sementara
orang di belakang si kakek adalah seorang gadis muda
berparas cantik namun tampak murung. Rambutnya
hitam dan tampak tidak teratur. Gadis ini mengenakan
pakaian warna merah. Kala berhenti, gadis muda ini
sesekali tengadah dengan menggigit bibirnya dan per-
dengarkan keluhan pendek. Kedua tangannya mena-
kup perutnya yang ternyata telah membesar, satu tan-
da kalau gadis muda ini tengah mengandung.
Pada satu tempat, si kakek yang melangkah di de-
pan hentikan tindakannya. Setelah memperhatikan
berkeliling, dia berpaling pada gadis di belakangnya.
“Pitaloka.... Kuharap kau bertahan....”
Si gadis yang perutnya besar dan bukan lain adalah
Pitaloka adanya, anggukkan kepala dengan menggigit
bibirnya. Dia berusaha untuk tidak perdengarkan ke-
luhan meski perutnya terasa melilit sakit bukan main.
“Kakek.... Apakah perjalanan ini masih jauh?! Dan
ke manakah sebenarnya yang hendak kita tuju?!” Ber-
tanya Pitaloka setelah dapat kuasai rasa melilit pada
perutnya.
Si kakek yang tidak lain adalah Kigali, tersenyum
sembari menghela napas dalam. Dia tahu, walau Pita
loka anggukkan kepalanya tapi sebenarnya dia paksa-
kan diri untuk tidak membuat kecewa dirinya.
Kigali melangkah mendekati Pitaloka yang kini du-
duk bersandar pada batangan pohon dengan selonjor-
kan kedua kakinya. Lalu duduk di samping si gadis
dan berkata pelan.
“Pitaloka.... Pada mulanya aku berencana pergi ke
sebuah dusun tidak jauh dari hutan ini. Namun fira-
satku tidak enak. Lagi pula kau tampaknya merasa
keberatan jika harus bertemu orang dalam keadaan
begini! Maka dari itu kuputuskan untuk pergi ke satu
tempat di bagian ujung hutan ini di sebelah barat. Di
sana ada sebuah lembah....”
“Kau pernah ke sana?!” tanya Pitaloka seraya pak-
sakan diri tersenyum.
Kigali gelengkan kepala. “Aku tidak pernah sampai
ke lembah itu. Tapi aku sering berjalan sampai perba-
tasan lembah!”
“Kek.... Sebenarnya ada apa kau tiba-tiba menga-
jakku pergi?! Kurasa tempat kita semula sudah aman.
Atau barangkali kau punya musuh?!”
Kigali tidak segera menjawab pertanyaan Pitaloka.
Dia tengadahkan kepala memandang rimbun dedau-
nan. “Hem.... Aku tak boleh mengatakan apa sebenar-
nya yang telah terjadi di hutan sebelah sana! Itu akan
membuat pikirannya kalut!” Kigali berkata dalam hati.
Lalu berkata.
“Anakku.... Separo dari masa hidupku terdahulu
memang penuh dengan tindakan jahat hingga aku ba-
nyak punya urusan dengan beberapa orang! Namun
separonya lagi masa hidupku hingga kini, kuhabiskan
di dalam hutan tanpa melibatkan diri dengan dunia
luar. Kalaupun masih ada beberapa orang yang dahulu
pernah punya urusan denganku, kurasa mereka telah
melupakannya. Malah mungkin mereka sudah tidak
mengenaliku lagi dan menduga aku sudah binasa ditelan tanah. Jadi jangan beranggapan kepergian kita ini
karena menghindari musuh!”
“Lalu apa masalahnya?!”
Kigali tampak bimbang. Hingga untuk beberapa
saat dia terdiam. Pitaloka merasa curiga. Lalu berucap
seraya tatap Kigali.
“Kek.... Katakanlah terus terang padaku. Kau sudah
kuanggap sebagai kakekku sendiri. Kau sudah menye-
lamatkan hidupku bahkan kehidupan bayi dalam pe-
rutku ini! Demi kau, nyawa pun akan kukorbankan!
Jadi jangan menyimpan masalah sendiri!”
“Pitaloka...,” kata Kigali dengan suara bergetar ka-
rena haru mendengar ucapan Pitaloka. “Sebenarnya
aku telah bertemu dengan beberapa orang di hutan
saat itu.... Adalah aneh jika mendadak beberapa orang
mendatangi hutan yang berpuluh-puluh tahun tidak
menarik minat orang! Tentu mereka punya maksud
dengan kedatangannya!”
“Kek.... Kau kemarin telah mengatakan itu. Mau
kau mengatakan siapa mereka?!”
“Anakku.... Aku tidak mengenalnya!” jawab Kigali
berbohong.
Seperti dituturkan dalam episode: “Nyai Tandak
Kembang”, Kigali sempat bertemu dengan Nyai Tandak
Kembang juga dengan Datuk Wahing, Dayang Sepuh,
dan Gendeng Panuntun. Dari pembicaraan mereka, Ki-
gali rupanya dapat menangkap apa maksud tujuan
mereka datang ke hutan. Malah Kigali sempat menge-
tahui kemunculan Putri Kayangan bersama Pendekar
131 Joko Sableng. Hanya saja Kigali tidak berusaha
untuk menemui keduanya.
“Kek.... Kau telah bertemu mereka dan kau tidak
mengenali mereka. Sekarang coba kau katakan bagai-
mana ciri-ciri mereka yang sempat kau temui!” ujar Pi-
taloka karena gadis ini dapat menangkap jika Kigali
masih menyembunyikan sesuatu padanya.
Permintaan Pitaloka membuat Kigali tersentak ka-
get. Namun orang tua yang pada tiga puluhan tahun
silam memasukkan Maladewa alias Setan Liang Ma-
kam ke dalam makam batu di Kampung Setan ini ce-
pat kuasai diri dan berkata.
“Anakku.... Untuk sementara ini kau tak usah terla-
lu banyak berpikir. Itu akan kurang baik bagi pertum-
buhan bayi dalam perutmu! Nanti bila kau telah mela-
hirkan, semuanya akan kujelaskan padamu!”
“Lalu apakah kau menduga mereka mengenaliku?!”
kejar Pitaloka.
“Mereka memang tidak menyebut-nyebut namamu.
Tapi....”
“Tapi apa, Kek?!” sahut Pitaloka seakan tak sabar
mendapati Kigali putuskan ucapannya.
“Dari pembicaraan mereka, mereka tengah mencari
seseorang! Aku tidak bisa memastikan siapa yang me-
reka cari. Namun daripada mereka membuat masalah
dengan kita, kuputuskan untuk mengajakmu pergi!”
Paras wajah Pitaloka tampak berubah. “Siapa ge-
rangan mereka? Beda Kumala? Eyang Guru atau kepa-
rat manusia pemakai Jubah Tanpa Jasad itu? Atau
Jangan-jangan Pendekar 131.... Ah! Apa mungkin?!
Bagaimana mereka bisa menduga aku berada di hutan
ini?! Kalau benar Pendekar 131, apa yang harus kula-
kukan...?!” Pitaloka menduga-duga dalam hati.
Entah sadar atau tidak tiba-tiba Pitaloka bergu-
mam. “Pendekar 131....”
Kigali berpaling dengan air muka sedikit heran. “Pi-
taloka.... Kau sepertinya pernah sebut-sebut nama itu
Pendekar 131.... Siapa dia sebenarnya? Kekasih-
mu...?”
Pitaloka terlengak. Dia tidak dapat lagi sembunyi-
kan keterkejutan. Namun kepalanya segera mengge-
leng. “Kek.... Bagi orang seperti diriku, tidak ada ke-
sempatan lagi untuk mengharapkan seseorang!”
“Anakku.... Tidak semua orang memandang perem-
puan dari segi jeleknya! Apalagi musibah yang menim-
pamu bukanlah kau yang menghendaki! Jadi kau jan-
gan terlalu memojokkan diri sendiri!”
Pitaloka angkat kepalanya dengan dada naik turun.
Entah apa yang dirasakan gadis saudara kembar Putri
Kayangan ini, yang jelas dia segera berucap.
“Kek.... Selagi hari belum begitu terik, lebih baik ki-
ta lanjutkan perjalanan!”
Kigali tersenyum lalu beranjak bangkit dan buru-
buru menolong Pitaloka untuk berdiri. Saat lain kedua
orang ini telah melangkah menyusuri hutan menuju ke
arah barat.
***
Karena sudah sering menuju ke arah lembah yang
dikatakan pada Pitaloka, Kigali bisa mencari jalan yang
selain cepat juga aman. Hingga begitu matahari terge-
lincir dari titik tengahnya, Kigali dan Pitaloka sudah
sampai pada sebidang tanah terbuka. Memandang
agak jauh ke depan, terlihat sebuah lembah agak luas
yang dihiasi aneka bunga berwarna-warni. Di ujung
lembah tampak bentangan kaki langit cerah. Sementa-
ra di bagian samping kiri kanan lembah terlihat jajaran
pohon besar seakan membentengi.
“Indah sekali lembah itu, Kek...!” kata Pitaloka se-
raya arahkan pandang matanya ke lembah di depan
sana.
“Kalau menjelang purnama, aku sering berada di
tempat ini! Pemandangannya terlihat makin indah! Di
sinilah kadangkala aku merenungi diri. Di sini pulalah
aku kemudian sadar tentang segala perbuatanku di
masa lalu! Di sekitar ciptaan Yang Maha Pencipta ini
aku seakan menemukan diriku kembali....”
“Tapi mengapa kau tidak pernah sampai ke lembah
itu?!”
Kigali gelengkan kepala. “Aku sendiri tak tahu ja-
wabannya. Kadangkala aku juga bertanya-tanya. Na-
mun setiap kali keinginan untuk ke lembah itu mun-
cul, seolah ada sesuatu yang membuatku urungkan
niat! Aku tak tahu apa itu! Mungkin hari inilah keingi-
nanku terlaksana....”
“Atau barangkali kau punya firasat ada sesuatu di
lembah itu?!”
“Menurutku itu tak mungkin, Anakku! Selain pe-
mandangan yang indah, kurasa lembah itu tidak me-
nyimpan apa-apa! Kalau memang ada sesuatu di da-
lamnya, tentu hutan ini sudah dirambah banyak
orang! Kau tahu sendiri, dalam rimba persilatan orang-
orangnya pantang menyerah jika memperebutkan se-
suatu! Dengan tidak munculnya orang di hutan ini, sa-
tu bukti bahwa lembah itu tidak ada apa-apanya!”
“Tapi bukankah kau telah bertemu dengan bebera-
pa orang di hutan ini?! Jangan-jangan tanpa sepenge-
tahuanmu di luar telah beredar kabar tentang sesuatu
yang tersimpan dalam lembah ini! Lalu mereka mulai
mencari!”
“Ah.... Kau terlalu jauh berpikir. Kalau memang ada
sesuatu, seharusnya bukan sekarang lembah ini jadi
berita! Sebaliknya harus sudah tersebar pada ratusan
tahun yang lalu! Seperti misalnya kabar tentang Kam-
pung Setan!”
“Kek! Dari pembicaraan-pembicaraanmu selama ini
sepertinya kau mengenal betul Kampung Setan. Siapa
kau sebenarnya, Kek?! Dari pembicaraanmu, aku
menduga kau masih ada kaitannya dengan Kampung
Setan. Apa benar dugaanku?!”
“Pitaloka.... Sebenarnya hal ini kurahasiakan dan
aku pernah berpikir tak akan kubuka pada siapa saja.
Kalaupun aku terpaksa mengatakannya padamu, aku
percaya kau akan menyimpannya sendiri!”
Pitaloka sempat terperangah mendengar ucapan Ki
gali. Ucapannya tadi sebenarnya hanya terdorong agar
Kigali mengatakan siapa dirinya sebenarnya. Karena
selama berdua hampir kurang satu setengah purnama,
Kigali selalu sembunyikan siapa dirinya. Dan kalaupun
Pitaloka coba mendesak, Kigali selalu alihkan pembica-
raan.
“Kek.... Aku berjanji akan merahasiakan apa yang
akan kau katakan!” ujar Pitaloka setelah berpikir agak
lama.
Sementara di sebelahnya Kigali tampak menatap
jauh ke hamparan lembah. Namun pandangannya se-
benarnya lebih jauh melampaui hamparan lembah ke-
tika dia mulai angkat bicara.
“Anakku.... Seperti yang sering kukatakan padamu,
separo dari masa usiaku bergelimang dengan kejaha-
tan. Di masa itulah mulai tersiar kabar tentang Kam-
pung Setan yang katanya menyimpan sebuah senjata
sakti bernama Kembang Darah Setan. Kampung Setan
memang pernah membuat gempar kalangan jagat per-
silatan pada puluhan tahun sebelumnya. Namun ke-
gemparan itu lenyap begitu para tokoh dari golongan
hitam dan golongan putih bersatu menumpasnya. Na-
mun begitulah dunia dan watak manusia-nya, di balik
penumpasan itu ada pula niat tertentu dari sebagian
tokoh. Dan niatan itu sebenarnya tak lebih daripada
untuk mendapatkan Kembang Darah Setan serta sen-
jata lainnya yang pada akhirnya kuketahui sebagai
Jubah Tanpa Jasad.”
Sesaat Kigali hentikan penuturan ceritanya. Lalu
melangkah ke sebuah pohon dan tegak bersandar den-
gan pandangan terus ke arah hamparan lembah. Di
sebelahnya Pitaloka ikut melangkah mendekati Kigali
dan duduk berselonjor.
“Tapi niatan sebagian tokoh itu menemui kegagalan.
Karena ternyata ada dua orang dari kerabat Kampung
Setan yang selamat dari penumpasan. Pada akhirnya
kuketahui kedua orang itu adalah Maladewa dan seo-
rang nenek bernama Nyai Suri Agung! Entah bagai-
mana caranya mereka berdua dapat selamat, yang je-
las setelah peristiwa penumpasan itu tanpa diketahui
oleh siapa pun kedua cucu dan nenek ini segera mem-
bangun kembali Kampung Setan secara diam-diam.
Malah tak lama kemudian, Nyai Suri Agung mengambil
murid dari kalangan orang di luar Kampung Setan.
Orang beruntung itu bernama Galaga.”
Untuk kedua kalinya Kigali hentikan ceritanya se-
raya gerakkan kedua tangannya dan dirangkapkan di
depan dada. Lalu lanjutkan ucapan.
“Beberapa tahun kemudian, terjadi beda pendapat
antara Maladewa dengan Nyai Suri Agung. Sebenarnya
beda pendapat itu karena Maladewa tidak suka sama
neneknya yang ternyata telah menurunkan sebuah il-
mu langka pada Galaga. Hingga akhirnya Maladewa
menuntut pada Nyai Suri Agung agar nenek itu mem-
berikan semua warisan leluhur Kampung Setan pa-
danya. Karena terus didesak, Nyai Suri Agung akhir-
nya memberikan Kembang Darah Setan pada Malade-
wa. Dengan Kembang Darah Setan di tangannya, Ma-
ladewa mulai bertingkah. Dan sasaran utamanya tidak
lain adalah saudara seperguruannya sendiri yakni Ga-
laga dan tentu Nyai Suri Agung yang menurut Malade-
wa bisa jadi batu sandungan. Namun tindakan Mala-
dewa menemui jalan buntu, karena Galaga dan Nyai
Suri Agung tiba-tiba lenyap. Saat itulah Maladewa mu-
lai panjangkan tangan merambah keluar Kampung Se-
tan. Dia mulai membunuh beberapa orang dan mena-
rik beberapa orang untuk dijadikan sebagai anak
buahnya!”
Kigali menghela napas panjang sebelum akhirnya
melanjutkan. “Saat itulah aku bersama sahabat baik-
ku bernama Dadaka bertemu dengan Maladewa. Tidak
berapa lama, aku dan Dadaka sudah menjadi orang
kepercayaan Maladewa. Tugas kami berdua adalah
menemukan Galaga dan Nyai Suri Agung sekaligus un-
tuk membunuh keduanya. Namun setelah sekian lama
mencari, kami berdua gagal mendapatkan apalagi
membunuh Galaga dan Nyai Suri Agung! Hal ini tam-
paknya membuat Maladewa tidak bisa menerima. Ma-
lah dia hendak menghukum aku dan Galaga dengan
tangan mautnya!”
“Aku dan Dadaka tidak menyerah begitu saja, apa-
lagi kami berdua sudah mengerti seluk beluk Kampung
Setan. Di lain pihak, sebenarnya kami berdua meneri-
ma menjalankan tugas dan menjadi orang kepercayaan
Maladewa dengan niat semata-mata untuk merebut
Kembang Darah Setan! Perkelahian tak dapat dihin-
darkan lagi. Kemampuan kami memang jauh di bawah
Maladewa yang saat itu menggenggam Kembang Darah
Setan. Namun dengan cara kami, pada akhirnya aku
dan Dadaka berhasil memasukkan Maladewa ke dalam
sebuah batu di Kampung Setan. Namun aku sangat
kecewa dan terpukul. Karena Kembang Darah Setan
gagal kuperoleh! Kembang Darah Setan ikut amblas
masuk ke dalam makam batu bersama sosok Malade-
wa!”
Kembali Kigali hentikan keterangannya. Kali ini dia
terdiam agak lama. Sementara Pitaloka tak berusaha
berucap. Dia menunggu Kigali lanjutkan ucapan.
“Setelah peristiwa itu aku dan Dadaka berpisah.
Aku tak tahu ke mana dia pergi dan apakah dia masih
hidup. Sementara aku sendiri pergi ke hutan Ini kare-
na merasa kecewa dengan kegagalanku mendapatkan
Kembang Darah Setan. Di hutan inilah akhirnya aku
menemukan jati diriku hingga akhirnya aku diperte-
mukan denganmu!”
“Kek....” Untuk pertama kalinya Pitaloka angkat bi-
cara. “Saat ini dalam rimba persilatan ada seorang to-
koh bergelar Setan Liang Makam yang mengatakan
bahwa dirinyalah sebenarnya pemilik Kembang Darah
Setan! Aku pernah bertemu dan bertarung dengannya.
Apakah mungkin dia cucu Nyai Suri Agung yang ber-
nama Maladewa dan pernah berhasil kau masukkan
ke dalam makam batu?!”
“Menurut perhitungan manusia biasa, sebagai ma-
nusia adalah satu keajaiban jika Maladewa masih bisa
hidup selama puluhan tahun dalam makam batu. Na-
mun segala sesuatu akan terjadi bila Yang Maha Kua-
sa menghendaki!”
“Tapi, Kek.... Dari tampangnya memang masuk akal
kalau dia baru saja bangkit dari makam batu!”
Kigali kerutkan kening. “Bagaimana tampangnya?!”
Pitaloka terdiam sesaat. “Sebenarnya aku pernah
menyinggung ini, tapi mungkin dia lupa,” kata Pitaloka
dalam hati lalu menjawab.
“Sosok tubuhnya tinggal susunan kerangka tanpa
daging!”
“Hem.... Aku tak bisa memastikan dia Maladewa
atau bukan sebelum aku bertemu dengan orangnya!
Hanya saja aku bisa memastikan satu hal. Saudara
seperguruan Maladewa yang bernama Galaga itu ma-
sih hidup!”
“Dari mana kau tahu?!” Tanya Pitaloka sedikit ter-
kejut dan palingkan kepala.
“Salah satu dari beberapa orang yang kutemui di
hutan ini beberapa waktu yang lalu adalah Galaga!
Saudara seperguruan Maladewa sekaligus murid Nyai
Suri Agung.”
Sekali lagi Pitaloka tampak tersentak kaget. “Ba-
gaimana kau tahu dia adalah Galaga?! Apakah dia
mengatakannya padamu?! Padahal bersama berlalunya
waktu, paras wajah orang pasti berubah. Apalagi su-
dah lama tak bertemu!”
“Dalam rimba persilatan, yang kutahu hanya dua
orang yang memiliki ilmu ‘Pantulan Tabir’. Dia adalah
Nyai Suri Agung dan Galaga....”
“Jadi orang yang kau duga sebagai Galaga itu sem-
pat menunjukkan ilmu ‘Pantulan Tabir’ saat bertemu
denganmu?!”
“Aku sendiri tak tahu. Dia memperlihatkan ilmu itu
untuk pamer atau hanya untuk memberi tahu padaku
kalau dia adalah Galaga karena sebenarnya dia telah
mengetahui dahulu siapa aku sebenarnya!”
“Kau bisa mengatakan bagaimana ilmu ‘Pantulan
Tabir’ itu?!”
“Baik suara atau pukulannya akan pantul-
memantul tiada henti ke seluruh penjuru mata angin!”
“Astaga! Apakah orang yang kau katakan itu sering
perdengarkan bersinan dan kepalanya selalu bergerak-
gerak ke depan ke belakang?!” tanya Pitaloka.
“Kau pernah bertemu dengannya?!” Kigali balik ber-
tanya setelah anggukkan kepala.
“Benar! Dia adalah tokoh yang kini bergelar Datuk
Wahing!”
Setelah berkata begitu, tiba-tiba paras wajah Pita-
loka berubah. Kigali tampaknya dapat menangkap pe-
rubahan orang. Namun dia coba menahan diri untuk
tidak buka mulut bertanya.
***
TIGA
KALAU Datuk Wahing sudah berada di hutan ini,
kemungkinan besar Pendekar 131 juga ada di sekitar
hutan ini pula. Dan barangkali Beda Kumala ada juga
di antara mereka.... Siapa yang dicari mereka?! Aku...?
Atau lainnya?!” Diam-diam Pitaloka bertanya-tanya
dengan hatinya sendiri. Di pelupuk matanya terbayang
paras murid Pendeta Sinting lalu wajah saudara kem-
barnya Beda Kumala alias Putri Kayangan.
“Mungkin Beda Kumala lebih beruntung dariku! Si-
kapnya saat bertemu dengan murid Pendeta Sinting itu
menunjukkan kalau dia tertarik dengan pemuda itu!
Ah.... Memang tak pantas bagiku mengharapkan cinta!
Aku sudah bukan Pitaloka yang dulu lagi. Aku manu-
sia kotor!”
Dada Pitaloka tampak berguncang. Dan tanpa dis-
adari air matanya jatuh membasahi pipi kanan kirinya.
Kigali tampak menarik napas.
“Kau teringat seseorang, Anakku?” tanya Kigali den-
gan suara dipelankan.
Pitaloka coba menahan isakan. Lalu berpaling pada
Kigali dengan kepala menggeleng. Saat lain dia sudah
ajukan tanya.
“Kek.... Sekarang apa kau dapat menduga siapa ge-
rangan sosok di balik Jubah Tanpa Jasad itu?!”
“Kalau benar Setan Liang Makam adalah Maladewa
dan kini tidak lagi menggenggam Kembang Darah Se-
tan, aku yakin orang di balik Jubah Tanpa Jasad ada-
lah orang di luar kerabat Kampung Setan! Herannya....
Bagaimana dia bisa tahu rahasia di balik Kampung Se-
tan, bahkan tahu pula bagaimana bisa mengeluarkan
Maladewa dari makam batu!”
“Apa kira-kira bukan sahabatmu yang kau sebut
sebagai Dadaka itu?! Bukankah dia tahu banyak raha-
sia Kampung Setan?!”
Kigali terdiam sesaat sebelum akhirnya berucap.
“Kurasa tak mungkin Dadaka melakukan ini sendirian!
Apalagi harus mengeluarkan Maladewa dari makam
batu! Itu sangat berbahaya! Maladewa pasti punya ra-
sa dendam dan tentu dia tak akan tinggal diam! Ka-
laupun ada orang luar yang tahu rahasia Kampung Se-
tan, pasti orang itu mendapat keterangan dari Galaga
atau Dadaka. Namun mereka berdua tak mungkin
memberi keterangan pada orang lain!”
“Tapi buktinya orang itu telah mendapatkan Kem-
bang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad! Berarti ada
orang yang memberi keterangan!”
“Itulah yang membuatku masih merasa aneh.... Ta-
pi masalah itu tak usah kita pikirkan terlalu jauh!
Lambat laun orang pasti bisa mengetahui siapa sebe-
narnya sosok di balik Jubah Tanpa Jasad itu! Kau ta-
hu, Anakku.... Sebagai manusia biasa sosok di balik
Jubah Tanpa Jasad pasti ingin dikenali siapa dia se-
benarnya! Apalagi dia hidup dalam lingkaran jagat per-
silatan! Yang mana di dunia ini nama orang sudah
menjadi jaminan!”
“Kek.... Apakah di antara beberapa orang yang kau
temui ada seorang gadis yang pernah kuceritakan pa-
damu?!”
“Maksudmu saudara kembarmu itu?!” tanya Kigali.
“Benar! Kau melihatnya?!”
Kigali coba menekan perasaan ketika kepalanya
bergerak menggeleng. “Sudahlah, Pitaloka. Kau tak
usah cemaskan urusan itu! Mereka katanya memang
tengah mencari seseorang, tapi aku yakin bukan kau
yang dicari!” Kigali tarik punggungnya dari batangan
pohon. “Sekarang kita lanjutkan perjalanan....”
Pitaloka perlahan-lahan bergerak bangkit. Lalu me-
langkah mengikuti Kigali yang sudah melangkah di de-
pan.
