Hak cipta dan copy right pada penerbit
Di bawah lindungan undang-undang
Joko Sableng telah Terdaftar pada
Dept. Kehakiman R.I. Direktorat Jenderal Hak
Cipta, Paten dan
Merek dibawah nomor 012875
SATU
SEPASANG mata Ni Luh Padmi mementang liar
menatap tajam pada raut wajah di antara ranggasan
semak belukar. Raut wajah itu adalah seorang laki-laki
berusia lanjut yang telah dihiasi keriputan. Sepasang
matanya agak besar. Kumis dan jenggotnya lebat ber-
warna putih.
Bibir raut wajah yang berada di antara rangga-
san samak belukar bergerak tersenyum. Sepasang ma-
tanya balas memandang ke arah Ni Luh Padmi. Namun
mulutnya belum membuka perdengarkan suara.
"Siapa kau?!" Untuk kedua kalinya Ni Luh
Padmi keluarkan bentakan keras. Malah kini si nenek
telah maju dua tindak.
Seperti yang dituturkan dalam episode: "Kem-
bang Darah Setan", Ni Luh Padmi sempat jumpa den-
gan Joko setelah berbincang dengan Dewi Seribu Bun-
ga. Dari mulut si pemuda, Ni Luh Padmi memperoleh
keterangan kalau Pendeta Sinting kemungkinan besar
berada di sebuah goa di samping Bukit Kalingga, tem-
pat tinggal seorang perempuan yang disebut-sebut sebagai Nyai Tandak Kembang.
Ni Luh Padmi yang memendam dendam pada
Pendeta Sinting tidak menunggu lama. Saat itu juga
dia lakukan perjalanan menuju Bukit Kalingga yang
ditunjukkan si pemuda. Namun begitu sampai pada
tempat yang diduganya sebagai Bukit Kalingga, si ne-
nek di kejutkan dengan satu suara sebelum dirinya
memasuki goa. Si nenek terkejut besar. Karena yang
kini tampak di hadapannya adalah raut wajah seorang
laki-laki. Padahal menurut keterangan si pemuda,
tempat yang di tunjukkan ini dihuni seorang perem-
puan bernama Nyai Tandak Kembang.
Karena Ni Luh Padmi yakin belum mengenal
siapa adanya wajah laki-laki di antara ranggasan se-
mak belukar, si nenek langsung membentak.
Yang dibentak malah sunggingkan senyum. La-
lu arahkan pandangannya ke jurusan lain. Dan seolah
tidak pedulikan kehadiran orang di hadapannya serta
tidak dengarkan bentakan orang, laki-laki di antara
ranggasan semak belukar gerakkan kepala. Lalu perla-
han-lahan orang ini yang ternyata duduk bersila di an-
tara ranggasan semak belukar bergerak bangkit. Ke-
dua tangannya dikebut-kebutkan pada pakaian yang
dikenakan lalu melangkah keluar dari ranggasan se-
mak.
Merasa kehadirannya tidak dipandang orang, Ni
Luh Padmi maju satu tindak dan tegak menghadang.
Tanpa memandang pada tampang orang di hadapan-
nya, si nenek kembali perdengarkan bentakan.
"Aku tanya sekali lagi! Siapa kau?!"
Si laki-laki menyeringai. "Kau adalah tamu di
tempat ini! Kau yang harus perkenalkan diri!"
"Hem.... Jadi kau penghuni tempat ini?!" tanya
Ni Luh Padmi. Sepasang matanya kini perhatikan
orang dari atas hingga bawah.
"Kau orang yang tersesat jalan atau memang
hendak ke tempat ini?!" Yang ditanya balik ajukan
tanya.
Ni Luh Padmi coba menekan rasa geram yang
mulai melanda dadanya. Dl satu pihak dia sudah me-
rasa diberi keterangan dusta oleh pemuda murid Pen-
deta Sinting, di pihak lain dia merasa disambut dengan
sebelah mata!
"Siapa pun adanya manusia laki-laki itu, dia
pasti bukan orang sembarangan! Jelas-jelas tadi dia ti-
dak ada di tempat ini! Tapi tiba-tiba dia nongol begitu
saja! Sudah telanjur sampai di sini, apa boleh buat...!"
Membatin Ni Luh Padmi, lalu berkata.
"Aku tidak tersesat jalan! Aku memang sengaja
datang ke tempat ini!"
"Kalau begitu, harap kau perkenalkan diri!" sa-
hut si kakek. Kali ini sepasang matanya memandang
pada Ni Luh Padmi.
"Aku Ni Luh Padmi!"
"Kalau kau tidak tersesat jalan, pasti kau
punya tujuan!" Si kakek kembali menyahut.
"Aku mencari Nyai Tandak Kembang!" jawab si
nenek dengan suara keras.
"Tujuan mencari?!" tanya si kakek membuat Ni
Luh Padmi mendelik.
"Itu urusanku! Sekarang kau telah tahu siapa
aku, giliranmu kini sebutkan diri!"
"Aku penghuni tempat ini!"
Sepasang mata Ni Luh Padmi makin membela-
lak. "Aku ingin dengar kau sebutkan diri! Persetan kau
penghuni tempat ini atau bukan!" hardik si nenek.
Mendengar hardikan orang, si kakek bukannya
berang, sebaliknya sunggingkan senyum lalu berkata.
Suaranya pun kini direndahkan.
"Aku Kiai Laras...!"
"Aku tanya. Apa kau benar-benar penghuni goa
ini?!" kata Ni Luh Padmi.
"Nek! Kau tadi telah dengar keteranganku.
Mengapa bertanya lagi?!" ujar si kakek yang bukan lain
ternyata Kiai Laras.
Ni Luh Padmi mendongak. Dari mulutnya ter-
dengar gumaman tidak jelas. Namun air mukanya
membayangkan kemarahan yang ditahan. Diam-diam
si nenek membatin. "Jangan-jangan aku datang ke
tempat yang salah...."
"Kiai Laras!" kata Ni Luh Padmi setelah agak
lama terdiam. "Di mana Bukit Kalingga?!"
"Dari pertanyaanmu, kuduga kau bukan orang
daerah sekitar sini! Bahkan mungkin kau datang dari
jauh...," kata Kiai Laras.
"Aku datang dari seberang pulau! Aku mencari
Bukit Kalingga!"
Kiai Laras gerakkan kepala mengangguk. "Nek!
Tempat di mana kau kini berada adalah Bukit Kaling-
ga!"
"Hem.... Berarti aku sudah datang ke tempat
yang benar. Tapi mengapa penghuninya adalah dia?
Bukan Nyai Tandak Kembang...?! Atau.... Aku harus
menyelidik ke dalam. Siapa tahu laki-laki ini hanya se-
bagai penjaga!"
Memikir sampai di situ tanpa berkata apa-apa
lagi, Ni Luh Padmi cepat putar tubuh lalu sekali berge-
rak sosoknya telah melesat dan lenyap masuk ke da-
lam goa. Kiai Laras hanya memandang dengan bibir
sunggingkan senyum. Kakek ini tidak berkata apa-apa,
bahkan tidak bergerak dari tempatnya.
Sementara begitu memasuki goa, Ni Luh Padmi
segera tegak dengan mata mengedar ke seantero ruan-
gan goa. Goa itu tidak begitu besar. Di sebelah pojok
tampak onggokan kayu hitam bekas perapian. Tidak
ada celah atau tonjolan batu-batu. Sekeliling ruangan
goa itu hanya merupakan dinding lurus dari batu pa-
das berwarna coklat yang disamaki lumut.
"Anak sinting itu akan menyesal! Dia telah me-
nipuku mentah-mentah!" desis Ni Luh Padmi. Lalu ba-
likkan tubuh dan berkelebat keluar.
Namun gerakan si nenek tertahan tatkala tiba-
tiba di mulut goa Kiai Laras tahu-tahu telah tegak se-
raya berkata pelan.
"Nek.... ini tempatku! Kalau kau perlu apa-apa,
harap katakan! Aku akan menjawab dengan senang
hati!"
Ni Luh Padmi sejurus tatapi sekujur tubuh Kiai
Laras seolah baru saja berjumpa. Lalu angkat bicara.
"Kau kenal dengan seorang perempuan berna-
ma Nyai Tandak Kembang?!"
"Heh.... Dari pertanyaan mu, aku dapat men-
duga. Pertama. Kau bukan mencari Nyai Tandak Kem-
bang. Kedua. Yang kau cari sebenarnya adalah Pende-
ta Sinting!"
Ni Luh Padmi sesaat tampak terkesiap. Namun
diam-diam dia merasa lega. Setidaknya dia akan dapat
keterangan dari orang di hadapannya. Karena apa
yang menjadi dugaan orang benar adanya. Hanya si
nenek masih sedikit merasa curiga. Bagaimana orang
bisa menduga dengan tepat apa tujuan sebenarnya.
Tapi karena sudah tidak sabaran, Ni Luh Padmi te-
piskan perasaan curiga. Dia segera buka mulut.
"Rupanya kau pandai menduga. Tapi perlu kau
ketahui, aku mencari keduanya!"
"Ucapanku tadi belum selesai, Nek!" ujar Kiai Laras.
"Dua dugaan telah ku sebut. Dugaan lainnya,
urusanmu pasti urusan asmara! Dan kau ingin mem-
bunuh Pendeta Sinting!"
Ni Luh Padmi tergagu diam. Paras wajahnya
seketika berubah tatkala mendapati orang telah tahu
apa urusannya. Dan merasa orang sudah tahu, si ne-
nek langsung saja bertanya.
"Di mana si jahanam Pendeta Sinting dan gen-
daknya si Nyai Tandak Kembang?!"
Kiai Laras sunggingkan senyum lalu tengadah.
"Nek! Imbalan apa kelak akan kau berikan padaku ka-
lau aku tunjukkan di mana beradanya orang yang kau
cari?!"
Mendengar pertanyaan Kiai Laras, Ni Luh Pad-
mi tertawa panjang. "Menyesal sekali.... Aku datang
hanya membawa ini!" Si nenek angkat kedua tangan-
nya yang mengepal. "Dan tangan ini pula yang akan
kau rasakan kalau kau tak mau katakan di mana dua
pasangan keparat itu berada!"
Kiai Laras tersentak. Namun laki-laki ini buru-
buru tutupi rasa kagetnya dengan senyum. Di lain pi-
hak, melihat perubahan pada sikap orang, Ni Luh
Padmi makin garang. Dia segera melompat dan tegak
lima langkah di hadapan Kiai Laras yang masih berdiri
di mulut goa. Lalu membentak.
"Sekarang kau harus katakan di mana pasan-
gan itu!"
Kepala Kiai Laras bergerak perlahan dengan
mata melirik ke samping kiri kanan. "Aku tak bisa
mengatakan padamu, Nek!"
"Hem.... Orang ini seolah ketakutan. Dari uca-
pannya tadi, jelas kalau dia tahu di mana pasangan
jahanam itu berada!" Diam-diam Ni Luh Padmi membaca sikap Kiai Laras. Bibirnya tersenyum menyerin-
gai. Lalu berujar.
"Kalau kau tidak mau katakan, berarti kau in-
ginkan ini!"
Habis berkata begitu, Ni Luh Padmi melesat ke
depan. Kedua tangannya serta-merta berkelebat laku-
kan pukulan ke arah kepala Kiai Laras.
Kiai Laras tidak tinggal diam. Dia cepat pula
angkat kedua tangannya dipalangkan dl atas kepala
menghadang pukulan.
Bukkk! Bukkk!
Ni Luh Padmi hanya sempat bergoyang-goyang.
Di lain pihak, sosok Kiai Laras langsung tersurut em-
pat langkah hingga tubuhnya berada di luar goa. Paras
wajahnya berubah pucat. Malah kedua tangannya
yang baru saja bentrok dengan kedua tangan si nenek
tampak bergetar keras. Malah kalau saja dia tidak ce-
pat kuasai diri, niscaya lututnya akan tertekuk dan so-
soknya roboh!
Melihat apa yang baru saja terjadi, Ni Luh
Padmi tidak menunggu lama. Belum sampai Kiai Laras
kuasai diri sepenuhnya, dia sudah menerjang dengan
sapukan kaki kanan. Sementara bersamaan itu tangan
kiri kanannya berkelebat menghantam.
Kiai Laras melengak. Cepat sekali dia segera
angkat kaki kanannya untuk menyambut tendangan
kaki kanan si nenek. Namun laki-laki ini tertipu. Se-
tengah depa lagi kaki kanan keduanya bentrok, tiba-
tiba si nenek tarik pulang kaki kanannya. Sebaliknya
langsung hantamkan tangan kiri ke arah kaki kanan
Kiai Laras yang telah terangkat.
Mungkin sudah tak ada kesempatan lagi tarik
pulang kaki kanannya, Kiai Laras teruskan tendangannya.
Desss!
Kiai Laras berseru tertahan. Sosoknya berpu-
tar. Namun sebelum sampai setengah lingkaran, tan-
gan kanan Ni Luh Padmi sudah menggebrak dengan
telapak terbuka ke arah pipi. Plaakk!
Sosok Kiai Laras kembali terputar balik arah.
Bersamaan itu kepalanya tersentak kena tamparan
tangan Ni Luh Padmi. Saat lain sosok Kiai Laras ter-
huyung sebelum akhirnya jatuh di atas tanah dengan
mulut keluarkan darah.
Ni Luh Padmi melompat dan tegak satu langkah
di samping sosok Kiai Laras dengan kedua tangan ber-
kacak pinggang.
"Kau telah tahu imbalan apa yang akan kau te-
rima! Kau masih inginkan imbalan itu?!" Ni Luh Padmi
angkat kedua tangannya dari pinggang.
Takut-takut, Kiai Laras memandang pada sosok
Ni Luh Padmi. Dan orang ini buru-buru buka suara
tatkala matanya menangkap gerakan pada kedua tan-
gan si nenek.
"Baik... Aku akan katakan di mana orang yang
kau cari...."
"Bagus!" ujar Ni Luh Padmi. Tubuhnya sedikit
membungkuk. Enak saja dijambaknya rambut Kiai La-
ras lalu ditariknya ke atas. Hingga sosok si kakek te-
rangkat berdiri.
"Aku tak mau ditipu orang! Aku tidak butuh
ucapanmu! Kau sendiri yang harus tunjukkan tempat
itu!"
"Baik.... Baik...! Tapi lepaskan dulu tanganmu!"
kata Kiai Laras dengan suara bergetar dan tersendat.
"Jangan banyak mulut meminta! Ayo jalan! Di
mana tempat pasangan itu!" hardik Ni Luh Padmi tan-
pa lepaskan jambakan pada rambut orang.
"Mereka ada di dalam goa...."
"Jahanam! Aku tak butuh keterangan ucapan-
mu! Kau harus jalan tunjukkan tempatnya!" sentak Ni
Luh Padmi sambil melangkah dengan tangan menjam-
bak rambut orang.
Kiai Laras mau tak mau tersaruk-saruk mengi-
kuti langkah si nenek yang melangkah ke arah goa.
Kedua tangannya tampak menggapai-gapai seolah
hendak lepaskan diri. Namun Ni Luh Padmi tampak
gerak-gerakkan tangannya yang menjambak ke bawah
ke atas, hingga gapaian kedua tangan Kiai Laras selalu
luput.
Begitu enam langkah memasuki ruangan goa,
Ni Luh Padmi sentakkan tangannya. Sosok Kiai Laras
tersuruk ke depan. Namun sejengkal lagi sosoknya
menghantam lantai goa, kaki si nenek bergerak meng-
hadang.
Wuuttt! Desss!
Kaki Ni Luh Padmi yang berada di bawah sosok
Kiai Laras bergerak terangkat ke atas. Tubuh Kiai La-
ras kembali tersentak ke atas. Dan sebelum limbung,
tangan kiri si nenek sudah menahan dengan mencekal
bahunya.
"Jangan coba menipu! Lekas tunjukkan di ma-
na tempatnya!"
Kiai Laras angkat tangan kanannya menunjuk
pada satu arah tepat di belakang onggokan kayu bekas
perapian.
Ni Luh Padmi pentang mata memandang ke
arah yang ditunjuk Kiai Laras. Namun di sana dia ti-
dak melihat siapa-siapa. Belum sampai si nenek ber-
tanya, Kiai Laras telah buka mulut.
"Singkirkan perapian itu.... Kau akan menemu-
kan tonjolan batu. Tekan tonjolan batu itu...."
Ni Luh Padmi kini arahkan pandangannya pada
onggokan kayu bekas perapian. Namun karena tertu-
tup kayu, dia tidak bisa melihat apakah benar di ba-
wahnya ada tonjolan batu seperti ucapan Kiai Laras.
"Kau yang harus lakukan!" Tiba-tiba Ni Luh
Padmi membentak. Tangannya yang memegang bahu
orang bergerak. Sementara kakinya melangkah. Sosok
Kiai Laras terseret ke depan.
Ni Luh Padmi hentikan langkah di dekat kayu
bekas perapian. "Lakukan!" bentaknya seraya lepaskan
cekalan pada bahu Kiai Laras.
Kiai Laras melirik pada si nenek. Lalu perlahan-
lahan kakinya bergerak sibakkan kayu perapian. Dan
kejap kemudian, Ni Luh Padmi melihat satu tonjolan
batu berwarna hitam.
"Tekan tonjolan batu itu!" perintah si nenek.
Kiai Laras tampak terkejut. Dia berpaling. Na-
mun sebelum sempat matanya melihat wajah si nenek,
Ni Luh Padmi sudah perdengarkan bentakan lagi.
"Jangan buang-buang waktu!" Sambil memben-
tak tangan si nenek berkelebat. Namun kali ini Kiai La-
ras cepat menghindar dengan bungkukkan tubuh.
Tangan kanannya segera menekan batu hitam di seki-
tar perapian.
*
* *
DUA
TERDENGAR suara batu bergeser. Saat bersa-
maan ruangan goa bergetar hebat. Ni Luh Padmi cepat
mundur sambil kedua tangannya waspada. Sepasang
matanya memperhatikan gerak-gerik Kiai Laras dengan
seksama.
Getaran di ruangan goa terhenti. Namun kare-
na belum melihat apa-apa, si nenek sudah buka mulut
Tapi sebelum suaranya terdengar, mendadak pojok
ruangan goa tidak jauh dari perapian bergerak-gerak.
Saat lain dinding pojok ruangan goa laksana membe-
lah. Dinding samping kiri kanannya bergeser. Dan
tampaklah sebuah lobang menyerupai pintu! Di bela-
kang pintu terlihat batu padas yang membentuk tang-
ga ke atas.
"Nek.... Kau tunggu apa lagi?! Orang yang kau
cari berada di sana...." Berkata Kiai Laras sambil me-
langkah mundur. "Aku tak bisa mengantarmu! Karena
dengan terbukanya pintu rahasia ini, nyawaku tidak
mungkin diampuni.... Harap kau mengerti, Nek! Aku
harus segera pergi jauh-jauh dari sini...."
Habis berkata begitu, Kiai Laras balikkan tubuh
dan perlahan-lahan melangkah hendak tinggalkan
tempat itu. Namun langkah si kakek tertahan, tatkala
tiba-tiba Ni Luh Padmi telah menyambar lengannya
dan menyeretnya ke arah pintu yang terbuka.
"Jangan kau kira dapat menjerumuskan aku!
Kau harus ikut!" teriak Ni Luh Padmi sambil melang-
kah menyeret sosok Kiai Laras.
Ni Luh Padmi tampak sedikit terkejut tatkala
merasakan hawa dingin saat memasuki pintu pojok
ruangan goa. Si nenek kerahkan tenaga dalam untuk
tutup penciumannya. Lalu dengan mata liar dan te-
ruskan langkah dan perlahan-lahan naiki tangga di ba-
lik pintu dengan tangan terus menyeret sosok Kiai La-
ras yang tergontai-gontai.
"Nek.... Harap kau mengerti.... Aku.... Aku...."
Ni Luh Padmi hentikan langkah pada undakan
ketiga. Matanya memandang angker pada Kiai Laras.
"Kalau kau merengek lagi, mulutmu akan kuhancur-
kan!"
Kiai Laras kancingkan mulut. Melirik sekilas
pada si nenek, lalu anggukkan kepala sambil tertatih-
tatih naiki tangga.
Undakan tangga itu sampai tiga belas. Pada
undakan ketiga belas, tampaklah sebuah pelataran se-
panjang satu setengah tombak. Pelataran ini memben-
tuk lingkaran berkeliling. Pada tengah lingkaran terli-
hat sebuah lobang menganga besar kira-kira empat
puluh tombak berkeliling dengan kedalaman dua pu-
luh lima tombak. Dari bagian bawah lobang besar ini
tampak cahaya terang.
Ni Luh Padmi sesaat perhatikan berkeliling.
Namun sampai saat ini dia belum melihat adanya
orang. "Hem.... Tidak disangka kalau di dalam ruangan
goa, ada ruang rahasia yang begini besar. Tapi aku be-
lum melihat adanya gerakan orang...."
Ni Luh Padmi coba melangkah ingin melihat lo-
bang menganga yang kini berada di hadapannya. Na-
mun si nenek segera urungkan niat. Dia melirik pada
Kiai Laras yang tegak di sampingnya dengan tubuh
bergetar dan mata memandang ke lobang besar.
Tanpa melihat pada si nenek, Kiai Laras berujar
pelan.
"Nek.... Mereka berdua ada di bawah sana!
Pendeta Sinting sedang dirawat oleh Nyai Tandak
Kembang...."
"Hem.... Berarti ucapan orang ini benar! Mung-
kin dia masih terluka akibat gebukanku beberapa wak-
tu yang lalu...!" membatin Ni Luh Padmi. Namun orang
ini tidak mau bertindak ayal. Dia kembali sambar lengan Kiai Laras dan diseretnya ke bibir lobang besar.
Kiai Laras coba meronta. Namun percuma. Se-
retan si nenek lebih kuat hingga mau tak mau sosok-
nya tertarik ke depan mendekati bibir lobang yang
membentuk lingkaran.
Sambil terus pegangi lengan orang, Ni Luh
Padmi pandangi lobang menganga besar di bawahnya.
Cahaya terang yang memancar dari bawah ternyata di-
pantulkan oleh cahaya empat obor besar yang ditan-
capkan pada pojok ruangan di sebelah bawah. Ruan-
gan itu hanya berupa lantai batu padas. Dan di sana
tidak seorang pun terlihat!
Ni Luh Padmi berpaling pada Kiai Laras dengan
mata berkilat-kilat. "Kau berani berkata dusta padaku!
Kau harus...."
Ucapan Ni Luh Padmi terputus. Karena tiba-
tiba tangan kiri Kiai Laras bergerak tepiskan tangan Ni
Luh Padmi yang mencekal lengannya. Si nenek tersen-
tak kaget, karena tepisan tangan si kakek mengandung
tenaga dalam kuat sekali. Hingga saat itu juga pegan-
gan tangannya pada lengan orang lepas! Malah sosok-
nya tampak bergoyang-goyang. Dalam kekagetannya,
Ni Luh Padmi menjadi lengah. Hingga tatkala Kiai La-
ras lorotkan tubuh dengan kaki menyapu ke arah kaki
si nenek, Ni Luh Padmi tidak dapat hindarkan diri.
Bukkk!
Sosok Ni Luh Padmi tersentak lalu jatuh meng-
hantam batu padas di bawahnya. Si nenek terpekik.
Dalam keadaan demikian, dia baru maklum, kalau Kiai
Laras tadi hanya pura-pura mengalah. Karena sapuan
kakinya telah mampu membuat sosoknya langsung
terjatuh. Pertanda tenaga dalam si kakek sangat tinggi.
Merasa maklum, buru-buru Ni Luh Padmi ang-
kat kedua tangannya. Namun Kiai Laras telah mendahului bergerak. Hingga belum sampai si nenek sampai
lepaskan pukulan, untuk kedua kalinya si kakek telah
sapukan kaki kanannya.
Karena tak ada kesempatan untuk lepaskan
pukulan sementara untuk menghindar sudah tidak
mungkin sebab dirinya berada di samping lobang men-
ganga, maka satu-satunya jalan adalah menghadang
sapuan kaki orang dengan kedua tangannya.
Bukkk! Bukkk!
Untuk kedua kalinya pula Ni Luh Padmi terpe-
kik. Kedua tangannya yang menghadang sapuan kaki
orang mental balik. Bersamaan dengan itu sosoknya
terseret. Karena di belakangnya lobang menganga, ma-
ka tak ampun lagi sosok Ni Luh Padmi melayang ma-
suk ke lobang besar di belakangnya!
Dalam keadaan demikian, secara luar biasa Ni
Luh Padmi memang masih sempat lepaskan pukulan
jarak jauh. Namun karena sosoknya telah melayang ke
bawah, membuat pukulannya bukan saja melenceng
jauh dari sasaran, namun dia tidak dapat kuasai diri
lagi, hingga tubuhnya jatuh bergedebukan di lantai ba-
tu padas di bawah sana!
Terdengar suara tawa mengekeh panjang
menggaung di tempat itu. Ni Luh Padmi cepat kerah-
kan tenaga dalam lalu tergontai-gontai bangkit. Me-
mandang ke atas, tampak Kiai Laras tegak di tepi lo-
bang dengan kedua tangan di atas pinggang.
"Jahanam! Aku tertipu! Laki-laki itu pasti kaki
tangannya Anak Sinting murid jahanam Pendeta Sint-
ing!" desis Ni Luh Padmi dengan rahang terangkat dan
pelipis kanan kiri bergerak gerak. "Kau tak akan ku-
biarkan hidup Anak Sinting!"
Ni Luh Padmi memandang berkeliling. Ternyata
tempat di mana dia berada hanya merupakan ruangan
tanpa pintu. Pada keempat pojok ruangan menancap
sebuah obor besar. Anehnya meski di tempat itu dipa-
nasi obor, si nenek rasakan hawa dingin menyengat!
"Hawa aneh.... Jangan-jangan ini hawa bera-
cun!" desis Ni Luh Padmi dengan kuduk mulai merind-
ing. Dia segera kerahkan tenaga dalam untuk menutup
pernafasannya. Lalu tengadah kembali memandang ke
arah Kiai Laras yang masih tegak di bibir lobang. Per-
lahan-lahan Ni Luh Padmi angkat tangan kirinya lalu
mencabut tusuk konde besar berwarna hitam di kepa-
lanya. Namun si nenek tampak bimbang. "Tusuk
konde ini aku yakin mampu sampai ke atas sana! Tapi
bagaimana kalau keparat itu mampu berkelit dan bah-
kan menyambar senjata itu?! Keparat betul! Aku bo-
doh! Aku lengah!" Ni Luh Padmi memaki sendiri.
