..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 04 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE NYI TANDAK KEMBANG

JOKO SABLENG EPISODE NYI TANDAK KEMBANG

 Hak cipta dan copyright 

pada penerbit

di bawah lindungan 

undang-undang

Joko Sableng telah 

Terdaftar pada Dept. Kehakiman RI

Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Me-

rek di bawah nomor 012875



SATU


DAYANG Sepuh pasang tampang tidak senang. Apa-

lagi mendapati pertanyaannya tidak memperoleh jawa-

ban dan Datuk Wahing nimbrung campur tangan.

“Hentikan bersinan mu, Setan!” Dayang Sepuh 

langsung perdengarkan bentakan keras membahana 

kala dilihatnya Datuk Wahing terus-menerus perden-

garkan bersinan.

Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya yang 

bergerak pulang balik ke depan ke belakang mengikuti 

bersinannya.

“Nek.... Jangan kau membuat orang jadi heran! Su-

dah kukatakan, lihat dengan teliti siapa adanya pe-

rempuan yang di hadapanmu!”

Walau dengan meredam rasa geram, akhirnya si 

nenek yang rambutnya dikelabang dua dan bagian de-

pannya diponi serta mengenakan pakaian cingkrang 

tanpa lengan hingga pusar dan ketiaknya kelihatan ini 

sekali lagi memperhatikan perempuan berpakaian pu-

tih sebatas dada yang tegak di hadapannya.

“Aku tidak bisa mengenali setan perempuan itu! Ka-

takan saja terus-terang! Dia orang baik-baik atau ma-

nusia dari golongan setan!”

“Bruss! Brusss! Kau benar-benar membikin aku he-

ran! Meski dia sekarang makin cantik dan membuatmu 

lupa, seharusnya kau masih ingat akan beberapa 

kembang di rambut serta di sela jari kedua tangan-

nya.... Itulah tanda jika orang di hadapanmu adalah 

Nyai Tandak Kembang!”

“Nyai Tandak Kembang....” Dayang Sepuh bergu-

mam mengulangi nama yang baru saja diucapkan Da-

tuk Wahing dengan sibakkan poni di depan keningnya. 

Kening si nenek tampak berkerut tanda dia sedang


mengingat.

“Astaga! Jadi kaulah manusianya yang pernah 

membuat tergila-gila Pendeta Sinting pada beberapa 

puluh tahun yang lalu itu?! Pantas.... Di usia yang be-

gini saja wajahmu masih cantik! Apalagi di masa la-

lu....” Dayang Sepuh berucap.

Perempuan berpakaian putih sebatas dada yang pa-

ras rupanya masih kelihatan cantik walau tidak muda 

lagi itu tampak tersipu. Namun dia segera menyahut.

“Semua itu hanya kabar yang tidak benar, Nek.... 

Antara aku dengan Pendeta Sinting tidak lebih daripa-

da sekadar hubungan bersahabat!”

“Kau salah mengucapkan itu kalau dengan sesama 

perempuan! Aku tahu bagaimana sifat perempuan! Ma-

lah tak jarang perempuan mengatakan tidak, walau 

dalam hatinya mengucapkan ya!” sambut Dayang Se-

puh.

Perempuan cantik di hadapan Dayang Sepuh yang 

tadi diperkenalkan Datuk Wahing dengan nama Nyai 

Tandak Kembang tersenyum. Namun ekor matanya 

melirik ke seantero tempat itu. Dalam hati dia bergu-

mam. “Aku masih dapat mencium aroma orang lain se-

lain mereka berdua! Orang itu tidak berada jauh dari 

tempat Ini....”

Seperti diceritakan pada episode “Titisan Pamung-

kas”, Nyai Tandak Kembang meninggalkan lereng Gu-

nung Semeru setelah mendapat keterangan dari To-

koh-tokoh Penghela Tandu tentang Putri Kayangan 

dan Pitaloka serta keadaan yang kini tengah terjadi da-

lam rimba persilatan.

Begitu sampai di kawasan yang berbatasan dengan 

sebuah hutan lebat, Nyai Tandak Kembang yang memi-

liki keahlian dapat mengetahui adanya orang dengan 

penciuman dapat menduga kalau kedua orang yang 

tengah dicari, yakni Pitaloka dan Beda Kumala alias


Putri Kayangan berada di sekitar tempat itu. Namun 

begitu dia hendak melangkah, muncul seorang nenek 

berbedak tebal berbibir merah polesan yang rambut-

nya dikelabang dua dan diponi bagian depannya. Ne-

nek ini tidak lain adalah Dayang Sepuh.

Dayang Sepuh mengajukan beberapa pertanyaan 

pada Nyai Tandak Kembang. Karena terlalu banyak 

pertanyaan yang diajukan, pada akhirnya Nyai Tandak 

Kembang memutuskan untuk tinggalkan tempat itu 

dan tidak meladeni Dayang Sepuh. Rupanya si nenek 

tidak membiarkan Nyai Tandak Kembang pergi sebe-

lum menjawab pertanyaannya. Hingga Dayang Sepuh 

sempat lepaskan pukulan. Pukulan pertamanya dapat 

dihindari Nyai Tandak Kembang. Begitu Dayang Sepuh 

hendak susul pukulan, mendadak muncul Datuk Wah-

ing, seorang tokoh yang selalu bersin-bersin.

“Brusss! Brusss! Nyai.... Sebenarnya aku tak mau 

membuatmu heran dengan pertanyaanku. Namun da-

ripada aku harus menanggung heran terus-menerus, 

kuharap kau mau untuk memberi penjelasan pada-

ku....” Datuk Wahing hentikan ucapannya sesaat un-

tuk bersin. Lalu berucap lagi. “Kau tadi mengatakan 

tengah mencari dua orang cucumu. Yang kau maksud 

gadis bergelar Putri Kayangan, bukan?!”

Nyai Tandak Kembang sedikit terkejut. Dia melirik 

pada Dayang Sepuh. Namun dia tidak buka mulut un-

tuk beberapa saat. Sebaliknya paras wajah perempuan 

ini jelas membayangkan kebimbangan. Apalagi dia ya-

kin bahwa tidak jauh dari tempat itu ada orang yang 

belum tunjukkan diri.

“Datuk.... Kuharap kau tidak menyesal atau kecewa 

jika aku tidak dapat menjelaskan padamu....”

“Putri Kayangan.... Aku sepertinya pernah menden-

gar nama setan itu!” gumam si nenek. “Sepertinya ma-

sih terngiang di telingaku.... Tapi sialan benar! Aku lu


pa ingat tampangnya!”

“Brusss! Aku tidak heran dengan jawabanmu!” kata 

Datuk Wahing. “Mungkin kau takut ada orang lain 

yang mendengarnya!” Datuk Wahing hentikan gerakan 

kepalanya. Lalu dipalingkan ke kanan. “Nyai.... Kau 

tak usah khawatir apalagi heran. Dia adalah sahabat 

kita juga....”

Belum sampai ucapan Datuk Wahing selesai, tiba-

tiba dari balik sebatang pohon arah mana Datuk Wah-

ing berpaling, muncul satu sosok laki-laki bertubuh 

gemuk besar mengenakan pakaian gombrong warna 

hijau. Pada pinggangnya melilit ikat pinggang besar 

yang tepat di depan perutnya menggantung sebuah 

cermin bulat. Kepala laki-laki ini menghadap lurus ke 

arah Nyai Tandak Kembang. Sepasang matanya men-

gerjap. Bukan karena mengagumi kecantikan orang, 

melainkan karena sudah terlalu lama memejam. Selain 

itu karena ternyata sepasang mata laki-laki ini ber-

warna putih. Tanda jika dia orang buta.

“Gendeng Panuntun!” bisik Nyai Tandak Kembang 

mengenali siapa adanya laki-laki tambun bermata bu-

ta.

Laki-laki bermata buta bertubuh tambun dan me-

mang Gendeng Panuntun adanya melangkah ke arah 

Datuk Wahing seraya berujar.

“Aromamu makin menusuk hidung saja. Tanda 

semakin tambah umur, kau makin tambah cantik me-

narik! Bagaimana kabarmu, Nyai...?!”

“Ucapannya jelas membuktikan kalau dia tahu aku 

bisa mengetahui kehadirannya di sekitar tempat ini 

dengan penciumanku....” Nyai Tandak Kembang berka-

ta dalam hati. Lalu tersenyum sembari berkata.

“Aku baik-baik saja, Kek...!”

“Huh! Dasar setan laki-laki! Tidak bisa melihat pun 

masih bisa berkata memuji!” desis Dayang Sepuh den


gan monyongkan mulut mendengar ucapan Gendeng 

Panuntun.

“Itulah setan laki-laki, Nek! Jelek pun kalau ada 

maunya pasti dikatakan cantik! Bahkan tidak ada pun 

harus diada-adakan!” sahut Gendeng Panuntun.

“Brusss! Herannya, perempuan sering kali takluk 

dengan pujian dan terpikat dengan sesuatu yang di-

ada-adakan!” Datuk Wahing sambungi ucapan Gen-

deng Panuntun.

“Itu hanya akan dilakukan perempuan dungu dan 

perempuan setan!” seru Dayang Sepuh dengan sengit.

Gendeng Panuntun hentikan langkah di samping 

Datuk Wahing. Tangan kanannya mengusap cermin 

bulat di depan perutnya. Lalu berkata.

“Nyai.... Sebaiknya kita saling berterus terang. Den-

gan keberadaanmu di sini, pasti kedua gadis yang kau 

cari itu ada di sekitar tempat ini! Dan kalau benar sa-

lah seorang gadis itu bergelar Putri Kayangan, kuharap 

kau nantinya tabah....

Nyai Tandak Kembang terkesiap. Walau belum 

mengenal betul Dayang Sepuh, namun karena telah 

tahu siapa Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun, ke-

bimbangan Nyai Tandak Kembang jadi sirna. Hingga 

akhirnya dia buka mulut.

“Salah seorang yang kucari bernama Beda Kumala 

dan di luaran dia memang dikenal dengan Putri 

Kayangan! Sebenarnya ada apa dengan gadis itu?”

“Brusss! Dan kau pasti tidak heran bila kukatakan 

yang satunya adalah Pitaloka!” kata Datuk Wahing.

“Benar, Datuk...,” jawab Nyai Tandak Kembang 

dengan dada makin gelisah. “Ada apa dengan kedua 

anak itu?! Ucapan Gendeng Panuntun mengisyaratkan 

akan terjadi sesuatu musibah.... Apa yang dilakukan 

keduanya?!” Nyai Tandak Kembang menghela napas 

dalam. Dan seolah tidak sabar menunggu jawaban, perempuan dari lereng Gunung Semeru ini kembali aju-

kan tanya.

“Harap kalian memberi keterangan padaku ada apa 

sebenarnya dengan gadis itu?”

“Dia hamil!” Yang menjawab adalah Dayang Sepuh.

Telinga Nyai Tandak Kembang laksana mendengar 

gelegar petir di tengah hari. Wajahnya berubah dengan 

dada berdebar dan sosok bergetar. Untuk beberapa 

lama dia coba kuasai guncangan jiwanya dengan ten-

gadahkan kepala dan memejamkan mata.

Di hadapan Nyai Tandak Kembang, Datuk Wahing 

berpaling pada Dayang Sepuh. Saat yang sama Gen-

deng Panuntun hadapkan wajahnya pula pada si ne-

nek. Dayang Sepuh tampaknya dapat menangkap 

maksud gerakan kedua orang ini. Hingga dia segera 

saja berucap dengan suara ketus.

“Aku tak suka berbasa-basi! Bukankah kenyataan-

nya memang demikian?! Gadis itu hamil!”

“Tak mungkin!” Mendadak Nyai Tandak Kembang 

menyahut. “Beda Kumala belum lama meninggalkan

lereng Semeru! Selama ini aku tidak pernah menden-

gar dan tahu dia punya hubungan tertentu dengan 

seorang laki-laki! Bagaimana mungkin dia bisa hamil 

begitu cepat? Lagi pula.... Apakah di antara kalian be-

nar-benar sudah membuktikannya?!”

“Nyai.... Sebenarnya kami belum bisa memastikan 

siapa yang hamil!” Yang perdengarkan suara Gendeng 

Panuntun. “Namun satu hal yang pasti, satu di antara 

kedua gadis itu mengandung!”

Nyai Tandak Kembang menggigit bibirnya. Dalam 

hati dia berkata. “Apakah Pitaloka? Kepergiannya te-

rakhir kali dari lereng Semeru enam purnama yang la-

lu. Tapi apakah mungkin...?! Dia memang anak yang 

kurang hati-hati dan ceroboh! Tapi aku tahu benar 

siapa dia! Tak mungkin dia berani bermain api dengan


laki-laki! Hem.... Mereka bertiga pasti salah duga!”

Nyai Tandak Kembang arahkan pandang matanya 

pada Gendeng Panuntun. Dia sebenarnya tahu bahwa 

ucapan Gendeng Panuntun jarang yang meleset. Na-

mun dalam keadaan seperti saat ini, tampaknya Nyai 

Tandak Kembang lebih percaya pada apa yang diketa-

huinya. Karena dia telah hidup bertahun-tahun den-

gan Pitaloka dan Putri Kayangan.

“Kakek Gendeng Panuntun!” kata Nyai Tandak 

Kembang setelah agak lama terdiam dan bergulat den-

gan batinnya sendiri. “Dan kau Datuk Wahing serta 

Nenek.... Kalian boleh menduga, tapi aku bisa pastikan 

jika dugaan kalian salah! Tak mungkin salah satu di 

antara kedua gadis Ku mengandung! Aku tahu siapa 

mereka!”

Kepala Gendeng Panuntun manggut-manggut. “Kau 

memang berhak memastikan! Namun kau mau dengar 

sedikit cerita dariku?!”

Gendeng Panuntun tidak menunggu jawaban orang. 

Dia segera buka mulut lagi. “Beberapa waktu yang la-

lu, aku bertemu dengan Raja Tua Segala Dewa. Kau 

tentunya tahu siapa dia! Apa yang tadi kukatakan 

mengenai kedua gadis itu adalah penjabaran ucapan-

nya! Aku tidak memaksamu untuk percaya. Tapi seti-

daknya kau nanti tidak merasa terkejut....”

“Aku tahu siapa Raja Tua Segala Dewa! Untuk uru-

san lain mungkin aku percaya. Tapi dalam urusan ini, 

rasanya sulit bagiku untuk begitu saja percaya tanpa 

melihat dahulu buktinya!”

Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang arah-

kan pandang matanya silih berganti pada ketiga orang 

di hadapannya.

“Aku melihat keanehan.... Kalian sepertinya tahu 

benar urusan kedua gadis itu. Apa sebenarnya hubun-

gan kalian dalam urusan ini?!”


Bruss! Brusss! Saat ini telah muncul seorang ma-

nusia yang kesaktiannya sulit dijajaki! Adalah menghe-

rankan kalau kita harus berdiam diri walau hanya se-

dikit yang bisa kita perbuat!”

“Hem.... Lalu hubungannya dengan kedua gadis 

itu?!” Nyai Tandak Kembang kembali ajukan tanya.

“Kelak bayi dari salah seorang gadis itu yang dapat 

menghentikan manusia itu!” Yang menjawab adalah 

Gendeng Panuntun.

“Jadi kalian juga tengah mencari kedua gadis itu?!”

“Brusss! Betul! Hanya....”

Belum sampai Datuk Wahing teruskan ucapan, Nyai 

Tandak Kembang telah menukas.

“Harap kalian tidak kecewa. Hidup matinya kedua

gadis itu berada di tanganku. Jadi.... Setan pun tak 

akan kubiarkan untuk terlibat urusan dengan kedua 

gadis itu!”

Mendengar kata-kata Nyai Tandak Kembang yang 

sedikit agak keras, Gendeng Panuntun tertawa pelan. 

Lalu berujar.

“Jangan berpikir terlalu jauh, Nyai.... Yang kami 

perbuat hanya sekadar memberi tahu sekaligus me-

nyelamatkan gadis itu....”

“Menyelamatkan bagaimana maksudmu?!”

“Kalau sampai ada orang lain tahu jika bayi itu bu-

kan bayi sembarangan, tentu keselamatan gadis itu se-

tiap saat jadi incaran orang! Dan kami bertiga cuma 

sebatas itu bisa berbuat!”

“Aku belum paham maksudmu!” ujar Nyai Tandak 

Kembang.

“Kami hanya bisa menjaga keselamatan gadis itu 

sampai bayi dalam kandungannya lahir. Setelah itu 

hanya ada satu orang yang bisa bertindak dengan bayi 

itu!”

Nyai Tandak Kembang kembali menghela napas dalam. “Kalian pernah bertemu dengan kedua gadis itu?!”

“Brusss! Kami bertemu dengan keduanya kira-kira 

satu setengah purnama yang lalu! Seandainya kami ti-

dak berjumpa saat keduanya sama-sama muncul, pas-

ti kami akan dibuat terheran-heran! Karena tentu kami

tidak bisa membedakan antara satu dengan lainnya!”

“Ketika kalian bertemu satu setengah purnama 

yang lalu, apakah kalian melihat tanda-tanda jika sa-

lah satu dari mereka tengah mengandung?!”

“Aku tidak bisa melihat. Tapi aku bisa memastikan

saat itu tidak ada yang tengah mengandung!” jawab 

Gendeng Panuntun.

“Brusss! Kalau aku bisa melihat. Herannya aku ti-

dak bisa memastikan apakah di antara mereka ada 

yang sedang mengandung.... Mungkin pandangan ne-

nek cantik ini lain, soalnya dia perempuan dan sangat 

banyak pengalaman! Bagaimana menurutmu, Nek?!” 

tanya Datuk Wahing seraya berpaling pada Dayang 

Sepuh yang sejak tadi hanya diam.

“Aku tidak tahu soal kandung-mengandungi Karena 

aku belum pernah mengalaminya!” jawab si nenek ma-

sih dengan nada ketus.

“Nyai.... Saat itu kami memang tidak terlalu mem-

perhatikan, karena persoalan ini baru kami ketahui se-

telah pertemuan dengan kedua gadis itu!”

“Tapi kalian bisa memastikan bukan kalau saat itu 

keduanya tidak ada yang tengah mengandung?!”

“Setidak-tidaknya demikian...,” kata Gendeng Pa-

nuntun.

“Hem.... Kalau satu setengah purnama yang lalu 

Gendeng Panuntun bisa memastikan keduanya tidak 

ada yang tengah mengandung, tentu kejadiannya tidak 

lama berselang.... Ah, mengapa aku jadi ikut-ikutan 

percayai. Tidak mungkin mereka melakukannya! Aku 

harus segera mendapatkan mereka! Aku bisa memastikan mereka berdua ada di sekitar tempat ini.... Seti-

daknya tidak berada di luar kawasan hutan!” Nyai 

Tandak Kembang bicara dengan diri sendiri. Lalu ber-

kata.

Terima kasih atas penjelasan kalian.... Sekarang 

aku harus pergi!”

“Nyai.... Apakah tidak lebih baik kalau kita pergi 

bersama-sama?! Kedua gadis itu sangat dekat den-

ganmu.

Kau tentu akan lebih bisa memberi pengertian...,” 

kata Gendeng Panuntun.

“Brusss! Benar.... Terlalu mengherankan kalau

sampai kita yang memberi pengertian. Sebab kami 

khawatir kalau mereka nantinya tidak mau mengerti.... 

Lagi pula sebenarnya kami takut jika hal ini akan me-

nyinggung perasaannya!”

“Betul!” Dayang Sepuh menyahut. “Karena mereka 

gadis-gadis setan yang keras kepala!”

Nyai Tandak Kembang geleng kepala. “Aku tidak bi-

sa memenuhi permintaan kalian. Karena aku tidak 

percaya dengan semua ini!”

“Hem.... Nenek dan cucu ternyata sama-sama se-

tannya!” desis Dayang Sepuh.

Datuk Wahing menoleh pada Gendeng Panuntun. 

Gendeng Panuntun sendiri gerakkan kepala mengha-

dap sang Datuk. Saat bersamaan Nyai Tandak Kem-

bang berkata.

“Maaf.... Bukannya aku memandang sebelah mata 

dengan keterangan kalian. Tapi dalam urusan ini, ku-

rasa apa yang kuketahui tentang kedua gadis itu lebih 

banyak daripada yang kalian tahu! Lebih dari itu, aku 

yakin mereka berdua tak mungkin melakukan tinda-

kan sejauh yang kalian duga!”

“Nyai.... Apa yang kami lakukan hanya sekadar 

memberi tahu. Terserah padamu untuk percaya atau


tidak! Tapi kalau seandainya nanti benar-benar terjadi, 

kuharap kau mau memberi pengertian...,” ujar Gen-

deng Panuntun.

“Aku tidak mau berjanji. Karena aku masih belum 

membuktikannya!” kata Nyai Tandak Kembang seraya 

memandang ke arah hutan lebat di depan sana. “Kalau

boleh tahu. Kapan bayi itu akan dilahirkan?!”

“Bruss! Brusss! Terlalu mengherankan kalau kami 

bisa menentukan! Yang jelas dia akan lahir saat bulan 

purnama!”

“Berarti percuma kalian mencari kedua gadis itu ka-

lau tidak tahu kapan waktu kelahirannya! Seratus ta-

hun lagi mungkin masih ada bulan purnama!”

Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang arah-

kan pandangannya pada ketiga orang di hadapannya. 

“Masih ada yang hendak kalian utarakan?!”

“Kedua cucumu itu sudah ada yang bersuami?!” 

Yang bertanya Dagang Sepuh.

“Itulah salah satu sebab mengapa aku belum per-

caya! Jangankan suami, kekasih pun kurasa mereka 

belum punya! Jadi adalah satu keanehan kalau mere-

ka bisa hamil!”

Mendengar ucapan Nyai Tandak Kembang, menda-

dak Dayang Sepuh tertawa bergelak. “Kau rupanya lu-

pa.... Kalau mau, tanpa suami atau kekasih pun seo-

rang perempuan bisa mengandung!”

Tampang Nyai Tandak Kembang berubah merah 

padam. Namun perempuan ini masih memiliki pera-

saan. Seraya tertawa pendek dia berkata.

“Perbuatan itu hanya akan dilakukan perempuan 

konyol! Dan kedua gadis itu bukan perempuan konyol! 

Dan perlu kalian ketahui, seandainya salah satu dari 

mereka mengandung dengan jalan konyol, aku tak se-

gan-segan membunuhnya!”

“Itu akan membuat suasana makin keruh, Nyai...,”


kata Gendeng Panuntun. “Rimba persilatan akan di-

timpa malapetaka besar!”

“Persetan dengan itu semua! Itu juga bukan uru-

sanku!”

“Nyai.... Kuharap kau mengerti. Dan tentunya kau 

tak ingin dunia persilatan ditimpa angkara murka!”

“Kurasa semua orang tahu jika kalian adalah tokoh-

tokoh yang berilmu tinggi. Tanpa melibatkan kedua 

gadis itu, aku yakin kalian mampu mengatasinya! Apa-

lagi kudengar kalian tadi sebut-sebut tokoh Raja Tua 

Segala Dewa! Kalau tokoh seperti dia sudah ikut turun 

tangan, tentu tidak ada hal yang sulit!”

“Brusss! Brusss! Menurut hitungan mungkin uca-

panmu ada benarnya! Tapi akan mengherankan jika 

semua hitungan pasti benar! Kalau Raja Tua Segala 

Dewa ikut turun tangan dan mengatakan bagaimana 

cara menghadapi, jelas menunjukkan hanya ada satu 

jalan! Dan itu sudah cukup bagi kami untuk sadar bila

kami tidak bisa berbuat banyak! Lagi pula kami mak-

lum, apa yang kami miliki hanyalah setetes air dari 

lautan yang luas! Kami selalu punya batas. Salah sa-

tunya adalah dalam menghadapi urusan sekarang ini!”

Nyai Tandak Kembang terdiam. Namun diam-diam 

dadanya makin tidak enak. “Apakah nasib buruk itu 

benar-benar akan menimpa Pitaloka dan Beda Kuma-

la?! Hem.... Sebelum terlambat, aku harus cepat men-

dapatkan keduanya!”

Berpikir sampai di situ, akhirnya Nyai Tandak Kem-

bang gerakkan kaki sembari berkata.

“Aku harus segera pergi. Tapi sebelumnya aku ber-

harap agar kalian justru mau mengerti akan diriku 

dengan tidak melibatkan kedua gadis itu dalam urusan 

ini! Jika urusanku telah selesai, tentu aku tidak kebe-

ratan untuk membantu kalian sesuai dengan kemam-

puanku....”



Tanpa menunggu sambutan dari ketiga orang di si-

tu, Nyai Tandak Kembang berkelebat menuju arah hu-

tan lebat di depan sana.

“Kehadirannya di sini jelas menguatkan petunjuk 

kalau kedua gadis itu berada di sekitar tempat ini!” 

Berkata Gendeng Panuntun.

“Tapi kemunculan setan itu akan menambah uru-

san baru!” Dayang Sepuh menyahut.

“Brusss! Seandainya manusia sinting dari Jurang 

Tlatah Perak hadir di sini, tidak heran jika Nyai Tan-

dak Kembang akan mudah diatur!”

“Ah! Bagaimana mungkin! Justru kalau dia muncul, 

urusan akan makin sinting!” ujar si nenek sambil rapi-

kan geraian poni rambutnya.

“Kita harus segera menyelidik hutan di depan itu!” 

kata Gendeng Panuntun. Saat bersamaan kakek ber-

tubuh tambun ini membuat gerakan melompat-lompat. 

Dalam beberapa kejap sosok besarnya telah lenyap di 

antara kerapatan hutan di depan sana.

Dayang Sepuh dan Datuk Wahing saling pandang. 

Tanpa ada yang buka mulut, keduanya membuat ge-

rakan. Saat lain kedua kakek-nenek ini telah lenyap 

masuk di antara kerapatan pohon dan semak hutan.

***

DUA



DI SATU tempat di tengah rimbun jajaran pohon da-

lam hutan, Nyai Tandak Kembang tegak bersandar 

dengan kepala tengadah. Terngiang kembali dalam te-

linganya semua ucapan Datuk Wahing, Gandeng Pa-

nuntun, dan Dayang Sepuh. Dada perempuan dari le-

reng Gunung Semeru ini berdegup kencang. Sosoknya 

bergetar. Tiba-tiba kaki kanannya menghentak keras.

Hingga tanah di bawahnya langsung terbongkar.

“Aku tak peduli! Siapa pun di antara keduanya yang 

berani membuat malu, akan kubunuh! Persetan den-

gan urusan dunia persilatan!”

“Tapi.... Apakah mungkin Pitaloka dan Beda Kumala 

melakukan hal yang tidak senonoh itu?!” Nyai Tandak 

Kembang kembali dibuncah kebimbangan setelah agak 

lama berpikir. “Hem.... Hatiku belum tenang kalau be-

lum bertemu dengan keduanya! Aku harus segera me-

nemukannya sebelum ketiga orang itu mendahuluiku!”

Nyai Tandak Kembang takupkan kedua tangannya 

yang pada sela jari telunjuk dan tengahnya menyelinap 

sekuntum bunga. Sepasang matanya dipejamkan. Lalu 

menarik napas beberapa kali. Saat lain perempuan ini

tarik kedua tangannya yang menakup ke depan hi-

dungnya. Dia mengendus beberapa kali. Lalu mendon-

gak dengan kepala bergerak memutar dengan hidung 

terus mengendus-endus.

