SATU
Lasmini tegak dengan sosok bergetar keras. Mulut-
nya menganga tak lanjutkan ucapan. Sepasang ma-
tanya berkilat mendelik angker. Dadanya langsung di-
buncah kemarahan luar biasa. Di matanya kembali
terkenang peristiwa yang terjadi di depan Istana Hantu
pada beberapa waktu silam.
Seperti dituturkan dalam episode: “Rahasia Kam-
pung Setan”, atas saran Kiai Lidah Wetan yang ternya-
ta adalah kekasih Lasmini di masa muda, Lasmini
mendatangi Jurang Tlatah Perak tempat kediaman
Pendeta Sinting. Ternyata Lasmini tidak berjumpa
dengan Pendeta Sinting. Justru dia berjumpa dengan
Setan Liang Makam yang punya tujuan sama.
Saat Lasmini dan Setan Liang Makam keluar dari
Jurang Tlatah Perak, mereka berdua jumpa dengan
Datuk Wahing. Setan Liang Makam marah tatkala
mendapati Lasmini tidak mengenali Datuk Wahing,
dan menyadari siapa adanya Datuk Wahing. Padahal
beberapa saat yang lalu Lasmini mengatakan banyak
mengenal beberapa tokoh rimba persilatan. Setan
Liang Makam akhirnya memerintahkan pada Lasmini
untuk pisahkan diri.
Dengan perasaan kecewa, Lasmini meninggalkan
Setan Liang Makam. Dia sempat jumpa dengan Datuk
Wahing. Tapi Datuk Wahing tetap bungkam tak mau
sebutkan siapa dirinya. Akhirnya Lasmini tinggalkan
Datuk Wahing. Saat itulah dia berjumpa dengan Kiai
Laras. Pada akhirnya Kiai Laras mau menunjukkan di
mana Pendeta Sinting berada. Dan saat sampai pada
tempat yang ditunjukkan Kiai Laras, mendadak di ha-
dapannya muncul seorang pemuda yang dikenal betul
oleh Lasmini, karena pemuda itulah yang pernah
menggagalkan usahanya dalam merebut Kitab Sundrik
Cakra di depan Istana Hantu. Si pemuda di hadapan-
nya bukan lain adalah Pendekar 131 Joko Sableng.
“Kalau bangsat kecil ini ada di sini, berarti si kepa-
rat gurunya juga berada di sini!” desis Lasmini dalam
hati. “Hari ini besar sekali rezeki ku. Yang kucari satu,
yang kudapat dua! Tapi.... Aku harus berhati-hati pada
bajingan ini! Bagaimanapun juga pasti dia sudah
mempelajari kitab di tangannya! Kemampuannya telah
terbukti dari berita kegegeran di Kedung Ombo belum
lama berselang....”
Sementara itu pemuda yang tegak di seberang se-
nyum-senyum. Seolah tidak pedulikan kemarahan
orang, Joko angkat bicara.
“Kalau tidak salah, bukankah yang tegak di hada-
panku saat ini adalah....”
Ucapan Joko belum selesai, Lasmini sudah menu-
kas dengan suara keras.
“Syukur matamu masih mengenaliku!” Lasmini
alihkan pandangan. “Kau hari ini masih beruntung,
Jahanam! Karena aku tak mau tanganku kotor dengan
simbahan darahmu! Tapi bukan berarti nyawamu akan
tetap di tubuhmu!”
Joko kerutkan dahi. “Apa maksud ucapanmu?!”
“Aku ingin kau sendiri yang memutus nyawamu!”
Pendekar 131 tertawa pendek. “Itu soal mudah! Tapi
sebelumnya aku tanya. Apakah kedatanganmu hanya
ingin menyaksikan nyawaku putus dengan tanganku
sendiri?!”
“Aku tahu, si keparat gurumu berada di sini! Un-
tuknya tanganku sendiri yang akan cabut nyawanya!”
“Ah.... Bagaimana kau bisa membeda-bedakan begi-
tu?! Apakah harga nyawaku dan nyawa guruku berbe-
da?!”
“Itu urusanku! Kau tak usah banyak mulut!”
Joko gelengkan kepala. “Aku tak akan lakukan
permintaanmu sebelum kau jelaskan perbedaan ini!”
Lasmini sentakkan kepala menghadap Joko. Dia
sengaja memerintahkan si pemuda untuk cabut nya-
wanya sendiri karena dia sadar, bahwa kepandaian si
pemuda pasti sudah jauh meningkat dibanding bebe-
rapa saat yang lalu. Lasmini tak mau bertindak ayal
untuk hamburkan tenaga, karena dia berpikir masih
harus berhadapan dengan Pendeta Sinting.
“Kau tak akan mendengar keterangan apa-apa dari
mulutku, Keparat! Dan kalau kau tak mau lakukan
ucapanku, apa kau kira nyawamu bisa selamat?!”
“Aku tidak bisa pastikan! Yang jelas aku yakin ma-
sih bisa hidup lebih lama!”
“Hem.... Begitu?!” ujar Lasmini. Belum sampai sua-
ranya usai, sosok perempuan ini telah melesat ke de-
pan. Kedua tangannya yang telah dialiri tenaga dalam
segera dikelebatkan melepas satu pukulan ke arah da-
da.
Joko tidak tinggal diam. Dua jengkal lagi tangan
Lasmini menghantam dadanya, kedua tangannya di-
angkat melintang di depan.
Bukk! Bukkk!
Benturan tak bisa dihindari. Sosok Lasmini mundur
satu tindak. Di hadapannya, Joko surut satu langkah.
Tangan masing-masing orang yang baru saja beradu
tampak bergetar.
Lasmini makin berang namun perempuan ini sedikit
bisa merasa lega, karena dari benturan tadi telah cu-
kup membuatnya maklum jika tenaga dalamnya tidak
berada di bawah lawan. Hingga keragu-raguan seketi-
ka sirna dari dadanya.
“Sepertinya tak ada perubahan pada manusia ini!”
gumam Lasmini. Saat itu juga dia telah lipat gandakan
tenaga dalamnya, dan serta-merta merangsek ke depan. Kali ini dengan bertumpu pada kaki kirinya, tu-
buhnya berputar. Saat yang sama kaki kanannya
membuat gerakan menendang.
Melihat orang lakukan tendangan, Joko mundur
dua langkah. Kaki kanannya diangkat menghadang
tendangan yang datang.
Desss!
Lasmini tersentak. Kaki kanannya mental balik. Ka-
ki kirinya yang dibuat tumpuan tubuh tampak mene-
kuk dan bergerak memutar mengikuti mentalan kaki
kanannya. Sadar akan apa yang terjadi jika lawan su-
suli hadangan kakinya dengan pukulan, Lasmini men-
dahului. Kedua tangannya segera disentakkan ke de-
pan.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang dahsyat melesat deras ke arah Jo-
ko. Di depan, si pemuda yang masih coba kuasai diri
cepat jejakkan kaki kiri yang tadi juga dipakai tum-
puan. Saat itu juga sosoknya mengudara. Gelombang
pukulan Lasmini lewat satu jengkal di bawah kakinya
menghantam udara kosong!
Lasmini menggeram. Dia teruskan putaran tubuh.
Begitu menghadap kembali ke depan, serta-merta ke-
dua tangannya dihantamkan kembali. Lasmini sengaja
arahkan pukulan ke atas dan ke bawah. Dengan begi-
tu lawan tak mungkin menghindar.
Di atas udara, Joko tarik kedua tangannya ke bela-
kang. Saat berikutnya disentakkan. Karena gelombang
yang datang menyongsong dari arah atas dan bawah,
Joko arahkan kedua tangannya ke bawah dan ke atas.
Bummm! Bummm!
Terdengar dua kali ledakan keras di udara. Sosok
tubuh Joko tampak terdorong di atas udara. Di bawah
sana, Lasmini terhuyung-huyung. Tapi perempuan ini
cepat bisa kuasai diri. Sebelum Joko sempat jejakkan
kaki, Lasmini telah hantamkan kembali kedua tangan-
nya.
Entah karena apa, meski dua gelombang yang siap
menyapu telah mencuat dari kedua tangan Lasmini,
Joko tidak membuat gerakan untuk hadang pukulan
orang. Sebaliknya dia berpaling ke arah timur.
Lasmini tersenyum dingin melihat pukulannya tidak
dihadang lawan. Dia sudah dapat menduga apa yang
akan terjadi kalau pukulannya benar-benar telak
menghantam!
Mendadak senyum Lasmini putus. Dari arah mana
kepala Joko berpaling mendadak melesat dua gelom-
bang menghadang pukulan Lasmini.
Bummm!
Lamping Bukit Kalingga kembali dicercah dentuman
keras. Sosok Lasmini tersurut dua langkah dengan da-
da bergetar keras. Di depan sana, Joko turun ke atas
tanah dengan bibir sunggingkan senyum.
Lasmini berpaling. Memandang ke depan, sepasang
matanya langsung membeliak besar. Wajahnya beru-
bah antara geram dan terkejut. Mulutnya membentak.
“Saraswati! Apa yang kau lakukan?!”
Dari arah mana tadi kepala Joko berpaling, tampak
tegak seorang pemuda berwajah tampan berkumis tipis
mengenakan pakaian hitam-hitam. Pemuda ini bukan
lain adalah Saraswati, anak perempuan Lasmini yang
masih kenakan samaran sebagai seorang pemuda.
Yang ditanya tidak menjawab. Malah arahkan pan-
dangannya ke jurusan lain. Mulutnya bergerak mem-
buka. Namun tidak terdengar suaranya!
“Saraswati....” Joko buka suara lalu seraya melirik
pada Lasmini dia melangkah mendekat.
“Tetap di tempatmu, Jahanam!” hardik Lasmini.
Saat yang sama perempuan ini membuat gerakan satu
kali. Sosoknya melesat dan tahu-tahu telah tegak di
samping Saraswati. Sesaat matanya memperhatikan
sikap anaknya.
“Saraswati! Cepat tinggalkan tempat ini!”
Saraswati gerakkan kepala lalu memandang pada
Lasmini. Kepalanya menggeleng perlahan. “Ibu....”
Hanya itu suara yang terdengar dari mulut Saraswati.
Gadis yang menyamar sebagai seorang pemuda ini tak
kuasa lanjutkan ucapannya.
“Saraswati! Kau dengar ucapanku?! Tinggalkan
tempat ini! Cepat!”
Saraswati kembali gelengkan kepala. “Maaf, Ibu....
Bukan aku tidak mau turuti ucapanmu, tapi....”
“Kau jangan ikut campur urusan ini! Dan perlu kau
dengar, meski kau anakku, bukan berarti kau bisa se-
lamatkan nyawanya!”
Habis berkata begitu, Lasmini menoleh pada Joko
yang masih tegak dengan mata memandang pada Sa-
raswati. Dada Lasmini makin bergolak panas. Dia ce-
pat angkat kedua tangannya. Namun sebelum kedua
tangannya bergerak, Saraswati telah melompat dan te-
gak di hadapan Lasmini, hingga mau tidak mau Las-
mini urungkan niat.
“Ibu.... Urusan yang lalu tidak usah diperpanjang
lagi! Anggap semuanya sudah berakhir!”
“Saraswati! Keputusan sudah kuambil! Nyawa anj-
ing keparat itu harus putus di tanganku! Tidak seo-
rang pun bisa menghalangi meski kau!” Lasmini ge-
rakkan tangan menarik lengan Saraswati untuk me-
nyingkir dari hadapannya. Saat lain keduanya telah
berkelebat sambil Lasmini lepaskan pukulan ke arah
Joko.
Saraswati tidak berdiam diri. Dia cepat melompat ke
depan. Kedua tangannya mendorong gerakan kedua
tangan Lasmini. Hingga meski dari kedua tangan Las-
mini melesat dua gelombang angin luar biasa dahsyat,
tapi arahnya sudah jauh melenceng dari sasaran!
Kalau tadi hanya menggertak, kali ini rupanya Las-
mini sudah tidak bisa lagi menahan kemarahan meli-
hat tindakan Saraswati. Tampangnya berubah menge-
tam. Sepasang matanya mendelik angker. Kedua tan-
gannya yang baru saja lepaskan pukulan ke arah Joko
cepat ditarik pulang dan diangkat tinggi-tinggi ke atas.
“Kau telah berlaku bodoh, Saraswati!” Kedua tangan
Lasmini sudah bergerak.
Di hadapannya, Saraswati tegak dengan kancingkan
mulut dan memandang tajam pada gerakan kedua
tangan ibunya. Gadis ini tidak membuat gerakan apa-
apa.
Baru setengah jalan, mendadak Lasmini sentakkan
kedua tangannya kembali ke belakang. Sepasang ma-
tanya memandang ke jurusan lain dengan dada berge-
rak turun naik tak teratur dengan keras.
“Saraswati!” kata Lasmini dengan suara bergetar
dan parau. “Kau harus tahu.... Siapa manusia jaha-
nam itu, siapa dirimu, lebih-lebih siapa aku!” Lasmini
hadapkan wajah pada Saraswati. “Kau jangan tertipu
dengan perasaan! Perasaan hanya akan membawamu
tenggelam dalam ketololan! Tak tahu mana benar, ma-
na salah! Tak bisa membedakan mana yang harus kau
lakukan dan mana yang tidak harus kau laksanakan!”
Saraswati menentang pandangan ibunya. Namun
sejauh ini dia belum buka mulut menyahut. Sementara
di seberang sana, Joko memandang kedua ibu dan
anak itu dengan senyum.
“Saraswati! Kuharap kau mengerti dan turuti per-
mintaan ibumu!”
“Ibu.... Menurutku, antara Ibu dengan pemuda itu
tidak ada urusan! Kalaupun ada, bisa diselesaikan
tanpa harus mengadu jiwa!”
Lasmini tertawa perlahan mendengar ucapan anak
nya. “Itu bukti bahwa kau belum tahu siapa dirimu,
siapa pemuda bangsat itu serta siapa aku!”
“Kalau boleh tahu, apakah ada silang sengketa lain
antara Ibu dengan pemuda itu selain urusan yang ter-
jadi di Istana Hantu beberapa waktu silam?!” tanya Sa-
raswati.
“Hem.... Jadi urusan di Istana Hantu itu kau ang-
gap persoalan sepele yang bisa diselesaikan dengan
ucapan, begitu?!”
“Kalau diselesaikan dengan kekerasan, apa Ibu kira
bisa tuntas?!” Saraswati balik bertanya. Lalu kepala
gadis yang menyamar sebagai seorang pemuda ini
menggeleng. “Tidak, Ibu.... Justru kalau urusan ini
diselesaikan dengan cara Ibu, akan timbul urusan ba-
ru....”
“Kau tak tahu, Saraswati! Dalam dunia persilatan,
semua ujung persoalan baru tuntas jika salah seorang
sudah tewas! Kalaupun nantinya timbul urusan baru,
itu urusan lain. Inilah sebuah risiko yang harus di-
tanggung manusia yang terjun dalam kancah persila-
tan!”
“Ibu.... Anggaplah itu satu yang lazim dalam dunia
persilatan! Tapi sebagai manusia biasa, bukankah kita
bisa ambil jalan yang terbaik?! Kalau urusan bisa dis-
elesaikan dengan baik-baik, untuk apa harus melaku-
kan pembunuhan?!”
“Kau belum bisa melihat dalamnya urusan, Anak-
ku!” ujar Lasmini pelan dengan menarik napas dalam.
“Baiklah.... Kali ini aku turut saran mu. Kau mengata-
kan persoalan bisa diatasi dengan baik-baik! Sekarang
coba kau minta kitab yang ada di tangannya! Kalau dia
memberikan apa yang kau minta, berarti ucapanmu
benar dan urusan selesai!”
Saraswati pandangi ibunya dengan paras bimbang.
Untuk beberapa saat gadis ini diam. Lasmini tertawa.
Lalu berkata.
“Mengapa kau diam, Anakku?! Bukankah kau bi-
lang urusan ini bisa tuntas dengan ucapan? Tanpa ha-
rus saling bunuh?!”
“Ibu.... Kitab itu sudah menjadi haknya! Tak mung-
kin....”
Belum selesai Saraswati berucap, Lasmini telah
menyahut. “Sebuah kitab diciptakan bukan untuk di-
haki seseorang! Dan urusan ini adalah urusan kitab
itu!” Lasmini sunggingkan senyum. “Sekarang aku
tanya padamu, kalau kau bimbang, apa kau masih
berpikir urusan ini bisa diselesaikan dengan baik-
baik?!”
Mungkin untuk buktikan ucapannya, atau karena
khawatir terjadi lagi saling baku hantam antara ibunya
dengan Joko, pemuda yang secara diam-diam telah
merebut hatinya, Saraswati berpaling pada Joko. Na-
mun sebelum Saraswati berucap, dari seberang sana
Joko telah angkat bicara.
“Sebuah kitab diciptakan memang bukan untuk
dimiliki seseorang! Namun siapa pun manusianya yang
telah mendapatkan sebuah kitab sakti, maka adalah
tindakan bodoh jika begitu saja diberikan pada orang
yang meminta! Dan siapa pun manusianya akan lebih
baik mampus daripada harus menyerahkan kitab di
tangannya!”
Lasmini tertawa. “Anakku.... Kau dengar ucapan-
nya?! Dengar, Saraswati! Dalam urusan dunia persila-
tan, kalau kita memakai perasaan maka kita tidak
akan mendapatkan apa-apa! Malah apa yang sudah ki-
ta dapat bisa saja lepas ke tangan orang lain!”
Lasmini sorongkan kepalanya mendekat ke arah
kepala Saraswati lalu berbisik.
“Dan kau harus tahu, Anakku! Pemuda macam dia
tidak patut diberi perasaan! Kalau dia punya perasaan
padamu dan memandangku, pasti dengan suka rela
apa yang kau minta akan diberikan! Apa kau masih
menaruh perasaan pada jahanam macam itu?! Aku te-
lah merasakan betapa pahitnya dikecewakan, Anak-
ku....”
Saraswati makin bimbang. Dia tidak tahu harus
berbuat apa. Dia tidak mau terjadi saling bunuh anta-
ra ibunya dengan Joko. Namun dari ucapan ibunya
serta kata-kata Joko, sepertinya baku hantam tak bisa
dihindarkan lagi.
“Anakku.... Aku tahu bagaimana perasaanmu pada
jahanam keparat itu! Kau tidak usah membohongi Ibu!
Kau jatuh cinta padanya kan?! Tapi apakah kau tahu
perasaannya? Apakah kau tahu dia juga tertarik pa-
damu?! Melihat peristiwa di Istana Hantu, rasanya aku
menyangsikan keparat itu! Kalaupun saat itu dia men-
gatakan tertarik padamu, mungkin dia punya maksud
tertentu, karena kau adalah anak dari penguasa Istana
Hantu di mana tersimpan kitab sakti! Kau jangan ter-
bawa pada ucapan laki-laki, Anakku! Setiap laki-laki
yang punya maksud tersembunyi, dia akan bermuka
manis dan berkata muluk-muluk! Tapi begitu mak-
sudnya tercapai, akan kelihatan siapa dia sebenarnya!”
Paras wajah Saraswati tampak berubah memerah.
Gadis ini tidak berani berpaling pada ibunya. Lasmini
melirik pada Joko, lalu lanjutkan ucapannya.
“Saraswati.... Kau masih ingin hidup bersamaku,
bukan?!”
Saraswati gerakkan kepala menoleh tanpa buka su-
ara. Lasmini arahkan pandang matanya ke jurusan
lain seraya berkata. “Kalau ya, kuharap kau tinggalkan
tempat ini dan menungguku di tempat yang telah kau
sebutkan! Kalau tidak, aku tanya apa maumu seka-
rang!”
Saraswati sungguh tidak menduga kalau dihadapkan dengan pilihan yang amat sulit. Di satu pihak,
dia memang ingin hidup berdampingan dengan ibunya
yang telah lama terpisah. Di lain pihak, bagaimanapun
juga dia tidak mau Joko terbunuh!
Karena Saraswati tidak juga menjawab, Lasmini
angkat bicara lagi.
“Kau harus dapat memberi ku ketegasan, Saraswa-
ti!”
Karena masih dalam keadaan bingung, Saraswati
menggeleng. Sementara sepasang matanya melirik pa-
da Joko.
Lasmini mulai jengkel melihat sikap Saraswati. Da-
danya sesak. Ini menambah kegeramannya pada Joko.
Hingga tak lama kemudian dia berkata.
“Baik! Aku telah memberimu kesempatan untuk
memberi ketegasan, tapi kau tidak mau! Sekarang ku-
harap kau tidak ikut campur urusanku! Ini urusan
persilatan! Bukan urusan antara ibu dan anak!”
Habis berkata begitu, Lasmini melompat ke depan.
Saraswati masih tampak diam karena dilanda kebim-
bangan. Sementara di seberang sana, Joko sudah ang-
kat kedua tangannya. Lasmini yang sudah tidak saba-
ran segera pula angkat kedua tangannya.
“Tahan!” Tiba-tiba Saraswati berteriak. Lalu berke-
lebat dan tegak di hadapan Lasmini.
***
DUA
Saraswati hanya tegak tanpa berkata apa-apa. Saat
lain gadis ini balikkan tubuh membelakangi Lasmini
menghadap Joko. Untuk beberapa saat Saraswati me-
mandang dengan dada berdebar. Setelah kuatkan hati,
akhirnya mulutnya membuka perdengarkan suara.
“Pendekar 131! Demi kebaikan bersama, kuharap
kau segera tinggalkan tempat ini!”
“Gila!” teriak Lasmini setengah menjerit. Sosoknya
melesat ke depan menjajari Saraswati. Dengan mata
berkilat dia menghardik. “Saraswati! Kuperintahkan
kau sekali lagi untuk tinggalkan tempat ini dan tidak
turut campur! Kalau kau membangkang, jangan kira
aku tidak tega menggebuk mu!”
Saraswati tidak hiraukan ucapan ibunya. Kembali
gadis ini berteriak pada Joko tanpa berpaling pada
Lasmini. “Pendekar 131! Cepat tinggalkan tempat ini!”
Di depan sana, Joko tampak tersenyum seraya ge-
lengkan kepala. “Aku tegak di sini bukan sekadar un-
tuk diri sendiri! Di dalam sana ada eyang guruku yang
terbaring sakit! Apakah aku akan enak begitu saja
tinggalkan tempat ini sementara nyawa eyang guruku
terancam tangan maut?!”
Dalam keadaan kebingungan, tanpa pikir panjang
lagi Saraswati berkata.
“Keselamatan eyang gurumu serahkan padaku! Kau
tak usah khawatir!”
“Tutup mulutmu, Saraswati!” bentak Lasmini. “Kau
benar-benar sudah gila hendak selamatkan dan lin-
dungi manusia-manusia yang seharusnya kau bunuh!”
Saraswati putar tubuh setengah lingkaran mengha-
dap Lasmini. “Ibu! Harap maafkan aku! Bukankah Ibu
tadi sudah bilang, ini urusan dunia persilatan! Bukan
urusan antara ibu dan anak!”
“Aku menyesal sekali. Saraswati! Selama ini aku se-
lalu membayangkan bisa sependapat denganmu dalam
segala hal! Tak tahunya, bukannya kau menolongku,
tapi justru hendak membantu musuhku! Tapi apa bo-
leh buat! Kau telah dewasa. Lagi pula kau menganggap
urusan ini bukan ada hubungannya antara seorang
ibu dan anak!”
Saraswati menarik napas panjang. Lasmini alihkan
pandangan dengan menyeringai. Lalu berkata. “Saras-
wati! Melangkahlah ke jahanam itu! Kita butakan mata
kita masing-masing! Dan anggap di antara kita tidak
ada kaitan apa-apa!”
“Ibu.... Kau tega...?!”
“Ini bukan urusan tega atau tidak! Bukankah kalau
kau membantu musuhku, berarti kau juga tega hen-
dak membunuhku?!”
“Ibu! Maksudku bukan....”
Belum selesai teruskan ucapan, Lasmini telah me-
nukas. “Aku tidak punya waktu untuk berlama-lama
bicara! Dan kau perlu dengar keputusanku sekali lagi!
Nyawa anjing jahanam itu harus ku cabut! Dan siapa
pun yang berani menghalangi, maka dia akan berha-
dapan denganku! Tidak peduli siapa saja termasuk
kau sendiri!”
Habis berkata begitu, perlahan saja Lasmini me-
langkah menjauh dari Saraswati. Saat lain tiba-tiba
kedua tangannya telah berkelebat lepaskan satu puku-
lan jarak jauh ke arah Joko.
Saraswati tidak tinggal diam. Dia segera melompat
ke arah Lasmini untuk mencegah tindakan ibunya.
Namun baru saja tangannya bergerak hendak mendo-
rong, kaki kiri Lasmini bergerak lepaskan tendangan
ke samping.
Bukkk!
Saraswati terjengkang duduk di atas tanah. Lasmini
teruskan kelebatan kedua tangannya, hingga saat itu
juga dua gelombang luar biasa dahsyat menggebrak
deras ke arah Joko!
Joko cepat pula sentakkan kedua tangannya ke de-
pan untuk menghadang serangan. Malah begitu kedua
tangannya bergerak, sosoknya ikut melesat ke depan.
Bummm!
Dua pukulan bertenaga dalam tinggi bertemu. Le-
dakan dahsyat terdengar. Sosok Lasmini tampak ter-
sapu sampai lima langkah. Wajahnya seketika beru-
bah. Di sampingnya Saraswati tampak terdorong den-
gan duduk. Di seberang depan, tubuh Joko mental,
namun belum sampai tiga langkah, tangan kanannya
bergerak menyelinap ke balik pakaiannya. Saat lain ti-
ba-tiba tangan kanannya berkelebat ke depan.
Wuutt!
