..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 03 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE RAHASIA KAMPUNG SETAN

JOKO SABLENG EPISODE RAHASIA KAMPUNG SETAN

 RAHASIA 

KAMPUNG SETAN

EPISODE I : KEMBANG DARAH SETAN

EPISODE II : GEGER TOPENG S. PENDEKAR 

EPISODE III : RAHASIA KAMPUNG SETAN

Hak cipta dan copy right pada 

penerbit di bawah lindungan 

undang-undang

Joko Sableng telah 

Terdaftar pada Dept. Kehakiman R. I.

Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan 

Merek di bawah nomor 012875



SATU


LAKSANA kesetanan, Setan Liang Makam terus 

berkelebat. Dia tidak pedulikan teriakan Lasmini. Na-

mun bagaimanapun dia kerahkan segenap Ilmu perin-

gan tubuh serta tenaga yang dimiliki, tetap saja tak 

mampu mengejar Datuk Wahing. Apalagi suara bersi-

nan yang terus terdengar pantul-memantul membuat 

Setan Liang Makam sulit menentukan arah yang di-

ambil Datuk Wahing. Hingga pada satu tempat, Setan 

Liang Makam hentikan larinya. Suara bersinan me-

mang masih terdengar di sekitar tempat di mana dia 

berada, namun sosok Datuk Wahing tidak kelihatan 

laksana ditelan bumi.

"Pantulan Tabir!" desis Setan Liang Makam. "Ma-

nusia tadi memiliki Ilmu 'Pantulan Tabir"! Berarti di-

alah orang yang bisa memberi keterangan padaku!"

"Kenapa kau mengejarnya?!" satu suara terdengar. 

Ternyata Lasmini telah tegak di belakang Setan Liang 

Makam dengan mulut megap-megap.

Setan Liang Makam kancingkan mulut. Malah ge-

rakkan kepala berpaling pun tidak. Dia tegak dengan 

kepala sedikit ditengadahkan dan mata setengah me-

mejam. Manusia ini seolah masih tenggelam dalam ra-

sa kecewa!

Seperti dituturkan dalam episode : "Geger Topeng 

Sang Pendekar", begitu dapat membunuh Dadaka yang 

ternyata adalah salah seorang yang mengubur Setan 

Liang Makam di makam batu, Setan Liang Makam te-

ruskan perjalanan ke Jurang Tatah Perak tempat ke-

diaman Pendeta Sinting, Eyang Guru Pendekar 131 

dengan maksud mencari tahu di mana gerangan Joko 

Sableng yang diyakininya telah mengambil Kembang


Darah Setan. Namun begitu sampai di Jurang Tlatah 

Perak, bukannya Pendeta Sinting yang ditemui, me-

lainkan Lasmini.

Lasmini sendiri muncul ke Jurang Tlatah Perak 

atas anjuran Kiai Lidah Wetan, kekasihnya di masa 

muda. Entah karena apa Lasmini tiba-tiba mengambil 

keputusan menemui Kiai Lidah Wetan yang pada masa 

mudanya pernah dikhianati. Dan entah karena apa 

pula, meski pernah disakiti dan muncul dengan sikap 

bungkam serta acuh tak acuh, Kiai Lidah Wetan mene-

rima kembali kehadiran Lasmini yang pernah 

mengkhianati cintanya di masa lalu. Makah Kiai Lidah 

Wetan bersedia membantu Lasmini menuntaskan den-

damnya setelah gagal dengan penyamarannya sebagai 

Tengkorak Berdarah.

Antara Setan Liang Makam dan Lasmini pada ak-

hirnya terjalin persahabatan karena sama-sama men-

cari Pendeta Sinting. Dan karena mereka tidak mene-

mukan Pendeta Sinting di Jurang Tlatah Perak, kedua 

orang ini akhirnya memutuskan untuk mencari Pende-

ta Sinting di luar. Namun begitu mereka muncul di Ju-

rang Tlatah Perak, mereka berdua jumpa dengan Da-

tuk Wahing. Setan Liang Makam dan Lasmini merasa 

curiga dengan kemunculan Datuk Wahing di atas Ju-

rang Tlatah Perak. Tapi baik Lasmini maupun Setan 

Liang Makam tidak berhasil mengorek keterangan sia-

pa sebenarnya Datuk Wahing sebelum akhirnya Datuk 

Wahing tinggalkan tempat itu sambil bersin-bersin.

Setan Liang Makam pada mulanya tidak mau men-

gejar Datuk Wahing, namun begitu mengetahui suara

bersinan Datuk Wahing bisa memantul terus menerus 

di delapan penjuru mata angin, buru-buru Setan Liang 

Makam sadar. Dia lantas mengejar Datuk Wahing. Tapi 

pada akhirnya kehilangan jejak orang yang dikejar. Di


lain pihak, melihat perubahan pada Setan Liang Ma-

kam, Lasmini jadi penasaran. Dia ikut mengejar di be-

lakang Setan Liang Makam.

"Lasmini! Kau bilang banyak mengenal tokoh-tokoh 

rimba persilatan. Mengapa kau tidak mengenal siapa 

adanya manusia tadi?!" Berkata Setan Liang Makam 

masih tanpa membuat gerakan.

Untuk beberapa lama Lasmini bungkam. Dia tidak 

tahu harus menjawab apa. Karena selama ini dia me-

mang sama sekali belum mengenal Datuk Wahing. 

Sementara Setan Liang Makam mau menerima persa-

habatan Lasmini karena Lasmini sendiri mengatakan 

banyak tahu beberapa tokoh dunia persilatan yang un-

tuk saat ini diperlukan sekali oleh Setan Liang Makam. 

Sebab terkubur selama tiga puluh enam tahun mem-

buat orang ini tidak tahu lagi perkembangan yang ter-

jadi dalam rimba persilatan.

"Kau tidak menjawab! Berarti percuma kau dan 

aku jalan bersama! Karena ternyata kau tidak lebih da-

riku dalam mengenali tokoh-tokoh dunia persilatan!"

"Harap kau tidak terlalu tergesa-gesa!" ucap Las-

mini. "Mengenal laki-laki tadi, terus terang aku baru 

kali ini jumpa!"

"Hem… Itu cukup bagiku untuk mengatakan bah-

wa kau bukan orang yang banyak tahu tentang tokoh 

dunia persilatan!"

"Tidak mengenali satu orang bukan alasan yang bi-

sa dijadikan dugaan! Dan karena baru kali ini aku

jumpa dengan laki-laki tadi, pasti dia bukan tokoh 

rimba persilatan yang perlu diperhitungkan! Karena 

hampir lima tahun aku malang melintang!"

Setan Liang Makam mendengus. "Kau mengatakan 

manusia tadi bukan tokoh yang perlu diperhitung-

kan?!" Setan Liang Makam gerakkan kepala berpaling.


Telingamu tadi dengar suara bersinannya?!"

Lasmini tidak menjawab. Kepalanya pun tidak ber-

gerak memberi isyarat jawaban.

Setan Liang Makam tertawa pendek sebelum ak-

hirnya lanjutkan ucapan. "Dengar, Perempuan! Dia ta-

di telah keluarkan satu Ilmu langka. Itulah ilmu yang 

dikenal dengan nama 'Pantulan Tabir'! Kalau ilmu yang 

dimilikinya adalah Ilmu langka, apakah kau masih 

mengatakan dia manusia yang tidak perlu diperhi-

tungkan?!" Setan Liang Makam hentikan ucapannya 

sejenak.

Tanpa menunggu jawaban Lasmini, orang yang tu-

buhnya hanya merupakan kerangka tanpa daging ini 

telah lanjutkan lagi. "Setinggi apa pun Ilmu yang dimi-

liki orang, bakalan sulit menghadapi Ilmu 'Pantulan 

Tabir!" 

Walau belum percaya ucapan Setan Liang Makam, 

tapi melihat bagaimana tadi bersinan orang mampu 

menghadang langkahnya bahkan membuatnya tersen-

tak karena suara bersinan itu pantul memantul ke se-

genap penjuru angin, mau tak mau membuat perem-

puan yang pernah menyamar sebagai Tengkorak Ber-

darah palsu ini mulai mempercayai keterangan Setan 

Liang Makam.

Namun kail ini bukan keterangan Setan Liang Ma-

kam yang membuncah benak Lasmini. Justru dia pe-

nasaran, mengapa Setan Liang Makam mengatakan 

bahwa si orang tua yang bersin-bersin itu adalah orang

yang dicari!

"Perempuan! Kau telah dengar ucapanku! Mengapa 

kau tidak segera angkat kaki?!" Setan Liang Makam te-

lah buka mulut lagi. Suaranya agak keras.

"Jadi kau masih menganggapku tidak banyak tahu 

tokoh-tokoh rimba persilatan gara-gara tidak mengena


li laki-laki jahanam tadi?!"

"Kalau pada manusia berilmu langka saja kau ti-

dak kenal, bagaimana mungkin kau mengenal tokoh-

tokoh hebat lainnya?!'

Lasmini tertawa. "Kau boleh mengatakan laki-laki 

tadi manusia langka. Tapi di mataku, dia bukan apa-

apa! Maka' ya jangan heran kalau aku tidak menge-

nalnya!"

Setan Liang Makam balik tertawa mendengar uca-

pan Lasmini. "Seberapa tinggi bekal yang kau miliki 

hingga bicaramu menembus langit. Perempuan?! Apa 

kau kira aku tak tahu jika kau sengaja mengajakku 

sama-sama mencari Pendeta Sinting karena bekalmu 

sangat rendah?!"

Dada Lasmini mulai panas mendengar ucapan Se-

tan Liang Makam. Sambil angkat tangannya, Lasmini 

berkata setengah berteriak.

"Aku punya kekuatan! Kalau tidak, mana mungkin 

aku mendatangi tempat Pendeta Sinting?!"

Setan Liang Makam gerakkan kepala menggeleng. 

"Meski aku telah berpuluh tahun tidak tahu dunia 

luar, aku tetap yakin kalau perangai seorang perem-

puan tidak akan berubah! Dia tidak akan mengandal-

kan bekal ilmunya, tapi tubuh dan mulutnya!"

Paras wajah Lasmini seketika berubah. Sepasang 

matanya mendelik besar dengan dada bergerak turun

naik keras. Kalau saja tidak sadar siapa orang yang 

kini dihadapi, pasti sepasang tangannya sudah berke-

lebat lepaskan gebukan ke mulut orang.

"Kau terlalu rendah memandangku!" ujar Lasmini 

dengan suara bergetar.

"Kalau kau merasa membekal ilmu tinggi, mau tun-

jukkan padaku?!' tanya Setan Liang Makam seraya 

alihkan pandangan ke jurusan lain. Sikapnya jelas


memandang sebelah mata pada orang.

Dada Lasmini makin menggelegak. Sebenarnya dia 

ingin menjajal sampai di mana ilmu yang dimiliki Se-

tan Liang Makam. Namun karena dia tidak mau me-

nanam permusuhan yang pada akhirnya akan meng-

hambat langkahnya di kemudian hari, maka perem-

puan ini harus menindih perasaan geram.

Mendapati Lasmini tidak menyahut atau membuat 

gerakan untuk menyambut tantangannya, Setan Liang 

Makam tertawa bergelak. Puas tertawa dia berkata.

"Apakah ucapanku tadi belum membuatmu men-

gerti untuk segera angkat kaki?! Atau kau ingin kuusir 

dengan tanganku, hah?!"

Lasmini memandang tajam pada Setan Liang Ma-

kam. Masih dengan kancingkan mulut, perempuan ini 

putar diri. Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu diirin-

gi gelakan tawa Setan Liang Makam.

*

* *

Lasmini tidak tahu sampai seberapa jauh dia berla-

ri. Dia juga tidak tahu ke mana dia kini melangkah. 

Dia hanya berlari dan berlari untuk melampiaskan ser-

ta melupakan kegeraman hatinya pada Setan Liang 

Makam. Dia baru memperlambat larinya ketika sepa-

sang matanya menangkap satu sosok tubuh berjalan 

perlahan-lahan di depan sana.

Sesaat Lasmini memperhatikan dengan seksama. 

Mendadak matanya terpentang besar. Saat lain kedua 

kakinya menjejak tanah. Laksana dikejar setan, pe-

rempuan ini melesat ke depan. Dalam beberapa saat 

dia telah berada di belakang orang yang berjalan perlahan.


"Berhenti!" teriak Lasmini.

Seolah tidak mendengar teriakan orang, orang yang 

berjalan di depan, yang ternyata seorang laki-laki be-

rusia lanjut mengenakan pakaian putih lusuh yang di 

tangannya memegang sebuah tongkat butut, teruskan 

langkah.

"Keparat!" maki Lasmini. Sekali lagi berkelebat, so-

soknya telah tegak menghadang jalan orang. Sepasang 

matanya langsung membeliak mengawasi orang di ha-

dapannya.

Yang dipandang angkat kepala. Bukan untuk balas 

memandang, melainkan untuk ditarik sedikit lagi ke 

belakang, lalu didorong ke depan. Saat lain orang ini 

telah pulang balikkan kepalanya ke depan ke belakang 

dengan mimik meringis. Bukan untuk mengejek orang, 

melainkan orang ini ingin bersin!

"Jahanam ini yang membuatku dipandang remeh 

orang!" desis Lasmini dengan mendelik angker mena-

tap pada orang di hadapannya yang bukan lain ternya-

ta Datuk Wahing. Mengingat semua ucapan Setan 

Liang Makam, Lasmini jadi ingin membuktikan. Maka 

dia cepat buka mulut dengan suara membentak.

"Sebutkan siapa dirimu kalau kau tak ingin tan-

ganku merobek mulutmu!" 

"Brusss! Bruss! Brusss!"

"Heran... Sudah demikian mahalkah harga nama-

ku?!"

"Keparat! Namamu tidak ada harganya di hada-

panku!"

"Hem... Kalau begitu mengherankan sekali kalau 

sampai kau harus turun tangan merobek mulutku ga-

ra-gara aku tidak sebutkan nama....

Brusss! Brusss!"

"Kau terlalu banyak mulut! Atau kau....


Belum sampai ucapan Lasmini selesai, Datuk Wah-

ing telah memotong sambil tahan gerakan kepalanya 

tengadah. Mengherankan. Sejak lahir kurasa mulutku 

cuma satu. Atau barangkali aku tidak merasa kalau 

mulutku bertambah...?!" Seolah ingin membuktikan, 

Datuk Wahing angkat tangan kirinya lalu diusap-

usapnya pada seluruh wajahnya.

"Masih tidak ada tambahan mulut.... Adalah meng-

herankan kalau ada orang yang mengatakan mulutku 

banyak...," Datuk Wahing lalu tertawa.

Tampang Lasmini mengetam. Sikap yang ditunjuk-

kan orang membuat dadanya dibungkus kemarahan 

luar biasa. Hingga tanpa buka suara lagi, dia melom-

pat ke depan dan langsung kelebatan tangan kanan ki-

rinya lepaskan pukulan ke arah kepala orang.

"Bruss! Bruss! Brusss!"

Datuk Wahing tidak membuat gerakan untuk me-

nangkis kelebatan kedua tangan orang. Sebaliknya dia 

bersin tiga kali dengan kepala bergerak. Walau gerakan 

kepala itu hanya karena bersinan, hebatnya gerakan 

kepalanya itu mampu membuat kelebatan kedua tan-

gan Lasmini menghantam tempat kosong.

Mendapati hantaman kedua tangannya tidak men-

genai sasaran, malah dihindari orang secara bersin, 

Lasmini tidak dapat kuasai diri lagi. Namun perem-

puan ini tidak mau bertindak ayal. Dari gerakan orang 

yang begitu mudah selamatkan diri dari hantamannya, 

dia maklum kalau orang di hadapannya bukanlah 

orang yang bisa dianggap enteng.

Lasmini kerahkan setengah tenaga dalam. Lalu 

hantamkan tangan kanan ke arah perut, sedangkan 

tangan kiri ke arah dada. Bersamaan dengan itu kaki 

kanannya di angkat siap lepaskan tendangan jika pu-

kulan lurus kedua tangannya gagal menghantam sasaran.

"Bruss!"

Datuk Wahing bersin sekali. Tangan kanannya 

yang memegang tongkat butut diangkat lalu di putar di 

depan dada.

Trakkk! Trakkk!

Terdengar benturan keras tatkala hantaman kedua 

tangan Lasmini menghantam tongkat butut Datuk 

Wahing yang diputar di depan dada.

Lasmini tersentak. Hantaman kedua tangannya ta-

di dengan kerahkan tenaga dalam yang seandainya di-

hantamkan pada batu besar, maka tak ayal lagi batu 

besar itu akan hancur berkeping-keping! Namun tong-

kat butut di tangan kanan Datuk Wahing yang baru 

saja bentrok dengan kedua tangannya tidak patah! Ma-

lah kedua tangannya laksana membentur tembok ko-

koh. Hingga saat itu juga Lasmini cepat-cepat tarik pu-

lang kedua tangannya! Mungkin hanyut dalam kekage-

tannya, Lasmini sampai lupa untuk lepaskan tendan-

gan kaki kanan yang telah disiapkan untuk susuli 

hantaman kedua tangannya.

Datuk Wahing mengusap-usap tongkatnya yang 

baru saja menghadang pukulan lurus kedua tangan 

Lasmini. Saat lain kakek ini bersin tiga kali sebelum 

akhirnya angkat bicara.

"Heran.... Kau membuat hatiku heran, Sahabat! 

Kau tadi mendustai ku dengan mengatakan mulutku 

banyak. Lalu tiba-tiba kau hendak memukul ku! Tidak 

keberatan menghilangkan rasa heran ku dengan men-

gatakan ada apa sebenarnya?!"

Lasmini katupkan rahang tidak jawab pertanyaan 

orang. Kejap lain perempuan ini mundur tiga langkah. 

Tangannya diangkat tinggi-tinggi. Sosoknya bergetar, 

tanda dia telah kerahkan hampir segenap tenaga dalamnya.

"Aku telah tanya dengan baik-baik, tapi rupanya 

kau inginkan jalan keras!" kata Lasmini.

"Bruss! Brusss!"

"Ah.... Kau ini mengherankan! Bukankah namaku 

tidak ada harganya di hadapanmu? Lalu kenapa kau 

marah-marah saat aku tidak mau turuti ucapanmu?!"

Lasmini tidak menyahut dengan ucapan. Sebalik-

nya dia sentakkan kedua tangannya lepas pukulan ja-

rak jauh bertenaga dalam tinggi!

*

* *

DUA



DUA gelombang luar biasa dahsyat berkiblat ganas 

ke arah Datuk Wahing. Datuk Wahing hentikan gera-

kan kepalanya. 

"Tamat riwayatmu, Keparat!" desis Lasmini dengan 

senyum dingin tatkala mengetahui Datuk Wahing tidak 

membuat gerakan apa-apa meski dua gelombang pu-

kulan orang setengah tombak lagi menghantam tu-

buhnya.

Tapi dua jengkal lagi pukulan Lasmini melabrak, 

tiba-tiba Datuk Wahing melompat ke belakang. Saat 

bersamaan kepalanya bergerak ke depan. Dari hidung-

nya terdengar bersinan dua kali.

"Brusss! Brusss!"

Dua gelombang dahsyat yang dilepas Lasmini lak-

sana ditahan tembok besar dan kokoh. Hingga untuk 

beberapa lama dua gelombang dahsyat itu tertahan di 

udara.

Datuk Wahing tak sia-siakan kesempatan. Begitu 

gelombang angin tertahan di udara. Dia bergerak satu 

kali. Sosoknya melesat ke sebelah kanan. Saat yang 

sama, dua gelombang yang tertahan berhasil menem-

bus benteng pertahanan hingga menghampar ke de-

pan. Tapi karena sosok Datuk Wahing telah berkelebat 

ke samping kanan, dua gelombang hantaman kedua 

tangan Lasmini melabrak hamparan tanah dan bong-

kahan sebuah batu.

Tanah yang terkena sasaran muncrat ke udara. 

Bongkahan batu langsung pecah berantakan.

Lasmini pentang mata hampir saja tidak percaya.

Namun dadanya makin panas melihat bagaimana 

orang dengan mudah menghindar selamatkan diri ser-

ta menghadang pukulannya.

Dengan lipat gandakan tenaga dalam, Lasmini ber-

gerak setengah lingkaran menghadap Datuk Wahing. 

Namun perempuan ini terkesiap. Sosok Datuk Wahing 

yang tadi berkelebat ke samping kanan ternyata sudah 

tidak kelihatan lagi!

"Jahanam! Ke mana lolosnya keparat itu?!" desis 

Lasmini dengan sosok bergetar.

Baru saja Lasmini membatin begitu dan belum 

sampai membuat gerakan apa-apa, dia dikejutkan 

dengan sambaran angin di sebelah kirinya. Menangkap 

gelagat membahayakan, Lasmini cepat rundukkan ke-

pala seraya tarik tubuh atasnya ke bawah. Saat ber-

samaan sikunya membuat gerakan menyentak. Se-

mentara tangan kanannya ikut pula lepaskan satu pu-

kulan lewat depan dadanya.

Sambaran angin yang melesat dari samping kiri 

Lasmini menghantam udara beberapa jengkal di atas 

kepalanya. Namun sentakan siku serta susupan tan-

gan kanan Lasmini juga melesat menghantam sasaran.


Namun perempuan ini tidak menunggu lama. Begitu 

hantaman kedua tangannya melesat, dia cepat putar 

tubuh setengah lingkaran. Dengan bertumpu pada ka-

ki kiri, kaki kanannya diangkat membuat satu tendan-

gan.

Bukkk!

Sosok Datuk Wahing yang berada di belakangnya 

tersambar tendangan kaki kanan Lasmini hingga men-

celat dan jatuh berlutut sejarak satu setengah tombak. 

Tangan kanannya memegangi tongkat bututnya. Se-

mentara tangan kiri bertelekan pada paha kakinya. 

Kepalanya bergerak pulang balik ke depan ke belakang 

lalu terdengar suara bersinan dua kail.

Melihat lawan telah jatuh berlutut, Lasmini tak sa-

baran lagi. Dia cepat angkat kedua tangannya. Kejeng-

kelan rupanya sudah mendidihkan dadanya, hingga 

perempuan ini serta-merta hantamkan kedua tangan-

nya lepas pukulan bertenaga dalam tinggi!

"Sekali ini kau tak akan lolos, Keparat!" teriak 

Lasmini dengan seringai dingin dan mata mementang 

angker.

Di seberang sana, mendadak Datuk Wahing tarik 

kepalanya sedikit tengadah dengan mimik meringis. 

Saat lain kepalanya bergerak empat kali.

"Bruss! Bruss! Bruss! Bruss!"

Dari hidung Datuk Wahing melesat angin deras 

empat kali berturut-turut. Dua gelombang dahsyat 

yang berkiblat dari kedua tangan Lasmini tiba-tiba 

membubung ke udara. Lalu melesat balik ke arah 

Lasmini. Lasmini tidak membuat gerakan menghindar, 

karena jelas dua gelombang pukulannya berada jauh 

di atas tubuhnya. Tapi bukan karena pukulannya yang 

membalik berada jauh di atasnya yang membuat Las-

mini tegak diam tidak membuat gerakan apa-apa. Sebaliknya perempuan ini terpaku tegang melihat bagai-

mana tiba-tiba dua gelombang pukulannya laksana 

membentur kekuatan dahsyat di atas tubuhnya hingga 

dua gelombang itu mental balik dan kini melesat di 

atas sosok Datuk Wahing.

Di atas sosok Datuk Wahing, kembali dua gelom-

bang pukulan Lasmini membentur kekuatan dahsyat 

hingga mental lagi. Begitu terus menerus bahkan kini 

mentalan dua gelombang itu berpindah-pindah ke de-

lapan penjuru mata angin. Hebatnya, meski kepala Da-

tuk Wahing sudah berhenti bergerak, suara bersinan 

terus saja terdengar dan ikut mantul memantul ke de-

lapan penjuru mata angina!

"Bruss!"

Datuk Wahing perdengarkan bersinan sekali. Ber-

samaan itu sosok Lasmini laksana disentak, hingga 

karena tegang melihat apa yang terjadi, perempuan ini 

terkesiap. Namun sudah sangat terlambat untuk im-

bangi diri. Sosok Lasmini tersapu ke belakang dan ja-

tuh terduduk dengan tubuh bergoyang-goyang.

Dalam keadaan seperti itu, Lasmini cepat kerahkan 

tenaga dalam. Lalu kedua tangannya diangkat. Tapi 

perempuan ini melengak. Suara bersinan yang masih 

memantul terdengar makin lama makin keras. Hingga 

bagaimanapun Lasmini kerahkan tenaga untuk menu-

tup jalan pendengaran, namun gendang telinganya 

laksana ditusuk-tusuk.

Lasmini pejamkan sepasang matanya. Kedua tan-

gannya yang sejak tadi hendak bergerak lepaskan pu-

kulan serta-merta ditarik untuk menutupi kedua telin-

ganya. Perempuan ini coba membendung suara bersi-

nan dengan segenap tenaga yang dimiliki.

"Sahabat.... Semuanya sudah berakhir! Menghe-

rankan kalau kau masih duduk begitu rupa...," Datuk


Wahing berkata.

Lasmini terlengak. Dari suara yang baru saja ter-

dengar, dia jelas dapat menentukan kalau orang yang 

bersuara tidak jauh dari sampingnya. Perempuan ini 

cepat buka kelopak sepasang matanya dengan kepala 

digerakkan sedikit ke samping kanan.

Memandang ke depan, Lasmini tegang sendiri. Da-

tuk Wahing tampak duduk berlutut hanya tiga langkah 

di sebelahnya dengan bibir sunggingkan senyum. Ka-

lau saja Datuk Wahing berniat jahat, tentu tidak sulit 

baginya menggebuk Lasmini! Apalagi dalam keadaan 

tegang begitu rupa, kedua tangan Lasmini yang masih 

menutupi kedua telinganya tentu sudah sangat ter-

lambat untuk membendung pukulan orang!

"Jangan membuatku heran dengan tegang begitu.... 

Kita bisa bicara baik-baik bukan?!" tanya Datuk Wah-

ing.

Lasmini kini sadar, bahwa orang di sampingnya 

masih bukan tandingannya. Namun Lasmini tidak

mau dianggap remeh orang. Dengan raut merah pa-

dam dan turunkan kedua tangannya, perempuan ini 

berkata dengan suara keras.

'Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi di antara ki-

ta! Dan jangan kira aku tak bisa lakukan sesuatu un-

tuk membunuhmu!"

Datuk Wahing gelengkan kepala. Tanpa berkata la-

gi, orang tua ini bangkit lalu balikkan tubuh dan me-

langkah.