Setelah melangkah berjarak lima puluh tombak, Ki-
gali berhenti. Tepat di depannya telah membentang se-
buah lembah agak luas yang banyak dihiasi aneka
bunga. Di antara kerapatan tumbuhan bunga tampak
beberapa jalan setapak yang ditumbuhi rumput tebal
dan tinggi, tanda jika jalanan setapak itu tidak pernah
diinjak telapak kaki manusia. Sementara di sana-sini
terlihat luruhan aneka bunga yang sudah mengering.
Kigali berpaling pada Pitaloka yang telah tegak di
sampingnya. “Pitaloka, untuk sementara ini tahan
keinginanmu memetik bunga atau melakukan sesuatu!
Lembah ini masih asing bagi kita. Pengalaman berta-
hun-tahun dalam hutan telah membuatku mengerti ji-
ka kita harus waspada saat memasuki kawasan yang
masih asing!”
Pitaloka tersenyum dan anggukkan kepala. Lalu
berkata. “Tempat mana yang kita tuju, Kek...?”
Kigali arahkan pandang matanya pada salah satu
gundukan batu agak besar di depan sana. “Mungkin di
balik batu itu ada tempat untuk berlindung! Tapi ingat,
kita harus tetap berhati-hati...!”
Setelah berucap begitu Kigali mulai gerakkan kaki
dan mengambil jalan setapak berumput tebal dan ting-
gi. Pitaloka berjalan di belakangnya.
Baru saja melangkah lima tindak di atas rumput
tebal, tiba-tiba terdengar suara umpatan diseling jeri-
tan menyayat. Suara itu laksana diperdengarkan dari
tempat yang sangat jauh dan dalam.
Kigali dan Pitaloka sama tersentak kaget. Serentak
keduanya hentikan langkah masing-masing dan saling
berpandangan. Mereka belum bisa menentukan arah
sumber suara. Namun mereka bisa memastikan jika
suara itu diperdengarkan oleh seorang perempuan.
“Aneh.... Suara itu tadi tidak terdengar dari perba-
tasan lembah! Dan aku pun baru kali ini mendengar-
nya! Padahal aku sering berada di sekitar tempat ini
bertahun-tahun lamanya! Tak kusangka sama sekali
jika lembah ini berpenghuni! Atau jangan-jangan suara
itu tadi hanya tipuan pendengaranku saja!”
Seolah ingin meyakinkan, Kigali kembali pandangi
Pitaloka. Namun orang tua bekas orang kepercayaan
Maladewa ini tidak ajukan tanya. Sikap Pitaloka sudah
cukup membuatnya yakin kalau suara yang baru saja
terdengar bukan tipuan pendengarannya.
“Kek...!”
Kigali segera gelengkan kepala dengan telunjuk di-
lintangkan di depan bibir lalu berbisik. “Jangan tanya-
kan padaku! Aku tak akan bisa menjawabnya. Berta-
hun-tahun aku sering mengunjungi kawasan sekitar
lembah ini. Tapi baru hari ini aku mendengar suara
itu! Kita harus makin waspada. Suara itu membukti-
kan kita tidak berada sendirian di lembah ini!”
“Kek! Bukannya aku takut.... Tapi kalau kau men-
duga bakal ada urusan, sebaiknya kita cari tempat
lain. Dengan perut besar begini, aku akan kesulitan
bergerak jika terjadi apa-apa! Setelah kelahiran anak
ini, baru kita selidiki ada apa di kawasan lembah ini!”
“Pitaloka.... Coba kau dengar sekali lagi suara pe-
rempuan itu!” ujar Kigali dengan suara dipelankan.
Saat itu suara makian dan jeritan menyayat memang
terus terdengar.
“Dari suaranya jelas perempuan itu tengah menga-
lami kesengsaraan! Siapa pun dia adanya, kita harus
menolong!”
“Tapi, Kek! Bagaimana kalau suara itu hanya tipuan
orang untuk memancing kita?!”
“Kita memang harus waspada, Pitaloka. Tapi dalam
hal ini kurasa dia tidak menipu! Lagi pula untuk apa
dia menipu kita? Tidak ada yang bisa diperoleh dari ki-
ta berdua! Dan kalaupun dia memancing kita, apa gu-
nanya? Lembah ini hanya ditumbuhi bunga, ke mana
pun orang sembunyi akan mudah ditemukan...!”
Kigali putar kepalanya berkeliling dengan mata me-
nyiasati keadaan. Sementara suara makian dan jeritan
menyayat terus terdengar.
“Pitaloka! Kau menunggu di luar jalan setapak itu.
Aku akan menyelidik!”
“Kek....”
Lagi-lagi sebelum Pitaloka teruskan ucapannya, Ki-
gali sudah menukas. “Pitaloka, perutmu sudah besar.
Kau perlu banyak istirahat! Jangan cemaskan diriku.
Aku bisa melakukannya sendiri!”
Sebenarnya Pitaloka enggan menuruti permintaan
Kigali. Namun begitu si orang tua tersenyum dan ang-
gukkan kepala, Pitaloka perlahan-lahan bergerak
mundur.
Begitu kaki Pitaloka berada di luar jalanan setapak,
tiba-tiba gadis ini berkerut. Laksana dirobek setan, su-
ara makian dan jeritan menyayat sekonyong-konyong
lenyap! Pitaloka coba tajamkan pendengaran dan me-
nunggu. Tapi suara makian dan jeritan memang tidak
terdengar lagi!
“Apa dia hentikan makian dan jeritannya? Tapi
mengapa diputus mendadak?!”
Karena penasaran, akhirnya Pitaloka angkat bicara.
“Kek! Kau masih mendengar suara itu?!”
Kigali yang saat itu tengah pusatkan pendengaran
untuk menentukan di mana sumber suara, berpaling
dengan wajah heran campur terkejut. Namun karena
tak mau buang-buang waktu, dia segera menjawab.
“Suara itu malah semakin keras!”
Kali ini ganti Pitaloka yang terkejut dan heran. Dia
melihat bagaimana mulut Kigali membuka. Anehnya
dia tidak mendengar suara!
Pitaloka sesaat pandangi Kigali yang telah kembali
pusatkan pendengarannya. Karena masih penasaran,
akhirnya kembali Pitaloka berteriak.
“Kek! Kau mendengar suaraku?!”
Untuk kedua kalinya Kigali berpaling dengan wajah
makin heran. Untuk beberapa saat dia pandangi Pita-
loka. Di depan sana, Pitaloka tersenyum lalu berteriak
lagi.
“Kek! Aku tidak mendengar suara itu lagi! Jawab-
lah.... Apa kau masih mendengarnya?!”
“Aneh.... Apa dia tidak mendengar ucapanku tadi?!”
Kigali tak mau terus bertanya-tanya. Dia segera bu-
ka mulut dan berteriak.
“Aku masih mendengarnya! Aku juga dengar perta-
nyaanmu!”
Pitaloka makin kerutkan kening. Lagi-lagi dia bisa
melihat gerakan mulut Kigali, namun dia tidak men-
dengar suara apa-apa!”
“Jangan-jangan dia bercanda! Pura-pura buka mu-
lut tapi tidak perdengarkan suara! Namun rasanya dia
tidak pernah bercanda dalam menghadapi satu uru-
san!” Pitaloka membatin. Lalu berseru lagi.
“Kek! Aku tidak mendengar suaramu!”
“Aneh.... Main-main atau bagaimana anak itu?! Aku
sudah berteriak keras. Tapi dia mengatakan tidak
mendengar suaraku!”
Karena sama-sama merasa heran dan salah satu
menduga jika di antaranya bercanda, Pitaloka memu-
tuskan berteriak lagi.
“Kek! Aku tidak berdusta. Aku tidak lagi mendengar
suara itu juga suaramu!”
Tanpa berkata menyahut, Kigali berkelebat. Baru
saja kakinya tegak di samping Pitaloka, orang bekas
kepercayaan Maladewa ini terkesiap. Suara makian
dan jeritan sirna dari pendengarannya!
“Benar! Di sini aku juga tidak mendengar suara itu
lagi!” gumam Kigali seraya tajamkan pendengaran.
“Ada yang aneh di lembah ini!”
Entah karena ingin buktikan, Kigali kembali berke-
lebat dan tegak di antara jalan setapak. Dia tersentak.
Suara makian dan jeritan terdengar lagi. Bahkan ma-
kin keras!
“Hem.... Suara perempuan itu tidak bisa ditangkap
dari luar kawasan lembah. Demikian pula dengan sua-
raku!” Kigali bergumam lalu berkelebat lagi ke arah Pi-
taloka.
“Anakku.... Kau tunggu di sini! Aku akan memberi
isyarat jika menemukan sesuatu! Jangan alihkan pan-
danganmu dari tubuhku! Karena suaraku tak mungkin
kau dengar!”
“Jadi....”
“Ada kelainan di lembah ini! Suara yang keluar dari
kawasan lembah tidak bisa ditangkap di luar! Itulah
sebabnya mengapa aku tidak pernah mendengar suara
walau aku sering berada di sekitar kawasan ini!”
Habis berkata begitu, Kigali kembali berkelebat. Da-
lam beberapa saat sosoknya telah tegak di sebelah gu-
gusan batu agak besar di depan sana. Pitaloka terus
perhatikan dengan mata tak berkesip dan dada dilanda
keheranan.
Kigali tegak dengan sedikit tengadahkan kepala. Se-
pasang matanya yang sayu dipejamkan lalu menarik
napas dalam-dalam.
“Aneh.... Suara itu jelas dari sekitar tempat ini! Tapi
di sini tak ada tempat terbuka untuk berlindung orang!
Suara itu sepertinya dari tempat yang amat dalam! Pa-
dahal di sekitar sini tidak ada jurang atau lobang!”
gumam Kigali. Dia kembali pusatkan pendengaran.
“Benar! Suara itu bersumber dari sini! Tapi di ma-
na?!” Kigali meneliti sekitar gugusan batu agak besar.
“Jangan-jangan di bawah batu ini ada lobang!”
Kigali memperhatikan gugusan batu di depannya.
Lalu perlahan-lahan mendekat. Dia tempelkan telinga
kanannya ke batu. Namun secepat kilat dia tarik pu-
lang kepalanya. Saat telinganya bersatu dengan per-
mukaan batu, orang tua ini rasakan getaran hebat,
malah gendang telinganya laksana ditusuk! Namun hal
ini memberi keyakinan padanya, jika suara itu benar-
benar berasal dari bawah batu.
Tanpa menunggu lama lagi, kedua tangan Kigali se-
gera ditempelkan pada permukaan batu lalu mendo-
rong. Namun gugusan batu itu tidak bergeming. Kigali
melangkah mundur. Kedua tangannya diangkat. “Apa
boleh buat! Akan kuhancurkan batu itu!”
Di seberang luar lembah, Pitaloka tampak melotot
makin besar melihat gerakan Kigali. Dia sudah hendak
berteriak. Namun diurungkan ketika melihat kedua
tangan Kigali sudah bergerak menyentak ke arah batu.
Wuuttt! Wuuutt!
Dua gelombang angin deras melesat diiringi suara
deruan. Saat lain terdengar ledakan. Gugusan batu
langsung ambyar porak-poranda!
Kalau Kigali dapat mendengar deruan angin yang
melesat dari kedua tangannya serta ledakan batu, ti-
dak demikian halnya dengan Pitaloka. Dia tidak men-
dengar apa-apa. Dia hanya bisa melihat ambyarnya ba-
tu dan kepingan-kepingan yang menebar ke udara.
Begitu gugusan batu ambyar, Kigali melihat lobang
menganga. Namun bersamaan itu suara makian dan
jeritan tidak terdengar lagi!
Dengan waspada, Kigali melangkah mendekati lo-
bang di mana tadi tertutup oleh gugusan batu. Perla-
han-lahan orang tua itu gerakkan kepala melongok ke
bawah. Berjarak lima tombak di bawah lobang yang
terlihat adalah tempat berbatu. Kigali melangkah men-
gitari lobang dengan kepala terus memperhatikan ke
bawah. Namun sejauh ini dia tidak menangkap adanya
sosok manusia.
“Tempat di bawah itu terlalu luas kalau dilihat dari
sekitar lobang ini. Aku harus turun!”
Kigali angkat kepalanya dan berpaling ke arah Pita-
loka. Saat bersamaan terdengar Pitaloka sudah berte-
riak.
“Kek! Kau menemukan sesuatu?!”
Kigali tidak menjawab. Dia hanya memberi isyarat
dengan lambaian tangannya. Pitaloka segera melang-
kah cepat ke arah Kigali. Dan langsung longokkan ke-
pala begitu berada di sekitar lobang.
“Kek.... Suara itu tidak terdengar lagi! Apa kau juga
tidak mendengarnya?!” tanya Pitaloka khawatir kalau
hanya dia yang tidak menangkap suara.
“Sejak batu itu terbongkar, suara perempuan itu
terputus! tapi aku merasa yakin sumbernya dari tem-
pat di bawah itu! Aku harus turun! Kau tetaplah di
atas!”
“Kek! Lobang ini tidak terlalu dalam. Aku bisa me-
lewatinya!”
“Aku tahu. Tapi kita belum tahu siapa yang kita ha-
dapi! Begitu keadaan aman, aku akan memberi tahu!”
Tanpa menunggu Pitaloka menyahut, Kigali sudah
berkelebat masuk ke bawah lobang dengan kedua tan-
gan terangkat. Sementara diam-diam Pitaloka kerah-
kan tenaga dalam pada kedua tangannya, lalu mem-
perhatikan sosok Kigali.
***
EMPAT
KITA tinggalkan dulu Kigali dan Pitaloka yang bera-
da di tengah lembah. Kita kembali pada murid Pendeta
Sinting, Pendekar 131 Joko Sableng. Seperti diketahui,
dia bertemu dengan Dayang Sepuh. Lalu keduanya
meneruskan perjalanan mencari Pitaloka. Namun
Dayang Sepuh mengusulkan mencari dengan Jalan
mengikuti Jejak orang tua berambut putih jabrik yang
diceritakan murid Pendeta Sinting. Sebenarnya Joko
agak enggan memenuhi usul Dayang Sepuh. Namun
setelah Dayang Sepuh berjanji tidak akan membuat
urusan dengan orang yang diikuti, akhirnya murid
Pendeta Sinting berkelebat juga mengikuti arah yang
diambil orang tua berambut jabrik putih.
Pada satu tempat mendadak Pendekar 131 yang
berkelebat di depan hentikan larinya. Dayang Sepuh
segera pula berhenti namun sambil membentak.
“Setan geblek! Mengapa berhenti?!”
Yang dibentak tidak segera menjawab. Melainkan
edarkan pandangannya berkeliling. Baru buka mulut
menjawab.
“Bibi.... Kita gagal mendapatkan jejak orang tua be-
rambut jabrik itu! Kau tahu sendiri. Dia raib laksana
ditelan bumi! Sebaiknya kita teruskan perjalanan tan-
pa harus mengikuti jejak orang itu!”
Dayang Sepuh ikut edarkan pandang matanya. Dia
memang tidak menangkap adanya sosok orang yang
dikejar. Apalagi hutan di mana mereka berada sangat
lebat diranggasi semak belukar dan batangan-
batangan pohon besar berdaun rindang.
“Lalu ke mana kita sekarang?!” tanya Dayang Se-
puh. Matanya terus jelalatan ke seantero tempat di
mana dia tegak.
“Aku sendiri bingung! Tapi daripada harus diam, ki-
ta berlari saja ke mana kaki ini bergerak! Siapa tahu
hari ini adalah rejeki besar bagi kita. Kita bisa mene-
mukan orang yang kita cari dan....”
Pendekar 131 putuskan ucapan. Kepalanya berpal-
ing ke samping kanan dengan mata mendelik. Di
samping kanannya Dayang Sepuh menoleh ke arah
Joko dengan melotot angker dan langsung membentak
garang.
“Mengapa mata setanmu memandangku melotot,
begitu rupa, hah?!” Walau membentak begitu rupa,
namun saat itu juga si nenek rapikan poni di depan
keningnya.
“Lihat di sebelah sana!” bisik Joko tanpa alihkan
pandang matanya lurus melewati pundak si nenek.
Meski dengan mengomel, akhirnya Dayang Sepuh
berpaling juga ke arah kanan. Tiba-tiba sepasang mata
nenek berdandan mencorong ini membelalak. Berjarak
sepuluh tombak di depan sana terlihat satu sosok tu-
buh tegak membelakangi. Dari rambutnya yang putih
tegak dan pakaian selempang putih serta untaian ka-
lung di atas punggungnya, baik Joko maupun Dayang
Sepuh sudah bisa menduga siapa orang itu.
“Setan itu yang kau katakan sebagai setan jabrik
berambut putih?!” tanya Dayang Sepuh seolah Ingin
meyakinkan.
“Benar! Tampaknya dia sengaja memancing kita!”
gumam Joko. “Pasti dia ada maunya! Jika tidak, tak
mungkin dia tunjukkan diri dengan cara begitu rupa!
Atau barangkali dia tertarik padamu, Bibi...!”
Dayang Sepuh cibirkan mulut namun segera rapi-
kan kembali geraian poni rambutnya dan berkata agak
pelan.
“Kita Ikuti dia! Aku ingin tahu bagaimana tampang
setannya!”
“Tapi, Nek.... Eh, Bibi....”
“Aku akan tetap memegang janji untuk tidak mem-
buat urusan! Aku hanya ingin lihat tampang setannya!
Dan Jangan khawatir aku akan tertarik pada setan
itu!”
Seolah mendengar percakapan orang, orang yang
tegak membelakangi di depan sana mendadak putar
diri menghadap murid Pendeta Sinting dan Dayang
Sepuh.
“Bibi.... Sekarang kau perhatikan.... Dia meman-
dang mu” bisik Joko. Dayang Sepuh benar-benar pen-
tang matinya. Lalu bergumam pelan. “Masih lumayan!
Diajak jalan-jalan pun tidak membuat malu bila ber-
temu teman-teman!”
“Kau mengenalnya, Bibi?!”
“Tidak! Tapi apa benar dia mengenalku seperti kete-
ranganmu?!” Dayang Sepuh balik bertanya.
Belum sampai Joko buka mulut menjawab, orang di
depan sana yang ternyata bukan lain adalah orang tua
berambut putih jabrik mengenakan pakaian selempang
putih yang dada kanannya terbuka dan tangannya
memegang tasbih pendek, sudah balikkan tubuh.
“Setan! Tunggu!” Dayang Sepuh sudah berteriak
melihat gelagat orang hendak berkelebat lagi. Bersa-
maan itu si nenek pun sudah melompat ke depan.
Namun si orang tua berambut jabrik putih seolah
tidak mendengar teriakan Dayang Sepuh. Begitu dia
balikkan tubuh, dia segera pula berkelebat.
“Setan!” maki Dayang Sepuh lalu percepat keleba-
tan mengejar. Sesaat murid Pendeta Sinting ragu-ragu.
Antara mengikuti berkelebat atau teruskan perjalanan
sendirian. Namun karena masih dilanda pena-saran
dengan sikap orang tua berambut jabrik putih, akhir-
nya Joko memutuskan untuk berkelebat mengejar pu-
la.
Setelah sekian lama saling kejar-kejaran, akhirnya
pada satu tempat Dayang Sepuh berhenti seraya me-
ngomel dengan mulut megap-megap. Di sampingnya
murid Pendeta Sinting tegak dengan wajah basah oleh
keringat.
“Mana dia, Bibi?!”
“Mengapa masih bertanya! Apa kau lihat sosok se-
tannya?!”
“Bibi! Kita hanya dipermainkan orang! Rupanya dia
tahu kawasan hutan ini hingga dia bisa leluasa berge-
rak!”
“Peduli setan dia tahu atau tidak kawasan hutan
ini! Yang jelas sikapnya membuatku curiga!”
“Curiga atau tertarik?!” tanya Joko dengan terse-
nyum namun tak berani memandang pada si nenek.
“Dia memang masih gagah dan tampan meski usia-
nya sudah lanjut. Tapi hatiku ini hanya milik seseo-
rang!”
“Ah.... Jadi Bibi masih punya kekasih?!”
Dayang Sepuh berpaling dengan bibir sunggingkan
senyum lebar. “Jangan kaget bila kukatakan kekasih-
ku masih sebaya denganmu bahkan lebih tampan dari
paras setanmu!”
“Hem.... Begitu?! Dia dari golongan manusia biasa
atau setan?!”
“Sialan! Mana mungkin aku bercinta dengan setan?!
Lagi pula mana ada setan bertampang keren?!”
Baru saja Dayang Sepuh selesai berucap, tiba-tiba
dari arah belakang terdengar suara deruan-deruan
dahsyat. Saat lain satu gelombang ganas menggebrak.
Rimbun dedaunan tampak tersapu bertaburan. Hebat-
nya luruhan dedaunan yang tersapu gelombang bu-
kannya melayang ke udara lalu turun ke tanah, me-
lainkan membentuk gumpalan dan laksana bola besar,
gumpalan dedaunan itu melesat ke arah murid Pende-
ta Sinting dan Dayang Sepuh!
Murid Pendeta Sinting dan Dayang Sepuh cepat
berpaling. Keduanya melengak kaget. Joko cepat ang-
kat tangan kanannya. Namun sebelum tangan kanan-
nya menyentak, si nenek telah mendahului dengan
lemparkan bumbung bambu di tangan kirinya.
Wuutt!
Bumbung bambu yang masih berisi air kencing Itu
melesat cepat dan tampak berputar-putar di udara.
Anehnya air kencing di dalamnya tidak tumpah.
Brakkk!
Gumpalan besar dari dedaunan perdengarkan suara
berderak ketika lesatannya tertahan bumbung bambu.
Gumpalan dedaunan langsung hancur berkeping-
keping dan bertabur ke udara. Sementara bumbung
bambu langsung meledak pecah muncratkan air di da-
lamnya!
Mungkin karena sudah menduga apa yang akan ter-
jadi, begitu sentakkan bumbung bambu di tangan ki-
rinya, Dayang Sepuh segera berkelebat ke samping.
Namun tidak demikian halnya dengan murid Pendeta
Sinting. Dia tetap tegak di tempatnya semula dengan
mata memandang berkeliling ingin tahu siapa geran
gan yang membuat ulah.
Pyurrr!
Tidak ada kesempatan lagi bagi murid Pendeta Sint-
ing untuk berkelebat menghindari muncratan air kenc-
ing. Hingga tanpa ampun lagi sebagian air kencing di
dalam bumbung yang telah pecah membasahi sebagian
pakaian dan wajahnya!
“Busyet! Kalau air kencing gadis cantik masih lu-
mayan! Ini air kencing nenek-nenek! Kulitnya hitam
lagi!” Joko mengumpat dalam hati lalu melompat
mundur dan cepat usap wajahnya dengan pakaiannya
yang tidak terkena muncratan air.
Di seberang samping, Dayang Sepuh tak bisa lagi
menahan ledakan tawanya. “Kau makin tampan saja
begitu terpercik air kebanggaan itu! Hik.... Hik....
Hik...!”
“Jangan tertawa terus, Bibi! Kau nanti bisa terkenc-
ing-kencing di celana!” kata Joko setengah mendongkol
lalu memandang pada si nenek.
Tiba-tiba Joko terlonjak dengan mata dipentang.
“Astaga! Celanamu sudah basah, Bibi!”
Dayang Sepuh putuskan ledakan tawanya. Kepa-
lanya cepat menunduk perhatikan celana pendeknya.
“Setan! Mana yang basah?!” bentak si nenek.
Murid Pendeta Sinting usap-usap kedua matanya.
“Hem.... Kalau tidak dibohongi begitu dia akan terus
ngakak tak ada putusnya!” kata Joko dalam hati lalu
tertawa dan berucap.
“Astaga ternyata aku salah pandang!”
“Dasar mata setan!” maki Dayang Sepuh lalu pen-
tangkan mata dan jelalatan menebar berkeliling. Saat
yang sama Joko ikut-ikutan pentang mata dan edar-
kan pandang matanya juga. Namun setelah lama ke-
dua orang ini tidak juga menemukan sosok orang di
sekitar tempat itu.
Karena tak sabar, Dayang Sepuh sudah berteriak
keras.
“Keluarlah dari persembunyianmu, Setan! Atau
akan kuobrak-abrik hutan ini!”
Dayang Sepuh menunggu sahutan. Namun tidak
juga terdengar suara jawaban atau adanya orang yang
muncul di sekitar tempat itu.
“Apa mungkin Ini ulah kakek berambut putih jabrik
itu?!” gumam murid Pendeta Sinting.
“Di sekitar tempat ini tadi tidak ada setan lain se-
lain setan tua berambut putih jabrik itu! Siapa lagi bi-
angnya kalau bukan dia! Dia telah berani kurang ajar
padaku, berarti perjanjian kita batal, Setan Geblek!”
“Batal bagaimana, Bibi set....” Pendekar 131 cepat
katupkan mulut lalu tertawa tertahan.
Dayang Sepuh berpaling dengan mata mendelik
angker mendengar Joko hendak sebut dirinya Bibi se-
tan. Tapi tak lama kemudian justru nenek ini ikut ter-
tawa tertahan dan berkata.
“Aku akan membuat perhitungan dengan setan be-
rambut putih jabrik itu! Dua kali dia bertindak kurang
ajar padaku! Pertama menghinaku di depan hidung-
mu. Kedua dia berani menyerang dari belakang!”