Lasmini tersentak. Dari arah depan mencuat tiga
sinar berwarna merah, hitam, dan putih.
Rasa kejut Lasmini membuat perempuan ini berge-
rak lamban. Hingga baru saja tangannya bergerak
hendak mendorong lepaskan pukulan, tiga sinar yang
berkiblat telah datang menggebrak!
Saraswati berseru. Kedua tangannya cepat menyen-
tak. Sementara meski terlambat, Lasmini masih han-
tamkan kedua tangannya!
Bummm! Bummm!
Untuk kesekian kalinya kembali Bukit Kalingga di-
rencah dentuman keras. Namun baik Lasmini maupun
Saraswati terhenyak. Sinar tiga warna yang berkiblat
ternyata hanya mental ke belakang beberapa saat. Di
lain kejap tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih
itu melaju deras ke arah Lasmini!
Terlambat bagi Saraswati untuk menghadang kibla-
tan tiga sinar, karena bersamaan dengan terdengarnya
ledakan, sosoknya mencelat menghantam satu batang
pohon. Hingga tatkala dia hendak angkat kedua tan-
gannya, terhalang oleh batangan pohon.
Di lain pihak, Lasmini masih sedikit beruntung. Ka-
rena begitu pukulannya menghadang tiga sinar dan
terdengar ledakan, sosoknya tersapu. Hal ini menye-
lamatkan dirinya dari tiga sinar yang kini berkiblat
kembali, juga memberi kesempatan pada Lasmini un-
tuk menghadang kiblatan sinar meski dengan tubuh
laksana disentak-sentak dan mulut megap-megap!
Wuutt! Wuutt!
Busss!
Tiga sinar yang menerjang ke arah Lasmini terpen-
car kena hadangan pukulannya. Satu ke samping ka-
nan, satunya ke samping kiri. Namun satunya lagi ju-
stru lurus ke arah sosok Lasmini!
Tak ada kesempatan lagi bagi Lasmini untuk mem-
buat gerakan sentakkan kedua tangannya. Hingga sa-
tu-satunya jalan adalah menghindar. Perempuan ini
cepat gulingkan tubuh. Walau gerakannya laksana ki-
lat, namun salah satu sinar itu masih mampu me-
nyambar bahunya!
Lasmini menjerit. Sosoknya terbanting dan bergu-
lingan di atas tanah dengan pakaian di bagian bahu
langsung terbakar hangus!
Belum sampai Lasmini bergerak bangkit, Joko telah
melesat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga lang-
kah di samping sosok Lasmini dengan kedua tangan
terangkat. Bibirnya sunggingkan senyum.
“Jahanam! Ilmu apa yang dilepas pemuda keparat
ini tadi?! Sekilas tadi aku melihat sinar tiga warna di
tangan kanannya. Tapi sekarang tangannya tidak ber-
sinar lagi! Apakah ini kehebatan kitab yang pernah
hampir kudapatkan dahulu?!” Lasmini diam-diam
membatin dengan mata melirik ke atas. Kedua tangan
Joko memang tidak lagi menggenggam Kembang Darah
Setan yang sejenak tadi sempat digunakan dan buru-
buru dimasukkan kembali ke balik pakaiannya begitu
melihat Lasmini roboh terbanting. Lasmini memang ti-
dak sempat melihat apa yang tergenggam di tangan
Joko. Yang dia tahu, saat itu tiba-tiba melesat tiga si-
nar berwarna merah, hitam, dan putih.
Kalau Lasmini tidak sempat melihat apa yang ter-
genggam di tangan kanan Joko, tidak demikian halnya
dengan Saraswati. Saat gadis ini tadi tidak berdaya un-
tuk selamatkan ibunya, dia berpaling pada Joko dan
hendak berteriak agar Joko urungkan niat. Saraswati
menduga, Joko akan susuli pukulannya. Namun mu-
lut Saraswati tidak kuasa untuk bersuara. Saat itulah
dia melihat tangan kanan Joko menggenggam setang-
kai kembang berdaun tiga warna! Merah, hitam, dan
putih.
“Setangkai kembang berwarna tiga! Aku tidak per-
nah mendengar cerita tentang senjata hebat berbentuk
kembang...,” gumam Saraswati. Gadis ini tidak lan-
jutkan gumamannya. Dia segera bergerak bangkit. Be-
gitu dia melihat Joko telah tegak dengan kedua tangan
terangkat di samping ibunya, Saraswati cepat berkele-
bat seraya berteriak.
“Harap tidak bertindak lebih jauh!”
Walau Joko tidak berpaling, namun kedua tangan-
nya terhenti di atas udara. Lasmini tidak sia-siakan
kesempatan. Begitu dia dapat bergerak duduk, tiba-
tiba kedua tangannya bergerak melepas pukulan sam-
bil mendorong tubuhnya ke depan.
Karena jaraknya terlalu dekat, tak ada kesempatan
bagi Joko untuk selamatkan diri selain menghadang
dengan pukulan pula. Hingga seraya membentak ga-
rang, sosoknya melompat setengah tombak ke udara.
Dengan membuat gerakan berputar, kedua kakinya
bergerak menghadang kedua tangan Lasmini.
Bukkk!
Kedua tangan Lasmini langsung mental. Sementara
tubuh Joko memutar balik. Karena bahu Lasmini telah
cedera, maka benturan dengan kaki Joko membuat pe-
rempuan ini menjerit. Dia rasakan bahunya laksana
hendak tanggal. Namun maklum kalau bahaya belum
lenyap, Lasmini coba kerahkan tenaga dalam seraya
melirik pada Saraswati.
Sementara itu hanya kira-kira sejarak lima langkah
di hadapan Lasmini, Joko tegak dengan bibir sung-
gingkan senyum dingin. Sejurus dia pandangi Lasmini
lalu beralih pada Saraswati.
Saraswati coba tersenyum. Namun Joko menangga-
pi dengan dingin. Malah cepat-cepat alihkan pandan-
gan.
“Aku tahu.... Dia pasti kecewa dengan tindakanku
ini! Tapi apa boleh buat.... Aku tak mau kehilangan sa-
lah satu dari mereka!” kata Saraswati dalam hati. Lalu
arahkan pandangannya pada Lasmini. “Seharusnya
Ibu tidak menggunakan kesempatan tadi untuk me-
mukul!”
Saraswati perlahan melangkah ke arah ibunya.
“Ibu.... Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini!”
Lasmini tersenyum sinis. “Kau kira aku bisa terbu-
nuh di tangannya?!” kata Lasmini seraya bangkit. Saat
itulah mendadak Joko membuat satu gerakan. Sosok-
nya berkelebat ke depan. Tangan kanannya bergerak.
Saraswati terkesiap. Dia merasakan sambaran an-
gin melesat ke arah lambungnya. Belum tahu apa yang
hendak dilakukan Joko, dan belum sempat dia berge-
rak, satu totokan dahsyat telah bersarang di lambung-
nya hingga tubuhnya melorot jatuh dalam keadaan te-
gang kaku!
Lasmini tersentak. Keterkejutannya membuat di-
rinya lengah. Hingga saat Joko berkelebat dengan tan-
gan kiri lepas pukulan, dia hanya bisa menghadang
tangan kanan Joko. Hingga tak ampun lagi tangan kiri
Joko telak menghantam dada kanannya!
Lasmini terpekik. Sosoknya terhuyung tiga tindak.
Saat bersamaan lututnya menekuk. Di lain kejap sosok
Lasmini jatuh terjengkang dengan mulut keluarkan
darah!
Joko tak menunggu. Dengan satu kali lompatan,
sosoknya telah tepat berada di samping Lasmini. Las-
mini coba bergerak hendak bangkit. Namun gerakan-
nya tertahan tatkala tiba-tiba kaki kanan Joko sudah
membuat gerakan menyapu. Meski Lasmini sudah ge-
rakkan tangan, namun karena sudah terluka, maka
sapuan kaki Joko tidak bisa dihindarkan lagi.
Bukkk!
Sosok Lasmini yang hendak bangkit terbanting ke
atas tanah. Darah muncrat dari mulutnya yang menje-
rit.
“Aku tak mau dia mampus begitu saja! Dia juga ha-
rus merasakan bagaimana nikmatnya tewas perlahan-
lahan!” desis Joko lalu maju mendekat.
“Pendekar 131! Cukup! Jangan sentuh lagi ibuku!”
teriak Saraswati. Gadis ini hanya bisa berteriak tanpa
dapat bergerak.
Joko hanya berpaling sejurus. Lalu menghadap lagi
pada Lasmini. Tanpa berkata apa-apa lagi tangan ka-
nannya bergerak. Tubuhnya sedikit dibungkukkan.
Lasmini sadar apa yang hendak dilakukan orang. Den-
gan segenap kemampuannya, dia gerakkan tangannya
untuk menghadang gerakan tangan kanan Joko.
Namun Lasmini tertipu. Begitu tangan mereka
hampir saja bentrok, Joko cepat tarik pulang tangan
kanannya. Saat bersamaan justru tangan kirinya yang
bergerak.
Lasmini berteriak. Namun tangan kiri Joko sudah
berkelebat lakukan totokan ke arah bahunya!
“Pendekar 131! Kau dengar ucapanku! Jangan sen-
tuh ibuku!” Saraswati kembali berteriak.
Joko seolah tidak dengar teriakan orang. Enak saja
tangan kanannya bergerak menjambak rambut Lasmi-
ni. Saat lain dia melangkah dengan tangan tetap menjambak rambut Lasmini.
Lasmini berteriak memaki panjang pendek. Semen-
tara Saraswati ikut berteriak. Namun Joko tak peduli.
Dia terus melangkah ke arah goa.
Joko hentikan langkah empat tindak dari kayu pe-
rapian di sebelah sudut ruangan goa. Tangan kanan-
nya bergerak sentakkan rambut Lasmini hingga kepala
perempuan ini menghantam lantai ruangan goa.
Dengan menahan rasa sakit, Lasmini coba meman-
dang berkeliling. Dia tidak melihat Pendeta Sinting.
Hatinya mulai ragu.
“Hem.... Jangan-jangan tua bangka yang menun-
jukkan tempat itu sudah bersekongkol dengan pemuda
keparat ini!” kata Lasmini dalam hati seraya melirik
pada Joko yang saat itu telah tegak di dekat perapian.
Lasmini tidak tahu apa yang dilakukan Joko. Yang ter-
lihat, kaki kanan Joko tampak menekan sesuatu di
kayu perapian.
“Apa yang hendak dilakukan jahanam itu?!”
Baru saja Lasmini membatin begitu, tiba-tiba telin-
ganya mendengar suara berderit. Sepasang mata Las-
mini membeliak. Pada bagian pojok ruangan goa, tiba-
tiba dindingnya bergerak. Lalu tampaklah sebuah
tangga batu.
“Apa yang akan dilakukan jahanam ini?! Itu pasti
tempat rahasia!” Lasmini membatin seraya terus mem-
perhatikan ke arah tangga di balik dinding yang terbu-
ka.
Joko balikkan tubuh lalu melangkah tiga tindak
mendekati Lasmini. Untuk beberapa lama dia pandangi
Lasmini tanpa berkata apa-apa.
“Lepaskan totokan celaka ini kalau kau manusia
jantan!” teriak Lasmini demi melihat Joko hanya me-
mandang tanpa berkata atau membuat gerakan apa-
apa.
“Permintaanmu akan segera terkabul! Tapi bukan
berarti kau bisa lolos dari kematian! Kau tadi menga-
takan tanganmu tak mau kotor oleh simbahan darah-
ku! Sekarang aku pun tak mau bersusah payah men-
cabut nyawamu! Aku ingin melihat kau mampus seca-
ra perlahan-lahan tanpa mengotori tanganku!”
“Apa yang hendak kau lakukan?!”
Joko tersenyum. “Jangan terlalu gusar! Kau akan
menikmati perjalanan maut dengan perlahan-lahan!
Ha.... Ha.... Ha...!”
Tengkuk Lasmini menjadi dingin. Belum sampai dia
bisa menebak apa yang hendak dilakukan orang, tiba-
tiba Joko telah bungkukkan tubuh. Sekali kedua tan-
gannya bergerak, sosok Lasmini telah terangkat.
“Jahanam! Lepaskan diriku!”
Joko tidak pedulikan makian dan teriakan Lasmini.
Dia melangkah seraya mengangkat tubuh Lasmini. Be-
gitu sampai di ambang dinding yang terbuka, tangan
kiri Joko bergerak.
Lasmini merasa sedikit lega, karena totokannya
buyar. Namun kelegaan Lasmini hanya sekejap. Ber-
samaan dengan buyarnya totokan pada tubuhnya, ti-
ba-tiba kedua tangan Joko bergerak.
Wuuutt! Wuuutt!
Sosok Lasmini melayang melewati tangga di balik
dinding yang terbuka. Lasmini coba kuasai diri. Na-
mun perempuan ini tak bisa berbuat banyak. Karena
begitu tubuhnya melewati tangga, di sana dia disam-
but dengan lobang besar yang menganga!
Karena belum tahu tempat apa, dan merasa sosok-
nya melayang ke bawah, Lasmini pejamkan sepasang
matanya.
Bukkk!
Lasmini merasakan tubuhnya menghantam lantai.
Dengan mengerang, perlahan-lahan dia buka kelopak
matanya. Yang pertama-tama dirasakan perempuan ini
adalah hawa dingin. Lalu matanya menangkap cahaya
obor. Dia coba kerahkan tenaga dalam.
“Jangan teruskan kalau kau tak ingin mati dengan
cepat!” Tiba-tiba satu suara terdengar.
Laksana disentak setan, Lasmini cepat berpaling.
“Aku belum pernah melihat perempuan ini! Tapi men-
gapa dia berada di sini?! Apa dia juga mengalami nasib
seperti diriku?!” Lasmini membatin seraya memandang
tak berkesip pada satu sosok tubuh yang duduk bersi-
la di dinding ruangan di mana dia berada.
Dia adalah seorang perempuan berusia lanjut,
meski wajahnya masih membayangkan kecantikan.
Rambutnya putih disanggul. Pada sanggulan rambut-
nya tampak menyelinap satu tusuk konde besar ber-
warna hitam. Nenek ini bukan lain adalah Ni Luh
Padmi. Seperti halnya Lasmini, Ni Luh Padmi termakan
oleh ucapan dusta Kiai Laras. Dan pada akhirnya dia
terjerumus masuk ke ruangan di balik dinding goa.
(Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode
: “Geger Topeng Sang Pendekar”).
“Siapa kau?!” Lasmini bertanya.
Ni Luh Padmi katupkan sepasang matanya. “Bukan
sekarang saatnya untuk bertanya jawab! Kau harus
pulihkan tenagamu dahulu tanpa harus kerahkan te-
naga dalam! Ruangan ini beracun! Setiap kau kerah-
kan tenaga dalam, racun di ruangan ini akan masuk
aliran darahmu! Dan itu akan mempercepat kema-
tianmu!”
Meski merasa sedikit jengkel, namun sekali men-
cium, Lasmini sudah maklum kalau ucapan orang ada
benarnya. Dia perlahan-lahan menyeret tubuhnya lalu
duduk bersandar. Dia memperhatikan berkeliling. Dia
hendak buka mulut bertanya pada Ni Luh Padmi. Na-
mun mengingat ucapan orang, dia urungkan niat. Lalu
perlahan-lahan dipejamkan sepasang matanya. Tak je-
las apa yang dilakukan perempuan ini. Mungkin ten-
gah pulihkan tenaga tanpa harus kerahkan tenaga da-
lam, mungkin juga sedang tenggelam meratapi nasib-
nya yang buruk karena tertipu orang!
Di lain pihak, begitu sosok Lasmini amblas masuk
ke dalam lobang di balik dinding, Joko putar tubuh,
menekan sesuatu di bawah tumpukan kayu perapian.
Dia menunggu sejenak. Begitu terdengar suara berde-
rit, pemuda ini sunggingkan senyum lalu sekali mem-
buat gerakan, sosoknya melesat keluar goa.
***
TIGA
Saraswati pentang matanya besar-besar tatkala me-
lihat Joko muncul dari dalam goa. Saraswati bisa mak-
lum akan perasaan Joko. Namun tindakannya terha-
dap Lasmini di depan mata Saraswati sudah keterla-
luan! Hingga dada gadis ini mulai didera dengan rasa
geram.
“Pendekar 131! Apa yang kau lakukan pada ibu-
ku?!” teriak Saraswati.
Joko hentikan langkah empat tindak di hadapan
Saraswati. Untuk beberapa lama, dia memandang tan-
pa berkata apa-apa. Namun sesaat kemudian dia buka
mulut. Bukan jawab pertanyaan Saraswati melainkan
tertawa bergelak-gelak!
“Pendekar 131! Harap suka bebaskan aku!”
Joko putuskan gelakan tawanya. “Aku akan turuti
permintaanmu! Tapi dengan satu syarat!”
Saraswati pandangi si pemuda dengan dada dipe-
nuhi berbagai perasaan. “Apa yang kau inginkan?!”
“Kau harus angkat kaki dari tempat ini!”
“Pendekar 131! Apa maumu sebenarnya?!”
Joko tersenyum. “Kau tak usah khawatirkan kese-
lamatan ibumu! Dia hanya perlu mendapat sedikit pe-
lajaran! Kelak kalian akan bertemu begitu pelajaran se-
lesai!”
“Aku tak akan pergi dari sini tanpa ibuku!”
“Itu kemauanmu?!”
Saraswati menghela napas panjang. “Pendekar 131!
Aku tahu.... Ibuku memang melakukan tindakan sa-
lah! Tapi kuharap kau mengerti mengapa dia sampai
berbuat begitu!”
Joko maju dua tindak. “Aku tahu dan mengerti!
Maka dari itu aku memberinya pelajaran agar nanti ti-
dak melakukan tindakan yang sama untuk kedua ka-
linya!”
“Pendekar 131! Ku mohon.... Bebaskan dia! Kalau-
pun kau ingin memberi pelajaran, biarlah aku yang
menggantikannya!”
Joko gelengkan kepala. “Tidak pantas menghukum
orang yang tidak melakukan kesalahan!” Joko te-
ruskan langkah mendekat. Begitu tepat di hadapan
Saraswati, dia berujar perlahan. “Bagaimana?! Kau te-
rima syarat ku?!”
“Pendekar 131! Untuk kali ini ku mohon agar kau
biarkan aku pergi bersama ibuku! Percayalah.... Peris-
tiwa ini tidak akan terulang lagi! Ibu pasti sudah sadar
akan tindakannya!”
“Saraswati! Kadangkala ada manusia yang harus
digebuk dahulu sebelum diajak bicara baik-baik! Dan
ibumu termasuk manusia ini! Aku menunggu jawa-
banmu, Saraswati! Kau tahu.... Aku harus segera me-
rawat eyang guruku! Waktuku tidak banyak!”
“Baiklah.... Tapi beri aku kepastian kapan Ibu kau
bebaskan!”
“Aku tak bisa memberi kepastian saatnya!”
“Berarti kau tidak hanya....”
“Saraswati!” tukas Joko. “Kau telah dengar ucapan-
ku. Aku tidak punya waktu banyak! Atau kau ingin
berkumpul dengan ibumu, hah?!” bentak Joko dengan
suara garang.
Saraswati sempat terlengak melihat sikap si pemu-
da. “Mengapa dia begitu berubah?! Apakah ini gara-
gara kejengkelannya pada tindakan Ibu?! Atau ada hal
lain?!”
Setelah berpikir agak lama, akhirnya Saraswati ber-
kata. “Aku terima syaratmu! Tapi aku akan kembali
dalam waktu tiga hari di depan! Kalau sampai ibuku
mengalami hal yang tidak-tidak, jangan kau kira aku
akan diam saja meski aku tahu kau telah jadi seorang
berilmu tinggi!”
Joko sunggingkan senyum. Kepalanya bergerak
menggeleng. “Kalau kau akan muncul pada tiga hari di
depan, berarti kau belum terima syarat ku! Ku ingin
kau menunggu sampai ibumu menemuimu!”
“Hem.... Ada yang tak beres dengan ucapannya! Dia
menghalangiku datang lagi ke tempat ini! Namun dia
tak memberi batasan waktu kapan Ibu dibebaskan!
Berarti keselamatan Ibu terancam!” Diam-diam Saras-
wati membatin. Lalu berkata.
“Baik! Aku akan menunggu sampai ibuku datang
menemuiku!”
Ucapan Saraswati belum selesai, Joko telah gerak-
kan tubuh sedikit membungkuk. Tangan kanannya
bergerak. Saat itu juga Saraswati rasakan aliran da-
rahnya mengalir kembali. Dan perlahan-lahan anggota
tubuhnya bisa digerakkan.
Saraswati coba kerahkan tenaga dalam. Sekonyong-
konyong tanpa bergerak bangkit terlebih dahulu, gadis
ini gerakkan kedua tangannya menghantam ke arah
Joko.
Dari tadi tampaknya Joko sudah dapat membaca
apa yang ada dalam benak Saraswati. Hingga dia tidak
merasa terkejut tatkala tiba-tiba Saraswati lepaskan
pukulan ke arahnya. Hingga bukan saja dia bisa hin-
darkan diri, namun saat itu juga kedua kakinya mem-
buat gerakan menendang ke arah tangan kiri kanan
Saraswati!
Bukkk! Bukkk!
Saraswati terpekik. Sosoknya mental sampai lima
langkah terkapar di atas tanah. Belum sampai dia
membuat gerakan bangkit, Joko telah bergerak dan te-
gak hanya berjarak dua langkah di hadapannya den-
gan mata mendelik angker.
“Jangan mimpi bisa menipuku, Saraswati!” Tangan
kanan kiri Joko bergerak ke depan. Saraswati tidak
tinggal diam. Dia gulingkan tubuh lalu dengan kedua
kakinya dia menghadang kedua tangan Joko.
Joko tertawa bergelak panjang. Kedua tangannya
cepat ditarik pulang sedikit. Saat lain dikelebatkan lagi
ke depan dengan jari-jari terbuka.
Tapp!
Kaki kiri Saraswati menghantam tempat kosong.
Namun kaki kanannya yang bergerak menyusuli tiba-
tiba tertahan di udara. Gadis ini berteriak, karena ter-
nyata kakinya telah tertangkap kedua tangan Joko!
Joko angkat kedua tangannya yang telah memegang
kaki Saraswati hingga mau tak mau celana yang dike-
nakan Saraswati turun ke bawah membuat pahanya
terlihat jelas! Bukan sampai di situ saja, begitu celana
Saraswati turun, tangan kanan Joko bergerak ke ba-
wah hendak mengelus paha si gadis.
Saraswati mendengus. Dadanya jadi panas. Dengan
didahului bentakan keras, kaki kirinya diangkat lalu
disapukan ke arah Joko.
Joko tarik pulang tangan kanannya lalu digerakkan
ke kanan. Bukan untuk menghadang tendangan Sa-
raswati melainkan untuk menangkap kaki kiri si gadis.
Saraswati terpekik.
Joko angkat kedua tangannya yang telah memegang
kedua kaki Saraswati. Lalu kedua tangannya menyen-
tak ke bawah. Karena sentakan itu bukan sentakan
biasa, melainkan telah dialiri tenaga dalam, maka saat
itu juga kedua kaki Saraswati menghujam deras
menghantam tanah. Begitu derasnya hujaman itu.
hingga tubuh bagian atasnya terangkat!
Untuk kesekian kalinya dari mulut Saraswati ter-
dengar pekikan. Suara pekikannya belum sirna, kedua
tangan Joko sudah bergerak lagi.
Brett! Brett!
Pakaian Saraswati robek menganga pada bagian
dadanya hingga payudaranya terlihat sebagian! Saras-
wati menjerit tinggi. Gadis ini sudah tidak bisa mena-
han perasaan geram. Dia lipat gandakan tenaga da-
lamnya. Saat itu juga kedua tangannya disentakkan ke
arah perut Joko yang masih tegak di hadapannya.
Wuutt! Wuutt!
Joko sunggingkan senyum. Kedua tangannya segera
menyambut dua pukulan Saraswati.
Bukk! Bukkk!
Saraswati buka mulut perdengarkan keluhan tinggi.
Sosoknya yang masih terduduk langsung terbanting ke
atas tanah. Darah mengalir dari mulutnya. Wajahnya
pucat pasi. Sementara Joko tidak bergeming dari ha-
dapannya, malah kini tertawa tergelak.
“Saraswati! Aku telah berbaik hati memberimu ke-
sempatan! Dan kesempatan itu masih berlaku untuk-
mu sekarang juga! Tapi kalau kau keras kepala, bukan
aku tidak tega mengantarmu ke alam baka!”
Seraya berkata, sepasang mata Joko mendelik ke
arah dada Saraswati. Yang dipandang baru sadar, dan
buru-buru angkat kedua tangannya untuk menutup
dadanya.
“Jahanam! Ternyata kau bukan seperti manusia
yang kubayangkan!” desis Saraswati dengan mata ber-
kilat-kilat. Kalau saja tidak maklum dengan keadaan
dirinya, tentu dia sudah bergerak lepaskan pukulan.
Dengan tubuh bergetar menahan geram dan kece-
wa, Saraswati perlahan-lahan bangkit. Sepasang ma-
tanya memandang tajam pada bola mata Joko. Gadis
ini merasa masih tidak percaya dengan apa yang baru
saja dilakukan si pemuda pada dirinya.
“Aku salah menilai orang.... Tapi.... Aku rasanya ti-
dak bisa untuk.... Ah, mungkinkah aku masih meng-
harapkan manusia macam dia?!”
“Pendekar 131! Hari ini kau menang!” kata Saras-
wati setelah agak lama terdiam. “Tapi bukan untuk se-
lamanya! Aku tetap akan datang ke tempat ini! Dan in-
gat, kalau kau berbuat yang macam-macam pada ibu-
ku.... Apa pun akan kulakukan untuk membunuhmu!”