"Nenek bangsat!" Tiba-tiba terdengar suara Kiai
Laras. "Tempat di mana kau berada telah ditebari hawa
beracun yang bisa membunuhmu perlahan-lahan! Dan
jangan coba-coba kerahkan tenaga dalam kalau kau
tak ingin hawa beracun itu langsung masuk ke dalam
aliran darahmu!"
Ni Luh Padmi tegak bergetar. Sosoknya telah
basah kuyup. Namun si nenek masih buka mulut
"Bangsat sialan! Kelak kau akan ku kuliti!"
Kiai Laras tertawa panjang. "Simpan impian mu
itu, Nenek! Yang harus kau lakukan sekarang adalah
banyak berdoa untuk menyongsong ajal! Dan kau jan-
gan terlalu menyalahkan padaku! Aku semata-mata
hanya jalankan tugas!"
"Siapa yang memberimu tugas?!" teriak Ni Luh
Padmi.
"Siapa lagi junjungan ku kalau bukan pemuda
bernama Joko Sableng bergelar Pendekar Pedang
Tumpul 131! Dan kau tidak usah berkecil hati. Beberapa hari lagi kau mungkin akan mendapatkan teman
seperjalanan menuju neraka! Dan kau mesti tahu pu-
la, bahwa junjunganku Pendekar 131 telah mendapat
amanat perintah dari eyang gurunya seorang tokoh be-
sar bergelar Pendeta Sinting dalam urusan ini! Ha....
Ha.... Ha...!"
"Keparat! Kalian semua nanti akan menyesali"
"Percuma kau berteriak mengancam, Nenek Tua! Nya-
tanya kau kini tinggal menunggu saat-saat kematian!"
Habis berkata begitu, Kiai Laras balikkan tubuh
lalu melangkah ke arah tangga dengan tinggalkan sua-
ra tawa panjang.
Begitu berada di ruangan goa bagian depan,
tangan kanan Kiai Laras tampak menekan tonjolan ba-
tu hitam. Ruangan goa bergetar. Lalu terdengar gese-
kan batu. Saat lain pojok goa yang terbuka perlahan-
lahan menutup.
Kiai Laras tersenyum menyeringai. Lalu menata
kayu perapian di atas tonjolan batu hingga jika dipan-
dang sekilas orang tidak akan melihat kalau di bawah
tumpukan kayu perapian itu ada batu hitam sebagai
pembuka pintu lain di pojok ruangan.
Kiai Laras memandang sejenak keluar goa. Saat
lain sosoknya telah berkelebat tinggalkan ruangan goa.
Di bagian dalam lobang, Ni Luh Padmi tampak
pentangkan mata dengan kepala memutar. Saat lain
dia tengadah dengan mata berkaca-kaca. "
Sialnya diriku ini! Mengapa aku bertindak len-
gah! Hingga bukan saja aku tertipu, namun harus
mengalami nasib mengenaskan! Ucapan tua bangka
keparat tadi pasti benar jika tempat ini telah ditebari
racun yang bisa membunuh perlahan-lahan! Aku tak
bisa berbuat apa-apa.... Kalau aku paksakan diri ke-
rahkan tenaga dalam, bukan tak mungkin tebaran racun jahanam ini akan memasuki aliran darahku! Dan
itu akan mempercepat kematian ku!"
Pada puncak penyesalannya, akhirnya Ni Luh
Padmi hanya bisa sesenggukan seraya duduk bersim-
puh dengan kedua tangan mendekap wajahnya. Ter-
bayang satu persatu paras muka Pendeta Sinting,
Pendekar 131, dan Kiai Laras.
Kita tinggalkan dahulu Ni Luh Padmi yang me-
nyesali diri di ruangan dalam goa. Kita ikuti kembali
perjalanan Pendekar 131. Seperti dituturkan dalam ep-
isode : "Kembang Darah Setan", Pendekar 131 sempat
jumpa dengan nenek berdandan menor yang sebutkan
diri sebagai Dayang Sepuh. Murid Pendeta Sinting ber-
dusta pada si nenek kalau dirinya sedang mencari ka-
keknya yang sudah hampir satu purnama tidak kun-
jung pulang. Namun Joko harus menelan kecewa, ka-
rena di luar dugaan, si nenek bersikeras hendak ikut.
Joko jadi kebingungan. Tapi pada akhirnya Joko ter-
paksa tidak dapat menolak keinginan si nenek, apalagi
saat murid Pendeta Sinting mengetahui kalau si nenek
sedang menunggu Pendekar 131! Seraya melangkah,
murid Pendeta Sinting coba mengorek keterangan dari
mulut si nenek mengapa dia menunggu Pendekar 131.
Di samping itu dia juga cari akal untuk dapat pisah
dari si nenek.
Nenek itu berambut kelabangan dikepang dua.
Pada ujung kepangan rambutnya diberi pita. Sementa-
ra bagian depan diponi menggerai ke keningnya. Sepa-
sang matanya agak besar. Pipi kiri kanannya dironai
pemerah. Sementara bibirnya dipoles merah tebal. Ka-
rena kulit wajahnya berwarna gelap, tak urung rona
merah di pipi dan bibir si nenek membuat tampangnya
lucu dan angker! Nenek ini mengenakan pakaian war-
na merah tanpa lengan dan amat cingkrang, hingga
ketiak dan pusarnya kelihatan. Pakaian bawahnya be-
rupa celana pendek warna merah yang panjangnya be-
rada di atas lutut, hingga pahanya yang juga berwarna
gelap terlihat jelas.
Si nenek yang bukan lain adalah Dayang Sepuh
tampak melangkah perlahan sambil sesekali mengerl-
ing pada orang di sampingnya. Dia adalah seorang pe-
muda berparas tampan mengenakan pakaian putih.
Rambutnya panjang sedikit acak-acakan diikat dengan
ikat kepala warna putih. Si pemuda bukan lain adalah
murid Pendeta Sinting Pendekar Pedang Tumpul 131
Joko Sableng.
Untuk beberapa lama kedua orang ini melang-
kah tanpa ada yang buka mulut. Hanya saja si nenek
tampak sesekali berpaling sambil kerlingkan mata. Bi-
birnya yang merah lemparkan senyum. Sedangkan
murid Pendeta Sinting terlihat acuh, meski kadangkala
melirik ke arah si nenek dengan kepala digelengkan.
"Nek...! Sekarang kita hendak ke mana?!" Murid
Pendeta Sinting akhirnya membuka percakapan kare-
na si nenek terus melangkah seolah tanpa tujuan.
Dayang Sepuh hentikan langkah. Kedua tan-
gannya rapikan poni pada keningnya. Lalu berkata.
"Kau ini aneh. Bukankah kita mencari kakek-
mu yang hilang tanpa kabar?!"
"Betul! Tapi tujuannya ke mana?! Kau tadi bi-
lang, dapat menduga di mana kakekku berada! Tapi
langkah mu sepertinya tanpa tujuan...."
Si nenek ambil satu kepangan rambutnya.
Sambil mainkan kepangan rambutnya dia berkata.
"Cucuku.... Kau jangan menduga yang tidak-
tidak! Aku melangkah ini bukan atas kehendak sendi-
ri! Tapi suara alam yang menuntun ku! Jadi jangan
banyak tanya ke mana, pokoknya kita cari kakekmu!"
"Nek.... Bagaimana kalau kita berpencar saja
seperti usulku semula?! Dengan cara begitu, kukira ki-
ta bisa menjelajah dua tempat pada waktu bersa-
maan....
Dayang Sepuh gelengkan kepala. "Kita tetap
akan bersama-sama! Dan kunasihatkan padamu, Cu-
cuku. Kau boleh memanggilku Nenek, dan aku akan
memanggilmu Cucu kalau kita sedang berdua saja! Di
depan orang lain, kau harus memanggilku Bibi! Kau
mengerti?!"
Murid Pendeta Sinting nyengir seraya menahan
tawa. "Dasar nenek menor! Sudah tua masih juga ingin
dikira muda...."
Dayang Sepuh tersenyum, lalu lanjutkan lang-
kah. Joko tampak menghela napas. "Bagaimana aku
harus pisah dari nenek ini?! Apa aku langsung berlari
saja?! Tapi kalau dia mengejar dan marah-marah...?!"
Selagi murid Pendeta Sinting membatin begitu,
Dayang Sepuh tiba-tiba berjingkrak, membuat Joko
terkejut.
"Ada apa, Nek?!"
"Dengar...," kata Dayang Sepuh sambil tenga-
dahkan kepala. "Kau dengar bukan?"
Murid Pendeta Sinting kernyitkan dahi. "Aku ti-
dak mendengar apa-apa!"
"Dasar Cucu tuli! Apa kakekmu tidak menga-
jarkan bagaimana caranya mendengar?!"
Murid Pendeta Sinting sedikit geram mendengar
ucapan Dayang Sepuh. Dia kerahkan tenaga dalam
pada gendang telinganya agar bisa menangkap suara
yang sulit ditangkap pendengaran biasa. Namun se-
jauh ini Joko tidak menangkap suara.
"Heran! Apa pendengarannya yang salah?! Atau
jangan-jangan dia bercanda!"
"Bagaimana? Kau dengar bukan?!" Bertanya
Dayang Sepuh tanpa berpaling pada murid Pendeta
Sinting. "Ku lihat kau memakai tenaga, apa kini kau
telah dengar?!"
"Hem.... Dia tidak melihatku, tapi dia tahu ka-
lau aku berusaha menangkap suara dengan kerahkan
tenaga dalam! Siapa sebenarnya nenek ini?!" diam-
diam Joko membatin. Lalu terus terang dia berkata.
"Aku tidak mendengar apa-apa...."
Dayang Sepuh berpaling. Memandang sejurus
pada murid Pendeta Sinting. Lalu seraya melangkah
dia berkata.
"Ayo kutunjukkan apa yang kudengar!"
Entah karena ingin buktikan ucapan si nenek,
murid Pendeta Sinting segera pula melangkah. Namun
Joko terkesiap. Si nenek tampak melangkah perlahan
saja. Namun hingga dia berlari, jarak antara dirinya
dengan si nenek tidak juga menjadi dekat!
"Jangkrik! Dia seperti hendak tunjukkan kehe-
batan!" gumam Joko dengan dada agak panas. Dia ce-
pat kerahkan ilmu peringan tubuh. Lalu berkelebat.
Dalam beberapa saat, murid Pendeta Sinting telah da-
pat menjajari langkah si nenek. Namun cuma sekejap.
Karena begitu si nenek berpaling dan Joko ikut berpal-
ing ingin tunjukkan diri, tiba-tiba Dayang Sepuh ge-
rakkan bahunya. Sosoknya saat itu juga melesat lak-
sana angin!
Karena tak mau merasa malu, murid Pendeta
Sinting kerahkan segenap ilmu peringan tubuh. Lalu
berkelebat menyusul. Namun sampai sekujur tubuh-
nya basah kuyup oleh keringat, jangankan mendahu-
lui, menjajari kelebatan tubuh si nenek saja Pendekar
131 tidak mampu!
"Busyet! Ilmu peringan tubuhnya benar-benar
luar biasa!" kata Joko dalam hati. "Tapi hendak ke
mana sebenarnya nenek ini?! Apa sebenarnya yang ba-
ru saja didengar?"
Selagi Joko berpikir begitu, di depan Sana tiba-
tiba Dayang Sepuh hentikan larinya.
"Lihat!" kata Dayang Sepuh begitu Joko berada
di belakangnya. Tangannya menunjuk ke satu arah.
Joko arahkan pandangannya pada tempat yang
ditunjuk si nenek dengan dada turun naik dan mulut
megap-megap. Ternyata mereka berada di satu tempat
ketinggian. Memandang ke bawah tampak sebuah sen-
dang berair jernih yang di sebelah sampingnya terda-
pat pancuran air. Di sekitar sendang, tampak beberapa
batu.
Murid Pendeta Sinting arahkan pandangan ke
bawah. Lalu berpaling ke belakang.
"Hem.... Jaraknya begitu jauh, tapi pendenga-
rannya mampu menangkap suara pancuran air...," ka-
ta Joko dalam hati.
"Cucuku... aku ingin mandi. Kuharap kau me-
nungguku! Cari tempat yang enak untuk istirahat! Dan
jangan berani mengintip!"
Habis berkata begitu, Dayang Sepuh berkelebat
ke bawah. Joko sejurus pandangi kelebatan sosok si
nenek. "Siapa ingin melihat nenek berbugil ria! Lu-
mayan kalau kulitnya putih mulus...," gumam Joko la-
lu memandang berkeliling. "Hem.... Rasanya ini saat
yang tepat aku memisahkan diri! Tapi aku harus ya-
kinkan dulu kalau dia sudah benar-benar telanjang
dan mandi...."
Mungkin agar tidak dicurigai, Joko pura-pura
melangkah turun, lalu memilih sebuah batu besar.
Sambil melangkah turun, sepasang matanya melirik ke
samping kiri kanan melihat keadaan. "Sebelah barat
dan timur banyak ditumbuhi tumbuhan rapat. Aku
tinggal memilih menyelinap ke salah satunya...."
"Cucu...! Kau di mana?!" Tiba-tiba terdengar te-
riakan Dayang Sepuh.
"Di sini, Nek! Di samping batu besar!" sahut
Joko seraya terus putar kepala. Setelah dapat yakin-
kan diri ke sebelah mana nanti hendak berkelebat. Jo-
ko arah kan pandangannya ke sendang. Dayang Sepuh
tampak tegak di samping sendang. Lalu perlahan-
lahan nenek menor ini buka pakaiannya.
Murid Pendeta Sinting cepat merunduk lalu
duduk bersandar pada batu. Matanya kembali me-
mandang pada tumbuhan rapat di sebelah barat. Keti-
ka agak lama dan yakin si nenek sudah buka pakaian-
nya, Joko kerahkan ilmu peringan tubuh. Namun dia
tampak bimbang. "Hem.... Aku harus yakin dulu....
Aku harus dengar suara kecipak air...."
Murid Pendeta Sinting menunggu dengan dada
berdebar. Dia mulai merasa waswas, karena sejauh ini
dia belum mendengar suara kecipak air yang memberi
tanda jika si nenek telah ceburkan diri ke dalam air
sendang. Malah dia seolah tak sabar dan hendak meli-
hat seandainya tidak buru-buru sadar kalau si nenek
diyakininya telah telanjang.
Byurrr!
Tiba-tiba terdengar suara kecipak air. Joko me-
narik napas lega. Dia buru-buru berkelebat. Namun
gerakannya tertahan, karena bersamaan dengan ter-
dengarnya suara kecipak air, satu hembusan angin
menderu di atas batu di mana dia berada.
Murid Pendeta Sinting cepat mendongak. Satu
buntalan besar tiba-tiba telah melayang di atas kepa-
lanya. Belum sampai Joko tahu, buntalan itu telah ja-
tuh tepat di atas kepalanya!
Plukkk!
Joko cepat meraih. Sepasang matanya mendelik
besar. Buntalan itu ternyata pakaian si nenek. Pada
saat bersamaan, tiba-tiba terdengar teriakan Dayang
Sepuh.
"Cucu! Simpan dahulu pakaianku!"
"Busyet! Sepertinya dia tahu kalau aku hendak
pisahkan diri! Tapi aku harus cepat bergerak! Kalau ti-
dak, urusan tak berguna ini tambah jadi panjang...."
"Baik, Nek.... Puaskanlah mandi. Aku akan
menunggumu di sini sambil tiduran!" sahut Joko. Lalu
letakkan buntalan pakaian Dayang Sepuh di dekat ba-
tu. Saat lain ia membuat posisi merangkak. Lalu,
Wuuttt! Joko berkelebat ke salah satu batu dan diam
menunggu. Tidak ada suara teriakan dari Dayang Se-
puh, kembali Joko membuat posisi merangkak. Lalu
kembali melompat dan sembunyi di balik batu sa-
tunya. Demikian terus hingga hampir mencapai tum-
buhan rapat di sebelah barat.
Begitu jarak antara batu di mana kini dia bera-
da dan tumbuhan rapat hanya dua tombak, Joko ber-
paling ke arah sendang. Saat lain dia berkelebat lalu
menyelinap lenyap di antara tumbuhan rapat.
Ketika Joko sudah berada jauh, telinganya me-
nangkap teriakan-teriakan Dayang Sepuh yang me-
manggil-manggil. Joko celingukan sebentar. Lalu ber-
kelebat laksana dikejar setan menuju arah barat. Sa-
dar kalau Dayang Sepuh memiliki ilmu peringan tubuh
luar biasa, Joko berlari dengan kerahkan segenap ilmu
peringan tubuhnya!
Sementara di bagian sendang, begitu tiga kali
teriakan panggilannya tidak mendapat sambutan,
Dayang Sepuh cepat melesat keluar dari dalam sen-
dang. Tahu-tahu sosoknya telah berada di samping batu besar di mana tadi murid Pendeta Sinting berada.
Dengan perlahan-lahan Dayang Sepuh menge-
nakan pakaiannya. Lalu kibas-kibaskan dua kepangan
rambutnya. Saat lain nenek ini ambil dua bungkusan
dari saku pakaiannya. Seraya sandarkan pantat pada
batu, si nenek ronai pipi serta bibirnya dengan serbuk
yang ada dalam bungkusan kecil.
"Cucu.... Suara alam mengatakan kita berjodoh!
Jadi ke mana pun kau pergi, kita tetap akan berte-
mu...!" kata Dayang Sepuh. Lalu nenek ini perlahan-
lahan melangkah tinggalkan sendang. Herannya,
meski dia tidak mengetahui ke mana arah berlarinya
Pendekar 131, namun arah langkahan kakinya jelas
tepat ke arah mana tadi murid Pendeta Sinting berke-
lebat pergi!
*
* *
TIGA
PENDEKAR 131 baru memperlambat larinya
tatkala yakin jaraknya sudah jauh dari sendang di
mana Dayang Sepuh mandi. Dan telah yakin pula ka-
lau si nenek pasti tidak bisa menemukan jejaknya, ka-
rena dia sengaja berkelebat dengan mengambil jalan
berputar-putar dan melewati jalan-jalan setapak.
"Hemm.... Kali ini aku berhadapan dengan be-
berapa orang aneh! Ada apa sebenarnya ini?! Apa raib-
nya Eyang Guru masih ada kaitannya dengan urusan
gila ini?! Kembang Darah Setan, Kampung Setan...."
Murid Pendeta Sinting ulangi ucapan Setan Liang Makam dan Kiai Lidah Wetan yang sempat dijumpainya
beberapa waktu lalu.
"Namanya hampir sama.... Apa masih ada hu-
bungannya?! Herannya, selama ini aku belum pernah
mendengar nama itu selain dari manusia yang se-
butkan diri Setan Liang Lahat dan Kiai Lidah Wetan....
Sialnya, dalam keadaan begini, muncul pula nenek
menor yang tingkahnya masih seperti gadis muda sa-
ja.... Tapi, dari orang-orang yang kutemui, satu hal
yang pasti adalah mereka semua berilmu tinggi! Kalau
beberapa orang aneh muncul, di baliknya pasti ada se-
suatu! Tapi apa...?! Dan mengapa mengaitkan aku
yang tidak tahu urusan apa-apa?! Hem...."
Murid Pendeta Sinting terus melangkah dengan
benak disarati berbagai pertanyaan yang tidak bisa ter-
jawab. Saat itulah tiba-tiba terdengar orang bersin be-
berapa kali.
"Bruss! Bruss! Bruuss! Bruuss!"
Joko terkesiap. Karena suara bersin jelas ter-
dengar sangat dekat sekali dengan dirinya, maka Joko
pikir percuma saja berkelebat sembunyikan diri. Dia
segera putar kepala berpaling ke arah mana suara ber-
sin barusan terdengar. Namun hingga tiga kali kepa-
lanya berputar, matanya tidak melihat siapa-siapa!
"Heran. Suara bersin tadi begitu dekat, aneh-
nya tidak kelihatan batang hidungnya!"
Merasa kurang yakin, kembali Joko putar kepa-
lanya. Kali ini matanya dipentang besar-besar dan me-
neliti setiap sudut pandangannya. Karena belum juga
menangkap orang, kuduknya mulai dingin. "Jangan-
jangan nenek tadi berhasil menyusul ku.... Atau di
tempat ini ada hantu penghuninya?! Tapi mana ada
hantu yang bisa bersin-bersin? Lagi pula di tempat ini
tidak ada bau yang membuat hidung ingin bersin...."
Joko membatin. Saat itulah mendadak ekor mata ki-
rinya menangkap sesuatu. Dengan mata makin dibe-
liakkan, murid Pendeta Sinting segera berpaling ke ki-
ri.
"Aku yakin tadi telah melihat tempat itu sampai
tiga kali! Tapi aku sungguh-sungguh tidak melihatnya!
Adalah aneh kalau tiba-tiba sekarang ada orang di si-
tu!" Murid Pendeta Sinting cepat membuat satu kali
lompatan. Gerakannya ini serta-merta membawa di-
rinya tegak di belakang satu batangan pohon tidak be-
gitu besar. Dari sini Joko segera memperhatikan ke
depan. Kira-kira sejarak empat belas langkah dari
tempatnya tegak, terlihat seorang kakek duduk berlu-
tut dengan tangan kanan memegangi sebuah tongkat
kayu butut. Sementara tangan kirinya diletakkan di
atas pahanya. Kakek ini berambut putih tipis hingga
batok kepalanya terlihat jelas. Sepasang matanya sipit.
Hidungnya tampak mengembung besar di bagian de-
pan, hingga kedua lobang hidungnya tampak mengan-
ga besar. Dia mengenakan pakaian lusuh warna putih
kusam.
Kepala kakek yang duduk berlutut itu tampak
bolak-balik ke depan ke belakang dengan wajah merin-
gis. Dan sesekali kepalanya digelengkan ke samping
kanan kiri.
Murid Pendeta Sinting diam-diam menahan ta-
wa. Karena jelas dia dapat menduga kalau si kakek in-
gin bersin tapi tidak kesampaian. Hingga kepalanya
pulang balik ke depan ke belakang dengan air muka
meringis.
"Bruss! Bruss! Bruss!"
Tiba-tiba si kakek bersin. Joko tersentak kaget.
Bukan karena suara bersin orang, melainkan bersa-
maan dengan terdengarnya suara bersin, tanah di de
pan mana si kakek duduk berlutut laksana disapu ge-
lombang angin kencang hingga berhamburan! Aneh-
nya, meski telah bersin tiga kali, kepala si kakek tetap
saja pulang balik ke depan ke belakang dengan wajah
meringis, jelas pertanda kalau si kakek ingin bersin la-
gi!
"Angin yang keluar dari hidungnya mampu
membuat tanah berhamburan. Kakek yang selalu ingin
bersin ini pasti bukan orang sembarangan!" Joko hen-
dak keluar dari balik batangan pohon. Namun teringat
akan beberapa peristiwa yang terjadi, Joko jadi urung-
kan niat. "Daripada mencari penyakit sementara pe-
nyakit lainnya belum beres. lebih baik aku segera ting-
galkan tempat ini...."
Setelah memandang sekilas pada si kakek yang
selalu ingin bersin, murid Pendeta Sinting berkelebat
tinggalkan batangan pohon di mana dia mengintip
orang. Dia berlari cepat menuju arah barat. Sesekali
telinganya masih mendengar bersin orang di belakang
sana. Namun tak lama kemudian dia sudah tidak
mendengar lagi karena jaraknya sudah makin jauh.
Pada satu tempat, murid Pendeta Sinting ber-
henti karena lelah, dia duduk bersandar pada sebatang
kayu kering. Belum lama duduk istirahat, tiba-tiba dia
mendengar suara gemerisik di semak-semak tidak jauh
dari tempatnya.
Belum sampai Joko melihat apa yang baru saja
menimbulkan suara gemerisik, mendadak terdengar....
"Bruss! Brusss! Brussss!"
Joko terkesiap. Laksana disentak setan, kepa-
lanya berpaling ke arah semak-semak yang tadi berisik
dan dari situ pula suara bersinan terdengar.
Semak-semak tidak jauh dari tempat murid
Pendeta Sinting terlihat bergerak-gerak menyibak. Dari
bagian dalam sibakan semak, samar-samar mata Joko
menangkap satu sosok tubuh duduk berlutut dengan
tangan kanan memegang tongkat. Kepalanya bergerak-
gerak pulang balik ke depan ke belakang!
"Kakek itu!" desis Joko mengenali siapa adanya
orang di balik sibakan semak. "Rupanya kakek ini
akan menambah deretan orang-orang aneh yang harus
kujumpai! Hal ini membuatku makin yakin ada sesua-
tu..." Joko perhatikan si kakek. "Dia tampaknya sudah
tahu diriku, tak ada gunanya lagi berlari atau sem-
bunyi...."
Membatin begitu, akhirnya murid Pendeta Sint-
ing bergerak bangkit. Lalu perlahan-lahan melangkah
ke arah tempat si kakek.
"Bruss! Bruss! Bruuss! Bruuss!"
Si kakek bersin lagi. Joko sekonyong-konyong
hentikan langkah. Karena merasa dirinya didorong ke-
kuatan dahsyat. Hingga kalau saja dia tidak cepat ke-
rahkan tenaga dalam, niscaya sepasang kakinya akan
tersurut mundur! Saat yang sama, semak-semak ber-
gerak menyibak. Satu sosok berkelebat keluar. Dan ta-
hu-tahu si kakek telah tegak di hadapan Pendekar 131
dengan kepala pulang balik ke depan ke belakang
sambil meringis membuat gerakan seperti orang hen-
dak bersin! Namun hingga agak lama, tidak juga orang
ini perdengarkan suara bersin!
"Anak muda! Harap maafkan.... Beginilah kea-
daan ku kalau hidungku membaui tubuh manusia....
Harap kau tidak...." Si kakek tidak lanjutkan ucapan-
nya. Kepalanya tertarik ke belakang.
"Brusss! Brusss! Brusss!"
Si kakek bersin lagi. Tapi kali ini hembusan an-
gin yang melesat keluar dari hidungnya tidak aki-
batkan apa-apa pada murid Pendeta Sunting meski jarak antara keduanya tidak jauh.
Pendekar 131 pandangi dengan seksama orang
tua di hadapannya lama-lama. Diam-diam perasaan-
nya mulai waswas dan bimbang. Di satu pihak ingin
tahu siapa sebenarnya adanya si kakek, dan mengapa
sepertinya mengikuti terus langkahnya. Sementara di
lain pihak. dia merasa yakin kalau ada yang tak beres
dengan orang tua di hadapannya. Karena sikapnya je-
las selalu mengikuti ke mana dirinya pergi meski dia
tak habis pikir bagaimana si kakek itu tahu-tahu su-
dah berada di dekatnya.
