KAMPUNG SETAN
EPISODE I : KEMBANG DARAH SETAN
EPISODE II : GEGER TOPENG S. PENDEKAR
EPISODE III : RAHASIA KAMPUNG SETAN
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Joko Sableng telah
Terdaftar pada Dept. Kehakiman R. I.
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan
Merek di bawah nomor 012875
SATU
LAKSANA kesetanan, Setan Liang Makam terus
berkelebat. Dia tidak pedulikan teriakan Lasmini. Na-
mun bagaimanapun dia kerahkan segenap Ilmu perin-
gan tubuh serta tenaga yang dimiliki, tetap saja tak
mampu mengejar Datuk Wahing. Apalagi suara bersi-
nan yang terus terdengar pantul-memantul membuat
Setan Liang Makam sulit menentukan arah yang di-
ambil Datuk Wahing. Hingga pada satu tempat, Setan
Liang Makam hentikan larinya. Suara bersinan me-
mang masih terdengar di sekitar tempat di mana dia
berada, namun sosok Datuk Wahing tidak kelihatan
laksana ditelan bumi.
"Pantulan Tabir!" desis Setan Liang Makam. "Ma-
nusia tadi memiliki Ilmu 'Pantulan Tabir"! Berarti di-
alah orang yang bisa memberi keterangan padaku!"
"Kenapa kau mengejarnya?!" satu suara terdengar.
Ternyata Lasmini telah tegak di belakang Setan Liang
Makam dengan mulut megap-megap.
Setan Liang Makam kancingkan mulut. Malah ge-
rakkan kepala berpaling pun tidak. Dia tegak dengan
kepala sedikit ditengadahkan dan mata setengah me-
mejam. Manusia ini seolah masih tenggelam dalam ra-
sa kecewa!
Seperti dituturkan dalam episode : "Geger Topeng
Sang Pendekar", begitu dapat membunuh Dadaka yang
ternyata adalah salah seorang yang mengubur Setan
Liang Makam di makam batu, Setan Liang Makam te-
ruskan perjalanan ke Jurang Tatah Perak tempat ke-
diaman Pendeta Sinting, Eyang Guru Pendekar 131
dengan maksud mencari tahu di mana gerangan Joko
Sableng yang diyakininya telah mengambil Kembang
Darah Setan. Namun begitu sampai di Jurang Tlatah
Perak, bukannya Pendeta Sinting yang ditemui, me-
lainkan Lasmini.
Lasmini sendiri muncul ke Jurang Tlatah Perak
atas anjuran Kiai Lidah Wetan, kekasihnya di masa
muda. Entah karena apa Lasmini tiba-tiba mengambil
keputusan menemui Kiai Lidah Wetan yang pada masa
mudanya pernah dikhianati. Dan entah karena apa
pula, meski pernah disakiti dan muncul dengan sikap
bungkam serta acuh tak acuh, Kiai Lidah Wetan mene-
rima kembali kehadiran Lasmini yang pernah
mengkhianati cintanya di masa lalu. Makah Kiai Lidah
Wetan bersedia membantu Lasmini menuntaskan den-
damnya setelah gagal dengan penyamarannya sebagai
Tengkorak Berdarah.
Antara Setan Liang Makam dan Lasmini pada ak-
hirnya terjalin persahabatan karena sama-sama men-
cari Pendeta Sinting. Dan karena mereka tidak mene-
mukan Pendeta Sinting di Jurang Tlatah Perak, kedua
orang ini akhirnya memutuskan untuk mencari Pende-
ta Sinting di luar. Namun begitu mereka muncul di Ju-
rang Tlatah Perak, mereka berdua jumpa dengan Da-
tuk Wahing. Setan Liang Makam dan Lasmini merasa
curiga dengan kemunculan Datuk Wahing di atas Ju-
rang Tlatah Perak. Tapi baik Lasmini maupun Setan
Liang Makam tidak berhasil mengorek keterangan sia-
pa sebenarnya Datuk Wahing sebelum akhirnya Datuk
Wahing tinggalkan tempat itu sambil bersin-bersin.
Setan Liang Makam pada mulanya tidak mau men-
gejar Datuk Wahing, namun begitu mengetahui suara
bersinan Datuk Wahing bisa memantul terus menerus
di delapan penjuru mata angin, buru-buru Setan Liang
Makam sadar. Dia lantas mengejar Datuk Wahing. Tapi
pada akhirnya kehilangan jejak orang yang dikejar. Di
lain pihak, melihat perubahan pada Setan Liang Ma-
kam, Lasmini jadi penasaran. Dia ikut mengejar di be-
lakang Setan Liang Makam.
"Lasmini! Kau bilang banyak mengenal tokoh-tokoh
rimba persilatan. Mengapa kau tidak mengenal siapa
adanya manusia tadi?!" Berkata Setan Liang Makam
masih tanpa membuat gerakan.
Untuk beberapa lama Lasmini bungkam. Dia tidak
tahu harus menjawab apa. Karena selama ini dia me-
mang sama sekali belum mengenal Datuk Wahing.
Sementara Setan Liang Makam mau menerima persa-
habatan Lasmini karena Lasmini sendiri mengatakan
banyak tahu beberapa tokoh dunia persilatan yang un-
tuk saat ini diperlukan sekali oleh Setan Liang Makam.
Sebab terkubur selama tiga puluh enam tahun mem-
buat orang ini tidak tahu lagi perkembangan yang ter-
jadi dalam rimba persilatan.
"Kau tidak menjawab! Berarti percuma kau dan
aku jalan bersama! Karena ternyata kau tidak lebih da-
riku dalam mengenali tokoh-tokoh dunia persilatan!"
"Harap kau tidak terlalu tergesa-gesa!" ucap Las-
mini. "Mengenal laki-laki tadi, terus terang aku baru
kali ini jumpa!"
"Hem… Itu cukup bagiku untuk mengatakan bah-
wa kau bukan orang yang banyak tahu tentang tokoh
dunia persilatan!"
"Tidak mengenali satu orang bukan alasan yang bi-
sa dijadikan dugaan! Dan karena baru kali ini aku
jumpa dengan laki-laki tadi, pasti dia bukan tokoh
rimba persilatan yang perlu diperhitungkan! Karena
hampir lima tahun aku malang melintang!"
Setan Liang Makam mendengus. "Kau mengatakan
manusia tadi bukan tokoh yang perlu diperhitung-
kan?!" Setan Liang Makam gerakkan kepala berpaling.
Telingamu tadi dengar suara bersinannya?!"
Lasmini tidak menjawab. Kepalanya pun tidak ber-
gerak memberi isyarat jawaban.
Setan Liang Makam tertawa pendek sebelum ak-
hirnya lanjutkan ucapan. "Dengar, Perempuan! Dia ta-
di telah keluarkan satu Ilmu langka. Itulah ilmu yang
dikenal dengan nama 'Pantulan Tabir'! Kalau ilmu yang
dimilikinya adalah Ilmu langka, apakah kau masih
mengatakan dia manusia yang tidak perlu diperhi-
tungkan?!" Setan Liang Makam hentikan ucapannya
sejenak.
Tanpa menunggu jawaban Lasmini, orang yang tu-
buhnya hanya merupakan kerangka tanpa daging ini
telah lanjutkan lagi. "Setinggi apa pun Ilmu yang dimi-
liki orang, bakalan sulit menghadapi Ilmu 'Pantulan
Tabir!"
Walau belum percaya ucapan Setan Liang Makam,
tapi melihat bagaimana tadi bersinan orang mampu
menghadang langkahnya bahkan membuatnya tersen-
tak karena suara bersinan itu pantul memantul ke se-
genap penjuru angin, mau tak mau membuat perem-
puan yang pernah menyamar sebagai Tengkorak Ber-
darah palsu ini mulai mempercayai keterangan Setan
Liang Makam.
Namun kail ini bukan keterangan Setan Liang Ma-
kam yang membuncah benak Lasmini. Justru dia pe-
nasaran, mengapa Setan Liang Makam mengatakan
bahwa si orang tua yang bersin-bersin itu adalah orang
yang dicari!
"Perempuan! Kau telah dengar ucapanku! Mengapa
kau tidak segera angkat kaki?!" Setan Liang Makam te-
lah buka mulut lagi. Suaranya agak keras.
"Jadi kau masih menganggapku tidak banyak tahu
tokoh-tokoh rimba persilatan gara-gara tidak mengena
li laki-laki jahanam tadi?!"
"Kalau pada manusia berilmu langka saja kau ti-
dak kenal, bagaimana mungkin kau mengenal tokoh-
tokoh hebat lainnya?!'
Lasmini tertawa. "Kau boleh mengatakan laki-laki
tadi manusia langka. Tapi di mataku, dia bukan apa-
apa! Maka' ya jangan heran kalau aku tidak menge-
nalnya!"
Setan Liang Makam balik tertawa mendengar uca-
pan Lasmini. "Seberapa tinggi bekal yang kau miliki
hingga bicaramu menembus langit. Perempuan?! Apa
kau kira aku tak tahu jika kau sengaja mengajakku
sama-sama mencari Pendeta Sinting karena bekalmu
sangat rendah?!"
Dada Lasmini mulai panas mendengar ucapan Se-
tan Liang Makam. Sambil angkat tangannya, Lasmini
berkata setengah berteriak.
"Aku punya kekuatan! Kalau tidak, mana mungkin
aku mendatangi tempat Pendeta Sinting?!"
Setan Liang Makam gerakkan kepala menggeleng.
"Meski aku telah berpuluh tahun tidak tahu dunia
luar, aku tetap yakin kalau perangai seorang perem-
puan tidak akan berubah! Dia tidak akan mengandal-
kan bekal ilmunya, tapi tubuh dan mulutnya!"
Paras wajah Lasmini seketika berubah. Sepasang
matanya mendelik besar dengan dada bergerak turun
naik keras. Kalau saja tidak sadar siapa orang yang
kini dihadapi, pasti sepasang tangannya sudah berke-
lebat lepaskan gebukan ke mulut orang.
"Kau terlalu rendah memandangku!" ujar Lasmini
dengan suara bergetar.
"Kalau kau merasa membekal ilmu tinggi, mau tun-
jukkan padaku?!' tanya Setan Liang Makam seraya
alihkan pandangan ke jurusan lain. Sikapnya jelas
memandang sebelah mata pada orang.
Dada Lasmini makin menggelegak. Sebenarnya dia
ingin menjajal sampai di mana ilmu yang dimiliki Se-
tan Liang Makam. Namun karena dia tidak mau me-
nanam permusuhan yang pada akhirnya akan meng-
hambat langkahnya di kemudian hari, maka perem-
puan ini harus menindih perasaan geram.
Mendapati Lasmini tidak menyahut atau membuat
gerakan untuk menyambut tantangannya, Setan Liang
Makam tertawa bergelak. Puas tertawa dia berkata.
"Apakah ucapanku tadi belum membuatmu men-
gerti untuk segera angkat kaki?! Atau kau ingin kuusir
dengan tanganku, hah?!"
Lasmini memandang tajam pada Setan Liang Ma-
kam. Masih dengan kancingkan mulut, perempuan ini
putar diri. Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu diirin-
gi gelakan tawa Setan Liang Makam.
*
* *
Lasmini tidak tahu sampai seberapa jauh dia berla-
ri. Dia juga tidak tahu ke mana dia kini melangkah.
Dia hanya berlari dan berlari untuk melampiaskan ser-
ta melupakan kegeraman hatinya pada Setan Liang
Makam. Dia baru memperlambat larinya ketika sepa-
sang matanya menangkap satu sosok tubuh berjalan
perlahan-lahan di depan sana.
Sesaat Lasmini memperhatikan dengan seksama.
Mendadak matanya terpentang besar. Saat lain kedua
kakinya menjejak tanah. Laksana dikejar setan, pe-
rempuan ini melesat ke depan. Dalam beberapa saat
dia telah berada di belakang orang yang berjalan perlahan.
"Berhenti!" teriak Lasmini.
Seolah tidak mendengar teriakan orang, orang yang
berjalan di depan, yang ternyata seorang laki-laki be-
rusia lanjut mengenakan pakaian putih lusuh yang di
tangannya memegang sebuah tongkat butut, teruskan
langkah.
"Keparat!" maki Lasmini. Sekali lagi berkelebat, so-
soknya telah tegak menghadang jalan orang. Sepasang
matanya langsung membeliak mengawasi orang di ha-
dapannya.
Yang dipandang angkat kepala. Bukan untuk balas
memandang, melainkan untuk ditarik sedikit lagi ke
belakang, lalu didorong ke depan. Saat lain orang ini
telah pulang balikkan kepalanya ke depan ke belakang
dengan mimik meringis. Bukan untuk mengejek orang,
melainkan orang ini ingin bersin!
"Jahanam ini yang membuatku dipandang remeh
orang!" desis Lasmini dengan mendelik angker mena-
tap pada orang di hadapannya yang bukan lain ternya-
ta Datuk Wahing. Mengingat semua ucapan Setan
Liang Makam, Lasmini jadi ingin membuktikan. Maka
dia cepat buka mulut dengan suara membentak.
"Sebutkan siapa dirimu kalau kau tak ingin tan-
ganku merobek mulutmu!"
"Brusss! Bruss! Brusss!"
"Heran... Sudah demikian mahalkah harga nama-
ku?!"
"Keparat! Namamu tidak ada harganya di hada-
panku!"
"Hem... Kalau begitu mengherankan sekali kalau
sampai kau harus turun tangan merobek mulutku ga-
ra-gara aku tidak sebutkan nama....
Brusss! Brusss!"
"Kau terlalu banyak mulut! Atau kau....
Belum sampai ucapan Lasmini selesai, Datuk Wah-
ing telah memotong sambil tahan gerakan kepalanya
tengadah. Mengherankan. Sejak lahir kurasa mulutku
cuma satu. Atau barangkali aku tidak merasa kalau
mulutku bertambah...?!" Seolah ingin membuktikan,
Datuk Wahing angkat tangan kirinya lalu diusap-
usapnya pada seluruh wajahnya.
"Masih tidak ada tambahan mulut.... Adalah meng-
herankan kalau ada orang yang mengatakan mulutku
banyak...," Datuk Wahing lalu tertawa.
Tampang Lasmini mengetam. Sikap yang ditunjuk-
kan orang membuat dadanya dibungkus kemarahan
luar biasa. Hingga tanpa buka suara lagi, dia melom-
pat ke depan dan langsung kelebatan tangan kanan ki-
rinya lepaskan pukulan ke arah kepala orang.
"Bruss! Bruss! Brusss!"
Datuk Wahing tidak membuat gerakan untuk me-
nangkis kelebatan kedua tangan orang. Sebaliknya dia
bersin tiga kali dengan kepala bergerak. Walau gerakan
kepala itu hanya karena bersinan, hebatnya gerakan
kepalanya itu mampu membuat kelebatan kedua tan-
gan Lasmini menghantam tempat kosong.
Mendapati hantaman kedua tangannya tidak men-
genai sasaran, malah dihindari orang secara bersin,
Lasmini tidak dapat kuasai diri lagi. Namun perem-
puan ini tidak mau bertindak ayal. Dari gerakan orang
yang begitu mudah selamatkan diri dari hantamannya,
dia maklum kalau orang di hadapannya bukanlah
orang yang bisa dianggap enteng.
Lasmini kerahkan setengah tenaga dalam. Lalu
hantamkan tangan kanan ke arah perut, sedangkan
tangan kiri ke arah dada. Bersamaan dengan itu kaki
kanannya di angkat siap lepaskan tendangan jika pu-
kulan lurus kedua tangannya gagal menghantam sasaran.
"Bruss!"
Datuk Wahing bersin sekali. Tangan kanannya
yang memegang tongkat butut diangkat lalu di putar di
depan dada.
Trakkk! Trakkk!
Terdengar benturan keras tatkala hantaman kedua
tangan Lasmini menghantam tongkat butut Datuk
Wahing yang diputar di depan dada.
Lasmini tersentak. Hantaman kedua tangannya ta-
di dengan kerahkan tenaga dalam yang seandainya di-
hantamkan pada batu besar, maka tak ayal lagi batu
besar itu akan hancur berkeping-keping! Namun tong-
kat butut di tangan kanan Datuk Wahing yang baru
saja bentrok dengan kedua tangannya tidak patah! Ma-
lah kedua tangannya laksana membentur tembok ko-
koh. Hingga saat itu juga Lasmini cepat-cepat tarik pu-
lang kedua tangannya! Mungkin hanyut dalam kekage-
tannya, Lasmini sampai lupa untuk lepaskan tendan-
gan kaki kanan yang telah disiapkan untuk susuli
hantaman kedua tangannya.
Datuk Wahing mengusap-usap tongkatnya yang
baru saja menghadang pukulan lurus kedua tangan
Lasmini. Saat lain kakek ini bersin tiga kali sebelum
akhirnya angkat bicara.
"Heran.... Kau membuat hatiku heran, Sahabat!
Kau tadi mendustai ku dengan mengatakan mulutku
banyak. Lalu tiba-tiba kau hendak memukul ku! Tidak
keberatan menghilangkan rasa heran ku dengan men-
gatakan ada apa sebenarnya?!"
Lasmini katupkan rahang tidak jawab pertanyaan
orang. Kejap lain perempuan ini mundur tiga langkah.
Tangannya diangkat tinggi-tinggi. Sosoknya bergetar,
tanda dia telah kerahkan hampir segenap tenaga dalamnya.
"Aku telah tanya dengan baik-baik, tapi rupanya
kau inginkan jalan keras!" kata Lasmini.
"Bruss! Brusss!"
"Ah.... Kau ini mengherankan! Bukankah namaku
tidak ada harganya di hadapanmu? Lalu kenapa kau
marah-marah saat aku tidak mau turuti ucapanmu?!"
Lasmini tidak menyahut dengan ucapan. Sebalik-
nya dia sentakkan kedua tangannya lepas pukulan ja-
rak jauh bertenaga dalam tinggi!
*
* *
DUA
DUA gelombang luar biasa dahsyat berkiblat ganas
ke arah Datuk Wahing. Datuk Wahing hentikan gera-
kan kepalanya.
"Tamat riwayatmu, Keparat!" desis Lasmini dengan
senyum dingin tatkala mengetahui Datuk Wahing tidak
membuat gerakan apa-apa meski dua gelombang pu-
kulan orang setengah tombak lagi menghantam tu-
buhnya.
Tapi dua jengkal lagi pukulan Lasmini melabrak,
tiba-tiba Datuk Wahing melompat ke belakang. Saat
bersamaan kepalanya bergerak ke depan. Dari hidung-
nya terdengar bersinan dua kali.
"Brusss! Brusss!"
Dua gelombang dahsyat yang dilepas Lasmini lak-
sana ditahan tembok besar dan kokoh. Hingga untuk
beberapa lama dua gelombang dahsyat itu tertahan di
udara.
Datuk Wahing tak sia-siakan kesempatan. Begitu
gelombang angin tertahan di udara. Dia bergerak satu
kali. Sosoknya melesat ke sebelah kanan. Saat yang
sama, dua gelombang yang tertahan berhasil menem-
bus benteng pertahanan hingga menghampar ke de-
pan. Tapi karena sosok Datuk Wahing telah berkelebat
ke samping kanan, dua gelombang hantaman kedua
tangan Lasmini melabrak hamparan tanah dan bong-
kahan sebuah batu.
Tanah yang terkena sasaran muncrat ke udara.
Bongkahan batu langsung pecah berantakan.
Lasmini pentang mata hampir saja tidak percaya.
Namun dadanya makin panas melihat bagaimana
orang dengan mudah menghindar selamatkan diri ser-
ta menghadang pukulannya.
Dengan lipat gandakan tenaga dalam, Lasmini ber-
gerak setengah lingkaran menghadap Datuk Wahing.
Namun perempuan ini terkesiap. Sosok Datuk Wahing
yang tadi berkelebat ke samping kanan ternyata sudah
tidak kelihatan lagi!
"Jahanam! Ke mana lolosnya keparat itu?!" desis
Lasmini dengan sosok bergetar.
Baru saja Lasmini membatin begitu dan belum
sampai membuat gerakan apa-apa, dia dikejutkan
dengan sambaran angin di sebelah kirinya. Menangkap
gelagat membahayakan, Lasmini cepat rundukkan ke-
pala seraya tarik tubuh atasnya ke bawah. Saat ber-
samaan sikunya membuat gerakan menyentak. Se-
mentara tangan kanannya ikut pula lepaskan satu pu-
kulan lewat depan dadanya.
Sambaran angin yang melesat dari samping kiri
Lasmini menghantam udara beberapa jengkal di atas
kepalanya. Namun sentakan siku serta susupan tan-
gan kanan Lasmini juga melesat menghantam sasaran.
Namun perempuan ini tidak menunggu lama. Begitu
hantaman kedua tangannya melesat, dia cepat putar
tubuh setengah lingkaran. Dengan bertumpu pada ka-
ki kiri, kaki kanannya diangkat membuat satu tendan-
gan.
Bukkk!
Sosok Datuk Wahing yang berada di belakangnya
tersambar tendangan kaki kanan Lasmini hingga men-
celat dan jatuh berlutut sejarak satu setengah tombak.
Tangan kanannya memegangi tongkat bututnya. Se-
mentara tangan kiri bertelekan pada paha kakinya.
Kepalanya bergerak pulang balik ke depan ke belakang
lalu terdengar suara bersinan dua kail.
Melihat lawan telah jatuh berlutut, Lasmini tak sa-
baran lagi. Dia cepat angkat kedua tangannya. Kejeng-
kelan rupanya sudah mendidihkan dadanya, hingga
perempuan ini serta-merta hantamkan kedua tangan-
nya lepas pukulan bertenaga dalam tinggi!
"Sekali ini kau tak akan lolos, Keparat!" teriak
Lasmini dengan seringai dingin dan mata mementang
angker.
Di seberang sana, mendadak Datuk Wahing tarik
kepalanya sedikit tengadah dengan mimik meringis.
Saat lain kepalanya bergerak empat kali.
"Bruss! Bruss! Bruss! Bruss!"
Dari hidung Datuk Wahing melesat angin deras
empat kali berturut-turut. Dua gelombang dahsyat
yang berkiblat dari kedua tangan Lasmini tiba-tiba
membubung ke udara. Lalu melesat balik ke arah
Lasmini. Lasmini tidak membuat gerakan menghindar,
karena jelas dua gelombang pukulannya berada jauh
di atas tubuhnya. Tapi bukan karena pukulannya yang
membalik berada jauh di atasnya yang membuat Las-
mini tegak diam tidak membuat gerakan apa-apa. Sebaliknya perempuan ini terpaku tegang melihat bagai-
mana tiba-tiba dua gelombang pukulannya laksana
membentur kekuatan dahsyat di atas tubuhnya hingga
dua gelombang itu mental balik dan kini melesat di
atas sosok Datuk Wahing.
Di atas sosok Datuk Wahing, kembali dua gelom-
bang pukulan Lasmini membentur kekuatan dahsyat
hingga mental lagi. Begitu terus menerus bahkan kini
mentalan dua gelombang itu berpindah-pindah ke de-
lapan penjuru mata angin. Hebatnya, meski kepala Da-
tuk Wahing sudah berhenti bergerak, suara bersinan
terus saja terdengar dan ikut mantul memantul ke de-
lapan penjuru mata angina!
"Bruss!"
Datuk Wahing perdengarkan bersinan sekali. Ber-
samaan itu sosok Lasmini laksana disentak, hingga
karena tegang melihat apa yang terjadi, perempuan ini
terkesiap. Namun sudah sangat terlambat untuk im-
bangi diri. Sosok Lasmini tersapu ke belakang dan ja-
tuh terduduk dengan tubuh bergoyang-goyang.
Dalam keadaan seperti itu, Lasmini cepat kerahkan
tenaga dalam. Lalu kedua tangannya diangkat. Tapi
perempuan ini melengak. Suara bersinan yang masih
memantul terdengar makin lama makin keras. Hingga
bagaimanapun Lasmini kerahkan tenaga untuk menu-
tup jalan pendengaran, namun gendang telinganya
laksana ditusuk-tusuk.
Lasmini pejamkan sepasang matanya. Kedua tan-
gannya yang sejak tadi hendak bergerak lepaskan pu-
kulan serta-merta ditarik untuk menutupi kedua telin-
ganya. Perempuan ini coba membendung suara bersi-
nan dengan segenap tenaga yang dimiliki.
"Sahabat.... Semuanya sudah berakhir! Menghe-
rankan kalau kau masih duduk begitu rupa...," Datuk
Wahing berkata.
Lasmini terlengak. Dari suara yang baru saja ter-
dengar, dia jelas dapat menentukan kalau orang yang
bersuara tidak jauh dari sampingnya. Perempuan ini
cepat buka kelopak sepasang matanya dengan kepala
digerakkan sedikit ke samping kanan.
Memandang ke depan, Lasmini tegang sendiri. Da-
tuk Wahing tampak duduk berlutut hanya tiga langkah
di sebelahnya dengan bibir sunggingkan senyum. Ka-
lau saja Datuk Wahing berniat jahat, tentu tidak sulit
baginya menggebuk Lasmini! Apalagi dalam keadaan
tegang begitu rupa, kedua tangan Lasmini yang masih
menutupi kedua telinganya tentu sudah sangat ter-
lambat untuk membendung pukulan orang!
"Jangan membuatku heran dengan tegang begitu....
Kita bisa bicara baik-baik bukan?!" tanya Datuk Wah-
ing.
Lasmini kini sadar, bahwa orang di sampingnya
masih bukan tandingannya. Namun Lasmini tidak
mau dianggap remeh orang. Dengan raut merah pa-
dam dan turunkan kedua tangannya, perempuan ini
berkata dengan suara keras.
'Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi di antara ki-
ta! Dan jangan kira aku tak bisa lakukan sesuatu un-
tuk membunuhmu!"
Datuk Wahing gelengkan kepala. Tanpa berkata la-
gi, orang tua ini bangkit lalu balikkan tubuh dan me-
langkah.
"Siapa manusia itu sebenarnya? Mengapa Setan
Liang Makam mencarinya?!" Lasmini bergumam.
