Hak cipta dan copyright
pada penerbit
di bawah lindungan
undang-undang
Joko Sableng telah
Terdaftar pada Dept. Kehakiman RI
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Me-
rek di bawah nomor 012875
SATU
DAYANG Sepuh pasang tampang tidak senang. Apa-
lagi mendapati pertanyaannya tidak memperoleh jawa-
ban dan Datuk Wahing nimbrung campur tangan.
“Hentikan bersinan mu, Setan!” Dayang Sepuh
langsung perdengarkan bentakan keras membahana
kala dilihatnya Datuk Wahing terus-menerus perden-
garkan bersinan.
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya yang
bergerak pulang balik ke depan ke belakang mengikuti
bersinannya.
“Nek.... Jangan kau membuat orang jadi heran! Su-
dah kukatakan, lihat dengan teliti siapa adanya pe-
rempuan yang di hadapanmu!”
Walau dengan meredam rasa geram, akhirnya si
nenek yang rambutnya dikelabang dua dan bagian de-
pannya diponi serta mengenakan pakaian cingkrang
tanpa lengan hingga pusar dan ketiaknya kelihatan ini
sekali lagi memperhatikan perempuan berpakaian pu-
tih sebatas dada yang tegak di hadapannya.
“Aku tidak bisa mengenali setan perempuan itu! Ka-
takan saja terus-terang! Dia orang baik-baik atau ma-
nusia dari golongan setan!”
“Bruss! Brusss! Kau benar-benar membikin aku he-
ran! Meski dia sekarang makin cantik dan membuatmu
lupa, seharusnya kau masih ingat akan beberapa
kembang di rambut serta di sela jari kedua tangan-
nya.... Itulah tanda jika orang di hadapanmu adalah
Nyai Tandak Kembang!”
“Nyai Tandak Kembang....” Dayang Sepuh bergu-
mam mengulangi nama yang baru saja diucapkan Da-
tuk Wahing dengan sibakkan poni di depan keningnya.
Kening si nenek tampak berkerut tanda dia sedang
mengingat.
“Astaga! Jadi kaulah manusianya yang pernah
membuat tergila-gila Pendeta Sinting pada beberapa
puluh tahun yang lalu itu?! Pantas.... Di usia yang be-
gini saja wajahmu masih cantik! Apalagi di masa la-
lu....” Dayang Sepuh berucap.
Perempuan berpakaian putih sebatas dada yang pa-
ras rupanya masih kelihatan cantik walau tidak muda
lagi itu tampak tersipu. Namun dia segera menyahut.
“Semua itu hanya kabar yang tidak benar, Nek....
Antara aku dengan Pendeta Sinting tidak lebih daripa-
da sekadar hubungan bersahabat!”
“Kau salah mengucapkan itu kalau dengan sesama
perempuan! Aku tahu bagaimana sifat perempuan! Ma-
lah tak jarang perempuan mengatakan tidak, walau
dalam hatinya mengucapkan ya!” sambut Dayang Se-
puh.
Perempuan cantik di hadapan Dayang Sepuh yang
tadi diperkenalkan Datuk Wahing dengan nama Nyai
Tandak Kembang tersenyum. Namun ekor matanya
melirik ke seantero tempat itu. Dalam hati dia bergu-
mam. “Aku masih dapat mencium aroma orang lain se-
lain mereka berdua! Orang itu tidak berada jauh dari
tempat Ini....”
Seperti diceritakan pada episode “Titisan Pamung-
kas”, Nyai Tandak Kembang meninggalkan lereng Gu-
nung Semeru setelah mendapat keterangan dari To-
koh-tokoh Penghela Tandu tentang Putri Kayangan
dan Pitaloka serta keadaan yang kini tengah terjadi da-
lam rimba persilatan.
Begitu sampai di kawasan yang berbatasan dengan
sebuah hutan lebat, Nyai Tandak Kembang yang memi-
liki keahlian dapat mengetahui adanya orang dengan
penciuman dapat menduga kalau kedua orang yang
tengah dicari, yakni Pitaloka dan Beda Kumala alias
Putri Kayangan berada di sekitar tempat itu. Namun
begitu dia hendak melangkah, muncul seorang nenek
berbedak tebal berbibir merah polesan yang rambut-
nya dikelabang dua dan diponi bagian depannya. Ne-
nek ini tidak lain adalah Dayang Sepuh.
Dayang Sepuh mengajukan beberapa pertanyaan
pada Nyai Tandak Kembang. Karena terlalu banyak
pertanyaan yang diajukan, pada akhirnya Nyai Tandak
Kembang memutuskan untuk tinggalkan tempat itu
dan tidak meladeni Dayang Sepuh. Rupanya si nenek
tidak membiarkan Nyai Tandak Kembang pergi sebe-
lum menjawab pertanyaannya. Hingga Dayang Sepuh
sempat lepaskan pukulan. Pukulan pertamanya dapat
dihindari Nyai Tandak Kembang. Begitu Dayang Sepuh
hendak susul pukulan, mendadak muncul Datuk Wah-
ing, seorang tokoh yang selalu bersin-bersin.
“Brusss! Brusss! Nyai.... Sebenarnya aku tak mau
membuatmu heran dengan pertanyaanku. Namun da-
ripada aku harus menanggung heran terus-menerus,
kuharap kau mau untuk memberi penjelasan pada-
ku....” Datuk Wahing hentikan ucapannya sesaat un-
tuk bersin. Lalu berucap lagi. “Kau tadi mengatakan
tengah mencari dua orang cucumu. Yang kau maksud
gadis bergelar Putri Kayangan, bukan?!”
Nyai Tandak Kembang sedikit terkejut. Dia melirik
pada Dayang Sepuh. Namun dia tidak buka mulut un-
tuk beberapa saat. Sebaliknya paras wajah perempuan
ini jelas membayangkan kebimbangan. Apalagi dia ya-
kin bahwa tidak jauh dari tempat itu ada orang yang
belum tunjukkan diri.
“Datuk.... Kuharap kau tidak menyesal atau kecewa
jika aku tidak dapat menjelaskan padamu....”
“Putri Kayangan.... Aku sepertinya pernah menden-
gar nama setan itu!” gumam si nenek. “Sepertinya ma-
sih terngiang di telingaku.... Tapi sialan benar! Aku lu
pa ingat tampangnya!”
“Brusss! Aku tidak heran dengan jawabanmu!” kata
Datuk Wahing. “Mungkin kau takut ada orang lain
yang mendengarnya!” Datuk Wahing hentikan gerakan
kepalanya. Lalu dipalingkan ke kanan. “Nyai.... Kau
tak usah khawatir apalagi heran. Dia adalah sahabat
kita juga....”
Belum sampai ucapan Datuk Wahing selesai, tiba-
tiba dari balik sebatang pohon arah mana Datuk Wah-
ing berpaling, muncul satu sosok laki-laki bertubuh
gemuk besar mengenakan pakaian gombrong warna
hijau. Pada pinggangnya melilit ikat pinggang besar
yang tepat di depan perutnya menggantung sebuah
cermin bulat. Kepala laki-laki ini menghadap lurus ke
arah Nyai Tandak Kembang. Sepasang matanya men-
gerjap. Bukan karena mengagumi kecantikan orang,
melainkan karena sudah terlalu lama memejam. Selain
itu karena ternyata sepasang mata laki-laki ini ber-
warna putih. Tanda jika dia orang buta.
“Gendeng Panuntun!” bisik Nyai Tandak Kembang
mengenali siapa adanya laki-laki tambun bermata bu-
ta.
Laki-laki bermata buta bertubuh tambun dan me-
mang Gendeng Panuntun adanya melangkah ke arah
Datuk Wahing seraya berujar.
“Aromamu makin menusuk hidung saja. Tanda
semakin tambah umur, kau makin tambah cantik me-
narik! Bagaimana kabarmu, Nyai...?!”
“Ucapannya jelas membuktikan kalau dia tahu aku
bisa mengetahui kehadirannya di sekitar tempat ini
dengan penciumanku....” Nyai Tandak Kembang berka-
ta dalam hati. Lalu tersenyum sembari berkata.
“Aku baik-baik saja, Kek...!”
“Huh! Dasar setan laki-laki! Tidak bisa melihat pun
masih bisa berkata memuji!” desis Dayang Sepuh den
gan monyongkan mulut mendengar ucapan Gendeng
Panuntun.
“Itulah setan laki-laki, Nek! Jelek pun kalau ada
maunya pasti dikatakan cantik! Bahkan tidak ada pun
harus diada-adakan!” sahut Gendeng Panuntun.
“Brusss! Herannya, perempuan sering kali takluk
dengan pujian dan terpikat dengan sesuatu yang di-
ada-adakan!” Datuk Wahing sambungi ucapan Gen-
deng Panuntun.
“Itu hanya akan dilakukan perempuan dungu dan
perempuan setan!” seru Dayang Sepuh dengan sengit.
Gendeng Panuntun hentikan langkah di samping
Datuk Wahing. Tangan kanannya mengusap cermin
bulat di depan perutnya. Lalu berkata.
“Nyai.... Sebaiknya kita saling berterus terang. Den-
gan keberadaanmu di sini, pasti kedua gadis yang kau
cari itu ada di sekitar tempat ini! Dan kalau benar sa-
lah seorang gadis itu bergelar Putri Kayangan, kuharap
kau nantinya tabah....
Nyai Tandak Kembang terkesiap. Walau belum
mengenal betul Dayang Sepuh, namun karena telah
tahu siapa Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun, ke-
bimbangan Nyai Tandak Kembang jadi sirna. Hingga
akhirnya dia buka mulut.
“Salah seorang yang kucari bernama Beda Kumala
dan di luaran dia memang dikenal dengan Putri
Kayangan! Sebenarnya ada apa dengan gadis itu?”
“Brusss! Dan kau pasti tidak heran bila kukatakan
yang satunya adalah Pitaloka!” kata Datuk Wahing.
“Benar, Datuk...,” jawab Nyai Tandak Kembang
dengan dada makin gelisah. “Ada apa dengan kedua
anak itu?! Ucapan Gendeng Panuntun mengisyaratkan
akan terjadi sesuatu musibah.... Apa yang dilakukan
keduanya?!” Nyai Tandak Kembang menghela napas
dalam. Dan seolah tidak sabar menunggu jawaban, perempuan dari lereng Gunung Semeru ini kembali aju-
kan tanya.
“Harap kalian memberi keterangan padaku ada apa
sebenarnya dengan gadis itu?”
“Dia hamil!” Yang menjawab adalah Dayang Sepuh.
Telinga Nyai Tandak Kembang laksana mendengar
gelegar petir di tengah hari. Wajahnya berubah dengan
dada berdebar dan sosok bergetar. Untuk beberapa
lama dia coba kuasai guncangan jiwanya dengan ten-
gadahkan kepala dan memejamkan mata.
Di hadapan Nyai Tandak Kembang, Datuk Wahing
berpaling pada Dayang Sepuh. Saat yang sama Gen-
deng Panuntun hadapkan wajahnya pula pada si ne-
nek. Dayang Sepuh tampaknya dapat menangkap
maksud gerakan kedua orang ini. Hingga dia segera
saja berucap dengan suara ketus.
“Aku tak suka berbasa-basi! Bukankah kenyataan-
nya memang demikian?! Gadis itu hamil!”
“Tak mungkin!” Mendadak Nyai Tandak Kembang
menyahut. “Beda Kumala belum lama meninggalkan
lereng Semeru! Selama ini aku tidak pernah menden-
gar dan tahu dia punya hubungan tertentu dengan
seorang laki-laki! Bagaimana mungkin dia bisa hamil
begitu cepat? Lagi pula.... Apakah di antara kalian be-
nar-benar sudah membuktikannya?!”
“Nyai.... Sebenarnya kami belum bisa memastikan
siapa yang hamil!” Yang perdengarkan suara Gendeng
Panuntun. “Namun satu hal yang pasti, satu di antara
kedua gadis itu mengandung!”
Nyai Tandak Kembang menggigit bibirnya. Dalam
hati dia berkata. “Apakah Pitaloka? Kepergiannya te-
rakhir kali dari lereng Semeru enam purnama yang la-
lu. Tapi apakah mungkin...?! Dia memang anak yang
kurang hati-hati dan ceroboh! Tapi aku tahu benar
siapa dia! Tak mungkin dia berani bermain api dengan
laki-laki! Hem.... Mereka bertiga pasti salah duga!”
Nyai Tandak Kembang arahkan pandang matanya
pada Gendeng Panuntun. Dia sebenarnya tahu bahwa
ucapan Gendeng Panuntun jarang yang meleset. Na-
mun dalam keadaan seperti saat ini, tampaknya Nyai
Tandak Kembang lebih percaya pada apa yang diketa-
huinya. Karena dia telah hidup bertahun-tahun den-
gan Pitaloka dan Putri Kayangan.
“Kakek Gendeng Panuntun!” kata Nyai Tandak
Kembang setelah agak lama terdiam dan bergulat den-
gan batinnya sendiri. “Dan kau Datuk Wahing serta
Nenek.... Kalian boleh menduga, tapi aku bisa pastikan
jika dugaan kalian salah! Tak mungkin salah satu di
antara kedua gadis Ku mengandung! Aku tahu siapa
mereka!”
Kepala Gendeng Panuntun manggut-manggut. “Kau
memang berhak memastikan! Namun kau mau dengar
sedikit cerita dariku?!”
Gendeng Panuntun tidak menunggu jawaban orang.
Dia segera buka mulut lagi. “Beberapa waktu yang la-
lu, aku bertemu dengan Raja Tua Segala Dewa. Kau
tentunya tahu siapa dia! Apa yang tadi kukatakan
mengenai kedua gadis itu adalah penjabaran ucapan-
nya! Aku tidak memaksamu untuk percaya. Tapi seti-
daknya kau nanti tidak merasa terkejut....”
“Aku tahu siapa Raja Tua Segala Dewa! Untuk uru-
san lain mungkin aku percaya. Tapi dalam urusan ini,
rasanya sulit bagiku untuk begitu saja percaya tanpa
melihat dahulu buktinya!”
Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang arah-
kan pandang matanya silih berganti pada ketiga orang
di hadapannya.
“Aku melihat keanehan.... Kalian sepertinya tahu
benar urusan kedua gadis itu. Apa sebenarnya hubun-
gan kalian dalam urusan ini?!”
Bruss! Brusss! Saat ini telah muncul seorang ma-
nusia yang kesaktiannya sulit dijajaki! Adalah menghe-
rankan kalau kita harus berdiam diri walau hanya se-
dikit yang bisa kita perbuat!”
“Hem.... Lalu hubungannya dengan kedua gadis
itu?!” Nyai Tandak Kembang kembali ajukan tanya.
“Kelak bayi dari salah seorang gadis itu yang dapat
menghentikan manusia itu!” Yang menjawab adalah
Gendeng Panuntun.
“Jadi kalian juga tengah mencari kedua gadis itu?!”
“Brusss! Betul! Hanya....”
Belum sampai Datuk Wahing teruskan ucapan, Nyai
Tandak Kembang telah menukas.
“Harap kalian tidak kecewa. Hidup matinya kedua
gadis itu berada di tanganku. Jadi.... Setan pun tak
akan kubiarkan untuk terlibat urusan dengan kedua
gadis itu!”
Mendengar kata-kata Nyai Tandak Kembang yang
sedikit agak keras, Gendeng Panuntun tertawa pelan.
Lalu berujar.
“Jangan berpikir terlalu jauh, Nyai.... Yang kami
perbuat hanya sekadar memberi tahu sekaligus me-
nyelamatkan gadis itu....”
“Menyelamatkan bagaimana maksudmu?!”
“Kalau sampai ada orang lain tahu jika bayi itu bu-
kan bayi sembarangan, tentu keselamatan gadis itu se-
tiap saat jadi incaran orang! Dan kami bertiga cuma
sebatas itu bisa berbuat!”
“Aku belum paham maksudmu!” ujar Nyai Tandak
Kembang.
“Kami hanya bisa menjaga keselamatan gadis itu
sampai bayi dalam kandungannya lahir. Setelah itu
hanya ada satu orang yang bisa bertindak dengan bayi
itu!”
Nyai Tandak Kembang kembali menghela napas dalam. “Kalian pernah bertemu dengan kedua gadis itu?!”
“Brusss! Kami bertemu dengan keduanya kira-kira
satu setengah purnama yang lalu! Seandainya kami ti-
dak berjumpa saat keduanya sama-sama muncul, pas-
ti kami akan dibuat terheran-heran! Karena tentu kami
tidak bisa membedakan antara satu dengan lainnya!”
“Ketika kalian bertemu satu setengah purnama
yang lalu, apakah kalian melihat tanda-tanda jika sa-
lah satu dari mereka tengah mengandung?!”
“Aku tidak bisa melihat. Tapi aku bisa memastikan
saat itu tidak ada yang tengah mengandung!” jawab
Gendeng Panuntun.
“Brusss! Kalau aku bisa melihat. Herannya aku ti-
dak bisa memastikan apakah di antara mereka ada
yang sedang mengandung.... Mungkin pandangan ne-
nek cantik ini lain, soalnya dia perempuan dan sangat
banyak pengalaman! Bagaimana menurutmu, Nek?!”
tanya Datuk Wahing seraya berpaling pada Dayang
Sepuh yang sejak tadi hanya diam.
“Aku tidak tahu soal kandung-mengandungi Karena
aku belum pernah mengalaminya!” jawab si nenek ma-
sih dengan nada ketus.
“Nyai.... Saat itu kami memang tidak terlalu mem-
perhatikan, karena persoalan ini baru kami ketahui se-
telah pertemuan dengan kedua gadis itu!”
“Tapi kalian bisa memastikan bukan kalau saat itu
keduanya tidak ada yang tengah mengandung?!”
“Setidak-tidaknya demikian...,” kata Gendeng Pa-
nuntun.
“Hem.... Kalau satu setengah purnama yang lalu
Gendeng Panuntun bisa memastikan keduanya tidak
ada yang tengah mengandung, tentu kejadiannya tidak
lama berselang.... Ah, mengapa aku jadi ikut-ikutan
percayai. Tidak mungkin mereka melakukannya! Aku
harus segera mendapatkan mereka! Aku bisa memastikan mereka berdua ada di sekitar tempat ini.... Seti-
daknya tidak berada di luar kawasan hutan!” Nyai
Tandak Kembang bicara dengan diri sendiri. Lalu ber-
kata.
Terima kasih atas penjelasan kalian.... Sekarang
aku harus pergi!”
“Nyai.... Apakah tidak lebih baik kalau kita pergi
bersama-sama?! Kedua gadis itu sangat dekat den-
ganmu.
Kau tentu akan lebih bisa memberi pengertian...,”
kata Gendeng Panuntun.
“Brusss! Benar.... Terlalu mengherankan kalau
sampai kita yang memberi pengertian. Sebab kami
khawatir kalau mereka nantinya tidak mau mengerti....
Lagi pula sebenarnya kami takut jika hal ini akan me-
nyinggung perasaannya!”
“Betul!” Dayang Sepuh menyahut. “Karena mereka
gadis-gadis setan yang keras kepala!”
Nyai Tandak Kembang geleng kepala. “Aku tidak bi-
sa memenuhi permintaan kalian. Karena aku tidak
percaya dengan semua ini!”
“Hem.... Nenek dan cucu ternyata sama-sama se-
tannya!” desis Dayang Sepuh.
Datuk Wahing menoleh pada Gendeng Panuntun.
Gendeng Panuntun sendiri gerakkan kepala mengha-
dap sang Datuk. Saat bersamaan Nyai Tandak Kem-
bang berkata.
“Maaf.... Bukannya aku memandang sebelah mata
dengan keterangan kalian. Tapi dalam urusan ini, ku-
rasa apa yang kuketahui tentang kedua gadis itu lebih
banyak daripada yang kalian tahu! Lebih dari itu, aku
yakin mereka berdua tak mungkin melakukan tinda-
kan sejauh yang kalian duga!”
“Nyai.... Apa yang kami lakukan hanya sekadar
memberi tahu. Terserah padamu untuk percaya atau
tidak! Tapi kalau seandainya nanti benar-benar terjadi,
kuharap kau mau memberi pengertian...,” ujar Gen-
deng Panuntun.
“Aku tidak mau berjanji. Karena aku masih belum
membuktikannya!” kata Nyai Tandak Kembang seraya
memandang ke arah hutan lebat di depan sana. “Kalau
boleh tahu. Kapan bayi itu akan dilahirkan?!”
“Bruss! Brusss! Terlalu mengherankan kalau kami
bisa menentukan! Yang jelas dia akan lahir saat bulan
purnama!”
“Berarti percuma kalian mencari kedua gadis itu ka-
lau tidak tahu kapan waktu kelahirannya! Seratus ta-
hun lagi mungkin masih ada bulan purnama!”
Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang arah-
kan pandangannya pada ketiga orang di hadapannya.
“Masih ada yang hendak kalian utarakan?!”
“Kedua cucumu itu sudah ada yang bersuami?!”
Yang bertanya Dagang Sepuh.
“Itulah salah satu sebab mengapa aku belum per-
caya! Jangankan suami, kekasih pun kurasa mereka
belum punya! Jadi adalah satu keanehan kalau mere-
ka bisa hamil!”
Mendengar ucapan Nyai Tandak Kembang, menda-
dak Dayang Sepuh tertawa bergelak. “Kau rupanya lu-
pa.... Kalau mau, tanpa suami atau kekasih pun seo-
rang perempuan bisa mengandung!”
Tampang Nyai Tandak Kembang berubah merah
padam. Namun perempuan ini masih memiliki pera-
saan. Seraya tertawa pendek dia berkata.
“Perbuatan itu hanya akan dilakukan perempuan
konyol! Dan kedua gadis itu bukan perempuan konyol!
Dan perlu kalian ketahui, seandainya salah satu dari
mereka mengandung dengan jalan konyol, aku tak se-
gan-segan membunuhnya!”
“Itu akan membuat suasana makin keruh, Nyai...,”
kata Gendeng Panuntun. “Rimba persilatan akan di-
timpa malapetaka besar!”
“Persetan dengan itu semua! Itu juga bukan uru-
sanku!”
“Nyai.... Kuharap kau mengerti. Dan tentunya kau
tak ingin dunia persilatan ditimpa angkara murka!”
“Kurasa semua orang tahu jika kalian adalah tokoh-
tokoh yang berilmu tinggi. Tanpa melibatkan kedua
gadis itu, aku yakin kalian mampu mengatasinya! Apa-
lagi kudengar kalian tadi sebut-sebut tokoh Raja Tua
Segala Dewa! Kalau tokoh seperti dia sudah ikut turun
tangan, tentu tidak ada hal yang sulit!”
“Brusss! Brusss! Menurut hitungan mungkin uca-
panmu ada benarnya! Tapi akan mengherankan jika
semua hitungan pasti benar! Kalau Raja Tua Segala
Dewa ikut turun tangan dan mengatakan bagaimana
cara menghadapi, jelas menunjukkan hanya ada satu
jalan! Dan itu sudah cukup bagi kami untuk sadar bila
kami tidak bisa berbuat banyak! Lagi pula kami mak-
lum, apa yang kami miliki hanyalah setetes air dari
lautan yang luas! Kami selalu punya batas. Salah sa-
tunya adalah dalam menghadapi urusan sekarang ini!”
Nyai Tandak Kembang terdiam. Namun diam-diam
dadanya makin tidak enak. “Apakah nasib buruk itu
benar-benar akan menimpa Pitaloka dan Beda Kuma-
la?! Hem.... Sebelum terlambat, aku harus cepat men-
dapatkan keduanya!”
Berpikir sampai di situ, akhirnya Nyai Tandak Kem-
bang gerakkan kaki sembari berkata.
“Aku harus segera pergi. Tapi sebelumnya aku ber-
harap agar kalian justru mau mengerti akan diriku
dengan tidak melibatkan kedua gadis itu dalam urusan
ini! Jika urusanku telah selesai, tentu aku tidak kebe-
ratan untuk membantu kalian sesuai dengan kemam-
puanku....”
Tanpa menunggu sambutan dari ketiga orang di si-
tu, Nyai Tandak Kembang berkelebat menuju arah hu-
tan lebat di depan sana.
“Kehadirannya di sini jelas menguatkan petunjuk
kalau kedua gadis itu berada di sekitar tempat ini!”
Berkata Gendeng Panuntun.
“Tapi kemunculan setan itu akan menambah uru-
san baru!” Dayang Sepuh menyahut.
“Brusss! Seandainya manusia sinting dari Jurang
Tlatah Perak hadir di sini, tidak heran jika Nyai Tan-
dak Kembang akan mudah diatur!”
“Ah! Bagaimana mungkin! Justru kalau dia muncul,
urusan akan makin sinting!” ujar si nenek sambil rapi-
kan geraian poni rambutnya.
“Kita harus segera menyelidik hutan di depan itu!”
kata Gendeng Panuntun. Saat bersamaan kakek ber-
tubuh tambun ini membuat gerakan melompat-lompat.
Dalam beberapa kejap sosok besarnya telah lenyap di
antara kerapatan hutan di depan sana.
Dayang Sepuh dan Datuk Wahing saling pandang.
Tanpa ada yang buka mulut, keduanya membuat ge-
rakan. Saat lain kedua kakek-nenek ini telah lenyap
masuk di antara kerapatan pohon dan semak hutan.
***
DUA
DI SATU tempat di tengah rimbun jajaran pohon da-
lam hutan, Nyai Tandak Kembang tegak bersandar
dengan kepala tengadah. Terngiang kembali dalam te-
linganya semua ucapan Datuk Wahing, Gandeng Pa-
nuntun, dan Dayang Sepuh. Dada perempuan dari le-
reng Gunung Semeru ini berdegup kencang. Sosoknya
bergetar. Tiba-tiba kaki kanannya menghentak keras.
Hingga tanah di bawahnya langsung terbongkar.
“Aku tak peduli! Siapa pun di antara keduanya yang
berani membuat malu, akan kubunuh! Persetan den-
gan urusan dunia persilatan!”
“Tapi.... Apakah mungkin Pitaloka dan Beda Kumala
melakukan hal yang tidak senonoh itu?!” Nyai Tandak
Kembang kembali dibuncah kebimbangan setelah agak
lama berpikir. “Hem.... Hatiku belum tenang kalau be-
lum bertemu dengan keduanya! Aku harus segera me-
nemukannya sebelum ketiga orang itu mendahuluiku!”
Nyai Tandak Kembang takupkan kedua tangannya
yang pada sela jari telunjuk dan tengahnya menyelinap
sekuntum bunga. Sepasang matanya dipejamkan. Lalu
menarik napas beberapa kali. Saat lain perempuan ini
tarik kedua tangannya yang menakup ke depan hi-
dungnya. Dia mengendus beberapa kali. Lalu mendon-
gak dengan kepala bergerak memutar dengan hidung
terus mengendus-endus.