Baru saja Dayang Sepuh berkata begitu, mendadak
mereka berdua dikejutkan dengan terdengarnya suara
orang batuk-batuk berulang kali. Laksana disentak se-
tan, kepala Dayang Sepuh dan murid Pendeta Sinting
segera berpaling.
Memandang ke depan, berjarak lima belas tombak
terlihat kakek berambut putih jabrik tegak menghadap
ke arah mereka dengan kepala sedikit bergerak-gerak
karena perdengarkan batuk.
“Setan itu di sana! Kali ini dia tak akan kubiarkan
lolos!”
“Bibi.... Jangan tergesa-gesa menuduh orang! Puku-
lan tadi datangnya dari arah belakang. Secepat apa
pun kelebatan orang, mungkin aku masih bisa menangkapnya kalau waktu itu ada yang membuat gera-
kan! Sementara orang tua itu sudah berada di sana!”
“Hem.... Jadi kau kira ada setan lain yang melaku-
kannya?!”
-Mungkin begitu, Bibi!”
“Aku tak percaya ada setan lain di tempat ini! Di-
alah biang pelakunya!”
“Bibi! Tunggu!” tahan murid Pendeta Sinting ketika
melihat Dayang Sepuh sudah berkelebat ke arah orang
tua berambut putih jabrik. Namun si nenek tidak pe-
dulikan lagi teriakan Joko. Dia teruskan berkelebat.
Karena khawatir terjadi sesuatu, Joko cepat pula ber-
kelebat menyusul si nenek.
Kali ini orang tua berambut putih jabrik tidak beru-
saha menghindar dengan berlari. Dia tetap tegak dan
seolah malah menunggu! Bahkan dia segera angkat bi-
cara begitu Dayang Sepuh tegak lima langkah di de-
pannya.
“Dayang Sepuh! Ada sesuatu yang hendak kau uta-
rakan?!”
Si nenek rapikan dulu geraian poni rambutnya.
Saat lain dia sudah perdengarkan bentakan keras.
“Kau pandai mengenali orang, Setan! Siapa kau se-
benarnya?!”
Orang tua berambut putih jabrik sunggingkan se-
nyum. Kepalanya menggeleng seraya berucap.
“Tentunya kau telah diberi tahu siapa diriku oleh
kekasihmu itu!” Mata orang berambut putih jabrik
mengarah pada murid Pendeta Sinting yang telah tegak
di samping Dayang Sepuh.
“Setan sialan! Pemuda macam begini belum layak
mendampingiku sebagai kekasih!” Tangan kanan si
nenek menunjuk pada murid Pendeta Sinting yang su-
dah tertawa mendengar ucapan Dayang Sepuh.
“Jangan bikin habis kesempatan dan kesabaranku,
Setan Berambut Putih! Katakan siapa dirimu sebenar
nya?!”
“AKU juga tak punya kesempatan banyak, Dayang
Sepuh! Tapi satu hal yang pasti kau tak mungkin
mendapat jawaban sekarang! Kau kelak akan tahu
siapa diriku!”
Si nenek mendengus. “Aku tak mau menunggu ke-
lak! Sekarang katakan atau....” Si nenek tidak lan-
jutkan ucapan. Melainkan tertawa pendek seraya me-
milin salah satu poni rambutnya. Lalu teruskan uca-
pan. “Kau akan kubuat mampus tanpa dikenali!”
“Aku tidak suka dipaksa, Dayang Sepuh! Dan uru-
san antara kita rasanya belum saatnya dimulai! Bersa-
barlah. Kita nanti pasti akan bertemu untuk selesai-
kan satu urusan!”
“Orang tua!” Kali ini Joko angkat bicara. “Kau
punya urusan dengan kekasihku ini?!”
Dayang Sepuh sudah membelalak. Namun murid
Pendeta Sinting tidak ambil peduli. Dia menatap tajam
pada orang tua berambut putih jabrik.
“Urusannya bukan hanya dengan kekasihmu itu sa-
ja, Pendekar 131! Namun termasuk dengan dirimu ju-
ga! Tapi bukan sekarang saat yang tepat membuka
urusan itu! Tidak lama lagi.... Segalanya akan terjadi!”
Habis berkata begitu, mendadak si orang tua be-
rambut putih jabrik jejakkan kedua kakinya. Sosoknya
melesat dua tombak ke udara. Di atas udara kakek ini
membuat gerakan sekali. Kejap itu juga sosoknya me-
lesat laksana kilat tinggalkan tempat itu!
Anehnya, begitu melayang turun berjarak enam
tombak di sebelah depan sana, si orang tua berambut
putih jabrik melangkah perlahan-lahan malah sesekali
berpaling pada Dayang Sepuh dan Pendekar 131 Joko
Sableng!
“Setan itu sepertinya sengaja ingin diikuti! Aku jadi
penasaran!” desis Dayang Sepuh.
“Ah.... Mungkin Bibi tertarik saja padanya dan in
gin mengikutinya!” gumam murid Pendeta Sinting.
Namun Joko cepat berkelebat mengejar si orang tua
mendahului Dayang Sepuh.
Dayang Sepuh mencibir lalu seraya mengomel dia
melompat dan ikut mengejar.
***
LIMA
TAHU kalau dirinya dikejar orang, si orang tua be-
rambut putih jabrik tiba-tiba hentikan langkah. So-
soknya berputar seolah menyongsong kedatangan
orang. Dan belum sampai Pendekar 131 dan Dayang
Sepuh mendekat, dia telah perdengarkan suara.
“Jangan memaksakan diri untuk membuka urusan
sebelum waktunya! Itu akan membuat rencana kalian
gagal di tengah jalan!”
Murid Pendeta Sinting yang mendekat terlebih da-
hulu belum angkat suara, dari tempat agak jauh
Dayang Sepuh sudah menyambut dengan bentakan
keras.
“Kau sudah membuka urusan denganku, Setan Ja-
brik!”
Si orang tua berambut putih jabrik gelengkan kepa-
la dengan senyum dingin. Lalu tanpa memandang pa-
da murid Pendeta Sinting atau Dayang Sepuh yang ki-
ni telah tegak tidak jauh dari Joko, dia berucap.
“Bukan aku yang melakukannya, Dayang Sepuh!
Karena aku tahu saatnya belum sampai!”
“Di sini tidak ada setan lain yang gentayangan! Jan-
gan takut mengakui perbuatan!”
“Kalau aku mau, tak mungkin aku bermain-main
dengan gumpalan daun tak berguna itu! Lagi pula
seandainya aku takut, mudah bagiku membuat kalian
berdua kehilangan jejakku!”
“Orang tua! Agar tidak terjadi kesalah-pahaman,
kuharap kau mau menjelaskan apa maksudmu sebe-
narnya?!” kata Joko berusaha menengahi.
“Tidak semua urusan harus dikatakan pada orang
lain, Pendekar 131! Tapi jangan kira aku tidak tahu
apa maksud dan tujuan kalian berada di hutan ini!”
“Apa urusanmu ada kaitannya dengan urusan ka-
mi?!” Joko mengejar.
“Kita lihat saja nanti! Tak ada gunanya sekarang di-
bicarakan kalau urusan itu belum jelas benar!”
“Setan! Kau seolah tahu banyak urusan orang!”
Mendengar ucapan Dayang Sepuh, si orang tua be-
rambut putih jabrik tertawa pendek. “Kau lupa,
Dayang Sepuh! Kalau aku tidak tahu banyak urusan
orang, mana mungkin aku tahu siapa kalian meski ki-
ta belum pernah bertemu sebelumnya!”
“Aku tak percaya sebelum kau bisa katakan apa
urusanku berada di hutan ini!” sahut Dayang Sepuh.
“Kau tengah mencari seorang gadis yang perutnya
besar, bukan?!”
Dayang Sepuh menoleh pada murid Pendeta Sint-
ing. “Kau mengatakan padanya?!”
“Bibi.... Dia sudah tahu sebelum kita bertemu den-
gannya!”
“Hem.... Ini rahasia yang hanya diketahui orang ter-
tentu. Kalau orang lain sampai tahu, pasti ada yang
membocorkan rahasia ini! Mungkin setan Wahing atau
setan buta itu yang memberi tahu!” gumam Dayang
Sepuh. Yang dimaksud setan Wahing dan setan buta
oleh si nenek bukan lain adalah Datuk Wahing dan
Gendeng Panuntun. Karena dua orang itu salah satu
dari beberapa orang yang mengerti rahasia itu.
Si orang tua berambut putih jabrik rupanya dapat
mendengar gumaman Dayang Sepuh. Hingga dia segera buka mulut.
“Dayang Sepuh! Aku tahu.... Datuk Wahing dan
Gendeng Panuntun ada di dalam hutan ini! Namun
aku belum bertemu dengan mereka berdua!”
“Hem.... Kalau begitu mungkin setan-setan lain-
nya!”
Si orang tua berambut putih jabrik gelengkan kepa-
la. “Aku Juga tahu jika Dewa Uuk, Iblis Ompong, dan
Nenek Dewi Ayu Lambada juga berada di hutan ini!
Tapi jangankan mereka memberi tahu, bertemu pun
aku belum pernah!”
Murid Pendeta Sinting dan Dayang Sepuh tampak
terkesiap mendengar ucapan orang. Namun Dayang
Sepuh segera berkata dengan suara agak keras.
“Jadi kau tahu semuanya dari Nyai Tandak Setan
itu! Apa hubunganmu dengan setan perempuan itu?!
Semula aku sudah menduga kalau setan perempuan
itu terlalu buat masalah! Setan betul!”
Pendekar 131 sudah mau buka mulut, namun si
nenek sudah membentak. “Jangan kau berani membe-
la perempuan setan itu meski aku tahu kau tertarik
dengan cucunya!”
Murid Pendeta Sinting akhirnya kancingkan mulut
dan tertawa panjang. Sementara orang tua berambut
putih jabrik segera angkat suara.
“Kau terlalu mudah mengumbar tuduhan, Dayang
Sepuh! Perempuan dari lereng Gunung Semeru dan
cucunya bergelar Putri Kayangan memang tengah
mencari salah seorang cucunya yang raib entah ke
mana! Namun jangankan punya hubungan, mimpi ber-
temu dengan mereka pun aku belum pernah!”
Dayang Sepuh mencibir lalu berujar keras. “Siapa
percaya ocehan mulut setan sepertimu!”
“Itulah sebabnya tadi kukatakan, sekarang belum
waktunya membuka urusan!”
“Lalu kapan urusan akan dibuka, hah?!” tanya sinenek.
“Purnama tidak akan lama lagi, bukan?!” ujar orang
berambut putih jabrik. Dia tidak lagi menunggu orang
angkat bicara. Saat itu juga dia balikkan tubuh lalu
enak saja melangkah tinggalkan murid Pendeta Sinting
dan Dayang Sepuh.
“Rupanya dia tahu banyak urusan yang tengah kita
hadapi, Bibi! Sebaiknya memang kita tunggu sampai
waktunya datang! Namun secara diam-diam kita ikuti
terus ke mana dia pergi! Aku menduga dia tahu di ma-
na Pitaloka berada!” bisik Joko seraya terus memper-
hatikan gerakan langkah-langkah orang tua berambut
putih jabrik.
“Siapa sebenarnya setan jabrik itu?! Dia tahu ba-
nyak urusan orang bahkan mengenali orang yang da-
lam mimpi pun belum sempat muncul!” gumam
Dayang Sepuh.
“Percuma kita urus hal itu, Bibi! Kau dengar uca-
pannya tadi. Kelak kita akan tahu siapa dia sebenar-
nya!” kata Joko lalu mulai melangkah mengikuti jejak
si orang tua berambut putih jabrik.
Dayang Sepuh anggukkan kepala lalu ikut melang-
kah. Baik murid Pendeta Sinting maupun Dayang Se-
puh tidak tahu kini tengah menuju ke mana dan arah
mana yang diambil. Namun begitu Joko melihat sinar
matahari, dia tahu bahwa mereka kini tengah menuju
ke arah barat.
Begitu matahari mulai pancarkan sinar kekuningan
pertanda tak lama lagi akan segera turun di bentangan
kaki langit sebelah barat, orang tua berambut putih
jabrik hentikan langkah. Di belakang sana Pendekar
131 dan Dayang Sepuh ikut pula berhenti. Mereka
mengikuti tidak secara diam-diam atau sembunyi-
sembunyi. Tapi herannya, si orang tua yang diikuti
seolah tidak peduli. Dia terus saja melangkah bahkan
tidak pernah berpaling ke belakang! Padahal Joko ya
kin si orang tua tahu kalau dirinya diikuti orang.
Begitu hentikan langkah, si orang tua berambut pu-
tih jabrik untuk pertama kalinya gerakkan kepala ber-
paling ke belakang pada murid Pendeta Sinting dan
Dayang Sepuh. Namun cuma sekejap dan tanpa buka
mulut. Saat lain dia telah putar kembali kepalanya
menghadap ke depan.
Berjarak lima tombak di seberang depan, terlihat
hamparan lembah agak luas ditumbuhi aneka macam
bunga. Matahari senja membuat lembah makin terlihat
indah.
Untuk beberapa lama si orang tua berambut putih
jabrik arahkan pandang matanya pada hamparan lem-
bah. Namun orang ini tidak menikmati indahnya pe-
mandangan. Karena sepasang matanya hanya tertuju
pada satu tempat.
Mendadak kepala si orang tua berambut putih ja-
brik bergerak mengangguk. Bibirnya sunggingkan se-
nyum. Lalu terdengar gumamannya pelan.
“Gugusan batu itu telah lenyap hancur.... Berarti
buruan telah masuk perangkap! Ternyata waktunya
lebih cepat dari perhitungan! Sayang sekali.... Ter-
paksa aku harus menunggu beberapa saat lagi di sini!
Tapi kedua orang itu tidak boleh tahu ada apa di da-
lam lembah ini! Aku akan memancingnya keluar dari
kawasan lembah!”
Si orang tua berambut putih jabrik sipitkan sepa-
sang matanya. “Berubahnya perhitungan membuat
aku harus merubah rencana pula! Tapi lebih cepat ku-
rasa akan makin baik!”
Setelah bergumam begitu, si orang tua berambut
putih jabrik balikkan tubuh menghadap Pendekar 131
dan Dayang Sepuh yang terus perhatikan orang dari
belakang. Begitu orang yang diawasi putar diri, murid
Pendeta Sinting dan si nenek sama arahkan pandang
mata masing-masing ke orang tua berambut putih jabrik. Namun sebaliknya begitu balikkan tubuh, si ka-
kek berambut putih jabrik bukannya memandang ke
arah Joko dan Dayang Sepuh, melainkan edarkan
pandangannya berkeliling. Lalu bergumam lagi.
“Kuharap anak itu datang tepat pada waktunya!
Bukan karena aku tak mampu menghadapi kedua
orang di depan itu, namun dengan kedatangannya
mungkin semuanya akan berjalan makin cepat! Tapi
seharusnya dia sudah ada di tempat ini! Karena bebe-
rapa saat yang lalu dia telah berada membayangi ke-
dua orang itu! Tapi mengapa dia belum tunjukkan di-
ri?! Aku pun tak menangkap kehadirannya di sekitar
tempat ini! Ke mana dia?!”
Selagi si kakek berambut putih jabrik bergumam
begitu, tiba-tiba Dayang Sepuh yang terlihat tidak sa-
baran segera buka suara.
“Setan berambut jabrik! Kurasa waktunya sudah ti-
ba! Kalaupun belum, aku sudah tak mau menunggu
lagi!”
“Sebenarnya waktu tibanya masih kurang dua belas
hari lagi, Dayang Sepuh! Karena malam purnama ma-
sih kurang dua belas hari! Namun tampaknya keadaan
berubah.... Dan waktu itu kurasa hampir tiba!” ujar
kakek berambut putih masih tanpa memandang pada
Dayang Sepuh atau murid Pendeta Sinting melainkan
terus edarkan pandang matanya berkeliling.
“Bibi.... Matanya memberi tanda kalau dia tengah
mencari seseorang! Setidaknya ada seseorang yang di-
tunggu!”
Mendengar bisikan Joko, tanpa pikir panjang lagi si
nenek segera perdengarkan tawa panjang lalu berucap
keras.
“Setan jabrik! Kau menunggu seseorang?!”
Untuk pertama kalinya si kakek tampak sedikit ter-
kejut. Namun dia segera tersenyum. Tapi sejauh ini dia
masih kancingkan mulut tidak menyahut.
“Hem.... Aku masih belum bisa menebak apa ke-
mauan kakek ini! Mengapa dia menempatkan harinya
dengan bulan purnama, saat mana diduga bayi itu
akan lahir?!” Diam-diam murid Pendeta Sinting mem-
batin. Sementara di sebelahnya, mendapati kakek be-
rambut putih jabrik tidak menyambuti ucapannya,
Dayang Sepuh kembali angkat suara.
“Dengar, Setan Jabrik! Aku sekarang tak peduli kau
bilang saat itu hampir tiba atau sudah tiba karena pe-
rubahan keadaan! Yang jelas kau sudah berani kurang
ajar padaku! Lebih-lebih kau bertindak pengecut
membokongku dari belakang!”
Si kakek berambut putih jabrik belum juga menya-
hut. Namun kali ini matanya menatap tajam pada
Dayang Sepuh. Saat lain mendadak tangan kanannya
bergerak berkelebat.
Wuuttt!
Terdengar satu deruan keras. Saat yang sama satu
gelombang dahsyat melabrak ganas ke arah Dayang
Sepuh.
Dayang Sepuh hentakkan kaki. Sambil membentak
dia berkelebat ke depan menyongsong datangnya pu-
kulan. Berjarak dua tombak lagi sosoknya melabrak
gelombang ganas, si nenek angkat tangan kanan. Lalu
disentakkan.
Wuuutt!
Byuurr!
Gelombang ganas dari tangan kanan kakek beram-
but putih jabrik ambyar berkeping-keping. Di lain pi-
hak sosok Dayang Sepuh terus berkelebat ke depan.
Tahu-tahu sosoknya sudah tegak di tempat mana tadi
si kakek berambut putih berdiri.
Namun Dayang Sepuh segera mendengus. “Setan!
Dia lenyap!”
Dayang Sepuh pentangkan mata. Sosok kakek be-
rambut putih jabrik memang sudah tidak kelihatan la
gi di sekitar tempat tegaknya si nenek. Joko sendiri
tampak celingukan. Dia tadi memang tidak perhatikan
gerakan si kakek. Matanya hanya tertuju pada sosok si
nenek yang menyongsong pukulan orang. Hingga dia
sendiri tak tahu ke mana berkelebatnya si kakek be-
rambut putih jabrik!
Selagi kedua orang ini tengah mencari-cari, tiba-tiba
terdengar suara batuk-batuk tiga kali. Dayang Sepuh
cepat berpaling ke kanan, sementara murid Pendeta
Sinting menoleh ke samping kiri.
Di depan sana, si kakek berambut putih terlihat te-
gak membelakangi dengan kepala tengadah. Kejap lain
terdengar suara tawanya.
Tanpa pikir panjang lagi Dayang Sepuh berkelebat.
Bukan hanya itu saja. Dari jarak empat tombak kedua
tangannya segera dikelebatkan melepas satu pukulan!
Wuutt! Wuutt!
Angin menggidikkan berkiblat. Semak belukar yang
terlewati terlihat bergerak-gerak. Saat lain tanahnya
rengkah. Ranggasan semak muncrat ke udara! Hebat-
nya ranggasan semak belukar langsung melesat pula
mengikuti kiblatan angin ke arah kakek berambut pu-
tih jabrik!
Di depan sana, kakek berambut putih jabrik pu-
tuskan tawanya. Saat bersamaan dia membuat satu
kali gerakan. Sosoknya membal ke udara. Membuat
gerakan jungkir balik satu kali. Begitu sosoknya me-
layang turun dan membalik menghadap Dayang Se-
puh, saat itu juga kedua tangannya bergerak.
Dari kedua tangan si kakek melesat gelombang ka-
but tipis berwarna putih.
Blammm!
Terdengar gelegar keras tatkala angin menggidikkan
dihadang kabut tipis. Saat yang sama, ranggasan se-
mak yang ikut melesat porak-poranda ambyar! Sosok
Dayang Sepuh yang masih berkelebat di atas udara
laksana ditahan kekuatan luar biasa. Hingga kalau sa-
ja si nenek tidak segera melayang turun, niscaya so-
soknya akan terpental dan jatuh dengan punggung di
atas rengkahan semak belukar!
Sementara sosok si kakek berambut putih jabrik
terjajar satu setengah tindak ke sebelah samping. Wa-
lau sosoknya sedikit berguncang, tapi kakek ini sung-
gingkan senyum. Malah saat lain sosoknya sudah me-
lompat ke depan. Tangan kanannya bergerak.
Wuuttt!
Satu lingkaran berwarna coklat tampak berputar-
putar melesat ke arah Dayang Sepuh dengan perden-
garkan desingan tajam.
Dayang Sepuh mendelik perhatikan lingkaran cok-
lat yang ternyata adalah tasbih pendek milik si kakek.
Saat lain si nenek sentakkan kepalanya ke samping.
Betttt!
Kelabangan rambut Dayang Sepuh berkelebat ang-
ker. Pita warna merah di ujung rambutnya terlepas.
Bukannya luruh ke bawah, melainkan mencuat me-
nyongsong putaran tasbih pendek!
Trakkk!
Putaran tasbih pendek terhenti saat disongsong pita
merah. Tasbih pendek dan pita warna merah sama me-
layang deras menghujam tanah. Namun dua jengkal
lagi tasbih pendek menghantam tanah, kakek beram-
but putih jabrik dorong tangan kanannya.
Tasbih pendek warna coklat tertahan dua jengkal di
atas rengkahan tanah semak belukar. Saat lain kem-
bali menderu ke arah Dayang Sepuh!
Mendapati hal demikian, si nenek tidak tinggal di-
am. Kedua tangannya segera diangkat lalu membuat
putaran dua kali di depan dada. Tiba-tiba kedua tan-
gannya disentakkan ke atas.
Wuuttt!
Pita merah yang sudah terhampar di atas rengkahan tanah semak sekonyong-konyong laksana disentak
setan dan membubung kembali ke udara. Hebatnya
saat itu juga ikatan pita merah lepas. Lalu melesat ke
belakang mengejar tasbih pendek.
Dayang Sepuh tertawa. Tangan kirinya segera men-
dorong. Tasbih pendek tertahan di udara. Saat itulah
tiba-tiba pita merah yang melesat laksana ekor ular
membelit tasbih pendek!
Si kakek berambut putih pendek ganti tertawa. Saat
bersamaan kedua tangannya berputar-putar. Tasbih
pendek di depan sana ikut berputar-putar keras seolah
ingin lepaskan diri dari libatan pita merah.
Dayang Sepuh membentak. Sosoknya melesat ke
arah tasbih pendek dengan tangan kiri kanan terang-
kat siap melepas pukulan.
Si kakek terlengak sesaat. Namun segera pula je-
jakkan kaki. Sosoknya ikut pula berkelebat ke depan.
Tangan kiri kanannya diangkat.
Setengah depa lagi mendekati tasbih pendek, tan-
gan kanan Dayang Sepuh berkelebat dari atas meng-
hantam tasbih pendek. Sementara tangan kiri melesat
dari arah bawah hendak menarik pita merahnya yang
masih melibat tasbih pendek coklat.
Si kakek tidak berdiam diri. Dia juga cepat kele-
batkan tangan kanan untuk menghadang pukulan
tangan kanan si nenek. Sementara tangan kiri meng-
hantam ke arah pita merah yang hendak ditarik si ne-
nek.
Prakkk!
Brettt!
Hantaman tangan kanan Dayang Sepuh tepat men-
genai tasbih pendek. Namun bersamaan itu tangan si
kakek tepat menghantam pita merah si nenek. Tasbih
pendek warna coklat milik si kakek berambut putih ja-
brik langsung pecah semburat. Di lain pihak, pita me-
rah milik Dayang Sepuh luruh ke bawah. Sesaat memang tampak utuh, tapi belum sampai pita merah ter-
hampar di atas rengkahan tanah semak, pita merah te-
lah hancur dan semburat terkena bias hantaman tan-
gan kanan Dayang Sepuh dan pukulan tangan kiri ka-
kek berambut putih jabrik!
“Setan! Kau hancurkan pita merahku!” teriak
Dayang Sepuh. Masih berada di atas udara, kaki ka-
nannya membuat gerakan menendang ke arah si ka-
kek yang juga masih di atas udara.
Si kakek berambut jabrik putih tidak mau me-
nunggu. Saat itu juga kaki kanannya bergerak!
Bukkk!
Sosok Dayang Sepuh terputar di atas udara. Namun
si nenek begitu sosoknya menghadap kembali ke de-
pan, kaki kirinya melesat melepas tendangan!
Si kakek yang juga terputar, cepat pula angkat kaki
kirinya. Lalu menghadang tendangan dengan sentak-
kan kaki kiri!
Bukkk!
