..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 03 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE ISTANA SEKAR JAGAT

 

JOKO SABLENG EPISODE ISTANA SEKAR JAGAT


SATU


Terdengar suara deruan dahsyat. Saat yang sama 

dua gelombang luar biasa ganas melabrak ke arah la-

ki-laki bercaping lebar. Yang diserang sesaat terkesiap. 

Kaki kanannya yang hendak melangkah melewati mu-

lut goa segera disentakkan. Laksana kilat sosok laki-

laki bercaping lebar melesat keluar dari goa.

Begitu sosok laki-laki bercaping lebar tegak di de-

pan mulut goa, terdengar suara bergemuruh. Si laki-

laki bercaping putar tubuh. Memandang ke depan, 

tampak mulut goa dari mana dia tadi melesat keluar, 

bergetar keras. Kejap lain mulut goa itu longsor. Batu 

dan debu bertaburan keluar.

Taburan batu dan debu belum sirna, satu sosok tu-

buh telah menyeruak. Dua tindak di depan mulut goa 

tampak berdiri tegak seorang laki-laki berusia lanjut 

dengan rambut putih sebatas bahu. Kumis dan jeng-

gotnya lebat. Sepasang matanya tajam dan melotot 

angker. Orang tua ini bukan lain adalah Kiai Laras.

Seperti dituturkan dalam episode sebelumnya, seo-

rang laki-laki bercaping lebar yang wajahnya sukar di-

kenali karena tertutup oleh sebagian caping pandan 

lebar yang masukkan dalam-dalam, bertemu dengan 

Saraswati yang saat itu tengah tenggelam dalam pera-

saan kecewa dan geram akibat perlakuan pemuda 

yang menurut pandangannya bukan lain adalah Pen-

dekar 131. Dari mulut Saraswati, si laki-laki bercaping 

lebar mendapat keterangan panjang lebar tentang di 

mana adanya Pendekar 131. Si laki-laki akhirnya me-

nuju ke tempat yang dikatakan Saraswati.

Di kaki Bukit Kalingga, akhirnya si laki-laki bercap-

ing lebar berjumpa dengan Kiai Laras. Kiai Laras sen


diri tampaknya tidak suka dengan kehadiran laki-laki 

bercaping lebar. Hingga bukan saja Kiai Laras segera 

memerintahkan pada si laki-laki untuk segera angkat 

kaki dari goa di samping Bukit Kalingga, namun begitu 

si laki-laki bercaping lebar hendak melangkah pergi, 

Kiai Laras segera lepaskan satu pukulan bertenaga da-

lam tinggi.

Untuk beberapa saat laki-laki bercaping lebar per-

hatikan sosok Kiai Laras di depan sana. Yang diperha-

tikan rangkapkan kedua tangan di depan dada dengan 

kepala sedikit didongakkan.

“Manusia tak dikenali. Hanya satu cara kau bisa 

angkat kaki dari tempat ini dengan nyawa selamat!” 

Berkata Kiai Laras.

Laki-laki bercaping lebar sunggingkan senyum. 

“Orang tua! Sebenarnya ada apa ini?! Aku telah turuti 

ucapanmu untuk pergi. Tapi sekarang kau minta sya-

rat dengan kepergianku!”

Kiai Laras tidak menjawab pertanyaan orang. Seba-

liknya dia balik ajukan tanya.

“Katakan siapa kau sebenarnya!”

“Baik! Aku akan katakan siapa diriku. Tapi kuharap 

jawabanku nanti sudah cukup menjadi syarat bagi ke-

pergianku!” Laki-laki bercaping lebar sekali lagi perha-

tikan orang di depan sana. Lalu lanjutkan ucapan. 

“Aku Kiai Tung-Tung! Orang tua bernasib buruk kare-

na dalam usia senja begini rupa masih belum punya 

tempat berpijak yang pasti.”

Habis berkata begitu, laki-laki bercaping lebar yang 

sebutkan diri Kiai Tung-Tung gerakkan tubuh memba-

lik. Dengan tekan caping lebarnya hingga wajahnya 

makin tak bisa dikenali, Kiai Tung-Tung ayunkan kaki.

Kiai Laras sesaat luruskan kepala memandang pada 

gerakan kedua kaki Kiai Tung-Tung. “Aku yakin ada 

yang tidak beres dengan manusia itu! Gerak-geriknya


jelas menunjukkan kalau dia mencari sesuatu di sini! 

Meski aku yakin dia tidak tahu rahasia di dalam goa, 

tapi setidaknya dia telah mengetahui aku berada di si-

ni! Ini tidak boleh terjadi! Dan aku menduga manusia 

ini mendapat keterangan dari Saraswati! Sebelum se-

mua ini tersiar di luar, aku harus membungkam mu-

lutnya! Lagi pula, dia dapat selamat dari pukulanku, 

berarti dia bukan manusia tidak berilmu. Padahal aku 

tidak pernah dengar manusia bernama Kiai Tung-Tung 

dalam rimba persilatan! Pasti dia berkata dusta!”

Berpikir begitu, Kiai Laras segera angkat suara 

membentak.

“Dengar, Manusia! Kau boleh angkat kaki dari sini! 

Tapi hanya raga kasarmu! Nyawamu harus tetap ting-

gal di sini!”

“Kau pasti bercanda dengan ucapanmu!” kata Kiai 

Tung-Tung tanpa balikkan tubuh. “Lagi pula untuk 

apa nyawa tua bangka sepertiku ini buatmu?!”

“Nyawamu memang tak ada gunanya untukku! Tapi 

lebih tak berguna lagi di luaran sana! Maka lebih baik 

kau tewas di sini daripada di luar sana!”

“Hem.... Orang tua ini menyembunyikan sesuatu! 

Tempat yang dikatakan Saraswati pasti goa itu. Tapi di 

mana pemuda yang dikatakan Saraswati sebagai Pen-

dekar 131?! Anehnya yang kutemui bukannya Pende-

kar 131 yang sudah pasti Pendekar 131 palsu, tapi 

Kiai Laras.... Apa hubungan orang tua itu dengan Pen-

dekar 131 palsu?!”

Kiai Tung-Tung balikkan tubuh. “Orang tua! Uca-

panmu benar! Nyawaku tidak ada gunanya untukmu 

juga di luaran sana! Tapi.... Itu kata orang! Dan kata 

orang pasti berbeda dengan Sang Pencipta nyawa-

ku....”

Kiai Laras tertawa mengejek. “Malaikat maut da-

tangnya tidak terduga! Kalau kukatakan nyawamu su


dah tidak berguna, berarti Sang Pencipta sudah meng-

gariskan saat tercabutnya nyawamu!”

Kiai Tung-Tung gelengkan kepala dengan bibir ter-

senyum. “Tidak seorang pun tahu apa yang tengah di-

gariskan Sang Pencipta sebelum hal itu terjadi!”

“Akan kutunjukkan padamu jika aku tahu garis-

mu!” Kiai Laras buka rangkapan kedua tangannya. La-

lu diangkat tinggi-tinggi.

“Tahan!” teriak Kiai Tung-Tung. “Kurasa tidak ada 

perlunya kau tunjukkan padaku garis takdir yang 

akan ku alami! Itu membuatku ngeri.... Soalnya, terus 

terang saja aku baru saja melamar seorang gadis can-

tik! Dan untuk mendapatkan gadis itu aku telah ba-

nyak berkorban.... Korban harta dan perasaan.... Kau 

bisa bayangkan bagaimana kecewanya hatiku jika aku 

gagal mengawini gadis itu....”

“Siapa percaya tua bangka sepertimu melamar seo-

rang gadis cantik! Kau jangan kira bisa menipuku! Aku 

tahu.... Semua ucapanmu tadi hanya bohong belaka!”

“Hai.... Bagaimana kau bisa berkata begitu?!” kata 

Kiai Tung-Tung.

“Itu urusanmu! Kau telah tahu sendiri jawabannya!”

“Aneh...,” gumam Kiai Tung-Tung seraya gelengkan 

kepala. “Kau berkata semua ucapanku bohong. Padah-

al aku telah berkata sejujurnya!”

“Kau terlalu banyak mulut!” hardik Kiai Laras. 

“Jangan kira aku tidak tahu dari mana kau tahu tem-

pat ini! Kau juga jangan duga aku tidak tahu apa mak-

sud tujuanmu datang ke sini! Semua itu harus kau 

bayar mahal!”

“Hem.... Mendengar ungkapan ucapannya, aku ma-

kin yakin orang ini ada hubungannya dengan Pende-

kar 131 palsu!”

Baru saja Kiai Tung-Tung membatin begitu, di de-

pan sana Kiai Laras telah gerakkan kedua tangannya.


Wuutt! Wuutt!

Terlambat bagi Kiai Tung-Tung untuk berteriak 

mencegah tindakan Kiai Laras. Hingga dia terpaksa ju-

ga angkat kedua tangannya tatkala dua gelombang ga-

nas menggebrak ke arahnya dari sentakan kedua tan-

gan Kiai Laras.

Wuutt! Wuuutt!

Kedua tangan Kiai Tung-Tung mendorong ke depan. 

Saat itu juga tampak semburatan sinar berwarna kun-

ing membawa gelombang luar biasa deras serta hawa 

panas.

Blaamm!

Dua gelombang dari masing-masing tangan orang 

beradu di udara. Terdengar suara ledakan dahsyat. 

Tanah di sekitar goa bergetar keras. Mulut goa yang 

sudah berantakan akibat terhantam pukulan Kiai La-

ras berderak makin longsor. Sosok Kiai Laras tampak 

tersapu tiga langkah ke belakang dengan raut muka 

berubah. Tubuhnya bergetar hebat tersandar pada 

samping mulut goa yang longsor. Orang tua ini rasa-

kan kedua tangannya laksana baru saja menghantam 

tembok tebal hingga begitu terdengar ledakan, kedua 

tangannya langsung mental balik ke belakang dengan 

darah seperti tersumbat dan menyentak-nyentak.

Di seberang sana, sosok Kiai Tung-Tung terjajar dua 

langkah. Karena raut wajahnya tertutup sebagian cap-

ing lebarnya, maka perubahan air mukanya tidak jelas. 

Namun kedua tangannya yang bergetar sudah cukup 

membuktikan kalau laki-laki ini juga mengalami hal 

yang sama dengan Kiai Laras.

Begitu dapat kuasai diri, sepasang mata Kiai Laras

mementang angker pandangi Kiai Tung-Tung. Tiba-tiba 

dahi orang tua ini berkerut. “Aku sepertinya pernah 

melihat pukulan yang baru saja dilepas manusia itu! 

Sialnya aku lupa kapan dan di mana!” Kiai Laras don


gakkan kepala seolah mengingat.

“Boleh aku tanya sesuatu?!” Kiai Tung-Tung angkat 

bicara seolah tidak terjadi apa-apa. Malah orang ini 

sunggingkan senyum dan anggukkan kepala.

Entah karena ingin mengetahui siapa adanya orang, 

Kiai Laras menjawab. “Apa yang akan kau tanyakan?!”

“Kau pasti masih ada hubungan dengan seorang 

pemuda bergelar Pendekar 131 Joko Sableng! Apa be-

tul?!”

“Aku makin yakin manusia ini baru saja bertemu 

dengan Saraswati!” Diam-diam Kiai Laras membatin 

begitu mendengar ucapan Kiai Tung-Tung. Setelah 

agak lama terdiam, dia buka mulut.

“Aku memang pernah mendengar pemuda bergelar 

Pendekar 131 Joko Sableng! Namun aku tak ada hu-

bungan apa-apa dengannya!”

Kiai Tung-Tung angguk-anggukkan kepala. “Apa di 

sekitar tempat ini masih ada goa lagi?!” Kiai Tung-Tung 

bergumam sendiri dalam hati. “Kalau orang tua itu ti-

dak ada hubungannya dengan Joko palsu, pasti dia 

yang disebut-sebut Saraswati sebagai seorang yang 

memberi nasihat! Hem.... Berarti aku harus mencari ke 

tempat lain....”

Kiai Tung-Tung melirik pada Kiai Laras. Lalu berka-

ta dengan suara pelan.

“Kurasa tidak ada gunanya kita teruskan urusan 

ini. Kita sama-sama sudah tua. Lagi pula terlalu sepele 

jika kita harus korbankan nyawa tanpa urusan yang 

jelas. Lebih-lebih aku masih ingin menikmati kekasih-

ku yang masih gadis.... Kuharap kau mengerti!” Kiai 

Tung-Tung tertawa. Lalu bergerak balikkan tubuh.

Namun sebelum tubuh Kiai Tung-Tung membalik, 

Kiai Laras telah angkat suara.

“Mengapa kau tanya pemuda bergelar Pendekar 131 

Joko Sableng?! Kau mencarinya?!”


Kiai Tung-Tung urungkan niat untuk putar diri. 

‘Aku yakin kau adalah kalangan orang rimba persila-

tan. Aku bisa memastikan kau tahu banyak tentang 

sebuah senjata bernama Kembang Darah Setan dan 

seluk beluknya! Itu berarti....”

“Dugaanku tepat!” Kiai Laras memotong ucapan Kiai

Tung-Tung. “Kau pasti mencari pemuda itu untuk me-

rebut Kembang Darah Setan yang menurut beberapa 

orang senjata dahsyat itu sekarang di tangan Pendekar 

131 Joko Sableng!”

“Dugaanmu salah!” Kiai Tung-Tung gelengkan kepa-

la. “Kalaupun aku mencarinya, tidak ada sangkut 

pautnya dengan Kembang Darah Setan! Lagi pula aku 

belum percaya benar dengan kabar yang selama ini 

sudah tersiar dalam rimba persilatan!”

Kiai Laras tersenyum dingin. “Lalu apa tujuanmu 

mencarinya?!”

“Ada seseorang menitipkan pesan padaku untuk 

Pendekar 131! Sebenarnya aku enggan untuk me-

nyanggupinya, namun karena pesan itu diucapkan 

saat orang itu menjelang ajal, terpaksa aku berjanji 

untuk menyampaikan pesan itu!”

“Siapa orang itu?!”

Kiai Tung-Tung gelengkan kepala. “Aku tidak bisa 

mengatakan siapa orang itu!”

Kiai Laras sipitkan sepasang matanya. Keningnya 

berkerut. Kiai Tung-Tung rupanya dapat menangkap 

apa yang ada dalam benak orang. Hingga sebelum Kiai 

Laras buka suara, Kiai Tung-Tung telah mendahului.

“Aku tidak bisa mengatakan siapa adanya orang itu

karena dia sendiri tidak mau sebutkan siapa dirinya” 

Aku pun tidak mau memaksa orang yang menjelang 

ajal untuk bicara banyak!”

Kiai Laras palingkan kepala dengan perdengarkan 

dengusan. “Apa pesan yang kau bawa?!”


“Aku telah berjanji tidak akan mengatakan pesan 

itu pada orang lain! Yang jelas, pesan itu tidak ada hu-

bungannya dengan Kembang Darah Setan!”

“Mengapa kau mencari Pendekar 131 di sini?! Kau 

kira dia berada di sekitar tempat ini?!”

“Bagi pencari sepertiku, setiap tempat mengandung 

dua kemungkinan! Ada dan tidak ada! Tidak terkecuali 

tempat ini!”

Kiai Laras arahkan pandang matanya kembali pada 

Kiai Tung-Tung. “Aku bersedia membantumu mencari 

Pendekar 131 asal kau mau katakan dahulu apa pesan 

itu!”

“Orang tua sepertiku sudah tidak layak lagi ingkari 

ucapan yang telah dijanjikan pada orang yang berpe-

san menjelang ajal.... Kuharap kau mengerti! Aku pun 

tidak memaksamu untuk membantuku. Aku akan be-

rusaha. Kalau tidak berhasil, setidaknya aku telah la-

kukan apa yang bisa kulakukan!”

“Kau tak akan pernah bisa lakukan apa yang kau 

katakan!” ujar Kiai Laras dingin.

“Apa maksud ucapanmu?!”

“Kau tak akan kubiarkan angkat kaki dari sini sebe-

lum kau katakan apa pesan yang kau bawa!”

“Heran.... Apa hubungannya pesan itu denganmu?!”

“Kau tak perlu bertanya! Kau hanya perlu mengata-

kan pesan itu!”

Kiai Tung-Tung tertawa panjang. “Kalaupun aku

mengatakan pesan itu, kukira tidak ada gunanya ba-

gimu....”

“Setan alas! Berguna atau tidak bukan urusanmu!”

“Betul. Itu memang urusanmu! Tapi kalau kukira 

tidak ada gunanya untuk apa kukatakan padamu?!”

“Jahanam!” Kiai Laras tampaknya sudah hilang ke-

sabaran. Sambil memaki kedua tangannya diangkat. 

“Kau katakan pesan itu, atau kau akan mampus di si


ni!”

Kiai Tung-Tung angkat bahu seraya gelengkan ke-

pala. “Sebenarnya aku tak boleh ingkar janji! Tapi ka-

lau kau memaksa, daripada membuat silang sengketa, 

aku akan mengatakan pesan itu! Tapi dengan syarat.”

Kiai Laras tertawa pendek. “Aku tidak pernah me-

minta dengan syarat!”

Kiai Tung-Tung balik tertawa mendengar ucapan 

Kiai Laras. “Kau boleh mengatakan hal demikian. Tapi 

untuk yang satu ini urusannya lain! Kalau kau tidak 

mau menerima syarat ku, jangan harap kau akan 

mendengar apa yang kau minta!”

“Hem.... Aku hanya perlu mendengar saja syarat 

yang diucapkan! Dan tidak akan melakukannya!” kata 

Kiai Laras dalam hati. Lalu perdengarkan suara.

“Katakan apa syaratmu!”

“Kau yang menanggung dosa akibat ingkar janji ku!”

Kiai Laras sesaat kerutkan dahi. Kejap lain orang 

tua ini meledak tawanya dan berkata di sela-sela gela-

kan tawanya. “Syarat gampang! Malah setinggi apa 

pun dosa yang kau punya, aku akan menanggungnya!”

Kiai Tung-Tung menunggu hingga Kiai Laras henti-

kan tawanya sambil sesekali edarkan pandangan ber-

keliling.

“Sudah puas?!” tanya Kiai Tung-Tung begitu Kiai 

Laras hentikan gelakan tawanya.

Pertanyaan Kiai Tung-Tung membuat kening Kiai 

Laras kembali mengernyit. Namun belum sampai Kiai 

Laras dapat menduga apa di balik ucapan orang, Kiai 

Tung-Tung telah angkat bicara.

“Harap tidak tertawa dahulu! Aku belum mengata-

kan semua syarat ku! Yang kukatakan tadi baru syarat 

pertama....”


DUA


Sosok Kiai Laras tegak dengan mata mendelik ang-

ker. Orang tua ini sudah merasa kesal dengan ucapan 

Kiai Tung-Tung yang ternyata mengajukan beberapa 

syarat. Sementara Kiai Tung- Tung sendiri pura-pura 

tidak tahu perubahan sikap orang dengan alihkan 

pandang matanya ke jurusan lain. Namun setelah ber-

pikir, akhirnya Kiai Laras berkata.

“Kau boleh katakan apa syarat lainnya! Tapi jangan 

mimpi aku akan melakukan jika syaratmu terlalu ba-

nyak!”

“Kau harus mengatakan apa hubunganmu dengan 

orang tua bernama Kiai Lidah Wetan! Lalu kau harus 

mengatakan apakah kau pernah bertemu dengan Pen-

dekar 131! Terus kau juga harus katakan siapa saja 

yang pernah datang ke tempat ini!”

Pelipis kiri kanan Kiai Laras bergerak-gerak. Tan-

gannya mengepal. Sepasang matanya berputar liar.

“Sahabat.... Kupikir syarat ku tidak sulit! Kau 

hanya tinggal buka mulut, imbalannya kau akan men-

dengar pesan yang akan kusampaikan pada Pendekar 

131!” Berkata Kiai Tung-Tung.

Kiai Laras coba menindih gelegak di dadanya. Lalu 

berpaling seraya berkata.

“Aku baru kali ini mendengar orang bernama Kiai 

Lidah Wetan!”

“Hem.... Kuharap kau tidak berkata dusta, Saha-

bat....”

“Keparat! Kau ingin dengar atau ingin membuat 

urusan panjang, hah?”

“Aku pernah bertemu dengan orang bernama Kiai

Lidah Wetan. Percaya atau tidak, kau harus percaya 

kalau kukatakan jika siapa pun yang pernah bertemu


denganmu akan mengatakan kau punya hubungan 

dengan Kiai Lidah Wetan!” Kiai Tung-Tung hentikan 

ucapannya sesaat sebelum akhirnya melanjutkan. 

“Wajahmu.... Sama persis!”

“Berarti manusia ini pernah jumpa dengan Kiai Li-

dah Wetan...,” kata Kiai Laras dalam hati. Lalu sambil 

tertawa perlahan dia berujar.

“Aku tanya. Apa orang yang wajahnya persis berarti 

punya hubungan?!”

“Memang tidak selalu. Namun kemungkinannya 

sangat besar!”

“Baik! Tapi persetan dengan kemungkinan itu! Yang 

pasti aku tidak mengenal Kiai Lidah Wetan apalagi 

punya hubungan!”

“Hem.... Bagaimana dengan syarat ku selanjutnya?!” 

tanya Kiai Tung-Tung.

“Aku memang pernah bertemu dengan Pendekar 

131 di dekat sebuah sendang pada beberapa waktu 

yang lalu!”

Kiai Tung-Tung tampak sedikit terkesiap. “Astaga.... 

Jadi saat itu dia telah mengenaliku....”

“Sikapmu menunjukkan kau terkejut. Kau masih 

juga meragukan ucapanku?!” tanya Kiai Laras yang 

dapat menangkap perubahan pada Kiai Tung-Tung.

Kiai Tung-Tung buru-buru sunggingkan senyum. 

Dan cepat pula angkat bicara.

“Syarat selanjutnya....”

“Memang ada beberapa orang yang mampir ke tem-

pat ini!”

“Apakah di antara beberapa itu ada seorang pemu-

da tampan berkumis tipis mengenakan pakaian hitam-

hitam?!”

“Hem....” Kiai Laras menggumam. “Berarti memang

dia telah bertemu dengan Saraswati!” kata Kiai Laras 

dalam hati. Lalu berucap. “Kalau tidak salah lihat,


ucapanmu benar! Aku pernah bertemu dengan pemu-

da yang cirinya kau katakan! Malah kalau tidak salah, 

aku pernah memberi nasihat padanya...!”

“Hem.... Orang ini tampaknya tidak berdusta den-

gan ucapannya! Tapi aku harus tetap waspada. Di ba-

lik ucapan jujurnya mungkin dia punya maksud ter-

sembunyi!” Kiai Tung-Tung membatin.

“Aku telah penuhi syarat yang kau pinta! Sekarang 

saatnya bagiku menagih imbalannya!” Kiai Laras ber-

kata seraya melangkah maju dua tindak.

Kiai Tung-Tung sejenak tampak kebingungan. Kiai 

Laras memperhatikan dengan mata menyengat angker.

“Telingamu telah dengar ucapanku! Katakan pesan 

itu!” teriak Kiai Laras.

“Pendekar 131 disuruh datang ke satu tempat....”

“Jahanam! Teruskan ucapanmu!” teriak Kiai Laras 

saat Kiai Tung-Tung hentikan ucapannya.

“Dia disuruh datang ke pesisir utara bagian barat 

dekat dengan teluk!”

“Kapan waktunya?!” tanya Kiai Laras dengan suara 

tetap tinggi.

“Dia tidak mengatakan kapan waktunya...!”

“Apa maksudnya?!”

“Seperti halnya dirimu saat ini, saat itu pun aku 

mendesaknya! Namun sampai ajal menjemput, orang 

itu tetap bungkam!”

“Apa ucapan orang ini bisa dipercaya?! Hem.... Tapi 

tak ada salahnya aku coba lakukan apa yang dikata-

kan!” kata Kiai Laras dalam hati. “Aku akan memper-

panjang nyawanya sampai aku bisa buktikan benar ti-

daknya! Jika ucapannya dusta, nyawanya akan ku pu-

tus dua kali!”

“Kau masih sayang nyawamu?!” ucap Kiai Laras 

membuat Kiai Tung-Tung terkejut.

“Aneh.... Bukankah kau tadi....”


Sebelum Kiai Tung-Tung teruskan ucapannya, Kiai 

Laras telah menukas. “Kalau kau masih sayang nya-

wamu, apalagi yang kau tunggu?! Lekas angkat kaki 

dari hadapanku!”

Kiai Tung-Tung menghela napas panjang. Tanpa 

berkata apa-apa lagi, laki-laki bercaping lebar ini ba-

likkan tubuh lalu perlahan-lahan melangkah mening-

galkan tempat itu.

“Seseorang menyuruh Pendekar 131 datang kesatu 

tempat dan tidak mau mengatakan apa maksudnya.... 

Tentu ada satu rahasia! Dan kalau Pendekar 131 yang 

diberi pesan, rahasia ini tentu bukan sembarang raha-

sia! Jangan-jangan masih ada hubungannya dengan 

sebuah kitab atau senjata sakti!” Kiai Laras tersenyum 

seraya pandangi sosok Kiai Tung-Tung. “Kembang Da-

rah Setan telah berada di tanganku! Dengan tambahan 

senjata atau kitab sakti, maka semua urusanku akan 

bertambah lancar! Ha.... Ha.... Ha...!”

Kalau Kiai Laras membatin begitu, Kiai Tung-Tung 

juga membatin seraya melangkah. “Aku jadi curiga! 

Mengapa dia memaksaku untuk mengatakan pesan 

itu! Kalau dia tidak ada hubungannya dengan Pende-

kar 131 yang palsu, tentu dia tidak akan berbuat begi-

tu! Aku harus mengawasinya....”

Kiai Tung-Tung hentikan langkah. Kepalanya men-

dongak. Tangan kanannya diangkat lalu salah satu ja-

rinya dimasukkan ke lobang telinga. Sambil bersiul la-

gi, laki-laki bercaping lebar ini perlahan-lahan memu-

tar tubuh. Dan perlahan-lahan pula kepalanya dige-

rakkan lurus ke depan.

“Busyet! Ke mana dia?! Masuk lagi ke dalam goa 

atau....” Kiai Tung-Tung edarkan pandang matanya 

berkeliling. Dan mungkin untuk memperjelas pengliha-

tan, tangan kanannya digerakkan ke depan. Caping le-

bar bagian depan diangkat sedikit, hingga dia bisa menangkap sesuatu yang berada di atas tanpa harus ten-

gadah.

Namun sejauh ini Kiai Tung-Tung tidak melihat so-

sok Kiai Laras. Kiai Tung-Tung tarik lagi caping lebar-

nya ke bawah. Saat bersamaan sosoknya bergerak 

memutar. Lalu perlahan-lahan teruskan langkah.

Sejauh dua puluh lima tombak, Kiai Tung-Tung 

hentikan langkah. Sesaat dia tegak dengan mata meli-

rik ke samping kanan kiri. Kejap lain orang ini mem-

buat gerakan. Tahu-tahu sosoknya telah melesat dan 

lenyap di balik rimbun semak belukar di kaki bukit.

Bersamaan dengan lenyapnya sosok Kiai Tung-

Tung, semak belukar di sekitar kaki bukit tampak ber-

gerak-gerak. Gerakan semak ini membentuk jalur ke 

arah goa di kaki Bukit Kalingga di mana tadi Kiai 

Tung- Tung dan Kiai Laras bertemu.

Tiba-tiba kesunyian kaki Bukit Kalingga dipecah 

dengan terdengarnya gelakan suara tawa panjang 

membahana. Gerakan semak belukar sekonyong-

konyong terhenti. Lalu terdengar suara di sela suara 

gelakan tawa.

“Rupanya ada manusia yang belum tahu bahasa ka-

ta! Manusia macam ini harus diajari bahasa tangan!”

Suara itu belum lenyap, tiba-tiba terdengar satu de-

ruan keras. Saat bersamaan dua gelombang menghajar 

ganas ke arah terhentinya gerakan semak belukar.

“Busyet!” terdengar keluhan dari semak belukar di 

mana saat itu gelombang ganas mengarah! Lalu tam-

pak satu bayangan melesat keluar dari semak belukar. 

Bayangan ini terlihat membuat gerakan dengan men-

dorong kedua tangannya.

Blaamm!

Kaki Bukit Kalingga kembali dibuncah suara leda-

kan keras. Tanahnya laksana dilanda gempa dan mun-

crat ke udara bersama ranggasan semak. Sosok yang


tadi melesat keluar dari balik semak belukar tegak li-

ma langkah di samping semak yang telah porak-

poranda.

Sesaat setelah bayangan dari semak tegak, satu 

bayangan berkelebat dan tahu-tahu telah tegak sejarak 

empat langkah di hadapan sosok yang keluar dari ba-

lik semak.

“Rupanya takdir nyawamu harus tercabut di sini, 

Manusia! Terbukti kau berani kembali dengan sem-

bunyi-sembunyi!” Berkata orang yang muncul bela-

kangan. Orang ini ternyata Kiai Laras. Kedua tangan-

nya bergerak terangkat.

