Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Joko Sableng telah
Terdaftar pada Dept. Kehakiman R. I.
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan
Merek di bawah nomor 012875
SATU
JUBAH hitam tanpa kelihatan sosok si pemakainya
itu perdengarkan deruan angker saat berkelebat mele-
wati sebuah kawasan yang menuju bukit. Jubah hitam
yang tidak lain adalah Jubah Tanpa Jasad yang dike-
nakan oleh Kiai Laras baru berhenti di bagian lamping
bukit sebelah timur, di mana terdapat sebuah mulut
goa yang di kanan kirinya diranggasi semak belukar
dan rindangnya dedaunan hingga kalau orang tidak
perhatikan dengan seksama, maka dia tak akan bisa
melihat jika di antara kerapatan semak dan rindang-
nya dedaunan terdapat sebuah mulut goa.
Mulut goa itu sebagian tampak ambrol longsor. Se-
mentara agak jauh dari mulut goa, terlihat beberapa
tumbangan batangan pohon. Jelas menunjukkan ka-
lau di tempat itu pernah terjadi bentrok antara orang-
orang yang berilmu tinggi.
“Hem.... Tempat ini akan kubuat sebagai tempat
yang disegani layaknya Kampung Setan pada beberapa
puluh tahun yang silam! Bahkan akan kujadikan tem-
pat yang namanya saja sudah membikin orang ketaku-
tan!” Kiai Laras arahkan pandang matanya pada seki-
tar mulut goa. Lalu mulai langkahkan kaki.
Kepala Kiai Laras berpaling sesaat ketika sosoknya
yang tidak bisa dipandang dengan mata biasa tegak di
mulut goa. Bibirnya sunggingkan seringai. Lalu te-
ruskan langkah masuk ke dalam goa. Dia menuju po-
jok ruangan goa di mana terlihat bekas perapian yang
telah padam.
Kaki kanan Kiai Laras bergerak masuk ke dalam pe-
rapian. Saat lain terdengar suara berderit. Bagian po-
jok goa tiba-tiba bergerak. Dan tampaklah sebuah lo-
bang menyerupai pintu. Di belakang lobang terlihat
tangga naik dari batu cadas.
Kiai Laras membuat gerakan satu kali. Serta-merta
jubah hitam yang dikenakan melesat dan tahu-tahu te-
lah tegak di bagian atas tangga batu di mana berjarak
lima langkah di hadapannya terdapat sebuah lobang
menganga besar membentuk lingkaran. Bersamaan
melesat masuknya Jubah Tanpa Jasad, lobang di ba-
gian pojok ruangan goa berderit menutup.
Kiai Laras melangkah ke pinggiran lobang mengan-
ga di hadapannya. Memandang ke bawah terlihat dua
sosok tubuh duduk bersila bersandar pada lamping lo-
bang.
Di sebelah kanan tampak seorang perempuan lanjut
usia mengenakan kain panjang berwarna coklat. Ram-
butnya putih dengan kulit di sekujur tubuh mengeri-
put. Di pangkuan nenek ini terlihat sebuah tusuk
konde besar berwarna hitam.
Berjarak tujuh langkah dari tempat si nenek, duduk
bersandar seorang perempuan setengah baya yang pa-
ras wajahnya masih kelihatan cantik.
Kedua orang perempuan di bawah lobang menganga
yang bukan lain adalah si nenek Ni Luh Padmi dan
Lasmini sama rangkapkan kedua tangan masing-
masing di depan dada. Mata mereka sama terpejam
rapat. Mereka hanya sesekali menghela napas.
Seperti diceritakan, Ni Luh Padmi yang tengah men-
cari jejak Pendeta Sinting berjumpa dengan Kiai Laras
yang saat itu masih mengenakan samaran sebagai
Pendekar 131 Joko Sableng. Kiai Laras mengelabui Ni
Luh Padmi hingga si nenek akhirnya muncul di Bukit
Kalingga, tempat yang dikatakan Kiai Laras sebagai
tempat persembunyiannya Pendeta Sinting. Kiai Laras
yang masih menyamar sebagai murid Pendeta Sinting
menyambut kedatangan Ni Luh Padmi. Akhirnya terja-
di bentrok. Dengan Kembang Darah Setan di tangan
nya, Kiai Laras dapat membekuk Ni Luh Padmi dan
dimasukkan ke dalam lobang di balik ruangan goa.
Selang beberapa saat kemudian muncul pula Las-
mini yang bukan lain adalah ibu dari Saraswati, istri
pertama Panjer Wengi yang lebih dikenal dengan Teng-
korak Berdarah. Seperti halnya Ni Luh Padmi, Lasmini
juga dapat ditipu hingga akhirnya muncul di Bukit Ka-
lingga. Kiai Laras pada akhirnya dapat menaklukkan
Lasmini dan diseretnya masuk ke dalam lobang di ba-
lik ruangan goa.
Baik Ni Luh Padmi dan Lasmini tidak tahu sudah
berapa lama mereka berdua berada di dalam lobang
itu. Selain tidak bisa melihat peredaran matahari, yang
terpikir oleh mereka berdua adalah bagaimana caranya
bisa keluar selamatkan diri. Lobang di mana mereka
berdua berada memang tidak terlalu dalam. Sean-
dainya mereka kerahkan tenaga dalam dan berkelebat
meloncat, tentu mereka tidak merasa kesulitan. Na-
mun mereka tidak berani melakukannya. Karena ter-
nyata lobang di mana mereka berada telah ditaburi ra-
cun. Sekali mereka kerahkan tenaga dalam, racun itu
akan masuk ke dalam jalan darah. Hingga meski me-
reka nantinya bisa selamat keluar, namun nyawanya
tidak bisa ditolong lagi!
“Bagus! Rupanya kalian bukan manusia-manusia
tolol yang mau selamatkan diri dengan taruhan nyawa!
Ha.... Ha.... Ha...!” Kiai Laras perdengarkan suara dari
atas lobang.
Ni Luh Padmi dan Lasmini sama buka kelopak mata
masing-masing lalu tengadah. Serentak kedua perem-
puan ini sama pentangkan mata dengan tubuh geme-
tar. Saat lain keduanya saling berpandangan. Lalu
mendongak lagi dengan mulut masih sama terkancing.
“Siapa manusia yang baru saja perdengarkan suara
tadi?!” Diam-diam Ni Luh Padmi membatin dengan
memperhatikan lebih seksama pada jubah hitam yang
mengapung di atas sana. Di sebelahnya, diam-diam
Lasmini juga bertanya-tanya dalam hati.
“Siapa kau?!” Ni Luh Padmi yang bisa kuasai diri
terlebih dahulu angkat bicara.
“Aku adalah penguasa kolong jagat!” Kiai Laras
menjawab masih dengan perdengarkan gelakan tawa
membahana.
“Hem.... Suaranya jelas dari jubah hitam itu! Na-
mun orangnya tidak bisa kulihat! Atau hanya mataku
saja yang tidak bisa melihatnya?!” Lasmini bergumam
sendiri lalu berpaling pada Ni Luh Padmi dan berbisik.
“Nek.... Aku melihat keanehan! Apa kau juga mera-
sakannya?!”
Tanpa berpaling pada Lasmini, Ni Luh Padmi ang-
gukkan kepala sembari menjawab.
“Aku tak bisa melihat orang yang bersuara! Tapi
aku masih bisa yakin kalau suara orang itu pernah
kudengar?!”
“Maksudmu yang bersuara itu adalah pemuda ja-
hanam Pendeta Sinting?!”
Rahang Ni Luh Padmi mendadak mengembang.
“Jangan sebut-sebut nama itu di depanku!” desis si
nenek dengan suara dingin. “Apa keanehan yang kau
rasakan seperti apa yang baru kukatakan?!”
“Benar! Aku tidak melihat orang yang bersuara!”
ujar Lasmini.
“Kita harus melakukan sesuatu. Persetan siapa dia
adanya! Yang jelas kita harus bisa keluar dari tempat
celaka ini! Jika tidak, kita akan mampus perlahan-
lahan!” bisik Ni Luh Padmi masih dengan kepala ten-
gadah.
“Tapi apa yang harus kita lakukan?!”
Ni Luh Padmi menoleh pada Lasmini. “Dia kita ajak
bicara! Kalau dia tawarkan sesuatu, untuk sementara
kita penuhi asal kita bisa keluar! Sesudah itu terserah
padamu!”
Walau masih belum sepenuhnya bisa menerima
usul Ni Luh Padmi, namun karena tidak ada jalan lain,
akhirnya Lasmini anggukkan kepala. Lalu tengadah
begitu melihat si nenek telah kembali mendongak dan
buka mulut.
“Kau mengaku sebagai penguasa kolong jagat. Tapi
apakah kau mampu mengeluarkan kami dari tempat
ini?!”
Mendengar ucapan Ni Luh Padmi, Kiai Laras henti-
kan gelakan tawanya sesaat. Lalu kembali tertawa
ngakak dan berkata.
“Aku yang telah memasukkan kalian berdua! Ada-
lah aneh pertanyaanmu tadi!”
“Jahanam keparat! Jadi orang yang bersuara itu
adalah pemuda bajingan murid Pendeta Sinting! Cela-
ka...! Tak mungkin dia mau mengeluarkan meski den-
gan tawaran apa pun!” Lasmini berkata dalam hati
dengan air muka tegang. Sementara Ni Luh Padmi
sunggingkan senyum walau parasnya membayangkan
keterkejutan.
“Murid jahanam itu sungguh di luar dugaanku! Dia
juga memiliki ilmu aneh! Sosoknya bisa tidak keliha-
tan! Hem.... Bagaimana sekarang?!” Ni Luh Padmi yang
masih mengira jika sosok tidak kelihatan di balik Ju-
bah Tanpa Jasad adalah Pendekar 131 berpikir keras.
“Sepertinya kita tak mungkin bisa keluar dari sini!”
ujar Lasmini pelan tanpa berpaling. “Bagaimana kalau
kita keluar dengan cara kita sendiri?! Kalaupun harus
menemui ajal, kurasa tak ada bedanya! Di sini terus-
terusan pun kita akan mampus!”
Ni Luh Padmi tertawa pendek. “Kau menginginkan
cepat mampus?!”
Kalau di sini akhirnya juga mampus, bukankah lebih baik kita berusaha meski taruhannya harus lebih
cepat tewas?! Atau kau ingin mati perlahan-lahan dan
percuma?!” Lasmini sambuti ucapan Ni Luh Padmi.
“Kita tak akan mampus percuma! Kau lihat, ke-
munculannya pasti membawa maksud! Kalau tidak,
untuk apa dia datang?!” ujar Ni Luh Padmi. Lalu tanpa
menunggu sahutan dari Lasmini, si nenek berucap
lantang.
“Hai! Apa maumu sekarang?!”
“Kalian berdua manusia tidak berguna bagiku! Ti-
dak ada yang ku mau dari kalian! Kalaupun sampai
saat ini nyawa kalian belum Kukirim ke neraka, sema-
ta-mata karena aku menunggu saat yang tepat!”
Walau dalam hati memaki habis-habisan, Ni Luh
Padmi masih juga coba angkat suara. “Boleh aku tahu.
Saat apa yang kau tunggu?!”
“Begitu Pendeta Sinting kudapatkan, itulah saatnya
nyawa kalian berakhir! Tapi jika sebelum itu kalian te-
lah mampus dahulu, itu adalah takdir buruk bagi ka-
lian!”
Lasmini dan Ni Luh Padmi sama kerutkan dahi.
Mampir bersamaan mereka berpaling den saling pan-
dang.
“Jahanam betul! Jadi siapa sebenarnya makhluk
itu?!” gumam Lasmini tak habis pikir. “Apakah mung-
kin dia akan menghabisi gurunya sendiri?!” Lasmini
seperti halnya Ni Luh Padmi, masih menduga jika so-
sok di balik jubah hitam yang tidak kelihatan adalah
murid Pendeta Sinting.
“Jangan percaya pada ucapannya! Mungkin ini
hanya sandiwaranya saja! Dia punya maksud tertentu
di balik ucapannya!”
“Lalu apa maksudnya?!” tanya Lasmini.
“Aku sendiri belum bisa menduga!”
“Ah.... Mengapa sih bodoh? Dia murid jahanam
Pendeta Sinting itu, mana mungkin dia akan berbuat
yang tidak-tidak pada gurunya? Itu memberi isyarat
kalau hal itu tidak akan terjadi selamanya! Dan itu be-
rarti kita akan menunggu saat yang tidak mungkin ter-
jadi! Kita akan terus berada di sini dan mampus secara
pelan-pelan!”
“Lasmini hentikan ucapannya sesaat lalu mendon-
gak dan teruskan ucapannya. “Kita jangan buang-
buang waktu!”
Habis berucap begitu, Lasmini buka rangkapan ke-
dua tangannya. Lalu perlahan-lahan beranjak bangkit.
“Kau jangan bertindak bodoh!” kata Ni Luh Padmi
begitu tahu Lasmini hendak kerahkan tenaga dalam.
“Lebih bodoh lagi kalau kita hanya diam menunggu
kematian!”
Si nenek terdiam. Paras mukanya membayangkan
kebimbangan. Di satu sisi dia sedikit banyak membe-
narkan ucapan Lasmini, namun di pihak lain dia be-
lum berani kerahkan tenaga dalam karena khawatir
racun di tempat mana dia berada akan memasuki ali-
ran darahnya.
Sementara itu melihat gerakan Lasmini, Kiai Laras
tampak sunggingkan senyum. Lalu berkata. “Rupanya
kau sudah tidak sabar menunggu saat yang kukata-
kan! Terserah padamu. Bagiku, mampus sekarang
atau nanti kau tidak ada gunanya!”
Habis berkata begitu, Kiai Laras perdengarkan tawa
panjang. Kejap lain dia putar diri dan berkelebat me-
nuruni anak tangga. Tangan kanannya menekan tonjo-
lan batu di Samping dinding. Terdengar suara berderit.
Lalu di hadapan Kiai Laras tampak gerakan pada din-
gin yang bergeser membuka Kiai Laras melompat dan
tegak di depan kayu perapian. Kembali kaki kanannya
dimasukkan ke dalam perapian yang telah padam itu.
Saat bersamaan, dinding di belakangnya yang terbuka
bergerak menutup.
Di dalam lobang di balik ruangan goa, Ni Luh Padmi
cepat melompat pada Lasmini dengan tangan mendo-
rong. Lasmini tersentak. Sosoknya terjajar dan mem-
bentur dinding lobang.
“Jangan tolol!” bentak Ni Luh Padmi mendahului
Lasmini yang sudah buka mulut. “Percuma kau laku-
kan itu! Kita cari cara lain!”
Lasmini yang sesaat tadi hendak kerahkan tenaga
dalam, memandang tajam pada si nenek. Entah karena
apa dia urungkan niat untuk angkat bicara, malah dia
batalkan juga kerahkan tenaga dalam. Perempuan ibu
Saraswati ini melangkah mendekati Ni Luh Padmi. La-
lu berujar.
“Apa cara yang akan kau lakukan?!”
Ni Luh Padmi arahkan pandang matanya mengitari
dinding lobang berkeliling. Lalu berkata. “Dinding ini
tidak terlalu tinggi! Kita bisa membuat lobang untuk
panjatan ke atas!”
“Membuat lobang pada batu atos begini, mana
mungkin bisa kita lakukan tanpa kerahkan tenaga da-
lam?!”
Ni Luh Padmi angkat tangan kanannya yang meng-
genggam tusuk konde besar. “Hanya dengan kerahkan
tenaga luar, kurasa tusuk konde ini bisa berbuat ba-
nyak!”
“Hem.... Mengapa hal itu tidak terpikir sejak semu-
la?!” Lasmini menggumam dengan air muka berubah
cerah. Dia yakin, tusuk konde besar berwarna hitam di
tangan si nenek bukan tusuk konde sembarangan.
Dan pasti dengan mudah bisa menjebol batu besar se-
kalipun!
“Aku sudah berpikir sejak lama! Hanya aku perlu
menunggu sampai luka dalamku benar-benar sembuh!
Walau membuat lobang pemanjatan tidak terlalu sulit,
namun karena harus dilakukan tanpa pengerahan te-
naga dalam, itu membutuhkan kesiapan tubuh! Lagi
pula....”
“Lagi pula apa?!” tanya Lasmini saat si nenek tidak
lanjutkan ucapannya.
“Aku ragu....” Ni Luh Padmi menjawab seraya mem-
buat gerakan melompat dan tegak dua langkah di de-
pan dinding lobang.
“Apakah dia ragu senjata tusuk konde itu tidak
mampu membuat lobang untuk panjatan?!” kata Las-
mini dalam hati lalu berkelebat dan tegak di samping
Ni Luh Padmi.
Ni Luh Padmi angkat tangan kanannya yang meng-
genggam tusuk konde besar. Saat lain tangan kanan-
nya berkelebat.
***
DUA
TAKKK!
Tusuk konde besar berwarna hitam membentur
dinding lobang. Ni Luh Padmi berseru tertahan dengan
mata membeliak. Sosoknya tersurut satu langkah.
Tangan kanannya mental balik ke belakang. Dan ham-
pir saja tusuk konde lepas dari genggamannya.
Untuk beberapa saat mata si nenek silih berganti
pandangi dinding lobang dan tusuk kondenya. Di sebe-
lahnya Lasmini tampak terkesiap lalu menghela napas
dalam.
“Keraguanku jadi kenyataan!” ujar Ni Luh Padmi
perlahan dengan mulut bergetar. “Dinding batu ini bu-
kan batu sembarangan! Tusuk kondeku tak mampu
membongkarnya! Seandainya saja aku bisa kerahkan
tenaga dalam.... Tentu tidak sulit!”
“Coba di sebelahnya, Nek! Siapa tahu...,” saran
Lasmini.
Ni Luh Padmi gelengkan kepala. “Dinding lobang ini
tingginya tidak seberapa. Siapa saja yang bisa kerah-
kan tenaga dalam pasti tidak menemui kesukaran un-
tuk meloncat ke atas. Tapi karena mengerahkan tena-
ga dalam berarti mampus, maka jalan satu-satunya
adalah dengan membuat lobang panjatan! Namun ten-
tu si pembuat tempat ini tidak bodoh. Dia sudah
memperhitungkan segala kemungkinan. Kalau di sebe-
lah sini tidak bisa ditembus, di tempat lainnya akan
sama!”
“Tapi bukankah lebih baik dicoba?!” kata Lasmini.
Walau masih meragukan ucapan Lasmini, namun
Ni Luh Padmi gerakkan kaki empat tindak ke samping.
Saat bersamaan tangan kanannya yang menggeng-
gam tusuk konde dihantamkan pada dingin lobang di
hadapannya.
Takkk!
Terdengar suara benturan. Tusuk konde laksana
membentur tembok raksasa. Bukan saja tidak mampu
membuat lobang, tapi tangan kanan si nenek mencelat
balik ke belakang. Malah karena si nenek menghantam
dengan seluruh tenaga luarnya, sosoknya jadi terputar
dan terhuyung-huyung!
“Tak ada jalan lain...,” ujar Lasmini pada akhirnya
setelah mengetahui tusuk konde milik Ni Luh Padmi
tidak mampu membuat lobang untuk panjatan. “Kita
harus segera kerahkan tenaga dalam! Daripada mam-
pus sia-sia di tempat celaka ini!”
“Kalau kau ingin lakukan itu terserah! Tapi aku ti-
dak akan bertindak bodoh.... Kita masih punya waktu
untuk berpikir! Dan siapa tahu ada orang yang meno-
long!”
“Jangan harapkan sesuatu yang mustahil terjadi,
Nek!”
“Justru karena aku masih punya harapan, aku ti-
dak akan berlaku tolol untuk cari mampus lebih ce-
pat!”
“Lalu apakah kita hanya harus menunggu dan me-
nunggu orang?! Sampai kapan?!”
“Seandainya aku tahu kapan datangnya orang yang
menolong, aku tidak akan mati-matian mencari jalan
keluar dari tempat jahanam ini!”
Lasmini tegak dengan kaki terkembang dan wajah
tegang. Sesekali dia arahkan pandang matanya ke
atas. Lalu menelusuri dinding lobang dari atas ke ba-
wah seolah mengukur jarak. Saat lain sepasang ma-
tanya dipejamkan. Sikapnya jelas kalau perempuan ini
hendak kerahkan tenaga dalam.
Mendapati sikap Lasmini, Ni Luh Padmi tersenyum
dingin. Tanpa berkata apa-apa lagi si nenek melangkah
ke samping kanan. Kejap lain dia telah duduk bersila
dengan punggung disandarkan pada dingin lobang.
“Keparat jahanam!” Tiba-tiba terdengar makian dari
mulut Lasmini. Sosoknya bergetar hebat. Sepasang
matanya dipentangkan. Kaki kanannya diangkat lalu
dibantingkan.
Ni Luh Padmi perhatikan Lasmini dengan terse-
nyum. “Jika saja aku tidak punya dendam, aku sudah
lakukan apa yang hendak kau lakukan sebelum kau
masuk ke tempat ini! Dendamku yang membuat aku
bertahan! Dan aku percaya, pasti akan muncul orang
yang akan mengeluarkan aku!”
“Saraswati anakku.... Bagaimana kau?! Mudah-
mudahan kau tidak mengalami nasib seperti ibumu!
Terpuruk dan terpuruk tanpa pernah mengalami ke-
bahagiaan.... Seandainya aku tidak memilikimu dan
ingin hidupku berakhir di sampingmu, aku tak akan
pikirkan lagi nyawa ini....” Tanpa sadar Lasmini ber
gumam. Di pentangan matanya tergambar sosok Sa-
raswati. Hal inilah yang membuat Lasmini urungkan
niat untuk kerahkan tenaga dalam.
Lasmini melangkah ke arah dinding lobang. Seperti
halnya Ni Luh Padmi, perempuan yang parasnya masih
cantik walau sudah berusia agak lanjut ini sandarkan
punggung pada dinding lobang seraya duduk bersila.
Tak lama kemudian dia tengadah dengan mata terpe-
jam. Namun di antara lipatan kelopak matanya tampak
merembes air mata!
“Tidak ada yang perlu ditangisi.... Nasib kita belum
berakhir!” ujar Ni Luh Padmi pelan.
Lasmini berpaling pada si nenek. Namun dia hanya
memandang tanpa buka suara. Dan saat lain dia telah
pejamkan matanya kembali. Ni Luh Padmi tersenyum
sinis lalu tengadah dengan dahi berkerut seolah berpi-
kir keras.
***
Di luar goa, saat sosoknya yang tidak kelihatan in-
jakkan kaki di depan mulut goa, Kiai Laras urungkan
niat teruskan kelebatannya. Pendengarannya yang
meningkat tajam karena mengenakan Jubah Tanpa
Jasad dan membekal Kembang Darah Setan, menang-
kap akan kehadiran orang di sekitar tempat itu. Sepa-
sang mata Kiai Laras yang kini juga tambah peka lang-
sung memandang pada satu tempat.
Sementara di balik semak di antara jajaran pohon,
satu sosok tubuh tampak mengendap dan langsung ra-
takan tubuhnya di atas tanah begitu matanya me-
nangkap jubah hitam tanpa sosok melesat keluar dari
mulut goa.
“Hampir saja.... Ternyata dia memang berada di si-
ni!” membatin sosok yang berada di balik semak di an-
tara kerapatan pohon. “Aku harus menunggu sampai
dia pergi! Saat ini bukan waktunya aku datang!”
Orang di balik semak makin rapatkan tubuh. Tidak
berani membuat suara atau gerakan. Paras wajahnya
tegang dan perlahan-lahan dia kerahkan tenaga dalam
pada kedua tangannya.
Di depan sana Kiai Laras sunggingkan senyum se-
ringai. Perlahan dia melangkah. Matanya tak berkesip
memandang pada semak di mana dia bisa menangkap
kehadiran orang.
“Celaka! Apa dia tahu kedatanganku?!” Sosok di ba-
lik semak makin tegang. Dadanya berdegup kencang.
Matanya memandang tajam pada Jubah Tanpa Jasad
yang terus bergerak ke arahnya. Orang ini serba salah
dan bingung. Karena dia hanya bisa melihat gerakan
jubah tanpa bisa melihat ke mana pandangan mata
orang! Namun setidaknya ia mulai bisa meraba ke ma-
na gerakan Jubah Tanpa Jasad.
Selagi orang di balik semak berusaha tenangkan di-
ri, tiba-tiba Kiai Laras hentikan langkah. Kepalanya
tengadah lalu terdengar suaranya.
“Hari ini kurasa aku tidak mengundang seorang
tamu! Harap suka tunjukkan diri!”
Orang di balik semak rasakan darahnya langsung
sirap. Sosoknya bergetar. Ucapan orang jelas menun-
jukkan kalau kehadirannya telah diketahui. Tapi orang
ini belum juga membuat gerakan atau perdengarkan
suara. Malah arahkan pandang matanya berkeliling
seakan coba tenangkan diri dan berharap ucapan
orang tadi ditujukan pada orang lain yang juga berada
di sekitar tempat itu. Karena dia tidak bisa melihat ge-
rakan pada sosok di balik Jubah Tanpa Jasad.
“Kau tak mau tunjuk tampang! Apa kau perlu dis-
eret keluar, hah?!” Kiai Laras membentak begitu uca-
pannya tidak diacuhkan orang.
Bersamaan dengan selesainya ucapan, tangan kanan Kiai Laras sudah berkelebat lepaskan pukulan ja-
rak jauh.
Wuuttt!
Satu gelombang angin menderu kencang ke arah
semak belukar di antara jajaran pohon.
Terdengar gumaman tak jelas. Saat yang sama dari
semak belukar melesat pula dua gelombang deras
menghadang pukulan Kiai Laras. Terdengar letupan.
Semak belukar yang ada di sekitar bentroknya puku-
lan langsung semburat membubung ke angkasa.
Dari semak belukar di mana baru saja melesat dua
gelombang angin yang menghadang pukulan Kiai La-
ras, satu sosok tubuh mencuat ke udara. Lalu me-
layang turun berjarak dua belas langkah di hadapan
Jubah Tanpa Jasad.
Kepala Kiai Laras ikuti gerakan sosok yang mencuat
ke udara hingga sosok itu tegak di atas tanah. Untuk
beberapa saat sang Kiai pandangi sosok di depan sana
dengan sedikit terbelalak. Saat lain mulutnya terbuka
perdengarkan tawa bergelak!
Orang yang dipandang surutkan kaki satu tindak
dengan kuduk dingin dan paras muka tegang kaku.
Diam-diam orang ini membatin. “Apa boleh buat.... Dia
telah tahu kehadiranku di sini! Percuma sembunyikan
diri atau lari!” Orang ini usapkan telapak tangannya
pada wajah. Lalu alihkan pandang matanya ke jurusan
lain.
Dia adalah seorang gadis muda berparas cantik jeli-
ta mengenakan pakaian warna merah. Sepasang ma-
tanya bulat tajam dengan hidung mancung. Rambut-
nya hitam lebat.