“Hem.... Satu berada di arah utara. Satunya lagi di 

selatan! Berarti mereka tidak bersama-sama.... Dan 

aku mencium kehadiran orang di sekitar tempat ini! 

Apa ketiga orang tadi mengikuti langkahku?!” Nyai 

Tandak Kembang arahkan kepalanya pada satu juru-

san. Hidungnya mengendus lalu menarik napas dalam-

dalam.

“Bukan! Yang ada di sekitar tempat ini hanya satu 

orang, Dan bukan salah satu dari ketiga orang tadi! 

Hem.... Ternyata di hutan ini telah muncul beberapa 

orang! Apakah ini masih ada hubungannya dengan 

urusan Pitaloka dan Beda Kumala?!”

Baru saja Nyai Tandak Kembang membatin begitu, 

mendadak satu kejutan membuat si nyai melengak ka-

get. Ada orang perdengarkan suara dari arah samping.

“Berada sendirian di hutan yang begini sepi dan le-

bat tentu bukan tanpa maksud! Bukankah begitu?!”


Nyai Tandak Kembang palingkan kepala ke samping 

kanan. Dia melihat seorang laki-laki berusia lanjut 

mengenakan pakaian lusuh.

“Orang tua.... Siapa kau?!” tanya Nyai Tandak Kem-

bang seraya memperhatikan orang di hadapannya 

dengan seksama. Di lain pihak, orang yang baru mun-

cul juga tengah mengawasi orang di hadapannya den-

gan hati bertanya-tanya.

“Sejak Pitaloka berada di sini bersamaku, ini adalah 

orang ketiga yang kutemui. Dua lainnya adalah seo-

rang gadis dan pemuda. Walau aku belum bertemu 

muka dengan gadis dan pemuda itu, namun jelas ke-

munculan keduanya di hutan ini bukan tanpa tujuan. 

Karena sudah berhari-hari mereka berdua berada di 

hutan ini! Hem.... Sebelum Pitaloka muncul, tidak seo-

rang pun yang merambah hutan ini. Apa kemunculan 

orang-orang ini masih ada kaitannya dengan Pitalo-

ka?!” Si orang tua di hadapan Nyai Tandak Kembang 

membatin. Lalu menjawab pertanyaan Nyai Tandak 

Kembang.

“Aku adalah salah seorang penghuni hutan ini.... 

Namaku Kigali. Kau sendiri?”

“Dari sorot mata dan ucapannya, tampaknya orang 

tua ini berkata jujur. Tidak enak rasanya kalau aku 

berdusta...,” kata Nyai Tandak Kembang dalam hati. 

Lalu buka mulut. 

“Aku Nyai Tandak Kembang....”

“Apakah aku pernah mendengar nama yang baru 

saja diucapkan perempuan ini?” Orang tua di hadapan 

Nyai Tandak Kembang dan bukan lain adalah Kigali, 

orang yang telah menolong dan menyadarkan Pitaloka 

bertanya pada diri sendiri. “Ah.... Hidup berpuluh-

puluh tahun di hutan ini membuatku lupa sega-

lanya....” (Tentang pertemuan Kigali dan Pitaloka harap 

baca serial Joko Sableng dalam episode “Titisan Pamungkas”).

“Jangan anggap aku lancang kalau aku berani me-

nanyakan sesuatu...,” kata Kigali dengan sunggingkan 

senyum dan anggukkan kepala. “Kau tidak secara ke-

betulan bukan berada di hutan ini?!”

“Aku tengah mencari seseorang, Kek....”

Dada Kigali mulai berdebar. Seolah tak sabar dia 

segera ajukan tanya lagi.

“Boleh aku tahu. Siapa yang kau cari?!”

“Dua orang gadis. Murid sekaligus cucuku.”

“Debaran dada Kigali makin keras. Paras wajahnya 

yang telah mengeriput berubah sedikit tegang. Nyai 

Tandak Kembang tampaknya dapat membaca peruba-

han orang. Hingga dia segera sambungi ucapannya.

“Kalau benar kau salah seorang penghuni hutan ini,

harap kau sudi mengatakan padaku dengan terus te-

rang. Apakah kau pernah bertemu dengan seorang ga-

dis atau bahkan keduanya?!”

“Mengapa kau bertanya begitu? Apa kau yakin gadis 

itu berada di hutan ini?” Kigali balik bertanya.

Nyai Tandak Kembang menjawab dengan angguk-

kan kepala. Lalu kembali ajukan tanya. “Kau pernah 

bertemu?!”

Entah karena apa, Kigali menjawab pula dengan 

isyarat gelengan kepala. Lalu bertanya. “Kau bisa 

memberitahukan ciri-ciri atau nama gadis itu?”

Nyai Tandak Kembang sesaat merenung. Dia coba 

menyelami sikap orang. Diam-diam dia membatin. “Si-

kapnya berubah.... Kurasa dia menyembunyikan sesu-

atu!”

“Mereka berdua adalah saudara kembar. Paras me-

reka boleh dibilang cantik. Mereka sama mengenakan 

pakaian warna merah. Yang satu bernama Beda Ku-

mala atau lebih dikenal dengan Putri Kayangan. Sa-

tunya lagi bernama Pitaloka!”


Kalau saja tidak sadar tengah berhadapan dengan 

siapa, pasti Kigali sudah surutkan langkah mendengar 

keterangan Nyai Tandak Kembang. Untung Kigali sege-

ra sadar dan langsung sunggingkan senyum seraya 

sambuti ucapan Nyai Tandak Kembang.

“Beberapa hari yang lalu, aku memang bertemu 

dengan seorang gadis. Namun dari ciri apalagi na-

manya, dia bukanlah gadis yang kau cari....”

Nyai Tandak Kembang balas tersenyum. “Orang 

tua.... Kau telah lama menghuni hutan ini?!”

“Hampir setengah dari hidupku ku habiskan di 

tempat ini! Apa boleh buat. Karena aku tidak memiliki 

sanak saudara lagi!” Sambil menjawab begitu, sebe-

narnya Kigali berkata juga dalam hati. “Gadis yang 

bersama pemuda itu kukenali juga berpakaian merah. 

Apakah dia yang bernama Putri Kayangan?! Sayang 

aku belum sempat melihat parasnya.... Apakah perem-

puan ini telah tahu apa yang kini tengah dialami Pita-

loka?! Menurut keterangan Pitaloka, sudah beberapa 

purnama dia tidak pulang ke tempat tinggal eyang gu-

runya. Berarti kalau benar perempuan ini yang dimak-

sud Pitaloka dengan eyang gurunya, maka dia pasti be-

lum tahu apa yang saat ini menimpa Pitaloka! Hem.... 

Apakah aku harus mengatakannya terus terang?! Ta-

pi.... Aku telah berjanji pada Pitaloka untuk tidak 

mengatakan semua ini pada siapa saja! Rahasia ini 

hanya aku dan Pitaloka yang tahu....”

“Ditinggal sanak saudara memang sangat menye-

dihkan! Tapi akan menyedihkan lagi kalau ditinggal 

cucu dengan satu urusan yang belum diketahui!”

“Ah.... Jadi kedua gadis itu punya satu urusan?” 

tanya Kigali ingin tahu apakah Nyai Tandak Kembang 

mengerti nasib yang menimpa Pitaloka.

Nyai Tandak Kembang menghela napas panjang. 

“Kukira setiap manusia tak lepas dari urusan, Orang


Tua! Hanya aku kadang-kadang merasa heran dengan 

seseorang yang coba menyembunyikan sesuatu pa-

dahal orang itu tahu dan bisa membantu urusan 

orang!”

Paras muka Kigali tampak berubah mendengar 

ucapan Nyai Tandak Kembang. “Rupanya dia menyin-

dirku.... Tapi aku tetap akan pegang janjiku pada Pita-

loka! Lebih dari itu aku harus cepat membawa Pitaloka

pergi jauh-jauh dari sini! Gadis berbaju merah serta 

pemuda itu pasti juga tengah mencari Pitaloka!”

Setelah berpikir begitu, Kigali berucap. “Harap jan-

gan menduga kalau aku tahu urusanmu dan tidak 

bersedia membantu! Aku benar-benar tidak pernah 

bertemu dengan gadis yang kau cari....”

Nyai Tandak Kembang tersenyum. Namun senyum 

itu di mata Kigali tampak lain.

“Orang tua.... Aku harus segera pergi...,” kata Nyai 

Tandak Kembang. Lalu dia membuat gerakan. Tahu-

tahu sosoknya telah berkelebat dan ditelan rimbunnya 

jajaran pohon serta semak belukar di sekitar tempat 

itu.

“Sebenarnya aku tadi hendak menanyakan uru-

sannya dengan Pitaloka. Namun hal itu mungkin akan 

menambah kecurigaannya! Tanpa kutanyakan saja 

ucapannya telah mengandung kecurigaan.... Hem.... 

Aku harus cepat menyingkir bersama Pitaloka! Hutan 

ini sudah tidak aman lagi...,” gumam Kigali lalu balik-

kan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu.

Sepasang mata bulat tampak memperhatikan gerak-

gerik Kigali. Dan begitu Kigali berkelebat, si pemilik 

mata segera lakukan gerakan. Semak belukar menyi-

bak. Lalu muncul satu sosok tubuh. “Aku harus men-

gikutinya.... Kurasa dia tahu di mana Pitaloka atau 

Beda Kumala berada!” gumam si pemilik mata yang 

ternyata Nyai Tandak Kembang. Perempuan dari lereng


Gunung Semeru ini rupanya tidak berkelebat jauh. Dia 

menyelinap di kerapatan semak belukar dan mencari 

posisi yang dapat mengawasi gerak-gerik Kigali. Dia 

merasa curiga dengan sikap Kigali. Maka begitu Kigali 

berkelebat, Nyai Tandak Kembang segera keluar dari 

kerapatan semak lalu ikut berkelebat ke arah mana 

tadi Kigali pergi.

***

Walau belum mengenal betul hutan di mana dia be-

rada, namun dengan jalan penciumannya Nyai Tandak 

Kembang tidak kesulitan mengikuti jejak Kigali. Hingga 

meski jarak antara Nyai Tandak Kembang dan Kigali 

terpaut agak jauh, namun jalan yang ditempuh Nyai 

Tandak Kembang tidak meleset dari orang yang diikuti.

Di lain pihak, diam-diam sebenarnya Kigali tahu ka-

lau diikuti orang dan dapat menduga siapa adanya 

orang yang berada di belakangnya. Namun Kigali te-

ruskan larinya seolah tidak merasa curiga. Namun 

Nyai Tandak Kembang tidak tahu, jika Kigali tidak me-

nuju tempat di mana Pitaloka berada! Nyai Tandak 

Kembang pun seakan tenggelam mengikuti jejak Kigali. 

Hingga dia lupa jika dengan jalan penciumannya, tadi 

sudah bisa menentukan arah di mana Pitaloka atau 

Beda Kumala berada. Sementara saat itu dia tengah 

berlari mengikuti Kigali yang menuju arah timur!

“Hem.... Bagaimana ini?! Sebenarnya mudah saja 

menyesatkan perempuan itu dengan cara terus berpu-

tar-putar. Tapi hal itu tak mungkin kulakukan! Aku 

tak bisa meninggalkan Pitaloka terlalu lama. Bukan

tak mungkin gadis dan perempuan itu nanti akan me-

nemukan di mana Pitaloka berada. Belum lagi kalau 

masih ada orang lain! Sebaiknya aku menemui dia!” 

Kigali akhirnya memutuskan setelah berlari agak jauh


dan merasa Nyai Tandak Kembang terus mengiku-

tinya.

Di lain pihak, sebenarnya Nyai Tandak Kembang 

mulai sadar. “Ke mana dia berlari?! Sepertinya dia ber-

putar-putar tak tentu yang ditujui. Jangan-jangan dia 

tahu kalau sedang kuikuti! Tapi akan kuikuti dahulu 

sementara waktu.... Siapa tahu dia coba menyesatkan 

jalan orang....” Tiba-tiba Nyai Tandak Kembang henti-

kan larinya. “Hem.... Sepertinya dia tengah berbalik 

arah menuju kemari! Apa maksudnya?!” seraya terus 

bertanya-tanya dalam hati dengan tindakan orang, 

Nyai Tandak Kembang cepat berkelebat mendekam di 

balik rumpun semak belukar.

Dan baru saja sosok Nyai Tandak Kembang lenyap 

mendekam, muncul sosok Kigali tidak jauh dari men-

dekamnya Nyai Tandak Kembang. Dada Nyai Tandak 

Kembang berdebar tidak enak melihat bagaimana Kiga-

li tampak bergerak berputar dengan mata memperha-

tikan sekeliling.

“Rupanya dia tahu....”

Selagi Nyai Tandak Kembang berkata begitu dalam 

hati, tiba-tiba Kigali sudah angkat suara.

“Nyai Tandak Kembang.... Aku tahu kau berada ti-

dak jauh dari tempat ini! Harap kau tunjukkan diri! Ki-

ta harus bicara agar tidak ada saling curiga di antara 

kita!”

Di balik tempat persembunyiannya, Nyai Tandak 

Kembang menarik napas panjang. Lalu perlahan-lahan 

keluar. Raut wajahnya tampak sedikit berubah.

“Katakanlah apa maumu Nyai Tandak Kembang! 

Tak enak rasanya harus berputar-putar dengan dada

saling dipenuhi kecurigaan!”

“Aku menduga kau tahu di mana gadis yang kuca-

ri!” Nyai Tandak Kembang berterus terang.

Kepala Kigali menggeleng. “Kau keliru menduga,


Nyai! Aku tak tahu apa-apa dengan gadis itu!”

“Perubahan sikapmu mengatakan lain!”

“Itu bukan petunjuk kalau aku tahu gadis yang kau 

cari! Dan kuperingatkan padamu. Kau hanya akan 

buang-buang waktu kalau terus mengikutiku!”

Untuk kesekian kalinya Nyai Tandak Kembang 

menghela napas. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia 

tinggalkan Kigali.

“Harap kau tidak kecewa dengan ucapanku, Nyai! 

Aku tentu akan mengatakannya padamu jika sewaktu-

waktu aku bertemu dengan gadis yang kau cari!” kata 

Kigali seraya memandang kepergian Nyai Tandak Kem-

bang.

Nyai Tandak Kembang hentikan langkah. Tanpa 

berpaling dia berujar.

“Seharusnya hal itu kau katakan sekarang, Orang 

Tua! Tapi aku tak mau memaksa jika kau keberatan!”

Kigali gelengkan kepala perlahan. Tanpa buka mu-

lut lagi, dia berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Hem.... Memang tidak seharusnya aku andalkan 

bantuan orang lain!” gumam Nyai Tandak Kembang. 

Lalu takupkan kedua tangannya di depan hidung. Saat 

lain perempuan dari lereng Gunung Semeru ini berke-

lebat ke arah utara.

“Dia menuju ke utara.... Tapi sebaiknya aku tunggu 

dahulu! Siapa tahu ini hanya tipuan!” Kigali bergumam 

dari balik batangan sebuah pohon. Ternyata laki-laki 

ini tidak berkelebat terlalu jauh. Dia sengaja menyeli-

nap lalu memperhatikan Nyai Tandak Kembang. Kali 

ini dia tidak mau lagi diikuti. Maka dia sengaja me-

nunggu agak lama sampai yakin Nyai Tandak Kem-

bang tidak sedang melakukan tipuan dengan berpura-

pura pergi tapi sebenarnya memutar jalan lalu mengi-

kuti secara diam-diam.

Setelah agak lama menunggu dan yakin Nyai Tandak Kembang tidak memutar jalan, Kigali balikkan tu-

buh lalu berkelebat ke arah selatan.

***

TIGA



DUA orang itu sama duduk bersandar pada satu 

batangan pohon dengan wajah sedikit muram. Tidak 

ada yang buka mulut. Malah mata masing-masing 

mengarah pada jurusan yang berlawanan. Namun tak 

lama kemudian, orang yang duduk di sebelah kanan 

tampak cengengesan sendiri dan berpaling pada orang 

satunya. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan 

mengenakan pakaian warna putih. Rambutnya pan-

jang sebahu dililit ikat kepala berwarna putih pula.

“Kalau sedang bersedih, parasnya makin cantik sa-

ja...,” gumam si pemuda seraya terus pandangi orang 

yang duduk tidak jauh di sebelah kirinya.

Yang dipandang tampaknya maklum kalau dirinya 

tengah diperhatikan orang. Dia buru-buru gerakkan 

kepala sedikit. Dia adalah seorang gadis berparas luar 

biasa jelita mengenakan pakaian warna merah. Ram-

butnya hitam lebat dengan hidung mancung.

“Sejak semula aku sudah ragu! Nyatanya keragua-

nku terbukti! Sudah beberapa hari kita berada di hu-

tan ini. Tapi Pitaloka tidak juga kita temukan! Sebaik-

nya kita pergi dari sini, Pendekar 131!” Berkata si ga-

dis berbaju merah tanpa memandang.

Si pemuda yang ternyata adalah Pendekar Pedang 

Tumpul 131 Joko Sableng bergerak bangkit. Tanpa 

alihkan pandang matanya dari wajah si gadis, dia ber-

kata.

“Kuharap kau bersabar, Putri Kayangan.... Memang 

tidak mudah mencari seseorang di dalam hutan yang

lebat dan luas begini! Tapi setidaknya kita sudah men-

dapat petunjuk tentang keberadaan Pitaloka di dalam

hutan ini! Dan kalaupun kita mencari di tempat lain, 

tentunya kita masih meraba-raba!”

“Itu lebih baik daripada kita diberi petunjuk tapi 

nyatanya tidak terbukti, Pendekar 131!”

“Panggil saja Joko, Putri...,” ujar murid Pendeta 

Sinting seraya melangkah mendekati si gadis yang ter-

nyata adalah Putri Kayangan, saudara kembar Pitalo-

ka.

Seperti diketahui, saat Putri Kayangan terlibat ben-

trok dengan Setan Liang Makam, muncullah Dewi Ayu 

Lambada bersama Iblis Ompong. Tak lama kemudian 

muncul pula murid Pendeta Sinting. Begitu Setan 

Liang Makam sadar siapa yang tengah dihadapi, cucu 

Nyai Suri Agung dari Kampung Setan Ini segera pergi. 

Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, serta Pendekar 131 

lalu menceritakan terus-terang apa yang didengarnya 

dari Raja Tua Segala Dewa dan Dewa Uuk. Namun Pu-

tri Kayangan tidak bisa menerima ucapan Dewi Ayu 

Lambada, Iblis Ompong, serta murid Pendeta Sinting. 

Saat itulah muncul Dewa Uuk yang juga adik kandung 

Dewi Ayu Lambada. Pada akhirnya Dewa Uuk memberi 

petunjuk di mana arah keberadaan Pitaloka. Walau ti-

dak percaya, namun dengan keyakinan yang dikatakan 

Pendekar 131, akhirnya Putri Kayangan pergi juga ber-

sama murid Pendeta Sinting ke arah yang ditunjukkan 

Dewa Uuk.

Namun begitu menemukan hutan lebat yang menu-

rut dugaan Joko adalah tempat yang dimaksud oleh 

Isyarat Dewa Uuk, Putri Kayangan dan Pendekar 131 

belum juga menemukan Pitaloka.

Putri Kayangan menoleh. Untuk beberapa saat ke-

dua orang ini saling pandang. Putri Kayangan rasakan 

dadanya berdebar setiap beradu pandang. Hingga dia


tidak berani terlalu lama memandang dan segera alih-

kan pandangan. Diam-diam gadis ini berkata dalam 

hati. “Seandainya tidak bersama dengan dia.... Tak 

mungkin aku menuruti petunjuk itu! Apakah benar 

antara dia dengan Saraswati ada hubungan tertentu? 

Gadis itu sangat khawatir dan selalu mencemburuiku! 

Ah....”

“Kau memikirkan sesuatu?!” Tiba-tiba murid Pende-

ta Sinting ajukan tanya membuat Putri Kayangan ter-

sentak. Lalu gelengkan kepala dan berucap.

“Tak ada yang memenuhi benakku selain bagaima-

na caranya menemukan Pitaloka! Bukan untuk mem-

buktikan semua dugaan-dugaan yang mustahil itu. 

Melainkan semata-mata itu perintah yang ku emban

dari Eyang Guru!”

“Selain mencari Pitaloka kau juga pernah mengata-

kan hendak menemui eyang guruku. Boleh aku tahu 

siapa eyang gurumu?”

“Dia Guru sekaligus eyangku sendiri! Dia dikenal 

dengan sebutan Nyai Tandak Kembang!”

“Sepertinya eyang guruku pernah sebut-sebut nama 

itu,” ujar Joko pelan. “Kau tahu sampai di mana hu-

bungan antara eyangmu dengan eyang guruku?”

“Aku tak tahu.... Mengapa kau tanyakan hal itu?!”

“Siapa tahu di antara mereka berdua ada hubungan 

tertentu! Dengan begitu kita bisa jadi saudara...!”

“Maksudmu?!” tanya Putri Kayangan dengan mata 

sedikit membelalak.

“Seandainya eyang guruku ada jodoh dengan 

eyangmu....”

Putri Kayangan tertawa. “Jangan berharap yang ti-

dak-tidak! Eyangku memang hidup sendirian. Tapi ku-

kira jauh dari memikirkan soal perjodohan! Apalagi

akhir-akhir ini selalu disibukkan dengan urusan Pita-

loka!”


“Pitaloka.... Aku tak habis pikir, mengapa dia bera-

da di hutan ini! Padahal....”

Gumaman murid Pendeta Sinting belum selesai, Pu-

tri Kayangan telah menyahut.

“Itulah salah satu sebab mengapa aku tambah ya-

kin petunjuk dan dugaan tentang Pitaloka tidak benar! 

Sudah berhari-hari kita berada di hutan ini. Sejauh ini 

kita tidak bertemu dengan seorang pun! Sepertinya hu-

tan ini jarang sekali dirambah manusia. Adalah hal 

aneh kalau Pitaloka berada di sini! Untuk apa?! Lebih 

aneh lagi dia akan melahirkan pada purnama menda-

tang! Padahal purnama sudah tidak lama lagi. Semen-

tara waktu kita bertemu satu purnama lebih yang lalu, 

aku yakin Pitaloka belum apa-apa!”

“Tapi siapa tahu Pitaloka punya seorang kekasih 

tanpa sepengetahuanmu?”

“Itu mungkin saja. Tapi aku tetap kurang yakin ka-

lau Pitaloka sampai berani berbuat terlalu jauh. Selain 

harus menanggung beban dengan diri sendiri, dia ten-

tu memperhitungkan eyangku! Dan Pitaloka tak 

mungkin berani ambil risiko! Dia tahu bagaimana sifat 

Eyang....”

Murid Pendeta Sinting geleng kepala. “Putri.... Kau 

pernah jatuh cinta?!”

Pertanyaan Joko membuat Putri Kayangan terke-

siap. Air mukanya berubah. Dadanya berdebar lalu 

memandang tajam pada Joko. Namun cuma sekejap. 

Saat lain kepalanya bergerak memaling. Diam-diam 

dalam hati dia berkata.

“Aku tak tahu pernah jatuh cinta atau tidak! Yang 

jelas aku selalu damai begitu berada di sisinya! Dan

sebenarnya aku tidak suka dengan sikap gadis berna-

ma Saraswati yang....”

Belum sampai Putri Kayangan sempat teruskan ka-

ta hatinya, murid Pendeta Sinting telah perdengarkan


suara lagi.

“Putri.... Menurut orang yang pernah mengalami ja-

tuh cinta, hal apa pun tidak dapat menghalanginya! 

Dan risiko apa pun akan diambilnya! Jangankan 

hanya hidup di hutan begini rupa atau menghadapi 

eyangmu, mati pun mungkin bukan halangan yang be-

rarti!”

“Kau pernah mengalaminya?!” Putri Kayangan balik 

bertanya.

Pendekar 131 bukannya menjawab, sebaliknya 

pandangi Putri Kayangan. Di lain pihak, karena agak 

lama tidak terdengar jawaban, Putri Kayangan segera 

berpaling. Saat itulah murid Pendeta Sinting berucap.

“Rasanya aku belum pernah merasa bahagia seba-

gaimana saat ini! Aku tidak tahu. Apakah perasaan ini 

awal dari sebuah rasa jatuh cinta....”

Dada Putri Kayangan berdegup keras. Wajahnya 

merah. Untuk beberapa lama dia memandang ke da-

lam bola mata murid Pendeta Sinting. Mulutnya sebe-

narnya sudah hendak membuka. Namun tiba-tiba ter-

lintas bayangan Saraswati di pelupuk matanya. Hingga 

dia kancingkan mulut kembali seraya berpaling ke ju-

rusan lain.

Murid Pendeta Sinting menarik napas dalam. Lalu 

mendekati Putri Kayangan. Tangan kiri kanannya 

mengambil kedua tangan si gadis lalu digenggamnya. 

Putri Kayangan bergetar. Namun tak berusaha mena-

rik pulang kedua tangannya. Entah karena apa, tiba-

tiba dia bergumam tanpa berani memandang.

“Saraswati.... Kau masih ingat gadis cantik itu?!”

Belum sampai murid Pendeta Sinting buka mulut, 

mendadak satu bayangan putih berkelebat. Putri 

Kayangan dan Pendekar 131 segera palingkan kepala.

Memandang ke depan, sekonyong-konyong paras 

Putri Kayangan berubah tegang. Pada saat yang sama


kedua tangannya ditarik pulang dari genggaman kedua 

tangan murid Pendeta Sinting. Di lain pihak, Joko se-

saat memperhatikan orang di depan sana.

“Usianya tidak muda lagi. Tapi rupanya masih can-

tik.... Siapa dia?!” Joko berkata dalam hati melihat seo-

rang perempuan berusia empat puluh tahunan men-

genakan pakaian putih sebatas dada. Wajahnya keliha-

tan masih cantik. Rambutnya hitam digelung ke bela-

kang. Pada rambutnya tampak beberapa tangkai kem-

bang. Demikian pula pada sela jari telunjuk dan ten-

gah pada kedua tangannya.

Karena sesaat terkesima dengan perempuan yang 

baru muncul, murid Pendeta Sinting tidak sempat me-

lihat perubahan pada Putri Kayangan. Malah tarikan 

kedua tangan Putri Kayangan diduga hanya karena 

malu dengan hadirnya perempuan berpakaian putih. 

Hingga dengan, tersenyum lebar Joko segera buka mu-

lut.

“Rasanya kita pernah jumpa.... Hanya sayang aku 

lupa di mana. Tidak keberatan mengingatkan aku?!”

Perempuan berpakaian putih sebatas dada yang 

bukan lain adalah Nyai Tandak Kembang tidak menja-

wab. Bahkan hanya memandang sekilas pada murid 

Pendeta Sinting. Lalu menatap tajam pada Putri 

Kayangan.

Masih dengan tersenyum lebar dan tanpa melihat 

pada Putri Kayangan, Pendekar 131 berbisik. “Putri.... 

Seorang perempuan saja lebih tertarik melihatmu dari-

pada melihat tampangku!”

