SATU
Terdengar suara deruan dahsyat. Saat yang sama
dua gelombang luar biasa ganas melabrak ke arah la-
ki-laki bercaping lebar. Yang diserang sesaat terkesiap.
Kaki kanannya yang hendak melangkah melewati mu-
lut goa segera disentakkan. Laksana kilat sosok laki-
laki bercaping lebar melesat keluar dari goa.
Begitu sosok laki-laki bercaping lebar tegak di de-
pan mulut goa, terdengar suara bergemuruh. Si laki-
laki bercaping putar tubuh. Memandang ke depan,
tampak mulut goa dari mana dia tadi melesat keluar,
bergetar keras. Kejap lain mulut goa itu longsor. Batu
dan debu bertaburan keluar.
Taburan batu dan debu belum sirna, satu sosok tu-
buh telah menyeruak. Dua tindak di depan mulut goa
tampak berdiri tegak seorang laki-laki berusia lanjut
dengan rambut putih sebatas bahu. Kumis dan jeng-
gotnya lebat. Sepasang matanya tajam dan melotot
angker. Orang tua ini bukan lain adalah Kiai Laras.
Seperti dituturkan dalam episode sebelumnya, seo-
rang laki-laki bercaping lebar yang wajahnya sukar di-
kenali karena tertutup oleh sebagian caping pandan
lebar yang masukkan dalam-dalam, bertemu dengan
Saraswati yang saat itu tengah tenggelam dalam pera-
saan kecewa dan geram akibat perlakuan pemuda
yang menurut pandangannya bukan lain adalah Pen-
dekar 131. Dari mulut Saraswati, si laki-laki bercaping
lebar mendapat keterangan panjang lebar tentang di
mana adanya Pendekar 131. Si laki-laki akhirnya me-
nuju ke tempat yang dikatakan Saraswati.
Di kaki Bukit Kalingga, akhirnya si laki-laki bercap-
ing lebar berjumpa dengan Kiai Laras. Kiai Laras sen
diri tampaknya tidak suka dengan kehadiran laki-laki
bercaping lebar. Hingga bukan saja Kiai Laras segera
memerintahkan pada si laki-laki untuk segera angkat
kaki dari goa di samping Bukit Kalingga, namun begitu
si laki-laki bercaping lebar hendak melangkah pergi,
Kiai Laras segera lepaskan satu pukulan bertenaga da-
lam tinggi.
Untuk beberapa saat laki-laki bercaping lebar per-
hatikan sosok Kiai Laras di depan sana. Yang diperha-
tikan rangkapkan kedua tangan di depan dada dengan
kepala sedikit didongakkan.
“Manusia tak dikenali. Hanya satu cara kau bisa
angkat kaki dari tempat ini dengan nyawa selamat!”
Berkata Kiai Laras.
Laki-laki bercaping lebar sunggingkan senyum.
“Orang tua! Sebenarnya ada apa ini?! Aku telah turuti
ucapanmu untuk pergi. Tapi sekarang kau minta sya-
rat dengan kepergianku!”
Kiai Laras tidak menjawab pertanyaan orang. Seba-
liknya dia balik ajukan tanya.
“Katakan siapa kau sebenarnya!”
“Baik! Aku akan katakan siapa diriku. Tapi kuharap
jawabanku nanti sudah cukup menjadi syarat bagi ke-
pergianku!” Laki-laki bercaping lebar sekali lagi perha-
tikan orang di depan sana. Lalu lanjutkan ucapan.
“Aku Kiai Tung-Tung! Orang tua bernasib buruk kare-
na dalam usia senja begini rupa masih belum punya
tempat berpijak yang pasti.”
Habis berkata begitu, laki-laki bercaping lebar yang
sebutkan diri Kiai Tung-Tung gerakkan tubuh memba-
lik. Dengan tekan caping lebarnya hingga wajahnya
makin tak bisa dikenali, Kiai Tung-Tung ayunkan kaki.
Kiai Laras sesaat luruskan kepala memandang pada
gerakan kedua kaki Kiai Tung-Tung. “Aku yakin ada
yang tidak beres dengan manusia itu! Gerak-geriknya
jelas menunjukkan kalau dia mencari sesuatu di sini!
Meski aku yakin dia tidak tahu rahasia di dalam goa,
tapi setidaknya dia telah mengetahui aku berada di si-
ni! Ini tidak boleh terjadi! Dan aku menduga manusia
ini mendapat keterangan dari Saraswati! Sebelum se-
mua ini tersiar di luar, aku harus membungkam mu-
lutnya! Lagi pula, dia dapat selamat dari pukulanku,
berarti dia bukan manusia tidak berilmu. Padahal aku
tidak pernah dengar manusia bernama Kiai Tung-Tung
dalam rimba persilatan! Pasti dia berkata dusta!”
Berpikir begitu, Kiai Laras segera angkat suara
membentak.
“Dengar, Manusia! Kau boleh angkat kaki dari sini!
Tapi hanya raga kasarmu! Nyawamu harus tetap ting-
gal di sini!”
“Kau pasti bercanda dengan ucapanmu!” kata Kiai
Tung-Tung tanpa balikkan tubuh. “Lagi pula untuk
apa nyawa tua bangka sepertiku ini buatmu?!”
“Nyawamu memang tak ada gunanya untukku! Tapi
lebih tak berguna lagi di luaran sana! Maka lebih baik
kau tewas di sini daripada di luar sana!”
“Hem.... Orang tua ini menyembunyikan sesuatu!
Tempat yang dikatakan Saraswati pasti goa itu. Tapi di
mana pemuda yang dikatakan Saraswati sebagai Pen-
dekar 131?! Anehnya yang kutemui bukannya Pende-
kar 131 yang sudah pasti Pendekar 131 palsu, tapi
Kiai Laras.... Apa hubungan orang tua itu dengan Pen-
dekar 131 palsu?!”
Kiai Tung-Tung balikkan tubuh. “Orang tua! Uca-
panmu benar! Nyawaku tidak ada gunanya untukmu
juga di luaran sana! Tapi.... Itu kata orang! Dan kata
orang pasti berbeda dengan Sang Pencipta nyawa-
ku....”
Kiai Laras tertawa mengejek. “Malaikat maut da-
tangnya tidak terduga! Kalau kukatakan nyawamu su
dah tidak berguna, berarti Sang Pencipta sudah meng-
gariskan saat tercabutnya nyawamu!”
Kiai Tung-Tung gelengkan kepala dengan bibir ter-
senyum. “Tidak seorang pun tahu apa yang tengah di-
gariskan Sang Pencipta sebelum hal itu terjadi!”
“Akan kutunjukkan padamu jika aku tahu garis-
mu!” Kiai Laras buka rangkapan kedua tangannya. La-
lu diangkat tinggi-tinggi.
“Tahan!” teriak Kiai Tung-Tung. “Kurasa tidak ada
perlunya kau tunjukkan padaku garis takdir yang
akan ku alami! Itu membuatku ngeri.... Soalnya, terus
terang saja aku baru saja melamar seorang gadis can-
tik! Dan untuk mendapatkan gadis itu aku telah ba-
nyak berkorban.... Korban harta dan perasaan.... Kau
bisa bayangkan bagaimana kecewanya hatiku jika aku
gagal mengawini gadis itu....”
“Siapa percaya tua bangka sepertimu melamar seo-
rang gadis cantik! Kau jangan kira bisa menipuku! Aku
tahu.... Semua ucapanmu tadi hanya bohong belaka!”
“Hai.... Bagaimana kau bisa berkata begitu?!” kata
Kiai Tung-Tung.
“Itu urusanmu! Kau telah tahu sendiri jawabannya!”
“Aneh...,” gumam Kiai Tung-Tung seraya gelengkan
kepala. “Kau berkata semua ucapanku bohong. Padah-
al aku telah berkata sejujurnya!”
“Kau terlalu banyak mulut!” hardik Kiai Laras.
“Jangan kira aku tidak tahu dari mana kau tahu tem-
pat ini! Kau juga jangan duga aku tidak tahu apa mak-
sud tujuanmu datang ke sini! Semua itu harus kau
bayar mahal!”
“Hem.... Mendengar ungkapan ucapannya, aku ma-
kin yakin orang ini ada hubungannya dengan Pende-
kar 131 palsu!”
Baru saja Kiai Tung-Tung membatin begitu, di de-
pan sana Kiai Laras telah gerakkan kedua tangannya.
Wuutt! Wuutt!
Terlambat bagi Kiai Tung-Tung untuk berteriak
mencegah tindakan Kiai Laras. Hingga dia terpaksa ju-
ga angkat kedua tangannya tatkala dua gelombang ga-
nas menggebrak ke arahnya dari sentakan kedua tan-
gan Kiai Laras.
Wuutt! Wuuutt!
Kedua tangan Kiai Tung-Tung mendorong ke depan.
Saat itu juga tampak semburatan sinar berwarna kun-
ing membawa gelombang luar biasa deras serta hawa
panas.
Blaamm!
Dua gelombang dari masing-masing tangan orang
beradu di udara. Terdengar suara ledakan dahsyat.
Tanah di sekitar goa bergetar keras. Mulut goa yang
sudah berantakan akibat terhantam pukulan Kiai La-
ras berderak makin longsor. Sosok Kiai Laras tampak
tersapu tiga langkah ke belakang dengan raut muka
berubah. Tubuhnya bergetar hebat tersandar pada
samping mulut goa yang longsor. Orang tua ini rasa-
kan kedua tangannya laksana baru saja menghantam
tembok tebal hingga begitu terdengar ledakan, kedua
tangannya langsung mental balik ke belakang dengan
darah seperti tersumbat dan menyentak-nyentak.
Di seberang sana, sosok Kiai Tung-Tung terjajar dua
langkah. Karena raut wajahnya tertutup sebagian cap-
ing lebarnya, maka perubahan air mukanya tidak jelas.
Namun kedua tangannya yang bergetar sudah cukup
membuktikan kalau laki-laki ini juga mengalami hal
yang sama dengan Kiai Laras.
Begitu dapat kuasai diri, sepasang mata Kiai Laras
mementang angker pandangi Kiai Tung-Tung. Tiba-tiba
dahi orang tua ini berkerut. “Aku sepertinya pernah
melihat pukulan yang baru saja dilepas manusia itu!
Sialnya aku lupa kapan dan di mana!” Kiai Laras don
gakkan kepala seolah mengingat.
“Boleh aku tanya sesuatu?!” Kiai Tung-Tung angkat
bicara seolah tidak terjadi apa-apa. Malah orang ini
sunggingkan senyum dan anggukkan kepala.
Entah karena ingin mengetahui siapa adanya orang,
Kiai Laras menjawab. “Apa yang akan kau tanyakan?!”
“Kau pasti masih ada hubungan dengan seorang
pemuda bergelar Pendekar 131 Joko Sableng! Apa be-
tul?!”
“Aku makin yakin manusia ini baru saja bertemu
dengan Saraswati!” Diam-diam Kiai Laras membatin
begitu mendengar ucapan Kiai Tung-Tung. Setelah
agak lama terdiam, dia buka mulut.
“Aku memang pernah mendengar pemuda bergelar
Pendekar 131 Joko Sableng! Namun aku tak ada hu-
bungan apa-apa dengannya!”
Kiai Tung-Tung angguk-anggukkan kepala. “Apa di
sekitar tempat ini masih ada goa lagi?!” Kiai Tung-Tung
bergumam sendiri dalam hati. “Kalau orang tua itu ti-
dak ada hubungannya dengan Joko palsu, pasti dia
yang disebut-sebut Saraswati sebagai seorang yang
memberi nasihat! Hem.... Berarti aku harus mencari ke
tempat lain....”
Kiai Tung-Tung melirik pada Kiai Laras. Lalu berka-
ta dengan suara pelan.
“Kurasa tidak ada gunanya kita teruskan urusan
ini. Kita sama-sama sudah tua. Lagi pula terlalu sepele
jika kita harus korbankan nyawa tanpa urusan yang
jelas. Lebih-lebih aku masih ingin menikmati kekasih-
ku yang masih gadis.... Kuharap kau mengerti!” Kiai
Tung-Tung tertawa. Lalu bergerak balikkan tubuh.
Namun sebelum tubuh Kiai Tung-Tung membalik,
Kiai Laras telah angkat suara.
“Mengapa kau tanya pemuda bergelar Pendekar 131
Joko Sableng?! Kau mencarinya?!”
Kiai Tung-Tung urungkan niat untuk putar diri.
‘Aku yakin kau adalah kalangan orang rimba persila-
tan. Aku bisa memastikan kau tahu banyak tentang
sebuah senjata bernama Kembang Darah Setan dan
seluk beluknya! Itu berarti....”
“Dugaanku tepat!” Kiai Laras memotong ucapan Kiai
Tung-Tung. “Kau pasti mencari pemuda itu untuk me-
rebut Kembang Darah Setan yang menurut beberapa
orang senjata dahsyat itu sekarang di tangan Pendekar
131 Joko Sableng!”
“Dugaanmu salah!” Kiai Tung-Tung gelengkan kepa-
la. “Kalaupun aku mencarinya, tidak ada sangkut
pautnya dengan Kembang Darah Setan! Lagi pula aku
belum percaya benar dengan kabar yang selama ini
sudah tersiar dalam rimba persilatan!”
Kiai Laras tersenyum dingin. “Lalu apa tujuanmu
mencarinya?!”
“Ada seseorang menitipkan pesan padaku untuk
Pendekar 131! Sebenarnya aku enggan untuk me-
nyanggupinya, namun karena pesan itu diucapkan
saat orang itu menjelang ajal, terpaksa aku berjanji
untuk menyampaikan pesan itu!”
“Siapa orang itu?!”
Kiai Tung-Tung gelengkan kepala. “Aku tidak bisa
mengatakan siapa orang itu!”
Kiai Laras sipitkan sepasang matanya. Keningnya
berkerut. Kiai Tung-Tung rupanya dapat menangkap
apa yang ada dalam benak orang. Hingga sebelum Kiai
Laras buka suara, Kiai Tung-Tung telah mendahului.
“Aku tidak bisa mengatakan siapa adanya orang itu
karena dia sendiri tidak mau sebutkan siapa dirinya”
Aku pun tidak mau memaksa orang yang menjelang
ajal untuk bicara banyak!”
Kiai Laras palingkan kepala dengan perdengarkan
dengusan. “Apa pesan yang kau bawa?!”
“Aku telah berjanji tidak akan mengatakan pesan
itu pada orang lain! Yang jelas, pesan itu tidak ada hu-
bungannya dengan Kembang Darah Setan!”
“Mengapa kau mencari Pendekar 131 di sini?! Kau
kira dia berada di sekitar tempat ini?!”
“Bagi pencari sepertiku, setiap tempat mengandung
dua kemungkinan! Ada dan tidak ada! Tidak terkecuali
tempat ini!”
Kiai Laras arahkan pandang matanya kembali pada
Kiai Tung-Tung. “Aku bersedia membantumu mencari
Pendekar 131 asal kau mau katakan dahulu apa pesan
itu!”
“Orang tua sepertiku sudah tidak layak lagi ingkari
ucapan yang telah dijanjikan pada orang yang berpe-
san menjelang ajal.... Kuharap kau mengerti! Aku pun
tidak memaksamu untuk membantuku. Aku akan be-
rusaha. Kalau tidak berhasil, setidaknya aku telah la-
kukan apa yang bisa kulakukan!”
“Kau tak akan pernah bisa lakukan apa yang kau
katakan!” ujar Kiai Laras dingin.
“Apa maksud ucapanmu?!”
“Kau tak akan kubiarkan angkat kaki dari sini sebe-
lum kau katakan apa pesan yang kau bawa!”
“Heran.... Apa hubungannya pesan itu denganmu?!”
“Kau tak perlu bertanya! Kau hanya perlu mengata-
kan pesan itu!”
Kiai Tung-Tung tertawa panjang. “Kalaupun aku
mengatakan pesan itu, kukira tidak ada gunanya ba-
gimu....”
“Setan alas! Berguna atau tidak bukan urusanmu!”
“Betul. Itu memang urusanmu! Tapi kalau kukira
tidak ada gunanya untuk apa kukatakan padamu?!”
“Jahanam!” Kiai Laras tampaknya sudah hilang ke-
sabaran. Sambil memaki kedua tangannya diangkat.
“Kau katakan pesan itu, atau kau akan mampus di si
ni!”
Kiai Tung-Tung angkat bahu seraya gelengkan ke-
pala. “Sebenarnya aku tak boleh ingkar janji! Tapi ka-
lau kau memaksa, daripada membuat silang sengketa,
aku akan mengatakan pesan itu! Tapi dengan syarat.”
Kiai Laras tertawa pendek. “Aku tidak pernah me-
minta dengan syarat!”
Kiai Tung-Tung balik tertawa mendengar ucapan
Kiai Laras. “Kau boleh mengatakan hal demikian. Tapi
untuk yang satu ini urusannya lain! Kalau kau tidak
mau menerima syarat ku, jangan harap kau akan
mendengar apa yang kau minta!”
“Hem.... Aku hanya perlu mendengar saja syarat
yang diucapkan! Dan tidak akan melakukannya!” kata
Kiai Laras dalam hati. Lalu perdengarkan suara.
“Katakan apa syaratmu!”
“Kau yang menanggung dosa akibat ingkar janji ku!”
Kiai Laras sesaat kerutkan dahi. Kejap lain orang
tua ini meledak tawanya dan berkata di sela-sela gela-
kan tawanya. “Syarat gampang! Malah setinggi apa
pun dosa yang kau punya, aku akan menanggungnya!”
Kiai Tung-Tung menunggu hingga Kiai Laras henti-
kan tawanya sambil sesekali edarkan pandangan ber-
keliling.
“Sudah puas?!” tanya Kiai Tung-Tung begitu Kiai
Laras hentikan gelakan tawanya.
Pertanyaan Kiai Tung-Tung membuat kening Kiai
Laras kembali mengernyit. Namun belum sampai Kiai
Laras dapat menduga apa di balik ucapan orang, Kiai
Tung-Tung telah angkat bicara.
“Harap tidak tertawa dahulu! Aku belum mengata-
kan semua syarat ku! Yang kukatakan tadi baru syarat
pertama....”
DUA
Sosok Kiai Laras tegak dengan mata mendelik ang-
ker. Orang tua ini sudah merasa kesal dengan ucapan
Kiai Tung-Tung yang ternyata mengajukan beberapa
syarat. Sementara Kiai Tung- Tung sendiri pura-pura
tidak tahu perubahan sikap orang dengan alihkan
pandang matanya ke jurusan lain. Namun setelah ber-
pikir, akhirnya Kiai Laras berkata.
“Kau boleh katakan apa syarat lainnya! Tapi jangan
mimpi aku akan melakukan jika syaratmu terlalu ba-
nyak!”
“Kau harus mengatakan apa hubunganmu dengan
orang tua bernama Kiai Lidah Wetan! Lalu kau harus
mengatakan apakah kau pernah bertemu dengan Pen-
dekar 131! Terus kau juga harus katakan siapa saja
yang pernah datang ke tempat ini!”
Pelipis kiri kanan Kiai Laras bergerak-gerak. Tan-
gannya mengepal. Sepasang matanya berputar liar.
“Sahabat.... Kupikir syarat ku tidak sulit! Kau
hanya tinggal buka mulut, imbalannya kau akan men-
dengar pesan yang akan kusampaikan pada Pendekar
131!” Berkata Kiai Tung-Tung.
Kiai Laras coba menindih gelegak di dadanya. Lalu
berpaling seraya berkata.
“Aku baru kali ini mendengar orang bernama Kiai
Lidah Wetan!”
“Hem.... Kuharap kau tidak berkata dusta, Saha-
bat....”
“Keparat! Kau ingin dengar atau ingin membuat
urusan panjang, hah?”
“Aku pernah bertemu dengan orang bernama Kiai
Lidah Wetan. Percaya atau tidak, kau harus percaya
kalau kukatakan jika siapa pun yang pernah bertemu
denganmu akan mengatakan kau punya hubungan
dengan Kiai Lidah Wetan!” Kiai Tung-Tung hentikan
ucapannya sesaat sebelum akhirnya melanjutkan.
“Wajahmu.... Sama persis!”
“Berarti manusia ini pernah jumpa dengan Kiai Li-
dah Wetan...,” kata Kiai Laras dalam hati. Lalu sambil
tertawa perlahan dia berujar.
“Aku tanya. Apa orang yang wajahnya persis berarti
punya hubungan?!”
“Memang tidak selalu. Namun kemungkinannya
sangat besar!”
“Baik! Tapi persetan dengan kemungkinan itu! Yang
pasti aku tidak mengenal Kiai Lidah Wetan apalagi
punya hubungan!”
“Hem.... Bagaimana dengan syarat ku selanjutnya?!”
tanya Kiai Tung-Tung.
“Aku memang pernah bertemu dengan Pendekar
131 di dekat sebuah sendang pada beberapa waktu
yang lalu!”
Kiai Tung-Tung tampak sedikit terkesiap. “Astaga....
Jadi saat itu dia telah mengenaliku....”
“Sikapmu menunjukkan kau terkejut. Kau masih
juga meragukan ucapanku?!” tanya Kiai Laras yang
dapat menangkap perubahan pada Kiai Tung-Tung.
Kiai Tung-Tung buru-buru sunggingkan senyum.
Dan cepat pula angkat bicara.
“Syarat selanjutnya....”
“Memang ada beberapa orang yang mampir ke tem-
pat ini!”
“Apakah di antara beberapa itu ada seorang pemu-
da tampan berkumis tipis mengenakan pakaian hitam-
hitam?!”
“Hem....” Kiai Laras menggumam. “Berarti memang
dia telah bertemu dengan Saraswati!” kata Kiai Laras
dalam hati. Lalu berucap. “Kalau tidak salah lihat,
ucapanmu benar! Aku pernah bertemu dengan pemu-
da yang cirinya kau katakan! Malah kalau tidak salah,
aku pernah memberi nasihat padanya...!”
“Hem.... Orang ini tampaknya tidak berdusta den-
gan ucapannya! Tapi aku harus tetap waspada. Di ba-
lik ucapan jujurnya mungkin dia punya maksud ter-
sembunyi!” Kiai Tung-Tung membatin.
“Aku telah penuhi syarat yang kau pinta! Sekarang
saatnya bagiku menagih imbalannya!” Kiai Laras ber-
kata seraya melangkah maju dua tindak.
Kiai Tung-Tung sejenak tampak kebingungan. Kiai
Laras memperhatikan dengan mata menyengat angker.
“Telingamu telah dengar ucapanku! Katakan pesan
itu!” teriak Kiai Laras.
“Pendekar 131 disuruh datang ke satu tempat....”
“Jahanam! Teruskan ucapanmu!” teriak Kiai Laras
saat Kiai Tung-Tung hentikan ucapannya.
“Dia disuruh datang ke pesisir utara bagian barat
dekat dengan teluk!”
“Kapan waktunya?!” tanya Kiai Laras dengan suara
tetap tinggi.
“Dia tidak mengatakan kapan waktunya...!”
“Apa maksudnya?!”
“Seperti halnya dirimu saat ini, saat itu pun aku
mendesaknya! Namun sampai ajal menjemput, orang
itu tetap bungkam!”
“Apa ucapan orang ini bisa dipercaya?! Hem.... Tapi
tak ada salahnya aku coba lakukan apa yang dikata-
kan!” kata Kiai Laras dalam hati. “Aku akan memper-
panjang nyawanya sampai aku bisa buktikan benar ti-
daknya! Jika ucapannya dusta, nyawanya akan ku pu-
tus dua kali!”
“Kau masih sayang nyawamu?!” ucap Kiai Laras
membuat Kiai Tung-Tung terkejut.
“Aneh.... Bukankah kau tadi....”
Sebelum Kiai Tung-Tung teruskan ucapannya, Kiai
Laras telah menukas. “Kalau kau masih sayang nya-
wamu, apalagi yang kau tunggu?! Lekas angkat kaki
dari hadapanku!”
Kiai Tung-Tung menghela napas panjang. Tanpa
berkata apa-apa lagi, laki-laki bercaping lebar ini ba-
likkan tubuh lalu perlahan-lahan melangkah mening-
galkan tempat itu.
“Seseorang menyuruh Pendekar 131 datang kesatu
tempat dan tidak mau mengatakan apa maksudnya....
Tentu ada satu rahasia! Dan kalau Pendekar 131 yang
diberi pesan, rahasia ini tentu bukan sembarang raha-
sia! Jangan-jangan masih ada hubungannya dengan
sebuah kitab atau senjata sakti!” Kiai Laras tersenyum
seraya pandangi sosok Kiai Tung-Tung. “Kembang Da-
rah Setan telah berada di tanganku! Dengan tambahan
senjata atau kitab sakti, maka semua urusanku akan
bertambah lancar! Ha.... Ha.... Ha...!”
Kalau Kiai Laras membatin begitu, Kiai Tung-Tung
juga membatin seraya melangkah. “Aku jadi curiga!
Mengapa dia memaksaku untuk mengatakan pesan
itu! Kalau dia tidak ada hubungannya dengan Pende-
kar 131 yang palsu, tentu dia tidak akan berbuat begi-
tu! Aku harus mengawasinya....”
Kiai Tung-Tung hentikan langkah. Kepalanya men-
dongak. Tangan kanannya diangkat lalu salah satu ja-
rinya dimasukkan ke lobang telinga. Sambil bersiul la-
gi, laki-laki bercaping lebar ini perlahan-lahan memu-
tar tubuh. Dan perlahan-lahan pula kepalanya dige-
rakkan lurus ke depan.
“Busyet! Ke mana dia?! Masuk lagi ke dalam goa
atau....” Kiai Tung-Tung edarkan pandang matanya
berkeliling. Dan mungkin untuk memperjelas pengliha-
tan, tangan kanannya digerakkan ke depan. Caping le-
bar bagian depan diangkat sedikit, hingga dia bisa menangkap sesuatu yang berada di atas tanpa harus ten-
gadah.
Namun sejauh ini Kiai Tung-Tung tidak melihat so-
sok Kiai Laras. Kiai Tung-Tung tarik lagi caping lebar-
nya ke bawah. Saat bersamaan sosoknya bergerak
memutar. Lalu perlahan-lahan teruskan langkah.
Sejauh dua puluh lima tombak, Kiai Tung-Tung
hentikan langkah. Sesaat dia tegak dengan mata meli-
rik ke samping kanan kiri. Kejap lain orang ini mem-
buat gerakan. Tahu-tahu sosoknya telah melesat dan
lenyap di balik rimbun semak belukar di kaki bukit.
Bersamaan dengan lenyapnya sosok Kiai Tung-
Tung, semak belukar di sekitar kaki bukit tampak ber-
gerak-gerak. Gerakan semak ini membentuk jalur ke
arah goa di kaki Bukit Kalingga di mana tadi Kiai
Tung- Tung dan Kiai Laras bertemu.
Tiba-tiba kesunyian kaki Bukit Kalingga dipecah
dengan terdengarnya gelakan suara tawa panjang
membahana. Gerakan semak belukar sekonyong-
konyong terhenti. Lalu terdengar suara di sela suara
gelakan tawa.
“Rupanya ada manusia yang belum tahu bahasa ka-
ta! Manusia macam ini harus diajari bahasa tangan!”
Suara itu belum lenyap, tiba-tiba terdengar satu de-
ruan keras. Saat bersamaan dua gelombang menghajar
ganas ke arah terhentinya gerakan semak belukar.
“Busyet!” terdengar keluhan dari semak belukar di
mana saat itu gelombang ganas mengarah! Lalu tam-
pak satu bayangan melesat keluar dari semak belukar.
Bayangan ini terlihat membuat gerakan dengan men-
dorong kedua tangannya.
Blaamm!
Kaki Bukit Kalingga kembali dibuncah suara leda-
kan keras. Tanahnya laksana dilanda gempa dan mun-
crat ke udara bersama ranggasan semak. Sosok yang
tadi melesat keluar dari balik semak belukar tegak li-
ma langkah di samping semak yang telah porak-
poranda.
Sesaat setelah bayangan dari semak tegak, satu
bayangan berkelebat dan tahu-tahu telah tegak sejarak
empat langkah di hadapan sosok yang keluar dari ba-
lik semak.
“Rupanya takdir nyawamu harus tercabut di sini,
Manusia! Terbukti kau berani kembali dengan sem-
bunyi-sembunyi!” Berkata orang yang muncul bela-
kangan. Orang ini ternyata Kiai Laras. Kedua tangan-
nya bergerak terangkat.