“Kau datang sebelum saat yang kukatakan! Pasti
kedatanganmu membawa kabar baik!” Kiai Laras ber-
kata lalu pandangi sosok di hadapannya mulai dari
rambut sampai kaki.
“Aku.... Aku belum membawa kabar apa-apa...,”
ujar si gadis dengan suara tersendat dan parau. Sua-
ranya jelas membayangkan ketakutan.
“Hem.... Begitu?! Lalu untuk apa kau datang, Anak
Cantik?!”
“Aku.... Aku hanya ingin buktikan apa kau benar-
benar ada di Bukit Kalingga ini....”
“Hem.... Kau sekarang sudah bisa buktikan! Seka-
rang apa maumu?!”
Yang ditanya tergagu diam. Tapi beberapa saat ke-
mudian telah berkata lagi.
“Aku akan lakukan tugas yang kau perintahkan....”
Kiai Laras anggukkan kepala. Saat lain dia mem-
buat satu gerakan. Jubah Tanpa Jasad berkelebat dan
tahu-tahu telah tegak mengapung lima langkah di ha-
dapan gadis berbaju merah.
Si gadis tercekat. Buru-buru dia surutkan langkah
dan kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Walau gadis ini tidak bisa melihat gerakan sosok Kiai
Laras namun sang gadis rupanya dapat menangkap
gelagat tidak baik.
“Sebelum kau lakukan tugas yang kuperintahkan,
jawab dulu pertanyaanku!” kata Kiai Laras, membuat
ketegangan pada air muka si gadis baju merah sedikit
reda.
“Apa hubunganmu dengan gadis berbaju merah
yang wajahnya mirip sekali denganmu yang kita jumpa
beberapa hari yang lalu?! Dan siapa di antara kalian
berdua yang menyandang gelar Putri Kayangan?!”
“Dia adalah saudara kembarku. Dia bernama Beda
Kumala.... Dialah sebenarnya yang menyandang gelar
Putri Kayangan!”
Jawaban si gadis menunjukkan kalau dia bukan
lain adalah Pitaloka, saudara kembar Beda Kumala
alias Putri Kayangan.
Seperti diketahui, pada beberapa hari yang lalu ter-
jadi pertemuan antara Pitaloka dan Putri Kayangan
saudara kembarnya. Saat itu ada juga Kiai Laras, Gen-
deng Panuntun, Dayang Sepuh, Datuk Wahing, Setan
Liang Makam, Kiai Lidah Wetan, dan murid Pendeta
Sinting. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sab-
leng dalam episode : “Kutuk Sang Angkara”).
“Hem.... Sekarang tugasmu hanya satu! Bawa sau-
dara kembarmu ke sini dalam keadaan hidup atau ma-
ti! Waktumu hanya setengah purnama! Dan itu adalah
batas akhir dari ketergantungan nyawamu! Jangan co-
ba-coba berani melarikan diri dari tugasmu, karena hal
itu tidak akan banyak menolong! Kau dengar?!”
Pitaloka menjawab dengan isyarat anggukkan kepa-
lanya. Kejap lain dia putar diri dan berkelebat tinggal-
kan tempat itu.
“Kau telah lakukan tindakan di luar perintah! Kau
telah datang ke tempat ini belum pada saatnya. Jadi
apa dengan enak begitu saja kau tinggalkan tempat
ini?!” Kiai Laras berucap seraya berkelebat dan tegak
menghadang di depan Pitaloka, membuat si gadis ter-
cengang dan urungkan berkelebat.
“Harap kau mengerti.... Hal ini kulakukan karena
aku ingin buktikan ucapanmu. Tidak ada niatan
lain....”
“Aku tak peduli! Yang jelas kau telah bertindak di
luar yang kukatakan! Kau boleh pergi, tapi....” Kiai La-
ras tidak lanjutkan ucapannya dengan perdengarkan
suara melainkan perdengarkan tawa panjang.
Pitaloka tersentak. Ucapan dan suara tawa orang
membuat dadanya berdebar dan kuduknya meremang.
Dia sedikit banyak dapat menangkap ke mana arah
ucapan Kiai Laras, namun gadis ini seolah ingin ya-
kinkan dugaan. Hingga dia berkata.
“Tapi apa...? Apa kau akan memberi tugas lain?!”
“Kau pandai menebak!” jawab Kiai Laras di sela su-
ara tawanya.
“Katakan saja tugas apa itu!”
Kali ini Kiai Laras tidak menjawab. Sebaliknya me-
lompat dan tahu-tahu Pitaloka merasakan kedua ba-
hunya dicekal dua tangan kukuh.
Pitaloka melengak kaget dan buru-buru gerakkan
kedua tangannya menepis dua tangan tidak kelihatan
yang mencekal bahunya. Namun Pitaloka hanya me-
nepis udara kosong! Malah kedua tangan tidak keliha-
tan kini beralih memegang pinggangnya. Saat lain satu
tangan terangkat dari pinggang dan Pitaloka merasa-
kan dadanya disentuh!
Pitaloka berseru tegang. Parasnya berubah merah
padam. Kedua tangannya segera berkelebat kian ke-
mari karena dia tidak bisa melihat gerakan tangan
orang. Namun lagi-lagi gerakan kedua tangan Pitaloka
hanya menerpa tempat kosong meski bersamaan den-
gan itu tangan yang tadi berada di pinggang dan da-
danya terangkat!
Kiai Laras makin keraskan tawanya. Lalu kedua
tangannya digerakkan.
Bukkk! Bukkk!
Kedua tangan Pitaloka membentur dua tangan yang
tidak kelihatan. Pitaloka berteriak tertahan. Sosoknya
tersurut dua langkah. Kedua tangannya mental ke be-
lakang dan parasnya berubah pucat.
“Anak cantik!” kata Kiai Laras. “Kalau kau mau la-
kukan perintahku yang satu ini, kau tak usah mela-
kukan apa yang kuperintahkan tadi! Kau cukup diam
di sini bersamaku!”
Tindakan Kiai Laras dan ucapannya telah cukup
membuat Pitaloka maklum apa kemauan orang. Hing-
ga dadanya tambah berdebar dan wajahnya makin te-
gang.
“Lebih baik kau memerintahku untuk membunuh
siapa saja termasuk saudara kembarku sendiri, dari-
pada....”
“Jangan lupa ucapanku tempo hari!” ujar Kiai Laras
menukas ucapan Pitaloka. “Kau dan teman-temanmu
harus lakukan perintahku tanpa bertanya dan berda-
lih!”
“Tapi....”
“Jangan berdalih!” bentak Kiai Laras lagi-lagi memo-
tong ucapan Pitaloka. “Aku tanya. Kau ingin kuperla-
kukan dengan halus atau kasar?! Dan ingat satu hal.
Apa pun yang akan kau lakukan, itu tidak akan mem-
buatmu bisa lolos dari tanganku! Maka jangan bertin-
dak bodoh!
“Apa yang harus kulakukan sekarang? Menuruti pe-
rintahnya?!” Pitaloka membatin dengan menggigit bi-
birnya. Pakaian yang dikenakan telah basah oleh ke-
ringat hingga dengan jelas Kiai Laras dapat melihat le-
kuk tubuhnya, membuat sepasang mata sang Kiai ter-
pentang besar dan jakunnya turun naik.
Seolah tak sabar menunggu jawaban Pitaloka, Kiai
Laras melompat ke depan. Pitaloka tak tinggal diam.
Kedua tangannya yang telah dialiri tenaga dalam sege-
ra dikelebatkan ke depan menggebuk ke arah sosok ti-
dak kelihatan di bagian tengah jubah.
Kiai Laras tidak coba menghadang pukulan Pitaloka
dengan gerakkan kedua tangannya. Sebaliknya dia bu-
sungkan dada sembari tertawa dan kedua tangannya
diletakkan di atas pinggang kiri kanan!
Bukkk! Bukkk!
Kedua tangan Pitaloka menggebuk. Namun gadis ini
merasakan kedua tangannya membentur tembok be-
sar. Hingga kedua tangannya bukan saja mental balik,
tapi dari mulutnya terdengar jeritan!
Kaki Pitaloka terseret dan terhuyung. Kiai Laras tidak menunggu. Dia segera berkelebat ke depan. Tan-
gan kanannya didorong.
Pitaloka bisa menangkap gerakan orang dari berge-
raknya Jubah Tanpa Jasad. Maka gadis ini cepat pula
kelebatkan kedua tangannya kembali berusaha meng-
hadang gerakan tangan orang meski tidak tahu ke ma-
na gerakan itu akan mengarah.
Namun bersamaan dengan bergeraknya kedua tan-
gan Pitaloka, gadis ini rasakan pundaknya dihantam.
Namun Pitaloka teruskan juga kelebatan kedua tan-
gannya.
Bukkk! Bukkk!
Lagi-lagi Pitaloka laksana menghantam tembok be-
sar. Karena saat itu pundaknya telah terhantam dan
sosoknya terhuyung karena kedua tangannya laksana
menghantam tembok, maka tak ampun lagi sosok Pita-
loka terputar sebelum akhirnya jatuh terduduk!
Belum sampai Pitaloka membuat gerakan, Jubah
Tanpa Jasad telah terapung satu langkah di samping-
nya. Pitaloka tidak mau menyerah begitu saja. Laksana
orang kalap sambil perdengarkan bentakan, kedua
tangannya dihantam ke sana kemari.
Kiai Laras sambuti bentakan-bentakan Pitaloka
dengan tertawa bergelak. Kedua tangannya bergerak.
Karena dia tahu arah hantaman-hantaman Pitaloka
sementara Pitaloka sendiri tidak tahu gerakan tangan
orang, maka dengan mudah Kiai Laras dapat melihat
mana ruang yang kosong!
Brettt! Brettt!
Terdengar kain robek dua kali. Pitaloka terus han-
tamkan kedua tangannya tidak pedulikan pakaian ba-
gian pundak dan dadanya yang telah robek menganga
hingga sebagian payudaranya yang putih kencang ter-
lihat jelas.
Kiai Laras makin jerengkan mata melihat bagian
dada si gadis yang telah terbuka. Hal ini membuat da-
da sang Kiai makin dilanda gemuruh. Aliran darahnya
laksana dipanggang.
Di lain pihak, Pitaloka makin kalap. Kini bukan saja
kedua tangannya yang bergerak. Kedua kakinya ikut
pula membuat gerakan menendang kian kemari!
Kiai Laras mundur satu langkah. Saat lain kedua
tangannya berkelebat. Pitaloka menjerit. Karena satu
kakinya tertangkap tangan. Belum sempat Pitaloka
tendangkan kaki satunya, tangan sebelah Kiai Laras
telah bergerak.
Brettt!
Kain bawah Pitaloka robek. Dada Kiai Laras berdesir
kala matanya dapat menangkap paha mulus dan pa-
dat. Hal ini membikin Kiai Laras lupa diri. Kain bagian
bawah yang telah robek disambar lalu ditarik kencang!
Brettttt!
Pitaloka berontak sekuat tenaga. Namun terlambat.
Kain bagian bawahnya telah tanggal sebagian, hingga
sebagian tubuhnya bagian bawah tidak tertutup sama
sekali!
“Jahanam! Lebih baik kau bunuh aku!” teriak Pita-
loka seraya terus hantamkan kedua tangannya dan
tendangkan sebelah kakinya.
“Membunuhmu tidak sulit! Tapi sudah lama aku ti-
dak merasakan hangatnya tubuh. Apalagi hangatnya
gadis cantik sepertimu! Ha.... Ha.... Ha...!”
Pitaloka makin nekat, meski berkali-kali hantaman
kedua tangannya laksana membentur tembok dia te-
ruskan saja hantamannya. Malah kini dia lipat ganda-
kan tenaga dalam.
Namun Kiai Laras tidak mau menunggu lama. Begi-
tu kedua tangan Pitaloka menghantam, dia lepaskan
kaki si gadis. Saat lain kedua tangannya dihantamkan
menghadang kedua tangan Pitaloka.
Bukkk! Bukkk!
Pitaloka tersentak. Sosoknya terbanting di atas ta-
nah. Karena saat itu dia dalam posisi duduk, tak am-
pun kedua kakinya terangkat ke udara. Mata Kiai La-
ras makin membeliak. Dia cepat maju. Kedua tangan-
nya dikelebatkan sarangkan satu totokan pada kedua
kaki Pitaloka yang masih terangkat di udara.
Pitaloka menjerit tinggi. Kakinya langsung kaku dan
terhempas di atas tanah dengan kejang tak bisa dige-
rakkan! Pitaloka cepat tarik kedua tangannya dan dis-
entakkan ke arah Jubah Tanpa Jasad.
Namun Kiai Laras sudah tidak sabar. Dia cepat ber-
kelebat dengan rundukkan kepala. Saat lain kedua
tangannya kembali lancarkan totokan mendahului
sentakan kedua tangan Pitaloka.
Kembali dari mulut Pitaloka terdengar seruan terta-
han. Kedua tangannya langsung terhempas kaku di
atas tanah!
Kiai Laras tertawa ngakak diseling hembusan na-
pasnya yang bergemuruh. Masih dengan bergelak, Kiai
Laras mengangkat tubuh Pitaloka ke atas pundaknya
lalu melangkah ke arah mulut goa.
Karena tidak bisa lagi gerakkan anggota tubuh, Pi-
taloka hanya bisa berteriak memaki-maki. Sebentar
Kiai Laras teruskan langkah dan tangannya sesekali
mengusap bagian tubuh Pitaloka yang berada di pun-
daknya.
Saat kaki kanan Kiai Laras melewati mulut goa dan
sosoknya tepat tegak di sana, mendadak terdengar su-
ara laksana terdengar dari tempat yang sangat dalam.
“Siapa pun kau adanya, kelak kau akan mengambil
buah dari perbuatanmu! Kau boleh punya Kembang
Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad! Tapi Sang Pen-
cipta akan menciptakan pamungkasnya! Dan pamung-
kas itu akan hadir dari darah dagingmu sendiri!”
Sekonyong-konyong Kiai Laras hentikan gerakan
kakinya. Dia cepat putar tubuh. Matanya liar meman-
dang ke seantero tempat di hadapan mulut goa. Sesaat
dia tercekat.
“Suara Kala Marica.... Jahanam betul! Apa dia be-
lum mampus juga?! Tapi mustahil dia bisa hidup!
Mungkin suara tadi hanya godaan pendengaranku sa-
ja.... Lagi pula siapa takut?!” Kiai Laras sunggingkan
senyum dingin. Lalu berkata lantang.
“Kala Marica! Kalau kau masih hidup, kutunggu
kau di dalam goa! Kau nanti juga boleh menikmati tu-
buh sedap ini! Ha.... Ha.... Ha...!” Kiai Laras balikkan
tubuh lagi lalu teruskan langkah memasuki goa.
Di lain pihak, Pitaloka sempat hentikan teriakannya
kala telinganya juga mendengar suara orang yang da-
tangnya laksana dari tempat yang jauh dan dalam
meski suara itu masih jelas terdengar. Namun karena
dia tengah memikirkan diri sendiri, gadis itu tak hi-
raukan suara tadi. Dia kembali berteriak memaki-maki
saat Kiai Laras teruskan langkah memasuki goa.
***
TIGA
SAAT itu matahari mulai naik dari celah gunung di
bagian timur. Pada satu jalan yang menuju Dusun
Lambang Kuning, di atas sebuah batu agak besar, seo-
rang pemuda duduk uncang-uncang kaki dengan mata
memandang jauh ke arah keramaian di depan sana.
Beberapa penduduk dusun tampak menuju ke sebuah
tempat terbuka. Hari ini adalah tepat hari di mana pa-
ra pedagang luar kota akan menggelar dagangannya
yang diadakan setiap setengah purnama sekali.
Sepasang mata si pemuda tampak memperhatikan
dengan seksama dan seolah-olah sedang mencari-cari.
Tapi matanya tidak tertarik pada beberapa sosok laki-
laki. Melainkan selalu liar mengawasi setiap perem-
puan. Anehnya, bukan paras wajah si perempuan yang
selalu diperhatikan, melainkan perutnya!
“Hem.... Tidak satu pun perempuan yang hamil!”
desis si pemuda lalu angkat tangan kirinya. Jari ke-
lingking dimasukkan ke lobang telinganya dan digerak-
gerakkan ke atas ke bawah. Saat bersamaan dia ber-
jingkat-jingkat dengan wajah cengengesan!
“Tapi.... Apa gunanya aku memperhatikan perem-
puan hamil di sini?! Bukankah di tempat ini tidak ada
perempuan yang kukenal? Padahal menurut petunjuk
kakek bisu dan tuli itu, aku kenal dengan perempuan
itu! Hm.... Siapa gerangan yang ditakdirkan hamil dari
beberapa perempuan yang kukenal itu?!” Si pemuda
terus mendesis seraya berjingkat-jingkat keenakan. La-
lu kepalanya tengadah dengan kening mengernyit.
“Ada beberapa perempuan yang kukenal.... Ratu
Malam.... Ah, yang ini tertutup kemungkinannya un-
tuk masuk dalam hitungan perempuan yang masih bi-
sa hamil! Usianya sudah terlalu tua untuk berbuat
yang begitu-begitu! Lagi pula selama ini kudengar dia
tidak punya suami.... Bagaimana kalau nenek dari se-
berang yang bernama Ni Luh Padmi?! Ah.... Yang ini
juga tak mungkin! Nenek ini lebih mementingkan balas
dendam pada Eyang Guru daripada mencari gara-gara
hamil!” Si pemuda bergumam lalu tertawa sendiri.
“Hem.... Yang masuk hitungan tentu yang masih
muda-muda! Seperti Dewi Seribu Bunga, Saraswati,
Puspa Ratri, Putri Kayangan, dan saudara kembarnya.
Tapi yang mana di antara mereka itu?! Walau aku be-
lum tahu persis, namun aku yakin mereka belum ada
yang punya suami! Jadi bagaimana mungkin salah sa-
tu dari mereka bisa hamil?! Atau jangan-jangan aku
salah menafsirkan petunjuk kakek bisu dan tuli itu!
Sayang, kakek itu tidak bisa bicara.... Seandainya ti-
dak bisu, tentu aku akan lebih jelas menangkap mak-
sudnya....” Si pemuda parasnya berubah agak murung.
Namun cuma sekejap. Saat lain dia kembali cengenge-
san. Jari kelingking di lobang telinganya makin dige-
rakkan agak keras hingga jingkatan sosoknya makin
keras.
“Waktunya tinggal dua purnama.... Tentu saat ini
perut perempuan itu sudah kelihatan nongolnya! Su-
sahnya.... Siapa perempuan itu?!”
Selagi si pemuda tengah bergumul dengan pikiran-
nya sendiri, mendadak satu sosok tubuh melintas di
jalan tidak seberapa jauh dari tempat si pemuda. Si
pemuda berpaling. Mendadak sepasang matanya
membesar tatkala melihat sosok yang tengah melintas
adalah seorang perempuan dan perutnya membusung
besar tanda jika si perempuan sedang mengandung.
Tanpa melihat wajah orang, si pemuda langsung tu-
run dari batu lalu berlari seraya berteriak. “Hai....
Tunggul”
Perempuan yang diteriaki seolah acuh dan teruskan
langkah. Kembali si pemuda berteriak seraya terus
berlari mendekat.
“Tunggu! Ada sesuatu yang harus kusampaikan pa-
damu!”
Karena orang yang diteriaki terus melangkah malah
makin percepat langkahnya, si pemuda berkelebat dan
tahu-tahu telah tegak menghadang di depan si perem-
puan dengan mata bukannya melihat wajah orang me-
lainkan pada busungan perutnya!
Si perempuan hamil hentikan langkah. Matanya
menatap tajam pada pemuda di hadapannya dari
ujung rambut sampai kaki. Namun begitu melihat arah
pandangan si pemuda, si perempuan segera takupkan
kedua tangannya pada perutnya yang membusung. Pa-
ras wajahnya berubah ketakutan. Perlahan-lahan ke-
dua kakinya bergerak mundur. Saat lain dia balikkan
tubuh.
“Hai.... Tunggu!” Kembali si pemuda berteriak kala
melihat si perempuan hamil gerakkan kaki untuk me-
langkah hendak tinggalkan tempat itu. Dan bersamaan
itu si pemuda berkelebat dan kembali tegak mengha-
dang di hadapan si perempuan!
“Orang gila tak dikenal! Apa maksudmu sebenar-
nya?!” Si perempuan perdengarkan bentakan keras.
Si pemuda tersentak. “Busyet! Bentakannya jelas
bukan bentakan orang sembarangan! Apakah bayi
orang ini yang kucari?!” Si pemuda membatin. Untuk
pertama kalinya dia angkat kepala melihat wajah
orang.
Untuk kedua kalinya si pemuda terlengak. Matanya
langsung mendelik dan mulutnya berdecak. “Bagaima-
na mungkin?! Apa mataku tidak tertipu...?!” Si pemuda
angkat kedua tangannya lalu digosok-gosokkan pada
kedua matanya. Kemudian kepalanya digerakkan ke
depan seakan ingin yakinkan penglihatannya.
Perempuan yang perutnya membusung besar ter-
nyata adalah seorang perempuan berambut panjang
digeraikan menutupi sebagian pundaknya. Dan ternya-
ta rambut si perempuan telah berwarna putih! Satu
petunjuk jika si perempuan telah berusia lanjut. Dan
petunjuk itu ternyata benar. Karena paras wajah si pe-
rempuan telah mengeriput. Sepasang matanya agak
melotot besar. Hidungnya besar. Pada telinga sebelah
kanan menggantung anting-anting besar. Dia menge-
nakan pakaian gombrong hampir menyapu tanah.
Melihat gerakan kepala si pemuda, si perempuan
berperut besar tarik sedikit tubuhnya ke belakang
dengan kedua tangan ditakupkan di depan perutnya.
Parasnya berubah cepat. Saat lain tangan kanannya
menunjuk pada si pemuda seraya berkata.
“Kau pasti orang gila seperti mereka! Yang selalu
dan selalu mengikuti ke mana aku pergi! Mereka selalu
mengolok-olokku! Padahal aku tahu.... Mereka sebe-
narnya menginginkan bayi di perutku ini! Oh.... Betapa
malang nasibku.... Berpuluh-puluh tahun aku men-
ginginkan seorang anak. Tapi begitu hampir kesam-
paian sungguh tak kusangka kalau cobaannya begini
berati Mereka mempermalukan aku! Mengatakan aku
sudah tua tapi masih suka main begitu.... Padahal me-
reka inginkan anakku ini. Huk.... Huk.... Huk...!” Si
perempuan berperut besar sesenggukan dengan terus
mendekap perutnya.
“Boleh aku tahu siapa kau?!” tanya si pemuda den-
gan tersenyum.
Sekonyong-konyong si perempuan hentikan seseng-
gukannya. Matanya mendelik angker. “Kau juga sama
dengan mereka! Pura-pura bertanya padahal sudah
tahu!”
“Hem.... Siapa yang kau maksud mereka?!” Si pe-
muda kembali ajukan tanya.
“Dasar orang gila! Kau orang gila! Pergi! Pergi!” ben-
tak si perempuan setengah menjerit.
Si pemuda surutkan langkah dua tindak seraya sa-
lurkan tenaga dalam untuk menutup pendengarannya.
Karena suara jeritan si perempuan menyentak-nyentak
gendang telinganya.
“Aku bukan dari mereka! Aku datang dari jauh....
Aku hanya kebetulan lewat si sini. Harap tidak berbu-
ruk sangka padaku...!” kata si pemuda coba tenangkan
si perempuan.
“Kau bohong! Bagaimana aku tidak menaruh curiga
kalau dari saat bertemu tadi kau selalu memperhati-
kan perutku! Apa ada yang aneh, hah?! Apa karena
usiaku telah lanjut, kemudian aku hamil, ini kau ang-
gap aneh?!”
Si pemuda gelengkan kepala sembari terus terse-
nyum. “Bagiku itu tidak aneh.... Yang aneh justru ka-
lau yang mengandung itu seorang anak kecil dan be-
lum bersuami!”
“Tapi mengapa dari tadi kau memperhatikan pe-
rutku?! Kau kira ini mainan atau kau duga aku main
bohong-bohongan dengan perut besar ini?! Kau ingin
bukti kalau ini hamil sungguhan?!”
Tanpa menunggu sahutan si pemuda, si perempuan
angkat bagian bawah pakaiannya yang gombrong.
“Tahan! Tahan!” seru si pemuda tatkala si perem-
puan tarik pakaiannya ke atas hingga pahanya mulai
kelihatan. “Aku tidak mengira itu mainan, apalagi
main bohong-bohongan!”
“Kalau begitu mengapa kau selalu memperhatikan
perutku?!”
Si pemuda terdiam sesaat. Lalu berucap. “Aku ten-
gah mencari saudaraku.... Dia pergi entah ke mana....”
“Itu tak ada hubungannya dengan perutku?!” Si pe-
rempuan membentak keras.
“Jangan meradang. Ucapanku belum selesai. Sau-
daraku itu tengah hamil sepertimu!”
“Benar?! Saudaramu laki-laki atau perempuan?!”
tanya si perempuan membuat dahi si pemuda menger-
nyit. Lalu tawanya meledak. Bukan karena pertanyaan
si perempuan melainkan karena sejak tadi si pemuda
telah menahan tawanya. Hanya karena takut menying-
gung, tawanya ditahan-tahan. Hingga begitu ada ke-
sempatan untuk tertawa, maka si pemuda langsung
tertawa bergelak.
“Mengapa kau tertawa?! Kau menertawai perutku?!”
“Kau ini aneh.... Mana ada laki-laki mengandung?!”
ujar si pemuda.
Mendengar ucapan si pemuda tiba-tiba si perem-
puan ganti perdengarkan ledakan tawa ngakak hingga
perut dan bahunya berguncang-guncang.
“Mengapa kau tertawa?! Kau menertawai ucapan-
ku?!” Kali ini ganti si pemuda yang ajukan tanya den-
gan dada dibuncah keheranan.
“Kau rupanya belum juga bisa mengambil pelajaran.
Saat seperti sekarang ini siapa pun bisa berperut besar
sepertiku! Tidak peduli laki-laki atau perempuan!
Kalau laki-laki pasti ada maksud di baliknya hingga
berperut besar! Jadi jangan terkecoh dengan pandan-
gan mata!”
“Busyet! Apa ucapannya memberi isyarat kalau
orang ini adalah seorang laki-laki yang tengah menya-
mar sebagai nenek yang tengah hamil dengan maksud
tertentu?!” Si pemuda membatin. Lalu perhatikan wa-
jah orang di hadapannya dengan seksama.
“Sialan! Mengapa kau memandangku begitu rupa?!
Kau kira aku ini manusia laki-laki?! Akan kutunjuk-
kan padamu kalau aku seorang perempuan tulen!”
Habis berkata begitu, kembali kedua tangan si pe-
rempuan angkat bagian bawah pakaiannya.