“Hem.... Satu berada di arah utara. Satunya lagi di
selatan! Berarti mereka tidak bersama-sama.... Dan
aku mencium kehadiran orang di sekitar tempat ini!
Apa ketiga orang tadi mengikuti langkahku?!” Nyai
Tandak Kembang arahkan kepalanya pada satu juru-
san. Hidungnya mengendus lalu menarik napas dalam-
dalam.
“Bukan! Yang ada di sekitar tempat ini hanya satu
orang, Dan bukan salah satu dari ketiga orang tadi!
Hem.... Ternyata di hutan ini telah muncul beberapa
orang! Apakah ini masih ada hubungannya dengan
urusan Pitaloka dan Beda Kumala?!”
Baru saja Nyai Tandak Kembang membatin begitu,
mendadak satu kejutan membuat si nyai melengak ka-
get. Ada orang perdengarkan suara dari arah samping.
“Berada sendirian di hutan yang begini sepi dan le-
bat tentu bukan tanpa maksud! Bukankah begitu?!”
Nyai Tandak Kembang palingkan kepala ke samping
kanan. Dia melihat seorang laki-laki berusia lanjut
mengenakan pakaian lusuh.
“Orang tua.... Siapa kau?!” tanya Nyai Tandak Kem-
bang seraya memperhatikan orang di hadapannya
dengan seksama. Di lain pihak, orang yang baru mun-
cul juga tengah mengawasi orang di hadapannya den-
gan hati bertanya-tanya.
“Sejak Pitaloka berada di sini bersamaku, ini adalah
orang ketiga yang kutemui. Dua lainnya adalah seo-
rang gadis dan pemuda. Walau aku belum bertemu
muka dengan gadis dan pemuda itu, namun jelas ke-
munculan keduanya di hutan ini bukan tanpa tujuan.
Karena sudah berhari-hari mereka berdua berada di
hutan ini! Hem.... Sebelum Pitaloka muncul, tidak seo-
rang pun yang merambah hutan ini. Apa kemunculan
orang-orang ini masih ada kaitannya dengan Pitalo-
ka?!” Si orang tua di hadapan Nyai Tandak Kembang
membatin. Lalu menjawab pertanyaan Nyai Tandak
Kembang.
“Aku adalah salah seorang penghuni hutan ini....
Namaku Kigali. Kau sendiri?”
“Dari sorot mata dan ucapannya, tampaknya orang
tua ini berkata jujur. Tidak enak rasanya kalau aku
berdusta...,” kata Nyai Tandak Kembang dalam hati.
Lalu buka mulut.
“Aku Nyai Tandak Kembang....”
“Apakah aku pernah mendengar nama yang baru
saja diucapkan perempuan ini?” Orang tua di hadapan
Nyai Tandak Kembang dan bukan lain adalah Kigali,
orang yang telah menolong dan menyadarkan Pitaloka
bertanya pada diri sendiri. “Ah.... Hidup berpuluh-
puluh tahun di hutan ini membuatku lupa sega-
lanya....” (Tentang pertemuan Kigali dan Pitaloka harap
baca serial Joko Sableng dalam episode “Titisan Pamungkas”).
“Jangan anggap aku lancang kalau aku berani me-
nanyakan sesuatu...,” kata Kigali dengan sunggingkan
senyum dan anggukkan kepala. “Kau tidak secara ke-
betulan bukan berada di hutan ini?!”
“Aku tengah mencari seseorang, Kek....”
Dada Kigali mulai berdebar. Seolah tak sabar dia
segera ajukan tanya lagi.
“Boleh aku tahu. Siapa yang kau cari?!”
“Dua orang gadis. Murid sekaligus cucuku.”
“Debaran dada Kigali makin keras. Paras wajahnya
yang telah mengeriput berubah sedikit tegang. Nyai
Tandak Kembang tampaknya dapat membaca peruba-
han orang. Hingga dia segera sambungi ucapannya.
“Kalau benar kau salah seorang penghuni hutan ini,
harap kau sudi mengatakan padaku dengan terus te-
rang. Apakah kau pernah bertemu dengan seorang ga-
dis atau bahkan keduanya?!”
“Mengapa kau bertanya begitu? Apa kau yakin gadis
itu berada di hutan ini?” Kigali balik bertanya.
Nyai Tandak Kembang menjawab dengan angguk-
kan kepala. Lalu kembali ajukan tanya. “Kau pernah
bertemu?!”
Entah karena apa, Kigali menjawab pula dengan
isyarat gelengan kepala. Lalu bertanya. “Kau bisa
memberitahukan ciri-ciri atau nama gadis itu?”
Nyai Tandak Kembang sesaat merenung. Dia coba
menyelami sikap orang. Diam-diam dia membatin. “Si-
kapnya berubah.... Kurasa dia menyembunyikan sesu-
atu!”
“Mereka berdua adalah saudara kembar. Paras me-
reka boleh dibilang cantik. Mereka sama mengenakan
pakaian warna merah. Yang satu bernama Beda Ku-
mala atau lebih dikenal dengan Putri Kayangan. Sa-
tunya lagi bernama Pitaloka!”
Kalau saja tidak sadar tengah berhadapan dengan
siapa, pasti Kigali sudah surutkan langkah mendengar
keterangan Nyai Tandak Kembang. Untung Kigali sege-
ra sadar dan langsung sunggingkan senyum seraya
sambuti ucapan Nyai Tandak Kembang.
“Beberapa hari yang lalu, aku memang bertemu
dengan seorang gadis. Namun dari ciri apalagi na-
manya, dia bukanlah gadis yang kau cari....”
Nyai Tandak Kembang balas tersenyum. “Orang
tua.... Kau telah lama menghuni hutan ini?!”
“Hampir setengah dari hidupku ku habiskan di
tempat ini! Apa boleh buat. Karena aku tidak memiliki
sanak saudara lagi!” Sambil menjawab begitu, sebe-
narnya Kigali berkata juga dalam hati. “Gadis yang
bersama pemuda itu kukenali juga berpakaian merah.
Apakah dia yang bernama Putri Kayangan?! Sayang
aku belum sempat melihat parasnya.... Apakah perem-
puan ini telah tahu apa yang kini tengah dialami Pita-
loka?! Menurut keterangan Pitaloka, sudah beberapa
purnama dia tidak pulang ke tempat tinggal eyang gu-
runya. Berarti kalau benar perempuan ini yang dimak-
sud Pitaloka dengan eyang gurunya, maka dia pasti be-
lum tahu apa yang saat ini menimpa Pitaloka! Hem....
Apakah aku harus mengatakannya terus terang?! Ta-
pi.... Aku telah berjanji pada Pitaloka untuk tidak
mengatakan semua ini pada siapa saja! Rahasia ini
hanya aku dan Pitaloka yang tahu....”
“Ditinggal sanak saudara memang sangat menye-
dihkan! Tapi akan menyedihkan lagi kalau ditinggal
cucu dengan satu urusan yang belum diketahui!”
“Ah.... Jadi kedua gadis itu punya satu urusan?”
tanya Kigali ingin tahu apakah Nyai Tandak Kembang
mengerti nasib yang menimpa Pitaloka.
Nyai Tandak Kembang menghela napas panjang.
“Kukira setiap manusia tak lepas dari urusan, Orang
Tua! Hanya aku kadang-kadang merasa heran dengan
seseorang yang coba menyembunyikan sesuatu pa-
dahal orang itu tahu dan bisa membantu urusan
orang!”
Paras muka Kigali tampak berubah mendengar
ucapan Nyai Tandak Kembang. “Rupanya dia menyin-
dirku.... Tapi aku tetap akan pegang janjiku pada Pita-
loka! Lebih dari itu aku harus cepat membawa Pitaloka
pergi jauh-jauh dari sini! Gadis berbaju merah serta
pemuda itu pasti juga tengah mencari Pitaloka!”
Setelah berpikir begitu, Kigali berucap. “Harap jan-
gan menduga kalau aku tahu urusanmu dan tidak
bersedia membantu! Aku benar-benar tidak pernah
bertemu dengan gadis yang kau cari....”
Nyai Tandak Kembang tersenyum. Namun senyum
itu di mata Kigali tampak lain.
“Orang tua.... Aku harus segera pergi...,” kata Nyai
Tandak Kembang. Lalu dia membuat gerakan. Tahu-
tahu sosoknya telah berkelebat dan ditelan rimbunnya
jajaran pohon serta semak belukar di sekitar tempat
itu.
“Sebenarnya aku tadi hendak menanyakan uru-
sannya dengan Pitaloka. Namun hal itu mungkin akan
menambah kecurigaannya! Tanpa kutanyakan saja
ucapannya telah mengandung kecurigaan.... Hem....
Aku harus cepat menyingkir bersama Pitaloka! Hutan
ini sudah tidak aman lagi...,” gumam Kigali lalu balik-
kan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu.
Sepasang mata bulat tampak memperhatikan gerak-
gerik Kigali. Dan begitu Kigali berkelebat, si pemilik
mata segera lakukan gerakan. Semak belukar menyi-
bak. Lalu muncul satu sosok tubuh. “Aku harus men-
gikutinya.... Kurasa dia tahu di mana Pitaloka atau
Beda Kumala berada!” gumam si pemilik mata yang
ternyata Nyai Tandak Kembang. Perempuan dari lereng
Gunung Semeru ini rupanya tidak berkelebat jauh. Dia
menyelinap di kerapatan semak belukar dan mencari
posisi yang dapat mengawasi gerak-gerik Kigali. Dia
merasa curiga dengan sikap Kigali. Maka begitu Kigali
berkelebat, Nyai Tandak Kembang segera keluar dari
kerapatan semak lalu ikut berkelebat ke arah mana
tadi Kigali pergi.
***
Walau belum mengenal betul hutan di mana dia be-
rada, namun dengan jalan penciumannya Nyai Tandak
Kembang tidak kesulitan mengikuti jejak Kigali. Hingga
meski jarak antara Nyai Tandak Kembang dan Kigali
terpaut agak jauh, namun jalan yang ditempuh Nyai
Tandak Kembang tidak meleset dari orang yang diikuti.
Di lain pihak, diam-diam sebenarnya Kigali tahu ka-
lau diikuti orang dan dapat menduga siapa adanya
orang yang berada di belakangnya. Namun Kigali te-
ruskan larinya seolah tidak merasa curiga. Namun
Nyai Tandak Kembang tidak tahu, jika Kigali tidak me-
nuju tempat di mana Pitaloka berada! Nyai Tandak
Kembang pun seakan tenggelam mengikuti jejak Kigali.
Hingga dia lupa jika dengan jalan penciumannya, tadi
sudah bisa menentukan arah di mana Pitaloka atau
Beda Kumala berada. Sementara saat itu dia tengah
berlari mengikuti Kigali yang menuju arah timur!
“Hem.... Bagaimana ini?! Sebenarnya mudah saja
menyesatkan perempuan itu dengan cara terus berpu-
tar-putar. Tapi hal itu tak mungkin kulakukan! Aku
tak bisa meninggalkan Pitaloka terlalu lama. Bukan
tak mungkin gadis dan perempuan itu nanti akan me-
nemukan di mana Pitaloka berada. Belum lagi kalau
masih ada orang lain! Sebaiknya aku menemui dia!”
Kigali akhirnya memutuskan setelah berlari agak jauh
dan merasa Nyai Tandak Kembang terus mengiku-
tinya.
Di lain pihak, sebenarnya Nyai Tandak Kembang
mulai sadar. “Ke mana dia berlari?! Sepertinya dia ber-
putar-putar tak tentu yang ditujui. Jangan-jangan dia
tahu kalau sedang kuikuti! Tapi akan kuikuti dahulu
sementara waktu.... Siapa tahu dia coba menyesatkan
jalan orang....” Tiba-tiba Nyai Tandak Kembang henti-
kan larinya. “Hem.... Sepertinya dia tengah berbalik
arah menuju kemari! Apa maksudnya?!” seraya terus
bertanya-tanya dalam hati dengan tindakan orang,
Nyai Tandak Kembang cepat berkelebat mendekam di
balik rumpun semak belukar.
Dan baru saja sosok Nyai Tandak Kembang lenyap
mendekam, muncul sosok Kigali tidak jauh dari men-
dekamnya Nyai Tandak Kembang. Dada Nyai Tandak
Kembang berdebar tidak enak melihat bagaimana Kiga-
li tampak bergerak berputar dengan mata memperha-
tikan sekeliling.
“Rupanya dia tahu....”
Selagi Nyai Tandak Kembang berkata begitu dalam
hati, tiba-tiba Kigali sudah angkat suara.
“Nyai Tandak Kembang.... Aku tahu kau berada ti-
dak jauh dari tempat ini! Harap kau tunjukkan diri! Ki-
ta harus bicara agar tidak ada saling curiga di antara
kita!”
Di balik tempat persembunyiannya, Nyai Tandak
Kembang menarik napas panjang. Lalu perlahan-lahan
keluar. Raut wajahnya tampak sedikit berubah.
“Katakanlah apa maumu Nyai Tandak Kembang!
Tak enak rasanya harus berputar-putar dengan dada
saling dipenuhi kecurigaan!”
“Aku menduga kau tahu di mana gadis yang kuca-
ri!” Nyai Tandak Kembang berterus terang.
Kepala Kigali menggeleng. “Kau keliru menduga,
Nyai! Aku tak tahu apa-apa dengan gadis itu!”
“Perubahan sikapmu mengatakan lain!”
“Itu bukan petunjuk kalau aku tahu gadis yang kau
cari! Dan kuperingatkan padamu. Kau hanya akan
buang-buang waktu kalau terus mengikutiku!”
Untuk kesekian kalinya Nyai Tandak Kembang
menghela napas. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia
tinggalkan Kigali.
“Harap kau tidak kecewa dengan ucapanku, Nyai!
Aku tentu akan mengatakannya padamu jika sewaktu-
waktu aku bertemu dengan gadis yang kau cari!” kata
Kigali seraya memandang kepergian Nyai Tandak Kem-
bang.
Nyai Tandak Kembang hentikan langkah. Tanpa
berpaling dia berujar.
“Seharusnya hal itu kau katakan sekarang, Orang
Tua! Tapi aku tak mau memaksa jika kau keberatan!”
Kigali gelengkan kepala perlahan. Tanpa buka mu-
lut lagi, dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
“Hem.... Memang tidak seharusnya aku andalkan
bantuan orang lain!” gumam Nyai Tandak Kembang.
Lalu takupkan kedua tangannya di depan hidung. Saat
lain perempuan dari lereng Gunung Semeru ini berke-
lebat ke arah utara.
“Dia menuju ke utara.... Tapi sebaiknya aku tunggu
dahulu! Siapa tahu ini hanya tipuan!” Kigali bergumam
dari balik batangan sebuah pohon. Ternyata laki-laki
ini tidak berkelebat terlalu jauh. Dia sengaja menyeli-
nap lalu memperhatikan Nyai Tandak Kembang. Kali
ini dia tidak mau lagi diikuti. Maka dia sengaja me-
nunggu agak lama sampai yakin Nyai Tandak Kem-
bang tidak sedang melakukan tipuan dengan berpura-
pura pergi tapi sebenarnya memutar jalan lalu mengi-
kuti secara diam-diam.
Setelah agak lama menunggu dan yakin Nyai Tandak Kembang tidak memutar jalan, Kigali balikkan tu-
buh lalu berkelebat ke arah selatan.
***
TIGA
DUA orang itu sama duduk bersandar pada satu
batangan pohon dengan wajah sedikit muram. Tidak
ada yang buka mulut. Malah mata masing-masing
mengarah pada jurusan yang berlawanan. Namun tak
lama kemudian, orang yang duduk di sebelah kanan
tampak cengengesan sendiri dan berpaling pada orang
satunya. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan
mengenakan pakaian warna putih. Rambutnya pan-
jang sebahu dililit ikat kepala berwarna putih pula.
“Kalau sedang bersedih, parasnya makin cantik sa-
ja...,” gumam si pemuda seraya terus pandangi orang
yang duduk tidak jauh di sebelah kirinya.
Yang dipandang tampaknya maklum kalau dirinya
tengah diperhatikan orang. Dia buru-buru gerakkan
kepala sedikit. Dia adalah seorang gadis berparas luar
biasa jelita mengenakan pakaian warna merah. Ram-
butnya hitam lebat dengan hidung mancung.
“Sejak semula aku sudah ragu! Nyatanya keragua-
nku terbukti! Sudah beberapa hari kita berada di hu-
tan ini. Tapi Pitaloka tidak juga kita temukan! Sebaik-
nya kita pergi dari sini, Pendekar 131!” Berkata si ga-
dis berbaju merah tanpa memandang.
Si pemuda yang ternyata adalah Pendekar Pedang
Tumpul 131 Joko Sableng bergerak bangkit. Tanpa
alihkan pandang matanya dari wajah si gadis, dia ber-
kata.
“Kuharap kau bersabar, Putri Kayangan.... Memang
tidak mudah mencari seseorang di dalam hutan yang
lebat dan luas begini! Tapi setidaknya kita sudah men-
dapat petunjuk tentang keberadaan Pitaloka di dalam
hutan ini! Dan kalaupun kita mencari di tempat lain,
tentunya kita masih meraba-raba!”
“Itu lebih baik daripada kita diberi petunjuk tapi
nyatanya tidak terbukti, Pendekar 131!”
“Panggil saja Joko, Putri...,” ujar murid Pendeta
Sinting seraya melangkah mendekati si gadis yang ter-
nyata adalah Putri Kayangan, saudara kembar Pitalo-
ka.
Seperti diketahui, saat Putri Kayangan terlibat ben-
trok dengan Setan Liang Makam, muncullah Dewi Ayu
Lambada bersama Iblis Ompong. Tak lama kemudian
muncul pula murid Pendeta Sinting. Begitu Setan
Liang Makam sadar siapa yang tengah dihadapi, cucu
Nyai Suri Agung dari Kampung Setan Ini segera pergi.
Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, serta Pendekar 131
lalu menceritakan terus-terang apa yang didengarnya
dari Raja Tua Segala Dewa dan Dewa Uuk. Namun Pu-
tri Kayangan tidak bisa menerima ucapan Dewi Ayu
Lambada, Iblis Ompong, serta murid Pendeta Sinting.
Saat itulah muncul Dewa Uuk yang juga adik kandung
Dewi Ayu Lambada. Pada akhirnya Dewa Uuk memberi
petunjuk di mana arah keberadaan Pitaloka. Walau ti-
dak percaya, namun dengan keyakinan yang dikatakan
Pendekar 131, akhirnya Putri Kayangan pergi juga ber-
sama murid Pendeta Sinting ke arah yang ditunjukkan
Dewa Uuk.
Namun begitu menemukan hutan lebat yang menu-
rut dugaan Joko adalah tempat yang dimaksud oleh
Isyarat Dewa Uuk, Putri Kayangan dan Pendekar 131
belum juga menemukan Pitaloka.
Putri Kayangan menoleh. Untuk beberapa saat ke-
dua orang ini saling pandang. Putri Kayangan rasakan
dadanya berdebar setiap beradu pandang. Hingga dia
tidak berani terlalu lama memandang dan segera alih-
kan pandangan. Diam-diam gadis ini berkata dalam
hati. “Seandainya tidak bersama dengan dia.... Tak
mungkin aku menuruti petunjuk itu! Apakah benar
antara dia dengan Saraswati ada hubungan tertentu?
Gadis itu sangat khawatir dan selalu mencemburuiku!
Ah....”
“Kau memikirkan sesuatu?!” Tiba-tiba murid Pende-
ta Sinting ajukan tanya membuat Putri Kayangan ter-
sentak. Lalu gelengkan kepala dan berucap.
“Tak ada yang memenuhi benakku selain bagaima-
na caranya menemukan Pitaloka! Bukan untuk mem-
buktikan semua dugaan-dugaan yang mustahil itu.
Melainkan semata-mata itu perintah yang ku emban
dari Eyang Guru!”
“Selain mencari Pitaloka kau juga pernah mengata-
kan hendak menemui eyang guruku. Boleh aku tahu
siapa eyang gurumu?”
“Dia Guru sekaligus eyangku sendiri! Dia dikenal
dengan sebutan Nyai Tandak Kembang!”
“Sepertinya eyang guruku pernah sebut-sebut nama
itu,” ujar Joko pelan. “Kau tahu sampai di mana hu-
bungan antara eyangmu dengan eyang guruku?”
“Aku tak tahu.... Mengapa kau tanyakan hal itu?!”
“Siapa tahu di antara mereka berdua ada hubungan
tertentu! Dengan begitu kita bisa jadi saudara...!”
“Maksudmu?!” tanya Putri Kayangan dengan mata
sedikit membelalak.
“Seandainya eyang guruku ada jodoh dengan
eyangmu....”
Putri Kayangan tertawa. “Jangan berharap yang ti-
dak-tidak! Eyangku memang hidup sendirian. Tapi ku-
kira jauh dari memikirkan soal perjodohan! Apalagi
akhir-akhir ini selalu disibukkan dengan urusan Pita-
loka!”
“Pitaloka.... Aku tak habis pikir, mengapa dia bera-
da di hutan ini! Padahal....”
Gumaman murid Pendeta Sinting belum selesai, Pu-
tri Kayangan telah menyahut.
“Itulah salah satu sebab mengapa aku tambah ya-
kin petunjuk dan dugaan tentang Pitaloka tidak benar!
Sudah berhari-hari kita berada di hutan ini. Sejauh ini
kita tidak bertemu dengan seorang pun! Sepertinya hu-
tan ini jarang sekali dirambah manusia. Adalah hal
aneh kalau Pitaloka berada di sini! Untuk apa?! Lebih
aneh lagi dia akan melahirkan pada purnama menda-
tang! Padahal purnama sudah tidak lama lagi. Semen-
tara waktu kita bertemu satu purnama lebih yang lalu,
aku yakin Pitaloka belum apa-apa!”
“Tapi siapa tahu Pitaloka punya seorang kekasih
tanpa sepengetahuanmu?”
“Itu mungkin saja. Tapi aku tetap kurang yakin ka-
lau Pitaloka sampai berani berbuat terlalu jauh. Selain
harus menanggung beban dengan diri sendiri, dia ten-
tu memperhitungkan eyangku! Dan Pitaloka tak
mungkin berani ambil risiko! Dia tahu bagaimana sifat
Eyang....”
Murid Pendeta Sinting geleng kepala. “Putri.... Kau
pernah jatuh cinta?!”
Pertanyaan Joko membuat Putri Kayangan terke-
siap. Air mukanya berubah. Dadanya berdebar lalu
memandang tajam pada Joko. Namun cuma sekejap.
Saat lain kepalanya bergerak memaling. Diam-diam
dalam hati dia berkata.
“Aku tak tahu pernah jatuh cinta atau tidak! Yang
jelas aku selalu damai begitu berada di sisinya! Dan
sebenarnya aku tidak suka dengan sikap gadis berna-
ma Saraswati yang....”
Belum sampai Putri Kayangan sempat teruskan ka-
ta hatinya, murid Pendeta Sinting telah perdengarkan
suara lagi.
“Putri.... Menurut orang yang pernah mengalami ja-
tuh cinta, hal apa pun tidak dapat menghalanginya!
Dan risiko apa pun akan diambilnya! Jangankan
hanya hidup di hutan begini rupa atau menghadapi
eyangmu, mati pun mungkin bukan halangan yang be-
rarti!”
“Kau pernah mengalaminya?!” Putri Kayangan balik
bertanya.
Pendekar 131 bukannya menjawab, sebaliknya
pandangi Putri Kayangan. Di lain pihak, karena agak
lama tidak terdengar jawaban, Putri Kayangan segera
berpaling. Saat itulah murid Pendeta Sinting berucap.
“Rasanya aku belum pernah merasa bahagia seba-
gaimana saat ini! Aku tidak tahu. Apakah perasaan ini
awal dari sebuah rasa jatuh cinta....”
Dada Putri Kayangan berdegup keras. Wajahnya
merah. Untuk beberapa lama dia memandang ke da-
lam bola mata murid Pendeta Sinting. Mulutnya sebe-
narnya sudah hendak membuka. Namun tiba-tiba ter-
lintas bayangan Saraswati di pelupuk matanya. Hingga
dia kancingkan mulut kembali seraya berpaling ke ju-
rusan lain.
Murid Pendeta Sinting menarik napas dalam. Lalu
mendekati Putri Kayangan. Tangan kiri kanannya
mengambil kedua tangan si gadis lalu digenggamnya.
Putri Kayangan bergetar. Namun tak berusaha mena-
rik pulang kedua tangannya. Entah karena apa, tiba-
tiba dia bergumam tanpa berani memandang.
“Saraswati.... Kau masih ingat gadis cantik itu?!”
Belum sampai murid Pendeta Sinting buka mulut,
mendadak satu bayangan putih berkelebat. Putri
Kayangan dan Pendekar 131 segera palingkan kepala.
Memandang ke depan, sekonyong-konyong paras
Putri Kayangan berubah tegang. Pada saat yang sama
kedua tangannya ditarik pulang dari genggaman kedua
tangan murid Pendeta Sinting. Di lain pihak, Joko se-
saat memperhatikan orang di depan sana.
“Usianya tidak muda lagi. Tapi rupanya masih can-
tik.... Siapa dia?!” Joko berkata dalam hati melihat seo-
rang perempuan berusia empat puluh tahunan men-
genakan pakaian putih sebatas dada. Wajahnya keliha-
tan masih cantik. Rambutnya hitam digelung ke bela-
kang. Pada rambutnya tampak beberapa tangkai kem-
bang. Demikian pula pada sela jari telunjuk dan ten-
gah pada kedua tangannya.
Karena sesaat terkesima dengan perempuan yang
baru muncul, murid Pendeta Sinting tidak sempat me-
lihat perubahan pada Putri Kayangan. Malah tarikan
kedua tangan Putri Kayangan diduga hanya karena
malu dengan hadirnya perempuan berpakaian putih.
Hingga dengan, tersenyum lebar Joko segera buka mu-
lut.
“Rasanya kita pernah jumpa.... Hanya sayang aku
lupa di mana. Tidak keberatan mengingatkan aku?!”
Perempuan berpakaian putih sebatas dada yang
bukan lain adalah Nyai Tandak Kembang tidak menja-
wab. Bahkan hanya memandang sekilas pada murid
Pendeta Sinting. Lalu menatap tajam pada Putri
Kayangan.
Masih dengan tersenyum lebar dan tanpa melihat
pada Putri Kayangan, Pendekar 131 berbisik. “Putri....
Seorang perempuan saja lebih tertarik melihatmu dari-
pada melihat tampangku!”