“Tunggu!” seru orang di seberang yang tadi melesat
dari balik semak belukar. Orang ini bukan lain ternya-
ta Kiai Tung-Tung. “Aku lupa sesuatu....” Kiai Tung-
Tung angkat pula kedua tangannya. Bukannya siap le-
paskan pukulan seperti gerakan yang dibuat Kiai La-
ras. Melainkan kedua tangannya digerak-gerakkan ke
samping kiri kanan memberi isyarat agar orang tidak
lanjutkan niat.
Sepasang mata Kiai Laras menatap tajam. Mulutnya
membuka. “Beraninya kau membuat alasan! Kau kira
aku tidak tahu gerak-gerik mu, hah?!”
“Tenang, Sahabat.... Aku bukannya membuat ala-
san. Aku memang melupakan sesuatu! Tentang pesan
itu....”
“Hem.... Begitu?! Cepat katakan apa yang kau lupa!”
hardik Kiai Laras tanpa menurunkan kedua tangan-
nya.
“Kuharap kau tidak mengatakan pesan itu pada
siapa pun! Bahkan pada Pendekar 131 jika kau nanti
sempat bertemu dengannya!”
Kiai Laras sempat menduga-duga dengan ucapan
Kiai Tung-Tung. Kiai Tung-Tung rupanya dapat me-
nangkap arti pandangan orang. Hingga dia buru-buru
susuli ucapan.
“Pesan itu disampaikan orang padaku! Jadi akulah
satu-satunya orang yang harus mengatakannya pada
orang yang diberi pesan.... Jika tidak, aku khawatir
orang yang diberi pesan tidak percaya lagi pada pesan
itu!”
“Hem.... Hanya itu?!” ujar Kiai Laras setelah Kiai
Tung-Tung hentikan ucapannya.
Yang ditanya sesaat terdiam. Kepalanya berpaling
namun ekor matanya melirik.
“Kuharap kau juga merahasiakan semua ini! Aku
khawatir akan banyak orang berbondong-bondong ke
pesisir utara kalau sampai berita ini tersiar! Apalagi
kau tahu, saat ini Pendekar 131 sedang menjadi inca-
ran banyak kalangan karena tersiar kabar Kembang
Darah Setan telah berada di tangannya!”
“Hanya itu?!” Kembali Kiai Laras bertanya.
“Benar! Hanya itu...,” ujar Kiai Tung-Tung.
Kiai Laras tertawa pendek. “Kau telah kuberi ke-
sempatan untuk tinggalkan tempat ini! Tapi kau kem-
bali.... Maka untuk bisa angkat kaki lagi dari sini, kau
harus menerima syarat ku!”
Kiai Tung-Tung terkesiap. “Sahabat....”
“Jangan menyela ucapanku!” bentak Kiai Laras se-
belum Kiai Tung-Tung lanjutkan kata-katanya. “Kau
terima syarat ku berarti kau bisa tinggalkan tempat
ini! Kalau tidak, itu adalah nasib buruk bagimu!”
“Aku tadi kembali karena masih ada sesuatu yang
harus kukatakan padamu! Maka, tidak adil rasanya
kalau kembali ku harus kubayar dengan syarat lagi!”
“Persetan!” teriak Kiai Laras. “Buka caping lebar
mu!”
Kiai Tung-Tung terkejut mendengar permintaan
orang. Dia kembali palingkan wajahnya lurus mengha-
dap Kiai Laras. “Sahabat.... Bukannya aku tidak mau
lakukan apa yang kau minta. Tapi....” Hanya sampai di
situ ucapan Kiai Tung-Tung. Karena mendadak saja
Kiai Laras telah gerakkan kedua kakinya. Sosoknya
melesat ke depan. Kedua tangannya berkelebat.
“Manusia sepertimu layak diperintah dengan tan-
gan!” teriak Kiai Laras.
Kiai Tung-Tung rasakan dua desiran angin menderu
ke arah kepalanya. Cepat-cepat orang bercaping ini
angkat kedua tangannya. Tangan kiri ditekankan pada
caping lebarnya, tangan kanan menghadang di depan
kepala. Saat bersamaan kepalanya ditarik sedikit ke
belakang.
Bukkk!
Tangan kiri Kiai Laras yang hendak menyambar
caping di kepala Kiai Tung-Tung menerpa udara. Se-
mentara tangan kanannya beradu dengan tangan ka-
nan Kiai Tung-Tung.
Tangan masing-masing orang yang beradu tampak
sama mental ke belakang. Kiai Laras naik pitam. Tu-
buhnya membuat gerakan memutar. Saat sosoknya
kembali menghadap Kiai Tung-Tung, kaki kanannya
telah lepaskan tendangan dahsyat. Bukan itu saja,
bersamaan kaki kanannya yang membuat gerakan
menendang, kedua tangannya pun bergerak lepaskan
pukulan bertenaga dalam tinggi!
Mendapati serangan beruntun, Kiai Tung-Tung ti-
dak berani main-main. Apalagi pukulan itu dilepas
orang dari jarak dekat. Hingga tanpa pikir panjang lagi,
Kiai Tung-Tung cepat-cepat tarik kedua tangannya se-
dikit ke belakang. Saat lain didorong ke depan.
Kedua tangan Kiai Tung-Tung sesaat tadi tampak
berubah menjadi berwarna kekuningan. Saat kedua
tangannya bergerak mendorong, tampak sinar kuning
melesat dengan membawa gelombang luar biasa ber-
hawa panas menyengat.
Kiai Laras tersentak. Kaki kanannya yang menen-
dang laksana dihantam gelombang dahsyat hingga ter-
pental dan tubuhnya sedikit terhuyung. Dalam kea-
daan begitu rupa, Kiai Laras tampaknya maklum akan
bahaya yang mengancam. Hingga bersamaan dengan
terpentalnya kaki kanannya, orang tua ini lipat ganda-
kan tenaga dalam pada kedua tangannya. Gelombang
yang mencuat dari kedua tangannya melesat makin
menggidikkan!
Blaarr!
Semburatan warna kuning yang membawa gelom-
bang dahsyat berhawa panas beradu dengan gelom-
bang dari kedua tangan Kiai Laras. Muncratan bunga
api tampak membubung di kaki Bukit Kalingga, lalu
menebar datar sampai dua tombak berkeliling meram-
bah pepohonan setelah terlebih dahulu perdengarkan
suara gelegar keras. Kaki Bukit Kalingga laksana dite-
lan kepulan asap dan hamburan dedaunan yang telah
hangus.
Kiai Laras berseru tertahan. Sosoknya mencelat
menghantam sebatang pohon lalu mental lagi sejauh
dua tombak sebelum akhirnya jatuh terkapar di balik
semak belukar.
Di seberang sana, sosok Kiai Tung-Tung tersapu ke
udara. Orang ini cepat berusaha imbangi diri tatkala
rasakan tubuhnya melayang deras ke bawah. Tapi
bentrokan pukulan serta gelegar suara dentuman
membuat laki-laki bercaping lebar ini laksana disen-
tak-sentak. Hingga meski dia sempat himpun tenaga
dan membuat gerakan, namun sudah sangat terlambat
dengan luncuran tubuhnya. Dan tanpa ampun lagi so-
soknya terbanting di atas tanah.
Kiai Laras memaki panjang pendek. Lalu cepat-
cepat kerahkan tenaga dalam. Saat lain orang tua ini
berusaha bangkit berdiri. Namun dia merasakan seku
jur tubuhnya kehilangan tenaga. Sosoknya terhuyung
dan oleng. Saat bersamaan kedua lututnya melipat.
Dan tak lama kemudian sosoknya jatuh terduduk. Ra-
hangnya terangkat membatu dengan raut mengetam.
Bukan saja karena hawa amarah yang melanda da-
danya namun lebih dari itu karena sama sekali tidak
menduga jika pukulan lawan yang menghadangnya
mampu membuat sosoknya tidak mampu bergerak
bangkit. Ini menunjukkan kalau orang bercaping lebar
memiliki ilmu yang tidak berada di bawahnya!
“Aku harus mengetahui siapa manusia itu sebenar-
nya! Dia tidak akan kubiarkan lolos!”
Berpikir begitu, Kiai Laras himpun segenap kemam-
puan yang ada. Begitu merasakan dapat kuasai diri,
tangan kanannya menyelinap ke balik pakaiannya.
Saat itulah dia baru sadar kalau dari mulutnya telah
keluar cairan darah! Jelas menandakan kalau dia su-
dah terluka bagian dalam.
“Bangsat itu harus mampus! Persetan siapa dia se-
benarnya!” kertak Kiai Laras. Lalu perlahan-lahan
bangkit.
Sementara di bagian lain, Kiai Tung-Tung keluarkan
gumaman tidak jelas. Namun orang ini bisa segera
bergerak bangkit meski sesaat terhuyung-huyung.
Sambil lebih tekankan caping lebarnya dalam-dalam
ke kepalanya, laki-laki ini edarkan pandang matanya
ke semak belukar di mana Kiai Laras jatuh terkapar.
Sesaat tadi dia sempat terlengak ketika matanya meli-
hat gerakan semak belukar dan disusul dengan non-
golnya kepala berambut putih.
“Sungguh luar biasa.... Dia mampu segera bangkit!
Padahal aku tadi telah melepas pukulan ‘Lembur Kun-
ing’!” kata Kiai Tung-Tung perlahan dengan mata tak
berkesip.
Namun tiba-tiba sepasang mata Kiai Tung-Tung
menyipit. Caping lebarnya bagian depan tampak berge-
rak-gerak tanda kening orang ini mengernyit. Ternyata
nongolan kepala Kiai Laras cuma sebentar. Tak berapa
lama kemudian, kepala itu bergerak ke samping. Kejap
lain kepala itu lenyap di balik semak belukar.
“Hem....” Kiai Tung-Tung menggumam. “Tak ada
gunanya aku berlama-lama di sini....” Dia membuat ge-
rakan melompat dua kali dengan kepala tetap berpal-
ing ke arah di mana tadi kepala Kiai Laras nongol, dan
lenyap.
Begitu dia injakkan kaki dari dua kali lompatannya,
laki-laki bercaping lebar ini luruskan kepala ke depan.
Saat lain sosoknya berkelebat tinggalkan tempat itu.
Bersamaan dengan berkelebatnya sosok Kiai Tung-
Tung, Kiai Laras bergerak bangkit. Mata orang tua ini
langsung membeliak melihat berkelebatnya Kiai Tung-
Tung.
Laksana disentak setan, Kiai Laras hentakkan sepa-
sang kakinya. Sosoknya melesat mengejar. Bersamaan
dengan lesatan tubuhnya, tangan kanannya yang me-
nyelinap ke balik pakaiannya disentakkan keluar.
Tampaklah cahaya tiga warna. Merah, hitam, dan pu-
tih.
Kiai Laras angkat tangannya yang ternyata telah
menggenggam tangkai Kembang Darah Setan. Serta
merta tangan kanannya digerakkan ke depan.
Wuttt!
Tiga sinar merah, hitam, dan putih berkiblat ang-
ker. Namun bagaimanapun hebatnya sinar yang keluar
dari Kembang Darah Setan, sosok Kiai Tung-Tung su-
dah terlalu jauh untuk dapat dijangkau. Hingga yang
menjadi sasaran kiblatan sinar yang mencuat dari
Kembang Darah Setan adalah ranggasan semak belu-
kar serta jajaran beberapa pohon di depan sana.
Semak belukar langsung bertabur ke angkasa. Dis
usul dengan terdengarnya suara derakan tumbangnya
beberapa pohon.
Kiai Laras hentikan kelebatannya. Matanya mena-
tap liar berkeliling. Sosok Kiai Tung-Tung sudah tidak
kelihatan lagi. Saking marahnya, kaki kanan Kiai La-
ras bergerak menghentak. Tanah di bawahnya bergetar
dan langsung membentuk lobang menganga!
Dengan tubuh bergetar, tangan kanan Kiai Laras
yang memegang Kembang Darah Setan diselinapkan
kembali ke balik pakaiannya. Lalu putar tubuh dan
melangkah lebar-lebar ke arah goa di depan sana.
***
TIGA
Pemuda berkumis tipis berpakaian hitam-hitam itu
berlari-lari kecil. Sesekali kepalanya bergerak berpaling
ke samping kanan kiri. Sepasang matanya waspada
menatapi tempat yang dilewati. Raut wajah dan sikap-
nya jelas menunjukkan kalau pemuda ini berhati-hati.
Pada satu tempat, si pemuda berkumis tipis yang
bukan lain adalah Saraswati, gadis cantik anak Lasmi-
ni dengan Panjer Wengi alias tokoh rimba persilatan
yang pada akhirnya dikenal sebagai Tengkorak Berda-
rah, yang selama ini tetap mengenakan penyamaran
sebagai seorang pemuda berkumis tipis hentikan lang-
kahnya. Tangan kanannya diangkat lalu ditadangkan
di depan kening untuk hindari silau sengatan sinar
matahari.
Sesaat sepasang mata Saraswati membelalak. Dari
tempatnya tegak, dia melihat empat orang berkelebat
cepat. Gerakan keempatnya laksana dikomando. Dua
orang berada di sebelah depan saling berjajar sejarak
tujuh langkah. Sementara dua lainnya berada di bela-
kang dengan jarak yang sama. Di atas pundak masing-
masing orang ini tampak dua batang bambu agak be-
sar. Tepat di tengah-tengah batang bambu, tampak se-
buah tandu tertutup kain merah.
“Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Yang di dalam tandu
tertutup itu pasti Putri Kayangan!” gumam Saraswati
mengenali siapa adanya keempat orang yang memang-
gul tandu.
Sesaat Saraswati alihkan pandangan matanya ke
arah samping kiri kanan. “Tak ada tempat untuk ber-
lindung...,” gumamnya. Tempat di mana saat itu Sa-
raswati tengah tegak memang sebuah tempat terbuka.
Hanya ada beberapa pohon namun batangnya terlalu
kecil untuk dapat lindungi tubuhnya dari pandangan
mata orang.
“Menurut yang pernah kudengar, Putri Kayangan
dan Tokoh-tokoh Penghela Tandu bukan manusia
baik-baik! Dan mereka berilmu tinggi! Bagaimanapun
juga aku harus menghindar.... Aku tak ingin membuat
sengketa baru!”
Berpikir begitu, meski sudah yakin beberapa batan-
gan pohon di sekitar tempat itu tidak akan mampu lin-
dungi tubuhnya, namun Saraswati tetap saja berkele-
bat ke arah salah satu pohon.
Namun baru saja Saraswati membuat gerakan, tiba-
tiba di hadapannya telah tegak empat orang laki-laki
bertelanjang dada, berkepala gundul. Raut wajah em-
pat laki-laki ini hampir mirip. Namun bukan kemiripan
wajah keempatnya yang membuat orang merinding.
Sepasang mata masing-masing orang ini bukannya
melebar ke samping kanan kiri, melainkan ke bawah.
Demikian juga mulutnya. Bentuk wajahnya pun tidak
seperti kebanyakan orang. Sebaliknya lonjong ke ba-
wah! Laki-laki sebelah depan bagian kanan mengena-
kan celana kolor warna merah. Di sebelahnya memakai
celana kolor warna hitam. Sementara di sebelah bela-
kang bagian kanan mengenakan celana kolor warna
kuning. Di sebelah orang ini memakai celana kolor
warna hijau. Mereka bukan lain memang empat laki-
laki yang dikenal dalam rimba persilatan dengan gelar
Tokoh-tokoh Penghela Tandu. Karena ke mana mereka
pergi, mereka selalu menggotong sebuah tandu tertu-
tup kain merah. Dan kalangan dunia persilatan pun
tahu siapa adanya orang yang berada di dalam tandu.
Dia tidak lain adalah Putri Kayangan.
“Terlambat.... Gerakan mereka luar biasa cepat!
Sejenak tadi kulihat masih berada di depan sana.
Tapi tahu-tahu sekarang sudah di depanku.... Hem....
Apa boleh buat!” gumam Saraswati dalam hati seraya
perhatikan empat laki-laki di hadapannya.
Keempat laki-laki pemanggul tandu balas meman-
dang. Lalu secara bersamaan mereka gerakkan kepala
masing-masing saling pandang satu sama lain. Saras-
wati memperhatikan dengan dada sedikit bergetar.
Tengkuknya dingin melihat keangkeran paras wajah
orang-orang di hadapannya. Hingga hampir bersamaan
dengan gerakan kepala keempat orang di hadapannya,
gadis yang masih menyaru sebagai pemuda berkumis
tipis ini alihkan pandangan matanya ke jurusan lain.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba laki-laki bercelana
kolor warna merah angkat tangan kanannya. Mulutnya
yang membelah ke bawah bergerak membuka.
“Kami datang dari jauh. Kami hendak menuju Ju-
rang Tlatah Perak! Kalau tak keberatan, mau tunjuk-
kan pada kami arah mana yang harus kami tempuh?!”
Dahi Saraswati berkerut. Kepalanya perlahan-lahan
bergerak menghadap lurus ke arah Tokoh-tokoh Peng
hela Tandu. “Untuk apa orang-orang ini mencari Pen-
deta Sinting?! Hem.... Pendeta Sinting tidak kutemui di
Jurang Tlatah Perak, tapi aku belum yakin kalau orang
tua itu berada di bukit di mana aku berjumpa dengan
muridnya! Apa aku harus mengatakan pada mereka ji-
ka Pendeta Sinting tidak ada?! Atau....”
“Kalau kau merasa keberatan, kami tidak memak-
sa!” Laki-laki bercelana kolor warna merah telah beru-
cap lagi hingga Saraswati putuskan kata hatinya.
Habis berkata begitu, si celana kolor warna merah
memberi isyarat pada ketiga saudaranya. Namun sebe-
lum mereka bergerak, Saraswati buka mulut.
“Tentu kalian hendak ke tempat Pendeta Sinting!
Benar?!”
“Kami tak bisa mengatakan hendak ke tempat sia-
pa! Yang jelas kami hendak menuju Jurang Tlatah Pe-
rak. Dan kami membutuhkan petunjuk!”
“Hem.... Sikap mereka.... Mengapa lain dengan apa
yang selama ini kudengar? Mereka tidak memaksa
meski tetap merahasiakan tujuannya!” membatin Sa-
raswati seraya sekali lagi memperhatikan keempat
tampang laki-laki di hadapannya. Lalu angkat kepa-
lanya lurus ke arah tandu yang tertutup kain merah.
“Mau kalian mengatakan apa urusannya dengan
Pendeta Sinting?!” tanya Saraswati. Gadis ini sebenar-
nya masih ingin tahu kenapa Tokoh-tokoh Penghela
Tandu mencari Pendeta Sinting meski para Tokoh- to-
koh Penghela Tandu tidak mau mengatakan apa tu-
juannya ke Jurang Tlatah Perak. Karena Saraswati ta-
hu, Jurang Tlatah Perak hanya dihuni oleh Pendeta
Sinting.
Laki-laki bercelana kolor warna merah gelengkan
kepala. “Menyesal sekali. Kami tidak bisa mengatakan
apa-apa padamu! Sekali lagi kami hanya perlu petun-
juk arah mana yang harus kami tempuh menuju Jurang Tlatah Perak!”
“Aku akan katakan ke mana arahnya! Tapi kalian
harus katakan dahulu apa maksud kalian ke Jurang
Tlatah Perak!” kata Saraswati.
Bersamaan dengan selesainya ucapan Saraswati,
kain penutup tandu perlahan-lahan bergerak membu-
ka. Saraswati tengadahkan sedikit kepalanya.
“Ini pasti Putri Kayangan! Selama ini aku hanya bi-
sa melihatnya dari jauh.... Ternyata dia benar-benar
cantik jelita...,” gumam Saraswati dalam hati tatkala
dapat melihat satu sosok tubuh duduk pada bangku
bambu di dalam tandu. Dia adalah seorang gadis mu-
da berparas luar biasa cantik mengenakan pakaian
warna merah. Gadis ini tidak lain memang Putri
Kayangan adanya.
Putri Kayangan sesaat perhatikan Saraswati dari
ujung rambut sampai kaki. Lalu tersenyum tanpa ber-
kata. Saraswati sejenak bimbang. “Apa dia tahu ten-
tang diriku yang menyamar sebagai seorang pemuda?!”
Entah sadar atau tidak, Saraswati tampak tunduk-
kan kepala perhatikan dirinya sendiri, khawatir ada
sesuatu yang membuat penyamarannya diketahui
orang. Begitu yakin tidak ada sesuatu yang membuat
orang mengetahui siapa dia sebenarnya, Saraswati
angkat kembali kepalanya dan balas tersenyum. Diam-
diam dia juga membatin.
“Dia sepertinya ramah.... Tidak sama seperti apa
yang kuduga! Tapi aku harus tetap berhati-hati.... Pe-
rubahan sikap orang pasti ada apa-apanya!”
“Kau mengenal Pendeta Sinting?!” Tiba-tiba Putri
Kayangan angkat bicara.
“Aku tidak bisa menjelaskannya! Yang pasti aku ha-
rus tahu setiap orang yang hendak bertemu dengan
Pendeta Sinting!” jawab Saraswati.
“Hem.... Selama ini yang kudengar Pendeta Sinting
hanya punya murid tunggal.... Aku juga tahu kalau
orang tua itu tidak punya sanak saudara! Adalah aneh
hubungannya bila dikaitkan dengan ucapanmu....”
“Hem.... Terserah kau bilang aneh atau tidak arti
ucapanku! Yang pasti demikianlah kenyataannya!”
enak saja Saraswati sambuti ucapan Putri Kayangan.
“Jika begitu, mau katakan siapa kau adanya?!”
Saraswati tersenyum. “Aku tahu siapa kau.... Bu-
kankah kau Putri Kayangan?! Dan keempat orang di
bawahmu itu Tokoh-tokoh Penghela Tandu?!” Saraswa-
ti gelengkan kepala. “Sayangnya.... Untuk sementara
ini kau harus mengenaliku seperti adanya yang kau li-
hat!”
Putri Kayangan tidak menunjukkan sikap terkejut
atau marah mendengar kata-kata Saraswati. Sebalik-
nya gadis berparas cantik ini sunggingkan senyum. La-
lu tangan kanannya bergerak. Saat yang sama kain
penutup tandu menutup. Lalu terdengar ketukan pe-
lan tiga kali.
Tokoh-tokoh Penghela Tandu serentak bergerak me-
langkah tanpa memandang atau berkata-kata lagi pa-
da Saraswati, membuat gadis yang menyamar sebagai
pemuda ini kernyitkan dahi dan berucap.
“Kalian sudah tidak memerlukan petunjuk?!”
“Kami memang perlu petunjuk! Tapi sekarang kami
tidak akan percaya padamu lagi meski kau mengata-
kannya tanpa kami harus mengatakan apa tujuan ka-
mi!” Suara itu terdengar dari dalam tandu.
“Tunggu!” tahan Saraswati begitu melihat Tokoh-
tokoh Penghela Tandu terus melangkah.
Terdengar lagi ketukan tiga kali. Tokoh-tokoh Peng-
hela Tandu hentikan langkah. “Ada yang ingin kau ka-
takan?!” kembali terdengar pertanyaan dari dalam tan-
du.
“Apa maksud ucapanmu tadi?!” tanya Saraswati.
Terdengar suara tawa dari dalam tandu. “Kalau se-
seorang sembunyikan diri dalam baju orang lain agar
tidak dikenali dan dapat menipu pandangan orang,
apakah ucapan orang begitu bisa dipercaya?!”
Saraswati tersentak. Dia maklum kalau orang telah
mengetahui penyamarannya. Dia angkat kepala me-
mandang ke arah tandu. Kain merah penutup tandu
perlahan membuka. Lalu tampak kepala Putri Kayan-
gan melongok keluar dan berpaling pada Saraswati.
Sesaat sepasang mata Putri Kayangan memperhatikan
sosok Saraswati. Bibirnya sunggingkan senyum.
“Aku tidak bermaksud membuka apa yang kau
sembunyikan dari pandang mata orang. Aku tahu....
Barangkali hal itu kau lakukan dengan satu maksud.
Tapi hal demikian telah membuatku tidak percaya pa-
da apa yang kau ucapkan....” Putri Kayangan sejenak
hentikan ucapannya sebelum akhirnya melanjutkan.
“Aku juga tidak bermaksud menunjukkan siapa
kami sebenarnya.... Aku tahu, kau punya prasangka
buruk pada kami...? Itu dapat kami maklumi. Tapi
percayalah, prasangka itu tidak benar! Kami bukanlah
orang-orang yang selama ini kau dengar!” Putri Kayan-
gan arahkan pandangan matanya lurus ke depan. Ga-
dis ini tampak menghela napas panjang.
“Ada yang masih hendak kau utarakan?!” tanya Pu-
tri Kayangan setelah agak lama terdiam.
Saraswati memandang lekat-lekat pada Putri
Kayangan. Entah apa yang dipikirkan gadis ini, yang
pasti dia angkat tangan kanannya menunjuk ke satu
arah sambil berkata.
“Terserah kau percaya atau tidak! Kalau kau ingin
ke Jurang Tlatah Perak, kau teruslah ke arah timur!”
Putri Kayangan arahkan pandangannya ke jurusan
yang ditunjuk Saraswati. Seraya tersenyum dia beru-
jar.
“Kulihat kau juga baru dari arah timur.... Apa kau
juga baru saja berkunjung ke Jurang Tlatah Perak?!”
Saraswati tarik pulang tangan kanannya. Sesaat dia
terdiam dan hanya memandangi Putri Kayangan. “Apa
aku akan berterus terang padanya?! Dari sikapnya,
apa yang diucapkan sepertinya benar....”
Setelah membatin begitu dan berpikir sesaat, akhir-
nya Saraswati angkat bicara.
“Aku memang baru saja dari Jurang Tlatah Perak....
Dan kau boleh percaya atau tidak, aku tidak bertemu
dengan Pendeta Sinting! Melihat tempat kediamannya,
aku menduga orang tua itu sudah agak lama mening-
galkan Jurang Tlatah Perak!”
Putri Kayangan tersenyum sekali lagi. “Rupanya kail
ini dia berkata benar.... Siapa dia sebenarnya? Menga-
pa dia menyamar sebagai seorang pemuda?! Dan men-
gapa pula dia ke Jurang Tlatah Perak...?!”
Baru saja Putri Kayangan hendak utarakan apa
yang menjadi pertanyaannya, Saraswati telah putar di-
ri dan berkelebat tinggalkan tempat itu.
“Tunggu!” seru Putri Kayangan menahan kelebatan
sosok Saraswati. Gadis berparas cantik ini segera me-
lesat turun dan tegak di hadapan Saraswati.
“Aku percaya pada ucapanmu...,” ujar Putri Kayan-
gan. “Aku juga berterima kasih atas petunjukmu. Ka-
lau kau tidak keberatan, boleh aku tahu siapa kau se-
benarnya?!” ,
Saraswati gelengkan kepala. “Untuk permintaanmu
itu, aku belum bisa mengatakannya sekarang....” Sa-
raswati menatap berlama-lama pada gadis di hada-
pannya. Lalu lanjutkan ucapan. “Mau memberi kete-
rangan padaku apa tujuanmu hendak mencari Pendeta
Sinting?!”
“Aku mendapat pesan dari seseorang yang harus
kusampaikan pada Pendeta Sinting. Selain itu aku juga ingin tanya banyak hal padanya....”
“Kau mengenal dengan baik orang tua itu?!” tanya
Saraswati.
“Sebenarnya yang mengenal baik Pendeta Sinting
adalah guruku! Ada apa rupanya?”
”Mendengar kabar bahwa Pendeta Sinting sedang
dalam perawatan akibat luka dalam. Mula-mula aku
tidak percaya dengan berita itu, namun setelah aku
berkunjung ke tempatnya dan tidak menemukan dia,
mau tak mau aku mulai percaya dengan berita itu!”
“Ah.... Seharusnya hal itu kutanyakan saat bertemu
dengan pemuda itu...,” gumam Putri Kayangan seolah
berkata dengan dirinya sendiri.
“Siapa yang kau maksud dengan pemuda itu?!”
tanya Saraswati dengan dahi berkerut.
Putri Kayangan sesaat tersentak kaget mendengar
pertanyaan Saraswati. Dia sama sekali tidak mengira
kalau telah bergumam. Hingga mungkin masih kuasai
rasa kejutnya, untuk beberapa saat Putri Kayangan ti-
dak segera menjawab pertanyaan orang.
“Kau telah bertemu dengan pemuda murid Pendeta
Sinting?!” tanya Saraswati seolah tidak sabar menung-
gu jawaban pertanyaannya.
“Nada suaranya lain! Jangan-jangan dia kekasih
pemuda itu.... Hem.... Melihat raut penyamarannya,
tentu dia seorang gadis berwajah jelita....” Putri Kayan-
gan diam-diam membatin. Lalu berkata.
“Aku memang sempat bertemu dengan pemuda mu-
rid Pendeta Sinting.... Sayangnya aku buru-buru dan
tak sempat menanyakan keadaan gurunya!”
