Hak cipta dan copy right pada penerbit di
bawah lindungan undang-undang
Joko Sableng telah
Terdaftar pada Dept. Kehakiman R.I
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan
Merk di bawah nomor 012875
SATU
TEMPAT itu seketika hening laksana kuburan. Pita-
loka, Setan Liang Makam, serta Kiai Laras hampir ber-
samaan gerakkan kepala berpaling. Dayang Sepuh pun
ikut menoleh. Hanya Datuk Wahing yang tidak ha-
dapkan wajahnya ke arah suara yang tiba-tiba menya-
hut. Kakek ini tetap saja gerakkan kepala pulang balik
ke depan ke belakang dengan mimik seperti orang
hendak perdengarkan bersinan. Namun sejauh ini sua-
ra bersinannya tidak juga terdengar!
Semua orang selain Datuk Wahing melihat seorang
laki-laki berusia lanjut bertubuh tambun besar. Ram-
butnya yang putih digelung tinggi ke atas. Kakek ini
mengenakan pakaian gombrong warna hijau. Pada
pinggangnya yang bengkak besar tampak melilit se-
buah ikat pinggang besar dari kulit yang di bagian de-
pannya tepat di perut dihias dengan sebuah cermin
bulat. Sepasang matanya terpejam rapat.
Pitaloka dan Setan Liang Makam pandangi laki-laki
bertubuh tambun besar dari kepala sampai mata kaki
dengan mulut terkancing. Kedua orang ini tidak bisa
mengenali siapa adanya orang.
Sementara Kiai Laras yang belum menyadari kalau
sosoknya tidak kelihatan, sipitkan mata seraya berde-
sis. “Gendeng Panuntun! Dari ciri-cirinya pasti dia!
Meski aku belum pernah berjumpa....”
Di seberang lain, begitu melihat siapa adanya kakek
bertubuh tambun besar, ketegangan pada paras wajah
Dayang Sepuh serta-merta lenyap. Bibirnya yang me-
rah menyala sedikit membuat sebuah senyum lebar.
Namun nenek berdandan seronok ini belum juga per-
dengarkan suara. Sebaliknya angkat kedua tangannya.
Tangan kiri mengambil satu kelabangan rambutnya
dan dipilin-pilin, sedangkan tangan kanan rapikan ge-
raian poni pada keningnya!
Mendadak kakek bertubuh tambun besar buka mu-
lut perdengarkan tawa ngakak. Tangan kanannya ber-
gerak mengusap cermin bulat di depan perutnya. Ber-
samaan dengan itu sepasang matanya membuka. Ter-
nyata sepasang mata itu berwarna putih. Pertanda jika
si empunya mata adalah orang buta!
Namun seolah bisa melihat di mana orang tegak
berdiri, kepala si kakek bergerak menghadap ke arah
satu persatu orang yang ada di tempat itu! Kejap lain
si kakek buka mulut berujar.
“Hem.... Ku rasakan langit cerah. Tidak ada hujan.
Angin pun sangat bersahabat. Adalah aneh kalau aku
di sini merasakan wajah-wajah tegang. Apa yang mem-
buat ketegangan ini?! Jangan-jangan bukan hanya wa-
jah-wajahnya yang tegang. Tapi yang lainnya ikut-
ikutan tegang....”
“Bruss! Bruss! Kuharap jangan merasa aneh apalagi
heran, Sahabat! Isyarat alam tidak selamanya pertanda
baik!” Datuk Wahing menyahut.
Kakek bertubuh tambun bermata putih mendongak
ke langit. “Bersinan mu tidak ku lupa! Senang berjum-
pa denganmu lagi sahabatku, Datuk Wahing....”
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya lalu
berpaling ke arah kakek bertubuh tambun. Mulutnya
sudah membuka hendak bersuara. Namun bersinan-
nya keburu mendahului. Hingga untuk beberapa saat
Datuk Wahing harus tunda ucapannya. Namun begitu
bersinannya selesai dan belum sempat perdengarkan
suara, Setan Liang Makam telah membentak garang.
“Manusia buta tak dikenal! Kuperintahkan kau se-
gera enyah dari tempat ini! Atau kubuat kau tidak bisa
lagi merasakan keadaan alam!”
“Bruss! Bruss! Sahabatku, Gendeng Panuntun....
Kebalikan isyarat alam baru saja kau dengar. Sekali
lagi harap tidak heran, apalagi ikut-ikutan tegang!”
“Bagi orang buta sepertiku, mana bisa tegang jika
tidak disentuh?!” sahut kakek bertubuh tambun ber-
mata putih yang tidak lain adalah Gendeng Panuntun,
lalu tertawa gelak-gelak. “Jadi jangan mengherankan
mu kalau aku tidak mungkin ikut tegang!”
Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun kembang-
kempiskan hidung. Wajahnya bergerak menghadap
pada Dayang Sepuh. “Datuk Wahing.... Ternyata kau
bernasib bagus. Di usiamu yang telah lanjut masih ju-
ga menggandeng seorang perempuan cantik nan jeli-
ta.... Aku dapat merasakan gemulai kedua tangannya
yang selalu bergerak-gerak. Senyum yang merebak di
bibirnya yang merah menyala. Dandanan serta pa-
kaian yang bikin deg-degan! Apa dia kekasih baru-
mu?!”
Datuk Wahing bersin beberapa kali. Namun kali ini
tidak disusuli dengan ucapan. Sementara Dayang Se-
puh tampak makin lebarkan sunggingan senyumnya.
Lalu mengerling pada Pitaloka. Pitaloka membuang
muka seraya menyeringai.
Dayang Sepuh melangkah perlahan dengan lemah
gemulai ke arah Gendeng Panuntun. Senyum di bibir-
nya terus mengembang. Namun begitu tegak tiga lang-
kah di hadapan Gendeng Panuntun, sekonyong-
konyong si nenek pupuskan senyumnya. Tangan ka-
nannya sibakkan poni di depan kening. Kini tampaklah
wajahnya yang angker. Saat lain tiba-tiba dia memben-
tak.
“Dari dulu mulutmu selalu bersuara tidak enak di
telingaku setiap kali bertemu! Apa kau ingin aku men-
dahului ancaman manusia kerangka itu, hah?!” Seolah
bicara dengan orang yang bisa melihat, tangan kiri
Dayang Sepuh menunjuk pada Setan Liang Makam.
“Eh.... Mana suaraku yang tidak enak?!” tanya Gen-
deng Panuntun. Matanya yang putih mengerjap bebe-
rapa kali. “Suaramu.... Astaga! Aku tadi salah lihat!
Sungguh.... Aku tidak menyangka kalau perempuan
itu kau adanya! Habis dandanan mu membuat dadaku
deg-degan hingga sampai aku salah lihat....”
Tampang garang Dayang Sepuh mendadak berubah.
Kejap lain nenek ini tertawa terbahak-bahak hingga ge-
raian poni rambutnya bersibakan. Kepalanya diha-
dapkan pada Datuk Wahing lalu berkata.
“Kau dengar itu, Datuk Wahing?! Sahabatmu yang
buta ini mengatakan salah lihat...!”
“Gendeng Panuntun.... Hem.... Aku pernah dengar
ceritanya manusia itu! Selain ilmunya sulit dijajaki, dia
juga memiliki keahlian aneh! Matanya buta, namun
seolah bisa melihat.... Urusan di tempat ini akan ma-
kin kacau dengan kehadirannya! Bagaimana sekarang?
Manusia setan serta manusia yang tidak terlihat di ba-
lik jubah hitam itu nyata-nyata menginginkan Pedang
Tumpul 131! Dan melihat gelagatnya, nenek slebor dan
kakek bersin-bersin itu juga menginginkannya! Sialan
benar! Tidak kusangka akan jadi begini akhirnya....
Padahal ku tancapkan pedang itu semata-mata untuk
menipu Setan Liang Makam agar mau memberi kete-
rangan!” Pitaloka diam-diam membatin seraya terus
melirik pada Pedang Tumpul 131 yang masih menan-
cap di atas tanah.
Seperti diketahui, Pitaloka, saudara kembar Beda
Kumala alias Putri Kayangan berhasil memperdayai
murid Pendeta Sinting. Gadis cantik ini pada mulanya
menduga Pendekar 131 membawa Kembang Darah Se-
tan. Namun begitu bisa membuat murid Pendeta Sint-
ing lemas laksana pingsan, ternyata Pitaloka tidak me-
nemukan Kembang Darah Setan walau telah mengge-
rayangi sekujur tubuh Joko. Saat itulah mendadak dia
dikejutkan dengan terdengarnya suara bersinan. Takut
diketahui orang, Pitaloka segera berkelebat seraya
mencabut Pedang Tumpul 131.
Pada akhirnya Pitaloka meneruskan perjalanan. Ka-
rena telah tahu bahwa Kembang Darah Setan tidak di
tangan murid Pendeta Sinting seperti apa yang tersiar
dalam rimba persilatan, Pitaloka memutuskan pergi ke
Kampung Setan. Tapi karena belum tahu di mana
Kampung Setan berada, seraya terus berjalan Pitaloka
selalu bertanya pada setiap orang yang dijumpainya.
Tentu saja setelah menyelidik siapa adanya orang yang
hendak ditanya.
Pada satu kesempatan, Pitaloka bertemu dengan
Setan Liang Makam. Kali ini rupanya Pitaloka bertemu
dengan orang yang benar-benar bisa memberi keteran-
gan. Hanya saja Setan Liang Makam minta syarat. Pi-
taloka memenuhi persyaratan yang diajukan Setan
Liang Makam. Namun di balik itu sebenarnya Pitaloka
telah punya rencana sendiri. Yang jelas dia tidak akan
begitu saja memenuhi permintaan Setan Liang Makam.
Apalagi yang diminta adalah Pedang Tumpul 131 yang
baru saja diambilnya dari murid Pendeta Sinting.
Ketika Setan Liang Makam hendak mengambil Pe-
dang Tumpul 131 seperti persyaratan yang dimintanya
pada Pitaloka dan di lain pihak Pitaloka sendiri hendak
pertahankan pedang dari jamahan tangan Setan Liang
Makam, muncullah Kiai Laras yang saat itu telah men-
genakan Jubah Tanpa Jasad hingga sosoknya tidak
kelihatan. Tampaknya Kiai Laras juga menginginkan
Pedang Tumpul 131. Saat itulah datang Datuk Wahing
dan Dayang Sepuh.
Ketika terjadi adu mulut antara Pitaloka dan
Dayang Sepuh, tiba-tiba ada suara orang menyahut.
Yang muncul ternyata adalah Gendeng Panuntun.
“Bruss! Bruss! Jangan membuatku heran dengan
berucap begitu, Sahabatku Dayang Sepuh,” ujar Datuk
Wahing sambuti kata-kata si nenek. “Tidak jarang
orang buta bisa melihat apa yang tidak bisa kita lihat!
Dan kalaupun dia tadi berkata salah lihat dan salah
duga terhadapmu, kau harus maklum dan jangan he-
ran. Karena dia memang buta!”
Mendengar ucapan Datuk Wahing, Gendeng Panun-
tun geleng kepala. “Jangan percaya pada ucapannya,
Nenek Cantik! Mana mungkin orang buta macam aku
bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat orang bermata.
Buktinya aku salah menduga mu....” Gendeng Panun-
tun arahkan wajahnya menghadap Kiai Laras yang
saat itu sosoknya tidak kelihatan karena mengenakan
Jubah Tanpa Jasad. Agak lama si kakek ini terdiam
sebelum akhirnya berkata.
“Rasanya aku pernah bertemu muka dengan saha-
batku ini.... Sayang aku lupa kapan dan di mana! Mau
mengingatkan padaku, Sahabat?!” Gendeng Panuntun
bertanya pada Kiai Laras.
Kiai Laras palingkan kepala sambil mendengus.
Namun dia tidak buka mulut menjawab. Kejap lain
orang tua ini arahkan pandang matanya pada satu
persatu orang di tempat itu. Lalu perdengarkan suara
keras membahana di Seantero tempat itu.
“Kuperingatkan pada kalian semua! Kalau masih
sayang pada nyawa masing-masing jangan ada yang
berani lancang menghadang langkahku! Jangan ada
yang kurang ajar berani buka mulut! Tetap di tempat
kalian masing-masing!”
“Eh.... Memangnya ada apa ini?! Orang tidak boleh
bersuara dan bergerak.... Sepertinya ada sesuatu yang
luar biasa! Jangan-jangan gadis cantik itu.... Ah.... Ga-
dis cantik di mana-mana memang sering jadi persoa-
lan! Padahal tidak jarang justru tanpa disadari, gadis
cantik itu yang membuka urusan!”
Habis berucap begitu, Gendeng Panuntun luruskan
wajahnya ke arah Pitaloka dan lanjutkan ucapan. “Ku-
harap kau tidak marah, Gadis Rupawan.... Aku tadi
hanya mengatakan kebiasaannya. Sekali-kali tidak
bermaksud menyinggung apalagi membuat persoalan
denganmu...!”
“Hem.... Berarti dia bisa melihat meski matanya
tampak buta!” gumam Pitaloka. Pandang matanya me-
natap tajam pada Gendeng Panuntun. Namun cuma
sekejap. Dia lantas arahkan pandang matanya pada
jubah hitam tanpa sosok yang mulai bergerak maju,
“Manusia di balik jubah itu akan mengambil Pedang
Tumpul 131!” Pitaloka kerahkan tenaga dalam pada
kedua tangannya. Walau dia maklum kalau kepan-
daiannya masih di bawah orang, namun dia sudah
memutuskan mempertahankan Pedang Tumpul 131
dari jamahan tangan orang lain. Keputusan hatinya
makin kuat setelah dia mendengar keterangan Setan
Liang Makam tentang di mana Kampung Setan serta
cerita Kembang Darah Setan. Karena dengan senjata
sakti di tangannya, setidaknya kekuatannya akan ber-
tambah. Apalagi dia kini tahu, banyak sekali beberapa
tokoh berilmu tinggi yang belum dikenalnya telah ber-
munculan.
Di lain pihak, Setan Liang Makam tampak pula
memperhatikan gerakan jubah hitam. Laki-laki cucu
Nyai Suri Agung ini tampak bimbang dan gelisah. Dia
kini yakin kalau sosok tidak kelihatan di balik jubah
hitam juga membekal Kembang Darah Setan asli. Ju-
bah Tanpa Jasad adalah bukti akan keyakinannya. Ka-
rena menurut Nyai Suri Agung, dinding tidak tembus
pandang yang memagari Jubah Tanpa Jasad bisa ter-
bongkar hanya dengan Kembang Darah Setan.
Hanya Dayang Sepuh dan Datuk Wahing yang tam-
pak tenang-tenang saja. Dayang Sepuh terus memilin
milin kepangan rambutnya, sementara Datuk Wahing
tetap gerakkan kepala pulang balik ke depan ke bela-
kang dengan mimik orang hendak bersin.
Sementara di sebelah Dayang Sepuh, Gendeng Pa-
nuntun alihkan wajahnya dari Pitaloka pada Kiai Laras
yang terus melangkah perlahan mendekati Pedang
Tumpul 131.
Suasana mendadak mencekam ketika gerakan ju-
bah hitam sudah berjarak tujuh langkah dari Pedang
Tumpul 131 yang menancap di tanah. Semua orang
sama kancingkan mulut dan tidak ada yang membuat
gerakan seolah menuruti perintah Kiai Laras. Hanya
mata Pitaloka dan Setan Liang Makam yang sama sal-
ing lontar berpindah-pindah. Sepasang bola mata Pita-
loka bergerak liar. Dari Pedang Tumpul 131, gerakan
Jubah Tanpa Jasad serta sosok Setan Liang Makam.
Sementara sepasang mata besar milik Setan Liang Ma-
kam melotot dari gerakan Jubah Tanpa Jasad, Pedang
Tumpul 131, serta sosok Pitaloka.
Di lain pihak, justru Kiai Laras tidak melirik pada
Pitaloka maupun Setan Liang Makam. Sebaliknya se-
pasang matanya terus melirik pada Dayang Sepuh, Da-
tuk Wahing, serta Gendeng Panuntun.
Kiai Laras rupanya sadar. Dengan Kembang Darah
Setan serta jubah yang dikenakannya, hadangan Pita-
loka dan Setan Liang Makam dapat diatasi. Namun dia
masih belum yakin benar jika hadangan itu datang da-
ri Dayang Sepuh, Datuk Wahing, serta Gendeng Pa-
nuntun. Karena dia telah paham siapa adanya ketiga
orang itu. Tapi dengan peristiwa yang dialaminya saat
berhadapan dengan Nyai Suri Agung serta Setan Liang
Makam, keyakinannya perlahan-lahan timbul. Hingga
dia teruskan saja langkahnya mendekati Pedang Tum-
pul 131.
“Sahabat sekalian.... Kenapa kalian diam saja?! Ti
dak ada yang bersuara, tidak ada yang bergerak!” Tiba-
tiba Gendeng Panuntun angkat bicara.
Pitaloka tidak hiraukan ucapan orang karena diam-
diam dia telah siap lepaskan satu pukulan jarak jauh.
Demikian juga Setan Liang Makam. Pada puncak kege-
lisahannya, cucu Nyai Suri Agung ini akhirnya memu-
tuskan untuk menghadang gerakan Jubah Tanpa Ja-
sad dengan siapkan satu pukulan. Selain untuk
menghalangi orang mengambil pedang, sekaligus un-
tuk menghantam orang dan mengambil Jubah Tanpa
Jasad.
Di depan sana, begitu Gendeng Panuntun angkat
bicara, Kiai Laras hentikan gerakan kakinya. Kepa-
lanya berpaling sesaat memandang pada Pitaloka dan
Setan Liang Makam. Bibirnya menyeringai buruk. “Ru-
panya kalian manusia-manusia bodoh! Sudah tahu
tingginya langit dalamnya lautan yang tak mungkin
kalian jangkau, namun kalian hendak coba-coba men-
jajakinya! Kalian akan mampus penasaran!”
Kiai Laras teruskan pandang matanya ke arah Gen-
deng Panuntun. Lalu membentak.
“Kau telah kuperingatkan! Namun kau ingin unjuk
kebolehan! Kau mau maju sendirian atau bersama te-
man-temanmu itu?!”
“Ah.... Kau salah menangkap ucapanku, Sahabat!”
ujar Gendeng Panuntun. “Bukannya aku mengajak
mereka untuk bergerak atau berkata. Aku hanya ingin
tahu mengapa mereka tidak bersuara, tidak bergerak!”
“Itu karena mereka telah tahu tingginya langit da-
lamnya laut! Mereka masih sayang hidup daripada ma-
ti percuma!”
Gendeng Panuntun arahkan wajahnya pada Dayang
Sepuh dan Datuk Wahing. “Apa betul demikian, Saha-
bat-sahabatku...?!”
Dayang Sepuh geleng kepala. “Tidak demikian!”
“Bruss! Bruss! Memang tidak demikian!” sahut Da-
tuk Wahing.
“Kalau aku belum berkata apalagi membuat gera-
kan, kupikir saatnya belum sampai! Kita harus yakin
dahulu sebelum tahu sebenarnya!” kata Dayang Se-
puh.
“Bruss! Bruss! Benar. Kita tidak boleh melakukan
hal-hal yang mengherankan sebelum tahu pasti apa
yang akan dilakukan orang!”
“Kalian benar.... Kita tidak boleh berprasangka je-
lek. Siapa tahu meski tampaknya melangkah ke sana
namun tujuannya lain?!” Gendeng Panuntun menim-
pali.
“Siapa tahu.... Itulah memang pertimbangannya!”
ujar Dayang Sepuh.
“Bruss! Bruss! Betul sekali! Siapa tahu.... Itulah
yang menjadikan kami belum berani melakukan hal-
hal yang mengherankan!”
Kiai Laras menyeringai mendengar ucapan-ucapan
orang. Seraya pasang tangan di atas pinggang kanan
kiri dia menggumam. “Aku ingin tahu apa yang akan
kalian lakukan!” Kiai Laras tengadah lalu teruskan
langkah.
Baru saja Jubah Tanpa Jasad bergerak, pertanda
Kiai Laras melangkah, mendadak Pitaloka telah gerak-
kan kedua tangannya melepas satu pukulan dahsyat
jarak jauh.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang ganas menerjang ke arah Kiai La-
ras.
Hampir bersamaan dengan melesatnya dua gelom-
bang dari kedua tangan Pitaloka, Setan Liang Makam
telah pula sentakkan kedua tangannya. Laki-laki cucu
Nyai Suri Agung ini berpikir jika gabungan antara pu-
kulannya dengan pukulan Pitaloka setidaknya akan
menambah daya gedor pada sosok di balik Jubah Tan-
pa Jasad. Hingga untuk sesaat tempat itu laksana di
buncah gempuran gelombang luar biasa yang menuju
satu titik arah. Yakni jubah hitam tanpa sosok yang
sudah berada lima langkah dari tempat tertancapnya
Pedang Tumpul 131.
Kiai Laras mendengus marah. Dia rupanya merasa,
tidak mungkin menghadang dua pukulan orang sekali-
gus dengan kekuatan tenaga dalamnya sendiri. Apalagi
begitu melihat ganasnya pukulan dari kedua tangan
Setan Liang Makam yang menunjukkan jika pukulan
itu dengan pengerahan tenaga dalam sangat kuat.
Laksana kilat, tangan kanan Kiai Laras segera me-
nyelinap ke balik pakaiannya. Laki-laki itu berpikir
hanya dengan Kembang Darah Setan pukulan orang
bisa dihadang.
Begitu tangan kanan Kiai Laras keluar, semua
orang di tempat itu melihat cahaya berkilau tiga war-
na. Merah, hitam, dan putih dari setangkai bunga yang
terapung di atas udara sejajar bagian dada Jubah
Tanpa Jasad. Saat lain kembang tiga warna yang tidak
lain adalah Kembang Darah Setan, berkelebat.
Wuutt! Wuuttt!
Satu gelombang disertai berkiblatnya sinar tiga
warna melesat angker.
***
DUA
TEMPAT itu laksana dihantam petir. Keadaan seke-
tika terang benderang berwarna merah, hitam, dan pu-
tih. Sinar tiga warna menembus gelombang. Terdengar
ledakan hebat. Gelombang yang datang dari kedua
tangan Pitaloka dan Setan Liang Makam serta-merta
buyar berantakan lalu membubung tinggi ke udara.
Sinar tiga warna pecah. Hebatnya pecahan sinar tiga
warna menebar datar di atas udara lalu melaju deras
ke arah Pitaloka dan Setan Liang Makam.
Di seberang, Pitaloka perdengarkan seruan tertahan
bersamaan dengan buyarnya gelombang tertembus si-
nar tiga warna. Sosoknya terdorong amblas ke bela-
kang sebelum akhirnya terbanting keras di atas tanah.
Di lain pihak, sosok Setan Liang Makam terpental se-
belum akhirnya jatuh terduduk dengan sekujur tubuh
yang hanya merupakan susunan kerangka bergerak-
gerak keras. Sepasang matanya melotot dan mulut
menganga tanpa adanya suara yang terdengar.
Kiai Laras sendiri hanya terdorong tiga langkah. Se-
saat Jubah Tanpa Jasad memang bergerak-gerak
oleng. Tapi saat lain telah tegak mengapung di atas
udara. Kembang Darah Setan terlihat pula mengapung
sejajar bagian perut Jubah Tanpa Jasad.
“Dugaanku tidak salah!” desis Setan Liang Makam
begitu melihat terapungnya Kembang Darah Setan.
Laksana hendak terbang, Setan Liang Makam cepat
bergerak bangkit.
Di seberang samping sana, Dayang Sepuh cepat pu-
la melompat ke arah Datuk Wahing. Dengan mata
memperhatikan Kembang Darah Setan dia berbisik.
“Manusia tanpa sosok berjubah hitam itu meme-
gang dua senjata sakti! Aku tahu kau adalah orang
paling mengerti tentang Kembang Darah Setan serta
Jubah Tanpa Jasad! Katakan padaku bagaimana cara
menghadapinya!”
“Bruss! Ucapanmu benar! Namun adalah menghe-
rankan kalau kau menduga aku tahu bagaimana cara
menghadapinya! Aku tidak tahu.... Aku tidak tahu!”
gumam Datuk Wahing seraya geleng-gelengkan kepala.
Kali ini mimik wajahnya tidak membayangkan seperti
orang ingin bersin, sebaliknya berubah tegang. “Mung-
kin sahabat buta itu tahu! Coba tanyakan padanya!”
Dayang Sepuh menggerendeng. Tapi cepat melom-
pat ke arah Gendeng Panuntun yang kini duduk men-
jeplok di atas tanah.
“Aku juga kesulitan menjawab pertanyaan yang
hendak kau ajukan!” Gendeng Panuntun sudah buka
mulut sebelum Dayang Sepuh angkat bicara. “Ada
penghalang yang membuat aku laksana berjalan di
tengah malam buta! Gelap.... Itu jawabannya!”
“Hem.... Maksudmu kita bisa menghadapi dengan
menunggu datangnya malam, begitu? Apa mungkin ki-
ta bisa bertahan sampai malam. Padahal saat ini ma-
tahari baru saja condong!”
Gendeng Panuntun geleng kepala. “Bukan. Aku ti-
dak mengatakan kita bisa menghadapinya dengan me-
nunggu sampai datangnya malam. Namun aku mene-
mui jalan buntu! Aku tidak tahu bagaimana cara
menghadapinya....”
“Celaka! Kita tidak tahu bagaimana cara mengha-
dapinya. Padahal dia hendak mengambil juga pedang
milik pemuda geblek itu!” gumam Dayang Sepuh.
“Memang celaka! Tapi apa hendak dikata...,” sahut
Gendeng Panuntun pula.
“Kau memiliki ilmu yang tidak dimiliki orang lain!
Coba sekali lagi kau lihat! Siapa tahu kita menemukan
jawaban!” desak Dayang Sepuh.
“Apa pun yang dimiliki makhluk bernama manusia,
semuanya serba terbatas! Jika kita paksakan diri, kita
akan mendapat celaka dua kali!”
“Setan! Ini bukan urusan paksakan diri atau tidak!
Ini usaha!” hardik Dayang Sepuh mulai tidak sabaran.
“Usaha pun ada batasnya!” ujar Gendeng Panuntun
dengan tenang.
“Sialan! Lalu apakah kita akan berdiam diri?
Hah...?!”
Gendeng Panuntun tidak segera sambuti ucapan
Dayang Sepuh. Sebaliknya dia berpaling. Karena saat
itu Datuk Wahing tampak bergerak bangkit lalu mem-
buat gerakan satu kali. Tahu-tahu sosoknya telah du-
duk bersimpuh di samping Gendeng Panuntun.
“Kau juga tua bangka sialan!” Dayang Sepuh sudah
menyemprot begitu Datuk Wahing duduk bersimpuh.
“Bagaimana bisa tidak tahu bagaimana cara mengha-
dapi sesuatu yang bertahun-tahun ditongkronginya?!”
Datuk Wahing bersin-bersin lalu tertawa panjang.
Gendeng Panuntun mendehem lalu berkata.
“Itulah rahasia alam, Sahabatku.... Bahkan kita ka-
dangkala tidak tahu sesuatu yang ada di tangan kita
sendiri!”
“Hanya orang tidak bisa melihat sepertimu yang ti-
dak tahu sesuatu di tangannya!” sergah si nenek den-
gan ketus karena makin tidak sabar.
“Bruss! Bruss! Kau tak usah marah-marah....”
“Sialan! Siapa yang marah?!” tukas Dayang Sepuh.
Belum sampai ada yang menyahut ucapan Dayang
Sepuh, di depan sana terdengar bentakan keras.
“Anjing jahanam! Serahkan Kembang Darah Setan
dan Jubah Tanpa Jasad padaku! Akulah pemilik sah
keduanya!” Yang perdengarkan bentakan dahsyat ter-
nyata Setan Liang Makam. Seraya membentak, tangan
kirinya terulur ke depan, tangan kanan ditarik ke be-
lakang. Lalu kakinya bergerak melangkah maju.