“Aku akan buktikan kebenaran ucapanmu, Saras-
wati! Kapan kau akan datang?!”
Saraswati tidak menyahut. Dia balikkan tubuh lalu
berkelebat tinggalkan tempat itu. Sepasang matanya
basah. Dadanya panas dan sesak. Rasa geram dan ke-
cewa membuncah jadi satu. Dia tidak tahu pasti apa
yang harus dilakukannya.
Joko pandangi kepergian Saraswati dengan bibir
tersenyum. Begitu sosok Saraswati lenyap, dia balik-
kan tubuh lalu berkelebat ke balik salah satu pohon
besar. Beberapa saat kemudian, dari balik pohon di
mana tadi Joko menyelinap, perlahan-lahan muncul
satu sosok tubuh. Dia adalah seorang laki-laki berusia
lanjut. Rambutnya putih panjang. Dia bukan lain ada-
lah Kiai Laras!
Kiai Laras arahkan pandangannya berkeliling. Kepa-
lanya bergerak mengangguk. Saat lain dia berkelebat
tinggalkan tempat itu.
***
Saraswati terus berkelebat. Namun sekonyong-
konyong satu suara terdengar.
“Aku menyesal mengatakannya, Saraswati! Tapi
ibumu memaksaku....”
Saraswati tersentak. Dia hentikan larinya lalu ber-
paling. Karena tidak melihat siapa-siapa, akhirnya Sa-
raswati berteriak dengan tangan menangkup tutupi
dadanya.
“Siapa kau?! Mengapa tidak tunjukkan diri?!”
Satu sosok tubuh tampak melayang dari atas se-
buah pohon. Dan tegak tujuh langkah di hadapan Sa-
raswati. Saraswati memperhatikan sejenak. Diam-diam
gadis ini kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan-
nya yang berada di depan dadanya. Lalu berkata.
“Orang tua! Katakan siapa dirimu!”
Orang yang tegak di depan Saraswati ternyata ada-
lah Kiai Laras. Orang ini angkat bahu seraya menghela
napas panjang sebelum akhirnya berkata.
“Kau tentunya sudah dengar dari percakapan ku
dengan ibumu! Jadi kurasa tidak ada gunanya aku
menerangkan lagi....”
“Hem.... Jadi sebenarnya dia telah mengetahui ke-
hadiranku saat dia bercakap-cakap dengan Ibu.... Aku
harus mendapat kepastian darinya. Rupanya dia tahu
banyak tentang Pendekar 131 dan gurunya! Dan bu-
kan tertutup kemungkinan kalau dia adalah teman se-
kongkol murid dan guru itu!”
Berpikir begitu, Saraswati berkata, “Orang tua! Apa
benar Pendeta Sinting berada dalam goa itu?!”
“Aku tidak pernah berkata dusta! Malah bukan cu-
ma Pendeta Sinting yang berada di dalam goa! Tapi ju-
ga ada seorang perempuan bekas kekasihnya!”
“Hem.... Kau rupanya tahu banyak tentang mereka!
Siapa kau sebenarnya?!”
“Aku bukan siapa-siapa! Aku....”
“Kalau kau bukan temannya mereka, tidak mung-
kin kau tahu begitu banyak!” Saraswati sudah memo-
tong ucapan Kiai Laras.
“Saraswati.... Semua orang adalah temanku! Dan
itu pun sudah pernah kukatakan pada ibumu! Hanya
saja.... Ibumu tidak mau turuti saran ku! Bahkan dia
memaksaku dan mengancam keselamatanku.... Jadi
terpaksa aku mengatakan apa adanya! Dengan kea-
daanmu yang begitu rupa, aku sedikit banyak bisa
menduga apa yang telah terjadi! Sayang sekali, aku ta-
di tidak melihat kemunculanmu di sekitar tempat ini!
Jika aku mengetahuinya, tentu aku akan menghalan-
gimu....”
Saraswati makin rapatkan kedua tangannya yang
menutup dadanya. Malah sesekali matanya melirik ke
bawah khawatir kalau-kalau sekitar dadanya masih
ada yang terbuka.
Melihat sikap Saraswati, Kiai Laras tersenyum lalu
berujar.
“Saraswati.... Aku tak bisa menduga apa yang di-
alami ibumu. Hanya kalau kau mau kusarankan, lebih
baik kau tak usah datang lagi ke Bukit Kalingga! Tem-
pat itu masih terlalu berat untuk dihadapi selama
Pendekar 131 dan gurunya masih berada di situ!”
“Orang tua! Bukannya aku tak mau turuti saran
mu, tapi demi selamatkan nyawa ibuku, apa pun akan
kulakukan!”
“Aku hanya sekadar memperingatkan.... Tapi kalau
kau sudah memutuskan, terserah padamu.... Dan ada
satu hal yang perlu kuberitahukan padamu! Ini sema-
ta-mata karena aku juga punya seorang anak gadis se-
baya denganmu....”
Saraswati kerutkan kening. Kiai Laras melirik se-
bentar lalu berkata. “Ucapan ibumu tentang pemuda
bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng
benar adanya! Dia bukan pemuda yang patut diberi
perasaan! Bagi pemuda macam dia, mampus adalah
satu hal yang tepat! Aku tahu benar siapa dia sebe-
narnya, Saraswati.... Kalau selama ini dunia persilatan
dan banyak gadis cantik mengaguminya, itu karena
mereka tidak tahu! Kalau tidak salah pandang, aku
menduga kau juga tertarik pada pemuda itu! Benar?!”
“Orang tua! Harap kau tidak sangkut pautkan uru-
san ini dengan urusan pribadiku!”
Kiai Laras menggeleng. “Tidak bisa begitu, Saraswa-
ti! Bagaimanapun juga nantinya urusan pribadimu
akan ikut terlibat! Malah mungkin urusan pribadimu
inilah yang akan menjadi pangkal sebab urusan men-
jadi besar dan berlarut-larut! Maka dari itu, kusaran-
kan padamu untuk melupakan pemuda itu!”
Habis berkata begitu, Kiai Laras balikkan tubuh.
Sebelum dia bergerak pergi, orang tua ini masih buka
mulut. “Kalau kau memang hendak lakukan apa saja,
kuharap kau berhati-hati! Jangan percaya pada uca-
pannya! Bukan tidak mungkin satu saat nanti dia
akan mungkir bila jumpa denganmu! Aku bisa berkata
begini, karena aku telah lihat buktinya!”
“Orang tua! Tunggu!” seru Saraswati tatkala melihat
Kiai Laras berkelebat pergi. Namun Kiai Laras tidak
pedulikan teriakan Saraswati. Dia terus berkelebat dan
lenyap di depan sana.
“Tanpa saran orang tua itu pun aku sudah tahu
siapa Pendekar 131 sebenarnya! Dan sekarang aku
pun tahu apa yang harus kulakukan!”
Saraswati menghela napas sejenak dengan mata di-
pejamkan. Gadis ini tersentak sendiri. Karena tiba-tiba
muncul bayangan Pendekar 131! Saraswati buru-buru
buka kelopak matanya. Lalu teruskan kelebatan tu-
buhnya.
***
EMPAT
Empat bayangan itu berlari laksana dikomando.
Mereka berlari dengan sebelah tangan luruh ke bawah,
sementara tangan satunya ke atas. Keempatnya berlari
dengan dua orang berada di depan, sedang dua lainnya
berjajar di belakang. Tepat di tengah antara dua orang
yang berjajar di depan dan di belakang, tampak kain
merah mengapung berkibar-kibar di udara.
Pada satu tempat, mendadak orang di sebelah de-
pan yang berada di sisi kanan angkat tangan kirinya.
Serempak keempatnya hentikan larinya masing-
masing. Saat bersamaan, kepala masing-masing orang
bergerak tengadah. Lamat-lamat telinga masing-
masing mendengar senandung nyanyian tidak jelas.
Keempat orang ini tidak menunggu lama. Beberapa
saat kemudian, dari arah depan tampak satu sosok
tubuh sedang melangkah perlahan-lahan seraya ber-
jingkat. Keempat orang serempak gerakkan kepala
masing-masing lurus ke depan dengan mata sama
membeliak tak berkesip.
Orang di depan sana, tiba-tiba putus nyanyiannya
seraya berhenti. Kepalanya terangkat. Sepasang ma-
tanya memandang ke depan. Orang ini ternyata seo-
rang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian
putih-putih. Rambutnya agak panjang, sedikit acak
acakan diikat dengan ikat kepala warna putih. Tangan
kirinya terangkat sejajar kepala dengan jari kelingking
masuk ke dalam lobang telinganya.
Si pemuda sesaat pandangi keempat orang yang te-
gak di seberang depan. Namun seolah tidak melihat
apa-apa, pemuda ini tengadahkan kepala. Saat yang
sama kedua kakinya bergerak teruskan langkah den-
gan jari ditusuk-tusukkan ke lobang telinganya, hingga
saat dia melangkah, terlihat wajahnya meringis dan
kakinya berjingkat-jingkat seolah geli keenakan!
Keempat orang yang berada di seberang si pemuda
tampak saling gerakkan kepala saling pandang satu
sama lain. Empat orang ini ternyata adalah empat
orang laki-laki bertubuh tinggi besar. Raut wajah mas-
ing-masing orang hampir mirip satu dengan lainnya.
Keempat orang ini bermuka lonjong ke bawah hingga
mulut mereka laksana tidak membelah ke samping,
melainkan ke bawah! Mata masing-masing orang pun
tidak membentuk ke samping melainkan membujur ke
bawah. Kepala mereka gundul. Keangkeran tampang
orang-orang ini makin terlihat karena mereka bertelan-
jang dada dan hanya mengenakan celana kolor!
Lelaki di sebelah depan bagian kanan mengenakan
celana kolor warna merah. Sementara yang di sebelah
depan bagian kiri memakai celana kolor warna hitam.
Di sebelah belakang bagian kanan mengenakan celana
kolor warna kuning, sedang yang di sebelah kiri me-
makai celana kolor berwarna hijau.
Tangan masing-masing orang yang terangkat ke
atas ternyata memegangi sebatang bambu besar yang
dilintangkan pada pundak masing-masing membujur
dari depan ke belakang. Di tengah dua batangan bam-
bu besar, tampak sebuah tandu tertutup kain berwar-
na merah. Dalam rimba persilatan, keempat laki-laki
pemanggul tandu ini dikenal dengan Tokoh-tokoh
Penghela Tandu.
Ketika si pemuda telah berada sejarak lima langkah
di depan Tokoh-tokoh Penghela Tandu, empat orang ini
sama gerakkan kepala memandang ke depan. Heran-
nya, si pemuda seolah acuh saja. Dia teruskan langkah
sambil berjingkat-jingkat kegelian! Malah dia tidak
memandang pada Tokoh-tokoh Penghela Tandu meski
saat melintas lewat di samping Tokoh-tokoh Penghela
Tandu!
Masing-masing dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu
sama gerakkan mulut hendak angkat bicara. Namun
laki-laki bercelana kolor merah yang berada di depan
bagian kanan yang tampaknya menjadi pemimpin ang-
kat tangan kirinya kembali memberi isyarat hingga
masing-masing orang urungkan niat untuk buka sua-
ra.
Begitu laki-laki bercelana kolor warna merah angkat
tangan kirinya, orang ini langsung perdengarkan sua-
ra.
“Pemuda tak dikenal! Hentikan langkahmu!”
Si pemuda yang tidak lain adalah Pendekar Pedang
Tumpul 131 Joko Sableng putar tubuh setengah ling-
karan seraya hentikan langkah. Namun begitu, kepala
masih tengadah dengan mata memandang ke langit.
Paras wajahnya meringis! Karena jadi kelingkingnya
masih masuk ke lobang telinganya!
“Katakan siapa kau dan sebut apa gelarmu!” Laki-
laki bercelana kolor warna merah kembali perdengar-
kan suara membentak.
Pendekar 131 tarik pulang tangan kirinya dari telin-
ga. Kepala lurus menghadap keempat orang di hada-
pannya. Bibirnya tersenyum sebelum akhirnya buka
suara.
“Kalau tidak salah lihat, bukankah orang-orang
yang di hadapanku ini adalah orang-orang hebat yang
dikenal dengan gelar Tokoh-tokoh Penghela Tandu?!”
Laki-laki bercelana kolor warna merah melirik pada
ketiga orang di samping dan belakangnya. Lalu berka-
ta.
“Kau telah mengenali kami! Sekarang tiba giliranmu
jawab pertanyaanku!”
“Kau bertanya. Pasti akan kujawab! Tapi katakan
dahulu mengapa kau tanya siapa diriku?! Apakah hal
itu ada perlunya bagi kalian?!”
Keempat orang di hadapan Joko sama putar diri
hingga keempatnya menghadap tepat ke arah murid
Pendeta Sinting.
“Kau tak usah banyak bicara! Jawab saja perta-
nyaanku!” Laki-laki bercelana kolor merah kembali te-
lah menyahut dengan suara makin keras.
Joko gelengkan kepala. “Setiap sesuatu ada sebab-
nya. Kalau kalian tak ada yang mau sebut apa sebab-
nya kalian bertanya, akibatnya kalian tak akan men-
dapat jawaban pertanyaan!” Murid Pendeta Sinting
kembali gerakkan kepala tengadah.
“Melihat tampang dan cirinya, jangan-jangan dia
orangnya!” gumam si celana kolor warna merah. Dia
melirik ke samping. Ketiga orang di depan dan di sebe-
lahnya sama berpaling dan anggukkan kepala masing-
masing.
Karena agak lama tidak ada yang buka suara, mu-
rid Pendeta Sinting angkat tangan kirinya. Jari ke-
lingking dimasukkan ke lobang telinga. Saat bersa-
maan tubuhnya berputar. Lalu enak saja dia bergerak
hendak melangkah.
Laki-laki bercelana kolor warna merah sudah buka
mulutnya yang membujur ke bawah. Tapi sebelum su-
aranya terdengar, terdengar ketukan tiga kali dari da-
lam tandu yang tertutup tirai kain warna merah.
Laki-laki bercelana kolor warna merah kancingkan
mulut kembali. Saat yang sama keempat orang ini ge-
rakkan bahu masing-masing. Tangan mereka yang
memegangi bambu di pundak perlahan mendorong ke
atas.
Dua lintangan bambu besar yang di tengahnya ter-
dapat tandu tiba-tiba terangkat ke udara. Tokoh-tokoh
Penghela Tandu serempak membuat gerakan. Dan ta-
hu-tahu mereka telah tegak berjajar sejarak empat
langkah dari tempat tadi mereka berada.
Dua lintangan bambu yang membawa tandu perla-
han-lahan melayang turun ke bawah. Bersamaan den-
gan sampainya lintangan bambu di atas tanah, tirai
tandu terbuka. Satu sosok tubuh melesat keluar dan
tegak di hadapan murid Pendeta Sinting dengan tata-
pan berkacak pinggang.
“Siapa pun adanya kau, harap sebutkan diri sebe-
lum tinggalkan tempat ini!” Orang yang baru melesat
keluar dari dalam tandu sudah perdengarkan suara.
Pendekar 131 hentikan langkah. Kepalanya lurus.
Mendadak sepasang matanya bergerak membesar ke
atas ke bawah menelusuri sekujur tubuh orang yang
kini tengah tegak di hadapannya.
“Luar biasa...,” gumam murid Pendeta Sinting.
Orang yang dipandang sesaat terkesiap. Wajahnya
serentak berubah. Tapi kejap lain sepasang matanya
mendelik angker menatap balik pada Joko. Dia adalah
seorang gadis berparas luar biasa cantik mengenakan
pakaian warna merah tipis dan ketat. Rambutnya pan-
jang diikat dengan pita yang juga berwarna merah.
“Melihat kecantikannya, tak salah kalau dunia per-
silatan menggelarinya Putri Kayangan....” Entah sadar
atau tidak, Pendekar 131 bergumam dengan kepala di-
gelengkan seakan kagumi orang. Malah mulutnya
sempat berdecak!
Gadis berparas luar biasa cantik yang selalu berada
di dalam tandu dan dipanggul Tokoh-tokoh Penghela
Tandu memang sudah tidak asing lagi dalam rimba
persilatan. Gadis ini digelari orang Putri Kayangan.
“Dia mengenaliku meski belum sempat berjumpa!
Dia juga mengenali Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Itu
satu bukti kalau dia salah seorang dari kalangan persi-
latan!” Diam-diam Putri Kayangan membatin seraya
perhatikan sosok pemuda di hadapannya.
Tiba-tiba Putri Kayangan kerutkan dahi. “Apakah
dia.... Hem, orang kadangkala punya ciri dan tampang
sama! Aku harus dapat mengetahui siapa dia!” kata
Putri Kayangan dalam hati, lalu berkata.
“Pemuda asing! Sekali lagi kuminta kau sebutkan
siapa kau sebenarnya!”
Pendekar 131 kerdipkan sepasang matanya. Mulut-
nya membuka hendak jawab pertanyaan si gadis. Tapi
sebelum suaranya terdengar, mendadak satu suara
lain terdengar.
“Ada sesuatu yang lebih penting daripada sekadar
tahu siapa adanya pemuda itu!”
Suara yang tiba-tiba terdengar belum sirna, satu
sosok bayangan telah berkelebat lalu tegak di seberang
Pendekar 131.
Pendekar 131, Putri Kayangan serta Tokoh-tokoh
Penghela Tandu sama gerakkan kepala masing-
masing. Mereka melihat seorang perempuan berusia
lanjut berwajah cekung dengan kulit mengeriput. Ne-
nek ini berambut putih lebat dengan mata jereng be-
sar. Dia mengenakan pakaian kain panjang berwarna
biru bersaku dua. Pada saku sebelah kanan terlihat
sebuah sapu tangan besar berwarna merah.
Pendekar 131 perhatikan dengan seksama nenek
yang baru muncul. “Menurut keterangan Saraswati
waktu di depan Istana Hantu, nenek ini bukan lain
adalah Ratu Pewaris Iblis! Kemunculannya di sini pasti
hendak lanjutkan urusannya dengan Putri Kayan-
gan....”
Seperti diketahui, beberapa waktu yang lalu, Joko
sempat jumpa dengan Saraswati yang waktu itu masih
menyamar dan perkenalkan diri sebagai Raka Pradesa.
Saat itu Joko sedang menyelidik Istana Hantu. Raka
Pradesa alias Saraswati memberi keterangan siapa
adanya keempat orang penghela tandu juga siapa gadis
berparas cantik yang berada di dalam tandu. Juga me-
nerangkan siapa adanya si nenek yang pada saku pa-
kaiannya membekal sapu tangan besar berwarna me-
rah. Hingga tak heran kalau Joko sudah mengenali
siapa saja orang yang kini berada di hadapannya
meski mereka belum pernah bertemu. Pendekar 131
juga tahu kalau antara Putri Kayangan dengan Ratu
Pewaris Iblis punya silang sengketa. (Lebih jelasnya si-
lakan baca serial Joko Sableng dalam episode : “Ger-
bang Istana Hantu”).
“Ratu Pewaris Iblis!” desis Putri Kayangan. “Bagai-
mana tahu-tahu dia muncul di sini?! Apakah selama
ini tanpa sepengetahuanku dia selalu mengikuti lang-
kahku? Padahal setelah kegagalan memasuki Istana
Hantu pada beberapa waktu yang lalu, aku tidak
punya perjanjian apa-apa dengannya lagi! Hem.... Lalu
apa maksud ucapannya tadi...?! Apa yang dikatakan-
nya lebih penting?!”
“Ratu Pewaris Iblis!” kata Putri Kayangan. “Setelah
kegagalan kita dahulu, kurasa di antara kita sudah ti-
dak ada perjanjian apa-apa! Tapi ucapanmu tadi mem-
buatku sedikit heran! Harap kau mau terangkan apa
maksud ucapanmu tadi!”
Ratu Pewaris Iblis menyeringai lalu tertawa menge-
keh. Namun mendadak si nenek putus suara tawanya.
Sepasang matanya menatap satu persatu pada orang
yang berada di tempat itu. Saat matanya memandang
Putri Kayangan, nenek ini langsung angkat bicara.
“Putri Kayangan! Saat ini di antara kita tidak ada
perjanjian apa-apa! Maka jangan menyesal kalau aku
tidak bisa terangkan apa maksud ucapanku kalau kau
tidak mengerti!”
Habis berkata begitu, Ratu Pewaris Iblis tersenyum
dingin. Lalu arahkan pandangan matanya pada murid
Pendeta Sinting. “Aku yakin manusia inilah Pendekar
131! Anak manusia yang telah mendapatkan beberapa
kitab sakti dan baru saja menggegerkan Kedung Ombo!
Lebih-lebih lagi dia baru saja mendapatkan senjata
dahsyat milik bekas penguasa Kampung Setan!” Ratu
Pewaris Iblis mendongak. “Dari pertanyaan Putri
Kayangan, gadis itu rasanya belum mengenal siapa
pemuda ini! Aku memerlukan pemuda itu! Dan itu be-
rarti Putri Kayangan dan kambratnya harus enyah dari
sini!”
Ratu Pewaris iblis memandang pada Putri Kayangan
yang saat itu tengah berpikir dan bertanya-tanya apa
maksud ucapan Ratu Pewaris Iblis. Saat lain si nenek
telah berujar,
“Putri Kayangan! Kurasa kau tidak sengaja berhenti
di sini!”
“Ucapanmu aneh!” sahut Putri Kayangan. “Katakan
terus terang apa maumu sebenarnya!”
Ratu Pewaris Iblis tertawa pendek. Seraya alihkan
pandangan matanya, dia berkata. “Teruskan perjala-
nanmu!”
Putri Kayangan balik tertawa. Sementara Joko
hanya diam sambil tidak alihkan pandangan matanya
dari sosok Putri Kayangan. Di seberang sana, Tokoh-
tokoh Penghela Tandu sudah merasa geram menden-
gar ucapan Ratu Pewaris Iblis. Malah secara serempak
keempat orang ini telah kerahkan tenaga dalam.
“Ratu Pewaris Iblis!” ujar Putri Kayangan. “Boleh
aku tahu kenapa kau mengusirku dari tempat ini?!
Bukankah selama ini kita saling bersahabat dan tidak
ada silang sengketa?!”
“Ini dunia persilatan! Kau boleh menganggapku se-
bagai sahabat, tapi tak ada yang menyalahkan ku ka-
lau aku menganggapmu sebaliknya! Dan jangan kau
harap bisa tahu mengapa harus pergi dari sini! Kau
hanya perlu lakukan ucapanku tanpa harus bertanya!”
Meski sudah merasa geram dengan ucapan si ne-
nek, namun Putri Kayangan masih menindihnya. Dia
berpaling pada Pendekar 131. “Tampaknya nenek itu
ada urusan dengan pemuda ini tanpa harus diketahui
orang lain! Hem.... Kalau pemuda ini seperti dugaanku,
aku tahu pasti apa urusannya!”
Setelah membatin begitu, Putri Kayangan angkat
suara.
Ratu Pewaris Iblis! Kau punya urusan dengan pe-
muda ini?!” Putri Kayangan lirikkan matanya pada
murid Pendeta Sinting.
Ratu Pewaris Iblis bantingkan kaki kanan seraya
membentak garang. “Kau tak perlu bertanya! Kau
hanya perlu angkat kaki dari sini!”
“Nenek sialan! Kurobek mulutmu!” Tiba-tiba laki-
laki bercelana kolor warna merah berteriak. Saat lain
sosoknya berkelebat dan tahu-tahu telah tegak lima
langkah di hadapan Ratu Pewaris Iblis.
Tiga orang laki-laki dari Tokoh-tokoh Penghela Tan-
du tidak tinggal diam. Ketiganya serentak berkelebat
dan tegak berjajar di sebelah si celana kolor merah.
Ratu Pewaris Iblis tertawa panjang. “Rupanya kalian
anjing-anjing yang setia! Aku tanya, apa imbalan yang
kalian terima hingga begitu setia?! Tubuh montok-
nya?!”
Paras wajah Putri Kayangan seketika berubah me-
rah mengelam. Tubuhnya bergetar dengan tenggorokan
turun naik. Sepasang matanya mendelik berkilat.
“Nenek gila! Tak kusangka jika mulut tuamu begitu
kotor!”
Mendengar ucapan Putri Kayangan, Ratu Pewaris
Iblis bukannya marah. Sebaliknya makin perkeras ge-
lakan tawanya sebelum akhirnya berujar.
“Ini dunia persilatan! Banyak hal yang tidak diduga
sangka tiba-tiba terjadi! Kalau kau tidak segera angkat
kaki, kematian yang sebelumnya juga tidak kau sang-
ka akan menjadi bagianmu!”
“Jahanam setan!” teriak laki-laki bercelana kolor
merah. Sosoknya melesat ke depan. Kedua tangannya
bergerak lepaskan satu pukulan.
“Tak ada gunanya aku berada di sini! Mereka pasti
tidak tahu apa yang saat ini sedang kuselidiki!”
Pendekar 131 melirik pada Putri Kayangan dan Ra-
tu Pewaris Iblis. Saat bersamaan dia gerakkan kaki
melangkah tinggalkan tempat itu.
“Kita masih punya urusan, Anak Muda! Jangan be-
rani melangkah!” Tiba-tiba Ratu Pewaris Iblis memben-
tak. Kedua tangannya terangkat lalu dihantamkan ke
depan menghadang kedua tangan si celana kolor me-
rah yang telah sampai di depan hidungnya!
***
LIMA
BUKK! Bukkk!