“Tunggu! Tunggu!” Buru-buru si pemuda menahan
seraya pejamkan sepasang matanya. “Aku percaya kau
adalah seorang perempuan.... Tanpa harus kau tun-
jukkan padaku!”
Si perempuan berperut besar luruhkan pakaiannya
yang tertarik ke atas seraya tertawa cekikikan. Lalu
berkata. “Kau belum jawab pertanyaanku, Anak Muda!
Saudaramu itu laki-laki atau perempuan?!”
“Perempuan...,” jawab si pemuda sambil perlahan-
lahan buka kelopak matanya khawatir kalau si nenek
belum turunkan pakaiannya.
“Kau yakin saudaramu yang kau cari itu bukan pe-
rempuan hamil yang saat ini tengah berdiri di hadapanmu?!”
Walau dalam hati merasa benar-benar yakin, na-
mun tak urung si pemuda perhatikan sekali lagi paras
muka perempuan di hadapannya sebelum akhirnya
menjawab.
“Aku yakin bukan kau orangnya....”
“Benar?!”
“Jangkrik! Apa maksud ucapan perempuan ini?!”
tanya si pemuda dalam hati lalu berkata. “Aku sumpah
bukan kau orangnya!”
“Bagus! Kalau begitu silakan teruskan perjalanan
mencari saudaramu itu! Jangan seperti mereka! Selalu
berpura-pura tapi secara sembunyi-sembunyi terus
mengikuti ke mana aku pergi!”
“Dari tadi kau selalu menyebut mereka! Siapa yang
kau maksud?!”
“Aku tak bisa memberi penjelasan! Karena penjela-
san apa pun tak akan membuatmu mengerti!”
Habis berkata begitu, si perempuan tua berperut
besar putar diri dan melangkah perlahan-lahan ting-
galkan tempat itu.
“Orang ini aneh.... Apa bayi dalam perutnya yang
dimaksud Raja Tua Segala Dewa?! Kalau bayinya kelak
dapat untuk menghadapi Jubah Tanpa Jasad dan
Kembang Darah Setan, biasanya bayi itu akan lahir
dari orang aneh.... Mungkin saja....” Si pemuda segera
melangkah mengikuti si perempuan.
“Hem.... Mengapa kau ikuti langkahku?!” Tiba-tiba
si perempuan tua berperut besar perdengarkan tanya
tanpa berpaling.
“Kita sudah saling bicara. Rasanya ada yang kurang
kalau kita tidak saling kenal.... Aku....”
Belum sampai si pemuda lanjutkan ucapan, si pe-
rempuan telah menukas. “Terlambat kau hendak per-
kenalkan diri! Seharusnya hal itu kau lakukan saat kita pertama kali bicara. Bukan sekarang!”
“Ah.... Seharusnya memang demikian! Tapi apa be-
danya?!”
“Bedanya kau tak akan memperoleh jawaban! Lain
seandainya kau minta berkenalan saat pertama kali
bicara tadi!”
“Ah.... Begitu mahalkah sebuah nama buatmu?!”
tanya si pemuda acuh tak acuh seraya melangkah
menjajari si perempuan tanpa memandang.
“Nama adalah harga sebuah kehidupan! Sekali na-
ma tercoreng, perlu berpuluh tahun untuk memutih-
kannya! Kau saat ini tentu sudah dengar meski sean-
dainya kau bukan dari kalangan orang persilatan....”
Si pemuda berpaling dari cepat menyahut. “Dengar
apa, Nek...?”
“Kau tentunya pernah dengan seorang pendekar
muda yang namanya mulai dikena! dan harum dalam
kancah persilatan bergelar Pendekar Pedang Tumpul
131 Joko Sableng. Ternyata sekarang tersiar kabar jika
pendekar muda itu melakukan tindakan tidak terpuji
pada beberapa orang gadis! Malah dikabarkan salah
seorang di antara gadis itu telah hamil!”
Si pemuda serentak hentikan gerakan kakinya. Ma-
tanya mendelik memperhatikan nenek berperut besar
di sampingnya. Wajahnya berubah merah padam. Na-
mun sebelum si pemuda buka mulut, si nenek berpe-
rut besar yang seolah tidak merasa dirinya dipandangi
telah lanjutkan ucapannya.
“Bagi pemuda itu sulit rasanya mengembalikan na-
ma baik, kalau dia tidak bisa buktikan bahwa bukan
dia yang melakukannya! Bahkan bukan nama pemuda
itu saja yang jadi hitam, melainkan juga nama gurunya
si tokoh yang dikenal dengan gelar Pendeta Sinting da-
ri Jurang Tlatah Perak.... Kau pernah dengar semua
ini?!”
Karena tak ada sahutan, si perempuan berperut be-
sar gerakkan kepala berpaling. Ternyata si pemuda be-
rada delapan langkah di belakangnya!
“Ada apa?! Wajahmu berubah.... Kau kecewa kare-
na tak bisa berkenalan denganku?” tanya si perem-
puan.
Karena yang ditanya masih kancingkan mulut, si
perempuan berperut besar kembali perdengarkan sua-
ra. “Hem.... Jangan-jangan saudara perempuanmu
yang tengah kau cari itu salah satu gadis yang sempat
diperlakukan tidak senonoh oleh pendekar muda itu!
Betul?!”
“Orang ini tahu banyak.... Aku curiga padanya!
Hem.... Siapa dia sebenarnya?!” Si pemuda bertanya-
tanya dalam hati lalu melangkah mendekati si perem-
puan yang tegak seolah menunggu di depan sana.
“Nek! Kau ini siapa sebenarnya?!” tanya si pemuda
begitu berada di samping si perempuan berperut besar.
“Sialan! Kau masih juga berpura-pura seperti mere-
ka! Bersikap seolah tidak kenal!” Si perempuan mem-
bentak. Lalu berpaling dan serta-merta membuat satu
gerakan.
Si pemuda mendelik tak percaya. Si perempuan
berperut besar melesat cepat ke depan malah sempat
membuat gerakan jungkir balik di udara! Lalu melang-
kah perlahan-lahan. Namun dalam beberapa saat so-
soknya sudah berada jauh!
“Busyet! Dia yang berpura-pura! Bukan aku!” gu-
mam si pemuda. Lalu berteriak. “Nek! Tunggu!” seraya
berteriak si pemuda berkelebat menyusul.
***
EMPAT
NENEK berperut besar tidak acuhkan teriakan
orang. Malah dia kembali melesat ke depan dengan be-
berapa kali membuat gerakan jungkir balik dan berpu-
tar-putar di atas udara. Pakaian gombrang yang dike-
nakan tampak berkibar-kibar. Hebatnya kibaran pa-
kaian si nenek mampu mencuatkan gelombang dan
perdengarkan deruan-deruan dahsyat! Hingga pemuda
yang menyusul di belakangnya harus kerahkan tenaga
dalam untuk membendung gelombang yang menderu-
deru dari arah depan. Hal ini bukan saja membuat si
pemuda tertinggal agak jauh, namun harus mencari
ruang untuk menghindar selamatkan diri.
Pada satu tempat si pemuda hentikan larinya. Me-
mandang ke depan dan ke samping, dia tidak melihat
siapa-siapa. Dia tajamkan pendengaran. Namun telin-
ganya tidak mendengar apa-apa. Seolah habis kesaba-
ran, si pemuda berteriak.
“Nenek! Di mana kau?!”
Tak ada suara sahutan. Tidak terlihat adanya gera-
kan.
Namun begitu si pemuda hendak berteriak lagi, sa-
tu sosok tubuh melayang seraya jungkir balik bebera-
pa kali sebelum akhirnya tegak berjarak tujuh langkah
di hadapannya.
“Mau apa kau sebenarnya?!” Satu bentakan telah
terdengar begitu si sosok injakkan kaki di atas tanah.
“Kek! Kau...!” Si pemuda buka mulut dengan mata
membelalak. Yang tegak di hadapan si pemuda bu-
kannya si nenek berperut besar, melainkan seorang
kakek berambut putih panjang berwajah tirus. Kakek
ini tidak memiliki leher hingga kepalanya seperti non-
gol di antara kedua pundaknya. Laki-laki berusia kira
kira tujuh puluh tahunan ini mendongak dengan mu-
lut terbuka lebar seolah ingin menunjukkan rongga
mulutnya. Padahal mulut itu tidak bergigi!
“Dasar murid manusia sinting! Berwajah tampan
dan masih muda tapi yang dikejar-kejar seorang ne-
nek! Apa tak ada lagi gadis cantik yang menarik hati-
mu, he?!” Si kakek angkat suara. Namun begitu uca-
pannya selesai, si kakek tetap buka mulutnya lebar-
lebar dengan sedikit mendongak! Karena dia tidak
memiliki leher, dadanya jadi ikut tertarik sedikit ke be-
lakang saat kepalanya bergerak tengadah.
“Kakek Iblis Ompong! Senang bisa jumpa denganmu
lagi...,” kata si pemuda mengenali siapa adanya orang
tua di hadapannya.
“Kau senang, tapi aku yang tak suka! Karena pasti
kau hendak ajukan beberapa pertanyaan padaku!” sa-
hut si kakek tak bergigi yang tidak lain adalah Iblis
Ompong.
“Ah.... Cuma beberapa pertanyaan tak ada salah-
nya, bukan?! Lagi pula kita sudah bersahabat! Dan
bahkan kau telah kuanggap sebagai guruku!”
Iblis Ompong mendengus. “Aku tak suka bersaha-
bat dengan manusia yang tindakannya mengotori rim-
ba persilatan!”
“Kek! Kau telah terbawa berita yang tidak benar! Itu
semua fitnah!” kata si pemuda setengah berteriak.
Mendengar ucapan si pemuda, Iblis Ompong terta-
wa panjang. “Jangan kau kira aku bodoh! Bukan saja
gadis-gadis yang kau buat korban. Tapi nenek-nenek
pun hendak kau mangsa! Aku tanya padamu.... Bu-
kankah kau baru saja mengejar-ngejar seorang ne-
nek?! Nenek yang sudah hamil lagi!”
“Aku mengejar seorang nenek hamil memang benar!
Tapi kau salah jika menduga aku hendak memang-
sanya! Aku perlu penjelasan dari nenek itu!”
“Dari nenek hamil macam dia, penjelasan apa yang
kau perlukan?!”
Si pemuda terdiam sesaat. Lalu menjawab. “Akhir-
akhir ini ada seseorang yang menyamar sebagai diriku.
Aku tak tahu pasti siapa dia sebenarnya dan apa mak-
sudnya. Orang itulah yang sebenarnya melakukan tin-
dakan tidak senonoh pada beberapa kenalanku....”
apa hubungannya dengan nenek hamil itu?!” tanya
Iblis Ompong.
“Penjelasanku belum selesai, Kek...,” kata si pemu-
da yang bukan lain adalah murid Pendeta Sinting,
Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng.
“Hem.... Coba teruskan keteranganmu!”
“Orang yang menyamar sebagai diriku saat ini telah
mendapatkan sebuah senjata dahsyat bernama Kem-
bang Darah Setan. Bahkan kini telah memiliki Jubah
Tanpa Jasad. Dua buah benda sakti yang berasal dari
istana di Kampung Setan! Aku dan beberapa sahabat
telah merasakan bagaimana dahsyatnya dua benda
sakti tersebut. Menurut Kakek Raja Tua Segala Dewa,
hanya seorang bayi yang bisa menghadang kedahsya-
tan benda dari Kampung Setan itu. Lalu aku sempat
bertemu dengan seorang kakek yang bisu dan tuli. Da-
ri kakek ini aku mendapat gambaran kapan bayi Ku
akan lahir!”
“Hem.... Lalu kau kira bayi di perut nenek tadi itu
yang kelak dapat menghadang kedahsyatan Kembang
Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad. Begitu?!”
“Nenek itu aneh.... Sudah tua masih juga mengan-
dung. Lalu menurut perkiraanku, masa kelahirannya
sesuai dengan apa yang dikatakan kakek bisu dan tu-
li.... Kalau orang yang mengandung sudah aneh, bi-
asanya bayinya akan lahir aneh juga! Dan tidak tertu-
tup kemungkinan bayi itulah yang kucari!”
“Hem.... Kapan kira-kira bayi itu akan lahir?!” tanya
Iblis Ompong.
“Dalam dua purnama ini!”
Tiba-tiba Iblis Ompong perdengarkan tawa bergelak.
“Mau kau percaya pada ucapanku?!”
Pendekar 131 tidak menjawab. Iblis Ompong henti-
kan gelakan tawanya lalu berkata. “Jangan kau te-
ruskan mengejar nenek itu! Bukan bayi dalam kan-
dungannya yang kau cari!”
“Bagaimana kau bisa memastikan begitu?!”
“Karena ia tidak akan pernah melahirkan seorang
bayi!”
“Jadi.... Dia hanya berpura-pura mengandung?”
Iblis Ompong tidak menyahut. Sebaliknya gerakkan
kepala berpaling ke samping kanan. Bersamaan den-
gan gerakan kepala Iblis Ompong, dari balik sebatang
pohon muncul satu sosok tubuh. Melangkah berleng-
gak-lenggok ke arah Iblis Ompong dengan bibir men-
gumbar senyum lebar.
Dia adalah seorang nenek berambut putih panjang
mengenakan pakaian gombrong. Di atas kepalanya
tampak kerudung berwarna hitam panjang hingga
menjulai pada depan perutnya. Murid Pendeta Sinting
yakin kalau si nenek adalah orang tua yang tadi berpe-
rut besar dari dikejarnya. Namun kali ini perut si ne-
nek tidak lagi membusung besar!
“Siapa dia sebenarnya, Kek?!” Bertanya Pendekar
131 seraya perhatikan pada si nenek.
“Seorang sahabat.... Kau tertarik padanya?!”
“Bukan pada orangnya.... Tapi pada keterangan-
nya!”
“Kau tak akan mendapat keterangan yang kau in-
ginkan!”
“Tapi sikapnya menunjukkan kalau dia tahu ba-
nyak tentang urusan yang saat ini tengah kuhadapi!”
“Nek! Aku adalah sahabat Kakek Iblis Ompong...,”
kata murid Pendeta Sinting begitu si nenek berkeru-
dung hitam tegak tidak jauh dari Iblis Ompong. “Si-
kapmu yang berpura-pura mengandung menunjukkan
kau tahu persoalan yang kuhadapi! Harap kau sudi
memberi keterangan padaku. Dari perempuan mana
kelak bayi yang kucari itu akan lahir?!”
“Kudengar kau tadi mengatakan pernah bertemu
dengan si tua bangka Dewa Uuk! Apa benar?!”
Joko Sableng kernyitkan kening. Iblis Ompong tam-
paknya bisa meraba. Hingga sebelum Joko sempat bu-
ka mulut, si kakek telah mendahului.
“Kakek bisu dan tuli yang pernah bertemu dengan-
mu adalah Dewa Uuk! Adik kandung Dewi Ayu Lam-
bada di sebelahku ini!”
Pendekar 131 sudah hendak tertawa mendengar ke-
terangan Iblis Ompong. Namun ditahan melihat peloto-
tan mata si kakek.
“Benar kau pernah bertemu dengan tua bangka
itu?!” Untuk kedua kalinya si nenek yang diperkenal-
kan Iblis Ompong dengan Dewi Ayu Lambada ajukan
tanya.
“Benar, Dewi Ayu.... Dan kalau benar ucapan Ka-
kek Iblis Ompong, tentu Dewi Ayu bisa sedikit banyak
membantu beberapa isyarat Dewa Uuk yang belum bi-
sa kutangkap maksudnya!”
Dewi Ayu Lambada melirik pada Iblis Ompong. Yang
dilirik angkat bahu lalu berkata. “Kau tadi telah men-
cobanya. Sekarang terserah padamu!”
“Perlihatkan isyarat yang diberikan tua bangka itu!”
kata Dewi Ayu Lambada pada akhirnya.
Pendekar 131 jongkok. Telunjuk jarinya ditempel-
kan di atas tanah. Lalu dia mulai menggambar dua ke-
pala yang di atasnya diberi angka satu dan dua.
“Dua-duanya adalah seorang perempuan. Aku per-
nah bertemu dengan keduanya. Malah menurut Dewa
Uuk mereka berdua tertarik padaku. Yang masih be-
lum bisa kumengerti, Dewa Uuk anggukkan kepala
pada gambar angka satu lalu gelengkan kepala pada
angka dua. Yang aku tak habis pikir pula, mengapa
Dewa Uuk menggambar dua perempuan?!”
“Kau sudah mengingat satu persatu siapa saja ke-
nalanmu selama ini?!” tanya Dewi Ayu Lambada.
Joko anggukkan kepala. “Tapi rasanya tidak ada
yang berhubungan dengan isyarat Dewa Uuk! Bebera-
pa gadis yang kukenal selama ini kuyakin belum ada
yang punya suami. Padahal kelahiran bayi itu tinggal
dua purnama lagi! Jadi tentu saat ini kandungannya
sudah besar!”
“Lupakan soal waktu kelahiran itu! Sekarang kau
perhatikan sekali lagi gambar di tanah!” ujar Dewi Ayu,
Lambada.
Murid Pendeta Sinting turuti ucapan si nenek. Se-
mentara Iblis Ompong mendongak seraya buka mulut
lebar-lebar.
“Dua kepala...,” gumam Dewi Ayu Lambada. “Berarti
ada dua perempuan. Angka di atasnya memberi petun-
juk kalau di antara keduanya ada hubungan darah!”
“Kau punya kenalan gadis yang punya hubungan
darah?! Setidaknya kakak beradik?” tanya Dewi Ayu
Lambada.
Pendekar 131 berpikir sejenak. “Aku punya kenalan
dua gadis. Tapi bukan kakek beradik. Melainkan sau-
dara kembar! Namun tak mungkin salah satu dari me-
reka! Beberapa waktu yang lalu, aku bertemu dengan
keduanya. Mereka tidak ada yang mengandung....”
“Kau dapat menangkap kalau keduanya tertarik pa-
damu?!” Dewi Ayu Lambada kembali ajukan tanya
tanpa sambuti ucapan murid Pendeta Sinting.
“Aku tak tahu, Dewi....”
“Kalau kau masih tidak jujur dalam hal ini, jangan
harap kau akan mendapatkan sesuatu! Jawab dengan
terus terang! Kau dapat merasakan mereka tertarik
padamu?!”
“Busyet! Bagaimana aku harus menjawab?!” mem-
batin Joko. Entah karena tidak mau membuat si nenek
marah, meski tidak yakin benar akhirnya murid Pen-
deta Sinting anggukkan kepala.
“Ah.... Kau pura-pura malu padaku!” Iblis Ompong
nyeletuk. “Siapa kedua gadis itu?!”
“Pitaloka dan Putri Kayangan.... Tapi kurasa isyarat
itu tidak ada hubungannya dengan kedua gadis itu!
Keduanya....”
“Ah.... Pasti kau merasa takut kalau salah satu di
antaranya mengandung!” kembali Iblis Ompong me-
nyahut sebelum Joko lanjutkan ucapannya.
“Bukan begitu, Kek! Apakah mungkin mereka men-
gandung? Sementara belum lama kami bertemu dan
keadaan mereka masih biasa-biasa saja! Padahal isya-
rat Dewa Uuk mengatakan bayi itu akan lahir dalam
dua purnama mendatang! Kalau benar perempuan itu
salah satu dari Pitaloka atau Putri Kayangan, pasti
saat berjumpa itu perutnya sudah kelihatan besar!”
“Bayi yang kelak akan lahir bukan bayi biasa! Dan
aku yakin salah satu di antara dua gadis itu yang akan
mengandungnya!” Yang berucap kali ini adalah Dewi
Ayu Lambada.
Paras wajah murid Pendeta Sinting mendadak be-
rubah tegang. Kepalanya berulang kali menggeleng.
“Terserah padamu mau percaya atau tidak! yang je-
las bayi itu akan lahir dari salah satu gadis itu!” ujar
Dewi Ayu Lambada.
“Anak muda.... Aku sekarang tanya dan harap kau
jawab dengan jujur. Apa kau dan keduanya pernah
berbuat yang tidak-tidak?!”
“Aku pernah berada berdua-dua dengan Pitaloka di
tempat sepi. Malah kalau tak salah aku pernah berme-
sraan dengannya. Setelah itu aku tak ingat apa-apa la-
gi dan begitu siuman ternyata Pitaloka sudah tidak ada
dan pedangku dibawanya! Apakah saat tidak sadar itu
aku melakukan sesuatu di luar batas....” Pendekar 131
membatin mengingat pertemuannya dengan Pitaloka.
(Tentang pertemuan Joko dengan Pitaloka ini silakan
baca serial Joko Sableng dalam episode : “Liang Maut
di Bukit Kalingga”).
Mengingat akan hal itu, dada murid Pendeta Sinting
berdebar keras. Parasnya makin tegang. Peluh mulai
membasahi wajah dan lehernya.
“Gayamu memberi bayangan kau memang pernah
melakukannya!” kata Dewi Ayu Lambada.
“Tidak, Nek! Aku yakin tidak pernah melukainya!”
“Hem.... Kalau kau mengatakan yakin, berarti hati-
mu masih bimbang!” Yang menyahut Iblis Ompong.
“Aku memang bermesraan dengan salah satu dari
mereka!” Lalu Joko menceritakan peristiwa perte-
muannya dengan Pitaloka sampai hilangnya Pedang
Tumpul 131.
“Tapi aku tetap merasa tidak melakukan sesuatu di
luar batas walau aku tidak sadar!” kata murid Pendeta
Sinting sambungi keterangan ceritanya.
“Ah.... Itu urusanmu! Yang jelas sekarang kau telah
tahu dari perempuan mana bayi itu akan lahir!” ucap
Dewi Ayu Lambada.
“Kakek ompong! Kurasa tidak ada gunanya lagi kita
berada di sini!” Dewi Ayu Lambada sambungi ucapan-
nya lalu putar diri.
“Anak muda! Sekarang kau tahu apa yang harus
segera kau lakukan! Aku tak bisa membantu banyak.
Hanya kalau nanti sang bayi itu tidak ada yang men-
gakui, aku dengan senang hati rela mengambil ibunya
sebagai selir! Dua-duanya cantik bukan?!”
“Ah.... Kau salah, Kek! Keduanya tidak seperti yang
kau katakan! Aku ucapkan terima kasih kalau kau
punya niat untuk mengambil salah satunya kelak
menjadi selir!”
“Itu tak masalah bagiku, Anak Muda! Yang penting
dia gadis muda dan mau kuambil sebagai selir!”
Pendekar 131 akan berucap lagi, namun tangan
kanan Dewi Ayu Lambada sudah menarik lengan Iblis
Ompong hingga si kakek terputar. Lalu si nenek me-
nyeretnya seraya berkelebat tinggalkan tempat itu.
“Apa mungkin? Apa mungkin?!” Murid Pendeta
Sinting berkali-kali menggumam seraya perlahan-
lahan melangkah dengan dada masih dibuncah kehe-
ranan.
***
LIMA
SATU purnama berlalu....
Satu sosok bayangan tampak melangkah perlahan
di antara kerapatan jajaran pohon di sebuah hutan le-
bat. Dari gerakannya terlihat kalau bayangan ini su-
dah mengenal benar situasi kawasan yang dilewati.
Pada satu tempat mendadak si bayangan ini henti-
kan langkah. Sosoknya berputar ke arah dari mana dia
tadi melangkah. “Hem.... Berpuluh-puluh tahun
menghuni kawasan ini, baru hari ini telingaku men-
dengar suara isakan tangis.... Ini isakan tangis sung-
guhan atau hanya pendengaranku saja yang seolah-
olah mendengar?” terdengar gumaman pelan.
Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut menge-
nakan pakaian warna putih lusuh. Rambutnya yang
putih disanggul tinggi ke atas. Sepasang matanya sayu
dengan paras telah dihiasi keriput.
Untuk beberapa saat si laki-laki tegak dengan ta-
jamkan pendengaran. Saat lain dia mendongak. So-
soknya tampak bergetar. Sepasang matanya yang sayu
dipejamkan.
“Telingaku tidak menipu! Adalah aneh kalau di hu-
tan lebat jarang dilewati manusia ada seseorang per-
dengarkan isakan tangis! Hem.... Dari isakannya jelas
dia adalah seorang perempuan! Ah.... Tanda kalau
ajalku sudah dekat akhirnya datang juga. Tapi menga-
pa aku harus takut?! Tanpa atau dengan tanda itu, aj-
al ini bagaimanapun juga pasti akan datang!”
Si laki-laki gerakkan kepalanya lurus ke depan. Se-
pasang matanya dibuka. Saat lain dia berkelebat.
Sementara berjarak kira-kira tiga puluh tombak da-
ri tempat di mana laki-laki berpakaian putih lusuh tadi
tegak, satu sosok tubuh tampak tegak di lamping se-
buah tanah ketinggian. Memandang ke bawah terlihat
jurang yang sangat dalam.
Sosok di lamping jurang tegak dengan kedua bahu
berguncang dan kedua tangan menakup di depan wa-
jah. Makin lama guncangan bahu sosok ini makin ke-
ras. Bersamaan dengan itu, suara isakannya yang se-
jak tadi terdengar makin bertambah keras pula.
Tiba-tiba laksana dirobek setan, isakan orang ini
terputus. Guncangan bahunya terhenti. Kedua tan-
gannya yang menakup di depan wajah diturunkan. Ki-
ni sepasang matanya mementang memandang ke ba-
wah. Kejap lain sekonyong-konyong kedua kaki orang
ini bergerak menjejak tanah. Sosoknya melesat amblas
ke dalam jurang!
Bersamaan dengan melesatnya orang masuk ke da-
lam jurang, satu bayangan putih berkelebat dan lang-
sung melesat menyusul masuk ke dalam jurang.
Orang yang melesat terlebih dahulu dan tampak
melayang, sesaat tersentak kaget tatkala merasakan
tubuhnya disambar satu bayangan. Dia cepat berontak
dengan kelebatkan kedua tangannya. Namun bayan-
gan yang menyambar lebih dahulu bergerak. Tangan
kanannya langsung sarangkan totokan pada kedua
lengan orang. Saat lain seraya terus melayang dia pu-
tar arah ke lamping jurang. Kaki kiri kanannya menje-
jak. Lamping jurang jebol berantakan. Namun bersa-
maan dengan itu si bayangan putih melesat ke atas
dengan kedua tangan membopong sosok orang.
Begitu injakkan kakinya tiba di atas jurang, bayan-
gan putih yang ternyata adalah laki-laki berpakaian
putih lusuh perlahan-lahan meletakkan orang di bo-
pongannya ke atas tanah. Tangan kanannya bergerak
bebaskan totokan pada lengan orang.
Orang di atas tanah membuka kelopak matanya.
Sesaat dia memandang ke langit. Lalu melirik ke samp-
ing kanan. Mendadak orang ini bergerak bangkit tatka-
la matanya melihat seorang laki-laki tegak tersenyum
padanya.