Kiai Laras tersenyum dingin. “Di atas dunia, hanya
anjing tolol yang menyatakan diri sebagai pemilik sah
sesuatu benda! Anjing tolol seperti itu tidak layak dibe-
ri hidup lebih lama! Dunia tidak membutuhkannya!”
Baru saja ucapan Kiai Laras selesai, tiba-tiba Kem-
bang Darah Setan yang terlihat mengapung di udara
berkelebat.
Wusss!
Terdengar deruan dahsyat. Tiga sinar berwarna me-
rah, hitam, dan putih untuk kedua kalinya berkiblat
angker ke arah Setan Liang Makam.
Setan Liang Makam tidak terkejut karena telah
waspada. Namun demikian ketegangan di wajahnya
tampak nyata. Dan tanpa membuang waktu, laki-laki
yang pernah terkubur dalam makam batu puluhan ta-
hun ini berkelebat ke samping. Kedua tangannya dido-
rong seraya perdengarkan bentakan keras.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang angin yang disertai kabut hitam
menderu laksana amukan ombak, lurus menghadang
berkiblatnya sinar tiga warna.
Saat kedua tangan Setan Liang Makam mendorong,
dari arah samping terlihat Datuk Wahing angkat tan-
gan kanannya yang memegang tongkat kayu. Kepa-
lanya bergerak ke depan untuk perdengarkan bersi-
nan. Bersamaan dengan itu tongkat kayu disentakkan
ke depan.
Tongkat kayu butut melesat berputar-putar di uda-
ra menimbulkan desingan tajam dan sapuan-sapuan
gelombang dahsyat. Saat lain tongkat kayu yang kini
hampir tidak terlihat itu menjajari gelombang yang di-
lepas Setan Liang Makam lalu bersama-sama melabrak
ke arah sinar tiga warna yang datang.
Blaarr! Blaarr!
Dua kali gelegar keras terdengar. Sinar tiga warna
dari Kembang Darah Setan menebar ambyar. Namun
ambyarnya sebagian tetap lurus mengarah pada Setan
Liang Makam!
Di lain pihak, gelombang yang keluar dari kedua
tangan Setan Liang Makam serta-merta amblas buyar.
Tongkat kayu milik Datuk Wahing mencelat tinggi ke
udara. Ketika luruh kembali telah berubah menjadi
serpihan dan hangus serta bertabur di udara sebelum
akhirnya lenyap terbawa bias gelombang gelegaran.
Setan Liang Makam lagi-lagi terpental. Namun ka-
rena sudah tahu apa yang hendak terjadi, begitu so-
soknya dirasakan melambung ke belakang, cucu Nyai
Suri Agung ini cepat kerahkan tenaga dalam untuk
kuasai diri. Tapi dia terlengak. Karena baru saja hen-
dak kerahkan tenaga dalam, ambyaran sinar tiga war-
na telah menyongsong ke arahnya.
Setan Liang Makam serba salah. Kalau dia me-
nyambut ambyaran sinar tiga warna, tentu dia tidak
bisa lagi kuasai diri dan tak ampun sosoknya akan
terbanting menghantam tanah. Sedang kalau teruskan
untuk kuasai diri, niscaya ambyaran sinar tiga warna
akan menghajarnya! Sinar tiga warna itu memang te-
lah ambyar, namun Setan Liang Makam sadar, jika
ambyaran itu masih mampu memporak-porandakan
sesuatu yang terhajar.
Kebimbangan Setan Liang Makam membuat dia
lengah. Hingga begitu bisa mengambil keputusan apa
yang harus dilakukan, ambyaran sinar tiga warna te-
lah setengah tombak di hadapannya. Kali ini apa pun
keputusan yang diambil Setan Liang Makam tidak
akan bisa menyelamatkan dirinya!
Sesaat lagi ambyaran sinar tiga warna menghajar
sosok Setan Liang Makam yang hanya bisa mendelik
saking terkejutnya, tiba-tiba saja tanpa diduga satu ge-
lombang angin deras melesat. Bukan menghadang pa-
da ambyaran sinar yang hendak menghajar sosok Se-
tan Liang Makam, melainkan menghantam ke arah Se-
tan Liang Makam yang masih berada di atas udara.
Bukkkk!
Mentalan sosok Setan Liang Makam berubah arah.
Kalau tadi terdorong keras ke belakang. Kali ini sosok
nya terpental deras ke samping lalu jatuh bergedebu-
kan di samping sana. Namun perubahan arah ini me-
nyelamatkan Setan Liang Makam dari hajaran ambya-
ran sinar tiga warna. Ambyaran sinar tiga warna mene-
rabas terus lalu menghajar beberapa jajaran pohon di
depan sana. Beberapa batangan pohon perdengarkan
derakan lalu satu persatu tumbang dengan patah-
patah dan hangus! Daunnya langsung bertabur dan
berubah menghitam!
Setan Liang Makam tampaknya tahu gelagat. Begitu
sosoknya jatuh dia cepat kerahkan tenaga dalam
meski rasakan sekujur tubuhnya laksana hancur dan
lidahnya rasakan asin pertanda mulutnya telah ku-
curkan darah. Di lain saat cucu Nyai Suri Agung ini
bangkit tegak. Dia tahu siapa gerangan yang baru saja
menghantamnya namun membuatnya selamat.
Setan Liang Makam berpaling pada Datuk Wahing.
Walau dia tidak buka mulut namun diam-diam dia
membatin. “Galaga...! Jangan berharap tindakanmu
yang menyelamatkan diriku akan menghapus urusan
di antara kita! Aku juga curiga jangan-jangan kaulah
yang membocorkan rahasia Kampung Setan! Karena
hanya kau satu-satunya manusia di atas bumi ini yang
tahu rahasia Kampung Setan! Mungkin kau juga yang
memberitahukan pada anjing pemegang Kembang Da-
rah Setan serta pemakai Jubah Tanpa Jasad itu, men-
genai bagaimana bisa mengeluarkan aku dari makam
celaka itu! Lalu kau sekarang berpura-pura di hada-
panku!”
Datuk Wahing sendiri yang tampak bergoyang-
goyang dan duduknya bergeser akibat bias bentroknya
pukulan yang disalurkan lewat tongkatnya untuk
menghadang kiblatan sinar dari Kembang Darah Se-
tan, hentikan gerakan kepalanya. Dia balas meman-
dang pada Setan Liang Makam yang bukan lain me
mang saudara seperguruannya. Kakek yang selalu ber-
sin ini hendak buka mulut. Namun diurungkan begitu
melihat Setan Liang Makam alihkan pandang matanya
ke arah Kiai Laras yang masih tampak jubahnya saja.
Jubah Tanpa Jasad itu sejenak tadi tampak berge-
rak deras ke belakang dan hampir saja jatuh ketika
terdengar gelegar. Namun belum sampai menyentuh
tanah, Jubah Tanpa Jasad itu telah bergerak lagi te-
rangkat ke atas dan tak lama kemudian tegak menga-
pung diam. Kejap lain terdengar batuk dua kali. Lalu
terlihat ludah bercampur darah melesat dari atas ju-
bah hitam. Meski orang tidak bisa melihat bagaimana
paras wajah si pemakai Jubah Tanpa Jasad, tapi orang
sudah bisa menebak jika terjadinya bentrok pukulan
membuat si pemakai kucurkan darah dari mulutnya.
Sementara di seberang sana, sebenarnya Pitaloka
sudah berkelebat ke arah tertancapnya Pedang Tumpul
131 begitu tahu kalau Kiai Laras dan Setan Liang Ma-
kam saling baku hantam. Namun kelebatan sosok ga-
dis ini bersamaan saatnya dengan bentroknya puku-
lan. Hingga meski kedua tangannya terus bergerak
hendak menyambar pedang, namun gagal. Karena be-
gitu terdengar gelegaran, Pedang Tumpul 131 kembali
bergerak pulang balik, membuat Pitaloka bukan saja
kesulitan, namun kalau saja dia tidak segera batalkan
maksudnya, niscaya dia sendiri akan mendapat celaka.
Karena gerakan pedang akibat gelegaran menimbulkan
gelombang dan melesatnya cahaya kekuningan berha-
wa panas luar biasa!
Kiai Laras rupanya dapat melihat apa yang tadi
hendak dilakukan oleh Pitaloka. Hingga begitu tegak
kembali, sosoknya langsung berputar menghadap Pita-
loka.
“Kau memang punya hak untuk mengambil benda
itu! Tapi itu melanggar apa yang kuperintahkan! Dan
itu akan mengubah jalan takdirmu!” kata Kiai Laras.
Pitaloka melihat Kembang Darah Setan bergerak.
Kuduk gadis cantik ini menjadi dingin. Dia kini telah
tahu sedang berhadapan dengan siapa. Kalau pukulan
Setan Liang Makam yang dibantu dengan Datuk Wah-
ing tidak mampu membuat sosok di balik jubah jatuh
terjengkang, adalah satu keanehan kalau dia dapat
menghadapinya! Tapi di balik semua itu Pitaloka juga
maklum, sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa
Jasad tentu tidak akan membiarkan dia pergi begitu
saja. Hal inilah yang perlahan-lahan membuat Pitaloka
menjadi nekat. Hingga begitu melihat gerakan pada
Kembang Darah Setan, dia cepat kerahkan segenap te-
naga dalam yang dimiliki.
“Anak bodoh.... Apakah dia pikir bisa menghadapi
setan berjubah itu?!” ujar Dayang Sepuh melihat apa
yang dilakukan Pitaloka.
“Brusss! Memang mengherankan dan mustahil! Tapi
itu adalah satu-satunya jalan yang harus dilakukan!
Atau kau bisa melakukan satu hal yang tidak menghe-
rankan?!” sahut Datuk Wahing.
“Kau hanya bisa heran-heran melulu!” bentak
Dayang Sepuh. Lalu alihkan pandangannya pada Gen-
deng Panuntun.
“Kita tidak usah pedulikan siapa adanya gadis itu!
Yang jelas kita cegah terjadi pertumpahan darah di si-
ni! Kita gebuk sama-sama setan berjubah hitam itu!”
“Itu hanya akan membawa darah makin banyak
tumpah, Sahabatku!” kata Gendeng Panuntun.
“Setan! Kalian berdua setan! Hanya bisa omong dan
mencegah tapi tidak bisa memberi jalan keluar!”
Dayang Sepuh berteriak sambil bantingkan kaki. Lalu
bergerak hadapkan tubuh ke arah Pitaloka. Kemudian
berteriak.
“Hai, Gadis Setan! Jangan berlagak di sini! Cepat
menyingkir!”
“Tidak ada yang akan tinggalkan tempat ini!” Kiai
Laras menyahut.
“Jangan percaya! Cepat lari!” Kembali Dayang Se-
puh berteriak. Saking tak sabar dia gerakkan kedua
tangannya ke depan membuat gerakan seperti orang
mengusir.
Pitaloka bimbang. Walau tadi telah nekat, namun
begitu mendengar teriakan Dayang Sepuh, hatinya jadi
ragu-ragu. Dayang Sepuh terlihat gemas.
“Gadis setan! Masih banyak kenikmatan yang belum
kau rasakan! Apa kau benar-benar tak ingin menikma-
tinya, hah?!”
Datuk Wahing perdengarkan bersinan mendengar
teriakan Dayang Sepuh. Di sampingnya, Gendeng Pa-
nuntun tertawa bergelak-gelak. Pitaloka terdiam se-
saat. Kejap lain mendadak kedua tangan gadis ini telah
bergerak lepaskan pukulan mendahului kelebatan
Kembang Darah Setan. Saat bersamaan, sosoknya me-
lesat hendak tinggalkan tempat itu.
“Jangan mimpi bisa tinggalkan tempat ini dengan
nyawa utuh!” bentak Kiai Laras. Kembang Darah Setan
di tangan kanannya berkelebat.
Tiga sinar berkiblat menggidikkan, menyongsong ge-
lombang yang melesat dari kedua tangan Pitaloka.
Dayang Sepuh menggerendeng panjang pendek. La-
lu kedua tangannya bergerak menghantam ke depan
memotong lesatan sinar tiga warna dari Kembang Da-
rah Setan.
Kembali terdengar ledakan tatkala gelombang dari
kedua tangan Dayang Sepuh memotong sinar tiga
warna. Saat bersamaan, gelombang dari kedua tangan
Pitaloka melabrak. Hingga ledakan kedua terdengar.
Sosok Dayang Sepuh terhuyung-huyung dan Plukk!
Sosok si nenek jatuh terduduk di atas pangkuan Gen
deng Panuntun yang ada di belakangnya!
Sementara di depan sana, sosok Pitaloka yang ber-
kelebat terlihat oleng. Lalu terputar hendak menghan-
tam tanah. Gadis cantik ini menjerit tinggi. Namun se-
jengkal lagi sosoknya beradu dengan tanah, satu
bayangan merah berkelebat.
***
TIGA
SOSOK Pitaloka tertahan satu jengkal di atas tanah.
Saat lain sosok gadis cantik ini terangkat lalu tegak
dengan bergetar keras. Dari mulutnya terlihat kucuran
darah. Dadanya bergerak-gerak turun naik tak karuan.
Paras wajahnya berubah pucat pasi dan tegang.
Setelah agak lama dan baru menyadari kalau len-
gannya dicekal orang, Pitaloka segera berpaling. Tam-
pang gadis ini makin berubah. Mulutnya yang masih
kucurkan darah bergerak membuka namun tak ada
suara yang terdengar.
Sementara di depan sana, sosok Kiai Laras tersurut
tiga langkah. Dan begitu tahu kalau ada orang yang
ikut lepaskan pukulan memotong kiblatan sinar tiga
warna dari Kembang Darah Setan, orang tua ini cepat
berpaling. Dia tahu siapa yang baru memotong puku-
lan Kembang Darah Setan. Hingga sepasang matanya
mendelik angker pada Dayang Sepuh yang masih ter-
duduk di atas pangkuan Gendeng Panuntun.
Di lain pihak, begitu sosok Dayang Sepuh ter-
huyung dan jatuh di atas pangkuan Gendeng Panun-
tun, Datuk Wahing perdengarkan bersinan beberapa
kali lalu tawanya meledak.
“Sahabat.... Kurasa di sini banyak mata melihat.
Mengapa kau bercanda dengan minta dipangku sega-
la?!” Gendeng Panuntun berujar. Sepasang mata pu-
tihnya mengerjap beberapa kali. Lalu hidungnya men-
dengus. Kepalanya terangkat dan.... “Bruss! Bruss!”
Gendeng Panuntun bersin dua kali.
“Sebagian rambutmu masuk ke hidungku...!” kata
Gendeng Panuntun.
Bersinan dua kali membuat sosok Dayang Sepuh
yang berada di pangkuannya terlonjak-lonjak balik ke
atas ke bawah. Tanpa disadari lonjakan sosoknya
membuat kelabangan rambutnya bergerak-gerak dan
kembali menerpa wajah Gendeng Panuntun.
Gendeng Panuntun kelabakan. Saat lain dia kemba-
li perdengarkan bersinan karena sebagian rambut itu
masuk ke hidungnya. Hal ini membuat sosok Dayang
Sepuh kembali terlonjak pulang balik ke atas ke ba-
wah.
Tawa Datuk Wahing makin meledak. Dan di sela-
sela tawanya dia beberapa kali bersin-bersin. Hingga
untuk beberapa saat tempat itu disemaraki dengan
suara bersinan yang ditingkah dengan gelakan tawa
berderai.
Dayang Sepuh sendiri sepertinya keenakan karena
sosoknya bergerak pulang balik ke atas ke bawah. So-
sok tambun Gendeng Panuntun membuat si nenek ti-
dak merasakan sakit tatkala berbenturan dengan ang-
gota tubuh Gendeng Panuntun.
Pada satu kesempatan, tiba-tiba Gendeng Panuntun
menggeser duduknya ke samping. Si nenek yang kee-
nakan sampai sepasang matanya terpejam-pejam tidak
menduga. Hingga ketika sosoknya meluncur ke bawah,
bukan lagi menumbuk pangkuan Gendeng Panuntun,
melainkan menghantam tanah!
Bukkk!
Dayang Sepuh mengeluh. Lalu cepat bangkit. Tan
gan kanannya berkelebat ke arah Gendeng Panuntun.
“Bruss! Mengherankan kalau kau menyalahkan
orang lain, Nenek!”
Dayang Sepuh tarik pulang tangan kanannya. Lalu
arahkan pandang matanya ke arah Pitaloka. Sementa-
ra baik Kiai Laras maupun Setan Liang Makam sudah
agak lama memandang tajam ke arah yang sama.
Namun baik Dayang Sepuh, Kiai Laras, maupun Se-
tan Liang Makam bukannya memandang pada Pitalo-
ka. Tapi pada satu sosok di sampingnya yang tegak
dengan tangan satunya mencekal lengan Pitaloka.
Dayang Sepuh kucek-kucek sepasang matanya. La-
lu disodorkan ke depan seolah belum percaya dengan
apa yang dilihat.
“Brusss! Harap tidak heran dengan apa yang kau li-
hat, Nenek....”
Dayang Sepuh tidak menyahut. Sebaliknya terus
memandang pada sosok yang tegak di samping Pitalo-
ka. Dia adalah seorang gadis muda berparas cantik je-
lita. Rambutnya panjang sebahu mengenakan pakaian
warna merah. Tapi bukan kecantikan atau pakaian si
gadis yang membuat Dayang Sepuh, Kiai Laras, serta
Setan Liang Makam memandang tak berkedip. Ketiga
orang ini hampir tidak bisa membedakan di antara Pi-
taloka dan gadis yang tegak di sampingnya! Wajah ke-
dua gadis ini sama!
“Beda Kumala...,” gumam Pitaloka setelah agak la-
ma hanya bisa menganga tanpa perdengarkan suara.
Gadis cantik yang tegak di samping Pitaloka dan
memiliki wajah yang sama persis, sunggingkan se-
nyum seraya anggukkan kepala. Lalu berbisik perla-
han.
“Pitaloka.... Kita harus cepat tinggalkan tempat ini!
Orang-orang itu bukan tandingan kita!”
“Aku tidak berurusan dengannya! Mereka sendiri
yang cari urusan!” kata Pitaloka.
Gadis di sampingnya yang tadi dipanggil dengan
Beda Kumala dan bukan lain adalah Putri Kayangan,
kembali sunggingkan senyum.
“Lupakan dulu semua itu.... Yang jelas kita harus
segera tinggalkan tempat ini!”
“Aku tak akan pergi tanpa pedang itu!” Pitaloka
arahkan pandang matanya pada Pedang Tumpul 131
yang masih menancap di atas tanah.
Putri Kayangan menghela napas panjang. Kepa-
lanya menggeleng perlahan lalu berucap perlahan “Tak
ada untungnya mempertahankan benda yang bukan
milikmu!”
Habis berkata begitu, Putri Kayangan arahkan pan-
dang matanya pada Jubah Tanpa Jasad dan Kembang
Darah Setan yang mengapung di udara. Wajahnya be-
rubah tegang.
“Aku belum pernah melihat. Tapi aku yakin itulah
Kembang Darah Setan! Aneh.... Bagaimana mungkin
jubah dan kembang itu bisa mengapung di udara?!”
Membatin Beda Kumala alias Putri Kayangan. Saat
muncul menyelamatkan saudara kembarnya Pitaloka,
gadis ini memang belum sempat edarkan pandangan
karena terburu memperhatikan saudaranya. Kalaupun
dia sempat mengenali salah seorang yang ada di tem-
pat itu, itu adalah keberadaan Datuk Wahing. Dan me-
lihat bagaimana Pitaloka sampai hendak terbanting di
atas tanah, cukup membuat Putri Kayangan paham ji-
ka orang yang dihadapi Pitaloka bukan orang yang be-
rilmu di bawahnya. Maka tanpa melihat dulu siapa
orang yang dihadapi Pitaloka, buru-buru Putri Kayan-
gan mengajak saudara kembarnya untuk segera ting-
galkan tempat itu.
Belum sempat lenyap rasa kesima melihat tera-
pungnya Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad, kembali Putri Kayangan dibuat tersentak kala
pandang matanya menumbuk pada sosok Setan Liang
Makam. Namun gadis ini segera dapat kuasai diri dan
dengan cepat arahkan pandang matanya jauh ke de-
pan di mana tampak Datuk Wahing, Dayang Sepuh,
serta Gendeng Panuntun.
“Hem.... Yang sempat ku kenali cuma Datuk Wahing
di antara ketiga orang itu.... Tapi melihat sikapnya, si
nenek dan kakek bertubuh gemuk itu adalah sahabat
Datuk Wahing.... Hem.... Urusanku hanya mencari Pi-
taloka dan membawanya menghadap Eyang Guru. Se-
karang dia telah kutemukan. Aku tak ingin terlibat da-
lam urusan di sini!”
Berpikir begitu, akhirnya Putri Kayangan berbisik
pada Pitaloka.
“Kita harus segera pergi!”
“Kau telah dengar ucapanku. Aku tak akan pergi
tanpa pedang itu!” Pitaloka menyahut.
“Kau tahu siapa yang tengah kau hadapi?”
“Persetan siapa mereka! Setan sekalipun aku tidak
takut! Kau tahu, pedang yang menancap di tanah itu
adalah senjata pusaka! Pedang Tumpul 131 milik Pen-
dekar 131 Joko Sableng!”
Paras wajah Putri Kayangan tiba-tiba bersemu me-
rah. Lalu cepat-cepat berpaling ketika Pitaloka meno-
leh. Namun Pitaloka masih sempat melihat perubahan
pada raut muka saudara kembarnya.
“Wajahmu berubah. Ada apa?! Kau mengenal Pen-
dekar 131!”
“Pitaloka.... Waktu kita tidak banyak! Kita harus se-
gera tinggalkan tempat ini!” seraya berkata Putri
Kayangan tarik lengan Pitaloka. Namun Pitaloka segera
tepiskan tangan Putri Kayangan.
“Kau saudaraku. Tapi bukan berarti kau bisa me-
maksakan kehendakmu atas diriku! Aku tanya. Kau
hendak mengajakku ke mana?!”
“Pitaloka.... Eyang Guru memerintahkan ku untuk
menjemput dan membawamu menghadap!”
Tampang Pitaloka berubah berang. “Sudah kuduga!”
desisnya dingin. “Beda Kumala! Urusanku belum sele-
sai. Kau tak usah menjemputku. Begitu urusanku se-
lesai, aku akan datang sendiri menghadap Eyang
Guru...!”
Putri Kayangan gelengkan kepala. “Kau terlibat da-
lam urusan yang tak akan pernah ada selesainya, Pita-
loka! Dan kalaupun kau ingin tuntaskan urusanmu,
kuharap kau penuhi dahulu permintaan Eyang
Guru....”
“Tidak! Aku akan selesaikan dahulu urusanku!”
“Pitaloka...! Kuharap kau mengerti. Untuk sekali ini
penuhi dahulu permintaan Eyang Guru. Setelah itu
terserah kau!”
Pitaloka mendengus marah. “Sekali aku bilang ti-
dak, tidak! Dan cepat angkat kaki dari sini!”
Putri Kayangan lagi-lagi masih sunggingkan senyum
sembari berujar kalem. “Pitaloka. Aku tidak akan ting-
galkan tempat ini tanpa mu! Dan harap kau mengerti.
Kali ini urusannya bukan lagi masalah saudara. Tapi
kita berdua sebagai murid dari seorang guru!”
“Hem.... Begitu?! Kalau aku tak mau, kau mau
apa?!” Pitaloka menantang.
Putri Kayangan geleng kepala. “Pitaloka. Aku tak bi-
sa memberi jawaban apa-apa atas pertanyaanmu! Yang
pasti aku harus membawamu pada Eyang Guru!”
“Beda Kumala! Simpan dulu keinginanmu! Dan ka-
lau kau menganggap urusan ini sebagai urusan antara
murid, hanya ada dua pilihan antara kita. Kau yang
menghadap Eyang Guru dengan membawa mayatku,
atau kau tak akan pernah menghadap Eyang Guru un-
tuk selamanya!”
“Pitaloka....”
“Cukup!” tukas Pitaloka. “Urusan kita akan kita se-
lesaikan setelah aku tuntaskan persoalan di sini!”
Walau hatinya mulai panas, namun Putri Kayangan
masih coba tersenyum dan berkata. “Kau sadar siapa
yang sedang kau hadapi saat ini, Pitaloka?! Kembang
Darah Setan bukan benda sembarangan! Belum lagi
dia memiliki ilmu aneh dengan tanpa bisa dikenali sia-
pa sosok orang di balik jubahnya!”
Saking jengkelnya Pitaloka menyahut. “Biar dia
punya seribu Kembang Darah Setan dan memiliki seri-
bu ilmu aneh. Tapi dia tidak akan punya dua nyawa!”
Putri Kayangan hendak buka mulut lagi. Tapi sebe-
lum suaranya terdengar, tiba-tiba di seberang sana
Dayang Sepuh telah berteriak.
“Hai, Gadis-gadis Setan! Di sini bukan tempatnya
ngobrol! Minggat jauh-jauh dari sini dan cari tempat
yang enak kalau ingin adu mulut!”
Pitaloka dan Putri Kayangan sama menoleh. Diam-
diam Pitaloka membatin dalam hati. “Nenek aneh....
Dia tadi menolongku dengan memotong pukulan Kem-
bang Darah Setan! Hem.... Sekarang aku tidak akan
tinggalkan tempat ini! Siapa pun nenek itu adanya ser-
ta dua sahabatnya, yang pasti dia tidak akan mem-
biarkan aku celaka! Aku tak peduli apa maksud mere-
ka menolongku! Yang jelas setidaknya aku baru akan
tinggalkan tempat ini dengan Pedang Tumpul 131!”
Niat semula Pitaloka yang hendak menyelamatkan
diri tiba-tiba berubah begitu menangkap gelagat jika
sebagian orang di situ tidak akan tinggal diam sean-
dainya terjadi bentrok antara dia dengan sosok di balik
Jubah Tanpa Jasad.
Kalau Pitaloka membatin begitu, diam-diam Putri
Kayangan juga berkata sendiri dalam hati. “Kalau dia
tidak mau kuajak dengan baik-baik, terpaksa aku
mengajaknya dengan sedikit kasar! Tempat ini sangat
berbahaya. Keselamatannya harus ku jaga sampai di
hadapan Eyang Guru....”
Sementara mendapati dua gadis berbaju merah be-
lum juga beranjak dari tempatnya, Dayang Sepuh ma-
kin jengkel. Sekali lagi dia berteriak dengan keras.
“Gadis-gadis setan! Kalau kalian....”
Dayang Sepuh putuskan teriakannya. Mulutnya
terkancing rapat. Matanya mendelik besar tatkala se-
konyong-konyong dia melihat bagaimana Jubah Tanpa
Jasad bergerak memutar menghadap ke arahnya. Dan
bersamaan dengan itu Kembang Darah Setan berkele-
bat.
Wuusss!
Kiblatan tiga sinar berwarna merah, hitam, dan pu-
tih menderu dahsyat. Bukan itu saja. Begitu sinar tiga
warna telah melesat, Kembang Darah Setan kembali
bergerak ke belakang. Kejap lain kembali berkelebat.
Hingga untuk kedua kalinya terlihat lagi kiblatan me-
lesatnya tiga sinar tiga warna menyusuli sinar yang
pertama!
Dayang Sepuh menggerendeng tak karuan. Namun
bersamaan itu dia melompat ke arah samping. Lutut-
nya ditekuk sedikit. Sepasang matanya dipejamkan.
Kedua tangannya ditakupkan di depan kening. Lalu
perlahan-lahan kedua tangannya dibuka dan didorong
ke depan dengan pelan.
Wusss! Wusss!
Dari kedua telapak tangan Dayang Sepuh menyem-
bur jilatan api. Jilatan api itu mula-mula melarik lu-
rus. Setengah jalan mendadak larikan jilatan api men-
gembang datar dan saat lain telah menyungkup tempat
Itu! Hingga untuk beberapa saat udara di tempat itu
laksana tenggelam dalam lautan api!