"Siapa manusia itu sebenarnya? Mengapa Setan 

Liang Makam mencarinya?!" Lasmini bergumam.

"Hai, tunggu!" teriak Lasmini seraya bergerak 

bangkit.

Datuk Wahing hentikan tindakan. Bersin tiga kali 

seraya berkata pelan. "Sikap perempuan di mana


mana selalu mengherankan.... Di depan orang tidak 

mau berkata-kata, tapi begitu hendak ditinggal berte-

riak-teriak...."

"Ada yang hendak kau utarakan, Sahabat?" tanya 

Datuk Wahing seraya putar tubuh.

"Siapa kau sebenarnya?!" Lasmini langsung ber-

tanya dengan pandangi sosok sang Datuk seolah baru 

pertama kali jumpa.

"Sahabat.... Di antara kita aku yakin tak ada hu-

bungan apa-apa! Bukankah mengherankan kalau kau 

harus penasaran dengan diriku! Jangan membuatku 

curiga dan makin heran...."

Paras muka Lasmini sedikit tegang. Mulutnya 

membuka lagi ajukan tanya.

"Lalu apa hubunganmu dengan Setan Liang Ma-

kam?!"

Dahi Datuk Wahing berkerut "Kurasa.... Aku tak 

punya kerabat bernama Setan Liang Makam! Aku pun 

merasa belum pernah...."

Belum sampai Datuk Wahing lanjutkan ucapan-

nya, Lasmini telah menukas. "Kau jangan berpura-

pura. Setan Liang Makam mengatakan kau adalah 

orang yang dicari!"

"Aku?!" ujar Datuk Wahing seraya tertawa menge-

keh. "Mengherankan! Bagaimana kau bisa berkata be-

gitu? Sementara orangnya saja aku belum tahu...."

Lasmini tertawa pendek. "Setan Liang Makam ada-

lah orang yang bersamaku ketika keluar dari Jurang 

Tlatah Perak!"

Datuk Wahing angguk-anggukkan kepala. "Agar 

aku tidak makin heran, mau katakan mengapa saha-

batmu itu mencariku?!"

"Aku yang tanya padamu!" kata Lasmini dengan 

suara agak keras mulai jengkel.


Datuk Wahing garuk-garuk kepalanya dengan 

ujung tongkat bututnya. "Dengar, Sahabat. Mendengar 

keteranganmu aku jadi tak habis heran. Sudah kuka-

takan aku tidak mengenalnya. Sementara kau adalah 

sahabatnya! Bagaimana bisa kau balik bertanya pada-

ku?! Bukankah seharusnya kau yang memberi kete-

rangan padaku?!"

Merasa tak mungkin lagi orang mau memberi kete-

rangan, Lasmini alihkan pembicaraan dengan berkata. 

"Kemunculanmu di sekitar Jurang Tlatah Perak pasti 

bukan satu kebetulan! Kau punya urusan dengan 

Pendeta Sinting?!"

"Ini baru pertanyaan yang tidak mengherankan," 

ujar Datuk Wahing. "Dugaanmu tidak salah. Aku me-

mang hendak berkunjung pada sahabatku...."

"Pendeta Sinting?!" tanya Lasmini seolah tidak sa-

bar.

Datuk Wahing menjawab dengan anggukan kepala 

lalu berkata. "Sudah berbilang tahun aku tidak jumpa 

sahabatku itu. Mumpung ada waktu dan masih dika-

runiai umur, tidak mengherankan bukan kalau aku 

ingin bertemu?!"

"Hanya ingin bertemu? Tidak ada urusan lain?!" 

tanya Lasmini menyelidik.

"Aku tidak ingin membuat heran orang-orang muda 

dengan membuat urusan antar sahabat. Apalagi usia 

sudah bau tanah begini...."

"Hem.... Membuka mulut manusia macam begini 

hanya akan membuat dada pecah!" kata Lasmini da-

lam hati mendengar jawaban-jawaban yang diucapkan 

Datuk Wahing.

"Masih ada pertanyaan lagi?! tanya Datuk Wahing 

begitu agak lama Lasmini tidak lagi buka suara.

Yang ditanya kancingkan mulut. Malah saat itu juga hendak bergerak langkahkan kaki. Tapi sebelum 

Lasmini bergerak lebih jauh, Datuk Wahing telah ber-

kata.

"Tidak merasa heran kalau aku sekarang yang ber-

tanya, Sahabat?"

Lasmini urungkan niat. Sebelum perempuan ini 

menyahut, Datuk Wahing sudah mendahului. "Aku ti-

dak sempat bertemu dengan sahabatku di Jurang Tla-

tah Perak, sementara kau sudah muncul dari tempat 

kediamannya. Bisa mengatakan bagaimana keadaan 

sahabatku itu?!'

"Sahabatmu itu beruntung!"

"Ah.... Aku senang mendengarnya! Yang masih 

membuatku heran, untung bagaimana? Apa dia men-

dapat rezeki besar? Kudengar-dengar dia kawin lagi 

dengan seorang gadis cantik...."

Lasmini tertawa. "Sahabatmu itu beruntung karena 

dia tidak ada di tempatnya!"

"Jawabanmu membuat aku jadi heran...."

"Seandainya dia berada di tempatnya, saat itu juga 

nyawanya pasti putus!"

"Kau dan sahabatmu itu hendak membunuhnya?! 

Mengherankan sekali! Padahal menurut yang ku tahu, 

sahabatku itu tidak pernah membuat urusan meski 

kadangkala ucapan-ucapannya membuat orang jengkel

dan kelakuannya gila-gilaan...."

"Aku tak heran mendengar ucapanmu! Siapa lagi 

yang akan membelanya kalau bukan sobatnya seper-

timu?!"

"Justru aku kini jadi heran mendengar ucapanmu, 

Sahabat. Mau katakan apa sebenarnya yang dilakukan 

sahabatku itu?!"

"Akhir-akhir ini dia telah membunuh banyak 

orang! Bukan itu saja. Perbuatan murid tunggalnya juga dikabarkan atas perintah Pendeta Sinting!"

"Heran.... Heran.... Bagaimana bisa begitu?!

Bruss! Bruss!"

"Kau tak perlu heran! Manusia setiap kali bisa be-

rubah pikiran! Maka jangan coba-coba mendekati Pen-

deta Sinting!"

"Meski aku masih heran, tapi aku mengucapkan 

terima kasih atas keterangan dan peringatanmu! Seka-

rang aku harus segera pergi...."

"Kau masih tidak mau terangkan siapa dirimu?!" 

ujar Lasmini membuat gerakan Datuk Wahing yang 

akan putar tubuh tertahan.

"Aku hanya orang tua bau tanah! Dan kurasa tidak 

ada artinya sekalipun kau mengetahuinya! Jadi cukup-

lah jika kau mengenalku sebagai sahabat lama Pende-

ta Sinting!"

"Kau juga tak mau mengatakan apa hubunganmu 

dengan Setan Liang Makam?!"

"Jangan heran. Bukannya aku tak mau. Tapi aku 

tidak mau membuatmu nantinya makin heran...."

"Aku telah lama malang melintang beberapa puluh 

tahun dalam dunia persilatan. Tidak ada satu hal pun 

yang membuatku jadi heran! Katakan saja...!"

"Sayang sekali, Sahabat! Aku tak bisa memberi ke-

terangan apa-apa! Harap tidak heran.... Tapi meski be-

gitu aku punya saran untukmu. Kalau kau terima 

syukur, jika tidak, itu akan membuatku heran...."

Walau Lasmini merasa jengkel dengan ucapan Da-

tuk Wahing, namun perempuan ini pasang telinga 

baik-baik. Sementara Datuk Wahing alihkan pandan-

gan ke jurusan lain seraya lanjutkan ucapan. "Jangan 

kau terlalu percaya pada kabar berita yang belum ter-

bukti kebenarannya. Dan hati-hati dengan orang yang 

baru kau kenali. Satu hal lagi, jangan mudah percaya


pada orang yang berbuat baik padamu padahal kau 

pernah menyakitinya!"

Lasmini simak ucapan orang dengan dahi berkerut. 

Datuk Wahing tersenyum seraya teruskan ucapan. 

"Jangan merasa tersinggung.... Aku bicara begini kare-

na terus terang aku pernah mendengar kabarmu di 

masa lalu...."

"Jahanam! Apa manusia ini tahu hubungan ku

dengan Kiai Lidah Wetan?!" Lasmini membatin dengan 

dada gelisah. Lasmini sebenarnya ingin langsung ber-

tanya. Namun setelah ditimbang-timbang, perempuan 

ini akhirnya memutuskan untuk diam.

"Terima kasih kau tidak merasa tersinggung juga 

tidak merasa heran! Syukur-syukur juga kalau kau 

mau sedikit membuka hati untuk turuti saran ku...."

Habis berkata begitu, Datuk Wahing putar diri. 

Bersin dua kali sebelum akhirnya melangkah perla-

han-lahan dengan ketukan-ketukan tongkat butut di 

tangan kanannya.

"Aku makin penasaran dengan manusia itu! Dia 

seolah-olah tahu hubungan ku dengan Kiai Lidah We-

tan! Bagaimana dia bisa tahu...?! Kalau benar dia den-

gar kisah ku masa lalu, aku masih maklum. Tapi uca-

pannya tadi sepertinya bukan mengarah ke sana! Apa 

dia sempat jumpa dengan Kiai Lidah Wetan? Lantas.... 

Ah. Itu tidak mungkin! Kiai Lidah Wetan mengatakan

urusan besar ini adalah rahasia. Aku akan mengikuti 

orang itu...."

Lasmini memandang pada sosok Datuk Wahing 

yang telah berada di depan sana. Sebelum sosok Datuk

Wahing belok dan lenyap dari pandangannya, Lasmini 

cepat berkelebat lalu secara diam-diam mengikuti 

langkah Datuk Wahing.


TIGA


TIDAK jauh melangkah, Datuk Wahing hentikan 

tindakannya. Kepalanya mendongak. Saat bersamaan 

terdengar orang tua ini perdengarkan bersinan bebera-

pa kali. Lalu berucap tanpa membuat gerakan.

"Sahabat.... Jangan membuatku jadi heran dengan 

mengikuti ke mana aku pergi!"

Sejarak tujuh tombak di belakang Datuk Wahing, 

Lasmini yang mendekam sembunyi tampak terkesiap 

kaget. Wajahnya berubah. Sesaat perempuan ini tam-

pak bimbang. Namun sebelum dia dapat memutuskan 

apa yang hendak diperbuat, dari arah depan kembali 

terdengar suara Datuk Wahing.

"Sahabat.... Sekalipun kau ikut ke mana aku pergi, 

adalah mengherankan kalau kau nanti akan mendapat 

keterangan dariku! Harap kau pikir masak-masak se-

belum kau kelak jadi heran...."

Lasmini menggerendeng panjang pendek dalam ha-

ti. Tanpa menyahut ucapan Datuk Wahing, perempuan 

ini bergerak melangkah keluar dari persembunyiannya. 

Memandang sejenak pada sosok Datuk Wahing yang 

masih tegak membelakangi. Lalu berkelebat tinggalkan 

tempat itu.

"Bruss! Bruss! Bruss!"

"Kau mengambil keputusan bagus, Sahabat! Kare-

na percuma saja kau...." Laksana direnggut setan, Da-

tuk Wahing putus gumamannya. Saat lain orang tua 

ini melangkah tiga tindak. Mendadak dia bergerak ce-

pat. Sosoknya saat itu juga melesat dan lenyap dari


tempat itu.

Baru saja sosok Datuk Wahing melesat lenyap, sa-

tu bayangan berkelebat dan tahu-tahu tidak jauh dari 

tempat di mana tadi Datuk Wahing berada, satu sosok 

tubuh telah berdiri tegak.

Orang yang baru muncul putar kepalanya dengan 

mata dipentang besar-besar. "Aneh.... Baru saja ku-

dengar suara bersinannya di sini! Tapi batang hidung-

nya sudah tidak kelihatan! Ke mana lenyapnya?!" 

Orang yang baru muncul menggumam. Lalu kembali 

gerakkan kepalanya berputar dengan mata makin di-

beliakkan. Namun orang ini tetap tidak melihat siapa-

siapa!

"Hem.... Pada akhirnya lain yang dikejar, lain pula 

yang ku dapati. Yang kukejar gadis cantik, tapi yang 

akan kutemui pasti orang lain. Tapi.... Bagaimana ta-

hu-tahu orang tua itu berkeliaran di sekitar tempat 

ini?! Atau selama ini dia secara diam-diam selalu men-

gikuti langkahku! Aku harus tahu apa maksudnya...."

Berpikir begitu dan merasa yakin orang masih be-

rada di sekitar tempat itu, orang yang baru muncul 

buka mulut berteriak.

"Kek! Aku tahu kau berada di sini! Mengapa takut 

unjuk diri?! Jangan membuatku heran!"

Selesai berteriak, orang ini memandang berkeliling 

dengan telinga dipasang baik-baik. Namun tidak ter-

dengar suara sahutan atau terlihatnya orang.

"Kek! Harap tak usah malu-malu unjuk diri!' Kem-

bali orang yang baru muncul berteriak. Tubuhnya ber-

gerak berputar setengah lingkaran.

Bruss! Bruss! Mengherankan kalau aku merasa 

malu unjuk diri di hadapanmu. Anak Muda!" tiba-tiba 

terdengar suara.

Orang yang tadi berteriak cepat balikkan tubuh,


karana jelas suara yang baru saja terdengar bersumber 

dari arah belakangnya. Namun orang ini tersentak 

sendiri. Dia tidak melihat siapa-siapa!

"Telingaku jelas mendengar dari arah belakang. 

Tapi orangnya tidak juga kelihatan!"

Baru saja orang ini membatin, orang ini mendadak 

putar diri membalik, karena dia mendengar langkah-

langkah dari arah belakangnya.

Memandang ke depan, orang ini tertengak. Sejarak 

lima tombak di depan sana, terlihat Datuk Wahing du-

duk berlutut di atas tanah dengan kepala bergerak ke 

depan ke belakang. Tangan kanan memegang tongkat 

yang ditancapkan di sampingnya sementara tangan ki-

rinya diletakkan di atas pahanya.

"Hem.... Bagaimana dia bisa membuat telingaku 

seperti mendengar langkah-langkah? Padahal orang-

nya enak-enakan duduk?!"

"Bruss! Bruss! Anak muda.... Wajahmu membua-

tku heran. Apa kau tidak menemukan gadis yang kau 

kejar?!' Datuk Wahing buka mulut bertanya.

Orang yang ditanya tidak segera menjawab. Seba-

liknya dia melangkah mendekati Datuk Wahing dengan 

mata memandang tak berkesip.

"Kek! Apa yang sedang kau lakukan di sini?!" 

Orang yang baru muncul balik ajukan tanya.

"Bruss! Bruss! Anak muda.... Sekarang ucapanmu 

yang membuatku heran! Kau sepertinya menaruh cu-

riga padaku....'

Orang di hadapan Datuk Wahing yang ternyata 

adalah seorang pemuda berpakaian putih-putih be-

rambut agak panjang sedikit acak-acakan yang diikat 

dengan ikat kepala warna putih, berparas tampan dan 

bermata tajam dan bukan lain adalah Pendekar 131 

Joko Sableng tertawa pendek lalu berkata.


"Kek! Sejak kita bertemu, dua kali kau muncul ti-

dak jauh dariku! Aku tidak curiga padamu. Tapi seti-

daknya keberadaanmu punya maksud tertentu.... Ha-

rap kau mau katakan terus terang!"

"Bruss! Bruss! Anak muda.... Kalau boleh kukata-

kan, berarti kau merasa heran kita harus jumpa ber-

kali-kali. Tapi kali ini aku tidak merasa heran! Yang 

Maha Kuasa mungkin telah menyiratkan demikian...."

Pendekar 131 gelengkan kepala. "Kek! Ini bukan 

semata-mata suratan! Ini juga bukan satu kebetulan. 

Kau sepertinya sengaja muncul di mana aku berada!

Harap kau tidak keberatan mengatakan maksudmu!

Seperti diketahui, sejak Pendekar 131 jumpa per-

tama kali dengan Datuk Wahing, orang tua ini tiba-tiba 

muncul ketika sedang terjadi adu mulut dan hampir 

saja terjadi adu pukulan antara Joko dengan Dewi Se-

ribu Bunga. Saat itu pada akhirnya Dewi Seribu Bunga 

berkelebat. Joko mengejar. Tapi murid Pendeta Sinting 

kehilangan jejak Dewi Seribu Bunga. Joko lantas te-

ruskan perjalanan. Pada satu tempat mendadak dia 

mendengar suara bersinan. Joko dengan cepat dapat 

menebak siapa adanya orang yang bersin-bersin.

"Bruss! Bruss! Aku tak punya maksud apa-apa, 

Anak Muda! Aku baru saja mengunjungi tempat seo-

rang sahabat! Sayang.... Aku harus menerima kehera-

nan!"

"Siapa sahabat yang kau kunjungi?! Dan kehera-

nan apa yang kau terima?!"

"Aku heran dengan pertanyaanmu. Apa maksud 

dibalik ucapan tanya mu itu?!" kata Datuk Wahing.

"Menurut Kiai Laras, orang ini bukan orang baik-

baik! Sementara Jurang Tlatah Perak tidak jauh dari 

sini.... Apa yang dimaksud sahabatnya adalah Eyang 

Guru...?l" Joko membatin. Lalu berkata.


"Seperti halnya dirimu, aku juga tak punya mak-

sud apa-apa! Hanya saja aku punya seorang sahabat 

tidak jauh dari sini! Siapa tahu sahabat yang kau kun-

jungi adalah juga sahabatku...."

"Hem.... Dia hanya sahabatmu? Tidak lebih, Anak 

Muda?!" Datuk Wahing balik ajukan tanya membuat 

Joko terdiam sesaat.

"Anak muda!" ucap Datuk Wahing sebelum Pende-

kar 131 perdengarkan suara. "Bisa katakan siapa sa-

habatmu itu?!"

"Pendeta Sinting!"

"Bruss! Bruss! Heran.... Sahabatku itu ternyata 

benar-benar berubah! Para sahabatnya kini orang-

orang muda.... Hem.... Pasti ada apa-apa!" gumam Da-

tuk Wahing.

"Kek! Berarti yang hendak kau kunjungi Pendeta 

Sinting! Betul?!"

"Aku tidak bisa jawab pertanyaanmu yang menghe-

rankan itu, Anak Muda! Karena sahabatku itu tak 

mungkin punya sahabat orang-orang muda seperti-

mu!"

"Kek! Aku murid Pendeta Sinting!" kata Joko berte-

rus terang mendapati Datuk Wahing sepertinya mena-

ruh curiga.

Datuk Wahing angkat kepalanya dengan mata se-

dikit dibesarkan. Untuk beberapa lama orang tua ini 

memperhatikan sosok murid Pendeta Sinting dengan 

seksama.

"Kek! Kau belum katakan keheranan mu tadi! Apa 

sebenarnya yang telah terjadi?! Kau bertemu dengan 

eyang guruku itu?!"

Datuk Wahing gerakkan kepalanya menggeleng. 

"Anak Muda! Itulah yang membuatku merasa heran.... 

Apa sebenarnya yang telah terjadi?! Karena bukan saja


aku tak menemukan sahabatku itu, tapi..." Datuk 

Wahing tidak lanjutkan ucapannya. Sepasang matanya 

melirik ke kanan kiri.

Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi lalu ikut-

ikutan melirik. Yakin tak ada orang lain, dia berkata. 

"Kek! Di sini tak ada orang lain! Teruskan ucapanmu 

tadi!"

"Bruss! Bruss! Aku justru bertemu dengan dua 

orang yang muncul dari kediaman eyang gurumu.... 

Yang mengherankan lagi, menurut salah seorang dari 

mereka, justru aku termasuk manusia yang dia cari-

cari!"

"Kau mengenal mereka?!" tanya Joko dengan maju 

satu tindak.

"Aku hanya mengenali yang satu, satunya lagi ku-

rasa aku baru melihatnya! Herannya, orang yang baru 

pertama kulihat itulah yang katanya mencari-

cariku...."

"Kau bisa katakan ciri-ciri orang itu?!"

"Satunya perempuan. Ini yang kukenal. Satunya 

lagi seorang laki-laki. Kalau kau sempat melihatnya, 

pasti kau akan merasa heran! Laki-laki ini hampir saja 

tidak bisa dikatakan sosok manusia. Tubuhnya hanya 

merupakan kerangka tanpa daging...."

"Setan Liang Makam'! desis murid Pendeta Sinting.

"Bruss! Bruss! Betul! Itulah nama yang disebut-

sebut! Setan Liang Makam.... Kau mengenalnya, Anak 

Muda...?!"

Pendekar 131 tidak jawab pertanyaan Datuk Wah-

ing. Sebaliknya dia cepat ajukan tanya. "Apa yang ter-

jadi di sana?!"

"Aku belum sempat jumpa dengan eyang gurumu. 

Tapi dari percakapan dua orang itu, aku bisa menduga 

kalau mereka juga tidak bertemu dengan eyang guru


mu...."

Murid Pendeta Sinting menarik napas lega. Sejenak 

tadi perasaannya gelisah, ia sangat mengkhawatirkan 

keselamatan eyang gurunya, apalagi sejak peristiwa di 

Kedung Ombo, dia belum berhasil menemukan Pende-

ta Sinting.

"Kek! Menurutmu, apakah kedua orang itu juga 

sahabat eyang guruku?!"

"Bruss! Bruss! Anak muda! Aku memang bukan 

orang baik-baik! Tapi adalah mengherankan kalau aku 

mengatakan mereka orang baik-baik! Kau tentu bisa 

menebak sendiri apa ucapanku...!"

"Hem.... Pasti mereka menduga akulah yang mem-

bawa barang aneh itu! Lalu mereka membuka sengketa 

dengan Eyang Guru.... Heran! Dewi Seribu Bunga juga 

menuduhku hendak memperkosanya. Lalu ada lagi 

orang-orang yang menuduhku melarikan barang-

nya...." Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. Lalu 

memandang ke arah Datuk Wahing sambil bertanya.

"Kek! Kau sungguh tak tahu tentang sebuah benda 

bernama Kembang Darah Setan?!"

Yang ditanya kancingkan mulut tidak menjawab.

Joko berpikir sejenak, lalu berkata lagi. "Kek! Aku 

pernah jumpa dengan Setan Liang Makam, Dia sebut-

sebut Kembang Darah Setan. Sementara kau tadi 

mengatakan Setan Liang Makam mencarimu! Aku da-

pat menebak kalau kau tahu tentang urusan Kembang 

Darah Setan itu! Setidaknya kau ada hubungan den-

gan Setan Liang Makam! Harap kau mau memberi ke-

terangan!"

Datuk Wahing belum juga menyahut. Joko mulai

agak jengkel. Dia segera buka mulut lagi. "Kek! Jan-

gan-jangan kau ini masih kambratnya Setan Liang 

Makam!"


"Bruss! Brusss!"

Datuk Wahing perdengarkan bersinan. Namun se-

jauh ini orang tua berambut tipis ini belum juga mau 

bersuara. Malah dia alihkan pandangannya ke jurusan 

lain!

"Kek! Berarti kemunculanmu selama ini memang 

kau sengaja! Kau selalu ikuti ke mana aku melangkah! 

Katakan saja terus terang apa maumu! Aku tahu, kau 

berilmu sangat tinggi! Tapi seperti halnya diriku, kau 

tak mungkin punya nyawa rangkap!"

"Bruss! Bruss! Anak muda.... Kau sudah selesai bi-

cara?!" tanya Datuk Wahing tanpa berpaling.

Kali ini Joko yang tidak menjawab. Dia hanya me-

mandang pada Datuk Wahing dengan sikap tidak sa-

bar.

"Anak muda… Perlu kau ketahui dan harap jangan

heran. Aku bukan kambratnya Setan Liang Makam! 

Aku juga tidak mengikuti langkahmu! Aku pun bukan 

orang yang berilmu tinggi apalagi punya nyawa rang-

kap!"

"Hem.... Kau menyangkal semua ucapanku. Tapi 

kau tidak menyangkal ucapanku tentang Kembang Da-

rah Setan! Berarti kau tahu urusan benda itu!"

Datuk Wahing tidak sambuti ucapan murid Pende-

ta Sinting. Sebaliknya orang ini beranjak bangkit. Dan 

tanpa berkata apa-apa dia melangkah.

Murid Pendeta Sinting melompat dan tegak meng-

hadang di depan Datuk Wahing.

"Kek! Kurasa dugaanku tidak meleset! Harap kau 

mau beri keterangan! Kalau tidak, terpaksa aku...."

"Bruss! Brusss! Kau terlalu berprasangka buruk, 

Anak Muda! Jangan heran kalau aku tidak mau jawab 

pertanyaanmu di sini!" Datuk Wahing arahkan pan-

dangan matanya berkeliling. Lalu lanjutkan ucapan


nya. "Apa kau kira di sini aman untuk bicara?!"

Habis berkata begitu, Datuk Wahing teruskan 

langkah menyisi di sebelah kanan murid Pendeta Sint-

ing.

"Kek! Jadi....'

"Bruss! Kalau kau ingin tahu, jangan banyak bica-

ra!'

Pendekar 131 angkat bahu. Lalu balikkan tubuh. 

Memandang ke depan, dia tersentak. Datuk Wahing 

yang baru saja melangkah di sisi samping kanannya 

sudah berada jauh di depan sana. Dia tetap melangkah 

perlahan-lahan dengan kepala ditarik pulang balik ke 

depan ke belakang meski tidak perdengarkan bersinan.

Tanpa pikir panjang lagi, murid Pendeta Sinting se-

gera berkelebat menyusul. Dia sempat menggerendeng. 

Karena begitu dia berkelebat, si kakek di depan sana 

tiba-tiba ikut berkelebat tidak lagi melangkah! Hingga 

mau tak mau Joko harus kerahkan segenap ilmu pe-

ringan tubuhnya agar tidak kehilangan jejak.

*

* *

EMPAT



SEBELUM kita ikuti ke mana Datuk Wahing dan 

Pendekar 131 Joko Sableng pergi serta mengetahui apa 

yang hendak dibicarakan Datuk Wahing, kita kembali 

dahulu pada satu peristiwa yang kejadiannya berlang-

sung pada tiga puluhan tahun yang lalu.

Pada satu tempat di sebelah hutan belantara lebat 

tidak jauh dari sebuah pesisir pantai, tepatnya pada 

satu tempat terbuka yang dikelilingi beberapa julangan


batu karang tampak duduk bersila seorang laki-laki

setengah baya. Paras laki-laki ini tidak begitu tampan. 