Untuk kedua kalinya terjadi saling tendang di atas
udara. Sosok Dayang Sepuh kail ini mental lalu jatuh
terduduk di atas rengkahan tanah. Di lain pihak, sosok
si kakek mencelat lalu jatuh dengan kaki tertekuk! Pa-
ras kedua kakek-nenek ini sama berubah pias.
Murid Pendeta Sinting yang sejak tadi hanya diam
melihat, segera melompat hendak mendekat ke arah
Dayang Sepuh. Namun gerakannya tertahan tatkala
mendadak terdengar orang perdengarkan suara laksa-
na bersyair.
***
ENAM
AKU datang bersama angin.
Aku datang dengan naungan matahari dan rembu-
lan.
Aku datang dari lembah kegelapan.
Hamparan bumi akan jadi saksi mati.
Saksi dari tumpahnya darah anak manusia!
Ucapan bersyair belum selesai, satu sosok tubuh te-
lah berkelebat dan di hadapan murid Pendeta Sinting
telah tegak seorang pemuda berparas tampan beram-
but panjang lebat dengan dagu kokoh dan mata tajam.
Pemuda ini mengenakan mantel besar berwarna hitam.
“Anak manusia bergelar Pendekar Pedang Tumpul
131 Joko Sableng!” kata si pemuda yang bukan lain
adalah pemuda yang beberapa waktu lalu sebutkan di-
ri sebagai Malaikat Berkabung. (Kemunculan pertama
kali pemuda ini silakan baca serial Joko Sableng dalam
episode : “Nyai Tandak Kembang”).
“Kepastian yang ditentukan padaku mengharuskan
kita berjumpa lagi! Ini berarti takdir telah sampai!”
Sembari berkata, Malaikat Berkabung bukannya
memandang ke arah murid Pendeta Sinting, melainkan
berpaling pada Dayang Sepuh yang masih terduduk di
atas rengkahan tanah semak belukar. Namun cuma
sekejap. Saat lain si pemuda arahkan pandang mata-
nya pada kakek berambut putih jabrik yang Juga ma-
sih di atas tanah. Untuk beberapa saat si pemuda
memperhatikan. Lalu tersenyum.
“Anak setan ini sudah berada di sini pula!” desis
Dayang Sepuh melihat kehadiran Malaikat Berkabung.
“Dari senyumnya pada setan Jabrik tadi, tampaknya
mereka berdua sudah saling kenal!”
Dayang Sepuh arahkan pandangan pada murid
Pendeta Sinting. “Mengapa Setan geblek satu itu hanya
diam seperti setan tolol?!” Entah karena tak sabaran
melihat murid Pendeta Sinting yang hanya diam den-
gan mulut terkancing, si nenek cepat bangkit lalu
menghardik.
“Setan geblek! Kenapa kau diam saja, hah?!”
Pendekar 131 baru tersenyum. Lalu angkat bicara
tanpa memandang pada Malaikat Berkabung yang kini
telah hadapkan wajah ke arahnya.
“Apa yang harus dikatakan pada setan Malaikat se-
perti dia, Bibi?!”
Rahang Malaikat Berkabung mengembung besar.
“Memang tak ada gunanya kau mengatakan sesuatu!
Tapi bukan berarti kau harus kancingkan mulut tidak
jawab pertanyaanku!”
“Hem.... Jadi kau mau bertanya padaku?! Tentang
apa...?! Takdirmu?!” tanya murid Pendeta Sinting lalu
buka telapak tangan kirinya dan didekatkan pada wa-
jah. Saat lain Pendekar 131 sudah berucap lagi.
“Wah.... Takdirmu jelek, Malaikat! Pertama. Kau
akan menemui kegagalan untuk kedua kalinya dalam
mendapatkan gadis yang kau cari! Kedua....” Murid
Pendeta Sinting gerak-gerakkan tangan kanannya di
atas telapak tangan kiri dengan kening berkerut. Lalu
memandang pada Malaikat Berkabung dan lanjutkan
ucapan. “Kedua. Kelak kau akan beristri seorang ne-
nek-nenek. Ketiga. Ini yang paling tidak enak. Kelak
kau akan mati sengsara karena nenek-nenek istrimu
punya kekasih baru! Dan satu lagi. Kau....”
“Setan! Mengapa kau sebut-sebut diriku dalam ra-
malan setanmu itu!” Dayang Sepuh menukas dengan
bentakan.
“Ah.... Yang kumaksud nenek-nenek bukan kau,
Bibi! Tapi nenek-nenek bangsa setan seperti dia!” ke-
pala murid Pendeta Sinting bergerak ke arah Malaikat
Berkabung.
puh sambil cekikikan. “Kalau buyung kecilnya tak mau
diajak senang-senang berarti buyung kecilnya....”
“Harap tidak teruskan, Bibi! Jika didengar orang,
nenek-nenek pun kelak tidak ada yang akan mau di-
persunting!”
“Benar juga.... Nenek-nenek pun mana ada yang
mau diambil istri kalau buyungnya sekarat?! Hik....
Hik.... Hik...!”
Mendengar ucapan-ucapan murid Pendeta Sinting
dan Dayang Sepuh, sejak tadi pelipis kanan kiri Malai-
kat Berkabung tampak bergerak-gerak. Namun pemu-
da ini masih coba menahan diri untuk tidak buka mu-
lut atau membuat gerakan. Tapi begitu didengarnya
ucapan-ucapan kedua orang itu ngelantur, Malaikat
Berkabung tak dapat lagi menahan ledakan dadanya.
Hingga begitu si nenek selesai berucap, Malaikat Ber-
kabung angkat tangan kanannya dengan telapak di-
kembangkan. Lalu jari tengah kedua tangannya dite-
mukan. Saat lain, seraya perdengarkan bentakan dah-
syat, kedua tangannya didorong ke arah Pendekar 131!
Kabut hitam tipis melesat perdengarkan deruan
angker. Ranggasan semak yang tersapu tampak mem-
bubung ke udara. Hebatnya ranggasan semak itu tiba-
tiba berputar-putar, saat lain melesat mengikuti kabut
tipis dan sudah membentuk bundaran!
“Hem.... Jadi yang membuat ulah di sebelah sana
tadi adalah dia!” gumam Joko melihat bundaran dari
ranggasan semak yang ikut berkelebat mengikuti ka-
but hitam tipis.
“Setan sialan! Jadi kau yang tadi berlaku kurang
ajar membokongku!” Dayang Sepuh sudah berteriak
mendapati apa yang terjadi.
Di seberang depan sana, murid Pendeta Sinting ce-
pat angkat kedua tangannya. Melihat ganasnya puku-
lan orang, Joko tak mau bertindak ayal. Dia cepat ke-
rahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Saat itu
juga mendadak kedua tangannya berubah warna men-
jadi semburat kekuningan. Pertanda jika dia hendak
melepas pukulan ‘Lembur Kuning’.
Wuutt! Wuuuut!
Kedua tangan murid Pendeta Sinting bergerak ke
depan. Satu sinar kuning berkiblat, lalu satu gelom-
bang luar biasa dahsyat menggebrak dibarengi meng-
hamparnya hawa panas menyengat.
Blammm!
Kesunyian hutan disentak dengan gelegar hebat.
Tanah hutan di sekitar bentroknya pukulan bergetar
keras. Udara yang mulai temaram seketika laksana di-
telan malam karena hamburan tanah dan dedaunan.
Disusul terdengarnya derakan dan tumbangnya bebe-
rapa pohon.
Kabut hitam tipis berserakan di udara. Bundaran
ranggasan semak langsung pecah. Sementara gelom-
bang dan sinar kuning ambyar berantakan.
Sosok murid Pendeta Sinting dan Malaikat Berka-
bung sama-sama terpental lima langkah ke belakang.
Paras keduanya sama berubah pucat pasi. Namun be-
lum sampai semburatan tanah luruh sirna, kedua tan-
gan Malaikat Berkabung bergerak sibakkan mantel hi-
tamnya. Saat itu juga sosoknya melesat menerobos lu-
ruhan tanah.
Pendekar 131 tak tinggal diam. Dia segera jejakkan
kedua kakinya. Sosoknya tiba-tiba melayang ke depan
menyongsong sosok Malaikat Berkabung.
Karena suasana masih pekat, tidak terlihat apa
yang terjadi di udara. Hanya saja, begitu sosok murid
Pendeta Sinting melesat menghadang, terdengar ben-
turan keras tiga kali berturut-turut. Kejap kemudian
dari luruhan tanah yang menghambur turun, terlihat
sosok Malaikat Berkabung dan Pendekar 131 mencelat
lalu sama jatuh terduduk!
Murid Pendeta Sinting tampak pejamkan sepasang
matanya dengan mulut megap-megap dan dada berge-
rak keras turun naik. Kedua tangannya bergetar. Wa-
jahnya laksana tidak berdarah. Di seberang depannya,
Malaikat Berkabung kancingkan mulut rapat-rapat
namun kedua tangannya memegangi perutnya dengan
tubuh sedikit ditekuk ke depan. Jelas pemuda ini ber-
tahan agar dia tidak muntah.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Malaikat Berka-
bung perdengarkan dengusan keras. Lalu bergerak
bangkit dengan mata nyalang ke arah murid Pendeta
Sinting yang juga tengah beranjak tegak.
“Setan geblek! Kau tidak apa-apa?!” tanya Dayang
Sepuh merasa khawatir dengan keadaan Pendekar
131.
Joko tersenyum meski dadanya masih terasa nyeri.
Lalu berujar.
“Bibi.... Aku tahu dan merasa jika takdirku bukan
sekarang waktunya! Kalaupun aku terluka parah, ke-
mungkinan hidup masih ada! Namun tidak demikian
halnya dengan sahabat kita satu itu. Aku khawatir
tanpa terluka pun dia tidak punya kemungkinan un-
tuk hidup! Jadi sebenarnya percuma saja dia melaku-
kan ini! Lagi pula sebelumnya tidak ada pangkal seng-
keta!”
“Setan! Kau bilang tidak ada pangkal sengketa?! Dia
telah berlaku kurang ajar membokongku dengan mai-
nan bolanya.. Dia telah membuka pangkal sengketa
denganku!”
Malaikat Berkabung putar diri menghadap Dayang
Sepuh. Matanya berkilat-kilat. Saat lain dia telah
membentak garang.
“Aku menyesal tidak membunuhmu saat itu juga,
Nenek Muka Badak! Namun aku tak mau menyesal
dua kali! Lagi pula kepastianmu sudah tiba!”
Dayang Sepuh tertawa cekikikan panjang. “Aku ta-
hu apa sebabnya kau sejak tadi selalu marah-marah
dan ingin membunuh orang! Kau kecewa dengan
buyung kecilmu bukan? Hik.... Hik.... Hik...! Seharus-
nya kau bersabar, Setan! Itulah kepastian nyata yang
harus kau terima! Dan jangan cemas.... Walau aku ta-
hu buyungmu tidak bisa bersenang-senang, tapi aku
akan merahasiakan ini! Hik.... Hik.... Hik...! Kau juga
tak perlu khawatir. Karena sebenarnya aku tahu ba-
gaimana cara menyembuhkan buyung kecilmu! Kau
mau tanya bagaimana caranya?!”
Malaikat Berkabung tidak menyahut. Sebaliknya
cepat angkat kedua tangannya dengan telapak dikem-
bangkan. Namun sebelum bergerak lebih jauh, orang
tua berambut putih jabrik yang sedari tadi hanya me-
mandang dan mendengarkan, segera angkat suara.
“Dia bagianku! Selesaikan saja anak manusia satu-
nya!”
Dayang Sepuh putar diri setengah lingkaran meng-
hadap kakek berambut putih jabrik. Matanya jelalatan
pandangi orang dari rambut sampai kaki seolah belum
pernah bertemu sebelumnya.
“Kau sejak semula juga menginginkan nyawa orang.
Jangan-jangan buyung kecilmu juga sudah sekarat!
Atau barangkali kau sejak lahir tak punya buyung ke-
cil untuk mainan hingga kau hendak membuat mainan
nyawa orang, he?!”
“Bukan begitu, Bibi!” sahut murid Pendeta Sinting
seraya pandangi tangan kirinya. “Menurut yang terli-
hat di sini, sebenarnya dia punya buyung kecil, namun
terlalu kecil sekali bahkan hampir tidak kelihatan....”
Murid Pendeta Sinting tertawa sebentar sebelum ak-
hirnya melanjutkan ucapan. “Sementara telurnya
sungguh amat besar! Hingga bentuknya lucu! Heran-
nya dia tidak mensyukuri kelucuan langka itu.... Hing-
ga dia tidak mengambil istri. Padahal kalau dia mau
beristri, istrinya pasti akan gemas dan tiap hari akan
selalu tertawa menangis!”
Tampang si kakek berambut putih jabrik langsung
berubah garang. Tanpa berkata apa-apa lagi dia me-
lompat ke arah Dayang Sepuh. Bersamaan itu, Malai-
kat Berkabung juga membuat gerakan dan tahu-tahu
telah tegak hanya sejarak empat langkah di hadapan
murid Pendeta Sinting.
“Sebenarnya apa maumu, Malaikat?!” Murid Pende-
ta Sinting berucap seraya diam-diam kerahkan tenaga
dalam pada kedua tangannya.
“Kau terlambat untuk bertanya! Jadi jawabannya
akan kau dapatkan begitu nyawamu putus!”
“Kau percaya nyawaku akan putus hari Ini?!”
Malaikat Berkabung tidak menjawab. Dia terse-
nyum dingin. Lalu mendadak dia tekuk sedikit kedua
lututnya. Saat lain sosoknya menyergap ke arah Joko
dengan kedua tangan menghantam. Tangan kanan
berkelebat ke arah lambung, tangan kiri melesat ganas
ke arah pelipis. Bukan sampai di situ, bersamaan den-
gan bergeraknya kedua tangan, kaki kiri kanannya
membuat gerakan menendang!
Mendapat serangan empat pukulan sekaligus, mu-
rid Pendeta Sinting cepat sentakkan tubuhnya ke bela-
kang hingga punggungnya sama rata dengan tanah.
Dalam posisi telentang begitu rupa, kedua kaki Joko
cepat bergerak ke atas. Sementara kedua tangannya
yang bebas segera lepaskan pukulan tangan kosong ja-
rak jauh!
Malaikat Berkabung sempat terkesiap. Dia mungkin
masih bisa menghadapi gerakan kedua kaki Joko. Na-
mun mungkin dia akan kesulitan untuk menghadang
pukulan jarak jauh. Maka dengan cepat dia tarik pu-
lang kedua tangannya. Kejap lain dia sentakkan lagi
menghadang pukulan tangan kosong jarak jauh Joko.
Bukkk! Bukkk!
Tendangan kedua kaki Malaikat Berkabung meng-
hantam kedua kaki Joko. Saat bersamaan terdengar
derakan keras ketika pukulan jarak jauh murid Pende-
ta Sinting bentrok dengan pukulan jarak jauh Malaikat
Berkabung.
Karena bentroknya pukulan terlalu dekat, sosok
Malaikat Berkabung yang berada di atas udara lang-
sung terbang setinggi lima tombak. Di lain pihak, so-
sok Joko mental bergulingan sampai dua tombak. Da-
rah segar tampak mengucur dari mulut Pendekar 131.
Di atas udara, sosok Malaikat Berkabung melayang
berputar ke bawah. Sebelum tubuhnya jatuh ke atas
tanah, mulutnya mengembung lalu muncratkan darah!
Namun begitu sosoknya terjerembab, laksana tidak
mengalami luka dalam, sembari usap lelehan darah di
mulutnya, Malaikat Berkabung bergerak bangkit. Seje-
nak memang terhuyung-huyung. Tapi begitu kedua
tangannya sibakkan mantel hitamnya, sosoknya telah
tegak laksana dipacak! Matanya makin garang berkilat.
Kedua tangannya yang bergetar mengepal.
Murid Pendeta Sinting sesaat terkesiap melihat-
Malaikat Berkabung sudah bangkit. Padahal dia masih
merasakan dadanya sesak dan aliran darahnya laksa-
na tersumbat. Namun mendapati orang sudah bangkit
bahkan sudah siap lepaskan pukulan, murid Pendeta
Sinting tidak pedulikan lagi luka dalamnya. Dia cepat
pula berdiri.
Baru saja Joko bangkit berdiri, di seberang samping
terdengar benturan keras. Malaikat Berkabung yang
sudah hendak lepaskan pukulan urungkan niat dan
berpaling. Pendekar 131 ikut-ikutan menoleh.
Bukkk! Bukkk!
Bukkk! Bukkk!
Terdengar kembali benturan keras bertubi-tubi.
Ternyata Dayang Sepuh dan kakek berambut putih ja-
brik tengah saling tendang dan adu tangan di atas
udara. Hebatnya, begitu sosok masing-masing orang
mental ke belakang, keduanya segera sentakkan bahu
masing-masing. Hingga saat itu juga sosok keduanya
kembali melesat ke depan. Lalu kembali saling ten-
dang. Begitu seterusnya hingga untuk beberapa saat
tempat itu dibuncah dengan suara benturan berkali-
kali. Suara benturan baru lenyap ketika sosok kedua-
nya mencelat jauh. Lalu sama melayang limbung dari
jatuh di atas ranggasan semak.
Dayang Sepuh coba bergerak-gerak bangkit dengan
berusaha katupkan mulut agar erangannya tidak ter-
dengar. Namun tak urung, karena sakitnya bukan
alang kepalang, si nenek akhirnya tak kuasa katupkan
mulut. Tapi karena tak mau terdengar mengerang,
meski terasa sakit luar biasa pada sekujur tubuh apa-
lagi kedua kaki dan tangannya, si nenek menyumpah-
nyumpah. “Setan! Setan! Setan!”
Di seberang lain, kakek berambut putih jabrik mu-
lai tegak terbungkuk-bungkuk dengan kedua tangan
menakup mulutnya. Dari sela jarinya terlihat rembe-
san darah!
Tanpa disadari oleh murid Pendeta Sinting, ekor
mata Malaikat Berkabung melirik ke arahnya. Saat
bersamaan tiba-tiba kedua tangan Malaikat Berkabung
telah menyentak ke depan. Hingga saat itu juga kabut
hitam tipis kembali menyeruak dan melesat menggi-
dikkan ke arah Pendekar 131!
Murid Pendeta Sinting sesaat terlengak kaget. Ter-
lambat baginya untuk menghadang pukulan orang.
Kalaupun dia masih sempat bergerak dan mengha-
dang, maka dia tak akan dapat menghindar dari bias
bentroknya pukulan yang lebih dekat ke arahnya.
Murid Pendeta Sinting tak mau ambil risiko lebih
besar dengan tanpa membuat hadangan, meski dia sa-
dar tak mungkin lagi dapat menghindar dari bias ben-
troknya pukulan. Maka dengan cepat dia sentakkan
kedua tangannya melepas kembali pukulan ‘Lembur
Kuning’.
Namun belum sampai sinar kuning dan gelombang
dahsyat yang disertai hawa panas melesat keluar dari
kedua tangan Joko, mendadak terdengar orang bersin
tiga kali berturut-turut. Lalu tiga gelombang angin de-
ras mencuat dari semak belukar.
Bummm! Bummm! Bummm!
Kabut hitam tipis dari Malaikat Berkabung porak-
poranda. Sosok Malaikat Berkabung terjajar enam
langkah dan terhuyung hampir roboh.
“Bruss! Brusss! Heran.... Heran.... Ada apa ini?!
Semua mulut sama belepotan darah! Sementara yang
di sana sama main petak umpet di semak-semak!” Ter-
dengar orang bersin lalu disusul dengan terdengarnya
ucapan.
Ucapan orang belum selesai, dua sosok tubuh tam-
pak melangkah terbungkuk-bungkuk dari balik semak.
Tangan kiri masing-masing orang ini memegang bum-
bung bambu. Sedangkan tangan kanan memegang ila-
lang!
***
TUJUH
Kita kembali sejenak pada lembah sebelum keda-
tangan orang tua berambut putih jabrik, serta Dayang
Sepuh, dan Pendekar 131 yang mengikuti si kakek.
Seperti diketahui, begitu menemukan lobang di bawah
gugusan batu di tengah lembah, Kigali meminta Pita-
loka untuk menunggu di sekitar lobang sementara di-
rinya masuk ke dalam lobang.
Begitu jejakkan kaki di bawah lobang, Kigali cepat
pentangkan mata lalu melirik dengan kepala diputar
perlahan-lahan. Dia memang sudah tidak mendengar
suara makian atau jeritan menyayat. Namun dia masih
bisa menangkap desahan napas berat.
Tempat di mana sekarang Kigali berada adalah se-
buah ruangan agak luas yang di sana-sini terlihat ba-
nyak tonjolan batu. Di sebelah pojok kanan terlihat
pancuran air kecil. Di sekitarnya tampak dua batang
pohon tidak begitu tinggi berdaun agak lebat. Di ba-
gian kiri air pancuran, terdapat tempat agak terbuka
yang ditumpuki jerami kering.
Untuk beberapa saat Kigali perhatikan tumpukan
jerami. “Bagian tengah jerami itu tampak melesak ke
bawah. Pertanda jerami itu ditempati orang! Hem....
Beberapa puluh tahun silam berkeliaran di sekitar
tempat ini, tidak kuduga kalau d! tempat ini ada peng-
huninya! Siapa dia...?!”
Kigali terus perhatikan tempat di sekitar pancuran
air. Dan diam-diam sepasang mata besar tampak men-
delik dari balik lebatnya dedaunan di sekitar pancuran
air mengawasi gerak-gerik Kigali. Pemilik mata ini me-
nahan diri untuk tidak perdengarkan suara atau
membuat gerakan. Bahkan dia sengaja menahan na-
pas.
“Kek.... Bagaimana?! Aku bisa turun?!” Tiba-tiba Pi-
taloka berteriak dari atas. Kigali melangkah agar bisa
melihat Pitaloka. Lalu tengadah. Dia sebenarnya sedi-
kit bimbang. Karena dia belum tahu siapa penghuni
tempat di bawah lobang. Namun karena khawatir ada
orang lain di lembah, akhirnya Kigali memutuskan un-
tuk menyuruh Pitaloka turun ke bawah. Tapi baru saja
Kigali hendak buka mulut, satu suara terdengar.
“Siapa kau, Orang Asing?!”
Kigali cepat berpaling. Walau dia tadi sudah men-
duga adanya orang di tempat itu, namun tak urung Ki-
gali merasa terkejut. Matanya segera perhatikan ke
arah lebatnya dedaunan di sekitar pancuran air dari
mana suara tadi terdengar. Meski Kigali belum bisa jelas melihat sosok orang yang perdengarkan suara, dia
segera berucap dengan nada rendah.
“Maafkan jika kedatangan kami mengganggumu!
Aku adalah Kigali....”
“Kau manusia suruhan bangsat keparat itu bukan?!
Jangan pikir aku menyerah begitu saja! Kalaupun aku
harus tewas, namun aku tak mau mampus sendiri!
Kau akan kubawa serta!” Suara itu terdengar bergetar
dan makin keras.
Kigali berpikir sesaat. Dari ucapan orang dia sedikit
banyak telah tahu apa yang dialami orang. Seraya te-
rus arahkan pada lebatnya dedaunan, dia angkat sua-
ra.
“Maaf. Aku bukan suruhan siapa-siapa. Kalaupun
aku sampai datang ke tempat ini, itu adalah satu kebe-
tulan belaka! Karena begitu aku memasuki....”
Belum selesai Kigali teruskan ucapan, terdengar
suara memotong. “Kau jangan berkata dusta! Mengapa
bangsat keparat itu tidak datang sendiri mengantar
nyawanya?! Dia takut?!” Lalu terdengar suara tawa
panjang.
Pitaloka yang masih berada di sekitar lobang atas
tampak tajamkan telinga untuk simak percakapan
orang. Dia sesekali rundukkan tubuh untuk melihat
siapa orang yang bicara dengan Kigali. Namun tidak
melihat sosok lain di bawah walau dia sudah beberapa
kali melangkah mengitari lobang dengan kepala me-
runduk. Hingga akhirnya gadis saudara kembar Putri
Kayangan ini duduk di bibir lobang sambil mendengar-
kan.
“Dengarlah, Sahabat!” kata Kigali. “Aku tidak tahu
menahu urusanmu. Sekali lagi kami datang hanya ka-
rena kebetulan. Dan kalau kau keberatan atas keda-
tanganku, aku akan tinggalkan tempat ini!”
Sesaat tak ada sahutan suara. Kigali tengadahkan
kepala ke arah lobang. Lalu diluruskan lagi ke arah lebatnya dedaunan di sekitar pancuran air. Saat lain dia
berkata lagi.
“Aku datang bersama anak perempuanku.... Sebe-
narnya kami tengah mencari tempat untuk berlindung.
Sebelum ini kami bertempat di hutan sebelah timur
lembah ini.”
“Katakan siapa kau sebenarnya?!” Terdengar lagi
suara dari lebatnya dedaunan.
“Aku hanyalah orang tua biasa.... Terlalu tolol jika
orang seusiaku masih harus menjadi suruhan orang
apalagi dalam urusan yang berkaitan dengan nyawa
manusia. Dan kalaupun aku menjadi suruhan orang,
tak mungkin hal itu akan kulakukan!”
“Lalu mengapa kau cari tempat untuk berlindung?!