“Kau kira aku akan mengucapkan terima kasih atas
tindakanmu tadi?!” bentak orang yang baru bangkit.
Dia ternyata adalah seorang gadis muda berparas can-
tik jelita mengenakan pakaian warna merah. Rambut-
nya panjang dikuncir tinggi. Sepasang bola matanya
yang bulat tampak sembab dan masih digenangi air
mata.
Si laki-laki tua yang dibentak sunggingkan senyum
lalu berkata pelan.
“Aku tidak mengharapkan ucapan apa-apa....
Hanya sayang jika nyawa pemberian Yang Maha Kuasa
harus disia-siakan.... Aku tahu, saat ini kau pasti ten-
gah menghadapi urusan yang sangat berat. Namun
bunuh diri bukanlah satu-satunya jalan penyelesaian!”
Si gadis pentang matanya memperhatikan orang di
hadapannya. Sementara si laki-laki juga tengah mengawasi gadis di depannya.
“Orang tua!” kata si gadis dengan suara keras dan
bergetar. “Apa yang kulakukan adalah urusanku! Jan-
gan berani ikut campur apalagi menghalangi!”
“Aku tahu.... Ini adalah urusanmu, Gadis Cantik.
Aku juga tidak ingin ikut campur apalagi menghalangi.
Kalaupun tadi aku bertindak, aku hanya ingin bica-
ra.... Siapa tahu kau bisa urungkan niat.”
“Buang keinginanmu itu, Orang Tua! Apa pun juga
tak akan bisa urungkan niatku! Dan perlu kau tahu.
Justru tindakanmu ini akan menambah panjang pen-
deritaanku!”
Si orang tua gelengkan kepala. “Lalu apakah dengan
jalan yang akan kau tempuh penderitaan itu akan be-
rakhir?!”
Si orang tidak menjawab. Si orang tua sekali lagi
memperhatikan. Lalu berkata seraya tengadahkan se-
dikit kepalanya. “Jika kau berpikir begitu, menurutku
salah besar. Tindakanmu bukannya mengakhiri pen-
deritaan, justru kau menciptakan penderitaan lain!
Bahkan kau menciptakan penderitaan pada orang
lain!”
Sesaat si orang tua hentikan ucapannya. Setelah
menghela napas panjang dia kembali sambung uca-
pannya. “Kau tentu punya orangtua atau saudara.
Seandainya mereka tahu apa yang kau lakukan, pasti
mereka akan menderita....”
Tiba-tiba si gadis takupkan kedua tangannya pada
wajahnya. Saat lain terdengar kembali isakannya. Si
orang tua memandang sambil geleng-geleng kepala.
“Orang tua.... Kau tak tahu. Justru seandainya aku
terus hidup, aku akan membuat penderitaan orang
lain! Lebih dari itu pasti mereka akan mengucilkan di-
riku!”
“Itu hanya perasaanmu saja... Kau takut menghadapi sesuatu yang belum terjadi! Padahal kenyataan
kadangkala jauh dari dugaan! Kau tahu.... Aku pernah
mengalami hal yang sama denganmu. Aku pernah ta-
kut menghadapi masa depan. Dan apa akhirnya yang
ku peroleh?! Hidup bertahun-tahun di hutan sunyi ini
tanpa teman! Dan begitu aku sadar, semuanya sudah
terlambat!”
“Orang tua.... Masalah yang tengah kuhadapi
mungkin berbeda dengan masalahmu! Aku bukan
hanya menduga kelak apa yang akan terjadi. Tapi aku
sudah bisa pastikan! Jadi jangan halangi aku! Aku tak
ingin membuat derita pada orang yang seharusnya ti-
dak menderita!”
Habis berkata begitu, si gadis melangkah terhuyung
ke arah lamping jurang.
“Tunggu!” teriak si orang tua seraya berkelebat dan
tegak menghadang. “Gadis cantik.... Kau benar-benar
telah memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan ja-
lan begini?! Kau telah berpikir bahwa inilah satu-
satunya jalan mengakhiri derita?!”
“Aku telah berpikir seribu kali! Dan tidak satu pun
keputusan terbaik selain ini!”
“Baiklah.... Kalau kau sudah memikirkan semuanya
aku tidak akan menghalangi. Tapi sebelum kau laku-
kan ini, mau kau katakan apa sebenarnya masalah-
mu?!”
Si gadis gelengkan kepala. “Biar aku sendiri yang
menyimpan urusan ini! Karena kukatakan pun tak ada
gunanya!”
“Bagimu mungkin tidak ada gunanya. Tapi bagiku
mungkin lain....”
Untuk pertama kalinya si orang tua melihat sung-
gingan senyum pada bibir si gadis. Meski dia tahu se-
nyum itu dipaksakan.
“Sebenarnya kau gadis yang menawan...,” entah sadar atau tidak si orang tua menggumam. “Sayang ka-
lau gadis sepertimu harus mengakhiri hidup dengan
jalan melawan kebiasaan! Sekarang katakanlah apa
sebenarnya yang membuatmu memilih jalan ini....”
Senyum si gadis mendadak pupus. Saat bersamaan
dia kembali terisak. Kedua tangan bergerak mengusap
perutnya berulang kali.
Si orang tua kernyitkan kening. “Kau.... Kau men-
gandung?!”
Si gadis bukannya menjawab, melainkan makin ke-
raskan isakan tangisnya. Hal ini sudah membuat si
orang tua maklum. Entah karena ikut terharu dengan
apa yang menimpa gadis di hadapannya, si orang tua
melangkah mendekat. Kedua tangannya menjulur ke
depan membelai rambut si gadis. “Kalau hanya itu ma-
salahnya, terjun masuk ke jurang bukan jawaban yang
baik, Anakku.... Masih banyak cara untuk menyelesai-
kannya. Laki-laki itu mengkhianatimu, bukan?”
Si gadis angkat kepalanya lalu menggeleng. Namun
mulutnya tidak membuka ucapan kata-kata.
“Dia lari atau terbunuh?!” tanya si orang tua.
Kembali si gadis berbaju merah gelengkan kepala.
Tapi sejauh ini masih juga belum buka suara.
“Lalu...?!” tanya si orang tua pada akhirnya.
“Dia masih hidup! Tapi aku tak tahu siapa dia se-
benarnya!”
Si orang tua tertawa pelan. “Kau ini aneh.... Kau ta-
hu dia masih hidup, tapi kau tak tahu siapa dia sebe-
narnya! Bagaimana hal ini bisa terjadi?”
“Dia memperkosaku....”
Si orang tua tersentak. Lalu berucap dengan suara
bergetar. “Tapi setidaknya kau masih bisa mengenali
rupanya! Dan kau bisa minta tanggung jawab atas
perbuatannya!”
“Tidak semudah itu, Orang Tua!”
“Ah.... Kau membuatku bingung....”
“Jahanam itu memiliki sebuah jubah yang membuat
sosoknya tidak bisa dilihat! Seandainya aku mampu,
saat itu juga jahanam itu pasti kubunuh! Tapi keparat
itu bukan tandinganku! Selain itu di tangannya juga
menggenggam sebuah kembang yang dikenal orang
dengan Kembang Darah Setan!”
Si orang tua melengak kaget. “Senjata mustika dari
Kampung Setan.... Bagaimana hal ini bisa terjadi? Sia-
pa gerangan yang berhasil membongkar makam batu
itu? Dadaka...? Atau Galaga?! Atau mungkin Maladewa
mampu keluar dari makam batu itu?!”
“Orang tua.... Apa maksud ucapanmu?!” tanya si
gadis penuh keheranan.
Si orang tua menatap tajam pada gadis di hadapan-
nya. “Anak cantik.... Ku mohon kau urungkan niat-
mu.... Percayalah, semuanya akan kita tangani bersa-
ma! Lebih dari itu aku memerlukan beberapa keteran-
gan darimu....”
Si gadis gelengkan kepala. “Aku tak ingin meli-
batkanmu dalam urusanku, Orang Tua! Lagi pula ja-
hanam bangsat itu terlalu tangguh untuk dihadapi!”
“Tidak, Anakku.... Bagaimanapun juga aku harus
ikut terlibat! Karena semua ini masih ada kaitannya
dengan urusanku!”
“Apa urusanmu?!”
“Kita cari tempat yang enak untuk bicara....” Seraya
berkata, tanpa menunggu jawaban orang, si orang tua
telah menggandeng tangan si gadis lalu mengajaknya
melangkah tinggalkan lamping jurang.
Si gadis sesaat tampak enggan. Tapi entah karena
apa, akhirnya dia turuti juga langkah si orang tua.
Pada satu tempat, si orang tua hentikan langkah-
nya. Memandang sesaat pada gadis berbaju merah lalu
berkata.
“Mau katakan siapa namamu...?”
“Pitaloka! Kau sendiri siapa?!” jawab si gadis sem-
bari balik bertanya.
“Aku Kigali...,” kata si orang tua lalu sedikit tenga-
dah dan lanjutkan ucapan. “Apakah benar orang yang
kau sebut-sebut tadi telah mengenakan jubah yang
membuat sosoknya tidak kelihatan dan membekal
Kembang Darah Setan?”
“Kalau tidak, tentu aku bisa melihat tampang kepa-
rat itu sekaligus membunuhnya! Kalau kau mengata-
kan urusanmu masih ada kaitannya, apakah kau tahu
siapa manusia jahanam itu?!”
“Memang sulit untuk menentukan! Namun setidak-
nya aku bisa menduga!”
“Katakanlah.... Siapa?!”
“Anakku.... Pada beberapa puluh tahun silam, rim-
ba persilatan pernah dibuat gempar dengan muncul-
nya orang-orang dari Kampung Setan. Tapi berkat ber-
satunya kaum persilatan, akhirnya orang-orang yang
menamakan diri dari Kampung Setan dapat ditumpas.
Namun ternyata masih ada dua orang dari Kampung
Setan yang berhasil selamat. Dia adalah Maladewa dan
seorang nenek bernama Nyai Suri Agung....”
Orang tua yang sebutkan diri sebagai Kigali sejenak
hentikan keterangan. Memandang sesaat pada gadis
berbaju merah yang ternyata bukan lain adalah Pitalo-
ka, saudara kembar Putri Kayangan. Lalu sambung ke-
terangan.
“Maladewa adalah seorang laki-laki yang punya am-
bisi besar untuk menegakkan kembali kejayaan Kam-
pung Setan. Hingga menurut kabar, dia memaksa ne-
neknya Nyai Suri Agung untuk menyerahkan seluruh
warisan Kampung Setan. Terutama Kembang Darah
Setan yang memang sudah dikenal sebagai senjata
mustika yang sakti. Entah bagaimana ceritanya, yang
jelas ku tahu, Maladewa akhirnya benar-benar mengu-
asai Kembang Darah Setan.”
Untuk kedua kalinya Kigali hentikan keterangan.
Sementara Pitaloka mendengarkan dengan seksama.
“Begitu Kembang Darah Setan berada di tangan Ma-
ladewa, orang ini segera pula melakukan apa yang
menjadi cita-citanya. Yang aku herankan, Maladewa
bukan saja inginkan nyawa beberapa orang yang per-
nah menumpas Kampung Setan, namun juga jiwa Nyai
Suri Agung serta saudara seperguruannya Galaga yang
berasal dari golongan orang di luar kerabat Kampung
Setan.” Kigali menarik napas. Lalu lanjutkan cerita.
“Aku bersama seorang sahabat bernama Dadaka
adalah dua orang kepercayaan Maladewa yang diberi
tugas untuk mencari sekaligus membunuh Nyai Suri
Agung dan Galaga. Maladewa tidak sadar, kalau sebe-
narnya aku dan Dadaka adalah orang-orang yang be-
rusaha menyusup di Kampung Setan. Tujuanku saat
itu semata-mata memang menginginkan Kembang Da-
rah Setan. Hingga sampai pada satu saat, aku dan Da-
daka telah menentukan waktu untuk merebut Kem-
bang Darah Setan. Tapi nyatanya pekerjaan itu tidak-
lah mudah. Aku dan Dadaka tidak berhasil merebut
Kembang Darah Setan dari tangan Maladewa. Kami
hanya bisa memasukkan Maladewa beserta Kembang
Darah Setan pada sebuah makam batu!”
Kigali arahkan pandang matanya jauh ke depan
dengan tatapan kosong. Setelah menghela napas beru-
lang kali, orang tua ini melanjutkan.
“Setelah peristiwa masuknya Maladewa dan Kem-
bang Darah Setan ke dalam makam batu, aku merasa
menyesal. Ternyata semua usahaku bertahun-tahun
tidak menghasilkan apa-apa! Padahal untuk itu aku
telah lakukan apa saja yang diperintah Maladewa. Aku
kecewa dan pada akhirnya memutuskan untuk menyendiri di hutan lebat ini! Kupikir tak ada gunanya
hidup tanpa kesaktian. Sementara kesaktian itu telah
sirna bersama lenyapnya Kembang Darah Setan ke da-
lam makam batu!”
“Kemudian aku baru sadar jika anggapanku salah.
Tapi datangnya kesadaran ini telah terlambat. Di usia-
ku yang telah renta begini, tak mungkin aku bisa ber-
buat apa-apa lagi.... Namun masih ada sedikit kebaha-
giaan hatiku. Karena bersamaan dengan masuknya
Maladewa dan Kembang Darah Setan ke dalam makam
batu, dunia persilatan kudengar aman.... Tidak ada la-
gi pembunuhan besar-besaran dan terbunuhnya bebe-
rapa tokoh secara misterius....”
Untuk kesekian kalinya Kigali hentikan keterangan.
Pandangannya lekat-lekat ke arah Pitaloka. “Anakku....
Ternyata kebahagiaan ada batasnya. Dan batas keba-
hagiaanku adalah begitu kau katakan saat ini telah
muncul seseorang yang menggenggam Kembang Darah
Setan!”
“Orang tua! Kau menduga manusia jahanam itu
Maladewa?!” tanya Pitaloka setelah Kigali terdiam agak
lama.
Kigali gelengkan kepala. “Aku tak bisa menentukan
siapa dia! Peristiwa masuknya Maladewa dan Kembang
Darah Setan ke dalam makam batu itu telah berlalu
selama kurang lebih tiga puluhan tahun. Aku tak bisa
bayangkan, apakah mungkin seseorang bisa bertahan
selama itu di dalam makam batu! Namun dunia selalu
saja diliputi keanehan dan keganjilan. Bukan tidak
mungkin jika Maladewa masih mampu hidup meski
terkubur puluhan tahun dalam makam batu! Dan ka-
laupun orang itu bukan Maladewa, pasti tidak jauh da-
ri Galaga dan Dadaka serta nenek Nyai Suri Agung
sendiri! Karena hanya mereka yang tahu persis rahasia
Kampung Setan....”
“Tentang jubah hitam itu?” tanya Pitaloka.
“Sebenarnya aku tidak paham benar dengan cerita
jubah itu. Namun dari salah seorang yang pernah ku-
temui di hutan ini, aku pernah diberi tahu, jika Kam-
pung Setan masih menyimpan sebuah senjata sakti se-
lain Kembang Darah Setan. Senjata itu berupa sebuah
jubah hitam yang disebut Jubah Tanpa Jasad. Barang
siapa mengenakan jubah itu, maka sosoknya tidak
akan bisa dilihat mata biasa! Dari cerita orang ini jelas
kalau orang yang mengenakan jubah itu pasti sudah
tahu benar rahasia Kampung Setan. Dan itu tidak
akan jauh dari beberapa orang yang kukatakan tadi!”
“Orang tua.... Keteranganmu tidak membantu apa-
apa padaku! Karena aku masih harus meraba-raba
siapa sebenarnya jahanam pemakai jubah itu! Padahal
aku telah bersumpah, lebih baik mati daripada tidak
bisa membalas sakit hati ini! Dan sakit ini tidak
mungkin terbalas selagi jahanam itu masih menggeng-
gam Kembang Darah Setan!”
“Anakku.... Kau tidak boleh punya perasaan den-
dam. Bagaimanapun juga orang itu adalah ayah dari
bayi yang saat ini tengah kau kandung! Bukankah se-
baiknya kau berusaha berbaikan dan mengatakan te-
rus terang apa yang telah terjadi?!”
Pitaloka geleng kepala. Rahangnya mengeras. Ma-
tanya yang masih tampak sembab mendelik. Apakah
masih pantas manusia jahanam itu disebut ayah?! Ti-
dak! Aku tak ingin melahirkan darah daging manusia
keparat itu!”
“Anakku.... Sadarlah. Ini kenyataan yang harus kau
jalani! Siapa pun pasti tidak ingin mengalami nasib se-
perti yang kau alami. Tapi takdir telah menulis demi-
kian. Bayi itu memang darah dagingnya, namun sebe-
narnya itu adalah pemberian Yang Maha Tinggi.... Bayi
itu tidak bersalah. Kau juga tidak...! Adalah satu kesalahan besar kalau seseorang menyia-nyiakan pembe-
rian Yang Maha Agung! Meski pemberian itu terasa
pahit....”
Pitaloka terdiam mendengar ucapan Kigali. Kigali
menatap pada perut Pitaloka lalu berkata.
“Anakku.... Kalau kau tetap tidak menginginkan
bayi itu, kuharap kau rela menunggu sampai dia lahir.
Aku bersedia mengambilnya.... Setelah itu kau boleh
pergi ke mana kau suka!”
Pitaloka kembali geleng kepala. “Tidak, Orang Tua!
Hal itu akan menambah penderitaanku! Dan bayi itu
harus mati! Aku tak ingin melihat tampang darah dag-
ing manusia jahanam keparat itu!”
“Kau jangan salahkan bayi tak berdosa itu, Anak-
ku!”
Pitaloka memandang tajam pada Kigali. Kigali terse-
nyum lalu berkata. “Saat ini kau perlu istirahat. Dalam
keadaan seperti sekarang ini, pasti hanya perasaan
dendam yang menyelimuti hatimu. Dan keputusan
yang kau ambil pasti tidak jauh dari apa yang tadi
hendak kau lakukan! Tapi mungkin kau bisa mengam-
bil jalan lain jika pikiranmu sudah tenang.... Aku
punya tempat berlindung tidak jauh dari sini. Di sana
mungkin kau bisa istirahat dan tenangkan diri....”
“Tapi....”
“Jangan berprasangka yang tidak-tidak padaku,
Anakku! Aku dahulu memang bukan orang baik-baik!
Tapi lingkungan alam telah membuatku berubah!”
Setelah berkata begitu, Kigali mengambil tangan Pi-
taloka. Kigali sunggingkan senyum. Lalu melangkah
seraya terus memegang tangan Pitaloka. Pitaloka se-
saat ragu. Namun tak lama kemudian dia mengikuti
langkah Kigali.
“Orang tua.... Apa yang kau lakukan di tempat sepi
ini?!” tanya Pitaloka seraya terus melangkah.
“Merenung.... Menghitung apa yang telah kulaku-
kan di masa lalu. Lalu mengambil pelajaran!”
“Jadi selama ini kau tidak pernah keluar?!”
“Kupikir, pergaulan di luar sana hanya akan mem-
buatku berubah lagi! Aku tidak mau mengulangi kesa-
lahan yang pernah kulakukan!”
“Jadi selama ini kau juga tidak tahu bagaimana ka-
bar temanmu bernama Dadaka serta orang yang kau
sebut Galaga dalam ceritamu tadi?”
“Begitulah.... Bahkan aku sudah tidak tahu bagai-
mana dan apa yang terjadi dalam kancah rimba persi-
latan. Dunia yang pernah kudambakan saat aku masih
muda!”
“Lalu apakah kau pikir nenek bernama Nyai Suri
Agung itu masih hidup?!”
“Kalau menurut perhitungan manusia biasa, me-
mang hal itu tak mungkin. Namun umur manusia
hanya Yang Maha Tinggi yang tahu. Dan satu hal yang
pasti, bukan Nyai Suri Agung yang mengenakan Jubah
Tanpa Jasad serta membawa Kembang Darah Setan
itu! Terbukti dia bisa lakukan tindakan tidak senonoh
padamu!”
“Jadi kemungkinannya tinggal tiga orang!” kata Pi-
taloka. “Maladewa, Galaga, dan sahabatmu Dadaka!”
“Menurut perhitungan memang seharusnya begitu.
Tapi siapa tahu bersama berlalunya waktu ada sesua-
tu di luar perhitungan!”
“Maksudmu...?!”
“Siapa tahu di antara orang-orang yang tahu raha-
sia Kampung Setan membocorkan pada orang lain! Ta-
pi hal itu tidak perlu terlalu kau pikirkan, Anakku....
Percayalah! Bersama berlalunya masa, siapa pun
adanya orang itu, pasti satu saat akan diketahui! Dan
bagaimanapun dahsyat barang mustika yang ada di
tangan orang, satu saat tentu akan ada barang musti
ka lain yang melebihinya!”
“Kurasa kali ini sulit, Orang Tua.... Beberapa waktu
yang lalu, jahanam itu berhadapan dengan beberapa
tokoh yang saat ini namanya tersohor dalam dunia
persilatan. Namun dikeroyok beberapa orang, si kepa-
rat itu mampu menghadangnya!”
“Hem.... Aku tertarik dengan keteranganmu. Siapa
saja tokoh-tokoh itu?!”
“Datuk Wahing, Dayang Sepuh, dan seorang gemuk
besar yang dipanggil dengan sebutan Gendeng Panun-
tun!”
“Astaga! Yang kau maksud tentu seorang kakek
bermata buta!”
“Betul! Kau mengenalnya?!”
“Siapa tidak kenal dengan tokoh aneh itu! Selain
memiliki ilmu yang sukar dijajaki, dia juga memiliki
keahlian tertentu. Hem.... Apa saat itu Gendeng Pa-
nuntun tidak bisa menebak siapa adanya orang yang
mengenakan Jubah Tanpa Jasad?!”
Pitaloka gelengkan kepala. Kigali kerutkan dahi.
“Aneh.... Menurut yang pernah kudengar, tokoh itu bi-
as melihat apa yang tidak bisa dilihat orang biasa!”
“Tapi nyatanya saat itu dia tidak bisa mengenali so-
sok di balik Jubah Tanpa Jasad. Bahkan orang di balik
Jubah Tanpa Jasad tetap mampu menghadapi meski
tak lama kemudian muncul seorang pemuda yang na-
manya juga sudah mulai terkenal. Yakni Pendekar Pe-
dang Tumpul 131 Joko Sableng! Kau mengenal pemu-
da itu?!” Kali ini suara Pitaloka terdengar lain di telinga
Kigali.
Kigali menatap tajam pada Pitaloka. “Kalau dia seo-
rang pemuda, tentu aku tidak mengenalnya. Dan baru
saat ini aku mendengar gelarnya! Namun aku me-
nangkap sesuatu yang lain pada pemuda itu....”
Mendengar ucapan Kigali, kali ini ganti Pitaloka
yang sedikit merasa heran. Tapi belum sampai Pitaloka
utarakan keheranannya, Kigali sudah berucap.
“Anakku.... Kau tertarik dengan pemuda itu?!”
Dada Pitaloka berdebar. Wajahnya berubah merah
padam. Dia buru-buru alihkan pandang matanya ke
jurusan lain.
“Anakku.... Perasaan cinta bisa tergambar dari pan-
dangan dan getaran suara.... Dan aku menangkap se-
mua itu pada dirimu! Kau boleh berkata tidak, tapi
gambaran itu tidak bisa berdusta! Kau menyukai pe-
muda itu!”
Dada Pitaloka makin berdebar. Perasaannya gelisah.
Untuk beberapa saat dia kancingkan mulut tidak me-
nyahut ucapan Kigali. Kigali sendiri tampak sungging-
kan senyum lalu berkata lagi.
“Aku tahu sekarang.... Kau tadi hendak bunuh diri
karena takut pemuda itu tahu apa yang kau alami....”
Kigali geleng kepala. “Kau tak usah khawatir, Anak-
ku.... Sebagai seorang pendekar, kalau dia benar-benar
menyayangimu pasti tidak akan melihat apa yang me-
nimpa dirimu. Tentu dia bisa bertindak bijaksana!”
“Tapi hal itu tak mungkin terjadi, Orang Tua....”
“Bagaimana kau bisa mengatakan tidak mungkin?!”
“Selain diriku pernah berbuat curang padanya,
saudara kembarku juga mencintainya! Seandainya
disuruh memilih, pasti dia akan memilih saudaraku!
Selain orangnya cantik, saudaraku lembut dan baik
hati. Tidak seperti aku....”
“Perasaan cinta tidak bisa dilihat dari itu saja,
Anakku! Tapi hal itu lupakan dahulu.... Lihat! Gubuk
reot itu adalah tempatku.... Kuharap kau betah tinggal
untuk beberapa lama!”
Kigali mempercepat langkah. Sementara Pitaloka
melangkah perlahan-lahan dengan mata menerawang
jauh. Anehnya yang muncul di pelupuk matanya ada
lah bayangan sosok Pendekar 131 Joko Sableng!
***
ENAM
GADIS berparas luar biasa cantik itu melangkah
dengan mata menatap kosong ke depan. Entah apa
yang sedang menggelayuti dadanya, yang jelas dari si-
kapnya yang seolah tidak peduli dengan apa yang ada
di sekitarnya, menunjukkan kalau pikirannya sangat
kalut.
Mendadak saja dari arah samping kanan terdengar
suara deruan dahsyat. Kejap lain satu gelombang ga-
nas menggebrak ke arah si gadis yang tengah melang-
kah! Kalau saja si gadis tidak segera melompat sela-
matkan diri, niscaya sosoknya akan terhantam gelom-
bang yang nyata-nyata telah dialiri tenaga dalam cu-
kup tinggi, terbukti gelombang yang gagal menghan-
tam si gadis mampu memporak-porandakan batu agak
besar di sebelah samping sana. Malah tanah di tempat
itu sesaat jadi bergetar dan semburat ke udara.
Gadis berparas cantik berpaling ke samping kanan
dengan mata mendelik. Namun matanya yang bulat ta-
jam tidak melihat siapa-siapa. “Aku yakin orang yang
baru saja melepaskan pukulan ada di sekitar tempat
ini!” gumam si gadis lalu angkat kedua tangannya.
Saat lain kedua tangannya mendorong ke samping ka-
nan, arah di mana pukulan yang tadi dilepas orang
bersumber.
Dua gelombang angin menderu angker. Beberapa
batangan pohon yang tegak di sebelah kanan tampak
bergetar hebat. Tak lama kemudian dua batangan po-
hon perdengarkan suara berderak. Lalu tumbang den-
gan suara menggelegar.
Bersamaan tumbangnya batangan pohon, satu so-
sok tubuh melesat keluar dan tegak di hadapan gadis
berparas cantik berjarak sepuluh langkah.
Gadis berparas cantik coba sunggingkan senyum
walau dadanya mulai panas. Lalu buka suara dengan
suara agak bergetar. Tanda dia agak geram mendapati
dirinya dipukul orang secara sembunyi.