Hampir bersamaan dengan bergeraknya kedua tan
gan Dayang Sepuh, terdengar suara bersinan tiga kali.
Lalu dua gelombang luar biasa dahsyat menggebrak
dari kedua tangan Datuk Wahing. Hebatnya, gelom-
bang itu perdengarkan deruan yang seolah diperden-
garkan dari delapan penjuru mata angin! Anehnya, de-
ruan itu terus memantul tiada hentinya! Datuk Wahing
tampaknya telah melepas jurus ‘Pantulan Tabir’. Ilmu
warisan dari Nyai Suri Agung nenek Setan Liang Ma-
kam dari Kampung Setan.
Mungkin merasa sinar yang melesat dari Kembang
Darah Setan sangat berbahaya, begitu Datuk Wahing
perdengarkan bersinan, di sampingnya Gendeng Pa-
nuntun gerakkan tangan kiri kanan mengusap cermin
bulat di depan perutnya.
Blapp! Blaapp!
Dua cahaya putih terang mencuat laksana kilat.
Begitu cepat lesatan cahaya putih dari cermin kakek
tambun itu, cahaya putih itu berkiblat mendahului ji-
latan api dari kedua telapak tangan Dayang Sepuh!
Hingga kiblatan sinar tiga warna yang datang pertama
kali bukannya disongsong oleh jilatan kobaran api, me-
lainkan oleh cahaya putih terang.
Blaarr!
Dentuman menggelegar mengguncang tempat itu.
Dan gelegar belum sirna, kembali terdengar dentuman
luar biasa kala sinar tiga warna yang kedua menghan-
tam kobaran api!
Cahaya putih dan sinar tiga warna yang menimbul-
kan ledakan pertama sama muncrat ke udara setinggi
delapan tombak. Disusul dengan berhamburnya jilatan
api ke udara dan pecahnya sinar tiga warna. Hebatnya
pecahan sinar tiga warna masih mampu menerobos
pekatnya suasana dan menerabas langsung ke arah
Dayang Sepuh!
Namun terabasan pecahan sinar tiga warna tidak
berlangsung lama. Karena begitu melesat ke arah
Dayang Sepuh, gelombang yang perdengarkan deru
pantul memantul sudah menggebrak menghadang!
Hadangan gelombang yang terus memantul yang bu-
kan lain dilepas oleh Datuk Wahing serta-merta tim-
bulkan letupan-letupan. Hingga gelegar kedua belum
lenyap, tempat itu kembali telah diguncang dengan le-
tupan-letupan keras beberapa kali!
Guncangan dahsyat mau tak mau membuat tempat
itu bergetar hebat. Hal ini membuat Pedang Tumpul
131 yang masih menancap di atas tanah bergerak pu-
lang balik dengan keras. Gerakan pedang sakti itu per-
dengarkan deruan luar biasa dan lesatkan cahaya ke-
kuningan yang membawa gelombang serta hawa panas
menyengat!
Hadangan yang dilakukan Dayang Sepuh, Datuk
Wahing, serta Gendeng Panuntun membuat sosok Kiai
Laras mencelat tiga kali dan jatuh terkapar di atas ta-
nah setelah menghantam satu batangan pohon hingga
berderak tumbang.
Namun Kiai Laras seolah tidak merasakan pukulan
berat. Kalaupun dia mengeluh dan berseru tertahan,
itu pada saat sosoknya menghantam batangan pohon
yang membuat tubuhnya terhenti. Orang tua itu mera-
sakan ada tabir penghalang di hadapannya saat lesa-
tan sinar tiga warna dari Kembang Darah Setan diha-
dang orang. Hingga begitu sosoknya terkapar, dia bisa
segera kuasai diri dan bergerak bangkit. Dia hanya
merasakan sedikit sesak pada dadanya. Lalu tangan
kanannya yang memegang Kembang Darah Setan tera-
sa ngilu. Selebihnya, dia tidak mengalami cedera!
Sementara di depan sana, begitu cahaya putih dari
cerminnya menghadang sinar tiga warna, sosok Gen-
deng Panuntun bergoyang-goyang keras. Saat lain so-
sok tambun kakek ini tersapu satu tombak ke belakang. Namun posisinya belum juga berubah. Tetap
duduk di atas tanah meski paras wajahnya berubah
dan sepasang mata putihnya mengerjap beberapa kali.
Di sebelah sampingnya, begitu ledakan kedua ter-
dengar, sosok Dayang Sepuh terhuyung sampai satu
tombak. Sebelum tubuhnya jatuh, si nenek cepat te-
kuk kedua lututnya lalu jatuhkan diri duduk berlutut
dengan kedua tangan segera ditarik dan dirangkapkan
di depan dada. Sepasang matanya makin dipejamkan
dan mulutnya berkemik.
Si nenek berusaha kuasai diri dan mengatur jalan
darahnya yang terasa menyentak-nyentak. Untuk be-
berapa lama sosoknya bergetar keras. Kelabangan
rambutnya tergerai lepas dan tampak berkibar-kibar.
Bedak putih tebal pada raut mukanya perlahan-lahan
luntur oleh keringat yang membanjir. Hingga dalam
beberapa saat terlihat mukanya yang tadi putih beru-
bah menjadi hitam legam! Bibirnya yang tadi dipoles
warna merah belepotan luntur di sekitar mulutnya.
Hingga paras nenek ini berubah makin menakutkan!
Sedangkan Datuk Wahing tampak terseret lima
langkah namun posisinya tetap duduk bersimpuh. Wa-
lau paras mukanya berubah dan sosoknya bergetar,
tapi kakek ini dalam beberapa saat sudah gerakkan
kepala pulang balik ke depan ke belakang lalu perden-
garkan bersinan beberapa kali!
Di lain pihak, meski Pitaloka dan Putri Kayangan,
serta Setan Liang Makam tidak terlibat dalam bentrok
pukulan, namun bias beradunya beberapa pukulan
membuat sosok masing-masing orang ini terdorong de-
ras ke belakang. Seandainya mereka tidak segera kua-
sai diri dengan kerahkan tenaga dalam, niscaya mere-
ka akan jatuh terjengkang di atas tanah!
Kiai Laras yang sudah tegak dan kuasai diri perta-
ma kali segera hadapkan tubuh pada Dayang Sepuh,
Datuk Wahing, serta Gendeng Panuntun. Kalau tadi
dia masih bimbang dalam menghadapi ketiga orang
itu, setelah tahu apa yang baru saja terjadi, kebimban-
gan sang Kiai sirna. Dia kini yakin akan kekuatan di
tangannya. Hingga seraya hadapkan tubuh, kedua
tangannya diangkat diletakkan pada pinggang kanan
kirinya. Namun karena semua orang di tempat itu ti-
dak bisa melihat pada sosoknya, mereka hanya bisa
melihat pada gerakan Jubah Tanpa Jasad yang te-
rangkat sedikit pada bagian lengan kanan kirinya.
“Kalian bertiga!” seru Kiai Laras lantang. “Hanya sa-
tu jalan yang akan menyelamatkan nyawa kalian mas-
ing-masing!” Kiai Laras tertawa pendek dahulu lalu
melanjutkan. “Mendekatlah kemari dengan merangkak
dan bersuaralah seperti gonggongan anjing! Lalu berlu-
tutlah di hadapanku!”
Dayang Sepuh mendengus. Sepasang matanya di-
buka lalu bangkit berdiri dengan kedua tangan masih
merangkap di depan dada. Sebelum nenek ini bersua-
ra, Datuk Wahing telah perdengarkan bersinan dua
kali lalu angkat bicara.
“Sahabat sekalian.... Apa kita harus melakukan pe-
rintah mengherankan itu?!”
“Ah.... Mungkin perintah itu hanya bercanda...,”
Gendeng Panuntun menyahut.
“Bercanda atau tidak, tapi mulut setan itu sudah
terlalu!” Dayang Sepuh menimpali dengan pasang
tampang garang.
Saat orang lain adu mulut, diam-diam Setan Liang
Makam yang sedari tadi hanya diam kerahkan segenap
tenaga dalamnya. Walau dia telah tahu bagaimana ke-
dahsyatan Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa
Jasad, namun cucu Nyai Suri Agung ini seakan tidak
ambil peduli. Yang tertanam dalam benaknya adalah
bagaimana caranya bisa mengambil kembali dua senja
ta pusaka milik leluhurnya itu. Tapi Setan Liang Ma-
kam tidak bodoh apalagi bertindak ayal. Dia menunggu
kesempatan baik. Dan begitu melihat orang sedang
adu mulut, dirasa itulah kesempatan yang harus tidak
disia-siakan. Maka laki-laki ini segera kerahkan sege-
nap tenaga dalamnya. Kejap lain dia melesat ke arah
Kiai Laras. Kedua tangannya disentakkan.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang dahsyat yang disertai hamparan
warna hitam menggidikkan menderu ganas ke arah
Kiai Laras.
Kiai Laras tersentak kaget. Namun kepercayaan diri
membuat laki-laki ini segera dapat kuasai rasa kejut-
nya. Bahkan kini menghadapi pukulan lawan dengan
tertawa bergelak panjang! Bersamaan itu tangan ka-
nannya yang memegang Kembang Darah Setan dikele-
batkan seraya menyingkir ke samping dengan melom-
pat.
Setan Liang Makam kini balik tersentak. Dia sama
sekali tidak menduga jika gerakan lawan begitu cepat.
Dia tadi sudah mengukur jarak. Dan yakin kalau
orang yang dihantamnya tidak mungkin lagi punya ke-
sempatan untuk laksanakan hadangan pukulan.
Blaarr!
Dua gelombang yang menderu ke arah Kiai Laras
semburat berantakan. Kiai Laras terhuyung-huyung
tapi tidak sampai jatuh. Di lain pihak, Setan Liang Ma-
kam langsung terjerembab di atas tanah dengan mulut
keluarkan darah.
Sementara sebelum Kiai Laras kelebatkan Kembang
Darah Setan, Pitaloka yang secara diam-diam juga me-
nunggu kesempatan tidak mau lagi mengulangi kesa-
lahan. Dia kini tidak mau menunggu sampai terjadi
bentrok pukulan yang mengakibatkan Pedang Tumpul
131 sukar didekati. Hingga begitu Kembang Darah Setan berkelebat menghadang pukulan Setan Liang Ma-
kam, Pitaloka cepat berkelebat ke arah Pedang Tumpul
131!
“Pitaloka! Jangan lakukan itu!” Putri Kayangan ber-
teriak mencegah. Namun terlambat. Pitaloka teruskan
kelebatannya.
Sejengkal lagi tangan Pitaloka menyentuh Pedang
Tumpul 131, tiba-tiba dari arah samping satu samba-
ran angin menggebrak. Pitaloka berseru tertahan. Ke-
dua tangannya segera ditarik lalu disentakkan meng-
hadang gebrakan angin. Namun datangnya gerakan
angin lebih cepat dari sentakan kedua tangan si gadis.
Hingga tanpa ampun lagi sosok Pitaloka tersapu men-
tal ke belakang. Saat itulah satu bayangan putih mele-
sat ke arah Pedang Tumpul 131.
***
EMPAT
BEGITU sosok Pitaloka yang tersapu hendak meng-
hantam tanah, ledakan keras akibat benturan pukulan
Setan Liang Makam dan Kembang Darah Setan terjadi.
Hingga sosok Pitaloka kembali terpental.
Putri Kayangan pentangkan mata memperhatikan
arah mentalan sosok Pitaloka. Lalu melesat dan me-
nyambar tubuh saudara kembarnya tanpa menunggu
sosok Pitaloka melayang jauh ke bawah.
Kiai Laras tampaknya dapat menangkap gelagat apa
yang baru saja dilakukan Pitaloka. Hingga begitu dapat
kuasai diri, dia cepat putar tubuh. Mendadak orang ini
bantingkan kaki dengan mulut perdengarkan makian.
Matanya membelalak ke tempat di mana tadi Pedang
Tumpul 131 menancap. Ternyata pedang itu sudah lenyap!
Kiai Laras angkat sedikit mukanya yang berubah
garang. Matanya makin membeliak tak berkesip. So-
soknya bergetar tanda hawa amarahnya telah mengge-
legak ketika melihat satu sosok tubuh berpakaian pu-
tih tegak di depan sana dan tengah memperhatikan
Pedang Tumpul 131 yang ada di tangan kanannya.
“Pendekar 131!” seru Pitaloka dan Putri Kayangan
hampir berbarengan ketika turun di atas tanah dan
matanya melihat seorang pemuda berwajah tampan
berambut panjang sedikit acak-acakan yang tengah
memperhatikan pedang di tangan kanannya.
“Hem.... Untung tidak dipalsu!” gumam si pemuda
berpakaian putih yang tidak lain memang Pendekar
131 Joko Sableng. Tanpa acuhkan berpasang-pasang
mata yang kini memandang ke arahnya, murid Pendeta
Sinting arahkan pandang matanya menyusur tanah.
“Sarungnya ada di sana!” ujar Joko. Masih tanpa
angkat kepala memandang siapa saja yang ada di tem-
pat itu, dia melangkah ke arah sarung pedang yang
tergeletak di atas tanah.
“Setan geblek! Apa dia tidak melihat ada setan di
hadapannya?!” ujar Dayang Sepuh mendapati apa
yang dilakukan murid Pendeta Sinting.
“Pendekar 131! Lihat ke depan!” Putri Kayangan
mendadak berteriak tatkala melihat bagaimana Joko
terus melangkah tanpa mengangkat kepala. Padahal
lurus di depannya Kembang Darah Setan sudah berge-
rak terangkat ke atas.
Pendekar 131 berpaling ke arah suara yang baru
terdengar. Sesaat sepasang matanya melebar menyipit
perhatikan Pitaloka dan Putri Kayangan.
“Kini baru aku merasa yakin kalau ada dua Putri
Kayangan! Namun sulit bagiku mengatakan mana yang
mengambil pedangku tempo hari!” kata Joko lalu anggukkan kepala dan berujar.
“Mau mengaku siapa di antara kalian yang men-
gambil milikku tempo hari?!”
Paras muka Pitaloka dan Putri Kayangan sama be-
rubah. Sulit diartikan perubahan pada wajah kedua-
nya. Namun sejauh ini kedua gadis yang sama berpa-
ras cantik ini tidak ada yang buka mulut menjawab
pertanyaan murid Pendeta Sinting. Sebaliknya mereka
berdua sama saling pandang.
“Sebelum kudapatkan kembali pedangku, rasanya
tanganku sudah gatal hendak menggebuk jika kute-
mukan. Tapi begitu benar-benar bertemu, rasanya
tanganku tak kuasa melakukannya! Nyatanya perem-
puan cantik bukan hanya menambah persoalan, tapi
juga dapat merubah niat!” kata Joko dalam hati. Lalu
berpaling lagi ke depan. Saat itulah matanya melihat
jubah hitam serta Kembang Darah Setan yang tera-
pung di atas udara.
Murid Pendeta Sinting melongo dengan mata men-
delik. Tangan kirinya berulang kali diusap-usapkan
pada matanya. Lalu kepalanya disorongkan ke depan.
“Setan atau apa ini?!” gumamnya dalam hati. Tanpa
sadar kedua kakinya bergerak. Bukan melangkah
mundur melainkan maju! Namun begitu sadar, kemba-
li kaki nya mundur ke tempat semula.
Belum lenyap rasa kaget Pendekar 131, di depan
sana Datuk Wahing telah perdengarkan bersinan dua
kali. Lalu disusul dengan ucapan.
“Harap tidak merasa heran dan ingat akan keteran-
ganku, Anak Muda!”
“Datuk Wahing!” seru Joko lalu alihkan pandang
matanya. Ketika dilihatnya si kakek memandang ke
arahnya, Joko menjura hormat.
Mata murid Pendeta Sinting terus melebar ke samp-
ing. Saat menumbuk sosok Dayang Sepuh, kembali
Joko menjura seraya berucap.
“Nenek Dayang Sepuh....”
Dayang Sepuh mendelik. Lalu menukas ucapan Jo-
ko. “Dasar setan! Sudah berkali-kali ku ingatkan, tapi
kau tidak mau mengerti juga!”
Joko buru-buru sadar. Kembali dia mengulangi
menjura seraya berkata. “Bibi nan Cantik, Dayang Se-
puh...!”
Mata Dayang Sepuh terpejam-pejam dengan bibir
tersenyum. Lalu rapikan geraian poni rambutnya yang
tadi bersibakan. Rambutnya yang kini terlepas bergerai
cepat-cepat disanggul sekenanya. Bajunya yang
cingkrang sedikit ditarik-tarik ke bawah.
Pendekar 131 segera alihkan pandang matanya, ta-
kut kalau si nenek tahu jika dia sedang menahan ta-
wa. Ketika matanya melihat sosok Gendeng Panuntun,
kembali Joko membuat gerakan menjura. Namun kali
ini sebelum sempat bersuara, Gendeng Panuntun su-
dah mendahului.
“Selamat jumpa lagi, Anak Muda.... Bagaimana ka-
bar gadis-gadismu?!”
Pendekar 131 sudah hendak menjawab. Namun
mendengar lanjutan ucapan Gendeng Panuntun, dia
jadi kancingkan mulut. Sebaliknya hanya menjawab
dalam hati. “Urusannya jadi repot kalau menghadapi
orang-orang begini....”
Di antara semua orang di situ, yang paling terkejut
dengan kemunculan murid Pendeta Sinting adalah Se-
tan Liang Makam. Hingga meski masih merasakan sa-
kit pada sekujur tubuhnya, laksana terbang dia beran-
jak bangkit. Seraya mengusap kucuran darah pada
mulutnya, sepasang matanya mendelik.
“Pendekar 131 Joko Sableng! Bagaimana bisa begi-
ni?! Lalu siapa sebenarnya pemegang Kembang Darah
Setan dan pemakai Jubah Tanpa Jasad itu?!”
Selagi Setan Liang Makam menduga-duga, murid
Pendeta Sinting tepat sedang memandang ke arahnya.
Kembali Joko terkesiap kaget.
“Dugaan Datuk Wahing tepat.... Setan Liang Makam
masih hidup! Dan jubah hitam yang mengapung di
udara itu pastilah yang disebut-sebutnya Jubah Tanpa
Jasad! Sebuah jubah yang bila dikenakan, maka sosok
si pemakai tidak akan kelihatan! Mungkin saat inilah
waktunya mengetahui siapa gerangan di balik peristi-
wa ini!
Dan kepastian itu akan terbukti dengan jalan men-
genali siapa sebenarnya sosok tak kelihatan di balik
Jubah Tanpa Jasad itu!”
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting segera alih-
kan pandang matanya pada Jubah Tanpa Jasad dan
berkata.
“Siapa kau sebenarnya?! Mengapa hal ini kau laku-
kan dengan melibatkan diriku yang tak tahu apa-
apa?!”
Untuk kesekian kalinya Kiai Laras terkejut.
“Aneh.... Rupanya ada yang tak beres begitu aku men-
genakan jubah ini! Semua orang seakan tidak menge-
naliku! Padahal aku yakin pasti dia tidak akan lupa
pada wajahku! Hem.... Keanehan apa sebenarnya ini?!
Kalau benar mereka sekarang tidak bisa mengenaliku,
itu akan lebih baik! Mereka akan kubuat penasaran
sampai masuk liang neraka! Ha.... Ha.... Ha...!” Kiai
Laras tertawa dalam hati.
Namun seakan belum percaya pada diri sendiri, Kiai
Laras angkat tangan kirinya lalu mengusap-usap pada
wajahnya. Kepalanya pun bergerak memperhatikan di-
rinya sendiri. “Tidak ada yang berubah...,” gumamnya
masih merasa aneh. “Tapi persetan dengan semua itu!
Mereka mengenaliku atau tidak, yang jelas mereka ha-
rus mampus saat ini juga!”
Mendapati pertanyaannya tidak dijawab orang, ma-
lah terlihat gerakan-gerakan pada Jubah Tanpa Jasad,
Joko waspada dan cepat kerahkan tenaga dalam pada
tangannya. Lalu kembali berkata.
“Kau telah dengar pertanyaanku, harap suka men-
jawab!”
“Jawaban itu kelak akan kau peroleh di neraka!”
Kiai Laras perdengarkan suara.
“Hem.... Aku sepertinya pernah mendengar suara
orang ini! Berarti aku yakin mengenalnya, atau seti-
daknya pernah bicara dengannya!” Murid Pendeta
Sinting dongakkan kepala seolah mengingat. Tapi tak
lama kemudian dia geleng kepala. “Mengenali orang
lewat suaranya sulit.... Ah, bukankah Kakek Gendeng
Panuntun ada di sana. Kurasa dia bisa mengetahui....”
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting segera saja
berkelebat. Dan tahu-tahu sosoknya telah tegak di
samping Gendeng Panuntun. Namun begitu Joko te-
gak, Gendeng Panuntun sudah gerakkan kepala meng-
geleng seraya berkata.
“Jangan tanya padaku, Anak Muda....”
Joko menghela napas lalu berpaling pada Datuk
Wahing. Lagi-lagi sebelum Joko sempat angkat suara,
Datuk Wahing telah bersin dua kali sembari berucap.
“Adalah satu hal yang mengherankan kalau aku le-
bih tahu dari dia!” Tangan kanan Datuk Wahing me-
nunjuk pada Gendeng Panuntun.
Kini murid Pendeta Sinting alihkan pandangannya
pada Dayang Sepuh. Si nenek sudah tersenyum dahu-
lu lalu berkata.
“Yang jelas dia adalah seorang laki-laki! Soal siapa
orangnya, bisa kau tanyakan pada setan gentayangan!”
Walau sudah merasa pasti tidak tahu juga, tapi mu-
rid Pendeta Sinting coba arahkan pandangannya pada
Pitaloka dan Putri Kayangan.
Yang dipandang sama saling pandang satu sama
lain. Lalu Pitaloka berpaling pada jurusan lain. Semen-
tara Putri Kayangan gelengkan kepala dengan raut
bersemu merah.
“Aku masih sulit mengenali. Siapa yang menggeleng
dan siapa yang berpaling!” gumam murid Pendeta Sint-
ing.
Di lain pihak, begitu mendapati apa yang dilakukan
Pendekar 131, Kiai Laras makin yakin jika semua
orang di tempat itu tidak bisa mengetahui siapa dia
sebenarnya. Maka saat itu juga dia berkata dengan ke-
pala mendongak.
“Dengar semua! Agar kalian tidak mati penasaran,
akan kukatakan siapa aku!”
Tempat itu seketika hening. Semua orang sama
arahkan mata pada Jubah Tanpa Jasad kecuali Datuk
Wahing dan Gendeng Panuntun. Datuk Wahing tetap
gerakkan kepala pulang balik ke depan ke belakang
dengan mimik orang hendak bersin, sedang Gendeng
Panuntun pejamkan matanya yang putih sambil ten-
gadah. Tangan kiri kanannya bergantian mengusap
cermin bulat pada depan perutnya.
“Aku adalah Penguasa Kampung Setan!” Kiai Laras
lanjutkan ucapan. “Dan sejak hari ini semua orang ha-
rus tunduk di bawah telapak kakiku!” Sesaat Kiai La-
ras hentikan ucapannya dengan kepala digerakkan
menyapu ke seantero tempat itu. Seraya sunggingkan
senyum laki-laki ini lanjutkan ucapannya. “Ini me-
mang bukan paksaan, tapi siapa yang membangkang
maka takdirnya buruk!”
“Siapa percaya!” Tiba-tiba satu suara menyahut.
Ternyata yang bersuara adalah Setan Liang Makam.
“Akulah Penguasa Kampung Setan! Aku generasi te-
rakhir Kampung Setan!”
Kiai Laras tidak berpaling pada Setan Liang Makam
meski dia segera menyahut.
“Hem.... Begitu?! Mau tunjukkan padaku kalau
ucapanmu tadi bisa dipercaya?!”
Setan Liang Makam terdiam. Namun tak lama ke-
mudian sudah buka suara.
“Hanya karena kelicikanmu, lambang Kampung Se-
tan lepas dari tanganku!”
Kiai Laras tertawa. “Itu bukan jawaban pertanyaan-
ku, Manusia Setan! Aku tanya tunjukkan kalau kau
Penguasa Kampung Setan!”
Dada Setan Liang Makam laksana meledak saking
geramnya. Namun laki-laki cucu Nyai Suri Agung ini
hanya bisa diam, membuat Kiai Laras berucap lagi.
“Kau mengaku sebagai Penguasa Kampung Setan.
Tapi tidak dapat tunjukkan bukti ucapanmu! Sekarang
aku tanya padamu. Apa kau ingin bukti kalau akulah
Penguasa Kampung Setan?!”
Setan Liang Makam lagi-lagi tidak menjawab. Kiai
Laras tertawa ngakak. “Bertahun-tahun Kampung Se-
tan menjadi legenda karena kesaktian penguasanya.
Adalah manusia dungu kalau mengaku sebagai Pengu-
asa Kampung Setan dengan bekal ilmu sejengkal!” Kini
Kiai Laras putar tubuh menghadap Setan Liang Ma-
kam. “Aku tanya sekali lagi.... Kau ingin bukti dariku
bahwa akulah sang Penguasa Kampung Setan?!” se-
raya berkata begitu Kiai Laras mengangkat Kembang
Darah Setan di tangan kanannya.
Setan Liang Makam tercekat. Mulutnya terkancing.
Cucu Nyai Suri Agung ini sudah merasa tidak akan
mampu menahan jika sosok di balik Jubah Tanpa Ja-
sad benar-benar hantamkan Kembang Darah Setan.
Selain dirinya telah terluka dalam, kesaktian Jubah
Tanpa Jasad akan membuatnya sia-sia melakukan
pukulan.
Namun Kiai Laras perlahan-lahan turunkan Kembang Darah Setan. Lalu berkata.
“Membunuhmu semudah ini!” Semua orang yang
memandang melihat percikan air mencuat dari bagian
atas Jubah Tanpa Jasad. Jelas kalau semua orang ti-
dak bisa melihat sosok di balik jubah, namun mereka
bisa memastikan jika cuatan air itu adalah air ludah!
“Namun sebagai penguasa, aku tidak akan mudah
turunkan tangan maut! Asal kau segera lakukan apa
yang kuperintahkan! Kau dengar, Manusia Setan?!”
Dada Setan Liang Makam makin bergemuruh. Na-
mun maklum akan posisinya, cucu dari Nyai Suri
Agung ini hanya bisa memandang tanpa menyahut.
“Manusia setan! Merangkaklah ke hadapanku den-
gan mengembik! Tirukan suara kambing keras-keras
lalu berlutut di hadapanku!”
Setan Liang Makam laksana disambar petir. Sosok-
nya yang hanya merupakan susunan kerangka berge-
tar keras. Tulang sekujur wajahnya bergerak-gerak.
“Aku tak akan mengulangi perintah! Lakukan seka-
rang! Cepat!” Kiai Laras membentak. Saat yang sama
Kembang Darah Setan kembali diangkat.
Setan Liang Makam menghela napas dalam. Entah
apa pertimbangannya, perlahan-lahan laki-laki ini te-
kuk kedua lututnya lalu duduk bersimpuh di atas ta-
nah. Sepasang matanya terus memperhatikan pada
Kembang Darah Setan. Dan begitu melihat Kembang
Darah Setan hendak berkelebat, dia cepat tarik tubuh-
nya ke depan membuat gerakan menungging!
“Jangan membuat kesabaranku habis! Tirukan sua-
ra kambing dan merangkak ke hadapanku!” Kiai Laras
menghardik.
Dengan dada di buncah perasaan tak karuan, Setan
Liang Makam buka mulut. Lalu terdengarlah cucu Nyai
Suri Agung ini perdengarkan suara kambing seraya
merangkak!
“Kau laki-laki, Manusia Setan! Jangan bersuara se-
perti perempuan! Yang keras!” bentak Kiai Laras ketika
didengarnya suara Setan Liang Makam sangat pelan.