Merasa dirinya dipandangi orang, masih den-
gan tarik pulang kepalanya yang hendak bersin dan
tanpa memandang ke arah murid Pendeta Sinting, si
kakek berkata.
"Pandangan mu curiga, Anak Muda! Apa ada
yang salah dengan diriku?! Kalau soal hidungku, su-
dah ku katakan padamu tadi.... Selalu kumat kalau
membaui tubuh manusia!"
Joko alihkan pandangannya seraya menggeleng
perlahan. "Tidak ada yang salah, Kek.... Hanya aku he-
ran. Sebentar tadi kau kulihat masih duduk jauh di
sana. Tapi tiba-tiba sekarang sudah berada di sini...."
Si kakek coba hentikan gerakan kepalanya
yang pulang balik ke belakang ke depan. Sepasang ma-
tanya yang sipit membuka besar.
"Heran.... Ya, heran. Seharusnya aku yang me-
rasa heran. Sepertinya aku tidak ke mana-mana. Sejak
kemarin pagi aku sudah berada di sini! Bagaimana
mungkin kau melihatku di sana...?! Kau tidak salah li-
hat, Anak Muda?!"
Seakan termakan ucapan orang, murid Pendeta
Sinting beliakkan sepasang matanya pandangi sekali
lagi orang tua di hadapannya. "Tak mungkin aku salah lihat! Orangnya sama, sikapnya tidak berbeda! Pa-
kaian dan tongkat kayu bututnya persis!" kata Joko
dalam hati. Lalu berkata.
"Kek.... Apa kau punya saudara kembar?!"
"Heran.... Bagaimana kau bisa berkata begitu?!
Aku nongol ke dunia sendirian! Bahkan aku tak punya
adik atau kakak. Mengherankan kalau kau bertanya
aku punya saudara kembar...."
"Hem.... Atau kau pernah tahu orang yang mi-
rip denganmu?!"
"Hem.... Heran! Bagaimana mungkin di dunia
ini ada orang yang mirip?! Anak muda. Adalah mung-
kin kalau Yang Maha Kuasa menciptakan orang yang
mirip! Tapi adalah mengherankan kalau tak bisa dibe-
dakan!"
"Tapi, Kek! Aku baru saja melihat orang yang
sama persis denganmu di sana!" Joko menunjuk ke sa-
tu arah.
Si kakek arahkan pandangannya ke tempat
yang ditunjuk murid Pendeta Sinting. "Heran.... Ba-
gaimana bisa begitu?! Ucapanmu membuatku he-
ran...."
"Hem.....Dugaanku tidak meleset lagi! Aku ber-
hadapan dengan orang aneh...." Joko membatin seraya
menarik napas panjang. "Aku akan coba tanyakan pa-
danya tentang urusan yang saat ini kuhadapi. Siapa
tahu dia bisa memberi keterangan! Orang begini bi-
asanya tahu banyak tentang urusan aneh...."
Membatin begitu, lalu murid Pendeta Sinting
angkat bicara.
"Kek.... Boleh aku tanya sesuatu padamu?!"
"Heran.... Kurasa saat ini adalah jumpa kita
yang pertama kali. Aku heran, Anak Muda.... Apakah
aku pernah melarangmu untuk bertanya?!!"
Joko tidak pedulikan ucapan orang. Dia segera
saja ajukan tanya.
"Kek.... Kau pernah dengar sebuah kampung
yang disebut Kampung Setan?!"
"Brusss! Brusss! Brusss!"
Si kakek bersin lagi. Lalu kernyitkan dahi sam-
bil berujar.
"Aku heran, mengapa baru kali ini mendengar
nama kampung itu?!"
Ucapan si kakek telah membuat murid Pendeta
Sinting maklum kalau orang yang ditanya tidak tahu
tentang Kampung Setan. Tapi Joko lanjutkan perta-
nyaan.
"Kau pernah tahu sesuatu yang disebut Kem-
bang Darah Setan?!"
Yang ditanya dongakkan kepala seolah berpikir.
Joko menunggu dengan perasaan agak lega, karena si-
kap si kakek seolah membayangkan dia kali ini tahu
apa yang ditanyakan orang.
"Brusss!"
Joko memekik sendiri dalam hati. Karena ter-
nyata si kakek dongakkan kepala tidak sedang berpi-
kir, tapi karena ingin bersin.
"Anak muda.... Aku heran. tujuh hari terakhir
ini sudah tujuh orang yang sebut-sebut Kembang Da-
rah Setan di depanku! Aku jadi bingung dan heran.
Bagaimana orang-orang menanyakan itu padaku?! Pa-
dahal aku bukan penjual kembang! Atau jangar, jan-
gan kau meledek ku, Anak Muda...."
Murid Pendeta Sinting kali ini rasanya kehilan-
gan akal. Hingga untuk beberapa saat dia tidak sahuti
ucapan orang. Sementara si kakek di hadapannya lan-
jutkan ucapan. "Kau tahu, Anak Muda.... Sekali aku
mencium bau kembang, sehari semalam aku tak henti
hentinya bersin-bersin!"
Joko gelengkan kepala. Tapi entah karena apa,
murid Pendeta Sinting ini lanjutkan juga bertanya.
"Kek.... Kau kenal dengan seorang laki-laki yang berge-
lar Setan Liang Makam?!"
"Heran.... Kudengar dari tadi kau selalu sebut-
sebut Setan.... Kau jangan.
"Brusss! Brusss! Brusss!"
Si kakek bersin. Lalu lanjutkan ucapan. "Kau
jangan menakut-nakuti aku! Penyakit ku makin men-
jadi-jadi kalau aku ketakutan...." Habis berkata begitu,
si kakek beberapa kali bersin-bersin.
Joko tidak acuhkan ucapan dan bersinan
orang. Dia kembali buka mulut.
"Kek.... Apa kau masih juga merasa heran ka-
lau aku tanya apa kau pernah bertemu orang yang se-
butkan diri sebagai Dayang Sepuh?!"
Tiba-tiba si kakek menindih keinginannya un-
tuk bersin. "Heran.... Di mana kau bertemu dengan
orang itu?!"
Paras wajah Pendekar 131 berubah cerah.
Sambil senyam-senyum dia berkata.
"Aku jumpa dengannya di sebuah kedai! Aku
sempat bicara panjang lebar dengannya. Dari ucapan-
ucapannya aku menduga dia sedang mencari seseo-
rang.... Dan dari ciri-ciri orang yang dicari, aku bisa
memastikan kalau kaulah orangnya!"
"Hem.... Apa yang dibicarakan tentang diriku,
Anak Muda...?!" tanya si kakek seraya maju dengan
wajah bersungguh-sungguh.
"Dia menghubung-hubungkan dirimu dengan
Kembang Darah Setan, Kampung Setan, malah kau di-
kait-kaitkan dengan Setan Liang Makam! Maka dari itu
jangan heran kalau aku tadi bertanya padamu...."
"Heran.... Mengapa aku dihadapkan dengan
urusan mengherankan ini?! Apakah memang sudah
nasibku harus selalu merasa heran?!" gumam si ka-
kek. Kepalanya kembali pulang balik ke depan ke bela-
kang dengan wajah meringis ingin bersin.
"Kau tak usah merasa heran, Kek.... Dan kuha-
rap kau mau menjawab pertanyaanku tadi. Kalau ti-
dak...." Joko tersenyum dahulu sebelum akhirnya lan-
jutkan. "Nenek itu berada tidak jauh dari sini.... Tidak
sulit aku memberitahukan padanya.... Dan perlu kau
ketahui, dari nada ucapannya, aku bisa menebak apa
yang hendak dilakukannya padamu...."
"Brusss! Brusss! Brusss!"
Si kakek bersin-bersin. Lalu tertawa bergelak-
gelak. Namun hingga suara gelakan tawanya berhenti,
si kakek tidak juga buka mulut.
"Kek.... Kau masih tak mau memberi keteran-
gan?!"
"Anak muda.... Mengherankan kalau aku mem-
beri keterangan sesuatu yang tidak kuketahui! Dan
jangan heran kalau kukatakan, aku tidak kenal den-
gan Dayang Sepuh.... Kalau tadi aku bertanya pada-
mu, aku tadi hanya merasa heran, bagaimana mung-
kin dia mengenal ku bahkan mencariku?!"
Murid Pendeta Sinting melengak. Namun dia
buru-buru buka mulut. "Kau jangan pura-pura! Dari
perubahan sikapmu tadi, apa kau kira aku tak dapat
menduga?!"
"Menduga boleh-boleh saja. Hanya.... Brusss!
Brusss! Adalah mengherankan kalau kau menduga
dengan melihat perubahan sikap orang! Kau tahu,
Anak Muda. Manusia itu pandai berpura-pura. Tidak
sulit dia mengubah sikap hanya karena ingin agar da-
pat mengubah dugaan orang! Kalau kau selalu menduga orang dengan perubahan sikapnya, tidak heran
kalau kau akan mudah dikecoh.... Brusss! Brusss!"
"Busyet! Dia tidak mudah dikibuli.... Sekarang
aku harus tahu siapa dia!" kata Joko dalam hati. Na-
mun sebelum dia lakukan apa yang ada dalam benak-
nya, si kakek telah angkat bicara.
"Anak muda.... Biar rasa heran ku hilang, coba
kau katakan siapa nama yang disebut-sebut si nenek
itu untukku?!"
"Hem.... Dia seolah tahu kalau aku ingin mena-
nyakan namanya....." Membatin Joko. Lalu dengan se-
dikit gelagapan dia berujar. "Dia tidak sebut-sebut na-
mamu. Dia hanya sebut-sebut ciri-ciri orang! Tapi jelas
ciri-ciri yang disebut ada padamu!"
"Hem.... Meski aku percaya, tapi bukan berarti
rasa heran ku jadi hilang...," gumam si kakek.
"Kek! Kau sudi katakan siapa dirimu sebenar-
nya?!" tanya Joko yang sudah kehabisan akal untuk
mengorek keterangan dari kakek di hadapannya.
"Mengherankan. Kau tadi bilang sudah bicara
panjang lebar dengan si nenek. Sekarang kau masih
juga bertanya padaku...."
"Dayang Sepuh memang bicara panjang lebar
tentang dirimu. Tapi dia tidak sebut-sebut namamu...."
"Hem.... Jadi kau ingin tahu namaku?! Bruss!
Bruss!"
Pendekar 131 anggukkan kepala. Si kakek ber-
sin lagi sebelum menjawab.
"Mungkin di sini ada orang yang bisa menjawab
pertanyaanmu, Anak Muda.... Tapi bukan aku...."
Murid Pendeta Sinting sipitkan mata dengan
kening berkerut. Belum sampai Joko menduga-duga, si
kakek telah berucap lagi.
"Aku tahu, kau pura-pura merasa heran. Pa
dahal kau juga tahu kedatangannya...." Si kakek ber-
sin lagi. Lalu arahkan wajahnya ke satu jurusan. Mu-
lutnya membuka.
"Sahabat.... Jangan membuatku makin heran
dengan datang tanpa tunjukkan diri...."
Terdengar orang bergumam dari jurusan mana
si kakek menghadap. Paras Joko berubah tegang. "Ba-
gaimana kalau orang yang muncul adalah nenek me-
nor itu?!"
"Anak muda.... Aku heran. Mengapa kau tegang
begitu rupa?! Bukankah kau tadi ingin tahu nama-
ku...?! Kurasa ada seorang sahabat yang akan menja-
wab keingintahuan mu...," bisik si kakek tanpa me-
mandang pada murid Pendeta Sinting.
"Apa hendak dikata...." Akhirnya Joko angkat
bahu dan palingkan wajah ke jurusan mana si kakek
menghadap. Dadanya makin berdebar juga heran. Si
kakek dapat menangkap kedatangan orang, sedangkan
dirinya belum mengetahui.
"Sahabatku, Datuk Wahing... Aku hanya kebe-
tulan lewat. Makanya aku sengaja tidak tunjukkan di-
ri.... Tapi kalau kau...."
Terdengar suara orang dari jurusan mana si
kakek hadapkan wajah. Namun sebelum ucapan orang
yang belum kelihatan tampangnya ini selesai, si kakek
yang selalu bersin-bersin dan baru saja disebut orang
dengan Datuk Wahing telah buka mulut menukas.
"Sahabatku, harap kau sudi tunjukkan diri. Di sini ada
seorang muda yang ingin berkenalan. Kurasa kau bisa
menjawab keinginannya...."
Mendengar ucapan-ucapan orang, murid Pen-
deta Sinting bisa sedikit merasa lega. Karena dari uca-
pan orang, dia sudah memastikan yang baru saja ber-
kata dan belum tampakkan diri bukanlah Dayang Sepuh. Hingga dia balikkan tubuh dengan mata meman-
dang tak berkesip.
Sejarak kira-kira sepuluh tombak, satu sosok
tubuh keluar dari balik kerapatan pohon. Sekali berge-
rak, sosok ini telah tegak hanya tujuh langkah di ha-
dapan Joko dan si kakek.
Murid Pendeta Sinting tersentak. Sepasang ma-
tanya dibeliakkan besar-besar. Sementara si kakek
yang disebut Datuk Wahing dongakkan kepala lalu
bersin-bersin beberapa kali.
*
* *
EMPAT
PENDEKAR 131 Joko Sableng pandangi orang
di hadapannya dengan mulut terkancing tapi hati ber-
tanya-tanya. "Kalau saja pada hidungnya ada anting-
anting benang berwarna merah, pasti aku bisa menge-
nali kalau orang ini tidak lain adalah kakek yang se-
butkan diri Kiai Lidah Wetan yang kutemui beberapa
waktu lalu...."
Orang di hadapan murid Pendeta Sinting me-
mang seorang laki-laki berusia lanjut dengan rambut
putih sebahu. Sepasang matanya agak besar dan me-
nyorot tajam. Kumis dan jenggotnya lebat juga berwar-
na putih.
Kalau orang pernah bertemu dengan Kiai Lidah
Wetan, mungkin orang akan menebak jika orang di
hadapan Joko adalah saudara kembar Kiai Lidah We-
tan, atau setidak-tidaknya masih ada hubungan da-
rah. Karena baik wajah maupun sosoknya sama. Yang membedakan antara orang di hadapan murid Pendeta
Sinting dengan Kiai Lidah Wetan adalah anting-anting
dari benang berwarna merah. Orang yang kini di hada-
pan Joko tidak mengenakan anting-anting benang pa-
da kedua cuping hidungnya, sementara Kiai Lidah We-
tan mengenakan anting-anting benang.
Begitu orang tegak di hadapannya, Datuk Wah-
ing tampak tengadahkan kepala lalu bersin beberapa
kali. Setiap kali baru bersin, kepalanya yang sedikit
merunduk ditundukkan makin dalam seolah membuat
gerakan seperti orang menjura hormat.
"Hatiku senang sekali bertemu denganmu, sa-
habatku Kiai Laras.... Tapi dibanding rasa gembiraku,
nyatanya rasa heran ini makin banyak! Brusss!
Brusss!" ujar Datuk Wahing dengan air muka meringis.
Orang yang baru muncul dan ternyata bukan
lain memang Kiai Laras, sunggingkan senyum. Me-
mandang sejurus pada Datuk Wahing lalu pada murid
Pendeta Sinting.
"Aku tak heran, Datuk Wahing.... Sesuatu yang
tidak mengherankan bagi orang, akan mengherankan
bagimu...."
"Hem...." Murid Pendeta Sinting memandang si-
lih berganti pada si kakek dan orang yang baru mun-
cul. "Kakek bersin-bersin itu bernama Datuk Wah-
ing.... Dan kakek satu ini bernama Kiai Laras.... Du-
gaanku, dari wajah dan namanya, kemungkinan besar
kakek ini masih ada hubungannya dengan Kiai Lidah
Wetan. Mudah-mudahan dia nanti bisa membuka se-
dikit jalan buntu yang kuhadapi selama ini...! Dan
mudah-mudahan pula kakek ini bukan jadi tambahan
orang aneh yang kutemui...."
Datuk Wahing memandang sejurus pada Kiai
Laras. "Sahabatku.... Aku tidak bisa menjawab pertanyaan anak muda ini yang kurasa sangat membuatku
heran. Harap kau sudi menjawabnya kalau kau tidak
heran dengan pertanyaannya dan bisa...!"
Kiai Laras arahkan pandangannya pada murid
Pendeta Sinting. Joko balas memandang seraya bung-
kukkan sedikit tubuh.
"Anak muda.... Siapa namamu?!" Bertanya Kiai
Laras.
"Joko Sableng, Kek....
"Hem.... Kakek sahabatku ini tadi sudah men-
gatakan siapa aku. Jadi aku tidak usah perkenalkan
diri...," kata Kiai Laras. Melirik sebentar pada Datuk
Wahing lalu lanjutkan ucapannya. "Apa yang ingin kau
ketahui, Anak Muda?!"
"Sebelum aku bertanya, aku ingin tahu. Apa-
kah Kakek masih ada hubungan dengan orang tua
bernama Kiai Lidah Wetan?!"
"Aku sudah menduga sejak kau memandangi
ku tadi. Aku juga tidak kaget. Karena bukan pertama
ini orang yang baru kukenal menanyakan seperti yang
kau tanyakan.... Cuma perlu kau ketahui, aku tidak
pernah jumpa dengan orang tua yang namanya baru
saja kau sebut! Aku sekarang ingin tanya. Mengapa
kau menduga aku ada hubungan dengan orang tua
yang kau katakan sebagai Kiai Lidah Wetan?!" Kiai La-
ras balik bertanya.
"Wajahmu, Kek...."
"Kenapa wajahku...?!"
"Hampir sama! Dan nama depanmu pun sa-
ma...." "Hem.... Tapi kau masih bisa membedakan, bu-
kan?!"
Murid Pendeta Sinting menjawab dengan ang-
gukan kepala. Sementara sepasang matanya tak henti
terus menerus pandangi dengan seksama sekujur tubuh orang tua di hadapannya.
"Bagus! Berarti aku tak usah terangkan lagi
urusan hubungan ku dengan orang tua bernama Kiai
Lidah Wetan itu! Sekarang apa kau ingin tanya sesua-
tu yang menurut sahabatku ini mengherankan?!"
"Kek.... Kau pernah dengar tentang Kembang
Darah Setan?!" Joko langsung saja ajukan tanya.
"Aku bukan hanya dengar. Tapi aku tahu seluk
beluk mengenai Kembang Darah Setan!"
Saking girangnya, murid Pendeta Sinting cepat
melangkah maju mendekati Kiai Laras. "Harap kau su-
di terangkan padaku, Kek!"
Seolah acuh dengan kegirangan orang, malah
tanpa memandang, Kiai Laras berkata.
"Kembang Darah Setan adalah senjata dahsyat.
Senjata itu dimiliki seorang tokoh berilmu sangat tinggi
yang dikenal dengan Maladewa. Orang itu terakhir kali
diberitakan tinggal di Kampung Setan! Sayangnya su-
dah hampir tiga puluh tahunan orang itu tidak terden-
gar lagi kabar beritanya...."
"Kau pernah bertemu dengan orang yang berge-
lar Setan Liang Makam?!"
Masih tanpa memandang, Kiai Laras buka mu-
lut menyahut. "Siapa pun orang rimba persilatan saat
ini, pasti tidak akan tahu orang yang gelarnya baru sa-
ja kau katakan! Karena selama ini dalam kancah dunia
persilatan, tidak ada orang yang bergelar Setan Liang
Makam! Kalaupun ada, tentu seorang yang baru saja
muncul...!"
"Tapi orang itu tahu tentang Kembang Darah
Setan juga sebut-sebut Kampung Setan.... Berarti dia
adalah seorang tokoh dunia persilatan...," ujar Joko.
"Betul! Tapi seperti kataku tadi, pasti dia orang
yang baru saja muncul! Dan kalau dia sebut-sebut
Kembang Darah Setan serta Kampung Setan, itu ada-
lah hal biasa, Anak Muda...."
"Bruss! Bruss! Sahabatku, kau orang yang be-
runtung. Hal demikian hebat yang menurutku sangat
mengherankan kau sebut suatu yang biasa...." Datuk
Wahing menyahut lalu pulang balikkan kepalanya ke
depan ke belakang dengan wajah meringis.
"Kek.... Satu lagi pertanyaanku. Apa kau kenal
dengan seorang nenek bergelar Dayang Sepuh?!" tanya
murid Pendeta Sinting.
Kali ini Kiai Laras langsung sentakkan kepa-
lanya memandang pada Pendekar 131. Parasnya sedi-
kit berubah. Namun sesaat kemudian bibir orang tua
ini sunggingkan senyum. "Kusarankan padamu, Anak
Muda! Berhati-hatilah kalau kau bertemu dengan ne-
nek itu! Dia seorang nenek berilmu tinggi yang sangat
licik! Dia tak akan lepaskan mangsanya sebelum tu-
juannya berhasil! Dan terbetik kabar akhir-akhir ini
dia sedang menyelidik Kembang Darah Setan.... Bebe-
rapa tokoh tinggi di sebelah barat banyak yang tewas
tanpa diketahui siapa yang melakukan. Tapi orang
mulai menduga-duga jika semua pembunuhan itu di-
dalangi Dayang Sepuh! Mungkin beberapa orang yang
tewas tidak mau memberi keterangan yang diminta
Dayang Sepuh...."
Diam-diam dada murid Pendeta Sinting berde-
bar. "Hem.... Jangan-jangan nenek itu memang punya
tujuan tertentu hingga bersikeras ikut dengan ku! Aku
pernah mengatakan padanya urusan Kembang Darah
Setan serta Kampung Setan! Mungkin dari keteran-
ganku ini dia menduga aku tahu banyak tentang Kem-
bang Darah Setan serta Kampung Setan. Lalu dia pu-
ra-pura hendak ikut mencari kakekku yang kukatakan
hilang... Hem.... Benar-benar licik nenek itu...."
"Anak muda.... Apakah kau menginginkan
Kembang Darah Setan?!" Kiai Laras bertanya seraya
alihkan pandangannya pada Datuk Wahing.
Meski merasa tidak dipandang orang, murid
Pendeta Sinting gelengkan kepala lalu berkata. "Men-
dengar namanya saja aku sudah ngeri, Kek.... Bagai-
mana mungkin aku menginginkannya?! Lagi pula un-
tuk apa?!"
"Bruss! Bruss! Bruss! Kalau kau sudah ngeri
mendengar namanya, aku justru heran mendengar
namanya! Jadi pasti mengherankan pula kalau aku
menginginkan pula barang itu! Lagi pula kembang ada-
lah barang yang sedapat mungkin ku jauhi! Aku sendi-
ri heran, mengapa penyakit ku akan menjadi-jadi ka-
lau membaui kembang...." Datuk Wahing tiba-tiba me-
nyahut meski Kiai Laras tidak bertanya padanya.
Anehnya begitu selesai bicara, orang tua ini langsung
saja bersin-bersin tak putus-putus!
Kiai Laras tampak kernyitkan dahi. Diam-diam
laki-laki ini berkata dalam hati. "Hem.... Tampaknya
dia dapat mencium kembang di balik pakaianku....
Bukan saat ini waktu yang baik untuk menundukkan
manusia-manusia ini!"
Habis membatin begitu, Kiai Laras memandang
pada murid Pendeta Sinting. "Anak muda. Walau kau
tidak inginkan Kembang Darah Setan, tapi tak ada je-
leknya kau tahu di mana beradanya kembang itu saat
ini. Siapa tahu suatu saat pikiranmu berubah...."
Belum sampai Joko buka mulut menyahut, Kiai
Laras telah lanjutkan ucapannya. Sementara di sebe-
lah samping Datuk Wahing terus bersin-bersin.
"Anak muda.... Menurut kabar yang akhir-akhir
ini tersiar, Kembang Darah Setan dimiliki oleh seorang
pemuda yang oleh kalangan rimba persilatan dikenal
dengan Pendekar Pedang Tumpul 131! Benar tidaknya
aku tidak tahu...." Kiai Laras memandang ke arah Da-
tuk Wahing. Lalu berkata.
"Aku tak bisa lama-lama di sini, Sahabat!"
Tanpa menunggu sahutan orang, Kiai Laras
berkelebat tinggalkan tempat itu. Entah masih terke-
sima dengan ucapan yang baru didengar dari Kiai La-
ras, Joko hanya tegak diam dengan mata memandang
ke jurusan lain.
"Bruss! Bruss! Bruss! Mengherankan.... Bagai-
mana bisa penyakit ku mendadak kumat menjadi-jadi?
Jangan-jangan kau membawa kembang, Anak Muda!"
Joko tersentak. "Jangan-jangan dia hendak
mulai...." Murid Pendeta Sinting mulai curiga dan
khawatir dengan ucapan Datuk Wahing. "Daripada me-
layaninya, lebih balk aku cari tempat yang tenang se-
raya kaitkan hubungan ucapan-ucapan orang tua ta-
di!"
"Kek.... Aku juga harus pergi!" Joko balikkan
tubuh.
"Heran.... Apa kau kira aku mencegahmu...?!"
kata Datuk Wahing. Lalu bersila lagi.
Pendekar 131 angkat bahu lalu berkelebat ting-
galkan tempat itu. Namun karena takut kalau diikuti
orang, sejarak sepuluh tombak, dia palingkan kepala
ke arah di mana Datuk Wahing berada. Joko jadi ter-
kejut. Suara bersinan masih saja terus terdengar. Na-
mun sosok Datuk Wahing tidak kelihatan di tempatnya
semula! Bahkan hingga Joko balikkan tubuh dan me-
mandang berkeliling, dia tak melihat siapa-siapa pa-
dahal suara bersinan terus saja terdengar!
Entah ingin tahu sampai di mana suara bersi-
nan itu akan terus terdengar, Pendekar 131 sengaja
tegak tidak bergeming dari tempatnya seraya tajamkan
telinga untuk mengetahui di mana sebenarnya adanya
Datuk Wahing.
Herannya, meski murid Pendeta Sinting dapat
tentukan dari mana arah sumber suara bersinan, na-
mun begitu matanya mencari, dia tidak melihat sosok
si kakek!
"Percuma kau mencari orangnya, Anak Muda!
Karena dia sudah tidak ada di sini! Yang kini terdengar
adalah gaung suaranya saja yang akan terus meman-
tul dan tak akan ada habisnya! Datuk Wahing memiliki
ilmu yang disebut 'Pantulan Tabir'!" Satu suara tiba-
tiba terdengar, membuat Joko palingkan kepala.
"Hem.... Rupanya dia belum pergi dari sini...!"
gumam murid Pendeta Sinting begitu matanya menge-
nali siapa adanya orang yang bersuara.
