..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 03 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE LIANG MAUT DI BUKIT KALINGGA

JOKO SABLENG EPISODE LIANG MAUT DI BUKIT KALINGGA



 SATU


Lasmini tegak dengan sosok bergetar keras. Mulut-

nya menganga tak lanjutkan ucapan. Sepasang ma-

tanya berkilat mendelik angker. Dadanya langsung di-

buncah kemarahan luar biasa. Di matanya kembali 

terkenang peristiwa yang terjadi di depan Istana Hantu 

pada beberapa waktu silam.

Seperti dituturkan dalam episode: “Rahasia Kam-

pung Setan”, atas saran Kiai Lidah Wetan yang ternya-

ta adalah kekasih Lasmini di masa muda, Lasmini 

mendatangi Jurang Tlatah Perak tempat kediaman 

Pendeta Sinting. Ternyata Lasmini tidak berjumpa 

dengan Pendeta Sinting. Justru dia berjumpa dengan 

Setan Liang Makam yang punya tujuan sama.

Saat Lasmini dan Setan Liang Makam keluar dari 

Jurang Tlatah Perak, mereka berdua jumpa dengan 

Datuk Wahing. Setan Liang Makam marah tatkala 

mendapati Lasmini tidak mengenali Datuk Wahing, 

dan menyadari siapa adanya Datuk Wahing. Padahal 

beberapa saat yang lalu Lasmini mengatakan banyak 

mengenal beberapa tokoh rimba persilatan. Setan 

Liang Makam akhirnya memerintahkan pada Lasmini 

untuk pisahkan diri.

Dengan perasaan kecewa, Lasmini meninggalkan 

Setan Liang Makam. Dia sempat jumpa dengan Datuk 

Wahing. Tapi Datuk Wahing tetap bungkam tak mau 

sebutkan siapa dirinya. Akhirnya Lasmini tinggalkan 

Datuk Wahing. Saat itulah dia berjumpa dengan Kiai 

Laras. Pada akhirnya Kiai Laras mau menunjukkan di 

mana Pendeta Sinting berada. Dan saat sampai pada 

tempat yang ditunjukkan Kiai Laras, mendadak di ha-

dapannya muncul seorang pemuda yang dikenal betul 

oleh Lasmini, karena pemuda itulah yang pernah


menggagalkan usahanya dalam merebut Kitab Sundrik 

Cakra di depan Istana Hantu. Si pemuda di hadapan-

nya bukan lain adalah Pendekar 131 Joko Sableng.

“Kalau bangsat kecil ini ada di sini, berarti si kepa-

rat gurunya juga berada di sini!” desis Lasmini dalam 

hati. “Hari ini besar sekali rezeki ku. Yang kucari satu, 

yang kudapat dua! Tapi.... Aku harus berhati-hati pada 

bajingan ini! Bagaimanapun juga pasti dia sudah 

mempelajari kitab di tangannya! Kemampuannya telah 

terbukti dari berita kegegeran di Kedung Ombo belum 

lama berselang....”

Sementara itu pemuda yang tegak di seberang se-

nyum-senyum. Seolah tidak pedulikan kemarahan 

orang, Joko angkat bicara.

“Kalau tidak salah, bukankah yang tegak di hada-

panku saat ini adalah....”

Ucapan Joko belum selesai, Lasmini sudah menu-

kas dengan suara keras.

“Syukur matamu masih mengenaliku!” Lasmini 

alihkan pandangan. “Kau hari ini masih beruntung, 

Jahanam! Karena aku tak mau tanganku kotor dengan 

simbahan darahmu! Tapi bukan berarti nyawamu akan 

tetap di tubuhmu!”

Joko kerutkan dahi. “Apa maksud ucapanmu?!”

“Aku ingin kau sendiri yang memutus nyawamu!”

Pendekar 131 tertawa pendek. “Itu soal mudah! Tapi 

sebelumnya aku tanya. Apakah kedatanganmu hanya 

ingin menyaksikan nyawaku putus dengan tanganku 

sendiri?!”

“Aku tahu, si keparat gurumu berada di sini! Un-

tuknya tanganku sendiri yang akan cabut nyawanya!”

“Ah.... Bagaimana kau bisa membeda-bedakan begi-

tu?! Apakah harga nyawaku dan nyawa guruku berbe-

da?!”

“Itu urusanku! Kau tak usah banyak mulut!”


Joko gelengkan kepala. “Aku tak akan lakukan 

permintaanmu sebelum kau jelaskan perbedaan ini!”

Lasmini sentakkan kepala menghadap Joko. Dia 

sengaja memerintahkan si pemuda untuk cabut nya-

wanya sendiri karena dia sadar, bahwa kepandaian si 

pemuda pasti sudah jauh meningkat dibanding bebe-

rapa saat yang lalu. Lasmini tak mau bertindak ayal 

untuk hamburkan tenaga, karena dia berpikir masih 

harus berhadapan dengan Pendeta Sinting.

“Kau tak akan mendengar keterangan apa-apa dari 

mulutku, Keparat! Dan kalau kau tak mau lakukan 

ucapanku, apa kau kira nyawamu bisa selamat?!”

“Aku tidak bisa pastikan! Yang jelas aku yakin ma-

sih bisa hidup lebih lama!”

“Hem.... Begitu?!” ujar Lasmini. Belum sampai sua-

ranya usai, sosok perempuan ini telah melesat ke de-

pan. Kedua tangannya yang telah dialiri tenaga dalam 

segera dikelebatkan melepas satu pukulan ke arah da-

da.

Joko tidak tinggal diam. Dua jengkal lagi tangan 

Lasmini menghantam dadanya, kedua tangannya di-

angkat melintang di depan.

Bukk! Bukkk!

Benturan tak bisa dihindari. Sosok Lasmini mundur

satu tindak. Di hadapannya, Joko surut satu langkah. 

Tangan masing-masing orang yang baru saja beradu 

tampak bergetar.

Lasmini makin berang namun perempuan ini sedikit 

bisa merasa lega, karena dari benturan tadi telah cu-

kup membuatnya maklum jika tenaga dalamnya tidak 

berada di bawah lawan. Hingga keragu-raguan seketi-

ka sirna dari dadanya.

“Sepertinya tak ada perubahan pada manusia ini!” 

gumam Lasmini. Saat itu juga dia telah lipat gandakan 

tenaga dalamnya, dan serta-merta merangsek ke depan. Kali ini dengan bertumpu pada kaki kirinya, tu-

buhnya berputar. Saat yang sama kaki kanannya 

membuat gerakan menendang.

Melihat orang lakukan tendangan, Joko mundur 

dua langkah. Kaki kanannya diangkat menghadang 

tendangan yang datang.

Desss!

Lasmini tersentak. Kaki kanannya mental balik. Ka-

ki kirinya yang dibuat tumpuan tubuh tampak mene-

kuk dan bergerak memutar mengikuti mentalan kaki 

kanannya. Sadar akan apa yang terjadi jika lawan su-

suli hadangan kakinya dengan pukulan, Lasmini men-

dahului. Kedua tangannya segera disentakkan ke de-

pan.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang dahsyat melesat deras ke arah Jo-

ko. Di depan, si pemuda yang masih coba kuasai diri 

cepat jejakkan kaki kiri yang tadi juga dipakai tum-

puan. Saat itu juga sosoknya mengudara. Gelombang 

pukulan Lasmini lewat satu jengkal di bawah kakinya 

menghantam udara kosong!

Lasmini menggeram. Dia teruskan putaran tubuh. 

Begitu menghadap kembali ke depan, serta-merta ke-

dua tangannya dihantamkan kembali. Lasmini sengaja 

arahkan pukulan ke atas dan ke bawah. Dengan begi-

tu lawan tak mungkin menghindar.

Di atas udara, Joko tarik kedua tangannya ke bela-

kang. Saat berikutnya disentakkan. Karena gelombang 

yang datang menyongsong dari arah atas dan bawah, 

Joko arahkan kedua tangannya ke bawah dan ke atas.

Bummm! Bummm!

Terdengar dua kali ledakan keras di udara. Sosok 

tubuh Joko tampak terdorong di atas udara. Di bawah 

sana, Lasmini terhuyung-huyung. Tapi perempuan ini 

cepat bisa kuasai diri. Sebelum Joko sempat jejakkan


kaki, Lasmini telah hantamkan kembali kedua tangan-

nya.

Entah karena apa, meski dua gelombang yang siap 

menyapu telah mencuat dari kedua tangan Lasmini, 

Joko tidak membuat gerakan untuk hadang pukulan 

orang. Sebaliknya dia berpaling ke arah timur.

Lasmini tersenyum dingin melihat pukulannya tidak 

dihadang lawan. Dia sudah dapat menduga apa yang 

akan terjadi kalau pukulannya benar-benar telak 

menghantam!

Mendadak senyum Lasmini putus. Dari arah mana 

kepala Joko berpaling mendadak melesat dua gelom-

bang menghadang pukulan Lasmini.

Bummm!

Lamping Bukit Kalingga kembali dicercah dentuman 

keras. Sosok Lasmini tersurut dua langkah dengan da-

da bergetar keras. Di depan sana, Joko turun ke atas

tanah dengan bibir sunggingkan senyum.

Lasmini berpaling. Memandang ke depan, sepasang 

matanya langsung membeliak besar. Wajahnya beru-

bah antara geram dan terkejut. Mulutnya membentak.

“Saraswati! Apa yang kau lakukan?!”

Dari arah mana tadi kepala Joko berpaling, tampak 

tegak seorang pemuda berwajah tampan berkumis tipis 

mengenakan pakaian hitam-hitam. Pemuda ini bukan 

lain adalah Saraswati, anak perempuan Lasmini yang 

masih kenakan samaran sebagai seorang pemuda.

Yang ditanya tidak menjawab. Malah arahkan pan-

dangannya ke jurusan lain. Mulutnya bergerak mem-

buka. Namun tidak terdengar suaranya!

“Saraswati....” Joko buka suara lalu seraya melirik 

pada Lasmini dia melangkah mendekat.

“Tetap di tempatmu, Jahanam!” hardik Lasmini. 

Saat yang sama perempuan ini membuat gerakan satu 

kali. Sosoknya melesat dan tahu-tahu telah tegak di


samping Saraswati. Sesaat matanya memperhatikan 

sikap anaknya.

“Saraswati! Cepat tinggalkan tempat ini!”

Saraswati gerakkan kepala lalu memandang pada 

Lasmini. Kepalanya menggeleng perlahan. “Ibu....” 

Hanya itu suara yang terdengar dari mulut Saraswati. 

Gadis yang menyamar sebagai seorang pemuda ini tak 

kuasa lanjutkan ucapannya.

“Saraswati! Kau dengar ucapanku?! Tinggalkan 

tempat ini! Cepat!”

Saraswati kembali gelengkan kepala. “Maaf, Ibu.... 

Bukan aku tidak mau turuti ucapanmu, tapi....”

“Kau jangan ikut campur urusan ini! Dan perlu kau 

dengar, meski kau anakku, bukan berarti kau bisa se-

lamatkan nyawanya!”

Habis berkata begitu, Lasmini menoleh pada Joko 

yang masih tegak dengan mata memandang pada Sa-

raswati. Dada Lasmini makin bergolak panas. Dia ce-

pat angkat kedua tangannya. Namun sebelum kedua 

tangannya bergerak, Saraswati telah melompat dan te-

gak di hadapan Lasmini, hingga mau tidak mau Las-

mini urungkan niat.

“Ibu.... Urusan yang lalu tidak usah diperpanjang 

lagi! Anggap semuanya sudah berakhir!”

“Saraswati! Keputusan sudah kuambil! Nyawa anj-

ing keparat itu harus putus di tanganku! Tidak seo-

rang pun bisa menghalangi meski kau!” Lasmini ge-

rakkan tangan menarik lengan Saraswati untuk me-

nyingkir dari hadapannya. Saat lain keduanya telah 

berkelebat sambil Lasmini lepaskan pukulan ke arah 

Joko.

Saraswati tidak berdiam diri. Dia cepat melompat ke 

depan. Kedua tangannya mendorong gerakan kedua 

tangan Lasmini. Hingga meski dari kedua tangan Las-

mini melesat dua gelombang angin luar biasa dahsyat,


tapi arahnya sudah jauh melenceng dari sasaran!

Kalau tadi hanya menggertak, kali ini rupanya Las-

mini sudah tidak bisa lagi menahan kemarahan meli-

hat tindakan Saraswati. Tampangnya berubah menge-

tam. Sepasang matanya mendelik angker. Kedua tan-

gannya yang baru saja lepaskan pukulan ke arah Joko 

cepat ditarik pulang dan diangkat tinggi-tinggi ke atas.

“Kau telah berlaku bodoh, Saraswati!” Kedua tangan 

Lasmini sudah bergerak.

Di hadapannya, Saraswati tegak dengan kancingkan 

mulut dan memandang tajam pada gerakan kedua 

tangan ibunya. Gadis ini tidak membuat gerakan apa-

apa.

Baru setengah jalan, mendadak Lasmini sentakkan 

kedua tangannya kembali ke belakang. Sepasang ma-

tanya memandang ke jurusan lain dengan dada berge-

rak turun naik tak teratur dengan keras.

“Saraswati!” kata Lasmini dengan suara bergetar 

dan parau. “Kau harus tahu.... Siapa manusia jaha-

nam itu, siapa dirimu, lebih-lebih siapa aku!” Lasmini 

hadapkan wajah pada Saraswati. “Kau jangan tertipu 

dengan perasaan! Perasaan hanya akan membawamu 

tenggelam dalam ketololan! Tak tahu mana benar, ma-

na salah! Tak bisa membedakan mana yang harus kau 

lakukan dan mana yang tidak harus kau laksanakan!”

Saraswati menentang pandangan ibunya. Namun 

sejauh ini dia belum buka mulut menyahut. Sementara 

di seberang sana, Joko memandang kedua ibu dan 

anak itu dengan senyum.

“Saraswati! Kuharap kau mengerti dan turuti per-

mintaan ibumu!”

“Ibu.... Menurutku, antara Ibu dengan pemuda itu 

tidak ada urusan! Kalaupun ada, bisa diselesaikan 

tanpa harus mengadu jiwa!”

Lasmini tertawa perlahan mendengar ucapan anak


nya. “Itu bukti bahwa kau belum tahu siapa dirimu, 

siapa pemuda bangsat itu serta siapa aku!”

“Kalau boleh tahu, apakah ada silang sengketa lain 

antara Ibu dengan pemuda itu selain urusan yang ter-

jadi di Istana Hantu beberapa waktu silam?!” tanya Sa-

raswati.

“Hem.... Jadi urusan di Istana Hantu itu kau ang-

gap persoalan sepele yang bisa diselesaikan dengan 

ucapan, begitu?!”

“Kalau diselesaikan dengan kekerasan, apa Ibu kira 

bisa tuntas?!” Saraswati balik bertanya. Lalu kepala 

gadis yang menyamar sebagai seorang pemuda ini 

menggeleng. “Tidak, Ibu.... Justru kalau urusan ini 

diselesaikan dengan cara Ibu, akan timbul urusan ba-

ru....”

“Kau tak tahu, Saraswati! Dalam dunia persilatan, 

semua ujung persoalan baru tuntas jika salah seorang 

sudah tewas! Kalaupun nantinya timbul urusan baru, 

itu urusan lain. Inilah sebuah risiko yang harus di-

tanggung manusia yang terjun dalam kancah persila-

tan!”

“Ibu.... Anggaplah itu satu yang lazim dalam dunia 

persilatan! Tapi sebagai manusia biasa, bukankah kita 

bisa ambil jalan yang terbaik?! Kalau urusan bisa dis-

elesaikan dengan baik-baik, untuk apa harus melaku-

kan pembunuhan?!”

“Kau belum bisa melihat dalamnya urusan, Anak-

ku!” ujar Lasmini pelan dengan menarik napas dalam. 

“Baiklah.... Kali ini aku turut saran mu. Kau mengata-

kan persoalan bisa diatasi dengan baik-baik! Sekarang 

coba kau minta kitab yang ada di tangannya! Kalau dia 

memberikan apa yang kau minta, berarti ucapanmu 

benar dan urusan selesai!”

Saraswati pandangi ibunya dengan paras bimbang. 

Untuk beberapa saat gadis ini diam. Lasmini tertawa.


Lalu berkata.

“Mengapa kau diam, Anakku?! Bukankah kau bi-

lang urusan ini bisa tuntas dengan ucapan? Tanpa ha-

rus saling bunuh?!”

“Ibu.... Kitab itu sudah menjadi haknya! Tak mung-

kin....”

Belum selesai Saraswati berucap, Lasmini telah 

menyahut. “Sebuah kitab diciptakan bukan untuk di-

haki seseorang! Dan urusan ini adalah urusan kitab 

itu!” Lasmini sunggingkan senyum. “Sekarang aku 

tanya padamu, kalau kau bimbang, apa kau masih 

berpikir urusan ini bisa diselesaikan dengan baik-

baik?!”

Mungkin untuk buktikan ucapannya, atau karena 

khawatir terjadi lagi saling baku hantam antara ibunya 

dengan Joko, pemuda yang secara diam-diam telah 

merebut hatinya, Saraswati berpaling pada Joko. Na-

mun sebelum Saraswati berucap, dari seberang sana 

Joko telah angkat bicara.

“Sebuah kitab diciptakan memang bukan untuk 

dimiliki seseorang! Namun siapa pun manusianya yang 

telah mendapatkan sebuah kitab sakti, maka adalah 

tindakan bodoh jika begitu saja diberikan pada orang 

yang meminta! Dan siapa pun manusianya akan lebih 

baik mampus daripada harus menyerahkan kitab di 

tangannya!”

Lasmini tertawa. “Anakku.... Kau dengar ucapan-

nya?! Dengar, Saraswati! Dalam urusan dunia persila-

tan, kalau kita memakai perasaan maka kita tidak 

akan mendapatkan apa-apa! Malah apa yang sudah ki-

ta dapat bisa saja lepas ke tangan orang lain!”

Lasmini sorongkan kepalanya mendekat ke arah 

kepala Saraswati lalu berbisik.

“Dan kau harus tahu, Anakku! Pemuda macam dia 

tidak patut diberi perasaan! Kalau dia punya perasaan


padamu dan memandangku, pasti dengan suka rela 

apa yang kau minta akan diberikan! Apa kau masih 

menaruh perasaan pada jahanam macam itu?! Aku te-

lah merasakan betapa pahitnya dikecewakan, Anak-

ku....”

Saraswati makin bimbang. Dia tidak tahu harus 

berbuat apa. Dia tidak mau terjadi saling bunuh anta-

ra ibunya dengan Joko. Namun dari ucapan ibunya 

serta kata-kata Joko, sepertinya baku hantam tak bisa 

dihindarkan lagi.

“Anakku.... Aku tahu bagaimana perasaanmu pada 

jahanam keparat itu! Kau tidak usah membohongi Ibu! 

Kau jatuh cinta padanya kan?! Tapi apakah kau tahu 

perasaannya? Apakah kau tahu dia juga tertarik pa-

damu?! Melihat peristiwa di Istana Hantu, rasanya aku 

menyangsikan keparat itu! Kalaupun saat itu dia men-

gatakan tertarik padamu, mungkin dia punya maksud 

tertentu, karena kau adalah anak dari penguasa Istana 

Hantu di mana tersimpan kitab sakti! Kau jangan ter-

bawa pada ucapan laki-laki, Anakku! Setiap laki-laki 

yang punya maksud tersembunyi, dia akan bermuka 

manis dan berkata muluk-muluk! Tapi begitu mak-

sudnya tercapai, akan kelihatan siapa dia sebenarnya!”

Paras wajah Saraswati tampak berubah memerah. 

Gadis ini tidak berani berpaling pada ibunya. Lasmini 

melirik pada Joko, lalu lanjutkan ucapannya.

“Saraswati.... Kau masih ingin hidup bersamaku, 

bukan?!”

Saraswati gerakkan kepala menoleh tanpa buka su-

ara. Lasmini arahkan pandang matanya ke jurusan 

lain seraya berkata. “Kalau ya, kuharap kau tinggalkan 

tempat ini dan menungguku di tempat yang telah kau

sebutkan! Kalau tidak, aku tanya apa maumu seka-

rang!”

Saraswati sungguh tidak menduga kalau dihadapkan dengan pilihan yang amat sulit. Di satu pihak, 

dia memang ingin hidup berdampingan dengan ibunya 

yang telah lama terpisah. Di lain pihak, bagaimanapun 

juga dia tidak mau Joko terbunuh!

Karena Saraswati tidak juga menjawab, Lasmini 

angkat bicara lagi.

“Kau harus dapat memberi ku ketegasan, Saraswa-

ti!”

Karena masih dalam keadaan bingung, Saraswati 

menggeleng. Sementara sepasang matanya melirik pa-

da Joko.

Lasmini mulai jengkel melihat sikap Saraswati. Da-

danya sesak. Ini menambah kegeramannya pada Joko. 

Hingga tak lama kemudian dia berkata.

“Baik! Aku telah memberimu kesempatan untuk 

memberi ketegasan, tapi kau tidak mau! Sekarang ku-

harap kau tidak ikut campur urusanku! Ini urusan 

persilatan! Bukan urusan antara ibu dan anak!”

Habis berkata begitu, Lasmini melompat ke depan. 

Saraswati masih tampak diam karena dilanda kebim-

bangan. Sementara di seberang sana, Joko sudah ang-

kat kedua tangannya. Lasmini yang sudah tidak saba-

ran segera pula angkat kedua tangannya.

“Tahan!” Tiba-tiba Saraswati berteriak. Lalu berke-

lebat dan tegak di hadapan Lasmini.

***

DUA



Saraswati hanya tegak tanpa berkata apa-apa. Saat 

lain gadis ini balikkan tubuh membelakangi Lasmini 

menghadap Joko. Untuk beberapa saat Saraswati me-

mandang dengan dada berdebar. Setelah kuatkan hati,


akhirnya mulutnya membuka perdengarkan suara.

“Pendekar 131! Demi kebaikan bersama, kuharap 

kau segera tinggalkan tempat ini!”

“Gila!” teriak Lasmini setengah menjerit. Sosoknya 

melesat ke depan menjajari Saraswati. Dengan mata 

berkilat dia menghardik. “Saraswati! Kuperintahkan 

kau sekali lagi untuk tinggalkan tempat ini dan tidak 

turut campur! Kalau kau membangkang, jangan kira 

aku tidak tega menggebuk mu!”

Saraswati tidak hiraukan ucapan ibunya. Kembali 

gadis ini berteriak pada Joko tanpa berpaling pada 

Lasmini. “Pendekar 131! Cepat tinggalkan tempat ini!”

Di depan sana, Joko tampak tersenyum seraya ge-

lengkan kepala. “Aku tegak di sini bukan sekadar un-

tuk diri sendiri! Di dalam sana ada eyang guruku yang 

terbaring sakit! Apakah aku akan enak begitu saja 

tinggalkan tempat ini sementara nyawa eyang guruku 

terancam tangan maut?!”

Dalam keadaan kebingungan, tanpa pikir panjang 

lagi Saraswati berkata.

“Keselamatan eyang gurumu serahkan padaku! Kau 

tak usah khawatir!”

“Tutup mulutmu, Saraswati!” bentak Lasmini. “Kau

benar-benar sudah gila hendak selamatkan dan lin-

dungi manusia-manusia yang seharusnya kau bunuh!”

Saraswati putar tubuh setengah lingkaran mengha-

dap Lasmini. “Ibu! Harap maafkan aku! Bukankah Ibu 

tadi sudah bilang, ini urusan dunia persilatan! Bukan 

urusan antara ibu dan anak!”

“Aku menyesal sekali. Saraswati! Selama ini aku se-

lalu membayangkan bisa sependapat denganmu dalam 

segala hal! Tak tahunya, bukannya kau menolongku, 

tapi justru hendak membantu musuhku! Tapi apa bo-

leh buat! Kau telah dewasa. Lagi pula kau menganggap 

urusan ini bukan ada hubungannya antara seorang


ibu dan anak!”

Saraswati menarik napas panjang. Lasmini alihkan 

pandangan dengan menyeringai. Lalu berkata. “Saras-

wati! Melangkahlah ke jahanam itu! Kita butakan mata 

kita masing-masing! Dan anggap di antara kita tidak 

ada kaitan apa-apa!”

“Ibu.... Kau tega...?!”

“Ini bukan urusan tega atau tidak! Bukankah kalau 

kau membantu musuhku, berarti kau juga tega hen-

dak membunuhku?!”

“Ibu! Maksudku bukan....”

Belum selesai teruskan ucapan, Lasmini telah me-

nukas. “Aku tidak punya waktu untuk berlama-lama 

bicara! Dan kau perlu dengar keputusanku sekali lagi! 

Nyawa anjing jahanam itu harus ku cabut! Dan siapa 

pun yang berani menghalangi, maka dia akan berha-

dapan denganku! Tidak peduli siapa saja termasuk 

kau sendiri!”

Habis berkata begitu, perlahan saja Lasmini me-

langkah menjauh dari Saraswati. Saat lain tiba-tiba 

kedua tangannya telah berkelebat lepaskan satu puku-

lan jarak jauh ke arah Joko.

Saraswati tidak tinggal diam. Dia segera melompat 

ke arah Lasmini untuk mencegah tindakan ibunya. 

Namun baru saja tangannya bergerak hendak mendo-

rong, kaki kiri Lasmini bergerak lepaskan tendangan 

ke samping.

Bukkk!

Saraswati terjengkang duduk di atas tanah. Lasmini 

teruskan kelebatan kedua tangannya, hingga saat itu 

juga dua gelombang luar biasa dahsyat menggebrak 

deras ke arah Joko!

Joko cepat pula sentakkan kedua tangannya ke de-

pan untuk menghadang serangan. Malah begitu kedua 

tangannya bergerak, sosoknya ikut melesat ke depan.


Bummm!

Dua pukulan bertenaga dalam tinggi bertemu. Le-

dakan dahsyat terdengar. Sosok Lasmini tampak ter-

sapu sampai lima langkah. Wajahnya seketika beru-

bah. Di sampingnya Saraswati tampak terdorong den-

gan duduk. Di seberang depan, tubuh Joko mental, 

namun belum sampai tiga langkah, tangan kanannya 

bergerak menyelinap ke balik pakaiannya. Saat lain ti-

ba-tiba tangan kanannya berkelebat ke depan.

