..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 03 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE GEGER TOPENG SANG PENDEKAR

 

JOKO SABLENG EPISODEGEGER TOPENG SANG PENDEKAR


Hak cipta dan copy right pada penerbit 

Di bawah lindungan undang-undang

Joko Sableng telah Terdaftar pada 

Dept. Kehakiman R.I. Direktorat Jenderal Hak 

Cipta, Paten dan 

Merek dibawah nomor 012875



SATU


SEPASANG mata Ni Luh Padmi mementang liar 

menatap tajam pada raut wajah di antara ranggasan 

semak belukar. Raut wajah itu adalah seorang laki-laki 

berusia lanjut yang telah dihiasi keriputan. Sepasang 

matanya agak besar. Kumis dan jenggotnya lebat ber-

warna putih.

Bibir raut wajah yang berada di antara rangga-

san samak belukar bergerak tersenyum. Sepasang ma-

tanya balas memandang ke arah Ni Luh Padmi. Namun 

mulutnya belum membuka perdengarkan suara.

"Siapa kau?!" Untuk kedua kalinya Ni Luh 

Padmi keluarkan bentakan keras. Malah kini si nenek 

telah maju dua tindak.

Seperti yang dituturkan dalam episode: "Kem-

bang Darah Setan", Ni Luh Padmi sempat jumpa den-

gan Joko setelah berbincang dengan Dewi Seribu Bun-

ga. Dari mulut si pemuda, Ni Luh Padmi memperoleh 

keterangan kalau Pendeta Sinting kemungkinan besar 

berada di sebuah goa di samping Bukit Kalingga, tem-

pat tinggal seorang perempuan yang disebut-sebut sebagai Nyai Tandak Kembang.

Ni Luh Padmi yang memendam dendam pada 

Pendeta Sinting tidak menunggu lama. Saat itu juga 

dia lakukan perjalanan menuju Bukit Kalingga yang 

ditunjukkan si pemuda. Namun begitu sampai pada 

tempat yang diduganya sebagai Bukit Kalingga, si ne-

nek di kejutkan dengan satu suara sebelum dirinya 

memasuki goa. Si nenek terkejut besar. Karena yang 

kini tampak di hadapannya adalah raut wajah seorang 

laki-laki. Padahal menurut keterangan si pemuda, 

tempat yang di tunjukkan ini dihuni seorang perem-

puan bernama Nyai Tandak Kembang.

Karena Ni Luh Padmi yakin belum mengenal 

siapa adanya wajah laki-laki di antara ranggasan se-

mak belukar, si nenek langsung membentak.

Yang dibentak malah sunggingkan senyum. La-

lu arahkan pandangannya ke jurusan lain. Dan seolah 

tidak pedulikan kehadiran orang di hadapannya serta 

tidak dengarkan bentakan orang, laki-laki di antara 

ranggasan semak belukar gerakkan kepala. Lalu perla-

han-lahan orang ini yang ternyata duduk bersila di an-

tara ranggasan semak belukar bergerak bangkit. Ke-

dua tangannya dikebut-kebutkan pada pakaian yang 

dikenakan lalu melangkah keluar dari ranggasan se-

mak.

Merasa kehadirannya tidak dipandang orang, Ni 

Luh Padmi maju satu tindak dan tegak menghadang. 

Tanpa memandang pada tampang orang di hadapan-

nya, si nenek kembali perdengarkan bentakan.

"Aku tanya sekali lagi! Siapa kau?!"

Si laki-laki menyeringai. "Kau adalah tamu di 

tempat ini! Kau yang harus perkenalkan diri!"

"Hem.... Jadi kau penghuni tempat ini?!" tanya 

Ni Luh Padmi. Sepasang matanya kini perhatikan


orang dari atas hingga bawah.

"Kau orang yang tersesat jalan atau memang 

hendak ke tempat ini?!" Yang ditanya balik ajukan 

tanya.

Ni Luh Padmi coba menekan rasa geram yang 

mulai melanda dadanya. Dl satu pihak dia sudah me-

rasa diberi keterangan dusta oleh pemuda murid Pen-

deta Sinting, di pihak lain dia merasa disambut dengan 

sebelah mata!

"Siapa pun adanya manusia laki-laki itu, dia 

pasti bukan orang sembarangan! Jelas-jelas tadi dia ti-

dak ada di tempat ini! Tapi tiba-tiba dia nongol begitu 

saja! Sudah telanjur sampai di sini, apa boleh buat...!" 

Membatin Ni Luh Padmi, lalu berkata.

"Aku tidak tersesat jalan! Aku memang sengaja 

datang ke tempat ini!"

"Kalau begitu, harap kau perkenalkan diri!" sa-

hut si kakek. Kali ini sepasang matanya memandang 

pada Ni Luh Padmi.

"Aku Ni Luh Padmi!"

"Kalau kau tidak tersesat jalan, pasti kau 

punya tujuan!" Si kakek kembali menyahut.

"Aku mencari Nyai Tandak Kembang!" jawab si 

nenek dengan suara keras.

"Tujuan mencari?!" tanya si kakek membuat Ni 

Luh Padmi mendelik.

"Itu urusanku! Sekarang kau telah tahu siapa 

aku, giliranmu kini sebutkan diri!"

"Aku penghuni tempat ini!"

Sepasang mata Ni Luh Padmi makin membela-

lak. "Aku ingin dengar kau sebutkan diri! Persetan kau 

penghuni tempat ini atau bukan!" hardik si nenek.

Mendengar hardikan orang, si kakek bukannya 

berang, sebaliknya sunggingkan senyum lalu berkata.


Suaranya pun kini direndahkan.

"Aku Kiai Laras...!"

"Aku tanya. Apa kau benar-benar penghuni goa 

ini?!" kata Ni Luh Padmi.

"Nek! Kau tadi telah dengar keteranganku. 

Mengapa bertanya lagi?!" ujar si kakek yang bukan lain 

ternyata Kiai Laras.

Ni Luh Padmi mendongak. Dari mulutnya ter-

dengar gumaman tidak jelas. Namun air mukanya

membayangkan kemarahan yang ditahan. Diam-diam 

si nenek membatin. "Jangan-jangan aku datang ke 

tempat yang salah...."

"Kiai Laras!" kata Ni Luh Padmi setelah agak 

lama terdiam. "Di mana Bukit Kalingga?!"

"Dari pertanyaanmu, kuduga kau bukan orang 

daerah sekitar sini! Bahkan mungkin kau datang dari 

jauh...," kata Kiai Laras.

"Aku datang dari seberang pulau! Aku mencari 

Bukit Kalingga!"

Kiai Laras gerakkan kepala mengangguk. "Nek! 

Tempat di mana kau kini berada adalah Bukit Kaling-

ga!"

"Hem.... Berarti aku sudah datang ke tempat 

yang benar. Tapi mengapa penghuninya adalah dia? 

Bukan Nyai Tandak Kembang...?! Atau.... Aku harus 

menyelidik ke dalam. Siapa tahu laki-laki ini hanya se-

bagai penjaga!"

Memikir sampai di situ tanpa berkata apa-apa 

lagi, Ni Luh Padmi cepat putar tubuh lalu sekali berge-

rak sosoknya telah melesat dan lenyap masuk ke da-

lam goa. Kiai Laras hanya memandang dengan bibir 

sunggingkan senyum. Kakek ini tidak berkata apa-apa, 

bahkan tidak bergerak dari tempatnya.

Sementara begitu memasuki goa, Ni Luh Padmi


segera tegak dengan mata mengedar ke seantero ruan-

gan goa. Goa itu tidak begitu besar. Di sebelah pojok 

tampak onggokan kayu hitam bekas perapian. Tidak 

ada celah atau tonjolan batu-batu. Sekeliling ruangan 

goa itu hanya merupakan dinding lurus dari batu pa-

das berwarna coklat yang disamaki lumut.

"Anak sinting itu akan menyesal! Dia telah me-

nipuku mentah-mentah!" desis Ni Luh Padmi. Lalu ba-

likkan tubuh dan berkelebat keluar.

Namun gerakan si nenek tertahan tatkala tiba-

tiba di mulut goa Kiai Laras tahu-tahu telah tegak se-

raya berkata pelan.

"Nek.... ini tempatku! Kalau kau perlu apa-apa, 

harap katakan! Aku akan menjawab dengan senang 

hati!"

Ni Luh Padmi sejurus tatapi sekujur tubuh Kiai 

Laras seolah baru saja berjumpa. Lalu angkat bicara.

"Kau kenal dengan seorang perempuan berna-

ma Nyai Tandak Kembang?!"

"Heh.... Dari pertanyaan mu, aku dapat men-

duga. Pertama. Kau bukan mencari Nyai Tandak Kem-

bang. Kedua. Yang kau cari sebenarnya adalah Pende-

ta Sinting!"

Ni Luh Padmi sesaat tampak terkesiap. Namun 

diam-diam dia merasa lega. Setidaknya dia akan dapat 

keterangan dari orang di hadapannya. Karena apa 

yang menjadi dugaan orang benar adanya. Hanya si 

nenek masih sedikit merasa curiga. Bagaimana orang 

bisa menduga dengan tepat apa tujuan sebenarnya. 

Tapi karena sudah tidak sabaran, Ni Luh Padmi te-

piskan perasaan curiga. Dia segera buka mulut.

"Rupanya kau pandai menduga. Tapi perlu kau 

ketahui, aku mencari keduanya!"

"Ucapanku tadi belum selesai, Nek!" ujar Kiai Laras. 

"Dua dugaan telah ku sebut. Dugaan lainnya, 

urusanmu pasti urusan asmara! Dan kau ingin mem-

bunuh Pendeta Sinting!"

Ni Luh Padmi tergagu diam. Paras wajahnya 

seketika berubah tatkala mendapati orang telah tahu 

apa urusannya. Dan merasa orang sudah tahu, si ne-

nek langsung saja bertanya.

"Di mana si jahanam Pendeta Sinting dan gen-

daknya si Nyai Tandak Kembang?!"

Kiai Laras sunggingkan senyum lalu tengadah. 

"Nek! Imbalan apa kelak akan kau berikan padaku ka-

lau aku tunjukkan di mana beradanya orang yang kau 

cari?!"

Mendengar pertanyaan Kiai Laras, Ni Luh Pad-

mi tertawa panjang. "Menyesal sekali.... Aku datang 

hanya membawa ini!" Si nenek angkat kedua tangan-

nya yang mengepal. "Dan tangan ini pula yang akan 

kau rasakan kalau kau tak mau katakan di mana dua 

pasangan keparat itu berada!"

Kiai Laras tersentak. Namun laki-laki ini buru-

buru tutupi rasa kagetnya dengan senyum. Di lain pi-

hak, melihat perubahan pada sikap orang, Ni Luh 

Padmi makin garang. Dia segera melompat dan tegak 

lima langkah di hadapan Kiai Laras yang masih berdiri 

di mulut goa. Lalu membentak.

"Sekarang kau harus katakan di mana pasan-

gan itu!"

Kepala Kiai Laras bergerak perlahan dengan 

mata melirik ke samping kiri kanan. "Aku tak bisa 

mengatakan padamu, Nek!"

"Hem.... Orang ini seolah ketakutan. Dari uca-

pannya tadi, jelas kalau dia tahu di mana pasangan 

jahanam itu berada!" Diam-diam Ni Luh Padmi membaca sikap Kiai Laras. Bibirnya tersenyum menyerin-

gai. Lalu berujar.

"Kalau kau tidak mau katakan, berarti kau in-

ginkan ini!"

Habis berkata begitu, Ni Luh Padmi melesat ke 

depan. Kedua tangannya serta-merta berkelebat laku-

kan pukulan ke arah kepala Kiai Laras.

Kiai Laras tidak tinggal diam. Dia cepat pula 

angkat kedua tangannya dipalangkan dl atas kepala 

menghadang pukulan.

Bukkk! Bukkk!

Ni Luh Padmi hanya sempat bergoyang-goyang. 

Di lain pihak, sosok Kiai Laras langsung tersurut em-

pat langkah hingga tubuhnya berada di luar goa. Paras 

wajahnya berubah pucat. Malah kedua tangannya 

yang baru saja bentrok dengan kedua tangan si nenek 

tampak bergetar keras. Malah kalau saja dia tidak ce-

pat kuasai diri, niscaya lututnya akan tertekuk dan so-

soknya roboh!

Melihat apa yang baru saja terjadi, Ni Luh 

Padmi tidak menunggu lama. Belum sampai Kiai Laras 

kuasai diri sepenuhnya, dia sudah menerjang dengan 

sapukan kaki kanan. Sementara bersamaan itu tangan 

kiri kanannya berkelebat menghantam.

Kiai Laras melengak. Cepat sekali dia segera 

angkat kaki kanannya untuk menyambut tendangan 

kaki kanan si nenek. Namun laki-laki ini tertipu. Se-

tengah depa lagi kaki kanan keduanya bentrok, tiba-

tiba si nenek tarik pulang kaki kanannya. Sebaliknya 

langsung hantamkan tangan kiri ke arah kaki kanan 

Kiai Laras yang telah terangkat.

Mungkin sudah tak ada kesempatan lagi tarik 

pulang kaki kanannya, Kiai Laras teruskan tendangannya.


Desss!

Kiai Laras berseru tertahan. Sosoknya berpu-

tar. Namun sebelum sampai setengah lingkaran, tan-

gan kanan Ni Luh Padmi sudah menggebrak dengan 

telapak terbuka ke arah pipi. Plaakk!

Sosok Kiai Laras kembali terputar balik arah. 

Bersamaan itu kepalanya tersentak kena tamparan 

tangan Ni Luh Padmi. Saat lain sosok Kiai Laras ter-

huyung sebelum akhirnya jatuh di atas tanah dengan 

mulut keluarkan darah.

Ni Luh Padmi melompat dan tegak satu langkah 

di samping sosok Kiai Laras dengan kedua tangan ber-

kacak pinggang.

"Kau telah tahu imbalan apa yang akan kau te-

rima! Kau masih inginkan imbalan itu?!" Ni Luh Padmi 

angkat kedua tangannya dari pinggang.

Takut-takut, Kiai Laras memandang pada sosok 

Ni Luh Padmi. Dan orang ini buru-buru buka suara 

tatkala matanya menangkap gerakan pada kedua tan-

gan si nenek.

"Baik... Aku akan katakan di mana orang yang 

kau cari...."

"Bagus!" ujar Ni Luh Padmi. Tubuhnya sedikit 

membungkuk. Enak saja dijambaknya rambut Kiai La-

ras lalu ditariknya ke atas. Hingga sosok si kakek te-

rangkat berdiri.

"Aku tak mau ditipu orang! Aku tidak butuh 

ucapanmu! Kau sendiri yang harus tunjukkan tempat 

itu!"

"Baik.... Baik...! Tapi lepaskan dulu tanganmu!" 

kata Kiai Laras dengan suara bergetar dan tersendat.

"Jangan banyak mulut meminta! Ayo jalan! Di 

mana tempat pasangan itu!" hardik Ni Luh Padmi tan-

pa lepaskan jambakan pada rambut orang.


"Mereka ada di dalam goa...."

"Jahanam! Aku tak butuh keterangan ucapan-

mu! Kau harus jalan tunjukkan tempatnya!" sentak Ni 

Luh Padmi sambil melangkah dengan tangan menjam-

bak rambut orang.

Kiai Laras mau tak mau tersaruk-saruk mengi-

kuti langkah si nenek yang melangkah ke arah goa. 

Kedua tangannya tampak menggapai-gapai seolah 

hendak lepaskan diri. Namun Ni Luh Padmi tampak 

gerak-gerakkan tangannya yang menjambak ke bawah 

ke atas, hingga gapaian kedua tangan Kiai Laras selalu 

luput.

Begitu enam langkah memasuki ruangan goa, 

Ni Luh Padmi sentakkan tangannya. Sosok Kiai Laras 

tersuruk ke depan. Namun sejengkal lagi sosoknya 

menghantam lantai goa, kaki si nenek bergerak meng-

hadang.

Wuuttt! Desss!

Kaki Ni Luh Padmi yang berada di bawah sosok 

Kiai Laras bergerak terangkat ke atas. Tubuh Kiai La-

ras kembali tersentak ke atas. Dan sebelum limbung, 

tangan kiri si nenek sudah menahan dengan mencekal 

bahunya.

"Jangan coba menipu! Lekas tunjukkan di ma-

na tempatnya!"

Kiai Laras angkat tangan kanannya menunjuk 

pada satu arah tepat di belakang onggokan kayu bekas 

perapian.

Ni Luh Padmi pentang mata memandang ke 

arah yang ditunjuk Kiai Laras. Namun di sana dia ti-

dak melihat siapa-siapa. Belum sampai si nenek ber-

tanya, Kiai Laras telah buka mulut.

"Singkirkan perapian itu.... Kau akan menemu-

kan tonjolan batu. Tekan tonjolan batu itu...."


Ni Luh Padmi kini arahkan pandangannya pada 

onggokan kayu bekas perapian. Namun karena tertu-

tup kayu, dia tidak bisa melihat apakah benar di ba-

wahnya ada tonjolan batu seperti ucapan Kiai Laras.

"Kau yang harus lakukan!" Tiba-tiba Ni Luh 

Padmi membentak. Tangannya yang memegang bahu 

orang bergerak. Sementara kakinya melangkah. Sosok 

Kiai Laras terseret ke depan.

Ni Luh Padmi hentikan langkah di dekat kayu 

bekas perapian. "Lakukan!" bentaknya seraya lepaskan 

cekalan pada bahu Kiai Laras.

Kiai Laras melirik pada si nenek. Lalu perlahan-

lahan kakinya bergerak sibakkan kayu perapian. Dan 

kejap kemudian, Ni Luh Padmi melihat satu tonjolan 

batu berwarna hitam.

"Tekan tonjolan batu itu!" perintah si nenek.

Kiai Laras tampak terkejut. Dia berpaling. Na-

mun sebelum sempat matanya melihat wajah si nenek, 

Ni Luh Padmi sudah perdengarkan bentakan lagi.

"Jangan buang-buang waktu!" Sambil memben-

tak tangan si nenek berkelebat. Namun kali ini Kiai La-

ras cepat menghindar dengan bungkukkan tubuh. 

Tangan kanannya segera menekan batu hitam di seki-

tar perapian.

*

* *

DUA



TERDENGAR suara batu bergeser. Saat bersa-

maan ruangan goa bergetar hebat. Ni Luh Padmi cepat

mundur sambil kedua tangannya waspada. Sepasang 

matanya memperhatikan gerak-gerik Kiai Laras dengan 

seksama.

Getaran di ruangan goa terhenti. Namun kare-

na belum melihat apa-apa, si nenek sudah buka mulut 

Tapi sebelum suaranya terdengar, mendadak pojok 

ruangan goa tidak jauh dari perapian bergerak-gerak. 

Saat lain dinding pojok ruangan goa laksana membe-

lah. Dinding samping kiri kanannya bergeser. Dan 

tampaklah sebuah lobang menyerupai pintu! Di bela-

kang pintu terlihat batu padas yang membentuk tang-

ga ke atas.

"Nek.... Kau tunggu apa lagi?! Orang yang kau 

cari berada di sana...." Berkata Kiai Laras sambil me-

langkah mundur. "Aku tak bisa mengantarmu! Karena 

dengan terbukanya pintu rahasia ini, nyawaku tidak 

mungkin diampuni.... Harap kau mengerti, Nek! Aku 

harus segera pergi jauh-jauh dari sini...."

Habis berkata begitu, Kiai Laras balikkan tubuh 

dan perlahan-lahan melangkah hendak tinggalkan 

tempat itu. Namun langkah si kakek tertahan, tatkala 

tiba-tiba Ni Luh Padmi telah menyambar lengannya 

dan menyeretnya ke arah pintu yang terbuka.

"Jangan kau kira dapat menjerumuskan aku! 

Kau harus ikut!" teriak Ni Luh Padmi sambil melang-

kah menyeret sosok Kiai Laras.

Ni Luh Padmi tampak sedikit terkejut tatkala 

merasakan hawa dingin saat memasuki pintu pojok 

ruangan goa. Si nenek kerahkan tenaga dalam untuk 

tutup penciumannya. Lalu dengan mata liar dan te-

ruskan langkah dan perlahan-lahan naiki tangga di ba-

lik pintu dengan tangan terus menyeret sosok Kiai La-

ras yang tergontai-gontai.

"Nek.... Harap kau mengerti.... Aku.... Aku...."


Ni Luh Padmi hentikan langkah pada undakan 

ketiga. Matanya memandang angker pada Kiai Laras. 

"Kalau kau merengek lagi, mulutmu akan kuhancur-

kan!"

Kiai Laras kancingkan mulut. Melirik sekilas 

pada si nenek, lalu anggukkan kepala sambil tertatih-

tatih naiki tangga.

Undakan tangga itu sampai tiga belas. Pada 

undakan ketiga belas, tampaklah sebuah pelataran se-

panjang satu setengah tombak. Pelataran ini memben-

tuk lingkaran berkeliling. Pada tengah lingkaran terli-

hat sebuah lobang menganga besar kira-kira empat 

puluh tombak berkeliling dengan kedalaman dua pu-

luh lima tombak. Dari bagian bawah lobang besar ini 

tampak cahaya terang.

Ni Luh Padmi sesaat perhatikan berkeliling. 

Namun sampai saat ini dia belum melihat adanya 

orang. "Hem.... Tidak disangka kalau di dalam ruangan 

goa, ada ruang rahasia yang begini besar. Tapi aku be-

lum melihat adanya gerakan orang...."

Ni Luh Padmi coba melangkah ingin melihat lo-

bang menganga yang kini berada di hadapannya. Na-

mun si nenek segera urungkan niat. Dia melirik pada 

Kiai Laras yang tegak di sampingnya dengan tubuh 

bergetar dan mata memandang ke lobang besar.

Tanpa melihat pada si nenek, Kiai Laras berujar 

pelan.

"Nek.... Mereka berdua ada di bawah sana! 

Pendeta Sinting sedang dirawat oleh Nyai Tandak 

Kembang...."

"Hem.... Berarti ucapan orang ini benar! Mung-

kin dia masih terluka akibat gebukanku beberapa wak-

tu yang lalu...!" membatin Ni Luh Padmi. Namun orang 

ini tidak mau bertindak ayal. Dia kembali sambar lengan Kiai Laras dan diseretnya ke bibir lobang besar.

Kiai Laras coba meronta. Namun percuma. Se-

retan si nenek lebih kuat hingga mau tak mau sosok-

nya tertarik ke depan mendekati bibir lobang yang 

membentuk lingkaran.

Sambil terus pegangi lengan orang, Ni Luh 

Padmi pandangi lobang menganga besar di bawahnya. 

Cahaya terang yang memancar dari bawah ternyata di-

pantulkan oleh cahaya empat obor besar yang ditan-

capkan pada pojok ruangan di sebelah bawah. Ruan-

gan itu hanya berupa lantai batu padas. Dan di sana 

tidak seorang pun terlihat!

Ni Luh Padmi berpaling pada Kiai Laras dengan 

mata berkilat-kilat. "Kau berani berkata dusta padaku! 

Kau harus...."

Ucapan Ni Luh Padmi terputus. Karena tiba-

tiba tangan kiri Kiai Laras bergerak tepiskan tangan Ni 

Luh Padmi yang mencekal lengannya. Si nenek tersen-

tak kaget, karena tepisan tangan si kakek mengandung 

tenaga dalam kuat sekali. Hingga saat itu juga pegan-

gan tangannya pada lengan orang lepas! Malah sosok-

nya tampak bergoyang-goyang. Dalam kekagetannya, 

Ni Luh Padmi menjadi lengah. Hingga tatkala Kiai La-

ras lorotkan tubuh dengan kaki menyapu ke arah kaki 

si nenek, Ni Luh Padmi tidak dapat hindarkan diri.

Bukkk!

Sosok Ni Luh Padmi tersentak lalu jatuh meng-

hantam batu padas di bawahnya. Si nenek terpekik. 

Dalam keadaan demikian, dia baru maklum, kalau Kiai 

Laras tadi hanya pura-pura mengalah. Karena sapuan

kakinya telah mampu membuat sosoknya langsung 

terjatuh. Pertanda tenaga dalam si kakek sangat tinggi.

Merasa maklum, buru-buru Ni Luh Padmi ang-

kat kedua tangannya. Namun Kiai Laras telah mendahului bergerak. Hingga belum sampai si nenek sampai 

lepaskan pukulan, untuk kedua kalinya si kakek telah 

sapukan kaki kanannya.

Karena tak ada kesempatan untuk lepaskan 

pukulan sementara untuk menghindar sudah tidak 

mungkin sebab dirinya berada di samping lobang men-

ganga, maka satu-satunya jalan adalah menghadang 

sapuan kaki orang dengan kedua tangannya.

Bukkk! Bukkk!

Untuk kedua kalinya pula Ni Luh Padmi terpe-

kik. Kedua tangannya yang menghadang sapuan kaki 

orang mental balik. Bersamaan dengan itu sosoknya 

terseret. Karena di belakangnya lobang menganga, ma-

ka tak ampun lagi sosok Ni Luh Padmi melayang ma-

suk ke lobang besar di belakangnya!

Dalam keadaan demikian, secara luar biasa Ni 

Luh Padmi memang masih sempat lepaskan pukulan 

jarak jauh. Namun karena sosoknya telah melayang ke 

bawah, membuat pukulannya bukan saja melenceng 

jauh dari sasaran, namun dia tidak dapat kuasai diri 

lagi, hingga tubuhnya jatuh bergedebukan di lantai ba-

tu padas di bawah sana!

Terdengar suara tawa mengekeh panjang 

menggaung di tempat itu. Ni Luh Padmi cepat kerah-

kan tenaga dalam lalu tergontai-gontai bangkit. Me-

mandang ke atas, tampak Kiai Laras tegak di tepi lo-

bang dengan kedua tangan di atas pinggang.

"Jahanam! Aku tertipu! Laki-laki itu pasti kaki 

tangannya Anak Sinting murid jahanam Pendeta Sint-

ing!" desis Ni Luh Padmi dengan rahang terangkat dan 

pelipis kanan kiri bergerak gerak. "Kau tak akan ku-

biarkan hidup Anak Sinting!"

Ni Luh Padmi memandang berkeliling. Ternyata 

tempat di mana dia berada hanya merupakan ruangan


tanpa pintu. Pada keempat pojok ruangan menancap 

sebuah obor besar. Anehnya meski di tempat itu dipa-

nasi obor, si nenek rasakan hawa dingin menyengat!

"Hawa aneh.... Jangan-jangan ini hawa bera-

cun!" desis Ni Luh Padmi dengan kuduk mulai merind-

ing. Dia segera kerahkan tenaga dalam untuk menutup 

pernafasannya. Lalu tengadah kembali memandang ke 

arah Kiai Laras yang masih tegak di bibir lobang. Per-

lahan-lahan Ni Luh Padmi angkat tangan kirinya lalu 

mencabut tusuk konde besar berwarna hitam di kepa-

lanya. Namun si nenek tampak bimbang. "Tusuk 

konde ini aku yakin mampu sampai ke atas sana! Tapi 

bagaimana kalau keparat itu mampu berkelit dan bah-

kan menyambar senjata itu?! Keparat betul! Aku bo-

doh! Aku lengah!" Ni Luh Padmi memaki sendiri.