Putri Kayangan seolah tidak mendengar bisikan Jo-

ko. Dia terpaku dengan mulut terkancing rapat. Paras 

wajahnya jelas membayangkan ketakutan dan tidak 

berani memandang pada Nyai Tandak Kembang. Da-

danya gelisah tak karuan. Dia tak tahu harus berbuat 

apa dan berkata bagaimana.


“Bibi cantik...,” kata Joko setelah memperhatikan 

sekali lagi pada Nyai Tandak Kembang. “Perjumpaan 

kita memang sudah lewat terlalu lama. Jadi harap 

mengerti kalau aku....”

“Siapa kau, Anak Muda?!” Tiba-tiba Nyai Tandak 

Kembang bertanya menukas ucapan murid Pendeta 

Sinting. Namun sejauh ini Nyai Tandak Kembang ma-

sih arahkan pandang matanya pada Putri Kayangan.

“Ah.... Ternyata bukan hanya aku yang lupa! Kau 

juga tidak ingat padaku! Tapi apakah kau ingat di ma-

na terakhir kali kita bertemu?!”

“Jangan berani bicara lancang, Anak Muda! Kita be-

lum pernah bertemu! Dan lekas katakan siapa kau 

adanya!” kata Nyai Tandak Kembang dengan suara 

agak keras. Kali ini ekor matanya melirik pada murid 

Pendeta Sinting.

Pendekar 131 kembali tersenyum lalu berkata. “Aku 

Joko.... Joko Sableng. Gadis cantik di sampingku ini 

Putri Kayangan....”

“Dari mana asalmu?!” Kembali Nyai Tandak Kem-

bang ajukan tanya. Sekarang matanya menatap tajam 

pada murid Pendeta Sinting.

Joko tidak segera menjawab, sebaliknya berpaling 

pada Putri Kayangan. Sesaat dia mengernyit melihat 

perubahan pada sosok Putri Kayangan.

“Putri.... Kau tak usah cemas.... Dari parasnya dia 

bukan orang jahat!”

Putri Kayangan sudah hendak buka mulut. Namun 

murid Pendeta Sinting sudah berpaling lagi meman-

dang ke arah Nyai Tandak Kembang dan berkata men-

jawab.

“Aku lahir di Kampung Anyar.... Kau sendiri siapa?! 

Juga dari mana asalmu, Bibi Cantik?!”

“Kau punya gelar?!” Nyai Tandak Kembang bukan-

nya menjawab melainkan ajukan tanya lagi.


“Ah.... Banyak benar pertanyaanmu!” gumam murid 

Pendeta Sinting lalu berkata. “Aku memang punya ge-

lar. Tapi aku tak akan mengatakan padamu. Takut 

jangan-jangan kau akan lebih banyak tanya. Lebih dari 

itu mungkin kau tak akan percaya!”

“Kau terlalu banyak mulut, Anak Muda! Katakan 

saja siapa gelarmu!” ujar Nyai Tandak Kembang. Kini 

pandangannya beralih lagi pada Putri Kayangan.

“Beda Kumala.... Sungguh aku hampir tak percaya 

dengan semua ini!” kata Nyai Tandak Kembang dalam 

hati dengan dada berdebar kencang. Matanya beralih 

dari wajah Putri Kayangan ke perut si gadis. Bahu pe-

rempuan dari lereng Gunung Semeru ini berguncang. 

“Apakah keberadaan Beda Kumala dengan pemuda itu 

satu petunjuk jika dugaan orang-orang itu akan men-

jadi kenyataan?! Beda Kumala mengandung?! Ah.... 

Aku tak menduga sama sekali! Tapi mengapa Beda 

Kumala? Bagaimana secepat itu bisa terjadi? Bagai-

mana aku bisa salah duga pada Beda Kumala selama 

ini?! Ah.... Itu tak penting! Yang jelas sekarang Beda 

Kumala telah menyia-nyiakan kepercayaanku!”

“Anak muda! Kau dengar pertanyaanku! Jangan

membuat aku habis kesabaran!” kata Nyai Tandak 

Kembang setelah ditunggu agak lama tidak juga ter-

dengar jawaban dari mulut murid Pendeta Sinting.

“Gelarku.... Siluman Lembah Cinta....”

Nyai Tandak Kembang mendelik. Tampaknya dia 

tahu kalau ucapan Joko berdusta. Sementara Putri 

Kayangan masih salah tingkah dan tampak makin ta-

kut.

“Beda Kumala! Mendekatlah kemari!” Tiba-tiba Nyai 

Tandak Kembang berteriak.

Putri Kayangan terkesiap. Dia memandang silih 

berganti pada Nyai Tandak Kembang dan Pendekar 

131. Di lain pihak, murid Pendeta Sinting terkejut


mendapati orang tahu nama asli Putri Kayangan.

“Putri.... Kau mengenal Bibi Cantik itu?!”

Yang ditanya tidak menjawab. Sebaliknya melang-

kah takut-takut ke arah Nyai Tandak Kembang.

“Cepat, Beda Kumala!” sentak Nyai Tandak Kem-

bang. Dan seolah tak sabar, Nyai Tandak Kembang 

melompat ke depan. Lalu diseretnya Putri Kayangan 

menjauh.

“Beda Kumala! Katakan apa yang telah kau lakukan 

dengan pemuda itu!” Nyai Tandak Kembang sudah 

menghardik seraya pandangi perut Putri Kayangan.

“Bibi.... Siapa kau sebenarnya?! Harap tidak ikut 

campuri urusanku dengan gadis itu! Dia....”

Nyai Tandak Kembang berpaling. “Tetap di tempat-

mu! Jangan berani mendekat atau kugebuk kepalamu! 

Dan jangan buka mulut tanpa kutanya!”

“Lekas katakan, Beda Kumala! Apa yang kau laku-

kan dengan pemuda itu! Jangan berani berdusta atau 

tanganku akan membunuhmu!” Nyai Tandak Kembang 

kembali perdengarkan bentakan keras.

“Eyang.... Kami.... Kami tak melakukan apa-apa....”

“Astaga! Jadi dia adalah eyangnya...,” gumam murid 

Pendeta Sinting. Lalu buru-buru melangkah hendak 

mendekat.

“Tetap di tempatmu!” Nyai Tandak Kembang mem-

bentak tanpa berpaling, membuat Pendekar 131 henti-

kan langkah. Belum sempat Joko buka mulut, terden-

gar Nyai Tandak Kembang sudah membentak.

“Beda Kumala! Aku masih memberimu kesempa-

tan!”

“Eyang.... Kami hanya bersahabat.... Harap Eyang 

tidak menduga yang bukan-bukan....”

Nyai Tandak Kembang tengadahkan kepala dengan 

dada bergerak turun naik. Sepasang matanya terpe-

jam. Entah apa yang dipikirkannya, yang jelas tak la


ma kemudian dia luruskan kepala dengan mendelik 

angker pada Putri Kayangan.

***

EMPAT



BEDA kumala! Dugaanku selama ini padamu ter-

nyata meleset! Pantas kau menyuruh Tokoh-tokoh 

Penghela Tandu untuk pulang dahulu!” Nyai Tandak 

Kembang gelengkan kepala. “Kau telah pergunakan 

kepercayaanku untuk hal yang tidak semestinya!”

“Eyang....”

“Jangan berdalih!” potong Nyai Tandak Kembang. 

“Aku melihat dengan mata kepala sendiri! Dan seka-

rang jawab. Berapa bulan kandunganmu?!”

Putri Kayangan terlengak. Murid Pendeta Sinting 

tak kalah kagetnya. Dia sudah buka mulut, tapi Putri 

Kayangan mendahului.

“Eyang.... Kami tak melakukan apa-apa! Aku tidak 

mengandung!”

Nyai Tandak Kembang tertawa pendek. “Berada ber-

sama seorang pemuda di dalam hutan yang sepi begi-

ni, mana mungkin kau tidak melakukan apa-apa! Aku 

sungguh menyesal menugaskanmu mencari Pitaloka 

kalau kenyataannya justru kau yang terjerumus! Tapi 

itu semua tidak ada gunanya lagi. Semua sudah terja-

di. Dan kau harus menerima hukuman! Aku tak mau 

punya murid dan cucu yang membuat malu!”

“Eyang.... Kami....”

“Ucapan apa pun tak akan membuatku luluh. Beda 

Kumala!” tukas Nyai Tandak Kembang lalu tanpa pe-

dulikan pada Putri Kayangan, Nyai Tandak Kembang 

berpaling pada Pendekar 131.

“Kau laki-laki pengecut! Kau membuat malu!” Nyai

Tandak Kembang berteriak setengah menjerit dengan 

kedua tangan diangkat.

“Eyang.... Tahan!” seru Putri Kayangan lalu jatuh-

kan diri di hadapan Nyai Tandak Kembang.

“Hem.... Apa pun yang akan kau lakukan, jangan 

mimpi aku bisa memaafkan perbuatanmu, Beda Ku-

mala! Sebaliknya kau dan pemuda itu harus mampus 

sekarang juga!”

“Eyang....” Joko ikut-ikutan memanggil Eyang pada 

Nyai Tandak Kembang. “Harap kau dengar dulu penje-

lasanku!” katanya dengan suara bergetar.

“Aku tak butuh penjelasan! Apa yang kulihat sudah 

cukup memberi penjelasan!”

“Tapi kau salah paham! Bukannya Beda Kumala 

yang tengah mengandung, tapi....” Joko tak teruskan 

ucapannya, sebaliknya memandang pada Putri Kayan-

gan yang saat itu angkat tangannya seolah memberi 

isyarat.

“Teruskan ucapanmu!” bentak Nyai Tandak Kem-

bang. “Dia tidak mengandung, tapi apa?! Dia hamil, 

begitu?!”

“Susah! Apa bedanya mengandung dengan hamil?!” 

gumam murid Pendeta Sinting. Kalau saja tidak tengah 

berhadapan dengan Nyai Tandak Kembang yang masih 

dibalut salah paham, tentu tawa Joko sudah meledak.

“Eyang.... Aku memang belum tahu pasti. Hanya 

menurut dugaan beberapa orang, Pitaloka yang seka-

rang tengah mengandung...,” kata Putri Kayangan 

sambil angkat wajahnya memandang pada eyang gu-

runya.

“Kau jangan memutar balik kenyataan, Beda Kuma-

la! Kau yang tengah berduaan dengan pemuda asing, 

mengapa Pitaloka yang kau jadikan kambing hitam! Di 

mana Pitaloka sekarang?!”

“Kami tengah mencarinya, Eyang....”


Nyai Tandak Kembang kembali perdengarkan tawa 

pelan. “Tugasmu memang mencarinya. Tapi bukan di 

hutan begini dan tidak bersama pemuda asing!”

“Tapi menurut petunjuk, Pitaloka berada di sekitar 

hutan ini....” Yang menyahut murid Pendeta Sinting.

“Itu petunjuk konyol! Kau hanya cari tempat yang 

sepi agar bisa melakukan apa saja tanpa ada orang 

yang tahu!”

“Eyang.... Kalau Eyang masih tak percaya, aku tak 

bisa berkata apa-apa lagi! Tapi sebelum Eyang menja-

tuhkan hukuman, Eyang boleh periksa diriku!” kata 

Putri Kayangan seraya beranjak bangkit.

Nyai Tandak Kembang perlahan-lahan turunkan 

kedua tangannya. Matanya menatap berkilat-kilat pa-

da Putri Kayangan. Lalu beralih pada Pendekar 131 

yang tersenyum sambil anggukkan kepala.

Nyai Tandak Kembang menggumam tak jelas. Saat 

lain tiba-tiba kedua tangannya bergerak ke arah perut 

Putri Kayangan. Untuk beberapa saat kedua tangan 

Nyai Tandak Kembang menakup pada perut si gadis. 

Lalu diangkat dan didekatkan pada hidungnya. Nyai 

Tandak Kembang menarik napas berulang kali. Se-

mentara Putri Kayangan dan murid Pendeta Sinting 

sama memperhatikan dengan seksama, dengan dada 

sama berdebar.

“Hem.... Aku tidak mencium aroma bayi dalam kan-

dungannya! Berarti anak ini tidak hamil!” Nyai Tandak 

Kembang berkata dalam hati sembari menarik napas 

lega.

Siapa pemuda asing itu, Beda Kumala?!” Tiba-tiba 

Nyai Tandak Kembang ajukan tanya dengan suara se-

tengah berbisik.

Putri Kayangan tersenyum. Nada suara eyangnya 

sudah cukup membuat sang Putri maklum kalau ke-

marahan eyangnya sudah sirna. Namun dia belum juga segera menjawab. Bagaimanapun juga Putri Kayan-

gan merasa malu diketahui eyangnya bersama seorang 

pemuda. Apalagi saat itu dia tengah saling bergengga-

man tangan.

“Beda Kumala.... Siapa pemuda itu?!” Kembali Nyai 

Tandak Kembang bertanya. “Aku yakin dia tadi ber-

dusta sebutkan gelarnya padaku!”

“Dia adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko 

Sableng. Murid tunggal Pendeta Sinting....”

Nyai Tandak Kembang sesaat terkejut. Dia segera 

alihkan pandangannya pada Joko dan seolah baru saja 

melihat, dia tatapi orang lebih seksama. “Hem.... Si-

kapnya menghadapi orang memang tak jauh berbeda 

dengan Pendeta Sinting....”

“Bagaimana kau bisa bersama dengannya?!” Nyai 

Tandak Kembang ajukan tanya lagi dengan suara ma-

sih direndahkan.

“Ceritanya panjang, Eyang.... Yang jelas saat ini aku 

dan dia tengah mencari Pitaloka.”

“Siapa yang memberi petunjuk padamu?!”

“Seorang laki-laki bergelar Dewa Uuk. Saat itu dia 

bersama seorang nenek bernama Dewi Ayu Lambada 

dan Kakek Iblis Ompong....”

“Hem.... Kalau tokoh-tokoh seperti mereka turun la-

gi dalam kancah rimba persilatan, tentu ada sesuatu 

yang luar biasa terjadi! Munculnya Datuk Wahing dan

Gendeng Panuntun memperkuat hal ini! Apa sebenar-

nya yang telah terjadi?! Apakah ini ada kaitannya den-

gan bayi yang disebut-sebut itu?!” Nyai Tandak Kem-

bang membatin. “Beda Kumala tidak mengandung.... 

Apa mungkin Pitaloka?!”

“Beda Kumala. Kau sudah bertemu dengan Pitalo-

ka?!” tanya Nyai Tandak Kembang setelah berpikir 

agak lama.

“Aku pernah bertemu dengannya. Namun sayang


saat itu aku tak berhasil membawanya...”

“Apa dia bersama seorang laki-laki?!”

“Pertanyaan dan sikapnya yang tadi mencurigaiku 

hamil menunjukkan kalau Eyang telah tahu apa yang 

saat ini tengah terjadi. Setidaknya telah bertemu den-

gan orang yang selama ini menduga akan lahir seorang 

bayi!” kata Putri Kayangan dalam hati lalu berkata.

“Dia memang sendirian. Tapi saat kutinggalkan, dia 

bersama Setan Liang Makam, dan beberapa orang 

lainnya.”

“Apa saat itu kau dapat melihat tanda-tanda kalau 

dia tengah mengandung?!”

Putri Kayangan gelengkan kepala. “Eyang percaya 

dengan dugaan itu?!”

Nyai Tandak Kembang tidak segera menjawab. Dia 

kembali pandangi murid Pendeta Sinting. Lalu berkata. 

“Beda Kumala.... Aku memang tidak begitu saja per-

caya. Tapi sebagai nenek dan Pitaloka adalah perem-

puan, kekhawatiran itu jelas ada!” Saat itulah tiba-tiba 

Nyai Tandak Kembang teringat pertemuannya dengan 

Kigali.

“Beda Kumala. Kau pernah bertemu dengan seorang 

kakek bernama Kigali?!”

Putri Kayangan menatap sesaat pada eyangnya lalu 

menjawab dengan isyarat gelengan kepala. Sementara 

murid Pendeta Sinting yang mendengar pertanyaan 

Nyai Tandak Kembang tampak kerutkan dahi.

“Kigali.... Aku pernah mendengar nama itu! Betul 

aku pernah mendengarnya!” gumam Joko lalu mere-

nung. “Hem.... Aku ingat. Nama itu pernah disebut-

sebut Datuk Wahing!”

“Eyang.... Aku tahu orang yang namanya baru kau 

sebut!” Pendekar 131 segera berujar, membuat Nyai 

Tandak Kembang sedikit heran.

“Kigali mengatakan setengah dari hidupnya dihabiskan di dalam hutan ini! Dia juga mengatakan tidak 

pernah bertemu dengan siapa pun! Anak itu masih 

muda. Adalah aneh kalau dia tahu.... Siapa yang ber-

dusta? Anak itu atau si orang tua yang sebutkan diri 

sebagai Kigali?!”

Berpikir begitu, akhirnya Nyai Tandak Kembang 

buka mulut bertanya.

“Kau pernah bertemu dengannya, Pendekar 131?!”

“Ah.... Panggil saja dengan Joko, Eyang....”

Nyai Tandak Kembang tersenyum. Lalu ulangi per-

tanyaannya.

“Aku tidak pernah bertemu dengan Kigali. Tapi aku 

pernah dengar ceritanya dari seorang sahabat!”

“Siapa yang bercerita?!”

“Kakek Datuk Wahing!”

“Hem.... Lalu siapa dia sebenarnya?!”

“Menurut Kakek Datuk Wahing, dia dahulu adalah 

orang kepercayaan seorang tokoh dari generasi Kam-

pung Setan bernama Maladewa yang sekarang bergelar

Setan Liang Makam. Datuk Wahing menduga, Kigali 

bersama seorang temannya yang juga orang keper-

cayaan Maladewa adalah orang yang memasukkan Ma-

ladewa ke dalam makam batu di Kampung Setan!”

“Hem.... Mungkin inilah pangkal sebab munculnya 

beberapa tokoh itu! Kudengar Datuk Wahing bersama 

Gendeng Panuntun tadi juga sebut-sebut Kembang 

Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad! Lalu mereka 

mengaitkannya dengan bayi! Aku sekarang dapat me-

nebak....”

“Eyang mengenal Kigali?! Apa dia masih hidup?!” 

Joko ajukan tanya.

“Aku baru saja bertemu dengannya. Aku menduga 

dia tahu di mana Pitaloka berada saat ini!”

“Bagaimana Eyang bisa menduga begitu?!” Yang 

bertanya kali ini Putri Kayangan.


“Dari perubahan sikapnya. Serta ucapannya yang 

mengatakan setengah dari hidupnya dihabiskan di hu-

tan ini. Padahal aku yakin Pitaloka berada di hutan 

ini!”

“Bagaimana Eyang bisa yakin Pitaloka berada di hu-

tan ini?!” tanya murid Pendeta Sinting.

“Aku tak bisa mengatakan bagaimana. Yang pasti 

kalau aku yakin Beda Kumala dan kau berada di sini 

dan kenyataannya demikian, tentu keyakinanku ten-

tang Pitaloka tidak akan meleset!”

“Apakah kau juga yakin tentang dugaan beberapa 

sahabatku?!”

“Niatku pertama kali memang hanya mencari Pita-

loka! Tapi kali ini sekaligus ingin membuktikan dugaan 

itu! Beda Kumala sudah terbukti tidak mengandung. 

Kuharap Pitaloka demikian juga!”

Murid Pendeta Sinting memandang silih berganti

pada Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang. Lalu 

bertanya. “Eyang.... Sekarang aku boleh melangkah 

dari tempat ini, bukan?!”

Nyai Tandak Kembang tersenyum. Putri Kayangan 

melirik malu-malu lalu memandang pada eyang gu-

runya. Joko gerakkan kaki mendekat ke arah Nyai 

Tandak Kembang yang tegak di samping Putri Kayan-

gan.

“Beda Kumala.... Walau aku mengenal gurunya, 

namun aku belum tahu benar muridnya! Kau harus 

tetap berhati-hati!” bisik Nyai Tandak Kembang, mem-

buat Putri Kayangan tersipu.

“Kau kutemukan di bagian utara hutan ini. Berarti 

Pitaloka yang berada di bagian selatan! Kita harus se-

gera menuju ke selatan!” kata Nyai Tandak Kembang. 

Tanpa menunggu sambutan Putri Kayangan, Nyai 

Tandak Kembang berteriak seraya berkelebat.

“Ikuti aku!”

Putri Kayangan arahkan pandangannya pada Pen-

dekar 131 yang melangkah dengan keheranan melihat 

kelebatan Nyai Tandak Kembang. Belum sempat Joko 

tahu apa maksud Nyai Tandak Kembang, Putri Kayan-

gan telah berkelebat seraya berseru.

“Joko! Kita ikuti Eyang Guru!”

Walau masih bertanya-tanya, namun akhirnya mu-

rid Pendeta Sinting berkelebat menyusul Nyai Tandak 

Kembang dan Putri Kayangan.

***

LIMA



KIGALI kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya. 

Hingga kelebatan sosoknya hanya laksana bayang-

bayang. Namun belum sampai jauh berlari, tiba-tiba 

laki-laki ini hentikan larinya lalu laksana dikejar setan, 

dia melompat masuk ke balik kerapatan semak belu-

kar dan mencekam tanpa membuat suara atau gera-

kan! Hanya sepasang matanya yang berputar liar me-

mandang ke satu arah.

Pada arah mana mata Kigali memandang liar, men-

dadak satu sosok bayangan berkelebat dan tegak di 

depan sana. Baru saja sosok ini tegak, dua sosok 

bayangan berlari dari belakangnya lalu tegak di samp-

ing kanan kiri sosok yang pertama tegak.

Sepasang mata Kigali makin membelalak tak berke-

sip perhatikan ketiga orang di depan sana dengan dada 

berdebar. Orang yang tegak di tengah dan orang yang 

pertama muncul adalah seorang nenek berwajah putih 

tebal. Bibirnya merah menyala dipoles. Rambutnya 

yang putih lebat dikelabang dua dan pada ujungnya 

diberi pita. Rambut bagian depannya diponi menutupi


kening. Nenek ini mengenakan pakaian warna merah 

berupa baju tanpa lengan dan cingkrang hingga ketiak 

dan pusarnya kelihatan. Sedangkan pakaian bawah-

nya berupa celana pendek di atas lutut yang berwarna 

merah.

Di sebelah kanan si nenek yang tidak lain adalah 

Dayang Sepuh, tegak seorang kakek mengenakan pa-

kaian putih kusam. Rambutnya sudah memutih dan 

tipis. Kepala kakek ini terus bergerak pulang balik ke

depan ke belakang dengan mimik seperti orang akan 

bersin. Kakek ini bukan lain adalah Datuk Wahing.

Sementara di sebelah kiri si nenek adalah seorang 

laki-laki berusia lanjut bertubuh tambun besar men-

genakan pakaian gombrong warna hijau yang pada 

pinggangnya melilit ikat pinggang besar yang pada ba-

gian depannya tepat di depan perut terlihat sebuah 

cermin bulat. Kepala kakek tambun ini sedikit tenga-

dah dengan mata mengerjap beberapa kali. Dan ter-

nyata sepasang mata si kakek berwarna putih, menun-

jukkan kalau dia buta. Kakek ini tak lain adalah Gen-

deng Panuntun.

“Hem.... Makin banyak orang-orang yang muncul di 

hutan ini! Aku tak tahu pasti apa tujuan mereka, 

hanya mungkin saja masih ada hubungannya dengan 

Pitaloka!. Mengapa Pitaloka begitu dicari banyak 

orang?! Kalau perempuan cantik yang menamakan di-

rinya Tandak Kembang mungkin saja alasannya bisa 

kuterima! Tapi yang ini pasti punya maksud lain! 

Hem.... Pitaloka tidak memiliki keistimewaan apa-apa. 

Dia juga tidak membawa benda mustika yang pantas 

diperebutkan! Kalaupun dia memiliki modal, itu ha-

nyalah wajahnya yang cantik!” Kigali diam-diam mem-

batin dengan mata terus perhatikan pada ketiga orang 

di depan sana.

“Jangan-jangan mereka tengah memperebutkan


bayi dalam kandungan Pitaloka.... Ah! Tapi untuk 

apa?! Hem.... Peduli dengan maksud mereka, yang je-

las aku harus segera membawa Pitaloka dari hutan 

ini!”

Berpikir begitu, Kigali segera gerakkan kepala pelan 

dengan mata melirik ke samping kiri kanan. Namun 

sebelum Kigali sempat bergerak keluar, sekonyong-

konyong terdengar bersinan tiga kali, membuat Kigali 

urungkan niat dan memandang ke depan. Saat bersa-

maan tiba-tiba terdengar suara.

“Sahabat.... Apakah tampang kami bertiga menghe-

rankanmu sampai kau memandang sembunyi-

sembunyi?!”

Kigali simak ucapan orang dengan seksama. Dia 

rupanya maklum kalau telah diketahui tengah sem-

bunyi. Namun dia belum membuat gerakan atau per-

dengarkan suara.

“Sahabat...,” Kali ini yang buka mulut Gendeng Pa-

nuntun. “Kami hanya perlu sedikit keterangan. Harap 

suka tunjukkan diri....”

Di balik tempat mendekamnya, Kigali masih bim-

bang hingga untuk sementara dia belum bergerak atau 

menyahuti ucapan orang. Namun dari sikap orang, Ki-

gali tampaknya sadar tengah berhadapan dengan 

orang-orang yang berilmu tidak rendah.

Karena ditunggu-tunggu tidak juga adanya tanda-

tanda akan munculnya orang, Dayang Sepuh yang ti-

dak sabaran segera buka mulut berteriak keras.

“Setan sekalipun kau adanya, mengapa malu tun-

jukkan tampang?! Kami tahu kau ada di sana! Apa kau 

perlu bahasa selain ucapan?!”

“Daripada cari urusan yang membuat langkahku 

terhambat, lebih baik ku turuti permintaan mereka...!” 

Akhirnya Kigali memutuskan lalu melangkah keluar 

dari kerapatan semak belukar.


“Setan laki-laki!” desis Dayang Sepuh sambil melo-

tot pandangi orang.

Gendeng Panuntun melangkah menghampiri Datuk 

Wahing. Lalu berbisik. “Datuk.... Aku tak mengenal 

orang itu. Tapi kurasa kau mengenalnya betul! Siapa 

dia?!”

Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya dan

memandang sekilas pada Kigali. Saat lain kepalanya 

telah bergerak kembali pulang balik ke depan ke bela-

kang.

“Bruss! Bruss! Jangan anggap aku membuatmu he-

ran. Tapi sesungguhnya aku tidak kenal sahabat 

itu....”

“Perhatikan sekali lagi, Datuk.... Ingat-ingat paras 

wajahnya!” kata Gendeng Panuntun.

Untuk kedua kalinya Datuk Wahing hentikan gera-

kan kepalanya. Lalu perhatikan orang agak lama.

“Bruss! Aku heran.... Sepertinya aku memang per-

nah bertemu dengan sahabat ini! Tapi aku lupa siapa 

dia...!” ujar Datuk Wahing lalu berpaling pada Dayang 

Sepuh.

“Nek.... Kau mengenali siapa adanya sahabat yang 

baru keluar dari semak itu?”