*
* *
LIMA
TIDAK jauh dari tempat tegaknya murid Pende-
ta Sinting, Kiai Laras tampak tegak dengan sungging-
kan senyum. Dan belum sampai Pendekar 131 buka
mulut, Kiai Laras sudah angkat bicara lagi.
"Anak muda. Waktu aku akan pergi, tiba-tiba
aku ingat sesuatu.... Kalau tidak salah, sepertinya aku
pernah melihatmu sebelum ini...."
"Hem.... Seingatku, bahkan aku yakin. Baru
kali ini bertemu. Adalah aneh kalau dia berkata pernah
jumpa denganku...." Joko membatin dalam hati. Lalu
berkata.
"Kek.... Orang terkadang memang lupa! Bisa
katakan di mana kira-kira kita pernah jumpa?!"
Kiai Laras gelengkan kepala. "Jangan salah,
Anak Muda. Aku tidak katakan pernah jumpa. Tapi
aku pernah melihatmu...." "Di mana, Kek?!"
"Di sebuah kedai. Kalau tak salah, kau bersama
seorang gadis cantik!"
Pendekar 131 mendadak tertawa bergelak. "Kau
jangan bercanda, Kek! Nenek-nenek begitu masih juga
kau katakan gadis cantik! Dandanannya memang bo-
leh. Ketiak dan pusar kelihatan. Celana pendek di atas
lutut dengan paha terpampang jelas. Lalu rambut di
poni dan pipi serta bibir dipoles merah. Sayangnya se-
mua itu tidak dipadu dengan warna kulit yang mema-
dai!" Murid Pendeta Sinting masih menduga bahwa
yang dimaksud gadis cantik oleh Kiai Laras adalah si
nenek Dayang Sepuh.
"Hem.... Berarti anak ini telah bertemu dengan
nenek itu!" kata Kiai Laras dalam hati. Sambil tetap
sunggingkan senyum, dia lalu berujar.
"Aku tidak bercanda, Anak Muda. Jelas kau
waktu itu bersama seorang gadis cantik berpakaian
warna merah...."
"Dia memang berpakaian warna merah, Kek!"
sahut Joko sebelum Kiai Laras teruskan ucapannya.
Lalu tertawa bergelak lagi.
"Ah, kau terburu memotong, Anak Muda. Dia
berpakaian merah. Rambutnya dikuncir tinggi. Bibir-
nya merah tanpa polesan. Dan kulitnya putih ber-
sih...."
Pendekar 131 putuskan gelakan tawanya. Da-
hinya mulai berkerut. "Kek! Jangan-jangan kau salah
lihat! Selama ini aku belum pernah jumpa dengan seo-
rang gadis! Apalagi yang rambutnya dikuncir tinggi,
bibir merah tanpa polesan, dan berkulit putih bersih
seperti yang baru saja kau katakan.... Aku justru keti-
ban sial berjumpa dengan nenek berdandan seronok
itu..."
Kiai Laras kembali gelengkan kepala. "Aku me-
mang sudah tua, Anak Muda. Tapi mataku tidak
mungkin salah pandang!"
"Ah.... Bagaimana bisa begitu, Kek?! Padahal
aku sendiri tidak pernah jumpa dengan seorang gadis
meski kau benar mengatakan melihatku di sebuah ke-
dai!"
"Hem.... Mungkin benar juga ucapanmu, Anak
Muda. Aku salah lihat!" ujar Kiai Laras pada akhirnya
setelah agak lama terdiam. "Kau tadi mengatakan
jumpa dengan nenek berdandan seronok. Dari ciri-ciri
yang kau katakan, sedikit banyak aku dapat menduga
siapa adanya nenek itu. Kau harus bersyukur, Anak
Muda...."
"Bersyukur bagaimana, Kek?!"
"Kau bisa lepaskan diri dari cengkeraman ne-
nek itu! Karena jarang sekali ada orang yang bisa lolos
dari cengkeramannya...."
"Aku meninggalkannya sewaktu dia mandi di
sebuah sendang!"
"Mau turut saran ku, Anak Muda?!" tanya Kiai
Laras. Namun orang tua ini tampaknya tidak menung-
gu jawaban orang. Karena dia sudah lanjutkan uca-
pannya. "Segeralah tinggalkan tempat ini jauh-jauh!
Ku yakin nenek itu memerlukan sesuatu darimu! En-
tah apa itu, aku tak bisa mengatakannya! Yang pasti,
begitu dia mendapat sesuatu yang diharapkan, maka
nyawamu tak mungkin dibiarkan begitu saja...."
"Dari gelagat dan sikap nenek itu, rupanya be-
nar
juga ucapan orang tua ini..." Joko diam-diam
membatin. Lalu dia berkata.
"Kek.... Sebelum aku pergi, mau sedikit mem-
beri keterangan tentang kakek bernama Datuk Wahing
tadi?"
"Dia adalah sahabatku. Aku tahu dan kenal be-
tul dengannya. Kau juga harus merasa bersyukur se-
kali lagi, Anak Muda. Karena biasanya orang tua itu ti-
dak mudah diajak bicara! Sebaliknya kalau orang tidak
mau jawab pertanyaannya, dia tidak segan-segan un-
tuk membunuh! Kalangan rimba persilatan tidak se-
nang dengan dia! Karena pada beberapa puluh tahun
silam, dia berada di belakang tokoh bernama Malade-
wa yang merajalela tebarkan kematian di mana-mana!
Kalaupun sampai saat ini dia masih hidup, itu hanya
karena dia berilmu tinggi...."
"Kek! Bukankah kau tadi mengatakan kalau
Kembang Darah Setan adalah senjata dahsyat milik
Maladewa. Lalu kau menerangkan Datuk Wahing be-
rada di belakang Maladewa. Tapi mengapa Datuk Wah-
ing sepertinya tidak tahu saat aku sebut-sebut Kem-
bang Darah Setan?!"
"Anak Muda. Mana ada orang yang belangnya
ingin ditunjukkan pada orang lain? Dan kau tahu, aku
tadi terpaksa buru-buru pergi begitu menjawab perta-
nyaan mu karena aku tidak mau terlibat sengketa
dengan dia! Aku pun terpaksa menuruti keinginannya
untuk menjawab pertanyaanmu. Sebab jika tidak, pas-
ti dia akan membuat masalah!"
Murid Pendeta Sinting anggukkan kepala.
"Kek.... Kira-kira di mana Kampung Setan itu?!"
Kiai Laras tertawa pendek mendengar perta-
nyaan Pendekar 131. "Anak muda. Bukankah kau tadi
mengatakan tidak berniat dengan Kembang Darah Se-
tan? Adalah aneh, kalau kau sekarang menanyakan
Kampung Setan...."
Paras muka murid Pendeta Sinting sedikit me-
rah. Tapi dia buru-buru tersenyum dan berujar. "Se-
kadar ingin tahu tak ada salahnya bukan, Kek?!"
"Hem.... Anak Muda. Pada beberapa puluh ta-
hun silam, nama Kampung Setan memang dikenal
orang. Namun hingga sekarang, tidak seorang pun
yang bisa tunjukkan di mana beradanya kampung itu.
Hingga siapa pun pasti ragu akan kebenaran adanya
Kampung Setan!"
"Tapi Kembang Darah Setan benar-benar ada,
bukan?!" tanya Joko.
"Menurut beberapa orang memang ada. Tapi
aku tidak pernah melihatnya...."
"Lalu bagaimana kau bisa mengatakan kalau
Kembang Darah Setan saat ini telah dimiliki seorang
pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131?!"
"Anak muda. Kembang Darah Setan adalah
benda yang ada hubungannya dengan dunia persila-
tan. Benda macam begitu akan selalu menjadi incaran
orang. Ke mana dan di mana pun beradanya, pasti
akan segera menyebar!"
"Heran.... Bagaimana bisa?!" gumam Joko tak
habis pikir.
"Anak muda. Kau rupanya sudah tertular uca-
pan Datuk Wahing. Selalu heran.... Apa yang mem-
buatmu heran?!"
Joko sedikit tersentak. Lalu geleng-geleng kepa-
la. "Kek. Turuti ucapanmu, aku harus cepat pergi dari
sini.... Sebelumnya kuucapkan terima kasih atas se-
mua keterangan mu...." Joko bungkukkan sedikit tu-
buhnya. Lalu berkelebat tinggalkan Kiai Laras.
Kiai Laras sunggingkan senyum tanpa berkata
apa-apa lagi. Begitu dilihatnya sosok murid Pendeta
Sinting lenyap, Kiai Laras balikkan tubuh. "Di sekitar
tempat ini hanya ada satu sendang. Kalaupun dia
mengejar pemuda itu tadi, aku dapat menduga di ma-
na dia akan lewat...." Sekali membuat gerakan, sosok
Kiai Laras telah melesat kencang.
*
* *
Nenek Dayang Sepuh tiba-tiba hentikan lang-
kahnya. Tanpa berpaling atau membuat gerakan lain,
dia buka mulut.
"Cucu.... Kaukah itu?! Mengapa kau sembunyi?
Bukankah sudah kukatakan suara alam men-
gatakan aku ada jodoh dengan kakekmu?!"
Seorang pemuda berambut panjang acak-
acakan diikat dengan ikat kepala warna putih yang
duduk mendekam hanya sejarak sepuluh langkah dari
tempat tegaknya Dayang Sepuh kerutkan dahi. Namun
belum sempat dia berpikir, Dayang Sepuh telah buka
mulut lagi.
"Cucu.... Daripada main petak umpet, bukan-
kah lebih baik kita teruskan perjalanan mencari ka-
kekmu?!"
Meski tahu kalau dirinya yang dimaksud, na-
mun si pemuda yang mendekam tak juga menyahut
atau membuat gerakan memberi isyarat keberadaan-
nya.
Di lain pihak, karena tahu siapa adanya orang
yang mendekam dan tak mau buka mulut, si nenek
mulai geram. Dia angkat bicara lagi. Tapi suaranya ke-
ras membahana.
"Kalau kau tidak juga keluar...."
Ucapan Dayang Sepuh belum selesai, terdengar
suara tertawa. Lalu satu sosok tubuh berkelebat dari
balik pohon dan tegak tidak jauh dari hadapan si ne-
nek.
"Nek.... Bukan maksudku meninggalkanmu.
Aku tadi tertarik pada sesuatu. Aku mengejarnya sam-
pai di sini...," kata orang yang tegak di hadapan
Dayang Sepuh. Seorang pemuda yang kalau orang
pernah berjumpa dengan murid Pendeta Sinting, maka
ia pasti tak akan bisa membedakan.
Dayang Sepuh diam mendengarkan dengan
seksama. Namun sebenarnya orang tua ini bukan me-
nyimak ucapan orang, melainkan perhatikan pemuda
yang tegak di hadapannya.
"Apa yang menarik hatimu, Cucu...?! Seorang
gadis...?!"
Yang ditanya tidak segera menjawab. Bukan
karena sedang cari alasan untuk jawab pertanyaan
orang, melainkan coba menduga-duga arti pandangan
Dayang Sepuh. "Apakah dia tahu aku bukan yang asli?
Atau ada yang salah dengan diriku?!" Diam-diam si
pemuda yang menyamar sebagai Joko Sableng ber-
tanya sendiri dalam hati. Lalu melirik anggota tubuh-
nya sendiri.
Mendadak Dayang Sepuh tertawa bergelak.
"Aneh.... Kau kutanya apa yang menarik hatimu hing-
ga kau meninggalkan ku, tapi kau melihat pada dirimu
sendiri! Apa yang menarik pada dirimu, Cucu...?! Kau
tampan benar. Kau disukai gadis-gadis tidak bisa dis-
angkal. Tapi di depan mataku, kau bukan apa-apa!
Kau dengar itu?!"
Joko tergagu diam. Dia kini pandangi Dayang
Sepuh dengan paras berubah. Sebaliknya yang dipan-
dang ambil kepangan rambutnya, sementara tangan
satunya menata poni di depan keningnya. Saat bersamaan, dia berkata. Suaranya ketus.
"Semula aku ingin mengajak mu cepat-cepat
mencari kakekmu. Tapi suara alam mengatakan aku
harus pergi dari sini!"
"Nek...."
Dayang Sepuh sentakkan kepangan rambut di
tangannya ke belakang. Terdengar deruan. Lalu se-
rangkum angin menghampar ke arah Joko. Seolah su-
dah menangkap gelagat, Joko buru-buru melompat se-
belum rangkuman angin melesat.
"Nek.... Apa sebenarnya maksudmu?!" teriak
Joko.
"Kau yang harus jawab tanya ku! Bukan kau
yang bertanya!" hardik Dayang Sepuh. Sepasang mata
nenek ini mendelik angker. Lalu lanjutkan hardikan-
nya. "Mengapa bau mu lain? Apa yang telah kau kerja-
kan, hah?"
"Nek...."
"Diam!" tukas Dayang Sepuh. "Jawab perta-
nyaan ku! Jangan hanya panggil Nak! Nek! Nak! Nek!"
"Aku tak mengerjakan apa-apa...."
"Jangan berani berdusta padaku! Aku mencium
bau lain di tubuhmu!"
Air muka lelaki yang menyamar sebagai Joko
berubah tegang. Namun cuma sekejap. Saat lain pe-
muda ini telah tertawa. "Kau ini aneh, Nek! Bau apa
yang kau katakan lain dalam tubuhku?!"
"Aku tanya padamu. Kau sedang jatuh cinta?!"
tanya Dayang Sepuh.
Joko tertawa bergelak meski dahinya sempat
berkerut. Tapi dia segera putuskan gelakan tawanya
tatkala dilihatnya si nenek mendongak lalu memben-
tak. "Jangan tertawa bekakakan! Jawab tanya ku tadi!"
"Nek! Aku memang laki-laki. Dan di sini pun
ada perempuan. Tapi apakah mungkin dan pantas aku
jatuh cinta?!"
"Hem.... Apakah kau tadi mengejar seorang ga-
dis?!"
"Mana mungkin di tempat begini ada seorang
gadis?!"
Dayang Sepuh arahkan pandangan ke jurusan
lain. Dengan sedikit tengadahkan kepala dia berucap.
"Kau mengatakan tidak sedang jatuh cinta. Kau juga
mengatakan tidak mengejar seorang gadis. Aku seka-
rang tanya. Untuk apa kembang itu kau bawa-bawa?!"
Saking kagetnya, lelaki itu sempat surutkan
langkah satu tindak. Sepasang matanya memandang
tajam ke arah Dayang Sepuh dengan mulut terkancing
rapat. Dayang Sepuh sendiri tampak terus tengadah
diam seolah menunggu jawaban orang.
"Nek...," kata Joko palsu setelah agak lama ber-
diam diri. "Aku tadi tertarik pada sekuntum bunga. La-
lu aku memetiknya. Apakah ini kau anggap salah?!
Apa orang yang sedang jatuh cinta atau sedang menge-
jar gadis saja yang boleh membawa kembang?!"
"Aku tak akan jawab pertanyaanmu! Aku hanya
ingin memastikan kalau kau membawa kembang! Dan
kau telah menjawabnya!" Dayang Sepuh arahkan pan-
dangan matanya pada Joko. Lalu bertanya.
"Kau masih ingin pergi bersama denganku?!"
"Kalau kau tidak keberatan!"
"Baik. Aku urungkan niat harus pergi dari sini
walau itu suara alam yang mengatakannya. Tapi aku
tidak mau pergi dengan orang muda yang bau kakek-
kakek sepertimu! Kau lihat.... Aku sudah segar habis
mandi! Air sendang tidak jauh dari sini.... Sebelum kita
pergi bersama-sama, kau harus mandi dahulu! Biar
kau tidak bau kakek-kakek!"
Kali ini Joko palsu tidak dapat lagi sembunyi-
kan keterkejutannya. Namun dalam keadaan seperti
itu, si pemuda masih cepat berpikir Dia segera balik-
kan tubuh lalu melangkah ke arah sendang sambil
berkata.
"Kalau hanya itu kemauanmu, aku tak kebera-
tan melakukannya. Lagi pula aku sudah ingin man-
di...."
"Senang aku mendengarnya...," ujar Dayang
Sepuh seraya ikut melangkah di belakang Joko, mem-
buat Joko hentikan langkah dan berkata.
"Kau hendak ke mana, Nek?!"
"Aku sampai di sini tadi terus mandi. Sekarang
sambil menunggu kau mandi, aku ingin lihat peman-
dangan sendang itu!"
"Ah.... Bagaimana aku bisa mandi kalau kau
melihat?!"
"Aku bukan ingin melihatmu mandi. Aku hanya
ingin melihat pemandangan sendang. Apa keinginanku
ini kau anggap salah?!"
"Dari sikap dan dandanan mu, aku tidak per-
caya kalau kau hanya ingin melihat pemandangan
sendang! Kau pasti ingin melihatku mandi! Aku tak
akan mandi kalau kau tidak menunggu jauh!"
Dayang Sepuh tertawa. "Kalau hanya itu kein-
ginan mu, aku tak keberatan memenuhinya! Lagi pula
apa untungnya melihat kakek-kakek telanjang bulat?!
Hik.... Hik.... Hik...!"
Joko palsu tidak acuhkan ucapan si nenek. Se-
telah melirik sekilas, dia berkelebat cepat ke arah sen-
dang. Di lain pihak, begitu Joko melesat, Dayang Se-
puh balikkan tubuh lalu sambil perdengarkan tawa
mengekeh panjang, dia berkelebat tinggalkan tempat
itu.
Rupanya Joko palsu tidak melesat menuju sen-
dang, pemuda itu berputar di satu tempat lalu berlari
kembali ke arah semula dengan mengambil jalan lain.
Namun dia tersentak tatkala sampai di tempat mana
Dayang Sepuh tadi berada, ternyata dia sudah tidak
melihat si nenek. Bahkan setelah dia berputar di seki-
tar tempat itu hingga beberapa kali!
*
* *
ENAM
SOSOK tubuh itu berlari tidak begitu cepat.
Namun dalam beberapa saat saja sosoknya sudah jauh
melesat ke depan sana. Pada satu tempat yang cukup
tinggi di sebuah lembah si sosok hentikan larinya. Dia
adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya pu-
tih sebatas bahu. Kumis dan jenggotnya panjang juga
berwarna putih. Sepasang matanya agak besar dan
sayu. Pada kedua cuping hidungnya tampak melingkar
anting-anting dari benang berwarna merah. Kakek ini
tidak lain adalah Kiai Lidah Wetan. Kakak kandung
Kiai Laras.
Si kakek sejurus gerakkan kepala berputar. La-
lu kepalanya terhenti saat pandang matanya menang-
kap satu sosok tubuh yang duduk bersila dengan ke-
dua tangan merangkap di dada dan sepasang mata
terpejam rapat.
Kiai Lidah Wetan memandang berlama-lama.
Dia tahu, meski sosok yang duduk bersila tampak pe-
jamkan sepasang matanya dan diam tak bergerak, ma-
lah seolah tidak tahu akan kemunculan orang, tapi sebenarnya sosok itu telah mengetahui kedatangannya.
Sosok yang duduk bersila adalah seorang pe-
rempuan tidak muda lagi namun wajahnya masih
bayangkan kecantikan. Jelas pertanda saat mudanya
perempuan ini adalah seorang gadis berparas cantik
jelita. Rambutnya sudah berwarna dua.
"Kau hanya sia-siakan umur kalau tetap pada
pendirianmu, Lasmini!" Tiba-tiba Kiai Lidah Wetan bu-
ka mulut. Saat bersamaan dia melompat. Dan tahu-
tahu telah tegak empat langkah di hadapan perem-
puan yang baru saja dipanggilnya Lasmini.
Si perempuan perlahan-lahan buka kelopak
matanya. Memandang sejurus pada Kiai Lidah Wetan
tanpa sunggingkan senyum. Malah si perempuan
hanya sekejap saja memandang. Saat lain dia arahkan
pandang matanya ke jurusan lain. Dia menghela napas
panjang. Dan pandang matanya, jelas orang mudah
menduga kalau perempuan ini sedang mengalami te-
kanan batin luar biasa. Dan sikapnya yang duduk ber-
sila dengan kedua tangan merangkap di depan dada
bukannya untuk bersemadi, melainkan sedang tengge-
lam pada pikirannya sendiri!
"Lasmini...." Kiai Lidah Wetan kembali angkat
bicara saat ditunggu agak lama si perempuan tidak ju-
ga buka suara. "Aku rela menerima kehadiranmu
kembali meski kalau ingat masa lalu itu rasanya sulit
dan tak kupercaya aku bisa melakukannya.... Tapi
mengingat keadaanmu juga kisah-kisah kita dahulu,
bagaimanapun juga kuakui aku masih tetap me-
nyayangi dan membutuhkan kehadiranmu.... Tapi apa-
lah arti semua itu kalau kau tetap tidak bisa melupa-
kan duka derita dan penyesalan mu. Selama ini kau
hanya tenggelam dengan pikiranmu sendiri tanpa me-
mandang sebelah mata padaku!"
Kiai Lidah Wetan menghela napas dengan hen-
tikan ucapannya. Sepasang matanya menatap tajam
pada si perempuan. Namun yang dipandang belum ju-
ga membuka mulut. Malah dia masih arahkan pan-
dangannya ke jurusan lain.
"Lasmini.... Sampai kapan semua ini berlang-
sung? Sampai kapan kau mau buka mulut dan kita bi-
sa bicara sebagaimana dahulu?! Rasanya sudah cukup
kesabaranku untuk menunggu...."
"Kiai Lidah Wetan!" Si perempuan yang dipang-
gil Lasmini tiba-tiba angkat bicara. "Kalau kau masih
tidak mau menerima kehadiranku dalam keadaan be-
gini, aku tak keberatan tinggalkan tempat ini!"
Kiai Lidah Wetan buru-buru melangkah maju
seraya berucap. "Kau selalu salah sangka dengan uca-
panku, Lasmini! Bagaimanapun keadaanmu aku akan
rela menerimanya! Berapa pun waktu yang kau ha-
biskan tanpa acuhkan kedatanganku, aku akan sabar
menunggu! Hanya saja, bukankah akan lebih baik ka-
lau kita bisa bicara seperti waktu-waktu kita muda
dahulu?! Kau kecewa dan sakit hati, aku tahu! Tapi
apakah rasa kecewa dan sakit hatimu akan selesai
dengan sikapmu sekarang ini?! Tidak, Lasmini! Pera-
saan kecewa dan sakit hatimu akan makin dalam ka-
lau kau terus menerus tenggelam pada pikiranmu tan-
pa melakukan apa-apa untuk menghapuskannya! Dan
aku berkali-kali telah mengatakan padamu, aku berse-
dia bahkan rela mati untuk membantumu memba-
laskan rasa kecewa dan sakit hatimu! Karena kecewa-
mu adalah kecewa ku! Kau merasakan sakit hati, aku
pun merasakannya! Tapi bagiku lebih menyakitkan la-
gi kalau kau tidak berbuat apa-apa padahal aku telah
berusaha memulainya...."
Untuk pertama kalinya Lasmini sunggingkan
senyum. "Terima kasih kau selalu perhatikan diriku,
Kiai.... Tapi rasanya saat ini masih sulit bagiku menen-
tukan langkah apa sebaiknya yang harus kulakukan!
Aku minta maaf kalau selama ini tidak acuhkan keda-
tangan mu. Kau jangan salah duga... Terus terang aku
berada di persimpangan jalan yang sukar menentukan
arah mana sebaiknya yang harus kutempuh...."
Paras wajah Kiai Lidah Wetan tampak bersinar
mendengar Lasmini sudah mulai buka suara. Padahal
saat kehadirannya hingga sekarang, perempuan itu ti-
dak mudah untuk diajak bicara. Kalaupun mau angkat
suara, itu hanya seperlunya saja dan sepertinya eng-
gan. Dia seakan senang tenggelam dalam pikirannya
sendiri.
"Lasmini.... Kau sulit menentukan jalan mana
yang harus kau tempuh, karena selama ini kau hanya
diam. Seandainya sejak semula kau mau diajak bicara,
pasti saat ini kau telah mendapatkan jalan itu! Tapi
semuanya belum terlambat.... Demi kasih sayang ku
padamu, aku dengan senang hati akan membantu-
mu...."
Lasmini arahkan pandangannya pada Kiai Li-
dah Wetan. Kedua orang ini untuk beberapa lama sal-
ing berpandangan. "Kau bersungguh-sungguh,
Kiai...?!"
Kiai Lidah Wetan tertawa perlahan. "Jadi sela-
ma ini kau diam saja karena belum percaya padaku?!"
"Kau tahu, Kiai.... Semua rencana hidupku
hancur gara-gara ulah seorang laki-laki!. Harap kau
maklum kalau aku sekarang tidak mudah untuk per-
caya pada ucapan laki-laki...."
Kembali Kiai Lidah Wetan tertawa mendengar
ucapan Lasmini. Sambil alihkan pandangan, orang tua
ini berkata. "Ucapanmu menandakan kau masih saja
menganggapku sama dengan Panjer Wengi!"
"Harap kau jangan sebut-sebut nama itu lagi!"
Lasmini cepat menyahut.
Kiai Lidah Wetan gelengkan kepala. "Aku harus
menyebutnya meski aku tahu sekarang kau tak suka!
Karena aku bukanlah Panjer Wengi! Manusia yang te-
lah menyakiti dan mengecewakan mu! Bahkan aku re-
la menerimamu kembali meski aku tahu kau telah
membuatku kecewa dan sakit hati! Apakah hal itu ma-
sih juga membuatmu tak percaya?! Bagi laki-laki lain
mungkin mereka menganggapku bodoh, karena masih
mau menerima orang yang menyakiti. Tapi itu bukan
ukuran bagiku, Lasmini...."
Ucapan Kiai Lidah Wetan membuat Lasmini
terdiam. Dia sadar, apa yang baru saja dikatakan Kiai
Lidah Wetan benar adanya. Mereka berdua pernah
menjalin cinta pada masa dahulu. Namun pada satu
saat, muncullah seorang pemuda bernama Panjer
Wengi. Pemuda mana yang pada akhirnya membuat
hati Lasmini berpaling dari Kiai Lidah Wetan.
Tapi akhirnya Lasmini harus menelan kecewa.
Karena ternyata sebelum ini Panjer Wengi telah punya
seorang kekasih. Dan rupanya Panjer Wengi tidak bisa
melupakan kekasihnya itu. Hingga meski antara Las-
mini dan Panjer Wengi telah dikaruniai seorang anak
perempuan, Panjer Wengi tak bisa melupakan keka-
sihnya. Sebagai seorang perempuan, Lasmini tak mau
di duakan. Sebagai pelarian, dia pergi begitu saja den-
gan harapan Panjer Wengi akan sadar. Namun hal ini
malah menjadi bumerang. Hubungan Panjer Wengi
dengan kekasihnya makin akrab. Dan pada puncak-
nya, akhirnya Lasmini mendengar Panjer Wengi telah
mempunyai anak perempuan dengan kekasihnya itu.