“Tunggu!” seru orang di seberang yang tadi melesat 

dari balik semak belukar. Orang ini bukan lain ternya-

ta Kiai Tung-Tung. “Aku lupa sesuatu....” Kiai Tung-

Tung angkat pula kedua tangannya. Bukannya siap le-

paskan pukulan seperti gerakan yang dibuat Kiai La-

ras. Melainkan kedua tangannya digerak-gerakkan ke 

samping kiri kanan memberi isyarat agar orang tidak 

lanjutkan niat.

Sepasang mata Kiai Laras menatap tajam. Mulutnya 

membuka. “Beraninya kau membuat alasan! Kau kira 

aku tidak tahu gerak-gerik mu, hah?!”

“Tenang, Sahabat.... Aku bukannya membuat ala-

san. Aku memang melupakan sesuatu! Tentang pesan 

itu....”

“Hem.... Begitu?! Cepat katakan apa yang kau lupa!” 

hardik Kiai Laras tanpa menurunkan kedua tangan-

nya.

“Kuharap kau tidak mengatakan pesan itu pada 

siapa pun! Bahkan pada Pendekar 131 jika kau nanti

sempat bertemu dengannya!”

Kiai Laras sempat menduga-duga dengan ucapan 

Kiai Tung-Tung. Kiai Tung-Tung rupanya dapat me-

nangkap arti pandangan orang. Hingga dia buru-buru


susuli ucapan.

“Pesan itu disampaikan orang padaku! Jadi akulah 

satu-satunya orang yang harus mengatakannya pada 

orang yang diberi pesan.... Jika tidak, aku khawatir 

orang yang diberi pesan tidak percaya lagi pada pesan 

itu!”

“Hem.... Hanya itu?!” ujar Kiai Laras setelah Kiai 

Tung-Tung hentikan ucapannya.

Yang ditanya sesaat terdiam. Kepalanya berpaling 

namun ekor matanya melirik.

“Kuharap kau juga merahasiakan semua ini! Aku 

khawatir akan banyak orang berbondong-bondong ke 

pesisir utara kalau sampai berita ini tersiar! Apalagi 

kau tahu, saat ini Pendekar 131 sedang menjadi inca-

ran banyak kalangan karena tersiar kabar Kembang 

Darah Setan telah berada di tangannya!”

“Hanya itu?!” Kembali Kiai Laras bertanya.

“Benar! Hanya itu...,” ujar Kiai Tung-Tung.

Kiai Laras tertawa pendek. “Kau telah kuberi ke-

sempatan untuk tinggalkan tempat ini! Tapi kau kem-

bali.... Maka untuk bisa angkat kaki lagi dari sini, kau 

harus menerima syarat ku!”

Kiai Tung-Tung terkesiap. “Sahabat....”

“Jangan menyela ucapanku!” bentak Kiai Laras se-

belum Kiai Tung-Tung lanjutkan kata-katanya. “Kau 

terima syarat ku berarti kau bisa tinggalkan tempat 

ini! Kalau tidak, itu adalah nasib buruk bagimu!”

“Aku tadi kembali karena masih ada sesuatu yang 

harus kukatakan padamu! Maka, tidak adil rasanya 

kalau kembali ku harus kubayar dengan syarat lagi!”

“Persetan!” teriak Kiai Laras. “Buka caping lebar

mu!”

Kiai Tung-Tung terkejut mendengar permintaan 

orang. Dia kembali palingkan wajahnya lurus mengha-

dap Kiai Laras. “Sahabat.... Bukannya aku tidak mau


lakukan apa yang kau minta. Tapi....” Hanya sampai di 

situ ucapan Kiai Tung-Tung. Karena mendadak saja 

Kiai Laras telah gerakkan kedua kakinya. Sosoknya 

melesat ke depan. Kedua tangannya berkelebat.

“Manusia sepertimu layak diperintah dengan tan-

gan!” teriak Kiai Laras.

Kiai Tung-Tung rasakan dua desiran angin menderu 

ke arah kepalanya. Cepat-cepat orang bercaping ini 

angkat kedua tangannya. Tangan kiri ditekankan pada 

caping lebarnya, tangan kanan menghadang di depan 

kepala. Saat bersamaan kepalanya ditarik sedikit ke 

belakang.

Bukkk!

Tangan kiri Kiai Laras yang hendak menyambar 

caping di kepala Kiai Tung-Tung menerpa udara. Se-

mentara tangan kanannya beradu dengan tangan ka-

nan Kiai Tung-Tung.

Tangan masing-masing orang yang beradu tampak 

sama mental ke belakang. Kiai Laras naik pitam. Tu-

buhnya membuat gerakan memutar. Saat sosoknya 

kembali menghadap Kiai Tung-Tung, kaki kanannya 

telah lepaskan tendangan dahsyat. Bukan itu saja, 

bersamaan kaki kanannya yang membuat gerakan 

menendang, kedua tangannya pun bergerak lepaskan 

pukulan bertenaga dalam tinggi!

Mendapati serangan beruntun, Kiai Tung-Tung ti-

dak berani main-main. Apalagi pukulan itu dilepas 

orang dari jarak dekat. Hingga tanpa pikir panjang lagi, 

Kiai Tung-Tung cepat-cepat tarik kedua tangannya se-

dikit ke belakang. Saat lain didorong ke depan.

Kedua tangan Kiai Tung-Tung sesaat tadi tampak 

berubah menjadi berwarna kekuningan. Saat kedua 

tangannya bergerak mendorong, tampak sinar kuning 

melesat dengan membawa gelombang luar biasa ber-

hawa panas menyengat.


Kiai Laras tersentak. Kaki kanannya yang menen-

dang laksana dihantam gelombang dahsyat hingga ter-

pental dan tubuhnya sedikit terhuyung. Dalam kea-

daan begitu rupa, Kiai Laras tampaknya maklum akan 

bahaya yang mengancam. Hingga bersamaan dengan 

terpentalnya kaki kanannya, orang tua ini lipat ganda-

kan tenaga dalam pada kedua tangannya. Gelombang 

yang mencuat dari kedua tangannya melesat makin 

menggidikkan!

Blaarr!

Semburatan warna kuning yang membawa gelom-

bang dahsyat berhawa panas beradu dengan gelom-

bang dari kedua tangan Kiai Laras. Muncratan bunga 

api tampak membubung di kaki Bukit Kalingga, lalu 

menebar datar sampai dua tombak berkeliling meram-

bah pepohonan setelah terlebih dahulu perdengarkan 

suara gelegar keras. Kaki Bukit Kalingga laksana dite-

lan kepulan asap dan hamburan dedaunan yang telah 

hangus.

Kiai Laras berseru tertahan. Sosoknya mencelat 

menghantam sebatang pohon lalu mental lagi sejauh 

dua tombak sebelum akhirnya jatuh terkapar di balik 

semak belukar.

Di seberang sana, sosok Kiai Tung-Tung tersapu ke 

udara. Orang ini cepat berusaha imbangi diri tatkala 

rasakan tubuhnya melayang deras ke bawah. Tapi 

bentrokan pukulan serta gelegar suara dentuman 

membuat laki-laki bercaping lebar ini laksana disen-

tak-sentak. Hingga meski dia sempat himpun tenaga 

dan membuat gerakan, namun sudah sangat terlambat 

dengan luncuran tubuhnya. Dan tanpa ampun lagi so-

soknya terbanting di atas tanah.

Kiai Laras memaki panjang pendek. Lalu cepat-

cepat kerahkan tenaga dalam. Saat lain orang tua ini 

berusaha bangkit berdiri. Namun dia merasakan seku


jur tubuhnya kehilangan tenaga. Sosoknya terhuyung 

dan oleng. Saat bersamaan kedua lututnya melipat. 

Dan tak lama kemudian sosoknya jatuh terduduk. Ra-

hangnya terangkat membatu dengan raut mengetam. 

Bukan saja karena hawa amarah yang melanda da-

danya namun lebih dari itu karena sama sekali tidak 

menduga jika pukulan lawan yang menghadangnya 

mampu membuat sosoknya tidak mampu bergerak 

bangkit. Ini menunjukkan kalau orang bercaping lebar 

memiliki ilmu yang tidak berada di bawahnya!

“Aku harus mengetahui siapa manusia itu sebenar-

nya! Dia tidak akan kubiarkan lolos!”

Berpikir begitu, Kiai Laras himpun segenap kemam-

puan yang ada. Begitu merasakan dapat kuasai diri, 

tangan kanannya menyelinap ke balik pakaiannya. 

Saat itulah dia baru sadar kalau dari mulutnya telah 

keluar cairan darah! Jelas menandakan kalau dia su-

dah terluka bagian dalam.

“Bangsat itu harus mampus! Persetan siapa dia se-

benarnya!” kertak Kiai Laras. Lalu perlahan-lahan 

bangkit.

Sementara di bagian lain, Kiai Tung-Tung keluarkan 

gumaman tidak jelas. Namun orang ini bisa segera 

bergerak bangkit meski sesaat terhuyung-huyung. 

Sambil lebih tekankan caping lebarnya dalam-dalam 

ke kepalanya, laki-laki ini edarkan pandang matanya 

ke semak belukar di mana Kiai Laras jatuh terkapar. 

Sesaat tadi dia sempat terlengak ketika matanya meli-

hat gerakan semak belukar dan disusul dengan non-

golnya kepala berambut putih.

“Sungguh luar biasa.... Dia mampu segera bangkit! 

Padahal aku tadi telah melepas pukulan ‘Lembur Kun-

ing’!” kata Kiai Tung-Tung perlahan dengan mata tak 

berkesip.

Namun tiba-tiba sepasang mata Kiai Tung-Tung


menyipit. Caping lebarnya bagian depan tampak berge-

rak-gerak tanda kening orang ini mengernyit. Ternyata 

nongolan kepala Kiai Laras cuma sebentar. Tak berapa 

lama kemudian, kepala itu bergerak ke samping. Kejap 

lain kepala itu lenyap di balik semak belukar.

“Hem....” Kiai Tung-Tung menggumam. “Tak ada 

gunanya aku berlama-lama di sini....” Dia membuat ge-

rakan melompat dua kali dengan kepala tetap berpal-

ing ke arah di mana tadi kepala Kiai Laras nongol, dan 

lenyap.

Begitu dia injakkan kaki dari dua kali lompatannya, 

laki-laki bercaping lebar ini luruskan kepala ke depan. 

Saat lain sosoknya berkelebat tinggalkan tempat itu.

Bersamaan dengan berkelebatnya sosok Kiai Tung-

Tung, Kiai Laras bergerak bangkit. Mata orang tua ini 

langsung membeliak melihat berkelebatnya Kiai Tung-

Tung.

Laksana disentak setan, Kiai Laras hentakkan sepa-

sang kakinya. Sosoknya melesat mengejar. Bersamaan 

dengan lesatan tubuhnya, tangan kanannya yang me-

nyelinap ke balik pakaiannya disentakkan keluar. 

Tampaklah cahaya tiga warna. Merah, hitam, dan pu-

tih.

Kiai Laras angkat tangannya yang ternyata telah 

menggenggam tangkai Kembang Darah Setan. Serta 

merta tangan kanannya digerakkan ke depan.

Wuttt!

Tiga sinar merah, hitam, dan putih berkiblat ang-

ker. Namun bagaimanapun hebatnya sinar yang keluar

dari Kembang Darah Setan, sosok Kiai Tung-Tung su-

dah terlalu jauh untuk dapat dijangkau. Hingga yang 

menjadi sasaran kiblatan sinar yang mencuat dari 

Kembang Darah Setan adalah ranggasan semak belu-

kar serta jajaran beberapa pohon di depan sana.

Semak belukar langsung bertabur ke angkasa. Dis


usul dengan terdengarnya suara derakan tumbangnya 

beberapa pohon.

Kiai Laras hentikan kelebatannya. Matanya mena-

tap liar berkeliling. Sosok Kiai Tung-Tung sudah tidak 

kelihatan lagi. Saking marahnya, kaki kanan Kiai La-

ras bergerak menghentak. Tanah di bawahnya bergetar 

dan langsung membentuk lobang menganga!

Dengan tubuh bergetar, tangan kanan Kiai Laras 

yang memegang Kembang Darah Setan diselinapkan 

kembali ke balik pakaiannya. Lalu putar tubuh dan 

melangkah lebar-lebar ke arah goa di depan sana.

***

TIGA



Pemuda berkumis tipis berpakaian hitam-hitam itu 

berlari-lari kecil. Sesekali kepalanya bergerak berpaling 

ke samping kanan kiri. Sepasang matanya waspada 

menatapi tempat yang dilewati. Raut wajah dan sikap-

nya jelas menunjukkan kalau pemuda ini berhati-hati.

Pada satu tempat, si pemuda berkumis tipis yang 

bukan lain adalah Saraswati, gadis cantik anak Lasmi-

ni dengan Panjer Wengi alias tokoh rimba persilatan 

yang pada akhirnya dikenal sebagai Tengkorak Berda-

rah, yang selama ini tetap mengenakan penyamaran 

sebagai seorang pemuda berkumis tipis hentikan lang-

kahnya. Tangan kanannya diangkat lalu ditadangkan 

di depan kening untuk hindari silau sengatan sinar 

matahari.

Sesaat sepasang mata Saraswati membelalak. Dari 

tempatnya tegak, dia melihat empat orang berkelebat


cepat. Gerakan keempatnya laksana dikomando. Dua 

orang berada di sebelah depan saling berjajar sejarak 

tujuh langkah. Sementara dua lainnya berada di bela-

kang dengan jarak yang sama. Di atas pundak masing-

masing orang ini tampak dua batang bambu agak be-

sar. Tepat di tengah-tengah batang bambu, tampak se-

buah tandu tertutup kain merah.

“Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Yang di dalam tandu 

tertutup itu pasti Putri Kayangan!” gumam Saraswati 

mengenali siapa adanya keempat orang yang memang-

gul tandu.

Sesaat Saraswati alihkan pandangan matanya ke 

arah samping kiri kanan. “Tak ada tempat untuk ber-

lindung...,” gumamnya. Tempat di mana saat itu Sa-

raswati tengah tegak memang sebuah tempat terbuka. 

Hanya ada beberapa pohon namun batangnya terlalu 

kecil untuk dapat lindungi tubuhnya dari pandangan 

mata orang.

“Menurut yang pernah kudengar, Putri Kayangan 

dan Tokoh-tokoh Penghela Tandu bukan manusia 

baik-baik! Dan mereka berilmu tinggi! Bagaimanapun 

juga aku harus menghindar.... Aku tak ingin membuat 

sengketa baru!”

Berpikir begitu, meski sudah yakin beberapa batan-

gan pohon di sekitar tempat itu tidak akan mampu lin-

dungi tubuhnya, namun Saraswati tetap saja berkele-

bat ke arah salah satu pohon.

Namun baru saja Saraswati membuat gerakan, tiba-

tiba di hadapannya telah tegak empat orang laki-laki 

bertelanjang dada, berkepala gundul. Raut wajah em-

pat laki-laki ini hampir mirip. Namun bukan kemiripan 

wajah keempatnya yang membuat orang merinding. 

Sepasang mata masing-masing orang ini bukannya 

melebar ke samping kanan kiri, melainkan ke bawah. 

Demikian juga mulutnya. Bentuk wajahnya pun tidak


seperti kebanyakan orang. Sebaliknya lonjong ke ba-

wah! Laki-laki sebelah depan bagian kanan mengena-

kan celana kolor warna merah. Di sebelahnya memakai 

celana kolor warna hitam. Sementara di sebelah bela-

kang bagian kanan mengenakan celana kolor warna 

kuning. Di sebelah orang ini memakai celana kolor 

warna hijau. Mereka bukan lain memang empat laki-

laki yang dikenal dalam rimba persilatan dengan gelar 

Tokoh-tokoh Penghela Tandu. Karena ke mana mereka 

pergi, mereka selalu menggotong sebuah tandu tertu-

tup kain merah. Dan kalangan dunia persilatan pun 

tahu siapa adanya orang yang berada di dalam tandu. 

Dia tidak lain adalah Putri Kayangan.

“Terlambat.... Gerakan mereka luar biasa cepat!

Sejenak tadi kulihat masih berada di depan sana. 

Tapi tahu-tahu sekarang sudah di depanku.... Hem.... 

Apa boleh buat!” gumam Saraswati dalam hati seraya 

perhatikan empat laki-laki di hadapannya.

Keempat laki-laki pemanggul tandu balas meman-

dang. Lalu secara bersamaan mereka gerakkan kepala 

masing-masing saling pandang satu sama lain. Saras-

wati memperhatikan dengan dada sedikit bergetar. 

Tengkuknya dingin melihat keangkeran paras wajah 

orang-orang di hadapannya. Hingga hampir bersamaan 

dengan gerakan kepala keempat orang di hadapannya, 

gadis yang masih menyaru sebagai pemuda berkumis 

tipis ini alihkan pandangan matanya ke jurusan lain.

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba laki-laki bercelana 

kolor warna merah angkat tangan kanannya. Mulutnya 

yang membelah ke bawah bergerak membuka.

“Kami datang dari jauh. Kami hendak menuju Ju-

rang Tlatah Perak! Kalau tak keberatan, mau tunjuk-

kan pada kami arah mana yang harus kami tempuh?!”

Dahi Saraswati berkerut. Kepalanya perlahan-lahan 

bergerak menghadap lurus ke arah Tokoh-tokoh Peng


hela Tandu. “Untuk apa orang-orang ini mencari Pen-

deta Sinting?! Hem.... Pendeta Sinting tidak kutemui di 

Jurang Tlatah Perak, tapi aku belum yakin kalau orang 

tua itu berada di bukit di mana aku berjumpa dengan 

muridnya! Apa aku harus mengatakan pada mereka ji-

ka Pendeta Sinting tidak ada?! Atau....”

“Kalau kau merasa keberatan, kami tidak memak-

sa!” Laki-laki bercelana kolor warna merah telah beru-

cap lagi hingga Saraswati putuskan kata hatinya.

Habis berkata begitu, si celana kolor warna merah 

memberi isyarat pada ketiga saudaranya. Namun sebe-

lum mereka bergerak, Saraswati buka mulut.

“Tentu kalian hendak ke tempat Pendeta Sinting! 

Benar?!”

“Kami tak bisa mengatakan hendak ke tempat sia-

pa! Yang jelas kami hendak menuju Jurang Tlatah Pe-

rak. Dan kami membutuhkan petunjuk!”

“Hem.... Sikap mereka.... Mengapa lain dengan apa 

yang selama ini kudengar? Mereka tidak memaksa 

meski tetap merahasiakan tujuannya!” membatin Sa-

raswati seraya sekali lagi memperhatikan keempat 

tampang laki-laki di hadapannya. Lalu angkat kepa-

lanya lurus ke arah tandu yang tertutup kain merah.

“Mau kalian mengatakan apa urusannya dengan 

Pendeta Sinting?!” tanya Saraswati. Gadis ini sebenar-

nya masih ingin tahu kenapa Tokoh-tokoh Penghela 

Tandu mencari Pendeta Sinting meski para Tokoh- to-

koh Penghela Tandu tidak mau mengatakan apa tu-

juannya ke Jurang Tlatah Perak. Karena Saraswati ta-

hu, Jurang Tlatah Perak hanya dihuni oleh Pendeta 

Sinting.

Laki-laki bercelana kolor warna merah gelengkan 

kepala. “Menyesal sekali. Kami tidak bisa mengatakan 

apa-apa padamu! Sekali lagi kami hanya perlu petun-

juk arah mana yang harus kami tempuh menuju Jurang Tlatah Perak!”

“Aku akan katakan ke mana arahnya! Tapi kalian 

harus katakan dahulu apa maksud kalian ke Jurang 

Tlatah Perak!” kata Saraswati.

Bersamaan dengan selesainya ucapan Saraswati, 

kain penutup tandu perlahan-lahan bergerak membu-

ka. Saraswati tengadahkan sedikit kepalanya.

“Ini pasti Putri Kayangan! Selama ini aku hanya bi-

sa melihatnya dari jauh.... Ternyata dia benar-benar 

cantik jelita...,” gumam Saraswati dalam hati tatkala 

dapat melihat satu sosok tubuh duduk pada bangku 

bambu di dalam tandu. Dia adalah seorang gadis mu-

da berparas luar biasa cantik mengenakan pakaian 

warna merah. Gadis ini tidak lain memang Putri 

Kayangan adanya.

Putri Kayangan sesaat perhatikan Saraswati dari 

ujung rambut sampai kaki. Lalu tersenyum tanpa ber-

kata. Saraswati sejenak bimbang. “Apa dia tahu ten-

tang diriku yang menyamar sebagai seorang pemuda?!”

Entah sadar atau tidak, Saraswati tampak tunduk-

kan kepala perhatikan dirinya sendiri, khawatir ada 

sesuatu yang membuat penyamarannya diketahui 

orang. Begitu yakin tidak ada sesuatu yang membuat 

orang mengetahui siapa dia sebenarnya, Saraswati 

angkat kembali kepalanya dan balas tersenyum. Diam-

diam dia juga membatin.

“Dia sepertinya ramah.... Tidak sama seperti apa 

yang kuduga! Tapi aku harus tetap berhati-hati.... Pe-

rubahan sikap orang pasti ada apa-apanya!”

“Kau mengenal Pendeta Sinting?!” Tiba-tiba Putri 

Kayangan angkat bicara.

“Aku tidak bisa menjelaskannya! Yang pasti aku ha-

rus tahu setiap orang yang hendak bertemu dengan 

Pendeta Sinting!” jawab Saraswati.

“Hem.... Selama ini yang kudengar Pendeta Sinting


hanya punya murid tunggal.... Aku juga tahu kalau 

orang tua itu tidak punya sanak saudara! Adalah aneh 

hubungannya bila dikaitkan dengan ucapanmu....”

“Hem.... Terserah kau bilang aneh atau tidak arti 

ucapanku! Yang pasti demikianlah kenyataannya!” 

enak saja Saraswati sambuti ucapan Putri Kayangan.

“Jika begitu, mau katakan siapa kau adanya?!”

Saraswati tersenyum. “Aku tahu siapa kau.... Bu-

kankah kau Putri Kayangan?! Dan keempat orang di 

bawahmu itu Tokoh-tokoh Penghela Tandu?!” Saraswa-

ti gelengkan kepala. “Sayangnya.... Untuk sementara 

ini kau harus mengenaliku seperti adanya yang kau li-

hat!”

Putri Kayangan tidak menunjukkan sikap terkejut

atau marah mendengar kata-kata Saraswati. Sebalik-

nya gadis berparas cantik ini sunggingkan senyum. La-

lu tangan kanannya bergerak. Saat yang sama kain 

penutup tandu menutup. Lalu terdengar ketukan pe-

lan tiga kali.

Tokoh-tokoh Penghela Tandu serentak bergerak me-

langkah tanpa memandang atau berkata-kata lagi pa-

da Saraswati, membuat gadis yang menyamar sebagai 

pemuda ini kernyitkan dahi dan berucap.

“Kalian sudah tidak memerlukan petunjuk?!”

“Kami memang perlu petunjuk! Tapi sekarang kami 

tidak akan percaya padamu lagi meski kau mengata-

kannya tanpa kami harus mengatakan apa tujuan ka-

mi!” Suara itu terdengar dari dalam tandu.

“Tunggu!” tahan Saraswati begitu melihat Tokoh-

tokoh Penghela Tandu terus melangkah.

Terdengar lagi ketukan tiga kali. Tokoh-tokoh Peng-

hela Tandu hentikan langkah. “Ada yang ingin kau ka-

takan?!” kembali terdengar pertanyaan dari dalam tan-

du.

“Apa maksud ucapanmu tadi?!” tanya Saraswati.


Terdengar suara tawa dari dalam tandu. “Kalau se-

seorang sembunyikan diri dalam baju orang lain agar 

tidak dikenali dan dapat menipu pandangan orang, 

apakah ucapan orang begitu bisa dipercaya?!”

Saraswati tersentak. Dia maklum kalau orang telah 

mengetahui penyamarannya. Dia angkat kepala me-

mandang ke arah tandu. Kain merah penutup tandu 

perlahan membuka. Lalu tampak kepala Putri Kayan-

gan melongok keluar dan berpaling pada Saraswati. 

Sesaat sepasang mata Putri Kayangan memperhatikan 

sosok Saraswati. Bibirnya sunggingkan senyum.

“Aku tidak bermaksud membuka apa yang kau 

sembunyikan dari pandang mata orang. Aku tahu.... 

Barangkali hal itu kau lakukan dengan satu maksud. 

Tapi hal demikian telah membuatku tidak percaya pa-

da apa yang kau ucapkan....” Putri Kayangan sejenak 

hentikan ucapannya sebelum akhirnya melanjutkan.

“Aku juga tidak bermaksud menunjukkan siapa 

kami sebenarnya.... Aku tahu, kau punya prasangka 

buruk pada kami...? Itu dapat kami maklumi. Tapi 

percayalah, prasangka itu tidak benar! Kami bukanlah 

orang-orang yang selama ini kau dengar!” Putri Kayan-

gan arahkan pandangan matanya lurus ke depan. Ga-

dis ini tampak menghela napas panjang.

“Ada yang masih hendak kau utarakan?!” tanya Pu-

tri Kayangan setelah agak lama terdiam.

Saraswati memandang lekat-lekat pada Putri 

Kayangan. Entah apa yang dipikirkan gadis ini, yang 

pasti dia angkat tangan kanannya menunjuk ke satu 

arah sambil berkata.

“Terserah kau percaya atau tidak! Kalau kau ingin 

ke Jurang Tlatah Perak, kau teruslah ke arah timur!”

Putri Kayangan arahkan pandangannya ke jurusan 

yang ditunjuk Saraswati. Seraya tersenyum dia beru-

jar.


“Kulihat kau juga baru dari arah timur.... Apa kau 

juga baru saja berkunjung ke Jurang Tlatah Perak?!”

Saraswati tarik pulang tangan kanannya. Sesaat dia 

terdiam dan hanya memandangi Putri Kayangan. “Apa 

aku akan berterus terang padanya?! Dari sikapnya, 

apa yang diucapkan sepertinya benar....”

Setelah membatin begitu dan berpikir sesaat, akhir-

nya Saraswati angkat bicara.

“Aku memang baru saja dari Jurang Tlatah Perak.... 

Dan kau boleh percaya atau tidak, aku tidak bertemu 

dengan Pendeta Sinting! Melihat tempat kediamannya, 

aku menduga orang tua itu sudah agak lama mening-

galkan Jurang Tlatah Perak!”

Putri Kayangan tersenyum sekali lagi. “Rupanya kail 

ini dia berkata benar.... Siapa dia sebenarnya? Menga-

pa dia menyamar sebagai seorang pemuda?! Dan men-

gapa pula dia ke Jurang Tlatah Perak...?!”

Baru saja Putri Kayangan hendak utarakan apa 

yang menjadi pertanyaannya, Saraswati telah putar di-

ri dan berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Tunggu!” seru Putri Kayangan menahan kelebatan 

sosok Saraswati. Gadis berparas cantik ini segera me-

lesat turun dan tegak di hadapan Saraswati.

“Aku percaya pada ucapanmu...,” ujar Putri Kayan-

gan. “Aku juga berterima kasih atas petunjukmu. Ka-

lau kau tidak keberatan, boleh aku tahu siapa kau se-

benarnya?!” ,

Saraswati gelengkan kepala. “Untuk permintaanmu 

itu, aku belum bisa mengatakannya sekarang....” Sa-

raswati menatap berlama-lama pada gadis di hada-

pannya. Lalu lanjutkan ucapan. “Mau memberi kete-

rangan padaku apa tujuanmu hendak mencari Pendeta 

Sinting?!”

“Aku mendapat pesan dari seseorang yang harus 

kusampaikan pada Pendeta Sinting. Selain itu aku juga ingin tanya banyak hal padanya....”

“Kau mengenal dengan baik orang tua itu?!” tanya 

Saraswati.

“Sebenarnya yang mengenal baik Pendeta Sinting 

adalah guruku! Ada apa rupanya?”

”Mendengar kabar bahwa Pendeta Sinting sedang 

dalam perawatan akibat luka dalam. Mula-mula aku 

tidak percaya dengan berita itu, namun setelah aku 

berkunjung ke tempatnya dan tidak menemukan dia, 

mau tak mau aku mulai percaya dengan berita itu!”

“Ah.... Seharusnya hal itu kutanyakan saat bertemu 

dengan pemuda itu...,” gumam Putri Kayangan seolah 

berkata dengan dirinya sendiri.

“Siapa yang kau maksud dengan pemuda itu?!” 

tanya Saraswati dengan dahi berkerut.

Putri Kayangan sesaat tersentak kaget mendengar 

pertanyaan Saraswati. Dia sama sekali tidak mengira 

kalau telah bergumam. Hingga mungkin masih kuasai 

rasa kejutnya, untuk beberapa saat Putri Kayangan ti-

dak segera menjawab pertanyaan orang.

“Kau telah bertemu dengan pemuda murid Pendeta 

Sinting?!” tanya Saraswati seolah tidak sabar menung-

gu jawaban pertanyaannya.

“Nada suaranya lain! Jangan-jangan dia kekasih 

pemuda itu.... Hem.... Melihat raut penyamarannya, 

tentu dia seorang gadis berwajah jelita....” Putri Kayan-

gan diam-diam membatin. Lalu berkata.