“Setan! Kau kira aku kenal dengan semua laki-laki,

hah?!”

“Bruss! Brusss! Aku tanya baik-baik, herannya kau 

selalu marah-marah! Mungkin inilah salah satu sebab 

mengapa banyak setan laki-laki heran padamu dan 

terbirit-birit..,.”

“Dalam hidup, aku tak butuh setan laki-laki! Dia 

hanya akan membuat banyak urusan dan menyusah-

kan!” sahut Dayang Sepuh.

Gendeng Panuntun tertawa. “Tidak selamanya begi-

tu, Nek! Kau lupa, justru setan laki-laki bisa membuat 

bahagia dan bisa membikin orang menikmati surga


dunia! Kalau tidak ada setan laki-laki mana mungkin 

perempuan bisa mengandung?”

“Bruss! Belum lagi kalau kandungannya istimewa! 

Maka tak heran akan banyak orang yang mempere-

butkannya!”

Diam-diam Kigali tersentak mendengar ucapan Da-

tuk Wahing dan Gendeng Panuntun. “Mereka me-

nyinggung-nyinggung kandungan.... Apa ini isyarat?! 

Kakek bertubuh besar itu matanya buta. Tapi dia sea-

kan bisa melihat.... Dan mengapa dia mengatakan ka-

kek yang selalu bersin-bersin mengenaliku?! Seper-

tinya aku belum pernah bertemu dengan salah satu 

dari ketiga orang itu.... Atau aku pernah jumpa namun 

lupa?!”

Mungkin untuk meyakinkan, Kigali perhatikan se-

kali lagi pada ketiga orang di hadapannya lebih teliti. 

Namun tampaknya dia yakin belum pernah bertemu 

salah satu dari mereka.

Selagi Kigali berpikir dan coba mengingat-ingat, Da-

tuk Wahing perdengarkan bersinan lalu disusul den-

gan ucapan.

“Sahabat.... Tidak keberatan bukan kalau sebutkan 

diri pada kami? Jangan heran. Tampang-tampang ka-

mi memang demikian adanya. Sahabat perempuan 

kami ini pun akan selalu sebut-sebut nama setan. Tapi 

kami bukanlah bangsanya setan....”

“Aku Kigali.... Aku tinggal tak jauh dari hutan ini!”

Datuk Wahing adalah satu-satunya orang yang ter-

kejut. Hingga dia perdengarkan bersinan beberapa kali! 

Lalu berpaling pada Gendeng Panuntun namun tidak 

buka suara.

“Aku tidak bisa memberi keterangan apa-apa pada 

kalian,” Kigali lanjutkan ucapan. “Aku harus segera 

pergi!” Kigali balikkan tubuh lalu berkelebat.

“Bruss! Brusss!”


Datuk Wahing bersin dua kali. Bersamaan itu dua 

gelombang berdesir. Tanah dua langkah di hadapan

Kigali langsung terbongkar dan muncrat ke udara, 

membuat Kigali urungkan kelebatannya. Tanpa berpal-

ing lagi, Kigali berucap.

“Di antara kita tidak ada urusan, harap tidak mem-

bukanya dengan hal yang memalukan! Katakan saja 

apa maksud kalian sebenarnya! Aku tidak punya wak-

tu banyak!”

“Bruss! Bruss! Harap maafkan kalau itu tadi kau 

anggap hal yang memalukan! Kami hanya berharap 

kau tidak segera tinggalkan tempat ini! Kau mungkin 

heran, tapi kau nanti akan memahaminya....”

“Kalian telah dengar. Aku tidak punya waktu ba-

nyak! Katakan saja apa kemauan kalian!” Kigali beru-

cap lagi. Kali ini suaranya agak keras karena orang tua 

ini agak jengkel dengan tindakan orang.

“Bruss! Brusss!”

Datuk Wahing bersin dua kali. Namun kali ini tidak 

disambung dengan ucapan. Namun suara bersinan itu 

ternyata tidak terhenti. Sebaliknya terus terdengar dan 

pantul memantul ke segenap penjuru mata angin! Pa-

dahal Datuk Wahing tidak bersin lagi!

“Ilmu ‘Pantulan Tabir’!” gumam Kigali lalu secepat 

kilat dia balikkan tubuh dan memandang tajam pada 

Datuk Wahing. Datuk Wahing berdehem dua kali. Lak-

sana direnggut setan, suara bersinan yang pantul me-

mantul lenyap!

“Dalam kancah rimba persilatan, hanya dua orang 

yang memiliki ilmu ‘Pantulan Tabir’! Nyai Suri Agung 

dari Kampung Setan dan Galaga! Dari sosoknya tak 

mungkin ia Nyai Suri Agung. Berarti dia Galaga! Apa 

kemunculannya di hutan ini sengaja mencariku untuk 

melanjutkan urusan lama?!” Kigali membatin.

“Bruss! Sahabatku Kigali....”


Belum sampai Datuk Wahing teruskan ucapan, Ki-

gali telah menukas.

“Aku tahu siapa kau sebenarnya! Apa kedatangan-

mu untuk lanjutkan urusan lama?!”

“Bruss! Bruss! Sahabatku Kigali.... Jangan membu-

atku heran. Aku tahu apa yang kau lakukan saat itu. 

Aku juga paham apa maksudmu waktu itu! Semuanya 

sudah berlalu.... Dan aku telah melupakan semuanya! 

Justru aku merasa gembira dan heran bisa bertemu 

denganmu lagi.... Sekarang ada sesuatu yang harus 

kau ketahui. Kuharap kau tidak heran mendengarnya!”

Kigali menarik napas lega. Namun dadanya makin 

tak enak. Seraya tersenyum dia berkata.

“Terima kasih kau mau mengerti apa yang kulaku-

kan saat itu, Sahabat! Sekarang katakan saja apa yang 

hendak kau beri tahukan!”

Seperti diketahui, kira-kira tiga puluh enam tahun 

yang lalu Kigali bersama Dadaka pernah menjadi 

orang-orang kepercayaan Maladewa yang saat itu su-

dah menggenggam Kembang Darah Setan. Bahkan Ki-

gali dan Dadaka adalah dua orang yang mendapat tu-

gas dari Maladewa yang sekarang bergelar Setan Liang 

Makam, untuk mencari jejak Nyai Suri Agung dan Ga-

laga saudara seperguruan Maladewa. Namun Kigali 

dan Dadaka gagal melakukan perintah Maladewa. Ke-

tika Maladewa hendak jatuhkan hukuman karena ke-

gagalannya, Kigali dan Dadaka lakukan rencana yang 

sebenarnya telah mereka susun jauh sebelumnya. 

Hingga pada akhirnya Kigali dan Dadaka berhasil me-

masukkan Maladewa beserta Kembang Darah Setan-

nya ke dalam makam batu di Kampung Setan. (Lebih 

jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam epi-

sode “Rahasia Kampung Setan”).

“Bruss! Bruss! Sebelum aku beri tahukan, ada se-

suatu yang membuatku heran dan kuharap kau mau


mengatakannya. Ke mana kau selama ini?!” tanya Da-

tuk Wahing.

“Setelah peristiwa di Kampung Setan, aku dan Da-

daka memutuskan untuk berpisah. Aku tak tahu ke 

mana Dadaka pergi. Sementara aku menghabiskan hi-

dup di sekitar hutan ini. Aku tidak pernah lagi keluar. 

Jadi aku tidak tahu apa yang terjadi selama kira-kira 

tiga puluh enam tahun terakhir ini!”

“Brusss! Tak heran jika aku tak mendengar lagi be-

ritamu, Sahabat! Sekarang ketahuilah. Cucu Nyi Suri 

Agung ternyata masih hidup. Kini dia bergelar Setan 

Liang Makam. Namun Kembang Darah Setan lepas da-

ri tangannya. Bahkan Jubah Tanpa Jasad juga lenyap 

dari Kampung Setan. Bersamaan itu, sekarang muncul 

seseorang yang di tangannya membekal Kembang Da-

rah Setan dan dia juga mengenakan Jubah Tanpa Ja-

sad!”

Kigali tidak terkejut mendengar keterangan Datuk 

Wahing karena sebenarnya dia telah mendengar hal itu 

dari Pitaloka. Namun agar tidak membuat orang curi-

ga, Kigali tampakkan tampang kaget. Lalu bertanya.

“Kau tahu siapa kira-kira orang yang telah menda-

patkan Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad 

itu?!”

“Brusss! Itulah yang mengherankan. Aku bersama 

beberapa sahabat lainnya, hanya bisa menduga-duga 

siapa gerangan orang itu tanpa dapat memastikan!”

Kepala Kigali mengangguk perlahan. Lalu berkata 

seakan pada dirinya sendiri.

“Menurutku.... Orang yang tahu rahasia Kampung 

Setan hanya lima orang. Kau, aku, Dadaka, Maladewa, 

serta Nyai Suri Agung. Kalau aku, kau, dan Maladewa 

bukan orangnya, tentu tinggal dua orang. Yakni Dada-

ka dan Nyai Suri Agung....”

“Brusss! Jangan heran kalau kukatakan tinggal satu orang. Karena Nyai Suri Agung telah dibunuh 

orang!”

Kali ini Kigali benar-benar terkejut. Bukan saja ka-

rena mendengar kematian Nyai Suri Agung, tapi juga 

tidak menduga jika Dadaka yang kini telah menda-

patkan Kembang Darah Setan juga Jubah Tanpa Ja-

sad.

“Jadi Dadaka orangnya!” ujar Kigali.

“Kurasa bukan dia orangnya!” Mendadak Gendeng 

Panuntun menyahut dengan tangan kanan mengusap 

cermin bulat di depan perutnya. “Sahabat kalian ber-

nama Dadaka kukira sudah mendahului kita mengha-

dap Sang Pencipta. Malah mungkin dia mendahului 

orang yang kalian sebut-sebut sebagai Nyai Suri 

Agung!”

Kigali tersentak dan berubah kecut serta tegang. 

“Dadaka sudah tewas. Begitu pula Nyai Suri Agung. 

Mereka adalah orang-orang yang tahu rahasia Kam-

pung Setan. Bukan tak mungkin pembunuh kedua 

orang ini akan mencariku! Hem.... Aku ingat ucapan 

seseorang.... Kelak kalau aku dipertemukan seorang 

perempuan, itulah tandanya kematianku sudah dekat! 

Aku telah bertemu dengan Pitaloka.... Ah.... Tapi biar-

lah kalau waktu memang sudah berakhir bagiku. Tapi 

setidaknya aku harus menyelamatkan Pitaloka terlebih 

dahulu. Aku telah terjanji....”

Berpikir sampai ke sana, setelah dapat kuasai hati. 

Kigali berkata.

“Sahabat sekalian. Terima kasih atas keterangan-

nya. Sekarang aku harus pergi.”

“Brusss! Brusss! Masih ada sesuatu yang harus 

kau ketahui, Sahabat!” kata Datuk Wahing bernada 

menahan kepergian Kigali.

“Sahabat kita itu sepertinya seorang suami yang 

terburu-buru karena istrinya akan melahirkan.... Padahal kukira dia belum beristri!” Yang berkata adalah 

Gendeng Panuntun.

“Lagi pula siapa perempuan yang mau diambil istri 

oleh laki-laki setan macam dia!” Dayang Sepuh yang 

sejak tadi hanya diam bergumam pelan. Lalu tertawa 

cekikikan.

Di lain pihak, mendengar ucapan Gendeng Panun-

tun, Kigali melengak kaget. Diam-diam dia membatin 

lagi. “Jangan-jangan mereka tahu kalau aku tengah 

menunggui Pitaloka yang tengah mengandung....”

Selagi Kigali membatin, Datuk Wahing bersin dua 

kali, lalu menyambungi dengan ucapan. “Sahabatku.... 

Orang yang saat ini tengah membekal Kembang Darah 

Setan dan Jubah Tanpa Jasad mulai menebar maut 

dan tampaknya hendak tancapkan kekuasaan tunggal 

di permukaan bumi! Ini tidak mengherankan, karena 

dengan dua senjata sakti di tangannya, memang terla-

lu tangguh untuk dihadapi siapa saja! Hanya saja.... 

Menurut beberapa sahabatku, ada satu jalan untuk 

menghentikan ulahnya!”

“Dan satu jalan itu kaulah yang dapat menunjuk-

kannya!” sahut Gendeng Panuntun.

“Maka dari itu berkatalah terus terang! Jangan 

sembunyikan sesuatu pada kami!” timpa! Dayang Se-

puh.

“Bruss! Sahabatku Kigali. Orang yang membekal 

Kembang Darah Setan dan mengenakan Jubah Tanpa

Jasad hanya dapat dihadapi dengan sesuatu yang ada 

pada diri seorang bayi!”

“Dan perempuan yang mengandung bayi itu kurasa 

dekat denganmu!” sambut Gendeng Panuntun.

“Maka katakan di mana perempuan itu!” Dayang 

Sepuh ikut bicara.

Kigali tak bisa lagi menutupi rasa kaget dan kesi-

manya mendapati orang telah tahu kalau dirinya dekat


dengan seorang perempuan yang sedang mengandung. 

Beberapa saat laki-laki yang pernah jadi orang keper-

cayaan Maladewa ini tercenung diam. Dia dihadapkan 

pada dua pilihan yang sangat sulit. Di satu pihak dia 

sebenarnya ingin membantu karena dia sendiri tak se-

nang melihat rimba persilatan ditebari maut seperti 

yang pernah terjadi pada puluhan tahun yang silam. 

Namun di sisi lain, dia telah terlanjur berjanji pada Pi-

taloka untuk melindungi dan menyimpan rahasia ten-

tang kandungannya. Lebih dari itu dia menginginkan 

seorang anak!

“Bruss! Brusss! Sahabat.... Kau pernah bertemu 

dengan seorang perempuan yang sedang mengandung, 

bukan?!”

Dengan tabahkan hati, akhirnya Kigali jawab uca-

pan Datuk Wahing dengan gelengan kepalanya semba-

ri berkata.

“Aku memang pernah jumpa dengan perempuan di 

dalam hutan ini. Tapi kurasa dia bukan perempuan 

yang tengah kalian cari!”

“Sahabat!” ujar Gendeng Panuntun. “Aku tahu kau 

salah seorang yang pernah berkecimpung dalam dunia 

persilatan. Aku juga tahu, kau tidak menginginkan 

rimba persilatan diamuk angkara dengan bertebaran-

nya maut di mana-mana tanpa pandang siapa! Seka-

rang kau juga mengerti, hanya bayi itulah yang kelak 

dapat menghentikannya.... Jadi kuharap kau lupakan 

dahulu keinginan diri sendiri. Pikirkan ancaman yang 

kini mulai mengincar siapa saja! Termasuk dirimu 

sendiri....”

“Hem.... Orang buta itu seakan tahu apa yang ada 

dalam benak orang!” kata Kigali dalam hati. “Tapi.... 

Ah, apa yang harus kulakukan? Ucapan orang buta itu 

benar. Namun aku tak bisa menarik janji yang telah 

kuucapkan pada Pitaloka! Dan kalaupun Pitaloka


sampai tahu urusan ini, bukan tak mungkin dia akan 

melakukan bunuh diri seperti yang hendak dilakukan 

tempo hari....”

“Katakan saja di mana perempuan itu!” Yang mem-

bentak Dayang Sepuh, tak sabar melihat orang belum 

juga buka mulut.

“Sahabat sekalian.... Sebenarnya aku ingin mem-

bantu. Tapi dugaan kalian keliru. Aku tidak tahu me-

nahu perempuan mengandung!”

“Brusss! Brusss! Aku heran.... Apa sebenarnya yang 

membuatmu menutupi urusan ini, Sahabat?”

“Aku tidak menutupi apa-apa! Aku memang tidak 

tahu tentang perempuan itu!”

Gendeng Panuntun perdengarkan tawa dengan ke-

pala menggeleng-geleng. “Ada sesuatu yang kau ingin-

kan dari bayi itu?!”

Kigali ganti yang geleng kepala. “Bagaimana aku 

menginginkan sesuatu pada bayi kalau perempuannya 

yang mengandung saja tidak tahu?”

“Setan! Katakan saja kau minta imbalan! imbalan 

apa yang kau mau, hah?!” teriak Dayang Sepuh mulai 

geram.

Meski hatinya mulai panas mendengar ucapan 

Dayang Sepuh, tapi Kigali coba menindihnya. Seraya 

tersenyum dia berkata.

“Dalam usia senja begini, hanya manusia tak tahu 

diri yang inginkan sesuatu imbalan demi kedamaian 

jagat persilatan!”

“Lalu apa maumu sampai kau tak mau memberita-

hukan perempuan itu?!” Kembali Dayang Sepuh ber-

tanya.

“Kau bertanya pada orang yang salah! Dan tentu 

kau tak mau mendengar jawaban dari orang yang sa-

lah pula!”

Habis berucap begitu, kembali Kigali putar diri.

“Apa kalian menduga perempuan itu berada di hutan 

ini?!”

Kigali tidak menunggu jawaban orang. Selesai aju-

kan tanya dia segera berucap lagi. “Aku tahu Kalian 

orang-orang hebat. Tapi kali ini kalian salah sasaran 

jika mencari perempuan itu di hutan ini!”

Dayang Sepuh sudah hendak buka suara. Namun 

entah karena apa tiba-tiba Kigali balikkan tubuhnya 

lagi menghadap ketiga orang yang tadi di belakangnya. 

Setelah menatap satu persatu orang dia tersenyum 

dan berkata.

“Aku lupa, Sahabat.... Maafkan! Orang tua seperti 

aku memang sudah dijangkiti penyakit lupa! Aku me-

mang bertemu dengan seorang perempuan berwajah 

cantik. Namun jangan kalian tanyakan padaku perem-

puan itu tengah mengandung atau tidak! Pergilah ke 

arah utara!”

“Tunggu!” tahan Gendeng Panuntun ketika merasa-

kan Kigali sudah hendak putar diri lagi. “Kau bisa 

mengatakan bagaimana ciri-ciri perempuan itu?!”

Kigali mengernyit sambil tengadah lalu berkata. 

“Dia berusia muda.... Berbaju merah. Berambut hitam 

lebat!”

Kigali memandang sesaat pada ketiga orang di ha-

dapannya. Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya 

dan saling pandang dengan Dayang Sepuh. Sementara 

Gendeng Panuntun mendongak dengan mulut meng-

gumam.

Dengan hati perih Kigali arahkan pandang matanya 

jauh ke depan melewati pundak beberapa orang di ha-

dapannya. Saat lain tanpa berkata-kata lagi dia memu-

tar diri lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Ciri yang diucapkan setan itu sepertinya cocok! Ki-

ta segera ke arah utara!” kata Dayang Sepuh.

“Aku pun merasa ada orang di sebelah utara! Dan


salah satu di antaranya adalah gadis yang dikatakan 

Kigali!”

“Brusss! Kau katakan gadis itu salah satu! Berarti 

ada orang bersamanya! Heran.... Dengan siapa gadis 

itu?!”

“Ah.... Kalian terlalu banyak mulut seperti setan! Ki-

ta buktikan saja! Kalau setan laki-laki tadi berkata 

dusta, dia akan tahu rasa nanti!”

Habis berkata begitu, Dayang Sepuh mendahului 

berkelebat disusul Datuk Wahing. Gendeng Panuntun 

adalah orang terakhir yang bergerak tinggalkan tempat 

itu dengan mulut terus menggumam sesuatu yang tak 

jelas.

***

ENAM



KIGALI berlari laksana kalap. Dia tidak pedulikan 

ranggasan semak dan duri. la berlari dan berlari se-

kuat kemampuannya. Dia baru memperlambat larinya 

tatkala di hadapannya terlihat sebuah tanah tinggi 

yang hampir-hampir saja tidak kelihatan karena tertu-

tup rimbun daun pepohonan dan rumput tebal.

Kigali hentikan langkah berjarak sepuluh tombak 

dari tanah ketinggian. Sepasang matanya dipejamkan. 

Telinganya ditajamkan. Lalu perlahan sepasang ma-

tanya dibuka. Kepalanya bergerak memutar berkelil-

ing. Matanya liar tak berkesip menyusuri setiap sudut 

dan sela pepohonan.

Dua kali Kigali membuat putaran kepala. Saat lain 

dia membuat gerakan melompat. Sosoknya melesat 

dan tahu-tahu telah tegak di depan tanah ketinggian. 

Kigali balikkan tubuh, kejap lain dia putar diri lalu me-

lesat menembus rimbun dedaunan dan rumput tebal.

Rimbun dedaunan bergerak menyibak. Ternyata itu 

adalah sebuah lobang agak besar. Begitu sosok Kigali 

lenyap, rimbun dedaunan bergerak lagi. Saat bersa-

maan lobang di balik rimbun dedaunan tidak kelihatan 

lagi.

Di balik rimbun dedaunan itu ternyata sebuah 

ruangan agak besar. Pada sisi kanan tampak sebuah 

ranjang dari bambu yang beralas rumput kering. Pada 

bagian sisi atas ranjang terlihat sebuah meja dari kayu 

yang di atasnya terdapat kendi dari tanah dan buah-

buahan.

Begitu Kigali masuk, matanya langsung meman-

dang tajam pada ranjang. Wajahnya seketika berubah. 

Matanya membeliak memandang berkeliling. Saat itu-

lah lobang yang tertutup rimbun dedaunan menyibak. 

Satu sosok berkelebat muncul di dalam ruangan.

Kigali cepat berpaling dengan tangan siap lepaskan 

pukulan. Namun segera diurungkan. Bibirnya terse-

nyum, ketegangan wajahnya lenyap. Di sampingnya te-

lah tegak seorang gadis berparas cantik mengenakan 

pakaian warna merah. Raut wajahnya agak pucat.

Kigali sesaat menelusuri wajah si gadis lalu turun 

dan matanya terhenti pada perut si gadis. Ternyata pe-

rut itu tampak membesar!

“Pitaloka.... Aku khawatir saat melihatmu tidak ada 

di atas ranjang! Perutmu sudah besar, tidak baik kau 

terlalu banyak bergerak!”

Si gadis yang bukan lain adalah Pitaloka tersenyum 

walau tampak kaku. Lalu melangkah ke arah ranjang 

bambu dan duduk seraya berkata.

“Aku tadi curiga yang muncul bukan kau, Kek.... 

Terpaksa aku keluar dahulu untuk meyakinkan....”

“Firasatmu bertambah peka, Pitaloka....”

“Berkat bimbinganmu, Kek....”

Kigali tersenyum. Kembali pandangannya tertuju

pada perut Pitaloka. “Aku merasa heran. Menurutnya 

kejadian pemerkosaan itu kurang dari dua purnama 

yang lalu.... Tapi anehnya perut itu seperti orang men-

gandung tujuh bulan! Hem.... Apakah ini keajaiban 

bayi itu hingga beberapa orang menduga kelak sesuatu 

dalam bayi itu yang bisa menghadapi orang yang kini 

memegang Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa 

Jasad?”

Kigali menghela napas. Pandangannya kini ke arah

wajah Pitaloka. “Gadis malang.... Semuda ini sudah 

harus memikul cobaan yang berat. Hem.... Aku tak 

mau menambah beban cobaan di pundaknya dengan 

melibatkan dirinya dalam urusan orang-orang di lua-

ran sana. Aku harus segera membawanya pergi dari 

hutan ini! Bukan tak mungkin rahasia di mana Pitalo-

ka berada sudah diketahui banyak orang. Kalau aku 

terlalu lama menunggu, akan sulit keluar dari hutan 

ini. Apalagi perut Pitaloka tidak mungkin lagi bisa dis-

embunyikan!”

“Kek.... Kau memikirkan sesuatu?! Dari tadi sikap-

mu lain. Kau tampak gelisah!”

Kigali melangkah mendekat. “Pitaloka.... Kita harus 

segera tinggalkan tempat ini!”

Pitaloka terkejut. Dia beranjak tegak. “Kek.... Kata-

kanlah. Ada apa sebenarnya?”

“Aku melihat beberapa orang memasuki hutan ini! 

Padahal puluhan tahun lamanya hal seperti itu tidak 

pernah terjadi!”

Kau mengenal mereka?!”

Kigali memandang tajam ke dalam bola mata Pitalo-

ka. “Aku tidak boleh mengatakan apa yang sebenarnya 

terjadi! Hal itu akan menambah kalut pikirannya,” ka-

ta Kigali dalam hati. Lalu berkata.

“Pitaloka. Kau sendiri tahu. Setengah dari hidupku 

berada di hutan ini. Jadi aku tidak mengenali mereka.


Namun kedatangan mereka yang di luar kebiasaan 

pasti punya tujuan tertentu! Kita memang tidak tahu 

apa maksud mereka. Tapi aku sudah tidak mau lagi 

terlibat urusan dengan orang lain! Pengalaman hi-

dupku sudah cukup jadi pelajaran. Aku tak mau men-

gulangi kejadian yang sama! Kita harus segera tinggal-

kan tempat ini!”

Dada Pitaloka berdebar. “Apa mereka orang-orang

jahanam keparat yang mengenakan Jubah Tanpa Ja-

sad itu?! Dari mana mereka tahu aku berada di hutan

ini?!”

“Kek.... Apa tidak sebaiknya kita di sini saja?! Kita 

belum tahu siapa mereka dan apa maksudnya! Lagi 

pula tempat kita ini terlindung. Tak mungkin mereka 

tahu!”

“Pitaloka.... Walau aku tidak mengenali mereka, tapi 

dari sikap mereka aku yakin mereka bukan orang bi-

asa! Dan tidak tertutup kemungkinan mereka tahu 

tempat ini!”

Pitaloka terdiam dengan kepala berpaling ke arah 

lobang yang tertutup rimbun dedaunan. Wajahnya se-

dikit muram dan tegang. Tanpa sadar kedua tangan-

nya bergerak menakup pada perutnya yang membesar.

Kigali tampaknya dapat menangkap perasaan si ga-

dis. Orang tua ini melangkah mendekati. Tangan ka-

nannya bergerak membelai rambut Pitaloka seraya 

berkata.

“Anakku.... Aku tahu bagaimana perasaanmu. Kau 

tentu tak ingin dilihat orang dengan perut besar begi-

tu. Tapi.... Pikirkanlah bayi dalam kandunganmu....”

Seketika Pitaloka berpaling. “Kek! Kau menduga ke-

datangan mereka ada hubungannya dengan kandun-

ganku ini?! Dari mana mereka tahu aku tengah men-

gandung?!”

“Anakku.... Dalam keadaan seperti sekarang ini, sesuatu yang paling jeleklah yang harus kita pikirkan! 

Dari itulah mengapa aku mengajakmu untuk sementa-

ra ini pergi dari sini!”

“Tapi.... Ah!” Pitaloka mendesah dengan gelengkan 

kepala. “Rasanya aku belum siap menghadapi pandan-

gan mata orang!”

“Itu sudah kupikirkan, Anakku! Kita akan mening-

galkan tempat ini saat matahari tenggelam. Dan kita 

cari tempat jauh dari penduduk....”

“Sungguh jelek nasibku...,” entah sadar atau tidak 

Pitaloka menggumam.

“Tidak, Anakku! Kalau kita tidak memandang orang 

lain, kadangkala kita memang punya anggapan begitu. 