“Di mana kau bertemu?!”
Putri Kayangan tersenyum. “Kau juga mencarinya?!”
Yang ditanya tidak menyahut. Namun Putri Kayan-
gan dapat melihat jelas perubahan pada air muka Sa-
raswati. Hal ini menguatkan dugaan Putri Kayangan.
Namun hal ini pula membuat Putri Kayangan seolah
menyesal. Putri Kayangan sendiri tak tahu. Mengapa
tiba-tiba saja dia merasakan kehilangan sesuatu begitu
merasa yakin kalau Saraswati adalah kekasih murid
Pendeta Sinting.
“Aku tidak mencarinya!” kata Saraswati dengan na-
da agak tinggi. Lalu wajahnya dipalingkan sedikit se-
raya lanjutkan ucapan. “Aku tahu di mana dia berada!
Kalaupun suatu saat aku mencarinya, itu untuk me-
mutus selembar nyawanya!”
***
EMPAT
Ucapan Saraswati menambah kuat dugaan Putri
Kayangan. Dan entah karena apa gadis cantik berbaju
merah ini akhirnya menanyakan juga apa yang menja-
di dugaannya.
“Kau kekasih murid Pendeta Sinting? Dan saat ini
kalian sedang berselisih?”
Saraswati terdiam untuk beberapa lama. Tiba-tiba
gadis yang menyamar sebagai pemuda ini perdengar-
kan tawa panjang. Lalu hadapkan wajahnya pada Putri
Kayangan.
“Apa kalau seseorang sudah memutuskan untuk
memutus nyawa seseorang masih pantas di antara ke-
duanya disebut kekasih?!”
Kali ini balik Putri Kayangan yang terdiam menden-
gar pertanyaan Saraswati. Saraswati seolah sudah
tenggelam dalam perasaan geramnya apalagi di pelupuk matanya terbayang kembali apa yang dilakukan
murid Pendeta Sinting pada ibunya juga terhadap di-
rinya. Hingga dia tidak lagi menunggu jawaban orang,
malah segera susuli ucapannya.
“Aku bukan kekasih pemuda keparat itu! Justru dia
sekarang musuh besarku!”
Putri Kayangan heran dengan dirinya sendiri. Gadis
ini merasa lega mendengar pernyataan Saraswati. Dan
sambil sunggingkan senyum dia berujar.
“Apakah tujuanmu ke Jurang Tlatah Perak masih
ada hubungannya dengan urusan ini?”
Saraswati gelengkan kepala. “Aku bisa membedakan
urusan! Meski muridnya kuanggap sebagai manusia
yang harus tewas di tanganku, bukan berarti aku
punya silang sengketa dengan gurunya!”
“Dunia ini terkadang menyimpan sesuatu yang
aneh....”
“Maksudmu?!” tanya Saraswati.
“Apa yang terdengar belum pasti sesuai dengan ke-
nyataan.... Aku telah agak lama mendengar tentang se-
luk beluk murid Pendeta Sinting. Namun begitu men-
dengar keteranganmu, aku jadi ragu tentang apa yang
selama ini kudengar!”
“Selama ini aku juga tertipu!” timpal Saraswati.
“Dari sikap dan cara bicaranya aku bahkan terkadang
belum percaya bahwa pemuda itu buaya jahanam yang
bukan saja tidak pandang bulu, tapi juga tidak punya
perasaan!”
“Kau tentu pernah mengalami sesuatu yang hebat!”
“Bukan saja hebat! Tapi menjijikkan! Tapi jangan
kau bertanya apa yang pernah ku alami! Aku tak akan
memberi keterangan!”
“Apa semua ini kau katakan bukan karena kau sa-
kit hati padanya akibat cemburu?”
“Dia memang pemuda tampan dan berilmu tinggi
hingga wajar kalau banyak gadis yang berusaha mere-
but hatinya! Tapi urusanku tidak ada hubungannya
dengan semua itu! Bahkan kalaupun seandainya dia
kekasihku, aku tak segan-segan membunuhnya! Apa-
lagi dia dan aku tak ada hubungan apa-apa!”
“Hem.... Apa urusan sebenarnya orang ini dengan
pemuda itu? Dari keterangannya jelas menunjukkan
kalau pemuda itu telah lakukan tindakan yang tidak
bisa dimaafkan.... Hem.... Apa benar semua keteran-
gannya? Beberapa waktu lalu aku bertemu dengan
pemuda itu. Dia mengatakan kehilangan Pedang Tum-
pul 131 dan dari keterangannya aku bisa menduga
yang mengambilnya adalah Pitaloka! Sikapnya baik....
Lalu kalau dikaitkan dengan ucapan orang ini, bagai-
mana mungkin pemuda itu melakukan tindakan yang
tidak termaafkan?!”
Selagi Putri Kayangan membatin begitu, Saraswati
telah angkat suara lagi.
“Aku harus segera pergi. Kelak jika kau jumpa den-
gan pemuda jahanam itu, aku titip pesan kematian
padanya!”
“Kalau kau sekarang tahu di mana dia berada,
mengapa tidak sekarang saja kau lakukan apa yang
menjadi tujuanmu?” tanya Putri Kayangan coba me-
nyelidik.
Saraswati tertawa pendek sambil gelengkan kepala.
“Aku tahu kapan saatnya harus bertindak!”
“Dari keteranganmu aku menduga saat ini kau sen-
diri masih bimbang dengan apa yang kau lakukan!
Terbukti kau masih menunda waktu dan berusaha
mencari Pendeta Sinting...,” ujar Putri Kayangan mem-
buat Saraswati sedikit melengak kaget.
“Kau boleh menduga! Tapi bukan berarti dugaanmu
benar! Lebih dari itu kau kelak dapat buktikan uca-
panku!”
“Tunggu!” seru Putri Kayangan begitu dilihatnya Sa-
raswati hendak berkelebat. “Boleh aku tanya sekali la-
gi?!”
Meski nada ucapan Putri Kayangan bertanya, na-
mun gadis cantik jelita ini tidak menunggu jawaban.
Sebaliknya dia telah angkat bicara lagi.
“Apa benar orang yang melakukan tindakan tak
termaafkan padamu itu adalah pemuda bergelar Pen-
dekar Pedang Tumpul 131?”
“Aku telah kenal lama dengan pemuda itu!” jawab
Saraswati. Lalu pemuda berkumis tipis ini putar diri.
Namun anehnya dia tidak segera berkelebat atau me-
langkah tinggalkan tempat itu. Malah tak lama kemu-
dian terdengar dia berucap.
“Mengapa kau meragukan kalau pemuda itu Pende-
kar 131?!”
“Aku tak bisa menerangkan sekarang. Hanya kuha-
rap kau waspada dan teliti! Ini kukatakan bukan be-
rarti aku mempengaruhi mu. Tapi justru aku telah
mengalaminya sendiri! Banyak kalangan orang persila-
tan menganggapku sebagai manusia jahat! Padahal
tindakan itu bukan aku yang melakukannya! Tapi
orang yang wajahnya mirip denganku!”
“Siapa percaya dengan keteranganmu!” Tiba-tiba sa-
tu suara lain menyeruak. Suara itu berat bergetar. Pu-
tri Kayangan dan Saraswati dapat rasakan dengungan
pada telinganya. Tanda bahwa siapa pun adanya orang
yang perdengarkan suara memiliki tingkat tenaga da-
lam tinggi.
Putri Kayangan dan Saraswati cepat sama paling-
kan kepala ke arah sumber suara yang tiba-tiba me-
nyahut. Dan begitu memandang ke depan, dua orang
ini langsung surutkan langkah dengan mata mendelik
dan kuduk merinding!
Sementara di seberang samping, begitu mendengar
ada suara lain yang terdengar, Tokoh-tokoh Penghela
Tandu yang sedari tadi hanya diam mendengarkan
percakapan Putri Kayangan dengan Saraswati sama-
sama gerakkan kepala menoleh.
Keempat orang berkepala gundul bertelanjang dada
ini sesaat sama pentang mata masing-masing, hingga
mata masing-masing orang yang membentuk ke bawah
tampak menakutkan.
“Aku hampir tak percaya kalau dia manusia jika sa-
ja tidak kudengar suaranya!” gumam Putri Kayangan
dengan mata terus memandang tak berkesip ke depan.
“Apa mataku tidak berdusta?!” Saraswati menggu-
mam seolah masih belum percaya dengan apa yang di-
tangkap matanya.
Sementara Tokoh-tokoh Penghela Tandu tampak
kancingkan mulut meski air muka masing-masing
orang dipenuhi keheranan. Dan saat lain keempat laki-
laki ini saling pandang satu sama lain.
Semua orang di tempat itu melihat seorang laki-laki
berambut putih awut-awutan tegak bersandar pada
sebatang pohon tidak begitu besar. Laki-laki ini hampir
saja tidak bisa dikatakan manusia seandainya tadi ti-
dak perdengarkan suara sahutan dan bergerak-gerak.
Karena ternyata anggota tubuh laki-laki ini hanya me-
rupakan kerangka!
“Siapa kau?!” Putri Kayangan yang lebih cepat dapat
kuasai rasa kaget segera bertanya.
“Orang bertanya harus dijawab! Aku Setan Liang
Makam!” jawab laki-laki yang sekujur tubuhnya hanya
merupakan susunan kerangka tanpa tertutup daging
sama sekali.
Habis menjawab pertanyaan orang, laki-laki yang
hanya terdiri dari kerangka dan memang Setan Liang
Makam adanya gerakkan kepala. Sepasang matanya
yang besar berputar liar memperhatikan satu persatu
pada Saraswati, Putri Kayangan, dan terakhir pada
Tokoh-tokoh Penghela Tandu.
Setan Liang Makam membuat gerakan satu kali.
Tahu-tahu sosoknya telah tegak di hadapan Saraswati
dan Putri Kayangan sejarak tujuh langkah. Tangan ki-
rinya bergerak terangkat dan menunjuk lurus pada
Saraswati.
Saraswati merinding dengan mata membelalak.
Namun diam-diam dia kerahkan tenaga dalam pada
kedua tangannya. Dari sikap orang, tampaknya Sa-
raswati sudah bisa menangkap gelagat tidak baik.
Setan Liang Makam buka kerangka mulutnya. Se-
mentara tangan kiri terus menunjuk lurus pada Sa-
raswati. “Aku dengar ucapanmu jika kau tahu di mana
Pendekar 131 murid Pendeta Sinting berada! Aku
tanya satu kali dan tak akan ku ulangi! Katakan di
mana dia berada!”
Saraswati sesaat memandang tajam pada Setan
Liang Makam. Lalu melirik pada Putri Kayangan. Paras
wajahnya jelas membayangkan kebimbangan.
“Kau dengar ucapanku! Orang bertanya harus dija-
wab!” Berkata Setan Liang Makam. Tangan kirinya di-
tarik pulang dengan kepala sedikit didongakkan.
“Untuk apa kau mencari pemuda jahanam itu?!” Sa-
raswati balik bertanya.
“Manusia itu telah mengambil barang ku!”
“hem.... Apa berupa pedang sakti?!” Yang angkat bi-
cara adalah Putri Kayangan. Dia teringat akan perte-
muannya dengan murid Pendeta Sinting dan menyata-
kan barangnya berupa pedang telah diambil Pitaloka.
Setan Liang Makam tertawa ngakak. “Barang ku le-
bih berharga daripada sebuah pedang sakti! Bahkan
lebih berharga dari beberapa kitab sakti!”
Saraswati kerutkan dahi. Tiba-tiba dia teringat akan
sekuntum bunga yang sempat dilihatnya dipakai oleh
murid Pendeta Sinting saat berkelahi dengan ibunya di
Bukit Kalingga.
“Apa barang mu berupa sekuntum bunga bersinar
tiga warna?!” Saraswati langsung saja utarakan apa
yang ada dalam benaknya.
Laksana disentak tangan setan, kepala Setan Liang
Makam digerakkan menghadap Saraswati. “Bagus! Kau
bukan saja tahu di mana manusia jahanam itu, tapi
tahu juga barang apa yang diambilnya! Ini membukti-
kan ucapanmu tidak dusta! Sekarang lekas katakan
tempat di mana keparat itu berada!”
“Hem.... Pasti yang dimaksud orang ini Kembang
Darah Setan.... Apa orang yang menyamar itu benar-
benar telah melihat Kembang Darah Setan di tangan
murid Pendeta Sinting?!” Diam-diam Putri Kayangan
membatin. “Kalau benar, mengapa dia tidak menyebut
kehilangan Kembang Darah Setan saat bertemu tempo
hari? Padahal seandainya pedangnya benar-benar di-
ambil Pitaloka, pasti Pitaloka tak akan sia-siakan ke-
sempatan untuk mengambil Kembang Darah Setan se-
kalian! Ada yang janggal dalam masalah ini! Aku harus
memberitahukan pada pemuda itu....”
Putri Kayangan segera melangkah mendekati Sa-
raswati. Begitu dekat dia tidak segera mengutarakan
isi hatinya pada Saraswati. Sebaliknya dia buka mulut
bertanya pada Setan Liang Makam.
“Apa barang mu itu benda yang dikenal dengan
Kembang Darah Setan?!”
Kembali Setan Liang Makam perdengarkan gelakan
tawa keras membahana. “Rupanya pengetahuan kalian
berdua luas juga! Barang ku memang Kembang Darah
Setan!”
Saat Setan Liang Makam perdengarkan gelakan ta-
wa dan menjawab pertanyaan, kesempatan ini diguna-
kan Putri Kayangan untuk berbisik pada Saraswati.
“Kuharap kau tidak mengatakan di mana murid Pen-
deta Sinting berada pada manusia itu! Aku melihat ada
sesuatu yang janggal!”
“Apanya yang janggal?! Aku benar-benar melihat dia
menggenggam sekuntum bunga bersinar tiga warna!”
Saraswati menyahut dengan berbisik pula.
“Nanti kita bicarakan setelah laki-laki itu pergi!
Yang pasti kau harus tidak mengatakan yang sebenar-
nya di mana murid Pendeta Sinting berada!”
“Kau mengkhawatirkan keselamatan jahanam itu?!”
tanya Saraswati dengan tertawa pelan bernada menge-
jek.
“Jangan salah sangka! Aku benar-benar merasakan
ada sesuatu yang aneh!”
“Apa yang kalian bicarakan?!” tiba-tiba Setan Liang
Makam menghardik.
Putri Kayangan segera menyambuti hardikan Setan
Liang Makam dengan sunggingkan senyum lalu berka-
ta.
“Kami berdua ingin meyakinkan apakah benar
Kembang Darah Setan adalah milikmu yang diambil
murid Pendeta Sinting...!”
“Aku tak peduli kalian yakin atau tidak! Itu urusan
kalian! Sekarang aku menunggu jawaban!”
Putri Kayangan melirik pada Saraswati dengan dada
berdebar. Gadis cantik jelita ini sangat khawatir jika
Saraswati tidak menuruti ucapannya. Sementara Sa-
raswati sendiri sejenak tampak dilanda keraguan. Se-
telah berpikir sesaat, akhirnya ia buka suara.
“Beberapa waktu yang lalu aku bertemu dengan
pemuda itu di sebuah kaki bukit!”
“Jangan potong ucapanmu!” bentak Setan Liang
Makam.
Putri Kayangan yang dadanya makin gelisah berpal-
ing pada Saraswati. Saraswati sendiri tampak melirik
pada Putri Kayangan dengan dada bertanya-tanya. Ke-
bencian dan kegeramannya pada murid Pendeta Sint-
ing entah kenapa tiba-tiba perlahan-lahan sirna. Yang
muncul sekarang justru perasaan cemburu. “Dari tadi
gadis ini sepertinya membela Pendekar 131. Dia juga
sangat khawatir akan keselamatan pemuda itu.... Apa
di antara mereka berdua ada hubungan tertentu?!”
“Sialan! Kenapa kau diam, hah?!” tiba-tiba Setan
Liang Makam berteriak. Bola matanya yang terpuruk
dalam kerangka rongga mata yang dalam bergerak liar
melotot angker menatap pada Saraswati.
“Aku bertemu dia di kaki Bukit Wonoayu....”
“Tunjuk arah tempatnya dari sini!” sahut Setan
Liang Makam.
“Apa dia tunjuk tempat yang sebenarnya?” Putri
Kayangan berkata dalam hati.
“Pergilah ke arah barat. Kira-kira perjalanan seten-
gah hari dari sini kau akan menemukan sebuah sun-
gai. Di seberang sungai ada sebuah bukit kecil. Itulah
Bukit Wonoayu!” kata Saraswati.
“Kau berkata jujur?!” tanya Setan Liang Makam.
“Aku berkata seperti apa yang kulihat!” jawab Sa-
raswati.
“Bagus! Tapi jika ternyata nantinya kau berkata ti-
dak seperti kenyataan, kau akan menyesal! Setan
Liang Makam akan membuat hamparan bumi tempat
yang sempit bagimu!”
Habis berkata begitu, Setan Liang Makam bukannya
segera beranjak pergi, melainkan putar tubuh sedikit
menghadap Putri Kayangan. Setelah memandang seje-
nak, Setan Liang Makam membentak.
“Sekarang giliranmu jawab pertanyaanku!”
Putri Kayangan pandangi Setan Liang Makam. Ga-
dis ini belum dapat menduga apa yang hendak dita-
nyakan orang. Namun dia kancingkan mulut tidak
ajukan tanya.
“Apa pesan yang hendak kau sampaikan pada Pen-
deta Sinting?!”
Sesaat Putri Kayangan tersentak mendengar perta-
nyaan Setan Liang Makam. Dari pertanyaan orang, ga-
dis ini maklum kalau sebenarnya Setan Liang Makam
sudah lama berada di sekitar tempat itu dan menden-
garkan apa yang diperbincangkannya dengan Saraswa-
ti. Dan kehadiran Setan Liang Makam yang tidak dike-
tahui baik oleh dirinya maupun Saraswati serta Tokoh-
tokoh Penghela Tandu telah cukup membuat Putri
Kayangan sadar jika orang yang kini tengah dihadapi
memiliki ilmu sangat tinggi.
Di lain pihak, begitu mendengar pertanyaan Setan
Uang Makam, Saraswati sedikit merasa lega, karena
sebenarnya dari tadi dia penasaran dengan pesan yang
kata Putri Kayangan harus disampaikan pada Pendeta
Sinting.
Sementara itu, mendengar pertanyaan serta sikap
Setan Liang Makam terhadap Putri Kayangan, Tokoh-
tokoh Penghela Tandu sama pentang mata. Saat lain
keempat laki-laki bertelanjang dada ini telah membuat
gerakan yang membawa sosok mereka tahu-tahu telah
tegak berjajar di samping Putri Kayangan.
Setan Liang Makam alihkan pandang matanya pada
Tokoh-tokoh Penghela Tandu. Bersamaan itu tangan
kirinya terangkat. Jari telunjuknya yang hanya meru-
pakan kerangka bergerak lurus dan menunjuk satu
persatu pada Tokoh-tokoh Penghela Tandu.
***
LIMA
”Kudengar kalian ada yang buka mulut, akan kuja-
dikan mulut kalian membelah ke samping! Kalian den-
gar?!”
Tokoh-tokoh Penghela Tandu memang kancingkan
mulut. Namun bersamaan dengan selesainya ucapan
Setan Liang Makam, keempatnya langsung saja berge-
rak membentuk barisan. Dua berada di sebelah depan
dan dua lainnya di sebelah belakang.
Melihat gelagat, Putri Kayangan segera berpaling
dan memberi isyarat dengan gelengkan kepala. Hingga
Tokoh-tokoh Penghela Tandu urungkan niat untuk la-
kukan serangan. Namun keempat orang ini tetap ber-
siap-siap dengan mata sama-sama mendelik ke arah
Setan Liang Makam.
“Bagus! Nyatanya kau bukan gadis tolol! Mengerti
tingginya langit dalamnya lautan! Tidak seperti anjing-
anjing gundul itu! Ha.... Ha.... Ha...! Mereka tidak mau
tengadah mengukur tingginya langit! Mereka tidak
mau menyelam melihat dalamnya laut! Hingga dia ti-
dak mengerti dengan siapa saat ini sedang berhada-
pan!” Setan Liang Makam tertawa bekakakan.
Tokoh-tokoh Penghela Tandu seperti hendak ter-
bang mendengar ucapan Setan Liang Makam. Namun
Putri Kayangan segera palangkan tangan kanannya.
“Sahabat-sahabat.... Kuasai diri! Jangan termakan
ucapannya! Kita tidak butuh permusuhan....”
Meski dengan dada panas dan berdebar keras, pada
akhirnya Tokoh-tokoh Penghela Tandu kembali urung-
kan niat. Laki-laki bercelana kolor warna merah yang
rupanya jadi pimpinan angkat tangan kanannya dan
menunjuk pada Setan Liang Makam seraya buka mu
“Persetan siapa kau adanya! Saat ini kau berun-
tung. Namun lain saat jangan harap aku akan mem-
biarkan mulutmu terbuka seenaknya! Dan ingat, se-
baiknya kau menghindar bertemu denganku! Karena
begitu kita bertemu, kau bernasib malang!”
Ancaman orang membuat Setang Liang Makam ma-
kin perkeras gelakan tawanya. Namun mendadak saja,
laksana dirobek setan, Setan Liang Makam putuskan
gelakan tawanya.
“Kita memang tidak akan bertemu lagi. Karena saat
ini kalian akan segera kukirim ke neraka!”
Belum habis suara Setan Liang Makam, laki-laki
yang tubuhnya hanya merupakan susunan kerangka
ini telah sentakkan kedua tangannya.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang luar biasa dahsyat melesat ganas ke
arah Tokoh-tokoh Penghela Tandu.
Terlambat bagi Putri Kayangan untuk mencegah.
Karena bersamaan dengan melesatnya gelombang dari
kedua tangan Setan Liang Makam, Tokoh-tokoh Peng-
hela Tandu telah angkat kedua tangan masing-masing.
Lalu keempatnya bergerak saling bersilangan dengan
tangan sama melepas pukulan.
Wuutt! Wuutt! Wuutt! Wuutt!
Empat gelombang angin mencuat dari dua laki-laki
di sebelah depan. Tak lama kemudian empat gelom-
bang datang menyusul. Inilah jurus pertama dari ‘Ba-
risan Naga Iblis’. Dua orang menghadang terlebih da-
hulu serangan lawan kemudian dua lainnya segera
menyusul. Dua pukulan yang menyusul ini selain un-
tuk membendung pukulan lawan yang tidak bisa diha-
dang dua orang yang pertama, namun juga untuk
membuat lawan tidak punya kesempatan untuk laku-
kan susulan pukulan! Hingga jika lawan tidak memiliki
kecepatan luar biasa, maka jelas lawan akan mengalami akibat fatal.
Blamm!
Terdengar letupan keras tatkala gelombang pukulan
Setan Liang Makam bertemu dengan pukulan dua
orang di bagian depan dari Tokoh-tokoh Penghela Tan-
du. Dua orang dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu tam-
pak berseru. Saat bersamaan sosok keduanya tersapu
ke belakang hingga lima langkah. Sosok keduanya,
yang ternyata adalah si celana kolor warna merah dan
hitam terlihat bergetar keras dengan dada turun naik
tak karuan serta mulut megap-megap.
Di seberang, Setan Liang Makam hanya bergoyang-
goyang sambil umbar tawa bergelak. Namun tawa Se-
tan Liang Makam tiba-tiba terputus. Sosoknya dilanda
gelombang angin dahsyat hingga terpental sejauh dua
tombak dan jatuh terduduki.
Setan Liang Makam rupanya memandang remeh
lawan. Hingga selain hanya kerahkan sedikit tenaga
dalam untuk lepas pukulan, dia juga tidak memperha-
tikan gerakan dua orang di belakang dan dua orang
yang lepas pukulan di bagian depan. Kelengahannya
ini membuat dirinya sangat terlambat untuk mengha-
dang pukulan yang menyusuli pukulan dua orang di
bagian depan dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu. Hing-
ga tanpa ampun lagi sosoknya terhantam gelombang
dari dua orang di bagian belakang!
Si celana kolor warna merah dan hitam segera ke-
rahkan tenaga dalam kembali. Mereka tampaknya su-
dah dilanda kemarahan akibat ucapan Setan Liang
Makam. Hingga begitu melihat Setan Liang Makam ja-
tuh terduduk, laksana hendak terbang, kedua orang
ini segera melesat.
“Tahan!”
Tiba-tiba Putri Kayangan melompat dan memotong
kelebatan sosok celana kolor warna merah dan hitam.
“Jangan menambah permusuhan! Kita selesaikan
urusan ini dengan bicara baik-baik....”
Si celana kolor warna merah dari hitam memandang
sesaat pada Putri Kayangan. “Aku tahu bagaimana
menyelesaikan urusan ini tanpa harus ada....” Ucapan
Putri Kayangan belum selesai, tiba-tiba terdengar sua-
ra dahsyat.
Si celana kolor warna merah mendelik. Tangan ka-
nannya segera mendorong tubuh Putri Kayangan,
hingga sosok gadis cantik ini terjajar beberapa langkah
ke samping. Saat yang sama, si celana kolor warna me-
rah dan hitam telah melesat ke depan. Dari atas udara
kedua orang ini sentakkan tangan masing-masing ke
depan, karena saat itu ternyata Setan Liang Makam te-
lah melepas kembali satu pukulan! Malah mungkin ka-
rena tidak mau ulangi lagi kesalahan, begitu lepas pu-
kulan ke arah celana kolor warna merah dan hitam,
Setan Liang Makam melompat ke samping. Kedua tan-
gannya kembali bergerak lepaskan pukulan ke arah ce-
lana kolor warna kuning dan hijau yang baru saja
membuat tubuhnya terpental dan jatuh terduduk.
Si celana kolor warna kuning dan hijau tidak tinggal
diam. Dia segera pula lepas pukulan untuk mengha-
dang.
Untuk beberapa saat tempat itu dibuncah suara de-
ruan dahsyat melesatnya beberapa gelombang. Saat
lain suara deruan berubah menjadi suara gelegar dua
kali berturut-turut.
Sosok Setan Liang Makam tersurut satu langkah
dan terhuyung-huyung oleng. Namun di seberang sa-
na, keempat laki-laki bertelanjang dada sama terpe-
lanting sebelum akhirnya sama terkapar di atas tanah.
Darah tampak mengucur dari mulut masing-masing
orang.
Tampaknya kali ini Tokoh-tokoh Penghela Tandu
yang lengah. Karena melihat Setan Liang Makam bisa
mereka buat jatuh terduduk dalam satu kali gebrakan,
membuat keempatnya lepas pukulan hanya dengan se-
tengah tenaga dalam yang mereka miliki. Di lain pihak,
Setan Liang Makam tidak lagi berani main-main.
Begitu melihat Tokoh-tokoh Penghela Tandu terka-
par, Setan Liang Makam perdengarkan tawa panjang.
Sosoknya bergerak melesat ke depan.
“Tunggu!” satu suara menahan. Bersamaan dengan
itu satu bayangan melompat dan tegak menghadang
lesatan sosok Setan Liang Makam.
“Tak ada gunanya hal ini diteruskan! Kita bicara
baik-baik!”
Setan Liang Makam hentikan kelebatannya. Me-
mandang tajam pada orang yang menghadang yang
ternyata bukan lain adalah Putri Kayangan.
“Baik! Kuampuni nyawa anjing-anjingmu itu! Tapi
lekas jawab pertanyaanku tadi! Pesan yang harus kau
sampaikan pada Pendeta Sinting!”
“Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam pesan
itu...,” ujar Putri Kayangan.
“Setan alas! Aku butuh dengar pesan itu! Jangan
berani menilai!” sentak Setan Liang Makam.
Tokoh-tokoh Penghela Tandu segera bangkit lalu
kembali tegak berjajar dengan posisi dua di depan dan
dua lainnya di belakang. Setan Liang Makam memper-
hatikan dengan sinis. Putri Kayangan segera memberi
isyarat dengan angkat tangan kanannya.
“Guruku memberi pesan agar Pendeta Sinting da-
tang ke tempatnya! Hanya itu perlu ku menemui Pen-
deta Sinting!”
“Di mana tempat gurumu?!” tanya Setan Liang Ma-
kam.
“Lereng Gunung Semeru!”
Setan Liang Makam melotot memandang pada Putri
Kayangan. “Kau!” katanya seraya menunjuk lurus pa-
da Putri Kayangan. “Akan kubuktikan ucapanmu!” La-
lu tangannya bergerak ke arah Saraswati yang sedari
tadi hanya diam. “Kau juga!” kata Setan Liang Makam.
