..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 04 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE KUTUK SANG ANGKARA

JOKO SABLENG EPISODE KUTUK SANG ANGKARA

 Hak cipta dan copy right pada penerbit di

bawah lindungan undang-undang

Joko Sableng telah

Terdaftar pada Dept. Kehakiman R.I

Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan

Merk di bawah nomor 012875



SATU


TEMPAT itu seketika hening laksana kuburan. Pita-

loka, Setan Liang Makam, serta Kiai Laras hampir ber-

samaan gerakkan kepala berpaling. Dayang Sepuh pun 

ikut menoleh. Hanya Datuk Wahing yang tidak ha-

dapkan wajahnya ke arah suara yang tiba-tiba menya-

hut. Kakek ini tetap saja gerakkan kepala pulang balik 

ke depan ke belakang dengan mimik seperti orang 

hendak perdengarkan bersinan. Namun sejauh ini sua-

ra bersinannya tidak juga terdengar!

Semua orang selain Datuk Wahing melihat seorang 

laki-laki berusia lanjut bertubuh tambun besar. Ram-

butnya yang putih digelung tinggi ke atas. Kakek ini 

mengenakan pakaian gombrong warna hijau. Pada 

pinggangnya yang bengkak besar tampak melilit se-

buah ikat pinggang besar dari kulit yang di bagian de-

pannya tepat di perut dihias dengan sebuah cermin 

bulat. Sepasang matanya terpejam rapat.

Pitaloka dan Setan Liang Makam pandangi laki-laki 

bertubuh tambun besar dari kepala sampai mata kaki 

dengan mulut terkancing. Kedua orang ini tidak bisa 

mengenali siapa adanya orang.

Sementara Kiai Laras yang belum menyadari kalau 

sosoknya tidak kelihatan, sipitkan mata seraya berde-

sis. “Gendeng Panuntun! Dari ciri-cirinya pasti dia! 

Meski aku belum pernah berjumpa....”

Di seberang lain, begitu melihat siapa adanya kakek 

bertubuh tambun besar, ketegangan pada paras wajah 

Dayang Sepuh serta-merta lenyap. Bibirnya yang me-

rah menyala sedikit membuat sebuah senyum lebar. 

Namun nenek berdandan seronok ini belum juga per-

dengarkan suara. Sebaliknya angkat kedua tangannya. 

Tangan kiri mengambil satu kelabangan rambutnya


dan dipilin-pilin, sedangkan tangan kanan rapikan ge-

raian poni pada keningnya!

Mendadak kakek bertubuh tambun besar buka mu-

lut perdengarkan tawa ngakak. Tangan kanannya ber-

gerak mengusap cermin bulat di depan perutnya. Ber-

samaan dengan itu sepasang matanya membuka. Ter-

nyata sepasang mata itu berwarna putih. Pertanda jika 

si empunya mata adalah orang buta!

Namun seolah bisa melihat di mana orang tegak 

berdiri, kepala si kakek bergerak menghadap ke arah 

satu persatu orang yang ada di tempat itu! Kejap lain 

si kakek buka mulut berujar.

“Hem.... Ku rasakan langit cerah. Tidak ada hujan. 

Angin pun sangat bersahabat. Adalah aneh kalau aku 

di sini merasakan wajah-wajah tegang. Apa yang mem-

buat ketegangan ini?! Jangan-jangan bukan hanya wa-

jah-wajahnya yang tegang. Tapi yang lainnya ikut-

ikutan tegang....”

“Bruss! Bruss! Kuharap jangan merasa aneh apalagi 

heran, Sahabat! Isyarat alam tidak selamanya pertanda 

baik!” Datuk Wahing menyahut.

Kakek bertubuh tambun bermata putih mendongak 

ke langit. “Bersinan mu tidak ku lupa! Senang berjum-

pa denganmu lagi sahabatku, Datuk Wahing....”

Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya lalu 

berpaling ke arah kakek bertubuh tambun. Mulutnya 

sudah membuka hendak bersuara. Namun bersinan-

nya keburu mendahului. Hingga untuk beberapa saat 

Datuk Wahing harus tunda ucapannya. Namun begitu 

bersinannya selesai dan belum sempat perdengarkan 

suara, Setan Liang Makam telah membentak garang.

“Manusia buta tak dikenal! Kuperintahkan kau se-

gera enyah dari tempat ini! Atau kubuat kau tidak bisa 

lagi merasakan keadaan alam!”

“Bruss! Bruss! Sahabatku, Gendeng Panuntun....


Kebalikan isyarat alam baru saja kau dengar. Sekali 

lagi harap tidak heran, apalagi ikut-ikutan tegang!”

“Bagi orang buta sepertiku, mana bisa tegang jika 

tidak disentuh?!” sahut kakek bertubuh tambun ber-

mata putih yang tidak lain adalah Gendeng Panuntun, 

lalu tertawa gelak-gelak. “Jadi jangan mengherankan

mu kalau aku tidak mungkin ikut tegang!”

Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun kembang-

kempiskan hidung. Wajahnya bergerak menghadap 

pada Dayang Sepuh. “Datuk Wahing.... Ternyata kau 

bernasib bagus. Di usiamu yang telah lanjut masih ju-

ga menggandeng seorang perempuan cantik nan jeli-

ta.... Aku dapat merasakan gemulai kedua tangannya 

yang selalu bergerak-gerak. Senyum yang merebak di 

bibirnya yang merah menyala. Dandanan serta pa-

kaian yang bikin deg-degan! Apa dia kekasih baru-

mu?!”

Datuk Wahing bersin beberapa kali. Namun kali ini 

tidak disusuli dengan ucapan. Sementara Dayang Se-

puh tampak makin lebarkan sunggingan senyumnya. 

Lalu mengerling pada Pitaloka. Pitaloka membuang 

muka seraya menyeringai.

Dayang Sepuh melangkah perlahan dengan lemah 

gemulai ke arah Gendeng Panuntun. Senyum di bibir-

nya terus mengembang. Namun begitu tegak tiga lang-

kah di hadapan Gendeng Panuntun, sekonyong-

konyong si nenek pupuskan senyumnya. Tangan ka-

nannya sibakkan poni di depan kening. Kini tampaklah 

wajahnya yang angker. Saat lain tiba-tiba dia memben-

tak.

“Dari dulu mulutmu selalu bersuara tidak enak di 

telingaku setiap kali bertemu! Apa kau ingin aku men-

dahului ancaman manusia kerangka itu, hah?!” Seolah 

bicara dengan orang yang bisa melihat, tangan kiri 

Dayang Sepuh menunjuk pada Setan Liang Makam.


“Eh.... Mana suaraku yang tidak enak?!” tanya Gen-

deng Panuntun. Matanya yang putih mengerjap bebe-

rapa kali. “Suaramu.... Astaga! Aku tadi salah lihat! 

Sungguh.... Aku tidak menyangka kalau perempuan 

itu kau adanya! Habis dandanan mu membuat dadaku 

deg-degan hingga sampai aku salah lihat....”

Tampang garang Dayang Sepuh mendadak berubah. 

Kejap lain nenek ini tertawa terbahak-bahak hingga ge-

raian poni rambutnya bersibakan. Kepalanya diha-

dapkan pada Datuk Wahing lalu berkata.

“Kau dengar itu, Datuk Wahing?! Sahabatmu yang 

buta ini mengatakan salah lihat...!”

“Gendeng Panuntun.... Hem.... Aku pernah dengar 

ceritanya manusia itu! Selain ilmunya sulit dijajaki, dia 

juga memiliki keahlian aneh! Matanya buta, namun 

seolah bisa melihat.... Urusan di tempat ini akan ma-

kin kacau dengan kehadirannya! Bagaimana sekarang? 

Manusia setan serta manusia yang tidak terlihat di ba-

lik jubah hitam itu nyata-nyata menginginkan Pedang 

Tumpul 131! Dan melihat gelagatnya, nenek slebor dan 

kakek bersin-bersin itu juga menginginkannya! Sialan 

benar! Tidak kusangka akan jadi begini akhirnya.... 

Padahal ku tancapkan pedang itu semata-mata untuk 

menipu Setan Liang Makam agar mau memberi kete-

rangan!” Pitaloka diam-diam membatin seraya terus 

melirik pada Pedang Tumpul 131 yang masih menan-

cap di atas tanah.

Seperti diketahui, Pitaloka, saudara kembar Beda

Kumala alias Putri Kayangan berhasil memperdayai 

murid Pendeta Sinting. Gadis cantik ini pada mulanya 

menduga Pendekar 131 membawa Kembang Darah Se-

tan. Namun begitu bisa membuat murid Pendeta Sint-

ing lemas laksana pingsan, ternyata Pitaloka tidak me-

nemukan Kembang Darah Setan walau telah mengge-

rayangi sekujur tubuh Joko. Saat itulah mendadak dia


dikejutkan dengan terdengarnya suara bersinan. Takut 

diketahui orang, Pitaloka segera berkelebat seraya 

mencabut Pedang Tumpul 131.

Pada akhirnya Pitaloka meneruskan perjalanan. Ka-

rena telah tahu bahwa Kembang Darah Setan tidak di 

tangan murid Pendeta Sinting seperti apa yang tersiar 

dalam rimba persilatan, Pitaloka memutuskan pergi ke 

Kampung Setan. Tapi karena belum tahu di mana 

Kampung Setan berada, seraya terus berjalan Pitaloka 

selalu bertanya pada setiap orang yang dijumpainya. 

Tentu saja setelah menyelidik siapa adanya orang yang 

hendak ditanya.

Pada satu kesempatan, Pitaloka bertemu dengan 

Setan Liang Makam. Kali ini rupanya Pitaloka bertemu 

dengan orang yang benar-benar bisa memberi keteran-

gan. Hanya saja Setan Liang Makam minta syarat. Pi-

taloka memenuhi persyaratan yang diajukan Setan 

Liang Makam. Namun di balik itu sebenarnya Pitaloka 

telah punya rencana sendiri. Yang jelas dia tidak akan 

begitu saja memenuhi permintaan Setan Liang Makam. 

Apalagi yang diminta adalah Pedang Tumpul 131 yang 

baru saja diambilnya dari murid Pendeta Sinting.

Ketika Setan Liang Makam hendak mengambil Pe-

dang Tumpul 131 seperti persyaratan yang dimintanya 

pada Pitaloka dan di lain pihak Pitaloka sendiri hendak 

pertahankan pedang dari jamahan tangan Setan Liang 

Makam, muncullah Kiai Laras yang saat itu telah men-

genakan Jubah Tanpa Jasad hingga sosoknya tidak 

kelihatan. Tampaknya Kiai Laras juga menginginkan 

Pedang Tumpul 131. Saat itulah datang Datuk Wahing 

dan Dayang Sepuh.

Ketika terjadi adu mulut antara Pitaloka dan 

Dayang Sepuh, tiba-tiba ada suara orang menyahut. 

Yang muncul ternyata adalah Gendeng Panuntun.

“Bruss! Bruss! Jangan membuatku heran dengan


berucap begitu, Sahabatku Dayang Sepuh,” ujar Datuk 

Wahing sambuti kata-kata si nenek. “Tidak jarang 

orang buta bisa melihat apa yang tidak bisa kita lihat! 

Dan kalaupun dia tadi berkata salah lihat dan salah 

duga terhadapmu, kau harus maklum dan jangan he-

ran. Karena dia memang buta!”

Mendengar ucapan Datuk Wahing, Gendeng Panun-

tun geleng kepala. “Jangan percaya pada ucapannya, 

Nenek Cantik! Mana mungkin orang buta macam aku 

bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat orang bermata. 

Buktinya aku salah menduga mu....” Gendeng Panun-

tun arahkan wajahnya menghadap Kiai Laras yang 

saat itu sosoknya tidak kelihatan karena mengenakan 

Jubah Tanpa Jasad. Agak lama si kakek ini terdiam 

sebelum akhirnya berkata.

“Rasanya aku pernah bertemu muka dengan saha-

batku ini.... Sayang aku lupa kapan dan di mana! Mau 

mengingatkan padaku, Sahabat?!” Gendeng Panuntun 

bertanya pada Kiai Laras.

Kiai Laras palingkan kepala sambil mendengus. 

Namun dia tidak buka mulut menjawab. Kejap lain 

orang tua ini arahkan pandang matanya pada satu 

persatu orang di tempat itu. Lalu perdengarkan suara 

keras membahana di Seantero tempat itu.

“Kuperingatkan pada kalian semua! Kalau masih

sayang pada nyawa masing-masing jangan ada yang 

berani lancang menghadang langkahku! Jangan ada 

yang kurang ajar berani buka mulut! Tetap di tempat 

kalian masing-masing!”

“Eh.... Memangnya ada apa ini?! Orang tidak boleh 

bersuara dan bergerak.... Sepertinya ada sesuatu yang 

luar biasa! Jangan-jangan gadis cantik itu.... Ah.... Ga-

dis cantik di mana-mana memang sering jadi persoa-

lan! Padahal tidak jarang justru tanpa disadari, gadis 

cantik itu yang membuka urusan!”


Habis berucap begitu, Gendeng Panuntun luruskan 

wajahnya ke arah Pitaloka dan lanjutkan ucapan. “Ku-

harap kau tidak marah, Gadis Rupawan.... Aku tadi 

hanya mengatakan kebiasaannya. Sekali-kali tidak 

bermaksud menyinggung apalagi membuat persoalan 

denganmu...!”

“Hem.... Berarti dia bisa melihat meski matanya 

tampak buta!” gumam Pitaloka. Pandang matanya me-

natap tajam pada Gendeng Panuntun. Namun cuma 

sekejap. Dia lantas arahkan pandang matanya pada 

jubah hitam tanpa sosok yang mulai bergerak maju, 

“Manusia di balik jubah itu akan mengambil Pedang 

Tumpul 131!” Pitaloka kerahkan tenaga dalam pada 

kedua tangannya. Walau dia maklum kalau kepan-

daiannya masih di bawah orang, namun dia sudah 

memutuskan mempertahankan Pedang Tumpul 131 

dari jamahan tangan orang lain. Keputusan hatinya 

makin kuat setelah dia mendengar keterangan Setan 

Liang Makam tentang di mana Kampung Setan serta 

cerita Kembang Darah Setan. Karena dengan senjata 

sakti di tangannya, setidaknya kekuatannya akan ber-

tambah. Apalagi dia kini tahu, banyak sekali beberapa 

tokoh berilmu tinggi yang belum dikenalnya telah ber-

munculan.

Di lain pihak, Setan Liang Makam tampak pula 

memperhatikan gerakan jubah hitam. Laki-laki cucu 

Nyai Suri Agung ini tampak bimbang dan gelisah. Dia 

kini yakin kalau sosok tidak kelihatan di balik jubah 

hitam juga membekal Kembang Darah Setan asli. Ju-

bah Tanpa Jasad adalah bukti akan keyakinannya. Ka-

rena menurut Nyai Suri Agung, dinding tidak tembus 

pandang yang memagari Jubah Tanpa Jasad bisa ter-

bongkar hanya dengan Kembang Darah Setan.

Hanya Dayang Sepuh dan Datuk Wahing yang tam-

pak tenang-tenang saja. Dayang Sepuh terus memilin


milin kepangan rambutnya, sementara Datuk Wahing 

tetap gerakkan kepala pulang balik ke depan ke bela-

kang dengan mimik orang hendak bersin.

Sementara di sebelah Dayang Sepuh, Gendeng Pa-

nuntun alihkan wajahnya dari Pitaloka pada Kiai Laras 

yang terus melangkah perlahan mendekati Pedang 

Tumpul 131.

Suasana mendadak mencekam ketika gerakan ju-

bah hitam sudah berjarak tujuh langkah dari Pedang 

Tumpul 131 yang menancap di tanah. Semua orang 

sama kancingkan mulut dan tidak ada yang membuat 

gerakan seolah menuruti perintah Kiai Laras. Hanya 

mata Pitaloka dan Setan Liang Makam yang sama sal-

ing lontar berpindah-pindah. Sepasang bola mata Pita-

loka bergerak liar. Dari Pedang Tumpul 131, gerakan 

Jubah Tanpa Jasad serta sosok Setan Liang Makam. 

Sementara sepasang mata besar milik Setan Liang Ma-

kam melotot dari gerakan Jubah Tanpa Jasad, Pedang 

Tumpul 131, serta sosok Pitaloka.

Di lain pihak, justru Kiai Laras tidak melirik pada 

Pitaloka maupun Setan Liang Makam. Sebaliknya se-

pasang matanya terus melirik pada Dayang Sepuh, Da-

tuk Wahing, serta Gendeng Panuntun.

Kiai Laras rupanya sadar. Dengan Kembang Darah 

Setan serta jubah yang dikenakannya, hadangan Pita-

loka dan Setan Liang Makam dapat diatasi. Namun dia 

masih belum yakin benar jika hadangan itu datang da-

ri Dayang Sepuh, Datuk Wahing, serta Gendeng Pa-

nuntun. Karena dia telah paham siapa adanya ketiga 

orang itu. Tapi dengan peristiwa yang dialaminya saat 

berhadapan dengan Nyai Suri Agung serta Setan Liang 

Makam, keyakinannya perlahan-lahan timbul. Hingga 

dia teruskan saja langkahnya mendekati Pedang Tum-

pul 131.

“Sahabat sekalian.... Kenapa kalian diam saja?! Ti


dak ada yang bersuara, tidak ada yang bergerak!” Tiba-

tiba Gendeng Panuntun angkat bicara.

Pitaloka tidak hiraukan ucapan orang karena diam-

diam dia telah siap lepaskan satu pukulan jarak jauh. 

Demikian juga Setan Liang Makam. Pada puncak kege-

lisahannya, cucu Nyai Suri Agung ini akhirnya memu-

tuskan untuk menghadang gerakan Jubah Tanpa Ja-

sad dengan siapkan satu pukulan. Selain untuk 

menghalangi orang mengambil pedang, sekaligus un-

tuk menghantam orang dan mengambil Jubah Tanpa 

Jasad.

Di depan sana, begitu Gendeng Panuntun angkat 

bicara, Kiai Laras hentikan gerakan kakinya. Kepa-

lanya berpaling sesaat memandang pada Pitaloka dan 

Setan Liang Makam. Bibirnya menyeringai buruk. “Ru-

panya kalian manusia-manusia bodoh! Sudah tahu 

tingginya langit dalamnya lautan yang tak mungkin 

kalian jangkau, namun kalian hendak coba-coba men-

jajakinya! Kalian akan mampus penasaran!”

Kiai Laras teruskan pandang matanya ke arah Gen-

deng Panuntun. Lalu membentak.

“Kau telah kuperingatkan! Namun kau ingin unjuk 

kebolehan! Kau mau maju sendirian atau bersama te-

man-temanmu itu?!”

“Ah.... Kau salah menangkap ucapanku, Sahabat!” 

ujar Gendeng Panuntun. “Bukannya aku mengajak 

mereka untuk bergerak atau berkata. Aku hanya ingin 

tahu mengapa mereka tidak bersuara, tidak bergerak!”

“Itu karena mereka telah tahu tingginya langit da-

lamnya laut! Mereka masih sayang hidup daripada ma-

ti percuma!”

Gendeng Panuntun arahkan wajahnya pada Dayang 

Sepuh dan Datuk Wahing. “Apa betul demikian, Saha-

bat-sahabatku...?!”

Dayang Sepuh geleng kepala. “Tidak demikian!”


“Bruss! Bruss! Memang tidak demikian!” sahut Da-

tuk Wahing.

“Kalau aku belum berkata apalagi membuat gera-

kan, kupikir saatnya belum sampai! Kita harus yakin 

dahulu sebelum tahu sebenarnya!” kata Dayang Se-

puh.

“Bruss! Bruss! Benar. Kita tidak boleh melakukan 

hal-hal yang mengherankan sebelum tahu pasti apa 

yang akan dilakukan orang!”

“Kalian benar.... Kita tidak boleh berprasangka je-

lek. Siapa tahu meski tampaknya melangkah ke sana 

namun tujuannya lain?!” Gendeng Panuntun menim-

pali.

“Siapa tahu.... Itulah memang pertimbangannya!” 

ujar Dayang Sepuh.

“Bruss! Bruss! Betul sekali! Siapa tahu.... Itulah 

yang menjadikan kami belum berani melakukan hal-

hal yang mengherankan!”

Kiai Laras menyeringai mendengar ucapan-ucapan

orang. Seraya pasang tangan di atas pinggang kanan 

kiri dia menggumam. “Aku ingin tahu apa yang akan 

kalian lakukan!” Kiai Laras tengadah lalu teruskan 

langkah.

Baru saja Jubah Tanpa Jasad bergerak, pertanda 

Kiai Laras melangkah, mendadak Pitaloka telah gerak-

kan kedua tangannya melepas satu pukulan dahsyat 

jarak jauh.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang ganas menerjang ke arah Kiai La-

ras.

Hampir bersamaan dengan melesatnya dua gelom-

bang dari kedua tangan Pitaloka, Setan Liang Makam 

telah pula sentakkan kedua tangannya. Laki-laki cucu 

Nyai Suri Agung ini berpikir jika gabungan antara pu-

kulannya dengan pukulan Pitaloka setidaknya akan


menambah daya gedor pada sosok di balik Jubah Tan-

pa Jasad. Hingga untuk sesaat tempat itu laksana di

buncah gempuran gelombang luar biasa yang menuju 

satu titik arah. Yakni jubah hitam tanpa sosok yang 

sudah berada lima langkah dari tempat tertancapnya 

Pedang Tumpul 131.

Kiai Laras mendengus marah. Dia rupanya merasa, 

tidak mungkin menghadang dua pukulan orang sekali-

gus dengan kekuatan tenaga dalamnya sendiri. Apalagi 

begitu melihat ganasnya pukulan dari kedua tangan 

Setan Liang Makam yang menunjukkan jika pukulan 

itu dengan pengerahan tenaga dalam sangat kuat.

Laksana kilat, tangan kanan Kiai Laras segera me-

nyelinap ke balik pakaiannya. Laki-laki itu berpikir 

hanya dengan Kembang Darah Setan pukulan orang 

bisa dihadang.

Begitu tangan kanan Kiai Laras keluar, semua

orang di tempat itu melihat cahaya berkilau tiga war-

na. Merah, hitam, dan putih dari setangkai bunga yang 

terapung di atas udara sejajar bagian dada Jubah 

Tanpa Jasad. Saat lain kembang tiga warna yang tidak 

lain adalah Kembang Darah Setan, berkelebat.

Wuutt! Wuuttt!

Satu gelombang disertai berkiblatnya sinar tiga 

warna melesat angker.

***

DUA



TEMPAT itu laksana dihantam petir. Keadaan seke-

tika terang benderang berwarna merah, hitam, dan pu-

tih. Sinar tiga warna menembus gelombang. Terdengar 

ledakan hebat. Gelombang yang datang dari kedua


tangan Pitaloka dan Setan Liang Makam serta-merta 

buyar berantakan lalu membubung tinggi ke udara. 

Sinar tiga warna pecah. Hebatnya pecahan sinar tiga 

warna menebar datar di atas udara lalu melaju deras 

ke arah Pitaloka dan Setan Liang Makam.

Di seberang, Pitaloka perdengarkan seruan tertahan 

bersamaan dengan buyarnya gelombang tertembus si-

nar tiga warna. Sosoknya terdorong amblas ke bela-

kang sebelum akhirnya terbanting keras di atas tanah. 

Di lain pihak, sosok Setan Liang Makam terpental se-

belum akhirnya jatuh terduduk dengan sekujur tubuh 

yang hanya merupakan susunan kerangka bergerak-

gerak keras. Sepasang matanya melotot dan mulut 

menganga tanpa adanya suara yang terdengar.

Kiai Laras sendiri hanya terdorong tiga langkah. Se-

saat Jubah Tanpa Jasad memang bergerak-gerak 

oleng. Tapi saat lain telah tegak mengapung di atas 

udara. Kembang Darah Setan terlihat pula mengapung 

sejajar bagian perut Jubah Tanpa Jasad.

“Dugaanku tidak salah!” desis Setan Liang Makam 

begitu melihat terapungnya Kembang Darah Setan. 

Laksana hendak terbang, Setan Liang Makam cepat 

bergerak bangkit.

Di seberang samping sana, Dayang Sepuh cepat pu-

la melompat ke arah Datuk Wahing. Dengan mata 

memperhatikan Kembang Darah Setan dia berbisik.

“Manusia tanpa sosok berjubah hitam itu meme-

gang dua senjata sakti! Aku tahu kau adalah orang 

paling mengerti tentang Kembang Darah Setan serta 

Jubah Tanpa Jasad! Katakan padaku bagaimana cara 

menghadapinya!”

“Bruss! Ucapanmu benar! Namun adalah menghe-

rankan kalau kau menduga aku tahu bagaimana cara 

menghadapinya! Aku tidak tahu.... Aku tidak tahu!” 

gumam Datuk Wahing seraya geleng-gelengkan kepala.


Kali ini mimik wajahnya tidak membayangkan seperti 

orang ingin bersin, sebaliknya berubah tegang. “Mung-

kin sahabat buta itu tahu! Coba tanyakan padanya!”

Dayang Sepuh menggerendeng. Tapi cepat melom-

pat ke arah Gendeng Panuntun yang kini duduk men-

jeplok di atas tanah.

“Aku juga kesulitan menjawab pertanyaan yang 

hendak kau ajukan!” Gendeng Panuntun sudah buka 

mulut sebelum Dayang Sepuh angkat bicara. “Ada 

penghalang yang membuat aku laksana berjalan di 

tengah malam buta! Gelap.... Itu jawabannya!”

“Hem.... Maksudmu kita bisa menghadapi dengan 

menunggu datangnya malam, begitu? Apa mungkin ki-

ta bisa bertahan sampai malam. Padahal saat ini ma-

tahari baru saja condong!”

Gendeng Panuntun geleng kepala. “Bukan. Aku ti-

dak mengatakan kita bisa menghadapinya dengan me-

nunggu sampai datangnya malam. Namun aku mene-

mui jalan buntu! Aku tidak tahu bagaimana cara 

menghadapinya....”

“Celaka! Kita tidak tahu bagaimana cara mengha-

dapinya. Padahal dia hendak mengambil juga pedang 

milik pemuda geblek itu!” gumam Dayang Sepuh.

“Memang celaka! Tapi apa hendak dikata...,” sahut

Gendeng Panuntun pula.

“Kau memiliki ilmu yang tidak dimiliki orang lain! 

Coba sekali lagi kau lihat! Siapa tahu kita menemukan 

jawaban!” desak Dayang Sepuh.

“Apa pun yang dimiliki makhluk bernama manusia, 

semuanya serba terbatas! Jika kita paksakan diri, kita 

akan mendapat celaka dua kali!”

“Setan! Ini bukan urusan paksakan diri atau tidak! 

Ini usaha!” hardik Dayang Sepuh mulai tidak sabaran.

“Usaha pun ada batasnya!” ujar Gendeng Panuntun 

dengan tenang.


“Sialan! Lalu apakah kita akan berdiam diri? 

Hah...?!”

Gendeng Panuntun tidak segera sambuti ucapan 

Dayang Sepuh. Sebaliknya dia berpaling. Karena saat 

itu Datuk Wahing tampak bergerak bangkit lalu mem-

buat gerakan satu kali. Tahu-tahu sosoknya telah du-

duk bersimpuh di samping Gendeng Panuntun.

“Kau juga tua bangka sialan!” Dayang Sepuh sudah 

menyemprot begitu Datuk Wahing duduk bersimpuh.

“Bagaimana bisa tidak tahu bagaimana cara mengha-

dapi sesuatu yang bertahun-tahun ditongkronginya?!”

Datuk Wahing bersin-bersin lalu tertawa panjang. 

Gendeng Panuntun mendehem lalu berkata.

“Itulah rahasia alam, Sahabatku.... Bahkan kita ka-

dangkala tidak tahu sesuatu yang ada di tangan kita 

sendiri!”

“Hanya orang tidak bisa melihat sepertimu yang ti-

dak tahu sesuatu di tangannya!” sergah si nenek den-

gan ketus karena makin tidak sabar.

“Bruss! Bruss! Kau tak usah marah-marah....”

“Sialan! Siapa yang marah?!” tukas Dayang Sepuh.

Belum sampai ada yang menyahut ucapan Dayang

Sepuh, di depan sana terdengar bentakan keras.

“Anjing jahanam! Serahkan Kembang Darah Setan 

dan Jubah Tanpa Jasad padaku! Akulah pemilik sah 

keduanya!” Yang perdengarkan bentakan dahsyat ter-

nyata Setan Liang Makam. Seraya membentak, tangan 

kirinya terulur ke depan, tangan kanan ditarik ke be-

lakang. Lalu kakinya bergerak melangkah maju.