Sebagai orang biasa tak mungkin kau punya urusan
dengan orang hingga sampai mencari tempat berlin-
dung! Lalu caramu menghancurkan batu penutup di
atas sana membuatku belum percaya dengan keteran-
ganmu!”
“Setiap manusia tak bisa lepas dari urusan. Baik itu
orang biasa atau orang yang berkecimpung dalam rim-
ba persilatan. Bahkan tak jarang orang harus terlibat
urusan padahal orang itu tidak membuat urusan! Ten-
tang bagaimana caraku menghancurkan batu di atas
sana, aku hanya melakukan apa yang seharusnya ku-
lakukan!”
“Apa sebenarnya urusanmu?!”
Kigali terdiam beberapa lama. Kembali dia tengadah
seolah minta persetujuan dari Pitaloka. Rupanya Pita-
loka yang bisa melihat gerak-gerik Kigali dan menden-
garkan pembicaraan dapat menangkap maksud orang.
Hingga dia segera berkata.
“Kek! Katakan saja apa urusan kita!”
Kigali menghela napas sebelum akhirnya berkata.
“Anak perempuanku itu sekarang tengah mengan-
dung.... Dia perlu istirahat. Sementara akhir-akhir ini
di dalam hutan sana, yang biasanya tidak pernah di-
rambah orang entah apa sebabnya tiba-tiba banyak
orang bermunculan. Karena kami tak mau terlibat
urusan, apalagi kulihat orang yang muncul adalah dari
kalangan orang persilatan, terpaksa kami harus men-
cari tempat baru yang lebih tenang, sekaligus agar ti-
dak ikut terlibat urusan orang! Karena biasanya, ke-
munculan beberapa orang rimba persilatan pasti
membawa urusan!”
“Rupanya saatnya telah tiba!” Tiba-tiba terdengar
gumaman pelan dari lebatnya dedaunan membuat Ki-
gali merasa heran namun juga terkejut. Dia belum bisa
menjabarkan apa maksud ucapan orang. Hingga dia
segera berucap.
“Apa maksud ucapanmu?”
Tidak terdengar sahutan, sebaliknya lebatnya de-
daunan bergerak-gerak. Saat lain muncullah satu so-
sok tubuh.
Kigali perhatikan dengan seksama. Sosok yang
muncul dari balik lebatnya dedaunan adalah seorang
perempuan berusia lanjut. Rambutnya putih panjang
dan awut-awutan. Sepasang matanya besar dan tam-
pak berwarna agak merah. Dia mengenakan jubah
yang sudah sangat kumal. Parasnya cekung dan putih
pucat laksana mayat. Kuku jari kedua tangan dan ka-
kinya panjang dan hitam-hitam.
Kigali memperhatikan dengan mata membeliak tak
berkesip. Dadanya berdebar keras. Bukan karena tam-
pang dan sosok si perempuan yang pancarkan keang-
keran, namun pada gerak-gerik orang.
Begitu muncul dari lebatnya dedaunan, si nenek
bukannya tegak berdiri dan melangkah, namun dia
muncul dengan menyeret tubuhnya dengan pantat di-
jadikan sebagai tumpuan. Nenek ini baru hentikan se-
ret tubuhnya di dekat pancuran air karena tempat itu
menurun dan ditonjoli batu-batu tak beraturan.
Si nenek memandang pada Kigali dengan seksama.
Lalu menoleh pada jerami di seberang. Untuk menca-
pai jerami, si nenek harus melompat berjarak tiga
tombak karena dipisahkan oleh pancuran air.
Entah karena mengerti apa arti pandangan orang,
Kigali hendak melangkah mendekat bermaksud meno-
long si nenek untuk sampai pada tempat yang ditum-
puki jerami kering. Namun belum sampai Kigali te-
ruskan tindakan, si nenek sudah perdengarkan suara.
“Jangan bergerak dari tempatmu! Suruh saja anak
perempuanmu turun!”
Bersamaan dengan itu si perempuan berjubah
kumal gerakkan bahunya ke bawah. Tiba-tiba sosok-
nya melesat dan saat lain telah duduk di atas tumpu-
kan jerami Kering.
Kigali menatap sejenak. “Bukan orang sembaran-
gan...,” katanya dalam hati lalu tengadah. Baru saja
kepala Kigali mendongak, Pitaloka yang dapat men-
dengar suara orang segera melompat turun dengan ke-
dua tangan menakup menahan perutnya yang telah
membesar.
Kigali terkesiap kaget. Dia buru-buru melompat un-
tuk menahan layangan tubuh Pitaloka. Dan menyergap
seraya bergumam.
“Seharusnya kau berhati-hati, Anakku!”
Pitaloka hanya tersenyum lalu anggukkan kepala.
Saat lain gadis cucu Nyai Tandak Kembang yang juga
saudara kembar Putri Kayangan ini arahkan pandang
matanya ke depan. Dia sempat terkesiap dan hendak
surutkan langkah melihat keangkeran wajah orang
yang duduk di atas jerami kering.
Sementara si nenek langsung sengatkan sepasang
matanya pada perut Pitaloka. Baru kemudian mem-
perhatikan paras wajah si gadis. Dia perdengarkan
gumaman tak jelas. Lalu perdengarkan tanya.
“Sudah berapa bulan kandunganmu, Anak Gadis?!”
Mungkin masih terkesima melihat paras orang, Pita-
loka tidak segera menjawab pertanyaan orang. Kigali
putar tubuh lalu buka mulut.
“Sebenarnya masih dua bulan kurang.... Namun
aku sendiri tak tahu mengapa sudah begitu besar....”
“Aku tahu...,” ujar si nenek pelan dengan manggut-
manggut. “Mendekatlah kalian kemari! Ada yang harus
kita bicarakan!”
Pitaloka dan Kigali saling pandang. Namun begitu
Kigali anggukkan kepala dan mulai melangkah mende-
kati si nenek, Pitaloka ikut melangkah di belakang Ki-
gali dengan dada dipenuhi pertanyaan tak terjawab.
“Untung kalian datang ke tempat yang benar....”
Berkata si nenek sambil terus memandang ke arah Pi-
taloka. Pitaloka makin tak enak dipandangi begitu ru-
pa, namun dia teruskan juga melangkah.
“Kau duduklah di atas batu itu,” kata si nenek pada
Kigali. “Dan kau duduklah di atas jerami!” sambung si
nenek dengan arahkan pandang matanya kembali pa-
da Pitaloka.
Tanpa berkata menyahut, Kigali turuti permintaan
orang. Dia mengambil tempat di atas batu di sebelah
tumpukan jerami. Sementara Pitaloka sempat hentikan
langkah dan memandang silih berganti pada Kigali dan
nenek di atas jerami.
“Tak usah curiga.... Tampangku memang sudah ha-
rus begini meski aku juga sebenarnya tak mengingin-
kan! Keadaanlah yang membuat semuanya beru-
bah....” Berkata si nenek dengan suara bergetar. Ada
nada kecewa di dalam suaranya, membuat Pitaloka tak
ragu lagi untuk teruskan langkah lalu perlahan-lahan
duduk di atas Jerami tidak jauh dari si nenek.
“Boleh aku tahu siapa kau sebenarnya?!” tanya Ki-
gali membuka pembicaraan.
“Nanti akan kujelaskan semuanya! Sekarang harap
kau Jawab pertanyaanku tanpa sembunyikan sesuatu!” kata si nenek dengan suara pelan. Nadanya sangat
beda dengan ketika menegur Kigali untuk pertama ka-
linya saat Kigali turun melalui lobang. “Kurasa kita
bernasib sama walau urusannya berbeda....”
Si nenek sesaat hentikan ucapan sebelum akhirnya
berkata lagi. “Betul dia adalah anakmu?” tanya si ne-
nek sambil berpaling pada Kigali.
“Hem.... Rasanya tidak ada gunanya menutup-
nutupi urusan ini! Siapa pun dia adanya yang pasti dia
orang yang tengah menghadapi nasib kurang baik! Tak
mungkin dalam keadaan begitu orang akan mencela-
kakan orang lain....”
Berpikir begitu, akhirnya Kigali buka mulut menja-
wab. “Dia sebenarnya bukan anakku.... Kira-kira dua
purnama yang lalu aku bertemu dengannya di hutan
sebelah timur lembah ini.”
“Apakah dia sudah bersuami?!”
Paras wajah Pitaloka tampak berubah merah pa-
dam. Sementara Kigali sedikit merasa kaget mendengar
pertanyaan orang. Dia terdiam untuk beberapa lama.
Dia melirik pada Pitaloka. Namun yang dilirik tengah
perhatikan kuku-kuku panjang dan hitam kedua tan-
gan dan kaki si nenek. Pitaloka sebenarnya tidak be-
nar-benar memperhatikan kuku-kuku itu, namun coba
mengalihkan wajahnya dari pandangan orang untuk
sembunyikan perasaan.
Tiadanya sahutan membuat si nenek maklum. Lalu
berkata. “Maaf. Bukannya aku mau menyinggung. Tapi
aku perlu kejelasan. Jika tidak, kau nanti juga tidak
akan mendapatkan keterangan berarti!”
“Dia memang belum punya suami!” Akhirnya Kigali
menjawab.
Si nenek alihkan pandangan matanya pada Pita-
loka. “Siapa namamu, Nak?”
Perlahan-lahan Pitaloka angkat kepalanya. Agak
lama dia baru menjawab. “Pitaloka....”
“Kau punya saudara kembar?!”
Baik Kigali maupun Pitaloka tersentak kaget. Pita-
loka anggukkan kepala. Untuk pertama kalinya bibir si
nenek tampak tersenyum. Lalu berujar pelan namun
membuat Kigali dan Pitaloka makin heran.
“Aku dapat menduga apa yang telah terjadi.... Na-
mun masih ada yang harus kuketahui sebelum aku
memberi keterangan pada kalian tentang diriku!” Si
nenek arahkan pandangan pada Kigali. “Kau mengata-
kan telah beberapa orang kalangan rimba persilatan
yang tiba-tiba muncul di hutan sebelah timur. Kau
sempat bertatap muka dengan mereka?!”
Dada Kigali berdebar. Diam-diam dia membatin.
“Bagaimana harus kujawab? Pitaloka akan mengetahui
kebohonganku jika sampai si nenek ini bertanya siapa
saja orang yang sempat kutemui...!”
Seperti diketahui, selama ini Kigali memang berdus-
ta pada Pitaloka tentang siapa saja yang sempat di-
jumpainya. Dia hanya sempat mengatakan bertemu
dengan Datuk Wahing. Dan menyembunyikan perte-
muannya dengan Nyai Tandak Kembang, Gendeng Pa-
nuntun, Dayang Sepuh, dan juga tidak mengatakan
pernah melihat seorang gadis berbaju merah dengan
seorang pemuda yang bukan lain adalah Putri Kayan-
gan dan Pendekar 131 Joko Sableng walau Kigali sen-
diri tak sempat bertatap muka dengan keduanya.
Setelah dipikir agak lama, akhirnya Kigali berkas
juga. “Aku memang bertemu dengan beberapa orang
dari kalangan rimba persilatan. Namun rasanya aku
tidak mengenali siapa mereka! Mungkin hanya seorang
yang kukenali. Itu saja Pitaloka yang memberi keteran-
gan siapa dia adanya!”
“Tapi kau sempat melihat mereka bukan?!”
Dada Kigali makin berdebar. Dia khawatir kalau si
nenek minta penjelasan ciri-ciri orang yang dijumpai-
nya. Namun setelah memutuskan akan menyimpan
orang yang ada hubungannya dengan Pitaloka, Kigali
angkat bicara.
“Aku memang sempat melihat mereka....” Mata Ki-
gali melirik pada Pitaloka dengan dada makin tak
enak. Dia menunggu ucapan si nenek dengan gelisah.
“Apa di antara mereka kau melihat seorang laki-
laki berusia lanjut mengenakan pakaian selempang
putih dengan dada kanan terbuka?! Orang ini mema-
kai kalung panjang dari butiran kayu warna coklat.
Tangan kanannya memegang tasbih pendek juga ber-
warna coklat. Rambutnya putih pendek dan tegak-
tegak! Biasanya dia bersama seorang pemuda berman-
tel hitam!”
Mendengar pertanyaan si nenek, Kigali menarik na-
pas lega. Lalu dengan cepat dia menjawab. “Aku tidak
bertemu dengan orang yang kau sebut!”
Si nenek anggukkan kepala namun raut mukanya
berubah. Matanya sedikit mendelik. Kigali dapat me-
nangkap bayangan kemarahan di wajah orang. Hingga
buru-buru ia berujar. “Aku mengatakan apa adanya!
Aku memang tak pernah bertemu dengan orang yang
ciri-cirinya kau katakan tadi!”
“Aku percaya.... Tapi bangsat keparat itu pasti akan
datang!”
“Siapa mereka...?! Mengapa kau bisa memastikan
mereka pasti datang?! Apa ini ada kaitannya dengan
kedatanganku di sini?!” tanya Kigali. Kembali dadanya
dibuncah dengan perasaan tidak enak. Apalagi tatkala
teringat ucapan si nenek jika mereka beruntung da-
tang ke tempat yang benar dan waktunya sudah tiba.
“Kedatangan mereka tentu ada kaitannya dengan
kedatangan kalian! Bahkan mereka sudah lama me-
nunggu kedatangan kalian!”
Kigali dan Pitaloka kembali dibuat terkesiap kaget.
“Apa maksud mereka menunggu kami?!” Kali ini yang
angkat pertanyaan adalah Pitaloka. “Sepertinya kami
berdua tidak pernah punya urusan dengan mereka! Di
luar hutan pun aku tidak pernah bertemu dengan
orang yang kau ceritakan!”
“Kalian memang tidak pernah punya urusan. Aku
pun merasa yakin kalian belum pernah bertemu den-
gan mereka. Tapi mereka telah tahu siapa kalian dan
tahu ke mana kalian akan datangi. Lebih dari itu me-
reka mengerti apa yang harus dilakukan dengan bayi
dalam kandunganmu!”
Kali ini Pitaloka tak bisa lagi menahan perasaan.
“Katakan siapa mereka! Dan apa yang akan dilakukan
dengan kandunganku ini?!”
“Mereka berdua adalah bangsat keparat yang mem-
buat diriku jadi begini! Merekalah manusia-manusia
yang membuat derita panjang hidupku! Lihat diriku....
Kedua tangan dan kakiku hilang kekuatannya! Otakku
hampir mereka buat gila! Tapi semua ini juga karena
kebodohanku.... Aku menjunjung perasaan cinta di
atas segalanya! Aku berpikir, untuk cinta segalanya
harus dikorbankan!” Si nenek tiba-tiba sesenggukan.
Kigali menghela napas lalu alihkan perhatiannya ke ju-
rusan lain. Pitaloka tak berani buka mulut.
“Nek...,” kata Kigali setelah agak lama berlalu dan
dilihatnya si nenek sudah dapat kuasai diri. “Apa hu-
bungannya peristiwa yang menimpamu dengan keda-
tangan kami? Sekaligus dengan bayi dalam kandungan
Pitaloka?!”
“Ceritanya panjang.... Aku akan menerangkan ba-
gian yang penting saja pada kalian...,” ujar si nenek
dengan mata dibeliakkan nyalang ke arah dinding batu
di depan sana. Namun sebenarnya pandangannya te-
rus menembus dinding batu dan bahkan memandang
jauh tanpa batas pandang!
***
DELAPAN
AKU adalah seorang anak yatim piatu. Karena tidak
ada yang merawat, aku hidup terlunta-lunta. Namun
pantang bagiku yang saat masih berusia sembilan ta-
hun untuk meminta belas kasihan orang. Aku bekerja
apa saja untuk bisa makan. Malah tak jarang aku per-
gi ke hutan untuk mencari makanan. Beberapa orang
sempat memperingatkan agar aku tidak memasuki hu-
tan. Karena selain angker dan banyak binatang buas,
hutan itu jarang sekali bahkan tidak pernah dirambah
orang. Namun aku tidak peduli dengan peringatan
orang. Karena mereka hanya memperingatkan tanpa
memikirkan apa yang menjadi bebanku! Lebih lagi ka-
rena selama ini aku tidak pernah mengalami hal-hal
yang dibicarakan orang di dalam hutan. Hingga bukan
saja aku menjadi takut, sebaliknya makin betah di da-
lam hutan, karena makanan tinggal mencari tanpa ha-
rus meminta.
Pada suatu hari, aku bertemu dengan seorang pe-
rempuan berusia enam puluh tahunan. Pada mulanya
memang ada rasa takut dalam hatiku, apalagi berada
di hutan sepi. Namun setelah berbicara, ternyata ne-
nek itu orangnya baik. Lalu kami saling tukar cerita.
Pada akhirnya si nenek mengajakku ikut bersamanya.
Namun aku menolak. Aku tak mau menjadi beban
orang lain, apalagi kulihat si nenek juga mencari hidup
di hutan. Pada awalnya si nenek mau menerima kebe-
ratan ku. Sejak Itulah aku dan si nenek sering berte-
mu di dalam hutan dan mencari makanan bersama-
sama. Aku sempat dibuat kagum. Karena nenek itu be-
rilmu sangat tinggi. Hingga dengan mudah dia bisa
mendapatkan makanan. Tidak seperti aku yang harus
memanjat dan tidak jarang jatuh terpeleset dari atas
pohon. Rupanya si nenek sengaja memperlihatkan il-
munya padaku agar aku tertarik dan ikut dengannya.
Hal ini kuketahui begitu kami berbincang-bincang. Dia
menerangkan padaku bagaimana enaknya memiliki il-
mu silat. Namun sejauh ini aku belum tertarik. Hingga
pada satu waktu, aku dihadang kawanan binatang
buas. Tak mungkin bagiku untuk lolos menyelamatkan
diri. Ketika nyawaku berada di ujung tanduk, muncul-
lah si nenek menyelamatkan jiwaku!
Peristiwa itu membuatku luluh, hingga pada akhir-
nya aku mau diajak si nenek. Ternyata dia tinggal di
lembah sebelah barat hutan. Lembah itu sangat indah
dengan ditumbuhi bermacam-macam aneka bunga.
Pada akhirnya selain diambil sebagai anak, aku juga
diangkat sebagai murid. Sejak itu pula aku hidup da-
lam bimbingan si nenek.
Aku pernah bertanya pada nenek yang juga adalah
guruku tentang apa sebabnya dia hidup menyendiri di
lembah sunyi berdekatan hutan yang selain sepi juga
jarang dirambah manusia. Ternyata dia dahulu adalah
seorang pendekar muda. Saat berkelana mencari pen-
galaman, dia-bertemu dengan seorang pemuda. Mere-
ka berdua saling menyayangi dan akhirnya memu-
tuskan hidup di lembah dengan tujuan agar tidak ter-
libat urusan rimba persilatan yang dapat memisahkan
mereka. Pada satu hari, tiba-tiba muncul rombongan
orang yang ternyata punya maksud meneruskan uru-
san dengan kekasih Guru. Sebagai pemuda yang juga
orang persilatan, tampaknya dia pernah punya masa-
lah. Namun kekasih Guru sebenarnya sudah melupa-
kan semua masalah dan tak ingin lagi terlibat. Namun
rombongan yang datang tak ambil peduli. Untuk mem-
pertahankan diri, akhirnya terjadilah perkelahian. Ru-
panya saat itu adalah hari naas. Kekasih Guru akhir-
nya harus tewas. Namun rombongan yang datang juga
tidak bersisa.
Sejak itulah Guru hidup menyendiri. Pengalaman
yang terjadi membuatnya makin enggan untuk meli-
batkan diri dalam kancah rimba persilatan. Lebih-lebih
dia tak mau meninggalkan kekasihnya, meski sang ke-
kasih telah tiada. Dia begitu tulus menyayangi keka-
sihnya dan bersumpah tak akan meninggalkan lembah
di mana kekasihnya dikubur. Karena lembah itulah
yang memutuskan kasih sayangnya, akhirnya Guru
menamakan lembah itu Lembah Patah Hati.
Tanpa terasa aku sudah menginjak dewasa. Saat itu
kira-kira aku seusia Pitaloka. Guru sudah menurun-
kan semua ilmunya padaku. Dalam waktu senggang
Guru selalu menceritakan kekasihnya, seolah sang ke-
kasih masih hidup. Dan kadang-kadang Guru menyin-
dirku tentang kekasih. Aku memang tak jarang diberi
kesempatan untuk keluar dari lembah. Meski Guru te-
lah mengalami peristiwa kurang baik, namun dia tak
mau mencegah dan membunuh masa dewasaku. Dia
mengerti, aku kelak harus punya seorang pendamping.
Malah Guru menyarankan agar aku segera memiliki
kekasih. Dengan begitu kehidupan di lembah tidak
akan sepi lagi, malah dia sudah sering sebut-sebut in-
gin punya seorang cucu.
Sebenarnya aku masih takut berdekatan dengan
pemuda walau ketika aku keluar dari lembah banyak
pemuda yang coba mendekatiku. Namun cinta me-
mang tidak bisa diduga kapan datangnya. Dan cinta
Itu akhirnya singgah juga di hatiku saat aku bertemu
dengan seorang pemuda gagah dan tampan. Dari si-
kapnya aku merasa yakin pemuda itu orang baik-baik
dan punya dasar ilmu silat.
Namun sejauh ini aku belum berani bercerita pada
Guru. Aku menyimpannya rapat-rapat. Tapi herannya,
Guru seolah mengerti dan dapat menebak dengan pas-
ti. Aku tidak bisa mungkir ketika akhirnya Guru me-
nyarankan agar mengajak si pemuda berkunjung keLembah Patah Hati.
Permintaan Guru akhirnya kupenuhi. Aku menga-
jak pemuda itu ke Lembah Patah Hati. Kami bertiga bi-
cara panjang lebar. Sejak saat itu si pemuda sering
berkunjung. Dan entah karena apa, Guru memu-
tuskan untuk mengambil si pemuda sebagai muridnya
juga. Aku sangat gembira mendengar keputusan Guru.
Dengan begitu kami akan sering bertemu. Jadi sejak
itulah si pemuda juga menetap di Lembah Patah Hati.
Tapi Guru selalu menasihati aku agar berhati-hati
meski kami berdua tinggal di satu tempat dan saling
mencintai.
Dalam waktu tidak berapa lama, kekasihku yang
memang sudah punya dasar ilmu silat sudah mengua-
sai ilmu yang diberikan Guru. Guru tampaknya sangat
bahagia demikian juga aku.
Tapi perasaan bahagia itu mendadak sirna tatkala
suatu malam Guru mendatangiku dan mengajakku
berjalan-jalan di Lembah Patah Hati. Mula-mula Guru
menanyakan bagaimana hubunganku dengan kekasih-
ku. Aku menjawab apa adanya. Guru tampak berubah
murung dan sikapnya lain. Aku bertanya apa ada yang
salah denganku? Dia menghela napas berulang kali
tanpa menjawab. Aku mendesaknya. Dan jawaban
yang kuperoleh seakan membuatku disambar petir di
siang bolong. Guru meragukan itikad baik kekasihku!
Malah dia menyarankan agar aku berusaha melupa-
kannya! Aku penasaran dan mendesak apa alasan
Guru meragukan kekasihku. Tapi Guru tidak mau
menjelaskan. Dia hanya memberi bayangan bahwa ke-
lak aku akan menderita jika meneruskan hubungan!
Sejak saat itu aku sering merenung dan mencari
kebenaran ucapan Guru. Namun sejauh ini aku tidak
mengatakan pada kekasihku apa sebenarnya yang te-
lah terjadi. Malah aku berusaha menyelidik pada keka-
sihku. Tapi aku tidak menemukan apa yang menjadi
dugaan Guru. Aku sudah mengatakannya pada Guru.
Namun Guru tetap pada dugaannya. Anehnya Guru ti-
dak mau menerangkan alasannya! Itulah yang mem-
buatku bingung. Hingga terbetik dugaan jelek pada di-
riku terhadap Guru. Selain itu sikap Guru pada keka-
sihku juga lain. Guru jarang sekali mau menemui ke-
kasihku. Dia lebih suka mengurung diri di ruangan-
nya. Malah perlahan-lahan dia juga berubah sikap pa-
daku walau perubahan itu hanya yang ada kaitannya
dengan kekasihku.
Karena tidak juga memperoleh jawaban pasti dari
guruku, akhirnya aku bertanya pada kekasihku apa-
kah dia pernah berlaku yang tidak semestinya pada
Guru. Aku melihat dia terkejut. Dan balik bertanya apa
saja yang dikatakan Guru padaku. Sebenarnya aku ti-
dak mau menjelaskan. Namun terdorong oleh perasaan
cinta dan sesungguhnya aku sudah tak mau dipisah-
kan lagi, akhirnya aku menceritakan juga apa yang di-
katakan Guru. Dia malah terkejut dan heran menden-
gar keteranganku. Dia juga mengatakan tidak pernah
bertindak yang bukan-bukan. Aku coba mengingatkan
padanya mungkin dia bertindak di luar kesadaran. Ta-
pi dia bersikeras menyangkal. Hal ini membuatku
tambah bingung. Apalagi tatkala kekasihku mengata-
kan hendak pergi kalau memang Guru sudah tidak
menyukai keberadaannya di Lembah Patah Hati.