“Aku akan ke tempat yang kau tunjuk!” Lalu Setan
Liang Makam arahkan telunjuk tangannya silih ber-
ganti pada Saraswati dan Putri Kayangan. “Jika uca-
pan kalian tidak benar, itu nasib buruk bagi kalian
berdua!”
Habis berkata begitu, Setan Liang Makam arahkan
tangannya pada Tokoh-tokoh Penghela Tandu. “Anjing-
anjing gundul! Kalian telah membuat lobang dengan
Setan Liang Makam! Lobang itu tak akan tertutup se-
belum tubuh anjing kalian masuk ke dalamnya!”
Rupanya Putri Kayangan sudah dapat menduga apa
yang akan dilakukan Tokoh-tokoh Penghela Tandu be-
gitu mendengar ucapan Setan Liang Makam. Hingga
gadis cantik ini segera putar diri dan langsung berkata.
“Sahabat-sahabat.... Kuharap kalian bersabar!”
Tokoh-tokoh Penghela Tandu yang ternyata telah
angkat tangan masing-masing sesaat saling berpan-
dangan. Lalu dengan menghela napas dalam mereka
turunkan tangan.
Setan Liang Makam memperhatikan sekali lagi pada
beberapa orang di tempat itu. Kejap lain, tanpa berkata
apa-apa, dia berkelebat sambil perdengarkan suara ta-
toa panjang.
“Mengapa Putri mengatakan pesan serta tempat ke-
diaman Eyang Guru?!” Bertanya si celana kolor warna
merah.
“Pesan dan tempat kediaman Guru tidak ada gu-
nanya bagi Setan Liang Makam! Karena bukan pesan
atau tempat itu sebenarnya yang dicari!”
“Tapi kalau dia tidak menemukan Pendeta Sinting,
dia akan datang ke lereng Semeru!” Kali ini yang ang
kat bicara adalah laki-laki bercelana hitam.
“Guru pasti dapat menyelesaikannya! Dan aku akan
memberitahukan kejadian ini jika kelak berjumpa den-
gan Pendeta Sinting! Dengan begitu dia pasti akan me-
nunda menemui Guru....”
Putri Kayangan melangkah mendekati Saraswati.
“Kau mengatakan yang sebenarnya pada orang itu ta-
di?!”
Kecemburuan Saraswati semakin dalam begitu
mendengar pertanyaan Putri Kayangan. “Dia seolah
menganggap sepele apa yang baru saja menimpa para
pembantunya. Dan sangat mengkhawatirkan sekali
akan keselamatan pemuda itu! Aku ingin tahu sampai
di mana hubungan antara mereka!” Saraswati memba-
tin. Lalu berkata.
“Kematian pemuda jahanam itu akan mengobatiku
meski sebenarnya aku masih merasa kecewa jika bu-
kan tanganku sendiri yang memutus selembar nya-
wanya!”
“Gila! Jadi kau mengatakan yang sesungguhnya
tentang tempat murid Pendeta Sinting berada?!” tanya
Putri Kayangan dengan wajah berubah.
Saraswati tersenyum seraya anggukkan kepala.
“Apa boleh buat!”
Putri Kayangan menghela napas panjang dengan
wajah dipalingkan. “Seharusnya kau tadi menuruti
permintaanku!”
“Permintaanmu lain dengan tujuanku! Dan kurasa
tidak ada yang perlu disesalkan dalam hal ini!”
“Benar! Tapi aku menangkap ada kejanggalan da-
lam hal ini!”
“Tapi aku tidak melihat adanya hal itu! Aku berte-
mu dengan pemuda jahanam itu dan mata kepalaku
melihat sendiri di tangannya menggenggam sekuntum
bunga bersinar tiga warna! Apanya yang janggal?”
Putri Kayangan gelengkan kepala perlahan. “Kau
tak tahu apa sebenarnya yang terjadi....”
Saraswati tertawa panjang. “Aku mengalaminya
sendiri! Bagaimana mungkin kau mengatakan aku ti-
dak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi?! Kau ini
aneh.... Aku menduga ada apa-apa antara kau dengan
pemuda keparat itu!”
Putri Kayangan terkejut. “Kau cemburu padaku?!”
Saraswati tidak menjawab atau memberi isyarat se-
bagai jawaban atas pertanyaan Putri Kayangan. Putri
Kayangan sendiri sebenarnya menunggu jawaban. Ha-
tinya gelisah. Namun setelah ditunggu agak lama Sa-
raswati tidak juga memberi jawaban, akhirnya Putri
Kayangan angkat bicara.
“Aku akan cerita padamu. Kau boleh percaya boleh
juga tidak!” Putri Kayangan alihkan pandang matanya
jauh ke depan sana seraya lanjutkan ucapan. “Aku
punya seorang saudara kembar yang wajah maupun
pakaiannya persis denganku! Dia juga bersama empat
orang laki-laki sahabatnya yang juga adalah saudara
empat sahabatku itu!”
Sesaat Putri Kayangan hentikan keterangannya. Sa-
raswati sejenak tampak terkesima mendengar penutu-
ran Putri Kayangan. Namun sejauh ini dia belum me-
nyahut. Hingga Putri Kayangan lanjutkan keterangan.
“Aku tahu bagaimana tindakan saudara kembar ku
itu! Itulah salah satu tujuanku turun dari lereng Se-
meru. Beberapa waktu berselang, aku sempat berjum-
pa dengan murid Pendeta Sinting! Dia bersama seo-
rang tokoh yang kukenal dengan gelar Datuk Wahing.
Ternyata murid Pendeta Sinting baru kehilangan Pe-
dang Tumpul 131! Anehnya begitu aku muncul, dia
langsung menuduh akulah yang mengambil pedang-
nya!”
Kembali Putri Kayangan hentikan keterangan. Sementara Saraswati tampak makin bingung. Namun be-
lum berusaha mengutarakan apa yang ada dalam ha-
tinya. Dia tetap menunggu sampai nanti Putri Kayan-
gan selesaikan keterangannya.
“Setelah murid Pendeta Sinting menerangkan du-
duk persoalannya, aku baru bisa menebak siapa ge-
rangan yang mengambil senjata miliknya! Dia bukan
lain adalah saudaraku sendiri!”
Putri Kayangan hentikan ucapan. Kali ini dia agak
lama tak berkata lagi. Hingga Saraswati akhirnya buka
mulut.
“Dari keteranganmu, kurasa tidak ada yang janggal!
Kau telah menduga pedang itu diambil oleh saudara
kembar mu sendiri! Berarti orangnya sudah jelas!”
Putri Kayangan gelengkan kepala. “Ada yang belum
kukatakan....” Putri Kayangan alihkan pandang ma-
tanya pada Saraswati. “Saat ini hampir semua kalan-
gan rimba persilatan telah mendengar jika Kembang
Darah Setan berada di tangan murid Pendeta Sint-
ing....”
“Aku bukan hanya mendengar! Tapi aku telah meli-
hatnya sendiri!” Saraswati menyahut.
“Di sinilah kejanggalan itu!”
“Maksudmu...?!”
“Kalau benar Kembang Darah Setan telah berada di
tangan murid Pendeta Sinting, tentu saudara kembar
ku tidak sia-siakan kesempatan hanya dengan men-
gambil pedangnya dan meninggalkan Kembang Darah
Setan! Siapa pun tahu, Kembang Darah Setan adalah
sebuah senjata dahsyat! Kalau saudaraku bisa men-
gambil Pedang Tumpul 131 aku yakin dia tidak akan
kesulitan mengambil Kembang Darah Setan!”
Putri Kayangan kembali alihkan pandangan. Lalu
berkata lagi.
“Kalau benar murid Pendeta Sinting memiliki Kembang Darah Setan, saat itu juga pasti dia terus terang
akan mengatakan juga jika Kembang Darah Setan di
tangannya juga lenyap! Anehnya, murid Pendeta Sint-
ing tidak mengatakan kehilangan Kembang Darah Se-
tan! Ini membuatku yakin bahwa sebenarnya dia tidak
memiliki Kembang Darah Setan!”
“Bisa saja dia tidak mengatakan kehilangan Kem-
bang Darah Setan! Karena takut akan banyak orang
memburu saudara kembar mu!” ujar Saraswati.
“Dalam keadaan panik kehilangan pedangnya, tidak
mungkin murid Pendeta Sinting mampu menyembu-
nyikan rasa kecewanya dengan hilangnya Kembang
Darah Setan jika benda itu memang ada di tangannya!”
“Dia pandai bicara dan bersikap pura-pura! Banyak
orang yang selama ini tertipu dengan sikapnya! Tidak
terkecuali aku! Lebih dari itu, mataku tidak mungkin
berdusta! Aku benar-benar melihatnya menggenggam
Kembang Darah Setan!”
“Itulah yang ku maksud dengan kejanggalan itu!
Kau melihatnya menggenggam Kembang Darah Setan!
Sementara aku yakin dia tidak memiliki Kembang Da-
rah Setan! Jadi ada yang tidak beres di sini!”
“Aku tidak menganggap itu sebagai satu hal yang
janggal! Aku melihat dengan mata sementara kau
hanya dengan keyakinan! Melihat dengan mata pasti
benar! Tapi melihat dengan keyakinan belum tentu be-
nar!”
Putri Kayangan akhirnya terdiam. Sementara Sa-
raswati tersenyum lalu berkata.
“Kulihat dari tadi kau selalu mengkhawatirkan jiwa
pemuda itu! Kau tahu di mana dia berada! Sementara
saat ini ada orang yang menginginkan jiwanya! Menga-
pa kau tidak segera ke sana?!”
Habis berkata begitu, Saraswati berkelebat. Kali ini
Putri Kayangan tidak lagi menahan Saraswati. Dia
hanya memandang dengan perasaan gundah. “Apa
yang harus kulakukan sekarang? Ke tempat pemuda
itu sesuai petunjuk dari pemuda berkumis tipis yang
menyamar itu?! Perjalanan ke Jurang Tlatah Perak ra-
sanya tidak perlu lagi karena orangnya tidak ada....
Hem.... Sebaiknya....” Putri Kayangan balikkan tubuh.
Lalu melangkah mendekati Tokoh-tokoh Penghela
Tandu.
“Kita batalkan ke Jurang Tlatah Perak. Kita menuju
ke Bukit Wonoayu!”
“Putri.... Kau percaya dengan ucapan pemuda itu
tadi?!” tanya si celana kolor warna merah.
“Kita ke sana untuk membuktikan benar tidaknya
ucapannya!”
Putri Kayangan melompat. Saat lain gadis cantik ini
telah masuk ke dalam tandu yang diletakkan di atas
tanah.
Begitu Putri Kayangan masuk ke dalam tandu, To-
koh-tokoh Penghela Tandu serentak berkelebat. Tak
lama kemudian, keempat laki-laki berkepala gundul
bertelanjang dada ini telah berlari-lari dengan pundak
masing-masing memanggul dua batangan bambu yang
tepat di tengahnya terdapat tandu berkain merah.
***
ENAM
Bayangan putih itu hentikan kelebatannya di tepi
sebuah sungai. Memandang ke depan dia hanya meli-
hat hamparan sungai beriak yang di sana sini terdapat
beberapa tonjolan batu. Di seberang sungai tampak
sebuah bukit kecil. Jauh di sebelah barat terlihat lembah luas gersang.
Si bayangan putih angkat tangannya mengusap wa-
jah. Dia adalah seorang perempuan berusia sangat lan-
jut. Seluruh wajahnya telah mengeriput dan hanya di-
bungkus lapisan daging tipis. Hingga yang tampak
menonjol adalah tengkorak wajahnya. Sepasang ma-
tanya besar. Dan mungkin demikian tuanya, rambut
nenek ini hanya tinggal merupakan bulu-bulu halus
berwarna putih. Hingga jika tidak dilihat secara sek-
sama, kepala nenek ini seperti gundul plontos. Dia
mengenakan pakaian putih panjang.
“Aku belum bisa memutuskan langkah apa yang
kulakukan sekarang. Maladewa ternyata diberi takdir
baik. Dia bisa selamat keluar dari Kampung Setan.
Hanya saja aku merasa menyesal.... Mengapa Kem-
bang Darah Setan kudengar raib dari tangannya!” Si
nenek membatin. Dia memandang riakan air sungai
seraya menghela napas dalam. “Siapa sebenarnya yang
memegang Kembang Darah Setan saat ini? Kabar ten-
tang Pendekar 131 yang katanya memegang Kembang
Darah Setan nyatanya hanya omong kosong! Aku telah
bertemu dengan pemuda itu. Dari pancaran tubuhnya,
aku sudah bisa memastikan kalau dia tidak memiliki
Kembang Darah Setan! Hem.... Sayangnya aku belum
bisa bertemu dengan Maladewa! Cucuku malang....
Seandainya kau tidak keburu nafsu dan menunggu
sampai upacara penyerahan, tentunya peristiwa ini ti-
dak akan terjadi! Dan nama Kampung Setan sudah
pasti akan menjulang seperti pada beberapa puluh ta-
hun silam....”
Si nenek yang tidak lain adalah Nyai Suri Agung,
nenek Maladewa yang sekarang telah bergelar Setan
Liang Makam arahkan kepala menghadap lembah ger-
sang di seberang barat.
“Usiaku sudah begini lanjut. Tak mungkin aku melakukan pekerjaan ini sendiri! Dan ini memang bukan
menjadi hakku! Ini hak Maladewa untuk melakukan-
nya! Tapi tanpa Kembang Darah Setan apa bisa?!” Nyai
Suri Agung kembali menghela napas panjang. Paras
wajahnya jelas membayangkan perasaan menyesal dan
kecewa.
“Ah.... Apa hendak dikata. Takdir memang sudah
mengharuskan demikian! Tanpa atau dengan Kembang
Darah Setan di tangannya, aku harus menyampaikan
amanat ini pada Maladewa! Aku akan merasa berdosa
kalau tidak mengatakannya! Terserah setelah itu apa
yang hendak dilakukan Maladewa! Yang penting aku
sudah menyampaikan amanat nenek moyang.... Sece-
pat mungkin aku harus menemukan Maladewa!”
Membatin sampai di situ, akhirnya Nyai Suri Agung
berniat meninggalkan tepian sungai. Namun belum
sampai nenek ini lakukan apa yang telah diputuskan,
telinganya yang tajam bisa met ungkap kelebatan se-
seorang menuju arah sungai di mana saat itu si nenek
berada.
Tanpa gerakkan kepala berpaling pada arah da-
tangnya orang, Nyai Suri Agung angkat kedua tangan-
nya dirangkapkan di depan dada. Saat yang sama se-
pasang matanya dipejamkan.
Nyatanya Nyai Suri Agung tidak menunggu lama.
Baru saja sepasang matanya memejam, dari arah ti-
mur tampak satu bayangan berlari cepat. Hanya bebe-
rapa saat bayangan itu telah berada sejarak lima belas
langkah di belakang Nyai Suri Agung dan tegak dengan
mata memandang tak berkesip.
“Aku sepertinya mengenali pakaian yang dikenakan
manusia itu! Apakah memang dia?!” Orang yang baru
muncul di belakang sana membatin.
Dan baru saja orang di belakang membatin, Nyai
Suri Agung telah perdengarkan suara.
“Katakan siapa kau dan apa gelarmu jika punya!”
Suara si nenek terdengar berat dan parau. Malah sua-
ra itu seperti menggema ke seantero tempat itu!
Orang di belakang sana terkesiap dan langsung su-
rutkan langkah satu tindak. Bukan karena teguran
orang, melainkan suara itu mengingatkannya pada se-
seorang yang sangat dikenal!
“Dari suaranya aku hampir yakin memang dia! Apa
dia sengaja menungguku di sini?! Dari mana dia tahu
aku akan datang ke tempat ini?! Hem.... Tapi ini satu
rezeki besar bagiku....”
“Kau dengar perintahku, Manusia! Lekas jawab!”
Nyai Suri Agung kembali perdengarkan teguran.
“Aku Setan Liang Makam! Dan siapa aku tentu kau
telah mengenalnya!” jawab orang di belakang sana
yang ternyata adalah seorang laki-laki berambut awut-
awutan dengan sekujur tubuh hanya merupakan ke-
rangka tanpa dilapis daging sama sekali dan tidak lain
memang Setan Liang Makam adanya.
Suara jawaban orang belum selesai, Nyai Suri
Agung telah putar diri. Namun ia belum buka kelopak
matanya meski telah beberapa saat menghadap orang.
Dia sengaja ingin memberitahukan pada orang siapa
dirinya!
Walau sudah dapat menduga, namun begitu Nyai
Suri Agung putar diri menghadap, tak urung Juga Se-
tan Liang Makam masih terkesima.
Perlahan-lahan Nyai Suri Agung buka kelopak ma-
tanya. Bola mata itu untuk beberapa lama memperha-
tikan orang dari atas hingga bawah.
“Aku tidak mengenalmu! Tapi aku memang pernah
dengar suaramu! Katakan siapa kau sesungguhnya!”
kata Nyai Suri Agung.
Setan Liang Makam bukannya menjawab perta-
nyaan orang, melainkan melangkah perlahan-lahan
mendekati Nyai Suri Agung.
“Jangan berani mendekat sebelum kau katakan
siapa kau sebenarnya!”
Setan Liang Makam tidak pedulikan ancaman si
nenek. Dia teruskan langkah dan berhenti empat lang-
kah di hadapan Nyai Suri Agung. Setan Liang Makam
sengaja tegak dengan kancingkan mulut dan hanya
memandang pada si nenek.
“Kalau kau tak mengerti bahasa ucapan, aku akan
mengajarimu bahasa tangan!” kata Nyai Suri Agung
sudah mulai geram melihat sikap orang.
“Kau lupa padaku?!” tanya Setan Liang Makam.
“Kau telah dengar! Aku memang mengenali suara-
mu tapi aku tidak kenal siapa dirimu!”
“Kau pernah merasa punya seorang cucu?!” kembali
Setan Liang Makam bertanya.
“Hem.... Suaranya jelas dia. Tapi rupanya.... Dan
ucapannya tadi.... Apakah yang di hadapanku ini Ma-
ladewa?!” Nyai Suri Agung menduga-duga.
“Aku memang punya cucu, tapi namanya bukan Se-
tan Liang Makam!”
Setan Liang Makam kembali melangkah. Dan tiba-
tiba dia jatuhkan diri berlutut di hadapan Nyai Suri
Agung.
“Eyang Guru.... Aku adalah Maladewa.... Murid dan
cucumu....”
Nyai Suri Agung laksana tersedak. Dia arahkan
pandang matanya ke bawah memperhatikan pada so-
sok Setan Liang Makam yang duduk berlutut. Kepa-
lanya menggeleng perlahan. Dan seolah tidak sadar
mulutnya membuka.
“Apakah benar kau cucuku si Maladewa...?”
“Aku minta maaf atas tindakanku padamu pada pu-
luhan tahun silam.... Kini aku baru sadar akan kekeli-
ruan ku....” Suara Setan Liang Makam terdengar serak.
Nyai Suri Agung bungkukkan sedikit tubuhnya lalu
menarik pundak Setan Liang Makam hingga laki-laki
ini berdiri.
“Kau tak perlu minta maaf. Aku maklum akan apa
yang kau lakukan! Kau saat itu masih muda dan men-
dengar hasutan dari kanan kiri sebelum kau siap me-
nerimanya! Hanya sebenarnya aku sangat menyesal
sekali. Mengapa hal itu harus terjadi.... Padahal kau
telah dipersiapkan sejak lama untuk menjunjung kem-
bali harkat kebesaran keluarga! Tapi sudahlah.... Se-
muanya sudah terjadi....”
Nyai Suri Agung arahkan pandang matanya pada
riakan air di depan sana. “Aku tidak menduga kalau
kita dipertemukan di sini! Lebih-lebih aku tidak men-
duga kalau kau sudah sangat berubah....”
“Ini karena keadaanku yang terkubur di makam ba-
tu itu!”
“Maladewa.... Ada sesuatu yang harus kusampaikan
padamu! Sebenarnya hal ini harus kukatakan padamu
pada beberapa tahun silam. Namun karena keadaan
tak memungkinkan, terpaksa baru saat ini kukatakan!
Tapi sebelumnya aku ingin tanya padamu!”
Maladewa alias Setan Liang Makam sedikit kaget
dan menduga-duga. Sementara Nyai Suri Agung ber-
paling dan angkat suara lagi.
“Di mana Kembang Darah Setan?!”
Setan Liang Makam tampak gelagapan. Nyai Suri
Agung memperhatikan dengan mata menyipit.
“Benda itu diambil seorang pemuda....”
“Aku ingin mendengar bagaimana sampai Kembang
Darah Setan bisa diambil orang!” kata Nyai Suri Agung
dengan suara agak tinggi. Nadanya jelas mengandung
kemarahan.
“Sebagaimana yang kau ucapkan, setelah aku ma-
suk ke dalam makam batu, ternyata semuanya benar!
Begitu aku berada di dalam makam batu selama ham-
pir tiga puluh enam tahun, pada satu saat, tiba-tiba
saja ada seseorang yang muncul dan mau membe-
baskan aku! Aku bertanya padanya. Ternyata dia tahu
rahasia bagaimana caranya membongkar makam batu!
Hanya saja, sebagai imbalannya, dia meminta Kem-
bang Darah Setan! Karena aku masih ingin hidup, ter-
paksa aku menyetujui permintaannya!” Setan Liang
Makam memberi keterangan tanpa berani memandang
ke arah Nyai Suri Agung. (Lebih jelasnya tentang ba-
gaimana Maladewa bisa keluar dari makam batu, sila-
kan baca serial Joko Sableng dalam episode : “Kem-
bang Darah Setan”).
“Siapa pemuda yang mengambil Kembang Darah
Setan itu?!”
“Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng!”
Nyai Suri Agung mendengus. “Kau jangan berdusta
padaku, Maladewa!”
“Nek! Aku memang bukan cucu yang baik! Tapi da-
lam hal ini aku berkata jujur!”
“Kau masih dusta, Maladewa!”
“Nek! Dalam keadaan seperti sekarang ini tak ada
untungnya berkata dusta padamu! Pemuda itu adalah
Pendekar 131 Joko Sableng!”
Nyai Suri Agung gelengkan kepala. “Aku telah ber-
temu dengan Pendekar 131 Joko Sableng! Dari panca-
ran tubuhnya aku sudah bisa mengatakan dengan
pasti jika pemuda itu tidak memegang Kembang Darah
Setan! Maladewa! Katakan dengan jujur, siapa yang
mengambil Kembang Darah Setan!”
“Nek! Terserah kau mau percaya atau tidak! Bang-
sat itu adalah Pendekar 131!”
Nyai Suri Agung menghela napas dalam. “Dalam
rimba persilatan memang tersiar kabar jika Kembang
Darah Setan berada di tangan Pendekar 131 Joko Sableng. Maladewa pun seakan yakin kalau pemuda itu
yang mengambilnya! Tapi aku tetap pada keyakinanku
kalau pemuda itu tidak membawa Kembang Darah Se-
tan! Hem.... Bagaimana hal ini bisa terjadi?!” Nyai Suri
Agung berkutat dengan batinnya sendiri.
“Cucuku, Maladewa.... Kau pernah berjumpa den-
gan pemuda itu?!”
“Semenjak keluar dari makam batu, aku pernah se-
kali berjumpa dengannya! Sayang saat itu dia bisa lo-
los! Tapi aku telah bersumpah untuk mencarinya! Dan
kini aku tahu di mana dia berada!”
“Coba katakan di mana dia berada!” kata Nyai Suri
Agung.
Setan Liang Makam angkat tangan kanannya lalu
ditunjukkan pada bukit di seberang sungai.
Nyai Suri Agung tampak sedikit heran. “Dari mana
kau dapatkan keterangan jika Pendekar 131 berada di
bukit itu?!”
“Dari seorang pemuda yang sempat kutemui tidak
jauh dari tempat ini!” Setan Liang Makam lalu mence-
ritakan pertemuannya dengan Saraswati dan Putri
Kayangan.
“Kau terlalu percaya pada orang yang belum kau
kenal, Cucuku! Kau lupa. Dunia di mana kita sekarang
berada adalah dunia persilatan. Dunia yang seharus-
nya tidak boleh begitu saja percaya pada orang! Karena
di dalamnya kebohongan dan fitnah merupakan hal
yang lumrah! Seharusnya kau belajar dari apa yang
pernah kau alami! Kau pernah dikhianati oleh orang
yang kau percaya hingga kau sendiri akhirnya terje-
rumus masuk ke dalam makam batu! Kau tahu, Cu-
cuku.... Tanpa ke bukit itu, aku sudah bisa memasti-
kan kalau di sana tidak ada seorang pun!”
“Hem.... Aku mengenal betul siapa dia! Ucapannya
tidak pernah melesat!” kata Setan Liang Makam dalam
hati. Mendadak saja paras wajah Setan Liang Makam
berubah. Sepasang matanya mendelik angker. Tulang
pelipisnya bergerak-gerak.
“Jahanam itu telah berkata dusta padaku! Dia tidak
tahu! Dia tidak tahu dengan siapa dia berani main-
main! Lebarnya dunia akan kubuat sempit bagi lang-
kahnya! Dalamnya laut akan kubuat sejengkal bagi
tempat persembunyiannya!” Setan Liang Makam hen-
takkan kaki. Tanah di tempat itu kontan bergetar ke-
ras dan tanahnya muncrat!
Nyai Suri Agung menggeleng. “Percuma kau me-
nyumpah-nyumpah, Cucuku! Semuanya sudah telan-
jur! Yang penting, mulai saat ini kau tidak boleh per-
caya pada siapa pun! Bahkan pada keyakinanmu sen-
diri jika kau belum melihat dengan mata kepalamu!”
Setan Liang Makam coba menindih gejolak hawa
kemarahan. Lalu berkata dengan dada masih bergerak
turun naik pertanda belum sepenuhnya dia dapat kua-
sai diri.
“Nek! Kau tadi mengatakan hendak menyampaikan
sesuatu...!”
“Cucuku.... Sebenarnya hal ini kusampaikan ketika
Kembang Darah Setan berada di tanganmu! Namun
mengingat usiaku sudah terlalu tua, dan jika menung-
gu Kembang Darah Setan aku khawatir terlambat, ma-
ka meski dengan tanpa Kembang Darah Setan di tan-
ganmu, hal ini harus kusampaikan....” Nyai Suri Agung
sesaat hentikan ucapannya Setelah menarik napas dia
teruskan ucapan.
“Kau kembalilah ke Kampung Setan. Hancurkan al-
tar batu putih di dekat makam batu di mana kau per-
nah terkubur!”
Setan Liang Makam mendengarkan dengan seksa-
ma. Begitu Nyai Suri Agung hentikan ucapan, dia ang-
kat bicara.
“Nek.... Bukankah altar itu hanya sebagai pembuka
makam batu?!”
“Itu jika diinjak! Tapi kalau dihancurkan, kau akan
menemukan hal lain! Tapi ada satu hal yang harus
kau ingat, Maladewa! Lakukan apa yang kukatakan ji-
ka kau telah mendapatkan kembali Kembang Darah
Setan! Jika tidak, kau hanya akan mengalami kecewa!
Karena kau tak akan mendapatkan apa-apa!”
“Nek.... Sebenarnya ada apa di sana?!”
Nyai Suri Agung gelengkan kepala. “Aku tidak bisa
mengatakannya! Kau sendiri kelak akan mengeta-
huinya! Hanya aku bisa memastikan, jika kau telah
berhasil maka kejayaan Kampung Setan akan kembali!
Dan kaulah satu-satunya tumpuan dalam urusan ini!”
Nyai Suri Agung putar tubuh. “Cucuku.... Sekarang
kau harus cepat mendapatkan kembali Kembang Da-
rah Setan! Dan kau harus ingat. Jangan termakan
dengan berita yang kini tersebar dalam rimba persila-
tan! Setiap orang harus kau curigai! Sekarang aku ha-
rus pergi....”
“Nek! Tunggu!” tahan Setan Liang Makam, membuat
Nyai Suri Agung urungkan niat untuk tinggalkan ping-
giran sungai.
“Boleh aku minta sesuatu padamu?!”
“Aku sudah tidak punya sesuatu yang pantas kube-
rikan padamu, Cucuku! Dan keterangan yang baru sa-
ja kau dengar sudah lebih berharga dari segalanya!”
“Kau masih memiliki ilmu ‘Pantulan Tabir’...!”
“Kau ingin aku mampus sekarang?!” tanya Nyai Suri
Agung.
“Nek.... Apa maksudmu?!”
“Ilmu itu hanya bisa diwariskan pada satu orang!
Begitu diwariskan pada orang kedua, maka yang me-
wariskan akan menemui ajal!”
Setan Liang Makam memaki dalam hati. Lalu berujar pelan dengan nada marah.
“Kalau begitu, berarti nenek telah berbuat ceroboh!