"Nenek bangsat!" Tiba-tiba terdengar suara Kiai 

Laras. "Tempat di mana kau berada telah ditebari hawa 

beracun yang bisa membunuhmu perlahan-lahan! Dan 

jangan coba-coba kerahkan tenaga dalam kalau kau 

tak ingin hawa beracun itu langsung masuk ke dalam 

aliran darahmu!"

Ni Luh Padmi tegak bergetar. Sosoknya telah 

basah kuyup. Namun si nenek masih buka mulut

"Bangsat sialan! Kelak kau akan ku kuliti!"

Kiai Laras tertawa panjang. "Simpan impian mu 

itu, Nenek! Yang harus kau lakukan sekarang adalah 

banyak berdoa untuk menyongsong ajal! Dan kau jan-

gan terlalu menyalahkan padaku! Aku semata-mata 

hanya jalankan tugas!"

"Siapa yang memberimu tugas?!" teriak Ni Luh 

Padmi.

"Siapa lagi junjungan ku kalau bukan pemuda 

bernama Joko Sableng bergelar Pendekar Pedang 

Tumpul 131! Dan kau tidak usah berkecil hati. Beberapa hari lagi kau mungkin akan mendapatkan teman 

seperjalanan menuju neraka! Dan kau mesti tahu pu-

la, bahwa junjunganku Pendekar 131 telah mendapat 

amanat perintah dari eyang gurunya seorang tokoh be-

sar bergelar Pendeta Sinting dalam urusan ini! Ha.... 

Ha.... Ha...!" 

"Keparat! Kalian semua nanti akan menyesali"

"Percuma kau berteriak mengancam, Nenek Tua! Nya-

tanya kau kini tinggal menunggu saat-saat kematian!"

Habis berkata begitu, Kiai Laras balikkan tubuh 

lalu melangkah ke arah tangga dengan tinggalkan sua-

ra tawa panjang.

Begitu berada di ruangan goa bagian depan, 

tangan kanan Kiai Laras tampak menekan tonjolan ba-

tu hitam. Ruangan goa bergetar. Lalu terdengar gese-

kan batu. Saat lain pojok goa yang terbuka perlahan-

lahan menutup.

Kiai Laras tersenyum menyeringai. Lalu menata 

kayu perapian di atas tonjolan batu hingga jika dipan-

dang sekilas orang tidak akan melihat kalau di bawah 

tumpukan kayu perapian itu ada batu hitam sebagai 

pembuka pintu lain di pojok ruangan.

Kiai Laras memandang sejenak keluar goa. Saat 

lain sosoknya telah berkelebat tinggalkan ruangan goa.

Di bagian dalam lobang, Ni Luh Padmi tampak 

pentangkan mata dengan kepala memutar. Saat lain 

dia tengadah dengan mata berkaca-kaca. "

Sialnya diriku ini! Mengapa aku bertindak len-

gah! Hingga bukan saja aku tertipu, namun harus 

mengalami nasib mengenaskan! Ucapan tua bangka 

keparat tadi pasti benar jika tempat ini telah ditebari 

racun yang bisa membunuh perlahan-lahan! Aku tak 

bisa berbuat apa-apa.... Kalau aku paksakan diri ke-

rahkan tenaga dalam, bukan tak mungkin tebaran racun jahanam ini akan memasuki aliran darahku! Dan 

itu akan mempercepat kematian ku!"

Pada puncak penyesalannya, akhirnya Ni Luh 

Padmi hanya bisa sesenggukan seraya duduk bersim-

puh dengan kedua tangan mendekap wajahnya. Ter-

bayang satu persatu paras muka Pendeta Sinting, 

Pendekar 131, dan Kiai Laras.

Kita tinggalkan dahulu Ni Luh Padmi yang me-

nyesali diri di ruangan dalam goa. Kita ikuti kembali 

perjalanan Pendekar 131. Seperti dituturkan dalam ep-

isode : "Kembang Darah Setan", Pendekar 131 sempat 

jumpa dengan nenek berdandan menor yang sebutkan 

diri sebagai Dayang Sepuh. Murid Pendeta Sinting ber-

dusta pada si nenek kalau dirinya sedang mencari ka-

keknya yang sudah hampir satu purnama tidak kun-

jung pulang. Namun Joko harus menelan kecewa, ka-

rena di luar dugaan, si nenek bersikeras hendak ikut.

Joko jadi kebingungan. Tapi pada akhirnya Joko ter-

paksa tidak dapat menolak keinginan si nenek, apalagi

saat murid Pendeta Sinting mengetahui kalau si nenek 

sedang menunggu Pendekar 131! Seraya melangkah, 

murid Pendeta Sinting coba mengorek keterangan dari 

mulut si nenek mengapa dia menunggu Pendekar 131. 

Di samping itu dia juga cari akal untuk dapat pisah 

dari si nenek.

Nenek itu berambut kelabangan dikepang dua. 

Pada ujung kepangan rambutnya diberi pita. Sementa-

ra bagian depan diponi menggerai ke keningnya. Sepa-

sang matanya agak besar. Pipi kiri kanannya dironai 

pemerah. Sementara bibirnya dipoles merah tebal. Ka-

rena kulit wajahnya berwarna gelap, tak urung rona 

merah di pipi dan bibir si nenek membuat tampangnya 

lucu dan angker! Nenek ini mengenakan pakaian war-

na merah tanpa lengan dan amat cingkrang, hingga


ketiak dan pusarnya kelihatan. Pakaian bawahnya be-

rupa celana pendek warna merah yang panjangnya be-

rada di atas lutut, hingga pahanya yang juga berwarna 

gelap terlihat jelas.

Si nenek yang bukan lain adalah Dayang Sepuh 

tampak melangkah perlahan sambil sesekali mengerl-

ing pada orang di sampingnya. Dia adalah seorang pe-

muda berparas tampan mengenakan pakaian putih. 

Rambutnya panjang sedikit acak-acakan diikat dengan 

ikat kepala warna putih. Si pemuda bukan lain adalah 

murid Pendeta Sinting Pendekar Pedang Tumpul 131 

Joko Sableng.

Untuk beberapa lama kedua orang ini melang-

kah tanpa ada yang buka mulut. Hanya saja si nenek 

tampak sesekali berpaling sambil kerlingkan mata. Bi-

birnya yang merah lemparkan senyum. Sedangkan 

murid Pendeta Sinting terlihat acuh, meski kadangkala 

melirik ke arah si nenek dengan kepala digelengkan.

"Nek...! Sekarang kita hendak ke mana?!" Murid 

Pendeta Sinting akhirnya membuka percakapan kare-

na si nenek terus melangkah seolah tanpa tujuan.

Dayang Sepuh hentikan langkah. Kedua tan-

gannya rapikan poni pada keningnya. Lalu berkata.

"Kau ini aneh. Bukankah kita mencari kakek-

mu yang hilang tanpa kabar?!"

"Betul! Tapi tujuannya ke mana?! Kau tadi bi-

lang, dapat menduga di mana kakekku berada! Tapi 

langkah mu sepertinya tanpa tujuan...."

Si nenek ambil satu kepangan rambutnya. 

Sambil mainkan kepangan rambutnya dia berkata.

"Cucuku.... Kau jangan menduga yang tidak-

tidak! Aku melangkah ini bukan atas kehendak sendi-

ri! Tapi suara alam yang menuntun ku! Jadi jangan 

banyak tanya ke mana, pokoknya kita cari kakekmu!"


"Nek.... Bagaimana kalau kita berpencar saja 

seperti usulku semula?! Dengan cara begitu, kukira ki-

ta bisa menjelajah dua tempat pada waktu bersa-

maan....

Dayang Sepuh gelengkan kepala. "Kita tetap 

akan bersama-sama! Dan kunasihatkan padamu, Cu-

cuku. Kau boleh memanggilku Nenek, dan aku akan 

memanggilmu Cucu kalau kita sedang berdua saja! Di 

depan orang lain, kau harus memanggilku Bibi! Kau 

mengerti?!"

Murid Pendeta Sinting nyengir seraya menahan

tawa. "Dasar nenek menor! Sudah tua masih juga ingin 

dikira muda...."

Dayang Sepuh tersenyum, lalu lanjutkan lang-

kah. Joko tampak menghela napas. "Bagaimana aku 

harus pisah dari nenek ini?! Apa aku langsung berlari 

saja?! Tapi kalau dia mengejar dan marah-marah...?!"

Selagi murid Pendeta Sinting membatin begitu, 

Dayang Sepuh tiba-tiba berjingkrak, membuat Joko 

terkejut.

"Ada apa, Nek?!"

"Dengar...," kata Dayang Sepuh sambil tenga-

dahkan kepala. "Kau dengar bukan?"

Murid Pendeta Sinting kernyitkan dahi. "Aku ti-

dak mendengar apa-apa!"

"Dasar Cucu tuli! Apa kakekmu tidak menga-

jarkan bagaimana caranya mendengar?!"

Murid Pendeta Sinting sedikit geram mendengar 

ucapan Dayang Sepuh. Dia kerahkan tenaga dalam 

pada gendang telinganya agar bisa menangkap suara 

yang sulit ditangkap pendengaran biasa. Namun se-

jauh ini Joko tidak menangkap suara.

"Heran! Apa pendengarannya yang salah?! Atau 

jangan-jangan dia bercanda!"


"Bagaimana? Kau dengar bukan?!" Bertanya 

Dayang Sepuh tanpa berpaling pada murid Pendeta 

Sinting. "Ku lihat kau memakai tenaga, apa kini kau 

telah dengar?!"

"Hem.... Dia tidak melihatku, tapi dia tahu ka-

lau aku berusaha menangkap suara dengan kerahkan 

tenaga dalam! Siapa sebenarnya nenek ini?!" diam-

diam Joko membatin. Lalu terus terang dia berkata.

"Aku tidak mendengar apa-apa...."

Dayang Sepuh berpaling. Memandang sejurus 

pada murid Pendeta Sinting. Lalu seraya melangkah 

dia berkata.

"Ayo kutunjukkan apa yang kudengar!"

Entah karena ingin buktikan ucapan si nenek, 

murid Pendeta Sinting segera pula melangkah. Namun 

Joko terkesiap. Si nenek tampak melangkah perlahan 

saja. Namun hingga dia berlari, jarak antara dirinya 

dengan si nenek tidak juga menjadi dekat!

"Jangkrik! Dia seperti hendak tunjukkan kehe-

batan!" gumam Joko dengan dada agak panas. Dia ce-

pat kerahkan ilmu peringan tubuh. Lalu berkelebat. 

Dalam beberapa saat, murid Pendeta Sinting telah da-

pat menjajari langkah si nenek. Namun cuma sekejap. 

Karena begitu si nenek berpaling dan Joko ikut berpal-

ing ingin tunjukkan diri, tiba-tiba Dayang Sepuh ge-

rakkan bahunya. Sosoknya saat itu juga melesat lak-

sana angin!

Karena tak mau merasa malu, murid Pendeta 

Sinting kerahkan segenap ilmu peringan tubuh. Lalu 

berkelebat menyusul. Namun sampai sekujur tubuh-

nya basah kuyup oleh keringat, jangankan mendahu-

lui, menjajari kelebatan tubuh si nenek saja Pendekar 

131 tidak mampu!

"Busyet! Ilmu peringan tubuhnya benar-benar


luar biasa!" kata Joko dalam hati. "Tapi hendak ke 

mana sebenarnya nenek ini?! Apa sebenarnya yang ba-

ru saja didengar?"

Selagi Joko berpikir begitu, di depan Sana tiba-

tiba Dayang Sepuh hentikan larinya.

"Lihat!" kata Dayang Sepuh begitu Joko berada 

di belakangnya. Tangannya menunjuk ke satu arah.

Joko arahkan pandangannya pada tempat yang

ditunjuk si nenek dengan dada turun naik dan mulut 

megap-megap. Ternyata mereka berada di satu tempat 

ketinggian. Memandang ke bawah tampak sebuah sen-

dang berair jernih yang di sebelah sampingnya terda-

pat pancuran air. Di sekitar sendang, tampak beberapa 

batu.

Murid Pendeta Sinting arahkan pandangan ke 

bawah. Lalu berpaling ke belakang.

"Hem.... Jaraknya begitu jauh, tapi pendenga-

rannya mampu menangkap suara pancuran air...," ka-

ta Joko dalam hati.

"Cucuku... aku ingin mandi. Kuharap kau me-

nungguku! Cari tempat yang enak untuk istirahat! Dan 

jangan berani mengintip!"

Habis berkata begitu, Dayang Sepuh berkelebat 

ke bawah. Joko sejurus pandangi kelebatan sosok si 

nenek. "Siapa ingin melihat nenek berbugil ria! Lu-

mayan kalau kulitnya putih mulus...," gumam Joko la-

lu memandang berkeliling. "Hem.... Rasanya ini saat 

yang tepat aku memisahkan diri! Tapi aku harus ya-

kinkan dulu kalau dia sudah benar-benar telanjang 

dan mandi...."

Mungkin agar tidak dicurigai, Joko pura-pura 

melangkah turun, lalu memilih sebuah batu besar. 

Sambil melangkah turun, sepasang matanya melirik ke 

samping kiri kanan melihat keadaan. "Sebelah barat


dan timur banyak ditumbuhi tumbuhan rapat. Aku 

tinggal memilih menyelinap ke salah satunya...."

"Cucu...! Kau di mana?!" Tiba-tiba terdengar te-

riakan Dayang Sepuh.

"Di sini, Nek! Di samping batu besar!" sahut 

Joko seraya terus putar kepala. Setelah dapat yakin-

kan diri ke sebelah mana nanti hendak berkelebat. Jo-

ko arah kan pandangannya ke sendang. Dayang Sepuh 

tampak tegak di samping sendang. Lalu perlahan-

lahan nenek menor ini buka pakaiannya.

Murid Pendeta Sinting cepat merunduk lalu 

duduk bersandar pada batu. Matanya kembali me-

mandang pada tumbuhan rapat di sebelah barat. Keti-

ka agak lama dan yakin si nenek sudah buka pakaian-

nya, Joko kerahkan ilmu peringan tubuh. Namun dia 

tampak bimbang. "Hem.... Aku harus yakin dulu.... 

Aku harus dengar suara kecipak air...."

Murid Pendeta Sinting menunggu dengan dada 

berdebar. Dia mulai merasa waswas, karena sejauh ini 

dia belum mendengar suara kecipak air yang memberi 

tanda jika si nenek telah ceburkan diri ke dalam air

sendang. Malah dia seolah tak sabar dan hendak meli-

hat seandainya tidak buru-buru sadar kalau si nenek 

diyakininya telah telanjang.

Byurrr!

Tiba-tiba terdengar suara kecipak air. Joko me-

narik napas lega. Dia buru-buru berkelebat. Namun 

gerakannya tertahan, karena bersamaan dengan ter-

dengarnya suara kecipak air, satu hembusan angin 

menderu di atas batu di mana dia berada.

Murid Pendeta Sinting cepat mendongak. Satu 

buntalan besar tiba-tiba telah melayang di atas kepa-

lanya. Belum sampai Joko tahu, buntalan itu telah ja-

tuh tepat di atas kepalanya!


Plukkk!

Joko cepat meraih. Sepasang matanya mendelik 

besar. Buntalan itu ternyata pakaian si nenek. Pada 

saat bersamaan, tiba-tiba terdengar teriakan Dayang 

Sepuh.

"Cucu! Simpan dahulu pakaianku!"

"Busyet! Sepertinya dia tahu kalau aku hendak 

pisahkan diri! Tapi aku harus cepat bergerak! Kalau ti-

dak, urusan tak berguna ini tambah jadi panjang...."

"Baik, Nek.... Puaskanlah mandi. Aku akan 

menunggumu di sini sambil tiduran!" sahut Joko. Lalu 

letakkan buntalan pakaian Dayang Sepuh di dekat ba-

tu. Saat lain ia membuat posisi merangkak. Lalu, 

Wuuttt! Joko berkelebat ke salah satu batu dan diam 

menunggu. Tidak ada suara teriakan dari Dayang Se-

puh, kembali Joko membuat posisi merangkak. Lalu 

kembali melompat dan sembunyi di balik batu sa-

tunya. Demikian terus hingga hampir mencapai tum-

buhan rapat di sebelah barat.

Begitu jarak antara batu di mana kini dia bera-

da dan tumbuhan rapat hanya dua tombak, Joko ber-

paling ke arah sendang. Saat lain dia berkelebat lalu 

menyelinap lenyap di antara tumbuhan rapat.

Ketika Joko sudah berada jauh, telinganya me-

nangkap teriakan-teriakan Dayang Sepuh yang me-

manggil-manggil. Joko celingukan sebentar. Lalu ber-

kelebat laksana dikejar setan menuju arah barat. Sa-

dar kalau Dayang Sepuh memiliki ilmu peringan tubuh 

luar biasa, Joko berlari dengan kerahkan segenap ilmu 

peringan tubuhnya!

Sementara di bagian sendang, begitu tiga kali 

teriakan panggilannya tidak mendapat sambutan, 

Dayang Sepuh cepat melesat keluar dari dalam sen-

dang. Tahu-tahu sosoknya telah berada di samping batu besar di mana tadi murid Pendeta Sinting berada.

Dengan perlahan-lahan Dayang Sepuh menge-

nakan pakaiannya. Lalu kibas-kibaskan dua kepangan 

rambutnya. Saat lain nenek ini ambil dua bungkusan

dari saku pakaiannya. Seraya sandarkan pantat pada 

batu, si nenek ronai pipi serta bibirnya dengan serbuk 

yang ada dalam bungkusan kecil.

"Cucu.... Suara alam mengatakan kita berjodoh! 

Jadi ke mana pun kau pergi, kita tetap akan berte-

mu...!" kata Dayang Sepuh. Lalu nenek ini perlahan-

lahan melangkah tinggalkan sendang. Herannya, 

meski dia tidak mengetahui ke mana arah berlarinya 

Pendekar 131, namun arah langkahan kakinya jelas 

tepat ke arah mana tadi murid Pendeta Sinting berke-

lebat pergi!

*

* *

TIGA



PENDEKAR 131 baru memperlambat larinya 

tatkala yakin jaraknya sudah jauh dari sendang di 

mana Dayang Sepuh mandi. Dan telah yakin pula ka-

lau si nenek pasti tidak bisa menemukan jejaknya, ka-

rena dia sengaja berkelebat dengan mengambil jalan 

berputar-putar dan melewati jalan-jalan setapak.

"Hemm.... Kali ini aku berhadapan dengan be-

berapa orang aneh! Ada apa sebenarnya ini?! Apa raib-

nya Eyang Guru masih ada kaitannya dengan urusan 

gila ini?! Kembang Darah Setan, Kampung Setan...." 

Murid Pendeta Sinting ulangi ucapan Setan Liang Makam dan Kiai Lidah Wetan yang sempat dijumpainya 

beberapa waktu lalu.

"Namanya hampir sama.... Apa masih ada hu-

bungannya?! Herannya, selama ini aku belum pernah 

mendengar nama itu selain dari manusia yang se-

butkan diri Setan Liang Lahat dan Kiai Lidah Wetan.... 

Sialnya, dalam keadaan begini, muncul pula nenek 

menor yang tingkahnya masih seperti gadis muda sa-

ja.... Tapi, dari orang-orang yang kutemui, satu hal 

yang pasti adalah mereka semua berilmu tinggi! Kalau 

beberapa orang aneh muncul, di baliknya pasti ada se-

suatu! Tapi apa...?! Dan mengapa mengaitkan aku 

yang tidak tahu urusan apa-apa?! Hem...."

Murid Pendeta Sinting terus melangkah dengan 

benak disarati berbagai pertanyaan yang tidak bisa ter-

jawab. Saat itulah tiba-tiba terdengar orang bersin be-

berapa kali.

"Bruss! Bruss! Bruuss! Bruuss!"

Joko terkesiap. Karena suara bersin jelas ter-

dengar sangat dekat sekali dengan dirinya, maka Joko 

pikir percuma saja berkelebat sembunyikan diri. Dia 

segera putar kepala berpaling ke arah mana suara ber-

sin barusan terdengar. Namun hingga tiga kali kepa-

lanya berputar, matanya tidak melihat siapa-siapa!

"Heran. Suara bersin tadi begitu dekat, aneh-

nya tidak kelihatan batang hidungnya!"

Merasa kurang yakin, kembali Joko putar kepa-

lanya. Kali ini matanya dipentang besar-besar dan me-

neliti setiap sudut pandangannya. Karena belum juga 

menangkap orang, kuduknya mulai dingin. "Jangan-

jangan nenek tadi berhasil menyusul ku.... Atau di 

tempat ini ada hantu penghuninya?! Tapi mana ada 

hantu yang bisa bersin-bersin? Lagi pula di tempat ini 

tidak ada bau yang membuat hidung ingin bersin...."


Joko membatin. Saat itulah mendadak ekor mata ki-

rinya menangkap sesuatu. Dengan mata makin dibe-

liakkan, murid Pendeta Sinting segera berpaling ke ki-

ri.

"Aku yakin tadi telah melihat tempat itu sampai 

tiga kali! Tapi aku sungguh-sungguh tidak melihatnya! 

Adalah aneh kalau tiba-tiba sekarang ada orang di si-

tu!" Murid Pendeta Sinting cepat membuat satu kali 

lompatan. Gerakannya ini serta-merta membawa di-

rinya tegak di belakang satu batangan pohon tidak be-

gitu besar. Dari sini Joko segera memperhatikan ke 

depan. Kira-kira sejarak empat belas langkah dari 

tempatnya tegak, terlihat seorang kakek duduk berlu-

tut dengan tangan kanan memegangi sebuah tongkat 

kayu butut. Sementara tangan kirinya diletakkan di 

atas pahanya. Kakek ini berambut putih tipis hingga 

batok kepalanya terlihat jelas. Sepasang matanya sipit. 

Hidungnya tampak mengembung besar di bagian de-

pan, hingga kedua lobang hidungnya tampak mengan-

ga besar. Dia mengenakan pakaian lusuh warna putih 

kusam.

Kepala kakek yang duduk berlutut itu tampak 

bolak-balik ke depan ke belakang dengan wajah merin-

gis. Dan sesekali kepalanya digelengkan ke samping 

kanan kiri.

Murid Pendeta Sinting diam-diam menahan ta-

wa. Karena jelas dia dapat menduga kalau si kakek in-

gin bersin tapi tidak kesampaian. Hingga kepalanya 

pulang balik ke depan ke belakang dengan air muka 

meringis.

"Bruss! Bruss! Bruss!"

Tiba-tiba si kakek bersin. Joko tersentak kaget. 

Bukan karena suara bersin orang, melainkan bersa-

maan dengan terdengarnya suara bersin, tanah di de


pan mana si kakek duduk berlutut laksana disapu ge-

lombang angin kencang hingga berhamburan! Aneh-

nya, meski telah bersin tiga kali, kepala si kakek tetap 

saja pulang balik ke depan ke belakang dengan wajah 

meringis, jelas pertanda kalau si kakek ingin bersin la-

gi!

"Angin yang keluar dari hidungnya mampu 

membuat tanah berhamburan. Kakek yang selalu ingin 

bersin ini pasti bukan orang sembarangan!" Joko hen-

dak keluar dari balik batangan pohon. Namun teringat 

akan beberapa peristiwa yang terjadi, Joko jadi urung-

kan niat. "Daripada mencari penyakit sementara pe-

nyakit lainnya belum beres. lebih baik aku segera ting-

galkan tempat ini...."

Setelah memandang sekilas pada si kakek yang 

selalu ingin bersin, murid Pendeta Sinting berkelebat 

tinggalkan batangan pohon di mana dia mengintip 

orang. Dia berlari cepat menuju arah barat. Sesekali 

telinganya masih mendengar bersin orang di belakang 

sana. Namun tak lama kemudian dia sudah tidak 

mendengar lagi karena jaraknya sudah makin jauh.

Pada satu tempat, murid Pendeta Sinting ber-

henti karena lelah, dia duduk bersandar pada sebatang 

kayu kering. Belum lama duduk istirahat, tiba-tiba dia 

mendengar suara gemerisik di semak-semak tidak jauh 

dari tempatnya.

Belum sampai Joko melihat apa yang baru saja 

menimbulkan suara gemerisik, mendadak terdengar.... 

"Bruss! Brusss! Brussss!"

Joko terkesiap. Laksana disentak setan, kepa-

lanya berpaling ke arah semak-semak yang tadi berisik 

dan dari situ pula suara bersinan terdengar.

Semak-semak tidak jauh dari tempat murid 

Pendeta Sinting terlihat bergerak-gerak menyibak. Dari


bagian dalam sibakan semak, samar-samar mata Joko 

menangkap satu sosok tubuh duduk berlutut dengan 

tangan kanan memegang tongkat. Kepalanya bergerak-

gerak pulang balik ke depan ke belakang!

"Kakek itu!" desis Joko mengenali siapa adanya 

orang di balik sibakan semak. "Rupanya kakek ini 

akan menambah deretan orang-orang aneh yang harus 

kujumpai! Hal ini membuatku makin yakin ada sesua-

tu..." Joko perhatikan si kakek. "Dia tampaknya sudah 

tahu diriku, tak ada gunanya lagi berlari atau sem-

bunyi...."

Membatin begitu, akhirnya murid Pendeta Sint-

ing bergerak bangkit. Lalu perlahan-lahan melangkah 

ke arah tempat si kakek.

"Bruss! Bruss! Bruuss! Bruuss!"

Si kakek bersin lagi. Joko sekonyong-konyong 

hentikan langkah. Karena merasa dirinya didorong ke-

kuatan dahsyat. Hingga kalau saja dia tidak cepat ke-

rahkan tenaga dalam, niscaya sepasang kakinya akan 

tersurut mundur! Saat yang sama, semak-semak ber-

gerak menyibak. Satu sosok berkelebat keluar. Dan ta-

hu-tahu si kakek telah tegak di hadapan Pendekar 131 

dengan kepala pulang balik ke depan ke belakang 

sambil meringis membuat gerakan seperti orang hen-

dak bersin! Namun hingga agak lama, tidak juga orang 

ini perdengarkan suara bersin!

"Anak muda! Harap maafkan.... Beginilah kea-

daan ku kalau hidungku membaui tubuh manusia.... 

Harap kau tidak...." Si kakek tidak lanjutkan ucapan-

nya. Kepalanya tertarik ke belakang.

"Brusss! Brusss! Brusss!"

Si kakek bersin lagi. Tapi kali ini hembusan an-

gin yang melesat keluar dari hidungnya tidak aki-

batkan apa-apa pada murid Pendeta Sunting meski jarak antara keduanya tidak jauh.

Pendekar 131 pandangi dengan seksama orang 

tua di hadapannya lama-lama. Diam-diam perasaan-

nya mulai waswas dan bimbang. Di satu pihak ingin 

tahu siapa sebenarnya adanya si kakek, dan mengapa 

sepertinya mengikuti terus langkahnya. Sementara di 

lain pihak. dia merasa yakin kalau ada yang tak beres 

dengan orang tua di hadapannya. Karena sikapnya je-

las selalu mengikuti ke mana dirinya pergi meski dia 

tak habis pikir bagaimana si kakek itu tahu-tahu su-

dah berada di dekatnya.