Bagian depan hidungnya besar. Rambutnya tipis telah 

berwarna dua. Kedua tangannya merangkap di depan 

dada. Sepasang matanya terpejam rapat. Laki-laki ini 

tidak sedang pusatkan pikiran bersemadi. Karena se-

sekali mulutnya membuka. Dan yang lebih menunjuk-

kan kalau laki-laki setengah baya tidak sedang berse-

madi, di hadapannya hanya sejarak sepuluh langkah, 

tampak tegak berdiri seorang laki-laki yang meski 

usianya tidak muda lagi, tapi masih lebih muda di-

banding laki-laki yang tengah duduk bersila.

Orang yang tegak berdiri berparas agak tampan. 

Dagunya kokoh dengan sosok kekar. Sepasang ma-

tanya tajam dengan rambut panjang sebatas bahu. La-

ki-laki ini tegak dengan mata memandang tak berkedip 

pada laki-laki yang duduk bersila. Sesekali bibirnya 

sunggingkan senyum dingin. Dan kadangkala kepa-

lanya bergerak tengadah meski sepasang matanya te-

rus menghujam pada laki-laki di hadapannya.

Untuk beberapa saat lamanya kedua laki-laki ini

tidak ada yang buka mulut. Laki-laki yang satu duduk 

dengan mata terpejam sementara satunya lagi meman-

dang tajam. Namun tak berapa lama kemudian, laki-

laki yang tegak buka mulut perdengarkan suara.

"Galaga! Rasanya penantian ku sudah lama. Aku 

sudah tidak sabar lagi! Kalau kau tetap kukuh pada 

pendirianmu, apa boleh buat. Kita lupakan semua per-

talian di antara kita!"

Laki-laki yang duduk bersila dan dipanggil dengan 

Galaga buka sepasang matanya. Sejurus dia meman-

dang orang yang tegak. Lalu mulutnya bergerak mem-

buka.

"Maladewa! Kau jangan memojokkan aku dengan


begitu rupa! Dan apakah kau tega memutus semua

pertalian ini hanya gara-gara barang sepele?! Apalagi 

kita tahu, Eyang Guru masih hidup! Kita harus sabar 

menunggu. Percayalah! Apa yang kau inginkan pasti 

kau dapatkan! Kepada siapa lagi barang itu akan dibe-

rikan kalau tidak pada kita sebagai muridnya?!"

Laki-laki yang tegak dan dipanggil dengan Malade-

wa sunggingkan senyum seringai. Lalu tertawa pendek 

sebelum akhirnya berkata.

"Galaga! Lalu sampai kapan kita menunggu?! Lagi 

pula belum tentu barang itu diberikan pada kita! Kita 

tahu bagaimana watak Eyang Guru!"

Galaga gelengkan kepala. "Eyang Guru memang 

kadangkala sikapnya aneh! Namun dalam hal barang 

pusaka, aku yakin dia tidak akan berani memberikan 

pada orang lain!"

"Aku tidak percaya semua itu, Galaga!"

"Hem.... Bagaimana kau sampai tidak percaya?!"

Maladewa tertawa lagi, lalu berkata. "Kau ingin sa-

lah satu bukti?!"

Untuk pertama kalinya paras wajah Galaga tampak 

berubah. Namun laki-laki ini coba tutupi perubahan 

wajahnya dengan sunggingkan senyum. "Maladewa! 

Sebaiknya kita tidak usah membicarakan benda itu. 

Selama ini kita hanya mendengar bahwa benda itu di 

tangan Eyang Guru' Tapi bertahun-tahun kita jadi mu-

ridnya, apakah kita pernah melihatnya?!"

"Itu kita bicarakan nanti, Galaga! Aku tadi bilang, 

apakah kau ingin salah satu bukti hingga mengapa 

aku tidak percaya pada Eyang Guru?!"

Diam-diam Galaga tampak gelisah. Dadanya ber-

debar keras. Dan perlahan-lahan laki-laki setengah 

baya ini palingkan wajahnya menghadap jurusan lain. 

Mulutnya terkancing tidak menyahut ucapan Malade


wa.

Maladewa maju dua tindak. Kepalanya didongak-

kan sedikit ke atas. Namun sepasang matanya tetap 

melirik ke arah orang di hadapannya. Lalu dia berkata.

"Galaga! Apa kau kira aku tak tahu kalau selama 

ini Eyang Guru telah turunkan ilmu 'Pantulan Tabir' 

padamu?!"

Galaga tidak bisa lagi sembunyikan rasa kejutnya. 

Kepalanya cepat bergerak berpaling. Mulutnya mem-

buka namun tidak perdengarkan suara.

Maladewa tertawa panjang. "Kau tak usah berucap, 

Galaga! Sikapmu sudah menjawab! Sekarang aku 

tanya, apakah itu bukan salah satu bukti bahwa ben-

da itu kelak tidak akan diberikan pada kita?! Kau 

mungkin masih bisa berharap! Tapi aku?! Dari cara 

Eyang Guru yang menurunkan ilmu padamu sementa-

ra padaku tidak, apakah aku masih punya harapan?!"

Galaga tetap tidak menyahut. Bagaimanapun dia 

coba sembunyikan rasa kagetnya, namun siapa pun 

yang melihat, pasti dapat melihat bayang kegelisahan 

pada raut muka laki-laki ini. Sementara melihat hai 

ini, Maladewa kembali buka mulut.'

"Kita memang tidak pernah melihat benda itu di 

tangan Eyang Guru! Dan kita pun boleh kesampingkan 

kabar yang tersebar dalam dunia persilatan! Tapi apa-

kah munculnya beberapa orang di tempat ini dengan 

berani pertaruhkan nyawa, belum bisa dijadikan satu 

tanda kalau benda itu benar-benar di tangan Eyang

Guru?!" Maladewa hentikan ucapannya sambil tertawa. 

Lalu lanjutkan kata-katanya.

"Galaga! Seandainya aku jadi kau, pasti aku juga 

akan bertindak sepertimu! Dan kau pasti akan berbuat 

sepertiku seandainya kau jadi aku! Dan...."

Belum sampai Maladewa teruskan ucapannya, Ga


laga sudah memotong.

"Maladewa! Aku...."

"Galaga!" kali ini ganti Maladewa yang memotong 

ucapan Galaga sebelum laki-laki ini lanjutkan ucapan-

nya. "Aku belum selesai bicara! Jangan memotong!"

Galaga tidak hiraukan kata-kata Maladewa. Laki-

laki ini buka mulut teruskan ucapannya yang sejenak 

tadi terputus.

"Maladewa! Kau jangan terlalu berprasangka yang 

bukan-bukan! Kalau saat ini Eyang Guru menurunkan 

ilmu 'Pantulan Tabir', semata-mata hanya karena aku 

adalah saudara tuamu! Dan tak lama lagi, kau pun 

pasti akan mendapatkan ilmu itu!"

Maladewa gelengkan kepala. Wajahnya sudah me-

rah padam. Tanda dia sudah tak bisa lagi menahan 

hawa amarah. "Galaga! Usia bukanlah satu alasan

yang tepat untuk persoalan ini! Yang jelas, Eyang Guru 

tidak menyukaiku! Dan dia sengaja turunkan ilmuku

padamu untuk berjaga-jaga!" Maladewa menyela den-

gan tertawa pendek, lalu lanjutkan ucapan. "Tapi apa-

kah dengan membekal ilmu 'Pantulan Tabir' kau dapat 

menghadangku?!" Maladewa geleng-gelengkan kepala 

menjawab pertanyaannya sendiri.

"Maladewa! Kau masih saja punya dugaan buruk!"

"Dengar, Galaga! Ini bukan dugaan! Ini adalah ke-

nyataan! Tapi.... Aku masih bisa menerima semua ini 

kalau kau mau membantuku!"

"Maladewa! Apakah kita hendak membalas semua 

yang telah diberikan Eyang Guru dengan tindakan 

yang tidak pantas?!"

"Belum, Galaga! Eyang Guru belum memberikan 

semuanya pada kita! Bahkan dia telah memberimu le-

bih dibanding apa yang telah diberikan padaku! Dan 

aku ingin jatah kita sama! Tapi bukan ilmu 'Pantulan


Tabir' yang kuminta!"

Walau Galaga mulai jengkel dengan ucapan Mala-

dewa namun laki-laki ini masih coba menahannya ka-

rena sebenarnya dia sendiri merasa tidak enak begitu 

mengetahui kalau adik seperguruannya itu telah tahu 

kalau dirinya telah diberi ilmu 'Pantulan Tabir' oleh 

eyang gurunya. Dan dia pun dapat memaklumi kalau 

Maladewa merasa kecewa dan marah. Namun dia ma-

sih coba menyadarkan dengan berkata.

"Maladewa.... Walau ucapanmu sedikit ada benar-

nya, tapi seharusnya kita harus bersyukur karena se-

lama ini Eyang Guru telah berikan pada kita beberapa 

ilmu. Kalaupun Eyang Guru belum memberikan se-

muanya, mungkin dia punya pertimbangan sendiri.... 

Dan percayalah, Eyang Guru akan memberikan semu-

anya pada kita...."

Maladewa gelengkan kepala. "Pertimbangan apa?!

Kurasa usia kita telah cukup. Usia Eyang Guru pun 

sudah lanjut! Kalau dalam usia demikian lanjut dia ti-

dak juga memberikan apa yang dimiliki pada murid-

nya, apakah mungkin dia akan memberikan itu?!"

"Aku tak bisa jawab pertanyaanmu, Maladewa!

Yang pasti aku masih punya keyakinan jika Eyang 

Guru akan memberikan pada kita! Untuk itu bersabar-

lah...."

"Hem.... Sampai kapan?! Kau bisa menghitung-

nya?!" tanya Maladewa.

"Aku memang tidak bisa menghitung! Tapi aku ya-

kin!"

Maladewa tertawa pendek. "Kau bisa merasa yakin, 

karena kau masih punya harapan! Dan aku sebalik-

nya! Maka dari itu, Galaga. Aku sekali lagi tawarkan 

rencana ini padamu! Jika kau tidak setuju, kau telah 

tahu apa akibatnya!"


"Bukannya aku tidak setuju. Tapi kalau menim-

bang, apa yang telah diberikan Eyang Guru selama ini, 

kurasa itu sudah lebih daripada cukup! Kita jangan se-

rakah meminta lebih!"

"Hem.... Apa ucapanmu itu jawaban penolakan 

atas rencanaku?!"

Galaga tidak segera menjawab Dia pandangi Mala-

dewa dengan seksama seakan ingin yakinkan kalau 

ucapan itu benar-benar diucapkan oleh Maladewa. Di

lain pihak, Maladewa sudah tidak sabar melihat sikap 

Galaga. Maka dia segera buka mulut lagi.

"Galaga! Aku butuh ketegasan mu!"

"Maladewa! Kau memberi ku tawaran yang siapa 

pun juga akan sulit untuk memilihnya!"

"Itu urusanmu! Dan aku menunggu keputusan-

mu!"

Glaga menarik napas panjang. Laki-laki ini jelas 

bimbang. Di satu pihak dia tak ingin hubungan sauda-

ra seperguruan terputus, di sisi lain dia tak mungkin 

berkhianat pada eyang gurunya yang selama ini dirasa 

telah memberikan segala ilmu. Hingga pada akhirnya 

dia berkata.

"Maladewa! Sebenarnya aku dalam situasi sulit!

Dan kau tahu apa sebabnya...."

Mendengar ucapan Galaga, Maladewa mendengus 

lalu berkata dengan suara membentak. "Galaga! Aku 

butuh jawaban tegas! Mau apa tidak!"

Setelah berpikir sejenak, akhirnya Galaga menja-

wab. "Maladewa! Untuk persoalan ini, semuanya kuse-

rahkan padamu!"

"Maksudmu?!"

"Aku tak bisa ikut serta melakukan rencanamu. 

Aku pun tak akan mencegah semua rencanamu!"

"Hem.... Begitu?! Kau telah pikirkan akibatnya?!"


"Aku tidak ikut apa-apa. Jadi kurasa aku tidak 

menanggung akibat apa-apa pula! Semua kuserahkan 

padamu...."

'Tidak semudah itu, Galaga! Meski kau tidak ikut 

serta dalam rencanaku ini, tapi kau adalah satu-

satunya orang yang tahu! Dan kau dengar, aku tak 

mau seorang pun tahu apa rencanaku!"

Galaga kerutkan kening. "Apa maksud ucapanmu, 

Maladewa?!"

Yang ditanya tertawa. "Sebuah rencana akan ber-

buntut panjang kalau ada salah seorang yang tahu!

Dan aku tidak mau hal itu terjadi! Apalagi kau tidak 

memberikan jawaban pasti! Jadi.... Aku inginkan nya-

wamu saat ini juga! Tapi itu masih bisa ku tunda jika 

kau setuju dengan rencanaku!"

"Kau memaksaku, Maladewa!"

"Terserah kau katakan apa. Yang jelas kau tinggal 

memutuskan sekarang juga!"

"Sebenarnya aku telah memilih jalan tengah, Mala-

dewa! Tapi kau rupanya hendak memaksakan kehen-

dak padaku! Sayang sekali, aku tidak suka dipaksa...."

"Kalau itu kau katakan sejak tadi-tadi, tak perlu ki-

ta bicara panjang lebar! Dan berarti kau siap meneri-

ma kenyataan!"

"Sebenarnya aku tak mau hal ini terjadi antara ki-

ta! Tapi kalau kau terlalu memaksaku, aku bukannya 

melawan namun aku juga tidak akan tinggal diam!"

"Bagus! Kau telah memutuskan! Aku pun telah 

mengambil sikap!"

Habis berkata begitu, Maladewa angkat kedua tan-

gannya. Sekali bergerak sosoknya telah tegak hanya 

sejarak empat langkah dari tempat Galaga duduk ber-

sila.

"Maladewa! Tunggu!" tahan Galaga sambil beranjak


bangkit. "Akankah persahabatan ini harus berakhir 

dengan pertumpahan darah?! Akankah tali persauda-

raan ini berakhir di ujung kekerasan hanya gara-gara 

yang belum jelas benar ada tidaknya?!"

"Manusia tidak tahu harus mati karena apa? De-

mikian juga persahabatan dan ikatan persaudaraan!

Tidak seorang pun tahu akan berujung dengan 

apa! Hanya untuk kita, kau tahu bagaimana jalan ak-

hirnya!

Galaga pandangi Maladewa sejenak. Meski tadi te-

lah berkata tidak akan tinggal diam, tapi entah karena 

apa, akhirnya laki-laki ini gerakkan kaki melangkah 

hendak tinggalkan tempat itu tanpa berkata apa-apa.

Maladewa melirik sejurus. Saat lain tiba-tiba laki-

laki ini telah melompat dan tegak menghadang jalan 

Galaga sambil berkata.

"Kau telah dengar ucapanku! Tidak seorang pun 

akan kubiarkan lolos kalau dia tahu urusan ini!"

"Maladewa! Kau tak usah khawatir! Aku tetap me-

rahasiakan urusan ini meski dengan berat hati.... Yang 

kuminta darimu, jika nantinya Eyang Guru tidak 

memberikan apa yang kau minta, kau harus menerima 

dengan lapang dada dan jangan bertindak lebih jauh!"

Habis berkata begitu, Galaga berkelebat. Namun 

bersamaan itu Maladewa telah merangsek dengan han-

tamkan tangan kanannya.

Galaga yang masih punya keyakinan kalau Mala-

dewa tak akan bertindak jauh meski telah keluarkan 

ancaman, hanya diam tanpa membuat gerakan me-

nangkis atau menghindar selamatkan diri.

Bukkk!

Galaga tersentak. Bukan saja karena pukulan tan-

gan kanan Maladewa yang menghantam bahunya, na-

mun juga karena keyakinannya meleset!


Sosok Galaga terhuyung tiga langkah ke samping. 

Laki-laki ini segera berpaling dengan mata berkilat. Di-

lihatnya Maladewa sunggingkan senyum seringai.

"Galaga! Kau salah duga kalau mengira ancaman

ku hanya ucapan mulut saja!"

Belum sampai ucapan Maladewa selesai, laki-laki 

ini telah berkelebat. Kedua tangannya segera mele-

paskan pukulan.

"Kau yang memaksaku, Maladewa!" ujar Galaga la-

lu angkat kedua tangannya membendung kelebatan 

kedua tangan Maladewa yang mengarah pada kepala 

dan dadanya.

Bukkk! Bukkk!

Terdengar benturan keras. Baik sosok Galaga 

maupun sosok Maladewa tampak tersurut tiga langkah 

ke belakang. Wajah keduanya sama berubah. Tangan 

masing-masing yang baru saja berbenturan sama ber-

getar keras.

Maladewa tekuk sedikit lututnya. Tenaga dalamnya 

dilipatgandakan. Saat lain dia telah sentakkan kedua 

tangannya lepas pukulan jarak jauh bertenaga dalam 

tinggi. Hingga saat itu juga dari kedua tangannya me-

lesat dua gelombang angin dahsyat perdengarkan sua-

ra gemuruh keras.

Kalau dalam benturan tangan tadi Galaga masih 

belum percaya benar akan niat Maladewa, kini melihat 

pukulan Maladewa, perlahan-lahan Galaga mulai me-

nangkap isyarat kalau ucapan Maladewa tidak main-

main! Hingga tanpa pikir panjang lagi dia segera pula 

angkat kedua tangannya lalu disentakkan ke depan.

Blammm!

Tanah di tempat ini dibuncah dengan suara leda-

kan keras. Julangan-julangan batu karang bergetar. 

Sosok Galaga mencelat mental sampai dua tombak.


Paras mukanya pias dengan tubuh bergetar keras. Ma-

lah kalau laki-laki ini tidak segera kerahkan tenaga da-

lam, niscaya sosoknya akan roboh terkapar.

Sementara di depan sana, sosok Maladewa juga 

terpelanting lalu tegak dengan kedua kaki goyah. Wa-

jahnya pucat pasi. Namun laki-laki ini cepat kerahkan 

tenaga dalamnya kembali. Dan sekali berkelebat, dia 

telah tegak dua belas langkah di depan Galaga.

"Maladewa! Mungkinkah kenyataan ini benar-benar 

akan terjadi?!"

Maladewa tertawa panjang! "Pertanyaanmu akan 

segera terjawab, Galaga!"

"Aku tak pernah membayangkan kalau hal ini akan 

terjadi, Maladewa!"

"Itulah ketololan mu! Dan kau terlambat untuk 

menyadarinya! Bahkan kau mungkin tidak tahu apa 

yang telah terjadi!" kata Maladewa sambil tersenyum. 

Senyumnya kali ini agak aneh. "Kau tahu, Galaga! Aku 

tadi cuma ingin tahu bagaimana pendirianmu! Aku ju-

ga ingin tahu apakah benar Ilmu 'Pantulan Tabir' telah 

kau miliki! Aku pun ingin tahu, seberapa jauh penge-

tahuanmu tentang benda yang ada di tangan Eyang 

Guru!"

Galaga merasa tak enak mendengar ucapan Mala-

dewa. Dahinya berkerut. "Apa sebenarnya yang telah 

dilakukannya?! Dan apa pula yang telah terjadi?!"

Karena tidak juga menemukan jawaban, pada ak-

hirnya Galaga buka mulut.

"Maladewa! Apa maksud ucapanmu?!"

Maladewa tertawa dahulu sebelum akhirnya berka-

ta menjawab. "Kau boleh memiliki ilmu 'Pantulan Ta-

bir' meski seratus buah! Dan kau boleh bangga karena 

telah mendapat Ilmu itu! Tapi bagiku.... Semua itu ti-

dak ada artinya apa-apa bagiku! Karena aku telah


mendapatkan yang lebih daripada yang kau miliki!"

Galaga makin tak enak. Namun sejauh ini dia be-

lum dapat menduga-duga ke mana arah ucapan Mala-

dewa. Hingga dia ajukan tanya lagi.

"Aku belum mengerti apa arti ucapanmu!"

"Tak usah khawatir, Galaga! Kau akan segera men-

gerti! Namun sayang, hal itu adalah pengertian terak-

hir bagimu! Begitu kau mengerti, saat itu juga nyawa-

mu harus melayang!"

Galaga tambah gelisah. Dia hanya dapat menduga, 

kalau pengertiannya harus ditebus dengan nyawa, 

pasti hal itu adalah satu rahasia besar. Sementara ra-

hasia besar itu tentu tidak jauh dengan urusan Mala-

dewa dan eyang gurunya.

"Hem.... Jangan-jangan dia telah lakukan renca-

nanya tanpa sepengetahuanku! Dan dia telah berha-

sil.... Celaka!" gumam Galaga dalam hati, lalu buru-

buru berkata.

"Maladewa! Apa yang telah kau lakukan pada 

Eyang Guru?!"

Maladewa tidak segera menjawab. Sebaliknya dia 

tertawa panjang. Puas tertawa, Maladewa angkat bica-

ra. "Aku tak bisa menerangkan di sini, Galaga! Tapi 

kau akan segera mengerti kalau kau tahu apa yang 

kuperlihatkan padamu! Tapi perlu kau tahu, itulah 

saat tibanya kematianmu!"

Habis berkata begitu, Maladewa tenang saja ma-

sukkan tangan kanannya ke balik pakaian yang dike-

nakannya. Sepasang matanya memandang tajam pada 

Galaga. Sementara bibirnya sunggingkan senyum. Di 

sebelah depan, dada Galaga tampak berdebar keras. 

Sepasang matanya mendelik tak berkesip memandang 

ke arah gerakan tangan kanan Maladewa.

Seraya tertawa perlahan, Maladewa keluarkan tangan kanannya dari balik pakaiannya. Laksana dipen-

tang setan, sepasang mata Galaga tampak makin 

membeliak seperti hendak loncat dari rongganya anta-

ra terkejut dan tidak percaya!

* *

LIMA



KEMBANG Darah Setan!" desis Galaga dengan sua-

ra bergetar berat. Tubuhnya ikut gemetar. Sementara 

sepasang matanya mementang besar.

Di seberang depan, Maladewa masih saja terse-

nyum sebelum akhirnya angkat bicara. "Galaga! Den-

gan beradanya benda ini di tanganku, rasanya kau tak 

perlu lagi tanya padaku apa yang telah terjadi! Dan se-

perti kataku tadi, begitu kau mengerti, maka itulah 

saat tibanya kematianmu!"

Habis berkata begitu, Maladewa angkat tangannya 

yang ternyata memegang setangkai bunga yang pan-

carkan sinar. Bunga itu memiliki kuncup berwarna 

merah. Pada bagian tangkainya terdapat tiga daun 

berwarna hitam, putih, dan merah.

Begitu dapat kuasai diri, Galaga segera buka suara.

"Maladewa! Aku tidak akan tanyakan bagaimana 

kau memperolehnya. Yang ingin ku tahu, bagaimana 

keadaan Eyang Guru!"

"Kau terlambat untuk bertanya, Galaga! hanya ada 

satu hal yang perlu kau tahu sebelum ajal menjemput 

mu! Dengar baik-baik! Sebenarnya aku adalah cucu 

dari Eyang Guru! Dan akulah generasi terakhir dari 

penghuni Kampung Setan ini!"


Galaga tampak terkesiap. Dia pandangi sosok Ma-

ladewa dengan teliti. Bertahun-tahun dia diangkat mu-

rid oleh eyang gurunya, serta bertahun-tahun pula dia 

bersahabat dengan Maladewa yang juga sebagai adik 

seperguruannya, dia sama sekali tidak mengetahui ra-

hasia kalau Maladewa adalah cucu dari eyang gurunya 

sendiri! Yang dia tahu, pada masa mudanya dulu dia 

dengar dan tahu kalau rimba persilatan pernah dibuat 

geger dengan munculnya tokoh-tokoh berilmu tinggi 

yang sebutkan diri Kampung Setan. Sebuah kampung 

yang pada akhirnya menjadi momok, bukan saja bagi 

kalangan orang biasa, melainkan juga bagi kalangan 

orang-orang rimba persilatan. Karena beberapa tokoh 

dari Kampung Setan merajalela membunuhi beberapa 

tokoh rimba persilatan tanpa pandang bulu dari golon-

gan hitam maupun dari golongan putih.

Namun keangkeran Kampung Setan pada akhirnya 

tenggelam setelah beberapa tokoh dari golongan putih 

dan golongan hitam bersatu membasmi dengan mem-

porak-porandakan Kampung Setan. Hanya saja kalan-

gan orang-orang rimba persilatan tidak tahu kalau dari 

generasi Kampung Setan masih ada seorang yang se-

lamat. Orang inilah yang pada akhirnya mengangkat 

Galaga sebagai murid juga sebagai sahabat dari mu-

ridnya yang dahulu yakni Maladewa. Meski Maladewa 

sudah menjadi murid sebelum datangnya Galaga, na-

mun karena Galaga lebih tua, maka Maladewa men-

ganggap Galaga sebagai kakak seperguruannya.

Tapi keangkeran Kampung Setan ternyata hanya 

tenggelam sesaat. Karena begitu Kampung Setan po-

rak-poranda, tersiar kabar bahwa sebuah senjata dah-

syat bernama Kembang Darah Setan berada di Kam-

pung Setan. Malah tersiar pula berita, kalau sebenar-

nya Kembang Darah Setan itu masih memiliki rahasia


lagi di dalamnya!

Tersiarnya berita ini membuat para tokoh-tokoh 

rimba persilatan mulai berlomba memburu. Kalau pa-

da awalnya para golongan putih dan golongan hitam 

saling bersatu dalam memporak-porandakan Kampung 

Setan, maka dalam hal pemburuan senjata itu, para 

tokoh mulai saling bersaing untuk mendahului. Hal ini 

menimbulkan terjadinya kacau balau. Terjadi saling 

tuduh dan saling hasut! Belum lagi ditambah dengan 

tidak pernah kembalinya beberapa orang yang coba-

coba menyelidik ke Kampung Setan!

Galaga arahkan pandangannya ke jurusan lain. 

Sebenarnya dia belum percaya benar dengan ucapan 

Maladewa yang mengatakan dirinya adalah cucu eyang 

gurunya. Namun melihat Kembang Darah Setan yang 

sesekali pernah didengar ceritanya dan yakin yang di 

tangan Maladewa adalah Kembang Darah Setan, sedi-

kit banyak Galaga mulai bimbang akan ketidakper-

cayaannya. Yang membuatnya makin gelisah, mengapa 

Maladewa menginginkan nyawanya? Alasan Maladewa 

karena Galaga telah tahu rencananya bukanlah satu 

alasan yang kuat. Ada hal lain mengapa Maladewa in-

ginkan nyawanya! Namun pada saat seperti sekarang 

ini adalah sudah sangat terlambat untuk menanya-

kannya.