Nenek telah mewariskan ilmu langka itu pada Galaga
yang sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa dengan
kita!”
Nyai Suri Agung sedikit belalakkan mata. Masih
tanpa memandang pada Setan Liang Makam, si nenek
berkata.
“Kau jangan menyalahkan aku, Maladewa! Galaga
memang tidak punya hubungan apa-apa dengan kita!
Namun sebenarnya dia kupersiapkan untuk memban-
tumu jika saatnya datang! Aku mewariskan ilmu ‘Pan-
tulan Tabir’ padanya karena aku yakin kau akan men-
dapatkan yang lebih daripada yang kuberikan pada
Galaga! Sayangnya.... Semua rencana itu harus buyar
akibat nafsumu yang tidak mau bersabar! Seandainya
kau saat ini tidak tergesa-gesa, tentu saat ini kita tidak
begini!”
“Nek.... Apa Galaga juga telah tahu apa yang baru
kau katakan tadi?!”
“Cucuku...! Hubungan ku dengan Galaga hanya
terbatas sebagai murid dan guru! Sementara kau ada-
lah cucuku! Aku dapat memisahkan mana yang harus
kukatakan pada murid dan mana yang harus kukata-
kan pada cucuku sendiri!”
“Berarti dia tidak tahu tentang rahasia batu altar
itu! Tapi bukan berarti aku akan membiarkannya hi-
dup!” ujar Setan Liang Makam.
“Maladewa.... Kau tahu, jika begini perjalanan yang
harus kita tempuh, sebenarnya aku merasa menyesal
mewariskan ilmu itu pada Galaga. Tapi sudahlah....
Semuanya sudah terjadi! Aku menyerahkan semuanya
padamu! Kalau kau anggap Galaga sebagai perintang,
kau tahu apa yang harus kau lakukan, begitu pula se-
baliknya!”
“Nek.... Apa tidak sebaiknya kita bersama-sama
mencari Kembang Darah Setan?!”
“Kembang Darah Setan telah kuserahkan padamu!
Kau yang harus menjaga sekaligus mendapatkannya
kembali jika benda itu lolos dari tanganmu! Aku sema-
ta-mata hanya sebagai perantara dan penunjuk!”
Dada Setan Liang Makam kembali bergerak turun
naik. Nyai Suri Agung rupanya bisa menangkap apa
yang melanda dada cucunya.
“Maladewa.... Aku tahu, kau mungkin merasa tidak
suka dengan perkataan ku tadi! Tapi kau harus mak-
lum, itu adalah yang harus kukatakan! Dan kau jan-
gan menganggap ucapanku tadi sebagai isyarat aku
cuci tangan! Tidak, Cucuku.... Aku akan tetap mem-
bantumu sekuat apa yang ku bisa! Dan kau harus pa-
ham. Demi keluarga, apa pun akan kulakukan! Meski
harus membunuh murid sendiri!”
Nyai Suri Agung tengadahkan kepala. “Lekas da-
patkan kembali Kembang Darah Setan! Kita bangun
kembali puing kehancuran Kampung Setan agar bisa
tegak jaya sebagaimana puluhan tahun silam!”
Masih dengan mendongak, Nyai Suri Agung perla-
han-lahan melangkah. Setan Liang Makam melompat
dan tegak di samping neneknya.
“Nek! Sekarang hendak ke mana kau pergi?!”
“Kau punya urusan yang harus segera kau lakukan!
Aku pun punya urusan yang juga harus kulaksana-
kan!”
Habis berkata begitu, Nyai Suri Agung luruskan ke-
pala. Saat bersamaan nenek ini gerakkan kaki. Sosok-
nya melesat dan kejap lain telah berada di depan sana
sebelum akhirnya lenyap dari pandangan Setan Liang
Makam.
Setan Liang Makam putar kepala ke arah bukit di
seberang sungai. Dadanya tiba-tiba bergetar keras.
“Aku tidak akan lagi percaya pada mulut orang! Semu-
anya penipu busuk! Penipu busuk!”
Saking marahnya, Setan Liang Makam hantamkan
kedua tangannya ke aliran sungai di hadapannya.
Byurr! Byurr!
Air sungai muncrat sampai dua tombak ke udara.
Lamping tanah pinggiran sungai longsor terkena ge-
lombang riak air tatkala muncratan air itu menghem-
pas kembali. Dan begitu aliran sungai telah mengalir
tenang kembali, sosok Setan Liang Makam sudah tidak
kelihatan lagi.
***
TUJUH
Dua orang itu duduk bersila saling berhadapan di
sebuah tempat sepi di pinggiran hutan. Saat itu mata-
hari sudah lama tenggelam. Bentangan langit hanya
disemaraki titik-titik bintang tanpa cahaya sang rem-
bulan, hingga dua orang yang duduk bersila di pinggi-
ran hutan itu laksana bayang-bayang hitam pantulan
batangan pohon yang banyak berjajar di sekitar jala-
nan menuju hutan.
Walau suasana kelam dan sepi, namun sesekali dua
orang itu tampak gerakkan kepala ke samping kanan
kiri dengan mata mementang. Jelas memberi tanda ka-
lau keduanya waspada dan sepertinya mereka tidak
ingin diketahui orang lain.
“Pasti ada satu hal yang amat penting hingga kau
mengajakku bertemu di sini di luar rencana kita!”
Orang yang duduk di sebelah kanan angkat bicara
dengan suara pelan setengah berbisik setelah yakin
tempat di mana mereka berada aman dari mata dan telinga orang lain.
Orang yang duduk di sebelah kanan adalah seorang
laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian warna hi-
tam. Rambutnya putih panjang sebahu. Sepasang ma-
tanya besar agak sayu. Pada cuping laki-laki ini tam-
pak melingkar anting-anting dari benang berwarna me-
rah. Kumis dan jenggotnya yang lebat juga telah ber-
warna putih.
“Benar! Ada sesuatu yang harus kita bicarakan!”
sahut orang satunya dengan suara pelan pula. Orang
ini juga adalah laki-laki berusia lanjut. Pakaian yang
dikenakan juga berwarna hitam. Rambutnya telah pula
berwarna putih dan panjang sebahu.
Seandainya saat itu ada orang yang melihat, pasti
orang itu cepat bisa menebak jika dua laki-laki yang
duduk bersila masih ada hubungan darah. Karena pa-
ras wajah kedua laki-laki itu hampir tak bisa dibeda-
kan. Kalaupun ada yang menunjukkan jika keduanya
berlainan, itu hanyalah anting pada cuping hidung sa-
lah satu dari mereka. Laki-laki yang duduk di sebelah
kanan mengenakan anting pada cuping hidungnya,
sementara laki-laki yang duduk di hadapannya tidak
mengenakan anting pada cuping hidungnya.
Laki-laki sebelah kanan memandang jauh lalu buka
suara. “Meski tempat ini sepi dan aman, namun setiap
waktu kita tidak boleh lengah! Kuharap kau segera
mengatakan apa yang harus kita bicarakan!”
“Lidah Wetan.... Beberapa waktu berselang, aku
bertemu dengan seorang laki-laki yang sebutkan diri
sebagai Kiai Tung-Tung. Walau aku yakin dia berdusta
tentang namanya, tapi keterangannya tidak bohong....”
Laki-laki yang dipanggil Lidah Wetan, dan ternyata
bukan lain adalah Kiai Lidah Wetan, berpaling mena-
tap pada laki-laki di hadapannya.
“Laras.... Kau jangan mudah mempercayai keterangan orang apalagi kau menduga dia berkata dusta ten-
tang siapa namanya! Tapi.... Coba kau katakan kete-
rangan apa yang kau peroleh dari orang itu...,” ujar
Kiai Lidah Wetan.
Orang yang disebut Laras, dan tidak lain adalah
Kiai Laras edarkan pandang matanya sesaat sebelum
akhirnya bersuara.
“Dia membawa pesan yang harus disampaikan pada
Pendekar 131 Joko Sableng!”
Kiai Lidah Wetan sedikit terkejut. “Apa pesannya?!”
Kiai Laras gelengkan kepala. “Dia tidak mau menga-
takan isi pesan itu....”
“Lalu apa gunanya kita bicarakan kalau dia tidak
mau mengatakan isi pesan itu?!” kata Kiai Lidah Wetan
menukas ucapan Kiai Laras. (Tentang Kiai Lidah We-
tan dan Kiai Laras, silakan baca serial Joko Sableng
dalam episode : “Kembang Darah Setan”).
“Orang itu tidak mau mengatakan isi pesan itu ka-
rena dia sendiri tak tahu apa isi pesan yang harus dis-
ampaikannya pada Pendekar 131! Dia hanya perlu
memberi tahu pada Pendekar 131, jika dia harus pergi
ke pesisir utara bagian barat dekat dengan sebuah te-
luk!”
“Kukira hal itu tidak begitu penting, Laras...! Ren-
cana kita sudah sampai di pertengahan jalan! Jangan
masukkan rencana baru yang pada akhirnya dapat
merusak rencana yang hampir berhasil ini! Sekarang
kita tinggal mencari siapa gerangan yang saat ini dicari
Setan Liang Makam yang tentu ada hubungannya den-
gan rahasia di balik Kembang Darah Setan!”
“Lidah Wetan! Kalau seorang pendekar mendapat
pesan, tentu di dalamnya ada satu hal yang penting!
Dan jangan lupa, saat ini berita tentang Kembang Da-
rah Setan sudah jadi buah bibir. Siapa tahu pesan itu
nanti masih ada kaitannya dengan rahasia di balik
Kembang Darah Setan!”
Kiai Lidah Wetan berpikir sejenak. Lalu angkat bica-
ra. “Seandainya kau dapat mengenali siapa adanya la-
ki-laki bernama Kiai Tung-Tung itu, mungkin aku ti-
dak ragu-ragu! Aku khawatir laki-laki itu menjebak ki-
ta!”
Kiai Laras tertawa pendek. “Kembang Darah Setan
berada di tanganku! Tak ada yang perlu dicemaskan!
Sekali dia berani mempermainkan kita, berarti dia sia-
siakan selembar nyawanya!”
Mendengar ucapan Kiai Laras, Kiai Lidah Wetan ba-
lik tertawa. “Kembang Darah Setan memang senjata
luar biasa dahsyat! Namun kau jangan berani menen-
tang peruntungan! Boleh saja manusia memiliki ilmu
setinggi langit bahkan dengan senjata luar biasa sakti
namun sampai saat ini belum ada manusia yang bisa
menang jika harus berhadapan dengan nasib!”
“Hem.... Jadi kau kira ini pekerjaan untung-
untungan?!” tanya Kiai Laras.
“Aku tak bisa mengatakan apa namanya. Namun
yang pasti kita belum tahu apa yang ada di sana! Jan-
gan kita bernafsu memburu ular kecil kalau harus me-
relakan lolosnya ular besar yang sudah ada di geng-
gaman tangan!”
“Hem.... Jadi kau tidak setuju dengan rencanaku
yang hendak menyelidik ke sana?!”
Kiai Lidah Wetan tidak segera menjawab. Kiai Laras
alihkan pandang matanya ke depan menembusi kepe-
katan malam. “Lidah Wetan.... Pada mulanya aku me-
mang punya pikiran sama denganmu. Namun setelah
kupikir-pikir, tak ada salahnya kita berdua lakukan
penyelidikan ke tempat itu! Kita memang masih buta
dengan apa yang ada di sana. Namun hal ini bukanlah
untung-untungan! Karena satu pesan untuk seorang
pendekar pasti bukan pesan sembarangan!”
“Hem.... Baiklah! Tapi sebaiknya penyelidikan itu ki-
ta lakukan setelah semua rencana kita selesai!”
“Tidak, Lidah Wetan! Penyelidikan ini harus segera
kita lakukan! Saat ini Pendekar 131 tengah berkelia-
ran. Hal ini tentu sangat memudahkan bagi Kiai Tung-
Tung untuk menemukannya!”
Kiai Lidah Wetan tidak menyahut. Sebenarnya laki-
laki ini yang juga adalah kakak kandung Kiai Laras ti-
dak setuju dengan jalan pemikiran adiknya. Tapi sete-
lah agak lama menimbang-nimbang, dia berkata.
“Aku turut saja apa kemauanmu. Namun untuk
menjaga hal yang tidak kita inginkan, kita harus sama-
sama menyamar! Dan yang pasti, siapa pun nanti yang
kita temukan di sana, dia harus kita buat bungkam se-
lamanya!”
Kiai Laras tersenyum. Laki-laki ini perlahan beran-
jak bangkit. Tanpa memandang ke arah Kiai Lidah We-
tan yang masih duduk bersila, dia berucap.
“Kudengar saat ini Lasmini juga mencari Pendekar
131 dan Pendeta Sinting. Apa kau sempat bertemu
dengannya?!”
Paras wajah Kiai Lidah Wetan berubah. Dadanya
berdebar. Namun laki-laki ini cepat sembunyikan rasa
kejutnya dengan segera buka mulut.
“Setelah putusnya hubungan ku dengannya, sampai
saat ini aku belum pernah bertemu dengannya! Dan
kukira wajar saja kalau dia mencari Pendekar 131 dan
gurunya. Peristiwa besar gegernya Istana Hantu
mungkin masih menorehkan dendam di dadanya!”
Kiai Laras tertawa dalam hati. Lalu menyahut. “Ba-
gaimana kau tahu dia masih memendam dendam sete-
lah peristiwa gegernya Istana Hantu?!”
Kembali raut muka Kiai Lidah Wetan berubah te-
gang. Entah untuk menutupi ketegangan, dia beranjak
bangkit seraya berkata.
“Siapa pun tahu dan mendengar peristiwa itu! Aku
hanya menduga-duga!”
“Lidah Wetan.... Kau masih punya niat untuk jumpa
dengannya?!”
Kiai Lidah Wetan kerutkan kening. “Pertanyaannya
aneh.... Ada apa sebenarnya? Apakah Lasmini telah
mengatakan semua ini pada Laras?!”
Setelah membatin begitu, Kiai Lidah Wetan angkat
bicara. “Kau sempat bertemu dengannya?!”
Yang ditanya gelengkan kepala masih tanpa me-
mandang. “Aku hanya mendengar!”
“Lalu apa maksud pertanyaanmu tadi?!”
“Kalian dahulu adalah pasangan kekasih. Siapa ta-
hu kau ingin jumpa dengannya.”
Kiai Lidah Wetan tertawa. “Masa yang lalu bagiku
tidak ada! Apalagi perempuan itu telah membuat hati-
ku kecewa!”
“Kalau begitu, apakah kau ingin membunuhnya?!”
tanya Kiai Laras.
Kiai Lidah Wetan tampak semakin heran dengan
pertanyaan adiknya. Namun karena dia tak mau apa
yang telah dilakukannya bersama Lasmini diketahui
orang lain, Kiai Lidah Wetan bersuara.
“Saat aku baru saja dikhianati, aku memang berniat
membunuhnya! Malah aku akan menguburnya hidup-
hidup! Tapi saat ini kupikir tidak ada gunanya hal itu
kulakukan! Aku masih bisa mencari perempuan lain
yang tentu lebih muda dan lebih cantik daripada dia!”
Kiai Laras putar tubuh menghadap Kiai Lidah We-
tan. Namun sepasang matanya hanya melirik, mem-
buat sang kakak tidak enak dan gelisah.
“Lidah Wetan.... Kudengar Pendeta Sinting juga raib
dari tempat tinggalnya! Apa kau tahu hal itu?!”
“Hem.... Ternyata dia telah banyak mengetahui apa
yang terjadi! Sialan betul! Aku terlambat...,” pikir Kiai
Lidah Wetan. “Tapi aku tidak boleh berterus terang!”
“Laras.... Aku bukan saja mendengar tentang raib-
nya Pendeta Sinting. Tapi aku telah membuktikannya
sendiri! Manusia tua itu memang tidak ada di tempat-
nya!”
“Lalu apakah kau tahu di mana kira-kira dia seka-
rang?!” tanya Kiai Laras.
“Tidak mudah mencari keterangan di mana bera-
danya manusia seperti Pendeta Sinting! Namun dengan
apa yang saat ini terjadi dalam dunia persilatan, aku
menduga tak lama lagi dia akan muncul!”
Kiai Laras sunggingkan senyum dingin. “Aku sudah
tak sabar ingin melunaskan hutang itu!” gumamnya
seraya angkat kedua tangannya yang mengepal.
“Saatnya akan tiba, Laras.... Kuharap kau bersa-
bar!”
Kiai Laras tengadahkan kepala dengan tangan ma-
sih mengepal. Entah apa yang dirasakan laki-laki ini.
Yang pasti sepasang matanya mendelik angker. Ra-
hangnya terangkat dengan pelipis bergerak-gerak.
“Laras! Apa ada yang masih harus kita bicarakan!”
Kiai Laras kancingkan mulut. Kiai Lidah Wetan me-
langkah mondar-mandir dengan mata liar memandang
berkeliling. “Kalau tidak ada yang perlu kita bicarakan
lagi, sebaiknya kita segera berpisah! Besok malam kita
bertemu di sebelah timur pesisir utara!”
Kiai Laras berpaling. “Besok malam kita bertemu.
Dan kuharap kau mengenakan penyamaran seperti di-
riku!”
Kiai Lidah Wetan anggukkan kepala. Memandang
sejurus pada adiknya lalu berkelebat tinggalkan ping-
giran hutan.
“Lidah Wetan.... Kau berdusta padaku.... Aku tahu
kau telah menyusun rencana tersendiri dengan perem-
puan itu! Kau terlambat.... Dan jangan mimpi kau bisa
berbuat macam-macam di belakangku! Ha.... Ha....
Ha...! Kekasih lamamu saat ini sedang mengadakan
perjalanan ke neraka. Dan tak lama lagi kau akan se-
gera menyusul! Ha.... Ha.... Ha...!”
Kiai Laras tertawa mengekeh dalam hati. Setelah
sosok kakaknya lenyap, Kiai Laras putar pandangan.
Saat lain dia berlari tinggalkan pinggiran hutan yang
makin sunyi dan gelap.
DI satu tempat, Kiai Lidah Wetan berhenti. Kepa-
lanya berpaling sesaat ke belakang. Lalu tengadah.
“Apa yang terjadi dengan Lasmini?! Pandangan Laras
tampak berubah tatkala menceritakan tentang perem-
puan itu! Hem.... Setelah penyelidikan besok malam,
aku harus tahu apa sebenarnya yang telah terjadi!”
Setelah berpikir begitu, Kiai Lidah Wetan kembali
menoleh ke belakang. Kejap lain dia teruskan keleba-
tannya.
***
DELAPAN
Laki-laki bercaping lebar dari daun pandan itu du-
duk di bibir tebing tinggi dengan dua kaki diuncang-
uncang ke bawah. Dari mulutnya terdengar gumaman
tak jelas antara nyanyian dan ucapan biasa. Tangan
kirinya diletakkan di atas caping lebarnya dan dite-
kankan dalam-dalam seolah khawatir caping di atas
kepalanya lenyap disambar angin. Padahal meski dia
duduk di tempat ketinggian, tempat itu tidak dihembus
angin kencang. Sementara tangan satunya lagi tampak
sesekali diangkat lalu salah satu jarinya dimasukkan
ke lobang telinganya dan digerak-gerakkan, hingga se-
raya bergumam, kadang-kadang tubuh bagian atas laki- laki ini bergerak berjingkat. Lalu cengar-cengir me-
ringis sendirian!
Tempat di mana laki-laki bercaping lebar yang bu-
kan lain adalah Kiai Tung-Tung berada adalah satu
tebing agak tinggi. Siapa pun yang berada di situ, ma-
ka ia akan dapat melihat dengan jelas bila ada orang
yang lewat di bawah sana. Karena tempat itu tepat
membelah jalur tiga jalan dari arah barat, timur, dan
utara.
“Aku harus secepatnya menuju pesisir utara bagian
barat di dekat teluk! Siapa tahu Kiai Laras masih ada
kaitannya dengan Joko palsu! Aku melihat ada sesua-
tu yang disembunyikan orang tua itu!” Kiai Tung-Tung
bergumam.
Baru saja Kiai Tung-Tung bergumam, tiba-tiba se-
pasang matanya menangkap gerakan satu sosok tubuh
dari sebelah barat. Kiai Tung-Tung hentikan gerakan
kedua kakinya. Tangan kirinya makin ditekankan da-
lam-dalam pada caping lebarnya hingga raut wajahnya
makin tenggelam tidak kelihatan. Sementara sepasang
matanya dipentang besar-besar tak berkesip memper-
hatikan gerakan orang di sebelah bawah sana.
“Sepertinya aku mengenali orang itu...,” desis Kiai
Tung-Tung seraya sorongkan wajahnya ke depan den-
gan tangan kanan berpegangan erat-erat pada bibir
tebing.
“Ah.... Betul, Memang dia...!” akhirnya Kiai Tung-
Tung dapat memastikan setelah orang di bawah sana
teruskan langkah dan membawanya berada tidak jauh
dari tebing.
Begitu merasa yakin, Kiai Tung-Tung tarik pulang
sorongan wajahnya. Kedua tangannya serta merta di-
angkat lalu dirangkapkan di depan dada. Bersamaan
dengan itu sepasang matanya dipejamkan. Lalu tiba-
tiba dia buka mulut perdengarkan suara keras.
“Mencari barang yang hilang tentu makam waktu
dan tenaga. Namun bila tidak disertai dengan ber-
tanya, waktu dan tenaga akan hilang percuma! Bah-
kan mungkin akan membawa sengsara!”
Tiba-tiba orang yang berjalan di bawah sana henti-
kan langkah. Perlahan-lahan kepalanya bergerak men-
dongak ke arah tebing. Sepasang matanya yang besar
dan liar memperhatikan sesaat. Lalu kepalanya kem-
bali diluruskan.
“Ucapan manusia itu sepertinya ada hubungannya
dengan diriku! Siapa dia sebenarnya?!” desis orang di
bawah yang ternyata adalah seorang laki-laki yang pa-
ras wajah serta sekujur tubuhnya hampir tidak dapat
disebut sebagai manusia karena wajah dan seluruh
anggota tubuhnya hanya merupakan susunan kerang-
ka.
Orang di bawah yang tidak lain adalah Maladewa
alias Setan Liang Makam kembali tengadah seolah in-
gin yakinkan pandangan dengan apa yang baru saja
didengar.
Di lain pihak, Kiai Tung-Tung tampak buka sedikit
kelopak matanya. Lalu mulutnya kembali perdengar-
kan suara keras.
“Barang yang hilang seharusnya didapatkan kemba-
li! Tapi kalau tidak bertanya, mana mungkin hal itu bi-
sa terjadi?! Ha.... Ha.... Ha...! Jalan telah kubuka,
hanya manusia tolol jika tidak mengerti apa yang kuu-
capkan!”
“Jahanam!” maki Setan Liang Makam. “Ucapannya
benar-benar menyindir ku!”
Setan Liang Makam arahkan pandang matanya ke
bawah tebing. Saat lain cucu dari Nyai Suri Agung ini
berkelebat.
“Ke mana dia?! Apa menuju kemari?!” gumam Kiai
Tung-Tung dalam hati begitu dia buka sedikit kelopak
matanya dan tidak lagi melihat sosok Setan Liang Ma-
kam. Kepalanya digerakkan dengan mata dibuka lebar-
lebar meneliti keadaan di bawah tebing.
“Manusia! Siapa kau sebenarnya?!” Tiba-tiba satu
suara mengejutkan Kiai Tung-Tung.
“Busyet! Dia telah berada di belakangku!” ujar Kiai
Tung-Tung dalam hati. Perlahan-lahan kepalanya di-
tengadahkan. Tanpa berpaling ke belakang dia angkat
suara.
“Aku biasa dipanggil orang Kiai Tung-Tung! Dan
kau pasti anak manusia yang bergelar Setan Liang
Makam...!”
Setan Liang Makam sedikit terkesiap mendapati
orang telah mengenalinya. Dia coba menduga-duga
dengan mata dijerengkan memandangi orang. Namun
karena dia berada di belakang, apalagi Kiai Tung-Tung
mengenakan caping lebar yang dimasukkan dalam-da
lam pada kepalanya, Setan Liang Makam bukan saja
gagal mengenali siapa adanya orang, namun juga tidak
bisa melihat jelas raut wajah orang.
“Dengar, anak manusia bergelar Setan Liang Ma-
kam!” kata Kiai Tung-Tung masih tanpa putar tubuh
dan kedua tangan tetap merangkap di depan dada.
“Aku tahu, saat ini kau tengah mencari barang mu
yang lenyap diambil orang. Ha.... Ha.... Ha...! Aku
tanya dahulu, apa Kembang Darah Setan sudah kau
dapatkan kembali?!”
Untuk kedua kalinya Setan Liang Makam terkejut.
“Siapa kau sebenarnya?!” bentaknya seraya melangkah
mendekat.
“Kau perlu Kembang Darah Setan atau perlu ber-
tanya siapa aku?!” Kiai Tung-Tung balik bertanya.
Setan Liang Makam kancingkan mulut tidak men-
jawab. Sebaliknya dia terus melangkah mendekat.
“Harap tidak teruskan langkah! Percuma kau ingin
tahu siapa aku sebenarnya!” ujar Kiai Tung-Tung
membuat Setan Liang Makam mau tak mau hentikan
langkah berjarak tujuh tindak dari belakang Kiai Tung-
Tung.
Kiai Tung-Tung tertawa bergelak. Lalu setelah agak
lama Setan Liang Makam tidak juga memberi jawaban,
laki-laki bercaping lebar ini angkat bicara lagi.
“Kalau aku dapat mengatakan siapa kau, aku juga
bisa memberi keterangan di mana Kembang Darah Se-
tan!”
Saking bernafsunya, laksana hendak terbang Setan
Liang Makam melompat ke depan seraya berteriak ke-
ras. “Di mana?!”
“Harap kau mundur dahulu!” ujar Kiai Tung-Tung
yang sebenarnya khawatir jika tiba-tiba Setan Liang
Makam membuat gerakan yang tidak diduga.
Setan Liang Makam yang seolah tak sabar tampak
menghela napas lalu perlahan-lahan melangkah mun-
dur. Begitu dia tegak di tempat mana tadi berdiri, dia
segera berteriak lagi.
“Katakan di mana Kembang Darah Setan itu!”
Dari suara Setan Liang Makam, Kiai Tung-Tung su-
dah bisa melihat jika laki-laki cucu dari Nyai Suri
Agung itu telah turuti ucapannya. Hingga dia segera
pula buka mulut.
“Sebelum kukatakan di mana, kau perlu tahu lebih
dahulu jika Kembang Darah Setan saat ini berada di
tangan seorang pemuda bergelar Pendekar 131 Joko
Sableng!”
“Sialan keparat! Aku sudah tahu itu!” sentak Setan
Liang Makam.
Mendengar sentakan orang, Kiai Tung-Tung tertawa
ngakak. Puas tertawa dia berkata. “Harap jangan terla-
lu terburu marah, Sahabat! Dan harusnya kau ber-
syukur bisa bertemu denganku.... Karena walau kau
tidak akan mendapat keterangan apa-apa mengenai di-
riku, tapi kau akan mendapat keterangan berharga
tentang apa yang selama ini kau cari-cari....”
“Mengapa kau akan memberi keterangan padaku?!”
tanya Setan Liang Makam utarakan keheranan yang
sejak tadi melanda dadanya.
Kiai Tung-Tung gerakkan kepala menggeleng. “Hal
itu tidak usah kau tanyakan! Karena jawabannya akan
membuatmu bingung!”
“Siapa percaya pada ucapanmu! Kau mungkin
hanya manusia yang mendengar dari beberapa orang
lalu sengaja menghadangku dan berpura-pura tahu
akan urusanku! Tapi justru sebenarnya kau ingin tahu
lebih dalam tentang Kembang Darah Setan!” Setan
Liang Makam mendengus keras sebelum akhirnya lan-
jutkan ucapan. “Kau manusia bernasib buruk! Karena
bukan keterangan yang akan kau dapatkan, tapi tan-
gan maut yang akan kau terima!”
“Ha.... Ha.... Ha...! Kau terlalu jauh bicara, Sahabat!
Aku tidak perlu keterangan banyak darimu urusan
Kembang Darah Setan! Aku tahu bagaimana ceritanya
dari awal hingga akhir! Malah mungkin aku tahu lebih
banyak dari apa yang kau ketahui!”
Kiai Tung-Tung hentikan ucapannya sejenak, lalu
melanjutkan. “Coba kau dengar ucapanku. Kau adalah
generasi terakhir dari Kampung Setan. Kau masih
punya seorang nenek yang sekaligus adalah gurumu.