Putri Kayangan seolah tidak mendengar bisikan Jo-
ko. Dia terpaku dengan mulut terkancing rapat. Paras
wajahnya jelas membayangkan ketakutan dan tidak
berani memandang pada Nyai Tandak Kembang. Da-
danya gelisah tak karuan. Dia tak tahu harus berbuat
apa dan berkata bagaimana.
“Bibi cantik...,” kata Joko setelah memperhatikan
sekali lagi pada Nyai Tandak Kembang. “Perjumpaan
kita memang sudah lewat terlalu lama. Jadi harap
mengerti kalau aku....”
“Siapa kau, Anak Muda?!” Tiba-tiba Nyai Tandak
Kembang bertanya menukas ucapan murid Pendeta
Sinting. Namun sejauh ini Nyai Tandak Kembang ma-
sih arahkan pandang matanya pada Putri Kayangan.
“Ah.... Ternyata bukan hanya aku yang lupa! Kau
juga tidak ingat padaku! Tapi apakah kau ingat di ma-
na terakhir kali kita bertemu?!”
“Jangan berani bicara lancang, Anak Muda! Kita be-
lum pernah bertemu! Dan lekas katakan siapa kau
adanya!” kata Nyai Tandak Kembang dengan suara
agak keras. Kali ini ekor matanya melirik pada murid
Pendeta Sinting.
Pendekar 131 kembali tersenyum lalu berkata. “Aku
Joko.... Joko Sableng. Gadis cantik di sampingku ini
Putri Kayangan....”
“Dari mana asalmu?!” Kembali Nyai Tandak Kem-
bang ajukan tanya. Sekarang matanya menatap tajam
pada murid Pendeta Sinting.
Joko tidak segera menjawab, sebaliknya berpaling
pada Putri Kayangan. Sesaat dia mengernyit melihat
perubahan pada sosok Putri Kayangan.
“Putri.... Kau tak usah cemas.... Dari parasnya dia
bukan orang jahat!”
Putri Kayangan sudah hendak buka mulut. Namun
murid Pendeta Sinting sudah berpaling lagi meman-
dang ke arah Nyai Tandak Kembang dan berkata men-
jawab.
“Aku lahir di Kampung Anyar.... Kau sendiri siapa?!
Juga dari mana asalmu, Bibi Cantik?!”
“Kau punya gelar?!” Nyai Tandak Kembang bukan-
nya menjawab melainkan ajukan tanya lagi.
“Ah.... Banyak benar pertanyaanmu!” gumam murid
Pendeta Sinting lalu berkata. “Aku memang punya ge-
lar. Tapi aku tak akan mengatakan padamu. Takut
jangan-jangan kau akan lebih banyak tanya. Lebih dari
itu mungkin kau tak akan percaya!”
“Kau terlalu banyak mulut, Anak Muda! Katakan
saja siapa gelarmu!” ujar Nyai Tandak Kembang. Kini
pandangannya beralih lagi pada Putri Kayangan.
“Beda Kumala.... Sungguh aku hampir tak percaya
dengan semua ini!” kata Nyai Tandak Kembang dalam
hati dengan dada berdebar kencang. Matanya beralih
dari wajah Putri Kayangan ke perut si gadis. Bahu pe-
rempuan dari lereng Gunung Semeru ini berguncang.
“Apakah keberadaan Beda Kumala dengan pemuda itu
satu petunjuk jika dugaan orang-orang itu akan men-
jadi kenyataan?! Beda Kumala mengandung?! Ah....
Aku tak menduga sama sekali! Tapi mengapa Beda
Kumala? Bagaimana secepat itu bisa terjadi? Bagai-
mana aku bisa salah duga pada Beda Kumala selama
ini?! Ah.... Itu tak penting! Yang jelas sekarang Beda
Kumala telah menyia-nyiakan kepercayaanku!”
“Anak muda! Kau dengar pertanyaanku! Jangan
membuat aku habis kesabaran!” kata Nyai Tandak
Kembang setelah ditunggu agak lama tidak juga ter-
dengar jawaban dari mulut murid Pendeta Sinting.
“Gelarku.... Siluman Lembah Cinta....”
Nyai Tandak Kembang mendelik. Tampaknya dia
tahu kalau ucapan Joko berdusta. Sementara Putri
Kayangan masih salah tingkah dan tampak makin ta-
kut.
“Beda Kumala! Mendekatlah kemari!” Tiba-tiba Nyai
Tandak Kembang berteriak.
Putri Kayangan terkesiap. Dia memandang silih
berganti pada Nyai Tandak Kembang dan Pendekar
131. Di lain pihak, murid Pendeta Sinting terkejut
mendapati orang tahu nama asli Putri Kayangan.
“Putri.... Kau mengenal Bibi Cantik itu?!”
Yang ditanya tidak menjawab. Sebaliknya melang-
kah takut-takut ke arah Nyai Tandak Kembang.
“Cepat, Beda Kumala!” sentak Nyai Tandak Kem-
bang. Dan seolah tak sabar, Nyai Tandak Kembang
melompat ke depan. Lalu diseretnya Putri Kayangan
menjauh.
“Beda Kumala! Katakan apa yang telah kau lakukan
dengan pemuda itu!” Nyai Tandak Kembang sudah
menghardik seraya pandangi perut Putri Kayangan.
“Bibi.... Siapa kau sebenarnya?! Harap tidak ikut
campuri urusanku dengan gadis itu! Dia....”
Nyai Tandak Kembang berpaling. “Tetap di tempat-
mu! Jangan berani mendekat atau kugebuk kepalamu!
Dan jangan buka mulut tanpa kutanya!”
“Lekas katakan, Beda Kumala! Apa yang kau laku-
kan dengan pemuda itu! Jangan berani berdusta atau
tanganku akan membunuhmu!” Nyai Tandak Kembang
kembali perdengarkan bentakan keras.
“Eyang.... Kami.... Kami tak melakukan apa-apa....”
“Astaga! Jadi dia adalah eyangnya...,” gumam murid
Pendeta Sinting. Lalu buru-buru melangkah hendak
mendekat.
“Tetap di tempatmu!” Nyai Tandak Kembang mem-
bentak tanpa berpaling, membuat Pendekar 131 henti-
kan langkah. Belum sempat Joko buka mulut, terden-
gar Nyai Tandak Kembang sudah membentak.
“Beda Kumala! Aku masih memberimu kesempa-
tan!”
“Eyang.... Kami hanya bersahabat.... Harap Eyang
tidak menduga yang bukan-bukan....”
Nyai Tandak Kembang tengadahkan kepala dengan
dada bergerak turun naik. Sepasang matanya terpe-
jam. Entah apa yang dipikirkannya, yang jelas tak la
ma kemudian dia luruskan kepala dengan mendelik
angker pada Putri Kayangan.
***
EMPAT
BEDA kumala! Dugaanku selama ini padamu ter-
nyata meleset! Pantas kau menyuruh Tokoh-tokoh
Penghela Tandu untuk pulang dahulu!” Nyai Tandak
Kembang gelengkan kepala. “Kau telah pergunakan
kepercayaanku untuk hal yang tidak semestinya!”
“Eyang....”
“Jangan berdalih!” potong Nyai Tandak Kembang.
“Aku melihat dengan mata kepala sendiri! Dan seka-
rang jawab. Berapa bulan kandunganmu?!”
Putri Kayangan terlengak. Murid Pendeta Sinting
tak kalah kagetnya. Dia sudah buka mulut, tapi Putri
Kayangan mendahului.
“Eyang.... Kami tak melakukan apa-apa! Aku tidak
mengandung!”
Nyai Tandak Kembang tertawa pendek. “Berada ber-
sama seorang pemuda di dalam hutan yang sepi begi-
ni, mana mungkin kau tidak melakukan apa-apa! Aku
sungguh menyesal menugaskanmu mencari Pitaloka
kalau kenyataannya justru kau yang terjerumus! Tapi
itu semua tidak ada gunanya lagi. Semua sudah terja-
di. Dan kau harus menerima hukuman! Aku tak mau
punya murid dan cucu yang membuat malu!”
“Eyang.... Kami....”
“Ucapan apa pun tak akan membuatku luluh. Beda
Kumala!” tukas Nyai Tandak Kembang lalu tanpa pe-
dulikan pada Putri Kayangan, Nyai Tandak Kembang
berpaling pada Pendekar 131.
“Kau laki-laki pengecut! Kau membuat malu!” Nyai
Tandak Kembang berteriak setengah menjerit dengan
kedua tangan diangkat.
“Eyang.... Tahan!” seru Putri Kayangan lalu jatuh-
kan diri di hadapan Nyai Tandak Kembang.
“Hem.... Apa pun yang akan kau lakukan, jangan
mimpi aku bisa memaafkan perbuatanmu, Beda Ku-
mala! Sebaliknya kau dan pemuda itu harus mampus
sekarang juga!”
“Eyang....” Joko ikut-ikutan memanggil Eyang pada
Nyai Tandak Kembang. “Harap kau dengar dulu penje-
lasanku!” katanya dengan suara bergetar.
“Aku tak butuh penjelasan! Apa yang kulihat sudah
cukup memberi penjelasan!”
“Tapi kau salah paham! Bukannya Beda Kumala
yang tengah mengandung, tapi....” Joko tak teruskan
ucapannya, sebaliknya memandang pada Putri Kayan-
gan yang saat itu angkat tangannya seolah memberi
isyarat.
“Teruskan ucapanmu!” bentak Nyai Tandak Kem-
bang. “Dia tidak mengandung, tapi apa?! Dia hamil,
begitu?!”
“Susah! Apa bedanya mengandung dengan hamil?!”
gumam murid Pendeta Sinting. Kalau saja tidak tengah
berhadapan dengan Nyai Tandak Kembang yang masih
dibalut salah paham, tentu tawa Joko sudah meledak.
“Eyang.... Aku memang belum tahu pasti. Hanya
menurut dugaan beberapa orang, Pitaloka yang seka-
rang tengah mengandung...,” kata Putri Kayangan
sambil angkat wajahnya memandang pada eyang gu-
runya.
“Kau jangan memutar balik kenyataan, Beda Kuma-
la! Kau yang tengah berduaan dengan pemuda asing,
mengapa Pitaloka yang kau jadikan kambing hitam! Di
mana Pitaloka sekarang?!”
“Kami tengah mencarinya, Eyang....”
Nyai Tandak Kembang kembali perdengarkan tawa
pelan. “Tugasmu memang mencarinya. Tapi bukan di
hutan begini dan tidak bersama pemuda asing!”
“Tapi menurut petunjuk, Pitaloka berada di sekitar
hutan ini....” Yang menyahut murid Pendeta Sinting.
“Itu petunjuk konyol! Kau hanya cari tempat yang
sepi agar bisa melakukan apa saja tanpa ada orang
yang tahu!”
“Eyang.... Kalau Eyang masih tak percaya, aku tak
bisa berkata apa-apa lagi! Tapi sebelum Eyang menja-
tuhkan hukuman, Eyang boleh periksa diriku!” kata
Putri Kayangan seraya beranjak bangkit.
Nyai Tandak Kembang perlahan-lahan turunkan
kedua tangannya. Matanya menatap berkilat-kilat pa-
da Putri Kayangan. Lalu beralih pada Pendekar 131
yang tersenyum sambil anggukkan kepala.
Nyai Tandak Kembang menggumam tak jelas. Saat
lain tiba-tiba kedua tangannya bergerak ke arah perut
Putri Kayangan. Untuk beberapa saat kedua tangan
Nyai Tandak Kembang menakup pada perut si gadis.
Lalu diangkat dan didekatkan pada hidungnya. Nyai
Tandak Kembang menarik napas berulang kali. Se-
mentara Putri Kayangan dan murid Pendeta Sinting
sama memperhatikan dengan seksama, dengan dada
sama berdebar.
“Hem.... Aku tidak mencium aroma bayi dalam kan-
dungannya! Berarti anak ini tidak hamil!” Nyai Tandak
Kembang berkata dalam hati sembari menarik napas
lega.
Siapa pemuda asing itu, Beda Kumala?!” Tiba-tiba
Nyai Tandak Kembang ajukan tanya dengan suara se-
tengah berbisik.
Putri Kayangan tersenyum. Nada suara eyangnya
sudah cukup membuat sang Putri maklum kalau ke-
marahan eyangnya sudah sirna. Namun dia belum juga segera menjawab. Bagaimanapun juga Putri Kayan-
gan merasa malu diketahui eyangnya bersama seorang
pemuda. Apalagi saat itu dia tengah saling bergengga-
man tangan.
“Beda Kumala.... Siapa pemuda itu?!” Kembali Nyai
Tandak Kembang bertanya. “Aku yakin dia tadi ber-
dusta sebutkan gelarnya padaku!”
“Dia adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko
Sableng. Murid tunggal Pendeta Sinting....”
Nyai Tandak Kembang sesaat terkejut. Dia segera
alihkan pandangannya pada Joko dan seolah baru saja
melihat, dia tatapi orang lebih seksama. “Hem.... Si-
kapnya menghadapi orang memang tak jauh berbeda
dengan Pendeta Sinting....”
“Bagaimana kau bisa bersama dengannya?!” Nyai
Tandak Kembang ajukan tanya lagi dengan suara ma-
sih direndahkan.
“Ceritanya panjang, Eyang.... Yang jelas saat ini aku
dan dia tengah mencari Pitaloka.”
“Siapa yang memberi petunjuk padamu?!”
“Seorang laki-laki bergelar Dewa Uuk. Saat itu dia
bersama seorang nenek bernama Dewi Ayu Lambada
dan Kakek Iblis Ompong....”
“Hem.... Kalau tokoh-tokoh seperti mereka turun la-
gi dalam kancah rimba persilatan, tentu ada sesuatu
yang luar biasa terjadi! Munculnya Datuk Wahing dan
Gendeng Panuntun memperkuat hal ini! Apa sebenar-
nya yang telah terjadi?! Apakah ini ada kaitannya den-
gan bayi yang disebut-sebut itu?!” Nyai Tandak Kem-
bang membatin. “Beda Kumala tidak mengandung....
Apa mungkin Pitaloka?!”
“Beda Kumala. Kau sudah bertemu dengan Pitalo-
ka?!” tanya Nyai Tandak Kembang setelah berpikir
agak lama.
“Aku pernah bertemu dengannya. Namun sayang
saat itu aku tak berhasil membawanya...”
“Apa dia bersama seorang laki-laki?!”
“Pertanyaan dan sikapnya yang tadi mencurigaiku
hamil menunjukkan kalau Eyang telah tahu apa yang
saat ini tengah terjadi. Setidaknya telah bertemu den-
gan orang yang selama ini menduga akan lahir seorang
bayi!” kata Putri Kayangan dalam hati lalu berkata.
“Dia memang sendirian. Tapi saat kutinggalkan, dia
bersama Setan Liang Makam, dan beberapa orang
lainnya.”
“Apa saat itu kau dapat melihat tanda-tanda kalau
dia tengah mengandung?!”
Putri Kayangan gelengkan kepala. “Eyang percaya
dengan dugaan itu?!”
Nyai Tandak Kembang tidak segera menjawab. Dia
kembali pandangi murid Pendeta Sinting. Lalu berkata.
“Beda Kumala.... Aku memang tidak begitu saja per-
caya. Tapi sebagai nenek dan Pitaloka adalah perem-
puan, kekhawatiran itu jelas ada!” Saat itulah tiba-tiba
Nyai Tandak Kembang teringat pertemuannya dengan
Kigali.
“Beda Kumala. Kau pernah bertemu dengan seorang
kakek bernama Kigali?!”
Putri Kayangan menatap sesaat pada eyangnya lalu
menjawab dengan isyarat gelengan kepala. Sementara
murid Pendeta Sinting yang mendengar pertanyaan
Nyai Tandak Kembang tampak kerutkan dahi.
“Kigali.... Aku pernah mendengar nama itu! Betul
aku pernah mendengarnya!” gumam Joko lalu mere-
nung. “Hem.... Aku ingat. Nama itu pernah disebut-
sebut Datuk Wahing!”
“Eyang.... Aku tahu orang yang namanya baru kau
sebut!” Pendekar 131 segera berujar, membuat Nyai
Tandak Kembang sedikit heran.
“Kigali mengatakan setengah dari hidupnya dihabiskan di dalam hutan ini! Dia juga mengatakan tidak
pernah bertemu dengan siapa pun! Anak itu masih
muda. Adalah aneh kalau dia tahu.... Siapa yang ber-
dusta? Anak itu atau si orang tua yang sebutkan diri
sebagai Kigali?!”
Berpikir begitu, akhirnya Nyai Tandak Kembang
buka mulut bertanya.
“Kau pernah bertemu dengannya, Pendekar 131?!”
“Ah.... Panggil saja dengan Joko, Eyang....”
Nyai Tandak Kembang tersenyum. Lalu ulangi per-
tanyaannya.
“Aku tidak pernah bertemu dengan Kigali. Tapi aku
pernah dengar ceritanya dari seorang sahabat!”
“Siapa yang bercerita?!”
“Kakek Datuk Wahing!”
“Hem.... Lalu siapa dia sebenarnya?!”
“Menurut Kakek Datuk Wahing, dia dahulu adalah
orang kepercayaan seorang tokoh dari generasi Kam-
pung Setan bernama Maladewa yang sekarang bergelar
Setan Liang Makam. Datuk Wahing menduga, Kigali
bersama seorang temannya yang juga orang keper-
cayaan Maladewa adalah orang yang memasukkan Ma-
ladewa ke dalam makam batu di Kampung Setan!”
“Hem.... Mungkin inilah pangkal sebab munculnya
beberapa tokoh itu! Kudengar Datuk Wahing bersama
Gendeng Panuntun tadi juga sebut-sebut Kembang
Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad! Lalu mereka
mengaitkannya dengan bayi! Aku sekarang dapat me-
nebak....”
“Eyang mengenal Kigali?! Apa dia masih hidup?!”
Joko ajukan tanya.
“Aku baru saja bertemu dengannya. Aku menduga
dia tahu di mana Pitaloka berada saat ini!”
“Bagaimana Eyang bisa menduga begitu?!” Yang
bertanya kali ini Putri Kayangan.
“Dari perubahan sikapnya. Serta ucapannya yang
mengatakan setengah dari hidupnya dihabiskan di hu-
tan ini. Padahal aku yakin Pitaloka berada di hutan
ini!”
“Bagaimana Eyang bisa yakin Pitaloka berada di hu-
tan ini?!” tanya murid Pendeta Sinting.
“Aku tak bisa mengatakan bagaimana. Yang pasti
kalau aku yakin Beda Kumala dan kau berada di sini
dan kenyataannya demikian, tentu keyakinanku ten-
tang Pitaloka tidak akan meleset!”
“Apakah kau juga yakin tentang dugaan beberapa
sahabatku?!”
“Niatku pertama kali memang hanya mencari Pita-
loka! Tapi kali ini sekaligus ingin membuktikan dugaan
itu! Beda Kumala sudah terbukti tidak mengandung.
Kuharap Pitaloka demikian juga!”
Murid Pendeta Sinting memandang silih berganti
pada Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang. Lalu
bertanya. “Eyang.... Sekarang aku boleh melangkah
dari tempat ini, bukan?!”
Nyai Tandak Kembang tersenyum. Putri Kayangan
melirik malu-malu lalu memandang pada eyang gu-
runya. Joko gerakkan kaki mendekat ke arah Nyai
Tandak Kembang yang tegak di samping Putri Kayan-
gan.
“Beda Kumala.... Walau aku mengenal gurunya,
namun aku belum tahu benar muridnya! Kau harus
tetap berhati-hati!” bisik Nyai Tandak Kembang, mem-
buat Putri Kayangan tersipu.
“Kau kutemukan di bagian utara hutan ini. Berarti
Pitaloka yang berada di bagian selatan! Kita harus se-
gera menuju ke selatan!” kata Nyai Tandak Kembang.
Tanpa menunggu sambutan Putri Kayangan, Nyai
Tandak Kembang berteriak seraya berkelebat.
“Ikuti aku!”
Putri Kayangan arahkan pandangannya pada Pen-
dekar 131 yang melangkah dengan keheranan melihat
kelebatan Nyai Tandak Kembang. Belum sempat Joko
tahu apa maksud Nyai Tandak Kembang, Putri Kayan-
gan telah berkelebat seraya berseru.
“Joko! Kita ikuti Eyang Guru!”
Walau masih bertanya-tanya, namun akhirnya mu-
rid Pendeta Sinting berkelebat menyusul Nyai Tandak
Kembang dan Putri Kayangan.
***
LIMA
KIGALI kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya.
Hingga kelebatan sosoknya hanya laksana bayang-
bayang. Namun belum sampai jauh berlari, tiba-tiba
laki-laki ini hentikan larinya lalu laksana dikejar setan,
dia melompat masuk ke balik kerapatan semak belu-
kar dan mencekam tanpa membuat suara atau gera-
kan! Hanya sepasang matanya yang berputar liar me-
mandang ke satu arah.
Pada arah mana mata Kigali memandang liar, men-
dadak satu sosok bayangan berkelebat dan tegak di
depan sana. Baru saja sosok ini tegak, dua sosok
bayangan berlari dari belakangnya lalu tegak di samp-
ing kanan kiri sosok yang pertama tegak.
Sepasang mata Kigali makin membelalak tak berke-
sip perhatikan ketiga orang di depan sana dengan dada
berdebar. Orang yang tegak di tengah dan orang yang
pertama muncul adalah seorang nenek berwajah putih
tebal. Bibirnya merah menyala dipoles. Rambutnya
yang putih lebat dikelabang dua dan pada ujungnya
diberi pita. Rambut bagian depannya diponi menutupi
kening. Nenek ini mengenakan pakaian warna merah
berupa baju tanpa lengan dan cingkrang hingga ketiak
dan pusarnya kelihatan. Sedangkan pakaian bawah-
nya berupa celana pendek di atas lutut yang berwarna
merah.
Di sebelah kanan si nenek yang tidak lain adalah
Dayang Sepuh, tegak seorang kakek mengenakan pa-
kaian putih kusam. Rambutnya sudah memutih dan
tipis. Kepala kakek ini terus bergerak pulang balik ke
depan ke belakang dengan mimik seperti orang akan
bersin. Kakek ini bukan lain adalah Datuk Wahing.
Sementara di sebelah kiri si nenek adalah seorang
laki-laki berusia lanjut bertubuh tambun besar men-
genakan pakaian gombrong warna hijau yang pada
pinggangnya melilit ikat pinggang besar yang pada ba-
gian depannya tepat di depan perut terlihat sebuah
cermin bulat. Kepala kakek tambun ini sedikit tenga-
dah dengan mata mengerjap beberapa kali. Dan ter-
nyata sepasang mata si kakek berwarna putih, menun-
jukkan kalau dia buta. Kakek ini tak lain adalah Gen-
deng Panuntun.
“Hem.... Makin banyak orang-orang yang muncul di
hutan ini! Aku tak tahu pasti apa tujuan mereka,
hanya mungkin saja masih ada hubungannya dengan
Pitaloka!. Mengapa Pitaloka begitu dicari banyak
orang?! Kalau perempuan cantik yang menamakan di-
rinya Tandak Kembang mungkin saja alasannya bisa
kuterima! Tapi yang ini pasti punya maksud lain!
Hem.... Pitaloka tidak memiliki keistimewaan apa-apa.
Dia juga tidak membawa benda mustika yang pantas
diperebutkan! Kalaupun dia memiliki modal, itu ha-
nyalah wajahnya yang cantik!” Kigali diam-diam mem-
batin dengan mata terus perhatikan pada ketiga orang
di depan sana.
“Jangan-jangan mereka tengah memperebutkan
bayi dalam kandungan Pitaloka.... Ah! Tapi untuk
apa?! Hem.... Peduli dengan maksud mereka, yang je-
las aku harus segera membawa Pitaloka dari hutan
ini!”
Berpikir begitu, Kigali segera gerakkan kepala pelan
dengan mata melirik ke samping kiri kanan. Namun
sebelum Kigali sempat bergerak keluar, sekonyong-
konyong terdengar bersinan tiga kali, membuat Kigali
urungkan niat dan memandang ke depan. Saat bersa-
maan tiba-tiba terdengar suara.
“Sahabat.... Apakah tampang kami bertiga menghe-
rankanmu sampai kau memandang sembunyi-
sembunyi?!”
Kigali simak ucapan orang dengan seksama. Dia
rupanya maklum kalau telah diketahui tengah sem-
bunyi. Namun dia belum membuat gerakan atau per-
dengarkan suara.
“Sahabat...,” Kali ini yang buka mulut Gendeng Pa-
nuntun. “Kami hanya perlu sedikit keterangan. Harap
suka tunjukkan diri....”
Di balik tempat mendekamnya, Kigali masih bim-
bang hingga untuk sementara dia belum bergerak atau
menyahuti ucapan orang. Namun dari sikap orang, Ki-
gali tampaknya sadar tengah berhadapan dengan
orang-orang yang berilmu tidak rendah.
Karena ditunggu-tunggu tidak juga adanya tanda-
tanda akan munculnya orang, Dayang Sepuh yang ti-
dak sabaran segera buka mulut berteriak keras.
“Setan sekalipun kau adanya, mengapa malu tun-
jukkan tampang?! Kami tahu kau ada di sana! Apa kau
perlu bahasa selain ucapan?!”
“Daripada cari urusan yang membuat langkahku
terhambat, lebih baik ku turuti permintaan mereka...!”
Akhirnya Kigali memutuskan lalu melangkah keluar
dari kerapatan semak belukar.
“Setan laki-laki!” desis Dayang Sepuh sambil melo-
tot pandangi orang.
Gendeng Panuntun melangkah menghampiri Datuk
Wahing. Lalu berbisik. “Datuk.... Aku tak mengenal
orang itu. Tapi kurasa kau mengenalnya betul! Siapa
dia?!”
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya dan
memandang sekilas pada Kigali. Saat lain kepalanya
telah bergerak kembali pulang balik ke depan ke bela-
kang.
“Bruss! Bruss! Jangan anggap aku membuatmu he-
ran. Tapi sesungguhnya aku tidak kenal sahabat
itu....”
“Perhatikan sekali lagi, Datuk.... Ingat-ingat paras
wajahnya!” kata Gendeng Panuntun.
Untuk kedua kalinya Datuk Wahing hentikan gera-
kan kepalanya. Lalu perhatikan orang agak lama.
“Bruss! Aku heran.... Sepertinya aku memang per-
nah bertemu dengan sahabat ini! Tapi aku lupa siapa
dia...!” ujar Datuk Wahing lalu berpaling pada Dayang
Sepuh.
“Nek.... Kau mengenali siapa adanya sahabat yang
baru keluar dari semak itu?”
“Setan! Kau kira aku kenal dengan semua laki-laki,
hah?!”