“Aku memang sempat bertemu dengan pemuda mu-

rid Pendeta Sinting.... Sayangnya aku buru-buru dan 

tak sempat menanyakan keadaan gurunya!”

“Di mana kau bertemu?!”

Putri Kayangan tersenyum. “Kau juga mencarinya?!”

Yang ditanya tidak menyahut. Namun Putri Kayan-

gan dapat melihat jelas perubahan pada air muka Sa-

raswati. Hal ini menguatkan dugaan Putri Kayangan.


Namun hal ini pula membuat Putri Kayangan seolah 

menyesal. Putri Kayangan sendiri tak tahu. Mengapa 

tiba-tiba saja dia merasakan kehilangan sesuatu begitu 

merasa yakin kalau Saraswati adalah kekasih murid 

Pendeta Sinting.

“Aku tidak mencarinya!” kata Saraswati dengan na-

da agak tinggi. Lalu wajahnya dipalingkan sedikit se-

raya lanjutkan ucapan. “Aku tahu di mana dia berada! 

Kalaupun suatu saat aku mencarinya, itu untuk me-

mutus selembar nyawanya!”

***

EMPAT



Ucapan Saraswati menambah kuat dugaan Putri 

Kayangan. Dan entah karena apa gadis cantik berbaju 

merah ini akhirnya menanyakan juga apa yang menja-

di dugaannya.

“Kau kekasih murid Pendeta Sinting? Dan saat ini 

kalian sedang berselisih?”

Saraswati terdiam untuk beberapa lama. Tiba-tiba 

gadis yang menyamar sebagai pemuda ini perdengar-

kan tawa panjang. Lalu hadapkan wajahnya pada Putri 

Kayangan.

“Apa kalau seseorang sudah memutuskan untuk 

memutus nyawa seseorang masih pantas di antara ke-

duanya disebut kekasih?!”

Kali ini balik Putri Kayangan yang terdiam menden-

gar pertanyaan Saraswati. Saraswati seolah sudah 

tenggelam dalam perasaan geramnya apalagi di pelupuk matanya terbayang kembali apa yang dilakukan 

murid Pendeta Sinting pada ibunya juga terhadap di-

rinya. Hingga dia tidak lagi menunggu jawaban orang, 

malah segera susuli ucapannya.

“Aku bukan kekasih pemuda keparat itu! Justru dia 

sekarang musuh besarku!”

Putri Kayangan heran dengan dirinya sendiri. Gadis 

ini merasa lega mendengar pernyataan Saraswati. Dan 

sambil sunggingkan senyum dia berujar.

“Apakah tujuanmu ke Jurang Tlatah Perak masih 

ada hubungannya dengan urusan ini?”

Saraswati gelengkan kepala. “Aku bisa membedakan 

urusan! Meski muridnya kuanggap sebagai manusia 

yang harus tewas di tanganku, bukan berarti aku

punya silang sengketa dengan gurunya!”

“Dunia ini terkadang menyimpan sesuatu yang 

aneh....”

“Maksudmu?!” tanya Saraswati.

“Apa yang terdengar belum pasti sesuai dengan ke-

nyataan.... Aku telah agak lama mendengar tentang se-

luk beluk murid Pendeta Sinting. Namun begitu men-

dengar keteranganmu, aku jadi ragu tentang apa yang 

selama ini kudengar!”

“Selama ini aku juga tertipu!” timpal Saraswati. 

“Dari sikap dan cara bicaranya aku bahkan terkadang 

belum percaya bahwa pemuda itu buaya jahanam yang 

bukan saja tidak pandang bulu, tapi juga tidak punya 

perasaan!”

“Kau tentu pernah mengalami sesuatu yang hebat!”

“Bukan saja hebat! Tapi menjijikkan! Tapi jangan 

kau bertanya apa yang pernah ku alami! Aku tak akan 

memberi keterangan!”

“Apa semua ini kau katakan bukan karena kau sa-

kit hati padanya akibat cemburu?”

“Dia memang pemuda tampan dan berilmu tinggi


hingga wajar kalau banyak gadis yang berusaha mere-

but hatinya! Tapi urusanku tidak ada hubungannya 

dengan semua itu! Bahkan kalaupun seandainya dia 

kekasihku, aku tak segan-segan membunuhnya! Apa-

lagi dia dan aku tak ada hubungan apa-apa!”

“Hem.... Apa urusan sebenarnya orang ini dengan 

pemuda itu? Dari keterangannya jelas menunjukkan 

kalau pemuda itu telah lakukan tindakan yang tidak 

bisa dimaafkan.... Hem.... Apa benar semua keteran-

gannya? Beberapa waktu lalu aku bertemu dengan 

pemuda itu. Dia mengatakan kehilangan Pedang Tum-

pul 131 dan dari keterangannya aku bisa menduga 

yang mengambilnya adalah Pitaloka! Sikapnya baik.... 

Lalu kalau dikaitkan dengan ucapan orang ini, bagai-

mana mungkin pemuda itu melakukan tindakan yang 

tidak termaafkan?!”

Selagi Putri Kayangan membatin begitu, Saraswati 

telah angkat suara lagi.

“Aku harus segera pergi. Kelak jika kau jumpa den-

gan pemuda jahanam itu, aku titip pesan kematian 

padanya!”

“Kalau kau sekarang tahu di mana dia berada, 

mengapa tidak sekarang saja kau lakukan apa yang 

menjadi tujuanmu?” tanya Putri Kayangan coba me-

nyelidik.

Saraswati tertawa pendek sambil gelengkan kepala. 

“Aku tahu kapan saatnya harus bertindak!”

“Dari keteranganmu aku menduga saat ini kau sen-

diri masih bimbang dengan apa yang kau lakukan! 

Terbukti kau masih menunda waktu dan berusaha 

mencari Pendeta Sinting...,” ujar Putri Kayangan mem-

buat Saraswati sedikit melengak kaget.

“Kau boleh menduga! Tapi bukan berarti dugaanmu 

benar! Lebih dari itu kau kelak dapat buktikan uca-

panku!”


“Tunggu!” seru Putri Kayangan begitu dilihatnya Sa-

raswati hendak berkelebat. “Boleh aku tanya sekali la-

gi?!”

Meski nada ucapan Putri Kayangan bertanya, na-

mun gadis cantik jelita ini tidak menunggu jawaban. 

Sebaliknya dia telah angkat bicara lagi.

“Apa benar orang yang melakukan tindakan tak 

termaafkan padamu itu adalah pemuda bergelar Pen-

dekar Pedang Tumpul 131?”

“Aku telah kenal lama dengan pemuda itu!” jawab 

Saraswati. Lalu pemuda berkumis tipis ini putar diri. 

Namun anehnya dia tidak segera berkelebat atau me-

langkah tinggalkan tempat itu. Malah tak lama kemu-

dian terdengar dia berucap.

“Mengapa kau meragukan kalau pemuda itu Pende-

kar 131?!”

“Aku tak bisa menerangkan sekarang. Hanya kuha-

rap kau waspada dan teliti! Ini kukatakan bukan be-

rarti aku mempengaruhi mu. Tapi justru aku telah 

mengalaminya sendiri! Banyak kalangan orang persila-

tan menganggapku sebagai manusia jahat! Padahal 

tindakan itu bukan aku yang melakukannya! Tapi 

orang yang wajahnya mirip denganku!”

“Siapa percaya dengan keteranganmu!” Tiba-tiba sa-

tu suara lain menyeruak. Suara itu berat bergetar. Pu-

tri Kayangan dan Saraswati dapat rasakan dengungan 

pada telinganya. Tanda bahwa siapa pun adanya orang 

yang perdengarkan suara memiliki tingkat tenaga da-

lam tinggi.

Putri Kayangan dan Saraswati cepat sama paling-

kan kepala ke arah sumber suara yang tiba-tiba me-

nyahut. Dan begitu memandang ke depan, dua orang 

ini langsung surutkan langkah dengan mata mendelik 

dan kuduk merinding!

Sementara di seberang samping, begitu mendengar


ada suara lain yang terdengar, Tokoh-tokoh Penghela 

Tandu yang sedari tadi hanya diam mendengarkan 

percakapan Putri Kayangan dengan Saraswati sama-

sama gerakkan kepala menoleh.

Keempat orang berkepala gundul bertelanjang dada 

ini sesaat sama pentang mata masing-masing, hingga 

mata masing-masing orang yang membentuk ke bawah 

tampak menakutkan.

“Aku hampir tak percaya kalau dia manusia jika sa-

ja tidak kudengar suaranya!” gumam Putri Kayangan 

dengan mata terus memandang tak berkesip ke depan.

“Apa mataku tidak berdusta?!” Saraswati menggu-

mam seolah masih belum percaya dengan apa yang di-

tangkap matanya.

Sementara Tokoh-tokoh Penghela Tandu tampak 

kancingkan mulut meski air muka masing-masing 

orang dipenuhi keheranan. Dan saat lain keempat laki-

laki ini saling pandang satu sama lain.

Semua orang di tempat itu melihat seorang laki-laki 

berambut putih awut-awutan tegak bersandar pada 

sebatang pohon tidak begitu besar. Laki-laki ini hampir 

saja tidak bisa dikatakan manusia seandainya tadi ti-

dak perdengarkan suara sahutan dan bergerak-gerak. 

Karena ternyata anggota tubuh laki-laki ini hanya me-

rupakan kerangka!

“Siapa kau?!” Putri Kayangan yang lebih cepat dapat 

kuasai rasa kaget segera bertanya.

“Orang bertanya harus dijawab! Aku Setan Liang 

Makam!” jawab laki-laki yang sekujur tubuhnya hanya 

merupakan susunan kerangka tanpa tertutup daging 

sama sekali.

Habis menjawab pertanyaan orang, laki-laki yang 

hanya terdiri dari kerangka dan memang Setan Liang 

Makam adanya gerakkan kepala. Sepasang matanya 

yang besar berputar liar memperhatikan satu persatu


pada Saraswati, Putri Kayangan, dan terakhir pada 

Tokoh-tokoh Penghela Tandu.

Setan Liang Makam membuat gerakan satu kali. 

Tahu-tahu sosoknya telah tegak di hadapan Saraswati 

dan Putri Kayangan sejarak tujuh langkah. Tangan ki-

rinya bergerak terangkat dan menunjuk lurus pada 

Saraswati.

Saraswati merinding dengan mata membelalak. 

Namun diam-diam dia kerahkan tenaga dalam pada 

kedua tangannya. Dari sikap orang, tampaknya Sa-

raswati sudah bisa menangkap gelagat tidak baik.

Setan Liang Makam buka kerangka mulutnya. Se-

mentara tangan kiri terus menunjuk lurus pada Sa-

raswati. “Aku dengar ucapanmu jika kau tahu di mana 

Pendekar 131 murid Pendeta Sinting berada! Aku 

tanya satu kali dan tak akan ku ulangi! Katakan di 

mana dia berada!”

Saraswati sesaat memandang tajam pada Setan 

Liang Makam. Lalu melirik pada Putri Kayangan. Paras 

wajahnya jelas membayangkan kebimbangan.

“Kau dengar ucapanku! Orang bertanya harus dija-

wab!” Berkata Setan Liang Makam. Tangan kirinya di-

tarik pulang dengan kepala sedikit didongakkan.

“Untuk apa kau mencari pemuda jahanam itu?!” Sa-

raswati balik bertanya.

“Manusia itu telah mengambil barang ku!”

“hem.... Apa berupa pedang sakti?!” Yang angkat bi-

cara adalah Putri Kayangan. Dia teringat akan perte-

muannya dengan murid Pendeta Sinting dan menyata-

kan barangnya berupa pedang telah diambil Pitaloka.

Setan Liang Makam tertawa ngakak. “Barang ku le-

bih berharga daripada sebuah pedang sakti! Bahkan 

lebih berharga dari beberapa kitab sakti!”

Saraswati kerutkan dahi. Tiba-tiba dia teringat akan 

sekuntum bunga yang sempat dilihatnya dipakai oleh


murid Pendeta Sinting saat berkelahi dengan ibunya di 

Bukit Kalingga.

“Apa barang mu berupa sekuntum bunga bersinar 

tiga warna?!” Saraswati langsung saja utarakan apa 

yang ada dalam benaknya.

Laksana disentak tangan setan, kepala Setan Liang 

Makam digerakkan menghadap Saraswati. “Bagus! Kau 

bukan saja tahu di mana manusia jahanam itu, tapi 

tahu juga barang apa yang diambilnya! Ini membukti-

kan ucapanmu tidak dusta! Sekarang lekas katakan 

tempat di mana keparat itu berada!”

“Hem.... Pasti yang dimaksud orang ini Kembang 

Darah Setan.... Apa orang yang menyamar itu benar-

benar telah melihat Kembang Darah Setan di tangan 

murid Pendeta Sinting?!” Diam-diam Putri Kayangan 

membatin. “Kalau benar, mengapa dia tidak menyebut 

kehilangan Kembang Darah Setan saat bertemu tempo 

hari? Padahal seandainya pedangnya benar-benar di-

ambil Pitaloka, pasti Pitaloka tak akan sia-siakan ke-

sempatan untuk mengambil Kembang Darah Setan se-

kalian! Ada yang janggal dalam masalah ini! Aku harus 

memberitahukan pada pemuda itu....”

Putri Kayangan segera melangkah mendekati Sa-

raswati. Begitu dekat dia tidak segera mengutarakan 

isi hatinya pada Saraswati. Sebaliknya dia buka mulut 

bertanya pada Setan Liang Makam.

“Apa barang mu itu benda yang dikenal dengan 

Kembang Darah Setan?!”

Kembali Setan Liang Makam perdengarkan gelakan 

tawa keras membahana. “Rupanya pengetahuan kalian 

berdua luas juga! Barang ku memang Kembang Darah 

Setan!”

Saat Setan Liang Makam perdengarkan gelakan ta-

wa dan menjawab pertanyaan, kesempatan ini diguna-

kan Putri Kayangan untuk berbisik pada Saraswati.


“Kuharap kau tidak mengatakan di mana murid Pen-

deta Sinting berada pada manusia itu! Aku melihat ada 

sesuatu yang janggal!”

“Apanya yang janggal?! Aku benar-benar melihat dia 

menggenggam sekuntum bunga bersinar tiga warna!” 

Saraswati menyahut dengan berbisik pula.

“Nanti kita bicarakan setelah laki-laki itu pergi! 

Yang pasti kau harus tidak mengatakan yang sebenar-

nya di mana murid Pendeta Sinting berada!”

“Kau mengkhawatirkan keselamatan jahanam itu?!” 

tanya Saraswati dengan tertawa pelan bernada menge-

jek.

“Jangan salah sangka! Aku benar-benar merasakan 

ada sesuatu yang aneh!”

“Apa yang kalian bicarakan?!” tiba-tiba Setan Liang 

Makam menghardik.

Putri Kayangan segera menyambuti hardikan Setan 

Liang Makam dengan sunggingkan senyum lalu berka-

ta.

“Kami berdua ingin meyakinkan apakah benar 

Kembang Darah Setan adalah milikmu yang diambil 

murid Pendeta Sinting...!”

“Aku tak peduli kalian yakin atau tidak! Itu urusan 

kalian! Sekarang aku menunggu jawaban!”

Putri Kayangan melirik pada Saraswati dengan dada 

berdebar. Gadis cantik jelita ini sangat khawatir jika 

Saraswati tidak menuruti ucapannya. Sementara Sa-

raswati sendiri sejenak tampak dilanda keraguan. Se-

telah berpikir sesaat, akhirnya ia buka suara.

“Beberapa waktu yang lalu aku bertemu dengan 

pemuda itu di sebuah kaki bukit!”

“Jangan potong ucapanmu!” bentak Setan Liang 

Makam.

Putri Kayangan yang dadanya makin gelisah berpal-

ing pada Saraswati. Saraswati sendiri tampak melirik

pada Putri Kayangan dengan dada bertanya-tanya. Ke-

bencian dan kegeramannya pada murid Pendeta Sint-

ing entah kenapa tiba-tiba perlahan-lahan sirna. Yang 

muncul sekarang justru perasaan cemburu. “Dari tadi 

gadis ini sepertinya membela Pendekar 131. Dia juga 

sangat khawatir akan keselamatan pemuda itu.... Apa 

di antara mereka berdua ada hubungan tertentu?!”

“Sialan! Kenapa kau diam, hah?!” tiba-tiba Setan 

Liang Makam berteriak. Bola matanya yang terpuruk

dalam kerangka rongga mata yang dalam bergerak liar 

melotot angker menatap pada Saraswati.

“Aku bertemu dia di kaki Bukit Wonoayu....”

“Tunjuk arah tempatnya dari sini!” sahut Setan 

Liang Makam.

“Apa dia tunjuk tempat yang sebenarnya?” Putri 

Kayangan berkata dalam hati.

“Pergilah ke arah barat. Kira-kira perjalanan seten-

gah hari dari sini kau akan menemukan sebuah sun-

gai. Di seberang sungai ada sebuah bukit kecil. Itulah 

Bukit Wonoayu!” kata Saraswati.

“Kau berkata jujur?!” tanya Setan Liang Makam.

“Aku berkata seperti apa yang kulihat!” jawab Sa-

raswati.

“Bagus! Tapi jika ternyata nantinya kau berkata ti-

dak seperti kenyataan, kau akan menyesal! Setan 

Liang Makam akan membuat hamparan bumi tempat 

yang sempit bagimu!”

Habis berkata begitu, Setan Liang Makam bukannya 

segera beranjak pergi, melainkan putar tubuh sedikit 

menghadap Putri Kayangan. Setelah memandang seje-

nak, Setan Liang Makam membentak.

“Sekarang giliranmu jawab pertanyaanku!”

Putri Kayangan pandangi Setan Liang Makam. Ga-

dis ini belum dapat menduga apa yang hendak dita-

nyakan orang. Namun dia kancingkan mulut tidak


ajukan tanya.

“Apa pesan yang hendak kau sampaikan pada Pen-

deta Sinting?!”

Sesaat Putri Kayangan tersentak mendengar perta-

nyaan Setan Liang Makam. Dari pertanyaan orang, ga-

dis ini maklum kalau sebenarnya Setan Liang Makam 

sudah lama berada di sekitar tempat itu dan menden-

garkan apa yang diperbincangkannya dengan Saraswa-

ti. Dan kehadiran Setan Liang Makam yang tidak dike-

tahui baik oleh dirinya maupun Saraswati serta Tokoh-

tokoh Penghela Tandu telah cukup membuat Putri 

Kayangan sadar jika orang yang kini tengah dihadapi 

memiliki ilmu sangat tinggi.

Di lain pihak, begitu mendengar pertanyaan Setan 

Uang Makam, Saraswati sedikit merasa lega, karena 

sebenarnya dari tadi dia penasaran dengan pesan yang 

kata Putri Kayangan harus disampaikan pada Pendeta 

Sinting.

Sementara itu, mendengar pertanyaan serta sikap 

Setan Liang Makam terhadap Putri Kayangan, Tokoh-

tokoh Penghela Tandu sama pentang mata. Saat lain 

keempat laki-laki bertelanjang dada ini telah membuat 

gerakan yang membawa sosok mereka tahu-tahu telah 

tegak berjajar di samping Putri Kayangan.

Setan Liang Makam alihkan pandang matanya pada 

Tokoh-tokoh Penghela Tandu. Bersamaan itu tangan 

kirinya terangkat. Jari telunjuknya yang hanya meru-

pakan kerangka bergerak lurus dan menunjuk satu 

persatu pada Tokoh-tokoh Penghela Tandu.

***


LIMA


”Kudengar kalian ada yang buka mulut, akan kuja-

dikan mulut kalian membelah ke samping! Kalian den-

gar?!”

Tokoh-tokoh Penghela Tandu memang kancingkan 

mulut. Namun bersamaan dengan selesainya ucapan 

Setan Liang Makam, keempatnya langsung saja berge-

rak membentuk barisan. Dua berada di sebelah depan 

dan dua lainnya di sebelah belakang.

Melihat gelagat, Putri Kayangan segera berpaling 

dan memberi isyarat dengan gelengkan kepala. Hingga 

Tokoh-tokoh Penghela Tandu urungkan niat untuk la-

kukan serangan. Namun keempat orang ini tetap ber-

siap-siap dengan mata sama-sama mendelik ke arah 

Setan Liang Makam.

“Bagus! Nyatanya kau bukan gadis tolol! Mengerti 

tingginya langit dalamnya lautan! Tidak seperti anjing-

anjing gundul itu! Ha.... Ha.... Ha...! Mereka tidak mau 

tengadah mengukur tingginya langit! Mereka tidak 

mau menyelam melihat dalamnya laut! Hingga dia ti-

dak mengerti dengan siapa saat ini sedang berhada-

pan!” Setan Liang Makam tertawa bekakakan.

Tokoh-tokoh Penghela Tandu seperti hendak ter-

bang mendengar ucapan Setan Liang Makam. Namun 

Putri Kayangan segera palangkan tangan kanannya.

“Sahabat-sahabat.... Kuasai diri! Jangan termakan 

ucapannya! Kita tidak butuh permusuhan....”

Meski dengan dada panas dan berdebar keras, pada 

akhirnya Tokoh-tokoh Penghela Tandu kembali urung-

kan niat. Laki-laki bercelana kolor warna merah yang 

rupanya jadi pimpinan angkat tangan kanannya dan 

menunjuk pada Setan Liang Makam seraya buka mu


“Persetan siapa kau adanya! Saat ini kau berun-

tung. Namun lain saat jangan harap aku akan mem-

biarkan mulutmu terbuka seenaknya! Dan ingat, se-

baiknya kau menghindar bertemu denganku! Karena 

begitu kita bertemu, kau bernasib malang!”

Ancaman orang membuat Setang Liang Makam ma-

kin perkeras gelakan tawanya. Namun mendadak saja, 

laksana dirobek setan, Setan Liang Makam putuskan 

gelakan tawanya.

“Kita memang tidak akan bertemu lagi. Karena saat 

ini kalian akan segera kukirim ke neraka!”

Belum habis suara Setan Liang Makam, laki-laki 

yang tubuhnya hanya merupakan susunan kerangka 

ini telah sentakkan kedua tangannya.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang luar biasa dahsyat melesat ganas ke 

arah Tokoh-tokoh Penghela Tandu.

Terlambat bagi Putri Kayangan untuk mencegah. 

Karena bersamaan dengan melesatnya gelombang dari 

kedua tangan Setan Liang Makam, Tokoh-tokoh Peng-

hela Tandu telah angkat kedua tangan masing-masing. 

Lalu keempatnya bergerak saling bersilangan dengan 

tangan sama melepas pukulan.

Wuutt! Wuutt! Wuutt! Wuutt!

Empat gelombang angin mencuat dari dua laki-laki 

di sebelah depan. Tak lama kemudian empat gelom-

bang datang menyusul. Inilah jurus pertama dari ‘Ba-

risan Naga Iblis’. Dua orang menghadang terlebih da-

hulu serangan lawan kemudian dua lainnya segera 

menyusul. Dua pukulan yang menyusul ini selain un-

tuk membendung pukulan lawan yang tidak bisa diha-

dang dua orang yang pertama, namun juga untuk 

membuat lawan tidak punya kesempatan untuk laku-

kan susulan pukulan! Hingga jika lawan tidak memiliki 

kecepatan luar biasa, maka jelas lawan akan mengalami akibat fatal.

Blamm!

Terdengar letupan keras tatkala gelombang pukulan 

Setan Liang Makam bertemu dengan pukulan dua 

orang di bagian depan dari Tokoh-tokoh Penghela Tan-

du. Dua orang dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu tam-

pak berseru. Saat bersamaan sosok keduanya tersapu 

ke belakang hingga lima langkah. Sosok keduanya, 

yang ternyata adalah si celana kolor warna merah dan 

hitam terlihat bergetar keras dengan dada turun naik 

tak karuan serta mulut megap-megap.

Di seberang, Setan Liang Makam hanya bergoyang-

goyang sambil umbar tawa bergelak. Namun tawa Se-

tan Liang Makam tiba-tiba terputus. Sosoknya dilanda 

gelombang angin dahsyat hingga terpental sejauh dua 

tombak dan jatuh terduduki.

Setan Liang Makam rupanya memandang remeh 

lawan. Hingga selain hanya kerahkan sedikit tenaga 

dalam untuk lepas pukulan, dia juga tidak memperha-

tikan gerakan dua orang di belakang dan dua orang 

yang lepas pukulan di bagian depan. Kelengahannya 

ini membuat dirinya sangat terlambat untuk mengha-

dang pukulan yang menyusuli pukulan dua orang di 

bagian depan dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu. Hing-

ga tanpa ampun lagi sosoknya terhantam gelombang 

dari dua orang di bagian belakang!

Si celana kolor warna merah dan hitam segera ke-

rahkan tenaga dalam kembali. Mereka tampaknya su-

dah dilanda kemarahan akibat ucapan Setan Liang 

Makam. Hingga begitu melihat Setan Liang Makam ja-

tuh terduduk, laksana hendak terbang, kedua orang 

ini segera melesat.

“Tahan!” 

Tiba-tiba Putri Kayangan melompat dan memotong 

kelebatan sosok celana kolor warna merah dan hitam.


“Jangan menambah permusuhan! Kita selesaikan 

urusan ini dengan bicara baik-baik....”

Si celana kolor warna merah dari hitam memandang 

sesaat pada Putri Kayangan. “Aku tahu bagaimana 

menyelesaikan urusan ini tanpa harus ada....” Ucapan 

Putri Kayangan belum selesai, tiba-tiba terdengar sua-

ra dahsyat.

Si celana kolor warna merah mendelik. Tangan ka-

nannya segera mendorong tubuh Putri Kayangan, 

hingga sosok gadis cantik ini terjajar beberapa langkah 

ke samping. Saat yang sama, si celana kolor warna me-

rah dan hitam telah melesat ke depan. Dari atas udara 

kedua orang ini sentakkan tangan masing-masing ke 

depan, karena saat itu ternyata Setan Liang Makam te-

lah melepas kembali satu pukulan! Malah mungkin ka-

rena tidak mau ulangi lagi kesalahan, begitu lepas pu-

kulan ke arah celana kolor warna merah dan hitam, 

Setan Liang Makam melompat ke samping. Kedua tan-

gannya kembali bergerak lepaskan pukulan ke arah ce-

lana kolor warna kuning dan hijau yang baru saja 

membuat tubuhnya terpental dan jatuh terduduk.

Si celana kolor warna kuning dan hijau tidak tinggal 

diam. Dia segera pula lepas pukulan untuk mengha-

dang.

Untuk beberapa saat tempat itu dibuncah suara de-

ruan dahsyat melesatnya beberapa gelombang. Saat 

lain suara deruan berubah menjadi suara gelegar dua 

kali berturut-turut.

Sosok Setan Liang Makam tersurut satu langkah 

dan terhuyung-huyung oleng. Namun di seberang sa-

na, keempat laki-laki bertelanjang dada sama terpe-

lanting sebelum akhirnya sama terkapar di atas tanah. 

Darah tampak mengucur dari mulut masing-masing 

orang.

Tampaknya kali ini Tokoh-tokoh Penghela Tandu


yang lengah. Karena melihat Setan Liang Makam bisa 

mereka buat jatuh terduduk dalam satu kali gebrakan, 

membuat keempatnya lepas pukulan hanya dengan se-

tengah tenaga dalam yang mereka miliki. Di lain pihak, 

Setan Liang Makam tidak lagi berani main-main.

Begitu melihat Tokoh-tokoh Penghela Tandu terka-

par, Setan Liang Makam perdengarkan tawa panjang. 

Sosoknya bergerak melesat ke depan.

“Tunggu!” satu suara menahan. Bersamaan dengan 

itu satu bayangan melompat dan tegak menghadang 

lesatan sosok Setan Liang Makam.

“Tak ada gunanya hal ini diteruskan! Kita bicara 

baik-baik!”

Setan Liang Makam hentikan kelebatannya. Me-

mandang tajam pada orang yang menghadang yang 

ternyata bukan lain adalah Putri Kayangan.

“Baik! Kuampuni nyawa anjing-anjingmu itu! Tapi 

lekas jawab pertanyaanku tadi! Pesan yang harus kau 

sampaikan pada Pendeta Sinting!”

“Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam pesan 

itu...,” ujar Putri Kayangan.

“Setan alas! Aku butuh dengar pesan itu! Jangan 

berani menilai!” sentak Setan Liang Makam.

Tokoh-tokoh Penghela Tandu segera bangkit lalu 

kembali tegak berjajar dengan posisi dua di depan dan 

dua lainnya di belakang. Setan Liang Makam memper-

hatikan dengan sinis. Putri Kayangan segera memberi 

isyarat dengan angkat tangan kanannya.

“Guruku memberi pesan agar Pendeta Sinting da-

tang ke tempatnya! Hanya itu perlu ku menemui Pen-

deta Sinting!”

“Di mana tempat gurumu?!” tanya Setan Liang Ma-

kam.

“Lereng Gunung Semeru!”

Setan Liang Makam melotot memandang pada Putri


Kayangan. “Kau!” katanya seraya menunjuk lurus pa-

da Putri Kayangan. “Akan kubuktikan ucapanmu!” La-

lu tangannya bergerak ke arah Saraswati yang sedari 

tadi hanya diam. “Kau juga!” kata Setan Liang Makam. 