Dia bernama Nyai Suri Agung! Dan lebih dari itu, se-
benarnya kau juga punya saudara seperguruan yang
diangkat nenekmu dari kalangan orang di luar Kam-
pung Setan. Kau pernah dikhianati oleh orang keper-
cayaanmu hingga kau akhirnya masuk ke dalam se-
buah makam batu! Bagaimana?! Dari keteranganku
tadi apa ada yang salah?!”
Setan Liang Makam tegak dengan mulut terkancing
dan mata mementang besar. Dia tak habis pikir ba-
gaimana rahasia dirinya bisa diketahui oleh orang! Pa-
dahal dia yakin orang yang dihadapinya saat itu bu-
kanlah saudara seperguruannya yang jelas tahu ba-
nyak tentang dirinya. Di lain pihak, sebenarnya Kiai
Tung-Tung tampak cemas dan dadanya berdebar ke-
ras. Diam-diam dia membatin. “Mudah-mudahan du-
gaanku tidak meleset! Datuk Wahing memang tidak
mau mengatakan siapa dirinya. Namun dari keteran-
gannya, aku bisa menduga jika dia adalah saudara se-
perguruan manusia di belakang itu! Dan nenek yang
pernah kutemui tempo hari adalah orang yang dimak-
sud Datuk Wahing sebagai Eyang Guru sekaligus ne-
nek orang di belakang itu....”
Kiai Tung-Tung beberapa lama menunggu sahutan
dari Setan Liang Makam dengan perasaan gundah dan
khawatir. Karena apa yang baru saja diucapkan adalah
dugaannya setelah mendengar keterangan dari Datuk
82——
Wahing. Dan itu jelas menunjukkan kalau si laki-
laki bercaping lebar ini bukan lain adalah Pendekar
Pedang Tumpul 131 Joko Sableng yang tengah me-
nyamar.
Seperti diketahui, beberapa waktu yang lalu, murid
Pendeta Sinting ini pernah mendapat cerita dari Datuk
Wahing perihal Kembang Darah Setan serta perihal
Kampung Setan. Walau saat itu Datuk Wahing tidak
menjelaskan secara gamblang, namun Joko sudah bisa
menarik kesimpulan. (Lebih jelasnya silakan baca seri-
al Joko Sableng dalam episode : “Rahasia Kampung Se-
tan”).
“Dari mana kau tahu cerita itu?!” Setan Liang Ma-
kam akhirnya ajukan tanya setelah terdiam beberapa
lama.
Pertanyaan Setan Liang Makam membuat Kiai
Tung-Tung menghela napas lega. Karena dari perta-
nyaan orang dia sudah maklum kalau dugaannya ti-
dak salah!
“Sahabat!” ujar Kiai Tung-Tung. “Soal dari mana ce-
rita itu, bukan masalah besar yang harus kita bicara-
kan di sini! Yang jadi masalah sekarang justru bagai-
mana kau bisa mendapatkan kembali Kembang Darah
Setan yang lepas dari tanganmu! Bukankah begitu?!”
“Sialan benar! Siapa manusia ini sebenarnya?!”
kembali Setan Liang Makam didera perasaan ingin ta-
hu. Namun ingat akan ucapan Kiai Tung-Tung yang
tak ingin diketahui, akhirnya dia urungkan niat untuk
bertanya.
“Sahabat! Kalau kau ingin mendapatkan kembali
Kembang Darah Setan, pergilah ke pesisir utara bagian
barat dekat dengan sebuah teluk! Dan ingat, apa yang
kau cari adalah benda sakti warisan leluhur mu. Jadi
hal itu membutuhkan kesabaran....”
“Maksudmu?!” tanya Setan Liang Makam.
“Kau harus bersabar menunggu!”
“Apa yang kutunggu?!”
“Aku tidak bisa mengatakannya.... Kau kelak bisa
melihat sekaligus membuktikannya!”
“Apa ucapannya manusia ini tidak menipu?! Jan-
gan-jangan dia semacam manusia-manusia yang sela-
ma ini pernah menipuku!” Setan Liang Makam didera
kebimbangan begitu ingat akan penipuan yang dilaku-
kan oleh Saraswati.
“Apakah manusia jahanam Pendekar 131 akan be-
rada di sana?!” Bertanya Setan Liang Makam setelah
agak lama berpikir.
“Ada dua kemungkinan! Tapi aku tidak bisa mem-
beri keterangan secara jelas. Yang pasti dua kemung-
kinan itu masih berhubungan dengan Kembang Darah
Setan!”
“Jahanam! Kalau kau tak bisa memberi kepastian,
kau sama saja dengan manusia lainnya!”
“Jangan salah menduga, Sahabat! Aku memang ti-
dak bisa memastikan! Tapi kemungkinan itu jelas ada
hubungannya dengan Kembang Darah Setan! Dan kau
harus ingat! Tidak penting kau nanti akan bertemu
dengan Pendekar 131 atau tidak! Yang penting kau
mendapatkan Kembang Darah Setan itu kembali!”
“Bagaimana mungkin akan kudapatkan kembali ji-
ka pemuda jahanam itu tidak muncul di sana!”
“Sahabat!” kata Kiai Tung-Tung dengan suara keras
bernada marah. “Aku telah memberimu keterangan
tanpa kau minta! Seharusnya kau berterima kasih!
Dan kalaupun seandainya aku mau, aku tidak akan
memberitahukan hal ini padamu! Aku akan pergi ke
pesisir sendirian dan mendapatkan Kembang Darah
Setan!”
“Mengapa hal itu tidak kau lakukan?!” tanya Setan
Liang Makam balik membentak.
Kali ini Kiai Tung-Tung tertawa panjang terlebih da-
hulu sebelum berkata. “Aku tidak mau memiliki benda
yang sudah menjadi hak seseorang! Justru kalau bisa,
aku harus membantu agar benda di tangan orang yang
tidak berhak bisa beralih ke tangan orang yang berhak
untuk memilikinya! Dalam hal ini kaulah orang yang
berhak, dan aku hanya bisa membantu dengan kete-
rangan, mengingat hanya hal itu yang bisa kulaku-
kan!”
Setan Liang Makam tergagu diam mendengar uca-
pan Kiai Tung-Tung. Dan Kiai Tung-Tung sendiri tam-
paknya tak mau memberi kesempatan bicara. Begitu
dia selesai berucap, laki-laki bercaping lebar ini telah
sambung ucapannya.
“Kau telah dengar keterangan. Dalam keadaan se-
perti saat ini, kau dituntut untuk bertindak cepat! Dan
kurasa sudah tidak ada yang bisa kuberikan lagi pa-
damu!”
Habis berkata begitu, enak saja Kiai Tung-Tung un-
cang-uncang kedua kakinya lagi ke lamping tebing.
Kedua tangannya yang merangkap di depan dada di-
buka. Tangan kanan ditekankan pada caping lebarnya
sementara tangan kiri diangkat lalu salah satu jarinya
dimasukkan ke dalam lobang telinga dan digerak-
gerakkan. Bersamaan dengan itu kepalanya bergerak
teleng dengan tubuh berjingkat-jingkat keenakan!
Setan Liang Makam memandang berlama-lama den-
gan mata dibeliakkan. Dia tetap masih merasa ragu
dengan keterangan orang. Hal itu terlihat dari ucapan-
nya kemudian. “Untuk membuktikan kalau ucapanmu
tidak dusta, kau harus ikut aku!”
Kiai Tung-Tung seolah tidak mendengar perkataan
orang. Dia seakan asyik dengan permainannya sendiri.
Malah kini dari mulutnya terdengar gumaman tidak je-
las.
Setan Liang Makam mulai marah. Dia melangkah
maju dua tindak. Namun sebelum mulutnya perden-
garkan suara, Kiai Tung-Tung telah mendahului.
“Sahabat! Kalau kau mau mengajakku ikut serta,
aku punya syarat!”
“Katakan apa syaratmu!”
“Kelak Kembang Darah Setan harus kau serahkan
padaku!”
“Jahanam! Kau harus langkahi dulu mayatku kalau
ingin memiliki Kembang Darah Setan!”
“Sahabat! Tadi sudah kubilang. Seandainya aku
mau, tidak sulit bagiku mendapatkan Kembang Darah
Setan! Malah tanpa harus melangkahi mayatmu! Kalau
kau ingin bukti, tunggulah di sini sampai tujuh hari di
muka! Tapi sekali lagi, begitu Kembang Darah Setan di
tanganku, kau tidak berhak untuk mengambilnya! Bagaimana, kau setuju?!”
“Ucapan gila!” maki Setan Liang Makam dengan da-
da makin menggelegak.
Kiai Tung-Tung tertawa terbahak. “Dalam beberapa
hal, kadang-kadang manusia dituntut untuk berbuat
dan bicara gila-gilaan! Apalagi jika urusannya berkai-
tan dengan senjata sakti!”
“Kalau kau tidak mau ikut, aku tidak akan pergi ke
pesisir utara!” ujar Setan Liang Makam. “Aku sudah
kenyang dengan ucapan dusta manusia!”
“Terserah! Aku hanya memberi keterangan. Soal
kau mau menerima atau tidak bukan lagi urusanku”
seraya berucap, Kiai Tung-Tung hentikan gerakan ke-
dua kakinya. Lalu perlahan-lahan dia bergerak bang-
kit. Namun meski sekarang telah tegak, dia belum Ju-
ga putar diri menghadap Setan Liang Makam yang te-
gak di belakangnya.
“Aku menunggu jawaban persetujuan mu, Sahabat!”
kata Kiai Tung-Tung.
Setan Liang Makam tidak juga mau menyahut. Dia
hanya memandang liar. Sementara Kiai Tung-Tung
perlahan-lahan balikkan tubuh. Mata Setan Liang Ma-
kam makin dipentang besar-besar. Namun karena cap-
ing itu dimasukkan dalam-dalam, dan sebagian ram-
but menutupi bagian samping wajah Kiai Tung-Tung,
sampai demikian jauh Setan Liang Makam tidak bisa
mengenali raut wajah orang.
“Sahabat! Waktuku tidak banyak!” ujar Kiai Tung-
Tung.
Setan Liang Makam mendengus. Sikap dan ucapan
Kiai Tung-Tung perlahan-lahan membuat kebimban-
gan Setan Liang Makam sirna. Tanpa buka suara, Se-
tan Liang Makam balikkan tubuh.
“Kau telah gantungkan nyawamu pada tanganku!
Begitu ucapanmu dusta, maka tak ada tempat layak
bagimu untuk sembunyi!”
“Sahabat, Untuk adilnya, boleh aku tanya?!” kata
Kiai Tung-Tung.
“Apa yang akan kau tanyakan?!” sentak Setan Liang
Makam.
“Bagaimana kalau ucapanku nanti benar?!”
Setan Liang Makam tertawa pendek. “Itu nanti ter-
serah pada takdir yang tertulis untukmu! Mungkin aku
akan memberi hadiah untukmu. Dan tak tertutup ke-
mungkinan aku akan membunuhmu!”
Setan Liang Makam tertawa bergelak panjang. Lalu
melangkah perlahan tinggalkan tebing. Kiai Tung-Tung
putar tubuh. Melihat ke bawah tampak Setan Liang
Makam telah berlari menuju ke arah utara.
***
SEMBILA
Waktu itu hampir menjelang malam. Bundaran ma-
tahari tampak menggantung sejengkal di atas hampa-
ran air laut sebelah barat. Warnanya yang telah beru-
bah kekuningan membuat seluruh permukaan air laut
berkilat keemasan. Gulungan ombak yang melamun
dahsyat pancarkan sinar pelangi. Beberapa batu ka-
rang yang banyak bertebaran di pesisir perlahan-lahan
berubah warna. Dan begitu sang mentari benar-benar
tenggelam, beberapa jajaran batu karang laksana pa-
ku-paku besar yang ditancapkan kokoh di hamparan
bumi.
Di pesisir sebelah barat, di mana terlihat sebuah te-
luk, suasana menjelang malam itu tampak dibuncah
dengan suara bergemuruh menghempasnya gelombang
yang abadi menghantam samping teluk. Suasana teluk
pun sudah berubah menghitam meski jika mata di-
layangkan, orang masih bisa melihat keadaan sekitar.
Kira-kira lima puluh tombak dari teluk, satu sosok
tubuh tampak duduk mendekam di balik satu gugusan
batu karang agak tinggi hingga sosok orang ini tidak
kelihatan jelas.
“Hari sudah malam! Kenapa dia terlambat muncul?!
Atau dia memang tidak akan muncul di sini?!” Orang
di balik batu karang mendesis. Sepasang mata diarah-
kan lurus pada satu jurusan. Dia adalah seorang pe-
muda berwajah tampan mengenakan pakaian putih-
putih. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan diikat
dengan ikat kepala warna putih pula. Kalau orang per-
nah berjumpa dengan Pendekar 131 Joko Sableng,
maka orang itu pasti menyangka jika si pemuda di ba-
lik batu karang adalah murid Pendeta Sinting.
Baru saja si pemuda yang paras wajahnya mirip
dengan Pendekar 131 mendesis, tiba-tiba sepasang
matanya menangkap gerakan satu bayangan putih di
depan sana. Si pemuda di balik batu karang segera ge-
rakkan tubuh makin merunduk. Namun sepasang ma-
tanya makin dipentang.
Bayangan putih yang berlari menuju arah teluk ti-
ba-tiba berhenti. Sepasang matanya liar memandang
dengan kepala digerakkan berputar. Jelas sikapnya
menandakan dia tengah mencari-cari.
“Hai! Aku di sini!” Pemuda di balik batu karang bu-
ka mulut seraya angkat tangannya memberi isyarat
tempatnya berada.
Orang yang baru muncul sesaat pandangi gerakan
tangan orang dengan wajah tegang. Dia tampak ragu-
ragu. Mulutnya bergerak membuka. Namun sebelum
suaranya terdengar, pemuda di balik batu karang telah
berkata lagi.
“Lidah Wetan! Aku Laras!”
Orang yang baru muncul menatap sekali lagi pada
tangan yang masih terangkat di balik batu karang.
Saat lain laksana terbang, dia berkelebat dan tahu-
tahu sosoknya telah tiga langkah di depan batu karang
di mana tadi terlihat satu tangan terangkat memberi
isyarat.
Pemuda di balik batu karang bergerak bangkit. Se-
saat dia pandangi orang yang tegak di hadapannya.
Ternyata dia adalah seorang pemuda yang baik pa-
kaian maupun paras wajahnya tidak beda dengan pe-
muda yang ada di balik batu karang. Yang membeda-
kan keduanya hanyalah lobang pada caping hidung
orang. Pemuda yang tadi berada di balik batu karang
cuping hidungnya tidak berlobang, sementara pemuda
yang baru muncul tampak berlobang pada cuping hi-
dungnya, jelas menandakan jika cuping hidung itu be-
kas mengenakan anting-anting.
Kedua pemuda yang paras wajahnya mirip dengan
Pendekar 131 Joko Sableng ini sama tersenyum.
“Lidah Wetan.... Kita harus segera menuju teluk!”
kata pemuda yang cuping hidungnya tidak berlobang
dan tadi sebutkan diri sebagai Laras. Dia memang bu-
kan lain adalah Kiai Laras yang menyamar sebagai
Pendekar 131 Joko Sableng.
“Kau melihat orang lain?!” tanya pemuda yang di-
panggil Lidah Wetan. Dia bukan lain adalah Kiai Lidah
Wetan yang juga mengenakan penyamaran sebagai
Pendekar 131.
Kiai Laras gelengkan kepala. “Tapi kita harus tetap
berhati-hati!”
Habis berkata begitu, Kiai Laras berkelebat seraya
memberi isyarat pada Kiai Lidah Wetan untuk mengi-
kuti. Mereka bergerak dengan berkelebat dari satu ba-
tu karang ke batu karang lainnya tanpa timbulkan su-
ara. Malah mereka berdua tampak kerahkan ilmu peringan tubuh tingkat tinggi, hingga kelebatan mereka
sulit ditangkap mata biasa.
Begitu mereka sampai batu karang paling ujung be-
rada di teluk, kedua laki-laki kakak beradik yang me-
nyamar ini hentikan kelebatan tubuh. Kepala Kiai La-
ras bergerak ke kanan, sedang kepala Kiai Lidah We-
tan bergerak ke kiri. Sepasang mata mereka menyiasati
keadaan dengan tanpa buka mulut.
Ketika agak lama dan mereka tidak menemukan
tanda-tanda adanya orang di teluk, Kiai Laras berpal-
ing pada Kiai Lidah Wetan yang tegak membungkuk di
sampingnya.
“Kau menangkap seseorang?!” tanya Kiai Laras den-
gan suara berbisik.
Kiai Lidah Wetan menjawab dengan isyarat gelengan
kepala. Namun kedua pemuda ini tampaknya masih
ragu. Keduanya kembali putar kepala masing-masing.
“Hanya kita berdua yang ada di sini!” bisik Kiai Li-
dah Wetan begitu merasa yakin bahwa di tempat itu
tidak ada orang lain selain mereka berdua. “Jangan-
jangan kita tertipu....”
Kiai Laras luruskan tubuhnya. “Kita cari!” katanya
seraya mulai melangkah.
“Apa yang kita cari?!” tanya Kiai Lidah Wetan.
Kiai Laras sesaat terdiam. Dia sendiri bingung apa
yang harus dikatakannya pada Kiai Lidah Wetan. Ru-
panya Kiai Lidah Wetan dapat menangkap kebingun-
gan pada adiknya. Dia melangkah mendekat dan ber-
bisik.
“Bukankah menurut pesan ini, Pendekar 131 hanya
diperintahkan datang ke tempat ini tanpa perintah
mencari sesuatu?!”
Kiai Laras anggukkan kepala. “Tapi aku menduga
pesan itu mengandung arti dia akan menemukan se-
suatu di sini!”
“Kau juga dapat menduga kira-kira apa sesuatu
itu?!”
Kembali Kiai Laras terdiam. Dan setelah agak lama
tak menemukan jawaban, akhirnya Kiai Laras berujar.
“Peduli setan apa yang hendak kita temukan di sini!
Yang jelas kita sudah sampai dan harus pulang den-
gan membawa hasil!”
Belum selesai ucapannya, Kiai Laras telah bergerak
melangkah mengitari teluk. Kiai Lidah Wetan terse-
nyum. Lalu ikut-ikutan melangkah meski dengan hati
enggan.
Beberapa saat berlalu. Kiai Laras sudah tampak ge-
ram. Parasnya berubah mengelam dan kedua tangan-
nya mengepal. Sementara Kiai Lidah Wetan tampak
tersenyum-senyum. Kiai Lidah Wetan sejak semula
memang sudah merasa kalau tidak ada gunanya me-
nuruti ucapan orang.
“Laras.... Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini! Kau
telah buktikan sendiri tidak ada apa-apa di sini!”
“Kita tunggu sampai besok pagi!” kata Kiai Laras
dengan suara agak keras.
“Apa yang kita tunggu?!” tanya Kiai Lidah Wetan.
“Jangan banyak mulut! Kalau kau tak mau, enyah-
lah kau dari sini!”
Kiai Lidah Wetan mendelik. Dadanya agak panas
mendengar ucapan Kiai Laras. Namun orang ini masih
coba menindih gelegak dadanya. Tanpa berkata me-
nyahut, Kiai Lidah Wetan melangkah ke arah satu ba-
tu karang agak datar. Lalu duduk sambil arahkan
pandang matanya pada gulungan ombak di depan sa-
na yang telah berwarna hitam namun lambat laun su-
ara gemuruhnya makin menggelegar.
Di lain pihak, Kiai Laras tampak melangkah mon-
dar-mandir dengan rahang terangkat dan mulut me-
nyeringai buas. Beberapa kali dia memaki sendiri dan
tak henti-hentinya liarkan pandangan ke sekeliling.
Karena setelah agak lama tak menemukan sesuatu,
pada akhirnya Kiai Laras mendekati Kiai Lidah Wetan.
Sambil arahkan pandang matanya ke lamunan gelom-
bang, dia buka mulut.
“Kuharap kau sabar menunggu sampai esok hari....”
Kiai Lidah Wetan tengadahkan kepala menatap pa-
da Kiai Laras yang tegak tidak jauh dari sampingnya.
Namun dia hanya memandang dengan mulut terkanc-
ing.
Saat itulah samar-samar dari arah jauh di belakang
terlihat satu bayangan hitam berlari cepat menuju pe-
sisir. Hanya beberapa saat saja, bayangan hitam ini te-
lah mencapai kawasan teluk. Dan begitu sepasang ma-
tanya menangkap dua sosok putih di depan sana, si
bayangan hitam segera berkelebat menyelinap ke balik
salah satu batu karang.
Orang ini ternyata tidak lain adalah Setan Liang
Makam. “Siapa mereka?!” gumamnya dalam hati se-
raya memandang tak berkesip ke seberang depan. Lalu
kepalanya bergerak memutar memandang berkeliling.
“Dari ciri-cirinya aku dapat menduga! Tapi mengapa
keduanya hampir sama?! Atau jangan-jangan ini satu
jebakan! Ah, persetan!”
Setan Liang Makam keluar dari balik batu karang.
Kini dia melangkah tanpa sembunyi-sembunyi lagi.
Sepasang matanya tak beranjak dari dua sosok putih
di depan sana.
Begitu Setan Liang Makam mulai melangkah, dari
arah belakang samar-samar terlihat satu bayangan
berlari ke arah teluk. Dari caranya berlari, jelas orang
yang muncul terakhir kali ini tidak mau diketahui ke-
hadirannya. Karena dia sengaja melompat dari satu
batu karang ke batu karang lainnya. Dan setelah me-
mandang berkeliling sesaat, dia berkelebat ke batu karang agak besar yang dari tempat itu dia rasa bisa me-
lihat apa yang ada di teluk.
Begitu sampai ke batu karang agak besar, orang
yang muncul terakhir kali dan ternyata adalah laki-laki
bercaping lebar dan bukan lain adalah Kiai Tung-Tung,
arahkan pandang matanya ke arah teluk.
Yang pertama-tama terlihat adalah sosok Setan
Liang Makam yang melangkah. Lalu mata Kiai Tung-
Tung menangkap dua sosok putih yang berada di
ujung teluk. Sesaat mata Kiai Tung-Tung membelalak.
“Astaga! Mengapa ada dua?!” desisnya demi melihat
dua sosok putih. “Ciri-cirinya sama.... Apakah....”
Belum sampai Kiai Tung-Tung lanjutkan kata ha-
tinya, tiba-tiba dari arah bawah sana terdengar teria-
kan keras Setan Liang Makam.
“Kalian sudah lama menungguku?!”
Teguran orang membuat Kiai Laras dan Kiai Lidah
Wetan terkesiap. Keduanya tidak ada yang buka mulut
menyahut. Mereka diam laksana patung. Namun diam-
diam kedua orang ini telah kerahkan tenaga dalam pa-
da kedua tangan masing-masing.
“Rupanya kita terjebak!” bisik Kiai Lidah Wetan.
“Semuanya sudah terlambat! Kita hadapi semua ke-
nyataan ini!”
Habis berkata begitu, Kiai Lidah Wetan bergerak
bangkit. Lalu laksana kilat, dia balikkan tubuh. Darah
Kiai Lidah Wetan laksana sirap. Kalau saja tidak ingat
keadaan, barangkali kakinya akan tersurut!
Di depan sana, Setan Liang Makam tak kalah ka-
getnya meski hatinya merasa lega. Dan yang paling
terkejut adalah Kiai Tung-Tung yang mendekam sem-
bunyi di balik batu karang.
Kiai Laras tampaknya bisa membaca gelagat keter-
kejutan saudaranya. Maka perlahan-lahan dia putar
diri. Sama halnya dengan Kiai Lidah Wetan, begitu melihat siapa adanya orang di seberang depan, Kiai Laras
tampak tersentak. Di lain pihak, Setan Liang Makam
terkesima. Hingga mulutnya yang sejenak tadi hendak
membuka tampak melongo tanpa perdengarkan suara.
Di balik batu karang, Kiai Tung-Tung cepat tekap
mulutnya dengan mata mendelik. “Bagaimana mung-
kin?! Keduanya sama persis! Aku tak bisa membeda-
kan meski keduanya palsu?!” Kiai Tung-Tung geleng-
kan kepala. “Siapa mereka sebenarnya...? Apakah ini
semua ulah Kiai Laras?!”
Di bawah sana, Setan Liang Makam untuk beberapa
lama memandang silih berganti pada dua pemuda di
hadapannya. “Sulit bagiku membedakan mana jaha-
nam yang pernah mengambil Kembang Darah Setan!
Tapi bukan berarti aku kesulitan untuk mengambil
nyawa keduanya! Aku tak peduli mana si jahanam asli
dan mana yang bukan!”
Setelah membatin begitu, Setan Liang Makam ang-
kat bicara dengan suara keras.
“Aku tak punya banyak waktu untuk bertanya siapa
adanya kalian! Yang jelas salah satu dari kalian telah
mengambil Kembang Darah Setan!” Tangan kiri Setan
Liang Makam bergerak menjulur membuat sikap me-
minta.
“Serahkan kembali Kembang Darah Setan itu!”
Kiai Lidah Wetan tampak melirik pada Kiai Laras
dengan tengkuk merinding. Dia telah tahu bagaimana
tingginya ilmu Setan Liang Makam. Sementara Kem-
bang Darah Setan berada di tangan Kiai Laras.
Sementara Kiai Laras sendiri tampak tenang-tenang
saja. Malah dia sunggingkan senyum dan berkata.
“Kembang Darah Setan memang berada di tangan
kami berdua! Dan benda itu akan kami serahkan pa-
damu!”
Setan Liang Makam tertawa ngakak. “Bagus! Itu lebih baik bagi kalian daripada mampus percuma!” Se-
tan Liang Makam teruskan langkah dengan tangan kiri
tetap membuat sikap meminta.
Berjarak delapan langkah, Setan Liang Makam ber-
henti. “Lekas serahkan!”
“Sebelum kuserahkan, aku ingin kau jawab perta-
nyaanku dahulu....”
“Keparat! Setan Liang Makam tak mau diberi sya-
rat!”
“Kalau begitu, kau tak akan memperoleh apa-apa!”
kata Kiai Laras.
“Kalian telah berani main-main dengan Kembang
Darah Setan! Berarti kalian akan mampus dengan
Kembang Darah Setan itu!”
“Kembang Darah Setan ada apa kami! Kau yang
akan mampus dengan benda milikmu sendiri!” sahut
Kiai Laras. Sementara Kiai Lidah Wetan makin tampak
cemas. Dia hanya memandang silih berganti pada Se-
tan Liang Makam dan Kiai Laras.
Entah karena apa, setelah diam sejenak, pada ak-
hirnya Setan Liang Makam bertanya. “Apa yang kau
tanyakan?!”
“Dari mana kau tahu tempat ini?!” tanya Kiai Laras.
Di tempat persembunyiannya, Kiai Tung-Tung
menghela napas. Sementara Setan Liang Makam meli-
rik lalu buka mulut menjawab.
“Aku tak kenal siapa dia. Dia hanya sebutkan nama
Kiai Tung-Tung!”
Kiai Laras bergumam pada Kiai Lidah Wetan. “Du-
gaanmu benar. Kita dijebak! Tapi ini adalah rezeki be-
sar bagi kita!”
“Bagaimana kau katakan ini sebuah rezeki besar?!”
“Kau lihat saja nanti....”
“Kalian bicara apa?! Lekas berikan Kembang Darah
Setan padaku!” hardik Setan Liang Makam.
Kiai Laras sunggingkan senyum. “Perlu kau tahu....
Sebenarnya kami bukanlah Pendekar 131! Kami ada-
lah dua orang suruhan Kiai Tung-Tung! Dan kau perlu
tahu juga. Tugas kami berdua adalah membunuhmu!”
“Jahanam! Kau kira aku bisa kau kelabui, hah?!
Aku tahu, salah satu di antara kalian adalah Pendekar
131! Aku tak perlu mengatakan yang mana, yang jelas
kalau salah satu di antara kalian mau serahkan Kem-
bang Darah Setan, nyawa kalian berdua akan kuam-
puni. Jika tidak, kalian berdua akan kubunuh seka-
lian!”
“Kami berdua telah berani menjadi orang suruhan
untuk menghadapimu! Berarti kami tahu sampai di
mana bekal ilmu yang kau miliki!” ujar Kiai Laras
sambil melirik pada Kiai Lidah Wetan dan berbisik.
“Kau jangan ikut bicara.... Kau nanti hanya perlu ber-
tahan.... Dan jangan bersungguh-sungguh jika terjadi
bentrok!”
Setan Liang Makam tegak dengan tulang pelipis
bergerak-gerak. Tangan kirinya ditarik pulang seraya
berkata.
“Aku meminta sekali lagi! Atau....”
“Kau tak akan mendapatkan apa-apa!” potong Kiai
Laras.