Namun kalau kita mau sedikit menoleh pada orang 

lain, masih banyak orang-orang yang lebih menderita 

daripada kau. Dan lebih dari itu, Sang Maha Pencipta 

tidak mungkin memberikan cobaan pada makhluk cip-

taannya melebihi kekuatan sang makhluk!”

“Tapi....”

Belum sampai Pitaloka teruskan ucapan, Kigali su-

dah menyambuti. “Nasib tidak perlu dibicarakan, 

Anakku. la akan berjalan sesuai yang mengatur. Kita 

hanya tinggal menjalani! Jadi tak ada gunanya kita se-

sali apa yang telah terjadi!”

Pitaloka memandang dengan mata berkaca-kaca 

dan tak kuasa buka mulut berkata. Kigali anggukkan 

kepala dengan bibir tersenyum. Lalu berkata pelan.

“Anakku.... Kita keluar sekarang. Kita pelan-pelan 

menyusuri bagian hutan yang tak mungkin dijangkau 

orang sambil menunggu tenggelamnya matahari!”

Tanpa menunggu sahutan Pitaloka, Kigali meng-

gandeng tangan si gadis lalu perlahan-lahan melang-

kah menuju lobang dari mana tadi Kigali masuk.


***

Sementara di belahan hutan sebelah utara, Nyai 

Tandak Kembang terus berkelebat disusul oleh Putri 

Kayangan dan Pendekar 131. Pada satu tempat, murid 

Pendeta Sinting berpaling pada Putri Kayangan seraya 

berkata pelan.

“Putri.... Hendak ke mana eyang gurumu ini?”

Putri Kayangan memperlambat larinya. Kepalanya 

berpaling. Senyumnya mengembang lalu menjawab 

dengan suara pelan pula.

“Ke mana lagi kalau bukan mencari Pitaloka!”

“Dia seakan-akan sudah tahu di mana Pitaloka be-

rada!”

“Itulah kelebihannya. Dia tahu di mana orang den-

gan cara penciumannya! Apalagi dia sudah hafal benar 

dengan aroma Pitaloka!”

“Ah.... Kalau begitu susah!” gumam murid Pendeta 

Sinting.

“Apanya yang susah?!” tanya Putri Kayangan seraya 

terus berlari.

“Kalau aroma Pitaloka sudah dihafal benar, tentu 

aromamu demikian juga. Itu berarti di mana kau bera-

da selalu akan diketahuinya! Dan itu akan membuatku 

selalu khawatir jika mengajakmu! Siapa tahu kita lagi 

asyik, tiba-tiba eyangmu muncul!”

Putri Kayangan bersemu merah dan segera alihkan 

pandangannya ke jurusan lain. Teringat kembali ba-

gaimana saat dia dan murid Pendeta Sinting saling 

bergenggaman tangan mendadak muncul Nyai Tandak 

Kembang. Namun Putri Kayangan sedikit merasa lega 

karena Nyai Tandak Kembang tidak melarang hubun-

gan antara dia dan Pendekar 131.

Di depan sana, mendadak Nyai Tandak Kembang

hentikan larinya. Putri Kayangan dan Pendekar 131


saling pandang lalu sama hentikan larinya pula tujuh 

langkah di belakang Nyai Tandak Kembang.

“Jangan-jangan eyangmu tahu apa yang kita bica-

rakan tadi...!” bisik Joko.

“Pasti dia tahu. Dan dia paling tidak suka kalau di-

bicarakan!”

“Lalu?!” tanya murid Pendeta Sinting dengan raut 

berubah.

“Lihat saja sendiri nanti! Yang jelas kau yang mulai 

membicarakannya. Bukan aku!”

“Wah.... Mengapa kau tidak dari tadi mengatakan-

nya padaku?!”

“Itu berarti aku yang mulai membicarakannya!”

Murid Pendeta Sinting sudah hendak berucap. Na-

mun tiba-tiba di hadapannya Nyai Tandak Kembang 

sudah putar diri menghadap mereka. Joko langsung 

merinding ketika dilihatnya mata Nyai Tandak Kem-

bang langsung menatap tajam padanya.

“Anak muda!” kata Nyai Tandak Kembang. “Siapa 

pun nanti yang muncul, jangan kau tunjukkan diri! 

Jangan bicara apa-apa! Kau mengerti?!”

Belum sampai murid Pendeta Sinting mengerti apa 

maksud Nyai Tandak Kembang, eyang Putri Kayangan 

ini memberi isyarat agar keduanya mengikuti.

Nyai Tandak Kembang melompat dan menyelinap 

masuk ke balik semak. Joko memandang pada Putri 

Kayangan. Si gadis hanya melirik lalu melompat ke 

semak di mana Nyai Tandak Kembang menyelinap le-

nyap. Tanpa pikir panjang, murid Pendeta Sinting ikut-

ikutan melompat lalu menyelinap. Terlihat Nyai Tan-

dak Kembang duduk mendekam dengan mata tertuju 

ke satu jurusan. Putri Kayangan yang ikut mendekam 

di sampingnya juga arahkan pandang matanya ke ju-

rusan mana Nyai Tandak Kembang memandang.

Seraya ikut duduk mendekam, Joko ikut pula arah


kan pandang matanya ke jurusan mana kedua orang 

cucu dan nenek tengah memandang.

Baru saja Joko arahkan pandangannya, tiba-tiba 

laksana setan gentayangan terlihat tiga sosok tubuh 

berkelebat saling susul menyusul. Begitu cepatnya ke-

lebatan ketiga bayangan itu, Joko tidak bisa mengenali 

siapa adanya ketiga bayangan. Yang dia lihat hanya 

bayangan warna merah, hijau, dan putih.

Ketiga sosok bayangan itu terus berkelebat dan saat 

lain telah lenyap di depan sana. Murid Pendeta Sinting 

memandang pada Nyai Tandak Kembang yang gerak-

kan kepala mengikuti ke mana arah berkelebatnya ke-

tiga sosok bayangan.

“Hem.... Dia tahu kalau ada orang yang hendak 

muncul! Tapi mengapa dia melarangku untuk bicara 

dan tunjukkan diri?!”

Sambil terus berpikir, murid Pendeta Sinting berge-

rak bangkit. Namun belum sampai tegak, Nyai Tandak 

Kembang sudah berpaling dengan mata mendelik.

“Turunkan tubuhmu!” perintah Nyai Tandak Kem-

bang dengan suara pelan namun nadanya sengit.

Dengan angkat bahu dan melirik pada Putri Kayan-

gan, Joko turunkan tubuhnya. Saat itulah mendadak 

dari arah mana tadi tiga sosok bayangan berkelebat, 

kembali muncul tiga sosok bayangan yang berkelebat.

“Mereka berbalik!” gumam Joko dalam hati. Lalu 

pentangkan mata.

Tiga sosok bayangan mendadak sama hentikan ke-

lebatannya hanya sejarak lima belas langkah dari tem-

pat Joko, Putri Kayangan, dan Nyai Tandak Kembang 

mendekam sembunyi.

Tiga sosok itu ternyata seorang nenek dan dua 

orang kakek. Si nenek mengenakan pakaian warna 

merah. Kakek yang satu mengenakan pakaian warna 

hijau, sedangkan kakek satunya mengenakan pakaian


warna putih kusam.

“Dayang Sepuh! Gendeng Panuntun! Datuk Wah-

ing!” kata Joko mengenali ketiga orang yang kini telah 

tegak berjajar di depan sana. Dia lupa akan peringatan 

Nyai Tandak Kembang. Sembari berkata dia bergerak 

bangkit.

Nyai Tandak Kembang tampak mendelik lalu berpal-

ing. Namun karena pandangan Joko sedang tertuju 

pada ketiga orang di depan sana, murid Pendeta Sint-

ing tidak melihat pelototan mata Nyai Tandak Kem-

bang.

“Turunkan tubuhmu!” Terpaksa Nyai Tandak Kem-

bang berucap. Malah bukan hanya sampai di situ. 

Khawatir Joko telanjur tegak, Nyai Tandak Kembang 

gerakkan tangan kirinya. Satu deruan pelan terdengar.

Pendekar 131 tersentak kaget. Buru-buru dia tu-

runkan tubuhnya. Bukan karena mengikuti perintah 

Nyai Tandak Kembang melainkan karena saat itu satu 

gelombang deras menyambar ke arah kepalanya! Kalau 

dia tidak segera turunkan tubuh, niscaya kepalanya 

akan terhajar gelombang!

“Kau dengar kata-kataku! Jangan berkata apa-apa 

atau tunjukkan diri apa pun nanti yang terjadi!” ben-

tak Nyai Tandak Kembang dengan suara ditahan.

Walau belum mengerti apa maksud Nyai Tandak

Kembang, murid Pendeta Sinting anggukkan kepala 

dengan bibir tersenyum. Padahal hatinya deg-degan. 

Sementara Nyai Tandak Kembang menggerutu dalam 

hati melihat sikap Joko.

Di depan sana, tiga sosok tubuh yang ternyata bu-

kan lain adalah Dayang Sepuh, Datuk Wahing, dan 

Gendeng Panuntun sama gerakkan kepala. Dayang 

Sepuh menghadap Datuk Wahing yang tegak di sebe-

lah kirinya, Datuk Wahing sendiri berpaling ke arah 

Dayang Sepuh. Sedangkan Gendeng Panuntun yang


tegak di sebelah kanan Dayang Sepuh tengadahkan 

kepala.

***

TUJUH



SETAN-SETAN tua! Mengapa kalian mengajakku 

putar-putar tak karuan?!” Tiba-tiba Dayang Sepuh 

perdengarkan bentakan. Kepalanya segera dialihkan 

pada Gendeng Panuntun.

“Nek.... Aku mencium aroma kembang lain daripada 

yang lain! Apa kau tidak merasakannya?” tanya Gen-

deng Panuntun seraya terus mendongak.

Walau dengan mencibir tapi tak urung juga si nenek 

kembang-kempiskan hidung beberapa kali dengan ke-

pala berputar. Sementara tangan kanannya bergerak 

rapikan poni di keningnya.

Di balik semak, Nyai Tandak Kembang melirik pada 

Putri Kayangan. Lalu memandang angker pada Pende-

kar 131 yang membalasnya dengan senyum.

“Dasar hidung setan! Hanya karena mencium aroma 

bunga kembang ini kau mengajakku pulang balik tak 

karuan, hah?!”

“Bruss! Bruss! Rasanya kita juga akan membukti-

kan ucapan sahabat yang baru saja kita temui. Heran-

nya, aku tak bisa tahu apakah hanya cirinya yang se-

suai tapi makhluknya berbeda!”

“Hem.... Jadi makhluk setan yang kita cari itu ada 

di sekitar sini?!” ujar Dayang Sepuh. Tanpa menunggu 

sahutan dari Datuk Wahing ataupun Gendeng Panun-

tun, Dayang Sepuh sudah berteriak dengan suara ke-

ras membahana.

“Kalau kalian bukan setan, mengapa takut tunjukan diri?!”


Di balik semak, Nyai Tandak Kembang anggukkan 

kepala pada Putri Kayangan. Lalu berbisik. “Mereka te-

lah tahu keberadaan kita! Kita segera keluar!” Nyai 

Tandak Kembang alihkan pandangan pada murid Pen-

deta Sinting. “Kau jangan berani tunjukkan diri atau 

bicara!”

Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang mem-

beri isyarat pada Putri Kayangan untuk mengikutinya 

keluar dari balik semak. Sambi! melirik dan tersenyum 

menahan tawa pada murid Pendeta Sinting, Putri 

Kayangan bergerak bangkit lalu melangkah keluar dari 

balik semak mengikuti eyangnya yang sudah menda-

hului.

Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. Lalu 

memandang ke depan. Bukan ke arah Nyai Tandak

Kembang melainkan pada Putri Kayangan. Juga tidak 

ke arah wajah si gadis namun pada perutnya. Semen-

tara Dayang Sepuh segera pentangkan mata. Dia juga 

tidak melihat pada Nyai Tandak Kembang, melainkan 

melotot pada perut Putri Kayangan.

“Setan betul! Aku tak bisa membedakan wajahnya! 

Apakah menurutmu gadis itu yang kita cari?!” tanya 

Dayang Sepuh pada Datuk Wahing.

“Rasanya bukan dia yang kita cari...,” bisik Gendeng 

Panuntun. “Sahabat yang kita jumpa tadi memang 

mengatakan sesuai dengan ciri-ciri di depan itu, tapi 

tampaknya dia menyembunyikan sesuatu yang sebe-

narnya! Dia mengecoh kita!”

“Ada yang ingin kalian katakan?!” Mendadak Nyai 

Tandak Kembang buka pertanyaan.

“Bruss! Bruss! Sebenarnya banyak.... Tapi agar kau 

tidak merasa heran apalagi jengkel, untuk sementara

ini biarlah segalanya tersimpan dahulu! Suatu saat 

nanti pasti akan kita bicarakan bersama-sama.... Maaf 

bila kami mengganggu keasyikkan kalian!”


“Sebelum kami pergi, mau perkenalkan sahabat sa-

tunya lagi yang masih malu-malu?!” kata Gendeng Pa-

nuntun.

Di balik semak, mendengar ucapan Gendeng Pa-

nuntun, Joko tampak gelisah. Dari ucapan orang dia 

telah maklum kalau Gendeng Panuntun sudah menge-

tahui keberadaan dirinya. Pendekar 131 sendiri sebe-

narnya ingin keluar karena masih ada hal yang ingin 

dibicarakan. Namun ingat akan pesan Nyai Tandak 

Kembang, ia jadi bimbang.

Di lain pihak, meski merasa terkejut, namun Nyai 

Tandak Kembang bisa sembunyikan rasa kejutnya. 

Tapi tidak demikian halnya dengan Putri Kayangan. 

Gadis ini tersentak kaget. Dan tanpa sadar berpaling 

ke arah semak di mana Joko bersembunyi.

“Hem.... Jadi masih ada setan lagi di balik semak 

itu! Jangan-jangan makhluk itu yang tengah kita cari!” 

desis Dayang Sepuh mendapati sikap Putri Kayangan. 

Lalu tanpa pedulikan pandangan Nyai Tandak Kem-

bang, si nenek berambut poni ini berseru.

“Setan di balik semak! Keluarlah!”

Pendekar 131 makin bingung. Dia sibakkan sedikit 

semak belukar di hadapannya. Lalu memandang satu 

persatu pada beberapa orang di depan sana. “Apa aku 

harus keluar mengikuti ucapan nenek Dayang Sepuh?! 

Tapi bagaimana kalau nanti Nyai Tandak Kembang 

marah-marah?! Aku tak tahu mengapa Nyai Tandak 

Kembang melarangku tunjukkan diri atau berucap! 

Hem.... Bagaimana ini?!”

“Eyang....”

“Kau juga jangan ikut bersuara!” Nyai Tandak Kem-

bang telah menukas ucapan Putri Kayangan yang hen-

dak bicara.

Dayang Sepuh berpaling pada Gendeng Panuntun. 

“Kau bisa merasakan, siapa setan di balik semak itu?


Setan perempuan atau laki-laki?!”

Gendeng Panuntun usap cermin bulat di depan pe-

rutnya. “Aku tak bisa memastikan. Tapi kurasa se-

baiknya kita segera pergi dari tempat ini!”

“Bagaimana dengan setan satu di balik semak yang 

belum unjuk tampang itu?!” tanya Dayang Sepuh.

“Kurasa tak ada yang bisa kita dapatkan dari orang 

itu! Kita harus berbalik arah lagi!” jawab Gendeng Pa-

nuntun lalu luruskan kepalanya menghadap Nyai Tan-

dak Kembang dan berkata.

“Nyai.... Seperti ucapan sahabatku Datuk Wahing, 

sebenarnya masih banyak yang harus kita bicarakan. 

Namun karena kita kelak masih berjumpa lagi, kurasa 

pembicaraannya kita tuntaskan kelak saja! Sekarang 

aku dan sahabat-sahabatku akan pamit dahulu....” 

Gendang Panuntun anggukkan kepala dua kali.

Bersamaan dengan itu Datuk Wahing gerakkan Ke-

pala ke depan mengangguk-angguk lalu bersin tiga kali

tanpa disusul dengan ucapan. Dayang Sepuh masin 

arahkan pandang matanya ke arah semak. Namun be-

gitu mendapati Gendeng Panuntun berkelebat disusul 

kemudian oleh Datuk Wahing, si nenek segera berpal-

ing. Dengan perdengarkan gumaman tak jelas, akhir-

nya si nenek berkelebat mengikuti Gendeng Panuntun 

dan Datuk Wahing.

“Hem.... Tampaknya mereka telah tahu pula di ma-

na arah Pitaloka berada!” gumam Nyai Tandak Kem-

bang. “Kita harus terlebih dahulu mendapatkannya!”

Nyai Tandak Kembang menoleh ke arah semak. 

Ternyata Pendekar 131 sudah tegak dengan kepala 

mengarah pada berkelebatnya Dayang Sepuh.

“Bersama pemuda itu akan membuat gerakan kita 

sulit kembali Nyai Tandak Kembang bergumam. “Ba-

gaimana kalau dia kita tinggalkan?!”

Pertanyaan Nyai Tandak Kembang tidak segera di


jawab oleh Putri Kayangan. Namun perubahan wajah 

si gadis telah membuat perempuan dari lereng Gunung 

Semeru iii maklum apa yang ada dalam benak cu-

cunya.

“Baiklah.... Dia kita ajak serta. Tapi harus melaku-

kan segala yang kukatakan! Akhirnya Nyai Tandak 

Kembang berkata seraya menghela napas.

“Eyang...,” kata murid Pendeta Sinting seraya me-

lompat dan tegak tidak jauh dari Putri Kayangan. “Bo-

leh aku tahu mengapa kau melarangku menemui me-

reka dan bicara dengan mereka! Mereka adalah saha-

bat-sahabatku....”

“Aku tahu, Anak Muda...,” jawab Nyai Tandak Kem-

bang dengan suara pelan dan bibirnya tersenyum. 

“Namun sementara ini aku tak bisa jawab perta-

nyaanmu! Selain itu, kau punya dua pilihan. Terus 

bersama k3mi atau berpencar!”

Hampir bersamaan kepala Pendekar 131 dan Putri 

Kayangan bergerak saling menghadap. Sesaat mereka 

saling berpandangan.

“Aku ikut bersamamu, Eyang...,” kata Joko.

“Kalau itu pilihanmu, ada beberapa hal yang harus 

kau lakukan! Kau sanggup?”

Meski dengan hati masih bertanya-tanya, murid 

Pendeta Sinting anggukkan kepala. “Apa yang harus 

kulakukan?!”

“Ikuti semua ucapanku!” jawab Nyai Tandak Kem-

bang pendek.

“Kalau hanya itu tak susah aku melakukannya! Se-

karang apa ucapanmu yang harus kulakukan, 

Eyang?!”

Nyai Tandak Kembang tidak menjawab. Sementara 

Putri Kayangan tersenyum seraya gelengkan kepalanya 

perlahan. Nyai Tandak Kembang arahkan pandangan-

nya ke jurusan selatan. La u berkata.


“Anak muda! Kau benar-benar sanggup melakukan 

apa yang kuucapkan?!”

“Demi bisa bersama denganmu dan Putri Kayan-

gan....”

Putri Kayangan tersentak mendengar ucapan terus-

terang murid Pendeta Sinting. Namun dadanya berde-

bar senang.

“Ikuti saja aku! Bila nanti tiba saatnya aku akan 

mengatakan apa yang harus kau lakukan!”

Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang berke-

lebat ke arah selatan. Putri Kayangan dan Pendekar 

131 saling pandang. Sebenarnya Joko hendak berkata, 

namun Putri Kayangan keburu berkelebat mengikuti 

Nyai Tandak Kembang.

“Aneh... Apa sebenarnya kemauan eyang cantik 

itu.... Hem.... Masih begitu muda dan cantik sudah di-

panggil eyang! Apa benar Putri Kayangan dan Pitaloka 

adalah cucu-cucunya?!” sembari terus bertanya-tanya 

dan tersenyum sendiri, murid Pendeta Sinting berkele-

bat menyusul Nyai Tandak Kembang dan Putri Kayan-

gan.

***

Pada satu tempat tiba-tiba Gendeng Panuntun hen-

tikan kelebatannya. Datuk Wahing dan Dayang Sepuh 

ikut-ikutan berhenti. Gendeng Panuntun dongakkan 

kepala seraya usap cermin bulatnya.

“Aneh.... Aku tak dapat menjajaki di mana bera-

danya orang yang kita cari! Ada tabir yang menghalan-

gi! Bagaimana dengan kalian berdua? Bisa menjajaki 

arah di mana sahabat Kigali dan orang yang kita cari?”

“Bruss! Bruss! Aku juga merasa heran. Sejak me-

masuki kawasan selatan hutan ini, aku tak bisa men-

dapatkan petunjuk apa-apa!” Datuk Wahing menyahut.

“Bagaimana dengan dirimu, Nek...?” tanya Gendeng 

Panuntun.

“Kalau setan-setan seperti kalian tidak dapat, ba-

gaimana mungkin aku bisa?!”

Dayang Sepuh edarkan pandang matanya berkelil-

ing. Lalu memandang satu persatu pada Gendeng Pa-

nuntun dan Datuk Wahing. “Celaka! Bagaimana bisa 

begini! Rasanya kita bakal kehilangan jejak!”

Gendeng Panuntun geleng kepala. “Aku tak tahu 

harus mengatakan bagaimana. Aku benar-benar mera-

sakan ada tabir penghalang yang sangat kuat hingga 

tak mampu menjajaki di mana beradanya orang! Ini 

satu tanda jika ada sesuatu yang sangat luar biasa! 

Aku tidak bisa memastikan apa sesuatu itu. Mungkin 

saja inilah salah satu keanehan yang dimiliki bayi 

itu....”

“Brusss! Lalu apa yang harus kita lakukan seka-

rang? Adalah mengherankan kalau kita hanya tegak 

bengong di sini!”

“Perempuan setan bernama Nyai Tandak Kembang 

itu rasanya juga menuju ke arah selatan,” ujar Dayang 

Sepuh. “Tampaknya dia juga tahu di mana beradanya 

orang yang kita cari! Bagaimana kalau kita ikuti dia?! 

Barangkali dia bisa menembus tabir penghalang itu! 

Apalagi perempuan setan itu mengaku sebagai nenek-

nya!”

“Hem.... Itu usul yang baik! Tapi aku merasa dia 

memiliki daya penciuman yang sangat hebat. Kalau ki-

ta mengikuti dia, tentu dia akan tahu!”

“Bruss! Bruss! Nyai satu itu memang punya daya 

cium luar biasa. Tapi jangan heran kalau kukatakan 

aku bisa mematahkan daya penciumannya hingga dia 

tidak dapat mengendus aroma tubuh kita!”

“Cepat katakan apa yang harus kita lakukan!” kata


Dayang Sepuh.

Datuk Wahing tertawa dahulu lalu bersin tiga kali. 

Baru kemudian berucap.

“Kita butuh air kencing sebanyak-banyaknya....”

“Edan! Kau tak bisa membedakan kapan saatnya 

main-main dan sungguh-sungguh!” semprot Dayang 

Sepuh.

“Bruss! Aku tidak main-main, Nek! Segala sesuatu 

adalah mengherankan jika tak memiliki kelemahan! 

Dan satu-satunya kelemahan nyai cantik itu adalah air

kencing! Daya penciumannya akan hilang bila men-

cium aroma air kencing! Lebih dari itu untuk menjaga 

segala kemungkinan, kita harus mengikuti dengan 

mengambil tempat yang berlawanan dengan arah an-

gin!”

“Jadi kita harus kencing terus-terusan?!” tanya 

Dayang Sepuh. “Lebih baik kita urungkan saja! Bagai-

mana aku harus kencing melulu kalau aku mengena-

kan celana begini rupa?!” Dayang Sepuh arahkan pan-

dangannya pada Gendeng Panuntun. “Kalau dengan 

dia aku tak merasa sungkan, karena bagaimanapun 

juga dia tak bisa melihat meski matanya melotot!” 

Dayang Sepuh alihkan pandang matanya pada Datuk 

Wahing. “Yang ku khawatirkan adalah mata setanmu!”

Datuk Wahing tertawa bergelak. Gendeng Panuntun 

ikut-ikutan tertawa. Dan entah karena apa Dayang Se-

puh tiba-tiba juga ikut perdengarkan tawa!

“Brusss! Kau tak perlu terus-terusan kencing, Nek! 

Kita hanya perlu persediaan. Air kencing itu kita ta-

bur-taburkan di depan kita begitu kita mendekati Nyai 

Tandak Kembang! Sekarang kita cari bumbung bambu 

dan daun ilalang! Masukkan air kencing masing-

masing ke dalam bumbung bambu. Daun ilalang un-

tuk menaburkan jika kita mulai mendekati Nyai Tan-

dak Kembang!”


“Datuk...,” kata Gendeng Panuntun. “Untuk urusan 

bumbung bambu dan ilalang, aku menyerahkan pa-

damu. Aku hanya bisa kencing saja dan menunggu di 

sini!”

“Aku juga!” sahut Dayang Sepuh.

Datuk Wahing bersin dua kali. Tanpa menyusuli 

dengan ucapan, kakek ini berkelebat meninggalkan 

Dayang Sepuh dan Gendeng Panuntun.

“Dasar datuk setan! Mainannya aneh-aneh!” gu-

mam Dayang Sepuh lalu berpaling pada Gendeng Pa-

nuntun.

“Kau percaya dengan ucapan datuk setan itu?!”

“Kurasa ucapannya benar!”

“Huh! Dasar sama-sama setannya! Mungkin saja ini 

hanya permainan konyol datuk setan itu! Dia ingin me-

lihat pantatku!”

“Jangan berprasangka buruk, Nek!”

“Ini bukan prasangka! Kau tahu sendiri, aku men-

genakan celana pendek. Bagiku tak mungkin bisa 

kencing tanpa menurunkan celana! Dan itu pasti akan 

membuat pantatku kelihatan!”

“Kita tengah mencari orang yang sangat penting 

demi rimba persilatan. Kurasa kalau hanya memperli-

hatkan pantat bukanlah satu pengorbanan yang be-

sar!”

“Memang bukan besar! Yang kutakutkan dia nanti 

menyiarkan kabar soal pantatku ini!”

Gendeng Panuntun tertawa bergelak. “Memang ada 

apa dengan pantatmu, Nek?!”

Belum sampai Dayang Sepuh menjawab, U dengar 

bersinan dua kali. Lalu muncullah Datuk Wahing den-

gan tangan membawa tiga bumbung bambu sepanjang 

masing-masing dua jengkal.

Datuk Wahing ulurkan tangan kanannya pada 

Dayang Sepuh. “Ambil satu untukmu!” Lalu mendekati

Gendeng Panuntun dan memberikan satu bumbung 

bambu.

“Brusss! Sekarang terserah kalian. Mau kencing di 

sini atau mencari tempat yang enak! Yang jelas sema-

kin banyak air kencing di dalam bumbung, semakin le-

luasa nantinya kita mengikuti langkah Nyai Tandak 

Kembang!”

Habis berkata begitu, Datuk Wahing balikkan tu-

buh. Putar kepalanya sebentar lalu berkelebat dan le-

nyap di balik satu batangan pohon.