“Tidak kusangka jika kau adanya! Mengapa kau
hendak mencelakaiku?!”
Orang yang baru muncul bersamaan dengan tum-
bangnya batangan pohon sesaat perdengarkan tawa
pendek. Dia adalah seorang gadis yang juga berparas
cantik. Rambutnya hitam lebat digeraikan. Setelah
menatap sejenak gadis ini berkata.
“Putri Kayangan! Seandainya aku mau, kau pasti
sudah kubuat mampus! Apa yang baru saja kulakukan
adalah satu peringatan padamu!”
Gadis cantik yang tadi dipukul yang ternyata tidak
lain adalah Beda Kumala alias Putri Kayangan, sauda-
ra kembar Pitaloka ganti tertawa pendek lalu berkata.
“Saraswati! Aku merasa heran dengan ucapanmu!
Pasti ini masih ada hubungannya dengan Pendekar
131 Joko Sableng! Kau cemburu!”
Tampang gadis yang baru muncul dan ternyata ada-
lah Saraswati berubah merah padam. “Dengar, Putri
Kayangan! Ini tidak ada kaitannya dengan cemburu!
Hanya aku tidak ingin melihatmu terlibat terlalu jauh!
Biarkan pemuda itu buktikan dirinya dahulu kalau
memang bukan dia manusianya yang bertindak menji-
jikkan!”
“Hem.... Jadi kau kira aku....”
“Jangan banyak bicara!” tukas Saraswati. “Yang je-
las aku tidak mau melihatmu terlibat dalam urusan
ini!”
“Aku tidak bodoh, Saraswati! Aku punya urusan
sendiri dan tidak ada hubungannya dengan Pendekar
131 Joko Sableng!”
“Bagus! Tapi jika kulihat kau masih juga ikut-
ikutan, aku tidak akan memberi peringatan lagi!”
Habis berkata begitu, Saraswati balikkan tubuh
tinggalkan tempat itu.
“Dengar, Saraswati! Aku memang tidak mau terli-
bat. Tapi kalau aku berada bersama Pendekar 131,
kuharap kau jangan menduga yang tidak-tidak!”
Saraswati tidak menyahut. Dia teruskan langkah.
Sementara Putri Kayangan memandang sesaat lalu pu-
tar diri. Belum sampai Putri Kayangan gerakkan kaki,
satu sosok tubuh berkelebat. Putri Kayangan terke-
siap. Belum sempat sang Putri mengenali wajah orang,
sudah terdengar suara.
“Jadi pendekar muda berwajah tampan memang
asyik.... Di mana-mana selalu jadi bahan omong dan
rebutan! Tidak seperti diriku.... Ditawar-tawarkan pun
tidak ada yang mau! Hik.... Hik.... Hik...!”
“Memangnya siapa yang mau dengan tua bangka
karatan sepertimu?!” Satu suara mendadak menyahut.
Bersamaan itu satu bayangan berkelebat dan yang ini
langsung tegak tidak jauh dari Saraswati.
Saraswati yang sudah terkejut mendengar suara
orang yang pertama, makin melengak kaget. Dia cepat
putar diri lagi. Saat yang sama Putri Kayangan juga
balikkan tubuh.
Untuk beberapa lama Saraswati dan Putri Kayangan
saling pandang. Saat lain Saraswati alihkan pandang
matanya ke samping kanan. Sementara Putri Kayan-
gan ke samping kiri.
Saraswati melihat seorang perempuan berusia lan-
jut mengenakan pakaian gombrong. Anak gadis Las-
mini itu tidak bisa dengan jelas melihat raut wajah si
nenek. Selain dari arah samping, ternyata si nenek
mengenakan kerudung hitam panjang di kepalanya.
Di pihak lain, Putri Kayangan melihat seorang ka-
kek berambut putih. Karena si kakek menghadap lu-
rus pada sang Putri, saudara kembar Pitaloka ini den-
gan jelas dapat menangkap paras muka orang. Kakek
ini mengenakan pakaian agak lusuh. Wajahnya agak
tirus. Kakek ini tidak memiliki leher dan meski tidak
berkata-kata lagi, mulutnya terus menganga! Seolah
ingin menunjukkan kalau mulutnya tidak bergigi alias
ompong!
Putri Kayangan segera alihkan pandangannya pada
si nenek. Sementara di seberang sana, Saraswati ganti
arahkan pandangannya pada si kakek.
Tiba-tiba dahi Saraswati mengernyit. “Kalau tak sa-
lah aku pernah melihat kakek itu.... Ah, benar! Aku
pernah melihatnya di depan Istana Hantu! Dia adalah
sahabat Pendekar 131! Jika tak salah dia adalah Iblis
Ompong.... Hem.... Tapi si nenek itu, aku tak menge-
nalinya!”
Kalau Saraswati membatin begitu, Putri Kayangan
tampaknya tidak bisa menduga-duga siapa gerangan
adanya kakek dan nenek yang tiba-tiba muncul di ha-
dapannya Hingga untuk beberapa lama dia hanya me-
mandang silih berganti pada nenek dan kakek yang
bukan lain memang Iblis Ompong dan Dewi Ayu Lam-
bada adanya.
Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya. La-
lu memberi isyarat pada Iblis Ompong untuk mende-
kat.
“Ah.... Di hadapan gadis-gadis cantik begini kau se-
lalu pasang aksi berlagak mesra! Berarti kau masih
punya cemburu padaku! Takut kalau aku tertarik dan
digaet perempuan lain!” Iblis Ompong berucap. Lalu
sedikit dongakkan kepala dan melangkah ke arah Dewi
Ayu Lambada dengan mulut terbuka lebar-lebar!
“Dasar tua karatan! Mana mungkin aku cemburu
pada gadis-gadis ini?! Tak mungkin mereka mau den-
gan manusia karatan sepertimu!”
“Ah.... Kau hanya memandang dari apa yang terlihat
di luar. Rambut memang sudah beruban. Kulit sudah
mengeriput dan mata telah kabur! Tapi bagian dalam-
nya masih mampu menandingi pemuda belasan ta-
hun!”
“Ah.... Kau akan selalu berkoar-koar begitu jika di
hadapan gadis cantik! Kenyataannya....” Si nenek ceki-
kikan dahulu sebelum akhirnya melanjutkan. “Besar di
mulut kurang di tenaga!”
Mendengar ucapan Dewi Ayu Lambada, paras muka
Saraswati dan Putri Kayangan berubah merah. Namun
sejauh ini baik Saraswati maupun Putri Kayangan be-
lum ada yang buka mulut.
“Hai.... Kau kenal dua gadis yang tengah berebut
pemuda ini?!” Dewi Ayu Lambada berbisik pada Iblis
Ompong begitu si kakek berada di sampingnya.
Iblis Ompong gerakkan kepala ke arah Saraswati.
Dewi Ayu Lambada ikut hadapkan wajah pada Saras-
wati hingga si gadis kini dapat melihat jelas paras mu-
ka nenek berkerudung hitam itu.
“Yang itu rasa-rasanya aku pernah bertemu! Hanya
saja aku lupa kapan dan di mana! Yang jelas saat itu
di sana ada pula pemuda geblek murid manusia sint-
ing itu!” kata Iblis Ompong. Lalu gerakkan kepala
menghadap Putri Kayangan. Dewi Ayu Lambada kem-
bali ikut gerakan kepala Iblis Ompong.
“Yang itu dalam mimpi pun aku belum pernah ber-
temu! Tapi soal berkenalan serahkan saja pada...,” ujar
Iblis Ompong lalu tengadah dengan mulut dibuka le-
bar.
Dewi Ayu Lambada memberengut lalu berucap.
“Yang kita hadapi adalah perempuan. Biar aku yang
maju!”
“Ah.... Nyatanya kau masih juga khawatir padaku!
Kau tahu.... Perempuan biasanya lebih senang berke-
nalan dengan laki-laki! Bukan dengan sesama perem-
puan! Namamu memang yahud dan meyakinkan, tapi
tampangmu tidak bisa dijadikan modal meskipun
hanya dalam berkenalan!”
Dewi Ayu Lambada mendengus. “Dasar tua bangka
tidak tahu diri! Sekarang kau bisa berkata begitu. Tapi
dahulu kala kau selalu memuja-muja dan terus men-
gikuti ke mana aku pergi! Apa kau lupa peristiwa saat
kau mencium kakiku hanya demi agar aku menerima
cintamu?!”
“Ah.... Kau selalu mengungkit masa yang telah ter-
kubur!”
“Diam, Tua Bangka!” hardik Dewi Ayu Lambada.
“Kuperingatkan kau agar tidak ikut bicara! Kalau ti-
dak, mulutmu akan kubuat tidak bisa terbuka lagi!”
Iblis Ompong tertawa bergelak sambil usap-usap
mulutnya yang terus terbuka. Sementara Dewi Ayu
Lambada melangkah maju tiga tindak. Saat lain pe-
rempuan berkerudung hitam ini putar diri setengah
lingkaran menghadap Saraswati. Bibirnya sunggingkan
senyum. Pinggulnya digoyang dua kali lalu dia menjura
dengan kedua tangan ditakupkan di depan kening. Sa-
raswati tampak salah tingkah dan bingung harus ber-
buat apa. Hingga dia hanya diam dan memandang
dengan menahan tawa.
Dewi Ayu Lambada buka takupan kedua tangannya.
Sosoknya berputar dan kini menghadap ke arah Putri
Kayangan. Kembali si nenek goyang pinggulnya dua
kali seraya menjura hormat. Kedua tangannya lagi-lagi
ditakupkan dan dipasang di depan kening. Putri
Kayangan sunggingkan senyum lalu anggukkan kepapa.
Dewi Ayu Lambada luruskan tubuh. Lalu melompat
ke samping Iblis Ompong. Begitu injakkan kaki, kepa-
lanya segera berpaling ke arah Saraswati lalu pada Pu-
tri Kayangan yang ada di seberang.
“Gadis-gadis cantik...,” kata Dewi Ayu Lambada.
“Kalau tidak merasa keberatan, sudi sebutkan diri pa-
da kami siapa kalian adanya?!”
Untuk beberapa saat baik Saraswati maupun Putri
Kayangan belum ada yang memberi jawaban. Malah
kedua gadis ini saling bentrok pandang beberapa lama.
“Harap tidak punya dugaan yang bukan-bukan!
Kami berdua memang tua-tua bangka yang usil hen-
dak tahu nama orang. Namun kami tidak punya niat
apa-apa! Cuma sekadar ingin berkenalan....” Dewi Ayu
Lambada kembali angkat suara setelah sekian lama di-
tunggu tidak juga ada yang buka mulut di antara ke-
dua gadis yang ditanya.
“Nek...!” Iblis Ompong berbisik. “Caramu berkenalan
sudah ketinggalan zaman! Aku berani bertaruh satu
tangan kalau di antara mereka ada yang mau menja-
wab!”
Dewi Ayu Lambada melirik pada Iblis Ompong. “Kita
lihat saja nanti! Kalau benar, tanganmu akan kupo-
tong betulan!”
Habis berkata begitu, Dewi Ayu Lambada berpaling
silih berganti pada Saraswati dan Putri Kayangan. Si
nenek coba sunggingkan senyum dan pasang tampang
ramah. Namun sejauh ini Saraswati dan Putri Kayan-
gan belum juga ada yang buka mulut.
“Gadis-gadis cantik.... Kalian merasa keberatan se-
butkan diri?!” Kembali Dewi Ayu Lambada angkat bica-
ra begitu mendapati belum juga ada yang buka suara.
Baik Saraswati maupun Putri Kayangan sebenarnya
tidak merasa keberatan untuk sebutkan diri. Namun
mereka berdua tampaknya menunggu sampai ada
yang mendahului. Hingga karena sama saling me-
nunggu, keduanya tidak ada yang buka suara.
Dewi Ayu Lambada terlihat agak jengkel dengan si-
kap Saraswati dan Putri Kayangan. Dia melirik pada
Iblis Ompong dan berujar pelan.
“Tampaknya mereka bukan gadis yang kita cari
meski kudengar tadi tengah berebut pemuda geblek
itu! Atau jangan-jangan keduanya tidak bisa menden-
gar?!”
“Nek.... Seperti kukatakan tadi, cara berkenalanmu
sudah ketinggalan masa! Cara seperti itu mungkin co-
cok pada saat mudamu. Tapi untuk saat sekarang apa-
lagi dalam situasi seperti saat ini, caramu tidak akan
menghasilkan apa-apa kecuali kecurigaan!”
“Baik! Sekarang aku ingin tahu bagaimana caranya
berkenalan model sekarang!” kata Dewi Ayu Lambada
dengan mata mendelik.
“Hem.... Jadi acara ini kau serahkan padaku?!”
tanya Iblis Ompong.
“Tapi kalau kau bicara yang tidak-tidak, kau akan
tahu rasa nanti!”
Iblis Ompong tertawa panjang. Lalu melangkah dua
tindak ke depan. Tanpa memandang pada Saraswati
dan Putri Kayangan, si kakek langsung angkat bicara.
“Aku tahu.... Kalian berdua jatuh cinta pada Pende-
kar 131 Joko Sableng!”
“Enak saja bicara! Siapa yang jatuh cinta?!” Tiba-
tiba Saraswati menyahut dengan suara keras. “Dia
yang jatuh cinta, bukan aku!” Telunjuk tangan kanan
Saraswati lurus mengarah pada Putri Kayangan.
Putri Kayangan rupanya tidak mau ditunjuk-tunjuk
begitu rupa apalagi langsung dituduh di hadapan
orang. Gadis berpakaian merah ini segera pula arah-
kan telunjuknya pada Saraswati seraya berucap den-
gan suara tak kalah kerasnya.
“Dia yang cemburu padaku! Padahal aku tidak me-
rasa punya hubungan apa-apa!”
“Siapa percaya pada ucapan kalian!” kata Iblis Om-
pong dengan suara keras pula. “Yang jelas dari perde-
batan kalian tadi, aku bisa katakan kalian berdua sa-
ma jatuh cinta pada Pendekar 131 Joko Sableng!”
“Orang tua! Jangan bicara sembarangan! Katakan
terus terang apa maumu sebenarnya!” bentak Saras-
wati yang mulai jengkel.
Iblis Ompong berpaling pada Saraswati. “Gadis can-
tik.... Kau tentu tak akan mungkir bila kukatakan kita
pernah bertemu! Jadi jangan kira aku tak tahu siapa
dirimu dan apa hubunganmu dengan Pendekar 131!”
Saraswati perhatikan Iblis Ompong dengan mata
melotot besar. Dadanya bergemuruh. Bibirnya tampak
bergetar saat dia berkata.
“Kita memang pernah bertemu! Tapi kau tahu apa
hubunganku dengan pemuda keparat itu, hah?! Jan-
gan berani bicara mengarang cerita!”
Iblis Ompong geleng kepala. “Aku tak akan menga-
rang cerita. Aku juga akan menyimpan rapat-rapat apa
yang ku tahu antara kau dan pemuda yang kau kata-
kan keparat itu. Aku hanya perlu memberi tahu pada-
mu. Pemuda keparat itu sekarang sedang sekarat!”
Laksana terbang Saraswati melompat ke depan. Wa-
jahnya berubah tegang. Untuk beberapa lama dia pan-
dangi Iblis Ompong. Lalu seolah ingin meyakinkan, dia
berpaling pada Dewi Ayu Lambada. Mungkin masih
merasa jengkel dengan sikap Saraswati tadi, si nenek
segera buang muka ke jurusan lain ketika Saraswati
berpaling padanya.
“Orang tua! Kau....”
Belum sampai Saraswati teruskan ucapan, Iblis
Ompong angkat tangan kanannya. Lalu jari telunjuk-
nya dilintangkan di depan mulutnya memberi isyarat
agar Saraswati tidak lanjutkan ucapan.
“Aku tak akan bicara apa-apa lagi padamu, Anak
Cantik! Kau cukup kuberi tahu apa yang tengah terja-
di! Kalau kau ingin bicara, bicaralah! Aku akan sam-
paikan padanya!
Di lain pihak mendengar keterangan Iblis Ompong,
Putri Kayangan sesaat terkesiap. Seperti halnya Sa-
raswati, dia memandang berlama-lama pada Iblis Om-
pong seolah ingin meyakinkan. Bahkan dia pun sem-
pat arahkan pandang matanya pada Dewi Ayu Lamba-
da. Namun lagi-lagi Dewi Ayu Lambada segera buang
muka dengan tampang ketus.
“Apa benar ucapan kakek itu...? Siapa yang telah
membuatnya begitu?! Saat berpisah tempo hari.... Ah!”
Putri Kayangan tidak dapat lanjutkan kata hatinya.
Matanya mulai berkaca-kaca. Namun setelah sadar di
mana saat berada dan siapa yang ada di hadapannya,
Putri Kayangan cepat usap genangan air matanya lalu
melangkah ke arah Iblis Ompong.
Iblis Ompong berpaling pada Putri Kayangan. Sete-
lah menghela napas panjang dan unjuk mimik me-
nyesal, kakek ini berkata.
“Sebenarnya aku tak mau membuat kalian kecewa
dengan kabar tidak enak ini.... Tapi aku akan merasa
berdosa jika tidak menyampaikan amanat orang!”
“Jadi kau sungguh-sungguh?!” Yang bertanya ada-
lah Putri Kayangan.
“Terserah bagaimana kau memandangnya! Yang je-
las aku telah memberi tahu pada kalian!”
“Di mana sekarang dia berada?!” hampir bersamaan
Saraswati dan Putri Kayangan berkata.
Iblis Ompong geleng kepala. “Aku tak bisa memberi
keterangan! Saat ini dia tengah dirawat seseorang.
Namun kecil kemungkinannya dia dapat hidup! Cuma
saja kalau di antara kalian ada yang hendak memberi
pesan terakhir, aku akan sampaikan!”
Saraswati dan Putri Kayangan kembali saling pan-
dang. Iblis Ompong tampaknya maklum. Maka dia se-
gera berucap.
“Kurasa mulai saat ini tidak perlu di antara kalian
ada silang sengketa karena cinta!” Iblis Ompong ber-
paling pada Saraswati. “Anak cantik.... Aku tahu,
mungkin kau malu ucapanmu didengar sahabatmu
ini. Kalau kau masih ingin mengutarakan sesuatu,
mendekatlah! Berbisiklah di telingaku!”
Saraswati sesaat pandangi Putri Kayangan. Putri
Kayangan menghela napas lalu tersenyum dan putar
diri sambil melangkah tiga tindak dan berkata.
“Aku tak akan mendengarkan... Silakan bicara!”
Saraswati bimbang. Namun akhirnya melangkah ju-
ga. Kepalanya segera disorongkan ke dekat telinga Iblis
Ompong lalu mulutnya berkemik. Iblis Ompong men-
dengarkan dengan seksama. Lalu mengangguk.
Saraswati tarik pulang kepalanya dengan mata ber-
kaca-kaca. Iblis Ompong berpaling lalu bergumam li-
rih. “Anak cantik.... Pesanmu akan kusampaikan. Tapi
kalau dia nanti bertanya siapa yang memberi pesan?!”
Saraswati kembali dekatkan kepalanya lalu se-
butkan diri. Iblis Ompong kembali anggukkan kepala.
Lalu berpaling pada Putri Kayangan.
“Gadis baju merah.... Kau tidak ingin titip sesua-
tu?!”
Putri Kayangan balikkan tubuh. Ketika dilihatnya
Saraswati telah berbalik dan melangkah menjauh, Pu-
tri Kayangan mendekat pada Iblis Ompong dan berka-
ta.
“Kek.... Sampaikan saja permintaan maafku pa-
danya!”
“Hanya itu?!” tanya Iblis Ompong.
Putri Kayangan anggukkan kepala dengan mata
kembali telah digenangi air mata. “Aku.... Aku Beda
Kumala. Tapi orang sering memanggilku Putri Kayan-
gan....”
Iblis Ompong sesaat tersentak. Namun buru-buru
sadar dan segera anggukkan kepala. Saat lain dia ber-
kelebat dan tegak di samping Dewi Ayu Lambada.
“Bagaimana?!” tanya si nenek.
“Rezeki kita besar!”
“Besar bagaimana?!”
“Nanti saja kuceritakan! Sekarang kita harus cepat
tinggalkan tempat ini!” bisik Iblis Ompong. Lalu me-
mandang silih berganti pada Saraswati dan Putri
Kayangan.
“Kuharap kalian berdua tidak larut dalam kesedi-
han! Setiap manusia hidup pasti akan mengalami ke-
matian! Kalau takdir nanti menentukan lain, tentu
pemuda itu masih bisa disembuhkan....”
Habis berkata begitu, Iblis Ompong berkelebat di-
ikuti oleh Dewi Ayu Lambada. Saraswati teruskan
langkah tanpa berpaling lagi. Sementara Putri Kayan-
gan balikkan tubuh lalu melangkah dengan pipi diba-
sahi air mata!
***
TUJUH
BAGAIMANA?! Bagaimana?! tanya Dewi Ayu Lam-
bada dengan tangan menarik-narik lengan Iblis Om-
pong.
Iblis Ompong pasang tampang angker lalu berbisik.
“Jangan keras-keras bicara! Dan lepaskan tanganmu!”
“Dasar tua sialan!” maki Dewi Ayu Lambada seraya
sentakkan tangannya dari lengan Iblis Ompong.
Dua orang ini ternyata tidak berkelebat jauh. Sesaat
tadi keduanya memang seakan-akan tinggalkan tem-
pat di mana mereka bertemu dengan Saraswati dan
Putri Kayangan. Namun begitu agak jauh, keduanya
memutar jalan lalu kembali ke tempat di mana Saras-
wati dan Putri Kayangan berada. Namun kali ini mere-
ka berdua tampak mengendap-endap dan sembunyi-
kan diri di balik batangan pohon agak besar.
Iblis Ompong sesaat memperhatikan Saraswati yang
teruskan langkah dengan kepala menunduk. Lalu ber-
paling pada Putri Kayangan yang juga melangkah ber-
lawanan arah dengan Saraswati.
“Kita ikuti yang berbaju merah...,” ujar Iblis Om-
pong ketika dilihatnya Putri Kayangan telah melang-
kah agak jauh. Dia luruskan tubuh lalu keluar dari ba-
lik pohon. Saat lain dia berkelebat. Tapi tiba-tiba gera-
kannya ditahan tatkala mendapati si nenek belum juga
beranjak dari balik pohon.
“Hai! Ada apa denganmu?! Kita ikuti si baju merah
itu!”
Dewi Ayu Lambada mendengus dengan tampang
cemberut. “Kau belum katakan mengapa hendak kau
ikuti si baju merah itu!”
“Astaga!” Iblis Ompong tepuk jidatnya. Lalu mende-
kati si nenek dan berkata.
“Dialah gadis yang kita cari! Dia Putri Kayangan!”
“Apa?!” Laksana disentak setan, Dewi Ayu Lambada
meloncat. Mau tak mau Iblis Ompong harus segera me-
lompat ke samping untuk hindarkan tubrukan. “Apa
katamu? Dia Putri Kayangan?! Gadis yang hamil itu?!”
Iblis Ompong pegangi dadanya sambil memaki da-
lam hati. “Setan.... Kalau saja aku tidak menghindar,
tentu dadaku sudah terhantam tubuhnya! Rupanya
dia sengaja akan memelukku.... Hik.... Hik.... Hik...!
Siapa sudi dipeluk nenek macam dia!”
“Hai! Apa benar dia gadis hamil itu?!” kembali Dewi
Ayu Lambada perdengarkan tanya saat Iblis Ompong
tidak juga memberi jawaban.
“Yang dapat kupastikan, dia adalah Putri Kayangan!
Soal dia yang hamil atau bukan, masih harus kita seli-
diki! Karena kita belum menemukan satunya lagi!”
Habis berkata begitu, Iblis Ompong segera berkele-
bat. Dewi Ayu Lambada segera berkelebat pula menyu-
sul di belakangnya.
“Lalu bagaimana kita harus mengetahui dia hamil
atau tidak?!” tanya Dewi Ayu Lambada seraya terus
mengikuti kelebatan Iblis Ompong.
“Itulah yang tengah kupikirkan! Kalau sekarang kita
menemuinya dan berbasa-basi, pasti dia curiga dengan
karangan ceritaku tadi! Dan itu akan membuat renca-
na jadi berantakan!”
“Model kau berkenalan memang meyakinkan! Tapi
akibatnya kita akan terjebak! Belum lagi kalau....”
Dewi Ayu Lambada putuskan ucapannya. Dia cepat
tarik pundak Iblis Ompong dan diseretnya merunduk
ke balik semak. Iblis Ompong sudah buka mulut hen-
dak memaki, tapi dia segera kancingkan mulutnya lalu
dibuka lagi tanpa perdengarkan suara. Sebaliknya ma-
tanya dibeliakkan memandang tak berkesip jauh ke
depan. Di sampingnya si nenek mengerjap beberapa
kali sebelum akhirnya pentangkan mata.
Di depan sana, Putri Kayangan yang tengah me-
langkah dengan berurai air mata tampak tersentak ke-
tika ekor matanya menangkap kelebatan satu bayan-
gan. Dia segera angkat kepala. Memandang ke depan,
gadis cantik ini melihat satu sosok tubuh.
“Setan Liang Makam!” gumam Putri Kayangan men-
genai siapa adanya sosok yang telah tegak dengan si-
kap menghadang di hadapannya.
Orang yang baru muncul adalah seorang laki-laki
yang sekujur tubuhnya hanya merupakan susunan kerangka tanpa daging sama sekali dan tidak lain me-
mang Setan Liang Makam adanya. Cucu Nyai Suri
Agung generasi terakhir dari keluarga Kampung Setan.
“Di antara kita tidak ada permusuhan! Harap tidak
menghalangi langkahku!” Berkata Putri Kayangan se-
belum Setan Liang Makam buka mulut.
Setan Liang Makam gerakkan kepala menggeleng-
geleng. “Kau adalah tebusan nyawaku! Dengan kepa-
lamu aku akan mendapatkan kembali benda-benda
milikku! Tapi aku masih memberimu kesempatan! Kau
ikut denganku secara baik-baik atau terpaksa aku
menyeretmu dengan tubuh tanpa nyawa!”
“Kau jangan berlaku bodoh! Kau ditipu orang! Meski
kau bawa kepalaku, tak mungkin apa yang kau ingin-
kan akan kau dapat!”
“Setan alas! Beraninya mulutmu mengajariku! Aku
tahu apa yang harus kulakukan!”
“Kalau begitu, aku pun tak akan tinggal diam!”
“Kau telah memutuskan jalanmu!” Setan Liang Ma-
kam angkat kedua tangannya. Sementara Putri Kayan-
gan cepat pula takupkan kedua tangannya di depan
kening.
“Bagaimana sekarang?!” ujar Dewi Ayu Lambada
dari tempat persembunyiannya dengan mata terus
menatap ke arah Putri Kayangan.