"Hai, tunggu!" teriak Lasmini seraya bergerak
bangkit.
Datuk Wahing hentikan tindakan. Bersin tiga kali
seraya berkata pelan. "Sikap perempuan di mana
mana selalu mengherankan.... Di depan orang tidak
mau berkata-kata, tapi begitu hendak ditinggal berte-
riak-teriak...."
"Ada yang hendak kau utarakan, Sahabat?" tanya
Datuk Wahing seraya putar tubuh.
"Siapa kau sebenarnya?!" Lasmini langsung ber-
tanya dengan pandangi sosok sang Datuk seolah baru
pertama kali jumpa.
"Sahabat.... Di antara kita aku yakin tak ada hu-
bungan apa-apa! Bukankah mengherankan kalau kau
harus penasaran dengan diriku! Jangan membuatku
curiga dan makin heran...."
Paras muka Lasmini sedikit tegang. Mulutnya
membuka lagi ajukan tanya.
"Lalu apa hubunganmu dengan Setan Liang Ma-
kam?!"
Dahi Datuk Wahing berkerut "Kurasa.... Aku tak
punya kerabat bernama Setan Liang Makam! Aku pun
merasa belum pernah...."
Belum sampai Datuk Wahing lanjutkan ucapan-
nya, Lasmini telah menukas. "Kau jangan berpura-
pura. Setan Liang Makam mengatakan kau adalah
orang yang dicari!"
"Aku?!" ujar Datuk Wahing seraya tertawa menge-
keh. "Mengherankan! Bagaimana kau bisa berkata be-
gitu? Sementara orangnya saja aku belum tahu...."
Lasmini tertawa pendek. "Setan Liang Makam ada-
lah orang yang bersamaku ketika keluar dari Jurang
Tlatah Perak!"
Datuk Wahing angguk-anggukkan kepala. "Agar
aku tidak makin heran, mau katakan mengapa saha-
batmu itu mencariku?!"
"Aku yang tanya padamu!" kata Lasmini dengan
suara agak keras mulai jengkel.
Datuk Wahing garuk-garuk kepalanya dengan
ujung tongkat bututnya. "Dengar, Sahabat. Mendengar
keteranganmu aku jadi tak habis heran. Sudah kuka-
takan aku tidak mengenalnya. Sementara kau adalah
sahabatnya! Bagaimana bisa kau balik bertanya pada-
ku?! Bukankah seharusnya kau yang memberi kete-
rangan padaku?!"
Merasa tak mungkin lagi orang mau memberi kete-
rangan, Lasmini alihkan pembicaraan dengan berkata.
"Kemunculanmu di sekitar Jurang Tlatah Perak pasti
bukan satu kebetulan! Kau punya urusan dengan
Pendeta Sinting?!"
"Ini baru pertanyaan yang tidak mengherankan,"
ujar Datuk Wahing. "Dugaanmu tidak salah. Aku me-
mang hendak berkunjung pada sahabatku...."
"Pendeta Sinting?!" tanya Lasmini seolah tidak sa-
bar.
Datuk Wahing menjawab dengan anggukan kepala
lalu berkata. "Sudah berbilang tahun aku tidak jumpa
sahabatku itu. Mumpung ada waktu dan masih dika-
runiai umur, tidak mengherankan bukan kalau aku
ingin bertemu?!"
"Hanya ingin bertemu? Tidak ada urusan lain?!"
tanya Lasmini menyelidik.
"Aku tidak ingin membuat heran orang-orang muda
dengan membuat urusan antar sahabat. Apalagi usia
sudah bau tanah begini...."
"Hem.... Membuka mulut manusia macam begini
hanya akan membuat dada pecah!" kata Lasmini da-
lam hati mendengar jawaban-jawaban yang diucapkan
Datuk Wahing.
"Masih ada pertanyaan lagi?! tanya Datuk Wahing
begitu agak lama Lasmini tidak lagi buka suara.
Yang ditanya kancingkan mulut. Malah saat itu juga hendak bergerak langkahkan kaki. Tapi sebelum
Lasmini bergerak lebih jauh, Datuk Wahing telah ber-
kata.
"Tidak merasa heran kalau aku sekarang yang ber-
tanya, Sahabat?"
Lasmini urungkan niat. Sebelum perempuan ini
menyahut, Datuk Wahing sudah mendahului. "Aku ti-
dak sempat bertemu dengan sahabatku di Jurang Tla-
tah Perak, sementara kau sudah muncul dari tempat
kediamannya. Bisa mengatakan bagaimana keadaan
sahabatku itu?!'
"Sahabatmu itu beruntung!"
"Ah.... Aku senang mendengarnya! Yang masih
membuatku heran, untung bagaimana? Apa dia men-
dapat rezeki besar? Kudengar-dengar dia kawin lagi
dengan seorang gadis cantik...."
Lasmini tertawa. "Sahabatmu itu beruntung karena
dia tidak ada di tempatnya!"
"Jawabanmu membuat aku jadi heran...."
"Seandainya dia berada di tempatnya, saat itu juga
nyawanya pasti putus!"
"Kau dan sahabatmu itu hendak membunuhnya?!
Mengherankan sekali! Padahal menurut yang ku tahu,
sahabatku itu tidak pernah membuat urusan meski
kadangkala ucapan-ucapannya membuat orang jengkel
dan kelakuannya gila-gilaan...."
"Aku tak heran mendengar ucapanmu! Siapa lagi
yang akan membelanya kalau bukan sobatnya seper-
timu?!"
"Justru aku kini jadi heran mendengar ucapanmu,
Sahabat. Mau katakan apa sebenarnya yang dilakukan
sahabatku itu?!"
"Akhir-akhir ini dia telah membunuh banyak
orang! Bukan itu saja. Perbuatan murid tunggalnya juga dikabarkan atas perintah Pendeta Sinting!"
"Heran.... Heran.... Bagaimana bisa begitu?!
Bruss! Bruss!"
"Kau tak perlu heran! Manusia setiap kali bisa be-
rubah pikiran! Maka jangan coba-coba mendekati Pen-
deta Sinting!"
"Meski aku masih heran, tapi aku mengucapkan
terima kasih atas keterangan dan peringatanmu! Seka-
rang aku harus segera pergi...."
"Kau masih tidak mau terangkan siapa dirimu?!"
ujar Lasmini membuat gerakan Datuk Wahing yang
akan putar tubuh tertahan.
"Aku hanya orang tua bau tanah! Dan kurasa tidak
ada artinya sekalipun kau mengetahuinya! Jadi cukup-
lah jika kau mengenalku sebagai sahabat lama Pende-
ta Sinting!"
"Kau juga tak mau mengatakan apa hubunganmu
dengan Setan Liang Makam?!"
"Jangan heran. Bukannya aku tak mau. Tapi aku
tidak mau membuatmu nantinya makin heran...."
"Aku telah lama malang melintang beberapa puluh
tahun dalam dunia persilatan. Tidak ada satu hal pun
yang membuatku jadi heran! Katakan saja...!"
"Sayang sekali, Sahabat! Aku tak bisa memberi ke-
terangan apa-apa! Harap tidak heran.... Tapi meski be-
gitu aku punya saran untukmu. Kalau kau terima
syukur, jika tidak, itu akan membuatku heran...."
Walau Lasmini merasa jengkel dengan ucapan Da-
tuk Wahing, namun perempuan ini pasang telinga
baik-baik. Sementara Datuk Wahing alihkan pandan-
gan ke jurusan lain seraya lanjutkan ucapan. "Jangan
kau terlalu percaya pada kabar berita yang belum ter-
bukti kebenarannya. Dan hati-hati dengan orang yang
baru kau kenali. Satu hal lagi, jangan mudah percaya
pada orang yang berbuat baik padamu padahal kau
pernah menyakitinya!"
Lasmini simak ucapan orang dengan dahi berkerut.
Datuk Wahing tersenyum seraya teruskan ucapan.
"Jangan merasa tersinggung.... Aku bicara begini kare-
na terus terang aku pernah mendengar kabarmu di
masa lalu...."
"Jahanam! Apa manusia ini tahu hubungan ku
dengan Kiai Lidah Wetan?!" Lasmini membatin dengan
dada gelisah. Lasmini sebenarnya ingin langsung ber-
tanya. Namun setelah ditimbang-timbang, perempuan
ini akhirnya memutuskan untuk diam.
"Terima kasih kau tidak merasa tersinggung juga
tidak merasa heran! Syukur-syukur juga kalau kau
mau sedikit membuka hati untuk turuti saran ku...."
Habis berkata begitu, Datuk Wahing putar diri.
Bersin dua kali sebelum akhirnya melangkah perla-
han-lahan dengan ketukan-ketukan tongkat butut di
tangan kanannya.
"Aku makin penasaran dengan manusia itu! Dia
seolah-olah tahu hubungan ku dengan Kiai Lidah We-
tan! Bagaimana dia bisa tahu...?! Kalau benar dia den-
gar kisah ku masa lalu, aku masih maklum. Tapi uca-
pannya tadi sepertinya bukan mengarah ke sana! Apa
dia sempat jumpa dengan Kiai Lidah Wetan? Lantas....
Ah. Itu tidak mungkin! Kiai Lidah Wetan mengatakan
urusan besar ini adalah rahasia. Aku akan mengikuti
orang itu...."
Lasmini memandang pada sosok Datuk Wahing
yang telah berada di depan sana. Sebelum sosok Datuk
Wahing belok dan lenyap dari pandangannya, Lasmini
cepat berkelebat lalu secara diam-diam mengikuti
langkah Datuk Wahing.
TIGA
TIDAK jauh melangkah, Datuk Wahing hentikan
tindakannya. Kepalanya mendongak. Saat bersamaan
terdengar orang tua ini perdengarkan bersinan bebera-
pa kali. Lalu berucap tanpa membuat gerakan.
"Sahabat.... Jangan membuatku jadi heran dengan
mengikuti ke mana aku pergi!"
Sejarak tujuh tombak di belakang Datuk Wahing,
Lasmini yang mendekam sembunyi tampak terkesiap
kaget. Wajahnya berubah. Sesaat perempuan ini tam-
pak bimbang. Namun sebelum dia dapat memutuskan
apa yang hendak diperbuat, dari arah depan kembali
terdengar suara Datuk Wahing.
"Sahabat.... Sekalipun kau ikut ke mana aku pergi,
adalah mengherankan kalau kau nanti akan mendapat
keterangan dariku! Harap kau pikir masak-masak se-
belum kau kelak jadi heran...."
Lasmini menggerendeng panjang pendek dalam ha-
ti. Tanpa menyahut ucapan Datuk Wahing, perempuan
ini bergerak melangkah keluar dari persembunyiannya.
Memandang sejenak pada sosok Datuk Wahing yang
masih tegak membelakangi. Lalu berkelebat tinggalkan
tempat itu.
"Bruss! Bruss! Bruss!"
"Kau mengambil keputusan bagus, Sahabat! Kare-
na percuma saja kau...." Laksana direnggut setan, Da-
tuk Wahing putus gumamannya. Saat lain orang tua
ini melangkah tiga tindak. Mendadak dia bergerak ce-
pat. Sosoknya saat itu juga melesat dan lenyap dari
tempat itu.
Baru saja sosok Datuk Wahing melesat lenyap, sa-
tu bayangan berkelebat dan tahu-tahu tidak jauh dari
tempat di mana tadi Datuk Wahing berada, satu sosok
tubuh telah berdiri tegak.
Orang yang baru muncul putar kepalanya dengan
mata dipentang besar-besar. "Aneh.... Baru saja ku-
dengar suara bersinannya di sini! Tapi batang hidung-
nya sudah tidak kelihatan! Ke mana lenyapnya?!"
Orang yang baru muncul menggumam. Lalu kembali
gerakkan kepalanya berputar dengan mata makin di-
beliakkan. Namun orang ini tetap tidak melihat siapa-
siapa!
"Hem.... Pada akhirnya lain yang dikejar, lain pula
yang ku dapati. Yang kukejar gadis cantik, tapi yang
akan kutemui pasti orang lain. Tapi.... Bagaimana ta-
hu-tahu orang tua itu berkeliaran di sekitar tempat
ini?! Atau selama ini dia secara diam-diam selalu men-
gikuti langkahku! Aku harus tahu apa maksudnya...."
Berpikir begitu dan merasa yakin orang masih be-
rada di sekitar tempat itu, orang yang baru muncul
buka mulut berteriak.
"Kek! Aku tahu kau berada di sini! Mengapa takut
unjuk diri?! Jangan membuatku heran!"
Selesai berteriak, orang ini memandang berkeliling
dengan telinga dipasang baik-baik. Namun tidak ter-
dengar suara sahutan atau terlihatnya orang.
"Kek! Harap tak usah malu-malu unjuk diri!' Kem-
bali orang yang baru muncul berteriak. Tubuhnya ber-
gerak berputar setengah lingkaran.
Bruss! Bruss! Mengherankan kalau aku merasa
malu unjuk diri di hadapanmu. Anak Muda!" tiba-tiba
terdengar suara.
Orang yang tadi berteriak cepat balikkan tubuh,
karana jelas suara yang baru saja terdengar bersumber
dari arah belakangnya. Namun orang ini tersentak
sendiri. Dia tidak melihat siapa-siapa!
"Telingaku jelas mendengar dari arah belakang.
Tapi orangnya tidak juga kelihatan!"
Baru saja orang ini membatin, orang ini mendadak
putar diri membalik, karena dia mendengar langkah-
langkah dari arah belakangnya.
Memandang ke depan, orang ini tertengak. Sejarak
lima tombak di depan sana, terlihat Datuk Wahing du-
duk berlutut di atas tanah dengan kepala bergerak ke
depan ke belakang. Tangan kanan memegang tongkat
yang ditancapkan di sampingnya sementara tangan ki-
rinya diletakkan di atas pahanya.
"Hem.... Bagaimana dia bisa membuat telingaku
seperti mendengar langkah-langkah? Padahal orang-
nya enak-enakan duduk?!"
"Bruss! Bruss! Anak muda.... Wajahmu membua-
tku heran. Apa kau tidak menemukan gadis yang kau
kejar?!' Datuk Wahing buka mulut bertanya.
Orang yang ditanya tidak segera menjawab. Seba-
liknya dia melangkah mendekati Datuk Wahing dengan
mata memandang tak berkesip.
"Kek! Apa yang sedang kau lakukan di sini?!"
Orang yang baru muncul balik ajukan tanya.
"Bruss! Bruss! Anak muda.... Sekarang ucapanmu
yang membuatku heran! Kau sepertinya menaruh cu-
riga padaku....'
Orang di hadapan Datuk Wahing yang ternyata
adalah seorang pemuda berpakaian putih-putih be-
rambut agak panjang sedikit acak-acakan yang diikat
dengan ikat kepala warna putih, berparas tampan dan
bermata tajam dan bukan lain adalah Pendekar 131
Joko Sableng tertawa pendek lalu berkata.
"Kek! Sejak kita bertemu, dua kali kau muncul ti-
dak jauh dariku! Aku tidak curiga padamu. Tapi seti-
daknya keberadaanmu punya maksud tertentu.... Ha-
rap kau mau katakan terus terang!"
"Bruss! Bruss! Anak muda.... Kalau boleh kukata-
kan, berarti kau merasa heran kita harus jumpa ber-
kali-kali. Tapi kali ini aku tidak merasa heran! Yang
Maha Kuasa mungkin telah menyiratkan demikian...."
Pendekar 131 gelengkan kepala. "Kek! Ini bukan
semata-mata suratan! Ini juga bukan satu kebetulan.
Kau sepertinya sengaja muncul di mana aku berada!
Harap kau tidak keberatan mengatakan maksudmu!
Seperti diketahui, sejak Pendekar 131 jumpa per-
tama kali dengan Datuk Wahing, orang tua ini tiba-tiba
muncul ketika sedang terjadi adu mulut dan hampir
saja terjadi adu pukulan antara Joko dengan Dewi Se-
ribu Bunga. Saat itu pada akhirnya Dewi Seribu Bunga
berkelebat. Joko mengejar. Tapi murid Pendeta Sinting
kehilangan jejak Dewi Seribu Bunga. Joko lantas te-
ruskan perjalanan. Pada satu tempat mendadak dia
mendengar suara bersinan. Joko dengan cepat dapat
menebak siapa adanya orang yang bersin-bersin.
"Bruss! Bruss! Aku tak punya maksud apa-apa,
Anak Muda! Aku baru saja mengunjungi tempat seo-
rang sahabat! Sayang.... Aku harus menerima kehera-
nan!"
"Siapa sahabat yang kau kunjungi?! Dan kehera-
nan apa yang kau terima?!"
"Aku heran dengan pertanyaanmu. Apa maksud
dibalik ucapan tanya mu itu?!" kata Datuk Wahing.
"Menurut Kiai Laras, orang ini bukan orang baik-
baik! Sementara Jurang Tlatah Perak tidak jauh dari
sini.... Apa yang dimaksud sahabatnya adalah Eyang
Guru...?l" Joko membatin. Lalu berkata.
"Seperti halnya dirimu, aku juga tak punya mak-
sud apa-apa! Hanya saja aku punya seorang sahabat
tidak jauh dari sini! Siapa tahu sahabat yang kau kun-
jungi adalah juga sahabatku...."
"Hem.... Dia hanya sahabatmu? Tidak lebih, Anak
Muda?!" Datuk Wahing balik ajukan tanya membuat
Joko terdiam sesaat.
"Anak muda!" ucap Datuk Wahing sebelum Pende-
kar 131 perdengarkan suara. "Bisa katakan siapa sa-
habatmu itu?!"
"Pendeta Sinting!"
"Bruss! Bruss! Heran.... Sahabatku itu ternyata
benar-benar berubah! Para sahabatnya kini orang-
orang muda.... Hem.... Pasti ada apa-apa!" gumam Da-
tuk Wahing.
"Kek! Berarti yang hendak kau kunjungi Pendeta
Sinting! Betul?!"
"Aku tidak bisa jawab pertanyaanmu yang menghe-
rankan itu, Anak Muda! Karena sahabatku itu tak
mungkin punya sahabat orang-orang muda seperti-
mu!"
"Kek! Aku murid Pendeta Sinting!" kata Joko berte-
rus terang mendapati Datuk Wahing sepertinya mena-
ruh curiga.
Datuk Wahing angkat kepalanya dengan mata se-
dikit dibesarkan. Untuk beberapa lama orang tua ini
memperhatikan sosok murid Pendeta Sinting dengan
seksama.
"Kek! Kau belum katakan keheranan mu tadi! Apa
sebenarnya yang telah terjadi?! Kau bertemu dengan
eyang guruku itu?!"
Datuk Wahing gerakkan kepalanya menggeleng.
"Anak Muda! Itulah yang membuatku merasa heran....
Apa sebenarnya yang telah terjadi?! Karena bukan saja
aku tak menemukan sahabatku itu, tapi..." Datuk
Wahing tidak lanjutkan ucapannya. Sepasang matanya
melirik ke kanan kiri.
Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi lalu ikut-
ikutan melirik. Yakin tak ada orang lain, dia berkata.
"Kek! Di sini tak ada orang lain! Teruskan ucapanmu
tadi!"
"Bruss! Bruss! Aku justru bertemu dengan dua
orang yang muncul dari kediaman eyang gurumu....
Yang mengherankan lagi, menurut salah seorang dari
mereka, justru aku termasuk manusia yang dia cari-
cari!"
"Kau mengenal mereka?!" tanya Joko dengan maju
satu tindak.
"Aku hanya mengenali yang satu, satunya lagi ku-
rasa aku baru melihatnya! Herannya, orang yang baru
pertama kulihat itulah yang katanya mencari-
cariku...."
"Kau bisa katakan ciri-ciri orang itu?!"
"Satunya perempuan. Ini yang kukenal. Satunya
lagi seorang laki-laki. Kalau kau sempat melihatnya,
pasti kau akan merasa heran! Laki-laki ini hampir saja
tidak bisa dikatakan sosok manusia. Tubuhnya hanya
merupakan kerangka tanpa daging...."
"Setan Liang Makam'! desis murid Pendeta Sinting.
"Bruss! Bruss! Betul! Itulah nama yang disebut-
sebut! Setan Liang Makam.... Kau mengenalnya, Anak
Muda...?!"
Pendekar 131 tidak jawab pertanyaan Datuk Wah-
ing. Sebaliknya dia cepat ajukan tanya. "Apa yang ter-
jadi di sana?!"
"Aku belum sempat jumpa dengan eyang gurumu.
Tapi dari percakapan dua orang itu, aku bisa menduga
kalau mereka juga tidak bertemu dengan eyang guru
mu...."
Murid Pendeta Sinting menarik napas lega. Sejenak
tadi perasaannya gelisah, ia sangat mengkhawatirkan
keselamatan eyang gurunya, apalagi sejak peristiwa di
Kedung Ombo, dia belum berhasil menemukan Pende-
ta Sinting.
"Kek! Menurutmu, apakah kedua orang itu juga
sahabat eyang guruku?!"
"Bruss! Bruss! Anak muda! Aku memang bukan
orang baik-baik! Tapi adalah mengherankan kalau aku
mengatakan mereka orang baik-baik! Kau tentu bisa
menebak sendiri apa ucapanku...!"
"Hem.... Pasti mereka menduga akulah yang mem-
bawa barang aneh itu! Lalu mereka membuka sengketa
dengan Eyang Guru.... Heran! Dewi Seribu Bunga juga
menuduhku hendak memperkosanya. Lalu ada lagi
orang-orang yang menuduhku melarikan barang-
nya...." Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. Lalu
memandang ke arah Datuk Wahing sambil bertanya.
"Kek! Kau sungguh tak tahu tentang sebuah benda
bernama Kembang Darah Setan?!"
Yang ditanya kancingkan mulut tidak menjawab.
Joko berpikir sejenak, lalu berkata lagi. "Kek! Aku
pernah jumpa dengan Setan Liang Makam, Dia sebut-
sebut Kembang Darah Setan. Sementara kau tadi
mengatakan Setan Liang Makam mencarimu! Aku da-
pat menebak kalau kau tahu tentang urusan Kembang
Darah Setan itu! Setidaknya kau ada hubungan den-
gan Setan Liang Makam! Harap kau mau memberi ke-
terangan!"
Datuk Wahing belum juga menyahut. Joko mulai
agak jengkel. Dia segera buka mulut lagi. "Kek! Jan-
gan-jangan kau ini masih kambratnya Setan Liang
Makam!"
"Bruss! Brusss!"
Datuk Wahing perdengarkan bersinan. Namun se-
jauh ini orang tua berambut tipis ini belum juga mau
bersuara. Malah dia alihkan pandangannya ke jurusan
lain!
"Kek! Berarti kemunculanmu selama ini memang
kau sengaja! Kau selalu ikuti ke mana aku melangkah!
Katakan saja terus terang apa maumu! Aku tahu, kau
berilmu sangat tinggi! Tapi seperti halnya diriku, kau
tak mungkin punya nyawa rangkap!"
"Bruss! Bruss! Anak muda.... Kau sudah selesai bi-
cara?!" tanya Datuk Wahing tanpa berpaling.
Kali ini Joko yang tidak menjawab. Dia hanya me-
mandang pada Datuk Wahing dengan sikap tidak sa-
bar.
"Anak muda… Perlu kau ketahui dan harap jangan
heran. Aku bukan kambratnya Setan Liang Makam!
Aku juga tidak mengikuti langkahmu! Aku pun bukan
orang yang berilmu tinggi apalagi punya nyawa rang-
kap!"
"Hem.... Kau menyangkal semua ucapanku. Tapi
kau tidak menyangkal ucapanku tentang Kembang Da-
rah Setan! Berarti kau tahu urusan benda itu!"
Datuk Wahing tidak sambuti ucapan murid Pende-
ta Sinting. Sebaliknya orang ini beranjak bangkit. Dan
tanpa berkata apa-apa dia melangkah.
Murid Pendeta Sinting melompat dan tegak meng-
hadang di depan Datuk Wahing.
"Kek! Kurasa dugaanku tidak meleset! Harap kau
mau beri keterangan! Kalau tidak, terpaksa aku...."
"Bruss! Brusss! Kau terlalu berprasangka buruk,
Anak Muda! Jangan heran kalau aku tidak mau jawab
pertanyaanmu di sini!" Datuk Wahing arahkan pan-
dangan matanya berkeliling. Lalu lanjutkan ucapan
nya. "Apa kau kira di sini aman untuk bicara?!"
Habis berkata begitu, Datuk Wahing teruskan
langkah menyisi di sebelah kanan murid Pendeta Sint-
ing.
"Kek! Jadi....'
"Bruss! Kalau kau ingin tahu, jangan banyak bica-
ra!'
Pendekar 131 angkat bahu. Lalu balikkan tubuh.
Memandang ke depan, dia tersentak. Datuk Wahing
yang baru saja melangkah di sisi samping kanannya
sudah berada jauh di depan sana. Dia tetap melangkah
perlahan-lahan dengan kepala ditarik pulang balik ke
depan ke belakang meski tidak perdengarkan bersinan.
Tanpa pikir panjang lagi, murid Pendeta Sinting se-
gera berkelebat menyusul. Dia sempat menggerendeng.
Karena begitu dia berkelebat, si kakek di depan sana
tiba-tiba ikut berkelebat tidak lagi melangkah! Hingga
mau tak mau Joko harus kerahkan segenap ilmu pe-
ringan tubuhnya agar tidak kehilangan jejak.
*
* *
EMPAT
SEBELUM kita ikuti ke mana Datuk Wahing dan
Pendekar 131 Joko Sableng pergi serta mengetahui apa
yang hendak dibicarakan Datuk Wahing, kita kembali
dahulu pada satu peristiwa yang kejadiannya berlang-
sung pada tiga puluhan tahun yang lalu.
Pada satu tempat di sebelah hutan belantara lebat
tidak jauh dari sebuah pesisir pantai, tepatnya pada
satu tempat terbuka yang dikelilingi beberapa julangan
batu karang tampak duduk bersila seorang laki-laki
setengah baya. Paras laki-laki ini tidak begitu tampan.