Berpikir begitu, akhirnya Galaga ambil keputusan. 

'Aku harus dapat menghindar dahulu! Aku perlu me-

nyelidiki tentang keberadaan Eyang Guru! Setelah itu 

baru aku bisa tentukan langkah...."

"Maladewa!" ujar Galaga setelah kedua orang ini 

sama-sama berdiam diri untuk beberapa lama. "Kem-

bang Darah Setan telah berada di tanganmu! Berarti

apa yang kau inginkan tercapai! Kuharap dengan...."

"Belum, Galaga!" tukas Maladewa memotong ucapan Galaga. "Keinginanku belum semuanya tercapai!

Dan salah satunya adalah mencabut nyawamu!"

"Kau ini aneh! Kembang Darah Setan telah berada 

di tanganmu. Apa artinya nyawaku bagimu?!"

"Saat ini bukan saat yang baik untuk bertanya! Se-

harusnya kau sudah berpikir jauh-jauh sebelum ini!"

"Hem.... Jadi selama ini kau telah memendam ren-

cana tidak baik!"

Maladewa tertawa panjang sebelum akhirnya ber-

kata. 'Tadi sudah kukatakan kau sangat terlambat 

mengetahuinya! Bahkan tak mungkin tahu apa yang 

telah terjadi!"

"Aku tidak menduga sama sekali, Maladewa...," 

gumam Galaga. Lalu tanpa sambut! ucapan Maladewa, 

Galaga balikkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tem-

pat itu. Galaga sudah siap menghadapi apa yang akan 

terjadi seandainya Maladewa menghadang dan paksa-

kan niatnya. Hingga sambil berkelebat, Galaga kerah-

kan tenaga dalam pada kedua tangannya.

Namun dugaan Galaga kali ini meleset. Meski dia 

telah berkelebat, Maladewa tidak membuat gerakan 

untuk menghadang atau lepaskan pukulan untuk me-

nahan gerakannya. Hingga Galaga bisa terus berkele-

bat.

Begitu memasuki kawasan hutan belantara lebat, 

Galaga sengaja memperlambat larinya sambil terus 

berpikir. "Tak mungkin aku memasuki Kampung Setan 

dan melihat keadaan Eyang Guru kalau Maladewa ma-

sih berada di sana! Aku harus menunggu sampai Ma-

ladewa pergi.... Hem.... Apa yang telah dilakukan Ma-

ladewa pada Eyang Guru?! Mengapa pula Eyang Guru 

tidak pernah cerita kalau Maladewa adalah cucunya 

sendiri? Kembang Darah Setan.... Ternyata benda itu

benar-benar ada! Dan selama ini pasti berada di tangan Eyang Guru.... Apakah kabar yang selama ini ter-

sebar bahwa di dalam benda itu masih tersimpan ra-

hasia, benar juga adanya?! Mudah-mudahan Eyang 

Guru tidak mengalami apa-apa. Dengan begitu aku bi-

sa menanyakan urusan ini! Selama ini aku tidak bera-

ni mengatakannya! Herannya.... Mengapa Eyang Guru 

sengaja turunkan ilmu 'Pantulan Tabir' padaku?! Se-

mentara tidak pada Maladewa?! Apakah hal ini dilaku-

kan Eyang Guru agar aku tidak kecewa dengan diberi-

kannya Kembang Darah Setan pada Maladewa?! Seha-

rusnya Eyang Guru tahu.... Aku tidak begitu tertarik 

dengan segala macam benda pusaka kalau benda itu 

memang harus diberikan pada cucunya! Dan...."

Mendadak Galaga putuskan gumamannya sendiri. 

Bersamaan itu laksana disentak setan, langkah ka-

kinya terhenti. Sepasang matanya memandang tajam 

ke depan dengan dada berdebar. Karena hanya sejarak 

delapan tombak di depan sana, terlihat tegak satu so-

sok tubuh dengan kedua tangan merangkap di depan 

dada. Kepalanya sedikit didongakkan.

"Maladewa!" desis Galaga mengenali siapa adanya 

sosok yang tegak seolah menghadang jalannya. "Ba-

gaimana dia tahu-tahu sudah muncul di situ?!"

"Galaga! Jangan mimpi kalau bisa teruskan lang-

kah!"

"Aku benar-benar tak mengerti maksudmu, Mala-

dewa!"

"Sudah kukatakan berulang kali. Itulah satu keto-

lolan mu! Dan kau telah ditakdirkan untuk tewas tan-

pa mengerti!"

Habis berkata begitu, Maladewa telah melesat ke

depan. Kedua tangannya sudah berkelebat lepaskan 

pukulan jarak jauh selagi sosoknya berada di atas 

udara sejarak dua tombak dari tempat Galaga.


Galaga tidak tinggal diam. Kalau tadi hanya seten-

gah hati dalam menghadapi Maladewa, kali ini dia 

langsung melompat ke depan menyongsong pukulan 

Maladewa dengan kedua tangan disentakkan.

Blammm! Blammm!

Hutan belantara lebat itu seketika disentak dengan 

ledakan keras dan getaran hebat. Beberapa jajaran po-

hon tampak doyong lalu tumbang. Rangasan semak 

belukar terbabat sebelum akhirnya tersapu amblas!

Sosok Maladewa terhuyung-huyung ke belakang. 

Sementara Galaga tampak terseret lima langkah. Na-

mun kedua orang ini cepat lipat gandakan tenaga da-

lam masing-masing. Saat lain keduanya telah sama 

sentakkan tangan ke depan.

Empat gelombang dahsyat menderu dari dua juru-

san. Dua gelombang melesat dari kedua tangan Mala-

dewa, dua lagi berkiblat dari kedua tangan Galaga.

Namun tiba-tiba Maladewa tersentak. Dua gelom-

bang pukulannya laksana menghantam kekuatan dah-

syat. Hingga sebelum dua gelombang pukulannya ben-

trok dengan dua gelombang pukulan Galaga, dua ge-

lombang pukulannya mental balik. Bersamaan dengan 

itu secara aneh dua gelombang pukulan Galaga me-

nyusul. Empat gelombang ini saling menyatu di udara.

Maladewa makin besarkan beliakan matanya. Ka-

rena begitu empat gelombang bersatu, gelombang itu 

membubung ke angkasa. Lalu melesat dari satu arah 

ke arah lainnya saling memantul di delapan penjuru 

mata angin!

Hebatnya, begitu gelombang itu memantul dari sa-

tu arah hendak menuju lain arah, Maladewa rasakan 

tubuhnya tersentak-sentak! Hingga untuk beberapa 

kali orang ini harus kerahkan tenaga dalam untuk ku-

asai diri dari sentakan tubuhnya yang mengikuti pantulan gelombang.

"Ilmu 'Pantulan Tabir!’" desis Maladewa dengan su-

ara bergetar. Dia lipat gandakan tenaga dalam untuk 

kuasai diri. Begitu gelombang berada di atas udara dan 

akan memantul, dia segera saja lepaskan pukulan.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang kembali melesat ke arah gelombang 

yang tadi memantul-mantul di atas udara. Namun Ma-

ladewa harus terkesiap. Belum sampai dua gelombang 

pukulannya menghantam gelombang yang memantul, 

Galaga telah sentakkan kedua tangannya. Bersamaan 

dengan itu gelombang yang tadi pantul-memantul ke 

delapan penjuru mata angin perdengarkan ledakan 

dahsyat dan ambyar berkeping-keping! Pukulan ge-

lombang yang melesat dari kedua tangan Maladewa te-

rus amblas ke atas melabrak tempat kosong!

Dan pada saat gelombang yang tadi memantul am-

byar, sosok Maladewa terjengkang roboh di atas tanah! 

Dari mulutnya mengucur darah. Tanda orang ini telah 

terluka dalam. Sementara di seberang sana, Galaga 

tampak terhuyung-huyung, tapi laki-laki ini cepat da-

pat kuasai diri.

Maladewa perlahan-lahan bergerak bangkit. Sepa-

sang matanya langsung menyengat angker ke arah Ga-

laga. Namun sesaat kemudian Maladewa tiba-tiba per-

dengarkan suara tawa bergerak panjang. Bersamaan 

itu tangan kanannya menyelinap masuk ke balik pa-

kaiannya.

"Dia akan pergunakan Kembang Darah Setan! 

Meski aku belum pernah tahu kehebatan benda itu, 

aku harus berhati-hati. Sebagai benda pusaka sakti 

pasti memiliki kehebatan luar biasa!"

Memikir sampai di situ, Galaga cepat kerahkan se-

genap tenaga yang dimiliki. Di sebelah depan, Malade


wa telah genggam tangkai Kembang Darah Setan yang 

pancarkan sinar.

Maladewa menyeringai dingin. Tanpa berkata-kata 

lagi dia segera melompat ke depan. Tangan kanannya 

yang memegang Kembang Darah Setan segera digerak-

kan ke depan.

Wuutt!

Dari tangan kanan Maladewa berkiblat sinar ca-

haya berwarna merah, hitam serta putih.

Galaga sempat melengah melihat dahsyatnya sinar 

dari Kembang Darah Setan. Namun dia segera sadar. 

Cepat-cepat dia sentakkan kedua tangannya dengan 

andalkan ilmu 'Pantulan Tabir'. Hingga saat itu juga 

dua gelombang dahsyat melesat dari kedua tangannya. 

Hebatnya dua gelombang itu bukannya langsung me-

nyongsong tiga sinar yang kini menggebubu. Namun 

melesat ke samping. Saat lain dua gelombang itu telah 

melesat dan memantul kian kemari menghadang tiga 

sinar!

Namun kali ini Galaga harus waspada. Karena 

meski gelombang dari kedua tangannya mampu meng-

hadang lesatan tiga sinar yang melesat, tiga sinar itu 

tidak mampu disapunya hingga mengikuti pantulan 

gelombang! Hingga tiga sinar itu tampak terapung di 

udara!

Maladewa tidak menunggu lama. Mendapati Galaga 

tidak menyapu tiga sinar yang keluar dari Kembang 

Darah Setan, laki-laki ini untuk kedua kalinya sentak-

kan Kembang Darah Setan. Hingga saat itu juga kem-

bali melesat tiga sinar berwarna merah, putih, dan hi-

tam!

"Celaka!" gumam Galaga mengetahui bagaimana ti-

ga sinar kini melesat kembali dari arah depan. Laki-

laki ini pejamkan sepasang matanya. Lalu dengan kerahkan seluruh tenaga luar dan dalam, kedua tangan-

nya disentakkan.

Wuutt! Wuuutt!

Dari kedua tangannya menghampar gelombang 

dahsyat yang tak lama kemudian bergabung dengan 

gelombang yang pantul memantul di udara mengha-

dang sinar dari Kembang Darah Setan.

Di lain pihak tiga sinar yang baru melesat dari 

Kembang Darah Setan mendorong tiga sinar yang ter-

hadang gelombang. Begitu terdorong, mendadak tiga 

sinar itu melesat deras ke depan!

Galaga tersentak. Tak ada jalan baginya untuk se-

lamat selain harus menghadang dari arah depan. Maka 

dengan membentak garang, laki-laki ini sentakkan 

tangannya ke belakang. Bersamaan itu gelombang 

yang memantul tertarik. Saat Galaga mendorong ke 

depan, gelombang yang tadi memantul di udara mele-

sat deras menyongsong sinar yang datang…

Blaarr! Blarrr!

Hutan belantara itu laksana diterjang gelombang 

dahsyat hingga bergetar keras. Beberapa pohon basar 

langsung tumbang. Tanah di mana terjadi benturan 

pukulan muncrat sambil lima tombak ke udara.

Sosok Galaga langsung mencelat dan jatuh ter-

banting dengan punggung menghantam batangan po-

hon yang tumbang melintang. Darah mengucur dari 

hidung dan mulutnya. Galaga rasakan sekujur tubuh-

nya panas luar biasa laksana dipanggang dalam bara. 

Pakaian yang dikenakan tampak hangus di bagian de-

pan.

"Rasanya sulit bagiku kalau harus berhadapan 

dengan Kembang Darah Setan. Lagi pula aku harus 

tahu bagaimana keadaan Eyang Guru! Aku harus la-

kukan sesuatu agar bisa selamatkan diri!" Galaga bergerak duduk. Sepasang matanya mengedar berkeliling. 

Saat itu suasana masih agak gelap karena terbungkus 

muncratan tanah serta banyaknya tumbangan pohon. 

Dan ketika dia memandang ke depan, samar-samar 

terlihat sosok Maladewa tegak berdiri dengan tangan 

kanan mengangkat Kembang Darah Setan.

Galaga tidak tunggu lama. Dia kerahkan sisa tena-

ga dalamnya. Serta-merta kedua tangannya disentak-

kan ke depan.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang dahsyat menderu deras ke depan. 

Beberapa batangan pohon yang melintang tersapu. 

Saat yang sama, Galaga bergerak bangkit. Lalu berke-

lebat tinggalkan tempat itu.

Maladewa tampak tersenyum dingin mendapati be-

berapa batangan pohon menyapu ke arahnya. Dia 

hanya gerakkan tangan kanannya yang menggenggam 

Kembang Darah Setan.

Wuutt!

Tiga sinar merah, hitam, dan putih berkiblat.

Brakk! Brakkk!

Terdengar beberapa kali derakan. Beberapa batan-

gan pohon yang menghampar ke arah Maladewa lang-

sung porak-poranda dan hancur berkeping-keping!

Maladewa seakan tahu apa yang diperbuat Galaga. 

Hingga hampir berbarengan dengan gerakan tangan 

kanannya yang berkelebat, sosoknya langsung melesat 

ke depan. Meski dia tertambat, tapi sepasang matanya 

masih dapat menangkap kelebatan sosok Galaga, 

hingga sambil berkelebat mengejar, tangan kanannya 

bergerak.

Kembali hutan belantara itu dibuncah tiga kiblatan 

sinar tiga warna. Merah, hitam, dan putih.

Di depan sana, Galaga rupanya sudah pula mengatur siasat. Hingga dia tidak berkelebat lurus. Tapi sen-

gaja mengambil arah berbelok-belok. Hingga kesulitan 

bagi Maladewa untuk arahkan hantaman tangan ka-

nannya yang memegang Kembang Darah Setan. Na-

mun laki-laki ini tidak ambil peduli. Tangan kanannya 

terus menerus menghantam, hingga saat itu juga hu-

tan belantara itu dibuncah suara derakan tumbangnya 

beberapa pohon serta terbabatnya ranggasan semak 

belukar. Udara di atas hutan pun tampak berubah ka-

rena sesekali tampak hamburan tanah dan daun-daun 

yang membubung ke angkasa.

Pada satu tempat, tiba-tiba Maladewa hentikan ke-

lebatan tubuhnya. Tangan kanannya yang memegang 

Kembang Darah Setan ditarik ke bawah. Sepasang ma-

tanya berkilat-kilat memandang berkeliling.

"Meski saat ini kau lolos, namun bukan berarti kau 

akan mendapat tempat untuk sembunyikan diri, Gala-

ga!" teriak Maladewa begitu dia tidak lagi melihat sosok 

Galaga.

Kehilangan jejak orang yang dikejar rupanya mem-

buat Maladewa marah besar. Karena yang ada di ha-

dapannya hanya jajaran pohon, maka semua kemara-

hannya ditumpahkan pada apa saja yang terlihat ma-

tanya. Tangan kanan yang memegang Kembang Darah 

Setan dan tangan kirinya serta-merta bergerak. 

Wuutt! Wuutt!

Beberapa jajaran pohon dan semak belukar kemba-

li berderak dan bertaburan ke angkasa. Saat derakan 

dan hamburan semak belukar sirap, sosok Maladewa 

sudah tidak kelihatan lagi di tempat itu.

Begitu suasana kembali tenang, perlahan-lahan 

semak belukar tidak jauh dari tempat di mana tadi Ma-

ladewa berdiri kalap hantamkan kedua tangannya ka-

rena marah, tiba-tiba bergerak menyibak. Lalu tampaklah, satu sosok tubuh keluar dengan kepala berge-

rak ke samping kanan kiri dan mata liar menyelidik. 

Orang ini ternyata bukan lain adalah Galaga.

"Hem.... Aku harus mencari kesempatan! Pada be-

berapa hari ini mungkin Maladewa masih berada di 

Kampung Setan. Aku akan menyingkir dahulu...."

Habis bergumam begitu, Galaga putar kepalanya. 

Saat kakinya bergerak, sosoknya melesat tinggalkan 

tempat itu.

*

* *

ENAM



SEBELUM kita ketahui ke mana Maladewa berke-

lebat pergi dan ke mana pula Galaga sembunyikan diri 

setelah berhasil lolos dari tangan maut Maladewa, kita 

ikuti dahulu peristiwa yang terjadi tiga hari sebelum 

Maladewa dan Galaga bertemu.

Saat itu malam hampir saja menjelang. Keadaan 

samar-samar sudah gelap. Namun hutan belantara 

berbatasan dengan pesisir itu sudah tenggelam dalam 

kepekatan. Hujan rintik-rintik yang turun sejak petang 

membuat suasana hutan kelam menggidikkan. Apalagi 

samar-samar jauh di dalam hutan terdengar lolongan 

anjing yang bersahut-sahutan.

Dalam kelamnya suasana, laksana hantu gen-

tayangan, satu sosok tubuh tampak berkelebat cepat 

melintasi kekelaman hutan belantara. Melihat gera-

kannya, jelas sekali kalau sosok ini telah tahu benar 

seluk beluk tempat yang dilalui. Hingga dalam bebera-

pa saat saja sosoknya telah melewati hutan belantara


tanpa halangan suatu apa.

Sosok ini baru hentikan larinya tatkala di hada-

pannya tampak julangan-julangan batu karang yang 

berjajar melingkar seakan membentuk pagar. Di ten-

gah julangan-julangan batu karang terlihat sebuah ta-

nah terbuka yang pada tengahnya tampak sebuah al-

tar batu. Tidak jauh dari altar batu tampak menggugus 

satu gundukan batu yang di bagian kedua ujungnya 

terdapat batu pipih mirip batu nisan. Batu menggugus 

ini panjangnya kira-kira dua tombak. Karana di bagian 

kedua ujungnya terdapat batu pipih, sementara gugu-

san batu itu menggunduk, sepintas saja orang yang 

melihat pasti sudah dapat menduga kalau gugusan ba-

tu itu adalah sebuah makam.

Dalam beberapa tahun silam, tempat yang dikeli-

lingi julangan-julangan batu karang yang seakan me-

magari makam batu inilah yang sempat membuat geg-

er dunia persilatan dan sempat menjadi tempat angker 

dan dijuluki orang dengan Kampung Setan. Beberapa 

tokoh rimba persilatan yang coba-coba menyelidik ke 

tempat ini banyak yang tidak terdengar lagi kabar beri-

tanya.

Sejenak sosok tubuh yang tegak memandang ju-

langan-julangan batu karang edarkan pandangannya 

berkeliling. Dia adalah seorang laki-laki bermata tajam. 

Rambutnya panjang sebahu, paras wajahnya agak 

tampan. Sosoknya kekar.

Setelah edarkan mata berkeliling, laki-laki ini 

membuat satu gerakan. Sosoknya melesat dan tahu-

tahu telah tegak di antara salah satu julangan batu 

karang. Kepala laki-laki ini kembali berputar. Saat lain 

dia melangkah mendekati julangan batu karang di ha-

dapannya.

Dengan mata melirik ke samping kiri kanan, tangan kanannya bergerak menjulur ke depan. Laki-laki 

ini tampak menekan pada permukaan batu karang di 

depannya. Pada saat yang sama, terdengar suara ber-

derit gesekan batu.

Laki-laki di hadapan batu karang tidak menunggu 

lama. Julangan batu karang di hadapannya tiba-tiba 

menguak terbuka. Kepala si laki-laki sesaat berputar 

sekali lagi. Jelas kalau laki-laki ini waspada dan tak 

mau diketahui orang. Saat dirasa aman, laki-laki ini 

melangkah panjang-panjang memasuki julangan batu 

karang yang ternyata memiliki pintu rahasia.

Begitu sosok si laki-laki lenyap masuk, batu karang 

yang terbuka menutup lagi. Si laki-laki cepat edarkan 

pandangan. Tempat itu ternyata mirip sebuah ruan-

gan. Dan tempat itu terang benderang karena di bagian 

pojok tampak sebuah obor yang menyala. Di bawah 

obor, tampak sebuah ruangan kecil yang pada bagian 

tengahnya terdapat tempat datar dari batu karang ber-

bentuk persegi panjang sebesar satu tombak berkelil-

ing.

Si laki-laki yang baru masuk langsung arahkan 

pandangan matanya ke ruangan di bawah obor. Bukan 

pada batu karang persegi panjang, namun pada satu 

sosok tubuh yang duduk bersila di atas batu karang 

persegi panjang. Sosok ini adalah seorang perempuan 

berusia amat lanjut. Seluruh wajahnya sudah menge-

riput. Rambutnya yang telah putih tampak sangat tipis 

sekali hingga batok kepalanya terlihat jelas. Kelopak 

sepasang matanya yang menjorok masuk tampak ter-

pejam rapat. Kedua tangannya yang ringkih bersede-

kap merangkap di dada. Nenek ini mengenakan pa-

kaian warna putih bersih.

Si laki-laki bergerak melangkah. Dan berhenti 

hanya sejarak delapan langkah di depan ruangan mana si nenek berada. Untuk beberapa lama si laki-laki 

memandang pada si nenek dengan seksama. Namun 

sejauh ini mulutnya masih terkancing tidak perden-

garkan suara meski jelas kalau si laki-laki sudah tidak 

sabaran.

"Maladewa...." Mendadak si nenek perdengarkan 

suara. Meski sosoknya terlihat ringkih dan mulutnya 

membuka sedikit, namun suara yang diperdengarkan 

sangat berat dan menggema ke Seantero ruangan!

Si laki-laki yang dipanggil Maladewa sejurus tam-

pak tersentak kaget. Tapi dia belum juga buka mulut. 

Dia hanya memandang dengan sikap makin gelisah.

"Maladewa! Kau tahu, saat ini bukan waktunya 

kau dating!" Si nenek kembali buka mulut. Namun se-

pasang matanya tetap terpejam rapat.

"Aku tahu!" Maladewa menyahut. "Tapi ada sesua-

tu yang mengharuskan ku datang!"

Si nenek buka kelopak matanya. Memandang seje-

nak pada obor di atasnya lalu mulutnya meniup den-

gan kepala sedikit didongakkan.

Terdengar siuran angin. Di lain saat, tiba-tiba obor 

yang menyala padam! Ruangan di dalam julangan batu 

karang itu hitam pekat.

"Katakan padaku, Maladewa! Apa yang membuat-

mu datang bukan pada waktunya!" Si nenek perden-

garkan suara lagi. Namun suaranya kali ini tidak bisa 

ditentukan bersumber dari mana. Karena suara itu 

laksana diperdengarkan dari delapan jurusan mata 

angin! Maladewa tidak segera menjawab. Sebaliknya 

laki-laki ini pentang mata besar-besar memandang ke 

arah batu persegi panjang di mana tadi si nenek du-

duk bersila. Laki-laki ini sejenak terkesiap. Karena ma-

tanya tidak lagi melihat sosok si nenek di atas batu!

Mendapati hal demikian, Maladewa tampak geram.


Dia cepat balikkan tubuh lalu melompat dan tegak di 

tengah ruangan dengan kepala mendongak. Saat lain 

tanpa gerakan kepala berpaling, dia bersuara.

"Nek! Bertahun-tahun aku merahasiakan siapa di-

riku pada Galaga! Hingga yang dia tahu sampai seka-

rang adalah bahwa di antara kita berdua hanya hu-

bungan sebagai guru dan murid!"

"Hem.... Hanya itu yang membuatmu datang, Cu-

cuku...?!" Terdengar suara si nenek namun tidak jelas 

di mana dia beradanya. Suaranya masih menggema 

dari delapan arah.

"Nek! Rasanya usiaku telah cukup. Usiamu juga te-

lah lanjut! Sudah saatnya kau serahkan semua wari-

san leluhur penguasa Kampung Setan ini padaku! Aku 

khawatir kalau Galaga mencium siapa adanya kita 

berdua!"

"Maladewa cucuku.... Kau tidak usah khawatir 

dengan Galaga! Aku percaya penuh padanya! Dia tidak 

mungkin membocorkan keadaan Kampung Setan ini di 

luaran sana! Dia murid baik! Tak mungkin berani 

berkhianat, apalagi dia telah bersumpah sebelum kua-

ngkat sebagai muridku!" Si nenek hentikan ucapannya 

sejenak. Tak lama kemudian terdengar lagi ucapannya.

"Tentang permintaanmu, Cucuku. Kau harus ber-

sabar. Saat itu pasti akan tiba! Tapi bukan sekarang!"

"Hem.... Lalu sampai kapan? Kau bisa tentukan 

waktunya?!" tanya Maladewa masih dengan tegak di 

tengah ruangan dan kepala mendongak.

"Seperti pendahulu ku. Aku tidak boleh mengata-

kan saat tibanya waktu itu! Tapi pasti akan datang! 

Dan semua permintaanmu akan terpenuhi meski kau 

tidak memintanya! Dan karena kau adalah generasi te-

rakhir, maka kau akan mendapat tugas penting yang 

sebelumnya tidak pernah kulakukan!"


"Tugas apa itu?!"

"Kau nanti akan mengetahuinya bila upacara pe-

nyerahan berlangsung!"

Beberapa saat antara kedua orang ini tidak ada 

yang perdengarkan suara. Namun tak lama kemudian,

Maladewa tampak buka mulut lagi.

"Nek! Kau tidak mengada-ada dengan keterangan 

yang kau ucapkan?!"

Terdengar suara tawa berat menggema. Lalu dis-

usul dengan suara si nenek.

"Untuk apa aku mengada-ada keterangan, Cucuku!

Kau adalah generasi terakhir dari Kampung Setan 

yang harus mengemban tugas! Jadi kelak tidak ada la-

gi yang perlu disembunyikan lagi!"

"Begitu?! Lalu mengapa kau masih sembunyikan 

sesuatu dariku?!"

Sesaat tak ada sahutan. Maladewa ganti perden-

garkan suara tawa sebelum akhirnya berkata. "Nek! 

Mengapa kau diam saja?!" "Coba katakan apa yang ka-

tamu ku sembunyikan!' "Mengapa kau turunkan Ilmu 

'Pantulan Tabir' pada Galaga?! Sementara aku sebagai 

generasi terakhir dan cucumu kau abaikan?! Padahal 

sudah beberapa kali aku meminta padamu untuk tu-

runkan ilmu itu!"

"Maladewa! Galaga sengaja kuambil murid untuk 

mendampingimu kelak dalam melaksanakan tugas!