Kiai Laras tersenyum dingin. “Di atas dunia, hanya 

anjing tolol yang menyatakan diri sebagai pemilik sah 

sesuatu benda! Anjing tolol seperti itu tidak layak dibe-

ri hidup lebih lama! Dunia tidak membutuhkannya!”

Baru saja ucapan Kiai Laras selesai, tiba-tiba Kem-

bang Darah Setan yang terlihat mengapung di udara


berkelebat.

Wusss!

Terdengar deruan dahsyat. Tiga sinar berwarna me-

rah, hitam, dan putih untuk kedua kalinya berkiblat 

angker ke arah Setan Liang Makam.

Setan Liang Makam tidak terkejut karena telah 

waspada. Namun demikian ketegangan di wajahnya 

tampak nyata. Dan tanpa membuang waktu, laki-laki 

yang pernah terkubur dalam makam batu puluhan ta-

hun ini berkelebat ke samping. Kedua tangannya dido-

rong seraya perdengarkan bentakan keras.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang angin yang disertai kabut hitam 

menderu laksana amukan ombak, lurus menghadang 

berkiblatnya sinar tiga warna.

Saat kedua tangan Setan Liang Makam mendorong, 

dari arah samping terlihat Datuk Wahing angkat tan-

gan kanannya yang memegang tongkat kayu. Kepa-

lanya bergerak ke depan untuk perdengarkan bersi-

nan. Bersamaan dengan itu tongkat kayu disentakkan 

ke depan.

Tongkat kayu butut melesat berputar-putar di uda-

ra menimbulkan desingan tajam dan sapuan-sapuan 

gelombang dahsyat. Saat lain tongkat kayu yang kini 

hampir tidak terlihat itu menjajari gelombang yang di-

lepas Setan Liang Makam lalu bersama-sama melabrak 

ke arah sinar tiga warna yang datang.

Blaarr! Blaarr!

Dua kali gelegar keras terdengar. Sinar tiga warna 

dari Kembang Darah Setan menebar ambyar. Namun 

ambyarnya sebagian tetap lurus mengarah pada Setan 

Liang Makam!

Di lain pihak, gelombang yang keluar dari kedua 

tangan Setan Liang Makam serta-merta amblas buyar. 

Tongkat kayu milik Datuk Wahing mencelat tinggi ke


udara. Ketika luruh kembali telah berubah menjadi 

serpihan dan hangus serta bertabur di udara sebelum 

akhirnya lenyap terbawa bias gelombang gelegaran.

Setan Liang Makam lagi-lagi terpental. Namun ka-

rena sudah tahu apa yang hendak terjadi, begitu so-

soknya dirasakan melambung ke belakang, cucu Nyai 

Suri Agung ini cepat kerahkan tenaga dalam untuk 

kuasai diri. Tapi dia terlengak. Karena baru saja hen-

dak kerahkan tenaga dalam, ambyaran sinar tiga war-

na telah menyongsong ke arahnya.

Setan Liang Makam serba salah. Kalau dia me-

nyambut ambyaran sinar tiga warna, tentu dia tidak 

bisa lagi kuasai diri dan tak ampun sosoknya akan 

terbanting menghantam tanah. Sedang kalau teruskan 

untuk kuasai diri, niscaya ambyaran sinar tiga warna 

akan menghajarnya! Sinar tiga warna itu memang te-

lah ambyar, namun Setan Liang Makam sadar, jika 

ambyaran itu masih mampu memporak-porandakan 

sesuatu yang terhajar.

Kebimbangan Setan Liang Makam membuat dia 

lengah. Hingga begitu bisa mengambil keputusan apa 

yang harus dilakukan, ambyaran sinar tiga warna te-

lah setengah tombak di hadapannya. Kali ini apa pun 

keputusan yang diambil Setan Liang Makam tidak 

akan bisa menyelamatkan dirinya!

Sesaat lagi ambyaran sinar tiga warna menghajar 

sosok Setan Liang Makam yang hanya bisa mendelik 

saking terkejutnya, tiba-tiba saja tanpa diduga satu ge-

lombang angin deras melesat. Bukan menghadang pa-

da ambyaran sinar yang hendak menghajar sosok Se-

tan Liang Makam, melainkan menghantam ke arah Se-

tan Liang Makam yang masih berada di atas udara.

Bukkkk!

Mentalan sosok Setan Liang Makam berubah arah. 

Kalau tadi terdorong keras ke belakang. Kali ini sosok


nya terpental deras ke samping lalu jatuh bergedebu-

kan di samping sana. Namun perubahan arah ini me-

nyelamatkan Setan Liang Makam dari hajaran ambya-

ran sinar tiga warna. Ambyaran sinar tiga warna mene-

rabas terus lalu menghajar beberapa jajaran pohon di 

depan sana. Beberapa batangan pohon perdengarkan 

derakan lalu satu persatu tumbang dengan patah-

patah dan hangus! Daunnya langsung bertabur dan 

berubah menghitam!

Setan Liang Makam tampaknya tahu gelagat. Begitu 

sosoknya jatuh dia cepat kerahkan tenaga dalam 

meski rasakan sekujur tubuhnya laksana hancur dan 

lidahnya rasakan asin pertanda mulutnya telah ku-

curkan darah. Di lain saat cucu Nyai Suri Agung ini 

bangkit tegak. Dia tahu siapa gerangan yang baru saja 

menghantamnya namun membuatnya selamat.

Setan Liang Makam berpaling pada Datuk Wahing. 

Walau dia tidak buka mulut namun diam-diam dia 

membatin. “Galaga...! Jangan berharap tindakanmu 

yang menyelamatkan diriku akan menghapus urusan 

di antara kita! Aku juga curiga jangan-jangan kaulah 

yang membocorkan rahasia Kampung Setan! Karena 

hanya kau satu-satunya manusia di atas bumi ini yang 

tahu rahasia Kampung Setan! Mungkin kau juga yang 

memberitahukan pada anjing pemegang Kembang Da-

rah Setan serta pemakai Jubah Tanpa Jasad itu, men-

genai bagaimana bisa mengeluarkan aku dari makam 

celaka itu! Lalu kau sekarang berpura-pura di hada-

panku!”

Datuk Wahing sendiri yang tampak bergoyang-

goyang dan duduknya bergeser akibat bias bentroknya 

pukulan yang disalurkan lewat tongkatnya untuk 

menghadang kiblatan sinar dari Kembang Darah Se-

tan, hentikan gerakan kepalanya. Dia balas meman-

dang pada Setan Liang Makam yang bukan lain me


mang saudara seperguruannya. Kakek yang selalu ber-

sin ini hendak buka mulut. Namun diurungkan begitu 

melihat Setan Liang Makam alihkan pandang matanya 

ke arah Kiai Laras yang masih tampak jubahnya saja.

Jubah Tanpa Jasad itu sejenak tadi tampak berge-

rak deras ke belakang dan hampir saja jatuh ketika 

terdengar gelegar. Namun belum sampai menyentuh 

tanah, Jubah Tanpa Jasad itu telah bergerak lagi te-

rangkat ke atas dan tak lama kemudian tegak menga-

pung diam. Kejap lain terdengar batuk dua kali. Lalu 

terlihat ludah bercampur darah melesat dari atas ju-

bah hitam. Meski orang tidak bisa melihat bagaimana 

paras wajah si pemakai Jubah Tanpa Jasad, tapi orang 

sudah bisa menebak jika terjadinya bentrok pukulan 

membuat si pemakai kucurkan darah dari mulutnya.

Sementara di seberang sana, sebenarnya Pitaloka

sudah berkelebat ke arah tertancapnya Pedang Tumpul 

131 begitu tahu kalau Kiai Laras dan Setan Liang Ma-

kam saling baku hantam. Namun kelebatan sosok ga-

dis ini bersamaan saatnya dengan bentroknya puku-

lan. Hingga meski kedua tangannya terus bergerak 

hendak menyambar pedang, namun gagal. Karena be-

gitu terdengar gelegaran, Pedang Tumpul 131 kembali 

bergerak pulang balik, membuat Pitaloka bukan saja 

kesulitan, namun kalau saja dia tidak segera batalkan 

maksudnya, niscaya dia sendiri akan mendapat celaka. 

Karena gerakan pedang akibat gelegaran menimbulkan 

gelombang dan melesatnya cahaya kekuningan berha-

wa panas luar biasa!

Kiai Laras rupanya dapat melihat apa yang tadi 

hendak dilakukan oleh Pitaloka. Hingga begitu tegak 

kembali, sosoknya langsung berputar menghadap Pita-

loka.

“Kau memang punya hak untuk mengambil benda 

itu! Tapi itu melanggar apa yang kuperintahkan! Dan


itu akan mengubah jalan takdirmu!” kata Kiai Laras.

Pitaloka melihat Kembang Darah Setan bergerak. 

Kuduk gadis cantik ini menjadi dingin. Dia kini telah 

tahu sedang berhadapan dengan siapa. Kalau pukulan 

Setan Liang Makam yang dibantu dengan Datuk Wah-

ing tidak mampu membuat sosok di balik jubah jatuh 

terjengkang, adalah satu keanehan kalau dia dapat 

menghadapinya! Tapi di balik semua itu Pitaloka juga 

maklum, sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa 

Jasad tentu tidak akan membiarkan dia pergi begitu 

saja. Hal inilah yang perlahan-lahan membuat Pitaloka 

menjadi nekat. Hingga begitu melihat gerakan pada 

Kembang Darah Setan, dia cepat kerahkan segenap te-

naga dalam yang dimiliki.

“Anak bodoh.... Apakah dia pikir bisa menghadapi

setan berjubah itu?!” ujar Dayang Sepuh melihat apa 

yang dilakukan Pitaloka.

“Brusss! Memang mengherankan dan mustahil! Tapi 

itu adalah satu-satunya jalan yang harus dilakukan! 

Atau kau bisa melakukan satu hal yang tidak menghe-

rankan?!” sahut Datuk Wahing.

“Kau hanya bisa heran-heran melulu!” bentak 

Dayang Sepuh. Lalu alihkan pandangannya pada Gen-

deng Panuntun.

“Kita tidak usah pedulikan siapa adanya gadis itu! 

Yang jelas kita cegah terjadi pertumpahan darah di si-

ni! Kita gebuk sama-sama setan berjubah hitam itu!”

“Itu hanya akan membawa darah makin banyak 

tumpah, Sahabatku!” kata Gendeng Panuntun.

“Setan! Kalian berdua setan! Hanya bisa omong dan 

mencegah tapi tidak bisa memberi jalan keluar!” 

Dayang Sepuh berteriak sambil bantingkan kaki. Lalu 

bergerak hadapkan tubuh ke arah Pitaloka. Kemudian 

berteriak.

“Hai, Gadis Setan! Jangan berlagak di sini! Cepat


menyingkir!”

“Tidak ada yang akan tinggalkan tempat ini!” Kiai 

Laras menyahut.

“Jangan percaya! Cepat lari!” Kembali Dayang Se-

puh berteriak. Saking tak sabar dia gerakkan kedua 

tangannya ke depan membuat gerakan seperti orang 

mengusir.

Pitaloka bimbang. Walau tadi telah nekat, namun 

begitu mendengar teriakan Dayang Sepuh, hatinya jadi 

ragu-ragu. Dayang Sepuh terlihat gemas.

“Gadis setan! Masih banyak kenikmatan yang belum 

kau rasakan! Apa kau benar-benar tak ingin menikma-

tinya, hah?!”

Datuk Wahing perdengarkan bersinan mendengar 

teriakan Dayang Sepuh. Di sampingnya, Gendeng Pa-

nuntun tertawa bergelak-gelak. Pitaloka terdiam se-

saat. Kejap lain mendadak kedua tangan gadis ini telah 

bergerak lepaskan pukulan mendahului kelebatan 

Kembang Darah Setan. Saat bersamaan, sosoknya me-

lesat hendak tinggalkan tempat itu.

“Jangan mimpi bisa tinggalkan tempat ini dengan 

nyawa utuh!” bentak Kiai Laras. Kembang Darah Setan 

di tangan kanannya berkelebat.

Tiga sinar berkiblat menggidikkan, menyongsong ge-

lombang yang melesat dari kedua tangan Pitaloka.

Dayang Sepuh menggerendeng panjang pendek. La-

lu kedua tangannya bergerak menghantam ke depan 

memotong lesatan sinar tiga warna dari Kembang Da-

rah Setan.

Kembali terdengar ledakan tatkala gelombang dari 

kedua tangan Dayang Sepuh memotong sinar tiga 

warna. Saat bersamaan, gelombang dari kedua tangan 

Pitaloka melabrak. Hingga ledakan kedua terdengar.

Sosok Dayang Sepuh terhuyung-huyung dan Plukk! 

Sosok si nenek jatuh terduduk di atas pangkuan Gen


deng Panuntun yang ada di belakangnya!

Sementara di depan sana, sosok Pitaloka yang ber-

kelebat terlihat oleng. Lalu terputar hendak menghan-

tam tanah. Gadis cantik ini menjerit tinggi. Namun se-

jengkal lagi sosoknya beradu dengan tanah, satu 

bayangan merah berkelebat.

***

TIGA



SOSOK Pitaloka tertahan satu jengkal di atas tanah. 

Saat lain sosok gadis cantik ini terangkat lalu tegak 

dengan bergetar keras. Dari mulutnya terlihat kucuran 

darah. Dadanya bergerak-gerak turun naik tak karuan. 

Paras wajahnya berubah pucat pasi dan tegang.

Setelah agak lama dan baru menyadari kalau len-

gannya dicekal orang, Pitaloka segera berpaling. Tam-

pang gadis ini makin berubah. Mulutnya yang masih 

kucurkan darah bergerak membuka namun tak ada 

suara yang terdengar.

Sementara di depan sana, sosok Kiai Laras tersurut 

tiga langkah. Dan begitu tahu kalau ada orang yang 

ikut lepaskan pukulan memotong kiblatan sinar tiga 

warna dari Kembang Darah Setan, orang tua ini cepat 

berpaling. Dia tahu siapa yang baru memotong puku-

lan Kembang Darah Setan. Hingga sepasang matanya 

mendelik angker pada Dayang Sepuh yang masih ter-

duduk di atas pangkuan Gendeng Panuntun.

Di lain pihak, begitu sosok Dayang Sepuh ter-

huyung dan jatuh di atas pangkuan Gendeng Panun-

tun, Datuk Wahing perdengarkan bersinan beberapa 

kali lalu tawanya meledak.

“Sahabat.... Kurasa di sini banyak mata melihat.


Mengapa kau bercanda dengan minta dipangku sega-

la?!” Gendeng Panuntun berujar. Sepasang mata pu-

tihnya mengerjap beberapa kali. Lalu hidungnya men-

dengus. Kepalanya terangkat dan.... “Bruss! Bruss!” 

Gendeng Panuntun bersin dua kali.

“Sebagian rambutmu masuk ke hidungku...!” kata

Gendeng Panuntun.

Bersinan dua kali membuat sosok Dayang Sepuh 

yang berada di pangkuannya terlonjak-lonjak balik ke 

atas ke bawah. Tanpa disadari lonjakan sosoknya 

membuat kelabangan rambutnya bergerak-gerak dan 

kembali menerpa wajah Gendeng Panuntun.

Gendeng Panuntun kelabakan. Saat lain dia kemba-

li perdengarkan bersinan karena sebagian rambut itu 

masuk ke hidungnya. Hal ini membuat sosok Dayang 

Sepuh kembali terlonjak pulang balik ke atas ke ba-

wah.

Tawa Datuk Wahing makin meledak. Dan di sela-

sela tawanya dia beberapa kali bersin-bersin. Hingga 

untuk beberapa saat tempat itu disemaraki dengan 

suara bersinan yang ditingkah dengan gelakan tawa 

berderai.

Dayang Sepuh sendiri sepertinya keenakan karena 

sosoknya bergerak pulang balik ke atas ke bawah. So-

sok tambun Gendeng Panuntun membuat si nenek ti-

dak merasakan sakit tatkala berbenturan dengan ang-

gota tubuh Gendeng Panuntun.

Pada satu kesempatan, tiba-tiba Gendeng Panuntun 

menggeser duduknya ke samping. Si nenek yang kee-

nakan sampai sepasang matanya terpejam-pejam tidak 

menduga. Hingga ketika sosoknya meluncur ke bawah, 

bukan lagi menumbuk pangkuan Gendeng Panuntun, 

melainkan menghantam tanah!

Bukkk!

Dayang Sepuh mengeluh. Lalu cepat bangkit. Tan

gan kanannya berkelebat ke arah Gendeng Panuntun.

“Bruss! Mengherankan kalau kau menyalahkan 

orang lain, Nenek!”

Dayang Sepuh tarik pulang tangan kanannya. Lalu 

arahkan pandang matanya ke arah Pitaloka. Sementa-

ra baik Kiai Laras maupun Setan Liang Makam sudah 

agak lama memandang tajam ke arah yang sama.

Namun baik Dayang Sepuh, Kiai Laras, maupun Se-

tan Liang Makam bukannya memandang pada Pitalo-

ka. Tapi pada satu sosok di sampingnya yang tegak 

dengan tangan satunya mencekal lengan Pitaloka.

Dayang Sepuh kucek-kucek sepasang matanya. La-

lu disodorkan ke depan seolah belum percaya dengan 

apa yang dilihat.

“Brusss! Harap tidak heran dengan apa yang kau li-

hat, Nenek....”

Dayang Sepuh tidak menyahut. Sebaliknya terus 

memandang pada sosok yang tegak di samping Pitalo-

ka. Dia adalah seorang gadis muda berparas cantik je-

lita. Rambutnya panjang sebahu mengenakan pakaian 

warna merah. Tapi bukan kecantikan atau pakaian si 

gadis yang membuat Dayang Sepuh, Kiai Laras, serta 

Setan Liang Makam memandang tak berkedip. Ketiga 

orang ini hampir tidak bisa membedakan di antara Pi-

taloka dan gadis yang tegak di sampingnya! Wajah ke-

dua gadis ini sama!

“Beda Kumala...,” gumam Pitaloka setelah agak la-

ma hanya bisa menganga tanpa perdengarkan suara.

Gadis cantik yang tegak di samping Pitaloka dan 

memiliki wajah yang sama persis, sunggingkan se-

nyum seraya anggukkan kepala. Lalu berbisik perla-

han.

“Pitaloka.... Kita harus cepat tinggalkan tempat ini! 

Orang-orang itu bukan tandingan kita!”

“Aku tidak berurusan dengannya! Mereka sendiri


yang cari urusan!” kata Pitaloka.

Gadis di sampingnya yang tadi dipanggil dengan 

Beda Kumala dan bukan lain adalah Putri Kayangan, 

kembali sunggingkan senyum.

“Lupakan dulu semua itu.... Yang jelas kita harus 

segera tinggalkan tempat ini!”

“Aku tak akan pergi tanpa pedang itu!” Pitaloka 

arahkan pandang matanya pada Pedang Tumpul 131 

yang masih menancap di atas tanah.

Putri Kayangan menghela napas panjang. Kepa-

lanya menggeleng perlahan lalu berucap perlahan “Tak 

ada untungnya mempertahankan benda yang bukan 

milikmu!”

Habis berkata begitu, Putri Kayangan arahkan pan-

dang matanya pada Jubah Tanpa Jasad dan Kembang 

Darah Setan yang mengapung di udara. Wajahnya be-

rubah tegang.

“Aku belum pernah melihat. Tapi aku yakin itulah 

Kembang Darah Setan! Aneh.... Bagaimana mungkin 

jubah dan kembang itu bisa mengapung di udara?!” 

Membatin Beda Kumala alias Putri Kayangan. Saat 

muncul menyelamatkan saudara kembarnya Pitaloka, 

gadis ini memang belum sempat edarkan pandangan 

karena terburu memperhatikan saudaranya. Kalaupun 

dia sempat mengenali salah seorang yang ada di tem-

pat itu, itu adalah keberadaan Datuk Wahing. Dan me-

lihat bagaimana Pitaloka sampai hendak terbanting di 

atas tanah, cukup membuat Putri Kayangan paham ji-

ka orang yang dihadapi Pitaloka bukan orang yang be-

rilmu di bawahnya. Maka tanpa melihat dulu siapa 

orang yang dihadapi Pitaloka, buru-buru Putri Kayan-

gan mengajak saudara kembarnya untuk segera ting-

galkan tempat itu.

Belum sempat lenyap rasa kesima melihat tera-

pungnya Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad, kembali Putri Kayangan dibuat tersentak kala 

pandang matanya menumbuk pada sosok Setan Liang 

Makam. Namun gadis ini segera dapat kuasai diri dan

dengan cepat arahkan pandang matanya jauh ke de-

pan di mana tampak Datuk Wahing, Dayang Sepuh, 

serta Gendeng Panuntun.

“Hem.... Yang sempat ku kenali cuma Datuk Wahing 

di antara ketiga orang itu.... Tapi melihat sikapnya, si 

nenek dan kakek bertubuh gemuk itu adalah sahabat 

Datuk Wahing.... Hem.... Urusanku hanya mencari Pi-

taloka dan membawanya menghadap Eyang Guru. Se-

karang dia telah kutemukan. Aku tak ingin terlibat da-

lam urusan di sini!”

Berpikir begitu, akhirnya Putri Kayangan berbisik 

pada Pitaloka.

“Kita harus segera pergi!”

“Kau telah dengar ucapanku. Aku tak akan pergi 

tanpa pedang itu!” Pitaloka menyahut.

“Kau tahu siapa yang tengah kau hadapi?”

“Persetan siapa mereka! Setan sekalipun aku tidak 

takut! Kau tahu, pedang yang menancap di tanah itu 

adalah senjata pusaka! Pedang Tumpul 131 milik Pen-

dekar 131 Joko Sableng!”

Paras wajah Putri Kayangan tiba-tiba bersemu me-

rah. Lalu cepat-cepat berpaling ketika Pitaloka meno-

leh. Namun Pitaloka masih sempat melihat perubahan 

pada raut muka saudara kembarnya.

“Wajahmu berubah. Ada apa?! Kau mengenal Pen-

dekar 131!”

“Pitaloka.... Waktu kita tidak banyak! Kita harus se-

gera tinggalkan tempat ini!” seraya berkata Putri 

Kayangan tarik lengan Pitaloka. Namun Pitaloka segera 

tepiskan tangan Putri Kayangan.

“Kau saudaraku. Tapi bukan berarti kau bisa me-

maksakan kehendakmu atas diriku! Aku tanya. Kau


hendak mengajakku ke mana?!”

“Pitaloka.... Eyang Guru memerintahkan ku untuk 

menjemput dan membawamu menghadap!”

Tampang Pitaloka berubah berang. “Sudah kuduga!” 

desisnya dingin. “Beda Kumala! Urusanku belum sele-

sai. Kau tak usah menjemputku. Begitu urusanku se-

lesai, aku akan datang sendiri menghadap Eyang 

Guru...!”

Putri Kayangan gelengkan kepala. “Kau terlibat da-

lam urusan yang tak akan pernah ada selesainya, Pita-

loka! Dan kalaupun kau ingin tuntaskan urusanmu, 

kuharap kau penuhi dahulu permintaan Eyang 

Guru....”

“Tidak! Aku akan selesaikan dahulu urusanku!”

“Pitaloka...! Kuharap kau mengerti. Untuk sekali ini 

penuhi dahulu permintaan Eyang Guru. Setelah itu 

terserah kau!”

Pitaloka mendengus marah. “Sekali aku bilang ti-

dak, tidak! Dan cepat angkat kaki dari sini!”

Putri Kayangan lagi-lagi masih sunggingkan senyum 

sembari berujar kalem. “Pitaloka. Aku tidak akan ting-

galkan tempat ini tanpa mu! Dan harap kau mengerti. 

Kali ini urusannya bukan lagi masalah saudara. Tapi 

kita berdua sebagai murid dari seorang guru!”

“Hem.... Begitu?! Kalau aku tak mau, kau mau 

apa?!” Pitaloka menantang.

Putri Kayangan geleng kepala. “Pitaloka. Aku tak bi-

sa memberi jawaban apa-apa atas pertanyaanmu! Yang 

pasti aku harus membawamu pada Eyang Guru!”

“Beda Kumala! Simpan dulu keinginanmu! Dan ka-

lau kau menganggap urusan ini sebagai urusan antara 

murid, hanya ada dua pilihan antara kita. Kau yang 

menghadap Eyang Guru dengan membawa mayatku, 

atau kau tak akan pernah menghadap Eyang Guru un-

tuk selamanya!”


“Pitaloka....”

“Cukup!” tukas Pitaloka. “Urusan kita akan kita se-

lesaikan setelah aku tuntaskan persoalan di sini!”

Walau hatinya mulai panas, namun Putri Kayangan 

masih coba tersenyum dan berkata. “Kau sadar siapa 

yang sedang kau hadapi saat ini, Pitaloka?! Kembang 

Darah Setan bukan benda sembarangan! Belum lagi 

dia memiliki ilmu aneh dengan tanpa bisa dikenali sia-

pa sosok orang di balik jubahnya!”

Saking jengkelnya Pitaloka menyahut. “Biar dia 

punya seribu Kembang Darah Setan dan memiliki seri-

bu ilmu aneh. Tapi dia tidak akan punya dua nyawa!”

Putri Kayangan hendak buka mulut lagi. Tapi sebe-

lum suaranya terdengar, tiba-tiba di seberang sana 

Dayang Sepuh telah berteriak.

“Hai, Gadis-gadis Setan! Di sini bukan tempatnya 

ngobrol! Minggat jauh-jauh dari sini dan cari tempat 

yang enak kalau ingin adu mulut!”

Pitaloka dan Putri Kayangan sama menoleh. Diam-

diam Pitaloka membatin dalam hati. “Nenek aneh.... 

Dia tadi menolongku dengan memotong pukulan Kem-

bang Darah Setan! Hem.... Sekarang aku tidak akan 

tinggalkan tempat ini! Siapa pun nenek itu adanya ser-

ta dua sahabatnya, yang pasti dia tidak akan mem-

biarkan aku celaka! Aku tak peduli apa maksud mere-

ka menolongku! Yang jelas setidaknya aku baru akan 

tinggalkan tempat ini dengan Pedang Tumpul 131!”

Niat semula Pitaloka yang hendak menyelamatkan 

diri tiba-tiba berubah begitu menangkap gelagat jika 

sebagian orang di situ tidak akan tinggal diam sean-

dainya terjadi bentrok antara dia dengan sosok di balik 

Jubah Tanpa Jasad.

Kalau Pitaloka membatin begitu, diam-diam Putri

Kayangan juga berkata sendiri dalam hati. “Kalau dia 

tidak mau kuajak dengan baik-baik, terpaksa aku


mengajaknya dengan sedikit kasar! Tempat ini sangat 

berbahaya. Keselamatannya harus ku jaga sampai di 

hadapan Eyang Guru....”

Sementara mendapati dua gadis berbaju merah be-

lum juga beranjak dari tempatnya, Dayang Sepuh ma-

kin jengkel. Sekali lagi dia berteriak dengan keras.

“Gadis-gadis setan! Kalau kalian....”

Dayang Sepuh putuskan teriakannya. Mulutnya 

terkancing rapat. Matanya mendelik besar tatkala se-

konyong-konyong dia melihat bagaimana Jubah Tanpa 

Jasad bergerak memutar menghadap ke arahnya. Dan 

bersamaan dengan itu Kembang Darah Setan berkele-

bat.

Wuusss!

Kiblatan tiga sinar berwarna merah, hitam, dan pu-

tih menderu dahsyat. Bukan itu saja. Begitu sinar tiga 

warna telah melesat, Kembang Darah Setan kembali 

bergerak ke belakang. Kejap lain kembali berkelebat. 

Hingga untuk kedua kalinya terlihat lagi kiblatan me-

lesatnya tiga sinar tiga warna menyusuli sinar yang 

pertama!

Dayang Sepuh menggerendeng tak karuan. Namun 

bersamaan itu dia melompat ke arah samping. Lutut-

nya ditekuk sedikit. Sepasang matanya dipejamkan. 

Kedua tangannya ditakupkan di depan kening. Lalu 

perlahan-lahan kedua tangannya dibuka dan didorong 

ke depan dengan pelan.

Wusss! Wusss!

Dari kedua telapak tangan Dayang Sepuh menyem-

bur jilatan api. Jilatan api itu mula-mula melarik lu-

rus. Setengah jalan mendadak larikan jilatan api men-

gembang datar dan saat lain telah menyungkup tempat 

Itu! Hingga untuk beberapa saat udara di tempat itu 

laksana tenggelam dalam lautan api!