Bagian depan hidungnya besar. Rambutnya tipis telah
berwarna dua. Kedua tangannya merangkap di depan
dada. Sepasang matanya terpejam rapat. Laki-laki ini
tidak sedang pusatkan pikiran bersemadi. Karena se-
sekali mulutnya membuka. Dan yang lebih menunjuk-
kan kalau laki-laki setengah baya tidak sedang berse-
madi, di hadapannya hanya sejarak sepuluh langkah,
tampak tegak berdiri seorang laki-laki yang meski
usianya tidak muda lagi, tapi masih lebih muda di-
banding laki-laki yang tengah duduk bersila.
Orang yang tegak berdiri berparas agak tampan.
Dagunya kokoh dengan sosok kekar. Sepasang ma-
tanya tajam dengan rambut panjang sebatas bahu. La-
ki-laki ini tegak dengan mata memandang tak berkedip
pada laki-laki yang duduk bersila. Sesekali bibirnya
sunggingkan senyum dingin. Dan kadangkala kepa-
lanya bergerak tengadah meski sepasang matanya te-
rus menghujam pada laki-laki di hadapannya.
Untuk beberapa saat lamanya kedua laki-laki ini
tidak ada yang buka mulut. Laki-laki yang satu duduk
dengan mata terpejam sementara satunya lagi meman-
dang tajam. Namun tak berapa lama kemudian, laki-
laki yang tegak buka mulut perdengarkan suara.
"Galaga! Rasanya penantian ku sudah lama. Aku
sudah tidak sabar lagi! Kalau kau tetap kukuh pada
pendirianmu, apa boleh buat. Kita lupakan semua per-
talian di antara kita!"
Laki-laki yang duduk bersila dan dipanggil dengan
Galaga buka sepasang matanya. Sejurus dia meman-
dang orang yang tegak. Lalu mulutnya bergerak mem-
buka.
"Maladewa! Kau jangan memojokkan aku dengan
begitu rupa! Dan apakah kau tega memutus semua
pertalian ini hanya gara-gara barang sepele?! Apalagi
kita tahu, Eyang Guru masih hidup! Kita harus sabar
menunggu. Percayalah! Apa yang kau inginkan pasti
kau dapatkan! Kepada siapa lagi barang itu akan dibe-
rikan kalau tidak pada kita sebagai muridnya?!"
Laki-laki yang tegak dan dipanggil dengan Malade-
wa sunggingkan senyum seringai. Lalu tertawa pendek
sebelum akhirnya berkata.
"Galaga! Lalu sampai kapan kita menunggu?! Lagi
pula belum tentu barang itu diberikan pada kita! Kita
tahu bagaimana watak Eyang Guru!"
Galaga gelengkan kepala. "Eyang Guru memang
kadangkala sikapnya aneh! Namun dalam hal barang
pusaka, aku yakin dia tidak akan berani memberikan
pada orang lain!"
"Aku tidak percaya semua itu, Galaga!"
"Hem.... Bagaimana kau sampai tidak percaya?!"
Maladewa tertawa lagi, lalu berkata. "Kau ingin sa-
lah satu bukti?!"
Untuk pertama kalinya paras wajah Galaga tampak
berubah. Namun laki-laki ini coba tutupi perubahan
wajahnya dengan sunggingkan senyum. "Maladewa!
Sebaiknya kita tidak usah membicarakan benda itu.
Selama ini kita hanya mendengar bahwa benda itu di
tangan Eyang Guru' Tapi bertahun-tahun kita jadi mu-
ridnya, apakah kita pernah melihatnya?!"
"Itu kita bicarakan nanti, Galaga! Aku tadi bilang,
apakah kau ingin salah satu bukti hingga mengapa
aku tidak percaya pada Eyang Guru?!"
Diam-diam Galaga tampak gelisah. Dadanya ber-
debar keras. Dan perlahan-lahan laki-laki setengah
baya ini palingkan wajahnya menghadap jurusan lain.
Mulutnya terkancing tidak menyahut ucapan Malade
wa.
Maladewa maju dua tindak. Kepalanya didongak-
kan sedikit ke atas. Namun sepasang matanya tetap
melirik ke arah orang di hadapannya. Lalu dia berkata.
"Galaga! Apa kau kira aku tak tahu kalau selama
ini Eyang Guru telah turunkan ilmu 'Pantulan Tabir'
padamu?!"
Galaga tidak bisa lagi sembunyikan rasa kejutnya.
Kepalanya cepat bergerak berpaling. Mulutnya mem-
buka namun tidak perdengarkan suara.
Maladewa tertawa panjang. "Kau tak usah berucap,
Galaga! Sikapmu sudah menjawab! Sekarang aku
tanya, apakah itu bukan salah satu bukti bahwa ben-
da itu kelak tidak akan diberikan pada kita?! Kau
mungkin masih bisa berharap! Tapi aku?! Dari cara
Eyang Guru yang menurunkan ilmu padamu sementa-
ra padaku tidak, apakah aku masih punya harapan?!"
Galaga tetap tidak menyahut. Bagaimanapun dia
coba sembunyikan rasa kagetnya, namun siapa pun
yang melihat, pasti dapat melihat bayang kegelisahan
pada raut muka laki-laki ini. Sementara melihat hai
ini, Maladewa kembali buka mulut.'
"Kita memang tidak pernah melihat benda itu di
tangan Eyang Guru! Dan kita pun boleh kesampingkan
kabar yang tersebar dalam dunia persilatan! Tapi apa-
kah munculnya beberapa orang di tempat ini dengan
berani pertaruhkan nyawa, belum bisa dijadikan satu
tanda kalau benda itu benar-benar di tangan Eyang
Guru?!" Maladewa hentikan ucapannya sambil tertawa.
Lalu lanjutkan kata-katanya.
"Galaga! Seandainya aku jadi kau, pasti aku juga
akan bertindak sepertimu! Dan kau pasti akan berbuat
sepertiku seandainya kau jadi aku! Dan...."
Belum sampai Maladewa teruskan ucapannya, Ga
laga sudah memotong.
"Maladewa! Aku...."
"Galaga!" kali ini ganti Maladewa yang memotong
ucapan Galaga sebelum laki-laki ini lanjutkan ucapan-
nya. "Aku belum selesai bicara! Jangan memotong!"
Galaga tidak hiraukan kata-kata Maladewa. Laki-
laki ini buka mulut teruskan ucapannya yang sejenak
tadi terputus.
"Maladewa! Kau jangan terlalu berprasangka yang
bukan-bukan! Kalau saat ini Eyang Guru menurunkan
ilmu 'Pantulan Tabir', semata-mata hanya karena aku
adalah saudara tuamu! Dan tak lama lagi, kau pun
pasti akan mendapatkan ilmu itu!"
Maladewa gelengkan kepala. Wajahnya sudah me-
rah padam. Tanda dia sudah tak bisa lagi menahan
hawa amarah. "Galaga! Usia bukanlah satu alasan
yang tepat untuk persoalan ini! Yang jelas, Eyang Guru
tidak menyukaiku! Dan dia sengaja turunkan ilmuku
padamu untuk berjaga-jaga!" Maladewa menyela den-
gan tertawa pendek, lalu lanjutkan ucapan. "Tapi apa-
kah dengan membekal ilmu 'Pantulan Tabir' kau dapat
menghadangku?!" Maladewa geleng-gelengkan kepala
menjawab pertanyaannya sendiri.
"Maladewa! Kau masih saja punya dugaan buruk!"
"Dengar, Galaga! Ini bukan dugaan! Ini adalah ke-
nyataan! Tapi.... Aku masih bisa menerima semua ini
kalau kau mau membantuku!"
"Maladewa! Apakah kita hendak membalas semua
yang telah diberikan Eyang Guru dengan tindakan
yang tidak pantas?!"
"Belum, Galaga! Eyang Guru belum memberikan
semuanya pada kita! Bahkan dia telah memberimu le-
bih dibanding apa yang telah diberikan padaku! Dan
aku ingin jatah kita sama! Tapi bukan ilmu 'Pantulan
Tabir' yang kuminta!"
Walau Galaga mulai jengkel dengan ucapan Mala-
dewa namun laki-laki ini masih coba menahannya ka-
rena sebenarnya dia sendiri merasa tidak enak begitu
mengetahui kalau adik seperguruannya itu telah tahu
kalau dirinya telah diberi ilmu 'Pantulan Tabir' oleh
eyang gurunya. Dan dia pun dapat memaklumi kalau
Maladewa merasa kecewa dan marah. Namun dia ma-
sih coba menyadarkan dengan berkata.
"Maladewa.... Walau ucapanmu sedikit ada benar-
nya, tapi seharusnya kita harus bersyukur karena se-
lama ini Eyang Guru telah berikan pada kita beberapa
ilmu. Kalaupun Eyang Guru belum memberikan se-
muanya, mungkin dia punya pertimbangan sendiri....
Dan percayalah, Eyang Guru akan memberikan semu-
anya pada kita...."
Maladewa gelengkan kepala. "Pertimbangan apa?!
Kurasa usia kita telah cukup. Usia Eyang Guru pun
sudah lanjut! Kalau dalam usia demikian lanjut dia ti-
dak juga memberikan apa yang dimiliki pada murid-
nya, apakah mungkin dia akan memberikan itu?!"
"Aku tak bisa jawab pertanyaanmu, Maladewa!
Yang pasti aku masih punya keyakinan jika Eyang
Guru akan memberikan pada kita! Untuk itu bersabar-
lah...."
"Hem.... Sampai kapan?! Kau bisa menghitung-
nya?!" tanya Maladewa.
"Aku memang tidak bisa menghitung! Tapi aku ya-
kin!"
Maladewa tertawa pendek. "Kau bisa merasa yakin,
karena kau masih punya harapan! Dan aku sebalik-
nya! Maka dari itu, Galaga. Aku sekali lagi tawarkan
rencana ini padamu! Jika kau tidak setuju, kau telah
tahu apa akibatnya!"
"Bukannya aku tidak setuju. Tapi kalau menim-
bang, apa yang telah diberikan Eyang Guru selama ini,
kurasa itu sudah lebih daripada cukup! Kita jangan se-
rakah meminta lebih!"
"Hem.... Apa ucapanmu itu jawaban penolakan
atas rencanaku?!"
Galaga tidak segera menjawab Dia pandangi Mala-
dewa dengan seksama seakan ingin yakinkan kalau
ucapan itu benar-benar diucapkan oleh Maladewa. Di
lain pihak, Maladewa sudah tidak sabar melihat sikap
Galaga. Maka dia segera buka mulut lagi.
"Galaga! Aku butuh ketegasan mu!"
"Maladewa! Kau memberi ku tawaran yang siapa
pun juga akan sulit untuk memilihnya!"
"Itu urusanmu! Dan aku menunggu keputusan-
mu!"
Glaga menarik napas panjang. Laki-laki ini jelas
bimbang. Di satu pihak dia tak ingin hubungan sauda-
ra seperguruan terputus, di sisi lain dia tak mungkin
berkhianat pada eyang gurunya yang selama ini dirasa
telah memberikan segala ilmu. Hingga pada akhirnya
dia berkata.
"Maladewa! Sebenarnya aku dalam situasi sulit!
Dan kau tahu apa sebabnya...."
Mendengar ucapan Galaga, Maladewa mendengus
lalu berkata dengan suara membentak. "Galaga! Aku
butuh jawaban tegas! Mau apa tidak!"
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Galaga menja-
wab. "Maladewa! Untuk persoalan ini, semuanya kuse-
rahkan padamu!"
"Maksudmu?!"
"Aku tak bisa ikut serta melakukan rencanamu.
Aku pun tak akan mencegah semua rencanamu!"
"Hem.... Begitu?! Kau telah pikirkan akibatnya?!"
"Aku tidak ikut apa-apa. Jadi kurasa aku tidak
menanggung akibat apa-apa pula! Semua kuserahkan
padamu...."
'Tidak semudah itu, Galaga! Meski kau tidak ikut
serta dalam rencanaku ini, tapi kau adalah satu-
satunya orang yang tahu! Dan kau dengar, aku tak
mau seorang pun tahu apa rencanaku!"
Galaga kerutkan kening. "Apa maksud ucapanmu,
Maladewa?!"
Yang ditanya tertawa. "Sebuah rencana akan ber-
buntut panjang kalau ada salah seorang yang tahu!
Dan aku tidak mau hal itu terjadi! Apalagi kau tidak
memberikan jawaban pasti! Jadi.... Aku inginkan nya-
wamu saat ini juga! Tapi itu masih bisa ku tunda jika
kau setuju dengan rencanaku!"
"Kau memaksaku, Maladewa!"
"Terserah kau katakan apa. Yang jelas kau tinggal
memutuskan sekarang juga!"
"Sebenarnya aku telah memilih jalan tengah, Mala-
dewa! Tapi kau rupanya hendak memaksakan kehen-
dak padaku! Sayang sekali, aku tidak suka dipaksa...."
"Kalau itu kau katakan sejak tadi-tadi, tak perlu ki-
ta bicara panjang lebar! Dan berarti kau siap meneri-
ma kenyataan!"
"Sebenarnya aku tak mau hal ini terjadi antara ki-
ta! Tapi kalau kau terlalu memaksaku, aku bukannya
melawan namun aku juga tidak akan tinggal diam!"
"Bagus! Kau telah memutuskan! Aku pun telah
mengambil sikap!"
Habis berkata begitu, Maladewa angkat kedua tan-
gannya. Sekali bergerak sosoknya telah tegak hanya
sejarak empat langkah dari tempat Galaga duduk ber-
sila.
"Maladewa! Tunggu!" tahan Galaga sambil beranjak
bangkit. "Akankah persahabatan ini harus berakhir
dengan pertumpahan darah?! Akankah tali persauda-
raan ini berakhir di ujung kekerasan hanya gara-gara
yang belum jelas benar ada tidaknya?!"
"Manusia tidak tahu harus mati karena apa? De-
mikian juga persahabatan dan ikatan persaudaraan!
Tidak seorang pun tahu akan berujung dengan
apa! Hanya untuk kita, kau tahu bagaimana jalan ak-
hirnya!
Galaga pandangi Maladewa sejenak. Meski tadi te-
lah berkata tidak akan tinggal diam, tapi entah karena
apa, akhirnya laki-laki ini gerakkan kaki melangkah
hendak tinggalkan tempat itu tanpa berkata apa-apa.
Maladewa melirik sejurus. Saat lain tiba-tiba laki-
laki ini telah melompat dan tegak menghadang jalan
Galaga sambil berkata.
"Kau telah dengar ucapanku! Tidak seorang pun
akan kubiarkan lolos kalau dia tahu urusan ini!"
"Maladewa! Kau tak usah khawatir! Aku tetap me-
rahasiakan urusan ini meski dengan berat hati.... Yang
kuminta darimu, jika nantinya Eyang Guru tidak
memberikan apa yang kau minta, kau harus menerima
dengan lapang dada dan jangan bertindak lebih jauh!"
Habis berkata begitu, Galaga berkelebat. Namun
bersamaan itu Maladewa telah merangsek dengan han-
tamkan tangan kanannya.
Galaga yang masih punya keyakinan kalau Mala-
dewa tak akan bertindak jauh meski telah keluarkan
ancaman, hanya diam tanpa membuat gerakan me-
nangkis atau menghindar selamatkan diri.
Bukkk!
Galaga tersentak. Bukan saja karena pukulan tan-
gan kanan Maladewa yang menghantam bahunya, na-
mun juga karena keyakinannya meleset!
Sosok Galaga terhuyung tiga langkah ke samping.
Laki-laki ini segera berpaling dengan mata berkilat. Di-
lihatnya Maladewa sunggingkan senyum seringai.
"Galaga! Kau salah duga kalau mengira ancaman
ku hanya ucapan mulut saja!"
Belum sampai ucapan Maladewa selesai, laki-laki
ini telah berkelebat. Kedua tangannya segera mele-
paskan pukulan.
"Kau yang memaksaku, Maladewa!" ujar Galaga la-
lu angkat kedua tangannya membendung kelebatan
kedua tangan Maladewa yang mengarah pada kepala
dan dadanya.
Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras. Baik sosok Galaga
maupun sosok Maladewa tampak tersurut tiga langkah
ke belakang. Wajah keduanya sama berubah. Tangan
masing-masing yang baru saja berbenturan sama ber-
getar keras.
Maladewa tekuk sedikit lututnya. Tenaga dalamnya
dilipatgandakan. Saat lain dia telah sentakkan kedua
tangannya lepas pukulan jarak jauh bertenaga dalam
tinggi. Hingga saat itu juga dari kedua tangannya me-
lesat dua gelombang angin dahsyat perdengarkan sua-
ra gemuruh keras.
Kalau dalam benturan tangan tadi Galaga masih
belum percaya benar akan niat Maladewa, kini melihat
pukulan Maladewa, perlahan-lahan Galaga mulai me-
nangkap isyarat kalau ucapan Maladewa tidak main-
main! Hingga tanpa pikir panjang lagi dia segera pula
angkat kedua tangannya lalu disentakkan ke depan.
Blammm!
Tanah di tempat ini dibuncah dengan suara leda-
kan keras. Julangan-julangan batu karang bergetar.
Sosok Galaga mencelat mental sampai dua tombak.
Paras mukanya pias dengan tubuh bergetar keras. Ma-
lah kalau laki-laki ini tidak segera kerahkan tenaga da-
lam, niscaya sosoknya akan roboh terkapar.
Sementara di depan sana, sosok Maladewa juga
terpelanting lalu tegak dengan kedua kaki goyah. Wa-
jahnya pucat pasi. Namun laki-laki ini cepat kerahkan
tenaga dalamnya kembali. Dan sekali berkelebat, dia
telah tegak dua belas langkah di depan Galaga.
"Maladewa! Mungkinkah kenyataan ini benar-benar
akan terjadi?!"
Maladewa tertawa panjang! "Pertanyaanmu akan
segera terjawab, Galaga!"
"Aku tak pernah membayangkan kalau hal ini akan
terjadi, Maladewa!"
"Itulah ketololan mu! Dan kau terlambat untuk
menyadarinya! Bahkan kau mungkin tidak tahu apa
yang telah terjadi!" kata Maladewa sambil tersenyum.
Senyumnya kali ini agak aneh. "Kau tahu, Galaga! Aku
tadi cuma ingin tahu bagaimana pendirianmu! Aku ju-
ga ingin tahu apakah benar Ilmu 'Pantulan Tabir' telah
kau miliki! Aku pun ingin tahu, seberapa jauh penge-
tahuanmu tentang benda yang ada di tangan Eyang
Guru!"
Galaga merasa tak enak mendengar ucapan Mala-
dewa. Dahinya berkerut. "Apa sebenarnya yang telah
dilakukannya?! Dan apa pula yang telah terjadi?!"
Karena tidak juga menemukan jawaban, pada ak-
hirnya Galaga buka mulut.
"Maladewa! Apa maksud ucapanmu?!"
Maladewa tertawa dahulu sebelum akhirnya berka-
ta menjawab. "Kau boleh memiliki ilmu 'Pantulan Ta-
bir' meski seratus buah! Dan kau boleh bangga karena
telah mendapat Ilmu itu! Tapi bagiku.... Semua itu ti-
dak ada artinya apa-apa bagiku! Karena aku telah
mendapatkan yang lebih daripada yang kau miliki!"
Galaga makin tak enak. Namun sejauh ini dia be-
lum dapat menduga-duga ke mana arah ucapan Mala-
dewa. Hingga dia ajukan tanya lagi.
"Aku belum mengerti apa arti ucapanmu!"
"Tak usah khawatir, Galaga! Kau akan segera men-
gerti! Namun sayang, hal itu adalah pengertian terak-
hir bagimu! Begitu kau mengerti, saat itu juga nyawa-
mu harus melayang!"
Galaga tambah gelisah. Dia hanya dapat menduga,
kalau pengertiannya harus ditebus dengan nyawa,
pasti hal itu adalah satu rahasia besar. Sementara ra-
hasia besar itu tentu tidak jauh dengan urusan Mala-
dewa dan eyang gurunya.
"Hem.... Jangan-jangan dia telah lakukan renca-
nanya tanpa sepengetahuanku! Dan dia telah berha-
sil.... Celaka!" gumam Galaga dalam hati, lalu buru-
buru berkata.
"Maladewa! Apa yang telah kau lakukan pada
Eyang Guru?!"
Maladewa tidak segera menjawab. Sebaliknya dia
tertawa panjang. Puas tertawa, Maladewa angkat bica-
ra. "Aku tak bisa menerangkan di sini, Galaga! Tapi
kau akan segera mengerti kalau kau tahu apa yang
kuperlihatkan padamu! Tapi perlu kau tahu, itulah
saat tibanya kematianmu!"
Habis berkata begitu, Maladewa tenang saja ma-
sukkan tangan kanannya ke balik pakaian yang dike-
nakannya. Sepasang matanya memandang tajam pada
Galaga. Sementara bibirnya sunggingkan senyum. Di
sebelah depan, dada Galaga tampak berdebar keras.
Sepasang matanya mendelik tak berkesip memandang
ke arah gerakan tangan kanan Maladewa.
Seraya tertawa perlahan, Maladewa keluarkan tangan kanannya dari balik pakaiannya. Laksana dipen-
tang setan, sepasang mata Galaga tampak makin
membeliak seperti hendak loncat dari rongganya anta-
ra terkejut dan tidak percaya!
*
* *
LIMA
KEMBANG Darah Setan!" desis Galaga dengan sua-
ra bergetar berat. Tubuhnya ikut gemetar. Sementara
sepasang matanya mementang besar.
Di seberang depan, Maladewa masih saja terse-
nyum sebelum akhirnya angkat bicara. "Galaga! Den-
gan beradanya benda ini di tanganku, rasanya kau tak
perlu lagi tanya padaku apa yang telah terjadi! Dan se-
perti kataku tadi, begitu kau mengerti, maka itulah
saat tibanya kematianmu!"
Habis berkata begitu, Maladewa angkat tangannya
yang ternyata memegang setangkai bunga yang pan-
carkan sinar. Bunga itu memiliki kuncup berwarna
merah. Pada bagian tangkainya terdapat tiga daun
berwarna hitam, putih, dan merah.
Begitu dapat kuasai diri, Galaga segera buka suara.
"Maladewa! Aku tidak akan tanyakan bagaimana
kau memperolehnya. Yang ingin ku tahu, bagaimana
keadaan Eyang Guru!"
"Kau terlambat untuk bertanya, Galaga! hanya ada
satu hal yang perlu kau tahu sebelum ajal menjemput
mu! Dengar baik-baik! Sebenarnya aku adalah cucu
dari Eyang Guru! Dan akulah generasi terakhir dari
penghuni Kampung Setan ini!"
Galaga tampak terkesiap. Dia pandangi sosok Ma-
ladewa dengan teliti. Bertahun-tahun dia diangkat mu-
rid oleh eyang gurunya, serta bertahun-tahun pula dia
bersahabat dengan Maladewa yang juga sebagai adik
seperguruannya, dia sama sekali tidak mengetahui ra-
hasia kalau Maladewa adalah cucu dari eyang gurunya
sendiri! Yang dia tahu, pada masa mudanya dulu dia
dengar dan tahu kalau rimba persilatan pernah dibuat
geger dengan munculnya tokoh-tokoh berilmu tinggi
yang sebutkan diri Kampung Setan. Sebuah kampung
yang pada akhirnya menjadi momok, bukan saja bagi
kalangan orang biasa, melainkan juga bagi kalangan
orang-orang rimba persilatan. Karena beberapa tokoh
dari Kampung Setan merajalela membunuhi beberapa
tokoh rimba persilatan tanpa pandang bulu dari golon-
gan hitam maupun dari golongan putih.
Namun keangkeran Kampung Setan pada akhirnya
tenggelam setelah beberapa tokoh dari golongan putih
dan golongan hitam bersatu membasmi dengan mem-
porak-porandakan Kampung Setan. Hanya saja kalan-
gan orang-orang rimba persilatan tidak tahu kalau dari
generasi Kampung Setan masih ada seorang yang se-
lamat. Orang inilah yang pada akhirnya mengangkat
Galaga sebagai murid juga sebagai sahabat dari mu-
ridnya yang dahulu yakni Maladewa. Meski Maladewa
sudah menjadi murid sebelum datangnya Galaga, na-
mun karena Galaga lebih tua, maka Maladewa men-
ganggap Galaga sebagai kakak seperguruannya.
Tapi keangkeran Kampung Setan ternyata hanya
tenggelam sesaat. Karena begitu Kampung Setan po-
rak-poranda, tersiar kabar bahwa sebuah senjata dah-
syat bernama Kembang Darah Setan berada di Kam-
pung Setan. Malah tersiar pula berita, kalau sebenar-
nya Kembang Darah Setan itu masih memiliki rahasia
lagi di dalamnya!
Tersiarnya berita ini membuat para tokoh-tokoh
rimba persilatan mulai berlomba memburu. Kalau pa-
da awalnya para golongan putih dan golongan hitam
saling bersatu dalam memporak-porandakan Kampung
Setan, maka dalam hal pemburuan senjata itu, para
tokoh mulai saling bersaing untuk mendahului. Hal ini
menimbulkan terjadinya kacau balau. Terjadi saling
tuduh dan saling hasut! Belum lagi ditambah dengan
tidak pernah kembalinya beberapa orang yang coba-
coba menyelidik ke Kampung Setan!
Galaga arahkan pandangannya ke jurusan lain.
Sebenarnya dia belum percaya benar dengan ucapan
Maladewa yang mengatakan dirinya adalah cucu eyang
gurunya. Namun melihat Kembang Darah Setan yang
sesekali pernah didengar ceritanya dan yakin yang di
tangan Maladewa adalah Kembang Darah Setan, sedi-
kit banyak Galaga mulai bimbang akan ketidakper-
cayaannya. Yang membuatnya makin gelisah, mengapa
Maladewa menginginkan nyawanya? Alasan Maladewa
karena Galaga telah tahu rencananya bukanlah satu
alasan yang kuat. Ada hal lain mengapa Maladewa in-
ginkan nyawanya! Namun pada saat seperti sekarang
ini adalah sudah sangat terlambat untuk menanya-
kannya.
Berpikir begitu, akhirnya Galaga ambil keputusan.