“Kau akan rasakan batasanku nanti, Jahanam
Bangsat! Saat ini kau menang! Tapi itu hanya untuk
sementara! Kau nanti akan merasakan lebih dari se-
mua ini!” Setan Liang Makam memaki dalam hati. Dan
dengan menindih segala perasaan serta tabahkan hati,
akhirnya dia tirukan suara kambing dengan keras-
keras.
“Bagus! Bagus!” Kiai Laras anggukkan kepala beru-
lang kali lalu tertawa ngakak. Sementara sepasang ma-
tanya melirik pada Dayang Sepuh, Datuk Wahing,
Gendeng Panuntun, serta Pendekar 131. “Kalian juga
akan melakukan hal yang sama!”
Saat itulah mendadak ekor mata Kiai Laras me-
nangkap berkelebatnya satu bayangan. Laksana disen-
tak setan, kepala Kiai Laras cepat berpaling.
“Kau datang pada saat yang salah!” desis Kiai Laras.
Lalu alihkan pandangannya. Bersamaan dengan itu
satu sosok tubuh berkelebat dan tegak tidak jauh dari
tempat berdirinya Pitaloka dan Putri Kayangan.
***
LIMA
DIA adalah seorang laki-laki berusia lanjut menge-
nakan pakaian warna putih. Rambutnya putih pan-
jang. Sepasang matanya sedikit sayu. Pada cuping hi-
dungnya melingkar sebuah anting-anting.
“Kiai Laras.... Atau Kiai Lidah Wetan?!” Pendekar
131 bergumam sendiri. Lalu perhatikan orang yang ba-
ru muncul sekali lagi. “Yang ini pasti Kiai Lidah Wetan!” Murid Pendeta Sinting meyakinkan. Lalu perla-
han-lahan Pedang Tumpul 131 dimasukkan ke balik
pakaiannya dengan hati-hati karena pedang itu tanpa
sarung.
“Kurasa ada seorang sahabat yang baru muncul...,”
Gendeng Panuntun angkat suara.
“Bruss! Kuharap kehadirannya tidak menambah
suasana heran di tempat ini!” Datuk Wahing menya-
hut.
Dayang Sepuh yang tegak tidak jauh dari murid
Pendeta Sinting tidak buka mulut. Dia hanya meman-
dang sekilas lalu melangkah ke arah Gendeng Panun-
tun.
Di seberang sana, Pitaloka dan Putri Kayangan
sempat terkejut dengan kemunculan orang yang bukan
lain memang Kiai Lidah Wetan adanya. Kedua gadis ini
sejenak berpaling pada Kiai Lidah Wetan.
“Pitaloka.... Tempat ini makin tidak aman! Tidak ter-
tutup kemungkinan sebentar lagi akan muncul orang
baru! Kita sebaiknya segera pergi!” Putri Kayangan
berbisik.
Pitaloka melotot pada saudara kembarnya. “Kalau
kau takut, pergilah sendirian!”
“Aku bukannya takut.... Tapi ini demi perintah
Eyang Guru! Lagi pula pedang itu sudah diambil pemi-
liknya! Tak ada lagi bukan urusannya di tempat ini?!”
Pitaloka tertawa pendek. “Bukan pedang itu yang
kuinginkan! Tapi Kembang Darah Setan itu!”
“Pitaloka.... Kau boleh punya keinginan. Tapi kau
harus ukur dahulu kemampuan! Kau tadi telah meli-
hat bagaimana peristiwa di tempat ini!”
“Aku memang tidak punya kemampuan tinggi un-
tuk mengalahkan mereka! Tapi aku punya cara untuk
bisa mendapatkannya!”
“Tapi caramu salah...!”
Pitaloka angkat tangannya. Telunjuk jarinya dilu-
ruskan ke arah wajah Putri Kayangan. “Kau tidak ber-
hak menilai caraku! Kau dengar itu?!”
“Tapi apa yang kau lakukan setidaknya membuat
aku ikut terlibat! Orang yang tidak tahu pasti menduga
akulah yang melakukannya!”
“Persetan dengan semua itu! Yang penting aku tidak
melibatkan dirimu! Hanya orang tolol dan buta yang
tidak bisa membedakan!”
“Pitaloka! Jangan membuatku melakukan perintah
Eyang Guru dengan caraku sendiri!” Putri Kayangan
membentak dengan suara keras.
“Tadi sudah kukatakan, kau mau apa kalau aku ti-
dak mau turuti perintah, hah?!”
Putri Kayangan menghela napas panjang. Untuk
beberapa saat dia edarkan pandang matanya menindih
kegeraman yang mulai melanda dadanya.
“Gadis-gadis setan!” gumam Dayang Sepuh. “Apa
mereka kira ini tempat yang cocok untuk adu mulut!”
“Harap mengerti.... Sebagai orang muda jalan piki-
rannya tentu belum sepanjang apa yang kau pikirkan,
Nek....” Gendeng Panuntun sambuti ucapan Dayang
Sepuh.
“Kau tidak bisa melihat mereka! Jadi aku maklum
kalau gadis-gadis segede setan itu masih kau katakan
sebagai orang muda!”
Gendeng Panuntun tertawa seraya gelengkan kepa-
la. “Aku memang tidak bisa melihat mereka. Tapi aku
dapat merasakan dari ucapan-ucapan mereka!”
“Ah, persetan dengan semua itu!” sahut Dayang Se-
puh. “Sekarang aku ingin tanya. Kau tahu siapa setan
yang kau katakan sebagai sahabat dan tegak di depan
sana itu?!” Dayang Sepuh arahkan pandangannya ke
arah Kiai Lidah Wetan.
“Kau yang bisa melihat. Mengapa bertanya pada
ku?”
“Setan! Aku memang bisa melihat! Tapi aku tidak
mengenalinya!”
“Kalau yang bisa melihat tidak dapat mengenali, apa
berarti yang buta bisa mengenalinya?!”
“Kau benar-benar setan! Bukankah kau tadi sudah
mengatakan setan yang baru datang itu adalah seo-
rang sahabat! Berarti kau mengenalinya!”
“Aku hanya mengatakan sahabat. Jadi belum pasti
aku mengenalinya.... Karena semua orang kuanggap
sebagai sahabat. Tidak terkecuali setan sekalipun....”
“Aku mengenal siapa dia, Bibi Cantik....” Joko ikut
ambil suara. “Dia adalah Kiai Lidah Wetan.”
“Setan! Itu aku sudah tahu!”
“Lalu?!” Joko bertanya.
“Siapa dia sebenarnya?!”
“Ah, kalau itu persoalannya, sebaiknya kita tanya-
kan saja padanya!”
Dayang Sepuh sudah hendak menghardik. Namun
diurungkan ketika dari arah depan terdengar Kiai La-
ras angkat bicara.
“Orang yang baru datang! Kau lihat apa yang terjadi
di depanku! Sebelum kau nanti mengalami hal yang
sama, kuperingatkan kau untuk segera angkat kaki
dari sini!”
Kiai Lidah Wetan terkejut. Laki-laki kakak kandung
dari Kiai Laras ini sesaat tadi masih terkesima dengan
pemandangan di hadapannya. Dia tak habis pikir ba-
gaimana sebuah jubah menggantung tegak di udara.
Dan dia pun makin terkesima melihat Kembang Darah
Setan yang juga terapung di atas udara.
Mula-mula Kiai Lidah Wetan menduga orang berju-
bah hitam adalah Setan Liang Makam. Namun begitu
melihat Setan Liang Makam merangkak dan tadi per-
dengarkan suara kambing, orang ini jadi bertanya
tanya dan makin heran.
Sementara melihat kemunculan orang, Setan Liang
Makam hentikan rangkakannya. Mulutnya yang per-
dengarkan suara kambing pun dihentikan. Dia angkat
kepalanya lalu memandang ke arah Kiai Lidah Wetan.
“Aku pernah melihat orang ini.... Tapi aku lupa di
mana...,” kata Setan Liang Makam dalam hati. Lalu
kembali tundukkan kepala.
“Mungkinkah orang yang baru bersuara tapi tidak
kelihatan wujudnya tadi adalah Laras?!” Kiai Lidah
Wetan menduga. “Suaranya memang hampir mirip.
Tapi bagaimana mungkin?! Bukankah Kembang Darah
Setan sudah diberikan pada Setan Liang Makam saat
di teluk tempo hari?! Hem.... Apa sebenarnya yang te-
lah terjadi? Apa ini ada hubungannya dengan beranta-
kannya tempat di Kampung Setan itu?!”
Seperti diketahui, Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras
yang menyamar sebagai murid Pendeta Sinting datang
ke teluk. Di sana Kiai Laras menyerahkan Kembang
Darah Setan pada Setan Liang Makam. Lalu keduanya
mengikuti jejak Setan Liang Makam yang ternyata me-
nuju ke Kampung Setan. Kiai Lidah Wetan tidak tahu
apa maksud Kiai Laras memberikan Kembang Darah
Setan dan mengikuti jejak Setan Liang Makam.
Begitu meninggalkan Kampung Setan, di tengah ja-
lan Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras berpencar. Karena
mereka merasa diikuti orang yang ternyata adalah Kiai
Tung-Tung alias Pendekar 131 Joko Sableng. Namun
Kiai Lidah Wetan agak tidak beruntung, karena ternya-
ta Kiai Tung-Tung mengejarnya. Sempat terjadi ben-
trok antara Kiai Lidah Wetan dan Kiai Tung-Tung.
Maklum kalau lawan memiliki ilmu di atasnya, akhir-
nya Kiai Lidah Wetan melarikan diri. Kiai Tung-Tung
mengejar. Saat itulah tiba-tiba ada seseorang yang le-
paskan pukulan menghadang Kiai Tung-Tung hingga
Kiai Lidah Wetan selamat.
Begitu bisa lolos dari kejaran orang, Kiai Lidah We-
tan mulai berpikir apa yang baru saja dilakukan Kiai
Laras. Akhirnya dia memutuskan untuk menyelidik ke
Kampung Setan.
Kiai Lidah Wetan sempat masuk ke Istana Sekar
Jagat. Namun setelah agak lama berada di Istana Se-
kar Jagat, dia tidak menemukan siapa-siapa. Dia
hanya bisa melihat porak-porandanya bangunan ba-
gian atas yang berbentuk kerucut. Dan dia hanya bisa
menduga jika tidak berselang lama telah terjadi ben-
trokan hebat di tempat itu. Namun sejauh ini dia tidak
bisa menentukan siapa orangnya.
Pada akhirnya, Kiai Lidah Wetan keluar dari Kam-
pung Setan dan berkelebat ke arah barat. Agak jauh
meninggalkan Kampung Setan, tiba-tiba Kiai Lidah
Wetan mendengar suara ledakan lalu ditingkah dengan
terdengarnya gelakan tawa. Terakhir sayup-sayup te-
linganya mendengar suara kambing. Yang membuat
Kiai Lidah Wetan memutuskan untuk melihat apa yang
terjadi, suara kambing itu sangat keras dan terus me-
nerus! Hingga tanpa pikir panjang lagi Kiai Lidah We-
tan berkelebat ke arah datangnya suara kambing.
“Baik! Kau tak mau mendengar peringatanku!
Tunggulah di tempatmu sampai giliranmu sampai!”
Kiai Laras buka suara lagi. Jubah Tanpa Jasad berge-
rak memutar menghadap Setan Liang Makam.
“Aku tak memerintah mu berhenti! Atau kau ingin
mampus sekarang?!”
Hardikan Kiai Laras belum selesai, Setan Liang Ma-
kam telah bergerak merangkak lagi sambil buka mulut
tirukan suara kambing. Kiai Laras kembali tertawa
bergelak.
“Bagus! Cukup!” kata Kiai Laras saat Setan Liang
Makam berjarak lima langkah di hadapannya. “Sekarang berlutut dan tempelkan keningmu di atas tanah!
Jangan berani angkat kepala sebelum aku perintah!”
Masih dengan sosok bergetar Setan Liang Makam
lakukan yang dikatakan Kiai Laras. Kiai Laras makin
keraskan gelakan tawanya. Tapi kali ini tiba-tiba dia
putuskan tawanya. Jubah Tanpa Jasad memutar ke
arah Pitaloka dan Putri Kayangan.
Kedua gadis ini serentak tergagu. Tapi Putri Kayan-
gan cepat berbisik. “Masih ada kesempatan, Pitaloka!”
“Tidak! Kau saja yang tinggalkan tempat ini! Justru
saat inilah yang kutunggu!” sahut Pitaloka.
“Kau jangan gila! Tak mungkin kita mampu!”
“Kau jangan mengukur segalanya dengan kemam-
puan! Tapi gunakan otak!”
Belum sampai Pitaloka selesai berucap, Putri
Kayangan sudah menarik tangan saudara kembarnya.
Tapi belum sempat Putri Kayangan bergerak lebih
jauh, Kiai Laras telah angkat suara.
“Kalian berdua! Kuperintahkan kalian untuk men-
dekat dengan merangkak!”
Putri Kayangan tidak hiraukan ucapan Kiai Laras.
Dia kembali menarik tangan Pitaloka. Namun Pitaloka
segera sentakkan tangannya hingga tarikan Putri
Kayangan lepas. Tanpa diduga-duga Pitaloka segera ja-
tuhkan diri lalu merangkak ke arah Kiai Laras.
“Pitaloka! Kau melakukan tindakan bodoh!” seraya
berkata Putri Kayangan segera berkelebat ke depan.
Kembali tangannya menarik tubuh Pitaloka.
“Setan! Apa yang ada dalam benak gadis setan itu?!”
Dayang Sepuh sudah menggerendeng melihat apa yang
dilakukan Pitaloka. Di sebelahnya Datuk Wahing ber-
sin-bersin beberapa kali. Gendeng Panuntun tenga-
dahkan kepala. Sementara Pendekar 131 Joko Sableng
hanya melihat dengan mulut terkancing.
Baru saja tangan Putri Kayangan hendak menarik
tubuh Pitaloka, tiba-tiba dari arah Jubah Tanpa Jasad
menderu satu gelombang dahsyat.
Putri Kayangan urungkan niat. Kedua tangannya
ditarik pulang. Lalu disentakkan ke depan.
Blaamm!
Terdengar ledakan dahsyat. Sosok Putri Kayangan
terjajar dua langkah. Pitaloka cepat selamatkan diri
dengan jatuhkan diri berguling di atas tanah. Namun
gadis ini cepat bangkit dan membuat gerakan merang-
kak.
“Pitaloka! Kau membangkang perintah Eyang Guru,
sebaliknya enak saja menuruti perintah orang! Daripa-
da gagal membawamu ke hadapan Eyang Guru, lebih
baik kau mati di tanganku!”
Baru saja Putri Kayangan berucap begitu, Pitaloka
angkat tubuhnya. Kedua tangannya sekonyong-
konyong didorong ke arah Putri Kayangan.
“Kau terlambat, Beda Kumala! Dan lebih dari itu
kau selalu merecoki urusanku! Bukan aku yang mati
di tanganmu, tapi kau yang akan mampus di tangan-
ku!”
Satu gelombang angin deras menghantam ke arah
Beda Kumala alias Putri Kayangan. Saat yang sama
kembali dari arah Jubah Tanpa Jasad menggebrak de-
ruan gelombang.
Melihat hal ini murid Pendeta Sinting segera hendak
melompat. Namun Datuk Wahing sudah perdengarkan
bersinan dan berkata.
“Jangan melakukan tindakan yang mengherankan,
Anak Muda! Sebaiknya kita tunggu dulu agar kita tahu
mengapa gadis cantik itu melakukan hal yang menghe-
rankan!”
“Dasar setan sableng! Kalau lihat gadis-gadis setan
berantem, maunya nimbrung cari muka! Tapi kalau
yang berantem nenek-nenek akan ngeloyor pergi!”
Dayang Sepuh menyemprot tanpa menoleh pada murid
Pendeta Sinting.
Di depan sana Putri Kayangan hendak menyingkir
melihat Pitaloka lepaskan pukulan ke arahnya. Dia se-
benarnya hendak menyingkir menghindar. Tapi begitu
mendapati pukulan juga menderu dari Jubah Tanpa
Jasad, Putri Kayangan urungkan niat. Sebaliknya ce-
pat angkat kedua tangannya. Lalu disertai bentakan
keras, kedua tangannya dihantamkan.
Untuk kedua kalinya kembali terdengar ledakan.
Sosok Putri Kayangan terhuyung dua langkah ke bela-
kang karena harus menghadang dua pukulan. Semen-
tara Pitaloka hanya terjajar dua tindak. Di seberang
depannya, Jubah Tanpa Jasad tidak bergeming dari
tempatnya.
“Itu adalah peringatan kalau aku benar-benar tak
segan membunuhmu jika kau menghalangi niatku!” Pi-
taloka berteriak lalu kembali bungkukkan tubuh
membuat sikap merangkak.
“Bagus! Lakukan apa yang ku perintah, Anak Can-
tik!” kata Kiai Laras. “Untuk pembangkang itu biar ku
tangani sendiri!”
Pitaloka berpaling sesaat pada Putri Kayangan. Lalu
mulai merangkak ke arah Kiai Laras. Putri Kayangan
hendak bergerak. Tapi dia urungkan tatkala matanya
menangkap gerakan pada Kembang Darah Setan.
“Apa yang harus kulakukan sekarang?! Tak mung-
kin aku mampu menghadapi Kembang Darah Setan!
Pitaloka.... Apa sebenarnya yang hendak kau laku-
kan?!”
Selagi Putri Kayangan membatin begitu, tiba-tiba
Kiai Laras sudah menghardik.
“Kau berlaku bodoh berani menentang perintah
Penguasa Kampung Setan! Tapi aku masih memberi-
mu kesempatan! Lakukan apa yang dilakukan teman
mu itu!”
Putri Kayangan tercengang. Perlahan-lahan ekor
matanya melirik jauh ke arah murid Pendeta Sinting.
Saat lain gadis berparas cantik jelita ini balikkan tu-
buh dan hendak tinggalkan tempat itu.
Kiai Laras tidak banyak bicara. Bersamaan dengan
berputarnya sosok Putri Kayangan, tangan kanannya
yang memegang Kembang Darah Setan segera dikele-
batkan.
Wuutt!
Sinar tiga warna; merah, hitam, dan putih berkiblat
ganas ke arah Putri Kayangan.
Rupanya sang Putri telah waspada. Hingga dia cepat
melompat jauh ke depan. Kejap lain seraya putar tu-
buh, kedua tangannya diangkat ditakupkan di depan
dada.
Di seberang sana, melihat Putri Kayangan hanya
takupkan kedua tangannya tanpa membuat gerakan
apa-apa lagi, murid Pendeta Sinting segera berkelebat.
Karena dia tahu bagaimana kedahsyatan Kembang Da-
rah Setan, dia segera lepaskan pukulan ‘Lembur Kun-
ing’!
***
ENAM
TEMPAT itu seketika berubah menjadi terang ben-
derang diselimuti cahaya merah, hitam, dan putih ser-
ta kuning. Warna merah, hitam, dan putih mencuat
dari Kembang Darah Setan di tangan Kiai Laras, se-
mentara warna kuning berasal dari dorongan kedua
tangan murid Pendeta Sinting.
Sepuluh jengkal lagi sinar dari Kembang Darah Se-
tan bentrok dengan pukulan Pendekar 131, mendadak
saja sosok Putri Kayangan laksana dibungkus cahaya
warna merah berkilau. Kejap lain dari tubuh gadis
cantik ini melesat kilauan warna merah lurus ke arah
kiblatan sinar tiga warna dari Kembang Darah Setan.
Terdengar benturan keras beberapa kali. Saat yang
sama tempat itu laksana dihantam gempa raksasa ser-
ta petir maha dahsyat. Udara diterpa cahaya yang
membuat semua mata terpejam karena silau. Hawa
panas luar biasa menyengat tajam laksana matahari
hanya beberapa tombak di atas hamparan bumi. Kejap
lain terdengar ledakan keras menggelegar.
Sosok murid Pendeta Sinting yang melepas pukulan
‘Lembur Kuning’ dengan melompat di atas udara, tam-
pak tersapu mental dan turun dari atas tanah dengan
lutut menekuk terhuyung-huyung. Joko coba kuasai
diri. Namun huyungan tubuhnya terlalu cepat. Hingga
tanpa ampun lagi sosoknya melorot jatuh. Namun dua
jengkal lagi pantatnya menghantam tanah, tiba-tiba
terdengar bersinan dua kali.
Pendekar 131 rasakan ada desiran angin dari ba-
wah pantatnya. Gerakan pantatnya terhenti malah te-
rangkat! Dan saat lain sosok murid Pendeta Sinting te-
lah tegak dengan kedua kaki laksana dipaku!
Di seberang sana, sosok Putri Kayangan terjeng-
kang. Saat tubuhnya hampir saja melabrak tanah, sa-
tu bayangan merah berkelebat dan langsung menyam-
bar tubuh si gadis. Melayang beberapa tombak ke uda-
ra lalu menukik deras dan menjejak di atas tanah. Si
bayangan turunkan sosok Putri Kayangan yang berada
di pundaknya.
Putri Kayangan cepat berpaling. Terlihat Dayang
Sepuh cemberut dan berkata.
“Kau benar-benar gadis setan! Sudah kuperin-
gatkan malah adu mulut di sini!”
“Nek.... Terima kasih atas pertolonganmu! Kuharap
kau mengerti. Bukannya aku tidak mau dengar perin-
tahmu. Tapi aku harus pergi bersama saudaraku itu!”
“Saudaramu sudah kerasukan setan! Sekarang kau
pergilah sendirian dari tempat ini!”
Putri Kayangan geleng kepala. “Aku baru tinggalkan
tempat ini jika bersamanya! Aku tak akan menghadap
Eyang Guru dengan tangan hampa....”
“Kalau itu keinginanmu, kau bukannya akan meng-
hadap eyang gurumu dengan tangan hampa namun
dengan tanpa nyawa!”
“Itu lebih baik daripada pulang dengan tidak bisa
laksanakan tugas yang diberikan padaku...!”
“Setan keras kepala!” sentak Dayang Sepuh. “Bicara
seenak perutnya sendiri! Harusnya kau berpikir. Un-
tuk sementara tinggalkan tempat ini. Dan kau punya
kesempatan untuk sadarkan saudaramu dari keseta-
nan!”
“Waktu hanya akan menambah saudaraku berbuat
makin gila, Nek...!”
“Kalau begitu kau mampus saja!” seru Dayang Se-
puh saking jengkelnya mendengar jawaban-jawaban
Putri Kayangan.
“Nenek aneh.... Tapi aku tahu hatinya baik meski
nada bicaranya kasar...,” kata Putri Kayangan dalam
hati.
“Nek....”
“Aku bukan nenekmu! Aku tak mau bicara dengan
gadis setan sepertimu!”
Putri Kayangan kancingkan mulut dengan menghela
napas panjang. Saat itulah ia baru merasakan da-
danya sesak dan berdenyut nyeri. Mulutnya terasa
hangat dan asin. Saat si gadis usapkan tangan pada
mulutnya, ternyata mulutnya telah alirkan darah, per-
tanda bentroknya pukulan tadi telah membuatnya ter-
luka dalam.
Sementara di depan sana, Kiai Laras tampak tegak
dengan seringai buas. Sesaat tadi dia terhuyung na-
mun tidak sampai terjatuh. Dia pun hanya merasakan
sentakan pelan pada dadanya tatkala terjadi benturan
antar pukulan. Hingga dia bukan saja tidak mengalami
cedera, namun segera dapat kuasai diri.
Di hadapan Kiai Laras, Setan Liang Makam tampak
angkat kepalanya. Namun sebelum kepalanya benar-
benar terangkat, Kiai Laras sudah menghardik.
“Berani angkat kepalamu dari tanah, kepalamu
akan kutanggalkan!”
Setan Liang Makam cepat sentakkan kembali kepa-
lanya dan ditempelkan di atas tanah. Tidak jauh dari
Setan Liang Makam, Pitaloka tampak menungging
dengan mata melirik ke arah Jubah Tanpa Jasad.
Mungkin saking jengkelnya mendapati apa yang ba-
ru saja terjadi, Kiai Laras segera pula menghardik pada
Pitaloka seakan hendak tumpahkan semua kegera-
mannya.
“Kau juga! Letakkan keningmu di atas tanah!”
Pitaloka tersenyum. Lalu lakukan apa yang dikata-
kan Kiai Laras. Kiai Laras putar tubuh menghadap Pu-
tri Kayangan dan Dayang Sepuh.
“Gadis setan! Kau masih juga ingin mampus?!”
tanya Dayang Sepuh.
“Kau sendiri bagaimana, Nek?!” Putri Kayangan ba-
lik bertanya membuat si nenek berpaling dengan pa-
sang tampang angker.
“Itu urusanku, Gadis Setan!”
“Semua urusan di sini aku yang tentukan!” Tiba-
tiba Kiai Laras menyahut. “Dan untuk kalian berdua
ku tentukan mampus saat ini juga!”
Bersamaan dengan selesainya bentakan, Kembang
Darah Setan di tangan kanan Kiai Laras sudah berke-
lebat.
Dayang Sepuh dan Putri Kayangan sempat terke-
siap. Namun keduanya buru-buru gerakkan tangan
masing-masing. Dayang Sepuh takupkan kedua tan-
gan di depan kening lalu dibuka dan didorong perla-
han ke depan.
Di sampingnya, Putri Kayangan takupkan kedua
tangannya di depan dada. Sepasang matanya dipejam-
kan.
Entah karena tak mau melihat Dayang Sepuh dan
Putri Kayangan terluka, Pendekar 131 segera berkele-
bat ke depan. Kembali kedua tangannya didorong me-
lepas pukulan sakti ‘Lembur Kuning’.
Untuk kedua kalinya tempat itu laksana ditelan ca-
haya menyilaukan. Tebaran hawa panas menyengat
menyungkup. Saat lain gelegaran keras terdengar.
Tiga sosok tubuh tampak bermentalan. Yang perta-
ma adalah sosok Dayang Sepuh. Disusul Putri Kayan-
gan dan murid Pendeta Sinting. Dayang Sepuh mental
satu tombak dan jatuh terduduk dengan mulut men-
ganga hembuskan napas karena dadanya laksana baru
saja dihantam tembok. Satu setengah tombak di samp-
ing Dayang Sepuh, Putri Kayangan terkapar dengan
mulut kucurkan darah. Parasnya yang cantik berubah
seperti tidak berdarah. Sebagian pakaian yang dikena-
kan hangus.
Tidak jauh dari tempat terkaparnya Putri Kayangan,
murid Pendeta Sinting jatuh terjengkang dengan mulut
megap-megap dan kedua tangan bergetar hebat.
Di seberang, Jubah Tanpa Jasad bergerak deras ke
belakang. Lalu terjungkal di atas tanah dengan per-
dengarkan dengusan marah. Namun dalam beberapa
saat Jubah Tanpa Jasad telah bergerak bangkit. Kiai
Laras merasakan aliran darahnya terbalik-balik. Walau
tadi telah kelebatkan Kembang Darah Setan dengan
alirkan tenaga dalam pada tangan kanannya hingga lesatan sinar tiga warna berkiblat makin menggidikkan,
namun hadangan tiga pukulan sekaligus mau tak mau
membuat Kiai Laras tak mampu kuasai huyungan tu-
buhnya. Hanya saja dia kembali masih merasakan lak-
sana ada tabir penghalang di depan tubuhnya saat
bentrokan terjadi. Hingga meski sempat terjungkal,
namun dia tidak mengalami cedera yang cukup berarti.
Begitu mendapati Jubah Tanpa Jasad telah bangkit,
baik Putri Kayangan, Dayang Sepuh, dan murid Pende-
ta Sinting segera pula berusaha berdiri. Pendekar 131
segera melompat dan tegak di samping Dayang Sepuh.
“Ada yang ingin kau bicarakan, Cucu Setan?!”
Dayang Sepuh telah mendahului.
“Kurasa dia terlalu berbahaya. Apakah Bibi tahu
bagaimana cara menghadapi orang itu?!”
“Kalau tahu, tak mungkin aku sampai begini rupa!”