Hampir bersamaan dengan bergeraknya kedua tan


gan Dayang Sepuh, terdengar suara bersinan tiga kali. 

Lalu dua gelombang luar biasa dahsyat menggebrak 

dari kedua tangan Datuk Wahing. Hebatnya, gelom-

bang itu perdengarkan deruan yang seolah diperden-

garkan dari delapan penjuru mata angin! Anehnya, de-

ruan itu terus memantul tiada hentinya! Datuk Wahing 

tampaknya telah melepas jurus ‘Pantulan Tabir’. Ilmu 

warisan dari Nyai Suri Agung nenek Setan Liang Ma-

kam dari Kampung Setan.

Mungkin merasa sinar yang melesat dari Kembang 

Darah Setan sangat berbahaya, begitu Datuk Wahing 

perdengarkan bersinan, di sampingnya Gendeng Pa-

nuntun gerakkan tangan kiri kanan mengusap cermin 

bulat di depan perutnya.

Blapp! Blaapp!

Dua cahaya putih terang mencuat laksana kilat. 

Begitu cepat lesatan cahaya putih dari cermin kakek 

tambun itu, cahaya putih itu berkiblat mendahului ji-

latan api dari kedua telapak tangan Dayang Sepuh! 

Hingga kiblatan sinar tiga warna yang datang pertama 

kali bukannya disongsong oleh jilatan kobaran api, me-

lainkan oleh cahaya putih terang.

Blaarr!

Dentuman menggelegar mengguncang tempat itu. 

Dan gelegar belum sirna, kembali terdengar dentuman 

luar biasa kala sinar tiga warna yang kedua menghan-

tam kobaran api!

Cahaya putih dan sinar tiga warna yang menimbul-

kan ledakan pertama sama muncrat ke udara setinggi 

delapan tombak. Disusul dengan berhamburnya jilatan 

api ke udara dan pecahnya sinar tiga warna. Hebatnya 

pecahan sinar tiga warna masih mampu menerobos 

pekatnya suasana dan menerabas langsung ke arah 

Dayang Sepuh!

Namun terabasan pecahan sinar tiga warna tidak


berlangsung lama. Karena begitu melesat ke arah 

Dayang Sepuh, gelombang yang perdengarkan deru 

pantul memantul sudah menggebrak menghadang! 

Hadangan gelombang yang terus memantul yang bu-

kan lain dilepas oleh Datuk Wahing serta-merta tim-

bulkan letupan-letupan. Hingga gelegar kedua belum 

lenyap, tempat itu kembali telah diguncang dengan le-

tupan-letupan keras beberapa kali!

Guncangan dahsyat mau tak mau membuat tempat 

itu bergetar hebat. Hal ini membuat Pedang Tumpul 

131 yang masih menancap di atas tanah bergerak pu-

lang balik dengan keras. Gerakan pedang sakti itu per-

dengarkan deruan luar biasa dan lesatkan cahaya ke-

kuningan yang membawa gelombang serta hawa panas 

menyengat!

Hadangan yang dilakukan Dayang Sepuh, Datuk 

Wahing, serta Gendeng Panuntun membuat sosok Kiai 

Laras mencelat tiga kali dan jatuh terkapar di atas ta-

nah setelah menghantam satu batangan pohon hingga 

berderak tumbang.

Namun Kiai Laras seolah tidak merasakan pukulan 

berat. Kalaupun dia mengeluh dan berseru tertahan, 

itu pada saat sosoknya menghantam batangan pohon 

yang membuat tubuhnya terhenti. Orang tua itu mera-

sakan ada tabir penghalang di hadapannya saat lesa-

tan sinar tiga warna dari Kembang Darah Setan diha-

dang orang. Hingga begitu sosoknya terkapar, dia bisa 

segera kuasai diri dan bergerak bangkit. Dia hanya 

merasakan sedikit sesak pada dadanya. Lalu tangan 

kanannya yang memegang Kembang Darah Setan tera-

sa ngilu. Selebihnya, dia tidak mengalami cedera!

Sementara di depan sana, begitu cahaya putih dari 

cerminnya menghadang sinar tiga warna, sosok Gen-

deng Panuntun bergoyang-goyang keras. Saat lain so-

sok tambun kakek ini tersapu satu tombak ke belakang. Namun posisinya belum juga berubah. Tetap 

duduk di atas tanah meski paras wajahnya berubah 

dan sepasang mata putihnya mengerjap beberapa kali.

Di sebelah sampingnya, begitu ledakan kedua ter-

dengar, sosok Dayang Sepuh terhuyung sampai satu 

tombak. Sebelum tubuhnya jatuh, si nenek cepat te-

kuk kedua lututnya lalu jatuhkan diri duduk berlutut 

dengan kedua tangan segera ditarik dan dirangkapkan 

di depan dada. Sepasang matanya makin dipejamkan 

dan mulutnya berkemik.

Si nenek berusaha kuasai diri dan mengatur jalan 

darahnya yang terasa menyentak-nyentak. Untuk be-

berapa lama sosoknya bergetar keras. Kelabangan 

rambutnya tergerai lepas dan tampak berkibar-kibar. 

Bedak putih tebal pada raut mukanya perlahan-lahan 

luntur oleh keringat yang membanjir. Hingga dalam 

beberapa saat terlihat mukanya yang tadi putih beru-

bah menjadi hitam legam! Bibirnya yang tadi dipoles 

warna merah belepotan luntur di sekitar mulutnya.

Hingga paras nenek ini berubah makin menakutkan!

Sedangkan Datuk Wahing tampak terseret lima 

langkah namun posisinya tetap duduk bersimpuh. Wa-

lau paras mukanya berubah dan sosoknya bergetar, 

tapi kakek ini dalam beberapa saat sudah gerakkan 

kepala pulang balik ke depan ke belakang lalu perden-

garkan bersinan beberapa kali!

Di lain pihak, meski Pitaloka dan Putri Kayangan, 

serta Setan Liang Makam tidak terlibat dalam bentrok 

pukulan, namun bias beradunya beberapa pukulan 

membuat sosok masing-masing orang ini terdorong de-

ras ke belakang. Seandainya mereka tidak segera kua-

sai diri dengan kerahkan tenaga dalam, niscaya mere-

ka akan jatuh terjengkang di atas tanah!

Kiai Laras yang sudah tegak dan kuasai diri perta-

ma kali segera hadapkan tubuh pada Dayang Sepuh,


Datuk Wahing, serta Gendeng Panuntun. Kalau tadi 

dia masih bimbang dalam menghadapi ketiga orang 

itu, setelah tahu apa yang baru saja terjadi, kebimban-

gan sang Kiai sirna. Dia kini yakin akan kekuatan di 

tangannya. Hingga seraya hadapkan tubuh, kedua 

tangannya diangkat diletakkan pada pinggang kanan 

kirinya. Namun karena semua orang di tempat itu ti-

dak bisa melihat pada sosoknya, mereka hanya bisa 

melihat pada gerakan Jubah Tanpa Jasad yang te-

rangkat sedikit pada bagian lengan kanan kirinya.

“Kalian bertiga!” seru Kiai Laras lantang. “Hanya sa-

tu jalan yang akan menyelamatkan nyawa kalian mas-

ing-masing!” Kiai Laras tertawa pendek dahulu lalu 

melanjutkan. “Mendekatlah kemari dengan merangkak 

dan bersuaralah seperti gonggongan anjing! Lalu berlu-

tutlah di hadapanku!”

Dayang Sepuh mendengus. Sepasang matanya di-

buka lalu bangkit berdiri dengan kedua tangan masih 

merangkap di depan dada. Sebelum nenek ini bersua-

ra, Datuk Wahing telah perdengarkan bersinan dua 

kali lalu angkat bicara.

“Sahabat sekalian.... Apa kita harus melakukan pe-

rintah mengherankan itu?!”

“Ah.... Mungkin perintah itu hanya bercanda...,” 

Gendeng Panuntun menyahut.

“Bercanda atau tidak, tapi mulut setan itu sudah 

terlalu!” Dayang Sepuh menimpali dengan pasang 

tampang garang.

Saat orang lain adu mulut, diam-diam Setan Liang 

Makam yang sedari tadi hanya diam kerahkan segenap 

tenaga dalamnya. Walau dia telah tahu bagaimana ke-

dahsyatan Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa 

Jasad, namun cucu Nyai Suri Agung ini seakan tidak 

ambil peduli. Yang tertanam dalam benaknya adalah 

bagaimana caranya bisa mengambil kembali dua senja


ta pusaka milik leluhurnya itu. Tapi Setan Liang Ma-

kam tidak bodoh apalagi bertindak ayal. Dia menunggu 

kesempatan baik. Dan begitu melihat orang sedang 

adu mulut, dirasa itulah kesempatan yang harus tidak 

disia-siakan. Maka laki-laki ini segera kerahkan sege-

nap tenaga dalamnya. Kejap lain dia melesat ke arah 

Kiai Laras. Kedua tangannya disentakkan.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang dahsyat yang disertai hamparan 

warna hitam menggidikkan menderu ganas ke arah 

Kiai Laras.

Kiai Laras tersentak kaget. Namun kepercayaan diri 

membuat laki-laki ini segera dapat kuasai rasa kejut-

nya. Bahkan kini menghadapi pukulan lawan dengan 

tertawa bergelak panjang! Bersamaan itu tangan ka-

nannya yang memegang Kembang Darah Setan dikele-

batkan seraya menyingkir ke samping dengan melom-

pat.

Setan Liang Makam kini balik tersentak. Dia sama 

sekali tidak menduga jika gerakan lawan begitu cepat. 

Dia tadi sudah mengukur jarak. Dan yakin kalau 

orang yang dihantamnya tidak mungkin lagi punya ke-

sempatan untuk laksanakan hadangan pukulan.

Blaarr!

Dua gelombang yang menderu ke arah Kiai Laras 

semburat berantakan. Kiai Laras terhuyung-huyung 

tapi tidak sampai jatuh. Di lain pihak, Setan Liang Ma-

kam langsung terjerembab di atas tanah dengan mulut 

keluarkan darah.

Sementara sebelum Kiai Laras kelebatkan Kembang 

Darah Setan, Pitaloka yang secara diam-diam juga me-

nunggu kesempatan tidak mau lagi mengulangi kesa-

lahan. Dia kini tidak mau menunggu sampai terjadi 

bentrok pukulan yang mengakibatkan Pedang Tumpul 

131 sukar didekati. Hingga begitu Kembang Darah Setan berkelebat menghadang pukulan Setan Liang Ma-

kam, Pitaloka cepat berkelebat ke arah Pedang Tumpul 

131!

“Pitaloka! Jangan lakukan itu!” Putri Kayangan ber-

teriak mencegah. Namun terlambat. Pitaloka teruskan 

kelebatannya.

Sejengkal lagi tangan Pitaloka menyentuh Pedang 

Tumpul 131, tiba-tiba dari arah samping satu samba-

ran angin menggebrak. Pitaloka berseru tertahan. Ke-

dua tangannya segera ditarik lalu disentakkan meng-

hadang gebrakan angin. Namun datangnya gerakan 

angin lebih cepat dari sentakan kedua tangan si gadis. 

Hingga tanpa ampun lagi sosok Pitaloka tersapu men-

tal ke belakang. Saat itulah satu bayangan putih mele-

sat ke arah Pedang Tumpul 131.

***

EMPAT



BEGITU sosok Pitaloka yang tersapu hendak meng-

hantam tanah, ledakan keras akibat benturan pukulan 

Setan Liang Makam dan Kembang Darah Setan terjadi. 

Hingga sosok Pitaloka kembali terpental.

Putri Kayangan pentangkan mata memperhatikan 

arah mentalan sosok Pitaloka. Lalu melesat dan me-

nyambar tubuh saudara kembarnya tanpa menunggu 

sosok Pitaloka melayang jauh ke bawah.

Kiai Laras tampaknya dapat menangkap gelagat apa 

yang baru saja dilakukan Pitaloka. Hingga begitu dapat 

kuasai diri, dia cepat putar tubuh. Mendadak orang ini 

bantingkan kaki dengan mulut perdengarkan makian. 

Matanya membelalak ke tempat di mana tadi Pedang 

Tumpul 131 menancap. Ternyata pedang itu sudah lenyap!

Kiai Laras angkat sedikit mukanya yang berubah 

garang. Matanya makin membeliak tak berkesip. So-

soknya bergetar tanda hawa amarahnya telah mengge-

legak ketika melihat satu sosok tubuh berpakaian pu-

tih tegak di depan sana dan tengah memperhatikan 

Pedang Tumpul 131 yang ada di tangan kanannya.

“Pendekar 131!” seru Pitaloka dan Putri Kayangan 

hampir berbarengan ketika turun di atas tanah dan 

matanya melihat seorang pemuda berwajah tampan 

berambut panjang sedikit acak-acakan yang tengah 

memperhatikan pedang di tangan kanannya.

“Hem.... Untung tidak dipalsu!” gumam si pemuda 

berpakaian putih yang tidak lain memang Pendekar 

131 Joko Sableng. Tanpa acuhkan berpasang-pasang 

mata yang kini memandang ke arahnya, murid Pendeta 

Sinting arahkan pandang matanya menyusur tanah.

“Sarungnya ada di sana!” ujar Joko. Masih tanpa 

angkat kepala memandang siapa saja yang ada di tem-

pat itu, dia melangkah ke arah sarung pedang yang 

tergeletak di atas tanah.

“Setan geblek! Apa dia tidak melihat ada setan di 

hadapannya?!” ujar Dayang Sepuh mendapati apa 

yang dilakukan murid Pendeta Sinting.

“Pendekar 131! Lihat ke depan!” Putri Kayangan 

mendadak berteriak tatkala melihat bagaimana Joko 

terus melangkah tanpa mengangkat kepala. Padahal 

lurus di depannya Kembang Darah Setan sudah berge-

rak terangkat ke atas.

Pendekar 131 berpaling ke arah suara yang baru 

terdengar. Sesaat sepasang matanya melebar menyipit

perhatikan Pitaloka dan Putri Kayangan.

“Kini baru aku merasa yakin kalau ada dua Putri 

Kayangan! Namun sulit bagiku mengatakan mana yang 

mengambil pedangku tempo hari!” kata Joko lalu anggukkan kepala dan berujar.

“Mau mengaku siapa di antara kalian yang men-

gambil milikku tempo hari?!”

Paras muka Pitaloka dan Putri Kayangan sama be-

rubah. Sulit diartikan perubahan pada wajah kedua-

nya. Namun sejauh ini kedua gadis yang sama berpa-

ras cantik ini tidak ada yang buka mulut menjawab 

pertanyaan murid Pendeta Sinting. Sebaliknya mereka 

berdua sama saling pandang.

“Sebelum kudapatkan kembali pedangku, rasanya 

tanganku sudah gatal hendak menggebuk jika kute-

mukan. Tapi begitu benar-benar bertemu, rasanya 

tanganku tak kuasa melakukannya! Nyatanya perem-

puan cantik bukan hanya menambah persoalan, tapi 

juga dapat merubah niat!” kata Joko dalam hati. Lalu 

berpaling lagi ke depan. Saat itulah matanya melihat 

jubah hitam serta Kembang Darah Setan yang tera-

pung di atas udara.

Murid Pendeta Sinting melongo dengan mata men-

delik. Tangan kirinya berulang kali diusap-usapkan 

pada matanya. Lalu kepalanya disorongkan ke depan.

“Setan atau apa ini?!” gumamnya dalam hati. Tanpa 

sadar kedua kakinya bergerak. Bukan melangkah 

mundur melainkan maju! Namun begitu sadar, kemba-

li kaki nya mundur ke tempat semula.

Belum lenyap rasa kaget Pendekar 131, di depan 

sana Datuk Wahing telah perdengarkan bersinan dua 

kali. Lalu disusul dengan ucapan.

“Harap tidak merasa heran dan ingat akan keteran-

ganku, Anak Muda!”

“Datuk Wahing!” seru Joko lalu alihkan pandang 

matanya. Ketika dilihatnya si kakek memandang ke 

arahnya, Joko menjura hormat.

Mata murid Pendeta Sinting terus melebar ke samp-

ing. Saat menumbuk sosok Dayang Sepuh, kembali


Joko menjura seraya berucap.

“Nenek Dayang Sepuh....”

Dayang Sepuh mendelik. Lalu menukas ucapan Jo-

ko. “Dasar setan! Sudah berkali-kali ku ingatkan, tapi 

kau tidak mau mengerti juga!”

Joko buru-buru sadar. Kembali dia mengulangi 

menjura seraya berkata. “Bibi nan Cantik, Dayang Se-

puh...!”

Mata Dayang Sepuh terpejam-pejam dengan bibir 

tersenyum. Lalu rapikan geraian poni rambutnya yang 

tadi bersibakan. Rambutnya yang kini terlepas bergerai

cepat-cepat disanggul sekenanya. Bajunya yang 

cingkrang sedikit ditarik-tarik ke bawah.

Pendekar 131 segera alihkan pandang matanya, ta-

kut kalau si nenek tahu jika dia sedang menahan ta-

wa. Ketika matanya melihat sosok Gendeng Panuntun, 

kembali Joko membuat gerakan menjura. Namun kali 

ini sebelum sempat bersuara, Gendeng Panuntun su-

dah mendahului.

“Selamat jumpa lagi, Anak Muda.... Bagaimana ka-

bar gadis-gadismu?!”

Pendekar 131 sudah hendak menjawab. Namun 

mendengar lanjutan ucapan Gendeng Panuntun, dia 

jadi kancingkan mulut. Sebaliknya hanya menjawab 

dalam hati. “Urusannya jadi repot kalau menghadapi 

orang-orang begini....”

Di antara semua orang di situ, yang paling terkejut 

dengan kemunculan murid Pendeta Sinting adalah Se-

tan Liang Makam. Hingga meski masih merasakan sa-

kit pada sekujur tubuhnya, laksana terbang dia beran-

jak bangkit. Seraya mengusap kucuran darah pada 

mulutnya, sepasang matanya mendelik.

“Pendekar 131 Joko Sableng! Bagaimana bisa begi-

ni?! Lalu siapa sebenarnya pemegang Kembang Darah 

Setan dan pemakai Jubah Tanpa Jasad itu?!”


Selagi Setan Liang Makam menduga-duga, murid 

Pendeta Sinting tepat sedang memandang ke arahnya. 

Kembali Joko terkesiap kaget.

“Dugaan Datuk Wahing tepat.... Setan Liang Makam 

masih hidup! Dan jubah hitam yang mengapung di 

udara itu pastilah yang disebut-sebutnya Jubah Tanpa 

Jasad! Sebuah jubah yang bila dikenakan, maka sosok 

si pemakai tidak akan kelihatan! Mungkin saat inilah 

waktunya mengetahui siapa gerangan di balik peristi-

wa ini!

Dan kepastian itu akan terbukti dengan jalan men-

genali siapa sebenarnya sosok tak kelihatan di balik 

Jubah Tanpa Jasad itu!”

Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting segera alih-

kan pandang matanya pada Jubah Tanpa Jasad dan 

berkata.

“Siapa kau sebenarnya?! Mengapa hal ini kau laku-

kan dengan melibatkan diriku yang tak tahu apa-

apa?!”

Untuk kesekian kalinya Kiai Laras terkejut. 

“Aneh.... Rupanya ada yang tak beres begitu aku men-

genakan jubah ini! Semua orang seakan tidak menge-

naliku! Padahal aku yakin pasti dia tidak akan lupa 

pada wajahku! Hem.... Keanehan apa sebenarnya ini?! 

Kalau benar mereka sekarang tidak bisa mengenaliku, 

itu akan lebih baik! Mereka akan kubuat penasaran 

sampai masuk liang neraka! Ha.... Ha.... Ha...!” Kiai 

Laras tertawa dalam hati.

Namun seakan belum percaya pada diri sendiri, Kiai 

Laras angkat tangan kirinya lalu mengusap-usap pada 

wajahnya. Kepalanya pun bergerak memperhatikan di-

rinya sendiri. “Tidak ada yang berubah...,” gumamnya 

masih merasa aneh. “Tapi persetan dengan semua itu! 

Mereka mengenaliku atau tidak, yang jelas mereka ha-

rus mampus saat ini juga!”


Mendapati pertanyaannya tidak dijawab orang, ma-

lah terlihat gerakan-gerakan pada Jubah Tanpa Jasad, 

Joko waspada dan cepat kerahkan tenaga dalam pada 

tangannya. Lalu kembali berkata.

“Kau telah dengar pertanyaanku, harap suka men-

jawab!”

“Jawaban itu kelak akan kau peroleh di neraka!” 

Kiai Laras perdengarkan suara.

“Hem.... Aku sepertinya pernah mendengar suara

orang ini! Berarti aku yakin mengenalnya, atau seti-

daknya pernah bicara dengannya!” Murid Pendeta 

Sinting dongakkan kepala seolah mengingat. Tapi tak 

lama kemudian dia geleng kepala. “Mengenali orang 

lewat suaranya sulit.... Ah, bukankah Kakek Gendeng 

Panuntun ada di sana. Kurasa dia bisa mengetahui....”

Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting segera saja 

berkelebat. Dan tahu-tahu sosoknya telah tegak di 

samping Gendeng Panuntun. Namun begitu Joko te-

gak, Gendeng Panuntun sudah gerakkan kepala meng-

geleng seraya berkata.

“Jangan tanya padaku, Anak Muda....”

Joko menghela napas lalu berpaling pada Datuk 

Wahing. Lagi-lagi sebelum Joko sempat angkat suara, 

Datuk Wahing telah bersin dua kali sembari berucap.

“Adalah satu hal yang mengherankan kalau aku le-

bih tahu dari dia!” Tangan kanan Datuk Wahing me-

nunjuk pada Gendeng Panuntun.

Kini murid Pendeta Sinting alihkan pandangannya 

pada Dayang Sepuh. Si nenek sudah tersenyum dahu-

lu lalu berkata.

“Yang jelas dia adalah seorang laki-laki! Soal siapa 

orangnya, bisa kau tanyakan pada setan gentayangan!”

Walau sudah merasa pasti tidak tahu juga, tapi mu-

rid Pendeta Sinting coba arahkan pandangannya pada 

Pitaloka dan Putri Kayangan.

Yang dipandang sama saling pandang satu sama 

lain. Lalu Pitaloka berpaling pada jurusan lain. Semen-

tara Putri Kayangan gelengkan kepala dengan raut 

bersemu merah.

“Aku masih sulit mengenali. Siapa yang menggeleng 

dan siapa yang berpaling!” gumam murid Pendeta Sint-

ing.

Di lain pihak, begitu mendapati apa yang dilakukan 

Pendekar 131, Kiai Laras makin yakin jika semua 

orang di tempat itu tidak bisa mengetahui siapa dia 

sebenarnya. Maka saat itu juga dia berkata dengan ke-

pala mendongak.

“Dengar semua! Agar kalian tidak mati penasaran, 

akan kukatakan siapa aku!”

Tempat itu seketika hening. Semua orang sama 

arahkan mata pada Jubah Tanpa Jasad kecuali Datuk 

Wahing dan Gendeng Panuntun. Datuk Wahing tetap 

gerakkan kepala pulang balik ke depan ke belakang 

dengan mimik orang hendak bersin, sedang Gendeng 

Panuntun pejamkan matanya yang putih sambil ten-

gadah. Tangan kiri kanannya bergantian mengusap 

cermin bulat pada depan perutnya.

“Aku adalah Penguasa Kampung Setan!” Kiai Laras 

lanjutkan ucapan. “Dan sejak hari ini semua orang ha-

rus tunduk di bawah telapak kakiku!” Sesaat Kiai La-

ras hentikan ucapannya dengan kepala digerakkan 

menyapu ke seantero tempat itu. Seraya sunggingkan 

senyum laki-laki ini lanjutkan ucapannya. “Ini me-

mang bukan paksaan, tapi siapa yang membangkang 

maka takdirnya buruk!”

“Siapa percaya!” Tiba-tiba satu suara menyahut. 

Ternyata yang bersuara adalah Setan Liang Makam. 

“Akulah Penguasa Kampung Setan! Aku generasi te-

rakhir Kampung Setan!”

Kiai Laras tidak berpaling pada Setan Liang Makam


meski dia segera menyahut.

“Hem.... Begitu?! Mau tunjukkan padaku kalau 

ucapanmu tadi bisa dipercaya?!”

Setan Liang Makam terdiam. Namun tak lama ke-

mudian sudah buka suara.

“Hanya karena kelicikanmu, lambang Kampung Se-

tan lepas dari tanganku!”

Kiai Laras tertawa. “Itu bukan jawaban pertanyaan-

ku, Manusia Setan! Aku tanya tunjukkan kalau kau 

Penguasa Kampung Setan!”

Dada Setan Liang Makam laksana meledak saking 

geramnya. Namun laki-laki cucu Nyai Suri Agung ini 

hanya bisa diam, membuat Kiai Laras berucap lagi.

“Kau mengaku sebagai Penguasa Kampung Setan. 

Tapi tidak dapat tunjukkan bukti ucapanmu! Sekarang 

aku tanya padamu. Apa kau ingin bukti kalau akulah 

Penguasa Kampung Setan?!”

Setan Liang Makam lagi-lagi tidak menjawab. Kiai 

Laras tertawa ngakak. “Bertahun-tahun Kampung Se-

tan menjadi legenda karena kesaktian penguasanya. 

Adalah manusia dungu kalau mengaku sebagai Pengu-

asa Kampung Setan dengan bekal ilmu sejengkal!” Kini 

Kiai Laras putar tubuh menghadap Setan Liang Ma-

kam. “Aku tanya sekali lagi.... Kau ingin bukti dariku 

bahwa akulah sang Penguasa Kampung Setan?!” se-

raya berkata begitu Kiai Laras mengangkat Kembang 

Darah Setan di tangan kanannya.

Setan Liang Makam tercekat. Mulutnya terkancing. 

Cucu Nyai Suri Agung ini sudah merasa tidak akan 

mampu menahan jika sosok di balik Jubah Tanpa Ja-

sad benar-benar hantamkan Kembang Darah Setan. 

Selain dirinya telah terluka dalam, kesaktian Jubah 

Tanpa Jasad akan membuatnya sia-sia melakukan 

pukulan.

Namun Kiai Laras perlahan-lahan turunkan Kembang Darah Setan. Lalu berkata.

“Membunuhmu semudah ini!” Semua orang yang 

memandang melihat percikan air mencuat dari bagian 

atas Jubah Tanpa Jasad. Jelas kalau semua orang ti-

dak bisa melihat sosok di balik jubah, namun mereka 

bisa memastikan jika cuatan air itu adalah air ludah!

“Namun sebagai penguasa, aku tidak akan mudah 

turunkan tangan maut! Asal kau segera lakukan apa 

yang kuperintahkan! Kau dengar, Manusia Setan?!”

Dada Setan Liang Makam makin bergemuruh. Na-

mun maklum akan posisinya, cucu dari Nyai Suri 

Agung ini hanya bisa memandang tanpa menyahut.

“Manusia setan! Merangkaklah ke hadapanku den-

gan mengembik! Tirukan suara kambing keras-keras 

lalu berlutut di hadapanku!”

Setan Liang Makam laksana disambar petir. Sosok-

nya yang hanya merupakan susunan kerangka berge-

tar keras. Tulang sekujur wajahnya bergerak-gerak.

“Aku tak akan mengulangi perintah! Lakukan seka-

rang! Cepat!” Kiai Laras membentak. Saat yang sama 

Kembang Darah Setan kembali diangkat.

Setan Liang Makam menghela napas dalam. Entah 

apa pertimbangannya, perlahan-lahan laki-laki ini te-

kuk kedua lututnya lalu duduk bersimpuh di atas ta-

nah. Sepasang matanya terus memperhatikan pada 

Kembang Darah Setan. Dan begitu melihat Kembang 

Darah Setan hendak berkelebat, dia cepat tarik tubuh-

nya ke depan membuat gerakan menungging!

“Jangan membuat kesabaranku habis! Tirukan sua-

ra kambing dan merangkak ke hadapanku!” Kiai Laras 

menghardik.

Dengan dada di buncah perasaan tak karuan, Setan 

Liang Makam buka mulut. Lalu terdengarlah cucu Nyai 

Suri Agung ini perdengarkan suara kambing seraya 

merangkak!


“Kau laki-laki, Manusia Setan! Jangan bersuara se-

perti perempuan! Yang keras!” bentak Kiai Laras ketika 

didengarnya suara Setan Liang Makam sangat pelan.