“Bruss! Brusss! Aku tanya baik-baik, herannya kau
selalu marah-marah! Mungkin inilah salah satu sebab
mengapa banyak setan laki-laki heran padamu dan
terbirit-birit..,.”
“Dalam hidup, aku tak butuh setan laki-laki! Dia
hanya akan membuat banyak urusan dan menyusah-
kan!” sahut Dayang Sepuh.
Gendeng Panuntun tertawa. “Tidak selamanya begi-
tu, Nek! Kau lupa, justru setan laki-laki bisa membuat
bahagia dan bisa membikin orang menikmati surga
dunia! Kalau tidak ada setan laki-laki mana mungkin
perempuan bisa mengandung?”
“Bruss! Belum lagi kalau kandungannya istimewa!
Maka tak heran akan banyak orang yang mempere-
butkannya!”
Diam-diam Kigali tersentak mendengar ucapan Da-
tuk Wahing dan Gendeng Panuntun. “Mereka me-
nyinggung-nyinggung kandungan.... Apa ini isyarat?!
Kakek bertubuh besar itu matanya buta. Tapi dia sea-
kan bisa melihat.... Dan mengapa dia mengatakan ka-
kek yang selalu bersin-bersin mengenaliku?! Seper-
tinya aku belum pernah bertemu dengan salah satu
dari ketiga orang itu.... Atau aku pernah jumpa namun
lupa?!”
Mungkin untuk meyakinkan, Kigali perhatikan se-
kali lagi pada ketiga orang di hadapannya lebih teliti.
Namun tampaknya dia yakin belum pernah bertemu
salah satu dari mereka.
Selagi Kigali berpikir dan coba mengingat-ingat, Da-
tuk Wahing perdengarkan bersinan lalu disusul den-
gan ucapan.
“Sahabat.... Tidak keberatan bukan kalau sebutkan
diri pada kami? Jangan heran. Tampang-tampang ka-
mi memang demikian adanya. Sahabat perempuan
kami ini pun akan selalu sebut-sebut nama setan. Tapi
kami bukanlah bangsanya setan....”
“Aku Kigali.... Aku tinggal tak jauh dari hutan ini!”
Datuk Wahing adalah satu-satunya orang yang ter-
kejut. Hingga dia perdengarkan bersinan beberapa kali!
Lalu berpaling pada Gendeng Panuntun namun tidak
buka suara.
“Aku tidak bisa memberi keterangan apa-apa pada
kalian,” Kigali lanjutkan ucapan. “Aku harus segera
pergi!” Kigali balikkan tubuh lalu berkelebat.
“Bruss! Brusss!”
Datuk Wahing bersin dua kali. Bersamaan itu dua
gelombang berdesir. Tanah dua langkah di hadapan
Kigali langsung terbongkar dan muncrat ke udara,
membuat Kigali urungkan kelebatannya. Tanpa berpal-
ing lagi, Kigali berucap.
“Di antara kita tidak ada urusan, harap tidak mem-
bukanya dengan hal yang memalukan! Katakan saja
apa maksud kalian sebenarnya! Aku tidak punya wak-
tu banyak!”
“Bruss! Bruss! Harap maafkan kalau itu tadi kau
anggap hal yang memalukan! Kami hanya berharap
kau tidak segera tinggalkan tempat ini! Kau mungkin
heran, tapi kau nanti akan memahaminya....”
“Kalian telah dengar. Aku tidak punya waktu ba-
nyak! Katakan saja apa kemauan kalian!” Kigali beru-
cap lagi. Kali ini suaranya agak keras karena orang tua
ini agak jengkel dengan tindakan orang.
“Bruss! Brusss!”
Datuk Wahing bersin dua kali. Namun kali ini tidak
disambung dengan ucapan. Namun suara bersinan itu
ternyata tidak terhenti. Sebaliknya terus terdengar dan
pantul memantul ke segenap penjuru mata angin! Pa-
dahal Datuk Wahing tidak bersin lagi!
“Ilmu ‘Pantulan Tabir’!” gumam Kigali lalu secepat
kilat dia balikkan tubuh dan memandang tajam pada
Datuk Wahing. Datuk Wahing berdehem dua kali. Lak-
sana direnggut setan, suara bersinan yang pantul me-
mantul lenyap!
“Dalam kancah rimba persilatan, hanya dua orang
yang memiliki ilmu ‘Pantulan Tabir’! Nyai Suri Agung
dari Kampung Setan dan Galaga! Dari sosoknya tak
mungkin ia Nyai Suri Agung. Berarti dia Galaga! Apa
kemunculannya di hutan ini sengaja mencariku untuk
melanjutkan urusan lama?!” Kigali membatin.
“Bruss! Sahabatku Kigali....”
Belum sampai Datuk Wahing teruskan ucapan, Ki-
gali telah menukas.
“Aku tahu siapa kau sebenarnya! Apa kedatangan-
mu untuk lanjutkan urusan lama?!”
“Bruss! Bruss! Sahabatku Kigali.... Jangan membu-
atku heran. Aku tahu apa yang kau lakukan saat itu.
Aku juga paham apa maksudmu waktu itu! Semuanya
sudah berlalu.... Dan aku telah melupakan semuanya!
Justru aku merasa gembira dan heran bisa bertemu
denganmu lagi.... Sekarang ada sesuatu yang harus
kau ketahui. Kuharap kau tidak heran mendengarnya!”
Kigali menarik napas lega. Namun dadanya makin
tak enak. Seraya tersenyum dia berkata.
“Terima kasih kau mau mengerti apa yang kulaku-
kan saat itu, Sahabat! Sekarang katakan saja apa yang
hendak kau beri tahukan!”
Seperti diketahui, kira-kira tiga puluh enam tahun
yang lalu Kigali bersama Dadaka pernah menjadi
orang-orang kepercayaan Maladewa yang saat itu su-
dah menggenggam Kembang Darah Setan. Bahkan Ki-
gali dan Dadaka adalah dua orang yang mendapat tu-
gas dari Maladewa yang sekarang bergelar Setan Liang
Makam, untuk mencari jejak Nyai Suri Agung dan Ga-
laga saudara seperguruan Maladewa. Namun Kigali
dan Dadaka gagal melakukan perintah Maladewa. Ke-
tika Maladewa hendak jatuhkan hukuman karena ke-
gagalannya, Kigali dan Dadaka lakukan rencana yang
sebenarnya telah mereka susun jauh sebelumnya.
Hingga pada akhirnya Kigali dan Dadaka berhasil me-
masukkan Maladewa beserta Kembang Darah Setan-
nya ke dalam makam batu di Kampung Setan. (Lebih
jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam epi-
sode “Rahasia Kampung Setan”).
“Bruss! Bruss! Sebelum aku beri tahukan, ada se-
suatu yang membuatku heran dan kuharap kau mau
mengatakannya. Ke mana kau selama ini?!” tanya Da-
tuk Wahing.
“Setelah peristiwa di Kampung Setan, aku dan Da-
daka memutuskan untuk berpisah. Aku tak tahu ke
mana Dadaka pergi. Sementara aku menghabiskan hi-
dup di sekitar hutan ini. Aku tidak pernah lagi keluar.
Jadi aku tidak tahu apa yang terjadi selama kira-kira
tiga puluh enam tahun terakhir ini!”
“Brusss! Tak heran jika aku tak mendengar lagi be-
ritamu, Sahabat! Sekarang ketahuilah. Cucu Nyi Suri
Agung ternyata masih hidup. Kini dia bergelar Setan
Liang Makam. Namun Kembang Darah Setan lepas da-
ri tangannya. Bahkan Jubah Tanpa Jasad juga lenyap
dari Kampung Setan. Bersamaan itu, sekarang muncul
seseorang yang di tangannya membekal Kembang Da-
rah Setan dan dia juga mengenakan Jubah Tanpa Ja-
sad!”
Kigali tidak terkejut mendengar keterangan Datuk
Wahing karena sebenarnya dia telah mendengar hal itu
dari Pitaloka. Namun agar tidak membuat orang curi-
ga, Kigali tampakkan tampang kaget. Lalu bertanya.
“Kau tahu siapa kira-kira orang yang telah menda-
patkan Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad
itu?!”
“Brusss! Itulah yang mengherankan. Aku bersama
beberapa sahabat lainnya, hanya bisa menduga-duga
siapa gerangan orang itu tanpa dapat memastikan!”
Kepala Kigali mengangguk perlahan. Lalu berkata
seakan pada dirinya sendiri.
“Menurutku.... Orang yang tahu rahasia Kampung
Setan hanya lima orang. Kau, aku, Dadaka, Maladewa,
serta Nyai Suri Agung. Kalau aku, kau, dan Maladewa
bukan orangnya, tentu tinggal dua orang. Yakni Dada-
ka dan Nyai Suri Agung....”
“Brusss! Jangan heran kalau kukatakan tinggal satu orang. Karena Nyai Suri Agung telah dibunuh
orang!”
Kali ini Kigali benar-benar terkejut. Bukan saja ka-
rena mendengar kematian Nyai Suri Agung, tapi juga
tidak menduga jika Dadaka yang kini telah menda-
patkan Kembang Darah Setan juga Jubah Tanpa Ja-
sad.
“Jadi Dadaka orangnya!” ujar Kigali.
“Kurasa bukan dia orangnya!” Mendadak Gendeng
Panuntun menyahut dengan tangan kanan mengusap
cermin bulat di depan perutnya. “Sahabat kalian ber-
nama Dadaka kukira sudah mendahului kita mengha-
dap Sang Pencipta. Malah mungkin dia mendahului
orang yang kalian sebut-sebut sebagai Nyai Suri
Agung!”
Kigali tersentak dan berubah kecut serta tegang.
“Dadaka sudah tewas. Begitu pula Nyai Suri Agung.
Mereka adalah orang-orang yang tahu rahasia Kam-
pung Setan. Bukan tak mungkin pembunuh kedua
orang ini akan mencariku! Hem.... Aku ingat ucapan
seseorang.... Kelak kalau aku dipertemukan seorang
perempuan, itulah tandanya kematianku sudah dekat!
Aku telah bertemu dengan Pitaloka.... Ah.... Tapi biar-
lah kalau waktu memang sudah berakhir bagiku. Tapi
setidaknya aku harus menyelamatkan Pitaloka terlebih
dahulu. Aku telah terjanji....”
Berpikir sampai ke sana, setelah dapat kuasai hati.
Kigali berkata.
“Sahabat sekalian. Terima kasih atas keterangan-
nya. Sekarang aku harus pergi.”
“Brusss! Brusss! Masih ada sesuatu yang harus
kau ketahui, Sahabat!” kata Datuk Wahing bernada
menahan kepergian Kigali.
“Sahabat kita itu sepertinya seorang suami yang
terburu-buru karena istrinya akan melahirkan.... Padahal kukira dia belum beristri!” Yang berkata adalah
Gendeng Panuntun.
“Lagi pula siapa perempuan yang mau diambil istri
oleh laki-laki setan macam dia!” Dayang Sepuh yang
sejak tadi hanya diam bergumam pelan. Lalu tertawa
cekikikan.
Di lain pihak, mendengar ucapan Gendeng Panun-
tun, Kigali melengak kaget. Diam-diam dia membatin
lagi. “Jangan-jangan mereka tahu kalau aku tengah
menunggui Pitaloka yang tengah mengandung....”
Selagi Kigali membatin, Datuk Wahing bersin dua
kali, lalu menyambungi dengan ucapan. “Sahabatku....
Orang yang saat ini tengah membekal Kembang Darah
Setan dan Jubah Tanpa Jasad mulai menebar maut
dan tampaknya hendak tancapkan kekuasaan tunggal
di permukaan bumi! Ini tidak mengherankan, karena
dengan dua senjata sakti di tangannya, memang terla-
lu tangguh untuk dihadapi siapa saja! Hanya saja....
Menurut beberapa sahabatku, ada satu jalan untuk
menghentikan ulahnya!”
“Dan satu jalan itu kaulah yang dapat menunjuk-
kannya!” sahut Gendeng Panuntun.
“Maka dari itu berkatalah terus terang! Jangan
sembunyikan sesuatu pada kami!” timpa! Dayang Se-
puh.
“Bruss! Sahabatku Kigali. Orang yang membekal
Kembang Darah Setan dan mengenakan Jubah Tanpa
Jasad hanya dapat dihadapi dengan sesuatu yang ada
pada diri seorang bayi!”
“Dan perempuan yang mengandung bayi itu kurasa
dekat denganmu!” sambut Gendeng Panuntun.
“Maka katakan di mana perempuan itu!” Dayang
Sepuh ikut bicara.
Kigali tak bisa lagi menutupi rasa kaget dan kesi-
manya mendapati orang telah tahu kalau dirinya dekat
dengan seorang perempuan yang sedang mengandung.
Beberapa saat laki-laki yang pernah jadi orang keper-
cayaan Maladewa ini tercenung diam. Dia dihadapkan
pada dua pilihan yang sangat sulit. Di satu pihak dia
sebenarnya ingin membantu karena dia sendiri tak se-
nang melihat rimba persilatan ditebari maut seperti
yang pernah terjadi pada puluhan tahun yang silam.
Namun di sisi lain, dia telah terlanjur berjanji pada Pi-
taloka untuk melindungi dan menyimpan rahasia ten-
tang kandungannya. Lebih dari itu dia menginginkan
seorang anak!
“Bruss! Brusss! Sahabat.... Kau pernah bertemu
dengan seorang perempuan yang sedang mengandung,
bukan?!”
Dengan tabahkan hati, akhirnya Kigali jawab uca-
pan Datuk Wahing dengan gelengan kepalanya semba-
ri berkata.
“Aku memang pernah jumpa dengan perempuan di
dalam hutan ini. Tapi kurasa dia bukan perempuan
yang tengah kalian cari!”
“Sahabat!” ujar Gendeng Panuntun. “Aku tahu kau
salah seorang yang pernah berkecimpung dalam dunia
persilatan. Aku juga tahu, kau tidak menginginkan
rimba persilatan diamuk angkara dengan bertebaran-
nya maut di mana-mana tanpa pandang siapa! Seka-
rang kau juga mengerti, hanya bayi itulah yang kelak
dapat menghentikannya.... Jadi kuharap kau lupakan
dahulu keinginan diri sendiri. Pikirkan ancaman yang
kini mulai mengincar siapa saja! Termasuk dirimu
sendiri....”
“Hem.... Orang buta itu seakan tahu apa yang ada
dalam benak orang!” kata Kigali dalam hati. “Tapi....
Ah, apa yang harus kulakukan? Ucapan orang buta itu
benar. Namun aku tak bisa menarik janji yang telah
kuucapkan pada Pitaloka! Dan kalaupun Pitaloka
sampai tahu urusan ini, bukan tak mungkin dia akan
melakukan bunuh diri seperti yang hendak dilakukan
tempo hari....”
“Katakan saja di mana perempuan itu!” Yang mem-
bentak Dayang Sepuh, tak sabar melihat orang belum
juga buka mulut.
“Sahabat sekalian.... Sebenarnya aku ingin mem-
bantu. Tapi dugaan kalian keliru. Aku tidak tahu me-
nahu perempuan mengandung!”
“Brusss! Brusss! Aku heran.... Apa sebenarnya yang
membuatmu menutupi urusan ini, Sahabat?”
“Aku tidak menutupi apa-apa! Aku memang tidak
tahu tentang perempuan itu!”
Gendeng Panuntun perdengarkan tawa dengan ke-
pala menggeleng-geleng. “Ada sesuatu yang kau ingin-
kan dari bayi itu?!”
Kigali ganti yang geleng kepala. “Bagaimana aku
menginginkan sesuatu pada bayi kalau perempuannya
yang mengandung saja tidak tahu?”
“Setan! Katakan saja kau minta imbalan! imbalan
apa yang kau mau, hah?!” teriak Dayang Sepuh mulai
geram.
Meski hatinya mulai panas mendengar ucapan
Dayang Sepuh, tapi Kigali coba menindihnya. Seraya
tersenyum dia berkata.
“Dalam usia senja begini, hanya manusia tak tahu
diri yang inginkan sesuatu imbalan demi kedamaian
jagat persilatan!”
“Lalu apa maumu sampai kau tak mau memberita-
hukan perempuan itu?!” Kembali Dayang Sepuh ber-
tanya.
“Kau bertanya pada orang yang salah! Dan tentu
kau tak mau mendengar jawaban dari orang yang sa-
lah pula!”
Habis berucap begitu, kembali Kigali putar diri.
“Apa kalian menduga perempuan itu berada di hutan
ini?!”
Kigali tidak menunggu jawaban orang. Selesai aju-
kan tanya dia segera berucap lagi. “Aku tahu Kalian
orang-orang hebat. Tapi kali ini kalian salah sasaran
jika mencari perempuan itu di hutan ini!”
Dayang Sepuh sudah hendak buka suara. Namun
entah karena apa tiba-tiba Kigali balikkan tubuhnya
lagi menghadap ketiga orang yang tadi di belakangnya.
Setelah menatap satu persatu orang dia tersenyum
dan berkata.
“Aku lupa, Sahabat.... Maafkan! Orang tua seperti
aku memang sudah dijangkiti penyakit lupa! Aku me-
mang bertemu dengan seorang perempuan berwajah
cantik. Namun jangan kalian tanyakan padaku perem-
puan itu tengah mengandung atau tidak! Pergilah ke
arah utara!”
“Tunggu!” tahan Gendeng Panuntun ketika merasa-
kan Kigali sudah hendak putar diri lagi. “Kau bisa
mengatakan bagaimana ciri-ciri perempuan itu?!”
Kigali mengernyit sambil tengadah lalu berkata.
“Dia berusia muda.... Berbaju merah. Berambut hitam
lebat!”
Kigali memandang sesaat pada ketiga orang di ha-
dapannya. Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya
dan saling pandang dengan Dayang Sepuh. Sementara
Gendeng Panuntun mendongak dengan mulut meng-
gumam.
Dengan hati perih Kigali arahkan pandang matanya
jauh ke depan melewati pundak beberapa orang di ha-
dapannya. Saat lain tanpa berkata-kata lagi dia memu-
tar diri lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
“Ciri yang diucapkan setan itu sepertinya cocok! Ki-
ta segera ke arah utara!” kata Dayang Sepuh.
“Aku pun merasa ada orang di sebelah utara! Dan
salah satu di antaranya adalah gadis yang dikatakan
Kigali!”
“Brusss! Kau katakan gadis itu salah satu! Berarti
ada orang bersamanya! Heran.... Dengan siapa gadis
itu?!”
“Ah.... Kalian terlalu banyak mulut seperti setan! Ki-
ta buktikan saja! Kalau setan laki-laki tadi berkata
dusta, dia akan tahu rasa nanti!”
Habis berkata begitu, Dayang Sepuh mendahului
berkelebat disusul Datuk Wahing. Gendeng Panuntun
adalah orang terakhir yang bergerak tinggalkan tempat
itu dengan mulut terus menggumam sesuatu yang tak
jelas.
***
ENAM
KIGALI berlari laksana kalap. Dia tidak pedulikan
ranggasan semak dan duri. la berlari dan berlari se-
kuat kemampuannya. Dia baru memperlambat larinya
tatkala di hadapannya terlihat sebuah tanah tinggi
yang hampir-hampir saja tidak kelihatan karena tertu-
tup rimbun daun pepohonan dan rumput tebal.
Kigali hentikan langkah berjarak sepuluh tombak
dari tanah ketinggian. Sepasang matanya dipejamkan.
Telinganya ditajamkan. Lalu perlahan sepasang ma-
tanya dibuka. Kepalanya bergerak memutar berkelil-
ing. Matanya liar tak berkesip menyusuri setiap sudut
dan sela pepohonan.
Dua kali Kigali membuat putaran kepala. Saat lain
dia membuat gerakan melompat. Sosoknya melesat
dan tahu-tahu telah tegak di depan tanah ketinggian.
Kigali balikkan tubuh, kejap lain dia putar diri lalu me-
lesat menembus rimbun dedaunan dan rumput tebal.
Rimbun dedaunan bergerak menyibak. Ternyata itu
adalah sebuah lobang agak besar. Begitu sosok Kigali
lenyap, rimbun dedaunan bergerak lagi. Saat bersa-
maan lobang di balik rimbun dedaunan tidak kelihatan
lagi.
Di balik rimbun dedaunan itu ternyata sebuah
ruangan agak besar. Pada sisi kanan tampak sebuah
ranjang dari bambu yang beralas rumput kering. Pada
bagian sisi atas ranjang terlihat sebuah meja dari kayu
yang di atasnya terdapat kendi dari tanah dan buah-
buahan.
Begitu Kigali masuk, matanya langsung meman-
dang tajam pada ranjang. Wajahnya seketika berubah.
Matanya membeliak memandang berkeliling. Saat itu-
lah lobang yang tertutup rimbun dedaunan menyibak.
Satu sosok berkelebat muncul di dalam ruangan.
Kigali cepat berpaling dengan tangan siap lepaskan
pukulan. Namun segera diurungkan. Bibirnya terse-
nyum, ketegangan wajahnya lenyap. Di sampingnya te-
lah tegak seorang gadis berparas cantik mengenakan
pakaian warna merah. Raut wajahnya agak pucat.
Kigali sesaat menelusuri wajah si gadis lalu turun
dan matanya terhenti pada perut si gadis. Ternyata pe-
rut itu tampak membesar!
“Pitaloka.... Aku khawatir saat melihatmu tidak ada
di atas ranjang! Perutmu sudah besar, tidak baik kau
terlalu banyak bergerak!”
Si gadis yang bukan lain adalah Pitaloka tersenyum
walau tampak kaku. Lalu melangkah ke arah ranjang
bambu dan duduk seraya berkata.
“Aku tadi curiga yang muncul bukan kau, Kek....
Terpaksa aku keluar dahulu untuk meyakinkan....”
“Firasatmu bertambah peka, Pitaloka....”
“Berkat bimbinganmu, Kek....”
Kigali tersenyum. Kembali pandangannya tertuju
pada perut Pitaloka. “Aku merasa heran. Menurutnya
kejadian pemerkosaan itu kurang dari dua purnama
yang lalu.... Tapi anehnya perut itu seperti orang men-
gandung tujuh bulan! Hem.... Apakah ini keajaiban
bayi itu hingga beberapa orang menduga kelak sesuatu
dalam bayi itu yang bisa menghadapi orang yang kini
memegang Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa
Jasad?”
Kigali menghela napas. Pandangannya kini ke arah
wajah Pitaloka. “Gadis malang.... Semuda ini sudah
harus memikul cobaan yang berat. Hem.... Aku tak
mau menambah beban cobaan di pundaknya dengan
melibatkan dirinya dalam urusan orang-orang di lua-
ran sana. Aku harus segera membawanya pergi dari
hutan ini! Bukan tak mungkin rahasia di mana Pitalo-
ka berada sudah diketahui banyak orang. Kalau aku
terlalu lama menunggu, akan sulit keluar dari hutan
ini. Apalagi perut Pitaloka tidak mungkin lagi bisa dis-
embunyikan!”
“Kek.... Kau memikirkan sesuatu?! Dari tadi sikap-
mu lain. Kau tampak gelisah!”
Kigali melangkah mendekat. “Pitaloka.... Kita harus
segera tinggalkan tempat ini!”
Pitaloka terkejut. Dia beranjak tegak. “Kek.... Kata-
kanlah. Ada apa sebenarnya?”
“Aku melihat beberapa orang memasuki hutan ini!
Padahal puluhan tahun lamanya hal seperti itu tidak
pernah terjadi!”
Kau mengenal mereka?!”
Kigali memandang tajam ke dalam bola mata Pitalo-
ka. “Aku tidak boleh mengatakan apa yang sebenarnya
terjadi! Hal itu akan menambah kalut pikirannya,” ka-
ta Kigali dalam hati. Lalu berkata.
“Pitaloka. Kau sendiri tahu. Setengah dari hidupku
berada di hutan ini. Jadi aku tidak mengenali mereka.
Namun kedatangan mereka yang di luar kebiasaan
pasti punya tujuan tertentu! Kita memang tidak tahu
apa maksud mereka. Tapi aku sudah tidak mau lagi
terlibat urusan dengan orang lain! Pengalaman hi-
dupku sudah cukup jadi pelajaran. Aku tak mau men-
gulangi kejadian yang sama! Kita harus segera tinggal-
kan tempat ini!”
Dada Pitaloka berdebar. “Apa mereka orang-orang
jahanam keparat yang mengenakan Jubah Tanpa Ja-
sad itu?! Dari mana mereka tahu aku berada di hutan
ini?!”
“Kek.... Apa tidak sebaiknya kita di sini saja?! Kita
belum tahu siapa mereka dan apa maksudnya! Lagi
pula tempat kita ini terlindung. Tak mungkin mereka
tahu!”
“Pitaloka.... Walau aku tidak mengenali mereka, tapi
dari sikap mereka aku yakin mereka bukan orang bi-
asa! Dan tidak tertutup kemungkinan mereka tahu
tempat ini!”
Pitaloka terdiam dengan kepala berpaling ke arah
lobang yang tertutup rimbun dedaunan. Wajahnya se-
dikit muram dan tegang. Tanpa sadar kedua tangan-
nya bergerak menakup pada perutnya yang membesar.
Kigali tampaknya dapat menangkap perasaan si ga-
dis. Orang tua ini melangkah mendekati. Tangan ka-
nannya bergerak membelai rambut Pitaloka seraya
berkata.
“Anakku.... Aku tahu bagaimana perasaanmu. Kau
tentu tak ingin dilihat orang dengan perut besar begi-
tu. Tapi.... Pikirkanlah bayi dalam kandunganmu....”
Seketika Pitaloka berpaling. “Kek! Kau menduga ke-
datangan mereka ada hubungannya dengan kandun-
ganku ini?! Dari mana mereka tahu aku tengah men-
gandung?!”
“Anakku.... Dalam keadaan seperti sekarang ini, sesuatu yang paling jeleklah yang harus kita pikirkan!
Dari itulah mengapa aku mengajakmu untuk sementa-
ra ini pergi dari sini!”
“Tapi.... Ah!” Pitaloka mendesah dengan gelengkan
kepala. “Rasanya aku belum siap menghadapi pandan-
gan mata orang!”
“Itu sudah kupikirkan, Anakku! Kita akan mening-
galkan tempat ini saat matahari tenggelam. Dan kita
cari tempat jauh dari penduduk....”
“Sungguh jelek nasibku...,” entah sadar atau tidak
Pitaloka menggumam.
“Tidak, Anakku! Kalau kita tidak memandang orang
lain, kadangkala kita memang punya anggapan begitu.
Namun kalau kita mau sedikit menoleh pada orang
lain, masih banyak orang-orang yang lebih menderita
daripada kau. Dan lebih dari itu, Sang Maha Pencipta
tidak mungkin memberikan cobaan pada makhluk cip-
taannya melebihi kekuatan sang makhluk!”