“Aku akan ke tempat yang kau tunjuk!” Lalu Setan 

Liang Makam arahkan telunjuk tangannya silih ber-

ganti pada Saraswati dan Putri Kayangan. “Jika uca-

pan kalian tidak benar, itu nasib buruk bagi kalian 

berdua!”

Habis berkata begitu, Setan Liang Makam arahkan 

tangannya pada Tokoh-tokoh Penghela Tandu. “Anjing-

anjing gundul! Kalian telah membuat lobang dengan 

Setan Liang Makam! Lobang itu tak akan tertutup se-

belum tubuh anjing kalian masuk ke dalamnya!”

Rupanya Putri Kayangan sudah dapat menduga apa 

yang akan dilakukan Tokoh-tokoh Penghela Tandu be-

gitu mendengar ucapan Setan Liang Makam. Hingga 

gadis cantik ini segera putar diri dan langsung berkata.

“Sahabat-sahabat.... Kuharap kalian bersabar!”

Tokoh-tokoh Penghela Tandu yang ternyata telah 

angkat tangan masing-masing sesaat saling berpan-

dangan. Lalu dengan menghela napas dalam mereka 

turunkan tangan.

Setan Liang Makam memperhatikan sekali lagi pada 

beberapa orang di tempat itu. Kejap lain, tanpa berkata 

apa-apa, dia berkelebat sambil perdengarkan suara ta-

toa panjang.

“Mengapa Putri mengatakan pesan serta tempat ke-

diaman Eyang Guru?!” Bertanya si celana kolor warna 

merah.

“Pesan dan tempat kediaman Guru tidak ada gu-

nanya bagi Setan Liang Makam! Karena bukan pesan 

atau tempat itu sebenarnya yang dicari!”

“Tapi kalau dia tidak menemukan Pendeta Sinting, 

dia akan datang ke lereng Semeru!” Kali ini yang ang


kat bicara adalah laki-laki bercelana hitam.

“Guru pasti dapat menyelesaikannya! Dan aku akan 

memberitahukan kejadian ini jika kelak berjumpa den-

gan Pendeta Sinting! Dengan begitu dia pasti akan me-

nunda menemui Guru....”

Putri Kayangan melangkah mendekati Saraswati. 

“Kau mengatakan yang sebenarnya pada orang itu ta-

di?!”

Kecemburuan Saraswati semakin dalam begitu 

mendengar pertanyaan Putri Kayangan. “Dia seolah 

menganggap sepele apa yang baru saja menimpa para 

pembantunya. Dan sangat mengkhawatirkan sekali 

akan keselamatan pemuda itu! Aku ingin tahu sampai 

di mana hubungan antara mereka!” Saraswati memba-

tin. Lalu berkata.

“Kematian pemuda jahanam itu akan mengobatiku 

meski sebenarnya aku masih merasa kecewa jika bu-

kan tanganku sendiri yang memutus selembar nya-

wanya!”

“Gila! Jadi kau mengatakan yang sesungguhnya 

tentang tempat murid Pendeta Sinting berada?!” tanya 

Putri Kayangan dengan wajah berubah.

Saraswati tersenyum seraya anggukkan kepala. 

“Apa boleh buat!”

Putri Kayangan menghela napas panjang dengan 

wajah dipalingkan. “Seharusnya kau tadi menuruti 

permintaanku!”

“Permintaanmu lain dengan tujuanku! Dan kurasa 

tidak ada yang perlu disesalkan dalam hal ini!”

“Benar! Tapi aku menangkap ada kejanggalan da-

lam hal ini!”

“Tapi aku tidak melihat adanya hal itu! Aku berte-

mu dengan pemuda jahanam itu dan mata kepalaku 

melihat sendiri di tangannya menggenggam sekuntum 

bunga bersinar tiga warna! Apanya yang janggal?”


Putri Kayangan gelengkan kepala perlahan. “Kau 

tak tahu apa sebenarnya yang terjadi....”

Saraswati tertawa panjang. “Aku mengalaminya 

sendiri! Bagaimana mungkin kau mengatakan aku ti-

dak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi?! Kau ini 

aneh.... Aku menduga ada apa-apa antara kau dengan 

pemuda keparat itu!”

Putri Kayangan terkejut. “Kau cemburu padaku?!”

Saraswati tidak menjawab atau memberi isyarat se-

bagai jawaban atas pertanyaan Putri Kayangan. Putri 

Kayangan sendiri sebenarnya menunggu jawaban. Ha-

tinya gelisah. Namun setelah ditunggu agak lama Sa-

raswati tidak juga memberi jawaban, akhirnya Putri 

Kayangan angkat bicara.

“Aku akan cerita padamu. Kau boleh percaya boleh 

juga tidak!” Putri Kayangan alihkan pandang matanya 

jauh ke depan sana seraya lanjutkan ucapan. “Aku 

punya seorang saudara kembar yang wajah maupun 

pakaiannya persis denganku! Dia juga bersama empat 

orang laki-laki sahabatnya yang juga adalah saudara 

empat sahabatku itu!”

Sesaat Putri Kayangan hentikan keterangannya. Sa-

raswati sejenak tampak terkesima mendengar penutu-

ran Putri Kayangan. Namun sejauh ini dia belum me-

nyahut. Hingga Putri Kayangan lanjutkan keterangan.

“Aku tahu bagaimana tindakan saudara kembar ku

itu! Itulah salah satu tujuanku turun dari lereng Se-

meru. Beberapa waktu berselang, aku sempat berjum-

pa dengan murid Pendeta Sinting! Dia bersama seo-

rang tokoh yang kukenal dengan gelar Datuk Wahing. 

Ternyata murid Pendeta Sinting baru kehilangan Pe-

dang Tumpul 131! Anehnya begitu aku muncul, dia 

langsung menuduh akulah yang mengambil pedang-

nya!”

Kembali Putri Kayangan hentikan keterangan. Sementara Saraswati tampak makin bingung. Namun be-

lum berusaha mengutarakan apa yang ada dalam ha-

tinya. Dia tetap menunggu sampai nanti Putri Kayan-

gan selesaikan keterangannya.

“Setelah murid Pendeta Sinting menerangkan du-

duk persoalannya, aku baru bisa menebak siapa ge-

rangan yang mengambil senjata miliknya! Dia bukan 

lain adalah saudaraku sendiri!”

Putri Kayangan hentikan ucapan. Kali ini dia agak 

lama tak berkata lagi. Hingga Saraswati akhirnya buka 

mulut.

“Dari keteranganmu, kurasa tidak ada yang janggal! 

Kau telah menduga pedang itu diambil oleh saudara 

kembar mu sendiri! Berarti orangnya sudah jelas!”

Putri Kayangan gelengkan kepala. “Ada yang belum 

kukatakan....” Putri Kayangan alihkan pandang ma-

tanya pada Saraswati. “Saat ini hampir semua kalan-

gan rimba persilatan telah mendengar jika Kembang 

Darah Setan berada di tangan murid Pendeta Sint-

ing....”

“Aku bukan hanya mendengar! Tapi aku telah meli-

hatnya sendiri!” Saraswati menyahut.

“Di sinilah kejanggalan itu!”

“Maksudmu...?!”

“Kalau benar Kembang Darah Setan telah berada di 

tangan murid Pendeta Sinting, tentu saudara kembar

ku tidak sia-siakan kesempatan hanya dengan men-

gambil pedangnya dan meninggalkan Kembang Darah 

Setan! Siapa pun tahu, Kembang Darah Setan adalah 

sebuah senjata dahsyat! Kalau saudaraku bisa men-

gambil Pedang Tumpul 131 aku yakin dia tidak akan 

kesulitan mengambil Kembang Darah Setan!”

Putri Kayangan kembali alihkan pandangan. Lalu 

berkata lagi.

“Kalau benar murid Pendeta Sinting memiliki Kembang Darah Setan, saat itu juga pasti dia terus terang 

akan mengatakan juga jika Kembang Darah Setan di 

tangannya juga lenyap! Anehnya, murid Pendeta Sint-

ing tidak mengatakan kehilangan Kembang Darah Se-

tan! Ini membuatku yakin bahwa sebenarnya dia tidak 

memiliki Kembang Darah Setan!”

“Bisa saja dia tidak mengatakan kehilangan Kem-

bang Darah Setan! Karena takut akan banyak orang 

memburu saudara kembar mu!” ujar Saraswati.

“Dalam keadaan panik kehilangan pedangnya, tidak 

mungkin murid Pendeta Sinting mampu menyembu-

nyikan rasa kecewanya dengan hilangnya Kembang 

Darah Setan jika benda itu memang ada di tangannya!”

“Dia pandai bicara dan bersikap pura-pura! Banyak 

orang yang selama ini tertipu dengan sikapnya! Tidak 

terkecuali aku! Lebih dari itu, mataku tidak mungkin 

berdusta! Aku benar-benar melihatnya menggenggam 

Kembang Darah Setan!”

“Itulah yang ku maksud dengan kejanggalan itu! 

Kau melihatnya menggenggam Kembang Darah Setan! 

Sementara aku yakin dia tidak memiliki Kembang Da-

rah Setan! Jadi ada yang tidak beres di sini!”

“Aku tidak menganggap itu sebagai satu hal yang 

janggal! Aku melihat dengan mata sementara kau 

hanya dengan keyakinan! Melihat dengan mata pasti 

benar! Tapi melihat dengan keyakinan belum tentu be-

nar!”

Putri Kayangan akhirnya terdiam. Sementara Sa-

raswati tersenyum lalu berkata.

“Kulihat dari tadi kau selalu mengkhawatirkan jiwa 

pemuda itu! Kau tahu di mana dia berada! Sementara 

saat ini ada orang yang menginginkan jiwanya! Menga-

pa kau tidak segera ke sana?!”

Habis berkata begitu, Saraswati berkelebat. Kali ini 

Putri Kayangan tidak lagi menahan Saraswati. Dia


hanya memandang dengan perasaan gundah. “Apa 

yang harus kulakukan sekarang? Ke tempat pemuda 

itu sesuai petunjuk dari pemuda berkumis tipis yang 

menyamar itu?! Perjalanan ke Jurang Tlatah Perak ra-

sanya tidak perlu lagi karena orangnya tidak ada.... 

Hem.... Sebaiknya....” Putri Kayangan balikkan tubuh. 

Lalu melangkah mendekati Tokoh-tokoh Penghela 

Tandu.

“Kita batalkan ke Jurang Tlatah Perak. Kita menuju 

ke Bukit Wonoayu!”

“Putri.... Kau percaya dengan ucapan pemuda itu 

tadi?!” tanya si celana kolor warna merah.

“Kita ke sana untuk membuktikan benar tidaknya 

ucapannya!”

Putri Kayangan melompat. Saat lain gadis cantik ini 

telah masuk ke dalam tandu yang diletakkan di atas 

tanah.

Begitu Putri Kayangan masuk ke dalam tandu, To-

koh-tokoh Penghela Tandu serentak berkelebat. Tak 

lama kemudian, keempat laki-laki berkepala gundul 

bertelanjang dada ini telah berlari-lari dengan pundak 

masing-masing memanggul dua batangan bambu yang 

tepat di tengahnya terdapat tandu berkain merah.

***

ENAM



Bayangan putih itu hentikan kelebatannya di tepi 

sebuah sungai. Memandang ke depan dia hanya meli-

hat hamparan sungai beriak yang di sana sini terdapat 

beberapa tonjolan batu. Di seberang sungai tampak 

sebuah bukit kecil. Jauh di sebelah barat terlihat lembah luas gersang.

Si bayangan putih angkat tangannya mengusap wa-

jah. Dia adalah seorang perempuan berusia sangat lan-

jut. Seluruh wajahnya telah mengeriput dan hanya di-

bungkus lapisan daging tipis. Hingga yang tampak 

menonjol adalah tengkorak wajahnya. Sepasang ma-

tanya besar. Dan mungkin demikian tuanya, rambut 

nenek ini hanya tinggal merupakan bulu-bulu halus 

berwarna putih. Hingga jika tidak dilihat secara sek-

sama, kepala nenek ini seperti gundul plontos. Dia 

mengenakan pakaian putih panjang.

“Aku belum bisa memutuskan langkah apa yang 

kulakukan sekarang. Maladewa ternyata diberi takdir 

baik. Dia bisa selamat keluar dari Kampung Setan. 

Hanya saja aku merasa menyesal.... Mengapa Kem-

bang Darah Setan kudengar raib dari tangannya!” Si 

nenek membatin. Dia memandang riakan air sungai 

seraya menghela napas dalam. “Siapa sebenarnya yang 

memegang Kembang Darah Setan saat ini? Kabar ten-

tang Pendekar 131 yang katanya memegang Kembang 

Darah Setan nyatanya hanya omong kosong! Aku telah 

bertemu dengan pemuda itu. Dari pancaran tubuhnya, 

aku sudah bisa memastikan kalau dia tidak memiliki 

Kembang Darah Setan! Hem.... Sayangnya aku belum 

bisa bertemu dengan Maladewa! Cucuku malang.... 

Seandainya kau tidak keburu nafsu dan menunggu

sampai upacara penyerahan, tentunya peristiwa ini ti-

dak akan terjadi! Dan nama Kampung Setan sudah 

pasti akan menjulang seperti pada beberapa puluh ta-

hun silam....”

Si nenek yang tidak lain adalah Nyai Suri Agung, 

nenek Maladewa yang sekarang telah bergelar Setan 

Liang Makam arahkan kepala menghadap lembah ger-

sang di seberang barat.

“Usiaku sudah begini lanjut. Tak mungkin aku melakukan pekerjaan ini sendiri! Dan ini memang bukan 

menjadi hakku! Ini hak Maladewa untuk melakukan-

nya! Tapi tanpa Kembang Darah Setan apa bisa?!” Nyai 

Suri Agung kembali menghela napas panjang. Paras 

wajahnya jelas membayangkan perasaan menyesal dan 

kecewa.

“Ah.... Apa hendak dikata. Takdir memang sudah 

mengharuskan demikian! Tanpa atau dengan Kembang 

Darah Setan di tangannya, aku harus menyampaikan 

amanat ini pada Maladewa! Aku akan merasa berdosa 

kalau tidak mengatakannya! Terserah setelah itu apa 

yang hendak dilakukan Maladewa! Yang penting aku 

sudah menyampaikan amanat nenek moyang.... Sece-

pat mungkin aku harus menemukan Maladewa!”

Membatin sampai di situ, akhirnya Nyai Suri Agung 

berniat meninggalkan tepian sungai. Namun belum 

sampai nenek ini lakukan apa yang telah diputuskan, 

telinganya yang tajam bisa met ungkap kelebatan se-

seorang menuju arah sungai di mana saat itu si nenek 

berada.

Tanpa gerakkan kepala berpaling pada arah da-

tangnya orang, Nyai Suri Agung angkat kedua tangan-

nya dirangkapkan di depan dada. Saat yang sama se-

pasang matanya dipejamkan.

Nyatanya Nyai Suri Agung tidak menunggu lama. 

Baru saja sepasang matanya memejam, dari arah ti-

mur tampak satu bayangan berlari cepat. Hanya bebe-

rapa saat bayangan itu telah berada sejarak lima belas 

langkah di belakang Nyai Suri Agung dan tegak dengan 

mata memandang tak berkesip.

“Aku sepertinya mengenali pakaian yang dikenakan 

manusia itu! Apakah memang dia?!” Orang yang baru 

muncul di belakang sana membatin.

Dan baru saja orang di belakang membatin, Nyai 

Suri Agung telah perdengarkan suara.


“Katakan siapa kau dan apa gelarmu jika punya!” 

Suara si nenek terdengar berat dan parau. Malah sua-

ra itu seperti menggema ke seantero tempat itu!

Orang di belakang sana terkesiap dan langsung su-

rutkan langkah satu tindak. Bukan karena teguran 

orang, melainkan suara itu mengingatkannya pada se-

seorang yang sangat dikenal!

“Dari suaranya aku hampir yakin memang dia! Apa 

dia sengaja menungguku di sini?! Dari mana dia tahu 

aku akan datang ke tempat ini?! Hem.... Tapi ini satu 

rezeki besar bagiku....”

“Kau dengar perintahku, Manusia! Lekas jawab!” 

Nyai Suri Agung kembali perdengarkan teguran.

“Aku Setan Liang Makam! Dan siapa aku tentu kau 

telah mengenalnya!” jawab orang di belakang sana 

yang ternyata adalah seorang laki-laki berambut awut-

awutan dengan sekujur tubuh hanya merupakan ke-

rangka tanpa dilapis daging sama sekali dan tidak lain 

memang Setan Liang Makam adanya.

Suara jawaban orang belum selesai, Nyai Suri 

Agung telah putar diri. Namun ia belum buka kelopak 

matanya meski telah beberapa saat menghadap orang. 

Dia sengaja ingin memberitahukan pada orang siapa 

dirinya!

Walau sudah dapat menduga, namun begitu Nyai

Suri Agung putar diri menghadap, tak urung Juga Se-

tan Liang Makam masih terkesima.

Perlahan-lahan Nyai Suri Agung buka kelopak ma-

tanya. Bola mata itu untuk beberapa lama memperha-

tikan orang dari atas hingga bawah.

“Aku tidak mengenalmu! Tapi aku memang pernah 

dengar suaramu! Katakan siapa kau sesungguhnya!” 

kata Nyai Suri Agung.

Setan Liang Makam bukannya menjawab perta-

nyaan orang, melainkan melangkah perlahan-lahan


mendekati Nyai Suri Agung.

“Jangan berani mendekat sebelum kau katakan 

siapa kau sebenarnya!”

Setan Liang Makam tidak pedulikan ancaman si 

nenek. Dia teruskan langkah dan berhenti empat lang-

kah di hadapan Nyai Suri Agung. Setan Liang Makam 

sengaja tegak dengan kancingkan mulut dan hanya 

memandang pada si nenek.

“Kalau kau tak mengerti bahasa ucapan, aku akan 

mengajarimu bahasa tangan!” kata Nyai Suri Agung 

sudah mulai geram melihat sikap orang.

“Kau lupa padaku?!” tanya Setan Liang Makam.

“Kau telah dengar! Aku memang mengenali suara-

mu tapi aku tidak kenal siapa dirimu!”

“Kau pernah merasa punya seorang cucu?!” kembali 

Setan Liang Makam bertanya.

“Hem.... Suaranya jelas dia. Tapi rupanya.... Dan 

ucapannya tadi.... Apakah yang di hadapanku ini Ma-

ladewa?!” Nyai Suri Agung menduga-duga.

“Aku memang punya cucu, tapi namanya bukan Se-

tan Liang Makam!”

Setan Liang Makam kembali melangkah. Dan tiba-

tiba dia jatuhkan diri berlutut di hadapan Nyai Suri 

Agung.

“Eyang Guru.... Aku adalah Maladewa.... Murid dan 

cucumu....”

Nyai Suri Agung laksana tersedak. Dia arahkan 

pandang matanya ke bawah memperhatikan pada so-

sok Setan Liang Makam yang duduk berlutut. Kepa-

lanya menggeleng perlahan. Dan seolah tidak sadar 

mulutnya membuka.

“Apakah benar kau cucuku si Maladewa...?”

“Aku minta maaf atas tindakanku padamu pada pu-

luhan tahun silam.... Kini aku baru sadar akan kekeli-

ruan ku....” Suara Setan Liang Makam terdengar serak.


Nyai Suri Agung bungkukkan sedikit tubuhnya lalu 

menarik pundak Setan Liang Makam hingga laki-laki 

ini berdiri.

“Kau tak perlu minta maaf. Aku maklum akan apa 

yang kau lakukan! Kau saat itu masih muda dan men-

dengar hasutan dari kanan kiri sebelum kau siap me-

nerimanya! Hanya sebenarnya aku sangat menyesal 

sekali. Mengapa hal itu harus terjadi.... Padahal kau 

telah dipersiapkan sejak lama untuk menjunjung kem-

bali harkat kebesaran keluarga! Tapi sudahlah.... Se-

muanya sudah terjadi....”

Nyai Suri Agung arahkan pandang matanya pada 

riakan air di depan sana. “Aku tidak menduga kalau 

kita dipertemukan di sini! Lebih-lebih aku tidak men-

duga kalau kau sudah sangat berubah....”

“Ini karena keadaanku yang terkubur di makam ba-

tu itu!”

“Maladewa.... Ada sesuatu yang harus kusampaikan 

padamu! Sebenarnya hal ini harus kukatakan padamu 

pada beberapa tahun silam. Namun karena keadaan 

tak memungkinkan, terpaksa baru saat ini kukatakan! 

Tapi sebelumnya aku ingin tanya padamu!”

Maladewa alias Setan Liang Makam sedikit kaget

dan menduga-duga. Sementara Nyai Suri Agung ber-

paling dan angkat suara lagi.

“Di mana Kembang Darah Setan?!”

Setan Liang Makam tampak gelagapan. Nyai Suri 

Agung memperhatikan dengan mata menyipit.

“Benda itu diambil seorang pemuda....”

“Aku ingin mendengar bagaimana sampai Kembang 

Darah Setan bisa diambil orang!” kata Nyai Suri Agung 

dengan suara agak tinggi. Nadanya jelas mengandung 

kemarahan.

“Sebagaimana yang kau ucapkan, setelah aku ma-

suk ke dalam makam batu, ternyata semuanya benar!


Begitu aku berada di dalam makam batu selama ham-

pir tiga puluh enam tahun, pada satu saat, tiba-tiba 

saja ada seseorang yang muncul dan mau membe-

baskan aku! Aku bertanya padanya. Ternyata dia tahu 

rahasia bagaimana caranya membongkar makam batu! 

Hanya saja, sebagai imbalannya, dia meminta Kem-

bang Darah Setan! Karena aku masih ingin hidup, ter-

paksa aku menyetujui permintaannya!” Setan Liang 

Makam memberi keterangan tanpa berani memandang 

ke arah Nyai Suri Agung. (Lebih jelasnya tentang ba-

gaimana Maladewa bisa keluar dari makam batu, sila-

kan baca serial Joko Sableng dalam episode : “Kem-

bang Darah Setan”).

“Siapa pemuda yang mengambil Kembang Darah 

Setan itu?!”

“Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng!”

Nyai Suri Agung mendengus. “Kau jangan berdusta 

padaku, Maladewa!”

“Nek! Aku memang bukan cucu yang baik! Tapi da-

lam hal ini aku berkata jujur!”

“Kau masih dusta, Maladewa!”

“Nek! Dalam keadaan seperti sekarang ini tak ada 

untungnya berkata dusta padamu! Pemuda itu adalah

Pendekar 131 Joko Sableng!”

Nyai Suri Agung gelengkan kepala. “Aku telah ber-

temu dengan Pendekar 131 Joko Sableng! Dari panca-

ran tubuhnya aku sudah bisa mengatakan dengan 

pasti jika pemuda itu tidak memegang Kembang Darah 

Setan! Maladewa! Katakan dengan jujur, siapa yang 

mengambil Kembang Darah Setan!”

“Nek! Terserah kau mau percaya atau tidak! Bang-

sat itu adalah Pendekar 131!”

Nyai Suri Agung menghela napas dalam. “Dalam 

rimba persilatan memang tersiar kabar jika Kembang 

Darah Setan berada di tangan Pendekar 131 Joko Sableng. Maladewa pun seakan yakin kalau pemuda itu 

yang mengambilnya! Tapi aku tetap pada keyakinanku 

kalau pemuda itu tidak membawa Kembang Darah Se-

tan! Hem.... Bagaimana hal ini bisa terjadi?!” Nyai Suri 

Agung berkutat dengan batinnya sendiri.

“Cucuku, Maladewa.... Kau pernah berjumpa den-

gan pemuda itu?!”

“Semenjak keluar dari makam batu, aku pernah se-

kali berjumpa dengannya! Sayang saat itu dia bisa lo-

los! Tapi aku telah bersumpah untuk mencarinya! Dan 

kini aku tahu di mana dia berada!”

“Coba katakan di mana dia berada!” kata Nyai Suri 

Agung.

Setan Liang Makam angkat tangan kanannya lalu 

ditunjukkan pada bukit di seberang sungai.

Nyai Suri Agung tampak sedikit heran. “Dari mana 

kau dapatkan keterangan jika Pendekar 131 berada di 

bukit itu?!”

“Dari seorang pemuda yang sempat kutemui tidak 

jauh dari tempat ini!” Setan Liang Makam lalu mence-

ritakan pertemuannya dengan Saraswati dan Putri 

Kayangan.

“Kau terlalu percaya pada orang yang belum kau 

kenal, Cucuku! Kau lupa. Dunia di mana kita sekarang 

berada adalah dunia persilatan. Dunia yang seharus-

nya tidak boleh begitu saja percaya pada orang! Karena 

di dalamnya kebohongan dan fitnah merupakan hal 

yang lumrah! Seharusnya kau belajar dari apa yang 

pernah kau alami! Kau pernah dikhianati oleh orang 

yang kau percaya hingga kau sendiri akhirnya terje-

rumus masuk ke dalam makam batu! Kau tahu, Cu-

cuku.... Tanpa ke bukit itu, aku sudah bisa memasti-

kan kalau di sana tidak ada seorang pun!”

“Hem.... Aku mengenal betul siapa dia! Ucapannya 

tidak pernah melesat!” kata Setan Liang Makam dalam


hati. Mendadak saja paras wajah Setan Liang Makam 

berubah. Sepasang matanya mendelik angker. Tulang 

pelipisnya bergerak-gerak.

“Jahanam itu telah berkata dusta padaku! Dia tidak 

tahu! Dia tidak tahu dengan siapa dia berani main-

main! Lebarnya dunia akan kubuat sempit bagi lang-

kahnya! Dalamnya laut akan kubuat sejengkal bagi 

tempat persembunyiannya!” Setan Liang Makam hen-

takkan kaki. Tanah di tempat itu kontan bergetar ke-

ras dan tanahnya muncrat!

Nyai Suri Agung menggeleng. “Percuma kau me-

nyumpah-nyumpah, Cucuku! Semuanya sudah telan-

jur! Yang penting, mulai saat ini kau tidak boleh per-

caya pada siapa pun! Bahkan pada keyakinanmu sen-

diri jika kau belum melihat dengan mata kepalamu!”

Setan Liang Makam coba menindih gejolak hawa 

kemarahan. Lalu berkata dengan dada masih bergerak 

turun naik pertanda belum sepenuhnya dia dapat kua-

sai diri.

“Nek! Kau tadi mengatakan hendak menyampaikan 

sesuatu...!”

“Cucuku.... Sebenarnya hal ini kusampaikan ketika

Kembang Darah Setan berada di tanganmu! Namun 

mengingat usiaku sudah terlalu tua, dan jika menung-

gu Kembang Darah Setan aku khawatir terlambat, ma-

ka meski dengan tanpa Kembang Darah Setan di tan-

ganmu, hal ini harus kusampaikan....” Nyai Suri Agung 

sesaat hentikan ucapannya Setelah menarik napas dia 

teruskan ucapan.

“Kau kembalilah ke Kampung Setan. Hancurkan al-

tar batu putih di dekat makam batu di mana kau per-

nah terkubur!”

Setan Liang Makam mendengarkan dengan seksa-

ma. Begitu Nyai Suri Agung hentikan ucapan, dia ang-

kat bicara.


“Nek.... Bukankah altar itu hanya sebagai pembuka 

makam batu?!”

“Itu jika diinjak! Tapi kalau dihancurkan, kau akan 

menemukan hal lain! Tapi ada satu hal yang harus 

kau ingat, Maladewa! Lakukan apa yang kukatakan ji-

ka kau telah mendapatkan kembali Kembang Darah 

Setan! Jika tidak, kau hanya akan mengalami kecewa! 

Karena kau tak akan mendapatkan apa-apa!”

“Nek.... Sebenarnya ada apa di sana?!”

Nyai Suri Agung gelengkan kepala. “Aku tidak bisa 

mengatakannya! Kau sendiri kelak akan mengeta-

huinya! Hanya aku bisa memastikan, jika kau telah 

berhasil maka kejayaan Kampung Setan akan kembali! 

Dan kaulah satu-satunya tumpuan dalam urusan ini!”

Nyai Suri Agung putar tubuh. “Cucuku.... Sekarang 

kau harus cepat mendapatkan kembali Kembang Da-

rah Setan! Dan kau harus ingat. Jangan termakan 

dengan berita yang kini tersebar dalam rimba persila-

tan! Setiap orang harus kau curigai! Sekarang aku ha-

rus pergi....”

“Nek! Tunggu!” tahan Setan Liang Makam, membuat 

Nyai Suri Agung urungkan niat untuk tinggalkan ping-

giran sungai.

“Boleh aku minta sesuatu padamu?!”

“Aku sudah tidak punya sesuatu yang pantas kube-

rikan padamu, Cucuku! Dan keterangan yang baru sa-

ja kau dengar sudah lebih berharga dari segalanya!”

“Kau masih memiliki ilmu ‘Pantulan Tabir’...!”

“Kau ingin aku mampus sekarang?!” tanya Nyai Suri 

Agung.

“Nek.... Apa maksudmu?!”

“Ilmu itu hanya bisa diwariskan pada satu orang! 

Begitu diwariskan pada orang kedua, maka yang me-

wariskan akan menemui ajal!”

Setan Liang Makam memaki dalam hati. Lalu berujar pelan dengan nada marah.