“Kau akan rasakan batasanku nanti, Jahanam 

Bangsat! Saat ini kau menang! Tapi itu hanya untuk 

sementara! Kau nanti akan merasakan lebih dari se-

mua ini!” Setan Liang Makam memaki dalam hati. Dan 

dengan menindih segala perasaan serta tabahkan hati, 

akhirnya dia tirukan suara kambing dengan keras-

keras.

“Bagus! Bagus!” Kiai Laras anggukkan kepala beru-

lang kali lalu tertawa ngakak. Sementara sepasang ma-

tanya melirik pada Dayang Sepuh, Datuk Wahing, 

Gendeng Panuntun, serta Pendekar 131. “Kalian juga 

akan melakukan hal yang sama!”

Saat itulah mendadak ekor mata Kiai Laras me-

nangkap berkelebatnya satu bayangan. Laksana disen-

tak setan, kepala Kiai Laras cepat berpaling.

“Kau datang pada saat yang salah!” desis Kiai Laras. 

Lalu alihkan pandangannya. Bersamaan dengan itu 

satu sosok tubuh berkelebat dan tegak tidak jauh dari 

tempat berdirinya Pitaloka dan Putri Kayangan.

***

LIMA



DIA adalah seorang laki-laki berusia lanjut menge-

nakan pakaian warna putih. Rambutnya putih pan-

jang. Sepasang matanya sedikit sayu. Pada cuping hi-

dungnya melingkar sebuah anting-anting.

“Kiai Laras.... Atau Kiai Lidah Wetan?!” Pendekar 

131 bergumam sendiri. Lalu perhatikan orang yang ba-

ru muncul sekali lagi. “Yang ini pasti Kiai Lidah Wetan!” Murid Pendeta Sinting meyakinkan. Lalu perla-

han-lahan Pedang Tumpul 131 dimasukkan ke balik 

pakaiannya dengan hati-hati karena pedang itu tanpa 

sarung.

“Kurasa ada seorang sahabat yang baru muncul...,” 

Gendeng Panuntun angkat suara.

“Bruss! Kuharap kehadirannya tidak menambah 

suasana heran di tempat ini!” Datuk Wahing menya-

hut.

Dayang Sepuh yang tegak tidak jauh dari murid 

Pendeta Sinting tidak buka mulut. Dia hanya meman-

dang sekilas lalu melangkah ke arah Gendeng Panun-

tun.

Di seberang sana, Pitaloka dan Putri Kayangan 

sempat terkejut dengan kemunculan orang yang bukan 

lain memang Kiai Lidah Wetan adanya. Kedua gadis ini 

sejenak berpaling pada Kiai Lidah Wetan.

“Pitaloka.... Tempat ini makin tidak aman! Tidak ter-

tutup kemungkinan sebentar lagi akan muncul orang

baru! Kita sebaiknya segera pergi!” Putri Kayangan 

berbisik.

Pitaloka melotot pada saudara kembarnya. “Kalau 

kau takut, pergilah sendirian!”

“Aku bukannya takut.... Tapi ini demi perintah 

Eyang Guru! Lagi pula pedang itu sudah diambil pemi-

liknya! Tak ada lagi bukan urusannya di tempat ini?!”

Pitaloka tertawa pendek. “Bukan pedang itu yang 

kuinginkan! Tapi Kembang Darah Setan itu!”

“Pitaloka.... Kau boleh punya keinginan. Tapi kau 

harus ukur dahulu kemampuan! Kau tadi telah meli-

hat bagaimana peristiwa di tempat ini!”

“Aku memang tidak punya kemampuan tinggi un-

tuk mengalahkan mereka! Tapi aku punya cara untuk 

bisa mendapatkannya!”

“Tapi caramu salah...!”


Pitaloka angkat tangannya. Telunjuk jarinya dilu-

ruskan ke arah wajah Putri Kayangan. “Kau tidak ber-

hak menilai caraku! Kau dengar itu?!”

“Tapi apa yang kau lakukan setidaknya membuat 

aku ikut terlibat! Orang yang tidak tahu pasti menduga 

akulah yang melakukannya!”

“Persetan dengan semua itu! Yang penting aku tidak 

melibatkan dirimu! Hanya orang tolol dan buta yang 

tidak bisa membedakan!”

“Pitaloka! Jangan membuatku melakukan perintah 

Eyang Guru dengan caraku sendiri!” Putri Kayangan 

membentak dengan suara keras.

“Tadi sudah kukatakan, kau mau apa kalau aku ti-

dak mau turuti perintah, hah?!”

Putri Kayangan menghela napas panjang. Untuk 

beberapa saat dia edarkan pandang matanya menindih 

kegeraman yang mulai melanda dadanya.

“Gadis-gadis setan!” gumam Dayang Sepuh. “Apa 

mereka kira ini tempat yang cocok untuk adu mulut!”

“Harap mengerti.... Sebagai orang muda jalan piki-

rannya tentu belum sepanjang apa yang kau pikirkan, 

Nek....” Gendeng Panuntun sambuti ucapan Dayang 

Sepuh.

“Kau tidak bisa melihat mereka! Jadi aku maklum 

kalau gadis-gadis segede setan itu masih kau katakan 

sebagai orang muda!”

Gendeng Panuntun tertawa seraya gelengkan kepa-

la. “Aku memang tidak bisa melihat mereka. Tapi aku 

dapat merasakan dari ucapan-ucapan mereka!”

“Ah, persetan dengan semua itu!” sahut Dayang Se-

puh. “Sekarang aku ingin tanya. Kau tahu siapa setan 

yang kau katakan sebagai sahabat dan tegak di depan 

sana itu?!” Dayang Sepuh arahkan pandangannya ke 

arah Kiai Lidah Wetan.

“Kau yang bisa melihat. Mengapa bertanya pada


ku?”

“Setan! Aku memang bisa melihat! Tapi aku tidak 

mengenalinya!”

“Kalau yang bisa melihat tidak dapat mengenali, apa 

berarti yang buta bisa mengenalinya?!”

“Kau benar-benar setan! Bukankah kau tadi sudah 

mengatakan setan yang baru datang itu adalah seo-

rang sahabat! Berarti kau mengenalinya!”

“Aku hanya mengatakan sahabat. Jadi belum pasti 

aku mengenalinya.... Karena semua orang kuanggap 

sebagai sahabat. Tidak terkecuali setan sekalipun....”

“Aku mengenal siapa dia, Bibi Cantik....” Joko ikut 

ambil suara. “Dia adalah Kiai Lidah Wetan.”

“Setan! Itu aku sudah tahu!”

“Lalu?!” Joko bertanya.

“Siapa dia sebenarnya?!”

“Ah, kalau itu persoalannya, sebaiknya kita tanya-

kan saja padanya!”

Dayang Sepuh sudah hendak menghardik. Namun 

diurungkan ketika dari arah depan terdengar Kiai La-

ras angkat bicara.

“Orang yang baru datang! Kau lihat apa yang terjadi 

di depanku! Sebelum kau nanti mengalami hal yang 

sama, kuperingatkan kau untuk segera angkat kaki 

dari sini!”

Kiai Lidah Wetan terkejut. Laki-laki kakak kandung 

dari Kiai Laras ini sesaat tadi masih terkesima dengan 

pemandangan di hadapannya. Dia tak habis pikir ba-

gaimana sebuah jubah menggantung tegak di udara. 

Dan dia pun makin terkesima melihat Kembang Darah 

Setan yang juga terapung di atas udara.

Mula-mula Kiai Lidah Wetan menduga orang berju-

bah hitam adalah Setan Liang Makam. Namun begitu 

melihat Setan Liang Makam merangkak dan tadi per-

dengarkan suara kambing, orang ini jadi bertanya


tanya dan makin heran.

Sementara melihat kemunculan orang, Setan Liang 

Makam hentikan rangkakannya. Mulutnya yang per-

dengarkan suara kambing pun dihentikan. Dia angkat 

kepalanya lalu memandang ke arah Kiai Lidah Wetan.

“Aku pernah melihat orang ini.... Tapi aku lupa di 

mana...,” kata Setan Liang Makam dalam hati. Lalu 

kembali tundukkan kepala.

“Mungkinkah orang yang baru bersuara tapi tidak 

kelihatan wujudnya tadi adalah Laras?!” Kiai Lidah 

Wetan menduga. “Suaranya memang hampir mirip. 

Tapi bagaimana mungkin?! Bukankah Kembang Darah 

Setan sudah diberikan pada Setan Liang Makam saat 

di teluk tempo hari?! Hem.... Apa sebenarnya yang te-

lah terjadi? Apa ini ada hubungannya dengan beranta-

kannya tempat di Kampung Setan itu?!”

Seperti diketahui, Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras 

yang menyamar sebagai murid Pendeta Sinting datang 

ke teluk. Di sana Kiai Laras menyerahkan Kembang

Darah Setan pada Setan Liang Makam. Lalu keduanya 

mengikuti jejak Setan Liang Makam yang ternyata me-

nuju ke Kampung Setan. Kiai Lidah Wetan tidak tahu 

apa maksud Kiai Laras memberikan Kembang Darah 

Setan dan mengikuti jejak Setan Liang Makam.

Begitu meninggalkan Kampung Setan, di tengah ja-

lan Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras berpencar. Karena 

mereka merasa diikuti orang yang ternyata adalah Kiai 

Tung-Tung alias Pendekar 131 Joko Sableng. Namun 

Kiai Lidah Wetan agak tidak beruntung, karena ternya-

ta Kiai Tung-Tung mengejarnya. Sempat terjadi ben-

trok antara Kiai Lidah Wetan dan Kiai Tung-Tung. 

Maklum kalau lawan memiliki ilmu di atasnya, akhir-

nya Kiai Lidah Wetan melarikan diri. Kiai Tung-Tung 

mengejar. Saat itulah tiba-tiba ada seseorang yang le-

paskan pukulan menghadang Kiai Tung-Tung hingga


Kiai Lidah Wetan selamat.

Begitu bisa lolos dari kejaran orang, Kiai Lidah We-

tan mulai berpikir apa yang baru saja dilakukan Kiai 

Laras. Akhirnya dia memutuskan untuk menyelidik ke 

Kampung Setan.

Kiai Lidah Wetan sempat masuk ke Istana Sekar 

Jagat. Namun setelah agak lama berada di Istana Se-

kar Jagat, dia tidak menemukan siapa-siapa. Dia 

hanya bisa melihat porak-porandanya bangunan ba-

gian atas yang berbentuk kerucut. Dan dia hanya bisa 

menduga jika tidak berselang lama telah terjadi ben-

trokan hebat di tempat itu. Namun sejauh ini dia tidak 

bisa menentukan siapa orangnya.

Pada akhirnya, Kiai Lidah Wetan keluar dari Kam-

pung Setan dan berkelebat ke arah barat. Agak jauh 

meninggalkan Kampung Setan, tiba-tiba Kiai Lidah 

Wetan mendengar suara ledakan lalu ditingkah dengan 

terdengarnya gelakan tawa. Terakhir sayup-sayup te-

linganya mendengar suara kambing. Yang membuat 

Kiai Lidah Wetan memutuskan untuk melihat apa yang 

terjadi, suara kambing itu sangat keras dan terus me-

nerus! Hingga tanpa pikir panjang lagi Kiai Lidah We-

tan berkelebat ke arah datangnya suara kambing.

“Baik! Kau tak mau mendengar peringatanku! 

Tunggulah di tempatmu sampai giliranmu sampai!” 

Kiai Laras buka suara lagi. Jubah Tanpa Jasad berge-

rak memutar menghadap Setan Liang Makam.

“Aku tak memerintah mu berhenti! Atau kau ingin 

mampus sekarang?!”

Hardikan Kiai Laras belum selesai, Setan Liang Ma-

kam telah bergerak merangkak lagi sambil buka mulut 

tirukan suara kambing. Kiai Laras kembali tertawa 

bergelak.

“Bagus! Cukup!” kata Kiai Laras saat Setan Liang 

Makam berjarak lima langkah di hadapannya. “Sekarang berlutut dan tempelkan keningmu di atas tanah! 

Jangan berani angkat kepala sebelum aku perintah!”

Masih dengan sosok bergetar Setan Liang Makam 

lakukan yang dikatakan Kiai Laras. Kiai Laras makin 

keraskan gelakan tawanya. Tapi kali ini tiba-tiba dia 

putuskan tawanya. Jubah Tanpa Jasad memutar ke 

arah Pitaloka dan Putri Kayangan.

Kedua gadis ini serentak tergagu. Tapi Putri Kayan-

gan cepat berbisik. “Masih ada kesempatan, Pitaloka!”

“Tidak! Kau saja yang tinggalkan tempat ini! Justru 

saat inilah yang kutunggu!” sahut Pitaloka.

“Kau jangan gila! Tak mungkin kita mampu!”

“Kau jangan mengukur segalanya dengan kemam-

puan! Tapi gunakan otak!”

Belum sampai Pitaloka selesai berucap, Putri 

Kayangan sudah menarik tangan saudara kembarnya. 

Tapi belum sempat Putri Kayangan bergerak lebih 

jauh, Kiai Laras telah angkat suara.

“Kalian berdua! Kuperintahkan kalian untuk men-

dekat dengan merangkak!”

Putri Kayangan tidak hiraukan ucapan Kiai Laras. 

Dia kembali menarik tangan Pitaloka. Namun Pitaloka 

segera sentakkan tangannya hingga tarikan Putri 

Kayangan lepas. Tanpa diduga-duga Pitaloka segera ja-

tuhkan diri lalu merangkak ke arah Kiai Laras.

“Pitaloka! Kau melakukan tindakan bodoh!” seraya 

berkata Putri Kayangan segera berkelebat ke depan. 

Kembali tangannya menarik tubuh Pitaloka.

“Setan! Apa yang ada dalam benak gadis setan itu?!” 

Dayang Sepuh sudah menggerendeng melihat apa yang 

dilakukan Pitaloka. Di sebelahnya Datuk Wahing ber-

sin-bersin beberapa kali. Gendeng Panuntun tenga-

dahkan kepala. Sementara Pendekar 131 Joko Sableng 

hanya melihat dengan mulut terkancing.

Baru saja tangan Putri Kayangan hendak menarik


tubuh Pitaloka, tiba-tiba dari arah Jubah Tanpa Jasad 

menderu satu gelombang dahsyat.

Putri Kayangan urungkan niat. Kedua tangannya 

ditarik pulang. Lalu disentakkan ke depan.

Blaamm!

Terdengar ledakan dahsyat. Sosok Putri Kayangan 

terjajar dua langkah. Pitaloka cepat selamatkan diri 

dengan jatuhkan diri berguling di atas tanah. Namun 

gadis ini cepat bangkit dan membuat gerakan merang-

kak.

“Pitaloka! Kau membangkang perintah Eyang Guru, 

sebaliknya enak saja menuruti perintah orang! Daripa-

da gagal membawamu ke hadapan Eyang Guru, lebih

baik kau mati di tanganku!”

Baru saja Putri Kayangan berucap begitu, Pitaloka 

angkat tubuhnya. Kedua tangannya sekonyong-

konyong didorong ke arah Putri Kayangan.

“Kau terlambat, Beda Kumala! Dan lebih dari itu 

kau selalu merecoki urusanku! Bukan aku yang mati 

di tanganmu, tapi kau yang akan mampus di tangan-

ku!”

Satu gelombang angin deras menghantam ke arah 

Beda Kumala alias Putri Kayangan. Saat yang sama 

kembali dari arah Jubah Tanpa Jasad menggebrak de-

ruan gelombang.

Melihat hal ini murid Pendeta Sinting segera hendak 

melompat. Namun Datuk Wahing sudah perdengarkan 

bersinan dan berkata.

“Jangan melakukan tindakan yang mengherankan, 

Anak Muda! Sebaiknya kita tunggu dulu agar kita tahu 

mengapa gadis cantik itu melakukan hal yang menghe-

rankan!”

“Dasar setan sableng! Kalau lihat gadis-gadis setan 

berantem, maunya nimbrung cari muka! Tapi kalau 

yang berantem nenek-nenek akan ngeloyor pergi!”


Dayang Sepuh menyemprot tanpa menoleh pada murid 

Pendeta Sinting.

Di depan sana Putri Kayangan hendak menyingkir 

melihat Pitaloka lepaskan pukulan ke arahnya. Dia se-

benarnya hendak menyingkir menghindar. Tapi begitu 

mendapati pukulan juga menderu dari Jubah Tanpa 

Jasad, Putri Kayangan urungkan niat. Sebaliknya ce-

pat angkat kedua tangannya. Lalu disertai bentakan 

keras, kedua tangannya dihantamkan.

Untuk kedua kalinya kembali terdengar ledakan. 

Sosok Putri Kayangan terhuyung dua langkah ke bela-

kang karena harus menghadang dua pukulan. Semen-

tara Pitaloka hanya terjajar dua tindak. Di seberang 

depannya, Jubah Tanpa Jasad tidak bergeming dari 

tempatnya.

“Itu adalah peringatan kalau aku benar-benar tak 

segan membunuhmu jika kau menghalangi niatku!” Pi-

taloka berteriak lalu kembali bungkukkan tubuh 

membuat sikap merangkak.

“Bagus! Lakukan apa yang ku perintah, Anak Can-

tik!” kata Kiai Laras. “Untuk pembangkang itu biar ku

tangani sendiri!”

Pitaloka berpaling sesaat pada Putri Kayangan. Lalu 

mulai merangkak ke arah Kiai Laras. Putri Kayangan 

hendak bergerak. Tapi dia urungkan tatkala matanya 

menangkap gerakan pada Kembang Darah Setan.

“Apa yang harus kulakukan sekarang?! Tak mung-

kin aku mampu menghadapi Kembang Darah Setan! 

Pitaloka.... Apa sebenarnya yang hendak kau laku-

kan?!”

Selagi Putri Kayangan membatin begitu, tiba-tiba 

Kiai Laras sudah menghardik.

“Kau berlaku bodoh berani menentang perintah 

Penguasa Kampung Setan! Tapi aku masih memberi-

mu kesempatan! Lakukan apa yang dilakukan teman


mu itu!”

Putri Kayangan tercengang. Perlahan-lahan ekor 

matanya melirik jauh ke arah murid Pendeta Sinting. 

Saat lain gadis berparas cantik jelita ini balikkan tu-

buh dan hendak tinggalkan tempat itu.

Kiai Laras tidak banyak bicara. Bersamaan dengan 

berputarnya sosok Putri Kayangan, tangan kanannya 

yang memegang Kembang Darah Setan segera dikele-

batkan.

Wuutt!

Sinar tiga warna; merah, hitam, dan putih berkiblat 

ganas ke arah Putri Kayangan.

Rupanya sang Putri telah waspada. Hingga dia cepat 

melompat jauh ke depan. Kejap lain seraya putar tu-

buh, kedua tangannya diangkat ditakupkan di depan 

dada.

Di seberang sana, melihat Putri Kayangan hanya 

takupkan kedua tangannya tanpa membuat gerakan 

apa-apa lagi, murid Pendeta Sinting segera berkelebat. 

Karena dia tahu bagaimana kedahsyatan Kembang Da-

rah Setan, dia segera lepaskan pukulan ‘Lembur Kun-

ing’!

***

ENAM



TEMPAT itu seketika berubah menjadi terang ben-

derang diselimuti cahaya merah, hitam, dan putih ser-

ta kuning. Warna merah, hitam, dan putih mencuat 

dari Kembang Darah Setan di tangan Kiai Laras, se-

mentara warna kuning berasal dari dorongan kedua 

tangan murid Pendeta Sinting.

Sepuluh jengkal lagi sinar dari Kembang Darah Se-

tan bentrok dengan pukulan Pendekar 131, mendadak


saja sosok Putri Kayangan laksana dibungkus cahaya 

warna merah berkilau. Kejap lain dari tubuh gadis 

cantik ini melesat kilauan warna merah lurus ke arah 

kiblatan sinar tiga warna dari Kembang Darah Setan.

Terdengar benturan keras beberapa kali. Saat yang 

sama tempat itu laksana dihantam gempa raksasa ser-

ta petir maha dahsyat. Udara diterpa cahaya yang 

membuat semua mata terpejam karena silau. Hawa 

panas luar biasa menyengat tajam laksana matahari 

hanya beberapa tombak di atas hamparan bumi. Kejap 

lain terdengar ledakan keras menggelegar.

Sosok murid Pendeta Sinting yang melepas pukulan 

‘Lembur Kuning’ dengan melompat di atas udara, tam-

pak tersapu mental dan turun dari atas tanah dengan 

lutut menekuk terhuyung-huyung. Joko coba kuasai 

diri. Namun huyungan tubuhnya terlalu cepat. Hingga 

tanpa ampun lagi sosoknya melorot jatuh. Namun dua 

jengkal lagi pantatnya menghantam tanah, tiba-tiba 

terdengar bersinan dua kali.

Pendekar 131 rasakan ada desiran angin dari ba-

wah pantatnya. Gerakan pantatnya terhenti malah te-

rangkat! Dan saat lain sosok murid Pendeta Sinting te-

lah tegak dengan kedua kaki laksana dipaku!

Di seberang sana, sosok Putri Kayangan terjeng-

kang. Saat tubuhnya hampir saja melabrak tanah, sa-

tu bayangan merah berkelebat dan langsung menyam-

bar tubuh si gadis. Melayang beberapa tombak ke uda-

ra lalu menukik deras dan menjejak di atas tanah. Si 

bayangan turunkan sosok Putri Kayangan yang berada 

di pundaknya.

Putri Kayangan cepat berpaling. Terlihat Dayang 

Sepuh cemberut dan berkata.

“Kau benar-benar gadis setan! Sudah kuperin-

gatkan malah adu mulut di sini!”

“Nek.... Terima kasih atas pertolonganmu! Kuharap


kau mengerti. Bukannya aku tidak mau dengar perin-

tahmu. Tapi aku harus pergi bersama saudaraku itu!”

“Saudaramu sudah kerasukan setan! Sekarang kau 

pergilah sendirian dari tempat ini!”

Putri Kayangan geleng kepala. “Aku baru tinggalkan 

tempat ini jika bersamanya! Aku tak akan menghadap 

Eyang Guru dengan tangan hampa....”

“Kalau itu keinginanmu, kau bukannya akan meng-

hadap eyang gurumu dengan tangan hampa namun 

dengan tanpa nyawa!”

“Itu lebih baik daripada pulang dengan tidak bisa 

laksanakan tugas yang diberikan padaku...!”

“Setan keras kepala!” sentak Dayang Sepuh. “Bicara 

seenak perutnya sendiri! Harusnya kau berpikir. Un-

tuk sementara tinggalkan tempat ini. Dan kau punya 

kesempatan untuk sadarkan saudaramu dari keseta-

nan!”

“Waktu hanya akan menambah saudaraku berbuat 

makin gila, Nek...!”

“Kalau begitu kau mampus saja!” seru Dayang Se-

puh saking jengkelnya mendengar jawaban-jawaban 

Putri Kayangan.

“Nenek aneh.... Tapi aku tahu hatinya baik meski 

nada bicaranya kasar...,” kata Putri Kayangan dalam 

hati.

“Nek....”

“Aku bukan nenekmu! Aku tak mau bicara dengan 

gadis setan sepertimu!”

Putri Kayangan kancingkan mulut dengan menghela 

napas panjang. Saat itulah ia baru merasakan da-

danya sesak dan berdenyut nyeri. Mulutnya terasa 

hangat dan asin. Saat si gadis usapkan tangan pada 

mulutnya, ternyata mulutnya telah alirkan darah, per-

tanda bentroknya pukulan tadi telah membuatnya ter-

luka dalam.


Sementara di depan sana, Kiai Laras tampak tegak 

dengan seringai buas. Sesaat tadi dia terhuyung na-

mun tidak sampai terjatuh. Dia pun hanya merasakan 

sentakan pelan pada dadanya tatkala terjadi benturan 

antar pukulan. Hingga dia bukan saja tidak mengalami 

cedera, namun segera dapat kuasai diri.

Di hadapan Kiai Laras, Setan Liang Makam tampak 

angkat kepalanya. Namun sebelum kepalanya benar-

benar terangkat, Kiai Laras sudah menghardik.

“Berani angkat kepalamu dari tanah, kepalamu 

akan kutanggalkan!”

Setan Liang Makam cepat sentakkan kembali kepa-

lanya dan ditempelkan di atas tanah. Tidak jauh dari 

Setan Liang Makam, Pitaloka tampak menungging 

dengan mata melirik ke arah Jubah Tanpa Jasad.

Mungkin saking jengkelnya mendapati apa yang ba-

ru saja terjadi, Kiai Laras segera pula menghardik pada 

Pitaloka seakan hendak tumpahkan semua kegera-

mannya.

“Kau juga! Letakkan keningmu di atas tanah!”

Pitaloka tersenyum. Lalu lakukan apa yang dikata-

kan Kiai Laras. Kiai Laras putar tubuh menghadap Pu-

tri Kayangan dan Dayang Sepuh.

“Gadis setan! Kau masih juga ingin mampus?!” 

tanya Dayang Sepuh.

“Kau sendiri bagaimana, Nek?!” Putri Kayangan ba-

lik bertanya membuat si nenek berpaling dengan pa-

sang tampang angker.

“Itu urusanku, Gadis Setan!”

“Semua urusan di sini aku yang tentukan!” Tiba-

tiba Kiai Laras menyahut. “Dan untuk kalian berdua 

ku tentukan mampus saat ini juga!”

Bersamaan dengan selesainya bentakan, Kembang 

Darah Setan di tangan kanan Kiai Laras sudah berke-

lebat.


Dayang Sepuh dan Putri Kayangan sempat terke-

siap. Namun keduanya buru-buru gerakkan tangan 

masing-masing. Dayang Sepuh takupkan kedua tan-

gan di depan kening lalu dibuka dan didorong perla-

han ke depan.

Di sampingnya, Putri Kayangan takupkan kedua 

tangannya di depan dada. Sepasang matanya dipejam-

kan.

Entah karena tak mau melihat Dayang Sepuh dan 

Putri Kayangan terluka, Pendekar 131 segera berkele-

bat ke depan. Kembali kedua tangannya didorong me-

lepas pukulan sakti ‘Lembur Kuning’.

Untuk kedua kalinya tempat itu laksana ditelan ca-

haya menyilaukan. Tebaran hawa panas menyengat 

menyungkup. Saat lain gelegaran keras terdengar.

Tiga sosok tubuh tampak bermentalan. Yang perta-

ma adalah sosok Dayang Sepuh. Disusul Putri Kayan-

gan dan murid Pendeta Sinting. Dayang Sepuh mental 

satu tombak dan jatuh terduduk dengan mulut men-

ganga hembuskan napas karena dadanya laksana baru 

saja dihantam tembok. Satu setengah tombak di samp-

ing Dayang Sepuh, Putri Kayangan terkapar dengan 

mulut kucurkan darah. Parasnya yang cantik berubah 

seperti tidak berdarah. Sebagian pakaian yang dikena-

kan hangus.

Tidak jauh dari tempat terkaparnya Putri Kayangan, 

murid Pendeta Sinting jatuh terjengkang dengan mulut 

megap-megap dan kedua tangan bergetar hebat.

Di seberang, Jubah Tanpa Jasad bergerak deras ke 

belakang. Lalu terjungkal di atas tanah dengan per-

dengarkan dengusan marah. Namun dalam beberapa 

saat Jubah Tanpa Jasad telah bergerak bangkit. Kiai 

Laras merasakan aliran darahnya terbalik-balik. Walau 

tadi telah kelebatkan Kembang Darah Setan dengan 

alirkan tenaga dalam pada tangan kanannya hingga lesatan sinar tiga warna berkiblat makin menggidikkan, 

namun hadangan tiga pukulan sekaligus mau tak mau 

membuat Kiai Laras tak mampu kuasai huyungan tu-

buhnya. Hanya saja dia kembali masih merasakan lak-

sana ada tabir penghalang di depan tubuhnya saat 

bentrokan terjadi. Hingga meski sempat terjungkal, 

namun dia tidak mengalami cedera yang cukup berarti.

Begitu mendapati Jubah Tanpa Jasad telah bangkit, 

baik Putri Kayangan, Dayang Sepuh, dan murid Pende-

ta Sinting segera pula berusaha berdiri. Pendekar 131 

segera melompat dan tegak di samping Dayang Sepuh.

“Ada yang ingin kau bicarakan, Cucu Setan?!” 

Dayang Sepuh telah mendahului.

“Kurasa dia terlalu berbahaya. Apakah Bibi tahu

bagaimana cara menghadapi orang itu?!”