Murid Pendeta Sinting berpaling pada Gendeng Pa-
nuntun. Rupanya Dayang Sepuh dapat menangkap ar-
ti pandangan Pendekar 131. Hingga si nenek kembali
buka suara.
“Manusia buta itu juga tak tahu apa-apa!”
““Kakek Datuk Wahing?!” tanya Joko.
“Setan tua itu tahunya cuma heran dan bersin!”
Joko alihkan pandang matanya pada Jubah Tanpa
Jasad. “Hem.... Pukulan ‘Lembur Kuning’ digabung
dengan pukulan Dayang Sepuh dan Putri Kayangan ti-
dak mampu berbuat banyak! Akan ku coba dengan
pukulan ‘Serat Biru’! Aku harus segera tahu siapa ge-
rangan manusia di balik jubah itu!”
Berpikir sampai ke sana, Joko cepat kerahkan tena-
ga dalam pada tangan kirinya. Saat itu juga tangan ki-
rinya berubah menjadi biru.
Dayang Sepuh mencibir. “Kau kira pukulanmu akan
bisa menekuknya?!”
“Setidaknya aku berusaha!”
“Jangan terlalu mengumbar tenaga percuma! Tiga
pukulan sekaligus tidak dapat membuatnya bertekuk
lutut. Kita harus cari jalan lain!”
“Jalan lain bagaimana?!”
“Bukan di sini tempatnya membicarakan! Kita ting-
galkan tempat ini segera!”
“Tapi dia tak mungkin membiarkan kita pergi begitu
saja!”
“Kita gebuk sama-sama! Lalu kita segera angkat ka-
ki!”
Baru saja Dayang Sepuh berkata begitu, tiba-tiba
dari arah seberang sana Datuk Wahing angkat tangan
kanannya. Di sampingnya, Gendeng Panuntun beran-
jak bangkit.
“Bruss! Brusss! Bruss!”
Datuk Wahing perdengarkan bersinan tiga kali.
Namun bersinan itu laksana diperdengarkan dari dela-
pan penjuru mata angin dan suaranya terus memantul
tiada putus-putus. Saat bersamaan tangan kanan Da-
tuk Wahing bergerak mendorong. Satu gelombang
menderu ganas ke arah Jubah Tanpa Jasad. Seperti
halnya suara bersinan, suara deru gelombang itu terus
memantul!
Begitu tangan kanan Datuk Wahing bergerak, Gen-
deng Panuntun usap cermin bulatnya. Satu cahaya
putih berkiblat menyilaukan mata menghampar ke
arah Jubah Tanpa Jasad.
“Apa lagi yang ditunggu?!” teriak Dayang Sepuh.
Kedua tangannya ditakupkan di depan kening. Lalu
dibuka dan didorong perlahan ke depan.
Putri Kayangan seakan tahu apa maksud semua
orang. Dia tidak tinggal diam. Kedua tangannya cepat
ditakupkan di depan dada. Sepasang matanya dipe-
jamkan.
Murid Pendeta Sinting sesaat terdiam. Namun di ke
jap lain tangan kirinya yang telah berubah biru tanda
dia siap lepaskan pukulan ‘Serat Biru’ cepat dikele-
batkan ke depan.
Karena yang melepas pukulan saat itu bukan orang
sembarangan, tempat ini laksana neraka saking pa-
nasnya. Suara deruan yang memantul ditambah den-
gan cahaya berkilau dan serat-serat biru laksana be-
nang terang bertabur. Belum lagi cahaya merah yang
melesat dari tubuh Putri Kayangan serta gelombang
luar biasa dari dorongan kedua tangan Dayang Sepuh.
Kiai Laras yang sesaat tadi hadapkan diri pada
Dayang Sepuh dan murid Pendeta Sinting segera ber-
paling begitu mendengar suara bersinan Datuk Wah-
ing. Dia terkesiap melihat tiba-tiba sang Datuk telah
lepas pukulan disusul dengan Gendeng Panuntun.
Rasa kaget sang Kiai belum sirna, dia dikejutkan
dengan lepasnya pukulan dari kedua tangan Dayang
Sepuh yang disusul dengan Putri Kayangan serta Pen-
dekar 131.
Pada puncak keterkejutannya, Kiai Laras bukannya
takut, melainkan tertawa bergelak! Karena dengan cara
yang dilakukan oleh beberapa orang di situ, Kiai Laras
kini merasa maklum kalau dirinya tidak bisa dihadapi
hanya oleh seorang atau dua orang. Dan itu berarti di-
rinya bukan lagi orang yang bisa dipandang remeh!
Apalagi dia tahu, orang-orang yang melepaskan puku-
lan saat itu adalah tokoh rimba persilatan yang keting-
gian ilmunya tidak diragukan lagi.
Dalam hujanan pukulan yang kini mengarah pa-
danya, Kiai Laras masih berpikir cepat. Bukan saja dia
harus menghadang pukulan, namun setidaknya dia
harus selamatkan Setan Liang Makam dan Pitaloka
serta Kiai Lidah Wetan yang sejak tadi hanya diam dan
makin tergagu tatkala mengetahui bagaimana puku-
lan-pukulan yang sekarang membuncah tempat itu.
Pada mulanya Kiai Laras memang tidak tahu apa
yang hendak dilakukan pada Setan Liang Makam, Pita-
loka, serta Kiai Lidah Wetan. Namun begitu mulai sa-
dar kalau kekuatan yang dimilikinya sangat dahsyat,
dia mulai bisa berpikir apa yang kelak bisa dilakukan
pada ketiga orang itu. Hingga dia kini berniat menye-
lamatkan juga ketiga orang itu.
Karena pukulan yang kini melabrak pada Kiai Laras
sangat luar biasa dan tidak mungkin bagi sang Kiai
untuk lakukan penghadangan sekaligus menyela-
matkan ketiga orang, maka tanpa pikir panjang lagi
Kiai Laras melompat ke depan. Belum sampai kedua
kakinya menginjak tanah, dia lakukan gerakan me-
nendang ke samping kiri kanan ke arah sosok Setan
Liang Makam dan Pitaloka yang merangkak. Saat ber-
samaan tangan kirinya kelebatkan jubah hitamnya.
Bukkk! Bukkk!
Setan Liang Makam dan Pitaloka tersentak. Begitu
cepatnya gerakan Kiai Laras, belum sampai keduanya
sempat membuat gerakan, sosok keduanya telah men-
tal. Saat yang sama Jubah Tanpa Jasad menderu ang-
ker. Kiai Lidah Wetan rupanya tahu gelagat. Dia berke-
lebat. Namun terlambat. Sambaran Jubah Tanpa Ja-
sad yang keluarkan sambaran angin dahsyat telah
menggebrak. Hingga bukan saja membuat sosok Kiai
Laras terhenti, namun jubah terpelanting dan terbant-
ing jatuh dengan punggung di atas tanah, satu seten-
gah tombak dari tempatnya tadi berdiri!
Setelah membuat tiga sosok mental, Kiai Laras ce-
pat kerahkan tenaga dalam pada tangan kiri kanan-
nya. Saat lain tangan kanan yang memegang Kembang
Darah Setan disentakkan ke depan. Tangan kiri men-
gambil Jubah Tanpa Jasad di bagian tengahnya lalu
dikelebatkan.
Sinar tiga warna mencuat menggidikkan ditingkah
dengan menderunya gelombang raksasa.
Terdengar ledakan menggelegar. Di udara tampak
bertaburan kilauan cahaya pecah dan muncrat. Ge-
lombang angin bermentalan dan mengambang di udara
dengan arah tak bisa ditentukan. Tanahnya tersapu
dan mengangkasa membungkus suasana, hingga ki-
lauan cahaya dan berkiblatnya sinar yang tadi meng-
hampar laksana disabet setan dan tiba-tiba lenyap di-
telan hamburan tanah! Tempat itu sekonyong-konyong
gelap gulita!
Ketika suasana kembali terang dengan lurunya ta-
nah, sosok Kiai Laras terlihat terkapar di atas tanah.
Demikian juga sosok Setan Liang Makam, Pitaloka,
serta Kiai Lidah Wetan.
Sesaat Kiai Laras perhatikan dirinya. Lalu bangkit
terhuyung-huyung. Sepasang matanya liar meman-
dang berkeliling. Dari mulutnya terdengar makian pan-
jang pendek. Karena ternyata Putri Kayangan, Dayang
Sepuh, Datuk Wahing, serta Gendeng Panuntun sudah
tidak kelihatan lagi!
***
TUJUH
SELAGI Kiai Laras dibungkus dengan kemarahan
akibat lenyapnya beberapa orang di tempat itu, men-
dadak satu bayangan berkelebat dan tegak di depan
sana dengan memperhatikan pada sosok Setan Liang
Makam, Kiai Laras, serta Pitaloka yang sama masih
berkaparan di atas tanah. Tendangan kaki kanan kiri
serta kelebatan jubah yang dilakukan Kiai Laras me-
nyelamatkan ketiganya dari bertaburnya beberapa pu-
kulan yang baru saja menggebrak di tempat itu meski
tak urung ketiganya harus terpental dan terkapar di
atas tanah.
“Hem.... Gadis jahanam itu!” desis orang yang baru
muncul kala pandang matanya melihat sosok Pitaloka
yang bergerak-gerak bangkit. “Beberapa kali aku gagal
membunuhnya. Mungkin saat ini niatku baru kesam-
paian! Tempo hari dia selamat karena ada Pendekar
131. Sekarang tidak akan ada yang menghalangi
niatku!”
Orang yang baru muncul membuat gerakan satu
kali. Gerakannya membawa dirinya tahu-tahu telah te-
gak di samping Pitaloka. Tanpa memandang kanan ki-
ri, dia langsung membentak.
“Putri Kayangan! Saat hidupmu telah berakhir!”
Pitaloka tersentak. Memandang ke samping dia me-
lihat seorang perempuan berusia lanjut. Raut wajah-
nya cekung dengan kulit mengeriput. Sepasang ma-
tanya besar. Rambutnya putih lebat dibiarkan jatuh
bergerai menutupi sebagian bahu dan punggungnya.
Nenek ini mengenakan kain panjang besar berwarna
biru bersaku dua. Pada saku sebelah kanan terlihat
sebuah sapu tangan besar berwarna merah menyala.
Inilah satu tanda jika si nenek adalah seorang tokoh
rimba persilatan yang dikenal dengan julukan Ratu
Pewaris Iblis. Seorang nenek yang di tangannya ter-
genggam sebuah sapu tangan yang juga sangat dikenal
dalam dunia persilatan dengan Sapu Tangan Iblis.
“Ratu Pewaris Iblis!” seru Pitaloka mengenali siapa
adanya si nenek. Dia cepat bangkit. “Dia pasti mene-
ruskan urusan lama! Hem.... Apa matanya tidak tahu
siapa saja yang ada di tempat ini?!”
“Beberapa kali kau selamat dari tangan maut ku!
Namun saat ini siapa lagi yang bisa menghalangi?!” Si
nenek tertawa bergelak.
“Kau sentuh kulit gadis itu, nyawamu akan putus!”
Tiba-tiba satu suara menyahut.
Ratu Pewaris Iblis putuskan tawanya. Kepalanya
berpaling. Sepasang matanya serentak mendelik besar-
besar. Kuduknya meremang. Tanpa sadar kedua ka-
kinya tersurut dua tindak ke belakang.
“Mustahil.... Mustahil! Bagaimana mungkin ada ju-
bah dan setangkai bunga mengambang di udara?!”
Dada si nenek dilanda keheranan begitu melihat Ju-
bah Tanpa Jasad dan Kembang Darah Setan menga-
pung di atas udara.
Tiba-tiba dahi Ratu Pewaris Iblis mengernyit. “Dari
ciri-cirinya.... Tak salah! Pasti itu Kembang Darah Se-
tan! Tapi.... Siapa manusia yang baru saja bicara?!
Dan bagaimana tentang berita yang selama ini tersiar
jika Kembang Darah Setan berada di tangan Pendekar
131 Joko Sableng?! Atau mungkinkah manusia yang
baru saja bicara adalah pemuda keparat itu?!”
Selagi Ratu Pewaris Iblis menduga-duga, Setan
Liang Makam bergerak bangkit. Kembali untuk kedua
kalinya Ratu Pewaris Iblis terkesiap kaget kala pan-
dang matanya melihat tampang angker Setan Liang
Makam. “Susunan tubuhnya hanya merupakan ke-
rangka.... Tapi....”
Sebelum Ratu Pewaris Iblis sempat teruskan kata
hatinya, Kiai Laras sudah buka suara. “Aku tahu siapa
kau, Perempuan Tua! Sekarang aku ingin tahu jawa-
banmu....” Sesaat Kiai Laras hentikan ucapannya den-
gan gerakkan kepala ke samping. Jubah Tanpa Jasad
bergerak sedikit. “Kau ingin teruskan urusanmu den-
gan gadis itu atau kau akan melupakannya?!”
Belum sampai Ratu Pewaris Iblis angkat bicara, Kiai
Laras sudah sambung ucapannya. “Harus kau ingat.
Jika kau memilih yang pertama, maka nyawamu
hanya tinggal sesaat lagi!”
“Apa hubunganmu dengan gadis itu?!” Ratu Pewaris
Iblis mulai angkat suara.
“Aku ingin jawabanmu, Perempuan Tua!”
“Aku tak akan menjawab sebelum ku tahu siapa
kau adanya!” Ratu Pewaris Iblis menyahut dengan sua-
ra agak keras meski dadanya masih berdegup kencang
karena ngeri.
“Kau akan tahu siapa aku! Tapi begitu keinginanmu
kesampaian, maka ajalmu tiba! Kau mau itu?!”
Ratu Pewaris Iblis melirik pada Pitaloka yang masih
disangkanya sebagai Putri Kayangan. Yang dilirik
sunggingkan seringai dingin.
“Apa maumu sebenarnya?!” Akhirnya Ratu Pewaris
iblis ajukan tanya setelah agak lama berpikir.
Kiai Laras tidak segera menjawab. Jubah Tanpa Ja-
sad bergerak menghadap ke arah Kiai Lidah Wetan
yang kini juga telah tegak. Lalu bergerak lagi ke arah
Setan Liang Makam dan terakhir pada Pitaloka. Ber-
samaan itu terdengar suara.
“Kalian bertiga! Merangkaklah kembali ke hadapan-
ku!”
Setan Liang Makam lontarkan pandangan pada Pi-
taloka dan Kiai Lidah Wetan. Saat lain dia tekuk tu-
buhnya membuat gerakan merangkak. Mendapati hal
demikian, Pitaloka tak menunggu lama. Dia cepat la-
kukan seperti apa yang dilakukan Setan Liang Makam.
Kiai Lidah Wetan sesaat gerakkan kepala memandang
silih berganti pada Setan Liang Makam dan Pitaloka.
Entah apa yang ada dalam benaknya, laki-laki saudara
Kiai Laras ini segera pula lorotkan tubuh lalu merang-
kak ke arah Jubah Tanpa Jasad.
Setan Liang Makam, Pitaloka, dan Kiai Lidah Wetan
hentikan rangkakan masing-masing empat tindak di
hadapan Jubah Tanpa Jasad. Kiai Laras tertawa pan-
jang.
“Kalian bertiga kini berada di tangan Penguasa
Kampung Setan! Nyawa kalian akan ku lindungi dari
setiap tangan yang berani menjamah! Setiap orang
yang membuat urusan dengan kalian bertiga berarti
membuka sengketa dengan Penguasa Kampung Setan!
Tapi kalian harus lakukan apa yang kukatakan! Jan-
gan berani membantah atau bertanya! Kalian menger-
ti?!”
Ketiga orang di hadapan Kiai Laras sama angguk-
kan kepala. Kiai Laras makin keraskan gelakan ta-
wanya. Lalu putar diri setengah lingkaran menghadap
Ratu Pewaris Iblis.
“Matamu melihat apa yang dilakukan ketiga orang
itu! Sekarang giliranmu untuk melakukannya!”
Dada Ratu Pewaris Iblis bergemuruh. Perintah
orang membuat dia tidak pedulikan lagi siapa yang ki-
ni ada di hadapannya. Apalagi dia belum tahu bagai-
mana kedahsyatan Kembang Darah Setan.
“Bukan aku yang harus merangkak! Tapi kau yang
harus berlutut mencium telapak kakiku!”
Ucapan si nenek belum selesai, Kembang Darah Se-
tan di tangan kanan Kiai Laras sudah berkelebat.
Ratu Pewaris Iblis terlengak. Namun nenek ini cepat
sadar. Dia segera berkelebat ke belakang. Saat lain
tangan kanannya mengambil Sapu Tangan Iblis di sa-
ku pakaiannya. Lalu diangkat tinggi-tinggi dan dike-
butkan menyongsong datangnya tiga sinar merah, hi-
tam, dan putih dari kelebatan Kembang Darah Setan.
Weerr!
Sapu Tangan Iblis berkelebat ganas perdengarkan
desingan tajam. Sinar merah bertabur.
Blammm!
Taburan sinar merah dari kelebatan Sapu Tangan
Iblis pecah berantakan perdengarkan ledakan keras.
Sinar tiga warna semburat. Hebatnya sebagian masih
melesat ganas lurus ke arah Ratu Pewaris Iblis!
Ratu Pewaris Iblis tersentak. Saat itu dia belum bisa
kuasai diri dari huyungan tubuh. Hingga meski dia
masih bisa selamatkan diri namun pecahan sinar pu-
tih tak urung menghantam pundak kanannya.
Ratu Pewaris Iblis berseru tertahan. Sosoknya lang-
sung terbanting ke kanan. Sapu Tangan Iblis lepas dari
genggaman tangannya.
Jubah Tanpa Jasad berkelebat dan tegak dua lang-
kah di hadapan Ratu Pewaris Iblis. Si nenek tercekat
tegang. Tangan kanannya berkelebat. Bukan lakukan
hantaman, melainkan hendak menyambar pada Sapu
Tangan Iblis.
Sejengkal lagi Sapu Tangan Iblis tergapai tangan
kanan si nenek, tiba-tiba si nenek menjerit. Jubah
Tanpa Jasad sudah mengapung di atas tangannya.
Dan dia merasakan tangan kanannya diinjak telapak
kaki.
Ratu Pewaris Iblis putar tubuhnya. Kaki kiri kanan-
nya membuat gerakan menendang ke arah Jubah Tan-
pa Jasad.
Jubah Tanpa Jasad melenting ke udara. Tendangan
Ratu Pewaris Iblis menghantam tempat kosong. Na-
mun injakan kaki orang pada tangan si nenek lepas. Si
nenek cepat bangkit. Tapi pada saat yang sama Jubah
Tanpa Jasad telah berkelebat.
Si nenek kebingungan. Karena dia tidak bisa meli-
hat gerakan orang, maka dia menghantamkan kedua
tangannya lurus ke arah bagian dada dan di atas leher
Jubah Tanpa Jasad. Namun si nenek terkesiap. Seten-
gah jalan hantaman kedua tangannya, tiba-tiba dia
merasakan tendangan menghadang kedua tangannya
hingga tangannya terpental. Saat lain dia merasakan
siuran angin pada pundaknya. Ratu Pewaris Iblis cepat
kelebatkan tangan. Namun satu tendangan telah
menggebrak dadanya.
Bukkk!
Kembali Ratu Pewaris Iblis berseru. Sosoknya ter-
jengkang roboh di atas tanah dengan mulut sembur-
kan darah. Tampangnya pias dengan sosok menggigil
antara kesakitan dan ngeri. Dalam keadaan seperti itu
si nenek masih melirik pada Sapu Tangan Iblis yang
terhampar di tanah. Namun dia mengumpat dalam ha-
ti karena jarak antara dirinya dengan Sapu Tangan Ib-
lis mengharuskan dia melompat. Padahal Jubah Tanpa
Jasad kini sudah bergerak ke arahnya.
“Aku tanya sekali lagi!” Kiai Laras perdengarkan su-
ara. “Kau ingin mampus sekarang atau melakukan se-
perti teman-temanmu itu!”
Ratu Pewaris Iblis pentangkan kedua matanya seo-
lah ingin mengetahui sosok di balik jubah hitam. Se-
mentara di depannya Kembang Darah Setan sudah
bergerak terangkat.
“Baik...,” kata Ratu Pewaris Iblis dengan suara ber-
getar.
“Cepat! Lakukan!” hardik Kiai Laras.
Si nenek angkat tubuhnya lalu merangkak mende-
kati Jubah Tanpa Jasad dengan hati menyumpah-
nyumpah.
“Bagus! Hidup matimu kini berada di tanganku!
Dan kau harus lakukan semua perintahku!”
Habis berkata begitu, Kiai Laras berkelebat dan te-
gak di antara Ratu Pewaris Iblis dan Setan Liang Ma-
kam, Pitaloka, serta Kiai Lidah Wetan.
“Buka telinga kalian lebar-lebar! Kalian kutugaskan
untuk menjemput Putri Kayangan, Dayang Sepuh, Da-
tuk Wahing, Gendeng Panuntun, dan Pendekar 131!
Bawa mereka hidup-hidup atau penggalan kepalanya!
Kutunggu kedatangan kalian di Bukit Kalingga! Berha-
sil atau tidak, kalian harus ke Bukit Kalingga setengah
purnama mendatang! Ingat, aku adalah Penguasa
Kampung Setan. Aku tahu setiap gerak-gerik kalian!
Sekali kalian melakukan kesalahan, kalian membuka
jalan menuju neraka!”
Habis berkata begitu, Kiai Laras putar diri lalu ber-
kelebat tinggalkan tempat itu.
Ratu Pewaris Iblis memperhatikan gerakan Jubah
Tanpa Jasad. Lalu melompat ke arah Sapu Tangan Ib-
lis yang terhampar di tanah. Setelah memandang satu
persatu pada Setan Liang Makam, Pitaloka, dan Kiai
Lidah Wetan, tanpa berkata apa-apa si nenek berkele-
bat pergi.
Setan Liang Makam, Pitaloka, dan Kiai Lidah Wetan
beranjak bangkit. Tanpa berpaling pada yang lainnya
dan tanpa ada yang buka suara, ketiga orang ini sama
melangkah tinggalkan tempat itu dengan mengambil
arah berlawanan.
***
DELAPAN
SEBELUM terdengar gelegar ledakan akibat ben-
troknya beberapa pukulan yang dilepas Datuk Wahing,
Gendeng Panuntun, Dayang Sepuh, Putri Kayangan,
dan Pendekar 131 dengan lesatan sinar tiga warna dari
Kembang Darah Setan di tangan Kiai Laras, Datuk
Wahing dan Gendeng Panuntun berkelebat ke arah
Dayang Sepuh lalu memberi isyarat untuk tinggalkan
tempat itu.
Dayang Sepuh, Datuk Wahing, serta Gendeng Pa-
nuntun cepat melompat dan berlari. Di samping
Dayang Sepuh, murid Pendeta Sinting sesaat perhati-
kan isyarat Datuk Wahing. Dia pun segera hendak me-
lompat mengikuti gerakan Dayang Sepuh. Namun
niatnya diurungkan demi melihat Putri Kayangan yang
saat itu tidak melihat isyarat karena sepasang ma
tanya terpejam.
“Putri.... Lekas lari!” teriak Joko.
Entah karena saat keadaan sangat bising dengan
menderunya beberapa gelombang pukulan atau Putri
Kayangan sendiri sedang tenggelam kerahkan tenaga
dalam, gadis cantik ini seolah tidak mendengar teria-
kan Pendekar 131. Dia tetap tegak dengan mata terpe-
jam dan kedua tangan saling menakup di depan dada.
“Celaka.... Dia tadi telah terluka. Jika masih berta-
han di sini, akibatnya akan lebih berbahaya!”
Berpikir begitu, seolah tidak sabar, Joko segera
berkelebat ke arah Putri Kayangan. Tanpa berkata apa-
apa dia menarik lengan si gadis. Putri Kayangan terke-
jut dan segera menoleh seraya pentangkan mata kare-
na suasana sangat menyilaukan.
Begitu tahu siapa adanya orang yang menarik len-
gannya, Putri Kayangan tampak gugup. Belum sampai
gadis ini buka mulut, Pendekar 131 sudah mendahu-
lui.
“Kita tinggalkan tempat ini!” Tangan murid Pendeta
Sinting yang masih mencekal lengan Putri Kayangan
segera bergerak.
Putri Kayangan tidak berusaha lepaskan cekalan
tangan Joko pada lengannya. Dan tanpa berkata apa-
apa dia mengikuti gerakan Joko. Namun baru saja ke-
dua orang ini melompat, gelegar keras telah terdengar.
Sosok Pendekar 131 mental. Namun dia tak mau
lepaskan cekalannya pada lengan sang Putri. Hingga
sosok keduanya mental bersamaan. Karena Putri
Kayangan telah terluka, dia tak mampu kuasai menta-
lan tubuhnya. Sosoknya oleng di atas udara. Murid
Pendeta Sinting terkesiap. Dia tidak lagi berusaha kua-
sai dirinya sendiri, melainkan berusaha menahan
olengan tubuh Putri Kayangan. Hal ini membuat sosok
Joko ikut oleng. Saat lain keduanya jatuh terbanting di
atas tanah!
Putri Kayangan berseru kesakitan. Seruan si gadis
membuat murid Pendeta Sinting lagi-lagi tak hiraukan
dirinya. Dengan sekujur tubuh masih merasakan nyeri
dan dada sesak, Joko segera bangkit lalu melompat ke
arah Putri Kayangan yang lepas dari cekalan tangan-
nya saat terbanting.
“Kucuran darah dari mulutnya makin banyak...,”
gumam Joko memperhatikan Putri Kayangan. Dengan
cepat dia ulurkan kedua tangannya ke bawah. Sosok
Putri Kayangan segera diangkat lalu diletakkan di atas
pundaknya.
Putri Kayangan yang saat itu tengah kerahkan te-
naga dalam untuk mengurangi rasa sakit pada sekujur
tubuhnya terkejut mendapati dirinya tahu-tahu telah
berada di pundak orang. Tanpa melihat siapa adanya
orang yang memanggulnya, gadis ini rupanya sudah
bisa menebak. Hingga begitu sosoknya berada di pun-
dak orang, dia segera berucap pelan.
“Harap suka turunkan. Aku tidak apa-apa....”
Murid Pendeta Sinting tidak hiraukan ucapan Putri
Kayangan. Sebaliknya cepat berkelebat tinggalkan
tempat itu karena di depan sana Dayang Sepuh, datuk
Wahing, serta Gendeng Panuntun hampir-hampir tidak
kelihatan lagi batang hidungnya.
“Pendekar 131.... Harap turunkan....” Putri Kayan-
gan kembali meminta.
Murid Pendeta Sinting seolah tak acuh. Malah dia
percepat kelebatannya. Dia baru memperlambat la-
rinya tatkala sepasang matanya tidak lagi menangkap
sosok Dayang Sepuh, Datuk Wahing, serta Gendeng
Panuntun.
“Heran.... Ke mana mereka?” Joko edarkan pandang
matanya. Saat itu dia berada di satu tempat yang ba-
nyak ditumbuhi semak belukar dan jalan berkelok
kelok.
“Pendekar 131....” Putri Kayangan kembali bersua-
ra. Namun sebelum dia lanjutkan ucapan, murid Pen-
deta Sinting telah menyahut.
“Kau yakin tak apa-apa?!”
“Aku memang terluka. Tapi masih mampu kalau
hanya berlari....”
Pendekar 131 segera turunkan Putri Kayangan dari
pundaknya. Lalu memandangnya dari atas sampai ba-
wah, hingga yang dipandang jadi salah tingkah dan
cepat berpaling seraya mengusap darah pada mulut-
nya.
“Terima kasih...,” ujar Putri Kayangan tanpa me-
mandang.
“Gila! Benar-benar cantik!” kata murid Pendeta
Sinting dalam hati. Dia sebenarnya ingin bicara ba-
nyak, tapi ingat akan Dayang Sepuh dan kedua kakek
yang telah berkelebat mendahului dan kini batang hi-
dungnya tidak kelihatan lagi, Joko buru-buru alihkan
pandang matanya. “Tentu mereka belum jauh dari si-
ni!” ujarnya dalam hati.