Aku dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Di
satu pihak, Guru adalah orang yang menyelamatkan
jiwaku dan mendidikku, di pihak lain hatiku sudah tak
mungkin diajak kompromi untuk bisa berpisah dengan
kekasihku! Hingga akhirnya aku memutuskan untuk
mempertemukan Guru dengan kekasihku. Namun
usulku ditolak olehnya. Malah dia mengajakku untuk
sementara waktu keluar dari Lembah Patah Hati sam-
bil mencari jalan keluar yang baik.
Aku minta izin pada Guru. Ternyata dia tidak mencegah. Hanya dia berpesan agar aku waspada dan hati-
hati. Saat itu juga aku keluar dari Lembah Patah Hati.
Seandainya tidak ada persoalan, tentu saat itu aku
sangat bahagia. Namun persoalan yang tiba-tiba
menghadang membuatku tak bisa tenang meski bera-
da di samping kekasihku. Kami berdua mencari tempat
di dalam hutan. Karena hutan itu adalah tempatku
bermain sejak kecil, aku paham benar kawasan hutan
itu.
Tiga hari aku dan kekasihku berada di luar Lembah
Patah Hati. Namun sejauh ini kami berdua belum juga
mendapatkan jalan keluar yang baik. Hingga pada sua-
tu malam, aku merasakan sekujur tubuhku terasa pa-
nas bukan alang kepalang. Mula-mula aku menduga
hanya panas biasa atau karena aku banyak berpikir.
Namun lambat laun panas tubuhku makin tinggi. Aku
berusaha menahan dengan kerahkan tenaga dalam.
Tapi tak membawa hasil. Aku coba berteriak memang-
gil kekasihku yang katanya ingin mencari udara di
luar. Tapi hingga suaraku serak dan tak terdengar, ti-
dak ada orang yang datang. Aku memutuskan untuk
mencari. Namun betapa terkejutnya aku, begitu aku
melangkah, kekuatan kedua kakiku laksana lenyap.
Aku terjatuh dan tak kuasa bangun lagi. Aku berusaha
menggapai. Lagi-lagi aku tersentak. Kedua tanganku
juga hilang kekuatannya. AKU berusaha kerahkan te-
naga dalam Namun tidak bisa membantu banyak. Se-
kuat tenaga aku kembali berteriak. Tapi suaraku lak-
sana lenyap dan hanya sampai tenggorokan.
Keadaan begitu belum juga membuatku berpra-
sangka buruk pada kekasihku. Hanya aku menyesal
mengapa teriakanku tidak juga didengar. Setelah ham-
pir dini hari dan kekasihku tidak juga kunjung mun-
cul, aku mulai gelisah. Perasaanku mengatakan ada
yang tak beres dengan dirinya. Aku mulai percaya pa-
da ucapan Guru. Ingat hal itu dengan susah payah
aku menyeret tubuh menuju Lembah Patah Hati. Ka-
rena keadaanku tidak memungkinkan, aku baru sam-
pai Lembah Patah Hati kala matahari sudah terbit.
Dengan sisa-sisa tenagaku aku kembali berteriak
memanggil Guru. Namun tidak terdengar sahutan. En-
tah karena suaraku sudah serak atau memang Guru
tidak ada, yang jelas aku tidak mendapat jawaban.
Aku berusaha merangkak dengan pantatku ke ruan-
gan Guru. Aku terkesima dan hampir tak percaya.
Guru tergeletak tak bergerak-gerak di atas lantai batu
dengan ceceran darah di sebelahnya. Laksana hendak
terbang aku melompat ke arah Guru. Aku sepertinya
lupa akan keadaanku. Namun aku tak bisa melaku-
kannya. Hingga dengan menyeret tubuh aku bergerak
mendekat.
Aku melolong begitu melihat keadaan Guru. Dari
mulutnya terus keluar darah kehitaman. Matanya ter-
pejam dan dadanya tidak berdetak. Sekuat tenaga aku
berusaha menyadarkan Guru. Ternyata usahaku ber-
hasil. Guru membuka matanya lalu memandangku
dan bertanya dengan suara tersendat-sendat bagaima-
na keadaanku.
Aku tidak kuasa menceritakannya. Yang penting
adalah keselamatan Guru. Aku kembali berusaha sa-
lurkan tenaga dalam. Namun keadaanku tampaknya
tidak memungkinkan. Lagi pula pada saat itu, Guru
gelengkan kepalanya perlahan dan berucap pelan
bahwa tidak ada gunanya apa yang kulakukan! Tanpa
kutanya, guru segera menceritakan apa yang telah ter-
jadi. Aku hampir tak percaya mendengarnya. Ternyata
semua itu adalah tindakan kekasihku!
Menurut Guru, pada mulanya dia memang meman-
dang baik pada kekasihku. Namun pada suatu malam
ternyata Guru sempat memergoki kekasihku berada di
ruangannya. Pada malam-malam tertentu, Guru me-
mang keluar dari Lembah Patah Hati. Entah ke mana
dia pergi dia tak pernah mau mengatakannya. Guru
menegur dan memperingati. Namun hal itu terulang
lagi hingga sampai tiga kali. Sejak saat itulah Guru be-
rubah sikap dan mengatakan padaku agar melupakan
pemuda itu.
Pada akhir penuturannya, Guru mengatakan kalau
selama ini sebenarnya dia tengah membuat sebuah ki-
tab. Entah bagaimana awalnya, yang jelas di dalam ki-
tab itu katanya termuat juga apa yang akan terjadi di
Lembah Patah Hati. Dia juga menyebut-nyebut nama
Datuk Wahing, Gendeng Panuntun, Nyai Tandak Kem-
bang, Iblis Ompong, Dewa Uuk, Dewi Ayu Lambada,
juga seorang pendekar bergelar Pendekar Pedang
Tumpul 131.
Sebelum menutup mata, Guru sedikit bercerita,
bahwa kelak akan terjadi peristiwa besar berkaitan
dengan Kampung Setan. Di dalam Kampung Setan ter-
dapat dua senjata mustika Kembang Darah Setan dan
Jubah Tanpa Jasad. Senjata mustika itu tak bisa di-
hadapi selain dengan mutiara merah yang ada pada
pusar seorang bayi yang kelak akan lahir di Lembah
Patah Hati. Dan bayi itu akan lahir dari salah seorang
gadis kembar. Cuma saja bayi itu lahir tanpa didam-
pingi ayahnya. Karena....
SI nenek tidak lanjutkan ucapan. Sebaliknya ber-
paling pada Kigali dan Pitaloka yang sedari tadi me-
nyimak cerita orang dengan seksama.
“Kami sudah tahu, Nek.... Sekarang ceritakan bagai-
mana dengan kekasihmu itu!” ujar Kigali dengan meli-
rik pada Pitaloka yang sosoknya tiba-tiba tampak ber-
getar.
“Aku sempat bertanya di mana kitab Guru disim-
pan! Tapi dia gelengkan kepala dan mengatakan tak
ada gunanya dicari. Karena ternyata kitab itu telah di-
ambil oleh pemuda jahanam itu! Jadi selama ini dia
diam-diam menyelidik apa yang dilakukan Guru. Aku
tak menyangka sama sekali. Tapi semuanya sudah ter-
lambat.... Saat Guru menutup mata, muncullah jaha-
nam itu! Dia kemudian membeberkan siapa dia sebe-
narnya! Dan tanpa belas kasihan lagi, dia menyeretku
lalu memasukkan aku ke dalam ruangan ini! Berta-
hun-tahun aku berusaha memulihkan keadaan. Na-
mun racun yang sudah merasuk dalam diriku tidak bi-
sa diobati lagi! Sejak itulah penderitaan panjang itu
mulai.... Aku sudah tak ingat berapa tahun berada di
sini. Dan bagaimana keadaan di Lembah Patah Hati di
atas sana. Yang jelas begitu aku dimasukkan ke dalam
ruangan ini, aku mendengar suara ledakan gelegar be-
berapa kali. Tanah di sini pun porak-poranda. Aku
hanya berpikir, mungkin pemuda jahanam itu telah
menghancurkan kediaman Guru....”
Si nenek hentikan ucapannya sambil menyeka air
mata. Tak lama kemudian dia berucap lagi. “Tidak ber-
selang lama, kira-kira setengah purnama yang lalu, ja-
hanam itu datang lagi ke sini! Dia bersama seorang
pemuda memakai mantel hitam. Kukira pemuda itu
adalah muridnya! Walau telah berpuluh tahun tidak
berjumpa, namun aku masih dapat mengenalinya. Ru-
panya dia sudah memperhitungkan bahwa waktu yang
dinantikan akan segera tiba! Rupanya dia tergiur den-
gan dua senjata mustika yang tersimpan di Kampung
Setan. Dengan mutiara di pusar bayi yang akan lahir
di Lembah Patah Hati ini dia pikir dengan mudah akan
mendapatkan Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa
Jasad!”
“Tapi, Nek....”
“Panggil saja aku Umbu Kakani. Usia kita mungkin
tidak jauh berbeda!” sahut si nenek memotong ucapan
Kigali.
Kigali anggukkan kepala lalu berucap lagi. “Seka-
rang Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad
telah keluar dari Kampung Setan. Kini kedua senjata
mustika itu di tangan orang yang belum bisa dikenali
siapa sebenarnya!”
Umbu Kakani gelengkan kepala. “Kurasa itu tak jadi
masalah! Dan mungkin akan lebih mudah merebutnya!
Tapi.... Kuharap kalian nanti mau membantuku. Se-
tidaknya untuk tidak memberikan mutiara merah itu
kelak pada jahanam bangsat yang telah menipu sekali-
gus menghancurkan hidupku!”
“Aku akan membantumu, Nek!” sahut Pitaloka.
“Dan mutiara merah itu akan ku pertahankan. Karena
justru manusia keparat yang membuatku begini ini
adalah orang di balik Jubah Tanpa Jasad yang di tan-
gannya juga menggenggam Kembang Darah Setan!”
“Nasibmu memang tidak baik, Pitaloka! Tapi ku-
harap kau bersabar menerima kenyataan ini! Percaya-
lah, di balik suatu peristiwa terdapat pelajaran yang
sangat berharga dan tak mungkin kita lupakan!”
“Umbu Kakani.... Demi keselamatan mutiara merah
itu, bagaimana kalau kita untuk sementara waktu
mencari tempat yang aman?!”
Umbu Kakani kembali gelengkan kepala. “Bayi itu
harus lahir di Lembah Patah Hati ini! Apa pun nanti
yang akan terjadi, kita harus siap menghadapinya!”
Baru saja Umbu Kakani berucap begitu, mendadak
terdengar suara gelegar keras. Dan tak lama kemudian
kembali terdengar dentuman. Saat lain kembali ter-
dengar gelegar.
Umbu Kakani, Kigali, dan Pitaloka saling pandang
satu sama lain. “Tampaknya telah terjadi bentrokan di
luar sana. Namun mendengar suaranya, tempat itu
masih berada di luar Lembah Patah Hati. “Hemmm....
Ini satu bukti bahwa bukan hanya keparat bangsat itu
yang tahu persoalan. Ada orang lain yang mengeta-
huinya!” kata Umbu Kakani.
“Benar...,” sahut Kigali. “Sekarang aku berterus te-
rang. Pada mulanya aku merahasiakan pada Pitaloka
tentang beberapa orang yang kujumpai di dalam hu-
tan. Hal itu kulakukan karena aku tak mau melihat Pi-
taloka selalu berpikir. Kuharap kau mengerti, Anak-
ku...,” kata Kigali seraya memandang pada Pitaloka. Pi-
taloka anggukkan kepala.
“Beberapa orang yang sempat kutemui di dalam hu-
tan itu sebenarnya tengah mencari Pitaloka! Bahkan
Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun terus terang
menyebut-nyebut kandungan dan bayi! Bahkan kalau
tak salah dia juga sebut-sebut malam purnama!”
“Kapan malam purnama itu?!” tanya Umbu Kakani.
“Kira-kira sebelas hari di muka!”
“Kurasa belum sampai purnama depan bayi itu
akan lahir! Yang menjadi pikiranku sekarang, bagai-
mana cara menghadapi beberapa orang itu! Dengan
terdengarnya gelegar barusan, berarti mereka sudah
tidak jauh dari tempat ini! Hem.... Seandainya kea-
daanku normal, mungkin saja aku bisa berbuat ba-
nyak! Tapi apa pun yang nanti akan terjadi, kita harus
berusaha menyelamatkan mutiara merah itu! Sekali-
gus aku ingin membayarkan nyawa Guru!”
“Oohh.... Ohh...!” Tiba-tiba Pitaloka perdengarkan
keluhan. Wajahnya pucat pasi. Kedua tangannya me-
nakup pada perutnya. Tubuhnya bagian atas nampak
menekuk ke bawah.
Umbu Kakani segera melompat menjauh. “Kigali....
Harap letakkan Pitaloka telentang di atas jerami! Sete-
lah itu kuharap kau agak menjauh!”
Tanpa banyak bicara lagi, Kigali segera melakukan
ucapan Umbu Kakani. Lalu cepat balikkan tubuh dan
melangkah agak menjauh. Namun diam-diam dia
membatin. “Dia masuk ke tempat ini dalam usia yang
masih muda. Apakah dia nanti mengerti bagaimana
merawat orang akan melahirkan?! Ah.... Sebagai pe-
rempuan, walau belum pernah melahirkan, tapi
mungkin dengan firasatnya dia tahu bagaimana caranya!”
Walau telah berpikir begitu, namun perasaan kha-
watir masih juga melanda dada Kigali. Hingga perla-
han-lahan dia berpaling. Namun saat itu tepat Umbu
Kakani juga tengah menoleh. Dengan muka merah pa-
dam, Kigali cepat palingkan kepalanya lagi seraya be-
rujar.
“Maaf.... Aku hanya khawatir. Karena kurasa kau
belum pernah....”
“Aku memang belum pernah melahirkan. Tapi Guru
pernah bercerita padaku! Mungkin dia sudah punya fi-
rasat bahwa kelak aku akan menolong gadis yang akan
melahirkan! Jadi kau tidak usah gelisah....”
Kigali angguk-anggukkan kepala seraya melangkah
ke arah lobang dari mana dia tadi masuk. Namun da-
danya mulai berdebar. “Tidak kusangka kalau aku ma-
sih saja berurusan dengan masalah Kampung Setan!
Padahal aku tidak pernah membayangkan!”
***
SEMBILAN
KITA kembali ke tempat tidak jauh dari Lembah Pa-
tah Hati. Seperti diketahui, saat Malaikat Berkabung
lepaskan pukulan pada murid Pendeta Sinting, dan
murid Pendeta Sinting dalam keadaan tidak mengun-
tungkan, mendadak terdengar bersinan. Lalu satu ge-
lombang menghadang pukulan Malaikat Berkabung.
Saat lain terlihat dua sosok keluar dari semak belukar.
Keduanya melangkah terbungkuk-bungkuk.
Di sebelah kanan adalah seorang kakek berambut
tipis. Tangan kirinya memegang bumbung bambu.
Tangan kanan memegang ilalang. Kakek ini kepalanya
selalu bergerak-gerak pulang balik ke depan ke bela-
kang dengan mimik seperti orang hendak bersin.
Di sebelah kiri adalah seorang kakek bertubuh tam-
bun besar mengenakan pakaian gombrong warna hi-
jau. Rambutnya disanggul ke atas. Pada pinggangnya
yang besar melilit ikat pinggang yang tepat di depan
perutnya menggantung sebuah cermin bulat. Kakek ini
terbungkuk-bungkuk dengan sedikit angkat kepalanya
seolah tengah melihat langit. Padahal sepasang mata-
nya berwarna putih, satu tanda jika orang ini buta.
“Setan-setan tua! Dari mana saja kalian?!” Dayang
Sepuh sudah membentak melihat kemunculan orang
yang bukan lain adalah Datuk Wahing dan Gendeng
Panuntun.
“Bruss! Bruss! Jangan membuatku heran, Nek! Ju-
stru seharusnya kami yang bertanya ke mana saja
kau! Kami telah mencarimu ke seluruh hutan! Ujung-
ujungnya bertemu di sini tengah main petak umpet
dengan seorang kakek gagah!” kata Datuk Wahing lalu
hentikan gerakan kepalanya dan memandang pada
Pendekar 131.
“Bruss! Bruss! Aku juga heran padamu, Anak Mu-
da! Mau-maunya kau bermain-main dengan orang se-
jenis! Padahal kau biasanya lebih suka main-main
dengan gadis cantik! Apa kau kira enak main-main
dengan sesama jenis!”
“Lagi pula seharusnya kau mengerti, Anak Muda!”
Kali ini yang angkat bicara adalah Gendeng Panuntun.
“Kau tidak boleh main-main di dekat sini! Itu akan
mengganggu bibimu! Kau lihat sendiri, bagaimana sak-
ing takutnya bibimu sampai ngumpet-ngumpet di balik
semak!”
“Seharusnya memang begitu, Kek! Tapi aku khawa-
tir Bibi tidak bisa menahan diri! Tapi begitu aku men-
gerti keadaan sebenarnya, kini aku tidak cemas lagi!”
“Bruss! Bruss! Kau membuatku heran dengan ucapanmu, Anak Muda! Bisa menjelaskan sedikit?!”
“Menurut yang kulihat di tangan, kakek gagah itu
buyungnya sangat kecil sekali. Sebaliknya sarang te-
lurnya sangat besar sekali. Hingga bentuknya mengge-
likan. Sementara sahabat muda itu, buyungnya me-
mang normal. Sayang.... Sudah sejak lama sekarat,
hingga tak mau diajak bersenang-senang! Makanya
aku mengajaknya bermain-main agar dapat menghi-
burnya!”
“Tutup mulut setanmu, Geblek!” Dayang Sepuh
membentak dengan mata mendelik angker.
“Bruss! Bruss! Jangan terburu-buru marah, Nek!
Kami semua heran dan maklum akan tindakanmu!
Yang membuatku heran hanyalah mengapa kau memi-
lih kakek gagah yang punya mainan lucu itu?! Apa se-
belumnya kau belum tahu?!”
“Kalau mulut setan kalian tak bisa diam, jangan
menyesal!” hardik Dayang Sepuh. Si nenek sudah
hendak bergerak. Namun dia urungkan tatkala tiba-
tiba Gendeng Panuntun buka suara.
“Tahan, Nek! Sebaiknya kau jelaskan saja apa se-
benarnya yang terjadi! Selain main petak umpet tentu
kau punya acara lain....”
“Setan jabrik itu telah membuka urusan denganku!
Dia juga berpura-pura sok tahu tentang urusan kita!”
Kakek berambut putih jabrik tertawa. “Silakan kau
bicara seenakmu, Nenek Slebor! Yang pasti aku tahu
semuanya. Aku juga tahu siapa kedua temanmu itu!”
Si kakek arahkan pandang matanya pada Datuk Wah-
ing dan Gendeng Panuntun. “Bukankah dia Datuk
Wahing dan Gendeng Panuntun?! Dan tak lama lagi
mungkin rombongan Iblis Ompong akan muncul juga
di sini!”
“Bruss! Bruss! Terima kasih kau telah mengenaliku,
Sahabat! Tapi akan mengherankan bila kau tak mau
perkenalkan diri!”
Kakek berambut putih jabrik gelengkan kepala.
“Rasanya belum saatnya kalian tahu siapa diriku! Lagi
pula tidak ada gunanya kalian tahu. Karena sebentar
lagi kalian akan menghadap alam lain!”
“Dan kepastian itu ada tanganku!” Yang menyahut
adalah Malaikat Berkabung.
“Hebat! Hebat.... Ternyata selain kalian sudah me-
ngerti urusan orang, juga tahu dan bisa memastikan
kematian orang!” kata Gendeng Panuntun. “Kalau bo-
leh tanya, apakah kalian juga tahu apa kepastian yang
kelak akan kalian alami?!” Sambil bertanya tangan ka-
nan Gendeng Panuntun usap-usap cermin bulatnya.
Kakek berambut putih jabrik dan Malaikat Berka-
bung tidak ada yang buka mulut menjawab. Gendeng
Panuntun mendongak lalu berkata lagi.
“Kau, Anak Muda.... Kepastianmu mungkin masih
lebih baik! Tapi sahabatku kakek berambut putih itu
akan mengalami nasib yang kurang baik! Dia akan
mengambil buah dari tindakannya di masa lalu! Dia
memang berilmu tinggi, namun karma akan tetap
membelenggunya! Dan itu akan datang tidak lama la-
gi.... Kalau mau kusarankan....” Gendeng Panuntun
luruskan kepalanya pada Malaikat Berkabung. Lalu te-
ruskan ucapan. “Tinggalkan saja tempat ini, Anak Mu-
da! Kau tidak akan mendapatkan apa-apa selain pera-
saan kecewa dan pulang dengan dendam membara!”
Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun hadapkan
wajahnya pada kakek berambut putih jabrik. “Saha-
bat.... Sebenarnya aku tidak mau bicara lancang me-
nasihatimu karena usia kita tidak jauh berbeda. Na-
mun demi kebaikan, ini harus kukatakan.... Sebaiknya
kau minta maaf pada orang yang telah berjasa padamu
dan kau khianati! Mungkin mereka tidak akan me-
maafkan, tapi setidaknya kau telah memintanya! Hal
itu akan melepaskan karma dari dirimu! Siapa tahu
dengan tindakanmu itu, nasibmu akan berubah....”
“Manusia itu ternyata bisa membaca apa yang per-
nah kulakukan! Tapi siapa percaya dengan ramalan-
nya?! Dengan terbongkarnya gugusan batu di Lembah
Patah Hati, berarti gadis yang akan melahirkan itu
mungkin telah berada di sana! Aku tak boleh menyia-
nyiakan kesempatan ini! Ramalannya tadi mungkin
hanya untuk menakut-nakuti agar aku urungkan niat
dan menggagalkan rencanaku mengambil mutiara me-
rah! Hemm.... Dikira aku manusia bodoh yang mudah
digertak dengan ramalan busuk!” Diam-diam si kakek
berambut putih jabrik membatin. Lalu berkata lan-
tang.
“Gendeng Panuntun! Aku tahu apa maksud uca-
panmu! Tapi jangan kira aku takut dan bodoh dengan
turuti ucapanmu! Justru sebaiknya kalian segera ting-
galkan tempat Ini!”
“Benar! Tapi tanpa satu pun yang menyandang
nyawa!” Malaikat Berkabung menimpali.
Baru saja Malaikat Berkabung sambuti ucapan ka-
kek berambut putih jabrik, tiba-tiba terdengar suara
lain yang datang dari arah samping agak jauh.
“Nah.... Kalian dengar apa katanya?! Kita akan
mampus jika ikut-ikutan bergabung ke sana! Bukan-
kah lebih baik kita tinggalkan saja tempat ini sebelum
terlambat?!”
Datuk Wahing, Gendeng Panuntun, Pendekar 131
sama mendongak. Dayang Sepuh melirik ke arah
sumber suara. Malaikat Berkabung dan kakek beram-
but putih jabrik cepat sentakkan kepala masing-
masing ke samping dari mana suara lain tadi terden-
gar.
Belum ada yang tahu siapa adanya orang yang baru
saja berucap, dan belum juga ada di antara mereka
yang menyahut, terdengar suara sahutan dari tempat
di mana suara tadi terdengar.
“Mengapa kau takut dengan suara orang?! Dia memang bernama Malaikat, tapi bukan malaikat beneran
yang bertugas mencabut nyawa orang! Dan kalian
dengar tadi...? Dia punya buyung yang tengah sekarat.
Sementara temannya punya buyung sangat kecil ber-
bentuk menggelorakan, eh.... Maksudku berbentuk
menggelikan. Aku jadi penasaran untuk melihatnya!
Hik.... Hik.... Hik...! Belum melihat saja aku sudah ge-
regetan dan gemas! Lihat.... Bulu kudukku meregang,
eh.... Maksudku meremang!” Suara sahutan ini jelas
diperdengarkan oleh perempuan.
“Uuuukk! Uuukkk! Uuuukkk!” Saat lain terdengar
sahutan suara tanpa kata.
“Ah.... Bicara sama dia repot! Harus berteriak! Pada-
hal kita tengah mengintip orang!” terdengar lagi suara.
Sepertinya suara ini adalah suara orang yang pertama.
“Kalian tak usah sembunyi-sembunyi! Tunjukkan
saja tampang kalian!” Malaikat Berkabung memben-
tak.
Dari balik semak muncul dua kepala. Kali ini Datuk
Wahing dan Pendekar 131 ikut hadapkan wajah ke
arah semak dari mana muncul dua kepala. Sementara
Malaikat Berkabung dan kakek berambut putih jabrik
makin mendelik tak berkesip. Dayang Sepuh komat-
kamit dan urungkan bentakan.
Dua kepala itu ternyata milik dua orang perem-
puan. Sebelah kanan berambut lebat dihiasi beberapa
bunga. Sementara di sebelah kiri dibiarkan bergerai.
Yang dihiasi bunga adalah perempuan berusia empat
puluhan tahun namun parasnya masih kelihatan can-
tik. Sementara yang rambutnya digeraikan adalah seo-
rang gadis muda berparas luar biasa cantik.
Tanpa ada yang buka suara, kedua orang perem-
puan ini perlahan-lahan keluar dari balik semak. Yang
berusia agak lanjut ternyata mengenakan pakaian
warna putih sebatas dada mirip pakaian para penari.