“Kalau tahu, tak mungkin aku sampai begini rupa!”

Murid Pendeta Sinting berpaling pada Gendeng Pa-

nuntun. Rupanya Dayang Sepuh dapat menangkap ar-

ti pandangan Pendekar 131. Hingga si nenek kembali 

buka suara.

“Manusia buta itu juga tak tahu apa-apa!”

““Kakek Datuk Wahing?!” tanya Joko.

“Setan tua itu tahunya cuma heran dan bersin!”

Joko alihkan pandang matanya pada Jubah Tanpa 

Jasad. “Hem.... Pukulan ‘Lembur Kuning’ digabung 

dengan pukulan Dayang Sepuh dan Putri Kayangan ti-

dak mampu berbuat banyak! Akan ku coba dengan 

pukulan ‘Serat Biru’! Aku harus segera tahu siapa ge-

rangan manusia di balik jubah itu!”

Berpikir sampai ke sana, Joko cepat kerahkan tena-

ga dalam pada tangan kirinya. Saat itu juga tangan ki-

rinya berubah menjadi biru.

Dayang Sepuh mencibir. “Kau kira pukulanmu akan 

bisa menekuknya?!”

“Setidaknya aku berusaha!”


“Jangan terlalu mengumbar tenaga percuma! Tiga 

pukulan sekaligus tidak dapat membuatnya bertekuk 

lutut. Kita harus cari jalan lain!”

“Jalan lain bagaimana?!”

“Bukan di sini tempatnya membicarakan! Kita ting-

galkan tempat ini segera!”

“Tapi dia tak mungkin membiarkan kita pergi begitu 

saja!”

“Kita gebuk sama-sama! Lalu kita segera angkat ka-

ki!”

Baru saja Dayang Sepuh berkata begitu, tiba-tiba 

dari arah seberang sana Datuk Wahing angkat tangan

kanannya. Di sampingnya, Gendeng Panuntun beran-

jak bangkit.

“Bruss! Brusss! Bruss!”

Datuk Wahing perdengarkan bersinan tiga kali. 

Namun bersinan itu laksana diperdengarkan dari dela-

pan penjuru mata angin dan suaranya terus memantul 

tiada putus-putus. Saat bersamaan tangan kanan Da-

tuk Wahing bergerak mendorong. Satu gelombang 

menderu ganas ke arah Jubah Tanpa Jasad. Seperti 

halnya suara bersinan, suara deru gelombang itu terus 

memantul!

Begitu tangan kanan Datuk Wahing bergerak, Gen-

deng Panuntun usap cermin bulatnya. Satu cahaya 

putih berkiblat menyilaukan mata menghampar ke 

arah Jubah Tanpa Jasad.

“Apa lagi yang ditunggu?!” teriak Dayang Sepuh. 

Kedua tangannya ditakupkan di depan kening. Lalu 

dibuka dan didorong perlahan ke depan.

Putri Kayangan seakan tahu apa maksud semua 

orang. Dia tidak tinggal diam. Kedua tangannya cepat 

ditakupkan di depan dada. Sepasang matanya dipe-

jamkan.

Murid Pendeta Sinting sesaat terdiam. Namun di ke


jap lain tangan kirinya yang telah berubah biru tanda 

dia siap lepaskan pukulan ‘Serat Biru’ cepat dikele-

batkan ke depan.

Karena yang melepas pukulan saat itu bukan orang 

sembarangan, tempat ini laksana neraka saking pa-

nasnya. Suara deruan yang memantul ditambah den-

gan cahaya berkilau dan serat-serat biru laksana be-

nang terang bertabur. Belum lagi cahaya merah yang 

melesat dari tubuh Putri Kayangan serta gelombang 

luar biasa dari dorongan kedua tangan Dayang Sepuh.

Kiai Laras yang sesaat tadi hadapkan diri pada

Dayang Sepuh dan murid Pendeta Sinting segera ber-

paling begitu mendengar suara bersinan Datuk Wah-

ing. Dia terkesiap melihat tiba-tiba sang Datuk telah 

lepas pukulan disusul dengan Gendeng Panuntun.

Rasa kaget sang Kiai belum sirna, dia dikejutkan 

dengan lepasnya pukulan dari kedua tangan Dayang 

Sepuh yang disusul dengan Putri Kayangan serta Pen-

dekar 131.

Pada puncak keterkejutannya, Kiai Laras bukannya 

takut, melainkan tertawa bergelak! Karena dengan cara 

yang dilakukan oleh beberapa orang di situ, Kiai Laras 

kini merasa maklum kalau dirinya tidak bisa dihadapi 

hanya oleh seorang atau dua orang. Dan itu berarti di-

rinya bukan lagi orang yang bisa dipandang remeh! 

Apalagi dia tahu, orang-orang yang melepaskan puku-

lan saat itu adalah tokoh rimba persilatan yang keting-

gian ilmunya tidak diragukan lagi.

Dalam hujanan pukulan yang kini mengarah pa-

danya, Kiai Laras masih berpikir cepat. Bukan saja dia 

harus menghadang pukulan, namun setidaknya dia 

harus selamatkan Setan Liang Makam dan Pitaloka 

serta Kiai Lidah Wetan yang sejak tadi hanya diam dan 

makin tergagu tatkala mengetahui bagaimana puku-

lan-pukulan yang sekarang membuncah tempat itu.


Pada mulanya Kiai Laras memang tidak tahu apa 

yang hendak dilakukan pada Setan Liang Makam, Pita-

loka, serta Kiai Lidah Wetan. Namun begitu mulai sa-

dar kalau kekuatan yang dimilikinya sangat dahsyat, 

dia mulai bisa berpikir apa yang kelak bisa dilakukan 

pada ketiga orang itu. Hingga dia kini berniat menye-

lamatkan juga ketiga orang itu.

Karena pukulan yang kini melabrak pada Kiai Laras 

sangat luar biasa dan tidak mungkin bagi sang Kiai 

untuk lakukan penghadangan sekaligus menyela-

matkan ketiga orang, maka tanpa pikir panjang lagi 

Kiai Laras melompat ke depan. Belum sampai kedua 

kakinya menginjak tanah, dia lakukan gerakan me-

nendang ke samping kiri kanan ke arah sosok Setan 

Liang Makam dan Pitaloka yang merangkak. Saat ber-

samaan tangan kirinya kelebatkan jubah hitamnya.

Bukkk! Bukkk!

Setan Liang Makam dan Pitaloka tersentak. Begitu 

cepatnya gerakan Kiai Laras, belum sampai keduanya 

sempat membuat gerakan, sosok keduanya telah men-

tal. Saat yang sama Jubah Tanpa Jasad menderu ang-

ker. Kiai Lidah Wetan rupanya tahu gelagat. Dia berke-

lebat. Namun terlambat. Sambaran Jubah Tanpa Ja-

sad yang keluarkan sambaran angin dahsyat telah 

menggebrak. Hingga bukan saja membuat sosok Kiai 

Laras terhenti, namun jubah terpelanting dan terbant-

ing jatuh dengan punggung di atas tanah, satu seten-

gah tombak dari tempatnya tadi berdiri!

Setelah membuat tiga sosok mental, Kiai Laras ce-

pat kerahkan tenaga dalam pada tangan kiri kanan-

nya. Saat lain tangan kanan yang memegang Kembang 

Darah Setan disentakkan ke depan. Tangan kiri men-

gambil Jubah Tanpa Jasad di bagian tengahnya lalu 

dikelebatkan.

Sinar tiga warna mencuat menggidikkan ditingkah


dengan menderunya gelombang raksasa.

Terdengar ledakan menggelegar. Di udara tampak 

bertaburan kilauan cahaya pecah dan muncrat. Ge-

lombang angin bermentalan dan mengambang di udara 

dengan arah tak bisa ditentukan. Tanahnya tersapu 

dan mengangkasa membungkus suasana, hingga ki-

lauan cahaya dan berkiblatnya sinar yang tadi meng-

hampar laksana disabet setan dan tiba-tiba lenyap di-

telan hamburan tanah! Tempat itu sekonyong-konyong 

gelap gulita!

Ketika suasana kembali terang dengan lurunya ta-

nah, sosok Kiai Laras terlihat terkapar di atas tanah. 

Demikian juga sosok Setan Liang Makam, Pitaloka, 

serta Kiai Lidah Wetan.

Sesaat Kiai Laras perhatikan dirinya. Lalu bangkit 

terhuyung-huyung. Sepasang matanya liar meman-

dang berkeliling. Dari mulutnya terdengar makian pan-

jang pendek. Karena ternyata Putri Kayangan, Dayang 

Sepuh, Datuk Wahing, serta Gendeng Panuntun sudah 

tidak kelihatan lagi!

***

TUJUH



SELAGI Kiai Laras dibungkus dengan kemarahan 

akibat lenyapnya beberapa orang di tempat itu, men-

dadak satu bayangan berkelebat dan tegak di depan 

sana dengan memperhatikan pada sosok Setan Liang 

Makam, Kiai Laras, serta Pitaloka yang sama masih 

berkaparan di atas tanah. Tendangan kaki kanan kiri 

serta kelebatan jubah yang dilakukan Kiai Laras me-

nyelamatkan ketiganya dari bertaburnya beberapa pu-

kulan yang baru saja menggebrak di tempat itu meski 

tak urung ketiganya harus terpental dan terkapar di

atas tanah.

“Hem.... Gadis jahanam itu!” desis orang yang baru 

muncul kala pandang matanya melihat sosok Pitaloka 

yang bergerak-gerak bangkit. “Beberapa kali aku gagal 

membunuhnya. Mungkin saat ini niatku baru kesam-

paian! Tempo hari dia selamat karena ada Pendekar 

131. Sekarang tidak akan ada yang menghalangi 

niatku!”

Orang yang baru muncul membuat gerakan satu 

kali. Gerakannya membawa dirinya tahu-tahu telah te-

gak di samping Pitaloka. Tanpa memandang kanan ki-

ri, dia langsung membentak.

“Putri Kayangan! Saat hidupmu telah berakhir!”

Pitaloka tersentak. Memandang ke samping dia me-

lihat seorang perempuan berusia lanjut. Raut wajah-

nya cekung dengan kulit mengeriput. Sepasang ma-

tanya besar. Rambutnya putih lebat dibiarkan jatuh 

bergerai menutupi sebagian bahu dan punggungnya. 

Nenek ini mengenakan kain panjang besar berwarna 

biru bersaku dua. Pada saku sebelah kanan terlihat 

sebuah sapu tangan besar berwarna merah menyala. 

Inilah satu tanda jika si nenek adalah seorang tokoh 

rimba persilatan yang dikenal dengan julukan Ratu 

Pewaris Iblis. Seorang nenek yang di tangannya ter-

genggam sebuah sapu tangan yang juga sangat dikenal 

dalam dunia persilatan dengan Sapu Tangan Iblis.

“Ratu Pewaris Iblis!” seru Pitaloka mengenali siapa 

adanya si nenek. Dia cepat bangkit. “Dia pasti mene-

ruskan urusan lama! Hem.... Apa matanya tidak tahu 

siapa saja yang ada di tempat ini?!”

“Beberapa kali kau selamat dari tangan maut ku! 

Namun saat ini siapa lagi yang bisa menghalangi?!” Si 

nenek tertawa bergelak.

“Kau sentuh kulit gadis itu, nyawamu akan putus!” 

Tiba-tiba satu suara menyahut.


Ratu Pewaris Iblis putuskan tawanya. Kepalanya 

berpaling. Sepasang matanya serentak mendelik besar-

besar. Kuduknya meremang. Tanpa sadar kedua ka-

kinya tersurut dua tindak ke belakang.

“Mustahil.... Mustahil! Bagaimana mungkin ada ju-

bah dan setangkai bunga mengambang di udara?!” 

Dada si nenek dilanda keheranan begitu melihat Ju-

bah Tanpa Jasad dan Kembang Darah Setan menga-

pung di atas udara.

Tiba-tiba dahi Ratu Pewaris Iblis mengernyit. “Dari 

ciri-cirinya.... Tak salah! Pasti itu Kembang Darah Se-

tan! Tapi.... Siapa manusia yang baru saja bicara?! 

Dan bagaimana tentang berita yang selama ini tersiar 

jika Kembang Darah Setan berada di tangan Pendekar 

131 Joko Sableng?! Atau mungkinkah manusia yang 

baru saja bicara adalah pemuda keparat itu?!”

Selagi Ratu Pewaris Iblis menduga-duga, Setan 

Liang Makam bergerak bangkit. Kembali untuk kedua 

kalinya Ratu Pewaris Iblis terkesiap kaget kala pan-

dang matanya melihat tampang angker Setan Liang 

Makam. “Susunan tubuhnya hanya merupakan ke-

rangka.... Tapi....”

Sebelum Ratu Pewaris Iblis sempat teruskan kata 

hatinya, Kiai Laras sudah buka suara. “Aku tahu siapa 

kau, Perempuan Tua! Sekarang aku ingin tahu jawa-

banmu....” Sesaat Kiai Laras hentikan ucapannya den-

gan gerakkan kepala ke samping. Jubah Tanpa Jasad 

bergerak sedikit. “Kau ingin teruskan urusanmu den-

gan gadis itu atau kau akan melupakannya?!”

Belum sampai Ratu Pewaris Iblis angkat bicara, Kiai 

Laras sudah sambung ucapannya. “Harus kau ingat. 

Jika kau memilih yang pertama, maka nyawamu 

hanya tinggal sesaat lagi!”

“Apa hubunganmu dengan gadis itu?!” Ratu Pewaris 

Iblis mulai angkat suara.


“Aku ingin jawabanmu, Perempuan Tua!”

“Aku tak akan menjawab sebelum ku tahu siapa 

kau adanya!” Ratu Pewaris Iblis menyahut dengan sua-

ra agak keras meski dadanya masih berdegup kencang 

karena ngeri.

“Kau akan tahu siapa aku! Tapi begitu keinginanmu 

kesampaian, maka ajalmu tiba! Kau mau itu?!”

Ratu Pewaris Iblis melirik pada Pitaloka yang masih 

disangkanya sebagai Putri Kayangan. Yang dilirik 

sunggingkan seringai dingin.

“Apa maumu sebenarnya?!” Akhirnya Ratu Pewaris 

iblis ajukan tanya setelah agak lama berpikir.

Kiai Laras tidak segera menjawab. Jubah Tanpa Ja-

sad bergerak menghadap ke arah Kiai Lidah Wetan 

yang kini juga telah tegak. Lalu bergerak lagi ke arah 

Setan Liang Makam dan terakhir pada Pitaloka. Ber-

samaan itu terdengar suara.

“Kalian bertiga! Merangkaklah kembali ke hadapan-

ku!”

Setan Liang Makam lontarkan pandangan pada Pi-

taloka dan Kiai Lidah Wetan. Saat lain dia tekuk tu-

buhnya membuat gerakan merangkak. Mendapati hal 

demikian, Pitaloka tak menunggu lama. Dia cepat la-

kukan seperti apa yang dilakukan Setan Liang Makam. 

Kiai Lidah Wetan sesaat gerakkan kepala memandang 

silih berganti pada Setan Liang Makam dan Pitaloka. 

Entah apa yang ada dalam benaknya, laki-laki saudara 

Kiai Laras ini segera pula lorotkan tubuh lalu merang-

kak ke arah Jubah Tanpa Jasad.

Setan Liang Makam, Pitaloka, dan Kiai Lidah Wetan

hentikan rangkakan masing-masing empat tindak di 

hadapan Jubah Tanpa Jasad. Kiai Laras tertawa pan-

jang.

“Kalian bertiga kini berada di tangan Penguasa 

Kampung Setan! Nyawa kalian akan ku lindungi dari


setiap tangan yang berani menjamah! Setiap orang 

yang membuat urusan dengan kalian bertiga berarti 

membuka sengketa dengan Penguasa Kampung Setan! 

Tapi kalian harus lakukan apa yang kukatakan! Jan-

gan berani membantah atau bertanya! Kalian menger-

ti?!”

Ketiga orang di hadapan Kiai Laras sama angguk-

kan kepala. Kiai Laras makin keraskan gelakan ta-

wanya. Lalu putar diri setengah lingkaran menghadap 

Ratu Pewaris Iblis.

“Matamu melihat apa yang dilakukan ketiga orang 

itu! Sekarang giliranmu untuk melakukannya!”

Dada Ratu Pewaris Iblis bergemuruh. Perintah 

orang membuat dia tidak pedulikan lagi siapa yang ki-

ni ada di hadapannya. Apalagi dia belum tahu bagai-

mana kedahsyatan Kembang Darah Setan.

“Bukan aku yang harus merangkak! Tapi kau yang 

harus berlutut mencium telapak kakiku!”

Ucapan si nenek belum selesai, Kembang Darah Se-

tan di tangan kanan Kiai Laras sudah berkelebat.

Ratu Pewaris Iblis terlengak. Namun nenek ini cepat 

sadar. Dia segera berkelebat ke belakang. Saat lain 

tangan kanannya mengambil Sapu Tangan Iblis di sa-

ku pakaiannya. Lalu diangkat tinggi-tinggi dan dike-

butkan menyongsong datangnya tiga sinar merah, hi-

tam, dan putih dari kelebatan Kembang Darah Setan.

Weerr!

Sapu Tangan Iblis berkelebat ganas perdengarkan 

desingan tajam. Sinar merah bertabur.

Blammm!

Taburan sinar merah dari kelebatan Sapu Tangan 

Iblis pecah berantakan perdengarkan ledakan keras. 

Sinar tiga warna semburat. Hebatnya sebagian masih 

melesat ganas lurus ke arah Ratu Pewaris Iblis!

Ratu Pewaris Iblis tersentak. Saat itu dia belum bisa


kuasai diri dari huyungan tubuh. Hingga meski dia 

masih bisa selamatkan diri namun pecahan sinar pu-

tih tak urung menghantam pundak kanannya.

Ratu Pewaris Iblis berseru tertahan. Sosoknya lang-

sung terbanting ke kanan. Sapu Tangan Iblis lepas dari 

genggaman tangannya.

Jubah Tanpa Jasad berkelebat dan tegak dua lang-

kah di hadapan Ratu Pewaris Iblis. Si nenek tercekat 

tegang. Tangan kanannya berkelebat. Bukan lakukan 

hantaman, melainkan hendak menyambar pada Sapu 

Tangan Iblis.

Sejengkal lagi Sapu Tangan Iblis tergapai tangan 

kanan si nenek, tiba-tiba si nenek menjerit. Jubah 

Tanpa Jasad sudah mengapung di atas tangannya. 

Dan dia merasakan tangan kanannya diinjak telapak 

kaki.

Ratu Pewaris Iblis putar tubuhnya. Kaki kiri kanan-

nya membuat gerakan menendang ke arah Jubah Tan-

pa Jasad.

Jubah Tanpa Jasad melenting ke udara. Tendangan 

Ratu Pewaris Iblis menghantam tempat kosong. Na-

mun injakan kaki orang pada tangan si nenek lepas. Si 

nenek cepat bangkit. Tapi pada saat yang sama Jubah 

Tanpa Jasad telah berkelebat.

Si nenek kebingungan. Karena dia tidak bisa meli-

hat gerakan orang, maka dia menghantamkan kedua 

tangannya lurus ke arah bagian dada dan di atas leher 

Jubah Tanpa Jasad. Namun si nenek terkesiap. Seten-

gah jalan hantaman kedua tangannya, tiba-tiba dia 

merasakan tendangan menghadang kedua tangannya 

hingga tangannya terpental. Saat lain dia merasakan 

siuran angin pada pundaknya. Ratu Pewaris Iblis cepat 

kelebatkan tangan. Namun satu tendangan telah 

menggebrak dadanya.

Bukkk!


Kembali Ratu Pewaris Iblis berseru. Sosoknya ter-

jengkang roboh di atas tanah dengan mulut sembur-

kan darah. Tampangnya pias dengan sosok menggigil 

antara kesakitan dan ngeri. Dalam keadaan seperti itu 

si nenek masih melirik pada Sapu Tangan Iblis yang 

terhampar di tanah. Namun dia mengumpat dalam ha-

ti karena jarak antara dirinya dengan Sapu Tangan Ib-

lis mengharuskan dia melompat. Padahal Jubah Tanpa 

Jasad kini sudah bergerak ke arahnya.

“Aku tanya sekali lagi!” Kiai Laras perdengarkan su-

ara. “Kau ingin mampus sekarang atau melakukan se-

perti teman-temanmu itu!”

Ratu Pewaris Iblis pentangkan kedua matanya seo-

lah ingin mengetahui sosok di balik jubah hitam. Se-

mentara di depannya Kembang Darah Setan sudah 

bergerak terangkat.

“Baik...,” kata Ratu Pewaris Iblis dengan suara ber-

getar.

“Cepat! Lakukan!” hardik Kiai Laras.

Si nenek angkat tubuhnya lalu merangkak mende-

kati Jubah Tanpa Jasad dengan hati menyumpah-

nyumpah.

“Bagus! Hidup matimu kini berada di tanganku! 

Dan kau harus lakukan semua perintahku!”

Habis berkata begitu, Kiai Laras berkelebat dan te-

gak di antara Ratu Pewaris Iblis dan Setan Liang Ma-

kam, Pitaloka, serta Kiai Lidah Wetan.

“Buka telinga kalian lebar-lebar! Kalian kutugaskan 

untuk menjemput Putri Kayangan, Dayang Sepuh, Da-

tuk Wahing, Gendeng Panuntun, dan Pendekar 131! 

Bawa mereka hidup-hidup atau penggalan kepalanya! 

Kutunggu kedatangan kalian di Bukit Kalingga! Berha-

sil atau tidak, kalian harus ke Bukit Kalingga setengah 

purnama mendatang! Ingat, aku adalah Penguasa 

Kampung Setan. Aku tahu setiap gerak-gerik kalian!


Sekali kalian melakukan kesalahan, kalian membuka 

jalan menuju neraka!”

Habis berkata begitu, Kiai Laras putar diri lalu ber-

kelebat tinggalkan tempat itu.

Ratu Pewaris Iblis memperhatikan gerakan Jubah 

Tanpa Jasad. Lalu melompat ke arah Sapu Tangan Ib-

lis yang terhampar di tanah. Setelah memandang satu 

persatu pada Setan Liang Makam, Pitaloka, dan Kiai 

Lidah Wetan, tanpa berkata apa-apa si nenek berkele-

bat pergi.

Setan Liang Makam, Pitaloka, dan Kiai Lidah Wetan

beranjak bangkit. Tanpa berpaling pada yang lainnya 

dan tanpa ada yang buka suara, ketiga orang ini sama 

melangkah tinggalkan tempat itu dengan mengambil 

arah berlawanan.

***

DELAPAN



SEBELUM terdengar gelegar ledakan akibat ben-

troknya beberapa pukulan yang dilepas Datuk Wahing, 

Gendeng Panuntun, Dayang Sepuh, Putri Kayangan, 

dan Pendekar 131 dengan lesatan sinar tiga warna dari 

Kembang Darah Setan di tangan Kiai Laras, Datuk 

Wahing dan Gendeng Panuntun berkelebat ke arah 

Dayang Sepuh lalu memberi isyarat untuk tinggalkan 

tempat itu.

Dayang Sepuh, Datuk Wahing, serta Gendeng Pa-

nuntun cepat melompat dan berlari. Di samping 

Dayang Sepuh, murid Pendeta Sinting sesaat perhati-

kan isyarat Datuk Wahing. Dia pun segera hendak me-

lompat mengikuti gerakan Dayang Sepuh. Namun 

niatnya diurungkan demi melihat Putri Kayangan yang 

saat itu tidak melihat isyarat karena sepasang ma


tanya terpejam.

“Putri.... Lekas lari!” teriak Joko.

Entah karena saat keadaan sangat bising dengan 

menderunya beberapa gelombang pukulan atau Putri 

Kayangan sendiri sedang tenggelam kerahkan tenaga 

dalam, gadis cantik ini seolah tidak mendengar teria-

kan Pendekar 131. Dia tetap tegak dengan mata terpe-

jam dan kedua tangan saling menakup di depan dada.

“Celaka.... Dia tadi telah terluka. Jika masih berta-

han di sini, akibatnya akan lebih berbahaya!”

Berpikir begitu, seolah tidak sabar, Joko segera 

berkelebat ke arah Putri Kayangan. Tanpa berkata apa-

apa dia menarik lengan si gadis. Putri Kayangan terke-

jut dan segera menoleh seraya pentangkan mata kare-

na suasana sangat menyilaukan.

Begitu tahu siapa adanya orang yang menarik len-

gannya, Putri Kayangan tampak gugup. Belum sampai 

gadis ini buka mulut, Pendekar 131 sudah mendahu-

lui.

“Kita tinggalkan tempat ini!” Tangan murid Pendeta 

Sinting yang masih mencekal lengan Putri Kayangan 

segera bergerak.

Putri Kayangan tidak berusaha lepaskan cekalan 

tangan Joko pada lengannya. Dan tanpa berkata apa-

apa dia mengikuti gerakan Joko. Namun baru saja ke-

dua orang ini melompat, gelegar keras telah terdengar.

Sosok Pendekar 131 mental. Namun dia tak mau 

lepaskan cekalannya pada lengan sang Putri. Hingga 

sosok keduanya mental bersamaan. Karena Putri

Kayangan telah terluka, dia tak mampu kuasai menta-

lan tubuhnya. Sosoknya oleng di atas udara. Murid 

Pendeta Sinting terkesiap. Dia tidak lagi berusaha kua-

sai dirinya sendiri, melainkan berusaha menahan 

olengan tubuh Putri Kayangan. Hal ini membuat sosok 

Joko ikut oleng. Saat lain keduanya jatuh terbanting di


atas tanah!

Putri Kayangan berseru kesakitan. Seruan si gadis 

membuat murid Pendeta Sinting lagi-lagi tak hiraukan 

dirinya. Dengan sekujur tubuh masih merasakan nyeri 

dan dada sesak, Joko segera bangkit lalu melompat ke 

arah Putri Kayangan yang lepas dari cekalan tangan-

nya saat terbanting.

“Kucuran darah dari mulutnya makin banyak...,” 

gumam Joko memperhatikan Putri Kayangan. Dengan 

cepat dia ulurkan kedua tangannya ke bawah. Sosok 

Putri Kayangan segera diangkat lalu diletakkan di atas 

pundaknya.

Putri Kayangan yang saat itu tengah kerahkan te-

naga dalam untuk mengurangi rasa sakit pada sekujur 

tubuhnya terkejut mendapati dirinya tahu-tahu telah 

berada di pundak orang. Tanpa melihat siapa adanya

orang yang memanggulnya, gadis ini rupanya sudah 

bisa menebak. Hingga begitu sosoknya berada di pun-

dak orang, dia segera berucap pelan.

“Harap suka turunkan. Aku tidak apa-apa....”

Murid Pendeta Sinting tidak hiraukan ucapan Putri 

Kayangan. Sebaliknya cepat berkelebat tinggalkan 

tempat itu karena di depan sana Dayang Sepuh, datuk 

Wahing, serta Gendeng Panuntun hampir-hampir tidak 

kelihatan lagi batang hidungnya.

“Pendekar 131.... Harap turunkan....” Putri Kayan-

gan kembali meminta.

Murid Pendeta Sinting seolah tak acuh. Malah dia 

percepat kelebatannya. Dia baru memperlambat la-

rinya tatkala sepasang matanya tidak lagi menangkap 

sosok Dayang Sepuh, Datuk Wahing, serta Gendeng 

Panuntun.

“Heran.... Ke mana mereka?” Joko edarkan pandang 

matanya. Saat itu dia berada di satu tempat yang ba-

nyak ditumbuhi semak belukar dan jalan berkelok


kelok.

“Pendekar 131....” Putri Kayangan kembali bersua-

ra. Namun sebelum dia lanjutkan ucapan, murid Pen-

deta Sinting telah menyahut.

“Kau yakin tak apa-apa?!”

“Aku memang terluka. Tapi masih mampu kalau 

hanya berlari....”

Pendekar 131 segera turunkan Putri Kayangan dari 

pundaknya. Lalu memandangnya dari atas sampai ba-

wah, hingga yang dipandang jadi salah tingkah dan 

cepat berpaling seraya mengusap darah pada mulut-

nya.

“Terima kasih...,” ujar Putri Kayangan tanpa me-

mandang.

“Gila! Benar-benar cantik!” kata murid Pendeta 

Sinting dalam hati. Dia sebenarnya ingin bicara ba-

nyak, tapi ingat akan Dayang Sepuh dan kedua kakek 

yang telah berkelebat mendahului dan kini batang hi-

dungnya tidak kelihatan lagi, Joko buru-buru alihkan 

pandang matanya. “Tentu mereka belum jauh dari si-

ni!” ujarnya dalam hati.