Terdengar benturan keras tatkala tangan kiri kanan
laki-laki bercelana kolor merah bentrok dengan kedua
tangan Ratu Pewaris Iblis. Laki-laki salah satu dari To-
koh-tokoh Penghela Tandu itu tersurut dua langkah ke
belakang. Dadanya yang terbuka terlihat turun naik
dengan keras. Tampangnya yang angker berubah ma-
kin menyeramkan! Di hadapannya si nenek tampak
mundur satu langkah dengan menyeringai.
Di sebelah samping, murid Pendeta Sinting tampak
hentikan langkah. Memandang sekilas pada Ratu Pe-
waris Iblis lalu berpaling pada Putri Kayangan. Dia ter-
senyum seraya angkat bahu. Di seberangnya, Putri
Kayangan tampak hendak paksakan untuk balas se-
nyuman. Namun diurungkan tatkala mendadak ter-
dengar bentakan tiga kali berturut-turut.
Berpaling, tampaklah tiga laki-laki dari Tokoh-tokoh
Penghela Tandu telah melesat ke depan. Belum sampai
lesatan tubuh masing-masing orang sampai di hada-
pan Ratu Pewaris Iblis, ketiganya sudah lepas pukulan
jarak jauh bertenaga dalam kuat.
Terdengar beberapa kali desingan keras. Saat lain
tampak beberapa gelombang dahsyat menghampar ga-
nas ke arah Ratu Pewaris Iblis.
Sesaat Ratu Pewaris Iblis tampak terkesiap. Namun
di lain kejap kedua tangannya telah tertarik ke bela-
kang. Didahului bentakan keras, kedua tangan si ne-
nek bergerak mendorong ke depan.
Bummm! Bummm!
Tempat itu laksana dilanda gempa luar biasa. Bebe-
rapa pukulan yang saling beradu di udara mencipta-
kan muncratan nyala api sebelum akhirnya bertabur
lenyap. Sosok Ratu Pewaris Iblis terdorong sampai tiga
langkah dengan terhuyung-huyung. Paras wajahnya
yang mengeriput makin melipat dan pias laksana tidak
berdarah. Untuk sesaat si nenek periksa keadaan di-
rinya. Begitu sadar kalau tidak mengalami cedera da-
lam, dia cepat kerahkan tenaga dalam.
Di depan sana, tiga laki-laki dari Tokoh-tokoh
Penghela Tandu tampak tegak dengan tubuh hampir
melorot jatuh setelah terseret tujuh langkah. Tampang
ketiganya pias. Sejurus ketiganya saling berpandangan
lalu memberi isyarat dengan anggukkan kepala.
Putri Kayangan tampak mendengus geram melihat
apa yang telah dialami beberapa pembantunya. Dia se-
gera berkelebat. Namun Pendekar 131 telah melompat
memotong gerakan si gadis.
“Putri Kayangan. Kuharap kau mau lakukan apa
yang dikehendaki nenek itu!”
Putri Kayangan berpaling ke jurusan lain seraya
berkata. “Ini urusanku! Harap kau tidak buka suara
memberi saran!”
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala perlahan
meski dia tahu si gadis tidak melihatnya. “Kau telah
dengar. Dia tidak punya urusan apa-apa denganmu!
Malah dia bilang punya urusan denganku....”
“Hem.... Lalu apa sebenarnya hubunganmu dengan
nenek gila itu?!” tanya Putri Kayangan tanpa berpaling.
“Aku sendiri tidak tahu! Aku baru mengenalnya dis-
ini! Aku menduga dia salah lihat! Mungkin dia punya
urusan dengan orang yang mirip denganku! Tapi bisa
saja ucapannya tadi hanya alasan. Sementara tujuan
sebenarnya dia ingin kenal denganku dan naksir pa-
daku! Itulah nasib jelekku.... Di mana-mana yang nak-
sir cuma nenek-nenek!”
Kepala Putri Kayangan berpaling. Untuk beberapa
lama gadis cantik ini pandangi Joko dengan mata me-
nyipit membelalak. Diam-diam dalam hati dia berkata.
“Siapa sebenarnya pemuda ini?! Dia seakan tidak
peduli dengan apa saja! Malah menganggap remeh
urusan!”
Setelah membatin begitu, Putri Kayangan berujar.
“Kalau nenek gila itu benar-benar naksir kau, kau
sendiri bagaimana?!”
Belum sampai murid Pendeta Sinting menjawab,
dari arah seberang Ratu Pewaris Iblis telah membentak. “Apa yang kalian bicarakan, hah?!!
“Aku bilang padanya, meski kau sudah berusia lan-
jut, tapi tetap kelihatan cantik!” jawab Joko lalu ang-
gukkan kepala pada Putri Kayangan. Putri Kayangan
diam saja meski bahunya sedikit berguncang menahan
geli. Sebaliknya raut wajah Ratu Pewaris Iblis tampak
mengelam. Saat lain tiba-tiba nenek ini melesat ke de-
pan. Bukan ke arah murid Pendeta Sinting, melainkan
menyongsong ke arah laki-laki bercelana kolor merah
yang tegak sendirian terpisah dari tiga Tokoh-tokoh
Penghela Tandu.
Si laki-laki bercelana kolor merah rupanya sadar,
dia tidak mungkin mampu hadapi Ratu Pewaris Iblis
sendirian. Karena Tokoh-tokoh Penghela Tandu ini ba-
ru bisa tangguh jika lakukan serangan berempat. Hal
ini rupanya telah diketahui oleh Ratu Pewaris Iblis.
Hingga begitu melihat si celana kolor merah terpisah,
dia segera melesat. Dengan begitu, tiga lainnya nanti
akan mudah diatasinya.
Laki-laki bercelana kolor merah cepat berkelebat ke
samping. Belum sampai kakinya menginjak tanah,
tangan kirinya melambai. Tiga laki-laki dari Tokoh-
tokoh Penghela Tandu segera melesat berbarengan.
Laki-laki bercelana kolor hitam tahu-tahu telah te-
gak di belakang si celana kolor merah. Sementara laki-
laki bercelana kolor warna kuning tegak di samping si
celana kolor merah. Sementara si celana kolor hijau
sendiri di belakang si celana kolor kuning.
“Barisan Naga Iblis!” tiba-tiba si laki-laki bercelana
kolor merah berteriak. Saat bersamaan keempat laki-
laki berkepala gundul ini serempak bergerak memben-
tuk jalur ke kanan dan kiri saling bersilangan. Inilah
jurus andalan Tokoh-tokoh Penghela Tandu yang ter-
kenal dengan jurus ‘Barisan Naga Iblis’. Hanya bebera-
pa tokoh saja yang mampu menghindar dari jurus ‘Barisan Naga Iblis’, karena jika lawan lolos dari sergapan
orang yang paling depan, maka orang di belakangnya
akan segera menggebrak. Demikian seterusnya berpu-
tar-putar hingga jika lawan lengah sedikit, maka tak
ampun lagi nyawanya akan putus!
Melihat apa yang dilakukan Tokoh-tokoh Penghela
Tandu, Ratu Pewaris Iblis urungkan niat untuk te-
ruskan kelebatannya. Dia cepat jejakkan kaki. Sosok-
nya melesat mundur. Saat bersamaan tangan kanan-
nya menyambar sapu tangan pada saku pakaian pan-
jangnya. Sapu tangan warna merah agak besar inilah
yang dalam rimba persilatan dikenal dengan Sapu
Tangan Iblis.
Ratu Pewaris Iblis angkat tangan kanannya yang
memegang Sapu Tangan Iblis. Sepasang matanya me-
mandang tak berkesip dengan mulut menyeringai ke
arah ‘Barisan Naga Iblis’ yang terus bergerak cepat ke
arahnya.
Begitu berada satu tombak di hadapan Ratu Pewa-
ris Iblis, tiba-tiba Tokoh-tokoh Penghela Tandu perce-
pat kelebatan tubuh masing-masing. Hingga sosok
keempatnya hanya merupakan bayangan yang berge-
rak saling bersilangan.
Ratu Pewaris Iblis tidak berani bertindak ayal. Dia
juga tidak berani menerobos masuk ‘Barisan Naga Ib-
lis’. Karena nenek ini maklum, untuk menerobos ‘Bari-
san Naga Iblis’, diperlukan tenaga dalam berlipat-lipat
untuk menghadang setiap pukulan yang datang susul
menyusul dan bergelombang.
Ratu Pewaris Iblis menunggu. Begitu ‘Barisan Naga
Iblis’ berada empat langkah di hadapannya, dia mele-
sat mundur. Saat bersamaan tangan kanannya yang
memegang Sapu Tangan Iblis menyentak.
Wuutt!
Satu warna merah menderu angker ke arah Tokoh
tokoh Penghela Tandu.
Tokoh-tokoh Penghela Tandu cepat angkat tangan
masing-masing, lalu serempak mereka sentakkan ke
depan. Wuuut! Wuutt! Wuutt! Wuutt!
Empat gelombang luar biasa dahsyat bergelombang
menyongsong ke depan dari empat jurusan!
Blamm! Blamm! Blamm! Blamm!
Terdengar empat kali ledakan keras. Sosok Ratu
Pewaris Iblis mental ke belakang dengan tangan kanan
yang memegang Sapu Tangan Iblis tersentak dan ter-
putar keras ke belakang. Malah kalau saja nenek ini
tidak segera dapat kuasai diri niscaya Sapu Tangan Ib-
lis akan lepas dari genggaman tangannya! Sosoknya
terhuyung-huyung dan bergetar keras.
Sementara di seberang depan, begitu terdengar le-
dakan pertama, si laki-laki bercelana kolor warna me-
rah tampak mencelat lalu terkapar di atas tanah den-
gan mulut kucurkan darah! Saat lain laki-laki yang
bercelana kolor warna hitam tersapu deras ke belakang
sampai beberapa tombak sebelum akhirnya jatuh ter-
jengkang dengan mulut megap-megap keluarkan da-
rah! Kemudian disusul dengan melayangnya sosok la-
ki-laki bercelana kolor warna kuning sebelum akhirnya
juga jatuh bergulingan jauh di belakang. Yang terakhir
adalah sosok laki-laki bercelana kolor warna hijau. La-
ki-laki ini terdorong ke belakang. Karena di belakang
sana sudah tiga sosok yang terkapar, saat sosoknya
terdorong ke belakang, kakinya tampak menyambar
laki-laki bercelana kolor warna kuning, hingga tak am-
pun lagi sosok laki-laki bercelana hijau terhenti den-
gan terbanting tidak jauh dari si celana kolor warna
kuning!
Ratu Pewaris Iblis tampaknya tidak mau menunggu
lama. Begitu melihat Tokoh-tokoh Penghela Tandu sa-
ma berkaparan, sosok si nenek membuat satu gerakan. Tubuhnya melesat ke udara. Dari atas udara,
tangan kanannya yang menggenggam Sapu Tangan Ib-
lis kembali berkelebat mengibas. Yang dituju adalah si
celana kolor warna merah.
Wuutt!
Untuk kedua kalinya warna merah berkiblat angker.
Saat bersamaan, Ratu Pewaris Iblis tarik pulang
tangan kanannya, lalu serta-merta tangan kanannya
dikebutkan ke arah laki-laki bercelana hitam. Begitu
warna merah telah berkiblat, si nenek terus kebutkan
Sapu Tangan Iblis ke arah laki-laki bercelana kolor
warna kuning. Dan terakhir kalinya, bersamaan den-
gan mendaratnya kedua kaki si nenek di atas tanah,
tangan kanannya bergerak mengibaskan Sapu Tangan
Iblis ke arah laki-laki bercelana kolor warna hijau!
Hingga saat itu juga empat warna merah tampak ber-
kiblat susul menyusul ke arah masing-masing Tokoh-
tokoh Penghela Tandu!
Masing-masing Tokoh-tokoh Penghela Tandu tam-
pak tersentak kaget karena mereka sedang hendak
bergerak bangkit dan belum kerahkan tenaga dalam.
Namun melihat bahaya sudah di depan mata, mereka
sekuat tenaga cepat kerahkan tenaga dalam lalu sama
menghadang warna merah pukulan si nenek dengan
angkat kedua tangan masing-masing.
Dari tangan masing-masing Tokoh-tokoh Penghela
Tandu tampak menghampar gelombang angin. Namun
karena masing-masing orang telah terluka bagian da-
lam, gelombang yang melesat dari tangan masing-
masing orang ini tidak begitu dahsyat.
“Celaka!” desis Putri Kayangan. Gadis ini tampak
kebingungan. Tidak mungkin baginya menghadang
empat warna merah yang datang ke arah masing-
masing laki-laki Tokoh-tokoh Penghela Tandu.
Dalam puncak kebingungannya, Putri Kayangan
akhirnya melesat ke depan. Karena yang dilabrak ter-
lebih dahulu oleh pukulan si nenek adalah laki-laki
bercelana kolor warna merah, gadis ini akhirnya sen-
takkan kedua tangannya menghadang pukulan yang
mengarah pada si celana kolor warna merah.
Murid Pendeta Sinting sendiri sejenak tampak bim-
bang. Dia tidak tahu harus berbuat apa! Namun begitu
melihat Putri Kayangan telah melepas pukulan meng-
hadang warna merah yang mengarah pada si celana
kolor warna merah, akhirnya Joko ikut melesat ke de-
pan. Kedua tangannya disentakkan.
Wuuutt! Wuutt!
Joko sadar, sapuan warna merah yang melesat dari
Sapu Tangan Iblis tidak bisa dihadang dengan tenaga
sembarangan. Maka begitu kedua tangannya bergerak,
dia langsung lepaskan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’.
Hingga saat itu juga keadaan di tempat itu disemburati
warna merah yang menghampar dari Sapu Tangan Ib-
lis dan warna kuning yang melesat dari kedua tangan
murid Pendeta Sinting!
Blarr! Biaarr! Blarr! Blarr:
Untuk kedua kalinya terdengar ledakan dahsyat
empat kali susul menyusul. Sosok Ratu Pewaris Iblis
seketika tersapu deras ke belakang dan jatuh terjeng-
kang di atas tanah dengan mulut semburkan darah!
Putri Kayangan sendiri terhuyung-huyung dan
hampir saja melorot jatuh. Dadanya bergerak keras tu-
run naik. Di sebelahnya, laki-laki bercelana kolor war-
na merah bergulingan setelah memekik tinggi. Dari
mulut dan hidungnya tampak belepotan darah. Jelas
laki-laki ini terluka dalam cukup parah! Malah sean-
dainya saja Putri Kayangan tidak segera menghadang
pukulan yang mengarah padanya, mungkin nyawanya
sulit ditolong!
Sementara tiga laki-laki Tokoh-tokoh Penghela
Tandu tampak terseret sampai satu tombak ke bela-
kang. Beruntung bagi laki-laki bercelana kolor warna
hitam dan kuning karena pukulan yang dilepas murid
Pendeta Sinting masih menghadang, hingga meski ke-
duanya tetap terluka, namun nyawanya masih sela-
mat! Namun tidak demikian halnya dengan si celana
kolor warna hijau. Dia harus menghadang pukulan
Sapu Tangan Iblis dengan tenaga dalamnya sendiri ka-
rena warna merah itu tidak sempat terpangkas puku-
lan ‘Lembur Kuning’ yang dilepas Pendekar 131! Hing-
ga begitu terdengar ledakan, sosok laki-laki bercelana
kolor warna hijau tampak melenting jauh ke belakang
sebelum akhirnya jatuh bergedebukan di atas tanah
dengan nyawa melayang!
Pendekar 131 sendiri tampak tersurut dua langkah.
Tangan kiri kanannya yang baru saja menghadang pu-
kulan sapu tangan si nenek tampak bergetar. Dia me-
rasakan kedua tangannya laksana baru saja bentrok
dengan tembok tebal yang dialiri hawa panas luar bi-
asa. Hingga untuk beberapa saat Joko merasakan da-
rahnya laksana mendidih dan menyentak-nyentak!
Ketiga laki-laki berkepala gundul dari Tokoh-tokoh
Penghela Tandu segera kerahkan tenaga dalam mas-
ing-masing. Ketiganya lalu sama berpaling. Mereka
berniat akan lakukan penyerbuan lagi pada si nenek.
Namun begitu melihat si celana kolor warna hijau ti-
dak bergerak-gerak lagi, ketiganya menjadi kalap. Tan-
pa pedulikan keadaan dari masing-masing yang telah
terluka cukup parah, ketiganya serentak bangkit. Saat
berikutnya, tanpa diduga sama sekali oleh Putri
Kayangan, ketiganya sama melesat ke arah Ratu Pewa-
ris Iblis yang telah tegak dengan mengangkat tangan
kanan acung-acungkan Sapu Tangan Iblis.
“Tahan serangan!” teriak Putri Kayangan. Namun
teriakan si gadis terlambat. Ketiga orang itu telah sentakkan tangan masing-masing walau mereka sadar,
tenaga dalam mereka sudah hampir habis.
Ratu Pewaris Iblis hadapi serangan ketiga orang di
hadapannya dengan tersenyum dingin. Saat lain tan-
gan kanannya bergerak tiga kali di udara kebutkan
Sapu Tangan Iblis.
Sudah sangat terlambat bagi Putri Kayangan untuk
lepaskan pukulan, karena ketiga orang pembantunya
itu telah lepaskan pukulan masing-masing dari arah
dekat! Malah kalau saja Putri Kayangan lepas pukulan,
tidak tertutup kemungkinan pukulannya akan meng-
hantam salah satu dari ketiga orang Tokoh-tokoh
Penghela Tandu yang masih hidup itu. Hingga akhir-
nya gadis ini hanya bisa berteriak tanpa membuat ge-
rakan apa-apa!
Di belakang sana, murid Pendeta Sinting juga tam-
pak terlengak kaget melihat tindakan ketiga laki-laki
pembantu Putri Kayangan. Dia sama sekali tidak men-
duga kalau ketiga orang itu akan berbuat nekat. Hing-
ga sudah sangat terlambat sekali bagi Joko untuk le-
paskan pukulan hadangan!
Begitu warna merah berkiblat, tiga gelombang yang
melesat lemah dari tangan masing-masing Ketiga To-
koh-tokoh Penghela Tandu menyibak bertaburan ke
samping kiri kanan. Saat yang sama ketiga laki-laki ini
berseru tertahan. Sosok ketiganya sesaat laksana te-
gang kaku. Namun kejap lain sosok ketiganya mence-
lat tersapu dengan saling bertubrukan di atas udara.
Begitu sosok mereka bertiga jatuh terkapar di atas ta-
nah, ketiga orang ini terlihat bergerak menggeliat. Tapi
laksana disentak tangan setan, sosok ketiganya tiba-
tiba tegang kaku! Mulut masing-masing orang yang te-
lah berhamburan darah tampak menganga. Ketiga la-
ki-laki dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu ini putus
nyawanya dengan tubuh hampir hangus.
Ratu Pewaris Iblis tengadahkan kepala. Mulutnya
terbuka perdengarkan suara tawa kekehan panjang.
Nenek ini masukkan sapu tangan merah ke dalam sa-
ku pakaiannya. Lalu melesat ke hadapan Putri Kayan-
gan.
Begitu sepasang kaki Ratu Pewaris Iblis menginjak
tanah, tangan kirinya diangkat lurus ke arah Putri
Kayangan.
“Saat ini aku masih memandang mu sebagai saha-
bat. Tapi pandanganku akan berbalik kalau kau tidak
segera enyah dari sini!”
“Empat pembantuku telah kau bunuh! Aku tak
akan tinggalkan tempat ini tanpa nyawamu melayang
sebagai tebusan nyawa keempat pembantuku!”
Ratu Pewaris Iblis tertawa panjang. “Berarti kau in-
gin menyusul keempat anjingmu itu! Aku tak segan
untuk mengantarmu menyusul mereka!”
Putri Kayangan kertakkan rahang. Saat itu juga dia
berkelebat. Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-
tiba satu tangan telah melintang di hadapannya.
“Putri.... Aku tahu kau berilmu tinggi dan mampu
menghadapi nenek itu! Tapi untuk saat ini kurasa bu-
kan saat yang baik untuk menghadapinya! Harap kau
suka tinggalkan tempat ini!”
Putri Kayangan berpaling. Tampak Pendekar 131
tersenyum sambil anggukkan kepala. Tangan kanan-
nya yang melintang menghalangi gerakan si gadis dita-
rik pulang.
“Pemuda tak dikenal! Harap kau tidak ikut urusan-
ku! Aku akan tinggalkan tempat ini setelah mengambil
nyawa nenek gila itu sebagai imbalan keempat nyawa
pembantuku!”
“Tapi.... Kau dalam keadaan tegang! Itu akan mem-
bahayakan keselamatanmu! Biarlah nenek itu kuha-
dapi! Aku tahu bagaimana caranya menghadapi seorang nenek! Lagi pula dia telah mengatakan punya
urusan denganku!”
Putri Kayangan menyeringai. Kepalanya mengge-
leng. “Nyawa harus dibayar nyawa! Dan bayaran itu ti-
dak harus menunggu!”
Habis berkata begitu, Putri Kayangan berkelebat ke
depan. Kedua tangannya serta-merta bergerak melepas
satu pukulan!
“Bagus! Kau akan mengalami kenyataan yang sebe-
lumnya tidak kau duga!” desis Ratu Pewaris Iblis. Tan-
gan kanannya segera menyelinap ke dalam sakunya.
Saat tangan kanannya diangkat, tampak Sapu Tangan
Iblis telah berkibar-kibar di atas udara. Saat bersa-
maan, Ratu Pewaris Iblis telah kebutkan tangan ka-
nannya!
***
ENAM
Sebenarnya Pendekar 131 tak mau ikut campur
urusan antara Ratu Pewaris iblis dengan Putri Kayan-
gan. Karena urusannya sendiri belum bisa diselesai-
kan. Apalagi Ratu Pewaris iblis mengatakan ada uru-
san dengannya. Kalau dia ikut-ikutan, bukan tidak
mungkin Ratu Pewaris Iblis akan makin marah. Itu
akan menambah kesulitan baginya. Namun begitu me-
lihat kedahsyatan Sapu Tangan Iblis yang ada di tan-
gan si nenek, dia jadi khawatir akan keselamatan Putri
Kayangan. Maka begitu Ratu Pewaris Iblis telah ke-
butkan sapu tangannya, tanpa pikir panjang lagi mu-
rid Pendeta Sinting segera berkelebat sambil lepaskan
pukulan sakti ‘Lembur Kuning’.
Blaar! Blaar!
Warna merah yang berkiblat dari sapu tangan Ratu
Pewaris Iblis membentur gelombang dahsyat yang
mencuat dari kedua tangan Putri Kayangan dan ge-
lombang serta warna sinar kuning yang melesat dari
kedua tangan murid Pendeta Sinting hingga akibatkan
ledakan luar biasa dahsyat.
Tempat itu kembali laksana disapu topan. Tanah-
nya muncrat ke udara menutupi pemandangan. Bebe-
rapa jajaran pohon yang berada sekitar lima tombak
dari tempat bentroknya pukulan bergetar keras. Bebe-
rapa di antaranya langsung terbongkar lalu tumbang.
Dua pukulan yang menghadang warna merah dari
sapu tangan Ratu Pewaris Iblis membuat nenek ini
terpelanting ke udara. Dari mulutnya sudah tampak
kucurkan darah tanda dia telah terluka cukup dalam.
Dalam keadaan seperti itu tubuh si nenek jatuh sete-
lah terlebih dahulu menghantam tanah agak tinggi
yang berada di belakangnya.
Di bagian seberang, sosok Putri Kayangan tampak
jatuh terduduk dengan tubuh tegang laksana tidak bi-
sa digerakkan! Aliran darahnya seperti disumbati hing-
ga untuk beberapa saat gadis ini diam kaku dengan
mata sedikit membeliak! Tidak jauh dari tempat Putri
Kayangan, murid Pendeta Sinting coba kuasai diri dari
huyungan tubuh serta kedua lututnya yang goyah.
Meski Joko selamat dari cedera, namun bukan berarti
tidak mengalami akibat dari bentroknya pukulan. Ka-
rena bersamaan dengan itu dia merasakan dadanya
sesak dan aliran darahnya panas serta menyentak-
nyentak!
Ratu Pewaris Iblis cepat mengatur jalan darahnya.
Hingga kucuran darah yang menyembur dari mulutnya
mampu ditahan. Saat lain nenek ini telah lipat ganda-
kan tenaga dalam lalu bergerak bangkit dengan mata
jereng besar memandang angker ke depan.
Pendekar 131 cepat kerahkan tenaga dalam pula.
Lalu melompat dan tegak di samping Putri Kayangan
yang coba himpun tenaga murni untuk menguasai diri
dari luka dalamnya.
“Putri.... Bukankah lebih baik kau menghindar da-
hulu?! Kau telah terluka”
“Kalaupun aku harus mampus, aku rela! Asal ber-
sama-sama nenek gila itu!”
“Putri...! Kau hanya sia-siakan nyawa kalau bertin-
dak nekat!”
“Aku tak kenal siapa kau! Harap jangan terus me-
nerus menghalangiku!”
“Baiklah! Aku akan katakan siapa diriku! Tapi bu-
kan di sini tempatnya! Tunggulah aku kira-kira seratus
tombak sebelah barat dari tempat ini! Aku akan sele-
saikan nenek itu lalu menyusulmu!”
Putri Kayangan memandang sejenak pada murid
Pendeta Sinting. “Hem.... Dari sikap dan pukulannya,
aku hampir yakin akan siapa dia sebenarnya! Sayang
sekali nenek gila itu tiba-tiba muncul di sini! Untuk
sementara, lebih baik aku turuti ucapan pemuda ini!
Urusan dengan nenek gila itu bisa kuurus nanti!”
Membatin begitu, akhirnya Putri Kayangan berkata
pelan. “Baik! Aku akan turuti ucapanmu! Aku me-
nunggumu di sebelah barat! Tapi kalau kau berkata
dusta, kelak aku akan mencarimu!”