“Kalau begitu, berarti nenek telah berbuat ceroboh!

Nenek telah mewariskan ilmu langka itu pada Galaga

yang sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa dengan 

kita!”

Nyai Suri Agung sedikit belalakkan mata. Masih 

tanpa memandang pada Setan Liang Makam, si nenek 

berkata.

“Kau jangan menyalahkan aku, Maladewa! Galaga 

memang tidak punya hubungan apa-apa dengan kita! 

Namun sebenarnya dia kupersiapkan untuk memban-

tumu jika saatnya datang! Aku mewariskan ilmu ‘Pan-

tulan Tabir’ padanya karena aku yakin kau akan men-

dapatkan yang lebih daripada yang kuberikan pada 

Galaga! Sayangnya.... Semua rencana itu harus buyar 

akibat nafsumu yang tidak mau bersabar! Seandainya 

kau saat ini tidak tergesa-gesa, tentu saat ini kita tidak 

begini!”

“Nek.... Apa Galaga juga telah tahu apa yang baru 

kau katakan tadi?!”

“Cucuku...! Hubungan ku dengan Galaga hanya

terbatas sebagai murid dan guru! Sementara kau ada-

lah cucuku! Aku dapat memisahkan mana yang harus 

kukatakan pada murid dan mana yang harus kukata-

kan pada cucuku sendiri!”

“Berarti dia tidak tahu tentang rahasia batu altar 

itu! Tapi bukan berarti aku akan membiarkannya hi-

dup!” ujar Setan Liang Makam.

“Maladewa.... Kau tahu, jika begini perjalanan yang 

harus kita tempuh, sebenarnya aku merasa menyesal 

mewariskan ilmu itu pada Galaga. Tapi sudahlah.... 

Semuanya sudah terjadi! Aku menyerahkan semuanya 

padamu! Kalau kau anggap Galaga sebagai perintang, 

kau tahu apa yang harus kau lakukan, begitu pula se-

baliknya!”


“Nek.... Apa tidak sebaiknya kita bersama-sama 

mencari Kembang Darah Setan?!”

“Kembang Darah Setan telah kuserahkan padamu! 

Kau yang harus menjaga sekaligus mendapatkannya 

kembali jika benda itu lolos dari tanganmu! Aku sema-

ta-mata hanya sebagai perantara dan penunjuk!”

Dada Setan Liang Makam kembali bergerak turun 

naik. Nyai Suri Agung rupanya bisa menangkap apa 

yang melanda dada cucunya.

“Maladewa.... Aku tahu, kau mungkin merasa tidak 

suka dengan perkataan ku tadi! Tapi kau harus mak-

lum, itu adalah yang harus kukatakan! Dan kau jan-

gan menganggap ucapanku tadi sebagai isyarat aku 

cuci tangan! Tidak, Cucuku.... Aku akan tetap mem-

bantumu sekuat apa yang ku bisa! Dan kau harus pa-

ham. Demi keluarga, apa pun akan kulakukan! Meski 

harus membunuh murid sendiri!”

Nyai Suri Agung tengadahkan kepala. “Lekas da-

patkan kembali Kembang Darah Setan! Kita bangun 

kembali puing kehancuran Kampung Setan agar bisa

tegak jaya sebagaimana puluhan tahun silam!”

Masih dengan mendongak, Nyai Suri Agung perla-

han-lahan melangkah. Setan Liang Makam melompat 

dan tegak di samping neneknya.

“Nek! Sekarang hendak ke mana kau pergi?!”

“Kau punya urusan yang harus segera kau lakukan! 

Aku pun punya urusan yang juga harus kulaksana-

kan!”

Habis berkata begitu, Nyai Suri Agung luruskan ke-

pala. Saat bersamaan nenek ini gerakkan kaki. Sosok-

nya melesat dan kejap lain telah berada di depan sana 

sebelum akhirnya lenyap dari pandangan Setan Liang 

Makam.

Setan Liang Makam putar kepala ke arah bukit di 

seberang sungai. Dadanya tiba-tiba bergetar keras.


“Aku tidak akan lagi percaya pada mulut orang! Semu-

anya penipu busuk! Penipu busuk!”

Saking marahnya, Setan Liang Makam hantamkan 

kedua tangannya ke aliran sungai di hadapannya.

Byurr! Byurr!

Air sungai muncrat sampai dua tombak ke udara. 

Lamping tanah pinggiran sungai longsor terkena ge-

lombang riak air tatkala muncratan air itu menghem-

pas kembali. Dan begitu aliran sungai telah mengalir 

tenang kembali, sosok Setan Liang Makam sudah tidak

kelihatan lagi.

***

TUJUH



Dua orang itu duduk bersila saling berhadapan di 

sebuah tempat sepi di pinggiran hutan. Saat itu mata-

hari sudah lama tenggelam. Bentangan langit hanya 

disemaraki titik-titik bintang tanpa cahaya sang rem-

bulan, hingga dua orang yang duduk bersila di pinggi-

ran hutan itu laksana bayang-bayang hitam pantulan 

batangan pohon yang banyak berjajar di sekitar jala-

nan menuju hutan.

Walau suasana kelam dan sepi, namun sesekali dua 

orang itu tampak gerakkan kepala ke samping kanan 

kiri dengan mata mementang. Jelas memberi tanda ka-

lau keduanya waspada dan sepertinya mereka tidak 

ingin diketahui orang lain.

“Pasti ada satu hal yang amat penting hingga kau 

mengajakku bertemu di sini di luar rencana kita!” 

Orang yang duduk di sebelah kanan angkat bicara 

dengan suara pelan setengah berbisik setelah yakin 

tempat di mana mereka berada aman dari mata dan telinga orang lain.

Orang yang duduk di sebelah kanan adalah seorang 

laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian warna hi-

tam. Rambutnya putih panjang sebahu. Sepasang ma-

tanya besar agak sayu. Pada cuping laki-laki ini tam-

pak melingkar anting-anting dari benang berwarna me-

rah. Kumis dan jenggotnya yang lebat juga telah ber-

warna putih.

“Benar! Ada sesuatu yang harus kita bicarakan!” 

sahut orang satunya dengan suara pelan pula. Orang 

ini juga adalah laki-laki berusia lanjut. Pakaian yang 

dikenakan juga berwarna hitam. Rambutnya telah pula

berwarna putih dan panjang sebahu.

Seandainya saat itu ada orang yang melihat, pasti 

orang itu cepat bisa menebak jika dua laki-laki yang 

duduk bersila masih ada hubungan darah. Karena pa-

ras wajah kedua laki-laki itu hampir tak bisa dibeda-

kan. Kalaupun ada yang menunjukkan jika keduanya 

berlainan, itu hanyalah anting pada cuping hidung sa-

lah satu dari mereka. Laki-laki yang duduk di sebelah 

kanan mengenakan anting pada cuping hidungnya, 

sementara laki-laki yang duduk di hadapannya tidak 

mengenakan anting pada cuping hidungnya.

Laki-laki sebelah kanan memandang jauh lalu buka 

suara. “Meski tempat ini sepi dan aman, namun setiap 

waktu kita tidak boleh lengah! Kuharap kau segera 

mengatakan apa yang harus kita bicarakan!”

“Lidah Wetan.... Beberapa waktu berselang, aku 

bertemu dengan seorang laki-laki yang sebutkan diri 

sebagai Kiai Tung-Tung. Walau aku yakin dia berdusta 

tentang namanya, tapi keterangannya tidak bohong....”

Laki-laki yang dipanggil Lidah Wetan, dan ternyata 

bukan lain adalah Kiai Lidah Wetan, berpaling mena-

tap pada laki-laki di hadapannya.

“Laras.... Kau jangan mudah mempercayai keterangan orang apalagi kau menduga dia berkata dusta ten-

tang siapa namanya! Tapi.... Coba kau katakan kete-

rangan apa yang kau peroleh dari orang itu...,” ujar 

Kiai Lidah Wetan.

Orang yang disebut Laras, dan tidak lain adalah 

Kiai Laras edarkan pandang matanya sesaat sebelum 

akhirnya bersuara.

“Dia membawa pesan yang harus disampaikan pada 

Pendekar 131 Joko Sableng!”

Kiai Lidah Wetan sedikit terkejut. “Apa pesannya?!”

Kiai Laras gelengkan kepala. “Dia tidak mau menga-

takan isi pesan itu....”

“Lalu apa gunanya kita bicarakan kalau dia tidak

mau mengatakan isi pesan itu?!” kata Kiai Lidah Wetan 

menukas ucapan Kiai Laras. (Tentang Kiai Lidah We-

tan dan Kiai Laras, silakan baca serial Joko Sableng 

dalam episode : “Kembang Darah Setan”).

“Orang itu tidak mau mengatakan isi pesan itu ka-

rena dia sendiri tak tahu apa isi pesan yang harus dis-

ampaikannya pada Pendekar 131! Dia hanya perlu 

memberi tahu pada Pendekar 131, jika dia harus pergi 

ke pesisir utara bagian barat dekat dengan sebuah te-

luk!”

“Kukira hal itu tidak begitu penting, Laras...! Ren-

cana kita sudah sampai di pertengahan jalan! Jangan 

masukkan rencana baru yang pada akhirnya dapat 

merusak rencana yang hampir berhasil ini! Sekarang 

kita tinggal mencari siapa gerangan yang saat ini dicari 

Setan Liang Makam yang tentu ada hubungannya den-

gan rahasia di balik Kembang Darah Setan!”

“Lidah Wetan! Kalau seorang pendekar mendapat 

pesan, tentu di dalamnya ada satu hal yang penting! 

Dan jangan lupa, saat ini berita tentang Kembang Da-

rah Setan sudah jadi buah bibir. Siapa tahu pesan itu 

nanti masih ada kaitannya dengan rahasia di balik


Kembang Darah Setan!”

Kiai Lidah Wetan berpikir sejenak. Lalu angkat bica-

ra. “Seandainya kau dapat mengenali siapa adanya la-

ki-laki bernama Kiai Tung-Tung itu, mungkin aku ti-

dak ragu-ragu! Aku khawatir laki-laki itu menjebak ki-

ta!”

Kiai Laras tertawa pendek. “Kembang Darah Setan 

berada di tanganku! Tak ada yang perlu dicemaskan! 

Sekali dia berani mempermainkan kita, berarti dia sia-

siakan selembar nyawanya!”

Mendengar ucapan Kiai Laras, Kiai Lidah Wetan ba-

lik tertawa. “Kembang Darah Setan memang senjata

luar biasa dahsyat! Namun kau jangan berani menen-

tang peruntungan! Boleh saja manusia memiliki ilmu 

setinggi langit bahkan dengan senjata luar biasa sakti 

namun sampai saat ini belum ada manusia yang bisa

menang jika harus berhadapan dengan nasib!”

“Hem.... Jadi kau kira ini pekerjaan untung-

untungan?!” tanya Kiai Laras.

“Aku tak bisa mengatakan apa namanya. Namun 

yang pasti kita belum tahu apa yang ada di sana! Jan-

gan kita bernafsu memburu ular kecil kalau harus me-

relakan lolosnya ular besar yang sudah ada di geng-

gaman tangan!”

“Hem.... Jadi kau tidak setuju dengan rencanaku 

yang hendak menyelidik ke sana?!”

Kiai Lidah Wetan tidak segera menjawab. Kiai Laras 

alihkan pandang matanya ke depan menembusi kepe-

katan malam. “Lidah Wetan.... Pada mulanya aku me-

mang punya pikiran sama denganmu. Namun setelah 

kupikir-pikir, tak ada salahnya kita berdua lakukan 

penyelidikan ke tempat itu! Kita memang masih buta 

dengan apa yang ada di sana. Namun hal ini bukanlah 

untung-untungan! Karena satu pesan untuk seorang 

pendekar pasti bukan pesan sembarangan!”


“Hem.... Baiklah! Tapi sebaiknya penyelidikan itu ki-

ta lakukan setelah semua rencana kita selesai!”

“Tidak, Lidah Wetan! Penyelidikan ini harus segera 

kita lakukan! Saat ini Pendekar 131 tengah berkelia-

ran. Hal ini tentu sangat memudahkan bagi Kiai Tung-

Tung untuk menemukannya!”

Kiai Lidah Wetan tidak menyahut. Sebenarnya laki-

laki ini yang juga adalah kakak kandung Kiai Laras ti-

dak setuju dengan jalan pemikiran adiknya. Tapi sete-

lah agak lama menimbang-nimbang, dia berkata.

“Aku turut saja apa kemauanmu. Namun untuk 

menjaga hal yang tidak kita inginkan, kita harus sama-

sama menyamar! Dan yang pasti, siapa pun nanti yang 

kita temukan di sana, dia harus kita buat bungkam se-

lamanya!”

Kiai Laras tersenyum. Laki-laki ini perlahan beran-

jak bangkit. Tanpa memandang ke arah Kiai Lidah We-

tan yang masih duduk bersila, dia berucap.

“Kudengar saat ini Lasmini juga mencari Pendekar 

131 dan Pendeta Sinting. Apa kau sempat bertemu 

dengannya?!”

Paras wajah Kiai Lidah Wetan berubah. Dadanya 

berdebar. Namun laki-laki ini cepat sembunyikan rasa 

kejutnya dengan segera buka mulut.

“Setelah putusnya hubungan ku dengannya, sampai 

saat ini aku belum pernah bertemu dengannya! Dan 

kukira wajar saja kalau dia mencari Pendekar 131 dan 

gurunya. Peristiwa besar gegernya Istana Hantu 

mungkin masih menorehkan dendam di dadanya!”

Kiai Laras tertawa dalam hati. Lalu menyahut. “Ba-

gaimana kau tahu dia masih memendam dendam sete-

lah peristiwa gegernya Istana Hantu?!”

Kembali raut muka Kiai Lidah Wetan berubah te-

gang. Entah untuk menutupi ketegangan, dia beranjak 

bangkit seraya berkata.


“Siapa pun tahu dan mendengar peristiwa itu! Aku 

hanya menduga-duga!”

“Lidah Wetan.... Kau masih punya niat untuk jumpa 

dengannya?!”

Kiai Lidah Wetan kerutkan kening. “Pertanyaannya 

aneh.... Ada apa sebenarnya? Apakah Lasmini telah 

mengatakan semua ini pada Laras?!”

Setelah membatin begitu, Kiai Lidah Wetan angkat 

bicara. “Kau sempat bertemu dengannya?!”

Yang ditanya gelengkan kepala masih tanpa me-

mandang. “Aku hanya mendengar!”

“Lalu apa maksud pertanyaanmu tadi?!”

“Kalian dahulu adalah pasangan kekasih. Siapa ta-

hu kau ingin jumpa dengannya.”

Kiai Lidah Wetan tertawa. “Masa yang lalu bagiku 

tidak ada! Apalagi perempuan itu telah membuat hati-

ku kecewa!”

“Kalau begitu, apakah kau ingin membunuhnya?!” 

tanya Kiai Laras.

Kiai Lidah Wetan tampak semakin heran dengan 

pertanyaan adiknya. Namun karena dia tak mau apa 

yang telah dilakukannya bersama Lasmini diketahui 

orang lain, Kiai Lidah Wetan bersuara.

“Saat aku baru saja dikhianati, aku memang berniat 

membunuhnya! Malah aku akan menguburnya hidup-

hidup! Tapi saat ini kupikir tidak ada gunanya hal itu 

kulakukan! Aku masih bisa mencari perempuan lain 

yang tentu lebih muda dan lebih cantik daripada dia!”

Kiai Laras putar tubuh menghadap Kiai Lidah We-

tan. Namun sepasang matanya hanya melirik, mem-

buat sang kakak tidak enak dan gelisah.

“Lidah Wetan.... Kudengar Pendeta Sinting juga raib 

dari tempat tinggalnya! Apa kau tahu hal itu?!”

“Hem.... Ternyata dia telah banyak mengetahui apa 

yang terjadi! Sialan betul! Aku terlambat...,” pikir Kiai


Lidah Wetan. “Tapi aku tidak boleh berterus terang!”

“Laras.... Aku bukan saja mendengar tentang raib-

nya Pendeta Sinting. Tapi aku telah membuktikannya 

sendiri! Manusia tua itu memang tidak ada di tempat-

nya!”

“Lalu apakah kau tahu di mana kira-kira dia seka-

rang?!” tanya Kiai Laras.

“Tidak mudah mencari keterangan di mana bera-

danya manusia seperti Pendeta Sinting! Namun dengan 

apa yang saat ini terjadi dalam dunia persilatan, aku 

menduga tak lama lagi dia akan muncul!”

Kiai Laras sunggingkan senyum dingin. “Aku sudah 

tak sabar ingin melunaskan hutang itu!” gumamnya 

seraya angkat kedua tangannya yang mengepal.

“Saatnya akan tiba, Laras.... Kuharap kau bersa-

bar!”

Kiai Laras tengadahkan kepala dengan tangan ma-

sih mengepal. Entah apa yang dirasakan laki-laki ini. 

Yang pasti sepasang matanya mendelik angker. Ra-

hangnya terangkat dengan pelipis bergerak-gerak.

“Laras! Apa ada yang masih harus kita bicarakan!”

Kiai Laras kancingkan mulut. Kiai Lidah Wetan me-

langkah mondar-mandir dengan mata liar memandang 

berkeliling. “Kalau tidak ada yang perlu kita bicarakan 

lagi, sebaiknya kita segera berpisah! Besok malam kita 

bertemu di sebelah timur pesisir utara!”

Kiai Laras berpaling. “Besok malam kita bertemu. 

Dan kuharap kau mengenakan penyamaran seperti di-

riku!”

Kiai Lidah Wetan anggukkan kepala. Memandang 

sejurus pada adiknya lalu berkelebat tinggalkan ping-

giran hutan.

“Lidah Wetan.... Kau berdusta padaku.... Aku tahu 

kau telah menyusun rencana tersendiri dengan perem-

puan itu! Kau terlambat.... Dan jangan mimpi kau bisa


berbuat macam-macam di belakangku! Ha.... Ha.... 

Ha...! Kekasih lamamu saat ini sedang mengadakan 

perjalanan ke neraka. Dan tak lama lagi kau akan se-

gera menyusul! Ha.... Ha.... Ha...!”

Kiai Laras tertawa mengekeh dalam hati. Setelah 

sosok kakaknya lenyap, Kiai Laras putar pandangan. 

Saat lain dia berlari tinggalkan pinggiran hutan yang 

makin sunyi dan gelap.

DI satu tempat, Kiai Lidah Wetan berhenti. Kepa-

lanya berpaling sesaat ke belakang. Lalu tengadah. 

“Apa yang terjadi dengan Lasmini?! Pandangan Laras 

tampak berubah tatkala menceritakan tentang perem-

puan itu! Hem.... Setelah penyelidikan besok malam, 

aku harus tahu apa sebenarnya yang telah terjadi!”

Setelah berpikir begitu, Kiai Lidah Wetan kembali 

menoleh ke belakang. Kejap lain dia teruskan keleba-

tannya.

***

DELAPAN



Laki-laki bercaping lebar dari daun pandan itu du-

duk di bibir tebing tinggi dengan dua kaki diuncang-

uncang ke bawah. Dari mulutnya terdengar gumaman 

tak jelas antara nyanyian dan ucapan biasa. Tangan 

kirinya diletakkan di atas caping lebarnya dan dite-

kankan dalam-dalam seolah khawatir caping di atas 

kepalanya lenyap disambar angin. Padahal meski dia 

duduk di tempat ketinggian, tempat itu tidak dihembus 

angin kencang. Sementara tangan satunya lagi tampak 

sesekali diangkat lalu salah satu jarinya dimasukkan 

ke lobang telinganya dan digerak-gerakkan, hingga se-

raya bergumam, kadang-kadang tubuh bagian atas laki- laki ini bergerak berjingkat. Lalu cengar-cengir me-

ringis sendirian!

Tempat di mana laki-laki bercaping lebar yang bu-

kan lain adalah Kiai Tung-Tung berada adalah satu 

tebing agak tinggi. Siapa pun yang berada di situ, ma-

ka ia akan dapat melihat dengan jelas bila ada orang 

yang lewat di bawah sana. Karena tempat itu tepat 

membelah jalur tiga jalan dari arah barat, timur, dan 

utara.

“Aku harus secepatnya menuju pesisir utara bagian 

barat di dekat teluk! Siapa tahu Kiai Laras masih ada 

kaitannya dengan Joko palsu! Aku melihat ada sesua-

tu yang disembunyikan orang tua itu!” Kiai Tung-Tung 

bergumam.

Baru saja Kiai Tung-Tung bergumam, tiba-tiba se-

pasang matanya menangkap gerakan satu sosok tubuh 

dari sebelah barat. Kiai Tung-Tung hentikan gerakan 

kedua kakinya. Tangan kirinya makin ditekankan da-

lam-dalam pada caping lebarnya hingga raut wajahnya

makin tenggelam tidak kelihatan. Sementara sepasang 

matanya dipentang besar-besar tak berkesip memper-

hatikan gerakan orang di sebelah bawah sana.

“Sepertinya aku mengenali orang itu...,” desis Kiai 

Tung-Tung seraya sorongkan wajahnya ke depan den-

gan tangan kanan berpegangan erat-erat pada bibir 

tebing.

“Ah.... Betul, Memang dia...!” akhirnya Kiai Tung-

Tung dapat memastikan setelah orang di bawah sana 

teruskan langkah dan membawanya berada tidak jauh 

dari tebing.

Begitu merasa yakin, Kiai Tung-Tung tarik pulang 

sorongan wajahnya. Kedua tangannya serta merta di-

angkat lalu dirangkapkan di depan dada. Bersamaan 

dengan itu sepasang matanya dipejamkan. Lalu tiba-

tiba dia buka mulut perdengarkan suara keras.


“Mencari barang yang hilang tentu makam waktu 

dan tenaga. Namun bila tidak disertai dengan ber-

tanya, waktu dan tenaga akan hilang percuma! Bah-

kan mungkin akan membawa sengsara!”

Tiba-tiba orang yang berjalan di bawah sana henti-

kan langkah. Perlahan-lahan kepalanya bergerak men-

dongak ke arah tebing. Sepasang matanya yang besar 

dan liar memperhatikan sesaat. Lalu kepalanya kem-

bali diluruskan.

“Ucapan manusia itu sepertinya ada hubungannya 

dengan diriku! Siapa dia sebenarnya?!” desis orang di 

bawah yang ternyata adalah seorang laki-laki yang pa-

ras wajah serta sekujur tubuhnya hampir tidak dapat 

disebut sebagai manusia karena wajah dan seluruh 

anggota tubuhnya hanya merupakan susunan kerang-

ka.

Orang di bawah yang tidak lain adalah Maladewa 

alias Setan Liang Makam kembali tengadah seolah in-

gin yakinkan pandangan dengan apa yang baru saja

didengar.

Di lain pihak, Kiai Tung-Tung tampak buka sedikit 

kelopak matanya. Lalu mulutnya kembali perdengar-

kan suara keras.

“Barang yang hilang seharusnya didapatkan kemba-

li! Tapi kalau tidak bertanya, mana mungkin hal itu bi-

sa terjadi?! Ha.... Ha.... Ha...! Jalan telah kubuka, 

hanya manusia tolol jika tidak mengerti apa yang kuu-

capkan!”

“Jahanam!” maki Setan Liang Makam. “Ucapannya 

benar-benar menyindir ku!”

Setan Liang Makam arahkan pandang matanya ke 

bawah tebing. Saat lain cucu dari Nyai Suri Agung ini 

berkelebat.

“Ke mana dia?! Apa menuju kemari?!” gumam Kiai 

Tung-Tung dalam hati begitu dia buka sedikit kelopak


matanya dan tidak lagi melihat sosok Setan Liang Ma-

kam. Kepalanya digerakkan dengan mata dibuka lebar-

lebar meneliti keadaan di bawah tebing.

“Manusia! Siapa kau sebenarnya?!” Tiba-tiba satu 

suara mengejutkan Kiai Tung-Tung.

“Busyet! Dia telah berada di belakangku!” ujar Kiai 

Tung-Tung dalam hati. Perlahan-lahan kepalanya di-

tengadahkan. Tanpa berpaling ke belakang dia angkat 

suara.

“Aku biasa dipanggil orang Kiai Tung-Tung! Dan 

kau pasti anak manusia yang bergelar Setan Liang 

Makam...!”

Setan Liang Makam sedikit terkesiap mendapati 

orang telah mengenalinya. Dia coba menduga-duga 

dengan mata dijerengkan memandangi orang. Namun 

karena dia berada di belakang, apalagi Kiai Tung-Tung 

mengenakan caping lebar yang dimasukkan dalam-da 

lam pada kepalanya, Setan Liang Makam bukan saja 

gagal mengenali siapa adanya orang, namun juga tidak 

bisa melihat jelas raut wajah orang.

“Dengar, anak manusia bergelar Setan Liang Ma-

kam!” kata Kiai Tung-Tung masih tanpa putar tubuh 

dan kedua tangan tetap merangkap di depan dada. 

“Aku tahu, saat ini kau tengah mencari barang mu 

yang lenyap diambil orang. Ha.... Ha.... Ha...! Aku

tanya dahulu, apa Kembang Darah Setan sudah kau 

dapatkan kembali?!”

Untuk kedua kalinya Setan Liang Makam terkejut. 

“Siapa kau sebenarnya?!” bentaknya seraya melangkah 

mendekat.

“Kau perlu Kembang Darah Setan atau perlu ber-

tanya siapa aku?!” Kiai Tung-Tung balik bertanya.

Setan Liang Makam kancingkan mulut tidak men-

jawab. Sebaliknya dia terus melangkah mendekat.

“Harap tidak teruskan langkah! Percuma kau ingin


tahu siapa aku sebenarnya!” ujar Kiai Tung-Tung 

membuat Setan Liang Makam mau tak mau hentikan 

langkah berjarak tujuh tindak dari belakang Kiai Tung-

Tung.

Kiai Tung-Tung tertawa bergelak. Lalu setelah agak 

lama Setan Liang Makam tidak juga memberi jawaban, 

laki-laki bercaping lebar ini angkat bicara lagi.

“Kalau aku dapat mengatakan siapa kau, aku juga 

bisa memberi keterangan di mana Kembang Darah Se-

tan!”

Saking bernafsunya, laksana hendak terbang Setan 

Liang Makam melompat ke depan seraya berteriak ke-

ras. “Di mana?!”

“Harap kau mundur dahulu!” ujar Kiai Tung-Tung 

yang sebenarnya khawatir jika tiba-tiba Setan Liang 

Makam membuat gerakan yang tidak diduga.

Setan Liang Makam yang seolah tak sabar tampak 

menghela napas lalu perlahan-lahan melangkah mun-

dur. Begitu dia tegak di tempat mana tadi berdiri, dia

segera berteriak lagi.

“Katakan di mana Kembang Darah Setan itu!”

Dari suara Setan Liang Makam, Kiai Tung-Tung su-

dah bisa melihat jika laki-laki cucu dari Nyai Suri 

Agung itu telah turuti ucapannya. Hingga dia segera 

pula buka mulut.

“Sebelum kukatakan di mana, kau perlu tahu lebih 

dahulu jika Kembang Darah Setan saat ini berada di 

tangan seorang pemuda bergelar Pendekar 131 Joko 

Sableng!”

“Sialan keparat! Aku sudah tahu itu!” sentak Setan 

Liang Makam.

Mendengar sentakan orang, Kiai Tung-Tung tertawa 

ngakak. Puas tertawa dia berkata. “Harap jangan terla-

lu terburu marah, Sahabat! Dan harusnya kau ber-

syukur bisa bertemu denganku.... Karena walau kau


tidak akan mendapat keterangan apa-apa mengenai di-

riku, tapi kau akan mendapat keterangan berharga 

tentang apa yang selama ini kau cari-cari....”

“Mengapa kau akan memberi keterangan padaku?!” 

tanya Setan Liang Makam utarakan keheranan yang 

sejak tadi melanda dadanya.

Kiai Tung-Tung gerakkan kepala menggeleng. “Hal 

itu tidak usah kau tanyakan! Karena jawabannya akan 

membuatmu bingung!”

“Siapa percaya pada ucapanmu! Kau mungkin 

hanya manusia yang mendengar dari beberapa orang 

lalu sengaja menghadangku dan berpura-pura tahu 

akan urusanku! Tapi justru sebenarnya kau ingin tahu 

lebih dalam tentang Kembang Darah Setan!” Setan 

Liang Makam mendengus keras sebelum akhirnya lan-

jutkan ucapan. “Kau manusia bernasib buruk! Karena 

bukan keterangan yang akan kau dapatkan, tapi tan-

gan maut yang akan kau terima!”

“Ha.... Ha.... Ha...! Kau terlalu jauh bicara, Sahabat! 

Aku tidak perlu keterangan banyak darimu urusan 

Kembang Darah Setan! Aku tahu bagaimana ceritanya 

dari awal hingga akhir! Malah mungkin aku tahu lebih 

banyak dari apa yang kau ketahui!”

Kiai Tung-Tung hentikan ucapannya sejenak, lalu 

melanjutkan. “Coba kau dengar ucapanku. Kau adalah 

generasi terakhir dari Kampung Setan. Kau masih 

punya seorang nenek yang sekaligus adalah gurumu. 