Dan sengaja ilmu itu kuturunkan dahulu padanya 

agar dapat menjaga diri.... Karana selama ini dialah 

yang sering keluar! Lebih dari itu, kau tak usah kha-

watir. Kau juga akan segera menerima ilmu itu begitu 

saatnya dekat dengan upacara penyerahan!'

"Rasanya itu bukan satu alasan yang masuk akal, 

Nek! Tidak ada salahnya bukan kalau ilmu itu kau tu-

runkan jauh sebelum upacara penyerahan?! Kau sepertinya mendahulukan orang lain daripada cucumu 

sendiri! Aku menduga ada apa-apa di balik semua ini!"

"Maladewa! Jangan berprasangka buruk padaku! 

Adalah tindakan bodoh jika seorang nenek mendahu-

lukan kepentingan orang lain daripada cucunya!"

"Aku tidak bisa percaya dengan ucapanmu, Nek!"

"Dengar, Maladewa! Aku tak suka dengan sikapmu 

yang kurang ajar berani berkata begitu padaku! Kau 

juga datang bukan pada saatnya! Kuperintahkan kau 

agar segera keluar dari sini!"

"Kau jangan lupa, Nek! Kita sama-sama berhak 

atas warisan leluhur! Dan aku minta saat ini juga wa-

risan itu diberikan padaku!"

"Ucapanmu benar, Maladewa! Tapi aku tak berani 

melanggar pesan! Semua warisan boleh kau miliki se-

telah upacara penyerahan berlangsung! Lain dari saat 

itu, kau tidak akan memperoleh apa-apa. Aku pun tak 

berani memberikan padamu!"

"Kalau begitu aku akan mengambil dengan caraku 

sendiri!"

"Jangan bicara sembarangan, Maladewa! Kau me-

nyalahi peraturan yang berlaku di Kampung Setan ini!"

"Aku tak peduli! Karena kau juga telah bertindak 

ceroboh turunkan ilmu 'Pantulan Tabir' pada orang se-

lain keturunan dari Kampung Setan!"

Habis berkata begitu, Maladewa gerakkan tubuh 

berputar. Sepasang matanya terpentang besar coba 

tembusi kepekatan suasana. Namun sejauh ini ma-

tanya tak bisa menangkap di mana beradanya si ne-

nek.

"Nek! Kau kira aku tak bisa berbuat sesuatu meski 

aku tak bisa melihat kau berada di mana?!"

Tak ada suara sahutan. Maladewa angkat kedua 

tangannya. Saat lain laki-laki ini sentakkan tangannya


sambil berputar.

Terdengar suara melesatnya beberapa gelombang 

yang datang susul menyusul. Lalu terdengar suara 

gemuruh dahsyat tiada hentinya. Ruangan dalam ju-

langan batu karang itu bergetar keras. Keadaannya 

makin pekat karena hamburan beberapa pecahan batu 

karang.

"Hentikan, Maladewa!" tiba-tiba terdengar teriakan 

si nenek.

Maladewa hentikan gerakan kedua tangannya serta 

putaran tubuhnya. "Berikan warisan itu padaku! Atau 

kau ingin tempat ini porak-poranda!"

"Maladewa...." Terdengar suara si nenek. Kali ini 

nadanya lembut meski suaranya berat. "Bersabarlah! 

Saatnya pasti akan tiba!"

"Aku tak akan menunggu saat yang belum pasti 

kapan datangnya! Aku minta saat ini juga!"

Habis berkata begitu, Maladewa kembali angkat 

kedua tangannya. Namun sebelum kedua tangannya 

sempat bergerak, terdengar suara si nenek. Namun 

kali ini suaranya keras.

"Maladewa! Aku telah memperingatkanmu! Tapi 

rupanya kau keras kepala! Sekarang katakan apa yang 

kau minta!"

"Kembang Darah Setan!" jawab Maladewa dengan 

suara tak kalah kerasnya.

"Benda itu harus kau terima saat penyerahan, Ma-

ladewa!"

"Persetan dengan upacara penyerahan! itu hanya 

omong kosong belaka! Buktinya sudah berapa tahun 

aku menunggu! Tapi apa yang ku dapati?! Hanya 

tunggu dan tunggu! Sementara orang lain telah men-

dapatkannya meski tidak meminta!"

"Hem.... Jadi kau tidak sabar menunggu upacara


penyerahan itu?! Dan memintanya sekarang?!"

"Nek! Kau telah dengar ucapanku!"

"Baik! Ini permintaanmu! Aku pun tak akan meno-

lak apa yang kau minta karena itu memang hakmu!"

Suasana ruangan di dalam julangan batu karang 

sejenak hening. Maladewa tegak menunggu dengan 

dada berdebar. Tiba-tiba laki-laki ini tersentak tatkala 

matanya menangkap cahaya sinar. Dia cepat balikkan 

tubuh menghadap sumber berpencarnya cahaya. Na-

mun dia tersentak tatkala melihat cahaya sinar ber-

warna merah, hitam serta putih itu melesat ke arah-

nya!

Maladewa cepat rundukkan tubuh dengan lutut 

sedikit ditekuk. Saat bersamaan kedua tangannya ber-

gerak berkelebat ke atas menyahut cahaya yang menu-

ju arahnya.

Tappp!

Cahaya tiga warna tersahut kedua tangan Malade-

wa. Laki-laki ini merasakan hawa hangat merasuki se-

kujur tubuhnya.

"Kembang Darah Setan!" desis Maladewa dengan 

mata membeliak besar perhatikan apa yang kini bera-

da dalam tangannya. Perlahan-lahan dia turunkan 

tangannya.

"Maladewa! Kau telah mendapatkan apa yang jadi 

hakmu! Tapi ingat, hal itu kau peroleh tanpa upacara 

penyerahan! Aku tak bisa berbuat apa-apa karena itu 

adalah kemauanmu! Sekarang segeralah angkat kaki 

dari ruangan ini!"

Maladewa angkat kepalanya. "Kembang Darah Se-

tan telah berada di tanganku! Siapa pun juga tak ber-

hak memberi perintah! Justru akulah sekarang yang 

buat aturan dan keluarkan perintah!" 

"Maladewa! Kau jangan...."


"Kuperintahkan kau agar unjuk diri, Nek!" potong 

Maladewa.

"Maladewa! Kau...."

Lagi-lagi Maladewa sudah memotong ucapan si ne-

nek sebelum suaranya selesai.

"Nek! Kau dengar ucapanku! Lekas unjuk diri!" Se-

lesai berucap begitu, Maladewa angkat Kembang Darah 

Setan yang ada di tangan kanannya.

Karena ditunggu agak lama si nenek tidak juga tu-

ruti ucapan Maladewa, laki-laki ini habis kesabaran. 

Kedua tangannya serta-merta bergerak. Tangan kanan 

hantamkan Kembang Darah Setan sementara tangan 

kiri lepas pukulan bertenaga dalam tinggi.

Ruangan dalam julangan batu karang ini dibuncah 

dengan menderunya gelombang dahsyat dan berkib-

latnya beberapa sinar tiga warna. Sambil lepaskan pu-

kulan tangan kiri kanan, Maladewa putar tubuh.

Terdengar suara bergemuruh luar biasa. Karena 

ruangan itu diterangi sinar terang tiga warna, maka 

tampaklah jika ruangan itu telah porak-poranda. Bah-

kan di sana-sini tampak longsoran batu karang. Malah 

batu persegi panjang di mana tadi si nenek duduk ber-

sila telah hancur berantakan!

Tiba-tiba dari arah sudut sebelah timur terdengar 

suara bentakan keras membahana. "Maladewa! Kau te-

lah hancurkan tempat persemadian leluhur mu! Kau 

kelak akan menerima akibat dari ulah mu ini!"

Maladewa tidak menyahut. Sebaliknya cepat putar 

tubuh menghadang suara yang baru terdengar. Begitu 

tubuhnya bergerak memutar, kedua tangannya berge-

rak menyentak. 

Blaarr!

Ruangan sebelah timur langsung longsor. Namun

satu bayangan putih sudah melesat terlebih dahulu


sebelum gelombang dan sinar tiga warna menghantam.

Kepala Maladewa cepat bergerak mengikuti mele-

satnya bayangan putih yang bukan lain adalah sosok 

si nenek. Saat bersamaan, Maladewa hantamkan tan-

gan kanan kirinya.

Wusss!

Bayangan putih mencelat mental lalu menghantam 

langit-langit ruangan. Anehnya bayangan putih itu ti-

dak langsung meluncur ke bawah meski baru saja ter-

hantam. Sebaliknya menempel erat pada langit-langit 

ruangan!

"Maladewa! Kau boleh memiliki Kembang Darah Se-

tan. Tapi bukan berarti kau dapat membunuh dengan 

benda itu!"

Maladewa terkesiap. Suara itu tidak terdengar dari 

langit-langit ruangan. Melainkan dari sudut ruangan 

sebelah barat!

Memandang ke sebelah barat, samar-samar Mala-

dewa menangkap satu sosok bayangan putih. Malade-

wa sesaat ingin meyakinkan. Lalu sekonyong-konyong 

kedua tangannya bergerak menghantam!

Sosok bayangan putih tidak membuat gerakan

menghindar, hingga tak ampun lagi gelombang dah-

syat dan sinar tiga warna yang melesat dari Kembang 

Darah Setan menghantam telak!

Bayangan putih mencelat menghantam dinding 

ruangan di belakangnya. Anehnya Maladewa tidak 

mendengar suara pekik atau seruan. Sebaliknya laki-

laki ini mendengar suara berderit jauh di belakangnya.

Maladewa sadar. Dia buru-buru putar tubuh. Ter-

nyata bagian mana tadi Maladewa masuk telah terbu-

ka. Saat bersamaan, satu sosok bayangan putih berke-

lebat keluar!

"Bangsat! Aku tertipu! Dia tadi telah peragakan il


mu 'Pantulan Tabir'!" desis Maladewa. Dia cepat men-

gejar. Namun begitu keluar dari ruangan dalam julan-

gan batu karang, sosok si nenek sudah lenyap! Dan 

bersamaan keluarnya sosok Maladewa, pintu batu ka-

rang menutup kembali.

Maladewa pandangi Kembang Darah Setan yang 

tergenggam di tangannya. Bibirnya sunggingkan se-

nyum. "Galaga! Saatnya kau harus mampus! Aku tak 

ingin Kampung Setan dimasuki manusia selain dari 

keturunan penguasa Kampung Setan! Setelah itu.... 

Aku akan mencari di mana jejaknya tua bangka itu!"

Maladewa masukkan Kembang Darah Setan ke ba-

lik pakaiannya. Kepalanya berputar dua kali dengan 

mata menembusi kegelapan malam yang semakin la-

rut. Saat lain laki-laki ini membuat gerakan satu kali. 

Gerakannya ini serta-merta melesatkan tubuhnya me-

ninggalkan pelataran Kampung Setan.

*

* *

TUJUH



DUA orang sama berpacu cepat menuju sebelah 

timur hutan belantara di mana Kampung Setan bera-

da. Orang di sebelah depan memanggul satu sosok tu-

buh yang dari mulut dan hidungnya tampak kucurkan 

darah. Sosok yang dipanggul orang tampak tidak ber-

gerak-gerak. Sementara orang yang di sebelah bela-

kang berlari sambil sesekali putar kepala dan mem-

perhatikan sosok yang ada di panggulan orang di de-

pannya.

Begitu memasuki kawasan yang dipagari julangan


julangan batu karang, orang di sebelah depan yang 

memanggul sosok tubuh berlumuran darah hentikan 

larinya. Orang ini memandang berkeliling sebentar, la-

lu dengan enaknya bahunya bergerak. Sosok tubuh 

yang berada di panggulnya serta-merta jatuh bergede-

bukan di atas hamparan batu tidak jauh dari gundu-

kan makam batu yang ada ditengah-tengah beberapa 

julangan batu karang.

Orang yang berlari di sebelah belakang ikut henti-

kan larinya tidak jauh dari orang yang baru saja ja-

tuhkan sosok tubuh di panggulannya. Kedua orang ini 

sejenak saling pandang.

Orang yang tadi berlari di sebelah depan sambil 

membawa sosok tubuh di pundaknya adalah seorang 

laki-laki berperawakan kekar. Rambutnya panjang 

menutupi bahu dan sebagian wajahnya. Parasnya 

tampan. Matanya tajam. Dagunya kokoh. Laki-laki ini 

mengenakan pakaian warna putih.

Sementara orang yang tadi berlari di sebelah bela-

kang adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. 

Raut wajahnya juga tampan. Sepasang matanya juga 

tajam.

Orang yang tadi berlari di sebelah depan angkat 

kepalanya, lalu berteriak.

"Maladewa! Kami berdua datang!"

Gema suara orang belum lenyap, mendadak dari 

salah satu lamping julangan batu karang yang berjajar 

memagari makam batu melesat satu sosok tubuh. Ter-

nyata dia adalah juga seorang laki-laki dan bukan lain 

adalah Maladewa.

Maladewa tegak di hadapan dua laki-laki yang baru 

datang. Sejurus mata Maladewa perhatikan dua laki-

laki di hadapannya. Lalu melirik pada orang yang ter-

bujur diam berlumuran darah di bawah.


"Kami hanya berhasil membawa mayat Nyai Randu 

Abang!" berkata laki-laki yang tadi berlari di sebelah 

depan.

"Dadaka!" kata Maladewa menyebut nama laki-laki 

yang tadi berlari di sebelah depan. "Satu purnama kau 

dan Kigali kuberi waktu untuk laksanakan tugas ini. 

Nyatanya yang kalian bawa hanya mayat perempuan 

tak berguna ini!"

Dadaka berpaling pada laki-laki yang tadi berlari di 

sebelah belakang yang disebut Maladewa dengan nama 

Kigali. Kedua orang ini sejurus saling pandang. Setelah 

Dadaka anggukkan kepala, Kigali buka mulut angkat 

bicara.

"Maladewa! Satu purnama waktu yang kau berikan 

ternyata terlalu pendek untuk mencari jejak manusia 

macam Galaga! Kuharap kau mengerti! Dan untuk se-

mentara ini kami berdua hanya mampu membawa

mayat Nyai Randu Abang, salah satu orang yang nya-

wanya kau inginkan!"

"Betul!" timpal Dadaka. "Lagi pula, dengan tewas-

nya Nyai Randu Abang, Galaga pasti akan segera un-

juk tampang keluar dari persembunyiannya! Karena 

kau tahu sendiri, Nyai Randu Abang adalah kekasih 

Galaga!"

Maladewa memandang silih berganti pada Dadaka 

dan Kigali. Lalu beralih pada sosok berlumur darah di 

bawah yang ternyata adalah seorang perempuan. Raut 

wajahnya hampir tidak bisa dikenali karena di sana-

sini banyak dibercaki darah.

"Bagaimana dengan jejak si nenek tua bangka 

itu?!" tanya Maladewa.

"Sejauh ini kami belum mendapatkan jejaknya! 

Kau tahu sendiri, nenek itu hanya kami kenali ciri-

cirinya saja tanpa kami kenali wajahnya. Itu salah satu


kesulitan kami dalam mencari jejaknya!" Yang angkat 

bicara menyahut adalah Dadaka.

"Tapi kau tak usah cemas! Kami berdua akan tetap 

mencari di mana jejak si nenek itu sekaligus jejak Ga-

laga! Aku menduga kedua orang ini bersatu dan sem-

bunyi pada satu tempat!" sahut Kigali.

"Berapa lama waktu yang kalian butuhkan untuk 

membawa kedua orang itu mati atau hidup ke hada-

panku?!"

"Yang kami hadapi bukan orang sembarangan! Jadi 

kami tak bisa tentukan batas waktunya!" ujar Dadaka.

"Benar. Maladewa! Apalagi saat ini rimba persilatan 

sedang geger dengan banyaknya tokoh yang terbunuh 

secara misterius! Kami harus bertindak hati-hati agar 

tidak sampai dicurigai!" sahut Kigali seraya meman-

dang berkeliling.

Maladewa untuk kesekian kalinya memandang sa-

tu persatu pada kedua laki-laki di hadapannya. "Kalian 

telah katakan bisa membawa orang-orang yang kuin-

ginkan dalam waktu tidak lama. Kini ucapan kalian 

berbalik! Katakan saja kalau kalian tidak mampu!" ka-

ta Maladewa dengan suara agak keras.

Dadaka dan Kigali tampak sama gelengkan kepala. 

"Kami berdua telah ambil risiko dengan berani lakukan 

apa yang kau ucapkan! Bagi kami itu adalah taruhan 

nyawa! Kalau kami merasa tidak mampu, apa mungkin 

kami berani lakukan ini?!" kata Dadaka.

“Benar'" sahut Kigali. "Apalagi kini mulai tercium 

bahwa terbunuhnya tokoh-tokoh rimba persilatan ada 

kaitannya dengan penghuni Kampung Setan ini! Dan 

tersiar pula kalau Maladewa adalah salah seorang yang 

tersisa dari penghuni Kampung Setan! Maka dari itu 

kami harus selalu waspada agar tidak sampai diketa-

hui kalau kami berdua adalah orang-orang suruhan


mu!"

Sesaat Maladewa tampak terdiam. Diam-diam laki-

laki ini membatin dalam hati. "Jika benar bahwa apa 

yang kulakukan telah tercium beberapa orang, maka 

kedua orang ini pun harus segera mampus! Jika tidak, 

aku khawatir keduanya akan berkhianat dengan se-

barkan berita! Jika itu terjadi, Kampung Setan akan 

menjadi bulan-bulanan kalangan rimba persilatan se-

perti yang pernah terjadi pada beberapa puluh tahun 

silam! Dan itu berarti kebangkitan Kampung Setan ti-

dak akan terwujud! Kembang Darah Setan memang te-

lah ku genggam. Dan dengan Kembang Darah Setan di 

tanganku, rasanya tidak sulit menghadapi manusia-

manusia yang hendak menghalangi bangkitnya pengu-

asa Kampung Setan, tapi aku tidak menginginkan hal 

itu terjadi saat ini! Setidaknya sebelum tua bangka itu 

dan Galaga tewas!"

Berpikir begitu, pada akhirnya Maladewa berkata. 

"Dadaka, Kigali! Sesuai dengan kesepakatan, sebenar-

nya kalian saat ini harus sudah membawa dua orang 

yang kuinginkan. Aku masih berbaik hati pada kalian! 

Tapi aku tak mau kalau kalian tidak bisa memberi ba-

tasan waktu padaku untuk membawa dua orang itu!"

"Maksudmu?!" tanya Dadaka seraya lempar kerlin-

gan pada Kigali.

"Kalian kuberi waktu sampai delapan hari di muka!

Jika sampai hari itu kali in tidak juga berhasil, kalian 

tahu bukan apa yang harus kalian lakukan?!"

"Maladewa! Rasanya waktu yang kau berikan terla-

lu sempit jika harus membawa dua orang itu! Dengan 

tersebarnya berita di kalangan dunia persilatan ten-

tang siapa sebenarnya Galaga, pasti Galaga akan coba 

sembunyi sejauh mungkin!" ucap Kigali.

"Persetan sembunyi sejauh mana jahanam itu!


Yang jelas kalian berdua telah menerima imbalan da-

lam laksanakan hal ini! Dan seharusnya kalian ber-

syukur aku telah memperpanjang dari waktu yang ka-

lian janjikan!" Maladewa pandangi satu persatu orang 

di hadapannya dengan tatapan angker. Lalu teruskan 

ucapan. "Delapan hari di muka itulah waktu untuk 

kailan berdua! Dan kalian ingat, delapan hari adalah 

sisa umur kailan berdua kalau kalian tidak berhasil 

membawa dua orang yang kuinginkan!"

Kigali melangkah mendekat pada Dadaka lalu ber-

bisik. "Perkiraan kita meleset! Berarti kita harus laksa-

nakan rencana sekarang juga! Jika tidak, nyawa kita 

pasti melayang terlebih dahulu! Kita tidak mungkin 

menemukan dua orang yang diinginkannya dalam 

waktu delapan hari!"

Dadaka anggukkan kepala. Lalu melangkah men-

dekat ke arah Maladewa dengan bibir sunggingkan se-

nyum. "Maladewa! Kami telah berani lakukan keingi-

nanmu yang berarti kami juga telah siap serahkan 

nyawa! Maka dari itu, dalam waktu delapan hari ini 

kami akan mencari dua orang itu! Jika tidak berhasil, 

kami dengan suka rela akan serahkan nyawa masing-

masing padamu!"

Habis berkata begitu, tanpa diduga sama sekali 

oleh Maladewa, kedua tangan Dadaka bergerak lepas 

satu pukulan ke arah Maladewa yang berdiri hanya 

dua langkah di hadapannya.

Maladewa tersentak. Dia masih coba mengelak se-

lamatkan diri dengan tarik kepalanya. Namun tak 

urung dadanya terhantam tangan kanan Dadaka.

Bukkk!

Sosok Maladewa terjajar dua langkah. Belum sem-

pat orang ini membuka gerakan, Kigali telah berkelebat 

dan hantamkan tangan kiri kanan.


"Jahanam!" maki Maladewa. Kedua tangannya di-

angkat menghadang pukulan yang datang. Namun 

bersamaan dengan itu Dadaka sudah merangsek maju 

sambil kirimkan satu tendangan.

Bukk! Bukkk!

Desss!

Maladewa masih sanggup menghadang kedua tan-

gan Kigali. Namun tendangan yang dilepas Dadaka tak 

bisa dielakkan, hingga tanpa ampun lagi sosoknya ter-

jengkang di atas hamparan batu.

"Jangan beri kesempatan tangannya mengambil 

Kembang Darah Setan!" bisik Kigali.

Belum sampai ucapan Kigali selesai, Dadaka sudah 

sentakkan kedua tangannya ke depan. Dua gelombang 

dahsyat saat itu juga menggebrak deras ke arah Mala-

dewa. Kigali tidak tinggal diam. Kedua tangannya se-

rentak juga lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga da-

lam tinggi ke arah Maladewa.

Maladewa sejenak hendak selinapkan tangan ka-

nannya ke balik pakaiannya di mana tersimpan Kem-

bang Darah Setan. Namun gelombang yang mengge-

brak sudah berada setengah depa di depannya. Hingga 

mau tak mau Maladewa harus segera urungkan niat-

nya untuk mengambil Kembang Darah Setan. Sebalik-

nya dia segera menghadang gelombang yang datang 

dengan sentakkan kedua tangannya.

Blammm! Blammm!

Terdengar ledakan keras. Sosok Maladewa yang 

terhantam di batu mencelat jauh ke belakang. Semen-

tara sosok Dadaka dan Kigali hanya terhuyung-huyung 

sejenak. Namun kedua orang ini rupanya tidak mau 

memberi kesempatan pada Maladewa. Begitu sosok 

Maladewa mencelat, keduanya cepat lipat gandakan 

tenaga dalam lalu hampir berbarengan keduanya ber


kelebat mengejar sosok Maladewa. Kedua orang ini 

sengaja berpencar. Datang menyongsong Maladewa da-

ri sebelah kanan dan kiri.

Maladewa tampak gertakkan rahang. Dia segera 

bangkit dengan tangan sudah menyelinap ke balik pa-

kaiannya. Namun belum sampai tangannya mengelua-

rkan Kembang Darah Setan, sosok Dadaka dan Kigali

telah tegak di sebelah kanan kirinya!

Seolah tidak mau didahului tangan kanan Malade-

wa yang hendak keluarkan Kembang Darah Setan, Da-

daka dan Kigali langsung lepaskan tendangan kaki 

masing-masing.

Maladewa sesaat bimbang. Kalau dia teruskan niat 

ambil Kembang Darah Setan, maka tak ampun lagi 

tendangan orang akan menghantam tubuhnya. Di satu 

sisi, kalau dia urungkan niat ambil Kembang Darah 

Setan, mungkin masih dapat menghadang datangnya 

tendangan.

Karena berpikir bahwa masih dapat membendung 

tendangan orang dan dengan demikian masih punya 

kesempatan mengambil Kembang Darah Setan, pada 

akhirnya Maladewa urungkan niat ambil Kembang Da-

rah Setan. Sebaliknya segera sentakkan tangan kanan 

kirinya ke samping kanan dan kiri menghadang ten-

dangan orang.

Bukkk! Bukkk!

Perhitungan Maladewa tidak meleset. Kedua ten-

dangan yang datang dari samping kanan kiri berhasil 

dihadang meski sosoknya harus terseret ke belakang 

dengan kedua tangan mental balik. Namun perhitun-

gan Maladewa tidak seluruhnya benar. Karena bersa-

maan dengan mentalnya kaki Dadaka dan Kigali ter-

hadang kedua tangan Maladewa, Dadaka dan Kigali 

serta-merta sentakkan tangan masing-masing lepas


pukulan!

Maladewa terkesiap. Kalau datangnya pukulan dari 

satu arah mungkin masih bisa dihadang. Namun da-

tangnya pukulan kali ini justru dari dua jurusan. Ini 

membuat Maladewa sedikit kebingungan. Menghadang 

keduanya pasti akan membuat dirinya cedera parah,

menghadang salah satunya, pasti pukulan satunya 

dengan telak akan menghantam tanpa bisa dielakkan 

lagi!

Pada puncak kebingungannya, akhirnya Maladewa 

mengambil keputusan menghadang kedua pukulan 

dengan sentakkan kedua tangannya ke samping kanan 

kiri.

Blaar! Blarr!

Terdengar dentuman hebat tatkala pukulan Dada-

ka dan Kigali bertemu dengan pukulan Maladewa. Ka-

rena harus mengimbangi dua pukulan, maka begitu 

terdengar ledakan, sosok Maladewa mencelat sebelum 

akhirnya terkapar dengan menghantam gundukan ba-

tu makam di tengah tempat terbuka itu. Darah tampak 

mengucur deras dari mulutnya yang megap-megap.

Sementara sosok Dadaka dan Kigali sama jatuh 

terduduk. Karena masih khawatir Maladewa hendak 

keluarkan Kembang Darah Setan, kedua orang ini ce-

pat beranjak bangkit. Kigali memberi isyarat. Lalu ber-

kelebat ke arah altar batu tidak jauh dari makam itu. 

Di lain pihak, Dadaka cepat hantamkan kedua tan-

gannya. Hingga saat itu juga dua gelombang dahsyat 

menghampar deras ke arah Maladewa yang coba bang-

kis. Tangan kanan Maladewa ternyata telah berhasil 

keluarkan Kembang Darah Setan, hingga sambil berge-

rak bangkit, tangan kanannya diangkat. Lalu disen-

takkan begitu telinganya mendengar deruan gelom-

bang datang ke arahnya.