Merasa dirinya dipandangi orang, masih den-

gan tarik pulang kepalanya yang hendak bersin dan 

tanpa memandang ke arah murid Pendeta Sinting, si 

kakek berkata.

"Pandangan mu curiga, Anak Muda! Apa ada 

yang salah dengan diriku?! Kalau soal hidungku, su-

dah ku katakan padamu tadi.... Selalu kumat kalau 

membaui tubuh manusia!"

Joko alihkan pandangannya seraya menggeleng 

perlahan. "Tidak ada yang salah, Kek.... Hanya aku he-

ran. Sebentar tadi kau kulihat masih duduk jauh di 

sana. Tapi tiba-tiba sekarang sudah berada di sini...."

Si kakek coba hentikan gerakan kepalanya 

yang pulang balik ke belakang ke depan. Sepasang ma-

tanya yang sipit membuka besar.

"Heran.... Ya, heran. Seharusnya aku yang me-

rasa heran. Sepertinya aku tidak ke mana-mana. Sejak 

kemarin pagi aku sudah berada di sini! Bagaimana 

mungkin kau melihatku di sana...?! Kau tidak salah li-

hat, Anak Muda?!"

Seakan termakan ucapan orang, murid Pendeta 

Sinting beliakkan sepasang matanya pandangi sekali 

lagi orang tua di hadapannya. "Tak mungkin aku salah lihat! Orangnya sama, sikapnya tidak berbeda! Pa-

kaian dan tongkat kayu bututnya persis!" kata Joko 

dalam hati. Lalu berkata.

"Kek.... Apa kau punya saudara kembar?!"

"Heran.... Bagaimana kau bisa berkata begitu?! 

Aku nongol ke dunia sendirian! Bahkan aku tak punya 

adik atau kakak. Mengherankan kalau kau bertanya 

aku punya saudara kembar...."

"Hem.... Atau kau pernah tahu orang yang mi-

rip denganmu?!"

"Hem.... Heran! Bagaimana mungkin di dunia 

ini ada orang yang mirip?! Anak muda. Adalah mung-

kin kalau Yang Maha Kuasa menciptakan orang yang 

mirip! Tapi adalah mengherankan kalau tak bisa dibe-

dakan!"

"Tapi, Kek! Aku baru saja melihat orang yang 

sama persis denganmu di sana!" Joko menunjuk ke sa-

tu arah.

Si kakek arahkan pandangannya ke tempat 

yang ditunjuk murid Pendeta Sinting. "Heran.... Ba-

gaimana bisa begitu?! Ucapanmu membuatku he-

ran...."

"Hem.....Dugaanku tidak meleset lagi! Aku ber-

hadapan dengan orang aneh...." Joko membatin seraya 

menarik napas panjang. "Aku akan coba tanyakan pa-

danya tentang urusan yang saat ini kuhadapi. Siapa 

tahu dia bisa memberi keterangan! Orang begini bi-

asanya tahu banyak tentang urusan aneh...."

Membatin begitu, lalu murid Pendeta Sinting 

angkat bicara.

"Kek.... Boleh aku tanya sesuatu padamu?!"

"Heran.... Kurasa saat ini adalah jumpa kita 

yang pertama kali. Aku heran, Anak Muda.... Apakah 

aku pernah melarangmu untuk bertanya?!!"


Joko tidak pedulikan ucapan orang. Dia segera 

saja ajukan tanya.

"Kek.... Kau pernah dengar sebuah kampung 

yang disebut Kampung Setan?!"

"Brusss! Brusss! Brusss!"

Si kakek bersin lagi. Lalu kernyitkan dahi sam-

bil berujar.

"Aku heran, mengapa baru kali ini mendengar 

nama kampung itu?!"

Ucapan si kakek telah membuat murid Pendeta 

Sinting maklum kalau orang yang ditanya tidak tahu 

tentang Kampung Setan. Tapi Joko lanjutkan perta-

nyaan.

"Kau pernah tahu sesuatu yang disebut Kem-

bang Darah Setan?!"

Yang ditanya dongakkan kepala seolah berpikir. 

Joko menunggu dengan perasaan agak lega, karena si-

kap si kakek seolah membayangkan dia kali ini tahu 

apa yang ditanyakan orang.

"Brusss!"

Joko memekik sendiri dalam hati. Karena ter-

nyata si kakek dongakkan kepala tidak sedang berpi-

kir, tapi karena ingin bersin.

"Anak muda.... Aku heran. tujuh hari terakhir 

ini sudah tujuh orang yang sebut-sebut Kembang Da-

rah Setan di depanku! Aku jadi bingung dan heran. 

Bagaimana orang-orang menanyakan itu padaku?! Pa-

dahal aku bukan penjual kembang! Atau jangar, jan-

gan kau meledek ku, Anak Muda...."

Murid Pendeta Sinting kali ini rasanya kehilan-

gan akal. Hingga untuk beberapa saat dia tidak sahuti 

ucapan orang. Sementara si kakek di hadapannya lan-

jutkan ucapan. "Kau tahu, Anak Muda.... Sekali aku 

mencium bau kembang, sehari semalam aku tak henti


hentinya bersin-bersin!"

Joko gelengkan kepala. Tapi entah karena apa, 

murid Pendeta Sinting ini lanjutkan juga bertanya. 

"Kek.... Kau kenal dengan seorang laki-laki yang berge-

lar Setan Liang Makam?!"

"Heran.... Kudengar dari tadi kau selalu sebut-

sebut Setan.... Kau jangan.

"Brusss! Brusss! Brusss!"

Si kakek bersin. Lalu lanjutkan ucapan. "Kau 

jangan menakut-nakuti aku! Penyakit ku makin men-

jadi-jadi kalau aku ketakutan...." Habis berkata begitu, 

si kakek beberapa kali bersin-bersin.

Joko tidak acuhkan ucapan dan bersinan 

orang. Dia kembali buka mulut.

"Kek.... Apa kau masih juga merasa heran ka-

lau aku tanya apa kau pernah bertemu orang yang se-

butkan diri sebagai Dayang Sepuh?!"

Tiba-tiba si kakek menindih keinginannya un-

tuk bersin. "Heran.... Di mana kau bertemu dengan 

orang itu?!"

Paras wajah Pendekar 131 berubah cerah. 

Sambil senyam-senyum dia berkata.

"Aku jumpa dengannya di sebuah kedai! Aku 

sempat bicara panjang lebar dengannya. Dari ucapan-

ucapannya aku menduga dia sedang mencari seseo-

rang.... Dan dari ciri-ciri orang yang dicari, aku bisa 

memastikan kalau kaulah orangnya!"

"Hem.... Apa yang dibicarakan tentang diriku, 

Anak Muda...?!" tanya si kakek seraya maju dengan 

wajah bersungguh-sungguh.

"Dia menghubung-hubungkan dirimu dengan 

Kembang Darah Setan, Kampung Setan, malah kau di-

kait-kaitkan dengan Setan Liang Makam! Maka dari itu 

jangan heran kalau aku tadi bertanya padamu...."


"Heran.... Mengapa aku dihadapkan dengan 

urusan mengherankan ini?! Apakah memang sudah 

nasibku harus selalu merasa heran?!" gumam si ka-

kek. Kepalanya kembali pulang balik ke depan ke bela-

kang dengan wajah meringis ingin bersin.

"Kau tak usah merasa heran, Kek.... Dan kuha-

rap kau mau menjawab pertanyaanku tadi. Kalau ti-

dak...." Joko tersenyum dahulu sebelum akhirnya lan-

jutkan. "Nenek itu berada tidak jauh dari sini.... Tidak 

sulit aku memberitahukan padanya.... Dan perlu kau 

ketahui, dari nada ucapannya, aku bisa menebak apa 

yang hendak dilakukannya padamu...." 

"Brusss! Brusss! Brusss!"

Si kakek bersin-bersin. Lalu tertawa bergelak-

gelak. Namun hingga suara gelakan tawanya berhenti, 

si kakek tidak juga buka mulut.

"Kek.... Kau masih tak mau memberi keteran-

gan?!"

"Anak muda.... Mengherankan kalau aku mem-

beri keterangan sesuatu yang tidak kuketahui! Dan 

jangan heran kalau kukatakan, aku tidak kenal den-

gan Dayang Sepuh.... Kalau tadi aku bertanya pada-

mu, aku tadi hanya merasa heran, bagaimana mung-

kin dia mengenal ku bahkan mencariku?!"

Murid Pendeta Sinting melengak. Namun dia 

buru-buru buka mulut. "Kau jangan pura-pura! Dari 

perubahan sikapmu tadi, apa kau kira aku tak dapat 

menduga?!"

"Menduga boleh-boleh saja. Hanya.... Brusss! 

Brusss! Adalah mengherankan kalau kau menduga 

dengan melihat perubahan sikap orang! Kau tahu, 

Anak Muda. Manusia itu pandai berpura-pura. Tidak 

sulit dia mengubah sikap hanya karena ingin agar da-

pat mengubah dugaan orang! Kalau kau selalu menduga orang dengan perubahan sikapnya, tidak heran 

kalau kau akan mudah dikecoh.... Brusss! Brusss!"

"Busyet! Dia tidak mudah dikibuli.... Sekarang 

aku harus tahu siapa dia!" kata Joko dalam hati. Na-

mun sebelum dia lakukan apa yang ada dalam benak-

nya, si kakek telah angkat bicara.

"Anak muda.... Biar rasa heran ku hilang, coba 

kau katakan siapa nama yang disebut-sebut si nenek 

itu untukku?!"

"Hem.... Dia seolah tahu kalau aku ingin mena-

nyakan namanya....." Membatin Joko. Lalu dengan se-

dikit gelagapan dia berujar. "Dia tidak sebut-sebut na-

mamu. Dia hanya sebut-sebut ciri-ciri orang! Tapi jelas 

ciri-ciri yang disebut ada padamu!"

"Hem.... Meski aku percaya, tapi bukan berarti 

rasa heran ku jadi hilang...," gumam si kakek.

"Kek! Kau sudi katakan siapa dirimu sebenar-

nya?!" tanya Joko yang sudah kehabisan akal untuk 

mengorek keterangan dari kakek di hadapannya.

"Mengherankan. Kau tadi bilang sudah bicara 

panjang lebar dengan si nenek. Sekarang kau masih 

juga bertanya padaku...."

"Dayang Sepuh memang bicara panjang lebar 

tentang dirimu. Tapi dia tidak sebut-sebut namamu...."

"Hem.... Jadi kau ingin tahu namaku?! Bruss! 

Bruss!"

Pendekar 131 anggukkan kepala. Si kakek ber-

sin lagi sebelum menjawab.

"Mungkin di sini ada orang yang bisa menjawab 

pertanyaanmu, Anak Muda.... Tapi bukan aku...."

Murid Pendeta Sinting sipitkan mata dengan 

kening berkerut. Belum sampai Joko menduga-duga, si 

kakek telah berucap lagi.

"Aku tahu, kau pura-pura merasa heran. Pa


dahal kau juga tahu kedatangannya...." Si kakek ber-

sin lagi. Lalu arahkan wajahnya ke satu jurusan. Mu-

lutnya membuka.

"Sahabat.... Jangan membuatku makin heran 

dengan datang tanpa tunjukkan diri...."

Terdengar orang bergumam dari jurusan mana 

si kakek menghadap. Paras Joko berubah tegang. "Ba-

gaimana kalau orang yang muncul adalah nenek me-

nor itu?!"

"Anak muda.... Aku heran. Mengapa kau tegang 

begitu rupa?! Bukankah kau tadi ingin tahu nama-

ku...?! Kurasa ada seorang sahabat yang akan menja-

wab keingintahuan mu...," bisik si kakek tanpa me-

mandang pada murid Pendeta Sinting.

"Apa hendak dikata...." Akhirnya Joko angkat 

bahu dan palingkan wajah ke jurusan mana si kakek 

menghadap. Dadanya makin berdebar juga heran. Si 

kakek dapat menangkap kedatangan orang, sedangkan 

dirinya belum mengetahui.

"Sahabatku, Datuk Wahing... Aku hanya kebe-

tulan lewat. Makanya aku sengaja tidak tunjukkan di-

ri.... Tapi kalau kau...."

Terdengar suara orang dari jurusan mana si 

kakek hadapkan wajah. Namun sebelum ucapan orang 

yang belum kelihatan tampangnya ini selesai, si kakek 

yang selalu bersin-bersin dan baru saja disebut orang 

dengan Datuk Wahing telah buka mulut menukas. 

"Sahabatku, harap kau sudi tunjukkan diri. Di sini ada 

seorang muda yang ingin berkenalan. Kurasa kau bisa 

menjawab keinginannya...."

Mendengar ucapan-ucapan orang, murid Pen-

deta Sinting bisa sedikit merasa lega. Karena dari uca-

pan orang, dia sudah memastikan yang baru saja ber-

kata dan belum tampakkan diri bukanlah Dayang Sepuh. Hingga dia balikkan tubuh dengan mata meman-

dang tak berkesip.

Sejarak kira-kira sepuluh tombak, satu sosok 

tubuh keluar dari balik kerapatan pohon. Sekali berge-

rak, sosok ini telah tegak hanya tujuh langkah di ha-

dapan Joko dan si kakek.

Murid Pendeta Sinting tersentak. Sepasang ma-

tanya dibeliakkan besar-besar. Sementara si kakek 

yang disebut Datuk Wahing dongakkan kepala lalu 

bersin-bersin beberapa kali.

*

* *

EMPAT



PENDEKAR 131 Joko Sableng pandangi orang 

di hadapannya dengan mulut terkancing tapi hati ber-

tanya-tanya. "Kalau saja pada hidungnya ada anting-

anting benang berwarna merah, pasti aku bisa menge-

nali kalau orang ini tidak lain adalah kakek yang se-

butkan diri Kiai Lidah Wetan yang kutemui beberapa 

waktu lalu...."

Orang di hadapan murid Pendeta Sinting me-

mang seorang laki-laki berusia lanjut dengan rambut 

putih sebahu. Sepasang matanya agak besar dan me-

nyorot tajam. Kumis dan jenggotnya lebat juga berwar-

na putih.

Kalau orang pernah bertemu dengan Kiai Lidah 

Wetan, mungkin orang akan menebak jika orang di 

hadapan Joko adalah saudara kembar Kiai Lidah We-

tan, atau setidak-tidaknya masih ada hubungan da-

rah. Karena baik wajah maupun sosoknya sama. Yang membedakan antara orang di hadapan murid Pendeta 

Sinting dengan Kiai Lidah Wetan adalah anting-anting 

dari benang berwarna merah. Orang yang kini di hada-

pan Joko tidak mengenakan anting-anting benang pa-

da kedua cuping hidungnya, sementara Kiai Lidah We-

tan mengenakan anting-anting benang.

Begitu orang tegak di hadapannya, Datuk Wah-

ing tampak tengadahkan kepala lalu bersin beberapa 

kali. Setiap kali baru bersin, kepalanya yang sedikit 

merunduk ditundukkan makin dalam seolah membuat 

gerakan seperti orang menjura hormat.

"Hatiku senang sekali bertemu denganmu, sa-

habatku Kiai Laras.... Tapi dibanding rasa gembiraku, 

nyatanya rasa heran ini makin banyak! Brusss! 

Brusss!" ujar Datuk Wahing dengan air muka meringis.

Orang yang baru muncul dan ternyata bukan 

lain memang Kiai Laras, sunggingkan senyum. Me-

mandang sejurus pada Datuk Wahing lalu pada murid 

Pendeta Sinting.

"Aku tak heran, Datuk Wahing.... Sesuatu yang 

tidak mengherankan bagi orang, akan mengherankan 

bagimu...."

"Hem...." Murid Pendeta Sinting memandang si-

lih berganti pada si kakek dan orang yang baru mun-

cul. "Kakek bersin-bersin itu bernama Datuk Wah-

ing.... Dan kakek satu ini bernama Kiai Laras.... Du-

gaanku, dari wajah dan namanya, kemungkinan besar 

kakek ini masih ada hubungannya dengan Kiai Lidah 

Wetan. Mudah-mudahan dia nanti bisa membuka se-

dikit jalan buntu yang kuhadapi selama ini...! Dan 

mudah-mudahan pula kakek ini bukan jadi tambahan 

orang aneh yang kutemui...."

Datuk Wahing memandang sejurus pada Kiai 

Laras. "Sahabatku.... Aku tidak bisa menjawab pertanyaan anak muda ini yang kurasa sangat membuatku 

heran. Harap kau sudi menjawabnya kalau kau tidak 

heran dengan pertanyaannya dan bisa...!"

Kiai Laras arahkan pandangannya pada murid 

Pendeta Sinting. Joko balas memandang seraya bung-

kukkan sedikit tubuh.

"Anak muda.... Siapa namamu?!" Bertanya Kiai 

Laras.

"Joko Sableng, Kek....

"Hem.... Kakek sahabatku ini tadi sudah men-

gatakan siapa aku. Jadi aku tidak usah perkenalkan 

diri...," kata Kiai Laras. Melirik sebentar pada Datuk 

Wahing lalu lanjutkan ucapannya. "Apa yang ingin kau 

ketahui, Anak Muda?!"

"Sebelum aku bertanya, aku ingin tahu. Apa-

kah Kakek masih ada hubungan dengan orang tua 

bernama Kiai Lidah Wetan?!"

"Aku sudah menduga sejak kau memandangi

ku tadi. Aku juga tidak kaget. Karena bukan pertama 

ini orang yang baru kukenal menanyakan seperti yang 

kau tanyakan.... Cuma perlu kau ketahui, aku tidak 

pernah jumpa dengan orang tua yang namanya baru 

saja kau sebut! Aku sekarang ingin tanya. Mengapa 

kau menduga aku ada hubungan dengan orang tua 

yang kau katakan sebagai Kiai Lidah Wetan?!" Kiai La-

ras balik bertanya.

"Wajahmu, Kek...."

"Kenapa wajahku...?!"

"Hampir sama! Dan nama depanmu pun sa-

ma...." "Hem.... Tapi kau masih bisa membedakan, bu-

kan?!"

Murid Pendeta Sinting menjawab dengan ang-

gukan kepala. Sementara sepasang matanya tak henti 

terus menerus pandangi dengan seksama sekujur tubuh orang tua di hadapannya.

"Bagus! Berarti aku tak usah terangkan lagi 

urusan hubungan ku dengan orang tua bernama Kiai 

Lidah Wetan itu! Sekarang apa kau ingin tanya sesua-

tu yang menurut sahabatku ini mengherankan?!"

"Kek.... Kau pernah dengar tentang Kembang 

Darah Setan?!" Joko langsung saja ajukan tanya.

"Aku bukan hanya dengar. Tapi aku tahu seluk 

beluk mengenai Kembang Darah Setan!"

Saking girangnya, murid Pendeta Sinting cepat 

melangkah maju mendekati Kiai Laras. "Harap kau su-

di terangkan padaku, Kek!"

Seolah acuh dengan kegirangan orang, malah 

tanpa memandang, Kiai Laras berkata.

"Kembang Darah Setan adalah senjata dahsyat. 

Senjata itu dimiliki seorang tokoh berilmu sangat tinggi 

yang dikenal dengan Maladewa. Orang itu terakhir kali 

diberitakan tinggal di Kampung Setan! Sayangnya su-

dah hampir tiga puluh tahunan orang itu tidak terden-

gar lagi kabar beritanya...."

"Kau pernah bertemu dengan orang yang berge-

lar Setan Liang Makam?!"

Masih tanpa memandang, Kiai Laras buka mu-

lut menyahut. "Siapa pun orang rimba persilatan saat 

ini, pasti tidak akan tahu orang yang gelarnya baru sa-

ja kau katakan! Karena selama ini dalam kancah dunia 

persilatan, tidak ada orang yang bergelar Setan Liang 

Makam! Kalaupun ada, tentu seorang yang baru saja 

muncul...!"

"Tapi orang itu tahu tentang Kembang Darah 

Setan juga sebut-sebut Kampung Setan.... Berarti dia 

adalah seorang tokoh dunia persilatan...," ujar Joko.

"Betul! Tapi seperti kataku tadi, pasti dia orang 

yang baru saja muncul! Dan kalau dia sebut-sebut


Kembang Darah Setan serta Kampung Setan, itu ada-

lah hal biasa, Anak Muda...."

"Bruss! Bruss! Sahabatku, kau orang yang be-

runtung. Hal demikian hebat yang menurutku sangat 

mengherankan kau sebut suatu yang biasa...." Datuk 

Wahing menyahut lalu pulang balikkan kepalanya ke 

depan ke belakang dengan wajah meringis.

"Kek.... Satu lagi pertanyaanku. Apa kau kenal 

dengan seorang nenek bergelar Dayang Sepuh?!" tanya 

murid Pendeta Sinting.

Kali ini Kiai Laras langsung sentakkan kepa-

lanya memandang pada Pendekar 131. Parasnya sedi-

kit berubah. Namun sesaat kemudian bibir orang tua 

ini sunggingkan senyum. "Kusarankan padamu, Anak 

Muda! Berhati-hatilah kalau kau bertemu dengan ne-

nek itu! Dia seorang nenek berilmu tinggi yang sangat 

licik! Dia tak akan lepaskan mangsanya sebelum tu-

juannya berhasil! Dan terbetik kabar akhir-akhir ini 

dia sedang menyelidik Kembang Darah Setan.... Bebe-

rapa tokoh tinggi di sebelah barat banyak yang tewas 

tanpa diketahui siapa yang melakukan. Tapi orang 

mulai menduga-duga jika semua pembunuhan itu di-

dalangi Dayang Sepuh! Mungkin beberapa orang yang 

tewas tidak mau memberi keterangan yang diminta 

Dayang Sepuh...."

Diam-diam dada murid Pendeta Sinting berde-

bar. "Hem.... Jangan-jangan nenek itu memang punya 

tujuan tertentu hingga bersikeras ikut dengan ku! Aku 

pernah mengatakan padanya urusan Kembang Darah 

Setan serta Kampung Setan! Mungkin dari keteran-

ganku ini dia menduga aku tahu banyak tentang Kem-

bang Darah Setan serta Kampung Setan. Lalu dia pu-

ra-pura hendak ikut mencari kakekku yang kukatakan 

hilang... Hem.... Benar-benar licik nenek itu...."


"Anak muda.... Apakah kau menginginkan 

Kembang Darah Setan?!" Kiai Laras bertanya seraya 

alihkan pandangannya pada Datuk Wahing.

Meski merasa tidak dipandang orang, murid 

Pendeta Sinting gelengkan kepala lalu berkata. "Men-

dengar namanya saja aku sudah ngeri, Kek.... Bagai-

mana mungkin aku menginginkannya?! Lagi pula un-

tuk apa?!"

"Bruss! Bruss! Bruss! Kalau kau sudah ngeri 

mendengar namanya, aku justru heran mendengar 

namanya! Jadi pasti mengherankan pula kalau aku 

menginginkan pula barang itu! Lagi pula kembang ada-

lah barang yang sedapat mungkin ku jauhi! Aku sendi-

ri heran, mengapa penyakit ku akan menjadi-jadi ka-

lau membaui kembang...." Datuk Wahing tiba-tiba me-

nyahut meski Kiai Laras tidak bertanya padanya. 

Anehnya begitu selesai bicara, orang tua ini langsung 

saja bersin-bersin tak putus-putus!

Kiai Laras tampak kernyitkan dahi. Diam-diam 

laki-laki ini berkata dalam hati. "Hem.... Tampaknya 

dia dapat mencium kembang di balik pakaianku.... 

Bukan saat ini waktu yang baik untuk menundukkan 

manusia-manusia ini!"

Habis membatin begitu, Kiai Laras memandang 

pada murid Pendeta Sinting. "Anak muda. Walau kau 

tidak inginkan Kembang Darah Setan, tapi tak ada je-

leknya kau tahu di mana beradanya kembang itu saat 

ini. Siapa tahu suatu saat pikiranmu berubah...."

Belum sampai Joko buka mulut menyahut, Kiai 

Laras telah lanjutkan ucapannya. Sementara di sebe-

lah samping Datuk Wahing terus bersin-bersin.

"Anak muda.... Menurut kabar yang akhir-akhir 

ini tersiar, Kembang Darah Setan dimiliki oleh seorang 

pemuda yang oleh kalangan rimba persilatan dikenal


dengan Pendekar Pedang Tumpul 131! Benar tidaknya 

aku tidak tahu...." Kiai Laras memandang ke arah Da-

tuk Wahing. Lalu berkata.

"Aku tak bisa lama-lama di sini, Sahabat!"

Tanpa menunggu sahutan orang, Kiai Laras 

berkelebat tinggalkan tempat itu. Entah masih terke-

sima dengan ucapan yang baru didengar dari Kiai La-

ras, Joko hanya tegak diam dengan mata memandang 

ke jurusan lain.

"Bruss! Bruss! Bruss! Mengherankan.... Bagai-

mana bisa penyakit ku mendadak kumat menjadi-jadi? 

Jangan-jangan kau membawa kembang, Anak Muda!"

Joko tersentak. "Jangan-jangan dia hendak 

mulai...." Murid Pendeta Sinting mulai curiga dan 

khawatir dengan ucapan Datuk Wahing. "Daripada me-

layaninya, lebih balk aku cari tempat yang tenang se-

raya kaitkan hubungan ucapan-ucapan orang tua ta-

di!"

"Kek.... Aku juga harus pergi!" Joko balikkan 

tubuh.

"Heran.... Apa kau kira aku mencegahmu...?!" 

kata Datuk Wahing. Lalu bersila lagi.

Pendekar 131 angkat bahu lalu berkelebat ting-

galkan tempat itu. Namun karena takut kalau diikuti 

orang, sejarak sepuluh tombak, dia palingkan kepala 

ke arah di mana Datuk Wahing berada. Joko jadi ter-

kejut. Suara bersinan masih saja terus terdengar. Na-

mun sosok Datuk Wahing tidak kelihatan di tempatnya 

semula! Bahkan hingga Joko balikkan tubuh dan me-

mandang berkeliling, dia tak melihat siapa-siapa pa-

dahal suara bersinan terus saja terdengar!

Entah ingin tahu sampai di mana suara bersi-

nan itu akan terus terdengar, Pendekar 131 sengaja 

tegak tidak bergeming dari tempatnya seraya tajamkan


telinga untuk mengetahui di mana sebenarnya adanya 

Datuk Wahing.

Herannya, meski murid Pendeta Sinting dapat 

tentukan dari mana arah sumber suara bersinan, na-

mun begitu matanya mencari, dia tidak melihat sosok 

si kakek!

"Percuma kau mencari orangnya, Anak Muda! 

Karena dia sudah tidak ada di sini! Yang kini terdengar 

adalah gaung suaranya saja yang akan terus meman-

tul dan tak akan ada habisnya! Datuk Wahing memiliki 

ilmu yang disebut 'Pantulan Tabir'!" Satu suara tiba-

tiba terdengar, membuat Joko palingkan kepala.

"Hem.... Rupanya dia belum pergi dari sini...!" 

gumam murid Pendeta Sinting begitu matanya menge-

nali siapa adanya orang yang bersuara.