Dia bernama Nyai Suri Agung! Dan lebih dari itu, se-

benarnya kau juga punya saudara seperguruan yang 

diangkat nenekmu dari kalangan orang di luar Kam-

pung Setan. Kau pernah dikhianati oleh orang keper-

cayaanmu hingga kau akhirnya masuk ke dalam se-

buah makam batu! Bagaimana?! Dari keteranganku 

tadi apa ada yang salah?!”

Setan Liang Makam tegak dengan mulut terkancing


dan mata mementang besar. Dia tak habis pikir ba-

gaimana rahasia dirinya bisa diketahui oleh orang! Pa-

dahal dia yakin orang yang dihadapinya saat itu bu-

kanlah saudara seperguruannya yang jelas tahu ba-

nyak tentang dirinya. Di lain pihak, sebenarnya Kiai 

Tung-Tung tampak cemas dan dadanya berdebar ke-

ras. Diam-diam dia membatin. “Mudah-mudahan du-

gaanku tidak meleset! Datuk Wahing memang tidak 

mau mengatakan siapa dirinya. Namun dari keteran-

gannya, aku bisa menduga jika dia adalah saudara se-

perguruan manusia di belakang itu! Dan nenek yang 

pernah kutemui tempo hari adalah orang yang dimak-

sud Datuk Wahing sebagai Eyang Guru sekaligus ne-

nek orang di belakang itu....”

Kiai Tung-Tung beberapa lama menunggu sahutan 

dari Setan Liang Makam dengan perasaan gundah dan 

khawatir. Karena apa yang baru saja diucapkan adalah 

dugaannya setelah mendengar keterangan dari Datuk

82——

Wahing. Dan itu jelas menunjukkan kalau si laki-

laki bercaping lebar ini bukan lain adalah Pendekar 

Pedang Tumpul 131 Joko Sableng yang tengah me-

nyamar.

Seperti diketahui, beberapa waktu yang lalu, murid 

Pendeta Sinting ini pernah mendapat cerita dari Datuk 

Wahing perihal Kembang Darah Setan serta perihal 

Kampung Setan. Walau saat itu Datuk Wahing tidak 

menjelaskan secara gamblang, namun Joko sudah bisa 

menarik kesimpulan. (Lebih jelasnya silakan baca seri-

al Joko Sableng dalam episode : “Rahasia Kampung Se-

tan”).

“Dari mana kau tahu cerita itu?!” Setan Liang Ma-

kam akhirnya ajukan tanya setelah terdiam beberapa 

lama.

Pertanyaan Setan Liang Makam membuat Kiai


Tung-Tung menghela napas lega. Karena dari perta-

nyaan orang dia sudah maklum kalau dugaannya ti-

dak salah!

“Sahabat!” ujar Kiai Tung-Tung. “Soal dari mana ce-

rita itu, bukan masalah besar yang harus kita bicara-

kan di sini! Yang jadi masalah sekarang justru bagai-

mana kau bisa mendapatkan kembali Kembang Darah 

Setan yang lepas dari tanganmu! Bukankah begitu?!”

“Sialan benar! Siapa manusia ini sebenarnya?!” 

kembali Setan Liang Makam didera perasaan ingin ta-

hu. Namun ingat akan ucapan Kiai Tung-Tung yang 

tak ingin diketahui, akhirnya dia urungkan niat untuk 

bertanya.

“Sahabat! Kalau kau ingin mendapatkan kembali 

Kembang Darah Setan, pergilah ke pesisir utara bagian 

barat dekat dengan sebuah teluk! Dan ingat, apa yang 

kau cari adalah benda sakti warisan leluhur mu. Jadi 

hal itu membutuhkan kesabaran....”

“Maksudmu?!” tanya Setan Liang Makam.

“Kau harus bersabar menunggu!”

“Apa yang kutunggu?!”

“Aku tidak bisa mengatakannya.... Kau kelak bisa 

melihat sekaligus membuktikannya!”

“Apa ucapannya manusia ini tidak menipu?! Jan-

gan-jangan dia semacam manusia-manusia yang sela-

ma ini pernah menipuku!” Setan Liang Makam didera 

kebimbangan begitu ingat akan penipuan yang dilaku-

kan oleh Saraswati.

“Apakah manusia jahanam Pendekar 131 akan be-

rada di sana?!” Bertanya Setan Liang Makam setelah 

agak lama berpikir.

“Ada dua kemungkinan! Tapi aku tidak bisa mem-

beri keterangan secara jelas. Yang pasti dua kemung-

kinan itu masih berhubungan dengan Kembang Darah 

Setan!”


“Jahanam! Kalau kau tak bisa memberi kepastian, 

kau sama saja dengan manusia lainnya!”

“Jangan salah menduga, Sahabat! Aku memang ti-

dak bisa memastikan! Tapi kemungkinan itu jelas ada 

hubungannya dengan Kembang Darah Setan! Dan kau 

harus ingat! Tidak penting kau nanti akan bertemu 

dengan Pendekar 131 atau tidak! Yang penting kau 

mendapatkan Kembang Darah Setan itu kembali!”

“Bagaimana mungkin akan kudapatkan kembali ji-

ka pemuda jahanam itu tidak muncul di sana!”

“Sahabat!” kata Kiai Tung-Tung dengan suara keras 

bernada marah. “Aku telah memberimu keterangan 

tanpa kau minta! Seharusnya kau berterima kasih! 

Dan kalaupun seandainya aku mau, aku tidak akan 

memberitahukan hal ini padamu! Aku akan pergi ke 

pesisir sendirian dan mendapatkan Kembang Darah 

Setan!”

“Mengapa hal itu tidak kau lakukan?!” tanya Setan 

Liang Makam balik membentak.

Kali ini Kiai Tung-Tung tertawa panjang terlebih da-

hulu sebelum berkata. “Aku tidak mau memiliki benda 

yang sudah menjadi hak seseorang! Justru kalau bisa, 

aku harus membantu agar benda di tangan orang yang 

tidak berhak bisa beralih ke tangan orang yang berhak 

untuk memilikinya! Dalam hal ini kaulah orang yang 

berhak, dan aku hanya bisa membantu dengan kete-

rangan, mengingat hanya hal itu yang bisa kulaku-

kan!”

Setan Liang Makam tergagu diam mendengar uca-

pan Kiai Tung-Tung. Dan Kiai Tung-Tung sendiri tam-

paknya tak mau memberi kesempatan bicara. Begitu 

dia selesai berucap, laki-laki bercaping lebar ini telah 

sambung ucapannya.

“Kau telah dengar keterangan. Dalam keadaan se-

perti saat ini, kau dituntut untuk bertindak cepat! Dan


kurasa sudah tidak ada yang bisa kuberikan lagi pa-

damu!”

Habis berkata begitu, enak saja Kiai Tung-Tung un-

cang-uncang kedua kakinya lagi ke lamping tebing. 

Kedua tangannya yang merangkap di depan dada di-

buka. Tangan kanan ditekankan pada caping lebarnya 

sementara tangan kiri diangkat lalu salah satu jarinya 

dimasukkan ke dalam lobang telinga dan digerak-

gerakkan. Bersamaan dengan itu kepalanya bergerak 

teleng dengan tubuh berjingkat-jingkat keenakan!

Setan Liang Makam memandang berlama-lama den-

gan mata dibeliakkan. Dia tetap masih merasa ragu 

dengan keterangan orang. Hal itu terlihat dari ucapan-

nya kemudian. “Untuk membuktikan kalau ucapanmu 

tidak dusta, kau harus ikut aku!”

Kiai Tung-Tung seolah tidak mendengar perkataan 

orang. Dia seakan asyik dengan permainannya sendiri. 

Malah kini dari mulutnya terdengar gumaman tidak je-

las.

Setan Liang Makam mulai marah. Dia melangkah 

maju dua tindak. Namun sebelum mulutnya perden-

garkan suara, Kiai Tung-Tung telah mendahului.

“Sahabat! Kalau kau mau mengajakku ikut serta, 

aku punya syarat!”

“Katakan apa syaratmu!”

“Kelak Kembang Darah Setan harus kau serahkan 

padaku!”

“Jahanam! Kau harus langkahi dulu mayatku kalau 

ingin memiliki Kembang Darah Setan!”

“Sahabat! Tadi sudah kubilang. Seandainya aku 

mau, tidak sulit bagiku mendapatkan Kembang Darah 

Setan! Malah tanpa harus melangkahi mayatmu! Kalau 

kau ingin bukti, tunggulah di sini sampai tujuh hari di 

muka! Tapi sekali lagi, begitu Kembang Darah Setan di 

tanganku, kau tidak berhak untuk mengambilnya! Bagaimana, kau setuju?!”

“Ucapan gila!” maki Setan Liang Makam dengan da-

da makin menggelegak.

Kiai Tung-Tung tertawa terbahak. “Dalam beberapa 

hal, kadang-kadang manusia dituntut untuk berbuat 

dan bicara gila-gilaan! Apalagi jika urusannya berkai-

tan dengan senjata sakti!”

“Kalau kau tidak mau ikut, aku tidak akan pergi ke 

pesisir utara!” ujar Setan Liang Makam. “Aku sudah 

kenyang dengan ucapan dusta manusia!”

“Terserah! Aku hanya memberi keterangan. Soal 

kau mau menerima atau tidak bukan lagi urusanku” 

seraya berucap, Kiai Tung-Tung hentikan gerakan ke-

dua kakinya. Lalu perlahan-lahan dia bergerak bang-

kit. Namun meski sekarang telah tegak, dia belum Ju-

ga putar diri menghadap Setan Liang Makam yang te-

gak di belakangnya.

“Aku menunggu jawaban persetujuan mu, Sahabat!” 

kata Kiai Tung-Tung.

Setan Liang Makam tidak juga mau menyahut. Dia 

hanya memandang liar. Sementara Kiai Tung-Tung 

perlahan-lahan balikkan tubuh. Mata Setan Liang Ma-

kam makin dipentang besar-besar. Namun karena cap-

ing itu dimasukkan dalam-dalam, dan sebagian ram-

but menutupi bagian samping wajah Kiai Tung-Tung, 

sampai demikian jauh Setan Liang Makam tidak bisa 

mengenali raut wajah orang.

“Sahabat! Waktuku tidak banyak!” ujar Kiai Tung-

Tung.

Setan Liang Makam mendengus. Sikap dan ucapan 

Kiai Tung-Tung perlahan-lahan membuat kebimban-

gan Setan Liang Makam sirna. Tanpa buka suara, Se-

tan Liang Makam balikkan tubuh.

“Kau telah gantungkan nyawamu pada tanganku! 

Begitu ucapanmu dusta, maka tak ada tempat layak


bagimu untuk sembunyi!”

“Sahabat, Untuk adilnya, boleh aku tanya?!” kata 

Kiai Tung-Tung.

“Apa yang akan kau tanyakan?!” sentak Setan Liang 

Makam.

“Bagaimana kalau ucapanku nanti benar?!”

Setan Liang Makam tertawa pendek. “Itu nanti ter-

serah pada takdir yang tertulis untukmu! Mungkin aku 

akan memberi hadiah untukmu. Dan tak tertutup ke-

mungkinan aku akan membunuhmu!”

Setan Liang Makam tertawa bergelak panjang. Lalu 

melangkah perlahan tinggalkan tebing. Kiai Tung-Tung 

putar tubuh. Melihat ke bawah tampak Setan Liang 

Makam telah berlari menuju ke arah utara.

***

SEMBILA


Waktu itu hampir menjelang malam. Bundaran ma-

tahari tampak menggantung sejengkal di atas hampa-

ran air laut sebelah barat. Warnanya yang telah beru-

bah kekuningan membuat seluruh permukaan air laut 

berkilat keemasan. Gulungan ombak yang melamun 

dahsyat pancarkan sinar pelangi. Beberapa batu ka-

rang yang banyak bertebaran di pesisir perlahan-lahan 

berubah warna. Dan begitu sang mentari benar-benar 

tenggelam, beberapa jajaran batu karang laksana pa-

ku-paku besar yang ditancapkan kokoh di hamparan 

bumi.

Di pesisir sebelah barat, di mana terlihat sebuah te-

luk, suasana menjelang malam itu tampak dibuncah 

dengan suara bergemuruh menghempasnya gelombang 

yang abadi menghantam samping teluk. Suasana teluk


pun sudah berubah menghitam meski jika mata di-

layangkan, orang masih bisa melihat keadaan sekitar.

Kira-kira lima puluh tombak dari teluk, satu sosok 

tubuh tampak duduk mendekam di balik satu gugusan 

batu karang agak tinggi hingga sosok orang ini tidak 

kelihatan jelas.

“Hari sudah malam! Kenapa dia terlambat muncul?! 

Atau dia memang tidak akan muncul di sini?!” Orang 

di balik batu karang mendesis. Sepasang mata diarah-

kan lurus pada satu jurusan. Dia adalah seorang pe-

muda berwajah tampan mengenakan pakaian putih-

putih. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan diikat 

dengan ikat kepala warna putih pula. Kalau orang per-

nah berjumpa dengan Pendekar 131 Joko Sableng, 

maka orang itu pasti menyangka jika si pemuda di ba-

lik batu karang adalah murid Pendeta Sinting.

Baru saja si pemuda yang paras wajahnya mirip 

dengan Pendekar 131 mendesis, tiba-tiba sepasang 

matanya menangkap gerakan satu bayangan putih di 

depan sana. Si pemuda di balik batu karang segera ge-

rakkan tubuh makin merunduk. Namun sepasang ma-

tanya makin dipentang.

Bayangan putih yang berlari menuju arah teluk ti-

ba-tiba berhenti. Sepasang matanya liar memandang 

dengan kepala digerakkan berputar. Jelas sikapnya 

menandakan dia tengah mencari-cari.

“Hai! Aku di sini!” Pemuda di balik batu karang bu-

ka mulut seraya angkat tangannya memberi isyarat 

tempatnya berada.

Orang yang baru muncul sesaat pandangi gerakan 

tangan orang dengan wajah tegang. Dia tampak ragu-

ragu. Mulutnya bergerak membuka. Namun sebelum 

suaranya terdengar, pemuda di balik batu karang telah 

berkata lagi.

“Lidah Wetan! Aku Laras!”


Orang yang baru muncul menatap sekali lagi pada 

tangan yang masih terangkat di balik batu karang. 

Saat lain laksana terbang, dia berkelebat dan tahu-

tahu sosoknya telah tiga langkah di depan batu karang 

di mana tadi terlihat satu tangan terangkat memberi 

isyarat.

Pemuda di balik batu karang bergerak bangkit. Se-

saat dia pandangi orang yang tegak di hadapannya. 

Ternyata dia adalah seorang pemuda yang baik pa-

kaian maupun paras wajahnya tidak beda dengan pe-

muda yang ada di balik batu karang. Yang membeda-

kan keduanya hanyalah lobang pada caping hidung 

orang. Pemuda yang tadi berada di balik batu karang 

cuping hidungnya tidak berlobang, sementara pemuda 

yang baru muncul tampak berlobang pada cuping hi-

dungnya, jelas menandakan jika cuping hidung itu be-

kas mengenakan anting-anting.

Kedua pemuda yang paras wajahnya mirip dengan 

Pendekar 131 Joko Sableng ini sama tersenyum.

“Lidah Wetan.... Kita harus segera menuju teluk!” 

kata pemuda yang cuping hidungnya tidak berlobang 

dan tadi sebutkan diri sebagai Laras. Dia memang bu-

kan lain adalah Kiai Laras yang menyamar sebagai 

Pendekar 131 Joko Sableng.

“Kau melihat orang lain?!” tanya pemuda yang di-

panggil Lidah Wetan. Dia bukan lain adalah Kiai Lidah 

Wetan yang juga mengenakan penyamaran sebagai 

Pendekar 131.

Kiai Laras gelengkan kepala. “Tapi kita harus tetap 

berhati-hati!”

Habis berkata begitu, Kiai Laras berkelebat seraya 

memberi isyarat pada Kiai Lidah Wetan untuk mengi-

kuti. Mereka bergerak dengan berkelebat dari satu ba-

tu karang ke batu karang lainnya tanpa timbulkan su-

ara. Malah mereka berdua tampak kerahkan ilmu peringan tubuh tingkat tinggi, hingga kelebatan mereka 

sulit ditangkap mata biasa.

Begitu mereka sampai batu karang paling ujung be-

rada di teluk, kedua laki-laki kakak beradik yang me-

nyamar ini hentikan kelebatan tubuh. Kepala Kiai La-

ras bergerak ke kanan, sedang kepala Kiai Lidah We-

tan bergerak ke kiri. Sepasang mata mereka menyiasati

keadaan dengan tanpa buka mulut.

Ketika agak lama dan mereka tidak menemukan 

tanda-tanda adanya orang di teluk, Kiai Laras berpal-

ing pada Kiai Lidah Wetan yang tegak membungkuk di 

sampingnya.

“Kau menangkap seseorang?!” tanya Kiai Laras den-

gan suara berbisik.

Kiai Lidah Wetan menjawab dengan isyarat gelengan 

kepala. Namun kedua pemuda ini tampaknya masih

ragu. Keduanya kembali putar kepala masing-masing.

“Hanya kita berdua yang ada di sini!” bisik Kiai Li-

dah Wetan begitu merasa yakin bahwa di tempat itu 

tidak ada orang lain selain mereka berdua. “Jangan-

jangan kita tertipu....”

Kiai Laras luruskan tubuhnya. “Kita cari!” katanya 

seraya mulai melangkah.

“Apa yang kita cari?!” tanya Kiai Lidah Wetan.

Kiai Laras sesaat terdiam. Dia sendiri bingung apa 

yang harus dikatakannya pada Kiai Lidah Wetan. Ru-

panya Kiai Lidah Wetan dapat menangkap kebingun-

gan pada adiknya. Dia melangkah mendekat dan ber-

bisik.

“Bukankah menurut pesan ini, Pendekar 131 hanya 

diperintahkan datang ke tempat ini tanpa perintah 

mencari sesuatu?!”

Kiai Laras anggukkan kepala. “Tapi aku menduga 

pesan itu mengandung arti dia akan menemukan se-

suatu di sini!”


“Kau juga dapat menduga kira-kira apa sesuatu 

itu?!”

Kembali Kiai Laras terdiam. Dan setelah agak lama 

tak menemukan jawaban, akhirnya Kiai Laras berujar. 

“Peduli setan apa yang hendak kita temukan di sini! 

Yang jelas kita sudah sampai dan harus pulang den-

gan membawa hasil!”

Belum selesai ucapannya, Kiai Laras telah bergerak 

melangkah mengitari teluk. Kiai Lidah Wetan terse-

nyum. Lalu ikut-ikutan melangkah meski dengan hati 

enggan.

Beberapa saat berlalu. Kiai Laras sudah tampak ge-

ram. Parasnya berubah mengelam dan kedua tangan-

nya mengepal. Sementara Kiai Lidah Wetan tampak 

tersenyum-senyum. Kiai Lidah Wetan sejak semula 

memang sudah merasa kalau tidak ada gunanya me-

nuruti ucapan orang.

“Laras.... Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini! Kau 

telah buktikan sendiri tidak ada apa-apa di sini!”

“Kita tunggu sampai besok pagi!” kata Kiai Laras 

dengan suara agak keras.

“Apa yang kita tunggu?!” tanya Kiai Lidah Wetan.

“Jangan banyak mulut! Kalau kau tak mau, enyah-

lah kau dari sini!”

Kiai Lidah Wetan mendelik. Dadanya agak panas 

mendengar ucapan Kiai Laras. Namun orang ini masih 

coba menindih gelegak dadanya. Tanpa berkata me-

nyahut, Kiai Lidah Wetan melangkah ke arah satu ba-

tu karang agak datar. Lalu duduk sambil arahkan 

pandang matanya pada gulungan ombak di depan sa-

na yang telah berwarna hitam namun lambat laun su-

ara gemuruhnya makin menggelegar.

Di lain pihak, Kiai Laras tampak melangkah mon-

dar-mandir dengan rahang terangkat dan mulut me-

nyeringai buas. Beberapa kali dia memaki sendiri dan


tak henti-hentinya liarkan pandangan ke sekeliling.

Karena setelah agak lama tak menemukan sesuatu, 

pada akhirnya Kiai Laras mendekati Kiai Lidah Wetan. 

Sambil arahkan pandang matanya ke lamunan gelom-

bang, dia buka mulut.

“Kuharap kau sabar menunggu sampai esok hari....”

Kiai Lidah Wetan tengadahkan kepala menatap pa-

da Kiai Laras yang tegak tidak jauh dari sampingnya. 

Namun dia hanya memandang dengan mulut terkanc-

ing.

Saat itulah samar-samar dari arah jauh di belakang 

terlihat satu bayangan hitam berlari cepat menuju pe-

sisir. Hanya beberapa saat saja, bayangan hitam ini te-

lah mencapai kawasan teluk. Dan begitu sepasang ma-

tanya menangkap dua sosok putih di depan sana, si 

bayangan hitam segera berkelebat menyelinap ke balik 

salah satu batu karang.

Orang ini ternyata tidak lain adalah Setan Liang 

Makam. “Siapa mereka?!” gumamnya dalam hati se-

raya memandang tak berkesip ke seberang depan. Lalu 

kepalanya bergerak memutar memandang berkeliling.

“Dari ciri-cirinya aku dapat menduga! Tapi mengapa 

keduanya hampir sama?! Atau jangan-jangan ini satu 

jebakan! Ah, persetan!”

Setan Liang Makam keluar dari balik batu karang. 

Kini dia melangkah tanpa sembunyi-sembunyi lagi. 

Sepasang matanya tak beranjak dari dua sosok putih 

di depan sana.

Begitu Setan Liang Makam mulai melangkah, dari 

arah belakang samar-samar terlihat satu bayangan 

berlari ke arah teluk. Dari caranya berlari, jelas orang 

yang muncul terakhir kali ini tidak mau diketahui ke-

hadirannya. Karena dia sengaja melompat dari satu 

batu karang ke batu karang lainnya. Dan setelah me-

mandang berkeliling sesaat, dia berkelebat ke batu karang agak besar yang dari tempat itu dia rasa bisa me-

lihat apa yang ada di teluk.

Begitu sampai ke batu karang agak besar, orang 

yang muncul terakhir kali dan ternyata adalah laki-laki 

bercaping lebar dan bukan lain adalah Kiai Tung-Tung, 

arahkan pandang matanya ke arah teluk.

Yang pertama-tama terlihat adalah sosok Setan 

Liang Makam yang melangkah. Lalu mata Kiai Tung-

Tung menangkap dua sosok putih yang berada di 

ujung teluk. Sesaat mata Kiai Tung-Tung membelalak.

“Astaga! Mengapa ada dua?!” desisnya demi melihat 

dua sosok putih. “Ciri-cirinya sama.... Apakah....”

Belum sampai Kiai Tung-Tung lanjutkan kata ha-

tinya, tiba-tiba dari arah bawah sana terdengar teria-

kan keras Setan Liang Makam.

“Kalian sudah lama menungguku?!”

Teguran orang membuat Kiai Laras dan Kiai Lidah 

Wetan terkesiap. Keduanya tidak ada yang buka mulut 

menyahut. Mereka diam laksana patung. Namun diam-

diam kedua orang ini telah kerahkan tenaga dalam pa-

da kedua tangan masing-masing.

“Rupanya kita terjebak!” bisik Kiai Lidah Wetan. 

“Semuanya sudah terlambat! Kita hadapi semua ke-

nyataan ini!”

Habis berkata begitu, Kiai Lidah Wetan bergerak 

bangkit. Lalu laksana kilat, dia balikkan tubuh. Darah 

Kiai Lidah Wetan laksana sirap. Kalau saja tidak ingat 

keadaan, barangkali kakinya akan tersurut!

Di depan sana, Setan Liang Makam tak kalah ka-

getnya meski hatinya merasa lega. Dan yang paling 

terkejut adalah Kiai Tung-Tung yang mendekam sem-

bunyi di balik batu karang.

Kiai Laras tampaknya bisa membaca gelagat keter-

kejutan saudaranya. Maka perlahan-lahan dia putar 

diri. Sama halnya dengan Kiai Lidah Wetan, begitu melihat siapa adanya orang di seberang depan, Kiai Laras 

tampak tersentak. Di lain pihak, Setan Liang Makam 

terkesima. Hingga mulutnya yang sejenak tadi hendak 

membuka tampak melongo tanpa perdengarkan suara.

Di balik batu karang, Kiai Tung-Tung cepat tekap 

mulutnya dengan mata mendelik. “Bagaimana mung-

kin?! Keduanya sama persis! Aku tak bisa membeda-

kan meski keduanya palsu?!” Kiai Tung-Tung geleng-

kan kepala. “Siapa mereka sebenarnya...? Apakah ini 

semua ulah Kiai Laras?!”

Di bawah sana, Setan Liang Makam untuk beberapa 

lama memandang silih berganti pada dua pemuda di 

hadapannya. “Sulit bagiku membedakan mana jaha-

nam yang pernah mengambil Kembang Darah Setan!

Tapi bukan berarti aku kesulitan untuk mengambil 

nyawa keduanya! Aku tak peduli mana si jahanam asli

dan mana yang bukan!”

Setelah membatin begitu, Setan Liang Makam ang-

kat bicara dengan suara keras.

“Aku tak punya banyak waktu untuk bertanya siapa 

adanya kalian! Yang jelas salah satu dari kalian telah 

mengambil Kembang Darah Setan!” Tangan kiri Setan 

Liang Makam bergerak menjulur membuat sikap me-

minta.

“Serahkan kembali Kembang Darah Setan itu!”

Kiai Lidah Wetan tampak melirik pada Kiai Laras 

dengan tengkuk merinding. Dia telah tahu bagaimana 

tingginya ilmu Setan Liang Makam. Sementara Kem-

bang Darah Setan berada di tangan Kiai Laras.

Sementara Kiai Laras sendiri tampak tenang-tenang 

saja. Malah dia sunggingkan senyum dan berkata.

“Kembang Darah Setan memang berada di tangan 

kami berdua! Dan benda itu akan kami serahkan pa-

damu!”

Setan Liang Makam tertawa ngakak. “Bagus! Itu lebih baik bagi kalian daripada mampus percuma!” Se-

tan Liang Makam teruskan langkah dengan tangan kiri 

tetap membuat sikap meminta.

Berjarak delapan langkah, Setan Liang Makam ber-

henti. “Lekas serahkan!”

“Sebelum kuserahkan, aku ingin kau jawab perta-

nyaanku dahulu....”

“Keparat! Setan Liang Makam tak mau diberi sya-

rat!”

“Kalau begitu, kau tak akan memperoleh apa-apa!” 

kata Kiai Laras.

“Kalian telah berani main-main dengan Kembang 

Darah Setan! Berarti kalian akan mampus dengan 

Kembang Darah Setan itu!”

“Kembang Darah Setan ada apa kami! Kau yang 

akan mampus dengan benda milikmu sendiri!” sahut 

Kiai Laras. Sementara Kiai Lidah Wetan makin tampak 

cemas. Dia hanya memandang silih berganti pada Se-

tan Liang Makam dan Kiai Laras.

Entah karena apa, setelah diam sejenak, pada ak-

hirnya Setan Liang Makam bertanya. “Apa yang kau 

tanyakan?!”

“Dari mana kau tahu tempat ini?!” tanya Kiai Laras.

Di tempat persembunyiannya, Kiai Tung-Tung 

menghela napas. Sementara Setan Liang Makam meli-

rik lalu buka mulut menjawab.

“Aku tak kenal siapa dia. Dia hanya sebutkan nama 

Kiai Tung-Tung!”

Kiai Laras bergumam pada Kiai Lidah Wetan. “Du-

gaanmu benar. Kita dijebak! Tapi ini adalah rezeki be-

sar bagi kita!”

“Bagaimana kau katakan ini sebuah rezeki besar?!”

“Kau lihat saja nanti....”

“Kalian bicara apa?! Lekas berikan Kembang Darah 

Setan padaku!” hardik Setan Liang Makam.


Kiai Laras sunggingkan senyum. “Perlu kau tahu.... 

Sebenarnya kami bukanlah Pendekar 131! Kami ada-

lah dua orang suruhan Kiai Tung-Tung! Dan kau perlu 

tahu juga. Tugas kami berdua adalah membunuhmu!”

“Jahanam! Kau kira aku bisa kau kelabui, hah?! 

Aku tahu, salah satu di antara kalian adalah Pendekar 

131! Aku tak perlu mengatakan yang mana, yang jelas 

kalau salah satu di antara kalian mau serahkan Kem-

bang Darah Setan, nyawa kalian berdua akan kuam-

puni. Jika tidak, kalian berdua akan kubunuh seka-

lian!”

“Kami berdua telah berani menjadi orang suruhan 

untuk menghadapimu! Berarti kami tahu sampai di 

mana bekal ilmu yang kau miliki!” ujar Kiai Laras 

sambil melirik pada Kiai Lidah Wetan dan berbisik. 

“Kau jangan ikut bicara.... Kau nanti hanya perlu ber-

tahan.... Dan jangan bersungguh-sungguh jika terjadi 

bentrok!”

Setan Liang Makam tegak dengan tulang pelipis 

bergerak-gerak. Tangan kirinya ditarik pulang seraya 

berkata.

“Aku meminta sekali lagi! Atau....”