Wuutt!

Lasmini tersentak. Dari arah depan mencuat tiga 

sinar berwarna merah, hitam, dan putih.

Rasa kejut Lasmini membuat perempuan ini berge-

rak lamban. Hingga baru saja tangannya bergerak

hendak mendorong lepaskan pukulan, tiga sinar yang 

berkiblat telah datang menggebrak!

Saraswati berseru. Kedua tangannya cepat menyen-

tak. Sementara meski terlambat, Lasmini masih han-

tamkan kedua tangannya!

Bummm! Bummm!

Untuk kesekian kalinya kembali Bukit Kalingga di-

rencah dentuman keras. Namun baik Lasmini maupun 

Saraswati terhenyak. Sinar tiga warna yang berkiblat 

ternyata hanya mental ke belakang beberapa saat. Di 

lain kejap tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih 

itu melaju deras ke arah Lasmini!

Terlambat bagi Saraswati untuk menghadang kibla-

tan tiga sinar, karena bersamaan dengan terdengarnya 

ledakan, sosoknya mencelat menghantam satu batang 

pohon. Hingga tatkala dia hendak angkat kedua tan-

gannya, terhalang oleh batangan pohon.

Di lain pihak, Lasmini masih sedikit beruntung. Ka-

rena begitu pukulannya menghadang tiga sinar dan 

terdengar ledakan, sosoknya tersapu. Hal ini menye-

lamatkan dirinya dari tiga sinar yang kini berkiblat


kembali, juga memberi kesempatan pada Lasmini un-

tuk menghadang kiblatan sinar meski dengan tubuh 

laksana disentak-sentak dan mulut megap-megap!

Wuutt! Wuutt!

Busss!

Tiga sinar yang menerjang ke arah Lasmini terpen-

car kena hadangan pukulannya. Satu ke samping ka-

nan, satunya ke samping kiri. Namun satunya lagi ju-

stru lurus ke arah sosok Lasmini!

Tak ada kesempatan lagi bagi Lasmini untuk mem-

buat gerakan sentakkan kedua tangannya. Hingga sa-

tu-satunya jalan adalah menghindar. Perempuan ini 

cepat gulingkan tubuh. Walau gerakannya laksana ki-

lat, namun salah satu sinar itu masih mampu me-

nyambar bahunya!

Lasmini menjerit. Sosoknya terbanting dan bergu-

lingan di atas tanah dengan pakaian di bagian bahu 

langsung terbakar hangus!

Belum sampai Lasmini bergerak bangkit, Joko telah 

melesat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga lang-

kah di samping sosok Lasmini dengan kedua tangan 

terangkat. Bibirnya sunggingkan senyum.

“Jahanam! Ilmu apa yang dilepas pemuda keparat 

ini tadi?! Sekilas tadi aku melihat sinar tiga warna di 

tangan kanannya. Tapi sekarang tangannya tidak ber-

sinar lagi! Apakah ini kehebatan kitab yang pernah 

hampir kudapatkan dahulu?!” Lasmini diam-diam 

membatin dengan mata melirik ke atas. Kedua tangan 

Joko memang tidak lagi menggenggam Kembang Darah 

Setan yang sejenak tadi sempat digunakan dan buru-

buru dimasukkan kembali ke balik pakaiannya begitu 

melihat Lasmini roboh terbanting. Lasmini memang ti-

dak sempat melihat apa yang tergenggam di tangan 

Joko. Yang dia tahu, saat itu tiba-tiba melesat tiga si-

nar berwarna merah, hitam, dan putih.


Kalau Lasmini tidak sempat melihat apa yang ter-

genggam di tangan kanan Joko, tidak demikian halnya 

dengan Saraswati. Saat gadis ini tadi tidak berdaya un-

tuk selamatkan ibunya, dia berpaling pada Joko dan 

hendak berteriak agar Joko urungkan niat. Saraswati 

menduga, Joko akan susuli pukulannya. Namun mu-

lut Saraswati tidak kuasa untuk bersuara. Saat itulah 

dia melihat tangan kanan Joko menggenggam setang-

kai kembang berdaun tiga warna! Merah, hitam, dan 

putih.

“Setangkai kembang berwarna tiga! Aku tidak per-

nah mendengar cerita tentang senjata hebat berbentuk 

kembang...,” gumam Saraswati. Gadis ini tidak lan-

jutkan gumamannya. Dia segera bergerak bangkit. Be-

gitu dia melihat Joko telah tegak dengan kedua tangan 

terangkat di samping ibunya, Saraswati cepat berkele-

bat seraya berteriak.

“Harap tidak bertindak lebih jauh!”

Walau Joko tidak berpaling, namun kedua tangan-

nya terhenti di atas udara. Lasmini tidak sia-siakan 

kesempatan. Begitu dia dapat bergerak duduk, tiba-

tiba kedua tangannya bergerak melepas pukulan sam-

bil mendorong tubuhnya ke depan.

Karena jaraknya terlalu dekat, tak ada kesempatan 

bagi Joko untuk selamatkan diri selain menghadang 

dengan pukulan pula. Hingga seraya membentak ga-

rang, sosoknya melompat setengah tombak ke udara. 

Dengan membuat gerakan berputar, kedua kakinya 

bergerak menghadang kedua tangan Lasmini.

Bukkk!

Kedua tangan Lasmini langsung mental. Sementara 

tubuh Joko memutar balik. Karena bahu Lasmini telah 

cedera, maka benturan dengan kaki Joko membuat pe-

rempuan ini menjerit. Dia rasakan bahunya laksana 

hendak tanggal. Namun maklum kalau bahaya belum


lenyap, Lasmini coba kerahkan tenaga dalam seraya 

melirik pada Saraswati.

Sementara itu hanya kira-kira sejarak lima langkah 

di hadapan Lasmini, Joko tegak dengan bibir sung-

gingkan senyum dingin. Sejurus dia pandangi Lasmini 

lalu beralih pada Saraswati.

Saraswati coba tersenyum. Namun Joko menangga-

pi dengan dingin. Malah cepat-cepat alihkan pandan-

gan.

“Aku tahu.... Dia pasti kecewa dengan tindakanku 

ini! Tapi apa boleh buat.... Aku tak mau kehilangan sa-

lah satu dari mereka!” kata Saraswati dalam hati. Lalu 

arahkan pandangannya pada Lasmini. “Seharusnya 

Ibu tidak menggunakan kesempatan tadi untuk me-

mukul!”

Saraswati perlahan melangkah ke arah ibunya. 

“Ibu.... Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini!”

Lasmini tersenyum sinis. “Kau kira aku bisa terbu-

nuh di tangannya?!” kata Lasmini seraya bangkit. Saat 

itulah mendadak Joko membuat satu gerakan. Sosok-

nya berkelebat ke depan. Tangan kanannya bergerak.

Saraswati terkesiap. Dia merasakan sambaran an-

gin melesat ke arah lambungnya. Belum tahu apa yang 

hendak dilakukan Joko, dan belum sempat dia berge-

rak, satu totokan dahsyat telah bersarang di lambung-

nya hingga tubuhnya melorot jatuh dalam keadaan te-

gang kaku!

Lasmini tersentak. Keterkejutannya membuat di-

rinya lengah. Hingga saat Joko berkelebat dengan tan-

gan kiri lepas pukulan, dia hanya bisa menghadang 

tangan kanan Joko. Hingga tak ampun lagi tangan kiri 

Joko telak menghantam dada kanannya!

Lasmini terpekik. Sosoknya terhuyung tiga tindak. 

Saat bersamaan lututnya menekuk. Di lain kejap sosok 

Lasmini jatuh terjengkang dengan mulut keluarkan


darah!

Joko tak menunggu. Dengan satu kali lompatan, 

sosoknya telah tepat berada di samping Lasmini. Las-

mini coba bergerak hendak bangkit. Namun gerakan-

nya tertahan tatkala tiba-tiba kaki kanan Joko sudah 

membuat gerakan menyapu. Meski Lasmini sudah ge-

rakkan tangan, namun karena sudah terluka, maka 

sapuan kaki Joko tidak bisa dihindarkan lagi.

Bukkk!

Sosok Lasmini yang hendak bangkit terbanting ke 

atas tanah. Darah muncrat dari mulutnya yang menje-

rit.

“Aku tak mau dia mampus begitu saja! Dia juga ha-

rus merasakan bagaimana nikmatnya tewas perlahan-

lahan!” desis Joko lalu maju mendekat.

“Pendekar 131! Cukup! Jangan sentuh lagi ibuku!” 

teriak Saraswati. Gadis ini hanya bisa berteriak tanpa 

dapat bergerak.

Joko hanya berpaling sejurus. Lalu menghadap lagi 

pada Lasmini. Tanpa berkata apa-apa lagi tangan ka-

nannya bergerak. Tubuhnya sedikit dibungkukkan. 

Lasmini sadar apa yang hendak dilakukan orang. Den-

gan segenap kemampuannya, dia gerakkan tangannya 

untuk menghadang gerakan tangan kanan Joko.

Namun Lasmini tertipu. Begitu tangan mereka 

hampir saja bentrok, Joko cepat tarik pulang tangan 

kanannya. Saat bersamaan justru tangan kirinya yang 

bergerak.

Lasmini berteriak. Namun tangan kiri Joko sudah 

berkelebat lakukan totokan ke arah bahunya!

“Pendekar 131! Kau dengar ucapanku! Jangan sen-

tuh ibuku!” Saraswati kembali berteriak.

Joko seolah tidak dengar teriakan orang. Enak saja 

tangan kanannya bergerak menjambak rambut Lasmi-

ni. Saat lain dia melangkah dengan tangan tetap menjambak rambut Lasmini.

Lasmini berteriak memaki panjang pendek. Semen-

tara Saraswati ikut berteriak. Namun Joko tak peduli. 

Dia terus melangkah ke arah goa.

Joko hentikan langkah empat tindak dari kayu pe-

rapian di sebelah sudut ruangan goa. Tangan kanan-

nya bergerak sentakkan rambut Lasmini hingga kepala 

perempuan ini menghantam lantai ruangan goa.

Dengan menahan rasa sakit, Lasmini coba meman-

dang berkeliling. Dia tidak melihat Pendeta Sinting. 

Hatinya mulai ragu.

“Hem.... Jangan-jangan tua bangka yang menun-

jukkan tempat itu sudah bersekongkol dengan pemuda 

keparat ini!” kata Lasmini dalam hati seraya melirik 

pada Joko yang saat itu telah tegak di dekat perapian. 

Lasmini tidak tahu apa yang dilakukan Joko. Yang ter-

lihat, kaki kanan Joko tampak menekan sesuatu di 

kayu perapian.

“Apa yang hendak dilakukan jahanam itu?!”

Baru saja Lasmini membatin begitu, tiba-tiba telin-

ganya mendengar suara berderit. Sepasang mata Las-

mini membeliak. Pada bagian pojok ruangan goa, tiba-

tiba dindingnya bergerak. Lalu tampaklah sebuah 

tangga batu.

“Apa yang akan dilakukan jahanam ini?! Itu pasti 

tempat rahasia!” Lasmini membatin seraya terus mem-

perhatikan ke arah tangga di balik dinding yang terbu-

ka.

Joko balikkan tubuh lalu melangkah tiga tindak 

mendekati Lasmini. Untuk beberapa lama dia pandangi 

Lasmini tanpa berkata apa-apa.

“Lepaskan totokan celaka ini kalau kau manusia 

jantan!” teriak Lasmini demi melihat Joko hanya me-

mandang tanpa berkata atau membuat gerakan apa-

apa.


“Permintaanmu akan segera terkabul! Tapi bukan 

berarti kau bisa lolos dari kematian! Kau tadi menga-

takan tanganmu tak mau kotor oleh simbahan darah-

ku! Sekarang aku pun tak mau bersusah payah men-

cabut nyawamu! Aku ingin melihat kau mampus seca-

ra perlahan-lahan tanpa mengotori tanganku!”

“Apa yang hendak kau lakukan?!”

Joko tersenyum. “Jangan terlalu gusar! Kau akan 

menikmati perjalanan maut dengan perlahan-lahan! 

Ha.... Ha.... Ha...!”

Tengkuk Lasmini menjadi dingin. Belum sampai dia 

bisa menebak apa yang hendak dilakukan orang, tiba-

tiba Joko telah bungkukkan tubuh. Sekali kedua tan-

gannya bergerak, sosok Lasmini telah terangkat.

“Jahanam! Lepaskan diriku!”

Joko tidak pedulikan makian dan teriakan Lasmini. 

Dia melangkah seraya mengangkat tubuh Lasmini. Be-

gitu sampai di ambang dinding yang terbuka, tangan 

kiri Joko bergerak.

Lasmini merasa sedikit lega, karena totokannya 

buyar. Namun kelegaan Lasmini hanya sekejap. Ber-

samaan dengan buyarnya totokan pada tubuhnya, ti-

ba-tiba kedua tangan Joko bergerak.

Wuuutt! Wuuutt!

Sosok Lasmini melayang melewati tangga di balik 

dinding yang terbuka. Lasmini coba kuasai diri. Na-

mun perempuan ini tak bisa berbuat banyak. Karena 

begitu tubuhnya melewati tangga, di sana dia disam-

but dengan lobang besar yang menganga!

Karena belum tahu tempat apa, dan merasa sosok-

nya melayang ke bawah, Lasmini pejamkan sepasang 

matanya.

Bukkk!

Lasmini merasakan tubuhnya menghantam lantai. 

Dengan mengerang, perlahan-lahan dia buka kelopak


matanya. Yang pertama-tama dirasakan perempuan ini 

adalah hawa dingin. Lalu matanya menangkap cahaya 

obor. Dia coba kerahkan tenaga dalam.

“Jangan teruskan kalau kau tak ingin mati dengan 

cepat!” Tiba-tiba satu suara terdengar.

Laksana disentak setan, Lasmini cepat berpaling. 

“Aku belum pernah melihat perempuan ini! Tapi men-

gapa dia berada di sini?! Apa dia juga mengalami nasib 

seperti diriku?!” Lasmini membatin seraya memandang 

tak berkesip pada satu sosok tubuh yang duduk bersi-

la di dinding ruangan di mana dia berada.

Dia adalah seorang perempuan berusia lanjut, 

meski wajahnya masih membayangkan kecantikan. 

Rambutnya putih disanggul. Pada sanggulan rambut-

nya tampak menyelinap satu tusuk konde besar ber-

warna hitam. Nenek ini bukan lain adalah Ni Luh 

Padmi. Seperti halnya Lasmini, Ni Luh Padmi termakan 

oleh ucapan dusta Kiai Laras. Dan pada akhirnya dia 

terjerumus masuk ke ruangan di balik dinding goa. 

(Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode 

: “Geger Topeng Sang Pendekar”).

“Siapa kau?!” Lasmini bertanya.

Ni Luh Padmi katupkan sepasang matanya. “Bukan 

sekarang saatnya untuk bertanya jawab! Kau harus 

pulihkan tenagamu dahulu tanpa harus kerahkan te-

naga dalam! Ruangan ini beracun! Setiap kau kerah-

kan tenaga dalam, racun di ruangan ini akan masuk 

aliran darahmu! Dan itu akan mempercepat kema-

tianmu!”

Meski merasa sedikit jengkel, namun sekali men-

cium, Lasmini sudah maklum kalau ucapan orang ada 

benarnya. Dia perlahan-lahan menyeret tubuhnya lalu 

duduk bersandar. Dia memperhatikan berkeliling. Dia 

hendak buka mulut bertanya pada Ni Luh Padmi. Na-

mun mengingat ucapan orang, dia urungkan niat. Lalu


perlahan-lahan dipejamkan sepasang matanya. Tak je-

las apa yang dilakukan perempuan ini. Mungkin ten-

gah pulihkan tenaga tanpa harus kerahkan tenaga da-

lam, mungkin juga sedang tenggelam meratapi nasib-

nya yang buruk karena tertipu orang!

Di lain pihak, begitu sosok Lasmini amblas masuk 

ke dalam lobang di balik dinding, Joko putar tubuh, 

menekan sesuatu di bawah tumpukan kayu perapian. 

Dia menunggu sejenak. Begitu terdengar suara berde-

rit, pemuda ini sunggingkan senyum lalu sekali mem-

buat gerakan, sosoknya melesat keluar goa.

***

TIGA



Saraswati pentang matanya besar-besar tatkala me-

lihat Joko muncul dari dalam goa. Saraswati bisa mak-

lum akan perasaan Joko. Namun tindakannya terha-

dap Lasmini di depan mata Saraswati sudah keterla-

luan! Hingga dada gadis ini mulai didera dengan rasa 

geram.

“Pendekar 131! Apa yang kau lakukan pada ibu-

ku?!” teriak Saraswati.

Joko hentikan langkah empat tindak di hadapan 

Saraswati. Untuk beberapa lama, dia memandang tan-

pa berkata apa-apa. Namun sesaat kemudian dia buka 

mulut. Bukan jawab pertanyaan Saraswati melainkan 

tertawa bergelak-gelak!

“Pendekar 131! Harap suka bebaskan aku!”

Joko putuskan gelakan tawanya. “Aku akan turuti 

permintaanmu! Tapi dengan satu syarat!”

Saraswati pandangi si pemuda dengan dada dipe-

nuhi berbagai perasaan. “Apa yang kau inginkan?!”


“Kau harus angkat kaki dari tempat ini!”

“Pendekar 131! Apa maumu sebenarnya?!”

Joko tersenyum. “Kau tak usah khawatirkan kese-

lamatan ibumu! Dia hanya perlu mendapat sedikit pe-

lajaran! Kelak kalian akan bertemu begitu pelajaran se-

lesai!”

“Aku tak akan pergi dari sini tanpa ibuku!”

“Itu kemauanmu?!”

Saraswati menghela napas panjang. “Pendekar 131! 

Aku tahu.... Ibuku memang melakukan tindakan sa-

lah! Tapi kuharap kau mengerti mengapa dia sampai 

berbuat begitu!”

Joko maju dua tindak. “Aku tahu dan mengerti! 

Maka dari itu aku memberinya pelajaran agar nanti ti-

dak melakukan tindakan yang sama untuk kedua ka-

linya!”

“Pendekar 131! Ku mohon.... Bebaskan dia! Kalau-

pun kau ingin memberi pelajaran, biarlah aku yang 

menggantikannya!”

Joko gelengkan kepala. “Tidak pantas menghukum 

orang yang tidak melakukan kesalahan!” Joko te-

ruskan langkah mendekat. Begitu tepat di hadapan 

Saraswati, dia berujar perlahan. “Bagaimana?! Kau te-

rima syarat ku?!”

“Pendekar 131! Untuk kali ini ku mohon agar kau 

biarkan aku pergi bersama ibuku! Percayalah.... Peris-

tiwa ini tidak akan terulang lagi! Ibu pasti sudah sadar 

akan tindakannya!”

“Saraswati! Kadangkala ada manusia yang harus 

digebuk dahulu sebelum diajak bicara baik-baik! Dan 

ibumu termasuk manusia ini! Aku menunggu jawa-

banmu, Saraswati! Kau tahu.... Aku harus segera me-

rawat eyang guruku! Waktuku tidak banyak!”

“Baiklah.... Tapi beri aku kepastian kapan Ibu kau 

bebaskan!”


“Aku tak bisa memberi kepastian saatnya!”

“Berarti kau tidak hanya....”

“Saraswati!” tukas Joko. “Kau telah dengar ucapan-

ku. Aku tidak punya waktu banyak! Atau kau ingin 

berkumpul dengan ibumu, hah?!” bentak Joko dengan 

suara garang.

Saraswati sempat terlengak melihat sikap si pemu-

da. “Mengapa dia begitu berubah?! Apakah ini gara-

gara kejengkelannya pada tindakan Ibu?! Atau ada hal 

lain?!”

Setelah berpikir agak lama, akhirnya Saraswati ber-

kata. “Aku terima syaratmu! Tapi aku akan kembali 

dalam waktu tiga hari di depan! Kalau sampai ibuku 

mengalami hal yang tidak-tidak, jangan kau kira aku 

akan diam saja meski aku tahu kau telah jadi seorang 

berilmu tinggi!”

Joko sunggingkan senyum. Kepalanya bergerak 

menggeleng. “Kalau kau akan muncul pada tiga hari di 

depan, berarti kau belum terima syarat ku! Ku ingin

kau menunggu sampai ibumu menemuimu!”

“Hem.... Ada yang tak beres dengan ucapannya! Dia 

menghalangiku datang lagi ke tempat ini! Namun dia 

tak memberi batasan waktu kapan Ibu dibebaskan! 

Berarti keselamatan Ibu terancam!” Diam-diam Saras-

wati membatin. Lalu berkata.

“Baik! Aku akan menunggu sampai ibuku datang 

menemuiku!”

Ucapan Saraswati belum selesai, Joko telah gerak-

kan tubuh sedikit membungkuk. Tangan kanannya 

bergerak. Saat itu juga Saraswati rasakan aliran da-

rahnya mengalir kembali. Dan perlahan-lahan anggota 

tubuhnya bisa digerakkan.

Saraswati coba kerahkan tenaga dalam. Sekonyong-

konyong tanpa bergerak bangkit terlebih dahulu, gadis 

ini gerakkan kedua tangannya menghantam ke arah


Joko.

Dari tadi tampaknya Joko sudah dapat membaca 

apa yang ada dalam benak Saraswati. Hingga dia tidak

merasa terkejut tatkala tiba-tiba Saraswati lepaskan 

pukulan ke arahnya. Hingga bukan saja dia bisa hin-

darkan diri, namun saat itu juga kedua kakinya mem-

buat gerakan menendang ke arah tangan kiri kanan 

Saraswati!

Bukkk! Bukkk!

Saraswati terpekik. Sosoknya mental sampai lima 

langkah terkapar di atas tanah. Belum sampai dia 

membuat gerakan bangkit, Joko telah bergerak dan te-

gak hanya berjarak dua langkah di hadapannya den-

gan mata mendelik angker.

“Jangan mimpi bisa menipuku, Saraswati!” Tangan 

kanan kiri Joko bergerak ke depan. Saraswati tidak 

tinggal diam. Dia gulingkan tubuh lalu dengan kedua 

kakinya dia menghadang kedua tangan Joko.

Joko tertawa bergelak panjang. Kedua tangannya 

cepat ditarik pulang sedikit. Saat lain dikelebatkan lagi 

ke depan dengan jari-jari terbuka.

Tapp!

Kaki kiri Saraswati menghantam tempat kosong. 

Namun kaki kanannya yang bergerak menyusuli tiba-

tiba tertahan di udara. Gadis ini berteriak, karena ter-

nyata kakinya telah tertangkap kedua tangan Joko!

Joko angkat kedua tangannya yang telah memegang 

kaki Saraswati hingga mau tak mau celana yang dike-

nakan Saraswati turun ke bawah membuat pahanya 

terlihat jelas! Bukan sampai di situ saja, begitu celana 

Saraswati turun, tangan kanan Joko bergerak ke ba-

wah hendak mengelus paha si gadis.

Saraswati mendengus. Dadanya jadi panas. Dengan 

didahului bentakan keras, kaki kirinya diangkat lalu 

disapukan ke arah Joko.


Joko tarik pulang tangan kanannya lalu digerakkan 

ke kanan. Bukan untuk menghadang tendangan Sa-

raswati melainkan untuk menangkap kaki kiri si gadis. 

Saraswati terpekik.

Joko angkat kedua tangannya yang telah memegang 

kedua kaki Saraswati. Lalu kedua tangannya menyen-

tak ke bawah. Karena sentakan itu bukan sentakan 

biasa, melainkan telah dialiri tenaga dalam, maka saat 

itu juga kedua kaki Saraswati menghujam deras 

menghantam tanah. Begitu derasnya hujaman itu. 

hingga tubuh bagian atasnya terangkat!

Untuk kesekian kalinya dari mulut Saraswati ter-

dengar pekikan. Suara pekikannya belum sirna, kedua 

tangan Joko sudah bergerak lagi.

Brett! Brett!

Pakaian Saraswati robek menganga pada bagian 

dadanya hingga payudaranya terlihat sebagian! Saras-

wati menjerit tinggi. Gadis ini sudah tidak bisa mena-

han perasaan geram. Dia lipat gandakan tenaga da-

lamnya. Saat itu juga kedua tangannya disentakkan ke 

arah perut Joko yang masih tegak di hadapannya.

Wuutt! Wuutt!

Joko sunggingkan senyum. Kedua tangannya segera 

menyambut dua pukulan Saraswati.

Bukk! Bukkk!

Saraswati buka mulut perdengarkan keluhan tinggi. 

Sosoknya yang masih terduduk langsung terbanting ke 

atas tanah. Darah mengalir dari mulutnya. Wajahnya 

pucat pasi. Sementara Joko tidak bergeming dari ha-

dapannya, malah kini tertawa tergelak.

“Saraswati! Aku telah berbaik hati memberimu ke-

sempatan! Dan kesempatan itu masih berlaku untuk-

mu sekarang juga! Tapi kalau kau keras kepala, bukan 

aku tidak tega mengantarmu ke alam baka!”

Seraya berkata, sepasang mata Joko mendelik ke


arah dada Saraswati. Yang dipandang baru sadar, dan 

buru-buru angkat kedua tangannya untuk menutup 

dadanya.

“Jahanam! Ternyata kau bukan seperti manusia 

yang kubayangkan!” desis Saraswati dengan mata ber-

kilat-kilat. Kalau saja tidak maklum dengan keadaan 

dirinya, tentu dia sudah bergerak lepaskan pukulan.

Dengan tubuh bergetar menahan geram dan kece-

wa, Saraswati perlahan-lahan bangkit. Sepasang ma-

tanya memandang tajam pada bola mata Joko. Gadis 

ini merasa masih tidak percaya dengan apa yang baru 

saja dilakukan si pemuda pada dirinya.

“Aku salah menilai orang.... Tapi.... Aku rasanya ti-

dak bisa untuk.... Ah, mungkinkah aku masih meng-

harapkan manusia macam dia?!”