'Aku harus dapat menghindar dahulu! Aku perlu me-
nyelidiki tentang keberadaan Eyang Guru! Setelah itu
baru aku bisa tentukan langkah...."
"Maladewa!" ujar Galaga setelah kedua orang ini
sama-sama berdiam diri untuk beberapa lama. "Kem-
bang Darah Setan telah berada di tanganmu! Berarti
apa yang kau inginkan tercapai! Kuharap dengan...."
"Belum, Galaga!" tukas Maladewa memotong ucapan Galaga. "Keinginanku belum semuanya tercapai!
Dan salah satunya adalah mencabut nyawamu!"
"Kau ini aneh! Kembang Darah Setan telah berada
di tanganmu. Apa artinya nyawaku bagimu?!"
"Saat ini bukan saat yang baik untuk bertanya! Se-
harusnya kau sudah berpikir jauh-jauh sebelum ini!"
"Hem.... Jadi selama ini kau telah memendam ren-
cana tidak baik!"
Maladewa tertawa panjang sebelum akhirnya ber-
kata. 'Tadi sudah kukatakan kau sangat terlambat
mengetahuinya! Bahkan tak mungkin tahu apa yang
telah terjadi!"
"Aku tidak menduga sama sekali, Maladewa...,"
gumam Galaga. Lalu tanpa sambut! ucapan Maladewa,
Galaga balikkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tem-
pat itu. Galaga sudah siap menghadapi apa yang akan
terjadi seandainya Maladewa menghadang dan paksa-
kan niatnya. Hingga sambil berkelebat, Galaga kerah-
kan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Namun dugaan Galaga kali ini meleset. Meski dia
telah berkelebat, Maladewa tidak membuat gerakan
untuk menghadang atau lepaskan pukulan untuk me-
nahan gerakannya. Hingga Galaga bisa terus berkele-
bat.
Begitu memasuki kawasan hutan belantara lebat,
Galaga sengaja memperlambat larinya sambil terus
berpikir. "Tak mungkin aku memasuki Kampung Setan
dan melihat keadaan Eyang Guru kalau Maladewa ma-
sih berada di sana! Aku harus menunggu sampai Ma-
ladewa pergi.... Hem.... Apa yang telah dilakukan Ma-
ladewa pada Eyang Guru?! Mengapa pula Eyang Guru
tidak pernah cerita kalau Maladewa adalah cucunya
sendiri? Kembang Darah Setan.... Ternyata benda itu
benar-benar ada! Dan selama ini pasti berada di tangan Eyang Guru.... Apakah kabar yang selama ini ter-
sebar bahwa di dalam benda itu masih tersimpan ra-
hasia, benar juga adanya?! Mudah-mudahan Eyang
Guru tidak mengalami apa-apa. Dengan begitu aku bi-
sa menanyakan urusan ini! Selama ini aku tidak bera-
ni mengatakannya! Herannya.... Mengapa Eyang Guru
sengaja turunkan ilmu 'Pantulan Tabir' padaku?! Se-
mentara tidak pada Maladewa?! Apakah hal ini dilaku-
kan Eyang Guru agar aku tidak kecewa dengan diberi-
kannya Kembang Darah Setan pada Maladewa?! Seha-
rusnya Eyang Guru tahu.... Aku tidak begitu tertarik
dengan segala macam benda pusaka kalau benda itu
memang harus diberikan pada cucunya! Dan...."
Mendadak Galaga putuskan gumamannya sendiri.
Bersamaan itu laksana disentak setan, langkah ka-
kinya terhenti. Sepasang matanya memandang tajam
ke depan dengan dada berdebar. Karena hanya sejarak
delapan tombak di depan sana, terlihat tegak satu so-
sok tubuh dengan kedua tangan merangkap di depan
dada. Kepalanya sedikit didongakkan.
"Maladewa!" desis Galaga mengenali siapa adanya
sosok yang tegak seolah menghadang jalannya. "Ba-
gaimana dia tahu-tahu sudah muncul di situ?!"
"Galaga! Jangan mimpi kalau bisa teruskan lang-
kah!"
"Aku benar-benar tak mengerti maksudmu, Mala-
dewa!"
"Sudah kukatakan berulang kali. Itulah satu keto-
lolan mu! Dan kau telah ditakdirkan untuk tewas tan-
pa mengerti!"
Habis berkata begitu, Maladewa telah melesat ke
depan. Kedua tangannya sudah berkelebat lepaskan
pukulan jarak jauh selagi sosoknya berada di atas
udara sejarak dua tombak dari tempat Galaga.
Galaga tidak tinggal diam. Kalau tadi hanya seten-
gah hati dalam menghadapi Maladewa, kali ini dia
langsung melompat ke depan menyongsong pukulan
Maladewa dengan kedua tangan disentakkan.
Blammm! Blammm!
Hutan belantara lebat itu seketika disentak dengan
ledakan keras dan getaran hebat. Beberapa jajaran po-
hon tampak doyong lalu tumbang. Rangasan semak
belukar terbabat sebelum akhirnya tersapu amblas!
Sosok Maladewa terhuyung-huyung ke belakang.
Sementara Galaga tampak terseret lima langkah. Na-
mun kedua orang ini cepat lipat gandakan tenaga da-
lam masing-masing. Saat lain keduanya telah sama
sentakkan tangan ke depan.
Empat gelombang dahsyat menderu dari dua juru-
san. Dua gelombang melesat dari kedua tangan Mala-
dewa, dua lagi berkiblat dari kedua tangan Galaga.
Namun tiba-tiba Maladewa tersentak. Dua gelom-
bang pukulannya laksana menghantam kekuatan dah-
syat. Hingga sebelum dua gelombang pukulannya ben-
trok dengan dua gelombang pukulan Galaga, dua ge-
lombang pukulannya mental balik. Bersamaan dengan
itu secara aneh dua gelombang pukulan Galaga me-
nyusul. Empat gelombang ini saling menyatu di udara.
Maladewa makin besarkan beliakan matanya. Ka-
rena begitu empat gelombang bersatu, gelombang itu
membubung ke angkasa. Lalu melesat dari satu arah
ke arah lainnya saling memantul di delapan penjuru
mata angin!
Hebatnya, begitu gelombang itu memantul dari sa-
tu arah hendak menuju lain arah, Maladewa rasakan
tubuhnya tersentak-sentak! Hingga untuk beberapa
kali orang ini harus kerahkan tenaga dalam untuk ku-
asai diri dari sentakan tubuhnya yang mengikuti pantulan gelombang.
"Ilmu 'Pantulan Tabir!’" desis Maladewa dengan su-
ara bergetar. Dia lipat gandakan tenaga dalam untuk
kuasai diri. Begitu gelombang berada di atas udara dan
akan memantul, dia segera saja lepaskan pukulan.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang kembali melesat ke arah gelombang
yang tadi memantul-mantul di atas udara. Namun Ma-
ladewa harus terkesiap. Belum sampai dua gelombang
pukulannya menghantam gelombang yang memantul,
Galaga telah sentakkan kedua tangannya. Bersamaan
dengan itu gelombang yang tadi pantul-memantul ke
delapan penjuru mata angin perdengarkan ledakan
dahsyat dan ambyar berkeping-keping! Pukulan ge-
lombang yang melesat dari kedua tangan Maladewa te-
rus amblas ke atas melabrak tempat kosong!
Dan pada saat gelombang yang tadi memantul am-
byar, sosok Maladewa terjengkang roboh di atas tanah!
Dari mulutnya mengucur darah. Tanda orang ini telah
terluka dalam. Sementara di seberang sana, Galaga
tampak terhuyung-huyung, tapi laki-laki ini cepat da-
pat kuasai diri.
Maladewa perlahan-lahan bergerak bangkit. Sepa-
sang matanya langsung menyengat angker ke arah Ga-
laga. Namun sesaat kemudian Maladewa tiba-tiba per-
dengarkan suara tawa bergerak panjang. Bersamaan
itu tangan kanannya menyelinap masuk ke balik pa-
kaiannya.
"Dia akan pergunakan Kembang Darah Setan!
Meski aku belum pernah tahu kehebatan benda itu,
aku harus berhati-hati. Sebagai benda pusaka sakti
pasti memiliki kehebatan luar biasa!"
Memikir sampai di situ, Galaga cepat kerahkan se-
genap tenaga yang dimiliki. Di sebelah depan, Malade
wa telah genggam tangkai Kembang Darah Setan yang
pancarkan sinar.
Maladewa menyeringai dingin. Tanpa berkata-kata
lagi dia segera melompat ke depan. Tangan kanannya
yang memegang Kembang Darah Setan segera digerak-
kan ke depan.
Wuutt!
Dari tangan kanan Maladewa berkiblat sinar ca-
haya berwarna merah, hitam serta putih.
Galaga sempat melengah melihat dahsyatnya sinar
dari Kembang Darah Setan. Namun dia segera sadar.
Cepat-cepat dia sentakkan kedua tangannya dengan
andalkan ilmu 'Pantulan Tabir'. Hingga saat itu juga
dua gelombang dahsyat melesat dari kedua tangannya.
Hebatnya dua gelombang itu bukannya langsung me-
nyongsong tiga sinar yang kini menggebubu. Namun
melesat ke samping. Saat lain dua gelombang itu telah
melesat dan memantul kian kemari menghadang tiga
sinar!
Namun kali ini Galaga harus waspada. Karena
meski gelombang dari kedua tangannya mampu meng-
hadang lesatan tiga sinar yang melesat, tiga sinar itu
tidak mampu disapunya hingga mengikuti pantulan
gelombang! Hingga tiga sinar itu tampak terapung di
udara!
Maladewa tidak menunggu lama. Mendapati Galaga
tidak menyapu tiga sinar yang keluar dari Kembang
Darah Setan, laki-laki ini untuk kedua kalinya sentak-
kan Kembang Darah Setan. Hingga saat itu juga kem-
bali melesat tiga sinar berwarna merah, putih, dan hi-
tam!
"Celaka!" gumam Galaga mengetahui bagaimana ti-
ga sinar kini melesat kembali dari arah depan. Laki-
laki ini pejamkan sepasang matanya. Lalu dengan kerahkan seluruh tenaga luar dan dalam, kedua tangan-
nya disentakkan.
Wuutt! Wuuutt!
Dari kedua tangannya menghampar gelombang
dahsyat yang tak lama kemudian bergabung dengan
gelombang yang pantul memantul di udara mengha-
dang sinar dari Kembang Darah Setan.
Di lain pihak tiga sinar yang baru melesat dari
Kembang Darah Setan mendorong tiga sinar yang ter-
hadang gelombang. Begitu terdorong, mendadak tiga
sinar itu melesat deras ke depan!
Galaga tersentak. Tak ada jalan baginya untuk se-
lamat selain harus menghadang dari arah depan. Maka
dengan membentak garang, laki-laki ini sentakkan
tangannya ke belakang. Bersamaan itu gelombang
yang memantul tertarik. Saat Galaga mendorong ke
depan, gelombang yang tadi memantul di udara mele-
sat deras menyongsong sinar yang datang…
Blaarr! Blarrr!
Hutan belantara itu laksana diterjang gelombang
dahsyat hingga bergetar keras. Beberapa pohon basar
langsung tumbang. Tanah di mana terjadi benturan
pukulan muncrat sambil lima tombak ke udara.
Sosok Galaga langsung mencelat dan jatuh ter-
banting dengan punggung menghantam batangan po-
hon yang tumbang melintang. Darah mengucur dari
hidung dan mulutnya. Galaga rasakan sekujur tubuh-
nya panas luar biasa laksana dipanggang dalam bara.
Pakaian yang dikenakan tampak hangus di bagian de-
pan.
"Rasanya sulit bagiku kalau harus berhadapan
dengan Kembang Darah Setan. Lagi pula aku harus
tahu bagaimana keadaan Eyang Guru! Aku harus la-
kukan sesuatu agar bisa selamatkan diri!" Galaga bergerak duduk. Sepasang matanya mengedar berkeliling.
Saat itu suasana masih agak gelap karena terbungkus
muncratan tanah serta banyaknya tumbangan pohon.
Dan ketika dia memandang ke depan, samar-samar
terlihat sosok Maladewa tegak berdiri dengan tangan
kanan mengangkat Kembang Darah Setan.
Galaga tidak tunggu lama. Dia kerahkan sisa tena-
ga dalamnya. Serta-merta kedua tangannya disentak-
kan ke depan.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang dahsyat menderu deras ke depan.
Beberapa batangan pohon yang melintang tersapu.
Saat yang sama, Galaga bergerak bangkit. Lalu berke-
lebat tinggalkan tempat itu.
Maladewa tampak tersenyum dingin mendapati be-
berapa batangan pohon menyapu ke arahnya. Dia
hanya gerakkan tangan kanannya yang menggenggam
Kembang Darah Setan.
Wuutt!
Tiga sinar merah, hitam, dan putih berkiblat.
Brakk! Brakkk!
Terdengar beberapa kali derakan. Beberapa batan-
gan pohon yang menghampar ke arah Maladewa lang-
sung porak-poranda dan hancur berkeping-keping!
Maladewa seakan tahu apa yang diperbuat Galaga.
Hingga hampir berbarengan dengan gerakan tangan
kanannya yang berkelebat, sosoknya langsung melesat
ke depan. Meski dia tertambat, tapi sepasang matanya
masih dapat menangkap kelebatan sosok Galaga,
hingga sambil berkelebat mengejar, tangan kanannya
bergerak.
Kembali hutan belantara itu dibuncah tiga kiblatan
sinar tiga warna. Merah, hitam, dan putih.
Di depan sana, Galaga rupanya sudah pula mengatur siasat. Hingga dia tidak berkelebat lurus. Tapi sen-
gaja mengambil arah berbelok-belok. Hingga kesulitan
bagi Maladewa untuk arahkan hantaman tangan ka-
nannya yang memegang Kembang Darah Setan. Na-
mun laki-laki ini tidak ambil peduli. Tangan kanannya
terus menerus menghantam, hingga saat itu juga hu-
tan belantara itu dibuncah suara derakan tumbangnya
beberapa pohon serta terbabatnya ranggasan semak
belukar. Udara di atas hutan pun tampak berubah ka-
rena sesekali tampak hamburan tanah dan daun-daun
yang membubung ke angkasa.
Pada satu tempat, tiba-tiba Maladewa hentikan ke-
lebatan tubuhnya. Tangan kanannya yang memegang
Kembang Darah Setan ditarik ke bawah. Sepasang ma-
tanya berkilat-kilat memandang berkeliling.
"Meski saat ini kau lolos, namun bukan berarti kau
akan mendapat tempat untuk sembunyikan diri, Gala-
ga!" teriak Maladewa begitu dia tidak lagi melihat sosok
Galaga.
Kehilangan jejak orang yang dikejar rupanya mem-
buat Maladewa marah besar. Karena yang ada di ha-
dapannya hanya jajaran pohon, maka semua kemara-
hannya ditumpahkan pada apa saja yang terlihat ma-
tanya. Tangan kanan yang memegang Kembang Darah
Setan dan tangan kirinya serta-merta bergerak.
Wuutt! Wuutt!
Beberapa jajaran pohon dan semak belukar kemba-
li berderak dan bertaburan ke angkasa. Saat derakan
dan hamburan semak belukar sirap, sosok Maladewa
sudah tidak kelihatan lagi di tempat itu.
Begitu suasana kembali tenang, perlahan-lahan
semak belukar tidak jauh dari tempat di mana tadi Ma-
ladewa berdiri kalap hantamkan kedua tangannya ka-
rena marah, tiba-tiba bergerak menyibak. Lalu tampaklah, satu sosok tubuh keluar dengan kepala berge-
rak ke samping kanan kiri dan mata liar menyelidik.
Orang ini ternyata bukan lain adalah Galaga.
"Hem.... Aku harus mencari kesempatan! Pada be-
berapa hari ini mungkin Maladewa masih berada di
Kampung Setan. Aku akan menyingkir dahulu...."
Habis bergumam begitu, Galaga putar kepalanya.
Saat kakinya bergerak, sosoknya melesat tinggalkan
tempat itu.
*
* *
ENAM
SEBELUM kita ketahui ke mana Maladewa berke-
lebat pergi dan ke mana pula Galaga sembunyikan diri
setelah berhasil lolos dari tangan maut Maladewa, kita
ikuti dahulu peristiwa yang terjadi tiga hari sebelum
Maladewa dan Galaga bertemu.
Saat itu malam hampir saja menjelang. Keadaan
samar-samar sudah gelap. Namun hutan belantara
berbatasan dengan pesisir itu sudah tenggelam dalam
kepekatan. Hujan rintik-rintik yang turun sejak petang
membuat suasana hutan kelam menggidikkan. Apalagi
samar-samar jauh di dalam hutan terdengar lolongan
anjing yang bersahut-sahutan.
Dalam kelamnya suasana, laksana hantu gen-
tayangan, satu sosok tubuh tampak berkelebat cepat
melintasi kekelaman hutan belantara. Melihat gera-
kannya, jelas sekali kalau sosok ini telah tahu benar
seluk beluk tempat yang dilalui. Hingga dalam bebera-
pa saat saja sosoknya telah melewati hutan belantara
tanpa halangan suatu apa.
Sosok ini baru hentikan larinya tatkala di hada-
pannya tampak julangan-julangan batu karang yang
berjajar melingkar seakan membentuk pagar. Di ten-
gah julangan-julangan batu karang terlihat sebuah ta-
nah terbuka yang pada tengahnya tampak sebuah al-
tar batu. Tidak jauh dari altar batu tampak menggugus
satu gundukan batu yang di bagian kedua ujungnya
terdapat batu pipih mirip batu nisan. Batu menggugus
ini panjangnya kira-kira dua tombak. Karana di bagian
kedua ujungnya terdapat batu pipih, sementara gugu-
san batu itu menggunduk, sepintas saja orang yang
melihat pasti sudah dapat menduga kalau gugusan ba-
tu itu adalah sebuah makam.
Dalam beberapa tahun silam, tempat yang dikeli-
lingi julangan-julangan batu karang yang seakan me-
magari makam batu inilah yang sempat membuat geg-
er dunia persilatan dan sempat menjadi tempat angker
dan dijuluki orang dengan Kampung Setan. Beberapa
tokoh rimba persilatan yang coba-coba menyelidik ke
tempat ini banyak yang tidak terdengar lagi kabar beri-
tanya.
Sejenak sosok tubuh yang tegak memandang ju-
langan-julangan batu karang edarkan pandangannya
berkeliling. Dia adalah seorang laki-laki bermata tajam.
Rambutnya panjang sebahu, paras wajahnya agak
tampan. Sosoknya kekar.
Setelah edarkan mata berkeliling, laki-laki ini
membuat satu gerakan. Sosoknya melesat dan tahu-
tahu telah tegak di antara salah satu julangan batu
karang. Kepala laki-laki ini kembali berputar. Saat lain
dia melangkah mendekati julangan batu karang di ha-
dapannya.
Dengan mata melirik ke samping kiri kanan, tangan kanannya bergerak menjulur ke depan. Laki-laki
ini tampak menekan pada permukaan batu karang di
depannya. Pada saat yang sama, terdengar suara ber-
derit gesekan batu.
Laki-laki di hadapan batu karang tidak menunggu
lama. Julangan batu karang di hadapannya tiba-tiba
menguak terbuka. Kepala si laki-laki sesaat berputar
sekali lagi. Jelas kalau laki-laki ini waspada dan tak
mau diketahui orang. Saat dirasa aman, laki-laki ini
melangkah panjang-panjang memasuki julangan batu
karang yang ternyata memiliki pintu rahasia.
Begitu sosok si laki-laki lenyap masuk, batu karang
yang terbuka menutup lagi. Si laki-laki cepat edarkan
pandangan. Tempat itu ternyata mirip sebuah ruan-
gan. Dan tempat itu terang benderang karena di bagian
pojok tampak sebuah obor yang menyala. Di bawah
obor, tampak sebuah ruangan kecil yang pada bagian
tengahnya terdapat tempat datar dari batu karang ber-
bentuk persegi panjang sebesar satu tombak berkelil-
ing.
Si laki-laki yang baru masuk langsung arahkan
pandangan matanya ke ruangan di bawah obor. Bukan
pada batu karang persegi panjang, namun pada satu
sosok tubuh yang duduk bersila di atas batu karang
persegi panjang. Sosok ini adalah seorang perempuan
berusia amat lanjut. Seluruh wajahnya sudah menge-
riput. Rambutnya yang telah putih tampak sangat tipis
sekali hingga batok kepalanya terlihat jelas. Kelopak
sepasang matanya yang menjorok masuk tampak ter-
pejam rapat. Kedua tangannya yang ringkih bersede-
kap merangkap di dada. Nenek ini mengenakan pa-
kaian warna putih bersih.
Si laki-laki bergerak melangkah. Dan berhenti
hanya sejarak delapan langkah di depan ruangan mana si nenek berada. Untuk beberapa lama si laki-laki
memandang pada si nenek dengan seksama. Namun
sejauh ini mulutnya masih terkancing tidak perden-
garkan suara meski jelas kalau si laki-laki sudah tidak
sabaran.
"Maladewa...." Mendadak si nenek perdengarkan
suara. Meski sosoknya terlihat ringkih dan mulutnya
membuka sedikit, namun suara yang diperdengarkan
sangat berat dan menggema ke Seantero ruangan!
Si laki-laki yang dipanggil Maladewa sejurus tam-
pak tersentak kaget. Tapi dia belum juga buka mulut.
Dia hanya memandang dengan sikap makin gelisah.
"Maladewa! Kau tahu, saat ini bukan waktunya
kau dating!" Si nenek kembali buka mulut. Namun se-
pasang matanya tetap terpejam rapat.
"Aku tahu!" Maladewa menyahut. "Tapi ada sesua-
tu yang mengharuskan ku datang!"
Si nenek buka kelopak matanya. Memandang seje-
nak pada obor di atasnya lalu mulutnya meniup den-
gan kepala sedikit didongakkan.
Terdengar siuran angin. Di lain saat, tiba-tiba obor
yang menyala padam! Ruangan di dalam julangan batu
karang itu hitam pekat.
"Katakan padaku, Maladewa! Apa yang membuat-
mu datang bukan pada waktunya!" Si nenek perden-
garkan suara lagi. Namun suaranya kali ini tidak bisa
ditentukan bersumber dari mana. Karena suara itu
laksana diperdengarkan dari delapan jurusan mata
angin! Maladewa tidak segera menjawab. Sebaliknya
laki-laki ini pentang mata besar-besar memandang ke
arah batu persegi panjang di mana tadi si nenek du-
duk bersila. Laki-laki ini sejenak terkesiap. Karena ma-
tanya tidak lagi melihat sosok si nenek di atas batu!
Mendapati hal demikian, Maladewa tampak geram.
Dia cepat balikkan tubuh lalu melompat dan tegak di
tengah ruangan dengan kepala mendongak. Saat lain
tanpa gerakan kepala berpaling, dia bersuara.
"Nek! Bertahun-tahun aku merahasiakan siapa di-
riku pada Galaga! Hingga yang dia tahu sampai seka-
rang adalah bahwa di antara kita berdua hanya hu-
bungan sebagai guru dan murid!"
"Hem.... Hanya itu yang membuatmu datang, Cu-
cuku...?!" Terdengar suara si nenek namun tidak jelas
di mana dia beradanya. Suaranya masih menggema
dari delapan arah.
"Nek! Rasanya usiaku telah cukup. Usiamu juga te-
lah lanjut! Sudah saatnya kau serahkan semua wari-
san leluhur penguasa Kampung Setan ini padaku! Aku
khawatir kalau Galaga mencium siapa adanya kita
berdua!"
"Maladewa cucuku.... Kau tidak usah khawatir
dengan Galaga! Aku percaya penuh padanya! Dia tidak
mungkin membocorkan keadaan Kampung Setan ini di
luaran sana! Dia murid baik! Tak mungkin berani
berkhianat, apalagi dia telah bersumpah sebelum kua-
ngkat sebagai muridku!" Si nenek hentikan ucapannya
sejenak. Tak lama kemudian terdengar lagi ucapannya.
"Tentang permintaanmu, Cucuku. Kau harus ber-
sabar. Saat itu pasti akan tiba! Tapi bukan sekarang!"
"Hem.... Lalu sampai kapan? Kau bisa tentukan
waktunya?!" tanya Maladewa masih dengan tegak di
tengah ruangan dan kepala mendongak.
"Seperti pendahulu ku. Aku tidak boleh mengata-
kan saat tibanya waktu itu! Tapi pasti akan datang!
Dan semua permintaanmu akan terpenuhi meski kau
tidak memintanya! Dan karena kau adalah generasi te-
rakhir, maka kau akan mendapat tugas penting yang
sebelumnya tidak pernah kulakukan!"
"Tugas apa itu?!"
"Kau nanti akan mengetahuinya bila upacara pe-
nyerahan berlangsung!"
Beberapa saat antara kedua orang ini tidak ada
yang perdengarkan suara. Namun tak lama kemudian,
Maladewa tampak buka mulut lagi.
"Nek! Kau tidak mengada-ada dengan keterangan
yang kau ucapkan?!"
Terdengar suara tawa berat menggema. Lalu dis-
usul dengan suara si nenek.
"Untuk apa aku mengada-ada keterangan, Cucuku!
Kau adalah generasi terakhir dari Kampung Setan
yang harus mengemban tugas! Jadi kelak tidak ada la-
gi yang perlu disembunyikan lagi!"
"Begitu?! Lalu mengapa kau masih sembunyikan
sesuatu dariku?!"
Sesaat tak ada sahutan. Maladewa ganti perden-
garkan suara tawa sebelum akhirnya berkata. "Nek!
Mengapa kau diam saja?!" "Coba katakan apa yang ka-
tamu ku sembunyikan!' "Mengapa kau turunkan Ilmu
'Pantulan Tabir' pada Galaga?! Sementara aku sebagai
generasi terakhir dan cucumu kau abaikan?! Padahal
sudah beberapa kali aku meminta padamu untuk tu-
runkan ilmu itu!"
"Maladewa! Galaga sengaja kuambil murid untuk
mendampingimu kelak dalam melaksanakan tugas!