*

* *

LIMA



TIDAK jauh dari tempat tegaknya murid Pende-

ta Sinting, Kiai Laras tampak tegak dengan sungging-

kan senyum. Dan belum sampai Pendekar 131 buka 

mulut, Kiai Laras sudah angkat bicara lagi.

"Anak muda. Waktu aku akan pergi, tiba-tiba 

aku ingat sesuatu.... Kalau tidak salah, sepertinya aku 

pernah melihatmu sebelum ini...."

"Hem.... Seingatku, bahkan aku yakin. Baru 

kali ini bertemu. Adalah aneh kalau dia berkata pernah 

jumpa denganku...." Joko membatin dalam hati. Lalu 

berkata.

"Kek.... Orang terkadang memang lupa! Bisa


katakan di mana kira-kira kita pernah jumpa?!"

Kiai Laras gelengkan kepala. "Jangan salah, 

Anak Muda. Aku tidak katakan pernah jumpa. Tapi 

aku pernah melihatmu...." "Di mana, Kek?!"

"Di sebuah kedai. Kalau tak salah, kau bersama 

seorang gadis cantik!"

Pendekar 131 mendadak tertawa bergelak. "Kau 

jangan bercanda, Kek! Nenek-nenek begitu masih juga 

kau katakan gadis cantik! Dandanannya memang bo-

leh. Ketiak dan pusar kelihatan. Celana pendek di atas 

lutut dengan paha terpampang jelas. Lalu rambut di 

poni dan pipi serta bibir dipoles merah. Sayangnya se-

mua itu tidak dipadu dengan warna kulit yang mema-

dai!" Murid Pendeta Sinting masih menduga bahwa 

yang dimaksud gadis cantik oleh Kiai Laras adalah si 

nenek Dayang Sepuh.

"Hem.... Berarti anak ini telah bertemu dengan 

nenek itu!" kata Kiai Laras dalam hati. Sambil tetap 

sunggingkan senyum, dia lalu berujar.

"Aku tidak bercanda, Anak Muda. Jelas kau 

waktu itu bersama seorang gadis cantik berpakaian 

warna merah...."

"Dia memang berpakaian warna merah, Kek!" 

sahut Joko sebelum Kiai Laras teruskan ucapannya. 

Lalu tertawa bergelak lagi.

"Ah, kau terburu memotong, Anak Muda. Dia 

berpakaian merah. Rambutnya dikuncir tinggi. Bibir-

nya merah tanpa polesan. Dan kulitnya putih ber-

sih...."

Pendekar 131 putuskan gelakan tawanya. Da-

hinya mulai berkerut. "Kek! Jangan-jangan kau salah 

lihat! Selama ini aku belum pernah jumpa dengan seo-

rang gadis! Apalagi yang rambutnya dikuncir tinggi, 

bibir merah tanpa polesan, dan berkulit putih bersih


seperti yang baru saja kau katakan.... Aku justru keti-

ban sial berjumpa dengan nenek berdandan seronok 

itu..."

Kiai Laras kembali gelengkan kepala. "Aku me-

mang sudah tua, Anak Muda. Tapi mataku tidak 

mungkin salah pandang!"

"Ah.... Bagaimana bisa begitu, Kek?! Padahal 

aku sendiri tidak pernah jumpa dengan seorang gadis 

meski kau benar mengatakan melihatku di sebuah ke-

dai!"

"Hem.... Mungkin benar juga ucapanmu, Anak 

Muda. Aku salah lihat!" ujar Kiai Laras pada akhirnya 

setelah agak lama terdiam. "Kau tadi mengatakan 

jumpa dengan nenek berdandan seronok. Dari ciri-ciri 

yang kau katakan, sedikit banyak aku dapat menduga 

siapa adanya nenek itu. Kau harus bersyukur, Anak 

Muda...."

"Bersyukur bagaimana, Kek?!"

"Kau bisa lepaskan diri dari cengkeraman ne-

nek itu! Karena jarang sekali ada orang yang bisa lolos 

dari cengkeramannya...."

"Aku meninggalkannya sewaktu dia mandi di 

sebuah sendang!"

"Mau turut saran ku, Anak Muda?!" tanya Kiai 

Laras. Namun orang tua ini tampaknya tidak menung-

gu jawaban orang. Karena dia sudah lanjutkan uca-

pannya. "Segeralah tinggalkan tempat ini jauh-jauh! 

Ku yakin nenek itu memerlukan sesuatu darimu! En-

tah apa itu, aku tak bisa mengatakannya! Yang pasti, 

begitu dia mendapat sesuatu yang diharapkan, maka 

nyawamu tak mungkin dibiarkan begitu saja...."

"Dari gelagat dan sikap nenek itu, rupanya be-

nar

juga ucapan orang tua ini..." Joko diam-diam


membatin. Lalu dia berkata.

"Kek.... Sebelum aku pergi, mau sedikit mem-

beri keterangan tentang kakek bernama Datuk Wahing 

tadi?"

"Dia adalah sahabatku. Aku tahu dan kenal be-

tul dengannya. Kau juga harus merasa bersyukur se-

kali lagi, Anak Muda. Karena biasanya orang tua itu ti-

dak mudah diajak bicara! Sebaliknya kalau orang tidak 

mau jawab pertanyaannya, dia tidak segan-segan un-

tuk membunuh! Kalangan rimba persilatan tidak se-

nang dengan dia! Karena pada beberapa puluh tahun 

silam, dia berada di belakang tokoh bernama Malade-

wa yang merajalela tebarkan kematian di mana-mana! 

Kalaupun sampai saat ini dia masih hidup, itu hanya 

karena dia berilmu tinggi...."

"Kek! Bukankah kau tadi mengatakan kalau 

Kembang Darah Setan adalah senjata dahsyat milik 

Maladewa. Lalu kau menerangkan Datuk Wahing be-

rada di belakang Maladewa. Tapi mengapa Datuk Wah-

ing sepertinya tidak tahu saat aku sebut-sebut Kem-

bang Darah Setan?!"

"Anak Muda. Mana ada orang yang belangnya 

ingin ditunjukkan pada orang lain? Dan kau tahu, aku 

tadi terpaksa buru-buru pergi begitu menjawab perta-

nyaan mu karena aku tidak mau terlibat sengketa 

dengan dia! Aku pun terpaksa menuruti keinginannya 

untuk menjawab pertanyaanmu. Sebab jika tidak, pas-

ti dia akan membuat masalah!"

Murid Pendeta Sinting anggukkan kepala. 

"Kek.... Kira-kira di mana Kampung Setan itu?!"

Kiai Laras tertawa pendek mendengar perta-

nyaan Pendekar 131. "Anak muda. Bukankah kau tadi 

mengatakan tidak berniat dengan Kembang Darah Se-

tan? Adalah aneh, kalau kau sekarang menanyakan


Kampung Setan...."

Paras muka murid Pendeta Sinting sedikit me-

rah. Tapi dia buru-buru tersenyum dan berujar. "Se-

kadar ingin tahu tak ada salahnya bukan, Kek?!"

"Hem.... Anak Muda. Pada beberapa puluh ta-

hun silam, nama Kampung Setan memang dikenal 

orang. Namun hingga sekarang, tidak seorang pun 

yang bisa tunjukkan di mana beradanya kampung itu. 

Hingga siapa pun pasti ragu akan kebenaran adanya 

Kampung Setan!"

"Tapi Kembang Darah Setan benar-benar ada, 

bukan?!" tanya Joko.

"Menurut beberapa orang memang ada. Tapi 

aku tidak pernah melihatnya...."

"Lalu bagaimana kau bisa mengatakan kalau 

Kembang Darah Setan saat ini telah dimiliki seorang 

pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131?!"

"Anak muda. Kembang Darah Setan adalah 

benda yang ada hubungannya dengan dunia persila-

tan. Benda macam begitu akan selalu menjadi incaran 

orang. Ke mana dan di mana pun beradanya, pasti 

akan segera menyebar!"

"Heran.... Bagaimana bisa?!" gumam Joko tak 

habis pikir.

"Anak muda. Kau rupanya sudah tertular uca-

pan Datuk Wahing. Selalu heran.... Apa yang mem-

buatmu heran?!"

Joko sedikit tersentak. Lalu geleng-geleng kepa-

la. "Kek. Turuti ucapanmu, aku harus cepat pergi dari 

sini.... Sebelumnya kuucapkan terima kasih atas se-

mua keterangan mu...." Joko bungkukkan sedikit tu-

buhnya. Lalu berkelebat tinggalkan Kiai Laras.

Kiai Laras sunggingkan senyum tanpa berkata 

apa-apa lagi. Begitu dilihatnya sosok murid Pendeta


Sinting lenyap, Kiai Laras balikkan tubuh. "Di sekitar 

tempat ini hanya ada satu sendang. Kalaupun dia 

mengejar pemuda itu tadi, aku dapat menduga di ma-

na dia akan lewat...." Sekali membuat gerakan, sosok 

Kiai Laras telah melesat kencang.

*

* *

Nenek Dayang Sepuh tiba-tiba hentikan lang-

kahnya. Tanpa berpaling atau membuat gerakan lain, 

dia buka mulut.

"Cucu.... Kaukah itu?! Mengapa kau sembunyi?

Bukankah sudah kukatakan suara alam men-

gatakan aku ada jodoh dengan kakekmu?!"

Seorang pemuda berambut panjang acak-

acakan diikat dengan ikat kepala warna putih yang 

duduk mendekam hanya sejarak sepuluh langkah dari 

tempat tegaknya Dayang Sepuh kerutkan dahi. Namun 

belum sempat dia berpikir, Dayang Sepuh telah buka 

mulut lagi.

"Cucu.... Daripada main petak umpet, bukan-

kah lebih baik kita teruskan perjalanan mencari ka-

kekmu?!"

Meski tahu kalau dirinya yang dimaksud, na-

mun si pemuda yang mendekam tak juga menyahut 

atau membuat gerakan memberi isyarat keberadaan-

nya.

Di lain pihak, karena tahu siapa adanya orang 

yang mendekam dan tak mau buka mulut, si nenek 

mulai geram. Dia angkat bicara lagi. Tapi suaranya ke-

ras membahana.

"Kalau kau tidak juga keluar...."

Ucapan Dayang Sepuh belum selesai, terdengar


suara tertawa. Lalu satu sosok tubuh berkelebat dari 

balik pohon dan tegak tidak jauh dari hadapan si ne-

nek.

"Nek.... Bukan maksudku meninggalkanmu. 

Aku tadi tertarik pada sesuatu. Aku mengejarnya sam-

pai di sini...," kata orang yang tegak di hadapan 

Dayang Sepuh. Seorang pemuda yang kalau orang 

pernah berjumpa dengan murid Pendeta Sinting, maka 

ia pasti tak akan bisa membedakan.

Dayang Sepuh diam mendengarkan dengan 

seksama. Namun sebenarnya orang tua ini bukan me-

nyimak ucapan orang, melainkan perhatikan pemuda 

yang tegak di hadapannya.

"Apa yang menarik hatimu, Cucu...?! Seorang 

gadis...?!"

Yang ditanya tidak segera menjawab. Bukan 

karena sedang cari alasan untuk jawab pertanyaan 

orang, melainkan coba menduga-duga arti pandangan 

Dayang Sepuh. "Apakah dia tahu aku bukan yang asli? 

Atau ada yang salah dengan diriku?!" Diam-diam si 

pemuda yang menyamar sebagai Joko Sableng ber-

tanya sendiri dalam hati. Lalu melirik anggota tubuh-

nya sendiri.

Mendadak Dayang Sepuh tertawa bergelak. 

"Aneh.... Kau kutanya apa yang menarik hatimu hing-

ga kau meninggalkan ku, tapi kau melihat pada dirimu 

sendiri! Apa yang menarik pada dirimu, Cucu...?! Kau 

tampan benar. Kau disukai gadis-gadis tidak bisa dis-

angkal. Tapi di depan mataku, kau bukan apa-apa! 

Kau dengar itu?!"

Joko tergagu diam. Dia kini pandangi Dayang 

Sepuh dengan paras berubah. Sebaliknya yang dipan-

dang ambil kepangan rambutnya, sementara tangan 

satunya menata poni di depan keningnya. Saat bersamaan, dia berkata. Suaranya ketus.

"Semula aku ingin mengajak mu cepat-cepat 

mencari kakekmu. Tapi suara alam mengatakan aku 

harus pergi dari sini!"

"Nek...."

Dayang Sepuh sentakkan kepangan rambut di 

tangannya ke belakang. Terdengar deruan. Lalu se-

rangkum angin menghampar ke arah Joko. Seolah su-

dah menangkap gelagat, Joko buru-buru melompat se-

belum rangkuman angin melesat.

"Nek.... Apa sebenarnya maksudmu?!" teriak 

Joko.

"Kau yang harus jawab tanya ku! Bukan kau 

yang bertanya!" hardik Dayang Sepuh. Sepasang mata 

nenek ini mendelik angker. Lalu lanjutkan hardikan-

nya. "Mengapa bau mu lain? Apa yang telah kau kerja-

kan, hah?"

"Nek...."

"Diam!" tukas Dayang Sepuh. "Jawab perta-

nyaan ku! Jangan hanya panggil Nak! Nek! Nak! Nek!"

"Aku tak mengerjakan apa-apa...."

"Jangan berani berdusta padaku! Aku mencium 

bau lain di tubuhmu!"

Air muka lelaki yang menyamar sebagai Joko 

berubah tegang. Namun cuma sekejap. Saat lain pe-

muda ini telah tertawa. "Kau ini aneh, Nek! Bau apa 

yang kau katakan lain dalam tubuhku?!"

"Aku tanya padamu. Kau sedang jatuh cinta?!" 

tanya Dayang Sepuh.

Joko tertawa bergelak meski dahinya sempat 

berkerut. Tapi dia segera putuskan gelakan tawanya 

tatkala dilihatnya si nenek mendongak lalu memben-

tak. "Jangan tertawa bekakakan! Jawab tanya ku tadi!"

"Nek! Aku memang laki-laki. Dan di sini pun


ada perempuan. Tapi apakah mungkin dan pantas aku 

jatuh cinta?!"

"Hem.... Apakah kau tadi mengejar seorang ga-

dis?!"

"Mana mungkin di tempat begini ada seorang 

gadis?!"

Dayang Sepuh arahkan pandangan ke jurusan 

lain. Dengan sedikit tengadahkan kepala dia berucap. 

"Kau mengatakan tidak sedang jatuh cinta. Kau juga 

mengatakan tidak mengejar seorang gadis. Aku seka-

rang tanya. Untuk apa kembang itu kau bawa-bawa?!"

Saking kagetnya, lelaki itu sempat surutkan 

langkah satu tindak. Sepasang matanya memandang 

tajam ke arah Dayang Sepuh dengan mulut terkancing 

rapat. Dayang Sepuh sendiri tampak terus tengadah 

diam seolah menunggu jawaban orang.

"Nek...," kata Joko palsu setelah agak lama ber-

diam diri. "Aku tadi tertarik pada sekuntum bunga. La-

lu aku memetiknya. Apakah ini kau anggap salah?! 

Apa orang yang sedang jatuh cinta atau sedang menge-

jar gadis saja yang boleh membawa kembang?!"

"Aku tak akan jawab pertanyaanmu! Aku hanya 

ingin memastikan kalau kau membawa kembang! Dan 

kau telah menjawabnya!" Dayang Sepuh arahkan pan-

dangan matanya pada Joko. Lalu bertanya.

"Kau masih ingin pergi bersama denganku?!"

"Kalau kau tidak keberatan!"

"Baik. Aku urungkan niat harus pergi dari sini 

walau itu suara alam yang mengatakannya. Tapi aku 

tidak mau pergi dengan orang muda yang bau kakek-

kakek sepertimu! Kau lihat.... Aku sudah segar habis 

mandi! Air sendang tidak jauh dari sini.... Sebelum kita 

pergi bersama-sama, kau harus mandi dahulu! Biar 

kau tidak bau kakek-kakek!"


Kali ini Joko palsu tidak dapat lagi sembunyi-

kan keterkejutannya. Namun dalam keadaan seperti 

itu, si pemuda masih cepat berpikir Dia segera balik-

kan tubuh lalu melangkah ke arah sendang sambil 

berkata.

"Kalau hanya itu kemauanmu, aku tak kebera-

tan melakukannya. Lagi pula aku sudah ingin man-

di...."

"Senang aku mendengarnya...," ujar Dayang 

Sepuh seraya ikut melangkah di belakang Joko, mem-

buat Joko hentikan langkah dan berkata.

"Kau hendak ke mana, Nek?!"

"Aku sampai di sini tadi terus mandi. Sekarang 

sambil menunggu kau mandi, aku ingin lihat peman-

dangan sendang itu!"

"Ah.... Bagaimana aku bisa mandi kalau kau 

melihat?!"

"Aku bukan ingin melihatmu mandi. Aku hanya 

ingin melihat pemandangan sendang. Apa keinginanku 

ini kau anggap salah?!"

"Dari sikap dan dandanan mu, aku tidak per-

caya kalau kau hanya ingin melihat pemandangan 

sendang! Kau pasti ingin melihatku mandi! Aku tak 

akan mandi kalau kau tidak menunggu jauh!"

Dayang Sepuh tertawa. "Kalau hanya itu kein-

ginan mu, aku tak keberatan memenuhinya! Lagi pula 

apa untungnya melihat kakek-kakek telanjang bulat?! 

Hik.... Hik.... Hik...!"

Joko palsu tidak acuhkan ucapan si nenek. Se-

telah melirik sekilas, dia berkelebat cepat ke arah sen-

dang. Di lain pihak, begitu Joko melesat, Dayang Se-

puh balikkan tubuh lalu sambil perdengarkan tawa 

mengekeh panjang, dia berkelebat tinggalkan tempat 

itu.


Rupanya Joko palsu tidak melesat menuju sen-

dang, pemuda itu berputar di satu tempat lalu berlari 

kembali ke arah semula dengan mengambil jalan lain. 

Namun dia tersentak tatkala sampai di tempat mana 

Dayang Sepuh tadi berada, ternyata dia sudah tidak 

melihat si nenek. Bahkan setelah dia berputar di seki-

tar tempat itu hingga beberapa kali!

*

* *

ENAM



SOSOK tubuh itu berlari tidak begitu cepat. 

Namun dalam beberapa saat saja sosoknya sudah jauh 

melesat ke depan sana. Pada satu tempat yang cukup 

tinggi di sebuah lembah si sosok hentikan larinya. Dia 

adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya pu-

tih sebatas bahu. Kumis dan jenggotnya panjang juga 

berwarna putih. Sepasang matanya agak besar dan 

sayu. Pada kedua cuping hidungnya tampak melingkar 

anting-anting dari benang berwarna merah. Kakek ini 

tidak lain adalah Kiai Lidah Wetan. Kakak kandung 

Kiai Laras.

Si kakek sejurus gerakkan kepala berputar. La-

lu kepalanya terhenti saat pandang matanya menang-

kap satu sosok tubuh yang duduk bersila dengan ke-

dua tangan merangkap di dada dan sepasang mata 

terpejam rapat.

Kiai Lidah Wetan memandang berlama-lama. 

Dia tahu, meski sosok yang duduk bersila tampak pe-

jamkan sepasang matanya dan diam tak bergerak, ma-

lah seolah tidak tahu akan kemunculan orang, tapi sebenarnya sosok itu telah mengetahui kedatangannya.

Sosok yang duduk bersila adalah seorang pe-

rempuan tidak muda lagi namun wajahnya masih 

bayangkan kecantikan. Jelas pertanda saat mudanya 

perempuan ini adalah seorang gadis berparas cantik 

jelita. Rambutnya sudah berwarna dua.

"Kau hanya sia-siakan umur kalau tetap pada 

pendirianmu, Lasmini!" Tiba-tiba Kiai Lidah Wetan bu-

ka mulut. Saat bersamaan dia melompat. Dan tahu-

tahu telah tegak empat langkah di hadapan perem-

puan yang baru saja dipanggilnya Lasmini.

Si perempuan perlahan-lahan buka kelopak 

matanya. Memandang sejurus pada Kiai Lidah Wetan 

tanpa sunggingkan senyum. Malah si perempuan 

hanya sekejap saja memandang. Saat lain dia arahkan 

pandang matanya ke jurusan lain. Dia menghela napas 

panjang. Dan pandang matanya, jelas orang mudah 

menduga kalau perempuan ini sedang mengalami te-

kanan batin luar biasa. Dan sikapnya yang duduk ber-

sila dengan kedua tangan merangkap di depan dada 

bukannya untuk bersemadi, melainkan sedang tengge-

lam pada pikirannya sendiri!

"Lasmini...." Kiai Lidah Wetan kembali angkat 

bicara saat ditunggu agak lama si perempuan tidak ju-

ga buka suara. "Aku rela menerima kehadiranmu 

kembali meski kalau ingat masa lalu itu rasanya sulit 

dan tak kupercaya aku bisa melakukannya.... Tapi 

mengingat keadaanmu juga kisah-kisah kita dahulu, 

bagaimanapun juga kuakui aku masih tetap me-

nyayangi dan membutuhkan kehadiranmu.... Tapi apa-

lah arti semua itu kalau kau tetap tidak bisa melupa-

kan duka derita dan penyesalan mu. Selama ini kau 

hanya tenggelam dengan pikiranmu sendiri tanpa me-

mandang sebelah mata padaku!"


Kiai Lidah Wetan menghela napas dengan hen-

tikan ucapannya. Sepasang matanya menatap tajam

pada si perempuan. Namun yang dipandang belum ju-

ga membuka mulut. Malah dia masih arahkan pan-

dangannya ke jurusan lain.

"Lasmini.... Sampai kapan semua ini berlang-

sung? Sampai kapan kau mau buka mulut dan kita bi-

sa bicara sebagaimana dahulu?! Rasanya sudah cukup 

kesabaranku untuk menunggu...."

"Kiai Lidah Wetan!" Si perempuan yang dipang-

gil Lasmini tiba-tiba angkat bicara. "Kalau kau masih 

tidak mau menerima kehadiranku dalam keadaan be-

gini, aku tak keberatan tinggalkan tempat ini!"

Kiai Lidah Wetan buru-buru melangkah maju 

seraya berucap. "Kau selalu salah sangka dengan uca-

panku, Lasmini! Bagaimanapun keadaanmu aku akan 

rela menerimanya! Berapa pun waktu yang kau ha-

biskan tanpa acuhkan kedatanganku, aku akan sabar 

menunggu! Hanya saja, bukankah akan lebih baik ka-

lau kita bisa bicara seperti waktu-waktu kita muda 

dahulu?! Kau kecewa dan sakit hati, aku tahu! Tapi 

apakah rasa kecewa dan sakit hatimu akan selesai

dengan sikapmu sekarang ini?! Tidak, Lasmini! Pera-

saan kecewa dan sakit hatimu akan makin dalam ka-

lau kau terus menerus tenggelam pada pikiranmu tan-

pa melakukan apa-apa untuk menghapuskannya! Dan 

aku berkali-kali telah mengatakan padamu, aku berse-

dia bahkan rela mati untuk membantumu memba-

laskan rasa kecewa dan sakit hatimu! Karena kecewa-

mu adalah kecewa ku! Kau merasakan sakit hati, aku 

pun merasakannya! Tapi bagiku lebih menyakitkan la-

gi kalau kau tidak berbuat apa-apa padahal aku telah 

berusaha memulainya...."

Untuk pertama kalinya Lasmini sunggingkan


senyum. "Terima kasih kau selalu perhatikan diriku, 

Kiai.... Tapi rasanya saat ini masih sulit bagiku menen-

tukan langkah apa sebaiknya yang harus kulakukan! 

Aku minta maaf kalau selama ini tidak acuhkan keda-

tangan mu. Kau jangan salah duga... Terus terang aku 

berada di persimpangan jalan yang sukar menentukan 

arah mana sebaiknya yang harus kutempuh...."

Paras wajah Kiai Lidah Wetan tampak bersinar 

mendengar Lasmini sudah mulai buka suara. Padahal 

saat kehadirannya hingga sekarang, perempuan itu ti-

dak mudah untuk diajak bicara. Kalaupun mau angkat 

suara, itu hanya seperlunya saja dan sepertinya eng-

gan. Dia seakan senang tenggelam dalam pikirannya 

sendiri.

"Lasmini.... Kau sulit menentukan jalan mana 

yang harus kau tempuh, karena selama ini kau hanya 

diam. Seandainya sejak semula kau mau diajak bicara, 

pasti saat ini kau telah mendapatkan jalan itu! Tapi 

semuanya belum terlambat.... Demi kasih sayang ku 

padamu, aku dengan senang hati akan membantu-

mu...."

Lasmini arahkan pandangannya pada Kiai Li-

dah Wetan. Kedua orang ini untuk beberapa lama sal-

ing berpandangan. "Kau bersungguh-sungguh, 

Kiai...?!"

Kiai Lidah Wetan tertawa perlahan. "Jadi sela-

ma ini kau diam saja karena belum percaya padaku?!"

"Kau tahu, Kiai.... Semua rencana hidupku 

hancur gara-gara ulah seorang laki-laki!. Harap kau 

maklum kalau aku sekarang tidak mudah untuk per-

caya pada ucapan laki-laki...."

Kembali Kiai Lidah Wetan tertawa mendengar 

ucapan Lasmini. Sambil alihkan pandangan, orang tua 

ini berkata. "Ucapanmu menandakan kau masih saja


menganggapku sama dengan Panjer Wengi!"

"Harap kau jangan sebut-sebut nama itu lagi!" 

Lasmini cepat menyahut.

Kiai Lidah Wetan gelengkan kepala. "Aku harus 

menyebutnya meski aku tahu sekarang kau tak suka! 

Karena aku bukanlah Panjer Wengi! Manusia yang te-

lah menyakiti dan mengecewakan mu! Bahkan aku re-

la menerimamu kembali meski aku tahu kau telah 

membuatku kecewa dan sakit hati! Apakah hal itu ma-

sih juga membuatmu tak percaya?! Bagi laki-laki lain 

mungkin mereka menganggapku bodoh, karena masih 

mau menerima orang yang menyakiti. Tapi itu bukan 

ukuran bagiku, Lasmini...."

Ucapan Kiai Lidah Wetan membuat Lasmini 

terdiam. Dia sadar, apa yang baru saja dikatakan Kiai 

Lidah Wetan benar adanya. Mereka berdua pernah 

menjalin cinta pada masa dahulu. Namun pada satu 

saat, muncullah seorang pemuda bernama Panjer 

Wengi. Pemuda mana yang pada akhirnya membuat 

hati Lasmini berpaling dari Kiai Lidah Wetan.

Tapi akhirnya Lasmini harus menelan kecewa. 

Karena ternyata sebelum ini Panjer Wengi telah punya 

seorang kekasih. Dan rupanya Panjer Wengi tidak bisa 

melupakan kekasihnya itu. Hingga meski antara Las-

mini dan Panjer Wengi telah dikaruniai seorang anak 

perempuan, Panjer Wengi tak bisa melupakan keka-

sihnya. Sebagai seorang perempuan, Lasmini tak mau 

di duakan. Sebagai pelarian, dia pergi begitu saja den-

gan harapan Panjer Wengi akan sadar. Namun hal ini 

malah menjadi bumerang. Hubungan Panjer Wengi 

dengan kekasihnya makin akrab. Dan pada puncak-

nya, akhirnya Lasmini mendengar Panjer Wengi telah 

mempunyai anak perempuan dengan kekasihnya itu. 