“Bibi Cantik, Kakek! Di mana kalian?! Aku tahu ka-

lian bersembunyi! Jangan membuatku bingung! Ini 

bukan waktunya main sembunyi-sembunyian!” Pende-

kar 131 berteriak.

Tidak ada sahutan atau isyarat. Putri Kayangan 

ikut edarkan pandangannya meski dadanya masih te-

rasa sesak dan nyeri. Dia seolah hendak menutupi apa 

yang kini dirasakan.

“Hai! Kalian ada di mana?!” Kembali Joko berteriak.

“Setan!” tiba-tiba terdengar makian dari serumpun 

semak belukar di dekat kelokan jalan di samping sana.

Murid Pendeta Sinting dan Putri Kayangan segera 

berpaling ke samping kanan, di mana sumber makian 

terdengar. Baik Joko maupun Putri Kayangan tahu


siapa adanya orang yang baru saja perdengarkan ma-

kian. Hingga tanpa pikir panjang lagi keduanya segera 

melompat.

Baru saja kedua orang ini injakkan kaki masing-

masing, kembali terdengar makian. Murid Pendeta 

Sinting dan Putri Kayangan saling pandang dengan 

raut muka sama-sama kaget. Makian itu bukannya 

terdengar dari arah di mana mereka kini berada, me-

lainkan dari arah di depan sana!

“Setan!” Joko ikut-ikutan memaki dengan suara pe-

lan. “Tega-teganya dia permainkan orang!”

Putri Kayangan hanya tersenyum lalu arahkan pan-

dang matanya ke arah dari mana suara makian kedua

terdengar. Joko ikut pula gerakkan kepala. Namun 

mungkin karena khawatir dipermainkan orang lagi, 

keduanya belum juga melompat. Malah keduanya sal-

ing pandang. Namun cuma sekejap karena Putri 

Kayangan buru-buru alihkan pandangannya dengan 

muka bersemu merah. Gadis ini rasakan dadanya ber-

debar dan tak kuasa beradu pandang dengan murid 

Pendeta Sinting.

“Setan! Kalian kira ini tempatnya berpandang-

pandangan hah?!” Terdengar suara lagi.

Dengan raut sama berubah malah Putri Kayangan 

tampak tegang, kepala keduanya bergerak lagi. Sejarak 

dua belas langkah dari tempat mereka, rumpunan se-

mak belukar tampak bergerak menyibak. Lalu tampak 

kepala berambut putih yang bagian depan diponi. Lalu 

seraut wajah hitam milik seorang nenek muncul me-

nyeringai.

Pendekar 131 dan Putri Kayangan segera berkelebat 

lalu menyelinap di semak belukar di mana tadi muncul 

wajah nenek yang bukan lain adalah Dayang Sepuh.

“Kau!” bentak Dayang Sepuh dengan tangan me-

nunjuk pada Putri Kayangan. “Mendekatlah ke sini!”


Putri Kayangan laksana sirap darahnya mendengar 

bentakan si nenek. Dia tidak bisa menduga apa ke-

mauan si nenek. Sementara murid Pendeta Sinting me-

lirik ke samping kiri kanan. Berjarak lima langkah, ter-

lihat Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun sama du-

duk di atas tanah.

“Setan! Kau dengar tidak ucapanku?!” Kembali 

Dayang Sepuh perdengarkan bentakan tatkala menda-

pati Putri Kayangan tidak juga beranjak dari tempat-

nya.

Putri Kayangan melirik sesaat pada Pendekar 131. 

Kuduknya dingin dan kedua kakinya goyah. Bukan 

hanya karena belum tahu apa maksud ucapan Dayang 

Sepuh, melainkan dia mulai merasakan dadanya san-

gat nyeri dan pandangannya berkunang-kunang. Na-

mun sang Putri tabahkan diri.

“Jangan khawatirkan cucu setan itu! Kau harus pi-

kirkan diri sendiri dahulu!” Dayang Sepuh sudah per-

dengarkan suara lagi. Putri Kayangan mulai dapat me-

nangkap maksud si nenek. Hingga tanpa pikir panjang 

dia melangkah ke arah Dayang Sepuh.

Dayang Sepuh selinapkan tangan kanannya ke ba-

lik pakaiannya yang cingkrang. Saat Putri Kayangan 

tepat di hadapannya, tangan kanan si nenek ditarik 

keluar. Digenggamannya terlihat dua butiran sebesar 

ujung jari kelingking berwarna merah dan kuning.

“Telan ini!” perintah Dayang Sepuh seraya ulurkan 

tangannya.

Tanpa ragu-ragu Putri Kayangan mengambil dua 

butiran di tangan si nenek lalu ditelannya. Mula-mula 

dia merasakan hawa panas menyengat sekujur tubuh-

nya begitu dua butiran tadi lewat tenggorokan. Dan 

mendadak dadanya laksana meledak. Kepalanya seper-

ti diputar-putar. Pandangannya berubah menghitam. 

Saat lain kedua kakinya menekuk lalu sosoknya jatuh


menggelosoh di atas tanah.

“Bibi....”

“Tutup mulutmu, Cucu Setan! Dari tadi kau berte-

riak-teriak melulu!” Dayang Sepuh menukas ucapan 

Joko seraya melirik pada sosok Putri Kayangan. “Aku 

tahu kau sangat mengkhawatirkan dia! Tapi adalah 

tindakan tolol kalau hanya khawatir tanpa berbuat se-

suatu! Dia terluka dalam! Apa kau ingin melihat dia 

mampus, hah...?!”

Pendekar 131 hanya bisa kancingkan mulut dan

angkat bahu sambil melirik ke arah Putri Kayangan. 

Dayang Sepuh tertawa pendek lalu berujar.

“Kau suka padanya, bukan?!”

Tampang murid Pendeta Sinting berubah. Dia kem-

bali melirik pada Datuk Wahing dan Gendeng Panun-

tun.

“Brusss! Persoalan jatuh cinta, tidak mengherankan 

jika perempuan yang tahu terlebih dahulu, Anak Mu-

da! Karena perempuan membaca dengan perasaan....” 

Tiba-tiba Datuk Wahing berucap.

“Dan kadangkala perasaan cinta tidak disangka-

sangka datangnya! Ada yang puluhan tahun menung-

gu, ada pula yang begitu ketemu langsung saja ketiban 

cinta!” Gendeng Panuntun menyahuti ucapan Datuk 

Wahing. Lalu tertawa.

Paras murid Pendeta Sinting makin berubah. Terle-

bih ketika dia melirik, dilihatnya Putri Kayangan telah 

bergerak-gerak dan sepasang matanya sudah terbuka. 

Saat lain gadis ini telah bangkit dan menjura pada 

Dayang Sepuh seraya berkata.

“Nek....”

“Sudah! Jangan memakai peradatan!” Dayang Se-

puh ternyata sudah memotong ucapan Putri Kayan-

gan. “Sekarang kita mulai pembicaraan!” Kepala si ne-

nek berpaling pada Datuk Wahing dan Gendeng Pa


nuntun.

“Harap maafkan.... Aku tidak bisa mengikuti pembi-

caraan ini. Aku harus menemui seseorang....” Putri 

Kayangan angkat suara.

“Setan! Siapa yang akan kau temui?!” tanya Dayang 

Sepuh dengan pasang tampang galak. Sepasang ma-

tanya melotot besar-besar.

“Bagaimanapun juga aku harus membawa saudara-

ku menghadap Eyang Guru! Harap kalian mengerti....

Dan sekali lagi kuucapkan terima kasih atas perto-

longannya....” Putri Kayangan anggukkan kepala pada 

Dayang Sepuh dan Pendekar 131.

“Kau benar-benar setan keras kepala!” sentak 

Dayang Sepuh. “Kau bukannya akan membawa sauda-

ramu tapi menyerahkan nyawamu! Kau tahu, sauda-

ramu bersama siapa saat ini!”

Putri Kayangan anggukkan kepala. “Tapi aku harus 

lakukan tugas Eyang Guru, Nek! Kalau aku harus me-

nunggu lebih lama, aku khawatir tak dapat menyela-

matkan saudaraku....”

“Kau kira bekal yang kau miliki mampu menyela-

matkan dan membawa saudaramu, hah?! Kau kira 

enak melakukan apa yang baru kau katakan, hah?!”

“Bekal ku memang tidak banyak. Apa yang kukata-

kan memang berat melakukannya. Tapi ini adalah pe-

rintah yang harus kulaksanakan, Nek!”

“Hem.... Begitu?! Daripada kau mampus di tangan 

setan berjubah hitam itu, lebih baik kau ke neraka me-

lalui tanganku!” Dayang Sepuh angkat tangannya.

“Bibi! Tahan!” teriak murid Pendeta Sinting. Lalu 

melompat ke hadapan Putri Kayangan dan tegak 

menghalangi si gadis dan Dayang Sepuh. “Putri.... Un-

tuk sementara ini, tunda dulu keinginanmu! Perintah 

memang harus dilakukan. Tapi tidak berarti harus 

tanpa perhitungan! Kau tahu, aku menduga mereka


akan membicarakan bagaimana menghadapi manusia 

tanpa sosok itu!” Joko berbisik.

“Apa yang kalian bicarakan?!” Dayang Sepuh mem-

bentak. “Kau juga hendak ikut-ikutan pergi bersama 

gadis setan itu?!”

Pendekar 131 putar diri menghadap si nenek. Be-

lum sampai Joko buka mulut, Dayang Sepuh sudah

mendahului.

“Kau juga akan mampus di tanganku kalau berani 

ikut-ikutan pergi!”

“Brusss! Sudahlah.... Jangan bertindak yang ma-

cam-macam dan mengherankan! Kita semua tahu sia-

pa orang yang kita hadapi saat ini!” Datuk Wahing me-

nengahi.

“Jadi kau sudah tahu, Kek?!” tanya murid Pendeta 

Sinting. “Siapa dia, Kek?!”

“Brusss! Sungguh mengherankan kalau aku tahu 

orangnya, Anak Muda! Yang ku maksud, kita tahu 

sampai di mana kedahsyatan dua benda di tangan 

orang itu!”

Baru saja Datuk Wahing berucap begitu, tiba-tiba 

Gendeng Panuntun gerakkan kepala tengadah. Tangan 

kanannya mengusap cermin bulatnya lalu berujar pe-

lan.

“Ada dua orang hendak lewat di sekitar tempat ki-

ta!”

Tanpa sadar, semua kepala bergerak merunduk. La-

lu mata masing-masing orang sama terpentang tak 

berkesip perhatikan ke arah jalanan di depan sana. 

Sebagian memperhatikan dari jurusan barat, sebagian 

lagi dari jurusan timur. Mereka tidak ada yang buka 

suara atau membuat gerakan.

“Setan! Mana orang itu?!” desis Dayang Sepuh kala 

matanya tidak juga melihat adanya orang. “Jangan-

jangan dia bercanda!”


Tidak ada yang menyahuti ucapan Dayang Sepuh. 

Mereka masih terpaku dengan mata nyalang. Sementa-

ra Gendeng Panuntun mengerjap beberapa kali.

“Setan buta sialan! Kau hanya bikin hati deg-degan 

saja!” Kembali Sayang Sepuh memaki setelah agak la-

ma tidak juga melihat siapa-siapa. Dia orang pertama

yang angkat kepalanya. Disusul dengan murid Pendeta 

Sinting dan Putri Kayangan.

“Di sini bukan tempatnya bergurau, se....” Makian 

Dayang Sepuh terputus. Sekonyong-konyong dia sen-

takkan kepala merunduk. Demikian pula Joko dan Pu-

tri Kayangan. Mata mereka menangkap kelebatan 

bayangan yang berlari cepat dari jurusan timur.

“Ucapannya benar! Tapi perhitungannya meleset!” 

gumam Dayang Sepuh kala pentangan matanya bukan 

melihat dua orang melainkan satu orang. Namun begi-

tu ketegangan pada wajah si nenek mereda tatkala dia 

bisa mengenali kalau si bayangan bukanlah Jubah 

Tanpa Jasad. Karena sosok orang yang berkelebat ter-

lihat nyata.

“Setan! Gerakannya laksana orang kesetanan! Tak 

bisa ku kenali sosoknya!” desis si nenek ketika ma-

tanya tidak bisa mengenali sosok bayangan yang berla-

ri kencang. Dan lewat begitu saja tidak jauh dari tem-

pat di mana Dayang Sepuh dan teman-temannya bera-

da.

“Kau bisa melihat orangnya?!” tanya Dayang Sepuh 

berpaling pada Pendekar 131 dan Putri Kayangan. 

Yang ditanya sama gelengkan kepala. Saat bersamaan 

ketiga orang ini sama angkat kepalanya.

Baru saja kepala mereka terangkat, tiba-tiba dari 

arah barat satu sosok bayangan berkelebat dan tegak 

lurus dari tempat Dayang Sepuh berada. Karena terbu-

ru tegak, terlambat bagi si nenek dan murid Pendeta 

Sinting serta Putri Kayangan untuk rundukkan kepala.


Apalagi sosok bayangan di depan sana sudah mengha-

dap ke arah mereka dan seolah sudah tahu!

***

SEMBILAN



KARENA tak mungkin lagi sembunyikan kepala, 

Dayang Sepuh, Pendekar 131, serta Putri Kayangan 

terpaksa urungkan niat untuk tarik kepala masing-

masing merunduk. Dan karena telanjur, Dayang Se-

puh malah segera longokkan kepala ke depan dengan 

mata makin dipentangkan. Tapi yang paling tampak 

tersentak adalah murid Pendeta Sinting.

“Rupanya setan buta itu lebih bermata daripada 

aku! Orang di depan itu tidak satu, tapi dua!” gumam 

Dayang Sepuh ketika matanya melihat seorang laki-

laki berusia setengah baya mengenakan pakaian warna 

biru gelap. Sosoknya kurus tinggi dengan wajah ce-

kung. Rambutnya yang putih dan panjang tampak 

berkibar-kibar. Di antara kibaran rambutnya terlihat 

satu wajah seorang kakek lanjut usia. Rambutnya 

yang putih sangat tipis hingga batok kepalanya terlihat 

jelas. Sepasang matanya terpejam rapat dengan mulut 

komat-kamit perdengarkan gumaman tak jelas. Kakek 

ini mengenakan pakaian warna putih besar dan pan-

jang. Begitu panjangnya pakaian itu, sebagian tampak 

menyapu tanah sepanjang setengah tombak di bela-

kang!

Si kakek tampak lingkarkan kedua tangannya pada 

bagian bawah leher laki-laki setengah baya. Kedua ka-

kinya yang ternyata tidak lebih besar dari dua kali ibu 

jari dan berwarna hitam legam tampak digelungkan 

pada pinggang laki-laki setengah baya, hingga wajah-

nya berada di punggung orang dan terlihat di antara

kibaran rambut.

“Siapa manusia-manusia tua yang masih main gen-

dong-gendongan ini?!” Dayang Sepuh bertanya-tanya.

Dan seolah tidak sabaran dia segera buka mulut.

“Siapa kalian adanya?!”

Sementara di sampingnya Putri Kayangan seakan 

terkesima dan hanya terdiam. Murid Pendeta Sinting 

mengernyit. “Raja Tua Segala Dewa!” desisnya pelan.

“Setan! Siapa kalian?!” Untuk kedua kalinya Dayang 

Sepuh perdengarkan bentakan tatkala orang di depan 

sana tidak ada yang sambuti ucapan si nenek.

Laki-laki setengah baya berpakaian biru gelap yang 

dipunggungnya menggendong kakek berpakaian putih 

panjang gerakkan kepala berpaling pada wajah di be-

lakangnya.

Si kakek yang digendong perlahan-lahan buka ma-

tanya. Tapi belum sampai setengahnya, orang tua ini 

kembali pejamkan matanya. Laki-laki setengah baya 

tampak gelisah. Dia melirik takut-takut pada Dayang 

Sepuh yang saat itu juga pasang tampang angker.

Pendekar 131 melompat ke samping Dayang Sepuh 

dan berujar kalem. “Bibi.... Aku mengenal mereka....”

Dayang Sepuh melotot. “Aku tidak tanya padamu! 

Aku ingin jawaban dari mulut salah seorang di anta-

ranya!”

Laki-laki setengah baya yang menggendong si kakek 

makin cemas ketika mendapati orang yang digendong 

tidak juga perdengarkan suara. Dia pulang balik me-

mandang pada Dayang Sepuh lalu pada orang yang di-

gendong. Mungkin karena takut melihat tampang ang-

ker Dayang Setan, akhirnya laki-laki setengah baya 

buka mulut.

“Aku....”

Belum sampai laki-laki setengah baya teruskan

ucapan, si kakek yang digendong lepaskan lingkaran


tangannya pada leher orang. Tangan kanannya menge-

tuk punggung laki-laki setengah baya seraya bergu-

mam. “Biar aku yang menjawab....”

Kakek yang digendong arahkan wajahnya pada 

Dayang Sepuh dengan mata tetap terpejam. Saat lain 

mulutnya bergerak membuka.

“Boleh kami berdua ikut kumpul di sini?!”

“Setan! Aku tanya siapa kalian adanya!”

“Aku adalah seorang sahabat.... Dan aku lihat bebe-

rapa orang sahabatku berada di sini!”

“Senang jumpa denganmu lagi, Sahabatku.... Kuha-

rap kau mengerti kecurigaan sahabatku itu....” Gen-

deng Panuntun menyahut. Sepasang matanya yang 

putih mengerjap.

“Brusss! Brusss! Terimalah hormatku.... Harap ti-

dak heran dengan sambutan sahabat cantik ku itu....” 

Datuk Wahing menyambuti sahutan Gendeng Panun-

tun.

“Terima kasih kalian tidak lupa padaku.... Aku juga 

bahagia bisa bertemu dengan kalian kembali....” Kakek 

di gendongan orang berujar. Kepalanya digerakkan 

mengangguk pada Gendeng Panuntun dan Datuk 

Wahing. Lalu masih dengan mata terpejam, si kakek 

hadapkan wajahnya pada murid Pendeta Sinting se-

raya lanjutkan ucapan. “Bagaimana kabarmu, Anak 

Muda?!”

“Aku baik-baik saja, Kek....”

Si kakek tersenyum. Wajahnya bergerak ke arah 

Putri Kayangan. Tapi kali ini tidak perdengarkan suara 

hingga beralih menghadap Dayang Sepuh.

“Nenek nan cantik.... Sekarang boleh aku ikut kum-

pul-kumpul?!”

“Di sini bukan tempatnya kumpul-kumpul! Kalau

kau tidak mau katakan siapa dirimu, aku tak segan 

mengusirmu dengan tanganku!”


“Bibi....”

“Jangan ikut bicara, Cucu Setan! Silakan kau dan 

dua temanmu itu kenal padanya! Tapi aku tak akan 

membiarkan orang yang tidak kukenal berada di sini!”

“Bibi.... Dia adalah....”

“Sekali lagi kau bicara, mulutmu akan kutampar!” 

Dayang Sepuh angkat tangannya seraya menukas 

ucapan murid Pendeta Sinting.

Kakek di atas gendongan orang ketukkan lagi tan-

gannya pada punggung orang yang menggendong. La-

ki-laki setengah baya anggukkan kepala lalu berkata.

“Aku adalah Gulurawa.... Kakek di punggungku ini 

Kiai Geger Panulung. Tapi lebih dikenal dengan Raja 

Tua Segala Dewa....”

“Hem....” Dayang Sepuh menggumam panjang. Lalu 

menoleh pada Pendekar 131. “Benar apa yang di-

ucapkan?!”

Murid Pendeta Sinting jawab dengan anggukkan 

kepala. Namun seolah belum percaya, Dayang Sepuh 

berpaling pada Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun. 

“Benar begitu?!”

“Bruss! Ucapannya tidak mengherankan dan be-

nar!” jawab Datuk Wahing. Sementara Gendeng Pa-

nuntun hanya angguk-anggukkan kepala.

Dayang Sepuh hadapkan wajahnya ke depan pada 

kakek yang digendong dan bukan lain memang Kiai 

Geger Panulung, seorang tokoh rimba persilatan yang 

jarang muncul dan dikenal dengan gelaran Raja Tua 

Segala Dewa.

Kalau tadi tampang Dayang Sepuh dibuat angker,

kini si nenek tampak sunggingkan senyum. Tangan ki-

rinya rapikan poni di depan keningnya. Tangan kanan 

sibakkan helaian rambutnya yang ada di pundak.

“Harap maafkan sikapku tadi...,” kata Dayang Se-

puh. “Selama ini aku hanya tahu namamu tanpa per


nah bertemu. Sementara kami baru saja mengalami 

kejadian tidak enak....”

Kiai Geger Panulung alias Raja Tua Segala Dewa ba-

lik tersenyum. “Seharusnya kami yang minta maaf. Da-

tang tanpa diundang.... Memaksakan diri untuk ikut 

kumpul, padahal kalian akan membicarakan sesuatu 

yang mungkin orang luar tidak boleh mendengar-

nya....”

“Bruss! Adalah mengherankan kalau memandang

mu sebagai orang luar, Sahabat.... Justru kehadiran-

mu yang kami syukuri!”

“Benar.... Kami sedang menghadapi urusan pelik. 

Kami butuh bantuanmu, Sahabat!” Gendeng Panuntun 

menyahuti.

Raja Tua Segala Dewa tersenyum dengan mata ma-

sih terpejam. Kepalanya perlahan menghadap pada 

murid Pendeta Sinting. Bersamaan itu tangan kanan-

nya menyelinap ke balik pakaiannya. Saat tangannya 

ditarik keluar terlihat sebuah sarung pedang berwarna 

kuning.

“Anak muda.... Mungkin ini milikmu. Sahabatku 

Gulurawa menemukannya tergeletak di sana!” Raja 

Tua Segala Dewa menunjukkan ke satu arah.

“Sarung Pedang Tumpul 131!” gumam Joko. “Apa 

dia jumpa pula dengan orang di balik Jubah Tanpa Ja-

sad Ku?! Sarung pedang itu tertinggal di sana....”

Seraya berpikir begitu, murid Pendeta Sinting me-

langkah mendekat. Sarung Pedang Tumpul 131 diam-

bilnya dari tangan Raja Tua Segala Dewa.

“Kek.... Apa kau juga bertemu dengan beberapa

orang di tempat sarung pedang ini ditemukan?!”

Raja Tua Segala Dewa gelengkan kepala. Lalu mem-

beri isyarat pada laki-laki setengah baya yang meng-

gendongnya dan dipanggil dengan Gulurawa untuk 

melangkah mendekati Datuk Wahing dan Gendeng Pa


nuntun.

“Sahabat-sahabat.... Dari orang tua sepertiku ini 

bantuan apa yang bisa kuberikan? Kurasa tenaga-

tenaga muda seperti murid Pendeta Sinting itu lebih 

bisa dimintai bantuan daripada tubuh renta seperti-

ku....”

Mendadak Dayang Sepuh tertawa mendengar uca-

pan Raja Tua Segala Dewa. “Orangnya memang masih 

muda. Wajahnya pun lumayan. Banyak gadis-gadis 

cantik terpikat. Cuma soal bantu membantu, bukan 

dia tempatnya untuk dimintai! Apalagi dalam keadaan 

jatuh cinta seperti saat ini....”

Tampang Joko berubah merah padam. Raut Putri 

Kayangan pun ikut berubah. Namun keduanya tidak 

ada yang buka suara.

“Betul kau sedang jatuh cinta, Anak Muda?!” tanya 

Raja Tua Segala Dewa.

“Nenek satu ini benar-benar sialan!” Murid Pendeta 

Sinting menggerendeng dalam hati. Tapi dia tidak men-

jawab pertanyaan Raja Tua Segala Dewa.

Dayang Sepuh cekikikan lalu melompat ke dekat 

Raja Tua Segala Dewa dan berbisik. “Mungkin dia ma-

lu.... Dia jatuh cinta pada gadis di sampingnya itu!”

“Hem.... Gadis cantik. Siapa dia, Nek?!” tanya Raja 

Tua Segala Dewa.

“Gadis setan bergelar Putri Kayangan!”

Raja Tua Segala Dewa buka kelopak matanya. Lalu 

memandang beberapa lama pada Putri Kayangan. “Se-

perti dia.... Tapi bukan dia....” Mendadak Raja Tua Se-

gala Dewa bergumam.

Dayang Sepuh dan Putri Kayangan serta murid 

Pendeta Sinting sama kerutkan dahi. Namun menden-

gar gumaman si kakek, Putri Kayangan adalah orang 

yang paling tidak enak.

“Apa maksudmu.... Seperti dia tapi bukan dia?!”


tanya Dayang Sepuh. “Kau mengenalinya sebelum 

ini?!”

“Aku tidak mengenalinya. Tapi aku yakin pernah 

melihatnya! Cuma....”

“Cuma apa?!” Tak sabar Dayang Sepuh menyahut.

“Cuma itu tadi. Seperti dia tapi bukan dia!”

“Aneh.... Kau mengatakan tidak mengenalnya tapi 

pernah melihatnya. Seperti dia tapi bukan dia! Teka-

teki setan apa yang kau katakan ini?!”

“Itulah.... Aku sendiri tak mampu menjawabnya....”

“Sahabatku, Datuk Wahing.... Harap simak semua 

ucapannya!” Gendeng Panuntun berbisik pada Datuk 

Wahing.

“Brusss! Ucapannya membuatku heran...,” gumam 

sang Datuk.

“Raja Tua Segala Dewa!” kata Dayang Sepuh. “Terus 

terang saja. Kami baru saja terlibat bentrok dengan 

manusia yang kini mentasbihkan diri sebagai Pengua-

sa Kampung Setan! Sialnya kami tidak mampu meng-

hadapinya! Di tangannya tergenggam Kembang Darah 

Setan. Sementara dia sendiri mengenakan Jubah Tan-

pa Jasad, hingga manusianya tidak bisa dikenali. Se-

lama ini kudengar kau memiliki ilmu aneh.... Kau bisa 

menduga siapa sebenarnya manusia pemakai Jubah 

Tanpa Jasad itu?!”

“Apa yang kau dengar selama ini mungkin hanya 

berita yang tidak benar. Aku tidak memiliki apa-apa,

apalagi yang dikatakan ilmu aneh.... Maka dari itu, ra-

sanya sulit aku menjawab pertanyaanmu.... Mungkin 

sahabatku Gendeng Panuntun tahu jawabannya....”

Mulut Dayang Sepuh mencibir. Lalu kepalanya dige-

lengkan. Raja Tua Segala Dewa tersenyum. “Mungkin 

sahabatku Datuk Wahing bisa membantu....”

“Pada manusia nyata saja setan itu masih heran. 

Bagaimana mungkin dia bisa membantu?!”


“Hem.... Mungkin sahabat muda Pendekar 131....”

Dayang Sepuh tertawa. “Urusan perempuan dia ah-

linya. Bukan urusan aneh-aneh begini!”

“Kek! Kalau kau tidak bisa menduga siapa adanya 

orang di balik Jubah Tanpa Jasad, apa kau tahu ba-

gaimana cara menghadapinya?!” Kali ini yang angkat 

suara adalah murid Pendeta Sinting.

Raja Tua Segala Dewa dongakkan kepala. Tiba-tiba 

dahinya berkerut. Lalu kepalanya yang tengadah ber-

gerak-gerak ke samping kanan kiri. Telinganya terang-

kat tanda orang ini tengah tajamkan pendengaran.

Semua yang melihat tanpa sadar ikut-ikutan men-

gernyit. Dan ikut-ikutan pula tajamkan telinga. Namun 

sebegitu jauh, tidak satu pun di antara mereka yang 

mendengar sesuatu!

Selagi semua orang bertanya-tanya, mendadak Raja 

Tua Segala Dewa berucap pelan. “Aku mendengar sua-

ra tangisan bayi.... Ah, sayang cuma sejenak! Hai! Aku 

bisa melihatnya.... Astaga! Pada pusarnya terlihat mata 

merah.... Dan darah.... Kulihat banyak darah.... Dan 

bulan di atas sana tampak terang benderang....”

Raja Tua Segala Dewa usap wajahnya. Lalu meng-

hela napas panjang. Saat lain kepalanya lurus meng-

hadap Putri Kayangan. “Bukan.... Bukan dia!”

Putri Kayangan tersentak. Dia makin tidak enak 

dan penasaran dengan ucapan orang. Hingga dia bera-

nikan diri buka mulut. Tapi sebelum suaranya terden-

gar, Dayang Sepuh sudah mendahului.