Wuuutt!

Tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih ber-

kiblat.

Gelombang yang keluar dari kedua tangan Dadaka

serta-merta ambyar di tengah jalan. Malah saat itu ju-

ga sosok Dadaka mencelat dan jatuh terjengkang.

Namun bersamaan dengan bergeraknya tangan ka-

nan Maladewa, Kigali yang berada di atas batu altar je-

jakkan kakinya pada bagian tengah batu altar. Bersa-

maan itu, kedua tangannya bergerak lepaskan satu 

pukulan jarak jauh.

Terjadi satu keanehan. Begitu kaki Kigali menjejak 

bagian tengah batu altar, tiba-tiba makam batu di be-

lakang Maladewa bergerak-gerak. Saat lain makam ba-

tu itu secara aneh membuka! Hingga tepat di belakang 

Maladewa tampak lobang menganga besar!

"Keparat! Dia tahu rahasia makam batu ini!" desis 

Maladewa dengan mata melirik pada Kigali. Maladewa 

hendak sentakkan Kembang Darah Setan kembali. 

Namun karana baru saja menghadang pukulan Dada-

ka, maka gerakannya sudah sangat terlambat. Hingga 

belum sampai tangannya bergerak, gelombang yang 

datang dari pukulan Kigali telah melabrak!

Sesaat sosok Maladewa tampak bergoyang-goyang. 

Namun saat lain sosoknya mental ke belakang. Karena 

di belakangnya adalah lobang makam yang telah ter-

buka, maka tak ampun lagi sosok Maladewa terjeram-

bab masuk ke dalam lobang makam!

Dalam keadaan seperti itu, dengan luar biasa Ma-

ladewa masih mampu bertahan. Hingga meski sosok-

nya terbanting menghantam dinding lobang sebelah 

dalam, tangan kanannya yang memegang Kembang 

Darah Setan masih mampu menggapai ke bagian 

samping atas lobang.


Kesempatan ini tak disia-siakan Dadaka yang telah 

berhasil kuasai diri serta sudah tegak kerahkan tenaga

dalam. Hingga begitu melihat tangan kanan Maladewa 

berusaha menggapai bagian atas lobang, Dadaka cepat 

berkelebat.

Kigali tidak tinggal diam. Dia cepat pula membuat 

gerakan. Sosoknya serta-merta melesat ke arah ma-

kam batu yang telah terbuka.

Hampir bersamaan, tangan Dadaka dan Kigali

tampak berkelebat menyambar Kembang Darah Setan 

yang berada di tangan kanan Maladewa yang berusaha 

mencari pegangan.

Wuutt! Wuuutt!

Maladewa rupanya masih merasa apa yang hendak 

dilakukan kedua orang di luar makam batu. Hingga 

dengan gerakan kilat, dia segera tarik tangan kanan-

nya ke bawah. Hal ini membuat sambaran tangan Da-

daka dan Kigali hanya menyambar udara kosong, na-

mun tindakan Maladewa ini berakibat amblas masuk-

nya sosok Maladewa ke dalam makam batu!

"Terlambat!" desis Dadaka seraya cepat tarik pu-

lang tangan dan tubuhnya. Di sebelahnya, Kigali cepat 

pula membuat gerakan tarik pulang tangan dan tu-

buhnya karena bersamaan masuknya sosok Maladewa, 

secara aneh makam batu yang terbuka menutup kem-

bali.

Blammm!

Terdengar debuman dahsyat saat lobang makam 

tertutup kembali. Satu sambaran angin luar biasa ke-

ras menghampar. Hingga tubuh Dadaka dan Kigali 

mental beberapa tombak ke belakang dan jatuh berlu-

tut.

Dari mulut Dadaka dan Kigali tampak bercakan 

darah. Tubuh masing-masing orang tampak bergetar


keras. Wajah keduanya pias. Jelas kalau kedua orang

ini telah terluka bagian dalam. Selain akibat bentrok 

pukulan dengan Maladewa, juga karena sambaran an-

gin dahsyat yang mencuat dari menutupnya lobang 

makam batu.

Beberapa saat berlalu. Perlahan-lahan Dadaka 

yang sejenak tadi coba himpun tenaga dalam berpaling 

pada Kigali. Terlihat Kigali juga masih coba kuasai diri 

namun telah buka kelopak matanya.

"Kigali!" kata Dadaka dengan suara agak tersendat 

dan bergetar. Tanda dia sepenuhnya dapat kuasai diri. 

"Bagaimana sekarang?! Apa kita hancurkan makam 

batu itu?!"

Kigali gelengkan kepala. "Percuma, Dadaka! Kalau-

pun kita berhasil membongkar makam itu, kita hanya 

akan serahkan nyawa. Karena Kembang Darah Setan 

masih berada di tangan Maladewa!"

"Hem.... Lalu apa yang harus kita lakukan seka-

rang?!"

"Menyingkir dari tempat ini!"

"Hem.... Hanya begitu saja?!"

"Apa boleh buat, Dadaka! Nyawa kita selamat saja 

sudah untung! Dan aku yakin, Maladewa tidak akan 

selamat!"

Dadaka menyeringai. "Aku akan bongkar makam 

batu itu! Kita sudah mati-matian berusaha! Kalau pa-

da akhirnya hanya begini saja, usaha kita percuma!"

"Jangan bertindak gegabah, Dadaka! Kau tahu 

sendiri. Makam batu itu bukan makam biasa! Samba-

ran menutupnya saja sudah bisa membuat kita terlu-

ka! Aku hanya memberi peringatan. Kalau kau hendak 

lakukan silakan! Tapi aku tidak akan ikut-ikutan! Aku 

harus segera tinggalkan tempat ini!"

Habis berkata begitu, Kigali bergerak bangkit. Dan


perlahan-lahan melangkah tinggalkan tempat itu.

Dadaka sejurus pandangi makam batu di depan 

sana. Laki-laki ini bergerak bangkit. Ada kebimbangan 

pada raut wajahnya. Dan entah karena percaya pada 

ucapan Kigali, pada akhirnya perlahan-lahan Dadaka 

putar diri lalu melangkah mengikuti Kigali.

*

* *

DELAPAN



BEBERAPA saat setelah Dadaka dan Kigali tinggal-

kan tempat yang dalam rimba persilatan dikenal den-

gan Kampung Setan, satu sosok putih tiba-tiba berke-

lebat dan tegak hanya dua langkah dari makam batu 

di mana Maladewa baru saja amblas masuk.

Sosok putih ini ternyata adalah seorang perempuan 

berusia amat lanjut mengenakan pakaian putih. Selu-

ruh wajahnya telah mengeriput. Rambutnya putih dan 

jarang.

Sesaat nenek ini buka kelopak matanya tetapi ma-

kam batu di hadapannya. Namun bersamaan dengan 

itu tiba-tiba terdengar suara membentak.

"Dadaka! Kigali! Kalian manusia-manusia jahanam 

yang berani bertindak bodoh! Nyawa kalian berdua 

akan kukejar dan ku cabut perlahan-lahan! Tapi hal 

itu tak akan kalian alami asal kalian mau keluarkan 

aku dari sini!"

Suara itu terdengar seperti dari tempat yang sangat 

jauh dan dalam. Suara itu terdengar terbata-bata dan 

bergetar.

Karena tak ada sahutan, sesaat kemudian terdengar lagi suara.

"Dadaka! Kigali! Kalian berdua adalah sahabat-

sahabatku! Kalau kalian inginkan Kembang Darah Se-

tan, benda ini akan kuberikan pada kalian! Lekas ke-

luarkan aku dari tempat celaka ini!"

"Maladewa! Percuma kau berteriak. Sahabat-

sahabatmu itu telah pergi dari sini!" Yang buka mulut 

perdengarkan suara adalah si nenek yang berada di 

sebelah makam batu. Suara nenek ini berat parau dan 

seolah diperdengarkan dari setiap celah julangan-

julangan batu karang yang berjajar memagari makam 

batu.

Sesaat tidak ada sahutan. Yang terdengar justru 

suara dengusan keras. Namun tak lama kemudian, 

terdengar suara dari dalam makam batu.

"Nek! Kaukah yang di luar?!"

"Betul, Maladewa!"

"Nek! Kuharap kau mau keluarkan aku dari tempat 

jahanam ini!"

Si nenek gelengkan kepala seolah orang yang di-

ajak bicara berada di hadapannya serta dapat melihat 

gerakan tubuhnya. "Menyesal sekali, Maladewa! Aku 

tidak bisa berbuat banyak! Kau tahu sendiri.... Makam 

ini baru terbuka jika julangan batu nomor satu, nomor 

tiga, dan nomor tiga belas dihancurkan! Dan aku tak 

bisa lakukan itu!"

"Tapi setidaknya kau bisa memberi udara pada-

ku...."

"Itu baru bisa jika julangan batu karang nomor sa-

tu dihancurkan! Dan aku sekali lagi tak bisa lakukan 

itu!"

Jahanam! Lalu mengapa kau datang?!"

"Maladewa.... Sebenarnya aku hendak menyadar-

kan dirimu! Tapi melihat apa yang terjadi, kurasa kedatanganku akan percuma!"

"Nek.... Sekarang aku sadar! Aku telah berbuat ku-

rang ajar padamu! Kembang Darah Setan akan kube-

rikan padamu lagi! Tapi keluarkan aku dari tempat 

ini!"

"Kau telah dengar ucapanku, Maladewa! Aku tidak 

bisa melakukannya!"

"Nek! Apa susahnya kalau hanya menghancurkan

batu karang itu?!"

"Memang tidak susah.... Tapi seberapa tinggi ilmu 

yang dimiliki orang, tidak mungkin bisa hancurkan ba-

tu karang itu!"

"Omong kosong! Mengapa kau memberi alasan 

yang tak masuk akal?!"

"Terserah padamu untuk percaya apa tidak, Mala-

dewa! Yang jelas, julangan batu karang itu baru bisa 

hancur pada tiga belas ribu tiga puluh tiga hari men-

datangi itu pun harus dilakukan pada malam ketiga

belas purnama ketiga!"

"Setan! Aku tidak percaya dengan semua itu!"

Si nenek tertawa. "Sudah kukatakan. Terserah pa-

damu untuk percaya atau tidak. Yang jelas aku tidak 

bisa melakukan itu saat ini! Karena meski kulakukan, 

aku merasa yakin tidak akan berhasil!"

Sesaat tidak lagi terdengar suara dari dalam ma-

kam batu. Tapi beberapa saat kemudian, Maladewa 

sudah perdengarkan suara lagi. Kali ini suaranya san-

gat rendah, hingga kalau bukan orang yang memiliki 

tingkat pendengaran yang tajam, tentu tidak akan 

mendengarnya.

"Nek.... Carilah jalan lain.... Ku mohon padamu 

agar kau keluarkan aku dari sini! Aku akan sabar me-

nunggu sampai datangnya saat upacara penyerahan! 

Malah kalau kau masih kecewa dengan sikapku tempo


hari, aku rela seluruh warisan leluhur Kampung Setan 

kau miliki!"

"Maladewa! Usiaku sudah lanjut. Warisan leluhur 

ini sudah tidak ada artinya bagiku! Dan aku juga me-

nyesal tidak bisa menolongmu! Jadi kuharap kau ber-

sabar menerima kenyataan ini.... Kau telah berlaku

kurang waspada pada orang! Dan kau harus siap me-

nerima buahnya!"

"Nek! Dengan terkuburnya diriku, bukankah ke-

bangkitan Kampung Setan tidak akan terjadi?! Apa 

kau tidak merasa kecewa?!"

Si nenek sesaat menarik napas panjang. Lalu ber-

kata. "Maladewa! Sebenarnya aku ikut menyesal. Tapi 

apa boleh buat. Semuanya sudah terjadi.... Tentang 

kebangkitan Kampung Setan, sebenarnya itu adalah 

tugas yang harus kau lakukan! Tapi karena kau telah 

terjerumus, kurasa kecewa setinggi langit pun tak ada 

gunanya!"

"Nek.... Kau tega melihat cucumu mati terpendam 

di tempat terkutuk ini?!"

"Ini bukan masalah tega atau tidak, Maladewa! 

Seandainya aku bisa, aku akan menolongmu meski 

aku tidak percaya benar dengan janji ucapanmu!"

"Nek...."

"Maladewa!" potong si nenek sebelum Maladewa te-

ruskan ucapannya. "Percuma kau terus memohon! 

Yang kuharap sekarang, bersabarlah! Percayalah bah-

wa kau akan bertahan sampai ada orang yang kelak 

menolongmu dari sini! Karena tempat itu dibuat khu-

sus. Orang tak mungkin mati begitu saja meski ter-

pendam di dalamnya berpuluh-puluh tahun! Malah ka-

lau kau bisa memanfaatkan keadaan, kelak kau akan 

jadi manusia disegani begitu bisa keluar!"

"Nek! Tiga belas ribu hari bukan waktu pendek! Kalaupun aku bisa bertahan hidup, siapa kelak yang 

akan mengeluarkan aku?! Kau mungkin sudah tidak 

ada!"

"Kau tidak boleh kecil hati, Maladewa! Ingat, kau

adalah generasi dari Kampung Setan!. Kalau nasibmu 

baik, pasti ada seseorang yang kelak menolongmu!"

"Nek...! Rasanya aku tidak bisa tahan hidup di 

tempat ini! Kuharap kau bisa lakukan sesuatu untuk-

ku!"

Tidak ada sahutan. Maladewa kembali perdengar-

kan suara. "Nek! Kau masih berada di luar bukan?!"

Meski sebenarnya si nenek masih tegak di samping 

makam batu, namun nenek ini tidak buka suara me-

nyahut. Malah begitu Maladewa ajukan tanya, perla-

han-lahan si nenek melangkah mundur.

"Nek! Kau masih berada di luar?!" Maladewa berte-

riak keras.

Si nenek tetap tidak menyahut. Dia terus melang-

kah mundur. Sejarak kira-kira lima tombak, si nenek 

balikkan tubuh, lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

Mendapati suaranya tidak ada yang menyahut, Ma-

ladewa berteriak keras-keras. Namun setelah agak la-

ma dan tidak ada suara yang menyahut, akhirnya Ma-

ladewa hentikan teriakannya sambil memaki panjang 

pendek.

Hanya sesaat setelah si nenek berkelebat pergi dan 

Maladewa hentikan teriakannya, dari balik salah satu 

lamping julangan batu karang, tampak keluar satu ke-

pala! Kepala ini bergerak mengikuti arah berkelebatnya 

si nenek.

Begitu sosok si nenek tidak kelihatan lagi, kepala 

ini bergerak menghadap makam batu. Ternyata kepala 

ini milik seorang laki-laki. Usianya masih muda. Ram-

butnya panjang hitam dan lebat. Sepasang matanya


tajam. Pada kedua cuping hidungnya tampak meling-

kar anting-anting dari benang berwarna merah.

"Hem.... Apa ucapan nenek tadi bisa dipercaya?!

Tiga belas ribu hari.... Hem.... Waktu yang terlalu 

lama untuk menunggui. Rasanya percuma kalau me-

nunggu sampai saat itu dating! Aku jadi tidak bermi-

nat lagi dengan Kembang Darah Setan yang selama ini 

banyak dibicarakan orang! Tapi hal ini akan kubicara-

kan dengan adikku Kiai Laras. Siapa tahu dia sabar 

menanti...."

Habis bergumam begitu, laki-laki ini perlahan-

lahan keluar dari lamping julangan batu karang. Kepa-

lanya berputar menyiasati keadaan.

"Kiai Laras pasti akan sabar menunggu saat itu!

Dan jika dia nanti memang berhasil, saat itulah aku 

baru bertindak! Ha.... Ha.... Ha...! Aku tidak mau ber-

laku ceroboh. Kalau orang bernama Maladewa itu ber-

tahan hidup, pasti akan menjelma sebagai manusia 

sakti.... Aku tak mau ambil risiko! Biar Kiai Laras yang 

lakukan semua ini! Aku nanti tinggal menangguk ha-

silnya...."

Laki-laki yang kedua cuping hidungnya dihias den-

gan anting-anting dari benang warna merah ini sekali 

lagi arahkan pandang matanya pada makam batu. 

Saat lain dia balikkan tubuh lalu berkelebat pergi 

mengambil arah berlawanan dengan si nenek.

*

* *

SEMBILAN



KITA kembali pada Datuk Wahing dan Pendekar

131. Berlari kira-kira seratus tombak, Datuk Wahing 

berhenti. Lalu enak saja kakek ini duduk menjeplok di 

atas tanah dengan punggung bersandar pada batangan 

pohon randu yang baru tumbuh dan banyak berteba-

ran di tempat itu.

Pendekar 131 Joko Sableng ikut-ikutan duduk ber-

sandar tidak jauh dari tempat Datuk Wahing. Dan seo-

lah tidak sabar, begitu duduk bersandar, Joko segera 

buka mulut.

"Kek! Harap kau segera memberi keterangan pada-

ku tentang Kembang Darah Setan dan hubunganmu

dengan makhluk yang sebutkan diri sebagai Setan 

Liang Makam itu!"

"Bruss! Bruss! Sabar, Anak Muda! Beri kesempatan 

padaku untuk menarik napas! Aku sudah tua. Berlari 

jauh membutuhkan tenaga yang tidak sedikit buat 

manusia tua macam aku ini!" ujar Datuk Wahing 

meski wajah kakek ini sama sekali tidak membayang-

kan kelelahan. Justru murid Pendeta sinting yang se-

kujur tubuhnya telah basah oleh keringat dan dadanya 

bergerak turun naik dengan keras.

Datuk Wahing memandang berkeliling. Lalu tak 

lama kemudian dia mulai perdengarkan suara.

"Anak muda! Kuharap kau nanti tidak memotong 

keteranganku...."

Murid Pendeta Sinting tidak memberi sahutan. Dia 

hanya memandang seraya angkat bahu. Datuk Wahing 

melirik. Setelah bersih dua kali. Kakek ini mulai men-

ceritakan kejadian tiga puluhan tahun silam di Kam-

pung Setan yang telah dituturkan sebelum ini.

Habis bercerita panjang lebar, Datuk Wahing ber-

sin beberapa kali dan diam untuk beberapa lama. Pada 

akhirnya Datuk Wahing berpaling pada murid Pendeta 

Sinting sambil berkata. "Anak muda! Hanya sekelumit


itulah yang kuketahui tentang Kampung Setan serta 

Kembang Darah Setan!"

"Kek! Mendengar penuturan mu serta menghu-

bungkannya dengan apa yang saat ini tengah terjadi, 

apa tidak salah dugaanku jika Setan Liang Makam itu 

adalah Maladewa?!"

'Bruss! Brusss! Kau boleh saja menduga, Anak 

Muda! Tapi aku tidak berani memberikan kepastian 

salah benarnya dugaanmu! Kau tentu bisa menentu-

kannya sendiri...."

"Kek! Menurut yang pernah kudengar, kau berada 

di balik pembunuhan beberapa tokoh rimba persilatan 

saat itu! Berarti kalau dihubungkan dengan keteran-

ganmu, kau adalah salah satu orang yang disuruh Ma-

ladewa untuk mencari jejak Galaga dan neneknya. Apa 

hal itu benar?!" tanya Pendekar 131 tatkala teringat 

akan keterangan Kiai Laras pada pertemuannya bebe-

rapa saat lalu.

Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting yang te-

rus terang menuduh, bukan membuat Datuk Wahing 

menjadi berang. Sebaliknya kakek ini tertawa panjang 

lalu berkata. "Aku tidak membela pada diri sendiri, 

Anak Muda! Dan kau jangan heran. Dunia yang kita 

hadapi adalah dunia persilatan. Fitnah dan saling ha-

sut bukan barang baru lagi! Jadi terserah padamu ba-

gaimana penilaianmu padaku...."

Murid Pendeta Sinting sesaat terdiam mendengar 

jawaban Datuk Wahing. Tak lama kemudian dia berka-

ta lagi. "Kek! Apa selama ini antara kau dan Kiai Laras 

punya silang sengketa...?!"

"Bruss! Bruss! Sekali lagi, aku tidak membela diri 

apalagi membuat aku baik di matamu. Tapi adalah 

mengherankan kalau sampai aku membuat permusu-

han apalagi silang sengketa dengan orang lain...."


Murid Pendeta Sinting pandangi orang di hadapan-

nya dengan seksama. Kini kembali dia teringat akan 

peristiwa yang tengah dialaminya. Hingga tak lama 

kemudian dia angkat bicara.

"Kek! Sekarang katakanlah aku tak ambil peduli 

siapa sebenarnya manusia yang sebutkan diri Setan 

Liang Makam itu. Yang ku herankan, mengapa dia 

meminta Kembang Darah Setan padaku!"

"Bruss! Bruss! Anak muda! Kau tak akan merasa 

heran jika simak ucapanku tadi! Bukankah sudah ku-

bilang. Fitnah dan saling hasut bukan barang baru lagi 

dalam rimba persilatan! Dan kalau kau merasa difit-

nah, inilah saatnya kau menyelidik!"

"Kek! Menurutmu bagaimana dengan nenek yang 

sebutkan diri Dayang Sepuh?!"

"Bruss! Bruss! Kau akan tambah heran kalau min-

ta pertimbangan padaku, Anak Muda! Karena di hada-

panku, semua orang adalah baik!"

"Hem.... Jika demikian, aku sependapat denganmu 

seperti yang kau ucapkan beberapa hari lalu. Bahwa 

ada orang yang melakonkan diriku!"

'Jangan membuat kepastian. Anak Muda! Itu akan 

menimbulkan hal-hal yang lebih mengherankan! Jalan 

terbaik bagimu adalah menyelidiki"

Habis berkata begitu, Datuk Warung bergerak 

bangkit. Murid Pendeta Sinting ikut beranjak berdiri. 

Sebelum Joko angkat bicara, Datuk Wahing telah 

mendahului.

"Anak muda! Kiranya tidak ada lagi yang perlu kita 

bicarakan...." Datuk Wahing putar diri. Kakinya hen-

dak bergerak melangkah. Tapi tiba-tiba kakek ini 

urungkan gerakan kakinya. Sebaliknya angkat bicara.

"Anak muda.... Waktu kau muncul tadi, aku heran 

melihat tampangmu. Apa memang kau tidak menemukan gadis cantik itu?!"

Joko menghela napas sebelum akhirnya berkata. 

"Benar, Kek! Aku kehilangan gadis itu! Padahal masih 

banyak yang hendak kutanyakan padanya!"

"Bruss! Bruss! Anak muda. Kalau mau ikut saran

ku, jangan kau banyak bertanya untuk menghadapi 

urusan ini! Semakin banyak tanya, kau akan makin 

heran! Dan itu akan membuatmu salah langkah!"

Pendekar 131 hendak angkat bicara. Namun di-

urungkan tatkala melihat si kakek telah berkelebat 

dan tahu-tahu sosoknya telah berada jauh di depan 

sana.

"Orang tua aneh.... Dari penuturan keterangannya, 

dia kurasa masih sembunyikan sesuatu padaku! 

Sayang aku tak dapat menebak apa yang disembunyi-

kan itu.... Hanya saja kalau benar Setan Liang Makam 

adalah Maladewa, aku bisa menduga kalau dia sebe-

narnya adalah murid si nenek itu! Hem.... Tapi kalau 

Setan Liang Makam bukan si Maladewa...?!" Murid 

Pendeta Sinting tidak bisa jawab pertanyaannya sendi-

ri. Dia mendongak. "Aku memang harus segera menye-

lidik! Aku juga harus segera menemukan jejak Eyang 

Guru! Urusan ini rupanya tidak hanya terhenti sampai 

pada diriku semata. Karena Setan Liang Makam telah 

coba mencari Eyang Guru...."

Murid Pendeta Sinting perlahan-lahan melangkah 

tinggalkan tempat itu. Namun baru saja kakinya ber-

gerak lima tindak, dia dikejutkan dengan terdengarnya 

suara orang batuk-batuk beberapa kali.

Laksana disentak tangan setan, kepala Joko cepat 

berpaling. Memandang ke arah depan, sepasang mata 

Joko sempat membeliak besar. Enam tombak dari 

tempatnya berdiri terlihat satu sosok tubuh tegak den-

gan kedua tangan merangkap di depan dada. Orang ini


tidak hadapkan wajahnya ke arah murid Pendeta Sint-

ing meski jelas dari isyarat batuknya menandakan agar 

orang menghadap dan memandang ke arahnya.

*

* *

SEPULUH



ORANG yang tegak dengan kedua tangan merang-

kap di muka dada adalah seorang perempuan. Ram-

butnya sangat tipis bahkan hampir bisa dikatakan 

plontos. Nenek ini mengenakan pakaian putih. Meski 

Joko tidak bisa dengan jelas melihat raut wajahnya, 

karena orang ini tetap hadapkan wajah ke jurusan 

lain, namun murid Pendeta Sinting sedikit banyak bisa 

menduga kalau wajah nenek ini telah mengeriput. Ka-

rena kedua tangannya yang merangkap di depan dada 

tampak ringkih. Hanya Pendekar 131 sedikit merasa 

heran. Suara batukan tadi yang jelas diperdengarkan 

oleh si nenek sangat berat dan menggetarkan! Satu 

tanda siapa pun orang yang perdengarkan, tentu me-

miliki tenaga dalam luar biasa.

Belum sampai murid Pendeta Sinting dapat men-

duga siapa gerangan adanya si nenek, orang ini telah 

angkat bicara.

"Manusia Muda! Benarkah kau pemuda yang ber-

gelar Pendekar Pedang Tumpul 131?!"

Joko terkesiap. Bukan hanya karena pertanyaan 

orang, namun suara yang diperdengarkan si perem-

puan amat berat! Dan seolah-olah diperdengarkan dari 

segala jurusan!


"Dari pertanyaannya, mungkin ini masih ada hu-

bungannya dengan urusan yang tengah kuhadapi! 

Hem.... Inilah saatnya aku mulai menyelidiki" Joko 

membatin dalam hati. Lalu setelah kuasa diri murid 

Pendeta Sinting buka suara.

"Bukan satu kali ini orang salah menduga padaku!

Kalau aku boleh tanya, apakah wajahku memang sama 

dengan orang yang baru kau tanyakan?!"

Jawaban Joko membuat orang di seberang depan 

mau tak mau harus gerakkan kepala menghadap mu-

rid Pendeta Sinting. Dan ternyata dugaan Joko tidak 

meleset. Paras wajah si perempuan ternyata memang 

telah dihias dengan keributan. Masih ditambah dengan 

sepasang matanya yang menjorok masuk ke dalam 

rongga yang sangat dalam. Hingga raut wajah nenek 

ini menakutkan! Dilingkari kepalanya yang hampir ti-

dak ditumbuhi rambut membuat sosok si nenek bukan 

hanya menakutkan namun juga angker!