Yang lebih menyakitkan lagi, ternyata perkawinan di


rinya dengan Panjer Wengi hanya karena Panjer Wengi 

sungkan terhadap ayahnya yang bukan lain adalah 

guru Panjer Wengi sendiri.

Sakit hati Lasmini membuat perempuan ini 

menaruh dendam berkarat. Dia berusaha mencari ja-

lan untuk membalas sakit hatinya. Terakhir kali Las-

mini menyamar sebagai Tengkorak Berdarah yang saat 

itu rimba persilatan digemparkan dengan terbukanya 

Istana Hantu. (Baca serial Joko Sableng dalam episode 

: "Misteri Tengkorak Berdarah"). Namun usaha Lasmini 

yang menyamar sebagai Tengkorak Berdarah akhirnya 

juga harus menemui kegagalan.

Lebih menyakitkan lagi, ternyata penghuni Is-

tana Hantu itu sendiri adalah Panjer Wengi. Dan orang 

yang membuka penyamarannya adalah bekas kekasih 

Panjer Wengi. Hanya saja Lasmini sedikit merasa lega, 

karena saat terjadi kegegeran di depan Istana Hantu, 

dia berhasil mengetahui siapa anaknya yang selama ini 

ditinggalkan. Namun ada pula yang membuat hatinya 

geram. Kitab Sundrik Cakra yang telah berhasil di-

genggam akhirnya harus jatuh lagi ke tangan pemuda 

yang akhirnya diketahui bergelar Pendekar Pedang 

Tumpul 131 Joko Sableng!

Pada puncak kecewa dan geramnya, akhirnya 

Lasmini pergi menemui Kiai Lidah Wetan. Entah apa 

tujuan perempuan ini menemui Kiai Lidah Wetan, yang 

jelas dengan senang hati Kiai Lidah Wetan meneri-

manya meski Lasmini datang dengan keadaan masih 

tenggelam dalam pikirannya sendiri akibat beberapa 

kejadian beruntun yang membuat hatinya makin ke-

cewa dan sakit hati. (Untuk lebih jelasnya mengenai 

perjalanan hidup Lasmini, baca serial Joko Sableng 

dari episode: "Gerbang Istana Hantu" sampai dengan 

episode : "Misteri Tengkorak Berdarah").


Lasmini perlahan-lahan bergerak bangkit. 

"Kiai.... Maafkan kalau selama ini aku selalu menyaki-

timu...."

Kiai Lidah Wetan gelengkan kepala. "Tidak ada 

yang perlu dimaafkan, Lasmini.... Dengan kedatangan 

mu kembali, sudah cukup rasanya sebagai obat hati 

ini! Hanya yang kuminta darimu, kau harus dapat me-

lupakan semua yang telah terjadi. Kita mulai hari ba-

ru...."

"Kiai.... Rasanya sulit bagiku melupakan keja-

dian yang telah berlalu sebelum...."

"Aku tahu!" Kiai Lidah Wetan sudah menukas 

sebelum Lasmini teruskan ucapannya. "Dan kau telah 

dengar sendiri dari mulutku. Aku akan membantumu! 

Bahkan sekarang aku sudah mulai...."

"Apa yang sudah kau mulai, Kiai...."

"Beberapa waktu yang lalu, saat penantian Ma-

ladewa telah berakhir! Dia berhasil dikeluarkan dari 

Kampung Setan tanpa Kembang Darah Setan, senjata 

dahsyat pusakanya! Saat ini Maladewa sudah mulai 

melangkah dengan gelaran baru Setan Liang Makam! 

Dan tujuan pastinya adalah membunuh Pendekar 131 

beserta gurunya si Pendeta Sinting!"

Lasmini kerutkan dahi. "Bagaimana bisa begitu, 

Kiai?!"

"Dengan satu muslihat yang ku atur, kini ter-

sebar kalau pemegang Kembang Darah Setan adalah 

Pendekar 131!"

"Tapi aku telah bertekad untuk membunuh 

pemuda itu dengan tanganku sendiri!"

Kiai Lidah Wetan tertawa pendek. "Itu nanti 

mudah diatur. Dan pada puncaknya selain kita dapat 

memiliki senjata dahsyat itu, kau akan dapat memba-

las sakit hatimu pada orang yang kau kehendaki!"


"Tapi bukankah kau pernah menyinggung ka-

lau Kembang Darah Setan masih memiliki rahasia lagi 

di baliknya?!"

"Betul! Dan hal itu sudah ku atur juga! Kita 

tinggal menunggu waktu! Kau diam-diamlah di sini 

sambil menunggu saat yang tepat!"

Mendengar ucapan Kiai Lidah Wetan, kini ganti 

Lasmini yang perdengarkan suara tawa. "Kau ini ba-

gaimana, Kiai. Tadi kau bilang aku harus lakukan se-

suatu. Sekarang kau mengatakan aku tinggal menung-

gu saja!"

"Lasmini.... Sejak kedatanganmu kembali, terus 

terang saja aku takut kehilangan dirimu lagi.... Jadi 

biarlah urusan ini aku yang mengaturnya! Kau tinggal 

menunggu waktu yang tepat...."

"Tidak, Kiai.... Bagaimana mungkin aku bisa 

berpangku tangan kalau kau menghadapi sesuatu 

yang berbahaya? Kerelaan hatimu yang mau menerima 

kehadiranku kembali tidak layak kalau harus kubalas 

dengan berdiam diri menunggu! Apalagi urusannya 

masih berkaitan dengan dendam ku! Aku harus ikut 

terlibat! Kau tahu, tanganku sendiri kelak yang harus 

mencabut nyawa manusia-manusia yang sakiti hati-

ku!"

"Kesediaanmu kuhargai, Lasmini. Tapi terus te-

rang saja aku khawatir...."

"Apa yang kau khawatirkan? Aku masih punya 

kekuatan! Atau kau takut hubungan kita ini diketahui 

orang lain?!"

"Aku tidak takut meski seluruh dataran tanah 

Jawa tahu hubungan kita! Namun, perlu kau ketahui, 

apa yang sedang kulakukan adalah benar-benar raha-

sia! Bahkan orang harus tidak tahu bahwa akulah di 

belakang semua ini! Untuk itu sementara ini aku harus tidak menjadi buah bibir orang!"

"Jadi, kau bermaksud hubungan kita ini dila-

kukan secara sembunyi-sembunyi?!"

"Itu bukan maksud, Lasmini. Ini hanya salah 

satu jalan.... Semua orang saat ini mungkin masih in-

gat akan kejadian di Istana Hantu. Kalau saat ini kita 

muncul bersama-sama, sedikit banyak orang akan 

menaruh curiga. Dan hal itu akan menghambat renca-

na yang telah ku atur!"

"Hem.... Lalu apa yang harus kulakukan?! Aku 

tidak bisa berpangku tangan hanya menunggu!"

"Kalau kau ingin terlibat, itu pun harus secara 

diam-diam. Dan jangan sampai hubungan kita ini ter-

cium orang lain! Lagi pula kita harus bertindak sangat 

hati-hati. Orang yang kita hadapi saat ini bukan tokoh-

tokoh sembarangan! Dan aku yakin tak berapa lama 

lagi akan muncul beberapa tokoh yang selama ini tidak 

terdengar kabar beritanya!" Kiai Lidah Wetan meman-

dang pada Lasmini. 

"Lasmini.... Sebenarnya aku mengharap kau ti-

dak ikut terlibat dalam urusan ini.... Aku takut kita 

akan berpisah lagi.... Kau tahu, sejak kehadiranmu, 

aku ingin putaran hari-hari ini segera berlalu dengan 

cepat dan urusan selesai. Setelah itu kita akan hidup 

bahagia berdua..."

Ucapan Kiai Lidah Wetan seakan merupakan 

hujan di waktu kemarau panjang di hati Lasmini. Tan-

pa sadar, perempuan ini menubruk sosok Kiai Lidah 

Wetan seraya lingkarkan kedua tangannya. Mungkin 

tenggelam dalam perasaan suka dan duka, hingga un-

tuk beberapa lama Lasmini tak kuasa untuk angkat 

bicara.

Kiai Lidah Wetan mengelus punggung Lasmini. 

"Kau tahu, Lasmini.... Aku seakan belum percaya den


gan semua ini! Dan aku takut semua ini akan berlalu

begitu saja....

"Kiai.... Tahu begini besar rasa cinta mu pada-

ku, menyesal aku dahulu meninggalkanmu! Dan seba-

gai tebusan atas penyesalan ini, aku akan lakukan apa 

saja untukmu, untuk kebahagiaan kita...."

"Tapi itu butuh pengorbanan, Lasmini...."

"Pengorbanan apa pun akan kulakukan, 

Kiai...," bisik Lasmini sambil rebahkan kepala dan 

eratkan pelukannya. "Tapi itu kita bicarakan nanti. 

Aku sekarang ingin meyakinkanmu bahwa semua ini 

benar-benar nyata dan...."

Ucapan Lasmini tidak berlanjut, karena saat itu 

Kiai Lidah Wetan telah tarik kedua bahu si perempuan 

hingga kepalanya menjauh dari dadanya. Sesaat kedua 

orang ini saling berpandangan. Saat lain wajah Kiai Li-

dah Wetan telah bergerak merapat, dan tidak lama 

kemudian keduanya sudah tenggelam dalam ciuman-

ciuman dan pelukan erat.

*

* *

TUJUH



DEWI Seribu Bunga hentikan langkahnya 

tatkala telinganya mendengar suara dengkuran. Gadis 

berwajah cantik ini sejenak terlihat bimbang. Hingga 

meski telah hentikan langkah, tapi belum juga kepa-

lanya bergerak berpaling untuk mengetahui siapa 

adanya orang yang tidur mendengkur di siang bolong 

itu.

Saat itu suasana memang sangat panas. Se

mentara tempat di mana Dewi Seribu Bunga berada 

banyak ditumbuhi kerapatan pohon berdaun rindang, 

hingga tempat itu terasa sejuk dan tak heran orang 

akan segera terlelap jika istirahat di sekitar tempat itu. 

Namun suasana sejuk itu tidak membuat Dewi Seribu 

Bunga ingin istirahat apalagi tidur. Dia masih tidak bi-

sa melupakan peristiwa yang dialaminya.

"Orang yang selama ini ku rindukan telah ke-

cewakan hatiku! Lebih baik aku pulang menemui 

Guru.... Tapi, apakah hal itu tidak akan menambah 

kekalutan hatiku...? Ah...." Tanpa sengaja Dewi Seribu 

Bunga berpaling ke arah suara dengkuran.

Sesaat sepasang mata si gadis yang masih tam-

pak agak sembab ini menyipit. Dahinya berkerut. Lalu 

saat lain sepasang matanya membesar. Saat bersa-

maan dia bergerak, dan tahu-tahu sosoknya telah te-

gak dua belas langkah dari orang yang mendengkur ti-

dak jauh dari sebuah pohon besar.

Mendadak sepasang bola mata Dewi Seribu 

Bunga mendelik. Sosoknya bergetar keras dengan ke-

dua kaki tegak laksana di pacak!

"Pendekar 131!" desis Dewi Seribu Bunga tatka-

la matanya mengenali siapa adanya orang yang tidur 

mendengkur.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?! Mem-

bunuhnya?! Atau membiarkan dia hidup dengan men-

gambil korban-korban lain?!" Dewi Seribu Bunga di-

landa kebimbangan karena dia sama sekali tidak men-

duga.

Sementara orang yang perdengarkan suara 

dengkuran dan bukan lain memang murid Pendeta 

Sinting sesaat tampak menggeliat. Tapi kejap lain su-

dah diam kembali dengan dengkuran makin keras.

Dewi Seribu Bunga melangkah maju dengan


sosok makin bergetar. Sepasang matanya memandang 

tak berkesip. Gadis ini hentikan gerakan kakinya seja-

rak lima langkah dari Pendeta Sinting. Dadanya tam-

pak turun naik.

"Aku menyayanginya.... Tapi kalau dia mau me-

rusak ku apa artinya?! Laki-laki macam dia memang 

pantas mampus!" Dewi Seribu Bunga angkat kedua 

tangannya. Tapi begitu kedua tangannya berada di 

atas kepala dan slap lepaskan pukulan, gadis ini kem-

bali di landa kebimbangan. "Apa dengan mampusnya 

dia hatiku jadi tenteram?! Apa dengan matinya dia di 

tanganku, aku akan merasa puas?! Tapi.... Ah, aku tak 

bisa melakukannya...! Aku tak bisa dustai diriku sen-

diri kalau aku masih mendambakannya!"

Dewi Seribu Bunga gigit bibirnya sendiri. Sete-

lah berlama-lama memandang, entah karena tak kua-

sa menahan diri, Dewi Seribu Bunga turunkan kedua 

tangannya lalu balikkan tubuh dan berlari tinggalkan 

tempat itu dengan mata menitikkan air mata.

Saat itulah murid Pendeta Sinting buka kelopak

matanya karena lamat-lamat telinganya mendengar 

suara isakan tangis. Dan saat dia memandang ke de-

pan, matanya langsung membesar. Dahinya menger-

nyit. Karena saat itu Dewi Seribu Bunga sudah me-

langkah agak jauh, Joko tidak bisa mengenali raut 

muka si gadis. Namun ketika teringat akan keterangan 

Kiai Laras, yang mengatakan pernah melihat dirinya 

dengan seorang gadis berpakaian warna merah dan 

rambut dikuncir tinggi, Joko segera bangkit.

"Ciri-ciri yang dikatakan orang tua itu ada pada 

gadis itu! Sikapnya mencurigakan...." Tanpa pikir pan-

jang lagi, Joko segera berteriak.

"Hai. Tunggu!"

Mendengar teriakan orang, Dewi Seribu Bunga


bukannya hentikan langkahnya, sebaliknya berkelebat 

makin cepat.

"Aneh.... Dari gerakan bahu dan suaranya, jelas 

kalau dia sedang menangis. Apa yang ditangisi?!" Joko 

palingkan kepala ke kanan kiri. Dia tidak melihat sia-

pa-siapa. "Beberapa hari ini aku selalu bertemu den-

gan orang tua-tua. Kali ini ada seorang gadis. Tentu 

lebih asyik dengannya meski belum kuketahui wajah-

nya!"

Pendekar 131 cepat berkelebat mengejar. Dan 

tahu kalau dirinya dikejar, Dewi Seribu Bunga makin 

percepat larinya. Namun setelah agak lama saling ke-

jar-kejaran, akhirnya Dewi Seribu Bunga hentikan la-

rinya dengan menggumam sendiri dalam hati.

"Kalau dia hendak lakukan apa yang pernah 

diperbuatnya tempo hari, aku tak segan membunuh-

nya!"

Dewi Seribu Bunga berhenti dengan kedua tan-

gan diangkat ke atas. Dan saat merasakan orang su-

dah tegak di belakangnya, dia segera buka mulut 

membentak.

"Jangan coba-coba mendekat! Dan jangan kira 

aku tak tega membunuhmu!"

Joko celingukan memandang ke kanan kiri. 

"Dia bicara dengan siapa?!" katanya dalam hati. Lalu 

dengan bibir sunggingkan senyum dan seolah tak hi-

raukan ancaman orang, murid Pendeta Sinting me-

langkah mendekat.

"Jangan bergerak dari tempatmu! Atau kau in-

gin buktikan bahwa aku tega membunuhmu?!"

"Ah.... Kau rupanya suka bercanda...," ujar Jo-

ko dengan hentikan langkah.

Dewi Seribu Bunga perdengarkan dengusan ke-

ras. "Siapa bercanda?! Majulah kalau kau ingin bukti


kan!"

"Hai.... Ada apa ini?! Kau mengancamku.... Pa-

dahal aku belum...."

"Belum apa?! Belum puas dan hendak lakukan 

sekali lagi?! Kau memang pantas dibunuh!" Habis ber-

kata begitu, Dewi Seribu Bunga balikkan tubuh.

Sepasang mata murid Pendeta Sinting terpen-

tang besar. "Dewi Seribu Bunga...." Joko sunggingkan 

senyum lebar lalu laksana terbang dia meloncat.

Tapi Dewi Seribu Bunga sudah hantamkan ke-

dua tangannya. Hingga bukan saja membuat gerakan 

murid Pendeta Sinting tertahan, namun dengan pon-

tang-panting dia harus melompat selamatkan diri dari 

gelombang dahsyat yang melesat keluar dari hantaman 

kedua tangan Dewi Seribu Bunga.

"Dewi.... Ini aku, Joko! Joko Sableng!" kata Jo-

ko dengan arahkan telunjuk pada dirinya sendiri.

Dewi Seribu Bunga kancingkan mulut tidak 

menyahut. Hanya sepasang matanya yang menyengat 

tajam. Sementara di sebarang sana, murid Pendeta 

Sinting sudah tersenyum lalu buka mulut sambil me-

langkah hendak mendekat.

"Bagaimana kabarmu, Dewi.... Tidak disangka-

sangka kalau di tempat ini kita bisa berjumpa...."

Dewi Seribu Bunga masih kancingkan mulut. 

Kalaupun sesaat kemudian dia angkat bicara, dia 

langsung membentak.

"Aku tahu kau Joko Sableng, pemuda murid 

Pendeta Sinting bergelar Pendekar Pedang Tumpul 

131! Tapi kalau kau teruskan langkah, aku akan tetap 

membunuhmu!"

"Dewi.... Ada apa ini?! Apa sebenarnya yang ter-

jadi?! Kau jangan membuat hatiku deg-degan tak ka-

ruan...! Dan kalau bercanda jangan yang aneh


aneh...."

Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, De-

wi Seribu Bunga tertawa pendek. Seraya menatap din-

gin dia berkata.

"Jangan banyak basa-basi, Pendekar 131! Ka-

takan saja sekarang apa maumu!"

"Nada ucapannya seperti tidak main-main! Ada 

apa sebenarnya ini?! Apa aku memang sudah ditakdir-

kan harus menemui yang aneh-aneh selalu?! Kalau 

beberapa orang yang lalu aku masih sedikit maklum 

meski tetap bingung. Tapi yang ini aku benar-benar 

tak bisa mengerti sama sekali! Atau barangkali gadis 

ini bukan Dewi Seribu Bunga...?!"

Berpikir sampai ke sana, meski dengan dada 

bertanya-tanya, murid Pendeta Sinting enak saja ber-

tanya.

"Kau Dewi Seribu Bunga, bukan?!"

Yang ditanya tidak menjawab. Malah sepasang 

matanya makin mendelik, membuat Joko mulai yakin 

kalau gadis di hadapannya tidak sedang bercanda.

"Baik! Meski kau bukan Dewi Seribu Bunga, 

tapi di hadapanku kau tetap Dewi Seribu Bunga. Seka-

rang tolong katakan padaku, apa arti semua ini!"

Merasa Joko bercanda dan seolah tidak menye-

sali apa yang telah dilakukannya, Dewi Seribu Bunga 

tidak dapat menahan gejolak amarahnya. Dengan ang-

kat kedua tangannya tinggi-tinggi, dia membentak ga-

rang.

"Aku memberimu waktu untuk segera tinggal-

kan tempat ini!"

"Dewi! Kau bersungguh-sungguh?!" Murid Pen-

deta Sinting seakan masih tidak percaya dengan uca-

pan si gadis.

"Kau akan saksikan sendiri kalau tidak segera


angkat kaki!"

"Dewi.... Aku tak mengerti permainan apa yang 

sedang kau lakukan?! Sudah beberapa lama kita tidak 

saling jumpa! Kau tahu.... Selama ini aku selalu ingin 

bertemu denganmu! Malah seandainya aku tahu di 

mana kau berada, aku sudah datang mengunjungi-

mu...."

"Jangan teruskan ucapan usang itu, Pendekar 

131! Dan jangan mimpi aku percaya setiap kata yang 

kau ucapkan! Jadi bukankah lebih baik kau segera 

angkat kaki?!"

"Kau boleh saja tidak percaya pada setiap kata 

ucapanku! Tapi kau harus tahu, saat ini aku bicara 

sungguh-sungguh!"

"Percuma, Pendekar 131! Tindakanmu telah 

membuatku sangat kecewa!"

"Benar-benar ada yang tak beres! Kiai Laras 

mengatakan pernah melihatku bersama seorang gadis 

cantik berpakaian merah dengan rambut dikuncir 

tinggi. Meski aku tak yakin benar, yang dimaksud 

orang tua itu pasti gadis ini. Yang aneh, mengapa tiba-

tiba gadis ini mengatakan kecewa dengan tindakanku?! 

Apa yang telah kulakukan? Padahal, sejak keluar dari 

kediaman Eyang Guru, baru kali ini aku berjumpa 

dengannya! Dan aku yakin tak pernah bertindak apa-

apa! Hem...." Dada murid Pendeta Sinting disarati ber-

bagai hal yang membuatnya seakan hilang akal.

"Dewi...," kata Joko setelah agak lama diam. 

"Kau boleh percaya boleh tidak! Sejak dari Jurang Tla-

tah Perak sampai saat ini, aku baru sekali ini jumpa 

dengan seorang gadis! Dan itu kau adanya! Adalah 

aneh kalau kau mengatakan sangat kecewa dengan 

tindakanku! Apa...."

Belum sampai Pendekar 131 lanjutkan uca


pannya, Dewi Seribu Bunga telah memotong. "Bicara-

lah sepuas hatimu! Tapi jangan harap aku percaya!"

Ucapan Dewi Seribu Bunga membuat hati mu-

rid Pendeta Sinting agak panas. Dengan suara agak 

keras dia akhirnya berkata.

"Baik! Apa pun yang akan kukatakan kau tak 

akan percaya! Sekarang katakan apa yang telah kula-

kukan hingga membuatmu kecewa setinggi langit!"

"Hem.... Jadi semudah itukah dia melupakan 

perbuatannya?! Apakah dia anggap tindakannya itu 

sebagai hal lumrah yang begitu saja mudah lenyap 

tanpa bekas?! Benar-benar bajingan laki-laki ini!" Di-

am-diam Dewi Seribu Bunga membatin dengan dada 

makin menggelegak.

Melihat Dewi Seribu Bunga tidak segera buka 

suara, Joko segera angkat bicara.

"Mengapa kau diam?! Mengapa tidak kau kata-

kan tindakan apa yang telah kulakukan?!"

"Pendekar 131! Mungkin menurutmu tindakan 

yang kau lakukan begitu mudah dilupakan! Tapi keta-

huilah! Tindakanmu itu bukan saja membuatku sakit 

hati, tapi rasanya aku tega membunuhmu sean-

dainya...." Dewi Seribu Bunga tidak kuasa lanjutkan 

ucapannya. Sebaliknya perlahan-lahan kedua tangan-

nya diturunkan dan matanya berkaca-kaca.

Melihat Dewi Seribu Bunga menitikkan air ma-

ta, Joko menghela napas panjang. Perlahan-lahan dia 

melangkah hendak mendekat. Tapi tiba-tiba Dewi Seri-

bu Bunga telah membentak dengan suara bergetar dan 

serak.

"Jangan mendekat, Joko!"

Murid Pendeta Sinting urungkan langkah. "De-

wi! Kau belum mengatakan tindakan apa yang telah ku 

lakukan!"


"Rasanya aku tak percaya kau masih bertanya! 

Belum cukupkah caramu menyakiti ku?! Belum cu-

kup?!" Kali ini Dewi Seribu Bunga tidak dapat menin-

dih perasaannya. Hingga bahunya tampak bergun-

cang-guncang. "Terus terang, aku selama ini memang 

merindukan mu! Tapi aku bukan perempuan yang bisa 

seenaknya kau perlakukan menjijikkan! Kau.... Kau te-

lah memadamkan kerinduan ku....Seandainya aku ta-

hu siapa dirimu dari dulu-dulu, tak mungkin aku 

jauh-jauh mencarimu! Kau.... Kau...." Ucapan Dewi Se-

ribu Bunga tenggelam dengan suara isakan tangisnya.

Panas hati murid Pendeta Sinting perlahan-

lahan mereda begitu mengetahui ungkapan hati Dewi 

Seribu Bunga. Setelah isakan tangis si gadis terhenti, 

Joko segera buka mulut dengan suara perlahan.

"Dewi.... Kalau saja kau masih percaya dengan 

ucapanku...." Joko sengaja hentikan kata-katanya. Dia 

menunggu sejenak. Ketika Dewi Seribu Bunga tidak 

menyahut, Joko lanjutkan ucapannya. "Rasanya se-

mua yang baru kau katakan adalah aneh di telinga-

ku.... Aku baru pertama kali ini jumpa denganmu sete-

lah peristiwa Pulau Biru! Jadi bagaimana mungkin aku 

melakukan hal menjijikkan padamu?!"

Dewi Seribu Bunga angkat kepalanya. Matanya 

yang basah memandang tajam. "Kau masih saja mem-

bual, Joko!"

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Baik. 

Rasanya aku sudah tidak bisa lagi meyakinkan dirimu! 

Sekarang harap kau katakan di mana kita pernah 

jumpa sebelum ini!"

"Meski aku tahu kau hanya berpura-pura, tapi 

agar ingatanmu baik, aku akan jawab pertanyaanmu! 

Kau ingat kedai itu?!"

"Selama ini aku banyak mengunjungi kedai kalau sedang lapar! yang kau maksud kedai yang ma-

na?!"

"Apa kau masih ingat tentang seorang nenek 

berdandan mencolok yang berhasil kau bawa pergi dan 

kau mendapat imbalan dari pemilik kedai?!"

"Ah.... Yang itu aku ingat!"

"Bagus! Berarti kau tahu bagaimana kelanju-

tannya!"

"Kelanjutannya? Kelanjutannya apa?!"

Meski dengan dada makin menggelegak, akhir-

nya Dewi Seribu Bunga menjawab juga. "Kau berhasil 

membawa pergi nenek itu! Lalu kau kembali ke kedai 

untuk mengambil imbalan yang dijanjikan pemilik ke-

dai. Lalu kita bertemu. Dan kau mengajakku pergi dari 

kedai. Kau sengaja mengajakku ke tempat yang sepi. 

Kau rupanya memanfaatkan ku yang selama ini men-

carimu.... Dan kau lakukan perbuatan terkutuk itu!"

"Perbuatan terkutuk apa?!" tanya Joko meski 

dadanya sudah ingin meledak.

"Hem.... Jadi perbuatanmu yang ingin memper-

kosa ku bukan kau anggap perbuatan terkutuk?! itu 

kau anggap tindakan lumrah?!"

Mendadak murid Pendeta Sinting tertawa gelak-

gelak. Dewi Seribu Bunga pandangi Joko dengan ge-

ram. Namun gadis ini merasa heran dengan dirinya 

sendiri. Sekuat tenaga dia coba tanamkan kebencian, 

tapi tak juga berhasil. Dia sudah tegarkan hati untuk 

turunkan tangan maut, namun kedua tangannya tidak 

juga kuasa dia gerakkan!