Dan sengaja ilmu itu kuturunkan dahulu padanya
agar dapat menjaga diri.... Karana selama ini dialah
yang sering keluar! Lebih dari itu, kau tak usah kha-
watir. Kau juga akan segera menerima ilmu itu begitu
saatnya dekat dengan upacara penyerahan!'
"Rasanya itu bukan satu alasan yang masuk akal,
Nek! Tidak ada salahnya bukan kalau ilmu itu kau tu-
runkan jauh sebelum upacara penyerahan?! Kau sepertinya mendahulukan orang lain daripada cucumu
sendiri! Aku menduga ada apa-apa di balik semua ini!"
"Maladewa! Jangan berprasangka buruk padaku!
Adalah tindakan bodoh jika seorang nenek mendahu-
lukan kepentingan orang lain daripada cucunya!"
"Aku tidak bisa percaya dengan ucapanmu, Nek!"
"Dengar, Maladewa! Aku tak suka dengan sikapmu
yang kurang ajar berani berkata begitu padaku! Kau
juga datang bukan pada saatnya! Kuperintahkan kau
agar segera keluar dari sini!"
"Kau jangan lupa, Nek! Kita sama-sama berhak
atas warisan leluhur! Dan aku minta saat ini juga wa-
risan itu diberikan padaku!"
"Ucapanmu benar, Maladewa! Tapi aku tak berani
melanggar pesan! Semua warisan boleh kau miliki se-
telah upacara penyerahan berlangsung! Lain dari saat
itu, kau tidak akan memperoleh apa-apa. Aku pun tak
berani memberikan padamu!"
"Kalau begitu aku akan mengambil dengan caraku
sendiri!"
"Jangan bicara sembarangan, Maladewa! Kau me-
nyalahi peraturan yang berlaku di Kampung Setan ini!"
"Aku tak peduli! Karena kau juga telah bertindak
ceroboh turunkan ilmu 'Pantulan Tabir' pada orang se-
lain keturunan dari Kampung Setan!"
Habis berkata begitu, Maladewa gerakkan tubuh
berputar. Sepasang matanya terpentang besar coba
tembusi kepekatan suasana. Namun sejauh ini ma-
tanya tak bisa menangkap di mana beradanya si ne-
nek.
"Nek! Kau kira aku tak bisa berbuat sesuatu meski
aku tak bisa melihat kau berada di mana?!"
Tak ada suara sahutan. Maladewa angkat kedua
tangannya. Saat lain laki-laki ini sentakkan tangannya
sambil berputar.
Terdengar suara melesatnya beberapa gelombang
yang datang susul menyusul. Lalu terdengar suara
gemuruh dahsyat tiada hentinya. Ruangan dalam ju-
langan batu karang itu bergetar keras. Keadaannya
makin pekat karena hamburan beberapa pecahan batu
karang.
"Hentikan, Maladewa!" tiba-tiba terdengar teriakan
si nenek.
Maladewa hentikan gerakan kedua tangannya serta
putaran tubuhnya. "Berikan warisan itu padaku! Atau
kau ingin tempat ini porak-poranda!"
"Maladewa...." Terdengar suara si nenek. Kali ini
nadanya lembut meski suaranya berat. "Bersabarlah!
Saatnya pasti akan tiba!"
"Aku tak akan menunggu saat yang belum pasti
kapan datangnya! Aku minta saat ini juga!"
Habis berkata begitu, Maladewa kembali angkat
kedua tangannya. Namun sebelum kedua tangannya
sempat bergerak, terdengar suara si nenek. Namun
kali ini suaranya keras.
"Maladewa! Aku telah memperingatkanmu! Tapi
rupanya kau keras kepala! Sekarang katakan apa yang
kau minta!"
"Kembang Darah Setan!" jawab Maladewa dengan
suara tak kalah kerasnya.
"Benda itu harus kau terima saat penyerahan, Ma-
ladewa!"
"Persetan dengan upacara penyerahan! itu hanya
omong kosong belaka! Buktinya sudah berapa tahun
aku menunggu! Tapi apa yang ku dapati?! Hanya
tunggu dan tunggu! Sementara orang lain telah men-
dapatkannya meski tidak meminta!"
"Hem.... Jadi kau tidak sabar menunggu upacara
penyerahan itu?! Dan memintanya sekarang?!"
"Nek! Kau telah dengar ucapanku!"
"Baik! Ini permintaanmu! Aku pun tak akan meno-
lak apa yang kau minta karena itu memang hakmu!"
Suasana ruangan di dalam julangan batu karang
sejenak hening. Maladewa tegak menunggu dengan
dada berdebar. Tiba-tiba laki-laki ini tersentak tatkala
matanya menangkap cahaya sinar. Dia cepat balikkan
tubuh menghadap sumber berpencarnya cahaya. Na-
mun dia tersentak tatkala melihat cahaya sinar ber-
warna merah, hitam serta putih itu melesat ke arah-
nya!
Maladewa cepat rundukkan tubuh dengan lutut
sedikit ditekuk. Saat bersamaan kedua tangannya ber-
gerak berkelebat ke atas menyahut cahaya yang menu-
ju arahnya.
Tappp!
Cahaya tiga warna tersahut kedua tangan Malade-
wa. Laki-laki ini merasakan hawa hangat merasuki se-
kujur tubuhnya.
"Kembang Darah Setan!" desis Maladewa dengan
mata membeliak besar perhatikan apa yang kini bera-
da dalam tangannya. Perlahan-lahan dia turunkan
tangannya.
"Maladewa! Kau telah mendapatkan apa yang jadi
hakmu! Tapi ingat, hal itu kau peroleh tanpa upacara
penyerahan! Aku tak bisa berbuat apa-apa karena itu
adalah kemauanmu! Sekarang segeralah angkat kaki
dari ruangan ini!"
Maladewa angkat kepalanya. "Kembang Darah Se-
tan telah berada di tanganku! Siapa pun juga tak ber-
hak memberi perintah! Justru akulah sekarang yang
buat aturan dan keluarkan perintah!"
"Maladewa! Kau jangan...."
"Kuperintahkan kau agar unjuk diri, Nek!" potong
Maladewa.
"Maladewa! Kau...."
Lagi-lagi Maladewa sudah memotong ucapan si ne-
nek sebelum suaranya selesai.
"Nek! Kau dengar ucapanku! Lekas unjuk diri!" Se-
lesai berucap begitu, Maladewa angkat Kembang Darah
Setan yang ada di tangan kanannya.
Karena ditunggu agak lama si nenek tidak juga tu-
ruti ucapan Maladewa, laki-laki ini habis kesabaran.
Kedua tangannya serta-merta bergerak. Tangan kanan
hantamkan Kembang Darah Setan sementara tangan
kiri lepas pukulan bertenaga dalam tinggi.
Ruangan dalam julangan batu karang ini dibuncah
dengan menderunya gelombang dahsyat dan berkib-
latnya beberapa sinar tiga warna. Sambil lepaskan pu-
kulan tangan kiri kanan, Maladewa putar tubuh.
Terdengar suara bergemuruh luar biasa. Karena
ruangan itu diterangi sinar terang tiga warna, maka
tampaklah jika ruangan itu telah porak-poranda. Bah-
kan di sana-sini tampak longsoran batu karang. Malah
batu persegi panjang di mana tadi si nenek duduk ber-
sila telah hancur berantakan!
Tiba-tiba dari arah sudut sebelah timur terdengar
suara bentakan keras membahana. "Maladewa! Kau te-
lah hancurkan tempat persemadian leluhur mu! Kau
kelak akan menerima akibat dari ulah mu ini!"
Maladewa tidak menyahut. Sebaliknya cepat putar
tubuh menghadang suara yang baru terdengar. Begitu
tubuhnya bergerak memutar, kedua tangannya berge-
rak menyentak.
Blaarr!
Ruangan sebelah timur langsung longsor. Namun
satu bayangan putih sudah melesat terlebih dahulu
sebelum gelombang dan sinar tiga warna menghantam.
Kepala Maladewa cepat bergerak mengikuti mele-
satnya bayangan putih yang bukan lain adalah sosok
si nenek. Saat bersamaan, Maladewa hantamkan tan-
gan kanan kirinya.
Wusss!
Bayangan putih mencelat mental lalu menghantam
langit-langit ruangan. Anehnya bayangan putih itu ti-
dak langsung meluncur ke bawah meski baru saja ter-
hantam. Sebaliknya menempel erat pada langit-langit
ruangan!
"Maladewa! Kau boleh memiliki Kembang Darah Se-
tan. Tapi bukan berarti kau dapat membunuh dengan
benda itu!"
Maladewa terkesiap. Suara itu tidak terdengar dari
langit-langit ruangan. Melainkan dari sudut ruangan
sebelah barat!
Memandang ke sebelah barat, samar-samar Mala-
dewa menangkap satu sosok bayangan putih. Malade-
wa sesaat ingin meyakinkan. Lalu sekonyong-konyong
kedua tangannya bergerak menghantam!
Sosok bayangan putih tidak membuat gerakan
menghindar, hingga tak ampun lagi gelombang dah-
syat dan sinar tiga warna yang melesat dari Kembang
Darah Setan menghantam telak!
Bayangan putih mencelat menghantam dinding
ruangan di belakangnya. Anehnya Maladewa tidak
mendengar suara pekik atau seruan. Sebaliknya laki-
laki ini mendengar suara berderit jauh di belakangnya.
Maladewa sadar. Dia buru-buru putar tubuh. Ter-
nyata bagian mana tadi Maladewa masuk telah terbu-
ka. Saat bersamaan, satu sosok bayangan putih berke-
lebat keluar!
"Bangsat! Aku tertipu! Dia tadi telah peragakan il
mu 'Pantulan Tabir'!" desis Maladewa. Dia cepat men-
gejar. Namun begitu keluar dari ruangan dalam julan-
gan batu karang, sosok si nenek sudah lenyap! Dan
bersamaan keluarnya sosok Maladewa, pintu batu ka-
rang menutup kembali.
Maladewa pandangi Kembang Darah Setan yang
tergenggam di tangannya. Bibirnya sunggingkan se-
nyum. "Galaga! Saatnya kau harus mampus! Aku tak
ingin Kampung Setan dimasuki manusia selain dari
keturunan penguasa Kampung Setan! Setelah itu....
Aku akan mencari di mana jejaknya tua bangka itu!"
Maladewa masukkan Kembang Darah Setan ke ba-
lik pakaiannya. Kepalanya berputar dua kali dengan
mata menembusi kegelapan malam yang semakin la-
rut. Saat lain laki-laki ini membuat gerakan satu kali.
Gerakannya ini serta-merta melesatkan tubuhnya me-
ninggalkan pelataran Kampung Setan.
*
* *
TUJUH
DUA orang sama berpacu cepat menuju sebelah
timur hutan belantara di mana Kampung Setan bera-
da. Orang di sebelah depan memanggul satu sosok tu-
buh yang dari mulut dan hidungnya tampak kucurkan
darah. Sosok yang dipanggul orang tampak tidak ber-
gerak-gerak. Sementara orang yang di sebelah bela-
kang berlari sambil sesekali putar kepala dan mem-
perhatikan sosok yang ada di panggulan orang di de-
pannya.
Begitu memasuki kawasan yang dipagari julangan
julangan batu karang, orang di sebelah depan yang
memanggul sosok tubuh berlumuran darah hentikan
larinya. Orang ini memandang berkeliling sebentar, la-
lu dengan enaknya bahunya bergerak. Sosok tubuh
yang berada di panggulnya serta-merta jatuh bergede-
bukan di atas hamparan batu tidak jauh dari gundu-
kan makam batu yang ada ditengah-tengah beberapa
julangan batu karang.
Orang yang berlari di sebelah belakang ikut henti-
kan larinya tidak jauh dari orang yang baru saja ja-
tuhkan sosok tubuh di panggulannya. Kedua orang ini
sejenak saling pandang.
Orang yang tadi berlari di sebelah depan sambil
membawa sosok tubuh di pundaknya adalah seorang
laki-laki berperawakan kekar. Rambutnya panjang
menutupi bahu dan sebagian wajahnya. Parasnya
tampan. Matanya tajam. Dagunya kokoh. Laki-laki ini
mengenakan pakaian warna putih.
Sementara orang yang tadi berlari di sebelah bela-
kang adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar.
Raut wajahnya juga tampan. Sepasang matanya juga
tajam.
Orang yang tadi berlari di sebelah depan angkat
kepalanya, lalu berteriak.
"Maladewa! Kami berdua datang!"
Gema suara orang belum lenyap, mendadak dari
salah satu lamping julangan batu karang yang berjajar
memagari makam batu melesat satu sosok tubuh. Ter-
nyata dia adalah juga seorang laki-laki dan bukan lain
adalah Maladewa.
Maladewa tegak di hadapan dua laki-laki yang baru
datang. Sejurus mata Maladewa perhatikan dua laki-
laki di hadapannya. Lalu melirik pada orang yang ter-
bujur diam berlumuran darah di bawah.
"Kami hanya berhasil membawa mayat Nyai Randu
Abang!" berkata laki-laki yang tadi berlari di sebelah
depan.
"Dadaka!" kata Maladewa menyebut nama laki-laki
yang tadi berlari di sebelah depan. "Satu purnama kau
dan Kigali kuberi waktu untuk laksanakan tugas ini.
Nyatanya yang kalian bawa hanya mayat perempuan
tak berguna ini!"
Dadaka berpaling pada laki-laki yang tadi berlari di
sebelah belakang yang disebut Maladewa dengan nama
Kigali. Kedua orang ini sejurus saling pandang. Setelah
Dadaka anggukkan kepala, Kigali buka mulut angkat
bicara.
"Maladewa! Satu purnama waktu yang kau berikan
ternyata terlalu pendek untuk mencari jejak manusia
macam Galaga! Kuharap kau mengerti! Dan untuk se-
mentara ini kami berdua hanya mampu membawa
mayat Nyai Randu Abang, salah satu orang yang nya-
wanya kau inginkan!"
"Betul!" timpal Dadaka. "Lagi pula, dengan tewas-
nya Nyai Randu Abang, Galaga pasti akan segera un-
juk tampang keluar dari persembunyiannya! Karena
kau tahu sendiri, Nyai Randu Abang adalah kekasih
Galaga!"
Maladewa memandang silih berganti pada Dadaka
dan Kigali. Lalu beralih pada sosok berlumur darah di
bawah yang ternyata adalah seorang perempuan. Raut
wajahnya hampir tidak bisa dikenali karena di sana-
sini banyak dibercaki darah.
"Bagaimana dengan jejak si nenek tua bangka
itu?!" tanya Maladewa.
"Sejauh ini kami belum mendapatkan jejaknya!
Kau tahu sendiri, nenek itu hanya kami kenali ciri-
cirinya saja tanpa kami kenali wajahnya. Itu salah satu
kesulitan kami dalam mencari jejaknya!" Yang angkat
bicara menyahut adalah Dadaka.
"Tapi kau tak usah cemas! Kami berdua akan tetap
mencari di mana jejak si nenek itu sekaligus jejak Ga-
laga! Aku menduga kedua orang ini bersatu dan sem-
bunyi pada satu tempat!" sahut Kigali.
"Berapa lama waktu yang kalian butuhkan untuk
membawa kedua orang itu mati atau hidup ke hada-
panku?!"
"Yang kami hadapi bukan orang sembarangan! Jadi
kami tak bisa tentukan batas waktunya!" ujar Dadaka.
"Benar. Maladewa! Apalagi saat ini rimba persilatan
sedang geger dengan banyaknya tokoh yang terbunuh
secara misterius! Kami harus bertindak hati-hati agar
tidak sampai dicurigai!" sahut Kigali seraya meman-
dang berkeliling.
Maladewa untuk kesekian kalinya memandang sa-
tu persatu pada kedua laki-laki di hadapannya. "Kalian
telah katakan bisa membawa orang-orang yang kuin-
ginkan dalam waktu tidak lama. Kini ucapan kalian
berbalik! Katakan saja kalau kalian tidak mampu!" ka-
ta Maladewa dengan suara agak keras.
Dadaka dan Kigali tampak sama gelengkan kepala.
"Kami berdua telah ambil risiko dengan berani lakukan
apa yang kau ucapkan! Bagi kami itu adalah taruhan
nyawa! Kalau kami merasa tidak mampu, apa mungkin
kami berani lakukan ini?!" kata Dadaka.
“Benar'" sahut Kigali. "Apalagi kini mulai tercium
bahwa terbunuhnya tokoh-tokoh rimba persilatan ada
kaitannya dengan penghuni Kampung Setan ini! Dan
tersiar pula kalau Maladewa adalah salah seorang yang
tersisa dari penghuni Kampung Setan! Maka dari itu
kami harus selalu waspada agar tidak sampai diketa-
hui kalau kami berdua adalah orang-orang suruhan
mu!"
Sesaat Maladewa tampak terdiam. Diam-diam laki-
laki ini membatin dalam hati. "Jika benar bahwa apa
yang kulakukan telah tercium beberapa orang, maka
kedua orang ini pun harus segera mampus! Jika tidak,
aku khawatir keduanya akan berkhianat dengan se-
barkan berita! Jika itu terjadi, Kampung Setan akan
menjadi bulan-bulanan kalangan rimba persilatan se-
perti yang pernah terjadi pada beberapa puluh tahun
silam! Dan itu berarti kebangkitan Kampung Setan ti-
dak akan terwujud! Kembang Darah Setan memang te-
lah ku genggam. Dan dengan Kembang Darah Setan di
tanganku, rasanya tidak sulit menghadapi manusia-
manusia yang hendak menghalangi bangkitnya pengu-
asa Kampung Setan, tapi aku tidak menginginkan hal
itu terjadi saat ini! Setidaknya sebelum tua bangka itu
dan Galaga tewas!"
Berpikir begitu, pada akhirnya Maladewa berkata.
"Dadaka, Kigali! Sesuai dengan kesepakatan, sebenar-
nya kalian saat ini harus sudah membawa dua orang
yang kuinginkan. Aku masih berbaik hati pada kalian!
Tapi aku tak mau kalau kalian tidak bisa memberi ba-
tasan waktu padaku untuk membawa dua orang itu!"
"Maksudmu?!" tanya Dadaka seraya lempar kerlin-
gan pada Kigali.
"Kalian kuberi waktu sampai delapan hari di muka!
Jika sampai hari itu kali in tidak juga berhasil, kalian
tahu bukan apa yang harus kalian lakukan?!"
"Maladewa! Rasanya waktu yang kau berikan terla-
lu sempit jika harus membawa dua orang itu! Dengan
tersebarnya berita di kalangan dunia persilatan ten-
tang siapa sebenarnya Galaga, pasti Galaga akan coba
sembunyi sejauh mungkin!" ucap Kigali.
"Persetan sembunyi sejauh mana jahanam itu!
Yang jelas kalian berdua telah menerima imbalan da-
lam laksanakan hal ini! Dan seharusnya kalian ber-
syukur aku telah memperpanjang dari waktu yang ka-
lian janjikan!" Maladewa pandangi satu persatu orang
di hadapannya dengan tatapan angker. Lalu teruskan
ucapan. "Delapan hari di muka itulah waktu untuk
kailan berdua! Dan kalian ingat, delapan hari adalah
sisa umur kailan berdua kalau kalian tidak berhasil
membawa dua orang yang kuinginkan!"
Kigali melangkah mendekat pada Dadaka lalu ber-
bisik. "Perkiraan kita meleset! Berarti kita harus laksa-
nakan rencana sekarang juga! Jika tidak, nyawa kita
pasti melayang terlebih dahulu! Kita tidak mungkin
menemukan dua orang yang diinginkannya dalam
waktu delapan hari!"
Dadaka anggukkan kepala. Lalu melangkah men-
dekat ke arah Maladewa dengan bibir sunggingkan se-
nyum. "Maladewa! Kami telah berani lakukan keingi-
nanmu yang berarti kami juga telah siap serahkan
nyawa! Maka dari itu, dalam waktu delapan hari ini
kami akan mencari dua orang itu! Jika tidak berhasil,
kami dengan suka rela akan serahkan nyawa masing-
masing padamu!"
Habis berkata begitu, tanpa diduga sama sekali
oleh Maladewa, kedua tangan Dadaka bergerak lepas
satu pukulan ke arah Maladewa yang berdiri hanya
dua langkah di hadapannya.
Maladewa tersentak. Dia masih coba mengelak se-
lamatkan diri dengan tarik kepalanya. Namun tak
urung dadanya terhantam tangan kanan Dadaka.
Bukkk!
Sosok Maladewa terjajar dua langkah. Belum sem-
pat orang ini membuka gerakan, Kigali telah berkelebat
dan hantamkan tangan kiri kanan.
"Jahanam!" maki Maladewa. Kedua tangannya di-
angkat menghadang pukulan yang datang. Namun
bersamaan dengan itu Dadaka sudah merangsek maju
sambil kirimkan satu tendangan.
Bukk! Bukkk!
Desss!
Maladewa masih sanggup menghadang kedua tan-
gan Kigali. Namun tendangan yang dilepas Dadaka tak
bisa dielakkan, hingga tanpa ampun lagi sosoknya ter-
jengkang di atas hamparan batu.
"Jangan beri kesempatan tangannya mengambil
Kembang Darah Setan!" bisik Kigali.
Belum sampai ucapan Kigali selesai, Dadaka sudah
sentakkan kedua tangannya ke depan. Dua gelombang
dahsyat saat itu juga menggebrak deras ke arah Mala-
dewa. Kigali tidak tinggal diam. Kedua tangannya se-
rentak juga lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga da-
lam tinggi ke arah Maladewa.
Maladewa sejenak hendak selinapkan tangan ka-
nannya ke balik pakaiannya di mana tersimpan Kem-
bang Darah Setan. Namun gelombang yang mengge-
brak sudah berada setengah depa di depannya. Hingga
mau tak mau Maladewa harus segera urungkan niat-
nya untuk mengambil Kembang Darah Setan. Sebalik-
nya dia segera menghadang gelombang yang datang
dengan sentakkan kedua tangannya.
Blammm! Blammm!
Terdengar ledakan keras. Sosok Maladewa yang
terhantam di batu mencelat jauh ke belakang. Semen-
tara sosok Dadaka dan Kigali hanya terhuyung-huyung
sejenak. Namun kedua orang ini rupanya tidak mau
memberi kesempatan pada Maladewa. Begitu sosok
Maladewa mencelat, keduanya cepat lipat gandakan
tenaga dalam lalu hampir berbarengan keduanya ber
kelebat mengejar sosok Maladewa. Kedua orang ini
sengaja berpencar. Datang menyongsong Maladewa da-
ri sebelah kanan dan kiri.
Maladewa tampak gertakkan rahang. Dia segera
bangkit dengan tangan sudah menyelinap ke balik pa-
kaiannya. Namun belum sampai tangannya mengelua-
rkan Kembang Darah Setan, sosok Dadaka dan Kigali
telah tegak di sebelah kanan kirinya!
Seolah tidak mau didahului tangan kanan Malade-
wa yang hendak keluarkan Kembang Darah Setan, Da-
daka dan Kigali langsung lepaskan tendangan kaki
masing-masing.
Maladewa sesaat bimbang. Kalau dia teruskan niat
ambil Kembang Darah Setan, maka tak ampun lagi
tendangan orang akan menghantam tubuhnya. Di satu
sisi, kalau dia urungkan niat ambil Kembang Darah
Setan, mungkin masih dapat menghadang datangnya
tendangan.
Karena berpikir bahwa masih dapat membendung
tendangan orang dan dengan demikian masih punya
kesempatan mengambil Kembang Darah Setan, pada
akhirnya Maladewa urungkan niat ambil Kembang Da-
rah Setan. Sebaliknya segera sentakkan tangan kanan
kirinya ke samping kanan dan kiri menghadang ten-
dangan orang.
Bukkk! Bukkk!
Perhitungan Maladewa tidak meleset. Kedua ten-
dangan yang datang dari samping kanan kiri berhasil
dihadang meski sosoknya harus terseret ke belakang
dengan kedua tangan mental balik. Namun perhitun-
gan Maladewa tidak seluruhnya benar. Karena bersa-
maan dengan mentalnya kaki Dadaka dan Kigali ter-
hadang kedua tangan Maladewa, Dadaka dan Kigali
serta-merta sentakkan tangan masing-masing lepas
pukulan!
Maladewa terkesiap. Kalau datangnya pukulan dari
satu arah mungkin masih bisa dihadang. Namun da-
tangnya pukulan kali ini justru dari dua jurusan. Ini
membuat Maladewa sedikit kebingungan. Menghadang
keduanya pasti akan membuat dirinya cedera parah,
menghadang salah satunya, pasti pukulan satunya
dengan telak akan menghantam tanpa bisa dielakkan
lagi!
Pada puncak kebingungannya, akhirnya Maladewa
mengambil keputusan menghadang kedua pukulan
dengan sentakkan kedua tangannya ke samping kanan
kiri.
Blaar! Blarr!
Terdengar dentuman hebat tatkala pukulan Dada-
ka dan Kigali bertemu dengan pukulan Maladewa. Ka-
rena harus mengimbangi dua pukulan, maka begitu
terdengar ledakan, sosok Maladewa mencelat sebelum
akhirnya terkapar dengan menghantam gundukan ba-
tu makam di tengah tempat terbuka itu. Darah tampak
mengucur deras dari mulutnya yang megap-megap.
Sementara sosok Dadaka dan Kigali sama jatuh
terduduk. Karena masih khawatir Maladewa hendak
keluarkan Kembang Darah Setan, kedua orang ini ce-
pat beranjak bangkit. Kigali memberi isyarat. Lalu ber-
kelebat ke arah altar batu tidak jauh dari makam itu.
Di lain pihak, Dadaka cepat hantamkan kedua tan-
gannya. Hingga saat itu juga dua gelombang dahsyat
menghampar deras ke arah Maladewa yang coba bang-
kis. Tangan kanan Maladewa ternyata telah berhasil
keluarkan Kembang Darah Setan, hingga sambil berge-
rak bangkit, tangan kanannya diangkat. Lalu disen-
takkan begitu telinganya mendengar deruan gelom-
bang datang ke arahnya.