“Pendekar 131! Hari ini kau menang!” kata Saras-

wati setelah agak lama terdiam. “Tapi bukan untuk se-

lamanya! Aku tetap akan datang ke tempat ini! Dan in-

gat, kalau kau berbuat yang macam-macam pada ibu-

ku.... Apa pun akan kulakukan untuk membunuhmu!”

“Aku akan buktikan kebenaran ucapanmu, Saras-

wati! Kapan kau akan datang?!”

Saraswati tidak menyahut. Dia balikkan tubuh lalu 

berkelebat tinggalkan tempat itu. Sepasang matanya 

basah. Dadanya panas dan sesak. Rasa geram dan ke-

cewa membuncah jadi satu. Dia tidak tahu pasti apa

yang harus dilakukannya.

Joko pandangi kepergian Saraswati dengan bibir 

tersenyum. Begitu sosok Saraswati lenyap, dia balik-

kan tubuh lalu berkelebat ke balik salah satu pohon 

besar. Beberapa saat kemudian, dari balik pohon di 

mana tadi Joko menyelinap, perlahan-lahan muncul 

satu sosok tubuh. Dia adalah seorang laki-laki berusia 

lanjut. Rambutnya putih panjang. Dia bukan lain ada-

lah Kiai Laras!


Kiai Laras arahkan pandangannya berkeliling. Kepa-

lanya bergerak mengangguk. Saat lain dia berkelebat 

tinggalkan tempat itu.

***

Saraswati terus berkelebat. Namun sekonyong-

konyong satu suara terdengar.

“Aku menyesal mengatakannya, Saraswati! Tapi 

ibumu memaksaku....”

Saraswati tersentak. Dia hentikan larinya lalu ber-

paling. Karena tidak melihat siapa-siapa, akhirnya Sa-

raswati berteriak dengan tangan menangkup tutupi 

dadanya.

“Siapa kau?! Mengapa tidak tunjukkan diri?!”

Satu sosok tubuh tampak melayang dari atas se-

buah pohon. Dan tegak tujuh langkah di hadapan Sa-

raswati. Saraswati memperhatikan sejenak. Diam-diam 

gadis ini kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan-

nya yang berada di depan dadanya. Lalu berkata.

“Orang tua! Katakan siapa dirimu!”

Orang yang tegak di depan Saraswati ternyata ada-

lah Kiai Laras. Orang ini angkat bahu seraya menghela 

napas panjang sebelum akhirnya berkata.

“Kau tentunya sudah dengar dari percakapan ku

dengan ibumu! Jadi kurasa tidak ada gunanya aku 

menerangkan lagi....”

“Hem.... Jadi sebenarnya dia telah mengetahui ke-

hadiranku saat dia bercakap-cakap dengan Ibu.... Aku 

harus mendapat kepastian darinya. Rupanya dia tahu 

banyak tentang Pendekar 131 dan gurunya! Dan bu-

kan tertutup kemungkinan kalau dia adalah teman se-

kongkol murid dan guru itu!”

Berpikir begitu, Saraswati berkata, “Orang tua! Apa 

benar Pendeta Sinting berada dalam goa itu?!”


“Aku tidak pernah berkata dusta! Malah bukan cu-

ma Pendeta Sinting yang berada di dalam goa! Tapi ju-

ga ada seorang perempuan bekas kekasihnya!”

“Hem.... Kau rupanya tahu banyak tentang mereka! 

Siapa kau sebenarnya?!”

“Aku bukan siapa-siapa! Aku....”

“Kalau kau bukan temannya mereka, tidak mung-

kin kau tahu begitu banyak!” Saraswati sudah memo-

tong ucapan Kiai Laras.

“Saraswati.... Semua orang adalah temanku! Dan 

itu pun sudah pernah kukatakan pada ibumu! Hanya 

saja.... Ibumu tidak mau turuti saran ku! Bahkan dia 

memaksaku dan mengancam keselamatanku.... Jadi 

terpaksa aku mengatakan apa adanya! Dengan kea-

daanmu yang begitu rupa, aku sedikit banyak bisa 

menduga apa yang telah terjadi! Sayang sekali, aku ta-

di tidak melihat kemunculanmu di sekitar tempat ini! 

Jika aku mengetahuinya, tentu aku akan menghalan-

gimu....”

Saraswati makin rapatkan kedua tangannya yang 

menutup dadanya. Malah sesekali matanya melirik ke 

bawah khawatir kalau-kalau sekitar dadanya masih 

ada yang terbuka.

Melihat sikap Saraswati, Kiai Laras tersenyum lalu 

berujar.

“Saraswati.... Aku tak bisa menduga apa yang di-

alami ibumu. Hanya kalau kau mau kusarankan, lebih 

baik kau tak usah datang lagi ke Bukit Kalingga! Tem-

pat itu masih terlalu berat untuk dihadapi selama 

Pendekar 131 dan gurunya masih berada di situ!”

“Orang tua! Bukannya aku tak mau turuti saran 

mu, tapi demi selamatkan nyawa ibuku, apa pun akan 

kulakukan!”

“Aku hanya sekadar memperingatkan.... Tapi kalau 

kau sudah memutuskan, terserah padamu.... Dan ada


satu hal yang perlu kuberitahukan padamu! Ini sema-

ta-mata karena aku juga punya seorang anak gadis se-

baya denganmu....”

Saraswati kerutkan kening. Kiai Laras melirik se-

bentar lalu berkata. “Ucapan ibumu tentang pemuda 

bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng 

benar adanya! Dia bukan pemuda yang patut diberi 

perasaan! Bagi pemuda macam dia, mampus adalah 

satu hal yang tepat! Aku tahu benar siapa dia sebe-

narnya, Saraswati.... Kalau selama ini dunia persilatan 

dan banyak gadis cantik mengaguminya, itu karena 

mereka tidak tahu! Kalau tidak salah pandang, aku 

menduga kau juga tertarik pada pemuda itu! Benar?!”

“Orang tua! Harap kau tidak sangkut pautkan uru-

san ini dengan urusan pribadiku!”

Kiai Laras menggeleng. “Tidak bisa begitu, Saraswa-

ti! Bagaimanapun juga nantinya urusan pribadimu 

akan ikut terlibat! Malah mungkin urusan pribadimu 

inilah yang akan menjadi pangkal sebab urusan men-

jadi besar dan berlarut-larut! Maka dari itu, kusaran-

kan padamu untuk melupakan pemuda itu!”

Habis berkata begitu, Kiai Laras balikkan tubuh. 

Sebelum dia bergerak pergi, orang tua ini masih buka 

mulut. “Kalau kau memang hendak lakukan apa saja, 

kuharap kau berhati-hati! Jangan percaya pada uca-

pannya! Bukan tidak mungkin satu saat nanti dia 

akan mungkir bila jumpa denganmu! Aku bisa berkata 

begini, karena aku telah lihat buktinya!”

“Orang tua! Tunggu!” seru Saraswati tatkala melihat 

Kiai Laras berkelebat pergi. Namun Kiai Laras tidak 

pedulikan teriakan Saraswati. Dia terus berkelebat dan 

lenyap di depan sana.

“Tanpa saran orang tua itu pun aku sudah tahu 

siapa Pendekar 131 sebenarnya! Dan sekarang aku 

pun tahu apa yang harus kulakukan!”


Saraswati menghela napas sejenak dengan mata di-

pejamkan. Gadis ini tersentak sendiri. Karena tiba-tiba 

muncul bayangan Pendekar 131! Saraswati buru-buru 

buka kelopak matanya. Lalu teruskan kelebatan tu-

buhnya.

***

EMPAT



Empat bayangan itu berlari laksana dikomando. 

Mereka berlari dengan sebelah tangan luruh ke bawah, 

sementara tangan satunya ke atas. Keempatnya berlari 

dengan dua orang berada di depan, sedang dua lainnya 

berjajar di belakang. Tepat di tengah antara dua orang 

yang berjajar di depan dan di belakang, tampak kain 

merah mengapung berkibar-kibar di udara.

Pada satu tempat, mendadak orang di sebelah de-

pan yang berada di sisi kanan angkat tangan kirinya. 

Serempak keempatnya hentikan larinya masing-

masing. Saat bersamaan, kepala masing-masing orang 

bergerak tengadah. Lamat-lamat telinga masing-

masing mendengar senandung nyanyian tidak jelas.

Keempat orang ini tidak menunggu lama. Beberapa 

saat kemudian, dari arah depan tampak satu sosok 

tubuh sedang melangkah perlahan-lahan seraya ber-

jingkat. Keempat orang serempak gerakkan kepala 

masing-masing lurus ke depan dengan mata sama 

membeliak tak berkesip.

Orang di depan sana, tiba-tiba putus nyanyiannya 

seraya berhenti. Kepalanya terangkat. Sepasang ma-

tanya memandang ke depan. Orang ini ternyata seo-

rang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian 

putih-putih. Rambutnya agak panjang, sedikit acak


acakan diikat dengan ikat kepala warna putih. Tangan 

kirinya terangkat sejajar kepala dengan jari kelingking 

masuk ke dalam lobang telinganya.

Si pemuda sesaat pandangi keempat orang yang te-

gak di seberang depan. Namun seolah tidak melihat 

apa-apa, pemuda ini tengadahkan kepala. Saat yang 

sama kedua kakinya bergerak teruskan langkah den-

gan jari ditusuk-tusukkan ke lobang telinganya, hingga 

saat dia melangkah, terlihat wajahnya meringis dan 

kakinya berjingkat-jingkat seolah geli keenakan!

Keempat orang yang berada di seberang si pemuda 

tampak saling gerakkan kepala saling pandang satu 

sama lain. Empat orang ini ternyata adalah empat 

orang laki-laki bertubuh tinggi besar. Raut wajah mas-

ing-masing orang hampir mirip satu dengan lainnya. 

Keempat orang ini bermuka lonjong ke bawah hingga 

mulut mereka laksana tidak membelah ke samping, 

melainkan ke bawah! Mata masing-masing orang pun 

tidak membentuk ke samping melainkan membujur ke 

bawah. Kepala mereka gundul. Keangkeran tampang 

orang-orang ini makin terlihat karena mereka bertelan-

jang dada dan hanya mengenakan celana kolor!

Lelaki di sebelah depan bagian kanan mengenakan 

celana kolor warna merah. Sementara yang di sebelah 

depan bagian kiri memakai celana kolor warna hitam. 

Di sebelah belakang bagian kanan mengenakan celana 

kolor warna kuning, sedang yang di sebelah kiri me-

makai celana kolor berwarna hijau.

Tangan masing-masing orang yang terangkat ke 

atas ternyata memegangi sebatang bambu besar yang 

dilintangkan pada pundak masing-masing membujur 

dari depan ke belakang. Di tengah dua batangan bam-

bu besar, tampak sebuah tandu tertutup kain berwar-

na merah. Dalam rimba persilatan, keempat laki-laki 

pemanggul tandu ini dikenal dengan Tokoh-tokoh


Penghela Tandu.

Ketika si pemuda telah berada sejarak lima langkah 

di depan Tokoh-tokoh Penghela Tandu, empat orang ini 

sama gerakkan kepala memandang ke depan. Heran-

nya, si pemuda seolah acuh saja. Dia teruskan langkah 

sambil berjingkat-jingkat kegelian! Malah dia tidak 

memandang pada Tokoh-tokoh Penghela Tandu meski 

saat melintas lewat di samping Tokoh-tokoh Penghela 

Tandu!

Masing-masing dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu 

sama gerakkan mulut hendak angkat bicara. Namun 

laki-laki bercelana kolor merah yang berada di depan 

bagian kanan yang tampaknya menjadi pemimpin ang-

kat tangan kirinya kembali memberi isyarat hingga 

masing-masing orang urungkan niat untuk buka sua-

ra.

Begitu laki-laki bercelana kolor warna merah angkat 

tangan kirinya, orang ini langsung perdengarkan sua-

ra.

“Pemuda tak dikenal! Hentikan langkahmu!”

Si pemuda yang tidak lain adalah Pendekar Pedang 

Tumpul 131 Joko Sableng putar tubuh setengah ling-

karan seraya hentikan langkah. Namun begitu, kepala 

masih tengadah dengan mata memandang ke langit. 

Paras wajahnya meringis! Karena jadi kelingkingnya 

masih masuk ke lobang telinganya!

“Katakan siapa kau dan sebut apa gelarmu!” Laki-

laki bercelana kolor warna merah kembali perdengar-

kan suara membentak.

Pendekar 131 tarik pulang tangan kirinya dari telin-

ga. Kepala lurus menghadap keempat orang di hada-

pannya. Bibirnya tersenyum sebelum akhirnya buka 

suara.

“Kalau tidak salah lihat, bukankah orang-orang 

yang di hadapanku ini adalah orang-orang hebat yang


dikenal dengan gelar Tokoh-tokoh Penghela Tandu?!”

Laki-laki bercelana kolor warna merah melirik pada 

ketiga orang di samping dan belakangnya. Lalu berka-

ta.

“Kau telah mengenali kami! Sekarang tiba giliranmu 

jawab pertanyaanku!”

“Kau bertanya. Pasti akan kujawab! Tapi katakan 

dahulu mengapa kau tanya siapa diriku?! Apakah hal 

itu ada perlunya bagi kalian?!”

Keempat orang di hadapan Joko sama putar diri 

hingga keempatnya menghadap tepat ke arah murid 

Pendeta Sinting.

“Kau tak usah banyak bicara! Jawab saja perta-

nyaanku!” Laki-laki bercelana kolor merah kembali te-

lah menyahut dengan suara makin keras.

Joko gelengkan kepala. “Setiap sesuatu ada sebab-

nya. Kalau kalian tak ada yang mau sebut apa sebab-

nya kalian bertanya, akibatnya kalian tak akan men-

dapat jawaban pertanyaan!” Murid Pendeta Sinting 

kembali gerakkan kepala tengadah.

“Melihat tampang dan cirinya, jangan-jangan dia 

orangnya!” gumam si celana kolor warna merah. Dia 

melirik ke samping. Ketiga orang di depan dan di sebe-

lahnya sama berpaling dan anggukkan kepala masing-

masing.

Karena agak lama tidak ada yang buka suara, mu-

rid Pendeta Sinting angkat tangan kirinya. Jari ke-

lingking dimasukkan ke lobang telinga. Saat bersa-

maan tubuhnya berputar. Lalu enak saja dia bergerak 

hendak melangkah.

Laki-laki bercelana kolor warna merah sudah buka 

mulutnya yang membujur ke bawah. Tapi sebelum su-

aranya terdengar, terdengar ketukan tiga kali dari da-

lam tandu yang tertutup tirai kain warna merah.

Laki-laki bercelana kolor warna merah kancingkan


mulut kembali. Saat yang sama keempat orang ini ge-

rakkan bahu masing-masing. Tangan mereka yang 

memegangi bambu di pundak perlahan mendorong ke 

atas.

Dua lintangan bambu besar yang di tengahnya ter-

dapat tandu tiba-tiba terangkat ke udara. Tokoh-tokoh 

Penghela Tandu serempak membuat gerakan. Dan ta-

hu-tahu mereka telah tegak berjajar sejarak empat 

langkah dari tempat tadi mereka berada.

Dua lintangan bambu yang membawa tandu perla-

han-lahan melayang turun ke bawah. Bersamaan den-

gan sampainya lintangan bambu di atas tanah, tirai 

tandu terbuka. Satu sosok tubuh melesat keluar dan 

tegak di hadapan murid Pendeta Sinting dengan tata-

pan berkacak pinggang.

“Siapa pun adanya kau, harap sebutkan diri sebe-

lum tinggalkan tempat ini!” Orang yang baru melesat 

keluar dari dalam tandu sudah perdengarkan suara.

Pendekar 131 hentikan langkah. Kepalanya lurus. 

Mendadak sepasang matanya bergerak membesar ke

atas ke bawah menelusuri sekujur tubuh orang yang 

kini tengah tegak di hadapannya.

“Luar biasa...,” gumam murid Pendeta Sinting.

Orang yang dipandang sesaat terkesiap. Wajahnya 

serentak berubah. Tapi kejap lain sepasang matanya 

mendelik angker menatap balik pada Joko. Dia adalah

seorang gadis berparas luar biasa cantik mengenakan 

pakaian warna merah tipis dan ketat. Rambutnya pan-

jang diikat dengan pita yang juga berwarna merah.

“Melihat kecantikannya, tak salah kalau dunia per-

silatan menggelarinya Putri Kayangan....” Entah sadar 

atau tidak, Pendekar 131 bergumam dengan kepala di-

gelengkan seakan kagumi orang. Malah mulutnya 

sempat berdecak!

Gadis berparas luar biasa cantik yang selalu berada


di dalam tandu dan dipanggul Tokoh-tokoh Penghela 

Tandu memang sudah tidak asing lagi dalam rimba 

persilatan. Gadis ini digelari orang Putri Kayangan.

“Dia mengenaliku meski belum sempat berjumpa! 

Dia juga mengenali Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Itu 

satu bukti kalau dia salah seorang dari kalangan persi-

latan!” Diam-diam Putri Kayangan membatin seraya 

perhatikan sosok pemuda di hadapannya.

Tiba-tiba Putri Kayangan kerutkan dahi. “Apakah 

dia.... Hem, orang kadangkala punya ciri dan tampang 

sama! Aku harus dapat mengetahui siapa dia!” kata 

Putri Kayangan dalam hati, lalu berkata.

“Pemuda asing! Sekali lagi kuminta kau sebutkan 

siapa kau sebenarnya!”

Pendekar 131 kerdipkan sepasang matanya. Mulut-

nya membuka hendak jawab pertanyaan si gadis. Tapi 

sebelum suaranya terdengar, mendadak satu suara 

lain terdengar.

“Ada sesuatu yang lebih penting daripada sekadar 

tahu siapa adanya pemuda itu!”

Suara yang tiba-tiba terdengar belum sirna, satu 

sosok bayangan telah berkelebat lalu tegak di seberang

Pendekar 131.

Pendekar 131, Putri Kayangan serta Tokoh-tokoh 

Penghela Tandu sama gerakkan kepala masing-

masing. Mereka melihat seorang perempuan berusia 

lanjut berwajah cekung dengan kulit mengeriput. Ne-

nek ini berambut putih lebat dengan mata jereng be-

sar. Dia mengenakan pakaian kain panjang berwarna 

biru bersaku dua. Pada saku sebelah kanan terlihat 

sebuah sapu tangan besar berwarna merah.

Pendekar 131 perhatikan dengan seksama nenek 

yang baru muncul. “Menurut keterangan Saraswati 

waktu di depan Istana Hantu, nenek ini bukan lain 

adalah Ratu Pewaris Iblis! Kemunculannya di sini pasti


hendak lanjutkan urusannya dengan Putri Kayan-

gan....”

Seperti diketahui, beberapa waktu yang lalu, Joko 

sempat jumpa dengan Saraswati yang waktu itu masih 

menyamar dan perkenalkan diri sebagai Raka Pradesa. 

Saat itu Joko sedang menyelidik Istana Hantu. Raka 

Pradesa alias Saraswati memberi keterangan siapa 

adanya keempat orang penghela tandu juga siapa gadis 

berparas cantik yang berada di dalam tandu. Juga me-

nerangkan siapa adanya si nenek yang pada saku pa-

kaiannya membekal sapu tangan besar berwarna me-

rah. Hingga tak heran kalau Joko sudah mengenali 

siapa saja orang yang kini berada di hadapannya 

meski mereka belum pernah bertemu. Pendekar 131 

juga tahu kalau antara Putri Kayangan dengan Ratu 

Pewaris Iblis punya silang sengketa. (Lebih jelasnya si-

lakan baca serial Joko Sableng dalam episode : “Ger-

bang Istana Hantu”).

“Ratu Pewaris Iblis!” desis Putri Kayangan. “Bagai-

mana tahu-tahu dia muncul di sini?! Apakah selama 

ini tanpa sepengetahuanku dia selalu mengikuti lang-

kahku? Padahal setelah kegagalan memasuki Istana 

Hantu pada beberapa waktu yang lalu, aku tidak 

punya perjanjian apa-apa dengannya lagi! Hem.... Lalu 

apa maksud ucapannya tadi...?! Apa yang dikatakan-

nya lebih penting?!”

“Ratu Pewaris Iblis!” kata Putri Kayangan. “Setelah 

kegagalan kita dahulu, kurasa di antara kita sudah ti-

dak ada perjanjian apa-apa! Tapi ucapanmu tadi mem-

buatku sedikit heran! Harap kau mau terangkan apa 

maksud ucapanmu tadi!”

Ratu Pewaris Iblis menyeringai lalu tertawa menge-

keh. Namun mendadak si nenek putus suara tawanya. 

Sepasang matanya menatap satu persatu pada orang 

yang berada di tempat itu. Saat matanya memandang


Putri Kayangan, nenek ini langsung angkat bicara.

“Putri Kayangan! Saat ini di antara kita tidak ada 

perjanjian apa-apa! Maka jangan menyesal kalau aku 

tidak bisa terangkan apa maksud ucapanku kalau kau 

tidak mengerti!”

Habis berkata begitu, Ratu Pewaris Iblis tersenyum 

dingin. Lalu arahkan pandangan matanya pada murid 

Pendeta Sinting. “Aku yakin manusia inilah Pendekar 

131! Anak manusia yang telah mendapatkan beberapa 

kitab sakti dan baru saja menggegerkan Kedung Ombo! 

Lebih-lebih lagi dia baru saja mendapatkan senjata 

dahsyat milik bekas penguasa Kampung Setan!” Ratu 

Pewaris Iblis mendongak. “Dari pertanyaan Putri 

Kayangan, gadis itu rasanya belum mengenal siapa 

pemuda ini! Aku memerlukan pemuda itu! Dan itu be-

rarti Putri Kayangan dan kambratnya harus enyah dari 

sini!”

Ratu Pewaris iblis memandang pada Putri Kayangan 

yang saat itu tengah berpikir dan bertanya-tanya apa 

maksud ucapan Ratu Pewaris Iblis. Saat lain si nenek 

telah berujar,

“Putri Kayangan! Kurasa kau tidak sengaja berhenti 

di sini!”

“Ucapanmu aneh!” sahut Putri Kayangan. “Katakan 

terus terang apa maumu sebenarnya!”

Ratu Pewaris Iblis tertawa pendek. Seraya alihkan 

pandangan matanya, dia berkata. “Teruskan perjala-

nanmu!”

Putri Kayangan balik tertawa. Sementara Joko 

hanya diam sambil tidak alihkan pandangan matanya 

dari sosok Putri Kayangan. Di seberang sana, Tokoh-

tokoh Penghela Tandu sudah merasa geram menden-

gar ucapan Ratu Pewaris Iblis. Malah secara serempak 

keempat orang ini telah kerahkan tenaga dalam.

“Ratu Pewaris Iblis!” ujar Putri Kayangan. “Boleh


aku tahu kenapa kau mengusirku dari tempat ini?! 

Bukankah selama ini kita saling bersahabat dan tidak 

ada silang sengketa?!”

“Ini dunia persilatan! Kau boleh menganggapku se-

bagai sahabat, tapi tak ada yang menyalahkan ku ka-

lau aku menganggapmu sebaliknya! Dan jangan kau 

harap bisa tahu mengapa harus pergi dari sini! Kau 

hanya perlu lakukan ucapanku tanpa harus bertanya!”

Meski sudah merasa geram dengan ucapan si ne-

nek, namun Putri Kayangan masih menindihnya. Dia 

berpaling pada Pendekar 131. “Tampaknya nenek itu 

ada urusan dengan pemuda ini tanpa harus diketahui 

orang lain! Hem.... Kalau pemuda ini seperti dugaanku,

aku tahu pasti apa urusannya!”

Setelah membatin begitu, Putri Kayangan angkat 

suara.

Ratu Pewaris Iblis! Kau punya urusan dengan pe-

muda ini?!” Putri Kayangan lirikkan matanya pada 

murid Pendeta Sinting.

Ratu Pewaris Iblis bantingkan kaki kanan seraya 

membentak garang. “Kau tak perlu bertanya! Kau 

hanya perlu angkat kaki dari sini!”

“Nenek sialan! Kurobek mulutmu!” Tiba-tiba laki-

laki bercelana kolor warna merah berteriak. Saat lain 

sosoknya berkelebat dan tahu-tahu telah tegak lima 

langkah di hadapan Ratu Pewaris Iblis.

Tiga orang laki-laki dari Tokoh-tokoh Penghela Tan-

du tidak tinggal diam. Ketiganya serentak berkelebat 

dan tegak berjajar di sebelah si celana kolor merah.

Ratu Pewaris Iblis tertawa panjang. “Rupanya kalian 

anjing-anjing yang setia! Aku tanya, apa imbalan yang 

kalian terima hingga begitu setia?! Tubuh montok-

nya?!”

Paras wajah Putri Kayangan seketika berubah me-

rah mengelam. Tubuhnya bergetar dengan tenggorokan


turun naik. Sepasang matanya mendelik berkilat.

“Nenek gila! Tak kusangka jika mulut tuamu begitu 

kotor!”

Mendengar ucapan Putri Kayangan, Ratu Pewaris 

Iblis bukannya marah. Sebaliknya makin perkeras ge-

lakan tawanya sebelum akhirnya berujar.

“Ini dunia persilatan! Banyak hal yang tidak diduga 

sangka tiba-tiba terjadi! Kalau kau tidak segera angkat 

kaki, kematian yang sebelumnya juga tidak kau sang-

ka akan menjadi bagianmu!”

“Jahanam setan!” teriak laki-laki bercelana kolor 

merah. Sosoknya melesat ke depan. Kedua tangannya 

bergerak lepaskan satu pukulan.

“Tak ada gunanya aku berada di sini! Mereka pasti

tidak tahu apa yang saat ini sedang kuselidiki!”

Pendekar 131 melirik pada Putri Kayangan dan Ra-

tu Pewaris Iblis. Saat bersamaan dia gerakkan kaki 

melangkah tinggalkan tempat itu.

“Kita masih punya urusan, Anak Muda! Jangan be-

rani melangkah!” Tiba-tiba Ratu Pewaris Iblis memben-

tak. Kedua tangannya terangkat lalu dihantamkan ke 

depan menghadang kedua tangan si celana kolor me-

rah yang telah sampai di depan hidungnya!

***

LIMA



BUKK! Bukkk!