"Dewi...," ujar Joko setelah suara gelakan ta-

wanya lenyap. "Sekarang aku yang menyangsikan mu! 

Jangan-jangan kau sedang mencari gara-gara!"

"Tutup mulutmu, Pendekar 131!"

Pendekar 131 gelengkan kepala. "Sekarang


saatnya aku buka mulut agar kau tahu bahwa tidak 

ada gunanya semua kekonyolan yang sedang kau la-

kukan ini! Aku memang ke kedai itu dan jumpa den-

gan nenek berdandan seronok. Ucapanmu juga benar 

yang mengatakan, aku lantas pergi dengan nenek itu. 

Tapi keterangan setelah itu adalah salah! Aku tidak 

pernah kembali ke kedai itu, apalagi mengambil imba-

lan yang memang dijanjikan pemilik kedai! Jadi ba-

gaimana mungkin aku mengatakan kita bertemu?! 

Anehnya lagi, bagaimana mungkin aku akan memper-

kosa mu kalau aku tidak pernah jumpa apalagi pergi 

bersamamu?!"

Dewi Seribu Bunga tegak dengan tubuh berge-

tar.

Gadis ini tampak buka mulut akan bicara. Na-

mun Joko seakan tidak memberi kesempatan. Belum 

sampai ucapan Dewi Seribu Bunga terdengar, Joko te-

lah berkata lagi.

"Aku memang berniat balik lagi ke kedai. Tapi 

nenek itu bersikeras ikut, hingga aku urungkan niat 

untuk balik. Setelah aku berpisah dengan nenek itu, 

aku sempat jumpa dengan seorang kakek yang ka-

tanya melihat ku bersama dengan seorang gadis berba-

ju merah di kedai! Aku sekarang merasa yakin kalau 

yang dimaksud kakek itu adalah dirimu! Yang seka-

rang jadi pertanyaan, mengapa kau mengambil orang 

yang mirip denganku lalu menuduhku yang bukan-

bukan?! Apa maksud di balik tindakanmu ini?! Kau 

disuruh orang...?!"

"Hem.... Kau enak saja balik menuduh setelah 

kau gagal melakukan perbuatan terkutuk itu! Apa kau 

kira ini bisa mengembalikan kepercayaan ku pada-

mu?!"

"Aku tak memaksamu untuk percaya kembali


padaku! Tidak ada gunanya semua itu kalau kau 

punya niat yang tidak baik padaku?!"

Dada Dewi Seribu Bunga laksana dipanggang 

bara. Dengan suara keras setengah menjerit dia berka-

ta.

"Kau pintar memutar balik urusan!"

"Kau yang bikin urusan, bukan aku! Saat ini 

aku banyak mendapat tuduhan macam-macam yang 

tak ku mengerti sama sekali duduk masalahnya! Kini 

kau tahu-tahu juga menuduhku! Jika dihubung-

hubungkan, aku merasa ada kaitannya antara tudu-

hanmu dengan orang-orang yang selama ini juga me-

nuduhku! Dewi! Katakan siapa orangnya di balik se-

mua ini?"

"Kau ternyata bukan pandai memutar balik 

urusan saja! Tapi kau juga pandai menuduh untuk 

menutup kelakuan mu!" teriak Dewi Seribu Bunga. 

Seakan tak sabar lagi, belum sampai ucapannya sele-

sai, kedua tangannya sudah bergerak lepaskan puku-

lan! Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang angin dahsyat menggebrak ga-

nas ke arah murid Pendeta Sinting. Pendekar 131 tak 

tinggal diam, apalagi tatkala yakin bahwa tuduhan 

Dewi Seribu Bunga hanyalah akal-akalan saja. Maka 

begitu Dewi Seribu Bunga lepaskan pukulan, Joko 

angkat kedua tangannya lain didorong ke depan.

Blamm! Blamm!

Dua ledakan keras segera saja terdengar tatkala 

angin pukulan Dewi Seribu Bunga bentrok dengan pu-

kulan jarak jauh yang dilepas murid Pendeta Sinting.

Sosok Dewi Seribu Bunga tampak tersurut satu 

langkah dengan kedua tangan bergetar keras. Di sebe-

rang depan, Joko tampak kibas-kibaskan kedua tan-

gannya. Walau kakinya tidak bergeming, namun bentroknya pukulan tadi mau tak mau membuat kedua 

tangannya kesemutan.

Mendapati Joko tidak main-main, Dewi Seribu 

Bunga cepat kerahkan tenaga dalam siapkan pukulan 

'Api Seribu Bunga'. Di lain pihak, menduga bahwa si 

gadis hendak lepaskan pukulan andalannya, Joko ce-

pat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya 

siapkan pukulan 'Lembur Kuning'. Kedua orang ini ru-

panya sudah sama-sama kalap dan tak bisa menahan 

diri.

Dewi Seribu Bunga angkat kedua tangannya. Di 

seberang, murid Pendeta Sinting tarik kedua tangan-

nya ke belakang. Mata masing-masing sama meman-

dang tajam. Kejap lain hampir bersamaan, keduanya 

gerakkan tangan lepaskan pukulan.

"Brusss! Brusss! Brusss! Brusss!"

Terdengar suara orang bersin beberapa kali. La-

lu terdengar suara.

"Heran.... Heran.... Apakah kalian pikir tinda-

kan kalian ini dapat selesaikan urusan yang menghe-

rankan ini?! Bruss! Brusss!"

*

* *

DELAPAN



PENDEKAR 131 terkesiap. Dia sudah dapat 

menduga siapa adanya orang yang baru saja bersin 

dan perdengarkan suara. Dia sudah hendak urungkan 

niat untuk lepaskan pukulan. Tapi begitu melihat Dewi 

Seribu Bunga tidak acuhkan suara bersinan dan suara 

orang dan tetap gerakkan kedua tangan lepaskan pukulan, Joko buru-buru dorong kedua tangannya.

Tempat itu seketika di semaraki pijaran-pijaran 

api yang melesat dari kedua tangan Dewi Seribu Bun-

ga, pertanda kalau gadis ini telah lepas pukulan 'Api 

Seribu Bunga'. Sementara dari seberang, tampak sinar 

kuning disertai gelombang dahsyat yang membawa ser-

ta hawa panas luar biasa.

Bersamaan dengan melesatnya pukulan dari 

kedua tangan Dewi Seribu Bunga dan Joko Sableng, 

tiba-tiba terdengar suara bersinan beruntun tak pu-

tus-putus.

Anehnya bersamaan dengan terdengarnya sua-

ra bersinan, melesat angin luar biasa dahsyat dari de-

lapan penjuru mata angin! Hebatnya gelombang angin 

itu saling pantul memantul ke delapan penjuru arah 

tak henti-hentinya.

Sinar kuning pukulan sakti 'Lembur Kuning' 

serta pijaran-pijaran api pukulan 'Api Seribu Bunga' 

tersapu gelombang angin yang datang pantul meman-

tul. Hingga bukan saja kedua pukulan sakti ini tidak 

saling bentrok melainkan kini terus melesat melayang-

layang dari satu sudut ke sudut lain ke delapan penju-

ru arah di udara!

Baik Pendekar 131 maupun Dewi Seribu Bunga 

tampak tersentak-sentak ketika pukulannya meman-

tul-mantul.

Murid Pendeta Sinting yang telah tahu siapa 

adanya orang usil yang ikut campur cepat kerahkan 

tenaga dalam lagi. Tapi belum sampai dia sempat ber-

gerak, terdengar suara ledakan hebat. Sinar kuning 

ambyar ke udara. Suara ledakan belum sirap, terden-

gar suara letupan beberapa kali. Pijaran-pijaran api 

yang sesaat tadi melayang-layang dari satu arah ke 

arah lain tiba-tiba redup! Saat lain, gelombang angin


yang datang dari delapan penjuru arah melesat tinggi 

ke udara. Di atas sana, delapan gelombang angin me-

nyatu lalu membubung tinggi dan lenyap!

Sosok murid Pendeta Sinting tergontai-gontai 

ke belakang dengan paras berubah pucat pasi. Joko 

rasakan dadanya laksana dihantam kekuatan berkali-

kali hingga nafasnya sesak dan aliran darahnya laksa-

na terbalik-balik. Kalau saja dia tidak cepat kerahkan 

tenaga dan hawa murni, niscaya sosoknya akan ter-

jengkang roboh!

Di seberang depan, sosok Dewi Seribu Bunga 

terseret sampai satu tombak sebelum akhirnya terka-

par dengan tubuh bergetar keras. Kedua tangannya 

tampak lunglai ke tanah. Sepasang matanya terpejam 

rapat. Mukanya putih laksana tidak dialiri darah. 

Meski dari mulutnya tidak kucurkan darah, jelas kalau 

gadis ini terluka dalam walau tidak seberapa parah.

Dewi Seribu Bunga lipat gandakan tenaga. Lalu 

dengan tegarkan hati, perlahan-lahan dia bergerak 

bangkit. Memandang ke depan, terlihat murid Pendeta 

Sinting gerakkan kepala ke samping kanan. Dewi Seri-

bu Bunga ikut arahkan pandangannya ke kanan.

Satu sosok tubuh tampak melangkah perlahan-

lahan dengan tongkat kayu dl tangan kanan. Dia ada-

lah seorang kakek mengenakan pakaian lusuh warna 

putih kusam. Kepalanya berambut tipis putih. Sepa-

sang matanya sipit. Hidung bagian depannya tampak 

mengembung besar. Seraya melangkah, kepala kakek 

ini tampak bergerak pulang balik ke depan ke belakang 

dengan wajah meringis. Siapa pun yang melihat sudah 

dapat menduga kalau gerakan kepala dan paras wajah 

si kakek menunjukkan kalau dia hendak bersin!

"Siapa kakek itu...?!" gumam Dewi Seribu Bun-

ga. "Mengapa dia...."


"Bruss! Bruss! Brusss!"

Si kakek yang baru muncul dan bukan lain 

adalah Datuk Wahing bersin beberapa kali membuat 

gumaman Dewi Seribu Bunga terputus. Di lain pihak, 

Joko terpaksa pula urungkan niat yang hendak buka 

suara tatkala mendengar si kakek telah perdengarkan 

bersinan.

"Kek!" kata murid Pendeta Sinting dengan sua-

ra agak keras begitu suara bersinan sirna. "Harap kau 

tidak ikut-ikutan urusan ini! Lebih dari itu, kuharap 

kau lekas tinggalkan tempat ini!"

Datuk Wahing seolah tidak hiraukan ucapan 

orang. Enak saja dia duduk berlutut dengan tangan 

kanan memegang tongkat, sementara tangan kiri dile-

takkan di atas pahanya. Kepalanya terus bergerak pu-

lang balik ke depan ke belakang dengan wajah merin-

gis seakan hendak bersin.

"Kek! Aku telah memperingatkanmu! Harap se-

gera pergi!" kata Joko setelah ditunggu agak lama ter-

nyata Datuk Wahing tidak perdengarkan bersinan.

Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. La-

lu berpaling. Bukan ke arah murid Pendeta Sinting, 

melainkan menghadap Dewi Seribu Bunga. Sepasang 

matanya dibeliakkan. Bibirnya sunggingkan senyum.

Dewi Seribu Bunga hanya memandang sekilas. 

Lalu alihkan pandangannya. Datuk Wahing gerakkan 

kepala. Kini berpaling menghadap murid Pendeta Sint-

ing. Kembali sepasang matanya dipentang. Lalu bibir-

nya sunggingkan senyum. Joko balas menatap dengan 

pandangan dingin dan acuh. Tapi diam-diam Joko 

mengakui bahwa kakek yang sempat ditemuinya itu 

benar-benar memiliki ilmu langka.

Karena yang dipandang tidak acuh, kembali 

Datuk Wahing berpaling ke arah Dewi Seribu Bunga.


Saat yang sama, kebetulan si gadis tengah memandang 

ke arah si kakek. Hingga keduanya sesaat saling ber-

pandangan meski buru-buru Dewi Seribu Bunga alih-

kan pandangannya lagi.

Melihat tingkah Datuk Wahing, rupanya murid 

Pendeta Sinting tidak sabar. Dia kembali angkat bica-

ra. "Kek! Di antara kita tidak ada silang permusuhan! 

Harap kau tidak membuka sengketa dengan ikut cam-

pur urusan ini!"

"Mengherankan sekali kalau kau menuduhku 

ikut campur urusanmu! Urusanmu yang mana yang 

ku campuri, Anak Muda?!"

"Bukankah kau tadi sengaja pamer kekuatan 

dengan memporak-porandakan pukulanku?! Silakan 

kau pamer kekuatan, tapi bukan di sini tempatnya!"

"Mengherankan. Dua kali kau membuat tudu-

han padaku, Anak Muda! Apa masih ada tuduhan la-

gi?!"

"Aku memang perlu bicara denganmu! Tapi bu-

kan sekarang saatnya!"

"Aku akan sabar menunggu, meski aku heran 

gerangan apa yang akan kau bicarakan! Karena menu-

rut ku, tak satu pun ada yang perlu dibicarakan di an-

tara kita!"

Karena merasa tak ada gunanya lagi melayani 

Datuk Wahing, akhirnya Joko palingkan kepala ke 

arah Dewi Seribu Bunga sambil berucap.

"Tunggulah! Aku akan selesaikan urusan den-

gan gadis itu! Tapi jangan coba-coba ikut campur den-

gan pamer kekuatan!"

Datuk Wahing tertawa. "Dari tadi kau mengata-

kan aku pamer kekuatan. Aku jadi bertanya-tanya dan 

heran. Kekuatan mana yang ku pamerkan?! Orang tua 

macam aku begini akan mengherankan orang kalau


berani pamer kekuatan di depan orang gagah seperti-

mu, Anak Muda. Orang kadangkala memang sering ja-

di salah sangka pada orang lain saat dirinya dalam 

keadaan marah. Tapi adalah mengherankan kalau 

orang muda sepertimu harus dikuasai hawa amarah 

dan tak bisa mengendalikannya!"

Ucapan Datuk Wahing membuat murid Pendeta 

Sinting palingkan kepala lagi pada si kakek. Lalu ber-

kata.

"Bagaimana orang tidak akan marah, kalau ti-

dak ada hujan tidak ada angin tiba-tiba dia menuduh-

ku hendak memperkosanya?!"

"Siapa menuduh?! Kau memang melakukan-

nya!" Dewi Seribu Bunga sudah menyahut.

"Kau dengar, Kek?!" tanya Joko dengan tertawa 

pendek. 

"Kau akan heran berlipat-lipat, Kek! Karena 

aku yakin benar jika baru kali ini bertemu dengannya. 

Tapi dia mengatakan aku...."

"Mataku tidak buta!" tukas Dewi Seribu Bunga. 

"Aku tak mungkin salah menyangka orang lain sebagai 

dirimu! Lagi pula apa untungnya bagiku mengada-ada 

kalau kau sudah tahu bahwa kepergianku semata-

mata mencarimu?!" Mungkin karena tidak tahan, kem-

bali Dewi Seribu Bunga perdengarkan isakan.

Murid Pendeta Sinting terdiam mendengar uca-

pan Dewi Seribu Bunga. Sementara Datuk Wahing 

tampak mendengarkan dengan seksama.

"Mendengar ucapan-ucapan kalian, meski uru-

san ini tampak pelik, tapi aku tidak merasa heran sa-

ma sekali...," ujar Datuk Wahing. "Dalam hal ini yang 

pasti ada satu kemungkinan. Yaitu, ada orang yang 

melakonkan sebagai dirimu tapi bukan kau, Anak Mu-

da! Dan yang lebih pasti lagi, orang itu punya maksud


tertentu yang justru di sini aku mulai heran. Apa mak-

sudnya...?!"

Mendengar ucapan Datuk Wahing membuat 

murid Pendeta Sinting teringat kembali akan keteran-

gan Kiai Laras yang mengatakan pernah melihatnya 

bersama seorang gadis cantik di kedai. Padahal dia ti-

dak pernah bertemu dengan gadis di kedai.

"Ah.... Rasanya ucapanmu ada benarnya, 

Kek...!" kata Joko pada akhirnya.

Sementara itu mendengar kata-kata Datuk 

Wahing dan murid Pendeta Sinting, Dewi Seribu Bunga 

menyahut. "Kek! Aku tidak sekali dua kali bertemu 

dengannya! Aku mengenal betul siapa dia! Dan yang 

kutemui di kedai serta hendak melakukan perbuatan 

terkutuk itu memang dia orangnya!"

"Aku tidak mengatakan kau salah, Anak Can-

tik! Tapi adalah mengherankan kalau aku mengatakan 

kau benar!" Datuk Wahing berpaling pada murid Pen-

deta Sinting. "Anak muda, kudengar kau tadi sebut-

sebut seorang nenek begitu keluar dari kedai! Urusan 

ini akan jadi terang kalau kau bisa menemukan nenek 

itu dan membawanya pada gadis cantik itu!"

"Orang bisa saja bersekongkol!" Dewi Seribu 

Bunga menimpali. "Karana siapa tahu nenek itu ada-

lah sahabatnya yang ingin melindungi?! Kalau memang 

ingin sakai, dan orang itu pasti tidak bisa diajak ber-

sekongkol aku tahu orangnya!"

"Siapa?!" tanya Pendekar 131 dengan suara 

agak keras karena jengkel melihat Dewi Seribu Bunga 

masih juga tidak mau menerima apa yang dikatakan 

Datuk Wahing.

"Si orang tua pemilik kedai!" jawab Dewi Seribu 

Bunga tak kalah kerasnya. "Sekarang katakanlah aku 

memang salah melihat orang, tapi apa mungkin orang

tua pemilik kedai itu juga salah melihat orang?! Dia 

tahu bahwa kaulah orang yang balik lagi setelah mem-

bawa pergi si nenek! Kau datang lagi untuk mengambil 

imbalan yang dijanjikannya! Apa mungkin orang itu 

mau memberikan imbalan pada orang lain?!"

Mendengar ucapan Dewi Seribu Bunga, murid 

Pendeta Sinting jadi terdiam. Sementara melihat orang 

seperti terpojok, Dewi Seribu Bunga lanjutkan uca-

pannya.

"Bagi orang tua pemilik kedai, memberi imbalan 

bukanlah sesuatu yang enak. Jadi tak mungkin orang 

tua itu gegabah memberikan imbalan pada orang yang 

tidak pantas diberi! Bukankah begitu, Kek...?!"

"Orang akan heran kalau aku mengatakan kau 

salah, Anak Cantik! Tapi orang akan lebih heran jika 

aku mengatakan kau benar!"

"Kau bisa katakan di mana salah dan benar-

nya?!" tanya Dewi Seribu Bunga.

"Aku bisa mengatakannya!" Tiba-tiba satu sua-

ra menyeruak. Bukan dari mulut Joko atau Datuk 

Wahing.

Pendekar 131 cepat berpaling ke arah sumber 

suara yang baru terdengar. Sementara Datuk Wahing 

tarik kepalanya ke belakang. Di lain saat orang tua ini 

telah perdengarkan bersin tiga kali berturut-turut. Di 

seberang depan, Dewi Seribu Bunga kernyitkan dahi 

lalu perlahan-lahan gerakkan kepala dengan mata 

mementang.

*

* *


SEMBILAN



MEMANDANG ke samping kanan, Dewi Seribu 

Bunga melihat seorang nenek berambut putih dike-

pang dua yang pada ujungnya diberi pita. Rambut de-

pannya diponi dan digersikan menutup keningnya. Pipi 

dan bibirnya dipoles merah. Nenek ini mengenakan ba-

ju warna merah tanpa lengan dan amat cingkrang, 

hingga ketiak dan pusarnya kelihatan. Sementara pa-

kaian bawahnya berupa celana pendek di atas lutut. 

Nenek ini berkulit gelap, hingga polesan merah di pipi 

dan bibirnya membuat wajahnya tidak bertambah can-

tik, melainkan terlihat makin angker! Dia adalah 

Dayang Sepuh!

Kalau semula murid Pendeta Sinting berusaha 

pisahkan diri dan berlari jauh-jauh dari Dayang Se-

puh, apalagi setelah mendengar keterangan dari Kiai 

Laras tentang siapa adanya Dayang Sepuh, kini kein-

ginan semula murid Pendeta Sinting seakan lenyap. 

Bahkan dia merasa lega melihat kemunculan si nenek 

di tempat itu. Di lain pihak, meski belum pernah ber-

temu, namun Dewi Seribu Bunga sepertinya sudah bi-

sa menduga siapa adanya nenek yang tiba-tiba mun-

cul.

"Nek...! Kebetulan kau datang. Harap kau mau 

jelaskan semuanya pada gadis itu!" kata Joko lalu me-

langkah hendak mendekat.

Tapi gerakan langkah murid Pendeta Sinting 

tertahan tatkala mendadak si nenek pentangkan mata 

dengan kedua tangan berkacak pinggang. Walau mu-

lutnya terkancing rapat, dari sikapnya jelas kalau 

orang ini sedang marah.

"Ada apa dengan nenek ini?! Apa dia marah karena ku tinggalkan?!" Joko membatin. Lalu berkata. 

"Nek.... Bukan maksudku meninggalkan mu. Aku...."

"Jangan banyak mulut!" hardik Dayang Sepuh. 

"Kau lupa apa yang pernah kukatakan, hah?!"

"Nek! Aku selalu ingat apa yang pernah kau ka-

takan! Tapi yang kau maksud yang mana?!"

Dayang Sepuh tidak segera menjawab. Dia 

pandang sejenak Datuk Wahing yang gerak-gerakkan 

kepalanya pulang balik ke depan ke belakang. Lalu 

melirik pada Dewi Seribu Bunga. Saat lain nenek ini 

telah arahkan pandang matanya pada Joko. Lalu ber-

kata dengan suara tetap keras.

"Kau mengatakan selalu ingat. Tapi kau tanya 

yang mana!"

"Brusss! Brusss! Brusss!"

"Harap tidak heran, sahabatku Dayang Sepuh!" 

Datuk Wahing buka suara. "Anak muda ini sedang ka-

lut! Hingga tak heran jika dia mengatakan ingat tapi 

masih bertanya...."

"Itu berarti tak ada bedanya dengan lupa!" sa-

hut Dayang Sepuh. "Nek...."

"Diam!" bentak Dayang Sepuh sebelum Joko 

lanjutkan ucapannya. Tapi Joko tidak hiraukan benta-

kan si nenek, dia kembali buka suara.

"Nek...!"

"Kau buka suara lagi, berarti urusanmu ini ti-

dak akan selesai!" Dayang Sepuh sudah menukas 

kembali sebelum murid Pendeta Sinting lanjutkan 

ucapannya.

Pendekar 131 tegak dengan mulut terkancing. 

"Apa kemauan orang tua menor ini sebenarnya?! Dia 

seolah tidak memberi ku kesempatan untuk bicara...." 

Joko tengadahkan kepala. Sekonyong-konyong murid 

Pendeta Sinting tertawa. Lalu tepuk jidatnya sendiri.


"Aku tahu.... Aku tahu sekarang...," gumamnya seraya 

senyum-senyum.

"Apa yang lucu?! Kau kira aku tertarik dengan 

senyum itu, hah?!" Dayang Sepuh membentak.

"Bibi Cantik...," ujar Joko dengan sikap menju-

ra hormat. "Sekarang aku ingat apa yang pernah kau 

katakan! Harap maafkan kealpaan ku tadi...."

Mendengar murid Pendeta Sinting memanggil 

dengan Bibi Cantik, mendadak sikap Dayang Sepuh 

berubah. Perlahan-lahan kedua tangannya diturunkan 

dari pinggang. Bibirnya sunggingkan senyum. Sepa-

sang matanya melirik pada Dewi Seribu Bunga yang 

masih terheran-heran dengan sikap si nenek. Rona wa-

jah si nenek yang tadinya angker perlahan-lahan me-

rona merah, meski hal itu membuat paras kulit wajah-

nya makin gelap!

"Brusss! Brusss!"

"Heran. Bagaimana bisa begini?!" gumam Datuk 

Wahing dengan mata setengah terpejam pandangi 

Dayang Sepuh.

Dayang Sepuh ambil kepangan rambutnya. Se-

raya bungkukkan sedikit tubuhnya dia berkata dengan 

wajah dihadapkan pada Datuk Wahing. "Sahabatku, 

Datuk Wahing. Harap tidak terlalu heran dengan apa 

yang baru saja terjadi! Itu hanya sebuah hal yang tak 

perlu banyak dipersoalkan...."

Habis berkata begitu, Dayang Sepuh hadapkan 

wajahnya pada Dewi Seribu Bunga.

"Anak gadis! Kau hanya akan memperoleh ja-

waban membingungkan kalau ajukan tanya pada sa-

habatku kakek yang suka bersin itu! Sebagai wakilnya, 

aku akan jawab semua pertanyaanmu...."

"Aku tak akan bertanya pada orang yang belum 

ku kenal!" Dewi Seribu Bunga berkata dengan suara


agak ketus.

"Aku.... Hem.... Yang Ingin kau ketahui gelar 

atau namaku?!" tanya Dayang Sepuh.

"Keduanya!" jawab Dewi Seribu Bunga.

Murid Pendeta Sinting sudah jengkel melihat 

sikap dan jawaban ketus Dewi Seribu Bunga. Namun 

melihat isyarat yang diberikan si nenek, murid Pendeta 

Sinting jadi urungkan niat untuk buka suara menegur.

"Anak gadis.... Gelaranku Dayang Sepuh. Nama 

ku Dayang Sepuh!" kata Dayang Sepuh. "Ingin tahu 

juga tempat tinggalku?"

Dewi Seribu Bunga tidak menjawab. Gadis ini 

coba menahan geram dan rasa geli ingin tertawa. Sete-

lah dapat kuasai diri, dia bertanya.

"Apa benar kau bertemu dengan pemuda itu di 

kedai?!"

Dayang Sepuh tertawa dahulu sebelum berka-

ta. "Kau tadi mengatakan tak akan bertanya pada 

orang yang belum kau kenal. Sekarang bagaimana 

mungkin aku akan jawab pertanyaan orang yang be-

lum ku tahu siapa namanya dan di mana alamatnya?!"

"Aku Dewi Seribu Bunga!" Dewi Seribu Bunga 

langsung berkata.

"Itu gelar atau nama asli?!" tanya Dayang Se-

puh.

"Kau bisa tebak sendiri!" jawab Dewi Seribu 

Bunga.

"Aku menebak itu tadi nama aslimu! Sekarang 

boleh tahu gelarmu?!"

Dewi Seribu Bunga tidak menyahut. Hanya wa-

jahnya mulai berubah merah padam. Dayang Sepuh 

gelengkan kepala. Lalu buka suara lagi. "Tak apa kau 

tak mau sebutkan gelarmu. Sekarang boleh tahu di 

mana alamat mu?!"


"Nek! Kalau kau terus bercanda, kusarankan 

untuk segera angkat kaki dari sini!" bentak Dewi Seri-

bu Bunga sudah tidak kuasa lagi menahan rasa jeng-

kel.

Dayang Sepuh tidak tunjukkan wajah marah. 

Malah nenek itu tersenyum-senyum. Bahkan sesekali 

matanya mengerling pada murid Pendeta Sinting yang 

melihat dengan kepala menggeleng-geleng.