Habis berkata, Putri Kayangan putar diri. Saat lain
setelah memandang satu persatu pada mayat empat
pembantunya, dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
Mendapati hal demikian, Ratu Pewaris Iblis tidak
tinggal diam. Dia segera melompat ke depan. Tangan
kanannya diangkat tinggi-tinggi siap kebutkan sapu
tangan.
Pendekar 131 segera menghadang. “Nek! Dia telah
lakukan apa yang kau minta.... Harap tidak teruskan
tindakan!”
Ratu Pewaris Iblis memandang Pendekar 131 Joko
Sableng dengan mata mendelik. Lalu beralih pada so-
sok Putri Kayangan yang terus berkelebat. Meski tan-
gan kanannya urung bergerak kebutkan sapu tangan-
nya, namun nenek ini buka suara dengan keras.
“Putri Kayangan! Kau telah membuat satu urusan
denganku! Kalau saat ini nyawamu lolos, itu hanya ter-
tundanya kematianmu beberapa saat!” Ratu Pewaris
Iblis lalu tertawa panjang.
Namun laksana disabet setan, mendadak si nenek
putuskan tawanya. Matanya yang jereng kini menatap
murid Pendeta Sinting. Kejap lain mulutnya terkuak
perdengarkan bentakan garang.
“Pemuda sialan! Kau murid Pendeta Sinting bu-
kan?!”
“Kalau aku tidak berterus terang, mungkin urusan
ini jadi panjang! Lagi pula aku ingin tahu apa sebenar-
nya kemauan nenek ini!” pikir Joko dalam hati, lalu
berkata.
“Ucapanmu benar, Nek!”
“Hem.... Bagus! Aku tahu.... Kau telah memperoleh
kitab sakti! Tapi untuk saat ini aku tidak tertarik den-
gan kitab itu!” Ratu Pewaris Iblis hentikan ucapannya.
Bibirnya tersenyum. Dia sengaja hentikan ucapannya
untuk melihat bagaimana sikap orang begitu menden-
gar ucapannya.
Pendekar 131 sesaat terdiam dengan dahi berkerut.
Namun belum sampai dia dapat menentukan arah bi-
cara orang, Ratu Pewaris Iblis telah buka mulut lagi.
“Pendekar 131! Kau telah memperoleh banyak reze-
ki! Bagaimana kalau kau berikan padaku salah sa-
tunya?! Tidak baik bukan, seseorang serakah memiliki
banyak rezeki?!”
“Nek! Kita baru kali ini bertemu. Adalah menghe-
rankan kalau kau mengatakan aku punya banyak rezeki! Apa kau tidak salah ucap? Atau jangan-jangan
kau salah meminta!”
“Mataku tidak buta! Telingaku masih bisa menden-
gar! Kau tak usah banyak bicara!”
“Hem.... Begitu?! Mau katakan rezeki apa yang hen-
dak kau minta dariku?!”
“Aku hanya minta Kembang Darah Setan!”
Meski sedikit banyak bisa menduga sebelumnya,
begitu mendengar ucapan si nenek, tak urung murid
Pendeta Sinting tersentak juga. “Berarti kabar tentang
Kembang Darah Setan itu telah menebar dalam kalan-
gan rimba persilatan! Edan betul! Aku kena getahnya!”
Diam-diam Joko membatin. Lalu berkata pelan.
“Nek...! Aku jadi sangsi. Apakah telingaku tidak sa-
lah dengar dengan ucapanmu?”
“Terserah telingamu salah dengar atau tidak! Yang
pasti kau telah dengar permintaanku!” Ratu Pewaris
Iblis melangkah sambil angkat tangan kanannya yang
menggenggam Sapu Tangan Iblis. Begitu mendapat tiga
tindak, tangan kirinya menjulur ke depan membuat
gerakan meminta.
“Kembang Darah Setan! Serahkan padaku! Jika ti-
dak.... Kau akan mengalami nasib seperti empat anj-
ing-anjing pembantu itu!” Tangan kiri Ratu Pewaris Ib-
lis bergerak menunjuk pada empat mayat Tokoh-tokoh
Penghela Tandu.
“Nek...”
“Diam!” hardik si nenek. “Jangan berani buka mulut
lagi!”
Pendekar 131 tidak hiraukan ancaman orang. Dia
lanjutkan ucapannya. “Nek.... Terus terang saja! Aku
tidak memiliki barang yang kau minta! Aku memang
punya beberapa kembang, tapi Kembang Darah Setan
tidak ada padaku!”
“Setan! Kau lancang bicara! Kalau kau memiliki beberapa kembang, sekarang kuminta semuanya!”
“Wah.... Mana bisa begitu? Kembang-kembang ini
harus kuserahkan pada beberapa orang! Tapi kalau
kau meminta, aku bersedia mencarikan untukmu!”
Ratu Pewaris Iblis menyeringai. “Aku tahu, Anak
Muda! Kau hanya mempermainkan diriku! Dan perlu
kau tahu, adalah tindakan tolol kalau kau berani per-
taruhkan nyawa demi sebuah kembang!”
“Ucapanmu benar, Nek! Adalah tindakan tolol kalau
pertaruhkan nyawa demi sebuah kembang! Tapi kalau
aku tidak membawa kembang itu bagaimana?! Apakah
tindakan orang yang meminta pada orang yang tidak
punya bukan lebih tolol lagi?!”
Ratu Pewaris Iblis perdengarkan dengusan keras.
Dengan masih acungkan tangan kanan, dia berteriak.
“Aku bicara satu kali lagi! Serahkan kembang itu
secara baik-baik atau kau inginkan aku mengambilnya
dengan caraku sendiri!”
“Ah.... Cara bagaimana yang akan kau lakukan,
Nek?! Aku bisa menduga, sebagai orang yang berusia
lanjut, tentu kau banyak pengalaman dan pasti cara-
mu asyik....”
Ratu Pewaris Iblis tak dapat menahan perasaan
mendengar ucapan murid Pendeta Sinting.
“Kau rupanya sudah bosan hidup!” teriak si nenek.
Saat bersamaan sosoknya melesat ke depan. Tangan
kanannya bergerak kebutkan sapu tangan, sementara
tangan kirinya ikut menyentak ke depan.
Wuutt! Wuutt!
Gelombang angin dahsyat disertai menghamparnya
warna merah menderu ganas dengan keluarkan suara
bergemuruh angker.
Murid Pendeta Sinting tidak berani bertindak ayal.
Ganasnya gelombang yang datang menunjukkan kalau
si nenek telah kerahkan hampir segenap tenaga dalamnya! Apalagi masih ditambah dengan berkiblatnya
warna merah yang kedahsyatan akibatnya telah dike-
tahui murid Pendeta Sinting.
Pendekar 131 segera kerahkan tenaga dalam ham-
pir seluruhnya pada kedua tangannya. Saat itu juga
kedua tangannya berubah menjadi kuning. Saat lain
kedua tangannya didorong ke depan.
Blaarrr!
Ledakan kali ini sungguh luar biasa dahsyat. Sosok
Ratu Pewaris Iblis langsung terpental sampai tiga tom-
bak dengan mulut perdengarkan pekikan tinggi. So-
soknya jatuh berlutut dengan hidung dan mulut kelua-
rkan darah. Rupanya cedera dalam yang dialami si ne-
nek waktu menghadapi Tokoh-tokoh Penghela Tandu
serta bentrokan pukulannya dengan Putri Kayangan
serta murid Pendeta Sinting sebelum ini membuat Ra-
tu Pewaris Iblis harus menerima kenyataan pahit. Ka-
rena luka dalamnya makin parah dan kucuran darah-
nya makin deras.
Murid Pendeta Sinting sendiri tampak jatuh terdu-
duk. Namun dia bisa segera bangkit berdiri. Memang
masih terhuyung-huyung dan wajahnya pucat pasi
serta dadanya berdenyut sakit. Namun dia tidak men-
galami cedera terlalu parah.
“Tidak ada gunanya melayani dia! Aku harus segera
tahu urusan pelik ini! Jika tidak, aku akan makin di-
buru orang, padahal aku tidak tahu urusannya!”
Joko melirik sejenak pada Ratu Pewaris Iblis. Saat
lain dia putar tubuh lalu berlari tinggalkan si nenek.
Ratu Pewaris Iblis sebenarnya tahu akan kepergian
murid Pendeta Sinting. Namun si nenek masih berpikir
panjang. Adalah berisiko besar dalam keadaan terluka
begitu rupa jika berkelebat mengejar dan lakukan se-
rangan. Hingga si nenek hanya memandang dengan
hati panas dan memaki panjang pendek.
TUJUH
Di balik lindungan satu batang pohon besar berja-
rak seratus tombak sebelah barat tempat di mana
Pendekar 131 dan Ratu Pewaris Iblis bertempur, Putri
Kayangan mulai tampak cemas. Apalagi tidak berse-
lang lama telinganya lamat-lamat masih bisa menden-
gar ledakan.
Gadis berparas luar biasa cantik ini sebentar-
sebentar arahkan pandangannya ke arah timur. Kedua
tangannya saling meremas dengan dada berdebar. En-
tah mengapa tiba-tiba gadis ini sangat mengkhawatir-
kan keselamatan murid Pendeta Sinting. Kalau pertu-
rutkan kata hati, ingin rasanya dia segera mengham-
bur kembali ke tempat Pendekar 131. Tapi mengingat
ucapan dan janji murid Pendeta Sinting yang segera
akan menyusulnya, gadis ini akhirnya tabahkan hati
bersabar menunggu meski kian lama perasaan cemas
itu makin mendera lebih dalam.
Setelah ditunggu agak lama dan yang ditunggu be-
lum juga muncul, kekhawatiran Putri Kayangan makin
menjadi-jadi. “Apa yang terjadi dengan pemuda itu?!
Mengapa dia tidak segera muncul di sini? Mendengar
ledakan tadi, pasti mereka selesaikan urusan dengan
jalan kekerasan. Hem.... Apa benar dia adalah Pende-
kar Pedang Tumpul 131 yang menurut sebagian orang
saat ini telah mendapatkan Kembang Darah Setan...?
Kalau benar, apa aku harus teruskan niat untuk men-
gambil kembang itu dari tangannya?!”
Putri Kayangan menghela napas panjang. “Mengapa
kau selalu khawatir dengan dirinya? Apa yang terjadi
dengan diriku?! Aku.... Aku tak pernah mengkhawatir-
kan orang seperti saat ini!” Gadis cantik ini kembali
arahkan pandang matanya ke arah timur. “Apa yang
harus kulakukan sekarang? Apakah aku harus me-
nunggu tanpa kepastian jelas? Ataukah aku harus
menyusulnya ke sana?!”
Putri Kayangan melangkah mondar-mandir dengan
mata tak berkesip memandang ke jurusan timur. Dan
setelah lama menunggu tidak juga muncul orang yang
ditunggu, akhirnya Putri Kayangan bergumam sendiri.
“Firasat ku mengatakan ada sesuatu yang tidak
beres! Terpaksa aku harus kembali ke sana?!”
Putri Kayangan segera keluar dari balik batang po-
hon. Lalu berlari ke arah timur. Namun belum sempat
si gadis gerakkan tubuh berkelebat, satu sosok bayan-
gan berkelebat dan tegak di seberang depan sana.
Putri Kayangan terkesiap. Sepasang kakinya berge-
rak mundur satu tindak dengan paras berubah ngeri.
Sepasang matanya membelalak besar memperhatikan
tak berkesip.
“Rasanya aku hampir tidak percaya ada manusia
macam dia!” desis Putri Kayangan. Sekali lagi dia per-
hatikan dengan seksama seolah belum percaya dengan
pandangannya.
Orang di seberang depan gerakkan kepala. Mulut-
nya perdengarkan suara.
“Kau menunggu seseorang?! Dari tadi kulihat si-
kapmu gelisah!”
Putri Kayangan makin terkejut mendapati ucapan
orang yang jelas menunjukkan jika dia telah memper-
hatikan si gadis sejak tadi tanpa diketahuinya.
“Siapa kau?!” Putri Kayangan angkat bicara.
Orang di seberang sana yang ternyata adalah seo-
rang laki-laki gerakkan kepala menggeleng. Dia adalah
laki-laki yang usianya bisa dipastikan lanjut. Rambut-
nya putih awut-awutan. Mengenakan pakaian besar
kedodoran. Sepasang matanya besar. Namun bukan
itu saja yang membuat Putri Kayangan hampir tidak
percaya pada pandang matanya. Malah kalau saja
orang ini tidak perdengarkan suara, mungkin Putri
Kayangan masih belum percaya kalau yang dihada-
pinya saat itu masih manusia adanya. Karena ternyata
sekujur tubuh laki-laki ini tidak dilapis daging sama
sekali. Sosoknya hanya merupakan kerangka! Dia bu-
kan lain adalah Setan Liang Makam. Seorang tokoh
yang dahulu bernama Maladewa. Generasi terakhir da-
ri Kampung Setan yang terpendam selama tiga puluh
enam tahun di makan batu.
“Siapa yang kau tunggu?!” Setan Liang Makam aju-
kan tanya.
Putri Kayangan tidak segera menjawab. Setan Liang
Makam menyeringai lalu tertawa bergelak. Puas ta-
wanya dia perdengarkan suara lagi.
“Aku bertanya padamu! Kau pernah melihat seorang
pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131?!”
Putri Kayangan terkesiap kaget. Wajahnya langsung
berubah. “Pasti urusannya sama dengan nenek gila
itu!” Diam-diam dada gadis cantik ini makin cemas.
Dan tanpa sengaja pandangannya beralih ke jurusan
timur. Kalau tadi dia mengharap munculnya murid
Pendeta Sinting, kali ini dia mengharap sebaliknya.
Sedikit banyak rupanya Putri Kayangan sudah dapat
menebak apa maksud Setan Liang Makam. Dia juga
merasa maklum kalau orang di hadapannya bukan
orang sembarangan. Kehadirannya yang tak bisa dike-
tahui membuktikan semua itu!
“Mengapa kau tanya padaku?!” tanya Putri Kayan-
gan.
“Kau adalah seorang gadis cantik jelita! Kudengar,
pemuda bergelar Pendekar 131 selalu dikagumi bebe-
rapa gadis. Siapa tahu kau adalah salah satunya. Ma-
ka, mungkin kau tahu di mana dia berada!”
Wajah Putri Kayangan sekilas berubah merona merah mendengar pujian orang. Namun mengingat kece-
masannya, rona merah sirna seketika berganti dengan
wajah membayangkan kekhawatiran.
“Aku tidak pernah mengagumi seorang pemuda! Ka-
rena aku telah punya pilihan! Jadi kau mungkin salah
bertanya padaku!”
Setan Liang Makam arahkan pandangannya pada
Putri Kayangan. “Kau tidak perlu khawatir.... Aku
mencarinya bukan ada masalah! Justru aku ingin
memberi saran padanya!”
Putri Kayangan sejenak tampak bimbang. “Aku be-
lum pernah mengenalnya! Dia juga belum katakan sia-
pa dirinya! Mana mungkin aku harus percaya pada
ucapannya...? Apalagi urusan Kembang Darah Setan
adalah urusan dunia persilatan. Jadi tak mungkin
maksudnya hanya sekadar memberi peringatan!”
membatin Putri Kayangan. Lalu berkata dengan bibir
sunggingkan senyum untuk tutupi keterkejutannya.
“Kalau aku tahu, aku akan katakan padamu meski
aku belum tahu siapa kau! Aku tidak peduli kau hen-
dak memberi saran atau membunuhnya!”
“Aku Setan Liang Makam!” ujar Setan Liang Makam.
“Kau benar-benar tidak tahu?!”
Putri Kayangan gelengkan kepala. “Aku memang
pernah mendengar nama orang yang kau cari! Tapi
aku belum pernah jumpa dengannya!”
“Baik...,” ujar Setan Liang Makam seraya balikkan
tubuh. “Tapi kau ingat, jika ucapanmu tadi kelak ke-
nyataannya terbalik, kau akan menyesal!”
Habis berkata begitu, Setan Liang Makam berkele-
bat ke arah utara. Putri Kayangan cepat berkelebat ke
arah timur dengan dada makin cemas. Namun baru
saja sosoknya bergerak, samar-samar matanya me-
nangkap bayangan berkelebat dari arah depan.
Putri Kayangan serta-merta hentikan kelebatannya
dengan menarik napas panjang. Matanya membesar
dengan bibir tersenyum. Dadanya yang tadi dilanda
kecemasan tiba-tiba sirna. Dan seolah tak sabar, begi-
tu matanya merasa yakin siapa adanya orang yang
berlari dari arah depan, dia segera lanjutkan lari me-
nyongsong.
“Pendekar 131! Kau....” Putri Kayangan tidak lan-
jutkan ucapannya. Mungkin karena terlalu cemas, be-
gitu dekat dengan sosok yang berlari di depan, Putri
Kayangan segera menghambur dan pegangi lengan
orang yang ternyata bukan lain adalah murid Pendeta
Sinting. Namun begitu sadar akan tindakannya, gadis
cantik ini lepaskan pegangan tangannya malah dia ti-
dak lanjutkan ucapan.
Murid Pendeta Sinting sendiri sejurus tampak kaget
dengan sikap Putri Kayangan. “Ternyata dia telah tahu
siapa diriku! Jadi dia tadi hanya pura-pura! Dasar pe-
rempuan.... Di depan orang pura-pura tak kenal! Ta-
pi....”
“Kau tidak apa-apa?!” tanya Putri Kayangan mem-
buat Joko putus kata hatinya.
Murid Pendeta Sinting tersenyum. “Sudah kubilang
tadi, aku tahu bagaimana caranya menghadapi seo-
rang nenek-nenek!”
Putri Kayangan hadapkan wajah ke jurusan lain.
Tiba-tiba wajahnya kembali cemas. Joko tampak ker-
nyitkan dahi.
“Parasmu berubah! Ada apa?!”
“Kita harus segera tinggalkan tempat ini!”
“Hai! Kau belum mengatakan ada apa?!”
“Bukan di sini tempatnya bertanya!” Putri Kayangan
balikkan tubuh. Lalu melangkah. Namun merasa mu-
rid Pendeta Sinting belum juga beranjak dari tempat-
nya, Putri Kayangan berpaling. “Harap kau suka turuti
ucapanku! Karena aku tadi telah ikuti saran mu!”
Habis berkata begitu, Putri Kayangan cepat berlari.
Meski tidak tahu apa yang dimaksud Putri Kayangan,
akhirnya Joko berlari menyusui di belakang si gadis.
***
“Kau Pendekar 131, bukan?!” Putri Kayangan sudah
ajukan tanya begitu gadis ini berhenti pada satu tem-
pat. Lalu putar tubuh menghadap Joko yang tadi tegak
di belakangnya.
“Dari pertanyaanmu, berarti kau tadi hanya men-
duga-duga!” ujar murid Pendeta Sinting. “Kalau sean-
dainya aku bukan, bagaimana?! Dan kalau aku benar
orang yang kau duga, bagaimana?!”
Putri Kayangan menghela napas dalam. Sesaat dia
tatapi murid Pendeta Sinting. “Kalau seandainya kau
bukan, aku hampir tak percaya! Seandainya dugaanku
benar, maka berhati-hatilah!”
“Apa maksud ucapanmu?!”
“Sebelum kujawab, jawab dahulu pertanyaanku.
Kau Pendekar 131 atau bukan!”
Sejurus murid Pendeta Sinting berpikir. Lalu ang-
gukkan kepala seraya berkata.
“Dugaanmu benar!”
Putri Kayangan sekali lagi memperhatikan dengan
seksama. Namun sejauh ini dia tidak buka mulut,
membuat murid Pendeta Sinting jadi gelisah.
“Apakah dia meragukan diriku? Apakah dia sebe-
lumnya pernah melihat orang yang mirip denganku se-
perti yang pernah dialami Dewi Seribu Bunga?!” Joko
berpikir dalam hati. Dia hendak menanyakan pada Pu-
tri Kayangan. Namun setelah dipikir sekali lagi, murid
Pendeta Sinting urungkan niat. Hingga untuk bebera-
pa lama dia menunggu sambil memandang pada gadis
di hadapannya.
“Kau mengenal orang bergelar Setan Liang Ma-
kam?!” tanya Putri Kayangan setelah agak lama ter-
diam.
Saking kagetnya, Joko hampir saja surutkan lang-
kah. “Apa hubunganmu dengan orang itu?!” Joko balik
ajukan tanya dengan dada berdebar.
Putri Kayangan gelengkan kepala. “Aku bertanya!
Jangan kau balik bertanya sebelum menjawab perta-
nyaanku!”
“Aku pernah jumpa dengannya satu kali! Aku tidak
paham benar siapa dia adanya! Justru aku heran di-
buatnya!”
“Dia meminta sesuatu darimu?!” tanya Putri Kayan-
gan lagi.
“Gadis ini rupanya tahu banyak!” batin Joko seraya
anggukkan kepala.
“Hem.... Dugaanku tidak salah!” gumam Putri
Kayangan. “Berarti Setan Liang Makam tadi berkata
dusta padaku!”
“Apakah nenek gila tadi juga melakukan hal sa-
ma?!”
Sekali lagi murid Pendeta Sinting anggukkan kepa-
la. Lalu berujar pelan.
“Apa kau juga hendak meminta sesuatu dariku se-
perti apa yang mereka minta?!”
Putri Kayangan terdiam. Rupanya murid Pendeta
Sinting dapat membaca sikap si gadis. “Sebelum terjadi
apa-apa antara kita, kusarankan padamu untuk tidak
meminta apa-apa dariku! Aku tidak memiliki apa yang
selama ini orang pikir berada padaku!”
“Hem.... Aku merasa aneh dengan diriku...,” kata
Putri Kayangan dalam hati. “Sebelum bertemu den-
gannya, aku sudah bertekad untuk mendapatkan
Kembang Darah Setan! Tapi begitu aku jumpa dengannya, tiba-tiba pikiranku berubah.... Kembang Da-
rah Setan sepertinya bukan barang berharga lagi bua-
tku.... Aku.... Aku lebih senang pertemuan ini diband-
ing dengan mendapatkan Kembang Darah Setan....
Ucapan Setan Liang Makam ada benarnya. Pemuda ini
banyak dikagumi beberapa gadis! Apakah aku sebe-
narnya juga tertarik padanya...?!”
“Pendekar 131! Aku....”
Sebelum Putri Kayangan teruskan ucapannya, mu-
rid Pendeta Sinting telah menukas. “Panggil saja Joko!
Namaku Joko Sableng....”
Putri Kayangan tersenyum. Lalu lanjutkan ucapan-
nya yang tadi terputus. “Aku tidak akan meminta apa-
apa darimu! Tapi tak ada salahnya bukan aku ber-
tanya?!”
“Sepanjang aku bisa menjawab, aku akan buka su-
ara!”
“Saat ini rimba persilatan telah banyak yang tahu
kalau Kembang Darah Setan berada di tanganmu! Aku
jadi heran kalau kau mengatakan tidak memilikinya!”
“Kalau kau heran, aku malah heran tiga kali! Itulah
sebenarnya yang saat ini menjadi beban pikiranku!
Banyak orang menduga aku memiliki Kembang Darah
Setan! Padahal, melihatnya pun aku belum pernah!
Dan justru dengan kabar yang tersiar itu, aku bebera-
pa kali harus mengalami nasib buruk dan hampir-
hampir saja celaka!”
“Bagaimana bisa begitu?!”
“Aku tak bisa jawab pertanyaanmu ini! Karena saat
ini aku sedang cari jawaban pertanyaanmu itu! Melihat
saja belum pernah tapi kabar yang tersiar, aku telah
memiliki Kembang Darah Setan”
Murid Pendeta Sinting melangkah lalu bertanya.
“Apa kau tahu cerita tentang Kembang Darah Setan?!”
“Aku hanya mendengar jika Kembang Darah Setan
adalah senjata dahsyat yang pernah dimiliki oleh seo-
rang tokoh dari Kampung Setan! Dan Kembang Darah
Setan itu sekarang ada di tanganmu!”
Pendekar 131 hentikan langkahnya. “Putri Kayan-
gan.... Harap kau percaya padaku! Aku tidak memiliki
Kembang Darah Setan! Apa yang saat ini tersiar adalah
berita bohong!”
Habis berkata begitu, Pendekar 131 berpaling. “Aku
harus segera pergi!”
“Tunggu!” teriak Putri Kayangan seraya melompat
menjajari. “Aku percaya padamu.... Dan kusarankan
padamu agar kau berhati-hati! Aku baru saja jumpa
dengan Setan Liang Makam! Dia mencarimu!”
Murid Pendeta Sinting sejenak tampak terkejut. Be-
lum sampai dia bertanya, Putri Kayangan telah berka-
ta.
“Kau tak keberatan bukan kalau aku ikut dengan-
mu?! Kurasa kau akan menyelidiki urusan ini!”
“Putri.... Ini bukan urusan biasa! Apalagi jika kabar
telah tersiar ke mana-mana. Setiap saat nyawaku te-
rancam bahaya! Harap kau tidak ikut melibatkan diri!”
“Aku telah tahu dan mengerti risikonya! Semuanya
sudah ku pikirkan! Harap kau tidak menghalangiku
dan tidak merasa keberatan!”
“Tapi....”
“Kalau kau merasa keberatan, berarti kau telah
mendapatkan Kembang Darah Setan”
“Baiklah!” kata Joko akhirnya. “Tapi kuharap kau
nanti tidak menyesal!”
Wajah Putri Kayangan berubah. Bibirnya terse-
nyum. Dadanya berbunga. Di lain pihak, murid Pende-
ta Sinting menarik napas panjang. Sambil melangkah
perlahan dia bergumam sendiri. “Mudah-mudahan dia
nanti tidak membuat urusan makin runyam. Aku se-
benarnya menyesal.... Mengapa aku baru bisa bertemu
dengannya saat menghadapi masalah pelik begini?!”