Dayang Sepuh pandangi bumbung bambu di tan-

gannya. Lalu beralih pada bumbung bambu di tangan 

Gendeng Panuntun. Tiba-tiba si nenek perdengarkan 

tawa cekikikan. Saat lain dia berkelebat ke balik semak 

dengan perdengarkan suara keras.

“Jika kulihat salah satu dari kalian mengintip, jan-

gan menyesal kalau kalian berdua akan mandi dengan 

air setan ini!”

Gendeng Panuntun tertawa seraya melangkah ke 

salah satu pohon. Disambut dengan gelakan tawa Da-

tuk Wahing dari balik batangan pohon.

Tak berapa lama kemudian, Dayang Sepuh sudah 

berkelebat muncul dari balik semak dengan mendelik 

jelalatan. Karena bersamaan dengan itu suara gelakan 

tawa Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun lenyap!

“Di mana kalian?!” teriak Dayang Sepuh lalu arah-

kan sepasang matanya ke tempat di mana dia tadi me-

nyelinap. Jelas nenek ini khawatir Datuk Wahing serta 

Gendeng Panuntun berada tak jauh dari tempatnya 

tadi menyelinap kencing.

“Aku di sini, Nek!” Yang menyambut adalah suara 

Gendeng Panuntun.

“Brusss! Aku heran.... Tampaknya kau takut seka-

li!” Datuk Wahing perdengarkan suara lalu sosoknya 

muncul dari balik batangan pohon. Tangan kiri memegang bumbung bambu tangan kanan pencet hidung-

nya.

Bersamaan dengan munculnya sosok Datuk Wah-

ing, Gendeng Panuntun melangkah keluar pula dari 

balik pohon. Bumbung bambu tampak diselipkan pada 

ikat pinggangnya.

“Celaka!” Mendadak Datuk Wahing berseru dengan 

suara sengau karena hidungnya terpencet tangan ka-

nannya.

“Kemauanmu sudah dituruti, tapi kau masih juga 

bilang celaka!” bentak si nenek.

“Brusss! Brusss! Bagaimana tidak celaka! Dengan 

air di dekatku, berarti aku tidak bisa menahan bersin! 

Dan itu akan membuat Nyai Tandak Kembang menge-

tahui kalau sedang diikuti orang! Heran.... Mengapa 

aku tadi lupa kalau aku tidak bisa menahan bersin bi-

la mencium aroma air kencing....”

“Setan! Kau benar-benar mempermainkan aku!” 

sentak Dayang Sepuh. Tangan kirinya yang memegang 

bumbung bambu diangkat ke atas.

“Tahan, Nek!” seru Datuk Wahing tatkala melihat 

bagaimana si nenek hendak tumpahkan bumbung 

bambu yang telah berisi air kencing. “Karena sudah te-

lanjur, apa boleh buat! Untuk sementara ini aku harus 

menyumbat hidungku dengan dedaunan! ini untuk 

mengurangi aroma air kencing.”

Setelah berkata begitu, Datuk Wahing membuat ge-

rakan satu kali. Sosoknya melesat dan lenyap di balik 

kerapatan semak. Tak berselang lama, Datuk Wahing 

sudah muncul lagi.

Dayang Sepuh tiba-tiba perdengarkan gelakan tawa 

panjang. Sementara Datuk Wahing melangkah bersun-

gut-sungut dengan tangan kiri memegang bumbung 

bambu sementara pada kedua lobang hidungnya terli-

hat daun sirih yang dibuat sumbatan oleh sang Datuk.


“Kita harus segera jalan memutar! Orang yang hen-

dak kita ikuti sudah tidak jauh dari sini!” Yang berujar 

Gendeng Panuntun.

Dayang Sepuh putuskan gelakan tawa. Datuk Wah-

ing hentikan langkahnya. Hampir bersamaan ketiga 

orang ini membuat gerakan. Kejap lain ketiganya ber-

kelebat.

***

DELAPAN



TIGA sosok bayangan itu hentikan lari masing-

masing ketika orang yang berlari di sebelah depan 

memberi isyarat dengan angkat tangannya seraya ber-

henti. Mereka tidak lain adalah Nyai Tandak Kembang, 

Putri Kayangan, dan Pendekar 131.

Nyai Tandak Kembang yang berada di sebelah de-

pan turunkan tangannya. Kepalanya bergerak berpal-

ing ke arah timur.

“Hem... Aku dapat mencium aroma sosok tiga orang 

itu! Tapi mereka menuju ke arah timur! Sementara aku 

masih bisa menjajaki aroma Pitaloka di sebelah selatan 

dan tak jauh dari tempat ini!” kata Nyai Tandak Kem-

bang setelah menghirup udara agak lama.

“Rupanya mereka kehilangan jejak! Mudah-

mudahan kali ini aku tidak gagal!” gumam Nyai Tan-

dak Kembang. Kepala perempuan ini berpaling ke arah 

Putri Kayangan dan murid Pendeta Sinting. “Sebenar-

nya tanpa pemuda itu ikut serta, aku makin leluasa 

bertindak! Tapi.... Apa hendak dikata! Beda Kumala 

rupanya keberatan....” Nyai Tandak Kembang kembali 

membatin. Lalu memberi isyarat pada kedua orang di 

belakangnya untuk teruskan langkah.

Ketiga orang ini kembali berkelebat tanpa ada yang


buka suara. Hanya sesekali tampak Putri Kayangan 

dan Pendekar 131 saling berpandangan.

Pada satu tempat, Nyai Tandak Kembang kembali 

hentikan larinya. Putri Kayangan dan murid Pendeta 

Sinting ikut berhenti dan tegak empat langkah di bela-

kang Nyai Tandak Kembang.

“Aroma itu terhenti di sini!” kata Nyai Tandak Kem-

bang dalam hati dengan dada mulai berdebar. Kepa-

lanya kembali memutar dengan menyiasati keadaan 

sekeliling. Saat itu matahari sudah menggelincir agak 

jauh dari titik tengahnya. Namun ke mana mata me-

mandang masih jelas bisa melihat.

Ketiga orang itu ternyata berada pada satu tempat 

agak terbuka. Di kanan kirinya terlihat jajaran bebera-

pa pohon besar. Berjarak dua puluh langkah ke depan 

terlihat sebuah tanah agak tinggi yang tertutup rimbun 

dedaunan dan rumput tebal.

“Aroma itu berasal dari tanah tinggi di depan itu!” 

gumam Nyai Tandak Kembang. Setelah meyakinkan 

sekali lagi dengan kembang-kempiskan hidung, Nyai 

Tandak Kembang berpaling pada Pendekar 131.

“Pendekar 131! Apa pun yang nanti kulakukan, jan-

gan ikut buka mulut atau bertindak! Kau dengar?”

Walau masih juga belum mengerti apa maksud 

ucapan orang, murid Pendeta Sinting anggukkan kepa-

la. Nyai Tandak Kembang alihkan pandang matanya 

pada Putri Kayangan. “Dan kau, Beda Kumala. Jangan 

pula ikut bicara atau bertindak!”

Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang putar 

diri dengan mata tak berkesip memandang ke sela-sela 

jajaran pohon. Hidungnya mengembang mengempis 

berulang kali. Nyai Tandak Kembang baru hentikan 

tindakannya ketika tubuhnya telah kembali mengha-

dap tanah agak tinggi di depan sana.

“Aku tidak mencium aroma tubuh orang lain....


Anehnya tiba-tiba saja aku mencium aroma lain.... Pa-

dahal aroma itu tadi tidak ada! Ah.... Aku tak perlu 

khawatir, yang jelas aroma ini bukan aroma manusia! 

Berarti tidak ada orang lain di sekitar tempat ini!” Nyai 

Tandak Kembang sesaat tadi tampak bimbang. Namun 

kejap lain kebimbangannya telah sirna.

Di belakang Nyai Tandak Kembang, tiba-tiba Pende-

kar 131 merasa gelisah. Ekor matanya melirik ke arah 

Putri Kayangan. Namun bukan ke arah wajah si gadis 

melainkan pada bagian bawah tubuh sang Putri. Lalu 

kepalanya menunduk perhatikan bagian bawah tu-

buhnya sendiri. Kejap lain dia arahkan pandang ma-

tanya ke arah bagian bawah sosok Nyai Tandak Kem-

bang yang tegak di depannya.

“Aneh.... Aku tidak merasa kencing walau dari tadi 

aku sudah menahannya. Putri Kayangan dan Nyai 

Tandak Kembang juga tidak basah pakaian bawahnya. 

Tapi.... Aku mencium santernya air kencing! Apakah 

mungkin seorang perempuan akan tercium bau ken-

cingnya jika dia menahan kencing?! Jangan-jangan Pu-

tri Kayangan dan eyangnya menahan kencing!” Murid 

Pendeta Sinting tertawa dalam hati hingga bahunya 

sedikit berguncang. Lalu dia arahkan kembali pandan-

gannya silih berganti pada Putri Kayangan dan Nyai

Tandak Kembang. Namun kali ini dia tidak bisa mena-

han tawa. Hingga tanpa ampun lagi terdengar juga ta-

wanya!

Nyai Tandak Kembang dan Putri Kayangan hampir 

bersamaan palingkan kepala. Saat yang sama tiba-tiba 

tawa murid Pendeta Sinting meledak!

Putri Kayangan sudah hendak bertanya. Namun di-

dahului Nyai Tandak Kembang.

“Apa yang membuatmu tertawa, Anak Muda?”

Joko putuskan ledakan tawanya. “Dari gerak-

geriknya dia sangat mengandalkan daya ciumnya. Ada


lah hal aneh kalau dia tidak bisa mencium bau kenc-

ing yang sangat santer ini!” kata Joko dalam hati. 

“Atau karena bau ini bersumber dari dirinya sendiri 

hingga dia tidak bisa menciumnya?!”

“Anak muda! Aku memang melarangmu untuk bica-

ra! Tapi itu tidak berlaku kalau aku bertanya pada-

mu...,” kata Nyai Tandak Kembang mengira Joko tidak 

mau menjawab karena dia tadi sudah mengatakan 

agar Joko tidak buka mulut.

“Eyang.... Kau tidak mencium sesuatu yang aneh?”

“Aku menciumnya.... Tapi itu hanya bau kencing! 

Bukan bau manusia!”

Tanpa sepengetahuan ketiga orang yang tengah te-

gak di tanah agak terbuka, berjarak kira-kira lima 

tombak di balik kerapatan semak, tiga sosok tubuh 

tampak mengendap-endap. Tangan kanan masing-

masing orang ini memegang satu ilalang yang sesekali 

dimasukkan ke dalam bumbung bambu di tangan kiri 

masing-masing. Ketika ilalang ditarik keluar, ketiganya 

sama kibaskan ilalang. Terlihat muncratan air berwar-

na kekuningan yang tebarkan aroma tak sedap!

“Rupanya setan perempuan itu takluk juga dengan 

air kencing! Hik.... Hik...!” bisik suara perempuan yang 

bukan lain adalah Dayang Sepuh. Datuk Wahing tidak 

menyahut. Karena selain harus tebarkan ilalang, dia 

juga harus menahan agar bersinarnya tidak keluar. Di 

hidungnya memang masih terlihat sumbatan daun si-

rih, namun karena tebaran air kencing itu berasal dari 

air tiga orang, mau tak mau Datuk Wahing masih ha-

rus berusaha keras bertahan.

“Tampaknya dia sudah menemukan yang dicari!” 

Kali ini yang berbisik adalah Gendeng Panuntun.

“Untungnya pemuda setan itu berada di sini! Jika

tidak pasti kita masih kebingungan!” ujar Dayang Se-

puh dengan suara ditahan tatkala melihat Pendekar


131 tegak di depan sana.

“Nek... Jangan terus-terusan kau tebarkan airmu! 

Kalau habis kau akar; kelabakan sendiri! Aku tak 

mungkin bisa memberikan airku padamu! Itu akan 

mengherankan!” bisik Datuk Wahing tatkala melihat 

berulang kali si nenek celupkan ilalang pada bumbung 

bambu di tangan kirinya dan dikibas-kibaskan.

“Setan! Apa kau kira aku juga mau menadah di ba-

wah celanamu, hah?! Siapa mau lihat singkong hitam 

keriput milikmu?!” sentak Dayang Sepuh dengan suara 

direndahkan lalu tertawa tertahan-tahan.

“Ah.... Kau sudah tahu kalau singkongnya hitam

dan sudah mengeriput! Jangan-jangan kau tadi men-

gintipnya!” sahut Gendeng Panuntun.

“Gila! Tanpa diintip pun semua pasti sudah mendu-

ga kalau singkongnya sudah mengeriput! Dan dari ku-

lit wajahnya siapa pun pasti bisa menebak kalau sing-

kongnya hitam!” sambut Dayang Sepuh seraya te-

ruskan tertawa tertahan-tahan.

“Jangan terus bicara tak karuan, Nek!” kata Datuk 

Wahing. “Lihat mereka mulai bergerak!”

Di depan sana. Nyai Tandak Kembang memang mu-

lai melangkah ke arah tanah agak tinggi. Putri Kayan-

gan dan Pendekar 131 ikut membuntuti di belakang-

nya.

Nyai Tandak Kembang hentikan langkah lima tin-

dak dari tanah ketinggian. “Aroma itu benar-benar be-

rasal dari tanah di depan itu. Tapi aku tak melihat 

tempat yang pantas untuk berlindung! Yang terlihat 

hanya tanah tertutup rumput tebal dan dedaunan! 

Hem.... Mungkin di balik dedaunan dan rumput tebal 

itu ada tempat tersembunyi!”

Berpikir begitu, Nyai Tandak Kembang teruskan 

langkah seraya berkata.

“Beda Kumala dan kau, Anak Muda! Telusuri tanah


tinggi ini! Sibakkan dedaunan dan rumput tebalnya!”

Pendekar 131 Joko Sableng menoleh pada Putri 

Kayangan. “Eyangmu ini orangnya aneh.... Untuk apa 

kita menelusuri dedaunan dan rumput tebal?!”

“Jangan bertanya padaku.... Kalau berani bilang sa-

ja sama Eyang!” sahut Putri Kayangan sambil terse-

nyum.

Kedua orang ini segera lakukan ucapan Nyai Tan-

dak Kembang. Putri Kayangan melangkah dari arah ki-

ri, sementara murid Pendeta Sinting menelusuri dari 

arah kanan. Nyai Tandak Kembang mengambil arah 

paling tengah.

“Apa yang hendak dilakukan setan-setan itu?!” kata 

Dayang Sepuh dari balik semak.

“Kita lihat saja! Aku juga masih heran!” jawab Da-

tuk Wahing.

Di depan sana mendadak murid Pendeta Sinting 

berteriak. “Aku menemukan lobang!”

Nyai Tandak Kembang segera melompat mendekati 

Joko. Lalu perhatikan sibakan dedaunan di hadapan-

nya. Saat lain kedua tangannya bergerak ikut sibakkan 

dedaunan.

Nyai Tandak Kembang dan Joko melihat sebuah lo-

bang agak besar. Nyai Tandak Kembang menghirup 

udara beberapa kali. Lalu berpaling pada Joko dan 

berkata.

“Kuharap kau masih ingat pesanku tadi, Anak Mu-

da!”

Tanpa menunggu jawaban, Nyai Tandak Kembang 

melangkah memasuki lobang. Pendekar 131 mengikuti 

di belakangnya. Putri Kayangan menyusul.

“Apa yang kita lakukan sekarang?! Setan-setan itu 

lenyap masuk ke dalam tanah tinggi!” kata Dayang Se-

puh.

“Sebaiknya kita menunggu di sini! Mereka pasti


akan keluar!” jawab Gendeng Panuntun.

“Benar! Sebaiknya kita menunggu! Apalagi murid 

Pendeta Sinting sudah ikut masuk! Kukira dia tahu 

apa yang harus dilakukan!” Datuk Wahing berucap 

sambuti ucapan Gendeng Panuntun.

“Aku punya firasat lain! Pemuda setan itu tampak-

nya tidak berdaya menghadapi kedua setan perem-

puan di sampingnya! Kau dengar dan lihat sendiri ba-

gaimana pemuda setan seperti kerbau dicocok hidung-

nya!” Dayang Sepuh mengomel.

“Aku tahu...,” kata Datuk Wahing. “Namun jangan 

kau heran, Nek. Pemuda itu pasti akan bisa melaku-

kan apa yang seharusnya dilakukan! Setan perempuan 

akan selalu mendahulukan perasaan. Sementara setan 

laki-laki akan mengedepankan pikiran! Dalam urusan 

sekarang ini, bagaimanapun juga pikiran akan me-

nang! Sekarang kita harus pindah tempat. Dari tempat 

ini angin berhembus ke arah tanah ketinggian itu. Wa-

lau mengherankan, tapi siapa tahu mereka akan men-

gendus kehadiran kita!”

Setelah berkata begitu, Datuk Wahing beranjak 

bangkit lalu berkelebat dan mendekam di kerapatan 

semak sebelah kanan tanah ketinggian.

“Nek.... Sebaiknya kau ke sebelah kiri tanah itu.

Sementara aku akan sedikit ke samping dari tempat 

ini! Dengan begitu Nyai Tandak Kembang tidak akan 

terlalu curiga dengan santernya bau kencing!” kata 

Gendeng Panuntun begitu merasakan Dayang Sepuh 

bangkit berdiri dan hendak berkelebat.

“Lagi pula, dengan mengambil tempat sendiri-

sendiri, kita leluasa jika hendak mengisi bumbung 

bambu!” Gendeng Panuntun sambungi ucapannya se-

raya tertawa pelan.

Dayang Sepuh menyeringai seraya rapikan poni di 

keningnya. Saat lain si nenek berkelebat ke samping


kiri. Sementara Gendeng Panuntun melangkah perla-

han-lahan tidak jauh dari tempatnya semula.

***

SEMBILAN



BEGITU memasuki lobang, Nyai Tandak Kembang, 

Pendekar 131, dan Putri Kayangan segera disambut 

kegelapan. Setelah agak terbiasa, baru ketiganya sadar 

kalau tengah berada di sebuah ruangan agak besar.

Ketiganya sama pentang mata masing-masing lalu 

mengedar berkeliling. Namun sejauh ini mereka tidak 

melihat seseorang. Yang terlihat hanyalah sebuah ran-

jang dari bambu beralas rumput kering serta meja 

yang di atasnya terdapat kendi dari tanah serta buah-

buahan.

“Aneh.... Aromanya masih ku cium di sini. Tapi 

orangnya tidak kutemukan!” kata Nyai Tandak Kem-

bang dalam hati seraya terus edarkan pandangan.

“Kendi dan buah-buahan satu tanda jika tempat ini 

dihuni orang!” pikir Joko. “Tapi benarkah penghuninya 

Pitaloka?”

Selagi Joko berpikir begitu, tiba-tiba Nyai Tandak 

Kembang yang sudah tidak sabaran perdengarkan su-

ara berteriak.

“Pitaloka! Aku tahu kau berada di sini.... Mengapa 

kau sembunyikan diri. Cucuku? Aku eyangmu.... Ke-

luarlah...!”

Nyai Tandak Kembang menunggu. Namun sampai 

sekian jauh tidak juga ada jawaban atau tanda-tanda 

akan munculnya orang di tempat itu.

“Pitaloka.... Aku datang untuk menjemputmu! Ke-

luarlah...!” Nyai Tandak Kembang kembali berteriak. 

Namun belum juga ada sahutan.

Nyai Tandak Kembang menghela napas. Lalu ber-

paling pada murid Pendeta Sinting dan Putri Kayan-

gan. “Kalian berdua, telusuri dinding ruangan ini! Dan 

beri tahu jika ada yang mencurigakan!

Pendekar 131 dan Putri Kayangan segera melang-

kah berlawanan. Murid Pendeta Sinting mulai menelu-

suri dinding ruangan dari sebelah kanan, sementara 

Putri Kayangan dari sebelah kiri. Nyai Tandak Kem-

bang sendiri memperhatikan langit-langit ruangan 

dengan melangkah mondar-mandir berkeliling.

Namun hingga murid Pendeta Sinting dan Putri 

Kayangan saling bertemu, mereka berdua tidak mene-

mukan sesuatu yang mencurigakan di bagian dinding. 

Nyai Tandak Kembang sendiri tidak menangkap tanda-

tanda rahasia pada bagian langit-langit ruangan.

Nyai Tandak Kembang melangkah ke arah lobang 

dari mana dia tadi masuk. Untuk beberapa saat pe-

rempuan ini tegak dengan mata terpejam dan kedua 

tangan saling menakup di depan wajah.

“Aneh.... Aroma itu terputus di sini! Bagaimana ini 

bisa terjadi?!” gumam Nyai Tandak Kembang lalu buka 

matanya dan kedua tangannya diluruhkan.

“Percuma kita cari di sini! Pitaloka sudah keluar. 

Dan kita kehilangan jejaknya!”

“Bagaimana bisa begitu, Eyang?!” tanya Putri 

Kayangan.

“Aku sendiri tak tahu.... Yang jelas aroma itu terpu-

tus dan seolah ada tabir yang memutus aromanya!” 

jawab Nyai Tandak Kembang.

“Eyang.... Kau yakin itu adalah aroma Pitaloka?!” 

Joko ingin meyakinkan.

“Sejak bayi Pitaloka dan Beda Kumala berada dalam 

tanganku! Sejauh mana pun mereka pergi, aku dapat 

mengendusnya! Tapi kali ini ada yang lain pada tubuh 

Pitaloka hingga aku tak mampu mengendus keberadaannya! Ini memang aneh dan luar biasa!”

“Jangan-jangan karena bayi dalam kandungannya!” 

kata Joko. Namun ucapan itu disimpannya dalam hati. 

Selain karena dia belum bisa memastikan Pitaloka ten-

gah mengandung atau tidak, dia juga merasa yakin 

Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang belum per-

caya dengan dugaan kehamilan Pitaloka.

“Sekarang apa yang harus kita lakukan, Eyang?” 

tanya Putri Kayangan.

Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala. Lalu me-

mandang pada murid Pendeta Sinting seakan minta 

pertimbangan. Namun Pendekar 131 nyatanya belum 

bisa mendapatkan jalan keluar. Hingga meski dia tahu 

arti pandangan Nyai Tandak Kembang, tapi murid 

Pendeta Sinting tetap kancingkan mulut.

Saat itulah mendadak dari arah luar terdengar 

orang berucap.

“Kau yakin dia berada di sekitar tempat ini?!”

Nyai Tandak Kembang, Pendekar 131, dan Putri 

Kayangan tersentak. Mereka saling pandang satu sama 

lain. Mereka bisa memastikan bahwa suara yang baru 

terdengar dari luar adalah suara seorang perempuan.

“Jangan-jangan Dayang Sepuh!” gumam Joko.

“Hem.... Ternyata mereka mengikuti aku! Aku harus 

bicara terus-terang pada mereka! Karena ini adalah 

urusanku! Pitaloka adalah cucuku! Tak seorang pun 

akan kubiarkan terlibat!” kata Nyai Tandak Kembang 

lalu segera berkelebat menerobos lobang diikuti murid 

Pendeta Sinting dan Putri Kayangan.

Begitu tegak di luar, Nyai Tandak Kembang lang-

sung buka mulut. Namun buru-buru ditakupkan kem-

bali. Sepasang matanya membelalak. Murid Pendeta 

Sinting dan Putri Kayangan ikut pentangkan mata 

memandang ke depan.

Mereka bertiga melihat tiga sosok tubuh. Dua laki


laki dan satu perempuan. Tapi mereka bukanlah Da-

tuk Wahing, Gendeng Panuntun, serta Dayang Sepuh.

Yang perempuan adalah seorang nenek mengena-

kan pakaian gombrong. Rambutnya putih. Di sebelah 

kanan si nenek tegak seorang kakek mengenakan pa-

kaian putih agak lusuh. Kakek ini tegak dengan kepala 

sedikit didongakkan. Namun karena kakek ini tidak 

memiliki leher, sosoknya tampak sedikit melengkung 

ke belakang. Dan mulutnya selalu terbuka walau dia 

tidak perdengarkan suara. Dan ternyata kakek ini ti-

dak mempunyai gigi alias ompong.

Di sebelah kiri si nenek tegak seorang kakek yang 

juga berpakaian agak lusuh. Rambutnya putih awut-

awutan. Kedua tangannya selalu ditadangkan pada 

bagian belakang kedua telinganya.

“Kakek Iblis Ompong, Dewi Ayu Lambada, dan Dewa 

Uuk!” gumam murid Pendeta Sinting mengenali siapa 

adanya ketiga orang di depan sana.

“Hem.... Mereka bertiga ternyata menyusul sampai 

di sini!” Putri Kayangan berkata pula dalam hati. Dari 

kata hatinya jelas kalau si gadis telah pula mengenali 

siapa adanya ketiga orang yang bukan lain memang 

Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk.

Sementara dari tempat persembunyiannya, melihat 

munculnya ketiga orang, Dayang Sepuh sempat terke-

jut. Dia sudah hendak buka suara. Namun diurungkan 

tatkala matanya melihat munculnya Nyai Tandak

Kembang, Pendekar 131, serta Putri Kayangan.

“Setan! Untuk apa setan-setan tua itu muncul di 

tempat ini?!” Akhirnya Dayang Sepuh hanya bisa men-

desis seraya arahkan pandang matanya ke depan.

Di tempat lain Datuk Wahing tak kalah terkejutnya. 

Malah hampir saja kakek ini perdengarkan bersinan. 

Hanya Gendeng Panuntun yang terlihat tenang-tenang 

saja.


“Ternyata si Ompong muncul pula di sini! Hem.... 

Mudah-mudahan dengan kemunculannya bisa dapat 

membantu...,” gumam Gendeng Panuntun.

“Harap katakan apa maksud kedatangan kalian...,” 

kata Nyai Tandak Kembang mulai angkat bicara sete-

lah perhatikan pada ketiga orang di hadapannya.

Dewi Ayu Lambada tidak segera menjawab. Sebalik-

nya berpaling pada Iblis Ompong. Sementara Iblis Om-

pong sendiri tetap mendongak dengan mulut terbuka 

lebar-lebar tanpa perdengarkan suara. Di sebelah kiri 

si nenek, Dewa Uuk tadangkan kedua tangannya di be-

lakang telinga lalu mulutnya bergerak-gerak perden-

garkan suara.

“Uuuukkk! Uuuukk! Uuuuukk!” Tangan kanannya 

diturunkan lalu menunjuk pada murid Pendeta Sinting 

dan Putri Kayangan.

“Hem.... Yang satu ini aku belum pernah bertemu 

dan tidak mengenainya! Dari sikapnya sepertinya dia 

bisu dan tuli! Tapi dari isyarat tangannya, dia mengen-

al murid Pendeta Sinting dan Beda Kumala! Apa ke-

munculan mereka ini masih ada sangkut pautnya den-

gan Pitaloka?! Mengapa kabar ini begitu cepat tersiar?! 

Adakah ini satu petunjuk kalau Pitaloka benar-benar 

tengah mengandung?! Hem....” Nyai Tandak Kembang 

berkata sendiri dalam hati. Dadanya dibuncah dengan 

berbagai hal.

“Eyang.... Aku mengenal mereka!” ujar Joko pelan. 

“Mereka adalah sahabat-sahabatku!”

“Hem.... Tapi harap kau ingat pesanku, Anak Muda! 