“Kau terus-terusan bertanya bagaimana!” kata Iblis
Ompong. “Kita lihat dahulu sambil mencari jalan ter-
baik! Yang jelas kita harus selamatkan gadis itu walau
kita belum bisa memastikan dia yang hamil atau bu-
kan!”
“Kau mengenal manusia jerangkong itu?!” tanya
Dewi Ayu Lambada.
“Kali ini tugasmu untuk melakukannya. Siapa pun
dia yang pasti dia adalah laki-laki. Dan dia akan lebih
senang jika berkenalan dengan perempuan! Untuk
yang satu ini, aku tak peduli kau hendak mengguna-
kan cara bagaimana untuk berkenalan!”
Dewi Ayu Lambada sudah hendak memaki. Tapi
mendadak terdengar gelegar dahsyat. Saking terkejut-
nya, si nenek hendak melompat. Tapi buru-buru sadar
dia tengah mengikuti orang. Namun dia sudah telanjur
bergerak. Hingga untuk menghindari agar tidak dike-
tahui keberadaannya, terpaksa si nenek arahkan gera-
kannya pada Iblis Ompong. Sialnya Iblis Ompong ten-
gah berpaling ke arah suara gelegar. Hingga meski dia
sempat menghindar, tapi sudah terlambat.
Bukkk!
Sosok Dewi Ayu Lambada menumbuk tubuh Iblis
Ompong. Iblis Ompong terjengkang di atas tanah. Se-
mentara si nenek cekikikan telungkup di sampingnya!
Di seberang sana, terlihat muncratan tanah ke uda-
ra. Lalu tampak dua sosok terpental. Yang pertama
adalah Putri Kayangan. Gadis ini perdengarkan seruan
tertahan sebelum akhirnya terjerembab jatuh dengan
mulut kucurkan darah.
Sosok kedua adalah Setan Liang Makam. Cucu Nyai
Suri Agung dari Kampung Setan ini terhempas ke be-
lakang sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan mu-
lut megap-megap. Walau dari mulutnya tidak kelua-
rkan darah, namun jelas kalau luka dalam yang dideri-
tanya tidak lebih ringan dari Putri Kayangan.
“Ompong.... Kita harus segera turun tangan! Kalau
benar dia hamil, terlalu bahaya jika terjadi benturan
pukulan lagi! Bayi dalam kandungannya bisa gugur!
Itu akan membuat penantian makin panjang!” kata
Dewi Ayu Lambada.
“Tapi.... Bagaimana kalau karangan ceritaku tadi
ketahuan?!”
“Peduli setan dengan semua itu! Kau nanti bisa
mengatur bagaimana caranya!”
Selagi Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong berge-
rak bangkit, di depan sana Setan Liang Makam dan
Putri Kayangan telah tegak. Tanpa perdengarkan sua-
ra, Setan Liang Makam angkat kembali kedua tangan-
nya. Putri Kayangan tidak berdiam diri. Kedua tangan-
nya diangkat ke atas kepala lalu ditakupkan. Saat ber-
samaan sosok tubuh gadis cantik ini laksana dikobari
sinar berwarna merah.
Setan Liang Makam mendengus. Lalu didahului
bentakan garang, kedua tangannya bergerak melepas
pukulan.
Wuutt! Wuuttt!
Dua gelombang disertai hamparan warna hitam me-
lesat menggidikkan ke arah Putri Kayangan.
Putri Kayangan perdengarkan pula bentakan. Sinar
merah yang mengobari dirinya mencuat menghadang
gelombang yang datang dari Setan Liang Makam.
Bersamaan dengan mencuatnya sinar merah dari
tubuh Putri Kayangan, dari arah semak belukar mele-
sat dua gulungan awan putih yang bergerak turun
naik makin lama makin besar. Saat yang sama terlihat
benda panjang berwarna hitam melesat deras ke arah
Setan Liang Makam.
Setan Liang Makam tersentak. Sembari perdengar-
kan makian keras dia kembali akan lepaskan pukulan.
Dia rupanya maklum ada orang lain di sekitar tempat
itu. Namun belum sempat kedua tangan Setan Liang
Makam bergerak, benda hitam telah berkelebat dan
laksana ular benda hitam tadi meliuk deras lalu melilit
kedua tangan Setan Liang Makam.
Setan Liang Makam jadi kalap. Dia kerahkan sege-
nap tenaga dalamnya. Namun baru saja hendak berge-
rak, lilitan benda hitam pada kedua tangannya telah
menyentak! Sosok Setan Liang Makam terdorong keras
ke belakang. Saat itulah gulungan awan putih melabrak!
Terlambat bagi Setan Liang Makam untuk membuat
gerakan membendung. Tanpa ampun lagi gulungan
awan putih menghantam tubuhnya!
Dessss!
Setan Liang Makam perdengarkan seruan tertahan.
Saat bersamaan terdengar gelegar keras berte-
munya pukulan Setan Liang Makam dengan kobaran
sinar merah yang melesat dari tubuh Putri Kayangan.
Untuk kedua kalinya Setan Liang Makam perden-
garkan suara. Namun kali ini bersamaan dengan men-
talnya tubuh lima tombak ke belakang!
Setan Liang Makam terkapar di antara ranggasan
semak belukar. Dadanya berguncang keras. Sosoknya
bergeletar. Mulutnya terbuka namun tak perdengarkan
suara. Sepasang matanya terpejam lalu terbuka. Ke-
dua tangannya yang hanya merupakan kerangka tam-
pak menghitam membentuk lilitan!
Di seberang sana, sosok Putri Kayangan tampak ja-
tuh terduduk di atas tanah. Kobaran sinar merah pada
tubuhnya lenyap. Raut wajahnya berubah pucat lak-
sana tidak berdarah. Darah makin banyak mengucur
dari mulutnya. Namun tak berapa lama kemudian,
saudara kembar Pitaloka ini bergerak bangkit.
“Ada orang yang menolongku...,” bisik sang Putri se-
raya arahkan pandangannya ke samping dari mana
tadi ekor matanya masih bisa menangkap kelebatan
benda hitam dan melesatnya gulungan awan putih.
Di balik semak belukar, Dewi Ayu Lambada tarik
pulang kerudung hitamnya lalu dikenakan di atas ke-
pala. Kerudung panjang berwarna hitam inilah yang
tadi membuat Setan Liang Makam tersentak ke bela-
kang.
“Kita keluar sekarang!” bisik si nenek seraya mem-
perhatikan Iblis Ompong yang tampak tegak membela
kangi dengan kedua tangan masih di depan pantat. Ib-
lis Ompong baru saja melepas pukulan yang langsung
menghantam sosok Setan Liang Makam hingga mem-
buatnya jatuh.
Iblis Ompong balikkan tubuh. “Belum sekarang
saatnya keluar! Aku belum menemukan cara bagaima-
na agar gadis cantik itu tidak merasa curiga dengan
karangan ceritaku tadi!”
“Ah.... Itu urusan nanti! Kalaupun nanti dia curiga,
apa hendak dikata! Kita katakan saja terus terang!”
“Mana bisa begitu?!”
Dewi Ayu Lambada tidak pedulikan ucapan Iblis
Ompong. Nenek ini sudah hendak melompat keluar.
Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba Iblis
Ompong melompat dan langsung menyergap. Dewi Ayu
Lambada menjerit. Kedua kakinya goyah. Saat lain so-
soknya jatuh bergulingan. Ketika gulingannya terhenti,
si nenek langsung mendelik! Sosok Iblis Ompong ter-
nyata nangkring di atas tubuhnya!
“Sialan!” maki si nenek. Kedua tangannya cepat
bergerak menghantam ke atas. Namun Iblis Ompong
tidak tinggal diam. Dia cepat pula menghadang han-
taman si nenek dengan palangkan kedua tangannya ke
depan.
Bukkk! Bukkk!
Terdengar dua benturan. Saat yang sama sosok Ib-
lis Ompong mencelat ke udara. Lalu melayang turun
dan tahu-tahu telah duduk menjeplok di antara semak
belukar seraya usap-usap kedua tangannya. Kepa-
lanya tengadah dengan mulut terbuka lebar;
Tidak jauh di sebelah Iblis Ompong, Dewi Ayu Lam-
bada berguling-guling sebelum akhirnya membuat ge-
rakan satu kali. Tahu-tahu dia telah duduk bersila
dengan kedua tangan memegangi kerudung hitam. Se-
pasang matanya tak berkesip pandangi Iblis Ompong.
Tanpa berucap sepatah kata, kedua tangan si nenek
putar kerudung hitam.
“Tahan, Nek!” bisik Iblis Ompong. “Lihat ke depan!”
Walau masih geram, tak urung juga Dewi Ayu Lam-
bada lirikkan matanya ke depan. Dia buru-buru
urungkan niat gerakkan kerudung hitamnya.
Di depan sana, ternyata Setan Liang Makam telah
tegak berdiri dengan kedua tangan terangkat. Cucu
Nyai Suri Agung ini tampaknya sudah tidak pedulikan
keadaan dirinya yang telah terluka. Sementara menda-
pati hal demikian, Putri Kayangan yang masih mendu-
ga-duga siapa adanya orang di balik semak belukar
cepat pula kerahkan tenaga dalam pada kedua tan-
gannya.
Namun belum sampai ada yang membuat gerakan,
satu bayangan putih berkelebat. Tahu-tahu berjarak
sepuluh langkah di samping Putri Kayangan telah te-
gak satu sosok tubuh.
Setan Liang Makam berpaling. Matanya makin
membeliak. “Kau!” desisnya dengan suara bergetar.
Di lain pihak, Putri Kayangan tersentak. Matanya
memperhatikan orang dari atas hingga bawah. Da-
hinya mengernyit. Dan seolah belum percaya dengan
pandang matanya gadis cantik ini melangkah dua tin-
dak dengan mata makin dibelalakkan.
Orang yang dipandangi senyum-senyum. Dia me-
mandang silih berganti pada Setan Liang Makam dan
Putri Kayangan.
Di balik semak belukar, Dewi Ayu Lambada dan Ib-
lis Ompong sama terkesiap dengan mulut masing-
masing terkancing rapat. Saat bersamaan keduanya
saling berpandangan.
“Gawat.... Hancur sudah rencana kita!” ujar Iblis
Ompong. “Sebaiknya kita segera angkat kaki!”
“Telanjur basah.... Angkat kaki pun tak ada gu
nanya lagi!” sahut Dewi Ayu Lambada. “Lebih baik kita
bicara terus terang agar tak jadi urusan di kemudian
hari!”
Iblis Ompong gelengkan kepala. “Kau bisa bicara
demikian karena bukan kau tadi yang mengarang ceri-
ta! Seandainya kau, pasti kau sudah terbirit-birit! Kita
pergi saja.... Urusan nanti jadi masalah atau tidak, kita
urus belakangan!”
Namun si nenek tampaknya tidak acuhkan ucapan
Iblis Ompong. Dia segera melompat keluar dari balik
semak belukar! Iblis Ompong sempat hendak mena-
han, tapi terlambat. Hingga akhirnya kakek ompong ini
hanya bisa tegak dengan mulut dibuka lebar-lebar.
***
DELAPAN
DEWI Ayu Lambada!” seru orang yang baru muncul
yang masih dipandangi Putri Kayangan dengan kehe-
ranan. Ternyata dia adalah seorang pemuda berpa-
kaian putih-putih. Rambutnya panjang sebahu dililit
ikat kepala warna putih. Parasnya tampan.
“Nenek itu!” gumam Putri Kayangan melihat siapa
adanya orang yang muncul dari balik semak belukar.
“Bagaimana ini?! Bukankah kakek yang bersama ne-
nek itu tadi mengatakan Pendekar 131 tengah terluka
parah?! Tapi dia muncul di sini.... Jadi mereka berdus-
ta!”
Selagi Putri Kayangan membatin begitu, dari bela-
kang Dewi Ayu Lambada muncul Iblis Ompong me-
langkah dengan kepala mendongak dan mulut terbuka
lebar.
“Kakek Iblis Ompong!” Lagi-lagi si pemuda berseru.
“Hem.... Rupanya mereka saling kenal! Mungkin
mereka tengah bersandiwara. Apa maksud mereka se-
benarnya?! Hanya ingin tahu kalau aku tertarik pada
pemuda itu?!” Membatin Putri Kayangan dengan paras
merah padam. Antara jengkel dan malu. Jengkel kare-
na tindakan Iblis Ompong dan malu karena merasa si
pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 131 Joko
Sableng kini telah tahu perasaannya. Seandainya tidak
tengah berurusan dengan Setan Liang Makam, ingin
rasanya dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
Setelah Joko menjura pada Dewi Ayu Lambada dan
Iblis Ompong, Pendekar 131 putar tubuh menghadap
Setan Liang Makam lalu berkata.
“Sekarang kau telah tahu bahwa bukan aku orang-
nya yang mengambil Kembang Darah Setan.... Dengan
ini kurasa di antara kita tidak ada lagi silang sengke-
ta!”
“Ucapanmu salah! Silang sengketa itu baru kua-
nggap habis kalau kau dan gadis itu mau ikut dengan-
ku!” sahut Setan Liang Makam.
“Boleh aku tahu, kau hendak mengajakku ke mana
bersama gadis cantik itu?!” tanya Joko seraya melirik
pada Putri Kayangan.
Putri Kayangan berdebar dan makin tak enak men-
dengar pujian Pendekar 131. Wajahnya cepat dipaling-
kan ke jurusan lain.
“Kau tak usah bertanya!” bentak Setan Liang Ma-
kam.
“Baiklah.... Aku setuju saja dengan ajakanmu. Tapi
akan kutanya dahulu gadis cantik itu! Kalau dia setu-
ju, aku ikut. Jika tidak, mana enaknya berjalan-jalan
sesama laki-laki?!”
Habis berkata begitu, Joko arahkan pandang ma-
tanya pada Putri Kayangan seraya bertanya. “Bagai-
mana Putri?! Kau setuju dengan ajakan sahabat itu?!”
“Aku masih punya urusan lain!” kata Putri Kayan
gan tanpa berani memandang.
“Nah, kau dengar sendiri jawabannya!” kata Pende-
kar 131 sembari menghadap ke arah Setan Liang Ma-
kam. “Dia masih punya urusan lain! Berarti urusan ja-
lan-jalan terpaksa kita tunda dahulu! Lain waktu
mungkin urusan jalan-jalan ini bisa kita bicarakan la-
gi!”
“Bagaimana kalau aku saja yang ikut menggantikan
gadis itu?!” Yang berkata adalah Dewi Ayu Lambada
seraya melangkah dengan pinggul digoyang dan kedua
tangannya merapikan kerudung hitam di atas kepa-
lanya.
“Aku juga ikut menggantikan pemuda itu!” sahut Ib-
lis Ompong lalu ikut melangkah ke belakang Dewi Ayu
Lambada.
“Aku Dewi Ayu Lambada, dia Iblis Ompong...,” ujar
Dewi Ayu Lambada. “Kurasa kami berdua cukup me-
madai sebagai ganti!”
“Aku tidak butuh kalian!” sentak Setan Liang Ma-
kam.
“Hem.... Begitu? Apa gayaku kurang menarik?!”
tanya Dewi Ayu Lambada dan sekali lagi merapikan
kerudung hitamnya. Bibirnya sunggingkan senyum le-
bar. Langkahnya makin diliuk-liukkan. Malah kedua
tangannya segera diangkat lurus ke atas dan digerak-
kan seolah orang sedang menari.
“Apa tampangku juga kurang meyakinkan?!” Iblis
Ompong menyahut. Dia letakkan tangan kiri kanannya
di atas pinggang lalu teruskan langkah seraya kepala
mendongak dan mulut terbuka lebar-lebar!
Setan Liang Makam mendengus. Kedua tangannya
kembali diangkat. Tapi tiba-tiba dia luruhkan kembali
kedua tangannya tatkala merasakan getaran keras pa-
da kedua tangannya dan dadanya terasa nyeri. Tam-
paknya cucu Nyai Suri Agung ini maklum jika luka dalam yang dideritanya tidak memungkinkan untuk ke-
rahkan tenaga dalam dan lepaskan pukulan. Apalagi
jika menghadapi beberapa orang.
Setan Liang Makam menatap tajam pada Pendekar
131 dan Putri Kayangan. Telunjuk jari tangannya ber-
gerak lurus ke arah Joko lalu beralih pada sang Putri.
Saat yang sama terdengar ucapannya.
“Kelak aku akan menjemput kalian!” Mata Setan
Liang Makam beralih pada Dewi Ayu Lambada dan Ib-
lis Ompong. “Kalian berdua telah berani lancang ikut-
ikutan urusanku! Kelak nyawa kalian berdua akan ku-
cabut!”
Habis berkata begitu, Setan Liang Makam balikkan
tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
“Hai! Kau benar-benar tidak mau mengajak aku?!”
teriak Dewi Ayu Lambada seraya melepas kerudung hi-
tamnya.
“Tahan, Nek...! Biarkan dia pergi tanpamu.... Juga
tanpaku! Dia telah berjanji kelak hendak menjemput.
Berarti kita kelak masih akan bertemu lagi!” kata Iblis
Ompong tahu jika si nenek hendak lepas kerudung hi-
tamnya menghantam pada Setan Liang Makam.
Dewi Ayu Lambada mencibir. Lalu pasang kembali
kerudung hitamnya di atas kepala. Saat lain dia meng-
hadap pada Putri Kayangan. Namun kali ini bukannya
memandang pada wajah cantik milik si gadis tapi pada
perutnya. Di lain pihak, Iblis Ompong juga berbuat
sama.
Di lain pihak, Pendekar 131 segera melangkah
mendekati Putri Kayangan.
“Putri.... Senang bisa jumpa lagi denganmu! Mereka
berdua adalah sahabatku!”
“Aku sudah tahu...,” jawab Putri Kayangan dengan
suara ketus.
“Hem.... Rupanya kalian sudah berkenalan....”
“Aku masih banyak urusan. Aku harus segera per-
gi!” Tiba-tiba Putri Kayangan berkata lalu hendak ber-
kelebat.
“Putri. Tunggu!” tahan murid Pendeta Sinting lalu
melompat dan tegak di samping si gadis.
“Pendekar 131! Tidak ada yang perlu kita bicarakan!
Lagi pula jangan berharap aku percaya dengan semua
kata-kata atau tindakanmu!”
“Hai.... Ada apa ini?!”
“Kau masih juga berpura-pura! Apa belum cukup
cara kalian mempermainkan aku?! Apa maksud kalian
sebenarnya?! Apa?!” kata Putri Kayangan setengah ber-
teriak dengan dada berguncang.
Pendekar 131 melirik pada Dewi Ayu Lambada dan
Iblis Ompong. Kakek dan nenek ini terlihat saling pan-
dang dan sama angkat bahu. Namun tangan masing-
masing saling tunjuk.
“Hem.... Pasti mereka berdua baru saja memper-
mainkan gadis ini! Jika tidak, mana mungkin dia jadi
berubah?!” Pendekar 131 arahkan pandang matanya
pada Putri Kayangan. “Mungkinkah gadis ini yang ke-
lak akan melahirkan bayi itu?! Siapa ayah dari bayi
itu?! Sayang.... Berarti gadis ini telah....”
Belum sampai Joko lanjutkan kata hatinya, Putri
Kayangan telah berputar dan menatap tajam pada mu-
rid Pendeta Sinting. Kali ini tatapannya lain.
“Pendekar 131! Cepat selesaikan urusanmu! Ada
seseorang yang menunggu penyelesaian ini! Aku tak
mau terus-terusan dituduh gara-gara urusanmu!”
“Dia cemburu pada gadis bernama Saraswati itu!”
bisik Iblis Ompong.
“Hem.... Gadis yang satunya itu?!” tanya Dewi Ayu
Lambada.
Selagi kakek dan nenek ini saling berbisik, tiba-tiba
Putri Kayangan berkata dengan suara keras.
“Orang tua! Cukup sekali ini saja kalian memper-
mainkan orang! Harap kalian tidak mengulanginya lagi
pada gadis lain!”
“Harap kau memaklumi, Putri...,” ujar Iblis Om-
pong.
“Itu semua harus kulakukan! Bukan maksud hati
mempermainkan. Tapi di balik semua itu ada sesuatu!”
“Sesuatu apa?!”
“Anak muda!” kata Iblis Ompong pada murid Pende-
ta Sinting. “Sekarang giliranmu buka mulut!”
Pendekar 131 maklum akan maksud Iblis Ompong.
Namun dia tampak canggung untuk memulai. Selain
takut menyinggung perasaan Putri Kayangan, selebih-
nya dia sebenarnya merasa khawatir kalau Putri
Kayangan benar-benar tengah mengandung! Hingga
untuk beberapa lama dia hanya tegak termangu tidak
tahu harus bicara bagaimana.
Putri Kayangan tampak heran dengan sikap orang-
orang di hadapannya. Namun karena tidak bisa men-
duga, akhirnya dia kembali berkata.
“Aku tidak punya waktu banyak! Katakan sesuatu
itu atau aku akan tinggalkan tempat ini!”
Pendekar 131, Dewi Ayu Lambada, dan Iblis Om-
pong sama saling pandang satu sama lain. Karena ti-
dak juga ada yang buka suara, akhirnya Iblis Ompong
berbisik pada Dewi Ayu Lambada.
“Lebih baik kau saja yang bertanya! Kau dan dia
sama-sama perempuan!”
Meski dengan cemberut pada akhirnya Dewi Ayu
Lambada melangkah mendekati Putri Kayangan. Sete-
lah tersenyum dan rapikan kerudung hitamnya, si ne-
nek bertanya.
“Putri.... Sebelum kukatakan apa sesuatu itu, harap
kau mau jawab dengan jujur pertanyaanku.”
Putri Kayangan hanya memandang tanpa buka mu
lut menyahut. Tapi dalam hati gadis ini diam-diam
berdebar. Apalagi tatkala dilihatnya baik Pendekar
131, Iblis Ompong, dan Dewi Ayu Lambada sendiri dari
tadi selalu melirik ke arah perutnya.
“Putri.... Apakah kau telah punya kekasih?! Eh....
Maksudku punya suami?!”
Raut wajah Putri Kayangan seketika berubah. “Apa
maksud pertanyaan nenek ini? Apa hubungannya san-
diwara yang mereka lakukan dengan pertanyaan tadi?!
“Putri.... Harap tidak ragu-ragu! Dan harap tidak
menyembunyikan sesuatu! Ini demi tenangnya rimba
persilatan!” kata Dewi Ayu Lambada membuat Putri
Kayangan makin heran dan merasa aneh.
Setelah berpikir agak lama pada akhirnya Putri
Kayangan buka mulut menjawab.
“Aku belum bersuami....”
“Lihat.... Pemuda sableng itu tersenyum gembira!”
bisik si nenek pada Iblis Ompong ketika dilihatnya mu-
rid Pendeta Sinting menghela napas lalu tersenyum.
Ketika Putri Kayangan belum menjawab, dada mu-
rid Pendeta Sinting memang berdebar-debar dilanda
perasaan takut dan khawatir.
“Lalu apakah selama ini kau punya sahabat dekat
seorang pemuda?! Eh.... Maksudku pokoknya seorang
laki-laki?!” kembali Dewi Ayu Lambada ajukan tanya.
Untuk kedua kalinya Putri Kayangan berubah pa-
ras. Dia sempat melirik pada murid Pendeta Sinting
sebelum akhirnya menjawab pertanyaan si nenek den-
gan isyarat gelengan kepalanya.
“Benar?!” Yang ajukan tanya kali ini adalah Iblis
Ompong. “Jawabanmu jangan hanya karena adanya
pemuda di sampingmu itu! Untuk sementara ini ang-
gap saja dia tidak ada! Yang ada hanya aku, kau, dan
nenek cantik ini!”
“Tidak ada untungnya aku berkata dusta!” kata Putri Kayangan. “Dan harap segera katakan apa hubun-
gan antara pertanyaan kalian dengan....”
“Nanti akan sampai ke sana!” potong Dewi Ayu
Lambada. Lalu si nenek kembali ajukan tanya. “Apa
benar kau memiliki saudara kembar?!”
“Benar!”
“Laki-laki atau perempuan?!” tanya Iblis Ompong.
“Sama seperti aku!”
“Hem.... Apa saudara kembarmu juga belum punya
suami?!” tanya si nenek.
“Belum...!”
“Di mana dia sekarang?!”
“Aku tak tahu di mana dia sekarang berada! Selang
kira-kira satu purnama yang lalu, kami memang sem-
pat bertemu. Tapi kami terpaksa harus berpisah kare-
na keadaan tidak memungkinkan! Kalian tahu di mana
saudaraku itu?!” Putri Kayangan balik bertanya.
“Kita akan segera mencarinya!” Yang menyahut ada-
lah murid Pendeta Sinting. “Menurut dugaanku, dia
pasti bersama manusia yang mengenakan Jubah Tan-
pa Jasad! Seharusnya Setan Liang Makam tadi kita ce-
gah dahulu kepergiannya. Tempo hari dia bersatu den-
gan Setan Liang Makam. Kemungkinan setan tadi itu
tahu di mana Pitaloka berada!”
“Aku tidak mau merepotkan. Mencari saudara kem-
barku sudah menjadi tugas yang harus kulakukan!”
“Tujuan kita sama.... Tapi maksud kita mungkin
lain!” ujar Joko.
“Apakah kau masih sakit hati karena Pitaloka men-
gambil pedangmu?!” tanya Putri Kayangan.
“Pedang itu kini telah berada di tanganku lagi. Uru-
san itu kurasa sudah selesai....”
“Lalu mengapa kau hendak mencarinya? Apa ada
masalah lain?!”
“Putri.... Kau sekarang pasti sudah tahu. Dunia
persilatan sedang terancam dengan munculnya orang
yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad dan tangannya
menggenggam Kembang Darah Setan. Orang ini sangat
berbahaya jika dibiarkan! Kau sendiri telah menyaksi-
kan bagaimana beberapa tokoh seperti Datuk Wahing,
Gendeng Panuntun, serta Dayang Sepuh tidak mampu
membendung! Menurut seorang sahabat, sosok yang
mengenakan Jubah Tanpa Jasad bisa dihadapi dengan
seorang bayi....”
“Seperti ucapan Kakek Raja Tua Segala Dewa itu?!
Apa mungkin?! Lagi pula aku tidak mengerti maksud
ucapannya!” kata Putri Kayangan memotong ucapan
Joko.
Seperti diketahui, saat munculnya Raja Tua Segala
Dewa, Putri Kayangan saat itu ada dan mendengarkan
ucapan-ucapan Raja Tua Segala Dewa. Namun karena
ucapan kakek ini hanya merupakan isyarat, Putri
Kayangan yang belum mengenal betul Raja Tua Segala
Dewa tidak bisa mengerti ucapan-ucapan si kakek.
“Putri.... Ucapan Raja Tua Segala Dewa banyak be-
narnya! Dan aku yakin bahwa hanya dengan bayi itu si
pemakai Jubah Tanpa Jasad bisa dihadapi!”