Yang lebih menyakitkan lagi, ternyata perkawinan di
rinya dengan Panjer Wengi hanya karena Panjer Wengi
sungkan terhadap ayahnya yang bukan lain adalah
guru Panjer Wengi sendiri.
Sakit hati Lasmini membuat perempuan ini
menaruh dendam berkarat. Dia berusaha mencari ja-
lan untuk membalas sakit hatinya. Terakhir kali Las-
mini menyamar sebagai Tengkorak Berdarah yang saat
itu rimba persilatan digemparkan dengan terbukanya
Istana Hantu. (Baca serial Joko Sableng dalam episode
: "Misteri Tengkorak Berdarah"). Namun usaha Lasmini
yang menyamar sebagai Tengkorak Berdarah akhirnya
juga harus menemui kegagalan.
Lebih menyakitkan lagi, ternyata penghuni Is-
tana Hantu itu sendiri adalah Panjer Wengi. Dan orang
yang membuka penyamarannya adalah bekas kekasih
Panjer Wengi. Hanya saja Lasmini sedikit merasa lega,
karena saat terjadi kegegeran di depan Istana Hantu,
dia berhasil mengetahui siapa anaknya yang selama ini
ditinggalkan. Namun ada pula yang membuat hatinya
geram. Kitab Sundrik Cakra yang telah berhasil di-
genggam akhirnya harus jatuh lagi ke tangan pemuda
yang akhirnya diketahui bergelar Pendekar Pedang
Tumpul 131 Joko Sableng!
Pada puncak kecewa dan geramnya, akhirnya
Lasmini pergi menemui Kiai Lidah Wetan. Entah apa
tujuan perempuan ini menemui Kiai Lidah Wetan, yang
jelas dengan senang hati Kiai Lidah Wetan meneri-
manya meski Lasmini datang dengan keadaan masih
tenggelam dalam pikirannya sendiri akibat beberapa
kejadian beruntun yang membuat hatinya makin ke-
cewa dan sakit hati. (Untuk lebih jelasnya mengenai
perjalanan hidup Lasmini, baca serial Joko Sableng
dari episode: "Gerbang Istana Hantu" sampai dengan
episode : "Misteri Tengkorak Berdarah").
Lasmini perlahan-lahan bergerak bangkit.
"Kiai.... Maafkan kalau selama ini aku selalu menyaki-
timu...."
Kiai Lidah Wetan gelengkan kepala. "Tidak ada
yang perlu dimaafkan, Lasmini.... Dengan kedatangan
mu kembali, sudah cukup rasanya sebagai obat hati
ini! Hanya yang kuminta darimu, kau harus dapat me-
lupakan semua yang telah terjadi. Kita mulai hari ba-
ru...."
"Kiai.... Rasanya sulit bagiku melupakan keja-
dian yang telah berlalu sebelum...."
"Aku tahu!" Kiai Lidah Wetan sudah menukas
sebelum Lasmini teruskan ucapannya. "Dan kau telah
dengar sendiri dari mulutku. Aku akan membantumu!
Bahkan sekarang aku sudah mulai...."
"Apa yang sudah kau mulai, Kiai...."
"Beberapa waktu yang lalu, saat penantian Ma-
ladewa telah berakhir! Dia berhasil dikeluarkan dari
Kampung Setan tanpa Kembang Darah Setan, senjata
dahsyat pusakanya! Saat ini Maladewa sudah mulai
melangkah dengan gelaran baru Setan Liang Makam!
Dan tujuan pastinya adalah membunuh Pendekar 131
beserta gurunya si Pendeta Sinting!"
Lasmini kerutkan dahi. "Bagaimana bisa begitu,
Kiai?!"
"Dengan satu muslihat yang ku atur, kini ter-
sebar kalau pemegang Kembang Darah Setan adalah
Pendekar 131!"
"Tapi aku telah bertekad untuk membunuh
pemuda itu dengan tanganku sendiri!"
Kiai Lidah Wetan tertawa pendek. "Itu nanti
mudah diatur. Dan pada puncaknya selain kita dapat
memiliki senjata dahsyat itu, kau akan dapat memba-
las sakit hatimu pada orang yang kau kehendaki!"
"Tapi bukankah kau pernah menyinggung ka-
lau Kembang Darah Setan masih memiliki rahasia lagi
di baliknya?!"
"Betul! Dan hal itu sudah ku atur juga! Kita
tinggal menunggu waktu! Kau diam-diamlah di sini
sambil menunggu saat yang tepat!"
Mendengar ucapan Kiai Lidah Wetan, kini ganti
Lasmini yang perdengarkan suara tawa. "Kau ini ba-
gaimana, Kiai. Tadi kau bilang aku harus lakukan se-
suatu. Sekarang kau mengatakan aku tinggal menung-
gu saja!"
"Lasmini.... Sejak kedatanganmu kembali, terus
terang saja aku takut kehilangan dirimu lagi.... Jadi
biarlah urusan ini aku yang mengaturnya! Kau tinggal
menunggu waktu yang tepat...."
"Tidak, Kiai.... Bagaimana mungkin aku bisa
berpangku tangan kalau kau menghadapi sesuatu
yang berbahaya? Kerelaan hatimu yang mau menerima
kehadiranku kembali tidak layak kalau harus kubalas
dengan berdiam diri menunggu! Apalagi urusannya
masih berkaitan dengan dendam ku! Aku harus ikut
terlibat! Kau tahu, tanganku sendiri kelak yang harus
mencabut nyawa manusia-manusia yang sakiti hati-
ku!"
"Kesediaanmu kuhargai, Lasmini. Tapi terus te-
rang saja aku khawatir...."
"Apa yang kau khawatirkan? Aku masih punya
kekuatan! Atau kau takut hubungan kita ini diketahui
orang lain?!"
"Aku tidak takut meski seluruh dataran tanah
Jawa tahu hubungan kita! Namun, perlu kau ketahui,
apa yang sedang kulakukan adalah benar-benar raha-
sia! Bahkan orang harus tidak tahu bahwa akulah di
belakang semua ini! Untuk itu sementara ini aku harus tidak menjadi buah bibir orang!"
"Jadi, kau bermaksud hubungan kita ini dila-
kukan secara sembunyi-sembunyi?!"
"Itu bukan maksud, Lasmini. Ini hanya salah
satu jalan.... Semua orang saat ini mungkin masih in-
gat akan kejadian di Istana Hantu. Kalau saat ini kita
muncul bersama-sama, sedikit banyak orang akan
menaruh curiga. Dan hal itu akan menghambat renca-
na yang telah ku atur!"
"Hem.... Lalu apa yang harus kulakukan?! Aku
tidak bisa berpangku tangan hanya menunggu!"
"Kalau kau ingin terlibat, itu pun harus secara
diam-diam. Dan jangan sampai hubungan kita ini ter-
cium orang lain! Lagi pula kita harus bertindak sangat
hati-hati. Orang yang kita hadapi saat ini bukan tokoh-
tokoh sembarangan! Dan aku yakin tak berapa lama
lagi akan muncul beberapa tokoh yang selama ini tidak
terdengar kabar beritanya!" Kiai Lidah Wetan meman-
dang pada Lasmini.
"Lasmini.... Sebenarnya aku mengharap kau ti-
dak ikut terlibat dalam urusan ini.... Aku takut kita
akan berpisah lagi.... Kau tahu, sejak kehadiranmu,
aku ingin putaran hari-hari ini segera berlalu dengan
cepat dan urusan selesai. Setelah itu kita akan hidup
bahagia berdua..."
Ucapan Kiai Lidah Wetan seakan merupakan
hujan di waktu kemarau panjang di hati Lasmini. Tan-
pa sadar, perempuan ini menubruk sosok Kiai Lidah
Wetan seraya lingkarkan kedua tangannya. Mungkin
tenggelam dalam perasaan suka dan duka, hingga un-
tuk beberapa lama Lasmini tak kuasa untuk angkat
bicara.
Kiai Lidah Wetan mengelus punggung Lasmini.
"Kau tahu, Lasmini.... Aku seakan belum percaya den
gan semua ini! Dan aku takut semua ini akan berlalu
begitu saja....
"Kiai.... Tahu begini besar rasa cinta mu pada-
ku, menyesal aku dahulu meninggalkanmu! Dan seba-
gai tebusan atas penyesalan ini, aku akan lakukan apa
saja untukmu, untuk kebahagiaan kita...."
"Tapi itu butuh pengorbanan, Lasmini...."
"Pengorbanan apa pun akan kulakukan,
Kiai...," bisik Lasmini sambil rebahkan kepala dan
eratkan pelukannya. "Tapi itu kita bicarakan nanti.
Aku sekarang ingin meyakinkanmu bahwa semua ini
benar-benar nyata dan...."
Ucapan Lasmini tidak berlanjut, karena saat itu
Kiai Lidah Wetan telah tarik kedua bahu si perempuan
hingga kepalanya menjauh dari dadanya. Sesaat kedua
orang ini saling berpandangan. Saat lain wajah Kiai Li-
dah Wetan telah bergerak merapat, dan tidak lama
kemudian keduanya sudah tenggelam dalam ciuman-
ciuman dan pelukan erat.
*
* *
TUJUH
DEWI Seribu Bunga hentikan langkahnya
tatkala telinganya mendengar suara dengkuran. Gadis
berwajah cantik ini sejenak terlihat bimbang. Hingga
meski telah hentikan langkah, tapi belum juga kepa-
lanya bergerak berpaling untuk mengetahui siapa
adanya orang yang tidur mendengkur di siang bolong
itu.
Saat itu suasana memang sangat panas. Se
mentara tempat di mana Dewi Seribu Bunga berada
banyak ditumbuhi kerapatan pohon berdaun rindang,
hingga tempat itu terasa sejuk dan tak heran orang
akan segera terlelap jika istirahat di sekitar tempat itu.
Namun suasana sejuk itu tidak membuat Dewi Seribu
Bunga ingin istirahat apalagi tidur. Dia masih tidak bi-
sa melupakan peristiwa yang dialaminya.
"Orang yang selama ini ku rindukan telah ke-
cewakan hatiku! Lebih baik aku pulang menemui
Guru.... Tapi, apakah hal itu tidak akan menambah
kekalutan hatiku...? Ah...." Tanpa sengaja Dewi Seribu
Bunga berpaling ke arah suara dengkuran.
Sesaat sepasang mata si gadis yang masih tam-
pak agak sembab ini menyipit. Dahinya berkerut. Lalu
saat lain sepasang matanya membesar. Saat bersa-
maan dia bergerak, dan tahu-tahu sosoknya telah te-
gak dua belas langkah dari orang yang mendengkur ti-
dak jauh dari sebuah pohon besar.
Mendadak sepasang bola mata Dewi Seribu
Bunga mendelik. Sosoknya bergetar keras dengan ke-
dua kaki tegak laksana di pacak!
"Pendekar 131!" desis Dewi Seribu Bunga tatka-
la matanya mengenali siapa adanya orang yang tidur
mendengkur.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?! Mem-
bunuhnya?! Atau membiarkan dia hidup dengan men-
gambil korban-korban lain?!" Dewi Seribu Bunga di-
landa kebimbangan karena dia sama sekali tidak men-
duga.
Sementara orang yang perdengarkan suara
dengkuran dan bukan lain memang murid Pendeta
Sinting sesaat tampak menggeliat. Tapi kejap lain su-
dah diam kembali dengan dengkuran makin keras.
Dewi Seribu Bunga melangkah maju dengan
sosok makin bergetar. Sepasang matanya memandang
tak berkesip. Gadis ini hentikan gerakan kakinya seja-
rak lima langkah dari Pendeta Sinting. Dadanya tam-
pak turun naik.
"Aku menyayanginya.... Tapi kalau dia mau me-
rusak ku apa artinya?! Laki-laki macam dia memang
pantas mampus!" Dewi Seribu Bunga angkat kedua
tangannya. Tapi begitu kedua tangannya berada di
atas kepala dan slap lepaskan pukulan, gadis ini kem-
bali di landa kebimbangan. "Apa dengan mampusnya
dia hatiku jadi tenteram?! Apa dengan matinya dia di
tanganku, aku akan merasa puas?! Tapi.... Ah, aku tak
bisa melakukannya...! Aku tak bisa dustai diriku sen-
diri kalau aku masih mendambakannya!"
Dewi Seribu Bunga gigit bibirnya sendiri. Sete-
lah berlama-lama memandang, entah karena tak kua-
sa menahan diri, Dewi Seribu Bunga turunkan kedua
tangannya lalu balikkan tubuh dan berlari tinggalkan
tempat itu dengan mata menitikkan air mata.
Saat itulah murid Pendeta Sinting buka kelopak
matanya karena lamat-lamat telinganya mendengar
suara isakan tangis. Dan saat dia memandang ke de-
pan, matanya langsung membesar. Dahinya menger-
nyit. Karena saat itu Dewi Seribu Bunga sudah me-
langkah agak jauh, Joko tidak bisa mengenali raut
muka si gadis. Namun ketika teringat akan keterangan
Kiai Laras, yang mengatakan pernah melihat dirinya
dengan seorang gadis berpakaian warna merah dan
rambut dikuncir tinggi, Joko segera bangkit.
"Ciri-ciri yang dikatakan orang tua itu ada pada
gadis itu! Sikapnya mencurigakan...." Tanpa pikir pan-
jang lagi, Joko segera berteriak.
"Hai. Tunggu!"
Mendengar teriakan orang, Dewi Seribu Bunga
bukannya hentikan langkahnya, sebaliknya berkelebat
makin cepat.
"Aneh.... Dari gerakan bahu dan suaranya, jelas
kalau dia sedang menangis. Apa yang ditangisi?!" Joko
palingkan kepala ke kanan kiri. Dia tidak melihat sia-
pa-siapa. "Beberapa hari ini aku selalu bertemu den-
gan orang tua-tua. Kali ini ada seorang gadis. Tentu
lebih asyik dengannya meski belum kuketahui wajah-
nya!"
Pendekar 131 cepat berkelebat mengejar. Dan
tahu kalau dirinya dikejar, Dewi Seribu Bunga makin
percepat larinya. Namun setelah agak lama saling ke-
jar-kejaran, akhirnya Dewi Seribu Bunga hentikan la-
rinya dengan menggumam sendiri dalam hati.
"Kalau dia hendak lakukan apa yang pernah
diperbuatnya tempo hari, aku tak segan membunuh-
nya!"
Dewi Seribu Bunga berhenti dengan kedua tan-
gan diangkat ke atas. Dan saat merasakan orang su-
dah tegak di belakangnya, dia segera buka mulut
membentak.
"Jangan coba-coba mendekat! Dan jangan kira
aku tak tega membunuhmu!"
Joko celingukan memandang ke kanan kiri.
"Dia bicara dengan siapa?!" katanya dalam hati. Lalu
dengan bibir sunggingkan senyum dan seolah tak hi-
raukan ancaman orang, murid Pendeta Sinting me-
langkah mendekat.
"Jangan bergerak dari tempatmu! Atau kau in-
gin buktikan bahwa aku tega membunuhmu?!"
"Ah.... Kau rupanya suka bercanda...," ujar Jo-
ko dengan hentikan langkah.
Dewi Seribu Bunga perdengarkan dengusan ke-
ras. "Siapa bercanda?! Majulah kalau kau ingin bukti
kan!"
"Hai.... Ada apa ini?! Kau mengancamku.... Pa-
dahal aku belum...."
"Belum apa?! Belum puas dan hendak lakukan
sekali lagi?! Kau memang pantas dibunuh!" Habis ber-
kata begitu, Dewi Seribu Bunga balikkan tubuh.
Sepasang mata murid Pendeta Sinting terpen-
tang besar. "Dewi Seribu Bunga...." Joko sunggingkan
senyum lebar lalu laksana terbang dia meloncat.
Tapi Dewi Seribu Bunga sudah hantamkan ke-
dua tangannya. Hingga bukan saja membuat gerakan
murid Pendeta Sinting tertahan, namun dengan pon-
tang-panting dia harus melompat selamatkan diri dari
gelombang dahsyat yang melesat keluar dari hantaman
kedua tangan Dewi Seribu Bunga.
"Dewi.... Ini aku, Joko! Joko Sableng!" kata Jo-
ko dengan arahkan telunjuk pada dirinya sendiri.
Dewi Seribu Bunga kancingkan mulut tidak
menyahut. Hanya sepasang matanya yang menyengat
tajam. Sementara di sebarang sana, murid Pendeta
Sinting sudah tersenyum lalu buka mulut sambil me-
langkah hendak mendekat.
"Bagaimana kabarmu, Dewi.... Tidak disangka-
sangka kalau di tempat ini kita bisa berjumpa...."
Dewi Seribu Bunga masih kancingkan mulut.
Kalaupun sesaat kemudian dia angkat bicara, dia
langsung membentak.
"Aku tahu kau Joko Sableng, pemuda murid
Pendeta Sinting bergelar Pendekar Pedang Tumpul
131! Tapi kalau kau teruskan langkah, aku akan tetap
membunuhmu!"
"Dewi.... Ada apa ini?! Apa sebenarnya yang ter-
jadi?! Kau jangan membuat hatiku deg-degan tak ka-
ruan...! Dan kalau bercanda jangan yang aneh
aneh...."
Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, De-
wi Seribu Bunga tertawa pendek. Seraya menatap din-
gin dia berkata.
"Jangan banyak basa-basi, Pendekar 131! Ka-
takan saja sekarang apa maumu!"
"Nada ucapannya seperti tidak main-main! Ada
apa sebenarnya ini?! Apa aku memang sudah ditakdir-
kan harus menemui yang aneh-aneh selalu?! Kalau
beberapa orang yang lalu aku masih sedikit maklum
meski tetap bingung. Tapi yang ini aku benar-benar
tak bisa mengerti sama sekali! Atau barangkali gadis
ini bukan Dewi Seribu Bunga...?!"
Berpikir sampai ke sana, meski dengan dada
bertanya-tanya, murid Pendeta Sinting enak saja ber-
tanya.
"Kau Dewi Seribu Bunga, bukan?!"
Yang ditanya tidak menjawab. Malah sepasang
matanya makin mendelik, membuat Joko mulai yakin
kalau gadis di hadapannya tidak sedang bercanda.
"Baik! Meski kau bukan Dewi Seribu Bunga,
tapi di hadapanku kau tetap Dewi Seribu Bunga. Seka-
rang tolong katakan padaku, apa arti semua ini!"
Merasa Joko bercanda dan seolah tidak menye-
sali apa yang telah dilakukannya, Dewi Seribu Bunga
tidak dapat menahan gejolak amarahnya. Dengan ang-
kat kedua tangannya tinggi-tinggi, dia membentak ga-
rang.
"Aku memberimu waktu untuk segera tinggal-
kan tempat ini!"
"Dewi! Kau bersungguh-sungguh?!" Murid Pen-
deta Sinting seakan masih tidak percaya dengan uca-
pan si gadis.
"Kau akan saksikan sendiri kalau tidak segera
angkat kaki!"
"Dewi.... Aku tak mengerti permainan apa yang
sedang kau lakukan?! Sudah beberapa lama kita tidak
saling jumpa! Kau tahu.... Selama ini aku selalu ingin
bertemu denganmu! Malah seandainya aku tahu di
mana kau berada, aku sudah datang mengunjungi-
mu...."
"Jangan teruskan ucapan usang itu, Pendekar
131! Dan jangan mimpi aku percaya setiap kata yang
kau ucapkan! Jadi bukankah lebih baik kau segera
angkat kaki?!"
"Kau boleh saja tidak percaya pada setiap kata
ucapanku! Tapi kau harus tahu, saat ini aku bicara
sungguh-sungguh!"
"Percuma, Pendekar 131! Tindakanmu telah
membuatku sangat kecewa!"
"Benar-benar ada yang tak beres! Kiai Laras
mengatakan pernah melihatku bersama seorang gadis
cantik berpakaian merah dengan rambut dikuncir
tinggi. Meski aku tak yakin benar, yang dimaksud
orang tua itu pasti gadis ini. Yang aneh, mengapa tiba-
tiba gadis ini mengatakan kecewa dengan tindakanku?!
Apa yang telah kulakukan? Padahal, sejak keluar dari
kediaman Eyang Guru, baru kali ini aku berjumpa
dengannya! Dan aku yakin tak pernah bertindak apa-
apa! Hem...." Dada murid Pendeta Sinting disarati ber-
bagai hal yang membuatnya seakan hilang akal.
"Dewi...," kata Joko setelah agak lama diam.
"Kau boleh percaya boleh tidak! Sejak dari Jurang Tla-
tah Perak sampai saat ini, aku baru sekali ini jumpa
dengan seorang gadis! Dan itu kau adanya! Adalah
aneh kalau kau mengatakan sangat kecewa dengan
tindakanku! Apa...."
Belum sampai Pendekar 131 lanjutkan uca
pannya, Dewi Seribu Bunga telah memotong. "Bicara-
lah sepuas hatimu! Tapi jangan harap aku percaya!"
Ucapan Dewi Seribu Bunga membuat hati mu-
rid Pendeta Sinting agak panas. Dengan suara agak
keras dia akhirnya berkata.
"Baik! Apa pun yang akan kukatakan kau tak
akan percaya! Sekarang katakan apa yang telah kula-
kukan hingga membuatmu kecewa setinggi langit!"
"Hem.... Jadi semudah itukah dia melupakan
perbuatannya?! Apakah dia anggap tindakannya itu
sebagai hal lumrah yang begitu saja mudah lenyap
tanpa bekas?! Benar-benar bajingan laki-laki ini!" Di-
am-diam Dewi Seribu Bunga membatin dengan dada
makin menggelegak.
Melihat Dewi Seribu Bunga tidak segera buka
suara, Joko segera angkat bicara.
"Mengapa kau diam?! Mengapa tidak kau kata-
kan tindakan apa yang telah kulakukan?!"
"Pendekar 131! Mungkin menurutmu tindakan
yang kau lakukan begitu mudah dilupakan! Tapi keta-
huilah! Tindakanmu itu bukan saja membuatku sakit
hati, tapi rasanya aku tega membunuhmu sean-
dainya...." Dewi Seribu Bunga tidak kuasa lanjutkan
ucapannya. Sebaliknya perlahan-lahan kedua tangan-
nya diturunkan dan matanya berkaca-kaca.
Melihat Dewi Seribu Bunga menitikkan air ma-
ta, Joko menghela napas panjang. Perlahan-lahan dia
melangkah hendak mendekat. Tapi tiba-tiba Dewi Seri-
bu Bunga telah membentak dengan suara bergetar dan
serak.
"Jangan mendekat, Joko!"
Murid Pendeta Sinting urungkan langkah. "De-
wi! Kau belum mengatakan tindakan apa yang telah ku
lakukan!"
"Rasanya aku tak percaya kau masih bertanya!
Belum cukupkah caramu menyakiti ku?! Belum cu-
kup?!" Kali ini Dewi Seribu Bunga tidak dapat menin-
dih perasaannya. Hingga bahunya tampak bergun-
cang-guncang. "Terus terang, aku selama ini memang
merindukan mu! Tapi aku bukan perempuan yang bisa
seenaknya kau perlakukan menjijikkan! Kau.... Kau te-
lah memadamkan kerinduan ku....Seandainya aku ta-
hu siapa dirimu dari dulu-dulu, tak mungkin aku
jauh-jauh mencarimu! Kau.... Kau...." Ucapan Dewi Se-
ribu Bunga tenggelam dengan suara isakan tangisnya.
Panas hati murid Pendeta Sinting perlahan-
lahan mereda begitu mengetahui ungkapan hati Dewi
Seribu Bunga. Setelah isakan tangis si gadis terhenti,
Joko segera buka mulut dengan suara perlahan.
"Dewi.... Kalau saja kau masih percaya dengan
ucapanku...." Joko sengaja hentikan kata-katanya. Dia
menunggu sejenak. Ketika Dewi Seribu Bunga tidak
menyahut, Joko lanjutkan ucapannya. "Rasanya se-
mua yang baru kau katakan adalah aneh di telinga-
ku.... Aku baru pertama kali ini jumpa denganmu sete-
lah peristiwa Pulau Biru! Jadi bagaimana mungkin aku
melakukan hal menjijikkan padamu?!"
Dewi Seribu Bunga angkat kepalanya. Matanya
yang basah memandang tajam. "Kau masih saja mem-
bual, Joko!"
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Baik.
Rasanya aku sudah tidak bisa lagi meyakinkan dirimu!
Sekarang harap kau katakan di mana kita pernah
jumpa sebelum ini!"
"Meski aku tahu kau hanya berpura-pura, tapi
agar ingatanmu baik, aku akan jawab pertanyaanmu!
Kau ingat kedai itu?!"
"Selama ini aku banyak mengunjungi kedai kalau sedang lapar! yang kau maksud kedai yang ma-
na?!"
"Apa kau masih ingat tentang seorang nenek
berdandan mencolok yang berhasil kau bawa pergi dan
kau mendapat imbalan dari pemilik kedai?!"
"Ah.... Yang itu aku ingat!"
"Bagus! Berarti kau tahu bagaimana kelanju-
tannya!"
"Kelanjutannya? Kelanjutannya apa?!"
Meski dengan dada makin menggelegak, akhir-
nya Dewi Seribu Bunga menjawab juga. "Kau berhasil
membawa pergi nenek itu! Lalu kau kembali ke kedai
untuk mengambil imbalan yang dijanjikan pemilik ke-
dai. Lalu kita bertemu. Dan kau mengajakku pergi dari
kedai. Kau sengaja mengajakku ke tempat yang sepi.
Kau rupanya memanfaatkan ku yang selama ini men-
carimu.... Dan kau lakukan perbuatan terkutuk itu!"
"Perbuatan terkutuk apa?!" tanya Joko meski
dadanya sudah ingin meledak.
"Hem.... Jadi perbuatanmu yang ingin memper-
kosa ku bukan kau anggap perbuatan terkutuk?! itu
kau anggap tindakan lumrah?!"
Mendadak murid Pendeta Sinting tertawa gelak-
gelak. Dewi Seribu Bunga pandangi Joko dengan ge-
ram. Namun gadis ini merasa heran dengan dirinya
sendiri. Sekuat tenaga dia coba tanamkan kebencian,
tapi tak juga berhasil. Dia sudah tegarkan hati untuk
turunkan tangan maut, namun kedua tangannya tidak
juga kuasa dia gerakkan!