Terdengar benturan keras tatkala tangan kiri kanan 

laki-laki bercelana kolor merah bentrok dengan kedua 

tangan Ratu Pewaris Iblis. Laki-laki salah satu dari To-

koh-tokoh Penghela Tandu itu tersurut dua langkah ke 

belakang. Dadanya yang terbuka terlihat turun naik


dengan keras. Tampangnya yang angker berubah ma-

kin menyeramkan! Di hadapannya si nenek tampak 

mundur satu langkah dengan menyeringai.

Di sebelah samping, murid Pendeta Sinting tampak 

hentikan langkah. Memandang sekilas pada Ratu Pe-

waris Iblis lalu berpaling pada Putri Kayangan. Dia ter-

senyum seraya angkat bahu. Di seberangnya, Putri 

Kayangan tampak hendak paksakan untuk balas se-

nyuman. Namun diurungkan tatkala mendadak ter-

dengar bentakan tiga kali berturut-turut.

Berpaling, tampaklah tiga laki-laki dari Tokoh-tokoh 

Penghela Tandu telah melesat ke depan. Belum sampai

lesatan tubuh masing-masing orang sampai di hada-

pan Ratu Pewaris Iblis, ketiganya sudah lepas pukulan 

jarak jauh bertenaga dalam kuat.

Terdengar beberapa kali desingan keras. Saat lain 

tampak beberapa gelombang dahsyat menghampar ga-

nas ke arah Ratu Pewaris Iblis.

Sesaat Ratu Pewaris Iblis tampak terkesiap. Namun 

di lain kejap kedua tangannya telah tertarik ke bela-

kang. Didahului bentakan keras, kedua tangan si ne-

nek bergerak mendorong ke depan.

Bummm! Bummm!

Tempat itu laksana dilanda gempa luar biasa. Bebe-

rapa pukulan yang saling beradu di udara mencipta-

kan muncratan nyala api sebelum akhirnya bertabur 

lenyap. Sosok Ratu Pewaris Iblis terdorong sampai tiga 

langkah dengan terhuyung-huyung. Paras wajahnya 

yang mengeriput makin melipat dan pias laksana tidak 

berdarah. Untuk sesaat si nenek periksa keadaan di-

rinya. Begitu sadar kalau tidak mengalami cedera da-

lam, dia cepat kerahkan tenaga dalam.

Di depan sana, tiga laki-laki dari Tokoh-tokoh 

Penghela Tandu tampak tegak dengan tubuh hampir 

melorot jatuh setelah terseret tujuh langkah. Tampang


ketiganya pias. Sejurus ketiganya saling berpandangan 

lalu memberi isyarat dengan anggukkan kepala.

Putri Kayangan tampak mendengus geram melihat 

apa yang telah dialami beberapa pembantunya. Dia se-

gera berkelebat. Namun Pendekar 131 telah melompat 

memotong gerakan si gadis.

“Putri Kayangan. Kuharap kau mau lakukan apa 

yang dikehendaki nenek itu!”

Putri Kayangan berpaling ke jurusan lain seraya 

berkata. “Ini urusanku! Harap kau tidak buka suara 

memberi saran!”

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala perlahan 

meski dia tahu si gadis tidak melihatnya. “Kau telah 

dengar. Dia tidak punya urusan apa-apa denganmu! 

Malah dia bilang punya urusan denganku....”

“Hem.... Lalu apa sebenarnya hubunganmu dengan 

nenek gila itu?!” tanya Putri Kayangan tanpa berpaling.

“Aku sendiri tidak tahu! Aku baru mengenalnya dis-

ini! Aku menduga dia salah lihat! Mungkin dia punya 

urusan dengan orang yang mirip denganku! Tapi bisa 

saja ucapannya tadi hanya alasan. Sementara tujuan 

sebenarnya dia ingin kenal denganku dan naksir pa-

daku! Itulah nasib jelekku.... Di mana-mana yang nak-

sir cuma nenek-nenek!”

Kepala Putri Kayangan berpaling. Untuk beberapa 

lama gadis cantik ini pandangi Joko dengan mata me-

nyipit membelalak. Diam-diam dalam hati dia berkata.

“Siapa sebenarnya pemuda ini?! Dia seakan tidak 

peduli dengan apa saja! Malah menganggap remeh 

urusan!”

Setelah membatin begitu, Putri Kayangan berujar. 

“Kalau nenek gila itu benar-benar naksir kau, kau 

sendiri bagaimana?!”

Belum sampai murid Pendeta Sinting menjawab, 

dari arah seberang Ratu Pewaris Iblis telah membentak. “Apa yang kalian bicarakan, hah?!!

“Aku bilang padanya, meski kau sudah berusia lan-

jut, tapi tetap kelihatan cantik!” jawab Joko lalu ang-

gukkan kepala pada Putri Kayangan. Putri Kayangan 

diam saja meski bahunya sedikit berguncang menahan 

geli. Sebaliknya raut wajah Ratu Pewaris Iblis tampak 

mengelam. Saat lain tiba-tiba nenek ini melesat ke de-

pan. Bukan ke arah murid Pendeta Sinting, melainkan 

menyongsong ke arah laki-laki bercelana kolor merah 

yang tegak sendirian terpisah dari tiga Tokoh-tokoh 

Penghela Tandu.

Si laki-laki bercelana kolor merah rupanya sadar, 

dia tidak mungkin mampu hadapi Ratu Pewaris Iblis 

sendirian. Karena Tokoh-tokoh Penghela Tandu ini ba-

ru bisa tangguh jika lakukan serangan berempat. Hal 

ini rupanya telah diketahui oleh Ratu Pewaris Iblis. 

Hingga begitu melihat si celana kolor merah terpisah, 

dia segera melesat. Dengan begitu, tiga lainnya nanti 

akan mudah diatasinya.

Laki-laki bercelana kolor merah cepat berkelebat ke 

samping. Belum sampai kakinya menginjak tanah, 

tangan kirinya melambai. Tiga laki-laki dari Tokoh-

tokoh Penghela Tandu segera melesat berbarengan.

Laki-laki bercelana kolor hitam tahu-tahu telah te-

gak di belakang si celana kolor merah. Sementara laki-

laki bercelana kolor warna kuning tegak di samping si

celana kolor merah. Sementara si celana kolor hijau 

sendiri di belakang si celana kolor kuning.

“Barisan Naga Iblis!” tiba-tiba si laki-laki bercelana 

kolor merah berteriak. Saat bersamaan keempat laki-

laki berkepala gundul ini serempak bergerak memben-

tuk jalur ke kanan dan kiri saling bersilangan. Inilah 

jurus andalan Tokoh-tokoh Penghela Tandu yang ter-

kenal dengan jurus ‘Barisan Naga Iblis’. Hanya bebera-

pa tokoh saja yang mampu menghindar dari jurus ‘Barisan Naga Iblis’, karena jika lawan lolos dari sergapan 

orang yang paling depan, maka orang di belakangnya 

akan segera menggebrak. Demikian seterusnya berpu-

tar-putar hingga jika lawan lengah sedikit, maka tak 

ampun lagi nyawanya akan putus!

Melihat apa yang dilakukan Tokoh-tokoh Penghela 

Tandu, Ratu Pewaris Iblis urungkan niat untuk te-

ruskan kelebatannya. Dia cepat jejakkan kaki. Sosok-

nya melesat mundur. Saat bersamaan tangan kanan-

nya menyambar sapu tangan pada saku pakaian pan-

jangnya. Sapu tangan warna merah agak besar inilah 

yang dalam rimba persilatan dikenal dengan Sapu 

Tangan Iblis.

Ratu Pewaris Iblis angkat tangan kanannya yang 

memegang Sapu Tangan Iblis. Sepasang matanya me-

mandang tak berkesip dengan mulut menyeringai ke 

arah ‘Barisan Naga Iblis’ yang terus bergerak cepat ke 

arahnya.

Begitu berada satu tombak di hadapan Ratu Pewa-

ris Iblis, tiba-tiba Tokoh-tokoh Penghela Tandu perce-

pat kelebatan tubuh masing-masing. Hingga sosok 

keempatnya hanya merupakan bayangan yang berge-

rak saling bersilangan.

Ratu Pewaris Iblis tidak berani bertindak ayal. Dia 

juga tidak berani menerobos masuk ‘Barisan Naga Ib-

lis’. Karena nenek ini maklum, untuk menerobos ‘Bari-

san Naga Iblis’, diperlukan tenaga dalam berlipat-lipat 

untuk menghadang setiap pukulan yang datang susul 

menyusul dan bergelombang.

Ratu Pewaris Iblis menunggu. Begitu ‘Barisan Naga 

Iblis’ berada empat langkah di hadapannya, dia mele-

sat mundur. Saat bersamaan tangan kanannya yang 

memegang Sapu Tangan Iblis menyentak.

Wuutt!

Satu warna merah menderu angker ke arah Tokoh


tokoh Penghela Tandu.

Tokoh-tokoh Penghela Tandu cepat angkat tangan 

masing-masing, lalu serempak mereka sentakkan ke 

depan. Wuuut! Wuutt! Wuutt! Wuutt!

Empat gelombang luar biasa dahsyat bergelombang 

menyongsong ke depan dari empat jurusan!

Blamm! Blamm! Blamm! Blamm!

Terdengar empat kali ledakan keras. Sosok Ratu 

Pewaris Iblis mental ke belakang dengan tangan kanan

yang memegang Sapu Tangan Iblis tersentak dan ter-

putar keras ke belakang. Malah kalau saja nenek ini 

tidak segera dapat kuasai diri niscaya Sapu Tangan Ib-

lis akan lepas dari genggaman tangannya! Sosoknya 

terhuyung-huyung dan bergetar keras.

Sementara di seberang depan, begitu terdengar le-

dakan pertama, si laki-laki bercelana kolor warna me-

rah tampak mencelat lalu terkapar di atas tanah den-

gan mulut kucurkan darah! Saat lain laki-laki yang 

bercelana kolor warna hitam tersapu deras ke belakang 

sampai beberapa tombak sebelum akhirnya jatuh ter-

jengkang dengan mulut megap-megap keluarkan da-

rah! Kemudian disusul dengan melayangnya sosok la-

ki-laki bercelana kolor warna kuning sebelum akhirnya 

juga jatuh bergulingan jauh di belakang. Yang terakhir 

adalah sosok laki-laki bercelana kolor warna hijau. La-

ki-laki ini terdorong ke belakang. Karena di belakang 

sana sudah tiga sosok yang terkapar, saat sosoknya 

terdorong ke belakang, kakinya tampak menyambar 

laki-laki bercelana kolor warna kuning, hingga tak am-

pun lagi sosok laki-laki bercelana hijau terhenti den-

gan terbanting tidak jauh dari si celana kolor warna 

kuning!

Ratu Pewaris Iblis tampaknya tidak mau menunggu 

lama. Begitu melihat Tokoh-tokoh Penghela Tandu sa-

ma berkaparan, sosok si nenek membuat satu gerakan. Tubuhnya melesat ke udara. Dari atas udara, 

tangan kanannya yang menggenggam Sapu Tangan Ib-

lis kembali berkelebat mengibas. Yang dituju adalah si 

celana kolor warna merah.

Wuutt!

Untuk kedua kalinya warna merah berkiblat angker.

Saat bersamaan, Ratu Pewaris Iblis tarik pulang 

tangan kanannya, lalu serta-merta tangan kanannya 

dikebutkan ke arah laki-laki bercelana hitam. Begitu 

warna merah telah berkiblat, si nenek terus kebutkan 

Sapu Tangan Iblis ke arah laki-laki bercelana kolor 

warna kuning. Dan terakhir kalinya, bersamaan den-

gan mendaratnya kedua kaki si nenek di atas tanah, 

tangan kanannya bergerak mengibaskan Sapu Tangan 

Iblis ke arah laki-laki bercelana kolor warna hijau! 

Hingga saat itu juga empat warna merah tampak ber-

kiblat susul menyusul ke arah masing-masing Tokoh-

tokoh Penghela Tandu!

Masing-masing Tokoh-tokoh Penghela Tandu tam-

pak tersentak kaget karena mereka sedang hendak 

bergerak bangkit dan belum kerahkan tenaga dalam. 

Namun melihat bahaya sudah di depan mata, mereka 

sekuat tenaga cepat kerahkan tenaga dalam lalu sama 

menghadang warna merah pukulan si nenek dengan 

angkat kedua tangan masing-masing.

Dari tangan masing-masing Tokoh-tokoh Penghela 

Tandu tampak menghampar gelombang angin. Namun 

karena masing-masing orang telah terluka bagian da-

lam, gelombang yang melesat dari tangan masing-

masing orang ini tidak begitu dahsyat.

“Celaka!” desis Putri Kayangan. Gadis ini tampak 

kebingungan. Tidak mungkin baginya menghadang 

empat warna merah yang datang ke arah masing-

masing laki-laki Tokoh-tokoh Penghela Tandu.

Dalam puncak kebingungannya, Putri Kayangan


akhirnya melesat ke depan. Karena yang dilabrak ter-

lebih dahulu oleh pukulan si nenek adalah laki-laki 

bercelana kolor warna merah, gadis ini akhirnya sen-

takkan kedua tangannya menghadang pukulan yang 

mengarah pada si celana kolor warna merah.

Murid Pendeta Sinting sendiri sejenak tampak bim-

bang. Dia tidak tahu harus berbuat apa! Namun begitu 

melihat Putri Kayangan telah melepas pukulan meng-

hadang warna merah yang mengarah pada si celana 

kolor warna merah, akhirnya Joko ikut melesat ke de-

pan. Kedua tangannya disentakkan.

Wuuutt! Wuutt!

Joko sadar, sapuan warna merah yang melesat dari 

Sapu Tangan Iblis tidak bisa dihadang dengan tenaga 

sembarangan. Maka begitu kedua tangannya bergerak, 

dia langsung lepaskan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’. 

Hingga saat itu juga keadaan di tempat itu disemburati 

warna merah yang menghampar dari Sapu Tangan Ib-

lis dan warna kuning yang melesat dari kedua tangan 

murid Pendeta Sinting!

Blarr! Biaarr! Blarr! Blarr:

Untuk kedua kalinya terdengar ledakan dahsyat 

empat kali susul menyusul. Sosok Ratu Pewaris Iblis 

seketika tersapu deras ke belakang dan jatuh terjeng-

kang di atas tanah dengan mulut semburkan darah!

Putri Kayangan sendiri terhuyung-huyung dan 

hampir saja melorot jatuh. Dadanya bergerak keras tu-

run naik. Di sebelahnya, laki-laki bercelana kolor war-

na merah bergulingan setelah memekik tinggi. Dari 

mulut dan hidungnya tampak belepotan darah. Jelas 

laki-laki ini terluka dalam cukup parah! Malah sean-

dainya saja Putri Kayangan tidak segera menghadang 

pukulan yang mengarah padanya, mungkin nyawanya 

sulit ditolong!

Sementara tiga laki-laki Tokoh-tokoh Penghela


Tandu tampak terseret sampai satu tombak ke bela-

kang. Beruntung bagi laki-laki bercelana kolor warna 

hitam dan kuning karena pukulan yang dilepas murid 

Pendeta Sinting masih menghadang, hingga meski ke-

duanya tetap terluka, namun nyawanya masih sela-

mat! Namun tidak demikian halnya dengan si celana 

kolor warna hijau. Dia harus menghadang pukulan 

Sapu Tangan Iblis dengan tenaga dalamnya sendiri ka-

rena warna merah itu tidak sempat terpangkas puku-

lan ‘Lembur Kuning’ yang dilepas Pendekar 131! Hing-

ga begitu terdengar ledakan, sosok laki-laki bercelana 

kolor warna hijau tampak melenting jauh ke belakang 

sebelum akhirnya jatuh bergedebukan di atas tanah 

dengan nyawa melayang!

Pendekar 131 sendiri tampak tersurut dua langkah. 

Tangan kiri kanannya yang baru saja menghadang pu-

kulan sapu tangan si nenek tampak bergetar. Dia me-

rasakan kedua tangannya laksana baru saja bentrok 

dengan tembok tebal yang dialiri hawa panas luar bi-

asa. Hingga untuk beberapa saat Joko merasakan da-

rahnya laksana mendidih dan menyentak-nyentak!

Ketiga laki-laki berkepala gundul dari Tokoh-tokoh 

Penghela Tandu segera kerahkan tenaga dalam mas-

ing-masing. Ketiganya lalu sama berpaling. Mereka 

berniat akan lakukan penyerbuan lagi pada si nenek. 

Namun begitu melihat si celana kolor warna hijau ti-

dak bergerak-gerak lagi, ketiganya menjadi kalap. Tan-

pa pedulikan keadaan dari masing-masing yang telah 

terluka cukup parah, ketiganya serentak bangkit. Saat 

berikutnya, tanpa diduga sama sekali oleh Putri 

Kayangan, ketiganya sama melesat ke arah Ratu Pewa-

ris Iblis yang telah tegak dengan mengangkat tangan 

kanan acung-acungkan Sapu Tangan Iblis.

“Tahan serangan!” teriak Putri Kayangan. Namun 

teriakan si gadis terlambat. Ketiga orang itu telah sentakkan tangan masing-masing walau mereka sadar, 

tenaga dalam mereka sudah hampir habis.

Ratu Pewaris Iblis hadapi serangan ketiga orang di 

hadapannya dengan tersenyum dingin. Saat lain tan-

gan kanannya bergerak tiga kali di udara kebutkan 

Sapu Tangan Iblis.

Sudah sangat terlambat bagi Putri Kayangan untuk 

lepaskan pukulan, karena ketiga orang pembantunya 

itu telah lepaskan pukulan masing-masing dari arah 

dekat! Malah kalau saja Putri Kayangan lepas pukulan, 

tidak tertutup kemungkinan pukulannya akan meng-

hantam salah satu dari ketiga orang Tokoh-tokoh 

Penghela Tandu yang masih hidup itu. Hingga akhir-

nya gadis ini hanya bisa berteriak tanpa membuat ge-

rakan apa-apa!

Di belakang sana, murid Pendeta Sinting juga tam-

pak terlengak kaget melihat tindakan ketiga laki-laki 

pembantu Putri Kayangan. Dia sama sekali tidak men-

duga kalau ketiga orang itu akan berbuat nekat. Hing-

ga sudah sangat terlambat sekali bagi Joko untuk le-

paskan pukulan hadangan!

Begitu warna merah berkiblat, tiga gelombang yang 

melesat lemah dari tangan masing-masing Ketiga To-

koh-tokoh Penghela Tandu menyibak bertaburan ke 

samping kiri kanan. Saat yang sama ketiga laki-laki ini 

berseru tertahan. Sosok ketiganya sesaat laksana te-

gang kaku. Namun kejap lain sosok ketiganya mence-

lat tersapu dengan saling bertubrukan di atas udara. 

Begitu sosok mereka bertiga jatuh terkapar di atas ta-

nah, ketiga orang ini terlihat bergerak menggeliat. Tapi 

laksana disentak tangan setan, sosok ketiganya tiba-

tiba tegang kaku! Mulut masing-masing orang yang te-

lah berhamburan darah tampak menganga. Ketiga la-

ki-laki dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu ini putus 

nyawanya dengan tubuh hampir hangus.


Ratu Pewaris Iblis tengadahkan kepala. Mulutnya 

terbuka perdengarkan suara tawa kekehan panjang. 

Nenek ini masukkan sapu tangan merah ke dalam sa-

ku pakaiannya. Lalu melesat ke hadapan Putri Kayan-

gan.

Begitu sepasang kaki Ratu Pewaris Iblis menginjak 

tanah, tangan kirinya diangkat lurus ke arah Putri 

Kayangan.

“Saat ini aku masih memandang mu sebagai saha-

bat. Tapi pandanganku akan berbalik kalau kau tidak 

segera enyah dari sini!”

“Empat pembantuku telah kau bunuh! Aku tak 

akan tinggalkan tempat ini tanpa nyawamu melayang 

sebagai tebusan nyawa keempat pembantuku!”

Ratu Pewaris Iblis tertawa panjang. “Berarti kau in-

gin menyusul keempat anjingmu itu! Aku tak segan 

untuk mengantarmu menyusul mereka!”

Putri Kayangan kertakkan rahang. Saat itu juga dia 

berkelebat. Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-

tiba satu tangan telah melintang di hadapannya.

“Putri.... Aku tahu kau berilmu tinggi dan mampu 

menghadapi nenek itu! Tapi untuk saat ini kurasa bu-

kan saat yang baik untuk menghadapinya! Harap kau 

suka tinggalkan tempat ini!”

Putri Kayangan berpaling. Tampak Pendekar 131 

tersenyum sambil anggukkan kepala. Tangan kanan-

nya yang melintang menghalangi gerakan si gadis dita-

rik pulang.

“Pemuda tak dikenal! Harap kau tidak ikut urusan-

ku! Aku akan tinggalkan tempat ini setelah mengambil 

nyawa nenek gila itu sebagai imbalan keempat nyawa 

pembantuku!”

“Tapi.... Kau dalam keadaan tegang! Itu akan mem-

bahayakan keselamatanmu! Biarlah nenek itu kuha-

dapi! Aku tahu bagaimana caranya menghadapi seorang nenek! Lagi pula dia telah mengatakan punya 

urusan denganku!”

Putri Kayangan menyeringai. Kepalanya mengge-

leng. “Nyawa harus dibayar nyawa! Dan bayaran itu ti-

dak harus menunggu!”

Habis berkata begitu, Putri Kayangan berkelebat ke 

depan. Kedua tangannya serta-merta bergerak melepas 

satu pukulan!

“Bagus! Kau akan mengalami kenyataan yang sebe-

lumnya tidak kau duga!” desis Ratu Pewaris Iblis. Tan-

gan kanannya segera menyelinap ke dalam sakunya. 

Saat tangan kanannya diangkat, tampak Sapu Tangan 

Iblis telah berkibar-kibar di atas udara. Saat bersa-

maan, Ratu Pewaris Iblis telah kebutkan tangan ka-

nannya!

***

ENAM



Sebenarnya Pendekar 131 tak mau ikut campur 

urusan antara Ratu Pewaris iblis dengan Putri Kayan-

gan. Karena urusannya sendiri belum bisa diselesai-

kan. Apalagi Ratu Pewaris iblis mengatakan ada uru-

san dengannya. Kalau dia ikut-ikutan, bukan tidak 

mungkin Ratu Pewaris Iblis akan makin marah. Itu 

akan menambah kesulitan baginya. Namun begitu me-

lihat kedahsyatan Sapu Tangan Iblis yang ada di tan-

gan si nenek, dia jadi khawatir akan keselamatan Putri 

Kayangan. Maka begitu Ratu Pewaris Iblis telah ke-

butkan sapu tangannya, tanpa pikir panjang lagi mu-

rid Pendeta Sinting segera berkelebat sambil lepaskan 

pukulan sakti ‘Lembur Kuning’.

Blaar! Blaar!

Warna merah yang berkiblat dari sapu tangan Ratu

Pewaris Iblis membentur gelombang dahsyat yang 

mencuat dari kedua tangan Putri Kayangan dan ge-

lombang serta warna sinar kuning yang melesat dari 

kedua tangan murid Pendeta Sinting hingga akibatkan 

ledakan luar biasa dahsyat.

Tempat itu kembali laksana disapu topan. Tanah-

nya muncrat ke udara menutupi pemandangan. Bebe-

rapa jajaran pohon yang berada sekitar lima tombak 

dari tempat bentroknya pukulan bergetar keras. Bebe-

rapa di antaranya langsung terbongkar lalu tumbang.

Dua pukulan yang menghadang warna merah dari 

sapu tangan Ratu Pewaris Iblis membuat nenek ini 

terpelanting ke udara. Dari mulutnya sudah tampak 

kucurkan darah tanda dia telah terluka cukup dalam. 

Dalam keadaan seperti itu tubuh si nenek jatuh sete-

lah terlebih dahulu menghantam tanah agak tinggi 

yang berada di belakangnya.

Di bagian seberang, sosok Putri Kayangan tampak 

jatuh terduduk dengan tubuh tegang laksana tidak bi-

sa digerakkan! Aliran darahnya seperti disumbati hing-

ga untuk beberapa saat gadis ini diam kaku dengan 

mata sedikit membeliak! Tidak jauh dari tempat Putri 

Kayangan, murid Pendeta Sinting coba kuasai diri dari 

huyungan tubuh serta kedua lututnya yang goyah. 

Meski Joko selamat dari cedera, namun bukan berarti 

tidak mengalami akibat dari bentroknya pukulan. Ka-

rena bersamaan dengan itu dia merasakan dadanya 

sesak dan aliran darahnya panas serta menyentak-

nyentak!

Ratu Pewaris Iblis cepat mengatur jalan darahnya. 

Hingga kucuran darah yang menyembur dari mulutnya 

mampu ditahan. Saat lain nenek ini telah lipat ganda-

kan tenaga dalam lalu bergerak bangkit dengan mata 

jereng besar memandang angker ke depan.

Pendekar 131 cepat kerahkan tenaga dalam pula.


Lalu melompat dan tegak di samping Putri Kayangan 

yang coba himpun tenaga murni untuk menguasai diri 

dari luka dalamnya.

“Putri.... Bukankah lebih baik kau menghindar da-

hulu?! Kau telah terluka”

“Kalaupun aku harus mampus, aku rela! Asal ber-

sama-sama nenek gila itu!”

“Putri...! Kau hanya sia-siakan nyawa kalau bertin-

dak nekat!”

“Aku tak kenal siapa kau! Harap jangan terus me-

nerus menghalangiku!”

“Baiklah! Aku akan katakan siapa diriku! Tapi bu-

kan di sini tempatnya! Tunggulah aku kira-kira seratus 

tombak sebelah barat dari tempat ini! Aku akan sele-

saikan nenek itu lalu menyusulmu!”

Putri Kayangan memandang sejenak pada murid 

Pendeta Sinting. “Hem.... Dari sikap dan pukulannya, 

aku hampir yakin akan siapa dia sebenarnya! Sayang 

sekali nenek gila itu tiba-tiba muncul di sini! Untuk 

sementara, lebih baik aku turuti ucapan pemuda ini! 

Urusan dengan nenek gila itu bisa kuurus nanti!”