“Lalu apa hubungannya dengan Pitaloka?! Apa kau
menduga Pitaloka yang akan melahirkan bayi itu?!”
Putri Kayangan tertawa. “Seperti halnya diriku, meski
sudah lama Pitaloka meninggalkan lereng Semeru dan
tidak pernah bertemu, aku bisa memastikan kalau Pi-
taloka belum bersuami! Dan walau dia sering berlaku
sembrono, tapi kurasa dia tidak akan berlaku bodoh
mau berhubungan dengan laki-laki sampai mengan-
dung! Aku saudara kembarnya.... Aku tahu bagaimana
sifatnya!”
“Semula bisa berubah bersama berlalunya waktu,
Anak Cantik!” sahut Iblis Ompong. “Dan kadang-
kadang lingkungan juga berpengaruh besar!”
Putri Kayangan gelengkan kepala. “Tapi aku tetap
yakin Pitaloka tak akan melakukan tindakan konyol
itu! Sekarang aku ingin tahu, kapan kira-kira bayi itu
akan lahir?!”
“Satu purnama mendatang!” jawab Pendekar 131.
Mendengar jawaban Pendekar 131 kembali Putri
Kayangan tertawa. “Ini menambah keyakinanku kalau
dugaanmu salah, Pendekar 131! Bukan Pitaloka
orangnya! Kau tentu tahu sendiri. Satu purnama yang
lalu kita bertemu dengan Pitaloka. Apa kau melihat pe-
rutnya besar?! Kalau menurutmu bayi itu akan lahir
satu purnama mendatang, berarti saat ini perut itu
sudah membesar! Setidak-tidaknya orang bisa mendu-
ga jika perempuan itu tengah hamil! Tapi aku tidak
melihat semua itu pada Pitaloka!”
“Atau jangan-jangan dia sendiri yang tengah ha-
mil...,” bisik Dewi Ayu Lambada pada Iblis Ompong se-
raya perhatikan perut Putri Kayangan.
Iblis Ompong mau tak mau perhatikan juga perut
Putri Kayangan. Mendapati hal demikian, murid Pen-
deta Sinting jadi ikut-ikutan arahkan pandangannya
pada perut si gadis.
“Jangan bicara seenak perutmu sendiri, Nek!” jawab
Iblis Ompong dengan berbisik pula. “Perutnya
kempes!”
Sementara itu melihat semua orang memandang ke
arahnya, Putri Kayangan jadi tak enak dan buru-buru
berkata.
“Kuharap kalian juga tidak menduga yang bukan-
bukan padaku! Aku bukannya berlagak suci. Tapi se-
lama ini aku belum pernah disentuh laki-laki! Jadi
percuma kalian terus menerus mengawasiku!”
Murid Pendeta Sinting buru-buru alihkan pandan-
gannya. Sementara Iblis Ompong cepat-cepat mendon-
gak. Hanya Dewi Ayu Lambada yang masih memperhatikan si gadis walau kini beralih pada wajahnya.
“Boleh aku tahu?!” tanya Putri Kayangan setelah
agak lama tidak ada yang buka suara. “Mengapa ka-
lian mencurigai bayi itu akan lahir dari kami bersau-
dara?!”
“Itu adalah petunjuk....” Yang menjawab Pendekar
131.
“Siapa yang memberi petunjuk?! Raja Tua Segala
Dewa itu?!”
“Sebagian.... Sebagian lainnya dari seorang saha-
bat!”
“Lupakan petunjuk itu, Pendekar 131! Orang yang
memberi petunjuk itu salah ucap dan kau salah ala-
mat!”
“Tapi....”
Belum sampai Joko teruskan ucapan, Putri Kayan-
gan telah menyahut.
“Petunjuk dan bukti, bagaimanapun juga masih
kuat bukti! Dan bukti itu telah kau ketahui sendiri!
Aku dan Pitaloka tidak ada yang mengandung!”
“Ah.... Jangan-jangan pemuda geblek itu salah
tangkap ucapan Dewa Uuk! Eh, maksudku salah tang-
kap isyarat tua bangka bisu itu!” bisik Dewi Ayu Lam-
bada.
“Rasa-rasanya begitu.... Sialan betul! Kerja kita
tampaknya sia-sia! Kita harus mulai lagi...,” sahut Iblis
Ompong setengah mengeluh.
“Sialnya lagi, kita sekarang bingung. Dari mana kita
harus mulia? Eh, maksudku dari mana kita harus mu-
lai...?! Tak mungkin kita nongkrongi setiap perempuan
yang tengah hamil!”
“Kalau soal nongkrongi perempuan hamil, tak ma-
salah bagiku! Yang jadi masalah justru....”
“Ukkkk! Uuuukkk! Uuuuuukkk!”
Tiba-tiba terdengar suara. Iblis Ompong putuskan
ucapan. Lalu tengadah dengan mulut terbuka. Dewi
Ayu Lambada merapikan kerudungnya. Pendekar 131
berpaling ke arah terdengarnya suara uuukk! Ukkk!
Putri Kayangan kerutkan dahi lalu melirik.
***
SEMBILAN
DARI arah seberang samping sana, terlihat seorang
laki-laki berusia lanjut melangkah dengan kepala ber-
gerak-gerak ke samping kiri kanan. Sepasang matanya
selalu jelalatan seolah tengah menikmati pemandan-
gan di sekitar tempat itu. Mulutnya terus terusan per-
dengarkan suara ukk! Uuk! Uuukk! Berulang kali sea-
kan mengagumi keindahan tempat yang dilewati.
Entah karena begitu kagumnya dengan pemandan-
gan di sekitar tempat itu, kakek ini bahkan tidak
acuhkan keberadaan Dewi Ayu Lambada dan Iblis
Ompong yang tegak hanya berjarak lima langkah dari
tempat si kakek melangkah.
“Dasar manusia edan! Pada kakak pun sampai ti-
dak ingat lagi! Manusia begini ini biasanya tidak be-
rumur panjang lagi!” Dewi Ayu Lambada berkata se-
raya terus perhatikan orang yang lewat di depannya.
“Menurut Kakek Iblis Ompong, kakek yang tengah
melangkah ini adalah adik kandung nenek itu. Tapi
mengapa mereka tidak saling sapa? Malan pada Kakek
Iblis Ompong juga diam saja?! Hem.... Barangkali Ka-
kek Iblis Ompong berkata dusta padaku!” kata Joko
dalam hati. Lalu dia pasang tampang begitu dilihatnya
kakek yang melangkah hendak lewat di hadapannya.
Sementara Putri Kayangan hanya memandang dengan
terus dibuncah berbagai tanya.
“Jangan-jangan dia sedang kesurupan! Lihat matanya terus melotot!” Iblis Ompong sambuti ucapan
Dewi Ayu Lambada. Lalu tengadah dengan mulut ter-
buka.
Di depan sana, murid Pendeta Sinting sedikit mera-
sa heran begitu si kakek yang melangkah tidak melihat
ke arahnya! Dia terus saja melangkah dengan kepala
bergerak ke samping kiri kanan.
“Kek!” Joko yang seolah tidak sabar melihat sikap si
kakek cepat menegur.
Orang yang ditegur sesaat hentikan langkah. Na-
mun dia bukannya memandang ke arah murid Pendeta
Sinting melainkan pada Putri Kayangan yang tegak ti-
dak jauh dari tempat tegaknya Pendekar 131.
“Busyet! Aku lupa.... Dia tuli! Mana mungkin men-
dengar teguranku!” gumam murid Pendeta Sinting lalu
kerahkan sedikit tenaga dalamnya dan berteriak.
“Kek!”
Putri Kayangan terkejut dan buru-buru berpaling
pada Pendekar 131. Selain ingin tahu juga karena me-
rasa tak enak dipandangi kakek yang baru saja mun-
cul.
Si kakek angkat kedua tangannya ditadangkan di
belakang kedua telinganya. Namun dia belum juga ha-
dapkan wajahnya pada murid Pendeta Sinting.
“Kek! Kau lupa padaku?! Aku Joko!” kembali murid
Pendeta Sinting berteriak dengan suara keras. Putri
Kayangan kembali terkejut dan tutup telinganya den-
gan tangan.
Si kakek yang baru saja muncul bergerak mengha-
dap ke arah Joko. Tiba -tiba tubuhnya diluruskan
membuat gerakan seperti orang terkejut. Saat bersa-
maan tangan kanannya menunjuk-nunjuk pada Joko.
Lalu menunjuk pada matanya dan kembali menunjuk
pada Joko.
“Betul! Kita pernah bertemu dan saling berpandan
gan!” Joko kembali berteriak seolah mengartikan isya-
rat orang.
“Putri.... Harap maklumi” ujar Joko dengan suara
dipelankan. “Kakek sahabatku ini pendengarannya ti-
dak normal! Begitu juga bicaranya!”
Putri Kayangan menghela napas panjang. Dalam
hati dia berkata sendiri. “Para sahabatnya banyak yang
aneh-aneh....”
“Kek! Kau kenal dengan dua temanku yang tegak di
sana itu?!” kata Joko kembali dengan suara keras se-
raya menunjuk pada Dewi Ayu Lambada dan Iblis Om-
pong.
Kepala si kakek bergerak mengikuti arah tangan
murid Pendeta Sinting. Sesaat kakek ini kernyitkan
dahi. Namun tak lama kemudian dia kembali luruskan
tubuh dengan perdengarkan suara ukk! Uuuk! beru-
lang kali. Kepalanya bergerak mengangguk lalu tertawa
ngakak!
Puas tertawa si kakek menunjuk pada Dewi Ayu
Lambada. Lalu menunjuk pada dirinya sendiri. Lalu ja-
ri telunjuknya diangkat. Tangan satunya membuat
bundaran besar pada perutnya.
“Jadi benar dia saudaramu?!” tanya Joko.
Si kakek acungkan ibu jarinya pada murid Pendeta
Sinting. Memberi tanda kalau ucapan Joko benar. Saat
kemudian si kakek menunjuk pada Iblis Ompong. Lalu
kedua jari telunjuknya saling dipalangkan satu sama
lain dan ditekuk sedikit.
“Hem.... Dia memberi isyarat kalau Kakek Iblis Om-
pong adalah sahabatnya...,” Joko bergumam mengerti
akan isyarat telunjuk orang.
“Dewa Uuk! Apa kabarmu?!” Dari arah sana tiba-
tiba Iblis Ompong berteriak.
Sesaat si kakek yang dipanggil Dewa Uuk tadang-
kan kedua tangannya di belakang telinga. Kejap lain
dia angkat ibu jarinya sambil tertawa.
“Uukk! Uuukk! Uuukk!” Dewa Uuk menunjuk pada
Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong. Lalu kedua te-
lunjuk tangan kiri kanannya disejajarkan dan digerak-
kan perlahan-lahan ke depan.
“Edan! Siapa kawin sama dia?!” Tiba-tiba Dewi Ayu
Lambada membentak.
“Eh.... Jadi adikmu itu memberi isyarat bertanya
apakah kita berdua sudah kawin?!” tanya Iblis Om-
pong.
Si nenek tidak menyahut melainkan mendengus.
Sementara di depan sana Pendekar 131 melangkah
mendekati Dewa Uuk lalu berbisik.
“Kek.... Kau dibohongi! Mereka berdua baru saja ja-
di suami-istri!”
“Ukkk! Ukkk! Ukkk!” Dewa Uuk buka mulut sambil
membuat isyarat gerak-gerakkan tangan membuka
menutup. Sementara tangan satunya berada di bela-
kang telinga.
“Busyet! Dia tidak bisa dibisiki! Susah kalau begi-
ni...!” kata Joko dalam hati. Tapi dia dekatkan juga
mulutnya ke arah telinga orang lalu berbisik agak ke-
ras.
Tiba-tiba Dewa Uuk tertawa panjang. Padahal Joko
belum sampai berbisik, membuat Joko cepat-cepat ta-
rik pulang kepalanya agar tidak tertumbuk guncangan
pundak orang.
“Kau dengar apa yang dibisikkan pemuda sableng
itu?!” tanya Dewi Ayu Lambada.
“Untuk apa terlalu pikirkan ulah anak itu!” sahut
Iblis Ompong.
“Aku khawatir dia bicara yang tidak-tidak!”
“Hem.... Kau takut anak itu mengatakan kalau kita
sudah jadi suami-istri?!”
“Benar! Jika hal itu sampai tersiar....” Si nenek sejenak hentikan ucapannya. Lalu melanjutkan. “Pasti
tidak akan ada yang memperhatikan aku lagi!” seraya
berucap begitu si nenek rapikan pakaian dan keru-
dungnya.
Mendengar ucapan Dewi Ayu Lambada, tawa Iblis
Ompong meledak. Saat yang sama, tiba-tiba Dewa Uuk
juga perdengarkan tawa ngakak!
“Anak sinting!” Dewi Ayu Lambada berteriak pada
murid Pendeta Sinting. “Kau bicara apa, hah?!”
“Aku tidak bicara apa-apa, Nek!”
“Tidak mungkin dia tertawa begitu rupa kalau kau
tidak bicara yang tak karuan!”
“Nek.... Kalau tak percaya, tanya saja pada Dewa
Uuk!”
Dewi Ayu Lambada arahkan pandang matanya pada
Dewa Uuk lalu bertanya.
“Uuk! Apa yang dikatakan pemuda itu?!”
Dewa Uuk putuskan gelakan tawanya. Lalu kedua
telunjuknya disatukan dan menunjuk pada murid
Pendeta Sinting.
“Busyet! Aku tadi berbisik pelan dan baru hendak
bicara keras. Nyatanya dia sudah dengar!” batin murid
Pendeta Sinting dengan salah tingkah. Sementara si
nenek sudah mendelik angker.
Mungkin untuk alihkan perhatian Dewi Ayu Lam-
bada juga Dewa Uuk, murid Pendeta Sinting segera
menggaet lengan Dewa Uuk. Ketika Dewa Uuk berpal-
ing, Joko tunjukkan jarinya pada Putri Kayangan se-
raya tersenyum.
“Gadis cantik ini sahabatku. Namanya Putri Kayan-
gan!” kata Joko sambil melirik ke arah Dewi Ayu Lam-
bada.
Dewa Uuk usap-usap jenggotnya sembari manggut-
manggut. Mendadak si kakek hentikan usapan dan
anggukkan kepalanya. Kepalanya disorongkan ke depan lalu perhatikan Putri Kayangan seolah baru per-
tama kali melihat.
“Kau pernah bertemu dengannya?!” tanya murid
Pendeta Sinting. Dewa Uuk tidak memberi isyarat se-
bagai sambutan pertanyaan orang. Dia terus pandangi
si gadis. Di lain pihak Putri Kayangan memandang ta-
jam pada Pendekar 131!
Saat lain tiba-tiba Dewa Uuk tekuk kedua lututnya
lalu duduk bersila di atas tanah. Sekali lagi dia me-
mandang pada Putri Kayangan. Lalu jari telunjuknya
membuat gambar di atas tanah.
Di seberang sana, Dewa Ayu Lambada cepat meng-
gandeng lengan Iblis Ompong. Tanpa berkata apa-apa
lagi, si nenek cepat melangkah dengan menyeret len-
gan si kakek ke arah Dewa Uuk.
Ketika kakek dan nenek ini tegak di sebelah Dewa
Uuk, keduanya melihat gambar dua kepala di atas ta-
nah. Pada bagian atas gambar diberi angka satu dan
dua.
“Uukk! Uuukk! Uuukk!” Dewa Uuk arahkan telun-
juknya pada Putri Kayangan lalu menunjuk pada gam-
bar nomor satu. Saat bersamaan dia memberi tanda si-
lang pada gambar dengan kepala menggeleng.
“Uuukk! Uuukk! Uuukk!” Dewa Uuk buka mulut la-
gi. Kali ini telunjuknya menekan-nekan pada gambar
berangka dua. Kepalanya mengangguk. Lalu kedua
tangannya disatukan dan diangkat di depan perutnya.
Lalu kedua tangan itu membentuk bundaran di depan
perut.
Pendekar 131 dan Putri Kayangan saling pandang.
Sementara Dewi Ayu Lambada sudah berbisik pada Ib-
lis Ompong. “Jadi saudara gadis itu yang kelak mela-
hirkan bayi!”
Pendekar 131 mendekati Putri Kayangan. Meman-
dang sesaat seraya tersenyum lalu berkata pelan. “Putri.... Kau tentu paham bukan isyarat kakek itu tadi?!”
Walau sebenarnya bisa meraba akan isyarat yang
dibuat Dewa Uuk, namun Putri Kayangan pura-pura
tak mengerti dan berkata.
“Aku tak tahu duduk urusannya! Harap kau suka
memberi tahu....”
“Dua gambar itu menunjukkan kau dan saudara
kembarmu Pitaloka. Tanda silang berarti bukan kau
karena baru saja menunjuk ke arahmu! Sekarang kau
pasti tahu lanjutannya....”
“Jadi kalian tetap menganggap bayi itu akan lahir
dari Pitaloka?!” tanya Putri Kayangan lalu gelengkan
kepala. “Aku masih tidak bisa percaya dengan semua
ini! Tidak mungkin Pitaloka mengandung! Tidak
mungkin itu terjadi padanya!”
“Semuanya memang masih perlu dibuktikan, Pu-
tri....”
“Buktinya sudah kau lihat sendiri! Satu purnama
yang lalu perutnya masih biasa-biasa saja! Kalau me-
mang dia, apalagi menurutmu kelahiran itu tinggal sa-
tu purnama lagi, tentu saat itu perut Pitaloka sudah
kelihatan besar!”
“Aku pun sebenarnya berpendapat demikian, Putri!
Namun siapa tahu....”
“Gadis cantik.... Dunia kadang-kadang memuncul-
kan keanehan yang menurut hitungan manusia tak
mungkin!” kata Iblis Ompong.
“Tapi aku tetap belum bisa percaya! Dan aku harus
segera mencarinya!”
“Kita cari bersama-sama, Putri...,” kata murid Pen-
deta Sinting.
Putri Kayangan geleng kepala. “Pendekar 131! Dia
adalah saudaraku. Biar aku yang mengurusnya!”
“Aku tahu.... Tapi aku juga memerlukan dia! Lagi
pula kau tahu sendiri. Saat itu dia bersama orang yang
mengenakan Jubah Tanpa Jasad. Terlalu berbahaya
kalau kau bertindak sendiri!”
“Aku meninggalkan lereng Semeru dengan men-
gemban tugas mencari Pitaloka sekaligus memba-
wanya ke hadapan Eyang Guru. Mati bukan persoalan
bagiku jika menjalankan apa yang diperintahkan
Eyang Guru!”
“Kau tahu di mana sekarang Pitaloka berada?!”
tanya murid Pendeta Sinting.
“Aku memang tak tahu. Tapi itu bukan halangan
bagiku untuk mendapatkannya!”
“Putri.... Di sini ada Dewa Uuk. Mungkin dia bisa
memberi petunjuk! Walau mungkin kau tidak percaya,
tapi setidaknya kau bisa mendapat gambaran!”
Habis berkata begitu, tanpa menunggu sambutan
Putri Kayangan, murid Pendeta Sinting segera berjong-
kok lalu berkata pada Dewa Uuk.
“Kek! Kau bisa memberi gambaran di mana seka-
rang gadis saudara kembar Putri Kayangan?!”
Sesaat Dewa Uuk tadangkan kedua tangannya di
belakang telinganya. Saat lain tanpa berkata-kata lagi
dia membuat coretan-coretan di atas tanah.
Walau tidak begitu percaya, namun tak urung Putri
Kayangan perhatikan juga coretan Dewa Uuk. Semen-
tara Joko, Dewi Ayu Lambada, dan Iblis Ompong meli-
hat dengan seksama. Pendekar 131 tampak gelengkan
kepala. Iblis Ompong mendongak dengan mulut terbu-
ka lebat.
“Aku tak bisa mengartikan apa maksudnya! Kakek
iblis Ompong pun tampaknya kesulitan menjabarkan!
Hem.... Mungkin nenek itu yang tahu...,” kata Joko da-
lam hati.
“Nek.... Kau tahu apa maksudnya?!”
Dewi Ayu Lambada tersenyum mengejek. Lalu ber-
kata. “Hutan lebat!”
“Hem.... Di dunia ini banyak hutan lebat!”
“Jangan tolol! Kau bisa tanyakan arahnya!” ujar
Dewi Ayu Lambada. “Dan berapa jauh perjalanannya
dari tempat ini!”
Pendekar 131 tersenyum sambil tepuk keningnya.
Lalu berjongkok lagi dan berteriak.
“Kek! Harap tunjuk arahnya dan berapa lama perja-
lanannya dari sini!”
Dewa Uuk bergerak bangkit. Tangan kanannya lu-
rus menunjuk ke arah utara. Lalu tangan satunya di-
ambangkan. Ibu jari dan kelingkingnya ditekuk.
“Perjalanannya tiga hari dari tempat ini. Arahnya
utara!” gumam murid Pendeta Sinting.
“Putri Kayangan.... Kau telah tahu ke mana harus
mencari dan mendapatkan Pitaloka. Kau memang ti-
dak harus percaya. Tapi kalau tidak ingin sia-sia men-
cari, lebih baik kau ikuti dahulu petunjuknya!”
“Terima kasih! Aku harus pergi sekarang!” kata Pu-
tri Kayangan lalu setelah memandang pada murid
Pendeta Sinting, gadis cantik ini berkelebat tinggalkan
tempat itu.
“Putri.... Tunggu! Aku ikut!” teriak Pendekar 131 la-
lu berkelebat menyusul.
“Dasar murid manusia sinting! Begitu mendapat
apa yang diminta, ngeloyor tanpa basa-basi!” Dewi Ayu
Lambada mengomel.
“Ah.... Kau seperti tidak pernah ketiban cinta saja....
Seharusnya kau maklum!” ujar Iblis Ompong seraya
pandangi sosok murid Pendeta Sinting yang terus ber-
kelebat sambil teriak-teriak karena Putri Kayangan
seakan tidak mendengar dan malah mempercepat ke-
lebatannya.
“Bagaimana sekarang?!” tanya si nenek.
“Kita lanjutkan perjalanan!” jawab Iblis Ompong.
“Bagaimana dengan manusia satu ini?!” tanya sinenek seraya menunjuk pada Dewa Uuk.
“Dia banyak tahu daripada kita! Kita membutuh-
kannya!”
“Jadi kita bawa sekalian?!”
“Kau takut mengganggu acara kita?!” Iblis Ompong
balik bertanya.
“Sialan! Tanpa atau dengan dia, tak ada acara di
antara kita!”
Habis berkata begitu, Dewi Ayu Lambada menggaet
lengan Dewa Uuk. “Kau harus ikut bersama kami!”
Tanpa menunggu isyarat jawaban, Dewi Ayu Lam-
bada sudah berkelebat dengan menggandeng tangan
Dewa Uuk. Iblis Ompong angkat bahu lalu ikut berke-
lebat di belakangnya.
***
SEPULUH
KITA tinggalkan dahulu Pendekar 131 dan Putri
Kayangan yang tengah mencari Pitaloka, saudara
kembar Beda Kumala alias Putri Kayangan. Kita ting-
galkan pula Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, serta
Dewa Uuk yang diam-diam juga tengah mencari Pitalo-
ka. Perempuan yang menurut isyarat Raja Tua Segala
Dewa serta Dewa Uuk adalah perempuan yang kelak
melahirkan bayi.
Kita menuju ke satu tempat tidak jauh dari perba-
tasan sebuah hutan. Matahari sudah beranjak dari ti-
tik tengahnya. Sinarnya masih menyengat hamparan
bumi. Namun sengatan itu tampaknya tidak begitu di-
acuhkan oleh satu sosok tubuh yang duduk di atas
sebuah tanah agak tinggi dengan kedua tangan meno-
pang dagunya.
Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian putih. Rambutnya yang telah memutih
dan panjang dibiarkan bergerai berkibar-kibar ditiup
angin. Laki-laki ini bermata agak sayu dengan salah
satu cuping hidungnya dilingkari sebuah anting-
anting.
Beberapa kali laki-laki ini menghela napas panjang
dengan memandang jauh. Tatapannya kosong. Tiba-
tiba dia bergumam.
“Lasmini.... Ke mana gerangan perempuan itu?! Se-
harusnya saat ini dia telah berada di sini. Persetan
dengan berhasil atau tidak apa yang dilakukannya!
Namun, hingga saat ini dia tak ada kabar beritanya!”
Lagi-lagi si laki-laki menghela napas. Lalu kepa-
lanya bergerak menggeleng. Saat lain terdengar lagi
gumamannya. “Semua rencanaku tampaknya akan
mengalami kegagalan! Bukan saja Lasmini yang tidak
ada beritanya, Kiai Laras pun tak kuketahui di mana
beradanya! Padahal saat perjanjian bertemu sudah le-
wat.... Ke mami sebenarnya Kiai Laras?! Dan siapa ge-
rangan manusia yang mengenakan jubah hitam tidak
kelihatan sosoknya itu?! Dan juga menggenggam Kem-
bang Darah Setan! Padahal aku tahu benar, Kembang
Darah Setan telah diberikan Kiai Laras pada Setan
Liang Makam di teluk dekat pesisir utara.... Anehnya,
saat berjumpa lagi, Setan Liang Makam tidak lagi
membawa Kembang Darah Setan, sebaliknya digeng-
gam sosok di balik jubah hitam itu!”
Si laki-laki menyisir geraian rambutnya dengan jari-
jari kedua tangannya. “Apa yang harus kulakukan se-
karang?! Menuruti perintah sosok berjubah hitam un-
tuk menghadapi sekaligus membunuh Pendekar 131?!
Tak mungkin.... Tak mungkin itu kulakukan! Dia terla-
lu tangguh untukku! Tapi kalau tak kulakukan, nya-
waku pun pasti tidak ada artinya berhadapan dengan
manusia tanpa sosok itu! Hem....” Si laki-laki menggumam lalu bangkit.
“Kedua pilihan itu sama saja bagiku! Apa boleh
buat! Yang jelas aku sekarang harus mendapatkan ka-
bar di mana Lasmini dan Kiai Laras. Mungkin kedua-
nya bisa membantu!”
Setelah bergumam begitu, si laki-laki langkahkan
kaki tinggalkan perbatasan hutan. Namun belum begi-
tu jauh melangkah, tiba-tiba satu bayangan hitam
berkelebat. Tidak ada kesempatan bagi si laki-laki un-
tuk berkelebat menyelinap hingga pada akhirnya dia
palingkan kepala seraya membatin.
“Tidak ada yang tahu tempat ini selain Kiai Laras
dan Lasmini.... Mudah-mudahan salah satunya yang
muncul!”
Begitu berpaling, mendadak kedua kaki si laki-laki
langsung bergerak menyurut. Wajahnya berubah te-
gang. Sepasang matanya yang sayu membesar tak ber-
kesip menatap pada sebuah jubah hitam yang tegak
mengapung di udara tanpa terlihat sosok pemakainya!
“Dia!” desis si laki-laki dengan bibir bergetar.