“Bibi Cantik, Kakek! Di mana kalian?! Aku tahu ka-
lian bersembunyi! Jangan membuatku bingung! Ini
bukan waktunya main sembunyi-sembunyian!” Pende-
kar 131 berteriak.
Tidak ada sahutan atau isyarat. Putri Kayangan
ikut edarkan pandangannya meski dadanya masih te-
rasa sesak dan nyeri. Dia seolah hendak menutupi apa
yang kini dirasakan.
“Hai! Kalian ada di mana?!” Kembali Joko berteriak.
“Setan!” tiba-tiba terdengar makian dari serumpun
semak belukar di dekat kelokan jalan di samping sana.
Murid Pendeta Sinting dan Putri Kayangan segera
berpaling ke samping kanan, di mana sumber makian
terdengar. Baik Joko maupun Putri Kayangan tahu
siapa adanya orang yang baru saja perdengarkan ma-
kian. Hingga tanpa pikir panjang lagi keduanya segera
melompat.
Baru saja kedua orang ini injakkan kaki masing-
masing, kembali terdengar makian. Murid Pendeta
Sinting dan Putri Kayangan saling pandang dengan
raut muka sama-sama kaget. Makian itu bukannya
terdengar dari arah di mana mereka kini berada, me-
lainkan dari arah di depan sana!
“Setan!” Joko ikut-ikutan memaki dengan suara pe-
lan. “Tega-teganya dia permainkan orang!”
Putri Kayangan hanya tersenyum lalu arahkan pan-
dang matanya ke arah dari mana suara makian kedua
terdengar. Joko ikut pula gerakkan kepala. Namun
mungkin karena khawatir dipermainkan orang lagi,
keduanya belum juga melompat. Malah keduanya sal-
ing pandang. Namun cuma sekejap karena Putri
Kayangan buru-buru alihkan pandangannya dengan
muka bersemu merah. Gadis ini rasakan dadanya ber-
debar dan tak kuasa beradu pandang dengan murid
Pendeta Sinting.
“Setan! Kalian kira ini tempatnya berpandang-
pandangan hah?!” Terdengar suara lagi.
Dengan raut sama berubah malah Putri Kayangan
tampak tegang, kepala keduanya bergerak lagi. Sejarak
dua belas langkah dari tempat mereka, rumpunan se-
mak belukar tampak bergerak menyibak. Lalu tampak
kepala berambut putih yang bagian depan diponi. Lalu
seraut wajah hitam milik seorang nenek muncul me-
nyeringai.
Pendekar 131 dan Putri Kayangan segera berkelebat
lalu menyelinap di semak belukar di mana tadi muncul
wajah nenek yang bukan lain adalah Dayang Sepuh.
“Kau!” bentak Dayang Sepuh dengan tangan me-
nunjuk pada Putri Kayangan. “Mendekatlah ke sini!”
Putri Kayangan laksana sirap darahnya mendengar
bentakan si nenek. Dia tidak bisa menduga apa ke-
mauan si nenek. Sementara murid Pendeta Sinting me-
lirik ke samping kiri kanan. Berjarak lima langkah, ter-
lihat Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun sama du-
duk di atas tanah.
“Setan! Kau dengar tidak ucapanku?!” Kembali
Dayang Sepuh perdengarkan bentakan tatkala menda-
pati Putri Kayangan tidak juga beranjak dari tempat-
nya.
Putri Kayangan melirik sesaat pada Pendekar 131.
Kuduknya dingin dan kedua kakinya goyah. Bukan
hanya karena belum tahu apa maksud ucapan Dayang
Sepuh, melainkan dia mulai merasakan dadanya san-
gat nyeri dan pandangannya berkunang-kunang. Na-
mun sang Putri tabahkan diri.
“Jangan khawatirkan cucu setan itu! Kau harus pi-
kirkan diri sendiri dahulu!” Dayang Sepuh sudah per-
dengarkan suara lagi. Putri Kayangan mulai dapat me-
nangkap maksud si nenek. Hingga tanpa pikir panjang
dia melangkah ke arah Dayang Sepuh.
Dayang Sepuh selinapkan tangan kanannya ke ba-
lik pakaiannya yang cingkrang. Saat Putri Kayangan
tepat di hadapannya, tangan kanan si nenek ditarik
keluar. Digenggamannya terlihat dua butiran sebesar
ujung jari kelingking berwarna merah dan kuning.
“Telan ini!” perintah Dayang Sepuh seraya ulurkan
tangannya.
Tanpa ragu-ragu Putri Kayangan mengambil dua
butiran di tangan si nenek lalu ditelannya. Mula-mula
dia merasakan hawa panas menyengat sekujur tubuh-
nya begitu dua butiran tadi lewat tenggorokan. Dan
mendadak dadanya laksana meledak. Kepalanya seper-
ti diputar-putar. Pandangannya berubah menghitam.
Saat lain kedua kakinya menekuk lalu sosoknya jatuh
menggelosoh di atas tanah.
“Bibi....”
“Tutup mulutmu, Cucu Setan! Dari tadi kau berte-
riak-teriak melulu!” Dayang Sepuh menukas ucapan
Joko seraya melirik pada sosok Putri Kayangan. “Aku
tahu kau sangat mengkhawatirkan dia! Tapi adalah
tindakan tolol kalau hanya khawatir tanpa berbuat se-
suatu! Dia terluka dalam! Apa kau ingin melihat dia
mampus, hah...?!”
Pendekar 131 hanya bisa kancingkan mulut dan
angkat bahu sambil melirik ke arah Putri Kayangan.
Dayang Sepuh tertawa pendek lalu berujar.
“Kau suka padanya, bukan?!”
Tampang murid Pendeta Sinting berubah. Dia kem-
bali melirik pada Datuk Wahing dan Gendeng Panun-
tun.
“Brusss! Persoalan jatuh cinta, tidak mengherankan
jika perempuan yang tahu terlebih dahulu, Anak Mu-
da! Karena perempuan membaca dengan perasaan....”
Tiba-tiba Datuk Wahing berucap.
“Dan kadangkala perasaan cinta tidak disangka-
sangka datangnya! Ada yang puluhan tahun menung-
gu, ada pula yang begitu ketemu langsung saja ketiban
cinta!” Gendeng Panuntun menyahuti ucapan Datuk
Wahing. Lalu tertawa.
Paras murid Pendeta Sinting makin berubah. Terle-
bih ketika dia melirik, dilihatnya Putri Kayangan telah
bergerak-gerak dan sepasang matanya sudah terbuka.
Saat lain gadis ini telah bangkit dan menjura pada
Dayang Sepuh seraya berkata.
“Nek....”
“Sudah! Jangan memakai peradatan!” Dayang Se-
puh ternyata sudah memotong ucapan Putri Kayan-
gan. “Sekarang kita mulai pembicaraan!” Kepala si ne-
nek berpaling pada Datuk Wahing dan Gendeng Pa
nuntun.
“Harap maafkan.... Aku tidak bisa mengikuti pembi-
caraan ini. Aku harus menemui seseorang....” Putri
Kayangan angkat suara.
“Setan! Siapa yang akan kau temui?!” tanya Dayang
Sepuh dengan pasang tampang galak. Sepasang ma-
tanya melotot besar-besar.
“Bagaimanapun juga aku harus membawa saudara-
ku menghadap Eyang Guru! Harap kalian mengerti....
Dan sekali lagi kuucapkan terima kasih atas perto-
longannya....” Putri Kayangan anggukkan kepala pada
Dayang Sepuh dan Pendekar 131.
“Kau benar-benar setan keras kepala!” sentak
Dayang Sepuh. “Kau bukannya akan membawa sauda-
ramu tapi menyerahkan nyawamu! Kau tahu, sauda-
ramu bersama siapa saat ini!”
Putri Kayangan anggukkan kepala. “Tapi aku harus
lakukan tugas Eyang Guru, Nek! Kalau aku harus me-
nunggu lebih lama, aku khawatir tak dapat menyela-
matkan saudaraku....”
“Kau kira bekal yang kau miliki mampu menyela-
matkan dan membawa saudaramu, hah?! Kau kira
enak melakukan apa yang baru kau katakan, hah?!”
“Bekal ku memang tidak banyak. Apa yang kukata-
kan memang berat melakukannya. Tapi ini adalah pe-
rintah yang harus kulaksanakan, Nek!”
“Hem.... Begitu?! Daripada kau mampus di tangan
setan berjubah hitam itu, lebih baik kau ke neraka me-
lalui tanganku!” Dayang Sepuh angkat tangannya.
“Bibi! Tahan!” teriak murid Pendeta Sinting. Lalu
melompat ke hadapan Putri Kayangan dan tegak
menghalangi si gadis dan Dayang Sepuh. “Putri.... Un-
tuk sementara ini, tunda dulu keinginanmu! Perintah
memang harus dilakukan. Tapi tidak berarti harus
tanpa perhitungan! Kau tahu, aku menduga mereka
akan membicarakan bagaimana menghadapi manusia
tanpa sosok itu!” Joko berbisik.
“Apa yang kalian bicarakan?!” Dayang Sepuh mem-
bentak. “Kau juga hendak ikut-ikutan pergi bersama
gadis setan itu?!”
Pendekar 131 putar diri menghadap si nenek. Be-
lum sampai Joko buka mulut, Dayang Sepuh sudah
mendahului.
“Kau juga akan mampus di tanganku kalau berani
ikut-ikutan pergi!”
“Brusss! Sudahlah.... Jangan bertindak yang ma-
cam-macam dan mengherankan! Kita semua tahu sia-
pa orang yang kita hadapi saat ini!” Datuk Wahing me-
nengahi.
“Jadi kau sudah tahu, Kek?!” tanya murid Pendeta
Sinting. “Siapa dia, Kek?!”
“Brusss! Sungguh mengherankan kalau aku tahu
orangnya, Anak Muda! Yang ku maksud, kita tahu
sampai di mana kedahsyatan dua benda di tangan
orang itu!”
Baru saja Datuk Wahing berucap begitu, tiba-tiba
Gendeng Panuntun gerakkan kepala tengadah. Tangan
kanannya mengusap cermin bulatnya lalu berujar pe-
lan.
“Ada dua orang hendak lewat di sekitar tempat ki-
ta!”
Tanpa sadar, semua kepala bergerak merunduk. La-
lu mata masing-masing orang sama terpentang tak
berkesip perhatikan ke arah jalanan di depan sana.
Sebagian memperhatikan dari jurusan barat, sebagian
lagi dari jurusan timur. Mereka tidak ada yang buka
suara atau membuat gerakan.
“Setan! Mana orang itu?!” desis Dayang Sepuh kala
matanya tidak juga melihat adanya orang. “Jangan-
jangan dia bercanda!”
Tidak ada yang menyahuti ucapan Dayang Sepuh.
Mereka masih terpaku dengan mata nyalang. Sementa-
ra Gendeng Panuntun mengerjap beberapa kali.
“Setan buta sialan! Kau hanya bikin hati deg-degan
saja!” Kembali Sayang Sepuh memaki setelah agak la-
ma tidak juga melihat siapa-siapa. Dia orang pertama
yang angkat kepalanya. Disusul dengan murid Pendeta
Sinting dan Putri Kayangan.
“Di sini bukan tempatnya bergurau, se....” Makian
Dayang Sepuh terputus. Sekonyong-konyong dia sen-
takkan kepala merunduk. Demikian pula Joko dan Pu-
tri Kayangan. Mata mereka menangkap kelebatan
bayangan yang berlari cepat dari jurusan timur.
“Ucapannya benar! Tapi perhitungannya meleset!”
gumam Dayang Sepuh kala pentangan matanya bukan
melihat dua orang melainkan satu orang. Namun begi-
tu ketegangan pada wajah si nenek mereda tatkala dia
bisa mengenali kalau si bayangan bukanlah Jubah
Tanpa Jasad. Karena sosok orang yang berkelebat ter-
lihat nyata.
“Setan! Gerakannya laksana orang kesetanan! Tak
bisa ku kenali sosoknya!” desis si nenek ketika ma-
tanya tidak bisa mengenali sosok bayangan yang berla-
ri kencang. Dan lewat begitu saja tidak jauh dari tem-
pat di mana Dayang Sepuh dan teman-temannya bera-
da.
“Kau bisa melihat orangnya?!” tanya Dayang Sepuh
berpaling pada Pendekar 131 dan Putri Kayangan.
Yang ditanya sama gelengkan kepala. Saat bersamaan
ketiga orang ini sama angkat kepalanya.
Baru saja kepala mereka terangkat, tiba-tiba dari
arah barat satu sosok bayangan berkelebat dan tegak
lurus dari tempat Dayang Sepuh berada. Karena terbu-
ru tegak, terlambat bagi si nenek dan murid Pendeta
Sinting serta Putri Kayangan untuk rundukkan kepala.
Apalagi sosok bayangan di depan sana sudah mengha-
dap ke arah mereka dan seolah sudah tahu!
***
SEMBILAN
KARENA tak mungkin lagi sembunyikan kepala,
Dayang Sepuh, Pendekar 131, serta Putri Kayangan
terpaksa urungkan niat untuk tarik kepala masing-
masing merunduk. Dan karena telanjur, Dayang Se-
puh malah segera longokkan kepala ke depan dengan
mata makin dipentangkan. Tapi yang paling tampak
tersentak adalah murid Pendeta Sinting.
“Rupanya setan buta itu lebih bermata daripada
aku! Orang di depan itu tidak satu, tapi dua!” gumam
Dayang Sepuh ketika matanya melihat seorang laki-
laki berusia setengah baya mengenakan pakaian warna
biru gelap. Sosoknya kurus tinggi dengan wajah ce-
kung. Rambutnya yang putih dan panjang tampak
berkibar-kibar. Di antara kibaran rambutnya terlihat
satu wajah seorang kakek lanjut usia. Rambutnya
yang putih sangat tipis hingga batok kepalanya terlihat
jelas. Sepasang matanya terpejam rapat dengan mulut
komat-kamit perdengarkan gumaman tak jelas. Kakek
ini mengenakan pakaian warna putih besar dan pan-
jang. Begitu panjangnya pakaian itu, sebagian tampak
menyapu tanah sepanjang setengah tombak di bela-
kang!
Si kakek tampak lingkarkan kedua tangannya pada
bagian bawah leher laki-laki setengah baya. Kedua ka-
kinya yang ternyata tidak lebih besar dari dua kali ibu
jari dan berwarna hitam legam tampak digelungkan
pada pinggang laki-laki setengah baya, hingga wajah-
nya berada di punggung orang dan terlihat di antara
kibaran rambut.
“Siapa manusia-manusia tua yang masih main gen-
dong-gendongan ini?!” Dayang Sepuh bertanya-tanya.
Dan seolah tidak sabaran dia segera buka mulut.
“Siapa kalian adanya?!”
Sementara di sampingnya Putri Kayangan seakan
terkesima dan hanya terdiam. Murid Pendeta Sinting
mengernyit. “Raja Tua Segala Dewa!” desisnya pelan.
“Setan! Siapa kalian?!” Untuk kedua kalinya Dayang
Sepuh perdengarkan bentakan tatkala orang di depan
sana tidak ada yang sambuti ucapan si nenek.
Laki-laki setengah baya berpakaian biru gelap yang
dipunggungnya menggendong kakek berpakaian putih
panjang gerakkan kepala berpaling pada wajah di be-
lakangnya.
Si kakek yang digendong perlahan-lahan buka ma-
tanya. Tapi belum sampai setengahnya, orang tua ini
kembali pejamkan matanya. Laki-laki setengah baya
tampak gelisah. Dia melirik takut-takut pada Dayang
Sepuh yang saat itu juga pasang tampang angker.
Pendekar 131 melompat ke samping Dayang Sepuh
dan berujar kalem. “Bibi.... Aku mengenal mereka....”
Dayang Sepuh melotot. “Aku tidak tanya padamu!
Aku ingin jawaban dari mulut salah seorang di anta-
ranya!”
Laki-laki setengah baya yang menggendong si kakek
makin cemas ketika mendapati orang yang digendong
tidak juga perdengarkan suara. Dia pulang balik me-
mandang pada Dayang Sepuh lalu pada orang yang di-
gendong. Mungkin karena takut melihat tampang ang-
ker Dayang Setan, akhirnya laki-laki setengah baya
buka mulut.
“Aku....”
Belum sampai laki-laki setengah baya teruskan
ucapan, si kakek yang digendong lepaskan lingkaran
tangannya pada leher orang. Tangan kanannya menge-
tuk punggung laki-laki setengah baya seraya bergu-
mam. “Biar aku yang menjawab....”
Kakek yang digendong arahkan wajahnya pada
Dayang Sepuh dengan mata tetap terpejam. Saat lain
mulutnya bergerak membuka.
“Boleh kami berdua ikut kumpul di sini?!”
“Setan! Aku tanya siapa kalian adanya!”
“Aku adalah seorang sahabat.... Dan aku lihat bebe-
rapa orang sahabatku berada di sini!”
“Senang jumpa denganmu lagi, Sahabatku.... Kuha-
rap kau mengerti kecurigaan sahabatku itu....” Gen-
deng Panuntun menyahut. Sepasang matanya yang
putih mengerjap.
“Brusss! Brusss! Terimalah hormatku.... Harap ti-
dak heran dengan sambutan sahabat cantik ku itu....”
Datuk Wahing menyambuti sahutan Gendeng Panun-
tun.
“Terima kasih kalian tidak lupa padaku.... Aku juga
bahagia bisa bertemu dengan kalian kembali....” Kakek
di gendongan orang berujar. Kepalanya digerakkan
mengangguk pada Gendeng Panuntun dan Datuk
Wahing. Lalu masih dengan mata terpejam, si kakek
hadapkan wajahnya pada murid Pendeta Sinting se-
raya lanjutkan ucapan. “Bagaimana kabarmu, Anak
Muda?!”
“Aku baik-baik saja, Kek....”
Si kakek tersenyum. Wajahnya bergerak ke arah
Putri Kayangan. Tapi kali ini tidak perdengarkan suara
hingga beralih menghadap Dayang Sepuh.
“Nenek nan cantik.... Sekarang boleh aku ikut kum-
pul-kumpul?!”
“Di sini bukan tempatnya kumpul-kumpul! Kalau
kau tidak mau katakan siapa dirimu, aku tak segan
mengusirmu dengan tanganku!”
“Bibi....”
“Jangan ikut bicara, Cucu Setan! Silakan kau dan
dua temanmu itu kenal padanya! Tapi aku tak akan
membiarkan orang yang tidak kukenal berada di sini!”
“Bibi.... Dia adalah....”
“Sekali lagi kau bicara, mulutmu akan kutampar!”
Dayang Sepuh angkat tangannya seraya menukas
ucapan murid Pendeta Sinting.
Kakek di atas gendongan orang ketukkan lagi tan-
gannya pada punggung orang yang menggendong. La-
ki-laki setengah baya anggukkan kepala lalu berkata.
“Aku adalah Gulurawa.... Kakek di punggungku ini
Kiai Geger Panulung. Tapi lebih dikenal dengan Raja
Tua Segala Dewa....”
“Hem....” Dayang Sepuh menggumam panjang. Lalu
menoleh pada Pendekar 131. “Benar apa yang di-
ucapkan?!”
Murid Pendeta Sinting jawab dengan anggukkan
kepala. Namun seolah belum percaya, Dayang Sepuh
berpaling pada Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun.
“Benar begitu?!”
“Bruss! Ucapannya tidak mengherankan dan be-
nar!” jawab Datuk Wahing. Sementara Gendeng Pa-
nuntun hanya angguk-anggukkan kepala.
Dayang Sepuh hadapkan wajahnya ke depan pada
kakek yang digendong dan bukan lain memang Kiai
Geger Panulung, seorang tokoh rimba persilatan yang
jarang muncul dan dikenal dengan gelaran Raja Tua
Segala Dewa.
Kalau tadi tampang Dayang Sepuh dibuat angker,
kini si nenek tampak sunggingkan senyum. Tangan ki-
rinya rapikan poni di depan keningnya. Tangan kanan
sibakkan helaian rambutnya yang ada di pundak.
“Harap maafkan sikapku tadi...,” kata Dayang Se-
puh. “Selama ini aku hanya tahu namamu tanpa per
nah bertemu. Sementara kami baru saja mengalami
kejadian tidak enak....”
Kiai Geger Panulung alias Raja Tua Segala Dewa ba-
lik tersenyum. “Seharusnya kami yang minta maaf. Da-
tang tanpa diundang.... Memaksakan diri untuk ikut
kumpul, padahal kalian akan membicarakan sesuatu
yang mungkin orang luar tidak boleh mendengar-
nya....”
“Bruss! Adalah mengherankan kalau memandang
mu sebagai orang luar, Sahabat.... Justru kehadiran-
mu yang kami syukuri!”
“Benar.... Kami sedang menghadapi urusan pelik.
Kami butuh bantuanmu, Sahabat!” Gendeng Panuntun
menyahuti.
Raja Tua Segala Dewa tersenyum dengan mata ma-
sih terpejam. Kepalanya perlahan menghadap pada
murid Pendeta Sinting. Bersamaan itu tangan kanan-
nya menyelinap ke balik pakaiannya. Saat tangannya
ditarik keluar terlihat sebuah sarung pedang berwarna
kuning.
“Anak muda.... Mungkin ini milikmu. Sahabatku
Gulurawa menemukannya tergeletak di sana!” Raja
Tua Segala Dewa menunjukkan ke satu arah.
“Sarung Pedang Tumpul 131!” gumam Joko. “Apa
dia jumpa pula dengan orang di balik Jubah Tanpa Ja-
sad Ku?! Sarung pedang itu tertinggal di sana....”
Seraya berpikir begitu, murid Pendeta Sinting me-
langkah mendekat. Sarung Pedang Tumpul 131 diam-
bilnya dari tangan Raja Tua Segala Dewa.
“Kek.... Apa kau juga bertemu dengan beberapa
orang di tempat sarung pedang ini ditemukan?!”
Raja Tua Segala Dewa gelengkan kepala. Lalu mem-
beri isyarat pada laki-laki setengah baya yang meng-
gendongnya dan dipanggil dengan Gulurawa untuk
melangkah mendekati Datuk Wahing dan Gendeng Pa
nuntun.
“Sahabat-sahabat.... Dari orang tua sepertiku ini
bantuan apa yang bisa kuberikan? Kurasa tenaga-
tenaga muda seperti murid Pendeta Sinting itu lebih
bisa dimintai bantuan daripada tubuh renta seperti-
ku....”
Mendadak Dayang Sepuh tertawa mendengar uca-
pan Raja Tua Segala Dewa. “Orangnya memang masih
muda. Wajahnya pun lumayan. Banyak gadis-gadis
cantik terpikat. Cuma soal bantu membantu, bukan
dia tempatnya untuk dimintai! Apalagi dalam keadaan
jatuh cinta seperti saat ini....”
Tampang Joko berubah merah padam. Raut Putri
Kayangan pun ikut berubah. Namun keduanya tidak
ada yang buka suara.
“Betul kau sedang jatuh cinta, Anak Muda?!” tanya
Raja Tua Segala Dewa.
“Nenek satu ini benar-benar sialan!” Murid Pendeta
Sinting menggerendeng dalam hati. Tapi dia tidak men-
jawab pertanyaan Raja Tua Segala Dewa.
Dayang Sepuh cekikikan lalu melompat ke dekat
Raja Tua Segala Dewa dan berbisik. “Mungkin dia ma-
lu.... Dia jatuh cinta pada gadis di sampingnya itu!”
“Hem.... Gadis cantik. Siapa dia, Nek?!” tanya Raja
Tua Segala Dewa.
“Gadis setan bergelar Putri Kayangan!”
Raja Tua Segala Dewa buka kelopak matanya. Lalu
memandang beberapa lama pada Putri Kayangan. “Se-
perti dia.... Tapi bukan dia....” Mendadak Raja Tua Se-
gala Dewa bergumam.
Dayang Sepuh dan Putri Kayangan serta murid
Pendeta Sinting sama kerutkan dahi. Namun menden-
gar gumaman si kakek, Putri Kayangan adalah orang
yang paling tidak enak.
“Apa maksudmu.... Seperti dia tapi bukan dia?!”
tanya Dayang Sepuh. “Kau mengenalinya sebelum
ini?!”
“Aku tidak mengenalinya. Tapi aku yakin pernah
melihatnya! Cuma....”
“Cuma apa?!” Tak sabar Dayang Sepuh menyahut.
“Cuma itu tadi. Seperti dia tapi bukan dia!”
“Aneh.... Kau mengatakan tidak mengenalnya tapi
pernah melihatnya. Seperti dia tapi bukan dia! Teka-
teki setan apa yang kau katakan ini?!”
“Itulah.... Aku sendiri tak mampu menjawabnya....”
“Sahabatku, Datuk Wahing.... Harap simak semua
ucapannya!” Gendeng Panuntun berbisik pada Datuk
Wahing.
“Brusss! Ucapannya membuatku heran...,” gumam
sang Datuk.
“Raja Tua Segala Dewa!” kata Dayang Sepuh. “Terus
terang saja. Kami baru saja terlibat bentrok dengan
manusia yang kini mentasbihkan diri sebagai Pengua-
sa Kampung Setan! Sialnya kami tidak mampu meng-
hadapinya! Di tangannya tergenggam Kembang Darah
Setan. Sementara dia sendiri mengenakan Jubah Tan-
pa Jasad, hingga manusianya tidak bisa dikenali. Se-
lama ini kudengar kau memiliki ilmu aneh.... Kau bisa
menduga siapa sebenarnya manusia pemakai Jubah
Tanpa Jasad itu?!”
“Apa yang kau dengar selama ini mungkin hanya
berita yang tidak benar. Aku tidak memiliki apa-apa,
apalagi yang dikatakan ilmu aneh.... Maka dari itu, ra-
sanya sulit aku menjawab pertanyaanmu.... Mungkin
sahabatku Gendeng Panuntun tahu jawabannya....”
Mulut Dayang Sepuh mencibir. Lalu kepalanya dige-
lengkan. Raja Tua Segala Dewa tersenyum. “Mungkin
sahabatku Datuk Wahing bisa membantu....”
“Pada manusia nyata saja setan itu masih heran.
Bagaimana mungkin dia bisa membantu?!”
“Hem.... Mungkin sahabat muda Pendekar 131....”
Dayang Sepuh tertawa. “Urusan perempuan dia ah-
linya. Bukan urusan aneh-aneh begini!”
“Kek! Kalau kau tidak bisa menduga siapa adanya
orang di balik Jubah Tanpa Jasad, apa kau tahu ba-
gaimana cara menghadapinya?!” Kali ini yang angkat
suara adalah murid Pendeta Sinting.
Raja Tua Segala Dewa dongakkan kepala. Tiba-tiba
dahinya berkerut. Lalu kepalanya yang tengadah ber-
gerak-gerak ke samping kanan kiri. Telinganya terang-
kat tanda orang ini tengah tajamkan pendengaran.
Semua yang melihat tanpa sadar ikut-ikutan men-
gernyit. Dan ikut-ikutan pula tajamkan telinga. Namun
sebegitu jauh, tidak satu pun di antara mereka yang
mendengar sesuatu!
Selagi semua orang bertanya-tanya, mendadak Raja
Tua Segala Dewa berucap pelan. “Aku mendengar sua-
ra tangisan bayi.... Ah, sayang cuma sejenak! Hai! Aku
bisa melihatnya.... Astaga! Pada pusarnya terlihat mata
merah.... Dan darah.... Kulihat banyak darah.... Dan
bulan di atas sana tampak terang benderang....”
Raja Tua Segala Dewa usap wajahnya. Lalu meng-
hela napas panjang. Saat lain kepalanya lurus meng-
hadap Putri Kayangan. “Bukan.... Bukan dia!”
Putri Kayangan tersentak. Dia makin tidak enak
dan penasaran dengan ucapan orang. Hingga dia bera-
nikan diri buka mulut. Tapi sebelum suaranya terden-
gar, Dayang Sepuh sudah mendahului.