Membatin begitu, akhirnya Putri Kayangan berkata 

pelan. “Baik! Aku akan turuti ucapanmu! Aku me-

nunggumu di sebelah barat! Tapi kalau kau berkata 

dusta, kelak aku akan mencarimu!”

Habis berkata, Putri Kayangan putar diri. Saat lain 

setelah memandang satu persatu pada mayat empat 

pembantunya, dia berkelebat tinggalkan tempat itu.

Mendapati hal demikian, Ratu Pewaris Iblis tidak 

tinggal diam. Dia segera melompat ke depan. Tangan 

kanannya diangkat tinggi-tinggi siap kebutkan sapu 

tangan.

Pendekar 131 segera menghadang. “Nek! Dia telah 

lakukan apa yang kau minta.... Harap tidak teruskan 

tindakan!”


Ratu Pewaris Iblis memandang Pendekar 131 Joko 

Sableng dengan mata mendelik. Lalu beralih pada so-

sok Putri Kayangan yang terus berkelebat. Meski tan-

gan kanannya urung bergerak kebutkan sapu tangan-

nya, namun nenek ini buka suara dengan keras.

“Putri Kayangan! Kau telah membuat satu urusan 

denganku! Kalau saat ini nyawamu lolos, itu hanya ter-

tundanya kematianmu beberapa saat!” Ratu Pewaris 

Iblis lalu tertawa panjang.

Namun laksana disabet setan, mendadak si nenek 

putuskan tawanya. Matanya yang jereng kini menatap 

murid Pendeta Sinting. Kejap lain mulutnya terkuak 

perdengarkan bentakan garang.

“Pemuda sialan! Kau murid Pendeta Sinting bu-

kan?!”

“Kalau aku tidak berterus terang, mungkin urusan 

ini jadi panjang! Lagi pula aku ingin tahu apa sebenar-

nya kemauan nenek ini!” pikir Joko dalam hati, lalu 

berkata.

“Ucapanmu benar, Nek!”

“Hem.... Bagus! Aku tahu.... Kau telah memperoleh 

kitab sakti! Tapi untuk saat ini aku tidak tertarik den-

gan kitab itu!” Ratu Pewaris Iblis hentikan ucapannya. 

Bibirnya tersenyum. Dia sengaja hentikan ucapannya 

untuk melihat bagaimana sikap orang begitu menden-

gar ucapannya.

Pendekar 131 sesaat terdiam dengan dahi berkerut. 

Namun belum sampai dia dapat menentukan arah bi-

cara orang, Ratu Pewaris Iblis telah buka mulut lagi.

“Pendekar 131! Kau telah memperoleh banyak reze-

ki! Bagaimana kalau kau berikan padaku salah sa-

tunya?! Tidak baik bukan, seseorang serakah memiliki 

banyak rezeki?!”

“Nek! Kita baru kali ini bertemu. Adalah menghe-

rankan kalau kau mengatakan aku punya banyak rezeki! Apa kau tidak salah ucap? Atau jangan-jangan 

kau salah meminta!”

“Mataku tidak buta! Telingaku masih bisa menden-

gar! Kau tak usah banyak bicara!”

“Hem.... Begitu?! Mau katakan rezeki apa yang hen-

dak kau minta dariku?!”

“Aku hanya minta Kembang Darah Setan!”

Meski sedikit banyak bisa menduga sebelumnya, 

begitu mendengar ucapan si nenek, tak urung murid 

Pendeta Sinting tersentak juga. “Berarti kabar tentang 

Kembang Darah Setan itu telah menebar dalam kalan-

gan rimba persilatan! Edan betul! Aku kena getahnya!” 

Diam-diam Joko membatin. Lalu berkata pelan.

“Nek...! Aku jadi sangsi. Apakah telingaku tidak sa-

lah dengar dengan ucapanmu?”

“Terserah telingamu salah dengar atau tidak! Yang 

pasti kau telah dengar permintaanku!” Ratu Pewaris 

Iblis melangkah sambil angkat tangan kanannya yang 

menggenggam Sapu Tangan Iblis. Begitu mendapat tiga 

tindak, tangan kirinya menjulur ke depan membuat 

gerakan meminta.

“Kembang Darah Setan! Serahkan padaku! Jika ti-

dak.... Kau akan mengalami nasib seperti empat anj-

ing-anjing pembantu itu!” Tangan kiri Ratu Pewaris Ib-

lis bergerak menunjuk pada empat mayat Tokoh-tokoh 

Penghela Tandu.

“Nek...”

“Diam!” hardik si nenek. “Jangan berani buka mulut 

lagi!”

Pendekar 131 tidak hiraukan ancaman orang. Dia 

lanjutkan ucapannya. “Nek.... Terus terang saja! Aku 

tidak memiliki barang yang kau minta! Aku memang 

punya beberapa kembang, tapi Kembang Darah Setan 

tidak ada padaku!”

“Setan! Kau lancang bicara! Kalau kau memiliki beberapa kembang, sekarang kuminta semuanya!”

“Wah.... Mana bisa begitu? Kembang-kembang ini 

harus kuserahkan pada beberapa orang! Tapi kalau 

kau meminta, aku bersedia mencarikan untukmu!”

Ratu Pewaris Iblis menyeringai. “Aku tahu, Anak 

Muda! Kau hanya mempermainkan diriku! Dan perlu 

kau tahu, adalah tindakan tolol kalau kau berani per-

taruhkan nyawa demi sebuah kembang!”

“Ucapanmu benar, Nek! Adalah tindakan tolol kalau 

pertaruhkan nyawa demi sebuah kembang! Tapi kalau 

aku tidak membawa kembang itu bagaimana?! Apakah 

tindakan orang yang meminta pada orang yang tidak 

punya bukan lebih tolol lagi?!”

Ratu Pewaris Iblis perdengarkan dengusan keras. 

Dengan masih acungkan tangan kanan, dia berteriak.

“Aku bicara satu kali lagi! Serahkan kembang itu 

secara baik-baik atau kau inginkan aku mengambilnya 

dengan caraku sendiri!”

“Ah.... Cara bagaimana yang akan kau lakukan, 

Nek?! Aku bisa menduga, sebagai orang yang berusia 

lanjut, tentu kau banyak pengalaman dan pasti cara-

mu asyik....”

Ratu Pewaris Iblis tak dapat menahan perasaan 

mendengar ucapan murid Pendeta Sinting.

“Kau rupanya sudah bosan hidup!” teriak si nenek. 

Saat bersamaan sosoknya melesat ke depan. Tangan 

kanannya bergerak kebutkan sapu tangan, sementara 

tangan kirinya ikut menyentak ke depan.

Wuutt! Wuutt!

Gelombang angin dahsyat disertai menghamparnya 

warna merah menderu ganas dengan keluarkan suara 

bergemuruh angker.

Murid Pendeta Sinting tidak berani bertindak ayal. 

Ganasnya gelombang yang datang menunjukkan kalau 

si nenek telah kerahkan hampir segenap tenaga dalamnya! Apalagi masih ditambah dengan berkiblatnya 

warna merah yang kedahsyatan akibatnya telah dike-

tahui murid Pendeta Sinting.

Pendekar 131 segera kerahkan tenaga dalam ham-

pir seluruhnya pada kedua tangannya. Saat itu juga 

kedua tangannya berubah menjadi kuning. Saat lain 

kedua tangannya didorong ke depan.

Blaarrr!

Ledakan kali ini sungguh luar biasa dahsyat. Sosok 

Ratu Pewaris Iblis langsung terpental sampai tiga tom-

bak dengan mulut perdengarkan pekikan tinggi. So-

soknya jatuh berlutut dengan hidung dan mulut kelua-

rkan darah. Rupanya cedera dalam yang dialami si ne-

nek waktu menghadapi Tokoh-tokoh Penghela Tandu 

serta bentrokan pukulannya dengan Putri Kayangan 

serta murid Pendeta Sinting sebelum ini membuat Ra-

tu Pewaris Iblis harus menerima kenyataan pahit. Ka-

rena luka dalamnya makin parah dan kucuran darah-

nya makin deras.

Murid Pendeta Sinting sendiri tampak jatuh terdu-

duk. Namun dia bisa segera bangkit berdiri. Memang 

masih terhuyung-huyung dan wajahnya pucat pasi 

serta dadanya berdenyut sakit. Namun dia tidak men-

galami cedera terlalu parah.

“Tidak ada gunanya melayani dia! Aku harus segera 

tahu urusan pelik ini! Jika tidak, aku akan makin di-

buru orang, padahal aku tidak tahu urusannya!”

Joko melirik sejenak pada Ratu Pewaris Iblis. Saat 

lain dia putar tubuh lalu berlari tinggalkan si nenek.

Ratu Pewaris Iblis sebenarnya tahu akan kepergian 

murid Pendeta Sinting. Namun si nenek masih berpikir 

panjang. Adalah berisiko besar dalam keadaan terluka 

begitu rupa jika berkelebat mengejar dan lakukan se-

rangan. Hingga si nenek hanya memandang dengan 

hati panas dan memaki panjang pendek.


TUJUH


Di balik lindungan satu batang pohon besar berja-

rak seratus tombak sebelah barat tempat di mana 

Pendekar 131 dan Ratu Pewaris Iblis bertempur, Putri 

Kayangan mulai tampak cemas. Apalagi tidak berse-

lang lama telinganya lamat-lamat masih bisa menden-

gar ledakan.

Gadis berparas luar biasa cantik ini sebentar-

sebentar arahkan pandangannya ke arah timur. Kedua 

tangannya saling meremas dengan dada berdebar. En-

tah mengapa tiba-tiba gadis ini sangat mengkhawatir-

kan keselamatan murid Pendeta Sinting. Kalau pertu-

rutkan kata hati, ingin rasanya dia segera mengham-

bur kembali ke tempat Pendekar 131. Tapi mengingat 

ucapan dan janji murid Pendeta Sinting yang segera 

akan menyusulnya, gadis ini akhirnya tabahkan hati 

bersabar menunggu meski kian lama perasaan cemas 

itu makin mendera lebih dalam.

Setelah ditunggu agak lama dan yang ditunggu be-

lum juga muncul, kekhawatiran Putri Kayangan makin 

menjadi-jadi. “Apa yang terjadi dengan pemuda itu?! 

Mengapa dia tidak segera muncul di sini? Mendengar 

ledakan tadi, pasti mereka selesaikan urusan dengan 

jalan kekerasan. Hem.... Apa benar dia adalah Pende-

kar Pedang Tumpul 131 yang menurut sebagian orang 

saat ini telah mendapatkan Kembang Darah Setan...? 

Kalau benar, apa aku harus teruskan niat untuk men-

gambil kembang itu dari tangannya?!”

Putri Kayangan menghela napas panjang. “Mengapa 

kau selalu khawatir dengan dirinya? Apa yang terjadi 

dengan diriku?! Aku.... Aku tak pernah mengkhawatir-

kan orang seperti saat ini!” Gadis cantik ini kembali 

arahkan pandang matanya ke arah timur. “Apa yang


harus kulakukan sekarang? Apakah aku harus me-

nunggu tanpa kepastian jelas? Ataukah aku harus 

menyusulnya ke sana?!”

Putri Kayangan melangkah mondar-mandir dengan 

mata tak berkesip memandang ke jurusan timur. Dan 

setelah lama menunggu tidak juga muncul orang yang 

ditunggu, akhirnya Putri Kayangan bergumam sendiri.

“Firasat ku mengatakan ada sesuatu yang tidak 

beres! Terpaksa aku harus kembali ke sana?!”

Putri Kayangan segera keluar dari balik batang po-

hon. Lalu berlari ke arah timur. Namun belum sempat 

si gadis gerakkan tubuh berkelebat, satu sosok bayan-

gan berkelebat dan tegak di seberang depan sana.

Putri Kayangan terkesiap. Sepasang kakinya berge-

rak mundur satu tindak dengan paras berubah ngeri. 

Sepasang matanya membelalak besar memperhatikan 

tak berkesip.

“Rasanya aku hampir tidak percaya ada manusia 

macam dia!” desis Putri Kayangan. Sekali lagi dia per-

hatikan dengan seksama seolah belum percaya dengan 

pandangannya.

Orang di seberang depan gerakkan kepala. Mulut-

nya perdengarkan suara.

“Kau menunggu seseorang?! Dari tadi kulihat si-

kapmu gelisah!”

Putri Kayangan makin terkejut mendapati ucapan 

orang yang jelas menunjukkan jika dia telah memper-

hatikan si gadis sejak tadi tanpa diketahuinya.

“Siapa kau?!” Putri Kayangan angkat bicara.

Orang di seberang sana yang ternyata adalah seo-

rang laki-laki gerakkan kepala menggeleng. Dia adalah 

laki-laki yang usianya bisa dipastikan lanjut. Rambut-

nya putih awut-awutan. Mengenakan pakaian besar 

kedodoran. Sepasang matanya besar. Namun bukan 

itu saja yang membuat Putri Kayangan hampir tidak


percaya pada pandang matanya. Malah kalau saja 

orang ini tidak perdengarkan suara, mungkin Putri 

Kayangan masih belum percaya kalau yang dihada-

pinya saat itu masih manusia adanya. Karena ternyata 

sekujur tubuh laki-laki ini tidak dilapis daging sama 

sekali. Sosoknya hanya merupakan kerangka! Dia bu-

kan lain adalah Setan Liang Makam. Seorang tokoh 

yang dahulu bernama Maladewa. Generasi terakhir da-

ri Kampung Setan yang terpendam selama tiga puluh 

enam tahun di makan batu.

“Siapa yang kau tunggu?!” Setan Liang Makam aju-

kan tanya.

Putri Kayangan tidak segera menjawab. Setan Liang 

Makam menyeringai lalu tertawa bergelak. Puas ta-

wanya dia perdengarkan suara lagi.

“Aku bertanya padamu! Kau pernah melihat seorang 

pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131?!”

Putri Kayangan terkesiap kaget. Wajahnya langsung 

berubah. “Pasti urusannya sama dengan nenek gila 

itu!” Diam-diam dada gadis cantik ini makin cemas.

Dan tanpa sengaja pandangannya beralih ke jurusan

timur. Kalau tadi dia mengharap munculnya murid 

Pendeta Sinting, kali ini dia mengharap sebaliknya. 

Sedikit banyak rupanya Putri Kayangan sudah dapat 

menebak apa maksud Setan Liang Makam. Dia juga 

merasa maklum kalau orang di hadapannya bukan 

orang sembarangan. Kehadirannya yang tak bisa dike-

tahui membuktikan semua itu!

“Mengapa kau tanya padaku?!” tanya Putri Kayan-

gan.

“Kau adalah seorang gadis cantik jelita! Kudengar, 

pemuda bergelar Pendekar 131 selalu dikagumi bebe-

rapa gadis. Siapa tahu kau adalah salah satunya. Ma-

ka, mungkin kau tahu di mana dia berada!”

Wajah Putri Kayangan sekilas berubah merona merah mendengar pujian orang. Namun mengingat kece-

masannya, rona merah sirna seketika berganti dengan 

wajah membayangkan kekhawatiran.

“Aku tidak pernah mengagumi seorang pemuda! Ka-

rena aku telah punya pilihan! Jadi kau mungkin salah 

bertanya padaku!”

Setan Liang Makam arahkan pandangannya pada 

Putri Kayangan. “Kau tidak perlu khawatir.... Aku 

mencarinya bukan ada masalah! Justru aku ingin 

memberi saran padanya!”

Putri Kayangan sejenak tampak bimbang. “Aku be-

lum pernah mengenalnya! Dia juga belum katakan sia-

pa dirinya! Mana mungkin aku harus percaya pada 

ucapannya...? Apalagi urusan Kembang Darah Setan 

adalah urusan dunia persilatan. Jadi tak mungkin 

maksudnya hanya sekadar memberi peringatan!” 

membatin Putri Kayangan. Lalu berkata dengan bibir 

sunggingkan senyum untuk tutupi keterkejutannya.

“Kalau aku tahu, aku akan katakan padamu meski 

aku belum tahu siapa kau! Aku tidak peduli kau hen-

dak memberi saran atau membunuhnya!”

“Aku Setan Liang Makam!” ujar Setan Liang Makam. 

“Kau benar-benar tidak tahu?!”

Putri Kayangan gelengkan kepala. “Aku memang 

pernah mendengar nama orang yang kau cari! Tapi 

aku belum pernah jumpa dengannya!”

“Baik...,” ujar Setan Liang Makam seraya balikkan 

tubuh. “Tapi kau ingat, jika ucapanmu tadi kelak ke-

nyataannya terbalik, kau akan menyesal!”

Habis berkata begitu, Setan Liang Makam berkele-

bat ke arah utara. Putri Kayangan cepat berkelebat ke 

arah timur dengan dada makin cemas. Namun baru 

saja sosoknya bergerak, samar-samar matanya me-

nangkap bayangan berkelebat dari arah depan.

Putri Kayangan serta-merta hentikan kelebatannya


dengan menarik napas panjang. Matanya membesar 

dengan bibir tersenyum. Dadanya yang tadi dilanda 

kecemasan tiba-tiba sirna. Dan seolah tak sabar, begi-

tu matanya merasa yakin siapa adanya orang yang 

berlari dari arah depan, dia segera lanjutkan lari me-

nyongsong.

“Pendekar 131! Kau....” Putri Kayangan tidak lan-

jutkan ucapannya. Mungkin karena terlalu cemas, be-

gitu dekat dengan sosok yang berlari di depan, Putri 

Kayangan segera menghambur dan pegangi lengan 

orang yang ternyata bukan lain adalah murid Pendeta 

Sinting. Namun begitu sadar akan tindakannya, gadis 

cantik ini lepaskan pegangan tangannya malah dia ti-

dak lanjutkan ucapan.

Murid Pendeta Sinting sendiri sejurus tampak kaget 

dengan sikap Putri Kayangan. “Ternyata dia telah tahu 

siapa diriku! Jadi dia tadi hanya pura-pura! Dasar pe-

rempuan.... Di depan orang pura-pura tak kenal! Ta-

pi....”

“Kau tidak apa-apa?!” tanya Putri Kayangan mem-

buat Joko putus kata hatinya.

Murid Pendeta Sinting tersenyum. “Sudah kubilang 

tadi, aku tahu bagaimana caranya menghadapi seo-

rang nenek-nenek!”

Putri Kayangan hadapkan wajah ke jurusan lain. 

Tiba-tiba wajahnya kembali cemas. Joko tampak ker-

nyitkan dahi.

“Parasmu berubah! Ada apa?!”

“Kita harus segera tinggalkan tempat ini!”

“Hai! Kau belum mengatakan ada apa?!”

“Bukan di sini tempatnya bertanya!” Putri Kayangan 

balikkan tubuh. Lalu melangkah. Namun merasa mu-

rid Pendeta Sinting belum juga beranjak dari tempat-

nya, Putri Kayangan berpaling. “Harap kau suka turuti 

ucapanku! Karena aku tadi telah ikuti saran mu!”


Habis berkata begitu, Putri Kayangan cepat berlari. 

Meski tidak tahu apa yang dimaksud Putri Kayangan, 

akhirnya Joko berlari menyusui di belakang si gadis.

***

“Kau Pendekar 131, bukan?!” Putri Kayangan sudah

ajukan tanya begitu gadis ini berhenti pada satu tem-

pat. Lalu putar tubuh menghadap Joko yang tadi tegak 

di belakangnya.

“Dari pertanyaanmu, berarti kau tadi hanya men-

duga-duga!” ujar murid Pendeta Sinting. “Kalau sean-

dainya aku bukan, bagaimana?! Dan kalau aku benar 

orang yang kau duga, bagaimana?!”

Putri Kayangan menghela napas dalam. Sesaat dia 

tatapi murid Pendeta Sinting. “Kalau seandainya kau 

bukan, aku hampir tak percaya! Seandainya dugaanku 

benar, maka berhati-hatilah!”

“Apa maksud ucapanmu?!”

“Sebelum kujawab, jawab dahulu pertanyaanku. 

Kau Pendekar 131 atau bukan!”

Sejurus murid Pendeta Sinting berpikir. Lalu ang-

gukkan kepala seraya berkata.

“Dugaanmu benar!”

Putri Kayangan sekali lagi memperhatikan dengan 

seksama. Namun sejauh ini dia tidak buka mulut, 

membuat murid Pendeta Sinting jadi gelisah.

“Apakah dia meragukan diriku? Apakah dia sebe-

lumnya pernah melihat orang yang mirip denganku se-

perti yang pernah dialami Dewi Seribu Bunga?!” Joko 

berpikir dalam hati. Dia hendak menanyakan pada Pu-

tri Kayangan. Namun setelah dipikir sekali lagi, murid 

Pendeta Sinting urungkan niat. Hingga untuk bebera-

pa lama dia menunggu sambil memandang pada gadis


di hadapannya.

“Kau mengenal orang bergelar Setan Liang Ma-

kam?!” tanya Putri Kayangan setelah agak lama ter-

diam.

Saking kagetnya, Joko hampir saja surutkan lang-

kah. “Apa hubunganmu dengan orang itu?!” Joko balik 

ajukan tanya dengan dada berdebar.

Putri Kayangan gelengkan kepala. “Aku bertanya! 

Jangan kau balik bertanya sebelum menjawab perta-

nyaanku!”

“Aku pernah jumpa dengannya satu kali! Aku tidak 

paham benar siapa dia adanya! Justru aku heran di-

buatnya!”

“Dia meminta sesuatu darimu?!” tanya Putri Kayan-

gan lagi.

“Gadis ini rupanya tahu banyak!” batin Joko seraya 

anggukkan kepala.

“Hem.... Dugaanku tidak salah!” gumam Putri 

Kayangan. “Berarti Setan Liang Makam tadi berkata 

dusta padaku!”

“Apakah nenek gila tadi juga melakukan hal sa-

ma?!”

Sekali lagi murid Pendeta Sinting anggukkan kepa-

la. Lalu berujar pelan.

“Apa kau juga hendak meminta sesuatu dariku se-

perti apa yang mereka minta?!”

Putri Kayangan terdiam. Rupanya murid Pendeta 

Sinting dapat membaca sikap si gadis. “Sebelum terjadi 

apa-apa antara kita, kusarankan padamu untuk tidak 

meminta apa-apa dariku! Aku tidak memiliki apa yang 

selama ini orang pikir berada padaku!”

“Hem.... Aku merasa aneh dengan diriku...,” kata 

Putri Kayangan dalam hati. “Sebelum bertemu den-

gannya, aku sudah bertekad untuk mendapatkan 

Kembang Darah Setan! Tapi begitu aku jumpa dengannya, tiba-tiba pikiranku berubah.... Kembang Da-

rah Setan sepertinya bukan barang berharga lagi bua-

tku.... Aku.... Aku lebih senang pertemuan ini diband-

ing dengan mendapatkan Kembang Darah Setan.... 

Ucapan Setan Liang Makam ada benarnya. Pemuda ini 

banyak dikagumi beberapa gadis! Apakah aku sebe-

narnya juga tertarik padanya...?!”

“Pendekar 131! Aku....”

Sebelum Putri Kayangan teruskan ucapannya, mu-

rid Pendeta Sinting telah menukas. “Panggil saja Joko! 

Namaku Joko Sableng....”

Putri Kayangan tersenyum. Lalu lanjutkan ucapan-

nya yang tadi terputus. “Aku tidak akan meminta apa-

apa darimu! Tapi tak ada salahnya bukan aku ber-

tanya?!”

“Sepanjang aku bisa menjawab, aku akan buka su-

ara!”

“Saat ini rimba persilatan telah banyak yang tahu 

kalau Kembang Darah Setan berada di tanganmu! Aku 

jadi heran kalau kau mengatakan tidak memilikinya!”

“Kalau kau heran, aku malah heran tiga kali! Itulah 

sebenarnya yang saat ini menjadi beban pikiranku! 

Banyak orang menduga aku memiliki Kembang Darah 

Setan! Padahal, melihatnya pun aku belum pernah! 

Dan justru dengan kabar yang tersiar itu, aku bebera-

pa kali harus mengalami nasib buruk dan hampir-

hampir saja celaka!”

“Bagaimana bisa begitu?!”

“Aku tak bisa jawab pertanyaanmu ini! Karena saat 

ini aku sedang cari jawaban pertanyaanmu itu! Melihat

saja belum pernah tapi kabar yang tersiar, aku telah 

memiliki Kembang Darah Setan”

Murid Pendeta Sinting melangkah lalu bertanya. 

“Apa kau tahu cerita tentang Kembang Darah Setan?!”

“Aku hanya mendengar jika Kembang Darah Setan


adalah senjata dahsyat yang pernah dimiliki oleh seo-

rang tokoh dari Kampung Setan! Dan Kembang Darah 

Setan itu sekarang ada di tanganmu!”

Pendekar 131 hentikan langkahnya. “Putri Kayan-

gan.... Harap kau percaya padaku! Aku tidak memiliki 

Kembang Darah Setan! Apa yang saat ini tersiar adalah 

berita bohong!”

Habis berkata begitu, Pendekar 131 berpaling. “Aku 

harus segera pergi!”

“Tunggu!” teriak Putri Kayangan seraya melompat 

menjajari. “Aku percaya padamu.... Dan kusarankan 

padamu agar kau berhati-hati! Aku baru saja jumpa 

dengan Setan Liang Makam! Dia mencarimu!”

Murid Pendeta Sinting sejenak tampak terkejut. Be-

lum sampai dia bertanya, Putri Kayangan telah berka-

ta.

“Kau tak keberatan bukan kalau aku ikut dengan-

mu?! Kurasa kau akan menyelidiki urusan ini!”

“Putri.... Ini bukan urusan biasa! Apalagi jika kabar 

telah tersiar ke mana-mana. Setiap saat nyawaku te-

rancam bahaya! Harap kau tidak ikut melibatkan diri!”

“Aku telah tahu dan mengerti risikonya! Semuanya 

sudah ku pikirkan! Harap kau tidak menghalangiku 

dan tidak merasa keberatan!”

“Tapi....”

“Kalau kau merasa keberatan, berarti kau telah 

mendapatkan Kembang Darah Setan”

“Baiklah!” kata Joko akhirnya. “Tapi kuharap kau 

nanti tidak menyesal!”