Mungkin untuk memperjelas pandang matanya, 

begitu kepalanya bergerak menghadap ke arah Joko, si 

nenek membuat gerakan satu kali. Sosoknya tiba-tiba 

melesat dan tegak enam langkah di depan murid Pen-

deta Sinting yang tergagu diam.

Begitu injakkan sepasang kakinya di depan Joko, 

sepasang mata si nenek cepat perhatikan sosok pemu-

da di hadapannya dari ujung rambut sampai ujung 

kaki. Meski agak ngeri dengan pandangan mata si ne-

nek, Joko tersenyum-senyum dengan mata melirik 

memperhatikan keadaan si nenek. Hingga untuk bebe-

rapa saat kedua orang ini saling memperhatikan satu 

sama lain. Bedanya kalau si nenek memandang den-

gan sepasang mata melotot angker, Joko mengawasi 

dengan mata melirik.

"Bagaimana, Nek?!" tanya Joko setelah agak lama.


"Apa tampangku memang mirip dengan orang yang 

kau tanyakan tadi?!"

Yang ditanya tidak menyahut. Kalaupun tak lama 

kemudian buka suara, bukannya menjawab perta-

nyaan orang, melainkan balik ajukan tanya.

"Manusia Muda! Kau murid Pendeta Sinting, bu-

kan?"

"Hem.... Nek! Bukan kau saja yang menduga demi-

kian padaku! Kalau kau bisa memberi jawaban atas 

pertanyaanku yang pertama tadi, tentu kau pun akan 

mendapat jawaban pasti dari pertanyaanmu yang ke-

dua...! Agar kau tidak lupa. Ku ulangi pertanyaanku 

yang pertama tadi. Apakah tampangku mirip Pendekar 

Pedang Tumpul 131?!"

"Manusia Muda! Aku tak tahu apa wajahmu mirip 

atau tidak! Yang jelas dari ciri-cirinya aku hampir ya-

kin kau adalah Pendekar 131!"

Murid Pendeta Sinting tersenyum dengan gelengan 

kepala. "Nek... Jangan lupa. Ciri orang bisa sama, tapi 

beda manusianya! Dan kadang-kadang, ciri orang ber-

beda, tapi sama manusianya!"

Ucapan Joko rupanya membuat si nenek agak 

jengkel. Hingga begitu Joko selesai berucap, si nenek 

telah menyambut dengan suara keras.

"Persetan dengan ucapanmu yang terbalik-balik 

itu! Yang pasti aku yakin kau adalah Pendekar 131!"

"Baiklah kalau demikian dugaanmu. Kalau sean-

dainya aku Pendekar 131, ada sesuatu yang hendak 

kau utarakan?!" tanya Joko.

"Hanya ada satu pertanyaan, Manusia Muda! Ja-

wablah dengan jujur dan jangan banyak berprasangka! 

Apakah benar kau yang berhasil mendapatkan Kem-

bang Darah Setan?!"

Joko tertawa panjang sebelum akhirnya angkat suara. "Seandainya pun aku Pendekar 131, maka aku 

akan menjawab bahwa tidak benar kalau Kembang

Darah Setan berhasil kudapatkan! Jangankan menda-

patkan, melihat pun belum pernah!" 

"Kau tidak berdusta?!"

"Kalau berdusta tidak ada untungnya, mengapa 

harus kulakukan?!"

"Baik! Aku pegang ucapanmu. Tapi ingat, Manusia 

Muda! Kelak jika kau berkata dusta, saat itulah ajalmu 

sampai!"

Habis berkata begitu, si nenek balikkan tubuh. Ta-

pi Joko cepat berkelebat dan tegak menghadang,

"Nek! Aku telah jawab pertanyaanmu. Sekarang 

aku juga ingin kau jawab satu pertanyaanku! Harap 

kau juga berkata jujur dan tidak menaruh prasangka! 

Siapa kau sebenarnya?!"

Si nenek pentangkan matanya. Namun tampaknya 

dia enggan jawab pertanyaan Joko karena sejauh ini 

dia hanya memandang dengan mulut terkancing rapat.

"Nek! Kalau kau tidak mau jawab pertanyaanku, 

maka kau tidak bisa pegang ucapanku tadi! Jadi sean-

dainya kelak ternyata ucapanku tadi dusta, kau tidak 

bisa seenaknya saja menentukan saat tibanya ajal ku!"

"Hem.... Begitu?! Baik. Dengar, Manusia Muda! 

Aku adalah Nyai Suri Agung!"

"Nek! Bukan itu yang ku maksud! Yang kutanya-

kan siapa kau sebenarnya! Bukan siapa namamu!"

Si nenek yang baru katakan namanya Nyai Suri 

Agung tertawa pendek. Lalu berkata. "Siapa pun ma-

nusianya yang tanya begitu, maka dia tidak akan 

mendapat jawaban apa-apa! Malah kalau memaksa, itu 

adalah takdir buruk baginya! Kau dengar?!"

"Hem.... Berarti aku masih punya pertanyaan satu 

lagi! Karana kau membatalkan pertanyaanku tadi! Dari


raut wajahmu, aku menduga kau masih ada hubun-

gannya dengan Setan Liang Makam. Harap kau mau 

katakan apa hubunganmu dengan Setan Liang Ma-

kam!" kata Joko meski dalam hati dia berkata sendiri. 

"Kau tadi merasa yakin kalau aku adalah Pendekar 

131. Sekarang aku pun balas mengatakan kau mirip 

dengan Setan Liang Makam!"

Sejenak Nyai Suri Agung mengernyit. Lalu berkata. 

"Manusia Muda! Meski kau duga demikian, perlu kau 

tahu! Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan manu-

sia yang namanya baru kau sebut! Marah aku belum 

pernah bertemu dengannya!"

"Hem.... Kau berkata jujur?!"

Nyai Suri Agung melotot angker. "Kalau aku tidak 

sedang menyelidik dan melibatkan dirimu, sudah ku-

gebuk mulutmu!" bentak si nenek lalu membuat satu 

gerakan. Sosoknya tiba-tiba telah melesat dan di lain 

saat telah lenyap jauh di depan sana!

"Satu lagi orang aneh yang muncul!" gumam murid 

Pendeta Sinting. Entah merasa ragu masih ada orang 

lagi, sebelum melangkah pergi, Pendekar 131 putar 

pandangannya berkeliling. Dan merasa tidak ada orang 

lagi, dia berkelebat tinggalkan tempat itu.

*

* *

Pendekar 131 Joko Sableng celingukan sebentar. 

Lalu arahkan pandangan matanya pada sebuah kedai 

di depan sana. Setelah mendapat keterangan dari Da-

tuk Wahing dan menimbang-nimbang, akhirnya murid 

Pendeta Sinting memutuskan untuk penyelidikan dari 

kedai. Seperti diketahui, di kedai itulah Joko sempat 

jumpa dengan seorang nenek yang sebutkan diri sebagai Dayang Sepuh. Dan menurut Dewi Seribu Bunga di 

kedai ini pula si gadis berjumpa dengan Joko. Padahal 

murid Pendeta Sinting merasa tidak pernah bertemu 

dengan Dewi Seribu Bunga di kedai. Karena hai itulah 

pada akhirnya murid Pendeta Sinting memutuskan 

mulai penyelidikan dari kedai. Setelah lakukan perja-

lanan semalam dua hari, murid Pendeta Sinting sam-

pai di tempat tidak jauh dari kedai di mana beberapa 

saat yang lalu dia bertemu dengan Dayang Sepuh.

Pendekar 131 sengaja menunggu sampai suasana 

kedai agak sepi seraya memperhatikan dengan seksa-

ma beberapa orang yang keluar masuk kedai.

"Meski aku tidak bisa dengan jelas membedakan 

raut wajahku dengan orang, tapi rasanya belum ada 

orang yang mirip denganku.... Anehnya bagaimana 

Dewi Seribu Bunga bisa mengatakan bertemu aku di 

kedai itu?! Malah hendak memperkosanya...?! Sialan 

betul! Menyentuh saja tidak, malah dituduh hendak 

memperkosa! Hem.... Keterangan orang tua pemilik 

kedai itu mungkin bisa membuka benar tidaknya uca-

pan Dewi Seribu Bunga!"

Setelah dilihat keadaan kedai agak sepi, perlahan-

lahan Pendekar 131 melangkah ke arah kedai. Dia se-

jenak hentikan langkah di pintu kedai dengan mata 

memperhatikan ke dalam. Hanya ada beberapa orang. 

Namun tak ada yang dikenal apalagi wajahnya mirip 

dengannya.

Sementara itu melihat ada orang hendak masuk ke 

dalam kedai, orang tua pemilik kedai yang wajahnya 

dikenali murid Pendeta Sinting buru-buru melangkah

mendekat. Namun tiba-tiba orang tua ini hentikan 

langkahnya. Sepasang matanya memandang tak ber-

kedip. Saat lain mulutnya telah membuka perdengar-

kan suara seraya tertawa.


"Aku.... Aku tidak lupa.... Kau pasti anak muda 

yang beruntung itu...."

Yang disapa tidak menyahut. Dia hanya meman-

dang lalu sebelum si orang tua pemilik kedai memper-

silakan, Joko sudah melangkah. Bukan mencari tem-

pat duduk, melainkan mendekati si pemilik kedai dan 

berbisik sambil pegangi lengan orang.

"Orang tua! Terima kasih kau tidak lupa padaku!

Aku datang tidak perlu untuk makan atau minum!

Aku...."

Si orang tua pemilik kedai sesaat tampak tersentak 

kaget. Dia buru-buru berkata memotong ucapan Joko. 

"Anak muda.... Silakan makan dan minum. Aku tidak 

akan menarik bayaran...."

"Harap dengar ucapanku dulu. Orang Tua! Aku da-

tang tidak perlu makan atau minum! Aku butuh kete-

rangan darimu!"

Habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting mena-

rik pemilik kedai ke bangku di sebelah pojok.

Orang tua itu tampak gugup. Wajahnya berubah 

tegang malah tubuhnya bergetar.

"Orang tua! Harap kau jujur memberi keterangan 

padaku!" kata Joko begitu mereka berdua duduk di 

bangku paling pojok.

Si pemilik kedai memandang takut-takut sambil 

anggukkan kepala. Dari keningnya keringat sudah 

mengalir deras.

Murid Pendeta Sinting tersenyum sambil gelengkan 

kepala. "Orang tua! Tak usah takut.... Aku hanya min-

ta kau memberi keterangan apa adanya!"

Walau si orang tua anggukkan kepala, tapi jelas 

sekali kalau wajahnya masih membayangkan rasa ke-

takutan. Bahkan untuk imbangi getaran tubuhnya, 

orang tua ini sengaja berpegangan pada bangku di bawahnya.

"Orang tua.... Setelah kepergianku bersama nenek 

berdandan menor tempo hari itu, apakah ada seorang 

gadis cantik mengenakan pakaian warna merah mun-

cul di sini? Rambutnya dikuncir, kulitnya putih...!"

Si orang tua yang ditanya tidak segera menjawab. 

Sebaliknya dia menatap pada orang yang bertanya 

dengan dahi berkerut. Diam-diam dalam hati orang tua 

ini berkata. "Aneh.... Bagaimana dia bertanya begitu? 

Apa dia lupa? Atau anak ini bercanda? Atau jangan-

jangan dia punya penyakit pikun...."

Karena agak lama yang ditanya tidak memberi ja-

waban, Joko buka suara lagi.

"Orang tua! Aku telah bertanya. Harap kau menja-

wab! Dan jangan lupa, jawab dengan apa adanya!"

"Anak muda.... Setelah kepergianmu, memang ada 

gadis yang cirinya seperti kau katakan itu...."

"Hem.... Lalu apakah ada pemuda yang muncul se-

telah itu?! "

Si pemilik kedai pandangi murid Pendeta Sinting 

dengan tatapan heran. Namun buru-buru anggukkan 

kepala saat dilihatnya Joko hendak buka mulut lagi 

menegur karena yang ditanya belum juga memberi ja-

waban.

"Kau bisa terangkan ciri-ciri pemuda yang muncul 

setelah kedatangan gadis berbaju merah itu?!"

Mendengar ucapan Joko, perlahan-lahan ketegan-

gan di wajah orang tua pemilik kedai sirna. Malah tak 

lama kemudian, orang tua ini sudah tersenyum. Tapi 

sejauh ini belum memberi jawaban. Orang tua ini ru-

panya menduga jika si pemuda sedang mengajaknya 

bercanda. Karena dia tahu betul, pemuda yang muncul 

setelah kedatangan si gadis baju merah adalah pemu-

da yang kini ada di hadapannya dan sedang bertanya!


"Orang tua! Aku bertanya. Mengapa kau terse-

nyum?!" tanya Joko.

"Anak muda.... Kau tidak sedang mengajakku ber-

canda, bukan?!"

"Orang tua! Dengar, aku tidak sedang bercanda!

Aku bertanya, bagaimana ciri-ciri pemuda yang mun-

cul setelah kedatangan gadis berbaju merah itu!"

Meski masih merasa heran dengan pertanyaan 

orang, tapi pada akhirnya si orang tua menjawab juga. 

"Anak muda.... Aku tak bisa menerangkan panjang le-

bar bagaimana ciri-ciri pemuda itu. Karena pemuda itu 

adalah kau sendiri!"

Murid Pendeta Sinting tersentak. Sepasang ma-

tanya mendelik pandangi orang tua di hadapannya. 

"Orang tua! Harap kau mengatakan dengan jujur!"

"Aneh.... Kau ini aneh, Anak Muda! Untuk apa aku 

mendustai mu?! Kau telah berjasa menolongku mem-

bawa nenek itu dari sini! Lalu kau datang lagi tidak be-

rapa lama. Karena kita sudah sepakat tentang imba-

lan. Dan menurutku, saat itu kaulah anak manusia 

yang punya rezeki besar. Selain mendapat imbalan, 

kau juga pergi membawa gadis cantik itu...."

"Orang tua! Kau tidak salah melihat orang?!" tanya 

murid Pendeta Sinting seolah ingin yakinkan ucapan 

orang.

"Anak muda.... Usia kadangkala memang mengu-

rangi ketajaman penglihatan orang. Tapi dalam hal ini 

aku tak mungkin salah lihat! Apalagi kau muncul tidak 

berapa lama setelah kepergianmu membawa si nenek 

yang berdandan mencolok itu!"

"Apa kau mendengar percakapan antara si gadis 

dengan pemuda itu?!"

"Sayang sekali, Anak Muda. Aku tidak terbiasa 

mencuri dengar perbincangan orang! Apalagi yang sedang bercakap-cakap adalah seorang gadis dan seo-

rang pemuda! itu hanya akan membuatku ingin kawin 

lagi...." Si orang tua pemilik kedai sudah berani terta-

wa keras dan panjang.

Murid Pendeta Sinting terdiam beberapa lama. Dia 

arahkan pandangan matanya ke halaman kedai den-

gan sesekali menarik napas panjang.

"Anak muda.... Wajahmu berubah! Boleh tahu apa 

yang terjadi?!"

Murid Pendeta Sinting tidak menjawab pertanyaan 

orang. Bahkan berpaling pun tidak.

Si pemilik kedai tersenyum. "Anak muda.... Aku 

sudah pernah kawin tujuh kali. Kau tahu.... Jika aku 

tertarik lagi dengan seorang perempuan, kadang-

kadang aku lupa pada diriku sendiri! Dan aku juga lu-

pa apa yang pernah kulakukan! Jatuh cinta memang 

bisa membuat orang lupa segalanya!"

"Orang tua! Apa setelah itu pemuda yang bersama 

gadis baju merah pernah muncul lagi di sini?!"

"Pernah...!"

"Kapan?! Dia datang bersama siapa?!" sahut Joko 

dengan cepat.

"Dia datang sendirian! Munculnya waktu kau ber-

tanya ini!"

"Busyet!" maki Pendekar 131 dalam hati. Lalu tan-

pa berkata apa-apa lagi dia beranjak bangkit. Lalu me-

langkah tinggalkan ruangan kedai.

"Tunggu, Anak Muda!" tahan si pemilik kedai. "Aku 

merasa ada yang tak beres dengan pertanyaan-

pertanyaanmu! Kau bisa menjelaskan?! Siapa tahu 

aku bisa membantu! Kau telah pernah menolongku. 

Tak ada salahnya kalau sekarang aku membantumu."

Joko hentikan langkah. Lalu balikkan tubuh 

menghadap si orang tua. Sepasang matanya memandang tajam. "Orang tua! Kalau kau memang mau 

membantu, tolong jawab sekali lagi pertanyaanku. Kau 

benar-benar melihat bahwa aku yang datang saat 

itu?!"

"Aku tak mungkin salah!"

Murid Pendeta Sinting sejurus masih menatap pa-

da si orang tua. Lalu balikkan tubuh dan teruskan 

langkah meninggalkan kedai.

Si orang tua pemilik kedai pandangi sosok murid 

Pendeta Sinting hingga lenyap di luar sana. Kepalanya 

menggeleng. "Kasihan.... Jangan-jangan pemuda itu 

akan hilang ingatan! Dia sudah tidak ingat lagi pada 

apa yang pernah dilakukan. Pada dirinya sendiri! 

Hem.... Nyatanya penyakit asmara lebih berbahaya da-

ri penyakit lainnya.... Mudah-mudahan aku tidak jatuh 

cinta lagi...."

Tidak jauh dari kedai, pada tempat agak sepi, mu-

rid Pendeta Sinting hentikan langkah. "Berarti ucapan 

Dewi Seribu Bunga benar! Dan ini berarti pula me-

mang ada manusia yang memerankan sebagai diriku!

Kalau Setan Liang Makam tiba-tiba meminta Kembang

Darah Setan padaku, berarti jelas jika manusia yang 

memerankan sebagai diriku itulah yang telah menda-

patkan Kembang Darah Setan! Yang sekarang jadi per-

tanyaan, siapa dia?! Bagaimana mungkin rupanya ti-

dak beda dengan rupa ku?!"

Benak Pendekar 131 terus didera pertanyaan. 

Hingga dia sampai tidak ingat berapa lama dia berada 

di tempat itu. Dia baru sadar tatkala perlahan-lahan 

suasana berubah temaram. Ketika dia memandang ke 

jurusan barat, ternyata matahari sudah satu tombak 

di atas bentangan kaki langit.

* * *


SEBELAS



SUDAH berapa lama Lasmini duduk di atas ham-

paran rumput itu sambil memikirkan apa yang baru 

saja dialami. Dia sekarang dalam keadaan bimbang 

tentang apa sebaiknya yang harus dilakukan. Dia tidak 

berhasil menemukan Pendeta Sinting di Jurang Tlatah 

Perak. Sementara mencari orang macam Pendeta Sint-

ing bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi kini dia telah 

berjumpa dengan Setan Liang Makam dan Datuk Wah-

ing.

Walau belum benar-benar bentrok, tapi Lasmini 

cukup maklum kalau kedua orang itu memiliki tingkat 

ilmu yang lebih tinggi. Dan melihat kemunculan kedu-

anya di Jurang Tlatah Perak, jelas keduanya punya 

urusan penting meski sejauh ini Lasmini tidak tahu 

urusan sebenarnya. Dan hal itu sudah cukup bagi 

Lasmini untuk tidak ingin terlibat lagi dengan ikut ser-

ta mencari Pendeta Sinting. Karena akan membuatnya 

secara tidak langsung akan terlibat bentrok dengan Se-

tan Liang Makam dan Datuk Wahing.

"Sementara waktu lebih baik aku menemui Saras-

wati...." Akhirnya Lasmini memutuskan. Seperti dike-

tahui, Saraswati adalah anak perempuan Lasmini den-

gan Panjer Wengi. (Lebih jelasnya tentang hubungan 

antara Lasmini dengan Saraswati dan Panjer Wengi, si-

lakan baca serial Joko Sableng dalam episode: "Misteri 

Tengkorak Berdarah").

Belum sampai Lasmini bergerak bangkit, menda-

dak perempuan ini sadar kalau di tempat itu dia tidak 

sendirian. Lasmini cepat palingkan kepala ke samping 

kanan. Dugaannya tidak meleset. Matanya menangkap


satu sosok berkelebat ke jurusan timur.

Tanpa menunggu lama, Lasmini segera beranjak 

bangkit lalu sekali membuat gerakan, sosoknya telah 

melesat ke arah berkelebatnya sosok yang baru saja di-

tangkap pandangan mata Lasmini.

"Tunggu!" teriak Lasmini begitu sosok yang dikejar 

telah terlihat di depan sana.

Orang di depan tidak pedulikan teriakan Lasmini. 

Dia terus saja berkelebat. Lasmini jadi curiga. Seraya 

mengejar perempuan ini berteriak.

"Kalau kau terus lari, jangan menyesal kalau kaki-

mu kupatahkan!"

Mendengar ancaman orang, orang di depan sana 

tiba-tiba hentikan larinya. Orang ini membuat gerakan 

berputar hingga sosoknya menghadap Lasmini yang 

buru-buru hentikan larinya meski jaraknya dengan 

orang yang dikejar kira-kira lima belas langkah.

Begitu orang di depan balikkan tubuh, Lasmini 

tampak tersentak kaget. Kalau saja dia tidak segera 

sadar, tentu dia akan segera menghambur ke depan. 

Malah saat itu juga mulutnya sudah menyebut sebuah 

nama. Untung Lasmini segera maklum dan cepat-cepat 

katupkan mulutnya dengan mata dipentang besar-

besar.

Lasmini tidak tahu jelas siapa adanya orang itu. 

Yang pasti dia adalah seorang laki-laki berusia agak 

lanjut. Dan yang lebih pasti lagi, seandainya pada cup-

ing kedua hidung orang itu mengenakan anting-anting 

dari benang warna merah, tentu saja Lasmini dengan 

tepat dapat menebak siapa adanya si laki-laki.

Anehnya, orang di depan sana hanya putar seben-

tar tanpa buka suara. Dia seolah hanya ingin unjuk

tampang pada orang. Setelah itu dia putar tubuh lagi 

dan enak saja melangkah teruskan jalan.


"Wajahnya persis dengan Kiai Lidah Wetan! Siapa 

dia?! Sikapnya mencurigakan! Di sana tadi pasti dia 

selalu memperhatikan tingkah ku. Dan tidak.... Dia 

sengaja balikkan tubuh hanya untuk agar aku meli-

hatnya...."

Merasa penasaran, Lasmini akhirnya mengejar. 

Orang di depan sana tampaknya sengaja melangkah 

perlahan-tahan dan seakan-akan tidak merasa sedang 

dikejar orang. Malah ketika Lasmini berkelebat dan ti-

ba-tiba telah tegak menghadang di hadapannya, laki-

laki ini tidak unjukkan sikap kaget. Bahkan bibirnya 

sunggingkan senyum lalu berkata mendahului.

"Ada yang membuatmu heran, Sobat?!"

Lasmini kancingkan mulut dengan mata membe-

liak besar pandangi orang di hadapannya dengan sek-

sama. Dia kini percaya, kalau seandainya orang di ha-

dapannya mengenakan anting-anting dari benang pada 

kedua cuping hidungnya, pasti dia tak bisa membeda-

kan mana yang Kiai Lidah Wetan sesungguhnya!

"Kiai Lidah Wetan tidak pernah cerita padaku ka-

lau punya saudara! Jadi mungkin ini satu kebetulan

aku bertemu dengan orang yang wajahnya mirip den-

gan Kiai Lidah Wetan...." Lasmini diam-diam membatin 

dalam hati. 'Tapi mengapa dia tadi berada di...."

Belum sampai Lasmini teruskan kata hatinya, 

orang di hadapannya telah buka suara lagi. "Sobat!

Apa yang membuatmu memandangku begitu rupa?! 

Ada yang salah dengan diriku?!"

Tanpa sadar, Lasmini buka mulut menggumam. 

"Wajahmu...."

Laki-laki di hadapan Lasmini tertawa. "Kenapa wa-

jahku?! Mengingatkan kau pada seseorang?! Atau wa-

jahku menakutkan?!"

"Kau kenal dengan seorang bernama Kiai Lidah


Wetan?!"

"Namanya saja baru kudengar sekarang...," jawab 

orang yang ditanya.

Lasmini terdiam. Laki-laki di hadapannya melirik, 

lalu angkat bicara.

"Harap kau tidak menaruh dugaan buruk padaku. 

Aku tadi kebetulan lewat di sana. Kulihat kau sedang 

tenggelam berpikir, hingga aku urungkan niat untuk 

menyapa mu. Aku menunggu agak sama, tapi rupanya 

kau sedang terlibat dalam urusan penting hingga tak 

menghiraukan kehadiranku di sekitar tempat kau tadi 

berada. Aku tadi sebenarnya hendak tanyakan sesuatu 

padamu. Tapi takut mengagetkan mu dan mungkin 

akan menambah keruwetan pikiranmu, aku putuskan 

untuk pergi...."

Entah karena apa, tiba-tiba Lasmini ajukan tanya.

"Apa yang hendak kau tanyakan padaku?!"

Orang yang ditanya gelengkan kepala. "Aku tidak 

mau menambah keruwetan pikiranmu! Sebaiknya aku 

akan membantumu kalau kau bersedia mengatakan 

apa yang kini jadi urusanmu...."

Karena memang sedang dilanda kebimbangan, 

Lasmini segera saja utarakan apa yang kini sedang di-

alaminya. Dia buka mulut berkata.

"Beberapa saat yang lalu aku jumpa dengan seo-

rang laki-laki tua. Tangan kanannya memegang tong-

kat. Dia sering bersin-bersin. Kau tahu siapa adanya 

orang itu?!"

"Ah.... Kau beruntung. Karena aku mengenali 

orang yang baru saja kau katakan! Kalau tidak salah, 

dia adalah seorang tokoh rimba persilatan yang dikenal 

dengan julukan Datuk Wahing...!"

"Hem.... Berarti orang ini juga salah seorang tokoh. 

Buktinya dia mengetahui siapa adanya orang tua yang


baru saja disebutnya dengan Datuk Wahing!" Lasmini 

diam-diam membatin.

"Kau tahu hubungan antara Datuk Wahing dengan 

seorang yang sebutkan diri sebagai Setan Liang Ma-

kam?!" Lasmini ajukan tanya lagi.

Kali ini yang ditanya gelengkan kepala. Malah ke-

ningnya tampak berkerut. Dan tak lama kemudian dia 

balik bertanya pada Lasmini.

"Mengapa kau tanyakan hubungan antara Datuk 

Wahing dengan Setan Liang Makam?"

"Aku hanya ingin tahu...," ujar Lasmini tidak mau 

berterus terang.