“Kau memikirkan sesuatu?!” Putri Kayangan ajukan
tanya begitu melangkah di samping Joko.
“Aku kecewa.... Mengapa kita harus bertemu saat
aku menghadapi urusan sulit! Jika tidak, sudah tadi-
tadi aku mengajak mu ikut serta!”
Dada Putri Kayangan berdebar. Jika saja dia tidak
ingat kalau si pemuda baru dikenalnya, mungkin dia
sudah menggandeng tangan si pemuda dan menggeng-
gam tangannya.
“Putri.... Kau tahu ke mana arah Setan Liang Ma-
kam?!”
Putri Kayangan sedikit tersentak kaget karena saat
itu dia sedang dalam lamunan. Hingga dia hanya ang-
kat tangan kanan menunjuk arah utara. Sementara
wajahnya tampak merona merah.
“Kita harus menghindari dia sementara waktu!”
“Lalu ke mana sekarang kita melangkah?!”
“Itulah yang selalu membuatku bingung. Sampai
saat ini aku belum bisa menentukan langkah pasti!
Semua jalan laksana buntu! Padahal keadaanku sudah
terpojok!”
“Kau mau menceritakan padaku semuanya?! Sete-
lah itu mungkin kita bisa bicarakan langkah yang ha-
rus kita lakukan!”
Mendengar ucapan Putri Kayangan, murid Pendeta
Sinting memandang berkeliling.
“Kalau Setan Liang Makam baru saja berada di sini,
berarti tempat ini tidak aman untuk bicara! Kita harus
cari tempat yang aman! Aku akan ceritakan padamu!”
“Aku tahu tempat yang aman untuk bicara!” ujar
Putri Kayangan.
“Apa ucapan gadis ini bisa dipercaya?!” Sesaat Joko
meragu. “Ah.... Kalau dia berlaku macam-macam, apa
boleh buat! Lagi pula daripada menghadapi si nenek
itu, lebih baik menghadapi dia!”
“Rupanya kau masih meragukan diriku....”
Pendekar 131 melengak kaget mendengar kata-kata
Putri Kayangan. Belum sempat Joko buka suara, si
gadis telah lanjutkan ucapannya.
“Terus terang. Pada mulanya aku memang berniat
membuat perhitungan denganmu! Tapi setelah men-
dengar keteranganmu, niatku berubah! Jadi harap kau
lenyapkan prasangka buruk terhadapku! Dan kalau-
pun kau masih menduga jelek, aku akan pergi tak jadi
ikut denganmu!”
Habis berkata begitu, Putri Kayangan berkelebat.
Namun kelebatannya sengaja dipelankan. Karena se-
benarnya gadis ini hanya berkata memancing dan in-
gin tahu.
Begitu melirik dan terlihat murid Pendeta Sinting
berkelebat menyusul dirinya, baru Putri Kayangan per-
cepat kelebatan tubuhnya dengan bibir sunggingkan
senyum!
***
DELAPAN
Di sebuah lereng bukit yang sepi dan berpeman-
dangan indah, Pendekar 131 Joko Sableng tampak te-
gak dengan kedua tangan bersedekap di depan dada.
Sementara tidak jauh dari tempat tegaknya Joko, Putri
Kayangan duduk berlutut dengan mata terus memper-
hatikan pada sang Pendekar. Bibirnya terus sungging-
kan senyum.
“Pemuda ini benar-benar tampan.... Terus terang
aku jatuh hati padanya! Namun apakah hal ini harus
mengorbankan apa yang selama ini kucita-citakan?!
Dan apakah keterangannya bisa kupercaya kalau
Kembang Darah Setan memang tidak berada padanya?
Ah.... Aku harus lakukan sesuatu.... Ini adalah kesem-
patan baik!” Putri Kayangan membatin dalam hati.
“Joko.... Mendengar semua keteranganmu, kupikir
aku juga punya pendapat sama! Ada seseorang yang
memerankan sebagai dirimu dalam urusan ini!”
Joko berpaling. Mendadak sepasang mata murid
Pendeta Sinting sedikit membesar. Karena dilihatnya
Putri Kayangan telah rebah dengan sikap menggoda.
Kaki sebelahnya ditekuk ke atas hingga pakaian ba-
wahnya menyingkap dan pahanya yang kencang serta
putih mulus terlihat jelas. Anehnya, si gadis seolah ti-
dak peduli. Malah enak saja dia mainkan kedua tan-
gannya. Sementara sepasang matanya melirik pada
Joko.
“Kau punya pendapat apa yang harus kulakukan
sekarang?!”
“Itu kita pikirkan nanti.... Aku punya seorang kena-
lan yang mungkin bisa memecahkan urusanmu!”
“Siapa?!” Joko langsung ajukan tanya.
“Ku sebut pun kau tak akan mengenalinya! Karena
memang jarang orang yang mengenalinya meski dia
berilmu sangat tinggi! Tapi lupakan dahulu soal itu...,”
seraya berkata, Putri Kayangan angkat kaki satunya
lagi. Karena kedua kakinya telah terangkat, maka ti-
dak ampun lagi pakaian bawahnya luruh hingga paha
kedua kakinya terlihat jelas.
“Busyet! Dia sengaja atau tidak?!” kata Joko dalam
hati seraya berpaling dengan dada berdebar.
Putri Kayangan melirik sekali lagi. Lalu gerakkan
tubuhnya miring. Kaki kanan ditekuk di atas tanah
sementara kaki kiri tetap menekuk di atas. Lalu kepa-
lanya diangkat dan ditopangkan pada tangan kanan-
nya yang ditekuk sebatas lengan.
“Joko.... Kau sudah punya kekasih?!” Putri Kayan
gan bertanya.
Perlahan-lahan murid Pendeta Sinting gerakkan ke-
pala menoleh. Karena saat itu Putri Kayangan meng-
hadap ke arahnya, maka terpaksa Joko hentikan eda-
ran matanya pada wajah si gadis, meski sedikit dia su-
dah dapat melihat posisi tubuh Putri Kayangan yang
membuat dadanya makin berdebar.
Sambil tersenyum menutupi gejolak hatinya, Pen-
dekar 131 buka suara. “Aku memang kenal beberapa
orang gadis, namun selama ini aku belum....”
“Semua laki-laki tentu akan berkata begitu! Aku
sudah menduga apa lanjutan ucapanmu...!” Putri
Kayangan memotong kata-kata Joko.
Sambil terus tersenyum, perlahan-lahan Putri
Kayangan bergerak bangkit. Lalu melangkah mendeka-
ti murid Pendeta Sinting. Yang didekati tegak diam
laksana patung. Putri Kayangan berhenti dua langkah
di hadapan murid Pendeta Sinting.
“Kau berwajah tampan dan berilmu tinggi! Aku tak
heran bila kenalan mu banyak gadis-gadis cantik! Dan
terus terang saja, sejak pertemuan kita tadi, aku terta-
rik padamu....”
Ucapan terus terang Putri Kayangan membuat mu-
rid Pendeta Sinting tergagu. Dia hanya tegak dengan
mulut terkancing. Namun Joko merasa ada keanehan.
Tiba-tiba saja hidungnya mencium aroma sangat ha-
rum.
“Aku harus berhati-hati dengan perempuan ini! Ada
yang aneh dengan sikapnya....”
“Ada sesuatu yang membuatmu gelisah?!” tanya Pu-
tri Kayangan masih dengan bibir tersenyum.
Murid Pendeta Sinting ikut tersenyum seraya ge-
lengkan kepala. Putri Kayangan angkat tangannya lalu
diulurkan ke depan. “Kita hanya berdua di sini! Kau
tak usah gelisah....” Putri Kayangan maju satu tindak.
Kedua tangannya kini merangkul pinggang Joko mem-
buat murid Pendeta Sinting makin berdebar.
“Putri.... Kita di sini perlu bicara urusan yang se-
dang kuhadapi....”
“Benar.... Tapi tidak salah bukan kalau kita lua-
ngkan waktu sedikit untuk bersenang-senang?! Lagi
pula aku tahu bagaimana nanti selesaikan urusanmu!”
Sambil berkata begitu Putri Kayangan tarik kedua
tangannya hingga tubuh Joko maju ke depan. Kedua-
nya kini saling bersentuhan. Joko makin rasakan aro-
ma bau harum.
Putri Kayangan sejenak memandang ke dalam bola
mata murid Pendeta Sinting. Saat lain gadis ini telah
dorong wajahnya ke depan. Joko tersedak kaget tatka-
la bibir Putri Kayangan telah menyentuh bibirnya.
Entah karena apa, tiba-tiba Joko lupa akan kewas-
padaannya. Malah begitu merasakan bibirnya tersen-
tuh bibir Putri Kayangan, dia segera menyambut. Ke-
dua tangannya pun segera bergerak memeluk pinggang
si gadis.
Pendekar 131 tidak ingat berapa lama dia saling pe-
luk cium dengan Putri Kayangan. Yang pasti dirasa-
kannya, perlahan-lahan kepalanya pening. Dia coba
membuka kelopak matanya dengan menarik wajah da-
ri wajah si gadis. Namun kepalanya laksana dipantek
tak bisa digerakkan. Dia masih mencoba gerakkan ke-
dua tangannya yang memeluk pinggang Putri Kayan-
gan. Kedua tangannya memang lepas. Namun secara
aneh luruh lunglai ke bawah. Bahkan bersamaan den-
gan luruhnya kedua tangannya, lututnya terasa goyah.
Kejap lain tubuh Joko melorot jatuh dengan mata ter-
pejam rapat!
Murid Pendeta Sinting memang tidak pingsan. Dia
masih dapat merasakan hembusan napas orang di
sampingnya. Bahkan dia masih merasakan ada tangan
yang meraba-raba pada sekujur tubuhnya. Anehnya,
dia tidak bisa membuka matanya. Dan sekujur tubuh-
nya lemas tak bisa digerakkan!
Joko coba pusatkan pikiran. Namun sia-sia. Hingga
akhirnya dia pusatkan perhatian pada apa yang bisa
dirasakan. Karena perlahan-lahan bajunya terasa di-
buka. Lalu ada tangan menyelinap ke balik pakaiannya
yang terbuka. Dia juga mendengar gumaman. Namun
tidak begitu jelas dan layaknya diperdengarkan dari
tempat yang sangat jauh sekali.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Joko mendengar
suara bersinan berturut-turut panjang dan menggema.
Bersamaan dengan terdengarnya suara bersinan, ra-
baan tangan pada tubuhnya terhenti. Joko masih me-
rasakan ada sesuatu yang tertarik dari dalam pa-
kaiannya.
“Pedang Tumpul 131!” Joko membatin. Dia hendak
berteriak. Namun mulutnya kelu. Dia baru bisa buka
mulut tatkala suara bersinan lenyap.
“Putri...,” hanya itu suara yang diucapkan mulut
murid Pendeta Sinting. Pada saat yang sama sepasang
matanya terbuka dan mementang besar.
“Apa yang terjadi dengan diriku?!” Joko cepat berge-
rak duduk. Kepalanya cepat berputar. Dia tidak meli-
hat lagi Putri Kayangan.
“Ke mana gadis itu?! Ada yang tidak beres! Aku
mencium aroma harum. Lalu aku merasakan ciuman
gadis itu. Tapi setelah itu aku hanya bisa merasakan
tanpa bisa buka mulut dan mata! Malah tubuhku le-
mas.... Apa sebenarnya yang telah terjadi? Apa yang di-
lakukan Putri Kayangan?!”
“Bruss! Bruss! Bruss!”
Terdengar orang bersin tiga kali. Joko terlengak.
“Aku ingat.... Dengan terdengarnya suara bersinan, ti-
ba-tiba aku bisa bergerak dan buka mulut serta buka
mata!”
Murid Pendeta Sinting cepat gerakkan kepala ke
arah suara orang bersin. Di bawah sebatang pohon,
tampak duduk berlutut seorang laki-laki berusia lanjut
dengan tangan berpegangan pada satu tongkat butut
yang ditancapkan di sampingnya. Sementara tangan
kirinya diletakkan di atas paha. Kepala orang ini berge-
rak pulang balik ke depan ke belakang dengan mimik
meringis. Jelas kalau gerakan orang tua ini menunjuk-
kan kalau dia hendak bersin. Namun sejauh ini dia ti-
dak perdengarkan bersinan lagi.
“Datuk Wahing!” desis Joko mengenali siapa adanya
orang tua di seberang sana. Namun Joko hanya sekilas
memandang ke arah si kakek. Dia teringat kembali pa-
da Putri Kayangan. Dia kembali gerakkan kepala den-
gan mata mengedar berkeliling. Karena tak menemu-
kan orang yang dicari, Joko segera bergerak bangkit.
Namun buru-buru Joko tahan gerakannya dan kemba-
li jatuhkan diri duduk di atas tanah dengan mengomel.
“Busyet! Siapa yang melepas tali celana ku?!” ujar
Joko seraya mengikat tali celananya. Saat itulah dia
baru sadar. Matanya mendelik mengedar ke sekeliling-
nya.
“Pedang Tumpul 131 lenyap!” gumam Joko. Lalu
meraba-raba sampai lututnya. Tapi dia benar-benar ti-
dak menemukan pedang itu. “Apakah Putri Kayan-
gan....” Joko cepat bergerak bangkit. Lalu berkelebat
mengitari tempat lereng bukit. Tapi sejauh ini dia tidak
melihat sosok Putri Kayangan!
“Aku harus bertanya padanya!” Joko akhirnya me-
mutuskan dan melangkah ke arah orang tua yang du-
duk di bawah pohon dan bukan lain adalah Datuk
Wahing adanya.
“Kek! Kau melihat seseorang di sini tadi?!”
Datuk Wahing hentikan gerakan pulang balik kepalanya. Sepasang matanya menatap Joko sekilas. Lalu
kembali kepalanya telah bergerak pulang balik malah
kali ini seraya perdengarkan bersinan tiga kali.
“Bruss! Bruss! Bruss! Yang kau tanyakan laki-laki
apa perempuan?!” kata Datuk Wahing.
“Seorang perempuan, Keki”
“Gadis atau nenek-nenek?!”
“Gadis muda, Kek...!”
“Cantik atau jelek?!”
“Luar biasa cantik, Kek...!”
“Apa pakaian yang dikenakannya. Hijau, putih,
kuning, atau hitam?!”
“Dia memakai baju warna merah....”
“Terlambat, Anak Muda! Dia telah pergi....”
“Celaka! Ke mana dia pergi, Kek...?!”
“Sayang.... Dia tidak mengatakannya padaku....
Bruss! Bruss! Bruss!”
“Tapi kau bisa menunjukkan arahnya!”
“Pada mulanya dia pergi ke arah selatan! Tapi aku
tak yakin dia akan terus ke satu arah! Ada apa sebe-
narnya, Anak Muda?! Wajahmu tampak berubah! Dari
celana mu tadi kurasa kau baru saja bersenang-
senang.... Mengapa kini jadi berbalik?!”
Tampang Joko merah padam. Dia cepat balikkan
tubuh. Dan tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat.
“Bruss! Bruss! Bruuss! Percuma, Anak Muda! Aku
yakin kau tidak akan bisa menemukannya!”
Murid Pendeta Sinting tahan gerakannya. Tanpa
berpaling pada Datuk Wahing dia berkata. ‘Kau boleh
merasa yakin, tapi aku juga yakin bisa menemukan-
nya!”
“Bruss! Kau salah menilai orang, Anak Muda! Pan-
danganmu masih kurang jeli! Dan kau harus siap me-
nerima kenyataan!”
Joko balikkan tubuh. “Kau mengenal gadis itu?!”
“Kau jangan heran. Aku tidak mengenalnya! Tapi
aku tahu siapa dia! Dan kuharap kau tidak merasa he-
ran pula kalau aku tanya adakah sesuatu yang hilang
darimu?!”
“Pedangku lenyap! Aku hampir yakin gadis itu telah
mengambilnya! Aku harus segera mengejar!”
Joko balikkan tubuh lagi, lalu berkelebat. Namun
bersamaan itu satu benda tiba-tiba melayang dan me-
nancap tepat di hadapan Joko. Tongkat butut Datuk
Wahing!
“Bruss! Bruss! Aku yakin kau berilmu tinggi! Tapi
adalah mengherankan kalau kau berhasil mengejar
gadis itu!”
Joko terpaksa urungkan niat berkelebat karena ge-
rakannya terhalang oleh tongkat Datuk Wahing. Joko
putar diri dan memandang lekat-lekat pada Datuk
Wahing. Sebelum dia berkata, Datuk Wahing sudah
mendahului.
“Agar nantinya kau tidak lebih heran, ada sesuatu
yang harus kau ketahui, Anak Muda!”
Mungkin sudah merasa agak jengkel, Joko segera
sambuti ucapan Datuk Wahing.
“Untuk saat ini aku tidak perlu tahu apa-apa! Aku
memerlukan pedang itu!”
“Bruss! Bruss! Pedang bisa dicari! Tapi pengetahuan
sukar diperoleh! Kalau kau sia-siakan pengetahuan
ini, jangan heran kalau nantinya kau tertipu untuk
kedua kalinya!”
“Apa maksudmu, Kek...?!”
“Bruss! Bruss! Kalau mulutku yang berucap, aku
takut nanti kau tidak percaya dan heran! Lebih baik
kau tunggu sebentar....”
Habis berkata begitu, Datuk Wahing gerakkan ke-
dua tangannya merangkap di depan dada. Saat bersa-
maan, sepasang matanya terpejam. Anehnya, orang
tua ini masih gerakkan kepalanya pulang balik ke de-
pan ke belakang dengan mimik seolah hendak bersin!
Karena merasa yakin orang tua itu berniat baik,
malah sebelum ini memberi keterangan pada murid
Pendeta Sinting, meski sedikit merasa jengkel, Joko
akhirnya putuskan hati untuk turuti ucapan si kakek.
Tapi setelah agak lama menunggu dan dilihatnya
Datuk Wahing tetap bersikap seperti semula, kesaba-
ran Joko habis. Dia memandang berkeliling lalu angkat
bicara.
“Kek! Rasanya aku tak bisa menunggu!”
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. Namun
matanya tetap memejam. Murid Pendeta Sinting me-
nunggu sejenak berharap si kakek akan buka mulut.
Namun ternyata Datuk Wahing tidak juga perdengar-
kan suara. Hingga tanpa berkata lagi, Joko melangkah
tinggalkan tempat itu.
“Bruss! Bruss! Anak muda! Tidak sabar adalah
pangkal terjerumusnya orang!”
“Tapi kurasa aku sudah sabar menunggu! Hanya
saja kalau aku tidak tahu pasti apa yang kutunggu,
apa gunanya?! Malah dengan penantian ini aku kehi-
langan jejak!”
“Bruss! Penantian mu tidak sia-sia, Anak Muda!
Namun kuharap kau jangan heran!”
Habis berkata begitu, Datuk Wahing angkat tan-
gannya menunjuk ke satu arah. Murid Pendeta Sinting
putar diri setengah lingkaran mengikuti arah tangan
Datuk Wahing.
Memandang ke depan, sepasang mata murid Pende-
ta Sinting mementang besar tak berkesip. Malah sak-
ing terkejutnya, kedua kakinya melangkah mundur sa-
tu tindak!
“Aku tidak percaya...!” desis Joko.
“Bruss! Bruss! Sudah kukatakan, kau jangan he
ran! Dan kau jangan heran juga kalau kukatakan ini
adalah kenyataan!”
Belum sampai ucapan Datuk Wahing selesai, Joko
telah berkelebat ke depan dan tegak di depan sana
dengan mata semakin membelalak tak percaya!
***
SEMBILAN
Aku tak percaya! Aku tak percaya!” Berkali-kali
Pendekar 131 mendesis dengan mata dikedipkan lalu
dipentang besar-besar. “Keempatnya sudah jadi mayat
ketika ku tinggalkan! Aku tahu pasti mereka terhan-
tam Sapu Tangan Iblis milik nenek itu! Bagaimana
mungkin mereka bisa hidup lagi?!”
Hanya sejarak tujuh langkah dari tempat murid
Pendeta Sinting berada, tampak empat orang laki-laki
bertelanjang dada. Kepala mereka plontos. Paras wajah
keempatnya hampir sama dan sangat angker. Karena
sepasang mata mereka berempat tidak membentuk ke
samping melainkan ke bawah. Demikian juga mulut
masing-masing orang. Tidak membujur ke samping ta-
pi ke bawah mengikuti bentuk wajahnya yang lonjong!
Mereka bertelanjang dada dan hanya mengenakan ce-
lana kolor. Di sebelah depan bagian kanan mengena-
kan celana kolor warna merah. Di samping orang ini
memakai celana kolor warna hitam. Di belakang si ce-
lana kolor warna merah tampak laki-laki yang menge-
nakan celana kolor warna kuning. Sementara di sebe-
lahnya tampak memakai celana kolor warna hijau! Da-
ri ciri dan tampang masing-masing orang, siapa pun
yang melihatnya pasti mengatakan mereka adalah To-
koh-tokoh Penghela Tandu! Karena di pundak masing
masing orang ini terlihat melintang dua bambu besar
yang di tengahnya terdapat sebuah tandu tertutup
kain berwarna merah!
“Siapa kalian?!” Murid Pendeta Sinting langsung
bertanya dengan mata terus memandang tak berkesip
pada masing-masing orang di hadapannya.
Laki-laki bercelana kolor warna merah angkat tan-
gan kirinya seolah memberi isyarat pada ketiga orang
lainnya. Ini juga membuktikan kalau si celana kolor
warna merah adalah yang menjadi pimpinan.
“Kau bertanya,” kata si celana kolor warna merah
buka mulutnya yang membujur ke bawah. “Kami akan
menjawab! Kami adalah Tokoh-tokoh Penghela Tandu!”
“Urusan gila apa lagi yang kuhadapi saat ini?!” gu-
mam murid Pendeta Sinting begitu mendengar jawa-
ban orang. Matanya kini beralih pada tandu di atas lin-
tangan bambu yang tertutup kain merah. Joko coba
tembusi kain penutup seolah ingin melihat orang di
dalamnya. Namun dia gagal mengetahuinya, hingga dia
kembali arahkan pandangannya pada satu persatu
orang di hadapannya seraya berucap.
“Bukankah kalian telah jadi mayat?! Bagaimana
mungkin kalian bisa hidup lagi?!”
“Setiap manusia hanya punya satu nyawa! Tidak
mungkin kami hidup lagi setelah jadi mayat!” Yang
berkata adalah si celana kolor warna merah.
“Tapi aku melihatnya sendiri! Kalian bertempur me-
lawan nenek bernama Ratu Pewaris Iblis!”
“Kami baru saja mengadakan perjalanan jauh! Se-
lama ini kami belum pernah terlibat sengketa dengan
siapa pun!” Kembali si celana kolor warna merah me-
nyahut membuat murid Pendeta Sinting tambah ke-
bingungan.
“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?! Apa pengli-
hatanku yang salah?! Atau apa yang ku alami hanya
mimpi?!”
Berpikir sampai di situ Joko ingat bahwa sejenak
tadi dia mengalami keanehan. Dia seolah tidak bisa
buka mata dan mulutnya, bahkan dia merasakan se-
kujur tubuhnya lemas tak bisa digerakkan. “Apa dalam
Keadaan begitu itu aku bermimpi?!”
Joko ingat pada pedangnya. Dia meraba ke balik
pakaiannya. Dia kembali tersentak ketika menda-
patkan Pedang Tumpul 131 tidak ada di balik pa-
kaiannya. “Berarti aku tidak mimpi! Pedangku tidak
ada!”
“Siapa yang ada di dalam tandu?!” Joko akhirnya
ajukan tanya.
Keempat laki-laki yang baru saja sebutkan diri se-
bagai Tokoh-tokoh Penghela Tandu sama gerakkan ke-
pala masing-masing saling pandang. Belum sampai
ada yang buka suara, mendadak tirai kain penutup
tandu bergerak membuka.
Murid Pendeta Sinting jerengkan mata besar-besar.
Yang terlihat pertama kali adalah sebuah tangan mu-
lus yang baru saja bergerak singkapkan kain penutup
tandu.
“Putri Kayangan!” desis Joko mengenali siapa
adanya pemilik tangan yang baru saja membuka kain
penutup tandu.
Murid Pendeta Sinting segera melompat ke depan.
Dia lupa akan keheranannya melihat keempat laki-laki
yang dilihatnya sudah tewas di tangan Ratu Pewaris
Iblis. Dadanya sudah bergemuruh mendapati pedang-
nya lenyap dan dia sudah dapat menduga siapa geran-
gan yang mengambilnya. Maka seraya melompat, dia
berseru.
“Putri Kayangan! Harap kau kembalikan pedangku!”
Orang di dalam tandu sesaat terkejut. Dia adalah
seorang gadis muda berparas luar biasa cantik mengenakan pakaian warna merah. Rambutnya panjang
dengan mata bulat.
“Jangan lancang bicara!” Tiba-tiba laki-laki bercela-
na kolor warna merah membentak. Tangan kirinya di-
angkat siap hendak lepas pukulan. Sementara ketiga
lainnya serentak pula angkat tangan satu masing-
masing.
“Putri Kayangan! Kau dengar ucapanku! Kembali-
kan pedang itu!” Joko kembali berteriak tanpa peduli-
kan keempat laki-laki yang sudah siap lepas pukulan.
Gadis di dalam tandu sesaat pandangi Joko dari
bawah ke atas. Bibirnya sunggingkan senyum. Tangan
kanannya bergerak. Terdengar ketukan halus tiga kali.
Bersamaan dengan itu keempat laki-laki pemanggul
tandu luruhkan tangan masing-masing.