Wuuutt!
Tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih ber-
kiblat.
Gelombang yang keluar dari kedua tangan Dadaka
serta-merta ambyar di tengah jalan. Malah saat itu ju-
ga sosok Dadaka mencelat dan jatuh terjengkang.
Namun bersamaan dengan bergeraknya tangan ka-
nan Maladewa, Kigali yang berada di atas batu altar je-
jakkan kakinya pada bagian tengah batu altar. Bersa-
maan itu, kedua tangannya bergerak lepaskan satu
pukulan jarak jauh.
Terjadi satu keanehan. Begitu kaki Kigali menjejak
bagian tengah batu altar, tiba-tiba makam batu di be-
lakang Maladewa bergerak-gerak. Saat lain makam ba-
tu itu secara aneh membuka! Hingga tepat di belakang
Maladewa tampak lobang menganga besar!
"Keparat! Dia tahu rahasia makam batu ini!" desis
Maladewa dengan mata melirik pada Kigali. Maladewa
hendak sentakkan Kembang Darah Setan kembali.
Namun karana baru saja menghadang pukulan Dada-
ka, maka gerakannya sudah sangat terlambat. Hingga
belum sampai tangannya bergerak, gelombang yang
datang dari pukulan Kigali telah melabrak!
Sesaat sosok Maladewa tampak bergoyang-goyang.
Namun saat lain sosoknya mental ke belakang. Karena
di belakangnya adalah lobang makam yang telah ter-
buka, maka tak ampun lagi sosok Maladewa terjeram-
bab masuk ke dalam lobang makam!
Dalam keadaan seperti itu, dengan luar biasa Ma-
ladewa masih mampu bertahan. Hingga meski sosok-
nya terbanting menghantam dinding lobang sebelah
dalam, tangan kanannya yang memegang Kembang
Darah Setan masih mampu menggapai ke bagian
samping atas lobang.
Kesempatan ini tak disia-siakan Dadaka yang telah
berhasil kuasai diri serta sudah tegak kerahkan tenaga
dalam. Hingga begitu melihat tangan kanan Maladewa
berusaha menggapai bagian atas lobang, Dadaka cepat
berkelebat.
Kigali tidak tinggal diam. Dia cepat pula membuat
gerakan. Sosoknya serta-merta melesat ke arah ma-
kam batu yang telah terbuka.
Hampir bersamaan, tangan Dadaka dan Kigali
tampak berkelebat menyambar Kembang Darah Setan
yang berada di tangan kanan Maladewa yang berusaha
mencari pegangan.
Wuutt! Wuuutt!
Maladewa rupanya masih merasa apa yang hendak
dilakukan kedua orang di luar makam batu. Hingga
dengan gerakan kilat, dia segera tarik tangan kanan-
nya ke bawah. Hal ini membuat sambaran tangan Da-
daka dan Kigali hanya menyambar udara kosong, na-
mun tindakan Maladewa ini berakibat amblas masuk-
nya sosok Maladewa ke dalam makam batu!
"Terlambat!" desis Dadaka seraya cepat tarik pu-
lang tangan dan tubuhnya. Di sebelahnya, Kigali cepat
pula membuat gerakan tarik pulang tangan dan tu-
buhnya karena bersamaan masuknya sosok Maladewa,
secara aneh makam batu yang terbuka menutup kem-
bali.
Blammm!
Terdengar debuman dahsyat saat lobang makam
tertutup kembali. Satu sambaran angin luar biasa ke-
ras menghampar. Hingga tubuh Dadaka dan Kigali
mental beberapa tombak ke belakang dan jatuh berlu-
tut.
Dari mulut Dadaka dan Kigali tampak bercakan
darah. Tubuh masing-masing orang tampak bergetar
keras. Wajah keduanya pias. Jelas kalau kedua orang
ini telah terluka bagian dalam. Selain akibat bentrok
pukulan dengan Maladewa, juga karena sambaran an-
gin dahsyat yang mencuat dari menutupnya lobang
makam batu.
Beberapa saat berlalu. Perlahan-lahan Dadaka
yang sejenak tadi coba himpun tenaga dalam berpaling
pada Kigali. Terlihat Kigali juga masih coba kuasai diri
namun telah buka kelopak matanya.
"Kigali!" kata Dadaka dengan suara agak tersendat
dan bergetar. Tanda dia sepenuhnya dapat kuasai diri.
"Bagaimana sekarang?! Apa kita hancurkan makam
batu itu?!"
Kigali gelengkan kepala. "Percuma, Dadaka! Kalau-
pun kita berhasil membongkar makam itu, kita hanya
akan serahkan nyawa. Karena Kembang Darah Setan
masih berada di tangan Maladewa!"
"Hem.... Lalu apa yang harus kita lakukan seka-
rang?!"
"Menyingkir dari tempat ini!"
"Hem.... Hanya begitu saja?!"
"Apa boleh buat, Dadaka! Nyawa kita selamat saja
sudah untung! Dan aku yakin, Maladewa tidak akan
selamat!"
Dadaka menyeringai. "Aku akan bongkar makam
batu itu! Kita sudah mati-matian berusaha! Kalau pa-
da akhirnya hanya begini saja, usaha kita percuma!"
"Jangan bertindak gegabah, Dadaka! Kau tahu
sendiri. Makam batu itu bukan makam biasa! Samba-
ran menutupnya saja sudah bisa membuat kita terlu-
ka! Aku hanya memberi peringatan. Kalau kau hendak
lakukan silakan! Tapi aku tidak akan ikut-ikutan! Aku
harus segera tinggalkan tempat ini!"
Habis berkata begitu, Kigali bergerak bangkit. Dan
perlahan-lahan melangkah tinggalkan tempat itu.
Dadaka sejurus pandangi makam batu di depan
sana. Laki-laki ini bergerak bangkit. Ada kebimbangan
pada raut wajahnya. Dan entah karena percaya pada
ucapan Kigali, pada akhirnya perlahan-lahan Dadaka
putar diri lalu melangkah mengikuti Kigali.
*
* *
DELAPAN
BEBERAPA saat setelah Dadaka dan Kigali tinggal-
kan tempat yang dalam rimba persilatan dikenal den-
gan Kampung Setan, satu sosok putih tiba-tiba berke-
lebat dan tegak hanya dua langkah dari makam batu
di mana Maladewa baru saja amblas masuk.
Sosok putih ini ternyata adalah seorang perempuan
berusia amat lanjut mengenakan pakaian putih. Selu-
ruh wajahnya telah mengeriput. Rambutnya putih dan
jarang.
Sesaat nenek ini buka kelopak matanya tetapi ma-
kam batu di hadapannya. Namun bersamaan dengan
itu tiba-tiba terdengar suara membentak.
"Dadaka! Kigali! Kalian manusia-manusia jahanam
yang berani bertindak bodoh! Nyawa kalian berdua
akan kukejar dan ku cabut perlahan-lahan! Tapi hal
itu tak akan kalian alami asal kalian mau keluarkan
aku dari sini!"
Suara itu terdengar seperti dari tempat yang sangat
jauh dan dalam. Suara itu terdengar terbata-bata dan
bergetar.
Karena tak ada sahutan, sesaat kemudian terdengar lagi suara.
"Dadaka! Kigali! Kalian berdua adalah sahabat-
sahabatku! Kalau kalian inginkan Kembang Darah Se-
tan, benda ini akan kuberikan pada kalian! Lekas ke-
luarkan aku dari tempat celaka ini!"
"Maladewa! Percuma kau berteriak. Sahabat-
sahabatmu itu telah pergi dari sini!" Yang buka mulut
perdengarkan suara adalah si nenek yang berada di
sebelah makam batu. Suara nenek ini berat parau dan
seolah diperdengarkan dari setiap celah julangan-
julangan batu karang yang berjajar memagari makam
batu.
Sesaat tidak ada sahutan. Yang terdengar justru
suara dengusan keras. Namun tak lama kemudian,
terdengar suara dari dalam makam batu.
"Nek! Kaukah yang di luar?!"
"Betul, Maladewa!"
"Nek! Kuharap kau mau keluarkan aku dari tempat
jahanam ini!"
Si nenek gelengkan kepala seolah orang yang di-
ajak bicara berada di hadapannya serta dapat melihat
gerakan tubuhnya. "Menyesal sekali, Maladewa! Aku
tidak bisa berbuat banyak! Kau tahu sendiri.... Makam
ini baru terbuka jika julangan batu nomor satu, nomor
tiga, dan nomor tiga belas dihancurkan! Dan aku tak
bisa lakukan itu!"
"Tapi setidaknya kau bisa memberi udara pada-
ku...."
"Itu baru bisa jika julangan batu karang nomor sa-
tu dihancurkan! Dan aku sekali lagi tak bisa lakukan
itu!"
Jahanam! Lalu mengapa kau datang?!"
"Maladewa.... Sebenarnya aku hendak menyadar-
kan dirimu! Tapi melihat apa yang terjadi, kurasa kedatanganku akan percuma!"
"Nek.... Sekarang aku sadar! Aku telah berbuat ku-
rang ajar padamu! Kembang Darah Setan akan kube-
rikan padamu lagi! Tapi keluarkan aku dari tempat
ini!"
"Kau telah dengar ucapanku, Maladewa! Aku tidak
bisa melakukannya!"
"Nek! Apa susahnya kalau hanya menghancurkan
batu karang itu?!"
"Memang tidak susah.... Tapi seberapa tinggi ilmu
yang dimiliki orang, tidak mungkin bisa hancurkan ba-
tu karang itu!"
"Omong kosong! Mengapa kau memberi alasan
yang tak masuk akal?!"
"Terserah padamu untuk percaya apa tidak, Mala-
dewa! Yang jelas, julangan batu karang itu baru bisa
hancur pada tiga belas ribu tiga puluh tiga hari men-
datangi itu pun harus dilakukan pada malam ketiga
belas purnama ketiga!"
"Setan! Aku tidak percaya dengan semua itu!"
Si nenek tertawa. "Sudah kukatakan. Terserah pa-
damu untuk percaya atau tidak. Yang jelas aku tidak
bisa melakukan itu saat ini! Karena meski kulakukan,
aku merasa yakin tidak akan berhasil!"
Sesaat tidak lagi terdengar suara dari dalam ma-
kam batu. Tapi beberapa saat kemudian, Maladewa
sudah perdengarkan suara lagi. Kali ini suaranya san-
gat rendah, hingga kalau bukan orang yang memiliki
tingkat pendengaran yang tajam, tentu tidak akan
mendengarnya.
"Nek.... Carilah jalan lain.... Ku mohon padamu
agar kau keluarkan aku dari sini! Aku akan sabar me-
nunggu sampai datangnya saat upacara penyerahan!
Malah kalau kau masih kecewa dengan sikapku tempo
hari, aku rela seluruh warisan leluhur Kampung Setan
kau miliki!"
"Maladewa! Usiaku sudah lanjut. Warisan leluhur
ini sudah tidak ada artinya bagiku! Dan aku juga me-
nyesal tidak bisa menolongmu! Jadi kuharap kau ber-
sabar menerima kenyataan ini.... Kau telah berlaku
kurang waspada pada orang! Dan kau harus siap me-
nerima buahnya!"
"Nek! Dengan terkuburnya diriku, bukankah ke-
bangkitan Kampung Setan tidak akan terjadi?! Apa
kau tidak merasa kecewa?!"
Si nenek sesaat menarik napas panjang. Lalu ber-
kata. "Maladewa! Sebenarnya aku ikut menyesal. Tapi
apa boleh buat. Semuanya sudah terjadi.... Tentang
kebangkitan Kampung Setan, sebenarnya itu adalah
tugas yang harus kau lakukan! Tapi karena kau telah
terjerumus, kurasa kecewa setinggi langit pun tak ada
gunanya!"
"Nek.... Kau tega melihat cucumu mati terpendam
di tempat terkutuk ini?!"
"Ini bukan masalah tega atau tidak, Maladewa!
Seandainya aku bisa, aku akan menolongmu meski
aku tidak percaya benar dengan janji ucapanmu!"
"Nek...."
"Maladewa!" potong si nenek sebelum Maladewa te-
ruskan ucapannya. "Percuma kau terus memohon!
Yang kuharap sekarang, bersabarlah! Percayalah bah-
wa kau akan bertahan sampai ada orang yang kelak
menolongmu dari sini! Karena tempat itu dibuat khu-
sus. Orang tak mungkin mati begitu saja meski ter-
pendam di dalamnya berpuluh-puluh tahun! Malah ka-
lau kau bisa memanfaatkan keadaan, kelak kau akan
jadi manusia disegani begitu bisa keluar!"
"Nek! Tiga belas ribu hari bukan waktu pendek! Kalaupun aku bisa bertahan hidup, siapa kelak yang
akan mengeluarkan aku?! Kau mungkin sudah tidak
ada!"
"Kau tidak boleh kecil hati, Maladewa! Ingat, kau
adalah generasi dari Kampung Setan!. Kalau nasibmu
baik, pasti ada seseorang yang kelak menolongmu!"
"Nek...! Rasanya aku tidak bisa tahan hidup di
tempat ini! Kuharap kau bisa lakukan sesuatu untuk-
ku!"
Tidak ada sahutan. Maladewa kembali perdengar-
kan suara. "Nek! Kau masih berada di luar bukan?!"
Meski sebenarnya si nenek masih tegak di samping
makam batu, namun nenek ini tidak buka suara me-
nyahut. Malah begitu Maladewa ajukan tanya, perla-
han-lahan si nenek melangkah mundur.
"Nek! Kau masih berada di luar?!" Maladewa berte-
riak keras.
Si nenek tetap tidak menyahut. Dia terus melang-
kah mundur. Sejarak kira-kira lima tombak, si nenek
balikkan tubuh, lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
Mendapati suaranya tidak ada yang menyahut, Ma-
ladewa berteriak keras-keras. Namun setelah agak la-
ma dan tidak ada suara yang menyahut, akhirnya Ma-
ladewa hentikan teriakannya sambil memaki panjang
pendek.
Hanya sesaat setelah si nenek berkelebat pergi dan
Maladewa hentikan teriakannya, dari balik salah satu
lamping julangan batu karang, tampak keluar satu ke-
pala! Kepala ini bergerak mengikuti arah berkelebatnya
si nenek.
Begitu sosok si nenek tidak kelihatan lagi, kepala
ini bergerak menghadap makam batu. Ternyata kepala
ini milik seorang laki-laki. Usianya masih muda. Ram-
butnya panjang hitam dan lebat. Sepasang matanya
tajam. Pada kedua cuping hidungnya tampak meling-
kar anting-anting dari benang berwarna merah.
"Hem.... Apa ucapan nenek tadi bisa dipercaya?!
Tiga belas ribu hari.... Hem.... Waktu yang terlalu
lama untuk menunggui. Rasanya percuma kalau me-
nunggu sampai saat itu dating! Aku jadi tidak bermi-
nat lagi dengan Kembang Darah Setan yang selama ini
banyak dibicarakan orang! Tapi hal ini akan kubicara-
kan dengan adikku Kiai Laras. Siapa tahu dia sabar
menanti...."
Habis bergumam begitu, laki-laki ini perlahan-
lahan keluar dari lamping julangan batu karang. Kepa-
lanya berputar menyiasati keadaan.
"Kiai Laras pasti akan sabar menunggu saat itu!
Dan jika dia nanti memang berhasil, saat itulah aku
baru bertindak! Ha.... Ha.... Ha...! Aku tidak mau ber-
laku ceroboh. Kalau orang bernama Maladewa itu ber-
tahan hidup, pasti akan menjelma sebagai manusia
sakti.... Aku tak mau ambil risiko! Biar Kiai Laras yang
lakukan semua ini! Aku nanti tinggal menangguk ha-
silnya...."
Laki-laki yang kedua cuping hidungnya dihias den-
gan anting-anting dari benang warna merah ini sekali
lagi arahkan pandang matanya pada makam batu.
Saat lain dia balikkan tubuh lalu berkelebat pergi
mengambil arah berlawanan dengan si nenek.
*
* *
SEMBILAN
KITA kembali pada Datuk Wahing dan Pendekar
131. Berlari kira-kira seratus tombak, Datuk Wahing
berhenti. Lalu enak saja kakek ini duduk menjeplok di
atas tanah dengan punggung bersandar pada batangan
pohon randu yang baru tumbuh dan banyak berteba-
ran di tempat itu.
Pendekar 131 Joko Sableng ikut-ikutan duduk ber-
sandar tidak jauh dari tempat Datuk Wahing. Dan seo-
lah tidak sabar, begitu duduk bersandar, Joko segera
buka mulut.
"Kek! Harap kau segera memberi keterangan pada-
ku tentang Kembang Darah Setan dan hubunganmu
dengan makhluk yang sebutkan diri sebagai Setan
Liang Makam itu!"
"Bruss! Bruss! Sabar, Anak Muda! Beri kesempatan
padaku untuk menarik napas! Aku sudah tua. Berlari
jauh membutuhkan tenaga yang tidak sedikit buat
manusia tua macam aku ini!" ujar Datuk Wahing
meski wajah kakek ini sama sekali tidak membayang-
kan kelelahan. Justru murid Pendeta sinting yang se-
kujur tubuhnya telah basah oleh keringat dan dadanya
bergerak turun naik dengan keras.
Datuk Wahing memandang berkeliling. Lalu tak
lama kemudian dia mulai perdengarkan suara.
"Anak muda! Kuharap kau nanti tidak memotong
keteranganku...."
Murid Pendeta Sinting tidak memberi sahutan. Dia
hanya memandang seraya angkat bahu. Datuk Wahing
melirik. Setelah bersih dua kali. Kakek ini mulai men-
ceritakan kejadian tiga puluhan tahun silam di Kam-
pung Setan yang telah dituturkan sebelum ini.
Habis bercerita panjang lebar, Datuk Wahing ber-
sin beberapa kali dan diam untuk beberapa lama. Pada
akhirnya Datuk Wahing berpaling pada murid Pendeta
Sinting sambil berkata. "Anak muda! Hanya sekelumit
itulah yang kuketahui tentang Kampung Setan serta
Kembang Darah Setan!"
"Kek! Mendengar penuturan mu serta menghu-
bungkannya dengan apa yang saat ini tengah terjadi,
apa tidak salah dugaanku jika Setan Liang Makam itu
adalah Maladewa?!"
'Bruss! Brusss! Kau boleh saja menduga, Anak
Muda! Tapi aku tidak berani memberikan kepastian
salah benarnya dugaanmu! Kau tentu bisa menentu-
kannya sendiri...."
"Kek! Menurut yang pernah kudengar, kau berada
di balik pembunuhan beberapa tokoh rimba persilatan
saat itu! Berarti kalau dihubungkan dengan keteran-
ganmu, kau adalah salah satu orang yang disuruh Ma-
ladewa untuk mencari jejak Galaga dan neneknya. Apa
hal itu benar?!" tanya Pendekar 131 tatkala teringat
akan keterangan Kiai Laras pada pertemuannya bebe-
rapa saat lalu.
Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting yang te-
rus terang menuduh, bukan membuat Datuk Wahing
menjadi berang. Sebaliknya kakek ini tertawa panjang
lalu berkata. "Aku tidak membela pada diri sendiri,
Anak Muda! Dan kau jangan heran. Dunia yang kita
hadapi adalah dunia persilatan. Fitnah dan saling ha-
sut bukan barang baru lagi! Jadi terserah padamu ba-
gaimana penilaianmu padaku...."
Murid Pendeta Sinting sesaat terdiam mendengar
jawaban Datuk Wahing. Tak lama kemudian dia berka-
ta lagi. "Kek! Apa selama ini antara kau dan Kiai Laras
punya silang sengketa...?!"
"Bruss! Bruss! Sekali lagi, aku tidak membela diri
apalagi membuat aku baik di matamu. Tapi adalah
mengherankan kalau sampai aku membuat permusu-
han apalagi silang sengketa dengan orang lain...."
Murid Pendeta Sinting pandangi orang di hadapan-
nya dengan seksama. Kini kembali dia teringat akan
peristiwa yang tengah dialaminya. Hingga tak lama
kemudian dia angkat bicara.
"Kek! Sekarang katakanlah aku tak ambil peduli
siapa sebenarnya manusia yang sebutkan diri Setan
Liang Makam itu. Yang ku herankan, mengapa dia
meminta Kembang Darah Setan padaku!"
"Bruss! Bruss! Anak muda! Kau tak akan merasa
heran jika simak ucapanku tadi! Bukankah sudah ku-
bilang. Fitnah dan saling hasut bukan barang baru lagi
dalam rimba persilatan! Dan kalau kau merasa difit-
nah, inilah saatnya kau menyelidik!"
"Kek! Menurutmu bagaimana dengan nenek yang
sebutkan diri Dayang Sepuh?!"
"Bruss! Bruss! Kau akan tambah heran kalau min-
ta pertimbangan padaku, Anak Muda! Karena di hada-
panku, semua orang adalah baik!"
"Hem.... Jika demikian, aku sependapat denganmu
seperti yang kau ucapkan beberapa hari lalu. Bahwa
ada orang yang melakonkan diriku!"
'Jangan membuat kepastian. Anak Muda! Itu akan
menimbulkan hal-hal yang lebih mengherankan! Jalan
terbaik bagimu adalah menyelidiki"
Habis berkata begitu, Datuk Warung bergerak
bangkit. Murid Pendeta Sinting ikut beranjak berdiri.
Sebelum Joko angkat bicara, Datuk Wahing telah
mendahului.
"Anak muda! Kiranya tidak ada lagi yang perlu kita
bicarakan...." Datuk Wahing putar diri. Kakinya hen-
dak bergerak melangkah. Tapi tiba-tiba kakek ini
urungkan gerakan kakinya. Sebaliknya angkat bicara.
"Anak muda.... Waktu kau muncul tadi, aku heran
melihat tampangmu. Apa memang kau tidak menemukan gadis cantik itu?!"
Joko menghela napas sebelum akhirnya berkata.
"Benar, Kek! Aku kehilangan gadis itu! Padahal masih
banyak yang hendak kutanyakan padanya!"
"Bruss! Bruss! Anak muda. Kalau mau ikut saran
ku, jangan kau banyak bertanya untuk menghadapi
urusan ini! Semakin banyak tanya, kau akan makin
heran! Dan itu akan membuatmu salah langkah!"
Pendekar 131 hendak angkat bicara. Namun di-
urungkan tatkala melihat si kakek telah berkelebat
dan tahu-tahu sosoknya telah berada jauh di depan
sana.
"Orang tua aneh.... Dari penuturan keterangannya,
dia kurasa masih sembunyikan sesuatu padaku!
Sayang aku tak dapat menebak apa yang disembunyi-
kan itu.... Hanya saja kalau benar Setan Liang Makam
adalah Maladewa, aku bisa menduga kalau dia sebe-
narnya adalah murid si nenek itu! Hem.... Tapi kalau
Setan Liang Makam bukan si Maladewa...?!" Murid
Pendeta Sinting tidak bisa jawab pertanyaannya sendi-
ri. Dia mendongak. "Aku memang harus segera menye-
lidik! Aku juga harus segera menemukan jejak Eyang
Guru! Urusan ini rupanya tidak hanya terhenti sampai
pada diriku semata. Karena Setan Liang Makam telah
coba mencari Eyang Guru...."
Murid Pendeta Sinting perlahan-lahan melangkah
tinggalkan tempat itu. Namun baru saja kakinya ber-
gerak lima tindak, dia dikejutkan dengan terdengarnya
suara orang batuk-batuk beberapa kali.
Laksana disentak tangan setan, kepala Joko cepat
berpaling. Memandang ke arah depan, sepasang mata
Joko sempat membeliak besar. Enam tombak dari
tempatnya berdiri terlihat satu sosok tubuh tegak den-
gan kedua tangan merangkap di depan dada. Orang ini
tidak hadapkan wajahnya ke arah murid Pendeta Sint-
ing meski jelas dari isyarat batuknya menandakan agar
orang menghadap dan memandang ke arahnya.
*
* *
SEPULUH
ORANG yang tegak dengan kedua tangan merang-
kap di muka dada adalah seorang perempuan. Ram-
butnya sangat tipis bahkan hampir bisa dikatakan
plontos. Nenek ini mengenakan pakaian putih. Meski
Joko tidak bisa dengan jelas melihat raut wajahnya,
karena orang ini tetap hadapkan wajah ke jurusan
lain, namun murid Pendeta Sinting sedikit banyak bisa
menduga kalau wajah nenek ini telah mengeriput. Ka-
rena kedua tangannya yang merangkap di depan dada
tampak ringkih. Hanya Pendekar 131 sedikit merasa
heran. Suara batukan tadi yang jelas diperdengarkan
oleh si nenek sangat berat dan menggetarkan! Satu
tanda siapa pun orang yang perdengarkan, tentu me-
miliki tenaga dalam luar biasa.
Belum sampai murid Pendeta Sinting dapat men-
duga siapa gerangan adanya si nenek, orang ini telah
angkat bicara.
"Manusia Muda! Benarkah kau pemuda yang ber-
gelar Pendekar Pedang Tumpul 131?!"
Joko terkesiap. Bukan hanya karena pertanyaan
orang, namun suara yang diperdengarkan si perem-
puan amat berat! Dan seolah-olah diperdengarkan dari
segala jurusan!
"Dari pertanyaannya, mungkin ini masih ada hu-
bungannya dengan urusan yang tengah kuhadapi!
Hem.... Inilah saatnya aku mulai menyelidiki" Joko
membatin dalam hati. Lalu setelah kuasa diri murid
Pendeta Sinting buka suara.
"Bukan satu kali ini orang salah menduga padaku!
Kalau aku boleh tanya, apakah wajahku memang sama
dengan orang yang baru kau tanyakan?!"
Jawaban Joko membuat orang di seberang depan
mau tak mau harus gerakkan kepala menghadap mu-
rid Pendeta Sinting. Dan ternyata dugaan Joko tidak
meleset. Paras wajah si perempuan ternyata memang
telah dihias dengan keributan. Masih ditambah dengan
sepasang matanya yang menjorok masuk ke dalam
rongga yang sangat dalam. Hingga raut wajah nenek
ini menakutkan! Dilingkari kepalanya yang hampir ti-
dak ditumbuhi rambut membuat sosok si nenek bukan
hanya menakutkan namun juga angker!