"Baik. Tak apa kau tidak mau sebutkan alamat. 

Sekarang apa yang perlu kau tanyakan...?!"

Meski makin jengkel, namun akhirnya Dewi Se-

ribu Bunga berkata juga. "Apa benar kau bertemu 

dengan pemuda itu di kedai?!"

"Menurut pengakuannya bagaimana?!" Dayang 

Sepuh bukannya menjawab melainkan balik bertanya.

"Dia mengatakan bertemu kau di kedai itu!" ka-

ta Dewi Seribu Bunga.

"Betul!" sahut Dayang Sepuh sambil mainkan 

kepangan rambutnya, sementara tangan satunya me-

nata poni di depan keningnya.

Dewi Seribu Bunga pandangi si nenek dengan 

seksama. Lalu bertanya lagi.

"Apa benar setelah keluar dari kedai pemuda 

itu tidak balik lagi?!"

Dayang Sepuh berpaling dahulu pada murid 

Pendeta Sinting. Dada Pendekar 131 jadi waswas. 

"Urusan ini akan makin runyam kalau nenek menor ini 

menjawab dengan bercanda.... Apalagi sampai memu-

tar balik kenyataan...."

Dayang Sepuh tidak berkata apa-apa pada mu-

rid Pendeta Sinting. Dia hanya memandang sekilas lalu 

palingkan kepala lagi menghadap Dewi Seribu Bunga 

dengan buka suara. "Bagaimana yang dikatakan pe-

muda itu padamu?!"


"Dia mengatakan tidak kembali lagi ke kedai!" 

jawab Dewi Seribu Bunga.

"Hem.... itu juga betul!"

Dewi Seribu Bunga kerutkan dahi. Sementara 

Joko mengambil napas lega. Malah saat itu juga dia 

menyahut ucapan Dayang Sepuh. "Setelah itu kita 

pergi ke sendang. Bukankah begitu, Bibi...?!"

"Aku belum memberimu kesempatan untuk 

bertanya!" kata Dayang Sepuh dengan mata mendelik 

ke arah murid Pendeta Sinting.

Karena tidak habis pikir dengan jawaban 

Dayang Sepuh yang dikiranya mustahil, Dewi Seribu 

Bunga akhirnya bertanya. "Nek! Kau tidak berdusta?!"

"Menurutmu bagaimana?!" Dayang Sepuh balik 

bertanya.

"Kau bersekongkol dengannya untuk menutupi 

perbuatannya!"

"Hem.... itu baru tidak betul!"

"Bagaimana ini?!" gumam Dewi Seribu Bunga 

tampak bingung.

"Kau bertanya padaku?!" tanya Dayang Sepuh. 

Dewi Seribu Bunga kancingkan mulut tidak menjawab. 

Dayang Sepuh seolah tidak pedulikan kebingungan 

orang, dia kembali buka suara bertanya.

"Masih ada lagi yang hendak kau tanyakan, 

Anak Gadis?!"

"Bruss! Bruss!" Terdengar bersinan. Lalu Datuk 

Wahing sudah berkata.

"Dia tidak bertanya lagi. Tapi aku sekarang 

yang heran. Herannya, lalu siapa pemuda yang menu-

rut gadis itu adalah Anak Muda itu?!"

"Sahabatku! Kali ini rasanya bukan kau saja 

yang harus heran. Aku pun jadi merasa aneh dan ya-

kin ada yang tak betul dalam urusan ini!" ujar Dayang


Sepuh. Lalu berpaling pada Dewi Seribu Bunga sambil 

bertanya. "Apa kau juga merasakan demikian, Anak 

Gadis?!"

Dewi Seribu Bunga tidak menjawab. Dia me-

mandang pada Dayang Sepuh, lalu beralih pada Datuk 

Wahing. Terakhir dia arahkan pandangannya pada 

murid Pendeta Sinting. Agak lama Dewi Seribu Bunga 

pandangi sosok Pendekar 131. Dan tanpa berkata apa-

apa lagi, gadis berparas cantik ini balikkan tubuh lalu 

tinggalkan tempat itu.

"Dewi! Tunggu!" seru Joko seraya berkelebat 

mengejar. Namun Dayang Sepuh telah melompat dan 

memotong gerakan murid Pendeta Sinting sambil ber-

kata.

"Urusanmu dengan gadis itu telah selesai. Se-

karang kita selesaikan urusan kita, Cucu!"

"Kita tidak punya urusan, Nek! Eh.... Bibi!"

"Hem.... Setelah urusan dengan gadis cantik se-

lesai, kau mengatakan tidak ada urusan denganku! 

Enak betul bicaramu!"

"Bibi.... Setelah berpisah denganmu, aku ber-

hasil menemukan kakekku yang kuceritakan tidak pu-

lang itu! Kini kakekku sudah pulang. Bukankah den-

gan demikian urusan kita selesai?!" kata Joko berbo-

hong karena sebenarnya dia ingin segera mengejar 

Dewi Seribu

Bunga.

"Hem... Begitu? Jadi kau benar-benar sudah 

merasa tidak punya urusan lagi denganku?!"

"Begitulah, Bibi.... Dan aku hanya bisa mengu-

capkan terima kasih atas keteranganmu tadi! Sekarang 

aku harus segera pergi...."

Habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting 

berkelebat tinggalkan tempat itu. Dayang Sepuh pandangi kelebatan sosok Pendekar 131 dengan bibir 

sunggingkan senyum. Lalu sekali gerakkan kaki, sosok 

si nenek pun melesat pergi.

"Bruss! Bruss! Brusss!"

"Heran. Tidak seorang pun dari mereka yang 

berpamitan padaku! Apa dikira aku ini orang tua yang 

mengherankan?!" gumam Datuk Wahing. Lalu tertawa 

gelak-gelak! Namun laksana direnggut setan, gelakan 

tawanya terputus. Yang terdengar kini adalah suara 

bersinan tak putus-putus. Hebatnya, suara bersinan 

itu laksana pantul memantul dari satu sudut ke sudut 

lain di delapan penjuru mata angin, padahal sosok Da-

tuk Wahing sudah melangkah jauh dari tempat itu! 

Bahkan dia sendiri sudah tidak perdengarkan bersi-

nan!

*

* *

SEPULUH



KITA tinggalkan dahulu Pendekar 131 yang 

berkelebat mengejar Dewi Seribu Bunga. Juga Dayang 

Sepuh serta Datuk Wahing. Kita kembali sejenak pada 

Setan Liang Makam. Seperti diketahui, pada waktu 

yang ditentukan, Maladewa yang terpendam dalam 

makam batu berhasil keluar dengan bantuan seorang 

pemuda. Namun keluarnya Maladewa harus ditebus 

dengan beralihnya senjata dahsyat yang dikenal den-

gan nama Kembang Darah Setan ke tangan si pemuda. 

Maladewa yang begitu keluar dari makam batu meng-

gelari dirinya dengan Setan Liang Makam berusaha 

mencari jejak si pemuda. Dia sempat bertemu dengan


Kiai Laras. Dari orang tua ini pula Setan Liang Makam 

tahu banyak tentang siapa adanya Pendekar 131 serta 

Pendeta Sinting. (Lebih jelasnya baca serial Joko Sab-

leng dalam episode: "Kembang Darah Setan").

Setan Liang Makam berkelebat laksana angin. 

Dalam beberapa saat saja sosoknya yang hanya tinggal 

kerangka tanpa daging itu sudah mencapai sebuah 

kawasan hutan belantara.

Begitu memasuki kawasan hutan, Setan Liang 

Makam hentikan kelebatannya. Lalu tegak dengan ke-

pala berpaling ke samping kanan kiri. Saat lain kemba-

li dia melesat dan tahu-tahu sosoknya telah bergerak 

di antara jajaran pohon dan semak di dalam hutan.

Pada satu tempat, Setan Liang Makam hentikan 

langkah. Memandang ke depan tampak tanah yang ti-

dak ditumbuhi pohon maupun semak. Tanah itu 

hanya lima tombak berkeliling. Di tengah tanah itu 

tampak berdiri sebuah gubuk reot yang pintunya ter-

tutup. Tidak terdengar suara. Tidak pula terlihat 

adanya gerakan orang di dalam gubuk.

Setan Liang Makam pentangkan mata meman-

dang pada gubuk. Cuma sesaat. Kejap lain tulang mu-

lutnya bergerak membuka.

"Dadaka! Aku tahu kau ada di dalam! Kau pun 

tahu aku datang! Mengapa tidak cepat keluar me-

nyambut ku?!"

Belum habis seruan Setan Liang Makam, pintu 

gubuk berderit membuka. Saat yang sama satu bayan-

gan putih melesat keluar. Tahu-tahu satu sosok tubuh 

telah tegak hanya sejarak lima langkah di hadapan Se-

tan Liang Makam. Orang ini ternyata seorang laki-laki 

berusia lanjut. Rambutnya putih sepinggang dan tam-

pak kumal awut-awutan. Sepasang matanya besar ter-

puruk masuk dalam rongga yang amat dalam. Kumis


dan jambangnya juga putih lebat dan merangas tak te-

rawat.

Meski orang yang baru muncul bertampang 

angker, namun orang ini sempat unjukkan rasa kaget 

saat melihat sosok orang di hadapannya.

"Selama malang melintang, baru hari ini aku 

melihat manusia yang tampangnya begini rupa! Setan 

dari mana ini?! Anehnya dia tahu siapa aku! Berarti 

aku pernah mengenalnya! Tapi rasanya aku tak per-

nah bertemu dengan setan ini!" Diam-diam orang yang 

tadi di panggil Dadaka oleh Setan Liang Makam mem-

batin. Namun karena tak mau orang tahu rasa kaget-

nya, Dadaka cepat alihkan pandangan. Lalu berkata.

"Kau sebut namaku dengan benar! Berarti kau 

memang datang untuk menemuiku! Katakan siapa kau 

dan apa perlumu!"

Sambil berkata sepasang mata Dadaka me-

mandang dan melirik berkeliling. "Dia datang sendi-

rian...," bisik Dadaka dalam hati.

Setan Liang Makam dongakkan kepala. "Tak 

usah khawatir, Dadaka! Aku datang tanpa pasukan!" 

kata Setan Liang Makam seakan bisa menangkap apa 

yang ada dalam benak orang. "Dan kau tak usah heran 

bila aku tahu siapa kau!" Setan Liang Makam tertawa 

bergelak.

"Lihat baik-baik, Dadaka! Siapa yang saat ini 

berdiri di hadapanmu!" Setan Liang Makam telah beru-

cap kembali setelah sejenak puaskan tertawa.

Dadaka tidak gerakkan kepala memandang pa-

da Setan Liang Makam. Bibirnya menyeringai. Lalu 

berkata.

"Aku tak biasa lihat tampang orang yang da-

tang untuk cari mampus!"

"Hem.... Begitu?! Bagaimana kau bisa mengatakan begitu jika tidak dapat membuatku mampus pada 

tiga puluh enam tahun yang lalu?!"

"Aku tak pernah meninggalkan urusan dengan 

masih sisakan nyawa pada orang! Jadi Jangan menga-

da-ada!" ujar Dadaka sambil tertawa pendek.

"Kau terlalu membual, Dadaka! Buktinya kau 

lihat sendiri! Aku masih bernyawa! Bahkan akan ganti 

mengambil selembar nyawamu!"

Sesaat Dadaka terdiam seolah berpikir. Setan 

Liang Makam tertawa bergelak-gelak. Lalu berkata lagi.

"Agar kau tak penasaran, aku akan membuat 

ingatanmu segar! Kau masih ingat dengan manusia 

bernama Kigali?!"

Dadaka tidak menyahut. Setan Liang Makam 

tak peduli karena dia tahu, Dadaka pasti ingat siapa 

adanya Kigali. "Buka telingamu lebar-lebar, Dadaka! 

Kau masih ingat persekongkolan dengan Kigali untuk 

membunuh seorang di Kampung Setan?!"

"Maladewa!" desis Dadaka. Laksana disentak 

setan kepalanya langsung berpaling ke arah Setan 

Liang Makam.

"Salah! Aku Setan Liang Makam!" ujar Setan 

Liang Makam. "Maladewa telah terkubur tiga puluh 

enam tahun silam di Kampung Setan! Yang muncul 

dan sekarang di hadapanmu adalah Setan Liang Ma-

kam!"

"Apakah manusia setan ini benar-benar perwu-

judan dari Maladewa?! Bagaimana bisa dia keluar dan 

masih hidup?! Aku tidak percaya!"

Dadaka tersenyum dingin. "Kalau kau benar-

benar manusia di Kampung Setan, keluarkan tanda 

yang kau miliki!"

"Setan Liang Makam tidak usah tunjukkan 

tanda kalau hanya ingin cabut nyawamu!"


"Berarti kau bukan manusia dari Kampung Se-

tan!" "Terserah kau mau bilang apa! Yang jelas aku 

muncul dari Kampung Setan dan datang untuk men-

jemput nyawamu!"

"Hem.... Kalau kau benar-benar Maladewa, apa 

kau kira bisa cabut nyawaku tanpa Kembang Darah 

Setan?!"

"Kembang Darah Setan memang lolos dari tan-

ganku, Dadaka! Tapi jangan lupa.... Aku bisa bertahan 

selama tiga puluh enam tahun di ruangan celaka itu! 

Apakah hal itu tidak membuatmu yakin kalau aku 

mampu membedol nyawamu tanpa Kembang Darah 

Setan?!"

Sosok Dadaka tampak bergetar. Bukan karena 

ucapan Setan Liang Makam, melainkan diam-diam 

orang ini telah kerahkan segenap tenaga dalamnya. 

Meski dia masih belum percaya penuh dengan ucapan 

Setan Liang Makam, namun dia sudah merasa mak-

lum, siapa pun adanya orang yang dihadapi saat ini 

bukan orang berilmu rendah. Dalam keadaan yang 

tinggal tulang-belulang tanpa daging, bukan saja 

mampu dan dapat menemuinya, namun juga berani 

keluarkan ancaman! Padahal kalangan dunia persila-

tan telah mengenal siapa adanya Dadaka!

"Dadaka!" kata Setan Liang Makam. "Membetot 

selembar nyawamu bukan pekerjaan sulit bagiku! Tapi 

aku masih mau berbaik hati! Katakan padaku di mana 

si jahanam Kigali! Maka nyawamu akan selamat!"

"Hem.... Apa dikira aku manusia bodoh? Apa 

pikirnya aku tak tahu apa yang ada dalam benaknya?!" 

Dadaka membatin dan tertawa sendiri dalam hati 

mendengar ucapan Setan Liang Makam. Lalu berujar.

"Aku akan tunjukkan padamu dl mana Kigali! 

Tapi setelah kerangka tubuhmu tidak dihinggapi nya


wa! Ha.... Ha.... Ha...! Kalau tiga puluh enam tahun si-

lam tanganku mampu membuatmu menghuni kamar 

gelap serta meratakan Kampung Setan, masakan seka-

rang tanganku tidak bisa mencabut nyawa dari ke-

rangka tubuhmu?!"

"Kau lupa, Dadaka! Tanpa berlaku licik, mana 

bisa kau ratakan Kampung Setan?!"

Dadaka tertawa bergelak-gelak. "Dalam meng-

hadapi hidup, pergunakan akal, pergunakan kelicikan! 

Jika tidak, akibatnya telah kau rasakan!"

Sekujur kerangka Setan Liang Makam berge-

rak-gerak. Jelas kalau orang ini telah dibungkus hawa 

amarah menggelegak. "Dadaka! Aku masih memberimu

kesempatan!"

"Aku telah punya kesempatan hidup hampir tu-

juh puluh tahun lebih! Adalah aneh kalau kau saat ini 

memberi ku kesempatan! Tanpa kau beri kesempatan, 

aku percaya akan hidup lebih lama lagi tanpa harus 

memberimu keterangan apa pun!"

Belum sampai ucapan Dadaka selesai, Setan 

Liang Makam telah melompat ke depan. Kedua tan-

gannya yang hanya berupa kerangka berkelebat.

Dadaka yang sudah waspada cepat tekuk sedi-

kit lutut. Saat yang sama kedua tangannya dihantam-

kan membendung kelebatan tangan Setan Liang Ma-

kam.

Bukkk! Bukkk! 

Dua pasang tangan beradu keras. Dadaka sedi-

kit tersentak. Dia sama sekali tidak menyangka kalau 

kedua tangannya yang baru saja bentrok dengan ke-

rangka tangan Setan Liang Makam mental balik dan 

bergetar keras. Malah kalau saja dia tidak segera lipat 

gandakan tenaga dalam, niscaya kedua kakinya akan 

bergerak mundur!


Di depannya, Setan Liang Makam cepat tarik 

pulang kedua tangannya yang sejenak tadi juga mental 

balik. Meski sosoknya tinggal kerangka, namun ben-

trokan begitu dahsyat yang telah dialiri tenaga dalam 

kuat tidak membuat kakinya goyah! Malah begitu tan-

gannya mental, orang ini cepat himpun tenaga dalam 

tambahan. Di lain saat, sosoknya merangsek ke depan. 

Sejarak dua langkah tubuhnya melenting setengah 

tombak ke udara. Bersamaan dengan itu tubuhnya 

berputar. Kedua kakinya membuat gerakan menen-

dang beruntun!

Dadaka tidak tinggal diam. Begitu sosok Setan 

Liang Makam melenting ke udara, dia jejakkan kaki. 

Sosoknya melesat pula ke udara sejajar dengan Setan 

Liang Makam. Tatkala Setan Liang Makam putar tu-

buh untuk kemudian membuat tendangan beruntun, 

Dadaka cepat pula putar tubuh. Lalu seperti halnya 

Setan Liang Makam, dia lakukan tendangan benturan 

di atas udara menghadang tendangan beruntun Setan 

Liang Makam.

Terdengar suara beradunya kaki tak putus-

putusnya. Suara itu baru mereda ketika sosok Setan 

Liang Makam dan Dadaka sama terpental dan masing-

masing orang jatuh terduduk dengan kaki melipat!

Namun Setan Liang Makam tampaknya tidak 

mau beri kesempatan. Begitu tubuhnya terduduk, ke-

dua tangannya bergerak lepas pukulan jarak jauh.

Di seberang depan, Dadaka cepat pula angkat 

kedua tangannya. Lalu didorong ke depan. Dua gelom-

bang angin dahsyat segera melesat menghadang ge-

lombang yang mencuat dari gerakan kedua tangan Se-

tan Liang Makam.

Blammm!

Satu ledakan membuncah dl tempat itu. Tanah


di sekitar tempat itu bergetar keras. Sosok keduanya 

mental terseret. Beruntung Setan Liang Makam terse-

ret agak jauh baru menghantam pohon. Hingga meski 

tidak dapat selamatkan tubuhnya dari menubruk ba-

tangan pohon, namun karena daya lesatnya sudah 

agak berkurang, maka hantaman tubuhnya ke batan-

gan pohon tidak begitu keras. Lain halnya dengan Da-

daka. Hanya sejarak tiga langkah di belakangnya 

menghadang batangan pohon besar. Hingga begitu tu-

buhnya mental langsung menyambut batangan pohon 

di belakangnya. Saat lain sosoknya mencelat lagi ke 

depan setelah menghantam batangan pohon!

Dari mulut Dadaka tampak mengalir darah se-

gar. Sementara kedua tangannya menggapai-gapai. Je-

las pertanda kalau orang ini sedang atur aliran darah 

pada kedua tangannya yang laksana tersentak-sentak. 

Sepasang matanya memejam terbuka. Orang ini coba 

menahan agar seruannya tidak terdengar.

Di seberang sana, meski dari tulang mulutnya 

tidak alirkan darah, namun dari sikapnya jelas jika Se-

tan Liang Makam juga mengalami cedera dalam.

Begitu sama-sama dapat kuasai diri, hampir 

berbarengan kedua orang ini bangkit berdiri. Dadaka 

sudah angkat kedua tangannya. Sepasang matanya 

memejam rapat. Perlahan-lahan tampak kedua kaki 

orang ini bergerak-gerak masuk amblas ke dalam ta-

nah yang dipijak. Pertanda kalau Dadaka berusaha 

agar sosoknya tidak lagi mental apalagi terjadi bentrok 

pukulan.

Di sebelah depan, Setan Liang Makam mem-

perhatikan sejurus. Saat lain mendadak orang ini ge-

rakkan kedua tangannya diputar-putar ke belakang ke 

depan.

Wusss! Wusss!


Dari putaran kedua tangan Setan Liang Makam 

tampak berkiblat gelombang angin bergulung-gulung.

Dadaka segera turunkan tangan diletakkan di 

depan dada dengan telapak terbuka. Begitu gulungan 

gelombang datang, kedua tangannya segera mengge-

brak. Begitu gelombang telah melesat ke depan, kem-

bali kedua tangannya ditarik ke depan dada lalu dido-

rong lagi. Begitu terus menerus hingga dari kedua tan-

gannya tak henti-hentinya melesat gelombang angin. 

Hal ini sengaja dilakukan oleh Dadaka untuk mengha-

dang gelombang bergulung-gulung yang datang susul 

menyusul seiring putaran kedua tangan Setan Liang 

Makam.

Tempat itu berubah menjadi pekat dan dibun-

cah ledakan dahsyat beruntun. Batangan pohon yang 

berderak tumbang menambah hingar bingarnya kea-

daan. Dan semua itu baru sirna tatkala sosok Dadaka 

dan Setan Liang Makam sama terkapar.

Pukulan yang dilepas Dadaka dan Setan Liang 

Makam adalah pukulan bertenaga dalam tinggi. Dan 

karena keduanya sama lepaskan pukulan beruntun, 

yang tentu sangat menguras tenaga, maka akibat yang 

ditimbulkannya pun fatal. Sekujur tubuh Dadaka ba-

sah kuyup oleh keringat bercampur darah yang keluar 

dari hidung dan mulutnya. Sepasang matanya mende-

lik besar. Wajahnya putih kehabisan darah. Meski 

orang ini masih bisa bernapas, namun sulit untuk ber-

tahan lama. Malah meski tangannya tampak bergerak-

gerak, namun di saat lain telah terkulai lagi, jelas te-

naga luar dan dalamnya telah habis.

Sementara di pihak Setan Liang Makam, ter-

nyata orang ini memiliki ketahanan luar biasa. Ter-

pendam dalam makam batu membuat tubuhnya masih 

mampu bertahan dari gempuran bentroknya pukulan.


Hingga walau sosoknya terkapar, tapi dia seakan tidak 

mengalami cedera terlalu parah. Hingga dalam bebera-

pa saat dia bisa bergerak bangkit. Dan begitu melihat 

Dadaka tak berdaya, dia cepat membuat satu lompa-

tan yang serta-merta membawa tubuhnya tahu-tahu 

telah tegak hanya dua langkah di samping terkaparnya 

tubuh Dadaka.

"Kau sekarang tahu, Dadaka! Tanpa Kembang 

Darah Setan, tanganku mampu kalau hanya membe-

dol selembar nyawa anjingmu!"

Tahu gelagat mengancam jiwanya, meski sudah 

dalam keadaan kehabisan tenaga luar dan dalam, tapi 

Dadaka coba menghimpunnya. Namun orang ini harus 

pasrah. Karena dia gagal.

"Percuma, Dadaka! Nyawa anjingmu sudah be-

rada di ujung jariku! Tapi, aku masih akan tinggalkan 

nyawamu kalau kau katakan di mana jahanam Kigali 

berada!"

Walau nyawanya sudah di ujung tanduk, na-

mun bukan berarti nyali Dadaka menjadi leleh. Men-

dengar ucapan Setan Liang Makam, masih terkapar di 

atas tanah dan tanpa buka kelopak matanya, dia beru-

jar.

"Kalau kukatakan di mana beradanya, percuma 

saja! Kau tidak mungkin dapat menghadapinya tanpa 

Kembang Darah Setan!"

"Kembang Darah Setan akan segera kembali ke 

tanganku!"

"Itu belum cukup! Karena aku tak akan berk-

hianat untuk mengatakannya padamu!"

"Hem.... Ternyata kau seorang yang teguh pe-

gang janji, Dadaka! Tapi apakah itu ada artinya kalau 

harus kau tebus dengan nyawamu?!" Setan Liang Ma-

kam masih coba melunakkan keteguhan Dadaka.


"Aku bukan orang yang seperti kau sangka, 

Maladewa! Kalaupun aku punya kesempatan, aku pun 

tak segan membunuh Kigali!"

"Begitu?! Lalu apa yang membuatmu tak mau 

mengatakan padaku?! Padahal dengan keteranganmu, 

nyawamu akan selamat!"

Dadaka masih sempat perdengarkan suara ta-

wa perlahan sebelum akhirnya berkata.

"Aku tahu apa yang ada dalam benakmu, Mala-

dewa! Kukatakan atau tidak di mana beradanya Kigali, 

nyawaku tidak akan bertahan lama! Dan perlu kau ta-

hu, sebenarnya bukan hanya kau, aku pun terkecoh 

dengan Kigali!"

"Hem.... Terkecoh bagaimana maksudmu?!"

"Kigali bukanlah tokoh golongan hitam seperti 

yang beredar di kalangan dunia persilatan! Kalau se-

lama ini dia berpihak pada golongan hitam, dia punya 

tujuan tertentu!"

"Hem.... Kau tahu, Dadaka! Bagiku tak ada be-

danya dia dari golongan hitam apa putih! Orang golon-

gan hitam atau putih bagiku musuh besar kalau bera-

ni merambah Kampung Setan!"

"Kau masih juga mengagulkan Kampung Setan! 

Apa saat ini dunia persilatan memandang sebelah ma-

ta pada kampung mu itu?! Cerita Kampung Setan su-

dah hilang, Maladewa! Apalagi kini Kembang Darah Se-

tan sudah pindah ke tangan orang!"

"Kau salah, Dadaka! Dengan masih hidupnya 

Setan Liang Makam setelah terpendam berpuluh tahun 

satu tanda bahwa Kampung Setan masih ada! Sayang 

sekali nyawamu sudah tinggal menunggu waktu. Kalau 

tidak matamu akan lihat bagaimana Kampung Setan 

akan kembali berdiri!"

"Itu hanya impian besar, Maladewa! Dan kau


akan terkubur dalam impian besarmu!"

Setan Liang Makam tidak lagi menyambut uca-

pan Dadaka. Dia maju dua tindak. Sosoknya kini cepat 

tegak di samping tubuh Dadaka.

"Aku masih tawarkan keselamatan nyawamu. 

Bahkan aku masih bersedia memberi obat padamu, 

Dadaka!" ujar Setan Liang Makam.

"Kalau aku tahu di mana Kigali berada, aku ti-

dak berada di sini, Maladewa! Dan tanpa menunggu-

mu, akan kuselesaikan sendiri jahanam Kigali itu!"

"Kalau begitu, hidup pun kau tidak ada gu-

nanya lagi!"

Belum sampai ucapan Setan Liang Makam se-

lesai, kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan 

sambil bungkukkan tubuh.

Rupanya Dadaka sudah maklum. Dalam kea-

daan begitu rupa, dengan luar biasa sekali Dadaka 

masih sempat sentakkan tangan kanannya meski ge-

rakan tangan itu hanya mengandalkan tenaga luar. 