"Dewi...," ujar Joko setelah suara gelakan ta-
wanya lenyap. "Sekarang aku yang menyangsikan mu!
Jangan-jangan kau sedang mencari gara-gara!"
"Tutup mulutmu, Pendekar 131!"
Pendekar 131 gelengkan kepala. "Sekarang
saatnya aku buka mulut agar kau tahu bahwa tidak
ada gunanya semua kekonyolan yang sedang kau la-
kukan ini! Aku memang ke kedai itu dan jumpa den-
gan nenek berdandan seronok. Ucapanmu juga benar
yang mengatakan, aku lantas pergi dengan nenek itu.
Tapi keterangan setelah itu adalah salah! Aku tidak
pernah kembali ke kedai itu, apalagi mengambil imba-
lan yang memang dijanjikan pemilik kedai! Jadi ba-
gaimana mungkin aku mengatakan kita bertemu?!
Anehnya lagi, bagaimana mungkin aku akan memper-
kosa mu kalau aku tidak pernah jumpa apalagi pergi
bersamamu?!"
Dewi Seribu Bunga tegak dengan tubuh berge-
tar.
Gadis ini tampak buka mulut akan bicara. Na-
mun Joko seakan tidak memberi kesempatan. Belum
sampai ucapan Dewi Seribu Bunga terdengar, Joko te-
lah berkata lagi.
"Aku memang berniat balik lagi ke kedai. Tapi
nenek itu bersikeras ikut, hingga aku urungkan niat
untuk balik. Setelah aku berpisah dengan nenek itu,
aku sempat jumpa dengan seorang kakek yang ka-
tanya melihat ku bersama dengan seorang gadis berba-
ju merah di kedai! Aku sekarang merasa yakin kalau
yang dimaksud kakek itu adalah dirimu! Yang seka-
rang jadi pertanyaan, mengapa kau mengambil orang
yang mirip denganku lalu menuduhku yang bukan-
bukan?! Apa maksud di balik tindakanmu ini?! Kau
disuruh orang...?!"
"Hem.... Kau enak saja balik menuduh setelah
kau gagal melakukan perbuatan terkutuk itu! Apa kau
kira ini bisa mengembalikan kepercayaan ku pada-
mu?!"
"Aku tak memaksamu untuk percaya kembali
padaku! Tidak ada gunanya semua itu kalau kau
punya niat yang tidak baik padaku?!"
Dada Dewi Seribu Bunga laksana dipanggang
bara. Dengan suara keras setengah menjerit dia berka-
ta.
"Kau pintar memutar balik urusan!"
"Kau yang bikin urusan, bukan aku! Saat ini
aku banyak mendapat tuduhan macam-macam yang
tak ku mengerti sama sekali duduk masalahnya! Kini
kau tahu-tahu juga menuduhku! Jika dihubung-
hubungkan, aku merasa ada kaitannya antara tudu-
hanmu dengan orang-orang yang selama ini juga me-
nuduhku! Dewi! Katakan siapa orangnya di balik se-
mua ini?"
"Kau ternyata bukan pandai memutar balik
urusan saja! Tapi kau juga pandai menuduh untuk
menutup kelakuan mu!" teriak Dewi Seribu Bunga.
Seakan tak sabar lagi, belum sampai ucapannya sele-
sai, kedua tangannya sudah bergerak lepaskan puku-
lan! Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang angin dahsyat menggebrak ga-
nas ke arah murid Pendeta Sinting. Pendekar 131 tak
tinggal diam, apalagi tatkala yakin bahwa tuduhan
Dewi Seribu Bunga hanyalah akal-akalan saja. Maka
begitu Dewi Seribu Bunga lepaskan pukulan, Joko
angkat kedua tangannya lain didorong ke depan.
Blamm! Blamm!
Dua ledakan keras segera saja terdengar tatkala
angin pukulan Dewi Seribu Bunga bentrok dengan pu-
kulan jarak jauh yang dilepas murid Pendeta Sinting.
Sosok Dewi Seribu Bunga tampak tersurut satu
langkah dengan kedua tangan bergetar keras. Di sebe-
rang depan, Joko tampak kibas-kibaskan kedua tan-
gannya. Walau kakinya tidak bergeming, namun bentroknya pukulan tadi mau tak mau membuat kedua
tangannya kesemutan.
Mendapati Joko tidak main-main, Dewi Seribu
Bunga cepat kerahkan tenaga dalam siapkan pukulan
'Api Seribu Bunga'. Di lain pihak, menduga bahwa si
gadis hendak lepaskan pukulan andalannya, Joko ce-
pat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya
siapkan pukulan 'Lembur Kuning'. Kedua orang ini ru-
panya sudah sama-sama kalap dan tak bisa menahan
diri.
Dewi Seribu Bunga angkat kedua tangannya. Di
seberang, murid Pendeta Sinting tarik kedua tangan-
nya ke belakang. Mata masing-masing sama meman-
dang tajam. Kejap lain hampir bersamaan, keduanya
gerakkan tangan lepaskan pukulan.
"Brusss! Brusss! Brusss! Brusss!"
Terdengar suara orang bersin beberapa kali. La-
lu terdengar suara.
"Heran.... Heran.... Apakah kalian pikir tinda-
kan kalian ini dapat selesaikan urusan yang menghe-
rankan ini?! Bruss! Brusss!"
*
* *
DELAPAN
PENDEKAR 131 terkesiap. Dia sudah dapat
menduga siapa adanya orang yang baru saja bersin
dan perdengarkan suara. Dia sudah hendak urungkan
niat untuk lepaskan pukulan. Tapi begitu melihat Dewi
Seribu Bunga tidak acuhkan suara bersinan dan suara
orang dan tetap gerakkan kedua tangan lepaskan pukulan, Joko buru-buru dorong kedua tangannya.
Tempat itu seketika di semaraki pijaran-pijaran
api yang melesat dari kedua tangan Dewi Seribu Bun-
ga, pertanda kalau gadis ini telah lepas pukulan 'Api
Seribu Bunga'. Sementara dari seberang, tampak sinar
kuning disertai gelombang dahsyat yang membawa ser-
ta hawa panas luar biasa.
Bersamaan dengan melesatnya pukulan dari
kedua tangan Dewi Seribu Bunga dan Joko Sableng,
tiba-tiba terdengar suara bersinan beruntun tak pu-
tus-putus.
Anehnya bersamaan dengan terdengarnya sua-
ra bersinan, melesat angin luar biasa dahsyat dari de-
lapan penjuru mata angin! Hebatnya gelombang angin
itu saling pantul memantul ke delapan penjuru arah
tak henti-hentinya.
Sinar kuning pukulan sakti 'Lembur Kuning'
serta pijaran-pijaran api pukulan 'Api Seribu Bunga'
tersapu gelombang angin yang datang pantul meman-
tul. Hingga bukan saja kedua pukulan sakti ini tidak
saling bentrok melainkan kini terus melesat melayang-
layang dari satu sudut ke sudut lain ke delapan penju-
ru arah di udara!
Baik Pendekar 131 maupun Dewi Seribu Bunga
tampak tersentak-sentak ketika pukulannya meman-
tul-mantul.
Murid Pendeta Sinting yang telah tahu siapa
adanya orang usil yang ikut campur cepat kerahkan
tenaga dalam lagi. Tapi belum sampai dia sempat ber-
gerak, terdengar suara ledakan hebat. Sinar kuning
ambyar ke udara. Suara ledakan belum sirap, terden-
gar suara letupan beberapa kali. Pijaran-pijaran api
yang sesaat tadi melayang-layang dari satu arah ke
arah lain tiba-tiba redup! Saat lain, gelombang angin
yang datang dari delapan penjuru arah melesat tinggi
ke udara. Di atas sana, delapan gelombang angin me-
nyatu lalu membubung tinggi dan lenyap!
Sosok murid Pendeta Sinting tergontai-gontai
ke belakang dengan paras berubah pucat pasi. Joko
rasakan dadanya laksana dihantam kekuatan berkali-
kali hingga nafasnya sesak dan aliran darahnya laksa-
na terbalik-balik. Kalau saja dia tidak cepat kerahkan
tenaga dan hawa murni, niscaya sosoknya akan ter-
jengkang roboh!
Di seberang depan, sosok Dewi Seribu Bunga
terseret sampai satu tombak sebelum akhirnya terka-
par dengan tubuh bergetar keras. Kedua tangannya
tampak lunglai ke tanah. Sepasang matanya terpejam
rapat. Mukanya putih laksana tidak dialiri darah.
Meski dari mulutnya tidak kucurkan darah, jelas kalau
gadis ini terluka dalam walau tidak seberapa parah.
Dewi Seribu Bunga lipat gandakan tenaga. Lalu
dengan tegarkan hati, perlahan-lahan dia bergerak
bangkit. Memandang ke depan, terlihat murid Pendeta
Sinting gerakkan kepala ke samping kanan. Dewi Seri-
bu Bunga ikut arahkan pandangannya ke kanan.
Satu sosok tubuh tampak melangkah perlahan-
lahan dengan tongkat kayu dl tangan kanan. Dia ada-
lah seorang kakek mengenakan pakaian lusuh warna
putih kusam. Kepalanya berambut tipis putih. Sepa-
sang matanya sipit. Hidung bagian depannya tampak
mengembung besar. Seraya melangkah, kepala kakek
ini tampak bergerak pulang balik ke depan ke belakang
dengan wajah meringis. Siapa pun yang melihat sudah
dapat menduga kalau gerakan kepala dan paras wajah
si kakek menunjukkan kalau dia hendak bersin!
"Siapa kakek itu...?!" gumam Dewi Seribu Bun-
ga. "Mengapa dia...."
"Bruss! Bruss! Brusss!"
Si kakek yang baru muncul dan bukan lain
adalah Datuk Wahing bersin beberapa kali membuat
gumaman Dewi Seribu Bunga terputus. Di lain pihak,
Joko terpaksa pula urungkan niat yang hendak buka
suara tatkala mendengar si kakek telah perdengarkan
bersinan.
"Kek!" kata murid Pendeta Sinting dengan sua-
ra agak keras begitu suara bersinan sirna. "Harap kau
tidak ikut-ikutan urusan ini! Lebih dari itu, kuharap
kau lekas tinggalkan tempat ini!"
Datuk Wahing seolah tidak hiraukan ucapan
orang. Enak saja dia duduk berlutut dengan tangan
kanan memegang tongkat, sementara tangan kiri dile-
takkan di atas pahanya. Kepalanya terus bergerak pu-
lang balik ke depan ke belakang dengan wajah merin-
gis seakan hendak bersin.
"Kek! Aku telah memperingatkanmu! Harap se-
gera pergi!" kata Joko setelah ditunggu agak lama ter-
nyata Datuk Wahing tidak perdengarkan bersinan.
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. La-
lu berpaling. Bukan ke arah murid Pendeta Sinting,
melainkan menghadap Dewi Seribu Bunga. Sepasang
matanya dibeliakkan. Bibirnya sunggingkan senyum.
Dewi Seribu Bunga hanya memandang sekilas.
Lalu alihkan pandangannya. Datuk Wahing gerakkan
kepala. Kini berpaling menghadap murid Pendeta Sint-
ing. Kembali sepasang matanya dipentang. Lalu bibir-
nya sunggingkan senyum. Joko balas menatap dengan
pandangan dingin dan acuh. Tapi diam-diam Joko
mengakui bahwa kakek yang sempat ditemuinya itu
benar-benar memiliki ilmu langka.
Karena yang dipandang tidak acuh, kembali
Datuk Wahing berpaling ke arah Dewi Seribu Bunga.
Saat yang sama, kebetulan si gadis tengah memandang
ke arah si kakek. Hingga keduanya sesaat saling ber-
pandangan meski buru-buru Dewi Seribu Bunga alih-
kan pandangannya lagi.
Melihat tingkah Datuk Wahing, rupanya murid
Pendeta Sinting tidak sabar. Dia kembali angkat bica-
ra. "Kek! Di antara kita tidak ada silang permusuhan!
Harap kau tidak membuka sengketa dengan ikut cam-
pur urusan ini!"
"Mengherankan sekali kalau kau menuduhku
ikut campur urusanmu! Urusanmu yang mana yang
ku campuri, Anak Muda?!"
"Bukankah kau tadi sengaja pamer kekuatan
dengan memporak-porandakan pukulanku?! Silakan
kau pamer kekuatan, tapi bukan di sini tempatnya!"
"Mengherankan. Dua kali kau membuat tudu-
han padaku, Anak Muda! Apa masih ada tuduhan la-
gi?!"
"Aku memang perlu bicara denganmu! Tapi bu-
kan sekarang saatnya!"
"Aku akan sabar menunggu, meski aku heran
gerangan apa yang akan kau bicarakan! Karena menu-
rut ku, tak satu pun ada yang perlu dibicarakan di an-
tara kita!"
Karena merasa tak ada gunanya lagi melayani
Datuk Wahing, akhirnya Joko palingkan kepala ke
arah Dewi Seribu Bunga sambil berucap.
"Tunggulah! Aku akan selesaikan urusan den-
gan gadis itu! Tapi jangan coba-coba ikut campur den-
gan pamer kekuatan!"
Datuk Wahing tertawa. "Dari tadi kau mengata-
kan aku pamer kekuatan. Aku jadi bertanya-tanya dan
heran. Kekuatan mana yang ku pamerkan?! Orang tua
macam aku begini akan mengherankan orang kalau
berani pamer kekuatan di depan orang gagah seperti-
mu, Anak Muda. Orang kadangkala memang sering ja-
di salah sangka pada orang lain saat dirinya dalam
keadaan marah. Tapi adalah mengherankan kalau
orang muda sepertimu harus dikuasai hawa amarah
dan tak bisa mengendalikannya!"
Ucapan Datuk Wahing membuat murid Pendeta
Sinting palingkan kepala lagi pada si kakek. Lalu ber-
kata.
"Bagaimana orang tidak akan marah, kalau ti-
dak ada hujan tidak ada angin tiba-tiba dia menuduh-
ku hendak memperkosanya?!"
"Siapa menuduh?! Kau memang melakukan-
nya!" Dewi Seribu Bunga sudah menyahut.
"Kau dengar, Kek?!" tanya Joko dengan tertawa
pendek.
"Kau akan heran berlipat-lipat, Kek! Karena
aku yakin benar jika baru kali ini bertemu dengannya.
Tapi dia mengatakan aku...."
"Mataku tidak buta!" tukas Dewi Seribu Bunga.
"Aku tak mungkin salah menyangka orang lain sebagai
dirimu! Lagi pula apa untungnya bagiku mengada-ada
kalau kau sudah tahu bahwa kepergianku semata-
mata mencarimu?!" Mungkin karena tidak tahan, kem-
bali Dewi Seribu Bunga perdengarkan isakan.
Murid Pendeta Sinting terdiam mendengar uca-
pan Dewi Seribu Bunga. Sementara Datuk Wahing
tampak mendengarkan dengan seksama.
"Mendengar ucapan-ucapan kalian, meski uru-
san ini tampak pelik, tapi aku tidak merasa heran sa-
ma sekali...," ujar Datuk Wahing. "Dalam hal ini yang
pasti ada satu kemungkinan. Yaitu, ada orang yang
melakonkan sebagai dirimu tapi bukan kau, Anak Mu-
da! Dan yang lebih pasti lagi, orang itu punya maksud
tertentu yang justru di sini aku mulai heran. Apa mak-
sudnya...?!"
Mendengar ucapan Datuk Wahing membuat
murid Pendeta Sinting teringat kembali akan keteran-
gan Kiai Laras yang mengatakan pernah melihatnya
bersama seorang gadis cantik di kedai. Padahal dia ti-
dak pernah bertemu dengan gadis di kedai.
"Ah.... Rasanya ucapanmu ada benarnya,
Kek...!" kata Joko pada akhirnya.
Sementara itu mendengar kata-kata Datuk
Wahing dan murid Pendeta Sinting, Dewi Seribu Bunga
menyahut. "Kek! Aku tidak sekali dua kali bertemu
dengannya! Aku mengenal betul siapa dia! Dan yang
kutemui di kedai serta hendak melakukan perbuatan
terkutuk itu memang dia orangnya!"
"Aku tidak mengatakan kau salah, Anak Can-
tik! Tapi adalah mengherankan kalau aku mengatakan
kau benar!" Datuk Wahing berpaling pada murid Pen-
deta Sinting. "Anak muda, kudengar kau tadi sebut-
sebut seorang nenek begitu keluar dari kedai! Urusan
ini akan jadi terang kalau kau bisa menemukan nenek
itu dan membawanya pada gadis cantik itu!"
"Orang bisa saja bersekongkol!" Dewi Seribu
Bunga menimpali. "Karana siapa tahu nenek itu ada-
lah sahabatnya yang ingin melindungi?! Kalau memang
ingin sakai, dan orang itu pasti tidak bisa diajak ber-
sekongkol aku tahu orangnya!"
"Siapa?!" tanya Pendekar 131 dengan suara
agak keras karena jengkel melihat Dewi Seribu Bunga
masih juga tidak mau menerima apa yang dikatakan
Datuk Wahing.
"Si orang tua pemilik kedai!" jawab Dewi Seribu
Bunga tak kalah kerasnya. "Sekarang katakanlah aku
memang salah melihat orang, tapi apa mungkin orang
tua pemilik kedai itu juga salah melihat orang?! Dia
tahu bahwa kaulah orang yang balik lagi setelah mem-
bawa pergi si nenek! Kau datang lagi untuk mengambil
imbalan yang dijanjikannya! Apa mungkin orang itu
mau memberikan imbalan pada orang lain?!"
Mendengar ucapan Dewi Seribu Bunga, murid
Pendeta Sinting jadi terdiam. Sementara melihat orang
seperti terpojok, Dewi Seribu Bunga lanjutkan uca-
pannya.
"Bagi orang tua pemilik kedai, memberi imbalan
bukanlah sesuatu yang enak. Jadi tak mungkin orang
tua itu gegabah memberikan imbalan pada orang yang
tidak pantas diberi! Bukankah begitu, Kek...?!"
"Orang akan heran kalau aku mengatakan kau
salah, Anak Cantik! Tapi orang akan lebih heran jika
aku mengatakan kau benar!"
"Kau bisa katakan di mana salah dan benar-
nya?!" tanya Dewi Seribu Bunga.
"Aku bisa mengatakannya!" Tiba-tiba satu sua-
ra menyeruak. Bukan dari mulut Joko atau Datuk
Wahing.
Pendekar 131 cepat berpaling ke arah sumber
suara yang baru terdengar. Sementara Datuk Wahing
tarik kepalanya ke belakang. Di lain saat orang tua ini
telah perdengarkan bersin tiga kali berturut-turut. Di
seberang depan, Dewi Seribu Bunga kernyitkan dahi
lalu perlahan-lahan gerakkan kepala dengan mata
mementang.
*
* *
SEMBILAN
MEMANDANG ke samping kanan, Dewi Seribu
Bunga melihat seorang nenek berambut putih dike-
pang dua yang pada ujungnya diberi pita. Rambut de-
pannya diponi dan digersikan menutup keningnya. Pipi
dan bibirnya dipoles merah. Nenek ini mengenakan ba-
ju warna merah tanpa lengan dan amat cingkrang,
hingga ketiak dan pusarnya kelihatan. Sementara pa-
kaian bawahnya berupa celana pendek di atas lutut.
Nenek ini berkulit gelap, hingga polesan merah di pipi
dan bibirnya membuat wajahnya tidak bertambah can-
tik, melainkan terlihat makin angker! Dia adalah
Dayang Sepuh!
Kalau semula murid Pendeta Sinting berusaha
pisahkan diri dan berlari jauh-jauh dari Dayang Se-
puh, apalagi setelah mendengar keterangan dari Kiai
Laras tentang siapa adanya Dayang Sepuh, kini kein-
ginan semula murid Pendeta Sinting seakan lenyap.
Bahkan dia merasa lega melihat kemunculan si nenek
di tempat itu. Di lain pihak, meski belum pernah ber-
temu, namun Dewi Seribu Bunga sepertinya sudah bi-
sa menduga siapa adanya nenek yang tiba-tiba mun-
cul.
"Nek...! Kebetulan kau datang. Harap kau mau
jelaskan semuanya pada gadis itu!" kata Joko lalu me-
langkah hendak mendekat.
Tapi gerakan langkah murid Pendeta Sinting
tertahan tatkala mendadak si nenek pentangkan mata
dengan kedua tangan berkacak pinggang. Walau mu-
lutnya terkancing rapat, dari sikapnya jelas kalau
orang ini sedang marah.
"Ada apa dengan nenek ini?! Apa dia marah karena ku tinggalkan?!" Joko membatin. Lalu berkata.
"Nek.... Bukan maksudku meninggalkan mu. Aku...."
"Jangan banyak mulut!" hardik Dayang Sepuh.
"Kau lupa apa yang pernah kukatakan, hah?!"
"Nek! Aku selalu ingat apa yang pernah kau ka-
takan! Tapi yang kau maksud yang mana?!"
Dayang Sepuh tidak segera menjawab. Dia
pandang sejenak Datuk Wahing yang gerak-gerakkan
kepalanya pulang balik ke depan ke belakang. Lalu
melirik pada Dewi Seribu Bunga. Saat lain nenek ini
telah arahkan pandang matanya pada Joko. Lalu ber-
kata dengan suara tetap keras.
"Kau mengatakan selalu ingat. Tapi kau tanya
yang mana!"
"Brusss! Brusss! Brusss!"
"Harap tidak heran, sahabatku Dayang Sepuh!"
Datuk Wahing buka suara. "Anak muda ini sedang ka-
lut! Hingga tak heran jika dia mengatakan ingat tapi
masih bertanya...."
"Itu berarti tak ada bedanya dengan lupa!" sa-
hut Dayang Sepuh. "Nek...."
"Diam!" bentak Dayang Sepuh sebelum Joko
lanjutkan ucapannya. Tapi Joko tidak hiraukan benta-
kan si nenek, dia kembali buka suara.
"Nek...!"
"Kau buka suara lagi, berarti urusanmu ini ti-
dak akan selesai!" Dayang Sepuh sudah menukas
kembali sebelum murid Pendeta Sinting lanjutkan
ucapannya.
Pendekar 131 tegak dengan mulut terkancing.
"Apa kemauan orang tua menor ini sebenarnya?! Dia
seolah tidak memberi ku kesempatan untuk bicara...."
Joko tengadahkan kepala. Sekonyong-konyong murid
Pendeta Sinting tertawa. Lalu tepuk jidatnya sendiri.
"Aku tahu.... Aku tahu sekarang...," gumamnya seraya
senyum-senyum.
"Apa yang lucu?! Kau kira aku tertarik dengan
senyum itu, hah?!" Dayang Sepuh membentak.
"Bibi Cantik...," ujar Joko dengan sikap menju-
ra hormat. "Sekarang aku ingat apa yang pernah kau
katakan! Harap maafkan kealpaan ku tadi...."
Mendengar murid Pendeta Sinting memanggil
dengan Bibi Cantik, mendadak sikap Dayang Sepuh
berubah. Perlahan-lahan kedua tangannya diturunkan
dari pinggang. Bibirnya sunggingkan senyum. Sepa-
sang matanya melirik pada Dewi Seribu Bunga yang
masih terheran-heran dengan sikap si nenek. Rona wa-
jah si nenek yang tadinya angker perlahan-lahan me-
rona merah, meski hal itu membuat paras kulit wajah-
nya makin gelap!
"Brusss! Brusss!"
"Heran. Bagaimana bisa begini?!" gumam Datuk
Wahing dengan mata setengah terpejam pandangi
Dayang Sepuh.
Dayang Sepuh ambil kepangan rambutnya. Se-
raya bungkukkan sedikit tubuhnya dia berkata dengan
wajah dihadapkan pada Datuk Wahing. "Sahabatku,
Datuk Wahing. Harap tidak terlalu heran dengan apa
yang baru saja terjadi! Itu hanya sebuah hal yang tak
perlu banyak dipersoalkan...."
Habis berkata begitu, Dayang Sepuh hadapkan
wajahnya pada Dewi Seribu Bunga.
"Anak gadis! Kau hanya akan memperoleh ja-
waban membingungkan kalau ajukan tanya pada sa-
habatku kakek yang suka bersin itu! Sebagai wakilnya,
aku akan jawab semua pertanyaanmu...."
"Aku tak akan bertanya pada orang yang belum
ku kenal!" Dewi Seribu Bunga berkata dengan suara
agak ketus.
"Aku.... Hem.... Yang Ingin kau ketahui gelar
atau namaku?!" tanya Dayang Sepuh.
"Keduanya!" jawab Dewi Seribu Bunga.
Murid Pendeta Sinting sudah jengkel melihat
sikap dan jawaban ketus Dewi Seribu Bunga. Namun
melihat isyarat yang diberikan si nenek, murid Pendeta
Sinting jadi urungkan niat untuk buka suara menegur.
"Anak gadis.... Gelaranku Dayang Sepuh. Nama
ku Dayang Sepuh!" kata Dayang Sepuh. "Ingin tahu
juga tempat tinggalku?"
Dewi Seribu Bunga tidak menjawab. Gadis ini
coba menahan geram dan rasa geli ingin tertawa. Sete-
lah dapat kuasai diri, dia bertanya.
"Apa benar kau bertemu dengan pemuda itu di
kedai?!"
Dayang Sepuh tertawa dahulu sebelum berka-
ta. "Kau tadi mengatakan tak akan bertanya pada
orang yang belum kau kenal. Sekarang bagaimana
mungkin aku akan jawab pertanyaan orang yang be-
lum ku tahu siapa namanya dan di mana alamatnya?!"
"Aku Dewi Seribu Bunga!" Dewi Seribu Bunga
langsung berkata.
"Itu gelar atau nama asli?!" tanya Dayang Se-
puh.
"Kau bisa tebak sendiri!" jawab Dewi Seribu
Bunga.
"Aku menebak itu tadi nama aslimu! Sekarang
boleh tahu gelarmu?!"
Dewi Seribu Bunga tidak menyahut. Hanya wa-
jahnya mulai berubah merah padam. Dayang Sepuh
gelengkan kepala. Lalu buka suara lagi. "Tak apa kau
tak mau sebutkan gelarmu. Sekarang boleh tahu di
mana alamat mu?!"
"Nek! Kalau kau terus bercanda, kusarankan
untuk segera angkat kaki dari sini!" bentak Dewi Seri-
bu Bunga sudah tidak kuasa lagi menahan rasa jeng-
kel.
Dayang Sepuh tidak tunjukkan wajah marah.
Malah nenek itu tersenyum-senyum. Bahkan sesekali
matanya mengerling pada murid Pendeta Sinting yang
melihat dengan kepala menggeleng-geleng.