Jangan ikut bicara atau bertindak!” kata Nyai Tandak 

Kembang.

“Harap kalian terangkan maksud kedatangan kalian 

ke tempat ini!” Nyai Tandak Kembang kembali angkat 

suara.

“Kalau tak keliru, bukankah yang di hadapanku ini


Nyai Tandakan? Eh, maksudku Nyai Tandak Kem-

bang?!” Yang berkata adalah Dewi Ayu Lambada.

“Terima kasih kau tidak lupa, Nenek Dewi Ayu 

Lambada...,” sambut Nyai Tandak Kembang. “Datang 

jauh-jauh ke tempat ini pasti ada sesuatu yang sangat 

penting. Mudah-mudahan kau tak keberatan menga-

takannya padaku!”

“Kau tidak lupa pada nenek ini. Apa kau lupa pada-

ku?!” yang bertanya adalah Iblis Ompong tanpa lu-

ruskan kepala.

Nyai Tandak Kembang tersenyum. “Kakek Iblis Om-

pong.... Aku masih mengingatmu!”

“Ah.... Terima kasih! Tampangku ternyata masih 

terkenang oleh perempuan berparas cantik!” kata Iblis 

Ompong lalu tertawa.

“Uukk! Ukkkk! Uuuukk!” Dewa Uuk tiba-tiba tun-

jukkan jari tangannya pada wajahnya lalu tersenyum 

dan menunjuk pada Nyai Tandak Kembang. Saat lain 

kedua tangannya ditadangkan di belakang kedua telin-

ganya. Kepalanya disorongkan ke depan.

“Aku Nyai Tandak Kembang...,” Nyai Tandak Kem-

bang berkata mengerti isyarat Dewa Uuk.

Namun karena suara Nyai Tandak Kembang begitu 

pelan, Dewa Uuk tidak bisa mendengarnya hingga dia 

memberi isyarat dengan buka tutup tangannya.

“Dia Nyai Tandak Kembang!” teriak Dewi Ayu Lam-

bada dengan suara keras membahana membuat Nyai 

Tandak Kembang sedikit terkejut. Dewa Uuk sendiri 

tampak terlonjak kaget namun segera tertawa dan 

angguk-anggukkan kepala.

“Boleh aku tanya, Nyai?!” tanya Dewi Ayu Lambada. 

“Ada hubungan apa antara gadis itu dengan dirimu?!” 

Mata sang Dewi mengarah pada Putri Kayangan.

“Dia cucuku!”

Dewi Ayu Lambada tersentak. Iblis Ompong ikut

terkejut dan luruskan kepala dengan mulut terbuka 

menganga.

“Pemuda itu juga cucumu?!” tanya Dewi Ayu Lam-

bada. Kini matanya beralih pada murid Pendeta Sint-

ing.

Nyai Tandak Kembang tersenyum. “Dia tak ada hu-

bungan apa-apa denganku! Dan tentunya kau sudah 

tahu siapa dia sebenarnya!”

Dewi Ayu Lambada anggukkan kepala. Lalu perha-

tikan sekali lagi pada Pendekar 131 sebelum akhirnya 

berkata.

“Anak muda! Bagaimana dengan hasil yang kau da-

patkan?!

“Dewi Ayu.... Harap kau tanya saja padaku! Semua 

urusan di sini akulah yang bertanggung jawab!” Nyai 

Tandak Kembang sudah menyahut sebelum murid 

Pendeta Sinting buka suara.

Dewi Ayu Lambada kernyitkan kening. Iblis Ompong 

terdongak dengan mulut makin menganga lebar.

Di balik semak, Dayang Sepuh menyumpah habis-

habisan.

“Sudah kuduga! Sudah kuduga! Pemuda setan itu 

pasti takluk di bawah ketiak setan cantik itu! Jika ini 

dibiarkan bisa berbahaya!” Tangan Kanan Dayang Se-

puh mengepal dengan pelipis bergerak-gerak.

Di lain tempat, Datuk Wahing sempat pula terlen-

gak mendengar ucapan Nyai Tandak Kembang. “Ba-

gaimana ini bisa terjadi! Mengapa pemuda itu diam sa-

ja?! Jangan-jangan firasat Dayang Sepuh jadi kenya-

taan! Ada yang tak beres dalam hal ini!”

“Nyai.... Aku perlu bicara dengan pemuda itu!” kata 

Dewi Ayu Lambada.

Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala. “Untuk 

saat ini, harap kau mengerti.... Dia dan aku telah ada 

perjanjian! Jadi kuharap kau katakan saja padaku apa


yang hendak kau bicarakan!”

Pendekar 131 sendiri tampak gelisah dan bingung. 

Dia memandang berganti-ganti pada Dewi Ayu Lamba-

da dan Nyai Tandak Kembang. Mulutnya membuka 

mengatup. Namun sejauh ini tidak terdengar juga uca-

pan.

Karena lama tak juga terdengar ucapan lagi dari 

Dewi Ayu Lambada, Nyai Tandak Kembang yang tam-

paknya sudah dapat menangkap maksud kedatangan 

orang segera perdengarkan suara.

“Kau hendak menanyakan tentang gadis mengan-

dung itu, bukan?!”

Belum sampai Dewi Ayu Lambada menjawab, Nyai 

Tandak Kembang sudah mendahului.

“Harap lupakan urusan gadis itu! Gadis itu tidak 

ada di tempat ini! Dan satu hal lagi, harap tidak meli-

batkan gadis itu dalam urusanmu!”

“Hem.... Syukur kau telah mengetahuinya!” ujar 

Dewi Ayu Lambada. “Namun ucapanmu terdengar 

aneh di hidungku, eh.... Maksudku di telingaku! Rimba 

persilatan membutuhkan gadis itu!”

“Semua itu masih dugaan, Dewi! Dan aku tak mau 

main-main dengan dugaan! Terkadang dugaan itu me-

nyesatkan! Lebih dari itu, aku tahu persis siapa dan 

bagaimana sifat gadis yang kau duga tengah hamil itu! 

Aku tidak percaya dia hamil!”

“Ini bukan dugaan, Nyai! Ini firasat beberapa orang 

kerabat! Eh.... Maksudku firasat beberapa orang saha-

bat!”

“Siapa pun sahabat yang berfirasat, selama ini yang 

ku tahu sebuah firasat akan membuat orang tersesat!”

“Tapi....” Iblis Ompong hendak buka suara.

Namun Nyai Tandak Kembang sudah menukas. 

“Aku tidak ingin berdebat urusan sesuatu yang belum 

ada kenyataan! Itu hanya buang-buang waktu! Sementara waktuku tidak banyak! Untuk saat ini kami tak 

mau diganggu.... Kalau tidak ada yang akan kau uta-

rakan, kuharap kau mau tinggalkan tempat ini!”

“Hem.... Jadi kau mengusirku?!” tanya Dewi Ayu 

Lambada.

Nyai Tandak Kembang tersenyum seraya gelengkan 

kepala. “Bukan itu maksudku, Dewi.... Hanya saja, un-

tuk sementara waktu ini kami punya urusan yang tak 

mau melibatkan orang lain!”

“Nyai! Setiap urusan harus ada orang lain yang ter-

libat!”

“Tapi tidak untuk urusan satu ini, Dewi! Aku ingin 

selesaikan sendiri! Lagi pula ini urusan keluarga...!”

“Betul! Tapi masih ada kaitannya dengan keselama-

tan rimba persilatan!”

Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala 3eraya ter-

senyum. Urusan keluarga sudah jelas, sementara uru-

san dunia persilatan masih sekadar dugaan! Kuharap 

kau tidak begitu saja percaya dengan kabar burung 

itu....”

“Setan! Perempuan itu benar-benar bengal dan ke-

ras kepala! Tanganku jadi gatal ingin menggebuknya!” 

Dayang Sepuh merasa jengkel mendengar ucapan Nyai 

Tandak Kembang. Dia arahkan pandang matanya pada 

tempat di mana Gendeng Panuntun mendekam sem-

bunyi. Lalu pada tempat di mana Datuk Wahing men-

gendap-endap.

“Kedua setan laki-laki itu tidak coba menengahi 

urusan agar segera selesai! Apa aku harus keluar un-

tuk menyelesaikannya?!” Dayang Sepuh memikir se-

saat. Kejap lain tiba-tiba dia bergerak bangkit. Namun 

belum sampai nenek berambut poni ini bergerak lebih 

jauh, satu bayangan hitam berkelebat. Tahu-tahu ti-

dak jauh di belakang Dewi Ayu Lambada telah tegak 

satu sosok tubuh!


****


SEPULUH


NYAI Tandak Kembang, Pendekar 131, dan Putri 

Kayangan segera arahkan pandang mata masing-

masing ke arah sosok yang baru muncul. Dewi Ayu 

Lambada cepat balikkan tubuh. Dayang Sepuh yang 

tadi hendak berkelebat ke arah Dewi Ayu Lambada bu-

ru-buru urungkan niat lalu mendekam kembali den-

gan mata melotot tak berkesip. Hanya Iblis Ompong 

dan Dewa Uuk yang terlihat tenang-tenang saja laksa-

na tidak ada orang lain yang muncul. Iblis Ompong 

tengadahkan kepala dengan mulut makin dibuka le-

bar. Sementara Dewa Uuk justru memandang tajam 

pada murid Pendeta Sinting.

Sosok yang baru muncul ternyata seorang laki-laki 

berusia tiga puluh tahunan. Wajahnya tampan namun 

keras. Rahangnya kokoh, matanya tajam. Kumisnya 

lebat. Rambutnya panjang sebahu dibiarkan bergerai 

menutupi sebagian paras wajahnya. Orang muda ini 

mengenakan mantel hitam panjang sebatas lutut.

Pemuda yang baru muncul pasang tampang menye-

ringai tanpa memandang pada orang di hadapannya. 

Saat lain kepalanya mendongak. Mulutnya terbuka.

“Aku datang bersama angin.

Aku datang bernaung matahari dan rembulan.

Aku datang dari lembah kegelapan.

Lintasan bumi akan jadi saksi mati.

Saksi dari aliran darah anak manusia.”

Dewi Ayu Lambada perhatikan sesaat pada pemuda


di hadapannya. Lalu melangkah maju dua tindak dan 

berkata.

“Lagakmu..., eh maksudku, lagumu bagus, Anak 

Muda. Tentu kau memiliki gelar yang bagus pula. Sia-

pa gelarmu, Anak Muda?!”

Si pemuda luruskan kepala memandang pada Dewi 

Ayu Lambada. “Aku Malaikat Berkabung!”

“Kau pernah mendengar gelar itu sebelum ini, Pu-

tri?!” tanya murid Pendeta Sinting pada Putri Kayan-

gan yang tegak di sampingnya.

Putri Kayangan gelengkan kepala. “Tampaknya dia 

pemuda yang baru muncul dalam kancah dunia persi-

latan! Kau lihat dia seolah memandang sebelah mata 

pada orang-orang di hadapannya! Dia belum tahu sia-

pa adanya mereka yang kini dihadapi!”

“Aku jadi heran.... Bagaimana tempat ini bisa dike-

tahui beberapa orang!”

“Itu bukan hal penting, Joko. Yang aku tak habis 

pikir justru bagaimana Pitaloka bisa memutus aroma 

dirinya hingga Eyang kehilangan jejak! Ini tak mungkin 

dilakukan Pitaloka sendiri. Pasti ada orang lain di 

sampingnya yang tahu kemampuan Eyang!”

“Ini juga satu bukti jika dugaan itu benar! Jika ti-

dak, mengapa Pitaloka harus melakukannya? Seakan 

dia takut berhadapan dengan orang! Padahal yang di-

hadapi adalah eyangnya sendiri. Kalau tidak ada apa-

apa, tak mungkin dia melakukan ini!”

“Aku masih ragu dengan dugaan itu, Joko! Mungkin 

ada maksud lain mengapa Pitaloka takut menghadapi 

Eyang!”

“Putri.... Rasanya aku harus segera tinggalkan tem-

pat ini!”

Putri Kayangan cepat berpaling. “Kau hendak men-

cari Pitaloka sendiri?!”

“Mungkin. Yang pasti sudah tidak ada yang kuharapkan di tempat ini! Lagi pula ikut bersama dengan 

eyangmu membuatku seperti patung! Sementara sebe-

narnya masih banyak yang harus kukatakan dan ku-

tanyakan pada beberapa orang!”

“Tapi....”

Belum sampai Putri Kayangan lanjutkan ucapan, 

Nyai Tandak Kembang sudah berkata. “Biarkan dia 

pergi, Beda Kumala!”

“Terima kasih, Eyang....”

“Kau tak usah berterima kasih. Tidak ada budi yang 

tertanam di antara kita! Hanya satu hal yang harus 

kau ketahui, Anak Muda! Lupakan urusan gadis itu! 

Jangan libatkan dia dengan urusan yang belum pasti! 

Kau tahu sendiri akibatnya, bukan...? Banyak orang 

tak dikenal muncul dengan membawa maksud yang 

sama! Sementara urusannya sendiri belum jelas! Ini 

akan menambah kesulitanku untuk menemukan Pita-

loka!”

Walau dalam hati tidak setuju dengan ucapan Nyai 

Tandak Kembang, namun akhirnya murid Pendeta 

Sinting anggukkan kepala. Saat lain dia melirik pada 

Putri Kayangan. Yang dilirik tampak murung.

“Putri.... Percayalah. Kita nanti pasti akan bertemu 

lagi. Dan kuharap, saat itu sudah tidak ada lagi uru-

san!” kata Joko dengan suara dipelankan agar tidak 

terdengar Nyai Tandak Kembang.

Putri Kayangan menghela napas dalam-dalam. Lalu 

memandang tajam ke arah Pendekar 131 yang mulai 

melangkah menyisi hendak tinggalkan tempat itu.

Namun belum sampai jauh melangkah, tiba-tiba

pemuda yang sebutkan diri Malaikat Berkabung ang-

kat bicara.

“Jangan harap ada yang tinggalkan tempat ini sebe-

lum takdir menentukan apa yang akan terjadi!”

Pendekar 131 hentikan langkah lalu memandang


tajam ke arah Malaikat Berkabung.

“Apa maksud ucapanmu, Sobat?!”

“Sudah menjadi kepastian. Setiap Malaikat Berka-

bung datang, berarti ada anak manusia yang diantar 

menuju tempat perkabungan!” Malaikat Berkabung 

memandang satu persatu pada beberapa orang yang 

tegak di hadapannya. “Hari ini entah takdir siapa di 

antara kalian yang harus kuantar ke tempat perka-

bungan! Jadi jangan tinggalkan tempat ini sebelum 

acara perkabungan berlangsung!”

“Sobat.... Aku punya urusan. Kuharap kau mau 

mengerti. Dan kukira beberapa orang di sini cukup un-

tuk menikmati acaramu! Lebih dari itu, aku percaya 

takdirku bukan hari ini!”

“Manusia tidak bisa membaca takdir! Hanya saja 

sudah jadi kepastian, setiap aku datang, pasti ada 

anak manusia yang menjalani takdirnya untuk mam-

pus!”

“Walah.... Kau layaknya utusan pencabut nyawa sa-

ja!” Yang berkata adalah Iblis Ompong sembari putar 

diri menghadap Malaikat Berkabung namun dengan 

kepala tetap tengadah tanpa melihat orang. Saat ber-

samaan Dewa Uuk juga balikkan tubuh. Kakek bisu 

dan tuli ini juga tidak memandang ke arah Malaikat 

Berkabung melainkan arahkan pandang matanya pada 

murid Pendeta Sinting yang telah tegak di sebelah 

samping sana.

“Sebenarnya aku masih ingin bicara dengan Dewa

Uuk dan Kakek Iblis Ompong, tapi dalam keadaan se-

perti ini kurasa percuma! Lebih baik aku teruskan per-

jalanan mencari Pitaloka! Kakek Gendeng Panuntun 

tentunya masih berada di sekitar hutan ini...!” kata 

Joko dalam hati.

“Itu memang tugasku, Iblis Ompong!” kata Malaikat 

Berkabung membuat semua orang di tempat itu jadi


melengak mendapati orang telah mengenali Iblis Om-

pong.

“Hem.... Rupanya pengetahuanmu banyak juga, 

Anak Muda! Apa kau juga mengenali siapa diriku?!” 

tanya Dewi Ayu Lambada seraya gerakkan tubuh sedi-

kit melenggak-lenggok.

Malaikat Berkabung angkat tangan kirinya, jari te-

lunjuknya diluruskan ke arah Dewi Ayu Lambada. 

“Sebagai orang yang akan mengantar perkabungan se-

tiap anak manusia, aku pasti mengenalimu. Kau ada-

lah nenek bernama Dewi Ayu Lambada!” Jari telunjuk 

Malaikat Berkabung beralih pada Dewa Uuk. “Dia ada-

lah adikmu bergelar Dewa Uuk!”

Malaikat Berkabung menyeringai. Kini telunjuknya 

mengarah pada Nyai Tandak Kembang. “Dan kau ada-

lah Nyai landak Kembang, sementara gadis di bela-

kangmu adalah perempuan yang bergelar Putri Kayan-

gan!”

Malaikat Berkabung turunkan tangan kirinya. Kini 

wajahnya menghadap ke arah Joko. “Dan kau adalah 

anak manusia bernama Joko Sableng bergelar Pende-

kar Pedang Tumpul 131!”

Semua orang yang ada di tempat itu kembali dibuat 

tersentak kaget mendapati si pemuda telah tahu siapa 

adanya beberapa orang di tempat itu. Hanya Dewa Uuk

yang biasa-biasa saja. Malah orang tua ini yang me-

mang adik kandung Dewi Ayu Lambada menoleh pada 

Iblis Ompong. Tangan kanannya membuat isyarat 

membuka menutup lalu menunjuk-nunjuk pada Ma-

laikat Berkabung. Saat lain dia tadangkan kedua tan-

gannya di belakang telinga dengan kepala disorongkan 

mendekat ke wajah Iblis Ompong.

“Dia malaikat!” teriak Iblis Ompong. “Dia telah kenal

siapa saja di tempat ini termasuk dirimu!”

Entah terkejut karena teriakan Iblis Ompong di depan telinganya atau tersentak dengan pemberitahuan 

Iblis Ompong, Dewa Uuk berjingkrak. Lalu tangannya 

menunjuk pada Malaikat Berkabung dan pada dirinya. 

Saat lair tangannya bergerak-gerak ke samping kiri 

kanan pulang balik.

Iblis Ompong dekatkan wajahnya ke telinga Dewa 

Uuk, lalu berteriak lagi.

“Walau kau berkata tak kenal, yang pasti dia tahu 

siapa dirimu!”

Kali ini Dewa Uuk baru tunjukkan tampang terke-

jut. Dia sorongkan kepalanya ke depan lalu pandangi 

Malaikat Berkabung tanpa berkesip. Di lain pihak me-

lihat tampang semua orang jadi terkejut karena teba-

kannya, Malaikat Berkabung menyeringai dingin. Di-

am-diam dalam hati pemuda ini membatin.

“Hem.... Ciri-ciri yang dikatakan Guru ternyata be-

nar. Perubahan wajah orang-orang itu menunjukkan 

kalau tebakanku tidak meleset! Namun urusan dengan 

mereka bukanlah yang paling penting saat ini! Yang le-

bih utama adalah menanyakan pada perempuan can-

tik berpakaian mirip penari itu di mana Pitaloka bera-

da!”

Malaikat Berkabung sudah hendak buka mulut,

namun Pendekar 131 mendahului.

“Sobat!” kata murid Pendeta Sinting. “Kau telah 

kenal semua orang yang ada di tempat ini! Jadi kuha-

rap kau tidak mengganggu mereka! Mereka akan 

membicarakan sesuatu! Kalau masih ada yang hendak 

kau bicarakan, lekas katakanlah!”

Malaikat Berkabung arahkan pandangannya pada 

Nyai Tandak Kembang. Lalu berkata. “Nyai Tandak 

Kembang! Serahkan Pitaloka padaku saat ini juga!”

Untuk kesekian kalinya orang di tempat itu terke-

siap. Karena Malaikat Berkabung berteriak, Dewa Uuk 

bisa mendengarnya hingga orang tua ini ikut terkejut.

Namun yang paling tampak kaget adalah Nyai Tandak 

Kembang dan Putri Kayangan.

“Siapa pemuda asing ini?! Aku belum pernah den-

gar gelarnya selama ini! Namun dia telah mengenaliku 

bahkan semua orang di sini! Lebih-lebih dia telah 

mengenali Pitaloka dan tampaknya tahu urusannya! 

Sudah demikian jauhkah berita ini tersebar?! Pitalo-

ka.... Kau benar-benar telah membuat malu besar pa-

daku!” Diam-diam Nyai Tandak Kembang membatin. 

Lalu dengan menahan perasaan, dia berkata menyam-

buti ucapan Malaikat Berkabung.

“Anak muda! Ada urusan apa antara kau dan Pita-

loka?!”

“Aku belum pernah bertemu dengan gadis itu. Tapi 

bukannya tidak ada urusan antara aku dengan dia!” 

ujar Malaikat Berkabung.

“Katakanlah apa urusannya!” kata Nyai Tandak 

Kembang meski sedikit heran.

Malaikat Berkabung gerakkan kepala menggeleng. 

“Aku tidak bisa mengatakannya di sini! Serahkan saja

Pitaloka padaku!”

“Hem.... Rupanya dia tahu juga urusan Pitaloka! 

Heran.... Bagaimana dia bisa tahu?!” gumam Pendekar 

131 tak habis pikir.

Sementara mendengar ucapan-ucapan Malaikat 

Berkabung, di balik semak Dayang Sepuh tak henti-

hentinya geleng kepala dengan menyumpah-nyumpah 

dalam hati. Dia sesekali arahkan pandangannya ke 

tempat di mana Gendeng Panuntun dari Datuk Wahing 

mendekam sembunyi. Si nenek makin geram saja 

mendapati kedua orang itu tidak juga memberi isyarat 

atau muncul.

“Ke mana dua setan tua itu?! Apa ketiduran hingga 

tidak tahu apa yang tengah terjadi?! Seharusnya mere-

ka segera muncul dan menyelesaikan urusan agar tidak berlarut-larut. Apalagi kini telah datang manusia 

setan yang baru kali ini kujumpai, tapi nyatanya dia 

telah mengenal banyak orang! Dan tahu urusan yang 

tengah terjadi! Hem.... Aku harus ke tempat mereka!”

Berpikir begitu akhirnya Dayang Sepuh mulai ber-

gerak perlahan-lahan menjauh seraya kibas-kibaskan 

air dalam bumbung bambu. Saat lain dia berkelebat la-

lu memutar haluan dan berlari menuju tempat di ma-

na Gendeng Panuntun tadi mendekam sembunyi.

“Setan! Di mana dia?! Dia tadi berada di sini! Tapi 

sekarang tidak kelihatan batang hidungnya!” kata 

Dayang Sepuh dalam hati begitu sampai di tempat 

mana tadi Gendeng Panuntun berada dan tidak men-

dapati orang.

“Jangan-jangan dia bergabung dengan setan bersin 

itu!” Tanpa menunggu lama lagi, kembali Dayang Se-

puh berkelebat. Setelah memutar jalan, dia mengen-

dap-endap ke arah tempat di mana tadi Datuk Wahing 

sembunyi.

Namun kembali si nenek dibuat geram. Ternyata dia 

juga tidak menemukan sosok Datuk Wahing. “Setan! 

Mereka meninggalkan diriku tanpa pamit! Pasti mereka 

pergi berdua! Ke mana?! Apa mereka pikir karena Pita-

loka tidak ada di sini lalu melanjutkan perjalanan?! Se-

tan betul!” Dayang Sepuh memaki-maki sendiri. Lalu 

balikkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu.

Sementara di depan sana, Nyai Tandak Kembang 

tampak tersenyum mendengar ucapan Malaikat Ber-

kabung. Lalu berkata.

“Anak muda! Pitaloka tidak berada bersamaku!”

“Jangan bicara dusta di hadapanku!” bentak Malai-

kat Berkabung. “Aku tahu di mana Pitaloka kau sem-

bunyikan!”

“Kau bukan saja pandai mengenali orang, tapi juga 

pintar menduga! Aku memberimu kesempatan untuk


menemukan Pitaloka!”

“Bagus! Kau seorang nenek yang baik!” kata Malai-

kat Berkabung lalu melangkah ke depan.

Namun Dewi Ayu Lambada segera rentangkan ke-

dua tangannya menghadang. Sementara Dewa Uuk te-

rus tadangkan kedua tangan di belakang telinganya 

seakan ingin mendengar apa yang dibicarakan orang.

“Dewi Ayu.... Harap tidak halangi langkahnya!” Nyai 

Tandak Kembang berkata.

Dewi Ayu Lambada berpaling. Nyai Tandak Kem-

bang tersenyum seraya gelengkan kepala. “Kau tak 

usah khawatir! Lagi pula ini urusan cucuku!”

“Hem.... Kalau begitu putusanmu, apa boleh buat!” 

ujar Dewi Ayu Lambada seraya tarik pulang kedua 

tangannya lalu mendekati Dewa Uuk dan Iblis Om-

pong. Sementara Malaikat Berkabung teruskan lang-

kah ke arah tanah ketinggian.

Tiga langkah di depan tanah ketinggian yang tertu-

tup dedaunan dan rumput tebal, Malaikat Berkabung 

hentikan tindak. Sosoknya berputar menghadap bebe-

rapa orang yang ada di tempat itu. Namun pemuda ini 

hanya memandang pada satu persatu orang tanpa bu-

ka mulut. Saat lain kembali dia balikkan tubuh. Mem-

buat satu gerakan, dan tiba-tiba sosoknya melesat ke 

depan menerobos dedaunan dan rumput tebal.

“Luar biasa! Dia tahu di mana lobang itu berada!” 

gumam Nyai Tandak Kembang begitu melihat sosok 

Malaikat Berkabung lenyap masuk ke tanah ketinggian 

melalui lobang di mana tadi Nyai Tandak Kembang, 

Putri Kayangan, dan Pendekar 131 muncul.

Bersamaan dengan lenyapnya sosok Malaikat Ber-

kabung, Pendekar 131 segera berkelebat tinggalkan 

tempat itu tanpa berkata apa-apa lagi. Karena semua 

orang tengah memperhatikan tindakan Malaikat Ber-

kabung, mereka tidak mengetahui kepergian murid


Pendeta Sinting.

“Beda Kumala! Kita tinggalkan tempat ini! Tak ada 

gunanya meladeni orang itu!” Mendadak Nyai Tandak 

Kembang berbisik pada Putri Kayangan. “Aku yakin Pi-

taloka sudah meninggalkan tempat ini!”

Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang berke-

lebat. Putri Kayangan arahkan pandang matanya ke 

tempat di mana tadi murid Pendeta Sinting tegak. Dia 

sesaat jadi kaget mendapati sang Pendekar sudah ti-

dak kelihatan lagi. Tanpa berkata-kata gadis cantik ini 

segera pula berkelebat menyusul eyangnya.

“Hai! Tunggu!” tahan Dewi Ayu Lambada. Namun 

Putri Kayangan seolah tidak dengarkan teriakan orang. 

Dia terus berkelebat sebelum akhirnya lenyap di kera-

patan pohon di depan sana.