Setan Liang Makam perdengarkan bentakan dah-
syat. Saat bersamaan sosoknya melesat ke depan. Lalu
membuat putaran sekali. Kaki kanannya menendang
ke arah Kiai Lidah Wetan, sementara tangan kiri ka-
nannya menghantam ke arah kepala Kiai Laras.
Wuutt! Wuutt!
Terdengar deruan angker tatkala tendangan dan
hantaman kedua tangan itu menggebrak. Jelas hal itu
dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Kiai Lidah Wetan cepat angkat kedua tangannya di-
palangkan di depan dada. Sementara Kiai Laras tarik
ke belakang kepalanya lalu kelebatkan kedua tangan-
nya menghadang kedua tangan Setan Liang Makam.
Dess! Dess!
Dua benturan keras terdengar. Kiai Lidah Wetan
dan Kiai Laras tampak mundur satu tindak. Sebalik-
nya Setan Liang Makam terdorong ke belakang. Namun
belum sampai dorongan akibat bentroknya hantaman
itu menyapu, Setan Liang Makam telah jejakkan kaki
kirinya yang tadi dibuat sebagai tumpuan tubuh. So-
sok manusia yang hanya terdiri dari kerangka ini
membal ke udara.
Di atas udara, Setan Liang Makam membuat gera-
kan jungkir balik satu kali. Saat sosoknya meluncur,
kedua tangannya bergerak lepas satu pukulan dahsyat
ke arah Kiai Lidah Wetan yang berada dekat dengan-
nya.
Kiai Lidah Wetan tak tinggal diam. Begitu gelom-
bang dahsyat melabrak, kedua tangannya segera dido-
rong ke atas. Dari arah samping, Kiai Laras pun tiba-
tiba melepas satu pukulan.
Blammm!
Suara gelombang ombak terdengar ditingkah oleh
suara dentuman dahsyat hingga saat itu laksana terja-
di serangan badai yang disertai gemuruh guntur.
Sosok Setan Liang Makam tampak terpelanting ke
udara sampai tiga tombak. Laki-laki ini perdengarkan
seruan tertahan. Untuk beberapa saat tubuhnya tam-
pak melayang ke bawah. Hebatnya, dalam keadaan be-
gitu rupa, Setan Liang Makam masih mampu kuasai
diri. Satu tombak lagi tubuhnya sampai di bawah, dia
sentakkan kedua tangannya ke samping.
Wuutt! Wuutt!
Secara aneh, tiba-tiba sosok Setan Liang Makam
laksana ditahan tembok besar. Hingga sosoknya ter-
henti di atas udara. Dia hanya melirik sebentar. Kejap
lain tubuhnya melesat ke arah sosok Kiai Lidah Wetan
yang terlihat terhuyung-huyung.
Kiai Lidah Wetan tampak terkesiap. Dia melirik pa-
da Kiai Laras. Kiai Laras sendiri tampak memberi isya-
rat. Kiai Lidah Wetan angkat kedua tangannya sambil
coba kuasai huyungan tubuhnya.
Namun gerakan Kiai Lidah Wetan kalah cepat den-
gan lesatan sosok Setan Liang Makam. Hingga baru sa-
ja kedua tangannya terangkat, kaki kanan Setan Liang
Makam telah datang menyapu.
Dess!
Kiai Lidah Wetan melolong kesakitan. Sosoknya
langsung terbanting. Dan belum sempat dia bergerak
bangkit, Setan Liang Makam telah tegak di sampingnya
dengan seringai ganas. Tangan kanan kirinya cepat di-
angkat.
***
SEPULUH
Tahan!” Tiba-tiba Kiai Laras berteriak. Kedua tan-
gannya diangkat tinggi-tinggi tanda setiap saat dia bisa
lepaskan satu pukulan.
Setan Liang Makam urungkan gerakan tangannya.
Namun kakinya bergerak dan tahu-tahu kaki kanan-
nya telah menginjak perut Kiai Lidah Wetan. Saat ber-
samaan kepalanya berpaling pada Kiai Laras.
“Sebelum teman bangsat mu ini kubuat mampus,
ada yang hendak kau katakan?!”
“Kau bisa membunuhnya. Tapi apa kau mampu
menghadang pukulanku?!” tanya Kiai Laras. Sosoknya
melompat ke depan dan tegak hanya lima langkah di
depan Setan Liang Makam. Kedua tangannya bergetar
hebat, tanda tenaga dalam yang telah disalurkan pada
kedua tangannya sudah pada tingkat tinggi.
Setan Liang Makam tertawa bergelak. Di bawahnya,
Kiai Lidah Wetan tampak meringis dengan dada cemas.
Dia bukannya melirik pada Setan Liang Makam, na-
mun matanya tertuju pada Kiai Laras.
Tiba-tiba Setan Liang Makam putuskan gelakan ta-
wanya. “Buka matamu lebar-lebar, Jahanam! Untuk
membunuh teman keparatmu ini, aku hanya perlu ge-
rakkan kaki. Dan kedua tanganku ini bukan saja
mampu menghadang pukulanmu, tapi sekaligus men-
gantarmu ke neraka bersama jahanam keparat ini!” Se-
tan Liang Makam tekankan kaki kanannya.
Kiai Lidah Wetan mengaduh dengan kaki melejang-
lejang. Setan Liang Makam kembali tertawa bergelak.
“Baik! Kembang Darah Setan akan kuserahkan pa-
damu! Tapi lepaskan dulu temanku itu!” kata Kiai La-
ras.
Setan Liang Makam gelengkan kepala. “Kau kira bi-
sa menipuku lagi, hah?! Serahkan Kembang Darah Se-
tan itu dahulu, baru kulepaskan temanmu ini!”
Kiai Laras balik tertawa mendengar ucapan Setan
Liang Makam. “Harga nyawa seorang teman tidak ada
apa-apanya dibanding dengan Kembang Darah Setan!
Dan kalau kau tidak setuju dengan syarat ku, silakan
bunuh temanku itu! Tapi kau tak akan mendapatkan
apa yang kau minta!”
Kiai Lidah Wetan makin khawatir dan tegang. “Kau!”
katanya dengan suara tersendat. “Mengapa tega kor-
bankan nyawaku! Kau menipuku!”
“Keadaan mengharuskan demikian, Sahabat!” enak
saja Kiai Laras menyahut. Lalu berpaling dan teruskan
ucapan.
“Setan Liang Makam! Aku tanya sekali lagi padamu.
Kau masih ingin Kembang Darah Setan atau tidak?!”
“Tunjukkan dahulu barangnya!” teriak Setan Liang
Makam.
Kiai Laras turunkan tangan kirinya. Sementara tan-
gan kanan tetap berada di atas. Tangan kirinya terus
bergerak menyelinap ke balik pakaiannya. Tatkala tan-
gan itu ditarik keluar, tampak sinar berwarna merah,
hitam, dan putih memancar dari setangkai kembang
berdaun tiga buah berwarna merah, hitam, dan putih.
Sementara kuncupnya yang juga berwarna merah
tampak lesatkan cahaya mencorong ke atas.
“Kembang Darah Setan-ku...,” gumam Setan Liang
Makam.
“Lepaskan dia, atau kembang ini akan mengantar-
mu ke neraka!” bentak Kiai Laras sambil acungkan
Kembang Darah Setan di tangan kirinya.
Setan Liang Makam melirik pada gerakan tangan ki-
ri Kiai Laras yang memegang Kembang Darah Setan.
Dia tahu bagaimana kedahsyatan kembang yang per-
nah dimilikinya itu. Perlahan-lahan kini dadanya di-
landa kecemasan. Dia yakin dengan mudah dapat
mengatasi kedua orang pemuda itu. Namun dengan
Kembang Darah Setan di tangan salah satunya, dia
menjadi bimbang.
“Keinginanmu ku penuhi, Keparat! Tapi jangan
mimpi kau dapat menipuku lagi! Dan jangan anggap
aku tak mampu mencabut selembar nyawamu meski
kau menggenggam Kembang Darah Setan!”
“Setan Liang Makam! Turunkan kakimu dan biar-
kan dia bangkit!” kata Kiai Laras ketika dilihatnya Se-
tan Liang Makam belum juga turunkan kaki kirinya
dari perut Kiai Lidah Wetan.
“Hem.... Tampaknya nyawa pemuda ini begitu ber-
harga bagi dirinya...,” gumam Setan Liang Makam da-
lam hati. Lalu sambil tertawa dia berkata.
“Lemparkan dahulu Kembang Darah Setan itu!”
“Jahanam keparat!” maki Kiai Laras. “Aku menda-
patkan Kembang Darah Setan ini dengan perjanjian
kau kubebaskan dari makam batu! Itu berarti aku
mendapatkannya dengan cara jujur! Kau sebenarnya
yang hendak menipuku saat itu!”
“Lalu apa maumu sekarang?!” tanya Setan Liang
Makam.
“Lepaskan dia dahulu!”
“Baik! Tapi kalian akan menyesal jika menipuku!”
“Aku belum pernah menipumu! Kau sendiri yang
saat itu menyetujui persyaratan ku!” sahut Kiai Laras
sambil memandang tajam.
Perlahan-lahan Setan Liang Makam angkat kaki ki-
rinya dari perut Kiai Lidah Wetan. Kiai Lidah Wetan
sendiri segera bergerak bangkit. Namun baru saja ka-
kinya akan melangkah, tangan kiri Setan Liang Makam
telah bergerak mencekal lengannya.
“Kembang Darah Setan itu serahkan dahulu!”
Kiai Laras gelengkan kepala. “Kau yang hendak me-
nipuku! Bebaskan dia dahulu! Dan biarkan dia me-
langkah mendekat kemari! Atau kau tak akan menda-
pat apa-apa malah nyawamu akan putus saat ini juga!”
Setan Liang Makam ikut-ikutan gelengkan kepala.
“Begini saja! Letakkan Kembang Darah Setan itu dahu-
lu! Temanmu akan kulepaskan!”
Tanpa pikir panjang lagi, Kiai Laras lorotkan tubuh.
Dan perlahan diletakkan Kembang Darah Setan di ba-
wahnya.
“Bagus! Sekarang kau mundur!” kata Setan Liang
Makam sambil melangkah maju dengan tangan kiri
masih mencekal lengan Kiai Lidah Wetan.
Kiai Laras menatap angker pada Setan Liang Ma-
kam. Lalu dia surutkan langkah ke belakang. Kiai Li-
dah Wetan kernyitkan dahi. “Apa dia sudah gila hen-
dak memberikan begitu saja Kembang Darah Setan?!
Apa yang ada dalam benaknya?! Percuma bertahun-
tahun menanti kalau pada akhirnya harus begini! Dan
tahu begini apa yang akan terjadi, aku tidak akan tu-
ruti ucapannya!” kata Kiai Lidah Wetan dalam hati se-
raya terus arahkan pandang matanya pada Kembang
Darah Setan yang ada di bawah.
“Bagus! Terus mundur!” teriak Setan Liang Makam
sambil terus maju.
Kiai Laras teruskan langkahnya ke belakang. Se-
mentara kedua tangannya berada di atas kepala siap
lepaskan pukulan.
Begitu dua langkah dari Kembang Darah Setan,
laksana terbang Setan Liang Makam melompat dan
serta-merta menyambar Kembang Darah Setan. Di lain
pihak, begitu Setan Liang Makam melompat, Kiai Lidah
Wetan segera berkelebat.
Sebenarnya Kiai Lidah Wetan sudah punya rencana
hendak mendahului gerakan Setan Liang Makam. Na-
mun karena sadar gerakannya sudah terlambat, ak-
hirnya dia memutuskan untuk berlari ke arah Kiai La-
ras.
“Kau gila! Mengapa kau berikan begitu saja?!” desis
Kiai Lidah Wetan begitu sosoknya berada di samping
Kiai Laras.
“Jangan banyak bertanya! Sekarang kita tinggalkan
tempat ini!”
Kiai Laras tidak menunggu sahutan. Begitu sua-
ranya selesai, sosoknya telah berkelebat.
“Ada apa dengan dia?! Kembang Darah Setan telah
berada di tangan Setan Liang Makam, hanya serahkan
nyawa kalau tetap berada di sini!”
Berpikir begitu, akhirnya Kiai Lidah Wetan segera
berkelebat mengejar Kiai Laras.
Sementara begitu Kembang Darah Setan telah ter-
genggam di tangannya, Setan Liang Makam tertawa
bergelak. Dia tidak lagi pedulikan Kiai Lidah Wetan
dan Kiai Laras yang terus berkelebat menjauh.
Puas tertawa, baru Setan Liang Makam teringat
akan Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras. Namun sosok
dua pemuda itu sudah tidak kelihatan lagi.
‘“Kalian boleh saja lolos! Tapi jangan harap kalian
dapat tempat untuk sembunyi! Kalian telah membuat
satu perhitungan dengan Setan Liang Makam. Dan itu
tidak akan pernah selesai!”
Habis berkata begitu, cepat-cepat Setan Liang Ma-
kam masukkan Kembang Darah Setan ke balik pa-
kaiannya. Sekali membuat gerakan, sosok Setan Liang
Makam melesat tinggalkan teluk.
Di tempat persembunyiannya, Kiai Tung-Tung tam-
pak masih belum bisa kuasai rasa terkesimanya meli-
hat apa yang baru saja terjadi. Sejak Kembang Darah
Setan dikeluarkan Kiai Laras, sepasang matanya terus
membelalak tak berkesip. Dia baru kedipkan mata be-
gitu melihat Setan Liang Makam berkelebat tinggalkan
teluk.
“Aneh.... Mengapa dia enak saja serahkan Kembang
Darah Setan?! Padahal dengan benda itu pemuda yang
tadi memegang Kembang Darah Setan tentu mampu
melawan Setan Liang Makam! Dan kulihat mereka
berdua juga tidak bersungguh-sungguh memberikan
perlawanan ketika bentrok! Ada yang tidak beres....
Aku harus mengikuti....”
Kiai Tung-Tung segera keluar dari balik batu ka-
rang. Setelah memperhatikan berkeliling, dia berkele-
bat.
***
Agak jauh dari kawasan teluk, Kiai Laras yang ber-
kelebat di sebelah depan hentikan larinya.
“Kau telah gila! Mengapa Kembang Darah Setan kau
berikan padanya?!” Kiai Lidah Wetan sudah menyem-
prot begitu berhenti di sebelah Kiai Laras. Dan belum
sempat Kiai Laras buka mulut, Kiai Lidah Wetan sudah
teruskan ucapannya.
“Rupanya akan sia-sia penantian kita selama ini!
Lebih dari itu kau telah membuat jalan malapetaka
bagi kita berdua! Sejak semula aku sudah ragu-ragu....
Nyatanya keraguan ku terbukti! Kita dijebak orang!”
Kiai Laras tidak menyahut. Sebaliknya dia meman-
dang ke jurusan dari mana dia tadi datang. Sepasang
matanya menatap tak berkesip menembusi kepekatan
malam.
“Aneh.... Dia sepertinya tidak merasa menyesal den-
gan berpindahnya Kembang Darah Setan ke tangan
Setan Liang Makam.... Ada apa sebenarnya ini?!” Di-
am- diam Kiai Lidah Wetan membaca sikap Kiai Laras.
“Lidah Wetan.... Kita ikuti ke mana Setan Liang Ma-
kam pergi...,” bisik Kiai Laras tanpa melihat pada
orang.
“Kau benar-benar gila! Untuk apa kita mengiku-
tinya?! Kita hanya akan cari mati percuma! Dia mem-
bekal Kembang Darah Setan!”
Kiai Laras berpaling. Bibirnya sunggingkan senyum.
“Aku tak peduli apa bekal setan itu! Yang jelas kesem-
patan ini tidak boleh kita sia-siakan!”
“Aku tak mengerti jalan pikiranmu!” ujar Kiai Lidah
Wetan.
“Nanti kau akan mengerti. Sekarang ikuti aku!”
Seolah tidak sabar, Kiai Laras segera tarik tangan
Kiai Lidah Wetan dan diseretnya berlari tinggalkan
tempat itu.
Meski dengan menduga-duga akhirnya Kiai Lidah
Wetan mengikuti ke mana Kiai Laras berlari. Namun
ketika dia melihat Kiai Laras mengikuti berkelebatnya
satu sosok tubuh di depan sana, Kiai Lidah Wetan tak
bisa lagi menahan dugaan. Apalagi ia mulai dapat me-
nangkap siapa adanya sosok yang diikuti.
“Laras.... Aku tak akan mengikuti langkahmu sebe-
lum kau jelaskan semua ini!”
Sambil terus berlari, Kiai Laras berkata dengan sua-
ra direndahkan.
“Aku tidak sebodoh yang dikira manusia setan yang
kita ikuti itu! Kau tak usah khawatir! Kita tidak akan
membuat urusan dengannya. Kita hanya perlu tahu ke
mana dia hendak pergi!”
“Tapi itu sangat berbahaya. Kembang Darah Setan
telah di tangannya...!”
Kiai Laras menoleh. “Aku tanya. Kau mau apa ti-
dak?!”
“Tapi kita harus memperhitungkan diri!”
“Kalau aku tidak memperhitungkan diri, apa kau
kira aku berani melakukan ini?!”
Kiai Lidah Wetan tergagu diam. Dan tanpa berkata
apa-apa lagi akhirnya Kiai Lidah Wetan mengikuti ber-
kelebatnya Kiai Laras yang terus berlari seraya tak
henti-hentinya memperhatikan kelebatan sosok di de-
pan sana yang bukan lain adalah Setan Liang Makam.
Kiai Laras sendiri tampak berhati-hati. Dia sengaja
menjaga jarak agar Setan Liang Makam tidak merasa
kalau dirinya sedang diikuti. Bahkan sesekali Kiai La-
ras menyelinap ke balik batangan pohon begitu dili-
hatnya Setan Liang Makam memperlambat larinya.
Ketika malam menjelang berujung, dan samar-
samar langit disemaraki warna kemerahan, Kiai Laras
mulai dapat menduga ke mana arah yang dituju Setan
Liang Makam.
“Aku tidak lupa! Ini adalah arah menuju Kampung
Setan.... Hem.... Rupanya rahasia itu masih berada di
sana....”
Di lain pihak, Kiai Lidah Wetan pun tampaknya bisa
membaca arah Setan Liang Makam. Orang ini segera
buka mulut.
“Laras.... Tentunya kita sudah bisa menebak ke
mana arah orang yang kita ikuti! Sebaiknya kita kem-
bali dari sini!”
“Kita akan kembali begitu kita tahu ke mana dia se-
benarnya!”
“Ini adalah jalan menuju Kampung Setan!” kata Kiai
Lidah Wetan.
“Aku tahu! Tapi bukan itu maksudku! Aku ingin ta-
hu Kampung Setan sebelah mana yang ditujunya!”
Apa yang dipercakapkan Kiai Laras dengan Kiai Li-
dah Wetan benar adanya. Karena Setan Liang Makam
memang tengah menuju Kampung Setan. Entah
mungkin saking gembiranya telah mendapatkan Kem-
bang Darah Setan kembali, Setan Liang Makam tidak
merasa kalau dirinya diikuti Kiai Laras dan Kiai Lidah
Wetan. Dia terus berlari dengan sesekali perdengarkan
tawa.
Setan Liang Makam baru memperlambat langkah-
nya tatkala memasuki sebuah kawasan sepi di ujung
hutan di mana terlihat jajaran beberapa julangan batu
karang tinggi yang melingkari sebuah tanah terbuka.
Tempat ini tidak lain adalah sebuah tempat yang dike-
nai orang dengan Kampung Setan. (Tentang Kampung
Setan silakan baca serial Joko Sableng dalam episode:
“Rahasia Kampung Setan”).
Setan Liang Makam memandang berkeliling. Lalu
melangkah perlahan-lahan memasuki tanah terbuka.
Dia hentikan langkah dekat lobang menganga yang
terbongkar.
“Makam sialan!” maki Setan Liang Makam. Dia te-
ringat bagaimana dia terjerumus masuk ke makam itu
pada tiga puluh enam tahun silam dan harus hidup
menderita hingga sekujur tubuhnya sekarang hanya
tinggal merupakan susunan kerangka tanpa daging.
Ingat akan hal itu, tiba-tiba di kelopak matanya ter-
bayang wajah seseorang. Sepasang mata Setan Liang
Makam serta-merta mendelik angker. Kepalanya diten-
gadahkan dengan mulut mendesis.
“Kigali.... Hidupku belum tenang kalau tanganku
belum merancah dan mengantarmu menyusul Dadaka
ke liang neraka! Tunggulah Kigali...! Hidupmu tidak
akan lama lagi! Kau boleh sembunyi, tapi jangan kira
aku tak bisa menemukanmu! Ha.... Ha.... Ha...!”
Setan Liang Makam tertawa bergelak. Hingga untuk
beberapa saat, tempat sunyi itu dipecah dengan gela-
kan tawa membahana. Agak jauh dari tempat Setan
Liang Makam di tempat tersembunyi, Kiai Laras dan
Kiai Lidah Wetan tekap telinga masing-masing untuk
membendung suara gelakan tawa. Namun mata mas-
ing-masing orang terus memandang tak berkesip se-
tiap gerakan Setan Liang Makam.
Tanpa diketahui oleh Kiai Laras dan Kiai Lidah We-
tan, diam-diam sejak tadi sepasang mata tampak men-
delik memperhatikan dari satu tempat. Mata ini sese-
kali mengarah pada gerak-gerik Kiai Laras dan Kiai Li-
dah Wetan. Lalu saat lain memperhatikan gerakan Se-
tan Liang Makam.
“Hem.... Sepertinya kedua pemuda itu sengaja
memberikan Kembang Darah Setan, lalu secara diam-
diam mengikuti.... Ketidak beresan itu makin terli-
hat...,” gumam si pemilik mata yang terus memperha-
tikan Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras serta Setan
Liang Makam. Si pemilik mata ini ternyata bukan lain
adalah Kiai Tung-Tung.
Sejak dari kawasan teluk, Kiai Tung-Tung secara
diam-diam memang mengikuti Setan Liang Makam.
Mula-mula dia dilanda kebimbangan antara mengikuti
kelebatan Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan yang saat
itu menyamar sebagai Pendekar 131. Dia sebenarnya
ingin menguak siapa sebenarnya dua pemuda itu. Na-
mun setelah berpikir agak panjang, akhirnya dia me-
mutuskan untuk mengikuti Setan Liang Makam.
Namun belum sampai berlari jauh, tiba-tiba Kiai
Tung-Tung yang sebenarnya tidak lain adalah Pende-
kar 131 Joko Sableng, menangkap gerakan dua bayan-
gan putih yang berlari mengikuti Setan Liang Makam.
Meski saat itu suasana gelap, namun dari pakaian
yang dikenakan dua sosok putih, Kiai Tung-Tung den-
gan mudah bisa mengenali siapa adanya dua sosok
yang mengikuti Setan Liang Makam.
Kiai Tung-Tung tidak bisa menduga ke mana dan
apa yang hendak dilakukan Setan Liang Makam serta
Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan. Hingga dia hanya ber-
lari dengan berusaha agar dirinya tidak diketahui oleh
beberapa orang yang dikuntitnya. Dan begitu Setan
Liang Makam hentikan larinya pada tempat terbuka
serta Kiai Lidah Wetan serta Kiai Laras sembunyi men-
dekam di satu tempat, Kiai Tung-Tung hentikan juga
larinya lalu mencari tempat tersembunyi yang dapat
melihat jelas gerak-gerik orang yang diikuti.
Sementara di tempat terbuka sana, Setan Liang
Makam tampak tegak dengan kepala tengadah. Gela-
kan tawanya sudah terhenti. Tempat yang dikenal
orang dengan Kampung Setan itu kembali dicekam ke-
sunyian menyentak. Sementara perlahan-lahan langit
di atas sana sudah mulai terang, hingga semua gera-
kan Setan Liang Makam makin jelas kelihatan. Orang
yang tubuhnya merupakan susunan kerangka ini ge-
rakkan kepala berpaling ke kanan. Di sana terlihat se-
buah batu altar.
Setan Liang Makam melangkah dua tindak ke bela-
kang. Tiba-tiba kedua tangannya diangkat. Kiai Laras
dan Kiai Lidah Wetan memperhatikan dengan dada
berdebar. Sementara Kiai Tung-Tung masih juga belum
bisa mengetahui apa yang hendak dilakukan orang.
Beberapa saat berlalu. Mendadak Setan Liang Ma-
kam sentakkan kedua tangannya. Terdengar deruan
dahsyat. Bersamaan dengan itu tampak dua gelom-
bang angin luar biasa kencang melesat.
Brakkk! Brakkk!
Terdengar derakan keras dua kali. Lalu tampak
muncratan keping-keping batu ke udara setinggi dua
tombak. Ketika muncratan kepingan batu luruh kem-
bali, altar batu sudah tidak kelihatan lagi. Berubah
menjadi sebuah lobang menganga besar!
Setan Liang Makam memperhatikan sesaat pada lo-
bang menganga. Lalu putar tubuh dengan mata mem-
perhatikan pada julangan beberapa batu karang tinggi.
Begitu tubuhnya kembali ke arah semula, dia melang-
kah mendekati lobang.
“Gelap...,” gumam Setan Liang Makam begitu kepa-
lanya bergerak melongok. “Apa aku harus masuk?! Apa
ucapan Nyai Suri Agung tidak bermaksud menjebakku
dengan niat balas dendam akan apa yang pernah ku-
lakukan terhadapnya?!”
Untuk beberapa lama Setan Liang Makam berpikir
dan menimbang-nimbang. “Hem.... Kembang Darah
Setan telah berada di tanganku kembali! Dengan ben-
da ini tak ada yang perlu ditakutkan! Sekalipun harus
berhadapan dengan Nyai Suri Agung!”
Memutuskan begitu, pada akhirnya Setan Liang
Makam membuat gerakan satu kali. Saat itu juga so-
soknya melesat masuk ke dalam lobang menganga!
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?!” tanya
Kiai Lidah Wetan begitu sosok Setan Liang Makam le-
nyap masuk ke dalam lobang.
Kiai Laras tidak segera menjawab. Dia hanya mem-
perhatikan ke lobang di mana tadi Setan Liang Makam
melesat masuk. Dalam hati diam-diam dia berkata.
“Tak kusangka jika di situ rahasianya! Hem.... Lidah
Wetan tidak boleh tahu apa rencanaku! Itu akan kula-
kukan sendiri!”
“Kita tinggalkan tempat ini!” Kiai Laras buka suara.
Dan tanpa menunggu sambutan dari Kiai Lidah Wetan,
Kiai Laras keluar dari tempat persembunyiannya dan
saat lain dia berkelebat.
“Aneh.... Apa sebenarnya yang ada dalam benak-
nya?! Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu pada-
ku! Dia memberikan begitu saja Kembang Darah Se-
tan. Lalu diam-diam mengikuti jejak Setan Liang Ma-
kam. Tapi tanpa melakukan sesuatu.... Hem.... Aku
harus segera mengetahui ada apa di balik semua ini!”
Setelah membatin begitu, Kiai Lidah Wetan menga-
wasi ke arah lobang sejenak, lalu berkelebat menyusul
Kiai Laras yang sudah berlari jauh di depan sana.
Di tempat lain, Kiai Tung-Tung kembali dilanda ke-
bimbangan. Antara mengikuti dua pemuda yang me-
nyamar sebagai Pendekar 131 dan menguntit apa yang
dilakukan Setan Liang Makam.
“Hem.... Kembang Darah Setan sudah kembali pada
pemiliknya. Berarti urusan Setan Liang Makam kurasa
sudah selesai. Sekarang aku harus tahu siapa sebe-
narnya dua pemuda itu!”
Kiai Tung-Tung gerakkan kepala dengan mata men-
gawasi seantero di mana dia berada. Sesaat dia masih
dilanda keragu-raguan. Namun setelah berpikir lagi,
dia akhirnya keluar dari tempat mendekamnya lalu
berlari mengikuti Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan.
***
SEBELAS
Ketika sudah jauh dari Kampung Setan dan mata-
hari sudah menggantung tinggi di belahan langit timur,
Kiai Laras tiba-tiba hentikan larinya. Begitu sosoknya
berhenti, laksana kilat dia putar tubuh. Sepasang ma-
tanya menyengat tajam memperhatikan ke depan. Te-
linganya dipasang baik-baik.
Kiai Lidah Wetan serta-merta ikut berhenti. Dan se-
perti halnya Kiai Laras, ia juga cepat balikkan tubuh.
Kepalanya bergerak memutar. Sepasang matanya liar
melihat berkeliling.
“Aku merasa ada jahanam yang mengikuti kita!”
gumam Kiai Laras tanpa alihkan pandang matanya.