Kedua tangannya merangkap di depan dada. Pada selajari tengah dan jari telunjuk kedua tangannya terlihat
sekuntum bunga. Sementara gadis di sampingnya
mengenakan pakaian warna merah.
“Nyai Tandak Kembang! Putri Kayangan!” gumam
murid Pendeta Sinting mengenali siapa adanya kedua
orang yang baru muncul. “Mengapa mereka yang mun-
cul?! Padahal suara tadi jelas bukan suara mereka!
Mengapa bisa begini?! Atau mereka berdua bisa meni-
rukan suara orang?!” Diam-diam Joko membatin.
Dayang Sepuh tak kalah kagetnya melihat siapa ge-
rangan yang muncul karena di luar dugaannya. “Se-
tan betul! Mengapa setan-setan perempuan ini yang
nongol?! Seharusnya bukan mereka!”
“Bruss! Bruss!”
Datuk Wahing perdengarkan bersinan dua kali na-
mun tanpa disusuli ucapan. Dia memandang dengan
kepala disorongkan ke depan seolah belum percaya
dengan pandangannya.
Yang tak kalah kaget dan terkesima adalah Malaikat
Berkabung dan kakek serambut jabrik putih. Untuk
beberapa saat kedua orang ini memandangi kedua
orang yang baru muncul dan bukan lain adalah Nyai
Tandak Kembang dan Putri Kayangan dari atas hingga
bawah.
Hanya Gendeng Panuntun yang terlihat tenang-
tenang saja dan kepala terus mendongak.
“Beda Kumala! Kau tak usah ikut bicara!” gumam
Nyai Tandak Kembang seraya melirik pada Beda Ku-
mala alias Putri Kayangan yang tegak di sampingnya.
Yang diajak bicara tampak terkejut. Bukan karena
suara Nyai Tandak Kembang namun karena saat itu si
gadis tengah memandang pada Pendekar 131 Joko
Sableng!
Nyai Tandak Kembang arahkan pandang matanya
ke arah satu persatu orang yang ada di tempat itu. La-
lu pandang matanya beralih ke arah rimbunan semak
belukar agak jauh ke samping kanan. Dia berkata sen-
diri dalam hati.
“Aku tahu mereka bersembunyi di balik semak itu!
Mereka tadi sengaja memindahkan suara ke tempat
mana aku dan Beda Kumala berada. Hingga semua
orang memandang ke tempatku! Hem.... Sebenarnya
aku tidak akan keluar tunjukkan diri. Namun karena
semua orang sudah memandang ke tempatku, percu-
ma saja aku bersembunyi! Tapi mereka pun juga harus
keluar dari persembunyiannya!”
Membatin begitu, tak lama kemudian Nyai Tandak
Kembang buka mulut. “Kalian yang ada di balik se-
mak! Mengapa takut tunjukkan diri namun berani me-
nunjukkan tempat di mana kami berada?!”
“Nah.... Bagaimana sekarang?! Ini gara-gara renca-
namu! Kau mengajakku memindahkan suara!” Terden-
gar gumaman seseorang. Meski semua orang tahu
bahwa suara yang baru terdengar adalah suara orang
yang pertama kali tadi menyeruak, namun suara itu
datangnya dari tempat lain!
“Kalau sudah telanjur begini apa hendak dikata!
Tak ada gunanya main intip-intipan lagi! Terlebih-lebih
aku ingin segera beradu tampang dengan anak manu-
sia yang katanya punya barang lucu tadi! Hik.... Hik....
Hik...! Ayo kita keluar!” sambut suara seorang perem-
puan ditingkah dengan suara cekikikan.
“Uuukkk! Uuuukk! Uuukkk!” Lalu disusul dengan
suara lain lagi tanpa kata.
“Dia tidak mau ikut keluar!” kata orang yang perta-
ma. Suara ini adalah suara laki-laki.
“Dasar anak bendel! Kita seret saja kalau masih
bandel tak mau tunjukkan muka! Lagi pula apa yang
perlu ditakutkan?! Perlu kita cuma melihat wajah-
wajah orang yang memiliki barang antik lucu!”
Setelah terdengar suara sahutan begitu, dari semak
di mana Nyai Tandak Kembang tengah memandang,
muncul tiga sosok tubuh. Dua orang melangkah di de-
pan dengan tangan masing-masing menyeret satu so-
sok tubuh yang melangkah terseok-seok di belakang-
nya!
Orang di depan sebelah kanan adalah seorang ka-
kek berpakaian agak lusuh bermuka tirus. Rambutnya
putih panjang. Orang ini melangkah dengan kepala se-
dikit didongakkan meski sebenarnya dia tidak memiliki
leher hingga sosoknya agak tertarik sedikit ke bela-
kang. Sambil tengadah mulutnya terbuka lebar. Dan
ternyata kakek ini tidak mempunyai gigi!
Sementara di sebelah kakek ompong yang bukan
lain adalah Iblis Ompong, adalah seorang nenek ber-
pakaian agak gombrong berambut putih panjang. Pa-
ras wajahnya hanya terlihat sebagian, karena selain
tertutup dengan sebagian rambutnya, nenek ini juga
mengenakan kerudung hitam panjang menjulai sampai
perut di atas kepalanya. Hingga bagian samping wajah-
nya tertutup. Nenek ini melangkah dengan sedikit ber-
lenggak-lenggok laksana orang akan melakukan se-
buah tarian. Nenek ini tidak lain adalah Dewi Ayu
Lambada.
Iblis Ompong dan Dewi Ayu Lambada menyeret satu
sosok tubuh yang terseok-seok. Dia adalah seorang
kakek yang juga berpakaian agak kumal. Rambutnya
tipis. Seraya terseok-seok kakek Ini perdengarkan sua-
ra Uuukk! Uuukk! Uukkk! berulang kali. Dari suara
dan sikapnya semua orang bisa menebak jika kakek
ini adalah orang bisu. Dia bukan lain adalah Dewa
Uuk.
Ketiga orang ini berhenti tidak jauh dari Dayang Se-
puh. Iblis Ompong dan Dewi Ayu Lambada lepaskan
cekalan tangan masing-masing yang menyeret kedua
tangan Dewa Uuk.
“Urusan akan jadi kesetanan dengan munculnya se-
tan-setan gila ini!” desis Dayang Sepuh. Ekor mata-nya
melirik tajam pada ketiga orang yang telah tegak tidak
jauh darinya.
“Temanku, Dayang Sepuh.... Mana tampang orang
yang katanya memiliki buyung lucu Itu?! Kau tampak-
nya sangat gembira hari ini. Apakah karena baru ma-
in-main dengan barang lucu tadi?!” Yang angkat bicara
adalah Dewi Ayu Lambada.
Walau agak jengkel mendengar kata-kata Dewi Ayu
Lambada, namun tak lama kemudian Dayang Sepuh
tertawa bergelak. Dewi Ayu Lambada tidak tinggal di-
am. Tawanya segera pula meledak. Dan entah karena
apa, tiba-tiba Iblis Ompong ikut pula perdengarkan
suara tawa. Saat yang sama, mendadak Dewa Uuk lo-
rotkan diri dan duduk menjeplok di atas tanah. Lalu
perdengarkan suara Uukkk! Uukk! Uuukkk! beberapa
kali dengan kedua tangan ditadangkan di belakang ke-
dua telinganya.
Datuk Wahing kernyitkan dahi. Namun sesaat ke-
mudian kepalanya telah bergerak pulang balik ke de-
pan ke belakang. Lalu terdengar bersinannya beberapa
kali bahkan bersinan itu laksana diperdengarkan dari
delapan penjuru mata angin dan terus pantul meman-
tul ke seantero tempat itu! Hingga tempat itu dibuncah
suara-suara riuh rendah tak karuan bercampur aduk!
“Tutup jalan pendengaranmu, Beda Kumala!” bisik
Nyai Tandak Kembang ketika menyadari bahwa suara-
suara yang terdengar bukanlah suara sembarangan.
Melainkan telah dialiri tenaga dalam kuat.
“Hem.... Tampaknya mereka mau unjuk kebolehan!
Mereka belum tahu siapa yang dihadapi kali ini!” gu-
mam kakek berambut putih jabrik. Lalu memberi isya-
rat pada Malaikat Berkabung.
Tanpa banyak bicara, Malaikat Berkabung melesat
dan tegak dua langkah di samping kakek berambut
putih jabrik.
“Rupanya perhitungan kita meleset! Seharusnya
mereka tidak boleh bertemu jadi satu begini! Bukan-
nya aku keder menghadapi mereka. Tapi kita harus le-
bih banyak keluarkan tenaga!” Si kakek berambut pu-
tih jabrik berbisik pada Malaikat Berkabung.
“Kita masih punya banyak waktu. Apa untuk se-
mentara ini kita permainkan mereka agar mereka ter-
pisah satu sama lain?!”
Si kakek gelengkan kepala. “Tak ada gunanya itu di-
lakukan! Walau kita belum mengenal betul siapa me-
reka, dari kabar yang selama ini kuketahui, mereka
bukan orang yang mudah dibodohi! Lagi pula waktu
kita tidak banyak lagi! Gugusan batu penutup itu telah
lenyap porak-poranda. Berarti ada orang yang telah
memasuki tempat itu! Aku sudah bisa menebak siapa
orangnya! Buku warisan itu telah menjelaskan semua-
nya! Apa yang kita cari telah di depan mata.... Kita tak
boleh menyia-nyiakan! Kita hadapi mereka!” kata ka-
kek berambut putih jabrik lalu anggukkan kepala.
Malaikat Berkabung melirik pada Dewi Ayu Lamba-
da, Dayang Sepuh, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk yang
telah hentikan suara masing-masing. Saat lain pemuda
ini melangkah dan tegak satu langkah di depan kakek
berambut putih jabrik.
Kakek berambut putih jabrik segera angkat kedua
tangannya dengan telapak terbuka lalu disentakkan
dan ditempelkan pada punggung Malaikat Berkabung.
Saat bersamaan kedua orang ini putar diri menghadap
Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada serta Iblis Om-
pong dan Dewa Uuk.
Dua nenek dan dua kakek saling pandang satu sa-
ma lain. Kejap lain Dewi Ayu Lambada rapikan keru-
dung hitamnya. Dayang Sepuh rapikan poni rambut-
nya. Lalu Dewi Ayu Lambada melompat dan tegak di
belakang Dayang Sepuh. Seperti halnya kakek beram-
but putih jabrik, Dewi Ayu Lambada segera angkat ke-
dua tangannya dengan telapak terbuka lalu ditempel
kan pada punggung Dayang Sepuh. Iblis Ompong tak
tinggal diam, dia melompat pula ke belakang Dewi Ayu
Lambada lalu tegak di belakang si nenek. Namun bu-
kan menghadap ke arah Dewi Ayu Lambada, melain-
kan tegak membelakangi! Saat lain dia bungkukkan
tubuh menungging. Pantatnya ditempelkan pada pan-
tat Dewi Ayu Lambada.
Melihat apa yang dilakukan ketiga orang di sam-
pingnya, Dewa Uuk celingukan sebentar. Lalu sentak-
kan kedua tangannya ke tanah. Sosoknya yang men-
jeplok berkelebat dan duduk lagi menjeplok di depan
Iblis Ompong yang menungging!
“Ah.... Kau ikut-ikutan juga!” kata Iblis Ompong lalu
letakkan kedua tangannya di pundak kanan kiri Dewa
Uuk. Sementara kepalanya memperhatikan Malaikat
Berkabung dan kakek berambut putih jabrik dari sela
kedua kakinya yang direnggangkan!
“Jurus ‘Jalur Bertangga’!” Tiba-tiba Gendeng Pa-
nuntun berseru.
Malaikat Berkabung dan kakek berambut putih ja-
brik tampak terkejut namun tidak gerakkan ketika
berpaling.
“Manusia buta itu tahu jurus yang kita lakukan!”
bisik kakek berambut putih jabrik.
“Dan keempat tua bangka itu tampaknya juga akan
melakukan hal yang sama seperti kita!” Malaikat Ber-
kabung menyahut.
“Setan!” Mendadak Dayang Sepuh membentak.
“Jangan keras-keras menekan punggungku! Geser ke-
dua tanganmu sedikit. Kelabangan rambutku bisa ru-
sak!”
Dewi Ayu Lambada cekikikan lalu menggeser sedikit
kedua tangannya yang menempel di punggung Dayang
Sepuh. Namun tiba-tiba orang ini putuskan cekikikan-
nya seraya berpaling sedikit ke belakang dan berseru
keras.
“Setan! Pantatmu jangan terus menggeser-geser be-
gitu! Aku geli!”
Walau berseru begitu, tapi nenek berkerudung ini
lenggak-lenggokkan pantatnya hingga pantat Iblis Om-
pong yang menempel ke pantatnya ikut bergerak-
gerak.
“Sialan! Siapa yang menggeser-geser! Kau yang dari
tadi melenggak-lenggok tak karuan!” sahut Iblis Om-
pong. Karena pantatnya bergerak-gerak kedua tangan-
nya yang memegang pundak kanan kiri Dewa Uuk Ikut
bergoyang-goyang. Hingga sosok Dewa Uuk doyong ke
samping kiri kanan!
“Uuukkk! Uuukk! Ukkkk!” Dewa Uuk buka mulut
dengan kedua tangan bergerak pulang balik ke samp-
ing memberi isyarat agar Iblis Ompong hentikan gera-
kannya.
“Bukan aku yang bergerak! Tapi yang di depan!” te-
riak Iblis Ompong dengan keras.
Datuk Wahing tampak terpingkal-pingkal melihat
keempat orang di depan sana. Murid Pendeta Sinting
geleng-geleng kepala dan sesekali melirik pada Putri
Kayangan. Gendeng Panuntun tetap tengadah tanpa
buka mulut lagi. Hanya Nyai Tandak Kembang yang
memperhatikan orang dengan mata tak berkesip. Di
sebelahnya, Putri Kayangan tampak gelisah dan tak ja-
rang melirik juga pada Pendekar 131.
Di depan sana, tiba-tiba kakek berambut putih ja-
brik perdengarkan bentakan garang yang kemudian
disambut bentakan pula oleh Malaikat Berkabung.
Saat bersamaan Malaikat Berkabung angkat kedua
tangannya saling menakup di depan dada lalu dibuka
dan didorong ke depan.
Tanah di sekitar tempat itu laksana dilanda gempa.
Daun-daun berguguran. Di seberang sana, Dayang Se-
puh yang tegak paling depan mengikuti gerakan yang
dilakukan Malaikat Berkabung. Kedua tangannya lalu
didorong.
Tanah di tempat itu makin bergetar. Daun-daun
makin banyak berluruhan. Namun belum sampai dari
tangan Malaikat Berkabung dan Dayang Sepuh le-
satkan gelombang yang tentu saja sangat dahsyat ka-
rena terdiri dari gabungan beberapa tenaga dalam, ti-
ba-tiba mereka disentakkan oleh terdengarnya tangi-
san bayi dari arah lembah!
***
SEPULUH
MALAIKAT Berkabung cepat tarik pulang kedua
tangannya. Dayang Sepuh ikut-ikutan urungkan niat
dorongkan kedua tangannya. Dan laksana disentak se-
tan, kepala semua orang di tempat itu berpaling ke
arah lembah di depan sana.
Namun yang paling tampak tersentak adalah Nyai
Tandak Kembang dan kakek berambut putih jabrik.
Diam-diam Nyai Tandak Kembang membatin.
“Aneh.... Dengan terdengarnya suara bayi itu, aku
dapat mencium lagi aroma tubuh Pitaloka! Dia berada
di lembah itu!” Paras wajah perempuan dari lereng
Gunung Semeru ini tampak berubah. Matanya mende-
lik. Dagunya mengembang dengan pelipis kanan kiri
bergerak-gerak. “Pitaloka.... Kau benar-benar melahir-
kan bayi! Kau benar-benar mengandung! Bagaimana
hal ini sampai kau lakukan? Kau benar-benar tak tahu
diri! Membuat malu!” Mungkin saking geramnya, sosok
Nyai Tandak Kembang tampak bergetar keras.
Putri Kayangan yang berada di sebelah Nyai Tandak
Kembang tampaknya dapat menangkap apa yang ada
dalam benak neneknya. Dia segera berbisik.
“Eyang.... Harap tidak berprasangka dahulu.... Sia-
pa tahu dia bukan bayinya Pitaloka!”
“Jangan bicara, Beda Kumala! Aku dapat mencium
lagi aroma tubuh Pitaloka!”
“Tapi kita belum melihat sendiri buktinya! Siapa ta-
hu itu bayi orang lain!”
Di seberang sana, kakek berambut putih jabrik di-
am-diam juga membatin. “Luar biasa sekali bayi itu....
Beberapa tahun mengenali Lembah Patah Hati, baru
kali ini ada suara dari Lembah Patah Hati yang bisa
didengar dari kawasan luar lembah!”
Habis membatin begitu, kakek berambut putih ja-
brik segera berbisik pada Malaikat Berkabung. “Kita
harus mendahului mereka mendapatkan bayi itu!”
Malaikat Berkabung anggukkan kepala seraya meli-
rik pada Dayang Sepuh dan ketiga orang di belakang-
nya. Saat lain dia dan kakek berambut putih sudah
bergerak. Namun tiba-tiba Nyai Tandak Kembang pu-
tar diri menghadap lembah dan angkat suara.
“Harap tidak ada yang bertindak! Ini adalah urusan-
ku!”
Malaikat Berkabung dan kakek berambut putih
urungkan niat berkelebat. Sementara Gendeng Panun-
tun segera mendekati Murid Pendeta Sinting dan ber-
bisik.
“Anak muda! Kalau kau tidak ingin rimba persilatan
ditelan bencana, kau harus segera mendahului untuk
mendapatkan apa yang pernah kau dengar!”
“Tapi.... Nyai Tandak Kembang adalah neneknya....”
“Jangan pedulikan urusan itu! Urusan dia adalah
urusan antara nenek dan cucu yang nakal! Urusanmu
adalah urusan rimba persilatan!”
“Tapi tentu dia tak akan tinggal diam!” kata Joko
pula.
Melihat dua orang saling berbisik, Datuk Wahing
segera pula mendekati Pendekar 131. Tanpa perdengarkan bersinan dahulu, kakek ini ikut berbisik.
“Kau tahu apa yang harus kau lakukan! Jangan
membuat heran dunia persilatan! Jangan hiraukan
ucapan perempuan cantik itu! Lekaslah bertindak!”
Di depan Malaikat Berkabung, Dayang Sepuh ber-
paling ke belakang, ke arah Dewi Ayu Lambada. Saat
yang sama Dewi Ayu Lambada menoleh ke belakang,
ke arah Iblis Ompong. Iblis Ompong sendiri angkat ke-
palanya lalu memandang ke arah Dewa Uuk. Sementa-
ra Dewa Uuk menggeser sedikit tubuhnya dan me-
mandang jauh ke depan, ke arah Dayang Sepuh!
“Setan berkerudung hitam!” kata Dayang Sepuh pa-
da Dewi Ayu Lambada. “Bagaimana sekarang?!”
Dewi Ayu Lambada gerakkan kepala menghadap ke
arah Dayang Sepuh. Namun cuma sekejap dan tanpa
buka mulut menjawab. Saat lain nenek berkerubung
hitam itu berpaling lagi ke belakang pada Iblis Ompong
dan berkata.
“Setan Ompong! Bagaimana sekarang?!”
Iblis Ompong gerakkan kepala ke arah Dewi Ayu
Lambada. Karena kakek ini tidak punya leher, ter-
paksa dia harus lepaskan satu tangannya dari pundak
Dewa Uuk. Namun Iblis Ompong juga hanya sesaat
pandangi wajah Dewi Ayu Lambada dan tanpa buka
mulut pula untuk menjawab. Kejap lain dia berpaling
lagi ke arah Dewa Uuk yang duduk menjeplok di hada-
pannya. Sambil terus gerakkan pantatnya pada pantat
Dewi Ayu Lambada yang terus melenggak-lenggok, iblis
Ompong buka mulut dengan suara keras.
“Setan Uuk! Bagaimana sekarang?!”
Dewa Uuk tadangkan kedua tangannya di belakang
telinga. Lalu anggukkan kepala dan buka mulut.
“Uuuukk! Uuuukk! Uuukkkk!”
Iblis Ompong ikut anggukkan kepalanya. Lalu ber-
paling pada Dewi Ayu Lambada dan buka mulut.
“Uukkkk! Uuukkk! Uuuukkk!”
Dewi Ayu Lambada sesaat kerutkan kening. Lalu
berpaling pada Dayang Sepuh yang masih memandang
ke arahnya. Nenek berkerudung hitam ini buka mulut.
“Uuuukkk! Uuuukk! Uuuuukkk!”
“Setan! Kalian setan semua!” hardik Dayang Sepuh
sambil sentakkan kepalanya ke depan. Namun saat itu
juga tawanya meledak. Disusul oleh Dewi Ayu Lamba-
da kemudian disahut oleh Iblis Ompong dan ditingkahi
suara Ukkk! Ukkk! Ukkk! oleh Dewa Uuk.
Putri Kayangan yang sempat melirik keempat orang
ini menahan tawa. Sementara Pendekar 131 dan Da-
tuk Wahing serta Gendeng Panuntun tampak terus
berbisik-bisik. Hanya Malaikat Berkabung dan kakek
berambut putih jabrik yang sama kancingkan mulut
dengan mata sama mengarah pada sosok Nyai Tandak
Kembang yang membelakangi karena saat itu tengah
menghadap ke arah Lembah Patah Hati.
“Kita hantam dahulu perempuan itu!” Malaikat Ber-
kabung berbisik pada si kakek seraya gerakkan ba-
hunya ke arah Nyai Tandak Kembang.
Namun belum sampai mendapat jawaban, tiba-tiba
di depan sana Nyai Tandak Kembang telah berkata pa-
da Putri Kayangan. “Beda Kumala, kau ikut aku!”
Saat bersamaan dan tanpa menunggu sahutan Pu-
tri Kayangan, Nyai Tandak Kembang telah berkelebat
ke arah Lembah Patah Hati. Putri Kayangan segera pu-
la mengikuti dari belakang.
“Bruss! Brusss! Sekali kesempatan ini lewat, Anak
Muda.... Kau akan heran dan menyesal seumur-umur!”
ujar Datuk Wahing dan seolah tak sadar, kedua tan-
gannya segera mendorong sosok murid Pendeta Sin-
ting. Saat yang sama tiba-tiba Gendeng Panuntun juga
sentakkan kedua tangannya ke arah Pendekar 131.
Joko sempat terkesiap. Belum sampai dia buka sua-
ra, sosoknya telah melenting laksana anak panah bah-
kan mendahului kelebatan Nyai Tandak Kembang yang
bergerak lebih dahulu!
Nyai Tandak Kembang sempat tersentak merasakan
deruan angin deras di atas kepalanya. Menduga di-
rinya dipukul, perempuan berwajah cantik ini segera
angkat kedua tangannya sambil mendongak. Dia se-
saat terkejut dan mengikuti gerakan sosok di atas ke-
palanya yang bukan lain adalah sosok murid Pendeta
Sinting.
“Kau telah kuperingatkan. Tapi kau keras kepala!”
teriak Nyai Tandak Kembang. Kedua tangannya segera
dihantamkan ke atas. Putri Kayangan yang berkelebat
di belakangnya sudah hendak buka mulut. Namun in-
gat dengan siapa dia kini berada, dia segera urungkan
niat dengan wajah gelisah. Bahkan kedua tangannya
sudah bergerak. Gadis ini tiba-tiba sudah memu-
tuskan untuk memotong pukulan Nyai Tandak Kem-
bang jika Joko tidak siap.
Sementara di atas udara, murid Pendeta Sinting
yang sesaat belum sadar karena sentakan tangan Da-
tuk Wahing dan Gendeng Panuntun, terkesiap kaget
tatkala mendapati gelombang yang dahsyat sudah me-
labrak ke arahnya.
Sekejap Joko jadi bimbang begitu tahu siapa
adanya orang yang lepaskan pukulan. Kalau dia
menghadang dengan pukulan, pasti akan terjadi masa-
lah dengan Nyai Tandak Kembang, namun jika tidak
maka dia akan terhantam pukulan. Akhirnya murid
Pendeta Sinting memutuskan untuk menghindar.
Hingga dengan cepat dia sentakkan bahunya. Sosok-
nya menukik deras. Gelombang pukulan Nyai Tandak
Kembang lewat dua jengkal di sampingnya. Namun tak
urung bias gelombang masih menyambar. Hingga tan-
pa ampun lagi sosoknya terbanting di udara lalu jatuh
bergulingan di atas tumbuhan bunga di Lembah Patah
Hati.
Melihat pukulannya hanya biasnya saja yang menyambar dan justru malah membuat sosok murid
Pendeta Sinting sudah berada di depan sana, Nyai
Tandak Kembang mulai jengkel. Sekali lagi dia sentak-
kan kedua tangannya sambil terus berkelebat.