Wajah Putri Kayangan berubah. Bibirnya terse-

nyum. Dadanya berbunga. Di lain pihak, murid Pende-

ta Sinting menarik napas panjang. Sambil melangkah 

perlahan dia bergumam sendiri. “Mudah-mudahan dia 

nanti tidak membuat urusan makin runyam. Aku se-

benarnya menyesal.... Mengapa aku baru bisa bertemu


dengannya saat menghadapi masalah pelik begini?!”

“Kau memikirkan sesuatu?!” Putri Kayangan ajukan 

tanya begitu melangkah di samping Joko.

“Aku kecewa.... Mengapa kita harus bertemu saat 

aku menghadapi urusan sulit! Jika tidak, sudah tadi-

tadi aku mengajak mu ikut serta!”

Dada Putri Kayangan berdebar. Jika saja dia tidak 

ingat kalau si pemuda baru dikenalnya, mungkin dia 

sudah menggandeng tangan si pemuda dan menggeng-

gam tangannya.

“Putri.... Kau tahu ke mana arah Setan Liang Ma-

kam?!”

Putri Kayangan sedikit tersentak kaget karena saat 

itu dia sedang dalam lamunan. Hingga dia hanya ang-

kat tangan kanan menunjuk arah utara. Sementara 

wajahnya tampak merona merah.

“Kita harus menghindari dia sementara waktu!”

“Lalu ke mana sekarang kita melangkah?!”

“Itulah yang selalu membuatku bingung. Sampai 

saat ini aku belum bisa menentukan langkah pasti! 

Semua jalan laksana buntu! Padahal keadaanku sudah 

terpojok!”

“Kau mau menceritakan padaku semuanya?! Sete-

lah itu mungkin kita bisa bicarakan langkah yang ha-

rus kita lakukan!”

Mendengar ucapan Putri Kayangan, murid Pendeta 

Sinting memandang berkeliling.

“Kalau Setan Liang Makam baru saja berada di sini, 

berarti tempat ini tidak aman untuk bicara! Kita harus 

cari tempat yang aman! Aku akan ceritakan padamu!”

“Aku tahu tempat yang aman untuk bicara!” ujar 

Putri Kayangan.

“Apa ucapan gadis ini bisa dipercaya?!” Sesaat Joko 

meragu. “Ah.... Kalau dia berlaku macam-macam, apa 

boleh buat! Lagi pula daripada menghadapi si nenek


itu, lebih baik menghadapi dia!”

“Rupanya kau masih meragukan diriku....”

Pendekar 131 melengak kaget mendengar kata-kata 

Putri Kayangan. Belum sempat Joko buka suara, si 

gadis telah lanjutkan ucapannya.

“Terus terang. Pada mulanya aku memang berniat 

membuat perhitungan denganmu! Tapi setelah men-

dengar keteranganmu, niatku berubah! Jadi harap kau 

lenyapkan prasangka buruk terhadapku! Dan kalau-

pun kau masih menduga jelek, aku akan pergi tak jadi 

ikut denganmu!”

Habis berkata begitu, Putri Kayangan berkelebat. 

Namun kelebatannya sengaja dipelankan. Karena se-

benarnya gadis ini hanya berkata memancing dan in-

gin tahu.

Begitu melirik dan terlihat murid Pendeta Sinting 

berkelebat menyusul dirinya, baru Putri Kayangan per-

cepat kelebatan tubuhnya dengan bibir sunggingkan 

senyum!

***

DELAPAN



Di sebuah lereng bukit yang sepi dan berpeman-

dangan indah, Pendekar 131 Joko Sableng tampak te-

gak dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. 

Sementara tidak jauh dari tempat tegaknya Joko, Putri 

Kayangan duduk berlutut dengan mata terus memper-

hatikan pada sang Pendekar. Bibirnya terus sungging-

kan senyum.

“Pemuda ini benar-benar tampan.... Terus terang 

aku jatuh hati padanya! Namun apakah hal ini harus 

mengorbankan apa yang selama ini kucita-citakan?! 

Dan apakah keterangannya bisa kupercaya kalau

Kembang Darah Setan memang tidak berada padanya? 

Ah.... Aku harus lakukan sesuatu.... Ini adalah kesem-

patan baik!” Putri Kayangan membatin dalam hati.

“Joko.... Mendengar semua keteranganmu, kupikir 

aku juga punya pendapat sama! Ada seseorang yang 

memerankan sebagai dirimu dalam urusan ini!”

Joko berpaling. Mendadak sepasang mata murid 

Pendeta Sinting sedikit membesar. Karena dilihatnya 

Putri Kayangan telah rebah dengan sikap menggoda. 

Kaki sebelahnya ditekuk ke atas hingga pakaian ba-

wahnya menyingkap dan pahanya yang kencang serta

putih mulus terlihat jelas. Anehnya, si gadis seolah ti-

dak peduli. Malah enak saja dia mainkan kedua tan-

gannya. Sementara sepasang matanya melirik pada 

Joko.

“Kau punya pendapat apa yang harus kulakukan 

sekarang?!”

“Itu kita pikirkan nanti.... Aku punya seorang kena-

lan yang mungkin bisa memecahkan urusanmu!”

“Siapa?!” Joko langsung ajukan tanya.

“Ku sebut pun kau tak akan mengenalinya! Karena 

memang jarang orang yang mengenalinya meski dia 

berilmu sangat tinggi! Tapi lupakan dahulu soal itu...,” 

seraya berkata, Putri Kayangan angkat kaki satunya 

lagi. Karena kedua kakinya telah terangkat, maka ti-

dak ampun lagi pakaian bawahnya luruh hingga paha 

kedua kakinya terlihat jelas.

“Busyet! Dia sengaja atau tidak?!” kata Joko dalam 

hati seraya berpaling dengan dada berdebar.

Putri Kayangan melirik sekali lagi. Lalu gerakkan 

tubuhnya miring. Kaki kanan ditekuk di atas tanah 

sementara kaki kiri tetap menekuk di atas. Lalu kepa-

lanya diangkat dan ditopangkan pada tangan kanan-

nya yang ditekuk sebatas lengan.

“Joko.... Kau sudah punya kekasih?!” Putri Kayan


gan bertanya.

Perlahan-lahan murid Pendeta Sinting gerakkan ke-

pala menoleh. Karena saat itu Putri Kayangan meng-

hadap ke arahnya, maka terpaksa Joko hentikan eda-

ran matanya pada wajah si gadis, meski sedikit dia su-

dah dapat melihat posisi tubuh Putri Kayangan yang 

membuat dadanya makin berdebar.

Sambil tersenyum menutupi gejolak hatinya, Pen-

dekar 131 buka suara. “Aku memang kenal beberapa 

orang gadis, namun selama ini aku belum....”

“Semua laki-laki tentu akan berkata begitu! Aku 

sudah menduga apa lanjutan ucapanmu...!” Putri 

Kayangan memotong kata-kata Joko.

Sambil terus tersenyum, perlahan-lahan Putri 

Kayangan bergerak bangkit. Lalu melangkah mendeka-

ti murid Pendeta Sinting. Yang didekati tegak diam 

laksana patung. Putri Kayangan berhenti dua langkah 

di hadapan murid Pendeta Sinting.

“Kau berwajah tampan dan berilmu tinggi! Aku tak 

heran bila kenalan mu banyak gadis-gadis cantik! Dan 

terus terang saja, sejak pertemuan kita tadi, aku terta-

rik padamu....”

Ucapan terus terang Putri Kayangan membuat mu-

rid Pendeta Sinting tergagu. Dia hanya tegak dengan 

mulut terkancing. Namun Joko merasa ada keanehan. 

Tiba-tiba saja hidungnya mencium aroma sangat ha-

rum.

“Aku harus berhati-hati dengan perempuan ini! Ada 

yang aneh dengan sikapnya....”

“Ada sesuatu yang membuatmu gelisah?!” tanya Pu-

tri Kayangan masih dengan bibir tersenyum.

Murid Pendeta Sinting ikut tersenyum seraya ge-

lengkan kepala. Putri Kayangan angkat tangannya lalu 

diulurkan ke depan. “Kita hanya berdua di sini! Kau 

tak usah gelisah....” Putri Kayangan maju satu tindak.


Kedua tangannya kini merangkul pinggang Joko mem-

buat murid Pendeta Sinting makin berdebar.

“Putri.... Kita di sini perlu bicara urusan yang se-

dang kuhadapi....”

“Benar.... Tapi tidak salah bukan kalau kita lua-

ngkan waktu sedikit untuk bersenang-senang?! Lagi 

pula aku tahu bagaimana nanti selesaikan urusanmu!”

Sambil berkata begitu Putri Kayangan tarik kedua 

tangannya hingga tubuh Joko maju ke depan. Kedua-

nya kini saling bersentuhan. Joko makin rasakan aro-

ma bau harum.

Putri Kayangan sejenak memandang ke dalam bola 

mata murid Pendeta Sinting. Saat lain gadis ini telah 

dorong wajahnya ke depan. Joko tersedak kaget tatka-

la bibir Putri Kayangan telah menyentuh bibirnya.

Entah karena apa, tiba-tiba Joko lupa akan kewas-

padaannya. Malah begitu merasakan bibirnya tersen-

tuh bibir Putri Kayangan, dia segera menyambut. Ke-

dua tangannya pun segera bergerak memeluk pinggang 

si gadis.

Pendekar 131 tidak ingat berapa lama dia saling pe-

luk cium dengan Putri Kayangan. Yang pasti dirasa-

kannya, perlahan-lahan kepalanya pening. Dia coba 

membuka kelopak matanya dengan menarik wajah da-

ri wajah si gadis. Namun kepalanya laksana dipantek 

tak bisa digerakkan. Dia masih mencoba gerakkan ke-

dua tangannya yang memeluk pinggang Putri Kayan-

gan. Kedua tangannya memang lepas. Namun secara 

aneh luruh lunglai ke bawah. Bahkan bersamaan den-

gan luruhnya kedua tangannya, lututnya terasa goyah. 

Kejap lain tubuh Joko melorot jatuh dengan mata ter-

pejam rapat!

Murid Pendeta Sinting memang tidak pingsan. Dia 

masih dapat merasakan hembusan napas orang di 

sampingnya. Bahkan dia masih merasakan ada tangan


yang meraba-raba pada sekujur tubuhnya. Anehnya, 

dia tidak bisa membuka matanya. Dan sekujur tubuh-

nya lemas tak bisa digerakkan!

Joko coba pusatkan pikiran. Namun sia-sia. Hingga 

akhirnya dia pusatkan perhatian pada apa yang bisa 

dirasakan. Karena perlahan-lahan bajunya terasa di-

buka. Lalu ada tangan menyelinap ke balik pakaiannya 

yang terbuka. Dia juga mendengar gumaman. Namun 

tidak begitu jelas dan layaknya diperdengarkan dari 

tempat yang sangat jauh sekali.

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Joko mendengar 

suara bersinan berturut-turut panjang dan menggema. 

Bersamaan dengan terdengarnya suara bersinan, ra-

baan tangan pada tubuhnya terhenti. Joko masih me-

rasakan ada sesuatu yang tertarik dari dalam pa-

kaiannya.

“Pedang Tumpul 131!” Joko membatin. Dia hendak 

berteriak. Namun mulutnya kelu. Dia baru bisa buka 

mulut tatkala suara bersinan lenyap.

“Putri...,” hanya itu suara yang diucapkan mulut 

murid Pendeta Sinting. Pada saat yang sama sepasang 

matanya terbuka dan mementang besar.

“Apa yang terjadi dengan diriku?!” Joko cepat berge-

rak duduk. Kepalanya cepat berputar. Dia tidak meli-

hat lagi Putri Kayangan.

“Ke mana gadis itu?! Ada yang tidak beres! Aku 

mencium aroma harum. Lalu aku merasakan ciuman 

gadis itu. Tapi setelah itu aku hanya bisa merasakan 

tanpa bisa buka mulut dan mata! Malah tubuhku le-

mas.... Apa sebenarnya yang telah terjadi? Apa yang di-

lakukan Putri Kayangan?!”

“Bruss! Bruss! Bruss!”

Terdengar orang bersin tiga kali. Joko terlengak. 

“Aku ingat.... Dengan terdengarnya suara bersinan, ti-

ba-tiba aku bisa bergerak dan buka mulut serta buka


mata!”

Murid Pendeta Sinting cepat gerakkan kepala ke 

arah suara orang bersin. Di bawah sebatang pohon,

tampak duduk berlutut seorang laki-laki berusia lanjut 

dengan tangan berpegangan pada satu tongkat butut 

yang ditancapkan di sampingnya. Sementara tangan 

kirinya diletakkan di atas paha. Kepala orang ini berge-

rak pulang balik ke depan ke belakang dengan mimik 

meringis. Jelas kalau gerakan orang tua ini menunjuk-

kan kalau dia hendak bersin. Namun sejauh ini dia ti-

dak perdengarkan bersinan lagi.

“Datuk Wahing!” desis Joko mengenali siapa adanya 

orang tua di seberang sana. Namun Joko hanya sekilas 

memandang ke arah si kakek. Dia teringat kembali pa-

da Putri Kayangan. Dia kembali gerakkan kepala den-

gan mata mengedar berkeliling. Karena tak menemu-

kan orang yang dicari, Joko segera bergerak bangkit. 

Namun buru-buru Joko tahan gerakannya dan kemba-

li jatuhkan diri duduk di atas tanah dengan mengomel.

“Busyet! Siapa yang melepas tali celana ku?!” ujar 

Joko seraya mengikat tali celananya. Saat itulah dia 

baru sadar. Matanya mendelik mengedar ke sekeliling-

nya.

“Pedang Tumpul 131 lenyap!” gumam Joko. Lalu 

meraba-raba sampai lututnya. Tapi dia benar-benar ti-

dak menemukan pedang itu. “Apakah Putri Kayan-

gan....” Joko cepat bergerak bangkit. Lalu berkelebat 

mengitari tempat lereng bukit. Tapi sejauh ini dia tidak 

melihat sosok Putri Kayangan!

“Aku harus bertanya padanya!” Joko akhirnya me-

mutuskan dan melangkah ke arah orang tua yang du-

duk di bawah pohon dan bukan lain adalah Datuk 

Wahing adanya.

“Kek! Kau melihat seseorang di sini tadi?!”

Datuk Wahing hentikan gerakan pulang balik kepalanya. Sepasang matanya menatap Joko sekilas. Lalu 

kembali kepalanya telah bergerak pulang balik malah 

kali ini seraya perdengarkan bersinan tiga kali.

“Bruss! Bruss! Bruss! Yang kau tanyakan laki-laki 

apa perempuan?!” kata Datuk Wahing.

“Seorang perempuan, Keki”

“Gadis atau nenek-nenek?!”

“Gadis muda, Kek...!”

“Cantik atau jelek?!”

“Luar biasa cantik, Kek...!”

“Apa pakaian yang dikenakannya. Hijau, putih, 

kuning, atau hitam?!”

“Dia memakai baju warna merah....”

“Terlambat, Anak Muda! Dia telah pergi....”

“Celaka! Ke mana dia pergi, Kek...?!”

“Sayang.... Dia tidak mengatakannya padaku.... 

Bruss! Bruss! Bruss!”

“Tapi kau bisa menunjukkan arahnya!”

“Pada mulanya dia pergi ke arah selatan! Tapi aku 

tak yakin dia akan terus ke satu arah! Ada apa sebe-

narnya, Anak Muda?! Wajahmu tampak berubah! Dari 

celana mu tadi kurasa kau baru saja bersenang-

senang.... Mengapa kini jadi berbalik?!”

Tampang Joko merah padam. Dia cepat balikkan 

tubuh. Dan tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat.

“Bruss! Bruss! Bruuss! Percuma, Anak Muda! Aku 

yakin kau tidak akan bisa menemukannya!”

Murid Pendeta Sinting tahan gerakannya. Tanpa 

berpaling pada Datuk Wahing dia berkata. ‘Kau boleh 

merasa yakin, tapi aku juga yakin bisa menemukan-

nya!”

“Bruss! Kau salah menilai orang, Anak Muda! Pan-

danganmu masih kurang jeli! Dan kau harus siap me-

nerima kenyataan!”

Joko balikkan tubuh. “Kau mengenal gadis itu?!”


“Kau jangan heran. Aku tidak mengenalnya! Tapi 

aku tahu siapa dia! Dan kuharap kau tidak merasa he-

ran pula kalau aku tanya adakah sesuatu yang hilang 

darimu?!”

“Pedangku lenyap! Aku hampir yakin gadis itu telah 

mengambilnya! Aku harus segera mengejar!”

Joko balikkan tubuh lagi, lalu berkelebat. Namun 

bersamaan itu satu benda tiba-tiba melayang dan me-

nancap tepat di hadapan Joko. Tongkat butut Datuk 

Wahing!

“Bruss! Bruss! Aku yakin kau berilmu tinggi! Tapi 

adalah mengherankan kalau kau berhasil mengejar 

gadis itu!”

Joko terpaksa urungkan niat berkelebat karena ge-

rakannya terhalang oleh tongkat Datuk Wahing. Joko 

putar diri dan memandang lekat-lekat pada Datuk 

Wahing. Sebelum dia berkata, Datuk Wahing sudah 

mendahului.

“Agar nantinya kau tidak lebih heran, ada sesuatu 

yang harus kau ketahui, Anak Muda!”

Mungkin sudah merasa agak jengkel, Joko segera 

sambuti ucapan Datuk Wahing.

“Untuk saat ini aku tidak perlu tahu apa-apa! Aku 

memerlukan pedang itu!”

“Bruss! Bruss! Pedang bisa dicari! Tapi pengetahuan 

sukar diperoleh! Kalau kau sia-siakan pengetahuan 

ini, jangan heran kalau nantinya kau tertipu untuk 

kedua kalinya!”

“Apa maksudmu, Kek...?!”

“Bruss! Bruss! Kalau mulutku yang berucap, aku 

takut nanti kau tidak percaya dan heran! Lebih baik 

kau tunggu sebentar....”

Habis berkata begitu, Datuk Wahing gerakkan ke-

dua tangannya merangkap di depan dada. Saat bersa-

maan, sepasang matanya terpejam. Anehnya, orang


tua ini masih gerakkan kepalanya pulang balik ke de-

pan ke belakang dengan mimik seolah hendak bersin!

Karena merasa yakin orang tua itu berniat baik, 

malah sebelum ini memberi keterangan pada murid 

Pendeta Sinting, meski sedikit merasa jengkel, Joko 

akhirnya putuskan hati untuk turuti ucapan si kakek.

Tapi setelah agak lama menunggu dan dilihatnya 

Datuk Wahing tetap bersikap seperti semula, kesaba-

ran Joko habis. Dia memandang berkeliling lalu angkat 

bicara.

“Kek! Rasanya aku tak bisa menunggu!”

Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. Namun 

matanya tetap memejam. Murid Pendeta Sinting me-

nunggu sejenak berharap si kakek akan buka mulut. 

Namun ternyata Datuk Wahing tidak juga perdengar-

kan suara. Hingga tanpa berkata lagi, Joko melangkah 

tinggalkan tempat itu.

“Bruss! Bruss! Anak muda! Tidak sabar adalah 

pangkal terjerumusnya orang!”

“Tapi kurasa aku sudah sabar menunggu! Hanya 

saja kalau aku tidak tahu pasti apa yang kutunggu, 

apa gunanya?! Malah dengan penantian ini aku kehi-

langan jejak!”

“Bruss! Penantian mu tidak sia-sia, Anak Muda! 

Namun kuharap kau jangan heran!”

Habis berkata begitu, Datuk Wahing angkat tan-

gannya menunjuk ke satu arah. Murid Pendeta Sinting 

putar diri setengah lingkaran mengikuti arah tangan 

Datuk Wahing.

Memandang ke depan, sepasang mata murid Pende-

ta Sinting mementang besar tak berkesip. Malah sak-

ing terkejutnya, kedua kakinya melangkah mundur sa-

tu tindak!

“Aku tidak percaya...!” desis Joko.

“Bruss! Bruss! Sudah kukatakan, kau jangan he


ran! Dan kau jangan heran juga kalau kukatakan ini 

adalah kenyataan!”

Belum sampai ucapan Datuk Wahing selesai, Joko 

telah berkelebat ke depan dan tegak di depan sana 

dengan mata semakin membelalak tak percaya!

***

SEMBILAN



Aku tak percaya! Aku tak percaya!” Berkali-kali 

Pendekar 131 mendesis dengan mata dikedipkan lalu 

dipentang besar-besar. “Keempatnya sudah jadi mayat 

ketika ku tinggalkan! Aku tahu pasti mereka terhan-

tam Sapu Tangan Iblis milik nenek itu! Bagaimana 

mungkin mereka bisa hidup lagi?!”

Hanya sejarak tujuh langkah dari tempat murid 

Pendeta Sinting berada, tampak empat orang laki-laki 

bertelanjang dada. Kepala mereka plontos. Paras wajah 

keempatnya hampir sama dan sangat angker. Karena 

sepasang mata mereka berempat tidak membentuk ke 

samping melainkan ke bawah. Demikian juga mulut 

masing-masing orang. Tidak membujur ke samping ta-

pi ke bawah mengikuti bentuk wajahnya yang lonjong! 

Mereka bertelanjang dada dan hanya mengenakan ce-

lana kolor. Di sebelah depan bagian kanan mengena-

kan celana kolor warna merah. Di samping orang ini 

memakai celana kolor warna hitam. Di belakang si ce-

lana kolor warna merah tampak laki-laki yang menge-

nakan celana kolor warna kuning. Sementara di sebe-

lahnya tampak memakai celana kolor warna hijau! Da-

ri ciri dan tampang masing-masing orang, siapa pun 

yang melihatnya pasti mengatakan mereka adalah To-

koh-tokoh Penghela Tandu! Karena di pundak masing


masing orang ini terlihat melintang dua bambu besar 

yang di tengahnya terdapat sebuah tandu tertutup 

kain berwarna merah!

“Siapa kalian?!” Murid Pendeta Sinting langsung 

bertanya dengan mata terus memandang tak berkesip

pada masing-masing orang di hadapannya.

Laki-laki bercelana kolor warna merah angkat tan-

gan kirinya seolah memberi isyarat pada ketiga orang 

lainnya. Ini juga membuktikan kalau si celana kolor 

warna merah adalah yang menjadi pimpinan.

“Kau bertanya,” kata si celana kolor warna merah 

buka mulutnya yang membujur ke bawah. “Kami akan 

menjawab! Kami adalah Tokoh-tokoh Penghela Tandu!”

“Urusan gila apa lagi yang kuhadapi saat ini?!” gu-

mam murid Pendeta Sinting begitu mendengar jawa-

ban orang. Matanya kini beralih pada tandu di atas lin-

tangan bambu yang tertutup kain merah. Joko coba 

tembusi kain penutup seolah ingin melihat orang di 

dalamnya. Namun dia gagal mengetahuinya, hingga dia 

kembali arahkan pandangannya pada satu persatu 

orang di hadapannya seraya berucap.

“Bukankah kalian telah jadi mayat?! Bagaimana 

mungkin kalian bisa hidup lagi?!”

“Setiap manusia hanya punya satu nyawa! Tidak 

mungkin kami hidup lagi setelah jadi mayat!” Yang 

berkata adalah si celana kolor warna merah.

“Tapi aku melihatnya sendiri! Kalian bertempur me-

lawan nenek bernama Ratu Pewaris Iblis!”

“Kami baru saja mengadakan perjalanan jauh! Se-

lama ini kami belum pernah terlibat sengketa dengan 

siapa pun!” Kembali si celana kolor warna merah me-

nyahut membuat murid Pendeta Sinting tambah ke-

bingungan.

“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?! Apa pengli-

hatanku yang salah?! Atau apa yang ku alami hanya


mimpi?!”

Berpikir sampai di situ Joko ingat bahwa sejenak 

tadi dia mengalami keanehan. Dia seolah tidak bisa 

buka mata dan mulutnya, bahkan dia merasakan se-

kujur tubuhnya lemas tak bisa digerakkan. “Apa dalam 

Keadaan begitu itu aku bermimpi?!”

Joko ingat pada pedangnya. Dia meraba ke balik 

pakaiannya. Dia kembali tersentak ketika menda-

patkan Pedang Tumpul 131 tidak ada di balik pa-

kaiannya. “Berarti aku tidak mimpi! Pedangku tidak 

ada!”

“Siapa yang ada di dalam tandu?!” Joko akhirnya 

ajukan tanya.

Keempat laki-laki yang baru saja sebutkan diri se-

bagai Tokoh-tokoh Penghela Tandu sama gerakkan ke-

pala masing-masing saling pandang. Belum sampai 

ada yang buka suara, mendadak tirai kain penutup 

tandu bergerak membuka.

Murid Pendeta Sinting jerengkan mata besar-besar. 

Yang terlihat pertama kali adalah sebuah tangan mu-

lus yang baru saja bergerak singkapkan kain penutup 

tandu.

“Putri Kayangan!” desis Joko mengenali siapa 

adanya pemilik tangan yang baru saja membuka kain 

penutup tandu.

Murid Pendeta Sinting segera melompat ke depan. 

Dia lupa akan keheranannya melihat keempat laki-laki 

yang dilihatnya sudah tewas di tangan Ratu Pewaris 

Iblis. Dadanya sudah bergemuruh mendapati pedang-

nya lenyap dan dia sudah dapat menduga siapa geran-

gan yang mengambilnya. Maka seraya melompat, dia 

berseru.

“Putri Kayangan! Harap kau kembalikan pedangku!”

Orang di dalam tandu sesaat terkejut. Dia adalah 

seorang gadis muda berparas luar biasa cantik mengenakan pakaian warna merah. Rambutnya panjang 

dengan mata bulat.

“Jangan lancang bicara!” Tiba-tiba laki-laki bercela-

na kolor warna merah membentak. Tangan kirinya di-

angkat siap hendak lepas pukulan. Sementara ketiga 

lainnya serentak pula angkat tangan satu masing-

masing.

“Putri Kayangan! Kau dengar ucapanku! Kembali-

kan pedang itu!” Joko kembali berteriak tanpa peduli-

kan keempat laki-laki yang sudah siap lepas pukulan.

Gadis di dalam tandu sesaat pandangi Joko dari 

bawah ke atas. Bibirnya sunggingkan senyum. Tangan 

kanannya bergerak. Terdengar ketukan halus tiga kali. 