“Kiai Lidah Wetan! Kau terkejut dengan kehadiran-
ku?!” Terdengar ucapan disusul dengan suara tawa
panjang dari sosok tidak terlihat di balik jubah hitam
yang tidak lain adalah Jubah Tanpa Jasad.
“Dari mana dia tahu tempat ini?! Padahal....”
Belum sampai laki-laki yang hidungnya beranting-
anting dan bukan lain adalah Kiai Lidah Wetan te-
ruskan kata hatinya, sosok di balik Jubah Tanpa Ja-
sad yang tidak lain adalah Kiai Laras telah perdengar-
kan suara lagi.
“Kiai Lidah Wetan! Jangan mimpi kau bisa lari dari
jangkauan mataku! Dunia ini sudah berada di tangan-
ku! Ke mana pun kakimu melangkah, kau tak bakal
punya tempat untuk sembunyikan diri! Ha.... Ha....
Ha...! Sekarang aku perlu jawabanmu! Mengapa kau
tidak ke tempat yang kukatakan pada waktunya,
hah?!”
“Percuma aku datang kalau tidak berhasil melaku-
kan apa yang kau perintahkan!” jawab Kiai Lidah We-
tan dengan suara bergetar parau.
“Hem.... Jadi kau gagal melakukannya?!”
Kiai Lidah Wetan tidak menjawab. Sebaliknya laki-
laki kakak kandung dari Kiai Laras ini tengadahkan
sedikit kepalanya dengan sosok bergetar.
“Kau tahu apa imbalan bagi manusia yang gagal se-
pertimu?!” kembali Kiai Laras yang tidak bisa dikenali
sosoknya karena mengenakan Jubah Tanpa Jasad
ajukan tanya.
Lagi-lagi Kiai Lidah Wetan tidak memberi jawaban.
Sebaliknya dalam keadaan tidak ada pilihan lain dan
tahu apa arti pertanyaan orang, diam-diam Kiai Lidah
Wetan kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Dia sadar kalau itu tidak ada gunanya. Tapi dia tidak
mau tinggal diam dan mampus tanpa membuat perla-
wanan.
Mendapati orang tidak menjawab, Kiai Laras bu-
kannya naik pitam, melainkan tertawa bergelak. Lalu
berkata.
“Kiai Lidah Wetan! Manusia dilahirkan telah men-
dapat jaminan untuk mati. Dan jaminan itu telah tiba
saatnya bagimu! Tapi aku tidak mau membuat orang
mampus dengan penasaran dan hati bertanya-tanya!”
Sesaat Kiai Laras hentikan ucapannya. Tertawa pen-
dek sebelum akhirnya berucap lagi.
“Kau tentu ingin tahu siapa aku sebenarnya, bu-
kan?!”
Kiai Lidah Wetan menatap tak berkesip pada jubah
hitam di hadapannya. “Katakan siapa kau sebenar-
nya!”
“Kau akan segera tahu...,” kata Kiai Laras. Kedua
tangannya segera bergerak lepaskan Jubah Tanpa Ja-
sad.
Begitu Jubah Tanpa Jasad jatuh di atas tanah, lak-
sana hendak terbang, Kiai Lidah Wetan melompat ke
depan dengan mata mendelik.
“Laras.... Jadi kau!” desis Kiai Lidah Wetan begitu
matanya melihat sosok laki-laki berusia lanjut yang
sangat dikenalnya. Karena dia adalah adiknya sendiri,
Kiai Laras!
Kiai Laras kembali tertawa panjang seraya mendon-
gak. Sementara Kiai Lidah Wetan terus menatap seolah
masih belum percaya.
“Bagaimana ini bisa terjadi?!” gumam Kiai Lidah
Wetan.
“Kau tak usah heran.... Hal ini terjadi karena aku
bukan manusia bodoh sepertimu! Dan agar kau tidak
penasaran, kau akan mendengar ceritanya....”
Kiai Laras melangkah mondar-mandir di sekitar Ju-
bah Tanpa Jasad. Lalu buka mulut. “Kembang Darah
Setan yang kuberikan pada Setan Liang Makam di te-
luk itu adalah Kembang Darah Setan palsu! Hal itu ku-
lakukan agar aku tahu ke mana gerangan manusia se-
tan itu akan pergi setelah mendapatkan Kembang Da-
rah Setan. Untuk itulah mengapa aku mengajakmu
mengikuti jejak Setan Liang Makam yang ternyata me-
nuju Kampung Setan. Begitu kita tinggalkan Kampung
Setan dan kita berpisah di tengah jalan, aku kembali
lagi ke Kampung Setan! Dan ternyata apa yang kuim-
pikan jadi kenyataan! Jubah Tanpa Jasad telah kumi-
liki! Begitu juga Kembang Darah Setan yang asli!”
“Jahanam! Aku tertipu.... Tapi memang ini kebodo-
hanku! Seandainya sejak semula aku tidak mencerita-
kan tentang Kampung Setan, pasti Kembang Darah Se-
tan itu kini menjadi milikku!” diam-diam Kiai Lidah
Wetan memaki diri dalam hati.
Seperti diketahui, sebenarnya yang tahu persis ten-
tang masuknya Maladewa alias Setan Liang Makam ke
dalam makam batu adalah Kiai Lidah Wetan. Dia pula
yang mendengar ucapan Nyai Suri Agung bagaimana
dan kapan Maladewa bisa keluar dari makam batu.
Namun karena saat itu Kiai Lidah Wetan dihantui pe-
rasaan takut, dia akhirnya menceritakan semuanya
pada adiknya Kiai Laras, dengan harapan begitu Kiai
Laras berhasil mendapatkan Kembang Darah Setan,
dia akan lebih mudah untuk merebutnya. (Lebih jelas-
nya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode :
“Rahasia Kampung Setan”).
“Laras...,” kata Kiai Lidah Wetan setelah agak lama
berdiam diri. “Kita adalah saudara. Lagi pula dengan
petunjukku kau berhasil mendapatkan Kembang Da-
rah Setan. Apakah kau akan melupakan semua ini?!”
“Ucapanmu benar! Tapi aku tahu apa yang ada da-
lam benakmu! Kau menginginkan Kembang Darah Se-
tan itu bukan?!”
“Kalau aku menginginkannya, aku tidak akan men-
ceritakan padamu! Aku akan mengambilnya sendiri!
Bukankah aku tahu bagaimana cara dan kapan saat-
nya Setan Liang Makam bisa keluar dari makam batu
di Kampung Setan?!”
“Itu juga benar! Tapi kau tak punya nyali untuk
mengambilnya! Lalu kau menceritakan padaku agar
aku mengambilnya! Dengan Kembang Darah Setan di
tanganku, kau berpikir akan mudah memilikinya!
Ha.... Ha.... Ha...! Aku tidak setolol yang kau kira, Li-
dah Wetan...!”
Kiai Lidah Wetan terdiam. Kiai Laras kenakan kem-
bali Jubah Tanpa Jasad hingga tak lama kemudian so-
soknya tidak kelihatan.
“Sebelum kuucapkan selamat jalan, perlu juga ku-
beri tahu tentang kekasih lamamu....”
“Lasmini...,” gumam Kiai Lidah Wetan tanpa sadar.
“Bagus! Kau betul-betul sangat memperhatikannya!”
“Laras! Kau boleh membunuhku! Tapi jangan kau
berbuat macam-macam dengan dia! Dia tidak tahu
apa-apa dalam urusan ini!”
“Dia tahu banyak! Dan tak lama lagi tentu akan se-
gera menyusulmu!”
Tampang Kiai Lidah Wetan berubah beringas. Dia
kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki pada ke-
dua tangannya.
Kiai Laras tertawa. “Kau kuberi kesempatan untuk
lakukan apa yang kau mau, sebelum kuantar ke dunia
lain!”
Meski sudah tahu kalau apa yang akan dilakukan-
nya tidak bisa merubah keadaan, tapi Kiai Lidah We-
tan sudah nekat. Didahului bentakan garang, dia me-
lompat ke depan. Kedua tangannya serta-merta disen-
takkan melepas pukulan dari jarak empat langkah.
Wuutt! Wuuttt!
Dua gelombang dahsyat menerjang ganas ke arah
Jubah Tanpa Jasad.
Kiai Laras tidak membuat gerakan. Malah me-
nyongsong gelombang yang datang dengan berkacak
pinggang dan perdengarkan tawa bergelak!
Desss! Desss!
Dua gelombang dari kedua tangan Kiai Lidah Wetan
menghantam Jubah Tanpa Jasad. Namun jubah hitam
itu laksana dilapis tembok raksasa. Hingga bukan saja
gelombang yang datang tidak mampu membuat sosok
Kiai Laras jatuh terjengkang, namun gelombang dah-
syat itu segera mental balik dan kini melesat ke arah
Kiai Lidah Wetan!
Kiai Lidah Wetan sesaat terkesiap. Namun cepat dia
selamatkan diri dengan jatuhkan diri bergulingan se-
raya kelebatkan kedua tangannya.
Bummmm!
Terdengar gelegar keras ketika gelombang yang
mental dari Jubah Tanpa Jasad bentrok dengan ge-
lombang yang baru saja melesat dari kelebatan kedua
tangan Kiai Lidah Wetan.
Bersamaan dengan terdengarnya gelegar, kedua
tangan Kiai Laras tampak membuat gerakan. Saat lain
terdengar deruan. Kiai Lidah Wetan tersentak. Buru-
buru dia kelebatkan kembali kedua tangannya tatkala
menyadari Kiai Laras telah lepaskan pukulan ke arah-
nya.
Bummmm!
Untuk kedua kalinya terdengar lagi gelegar tatkala
pukulan yang dilepas Kiai Laras bertemu dengan pu-
kulan hadangan Kiai Lidah Wetan.
Sosok Kiai Lidah Wetan bergulingan lagi karena ha-
rus menahan bentroknya beberapa kali pukulan. Ke-
sempatan ini tidak disia-siakan oleh Kiai Laras yang
tampaknya sudah tak sabar. Hingga begitu mendapati
Kiai Lidah Wetan bergulingan, Kiai Laras cepat ambil
Kembang Darah Setan dari balik pakaiannya. Saat lain
tangannya yang tiba-tiba pancarkan sinar tiga warna,
merah, hitam, dan putih telah berkelebat.
Pancaran sinar tiga warna yang tidak lain mencuat
dari Kembang Darah Setan berkiblat angker ke arah
Kiai Lidah Wetan.
Begitu derasnya kiblatan sinar tiga warna, terlam-
bat bagi Kiai Lidah Wetan untuk bergerak selamatkan
diri atau membuat gerakan menghadang.
Desss! Desss! Desss!
Kiai Lidah Wetan melolong tinggi. Namun lolongan-
nya terputus mendadak. Kejap lain sosok kakak kan-
dung Kiai Laras ini mengejang lalu diam tak bergerak-
gerak lagi dengan sekujur tubuh menghitam laksana
dipanggang!
Kiai Laras tersenyum dingin. Kembang Darah Setan
dimasukkan lagi ke balik pakaiannya. Tanpa melihat
lagi pada sosok mayat Kiai Lidah Wetan, Kiai Laras
berkelebat tinggalkan perbatasan hutan yang tebarkan
hawa kematian!
***
SEBELAS
EMPAT sosok tubuh bertelanjang dada tampak ber-
kelebat memasuki kawasan lereng Gunung Semeru.
Dua berlari di sebelah depan, dua lainnya berada di
belakang. Ketika berjarak lima belas langkah di depan
sana terlihat sebuah batu besar yang membentuk ban-
gunan, keempat sosok ini sama saling pandang. Lalu
salah seorang yang berada di bagian depan angkat
tangan kirinya memberi isyarat. Keempatnya serentak
hentikan lari masing-masing.
Keempat orang ini ternyata adalah laki-laki berke-
pala gundul. Mereka hanya mengenakan celana kolor.
Orang bagian depan sebelah kanan mengenakan cela-
na kolor warna merah. Sementara di sebelahnya men-
genakan celana kolor warna hitam. Orang di bagian be-
lakang sebelah kanan memakai celana kolor warna
kuning, sedang di sebelahnya memakai celana kolor
warna hijau.
Keempat laki-laki ini memiliki paras wajah hampir
sama. Yakni kepalanya membentuk lonjong ke bawah.
Mata masing-masing orang tidak membelah ke samp-
ing melainkan membelah ke bawah. Begitu pula bibir
masing-masing orang. Bukannya membelah ke samp-
ing, melainkan ke bawah.
Laki-laki yang mengenakan celana kolor warna me-
rah yang tadi angkat tangannya dan tampaknya meru
pakan pimpinan, gerakkan kepala berpaling pada laki-
laki di sebelahnya. Lalu terdengar ucapannya.
“Apa kita langsung menemui Eyang...?!”
Laki-laki di samping si celana kolor warna merah
segera buka mulut menjawab.
“Kalau kita menunggu, beban ini rasanya bertam-
bah berati Apa pun yang nanti terjadi, kita terima! Kita
sudah berusaha....”
Si celana kolor warna merah menoleh ke belakang.
Kedua laki-laki yang tegak di bagian belakang sama
anggukkan kepala masing-masing tanpa buka suara.
“Baik.... Biar aku nanti yang bicara!” kata laki-laki
bercelana kolor warna merah lalu mulai gerakkan kaki
melangkah diikuti oleh ketiga laki-laki lainnya.
Kira-kira berjarak sepuluh langkah dari batu besar
yang membentuk bangunan, tiba-tiba satu bayangan
putih melesat keluar dari batu besar dan tahu-tahu te-
lah tegak lima langkah di hadapan keempat laki-laki.
Sesaat keempat laki-laki sama angkat kepala mas-
ing-masing. Saat lain hampir bersamaan mereka men-
jura hormat.
Orang di hadapan keempat laki-laki ternyata adalah
seorang perempuan setengah baya. Rambutnya hitam
lebat dan disanggul di belakang. Perempuan ini masih
tampak cantik walau sudah tidak muda lagi. Dia men-
genakan pakaian putih sebatas dada mirip pakaian
yang dikenakan para penari. Pada rambutnya yang hi-
tam terlihat beberapa bunga. Di sela jari telunjuk dan
jari tengah kedua tangannya terlihat pula menyelinap
sekuntum bunga.
“Tokoh-tokoh Penghela Tandu....” Si perempuan
berkata. “Kalian pulang tanpa Beda Kumala. Apa yang
terjadi?!”
Keempat laki-laki yang memang bukan lain adalah
Tokoh-tokoh Penghela Tandu sama angkat kepalanya.
Laki-laki yang bercelana kolor merah melirik sesaat
pada ketiga laki-laki lainnya. Saat lain dia angkat bica-
ra.
“Eyang.... Putri Kayangan menghendaki agar kami
pulang terlebih dahulu! Sebenarnya kami tak mau me-
lakukannya, tapi Putri Kayangan memaksa....”
“Hem.... Lalu apakah kalian telah berkunjung ke
Jurang Tlatah Perak?!”
“Kami sudah sampai ke sana. Tapi Pendeta Sinting
tidak ada di tempatnya! Hanya saja kami sempat ber-
temu dengan muridnya, Pendekar Pedang Tumpul 131
Joko Sableng....
“Bagaimana dengan Pitaloka?!”
“Kami belum sampai bertemu dengan Pitaloka. Na-
mun menurut murid Pendeta Sinting, Pitaloka telah
membawa lari Pedang Tumpul 131 milik pendekar mu-
da itu! Dan menurut berita yang tersiar, Kembang Da-
rah Setan telah berada di tangan pendekar muda itu.
Hanya saja Putri Kayangan belum percaya....”
Si perempuan menghela napas dalam. “Pitaloka....
Kau banyak membuat persoalan. Dengan tindakanmu
ini secara tak langsung kau telah mengadu aku den-
gan beberapa sahabat baikku!”
“Lalu siapa lagi yang sempat kalian jumpai?!” tanya
si perempuan setelah terdiam beberapa lama.
“Kami sempat berjumpa dengan seseorang yang
bergelar Datuk Wahing. Lalu Setan Liang Makam serta
seorang gadis cantik bernama Saraswati....”
“Datuk Wahing aku telah mengenalnya. Tapi Setan
Liang Makam baru kali ini aku mendengar gelar itu...,”
gumam si perempuan. “Kembang Darah Setan telah
berada di tangan murid Pendeta Sinting... Hem.... Apa
benar berita ini?! Apa Beda Kumala mengatakan pada
kalian hendak pergi ke mana?!” Perempuan itu ber-
tanya lagi.
“Tidak, Eyang.... Putri Kayangan cuma mengatakan
hendak terus mencari Pitaloka dan menyuruh kami
pulang terlebih dahulu untuk menyampaikan apa yang
terjadi!”
“Baik! Sekarang kalian tetap tinggal di sini sampai
aku pulang! Ingat jangan sampai ada yang meninggal-
kan tempat ini sebelum kedatanganku nanti!”
Habis berkata begitu, si perempuan balikkan tubuh
lalu berkelebat kembali masuk ke dalam batu besar
yang membentuk bangunan. Tak lama kemudian ter-
dengar derap langkah kaki kuda. Lalu dari bagian
samping batu besar, muncul seekor kuda dan ternyata
penunggangnya adalah si perempuan yang tadi di-
panggil Eyang oleh Tokoh-tokoh Penghela Tandu.
“Jika Beda Kumala datang mendahului aku, cegah
dia agar menunggu sampai aku kembali!” kata si pe-
rempuan lalu tanpa menunggu jawaban Tokoh-tokoh
Penghela Tandu, si perempuan sudah hentakkan ke-
dua kakinya pada lambung kuda tunggangannya. Bi-
natang itu meringkih keras lalu berlari tinggalkan le-
reng Gunung Semeru.
***
Setelah berkuda selama dua hari dua malam, si pe-
rempuan berpakaian putih sebatas dada sampai pada
satu kawasan yang dari tempat itu terlihat hutan lebat.
Si perempuan menarik napas dalam-dalam. Kepalanya
didongakkan lalu menghirup udara berlama-lama.
“Aku bisa mencium keberadaan Pitaloka dan Beda
Kumala di sekitar tempat ini! Aneh.... Mengapa mereka
berdua berada di hutan lebat itu? Tapi aku juga dapat
mencium aroma beberapa orang lagi.... Hem.... Di da-
lam hutan lebat dan sunyi ada beberapa orang. Pasti
ada sesuatu di sana.... Tapi mengapa Pitaloka dan Be-
da Kumala ikut berada di sana?!”
Selagi si perempuan tengah membatin dan ber-
tanya-tanya sendiri mendadak dia dikejutkan dengan
terdengarnya suara cekikikan.
“Perempuan...,” si perempuan di atas kuda meng-
gumam. Lalu melompat turun dari atas kuda tunggan-
gannya dan cepat putar diri menghadap sumber ter-
dengarnya suara cekikikan.
Untuk beberapa lama si perempuan dari lereng Se-
meru memperhatikan ke depan. Dia melihat seorang
perempuan berusia lanjut melangkah sendiri sambil
tertawa-tawa.
“Siapa nenek itu? Dandanannya mirip anak gadis
saja...,” kembali si perempuan dari lereng Semeru
menggumam dan memperhatikan lebih seksama pada
sosok perempuan berusia lanjut yang tertawa cekiki-
kan sendiri. Perempuan itu ternyata membedaki wa-
jahnya tebal-tebal. Bibirnya dipoles merah menyala.
Pipi kiri kanannya juga diberi pewarna merah muda.
Rambutnya yang putih dan panjang serta lebat dikela-
bang jadi dua. Pada ujung kelabangan rambutnya di-
beri pita warna merah. Sama warnanya dengan pa-
kaian yang dikenakannya. Sementara rambut bagian
depannya diponi dan digeraikan pada keningnya.
Nenek ini mengenakan pakaian atas berupa baju
tanpa lengan dan sangat cingkrang hingga bukan saja
ketiaknya yang kelihatan, namun pusarnya yang hitam
tampak jelas. Sementara pakaian bawahnya berupa ce-
lana pendek di atas lutut. Hingga pahanya yang berku-
lit hitam terpampang nyata.
Sambil melangkah dengan tertawa sendiri, tangan
kiri nenek ini memainkan ujung kelabang rambutnya
sementara tangan satunya sesekali merapikan poni
pada keningnya.
Si nenek berambut poni mendadak hentikan lang-
kah. Tawanya diputus dan melonjak kaget tatkala ma
tanya menangkap adanya orang yang tegak di depan
sana.
“Setan! Bikin orang kaget saja! Siapa kau?!” Tiba-
tiba si nenek berambut poni membentak.
Si perempuan dari lereng Semeru sunggingkan se-
nyum walau sedikit merasa heran dengan sikap si ne-
nek. Lalu anggukkan kepala dan buka mulut.
“Aku hanya orang tersesat jalan, Nek...”
Si nenek berambut poni memandang tajam pada
orang. Lalu edarkan pandang matanya berkeliling.
Saat lain kembali dia sudah perdengarkan bentakan
keras.
“Jangan berani berkata dusta! Kau tersesat atau
menyesatkan diri?!”
“Aku benar-benar tersesat jalan, Nek...!”
“Setan! Aku bukan nenekmu!” hardik si nenek be-
rambut poni. “Dari mana asalmu hingga sampai terse-
sat di sini?!”
Sambil terus sunggingkan senyum si perempuan
menjawab. “Aku datang dari jauh. Tepatnya dari lereng
Gunung Semeru....”
“Jangan senyam-senyum!” bentak si nenek berponi.
“Lalu ke mana kau hendak pergi?!”
“Aku tak tahu akan ke mana. Karena tengah men-
cari dua cucuku....”
Mendengar jawaban orang, sekonyong-konyong si
nenek berambut poni meledak tawanya. “Semuda itu
kau sudah punya cucu.... Dua lagi! Setan sekalipun ja-
rang semuda kau yang memiliki dua cucu! Apa kau
kawin masih kanak-kanak?!”
“Tidak juga.... Tapi yang jelas aku memang sudah
punya cucu....”
“Sudah seberapa besar cucumu yang kau cari?!”
tanya nenek berambut poni.
“Umur mereka kira-kira tujuh belas tahunan....”
Si nenek berambut poni kerutkan dahi dan pasang
tampang seolah tengah berpikir keras. “Cucumu laki-
laki atau perempuan...?!”
“Boleh aku tahu, mengapa kau menanyakan itu?!”
Si perempuan dari lereng Semeru balik ajukan tanya.
“Setan! Itu urusanku! Jawab saja laki-laki atau pe-
rempuan!”
“Keduanya perempuan....”
“Apa mereka lari dibawa laki-laki?!”
Yang ditanya gelengkan kepala. “Mereka kusuruh
menemui seorang sahabatku.... Dan mungkin karena
baru turun gunung, mereka tersesat....”
“Ucapanmu tidak dusta?!” tanya nenek berponi.
“Aku tidak terbiasa bohong....”
“Siapa nama kedua cucumu itu?!”
“Nek.... Pertanyaanmu sudah terlalu banyak! Harap
kau tidak kecewa kalau kali ini aku tidak bisa menja-
wab tanyamu....”
“Setan! Berarti kau tidak punya cucu! Terbukti kau
tidak bisa katakan siapa nama cucumu! Dan itu tan-
danya semua ucapanmu tadi dusta!”
“Nek.... Aku bicara apa adanya. Terserah padamu
mau percaya atau tidak.... aku sekarang harus per-
gi....”
“Setelah mendustaiku, kau kira enak saja bisa per-
gi, hah?! Kau tak akan tinggalkan tempat ini sebelum
mengatakan siapa nama kedua cucumu!”
“Nek.... Ada apa sebenarnya?! Mengapa kau begitu
bersikeras hendak tahu nama kedua cucuku?!”
“Bukan saatnya kau bertanya! Tapi waktunya kau
menjawab!”
“Aku tak akan mengatakannya sebelum kau kata-
kan ada apa ini!”
“Hem.... Kau mau aku bertindak sedikit keras, he?”
“Aku tidak menginginkannya! Yang kuinginkan kedua cucuku!”
“Simpan keinginanmu! Kau tidak punya cucu!” ben-
tak nenek berponi.
“Hem.... Tak ada gunanya meladeni nenek aneh
ini.... Aku tak mau membuat urusan. Apalagi aku da-
pat mencium aroma orang tidak jauh dari tempat ini.
Mungkin teman nenek ini.... Lebih baik aku segera
pergi....”
Berpikir begitu, akhirnya tanpa berkata-kata lagi si
perempuan dari lereng Gunung Semeru putar diri se-
tengah lingkaran dan melangkah hendak tinggalkan
tempat itu.
Namun baru saja si perempuan gerakkan kaki, tiba-
tiba terdengar suara deruan. Saat bersamaan satu ge-
lombang angin berkiblat ke arah si perempuan dari le-
reng Gunung Semeru.
Si perempuan cepat jejakkan kedua kakinya, so-
soknya mental ke udara. Gelombang angin lewat se-
tengah tombak di bawahnya lalu menerabas rimbun
dedaunan di seberang sana hingga bertaburan ke uda-
ra.
Mendapati orang dapat menghindar selamatkan diri,
si nenek berambut poni tertawa. Namun pada saat
yang sama kedua tangannya diangkat lalu disentak-
kan.
“Brusss! Brusss! Brusss!”
Tiba-tiba terdengar orang bersin-bersin. Satu desi-
ran angin menderu. Hebatnya mampu membuat gera-
kan si nenek berambut poni tertahan.
Si nenek memaki lalu perdengarkan bentakan ga-
rang. “Setan Wahing! Beraninya kau berulah!”
Bersamaan dengan terdengarnya bentakan si ne-
nek, desiran angin menyibak hingga kedua tangan si
nenek kembali leluasa bergerak. Namun belum sampai
si nenek benar-benar gerakkan kedua tangannya,
kembali terdengar bersinan disusul dengan terdengar-
nya suara.
“Nenek cantik! Tahan dulu hatimu! Lihat dengan te-
liti siapa yang kini ada di hadapanmu!”
Belum lenyap suara orang, satu sosok berkelebat
dan tegak di hadapan si nenek. Dia adalah seorang
kakek berpakaian agak lusuh. Tangan kanannya me-
megang tongkat. Kepalanya selalu bergerak pulang ba-
lik ke depan ke belakang dengan paras wajah seperti
orang hendak bersin.
“Datuk Wahing.... Aku sudah menduganya!” gumam
si perempuan dari lereng Gunung Semeru begitu meli-
hat siapa adanya kakek bertongkat yang kepalanya te-
rus bergerak dengan mimik seperti orang akan bersin.
“Sudah lama kita tak saling jumpa.... Apa kabarmu,
Nyai?!” kata si kakek yang tidak lain adalah Datuk
Wahing.
“Setan! Jadi kau sudah kenal dia?! Siapa dia, he?!
Gendakmu?!” bentak si nenek berambut poni.
Datuk Wahing tidak segera menjawab, melainkan
bersin berkali-kali!
SELESAI
Segera terbit:
NYAI TANDAK KEMBANG
0 comments:
Posting Komentar