Kiai Lidah Wetan sambuti gumaman Kiai Laras den-
gan anggukkan kepala. Lalu berbisik. “Kita belum tahu
siapa yang kita hadapi! Untuk lebih amannya, kita ha-
rus berpencar dan segera berganti wajah!”
Kiai Lidah Wetan berucap begitu sebenarnya den-
gan maksud agar dia segera bisa menyelidik apa yang
selama ini jadi tanda tanya besar tentang sikap Kiai
Laras.
Di lain pihak, Kiai Laras pun sebenarnya ingin sege-
ra menyelidik apa yang akan dilakukan Setan Liang
Makam. Maka begitu mendengar bisikan Kiai Lidah
Wetan, dia berbalik berbisik.
“Kita berpisah di sini! Di tempat yang telah kita ten-
tukan, kita nanti bertemu sesuai waktu yang telah kita
atur!”
Kiai Lidah Wetan memandang sesaat pada adiknya.
Entah apa yang dipikirkannya, yang jelas dia terse-
nyum lalu berkelebat menuju arah selatan. Bersamaan
dengan melesatnya sosok Kiai Lidah Wetan, Kiai Laras
pun berkelebat ke arah utara.
Berjarak lima belas tombak dari tempat di mana ta-
di Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan berhenti, Kiai Tung-
Tung yang tampak telungkup sejajar tanah bergumam
sendiri.
“Hampir saja.... Terlambat sedikit, pasti mereka
akan melihatku”
Habis bergumam, Kiai Tung-Tung arahkan pandang
matanya pada Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan. Dia ti-
dak bisa mendengar dengan jelas apa yang diperbin-
cangkan kedua orang ini. Dia hanya bisa melihat gera-
kan orang. Dan tiba-tiba keningnya berkerut tatkala
mendadak saja salah satu pemuda yang diikutinya
berkelebat ke arah selatan. Belum bisa menduga dan
belum tahu apa yang harus dilakukan, kembali dia
terbelalak demi melihat pemuda satunya membuat ge-
rakan berkelebat ke arah utara.
“Busyet! Mereka berpencar! Tampaknya mereka cu-
riga kalau kuikuti! Hem.... Siapa yang harus kuikuti
sekarang?! Yang ke arah selatan atau utara?!”
Kiai Tung-Tung bergerak bangkit. Setelah merasa
yakin keadaan aman, tanpa pikir panjang lagi dia sege-
ra berlari ke arah selatan, arah yang diambil oleh Kiai
Lidah Wetan.
Kalau tadi Kiai Tung-Tung mengikuti secara diam-
diam, kini dia berlari tanpa sembunyi-sembunyi lagi.
Dia berlari dengan kerahkan segenap ilmu peringan
tubuhnya hingga dalam beberapa saat dia telah dapat
menangkap kelebatan orang yang dikejar.
“Hai! Tunggu” Kiai Tung-Tung berteriak begitu jarak
antara dia dengan orang yang dikejar hanya terpaut
beberapa tombak.
Kiai Lidah Wetan rupanya sudah merasa kalau di-
rinya diikuti. Namun dia seolah tidak dengar teriakan
orang. Malah dia mempercepat larinya. Dan diam-diam
dia salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
“Hai! Tunggu” kembali Kiai Tung-Tung berteriak.
Di depan sana, Kiai Lidah Wetan tiba-tiba saja ber-
henti. Malah langsung putar tubuh. Namun bersa-
maan dengan berputarnya tubuh, kedua tangannya
bergerak lepaskan satu pukulan jarak jauh bertenaga
dalam tinggi.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang angker melesat ganas ke arah Kiai
Tung-Tung. Kiai Tung-Tung tampak sedikit tersentak
kaget karena tidak menduga sama sekali. Namun laki-
laki bercaping lebar ini cepat melompat ke samping.
Kedua tangannya dikelebatkan ke arah gelombang
yang melesat dari kedua tangan Kiai Lidah Wetan.
Bummm!
Terdengar ledakan keras saat dua gelombang puku-
lan Kiai Lidah Wetan disambut gelombang yang me-
nyambar dari kedua tangan Kiai Tung-Tung. Meski
Kiai Tung-Tung tidak arahkan pandangannya lurus ke
arah Kiai Lidah Wetan, namun bentroknya dua tenaga
dalam membuat sosok Kiai Lidah Wetan bergoyang-
goyang dan kedua tangannya bergetar. Paras wajahnya
seketika berubah. Antara marah dan rasa menyentak-
nyentak pada aliran jalan darahnya.
Di seberang samping, Kiai. Tung-Tung tampak tegak
dengan tangan satu di atas kepala menekan caping le-
barnya yang hendak lepas terbang. Sementara tangan
satunya dikibas-kibaskan dengan mulut meringis!
“Apa maumu?!” bentak Kiai Lidah Wetan sambil
angkat kedua tangannya kembali.
“Tahan, Sahabat!” sahut Kiai Tung-Tung. “Aku cu-
ma ingin bertanya....”
Kiai Lidah Wetan pandangi sekujur tubuh orang da-
ri atas hingga bawah seolah ingin mengenali. Namun
karena caping lebar itu masuk hampir menutupi sepa-
ruh dari paras muka Kiai Tung-Tung, apalagi rambut
nya yang panjang sengaja digeraikan di bagian samp-
ing kanan kiri wajahnya, membuat Kiai Lidah Wetan
sulit untuk mengenali siapa adanya orang ini.
“Apa manusia ini yang mengikuti langkahku dan
Laras sejak keluar dari kawasan hutan dekat Kampung
Setan tadi?!” Kiai Lidah Wetan diam-diam menduga.
Lalu ajukan tanya dengan suara keras.
“Siapa kau?!”
“Namaku Bim-Bim...,” ujar Kiai Tung-Tung setelah
agak lama terdiam. “Bukankah aku sedang berhada-
pan dengan pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul
131 Joko Sableng?!”
Sesaat Kiai Lidah Wetan kerutkan dahi. “Kau telah
mengenalku! Sekarang katakan apa maumu!”
Tiba-tiba Kiai Tung-Tung perdengarkan tawa berge-
lak panjang. Namun laksana dirobek setan, Kiai Tung-
Tung putuskan gelakan tawanya. Kejap lain dia per-
dengarkan suara bentakan.
“Bagus! Aku mendapat tugas untuk meminta sesua-
tu darimu! Kalau kau turuti permintaanku, nyawamu
akan selamat! Jika tidak, aku akan mengambil apa
yang kuminta beserta nyawamu sekalian!”
“Jahanam! Pasti yang dimaksud adalah Kembang
Darah Setan.... Hem.... Rupanya dia tidak memiliki il-
mu rendah! Aku harus dapat segera menyelesaikan-
nya! Jika tidak, dia akan menunda pekerjaanku....”
“Apa yang kau minta?!” Kiai Lidah Wetan bertanya
dengan kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan-
nya. Dia coba kerahkan segenap tenaga dalam yang
dimiliki, karena dari bentrok pukulan tadi, dia sudah
maklum jika orang yang dihadapi punya kekuatan
yang tidak rendah.
Kiai Tung-Tung kembali perdengarkan kekehan ta-
wa. “Serahkan Kembang Darah Setan padaku!”
Entah karena merasa mungkin urusan akan selesai
dengan bicara baik-baik, Kiai Lidah Wetan yang saat
itu menyamar sebagai murid Pendeta Sinting sung-
gingkan senyum sambil berkata. Nadanya kalem.
“Aku maklum jika kau minta benda itu padaku, ka-
rena rimba persilatan saat ini memang telah beredar
berita jika Kembang Darah Setan ada padaku! Namun
perlu kau ketahui.... Berita ini sebenarnya fitnah dan
omong kosong! Kembang Darah Setan tidak ada di
tanganku!”
“Manusia ini pandai juga berdalih.... Sayangnya aku
tadi tak bisa membedakan mana yang memberikan
Kembang Darah Setan pada Setan Liang Makam.... Ta-
pi itu tidak penting! Yang penting aku harus tahu sia-
pa di balik kedoknya!” Diam-diam Kiai Tung-Tung ber-
kata sendiri dalam hati. Lalu berkata.
“Seandainya aku jadi kau, tentu aku akan menja-
wab dengan ucapan yang sama! Tapi sayangnya aku
lebih percaya pada berita yang saat ini beredar! Kem-
bang Darah Setan berada di tanganmu! Dan kau telah
dengar apa permintaanku!” Kiai Tung-Tung maju me-
langkah tiga tindak. “Sahabat Muda.... Dunia mu ma-
sih panjang dibanding duniaku yang hanya tinggal
menunggu saat-saat terakhir panggilan ajal! Kau tentu
masih bisa memperoleh sesuatu yang lebih dahsyat
daripada Kembang Darah Setan. Maka dari itu, aku....”
Belum sampai Kiai Tung-Tung lanjutkan ucapan,
Kiai Lidah Wetan telah memotong.
“Telingamu telah dengar penjelasanku! Kuperintah-
kan kau angkat kaki dari hadapanku jika kau tak in-
gin ajal itu menjemput mu sekarang!”
Kiai Tung-Tung tersenyum sambil gelengkan kepala.
“Tadi sudah kukatakan, aku adalah orang yang men-
dapat tugas untuk meminta darimu! Bagiku.... Daripa-
da pulang dengan tangan hampa lebih baik pulang
tanpa nama! Karena pulang pun aku harus menerima
kematian juga!”
Karena sadar tidak bisa menyelesaikan urusan den-
gan bicara baik-baik, tanpa pikir panjang lagi Kiai Li-
dah Wetan segera tarik kedua tangannya ke belakang.
“Aku peringatkan kau sekali lagi! Angkat kaki atau
mampus di sini!”
“Keduanya tidak ada yang ku pilih! Aku minta Kem-
bang Darah Setan!” jawab Kiai Tung-Tung.
Wuutt! Wuutt!
Suara jawaban Kiai Tung-Tung belum selesai, Kiai
Lidah Wetan telah sentakkan kedua tangannya ke de-
pan. Hingga bersamaan dengan itu dua gelombang
menggidikkan menggebrak. Dan samar-samar tampak
semburatan warna hitam menyertai gelombang yang
datang.
Kiai Tung-Tung maklum jika pukulan yang dilepas
orang kali ini bertenaga dalam tinggi. Dia tidak mau
bertindak ayal. Dia cepat kerahkan tenaga dalam pada
kedua tangannya. Serta-merta kedua tangannya beru-
bah menjadi kekuningan. Menunjukkan kalau dia
hendak hadang pukulan orang dengan lepaskan puku-
lan ‘Lembur Kuning’.
Wuutt! Wuutt!
Kedua tangan Kiai Tung-Tung bergerak. Terlihat si-
nar kuning melesat membawa serta gelombang dahsyat
dan hawa luar biasa menyengat panas.
Blaarr!
Untuk kedua kalinya terdengar ledakan dahsyat.
Gelombang yang samar-samar disemburati warna
hitam dari kedua tangan Kiai Lidah Wetan buyar. Sinar
kuning yang melesat dari kedua tangan Kiai Tung-
Tung tampak pula ambyar.
Sosok Kiai Lidah Wetan terjengkang jatuh di atas
tanah. Dari mulutnya mengucurkan darah. Tanda jika
telah terluka dalam. Namun Kiai Lidah Wetan tampak
nya sadar akan apa yang hendak dilakukan orang,
hingga meski merasakan aliran darah sekujur tubuh-
nya laksana tersumbat dan menyentak-nyentak, Kiai
Lidah Wetan segera salurkan tenaga dalam kembali, la-
lu dengan cepat bergerak bangkit.
Sementara di depan sana, Kiai Tung-Tung tampak
terdorong deras ke belakang dan hampir saja lututnya
terlipat. Tapi dia cepat dapat kuasai diri meski dengan
tubuh terhuyung-huyung. Sosoknya bergetar keras.
Sepasang matanya mengerjap beberapa kali. Caping
lebarnya mencelat dan melayang-layang di atas udara.
Karena mungkin tidak mau dikenali dengan me-
layangnya caping di kepalanya, Kiai Tung-Tung segera
berkelebat menyambar capingnya. Dan cepat-cepat pu-
la dikenakan.
Kiai Lidah Wetan sesaat tampak sipitkan mata
tatkala melihat gerakan Kiai Tung-Tung yang me-
nyambar caping lebarnya. Dia tadi coba mengenali wa-
jah orang. Namun karena dia masih pikirkan keadaan
dirinya dan kelebatan Kiai Tung-Tung sangat cepat,
membuat Kiai Lidah Wetan belum bisa dengan jelas
melihat raut muka orang.
“Siapa jahanam ini sebenarnya?! Rasanya aku tak
mungkin menghadapinya!” Kiai Lidah Wetan rupanya
maklum akan gelagat. Dia melirik ke samping kiri ka-
nan. Kejap lain dia sentakkan kedua tangannya le-
paskan pukulan ke arah Kiai Tung-Tung.
Kembali dua gelombang angin dahsyat menggebrak
ganas ke arah Kiai Tung-Tung. Bersamaan dengan
menggebraknya gelombang, Kiai Lidah Wetan berkele-
bat tinggalkan tempat itu.
“Serahkan dulu Kembang Darah Setan! Baru kau
bisa pergi dengan tenang!” teriak Kiai Tung-Tung sam-
bil dorong kedua tangannya lepaskan lagi pukulan
sakti ‘Lembur Kuning’. Dan begitu kedua tangannya
mendorong, Kiai Tung-Tung segera pula berkelebat
mengejar.
Bummm!
Bentroknya dan pukulan menimbulkan gelegar
dahsyat. Tanah di mana pukulan bertemu tampak
semburat ke udara menutupi pemandangan.
Meski sosok Kiai Lidah Wetan dan Kiai Tung-Tung
sudah berkelebat ketika gelegar terdengar, namun bias
bentroknya dua pukulan tak bisa dihindari. Hingga ke-
lebatan sosok Kiai Lidah Wetan terlihat bergoyang-
goyang. Demikian pula sosok Kiai Tung-Tung. Namun
Kiai Lidah Wetan tak hendak hentikan larinya.
“Aku harus menghentikannya!” Kiai Tung-Tung
angkat kedua tangannya. Dia sengaja arahkan puku-
lan ke bawah. Namun baru saja Kiai Tung-Tung hen-
dak lepaskan pukulan, dari arah samping melesat si-
nar tiga warna. Merah, hitam, dan putih!
Kiai Tung-Tung sempat terkesiap. Tapi dia cepat sa-
dar. Kedua tangannya buru-buru disentakkan ke arah
datangnya sinar tiga warna.
Kiai Tung-Tung terkesima kaget. Gelombang angin
dari kedua tangannya serta-merta buyar. Sementara
sinar tiga warna laksana tak terbendung dan terus me-
labrak. Malah saat itu juga sosok Kiai Tung-Tung ter-
dorong deras ke belakang!
“Jangkrik! Siapa orang yang menghadang ini?!”
omel Kiai Tung-Tung seraya angkat kembali kedua
tangannya dan kali ini lepas pukulan ‘Lembur Kuning’
ke arah sinar tiga warna.
Tass! Tasss!
Sinar tiga warna tampak meletup pancarkan pijaran
api. Pijaran api itu meletup lalu menebar dua tombak
ke udara.
Sosok Kiai Tung-Tung terhempas ke belakang.
Meski tidak sampai jatuh, namun dia merasakan sekujur tubuhnya laksana dipanggang. Hingga untuk bebe-
rapa saat dia harus kerahkan hawa murni.
Begitu dapat kuasai diri, Kiai Tung-Tung cepat me-
lompat ke depan. Kepalanya berpaling ke arah dari
mana tadi sinar tiga warna melesat. Sementara ma-
tanya melirik juga ke depan, arah kelebatan Kiai Lidah
Wetan.
Namun Kiai Tung-Tung tidak melihat siapa-siapa.
Dan begitu arahkan pandang matanya ke depan, sosok
Kiai Lidah Wetan pun sudah lenyap!
Kiai Tung-Tung tak mau begitu saja lepaskan bu-
ruan. Dia coba mengejar ke arah kelebatan Kiai Lidah
Wetan. Namun sampai dia berlari kira-kira dua puluh
lima tombak, dia sadar jika buruannya dapat melo-
loskan diri, karena sampai sejauh ini Kiai Tung-Tung
tidak melihat sosok Kiai Lidah Wetan!
Kiai Tung-Tung balikkan tubuh. “Siapa orang yang
lepaskan pukulan tadi?! Baru kali ini aku melihat pu-
kulan bersinar tiga warna! Berarti aku belum pernah
mengenalnya....” Kiai Tung-Tung membatin. Tiba-tiba
dahinya berkerut. “Sinar tiga warna.... Tadi kulihat
Kembang Darah Setan juga pancarkan sinar tiga war-
na saat tergenggam salah seorang di teluk.... Apakah
Setan Liang Makam?! Tapi mungkinkah?! Bukankah
Setan Liang Makam setidaknya punya urusan dengan
orang yang kukejar?! Berarti ada orang lain.... Sia-
pa...?!”
Sambil terus membatin, Kiai Tung-Tung melangkah
dengan mata menyelidik ke tiap jengkal tanah yang di-
lewati. Tapi sejauh ini dia tidak melihat siapa-siapa!
***
Sementara itu di Kampung Setan, Setan Liang Makam sejurus tampak terkejut begitu tubuhnya mema-
suki lobang bekas bongkaran altar batu. Ternyata lo-
bang menganga itu hanya delapan tombak. Dan tem-
pat di mana sekarang berpijak adalah batu cadas.
Setan Liang Makam cepat pentangkan mata. Me-
mandang ke depan, terlihat tangga menurun dari batu
cadas. Dengan hati-hati Setan Liang Makam mulai me-
langkah menuruni tangga dengan kedua tangan siap
lepaskan pukulan sewaktu-waktu.
Tangga menurun itu berakhir pada sebuah tempat
terbuka yang bersinar terang. Setan Liang Makam te-
gak dengan mata tetap mementang besar.
“Sama sekali tak kuduga...,” desis Setan Liang Ma-
kam. Dia kini putar kepalanya memandang berkeliling.
Ternyata tempat itu diterangi sinar tiga warna. Merah,
hitam, dan putih! Dan memandang ke depan, terlihat
sebuah bangunan yang membuat sepasang mata Setan
Liang Makam tak berkesip.
Bangunan itu dari batu cadas biasa. Anehnya, ban-
gunan itu pancarkan sinar tiga warna. Dan anehnya
lagi, ternyata bangunan itu membentuk setangkai
bunga! Pada sisi kanan tampak sayap bangunan yang
pancarkan sinar putih. Sedang pada sisi kiri tampak
sayap bangunan yang pancarkan warna hitam. Di an-
tara sayap bangunan ini masih terlihat satu sayap
bangunan lagi yang pancarkan sinar warna merah.
Sementara pada bagian atas bangunan tampak ban-
gunan membentuk kerucut yang juga pancarkan sinar
warna merah!
“Bentuknya mirip Kembang Darah Setan...,” gumam
Setan Liang Makam. Lalu mulai melangkah mendaki
bangunan yang pancarkan sinar tiga warna.
Begitu lima langkah di depan bangunan, Setan
Liang Makam hentikan langkah. Dia baru bisa melihat
dengan jelas. Ternyata bangunan itu berpintu satu dan
terlihat terbuka menganga.
“Apa yang akan kutemui di sini?!” Setan Liang Ma-
kam menduga-duga. Lalu teruskan langkah setelah
terlebih dahulu memeriksa Kembang Darah Setan yang
berada di balik pakaiannya.
Setan Liang Makam rasakan debaran keras pada
dadanya tatkala kakinya mulai melangkah memasuki
pintu bangunan. Dan diam-diam dia selinapkan tan-
gan kirinya ke balik pakaiannya.
Ternyata bangunan di mana kini Setan Liang Ma-
kam masuk hanya ruangan membentuk bundaran
memanjang ke atas. Pada bagian sudut kanan terlihat
tangga ke atas.
Setan Liang Makam memandang sekeliling sesaat.
Lalu melangkah ke arah tangga. Dan tanpa pikir pan-
jang namun dengan tetap waspada, Setan Liang Ma-
kam menaiki tangga. Tangga itu membawa sosok Setan
Liang Makam ke satu ruangan berbentuk kerucut yang
merupakan bagian paling atas dari bangunan itu.
Ruangan berbentuk kerucut itu pancarkan sinar
merah menyala. Hingga begitu menyalanya, membuat
Setan Liang Makam harus mengerjap beberapa kali
untuk menahan silau.
Begitu telah terbiasa, Setan Liang Makam mulai
arahkan pandang matanya berkeliling. Dan gerakan
mata Setan Liang Makam terhenti pada satu batu da-
tar yang di atasnya tampak menggantung sebuah ju-
bah hitam.
Mata Setan Liang Makam kembali mementang be-
sar. Karena jubah itu menggantung pada satu sosok
kerangka manusia!
“Siapa dia?! Diakah nenek moyang ku pendiri Kam-
pung Setan?!” seraya membatin, Setan Liang Makam
melangkah mendekat.
Bukkk!
Setan Liang Makam tersentak. Tubuhnya laksana
membentur dinding tebal dan tersurut satu langkah ke
belakang!
“Aneh.... Mataku tidak melihat apa-apa. Tapi aku
seperti membentur tembok! Aku tak percaya!”
Setan Liang Makam kembali maju melangkah.
Bukkk!
Kembali tubuh Setan Liang Makam laksana mem-
bentur tembok. Hingga untuk kedua kalinya sosoknya
tersurut ke belakang.
“Aneh.... Akan ku coba dengan pukulan!” Setan
Liang Makam angkat kedua tangannya. Dia mundur
beberapa langkah. Lalu kedua tangannya bergerak.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang dahsyat melesat. Blaarr!
Terdengar gema gelegar. Setan Liang Makam terke-
siap. Gelombang pukulannya bukan saja laksana di-
bendung tembok berkekuatan luar biasa, namun juga
mental balik! Dan karena tidak menyangka sama seka-
li, terlambat bagi Setan Liang Makam untuk membuat
gerakan menghindar. Hingga tanpa ampun lagi tubuh-
nya tersambar oleh pukulannya sendiri yang mental.
Sosoknya tersapu dan jatuh menghempas ke bagian
belakang dinding bangunan di mana dia berada.
Setan Liang Makam memaki dalam hati. Seraya me-
ringis perlahan-lahan dia bangkit. Karena penasaran,
kembali Setan Liang Makam angkat kedua tangannya.
Kali ini dia lipat gandakan tenaga dalamnya.
“Kau telah dapatkan kembali Kembang Darah Se-
tan?!” Tiba-tiba satu suara mengejutkan Setan Liang
Makam.
Setan Liang Makam sentakkan kepala ke samping
kanan. “Nyai Suri Agung!” desis Setan Liang Makam.
Dia melihat satu sosok tubuh duduk bersila di pojok
ruangan. Dia adalah seorang nenek yang kepalanya
hampir-hampir saja plontos. Wajahnya sudah sangat
keriput. Dia mengenakan pakaian warna putih. Nenek
ini tidak lain memang Nyai Suri Agung adanya.
“Bagaimana dia bisa sampai di sini?! Mengapa aku
tadi tidak bisa melihatnya?!”
Selagi Setan Liang Makam masih bertanya-tanya,
Nyai Suri Agung sudah perdengarkan suara lagi.
“Maladewa! Kau sudah dapatkan kembali Kembang
Darah Setan?!”
Setan Liang Makam memperhatikan sesaat. Lalu
anggukkan kepala. Nyai Suri Agung sunggingkan se-
nyum. Lalu berkata.
“Bagus.... Kau baru bisa melewati dinding tak tem-
bus pandang itu jika dinding itu kau hantam dengan
Kembang Darah Setan!” Nyai Suri Agung bergerak
bangkit, lalu lanjutkan ucapan.
“Cucuku.... Kau saat ini berada di Istana Sekar Ja-
gat! Jubah hitam itu adalah Jubah Tanpa Jasad! Kau
nanti akan tahu sendiri bagaimana hingga jubah hitam
itu dinamakan demikian! Dan orang yang mengenakan
jubah itu adalah generasi pertama pendiri Kampung
Setan! Sekarang buka dahulu dinding tidak tembus
pandang itu! Nanti akan kuceritakan semuanya!”
Setan Liang Makam sunggingkan senyum. Lalu
tanpa berkata-kata lagi dia palingkan kepalanya ke de-
pan. Saat yang sama, tangan kanannya menyelinap ke
balik pakaiannya. Ketika tangan kanannya ditarik ke-
luar, dia telah menggenggam setangkai bunga berwar-
na tiga. Merah, hitam, dan putih.
Nyai Suri Agung tampak memperhatikan kembang
di tangan Setan Liang Makam dengan kening berkerut.
Sementara Setan Liang Makam tampaknya sudah ti-
dak sabaran. Dia segera angkat Kembang Darah Setan
dan tangannya disentakkan.
Wuutt!
Setan Liang Makam terkesiap. Dari tangannya yang
memegang Kembang Darah Setan tidak lepaskan sinar
tiga warna! Yang mencuat justru satu gelombang tidak
begitu deras.
Blummm!
Terdengar dentuman tidak begitu keras. Lalu ge-
lombang tadi mental. Setan Liang Makam tidak beru-
saha menghindar saking kagetnya. Hingga mentalan
gelombang itu menyambar ke arahnya. Namun karena
gelombang itu tidak begitu keras, sosok Setan Liang
Makam hanya bergoyang-goyang.
“Ada yang aneh.... Aku tidak melihat kedahsyatan
kembang ini!” Setan Liang Makam tarik tangan kanan-
nya yang memegang Kembang Darah Setan. Untuk be-
berapa lama dia meneliti.
“Maladewa! Dari mana kau dapatkan kembali kem-
bang di tanganmu itu?!” Nyai Suri Agung ajukan tanya.
Sambil terus meneliti kembang di tangannya. Setan
Liang Makam ceritakan dengan singkat bagaimana dia
memperoleh kembali Kembang Darah Setan.
Nyai Suri Agung gelengkan kepala. “Kau tertipu,
Cucuku....”
Laksana disentak tangan setan, kepala Setan Liang
Makam berpaling ke arah Nyai Suri Agung. “Tak
mungkin! Ini Kembang Darah Setan!” Setan Liang Ma-
kam acungkan tangan kanannya yang menggenggam
Kembang Darah Setan.
Nyai Suri Agung kembali gelengkan kepala. “Bentuk
bisa sama. Tapi belum tentu barangnya tidak beda!
Kau tahu, Maladewa?! Mengapa aku tadi bertanya pa-
damu apakah kau telah mendapatkan kembali Kem-
bang Darah Setan?! Itu karena aku tidak melihat pan-
caran kembang itu pada tubuhmu! Dan itu telah cu-
kup membuatku yakin jika kembang di tanganmu itu
palsu! Dan bukti kepalsuannya makin tampak begitu
kau gunakan kembang itu! Tidak ada tiga warna yang
keluar yang justru sebenarnya tiga warna itulah yang
bisa menembus dinding tak tembus pandang di de-
panmu itu!”
“Aku tak percaya! Aku tak percaya!” teriak Setan
Liang Makam.
“Silakan kau buktikan sekali lagi!” kata Nyai Suri
Agung.
Tanpa banyak kata, Setan Liang Makam angkat
tangannya yang memegang kembang. Lalu disentak-
kan ke depan.
Wuutt!
Satu gelombang melesat tanpa disertai mencuatnya
tiga sinar. Lalu terdengar gelegar saat gelombang dari
tangan Setan Liang Makam membentur dinding tak
tembus pandang. Gelombang itu mental balik. Kali ini
Setan Liang Makam sudah bergerak menghindar hing-
ga dia selamat dari mentalan gelombang.
“Kau masih belum percaya?!” tanya Nyai Suri
Agung.
Setan Liang Makam angkat tangannya yang meme-
gang Kembang Darah Setan sejajar dengan matanya.
Untuk beberapa saat dia memandang dengan mata
mendelik angker. Dadanya bergerak turun naik dengan
keras. Rahangnya terangkat dan pelipis kiri kanannya
bergerak-gerak.
Tiba-tiba Setan Liang Makam bantingkan kembang
di tangannya ke bawah. Kembang itu langsung hancur
berkeping-keping.
“Bangsat jahanam! Mereka menipuku! Mereka me-
nipuku! Aku bersumpah akan membunuh mereka
dengan tubuh ku potong-potong!”
Saking marahnya, Setan Liang Makam bantingkan
kedua kakinya. Lalu tanpa berkata lagi pada Nyai Suri
Agung, Setan Liang Makam berkelebat menuruni tang
ga dengan mulut terus perdengarkan makian dan
sumpah!
SELESAI
Segera ikuti lanjutannya!!!
Serial Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng
dalam episode :
JUBAH TANPA JASAD
0 comments:
Posting Komentar