“Boleh aku tahu siapa kau adanya?!” Gadis di da-
lam tandu buka mulut.
“Kau telah tahu siapa aku! Jangan berlagak tidak
kenal!”
“Baiklah! Aku tidak memaksamu untuk mengata-
kan siapa kau.... Boleh aku tahu pedang apa yang kau
suruh kembalikan?!”
“Kau masih juga berpura-pura!”
“Jaga mulutmu, Anak Muda! Jangan menuduh
sembarangan!” Laki-laki bercelana kolor warna merah
angkat bicara lagi.
Mendengar sahutan orang, dada Joko jadi panas.
Dia arahkan matanya pada keempat laki-laki di hada-
pannya.
“Kalian boleh memiliki nyawa rangkap tiga! Tapi
jangan kau kira aku tak bisa memutus ketiga rangka-
pan nyawa kalian!” Seraya berkata, murid Pendeta
Sinting sudah kerahkan tenaga dalam pada kedua tan-
gannya.
Tokoh-tokoh Penghela Tandu saling pandang. Lalu
masing-masing orang gerakkan tangan masing-masing
turunkan lintangan bambu di pundaknya. Begitu lin-
tangan bambu telah di atas tanah, mereka segera te-
gak berjajar.
“Kami tidak pernah membuat urusan! Tapi kami ti-
dak akan tinggal diam jika kau berkata yang bukan-
bukan!” kata laki-laki bercelana kolor warna merah.
“Apa kalian kira aku juga suka membuat urusan?!
Justru junjungan mu itu yang bikin ulah! Dia menga-
jakku ke sini, lalu merayu ku. Ujung-ujungnya dia
mengambil pedangku!”
“Sekali lagi kuperingatkan kau! Jangan bicara sem-
barangan!”
Murid Pendeta Sinting tertawa panjang. “Apa kalian
kira lenyapnya pedangku urusan main-main, hah?!”
“Itu urusanmu! Yang jelas kami baru kali ini jumpa
denganmu! Jadi adalah aneh kalau kau tiba-tiba me-
nuduh macam-macam! Jangan-jangan kau hanya pu-
ra-pura!”
“Kalian terlalu banyak bicara! Sekarang apa mau
kalian?!” kata Joko seolah tidak sabar.
“Kau telah dengar! Kami tidak suka bikin urusan.
Tapi kalau kau memaksa, kami akan meladeni ke-
mauan mu!"
“Hem.... Begitu?! Aku ingin tahu, apakah kalian
memang punya rangkapan nyawa!”
Murid Pendeta Sinting angkat kedua tangannya dan
langsung siapkan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’. Se-
ketika itu kedua tangannya disemburati warna kuning
tanda dia telah kerahkan tenaga dalam.
Di depan sana, Tokoh-tokoh Penghela Tandu tidak
tinggal diam. Mereka segera bergerak membentuk bari-
san. Dua di depan dua lagi berada di belakang. Tangan
masing-masing sudah pula terangkat.
Sesaat Joko pandangi gerakan orang. Di seberang
sana Tokoh-tokoh Penghela Tandu juga memandang
tak berkesip. Saat lain, Joko sudah gerakkan kedua
tangannya. Tokoh-tokoh Penghela Tandu segera pula
bergerak maju dengan membentuk barisan saling me-
nyilang. Saat bersamaan tangan masing-masing orang
juga bergerak.
“Tahan serangan!” Tiba-tiba terdengar seruan dari
dalam tandu. Satu sosok tubuh melesat dan kini tegak
menghalangi antara Joko dan Tokoh-tokoh Penghela
Tandu.
Murid Pendeta Sinting menatap tajam pada gadis
yang tegak di hadapannya. Matanya menelurusi seku-
jur tubuh si gadis seolah ingin mengetahui di mana
pedangnya disembunyikan. Namun Joko tidak bisa
menduga-duga, karena matanya tidak menangkap pe-
dang miliknya.
“Tidak kusangka sama sekali kalau gadis cantik ini
punya maksud buruk! Tapi aku harus berhati-hati....
Dengan hidupnya keempat manusia itu, berarti mereka
dan gadis ini punya ilmu langka!”
Baru saja Joko membatin begitu, gadis di hadapan
murid Pendeta Sinting yang bukan lain adalah Putri
Kayangan sudah angkat bicara.
“Kira harus bicara! Ada yang tidak beres dalam uru-
san ini”
“Tak ada lagi yang perlu dibicarakan! Dan yang ti-
dak beres adalah kau sendiri! Kalau kau ingin bicara,
serahkan dahulu pedangku!”
Putri Kayangan tersenyum. “Kau harus percaya!
Aku dan teman-temanku baru kali ini bertemu den-
ganmu. Maka kita perlu bicara dahulu dan menunda
urusan pedangmu!”
Murid Pendeta Sinting tertawa pendek. “Aku perlu
pedang itu! Aku tidak perlu bicara panjang lebar yang
tidak ada gunanya!”
“Pembicaraan kita masih ada hubungannya dengan
pedangmu! Dan dari pembicaraan ini kuharap nan-
tinya urusan bisa selesai!”
“Tak ada yang bisa selesai di sini tanpa kau serah-
kan kembali pedangku!”
“Bruss! Bruss! Bruss! Anak muda.... Jangan tu-
rutkan kekesalan hati! Ucapan gadis itu benar. Jadi
beri kesempatan padanya untuk bicara! Kalau tidak,
kau nanti akan merasa heran dan tambah kesal!” Tiba-
tiba Datuk Wahing menyela.
Putri Kayangan arahkan pandangannya pada Datuk
Wahing lalu menjura hormat seraya berkata.
“Gembira sekali hari ini aku bisa berjumpa dengan
tokoh besar. Datuk Wahing terimalah hormatku....”
Pada saat Putri Kayangan menjura hormat, keempat
laki-laki di belakangnya membuat gerakan sama den-
gan Putri Kayangan. Mereka bungkukkan sedikit tu-
buh masing-masing.
Pendekar 131 berpaling pada Datuk Wahing. “Kek!
Kiranya tak ada yang perlu dibicarakan antara aku
dengan dia! Jelas-jelas aku bersamanya di sini sebe-
lum kau datang! Dia yang mengajakku ke sini! Dia
meminta ku bercerita. Aku turuti permintaannya. Lalu
dia merayu ku.... Dan akhirnya aku terlelap! Ketika
kau datang, tiba-tiba aku siuman! Dia sudah tidak ada
di sini! Dan pedangku lenyap! Apa lagi yang perlu dibi-
carakan?! Semuanya sudah jelas!”
“Bruss! Bruss! Gadis cantik.... Kau jangan membua-
tku heran dengan ucapan sanjungan yang berlebihan!”
ujar Datuk Wahing sambuti ucapan Putri Kayangan.
Lalu arahkan pandangan matanya pada Pendekar 131.
Dia tersenyum lalu berkata.
“Anak muda.... Kau jangan heran jika kukatakan,
ucapanmu benar menurut pandang matamu! Tapi keli-
ru jika nanti kau telah dengar keterangan gadis cantik
itu! Jadi, tabahkan hati untuk menunda urusan pe-
dang dan bicaralah baik-baik dahulu....”
“Kek! Kau sepertinya membela gadis ini! Apa hu-
bunganmu dengannya?!”
“Brusss! Heran.... Bagaimana kau bisa mengatakan
aku membelanya?! Aku cuma memberi saran! Ini juga
untuk kebaikanmu kelak agar kau tidak lagi merasa
heran jika bertemu dengan urusan yang sama!”
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. “Urusan
gila macam apa pula ini?!”
“Ini bukan urusan gila...,” ujar Putri Kayangan.
“Kau mau katakan dahulu siapa kau adanya?!”
Joko menoleh pada Putri Kayangan. Dengan enggan
dia akhirnya berucap. “Aku Joko Sableng!”
“Melihat sikapmu tadi, tentu pedang yang kau kira
kuambil adalah senjata sakti....”
“Bukan hanya sakti, tapi aku bisa celaka kalau pe-
dang itu hilang!”
“Bisa sebutkan nama pedang itu?!”
Joko menghela napas sejenak untuk menindih pe-
rasaan. Lalu berkata menjawab.
“Pedang Tumpul 131!”
Tiba-tiba Putri Kayangan membuat gerakan bung-
kukkan sedikit tubuhnya dan berkata. “Jika demikian
saat ini aku sedang berhadapan dengan tokoh rimba
persilatan bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131! Te-
rimalah hormatku....”
Kali ini meski Putri Kayangan membuat sikap men-
jura, namun Tokoh-tokoh Penghela Tandu tidak men-
gikuti gerakan Putri Kayangan. Mereka hanya tegak
sambil menatap lekat-lekat pada murid Pendeta Sint-
ing.
Pendekar 131 sendiri tidak sambuti gerakan Putri
Kayangan. Dia hanya memandang sambil tertawa. Da-
lam hati dia berkata. “Ulah apa lagi yang hendak dilakukan gadis ini?! Tapi jangan kira aku bisa percaya la-
gi denganmu...!”
“Pendekar 131! Aku tidak menyalahkanmu kalau
kau menuduhku! Aku....”
“Kau telah mengaku! Serahkan saja pedang itu!”
Joko sudah memotong ucapan Putri Kayangan.
“Ucapanku belum selesai...,” ujar Putri Kayangan.
“Kau telah mengenaliku juga teman-temanku padahal
kita baru saja bertemu. Aku bisa menduga jika sebe-
lum ini kau jumpa dengan seorang gadis berbaju me-
rah yang juga bersama empat laki-laki! Betul?”
Pendekar 131 tidak menjawab. Putri Kayangan ti-
dak marah. Malah sunggingkan senyum lalu lanjutkan
ucapannya. “Aku menduga kau baru saja bertemu
dengan Pitaloka dan teman-temannya....”
“Kau jangan mengada-ada! Pandanganku masih
normal! Aku tidak bertemu dengan Pitaloka! Aku ber-
temu denganmu!”
Putri Kayangan masih juga sambuti ucapan murid
Pendeta Sinting dengan bibir tersenyum. “Pandangan-
mu memang masih normal, Pendekar 131! Namun kau
salah pandang. Yang baru kau jumpai bukan aku, tapi
Pitaloka! Dia adalah saudara kembar ku! Dia juga
punya empat teman laki-laki yang juga saudara keem-
pat temanku itu!”
Pendekar 131 tegak dengan tubuh sedikit bergetar.
Matanya mendelik perhatikan lama-lama sekujur tu-
buh gadis di hadapannya. Lalu beralih pada satu per-
satu dari empat laki-laki di belakang Putri Kayangan.
“Sebenarnya aku dan teman-teman tidak ingin terli-
bat dalam dunia persilatan! Namun akhir-akhir ini
kami banyak mendapat tuduhan jelek! Padahal selama
ini kami tidak pernah berbuat macam-macam! Kami
masih coba bersabar, namun tudingan orang nampak-
nya sudah sangat keterlaluan! Akhirnya kami sepakat
untuk menjernihkan masalah ini! Dan kami tahu siapa
adanya orang yang melakukannya! Untuk itulah kami
mengadakan perjalanan!” Putri Kayangan memberi ke-
terangan.
“Bruss! Bruss! Anak muda.... Kuharap penjelasan
gadis itu tidak membuatmu heran dan lebih-lebih bisa
kau terima!” Datuk Wahing angkat suara.
Mungkin masih kaget, untuk beberapa saat murid
Pendeta Sinting terdiam. Hanya bola matanya yang
bergerak memandang silih berganti pada Putri Kayan-
gan dan keempat laki-laki di belakang si gadis.
***
SEPULUH
Gila! Aku benar-benar bisa jadi gila menghadapi
urusan ini!" gumam Pendekar 131 setelah agak lama
menatapi Putri Kayangan dan Tokoh-tokoh Penghela
Tandu. Karena bagaimanapun juga dia menelusuri se-
kujur tubuh orang-orang di hadapannya, dia tetap ti-
dak bisa membedakan dengan orang-orang yang baru
saja ditemuinya beberapa waktu yang lalu.
“Bruss! Bruss! Kau tak usah jadi gila menghadapi
urusan ini, Anak Muda! Semua adalah kenyataan. Ju-
stru kau harus bersyukur, karena kau tidak akan di-
buat heran di kelak kemudian hari!”
Murid Pendeta Sinting berpaling pada Datuk Wah-
ing. Lalu bertanya.
“Kek! Aku baru saja bertemu dengan gadis yang di-
katakan gadis ini sebagai Pitaloka! Padahal aku tidak
bisa membedakan antara gadis ini dengan Pitaloka!
Sekarang aku tanya. Bagaimana kau bisa membeda-
kan keduanya?!”
“Bruss! Aku sendiri heran bagaimana bisa membe-
dakan. Tapi sebaiknya kau tanyakan saja keheranan
mu itu pada gadis cantik di depanmu!”
Murid Pendeta Sinting hadapkan wajahnya pada
Putri Kayangan. Putri Kayangan sunggingkan senyum
lalu berkata.
“Aku dan Pitaloka adalah saudara kembar. Kalau
orang tidak teliti, pasti akan keliru!” Putri Kayangan
angkat tangan kirinya sambil dikembangkan kelima ja-
rinya. “Pada ibu jari tangan kiriku ada satu tahi lalat!
Tapi tidak ada tahi lalat pada ibu jari tangan kiri Pita-
loka! Itulah yang bisa membedakan antara kami ber-
dua!”
Putri Kayangan tarik pulang tangan kirinya. Lalu
lanjutkan ucapan. “Untuk keempat temanku itu,
mungkin tidak ada gunanya lagi kusebutkan apa tan-
da yang bisa membedakan dengan teman-teman Pita-
loka, karena menurutmu mereka sudah tewas!”
“Hem.... Kau kira-kira dapat menduga ke mana
saudara kembar mu itu pergi?!” tanya Joko.
Putri Kayangan menggeleng. “Sukar ditebak ke ma-
na dia pergi! Tapi kami akan tetap mencarinya!”
“Aku ikut!” sahut Pendekar 131.
“Kami tidak bisa mengajak mu ikut serta!”
“Tapi pedangku dibawanya!”
“Itu urusanmu dengan Pitaloka! Kami hanya ingin
membawa Pitaloka pulang dan menyadarkannya! Dan
kami tidak mau terlibat urusanmu dengannya!”
Habis berkata begitu Putri Kayangan melangkah sa-
tu tindak ke belakang. Lalu balikkan tubuh. Sekali
membuat gerakan, sosoknya melesat masuk ke dalam
tandu. Bersamaan dengan itu terdengar ketukan halus
tiga kali dari dalam tandu. Tokoh-tokoh Penghela Tan-
du segera berkelebat. Saat lain keempat laki-laki ini te-
lah angkat lintangan bambu di mana tandu berada.
Lalu melintangkannya membujur di pundak masing-
masing orang.
“Putri Kayangan! Saat ini kau dan teman-temanmu
boleh pergi. Tapi jangan kira urusan ini selesai! Aku
akan buktikan ucapanmu bahwa kau memang punya
saudara kembar!”
Tirai kain merah penutup tandu terbuka. “Usulmu
baik. Kau masih punya banyak kesempatan untuk
membuktikan! Dan sebelum aku pergi, boleh aku
tanya sesuatu padamu?!”
“Kau mau tanya apa?!”
“Apakah benar berita yang kini tersebar dalam rim-
ba persilatan jika kau telah mendapatkan Kembang
Darah Setan?!”
“Aku tidak pernah melihat barang yang kau tanya-
kan! Jadi kau tentu sudah bisa menduga maksud uca-
panku!”
“Terima kasih! Aku cuma ingin kepastian tentang
kabar itu...,” ujar Putri Kayangan. Lalu memandang ke
arah Datuk Wahing dengan kepala digerakkan menun-
duk sedikit. “Kakek Datuk Wahing.... Kami harus per-
gi....”
“Bruss! Bruss! Kalau tidak ada hal yang menghe-
rankan lagi, memang lebih baik kalian segera lan-
jutkan perjalanan....”
Putri Kayangan angkat kepalanya. Bola matanya se-
jenak memandang ke arah Pendekar 131 yang saat itu
juga tengah memandangnya. Untuk beberapa saat ke-
dua orang ini saling pandang. Tidak ada yang buka
suara. Namun Putri Kayangan merasakan dadanya
berdebar. Paras wajahnya yang cantik jelita sesaat me-
rona merah. Lalu cepat-cepat gadis ini gerakkan tan-
gan untuk menutup kain tandu.
Bersamaan dengan tertutupnya kain tandu, Tokoh-
tokoh Penghela Tandu bergerak melangkah tinggalkan
tempat itu.
“Rasanya sulit dipercaya! Kedua-duanya sama can-
tik! Dan mungkin aku masih belum bisa membedakan
mana yang sempat ku cium dan mana yang belum!
Sayangnya, salah satu dari mereka telah berani mem-
buat ulah tidak benar! Hm.... Urusan Kembang Darah
Setan belum selesai, kini ditambah lagi dengan urusan
ini!”
“Bruss! Ada yang masih membuatmu merasa heran,
Anak Muda?!” Bertanya Datuk Wahing.
Murid Pendeta Sinting balikkan tubuh lalu melang-
kah ke arah Datuk Wahing. Datuk Wahing sendiri
tampak bergerak bangkit lalu melangkah ke arah
tongkatnya yang tadi dilemparkan untuk menghalangi
kepergian Joko Sableng.
“Kek! Kau bisa tunjukkan padaku di mana Kam-
pung Setan berada?!”
“Tidak ada gunanya, Anak Muda! Kau hanya akan
menemui keheranan berlipat ganda! Yang penting ba-
gimu, carilah orang yang selama ini berperan sebagai
dirimu! Caranya tentu saja kau bisa berpikir sendiri
bagaimana! Yang pasti kau harus tanggalkan dulu sia-
pa dirimu!”
Datuk Wahing cabut tongkatnya. Setelah bersin dua
kali, kakek ini perlahan-lahan melangkah meninggal-
kan Pendekar 131. Saat itulah Joko baru teringat akan
pertemuannya dengan seorang nenek berusia lanjut
yang sebutkan diri sebagai Nyai Suri Agung.
Joko buru-buru melompat dan menghadang jalan
Datuk Wahing seraya berkata.
“Kek! Kau pernah kenal dengan seorang nenek ber-
nama Nyai Suri Agung?!”
Datuk Wahing yang hendak bersin tiba-tiba di-
urungkan. Sepasang matanya menatap Joko lekat-
lekat. “Kau pernah bertemu dengannya?!” Datuk Wah
ing balik bertanya.
“Setelah kepergianmu beberapa saat yang lalu, aku
sempat jumpa dengan seorang nenek yang katakan di-
rinya sebagai Nyai Suri Agung!” Lalu Joko katakan pu-
la ciri-ciri orang yang dijumpainya.
Raut wajah Datuk Wahing sesaat berubah. Namun
kejap lain kakek ini telah perdengarkan bersinan bebe-
rapa kali lalu berucap.
“Aku harus segera pergi, Anak Muda....”
“Kau belum jawab pertanyaanku, Kek! Kulihat wa-
jahmu berubah! Ada yang mengherankan tentang ne-
nek yang kukatakan tadi?!”
“Bruss! Bruss! Terus terang, Anak Muda! Aku me-
mang mengenal nenek itu! Tapi jangan heran kalau
aku tak bisa mengatakan siapa dia adanya!”
“Ah.... Jangan-jangan dia kekasihmu.... Wajahmu
sepertinya mengungkapkan perasaan suka dan rin-
du...!”
“Bruss! Kau masih harus belajar banyak untuk
menduga orang dari perubahan wajahnya! Karena itu
jangan merasa heran kalau kukatakan dugaanmu sa-
lah!”
“Busyet! Dia tidak bisa dipancing!” kata Joko dalam
hati. Lalu berkata.
“Aku tidak mungkin salah duga! Kau yang berpura-
pura! Kau malu padaku!”
Datuk Wahing tertawa bergelak mendengar ucapan
murid Pendeta Sinting. Anehnya di tengah gelakan ta-
wanya, Datuk Wahing masih menyelanya dengan ber-
sinan beberapa kali!
“Aku tidak pernah berpura-pura apalagi malu! Ka-
laupun aku merasa malu, itu kalau aku tidak heran
dengan sesuatu! Bruss!”
Joko ikut-ikutan tertawa mendengar kata-kata Da-
tuk Wahing. “Bagaimana kau bisa mengatakan begitu
kalau nenek itu mengatakan kau adalah kekasihnya?!”
“Jangan bicara mengherankan, Anak Muda!”
“Aku berkata apa adanya! Dia mengaku sebagai ke-
kasihmu dan kini tengah mencarimu!”
Untuk kedua kalinya murid Pendeta Sinting me-
nangkap perubahan pada wajah si Datuk. Namun se-
jauh ini sebenarnya Joko belum bisa menebak secara
pasti apa hubungan antara Datuk Wahing dengan Nyai
Suri Agung. Dia hanya dapat meraba-raba dengan
menghubungkan keterangan Datuk Wahing pada bebe-
rapa waktu yang lalu. (Soal keterangan Datuk Wahing
pada Joko silakan baca serial Joko Sableng dalam epi-
sode: “Rahasia Kampung Setan”).
“Anak muda! Aku tahu.... Bicaramu ada yang kau
tambah! Dia mengaku mencariku mungkin bisa kute-
rima! Tapi kalau dia mengaku kekasihku, itu yang
membuatku heran! Dan aku tak sungkan mengatakan
kalau itu adalah tambahan mu sendiri!”
“Kek! Kalau dia mencarimu, apakah kau punya
urusan dengannya?!”
“Kau telah bertemu dengannya. Adalah satu hal
yang mengherankan kalau sekarang kau tanya pada-
ku!”
“Aku tidak sempat menanyakannya!”
“Itulah kekeliruan mu! Kalau kau ingin jawabannya,
tanyakan padanya mengapa dia mencariku! Tentu dia
telah mengatakan padamu di mana dia bertempat ting-
gal!”
“Aku juga tidak sempat menanyakannya!”
“Bruss!”
“Itu kekeliruan mu yang kedua! Dan itu menunjuk-
kan kalau kalian berdua hanya bicara sebentar!”
“Kau keliru, Kek! Aku....”
“Bruss! Bruss! Sudah kukatakan, kau masih harus
belajar banyak untuk urusan tipu menipu, Anak Muda! Kau tahu.... Aku bisa menebak apa yang dikatakan
nenek itu padamu!”
Joko terdiam. Datuk Wahing bersin dua kali lalu
buka mulut. “Dia pasti menanyakan apakah Kembang
Darah Setan berada di tanganmu! Benar atau menghe-
rankan ucapanku ini, Anak Muda?!”
Murid Pendeta Sinting makin terdiam. Datuk Wah-
ing bersin-bersin seraya tertawa ngakak. Kali ini suara
bersinan yang ditingkah suara gelakan tawa laksana
diperdengarkan dari delapan penjuru mata angin! Ma-
lah Joko harus angkat kedua tangannya untuk menu-
tupi telinga karena suara bersinan dan gelakan tawa
itu menyentak-nyentak gendang telinga!
Datuk Wahing putuskan suara tawa dan bersinan-
nya. Memandang sejurus pada Joko lalu teruskan
langkah. Hebatnya, suara bersinan dan tawa terus saja
terdengar menggema di tempat itu dan laksana datang
dari delapan penjuru!
Murid Pendeta Sinting coba salurkan tenaga untuk
menutup pendengarannya. Begitu berhasil, ternyata
sosok Datuk Wahing sudah tidak kelihatan lagi!
“Aku kena batunya! Tapi satu hal yang pasti aku
sedikit banyak bisa menduga siapa adanya Datuk
Wahing dan siapa pula nenek itu! Dan kalau dugaanku
benar, aku sudah bisa memastikan siapa sebenarnya
Setan Liang Makam!” gumam Joko seraya memandang
berkeliling.
‘Turut ucapan orang tua itu, sebaiknya aku seka-
rang memang tanggalkan siapa diriku! Dengan demi-
kian, nantinya hanya ada satu Joko Sableng! Dan aku
dengan mudah bisa menangkap basah!” Joko tenga-
dahkan kepala. Lalu menepuk jidatnya sendiri.
“Heran! Mengapa aku tidak berpikir begitu sejak
dahulu?! Bukankah dengan demikian hanya ada satu
Joko Sableng dan yang pasti itu adalah Joko yang palsu!”
Sambil senyum-senyum sendiri akhirnya murid
Pendeta Sinting melangkah tinggalkan tempat itu.
***
SEBELAS
Matahari sudah melambung jauh hampir mencapai
titik tengahnya. Udara panas menyengat bukan alang
kepalang. Satu sosok tubuh mengenakan topi pandan
lebar tampak melangkah perlahan-lahan melewati se-
buah dataran berumput tebal yang di sebelah ujung
sananya terlihat beberapa jajaran pohon besar. Orang
ini adalah seorang laki-laki yang usianya tidak bisa di-
kenali karena wajahnya hampir sebagian tertutup oleh
lebarnya caping pandan di kepalanya yang sengaja di-
pakai masuk ke dalam. Rambutnya pun sengaja dige-
raikan ke depan menutupi kanan kiri wajahnya. Ku-
misnya lebat berwarna putih. Dia mengenakan pakaian
putih-putih.
Sambil melangkah sesekali orang ini perdengarkan
gumaman tak jelas. Saat lain dia dendangkan nya-
nyian. Dan kadang-kadang tangan kanannya diangkat
ke telinga. Entah apa yang dilakukan, begitu tangan-
nya terangkat sejajar telinga, langkahnya berubah
menjadi berjingkat-jingkat. Laki-laki ini berjalan den-
gan kepala selalu menunduk namun sepasang ma-
tanya tak henti-hentinya memperhatikan dengan sek-
sama setiap tempat yang dilewati.