"Baik. Tak apa kau tidak mau sebutkan alamat.
Sekarang apa yang perlu kau tanyakan...?!"
Meski makin jengkel, namun akhirnya Dewi Se-
ribu Bunga berkata juga. "Apa benar kau bertemu
dengan pemuda itu di kedai?!"
"Menurut pengakuannya bagaimana?!" Dayang
Sepuh bukannya menjawab melainkan balik bertanya.
"Dia mengatakan bertemu kau di kedai itu!" ka-
ta Dewi Seribu Bunga.
"Betul!" sahut Dayang Sepuh sambil mainkan
kepangan rambutnya, sementara tangan satunya me-
nata poni di depan keningnya.
Dewi Seribu Bunga pandangi si nenek dengan
seksama. Lalu bertanya lagi.
"Apa benar setelah keluar dari kedai pemuda
itu tidak balik lagi?!"
Dayang Sepuh berpaling dahulu pada murid
Pendeta Sinting. Dada Pendekar 131 jadi waswas.
"Urusan ini akan makin runyam kalau nenek menor ini
menjawab dengan bercanda.... Apalagi sampai memu-
tar balik kenyataan...."
Dayang Sepuh tidak berkata apa-apa pada mu-
rid Pendeta Sinting. Dia hanya memandang sekilas lalu
palingkan kepala lagi menghadap Dewi Seribu Bunga
dengan buka suara. "Bagaimana yang dikatakan pe-
muda itu padamu?!"
"Dia mengatakan tidak kembali lagi ke kedai!"
jawab Dewi Seribu Bunga.
"Hem.... itu juga betul!"
Dewi Seribu Bunga kerutkan dahi. Sementara
Joko mengambil napas lega. Malah saat itu juga dia
menyahut ucapan Dayang Sepuh. "Setelah itu kita
pergi ke sendang. Bukankah begitu, Bibi...?!"
"Aku belum memberimu kesempatan untuk
bertanya!" kata Dayang Sepuh dengan mata mendelik
ke arah murid Pendeta Sinting.
Karena tidak habis pikir dengan jawaban
Dayang Sepuh yang dikiranya mustahil, Dewi Seribu
Bunga akhirnya bertanya. "Nek! Kau tidak berdusta?!"
"Menurutmu bagaimana?!" Dayang Sepuh balik
bertanya.
"Kau bersekongkol dengannya untuk menutupi
perbuatannya!"
"Hem.... itu baru tidak betul!"
"Bagaimana ini?!" gumam Dewi Seribu Bunga
tampak bingung.
"Kau bertanya padaku?!" tanya Dayang Sepuh.
Dewi Seribu Bunga kancingkan mulut tidak menjawab.
Dayang Sepuh seolah tidak pedulikan kebingungan
orang, dia kembali buka suara bertanya.
"Masih ada lagi yang hendak kau tanyakan,
Anak Gadis?!"
"Bruss! Bruss!" Terdengar bersinan. Lalu Datuk
Wahing sudah berkata.
"Dia tidak bertanya lagi. Tapi aku sekarang
yang heran. Herannya, lalu siapa pemuda yang menu-
rut gadis itu adalah Anak Muda itu?!"
"Sahabatku! Kali ini rasanya bukan kau saja
yang harus heran. Aku pun jadi merasa aneh dan ya-
kin ada yang tak betul dalam urusan ini!" ujar Dayang
Sepuh. Lalu berpaling pada Dewi Seribu Bunga sambil
bertanya. "Apa kau juga merasakan demikian, Anak
Gadis?!"
Dewi Seribu Bunga tidak menjawab. Dia me-
mandang pada Dayang Sepuh, lalu beralih pada Datuk
Wahing. Terakhir dia arahkan pandangannya pada
murid Pendeta Sinting. Agak lama Dewi Seribu Bunga
pandangi sosok Pendekar 131. Dan tanpa berkata apa-
apa lagi, gadis berparas cantik ini balikkan tubuh lalu
tinggalkan tempat itu.
"Dewi! Tunggu!" seru Joko seraya berkelebat
mengejar. Namun Dayang Sepuh telah melompat dan
memotong gerakan murid Pendeta Sinting sambil ber-
kata.
"Urusanmu dengan gadis itu telah selesai. Se-
karang kita selesaikan urusan kita, Cucu!"
"Kita tidak punya urusan, Nek! Eh.... Bibi!"
"Hem.... Setelah urusan dengan gadis cantik se-
lesai, kau mengatakan tidak ada urusan denganku!
Enak betul bicaramu!"
"Bibi.... Setelah berpisah denganmu, aku ber-
hasil menemukan kakekku yang kuceritakan tidak pu-
lang itu! Kini kakekku sudah pulang. Bukankah den-
gan demikian urusan kita selesai?!" kata Joko berbo-
hong karena sebenarnya dia ingin segera mengejar
Dewi Seribu
Bunga.
"Hem... Begitu? Jadi kau benar-benar sudah
merasa tidak punya urusan lagi denganku?!"
"Begitulah, Bibi.... Dan aku hanya bisa mengu-
capkan terima kasih atas keteranganmu tadi! Sekarang
aku harus segera pergi...."
Habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting
berkelebat tinggalkan tempat itu. Dayang Sepuh pandangi kelebatan sosok Pendekar 131 dengan bibir
sunggingkan senyum. Lalu sekali gerakkan kaki, sosok
si nenek pun melesat pergi.
"Bruss! Bruss! Brusss!"
"Heran. Tidak seorang pun dari mereka yang
berpamitan padaku! Apa dikira aku ini orang tua yang
mengherankan?!" gumam Datuk Wahing. Lalu tertawa
gelak-gelak! Namun laksana direnggut setan, gelakan
tawanya terputus. Yang terdengar kini adalah suara
bersinan tak putus-putus. Hebatnya, suara bersinan
itu laksana pantul memantul dari satu sudut ke sudut
lain di delapan penjuru mata angin, padahal sosok Da-
tuk Wahing sudah melangkah jauh dari tempat itu!
Bahkan dia sendiri sudah tidak perdengarkan bersi-
nan!
*
* *
SEPULUH
KITA tinggalkan dahulu Pendekar 131 yang
berkelebat mengejar Dewi Seribu Bunga. Juga Dayang
Sepuh serta Datuk Wahing. Kita kembali sejenak pada
Setan Liang Makam. Seperti diketahui, pada waktu
yang ditentukan, Maladewa yang terpendam dalam
makam batu berhasil keluar dengan bantuan seorang
pemuda. Namun keluarnya Maladewa harus ditebus
dengan beralihnya senjata dahsyat yang dikenal den-
gan nama Kembang Darah Setan ke tangan si pemuda.
Maladewa yang begitu keluar dari makam batu meng-
gelari dirinya dengan Setan Liang Makam berusaha
mencari jejak si pemuda. Dia sempat bertemu dengan
Kiai Laras. Dari orang tua ini pula Setan Liang Makam
tahu banyak tentang siapa adanya Pendekar 131 serta
Pendeta Sinting. (Lebih jelasnya baca serial Joko Sab-
leng dalam episode: "Kembang Darah Setan").
Setan Liang Makam berkelebat laksana angin.
Dalam beberapa saat saja sosoknya yang hanya tinggal
kerangka tanpa daging itu sudah mencapai sebuah
kawasan hutan belantara.
Begitu memasuki kawasan hutan, Setan Liang
Makam hentikan kelebatannya. Lalu tegak dengan ke-
pala berpaling ke samping kanan kiri. Saat lain kemba-
li dia melesat dan tahu-tahu sosoknya telah bergerak
di antara jajaran pohon dan semak di dalam hutan.
Pada satu tempat, Setan Liang Makam hentikan
langkah. Memandang ke depan tampak tanah yang ti-
dak ditumbuhi pohon maupun semak. Tanah itu
hanya lima tombak berkeliling. Di tengah tanah itu
tampak berdiri sebuah gubuk reot yang pintunya ter-
tutup. Tidak terdengar suara. Tidak pula terlihat
adanya gerakan orang di dalam gubuk.
Setan Liang Makam pentangkan mata meman-
dang pada gubuk. Cuma sesaat. Kejap lain tulang mu-
lutnya bergerak membuka.
"Dadaka! Aku tahu kau ada di dalam! Kau pun
tahu aku datang! Mengapa tidak cepat keluar me-
nyambut ku?!"
Belum habis seruan Setan Liang Makam, pintu
gubuk berderit membuka. Saat yang sama satu bayan-
gan putih melesat keluar. Tahu-tahu satu sosok tubuh
telah tegak hanya sejarak lima langkah di hadapan Se-
tan Liang Makam. Orang ini ternyata seorang laki-laki
berusia lanjut. Rambutnya putih sepinggang dan tam-
pak kumal awut-awutan. Sepasang matanya besar ter-
puruk masuk dalam rongga yang amat dalam. Kumis
dan jambangnya juga putih lebat dan merangas tak te-
rawat.
Meski orang yang baru muncul bertampang
angker, namun orang ini sempat unjukkan rasa kaget
saat melihat sosok orang di hadapannya.
"Selama malang melintang, baru hari ini aku
melihat manusia yang tampangnya begini rupa! Setan
dari mana ini?! Anehnya dia tahu siapa aku! Berarti
aku pernah mengenalnya! Tapi rasanya aku tak per-
nah bertemu dengan setan ini!" Diam-diam orang yang
tadi di panggil Dadaka oleh Setan Liang Makam mem-
batin. Namun karena tak mau orang tahu rasa kaget-
nya, Dadaka cepat alihkan pandangan. Lalu berkata.
"Kau sebut namaku dengan benar! Berarti kau
memang datang untuk menemuiku! Katakan siapa kau
dan apa perlumu!"
Sambil berkata sepasang mata Dadaka me-
mandang dan melirik berkeliling. "Dia datang sendi-
rian...," bisik Dadaka dalam hati.
Setan Liang Makam dongakkan kepala. "Tak
usah khawatir, Dadaka! Aku datang tanpa pasukan!"
kata Setan Liang Makam seakan bisa menangkap apa
yang ada dalam benak orang. "Dan kau tak usah heran
bila aku tahu siapa kau!" Setan Liang Makam tertawa
bergelak.
"Lihat baik-baik, Dadaka! Siapa yang saat ini
berdiri di hadapanmu!" Setan Liang Makam telah beru-
cap kembali setelah sejenak puaskan tertawa.
Dadaka tidak gerakkan kepala memandang pa-
da Setan Liang Makam. Bibirnya menyeringai. Lalu
berkata.
"Aku tak biasa lihat tampang orang yang da-
tang untuk cari mampus!"
"Hem.... Begitu?! Bagaimana kau bisa mengatakan begitu jika tidak dapat membuatku mampus pada
tiga puluh enam tahun yang lalu?!"
"Aku tak pernah meninggalkan urusan dengan
masih sisakan nyawa pada orang! Jadi Jangan menga-
da-ada!" ujar Dadaka sambil tertawa pendek.
"Kau terlalu membual, Dadaka! Buktinya kau
lihat sendiri! Aku masih bernyawa! Bahkan akan ganti
mengambil selembar nyawamu!"
Sesaat Dadaka terdiam seolah berpikir. Setan
Liang Makam tertawa bergelak-gelak. Lalu berkata lagi.
"Agar kau tak penasaran, aku akan membuat
ingatanmu segar! Kau masih ingat dengan manusia
bernama Kigali?!"
Dadaka tidak menyahut. Setan Liang Makam
tak peduli karena dia tahu, Dadaka pasti ingat siapa
adanya Kigali. "Buka telingamu lebar-lebar, Dadaka!
Kau masih ingat persekongkolan dengan Kigali untuk
membunuh seorang di Kampung Setan?!"
"Maladewa!" desis Dadaka. Laksana disentak
setan kepalanya langsung berpaling ke arah Setan
Liang Makam.
"Salah! Aku Setan Liang Makam!" ujar Setan
Liang Makam. "Maladewa telah terkubur tiga puluh
enam tahun silam di Kampung Setan! Yang muncul
dan sekarang di hadapanmu adalah Setan Liang Ma-
kam!"
"Apakah manusia setan ini benar-benar perwu-
judan dari Maladewa?! Bagaimana bisa dia keluar dan
masih hidup?! Aku tidak percaya!"
Dadaka tersenyum dingin. "Kalau kau benar-
benar manusia di Kampung Setan, keluarkan tanda
yang kau miliki!"
"Setan Liang Makam tidak usah tunjukkan
tanda kalau hanya ingin cabut nyawamu!"
"Berarti kau bukan manusia dari Kampung Se-
tan!" "Terserah kau mau bilang apa! Yang jelas aku
muncul dari Kampung Setan dan datang untuk men-
jemput nyawamu!"
"Hem.... Kalau kau benar-benar Maladewa, apa
kau kira bisa cabut nyawaku tanpa Kembang Darah
Setan?!"
"Kembang Darah Setan memang lolos dari tan-
ganku, Dadaka! Tapi jangan lupa.... Aku bisa bertahan
selama tiga puluh enam tahun di ruangan celaka itu!
Apakah hal itu tidak membuatmu yakin kalau aku
mampu membedol nyawamu tanpa Kembang Darah
Setan?!"
Sosok Dadaka tampak bergetar. Bukan karena
ucapan Setan Liang Makam, melainkan diam-diam
orang ini telah kerahkan segenap tenaga dalamnya.
Meski dia masih belum percaya penuh dengan ucapan
Setan Liang Makam, namun dia sudah merasa mak-
lum, siapa pun adanya orang yang dihadapi saat ini
bukan orang berilmu rendah. Dalam keadaan yang
tinggal tulang-belulang tanpa daging, bukan saja
mampu dan dapat menemuinya, namun juga berani
keluarkan ancaman! Padahal kalangan dunia persila-
tan telah mengenal siapa adanya Dadaka!
"Dadaka!" kata Setan Liang Makam. "Membetot
selembar nyawamu bukan pekerjaan sulit bagiku! Tapi
aku masih mau berbaik hati! Katakan padaku di mana
si jahanam Kigali! Maka nyawamu akan selamat!"
"Hem.... Apa dikira aku manusia bodoh? Apa
pikirnya aku tak tahu apa yang ada dalam benaknya?!"
Dadaka membatin dan tertawa sendiri dalam hati
mendengar ucapan Setan Liang Makam. Lalu berujar.
"Aku akan tunjukkan padamu dl mana Kigali!
Tapi setelah kerangka tubuhmu tidak dihinggapi nya
wa! Ha.... Ha.... Ha...! Kalau tiga puluh enam tahun si-
lam tanganku mampu membuatmu menghuni kamar
gelap serta meratakan Kampung Setan, masakan seka-
rang tanganku tidak bisa mencabut nyawa dari ke-
rangka tubuhmu?!"
"Kau lupa, Dadaka! Tanpa berlaku licik, mana
bisa kau ratakan Kampung Setan?!"
Dadaka tertawa bergelak-gelak. "Dalam meng-
hadapi hidup, pergunakan akal, pergunakan kelicikan!
Jika tidak, akibatnya telah kau rasakan!"
Sekujur kerangka Setan Liang Makam berge-
rak-gerak. Jelas kalau orang ini telah dibungkus hawa
amarah menggelegak. "Dadaka! Aku masih memberimu
kesempatan!"
"Aku telah punya kesempatan hidup hampir tu-
juh puluh tahun lebih! Adalah aneh kalau kau saat ini
memberi ku kesempatan! Tanpa kau beri kesempatan,
aku percaya akan hidup lebih lama lagi tanpa harus
memberimu keterangan apa pun!"
Belum sampai ucapan Dadaka selesai, Setan
Liang Makam telah melompat ke depan. Kedua tan-
gannya yang hanya berupa kerangka berkelebat.
Dadaka yang sudah waspada cepat tekuk sedi-
kit lutut. Saat yang sama kedua tangannya dihantam-
kan membendung kelebatan tangan Setan Liang Ma-
kam.
Bukkk! Bukkk!
Dua pasang tangan beradu keras. Dadaka sedi-
kit tersentak. Dia sama sekali tidak menyangka kalau
kedua tangannya yang baru saja bentrok dengan ke-
rangka tangan Setan Liang Makam mental balik dan
bergetar keras. Malah kalau saja dia tidak segera lipat
gandakan tenaga dalam, niscaya kedua kakinya akan
bergerak mundur!
Di depannya, Setan Liang Makam cepat tarik
pulang kedua tangannya yang sejenak tadi juga mental
balik. Meski sosoknya tinggal kerangka, namun ben-
trokan begitu dahsyat yang telah dialiri tenaga dalam
kuat tidak membuat kakinya goyah! Malah begitu tan-
gannya mental, orang ini cepat himpun tenaga dalam
tambahan. Di lain saat, sosoknya merangsek ke depan.
Sejarak dua langkah tubuhnya melenting setengah
tombak ke udara. Bersamaan dengan itu tubuhnya
berputar. Kedua kakinya membuat gerakan menen-
dang beruntun!
Dadaka tidak tinggal diam. Begitu sosok Setan
Liang Makam melenting ke udara, dia jejakkan kaki.
Sosoknya melesat pula ke udara sejajar dengan Setan
Liang Makam. Tatkala Setan Liang Makam putar tu-
buh untuk kemudian membuat tendangan beruntun,
Dadaka cepat pula putar tubuh. Lalu seperti halnya
Setan Liang Makam, dia lakukan tendangan benturan
di atas udara menghadang tendangan beruntun Setan
Liang Makam.
Terdengar suara beradunya kaki tak putus-
putusnya. Suara itu baru mereda ketika sosok Setan
Liang Makam dan Dadaka sama terpental dan masing-
masing orang jatuh terduduk dengan kaki melipat!
Namun Setan Liang Makam tampaknya tidak
mau beri kesempatan. Begitu tubuhnya terduduk, ke-
dua tangannya bergerak lepas pukulan jarak jauh.
Di seberang depan, Dadaka cepat pula angkat
kedua tangannya. Lalu didorong ke depan. Dua gelom-
bang angin dahsyat segera melesat menghadang ge-
lombang yang mencuat dari gerakan kedua tangan Se-
tan Liang Makam.
Blammm!
Satu ledakan membuncah dl tempat itu. Tanah
di sekitar tempat itu bergetar keras. Sosok keduanya
mental terseret. Beruntung Setan Liang Makam terse-
ret agak jauh baru menghantam pohon. Hingga meski
tidak dapat selamatkan tubuhnya dari menubruk ba-
tangan pohon, namun karena daya lesatnya sudah
agak berkurang, maka hantaman tubuhnya ke batan-
gan pohon tidak begitu keras. Lain halnya dengan Da-
daka. Hanya sejarak tiga langkah di belakangnya
menghadang batangan pohon besar. Hingga begitu tu-
buhnya mental langsung menyambut batangan pohon
di belakangnya. Saat lain sosoknya mencelat lagi ke
depan setelah menghantam batangan pohon!
Dari mulut Dadaka tampak mengalir darah se-
gar. Sementara kedua tangannya menggapai-gapai. Je-
las pertanda kalau orang ini sedang atur aliran darah
pada kedua tangannya yang laksana tersentak-sentak.
Sepasang matanya memejam terbuka. Orang ini coba
menahan agar seruannya tidak terdengar.
Di seberang sana, meski dari tulang mulutnya
tidak alirkan darah, namun dari sikapnya jelas jika Se-
tan Liang Makam juga mengalami cedera dalam.
Begitu sama-sama dapat kuasai diri, hampir
berbarengan kedua orang ini bangkit berdiri. Dadaka
sudah angkat kedua tangannya. Sepasang matanya
memejam rapat. Perlahan-lahan tampak kedua kaki
orang ini bergerak-gerak masuk amblas ke dalam ta-
nah yang dipijak. Pertanda kalau Dadaka berusaha
agar sosoknya tidak lagi mental apalagi terjadi bentrok
pukulan.
Di sebelah depan, Setan Liang Makam mem-
perhatikan sejurus. Saat lain mendadak orang ini ge-
rakkan kedua tangannya diputar-putar ke belakang ke
depan.
Wusss! Wusss!
Dari putaran kedua tangan Setan Liang Makam
tampak berkiblat gelombang angin bergulung-gulung.
Dadaka segera turunkan tangan diletakkan di
depan dada dengan telapak terbuka. Begitu gulungan
gelombang datang, kedua tangannya segera mengge-
brak. Begitu gelombang telah melesat ke depan, kem-
bali kedua tangannya ditarik ke depan dada lalu dido-
rong lagi. Begitu terus menerus hingga dari kedua tan-
gannya tak henti-hentinya melesat gelombang angin.
Hal ini sengaja dilakukan oleh Dadaka untuk mengha-
dang gelombang bergulung-gulung yang datang susul
menyusul seiring putaran kedua tangan Setan Liang
Makam.
Tempat itu berubah menjadi pekat dan dibun-
cah ledakan dahsyat beruntun. Batangan pohon yang
berderak tumbang menambah hingar bingarnya kea-
daan. Dan semua itu baru sirna tatkala sosok Dadaka
dan Setan Liang Makam sama terkapar.
Pukulan yang dilepas Dadaka dan Setan Liang
Makam adalah pukulan bertenaga dalam tinggi. Dan
karena keduanya sama lepaskan pukulan beruntun,
yang tentu sangat menguras tenaga, maka akibat yang
ditimbulkannya pun fatal. Sekujur tubuh Dadaka ba-
sah kuyup oleh keringat bercampur darah yang keluar
dari hidung dan mulutnya. Sepasang matanya mende-
lik besar. Wajahnya putih kehabisan darah. Meski
orang ini masih bisa bernapas, namun sulit untuk ber-
tahan lama. Malah meski tangannya tampak bergerak-
gerak, namun di saat lain telah terkulai lagi, jelas te-
naga luar dan dalamnya telah habis.
Sementara di pihak Setan Liang Makam, ter-
nyata orang ini memiliki ketahanan luar biasa. Ter-
pendam dalam makam batu membuat tubuhnya masih
mampu bertahan dari gempuran bentroknya pukulan.
Hingga walau sosoknya terkapar, tapi dia seakan tidak
mengalami cedera terlalu parah. Hingga dalam bebera-
pa saat dia bisa bergerak bangkit. Dan begitu melihat
Dadaka tak berdaya, dia cepat membuat satu lompa-
tan yang serta-merta membawa tubuhnya tahu-tahu
telah tegak hanya dua langkah di samping terkaparnya
tubuh Dadaka.
"Kau sekarang tahu, Dadaka! Tanpa Kembang
Darah Setan, tanganku mampu kalau hanya membe-
dol selembar nyawa anjingmu!"
Tahu gelagat mengancam jiwanya, meski sudah
dalam keadaan kehabisan tenaga luar dan dalam, tapi
Dadaka coba menghimpunnya. Namun orang ini harus
pasrah. Karena dia gagal.
"Percuma, Dadaka! Nyawa anjingmu sudah be-
rada di ujung jariku! Tapi, aku masih akan tinggalkan
nyawamu kalau kau katakan di mana jahanam Kigali
berada!"
Walau nyawanya sudah di ujung tanduk, na-
mun bukan berarti nyali Dadaka menjadi leleh. Men-
dengar ucapan Setan Liang Makam, masih terkapar di
atas tanah dan tanpa buka kelopak matanya, dia beru-
jar.
"Kalau kukatakan di mana beradanya, percuma
saja! Kau tidak mungkin dapat menghadapinya tanpa
Kembang Darah Setan!"
"Kembang Darah Setan akan segera kembali ke
tanganku!"
"Itu belum cukup! Karena aku tak akan berk-
hianat untuk mengatakannya padamu!"
"Hem.... Ternyata kau seorang yang teguh pe-
gang janji, Dadaka! Tapi apakah itu ada artinya kalau
harus kau tebus dengan nyawamu?!" Setan Liang Ma-
kam masih coba melunakkan keteguhan Dadaka.
"Aku bukan orang yang seperti kau sangka,
Maladewa! Kalaupun aku punya kesempatan, aku pun
tak segan membunuh Kigali!"
"Begitu?! Lalu apa yang membuatmu tak mau
mengatakan padaku?! Padahal dengan keteranganmu,
nyawamu akan selamat!"
Dadaka masih sempat perdengarkan suara ta-
wa perlahan sebelum akhirnya berkata.
"Aku tahu apa yang ada dalam benakmu, Mala-
dewa! Kukatakan atau tidak di mana beradanya Kigali,
nyawaku tidak akan bertahan lama! Dan perlu kau ta-
hu, sebenarnya bukan hanya kau, aku pun terkecoh
dengan Kigali!"
"Hem.... Terkecoh bagaimana maksudmu?!"
"Kigali bukanlah tokoh golongan hitam seperti
yang beredar di kalangan dunia persilatan! Kalau se-
lama ini dia berpihak pada golongan hitam, dia punya
tujuan tertentu!"
"Hem.... Kau tahu, Dadaka! Bagiku tak ada be-
danya dia dari golongan hitam apa putih! Orang golon-
gan hitam atau putih bagiku musuh besar kalau bera-
ni merambah Kampung Setan!"
"Kau masih juga mengagulkan Kampung Setan!
Apa saat ini dunia persilatan memandang sebelah ma-
ta pada kampung mu itu?! Cerita Kampung Setan su-
dah hilang, Maladewa! Apalagi kini Kembang Darah Se-
tan sudah pindah ke tangan orang!"
"Kau salah, Dadaka! Dengan masih hidupnya
Setan Liang Makam setelah terpendam berpuluh tahun
satu tanda bahwa Kampung Setan masih ada! Sayang
sekali nyawamu sudah tinggal menunggu waktu. Kalau
tidak matamu akan lihat bagaimana Kampung Setan
akan kembali berdiri!"
"Itu hanya impian besar, Maladewa! Dan kau
akan terkubur dalam impian besarmu!"
Setan Liang Makam tidak lagi menyambut uca-
pan Dadaka. Dia maju dua tindak. Sosoknya kini cepat
tegak di samping tubuh Dadaka.
"Aku masih tawarkan keselamatan nyawamu.
Bahkan aku masih bersedia memberi obat padamu,
Dadaka!" ujar Setan Liang Makam.
"Kalau aku tahu di mana Kigali berada, aku ti-
dak berada di sini, Maladewa! Dan tanpa menunggu-
mu, akan kuselesaikan sendiri jahanam Kigali itu!"
"Kalau begitu, hidup pun kau tidak ada gu-
nanya lagi!"
Belum sampai ucapan Setan Liang Makam se-
lesai, kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan
sambil bungkukkan tubuh.
Rupanya Dadaka sudah maklum. Dalam kea-
daan begitu rupa, dengan luar biasa sekali Dadaka
masih sempat sentakkan tangan kanannya meski ge-
rakan tangan itu hanya mengandalkan tenaga luar.