Putri Kayangan yang tadi sempat takupkan kedua
tangan ke mulut agar tidak terdengar jeritannya me-
lihat sosok murid Pendeta Sinting terbanting di udara
dan jatuh bergulingan di atas tanah, kini tak dapat lagi
menahan suara. Dia berseru tertahan. Namun Nyai
Tandak Kembang tidak peduli. Dia teruskan sentakan
kedua tangannya! Hingga saat itu juga kembali satu
gelombang deras melabrak ke arah Joko yang masih
terus bergulingan.
“Celaka! Dia menyerangku lagi!” gumam murid Pen-
deta Sinting dengan mata dipentang besar. “Kalau saja
cucunya tidak cantik dan menarik hatiku....” Joko ti-
dak bisa lanjutkan gumaman. Karena gelombang pu-
kulan Nyai Tandak Kembang sudah satu tombak di
depannya.
Joko berpaling ke kanan kiri untuk mencari tempat
berlindung menghindar dari pukulan Nyai Tandak
Kembang. Namun dia tak melihat sesuatu yang cukup
baik untuk berlindung. Saat itulah matanya menang-
kap lobang agak besar yang di kanan kirinya tampak
berserakan batu.
“Hem.... Hanya lobang itu satu-satunya tempat ber-
lindung! Mudah-mudahan tidak terlalu dalam!”
Berpikir begitu, akhirnya tanpa bangkit berdiri, Jo-
ko sentakkan kedua tangannya. Gulingannya makin
cepat dan begitu berada dua tombak dari lobang, kem-
bali Joko sentakkan kedua tangannya. Sosoknya men-
tal ke udara dan melesat ke depan mengarah pada lo-
bang.
Wuusss!
Gelombang pukulan Nyai Tandak Kembang menyer-
gap ganas di bawah sosok Pendekar 131. Namun kali
ini menghantam tempat kosong.
Begitu gelombang lewat, karena khawatir Nyai Tan-
dak Kembang akan menghantam lagi, Joko cepat ber-
kelebat ke arah lobang sebelum akhirnya lenyap ma-
suki
Bukkk!
Karena terlalu khawatir akan hantaman Nyai Tan-
dak Kembang, murid Pendeta Sinting tidak memikir-
kan keadaan dirinya yang tengah melayang masuk ke
dalam lobang. Hingga tanpa ampun lagi sosoknya
menghantam lantai batu di bawah lobang!
Jauh di seberang belakang di tempat mana kini mu-
rid Pendeta Sinting berada, dua kepala langsung ber-
paling ke arah sosok Pendekar 131 yang tergeletak di
lantai. Dua kepala ini kemudian saling berhadapan
dan mata mereka saling pandang. Pemilik kepala sebe-
lah kanan adalah seorang kakek dan satunya lagi milik
seorang nenek berambut putih awut-awutan. Mereka
berdua bukan lain adalah Kigali dan Umbu Kakani.
“Bagaimana Umbu Kakani?!” ujar Kigali seraya me-
lirik ke alas jerami di mana seorang gadis berbaju me-
rah tengah telentang dengan sekujur tubuh basah
kuyup oleh keringat. Wajahnya pucat pasi. Kedua tan-
gannya mencengkeram alas jerami dengan kuat-kuat.
Sepasang matanya terpejam rapat dengan bibir saling
menggigit. Napasnya berhembus panjang-panjang. Pa-
da bagian bawah tubuhnya tampak agak banyak tete-
san darah. Gadis ini tidak lain adalah Pitaloka.
Umbu Kakani gelengkan kepala. Wajahnya murung.
Lalu kepalanya menatap tajam pada satu sosok tubuh
kecil berlumur darah di samping Pitaloka. Dengan sua-
ra tersendat, Umbu Kakani berujar pelan.
“Nyawa bayi ini tidak bisa diselamatkan.... Mungkin
umurnya belum mencukupi! Tapi untungnya Pitaloka
tidak apa-apa....”
“Bagaimana dengan mutiara merah di pusarnya?!”
Kigali kembali bertanya. Kali ini pandang matanya ter-
tuju pada sosok bayi di samping Pitaloka yang terong-
gok diam.
“Aku telah berusaha mencabutnya. Tapi sepertinya
ada satu kekuatan yang menahan. Aku tak sanggup
melakukannya! Bagaimana kalau kau yang mencoba-
nya?! Waktu kita tidak banyak. Lihat seseorang telah
berada di tempat ini! Tak lama lagi mungkin akan ada
orang lain yang muncul! Kau mengenal siapa pemuda
yang baru muncul itu?!”
“Jangan pedulikan dulu siapa adanya orang yang
muncul! Kita harus mengambil mutiara itu secepat-
nya!”
Habis berkata begitu, Kigali melangkah memutar ke
arah samping kanan di mana bayi merah itu berada.
Untuk beberapa saat lamanya Kigali pandangi sosok
bayi merah dengan tubuh sedikit bergetar. Lalu mata-
nya tertuju pada pusar bayi. Di situ ternyata terlihat
sinar merah menyala sebesar ujung jari kelingking
berbentuk bulat.
Kigali julurkan tangan kanannya yang bergetar ke
arah pusar bayi. Lalu perlahan-lahan mencabut bun-
daran merah pada pusar si bayi. Meski hanya menem-
pel, namun Kigali mengalami kesulitan untuk menca-
but butiran merah di pusar bayi meski dia telah kelua-
rkan segenap tenaga dalam dan luarnya!
“Aneh.... Kelihatannya hanya menempel biasa. Tapi
aku tak kuasa juga mengambilnya!” ujar Kigali pelan
seraya memandang pada Umbu Kakani yang saat itu
terus memperhatikannya.
“Hem.... Kita telah berusaha, Kigali. Namun nyata-
nya kita tak berhasil. Ini mungkin saja satu bukti jika
kita berdua tidak punya bagian dalam urusan ini!”
Kigali anggukkan kepala seraya menarik tangan ka-
nannya dari pusar bayi. Lalu berkata pelan. “Bayi ini
adalah anak Pitaloka. Barangkali dia bisa melakukan
nya!”
Umbu Kakani tidak menunggu lama. Begitu men-
dengar ucapan Kigali, dia segera menggoyang-goyang-
kan sosok Pitaloka. Pitaloka perlahan-lahan membuka
kelopak matanya.
“Nek.... Kek.... Bagaimana dengan....”
Belum sampai Pitaloka teruskan ucapan, Umbu Ka-
kani telah menyahut dengan coba tersenyum. “Anak-
ku.... Kau harus tabah menerima kenyataan. Kau juga
harus bersyukur karena kau masih selamat....”
“Maksud Nenek...?”
“Anakmu.... Anakmu tidak berumur panjang, Pita-
loka. Dia ada di sampingmu!”
Tanpa pedulikan rasa sakit yang masih terasa
menghujam tubuhnya, Pitaloka geser tubuhnya ke atas
lalu perlahan-lahan beranjak duduk. Matanya lang-
sung tertuju pada bayi merah di sebelah kanannya.
Saat itu juga tangisnya meledak!
“Anakku...,” ujar Umbu Kakani. “Tidak ada gunanya
kau menangis. Ini sudah jadi perjalanan yang harus
kau alami. Sekarang ada sesuatu yang harus segera
kau lakukan! Kau lihat bundaran merah pada pusar
bayimu. Aku dan Kigali telah berusaha sekat tenaga
untuk mengambilnya. Tapi kami berdua gagal! Seka-
rang mungkin kaulah yang bisa mengambilnya! Kau
tahu apa arti benda itu nantinya!”
Dengan masih sesenggukan, Pitaloka mendekati
bayi di sampingnya. Tangannya yang gemetaran lang-
sung mengangkat orok merah itu. Lalu perlahan-lahan
tangan kanannya bergerak ke arah bundaran merah di
pusar bayi. Pitaloka berusaha mengambilnya. Namun
hingga agak lama, tampaknya Pitaloka gagal untuk
mengambilnya.
“Letakkan kembali bayimu, Anakku....” Umbu Ka-
kani berkata. Lalu memandang pada Kigali. “Kita ting-
gal menunggu kenyataan.... Namun satu hal, jangan
sampai benda merah itu jatuh ke tangan manusia ke-
parat berambut putih yang sebentar lagi pasti akan
muncul di tempat ini!”
Pitaloka letakkan bayinya kembali di atas jerami
kering. Saat dia angkat kepalanya, matanya menang-
kap sosok yang tegak di depan sana. Sesaat matanya
membelalak. Saat lain bibirnya bergetar perdengarkan
suara tersendat.
“Pendekar 131....”
Kigali dan Umbu Kakani sama berpaling ke arah
depan. Dia melihat seorang pemuda berpakaian putih
berambut panjang sedikit acak-acakan yang dililit ikat
kepala warna putih pula. Parasnya tampan.
“Hem.... Jadi inikah anak manusianya yang bergelar
Pendekar 131?!” gumam Umbu Kakani.
Murid Pendeta Sinting yang telah tegak sungging-
kan senyum lebar. Namun sepasang matanya bukan
pandangi ketiga orang di depan sana, melainkan pada
orok merah yang diam di samping Pitaloka. Dia tadi
sempat melihat bagaimana Pitaloka berusaha men-
gambil benda bulat merah di pusar si bayi dan tidak
berhasil. Dia juga mendengar bisik-bisik Kigali dan
Umbu Kakani.
“Maaf jika kedatanganku mengejutkan kalian...,”
kata Joko. “Terus terang saja. Aku datang dengan satu
maksud....”
“Kau menginginkan mutiara merah itu bukan?!”
Umbu Kakani telah menyahut.
“Terima kasih kau telah mengerti, Nek! Harap kalian
tidak punya prasangka buruk. Saat ini rimba persila-
tan tengah mengalami ancaman dari seorang tokoh
yang di tangannya menggenggam Kembang Darah Se-
tan dan Jubah Tanpa Jasad. Menurut beberapa saha-
batku, tokoh tersebut hanya bisa dihadapi dengan mu-
tiara merah itu! Jadi harap beri kesempatan padaku
untuk mengambilnya! Kalian boleh bertanya siapa aku
pada Pitaloka.... Kami telah saling kenal....”
Murid Pendeta Sinting arahkan pandang matanya
pada Umbu Kakani dan Kigali sebelum akhirnya me-
mandang pada Pitaloka. Pitaloka tampak makin pucat
dan saat lain gadis ini berpaling. Saat itu juga kembali
tangisnya terdengar!
Pendekar 131 geleng-geleng kepala sambil menarik
napas dalam. Sebenarnya dalam hatinya masih terber-
sit ketidakpercayaan dengan apa yang dilihatnya. Dia
juga masih bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan
laki-laki dari bayi yang telah dilahirkan Pitaloka. Dia
tahu bagaimana perasaan Pitaloka saat itu. Hingga dia
segera alihkan pandang matanya pada Umbu Kakani
dan Kigali. Lalu berucap.
“Nek.... Kek.... Kita memang belum saling kenal. Ta-
pi sekali lagi kuharap kalian tidak berprasangka yang
bukan-bukan. Semua ini kulakukan karena demi da-
mainya rimba persilatan! Kuharap kalian memberi ke-
sempatan padaku!”
Umbu Kakani dan Kigali saling pandang. Lalu sama
arahkan pandang matanya pada Pitaloka. Pitaloka
tampak sesenggukan bahkan kini tutupi mukanya
dengan kedua telapak tangannya.
“Kek! Nek! Waktuku tidak banyak.... Di luar sana
beberapa orang telah menunggu dengan maksud yang
sama namun sebagian bertujuan lain...!”
Umbu Kakani berpaling pada murid Pendeta Sin-
ting. “Anak muda! Bayi ini dilahirkan Pitaloka. Kami
tidak bisa memutuskan karena haknya berada di Pita-
loka!”
“Bukan dia yang berhak memutuskan! Tapi aku!”
Tiba-tiba satu suara menyahut. Lalu satu sosok tubuh
melayang turun dari lobang dan tegak tidak jauh dari
murid Pendeta Sinting. Tidak berapa lama kemudian
satu sosok tubuh kembali melayang turun dan tegak di
sebelah sosok yang baru muncul!
***
SEBELAS
SOSOK yang tadi perdengarkan suara dan melayang
turun pertama adalah seorang perempuan berwajah
cantik meski usianya tidak muda lagi. Dia bukan lain
adalah Nyai Tandak Kembang. Lalu sosok yang me-
nyusul muncul adalah seorang gadis berpakaian me-
rah juga berparas cantik dan tidak bukan adalah Putri
Kayangan, saudara kembar Pitaloka.
Begitu injakkan kaki di lantai bawah lobang, Nyai
Tandak Kembang dan Putri Kayangan segera hujam-
kan mata masing-masing ke depan. Tiba-tiba sosok
Nyai Tandak Kembang bergetar keras. Bagian atas da-
danya yang terbuka tampak bergerak turun naik den-
gan hebat. Sepasang matanya mendelik angker dengan
pelipis kanan kiri bergerak-gerak. Jelas perempuan da-
ri lereng Gunung Semeru ini telah dilanda hawa ama-
rah luar biasa! Hingga untuk beberapa saat dia tidak
kuasa berkata meski mulutnya bergetar membuka!
Di sebelah Nyai Tandak Kembang. Putri Kayangan
tampak berubah paras. Dia tak kuasa lagi melihat
keadaan saudara kembarnya. Ditambah lagi tidak da-
pat menahan rasa malu pada murid Pendeta Sinting.
Hingga dia tidak berani melirik atau memandang pada
Pendekar 131 maupun pada Pitaloka. Malah tak lama
kemudian dia palingkan kepala dengan mata merebak
merah dan teteskan air mata.
“Peristiwa ini benar-benar terjadi! Pitaloka cucuku
melahirkan bayi!” Nyai Tandak Kembang bergumam.
“Pitaloka... Mengapa Ini kau lakukan? Mengapa?! Men-
gapa?! Ataukah ini sengaja kau lakukan untuk mem-
buatku malu di hadapan orang?!”
Di seberang sana, Kigali dan Umbu Kakani kembali
saling pandang. “Yang berpakaian putih sebatas dada
adalah Nyai Tandak Kembang. Menurut pengakuannya
dia adalah nenek Pitaloka!” ujar Kigali pelan. “Semen-
tara yang gadis aku tidak tahu siapa. Namun dari pa-
ras wajahnya, aku bisa menebak jika dia adalah sau-
dara kembar Pitaloka!”
Umbu Kakani sambuti ucapan Kigali dengan ang-
gukan kepalanya. Lalu memandang pada Pitaloka yang
masih tutupi wajah dengan kedua telapak tangannya.
Entah karena masih tenggelam dalam kesedihan dan
bingung, Pitaloka tidak mendengar suara Nyai Tandak
Kembang sebelum sosoknya melayang turun dari lo-
bang. Dia juga tidak mendengar ucapan Kigali yang be-
rucap pada Umbu Kakani memberi tahu siapa adanya
kedua orang yang muncul.
“Anakku Pitaloka.... Kau harus mengatakan terus
terang apa yang terjadi pada orang yang muncul itu!
Tampaknya dia tidak bisa menerima kenyataan yang
menimpa dirimu!”
Mungkin karena menduga yang dimaksud orang
yang baru muncul adalah murid Pendeta Sinting, tan-
pa buka kedua tangannya dari wajah, Pitaloka berkata.
“Percuma aku mengatakan padanya! Aku sekarang
sadar siapa diriku! Dia pasti memandang kotor pada-
ku! Tapi katakan padanya.... Aku rela dia mengambil
benda merah pada pusar bayi ini....”
Kigali dan Umbu Kakani sama kerutkan dahi. Me-
reka berdua tampaknya mengerti perasaan Pitaloka.
Umbu Kakani gelengkan kepala dengan perasaan tre-
nyuh. Lalu berkata lagi. “Anakku.... Lihat dulu siapa
yang datang.... Maksudku, selain Pendekar 131 telah
muncul lagi dua orang. Kukira kau mengenalinya. Dan
kau harus mengatakan pada mereka apa yang sebe-
narnya terjadi!”
Pitaloka sempat terkejut. Perlahan-lahan wajahnya
digerakkan menghadap ke depan. Lalu dengan masih
sesenggukan kedua tangannya diturunkan dari wajah-
nya. Pitaloka seketika rasakan nyawanya melayang.
Wajahnya berubah sulit dibayangkan. Matanya mem-
belalak dengan mulut terkancing rapat.
Begitu Pitaloka turunkan kedua tangan dari wajah-
nya, mendadak Nyai Tandak Kembang sudah berkele-
bat dan tahu-tahu telah tegak lima langkah di hada-
pan Pitaloka.
“Eyang....” Akhirnya Pitaloka bisa juga bergumam.
Dagu Nyai Tandak Kembang terangkat. Matanya
menyengat tajam pada sosok Pitaloka. Lalu mulutnya
terbuka perdengarkan bentakan keras.
“Pitaloka! Kau tak pantas lagi memanggilku Eyang!
Kau tahu apa yang kau lakukan? Kau tahu?!”
Pitaloka bergerak bangkit meski dengan menahan
rasa sakit. Umbu Kakani serta Kigali hanya diam dan
memandang.
“Eyang...,” jerit Pitaloka sambil jatuhkan diri di ha-
dapan Nyai Tandak Kembang. Kedua tangannya meng-
gapai kedua kaki Nyai Tandak Kembang dengan per-
dengarkan tangis.
Namun sebelum kedua tangan Pitaloka sempat
menggapai. Nyai Tandak Kembang sudah gerakkan
kakinya. Bukan untuk menghindar, melainkan me-
lakukan tendangan!
Bukkk!
Sosok Pitaloka terangkat lalu terjengkang ke bela-
kang. Namun Pitaloka tidak peduli. Dia cepat tarik pu-
lang tubuhnya lalu merangkak tertatih-tatih mendekati
eyangnya. Lagi-lagi begitu tangan Pitaloka hendak
menggapai. Nyai Tandak Kembang sudah lepaskan
tendangan.
Buuuukk!
Untuk kedua kalinya sosok Pitaloka terjengkang ke-
belakang. Umbu Kakani tampaknya tak kuasa mena-
han iba. Dia segera melompat dengan posisi duduk.
Namun baru saja sosoknya duduk di samping Pitaloka,
Nyai Tandak Kembang telah menyemprot.
“Jangan melibatkan diri dalam urusan ini! Membu-
nuh pun aku berhak atas dirinya!”
“Nyai Tandak Kembang!” kata Umbu Kakani. “Kau
memang neneknya. Kau berhak melakukan apa saja
pada gadis ini! Tapi adalah tidak bijaksana tindakan
seorang nenek yang tanpa menanyakan dahulu men-
gapa....”
Belum sampai selesai Umbu Kakani berkata, Nyai
Tandak Kembang sudah memotong.
“Bukti sudah di depan mata! Apa masih perlu ber-
tanya?!”
“Benar, Nyai.... Tapi ini semua adalah akibat! Dan
pasti ada sebabnya!”
“Mana ada bayi lahir dari seorang gadis yang belum
punya suami kalau sebabnya tidak karena ulah dan
tindakan cerobohnya?!”
Umbu Kakani gelengkan kepala. “Di sinilah kesala-
hanmu, Nyai.... Tidak semua bayi lahir dari gadis yang
belum bersuami sebab ulah dan tindakan ceroboh ga-
dis itu! Ada sebab lain yang bisa saja terjadi dan
mungkin bisa menimpa perempuan mana pun!”
Kemarahan Nyai Tandak Kembang makin memun-
cak mendengar ucapan Umbu Kakani. Dengan suara
keras setengah menjerit dia berkata.
“Kuperingatkan kau agar tidak mencampuri uru-
sanku! Aku tidak mau dengar lagi segala macam ala-
san! Pitaloka telah terbukti melahirkan anak padahal
dia belum punya suami! Hanya gadis tak tahu diri
yang bisa melakukan hal itu! Gadis seperti dia tak
pantas lagi ada di atas permukaan bumi!”
“Aku bukannya turut campur urusanmu, Nyai....
Aku hanya akan mengatakan apa sebab sebenarnya
yang menimpa cucumu!”
Nyai Tandak Kembang tidak acuhkan ucapan Umbu
Kakani. Dia mendelik pada Pitaloka dan membentak.
“Pitaloka! Karena bayi itu lahir bukan saja karena
dirimu sendiri, maka bukan hanya kau saja yang tidak
pantas hidup! Sekarang katakan, siapa laki-laki ayah
dari bayi itu!” sambil berkata membentak entah karena
apa tiba-tiba Nyai Tandak Kembang melirik pada Kigali
yang masih tegak di sebelah tumpukan jerami dekat
bayi. Diam-diam dada Nyai Tandak Kembang berdebar
dan gelisah. “Astaga.... Jangan-jangan laki-laki itu ada-
lah dia.... Tapi apa mungkin?! Ketika jumpa di hutan
tempo hari, aku sudah curiga padanya.... Ternyata
memang dia tahu di mana Pitaloka berada. Di hutan
sana tidak ada orang laki-laki selain dia yang bersama
Pitaloka.... Apakah mungkin dia?!”
Mendengar pertanyaan Nyai Tandak Kembang, Pita-
loka tidak segera menjawab bahkan tidak berani me-
mandang. Mendapati hal demikian, Umbu Kakani bu-
ka mulut. Namun sebelum suaranya terdengar, Nyai
Tandak Kembang sudah mendahului.
“Aku hanya minta jawaban dari mulut Pitaloka! Ka-
rena dia yang melakukan dan pasti tahu siapa laki-laki
pengecut itu!”
Di sebelah belakang, Pendekar 131 hanya bisa di-
am. Tak jauh di sampingnya Putri Kayangan masih pa-
lingkan kepala dengan air mata terus menetes.
“Anakku...,” ujar Umbu Kakani pada Pitaloka. “Ka-
takan terus terang padanya!”
Perlahan-lahan dengan wajah takut Pitaloka angkat
kepalanya. Mulutnya membuka.
“Eyang.... Aku tak tahu siapa laki-laki itu.... Kare-
na....”
“Dasar gadis tolol!” bentak Nyai Tandak Kembang
seraya bantingkan kaki. “Kau yang melakukan. Adalah
aneh kalau kau tak tahu siapa laki-laki itu! Kau masih
juga menutup-nutupi laki-laki pengecut itu!”
“Eyang.... Aku tak berdusta. Aku tak tahu siapa la
ki-laki itu....”
“Keparat!” maki Nyai Tandak Kembang saking ma-
rahnya. “Siapa percaya pada ucapanmu! Mana mung-
kin kau sampai mengandung dan melahirkan anak
tanpa tahu dengan siapa kau melakukannya! Kau jan-
gan berlaku bodoh untuk kedua kalinya, Pita-loka!” se-
raya berkata begitu, mata Nyai Tandak Kembang kem-
bali melirik pada Kigali. Saat lain tiba-tiba tangan ka-
nan Nyai Tandak Kembang terangkat dan lurus me-
nunjuk pada Kigali. “Atau dia laki-laki itu?!”
Kigali hanya tersenyum tanpa buka mulut. Semen-
tara Pendekar 131 memandang tajam pada Kigali den-
gan dada terus menduga-duga. Putri Kayangan segera
pula palingkan kepala begitu mendengar ucapan Nyai
Tandak Kembang. Dia sebenarnya ingin tahu siapa la-
ki-laki yang dikatakan Nyai Tandak Kembang.
“Eyang.... Bukan dia...,” jawab Pitaloka dengan sua-
ra tetap bergetar.
“Hem.... Kau bisa memastikan bukan dia. Berarti
kau bisa memastikan pula siapa laki-laki itu!” bentak
Nyai Tandak Kembang.
Pitaloka gelengkan kepala. Nyai Tandak Kembang
tak bisa menahan marah. Kedua tangan diangkat.
“Rupanya kau rela mati hanya demi menutupi seorang
laki-laki pengecut! Kau lebih suka menabur malu di
mukaku hanya demi sembunyikan seorang laki-laki!”
Kedua tangan Nyai Tandak Kembang bergerak. Putri
Kayangan sudah hendak melompat untuk cegah gera-
kan Nyai Tandak Kembang. Di lain pihak, Pendekar
131 Joko Sableng tak tinggal diam. Dia segera pula
berkelebat.
“Tahan!” seru Umbu Kakani. “Aku akan menje-
laskan semuanya!” seraya berkata begitu, Umbu Ka-
kani bergerak satu kali. Sosoknya tahu-tahu duduk di
depan Pitaloka halangi tindakan Nyai Tandak Kembang.
“Apa yang dikatakan Pitaloka benar adanya! Dia ti-
dak tahu siapa laki-laki yang melakukannya! Dia di-
perkosa....”
Nyai Tandak Kembang tahan gerakannya meski ke-
dua tangannya tetap berada di atas udara. Pendekar
131 dan Putri Kayangan juga urungkan niat berkele-
bat.
“Aku tak percaya! Kalaupun benar diperkosa, seti-
daknya dia tahu siapa laki-laki itu!”
“Di sinilah masalahnya, Nyai.... Si pemerkosa ada-
lah bukan orang sembarangan! Dia memegang Kem-
bang Darah Setan dan mengenakan Jubah Tanpa Ja-
sad hingga siapa orangnya tak bisa dikenali wajahnya!”
Nyai Tandak Kembang terkesiap kaget. Putri Kayan-
gan tak kalah terkejutnya. Tapi yang paling terlihat
melengak kaget adalah Pendekar 131 Joko Sableng!
SELESAI
Segera ikuti lanjutannya:
TUMBAL PUSAR MERAH
0 comments:
Posting Komentar