Hebatnya lagi, sentakan tangan kanannya mendahului 

gerakan kedua tangan Setan Liang Makam yang hen-

dak menghantam batok kepalanya!

Bukkk!

Kaki kiri Setan Liang Makam bergetar dan ber-

gerak. Hal ini membuat hantaman kedua tangannya 

melenceng dari kepala Dadaka. 

Dadaka tidak menunggu, dia cepat bergulingan. 

Lalu kaki kanannya bergerak hendak susuli sentakan 

tangan kanannya. Dia masih arahkan tendangan pada 

kaki kanan Setan Liang Makam, karena dia tahu, da-

lam keadaan berada di atas angin melihat lawan sudah 

tak berdaya, seorang akan lupa pada pertahanan ba-

wahnya.

Namun Setan Liang Makam rupanya tidak mau


mengulangi kelengahan. Begitu kaki Dadaka bergerak 

lakukan tendangan, Setan Liang Makam cepat sambuti 

dengan putar tubuh setengah lingkaran lalu ayunkan 

kakinya.

Prakkk!

Dadaka menjerit tinggi. Karena tendangan ka-

kinya hanya mengandalkan tenaga luar maka tak am-

pun lagi bukan hanya kakinya yang mencelat mental, 

namun sosoknya pun melayang sampai satu setengah 

tombak!

Setan Liang Makam tidak memberi kesempatan 

lagi. Bersamaan dengan melayangnya tubuh Dadaka, 

sosoknya melesat. Begitu berada di udara dan hanya 

sejarak lima jengkal, kedua tangannya dihantamkan 

ke dada Dadaka!

Bukkk! Bukkk!

Dadaka tidak kuasa lagi perdengarkan suara. 

Sosoknya langsung terbanting di atas tanah dengan 

dada rengkah!

Setan Liang Makam sesaat pandangi sosok tu-

buh Dadaka yang sudah tak bernyawa lagi. Lalu kepa-

lanya mendongak. Entah apa yang sedang dipikirkan 

manusia ini. Karena dia mendongak dalam waktu la-

ma. Kalaupun dia gerakkan kembali kepalanya, itu 

bersamaan dengan gerakan kakinya yang menghentak 

hingga sosoknya pun melesat tinggalkan tempat itu.

*

* *


SEBELAS


DALAM ketemaraman suasana dan dinginnya 

udara menjelang penghujung malam itu, penunggang 

kuda yang berlari laksana dikejar setan itu tarik tali 

kekang kuda tunggangannya ketika sepasang matanya 

menangkap lobang menganga hitam sepuluh tombak 

di depan sana.

Binatang tunggangan itu angkat kaki depannya 

tinggi dengan moncong perdengarkan ringkihan keras. 

Saat kaki depannya menghentak kembali ke atas ta-

nah, si penunggang sudah tidak tampak lagi di atas 

pelananya! Dan tahu-tahu di dekat lobang menganga 

hitam yang ternyata adalah sebuah jurang yang sangat 

curam, telah tegak satu sosok tubuh.

Dia adalah seorang perempuan. Meski wajah-

nya sudah tidak muda lagi, tapi paras mukanya masih 

membayangkan kecantikan. Bahkan sepasang ma-

tanya tampak tajam. Orang ini sejenak arahkan pan-

dangan matanya ke seberang jurang. Karena suasana 

masih agak gelap, dia hanya melihat rimbun kehita-

man dan batu-batu yang juga berwarna hitam. Me-

mandang sekeliling pun orang ini masih melihat 

bayangan hitam. Namun bukan untuk melihat warna-

warna hitam orang ini memandang berkeliling. Dia in-

gin yakinkan diri bahwa di tempat itu tidak ada orang 

lain! Jelas pertanda kalau kedatangannya tidak ingin 

diketahui orang dan pasti punya maksud tertentu.

Setelah yakin dia berada sendirian, dia arahkan 

pandangannya ke jurang di depannya. "Hem.... Aku 

harus menunggu sampai suasana terang! Aku baru 

pertama kali ini datang kemari! Aku tidak boleh ber-

tindak gegabah!" bisiknya lalu setelah memandang


berkeliling sekali lagi, dia perlahan-lahan melangkah 

dan dudukkan diri pada sebuah lamping batu. Sepa-

sang matanya sudah memejam. Namun bukan berarti 

perempuan ini tertidur. Karena meski sepasang ma-

tanya terpejam rapat, sesekali kepalanya bergerak.

Tidak berapa lama, dari arah timur perlahan-

lahan sinar terang menebar, pertanda tak lama lagi 

sang surya akan muncul. Si perempuan masih belum 

beranjak. Dia baru bangkit setelah cahaya sang surya 

mampu menerangi tempat di mana dia berada.

Perlahan-lahan si perempuan melangkah ke 

arah pinggir jurang. Matanya memandang ke bawah. 

Meski masih agak gelap, tapi dia kini dapat melihat 

keadaan di bagian lamping jurang.

"Hem.... Aku tidak bisa langsung melihat ke da-

sar jurang. Pertanda jurang ini sangat dalam. Bagai-

mana bisa betah Pendeta Sinting hidup bertahun-

tahun di dalamnya?!" gumam si perempuan. Dari gu-

maman si perempuan jelas menunjukkan kalau jurang 

di hadapannya adalah Jurang Tlatah Perak, tempat 

kediaman Pendeta Sinting, Eyang Guru Pendekar Pe-

dang Tumpul 131 Joko Sableng.

SI perempuan pandangi lebih seksama bagian 

samping jurang. "Hem.... Tumbuhan yang banyak dl 

bagian samping itu kiranya dapat kubuat sebagai jem-

batan untuk sampai ke dasar jurang. Dan dengan ja-

lan turun sedikit demi sedikit, aku akan lebih leluasa 

melihat keadaan di bawah!"

Memikir sampai di situ, akhirnya si perempuan 

kerahkan tenaga dalam. Dalam beberapa saat, sosok-

nya

telah melesat turun ke dalam jurang. Mula-

mula dia hentikan layangan tubuhnya pada sebuah 

pohon yang merambat di lamping jurang. Lalu melesat


turun lagi dan berhenti pada pohon dl bawahnya sam-

bil melihat keadaan di bawah. Hal itu dilakukan si pe-

rempuan sampai pada akhirnya dia dapat melihat da-

sar jurang.

Si perempuan agak lama menunggu. Sepasang 

matanya terus mengawasi bagian bawah jurang yang 

hanya sejarak delapan tombak di bawahnya. Namun 

hingga lama memperhatikan, dia tidak menangkap ge-

rakan orang.

"Apa tempat ini telah ditinggal penghuninya?! 

Tapi Kiai Lidah Wetan tak mungkin menunjukkan 

tempat yang sudah tidak berpenghuni!! Atau barang-

kali dia tahu kedatangan ku...? Hem.... Persetan! Dia 

tahu atau tidak, yang pasti aku harus bertemu den-

gannya!"

Si perempuan gerakkan kedua tangannya. Tu-

buhnya meluncur lalu tegak di dasar jurang. Kepala si 

perempuan cepat bergerak berputar. Sepasang ma-

tanya liar memperhatikan. Namun sejauh ini tidak me-

lihat siapa-siapa!

Si perempuan mulai melangkah dengan sikap 

waspada. Namun hingga dia mondar-mandir beberapa 

kali, tetap saja tidak melihat orang. Si perempuan mu-

lai khawatir.

"Hem.... Jangan-jangan tempat ini memang su-

dah kosong! Dan melihat keadaannya, ada orang lain 

yang datang ke tempat ini sebelum aku!" Si perempuan 

meneliti tempat di mana dia berada. "Apa yang harus 

kulakukan sekarang?! Mencarinya di luar sana?! 

Hem.... Itu mungkin satu-satunya jalan terbaik. Sambil 

mencari Pendeta Sinting, aku akan menemui Saraswa-

ti...."

Habis menggumam begitu, mendadak wajah si 

perempuan berubah. Tanpa sadar mulutnya berkata.


"Anakku.... Dalam masa tuaku ini, sebenarnya aku in-

gin habiskan untuk hidup bersamamu.... Tapi, nya-

tanya hatiku masih belum bisa tenang sebelum semua 

kekecewaan hati ini terbalaskan! Kuharap nantinya 

kau bisa mengerti perasaan ibumu ini.... Ini semua ku-

lakukan demi ketenangan hidup kita berdua! Kalau-

pun saat ini aku harus kembali pada Kiai Lidah Wetan, 

itu hanya untuk sementara. Begitu semuanya sele-

sai...."

Si perempuan tidak lanjutkan ucapannya. Se-

baliknya dia mendongak. Beberapa pohon yang me-

rambat di samping jurang tampak bergerak-gerak. 

"Ada orang...," desisnya lalu berkelebat dan menyelinap 

sembunyi.

Baru saja si perempuan mendekam sembunyi, 

satu sosok tubuh melesat turun dan tegak di dasar ju-

rang. Dari gerakan orang, siapa pun dia adanya pasti 

memiliki kepandaian tinggi.

"Mungkinkah dia?!" kata si perempuan dari 

tempat persembunyiannya. Lalu perlahan-lahan dia 

arahkan pandang matanya pada sosok yang baru 

muncul.

Si perempuan seketika pentang matanya besar-

besar. Malah kalau saja dia tidak tekap mulut, niscaya 

akan terdengar seruan.

"Menuruti keterangan Kiai Lidah Wetan, aku 

yakin bukan ini manusianya yang kucari! Tapi bagai-

mana manusia ini bisa muncul di sini?! Apa dia juga 

mencari Pendeta Sinting?! Apa aku harus mene-

muinya...?!"

Selagi si perempuan membatin, tiba-tiba orang 

yang baru muncul sudah perdengarkan ucapan.

"Pendeta Sinting! Keluarlah! Kita perlu bicara!"

"Hem.... Dari ucapannya, dugaanku tidak meleset! Aku akan menunggu dahulu. Siapa tahu Pendeta 

Sinting masih sembunyikan diri!" kata si perempuan 

seraya memperhatikan orang dl depan sana. Orang ini 

ternyata adalah seorang laki-laki. Namun paras dan 

sekujur tubuhnya tidak saja mengerikan, namun juga 

angker! Karena orang ini hanya merupakan susunan 

dari kerangka tanpa daging!

Mendapati teriakannya tidak mendapat sambu-

tan, atau tidak ada tanda-tanda akan munculnya 

orang, orang yang baru muncul dan bukan lain adalah 

Setan Liang Makam berteriak lagi.

"Pendeta Sinting! Aku hanya akan ulangi sekali 

lagi ucapanku! Keluarlah!"

Setan Liang Makam menunggu. Maklum tidak 

ada suara sahutan atau tanda-tanda gerakan, Setan 

Liang Makam putar kepala dengan mata dibelalakkan.

Di balik tempat persembunyiannya, dada si pe-

rempuan berdebar. Karena mendadak kepala Setan 

Liang Makam berhenti tepat menghadap ke tempat 

mana dia sembunyikan diri. "Apakah dia tahu kebera-

daanku di sini?!"

Baru saja si perempuan membatin begitu, Se-

tan Liang Makam telah buka suara.

"Keluarlah! Atau kuhancurkan tempat persem-

bunyianmu itu!"

"Dia sudah tahu, tak ada gunanya sembunyi-

kan diri!" Berpikir begitu akhirnya si perempuan berke-

lebat keluar dan tegak sepuluh langkah di hadapan Se-

tan Liang Makam.

Sesaat Setan Liang Makam memperhatikan so-

sok yang tegak di depan sana. "Dari yang kudengar, 

Pendeta Sinting adalah seorang laki-laki! Mengapa 

yang muncul makhluk lain?!"

Namun Setan Liang Makam tak mau berpikir


terlalu lama. Begitu tahu yang muncul seorang perem-

puan, dia cepat membentak.

"Di mana Pendeta Sinting?!"

Si perempuan tidak segera menjawab. Diam-

diam dia membatin. "Apakah Kiai Lidah Wetan sengaja 

menyuruhku ke tempat ini untuk bertemu dengan 

manusia ini?! Apakah dia masih memendam dendam 

akibat sakit hati di masa lalu itu?! Kalau betul.... Men-

gapa dia melakukan dengan cara ini?! Tapi dari uca-

pan-ucapannya, kurasa tidak mungkin! Tapi hati 

orang siapa tahu?! Bukankah saat ini dia juga sedang 

melakukan sesuatu dengan jalan licik...."

Dari cara membatin si perempuan menunjuk-

kan kalau si perempuan bukan lain adalah Lasmini. 

Kekasih Kiai Lidah Wetan waktu masih muda.

"Perempuan! Di mana Pendeta Sinting?!" Setan 

Liang Makam membentak lagi.

"Kau tak akan mendapat jawaban apa-apa da-

riku, karena aku pun datang perlu mencari orang yang 

kau tanyakan!"

"Hem.... Sebutkan siapa dirimu, Perempuan!" 

"Namaku tidak ada artinya bagi orang lain!" Tulang wa-

jah Setan Liang Makam tampak bergerak-gerak. Na-

mun sebelum orang ini buka mulut lagi, Lasmini telah 

mendahului.

"Orang yang sama kita cari tidak ada! Bukan-

kah lebih baik kita segera tinggalkan tempat ini?!" 

Sambil berkata, Lasmini tampak sunggingkan senyum. 

Perempuan ini rupanya berpikir panjang. Dia merasa 

yakin, orang di hadapannya bukan orang sembaran-

gan. Sementara dirinya saat ini tengah berusaha mem-

balaskan sakit hatinya.

Dia sudah paham siapa-siapa saja yang mung-

kin akan dihadapi. Kalau saja dia bisa bersahabat tan?!"

"Aku tidak akan jawab pertanyaanmu!"

Lasmini tersenyum. "Aku tahu siapa dirimu,

Sahabat! Kau telah lama menghilang dari rimba persi-

latan! Saat ini kau butuh seseorang yang tahu banyak 

tentang seluk beluk dunia persilatan! Kalau tidak, ilmu 

tinggi yang kau miliki tidak akan ada artinya apa-apa!"

"Kau jangan menggurui ku!"

"Aku menawarkan diri sebagai sahabat! Kita 

saling membantu tanpa mencampuri urusan masing-

masing!"

"Bantuan apa yang bisa kau berikan padaku, 

hah?!"

"Aku memang tidak memiliki ilmu setinggi yang 

kau miliki! Tapi aku tahu banyak tentang tokoh-tokoh 

dunia persilatan! Saat ini tentu kau butuh keterangan 

banyak, karena kau harus mencari orang-orang yang 

belum kau kenal betul! Tanpa adanya orang yang 

memberi keterangan, tidak tertutup kemungkinan kau 

salah sasaran! Bahkan mungkin saja kau menduga 

musuhmu telah mampus, padahal dia masih enak-

anakan!"

"Hem.... Ada benarnya juga ucapan perempuan 

ini!" kata Setan Liang Makam dalam hati. Lalu berkata.

"Kita bersahabat! Tapi kalau kau berani berk-

hianat, taruhan mu adalah nyawa!"

Lasmini lagi-lagi sunggingkan senyum. "Persa-

habatan di antara kita hanya untuk saling membantu. 

Jadi bukankah tidak ada untungnya kalau di antara 

kita berkhianat?"

"Bagus! Sekarang kau bisa menduga ke mana 

kira-kira Pendeta Sinting?!"

"Ada beberapa tempat! Itu kita bicarakan sambil jalan!"


Habis berkata begitu, Lasmini melangkah den-

gan kepala mendongak. Tempat di mana mereka ber-

dua berada telah terang benderang meski udaranya 

lembab. "Kita sekarang keluar dari sini!"

"Tunggu!" tahan Setan Liang Makam tatkala 

melihat Lasmini hendak melesat ke atas. "Kau belum 

katakan siapa dirimu!"

Tanpa menoleh pada Setan Liang Makam, Las-

mini menyahut. "Namaku Lasmini!"

"Apa sebenarnya urusanmu dengan Pendeta 

Sinting?!"

"Kita masih punya banyak waktu untuk bica-

ra....

Lagi pula udara di tempat ini membuat perutku 

mual!"

"Lasmini...." Setan Liang Makam sebut nama 

itu berulang-ulang. "Setan! Mendekam di tempat cela-

ka itu membuatku lupa dengan manusia-manusia 

yang pernah kukenal!" Akhirnya Setan Liang Makam 

memaki sendiri begitu tidak bisa mengingat orang.

Sementara mendengar umpatan Setan Liang 

Makam, Lasmini tampak tersenyum. Lalu berujar.

"Itulah mengapa kukatakan kau butuh seorang 

sahabat! Sambil jalan, nanti akan ku jelaskan siapa di-

riku dan orang-orang yang kini dikenal dalam rimba 

persilatan!"

Habis berkata begitu, Lasmini jejakkan sepa-

sang kakinya. Sosoknya melesat ke atas. Seperti hal-

nya waktu turun, dia naik ke atas dengan jalan mena-

pak dari satu pohon ke pohon lain di samping jurang.

Setan Liang Makam pandangi sejenak sosok 

Lasmini yang sudah berada di atas sana. Lalu meman-

dang berkeliling seolah belum percaya kalau tempat di 

mana dia berada sudah ditinggal penghuninya. Saat


lain manusia dari Kampung Setan ini telah ikuti jejak 

Lasmini melesat ke atas dengan jalan menapak dari 

pohon ke pohon lain yang banyak merambat di lamp-

ing Jurang Tlatah Perak.

*

* *

DUA BELAS



BARU saja Lasmini dan Setan Liang Makam je-

jakkan kaki masing-masing di bagian atas Jurang Tla-

tah Perak, gerakan mereka berdua tertahan. Meman-

dang ke depan, kedua orang ini sama kerutkan dahi 

masing-masing.

"Kalau memang sembunyi mengapa kepalanya 

masih digerak-gerakkan sepertinya seolah menunjuk-

kan, kalau tidak sembunyi mengapa berada di bela-

kang pohon?!" Lasmini membatin.

Dari tempat masing-masing, kedua orang ini 

melihat sebuah kepala milik seorang laki-laki yang 

bergerak-gerak di balik sebatang pohon. Karena di-

tunggu agak lama tak juga ada tanda-tanda orang di 

balik pohon akan muncul, Lasmini dan Setan Liang 

Makam segera berkelebat dan tahu-tahu keduanya te-

lah berada d! balik pohon mana terlihat gerakan-

gerakan kepala orang.

Sesaat Lasmini dan Setan Liang Makam sama 

saling pandang. Lalu memandang lagi ke depan. Ter-

nyata di balik pohon itu duduk berlutut seorang laki-

laki berusia lanjut. Rambutnya putih tipis. Mengena-

kan pakaian lusuh berwarna putih. Tangan kanannya 

memegang tongkat kayu butut. Tangan kiri diletakkan


di atas paha. Dan ternyata gerakan kepala orang ini 

semata-mata karena orang ini ingin bersin.

"Siapa orang tua ini?!" kata Lasmini dalam hati 

karena setelah agak lama memperhatikan, dia tidak bi-

sa mengenali siapa adanya orang.

Belum sampai dia membatin lebih lama, Setan 

Liang Makam telah mendekat dan berbisik. "Siapa ge-

rangan manusia itu?!"

Terus terang, yang satu ini baru kuketahui saat 

ini! Tapi apa peduli kita...? Dia tampaknya bukan 

orang yang dikenal dalam rimba persilatan! Kita segera 

tinggalkan tempat ini!"

"Jangan tolol, Perempuan! Justru orang yang 

tidak begitu dikenal namanya dalam dunia persilatan 

biasanya yang sangat membahayakan! Kau lihat, dia 

seolah acuh dengan kehadiran kita! Dan kalau dia be-

rada di dekat sini, pasti masih ada sangkut pautnya 

dengan Pendeta Sinting!"

Lasmini memandang sejenak pada orang yang 

duduk berlutut. Lalu melangkah maju.

"Brusss! Brusss! Brusss!"

Orang di depan sana tiba-tiba sudah perden-

garkan bersinan. Lasmini tersentak kaget. Karena me-

rasakan dirinya dilanggar gelombang angin luar biasa 

dahsyat, hingga kalau dia tidak buru-buru lipat gan-

dakan tenaga dalam, niscaya bukan saja langkahnya 

akan tertahan, namun tidak mustahil tubuhnya akan 

tersapu ke belakang! Lasmini cepat maklum akan kea-

daan. Kalau tadi dia mendekat dengan melangkah, kini 

dia langsung melompat dan tahu-tahu tegak di depan 

orang yang baru perdengarkan bersinan dan bukan 

lain adalah Datuk Wahing.

"Orang asing! Siapa kau?!" Lasmini sudah 

membentak garang.


"Heran. Mengapa setiap orang yang kutemui 

tanya siapa diriku?! Apa yang mengherankan pada di-

riku?!"

Pengalaman selama bertahun-tahun dalam 

kancah rimba persilatan membuat Lasmini sadar, ka-

lau orang yang dihadapinya saat ini tidak mungkin 

mau katakan siapa dirinya. Maka masih dengan mem-

bentak, dia lanjutkan ucapan.

"Orang tua! Apa hubunganmu dengan Pendeta 

Sinting?!"

Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya 

yang pulang balik ke depan ke belakang dengan mimik 

meringis persis dengan orang yang ingin bersin.

"Heran. Baru sekali ini dengar nama Pendeta

Sinting. Adalah mengherankan kalau orang sudah me-

nanyakan apa hubungan ku dengannya!" Datuk Wah-

ing seolah bicara sendiri lalu luruskan kepala dengan 

mata memandang ke arah Lasmini. Lalu saat lain bera-

lih pada Satan Liang Makam yang tegak agak jauh.

"Maaf.... Bukankah terlalu mengherankan ka-

lau kau tanya hubungan ku dengan orang yang belum 

kukenal?! Yang tidak mengherankan justru bila aku 

tanya, dari mana kalian berdua?! Dan apa saja yang 

baru kalian kerjakan di dalam jurang sana?! Adalah 

aneh dan mengherankan kalau dua orang keluar dari 

dalam jurang tanpa mengerjakan apa-apa di bawah 

sana... Bruss! Brusss!"

"Itu urusan kami berdua!" hardik Lasmini. Lalu 

perempuan ini memberi isyarat pada Setan Liang Ma-

kam untuk segera tinggalkan tempat itu dan tidak me-

layani orang. Namun Setan Liang Makam tidak tang-

gapi isyarat Lasmini. Dia melompat dan tegak di samp-

ing Lasmini sambil berkata.

"Aku yakin, manusia ini pasti ada kaitannya


dengan Pendeta Sinting!"

"Tapi apa peduli kita! Kita tak butuh orang ini! 

Kita mencari Pendeta Sinting!" ujar Lasmini dengan 

suara pelan.

Namun Setan Liang Makam rupanya tidak 

acuhkan ucapan Lasmini. Dia segera maju dua tindak. 

"Manusia! Kalau kau tidak ada hubungan dengan Pen-

deta Sinting, lekas enyah dari tempat ini!" Setan Liang 

Makam sengaja membuat orang panas.

"Bruss! Brusss!"

"Heran.... Apa dikira ini tanah milik moyang-

nya?!" gumam Datuk Wahing. Lalu perlahan-lahan 

orang tua ini bergerak bangkit. Memandang satu per-

satu pada orang di hadapannya. Saat lain dia bersin ti-

ga kali. Lalu balikkan tubuh sambil berkata.

"Padahal aku tahu dan tidak heran, kalau ta-

nah ini milik sahabatku!"

"Kau dengar?" tanya Setan Liang Makam pada 

Lasmini. "Ucapannya menunjukkan kalau manusia itu 

ada hubungannya dengan Pendeta Sinting!"

Lasmini tidak menyahut ucapan Setan Liang 

Makam. Sebaliknya dia segera melompat dan mengha-

dang di depan Datuk Wahing.

"Siapa pun kau adanya, kau harus memberi ke-

terangan!"

"Heran. Keterangan apa yang bisa kuberikan 

padamu?! Mengherankan sekali! Aku datang jauh-jauh 

perlu keterangan, malah di sini diminta keterangan! 

Mengapa aku selalu menemui hal-hal yang membua-

tku terus terheran-heran...."

"Hem.... Kau cari keterangan Pendeta Sinting?!"

"Brusss! Brusss!"

"Kau pintar menebak! Tapi aku tak heran kalau 

tebakanmu kali ini salah!"


"Hem.... Lalu keterangan apa yang kau butuh-

kan?" Lasmini coba mengorek keterangan dari Datuk 

Wahing.

"Kalau kukatakan, apa kau nanti tidak heran?!"

Lasmini agak jengkel. Namun dia masih bisa 

menindih perasaan. Dia segera menyahut. "Katakan 

saja!"

"Aku heran ketika melihat kau bersama te-

manmu itu keluar dari jurang. Itulah keterangan yang 

kubutuhkan.... Bisa hilangkan keheranan ku ini?!"

"Jahanam! Kau rupanya tidak mau dibuat 

sungguh-sungguh!" Lasmini tak sabar. Dia cepat me-

lompat ke depan dengan kedua tangan berkelebat la-

kukan gebukan pada Datuk Wahing.

"Tunggul" tahan Datuk Wahing sambil angkat 

tongkat kayu bututnya dilintangkan di depan dada.

"Aku heran kau marah-marah begitu rupa 

mengetahui apa yang kukatakan! Aku datang bukan 

cari musuh.... Kalau kalian tidak suka kehadiranku di 

sini, apa bagiku mengherankan kalau lebih baik pergi 

dari sini?"

Habis berkata begitu, Datuk Wahing balikkan 

tubuh lalu perlahan-lahan melangkah. Lasmini hendak 

mengejar, namun tahu-tahu Setan Liang Makam telah 

tegak di sampingnya dengan lintangkan tangan mem-

beri isyarat agar Lasmini tahan niat.

Sejarak kira-kira dua belas langkah, Datuk 

Wahing berhenti. Kepalanya ditengadahkan. Saat lain 

tiba-tiba orang ini perdengarkan bersin beberapa kali.

Lasmini dan Setan Liang Makam terkesiap. Su-

ara bersinan orang kali ini mampu membuat gendang 

telinga masing-masing orang laksana ditusuk! Bukan 

hanya itu saja. Suara bersinan itu terus tak henti-

hentinya dan memantul ke delapan penjuru mata angin.

Begitu suara bersinan lenyap, sosok Datuk 

Wahing sudah tidak kelihatan lagi. Setan Liang Makam 

dan Lasmini saling pandang. Tiba-tiba Setan Liang 

Makam pentangkan mata memandang berkeliling.

"Jahanam! Dia orang yang kucari!"

"Hai! Dia bukan Pendeta Sinting!" ujar Lasmini.

"Benar! Tapi dia orang yang kucari! Pantulan 

suara yang dimilikinya...." Setan Liang Makam tidak 

lanjutkan ucapannya. Dia cepat berkelebat. Lasmini 

sejenak tampak bingung. Namun saat lain dia menge-

jar Setan Liang Makam meski tidak mengerti apa mak-

sud ucapan kawan barunya itu.


                         SELESAI



Segera ikuti lanjutannya!!! Serial

Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng dalam episode :


RAHASIA KAMPUNG SETAN


Share:

0 comments:

Posting Komentar