“Tapi....”
Belum sampai Pitaloka teruskan ucapan, Kigali su-
dah menyambuti. “Nasib tidak perlu dibicarakan,
Anakku. la akan berjalan sesuai yang mengatur. Kita
hanya tinggal menjalani! Jadi tak ada gunanya kita se-
sali apa yang telah terjadi!”
Pitaloka memandang dengan mata berkaca-kaca
dan tak kuasa buka mulut berkata. Kigali anggukkan
kepala dengan bibir tersenyum. Lalu berkata pelan.
“Anakku.... Kita keluar sekarang. Kita pelan-pelan
menyusuri bagian hutan yang tak mungkin dijangkau
orang sambil menunggu tenggelamnya matahari!”
Tanpa menunggu sahutan Pitaloka, Kigali meng-
gandeng tangan si gadis lalu perlahan-lahan melang-
kah menuju lobang dari mana tadi Kigali masuk.
***
Sementara di belahan hutan sebelah utara, Nyai
Tandak Kembang terus berkelebat disusul oleh Putri
Kayangan dan Pendekar 131. Pada satu tempat, murid
Pendeta Sinting berpaling pada Putri Kayangan seraya
berkata pelan.
“Putri.... Hendak ke mana eyang gurumu ini?”
Putri Kayangan memperlambat larinya. Kepalanya
berpaling. Senyumnya mengembang lalu menjawab
dengan suara pelan pula.
“Ke mana lagi kalau bukan mencari Pitaloka!”
“Dia seakan-akan sudah tahu di mana Pitaloka be-
rada!”
“Itulah kelebihannya. Dia tahu di mana orang den-
gan cara penciumannya! Apalagi dia sudah hafal benar
dengan aroma Pitaloka!”
“Ah.... Kalau begitu susah!” gumam murid Pendeta
Sinting.
“Apanya yang susah?!” tanya Putri Kayangan seraya
terus berlari.
“Kalau aroma Pitaloka sudah dihafal benar, tentu
aromamu demikian juga. Itu berarti di mana kau bera-
da selalu akan diketahuinya! Dan itu akan membuatku
selalu khawatir jika mengajakmu! Siapa tahu kita lagi
asyik, tiba-tiba eyangmu muncul!”
Putri Kayangan bersemu merah dan segera alihkan
pandangannya ke jurusan lain. Teringat kembali ba-
gaimana saat dia dan murid Pendeta Sinting saling
bergenggaman tangan mendadak muncul Nyai Tandak
Kembang. Namun Putri Kayangan sedikit merasa lega
karena Nyai Tandak Kembang tidak melarang hubun-
gan antara dia dan Pendekar 131.
Di depan sana, mendadak Nyai Tandak Kembang
hentikan larinya. Putri Kayangan dan Pendekar 131
saling pandang lalu sama hentikan larinya pula tujuh
langkah di belakang Nyai Tandak Kembang.
“Jangan-jangan eyangmu tahu apa yang kita bica-
rakan tadi...!” bisik Joko.
“Pasti dia tahu. Dan dia paling tidak suka kalau di-
bicarakan!”
“Lalu?!” tanya murid Pendeta Sinting dengan raut
berubah.
“Lihat saja sendiri nanti! Yang jelas kau yang mulai
membicarakannya. Bukan aku!”
“Wah.... Mengapa kau tidak dari tadi mengatakan-
nya padaku?!”
“Itu berarti aku yang mulai membicarakannya!”
Murid Pendeta Sinting sudah hendak berucap. Na-
mun tiba-tiba di hadapannya Nyai Tandak Kembang
sudah putar diri menghadap mereka. Joko langsung
merinding ketika dilihatnya mata Nyai Tandak Kem-
bang langsung menatap tajam padanya.
“Anak muda!” kata Nyai Tandak Kembang. “Siapa
pun nanti yang muncul, jangan kau tunjukkan diri!
Jangan bicara apa-apa! Kau mengerti?!”
Belum sampai murid Pendeta Sinting mengerti apa
maksud Nyai Tandak Kembang, eyang Putri Kayangan
ini memberi isyarat agar keduanya mengikuti.
Nyai Tandak Kembang melompat dan menyelinap
masuk ke balik semak. Joko memandang pada Putri
Kayangan. Si gadis hanya melirik lalu melompat ke
semak di mana Nyai Tandak Kembang menyelinap le-
nyap. Tanpa pikir panjang, murid Pendeta Sinting ikut-
ikutan melompat lalu menyelinap. Terlihat Nyai Tan-
dak Kembang duduk mendekam dengan mata tertuju
ke satu jurusan. Putri Kayangan yang ikut mendekam
di sampingnya juga arahkan pandang matanya ke ju-
rusan mana Nyai Tandak Kembang memandang.
Seraya ikut duduk mendekam, Joko ikut pula arah
kan pandang matanya ke jurusan mana kedua orang
cucu dan nenek tengah memandang.
Baru saja Joko arahkan pandangannya, tiba-tiba
laksana setan gentayangan terlihat tiga sosok tubuh
berkelebat saling susul menyusul. Begitu cepatnya ke-
lebatan ketiga bayangan itu, Joko tidak bisa mengenali
siapa adanya ketiga bayangan. Yang dia lihat hanya
bayangan warna merah, hijau, dan putih.
Ketiga sosok bayangan itu terus berkelebat dan saat
lain telah lenyap di depan sana. Murid Pendeta Sinting
memandang pada Nyai Tandak Kembang yang gerak-
kan kepala mengikuti ke mana arah berkelebatnya ke-
tiga sosok bayangan.
“Hem.... Dia tahu kalau ada orang yang hendak
muncul! Tapi mengapa dia melarangku untuk bicara
dan tunjukkan diri?!”
Sambil terus berpikir, murid Pendeta Sinting berge-
rak bangkit. Namun belum sampai tegak, Nyai Tandak
Kembang sudah berpaling dengan mata mendelik.
“Turunkan tubuhmu!” perintah Nyai Tandak Kem-
bang dengan suara pelan namun nadanya sengit.
Dengan angkat bahu dan melirik pada Putri Kayan-
gan, Joko turunkan tubuhnya. Saat itulah mendadak
dari arah mana tadi tiga sosok bayangan berkelebat,
kembali muncul tiga sosok bayangan yang berkelebat.
“Mereka berbalik!” gumam Joko dalam hati. Lalu
pentangkan mata.
Tiga sosok bayangan mendadak sama hentikan ke-
lebatannya hanya sejarak lima belas langkah dari tem-
pat Joko, Putri Kayangan, dan Nyai Tandak Kembang
mendekam sembunyi.
Tiga sosok itu ternyata seorang nenek dan dua
orang kakek. Si nenek mengenakan pakaian warna
merah. Kakek yang satu mengenakan pakaian warna
hijau, sedangkan kakek satunya mengenakan pakaian
warna putih kusam.
“Dayang Sepuh! Gendeng Panuntun! Datuk Wah-
ing!” kata Joko mengenali ketiga orang yang kini telah
tegak berjajar di depan sana. Dia lupa akan peringatan
Nyai Tandak Kembang. Sembari berkata dia bergerak
bangkit.
Nyai Tandak Kembang tampak mendelik lalu berpal-
ing. Namun karena pandangan Joko sedang tertuju
pada ketiga orang di depan sana, murid Pendeta Sint-
ing tidak melihat pelototan mata Nyai Tandak Kem-
bang.
“Turunkan tubuhmu!” Terpaksa Nyai Tandak Kem-
bang berucap. Malah bukan hanya sampai di situ.
Khawatir Joko telanjur tegak, Nyai Tandak Kembang
gerakkan tangan kirinya. Satu deruan pelan terdengar.
Pendekar 131 tersentak kaget. Buru-buru dia tu-
runkan tubuhnya. Bukan karena mengikuti perintah
Nyai Tandak Kembang melainkan karena saat itu satu
gelombang deras menyambar ke arah kepalanya! Kalau
dia tidak segera turunkan tubuh, niscaya kepalanya
akan terhajar gelombang!
“Kau dengar kata-kataku! Jangan berkata apa-apa
atau tunjukkan diri apa pun nanti yang terjadi!” ben-
tak Nyai Tandak Kembang dengan suara ditahan.
Walau belum mengerti apa maksud Nyai Tandak
Kembang, murid Pendeta Sinting anggukkan kepala
dengan bibir tersenyum. Padahal hatinya deg-degan.
Sementara Nyai Tandak Kembang menggerutu dalam
hati melihat sikap Joko.
Di depan sana, tiga sosok tubuh yang ternyata bu-
kan lain adalah Dayang Sepuh, Datuk Wahing, dan
Gendeng Panuntun sama gerakkan kepala. Dayang
Sepuh menghadap Datuk Wahing yang tegak di sebe-
lah kirinya, Datuk Wahing sendiri berpaling ke arah
Dayang Sepuh. Sedangkan Gendeng Panuntun yang
tegak di sebelah kanan Dayang Sepuh tengadahkan
kepala.
***
TUJUH
SETAN-SETAN tua! Mengapa kalian mengajakku
putar-putar tak karuan?!” Tiba-tiba Dayang Sepuh
perdengarkan bentakan. Kepalanya segera dialihkan
pada Gendeng Panuntun.
“Nek.... Aku mencium aroma kembang lain daripada
yang lain! Apa kau tidak merasakannya?” tanya Gen-
deng Panuntun seraya terus mendongak.
Walau dengan mencibir tapi tak urung juga si nenek
kembang-kempiskan hidung beberapa kali dengan ke-
pala berputar. Sementara tangan kanannya bergerak
rapikan poni di keningnya.
Di balik semak, Nyai Tandak Kembang melirik pada
Putri Kayangan. Lalu memandang angker pada Pende-
kar 131 yang membalasnya dengan senyum.
“Dasar hidung setan! Hanya karena mencium aroma
bunga kembang ini kau mengajakku pulang balik tak
karuan, hah?!”
“Bruss! Bruss! Rasanya kita juga akan membukti-
kan ucapan sahabat yang baru saja kita temui. Heran-
nya, aku tak bisa tahu apakah hanya cirinya yang se-
suai tapi makhluknya berbeda!”
“Hem.... Jadi makhluk setan yang kita cari itu ada
di sekitar sini?!” ujar Dayang Sepuh. Tanpa menunggu
sahutan dari Datuk Wahing ataupun Gendeng Panun-
tun, Dayang Sepuh sudah berteriak dengan suara ke-
ras membahana.
“Kalau kalian bukan setan, mengapa takut tunjukan diri?!”
Di balik semak, Nyai Tandak Kembang anggukkan
kepala pada Putri Kayangan. Lalu berbisik. “Mereka te-
lah tahu keberadaan kita! Kita segera keluar!” Nyai
Tandak Kembang alihkan pandangan pada murid Pen-
deta Sinting. “Kau jangan berani tunjukkan diri atau
bicara!”
Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang mem-
beri isyarat pada Putri Kayangan untuk mengikutinya
keluar dari balik semak. Sambi! melirik dan tersenyum
menahan tawa pada murid Pendeta Sinting, Putri
Kayangan bergerak bangkit lalu melangkah keluar dari
balik semak mengikuti eyangnya yang sudah menda-
hului.
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. Lalu
memandang ke depan. Bukan ke arah Nyai Tandak
Kembang melainkan pada Putri Kayangan. Juga tidak
ke arah wajah si gadis namun pada perutnya. Semen-
tara Dayang Sepuh segera pentangkan mata. Dia juga
tidak melihat pada Nyai Tandak Kembang, melainkan
melotot pada perut Putri Kayangan.
“Setan betul! Aku tak bisa membedakan wajahnya!
Apakah menurutmu gadis itu yang kita cari?!” tanya
Dayang Sepuh pada Datuk Wahing.
“Rasanya bukan dia yang kita cari...,” bisik Gendeng
Panuntun. “Sahabat yang kita jumpa tadi memang
mengatakan sesuai dengan ciri-ciri di depan itu, tapi
tampaknya dia menyembunyikan sesuatu yang sebe-
narnya! Dia mengecoh kita!”
“Ada yang ingin kalian katakan?!” Mendadak Nyai
Tandak Kembang buka pertanyaan.
“Bruss! Bruss! Sebenarnya banyak.... Tapi agar kau
tidak merasa heran apalagi jengkel, untuk sementara
ini biarlah segalanya tersimpan dahulu! Suatu saat
nanti pasti akan kita bicarakan bersama-sama.... Maaf
bila kami mengganggu keasyikkan kalian!”
“Sebelum kami pergi, mau perkenalkan sahabat sa-
tunya lagi yang masih malu-malu?!” kata Gendeng Pa-
nuntun.
Di balik semak, mendengar ucapan Gendeng Pa-
nuntun, Joko tampak gelisah. Dari ucapan orang dia
telah maklum kalau Gendeng Panuntun sudah menge-
tahui keberadaan dirinya. Pendekar 131 sendiri sebe-
narnya ingin keluar karena masih ada hal yang ingin
dibicarakan. Namun ingat akan pesan Nyai Tandak
Kembang, ia jadi bimbang.
Di lain pihak, meski merasa terkejut, namun Nyai
Tandak Kembang bisa sembunyikan rasa kejutnya.
Tapi tidak demikian halnya dengan Putri Kayangan.
Gadis ini tersentak kaget. Dan tanpa sadar berpaling
ke arah semak di mana Joko bersembunyi.
“Hem.... Jadi masih ada setan lagi di balik semak
itu! Jangan-jangan makhluk itu yang tengah kita cari!”
desis Dayang Sepuh mendapati sikap Putri Kayangan.
Lalu tanpa pedulikan pandangan Nyai Tandak Kem-
bang, si nenek berambut poni ini berseru.
“Setan di balik semak! Keluarlah!”
Pendekar 131 makin bingung. Dia sibakkan sedikit
semak belukar di hadapannya. Lalu memandang satu
persatu pada beberapa orang di depan sana. “Apa aku
harus keluar mengikuti ucapan nenek Dayang Sepuh?!
Tapi bagaimana kalau nanti Nyai Tandak Kembang
marah-marah?! Aku tak tahu mengapa Nyai Tandak
Kembang melarangku tunjukkan diri atau berucap!
Hem.... Bagaimana ini?!”
“Eyang....”
“Kau juga jangan ikut bersuara!” Nyai Tandak Kem-
bang telah menukas ucapan Putri Kayangan yang hen-
dak bicara.
Dayang Sepuh berpaling pada Gendeng Panuntun.
“Kau bisa merasakan, siapa setan di balik semak itu?
Setan perempuan atau laki-laki?!”
Gendeng Panuntun usap cermin bulat di depan pe-
rutnya. “Aku tak bisa memastikan. Tapi kurasa se-
baiknya kita segera pergi dari tempat ini!”
“Bagaimana dengan setan satu di balik semak yang
belum unjuk tampang itu?!” tanya Dayang Sepuh.
“Kurasa tak ada yang bisa kita dapatkan dari orang
itu! Kita harus berbalik arah lagi!” jawab Gendeng Pa-
nuntun lalu luruskan kepalanya menghadap Nyai Tan-
dak Kembang dan berkata.
“Nyai.... Seperti ucapan sahabatku Datuk Wahing,
sebenarnya masih banyak yang harus kita bicarakan.
Namun karena kita kelak masih berjumpa lagi, kurasa
pembicaraannya kita tuntaskan kelak saja! Sekarang
aku dan sahabat-sahabatku akan pamit dahulu....”
Gendang Panuntun anggukkan kepala dua kali.
Bersamaan dengan itu Datuk Wahing gerakkan Ke-
pala ke depan mengangguk-angguk lalu bersin tiga kali
tanpa disusul dengan ucapan. Dayang Sepuh masin
arahkan pandang matanya ke arah semak. Namun be-
gitu mendapati Gendeng Panuntun berkelebat disusul
kemudian oleh Datuk Wahing, si nenek segera berpal-
ing. Dengan perdengarkan gumaman tak jelas, akhir-
nya si nenek berkelebat mengikuti Gendeng Panuntun
dan Datuk Wahing.
“Hem.... Tampaknya mereka telah tahu pula di ma-
na arah Pitaloka berada!” gumam Nyai Tandak Kem-
bang. “Kita harus terlebih dahulu mendapatkannya!”
Nyai Tandak Kembang menoleh ke arah semak.
Ternyata Pendekar 131 sudah tegak dengan kepala
mengarah pada berkelebatnya Dayang Sepuh.
“Bersama pemuda itu akan membuat gerakan kita
sulit kembali Nyai Tandak Kembang bergumam. “Ba-
gaimana kalau dia kita tinggalkan?!”
Pertanyaan Nyai Tandak Kembang tidak segera di
jawab oleh Putri Kayangan. Namun perubahan wajah
si gadis telah membuat perempuan dari lereng Gunung
Semeru iii maklum apa yang ada dalam benak cu-
cunya.
“Baiklah.... Dia kita ajak serta. Tapi harus melaku-
kan segala yang kukatakan! Akhirnya Nyai Tandak
Kembang berkata seraya menghela napas.
“Eyang...,” kata murid Pendeta Sinting seraya me-
lompat dan tegak tidak jauh dari Putri Kayangan. “Bo-
leh aku tahu mengapa kau melarangku menemui me-
reka dan bicara dengan mereka! Mereka adalah saha-
bat-sahabatku....”
“Aku tahu, Anak Muda...,” jawab Nyai Tandak Kem-
bang dengan suara pelan dan bibirnya tersenyum.
“Namun sementara ini aku tak bisa jawab perta-
nyaanmu! Selain itu, kau punya dua pilihan. Terus
bersama k3mi atau berpencar!”
Hampir bersamaan kepala Pendekar 131 dan Putri
Kayangan bergerak saling menghadap. Sesaat mereka
saling berpandangan.
“Aku ikut bersamamu, Eyang...,” kata Joko.
“Kalau itu pilihanmu, ada beberapa hal yang harus
kau lakukan! Kau sanggup?”
Meski dengan hati masih bertanya-tanya, murid
Pendeta Sinting anggukkan kepala. “Apa yang harus
kulakukan?!”
“Ikuti semua ucapanku!” jawab Nyai Tandak Kem-
bang pendek.
“Kalau hanya itu tak susah aku melakukannya! Se-
karang apa ucapanmu yang harus kulakukan,
Eyang?!”
Nyai Tandak Kembang tidak menjawab. Sementara
Putri Kayangan tersenyum seraya gelengkan kepalanya
perlahan. Nyai Tandak Kembang arahkan pandangan-
nya ke jurusan selatan. La u berkata.
“Anak muda! Kau benar-benar sanggup melakukan
apa yang kuucapkan?!”
“Demi bisa bersama denganmu dan Putri Kayan-
gan....”
Putri Kayangan tersentak mendengar ucapan terus-
terang murid Pendeta Sinting. Namun dadanya berde-
bar senang.
“Ikuti saja aku! Bila nanti tiba saatnya aku akan
mengatakan apa yang harus kau lakukan!”
Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang berke-
lebat ke arah selatan. Putri Kayangan dan Pendekar
131 saling pandang. Sebenarnya Joko hendak berkata,
namun Putri Kayangan keburu berkelebat mengikuti
Nyai Tandak Kembang.
“Aneh... Apa sebenarnya kemauan eyang cantik
itu.... Hem.... Masih begitu muda dan cantik sudah di-
panggil eyang! Apa benar Putri Kayangan dan Pitaloka
adalah cucu-cucunya?!” sembari terus bertanya-tanya
dan tersenyum sendiri, murid Pendeta Sinting berkele-
bat menyusul Nyai Tandak Kembang dan Putri Kayan-
gan.
***
Pada satu tempat tiba-tiba Gendeng Panuntun hen-
tikan kelebatannya. Datuk Wahing dan Dayang Sepuh
ikut-ikutan berhenti. Gendeng Panuntun dongakkan
kepala seraya usap cermin bulatnya.
“Aneh.... Aku tak dapat menjajaki di mana bera-
danya orang yang kita cari! Ada tabir yang menghalan-
gi! Bagaimana dengan kalian berdua? Bisa menjajaki
arah di mana sahabat Kigali dan orang yang kita cari?”
“Bruss! Bruss! Aku juga merasa heran. Sejak me-
masuki kawasan selatan hutan ini, aku tak bisa men-
dapatkan petunjuk apa-apa!” Datuk Wahing menyahut.
“Bagaimana dengan dirimu, Nek...?” tanya Gendeng
Panuntun.
“Kalau setan-setan seperti kalian tidak dapat, ba-
gaimana mungkin aku bisa?!”
Dayang Sepuh edarkan pandang matanya berkelil-
ing. Lalu memandang satu persatu pada Gendeng Pa-
nuntun dan Datuk Wahing. “Celaka! Bagaimana bisa
begini! Rasanya kita bakal kehilangan jejak!”
Gendeng Panuntun geleng kepala. “Aku tak tahu
harus mengatakan bagaimana. Aku benar-benar mera-
sakan ada tabir penghalang yang sangat kuat hingga
tak mampu menjajaki di mana beradanya orang! Ini
satu tanda jika ada sesuatu yang sangat luar biasa!
Aku tidak bisa memastikan apa sesuatu itu. Mungkin
saja inilah salah satu keanehan yang dimiliki bayi
itu....”
“Brusss! Lalu apa yang harus kita lakukan seka-
rang? Adalah mengherankan kalau kita hanya tegak
bengong di sini!”
“Perempuan setan bernama Nyai Tandak Kembang
itu rasanya juga menuju ke arah selatan,” ujar Dayang
Sepuh. “Tampaknya dia juga tahu di mana beradanya
orang yang kita cari! Bagaimana kalau kita ikuti dia?!
Barangkali dia bisa menembus tabir penghalang itu!
Apalagi perempuan setan itu mengaku sebagai nenek-
nya!”
“Hem.... Itu usul yang baik! Tapi aku merasa dia
memiliki daya penciuman yang sangat hebat. Kalau ki-
ta mengikuti dia, tentu dia akan tahu!”
“Bruss! Bruss! Nyai satu itu memang punya daya
cium luar biasa. Tapi jangan heran kalau kukatakan
aku bisa mematahkan daya penciumannya hingga dia
tidak dapat mengendus aroma tubuh kita!”
“Cepat katakan apa yang harus kita lakukan!” kata
Dayang Sepuh.
Datuk Wahing tertawa dahulu lalu bersin tiga kali.
Baru kemudian berucap.
“Kita butuh air kencing sebanyak-banyaknya....”
“Edan! Kau tak bisa membedakan kapan saatnya
main-main dan sungguh-sungguh!” semprot Dayang
Sepuh.
“Bruss! Aku tidak main-main, Nek! Segala sesuatu
adalah mengherankan jika tak memiliki kelemahan!
Dan satu-satunya kelemahan nyai cantik itu adalah air
kencing! Daya penciumannya akan hilang bila men-
cium aroma air kencing! Lebih dari itu untuk menjaga
segala kemungkinan, kita harus mengikuti dengan
mengambil tempat yang berlawanan dengan arah an-
gin!”
“Jadi kita harus kencing terus-terusan?!” tanya
Dayang Sepuh. “Lebih baik kita urungkan saja! Bagai-
mana aku harus kencing melulu kalau aku mengena-
kan celana begini rupa?!” Dayang Sepuh arahkan pan-
dangannya pada Gendeng Panuntun. “Kalau dengan
dia aku tak merasa sungkan, karena bagaimanapun
juga dia tak bisa melihat meski matanya melotot!”
Dayang Sepuh alihkan pandang matanya pada Datuk
Wahing. “Yang ku khawatirkan adalah mata setanmu!”
Datuk Wahing tertawa bergelak. Gendeng Panuntun
ikut-ikutan tertawa. Dan entah karena apa Dayang Se-
puh tiba-tiba juga ikut perdengarkan tawa!
“Brusss! Kau tak perlu terus-terusan kencing, Nek!
Kita hanya perlu persediaan. Air kencing itu kita ta-
bur-taburkan di depan kita begitu kita mendekati Nyai
Tandak Kembang! Sekarang kita cari bumbung bambu
dan daun ilalang! Masukkan air kencing masing-
masing ke dalam bumbung bambu. Daun ilalang un-
tuk menaburkan jika kita mulai mendekati Nyai Tan-
dak Kembang!”
“Datuk...,” kata Gendeng Panuntun. “Untuk urusan
bumbung bambu dan ilalang, aku menyerahkan pa-
damu. Aku hanya bisa kencing saja dan menunggu di
sini!”
“Aku juga!” sahut Dayang Sepuh.
Datuk Wahing bersin dua kali. Tanpa menyusuli
dengan ucapan, kakek ini berkelebat meninggalkan
Dayang Sepuh dan Gendeng Panuntun.
“Dasar datuk setan! Mainannya aneh-aneh!” gu-
mam Dayang Sepuh lalu berpaling pada Gendeng Pa-
nuntun.
“Kau percaya dengan ucapan datuk setan itu?!”
“Kurasa ucapannya benar!”
“Huh! Dasar sama-sama setannya! Mungkin saja ini
hanya permainan konyol datuk setan itu! Dia ingin me-
lihat pantatku!”
“Jangan berprasangka buruk, Nek!”
“Ini bukan prasangka! Kau tahu sendiri, aku men-
genakan celana pendek. Bagiku tak mungkin bisa
kencing tanpa menurunkan celana! Dan itu pasti akan
membuat pantatku kelihatan!”
“Kita tengah mencari orang yang sangat penting
demi rimba persilatan. Kurasa kalau hanya memperli-
hatkan pantat bukanlah satu pengorbanan yang be-
sar!”
“Memang bukan besar! Yang kutakutkan dia nanti
menyiarkan kabar soal pantatku ini!”
Gendeng Panuntun tertawa bergelak. “Memang ada
apa dengan pantatmu, Nek?!”
Belum sampai Dayang Sepuh menjawab, U dengar
bersinan dua kali. Lalu muncullah Datuk Wahing den-
gan tangan membawa tiga bumbung bambu sepanjang
masing-masing dua jengkal.
Datuk Wahing ulurkan tangan kanannya pada
Dayang Sepuh. “Ambil satu untukmu!” Lalu mendekati
Gendeng Panuntun dan memberikan satu bumbung
bambu.
“Brusss! Sekarang terserah kalian. Mau kencing di
sini atau mencari tempat yang enak! Yang jelas sema-
kin banyak air kencing di dalam bumbung, semakin le-
luasa nantinya kita mengikuti langkah Nyai Tandak
Kembang!”
Habis berkata begitu, Datuk Wahing balikkan tu-
buh. Putar kepalanya sebentar lalu berkelebat dan le-
nyap di balik satu batangan pohon.