“Kau tak akan mendapatkan apa-apa!” potong Kiai 

Laras.

Setan Liang Makam perdengarkan bentakan dah-

syat. Saat bersamaan sosoknya melesat ke depan. Lalu 

membuat putaran sekali. Kaki kanannya menendang 

ke arah Kiai Lidah Wetan, sementara tangan kiri ka-

nannya menghantam ke arah kepala Kiai Laras.

Wuutt! Wuutt!

Terdengar deruan angker tatkala tendangan dan 

hantaman kedua tangan itu menggebrak. Jelas hal itu 

dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

Kiai Lidah Wetan cepat angkat kedua tangannya di-

palangkan di depan dada. Sementara Kiai Laras tarik


ke belakang kepalanya lalu kelebatkan kedua tangan-

nya menghadang kedua tangan Setan Liang Makam.

Dess! Dess!

Dua benturan keras terdengar. Kiai Lidah Wetan 

dan Kiai Laras tampak mundur satu tindak. Sebalik-

nya Setan Liang Makam terdorong ke belakang. Namun 

belum sampai dorongan akibat bentroknya hantaman 

itu menyapu, Setan Liang Makam telah jejakkan kaki 

kirinya yang tadi dibuat sebagai tumpuan tubuh. So-

sok manusia yang hanya terdiri dari kerangka ini 

membal ke udara.

Di atas udara, Setan Liang Makam membuat gera-

kan jungkir balik satu kali. Saat sosoknya meluncur,

kedua tangannya bergerak lepas satu pukulan dahsyat 

ke arah Kiai Lidah Wetan yang berada dekat dengan-

nya.

Kiai Lidah Wetan tak tinggal diam. Begitu gelom-

bang dahsyat melabrak, kedua tangannya segera dido-

rong ke atas. Dari arah samping, Kiai Laras pun tiba-

tiba melepas satu pukulan.

Blammm!

Suara gelombang ombak terdengar ditingkah oleh 

suara dentuman dahsyat hingga saat itu laksana terja-

di serangan badai yang disertai gemuruh guntur.

Sosok Setan Liang Makam tampak terpelanting ke 

udara sampai tiga tombak. Laki-laki ini perdengarkan 

seruan tertahan. Untuk beberapa saat tubuhnya tam-

pak melayang ke bawah. Hebatnya, dalam keadaan be-

gitu rupa, Setan Liang Makam masih mampu kuasai 

diri. Satu tombak lagi tubuhnya sampai di bawah, dia 

sentakkan kedua tangannya ke samping.

Wuutt! Wuutt!

Secara aneh, tiba-tiba sosok Setan Liang Makam 

laksana ditahan tembok besar. Hingga sosoknya ter-

henti di atas udara. Dia hanya melirik sebentar. Kejap


lain tubuhnya melesat ke arah sosok Kiai Lidah Wetan 

yang terlihat terhuyung-huyung.

Kiai Lidah Wetan tampak terkesiap. Dia melirik pa-

da Kiai Laras. Kiai Laras sendiri tampak memberi isya-

rat. Kiai Lidah Wetan angkat kedua tangannya sambil 

coba kuasai huyungan tubuhnya.

Namun gerakan Kiai Lidah Wetan kalah cepat den-

gan lesatan sosok Setan Liang Makam. Hingga baru sa-

ja kedua tangannya terangkat, kaki kanan Setan Liang 

Makam telah datang menyapu.

Dess!

Kiai Lidah Wetan melolong kesakitan. Sosoknya

langsung terbanting. Dan belum sempat dia bergerak 

bangkit, Setan Liang Makam telah tegak di sampingnya 

dengan seringai ganas. Tangan kanan kirinya cepat di-

angkat.

***

SEPULUH



Tahan!” Tiba-tiba Kiai Laras berteriak. Kedua tan-

gannya diangkat tinggi-tinggi tanda setiap saat dia bisa 

lepaskan satu pukulan.

Setan Liang Makam urungkan gerakan tangannya. 

Namun kakinya bergerak dan tahu-tahu kaki kanan-

nya telah menginjak perut Kiai Lidah Wetan. Saat ber-

samaan kepalanya berpaling pada Kiai Laras.

“Sebelum teman bangsat mu ini kubuat mampus, 

ada yang hendak kau katakan?!”

“Kau bisa membunuhnya. Tapi apa kau mampu 

menghadang pukulanku?!” tanya Kiai Laras. Sosoknya 

melompat ke depan dan tegak hanya lima langkah di 

depan Setan Liang Makam. Kedua tangannya bergetar

hebat, tanda tenaga dalam yang telah disalurkan pada 

kedua tangannya sudah pada tingkat tinggi.

Setan Liang Makam tertawa bergelak. Di bawahnya, 

Kiai Lidah Wetan tampak meringis dengan dada cemas. 

Dia bukannya melirik pada Setan Liang Makam, na-

mun matanya tertuju pada Kiai Laras.

Tiba-tiba Setan Liang Makam putuskan gelakan ta-

wanya. “Buka matamu lebar-lebar, Jahanam! Untuk 

membunuh teman keparatmu ini, aku hanya perlu ge-

rakkan kaki. Dan kedua tanganku ini bukan saja 

mampu menghadang pukulanmu, tapi sekaligus men-

gantarmu ke neraka bersama jahanam keparat ini!” Se-

tan Liang Makam tekankan kaki kanannya.

Kiai Lidah Wetan mengaduh dengan kaki melejang-

lejang. Setan Liang Makam kembali tertawa bergelak.

“Baik! Kembang Darah Setan akan kuserahkan pa-

damu! Tapi lepaskan dulu temanku itu!” kata Kiai La-

ras.

Setan Liang Makam gelengkan kepala. “Kau kira bi-

sa menipuku lagi, hah?! Serahkan Kembang Darah Se-

tan itu dahulu, baru kulepaskan temanmu ini!”

Kiai Laras balik tertawa mendengar ucapan Setan 

Liang Makam. “Harga nyawa seorang teman tidak ada 

apa-apanya dibanding dengan Kembang Darah Setan! 

Dan kalau kau tidak setuju dengan syarat ku, silakan 

bunuh temanku itu! Tapi kau tak akan mendapatkan 

apa yang kau minta!”

Kiai Lidah Wetan makin khawatir dan tegang. “Kau!” 

katanya dengan suara tersendat. “Mengapa tega kor-

bankan nyawaku! Kau menipuku!”

“Keadaan mengharuskan demikian, Sahabat!” enak 

saja Kiai Laras menyahut. Lalu berpaling dan teruskan 

ucapan.

“Setan Liang Makam! Aku tanya sekali lagi padamu. 

Kau masih ingin Kembang Darah Setan atau tidak?!”


“Tunjukkan dahulu barangnya!” teriak Setan Liang 

Makam.

Kiai Laras turunkan tangan kirinya. Sementara tan-

gan kanan tetap berada di atas. Tangan kirinya terus 

bergerak menyelinap ke balik pakaiannya. Tatkala tan-

gan itu ditarik keluar, tampak sinar berwarna merah, 

hitam, dan putih memancar dari setangkai kembang 

berdaun tiga buah berwarna merah, hitam, dan putih. 

Sementara kuncupnya yang juga berwarna merah 

tampak lesatkan cahaya mencorong ke atas.

“Kembang Darah Setan-ku...,” gumam Setan Liang 

Makam.

“Lepaskan dia, atau kembang ini akan mengantar-

mu ke neraka!” bentak Kiai Laras sambil acungkan 

Kembang Darah Setan di tangan kirinya.

Setan Liang Makam melirik pada gerakan tangan ki-

ri Kiai Laras yang memegang Kembang Darah Setan. 

Dia tahu bagaimana kedahsyatan kembang yang per-

nah dimilikinya itu. Perlahan-lahan kini dadanya di-

landa kecemasan. Dia yakin dengan mudah dapat 

mengatasi kedua orang pemuda itu. Namun dengan 

Kembang Darah Setan di tangan salah satunya, dia 

menjadi bimbang.

“Keinginanmu ku penuhi, Keparat! Tapi jangan 

mimpi kau dapat menipuku lagi! Dan jangan anggap 

aku tak mampu mencabut selembar nyawamu meski 

kau menggenggam Kembang Darah Setan!”

“Setan Liang Makam! Turunkan kakimu dan biar-

kan dia bangkit!” kata Kiai Laras ketika dilihatnya Se-

tan Liang Makam belum juga turunkan kaki kirinya 

dari perut Kiai Lidah Wetan.

“Hem.... Tampaknya nyawa pemuda ini begitu ber-

harga bagi dirinya...,” gumam Setan Liang Makam da-

lam hati. Lalu sambil tertawa dia berkata.

“Lemparkan dahulu Kembang Darah Setan itu!”


“Jahanam keparat!” maki Kiai Laras. “Aku menda-

patkan Kembang Darah Setan ini dengan perjanjian 

kau kubebaskan dari makam batu! Itu berarti aku 

mendapatkannya dengan cara jujur! Kau sebenarnya 

yang hendak menipuku saat itu!”

“Lalu apa maumu sekarang?!” tanya Setan Liang 

Makam.

“Lepaskan dia dahulu!”

“Baik! Tapi kalian akan menyesal jika menipuku!”

“Aku belum pernah menipumu! Kau sendiri yang 

saat itu menyetujui persyaratan ku!” sahut Kiai Laras 

sambil memandang tajam.

Perlahan-lahan Setan Liang Makam angkat kaki ki-

rinya dari perut Kiai Lidah Wetan. Kiai Lidah Wetan 

sendiri segera bergerak bangkit. Namun baru saja ka-

kinya akan melangkah, tangan kiri Setan Liang Makam 

telah bergerak mencekal lengannya.

“Kembang Darah Setan itu serahkan dahulu!”

Kiai Laras gelengkan kepala. “Kau yang hendak me-

nipuku! Bebaskan dia dahulu! Dan biarkan dia me-

langkah mendekat kemari! Atau kau tak akan menda-

pat apa-apa malah nyawamu akan putus saat ini juga!”

Setan Liang Makam ikut-ikutan gelengkan kepala. 

“Begini saja! Letakkan Kembang Darah Setan itu dahu-

lu! Temanmu akan kulepaskan!”

Tanpa pikir panjang lagi, Kiai Laras lorotkan tubuh. 

Dan perlahan diletakkan Kembang Darah Setan di ba-

wahnya.

“Bagus! Sekarang kau mundur!” kata Setan Liang 

Makam sambil melangkah maju dengan tangan kiri 

masih mencekal lengan Kiai Lidah Wetan.

Kiai Laras menatap angker pada Setan Liang Ma-

kam. Lalu dia surutkan langkah ke belakang. Kiai Li-

dah Wetan kernyitkan dahi. “Apa dia sudah gila hen-

dak memberikan begitu saja Kembang Darah Setan?!

Apa yang ada dalam benaknya?! Percuma bertahun-

tahun menanti kalau pada akhirnya harus begini! Dan 

tahu begini apa yang akan terjadi, aku tidak akan tu-

ruti ucapannya!” kata Kiai Lidah Wetan dalam hati se-

raya terus arahkan pandang matanya pada Kembang 

Darah Setan yang ada di bawah.

“Bagus! Terus mundur!” teriak Setan Liang Makam 

sambil terus maju.

Kiai Laras teruskan langkahnya ke belakang. Se-

mentara kedua tangannya berada di atas kepala siap 

lepaskan pukulan.

Begitu dua langkah dari Kembang Darah Setan, 

laksana terbang Setan Liang Makam melompat dan 

serta-merta menyambar Kembang Darah Setan. Di lain 

pihak, begitu Setan Liang Makam melompat, Kiai Lidah

Wetan segera berkelebat.

Sebenarnya Kiai Lidah Wetan sudah punya rencana 

hendak mendahului gerakan Setan Liang Makam. Na-

mun karena sadar gerakannya sudah terlambat, ak-

hirnya dia memutuskan untuk berlari ke arah Kiai La-

ras.

“Kau gila! Mengapa kau berikan begitu saja?!” desis 

Kiai Lidah Wetan begitu sosoknya berada di samping 

Kiai Laras.

“Jangan banyak bertanya! Sekarang kita tinggalkan 

tempat ini!”

Kiai Laras tidak menunggu sahutan. Begitu sua-

ranya selesai, sosoknya telah berkelebat.

“Ada apa dengan dia?! Kembang Darah Setan telah 

berada di tangan Setan Liang Makam, hanya serahkan 

nyawa kalau tetap berada di sini!”

Berpikir begitu, akhirnya Kiai Lidah Wetan segera 

berkelebat mengejar Kiai Laras.

Sementara begitu Kembang Darah Setan telah ter-

genggam di tangannya, Setan Liang Makam tertawa


bergelak. Dia tidak lagi pedulikan Kiai Lidah Wetan 

dan Kiai Laras yang terus berkelebat menjauh.

Puas tertawa, baru Setan Liang Makam teringat 

akan Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras. Namun sosok 

dua pemuda itu sudah tidak kelihatan lagi.

‘“Kalian boleh saja lolos! Tapi jangan harap kalian 

dapat tempat untuk sembunyi! Kalian telah membuat 

satu perhitungan dengan Setan Liang Makam. Dan itu 

tidak akan pernah selesai!”

Habis berkata begitu, cepat-cepat Setan Liang Ma-

kam masukkan Kembang Darah Setan ke balik pa-

kaiannya. Sekali membuat gerakan, sosok Setan Liang 

Makam melesat tinggalkan teluk.

Di tempat persembunyiannya, Kiai Tung-Tung tam-

pak masih belum bisa kuasai rasa terkesimanya meli-

hat apa yang baru saja terjadi. Sejak Kembang Darah 

Setan dikeluarkan Kiai Laras, sepasang matanya terus 

membelalak tak berkesip. Dia baru kedipkan mata be-

gitu melihat Setan Liang Makam berkelebat tinggalkan 

teluk.

“Aneh.... Mengapa dia enak saja serahkan Kembang 

Darah Setan?! Padahal dengan benda itu pemuda yang 

tadi memegang Kembang Darah Setan tentu mampu 

melawan Setan Liang Makam! Dan kulihat mereka 

berdua juga tidak bersungguh-sungguh memberikan 

perlawanan ketika bentrok! Ada yang tidak beres.... 

Aku harus mengikuti....”

Kiai Tung-Tung segera keluar dari balik batu ka-

rang. Setelah memperhatikan berkeliling, dia berkele-

bat.

***

Agak jauh dari kawasan teluk, Kiai Laras yang ber-

kelebat di sebelah depan hentikan larinya.

“Kau telah gila! Mengapa Kembang Darah Setan kau


berikan padanya?!” Kiai Lidah Wetan sudah menyem-

prot begitu berhenti di sebelah Kiai Laras. Dan belum 

sempat Kiai Laras buka mulut, Kiai Lidah Wetan sudah

teruskan ucapannya.

“Rupanya akan sia-sia penantian kita selama ini! 

Lebih dari itu kau telah membuat jalan malapetaka 

bagi kita berdua! Sejak semula aku sudah ragu-ragu.... 

Nyatanya keraguan ku terbukti! Kita dijebak orang!”

Kiai Laras tidak menyahut. Sebaliknya dia meman-

dang ke jurusan dari mana dia tadi datang. Sepasang 

matanya menatap tak berkesip menembusi kepekatan 

malam.

“Aneh.... Dia sepertinya tidak merasa menyesal den-

gan berpindahnya Kembang Darah Setan ke tangan 

Setan Liang Makam.... Ada apa sebenarnya ini?!” Di-

am- diam Kiai Lidah Wetan membaca sikap Kiai Laras.

“Lidah Wetan.... Kita ikuti ke mana Setan Liang Ma-

kam pergi...,” bisik Kiai Laras tanpa melihat pada 

orang.

“Kau benar-benar gila! Untuk apa kita mengiku-

tinya?! Kita hanya akan cari mati percuma! Dia mem-

bekal Kembang Darah Setan!”

Kiai Laras berpaling. Bibirnya sunggingkan senyum. 

“Aku tak peduli apa bekal setan itu! Yang jelas kesem-

patan ini tidak boleh kita sia-siakan!”

“Aku tak mengerti jalan pikiranmu!” ujar Kiai Lidah 

Wetan.

“Nanti kau akan mengerti. Sekarang ikuti aku!”

Seolah tidak sabar, Kiai Laras segera tarik tangan 

Kiai Lidah Wetan dan diseretnya berlari tinggalkan 

tempat itu.

Meski dengan menduga-duga akhirnya Kiai Lidah 

Wetan mengikuti ke mana Kiai Laras berlari. Namun 

ketika dia melihat Kiai Laras mengikuti berkelebatnya 

satu sosok tubuh di depan sana, Kiai Lidah Wetan tak


bisa lagi menahan dugaan. Apalagi ia mulai dapat me-

nangkap siapa adanya sosok yang diikuti.

“Laras.... Aku tak akan mengikuti langkahmu sebe-

lum kau jelaskan semua ini!”

Sambil terus berlari, Kiai Laras berkata dengan sua-

ra direndahkan.

“Aku tidak sebodoh yang dikira manusia setan yang 

kita ikuti itu! Kau tak usah khawatir! Kita tidak akan 

membuat urusan dengannya. Kita hanya perlu tahu ke 

mana dia hendak pergi!”

“Tapi itu sangat berbahaya. Kembang Darah Setan 

telah di tangannya...!”

Kiai Laras menoleh. “Aku tanya. Kau mau apa ti-

dak?!”

“Tapi kita harus memperhitungkan diri!”

“Kalau aku tidak memperhitungkan diri, apa kau 

kira aku berani melakukan ini?!”

Kiai Lidah Wetan tergagu diam. Dan tanpa berkata 

apa-apa lagi akhirnya Kiai Lidah Wetan mengikuti ber-

kelebatnya Kiai Laras yang terus berlari seraya tak 

henti-hentinya memperhatikan kelebatan sosok di de-

pan sana yang bukan lain adalah Setan Liang Makam. 

Kiai Laras sendiri tampak berhati-hati. Dia sengaja 

menjaga jarak agar Setan Liang Makam tidak merasa 

kalau dirinya sedang diikuti. Bahkan sesekali Kiai La-

ras menyelinap ke balik batangan pohon begitu dili-

hatnya Setan Liang Makam memperlambat larinya.

Ketika malam menjelang berujung, dan samar-

samar langit disemaraki warna kemerahan, Kiai Laras 

mulai dapat menduga ke mana arah yang dituju Setan 

Liang Makam.

“Aku tidak lupa! Ini adalah arah menuju Kampung 

Setan.... Hem.... Rupanya rahasia itu masih berada di

sana....”

Di lain pihak, Kiai Lidah Wetan pun tampaknya bisa


membaca arah Setan Liang Makam. Orang ini segera 

buka mulut.

“Laras.... Tentunya kita sudah bisa menebak ke 

mana arah orang yang kita ikuti! Sebaiknya kita kem-

bali dari sini!”

“Kita akan kembali begitu kita tahu ke mana dia se-

benarnya!”

“Ini adalah jalan menuju Kampung Setan!” kata Kiai 

Lidah Wetan.

“Aku tahu! Tapi bukan itu maksudku! Aku ingin ta-

hu Kampung Setan sebelah mana yang ditujunya!”

Apa yang dipercakapkan Kiai Laras dengan Kiai Li-

dah Wetan benar adanya. Karena Setan Liang Makam 

memang tengah menuju Kampung Setan. Entah 

mungkin saking gembiranya telah mendapatkan Kem-

bang Darah Setan kembali, Setan Liang Makam tidak 

merasa kalau dirinya diikuti Kiai Laras dan Kiai Lidah 

Wetan. Dia terus berlari dengan sesekali perdengarkan 

tawa.

Setan Liang Makam baru memperlambat langkah-

nya tatkala memasuki sebuah kawasan sepi di ujung 

hutan di mana terlihat jajaran beberapa julangan batu 

karang tinggi yang melingkari sebuah tanah terbuka. 

Tempat ini tidak lain adalah sebuah tempat yang dike-

nai orang dengan Kampung Setan. (Tentang Kampung 

Setan silakan baca serial Joko Sableng dalam episode: 

“Rahasia Kampung Setan”).

Setan Liang Makam memandang berkeliling. Lalu 

melangkah perlahan-lahan memasuki tanah terbuka. 

Dia hentikan langkah dekat lobang menganga yang 

terbongkar.

“Makam sialan!” maki Setan Liang Makam. Dia te-

ringat bagaimana dia terjerumus masuk ke makam itu 

pada tiga puluh enam tahun silam dan harus hidup 

menderita hingga sekujur tubuhnya sekarang hanya


tinggal merupakan susunan kerangka tanpa daging.

Ingat akan hal itu, tiba-tiba di kelopak matanya ter-

bayang wajah seseorang. Sepasang mata Setan Liang 

Makam serta-merta mendelik angker. Kepalanya diten-

gadahkan dengan mulut mendesis.

“Kigali.... Hidupku belum tenang kalau tanganku 

belum merancah dan mengantarmu menyusul Dadaka 

ke liang neraka! Tunggulah Kigali...! Hidupmu tidak 

akan lama lagi! Kau boleh sembunyi, tapi jangan kira 

aku tak bisa menemukanmu! Ha.... Ha.... Ha...!”

Setan Liang Makam tertawa bergelak. Hingga untuk 

beberapa saat, tempat sunyi itu dipecah dengan gela-

kan tawa membahana. Agak jauh dari tempat Setan 

Liang Makam di tempat tersembunyi, Kiai Laras dan 

Kiai Lidah Wetan tekap telinga masing-masing untuk 

membendung suara gelakan tawa. Namun mata mas-

ing-masing orang terus memandang tak berkesip se-

tiap gerakan Setan Liang Makam.

Tanpa diketahui oleh Kiai Laras dan Kiai Lidah We-

tan, diam-diam sejak tadi sepasang mata tampak men-

delik memperhatikan dari satu tempat. Mata ini sese-

kali mengarah pada gerak-gerik Kiai Laras dan Kiai Li-

dah Wetan. Lalu saat lain memperhatikan gerakan Se-

tan Liang Makam.

“Hem.... Sepertinya kedua pemuda itu sengaja 

memberikan Kembang Darah Setan, lalu secara diam-

diam mengikuti.... Ketidak beresan itu makin terli-

hat...,” gumam si pemilik mata yang terus memperha-

tikan Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras serta Setan 

Liang Makam. Si pemilik mata ini ternyata bukan lain 

adalah Kiai Tung-Tung.

Sejak dari kawasan teluk, Kiai Tung-Tung secara 

diam-diam memang mengikuti Setan Liang Makam. 

Mula-mula dia dilanda kebimbangan antara mengikuti 

kelebatan Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan yang saat


itu menyamar sebagai Pendekar 131. Dia sebenarnya 

ingin menguak siapa sebenarnya dua pemuda itu. Na-

mun setelah berpikir agak panjang, akhirnya dia me-

mutuskan untuk mengikuti Setan Liang Makam.

Namun belum sampai berlari jauh, tiba-tiba Kiai 

Tung-Tung yang sebenarnya tidak lain adalah Pende-

kar 131 Joko Sableng, menangkap gerakan dua bayan-

gan putih yang berlari mengikuti Setan Liang Makam. 

Meski saat itu suasana gelap, namun dari pakaian 

yang dikenakan dua sosok putih, Kiai Tung-Tung den-

gan mudah bisa mengenali siapa adanya dua sosok 

yang mengikuti Setan Liang Makam.

Kiai Tung-Tung tidak bisa menduga ke mana dan 

apa yang hendak dilakukan Setan Liang Makam serta 

Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan. Hingga dia hanya ber-

lari dengan berusaha agar dirinya tidak diketahui oleh

beberapa orang yang dikuntitnya. Dan begitu Setan 

Liang Makam hentikan larinya pada tempat terbuka 

serta Kiai Lidah Wetan serta Kiai Laras sembunyi men-

dekam di satu tempat, Kiai Tung-Tung hentikan juga 

larinya lalu mencari tempat tersembunyi yang dapat 

melihat jelas gerak-gerik orang yang diikuti.

Sementara di tempat terbuka sana, Setan Liang 

Makam tampak tegak dengan kepala tengadah. Gela-

kan tawanya sudah terhenti. Tempat yang dikenal 

orang dengan Kampung Setan itu kembali dicekam ke-

sunyian menyentak. Sementara perlahan-lahan langit 

di atas sana sudah mulai terang, hingga semua gera-

kan Setan Liang Makam makin jelas kelihatan. Orang 

yang tubuhnya merupakan susunan kerangka ini ge-

rakkan kepala berpaling ke kanan. Di sana terlihat se-

buah batu altar.

Setan Liang Makam melangkah dua tindak ke bela-

kang. Tiba-tiba kedua tangannya diangkat. Kiai Laras 

dan Kiai Lidah Wetan memperhatikan dengan dada


berdebar. Sementara Kiai Tung-Tung masih juga belum 

bisa mengetahui apa yang hendak dilakukan orang.

Beberapa saat berlalu. Mendadak Setan Liang Ma-

kam sentakkan kedua tangannya. Terdengar deruan 

dahsyat. Bersamaan dengan itu tampak dua gelom-

bang angin luar biasa kencang melesat.

Brakkk! Brakkk!

Terdengar derakan keras dua kali. Lalu tampak 

muncratan keping-keping batu ke udara setinggi dua 

tombak. Ketika muncratan kepingan batu luruh kem-

bali, altar batu sudah tidak kelihatan lagi. Berubah 

menjadi sebuah lobang menganga besar!

Setan Liang Makam memperhatikan sesaat pada lo-

bang menganga. Lalu putar tubuh dengan mata mem-

perhatikan pada julangan beberapa batu karang tinggi. 

Begitu tubuhnya kembali ke arah semula, dia melang-

kah mendekati lobang.

“Gelap...,” gumam Setan Liang Makam begitu kepa-

lanya bergerak melongok. “Apa aku harus masuk?! Apa 

ucapan Nyai Suri Agung tidak bermaksud menjebakku 

dengan niat balas dendam akan apa yang pernah ku-

lakukan terhadapnya?!”

Untuk beberapa lama Setan Liang Makam berpikir 

dan menimbang-nimbang. “Hem.... Kembang Darah 

Setan telah berada di tanganku kembali! Dengan ben-

da ini tak ada yang perlu ditakutkan! Sekalipun harus 

berhadapan dengan Nyai Suri Agung!”

Memutuskan begitu, pada akhirnya Setan Liang 

Makam membuat gerakan satu kali. Saat itu juga so-

soknya melesat masuk ke dalam lobang menganga!

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?!” tanya 

Kiai Lidah Wetan begitu sosok Setan Liang Makam le-

nyap masuk ke dalam lobang.

Kiai Laras tidak segera menjawab. Dia hanya mem-

perhatikan ke lobang di mana tadi Setan Liang Makam


melesat masuk. Dalam hati diam-diam dia berkata. 

“Tak kusangka jika di situ rahasianya! Hem.... Lidah 

Wetan tidak boleh tahu apa rencanaku! Itu akan kula-

kukan sendiri!”

“Kita tinggalkan tempat ini!” Kiai Laras buka suara. 

Dan tanpa menunggu sambutan dari Kiai Lidah Wetan, 

Kiai Laras keluar dari tempat persembunyiannya dan 

saat lain dia berkelebat.

“Aneh.... Apa sebenarnya yang ada dalam benak-

nya?! Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu pada-

ku! Dia memberikan begitu saja Kembang Darah Se-

tan. Lalu diam-diam mengikuti jejak Setan Liang Ma-

kam. Tapi tanpa melakukan sesuatu.... Hem.... Aku 

harus segera mengetahui ada apa di balik semua ini!”

Setelah membatin begitu, Kiai Lidah Wetan menga-

wasi ke arah lobang sejenak, lalu berkelebat menyusul 

Kiai Laras yang sudah berlari jauh di depan sana.

Di tempat lain, Kiai Tung-Tung kembali dilanda ke-

bimbangan. Antara mengikuti dua pemuda yang me-

nyamar sebagai Pendekar 131 dan menguntit apa yang 

dilakukan Setan Liang Makam.

“Hem.... Kembang Darah Setan sudah kembali pada 

pemiliknya. Berarti urusan Setan Liang Makam kurasa 

sudah selesai. Sekarang aku harus tahu siapa sebe-

narnya dua pemuda itu!”

Kiai Tung-Tung gerakkan kepala dengan mata men-

gawasi seantero di mana dia berada. Sesaat dia masih 

dilanda keragu-raguan. Namun setelah berpikir lagi, 

dia akhirnya keluar dari tempat mendekamnya lalu 

berlari mengikuti Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan.

***


SEBELAS


Ketika sudah jauh dari Kampung Setan dan mata-

hari sudah menggantung tinggi di belahan langit timur, 

Kiai Laras tiba-tiba hentikan larinya. Begitu sosoknya 

berhenti, laksana kilat dia putar tubuh. Sepasang ma-

tanya menyengat tajam memperhatikan ke depan. Te-

linganya dipasang baik-baik.

Kiai Lidah Wetan serta-merta ikut berhenti. Dan se-

perti halnya Kiai Laras, ia juga cepat balikkan tubuh. 

Kepalanya bergerak memutar. Sepasang matanya liar 

melihat berkeliling.

“Aku merasa ada jahanam yang mengikuti kita!” 

gumam Kiai Laras tanpa alihkan pandang matanya.