Bersamaan dengan itu keempat laki-laki pemanggul 

tandu luruhkan tangan masing-masing.

“Boleh aku tahu siapa kau adanya?!” Gadis di da-

lam tandu buka mulut.

“Kau telah tahu siapa aku! Jangan berlagak tidak 

kenal!”

“Baiklah! Aku tidak memaksamu untuk mengata-

kan siapa kau.... Boleh aku tahu pedang apa yang kau 

suruh kembalikan?!”

“Kau masih juga berpura-pura!”

“Jaga mulutmu, Anak Muda! Jangan menuduh 

sembarangan!” Laki-laki bercelana kolor warna merah 

angkat bicara lagi.

Mendengar sahutan orang, dada Joko jadi panas. 

Dia arahkan matanya pada keempat laki-laki di hada-

pannya.

“Kalian boleh memiliki nyawa rangkap tiga! Tapi 

jangan kau kira aku tak bisa memutus ketiga rangka-

pan nyawa kalian!” Seraya berkata, murid Pendeta 

Sinting sudah kerahkan tenaga dalam pada kedua tan-

gannya.

Tokoh-tokoh Penghela Tandu saling pandang. Lalu


masing-masing orang gerakkan tangan masing-masing 

turunkan lintangan bambu di pundaknya. Begitu lin-

tangan bambu telah di atas tanah, mereka segera te-

gak berjajar.

“Kami tidak pernah membuat urusan! Tapi kami ti-

dak akan tinggal diam jika kau berkata yang bukan-

bukan!” kata laki-laki bercelana kolor warna merah.

“Apa kalian kira aku juga suka membuat urusan?! 

Justru junjungan mu itu yang bikin ulah! Dia menga-

jakku ke sini, lalu merayu ku. Ujung-ujungnya dia 

mengambil pedangku!”

“Sekali lagi kuperingatkan kau! Jangan bicara sem-

barangan!”

Murid Pendeta Sinting tertawa panjang. “Apa kalian 

kira lenyapnya pedangku urusan main-main, hah?!”

“Itu urusanmu! Yang jelas kami baru kali ini jumpa 

denganmu! Jadi adalah aneh kalau kau tiba-tiba me-

nuduh macam-macam! Jangan-jangan kau hanya pu-

ra-pura!”

“Kalian terlalu banyak bicara! Sekarang apa mau 

kalian?!” kata Joko seolah tidak sabar.

“Kau telah dengar! Kami tidak suka bikin urusan. 

Tapi kalau kau memaksa, kami akan meladeni ke-

mauan mu!"

“Hem.... Begitu?! Aku ingin tahu, apakah kalian 

memang punya rangkapan nyawa!”

Murid Pendeta Sinting angkat kedua tangannya dan 

langsung siapkan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’. Se-

ketika itu kedua tangannya disemburati warna kuning 

tanda dia telah kerahkan tenaga dalam.

Di depan sana, Tokoh-tokoh Penghela Tandu tidak 

tinggal diam. Mereka segera bergerak membentuk bari-

san. Dua di depan dua lagi berada di belakang. Tangan 

masing-masing sudah pula terangkat.

Sesaat Joko pandangi gerakan orang. Di seberang


sana Tokoh-tokoh Penghela Tandu juga memandang 

tak berkesip. Saat lain, Joko sudah gerakkan kedua 

tangannya. Tokoh-tokoh Penghela Tandu segera pula 

bergerak maju dengan membentuk barisan saling me-

nyilang. Saat bersamaan tangan masing-masing orang 

juga bergerak.

“Tahan serangan!” Tiba-tiba terdengar seruan dari 

dalam tandu. Satu sosok tubuh melesat dan kini tegak 

menghalangi antara Joko dan Tokoh-tokoh Penghela 

Tandu.

Murid Pendeta Sinting menatap tajam pada gadis 

yang tegak di hadapannya. Matanya menelurusi seku-

jur tubuh si gadis seolah ingin mengetahui di mana 

pedangnya disembunyikan. Namun Joko tidak bisa 

menduga-duga, karena matanya tidak menangkap pe-

dang miliknya.

“Tidak kusangka sama sekali kalau gadis cantik ini 

punya maksud buruk! Tapi aku harus berhati-hati.... 

Dengan hidupnya keempat manusia itu, berarti mereka 

dan gadis ini punya ilmu langka!”

Baru saja Joko membatin begitu, gadis di hadapan

murid Pendeta Sinting yang bukan lain adalah Putri 

Kayangan sudah angkat bicara.

“Kira harus bicara! Ada yang tidak beres dalam uru-

san ini”

“Tak ada lagi yang perlu dibicarakan! Dan yang ti-

dak beres adalah kau sendiri! Kalau kau ingin bicara, 

serahkan dahulu pedangku!”

Putri Kayangan tersenyum. “Kau harus percaya! 

Aku dan teman-temanku baru kali ini bertemu den-

ganmu. Maka kita perlu bicara dahulu dan menunda 

urusan pedangmu!”

Murid Pendeta Sinting tertawa pendek. “Aku perlu 

pedang itu! Aku tidak perlu bicara panjang lebar yang 

tidak ada gunanya!”


“Pembicaraan kita masih ada hubungannya dengan 

pedangmu! Dan dari pembicaraan ini kuharap nan-

tinya urusan bisa selesai!”

“Tak ada yang bisa selesai di sini tanpa kau serah-

kan kembali pedangku!”

“Bruss! Bruss! Bruss! Anak muda.... Jangan tu-

rutkan kekesalan hati! Ucapan gadis itu benar. Jadi 

beri kesempatan padanya untuk bicara! Kalau tidak, 

kau nanti akan merasa heran dan tambah kesal!” Tiba-

tiba Datuk Wahing menyela.

Putri Kayangan arahkan pandangannya pada Datuk 

Wahing lalu menjura hormat seraya berkata.

“Gembira sekali hari ini aku bisa berjumpa dengan 

tokoh besar. Datuk Wahing terimalah hormatku....”

Pada saat Putri Kayangan menjura hormat, keempat 

laki-laki di belakangnya membuat gerakan sama den-

gan Putri Kayangan. Mereka bungkukkan sedikit tu-

buh masing-masing.

Pendekar 131 berpaling pada Datuk Wahing. “Kek! 

Kiranya tak ada yang perlu dibicarakan antara aku 

dengan dia! Jelas-jelas aku bersamanya di sini sebe-

lum kau datang! Dia yang mengajakku ke sini! Dia 

meminta ku bercerita. Aku turuti permintaannya. Lalu 

dia merayu ku.... Dan akhirnya aku terlelap! Ketika 

kau datang, tiba-tiba aku siuman! Dia sudah tidak ada 

di sini! Dan pedangku lenyap! Apa lagi yang perlu dibi-

carakan?! Semuanya sudah jelas!”

“Bruss! Bruss! Gadis cantik.... Kau jangan membua-

tku heran dengan ucapan sanjungan yang berlebihan!” 

ujar Datuk Wahing sambuti ucapan Putri Kayangan. 

Lalu arahkan pandangan matanya pada Pendekar 131. 

Dia tersenyum lalu berkata.

“Anak muda.... Kau jangan heran jika kukatakan, 

ucapanmu benar menurut pandang matamu! Tapi keli-

ru jika nanti kau telah dengar keterangan gadis cantik


itu! Jadi, tabahkan hati untuk menunda urusan pe-

dang dan bicaralah baik-baik dahulu....”

“Kek! Kau sepertinya membela gadis ini! Apa hu-

bunganmu dengannya?!”

“Brusss! Heran.... Bagaimana kau bisa mengatakan 

aku membelanya?! Aku cuma memberi saran! Ini juga 

untuk kebaikanmu kelak agar kau tidak lagi merasa 

heran jika bertemu dengan urusan yang sama!”

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. “Urusan 

gila macam apa pula ini?!”

“Ini bukan urusan gila...,” ujar Putri Kayangan. 

“Kau mau katakan dahulu siapa kau adanya?!”

Joko menoleh pada Putri Kayangan. Dengan enggan 

dia akhirnya berucap. “Aku Joko Sableng!”

“Melihat sikapmu tadi, tentu pedang yang kau kira 

kuambil adalah senjata sakti....”

“Bukan hanya sakti, tapi aku bisa celaka kalau pe-

dang itu hilang!”

“Bisa sebutkan nama pedang itu?!”

Joko menghela napas sejenak untuk menindih pe-

rasaan. Lalu berkata menjawab.

“Pedang Tumpul 131!”

Tiba-tiba Putri Kayangan membuat gerakan bung-

kukkan sedikit tubuhnya dan berkata. “Jika demikian 

saat ini aku sedang berhadapan dengan tokoh rimba 

persilatan bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131! Te-

rimalah hormatku....”

Kali ini meski Putri Kayangan membuat sikap men-

jura, namun Tokoh-tokoh Penghela Tandu tidak men-

gikuti gerakan Putri Kayangan. Mereka hanya tegak 

sambil menatap lekat-lekat pada murid Pendeta Sint-

ing.

Pendekar 131 sendiri tidak sambuti gerakan Putri 

Kayangan. Dia hanya memandang sambil tertawa. Da-

lam hati dia berkata. “Ulah apa lagi yang hendak dilakukan gadis ini?! Tapi jangan kira aku bisa percaya la-

gi denganmu...!”

“Pendekar 131! Aku tidak menyalahkanmu kalau 

kau menuduhku! Aku....”

“Kau telah mengaku! Serahkan saja pedang itu!” 

Joko sudah memotong ucapan Putri Kayangan.

“Ucapanku belum selesai...,” ujar Putri Kayangan. 

“Kau telah mengenaliku juga teman-temanku padahal 

kita baru saja bertemu. Aku bisa menduga jika sebe-

lum ini kau jumpa dengan seorang gadis berbaju me-

rah yang juga bersama empat laki-laki! Betul?”

Pendekar 131 tidak menjawab. Putri Kayangan ti-

dak marah. Malah sunggingkan senyum lalu lanjutkan 

ucapannya. “Aku menduga kau baru saja bertemu 

dengan Pitaloka dan teman-temannya....”

“Kau jangan mengada-ada! Pandanganku masih 

normal! Aku tidak bertemu dengan Pitaloka! Aku ber-

temu denganmu!”

Putri Kayangan masih juga sambuti ucapan murid 

Pendeta Sinting dengan bibir tersenyum. “Pandangan-

mu memang masih normal, Pendekar 131! Namun kau 

salah pandang. Yang baru kau jumpai bukan aku, tapi 

Pitaloka! Dia adalah saudara kembar ku! Dia juga 

punya empat teman laki-laki yang juga saudara keem-

pat temanku itu!”

Pendekar 131 tegak dengan tubuh sedikit bergetar. 

Matanya mendelik perhatikan lama-lama sekujur tu-

buh gadis di hadapannya. Lalu beralih pada satu per-

satu dari empat laki-laki di belakang Putri Kayangan.

“Sebenarnya aku dan teman-teman tidak ingin terli-

bat dalam dunia persilatan! Namun akhir-akhir ini 

kami banyak mendapat tuduhan jelek! Padahal selama 

ini kami tidak pernah berbuat macam-macam! Kami 

masih coba bersabar, namun tudingan orang nampak-

nya sudah sangat keterlaluan! Akhirnya kami sepakat


untuk menjernihkan masalah ini! Dan kami tahu siapa 

adanya orang yang melakukannya! Untuk itulah kami 

mengadakan perjalanan!” Putri Kayangan memberi ke-

terangan.

“Bruss! Bruss! Anak muda.... Kuharap penjelasan 

gadis itu tidak membuatmu heran dan lebih-lebih bisa

kau terima!” Datuk Wahing angkat suara.

Mungkin masih kaget, untuk beberapa saat murid 

Pendeta Sinting terdiam. Hanya bola matanya yang 

bergerak memandang silih berganti pada Putri Kayan-

gan dan keempat laki-laki di belakang si gadis.

***

SEPULUH



Gila! Aku benar-benar bisa jadi gila menghadapi 

urusan ini!" gumam Pendekar 131 setelah agak lama 

menatapi Putri Kayangan dan Tokoh-tokoh Penghela 

Tandu. Karena bagaimanapun juga dia menelusuri se-

kujur tubuh orang-orang di hadapannya, dia tetap ti-

dak bisa membedakan dengan orang-orang yang baru 

saja ditemuinya beberapa waktu yang lalu.

“Bruss! Bruss! Kau tak usah jadi gila menghadapi 

urusan ini, Anak Muda! Semua adalah kenyataan. Ju-

stru kau harus bersyukur, karena kau tidak akan di-

buat heran di kelak kemudian hari!”

Murid Pendeta Sinting berpaling pada Datuk Wah-

ing. Lalu bertanya.

“Kek! Aku baru saja bertemu dengan gadis yang di-

katakan gadis ini sebagai Pitaloka! Padahal aku tidak 

bisa membedakan antara gadis ini dengan Pitaloka! 

Sekarang aku tanya. Bagaimana kau bisa membeda-

kan keduanya?!”

“Bruss! Aku sendiri heran bagaimana bisa membe-

dakan. Tapi sebaiknya kau tanyakan saja keheranan

mu itu pada gadis cantik di depanmu!”

Murid Pendeta Sinting hadapkan wajahnya pada 

Putri Kayangan. Putri Kayangan sunggingkan senyum 

lalu berkata.

“Aku dan Pitaloka adalah saudara kembar. Kalau 

orang tidak teliti, pasti akan keliru!” Putri Kayangan 

angkat tangan kirinya sambil dikembangkan kelima ja-

rinya. “Pada ibu jari tangan kiriku ada satu tahi lalat! 

Tapi tidak ada tahi lalat pada ibu jari tangan kiri Pita-

loka! Itulah yang bisa membedakan antara kami ber-

dua!”

Putri Kayangan tarik pulang tangan kirinya. Lalu 

lanjutkan ucapan. “Untuk keempat temanku itu, 

mungkin tidak ada gunanya lagi kusebutkan apa tan-

da yang bisa membedakan dengan teman-teman Pita-

loka, karena menurutmu mereka sudah tewas!”

“Hem.... Kau kira-kira dapat menduga ke mana 

saudara kembar mu itu pergi?!” tanya Joko.

Putri Kayangan menggeleng. “Sukar ditebak ke ma-

na dia pergi! Tapi kami akan tetap mencarinya!”

“Aku ikut!” sahut Pendekar 131.

“Kami tidak bisa mengajak mu ikut serta!”

“Tapi pedangku dibawanya!”

“Itu urusanmu dengan Pitaloka! Kami hanya ingin 

membawa Pitaloka pulang dan menyadarkannya! Dan 

kami tidak mau terlibat urusanmu dengannya!”

Habis berkata begitu Putri Kayangan melangkah sa-

tu tindak ke belakang. Lalu balikkan tubuh. Sekali 

membuat gerakan, sosoknya melesat masuk ke dalam 

tandu. Bersamaan dengan itu terdengar ketukan halus 

tiga kali dari dalam tandu. Tokoh-tokoh Penghela Tan-

du segera berkelebat. Saat lain keempat laki-laki ini te-

lah angkat lintangan bambu di mana tandu berada.


Lalu melintangkannya membujur di pundak masing-

masing orang.

“Putri Kayangan! Saat ini kau dan teman-temanmu 

boleh pergi. Tapi jangan kira urusan ini selesai! Aku 

akan buktikan ucapanmu bahwa kau memang punya 

saudara kembar!”

Tirai kain merah penutup tandu terbuka. “Usulmu

baik. Kau masih punya banyak kesempatan untuk 

membuktikan! Dan sebelum aku pergi, boleh aku 

tanya sesuatu padamu?!”

“Kau mau tanya apa?!”

“Apakah benar berita yang kini tersebar dalam rim-

ba persilatan jika kau telah mendapatkan Kembang 

Darah Setan?!”

“Aku tidak pernah melihat barang yang kau tanya-

kan! Jadi kau tentu sudah bisa menduga maksud uca-

panku!”

“Terima kasih! Aku cuma ingin kepastian tentang 

kabar itu...,” ujar Putri Kayangan. Lalu memandang ke 

arah Datuk Wahing dengan kepala digerakkan menun-

duk sedikit. “Kakek Datuk Wahing.... Kami harus per-

gi....”

“Bruss! Bruss! Kalau tidak ada hal yang menghe-

rankan lagi, memang lebih baik kalian segera lan-

jutkan perjalanan....”

Putri Kayangan angkat kepalanya. Bola matanya se-

jenak memandang ke arah Pendekar 131 yang saat itu 

juga tengah memandangnya. Untuk beberapa saat ke-

dua orang ini saling pandang. Tidak ada yang buka 

suara. Namun Putri Kayangan merasakan dadanya 

berdebar. Paras wajahnya yang cantik jelita sesaat me-

rona merah. Lalu cepat-cepat gadis ini gerakkan tan-

gan untuk menutup kain tandu.

Bersamaan dengan tertutupnya kain tandu, Tokoh-

tokoh Penghela Tandu bergerak melangkah tinggalkan


tempat itu.

“Rasanya sulit dipercaya! Kedua-duanya sama can-

tik! Dan mungkin aku masih belum bisa membedakan

mana yang sempat ku cium dan mana yang belum! 

Sayangnya, salah satu dari mereka telah berani mem-

buat ulah tidak benar! Hm.... Urusan Kembang Darah 

Setan belum selesai, kini ditambah lagi dengan urusan 

ini!”

“Bruss! Ada yang masih membuatmu merasa heran, 

Anak Muda?!” Bertanya Datuk Wahing.

Murid Pendeta Sinting balikkan tubuh lalu melang-

kah ke arah Datuk Wahing. Datuk Wahing sendiri 

tampak bergerak bangkit lalu melangkah ke arah 

tongkatnya yang tadi dilemparkan untuk menghalangi 

kepergian Joko Sableng.

“Kek! Kau bisa tunjukkan padaku di mana Kam-

pung Setan berada?!”

“Tidak ada gunanya, Anak Muda! Kau hanya akan 

menemui keheranan berlipat ganda! Yang penting ba-

gimu, carilah orang yang selama ini berperan sebagai 

dirimu! Caranya tentu saja kau bisa berpikir sendiri 

bagaimana! Yang pasti kau harus tanggalkan dulu sia-

pa dirimu!”

Datuk Wahing cabut tongkatnya. Setelah bersin dua 

kali, kakek ini perlahan-lahan melangkah meninggal-

kan Pendekar 131. Saat itulah Joko baru teringat akan 

pertemuannya dengan seorang nenek berusia lanjut 

yang sebutkan diri sebagai Nyai Suri Agung.

Joko buru-buru melompat dan menghadang jalan 

Datuk Wahing seraya berkata.

“Kek! Kau pernah kenal dengan seorang nenek ber-

nama Nyai Suri Agung?!”

Datuk Wahing yang hendak bersin tiba-tiba di-

urungkan. Sepasang matanya menatap Joko lekat-

lekat. “Kau pernah bertemu dengannya?!” Datuk Wah


ing balik bertanya.

“Setelah kepergianmu beberapa saat yang lalu, aku 

sempat jumpa dengan seorang nenek yang katakan di-

rinya sebagai Nyai Suri Agung!” Lalu Joko katakan pu-

la ciri-ciri orang yang dijumpainya.

Raut wajah Datuk Wahing sesaat berubah. Namun 

kejap lain kakek ini telah perdengarkan bersinan bebe-

rapa kali lalu berucap.

“Aku harus segera pergi, Anak Muda....”

“Kau belum jawab pertanyaanku, Kek! Kulihat wa-

jahmu berubah! Ada yang mengherankan tentang ne-

nek yang kukatakan tadi?!”

“Bruss! Bruss! Terus terang, Anak Muda! Aku me-

mang mengenal nenek itu! Tapi jangan heran kalau 

aku tak bisa mengatakan siapa dia adanya!”

“Ah.... Jangan-jangan dia kekasihmu.... Wajahmu 

sepertinya mengungkapkan perasaan suka dan rin-

du...!”

“Bruss! Kau masih harus belajar banyak untuk 

menduga orang dari perubahan wajahnya! Karena itu 

jangan merasa heran kalau kukatakan dugaanmu sa-

lah!”

“Busyet! Dia tidak bisa dipancing!” kata Joko dalam 

hati. Lalu berkata.

“Aku tidak mungkin salah duga! Kau yang berpura-

pura! Kau malu padaku!”

Datuk Wahing tertawa bergelak mendengar ucapan 

murid Pendeta Sinting. Anehnya di tengah gelakan ta-

wanya, Datuk Wahing masih menyelanya dengan ber-

sinan beberapa kali!

“Aku tidak pernah berpura-pura apalagi malu! Ka-

laupun aku merasa malu, itu kalau aku tidak heran 

dengan sesuatu! Bruss!”

Joko ikut-ikutan tertawa mendengar kata-kata Da-

tuk Wahing. “Bagaimana kau bisa mengatakan begitu


kalau nenek itu mengatakan kau adalah kekasihnya?!”

“Jangan bicara mengherankan, Anak Muda!”

“Aku berkata apa adanya! Dia mengaku sebagai ke-

kasihmu dan kini tengah mencarimu!”

Untuk kedua kalinya murid Pendeta Sinting me-

nangkap perubahan pada wajah si Datuk. Namun se-

jauh ini sebenarnya Joko belum bisa menebak secara 

pasti apa hubungan antara Datuk Wahing dengan Nyai 

Suri Agung. Dia hanya dapat meraba-raba dengan 

menghubungkan keterangan Datuk Wahing pada bebe-

rapa waktu yang lalu. (Soal keterangan Datuk Wahing 

pada Joko silakan baca serial Joko Sableng dalam epi-

sode: “Rahasia Kampung Setan”).

“Anak muda! Aku tahu.... Bicaramu ada yang kau 

tambah! Dia mengaku mencariku mungkin bisa kute-

rima! Tapi kalau dia mengaku kekasihku, itu yang 

membuatku heran! Dan aku tak sungkan mengatakan 

kalau itu adalah tambahan mu sendiri!”

“Kek! Kalau dia mencarimu, apakah kau punya 

urusan dengannya?!”

“Kau telah bertemu dengannya. Adalah satu hal 

yang mengherankan kalau sekarang kau tanya pada-

ku!”

“Aku tidak sempat menanyakannya!”

“Itulah kekeliruan mu! Kalau kau ingin jawabannya, 

tanyakan padanya mengapa dia mencariku! Tentu dia 

telah mengatakan padamu di mana dia bertempat ting-

gal!”

“Aku juga tidak sempat menanyakannya!”

“Bruss!”

“Itu kekeliruan mu yang kedua! Dan itu menunjuk-

kan kalau kalian berdua hanya bicara sebentar!”

“Kau keliru, Kek! Aku....”

“Bruss! Bruss! Sudah kukatakan, kau masih harus 

belajar banyak untuk urusan tipu menipu, Anak Muda! Kau tahu.... Aku bisa menebak apa yang dikatakan 

nenek itu padamu!”

Joko terdiam. Datuk Wahing bersin dua kali lalu 

buka mulut. “Dia pasti menanyakan apakah Kembang 

Darah Setan berada di tanganmu! Benar atau menghe-

rankan ucapanku ini, Anak Muda?!”

Murid Pendeta Sinting makin terdiam. Datuk Wah-

ing bersin-bersin seraya tertawa ngakak. Kali ini suara 

bersinan yang ditingkah suara gelakan tawa laksana 

diperdengarkan dari delapan penjuru mata angin! Ma-

lah Joko harus angkat kedua tangannya untuk menu-

tupi telinga karena suara bersinan dan gelakan tawa 

itu menyentak-nyentak gendang telinga!

Datuk Wahing putuskan suara tawa dan bersinan-

nya. Memandang sejurus pada Joko lalu teruskan 

langkah. Hebatnya, suara bersinan dan tawa terus saja 

terdengar menggema di tempat itu dan laksana datang 

dari delapan penjuru!

Murid Pendeta Sinting coba salurkan tenaga untuk 

menutup pendengarannya. Begitu berhasil, ternyata 

sosok Datuk Wahing sudah tidak kelihatan lagi!

“Aku kena batunya! Tapi satu hal yang pasti aku 

sedikit banyak bisa menduga siapa adanya Datuk 

Wahing dan siapa pula nenek itu! Dan kalau dugaanku 

benar, aku sudah bisa memastikan siapa sebenarnya 

Setan Liang Makam!” gumam Joko seraya memandang 

berkeliling.

‘Turut ucapan orang tua itu, sebaiknya aku seka-

rang memang tanggalkan siapa diriku! Dengan demi-

kian, nantinya hanya ada satu Joko Sableng! Dan aku 

dengan mudah bisa menangkap basah!” Joko tenga-

dahkan kepala. Lalu menepuk jidatnya sendiri.

“Heran! Mengapa aku tidak berpikir begitu sejak 

dahulu?! Bukankah dengan demikian hanya ada satu 

Joko Sableng dan yang pasti itu adalah Joko yang palsu!”

Sambil senyum-senyum sendiri akhirnya murid 

Pendeta Sinting melangkah tinggalkan tempat itu.

***

SEBELAS



Matahari sudah melambung jauh hampir mencapai 

titik tengahnya. Udara panas menyengat bukan alang 

kepalang. Satu sosok tubuh mengenakan topi pandan 

lebar tampak melangkah perlahan-lahan melewati se-

buah dataran berumput tebal yang di sebelah ujung 

sananya terlihat beberapa jajaran pohon besar. Orang 

ini adalah seorang laki-laki yang usianya tidak bisa di-

kenali karena wajahnya hampir sebagian tertutup oleh 

lebarnya caping pandan di kepalanya yang sengaja di-

pakai masuk ke dalam. Rambutnya pun sengaja dige-

raikan ke depan menutupi kanan kiri wajahnya. Ku-

misnya lebat berwarna putih. Dia mengenakan pakaian 

putih-putih.

Sambil melangkah sesekali orang ini perdengarkan 

gumaman tak jelas. Saat lain dia dendangkan nya-

nyian. Dan kadang-kadang tangan kanannya diangkat 

ke telinga. Entah apa yang dilakukan, begitu tangan-

nya terangkat sejajar telinga, langkahnya berubah 

menjadi berjingkat-jingkat. Laki-laki ini berjalan den-

gan kepala selalu menunduk namun sepasang ma-

tanya tak henti-hentinya memperhatikan dengan sek-

sama setiap tempat yang dilewati.