Dayang Sepuh pandangi bumbung bambu di tan-
gannya. Lalu beralih pada bumbung bambu di tangan
Gendeng Panuntun. Tiba-tiba si nenek perdengarkan
tawa cekikikan. Saat lain dia berkelebat ke balik semak
dengan perdengarkan suara keras.
“Jika kulihat salah satu dari kalian mengintip, jan-
gan menyesal kalau kalian berdua akan mandi dengan
air setan ini!”
Gendeng Panuntun tertawa seraya melangkah ke
salah satu pohon. Disambut dengan gelakan tawa Da-
tuk Wahing dari balik batangan pohon.
Tak berapa lama kemudian, Dayang Sepuh sudah
berkelebat muncul dari balik semak dengan mendelik
jelalatan. Karena bersamaan dengan itu suara gelakan
tawa Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun lenyap!
“Di mana kalian?!” teriak Dayang Sepuh lalu arah-
kan sepasang matanya ke tempat di mana dia tadi me-
nyelinap. Jelas nenek ini khawatir Datuk Wahing serta
Gendeng Panuntun berada tak jauh dari tempatnya
tadi menyelinap kencing.
“Aku di sini, Nek!” Yang menyambut adalah suara
Gendeng Panuntun.
“Brusss! Aku heran.... Tampaknya kau takut seka-
li!” Datuk Wahing perdengarkan suara lalu sosoknya
muncul dari balik batangan pohon. Tangan kiri memegang bumbung bambu tangan kanan pencet hidung-
nya.
Bersamaan dengan munculnya sosok Datuk Wah-
ing, Gendeng Panuntun melangkah keluar pula dari
balik pohon. Bumbung bambu tampak diselipkan pada
ikat pinggangnya.
“Celaka!” Mendadak Datuk Wahing berseru dengan
suara sengau karena hidungnya terpencet tangan ka-
nannya.
“Kemauanmu sudah dituruti, tapi kau masih juga
bilang celaka!” bentak si nenek.
“Brusss! Brusss! Bagaimana tidak celaka! Dengan
air di dekatku, berarti aku tidak bisa menahan bersin!
Dan itu akan membuat Nyai Tandak Kembang menge-
tahui kalau sedang diikuti orang! Heran.... Mengapa
aku tadi lupa kalau aku tidak bisa menahan bersin bi-
la mencium aroma air kencing....”
“Setan! Kau benar-benar mempermainkan aku!”
sentak Dayang Sepuh. Tangan kirinya yang memegang
bumbung bambu diangkat ke atas.
“Tahan, Nek!” seru Datuk Wahing tatkala melihat
bagaimana si nenek hendak tumpahkan bumbung
bambu yang telah berisi air kencing. “Karena sudah te-
lanjur, apa boleh buat! Untuk sementara ini aku harus
menyumbat hidungku dengan dedaunan! ini untuk
mengurangi aroma air kencing.”
Setelah berkata begitu, Datuk Wahing membuat ge-
rakan satu kali. Sosoknya melesat dan lenyap di balik
kerapatan semak. Tak berselang lama, Datuk Wahing
sudah muncul lagi.
Dayang Sepuh tiba-tiba perdengarkan gelakan tawa
panjang. Sementara Datuk Wahing melangkah bersun-
gut-sungut dengan tangan kiri memegang bumbung
bambu sementara pada kedua lobang hidungnya terli-
hat daun sirih yang dibuat sumbatan oleh sang Datuk.
“Kita harus segera jalan memutar! Orang yang hen-
dak kita ikuti sudah tidak jauh dari sini!” Yang berujar
Gendeng Panuntun.
Dayang Sepuh putuskan gelakan tawa. Datuk Wah-
ing hentikan langkahnya. Hampir bersamaan ketiga
orang ini membuat gerakan. Kejap lain ketiganya ber-
kelebat.
***
DELAPAN
TIGA sosok bayangan itu hentikan lari masing-
masing ketika orang yang berlari di sebelah depan
memberi isyarat dengan angkat tangannya seraya ber-
henti. Mereka tidak lain adalah Nyai Tandak Kembang,
Putri Kayangan, dan Pendekar 131.
Nyai Tandak Kembang yang berada di sebelah de-
pan turunkan tangannya. Kepalanya bergerak berpal-
ing ke arah timur.
“Hem... Aku dapat mencium aroma sosok tiga orang
itu! Tapi mereka menuju ke arah timur! Sementara aku
masih bisa menjajaki aroma Pitaloka di sebelah selatan
dan tak jauh dari tempat ini!” kata Nyai Tandak Kem-
bang setelah menghirup udara agak lama.
“Rupanya mereka kehilangan jejak! Mudah-
mudahan kali ini aku tidak gagal!” gumam Nyai Tan-
dak Kembang. Kepala perempuan ini berpaling ke arah
Putri Kayangan dan murid Pendeta Sinting. “Sebenar-
nya tanpa pemuda itu ikut serta, aku makin leluasa
bertindak! Tapi.... Apa hendak dikata! Beda Kumala
rupanya keberatan....” Nyai Tandak Kembang kembali
membatin. Lalu memberi isyarat pada kedua orang di
belakangnya untuk teruskan langkah.
Ketiga orang ini kembali berkelebat tanpa ada yang
buka suara. Hanya sesekali tampak Putri Kayangan
dan Pendekar 131 saling berpandangan.
Pada satu tempat, Nyai Tandak Kembang kembali
hentikan larinya. Putri Kayangan dan murid Pendeta
Sinting ikut berhenti dan tegak empat langkah di bela-
kang Nyai Tandak Kembang.
“Aroma itu terhenti di sini!” kata Nyai Tandak Kem-
bang dalam hati dengan dada mulai berdebar. Kepa-
lanya kembali memutar dengan menyiasati keadaan
sekeliling. Saat itu matahari sudah menggelincir agak
jauh dari titik tengahnya. Namun ke mana mata me-
mandang masih jelas bisa melihat.
Ketiga orang itu ternyata berada pada satu tempat
agak terbuka. Di kanan kirinya terlihat jajaran bebera-
pa pohon besar. Berjarak dua puluh langkah ke depan
terlihat sebuah tanah agak tinggi yang tertutup rimbun
dedaunan dan rumput tebal.
“Aroma itu berasal dari tanah tinggi di depan itu!”
gumam Nyai Tandak Kembang. Setelah meyakinkan
sekali lagi dengan kembang-kempiskan hidung, Nyai
Tandak Kembang berpaling pada Pendekar 131.
“Pendekar 131! Apa pun yang nanti kulakukan, jan-
gan ikut buka mulut atau bertindak! Kau dengar?”
Walau masih juga belum mengerti apa maksud
ucapan orang, murid Pendeta Sinting anggukkan kepa-
la. Nyai Tandak Kembang alihkan pandang matanya
pada Putri Kayangan. “Dan kau, Beda Kumala. Jangan
pula ikut bicara atau bertindak!”
Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang putar
diri dengan mata tak berkesip memandang ke sela-sela
jajaran pohon. Hidungnya mengembang mengempis
berulang kali. Nyai Tandak Kembang baru hentikan
tindakannya ketika tubuhnya telah kembali mengha-
dap tanah agak tinggi di depan sana.
“Aku tidak mencium aroma tubuh orang lain....
Anehnya tiba-tiba saja aku mencium aroma lain.... Pa-
dahal aroma itu tadi tidak ada! Ah.... Aku tak perlu
khawatir, yang jelas aroma ini bukan aroma manusia!
Berarti tidak ada orang lain di sekitar tempat ini!” Nyai
Tandak Kembang sesaat tadi tampak bimbang. Namun
kejap lain kebimbangannya telah sirna.
Di belakang Nyai Tandak Kembang, tiba-tiba Pende-
kar 131 merasa gelisah. Ekor matanya melirik ke arah
Putri Kayangan. Namun bukan ke arah wajah si gadis
melainkan pada bagian bawah tubuh sang Putri. Lalu
kepalanya menunduk perhatikan bagian bawah tu-
buhnya sendiri. Kejap lain dia arahkan pandang ma-
tanya ke arah bagian bawah sosok Nyai Tandak Kem-
bang yang tegak di depannya.
“Aneh.... Aku tidak merasa kencing walau dari tadi
aku sudah menahannya. Putri Kayangan dan Nyai
Tandak Kembang juga tidak basah pakaian bawahnya.
Tapi.... Aku mencium santernya air kencing! Apakah
mungkin seorang perempuan akan tercium bau ken-
cingnya jika dia menahan kencing?! Jangan-jangan Pu-
tri Kayangan dan eyangnya menahan kencing!” Murid
Pendeta Sinting tertawa dalam hati hingga bahunya
sedikit berguncang. Lalu dia arahkan kembali pandan-
gannya silih berganti pada Putri Kayangan dan Nyai
Tandak Kembang. Namun kali ini dia tidak bisa mena-
han tawa. Hingga tanpa ampun lagi terdengar juga ta-
wanya!
Nyai Tandak Kembang dan Putri Kayangan hampir
bersamaan palingkan kepala. Saat yang sama tiba-tiba
tawa murid Pendeta Sinting meledak!
Putri Kayangan sudah hendak bertanya. Namun di-
dahului Nyai Tandak Kembang.
“Apa yang membuatmu tertawa, Anak Muda?”
Joko putuskan ledakan tawanya. “Dari gerak-
geriknya dia sangat mengandalkan daya ciumnya. Ada
lah hal aneh kalau dia tidak bisa mencium bau kenc-
ing yang sangat santer ini!” kata Joko dalam hati.
“Atau karena bau ini bersumber dari dirinya sendiri
hingga dia tidak bisa menciumnya?!”
“Anak muda! Aku memang melarangmu untuk bica-
ra! Tapi itu tidak berlaku kalau aku bertanya pada-
mu...,” kata Nyai Tandak Kembang mengira Joko tidak
mau menjawab karena dia tadi sudah mengatakan
agar Joko tidak buka mulut.
“Eyang.... Kau tidak mencium sesuatu yang aneh?”
“Aku menciumnya.... Tapi itu hanya bau kencing!
Bukan bau manusia!”
Tanpa sepengetahuan ketiga orang yang tengah te-
gak di tanah agak terbuka, berjarak kira-kira lima
tombak di balik kerapatan semak, tiga sosok tubuh
tampak mengendap-endap. Tangan kanan masing-
masing orang ini memegang satu ilalang yang sesekali
dimasukkan ke dalam bumbung bambu di tangan kiri
masing-masing. Ketika ilalang ditarik keluar, ketiganya
sama kibaskan ilalang. Terlihat muncratan air berwar-
na kekuningan yang tebarkan aroma tak sedap!
“Rupanya setan perempuan itu takluk juga dengan
air kencing! Hik.... Hik...!” bisik suara perempuan yang
bukan lain adalah Dayang Sepuh. Datuk Wahing tidak
menyahut. Karena selain harus tebarkan ilalang, dia
juga harus menahan agar bersinarnya tidak keluar. Di
hidungnya memang masih terlihat sumbatan daun si-
rih, namun karena tebaran air kencing itu berasal dari
air tiga orang, mau tak mau Datuk Wahing masih ha-
rus berusaha keras bertahan.
“Tampaknya dia sudah menemukan yang dicari!”
Kali ini yang berbisik adalah Gendeng Panuntun.
“Untungnya pemuda setan itu berada di sini! Jika
tidak pasti kita masih kebingungan!” ujar Dayang Se-
puh dengan suara ditahan tatkala melihat Pendekar
131 tegak di depan sana.
“Nek... Jangan terus-terusan kau tebarkan airmu!
Kalau habis kau akar; kelabakan sendiri! Aku tak
mungkin bisa memberikan airku padamu! Itu akan
mengherankan!” bisik Datuk Wahing tatkala melihat
berulang kali si nenek celupkan ilalang pada bumbung
bambu di tangan kirinya dan dikibas-kibaskan.
“Setan! Apa kau kira aku juga mau menadah di ba-
wah celanamu, hah?! Siapa mau lihat singkong hitam
keriput milikmu?!” sentak Dayang Sepuh dengan suara
direndahkan lalu tertawa tertahan-tahan.
“Ah.... Kau sudah tahu kalau singkongnya hitam
dan sudah mengeriput! Jangan-jangan kau tadi men-
gintipnya!” sahut Gendeng Panuntun.
“Gila! Tanpa diintip pun semua pasti sudah mendu-
ga kalau singkongnya sudah mengeriput! Dan dari ku-
lit wajahnya siapa pun pasti bisa menebak kalau sing-
kongnya hitam!” sambut Dayang Sepuh seraya te-
ruskan tertawa tertahan-tahan.
“Jangan terus bicara tak karuan, Nek!” kata Datuk
Wahing. “Lihat mereka mulai bergerak!”
Di depan sana. Nyai Tandak Kembang memang mu-
lai melangkah ke arah tanah agak tinggi. Putri Kayan-
gan dan Pendekar 131 ikut membuntuti di belakang-
nya.
Nyai Tandak Kembang hentikan langkah lima tin-
dak dari tanah ketinggian. “Aroma itu benar-benar be-
rasal dari tanah di depan itu. Tapi aku tak melihat
tempat yang pantas untuk berlindung! Yang terlihat
hanya tanah tertutup rumput tebal dan dedaunan!
Hem.... Mungkin di balik dedaunan dan rumput tebal
itu ada tempat tersembunyi!”
Berpikir begitu, Nyai Tandak Kembang teruskan
langkah seraya berkata.
“Beda Kumala dan kau, Anak Muda! Telusuri tanah
tinggi ini! Sibakkan dedaunan dan rumput tebalnya!”
Pendekar 131 Joko Sableng menoleh pada Putri
Kayangan. “Eyangmu ini orangnya aneh.... Untuk apa
kita menelusuri dedaunan dan rumput tebal?!”
“Jangan bertanya padaku.... Kalau berani bilang sa-
ja sama Eyang!” sahut Putri Kayangan sambil terse-
nyum.
Kedua orang ini segera lakukan ucapan Nyai Tan-
dak Kembang. Putri Kayangan melangkah dari arah ki-
ri, sementara murid Pendeta Sinting menelusuri dari
arah kanan. Nyai Tandak Kembang mengambil arah
paling tengah.
“Apa yang hendak dilakukan setan-setan itu?!” kata
Dayang Sepuh dari balik semak.
“Kita lihat saja! Aku juga masih heran!” jawab Da-
tuk Wahing.
Di depan sana mendadak murid Pendeta Sinting
berteriak. “Aku menemukan lobang!”
Nyai Tandak Kembang segera melompat mendekati
Joko. Lalu perhatikan sibakan dedaunan di hadapan-
nya. Saat lain kedua tangannya bergerak ikut sibakkan
dedaunan.
Nyai Tandak Kembang dan Joko melihat sebuah lo-
bang agak besar. Nyai Tandak Kembang menghirup
udara beberapa kali. Lalu berpaling pada Joko dan
berkata.
“Kuharap kau masih ingat pesanku tadi, Anak Mu-
da!”
Tanpa menunggu jawaban, Nyai Tandak Kembang
melangkah memasuki lobang. Pendekar 131 mengikuti
di belakangnya. Putri Kayangan menyusul.
“Apa yang kita lakukan sekarang?! Setan-setan itu
lenyap masuk ke dalam tanah tinggi!” kata Dayang Se-
puh.
“Sebaiknya kita menunggu di sini! Mereka pasti
akan keluar!” jawab Gendeng Panuntun.
“Benar! Sebaiknya kita menunggu! Apalagi murid
Pendeta Sinting sudah ikut masuk! Kukira dia tahu
apa yang harus dilakukan!” Datuk Wahing berucap
sambuti ucapan Gendeng Panuntun.
“Aku punya firasat lain! Pemuda setan itu tampak-
nya tidak berdaya menghadapi kedua setan perem-
puan di sampingnya! Kau dengar dan lihat sendiri ba-
gaimana pemuda setan seperti kerbau dicocok hidung-
nya!” Dayang Sepuh mengomel.
“Aku tahu...,” kata Datuk Wahing. “Namun jangan
kau heran, Nek. Pemuda itu pasti akan bisa melaku-
kan apa yang seharusnya dilakukan! Setan perempuan
akan selalu mendahulukan perasaan. Sementara setan
laki-laki akan mengedepankan pikiran! Dalam urusan
sekarang ini, bagaimanapun juga pikiran akan me-
nang! Sekarang kita harus pindah tempat. Dari tempat
ini angin berhembus ke arah tanah ketinggian itu. Wa-
lau mengherankan, tapi siapa tahu mereka akan men-
gendus kehadiran kita!”
Setelah berkata begitu, Datuk Wahing beranjak
bangkit lalu berkelebat dan mendekam di kerapatan
semak sebelah kanan tanah ketinggian.
“Nek.... Sebaiknya kau ke sebelah kiri tanah itu.
Sementara aku akan sedikit ke samping dari tempat
ini! Dengan begitu Nyai Tandak Kembang tidak akan
terlalu curiga dengan santernya bau kencing!” kata
Gendeng Panuntun begitu merasakan Dayang Sepuh
bangkit berdiri dan hendak berkelebat.
“Lagi pula, dengan mengambil tempat sendiri-
sendiri, kita leluasa jika hendak mengisi bumbung
bambu!” Gendeng Panuntun sambungi ucapannya se-
raya tertawa pelan.
Dayang Sepuh menyeringai seraya rapikan poni di
keningnya. Saat lain si nenek berkelebat ke samping
kiri. Sementara Gendeng Panuntun melangkah perla-
han-lahan tidak jauh dari tempatnya semula.
***
SEMBILAN
BEGITU memasuki lobang, Nyai Tandak Kembang,
Pendekar 131, dan Putri Kayangan segera disambut
kegelapan. Setelah agak terbiasa, baru ketiganya sadar
kalau tengah berada di sebuah ruangan agak besar.
Ketiganya sama pentang mata masing-masing lalu
mengedar berkeliling. Namun sejauh ini mereka tidak
melihat seseorang. Yang terlihat hanyalah sebuah ran-
jang dari bambu beralas rumput kering serta meja
yang di atasnya terdapat kendi dari tanah serta buah-
buahan.
“Aneh.... Aromanya masih ku cium di sini. Tapi
orangnya tidak kutemukan!” kata Nyai Tandak Kem-
bang dalam hati seraya terus edarkan pandangan.
“Kendi dan buah-buahan satu tanda jika tempat ini
dihuni orang!” pikir Joko. “Tapi benarkah penghuninya
Pitaloka?”
Selagi Joko berpikir begitu, tiba-tiba Nyai Tandak
Kembang yang sudah tidak sabaran perdengarkan su-
ara berteriak.
“Pitaloka! Aku tahu kau berada di sini.... Mengapa
kau sembunyikan diri. Cucuku? Aku eyangmu.... Ke-
luarlah...!”
Nyai Tandak Kembang menunggu. Namun sampai
sekian jauh tidak juga ada jawaban atau tanda-tanda
akan munculnya orang di tempat itu.
“Pitaloka.... Aku datang untuk menjemputmu! Ke-
luarlah...!” Nyai Tandak Kembang kembali berteriak.
Namun belum juga ada sahutan.
Nyai Tandak Kembang menghela napas. Lalu ber-
paling pada murid Pendeta Sinting dan Putri Kayan-
gan. “Kalian berdua, telusuri dinding ruangan ini! Dan
beri tahu jika ada yang mencurigakan!
Pendekar 131 dan Putri Kayangan segera melang-
kah berlawanan. Murid Pendeta Sinting mulai menelu-
suri dinding ruangan dari sebelah kanan, sementara
Putri Kayangan dari sebelah kiri. Nyai Tandak Kem-
bang sendiri memperhatikan langit-langit ruangan
dengan melangkah mondar-mandir berkeliling.
Namun hingga murid Pendeta Sinting dan Putri
Kayangan saling bertemu, mereka berdua tidak mene-
mukan sesuatu yang mencurigakan di bagian dinding.
Nyai Tandak Kembang sendiri tidak menangkap tanda-
tanda rahasia pada bagian langit-langit ruangan.
Nyai Tandak Kembang melangkah ke arah lobang
dari mana dia tadi masuk. Untuk beberapa saat pe-
rempuan ini tegak dengan mata terpejam dan kedua
tangan saling menakup di depan wajah.
“Aneh.... Aroma itu terputus di sini! Bagaimana ini
bisa terjadi?!” gumam Nyai Tandak Kembang lalu buka
matanya dan kedua tangannya diluruhkan.
“Percuma kita cari di sini! Pitaloka sudah keluar.
Dan kita kehilangan jejaknya!”
“Bagaimana bisa begitu, Eyang?!” tanya Putri
Kayangan.
“Aku sendiri tak tahu.... Yang jelas aroma itu terpu-
tus dan seolah ada tabir yang memutus aromanya!”
jawab Nyai Tandak Kembang.
“Eyang.... Kau yakin itu adalah aroma Pitaloka?!”
Joko ingin meyakinkan.
“Sejak bayi Pitaloka dan Beda Kumala berada dalam
tanganku! Sejauh mana pun mereka pergi, aku dapat
mengendusnya! Tapi kali ini ada yang lain pada tubuh
Pitaloka hingga aku tak mampu mengendus keberadaannya! Ini memang aneh dan luar biasa!”
“Jangan-jangan karena bayi dalam kandungannya!”
kata Joko. Namun ucapan itu disimpannya dalam hati.
Selain karena dia belum bisa memastikan Pitaloka ten-
gah mengandung atau tidak, dia juga merasa yakin
Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang belum per-
caya dengan dugaan kehamilan Pitaloka.
“Sekarang apa yang harus kita lakukan, Eyang?”
tanya Putri Kayangan.
Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala. Lalu me-
mandang pada murid Pendeta Sinting seakan minta
pertimbangan. Namun Pendekar 131 nyatanya belum
bisa mendapatkan jalan keluar. Hingga meski dia tahu
arti pandangan Nyai Tandak Kembang, tapi murid
Pendeta Sinting tetap kancingkan mulut.
Saat itulah mendadak dari arah luar terdengar
orang berucap.
“Kau yakin dia berada di sekitar tempat ini?!”
Nyai Tandak Kembang, Pendekar 131, dan Putri
Kayangan tersentak. Mereka saling pandang satu sama
lain. Mereka bisa memastikan bahwa suara yang baru
terdengar dari luar adalah suara seorang perempuan.
“Jangan-jangan Dayang Sepuh!” gumam Joko.
“Hem.... Ternyata mereka mengikuti aku! Aku harus
bicara terus-terang pada mereka! Karena ini adalah
urusanku! Pitaloka adalah cucuku! Tak seorang pun
akan kubiarkan terlibat!” kata Nyai Tandak Kembang
lalu segera berkelebat menerobos lobang diikuti murid
Pendeta Sinting dan Putri Kayangan.
Begitu tegak di luar, Nyai Tandak Kembang lang-
sung buka mulut. Namun buru-buru ditakupkan kem-
bali. Sepasang matanya membelalak. Murid Pendeta
Sinting dan Putri Kayangan ikut pentangkan mata
memandang ke depan.
Mereka bertiga melihat tiga sosok tubuh. Dua laki
laki dan satu perempuan. Tapi mereka bukanlah Da-
tuk Wahing, Gendeng Panuntun, serta Dayang Sepuh.
Yang perempuan adalah seorang nenek mengena-
kan pakaian gombrong. Rambutnya putih. Di sebelah
kanan si nenek tegak seorang kakek mengenakan pa-
kaian putih agak lusuh. Kakek ini tegak dengan kepala
sedikit didongakkan. Namun karena kakek ini tidak
memiliki leher, sosoknya tampak sedikit melengkung
ke belakang. Dan mulutnya selalu terbuka walau dia
tidak perdengarkan suara. Dan ternyata kakek ini ti-
dak mempunyai gigi alias ompong.
Di sebelah kiri si nenek tegak seorang kakek yang
juga berpakaian agak lusuh. Rambutnya putih awut-
awutan. Kedua tangannya selalu ditadangkan pada
bagian belakang kedua telinganya.
“Kakek Iblis Ompong, Dewi Ayu Lambada, dan Dewa
Uuk!” gumam murid Pendeta Sinting mengenali siapa
adanya ketiga orang di depan sana.
“Hem.... Mereka bertiga ternyata menyusul sampai
di sini!” Putri Kayangan berkata pula dalam hati. Dari
kata hatinya jelas kalau si gadis telah pula mengenali
siapa adanya ketiga orang yang bukan lain memang
Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk.
Sementara dari tempat persembunyiannya, melihat
munculnya ketiga orang, Dayang Sepuh sempat terke-
jut. Dia sudah hendak buka suara. Namun diurungkan
tatkala matanya melihat munculnya Nyai Tandak
Kembang, Pendekar 131, serta Putri Kayangan.
“Setan! Untuk apa setan-setan tua itu muncul di
tempat ini?!” Akhirnya Dayang Sepuh hanya bisa men-
desis seraya arahkan pandang matanya ke depan.
Di tempat lain Datuk Wahing tak kalah terkejutnya.
Malah hampir saja kakek ini perdengarkan bersinan.
Hanya Gendeng Panuntun yang terlihat tenang-tenang
saja.
“Ternyata si Ompong muncul pula di sini! Hem....
Mudah-mudahan dengan kemunculannya bisa dapat
membantu...,” gumam Gendeng Panuntun.
“Harap katakan apa maksud kedatangan kalian...,”
kata Nyai Tandak Kembang mulai angkat bicara sete-
lah perhatikan pada ketiga orang di hadapannya.
Dewi Ayu Lambada tidak segera menjawab. Sebalik-
nya berpaling pada Iblis Ompong. Sementara Iblis Om-
pong sendiri tetap mendongak dengan mulut terbuka
lebar-lebar tanpa perdengarkan suara. Di sebelah kiri
si nenek, Dewa Uuk tadangkan kedua tangannya di be-
lakang telinga lalu mulutnya bergerak-gerak perden-
garkan suara.
“Uuuukkk! Uuuukk! Uuuuukk!” Tangan kanannya
diturunkan lalu menunjuk pada murid Pendeta Sinting
dan Putri Kayangan.
“Hem.... Yang satu ini aku belum pernah bertemu
dan tidak mengenainya! Dari sikapnya sepertinya dia
bisu dan tuli! Tapi dari isyarat tangannya, dia mengen-
al murid Pendeta Sinting dan Beda Kumala! Apa ke-
munculan mereka ini masih ada sangkut pautnya den-
gan Pitaloka?! Mengapa kabar ini begitu cepat tersiar?!
Adakah ini satu petunjuk kalau Pitaloka benar-benar
tengah mengandung?! Hem....” Nyai Tandak Kembang
berkata sendiri dalam hati. Dadanya dibuncah dengan
berbagai hal.
“Eyang.... Aku mengenal mereka!” ujar Joko pelan.
“Mereka adalah sahabat-sahabatku!”
“Hem.... Tapi harap kau ingat pesanku, Anak Muda!
Jangan ikut bicara atau bertindak!” kata Nyai Tandak
Kembang.