“Aku tidak mendengar apa-apa! Juga tidak melihat
apa-apa! Bisa kau jelaskan apa yang baru kau dengar
dan kau lihat?!”
Raja Tua Segala Dewa geleng kepala. “Aku hanya
bisa mengatakan apa yang kudengar dan kulihat. Tapi
aku tak bisa menjelaskannya! Karena hanya itulah
yang kudengar dan kulihat!”
Habis berkata begitu, Raja Tua Segala Dewa arah-
kan pandang matanya pada Datuk Wahing dan Gen-
deng Panuntun. Setelah menghela napas dia berucap.
“Sahabat.... Aku tidak bisa membantu banyak!
Mungkin sahabat muda murid Pendeta Sinting bisa
melakukan semuanya! Sekarang aku harus pergi....”
Gendeng Panuntun anggukkan kepala. “Terima ka-
sih atas bantuanmu, Sahabat.... Jika kelak bertemu
lagi, aku ingin kita ngobrol lebih lama....”
“Mudah-mudahan kita sama diberi umur pan-
jang...,” ucap Raja Tua Segala Dewa. Lalu memandang
ke arah Dayang Sepuh. “Nek.... Harap tidak berpra-
sangka akan jawabanku tadi.... Seandainya aku tahu,
pasti sudah kukatakan....” Tanpa menunggu sahutan
dari si nenek, Raja Tua Segala Dewa alihkan pandan-
gannya pada murid Pendeta Sinting.
“Sahabat muda.... Tugas di depanmu berat.... Tapi
kuharap kau dapat menyelesaikannya dengan baik! In-
gat.... Bukan dia, tapi seperti kekasihmu itu!”
Lagi-lagi tanpa menunggu sahutan dari orang, Raja
Tua Segala Dewa telah alihkan pandang matanya pada
Putri Kayangan. “Kau harus tabah, Sahabatku Can-
tik....”
Habis berkata begitu, Raja Tua Segala Dewa ketuk-
kan tangannya pada punggung Gulurawa. Saat bersa-
maan Gulurawa melompat. Dan berkelebat lenyap di
depan sana.
***
SEPULUH
BERSAMAAN dengan lenyapnya sosok Raja Tua Se-
gala Dewa, Dayang Sepuh langsung buka mulut den-
gan kepala berpaling pada Gendeng Panuntun. “Kau
terlalu banyak basa-basi dan peradatan! Bantuan apa
yang diberikan hingga kau mengucapkan terima kasih,
he?! Dia bukannya memberi bantuan, tapi malah
membuat otak puyeng! Bicara tak tentu juntrungan!”
“Brusss! Aku juga heran mendengar ucapannya!
Tapi aku lebih heran lagi dengan ucapanmu, Nenek
Cantik....” Datuk Wahing sambuti kata-kata Dayang
Sepuh.
“Bisa mu hanya heran dan heran!” semprot Dayang
Sepuh.
“Tenang, Nenek...,” ujar Gendeng Panuntun kalem.
“Kelihatannya sahabat Raja Tua Segala Dewa memang
tidak banyak membantu! Tapi justru di sinilah jawa-
ban yang kita cari saat ini!”
“Jawaban apa?! Mendengar tangisan bayi dan meli-
hat pusar bermata merah itu kau katakan jawaban?!”
“Betul! Kalau kita dapat menjabarkan apa yang di-
ucapkannya, kita akan mendapatkan jawaban yang ki-
ta cari saat ini....”
Pendekar 131 melompat ke dekat Gendeng Panun-
tun. Namun belum sampai dia buka mulut, Dayang
Sepuh telah membentak. “Kau juga akan ikut berpikir
gila seperti mereka?!”
“Bibi.... Apa yang dikatakan Kakek Gendeng Panun-
tun benar. Dua kali aku bertemu dengan Raja Tua Se-
gala Dewa. Aku telah membuktikan bahwa semua
ucapannya benar dan jadi kenyataan! Meski pada mu-
lanya aku juga masih merasa ragu-ragu dan tidak
mengerti!”
Si nenek terdiam. Joko menoleh pada Gendeng Pa-
nuntun. “Kek.... Suara tangisan bayi jelas maksudnya
adalah seorang bayi. Namun kau bisa menjabarkan
maksud daripada ucapan ‘cuma sejenak’ yang dikata-
kan Kakek Raja Tua Segala Dewa?!”
Gendeng Panuntun mengerjap dengan mata mengusap cermin bulatnya. Lalu berkata.
“Biasanya, seorang bayi yang dilahirkan dan pan-
jang umur, maka dia akan menangis lama....”
“Hem.... Maksudmu bayi itu tidak berumur pan-
jang?!” tanya Joko.
Kepala Gendeng Panuntun bergerak mengangguk.
“Dan biasanya, bayi yang tidak berumur panjang ada-
lah seorang bayi yang dilahirkan belum genap bulan-
nya!”
Dayang Sepuh tersenyum setengah mencibir, “itu
mungkin masih masuk akal! Lalu apakah masuk akal
jika dia melihat pada pusar bayi itu ada mata merah?!
Pusar apa yang bermata merah, hah?!”
“Brusss! Itu mungkin hanya satu tanda, Nenek Can-
tik. Untuk membedakan bayi itu dari bayi lainnya!
Memang mengherankan, tapi siapa tahu hal itu me-
mang akan ada...!”
“Bulan di atas sana terang benderang...,” kata Joko
tirukan ucapan Raja Tua Segala Dewa. “Pasti itu ada-
lah saat purnama!”
“Brusss! Untuk yang satu itu baru aku tidak merasa
heran....!”
“Jadi, bayi itu akan lahir pada malam purnama. Ke-
lahirannya belum genap bulan. Dan pada pusarnya
terdapat mata berwarna merah....” Pendekar 131 ber-
kata sambil arahkan pandang matanya pada Putri
Kayangan.
Karena merasa tidak enak, Putri Kayangan kali ini
menantang pandangan murid Pendeta Sinting hingga
Joko urungkan lanjutkan ucapannya meski mulutnya
telah menganga.
“Aku harus pergi...!” Tiba-tiba Putri Kayangan buka
suara. Kejap lain gadis cantik ini membuat satu gera-
kan dan sosoknya melesat tinggalkan tempat itu.
“Tunggu!” tahan murid Pendeta Sinting seraya melompat dan berkelebat menyusul. Tapi bersamaan den-
gan itu Dayang Sepuh telah melompat memotong gera-
kan Joko dan tegak menghadang dengan berkacak
pinggang seraya membentak.
“Ini urusanmu, Setan Geblek! Jangan hanya karena
perempuan maka urusan yang belum selesai kau ting-
gal begitu saja!”
“Brusss! Kuharap ucapannya tidak mengherankan
mu, Anak Muda!” Datuk Wahing sambung ucapan
Dayang Sepuh.
“Benar.... Kelak kau pasti akan bertemu dengannya
lagi! Apalagi jika dikaitkan dengan ucapan sahabat Ra-
ja Tua Segala Dewa yang beberapa kali mengatakan
‘seperti dia tapi bukan dia’....” Gendeng Panuntun ikut
menyahut.
Murid Pendeta Sinting akhirnya hanya bisa pan-
dangi sosok Putri Kayangan yang terus berkelebat ke-
mudian lenyap di tikungan jalan. Setelah menghela
napas panjang Pendekar 131 balikkan tubuh mengha-
dap Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun. “Aku tidak
tahu apa maksud di balik ucapan Raja Tua Segala De-
wa itu.... Kalian tahu?!”
Datuk Wahing bersin satu kali lalu geleng kepala.
Sementara Gendeng Panuntun tengadahkan kepala
dengan tangan usap-usap cermin bulatnya. Namun dia
tidak juga berucap.
“Bibi.... Mungkin kau tahu maksud ucapan itu?!”
Joko ajukan tanya pada Dayang Sepuh yang tegak di
belakangnya.
Tidak terdengar sahutan dari si nenek. Namun sete-
lah agak lama si nenek melangkah lewat di samping
murid Pendeta Sinting seraya berkata.
“Itu ada hubungannya dengan perempuan! Kau
sendirilah yang memecahkannya!” Dayang Sepuh te-
ruskan langkah ke arah Datuk Wahing dan Gendeng
Panuntun. Lalu berucap lagi. “Datuk Wahing.... Kita
sudah lama bersama-sama cucu setan itu! Sekarang
kita lanjutkan saja urusan kita....”
“Brusss! Brusss! Memang sudah waktunya kita per-
gi...,” kata Datuk Wahing lalu berpaling pada Gendeng
Panuntun. “Sahabat.... Kalau kau tak punya urusan
mengherankan, aku tawarkan untuk pergi bersama-
sama kita!”
“Ah.... Sebenarnya tawaran menarik, apalagi jalan
bersama dengan perempuan cantik. Tapi sayangnya
aku masih punya sesuatu yang harus kulakukan! Ku-
harap kalian akan tawarkan lagi hal ini kelak kalau
urusanku sudah selesai....”
Dayang Sepuh tertawa panjang mendengar ucapan
Gendeng Panuntun. Puas tertawa seraya mencibir dia
berujar.
“Kau layaknya orang penting saja. Selalu dan selalu
dirundung urusan!”
“Aku sendiri tak tahu mengapa harus begini. Tapi
dalam urusan saat ini, kurasa aku tidak bisa memban-
tu banyak. Kau simak tadi ucapan sahabat Raja Tua
Segala Dewa. Urusan ini hanya sahabat muda Pende-
kar 131 yang bisa melakukannya!”
Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun arahkan
kepalanya pada murid Pendeta Sinting. “Sahabat mu-
da.... Kau telah menemukan jawaban meski belum se-
muanya. Urusan ini sebenarnya tanggung jawab se-
mua orang yang terlibat dalam kancah dunia persila-
tan. Namun menyimak ucapan Raja Tua Segala Dewa,
rasanya percuma kalau bukan kau yang menyelesai-
kannya! Jadi harap kau maklum kalau aku dan
mungkin beberapa sahabat yang lain tak bisa mem-
bantu banyak!”
Tanpa menunggu lama, Gendeng Panuntun beran-
jak bangkit. Lalu melangkah hendak tinggalkan tempat
itu.
“Kek.... Tunggu!” teriak Joko lalu melompat ke arah
Gendeng Panuntun. Mungkin tak mau Gendeng Pa-
nuntun mendahului berkata, Joko cepat angkat bicara.
“Kau dapat menentukan kira-kira purnama kapan
bayi itu akan lahir?!”
“Ada kemungkinan aku bisa jawab seribu perta-
nyaanmu. Tapi untuk urusan waktu, aku tidak mau
mendahului kehendak Yang Maha Menentukan!”
“Ini bukan mendahului kehendak. Aku hanya ingin
tahu kira-kiranya!”
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. “Aku tidak
berani meski hanya mengatakan kira-kiranya, Sahabat
Muda! Tapi firasat ku mengatakan, kau bakal mene-
mukan jawaban itu!”
Gendeng Panuntun usap cerminnya berulang kali.
Lalu teruskan langkah. Di sebelah depan sana, tiba-
tiba Gendeng Panuntun berhenti. Kepalanya tengadah.
Lalu terdengar suaranya.
“Jawaban itu sebentar lagi akan kau temukan, Sa-
habat Muda....”
Suaranya belum lenyap, sosok Gendeng Panuntun
sudah tidak kelihatan lagi!
“Hem.... Mungkin jawaban itu akan kudengar dari
Dayang Sepuh atau Datuk Wahing. Bukankah Kakek
Gendeng Panuntun mengatakan sebentar lagi. Semen-
tara hanya ada mereka yang tinggal di sini!”
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting segera me-
langkah mendekati Dayang Sepuh dan Datuk Wahing.
Namun baru saja dia gerakkan kaki, Dayang Sepuh te-
lah gerakkan tangan menarik lengan Datuk Wahing
hingga si kakek bergerak bangkit. Dan seolah tahu apa
yang ada dalam pikiran Joko, begitu sosok Datuk Wah-
ing tegak, Dayang Sepuh sudah berkata.
“Jawaban itu tidak akan kau dengar dari mulutku
dan mulut setan tua ini! Karena aku atau setan bersin
ini bukan ahli ramal-meramal kelahiran bayi! Apalagi
belum ketahuan siapa manusianya yang akan mela-
hirkan!”
Ucapan Dayang Sepuh membuat murid Pendeta
Sinting hentikan langkahnya. Sementara Dayang Se-
puh segera menarik kembali lengan Datuk Wahing.
Saat lain kedua orang ini melangkah tinggalkan tempat
Ku tanpa berkata apa-apa lagi!
Begitu sosok Dayang Sepuh dan Datuk Wahing le-
nyap, Joko menghela napas dalam. Lalu melangkah
dan duduk di antara kerapatan semak belukar.
“Rasanya sulit menemukan apa yang dikatakan Ra-
ja Tua Segala Dewa! Belum lagi apa yang harus kula-
kukan pada bayi itu jika benar-benar kutemukan!”
Murid Pendeta Sinting arahkan pandang matanya
pada rimbun semak belukar yang banyak di sekitar
tempat dia berada. Mendadak muncul bayangan paras
wajah cantik Putri Kayangan. Hal ini membuat Joko
teringat akan ucapan Raja Tua Segala Dewa.
“Seperti dia tapi bukan dia.... Hem.... Apa maksud
ucapan orang tua itu?! Apa ada hubungannya dengan
urusan bayi itu...?!” Joko tengadahkan kepala dengan
mata memejam.
Tiba-tiba dia laksana tersentak dan buka kedua ma-
tanya. “Astaga! Jangan-jangan bayi itu akan lahir dari
Putri Kayangan! Bukankah hanya perempuan yang bi-
sa lahirkan seorang bayi? Tapi bagaimana mungkin?!
Bukankah Putri Kayangan masih belum bersuami?!
Tapi.... Siapa tahu sebenarnya dia telah bersuami....”
Air muka murid Pendeta Sinting berubah. “Apa benar
dia telah bersuami?! Tapi ah.... Raja Tua Segala Dewa
mengatakan bukan dia! Berarti bayi itu tidak akan la-
hir dari Putri Kayangan. Ucapan Raja Tua Segala Dewa
mungkin hanya menyamakan soal jenis perempuannya
yang akan melahirkan bayi itu! Tapi siapa...?!”
Krakkkk!
Tiba-tiba terdengar ranting patah. Pendekar 131 ce-
pat berpaling. Sepasang matanya menyipit lalu mem-
belalak saat melihat gerakan pada rumpun semak be-
lukar berjarak lima belas langkah dari tempatnya.
Joko cepat bangkit. Rumpun semak belukar makin
bergerak-gerak. Saat lain satu sosok tubuh mencuat
ke udara setinggi tiga tombak. Pendekar 131 mengikuti
gerakan sosok yang melayang di atas udara.
Tiba-tiba sosok di atas udara membuat gerakan
jungkir balik dua kali dan sekonyong-konyong melun-
cur deras ke arah murid Pendeta Sinting! Walau si so-
sok tidak mendorong kedua tangannya melepas puku-
lan, namun Joko merasakan sambaran gelombang
dahsyat menghampar!
Melihat gelagat kurang baik, murid Pendeta Sinting
cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Lalu melompat ke samping kanan dengan tangan di-
angkat.
Sosok yang meluncur merubah arah dan meluncur
tepat ke arah Joko. Belum sempat murid Pendeta Sint-
ing membuat gerakan, tahu-tahu si sosok telah tegak
empat tindak di hadapannya!
***
SEBELAS
DIA adalah seorang pemuda berwajah tampan. Ku-
misnya lebat hitam. Hidungnya agak mancung. Ra-
hangnya kokoh. Namun ada sedikit keanehan. Meski
dia seorang pemuda tampan, rambutnya ternyata pu-
tih dan dibiarkan awut-awutan! Sepasang matanya
agak sayu. Dan pakaian warna biru yang dikenakan
terlihat amat tebal! Kedua telapak tangannya dibung-
kus dengan kaos tangan dari kulit. Sementara sepa-
sang kakinya memakai kasut juga dari kulit!
Sesaat pemuda berwajah tampan yang baru muncul
memandang pada murid Pendeta Sinting. Tiba-tiba dia
tertawa ngakak seraya angkat tangan kanannya dan
menunjuk-nunjuk pada Joko.
Pendekar 131 kerutkan dahi. Cuma sekejap. Saat
lain tangan kirinya diluruskan menunjuk pada orang
di hadapannya. Pada saat yang sama mulutnya mem-
buka perdengarkan tawa bergelak!
Si pemuda di hadapan Joko putuskan tawanya.
Tangan kanannya ditarik pulang. Kepalanya didorong
ke depan dengan mata dibeliakkan. Murid Pendeta
Sinting luruhkan tangan kirinya. Gelakan tawanya di-
putus. Saat bersamaan kepalanya digerakkan ke de-
pan dengan mata dipentang besar-besar!
Si pemuda di depan murid Pendeta Sinting tarik
kembali kepalanya. Joko ikut-ikutan tarik pulang ke-
palanya. Si pemuda kembali angkat tangan kanannya
menunjuk pada Joko lalu menunjuk pada dirinya den-
gan kepala mengangguk-angguk.
Pendekar 131 tidak tinggal diam. Tangan kirinya se-
gera ditunjukkan pada orang lalu ditarik dan ditun-
jukkan pada dirinya sendiri dengan kepala membuat
gerakan mengangguk-angguk. Si pemuda tertawa lagi.
Joko ikut pula tertawa.
Si pemuda kerutkan dahi. Tangan kanannya diang-
kat ke mulutnya. Lalu telapak tangannya dihadapkan
pada Joko dengan digerakkan mengembang menutup
berulang kali. Joko segera pula kernyitkan kening.
Tangan kirinya juga diangkat ke mulutnya lalu diha-
dapkan pada si pemuda dengan telapak dikembangkan
lalu ditutup beberapa kali.
Si pemuda makin kerutkan dahi. Seraya terus kembang tutupkan telapak tangan kanannya, kepalanya
menggeleng dan mengangguk.
“Gila! Aku bisa ikut-ikutan gila kalau terus tirukan
orang ini!” gumam Pendekar 131 pada akhirnya. “Dari
gerakannya, pemuda ini mungkin bisu.... Repot jika
berhadapan dengan orang bisu! Biasanya orang bisu
akan diikuti dengan tuli....”
“Kau tidak bisa bicara?!” tanya Joko seraya mem-
buat isyarat dengan tangan kiri dikembang-
kembangkan.
Si pemuda tertawa terbahak-bahak. Lalu tunjuk-
tunjuk telinganya dan tangannya membuat gerakan
melingkar besar.
“Tepat dugaanku! Dia tuli dan isyarat tangannya
memberi petunjuk agar aku bicara keras-keras! Hem....
Apa yang akan kubicarakan dengannya?! Rasanya ti-
dak ada perlunya.... Tapi, kehadirannya di tempat itu
tanpa bisa kuketahui memberi tanda kalau dia orang
berilmu.... Ah, lebih baik aku segera saja tinggalkan
tempat ini! Teka-teki ucapan Raja Tua Segala Dewa
akan makin memusingkan jika ditambah dengan
menghadapi orang seperti dia....”
Berpikir begitu, setelah tersenyum dan anggukkan
kepala pada si pemuda di hadapannya, murid Pendeta
Sinting putar diri. Namun mendadak gerakannya dita-
han. “Astaga! Bukankah Gendeng Panuntun tadi men-
gatakan....” Joko tidak lanjutkan kata hatinya. Dia ce-
pat putar kembali tubuhnya menghadap si pemuda.
“Hai!” teriak Joko ketika dilihatnya si pemuda telah
balikkan tubuh dan hendak melangkah pergi.
Namun seolah tak mendengar teriakan orang, si
pemuda teruskan gerakan kakinya. Murid Pendeta
Sinting berkelebat ke depan dan tegak di hadapan si
pemuda. Memandang sejurus lalu buka suara.
“Boleh tahu siapa kau adanya?!”
Si pemuda mengernyit. Langkahnya dihentikan.
Tangannya bergerak ke depan dan telapak tangannya
bergerak-gerak membuka menutup lalu menunjuk pa-
da Joko dan dirinya.
Pendekar 131 tersenyum lalu angguk-anggukkan
kepala. Di hadapannya si pemuda ikut tersenyum. La-
lu kembali gerakkan telapak tangannya membuka me-
nutup. Sementara tangan satunya membuat lingkaran
besar dan tunjuk-tunjuk kedua telinganya.
Murid Pendeta Sinting dapat menangkap maksud
orang. Dia segera kerahkan sedikit tenaga dalamnya
lalu berteriak.
“Boleh tahu siapa kau adanya?!”
Si pemuda tadangkan kedua tangannya pada ba-
gian belakang telinganya. Lalu kepalanya menggeleng.
Saat bersamaan tangan satunya membuat lingkaran
besar.
“Busyet! Dia masih belum bisa mendengar!” Joko
menghela napas. Dia lipat gandakan tenaga dalam dan
berteriak lagi.
“Siapa kau?!”
Si pemuda anggukkan kepala. Bibirnya tersenyum.
Joko menunggu. Namun tiba-tiba dia ingat. “Dia bi-
su.... Bagaimana dia bisa jawab pertanyaanku?! Ta-
pi.... Mungkin dia bisa menulis....”
Ingat hal itu, Joko segera jongkok lalu telunjuknya
digores-goreskan ke tanah. Namun si pemuda tampak
gelengkan kepala. Lalu menunjuk pada murid Pendeta
Sinting dan dirinya. Karena Joko tidak mengerti, ak-
hirnya dia hanya memandang dan menunggu.
Si pemuda tertawa. Kedua tangannya perlahan-
lahan bergerak melepas pakaian birunya. Joko sedikit
besarkan matanya. Ternyata di balik pakaian biru ter-
lihat lagi pakaian warna putih. Namun saat lain mata
murid Pendeta Sinting terbelalak ketika pakaian warna
biru luruh ke bawah. Ternyata pakaian itu adalah pa-
kaian panjang milik seorang perempuan!
“Busyet! Dia mengenakan pakaian perempuan! Apa
maksudnya?!”
Selagi Joko terheran-heran, si pemuda yang kini
mengenakan pakaian putih milik perempuan balikkan
tubuh. Tangan kanannya diangkat. Terdengar seperti
kain tersobek. Tangan si pemuda campakkan selembar
kulit tipis. Lalu putar diri.
Murid Pendeta Sinting pentangkan mata. Di hada-
pannya kini tegak seorang gadis muda berparas cantik
jelita.
“Kalau saja rambutnya tidak putih dan awut-
awutan....”
Si pemuda yang kini berubah menjadi seorang gadis
berparas jelita liukkan tubuh dengan pantat digoyang-
goyang. Saat bersamaan dari mulutnya terdengar sua-
ra uuukk! Ukkkk! Ukkkk! berulang kali. Lalu si gadis
cantik ini bergerak-gerak kian kemari, menari diiringi
suara uukk! Ukkkk! Ukkkk! tiada henti.
Joko hanya bisa geleng-geleng kepala sambil terse-
nyum. Namun tiba-tiba gerakan kepalanya terhenti.
Senyum di bibirnya pupus laksana disentak setan ke-
tika melihat si gadis membuat gerakan berputar-putar
dengan tangan terangkat. Dan ketika dia hentikan pu-
taran tubuhnya dan menghadap ke arah Joko, ternya-
ta wajahnya telah berganti menjadi seorang nenek!
Si nenek tertawa panjang. Lalu dengan cepat tan-
gannya bergerak lepas kancing-kancing pakaian pu-
tihnya. Karena menduga di baliknya tidak mengenakan
pakaian lagi, dengan dada masih terheran-heran, mu-
rid Pendeta Sinting segera palingkan kepala.
“Ukkk! Ukkkk! Ukkkk!” Si nenek perdengarkan sua-
ra. Perlahan-lahan kepala Joko bergerak dengan mata
setengah disipitkan. Namun mendadak matanya bergerak membuka besar-besar. Di hadapannya tegak seo-
rang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian lu-
suh berwarna putih. Kumisnya tebal berwarna putih.
Di bawahnya terhampar pakaian warna putih milik
seorang perempuan. Di sebelah pakaian putih tergele-
tak kulit tipis membentuk wajah seorang nenek!
Si kakek menunjuk pada dirinya berkali-kali. Lalu
melepas kaos di kedua tangan dan kakinya. Di balik
kaos tangan dan kaki itu terlihat kulit yang telah men-
geriput.
“Dia seakan menunjukkan kalau saat ini adalah
bentuknya yang asli!” Joko rupanya dapat menangkap
isyarat orang. Lalu anggukkan kepala dan tersenyum.
“Sekarang mau tuliskan siapa kau adanya?!” Joko
segera bertanya.
Si kakek gelengkan kepala dengan kedua tangan di-
tadangkan di belakang kedua telinganya. Memberi
tanda jika dia belum mendengar suara Joko.
Meski kesal akhirnya Pendekar 131 kerahkan tena-
ga dalam lalu ulangi ucapannya. Si kakek tertawa se-
raya gelengkan kepala.
“Hem.... Mungkin bukan dari orang ini jawaban itu
akan ku peroleh!” gumam Joko mulai ragu-ragu meli-
hat sikap orang. Dia sudah putuskan hendak mening-
galkan tempat Ku. Lalu berkata dengan suara keras.
“Aku harus pergi.... Kelak mudah-mudahan kita
jumpa lagi dan bisa bicara lebih lama!”
“Ukkkk! Ukkkk! Ukkkk!” Si kakek buka mulut. Tan-
gan kiri kanannya bergerak-gerak ke samping kiri ka-
nan memberi isyarat mencegah kepergian Joko.
Joko urungkan niat. Si kakek tersenyum. Lalu me-
nunjuk pada Joko. Tangan kanannya ditarik dan dile-
takkan di atas jidatnya. Lalu diangkat diputar-putar di
atas kepala. Saat lain tangannya ditarik ke bawah. Di
atas perutnya dia membuat lingkaran besar dari atas
ke bawah dengan perut disorongkan ke depan.
Murid Pendeta Sinting sesaat memperhatikan. Kejap
lain dia melompat ke depan.
“Betul! Betul! Aku tengah dibuat pusing dengan
kandungan seseorang!”
Si kakek gelengkan kepala seraya tadangkan kem-
bali kedua tangannya di belakang telinga. Rupanya ka-
rena senang gerakan orang mengisyaratkan orang ha-
mil, Joko jadi lupa dan angkat suara dengan pelan.
“Betul, Kek! Aku sedang pusing dengan kandungan
seseorang!” kata Joko dengan suara keras. “Kau tahu
kapan bayi itu akan lahir?!”
Si kakek arahkan pandang matanya ke langit. Ke-
dua tangannya diangkat dan bergerak membuat ben-
tuk bundaran. Lalu menunjuk ke langit.
“Betul! Bulan purnama! Tapi purnama kapan?!”
tanya murid pendeta Sinting dengan suara tetap dike-
rahkan.
Si kakek memandang pada Joko. Mulutnya mem-
buka perdengarkan suara ukkk! Ukkk! berulang kali.
Lalu tangan kanannya diangkat. Dua jarinya dikem-
bangkan. Sementara tangan kiri menunjuk jauh.
“Hem.... Maksudmu dua bulan mendatang?!”
Si kakek dekatkan telinganya ke depan seraya diha-
dapkan ke arah Pendekar 131.
“Dua bulan di depan!” teriak Joko keras-keras.
Lagi-lagi si kakek kerutkan kening. Lalu geleng-
geleng kepala dengan tangan ditusuk-tusukkan pada
telinganya. Kepalanya ditarik menjauh.
Murid Pendeta Sinting tertawa dalam hati. Karena
isyarat si kakek menunjukkan jika telinganya berden-
gung sakit akibat suara Joko yang terlalu keras. Apa-
lagi suara itu dengan pengerahan tenaga dalam.
“Hem.... Dua bulan mendatang.... Kini teka-teki itu
tinggal dari perempuan mana bayi akan lahir! Kakek
itu tahu kapan si bayi akan lahir, mungkin dia juga
tahu dari perempuan mana bayi itu akan lahir!”
Berpikir begitu murid Pendeta Sinting segera kerah-
kan kembali tenaga dalamnya. Saat lain dia buka mu-
lut.