“Busyet benar! Kepalaku jadi pening terus-terusan 

merunduk!” gumam si laki-laki. Kepalanya lalu berge-

rak ke kiri kanan dengan mata melirik. Tiba-tiba dia 

angkat kepalanya tengadah. Lalu kepalanya digerak

kan teleng ke pundak kiri kanannya.

Kretekk! Kreteekk!

“Hem.... Asyik rasanya bisa menekuk leher!” Laki-

laki ini untuk beberapa lama mendongak sambil 

menghirup udara banyak-banyak. Tapi mendadak, 

laksana disentak tangan setan, kepalanya disentakkan 

ke bawah merunduk lagi. Saat yang sama sepasang 

matanya melirik jauh ke depan.

“Ada orang.... Melihat dari bentuk tubuh dan pa-

kaiannya dia adalah laki-laki! Sialan benar! Mengapa 

yang kutemui laki-laki?! Bukannya seorang gadis.... 

Tapi siapa tahu laki-laki itu bisa membantu....” Si laki-

laki berkata sendiri dalam hati lalu lanjutkan langkah 

dengan kepala menunduk.

Begitu hampir sampai pada jajaran pohon, si laki-

laki bercaping lebar hentikan langkah. Matanya melirik 

ke depan. Dari tempatnya tegak, dia melihat satu so-

sok tubuh sedang bersandar di balik satu batang po-

hon. Laki-laki ini belum bisa melihat raut wajah orang 

karena orang itu berada di balik pohon. Dia hanya bisa 

melihat orang itu mengenakan pakaian hitam-hitam.

Mendadak si laki-laki bercaping lebar tersentak. Te-

linganya lamat-lamat mendengar orang terisak.

“Heran.... Sosok tubuhnya seperti laki-laki tapi 

mengapa menangis?! Hem.... Kalau laki-laki yang me-

nangis, sebabnya pasti ulah asmara....” Si laki-laki 

bercaping lebar gelengkan kepala. Lalu lanjutkan lang-

kah. Dia sengaja melewati pohon di mana orang ber-

sandar seraya menangis terisak. Malah begitu lewat, si 

laki-laki sengaja perdengarkan deheman beberapa kali.

Orang yang bersandar sekonyong-konyong pu-

tuskan isakan tangisnya. Secepat kilat dia putar tubuh 

lalu menghadap ke arah sumber deheman. Ternyata 

dia adalah seorang pemuda berparas sangat tampan 

berkulit putih bersih. Rambutnya hitam lebat dengan


sepasang mata bulat. Ketampanannya masih ditingka-

hi dengan kumis tipis di atas bibirnya yang sedikit 

berwarna merah.

Mungkin karena tenggelam dengan perasaan, pe-

muda berpakaian hitam-hitam ini tidak bisa menyiasa-

ti kedatangan si laki-laki bercaping lebar, kalau saja si 

laki-laki bercaping tidak perdengarkan deheman. Ma-

lah saking terkejutnya, si pemuda yang baru saja per-

dengarkan isakan tangis tidak sempat mengusap air 

matanya. Hingga dengan jelas si laki-laki bercaping 

masih bisa melihat air mata si pemuda.

Untuk beberapa saat si pemuda berkumis tipis me-

mandangi laki-laki bercaping lebar. Namun sejauh ini 

dia belum buka mulut berkata. Sebaliknya si laki-laki 

bercaping lebar mendadak tersentak kaget. Malah sak-

ing kagetnya, kepalanya yang menunduk terangkat. 

Sepasang matanya membesar. Namun kejap lain laki-

laki ini tundukkan kepalanya lagi.

“Aku tak salah lihat.... Aku masih mengenalinya.... 

Dia mengenakan samaran seperti dahulu” kata si laki-

laki bercaping lebar. “Tapi mengapa dia berada di sini?! 

Lebih-lebih, apa yang membuatnya menangis terisak?!” 

Si laki-laki bercaping menduga-duga dalam hati.

Setelah melirik sejurus dan dilihatnya si pemuda 

berkumis tetap memandangnya tanpa buka suara, ak-

hirnya si laki-laki bercaping angkat bicara.

“Maaf kalau kedatanganku membuatmu terkejut.... 

Aku hanya lewat! Dan tidak sengaja mengejutkan-

mu....”

Si pemuda berkumis tipis gelengkan kepala dan co-

ba tersenyum meski jelas dipaksakan. Lalu buka mu-

lut sambuti ucapan si laki-laki bercaping.

“Tidak apa.... Aku juga minta maaf karena kulihat 

kau juga kaget....”

“Mudah-mudahan dia tidak....”


Si laki-laki bercaping belum sempat lanjutkan kata 

hatinya, si pemuda berkumis sudah angkat suara lagi.

“Orang tua.... Boleh aku tanya padamu?!”

Si laki-laki bercaping lebar tersenyum. Lalu angkat 

tangannya mengelus kumisnya yang lebat seraya ber-

kata pelan. “Kau mau tanya apa?!”

“Kau tahu letak Jurang Tlatah Perak...?!”

Yang ditanya melengak kaget. Namun cepat-cepat 

tersenyum dan berkata. “Anak muda.... Jurang Tlatah 

Perak berada jauh dari sini! Kira-kira perjalanan dua 

hari satu malam ke jurusan timur....”

“Terima kasih....”

“Anak muda. Sekarang boleh aku tanya padamu?!”

Pemuda berkumis tipis sesaat pandangi orang di 

hadapannya lalu anggukkan kepala.

“Mau katakan apa tujuanmu ke Jurang Tlatah Pe-

rak?! Karena kudengar jurang itu sangat angker dan 

jarang dikunjungi manusia!”

“Orang tua.... Untuk pertanyaanmu, harap kau ti-

dak menyesal karena aku tidak bisa katakan apa tuju-

anku ke sana!”

“Ah.... Aku ingat sekarang!” Tiba-tiba laki-laki ber-

caping lebar berujar seolah berkata pada dirinya sendi-

ri. “Dari pertanyaanmu, aku bisa menduga kau adalah 

dari kalangan persilatan!”

“Orang tua! Bagaimana kau bisa menduga demi-

kian?!”

“Menurut cerita yang pernah kudengar, entah benar 

atau salah, Jurang Tlatah Perak dihuni oleh seorang 

tokoh dunia persilatan yang pada beberapa puluh ta-

hun silam namanya pernah menggegerkan dunia persi-

latan! Kalau tidak salah dengar, tokoh itu bernama....” 

Si laki-laki bercaping tidak lanjutkan ucapan. Dia seo-

lah sedang mengingat-ingat. Sementara sepasang ma-

tanya melirik tajam pada si pemuda di hadapannya.


“Yang kau maksud Pendeta Sinting?!” kata si pemu-

da berkumis tipis.

“Ah.... Benar! Pendeta Sinting!” ujar si laki-laki ber-

caping lebar. “Apa kau hendak menemuinya?!”

Sesaat yang ditanya diam. Namun tak lama kemu-

dian menjawab dengan isyarat anggukan kepalanya.

“Hem.... Ingat akan Pendeta Sinting aku juga jadi 

ingat pada cerita orang yang akhir-akhir ini membica-

rakan tentang seorang pemuda murid Pendeta Sinting! 

Apa kau juga pernah mendengarnya?!”

Tampang si pemuda berkumis tipis mendadak be-

rubah tegang. Sepasang matanya berkilat-kilat. Sambil 

palingkan wajah, dia berucap. Suaranya bergetar.

“Aku pernah mendengar! Malah aku mengenalnya!”

“Ah.... Kau beruntung bisa kenal dengannya....”

Si pemuda mendengus. Entah karena tak dapat 

menahan perasaan, akhirnya pemuda ini enak saja 

berkata. “Kau salah, Orang Tua! Bukannya beruntung 

dapat mengenalnya! Justru celaka yang kudapatkan!”

Si laki-laki terkejut lagi. “Bagaimana bisa begitu, 

Anak Muda?!”

“Ternyata dia bukan pemuda seperti yang selama ini 

dibicarakan orang! Orang-orang tidak tahu siapa sebe-

narnya pemuda murid Pendeta Sinting itu!”

“Hem.... Lantas siapa dia sebenarnya?!”

“Dia adalah manusia menjijikkan! Manusia yang ti-

dak punya perasaan!”

“Anak muda! Kau bicara soal perasaan. Padahal 

yang biasa membicarakan soal perasaan adalah seo-

rang perempuan! Kulihat kau tadi juga sedang terisak, 

apa sebenarnya yang terjadi?! Sebab, yang biasanya 

menangis terisak juga adalah seorang perempuan....”

Si pemuda berkumis berpaling dengan wajah terke-

jut. Sebelum pemuda ini buka mulut, si laki-laki ber-

caping telah mendahului.


“Aku tidak pandai menduga. Tapi dari ucapan dan 

sikapmu, aku melihat kau menutupi sesuatu....”

Si pemuda berkumis menghela napas panjang dan 

dalam. “Orang tua.... Terus terang.... Sebenarnya aku 

adalah seorang gadis....”

Si laki-laki bercaping tertawa panjang hingga ba-

hunya berguncang-guncang. “Sekarang aku baru bisa 

menduga terusannya! Kau tentu baru saja dikecewa-

kan oleh pemuda murid Pendeta Sinting itu. Benar bu-

kan dugaanku?!”

Pelipis kiri kanan si pemuda berkumis yang bukan 

lain adalah Saraswati bergerak-gerak. Tubuhnya sedi-

kit bergetar.

“Dia bukan hanya mengecewakanku, tapi perbua-

tannya sudah tidak pantas lagi dilakukan oleh seorang 

yang bergelar pendekar!”

Si laki-laki bercaping sekali lagi tampak tersentak 

kaget. “Boleh aku tahu apa yang dilakukannya terha-

dapmu?!”

“Tak pantas untuk diceritakan pada orang lain! 

Yang pasti tindakannya sudah di luar batas dan patut 

diganjar dengan selembar nyawanya!”

Si laki-laki bercaping tertawa. “Anak muda.... Ah, 

maaf. Anak gadis.... Aku tahu.... Biasanya seorang ga-

dis menggunakan perasaan dalam segala hal. Mungkin 

saat ini kau masih tenggelam dalam perasaan! Hingga 

urusan yang sepele jadi tampak besar! Dan tindakan 

yang bisa diselesaikan dengan baik-baik harus dibayar 

dengan nyawa.... Hem.... Ada gadis lain yang mem-

buatmu cemburu?!”

“Aku bicara ini bukan karena cemburu!”

“Jadi....”

“Aku tak bisa mengatakan padamu, Orang Tua! 

Yang jelas aku akan membalas sakit hati ini!”

“Jadi tujuanmu ke Jurang Tlatah Perak untuk


membalas sakit hatimu?!”

Saraswati gelengkan kepala. “Aku hanya ingin ya-

kinkan apakah benar tempat itu dihuni Pendeta Sint-

ing!”

“Kau ini aneh.... Siapa pun kalangan rimba persila-

tan pasti sudah yakin kalau tempat itu dihuni Pendeta 

Sinting!”

“Kabar perlu pembuktian! Aku baru saja mengalami 

kejadian yang tidak beres! Aku perlu bukti apakah 

Pendeta Sinting berada di sana!”

“Kau bisa menjelaskan kejadiannya?!”

Saraswati gelengkan kepala. “Aku tidak mau orang

lain terlibat dalam urusan ini! Dan kuharap kau mera-

hasiakan apa yang kau ketahui tentang diriku.... Seka-

rang aku harus pergi!”

Seperti diketahui, Saraswati sempat bertemu den-

gan ibunya yang saat itu sedang berbincang dengan 

Kiai Laras. Ibu Saraswati, yang bukan lain adalah 

Lasmini saat itu sedang mencari jejak Pendeta Sinting 

dan muridnya. Kebetulan Kiai Laras mengetahui di 

mana beradanya orang yang dicari Lasmini. Dengan 

diantar Kiai Laras, akhirnya Lasmini sampai ke lereng 

Bukit Kalingga. Karena merasa curiga dengan Kiai La-

ras, diam-diam Saraswati mengikuti ke mana ibunya 

dan Kiai Laras mencari Pendeta Sinting dan Pendekar 

131.

Di Bukit Kalingga ternyata Lasmini disambut oleh 

seorang pemuda yang Lasmini mengenalnya sekali ka-

rena dia bukan lain adalah Pendekar 131. Terjadi per-

kelahian antara Lasmini dan Pendekar 131. Akhirnya 

Lasmini dapat dikalahkan Pendekar 131. Saraswati 

coba membantu dan melerai. Namun baik Lasmini 

maupun Pendekar 131 tidak ada yang saling menga-

lah. Hingga pada akhirnya Lasmini dibawa masuk ke 

dalam goa oleh Pendekar 131. Saraswati tidak bisa


berkutik karena dia dalam keadaan tertotok.

Pada akhirnya Saraswati dibebaskan oleh Pendekar 

131 tapi dengan syarat Saraswati harus segera pergi 

dari Bukit Kalingga. Saraswati menolak. Dia baru mau 

meninggalkan Bukit Kalingga jika bersama ibunya. 

Akhirnya terjadi perkelahian. Pendekar 131 sempat 

merobek pakaian di bagian dada Saraswati. Saraswati 

marah. Namun dia sadar, ilmu yang dimilikinya masih 

berada di bawah Pendekar 131 hingga seraya memba-

wa rasa kecewa dan geram, Saraswati tinggalkan Bukit 

Kalingga.

Saraswati terus berpikir. Dan pada akhirnya dia 

memutuskan untuk menuju Jurang Tlatah Perak. Dia 

ingin buktikan ucapan Kiai Laras apakah benar Pende-

ta Sinting berada di Bukit Kalingga. Karena dia merasa 

curiga dengan Kiai Laras.

“Tunggu” tahan laki-laki bercaping lebar. Saraswati 

hentikan langkah.

“Kau mengatakan kecewa dengan murid Pendeta 

Sinting. Itu berarti kau telah bertemu dengannya. Kau 

mau mengatakan padaku di mana kau bertemu den-

gan murid Pendeta Sinting Itu?!”

“Orang tua! Kuharap kau tidak ikut campur urusan 

ini...!”

“Bukan maksudku ikut campur! Apalagi aku ini 

orang tua yang tidak punya kepandaian apa-apa! Tapi 

sekadar ingin tahu tidak apa-apa, bukan?! Siapa tahu 

kelak aku bisa mencegah setiap orang yang akan me-

nuju tempat yang....”

Belum sampai si laki-laki bercaping lebar lanjutkan 

ucapan, Saraswati telah menukas. “Dia berada di kaki 

Bukit Kalingga!”

“Terima kasih, Anak Gadis.... Dengan keteranganmu 

ini aku bisa mencegah orang yang hendak menuju Bu-

kit Kalingga agar tidak mengalami nasib sama denganmu!”

“Orang tua! Satu hal yang harus kau ingat baik-

baik! Kuharap kau melupakan apa yang pernah kita 

bicarakan ini!”

“Tapi Ku tidak berarti aku harus boleh melupakan-

mu, bukan?!”

Saraswati berpaling. Sepasang matanya sedikit 

membelalak. Si laki-laki bercaping lebar tertawa. “Jan-

gan berprasangka buruk terhadap ucapanku! Aku ta-

hu siapa diriku! Tua bangka bau tanah.... Dan kau 

seorang gadis muda berparas cantik jelita! Adalah satu 

hal aneh dan gila kalau aku mengharapkan sesuatu 

darimu! Kalaupun baru saja aku berkata tidak harus 

melupakanmu, itu ungkapan ku sebagai orang tua pa-

da anaknya....”

Saraswati tersenyum. Si laki-laki bercaping lebar 

balas tersenyum. Lalu berkata. “Apa kau akan te-

ruskan perjalanan ke Jurang Tlatah Perak?!”

“Aku perlu bukti! Aku harus ke sana!”

“Kenapa kau perlu bukti?!”

“Seseorang mengatakan Pendeta Sinting tidak bera-

da di Jurang Tlatah Perak!”

“Tapi di Bukit Kalingga! Begitu bukan lanjutan uca-

panmu?!”

Saraswati anggukkan kepala. Si laki-laki bercaping 

lebar buka mulut lagi.

“Apakah waktu di Bukit Kalingga kau tidak sempat 

berjumpa dengan Pendeta Sinting?!”

“Aku tidak jumpa dengannya di sana! Yang kutemui 

hanya muridnya yang gila itu!”

Habis berkata begitu, Saraswati berpaling ke depan. 

Lalu perlahan-lahan melangkah tinggalkan tempat itu.

Si laki-laki bercaping lebar menghela napas pan-

jang. Dia terus pandangi langkah-langkah si gadis 

sampai sosoknya lenyap jauh di depan sana. Begitu


sosok Saraswati tidak kelihatan lagi, si laki-laki ber-

caping berkelebat cepat dan berlari laksana setan ting-

galkan tempat itu.

***

DUA BELAS



Laki-Laki bercaping lebar itu terus berlari laksana 

dikejar setan. Dia sempat berhenti beberapa saat un-

tuk bertanya pada orang yang lewat. Saat lain dia telah 

lanjutkan berlari.

Ketika saat telah menjelang dini hari, laki-laki ber-

caping lebar telah sampai pada kawasan sebuah bukit 

yang menurut beberapa orang yang sempat ditanyai 

adalah Bukit Kalingga.

“Mumpung hari belum terang, aku punya banyak 

waktu untuk menyiasati keadaan!” gumam laki-laki 

bercaping seraya arahkan pandangannya berkeliling. 

Dia harus tajamkan mata karena keadaan di sekitar 

tempat dia berada sangat gelap.

Laki-laki bercaping lebar mulai melangkah mengita-

ri lereng bukit. Dia bergerak hati-hati. Malah sesekali 

menyelinap sembunyi di balik batangan pohon. Namun 

karena keadaan gelap dan tempat itu belum dikenal-

nya, laki-laki ini tidak dapat menemukan apa yang di-

cari.

“Di mana goa itu?! Apa Saraswati berkata dusta?! 

Aku tidak menemukan sebuah lobang goa! Atau jan-

gan-jangan karena keadaan gelap dan mataku tidak 

bisa melihatnya...?! Hem.... Terpaksa aku harus me-

nunggu sampai suasana terang....”

Laki-laki bercaping lebar melangkah ke arah sebuah 

batangan pohon besar. Lalu duduk bersandar. Sesaat 

kemudian laki-laki ini telah pejamkan sepasang ma


tanya.

Ketika sang matahari mulai pancarkan sinar terang

di langit sebelah timur, perlahan-lahan laki-laki ber-

caping lebar buka kelopak matanya. Sesaat dia tersen-

tak. Kepalanya berpaling ke kanan kiri dengan mata 

liar memandang berkeliling. Saat yang sama dia berge-

rak bangkit. Lalu berkelebat mengitari bukit dengan 

mata terpentang besar.

Pada satu tempat, mendadak laki-laki bercaping le-

bar hentikan kelebatan tubuhnya. Memandang ke de-

pan, sepasang matanya makin mendelik. Sejarak dua 

belas langkah dari tempatnya berdiri, dia melihat se-

buah lobang goa yang di sana-sini tertutup oleh rim-

bun dedaunan. Hingga kalau orang tidak seksama, 

pasti tidak akan bisa melihat lobang goa itu.

Laki-laki bercaping lebar memandang ke sekitar lo-

bang goa. Lalu melompat menyelinap. Dia menunggu 

beberapa saat. Yakin tak ada orang lain, dia segera me-

lompat. Sosoknya kini hanya empat langkah dari lo-

bang goa.

“Tak ada tanda-tanda adanya orang...,” gumam laki-

laki bercaping lebar seraya tak henti-hentinya meman-

dang berkeliling. Saat lain dia telah membuat satu ge-

rakan dan membuat sosoknya telah berada di bibir lo-

bang goa. Dia hanya melongok sejenak ke dalam goa. 

Kejap lain dia telah melesat masuk.

“Tak ada orang...,” ujar laki-laki bercaping lebar be-

gitu edarkan pandangannya ke ruangan goa. “Jangan-

jangan Saraswati berkata dusta.... Tapi untuk apa dia 

berkata dusta?!”

Selagi laki-laki bercaping lebar membatin begitu, ti-

ba-tiba satu suara terdengar.

“Kuharap kedatanganmu ke tempat ini bukan kare-

na sengaja seperti diriku, sahabat!” Satu sosok bayan-

gan melesat dan tegak di hadapan laki-laki bercaping


lebar.

Laki-laki bercaping lebar terkesiap. Dan lebih terke-

siap lagi tatkala mengetahui siapa adanya orang yang 

tegak di hadapannya.

Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Ram-

butnya putih panjang. Kumisnya lebat.

“Kiai Laras!” ujar laki-laki bercaping lebar dalam ha-

ti. “Bagaimana dia berada di sini?! Apakah seperti uca-

pannya tadi dia tidak sengaja datang ke tempat ini?!”

“Sahabat! Boleh aku tahu siapa kau adanya?!” 

Orang di hadapan laki-laki bercaping lebar yang bukan 

lain adalah Kiai Laras ajukan tanya dengan tersenyum.

Laki-laki bercaping lebar tundukkan kepala seraya 

sedikit berpaling. Lalu buka mulut menyahut.

“Aku hanya orang yang tidak sengaja datang ke 

tempat ini....”

“Lalu kau hendak ke mana sebenarnya?!”

“Aku orang tua yang tidak pernah punya tujuan 

pasti. Aku hanya selalu mengikuti ke mana kakiku ini 

bergerak....”

“Hem.... Begitu?! Berarti kita orang tua yang punya 

nasib sama....”

“Mau katakan siapa kau sebenarnya?!”

Kiai Laras gelengkan kepala. “Sayang, Sahabat! Aku 

selalu mengikuti ke mana kakiku melangkah, tapi aku 

tidak selalu mengikuti apa permintaan orang! Dan per-

lu kau tahu, Sahabat! Aku suka menyendiri dan tak 

mau diganggu! Kuharap kau mengerti dan segera ting-

galkan tempat ini!” Suara Kiai Laras terdengar mening-

gi.

Laki-laki bercaping lebar sunggingkan senyum. 

“Sahabat! Bukankah kau tadi mengatakan datang ke 

tempat ini tanpa sengaja. Adalah aneh kalau sekarang 

kau menyuruhku meninggalkan tempat ini!”

“Kau telah dengar ucapanku! Aku suka menyendiri


dan tak mau diganggu! Tidak peduli aku sengaja atau 

tidak sengaja datang ke tempat ini!”

“Hem.... Ada keanehan pada orang ini! Apa yang ha-

rus kulakukan sekarang? Menuruti permintaannya?!” 

Laki-laki bercaping lebar membatin.

“Sahabat! Aku tidak suka bicara berulang kali! Kau 

turuti ucapanku atau tanganku yang akan menyeret

mu keluar dari sini!”

“Sahabat.... Terus terang saja! Sebenarnya kedatan-

ganku ke sini untuk mencari seseorang....”

Dahi Kiai Laras mengernyit. Tapi sebelum orang tua 

ini sempat buka mulut, laki-laki bercaping lebar telah 

angkat bicara lagi. “Apakah kau pernah melihat seo-

rang kakek di sekitar tempat ini?!”

“Tiap laki-laki berusia lanjut disebut kakek! Kata-

kan siapa nama orang yang kau cari!” hardik Kiai La-

ras.

“Namanya Pendeta Sinting!”

“Hem.... Orang yang tahu tempat ini hanyalah Sa-

raswati! Pasti manusia ini tahu dari gadis sialan itu! 

Aku harus melenyapkan manusia ini! Dia bisa meru-

sak semua rencanaku! Tahu begini akibatnya, me-

nyesal aku membiarkan gadis itu masih bernyawa!”

“Kau pernah melihatnya?! Dari sikapmu aku men-

duga kau adalah orang rimba persilatan. Jadi tak usah

kukatakan bagaimana orang yang kucari! Sebab kau 

mungkin sudah tahu!”

“Kau punya silang sengketa dengan Pendeta Sint-

ing?!” tanya Kiai Laras.

“Bukan hanya silang sengketa! Tapi dendam berka-

rat! Kau tahu bukan apa artinya dendam berkarat?! 

Dendam yang tidak bisa lenyap sebelum salah satu te-

was!”

“Dari mana kau tahu Pendeta Sinting berada di si-

ni?!” kembali Kiai Laras ajukan tanya.


“Aku selalu melangkah ke mana-mana! Sambil me-

langkah tak tentu tujuan, aku selalu mencari tahu! 

Karena tujuan hidupku hanyalah tuntaskan dendam 

berkarat ini”

“Kau berkata dusta, Sahabat! Kau hanya bertanya 

pada satu orang! Dan dia adalah seorang gadis yang 

menyamar sebagai seorang pemuda! Benar?!”

Laki-laki bercaping lebar gelengkan kepala. “Selama 

perjalanan, aku selalu menghindari bertanya pada pe-

rempuan! Karena aku tahu, ucapan seorang perem-

puan tidak dapat dipercaya!”

Kiai Laras tertawa pendek. “Sayang sekali, Sahabat! 

Aku tidak berjumpa dengan orang yang kau cari!”

Laki-laki bercaping lebar memandang berkeliling. 

“Kau sudah lama berada di sini?!”

“Kuharap kau segera tinggalkan tempat ini!” kata 

Kiai Laras tidak sambuti ucapan laki-laki bercaping le-

bar.

“Baik! Aku akan turuti kemauanmu.... Tapi sebelum 

aku pergi, kau mau jawab lagi satu pertanyaanku?!”

“Di sini bukan tempat yang baik untuk bertanya ja-

wab.”

Laki-laki bercaping lebar angkat bahu, memandang 

sekilas pada Kiai Laras lalu putar diri dan perlahan-

lahan melangkah menuju ke mulut goa.

Saat laki-laki bercaping lebar langkahkan kaki me-

lewati lobang goa, di belakang sana, mendadak Kiai La-

ras membuat gerakan. Sosoknya melesat ke depan. 

Kedua tangannya serta-merta bergerak lepaskan satu

pukulan bertenaga dalam tinggi.



                    SELESAI


Segera ikuti lanjutannya!!!

Serial Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng

dalam episode:


ISTANA SEKAR JAGAT


























Share:

0 comments:

Posting Komentar