“Harap kalian terangkan maksud kedatangan kalian
ke tempat ini!” Nyai Tandak Kembang kembali angkat
suara.
“Kalau tak keliru, bukankah yang di hadapanku ini
Nyai Tandakan? Eh, maksudku Nyai Tandak Kem-
bang?!” Yang berkata adalah Dewi Ayu Lambada.
“Terima kasih kau tidak lupa, Nenek Dewi Ayu
Lambada...,” sambut Nyai Tandak Kembang. “Datang
jauh-jauh ke tempat ini pasti ada sesuatu yang sangat
penting. Mudah-mudahan kau tak keberatan menga-
takannya padaku!”
“Kau tidak lupa pada nenek ini. Apa kau lupa pada-
ku?!” yang bertanya adalah Iblis Ompong tanpa lu-
ruskan kepala.
Nyai Tandak Kembang tersenyum. “Kakek Iblis Om-
pong.... Aku masih mengingatmu!”
“Ah.... Terima kasih! Tampangku ternyata masih
terkenang oleh perempuan berparas cantik!” kata Iblis
Ompong lalu tertawa.
“Uukk! Ukkkk! Uuuukk!” Dewa Uuk tiba-tiba tun-
jukkan jari tangannya pada wajahnya lalu tersenyum
dan menunjuk pada Nyai Tandak Kembang. Saat lain
kedua tangannya ditadangkan di belakang kedua telin-
ganya. Kepalanya disorongkan ke depan.
“Aku Nyai Tandak Kembang...,” Nyai Tandak Kem-
bang berkata mengerti isyarat Dewa Uuk.
Namun karena suara Nyai Tandak Kembang begitu
pelan, Dewa Uuk tidak bisa mendengarnya hingga dia
memberi isyarat dengan buka tutup tangannya.
“Dia Nyai Tandak Kembang!” teriak Dewi Ayu Lam-
bada dengan suara keras membahana membuat Nyai
Tandak Kembang sedikit terkejut. Dewa Uuk sendiri
tampak terlonjak kaget namun segera tertawa dan
angguk-anggukkan kepala.
“Boleh aku tanya, Nyai?!” tanya Dewi Ayu Lambada.
“Ada hubungan apa antara gadis itu dengan dirimu?!”
Mata sang Dewi mengarah pada Putri Kayangan.
“Dia cucuku!”
Dewi Ayu Lambada tersentak. Iblis Ompong ikut
terkejut dan luruskan kepala dengan mulut terbuka
menganga.
“Pemuda itu juga cucumu?!” tanya Dewi Ayu Lam-
bada. Kini matanya beralih pada murid Pendeta Sint-
ing.
Nyai Tandak Kembang tersenyum. “Dia tak ada hu-
bungan apa-apa denganku! Dan tentunya kau sudah
tahu siapa dia sebenarnya!”
Dewi Ayu Lambada anggukkan kepala. Lalu perha-
tikan sekali lagi pada Pendekar 131 sebelum akhirnya
berkata.
“Anak muda! Bagaimana dengan hasil yang kau da-
patkan?!
“Dewi Ayu.... Harap kau tanya saja padaku! Semua
urusan di sini akulah yang bertanggung jawab!” Nyai
Tandak Kembang sudah menyahut sebelum murid
Pendeta Sinting buka suara.
Dewi Ayu Lambada kernyitkan kening. Iblis Ompong
terdongak dengan mulut makin menganga lebar.
Di balik semak, Dayang Sepuh menyumpah habis-
habisan.
“Sudah kuduga! Sudah kuduga! Pemuda setan itu
pasti takluk di bawah ketiak setan cantik itu! Jika ini
dibiarkan bisa berbahaya!” Tangan Kanan Dayang Se-
puh mengepal dengan pelipis bergerak-gerak.
Di lain tempat, Datuk Wahing sempat pula terlen-
gak mendengar ucapan Nyai Tandak Kembang. “Ba-
gaimana ini bisa terjadi! Mengapa pemuda itu diam sa-
ja?! Jangan-jangan firasat Dayang Sepuh jadi kenya-
taan! Ada yang tak beres dalam hal ini!”
“Nyai.... Aku perlu bicara dengan pemuda itu!” kata
Dewi Ayu Lambada.
Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala. “Untuk
saat ini, harap kau mengerti.... Dia dan aku telah ada
perjanjian! Jadi kuharap kau katakan saja padaku apa
yang hendak kau bicarakan!”
Pendekar 131 sendiri tampak gelisah dan bingung.
Dia memandang berganti-ganti pada Dewi Ayu Lamba-
da dan Nyai Tandak Kembang. Mulutnya membuka
mengatup. Namun sejauh ini tidak terdengar juga uca-
pan.
Karena lama tak juga terdengar ucapan lagi dari
Dewi Ayu Lambada, Nyai Tandak Kembang yang tam-
paknya sudah dapat menangkap maksud kedatangan
orang segera perdengarkan suara.
“Kau hendak menanyakan tentang gadis mengan-
dung itu, bukan?!”
Belum sampai Dewi Ayu Lambada menjawab, Nyai
Tandak Kembang sudah mendahului.
“Harap lupakan urusan gadis itu! Gadis itu tidak
ada di tempat ini! Dan satu hal lagi, harap tidak meli-
batkan gadis itu dalam urusanmu!”
“Hem.... Syukur kau telah mengetahuinya!” ujar
Dewi Ayu Lambada. “Namun ucapanmu terdengar
aneh di hidungku, eh.... Maksudku di telingaku! Rimba
persilatan membutuhkan gadis itu!”
“Semua itu masih dugaan, Dewi! Dan aku tak mau
main-main dengan dugaan! Terkadang dugaan itu me-
nyesatkan! Lebih dari itu, aku tahu persis siapa dan
bagaimana sifat gadis yang kau duga tengah hamil itu!
Aku tidak percaya dia hamil!”
“Ini bukan dugaan, Nyai! Ini firasat beberapa orang
kerabat! Eh.... Maksudku firasat beberapa orang saha-
bat!”
“Siapa pun sahabat yang berfirasat, selama ini yang
ku tahu sebuah firasat akan membuat orang tersesat!”
“Tapi....” Iblis Ompong hendak buka suara.
Namun Nyai Tandak Kembang sudah menukas.
“Aku tidak ingin berdebat urusan sesuatu yang belum
ada kenyataan! Itu hanya buang-buang waktu! Sementara waktuku tidak banyak! Untuk saat ini kami tak
mau diganggu.... Kalau tidak ada yang akan kau uta-
rakan, kuharap kau mau tinggalkan tempat ini!”
“Hem.... Jadi kau mengusirku?!” tanya Dewi Ayu
Lambada.
Nyai Tandak Kembang tersenyum seraya gelengkan
kepala. “Bukan itu maksudku, Dewi.... Hanya saja, un-
tuk sementara waktu ini kami punya urusan yang tak
mau melibatkan orang lain!”
“Nyai! Setiap urusan harus ada orang lain yang ter-
libat!”
“Tapi tidak untuk urusan satu ini, Dewi! Aku ingin
selesaikan sendiri! Lagi pula ini urusan keluarga...!”
“Betul! Tapi masih ada kaitannya dengan keselama-
tan rimba persilatan!”
Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala 3eraya ter-
senyum. Urusan keluarga sudah jelas, sementara uru-
san dunia persilatan masih sekadar dugaan! Kuharap
kau tidak begitu saja percaya dengan kabar burung
itu....”
“Setan! Perempuan itu benar-benar bengal dan ke-
ras kepala! Tanganku jadi gatal ingin menggebuknya!”
Dayang Sepuh merasa jengkel mendengar ucapan Nyai
Tandak Kembang. Dia arahkan pandang matanya pada
tempat di mana Gendeng Panuntun mendekam sem-
bunyi. Lalu pada tempat di mana Datuk Wahing men-
gendap-endap.
“Kedua setan laki-laki itu tidak coba menengahi
urusan agar segera selesai! Apa aku harus keluar un-
tuk menyelesaikannya?!” Dayang Sepuh memikir se-
saat. Kejap lain tiba-tiba dia bergerak bangkit. Namun
belum sampai nenek berambut poni ini bergerak lebih
jauh, satu bayangan hitam berkelebat. Tahu-tahu ti-
dak jauh di belakang Dewi Ayu Lambada telah tegak
satu sosok tubuh!
****
SEPULUH
NYAI Tandak Kembang, Pendekar 131, dan Putri
Kayangan segera arahkan pandang mata masing-
masing ke arah sosok yang baru muncul. Dewi Ayu
Lambada cepat balikkan tubuh. Dayang Sepuh yang
tadi hendak berkelebat ke arah Dewi Ayu Lambada bu-
ru-buru urungkan niat lalu mendekam kembali den-
gan mata melotot tak berkesip. Hanya Iblis Ompong
dan Dewa Uuk yang terlihat tenang-tenang saja laksa-
na tidak ada orang lain yang muncul. Iblis Ompong
tengadahkan kepala dengan mulut makin dibuka le-
bar. Sementara Dewa Uuk justru memandang tajam
pada murid Pendeta Sinting.
Sosok yang baru muncul ternyata seorang laki-laki
berusia tiga puluh tahunan. Wajahnya tampan namun
keras. Rahangnya kokoh, matanya tajam. Kumisnya
lebat. Rambutnya panjang sebahu dibiarkan bergerai
menutupi sebagian paras wajahnya. Orang muda ini
mengenakan mantel hitam panjang sebatas lutut.
Pemuda yang baru muncul pasang tampang menye-
ringai tanpa memandang pada orang di hadapannya.
Saat lain kepalanya mendongak. Mulutnya terbuka.
“Aku datang bersama angin.
Aku datang bernaung matahari dan rembulan.
Aku datang dari lembah kegelapan.
Lintasan bumi akan jadi saksi mati.
Saksi dari aliran darah anak manusia.”
Dewi Ayu Lambada perhatikan sesaat pada pemuda
di hadapannya. Lalu melangkah maju dua tindak dan
berkata.
“Lagakmu..., eh maksudku, lagumu bagus, Anak
Muda. Tentu kau memiliki gelar yang bagus pula. Sia-
pa gelarmu, Anak Muda?!”
Si pemuda luruskan kepala memandang pada Dewi
Ayu Lambada. “Aku Malaikat Berkabung!”
“Kau pernah mendengar gelar itu sebelum ini, Pu-
tri?!” tanya murid Pendeta Sinting pada Putri Kayan-
gan yang tegak di sampingnya.
Putri Kayangan gelengkan kepala. “Tampaknya dia
pemuda yang baru muncul dalam kancah dunia persi-
latan! Kau lihat dia seolah memandang sebelah mata
pada orang-orang di hadapannya! Dia belum tahu sia-
pa adanya mereka yang kini dihadapi!”
“Aku jadi heran.... Bagaimana tempat ini bisa dike-
tahui beberapa orang!”
“Itu bukan hal penting, Joko. Yang aku tak habis
pikir justru bagaimana Pitaloka bisa memutus aroma
dirinya hingga Eyang kehilangan jejak! Ini tak mungkin
dilakukan Pitaloka sendiri. Pasti ada orang lain di
sampingnya yang tahu kemampuan Eyang!”
“Ini juga satu bukti jika dugaan itu benar! Jika ti-
dak, mengapa Pitaloka harus melakukannya? Seakan
dia takut berhadapan dengan orang! Padahal yang di-
hadapi adalah eyangnya sendiri. Kalau tidak ada apa-
apa, tak mungkin dia melakukan ini!”
“Aku masih ragu dengan dugaan itu, Joko! Mungkin
ada maksud lain mengapa Pitaloka takut menghadapi
Eyang!”
“Putri.... Rasanya aku harus segera tinggalkan tem-
pat ini!”
Putri Kayangan cepat berpaling. “Kau hendak men-
cari Pitaloka sendiri?!”
“Mungkin. Yang pasti sudah tidak ada yang kuharapkan di tempat ini! Lagi pula ikut bersama dengan
eyangmu membuatku seperti patung! Sementara sebe-
narnya masih banyak yang harus kukatakan dan ku-
tanyakan pada beberapa orang!”
“Tapi....”
Belum sampai Putri Kayangan lanjutkan ucapan,
Nyai Tandak Kembang sudah berkata. “Biarkan dia
pergi, Beda Kumala!”
“Terima kasih, Eyang....”
“Kau tak usah berterima kasih. Tidak ada budi yang
tertanam di antara kita! Hanya satu hal yang harus
kau ketahui, Anak Muda! Lupakan urusan gadis itu!
Jangan libatkan dia dengan urusan yang belum pasti!
Kau tahu sendiri akibatnya, bukan...? Banyak orang
tak dikenal muncul dengan membawa maksud yang
sama! Sementara urusannya sendiri belum jelas! Ini
akan menambah kesulitanku untuk menemukan Pita-
loka!”
Walau dalam hati tidak setuju dengan ucapan Nyai
Tandak Kembang, namun akhirnya murid Pendeta
Sinting anggukkan kepala. Saat lain dia melirik pada
Putri Kayangan. Yang dilirik tampak murung.
“Putri.... Percayalah. Kita nanti pasti akan bertemu
lagi. Dan kuharap, saat itu sudah tidak ada lagi uru-
san!” kata Joko dengan suara dipelankan agar tidak
terdengar Nyai Tandak Kembang.
Putri Kayangan menghela napas dalam-dalam. Lalu
memandang tajam ke arah Pendekar 131 yang mulai
melangkah menyisi hendak tinggalkan tempat itu.
Namun belum sampai jauh melangkah, tiba-tiba
pemuda yang sebutkan diri Malaikat Berkabung ang-
kat bicara.
“Jangan harap ada yang tinggalkan tempat ini sebe-
lum takdir menentukan apa yang akan terjadi!”
Pendekar 131 hentikan langkah lalu memandang
tajam ke arah Malaikat Berkabung.
“Apa maksud ucapanmu, Sobat?!”
“Sudah menjadi kepastian. Setiap Malaikat Berka-
bung datang, berarti ada anak manusia yang diantar
menuju tempat perkabungan!” Malaikat Berkabung
memandang satu persatu pada beberapa orang yang
tegak di hadapannya. “Hari ini entah takdir siapa di
antara kalian yang harus kuantar ke tempat perka-
bungan! Jadi jangan tinggalkan tempat ini sebelum
acara perkabungan berlangsung!”
“Sobat.... Aku punya urusan. Kuharap kau mau
mengerti. Dan kukira beberapa orang di sini cukup un-
tuk menikmati acaramu! Lebih dari itu, aku percaya
takdirku bukan hari ini!”
“Manusia tidak bisa membaca takdir! Hanya saja
sudah jadi kepastian, setiap aku datang, pasti ada
anak manusia yang menjalani takdirnya untuk mam-
pus!”
“Walah.... Kau layaknya utusan pencabut nyawa sa-
ja!” Yang berkata adalah Iblis Ompong sembari putar
diri menghadap Malaikat Berkabung namun dengan
kepala tetap tengadah tanpa melihat orang. Saat ber-
samaan Dewa Uuk juga balikkan tubuh. Kakek bisu
dan tuli ini juga tidak memandang ke arah Malaikat
Berkabung melainkan arahkan pandang matanya pada
murid Pendeta Sinting yang telah tegak di sebelah
samping sana.
“Sebenarnya aku masih ingin bicara dengan Dewa
Uuk dan Kakek Iblis Ompong, tapi dalam keadaan se-
perti ini kurasa percuma! Lebih baik aku teruskan per-
jalanan mencari Pitaloka! Kakek Gendeng Panuntun
tentunya masih berada di sekitar hutan ini...!” kata
Joko dalam hati.
“Itu memang tugasku, Iblis Ompong!” kata Malaikat
Berkabung membuat semua orang di tempat itu jadi
melengak mendapati orang telah mengenali Iblis Om-
pong.
“Hem.... Rupanya pengetahuanmu banyak juga,
Anak Muda! Apa kau juga mengenali siapa diriku?!”
tanya Dewi Ayu Lambada seraya gerakkan tubuh sedi-
kit melenggak-lenggok.
Malaikat Berkabung angkat tangan kirinya, jari te-
lunjuknya diluruskan ke arah Dewi Ayu Lambada.
“Sebagai orang yang akan mengantar perkabungan se-
tiap anak manusia, aku pasti mengenalimu. Kau ada-
lah nenek bernama Dewi Ayu Lambada!” Jari telunjuk
Malaikat Berkabung beralih pada Dewa Uuk. “Dia ada-
lah adikmu bergelar Dewa Uuk!”
Malaikat Berkabung menyeringai. Kini telunjuknya
mengarah pada Nyai Tandak Kembang. “Dan kau ada-
lah Nyai landak Kembang, sementara gadis di bela-
kangmu adalah perempuan yang bergelar Putri Kayan-
gan!”
Malaikat Berkabung turunkan tangan kirinya. Kini
wajahnya menghadap ke arah Joko. “Dan kau adalah
anak manusia bernama Joko Sableng bergelar Pende-
kar Pedang Tumpul 131!”
Semua orang yang ada di tempat itu kembali dibuat
tersentak kaget mendapati si pemuda telah tahu siapa
adanya beberapa orang di tempat itu. Hanya Dewa Uuk
yang biasa-biasa saja. Malah orang tua ini yang me-
mang adik kandung Dewi Ayu Lambada menoleh pada
Iblis Ompong. Tangan kanannya membuat isyarat
membuka menutup lalu menunjuk-nunjuk pada Ma-
laikat Berkabung. Saat lain dia tadangkan kedua tan-
gannya di belakang telinga dengan kepala disorongkan
mendekat ke wajah Iblis Ompong.
“Dia malaikat!” teriak Iblis Ompong. “Dia telah kenal
siapa saja di tempat ini termasuk dirimu!”
Entah terkejut karena teriakan Iblis Ompong di depan telinganya atau tersentak dengan pemberitahuan
Iblis Ompong, Dewa Uuk berjingkrak. Lalu tangannya
menunjuk pada Malaikat Berkabung dan pada dirinya.
Saat lair tangannya bergerak-gerak ke samping kiri
kanan pulang balik.
Iblis Ompong dekatkan wajahnya ke telinga Dewa
Uuk, lalu berteriak lagi.
“Walau kau berkata tak kenal, yang pasti dia tahu
siapa dirimu!”
Kali ini Dewa Uuk baru tunjukkan tampang terke-
jut. Dia sorongkan kepalanya ke depan lalu pandangi
Malaikat Berkabung tanpa berkesip. Di lain pihak me-
lihat tampang semua orang jadi terkejut karena teba-
kannya, Malaikat Berkabung menyeringai dingin. Di-
am-diam dalam hati pemuda ini membatin.
“Hem.... Ciri-ciri yang dikatakan Guru ternyata be-
nar. Perubahan wajah orang-orang itu menunjukkan
kalau tebakanku tidak meleset! Namun urusan dengan
mereka bukanlah yang paling penting saat ini! Yang le-
bih utama adalah menanyakan pada perempuan can-
tik berpakaian mirip penari itu di mana Pitaloka bera-
da!”
Malaikat Berkabung sudah hendak buka mulut,
namun Pendekar 131 mendahului.
“Sobat!” kata murid Pendeta Sinting. “Kau telah
kenal semua orang yang ada di tempat ini! Jadi kuha-
rap kau tidak mengganggu mereka! Mereka akan
membicarakan sesuatu! Kalau masih ada yang hendak
kau bicarakan, lekas katakanlah!”
Malaikat Berkabung arahkan pandangannya pada
Nyai Tandak Kembang. Lalu berkata. “Nyai Tandak
Kembang! Serahkan Pitaloka padaku saat ini juga!”
Untuk kesekian kalinya orang di tempat itu terke-
siap. Karena Malaikat Berkabung berteriak, Dewa Uuk
bisa mendengarnya hingga orang tua ini ikut terkejut.
Namun yang paling tampak kaget adalah Nyai Tandak
Kembang dan Putri Kayangan.
“Siapa pemuda asing ini?! Aku belum pernah den-
gar gelarnya selama ini! Namun dia telah mengenaliku
bahkan semua orang di sini! Lebih-lebih dia telah
mengenali Pitaloka dan tampaknya tahu urusannya!
Sudah demikian jauhkah berita ini tersebar?! Pitalo-
ka.... Kau benar-benar telah membuat malu besar pa-
daku!” Diam-diam Nyai Tandak Kembang membatin.
Lalu dengan menahan perasaan, dia berkata menyam-
buti ucapan Malaikat Berkabung.
“Anak muda! Ada urusan apa antara kau dan Pita-
loka?!”
“Aku belum pernah bertemu dengan gadis itu. Tapi
bukannya tidak ada urusan antara aku dengan dia!”
ujar Malaikat Berkabung.
“Katakanlah apa urusannya!” kata Nyai Tandak
Kembang meski sedikit heran.
Malaikat Berkabung gerakkan kepala menggeleng.
“Aku tidak bisa mengatakannya di sini! Serahkan saja
Pitaloka padaku!”
“Hem.... Rupanya dia tahu juga urusan Pitaloka!
Heran.... Bagaimana dia bisa tahu?!” gumam Pendekar
131 tak habis pikir.
Sementara mendengar ucapan-ucapan Malaikat
Berkabung, di balik semak Dayang Sepuh tak henti-
hentinya geleng kepala dengan menyumpah-nyumpah
dalam hati. Dia sesekali arahkan pandangannya ke
tempat di mana Gendeng Panuntun dari Datuk Wahing
mendekam sembunyi. Si nenek makin geram saja
mendapati kedua orang itu tidak juga memberi isyarat
atau muncul.
“Ke mana dua setan tua itu?! Apa ketiduran hingga
tidak tahu apa yang tengah terjadi?! Seharusnya mere-
ka segera muncul dan menyelesaikan urusan agar tidak berlarut-larut. Apalagi kini telah datang manusia
setan yang baru kali ini kujumpai, tapi nyatanya dia
telah mengenal banyak orang! Dan tahu urusan yang
tengah terjadi! Hem.... Aku harus ke tempat mereka!”
Berpikir begitu akhirnya Dayang Sepuh mulai ber-
gerak perlahan-lahan menjauh seraya kibas-kibaskan
air dalam bumbung bambu. Saat lain dia berkelebat la-
lu memutar haluan dan berlari menuju tempat di ma-
na Gendeng Panuntun tadi mendekam sembunyi.
“Setan! Di mana dia?! Dia tadi berada di sini! Tapi
sekarang tidak kelihatan batang hidungnya!” kata
Dayang Sepuh dalam hati begitu sampai di tempat
mana tadi Gendeng Panuntun berada dan tidak men-
dapati orang.
“Jangan-jangan dia bergabung dengan setan bersin
itu!” Tanpa menunggu lama lagi, kembali Dayang Se-
puh berkelebat. Setelah memutar jalan, dia mengen-
dap-endap ke arah tempat di mana tadi Datuk Wahing
sembunyi.
Namun kembali si nenek dibuat geram. Ternyata dia
juga tidak menemukan sosok Datuk Wahing. “Setan!
Mereka meninggalkan diriku tanpa pamit! Pasti mereka
pergi berdua! Ke mana?! Apa mereka pikir karena Pita-
loka tidak ada di sini lalu melanjutkan perjalanan?! Se-
tan betul!” Dayang Sepuh memaki-maki sendiri. Lalu
balikkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu.
Sementara di depan sana, Nyai Tandak Kembang
tampak tersenyum mendengar ucapan Malaikat Ber-
kabung. Lalu berkata.
“Anak muda! Pitaloka tidak berada bersamaku!”
“Jangan bicara dusta di hadapanku!” bentak Malai-
kat Berkabung. “Aku tahu di mana Pitaloka kau sem-
bunyikan!”
“Kau bukan saja pandai mengenali orang, tapi juga
pintar menduga! Aku memberimu kesempatan untuk
menemukan Pitaloka!”
“Bagus! Kau seorang nenek yang baik!” kata Malai-
kat Berkabung lalu melangkah ke depan.
Namun Dewi Ayu Lambada segera rentangkan ke-
dua tangannya menghadang. Sementara Dewa Uuk te-
rus tadangkan kedua tangan di belakang telinganya
seakan ingin mendengar apa yang dibicarakan orang.
“Dewi Ayu.... Harap tidak halangi langkahnya!” Nyai
Tandak Kembang berkata.
Dewi Ayu Lambada berpaling. Nyai Tandak Kem-
bang tersenyum seraya gelengkan kepala. “Kau tak
usah khawatir! Lagi pula ini urusan cucuku!”
“Hem.... Kalau begitu putusanmu, apa boleh buat!”
ujar Dewi Ayu Lambada seraya tarik pulang kedua
tangannya lalu mendekati Dewa Uuk dan Iblis Om-
pong. Sementara Malaikat Berkabung teruskan lang-
kah ke arah tanah ketinggian.
Tiga langkah di depan tanah ketinggian yang tertu-
tup dedaunan dan rumput tebal, Malaikat Berkabung
hentikan tindak. Sosoknya berputar menghadap bebe-
rapa orang yang ada di tempat itu. Namun pemuda ini
hanya memandang pada satu persatu orang tanpa bu-
ka mulut. Saat lain kembali dia balikkan tubuh. Mem-
buat satu gerakan, dan tiba-tiba sosoknya melesat ke
depan menerobos dedaunan dan rumput tebal.
“Luar biasa! Dia tahu di mana lobang itu berada!”
gumam Nyai Tandak Kembang begitu melihat sosok
Malaikat Berkabung lenyap masuk ke tanah ketinggian
melalui lobang di mana tadi Nyai Tandak Kembang,
Putri Kayangan, dan Pendekar 131 muncul.
Bersamaan dengan lenyapnya sosok Malaikat Ber-
kabung, Pendekar 131 segera berkelebat tinggalkan
tempat itu tanpa berkata apa-apa lagi. Karena semua
orang tengah memperhatikan tindakan Malaikat Ber-
kabung, mereka tidak mengetahui kepergian murid
Pendeta Sinting.
“Beda Kumala! Kita tinggalkan tempat ini! Tak ada
gunanya meladeni orang itu!” Mendadak Nyai Tandak
Kembang berbisik pada Putri Kayangan. “Aku yakin Pi-
taloka sudah meninggalkan tempat ini!”
Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang berke-
lebat. Putri Kayangan arahkan pandang matanya ke
tempat di mana tadi murid Pendeta Sinting tegak. Dia
sesaat jadi kaget mendapati sang Pendekar sudah ti-
dak kelihatan lagi. Tanpa berkata-kata gadis cantik ini
segera pula berkelebat menyusul eyangnya.
“Hai! Tunggu!” tahan Dewi Ayu Lambada. Namun
Putri Kayangan seolah tidak dengarkan teriakan orang.
Dia terus berkelebat sebelum akhirnya lenyap di kera-
patan pohon di depan sana.