Hebatnya lagi, sentakan tangan kanannya mendahului
gerakan kedua tangan Setan Liang Makam yang hen-
dak menghantam batok kepalanya!
Bukkk!
Kaki kiri Setan Liang Makam bergetar dan ber-
gerak. Hal ini membuat hantaman kedua tangannya
melenceng dari kepala Dadaka.
Dadaka tidak menunggu, dia cepat bergulingan.
Lalu kaki kanannya bergerak hendak susuli sentakan
tangan kanannya. Dia masih arahkan tendangan pada
kaki kanan Setan Liang Makam, karena dia tahu, da-
lam keadaan berada di atas angin melihat lawan sudah
tak berdaya, seorang akan lupa pada pertahanan ba-
wahnya.
Namun Setan Liang Makam rupanya tidak mau
mengulangi kelengahan. Begitu kaki Dadaka bergerak
lakukan tendangan, Setan Liang Makam cepat sambuti
dengan putar tubuh setengah lingkaran lalu ayunkan
kakinya.
Prakkk!
Dadaka menjerit tinggi. Karena tendangan ka-
kinya hanya mengandalkan tenaga luar maka tak am-
pun lagi bukan hanya kakinya yang mencelat mental,
namun sosoknya pun melayang sampai satu setengah
tombak!
Setan Liang Makam tidak memberi kesempatan
lagi. Bersamaan dengan melayangnya tubuh Dadaka,
sosoknya melesat. Begitu berada di udara dan hanya
sejarak lima jengkal, kedua tangannya dihantamkan
ke dada Dadaka!
Bukkk! Bukkk!
Dadaka tidak kuasa lagi perdengarkan suara.
Sosoknya langsung terbanting di atas tanah dengan
dada rengkah!
Setan Liang Makam sesaat pandangi sosok tu-
buh Dadaka yang sudah tak bernyawa lagi. Lalu kepa-
lanya mendongak. Entah apa yang sedang dipikirkan
manusia ini. Karena dia mendongak dalam waktu la-
ma. Kalaupun dia gerakkan kembali kepalanya, itu
bersamaan dengan gerakan kakinya yang menghentak
hingga sosoknya pun melesat tinggalkan tempat itu.
*
* *
SEBELAS
DALAM ketemaraman suasana dan dinginnya
udara menjelang penghujung malam itu, penunggang
kuda yang berlari laksana dikejar setan itu tarik tali
kekang kuda tunggangannya ketika sepasang matanya
menangkap lobang menganga hitam sepuluh tombak
di depan sana.
Binatang tunggangan itu angkat kaki depannya
tinggi dengan moncong perdengarkan ringkihan keras.
Saat kaki depannya menghentak kembali ke atas ta-
nah, si penunggang sudah tidak tampak lagi di atas
pelananya! Dan tahu-tahu di dekat lobang menganga
hitam yang ternyata adalah sebuah jurang yang sangat
curam, telah tegak satu sosok tubuh.
Dia adalah seorang perempuan. Meski wajah-
nya sudah tidak muda lagi, tapi paras mukanya masih
membayangkan kecantikan. Bahkan sepasang ma-
tanya tampak tajam. Orang ini sejenak arahkan pan-
dangan matanya ke seberang jurang. Karena suasana
masih agak gelap, dia hanya melihat rimbun kehita-
man dan batu-batu yang juga berwarna hitam. Me-
mandang sekeliling pun orang ini masih melihat
bayangan hitam. Namun bukan untuk melihat warna-
warna hitam orang ini memandang berkeliling. Dia in-
gin yakinkan diri bahwa di tempat itu tidak ada orang
lain! Jelas pertanda kalau kedatangannya tidak ingin
diketahui orang dan pasti punya maksud tertentu.
Setelah yakin dia berada sendirian, dia arahkan
pandangannya ke jurang di depannya. "Hem.... Aku
harus menunggu sampai suasana terang! Aku baru
pertama kali ini datang kemari! Aku tidak boleh ber-
tindak gegabah!" bisiknya lalu setelah memandang
berkeliling sekali lagi, dia perlahan-lahan melangkah
dan dudukkan diri pada sebuah lamping batu. Sepa-
sang matanya sudah memejam. Namun bukan berarti
perempuan ini tertidur. Karena meski sepasang ma-
tanya terpejam rapat, sesekali kepalanya bergerak.
Tidak berapa lama, dari arah timur perlahan-
lahan sinar terang menebar, pertanda tak lama lagi
sang surya akan muncul. Si perempuan masih belum
beranjak. Dia baru bangkit setelah cahaya sang surya
mampu menerangi tempat di mana dia berada.
Perlahan-lahan si perempuan melangkah ke
arah pinggir jurang. Matanya memandang ke bawah.
Meski masih agak gelap, tapi dia kini dapat melihat
keadaan di bagian lamping jurang.
"Hem.... Aku tidak bisa langsung melihat ke da-
sar jurang. Pertanda jurang ini sangat dalam. Bagai-
mana bisa betah Pendeta Sinting hidup bertahun-
tahun di dalamnya?!" gumam si perempuan. Dari gu-
maman si perempuan jelas menunjukkan kalau jurang
di hadapannya adalah Jurang Tlatah Perak, tempat
kediaman Pendeta Sinting, Eyang Guru Pendekar Pe-
dang Tumpul 131 Joko Sableng.
SI perempuan pandangi lebih seksama bagian
samping jurang. "Hem.... Tumbuhan yang banyak dl
bagian samping itu kiranya dapat kubuat sebagai jem-
batan untuk sampai ke dasar jurang. Dan dengan ja-
lan turun sedikit demi sedikit, aku akan lebih leluasa
melihat keadaan di bawah!"
Memikir sampai di situ, akhirnya si perempuan
kerahkan tenaga dalam. Dalam beberapa saat, sosok-
nya
telah melesat turun ke dalam jurang. Mula-
mula dia hentikan layangan tubuhnya pada sebuah
pohon yang merambat di lamping jurang. Lalu melesat
turun lagi dan berhenti pada pohon dl bawahnya sam-
bil melihat keadaan di bawah. Hal itu dilakukan si pe-
rempuan sampai pada akhirnya dia dapat melihat da-
sar jurang.
Si perempuan agak lama menunggu. Sepasang
matanya terus mengawasi bagian bawah jurang yang
hanya sejarak delapan tombak di bawahnya. Namun
hingga lama memperhatikan, dia tidak menangkap ge-
rakan orang.
"Apa tempat ini telah ditinggal penghuninya?!
Tapi Kiai Lidah Wetan tak mungkin menunjukkan
tempat yang sudah tidak berpenghuni!! Atau barang-
kali dia tahu kedatangan ku...? Hem.... Persetan! Dia
tahu atau tidak, yang pasti aku harus bertemu den-
gannya!"
Si perempuan gerakkan kedua tangannya. Tu-
buhnya meluncur lalu tegak di dasar jurang. Kepala si
perempuan cepat bergerak berputar. Sepasang ma-
tanya liar memperhatikan. Namun sejauh ini tidak me-
lihat siapa-siapa!
Si perempuan mulai melangkah dengan sikap
waspada. Namun hingga dia mondar-mandir beberapa
kali, tetap saja tidak melihat orang. Si perempuan mu-
lai khawatir.
"Hem.... Jangan-jangan tempat ini memang su-
dah kosong! Dan melihat keadaannya, ada orang lain
yang datang ke tempat ini sebelum aku!" Si perempuan
meneliti tempat di mana dia berada. "Apa yang harus
kulakukan sekarang?! Mencarinya di luar sana?!
Hem.... Itu mungkin satu-satunya jalan terbaik. Sambil
mencari Pendeta Sinting, aku akan menemui Saraswa-
ti...."
Habis menggumam begitu, mendadak wajah si
perempuan berubah. Tanpa sadar mulutnya berkata.
"Anakku.... Dalam masa tuaku ini, sebenarnya aku in-
gin habiskan untuk hidup bersamamu.... Tapi, nya-
tanya hatiku masih belum bisa tenang sebelum semua
kekecewaan hati ini terbalaskan! Kuharap nantinya
kau bisa mengerti perasaan ibumu ini.... Ini semua ku-
lakukan demi ketenangan hidup kita berdua! Kalau-
pun saat ini aku harus kembali pada Kiai Lidah Wetan,
itu hanya untuk sementara. Begitu semuanya sele-
sai...."
Si perempuan tidak lanjutkan ucapannya. Se-
baliknya dia mendongak. Beberapa pohon yang me-
rambat di samping jurang tampak bergerak-gerak.
"Ada orang...," desisnya lalu berkelebat dan menyelinap
sembunyi.
Baru saja si perempuan mendekam sembunyi,
satu sosok tubuh melesat turun dan tegak di dasar ju-
rang. Dari gerakan orang, siapa pun dia adanya pasti
memiliki kepandaian tinggi.
"Mungkinkah dia?!" kata si perempuan dari
tempat persembunyiannya. Lalu perlahan-lahan dia
arahkan pandang matanya pada sosok yang baru
muncul.
Si perempuan seketika pentang matanya besar-
besar. Malah kalau saja dia tidak tekap mulut, niscaya
akan terdengar seruan.
"Menuruti keterangan Kiai Lidah Wetan, aku
yakin bukan ini manusianya yang kucari! Tapi bagai-
mana manusia ini bisa muncul di sini?! Apa dia juga
mencari Pendeta Sinting?! Apa aku harus mene-
muinya...?!"
Selagi si perempuan membatin, tiba-tiba orang
yang baru muncul sudah perdengarkan ucapan.
"Pendeta Sinting! Keluarlah! Kita perlu bicara!"
"Hem.... Dari ucapannya, dugaanku tidak meleset! Aku akan menunggu dahulu. Siapa tahu Pendeta
Sinting masih sembunyikan diri!" kata si perempuan
seraya memperhatikan orang dl depan sana. Orang ini
ternyata adalah seorang laki-laki. Namun paras dan
sekujur tubuhnya tidak saja mengerikan, namun juga
angker! Karena orang ini hanya merupakan susunan
dari kerangka tanpa daging!
Mendapati teriakannya tidak mendapat sambu-
tan, atau tidak ada tanda-tanda akan munculnya
orang, orang yang baru muncul dan bukan lain adalah
Setan Liang Makam berteriak lagi.
"Pendeta Sinting! Aku hanya akan ulangi sekali
lagi ucapanku! Keluarlah!"
Setan Liang Makam menunggu. Maklum tidak
ada suara sahutan atau tanda-tanda gerakan, Setan
Liang Makam putar kepala dengan mata dibelalakkan.
Di balik tempat persembunyiannya, dada si pe-
rempuan berdebar. Karena mendadak kepala Setan
Liang Makam berhenti tepat menghadap ke tempat
mana dia sembunyikan diri. "Apakah dia tahu kebera-
daanku di sini?!"
Baru saja si perempuan membatin begitu, Se-
tan Liang Makam telah buka suara.
"Keluarlah! Atau kuhancurkan tempat persem-
bunyianmu itu!"
"Dia sudah tahu, tak ada gunanya sembunyi-
kan diri!" Berpikir begitu akhirnya si perempuan berke-
lebat keluar dan tegak sepuluh langkah di hadapan Se-
tan Liang Makam.
Sesaat Setan Liang Makam memperhatikan so-
sok yang tegak di depan sana. "Dari yang kudengar,
Pendeta Sinting adalah seorang laki-laki! Mengapa
yang muncul makhluk lain?!"
Namun Setan Liang Makam tak mau berpikir
terlalu lama. Begitu tahu yang muncul seorang perem-
puan, dia cepat membentak.
"Di mana Pendeta Sinting?!"
Si perempuan tidak segera menjawab. Diam-
diam dia membatin. "Apakah Kiai Lidah Wetan sengaja
menyuruhku ke tempat ini untuk bertemu dengan
manusia ini?! Apakah dia masih memendam dendam
akibat sakit hati di masa lalu itu?! Kalau betul.... Men-
gapa dia melakukan dengan cara ini?! Tapi dari uca-
pan-ucapannya, kurasa tidak mungkin! Tapi hati
orang siapa tahu?! Bukankah saat ini dia juga sedang
melakukan sesuatu dengan jalan licik...."
Dari cara membatin si perempuan menunjuk-
kan kalau si perempuan bukan lain adalah Lasmini.
Kekasih Kiai Lidah Wetan waktu masih muda.
"Perempuan! Di mana Pendeta Sinting?!" Setan
Liang Makam membentak lagi.
"Kau tak akan mendapat jawaban apa-apa da-
riku, karena aku pun datang perlu mencari orang yang
kau tanyakan!"
"Hem.... Sebutkan siapa dirimu, Perempuan!"
"Namaku tidak ada artinya bagi orang lain!" Tulang wa-
jah Setan Liang Makam tampak bergerak-gerak. Na-
mun sebelum orang ini buka mulut lagi, Lasmini telah
mendahului.
"Orang yang sama kita cari tidak ada! Bukan-
kah lebih baik kita segera tinggalkan tempat ini?!"
Sambil berkata, Lasmini tampak sunggingkan senyum.
Perempuan ini rupanya berpikir panjang. Dia merasa
yakin, orang di hadapannya bukan orang sembaran-
gan. Sementara dirinya saat ini tengah berusaha mem-
balaskan sakit hatinya.
Dia sudah paham siapa-siapa saja yang mung-
kin akan dihadapi. Kalau saja dia bisa bersahabat tan?!"
"Aku tidak akan jawab pertanyaanmu!"
Lasmini tersenyum. "Aku tahu siapa dirimu,
Sahabat! Kau telah lama menghilang dari rimba persi-
latan! Saat ini kau butuh seseorang yang tahu banyak
tentang seluk beluk dunia persilatan! Kalau tidak, ilmu
tinggi yang kau miliki tidak akan ada artinya apa-apa!"
"Kau jangan menggurui ku!"
"Aku menawarkan diri sebagai sahabat! Kita
saling membantu tanpa mencampuri urusan masing-
masing!"
"Bantuan apa yang bisa kau berikan padaku,
hah?!"
"Aku memang tidak memiliki ilmu setinggi yang
kau miliki! Tapi aku tahu banyak tentang tokoh-tokoh
dunia persilatan! Saat ini tentu kau butuh keterangan
banyak, karena kau harus mencari orang-orang yang
belum kau kenal betul! Tanpa adanya orang yang
memberi keterangan, tidak tertutup kemungkinan kau
salah sasaran! Bahkan mungkin saja kau menduga
musuhmu telah mampus, padahal dia masih enak-
anakan!"
"Hem.... Ada benarnya juga ucapan perempuan
ini!" kata Setan Liang Makam dalam hati. Lalu berkata.
"Kita bersahabat! Tapi kalau kau berani berk-
hianat, taruhan mu adalah nyawa!"
Lasmini lagi-lagi sunggingkan senyum. "Persa-
habatan di antara kita hanya untuk saling membantu.
Jadi bukankah tidak ada untungnya kalau di antara
kita berkhianat?"
"Bagus! Sekarang kau bisa menduga ke mana
kira-kira Pendeta Sinting?!"
"Ada beberapa tempat! Itu kita bicarakan sambil jalan!"
Habis berkata begitu, Lasmini melangkah den-
gan kepala mendongak. Tempat di mana mereka ber-
dua berada telah terang benderang meski udaranya
lembab. "Kita sekarang keluar dari sini!"
"Tunggu!" tahan Setan Liang Makam tatkala
melihat Lasmini hendak melesat ke atas. "Kau belum
katakan siapa dirimu!"
Tanpa menoleh pada Setan Liang Makam, Las-
mini menyahut. "Namaku Lasmini!"
"Apa sebenarnya urusanmu dengan Pendeta
Sinting?!"
"Kita masih punya banyak waktu untuk bica-
ra....
Lagi pula udara di tempat ini membuat perutku
mual!"
"Lasmini...." Setan Liang Makam sebut nama
itu berulang-ulang. "Setan! Mendekam di tempat cela-
ka itu membuatku lupa dengan manusia-manusia
yang pernah kukenal!" Akhirnya Setan Liang Makam
memaki sendiri begitu tidak bisa mengingat orang.
Sementara mendengar umpatan Setan Liang
Makam, Lasmini tampak tersenyum. Lalu berujar.
"Itulah mengapa kukatakan kau butuh seorang
sahabat! Sambil jalan, nanti akan ku jelaskan siapa di-
riku dan orang-orang yang kini dikenal dalam rimba
persilatan!"
Habis berkata begitu, Lasmini jejakkan sepa-
sang kakinya. Sosoknya melesat ke atas. Seperti hal-
nya waktu turun, dia naik ke atas dengan jalan mena-
pak dari satu pohon ke pohon lain di samping jurang.
Setan Liang Makam pandangi sejenak sosok
Lasmini yang sudah berada di atas sana. Lalu meman-
dang berkeliling seolah belum percaya kalau tempat di
mana dia berada sudah ditinggal penghuninya. Saat
lain manusia dari Kampung Setan ini telah ikuti jejak
Lasmini melesat ke atas dengan jalan menapak dari
pohon ke pohon lain yang banyak merambat di lamp-
ing Jurang Tlatah Perak.
*
* *
DUA BELAS
BARU saja Lasmini dan Setan Liang Makam je-
jakkan kaki masing-masing di bagian atas Jurang Tla-
tah Perak, gerakan mereka berdua tertahan. Meman-
dang ke depan, kedua orang ini sama kerutkan dahi
masing-masing.
"Kalau memang sembunyi mengapa kepalanya
masih digerak-gerakkan sepertinya seolah menunjuk-
kan, kalau tidak sembunyi mengapa berada di bela-
kang pohon?!" Lasmini membatin.
Dari tempat masing-masing, kedua orang ini
melihat sebuah kepala milik seorang laki-laki yang
bergerak-gerak di balik sebatang pohon. Karena di-
tunggu agak lama tak juga ada tanda-tanda orang di
balik pohon akan muncul, Lasmini dan Setan Liang
Makam segera berkelebat dan tahu-tahu keduanya te-
lah berada d! balik pohon mana terlihat gerakan-
gerakan kepala orang.
Sesaat Lasmini dan Setan Liang Makam sama
saling pandang. Lalu memandang lagi ke depan. Ter-
nyata di balik pohon itu duduk berlutut seorang laki-
laki berusia lanjut. Rambutnya putih tipis. Mengena-
kan pakaian lusuh berwarna putih. Tangan kanannya
memegang tongkat kayu butut. Tangan kiri diletakkan
di atas paha. Dan ternyata gerakan kepala orang ini
semata-mata karena orang ini ingin bersin.
"Siapa orang tua ini?!" kata Lasmini dalam hati
karena setelah agak lama memperhatikan, dia tidak bi-
sa mengenali siapa adanya orang.
Belum sampai dia membatin lebih lama, Setan
Liang Makam telah mendekat dan berbisik. "Siapa ge-
rangan manusia itu?!"
Terus terang, yang satu ini baru kuketahui saat
ini! Tapi apa peduli kita...? Dia tampaknya bukan
orang yang dikenal dalam rimba persilatan! Kita segera
tinggalkan tempat ini!"
"Jangan tolol, Perempuan! Justru orang yang
tidak begitu dikenal namanya dalam dunia persilatan
biasanya yang sangat membahayakan! Kau lihat, dia
seolah acuh dengan kehadiran kita! Dan kalau dia be-
rada di dekat sini, pasti masih ada sangkut pautnya
dengan Pendeta Sinting!"
Lasmini memandang sejenak pada orang yang
duduk berlutut. Lalu melangkah maju.
"Brusss! Brusss! Brusss!"
Orang di depan sana tiba-tiba sudah perden-
garkan bersinan. Lasmini tersentak kaget. Karena me-
rasakan dirinya dilanggar gelombang angin luar biasa
dahsyat, hingga kalau dia tidak buru-buru lipat gan-
dakan tenaga dalam, niscaya bukan saja langkahnya
akan tertahan, namun tidak mustahil tubuhnya akan
tersapu ke belakang! Lasmini cepat maklum akan kea-
daan. Kalau tadi dia mendekat dengan melangkah, kini
dia langsung melompat dan tahu-tahu tegak di depan
orang yang baru perdengarkan bersinan dan bukan
lain adalah Datuk Wahing.
"Orang asing! Siapa kau?!" Lasmini sudah
membentak garang.
"Heran. Mengapa setiap orang yang kutemui
tanya siapa diriku?! Apa yang mengherankan pada di-
riku?!"
Pengalaman selama bertahun-tahun dalam
kancah rimba persilatan membuat Lasmini sadar, ka-
lau orang yang dihadapinya saat ini tidak mungkin
mau katakan siapa dirinya. Maka masih dengan mem-
bentak, dia lanjutkan ucapan.
"Orang tua! Apa hubunganmu dengan Pendeta
Sinting?!"
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya
yang pulang balik ke depan ke belakang dengan mimik
meringis persis dengan orang yang ingin bersin.
"Heran. Baru sekali ini dengar nama Pendeta
Sinting. Adalah mengherankan kalau orang sudah me-
nanyakan apa hubungan ku dengannya!" Datuk Wah-
ing seolah bicara sendiri lalu luruskan kepala dengan
mata memandang ke arah Lasmini. Lalu saat lain bera-
lih pada Satan Liang Makam yang tegak agak jauh.
"Maaf.... Bukankah terlalu mengherankan ka-
lau kau tanya hubungan ku dengan orang yang belum
kukenal?! Yang tidak mengherankan justru bila aku
tanya, dari mana kalian berdua?! Dan apa saja yang
baru kalian kerjakan di dalam jurang sana?! Adalah
aneh dan mengherankan kalau dua orang keluar dari
dalam jurang tanpa mengerjakan apa-apa di bawah
sana... Bruss! Brusss!"
"Itu urusan kami berdua!" hardik Lasmini. Lalu
perempuan ini memberi isyarat pada Setan Liang Ma-
kam untuk segera tinggalkan tempat itu dan tidak me-
layani orang. Namun Setan Liang Makam tidak tang-
gapi isyarat Lasmini. Dia melompat dan tegak di samp-
ing Lasmini sambil berkata.
"Aku yakin, manusia ini pasti ada kaitannya
dengan Pendeta Sinting!"
"Tapi apa peduli kita! Kita tak butuh orang ini!
Kita mencari Pendeta Sinting!" ujar Lasmini dengan
suara pelan.
Namun Setan Liang Makam rupanya tidak
acuhkan ucapan Lasmini. Dia segera maju dua tindak.
"Manusia! Kalau kau tidak ada hubungan dengan Pen-
deta Sinting, lekas enyah dari tempat ini!" Setan Liang
Makam sengaja membuat orang panas.
"Bruss! Brusss!"
"Heran.... Apa dikira ini tanah milik moyang-
nya?!" gumam Datuk Wahing. Lalu perlahan-lahan
orang tua ini bergerak bangkit. Memandang satu per-
satu pada orang di hadapannya. Saat lain dia bersin ti-
ga kali. Lalu balikkan tubuh sambil berkata.
"Padahal aku tahu dan tidak heran, kalau ta-
nah ini milik sahabatku!"
"Kau dengar?" tanya Setan Liang Makam pada
Lasmini. "Ucapannya menunjukkan kalau manusia itu
ada hubungannya dengan Pendeta Sinting!"
Lasmini tidak menyahut ucapan Setan Liang
Makam. Sebaliknya dia segera melompat dan mengha-
dang di depan Datuk Wahing.
"Siapa pun kau adanya, kau harus memberi ke-
terangan!"
"Heran. Keterangan apa yang bisa kuberikan
padamu?! Mengherankan sekali! Aku datang jauh-jauh
perlu keterangan, malah di sini diminta keterangan!
Mengapa aku selalu menemui hal-hal yang membua-
tku terus terheran-heran...."
"Hem.... Kau cari keterangan Pendeta Sinting?!"
"Brusss! Brusss!"
"Kau pintar menebak! Tapi aku tak heran kalau
tebakanmu kali ini salah!"
"Hem.... Lalu keterangan apa yang kau butuh-
kan?" Lasmini coba mengorek keterangan dari Datuk
Wahing.
"Kalau kukatakan, apa kau nanti tidak heran?!"
Lasmini agak jengkel. Namun dia masih bisa
menindih perasaan. Dia segera menyahut. "Katakan
saja!"
"Aku heran ketika melihat kau bersama te-
manmu itu keluar dari jurang. Itulah keterangan yang
kubutuhkan.... Bisa hilangkan keheranan ku ini?!"
"Jahanam! Kau rupanya tidak mau dibuat
sungguh-sungguh!" Lasmini tak sabar. Dia cepat me-
lompat ke depan dengan kedua tangan berkelebat la-
kukan gebukan pada Datuk Wahing.
"Tunggul" tahan Datuk Wahing sambil angkat
tongkat kayu bututnya dilintangkan di depan dada.
"Aku heran kau marah-marah begitu rupa
mengetahui apa yang kukatakan! Aku datang bukan
cari musuh.... Kalau kalian tidak suka kehadiranku di
sini, apa bagiku mengherankan kalau lebih baik pergi
dari sini?"
Habis berkata begitu, Datuk Wahing balikkan
tubuh lalu perlahan-lahan melangkah. Lasmini hendak
mengejar, namun tahu-tahu Setan Liang Makam telah
tegak di sampingnya dengan lintangkan tangan mem-
beri isyarat agar Lasmini tahan niat.
Sejarak kira-kira dua belas langkah, Datuk
Wahing berhenti. Kepalanya ditengadahkan. Saat lain
tiba-tiba orang ini perdengarkan bersin beberapa kali.
Lasmini dan Setan Liang Makam terkesiap. Su-
ara bersinan orang kali ini mampu membuat gendang
telinga masing-masing orang laksana ditusuk! Bukan
hanya itu saja. Suara bersinan itu terus tak henti-
hentinya dan memantul ke delapan penjuru mata angin.
Begitu suara bersinan lenyap, sosok Datuk
Wahing sudah tidak kelihatan lagi. Setan Liang Makam
dan Lasmini saling pandang. Tiba-tiba Setan Liang
Makam pentangkan mata memandang berkeliling.
"Jahanam! Dia orang yang kucari!"
"Hai! Dia bukan Pendeta Sinting!" ujar Lasmini.
"Benar! Tapi dia orang yang kucari! Pantulan
suara yang dimilikinya...." Setan Liang Makam tidak
lanjutkan ucapannya. Dia cepat berkelebat. Lasmini
sejenak tampak bingung. Namun saat lain dia menge-
jar Setan Liang Makam meski tidak mengerti apa mak-
sud ucapan kawan barunya itu.
SELESAI
Segera ikuti lanjutannya!!! Serial
Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng dalam episode :
RAHASIA KAMPUNG SETAN
0 comments:
Posting Komentar