Mungkin untuk memperjelas pandang matanya,
begitu kepalanya bergerak menghadap ke arah Joko, si
nenek membuat gerakan satu kali. Sosoknya tiba-tiba
melesat dan tegak enam langkah di depan murid Pen-
deta Sinting yang tergagu diam.
Begitu injakkan sepasang kakinya di depan Joko,
sepasang mata si nenek cepat perhatikan sosok pemu-
da di hadapannya dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Meski agak ngeri dengan pandangan mata si ne-
nek, Joko tersenyum-senyum dengan mata melirik
memperhatikan keadaan si nenek. Hingga untuk bebe-
rapa saat kedua orang ini saling memperhatikan satu
sama lain. Bedanya kalau si nenek memandang den-
gan sepasang mata melotot angker, Joko mengawasi
dengan mata melirik.
"Bagaimana, Nek?!" tanya Joko setelah agak lama.
"Apa tampangku memang mirip dengan orang yang
kau tanyakan tadi?!"
Yang ditanya tidak menyahut. Kalaupun tak lama
kemudian buka suara, bukannya menjawab perta-
nyaan orang, melainkan balik ajukan tanya.
"Manusia Muda! Kau murid Pendeta Sinting, bu-
kan?"
"Hem.... Nek! Bukan kau saja yang menduga demi-
kian padaku! Kalau kau bisa memberi jawaban atas
pertanyaanku yang pertama tadi, tentu kau pun akan
mendapat jawaban pasti dari pertanyaanmu yang ke-
dua...! Agar kau tidak lupa. Ku ulangi pertanyaanku
yang pertama tadi. Apakah tampangku mirip Pendekar
Pedang Tumpul 131?!"
"Manusia Muda! Aku tak tahu apa wajahmu mirip
atau tidak! Yang jelas dari ciri-cirinya aku hampir ya-
kin kau adalah Pendekar 131!"
Murid Pendeta Sinting tersenyum dengan gelengan
kepala. "Nek... Jangan lupa. Ciri orang bisa sama, tapi
beda manusianya! Dan kadang-kadang, ciri orang ber-
beda, tapi sama manusianya!"
Ucapan Joko rupanya membuat si nenek agak
jengkel. Hingga begitu Joko selesai berucap, si nenek
telah menyambut dengan suara keras.
"Persetan dengan ucapanmu yang terbalik-balik
itu! Yang pasti aku yakin kau adalah Pendekar 131!"
"Baiklah kalau demikian dugaanmu. Kalau sean-
dainya aku Pendekar 131, ada sesuatu yang hendak
kau utarakan?!" tanya Joko.
"Hanya ada satu pertanyaan, Manusia Muda! Ja-
wablah dengan jujur dan jangan banyak berprasangka!
Apakah benar kau yang berhasil mendapatkan Kem-
bang Darah Setan?!"
Joko tertawa panjang sebelum akhirnya angkat suara. "Seandainya pun aku Pendekar 131, maka aku
akan menjawab bahwa tidak benar kalau Kembang
Darah Setan berhasil kudapatkan! Jangankan menda-
patkan, melihat pun belum pernah!"
"Kau tidak berdusta?!"
"Kalau berdusta tidak ada untungnya, mengapa
harus kulakukan?!"
"Baik! Aku pegang ucapanmu. Tapi ingat, Manusia
Muda! Kelak jika kau berkata dusta, saat itulah ajalmu
sampai!"
Habis berkata begitu, si nenek balikkan tubuh. Ta-
pi Joko cepat berkelebat dan tegak menghadang,
"Nek! Aku telah jawab pertanyaanmu. Sekarang
aku juga ingin kau jawab satu pertanyaanku! Harap
kau juga berkata jujur dan tidak menaruh prasangka!
Siapa kau sebenarnya?!"
Si nenek pentangkan matanya. Namun tampaknya
dia enggan jawab pertanyaan Joko karena sejauh ini
dia hanya memandang dengan mulut terkancing rapat.
"Nek! Kalau kau tidak mau jawab pertanyaanku,
maka kau tidak bisa pegang ucapanku tadi! Jadi sean-
dainya kelak ternyata ucapanku tadi dusta, kau tidak
bisa seenaknya saja menentukan saat tibanya ajal ku!"
"Hem.... Begitu?! Baik. Dengar, Manusia Muda!
Aku adalah Nyai Suri Agung!"
"Nek! Bukan itu yang ku maksud! Yang kutanya-
kan siapa kau sebenarnya! Bukan siapa namamu!"
Si nenek yang baru katakan namanya Nyai Suri
Agung tertawa pendek. Lalu berkata. "Siapa pun ma-
nusianya yang tanya begitu, maka dia tidak akan
mendapat jawaban apa-apa! Malah kalau memaksa, itu
adalah takdir buruk baginya! Kau dengar?!"
"Hem.... Berarti aku masih punya pertanyaan satu
lagi! Karana kau membatalkan pertanyaanku tadi! Dari
raut wajahmu, aku menduga kau masih ada hubun-
gannya dengan Setan Liang Makam. Harap kau mau
katakan apa hubunganmu dengan Setan Liang Ma-
kam!" kata Joko meski dalam hati dia berkata sendiri.
"Kau tadi merasa yakin kalau aku adalah Pendekar
131. Sekarang aku pun balas mengatakan kau mirip
dengan Setan Liang Makam!"
Sejenak Nyai Suri Agung mengernyit. Lalu berkata.
"Manusia Muda! Meski kau duga demikian, perlu kau
tahu! Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan manu-
sia yang namanya baru kau sebut! Marah aku belum
pernah bertemu dengannya!"
"Hem.... Kau berkata jujur?!"
Nyai Suri Agung melotot angker. "Kalau aku tidak
sedang menyelidik dan melibatkan dirimu, sudah ku-
gebuk mulutmu!" bentak si nenek lalu membuat satu
gerakan. Sosoknya tiba-tiba telah melesat dan di lain
saat telah lenyap jauh di depan sana!
"Satu lagi orang aneh yang muncul!" gumam murid
Pendeta Sinting. Entah merasa ragu masih ada orang
lagi, sebelum melangkah pergi, Pendekar 131 putar
pandangannya berkeliling. Dan merasa tidak ada orang
lagi, dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
*
* *
Pendekar 131 Joko Sableng celingukan sebentar.
Lalu arahkan pandangan matanya pada sebuah kedai
di depan sana. Setelah mendapat keterangan dari Da-
tuk Wahing dan menimbang-nimbang, akhirnya murid
Pendeta Sinting memutuskan untuk penyelidikan dari
kedai. Seperti diketahui, di kedai itulah Joko sempat
jumpa dengan seorang nenek yang sebutkan diri sebagai Dayang Sepuh. Dan menurut Dewi Seribu Bunga di
kedai ini pula si gadis berjumpa dengan Joko. Padahal
murid Pendeta Sinting merasa tidak pernah bertemu
dengan Dewi Seribu Bunga di kedai. Karena hai itulah
pada akhirnya murid Pendeta Sinting memutuskan
mulai penyelidikan dari kedai. Setelah lakukan perja-
lanan semalam dua hari, murid Pendeta Sinting sam-
pai di tempat tidak jauh dari kedai di mana beberapa
saat yang lalu dia bertemu dengan Dayang Sepuh.
Pendekar 131 sengaja menunggu sampai suasana
kedai agak sepi seraya memperhatikan dengan seksa-
ma beberapa orang yang keluar masuk kedai.
"Meski aku tidak bisa dengan jelas membedakan
raut wajahku dengan orang, tapi rasanya belum ada
orang yang mirip denganku.... Anehnya bagaimana
Dewi Seribu Bunga bisa mengatakan bertemu aku di
kedai itu?! Malah hendak memperkosanya...?! Sialan
betul! Menyentuh saja tidak, malah dituduh hendak
memperkosa! Hem.... Keterangan orang tua pemilik
kedai itu mungkin bisa membuka benar tidaknya uca-
pan Dewi Seribu Bunga!"
Setelah dilihat keadaan kedai agak sepi, perlahan-
lahan Pendekar 131 melangkah ke arah kedai. Dia se-
jenak hentikan langkah di pintu kedai dengan mata
memperhatikan ke dalam. Hanya ada beberapa orang.
Namun tak ada yang dikenal apalagi wajahnya mirip
dengannya.
Sementara itu melihat ada orang hendak masuk ke
dalam kedai, orang tua pemilik kedai yang wajahnya
dikenali murid Pendeta Sinting buru-buru melangkah
mendekat. Namun tiba-tiba orang tua ini hentikan
langkahnya. Sepasang matanya memandang tak ber-
kedip. Saat lain mulutnya telah membuka perdengar-
kan suara seraya tertawa.
"Aku.... Aku tidak lupa.... Kau pasti anak muda
yang beruntung itu...."
Yang disapa tidak menyahut. Dia hanya meman-
dang lalu sebelum si orang tua pemilik kedai memper-
silakan, Joko sudah melangkah. Bukan mencari tem-
pat duduk, melainkan mendekati si pemilik kedai dan
berbisik sambil pegangi lengan orang.
"Orang tua! Terima kasih kau tidak lupa padaku!
Aku datang tidak perlu untuk makan atau minum!
Aku...."
Si orang tua pemilik kedai sesaat tampak tersentak
kaget. Dia buru-buru berkata memotong ucapan Joko.
"Anak muda.... Silakan makan dan minum. Aku tidak
akan menarik bayaran...."
"Harap dengar ucapanku dulu. Orang Tua! Aku da-
tang tidak perlu makan atau minum! Aku butuh kete-
rangan darimu!"
Habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting mena-
rik pemilik kedai ke bangku di sebelah pojok.
Orang tua itu tampak gugup. Wajahnya berubah
tegang malah tubuhnya bergetar.
"Orang tua! Harap kau jujur memberi keterangan
padaku!" kata Joko begitu mereka berdua duduk di
bangku paling pojok.
Si pemilik kedai memandang takut-takut sambil
anggukkan kepala. Dari keningnya keringat sudah
mengalir deras.
Murid Pendeta Sinting tersenyum sambil gelengkan
kepala. "Orang tua! Tak usah takut.... Aku hanya min-
ta kau memberi keterangan apa adanya!"
Walau si orang tua anggukkan kepala, tapi jelas
sekali kalau wajahnya masih membayangkan rasa ke-
takutan. Bahkan untuk imbangi getaran tubuhnya,
orang tua ini sengaja berpegangan pada bangku di bawahnya.
"Orang tua.... Setelah kepergianku bersama nenek
berdandan menor tempo hari itu, apakah ada seorang
gadis cantik mengenakan pakaian warna merah mun-
cul di sini? Rambutnya dikuncir, kulitnya putih...!"
Si orang tua yang ditanya tidak segera menjawab.
Sebaliknya dia menatap pada orang yang bertanya
dengan dahi berkerut. Diam-diam dalam hati orang tua
ini berkata. "Aneh.... Bagaimana dia bertanya begitu?
Apa dia lupa? Atau anak ini bercanda? Atau jangan-
jangan dia punya penyakit pikun...."
Karena agak lama yang ditanya tidak memberi ja-
waban, Joko buka suara lagi.
"Orang tua! Aku telah bertanya. Harap kau menja-
wab! Dan jangan lupa, jawab dengan apa adanya!"
"Anak muda.... Setelah kepergianmu, memang ada
gadis yang cirinya seperti kau katakan itu...."
"Hem.... Lalu apakah ada pemuda yang muncul se-
telah itu?! "
Si pemilik kedai pandangi murid Pendeta Sinting
dengan tatapan heran. Namun buru-buru anggukkan
kepala saat dilihatnya Joko hendak buka mulut lagi
menegur karena yang ditanya belum juga memberi ja-
waban.
"Kau bisa terangkan ciri-ciri pemuda yang muncul
setelah kedatangan gadis berbaju merah itu?!"
Mendengar ucapan Joko, perlahan-lahan ketegan-
gan di wajah orang tua pemilik kedai sirna. Malah tak
lama kemudian, orang tua ini sudah tersenyum. Tapi
sejauh ini belum memberi jawaban. Orang tua ini ru-
panya menduga jika si pemuda sedang mengajaknya
bercanda. Karena dia tahu betul, pemuda yang muncul
setelah kedatangan si gadis baju merah adalah pemu-
da yang kini ada di hadapannya dan sedang bertanya!
"Orang tua! Aku bertanya. Mengapa kau terse-
nyum?!" tanya Joko.
"Anak muda.... Kau tidak sedang mengajakku ber-
canda, bukan?!"
"Orang tua! Dengar, aku tidak sedang bercanda!
Aku bertanya, bagaimana ciri-ciri pemuda yang mun-
cul setelah kedatangan gadis berbaju merah itu!"
Meski masih merasa heran dengan pertanyaan
orang, tapi pada akhirnya si orang tua menjawab juga.
"Anak muda.... Aku tak bisa menerangkan panjang le-
bar bagaimana ciri-ciri pemuda itu. Karena pemuda itu
adalah kau sendiri!"
Murid Pendeta Sinting tersentak. Sepasang ma-
tanya mendelik pandangi orang tua di hadapannya.
"Orang tua! Harap kau mengatakan dengan jujur!"
"Aneh.... Kau ini aneh, Anak Muda! Untuk apa aku
mendustai mu?! Kau telah berjasa menolongku mem-
bawa nenek itu dari sini! Lalu kau datang lagi tidak be-
rapa lama. Karena kita sudah sepakat tentang imba-
lan. Dan menurutku, saat itu kaulah anak manusia
yang punya rezeki besar. Selain mendapat imbalan,
kau juga pergi membawa gadis cantik itu...."
"Orang tua! Kau tidak salah melihat orang?!" tanya
murid Pendeta Sinting seolah ingin yakinkan ucapan
orang.
"Anak muda.... Usia kadangkala memang mengu-
rangi ketajaman penglihatan orang. Tapi dalam hal ini
aku tak mungkin salah lihat! Apalagi kau muncul tidak
berapa lama setelah kepergianmu membawa si nenek
yang berdandan mencolok itu!"
"Apa kau mendengar percakapan antara si gadis
dengan pemuda itu?!"
"Sayang sekali, Anak Muda. Aku tidak terbiasa
mencuri dengar perbincangan orang! Apalagi yang sedang bercakap-cakap adalah seorang gadis dan seo-
rang pemuda! itu hanya akan membuatku ingin kawin
lagi...." Si orang tua pemilik kedai sudah berani terta-
wa keras dan panjang.
Murid Pendeta Sinting terdiam beberapa lama. Dia
arahkan pandangan matanya ke halaman kedai den-
gan sesekali menarik napas panjang.
"Anak muda.... Wajahmu berubah! Boleh tahu apa
yang terjadi?!"
Murid Pendeta Sinting tidak menjawab pertanyaan
orang. Bahkan berpaling pun tidak.
Si pemilik kedai tersenyum. "Anak muda.... Aku
sudah pernah kawin tujuh kali. Kau tahu.... Jika aku
tertarik lagi dengan seorang perempuan, kadang-
kadang aku lupa pada diriku sendiri! Dan aku juga lu-
pa apa yang pernah kulakukan! Jatuh cinta memang
bisa membuat orang lupa segalanya!"
"Orang tua! Apa setelah itu pemuda yang bersama
gadis baju merah pernah muncul lagi di sini?!"
"Pernah...!"
"Kapan?! Dia datang bersama siapa?!" sahut Joko
dengan cepat.
"Dia datang sendirian! Munculnya waktu kau ber-
tanya ini!"
"Busyet!" maki Pendekar 131 dalam hati. Lalu tan-
pa berkata apa-apa lagi dia beranjak bangkit. Lalu me-
langkah tinggalkan ruangan kedai.
"Tunggu, Anak Muda!" tahan si pemilik kedai. "Aku
merasa ada yang tak beres dengan pertanyaan-
pertanyaanmu! Kau bisa menjelaskan?! Siapa tahu
aku bisa membantu! Kau telah pernah menolongku.
Tak ada salahnya kalau sekarang aku membantumu."
Joko hentikan langkah. Lalu balikkan tubuh
menghadap si orang tua. Sepasang matanya memandang tajam. "Orang tua! Kalau kau memang mau
membantu, tolong jawab sekali lagi pertanyaanku. Kau
benar-benar melihat bahwa aku yang datang saat
itu?!"
"Aku tak mungkin salah!"
Murid Pendeta Sinting sejurus masih menatap pa-
da si orang tua. Lalu balikkan tubuh dan teruskan
langkah meninggalkan kedai.
Si orang tua pemilik kedai pandangi sosok murid
Pendeta Sinting hingga lenyap di luar sana. Kepalanya
menggeleng. "Kasihan.... Jangan-jangan pemuda itu
akan hilang ingatan! Dia sudah tidak ingat lagi pada
apa yang pernah dilakukan. Pada dirinya sendiri!
Hem.... Nyatanya penyakit asmara lebih berbahaya da-
ri penyakit lainnya.... Mudah-mudahan aku tidak jatuh
cinta lagi...."
Tidak jauh dari kedai, pada tempat agak sepi, mu-
rid Pendeta Sinting hentikan langkah. "Berarti ucapan
Dewi Seribu Bunga benar! Dan ini berarti pula me-
mang ada manusia yang memerankan sebagai diriku!
Kalau Setan Liang Makam tiba-tiba meminta Kembang
Darah Setan padaku, berarti jelas jika manusia yang
memerankan sebagai diriku itulah yang telah menda-
patkan Kembang Darah Setan! Yang sekarang jadi per-
tanyaan, siapa dia?! Bagaimana mungkin rupanya ti-
dak beda dengan rupa ku?!"
Benak Pendekar 131 terus didera pertanyaan.
Hingga dia sampai tidak ingat berapa lama dia berada
di tempat itu. Dia baru sadar tatkala perlahan-lahan
suasana berubah temaram. Ketika dia memandang ke
jurusan barat, ternyata matahari sudah satu tombak
di atas bentangan kaki langit.
* * *
SEBELAS
SUDAH berapa lama Lasmini duduk di atas ham-
paran rumput itu sambil memikirkan apa yang baru
saja dialami. Dia sekarang dalam keadaan bimbang
tentang apa sebaiknya yang harus dilakukan. Dia tidak
berhasil menemukan Pendeta Sinting di Jurang Tlatah
Perak. Sementara mencari orang macam Pendeta Sint-
ing bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi kini dia telah
berjumpa dengan Setan Liang Makam dan Datuk Wah-
ing.
Walau belum benar-benar bentrok, tapi Lasmini
cukup maklum kalau kedua orang itu memiliki tingkat
ilmu yang lebih tinggi. Dan melihat kemunculan kedu-
anya di Jurang Tlatah Perak, jelas keduanya punya
urusan penting meski sejauh ini Lasmini tidak tahu
urusan sebenarnya. Dan hal itu sudah cukup bagi
Lasmini untuk tidak ingin terlibat lagi dengan ikut ser-
ta mencari Pendeta Sinting. Karena akan membuatnya
secara tidak langsung akan terlibat bentrok dengan Se-
tan Liang Makam dan Datuk Wahing.
"Sementara waktu lebih baik aku menemui Saras-
wati...." Akhirnya Lasmini memutuskan. Seperti dike-
tahui, Saraswati adalah anak perempuan Lasmini den-
gan Panjer Wengi. (Lebih jelasnya tentang hubungan
antara Lasmini dengan Saraswati dan Panjer Wengi, si-
lakan baca serial Joko Sableng dalam episode: "Misteri
Tengkorak Berdarah").
Belum sampai Lasmini bergerak bangkit, menda-
dak perempuan ini sadar kalau di tempat itu dia tidak
sendirian. Lasmini cepat palingkan kepala ke samping
kanan. Dugaannya tidak meleset. Matanya menangkap
satu sosok berkelebat ke jurusan timur.
Tanpa menunggu lama, Lasmini segera beranjak
bangkit lalu sekali membuat gerakan, sosoknya telah
melesat ke arah berkelebatnya sosok yang baru saja di-
tangkap pandangan mata Lasmini.
"Tunggu!" teriak Lasmini begitu sosok yang dikejar
telah terlihat di depan sana.
Orang di depan tidak pedulikan teriakan Lasmini.
Dia terus saja berkelebat. Lasmini jadi curiga. Seraya
mengejar perempuan ini berteriak.
"Kalau kau terus lari, jangan menyesal kalau kaki-
mu kupatahkan!"
Mendengar ancaman orang, orang di depan sana
tiba-tiba hentikan larinya. Orang ini membuat gerakan
berputar hingga sosoknya menghadap Lasmini yang
buru-buru hentikan larinya meski jaraknya dengan
orang yang dikejar kira-kira lima belas langkah.
Begitu orang di depan balikkan tubuh, Lasmini
tampak tersentak kaget. Kalau saja dia tidak segera
sadar, tentu dia akan segera menghambur ke depan.
Malah saat itu juga mulutnya sudah menyebut sebuah
nama. Untung Lasmini segera maklum dan cepat-cepat
katupkan mulutnya dengan mata dipentang besar-
besar.
Lasmini tidak tahu jelas siapa adanya orang itu.
Yang pasti dia adalah seorang laki-laki berusia agak
lanjut. Dan yang lebih pasti lagi, seandainya pada cup-
ing kedua hidung orang itu mengenakan anting-anting
dari benang warna merah, tentu saja Lasmini dengan
tepat dapat menebak siapa adanya si laki-laki.
Anehnya, orang di depan sana hanya putar seben-
tar tanpa buka suara. Dia seolah hanya ingin unjuk
tampang pada orang. Setelah itu dia putar tubuh lagi
dan enak saja melangkah teruskan jalan.
"Wajahnya persis dengan Kiai Lidah Wetan! Siapa
dia?! Sikapnya mencurigakan! Di sana tadi pasti dia
selalu memperhatikan tingkah ku. Dan tidak.... Dia
sengaja balikkan tubuh hanya untuk agar aku meli-
hatnya...."
Merasa penasaran, Lasmini akhirnya mengejar.
Orang di depan sana tampaknya sengaja melangkah
perlahan-tahan dan seakan-akan tidak merasa sedang
dikejar orang. Malah ketika Lasmini berkelebat dan ti-
ba-tiba telah tegak menghadang di hadapannya, laki-
laki ini tidak unjukkan sikap kaget. Bahkan bibirnya
sunggingkan senyum lalu berkata mendahului.
"Ada yang membuatmu heran, Sobat?!"
Lasmini kancingkan mulut dengan mata membe-
liak besar pandangi orang di hadapannya dengan sek-
sama. Dia kini percaya, kalau seandainya orang di ha-
dapannya mengenakan anting-anting dari benang pada
kedua cuping hidungnya, pasti dia tak bisa membeda-
kan mana yang Kiai Lidah Wetan sesungguhnya!
"Kiai Lidah Wetan tidak pernah cerita padaku ka-
lau punya saudara! Jadi mungkin ini satu kebetulan
aku bertemu dengan orang yang wajahnya mirip den-
gan Kiai Lidah Wetan...." Lasmini diam-diam membatin
dalam hati. 'Tapi mengapa dia tadi berada di...."
Belum sampai Lasmini teruskan kata hatinya,
orang di hadapannya telah buka suara lagi. "Sobat!
Apa yang membuatmu memandangku begitu rupa?!
Ada yang salah dengan diriku?!"
Tanpa sadar, Lasmini buka mulut menggumam.
"Wajahmu...."
Laki-laki di hadapan Lasmini tertawa. "Kenapa wa-
jahku?! Mengingatkan kau pada seseorang?! Atau wa-
jahku menakutkan?!"
"Kau kenal dengan seorang bernama Kiai Lidah
Wetan?!"
"Namanya saja baru kudengar sekarang...," jawab
orang yang ditanya.
Lasmini terdiam. Laki-laki di hadapannya melirik,
lalu angkat bicara.
"Harap kau tidak menaruh dugaan buruk padaku.
Aku tadi kebetulan lewat di sana. Kulihat kau sedang
tenggelam berpikir, hingga aku urungkan niat untuk
menyapa mu. Aku menunggu agak sama, tapi rupanya
kau sedang terlibat dalam urusan penting hingga tak
menghiraukan kehadiranku di sekitar tempat kau tadi
berada. Aku tadi sebenarnya hendak tanyakan sesuatu
padamu. Tapi takut mengagetkan mu dan mungkin
akan menambah keruwetan pikiranmu, aku putuskan
untuk pergi...."
Entah karena apa, tiba-tiba Lasmini ajukan tanya.
"Apa yang hendak kau tanyakan padaku?!"
Orang yang ditanya gelengkan kepala. "Aku tidak
mau menambah keruwetan pikiranmu! Sebaiknya aku
akan membantumu kalau kau bersedia mengatakan
apa yang kini jadi urusanmu...."
Karena memang sedang dilanda kebimbangan,
Lasmini segera saja utarakan apa yang kini sedang di-
alaminya. Dia buka mulut berkata.
"Beberapa saat yang lalu aku jumpa dengan seo-
rang laki-laki tua. Tangan kanannya memegang tong-
kat. Dia sering bersin-bersin. Kau tahu siapa adanya
orang itu?!"
"Ah.... Kau beruntung. Karena aku mengenali
orang yang baru saja kau katakan! Kalau tidak salah,
dia adalah seorang tokoh rimba persilatan yang dikenal
dengan julukan Datuk Wahing...!"
"Hem.... Berarti orang ini juga salah seorang tokoh.
Buktinya dia mengetahui siapa adanya orang tua yang
baru saja disebutnya dengan Datuk Wahing!" Lasmini
diam-diam membatin.
"Kau tahu hubungan antara Datuk Wahing dengan
seorang yang sebutkan diri sebagai Setan Liang Ma-
kam?!" Lasmini ajukan tanya lagi.
Kali ini yang ditanya gelengkan kepala. Malah ke-
ningnya tampak berkerut. Dan tak lama kemudian dia
balik bertanya pada Lasmini.
"Mengapa kau tanyakan hubungan antara Datuk
Wahing dengan Setan Liang Makam?"
"Aku hanya ingin tahu...," ujar Lasmini tidak mau
berterus terang.