“Aku tidak mendengar apa-apa! Juga tidak melihat 

apa-apa! Bisa kau jelaskan apa yang baru kau dengar 

dan kau lihat?!”

Raja Tua Segala Dewa geleng kepala. “Aku hanya 

bisa mengatakan apa yang kudengar dan kulihat. Tapi 

aku tak bisa menjelaskannya! Karena hanya itulah 

yang kudengar dan kulihat!”


Habis berkata begitu, Raja Tua Segala Dewa arah-

kan pandang matanya pada Datuk Wahing dan Gen-

deng Panuntun. Setelah menghela napas dia berucap.

“Sahabat.... Aku tidak bisa membantu banyak! 

Mungkin sahabat muda murid Pendeta Sinting bisa 

melakukan semuanya! Sekarang aku harus pergi....”

Gendeng Panuntun anggukkan kepala. “Terima ka-

sih atas bantuanmu, Sahabat.... Jika kelak bertemu 

lagi, aku ingin kita ngobrol lebih lama....”

“Mudah-mudahan kita sama diberi umur pan-

jang...,” ucap Raja Tua Segala Dewa. Lalu memandang 

ke arah Dayang Sepuh. “Nek.... Harap tidak berpra-

sangka akan jawabanku tadi.... Seandainya aku tahu, 

pasti sudah kukatakan....” Tanpa menunggu sahutan 

dari si nenek, Raja Tua Segala Dewa alihkan pandan-

gannya pada murid Pendeta Sinting.

“Sahabat muda.... Tugas di depanmu berat.... Tapi 

kuharap kau dapat menyelesaikannya dengan baik! In-

gat.... Bukan dia, tapi seperti kekasihmu itu!”

Lagi-lagi tanpa menunggu sahutan dari orang, Raja 

Tua Segala Dewa telah alihkan pandang matanya pada 

Putri Kayangan. “Kau harus tabah, Sahabatku Can-

tik....”

Habis berkata begitu, Raja Tua Segala Dewa ketuk-

kan tangannya pada punggung Gulurawa. Saat bersa-

maan Gulurawa melompat. Dan berkelebat lenyap di 

depan sana.

***

SEPULUH



BERSAMAAN dengan lenyapnya sosok Raja Tua Se-

gala Dewa, Dayang Sepuh langsung buka mulut den-

gan kepala berpaling pada Gendeng Panuntun. “Kau


terlalu banyak basa-basi dan peradatan! Bantuan apa 

yang diberikan hingga kau mengucapkan terima kasih, 

he?! Dia bukannya memberi bantuan, tapi malah 

membuat otak puyeng! Bicara tak tentu juntrungan!”

“Brusss! Aku juga heran mendengar ucapannya! 

Tapi aku lebih heran lagi dengan ucapanmu, Nenek 

Cantik....” Datuk Wahing sambuti kata-kata Dayang 

Sepuh.

“Bisa mu hanya heran dan heran!” semprot Dayang 

Sepuh.

“Tenang, Nenek...,” ujar Gendeng Panuntun kalem. 

“Kelihatannya sahabat Raja Tua Segala Dewa memang 

tidak banyak membantu! Tapi justru di sinilah jawa-

ban yang kita cari saat ini!”

“Jawaban apa?! Mendengar tangisan bayi dan meli-

hat pusar bermata merah itu kau katakan jawaban?!”

“Betul! Kalau kita dapat menjabarkan apa yang di-

ucapkannya, kita akan mendapatkan jawaban yang ki-

ta cari saat ini....”

Pendekar 131 melompat ke dekat Gendeng Panun-

tun. Namun belum sampai dia buka mulut, Dayang 

Sepuh telah membentak. “Kau juga akan ikut berpikir 

gila seperti mereka?!”

“Bibi.... Apa yang dikatakan Kakek Gendeng Panun-

tun benar. Dua kali aku bertemu dengan Raja Tua Se-

gala Dewa. Aku telah membuktikan bahwa semua

ucapannya benar dan jadi kenyataan! Meski pada mu-

lanya aku juga masih merasa ragu-ragu dan tidak 

mengerti!”

Si nenek terdiam. Joko menoleh pada Gendeng Pa-

nuntun. “Kek.... Suara tangisan bayi jelas maksudnya 

adalah seorang bayi. Namun kau bisa menjabarkan 

maksud daripada ucapan ‘cuma sejenak’ yang dikata-

kan Kakek Raja Tua Segala Dewa?!”

Gendeng Panuntun mengerjap dengan mata mengusap cermin bulatnya. Lalu berkata.

“Biasanya, seorang bayi yang dilahirkan dan pan-

jang umur, maka dia akan menangis lama....”

“Hem.... Maksudmu bayi itu tidak berumur pan-

jang?!” tanya Joko.

Kepala Gendeng Panuntun bergerak mengangguk. 

“Dan biasanya, bayi yang tidak berumur panjang ada-

lah seorang bayi yang dilahirkan belum genap bulan-

nya!”

Dayang Sepuh tersenyum setengah mencibir, “itu 

mungkin masih masuk akal! Lalu apakah masuk akal 

jika dia melihat pada pusar bayi itu ada mata merah?! 

Pusar apa yang bermata merah, hah?!”

“Brusss! Itu mungkin hanya satu tanda, Nenek Can-

tik. Untuk membedakan bayi itu dari bayi lainnya! 

Memang mengherankan, tapi siapa tahu hal itu me-

mang akan ada...!”

“Bulan di atas sana terang benderang...,” kata Joko 

tirukan ucapan Raja Tua Segala Dewa. “Pasti itu ada-

lah saat purnama!”

“Brusss! Untuk yang satu itu baru aku tidak merasa 

heran....!”

“Jadi, bayi itu akan lahir pada malam purnama. Ke-

lahirannya belum genap bulan. Dan pada pusarnya 

terdapat mata berwarna merah....” Pendekar 131 ber-

kata sambil arahkan pandang matanya pada Putri 

Kayangan.

Karena merasa tidak enak, Putri Kayangan kali ini 

menantang pandangan murid Pendeta Sinting hingga 

Joko urungkan lanjutkan ucapannya meski mulutnya 

telah menganga.

“Aku harus pergi...!” Tiba-tiba Putri Kayangan buka 

suara. Kejap lain gadis cantik ini membuat satu gera-

kan dan sosoknya melesat tinggalkan tempat itu.

“Tunggu!” tahan murid Pendeta Sinting seraya melompat dan berkelebat menyusul. Tapi bersamaan den-

gan itu Dayang Sepuh telah melompat memotong gera-

kan Joko dan tegak menghadang dengan berkacak 

pinggang seraya membentak.

“Ini urusanmu, Setan Geblek! Jangan hanya karena 

perempuan maka urusan yang belum selesai kau ting-

gal begitu saja!”

“Brusss! Kuharap ucapannya tidak mengherankan 

mu, Anak Muda!” Datuk Wahing sambung ucapan 

Dayang Sepuh.

“Benar.... Kelak kau pasti akan bertemu dengannya 

lagi! Apalagi jika dikaitkan dengan ucapan sahabat Ra-

ja Tua Segala Dewa yang beberapa kali mengatakan 

‘seperti dia tapi bukan dia’....” Gendeng Panuntun ikut 

menyahut.

Murid Pendeta Sinting akhirnya hanya bisa pan-

dangi sosok Putri Kayangan yang terus berkelebat ke-

mudian lenyap di tikungan jalan. Setelah menghela 

napas panjang Pendekar 131 balikkan tubuh mengha-

dap Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun. “Aku tidak 

tahu apa maksud di balik ucapan Raja Tua Segala De-

wa itu.... Kalian tahu?!”

Datuk Wahing bersin satu kali lalu geleng kepala.

Sementara Gendeng Panuntun tengadahkan kepala 

dengan tangan usap-usap cermin bulatnya. Namun dia 

tidak juga berucap.

“Bibi.... Mungkin kau tahu maksud ucapan itu?!” 

Joko ajukan tanya pada Dayang Sepuh yang tegak di 

belakangnya.

Tidak terdengar sahutan dari si nenek. Namun sete-

lah agak lama si nenek melangkah lewat di samping 

murid Pendeta Sinting seraya berkata.

“Itu ada hubungannya dengan perempuan! Kau 

sendirilah yang memecahkannya!” Dayang Sepuh te-

ruskan langkah ke arah Datuk Wahing dan Gendeng


Panuntun. Lalu berucap lagi. “Datuk Wahing.... Kita 

sudah lama bersama-sama cucu setan itu! Sekarang 

kita lanjutkan saja urusan kita....”

“Brusss! Brusss! Memang sudah waktunya kita per-

gi...,” kata Datuk Wahing lalu berpaling pada Gendeng 

Panuntun. “Sahabat.... Kalau kau tak punya urusan 

mengherankan, aku tawarkan untuk pergi bersama-

sama kita!”

“Ah.... Sebenarnya tawaran menarik, apalagi jalan 

bersama dengan perempuan cantik. Tapi sayangnya 

aku masih punya sesuatu yang harus kulakukan! Ku-

harap kalian akan tawarkan lagi hal ini kelak kalau 

urusanku sudah selesai....”

Dayang Sepuh tertawa panjang mendengar ucapan 

Gendeng Panuntun. Puas tertawa seraya mencibir dia 

berujar.

“Kau layaknya orang penting saja. Selalu dan selalu 

dirundung urusan!”

“Aku sendiri tak tahu mengapa harus begini. Tapi 

dalam urusan saat ini, kurasa aku tidak bisa memban-

tu banyak. Kau simak tadi ucapan sahabat Raja Tua 

Segala Dewa. Urusan ini hanya sahabat muda Pende-

kar 131 yang bisa melakukannya!”

Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun arahkan 

kepalanya pada murid Pendeta Sinting. “Sahabat mu-

da.... Kau telah menemukan jawaban meski belum se-

muanya. Urusan ini sebenarnya tanggung jawab se-

mua orang yang terlibat dalam kancah dunia persila-

tan. Namun menyimak ucapan Raja Tua Segala Dewa, 

rasanya percuma kalau bukan kau yang menyelesai-

kannya! Jadi harap kau maklum kalau aku dan 

mungkin beberapa sahabat yang lain tak bisa mem-

bantu banyak!”

Tanpa menunggu lama, Gendeng Panuntun beran-

jak bangkit. Lalu melangkah hendak tinggalkan tempat


itu.

“Kek.... Tunggu!” teriak Joko lalu melompat ke arah 

Gendeng Panuntun. Mungkin tak mau Gendeng Pa-

nuntun mendahului berkata, Joko cepat angkat bicara.

“Kau dapat menentukan kira-kira purnama kapan 

bayi itu akan lahir?!”

“Ada kemungkinan aku bisa jawab seribu perta-

nyaanmu. Tapi untuk urusan waktu, aku tidak mau 

mendahului kehendak Yang Maha Menentukan!”

“Ini bukan mendahului kehendak. Aku hanya ingin 

tahu kira-kiranya!”

Gendeng Panuntun gelengkan kepala. “Aku tidak 

berani meski hanya mengatakan kira-kiranya, Sahabat 

Muda! Tapi firasat ku mengatakan, kau bakal mene-

mukan jawaban itu!”

Gendeng Panuntun usap cerminnya berulang kali. 

Lalu teruskan langkah. Di sebelah depan sana, tiba-

tiba Gendeng Panuntun berhenti. Kepalanya tengadah. 

Lalu terdengar suaranya.

“Jawaban itu sebentar lagi akan kau temukan, Sa-

habat Muda....”

Suaranya belum lenyap, sosok Gendeng Panuntun 

sudah tidak kelihatan lagi!

“Hem.... Mungkin jawaban itu akan kudengar dari 

Dayang Sepuh atau Datuk Wahing. Bukankah Kakek 

Gendeng Panuntun mengatakan sebentar lagi. Semen-

tara hanya ada mereka yang tinggal di sini!”

Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting segera me-

langkah mendekati Dayang Sepuh dan Datuk Wahing. 

Namun baru saja dia gerakkan kaki, Dayang Sepuh te-

lah gerakkan tangan menarik lengan Datuk Wahing 

hingga si kakek bergerak bangkit. Dan seolah tahu apa 

yang ada dalam pikiran Joko, begitu sosok Datuk Wah-

ing tegak, Dayang Sepuh sudah berkata.

“Jawaban itu tidak akan kau dengar dari mulutku


dan mulut setan tua ini! Karena aku atau setan bersin 

ini bukan ahli ramal-meramal kelahiran bayi! Apalagi 

belum ketahuan siapa manusianya yang akan mela-

hirkan!”

Ucapan Dayang Sepuh membuat murid Pendeta 

Sinting hentikan langkahnya. Sementara Dayang Se-

puh segera menarik kembali lengan Datuk Wahing. 

Saat lain kedua orang ini melangkah tinggalkan tempat 

Ku tanpa berkata apa-apa lagi!

Begitu sosok Dayang Sepuh dan Datuk Wahing le-

nyap, Joko menghela napas dalam. Lalu melangkah 

dan duduk di antara kerapatan semak belukar.

“Rasanya sulit menemukan apa yang dikatakan Ra-

ja Tua Segala Dewa! Belum lagi apa yang harus kula-

kukan pada bayi itu jika benar-benar kutemukan!”

Murid Pendeta Sinting arahkan pandang matanya 

pada rimbun semak belukar yang banyak di sekitar 

tempat dia berada. Mendadak muncul bayangan paras

wajah cantik Putri Kayangan. Hal ini membuat Joko 

teringat akan ucapan Raja Tua Segala Dewa.

“Seperti dia tapi bukan dia.... Hem.... Apa maksud 

ucapan orang tua itu?! Apa ada hubungannya dengan 

urusan bayi itu...?!” Joko tengadahkan kepala dengan 

mata memejam.

Tiba-tiba dia laksana tersentak dan buka kedua ma-

tanya. “Astaga! Jangan-jangan bayi itu akan lahir dari 

Putri Kayangan! Bukankah hanya perempuan yang bi-

sa lahirkan seorang bayi? Tapi bagaimana mungkin?! 

Bukankah Putri Kayangan masih belum bersuami?! 

Tapi.... Siapa tahu sebenarnya dia telah bersuami....” 

Air muka murid Pendeta Sinting berubah. “Apa benar 

dia telah bersuami?! Tapi ah.... Raja Tua Segala Dewa 

mengatakan bukan dia! Berarti bayi itu tidak akan la-

hir dari Putri Kayangan. Ucapan Raja Tua Segala Dewa 

mungkin hanya menyamakan soal jenis perempuannya


yang akan melahirkan bayi itu! Tapi siapa...?!”

Krakkkk!

Tiba-tiba terdengar ranting patah. Pendekar 131 ce-

pat berpaling. Sepasang matanya menyipit lalu mem-

belalak saat melihat gerakan pada rumpun semak be-

lukar berjarak lima belas langkah dari tempatnya.

Joko cepat bangkit. Rumpun semak belukar makin 

bergerak-gerak. Saat lain satu sosok tubuh mencuat 

ke udara setinggi tiga tombak. Pendekar 131 mengikuti 

gerakan sosok yang melayang di atas udara.

Tiba-tiba sosok di atas udara membuat gerakan 

jungkir balik dua kali dan sekonyong-konyong melun-

cur deras ke arah murid Pendeta Sinting! Walau si so-

sok tidak mendorong kedua tangannya melepas puku-

lan, namun Joko merasakan sambaran gelombang 

dahsyat menghampar!

Melihat gelagat kurang baik, murid Pendeta Sinting 

cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. 

Lalu melompat ke samping kanan dengan tangan di-

angkat.

Sosok yang meluncur merubah arah dan meluncur 

tepat ke arah Joko. Belum sempat murid Pendeta Sint-

ing membuat gerakan, tahu-tahu si sosok telah tegak 

empat tindak di hadapannya!

***

SEBELAS



DIA adalah seorang pemuda berwajah tampan. Ku-

misnya lebat hitam. Hidungnya agak mancung. Ra-

hangnya kokoh. Namun ada sedikit keanehan. Meski 

dia seorang pemuda tampan, rambutnya ternyata pu-

tih dan dibiarkan awut-awutan! Sepasang matanya 

agak sayu. Dan pakaian warna biru yang dikenakan

terlihat amat tebal! Kedua telapak tangannya dibung-

kus dengan kaos tangan dari kulit. Sementara sepa-

sang kakinya memakai kasut juga dari kulit!

Sesaat pemuda berwajah tampan yang baru muncul 

memandang pada murid Pendeta Sinting. Tiba-tiba dia 

tertawa ngakak seraya angkat tangan kanannya dan 

menunjuk-nunjuk pada Joko.

Pendekar 131 kerutkan dahi. Cuma sekejap. Saat 

lain tangan kirinya diluruskan menunjuk pada orang 

di hadapannya. Pada saat yang sama mulutnya mem-

buka perdengarkan tawa bergelak!

Si pemuda di hadapan Joko putuskan tawanya. 

Tangan kanannya ditarik pulang. Kepalanya didorong 

ke depan dengan mata dibeliakkan. Murid Pendeta 

Sinting luruhkan tangan kirinya. Gelakan tawanya di-

putus. Saat bersamaan kepalanya digerakkan ke de-

pan dengan mata dipentang besar-besar!

Si pemuda di depan murid Pendeta Sinting tarik 

kembali kepalanya. Joko ikut-ikutan tarik pulang ke-

palanya. Si pemuda kembali angkat tangan kanannya 

menunjuk pada Joko lalu menunjuk pada dirinya den-

gan kepala mengangguk-angguk.

Pendekar 131 tidak tinggal diam. Tangan kirinya se-

gera ditunjukkan pada orang lalu ditarik dan ditun-

jukkan pada dirinya sendiri dengan kepala membuat 

gerakan mengangguk-angguk. Si pemuda tertawa lagi. 

Joko ikut pula tertawa.

Si pemuda kerutkan dahi. Tangan kanannya diang-

kat ke mulutnya. Lalu telapak tangannya dihadapkan 

pada Joko dengan digerakkan mengembang menutup 

berulang kali. Joko segera pula kernyitkan kening. 

Tangan kirinya juga diangkat ke mulutnya lalu diha-

dapkan pada si pemuda dengan telapak dikembangkan 

lalu ditutup beberapa kali.

Si pemuda makin kerutkan dahi. Seraya terus kembang tutupkan telapak tangan kanannya, kepalanya 

menggeleng dan mengangguk.

“Gila! Aku bisa ikut-ikutan gila kalau terus tirukan 

orang ini!” gumam Pendekar 131 pada akhirnya. “Dari 

gerakannya, pemuda ini mungkin bisu.... Repot jika 

berhadapan dengan orang bisu! Biasanya orang bisu 

akan diikuti dengan tuli....”

“Kau tidak bisa bicara?!” tanya Joko seraya mem-

buat isyarat dengan tangan kiri dikembang-

kembangkan.

Si pemuda tertawa terbahak-bahak. Lalu tunjuk-

tunjuk telinganya dan tangannya membuat gerakan 

melingkar besar.

“Tepat dugaanku! Dia tuli dan isyarat tangannya 

memberi petunjuk agar aku bicara keras-keras! Hem.... 

Apa yang akan kubicarakan dengannya?! Rasanya ti-

dak ada perlunya.... Tapi, kehadirannya di tempat itu 

tanpa bisa kuketahui memberi tanda kalau dia orang 

berilmu.... Ah, lebih baik aku segera saja tinggalkan 

tempat ini! Teka-teki ucapan Raja Tua Segala Dewa 

akan makin memusingkan jika ditambah dengan 

menghadapi orang seperti dia....”

Berpikir begitu, setelah tersenyum dan anggukkan 

kepala pada si pemuda di hadapannya, murid Pendeta 

Sinting putar diri. Namun mendadak gerakannya dita-

han. “Astaga! Bukankah Gendeng Panuntun tadi men-

gatakan....” Joko tidak lanjutkan kata hatinya. Dia ce-

pat putar kembali tubuhnya menghadap si pemuda.

“Hai!” teriak Joko ketika dilihatnya si pemuda telah 

balikkan tubuh dan hendak melangkah pergi.

Namun seolah tak mendengar teriakan orang, si 

pemuda teruskan gerakan kakinya. Murid Pendeta 

Sinting berkelebat ke depan dan tegak di hadapan si 

pemuda. Memandang sejurus lalu buka suara.

“Boleh tahu siapa kau adanya?!”

Si pemuda mengernyit. Langkahnya dihentikan. 

Tangannya bergerak ke depan dan telapak tangannya 

bergerak-gerak membuka menutup lalu menunjuk pa-

da Joko dan dirinya.

Pendekar 131 tersenyum lalu angguk-anggukkan 

kepala. Di hadapannya si pemuda ikut tersenyum. La-

lu kembali gerakkan telapak tangannya membuka me-

nutup. Sementara tangan satunya membuat lingkaran 

besar dan tunjuk-tunjuk kedua telinganya.

Murid Pendeta Sinting dapat menangkap maksud 

orang. Dia segera kerahkan sedikit tenaga dalamnya 

lalu berteriak.

“Boleh tahu siapa kau adanya?!”

Si pemuda tadangkan kedua tangannya pada ba-

gian belakang telinganya. Lalu kepalanya menggeleng. 

Saat bersamaan tangan satunya membuat lingkaran 

besar.

“Busyet! Dia masih belum bisa mendengar!” Joko 

menghela napas. Dia lipat gandakan tenaga dalam dan 

berteriak lagi.

“Siapa kau?!”

Si pemuda anggukkan kepala. Bibirnya tersenyum. 

Joko menunggu. Namun tiba-tiba dia ingat. “Dia bi-

su.... Bagaimana dia bisa jawab pertanyaanku?! Ta-

pi.... Mungkin dia bisa menulis....”

Ingat hal itu, Joko segera jongkok lalu telunjuknya 

digores-goreskan ke tanah. Namun si pemuda tampak 

gelengkan kepala. Lalu menunjuk pada murid Pendeta 

Sinting dan dirinya. Karena Joko tidak mengerti, ak-

hirnya dia hanya memandang dan menunggu.

Si pemuda tertawa. Kedua tangannya perlahan-

lahan bergerak melepas pakaian birunya. Joko sedikit 

besarkan matanya. Ternyata di balik pakaian biru ter-

lihat lagi pakaian warna putih. Namun saat lain mata 

murid Pendeta Sinting terbelalak ketika pakaian warna


biru luruh ke bawah. Ternyata pakaian itu adalah pa-

kaian panjang milik seorang perempuan!

“Busyet! Dia mengenakan pakaian perempuan! Apa 

maksudnya?!”

Selagi Joko terheran-heran, si pemuda yang kini 

mengenakan pakaian putih milik perempuan balikkan 

tubuh. Tangan kanannya diangkat. Terdengar seperti 

kain tersobek. Tangan si pemuda campakkan selembar 

kulit tipis. Lalu putar diri.

Murid Pendeta Sinting pentangkan mata. Di hada-

pannya kini tegak seorang gadis muda berparas cantik 

jelita.

“Kalau saja rambutnya tidak putih dan awut-

awutan....”

Si pemuda yang kini berubah menjadi seorang gadis 

berparas jelita liukkan tubuh dengan pantat digoyang-

goyang. Saat bersamaan dari mulutnya terdengar sua-

ra uuukk! Ukkkk! Ukkkk! berulang kali. Lalu si gadis

cantik ini bergerak-gerak kian kemari, menari diiringi 

suara uukk! Ukkkk! Ukkkk! tiada henti.

Joko hanya bisa geleng-geleng kepala sambil terse-

nyum. Namun tiba-tiba gerakan kepalanya terhenti. 

Senyum di bibirnya pupus laksana disentak setan ke-

tika melihat si gadis membuat gerakan berputar-putar 

dengan tangan terangkat. Dan ketika dia hentikan pu-

taran tubuhnya dan menghadap ke arah Joko, ternya-

ta wajahnya telah berganti menjadi seorang nenek!

Si nenek tertawa panjang. Lalu dengan cepat tan-

gannya bergerak lepas kancing-kancing pakaian pu-

tihnya. Karena menduga di baliknya tidak mengenakan 

pakaian lagi, dengan dada masih terheran-heran, mu-

rid Pendeta Sinting segera palingkan kepala.

“Ukkk! Ukkkk! Ukkkk!” Si nenek perdengarkan sua-

ra. Perlahan-lahan kepala Joko bergerak dengan mata 

setengah disipitkan. Namun mendadak matanya bergerak membuka besar-besar. Di hadapannya tegak seo-

rang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian lu-

suh berwarna putih. Kumisnya tebal berwarna putih. 

Di bawahnya terhampar pakaian warna putih milik 

seorang perempuan. Di sebelah pakaian putih tergele-

tak kulit tipis membentuk wajah seorang nenek!

Si kakek menunjuk pada dirinya berkali-kali. Lalu 

melepas kaos di kedua tangan dan kakinya. Di balik 

kaos tangan dan kaki itu terlihat kulit yang telah men-

geriput.

“Dia seakan menunjukkan kalau saat ini adalah 

bentuknya yang asli!” Joko rupanya dapat menangkap 

isyarat orang. Lalu anggukkan kepala dan tersenyum.

“Sekarang mau tuliskan siapa kau adanya?!” Joko 

segera bertanya.

Si kakek gelengkan kepala dengan kedua tangan di-

tadangkan di belakang kedua telinganya. Memberi 

tanda jika dia belum mendengar suara Joko.

Meski kesal akhirnya Pendekar 131 kerahkan tena-

ga dalam lalu ulangi ucapannya. Si kakek tertawa se-

raya gelengkan kepala.

“Hem.... Mungkin bukan dari orang ini jawaban itu 

akan ku peroleh!” gumam Joko mulai ragu-ragu meli-

hat sikap orang. Dia sudah putuskan hendak mening-

galkan tempat Ku. Lalu berkata dengan suara keras.

“Aku harus pergi.... Kelak mudah-mudahan kita 

jumpa lagi dan bisa bicara lebih lama!”

“Ukkkk! Ukkkk! Ukkkk!” Si kakek buka mulut. Tan-

gan kiri kanannya bergerak-gerak ke samping kiri ka-

nan memberi isyarat mencegah kepergian Joko.

Joko urungkan niat. Si kakek tersenyum. Lalu me-

nunjuk pada Joko. Tangan kanannya ditarik dan dile-

takkan di atas jidatnya. Lalu diangkat diputar-putar di 

atas kepala. Saat lain tangannya ditarik ke bawah. Di 

atas perutnya dia membuat lingkaran besar dari atas


ke bawah dengan perut disorongkan ke depan.

Murid Pendeta Sinting sesaat memperhatikan. Kejap 

lain dia melompat ke depan.

“Betul! Betul! Aku tengah dibuat pusing dengan 

kandungan seseorang!”

Si kakek gelengkan kepala seraya tadangkan kem-

bali kedua tangannya di belakang telinga. Rupanya ka-

rena senang gerakan orang mengisyaratkan orang ha-

mil, Joko jadi lupa dan angkat suara dengan pelan.

“Betul, Kek! Aku sedang pusing dengan kandungan 

seseorang!” kata Joko dengan suara keras. “Kau tahu 

kapan bayi itu akan lahir?!”

Si kakek arahkan pandang matanya ke langit. Ke-

dua tangannya diangkat dan bergerak membuat ben-

tuk bundaran. Lalu menunjuk ke langit.

“Betul! Bulan purnama! Tapi purnama kapan?!” 

tanya murid pendeta Sinting dengan suara tetap dike-

rahkan.

Si kakek memandang pada Joko. Mulutnya mem-

buka perdengarkan suara ukkk! Ukkk! berulang kali. 

Lalu tangan kanannya diangkat. Dua jarinya dikem-

bangkan. Sementara tangan kiri menunjuk jauh.

“Hem.... Maksudmu dua bulan mendatang?!”

Si kakek dekatkan telinganya ke depan seraya diha-

dapkan ke arah Pendekar 131.

“Dua bulan di depan!” teriak Joko keras-keras.

Lagi-lagi si kakek kerutkan kening. Lalu geleng-

geleng kepala dengan tangan ditusuk-tusukkan pada 

telinganya. Kepalanya ditarik menjauh.

Murid Pendeta Sinting tertawa dalam hati. Karena 

isyarat si kakek menunjukkan jika telinganya berden-

gung sakit akibat suara Joko yang terlalu keras. Apa-

lagi suara itu dengan pengerahan tenaga dalam.

“Hem.... Dua bulan mendatang.... Kini teka-teki itu 

tinggal dari perempuan mana bayi akan lahir! Kakek


itu tahu kapan si bayi akan lahir, mungkin dia juga 

tahu dari perempuan mana bayi itu akan lahir!”