“Kalau mereka pergi, berarti gadis itu tidak ada di
sini!” ujar Dewi Ayu Lambada. “Jadi tak ada gunanya
kita di tempat ini!”
Tanpa menunggu sahutan orang, Dewi Ayu Lamba-
da segera menggaet tangan Dewa liuk lalu diseretnya
berkelebat tinggalkan tempat itu. Iblis Ompong men-
dongak dengan manggut-manggut. Lalu ikut berkele-
bat.
Baru saja Iblis Ompong berlalu, mendadak dari
arah timur terlihat satu bayangan berlari kencang. Ke-
jap lain berjarak lima belas langkah dari tanah keting-
gian di mana tadi Malaikat Berkabung melesat masuk,
telah tegak satu sosok tubuh!
***
SEBELAS
JAHANAM! Kau simpan di mana gadis itu, hah?!”
Tiba-tiba terdengar bentakan dahsyat dari dalam
tanah ketinggian. Saat lain satu sosok tubuh melesat
menerobos dedaunan dan rumput tebal dan muncul di
tanah agak terbuka. Dia tidak lain adalah pemuda
yang sebutkan diri sebagai Malaikat Berkabung.
Sesaat Malaikat Berkabung edarkan matanya yang
berkilat ke Seantero tempat itu. Mendadak rahangnya
terangkat. Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak ketika
mendapati yang ada di situ hanya tinggal satu orang.
Apalagi orang itu bukan orang yang tadi berada di
tempat itu.
“Siapa kau?!” Yang ajukan tanya adalah orang di
hadapan Malaikat Berkabung.
Malaikat Berkabung memandang angker ke depan.
Yang tegak di hadapannya adalah seorang perempuan
setengah baya berwajah cukup cantik. Rambutnya di-
kuncir. Dia mengenakan pakaian warna abu-abu yang.
di bagian dada dibuat membelah agak ke bawah. Hing-
ga lembahan dua payudaranya terlihat nyata. Pinggul-
nya besar dibalut dengan kain tipis ketat, hingga cua-
tannya membuat dada berdebar.
Malaikat Berkabung menyeringai dingin. Kepalanya
mendongak. Lalu terdengarlah ucapannya yang seperti
bersyair.
“Aku datang bersama angin.
Aku datang bernaung matahari dan rembulan.
Aku datang dari lembah kegelapan.
Lintasan bumi akan jadi saksi mati.
Saksi dari aliran darah anak manusia!”
Si perempuan tertawa merdu. Sepasang matanya
yang bulat dipejamkan sesaat lalu dibuka lagi. Bibir-
nya kembangkan satu senyum.
“Takdir mereka masih baik! Tapi takdirmu buruk,
Anak Manusia! Kau datang menggantikan takdir mereka!” kata Malaikat Berkabung.
“Kau bicara takdir! Apa kau tahu kita ditakdirkan
bertemu lalu bercinta?!”
“Dewi Gita! Sayang sekali.... Hari perkabunganmu
telah tiba! Tapi sebelum kau kuantar ke tempat perka-
bungan, jawab dulu tanyaku! Ke mana mereka pergi?!”
Si perempuan tersentak kaget. Bukan saja oleh per-
tanyaan orang, melainkan juga mendapati orang tahu
siapa dirinya.
“Baru kali ini akan bertemu dengannya! Tapi dia te-
lah mengenaliku! Padahal sudah hampir sepuluh ta-
hun aku tidak berkecimpung dalam belantara persila-
tan! Siapa pemuda ini?! Siapa pula yang dimaksud
dengan mereka?! Dia tadi sebut-sebut gadis! Apa yang
dimaksud adalah gadis yang tengah mengandung itu?!”
Selagi perempuan yang dipanggil Dewi Gita memba-
tin, Malaikat Berkabung telah berucap lagi.
“Dengan tidak menjawab tanyaku, berarti kau
mempercepat saat perkabungan itu, Dewi Gita!”
Ancaman orang bukannya membuat Dewi Gita ta-
kut. Sebaliknya perempuan ini tersenyum dengan ke-
dipkan sebelah mata. Lalu melangkah perlahan-lahan
ke depan.
“Kau tadi belum jawab pertanyaanku! Dan aku ti-
dak biasa menjawab pertanyaan orang yang belum ku-
kenal meski kau telah tahu siapa aku!”
“Aku manusia dari lembah kegelapan! Aku Malaikat
Berkabung!”
“Ah.... Rupanya kita berselera sama. Aku juga se-
nang yang gelap-gelap! Kulihat kau tadi muncul dari
tanah ketinggian itu. Apa di sana ada tempat yang
enak untuk bicara?!”
“Tempatmu bukan di sana! Aku tahu di mana, dan
akan segera kutunjukkan padamu!” kata Malaikat
Berkabung.
Dewi Gita makin percepat langkah sambil terus ter-
tawa. Berjarak delapan langkah tiba-tiba perempuan
ini kelebatkan kedua tangannya melepas pukulan ja-
rak jauh bertenaga dalam tinggi!
Wuutt! Wuuuutt!
Dua gelombang angin dahsyat menghampar ganas
ke arah Malaikat Berkabung.
Mendapat serangan mendadak, Malaikat Berkabung
bukannya terkejut, melainkan tertawa panjang. Saat
bersamaan dia kebutkan mantel hitamnya.
Weeerr!
Mantel hitam yang dikenakan Malaikat Berkabung
berkelebat angker perdengarkan deruan keras. Gelom-
bang angin berkiblat.
Desss! Dessss!
Terdengar benturan keras perdengarkan suara
mendesis. Dewi Gita terkesiap dan buru-buru melom-
pat mundur dengan paras berubah. Sosoknya bergetar
dengan kedua tangan gemetar. Di depan sana Malaikat
Berkabung tengadah sambil teruskan gelakan tawa!
Kelebatan mantel yang mampu menghadang puku-
lannya sudah cukup membuat Dewi Gita sadar tengah
berhadapan dengan orang yang berilmu tinggi. Hal ini
membikin Dewi Gita makin penasaran akan siapa
adanya orang.
“Pemuda tampan! Kau tengah mencari seorang ga-
dis?!” tanya Dewi Gita seraya diam-diam kerahkan te-
naga dalam.
“Itu urusanku! Dan kau tak tahu apa-apa dalam
urusan ini!”
“Kau salah duga! Yang kau cari gadis yang tengah
hamil, bukan?!”
Malaikat Berkabung menyeringai. “Aku tidak bodoh!
Kau bukannya memberi keterangan. Sebaliknya kau
akan mengerek keterangan dariku! Jangan kira aku
tak tahu apa yang ada dalam benakmu!”
Dewi Gita diam-diam terkejut. “Dia tahu...! Sebaik-
nya aku tinggalkan tempat ini! Aku tak akan membuat
perkara sebelum aku mendapatkan apa yang kucari!”
Habis membatin begitu, Dewi Gita tersenyum pada
Malaikat Berkabung. Saat bersamaan sekonyong-
konyong kedua tangannya berkelebat melepas satu
pukulan lagi! Kejap lain Dewi Gita berbalik lalu berke-
lebat tinggalkan tempat itu.
Malaikat Berkabung menyingkir dengan melompat
ke samping. Gelombang angin dari kedua tangan Dewi
Gita menyambar empat jengkal di sebelah samping
Malaikat Berkabung. Lalu menghantam tanah keting-
gian di belakang sana.
Brakkk!
Tanah ketinggian yang tertutup dedaunan dan
rumput tebal langsung terbongkar. Dedaunan dan
rumput tampak semburat. Lalu terlihat lobang men-
ganga!
Malaikat Berkabung tegak pandangi kelebatan so-
sok Dewi Gila. Saat lain pemuda ini kibaskan mantel
hitamnya. Sosoknya melesat dan lenyap di depan sana.
Sementara Dewi Gita teruskan berkelebat laksana
dikejar setan. Bukannya takut menghadapi Malaikat
Berkabung karena dia sendiri yakin akan kekuatan-
nya, namun dia tidak mau terlibat perkara dengan
orang.
Dewi Gita baru berhenti larinya tatkala sampai pada
satu tempat yang dirasa cukup aman. Apalagi saat itu
matahari hampir tenggelam hingga suasana agak ge-
lap.
“Hem.... Pemuda Edan! Tak ada hujan tak ada angin
tiba-tiba inginkan nyawa orang! Kalau saja aku tidak
tengah....” Dewi Gita putuskan gumamannya. Ekor
matanya menangkap kelebatan satu sosok bayangan.
Dan belum sempat perempuan ini melakukan gerakan,
tahu-tahu di hadapannya telah tegak satu sosok tu-
buh. Saat bersamaan terdengar Ucapan bersyair.
“Aku datang dari lembah kegelapan.
Lintasan bumi akan jadi saksi mati.
Saksi dari aliran darah anak manusia.”
Dewi Gita terkesiap kaget mendengar syair yang di-
ucapkan lelaki di hadapannya.
“Kau kira takdir buruk itu bisa lolos dari tubuhmu,
Perempuan?! Tidak...! Setiap Malaikat Berkabung
muncul, harus ada anak manusia yang darahnya jadi
saksi! Itu adalah kepastian!”
Tengkuk Dewi Gita semakin dingin. Tapi perempuan
ini cepat kuasai diri. Dia sadar, tak mungkin lagi bisa
menghindar. Maka seraya lipat gandakan tenaga da-
lam, dia berucap.
“Di antara kita tidak ada silang perkara. Aku pun
tak ingin membuat urusan denganmu! Tapi jangan kau
kira aku takut! Katakan apa maumu sebenarnya!”
“Memutus takdirmu! Itu adalah kepastian yang ha-
rus kulakukan!”
“Hem.... Aku tak percaya dengan ucapanmu! Kau
disuruh orang?! Berapa imbalan yang kau terima?!
Atau imbalan itu lebih molek dariku?!”
“Aku datang dari lembah kegelapan! Tak ada manu-
sia di sana! Aku hanya ingin disaksikan bumi bahwa
setiap aku muncul, harus ada aliran darah anak ma-
nusia! Kau dengar, itu adalah kepastianku!”
Belum selesai ucapan Malaikat Berkabung, tangan
pemuda ini telah bergerak. Mantel hitamnya berkelet
dari arah kiri kanan.
Terdengar dua deruan angker. Dua gelombang de-
ras berkiblat ganas ke arah Dewi Gita.
Dewi Gita tidak tinggal diam. Bersamaan dengan
bergeraknya tangan Malaikat Berkabung, kedua tan-
gan perempuan ini lepaskan satu pukulan jarak jauh.
Bummm!
Terdengar ledakan menggelegar. Suasana kelam ka-
rena matahari telah tenggelam mendadak dipecah den-
gan terlihatnya muncratan laksana bara api ke udara.
Tanah di tempat itu bergetar keras. Sosok Dewi Gita
terhuyung dua tindak ke belakang dengan wajah beru-
bah pias.
Dewi Gita segera meneliti. Merasa tidak mengalami
cedera terlalu berat, dia segera berkelebat ke depan.
Kedua tangannya berkelebat menghantam ke arah ke-
pala dan dada Malaikat Berkabung.
Malaikat Berkabung tertawa pendek. Saat lain dia
jejakkan kaki. Sosoknya melesat menyongsong hanta-
man kedua tangan Dewi Gita.
Bukkk! Bukkk!
Dua benturan keras terdengar. Dewi Gita terdorong
sambil perdengarkan seruan tertahan. Hampir saja ke-
dua lutut perempuan ini menekuk kalau saja dia tidak
segera hentakkan telapak kakinya hingga sosoknya te-
gak laksana terpacak.
Dewi Gita tadi sengaja hendak menjajaki tenaga da-
lam orang. Karena dia khawatir sapuan gelombang
yang datang ke arahnya hanya karena kesaktian man-
tel hitam yang dikenakan Malaikat Berkabung. Setelah
terjadi benturan, Dewi Gita kini maklum kalau tenaga
dalam orang memang luar biasa!
“Hem.... Sebenarnya aku tak ingin membuat uru-
san, tapi apa hendak dikata. Rupanya manusia ini
memang punya keanehan!” gumam Dewi Gita dalam
hati. Lalu angkat kedua tangannya. Sosoknya tampak
bergetar keras tanda perempuan ini telah kerahkan se-
genap tenaga dalam yang dimilikinya.
Di depan sana, Malaikat Berkabung angkat pula
kedua tangannya dengan telapak sama dikembangkan.
Lalu kedua jari tengah masing-masing tangan ditemu-
kan dan ditarik tepat di depan mata.
“Dari tadi kau bicara soal takdir. Mungkin itu satu
tanda takdirmu sudah tiba!” bentak Dewi Gita. Kedua
tangannya segera disentakkan.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang ganas disertai menghamparnya ha-
wa panas luar biasa mencuat lurus ke arah Malaikat
Berkabung.
Malaikat Berkabung dorong kedua telapak tangan-
nya ke depan perlahan saja. Namun hebatnya, dari ke-
dua telapak tangannya yang jari tengahnya saling ber-
temu itu melesat kabut hitam laksana tabir.
Wusss! Wuuuss!
Blammmm!
Hawa panas menyengat yang sesaat tadi menyung-
kup tempat itu bersamaan dengan melesatnya gelom-
bang dari kedua tangan Dewi Gita laksana diguyur hu-
jan es. Bahkan saat itu juga suasana berubah dingin.
Tak lama kemudian terdengar gelegar hebat.
Dewi Gita perdengarkan jeritan melengking. Sosok-
nya terpental sejauh satu tombak lalu jatuh
nyangsrang di balik semak. Dari mulutnya mengucur
darah. Sementara sosoknya menggigil kedinginan
meski ia merasakan sekujur tubuhnya laksana di-
panggang!
Di seberang depan, sosok Malaikat Berkabung ter-
dorong empat langkah. Walau sempat terhuyung hen-
dak jatuh, namun pemuda ini cepat dapat kuasai diri.
Malah begitu sosok Dewi Gita jatuh di balik semak,
Malaikat Berkabung telah melesat ke depan dan tahu-
tahu telah tegak tiga langkah di belakang Dewi Gita.
Dewi Gita rasakan nyawanya seolah melayang keti-
ka tiba-tiba satu tendangan berkelebat ke arahnya sementara dia belum sempat bergerak bangkit. Namun
perempuan ini tak mau berdiam diri. Dia segera angkat
kaki kanannya menghadang tendangan yang datang.
Bukkk!
Untuk kedua kalinya Dewi Gita menjerit. Sosoknya
yang belum bangkit berguling-guling di balik semak.
Kakinya yang baru saja menghadang tendangan lang-
sung mengembung besar dan laksana tak bisa dige-
rakkan.
Malaikat Berkabung rupanya tak ambil peduli den-
gan keadaan orang. Dia segera memburu. Saat lain
kembali kakinya bergerak lepaskan satu tendangan
menyusur tanah ke arah kepala Dewi Gita.
Dalam keadaan demikian rupa, nyatanya Dewi Gita
tak mau menyerah. Kini dengan sisa tenaganya dia
angkat kaki kirinya lalu dihantamkan menghadang
tendangan orang.
Bukkk!
Sosok Dewi Gita mencelat sebelum akhirnya meng-
hantam satu batangan pohon dan jatuh terkapar den-
gan mulut makin banyak kucurkan darah.
Malaikat Berkabung tidak mau menunggu. Begitu
sosok Dewi Gita mencelat, dia cepat mengejar. Saat so-
sok Dewi Gita terkapar di atas tanah, kedua tangannya
membuat gerakan mendorong. Dua gelombang angin
menderu.
Dewi Gita hanya bisa membelalak tanpa dapat
membuat gerakan apa-apa. Hingga tanpa ampun lagi
gelombang yang melesat dari kedua tangan Malaikat
Berkabung menghantam telak pada sosoknya!
Dewi Gita hanya sempat perdengarkan pekikan
pendek kala sosoknya terpental lalu kembali menghan-
tam batangan pohon. Dan saat sosok Dewi Gita me-
layang jatuh, nyawa perempuan ini sudah putus.
Malaikat Berkabung pandangi sosok Dewi Gita yang
terkapar bersimbah darah. Senyumnya terkembang.
Lalu kepalanya tengadah.
“Pitaloka tidak ada di tempat itu. Ke mana kira-kira
anak manusia itu?! Berhari-hari aku mengikuti perja-
lanan mereka tanpa mereka ketahui. Nyatanya usaha-
ku sia-sia! Hem.... Ke mana pun mereka saat ini pergi,
yang pasti masih berada dalam hutan ini. Aku harus
segera mendapatkan mereka! Malam purnama sudah
tidak lama lagi....”
Untuk beberapa saat lamanya Malaikat Berkabung
pandangi langit yang semakin hitam. Tiba-tiba saja dia
berteriak dengan bersyair.
“Anak manusia di pelataran jagat.
Manusia dari lembah kegelapan telah datang.
Datang dengan membawa satu kepastian.
Sampai bumi berubah jadi lautan darah!”
Suara teriakan Malaikat Berkabung belum lenyap,
ternyata sosok si pemuda sudah tidak ada lagi di tem-
patnya semula!
***
DUA BELAS
SATU sosok tubuh berselimut dedaunan tampak
menggeliat di bawah satu batangan pohon besar di su-
asana dingin menjelang dini hari. Beberapa kali orang
ini buka mulut menguap namun sepasang matanya
belum juga dibuka. Malah tak lama kemudian dia me-
ringkuk dan perdengarkan dengkuran keras.
Ketika matahari mulai merangkak dari arah timur,
orang berselimut dedaunan di bawah pohon kembali
gerakkan tubuh menggeliat. Kini kedua matanya dibuka lalu diusap-usap dengan kedua punggung lengan.
Kejap lain dia bergerak duduk dan sandarkan pung-
gung pada batangan pohon.
“Seandainya Putri Kayangan ada bersamaku...,” ti-
ba-tiba orang di bawah pohon bergumam sendiri se-
raya cengengesan. “Tentu tidak ada rasa dingin sema-
laman! Ke mana dia sekarang pergi? Waktu aku me-
ninggalkan tanah ketinggian itu, kulihat Nyai Tandak
Kembang juga pergi.... Ah! Percuma aku sekarang me-
mikirkan soal itu! Pitaloka gagal kutemukan sementara
saat purnama sudah tidak berapa lama lagi! Aneh....
Nyai Tandak Kembang merasa aroma penciumannya
terputus! Sementara hal itu katanya tidak pernah ter-
jadi! Mem.... Ada keanehan pada diri Pitaloka! Atau
jangan-jangan ada seorang berilmu tinggi yang meno-
long Pitaloka dan dapat memutus daya cium Nyai Tan-
dak Kembang.... Hem.... Lalu ke mana Dewi Ayu Lam-
bada, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk? Dengan muncul-
nya mereka tepat di tempat mana Nyai Tandak Kem-
bang menduga Pitaloka berada, berarti mereka juga
kehilangan jejak Pitaloka! Lalu ke mana sekarang aku
harus mencari gadis itu?!”
Orang yang duduk bersandar di batangan pohon
dan tidak lain adalah murid Pendeta Sinting beranjak
bangkit. Dia edarkan pandangan berkeliling. Kepa-
lanya menggeleng perlahan. “Urusan di mana Pitaloka
belum terjawab, kini muncul lagi seorang pemuda
aneh. Dia seolah tahu dan kenal setiap orang! Padahal
melihat paras keterkejutan orang, aku dapat menebak
jika Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan Nyai Tan-
dak Kembang belum pernah bertemu dengan pemuda
itu! Malaikat Berkabung.... Hem.... Gelar yang bagus.
Sayang aku tak tahu siapa dia sebenarnya! Tapi dari
ucapannya, maksudnya tidak meleset jauh dari penca-
rian Pitaloka! Mengapa kabar kehamilan gadis itu begitu cepat menebar? Siapa pula yang menebarkan?!”
Selagi Pendekar 131 membatin dan bertanya-tanya
pada diri sendiri, mendadak berjarak dua puluh lang-
kah di depan sana satu bayangan putih berkelebat. Be-
lum sempat Joko dapat melihat siapa adanya orang,
bayangan putih telah lenyap.
Joko tegak menunggu dengan mata dipentang tak
berkesip memandang ke arah sirnanya orang. Dia be-
lum bergerak karena ingin yakinkan dahulu pandan-
gannya. Mendadak bayangan putih di depan sana ter-
lihat lagi. Murid Pendeta Sinting makin pentangkan
mata. Sementara orang di depan sana seolah tahu ke-
raguan orang, hingga kali ini dia tidak segera berkele-
bat lagi, melainkan tegak membelakangi Joko. Namun
cuma sekejap. Saat lain dia putar diri menghadap Pen-
dekar 131.
Karena agak jauh, Joko belum dapat menatap den-
gan seksama wajah orang. Namun yang pasti, dia ya-
kin belum mengenal orang itu. Yang dapat dilihatnya
adalah orang itu berambut putih dipotong pendek
hingga rambutnya menjadi tegak-tegak. Dia mengena-
kan pakaian warna putih.
Setelah agak lama memandang ke arah murid Pen-
deta Sinting, orang berambut pendek jabrik dan ber-
pakaian putih lorotkan tubuh dan lenyap dari pandan-
gan Joko karena terhalang semak dan batangan bebe-
rapa pohon.
Namun murid Pendeta Sinting masih juga belum
bergerak dari tempatnya. Dia sebenarnya bimbang. Di
satu sisi tindakan orang membuatnya jadi penasaran,
tapi dalam situasi seperti saat ini dia harus waspada
terhadap siapa saja apalagi orang yang belum dikenal-
nya.
Dalam kebimbangannya, tiba-tiba orang berambut
jabrik putih di depan sana kelihatan lagi. Ternyata
orang itu tidak beranjak dari tempatnya semula. Kali
ini agak lama dia memandang ke arah Pendekar 131.
“Apa maksudnya orang itu?!” gumam murid Pendeta
Sinting dengan terus perhatikan sikap orang. Namun
dia belum bisa dengan jelas melihat wajah orang.
Sementara di depan sana, setelah agak lama me-
mandang akhirnya orang berambut jabrik putih balik-
kan tubuh dan berkelebat.
Entah apa yang terpikir dalam benak murid Pendeta
Sinting, begitu orang berambut jabrik putih berkelebat,
Joko ikut pula membuat gerakan dan sosoknya mele-
sat ke arah orang berambut jabrik putih.
Ternyata orang berambut jabrik putih tidak henti-
kan kelebatan meski dia tahu murid Pendeta Sinting
tengah berkelebat mengejarnya. Malah dia seakan
mempercepat larinya.
“Hai! Tunggu!” seru Pendekar 131 seraya terus
mengejar.
Orang berambut jabrik putih tidak pedulikan teria-
kan Joko. Dia terus berkelebat sebelum akhirnya me-
nyelinap lenyap di balik kerapatan semak.
Murid Pendeta Sinting hentikan larinya begitu men-
dapati orang yang dikejar tidak kelihatan lagi. “He-
ran.... Apa maunya orang itu?! Dia tadi seolah ingin
dikenali, tapi begitu dikejar dia menghilang!”
“Kau mencariku, Pendekar 131?!” Tiba-tiba satu su-
ara mengejutkan Joko. Bersamaan itu satu sosok
bayangan melayang turun dari atas sebuah pohon.
Murid Pendeta Sinting gerakkan kepala mengikuti
sosok yang melayang turun. Dan perhatikan orang
dengan seksama saat sosok itu telah tegak di atas ta-
nah. Ternyata dia adalah seorang kakek. Rambutnya
putih jabrik. Sepasang matanya agak sipit namun ta-
jam. Kumisnya putih dan lebat. Dia mengenakan pa-
kaian warna putih mirip pakaian seorang biksu yang
bagian dada kanannya terbuka. Di tangan kanannya
juga memegang sebuah tasbih pendek warna coklat. Di
lehernya melingkar kalung panjang dari untaian buti-
ran warna coklat pula.
“Hem.... Dua kali aku bertemu orang yang telah
mengenaliku padahal aku belum pernah berjumpa!
Siapa pula orang tua ini?!” Joko bertanya-tanya dalam
hati. Lalu angkat bicara.
“Orang tua.... Kau telah tahu aku. Sekarang mau
kau katakan siapa dirimu?!”
Si orang tua berambut jabrik putih gerakkan tangan
kanan. Tasbih pendek di tangannya bergerak memu-
tar.
“Hutan belantara sepi. Bertahun-tahun tak diram-
bah telapak kaki manusia! Tapi hari-hari terakhir ini
kulihat banyak telapak kaki menginjaknya. Sebelum
kujawab pertanyaanmu, katakanlah dahulu apa mak-
sudmu berada di hutan ini, Pendekar 131!”
“Rasanya tak ada gunanya aku berdusta! Perta-
nyaannya itu mungkin hanya berpura-pura! Padahal
dia sebenarnya sudah tahu!”
Berpikir sampai di situ, akhirnya murid Pendeta
Sinting buka mulut menjawab.
“Aku tengah mencari seorang gadis! Dan harap jan-
gan tanyakan lanjutannya, karena kurasa kau telah
tahu, Orang Tua!”
Si orang tua berambut jabrik putih gerakkan tubuh
memutar sedikit. Seraya tersenyum dia berucap pelan.
“Alur aliran darah memang akan selalu membawa
ikan hiu untuk mengikutinya!”
Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Agak lama dia
coba menyimak ucapan si orang tua. Namun karena
dia lebih tertarik dengan siapa dia sedang berhadapan,
akhirnya Joko ajukan tanya lagi.
“Orang tua! Kau keberatan mengatakan siapa diri
mu?!”
Yang ditanya tengadahkan kepala. “Pendekar 131!
Lihatlah ke langit!”
Walau masih heran, murid Pendeta Sinting akhir-
nya mendongak juga.
“Apa yang kau lihat?!”
“Aku tidak melihat sesuatu yang luar biasa! Hanya
ada sedikit awan!”
Si orang tua gelengkan kepala. “Perhatikan sekali
lagi, Pendekar 131!”
Pendekar 131 melirik pada si orang tua. Lalu tenga-
dah lagi. “Orang tua! Aku tidak melihat apa-apa!”
“Aku melihat darah! Darah itu menebar sampai ke
hamparan bumi!”
“Orang tua! Apa maksudmu sebenarnya?!”
“Kau akan segera tahu, Pendekar 131!”
Habis berkata begitu, si orang tua berambut jabrik
putih berkelebat. Anehnya dia tidak coba menyelinap
sembunyikan diri. Malah di depan sana dia melangkah
pelan-pelan dan sesekali berpaling pada murid Pendeta
Sinting dengan tersenyum. Namun kali ini senyumnya
lain.
“Ada yang aneh dengan orang tua itu!” gumam mu-
rid Pendeta Sinting lalu berkelebat mengejar.
SELESAI
Segera menyusul:
LEMBAH PATAH HATI
0 comments:
Posting Komentar