Kiai Lidah Wetan sambuti gumaman Kiai Laras den-

gan anggukkan kepala. Lalu berbisik. “Kita belum tahu 

siapa yang kita hadapi! Untuk lebih amannya, kita ha-

rus berpencar dan segera berganti wajah!”

Kiai Lidah Wetan berucap begitu sebenarnya den-

gan maksud agar dia segera bisa menyelidik apa yang 

selama ini jadi tanda tanya besar tentang sikap Kiai 

Laras.

Di lain pihak, Kiai Laras pun sebenarnya ingin sege-

ra menyelidik apa yang akan dilakukan Setan Liang 

Makam. Maka begitu mendengar bisikan Kiai Lidah 

Wetan, dia berbalik berbisik.

“Kita berpisah di sini! Di tempat yang telah kita ten-

tukan, kita nanti bertemu sesuai waktu yang telah kita 

atur!”

Kiai Lidah Wetan memandang sesaat pada adiknya. 

Entah apa yang dipikirkannya, yang jelas dia terse-

nyum lalu berkelebat menuju arah selatan. Bersamaan

dengan melesatnya sosok Kiai Lidah Wetan, Kiai Laras 

pun berkelebat ke arah utara.


Berjarak lima belas tombak dari tempat di mana ta-

di Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan berhenti, Kiai Tung-

Tung yang tampak telungkup sejajar tanah bergumam 

sendiri.

“Hampir saja.... Terlambat sedikit, pasti mereka 

akan melihatku”

Habis bergumam, Kiai Tung-Tung arahkan pandang 

matanya pada Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan. Dia ti-

dak bisa mendengar dengan jelas apa yang diperbin-

cangkan kedua orang ini. Dia hanya bisa melihat gera-

kan orang. Dan tiba-tiba keningnya berkerut tatkala 

mendadak saja salah satu pemuda yang diikutinya 

berkelebat ke arah selatan. Belum bisa menduga dan 

belum tahu apa yang harus dilakukan, kembali dia 

terbelalak demi melihat pemuda satunya membuat ge-

rakan berkelebat ke arah utara.

“Busyet! Mereka berpencar! Tampaknya mereka cu-

riga kalau kuikuti! Hem.... Siapa yang harus kuikuti 

sekarang?! Yang ke arah selatan atau utara?!”

Kiai Tung-Tung bergerak bangkit. Setelah merasa 

yakin keadaan aman, tanpa pikir panjang lagi dia sege-

ra berlari ke arah selatan, arah yang diambil oleh Kiai 

Lidah Wetan.

Kalau tadi Kiai Tung-Tung mengikuti secara diam-

diam, kini dia berlari tanpa sembunyi-sembunyi lagi. 

Dia berlari dengan kerahkan segenap ilmu peringan 

tubuhnya hingga dalam beberapa saat dia telah dapat 

menangkap kelebatan orang yang dikejar.

“Hai! Tunggu” Kiai Tung-Tung berteriak begitu jarak 

antara dia dengan orang yang dikejar hanya terpaut 

beberapa tombak.

Kiai Lidah Wetan rupanya sudah merasa kalau di-

rinya diikuti. Namun dia seolah tidak dengar teriakan

orang. Malah dia mempercepat larinya. Dan diam-diam 

dia salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya.


“Hai! Tunggu” kembali Kiai Tung-Tung berteriak.

Di depan sana, Kiai Lidah Wetan tiba-tiba saja ber-

henti. Malah langsung putar tubuh. Namun bersa-

maan dengan berputarnya tubuh, kedua tangannya 

bergerak lepaskan satu pukulan jarak jauh bertenaga 

dalam tinggi.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang angker melesat ganas ke arah Kiai 

Tung-Tung. Kiai Tung-Tung tampak sedikit tersentak 

kaget karena tidak menduga sama sekali. Namun laki-

laki bercaping lebar ini cepat melompat ke samping. 

Kedua tangannya dikelebatkan ke arah gelombang 

yang melesat dari kedua tangan Kiai Lidah Wetan.

Bummm!

Terdengar ledakan keras saat dua gelombang puku-

lan Kiai Lidah Wetan disambut gelombang yang me-

nyambar dari kedua tangan Kiai Tung-Tung. Meski 

Kiai Tung-Tung tidak arahkan pandangannya lurus ke 

arah Kiai Lidah Wetan, namun bentroknya dua tenaga 

dalam membuat sosok Kiai Lidah Wetan bergoyang-

goyang dan kedua tangannya bergetar. Paras wajahnya 

seketika berubah. Antara marah dan rasa menyentak-

nyentak pada aliran jalan darahnya.

Di seberang samping, Kiai. Tung-Tung tampak tegak 

dengan tangan satu di atas kepala menekan caping le-

barnya yang hendak lepas terbang. Sementara tangan 

satunya dikibas-kibaskan dengan mulut meringis!

“Apa maumu?!” bentak Kiai Lidah Wetan sambil 

angkat kedua tangannya kembali.

“Tahan, Sahabat!” sahut Kiai Tung-Tung. “Aku cu-

ma ingin bertanya....”

Kiai Lidah Wetan pandangi sekujur tubuh orang da-

ri atas hingga bawah seolah ingin mengenali. Namun 

karena caping lebar itu masuk hampir menutupi sepa-

ruh dari paras muka Kiai Tung-Tung, apalagi rambut


nya yang panjang sengaja digeraikan di bagian samp-

ing kanan kiri wajahnya, membuat Kiai Lidah Wetan 

sulit untuk mengenali siapa adanya orang ini.

“Apa manusia ini yang mengikuti langkahku dan 

Laras sejak keluar dari kawasan hutan dekat Kampung 

Setan tadi?!” Kiai Lidah Wetan diam-diam menduga. 

Lalu ajukan tanya dengan suara keras.

“Siapa kau?!”

“Namaku Bim-Bim...,” ujar Kiai Tung-Tung setelah 

agak lama terdiam. “Bukankah aku sedang berhada-

pan dengan pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 

131 Joko Sableng?!”

Sesaat Kiai Lidah Wetan kerutkan dahi. “Kau telah 

mengenalku! Sekarang katakan apa maumu!”

Tiba-tiba Kiai Tung-Tung perdengarkan tawa berge-

lak panjang. Namun laksana dirobek setan, Kiai Tung-

Tung putuskan gelakan tawanya. Kejap lain dia per-

dengarkan suara bentakan.

“Bagus! Aku mendapat tugas untuk meminta sesua-

tu darimu! Kalau kau turuti permintaanku, nyawamu 

akan selamat! Jika tidak, aku akan mengambil apa 

yang kuminta beserta nyawamu sekalian!”

“Jahanam! Pasti yang dimaksud adalah Kembang 

Darah Setan.... Hem.... Rupanya dia tidak memiliki il-

mu rendah! Aku harus dapat segera menyelesaikan-

nya! Jika tidak, dia akan menunda pekerjaanku....”

“Apa yang kau minta?!” Kiai Lidah Wetan bertanya 

dengan kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan-

nya. Dia coba kerahkan segenap tenaga dalam yang 

dimiliki, karena dari bentrok pukulan tadi, dia sudah 

maklum jika orang yang dihadapi punya kekuatan 

yang tidak rendah.

Kiai Tung-Tung kembali perdengarkan kekehan ta-

wa. “Serahkan Kembang Darah Setan padaku!”

Entah karena merasa mungkin urusan akan selesai


dengan bicara baik-baik, Kiai Lidah Wetan yang saat 

itu menyamar sebagai murid Pendeta Sinting sung-

gingkan senyum sambil berkata. Nadanya kalem.

“Aku maklum jika kau minta benda itu padaku, ka-

rena rimba persilatan saat ini memang telah beredar 

berita jika Kembang Darah Setan ada padaku! Namun 

perlu kau ketahui.... Berita ini sebenarnya fitnah dan 

omong kosong! Kembang Darah Setan tidak ada di 

tanganku!”

“Manusia ini pandai juga berdalih.... Sayangnya aku 

tadi tak bisa membedakan mana yang memberikan 

Kembang Darah Setan pada Setan Liang Makam.... Ta-

pi itu tidak penting! Yang penting aku harus tahu sia-

pa di balik kedoknya!” Diam-diam Kiai Tung-Tung ber-

kata sendiri dalam hati. Lalu berkata.

“Seandainya aku jadi kau, tentu aku akan menja-

wab dengan ucapan yang sama! Tapi sayangnya aku 

lebih percaya pada berita yang saat ini beredar! Kem-

bang Darah Setan berada di tanganmu! Dan kau telah 

dengar apa permintaanku!” Kiai Tung-Tung maju me-

langkah tiga tindak. “Sahabat Muda.... Dunia mu ma-

sih panjang dibanding duniaku yang hanya tinggal 

menunggu saat-saat terakhir panggilan ajal! Kau tentu 

masih bisa memperoleh sesuatu yang lebih dahsyat 

daripada Kembang Darah Setan. Maka dari itu, aku....”

Belum sampai Kiai Tung-Tung lanjutkan ucapan, 

Kiai Lidah Wetan telah memotong.

“Telingamu telah dengar penjelasanku! Kuperintah-

kan kau angkat kaki dari hadapanku jika kau tak in-

gin ajal itu menjemput mu sekarang!”

Kiai Tung-Tung tersenyum sambil gelengkan kepala. 

“Tadi sudah kukatakan, aku adalah orang yang men-

dapat tugas untuk meminta darimu! Bagiku.... Daripa-

da pulang dengan tangan hampa lebih baik pulang 

tanpa nama! Karena pulang pun aku harus menerima


kematian juga!”

Karena sadar tidak bisa menyelesaikan urusan den-

gan bicara baik-baik, tanpa pikir panjang lagi Kiai Li-

dah Wetan segera tarik kedua tangannya ke belakang.

“Aku peringatkan kau sekali lagi! Angkat kaki atau 

mampus di sini!”

“Keduanya tidak ada yang ku pilih! Aku minta Kem-

bang Darah Setan!” jawab Kiai Tung-Tung.

Wuutt! Wuutt!

Suara jawaban Kiai Tung-Tung belum selesai, Kiai 

Lidah Wetan telah sentakkan kedua tangannya ke de-

pan. Hingga bersamaan dengan itu dua gelombang 

menggidikkan menggebrak. Dan samar-samar tampak 

semburatan warna hitam menyertai gelombang yang 

datang.

Kiai Tung-Tung maklum jika pukulan yang dilepas 

orang kali ini bertenaga dalam tinggi. Dia tidak mau 

bertindak ayal. Dia cepat kerahkan tenaga dalam pada 

kedua tangannya. Serta-merta kedua tangannya beru-

bah menjadi kekuningan. Menunjukkan kalau dia 

hendak hadang pukulan orang dengan lepaskan puku-

lan ‘Lembur Kuning’.

Wuutt! Wuutt!

Kedua tangan Kiai Tung-Tung bergerak. Terlihat si-

nar kuning melesat membawa serta gelombang dahsyat 

dan hawa luar biasa menyengat panas.

Blaarr!

Untuk kedua kalinya terdengar ledakan dahsyat.

Gelombang yang samar-samar disemburati warna 

hitam dari kedua tangan Kiai Lidah Wetan buyar. Sinar 

kuning yang melesat dari kedua tangan Kiai Tung-

Tung tampak pula ambyar.

Sosok Kiai Lidah Wetan terjengkang jatuh di atas 

tanah. Dari mulutnya mengucurkan darah. Tanda jika 

telah terluka dalam. Namun Kiai Lidah Wetan tampak

nya sadar akan apa yang hendak dilakukan orang, 

hingga meski merasakan aliran darah sekujur tubuh-

nya laksana tersumbat dan menyentak-nyentak, Kiai 

Lidah Wetan segera salurkan tenaga dalam kembali, la-

lu dengan cepat bergerak bangkit.

Sementara di depan sana, Kiai Tung-Tung tampak 

terdorong deras ke belakang dan hampir saja lututnya 

terlipat. Tapi dia cepat dapat kuasai diri meski dengan 

tubuh terhuyung-huyung. Sosoknya bergetar keras. 

Sepasang matanya mengerjap beberapa kali. Caping 

lebarnya mencelat dan melayang-layang di atas udara.

Karena mungkin tidak mau dikenali dengan me-

layangnya caping di kepalanya, Kiai Tung-Tung segera 

berkelebat menyambar capingnya. Dan cepat-cepat pu-

la dikenakan.

Kiai Lidah Wetan sesaat tampak sipitkan mata 

tatkala melihat gerakan Kiai Tung-Tung yang me-

nyambar caping lebarnya. Dia tadi coba mengenali wa-

jah orang. Namun karena dia masih pikirkan keadaan 

dirinya dan kelebatan Kiai Tung-Tung sangat cepat, 

membuat Kiai Lidah Wetan belum bisa dengan jelas 

melihat raut muka orang.

“Siapa jahanam ini sebenarnya?! Rasanya aku tak 

mungkin menghadapinya!” Kiai Lidah Wetan rupanya 

maklum akan gelagat. Dia melirik ke samping kiri ka-

nan. Kejap lain dia sentakkan kedua tangannya le-

paskan pukulan ke arah Kiai Tung-Tung.

Kembali dua gelombang angin dahsyat menggebrak 

ganas ke arah Kiai Tung-Tung. Bersamaan dengan 

menggebraknya gelombang, Kiai Lidah Wetan berkele-

bat tinggalkan tempat itu.

“Serahkan dulu Kembang Darah Setan! Baru kau 

bisa pergi dengan tenang!” teriak Kiai Tung-Tung sam-

bil dorong kedua tangannya lepaskan lagi pukulan 

sakti ‘Lembur Kuning’. Dan begitu kedua tangannya


mendorong, Kiai Tung-Tung segera pula berkelebat 

mengejar.

Bummm!

Bentroknya dan pukulan menimbulkan gelegar 

dahsyat. Tanah di mana pukulan bertemu tampak 

semburat ke udara menutupi pemandangan.

Meski sosok Kiai Lidah Wetan dan Kiai Tung-Tung 

sudah berkelebat ketika gelegar terdengar, namun bias 

bentroknya dua pukulan tak bisa dihindari. Hingga ke-

lebatan sosok Kiai Lidah Wetan terlihat bergoyang-

goyang. Demikian pula sosok Kiai Tung-Tung. Namun 

Kiai Lidah Wetan tak hendak hentikan larinya.

“Aku harus menghentikannya!” Kiai Tung-Tung 

angkat kedua tangannya. Dia sengaja arahkan puku-

lan ke bawah. Namun baru saja Kiai Tung-Tung hen-

dak lepaskan pukulan, dari arah samping melesat si-

nar tiga warna. Merah, hitam, dan putih!

Kiai Tung-Tung sempat terkesiap. Tapi dia cepat sa-

dar. Kedua tangannya buru-buru disentakkan ke arah 

datangnya sinar tiga warna.

Kiai Tung-Tung terkesima kaget. Gelombang angin 

dari kedua tangannya serta-merta buyar. Sementara 

sinar tiga warna laksana tak terbendung dan terus me-

labrak. Malah saat itu juga sosok Kiai Tung-Tung ter-

dorong deras ke belakang!

“Jangkrik! Siapa orang yang menghadang ini?!” 

omel Kiai Tung-Tung seraya angkat kembali kedua

tangannya dan kali ini lepas pukulan ‘Lembur Kuning’ 

ke arah sinar tiga warna.

Tass! Tasss!

Sinar tiga warna tampak meletup pancarkan pijaran 

api. Pijaran api itu meletup lalu menebar dua tombak 

ke udara.

Sosok Kiai Tung-Tung terhempas ke belakang. 

Meski tidak sampai jatuh, namun dia merasakan sekujur tubuhnya laksana dipanggang. Hingga untuk bebe-

rapa saat dia harus kerahkan hawa murni.

Begitu dapat kuasai diri, Kiai Tung-Tung cepat me-

lompat ke depan. Kepalanya berpaling ke arah dari 

mana tadi sinar tiga warna melesat. Sementara ma-

tanya melirik juga ke depan, arah kelebatan Kiai Lidah 

Wetan.

Namun Kiai Tung-Tung tidak melihat siapa-siapa. 

Dan begitu arahkan pandang matanya ke depan, sosok 

Kiai Lidah Wetan pun sudah lenyap!

Kiai Tung-Tung tak mau begitu saja lepaskan bu-

ruan. Dia coba mengejar ke arah kelebatan Kiai Lidah 

Wetan. Namun sampai dia berlari kira-kira dua puluh 

lima tombak, dia sadar jika buruannya dapat melo-

loskan diri, karena sampai sejauh ini Kiai Tung-Tung 

tidak melihat sosok Kiai Lidah Wetan!

Kiai Tung-Tung balikkan tubuh. “Siapa orang yang 

lepaskan pukulan tadi?! Baru kali ini aku melihat pu-

kulan bersinar tiga warna! Berarti aku belum pernah 

mengenalnya....” Kiai Tung-Tung membatin. Tiba-tiba 

dahinya berkerut. “Sinar tiga warna.... Tadi kulihat 

Kembang Darah Setan juga pancarkan sinar tiga war-

na saat tergenggam salah seorang di teluk.... Apakah 

Setan Liang Makam?! Tapi mungkinkah?! Bukankah 

Setan Liang Makam setidaknya punya urusan dengan 

orang yang kukejar?! Berarti ada orang lain.... Sia-

pa...?!”

Sambil terus membatin, Kiai Tung-Tung melangkah 

dengan mata menyelidik ke tiap jengkal tanah yang di-

lewati. Tapi sejauh ini dia tidak melihat siapa-siapa!

***

Sementara itu di Kampung Setan, Setan Liang Makam sejurus tampak terkejut begitu tubuhnya mema-

suki lobang bekas bongkaran altar batu. Ternyata lo-

bang menganga itu hanya delapan tombak. Dan tem-

pat di mana sekarang berpijak adalah batu cadas.

Setan Liang Makam cepat pentangkan mata. Me-

mandang ke depan, terlihat tangga menurun dari batu 

cadas. Dengan hati-hati Setan Liang Makam mulai me-

langkah menuruni tangga dengan kedua tangan siap 

lepaskan pukulan sewaktu-waktu.

Tangga menurun itu berakhir pada sebuah tempat 

terbuka yang bersinar terang. Setan Liang Makam te-

gak dengan mata tetap mementang besar.

“Sama sekali tak kuduga...,” desis Setan Liang Ma-

kam. Dia kini putar kepalanya memandang berkeliling. 

Ternyata tempat itu diterangi sinar tiga warna. Merah, 

hitam, dan putih! Dan memandang ke depan, terlihat 

sebuah bangunan yang membuat sepasang mata Setan 

Liang Makam tak berkesip.

Bangunan itu dari batu cadas biasa. Anehnya, ban-

gunan itu pancarkan sinar tiga warna. Dan anehnya 

lagi, ternyata bangunan itu membentuk setangkai 

bunga! Pada sisi kanan tampak sayap bangunan yang 

pancarkan sinar putih. Sedang pada sisi kiri tampak 

sayap bangunan yang pancarkan warna hitam. Di an-

tara sayap bangunan ini masih terlihat satu sayap 

bangunan lagi yang pancarkan sinar warna merah. 

Sementara pada bagian atas bangunan tampak ban-

gunan membentuk kerucut yang juga pancarkan sinar 

warna merah!

“Bentuknya mirip Kembang Darah Setan...,” gumam 

Setan Liang Makam. Lalu mulai melangkah mendaki 

bangunan yang pancarkan sinar tiga warna.

Begitu lima langkah di depan bangunan, Setan 

Liang Makam hentikan langkah. Dia baru bisa melihat 

dengan jelas. Ternyata bangunan itu berpintu satu dan


terlihat terbuka menganga.

“Apa yang akan kutemui di sini?!” Setan Liang Ma-

kam menduga-duga. Lalu teruskan langkah setelah 

terlebih dahulu memeriksa Kembang Darah Setan yang 

berada di balik pakaiannya.

Setan Liang Makam rasakan debaran keras pada 

dadanya tatkala kakinya mulai melangkah memasuki 

pintu bangunan. Dan diam-diam dia selinapkan tan-

gan kirinya ke balik pakaiannya.

Ternyata bangunan di mana kini Setan Liang Ma-

kam masuk hanya ruangan membentuk bundaran 

memanjang ke atas. Pada bagian sudut kanan terlihat 

tangga ke atas.

Setan Liang Makam memandang sekeliling sesaat. 

Lalu melangkah ke arah tangga. Dan tanpa pikir pan-

jang namun dengan tetap waspada, Setan Liang Ma-

kam menaiki tangga. Tangga itu membawa sosok Setan 

Liang Makam ke satu ruangan berbentuk kerucut yang 

merupakan bagian paling atas dari bangunan itu.

Ruangan berbentuk kerucut itu pancarkan sinar 

merah menyala. Hingga begitu menyalanya, membuat 

Setan Liang Makam harus mengerjap beberapa kali 

untuk menahan silau.

Begitu telah terbiasa, Setan Liang Makam mulai 

arahkan pandang matanya berkeliling. Dan gerakan

mata Setan Liang Makam terhenti pada satu batu da-

tar yang di atasnya tampak menggantung sebuah ju-

bah hitam.

Mata Setan Liang Makam kembali mementang be-

sar. Karena jubah itu menggantung pada satu sosok 

kerangka manusia!

“Siapa dia?! Diakah nenek moyang ku pendiri Kam-

pung Setan?!” seraya membatin, Setan Liang Makam 

melangkah mendekat.

Bukkk!


Setan Liang Makam tersentak. Tubuhnya laksana 

membentur dinding tebal dan tersurut satu langkah ke 

belakang!

“Aneh.... Mataku tidak melihat apa-apa. Tapi aku 

seperti membentur tembok! Aku tak percaya!”

Setan Liang Makam kembali maju melangkah.

Bukkk!

Kembali tubuh Setan Liang Makam laksana mem-

bentur tembok. Hingga untuk kedua kalinya sosoknya 

tersurut ke belakang.

“Aneh.... Akan ku coba dengan pukulan!” Setan 

Liang Makam angkat kedua tangannya. Dia mundur 

beberapa langkah. Lalu kedua tangannya bergerak.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang dahsyat melesat. Blaarr!

Terdengar gema gelegar. Setan Liang Makam terke-

siap. Gelombang pukulannya bukan saja laksana di-

bendung tembok berkekuatan luar biasa, namun juga 

mental balik! Dan karena tidak menyangka sama seka-

li, terlambat bagi Setan Liang Makam untuk membuat 

gerakan menghindar. Hingga tanpa ampun lagi tubuh-

nya tersambar oleh pukulannya sendiri yang mental. 

Sosoknya tersapu dan jatuh menghempas ke bagian 

belakang dinding bangunan di mana dia berada.

Setan Liang Makam memaki dalam hati. Seraya me-

ringis perlahan-lahan dia bangkit. Karena penasaran, 

kembali Setan Liang Makam angkat kedua tangannya. 

Kali ini dia lipat gandakan tenaga dalamnya.

“Kau telah dapatkan kembali Kembang Darah Se-

tan?!” Tiba-tiba satu suara mengejutkan Setan Liang 

Makam.

Setan Liang Makam sentakkan kepala ke samping 

kanan. “Nyai Suri Agung!” desis Setan Liang Makam. 

Dia melihat satu sosok tubuh duduk bersila di pojok 

ruangan. Dia adalah seorang nenek yang kepalanya


hampir-hampir saja plontos. Wajahnya sudah sangat 

keriput. Dia mengenakan pakaian warna putih. Nenek 

ini tidak lain memang Nyai Suri Agung adanya.

“Bagaimana dia bisa sampai di sini?! Mengapa aku 

tadi tidak bisa melihatnya?!”

Selagi Setan Liang Makam masih bertanya-tanya, 

Nyai Suri Agung sudah perdengarkan suara lagi.

“Maladewa! Kau sudah dapatkan kembali Kembang 

Darah Setan?!”

Setan Liang Makam memperhatikan sesaat. Lalu 

anggukkan kepala. Nyai Suri Agung sunggingkan se-

nyum. Lalu berkata.

“Bagus.... Kau baru bisa melewati dinding tak tem-

bus pandang itu jika dinding itu kau hantam dengan 

Kembang Darah Setan!” Nyai Suri Agung bergerak 

bangkit, lalu lanjutkan ucapan.

“Cucuku.... Kau saat ini berada di Istana Sekar Ja-

gat! Jubah hitam itu adalah Jubah Tanpa Jasad! Kau 

nanti akan tahu sendiri bagaimana hingga jubah hitam 

itu dinamakan demikian! Dan orang yang mengenakan 

jubah itu adalah generasi pertama pendiri Kampung 

Setan! Sekarang buka dahulu dinding tidak tembus 

pandang itu! Nanti akan kuceritakan semuanya!”

Setan Liang Makam sunggingkan senyum. Lalu 

tanpa berkata-kata lagi dia palingkan kepalanya ke de-

pan. Saat yang sama, tangan kanannya menyelinap ke 

balik pakaiannya. Ketika tangan kanannya ditarik ke-

luar, dia telah menggenggam setangkai bunga berwar-

na tiga. Merah, hitam, dan putih.

Nyai Suri Agung tampak memperhatikan kembang 

di tangan Setan Liang Makam dengan kening berkerut. 

Sementara Setan Liang Makam tampaknya sudah ti-

dak sabaran. Dia segera angkat Kembang Darah Setan

dan tangannya disentakkan.

Wuutt!


Setan Liang Makam terkesiap. Dari tangannya yang 

memegang Kembang Darah Setan tidak lepaskan sinar 

tiga warna! Yang mencuat justru satu gelombang tidak 

begitu deras.

Blummm!

Terdengar dentuman tidak begitu keras. Lalu ge-

lombang tadi mental. Setan Liang Makam tidak beru-

saha menghindar saking kagetnya. Hingga mentalan 

gelombang itu menyambar ke arahnya. Namun karena 

gelombang itu tidak begitu keras, sosok Setan Liang 

Makam hanya bergoyang-goyang.

“Ada yang aneh.... Aku tidak melihat kedahsyatan 

kembang ini!” Setan Liang Makam tarik tangan kanan-

nya yang memegang Kembang Darah Setan. Untuk be-

berapa lama dia meneliti.

“Maladewa! Dari mana kau dapatkan kembali kem-

bang di tanganmu itu?!” Nyai Suri Agung ajukan tanya.

Sambil terus meneliti kembang di tangannya. Setan 

Liang Makam ceritakan dengan singkat bagaimana dia 

memperoleh kembali Kembang Darah Setan.

Nyai Suri Agung gelengkan kepala. “Kau tertipu, 

Cucuku....”

Laksana disentak tangan setan, kepala Setan Liang 

Makam berpaling ke arah Nyai Suri Agung. “Tak 

mungkin! Ini Kembang Darah Setan!” Setan Liang Ma-

kam acungkan tangan kanannya yang menggenggam 

Kembang Darah Setan.

Nyai Suri Agung kembali gelengkan kepala. “Bentuk 

bisa sama. Tapi belum tentu barangnya tidak beda! 

Kau tahu, Maladewa?! Mengapa aku tadi bertanya pa-

damu apakah kau telah mendapatkan kembali Kem-

bang Darah Setan?! Itu karena aku tidak melihat pan-

caran kembang itu pada tubuhmu! Dan itu telah cu-

kup membuatku yakin jika kembang di tanganmu itu 

palsu! Dan bukti kepalsuannya makin tampak begitu


kau gunakan kembang itu! Tidak ada tiga warna yang 

keluar yang justru sebenarnya tiga warna itulah yang 

bisa menembus dinding tak tembus pandang di de-

panmu itu!”

“Aku tak percaya! Aku tak percaya!” teriak Setan 

Liang Makam.

“Silakan kau buktikan sekali lagi!” kata Nyai Suri 

Agung.

Tanpa banyak kata, Setan Liang Makam angkat 

tangannya yang memegang kembang. Lalu disentak-

kan ke depan.

Wuutt!

Satu gelombang melesat tanpa disertai mencuatnya 

tiga sinar. Lalu terdengar gelegar saat gelombang dari 

tangan Setan Liang Makam membentur dinding tak 

tembus pandang. Gelombang itu mental balik. Kali ini 

Setan Liang Makam sudah bergerak menghindar hing-

ga dia selamat dari mentalan gelombang.

“Kau masih belum percaya?!” tanya Nyai Suri 

Agung.

Setan Liang Makam angkat tangannya yang meme-

gang Kembang Darah Setan sejajar dengan matanya. 

Untuk beberapa saat dia memandang dengan mata 

mendelik angker. Dadanya bergerak turun naik dengan 

keras. Rahangnya terangkat dan pelipis kiri kanannya 

bergerak-gerak.

Tiba-tiba Setan Liang Makam bantingkan kembang 

di tangannya ke bawah. Kembang itu langsung hancur 

berkeping-keping.

“Bangsat jahanam! Mereka menipuku! Mereka me-

nipuku! Aku bersumpah akan membunuh mereka 

dengan tubuh ku potong-potong!”

Saking marahnya, Setan Liang Makam bantingkan 

kedua kakinya. Lalu tanpa berkata lagi pada Nyai Suri 

Agung, Setan Liang Makam berkelebat menuruni tang


ga dengan mulut terus perdengarkan makian dan 

sumpah!


                          SELESAI


Segera ikuti lanjutannya!!!

Serial Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng

dalam episode :


JUBAH TANPA JASAD
































Share:

0 comments:

Posting Komentar