Berpikir begitu murid Pendeta Sinting segera kerah-

kan kembali tenaga dalamnya. Saat lain dia buka mu-

lut.

“Kek! Kau tahu dari perempuan mana bayi itu kelak 

akan lahir?! Setidaknya kau bisa memberikan tanda-

tandanya perempuan itu?!”

Si kakek angkat kedua tangannya sejajar dada. 

Tangan kanannya diangkat sedikit lagi ke arah mu-

kanya. Lalu digerakkan berputar. Saat lain dia acung-

kan ibu jarinya. Sesaat kemudian, tangan kiri diang-

kat, diputarkan pada wajahnya lalu ibu jarinya di-

acungkan ke depan menjajari ibu jari tangan kanan.

“Hem.... Perempuan cantik...,” gumam Pendekar 

131. Lalu anggukkan kepala memberi isyarat kalau dia 

mengerti apa maksud si kakek.

Si kakek tersenyum. Lalu menunjuk pada Joko ke-

mudian ditunjukkan pada ibu jarinya. Joko kernyitkan 

dahi coba menangkap isyarat. Namun kali ini dia ma-

sih ragu-ragu. Hingga dia gelengkan kepala.

“Ukkk! Ukkkkk! Ukkk!” Si kakek buka mulut. Lalu 

saling hadapkan kedua tangannya. Saat lain menun-

juk pada murid Pendeta Sinting dan dirinya.

“Ah.... Aku tahu.... Maksudnya aku pernah bertemu 

dengan perempuan itu!” gumam Joko. Namun karena 

belum yakin benar, Joko segera mendekat dan berte-

riak.

“Maksudmu aku pernah bertemu dengan perem-

puan yang akan melahirkan itu?!”

Si kakek tertawa seraya acungkan ibu jarinya. Mu-

rid Pendeta Sinting ikut tersenyum meski dadanya mu-

lai di buncah perasaan tak karuan. Sekilas terbayang 

wajah-wajah cantik milik Dewi Seribu Bunga, Saraswa-

ti, Puspa Ratri, Putri Kayangan, Pitaloka, dan terakhir


justru Dayang Sepuh.

Puas tertawa si kakek kembali gerakkan tangan kiri 

kanan ke wajahnya dan diputar. Lalu ibu jari tangan 

kanan kiri diacungkan ke depan. Saat lain ibu jari tan-

gan kiri diangkat lebih tinggi dari ibu jari tangan ka-

nan. Ibu jari tangan kiri digoyang-goyangkan lalu ke-

palanya bergerak mengangguk. Saat lain dia goyang-

goyangkan ibu jari tangan kanan dengan kepala meng-

geleng.

Pendekar 131 coba berpikir. Namun setelah agak 

lama tampaknya dia belum tahu apa maksud isyarat

orang. Hingga dia segera berteriak.

“Aku belum tahu apa maksudmu!”

Si kakek gelengkan kepala dengan mata cemberut. 

Lalu kembali membuat gerakan seperti tadi dan diak-

hiri dengan goyangan pada ibu jari tangan kanan den-

gan kepala menggeleng.

“Hem.... Sulit menjabarkan apa maksudnya...,” ujar 

Joko. Lalu gelengkan kepala sambil berteriak. “Aku tak 

bisa menangkap isyarat mu!”

Si kakek menghela napas panjang. Lalu mencibir 

sambil menepuk keningnya dan tangannya membuat 

bundaran.

“Jangkrik! Dia mengejek ku tidak bisa berpikir dan 

bodoh!” desis murid Pendeta Sinting mengerti apa yang 

dilakukan si kakek. Namun Joko tidak mau bertindak 

lebih jauh karena bagaimanapun juga si kakek telah 

banyak membantu.

“Apa yang harus kulakukan untuk dapat mengeta-

hui apa maksudnya?! Hem.... Mungkin dia dapat me-

nulis....” Joko memberi isyarat dengan gerakkan tan-

gan seperti orang menulis. Dan khawatir si kakek be-

lum mengerti, Joko segera berucap.

“Kau bisa menulis?!”

Si kakek gelengkan kepala. Namun sesaat kemu


dian tangannya bergerak-gerak di udara.

“Hem.... Gerakannya ruwet. Tapi sepertinya aku bi-

sa menduga....”

Pendekar 131 sorongkan kepalanya ke depan lalu 

buka mulut. “Kau hendak menggambar?!”

Si kakek tertawa sembari anggukkan kepala. Joko 

cepat berkelebat mematahkan sebuah ranting agak be-

sar lalu diberikan pada si kakek.

Si kakek memandang sesaat pada murid Pendeta

Sinting lalu sambuti patahan ranting yang disodorkan 

padanya. Kejap lain dia bergerak jongkok. Patahan 

ranting di tangannya mulai digoreskan di atas tanah.

Si kakek membuat gambar dua wajah perempuan. 

Di atasnya diberi angka satu dan dua. Lalu meman-

dang pada Joko seraya membuat gerakan saling ha-

dapkan kedua tangannya kemudian menunjuk pada 

dua gambar di tanah. Joko anggukkan kepala. Si ka-

kek tertawa lalu tunjuk gambar nomor satu dengan 

kepala mengangguk. Saat lain menunjuk pada gambar 

nomor dua dengan kepala menggeleng.

“Waduh.... Apa maksudnya...?! Aku pernah bertemu 

dengannya. Tapi apa maksud anggukan dan gelengan 

kepalanya?! Dan mengapa dia membuat dua gambar?! 

Adakah dua orang perempuan yang hendak melahir-

kan...?!”

“Kek!” kata Joko. “Maksudmu akan ada dua perem-

puan yang mengandung?!”

Si kakek menjawab dengan tunjukkan patahan 

ranting pada gambar nomor satu. Kemudian berikan 

tanda silang pada gambar nomor dua.

“Berarti cuma ada satu perempuan yang mengan-

dung.... Anehnya mengapa dia membuat dua gam-

bar?!”

Belum sampai Joko utarakan apa yang masih 

mengganjal dalam dadanya, si kakek telah bergerak


bangkit. Patahan ranting dicampakkan ke tanah lalu 

menunjuk silih berganti pada dua gambar di tanah. 

Saat lain menunjuk pada Joko dengan tangan satunya 

menunjuk pada dadanya sendiri, lalu mulutnya men-

guncup. Tangan kiri diangkat didekatkan pada mulut-

nya lalu dia meniup.

“Ukkkkkk!” Si kakek bergumam panjang dengan 

tangan kiri disentakkan ke depan seolah tersembur 

oleh hembusan mulutnya.

“Busyet! Aku makin bingung dengan isyaratnya!” 

gumam Joko tak mengerti. Lalu berteriak. “Kek! Aku 

tak mengerti! Bisa terangkan dengan cara lain?!”

Si kakek lagi-lagi mencibir. Saat lain dia berkelebat. 

Joko tersentak. Dia cepat mengejar. Namun si kakek 

gerakkan kakinya ke belakang. Satu gelombang dah-

syat melesat. Gerakan murid Pendeta Sinting bukan 

saja tertahan, namun jika dia tidak segera kerahkan 

tenaga dalam untuk kuasai diri, niscaya sosoknya 

akan terjajar dan terjengkang di atas tanah!

Pendekar 131 gelengkan kepala. Saat lain dia segera 

berkelebat hendak mengejar. Namun belum sempat so-

soknya bergerak, satu bayangan meluncur deras. Ta-

hu-tahu si kakek telah tegak lima langkah di hada-

pannya. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Joko 

memperhatikan dengan seksama. Ternyata di tangan si 

kakek tergenggam setangkai bunga mawar merah.

“Ukkk! Ukkkk! Ukkkk!” Si kakek buka mulut. Lalu 

tangan kanannya yang menggenggam mawar merah 

didekatkan pada dua gambar di tanah silih berganti. 

Saat lain diberikan pada Joko.

Murid Pendeta Sinting sambuti bunga mawar me-

rah. Si kakek tersenyum sambil anggukkan kepala. 

Saat lain dia gerakkan tangan melambai-lambai. Ber-

samaan dengan itu sosoknya berkelebat tinggalkan 

tempat itu.


“Kek! Tunggu!” teriak Joko keras-keras seraya ber-

kelebat. Namun sekuat tenaga dia kerahkan ilmu pe-

ringan tubuh serta tenaga dalam dan luarnya, dia gag-

al mengejar malah tak lama kemudian kehilangan je-

jak!

Dengan mulut megap-megap, Joko angkat tangan-

nya yang menggenggam mawar pemberian si kakek. 

Dia teringat akan tindakan si kakek yang dekatkan

mawar pada dua gambar di tanah lalu diberikan pa-

danya.

“Hem.... Mawar merah adalah lambang cinta.... 

Jangan-jangan.... Ah! Apa maksudnya perempuan itu 

mencintai ku.... Tapi bagaimana mungkin?! Kalau ha-

mil berarti dia sudah punya suami! Apa mungkin dia 

masih jatuh cinta lagi, apalagi padaku?! Ah.... Itu uru-

san nanti. Yang penting, siapa perempuan itu?! Dan 

mengapa dua?!”

Karena tidak bisa menemukan jawabannya, murid 

Pendeta Sinting melompat ke bawah sebatang pohon 

besar.

“Memikirkan terus menerus bisa membuatku gila! 

Aku akan istirahat dahulu! Siapa tahu aku bisa men-

dapatkan jawabannya di alam mimpi!”

Dengan cengar-cengir Pendekar 131 rebahkan diri 

di bawah pohon. Saat lain terdengar dengkurannya!

***

DUA BELAS



JUBAH hitam tanpa kelihatan sosok pemakainya itu 

berkelebat dengan perdengarkan suara deruan angker. 

Saat sepuluh tombak di depan sana tampak sebuah 

aliran sungai, jubah hitam yang bukan lain Jubah 

Tanpa Jasad yang dikenakan Kiai Laras berhenti.

“Aku ingin tahu bagaimana tampangku saat men-

genakan Jubah Tanpa Jasad ini hingga semua orang 

tidak mengenaliku lagi!” gumam Kiai Laras seraya per-

hatikan dirinya. Bibirnya sunggingkan senyum. “Tidak 

kuduga sama sekali akan begini akhirnya! Sekarang 

aku bukan saja dapat membalaskan semua rasa sa-

kitku pada orang-orang yang membuatku kecewa pada 

puluhan tahun silam, namun aku sekarang pantas pu-

la menyandang sebagai tokoh tanpa tanding di kolong 

jagat! Ha.... Ha.... Ha...!” Kiai Laras tertawa ngakak. 

Lalu teruskan kelebatannya.

Kiai Laras hentikan larinya di pinggir aliran sungai. 

“Mungkinkah tampangku memang berubah?!” Kiai La-

ras kembali menggumam. Dia arahkan pandang ma-

tanya ke seantero tempat itu.

Seperti diketahui, Kiai Laras sempat terkejut men-

dapati Datuk Wahing, Dayang Sepuh bahkan kakak 

kandungnya sendiri Kiai Lidah Wetan tidak mengenali 

siapa dirinya. Selain hal itu mendatangkan rasa gembi-

ra pada Kiai Laras karena dia tidak diketahui, sebe-

narnya dia merasa penasaran. Maka dia sengaja pergi 

ke aliran sungai ingin melihat di permukaan air men-

gapa orang-orang yang diyakininya pasti mengenalnya 

sampai tidak bisa mengenali.

Perlahan-lahan Kiai Laras gerakkan kepalanya ke 

depan untuk berkaca di permukaan air. Sesaat mata

Kiai Laras menyipit dengan dahi mengernyit. Karena 

dia tidak bisa melihat pantulan tubuhnya di permu-

kaan air.

“Aneh.... Atau karena airnya kotor?!” Kiai Laras ta-

rik kembali kepalanya. Lalu perhatikan aliran air. “Air 

ini bersih.... Tapi mengapa bayangan ku tidak keliha-

tan?”

Untuk yakinkan diri, kembali Kiai Laras gerakkan 

kepalanya ke depan, berkaca di permukaan air. “Ah....


Aku memang tidak melihat pantulan kepalaku!” Kiai 

Laras angkat kedua tangannya dan diluruskan ke de-

pan dengan kepala melongok ke bawah.

‘Telapak kedua tanganku tidak kelihatan. Yang ter-

lihat hanya lengan jubah ini! Jadi....” Kiai Laras ber-

jingkrak. “Jubah hebat.... Inilah jawabannya mengapa 

manusia-manusia itu tidak bisa mengenaliku! Ternyata 

tubuhku tidak kelihatan!”

Kiai Laras mundur beberapa tindak. Kepalanya ber-

gerak memutar. Saat lain dia melepas Jubah Tanpa 

Jasad. Jubah Tanpa Jasad diletakkan di atas tanah. 

Setelah perhatikan berkeliling sekali lagi, dia maju ke 

pinggiran sungai. Kepala dan kedua tangannya dige-

rakkan ke depan.

Kali ini di atas permukaan air, sang Kiai bisa meli-

hat pantulan kepala serta kedua tangannya. Kiai Laras 

manggut-manggut seraya tersenyum. Lalu melompat 

ke belakang dan cepat-cepat mengenakan kembali Ju-

bah Tanpa Jasad.

Kiai Laras tengadahkan kepala memandang langit. 

Mulutnya membuka.

“Aku akan menguasai bumi! Semua manusia di ko-

long jagat harus tunduk pada kakiku! Dan aku akan 

mendirikan sebuah kerajaan! Ha.... Ha.... Ha...!”

Sembari terus tertawa bergelak, Kiai Laras berkele-

bat tinggalkan pinggiran sungai. Dia berkelebat ke 

arah selatan. Jubah Tanpa Jasad kembali perdengar-

kan deruan angker.

Ketika matahari sudah condong dan hampir jatuh 

di kaki langit, Kiai Laras baru hentikan larinya. Saat 

itu dia telah tegak di bibir jurang.

Kiai Laras putar pandangan. Lalu melongok ke ju-

rang di bawahnya. “Hem.... Suasana gelap membuat 

jurang ini terlalu hitam untuk dilihat! Apa aku harus 

terjun?!” Kiai Laras bimbang. Namun paras wajahnya


tampak tegang. Bukan takut melihat kedalaman ju-

rang, melainkan membayangkan hawa kemarahan!

“Aku telah sampai di sini! Tidak ada gunanya mem-

buang waktu! Jahanam itu harus mampus sekarang 

juga!”

Baru saja Kiai Laras mendesis begitu, mendadak sa-

tu bayangan mencuat ke udara di sebelah belakang. 

Kiai Laras sedikit tersentak. Dia cepat putar diri. Tahu-

tahu di hadapannya telah tegak seorang kakek berusia 

amat lanjut. Tangan kanannya memegang tongkat. 

Rambutnya yang tipis disanggul ke atas. Tubuhnya 

hanya tinggal tulang-belulang. Dari kedua matanya 

yang sayu tampak air yang terus menerus merembes. 

Tanda orang ini sudah demikian tuanya.

“Kala Marica! Beruntung kau belum mampus di 

tangan orang lain!” Kiai Laras buka mulut membentak.

Kakek di hadapan Kiai Laras yang disebut Kala Ma-

rica terkesiap. Untuk beberapa lama dia pandangi ju-

bah tanpa sosok yang mengapung di udara.

“Jubah Tanpa Jasad!” seru Kala Marica dengan bi-

bir bergetar.

“Bagus! Nama besarmu rupanya tidak cuma nama. 

Terbukti kau telah mengenali jubah di depan matamu! 

Ha.... Ha.... Ha...! Tapi nama besarmu hari ini akan 

terkubur selamanya!”

“Siapa kau, Sahabat?!” Kala Marica bertanya den-

gan suara kalem.

“Selama ini kau dikenal sebagai manusia yang bisa 

melihat apa yang tidak bisa dilihat orang lain! Apakah 

kemampuanmu telah lenyap, Jahanam Kala Marica?!”

Kala Marica tidak menjawab. Diam-diam dalam hati 

kakek ini berkata. “Apakah mungkin dia Penguasa 

Kampung Setan?! Tapi bukankah dia telah meninggal 

puluhan tahun silam dan hanya tinggal kerangkanya 

saja?! Atau barangkali anak turunannya?! Kalau benar, mengapa dia punya niat hendak membunuhku?! 

Selama ini aku tidak pernah membuat urusan dengan 

orang lain.... Kalau orang ini mengenakan Jubah Tan-

pa Jasad, berarti dia membekal pula Kembang Darah 

Setan.... Hem.... Sulit bagiku menduga siapa adanya 

orang ini!”

“Kala Marica! Takdir kematianmu sudah tidak bisa 

ditunda lagi! Namun aku masih memberi pilihan atas 

takdir kematianmu! Tanganku sendiri yang akan me-

lakukannya atau tongkat di tanganmu yang akan bica-

ra pada tuannya sendiri!”

“Sahabat.... Rasanya selama ini aku tidak pernah 

punya silang sengketa dengan seseorang! Adalah aneh 

kalau kau kali ini datang hendak membunuhku! Bisa 

jelaskan apa masalahnya?!”

Kiai Laras tertawa dahulu sebelum akhirnya berka-

ta. “Puluhan tahun silam kau pernah menolak seorang 

kere yang hendak berguru padamu! Kau mentang-

mentang seorang tokoh yang bernama besar dan dis-

egani hingga seenak perutmu kau menolak!”

Kala Marica usap rembesan air matanya. Dahinya 

yang amat mengeriput bergerak mengernyit. Dia coba 

mengingat. Namun tampaknya dia gagal. Hingga pada 

akhirnya ia berucap. “Sahabat.... Saat puluhan tahun 

silam memang banyak pemuda yang hendak berguru

padaku. Bukan kau saja sebenarnya yang ku cegah. 

Tapi semua yang datang dengan niat sama seperti-

mu.... Kau tahu, Sahabat.... Penolakan ku bukan ka-

rena aku bernama besar atau disegani. Sama sekali 

bukan karena itu. Justru aku sadar kalau aku tidak 

pantas disebut guru dan maklum aku tidak memiliki 

ilmu seperti yang didengar orang. Lain daripada itu, 

karena aku tidak mau menciptakan dunia ini makin 

parah seandainya aku mengangkat murid dan ternyata 

murid itu tidak pergunakan apa yang dimiliki untuk


kebaikan! Itulah pertimbangan ku mengapa aku men-

cegah beberapa orang yang berniat mengangkat ku se-

bagai guru....”

“Sudah cukup bicara omong kosong mu, Kala Mari-

ca?!” tanya Kiai Laras dengan suara dingin.

“Sahabat.... Kau memang berhak menilai ucapanku! 

Tapi aku bicara apa adanya!”

Kiai Laras tertawa pendek. “Silakan kau bicara 

bermacam alasan! Yang jelas kau telah kecewakan hati 

seseorang! Dan hari ini dia minta imbalan atas rasa 

kecewanya! Tidak banyak yang kuminta! Cuma selem-

bar nyawamu! Dan kau telah dengar pilihannya! Den-

gan tanganku atau dengan tongkat di tanganmu sendi-

ri!”

“Sahabat.... Kematian adalah satu hal yang pasti. 

Tapi aku tak ingin memilih jalan kematianku....”

“Bagus! Jika begitu aku yang akan memilihkan ja-

lan kematian itu!”

Habis berkata begitu, Kiai Laras masukkan tangan 

kanan ke balik pakaiannya. Saat ditarik keluar, Kala 

Marica melihat setangkai kembang berdaun tiga warna 

yang pancarkan sinar mengapung di udara.

“Kembang Darah Setan!” Kala Marica menggumam 

pelan dengan dada berdebar keras dan tangan berge-

tar. “Melihat apa yang diucapkan tadi dan hubungan-

nya dengan Jubah Tanpa Jasad serta Kembang Darah

Setan, kurasa orang ini bukan dari keluarga Kampung 

Setan.... Lalu siapa?!”

“Kala Marica! Aku dulu seorang pecundang! Tapi 

takdir kini telah berkata lain! Saat ini bumi berada di 

genggaman tanganku! Dan karena kau tempo dulu 

membuatku sebagai pecundang, saat ini aku ingin 

buktikan jika bumi di genggaman tanganku!”

Wuuuutt!

Kembang Darah Setan berkelebat. Sinar tiga warna.


Merah, hitam, dan putih berkiblat angker.

“Sahabat.... Kau membuatku terpaksa melakukan 

sesuatu.... Maaf, bukan aku mencari urusan, na-

mun....” Kala Marica tidak bisa lanjutkan ucapannya 

karena saat itu kiblatan Kembang Darah Setan telah 

makin dekat.

Kala Marica berkelebat ke belakang. Tongkat di tan-

gan kanannya disentakkan ke depan. Sementara tan-

gan kirinya bergerak mendorong.

Satu nyala laksana bara mencuat dari kelebatan 

tongkat Kala Marica menembus kiblatan sinar tiga 

warna. Sinar tiga warna pecah bertabur di udara. Se-

mentara bara yang melesat dari tongkat langsung 

buyar berentakan perdengarkan ledakan keras!

Kala Marica langsung mental satu tombak. Tongkat 

di tangannya mencelat ke udara. Kala Marica coba ku-

asai diri di atas udara dengan cepat kerahkan tenaga 

dalamnya. Namun baru saja si kakek kerahkan tenaga 

dalam, dari arah depan kembali telah berkiblat sinar 

tiga warna, malah kini disertai gelombang dahsyat.

Kala Marica terkesiap. Dia teruskan pengerahan te-

naga dalamnya. Bukan untuk kuasai diri lagi, namun 

disalurkan pada kedua tangannya. Hingga kakek ini 

tidak bisa kuasai diri lagi. Sosoknya terbanting di uda-

ra lalu meluncur deras ke bawah. Dalam keadaan se-

perti itu, hebatnya Kala Marica masih sempat hantam-

kan kedua tangannya!

Wuuttt! Wuuuutt! 

Bukkk!

Terdengar deruan luar biasa. Disusul suara berge-

debukan menghantam sosok Kala Marica di atas ta-

nah.

Sinar tiga warna terus berkiblat. Saat lain terdengar 

gelegar hebat tatkala kiblatan Kembang Darah Setan 

itu menghantam dua gelombang dahsyat dari kedua


tangan Kala Marica.

Tanah bertabur mengangkasa menutupi pemandan-

gan hingga suasana yang agak gelap berubah menjadi 

pekat! Bibir jurang di sebelah kanan kiri tampak am-

brol. Sosok Kala Marica tersapu mencelat dua tombak 

lalu kembali jatuh tunggang langgang di atas tanah 

dengan mulut kucurkan darah kehitaman.

Di depan sana, Jubah Tanpa Jasad hanya terjajar 

beberapa langkah. Saat lain ia telah menerobos kepe-

katan tanah dan tahu-tahu telah tegak terapung di de-

pan sosok Kala Marica!

“Kala Marica! Aku telah katakan. Bumi ini sekarang 

berada di genggaman tanganku. Puluhan tahun silam 

kau boleh bangga dengan ilmumu! Tapi saat ini di ha-

dapanku kau tidak memiliki apa-apa!”

Kala Marica berusaha bangkit duduk. “Sahabat.... 

Sejak dahulu aku tidak pernah merasa punya ilmu...,” 

ucap Kala Marica dengan suara tersendat dan berge-

tar.

“Hem.... Kau berani berkata begitu karena kau telah 

melihat apa yang kulakukan padamu! Ha.... Ha.... 

Ha...! Tapi jangan mimpi ucapanmu akan membuatku 

menarik niat!”

Kala Marica geleng kepala. “Sahabat.... Kau salah! 

Tidak ada niat di hatiku agar kau menarik niatmu! Aku 

tahu.... Aku memang tak mampu menghadapimu den-

gan Kembang Darah Setan di tanganmu! Tapi perlu

kau tahu, Sahabat. Benda curian itu hanya buatan

manusia.... Sementara manusia itu diciptakan Yang 

Maha Pencipta.... Jadi jangan kau terlalu mengandal-

kan ciptaan manusia selagi manusia itu sendiri ada 

yang menciptakan...!”

“Khotbah mu sungguh menarik! Kau juga pandai 

menduga tentang benda yang ada di tanganku! Tapi 

sayang takdirmu sudah tiba hingga kau tidak bisa


membuktikan kebalikan dari khotbah mu!”

Habis berkata begitu, tangan kiri Kiai Laras berke-

lebat lepaskan pukulan tangan kosong jarak jauh ber-

tenaga dalam tinggi.

Mendadak Kiai Laras terkejut. Dia semula menduga 

jika Kala Marica sudah tidak mungkin mampu meng-

hadang pukulannya. Tapi dugaannya meleset. Karena 

bersamaan dengan bergeraknya tangan kiri Kiai Laras, 

Kala Marica jatuhkan diri bergulingan di atas tanah. 

Pada gulingan ketiga sekonyong-konyong kedua tangan 

Kala Marica menyentak. Bukan hanya itu, kedua ka-

kinya pun ikut bergerak membuat gerakan menen-

dang!

Empat gelombang ganas sekaligus melesat mengha-

dang pukulan Kiai Laras. Terdengar lagi letusan. Na-

mun karena empat gelombang itu lebih kuat, begitu 

terdengar letusan, gelombang itu terus menerabas ke 

arah Kiai Laras.

Kiai Laras tercekat. Terlambat baginya untuk kele-

batkan Kembang Darah Setan di tangan kanannya. 

Hingga tanpa ampun lagi gelombang ganas menghan-

tam ke tubuhnya!

Namun setengah jengkal lagi gelombang ganas itu 

menggebrak, tiba-tiba Jubah Tanpa Jasad laksana di-

lapis tembok besar, hingga bukan saja gelombang ga-

nas itu seketika seperti membentur tembok raksasa, 

namun mental balik ke arah Kala Marica!

Kali ini Kala Marica yang tercengang tegang. Belum 

sempat lenyap rasa kesimanya gelombang yang mental 

telah melabrak!

Kala Marica perdengarkan seruan tertahan. Sosok-

nya terseret di atas tanah sejauh tiga tombak. Dari hi-

dung dan mulutnya alirkan darah. Saat lain sosok 

orang tua ini diam tak bergerak-gerak.

Kiai Laras tersenyum. Karena tadi terkejut, dia lupa


jika Jubah Tanpa Jasad mampu menghadang setiap 

serangan! Dan begitu mendapati Kala Marica diam tak 

bergerak-gerak, Kiai Laras cepat berkelebat dan tegak 

di samping sosok Kala Marica.

“Sahabat.... Kau puas?!” Tiba-tiba Kala Marica per-

dengarkan suara.

Kiai Laras tersentak. “Jahanam ini belum mampus!” 

gumam sang Kiai. Lalu mendongak. “Aku ingin tahu 

apakah tanah benar-benar tak mau menerima tubuh-

mu! Lebih dari itu aku ingin kau mampus tanpa ku-

bur!”

Habis berkata begitu, enak saja tangan kiri Kiai La-

ras mencekal pundak Kala Marica lalu menyeretnya ke 

arah jurang. Karena sudah tidak berdaya, Kala Marica 

tidak berusaha memberontak. Malah sunggingkan se-

nyum!

Kiai Laras letakkan sosok Kala Marica di bibir ju-

rang. Saat itu suasana sudah gelap karena matahari 

sudah jatuh. Sang Kiai pandangi sesaat sosok si ka-

kek. Lalu berkata.

“Selamat jalan, Kala Marica!”

Bersamaan dengan terdengarnya ucapan, kaki ka-

nan Kiai Laras bergerak lakukan tendangan. Sosok Ka-

la Marica terdorong amblas masuk ke dalam jurang!

Kiai Laras melangkah dua tindak. Meski suasana 

gelap dan tidak bisa melihat bagian bawah jurang, 

namun Kiai Laras longokkan juga kepalanya ke jurang 

di bawahnya.

Saat itulah mendadak terdengar suara dari bagian 

bawah jurang. Kiai Laras tahu benar, jika suara itu 

adalah suara Kala Marica.

“Siapa pun adanya kau.... Kelak kau akan men-

gambil buah dari perbuatanmu! Kau boleh punya sen-

jata Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad! 

Tapi Sang Pencipta akan menciptakan pamungkasnya!


Dan pamungkas itu akan hadir dari darahmu sendiri!”

Untuk beberapa lama Kiai Laras tercekat. Namun 

saat lain dia tertawa panjang. “Jahanam yang hendak 

mampus kadangkala ucapannya seperti orang gila! 

Bumi telah ada di tanganku! Tidak ada manusia yang 

bisa menandingi ku!”

Sambil terus tertawa ngakak, Kiai Laras melangkah 

perlahan tinggalkan bibir jurang yang seketika disen-

tak keheningan!


                         SELESAI


Segera terbit:


TITISAN PAMUNGKAS

















Share:

0 comments:

Posting Komentar