“Kalau mereka pergi, berarti gadis itu tidak ada di 

sini!” ujar Dewi Ayu Lambada. “Jadi tak ada gunanya 

kita di tempat ini!”

Tanpa menunggu sahutan orang, Dewi Ayu Lamba-

da segera menggaet tangan Dewa liuk lalu diseretnya 

berkelebat tinggalkan tempat itu. Iblis Ompong men-

dongak dengan manggut-manggut. Lalu ikut berkele-

bat.

Baru saja Iblis Ompong berlalu, mendadak dari 

arah timur terlihat satu bayangan berlari kencang. Ke-

jap lain berjarak lima belas langkah dari tanah keting-

gian di mana tadi Malaikat Berkabung melesat masuk, 

telah tegak satu sosok tubuh!

***

SEBELAS



JAHANAM! Kau simpan di mana gadis itu, hah?!”

Tiba-tiba terdengar bentakan dahsyat dari dalam

tanah ketinggian. Saat lain satu sosok tubuh melesat 

menerobos dedaunan dan rumput tebal dan muncul di 

tanah agak terbuka. Dia tidak lain adalah pemuda 

yang sebutkan diri sebagai Malaikat Berkabung.

Sesaat Malaikat Berkabung edarkan matanya yang 

berkilat ke Seantero tempat itu. Mendadak rahangnya 

terangkat. Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak ketika 

mendapati yang ada di situ hanya tinggal satu orang. 

Apalagi orang itu bukan orang yang tadi berada di 

tempat itu.

“Siapa kau?!” Yang ajukan tanya adalah orang di 

hadapan Malaikat Berkabung.

Malaikat Berkabung memandang angker ke depan. 

Yang tegak di hadapannya adalah seorang perempuan 

setengah baya berwajah cukup cantik. Rambutnya di-

kuncir. Dia mengenakan pakaian warna abu-abu yang. 

di bagian dada dibuat membelah agak ke bawah. Hing-

ga lembahan dua payudaranya terlihat nyata. Pinggul-

nya besar dibalut dengan kain tipis ketat, hingga cua-

tannya membuat dada berdebar.

Malaikat Berkabung menyeringai dingin. Kepalanya 

mendongak. Lalu terdengarlah ucapannya yang seperti 

bersyair.

“Aku datang bersama angin.

Aku datang bernaung matahari dan rembulan.

Aku datang dari lembah kegelapan.

Lintasan bumi akan jadi saksi mati.

Saksi dari aliran darah anak manusia!”

Si perempuan tertawa merdu. Sepasang matanya 

yang bulat dipejamkan sesaat lalu dibuka lagi. Bibir-

nya kembangkan satu senyum.

“Takdir mereka masih baik! Tapi takdirmu buruk, 

Anak Manusia! Kau datang menggantikan takdir mereka!” kata Malaikat Berkabung.

“Kau bicara takdir! Apa kau tahu kita ditakdirkan 

bertemu lalu bercinta?!”

“Dewi Gita! Sayang sekali.... Hari perkabunganmu 

telah tiba! Tapi sebelum kau kuantar ke tempat perka-

bungan, jawab dulu tanyaku! Ke mana mereka pergi?!”

Si perempuan tersentak kaget. Bukan saja oleh per-

tanyaan orang, melainkan juga mendapati orang tahu 

siapa dirinya.

“Baru kali ini akan bertemu dengannya! Tapi dia te-

lah mengenaliku! Padahal sudah hampir sepuluh ta-

hun aku tidak berkecimpung dalam belantara persila-

tan! Siapa pemuda ini?! Siapa pula yang dimaksud 

dengan mereka?! Dia tadi sebut-sebut gadis! Apa yang 

dimaksud adalah gadis yang tengah mengandung itu?!”

Selagi perempuan yang dipanggil Dewi Gita memba-

tin, Malaikat Berkabung telah berucap lagi.

“Dengan tidak menjawab tanyaku, berarti kau 

mempercepat saat perkabungan itu, Dewi Gita!”

Ancaman orang bukannya membuat Dewi Gita ta-

kut. Sebaliknya perempuan ini tersenyum dengan ke-

dipkan sebelah mata. Lalu melangkah perlahan-lahan 

ke depan.

“Kau tadi belum jawab pertanyaanku! Dan aku ti-

dak biasa menjawab pertanyaan orang yang belum ku-

kenal meski kau telah tahu siapa aku!”

“Aku manusia dari lembah kegelapan! Aku Malaikat 

Berkabung!”

“Ah.... Rupanya kita berselera sama. Aku juga se-

nang yang gelap-gelap! Kulihat kau tadi muncul dari 

tanah ketinggian itu. Apa di sana ada tempat yang

enak untuk bicara?!”

“Tempatmu bukan di sana! Aku tahu di mana, dan 

akan segera kutunjukkan padamu!” kata Malaikat 

Berkabung.


Dewi Gita makin percepat langkah sambil terus ter-

tawa. Berjarak delapan langkah tiba-tiba perempuan 

ini kelebatkan kedua tangannya melepas pukulan ja-

rak jauh bertenaga dalam tinggi!

Wuutt! Wuuuutt!

Dua gelombang angin dahsyat menghampar ganas 

ke arah Malaikat Berkabung.

Mendapat serangan mendadak, Malaikat Berkabung 

bukannya terkejut, melainkan tertawa panjang. Saat 

bersamaan dia kebutkan mantel hitamnya.

Weeerr!

Mantel hitam yang dikenakan Malaikat Berkabung 

berkelebat angker perdengarkan deruan keras. Gelom-

bang angin berkiblat.

Desss! Dessss!

Terdengar benturan keras perdengarkan suara 

mendesis. Dewi Gita terkesiap dan buru-buru melom-

pat mundur dengan paras berubah. Sosoknya bergetar 

dengan kedua tangan gemetar. Di depan sana Malaikat 

Berkabung tengadah sambil teruskan gelakan tawa!

Kelebatan mantel yang mampu menghadang puku-

lannya sudah cukup membuat Dewi Gita sadar tengah 

berhadapan dengan orang yang berilmu tinggi. Hal ini 

membikin Dewi Gita makin penasaran akan siapa 

adanya orang.

“Pemuda tampan! Kau tengah mencari seorang ga-

dis?!” tanya Dewi Gita seraya diam-diam kerahkan te-

naga dalam.

“Itu urusanku! Dan kau tak tahu apa-apa dalam 

urusan ini!”

“Kau salah duga! Yang kau cari gadis yang tengah 

hamil, bukan?!”

Malaikat Berkabung menyeringai. “Aku tidak bodoh! 

Kau bukannya memberi keterangan. Sebaliknya kau 

akan mengerek keterangan dariku! Jangan kira aku


tak tahu apa yang ada dalam benakmu!”

Dewi Gita diam-diam terkejut. “Dia tahu...! Sebaik-

nya aku tinggalkan tempat ini! Aku tak akan membuat 

perkara sebelum aku mendapatkan apa yang kucari!”

Habis membatin begitu, Dewi Gita tersenyum pada 

Malaikat Berkabung. Saat bersamaan sekonyong-

konyong kedua tangannya berkelebat melepas satu 

pukulan lagi! Kejap lain Dewi Gita berbalik lalu berke-

lebat tinggalkan tempat itu.

Malaikat Berkabung menyingkir dengan melompat 

ke samping. Gelombang angin dari kedua tangan Dewi 

Gita menyambar empat jengkal di sebelah samping 

Malaikat Berkabung. Lalu menghantam tanah keting-

gian di belakang sana.

Brakkk!

Tanah ketinggian yang tertutup dedaunan dan 

rumput tebal langsung terbongkar. Dedaunan dan 

rumput tampak semburat. Lalu terlihat lobang men-

ganga!

Malaikat Berkabung tegak pandangi kelebatan so-

sok Dewi Gila. Saat lain pemuda ini kibaskan mantel 

hitamnya. Sosoknya melesat dan lenyap di depan sana.

Sementara Dewi Gita teruskan berkelebat laksana 

dikejar setan. Bukannya takut menghadapi Malaikat 

Berkabung karena dia sendiri yakin akan kekuatan-

nya, namun dia tidak mau terlibat perkara dengan 

orang.

Dewi Gita baru berhenti larinya tatkala sampai pada 

satu tempat yang dirasa cukup aman. Apalagi saat itu 

matahari hampir tenggelam hingga suasana agak ge-

lap.

“Hem.... Pemuda Edan! Tak ada hujan tak ada angin 

tiba-tiba inginkan nyawa orang! Kalau saja aku tidak 

tengah....” Dewi Gita putuskan gumamannya. Ekor 

matanya menangkap kelebatan satu sosok bayangan.


Dan belum sempat perempuan ini melakukan gerakan, 

tahu-tahu di hadapannya telah tegak satu sosok tu-

buh. Saat bersamaan terdengar Ucapan bersyair.

“Aku datang dari lembah kegelapan.

Lintasan bumi akan jadi saksi mati.

Saksi dari aliran darah anak manusia.”

Dewi Gita terkesiap kaget mendengar syair yang di-

ucapkan lelaki di hadapannya.

“Kau kira takdir buruk itu bisa lolos dari tubuhmu, 

Perempuan?! Tidak...! Setiap Malaikat Berkabung 

muncul, harus ada anak manusia yang darahnya jadi 

saksi! Itu adalah kepastian!”

Tengkuk Dewi Gita semakin dingin. Tapi perempuan 

ini cepat kuasai diri. Dia sadar, tak mungkin lagi bisa 

menghindar. Maka seraya lipat gandakan tenaga da-

lam, dia berucap.

“Di antara kita tidak ada silang perkara. Aku pun 

tak ingin membuat urusan denganmu! Tapi jangan kau 

kira aku takut! Katakan apa maumu sebenarnya!”

“Memutus takdirmu! Itu adalah kepastian yang ha-

rus kulakukan!”

“Hem.... Aku tak percaya dengan ucapanmu! Kau 

disuruh orang?! Berapa imbalan yang kau terima?! 

Atau imbalan itu lebih molek dariku?!”

“Aku datang dari lembah kegelapan! Tak ada manu-

sia di sana! Aku hanya ingin disaksikan bumi bahwa 

setiap aku muncul, harus ada aliran darah anak ma-

nusia! Kau dengar, itu adalah kepastianku!”

Belum selesai ucapan Malaikat Berkabung, tangan 

pemuda ini telah bergerak. Mantel hitamnya berkelet 

dari arah kiri kanan.

Terdengar dua deruan angker. Dua gelombang de-

ras berkiblat ganas ke arah Dewi Gita.

Dewi Gita tidak tinggal diam. Bersamaan dengan


bergeraknya tangan Malaikat Berkabung, kedua tan-

gan perempuan ini lepaskan satu pukulan jarak jauh.

Bummm!

Terdengar ledakan menggelegar. Suasana kelam ka-

rena matahari telah tenggelam mendadak dipecah den-

gan terlihatnya muncratan laksana bara api ke udara. 

Tanah di tempat itu bergetar keras. Sosok Dewi Gita 

terhuyung dua tindak ke belakang dengan wajah beru-

bah pias.

Dewi Gita segera meneliti. Merasa tidak mengalami 

cedera terlalu berat, dia segera berkelebat ke depan. 

Kedua tangannya berkelebat menghantam ke arah ke-

pala dan dada Malaikat Berkabung.

Malaikat Berkabung tertawa pendek. Saat lain dia

jejakkan kaki. Sosoknya melesat menyongsong hanta-

man kedua tangan Dewi Gita.

Bukkk! Bukkk!

Dua benturan keras terdengar. Dewi Gita terdorong 

sambil perdengarkan seruan tertahan. Hampir saja ke-

dua lutut perempuan ini menekuk kalau saja dia tidak 

segera hentakkan telapak kakinya hingga sosoknya te-

gak laksana terpacak.

Dewi Gita tadi sengaja hendak menjajaki tenaga da-

lam orang. Karena dia khawatir sapuan gelombang 

yang datang ke arahnya hanya karena kesaktian man-

tel hitam yang dikenakan Malaikat Berkabung. Setelah 

terjadi benturan, Dewi Gita kini maklum kalau tenaga 

dalam orang memang luar biasa!

“Hem.... Sebenarnya aku tak ingin membuat uru-

san, tapi apa hendak dikata. Rupanya manusia ini 

memang punya keanehan!” gumam Dewi Gita dalam 

hati. Lalu angkat kedua tangannya. Sosoknya tampak 

bergetar keras tanda perempuan ini telah kerahkan se-

genap tenaga dalam yang dimilikinya.

Di depan sana, Malaikat Berkabung angkat pula


kedua tangannya dengan telapak sama dikembangkan. 

Lalu kedua jari tengah masing-masing tangan ditemu-

kan dan ditarik tepat di depan mata.

“Dari tadi kau bicara soal takdir. Mungkin itu satu 

tanda takdirmu sudah tiba!” bentak Dewi Gita. Kedua 

tangannya segera disentakkan.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang ganas disertai menghamparnya ha-

wa panas luar biasa mencuat lurus ke arah Malaikat 

Berkabung.

Malaikat Berkabung dorong kedua telapak tangan-

nya ke depan perlahan saja. Namun hebatnya, dari ke-

dua telapak tangannya yang jari tengahnya saling ber-

temu itu melesat kabut hitam laksana tabir.

Wusss! Wuuuss!

Blammmm!

Hawa panas menyengat yang sesaat tadi menyung-

kup tempat itu bersamaan dengan melesatnya gelom-

bang dari kedua tangan Dewi Gita laksana diguyur hu-

jan es. Bahkan saat itu juga suasana berubah dingin.

Tak lama kemudian terdengar gelegar hebat.

Dewi Gita perdengarkan jeritan melengking. Sosok-

nya terpental sejauh satu tombak lalu jatuh 

nyangsrang di balik semak. Dari mulutnya mengucur 

darah. Sementara sosoknya menggigil kedinginan 

meski ia merasakan sekujur tubuhnya laksana di-

panggang!

Di seberang depan, sosok Malaikat Berkabung ter-

dorong empat langkah. Walau sempat terhuyung hen-

dak jatuh, namun pemuda ini cepat dapat kuasai diri. 

Malah begitu sosok Dewi Gita jatuh di balik semak, 

Malaikat Berkabung telah melesat ke depan dan tahu-

tahu telah tegak tiga langkah di belakang Dewi Gita.

Dewi Gita rasakan nyawanya seolah melayang keti-

ka tiba-tiba satu tendangan berkelebat ke arahnya sementara dia belum sempat bergerak bangkit. Namun 

perempuan ini tak mau berdiam diri. Dia segera angkat 

kaki kanannya menghadang tendangan yang datang.

Bukkk!

Untuk kedua kalinya Dewi Gita menjerit. Sosoknya 

yang belum bangkit berguling-guling di balik semak. 

Kakinya yang baru saja menghadang tendangan lang-

sung mengembung besar dan laksana tak bisa dige-

rakkan.

Malaikat Berkabung rupanya tak ambil peduli den-

gan keadaan orang. Dia segera memburu. Saat lain 

kembali kakinya bergerak lepaskan satu tendangan 

menyusur tanah ke arah kepala Dewi Gita.

Dalam keadaan demikian rupa, nyatanya Dewi Gita 

tak mau menyerah. Kini dengan sisa tenaganya dia 

angkat kaki kirinya lalu dihantamkan menghadang 

tendangan orang.

Bukkk!

Sosok Dewi Gita mencelat sebelum akhirnya meng-

hantam satu batangan pohon dan jatuh terkapar den-

gan mulut makin banyak kucurkan darah.

Malaikat Berkabung tidak mau menunggu. Begitu 

sosok Dewi Gita mencelat, dia cepat mengejar. Saat so-

sok Dewi Gita terkapar di atas tanah, kedua tangannya 

membuat gerakan mendorong. Dua gelombang angin 

menderu.

Dewi Gita hanya bisa membelalak tanpa dapat 

membuat gerakan apa-apa. Hingga tanpa ampun lagi 

gelombang yang melesat dari kedua tangan Malaikat 

Berkabung menghantam telak pada sosoknya!

Dewi Gita hanya sempat perdengarkan pekikan 

pendek kala sosoknya terpental lalu kembali menghan-

tam batangan pohon. Dan saat sosok Dewi Gita me-

layang jatuh, nyawa perempuan ini sudah putus.

Malaikat Berkabung pandangi sosok Dewi Gita yang


terkapar bersimbah darah. Senyumnya terkembang. 

Lalu kepalanya tengadah.

“Pitaloka tidak ada di tempat itu. Ke mana kira-kira 

anak manusia itu?! Berhari-hari aku mengikuti perja-

lanan mereka tanpa mereka ketahui. Nyatanya usaha-

ku sia-sia! Hem.... Ke mana pun mereka saat ini pergi, 

yang pasti masih berada dalam hutan ini. Aku harus 

segera mendapatkan mereka! Malam purnama sudah 

tidak lama lagi....”

Untuk beberapa saat lamanya Malaikat Berkabung 

pandangi langit yang semakin hitam. Tiba-tiba saja dia 

berteriak dengan bersyair.

“Anak manusia di pelataran jagat.

Manusia dari lembah kegelapan telah datang.

Datang dengan membawa satu kepastian.

Sampai bumi berubah jadi lautan darah!”

Suara teriakan Malaikat Berkabung belum lenyap, 

ternyata sosok si pemuda sudah tidak ada lagi di tem-

patnya semula!

***

DUA BELAS



SATU sosok tubuh berselimut dedaunan tampak 

menggeliat di bawah satu batangan pohon besar di su-

asana dingin menjelang dini hari. Beberapa kali orang 

ini buka mulut menguap namun sepasang matanya 

belum juga dibuka. Malah tak lama kemudian dia me-

ringkuk dan perdengarkan dengkuran keras.

Ketika matahari mulai merangkak dari arah timur, 

orang berselimut dedaunan di bawah pohon kembali 

gerakkan tubuh menggeliat. Kini kedua matanya dibuka lalu diusap-usap dengan kedua punggung lengan. 

Kejap lain dia bergerak duduk dan sandarkan pung-

gung pada batangan pohon.

“Seandainya Putri Kayangan ada bersamaku...,” ti-

ba-tiba orang di bawah pohon bergumam sendiri se-

raya cengengesan. “Tentu tidak ada rasa dingin sema-

laman! Ke mana dia sekarang pergi? Waktu aku me-

ninggalkan tanah ketinggian itu, kulihat Nyai Tandak 

Kembang juga pergi.... Ah! Percuma aku sekarang me-

mikirkan soal itu! Pitaloka gagal kutemukan sementara 

saat purnama sudah tidak berapa lama lagi! Aneh.... 

Nyai Tandak Kembang merasa aroma penciumannya 

terputus! Sementara hal itu katanya tidak pernah ter-

jadi! Mem.... Ada keanehan pada diri Pitaloka! Atau 

jangan-jangan ada seorang berilmu tinggi yang meno-

long Pitaloka dan dapat memutus daya cium Nyai Tan-

dak Kembang.... Hem.... Lalu ke mana Dewi Ayu Lam-

bada, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk? Dengan muncul-

nya mereka tepat di tempat mana Nyai Tandak Kem-

bang menduga Pitaloka berada, berarti mereka juga

kehilangan jejak Pitaloka! Lalu ke mana sekarang aku 

harus mencari gadis itu?!”

Orang yang duduk bersandar di batangan pohon 

dan tidak lain adalah murid Pendeta Sinting beranjak 

bangkit. Dia edarkan pandangan berkeliling. Kepa-

lanya menggeleng perlahan. “Urusan di mana Pitaloka 

belum terjawab, kini muncul lagi seorang pemuda 

aneh. Dia seolah tahu dan kenal setiap orang! Padahal 

melihat paras keterkejutan orang, aku dapat menebak 

jika Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan Nyai Tan-

dak Kembang belum pernah bertemu dengan pemuda 

itu! Malaikat Berkabung.... Hem.... Gelar yang bagus. 

Sayang aku tak tahu siapa dia sebenarnya! Tapi dari 

ucapannya, maksudnya tidak meleset jauh dari penca-

rian Pitaloka! Mengapa kabar kehamilan gadis itu begitu cepat menebar? Siapa pula yang menebarkan?!”

Selagi Pendekar 131 membatin dan bertanya-tanya 

pada diri sendiri, mendadak berjarak dua puluh lang-

kah di depan sana satu bayangan putih berkelebat. Be-

lum sempat Joko dapat melihat siapa adanya orang, 

bayangan putih telah lenyap.

Joko tegak menunggu dengan mata dipentang tak 

berkesip memandang ke arah sirnanya orang. Dia be-

lum bergerak karena ingin yakinkan dahulu pandan-

gannya. Mendadak bayangan putih di depan sana ter-

lihat lagi. Murid Pendeta Sinting makin pentangkan 

mata. Sementara orang di depan sana seolah tahu ke-

raguan orang, hingga kali ini dia tidak segera berkele-

bat lagi, melainkan tegak membelakangi Joko. Namun 

cuma sekejap. Saat lain dia putar diri menghadap Pen-

dekar 131.

Karena agak jauh, Joko belum dapat menatap den-

gan seksama wajah orang. Namun yang pasti, dia ya-

kin belum mengenal orang itu. Yang dapat dilihatnya 

adalah orang itu berambut putih dipotong pendek 

hingga rambutnya menjadi tegak-tegak. Dia mengena-

kan pakaian warna putih.

Setelah agak lama memandang ke arah murid Pen-

deta Sinting, orang berambut pendek jabrik dan ber-

pakaian putih lorotkan tubuh dan lenyap dari pandan-

gan Joko karena terhalang semak dan batangan bebe-

rapa pohon.

Namun murid Pendeta Sinting masih juga belum 

bergerak dari tempatnya. Dia sebenarnya bimbang. Di 

satu sisi tindakan orang membuatnya jadi penasaran, 

tapi dalam situasi seperti saat ini dia harus waspada 

terhadap siapa saja apalagi orang yang belum dikenal-

nya.

Dalam kebimbangannya, tiba-tiba orang berambut 

jabrik putih di depan sana kelihatan lagi. Ternyata


orang itu tidak beranjak dari tempatnya semula. Kali 

ini agak lama dia memandang ke arah Pendekar 131.

“Apa maksudnya orang itu?!” gumam murid Pendeta 

Sinting dengan terus perhatikan sikap orang. Namun 

dia belum bisa dengan jelas melihat wajah orang.

Sementara di depan sana, setelah agak lama me-

mandang akhirnya orang berambut jabrik putih balik-

kan tubuh dan berkelebat.

Entah apa yang terpikir dalam benak murid Pendeta 

Sinting, begitu orang berambut jabrik putih berkelebat, 

Joko ikut pula membuat gerakan dan sosoknya mele-

sat ke arah orang berambut jabrik putih.

Ternyata orang berambut jabrik putih tidak henti-

kan kelebatan meski dia tahu murid Pendeta Sinting

tengah berkelebat mengejarnya. Malah dia seakan 

mempercepat larinya.

“Hai! Tunggu!” seru Pendekar 131 seraya terus 

mengejar.

Orang berambut jabrik putih tidak pedulikan teria-

kan Joko. Dia terus berkelebat sebelum akhirnya me-

nyelinap lenyap di balik kerapatan semak.

Murid Pendeta Sinting hentikan larinya begitu men-

dapati orang yang dikejar tidak kelihatan lagi. “He-

ran.... Apa maunya orang itu?! Dia tadi seolah ingin 

dikenali, tapi begitu dikejar dia menghilang!”

“Kau mencariku, Pendekar 131?!” Tiba-tiba satu su-

ara mengejutkan Joko. Bersamaan itu satu sosok 

bayangan melayang turun dari atas sebuah pohon.

Murid Pendeta Sinting gerakkan kepala mengikuti 

sosok yang melayang turun. Dan perhatikan orang 

dengan seksama saat sosok itu telah tegak di atas ta-

nah. Ternyata dia adalah seorang kakek. Rambutnya 

putih jabrik. Sepasang matanya agak sipit namun ta-

jam. Kumisnya putih dan lebat. Dia mengenakan pa-

kaian warna putih mirip pakaian seorang biksu yang


bagian dada kanannya terbuka. Di tangan kanannya 

juga memegang sebuah tasbih pendek warna coklat. Di 

lehernya melingkar kalung panjang dari untaian buti-

ran warna coklat pula.

“Hem.... Dua kali aku bertemu orang yang telah 

mengenaliku padahal aku belum pernah berjumpa! 

Siapa pula orang tua ini?!” Joko bertanya-tanya dalam 

hati. Lalu angkat bicara.

“Orang tua.... Kau telah tahu aku. Sekarang mau 

kau katakan siapa dirimu?!”

Si orang tua berambut jabrik putih gerakkan tangan

kanan. Tasbih pendek di tangannya bergerak memu-

tar.

“Hutan belantara sepi. Bertahun-tahun tak diram-

bah telapak kaki manusia! Tapi hari-hari terakhir ini 

kulihat banyak telapak kaki menginjaknya. Sebelum 

kujawab pertanyaanmu, katakanlah dahulu apa mak-

sudmu berada di hutan ini, Pendekar 131!”

“Rasanya tak ada gunanya aku berdusta! Perta-

nyaannya itu mungkin hanya berpura-pura! Padahal 

dia sebenarnya sudah tahu!”

Berpikir sampai di situ, akhirnya murid Pendeta 

Sinting buka mulut menjawab.

“Aku tengah mencari seorang gadis! Dan harap jan-

gan tanyakan lanjutannya, karena kurasa kau telah 

tahu, Orang Tua!”

Si orang tua berambut jabrik putih gerakkan tubuh 

memutar sedikit. Seraya tersenyum dia berucap pelan.

“Alur aliran darah memang akan selalu membawa 

ikan hiu untuk mengikutinya!”

Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Agak lama dia 

coba menyimak ucapan si orang tua. Namun karena 

dia lebih tertarik dengan siapa dia sedang berhadapan, 

akhirnya Joko ajukan tanya lagi.

“Orang tua! Kau keberatan mengatakan siapa diri


mu?!”

Yang ditanya tengadahkan kepala. “Pendekar 131! 

Lihatlah ke langit!”

Walau masih heran, murid Pendeta Sinting akhir-

nya mendongak juga.

“Apa yang kau lihat?!”

“Aku tidak melihat sesuatu yang luar biasa! Hanya 

ada sedikit awan!”

Si orang tua gelengkan kepala. “Perhatikan sekali

lagi, Pendekar 131!”

Pendekar 131 melirik pada si orang tua. Lalu tenga-

dah lagi. “Orang tua! Aku tidak melihat apa-apa!”

“Aku melihat darah! Darah itu menebar sampai ke 

hamparan bumi!”

“Orang tua! Apa maksudmu sebenarnya?!”

“Kau akan segera tahu, Pendekar 131!”

Habis berkata begitu, si orang tua berambut jabrik 

putih berkelebat. Anehnya dia tidak coba menyelinap 

sembunyikan diri. Malah di depan sana dia melangkah 

pelan-pelan dan sesekali berpaling pada murid Pendeta 

Sinting dengan tersenyum. Namun kali ini senyumnya 

lain.

“Ada yang aneh dengan orang tua itu!” gumam mu-

rid Pendeta Sinting lalu berkelebat mengejar.


                       SELESAI


Segera menyusul:


LEMBAH PATAH HATI

























Share:

0 comments:

Posting Komentar