"Kalau kau menanyakan Setan Liang Makam, aku 

dapat menduga jika kau pernah bertemu dengan ma-

nusia itu. Betul?!"

Mungkin agar tidak dipandang sebelah mata oleh 

orang, Lasmini berkata.

"Dia adalah sahabatku...."

"Kalau dia sahabatmu, aku makin bisa menebak 

apa yang tengah kalian lakukan! Setidaknya apa yang 

dilakukan oleh sahabatmu itu!"

"Hem.... Rupanya orang ini tahu banyak tentang 

urusan orang!" kata Lasmini dalam hati. Lalu berkata. 

"Aku ingin tahu apa tebakanmu tepat!"

"Pasti saat ini tengah mencari Pendeta Sinting atau 

muridnya! Pemuda yang dikenal dengan Pendekar Pe-

dang Tumpul 131!"

Lasmini tampak tak bisa sembunyikan rasa kejut-

nya mendengar ucapan laki-laki di hadapannya. Se-

mentara laki-laki di hadapan Lasmini yang bukan lain 

adalah Kiai Laras alihkan pandang matanya ke juru-

san lain dengan bibir sunggingkan senyum.

"Boleh aku tahu?!" tanya Kiai Laras. Pandangannya 

masih ke arah lain. "Apakah kalian berhasil jumpa


dengan orang yang kalian cari?!"

Dari raut muka Lasmini rupanya Kiai Laras sudah 

bisa membaca kalau tebakannya tidak meleset. Malah 

dia pun seakan sudah tahu jawaban apa yang akan 

didengar dari mulut Lasmini. Karena sikap Lasmini 

yang tenggelam dalam pikirannya sendiri saat dilihat-

nya di padang rumput tadi, sudah cukup bagi Kiai La-

ras untuk menduga-duga.

"Aku belum menemukan Pendeta Sinting atau mu-

ridnya!" kata Lasmini setelah agak lama terdiam.

Kiai Laras tertawa perlahan. "Sobat! Untuk saat-

saat sekarang ini percuma kau mencari Pendeta Sint-

ing!"

"Bagaimana bisa begitu?!"

"Kau tentu telah mendengar peristiwa besar di Ke-

dung Ombo! Saat peristiwa itu terjadi, Pendeta Sinting 

terluka parah. Saat ini dia tengah dirawat untuk pu-

lihkan keadaannya!"

"Kau tahu di mana dia sekarang berada?!" tanya 

Lasmini seraya melompat dan tegak lima langkah di 

hadapan Kiai Laras.

Kiai Laras gelengkan kepalanya. "Aku tahu di ma-

na. Tapi Jangan tanya padaku di mana tempat itu! 

Aku tak mau nantinya ikut terlibat dalam urusan se-

sama orang persilatan!"

"Kau tak usah khawatir terlibat dalam urusan ini!

Ini urusanku dengan Pendeta Sinting dan si jahanam 

muridnya itu! Harap katakan padaku di mana orang 

itu berada!"

Kiai Laras gelengkan kepala. "Lebih baik kau tanya 

seribu hal, asal jangan kau tanyakan tempat di mana 

Pendeta Sinting berada!"

"Hem.... Kalau begitu berarti kau akan terlibat uru-

san denganku!" ujar Lasmini seraya tertawa pendek.


Kiai Laras pasang tampang terkejut. "Sobat! Aku 

tak mau terlibat urusan dengan siapa pun!"

Habis berkata begitu, Kiai Laras putar tubuh. Tapi 

pada saat bersama Lasmini sudah melompat dan tegak 

menghadang di depan Kiai Laras.

"Urusanku dengan Pendeta Sinting begitu besar! 

Aku tidak mau orang lain mendahuluiku! Jadi apa pun 

akan kulakukan untuk mendapatkannya! Kuharap 

kau mengerti maksudku!"

"Ah.... Tahu begini akhirnya, aku tadi menyesal 

berbicara denganmu!" ujar Kiai Laras dengan nada 

rendah. Meski kepala orang ini menghadang ke juru-

san lain namun sepasang matanya melirik pada Las-

mini yang tegak di hadapannya.

Lasmini tersenyum. Lalu bertanya. "Kau ada hu-

bungan apa dengan Pendeta Sinting? Saudara seper-

guruan? Saudara pertalian darah?!"

Kiai Laras untuk kesekian kalinya gerakkan kepala 

menggeleng. "Aku dengannya hanya sebatas sebagai 

sahabat!"

"Apa kau merasa kehilangan kalau pendeta sialan 

itu mampus?!"

"Sobat! Persoalannya bukan merasa kehilangan 

atau tidak! Tapi terus terang aku merasa tidak enak! 

Apalagi jika nantinya tersiar kabar bahwa akulah yang 

menunjukkan tempat di mana dia berada!"

"Hem.... Begitu? Sekarang kau tinggal pilih dua ja-

lan! Kau tunjukkan di mana beradanya jahanam itu 

dan aku akan merahasiakan semua ini, atau kau tetap 

bungkam namun saat ini juga kau akan berurusan 

denganku!"

Kiai Laras terdiam beberapa lama. Sementara Las-

mini dongakkan kepala menunggu jawaban.

"Bagaimana?!" tanya Lasmini setelah agak lama


menunggu.

"Sobat! Kau mau berjanji untuk merahasiakan per-

temuan ini?!"

Lasmini tertawa panjang. "Aku bukan orang baik-

baik. Tapi janji adalah gantungan nyawa bagiku! Aku 

bersumpah akan merahasiakan pertemuan ini!"

Kiai Laras pandangi orang seakan ingin yakinkan 

ucapan yang baru diperdengarkan orang. Setelah 

menghela napas dalam dan putar kepala, dia berkata.

"Pergilah ke utara. Carilah sebuah bukit bernama 

Kalingga. Pada ramping bukit itu ada sebuah goa! Di 

sanalah Pendeta Sinting dirawat...."

Selesai berkata, Kiai Laras kembali putar kepala. 

Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun sebelum 

sosok Kiai Laras benar-benar berkelebat, Lasmini telah 

rentangkan kedua tangannya, membuat Kiai Laras ta-

han gerakannya. Sebelum Kiai Laras berucap, Lasmini 

telah buka suara.

"Aku tak mau pencarian ku sia-sia! Dan aku pun 

tak mau ditipu orang!"

"Aku tidak menipumu! Bahkan sebenarnya aku 

merasa menyesal katakan semua ini!"

Lasmini tersenyum. "Bagaimana aku bisa percaya 

kau tidak menipuku?!"

"Lalu apa maumu?!" tanya Kiai Laras dengan suara 

agak keras.

"Aku belum pernah mendengar nama Bukit Kaling-

ga! Untuk membuktikan bahwa kau tidak menipuku, 

kau harus ikut bersamaku!"

"Gila! Kau terlalu banyak permintaan, Sobat! Seha-

rusnya kau sudah berterima kasih padaku!"

'Siapa pun bisa mengarang cerita seperti yang baru 

kau katakan! Apakah untuk hal begitu dan belum ten-

tu benarnya, aku harus berucap terima kasih?!" Lasmini tertawa. "Kau telah telanjur tunjuk tempat! Kau

harus bisa buktikan padaku! Kalau kau tidak mau, je-

las ucapanmu tadi dusta! Dan itu harus mendapatkan 

ganjaran!"

Kiai Laras tergagu diam mendengar kata-kata Las-

mini. Saat lain kepala laki-laki ini menggeleng. "Tidak 

kuduga kalau urusan ini akan jadi panjang! Dan tahu-

kah kau, bahwa dengan ikut serta bersamamu berarti 

malapetaka bagiku?!"

"Kau tak usah khawatir! Kau hanya perlu tunjuk-

kan tempatnya! Kau tidak usah ikut masuk!"

"itu masih membahayakan bagiku! Kalau sam-

pai...."

"Kau membuatku habis kesabaran!" sergah Lasmi-

ni memotong ucapan Kiai Laras. "Aku sekarang tanya 

padamu. Kau mau ikut serta atau tidak?!"

"Kau memberi pilihan sulit padaku! Padahal aku 

telah memberikan keterangan berharga...."

"Keterangan tidak ada harganya kalau belum di-

buktikan benar tidaknya!"

"Baiklah.... Aku akan ikut bersamamu! Tapi aku

hanya bisa mengantarmu sampai samping bukit. Dan 

harap jangan minta yang lebih dari itu! Karena kau ta-

di telah berbalik lidah!"

Lasmini lagi-lagi tertawa mendengar ucapan Kiai 

Laras. "Aku bukannya berbalik lidah! Aku hanya tidak 

mau ditipu orang!"

"Kau pandai bicara...." gumam Kiai Laras sambil

alihkan pandangan.

"Rimba persilatan dipenuhi dengan ucapan-ucapan 

dusta dan kebohongan! Kalau kita tak pandai-pandai 

bicara, kita akan tertelan ucapan dusta orang! Seka-

rang kita berangkat!"

Kiai Laras tidak segera penuhi ucapan Lasmini.


Laki-laki ini tetap tegak tidak membuat gerakan apa-

apa.

"Kau dengar ucapanku, bukan?!" tanya Lasmini 

mulai geram.

"Aku bukan hanya dengar ucapanmu, tapi juga 

melihat adanya orang lain di sekitar tempat ini!"

Habis berkata begitu, Kiai Laras putar tubuh se-

tengah lingkaran. Kepala lurus menghadap ke satu 

arah. Saat bersamaan mulutnya perdengarkan suara.

"Siapa pun kau adanya, harap keluar!"

Ucapan Kiai Laras belum selesai, satu sosok tubuh 

melesat keluar dari balik tanah agak tinggi dan tegak 

tujuh langkah di hadapan Kiai Laras.

*

* *

DUA BELAS



ORANG yang baru muncul ternyata adalah seorang 

pemuda berparas tampan mengenakan pakaian hitam-

hitam. Rambutnya panjang lebat diikat. Sepasang ma-

tanya bulat tajam. Hidungnya mancung dengan kumis 

tipis.

Lasmini tampak tercekat. Sesaat sepasang mata 

perempuan ini membelalak besar. Saat lain tangan ka-

nannya bergerak menunjuk pada pemuda berkumis ti-

pis yang baru saja muncul. Saat yang sama mulutnya 

membuka.

"Kau...." Hanya ucapan itu yang bisa diucapkan 

Lasmini. Kejap lain sosoknya telah melompat ke depan 

dan tegak dua langkah di hadapan si pemuda berkumis tipis.


"Saraswati...," desis Lasmini. Kedua tangannya me-

rentang.

Pemuda berkumis tipis yang dipanggil Saraswati ti-

dak menyahut. Sebaliknya menubruk Lasmini lalu 

memeluknya erat-erat. Untuk beberapa lama kedua 

orang ini saling peluk cium tanpa ada yang buka sua-

ra. Di sebelah samping, Kiai Laras memperhatikan 

dengan dahi berkerut.

"Aku gembira bisa bertemu denganmu di sini, Sa-

raswati.... ibu sudah lama ingin mencari dan bertemu 

denganmu...."

"Aku pun sudah lama mencari kabar di mana ibu 

berada..," ujar Saraswati. Lalu pemuda berkumis tipis 

ini tarik kepalanya dari dekapan Lasmini yang bukan 

lain adalah ibu kandungnya sendiri. (Tentang hubun-

gan antara Saraswati dan Lasmini harap baca serial 

Joko Sableng dalam episode: "Misteri Tengkorak Ber-

darah").

Saraswati melirik sejenak pada Kiai Laras. Lalu 

perlahan-lahan menarik lengan ibunya untuk men-

jauh. Meski merasa sedikit heran, namun Lasmini ti-

dak mencegah tindakan Saraswati. Dia menurut saja 

ditarik menjauh.

"Ibu.... Aku tadi sempat mendengar percakapan 

dengan orang tua itu.... Siapa dia sebenarnya?!" tanya

Saraswati yang seperti masa lalu, tetap menyamar se-

bagai seorang pemuda berkumis tipis dan mengenakan 

pakaian hitam-hitam, pakaian yang biasanya dipakai 

oleh seorang laki-laki.

Lasmini sesaat bingung. Dia belum mengenal benar 

siapa Kiai Laras. Bahkan dia tadi belum sempat tanya 

siapa nama Kiai Laras. Namun karena tak mau menge-

cewakan anaknya, Lasmini menjawab.

"Kau tak usah curiga, Anakku.... Dia adalah sahabat Ibu...!"

"Mengapa Ibu mengajaknya mencari tempat Pende-

ta Sinting?!" tanya Saraswati dengan berbisik.

"Saraswati.... Kau tak usah ikut campur urusan 

Ibu!"

"Aku tidak ikut campur.... Aku hanya curiga...."

"Saraswati.... Lupakan itu semua! Sekarang kata-

kan pada ibu. Di mana kau berdiam selama ini?!"

"Aku tinggal tidak jauh dari istana Hantu. Kira-kira 

lima puluh tombak dari Istana Hantu ke jurusan sela-

tan. Pada sebuah rumah tua...."

"Kau tinggal dengan siapa?!"

"Selama ini sendirian. Tapi kadang-kadang Ayah 

berkunjung...."

Wajah Lasmini tampak berubah. Dadanya berdebar 

keras. Saraswati rupanya dapat menangkap apa yang 

membuat paras ibunya berubah.

"Ibu.... Kuharap Ibu bisa melupakan peristiwa yang 

telah berlalu.... Lebih dari itu, aku ingin hidup bersa-

ma dengan Ibu.... Untuk itulah selama ini aku mencari 

kabar di mana Ibu berada...."

"Saraswati.... Telah bertahun-tahun kita hidup 

berpisah! Seperti halnya dirimu, aku pun ingin bersatu 

denganmu.... Tapi...."

"Ibu.... Demi anakmu, kuharap Ibu melupakan apa 

yang pernah terjadi! Dan saat ini juga kuharap Ibu 

mau ikut serta denganku...."

Lasmini gelengkan kepalanya perlahan. "Saraswa-

ti.... Mengucapkan memang lebih mudah daripada me-

lakukan! Kau tahu, Anakku… Selama ini Ibu sudah

mencoba untuk melupakan apa yang pernah terjadi!

Tapi yang terjadi justru sebaliknya! Setiap kali aku 

mencoba, setiap kali pula wajah jahanam-jahanam itu 

terbayang di mataku!"


Saraswati memeluk kembali ibunya erat-erat. "Ka-

lau Ibu masih memendam dendam, kapan akan be-

rakhir semua ini? Kapan kita akan bisa berkumpul?!"

Lasmini menghela napas dalam. "Aku tak tahu, 

Anakku.... Aku bahkan kadang-kadang menyesali hi-

dup ini! Mengapa nasib kita begitu buruk? Mengapa 

kita harus hidup di tengah manusia-manusia yang 

pernah memporak-porandakan kebahagiaan kita! 

Mengapa kita harus hidup di samping orang-orang 

yang pernah menyebabkan kita berpisah bahkan tidak 

saling mengenal?! Mengapa?! Mengapa?!" Suara Las-

mini terdengar tersendat dan bergetar. "Ini gara-gara 

manusia jahanam-jahanam itu! Rasanya mati pun aku 

belum lega kalau belum bisa selesaikan urusan ini 

sampai tuntas!"

"Ibu.... Ibu hanya akan memperdalam jurang pemi-

sah ini! Semua sudah selesai...."

Saraswati gelengkan kepala. "Bagi mereka memang 

sudah selesai. Tapi bagi Ibu.... Semua belum berakhir!"

"Ibu...."

Sebelum Saraswati lanjutkan ucapannya, Lasmini 

telah menukas.

"Saraswati.... Kita nanti bisa bicara panjang lebar! 

Sekarang kuharap kau pulang dan menungguku. Ibu 

masih harus selesaikan satu urusan! Tidak lama lagi 

Ibu akan menyusulmu...."

"Ibu.... Kuharap Ibu mau urungkan niat untuk 

pergi bersama kakek itu...."

Lasmini tertawa perlahan. "Kau masih menaruh 

curiga pada orang.... Dia adalah sahabat baik Ibu!"

"Ibu jangan berdusta padaku! Aku tadi sempat 

mendengar percakapan Ibu dengan kakek itu! Ibu mau 

mengajaknya mencari Pendeta Sinting bukan?!

"Dia tahu di mana orang yang Ibu cari! Karena Ibu


tak mau ditipu orang, apa salahnya Ibu mengajaknya 

ikut serta?!"

"Ibu terlalu percaya pada orang yang belum dikenal 

dengan baik!"

"Kalau dia menipu, nyawanya tidak akan lama!" 

"Baiklah.... Tapi kurasa Ibu tidak ada gunanya lagi 

mencari Pendeta Sinting! Itu hanya akan membuka 

urusan baru. Dan itu akan membawa kita untuk ber-

pisah lagi! Apa Ibu tidak merasa kasihan dengan 

anakmu...?!"

"Saraswati.... Ibu tidak membuka urusan baru! Ini 

urusan lama! Justru kalau urusan ini tidak diselesai-

kan, kelak di kemudian hari akan bisa memisahkan ki-

ta!"

"Mengapa Ibu berpikir demikian?! Apa karena pe-

muda murid Pendeta sinting itu?"

"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, Saras-

wati.... Dan kuharap kau melupakan pemuda jahanam 

itu!"

Kini paras wajah Saraswati yang tampak berubah. 

Lasmini rupanya dapat menangkap perubahan pada 

wajah anaknya. Lasmini sebenarnya hendak berkata. 

Namun sebelum ucapannya terdengar, dari seberang 

sana terdengar Kiai Laras telah berkata.

"Sobatku.... Aku harus pergi sekarang. Aku tidak 

bisa menunggumu...."

"Tunggu!" tahan Lasmini. Perempuan ini lalu berbi-

sik pada Saraswati. "Anakku. Kau pulang dahulu dan 

Ibu pasti akan menyusulmu...."

"Ibu.... Untuk kali ini harap Ibu urungkan niat!"

"Hem.... Kau takut karena Pendeta Sinting guru 

pemuda keparat itu?!"

Meski parasnya berubah, tapi Saraswati gelengkan 

kepala. "Persoalannya bukan itu, Ibu.... Tapi aku merasa kakek itu berkata dusta!"

"Kau jangan menghalang-halangi karena kau terta-

rik dengan murid Pendeta Sinting! Ibu tahu itu, Saras-

wati.... Jadi kuperingatkan sekali lagi, lupakan pemu-

da bangsat itu!"

Saraswati menarik napas panjang. "Persoalannya 

bukan itu, Ibu.... Tapi...." 

"Tapi apa...?!"

Saraswati tampak mengerling pada Kiai Laras sebe-

lum berkata dengan suara amat pelan. "Aku tahu di 

mana Pendeta Sinting berada! Dan aku yakin bukan di 

bukit yang dikatakan orang tua itu!"

Mendengar ucapan Saraswati, Lasmini tertawa 

agak keras. "Kau jangan mengada-ada, Saraswati! Dan 

jangan kira aku tak tahu.... Kau berdusta padaku 

hanya agar aku urungkan niat! Tidak, Anakku! Urusan 

ini harus selesai.... Setelah itu kita hidup dengan ba-

hagia. Tentunya setelah urusan dengan yang lainnya 

juga tuntas!"

"Ibu.... Aku tidak berdusta padamu! Aku sempat 

jumpa dengan Pendeta Sinting.... Dia memang dalam 

keadaan terluka! Tapi tempatnya bukan yang dikata-

kan orang tua itu! Aku akan tunjukkan padamu. Tapi 

dengan syarat...."

"Aku tidak bisa kau dustai, Anakku...," ujar Lasmi-

ni seraya mencium kening Saraswati. "Jaga dirimu 

baik-baik...."

Habis berkata begitu, Lasmini lepaskan pelukan-

nya pada Saraswati. Perlahan-lahan perempuan ini 

melangkah mendekati Kiai Laras yang saat itu tengah 

memandang tajam pada Saraswati.

"Ibu...."

Lasmini berpaling. Sepasang matanya mendelik 

tatkala melihat Saraswati hendak melangkah ke arah


nya. Hingga Saraswati urungkan niat.

"Sobatku.... Kalau anakmu masih merasa curiga, 

apa tidak sebaiknya dia diajak ikut serta?!" tanya Kiai 

Laras seraya memandang pada Lasmini yang sudah 

berada di hadapannya.

"Ini urusanku! Sekarang kita berangkat!"

Lasmini sudah melangkah ke jurusan utara. Tak 

lama kemudian Kiai Laras melompat dan sudah me-

langkah di samping Lasmini.

"Aku tidak mendengar apa yang kalian perbincang-

kan! Tapi dari sikapnya, anakmu tadi punya prasang-

ka jelek padaku.... Hem.... Nasibku hari ini tidak baik!"

"Manusia akan selamat jika berlaku hati-hati! Dan 

nasibmu akan lebih tidak baik kalau kau berani men-

dustai ku!"

Kiai Laras tidak menyahut. Sebaliknya laki-laki ini 

menyeringai dingin. Saat lain tiba-tiba Kiai Laras ber-

kelebat seraya berkata. "Aku masih ada yang harus 

kulakukan! Kita harus cepat sampai!"

Lasmini tidak menunggu lama. Perempuan ini se-

gera pula berkelebat mengikuti Kiai Laras yang berlari 

cepat menuju ke arah utara. Sementara jauh di bela-

kang sana, Saraswati tampak pandangi sosok ibunya 

dengan dada turun naik.

"Ibu.... Mengapa kau masih juga tak bisa le-

nyapkan perasaan dendam?! Dan mengapa kau cari 

urusan dengan Pendeta Sinting?! Bukankah kalau 

memang ingin selesaikan urusan harus dengan Pende-

kar 131?!"

Mengingat sampai di situ, tiba-tiba pemuda yang 

benarnya adalah seorang gadis ini menghela napas.

"Pendekar 131.... Mengapa aku tidak bisa melupa-

kannya?! Di mana dia sekarang berada...?! Hem.... Ibu 

tengah mencari jejak Pendeta Sinting. Aku harus mengikutinya. Siapa tahu di sana aku bisa jumpa dengan-

nya...."

Saraswati tidak lanjutkan gumamannya. Sebalik-

nya cepat berkelebat karena dilihatnya sosok Ibunya 

dan Kiai Laras sudah hampir tidak kelihatan lagi.

Setelah menempuh perjalanan hampir setengah 

hari, Kiai Laras dan Lasmini sampai pada satu tempat 

yang banyak ditumbuhi jajaran pohon dan semak be-

lukar. Memandang jauh ke depan, tampak sebuah bu-

kit.

"Sobatku.... Aku hanya bisa mengantarmu sampai 

di tempat ini!! ucap Kiai Laras.

Lasmini berpaling pada Kiai Laras. Namun cuma 

sejurus. Di lain saat dia arahkan pandangannya pada 

bukit di depan sana.

"Apakah bukit itu yang kau maksud tempat per-

sembunyiannya Pendeta Sinting?!"

"Benar! itulah Bukit Kalingga. Kau jalan memutar 

dari sebelah timur. Dari arah sana kau nanti akan me-

nemukan sebuah goa!"

Entah termakan oleh ucapan Saraswati, tanpa ber-

paling hadapkan wajah pada Kiai Laras, Lasmini beru-

cap.

"Sebelum aku pergi ke sana, aku tanya sekali lagi 

padamu. Kau tidak berdusta?"

"Aku telah berani mengantarmu sampai di sini!

Apakah itu masih belum cukup untuk membuatmu 

percaya?!"

"Hem.... Bagaimana kalau kau ikut bersamaku?!"

"Sobatku! Kuharap kau pegang janjimu! Kita tadi 

telah sepakat. Bahkan kau telah mengatakan sendiri 

jika kau yang akan masuk sendirian!"

"Sebenarnya apa yang membuatmu takut?!"

"Ini bukan masalah takut, Sobat! Tapi urusan perasaan! Aku kenal baik dengan Pendeta Sinting. Se-

mentara secara diam-diam aku menunjukkan di mana 

dia berada pada orang yang punya urusan maut! Kau 

tentu bisa merasakan bagaimana rasanya jika kau jadi 

aku!"

Lasmini tertawa pendek. "Baik! Aku akan pergi ke 

sana sendirian! Tapi ingat, kau jangan ke mana-mana 

sebelum aku kembali!"

Kiai Laras tampak terkesiap. "Urusanmu adalah 

hidup dan mati! Sementara orang tidak tahu kapan 

matinya! Aku khawatir...."

"Kau khawatir aku akan mati di sana dan tidak 

akan kembali?!" tanya Lasmini seraya tertawa. "Aku 

masih punya kekuatan kalau hanya membekuk jaha-

nam Pendeta Sinting itu! Tunggulah di sini sampai aku 

kembali! Dan jangan coba-coba angkat kaki dari sini 

sebelum aku datangi"

Habis berkata begitu, Lasmini berkelebat menuju

arah bukit di depan sana. Dan seperti ucapan Kiai La-

ras, Lasmini berkelebat memutar dari arah timur.

Setelah agak lama mencari, pada satu tempat tiba-

tiba Lasmini hentikan langkahnya tatkala sepasang 

matanya samar-samar menangkap sebuah lobang di 

lamping bukit. Lobang itu tidak begitu kelihatan kare-

na di kanan kirinya diranggasi semak belukar. Semen-

tara tidak jauh dari situ banyak berjajar pohon-pohon 

besar, hingga keadaannya agak temaram.

"Hem.... Mungkin ini goa yang dimaksud...," desis 

Lasmini dengan mata dipentang besar-besar dan mulai 

melangkah mendekat. Dia melangkah dengan hati-hati 

dan mata melirik kian kemari. Tenaga dalamnya telah 

dikerahkan pada kedua tangannya.

Lasmini hentikan langkah enam tindak ke depan 

mulut goa. Sejenak perempuan ini terlihat bimbang


antara langsung menerobos masuk atau berteriak 

memberitahukan kedatangannya.

Belum sampai Lasmini memutuskan apa yang ha-

rus dilakukan, tiba-tiba semak belukar di sebelah ka-

nan bergerak-gerak. Lasmini angkat kedua tangannya 

seraya berpaling.

Memandang ke depan, dada Lasmini laksana dis-

entak. Sepasang matanya mementang angker berkilat-

kilat. Kedua tangannya yang terangkat bergetar keras. 

Saat bersamaan mulutnya mendesis. "Kau!"

Di seberang depan, di antara semak belukar, tegak 

seorang pemuda berparas tampan mengenakan pa-

kaian putih-putih. Rambutnya panjang sedikit acak-

acakan dilingkari ikat kepala warna putih. Lasmini ta-

hu benar, bahwa pemuda yang tegak di seberang bu-

kan lain adalah murid Pendeta Sinting, Pendekar 131 

Joko Sableng!



                      SELESAI



















































Share:

0 comments:

Posting Komentar