“Busyet benar! Kepalaku jadi pening terus-terusan
merunduk!” gumam si laki-laki. Kepalanya lalu berge-
rak ke kiri kanan dengan mata melirik. Tiba-tiba dia
angkat kepalanya tengadah. Lalu kepalanya digerak
kan teleng ke pundak kiri kanannya.
Kretekk! Kreteekk!
“Hem.... Asyik rasanya bisa menekuk leher!” Laki-
laki ini untuk beberapa lama mendongak sambil
menghirup udara banyak-banyak. Tapi mendadak,
laksana disentak tangan setan, kepalanya disentakkan
ke bawah merunduk lagi. Saat yang sama sepasang
matanya melirik jauh ke depan.
“Ada orang.... Melihat dari bentuk tubuh dan pa-
kaiannya dia adalah laki-laki! Sialan benar! Mengapa
yang kutemui laki-laki?! Bukannya seorang gadis....
Tapi siapa tahu laki-laki itu bisa membantu....” Si laki-
laki berkata sendiri dalam hati lalu lanjutkan langkah
dengan kepala menunduk.
Begitu hampir sampai pada jajaran pohon, si laki-
laki bercaping lebar hentikan langkah. Matanya melirik
ke depan. Dari tempatnya tegak, dia melihat satu so-
sok tubuh sedang bersandar di balik satu batang po-
hon. Laki-laki ini belum bisa melihat raut wajah orang
karena orang itu berada di balik pohon. Dia hanya bisa
melihat orang itu mengenakan pakaian hitam-hitam.
Mendadak si laki-laki bercaping lebar tersentak. Te-
linganya lamat-lamat mendengar orang terisak.
“Heran.... Sosok tubuhnya seperti laki-laki tapi
mengapa menangis?! Hem.... Kalau laki-laki yang me-
nangis, sebabnya pasti ulah asmara....” Si laki-laki
bercaping lebar gelengkan kepala. Lalu lanjutkan lang-
kah. Dia sengaja melewati pohon di mana orang ber-
sandar seraya menangis terisak. Malah begitu lewat, si
laki-laki sengaja perdengarkan deheman beberapa kali.
Orang yang bersandar sekonyong-konyong pu-
tuskan isakan tangisnya. Secepat kilat dia putar tubuh
lalu menghadap ke arah sumber deheman. Ternyata
dia adalah seorang pemuda berparas sangat tampan
berkulit putih bersih. Rambutnya hitam lebat dengan
sepasang mata bulat. Ketampanannya masih ditingka-
hi dengan kumis tipis di atas bibirnya yang sedikit
berwarna merah.
Mungkin karena tenggelam dengan perasaan, pe-
muda berpakaian hitam-hitam ini tidak bisa menyiasa-
ti kedatangan si laki-laki bercaping lebar, kalau saja si
laki-laki bercaping tidak perdengarkan deheman. Ma-
lah saking terkejutnya, si pemuda yang baru saja per-
dengarkan isakan tangis tidak sempat mengusap air
matanya. Hingga dengan jelas si laki-laki bercaping
masih bisa melihat air mata si pemuda.
Untuk beberapa saat si pemuda berkumis tipis me-
mandangi laki-laki bercaping lebar. Namun sejauh ini
dia belum buka mulut berkata. Sebaliknya si laki-laki
bercaping lebar mendadak tersentak kaget. Malah sak-
ing kagetnya, kepalanya yang menunduk terangkat.
Sepasang matanya membesar. Namun kejap lain laki-
laki ini tundukkan kepalanya lagi.
“Aku tak salah lihat.... Aku masih mengenalinya....
Dia mengenakan samaran seperti dahulu” kata si laki-
laki bercaping lebar. “Tapi mengapa dia berada di sini?!
Lebih-lebih, apa yang membuatnya menangis terisak?!”
Si laki-laki bercaping menduga-duga dalam hati.
Setelah melirik sejurus dan dilihatnya si pemuda
berkumis tetap memandangnya tanpa buka suara, ak-
hirnya si laki-laki bercaping angkat bicara.
“Maaf kalau kedatanganku membuatmu terkejut....
Aku hanya lewat! Dan tidak sengaja mengejutkan-
mu....”
Si pemuda berkumis tipis gelengkan kepala dan co-
ba tersenyum meski jelas dipaksakan. Lalu buka mu-
lut sambuti ucapan si laki-laki bercaping.
“Tidak apa.... Aku juga minta maaf karena kulihat
kau juga kaget....”
“Mudah-mudahan dia tidak....”
Si laki-laki bercaping belum sempat lanjutkan kata
hatinya, si pemuda berkumis sudah angkat suara lagi.
“Orang tua.... Boleh aku tanya padamu?!”
Si laki-laki bercaping lebar tersenyum. Lalu angkat
tangannya mengelus kumisnya yang lebat seraya ber-
kata pelan. “Kau mau tanya apa?!”
“Kau tahu letak Jurang Tlatah Perak...?!”
Yang ditanya melengak kaget. Namun cepat-cepat
tersenyum dan berkata. “Anak muda.... Jurang Tlatah
Perak berada jauh dari sini! Kira-kira perjalanan dua
hari satu malam ke jurusan timur....”
“Terima kasih....”
“Anak muda. Sekarang boleh aku tanya padamu?!”
Pemuda berkumis tipis sesaat pandangi orang di
hadapannya lalu anggukkan kepala.
“Mau katakan apa tujuanmu ke Jurang Tlatah Pe-
rak?! Karena kudengar jurang itu sangat angker dan
jarang dikunjungi manusia!”
“Orang tua.... Untuk pertanyaanmu, harap kau ti-
dak menyesal karena aku tidak bisa katakan apa tuju-
anku ke sana!”
“Ah.... Aku ingat sekarang!” Tiba-tiba laki-laki ber-
caping lebar berujar seolah berkata pada dirinya sendi-
ri. “Dari pertanyaanmu, aku bisa menduga kau adalah
dari kalangan persilatan!”
“Orang tua! Bagaimana kau bisa menduga demi-
kian?!”
“Menurut cerita yang pernah kudengar, entah benar
atau salah, Jurang Tlatah Perak dihuni oleh seorang
tokoh dunia persilatan yang pada beberapa puluh ta-
hun silam namanya pernah menggegerkan dunia persi-
latan! Kalau tidak salah dengar, tokoh itu bernama....”
Si laki-laki bercaping tidak lanjutkan ucapan. Dia seo-
lah sedang mengingat-ingat. Sementara sepasang ma-
tanya melirik tajam pada si pemuda di hadapannya.
“Yang kau maksud Pendeta Sinting?!” kata si pemu-
da berkumis tipis.
“Ah.... Benar! Pendeta Sinting!” ujar si laki-laki ber-
caping lebar. “Apa kau hendak menemuinya?!”
Sesaat yang ditanya diam. Namun tak lama kemu-
dian menjawab dengan isyarat anggukan kepalanya.
“Hem.... Ingat akan Pendeta Sinting aku juga jadi
ingat pada cerita orang yang akhir-akhir ini membica-
rakan tentang seorang pemuda murid Pendeta Sinting!
Apa kau juga pernah mendengarnya?!”
Tampang si pemuda berkumis tipis mendadak be-
rubah tegang. Sepasang matanya berkilat-kilat. Sambil
palingkan wajah, dia berucap. Suaranya bergetar.
“Aku pernah mendengar! Malah aku mengenalnya!”
“Ah.... Kau beruntung bisa kenal dengannya....”
Si pemuda mendengus. Entah karena tak dapat
menahan perasaan, akhirnya pemuda ini enak saja
berkata. “Kau salah, Orang Tua! Bukannya beruntung
dapat mengenalnya! Justru celaka yang kudapatkan!”
Si laki-laki terkejut lagi. “Bagaimana bisa begitu,
Anak Muda?!”
“Ternyata dia bukan pemuda seperti yang selama ini
dibicarakan orang! Orang-orang tidak tahu siapa sebe-
narnya pemuda murid Pendeta Sinting itu!”
“Hem.... Lantas siapa dia sebenarnya?!”
“Dia adalah manusia menjijikkan! Manusia yang ti-
dak punya perasaan!”
“Anak muda! Kau bicara soal perasaan. Padahal
yang biasa membicarakan soal perasaan adalah seo-
rang perempuan! Kulihat kau tadi juga sedang terisak,
apa sebenarnya yang terjadi?! Sebab, yang biasanya
menangis terisak juga adalah seorang perempuan....”
Si pemuda berkumis berpaling dengan wajah terke-
jut. Sebelum pemuda ini buka mulut, si laki-laki ber-
caping telah mendahului.
“Aku tidak pandai menduga. Tapi dari ucapan dan
sikapmu, aku melihat kau menutupi sesuatu....”
Si pemuda berkumis menghela napas panjang dan
dalam. “Orang tua.... Terus terang.... Sebenarnya aku
adalah seorang gadis....”
Si laki-laki bercaping tertawa panjang hingga ba-
hunya berguncang-guncang. “Sekarang aku baru bisa
menduga terusannya! Kau tentu baru saja dikecewa-
kan oleh pemuda murid Pendeta Sinting itu. Benar bu-
kan dugaanku?!”
Pelipis kiri kanan si pemuda berkumis yang bukan
lain adalah Saraswati bergerak-gerak. Tubuhnya sedi-
kit bergetar.
“Dia bukan hanya mengecewakanku, tapi perbua-
tannya sudah tidak pantas lagi dilakukan oleh seorang
yang bergelar pendekar!”
Si laki-laki bercaping sekali lagi tampak tersentak
kaget. “Boleh aku tahu apa yang dilakukannya terha-
dapmu?!”
“Tak pantas untuk diceritakan pada orang lain!
Yang pasti tindakannya sudah di luar batas dan patut
diganjar dengan selembar nyawanya!”
Si laki-laki bercaping tertawa. “Anak muda.... Ah,
maaf. Anak gadis.... Aku tahu.... Biasanya seorang ga-
dis menggunakan perasaan dalam segala hal. Mungkin
saat ini kau masih tenggelam dalam perasaan! Hingga
urusan yang sepele jadi tampak besar! Dan tindakan
yang bisa diselesaikan dengan baik-baik harus dibayar
dengan nyawa.... Hem.... Ada gadis lain yang mem-
buatmu cemburu?!”
“Aku bicara ini bukan karena cemburu!”
“Jadi....”
“Aku tak bisa mengatakan padamu, Orang Tua!
Yang jelas aku akan membalas sakit hati ini!”
“Jadi tujuanmu ke Jurang Tlatah Perak untuk
membalas sakit hatimu?!”
Saraswati gelengkan kepala. “Aku hanya ingin ya-
kinkan apakah benar tempat itu dihuni Pendeta Sint-
ing!”
“Kau ini aneh.... Siapa pun kalangan rimba persila-
tan pasti sudah yakin kalau tempat itu dihuni Pendeta
Sinting!”
“Kabar perlu pembuktian! Aku baru saja mengalami
kejadian yang tidak beres! Aku perlu bukti apakah
Pendeta Sinting berada di sana!”
“Kau bisa menjelaskan kejadiannya?!”
Saraswati gelengkan kepala. “Aku tidak mau orang
lain terlibat dalam urusan ini! Dan kuharap kau mera-
hasiakan apa yang kau ketahui tentang diriku.... Seka-
rang aku harus pergi!”
Seperti diketahui, Saraswati sempat bertemu den-
gan ibunya yang saat itu sedang berbincang dengan
Kiai Laras. Ibu Saraswati, yang bukan lain adalah
Lasmini saat itu sedang mencari jejak Pendeta Sinting
dan muridnya. Kebetulan Kiai Laras mengetahui di
mana beradanya orang yang dicari Lasmini. Dengan
diantar Kiai Laras, akhirnya Lasmini sampai ke lereng
Bukit Kalingga. Karena merasa curiga dengan Kiai La-
ras, diam-diam Saraswati mengikuti ke mana ibunya
dan Kiai Laras mencari Pendeta Sinting dan Pendekar
131.
Di Bukit Kalingga ternyata Lasmini disambut oleh
seorang pemuda yang Lasmini mengenalnya sekali ka-
rena dia bukan lain adalah Pendekar 131. Terjadi per-
kelahian antara Lasmini dan Pendekar 131. Akhirnya
Lasmini dapat dikalahkan Pendekar 131. Saraswati
coba membantu dan melerai. Namun baik Lasmini
maupun Pendekar 131 tidak ada yang saling menga-
lah. Hingga pada akhirnya Lasmini dibawa masuk ke
dalam goa oleh Pendekar 131. Saraswati tidak bisa
berkutik karena dia dalam keadaan tertotok.
Pada akhirnya Saraswati dibebaskan oleh Pendekar
131 tapi dengan syarat Saraswati harus segera pergi
dari Bukit Kalingga. Saraswati menolak. Dia baru mau
meninggalkan Bukit Kalingga jika bersama ibunya.
Akhirnya terjadi perkelahian. Pendekar 131 sempat
merobek pakaian di bagian dada Saraswati. Saraswati
marah. Namun dia sadar, ilmu yang dimilikinya masih
berada di bawah Pendekar 131 hingga seraya memba-
wa rasa kecewa dan geram, Saraswati tinggalkan Bukit
Kalingga.
Saraswati terus berpikir. Dan pada akhirnya dia
memutuskan untuk menuju Jurang Tlatah Perak. Dia
ingin buktikan ucapan Kiai Laras apakah benar Pende-
ta Sinting berada di Bukit Kalingga. Karena dia merasa
curiga dengan Kiai Laras.
“Tunggu” tahan laki-laki bercaping lebar. Saraswati
hentikan langkah.
“Kau mengatakan kecewa dengan murid Pendeta
Sinting. Itu berarti kau telah bertemu dengannya. Kau
mau mengatakan padaku di mana kau bertemu den-
gan murid Pendeta Sinting Itu?!”
“Orang tua! Kuharap kau tidak ikut campur urusan
ini...!”
“Bukan maksudku ikut campur! Apalagi aku ini
orang tua yang tidak punya kepandaian apa-apa! Tapi
sekadar ingin tahu tidak apa-apa, bukan?! Siapa tahu
kelak aku bisa mencegah setiap orang yang akan me-
nuju tempat yang....”
Belum sampai si laki-laki bercaping lebar lanjutkan
ucapan, Saraswati telah menukas. “Dia berada di kaki
Bukit Kalingga!”
“Terima kasih, Anak Gadis.... Dengan keteranganmu
ini aku bisa mencegah orang yang hendak menuju Bu-
kit Kalingga agar tidak mengalami nasib sama denganmu!”
“Orang tua! Satu hal yang harus kau ingat baik-
baik! Kuharap kau melupakan apa yang pernah kita
bicarakan ini!”
“Tapi Ku tidak berarti aku harus boleh melupakan-
mu, bukan?!”
Saraswati berpaling. Sepasang matanya sedikit
membelalak. Si laki-laki bercaping lebar tertawa. “Jan-
gan berprasangka buruk terhadap ucapanku! Aku ta-
hu siapa diriku! Tua bangka bau tanah.... Dan kau
seorang gadis muda berparas cantik jelita! Adalah satu
hal aneh dan gila kalau aku mengharapkan sesuatu
darimu! Kalaupun baru saja aku berkata tidak harus
melupakanmu, itu ungkapan ku sebagai orang tua pa-
da anaknya....”
Saraswati tersenyum. Si laki-laki bercaping lebar
balas tersenyum. Lalu berkata. “Apa kau akan te-
ruskan perjalanan ke Jurang Tlatah Perak?!”
“Aku perlu bukti! Aku harus ke sana!”
“Kenapa kau perlu bukti?!”
“Seseorang mengatakan Pendeta Sinting tidak bera-
da di Jurang Tlatah Perak!”
“Tapi di Bukit Kalingga! Begitu bukan lanjutan uca-
panmu?!”
Saraswati anggukkan kepala. Si laki-laki bercaping
lebar buka mulut lagi.
“Apakah waktu di Bukit Kalingga kau tidak sempat
berjumpa dengan Pendeta Sinting?!”
“Aku tidak jumpa dengannya di sana! Yang kutemui
hanya muridnya yang gila itu!”
Habis berkata begitu, Saraswati berpaling ke depan.
Lalu perlahan-lahan melangkah tinggalkan tempat itu.
Si laki-laki bercaping lebar menghela napas pan-
jang. Dia terus pandangi langkah-langkah si gadis
sampai sosoknya lenyap jauh di depan sana. Begitu
sosok Saraswati tidak kelihatan lagi, si laki-laki ber-
caping berkelebat cepat dan berlari laksana setan ting-
galkan tempat itu.
***
DUA BELAS
Laki-Laki bercaping lebar itu terus berlari laksana
dikejar setan. Dia sempat berhenti beberapa saat un-
tuk bertanya pada orang yang lewat. Saat lain dia telah
lanjutkan berlari.
Ketika saat telah menjelang dini hari, laki-laki ber-
caping lebar telah sampai pada kawasan sebuah bukit
yang menurut beberapa orang yang sempat ditanyai
adalah Bukit Kalingga.
“Mumpung hari belum terang, aku punya banyak
waktu untuk menyiasati keadaan!” gumam laki-laki
bercaping seraya arahkan pandangannya berkeliling.
Dia harus tajamkan mata karena keadaan di sekitar
tempat dia berada sangat gelap.
Laki-laki bercaping lebar mulai melangkah mengita-
ri lereng bukit. Dia bergerak hati-hati. Malah sesekali
menyelinap sembunyi di balik batangan pohon. Namun
karena keadaan gelap dan tempat itu belum dikenal-
nya, laki-laki ini tidak dapat menemukan apa yang di-
cari.
“Di mana goa itu?! Apa Saraswati berkata dusta?!
Aku tidak menemukan sebuah lobang goa! Atau jan-
gan-jangan karena keadaan gelap dan mataku tidak
bisa melihatnya...?! Hem.... Terpaksa aku harus me-
nunggu sampai suasana terang....”
Laki-laki bercaping lebar melangkah ke arah sebuah
batangan pohon besar. Lalu duduk bersandar. Sesaat
kemudian laki-laki ini telah pejamkan sepasang ma
tanya.
Ketika sang matahari mulai pancarkan sinar terang
di langit sebelah timur, perlahan-lahan laki-laki ber-
caping lebar buka kelopak matanya. Sesaat dia tersen-
tak. Kepalanya berpaling ke kanan kiri dengan mata
liar memandang berkeliling. Saat yang sama dia berge-
rak bangkit. Lalu berkelebat mengitari bukit dengan
mata terpentang besar.
Pada satu tempat, mendadak laki-laki bercaping le-
bar hentikan kelebatan tubuhnya. Memandang ke de-
pan, sepasang matanya makin mendelik. Sejarak dua
belas langkah dari tempatnya berdiri, dia melihat se-
buah lobang goa yang di sana-sini tertutup oleh rim-
bun dedaunan. Hingga kalau orang tidak seksama,
pasti tidak akan bisa melihat lobang goa itu.
Laki-laki bercaping lebar memandang ke sekitar lo-
bang goa. Lalu melompat menyelinap. Dia menunggu
beberapa saat. Yakin tak ada orang lain, dia segera me-
lompat. Sosoknya kini hanya empat langkah dari lo-
bang goa.
“Tak ada tanda-tanda adanya orang...,” gumam laki-
laki bercaping lebar seraya tak henti-hentinya meman-
dang berkeliling. Saat lain dia telah membuat satu ge-
rakan dan membuat sosoknya telah berada di bibir lo-
bang goa. Dia hanya melongok sejenak ke dalam goa.
Kejap lain dia telah melesat masuk.
“Tak ada orang...,” ujar laki-laki bercaping lebar be-
gitu edarkan pandangannya ke ruangan goa. “Jangan-
jangan Saraswati berkata dusta.... Tapi untuk apa dia
berkata dusta?!”
Selagi laki-laki bercaping lebar membatin begitu, ti-
ba-tiba satu suara terdengar.
“Kuharap kedatanganmu ke tempat ini bukan kare-
na sengaja seperti diriku, sahabat!” Satu sosok bayan-
gan melesat dan tegak di hadapan laki-laki bercaping
lebar.
Laki-laki bercaping lebar terkesiap. Dan lebih terke-
siap lagi tatkala mengetahui siapa adanya orang yang
tegak di hadapannya.
Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Ram-
butnya putih panjang. Kumisnya lebat.
“Kiai Laras!” ujar laki-laki bercaping lebar dalam ha-
ti. “Bagaimana dia berada di sini?! Apakah seperti uca-
pannya tadi dia tidak sengaja datang ke tempat ini?!”
“Sahabat! Boleh aku tahu siapa kau adanya?!”
Orang di hadapan laki-laki bercaping lebar yang bukan
lain adalah Kiai Laras ajukan tanya dengan tersenyum.
Laki-laki bercaping lebar tundukkan kepala seraya
sedikit berpaling. Lalu buka mulut menyahut.
“Aku hanya orang yang tidak sengaja datang ke
tempat ini....”
“Lalu kau hendak ke mana sebenarnya?!”
“Aku orang tua yang tidak pernah punya tujuan
pasti. Aku hanya selalu mengikuti ke mana kakiku ini
bergerak....”
“Hem.... Begitu?! Berarti kita orang tua yang punya
nasib sama....”
“Mau katakan siapa kau sebenarnya?!”
Kiai Laras gelengkan kepala. “Sayang, Sahabat! Aku
selalu mengikuti ke mana kakiku melangkah, tapi aku
tidak selalu mengikuti apa permintaan orang! Dan per-
lu kau tahu, Sahabat! Aku suka menyendiri dan tak
mau diganggu! Kuharap kau mengerti dan segera ting-
galkan tempat ini!” Suara Kiai Laras terdengar mening-
gi.
Laki-laki bercaping lebar sunggingkan senyum.
“Sahabat! Bukankah kau tadi mengatakan datang ke
tempat ini tanpa sengaja. Adalah aneh kalau sekarang
kau menyuruhku meninggalkan tempat ini!”
“Kau telah dengar ucapanku! Aku suka menyendiri
dan tak mau diganggu! Tidak peduli aku sengaja atau
tidak sengaja datang ke tempat ini!”
“Hem.... Ada keanehan pada orang ini! Apa yang ha-
rus kulakukan sekarang? Menuruti permintaannya?!”
Laki-laki bercaping lebar membatin.
“Sahabat! Aku tidak suka bicara berulang kali! Kau
turuti ucapanku atau tanganku yang akan menyeret
mu keluar dari sini!”
“Sahabat.... Terus terang saja! Sebenarnya kedatan-
ganku ke sini untuk mencari seseorang....”
Dahi Kiai Laras mengernyit. Tapi sebelum orang tua
ini sempat buka mulut, laki-laki bercaping lebar telah
angkat bicara lagi. “Apakah kau pernah melihat seo-
rang kakek di sekitar tempat ini?!”
“Tiap laki-laki berusia lanjut disebut kakek! Kata-
kan siapa nama orang yang kau cari!” hardik Kiai La-
ras.
“Namanya Pendeta Sinting!”
“Hem.... Orang yang tahu tempat ini hanyalah Sa-
raswati! Pasti manusia ini tahu dari gadis sialan itu!
Aku harus melenyapkan manusia ini! Dia bisa meru-
sak semua rencanaku! Tahu begini akibatnya, me-
nyesal aku membiarkan gadis itu masih bernyawa!”
“Kau pernah melihatnya?! Dari sikapmu aku men-
duga kau adalah orang rimba persilatan. Jadi tak usah
kukatakan bagaimana orang yang kucari! Sebab kau
mungkin sudah tahu!”
“Kau punya silang sengketa dengan Pendeta Sint-
ing?!” tanya Kiai Laras.
“Bukan hanya silang sengketa! Tapi dendam berka-
rat! Kau tahu bukan apa artinya dendam berkarat?!
Dendam yang tidak bisa lenyap sebelum salah satu te-
was!”
“Dari mana kau tahu Pendeta Sinting berada di si-
ni?!” kembali Kiai Laras ajukan tanya.
“Aku selalu melangkah ke mana-mana! Sambil me-
langkah tak tentu tujuan, aku selalu mencari tahu!
Karena tujuan hidupku hanyalah tuntaskan dendam
berkarat ini”
“Kau berkata dusta, Sahabat! Kau hanya bertanya
pada satu orang! Dan dia adalah seorang gadis yang
menyamar sebagai seorang pemuda! Benar?!”
Laki-laki bercaping lebar gelengkan kepala. “Selama
perjalanan, aku selalu menghindari bertanya pada pe-
rempuan! Karena aku tahu, ucapan seorang perem-
puan tidak dapat dipercaya!”
Kiai Laras tertawa pendek. “Sayang sekali, Sahabat!
Aku tidak berjumpa dengan orang yang kau cari!”
Laki-laki bercaping lebar memandang berkeliling.
“Kau sudah lama berada di sini?!”
“Kuharap kau segera tinggalkan tempat ini!” kata
Kiai Laras tidak sambuti ucapan laki-laki bercaping le-
bar.
“Baik! Aku akan turuti kemauanmu.... Tapi sebelum
aku pergi, kau mau jawab lagi satu pertanyaanku?!”
“Di sini bukan tempat yang baik untuk bertanya ja-
wab.”
Laki-laki bercaping lebar angkat bahu, memandang
sekilas pada Kiai Laras lalu putar diri dan perlahan-
lahan melangkah menuju ke mulut goa.
Saat laki-laki bercaping lebar langkahkan kaki me-
lewati lobang goa, di belakang sana, mendadak Kiai La-
ras membuat gerakan. Sosoknya melesat ke depan.
Kedua tangannya serta-merta bergerak lepaskan satu
pukulan bertenaga dalam tinggi.
SELESAI
Segera ikuti lanjutannya!!!
Serial Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng
dalam episode:
ISTANA SEKAR JAGAT
0 comments:
Posting Komentar