“Kek! Kau tahu dari perempuan mana bayi itu kelak
akan lahir?! Setidaknya kau bisa memberikan tanda-
tandanya perempuan itu?!”
Si kakek angkat kedua tangannya sejajar dada.
Tangan kanannya diangkat sedikit lagi ke arah mu-
kanya. Lalu digerakkan berputar. Saat lain dia acung-
kan ibu jarinya. Sesaat kemudian, tangan kiri diang-
kat, diputarkan pada wajahnya lalu ibu jarinya di-
acungkan ke depan menjajari ibu jari tangan kanan.
“Hem.... Perempuan cantik...,” gumam Pendekar
131. Lalu anggukkan kepala memberi isyarat kalau dia
mengerti apa maksud si kakek.
Si kakek tersenyum. Lalu menunjuk pada Joko ke-
mudian ditunjukkan pada ibu jarinya. Joko kernyitkan
dahi coba menangkap isyarat. Namun kali ini dia ma-
sih ragu-ragu. Hingga dia gelengkan kepala.
“Ukkk! Ukkkkk! Ukkk!” Si kakek buka mulut. Lalu
saling hadapkan kedua tangannya. Saat lain menun-
juk pada murid Pendeta Sinting dan dirinya.
“Ah.... Aku tahu.... Maksudnya aku pernah bertemu
dengan perempuan itu!” gumam Joko. Namun karena
belum yakin benar, Joko segera mendekat dan berte-
riak.
“Maksudmu aku pernah bertemu dengan perem-
puan yang akan melahirkan itu?!”
Si kakek tertawa seraya acungkan ibu jarinya. Mu-
rid Pendeta Sinting ikut tersenyum meski dadanya mu-
lai di buncah perasaan tak karuan. Sekilas terbayang
wajah-wajah cantik milik Dewi Seribu Bunga, Saraswa-
ti, Puspa Ratri, Putri Kayangan, Pitaloka, dan terakhir
justru Dayang Sepuh.
Puas tertawa si kakek kembali gerakkan tangan kiri
kanan ke wajahnya dan diputar. Lalu ibu jari tangan
kanan kiri diacungkan ke depan. Saat lain ibu jari tan-
gan kiri diangkat lebih tinggi dari ibu jari tangan ka-
nan. Ibu jari tangan kiri digoyang-goyangkan lalu ke-
palanya bergerak mengangguk. Saat lain dia goyang-
goyangkan ibu jari tangan kanan dengan kepala meng-
geleng.
Pendekar 131 coba berpikir. Namun setelah agak
lama tampaknya dia belum tahu apa maksud isyarat
orang. Hingga dia segera berteriak.
“Aku belum tahu apa maksudmu!”
Si kakek gelengkan kepala dengan mata cemberut.
Lalu kembali membuat gerakan seperti tadi dan diak-
hiri dengan goyangan pada ibu jari tangan kanan den-
gan kepala menggeleng.
“Hem.... Sulit menjabarkan apa maksudnya...,” ujar
Joko. Lalu gelengkan kepala sambil berteriak. “Aku tak
bisa menangkap isyarat mu!”
Si kakek menghela napas panjang. Lalu mencibir
sambil menepuk keningnya dan tangannya membuat
bundaran.
“Jangkrik! Dia mengejek ku tidak bisa berpikir dan
bodoh!” desis murid Pendeta Sinting mengerti apa yang
dilakukan si kakek. Namun Joko tidak mau bertindak
lebih jauh karena bagaimanapun juga si kakek telah
banyak membantu.
“Apa yang harus kulakukan untuk dapat mengeta-
hui apa maksudnya?! Hem.... Mungkin dia dapat me-
nulis....” Joko memberi isyarat dengan gerakkan tan-
gan seperti orang menulis. Dan khawatir si kakek be-
lum mengerti, Joko segera berucap.
“Kau bisa menulis?!”
Si kakek gelengkan kepala. Namun sesaat kemu
dian tangannya bergerak-gerak di udara.
“Hem.... Gerakannya ruwet. Tapi sepertinya aku bi-
sa menduga....”
Pendekar 131 sorongkan kepalanya ke depan lalu
buka mulut. “Kau hendak menggambar?!”
Si kakek tertawa sembari anggukkan kepala. Joko
cepat berkelebat mematahkan sebuah ranting agak be-
sar lalu diberikan pada si kakek.
Si kakek memandang sesaat pada murid Pendeta
Sinting lalu sambuti patahan ranting yang disodorkan
padanya. Kejap lain dia bergerak jongkok. Patahan
ranting di tangannya mulai digoreskan di atas tanah.
Si kakek membuat gambar dua wajah perempuan.
Di atasnya diberi angka satu dan dua. Lalu meman-
dang pada Joko seraya membuat gerakan saling ha-
dapkan kedua tangannya kemudian menunjuk pada
dua gambar di tanah. Joko anggukkan kepala. Si ka-
kek tertawa lalu tunjuk gambar nomor satu dengan
kepala mengangguk. Saat lain menunjuk pada gambar
nomor dua dengan kepala menggeleng.
“Waduh.... Apa maksudnya...?! Aku pernah bertemu
dengannya. Tapi apa maksud anggukan dan gelengan
kepalanya?! Dan mengapa dia membuat dua gambar?!
Adakah dua orang perempuan yang hendak melahir-
kan...?!”
“Kek!” kata Joko. “Maksudmu akan ada dua perem-
puan yang mengandung?!”
Si kakek menjawab dengan tunjukkan patahan
ranting pada gambar nomor satu. Kemudian berikan
tanda silang pada gambar nomor dua.
“Berarti cuma ada satu perempuan yang mengan-
dung.... Anehnya mengapa dia membuat dua gam-
bar?!”
Belum sampai Joko utarakan apa yang masih
mengganjal dalam dadanya, si kakek telah bergerak
bangkit. Patahan ranting dicampakkan ke tanah lalu
menunjuk silih berganti pada dua gambar di tanah.
Saat lain menunjuk pada Joko dengan tangan satunya
menunjuk pada dadanya sendiri, lalu mulutnya men-
guncup. Tangan kiri diangkat didekatkan pada mulut-
nya lalu dia meniup.
“Ukkkkkk!” Si kakek bergumam panjang dengan
tangan kiri disentakkan ke depan seolah tersembur
oleh hembusan mulutnya.
“Busyet! Aku makin bingung dengan isyaratnya!”
gumam Joko tak mengerti. Lalu berteriak. “Kek! Aku
tak mengerti! Bisa terangkan dengan cara lain?!”
Si kakek lagi-lagi mencibir. Saat lain dia berkelebat.
Joko tersentak. Dia cepat mengejar. Namun si kakek
gerakkan kakinya ke belakang. Satu gelombang dah-
syat melesat. Gerakan murid Pendeta Sinting bukan
saja tertahan, namun jika dia tidak segera kerahkan
tenaga dalam untuk kuasai diri, niscaya sosoknya
akan terjajar dan terjengkang di atas tanah!
Pendekar 131 gelengkan kepala. Saat lain dia segera
berkelebat hendak mengejar. Namun belum sempat so-
soknya bergerak, satu bayangan meluncur deras. Ta-
hu-tahu si kakek telah tegak lima langkah di hada-
pannya. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Joko
memperhatikan dengan seksama. Ternyata di tangan si
kakek tergenggam setangkai bunga mawar merah.
“Ukkk! Ukkkk! Ukkkk!” Si kakek buka mulut. Lalu
tangan kanannya yang menggenggam mawar merah
didekatkan pada dua gambar di tanah silih berganti.
Saat lain diberikan pada Joko.
Murid Pendeta Sinting sambuti bunga mawar me-
rah. Si kakek tersenyum sambil anggukkan kepala.
Saat lain dia gerakkan tangan melambai-lambai. Ber-
samaan dengan itu sosoknya berkelebat tinggalkan
tempat itu.
“Kek! Tunggu!” teriak Joko keras-keras seraya ber-
kelebat. Namun sekuat tenaga dia kerahkan ilmu pe-
ringan tubuh serta tenaga dalam dan luarnya, dia gag-
al mengejar malah tak lama kemudian kehilangan je-
jak!
Dengan mulut megap-megap, Joko angkat tangan-
nya yang menggenggam mawar pemberian si kakek.
Dia teringat akan tindakan si kakek yang dekatkan
mawar pada dua gambar di tanah lalu diberikan pa-
danya.
“Hem.... Mawar merah adalah lambang cinta....
Jangan-jangan.... Ah! Apa maksudnya perempuan itu
mencintai ku.... Tapi bagaimana mungkin?! Kalau ha-
mil berarti dia sudah punya suami! Apa mungkin dia
masih jatuh cinta lagi, apalagi padaku?! Ah.... Itu uru-
san nanti. Yang penting, siapa perempuan itu?! Dan
mengapa dua?!”
Karena tidak bisa menemukan jawabannya, murid
Pendeta Sinting melompat ke bawah sebatang pohon
besar.
“Memikirkan terus menerus bisa membuatku gila!
Aku akan istirahat dahulu! Siapa tahu aku bisa men-
dapatkan jawabannya di alam mimpi!”
Dengan cengar-cengir Pendekar 131 rebahkan diri
di bawah pohon. Saat lain terdengar dengkurannya!
***
DUA BELAS
JUBAH hitam tanpa kelihatan sosok pemakainya itu
berkelebat dengan perdengarkan suara deruan angker.
Saat sepuluh tombak di depan sana tampak sebuah
aliran sungai, jubah hitam yang bukan lain Jubah
Tanpa Jasad yang dikenakan Kiai Laras berhenti.
“Aku ingin tahu bagaimana tampangku saat men-
genakan Jubah Tanpa Jasad ini hingga semua orang
tidak mengenaliku lagi!” gumam Kiai Laras seraya per-
hatikan dirinya. Bibirnya sunggingkan senyum. “Tidak
kuduga sama sekali akan begini akhirnya! Sekarang
aku bukan saja dapat membalaskan semua rasa sa-
kitku pada orang-orang yang membuatku kecewa pada
puluhan tahun silam, namun aku sekarang pantas pu-
la menyandang sebagai tokoh tanpa tanding di kolong
jagat! Ha.... Ha.... Ha...!” Kiai Laras tertawa ngakak.
Lalu teruskan kelebatannya.
Kiai Laras hentikan larinya di pinggir aliran sungai.
“Mungkinkah tampangku memang berubah?!” Kiai La-
ras kembali menggumam. Dia arahkan pandang ma-
tanya ke seantero tempat itu.
Seperti diketahui, Kiai Laras sempat terkejut men-
dapati Datuk Wahing, Dayang Sepuh bahkan kakak
kandungnya sendiri Kiai Lidah Wetan tidak mengenali
siapa dirinya. Selain hal itu mendatangkan rasa gembi-
ra pada Kiai Laras karena dia tidak diketahui, sebe-
narnya dia merasa penasaran. Maka dia sengaja pergi
ke aliran sungai ingin melihat di permukaan air men-
gapa orang-orang yang diyakininya pasti mengenalnya
sampai tidak bisa mengenali.
Perlahan-lahan Kiai Laras gerakkan kepalanya ke
depan untuk berkaca di permukaan air. Sesaat mata
Kiai Laras menyipit dengan dahi mengernyit. Karena
dia tidak bisa melihat pantulan tubuhnya di permu-
kaan air.
“Aneh.... Atau karena airnya kotor?!” Kiai Laras ta-
rik kembali kepalanya. Lalu perhatikan aliran air. “Air
ini bersih.... Tapi mengapa bayangan ku tidak keliha-
tan?”
Untuk yakinkan diri, kembali Kiai Laras gerakkan
kepalanya ke depan, berkaca di permukaan air. “Ah....
Aku memang tidak melihat pantulan kepalaku!” Kiai
Laras angkat kedua tangannya dan diluruskan ke de-
pan dengan kepala melongok ke bawah.
‘Telapak kedua tanganku tidak kelihatan. Yang ter-
lihat hanya lengan jubah ini! Jadi....” Kiai Laras ber-
jingkrak. “Jubah hebat.... Inilah jawabannya mengapa
manusia-manusia itu tidak bisa mengenaliku! Ternyata
tubuhku tidak kelihatan!”
Kiai Laras mundur beberapa tindak. Kepalanya ber-
gerak memutar. Saat lain dia melepas Jubah Tanpa
Jasad. Jubah Tanpa Jasad diletakkan di atas tanah.
Setelah perhatikan berkeliling sekali lagi, dia maju ke
pinggiran sungai. Kepala dan kedua tangannya dige-
rakkan ke depan.
Kali ini di atas permukaan air, sang Kiai bisa meli-
hat pantulan kepala serta kedua tangannya. Kiai Laras
manggut-manggut seraya tersenyum. Lalu melompat
ke belakang dan cepat-cepat mengenakan kembali Ju-
bah Tanpa Jasad.
Kiai Laras tengadahkan kepala memandang langit.
Mulutnya membuka.
“Aku akan menguasai bumi! Semua manusia di ko-
long jagat harus tunduk pada kakiku! Dan aku akan
mendirikan sebuah kerajaan! Ha.... Ha.... Ha...!”
Sembari terus tertawa bergelak, Kiai Laras berkele-
bat tinggalkan pinggiran sungai. Dia berkelebat ke
arah selatan. Jubah Tanpa Jasad kembali perdengar-
kan deruan angker.
Ketika matahari sudah condong dan hampir jatuh
di kaki langit, Kiai Laras baru hentikan larinya. Saat
itu dia telah tegak di bibir jurang.
Kiai Laras putar pandangan. Lalu melongok ke ju-
rang di bawahnya. “Hem.... Suasana gelap membuat
jurang ini terlalu hitam untuk dilihat! Apa aku harus
terjun?!” Kiai Laras bimbang. Namun paras wajahnya
tampak tegang. Bukan takut melihat kedalaman ju-
rang, melainkan membayangkan hawa kemarahan!
“Aku telah sampai di sini! Tidak ada gunanya mem-
buang waktu! Jahanam itu harus mampus sekarang
juga!”
Baru saja Kiai Laras mendesis begitu, mendadak sa-
tu bayangan mencuat ke udara di sebelah belakang.
Kiai Laras sedikit tersentak. Dia cepat putar diri. Tahu-
tahu di hadapannya telah tegak seorang kakek berusia
amat lanjut. Tangan kanannya memegang tongkat.
Rambutnya yang tipis disanggul ke atas. Tubuhnya
hanya tinggal tulang-belulang. Dari kedua matanya
yang sayu tampak air yang terus menerus merembes.
Tanda orang ini sudah demikian tuanya.
“Kala Marica! Beruntung kau belum mampus di
tangan orang lain!” Kiai Laras buka mulut membentak.
Kakek di hadapan Kiai Laras yang disebut Kala Ma-
rica terkesiap. Untuk beberapa lama dia pandangi ju-
bah tanpa sosok yang mengapung di udara.
“Jubah Tanpa Jasad!” seru Kala Marica dengan bi-
bir bergetar.
“Bagus! Nama besarmu rupanya tidak cuma nama.
Terbukti kau telah mengenali jubah di depan matamu!
Ha.... Ha.... Ha...! Tapi nama besarmu hari ini akan
terkubur selamanya!”
“Siapa kau, Sahabat?!” Kala Marica bertanya den-
gan suara kalem.
“Selama ini kau dikenal sebagai manusia yang bisa
melihat apa yang tidak bisa dilihat orang lain! Apakah
kemampuanmu telah lenyap, Jahanam Kala Marica?!”
Kala Marica tidak menjawab. Diam-diam dalam hati
kakek ini berkata. “Apakah mungkin dia Penguasa
Kampung Setan?! Tapi bukankah dia telah meninggal
puluhan tahun silam dan hanya tinggal kerangkanya
saja?! Atau barangkali anak turunannya?! Kalau benar, mengapa dia punya niat hendak membunuhku?!
Selama ini aku tidak pernah membuat urusan dengan
orang lain.... Kalau orang ini mengenakan Jubah Tan-
pa Jasad, berarti dia membekal pula Kembang Darah
Setan.... Hem.... Sulit bagiku menduga siapa adanya
orang ini!”
“Kala Marica! Takdir kematianmu sudah tidak bisa
ditunda lagi! Namun aku masih memberi pilihan atas
takdir kematianmu! Tanganku sendiri yang akan me-
lakukannya atau tongkat di tanganmu yang akan bica-
ra pada tuannya sendiri!”
“Sahabat.... Rasanya selama ini aku tidak pernah
punya silang sengketa dengan seseorang! Adalah aneh
kalau kau kali ini datang hendak membunuhku! Bisa
jelaskan apa masalahnya?!”
Kiai Laras tertawa dahulu sebelum akhirnya berka-
ta. “Puluhan tahun silam kau pernah menolak seorang
kere yang hendak berguru padamu! Kau mentang-
mentang seorang tokoh yang bernama besar dan dis-
egani hingga seenak perutmu kau menolak!”
Kala Marica usap rembesan air matanya. Dahinya
yang amat mengeriput bergerak mengernyit. Dia coba
mengingat. Namun tampaknya dia gagal. Hingga pada
akhirnya ia berucap. “Sahabat.... Saat puluhan tahun
silam memang banyak pemuda yang hendak berguru
padaku. Bukan kau saja sebenarnya yang ku cegah.
Tapi semua yang datang dengan niat sama seperti-
mu.... Kau tahu, Sahabat.... Penolakan ku bukan ka-
rena aku bernama besar atau disegani. Sama sekali
bukan karena itu. Justru aku sadar kalau aku tidak
pantas disebut guru dan maklum aku tidak memiliki
ilmu seperti yang didengar orang. Lain daripada itu,
karena aku tidak mau menciptakan dunia ini makin
parah seandainya aku mengangkat murid dan ternyata
murid itu tidak pergunakan apa yang dimiliki untuk
kebaikan! Itulah pertimbangan ku mengapa aku men-
cegah beberapa orang yang berniat mengangkat ku se-
bagai guru....”
“Sudah cukup bicara omong kosong mu, Kala Mari-
ca?!” tanya Kiai Laras dengan suara dingin.
“Sahabat.... Kau memang berhak menilai ucapanku!
Tapi aku bicara apa adanya!”
Kiai Laras tertawa pendek. “Silakan kau bicara
bermacam alasan! Yang jelas kau telah kecewakan hati
seseorang! Dan hari ini dia minta imbalan atas rasa
kecewanya! Tidak banyak yang kuminta! Cuma selem-
bar nyawamu! Dan kau telah dengar pilihannya! Den-
gan tanganku atau dengan tongkat di tanganmu sendi-
ri!”
“Sahabat.... Kematian adalah satu hal yang pasti.
Tapi aku tak ingin memilih jalan kematianku....”
“Bagus! Jika begitu aku yang akan memilihkan ja-
lan kematian itu!”
Habis berkata begitu, Kiai Laras masukkan tangan
kanan ke balik pakaiannya. Saat ditarik keluar, Kala
Marica melihat setangkai kembang berdaun tiga warna
yang pancarkan sinar mengapung di udara.
“Kembang Darah Setan!” Kala Marica menggumam
pelan dengan dada berdebar keras dan tangan berge-
tar. “Melihat apa yang diucapkan tadi dan hubungan-
nya dengan Jubah Tanpa Jasad serta Kembang Darah
Setan, kurasa orang ini bukan dari keluarga Kampung
Setan.... Lalu siapa?!”
“Kala Marica! Aku dulu seorang pecundang! Tapi
takdir kini telah berkata lain! Saat ini bumi berada di
genggaman tanganku! Dan karena kau tempo dulu
membuatku sebagai pecundang, saat ini aku ingin
buktikan jika bumi di genggaman tanganku!”
Wuuuutt!
Kembang Darah Setan berkelebat. Sinar tiga warna.
Merah, hitam, dan putih berkiblat angker.
“Sahabat.... Kau membuatku terpaksa melakukan
sesuatu.... Maaf, bukan aku mencari urusan, na-
mun....” Kala Marica tidak bisa lanjutkan ucapannya
karena saat itu kiblatan Kembang Darah Setan telah
makin dekat.
Kala Marica berkelebat ke belakang. Tongkat di tan-
gan kanannya disentakkan ke depan. Sementara tan-
gan kirinya bergerak mendorong.
Satu nyala laksana bara mencuat dari kelebatan
tongkat Kala Marica menembus kiblatan sinar tiga
warna. Sinar tiga warna pecah bertabur di udara. Se-
mentara bara yang melesat dari tongkat langsung
buyar berentakan perdengarkan ledakan keras!
Kala Marica langsung mental satu tombak. Tongkat
di tangannya mencelat ke udara. Kala Marica coba ku-
asai diri di atas udara dengan cepat kerahkan tenaga
dalamnya. Namun baru saja si kakek kerahkan tenaga
dalam, dari arah depan kembali telah berkiblat sinar
tiga warna, malah kini disertai gelombang dahsyat.
Kala Marica terkesiap. Dia teruskan pengerahan te-
naga dalamnya. Bukan untuk kuasai diri lagi, namun
disalurkan pada kedua tangannya. Hingga kakek ini
tidak bisa kuasai diri lagi. Sosoknya terbanting di uda-
ra lalu meluncur deras ke bawah. Dalam keadaan se-
perti itu, hebatnya Kala Marica masih sempat hantam-
kan kedua tangannya!
Wuuttt! Wuuuutt!
Bukkk!
Terdengar deruan luar biasa. Disusul suara berge-
debukan menghantam sosok Kala Marica di atas ta-
nah.
Sinar tiga warna terus berkiblat. Saat lain terdengar
gelegar hebat tatkala kiblatan Kembang Darah Setan
itu menghantam dua gelombang dahsyat dari kedua
tangan Kala Marica.
Tanah bertabur mengangkasa menutupi pemandan-
gan hingga suasana yang agak gelap berubah menjadi
pekat! Bibir jurang di sebelah kanan kiri tampak am-
brol. Sosok Kala Marica tersapu mencelat dua tombak
lalu kembali jatuh tunggang langgang di atas tanah
dengan mulut kucurkan darah kehitaman.
Di depan sana, Jubah Tanpa Jasad hanya terjajar
beberapa langkah. Saat lain ia telah menerobos kepe-
katan tanah dan tahu-tahu telah tegak terapung di de-
pan sosok Kala Marica!
“Kala Marica! Aku telah katakan. Bumi ini sekarang
berada di genggaman tanganku. Puluhan tahun silam
kau boleh bangga dengan ilmumu! Tapi saat ini di ha-
dapanku kau tidak memiliki apa-apa!”
Kala Marica berusaha bangkit duduk. “Sahabat....
Sejak dahulu aku tidak pernah merasa punya ilmu...,”
ucap Kala Marica dengan suara tersendat dan berge-
tar.
“Hem.... Kau berani berkata begitu karena kau telah
melihat apa yang kulakukan padamu! Ha.... Ha....
Ha...! Tapi jangan mimpi ucapanmu akan membuatku
menarik niat!”
Kala Marica geleng kepala. “Sahabat.... Kau salah!
Tidak ada niat di hatiku agar kau menarik niatmu! Aku
tahu.... Aku memang tak mampu menghadapimu den-
gan Kembang Darah Setan di tanganmu! Tapi perlu
kau tahu, Sahabat. Benda curian itu hanya buatan
manusia.... Sementara manusia itu diciptakan Yang
Maha Pencipta.... Jadi jangan kau terlalu mengandal-
kan ciptaan manusia selagi manusia itu sendiri ada
yang menciptakan...!”
“Khotbah mu sungguh menarik! Kau juga pandai
menduga tentang benda yang ada di tanganku! Tapi
sayang takdirmu sudah tiba hingga kau tidak bisa
membuktikan kebalikan dari khotbah mu!”
Habis berkata begitu, tangan kiri Kiai Laras berke-
lebat lepaskan pukulan tangan kosong jarak jauh ber-
tenaga dalam tinggi.
Mendadak Kiai Laras terkejut. Dia semula menduga
jika Kala Marica sudah tidak mungkin mampu meng-
hadang pukulannya. Tapi dugaannya meleset. Karena
bersamaan dengan bergeraknya tangan kiri Kiai Laras,
Kala Marica jatuhkan diri bergulingan di atas tanah.
Pada gulingan ketiga sekonyong-konyong kedua tangan
Kala Marica menyentak. Bukan hanya itu, kedua ka-
kinya pun ikut bergerak membuat gerakan menen-
dang!
Empat gelombang ganas sekaligus melesat mengha-
dang pukulan Kiai Laras. Terdengar lagi letusan. Na-
mun karena empat gelombang itu lebih kuat, begitu
terdengar letusan, gelombang itu terus menerabas ke
arah Kiai Laras.
Kiai Laras tercekat. Terlambat baginya untuk kele-
batkan Kembang Darah Setan di tangan kanannya.
Hingga tanpa ampun lagi gelombang ganas menghan-
tam ke tubuhnya!
Namun setengah jengkal lagi gelombang ganas itu
menggebrak, tiba-tiba Jubah Tanpa Jasad laksana di-
lapis tembok besar, hingga bukan saja gelombang ga-
nas itu seketika seperti membentur tembok raksasa,
namun mental balik ke arah Kala Marica!
Kali ini Kala Marica yang tercengang tegang. Belum
sempat lenyap rasa kesimanya gelombang yang mental
telah melabrak!
Kala Marica perdengarkan seruan tertahan. Sosok-
nya terseret di atas tanah sejauh tiga tombak. Dari hi-
dung dan mulutnya alirkan darah. Saat lain sosok
orang tua ini diam tak bergerak-gerak.
Kiai Laras tersenyum. Karena tadi terkejut, dia lupa
jika Jubah Tanpa Jasad mampu menghadang setiap
serangan! Dan begitu mendapati Kala Marica diam tak
bergerak-gerak, Kiai Laras cepat berkelebat dan tegak
di samping sosok Kala Marica.
“Sahabat.... Kau puas?!” Tiba-tiba Kala Marica per-
dengarkan suara.
Kiai Laras tersentak. “Jahanam ini belum mampus!”
gumam sang Kiai. Lalu mendongak. “Aku ingin tahu
apakah tanah benar-benar tak mau menerima tubuh-
mu! Lebih dari itu aku ingin kau mampus tanpa ku-
bur!”
Habis berkata begitu, enak saja tangan kiri Kiai La-
ras mencekal pundak Kala Marica lalu menyeretnya ke
arah jurang. Karena sudah tidak berdaya, Kala Marica
tidak berusaha memberontak. Malah sunggingkan se-
nyum!
Kiai Laras letakkan sosok Kala Marica di bibir ju-
rang. Saat itu suasana sudah gelap karena matahari
sudah jatuh. Sang Kiai pandangi sesaat sosok si ka-
kek. Lalu berkata.
“Selamat jalan, Kala Marica!”
Bersamaan dengan terdengarnya ucapan, kaki ka-
nan Kiai Laras bergerak lakukan tendangan. Sosok Ka-
la Marica terdorong amblas masuk ke dalam jurang!
Kiai Laras melangkah dua tindak. Meski suasana
gelap dan tidak bisa melihat bagian bawah jurang,
namun Kiai Laras longokkan juga kepalanya ke jurang
di bawahnya.
Saat itulah mendadak terdengar suara dari bagian
bawah jurang. Kiai Laras tahu benar, jika suara itu
adalah suara Kala Marica.
“Siapa pun adanya kau.... Kelak kau akan men-
gambil buah dari perbuatanmu! Kau boleh punya sen-
jata Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad!
Tapi Sang Pencipta akan menciptakan pamungkasnya!
Dan pamungkas itu akan hadir dari darahmu sendiri!”
Untuk beberapa lama Kiai Laras tercekat. Namun
saat lain dia tertawa panjang. “Jahanam yang hendak
mampus kadangkala ucapannya seperti orang gila!
Bumi telah ada di tanganku! Tidak ada manusia yang
bisa menandingi ku!”
Sambil terus tertawa ngakak, Kiai Laras melangkah
perlahan tinggalkan bibir jurang yang seketika disen-
tak keheningan!
SELESAI
Segera terbit:
TITISAN PAMUNGKAS
0 comments:
Posting Komentar