"Kalau kau menanyakan Setan Liang Makam, aku
dapat menduga jika kau pernah bertemu dengan ma-
nusia itu. Betul?!"
Mungkin agar tidak dipandang sebelah mata oleh
orang, Lasmini berkata.
"Dia adalah sahabatku...."
"Kalau dia sahabatmu, aku makin bisa menebak
apa yang tengah kalian lakukan! Setidaknya apa yang
dilakukan oleh sahabatmu itu!"
"Hem.... Rupanya orang ini tahu banyak tentang
urusan orang!" kata Lasmini dalam hati. Lalu berkata.
"Aku ingin tahu apa tebakanmu tepat!"
"Pasti saat ini tengah mencari Pendeta Sinting atau
muridnya! Pemuda yang dikenal dengan Pendekar Pe-
dang Tumpul 131!"
Lasmini tampak tak bisa sembunyikan rasa kejut-
nya mendengar ucapan laki-laki di hadapannya. Se-
mentara laki-laki di hadapan Lasmini yang bukan lain
adalah Kiai Laras alihkan pandang matanya ke juru-
san lain dengan bibir sunggingkan senyum.
"Boleh aku tahu?!" tanya Kiai Laras. Pandangannya
masih ke arah lain. "Apakah kalian berhasil jumpa
dengan orang yang kalian cari?!"
Dari raut muka Lasmini rupanya Kiai Laras sudah
bisa membaca kalau tebakannya tidak meleset. Malah
dia pun seakan sudah tahu jawaban apa yang akan
didengar dari mulut Lasmini. Karena sikap Lasmini
yang tenggelam dalam pikirannya sendiri saat dilihat-
nya di padang rumput tadi, sudah cukup bagi Kiai La-
ras untuk menduga-duga.
"Aku belum menemukan Pendeta Sinting atau mu-
ridnya!" kata Lasmini setelah agak lama terdiam.
Kiai Laras tertawa perlahan. "Sobat! Untuk saat-
saat sekarang ini percuma kau mencari Pendeta Sint-
ing!"
"Bagaimana bisa begitu?!"
"Kau tentu telah mendengar peristiwa besar di Ke-
dung Ombo! Saat peristiwa itu terjadi, Pendeta Sinting
terluka parah. Saat ini dia tengah dirawat untuk pu-
lihkan keadaannya!"
"Kau tahu di mana dia sekarang berada?!" tanya
Lasmini seraya melompat dan tegak lima langkah di
hadapan Kiai Laras.
Kiai Laras gelengkan kepalanya. "Aku tahu di ma-
na. Tapi Jangan tanya padaku di mana tempat itu!
Aku tak mau nantinya ikut terlibat dalam urusan se-
sama orang persilatan!"
"Kau tak usah khawatir terlibat dalam urusan ini!
Ini urusanku dengan Pendeta Sinting dan si jahanam
muridnya itu! Harap katakan padaku di mana orang
itu berada!"
Kiai Laras gelengkan kepala. "Lebih baik kau tanya
seribu hal, asal jangan kau tanyakan tempat di mana
Pendeta Sinting berada!"
"Hem.... Kalau begitu berarti kau akan terlibat uru-
san denganku!" ujar Lasmini seraya tertawa pendek.
Kiai Laras pasang tampang terkejut. "Sobat! Aku
tak mau terlibat urusan dengan siapa pun!"
Habis berkata begitu, Kiai Laras putar tubuh. Tapi
pada saat bersama Lasmini sudah melompat dan tegak
menghadang di depan Kiai Laras.
"Urusanku dengan Pendeta Sinting begitu besar!
Aku tidak mau orang lain mendahuluiku! Jadi apa pun
akan kulakukan untuk mendapatkannya! Kuharap
kau mengerti maksudku!"
"Ah.... Tahu begini akhirnya, aku tadi menyesal
berbicara denganmu!" ujar Kiai Laras dengan nada
rendah. Meski kepala orang ini menghadang ke juru-
san lain namun sepasang matanya melirik pada Las-
mini yang tegak di hadapannya.
Lasmini tersenyum. Lalu bertanya. "Kau ada hu-
bungan apa dengan Pendeta Sinting? Saudara seper-
guruan? Saudara pertalian darah?!"
Kiai Laras untuk kesekian kalinya gerakkan kepala
menggeleng. "Aku dengannya hanya sebatas sebagai
sahabat!"
"Apa kau merasa kehilangan kalau pendeta sialan
itu mampus?!"
"Sobat! Persoalannya bukan merasa kehilangan
atau tidak! Tapi terus terang aku merasa tidak enak!
Apalagi jika nantinya tersiar kabar bahwa akulah yang
menunjukkan tempat di mana dia berada!"
"Hem.... Begitu? Sekarang kau tinggal pilih dua ja-
lan! Kau tunjukkan di mana beradanya jahanam itu
dan aku akan merahasiakan semua ini, atau kau tetap
bungkam namun saat ini juga kau akan berurusan
denganku!"
Kiai Laras terdiam beberapa lama. Sementara Las-
mini dongakkan kepala menunggu jawaban.
"Bagaimana?!" tanya Lasmini setelah agak lama
menunggu.
"Sobat! Kau mau berjanji untuk merahasiakan per-
temuan ini?!"
Lasmini tertawa panjang. "Aku bukan orang baik-
baik. Tapi janji adalah gantungan nyawa bagiku! Aku
bersumpah akan merahasiakan pertemuan ini!"
Kiai Laras pandangi orang seakan ingin yakinkan
ucapan yang baru diperdengarkan orang. Setelah
menghela napas dalam dan putar kepala, dia berkata.
"Pergilah ke utara. Carilah sebuah bukit bernama
Kalingga. Pada ramping bukit itu ada sebuah goa! Di
sanalah Pendeta Sinting dirawat...."
Selesai berkata, Kiai Laras kembali putar kepala.
Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun sebelum
sosok Kiai Laras benar-benar berkelebat, Lasmini telah
rentangkan kedua tangannya, membuat Kiai Laras ta-
han gerakannya. Sebelum Kiai Laras berucap, Lasmini
telah buka suara.
"Aku tak mau pencarian ku sia-sia! Dan aku pun
tak mau ditipu orang!"
"Aku tidak menipumu! Bahkan sebenarnya aku
merasa menyesal katakan semua ini!"
Lasmini tersenyum. "Bagaimana aku bisa percaya
kau tidak menipuku?!"
"Lalu apa maumu?!" tanya Kiai Laras dengan suara
agak keras.
"Aku belum pernah mendengar nama Bukit Kaling-
ga! Untuk membuktikan bahwa kau tidak menipuku,
kau harus ikut bersamaku!"
"Gila! Kau terlalu banyak permintaan, Sobat! Seha-
rusnya kau sudah berterima kasih padaku!"
'Siapa pun bisa mengarang cerita seperti yang baru
kau katakan! Apakah untuk hal begitu dan belum ten-
tu benarnya, aku harus berucap terima kasih?!" Lasmini tertawa. "Kau telah telanjur tunjuk tempat! Kau
harus bisa buktikan padaku! Kalau kau tidak mau, je-
las ucapanmu tadi dusta! Dan itu harus mendapatkan
ganjaran!"
Kiai Laras tergagu diam mendengar kata-kata Las-
mini. Saat lain kepala laki-laki ini menggeleng. "Tidak
kuduga kalau urusan ini akan jadi panjang! Dan tahu-
kah kau, bahwa dengan ikut serta bersamamu berarti
malapetaka bagiku?!"
"Kau tak usah khawatir! Kau hanya perlu tunjuk-
kan tempatnya! Kau tidak usah ikut masuk!"
"itu masih membahayakan bagiku! Kalau sam-
pai...."
"Kau membuatku habis kesabaran!" sergah Lasmi-
ni memotong ucapan Kiai Laras. "Aku sekarang tanya
padamu. Kau mau ikut serta atau tidak?!"
"Kau memberi pilihan sulit padaku! Padahal aku
telah memberikan keterangan berharga...."
"Keterangan tidak ada harganya kalau belum di-
buktikan benar tidaknya!"
"Baiklah.... Aku akan ikut bersamamu! Tapi aku
hanya bisa mengantarmu sampai samping bukit. Dan
harap jangan minta yang lebih dari itu! Karena kau ta-
di telah berbalik lidah!"
Lasmini lagi-lagi tertawa mendengar ucapan Kiai
Laras. "Aku bukannya berbalik lidah! Aku hanya tidak
mau ditipu orang!"
"Kau pandai bicara...." gumam Kiai Laras sambil
alihkan pandangan.
"Rimba persilatan dipenuhi dengan ucapan-ucapan
dusta dan kebohongan! Kalau kita tak pandai-pandai
bicara, kita akan tertelan ucapan dusta orang! Seka-
rang kita berangkat!"
Kiai Laras tidak segera penuhi ucapan Lasmini.
Laki-laki ini tetap tegak tidak membuat gerakan apa-
apa.
"Kau dengar ucapanku, bukan?!" tanya Lasmini
mulai geram.
"Aku bukan hanya dengar ucapanmu, tapi juga
melihat adanya orang lain di sekitar tempat ini!"
Habis berkata begitu, Kiai Laras putar tubuh se-
tengah lingkaran. Kepala lurus menghadap ke satu
arah. Saat bersamaan mulutnya perdengarkan suara.
"Siapa pun kau adanya, harap keluar!"
Ucapan Kiai Laras belum selesai, satu sosok tubuh
melesat keluar dari balik tanah agak tinggi dan tegak
tujuh langkah di hadapan Kiai Laras.
*
* *
DUA BELAS
ORANG yang baru muncul ternyata adalah seorang
pemuda berparas tampan mengenakan pakaian hitam-
hitam. Rambutnya panjang lebat diikat. Sepasang ma-
tanya bulat tajam. Hidungnya mancung dengan kumis
tipis.
Lasmini tampak tercekat. Sesaat sepasang mata
perempuan ini membelalak besar. Saat lain tangan ka-
nannya bergerak menunjuk pada pemuda berkumis ti-
pis yang baru saja muncul. Saat yang sama mulutnya
membuka.
"Kau...." Hanya ucapan itu yang bisa diucapkan
Lasmini. Kejap lain sosoknya telah melompat ke depan
dan tegak dua langkah di hadapan si pemuda berkumis tipis.
"Saraswati...," desis Lasmini. Kedua tangannya me-
rentang.
Pemuda berkumis tipis yang dipanggil Saraswati ti-
dak menyahut. Sebaliknya menubruk Lasmini lalu
memeluknya erat-erat. Untuk beberapa lama kedua
orang ini saling peluk cium tanpa ada yang buka sua-
ra. Di sebelah samping, Kiai Laras memperhatikan
dengan dahi berkerut.
"Aku gembira bisa bertemu denganmu di sini, Sa-
raswati.... ibu sudah lama ingin mencari dan bertemu
denganmu...."
"Aku pun sudah lama mencari kabar di mana ibu
berada..," ujar Saraswati. Lalu pemuda berkumis tipis
ini tarik kepalanya dari dekapan Lasmini yang bukan
lain adalah ibu kandungnya sendiri. (Tentang hubun-
gan antara Saraswati dan Lasmini harap baca serial
Joko Sableng dalam episode: "Misteri Tengkorak Ber-
darah").
Saraswati melirik sejenak pada Kiai Laras. Lalu
perlahan-lahan menarik lengan ibunya untuk men-
jauh. Meski merasa sedikit heran, namun Lasmini ti-
dak mencegah tindakan Saraswati. Dia menurut saja
ditarik menjauh.
"Ibu.... Aku tadi sempat mendengar percakapan
dengan orang tua itu.... Siapa dia sebenarnya?!" tanya
Saraswati yang seperti masa lalu, tetap menyamar se-
bagai seorang pemuda berkumis tipis dan mengenakan
pakaian hitam-hitam, pakaian yang biasanya dipakai
oleh seorang laki-laki.
Lasmini sesaat bingung. Dia belum mengenal benar
siapa Kiai Laras. Bahkan dia tadi belum sempat tanya
siapa nama Kiai Laras. Namun karena tak mau menge-
cewakan anaknya, Lasmini menjawab.
"Kau tak usah curiga, Anakku.... Dia adalah sahabat Ibu...!"
"Mengapa Ibu mengajaknya mencari tempat Pende-
ta Sinting?!" tanya Saraswati dengan berbisik.
"Saraswati.... Kau tak usah ikut campur urusan
Ibu!"
"Aku tidak ikut campur.... Aku hanya curiga...."
"Saraswati.... Lupakan itu semua! Sekarang kata-
kan pada ibu. Di mana kau berdiam selama ini?!"
"Aku tinggal tidak jauh dari istana Hantu. Kira-kira
lima puluh tombak dari Istana Hantu ke jurusan sela-
tan. Pada sebuah rumah tua...."
"Kau tinggal dengan siapa?!"
"Selama ini sendirian. Tapi kadang-kadang Ayah
berkunjung...."
Wajah Lasmini tampak berubah. Dadanya berdebar
keras. Saraswati rupanya dapat menangkap apa yang
membuat paras ibunya berubah.
"Ibu.... Kuharap Ibu bisa melupakan peristiwa yang
telah berlalu.... Lebih dari itu, aku ingin hidup bersa-
ma dengan Ibu.... Untuk itulah selama ini aku mencari
kabar di mana Ibu berada...."
"Saraswati.... Telah bertahun-tahun kita hidup
berpisah! Seperti halnya dirimu, aku pun ingin bersatu
denganmu.... Tapi...."
"Ibu.... Demi anakmu, kuharap Ibu melupakan apa
yang pernah terjadi! Dan saat ini juga kuharap Ibu
mau ikut serta denganku...."
Lasmini gelengkan kepalanya perlahan. "Saraswa-
ti.... Mengucapkan memang lebih mudah daripada me-
lakukan! Kau tahu, Anakku… Selama ini Ibu sudah
mencoba untuk melupakan apa yang pernah terjadi!
Tapi yang terjadi justru sebaliknya! Setiap kali aku
mencoba, setiap kali pula wajah jahanam-jahanam itu
terbayang di mataku!"
Saraswati memeluk kembali ibunya erat-erat. "Ka-
lau Ibu masih memendam dendam, kapan akan be-
rakhir semua ini? Kapan kita akan bisa berkumpul?!"
Lasmini menghela napas dalam. "Aku tak tahu,
Anakku.... Aku bahkan kadang-kadang menyesali hi-
dup ini! Mengapa nasib kita begitu buruk? Mengapa
kita harus hidup di tengah manusia-manusia yang
pernah memporak-porandakan kebahagiaan kita!
Mengapa kita harus hidup di samping orang-orang
yang pernah menyebabkan kita berpisah bahkan tidak
saling mengenal?! Mengapa?! Mengapa?!" Suara Las-
mini terdengar tersendat dan bergetar. "Ini gara-gara
manusia jahanam-jahanam itu! Rasanya mati pun aku
belum lega kalau belum bisa selesaikan urusan ini
sampai tuntas!"
"Ibu.... Ibu hanya akan memperdalam jurang pemi-
sah ini! Semua sudah selesai...."
Saraswati gelengkan kepala. "Bagi mereka memang
sudah selesai. Tapi bagi Ibu.... Semua belum berakhir!"
"Ibu...."
Sebelum Saraswati lanjutkan ucapannya, Lasmini
telah menukas.
"Saraswati.... Kita nanti bisa bicara panjang lebar!
Sekarang kuharap kau pulang dan menungguku. Ibu
masih harus selesaikan satu urusan! Tidak lama lagi
Ibu akan menyusulmu...."
"Ibu.... Kuharap Ibu mau urungkan niat untuk
pergi bersama kakek itu...."
Lasmini tertawa perlahan. "Kau masih menaruh
curiga pada orang.... Dia adalah sahabat baik Ibu!"
"Ibu jangan berdusta padaku! Aku tadi sempat
mendengar percakapan Ibu dengan kakek itu! Ibu mau
mengajaknya mencari Pendeta Sinting bukan?!
"Dia tahu di mana orang yang Ibu cari! Karena Ibu
tak mau ditipu orang, apa salahnya Ibu mengajaknya
ikut serta?!"
"Ibu terlalu percaya pada orang yang belum dikenal
dengan baik!"
"Kalau dia menipu, nyawanya tidak akan lama!"
"Baiklah.... Tapi kurasa Ibu tidak ada gunanya lagi
mencari Pendeta Sinting! Itu hanya akan membuka
urusan baru. Dan itu akan membawa kita untuk ber-
pisah lagi! Apa Ibu tidak merasa kasihan dengan
anakmu...?!"
"Saraswati.... Ibu tidak membuka urusan baru! Ini
urusan lama! Justru kalau urusan ini tidak diselesai-
kan, kelak di kemudian hari akan bisa memisahkan ki-
ta!"
"Mengapa Ibu berpikir demikian?! Apa karena pe-
muda murid Pendeta sinting itu?"
"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, Saras-
wati.... Dan kuharap kau melupakan pemuda jahanam
itu!"
Kini paras wajah Saraswati yang tampak berubah.
Lasmini rupanya dapat menangkap perubahan pada
wajah anaknya. Lasmini sebenarnya hendak berkata.
Namun sebelum ucapannya terdengar, dari seberang
sana terdengar Kiai Laras telah berkata.
"Sobatku.... Aku harus pergi sekarang. Aku tidak
bisa menunggumu...."
"Tunggu!" tahan Lasmini. Perempuan ini lalu berbi-
sik pada Saraswati. "Anakku. Kau pulang dahulu dan
Ibu pasti akan menyusulmu...."
"Ibu.... Untuk kali ini harap Ibu urungkan niat!"
"Hem.... Kau takut karena Pendeta Sinting guru
pemuda keparat itu?!"
Meski parasnya berubah, tapi Saraswati gelengkan
kepala. "Persoalannya bukan itu, Ibu.... Tapi aku merasa kakek itu berkata dusta!"
"Kau jangan menghalang-halangi karena kau terta-
rik dengan murid Pendeta Sinting! Ibu tahu itu, Saras-
wati.... Jadi kuperingatkan sekali lagi, lupakan pemu-
da bangsat itu!"
Saraswati menarik napas panjang. "Persoalannya
bukan itu, Ibu.... Tapi...."
"Tapi apa...?!"
Saraswati tampak mengerling pada Kiai Laras sebe-
lum berkata dengan suara amat pelan. "Aku tahu di
mana Pendeta Sinting berada! Dan aku yakin bukan di
bukit yang dikatakan orang tua itu!"
Mendengar ucapan Saraswati, Lasmini tertawa
agak keras. "Kau jangan mengada-ada, Saraswati! Dan
jangan kira aku tak tahu.... Kau berdusta padaku
hanya agar aku urungkan niat! Tidak, Anakku! Urusan
ini harus selesai.... Setelah itu kita hidup dengan ba-
hagia. Tentunya setelah urusan dengan yang lainnya
juga tuntas!"
"Ibu.... Aku tidak berdusta padamu! Aku sempat
jumpa dengan Pendeta Sinting.... Dia memang dalam
keadaan terluka! Tapi tempatnya bukan yang dikata-
kan orang tua itu! Aku akan tunjukkan padamu. Tapi
dengan syarat...."
"Aku tidak bisa kau dustai, Anakku...," ujar Lasmi-
ni seraya mencium kening Saraswati. "Jaga dirimu
baik-baik...."
Habis berkata begitu, Lasmini lepaskan pelukan-
nya pada Saraswati. Perlahan-lahan perempuan ini
melangkah mendekati Kiai Laras yang saat itu tengah
memandang tajam pada Saraswati.
"Ibu...."
Lasmini berpaling. Sepasang matanya mendelik
tatkala melihat Saraswati hendak melangkah ke arah
nya. Hingga Saraswati urungkan niat.
"Sobatku.... Kalau anakmu masih merasa curiga,
apa tidak sebaiknya dia diajak ikut serta?!" tanya Kiai
Laras seraya memandang pada Lasmini yang sudah
berada di hadapannya.
"Ini urusanku! Sekarang kita berangkat!"
Lasmini sudah melangkah ke jurusan utara. Tak
lama kemudian Kiai Laras melompat dan sudah me-
langkah di samping Lasmini.
"Aku tidak mendengar apa yang kalian perbincang-
kan! Tapi dari sikapnya, anakmu tadi punya prasang-
ka jelek padaku.... Hem.... Nasibku hari ini tidak baik!"
"Manusia akan selamat jika berlaku hati-hati! Dan
nasibmu akan lebih tidak baik kalau kau berani men-
dustai ku!"
Kiai Laras tidak menyahut. Sebaliknya laki-laki ini
menyeringai dingin. Saat lain tiba-tiba Kiai Laras ber-
kelebat seraya berkata. "Aku masih ada yang harus
kulakukan! Kita harus cepat sampai!"
Lasmini tidak menunggu lama. Perempuan ini se-
gera pula berkelebat mengikuti Kiai Laras yang berlari
cepat menuju ke arah utara. Sementara jauh di bela-
kang sana, Saraswati tampak pandangi sosok ibunya
dengan dada turun naik.
"Ibu.... Mengapa kau masih juga tak bisa le-
nyapkan perasaan dendam?! Dan mengapa kau cari
urusan dengan Pendeta Sinting?! Bukankah kalau
memang ingin selesaikan urusan harus dengan Pende-
kar 131?!"
Mengingat sampai di situ, tiba-tiba pemuda yang
benarnya adalah seorang gadis ini menghela napas.
"Pendekar 131.... Mengapa aku tidak bisa melupa-
kannya?! Di mana dia sekarang berada...?! Hem.... Ibu
tengah mencari jejak Pendeta Sinting. Aku harus mengikutinya. Siapa tahu di sana aku bisa jumpa dengan-
nya...."
Saraswati tidak lanjutkan gumamannya. Sebalik-
nya cepat berkelebat karena dilihatnya sosok Ibunya
dan Kiai Laras sudah hampir tidak kelihatan lagi.
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah
hari, Kiai Laras dan Lasmini sampai pada satu tempat
yang banyak ditumbuhi jajaran pohon dan semak be-
lukar. Memandang jauh ke depan, tampak sebuah bu-
kit.
"Sobatku.... Aku hanya bisa mengantarmu sampai
di tempat ini!! ucap Kiai Laras.
Lasmini berpaling pada Kiai Laras. Namun cuma
sejurus. Di lain saat dia arahkan pandangannya pada
bukit di depan sana.
"Apakah bukit itu yang kau maksud tempat per-
sembunyiannya Pendeta Sinting?!"
"Benar! itulah Bukit Kalingga. Kau jalan memutar
dari sebelah timur. Dari arah sana kau nanti akan me-
nemukan sebuah goa!"
Entah termakan oleh ucapan Saraswati, tanpa ber-
paling hadapkan wajah pada Kiai Laras, Lasmini beru-
cap.
"Sebelum aku pergi ke sana, aku tanya sekali lagi
padamu. Kau tidak berdusta?"
"Aku telah berani mengantarmu sampai di sini!
Apakah itu masih belum cukup untuk membuatmu
percaya?!"
"Hem.... Bagaimana kalau kau ikut bersamaku?!"
"Sobatku! Kuharap kau pegang janjimu! Kita tadi
telah sepakat. Bahkan kau telah mengatakan sendiri
jika kau yang akan masuk sendirian!"
"Sebenarnya apa yang membuatmu takut?!"
"Ini bukan masalah takut, Sobat! Tapi urusan perasaan! Aku kenal baik dengan Pendeta Sinting. Se-
mentara secara diam-diam aku menunjukkan di mana
dia berada pada orang yang punya urusan maut! Kau
tentu bisa merasakan bagaimana rasanya jika kau jadi
aku!"
Lasmini tertawa pendek. "Baik! Aku akan pergi ke
sana sendirian! Tapi ingat, kau jangan ke mana-mana
sebelum aku kembali!"
Kiai Laras tampak terkesiap. "Urusanmu adalah
hidup dan mati! Sementara orang tidak tahu kapan
matinya! Aku khawatir...."
"Kau khawatir aku akan mati di sana dan tidak
akan kembali?!" tanya Lasmini seraya tertawa. "Aku
masih punya kekuatan kalau hanya membekuk jaha-
nam Pendeta Sinting itu! Tunggulah di sini sampai aku
kembali! Dan jangan coba-coba angkat kaki dari sini
sebelum aku datangi"
Habis berkata begitu, Lasmini berkelebat menuju
arah bukit di depan sana. Dan seperti ucapan Kiai La-
ras, Lasmini berkelebat memutar dari arah timur.
Setelah agak lama mencari, pada satu tempat tiba-
tiba Lasmini hentikan langkahnya tatkala sepasang
matanya samar-samar menangkap sebuah lobang di
lamping bukit. Lobang itu tidak begitu kelihatan kare-
na di kanan kirinya diranggasi semak belukar. Semen-
tara tidak jauh dari situ banyak berjajar pohon-pohon
besar, hingga keadaannya agak temaram.
"Hem.... Mungkin ini goa yang dimaksud...," desis
Lasmini dengan mata dipentang besar-besar dan mulai
melangkah mendekat. Dia melangkah dengan hati-hati
dan mata melirik kian kemari. Tenaga dalamnya telah
dikerahkan pada kedua tangannya.
Lasmini hentikan langkah enam tindak ke depan
mulut goa. Sejenak perempuan ini terlihat bimbang
antara langsung menerobos masuk atau berteriak
memberitahukan kedatangannya.
Belum sampai Lasmini memutuskan apa yang ha-
rus dilakukan, tiba-tiba semak belukar di sebelah ka-
nan bergerak-gerak. Lasmini angkat kedua tangannya
seraya berpaling.
Memandang ke depan, dada Lasmini laksana dis-
entak. Sepasang matanya mementang angker berkilat-
kilat. Kedua tangannya yang terangkat bergetar keras.
Saat bersamaan mulutnya mendesis. "Kau!"
Di seberang depan, di antara semak belukar, tegak
seorang pemuda berparas tampan mengenakan pa-
kaian putih-putih. Rambutnya panjang sedikit acak-
acakan dilingkari ikat kepala warna putih. Lasmini ta-
hu benar, bahwa pemuda yang tegak di seberang bu-
kan lain adalah murid Pendeta Sinting, Pendekar 131
Joko Sableng!
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar