..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 04 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE JUBAH TANPA JASAD

JOKO SABLENG EPISODE JUBAH TANPA JASAD

 Hak cipta dan copy right pada penerbit di

bawah lindungan undang-undang

Joko Sableng telah

Terdaftar pada Dept. Kehakiman R.I

Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan

Merk di bawah nomor 012875



SATU


PEMUDA berparas tampan mengenakan pakaian 

putih, berambut panjang sedikit acak-acakan yang 

rautnya mirip sekali dengan Pendekar Pedang Tumpul 

131 Joko Sableng itu berlari laksana kesetanan. 

Hingga sosok tubuhnya hanya mirip dengan bayang-

bayang dan hampir tidak bisa dilihat dengan pandang 

mata biasa.

Begitu memasuki kawasan hutan belantara sepi, si 

pemuda baru memperlambat larinya sebelum akhirnya 

berkelebat menyelinap ke balik sebatang pohon besar. 

Untuk beberapa saat si pemuda tidak membuat 

gerakan apa-apa atau perdengarkan suara. Dia hanya 

arahkan pandang matanya ke arah dari mana tadi 

berlari.

“Hem.... Dia tidak mengejarku...!” Untuk pertama 

kalinya si pemuda perdengarkan desisan. Namun 

sejauh ini dia belum juga alihkan pandang matanya. 

Sikapnya pun masih waspada.

Tiba-tiba si pemuda tengadahkan kepala. Rahang-

nya terangkat membesi. Pelipis kanan kirinya berge-

rak-gerak. Mulutnya yang menyeringai kembali per-

dengarkan desisan marah, “Kiai Tung-Tung keparat! 

Ternyata kau manusianya yang berani mengikuti 

langkahku! Kalau saja tidak khawatir Kiai Lidah Wetan 

tahu kalau Kembang Darah Setan yang kuberikan 

pada Setan Liang Makam itu palsu, kau sudah kubuat 

berkalang tanah!”

Si pemuda mendengus seraya menghela napas. Pe-

muda ini bukan lain adalah Kiai Laras yang menyamar 

sebagai Pendekar 131 Joko Sableng. Seperti diketahui, 

Kiai Laras dan kakak kandungnya Kiai Lidah Wetan


datang menyelidik ke pesisir utara sebelah barat dekat 

dengan sebuah teluk menuruti keterangan Kiai Tung-

Tung yang sempat bertemu dengan Kiai Laras. Tanpa 

diduga sama sekali, ternyata Kiai Laras dan Kiai Lidah 

Wetan yang saat datang ke teluk mengenakan samaran 

sebagai Pendekar 131 berjumpa dengan Setan Liang 

Makam yang muncul ke teluk juga atas keterangan 

Kiai Tung-Tung.

Setan Liang Makam langsung meminta Kembang 

Darah Setan, karena dia tahu jelas kalau orang yang 

mengambil Kembang Darah Setan adalah Pendekar 

131. Meski saat itu Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan 

mengenakan samaran, namun Setan Liang Makam 

yakin salah satu di antara keduanya adalah orang 

yang mengambil Kembang Darah Setan.

Pada akhirnya, Kiai Laras memberikan Kembang 

Darah Setan pada Setan Liang Makam. Lalu Setan 

Liang Makam lanjutkan perjalanan ke Kampung Setan 

menuruti petunjuk neneknya Nyai Suri Agung. Semen-

tara Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan terus mengikuti 

Setan Liang Makam. Setelah mengetahui Setan Liang 

Makam masuk ke dalam lobang menganga di bawah 

hancuran altar batu, Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan 

meninggalkan Kampung Setan. Namun keduanya tidak 

tahu kalau sejak dari teluk, Kiai Tung-Tung terus 

mengikuti. Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan baru sadar 

jika langkahnya diikuti orang tatkala sudah agak jauh 

meninggalkan Kampung Setan. Namun baik Kiai Laras 

maupun Kiai Lidah Wetan tidak tertarik untuk menge-

tahui siapa gerangan adanya orang yang mengikuti, 

karena secara diam-diam kedua orang ini punya 

rencana tersendiri. Keduanya lantas berkelebat ber-

pencar.

Kiai Tung-Tung memutuskan untuk berkelebat


mengejar salah satunya. Ternyata yang dikejar adalah 

Kiai Lidah Wetan. Kedua orang ini sempat terjadi 

bentrok. Kiai Lidah Wetan merasa orang yang dihadapi 

berilmu tinggi, hingga dia segera berkelebat loloskan 

diri. Kiai Tung-Tung berusaha mengejar. Saat itulah 

Kiai Tung-Tung dihadang oleh pukulan sinar tiga 

warna yang bukan saja membuat Kiai Tung-Tung 

terkejut namun juga kehilangan jejak Kiai Lidah 

Wetan.

Di lain pihak, saat berkelebat berpencar untuk hin-

darkan diri dari penguntitan orang, Kiai Laras berniat 

teruskan perjalanan ke Kampung Setan. Namun 

setelah berlari dua puluh lima tombak dan yakin 

dirinya tidak diikuti orang, tiba-tiba ia didera perasaan 

ragu-ragu. Dia sudah bisa menebak, kalau orang yang 

tadi menguntitnya mengikuti Kiai Lidah Wetan. Walau 

Kiai Laras belum tahu siapa adanya orang yang 

mengikuti langkahnya, namun dia dapat menangkap 

gelagat kalau orang itu memiliki kepandaian tinggi.

Karena khawatir Kiai Lidah Wetan tidak mampu 

menghadapi orang, dan lebih-lebih takut kalau sampai 

Kiai Lidah Wetan buka kedok mereka berdua, akhirnya 

Kiai Laras berlari balik ke arah mana tadi Kiai Lidah 

Wetan berkelebat pisahkan diri.

Ketika Kiai Tung-Tung hendak lepaskan satu puku-

lan menyusur tanah untuk hentikan gerakan Kiai 

Lidah Wetan yang berlari kencang di depan sana, Kiai 

Laras segera hantamkan tangan kanannya yang 

menggenggam Kembang Darah Setan. Hingga gerakan 

Kiai Tung-Tung terhenti dan kehilangan jejak Kiai 

Lidah Wetan yang terus berlari.

Kiai Laras langsung marah besar begitu tahu siapa 

gerangan orang yang mengejar Kiai Lidah Wetan. 

Namun dia masih berpikir cepat. Dia tidak mau Kiai


Lidah Wetan tahu kalau Kembang Darah Setan yang 

diberikan pada Setan Liang Makam adalah palsu. 

Maka dia tindih perasaan marah dan segera berkelebat 

pergi.

“Kiai Tung-Tung.... Siapa jahanam itu sebenarnya?! 

Sekarang aku yakin kalau semua ucapannya dusta! 

Dia berusaha menjebak! Tapi dia tidak tahu, justru 

jebakannya membawa rezeki besar bagiku! Aku seka-

rang tahu harus ke mana pergi tanpa butuhkan 

keterangan orang! Ha.... Ha.... Ha...!”

Kiai Laras yang saat itu masih menyamar sebagai 

Pendekar 131 tertawa dalam hati. “Sebaiknya aku 

lepaskan penyamaran ini atau terus mengenakan-

nya?!” Kiai Laras sesaat bimbang. Setelah agak lama 

berpikir akhirnya dia memutuskan tetap mengenakan 

samaran. Lalu melangkah dari balik batangan pohon 

dan kejap lain sudah berkelebat.

Waktu keluar dari kawasan hutan dan jauh di de-

pan sana terlihat julangan beberapa batu karang yang 

berjajar membentuk pagar berkeliling, Kiai Laras 

hentikan larinya. Dia berusaha sembunyikan diri di 

semak belukar pinggiran hutan. Sepasang matanya 

menatap lurus ke sela julangan batu karang di mana 

terdapat tanah terbuka yang di tengahnya terbongkar.

“Apa aku harus ke sana sekarang?! Atau menunggu 

jahanam Setan Liang Makam keluar dan melihat apa 

yang terjadi?” Kiai Laras bertanya pada diri sendiri. 

Perlahan-lahan tangan kanannya bergerak ke balik 

pakaiannya. Dia tersenyum. “Kembang Darah Setan 

masih di tanganku! Tak ada yang perlu ku takutkan

meski berhadapan dengan setan sekalipun! Aku harus 

ke sana!”

Baru saja Kiai Laras memutuskan begitu, tiba-tiba 

sepasang matanya menangkap satu sosok tubuh


melesat dari lobang menganga di tengah tanah terbu-

ka. Kiai Laras rundukkan tubuh sejajar tanah. Mulut-

nya terkancing rapat dan matanya dipentang besar-

besar.

Sementara di depan sana, sosok yang baru saja 

melesat keluar dari lobang dan tidak lain adalah Setan 

Liang Makam, sentakkan kepala berputar dengan 

mulut perdengarkan makian panjang pendek. Sepa-

sang matanya mendelik beringas. Saat lain Setan Liang 

Makam membuat gerakan tubuh satu kali. Sosoknya 

melesat berlari tinggalkan tanah terbuka.

Kiai Laras makin rundukkan tubuh. Namun diam-

diam juga gerakkan tangan ke balik pakaiannya di 

mana tersimpan Kembang Darah Setan. Dadanya 

sedikit berdebar. Namun begitu Setan Liang Makam 

berlalu dan tidak mengetahui kalau dirinya diperhati-

kan orang, Kiai Laras tarik pulang tangannya seraya 

sunggingkan senyum.

Walau tidak jelas benar makian Setan Liang Ma-

kam, dari sikap dan gelagatnya, Kiai Laras rupanya 

sudah maklum kalau Setan Liang Makam telah tahu 

jika Kembang Darah Setan di tangannya adalah palsu.

Kiai Laras bergerak bangkit. Memandang ke arah 

Setan Liang Makam berlari lalu melangkah menuju 

tanah terbuka di tengah julangan beberapa batu 

karang.

“Dia tidak mengalami apa-apa saat masuk ke lo-

bang ini.... Mengapa aku tidak?!” Kiai Laras tenangkan 

diri tatkala dadanya mulai dilanda kekhawatiran 

begitu hendak masuk lobang di mana tadi Setan Liang 

Makam melesat keluar.

Kiai Laras kerahkan tenaga dalam pada kedua tan-

gannya. Lalu melompat masuk ke lobang bekas bong-

karan altar. Di bawah sana, dia menemukan sebuah


tangga menurun. Kiai Laras mulai menapaki tangga 

menurun dengan mata tak berkesip dan kedua tangan 

sewaktu-waktu siap lepas pukulan.

“Luar biasa...,” desis Kiai Laras begitu kakinya sam-

pai ujung tangga dan kini di depan sana terlihat 

sebuah bangunan dari batu yang membentuk setang-

kai bunga berdaun tiga dengan kuncup membuat 

bentuk kerucut. Sayap bangunan yang seperti daun 

itu pancarkan warna merah, hitam, dan putih. Semen-

tara kerucut bangunan biaskan sinar merah.

“Bentuknya mirip sekali dengan Kembang Darah 

Setan di tanganku! Jadi inilah rahasianya mengapa 

Setan Liang Makam mati-matian merebut kembali....” 

Kiai Laras teruskan langkah. Namun dia lebih bersikap 

waspada. Malah dia lipat gandakan tenaga dalamnya. 

Sementara sepasang matanya terpentang tak berkesip.

“Kosong...,” gumam Kiai Laras begitu langkahnya 

tepat berada di depan pintu bangunan yang terbuka 

dan setelah menyiasati keadaan di ruangan dengan 

longokkan kepala.

Dengan masih waspada penuh, Kiai Laras gerakkan 

kaki memasuki bangunan. Setelah memandang 

berkeliling ruangan dan melihat ada satu tangga batu 

di sebelah pojok ruangan, Kiai Laras teruskan langkah 

menuju tangga batu. Lalu perlahan-lahan bergerak 

naik.

Tangga batu ke atas itu berakhir di sebuah ruangan 

kerucut yang pancarkan sinar merah. Kiai Laras untuk 

beberapa lama siasati keadaan dengan tadangkan 

tangan di depan kening untuk menghadang silau. 

Sepasang matanya disipitkan.

Saat itulah matanya melihat rancahan kembang di 

dekat kakinya. Bibirnya tersenyum. Namun senyum-

nya lenyap tatkala dia melihat sebuah jubah hitam


dikenakan oleh satu kerangka yang duduk berjarak 

lima tombak di hadapannya.

“Dia kerangka tanpa nyawa atau kerangka bernya-

wa seperti Setan Liang Makam...? Dan siapa dia?! 

Melihat sosoknya yang hampir mirip dengan Setan 

Liang Makam, tentu dia masih ada hubungan! Dan 

jangan-jangan inilah akhir dari rahasia Kembang 

Darah Setan! Hem.... Akhirnya semua rencanaku 

berjalan tanpa halangan.... Dan jubah hitam itu tentu 

bukan jubah sembarangan!” Kiai Laras mulai melang-

kah maju. Namun mendadak dia hentikan langkah. 

“Tapi mengapa Setan Liang Makam tidak mengambil 

jubah itu?!”

Karena tak menemukan jawaban pasti, Kiai Laras 

kembali gerakkan kakinya teruskan langkah.

Bukkk!

Kiai Laras tersentak. Sosoknya laksana menghan-

tam tembok besar. Karena tidak menduga, Kiai Laras 

sempat tersurut balik tiga tindak dengan sosok lim-

bung. Dia hampir saja lepaskan pukulan kalau saja 

tidak segera sadar bahwa apa yang baru menghadang 

langkahnya bukan pukulan orang!

Kiai Laras jerengkan mata. Dia tidak melihat sesua-

tu yang baru saja menghalangi langkahnya. Dada 

orang tua yang menyamar sebagai pemuda murid 

Pendeta Sinting ini mulai berdebar keras. Tengkuknya 

merinding dingin.

“Aneh.... Jangan-jangan aku tengah berhadapan

dengan lawan yang tidak kelihatan! Tapi aku belum 

percaya!”

Kiai Laras kembali hendak melangkah. Namun dia 

sengaja melangkah ke samping dahulu. Lalu gerakkan 

kaki.

Bukkk!


Untuk kedua kalinya Kiai Laras terkesiap. Namun 

karena sudah waspada, sosoknya tidak sampai lim-

bung.

“Benar-benar aneh....” Kiai Laras coba arahkan 

pandang matanya dari samping kanan lurus ke samp-

ing kiri. Namun tetap tidak melihat apa-apa!

“Akan ku coba memukulnya!” Kiai Laras ambil ke-

putusan. Kedua tangannya diangkat dan serta-merta 

didorong ke depan. Dua gelombang angin menderu.

Blaumm!

Ruangan berbentuk kerucut itu perdengarkan gema 

gelegar. Untuk kesekian kalinya Kiai Laras terlengak. 

Bukan saja oleh gema akibat gelombang pukulannya 

tapi juga karena pantulan gelombang pukulannya yang 

membalik dan menghantam dirinya yang tidak me-

nyangka sama sekali. Hingga sosoknya tersapu ke 

belakang menghajar dinding.

“Keparat! Setan apa yang menghadang ini?!” maki 

Kiai Laras. Dia kembali maju. Tenaga dalamnya 

dilipatgandakan. Lalu kembali tangannya disentakkan 

ke depan. Namun bersamaan dengan itu dia berkelebat 

ke samping. Dia tidak mau membuat kesalahan yang 

sama.

Untuk kedua kalinya ruangan kerucut bersinar me-

rah bergetar dan keluarkan gema menggelegar dah-

syat. Gelombang pukulan Kiai Laras membalik lalu

menghantam dinding di belakang sana. Kembali gema 

gelegar terdengar di ruangan itu saat pantulan gelom-

bang menghajar dinding.

“Mungkin ini alasannya mengapa Setan Liang Ma-

kam tidak mengambil jubah di kerangka manusia itu! 

Anehnya lagi, kerangka itu tidak bergerak-gerak! Kalau 

sebuah benda dipagari dengan hal aneh, pasti benda 

itu benda sakti!”


Sekali lagi Kiai Laras memandang berlama-lama 

pada jubah hitam yang dikenakan kerangka manusia 

di depan sana. “Pukulanku tidak mampu menerobos 

halangan keparat tak kelihatan itu! Tapi aku masih 

punya Kembang Darah Setan! Mungkin inilah senjata 

pembukanya!”

Berpikir begitu, Kiai Laras gerakkan tangan kanan 

ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik keluar, 

tampak Kembang Darah Setan telah tergenggam dan 

diangkat di atas kepala.

Sesaat Kiai Laras atur napas. Kejap lain tangan ka-

nan yang menggenggam Kembang Darah Setan disen-

takkan ke depan.

“Tidak ada yang berhak menggunakan Kembang 

Darah Setan selain generasi keluarga Kampung Setan!”

Darah Kiai Laras laksana sirap. Bukan saja oleh 

suara yang tiba-tiba terdengar, namun dia tidak bisa 

menentukan sumber terdengarnya suara. Karena 

suara itu laksana diperdengarkan dari segenap ruan-

gan! Kiai Laras hanya bisa menebak jika suara yang 

sangat berat itu keluar dari mulut seorang perempuan.

Kiai Laras urungkan niat sentakannya. Malah tena-

ga dalam segera dikerahkan pada tangan kirinya, dan 

dengan mata membelalak dia putar tubuh sambil 

tangan kanan siap sentakkan Kembang Darah Setan 

sementara tangan kiri siaga lepaskan pukulan jarak 

jauh bertenaga dalam kuat.

Namun walau Kiai Laras sudah putar tubuh dua 

kali dengan mata tak berkesip, dia tetap tidak me-

nangkap siapa-siapa! Kuduknya laksana diguyur es. 

Dia mulai sadar jika saat ini tengah berhadapan 

dengan lawan aneh.

Tiba-tiba Kiai Laras mengernyit. “Aku sepertinya 

pernah mengenali orang yang bisa perdengarkan suara


seperti suara yang baru saja kudengar! Suara yang 

laksana datang dari delapan penjuru mata angin.... 

Datuk Wahing! Benar.... Datuk Wahing memiliki ilmu 

seperti itu! Aneh.... Bagaimana bisa begini?! Apa 

hubungan antara Datuk Wahing dengan orang yang 

baru saja perdengarkan suara?! Atau jangan-jangan 

justru Datuk Wahing yang baru saja perdengarkan 

suara dengan cara menyarukan suaranya mirip suara 

seorang perempuan! Tapi di mana dia...?!”

Baru saja Kiai Laras membatin begitu, tiba-tiba 

kembali terdengar suara.

“Kau telah masuk Istana Sekar Jagat! Dan kau bu-

kan dari keluarga Kampung Setan! Kau harus bayar 

mahal semua ini!”

Gema suara orang yang laksana diperdengarkan 

dari segenap ruangan itu belum sirna, satu bayangan 

melayang dari bagian atas ruangan dan tahu-tahu di 

hadapan Kiai Laras telah berdiri tegak satu sosok 

tubuh!

***

DUA



KIAI Laras tegak dengan tubuh sedikit gemetar, 

Matanya yang membeliak besar memperhatikan 

seorang perempuan berusia amat lanjut hingga kepa-

lanya hampir-hampir saja tidak ditumbuhi rambut 

sama sekali. Raut mukanya pucat mengeriput. Dia 

mengenakan pakaian warna putih.

“Siapa kau?!” Kiai Laras buka mulut menghilangkan 

rasa kejutnya. Namun suaranya yang bergetar parau 

menunjukkan kalau dia belum bisa kuasai diri.

Si nenek yang bukan lain adalah Nyai Suri Agung,


nenek kandung Maladewa alias Setan Liang Makam 

gerakkan kedua tangannya merangkap di depan dada. 

Dia hanya memperhatikan sesaat pada Kiai Laras. Lalu 

alihkan pandang matanya seraya membatin.

“Apa mungkin dia lupa jika pernah berjumpa den-

ganku?! Hem.... Tapi itu tak penting! Yang jelas dia 

harus serahkan Kembang Darah Setan padaku!”

Berpikir begitu si nenek segera buka mulut. “Kau 

tak perlu tahu siapa aku. Aku hanya perlu bilang, 

letakkan Kembang Darah Setan!” Kali ini suara Nyai 

Suri Agung seperti diperdengarkan dari delapan 

penjuru mata angin. Bahkan suara itu menggema 

memantul beberapa kali!

“Hem.... Mirip sekali dengan ilmu yang dimiliki Da-

tuk Wahing! Pasti ada hubungan antara nenek ini 

dengan Datuk Wahing.... Tapi hubungan apa?! Selama

ini aku tidak pernah dengar Datuk Wahing punya 

seorang guru atau saudara seperguruan! Tapi itu tidak 

penting! Yang kuperlukan sekarang adalah jubah 

hitam itu! Siapa pun dia adanya akan kubunuh jika 

berani menghalangi! Apalagi Kembang Darah Setan 

ada di tanganku!” Kiai Laras membatin. Kepercayaan 

dirinya berangsur- angsur kembali. Dia kini tatapi 

orang di hadapannya dengan seringai. Lalu buka 

suara.

“Aku juga tak akan banyak bicara! Aku hanya perlu 

bilang, tinggalkan tempat ini kalau kau tak ingin 

kematian sia-sia!”

“Sikapnya berubah.... Saat pertama kali jumpa tem-

po hari, dia laksana orang bodoh! Malah sepertinya 

suka bercanda! Kali ini lain.... Tempo hari juga aku 

bisa menebak kalau dia tidak membawa Kembang 

Darah Setan! Apakah saat itu Kembang Darah Setan 

sedang tidak dibawa?! Tapi mana mungkin sebuah


senjata sakti diletakkan di satu tempat? Padahal 

kalangan rimba persilatan telah tahu kalau Kembang 

Darah Setan berada di tangannya yang berarti dia juga 

harus sadar kalau sewaktu-waktu jiwanya terancam! 

Hem.... Kalau benar saat itu dia bisa mengelabui aku, 

berarti manusia ini pula yang memalsukan Kembang 

Darah Setan dan diberikan pada Maladewa! Ini petun-

juk jelas kalau dia manusia cerdik! Aku harus tetap 

berhati-hati....” Nyai Suri Agung mengaitkan apa yang

pernah dialami. Lalu perdengarkan suara.

“Dengar anak manusia! Dalam usia sepertiku, ke-

matian cara apa pun tak ada bedanya! Lain halnya 

dengan usia sepertimu! Jadi seharusnya kau yang 

berpikir agar tidak menemui kematian percuma! Dan 

itu bisa kau alami jika kau letakkan Kembang Darah 

Setan! Jika sebaliknya....” Nyai Suri Agung sesaat 

hentikan ucapannya. “Kau bukan hanya akan mene-

mui kematian sia-sia, tapi kau akan menyesal sampai 

kau berkalang tanah!”

Tiba-tiba Kiai Laras tertawa bergelak panjang. “Kau 

boleh memandangku seperti yang kau katakan, namun 

perlu diingat, usia bukan menjamin seseorang belum 

merasakan nikmat dunia! Dan kalaupun aku harus 

mampus sekarang, aku malah bisa tertawa di dalam 

tanah!”

Habis berkata begitu, Kiai Laras makin keraskan 

gelakan tawanya. Dan perlahan-lahan kerahkan tenaga 

dalamnya kembali ke tangan kiri, sementara tangan 

kanan yang menggenggam Kembang Darah Setan siap 

disentakkan.

Rupanya Nyai Suri Agung bisa membaca gelagat. 

Sebelum Kiai Laras sempat gerakkan tangan kanan 

kirinya, dia berucap.

“Kau sudah berpikir, Anak Muda?!!


“Rupanya dia pandai juga melihat keadaan!” Kiai 

Laras membatin. Lalu sambuti ucapan Nyai Suri 

Agung. “Aku sudah berpikir seribu kali hingga sampai 

datang ke tempat ini! Kalaupun aku tidak perlu 

berpikir meski satu kali, itu bila hanya perlu mengan-

tarmu pada kematian sia-sia!”

“Hem.... Kau pikir dengan Kembang Darah Setan di 

tanganmu, kau bisa mengantarku dengan enak?!” Nyai 

Suri Agung tertawa pendek sambil geleng-geleng 

kepala. “Buang jauh-jauh mimpimu itu, Anak Muda! 

Kau boleh membawa seratus Kembang Darah Setan! 

Tapi bukan berarti kau bisa mengantarku pada kema-

tian!”

Meski belum percaya pada ucapan Nyai Suri Agung, 

namun ucapan itu mau tak mau membuat Kiai Laras 

berpikir. “Kembang Darah Setan adalah senjata sakti. 

Namun dia sepertinya memandang sebelah mata.... 

Hem.... Apakah ucapannya hanya sekadar mengger-

tak?! Akan kubuktikan ucapannya!”

“Dengar, Tua Bangka! Untuk membunuhmu aku 

tidak perlu membawa seratus Kembang Darah Setan! 

Bahkan Kembang Darah Setan di tanganku ini tidak 

akan kugunakan! Aku cukup menggunakan sebelah 

tanganku!”

Bersamaan dengan selesainya ucapan, Kiai Laras 

sudah gerakkan tangan kirinya.

Wuuttt!

Satu gelombang angin menderu dahsyat ke arah 

Nyai Suri Agung.

Kiai Laras tampak sunggingkan senyum karena di 

depannya, si nenek tidak membuat gerakan apa-apa. 

Padahal gelombang dahsyat itu telah membuat pa-

kaiannya berkibar-kibar.

Namun laksana direnggut setan, senyum Kiai Laras


putus. Malah sepasang matanya membelalak besar 

tatkala melihat bagaimana saat sejengkal lagi gelom-

bang angin dahsyat menghantam, si nenek hanya 

goyangkan bahu kanan kirinya. Hebatnya, goyangan 

bahu kanan kiri itu bukan saja mampu menghadang 

datangnya gelombang, namun dapat membalikkan 

gelombang! Hingga gelombang dahsyat itu kini mende-

ru ganas ke arah Kiai Laras!

Walau sempat terkesima, namun Kiai Laras tidak 

sampai lengah. Dia cepat sentakkan tangan kirinya 

kembali karena sudah sangat terlambat baginya untuk 

bergerak menghindar.

Blaarr!

Terdengar gema ledakan saat pukulan Kiai Laras 

yang membalik bentrok dengan gelombang pukulan 

yang dilepas Kiai Laras untuk menghadang. Sosok Kiai

Laras terlihat miring meski kakinya tidak sampai 

bergerak mundur.

“Anak muda! Aku membaca kematian pada tubuh-

mu! Dan tanda-tandanya baru saja kau alami! Apa kau 

masih juga ingin kenyataan?!”

Dada Kiai Laras laksana dipanggang mendengar 

ucapan Nyai Suri Agung. Tanpa sambuti ucapan 

orang, Kiai Laras cepat masukkan Kembang Darah 

Setan ke balik pakaiannya. Saat lain sekonyong-

konyong kedua tangannya sudah bergerak lepaskan 

satu pukulan.

Wuutt! Wuutt!

Kali ini gelombang yang datang tiga kali lipat dari 

pukulan yang pertama. Malah bersamaan dengan itu 

Nyai Suri Agung rasakan pijakannya bergetar, tanda 

pukulan itu dilepas dengan tenaga dalam sangat tinggi.

Mendapati pukulan ganas, tampaknya Nyai Suri 

Agung tidak mau bertindak ayal. Begitu kedua tangan


Kiai Laras bergerak lepas pukulan, si nenek telah buka 

rangkapan kedua tangannya. Lalu didorong ke depan 

dengan telapak terbuka.

Bummm!

Ruangan berbentuk kerucut itu laksana dihantam 

gempa hebat. Lalu terdengar ledakan dahsyat. Sosok 

Kiai Laras terdorong keras dan tersandar di dinding 

belakangnya. Paras wajahnya berubah dengan tangan 

gemetar keras. Mulutnya membuka menutup dengan 

dada bergerak tak teratur.

Sementara di sebelah depan, sosok Nyai Suri Agung 

hanya tersurut satu tindak. Meski tubuhnya bergetar 

namun bibir nenek ini sunggingkan senyum! Jelas 

menunjukkan kalau bias bentroknya pukulan tidak 

begitu mempengaruhi. Dan ini jelas menandakan jika

tingkat tenaga dalam Kiai Laras masih setingkat di 

bawah Nyai Suri Agung.

Dan belum sempat Kiai Laras lakukan gerakan, 

Nyai Suri Agung telah mendahului membuat gerakan. 

Tahu-tahu sosok si nenek sudah melesat ke arah Kiai 

Laras. Tangan kiri kanannya bergerak. Bukan le-

paskan pukulan, namun menyambar ke arah perut 

sang Kiai dari sebelah samping kiri kanan.

Kiai Laras maklum apa yang hendak dilakukan 

orang. Namun karena sudah sangat terlambat baginya 

untuk menghadang tangan orang dengan pukulan, 

akhirnya sang Kiai cepat lorotkan tubuh hingga 

pantatnya menghantam lantai ruangan. Saat bersa-

maan kedua kakinya digerakkan membuka ke samping 

kanan kiri.

Nyai Suri Agung hendak hindarkan diri dari bentro-

kan kaki. Namun karena kedua tangannya sudah 

telanjur bergerak ke depan, membuatnya tidak bisa 

menghindar. Hingga mau tak mau dia harus sapukan


kaki untuk menghadang kedua kaki Kiai Laras.

Dess!

Karena sosok Kiai Laras bersandar pada dinding 

dengan posisi duduk, meski terjadi benturan kaki, 

sosoknya tidak bergeming sama sekali. Sementara di 

hadapannya, karena harus imbangi diri menahan 

tubuh sebab kedua tangannya tidak mengenai sasa-

ran, begitu terjadi benturan kaki, sosok Nyai Suri 

Agung tampak terhuyung-huyung ke samping.

Melihat hal itu, Kiai Laras ganti tak mau lepaskan 

kesempatan. Dia cepat bergerak bangkit. Dan sebelum 

si nenek kuasai diri, sang Kiai telah melesat ke depan 

dengan kedua tangan berkelebat angker mengarah 

pada kepala si nenek.

Nyai Suri Agung cepat angkat kedua tangannya. 

Lalu menyongsong hantaman tangan orang.

Bukkk! Bukkk!

Terdengar benturan keras. Sosok Kiai Laras mental 

balik tiga langkah ke belakang. Di lain pihak, sosok 

Nyai Suri Agung tersurut satu langkah. Namun ber-

goyang- goyang keras.

“Kalau terus-menerus begini, waktuku akan ter-

buang percuma!” kata Kiai Laras dalam hati. “Tua 

bangka ini harus cepat kusingkirkan!”

Kiai Laras kembali gerakkan tangan kanan menye-

linap ke balik pakaiannya menarik keluar Kembang 

Darah Setan. Rupanya Nyai Suri Agung tidak ingin Kiai 

Laras dapat menggunakan benda itu hingga sebelum 

sang Kiai sempat menarik tangan kanannya, si nenek 

telah lepaskan satu pukulan jarak jauh.

Wuutt! Wuutt!

Terdengar gemuruh luar biasa dahsyat. Gelombang 

angin laksana gulungan ombak bergulung-gulung 

menerjang ke arah Kiai Laras.


Kiai Laras tidak pedulikan gelombang yang datang. 

Dia cepat melesat mundur, tangan kanan cepat ditarik. 

Dan begitu setengah tombak lagi gelombang ganas 

menyapu, sang Kiai hantamkan tangan kirinya, 

sedangkan tangan kanan sentakkan Kembang Darah 

Setan.

Wuutt! Wuutt!

Dari tangan kiri Kiai Laras melesat satu gelombang 

angin kencang. Sementara dari tangan kanannya 

mencuat sinar tiga warna. Merah, hitam, dan putih.

Blaarr! Blaarr!

Dua ledakan keras terdengar berturut-turut. Ge-

lombang pukulan Nyai Suri Agung langsung ambyar 

berkeping-keping. Hebatnya, sinar tiga warna yang 

baru saja memporak-porandakan gelombang pukulan 

Nyai Suri Agung masih mampu melesat lurus walau 

sinar tiga warna itu telah pecah semburat!

Nyai Suri Agung yang telah tahu bagaimana kedah-

syatan Kembang Darah Setan tidak mau bertindak 

ceroboh. Dia sadar, meski yang melesat ke arahnya 

kini hanya semburatan sinar tiga warna, namun 

semburatan sinar itu masih mampu membuat tubuh 

orang hangus menghitam! Hingga begitu sosoknya 

terhempas ke belakang, dia cepat pula putar-putar 

kedua tangannya di depan.

Untuk beberapa saat tubuh Nyai Suri Agung seperti 

lenyap ditelan gelombang bergulung-gulung yang 

keluar dari gerakan putaran kedua tangannya. Saat 

bersamaan, semburatan sinar tiga warna bermentalan 

ke udara.

“Ha.... Ha.... Ha...! Menghadapi satu Kembang Da-

rah Setan kau telah kelabakan! Tapi mulut besarmu 

berkoar terlalu tinggi! Tanda-tanda kematian telah di 

depan matamu, Nenek Jahanam!” teriak Kiai Laras lalu


melangkah tiga tindak ke depan.

Nyai Suri Agung hentikan putaran kedua tangan-

nya. Sosoknya telah basah kuyup oleh keringat. 

Mulutnya megap-megap dengan mata menyipit kemu-

dian membesar.

“Dengan Kembang Darah Setan di tangannya, sulit 

memang memutus nyawanya. Tapi setidaknya aku 

mampu menghadang tindakannya! Jelas dia mengin-

ginkan Jubah Tanpa Jasad itu! Dan itu tidak boleh 

terjadi! Dengan membekal Kembang Darah Setan saja 

kelakuannya tidak mudah dibendung, apalagi jika 

sampai mendapatkan Jubah Tanpa Jasad! Bukan 

hanya Istana Sekar Jagat yang akan hancur, tapi 

dunia persilatan akan geger!” Nyai Suri Agung berkata 

dalam hati. Lalu kerahkan tenaga dalam pada kedua 

tangannya.

Nyai Suri Agung tidak mau didahului. Hingga tanpa 

buka suara sambuti ucapan orang, dia serta-merta 

hantamkan kedua tangannya.

Saat itu juga ruangan berbentuk kerucut bagian 

atas dari Istana Sekar Jagat laksana didera badai luar 

biasa. Suara deruan dahsyat terdengar pantul-

memantul ke seluruh ruangan. Dan gelombang yang 

melesat dari kedua tangan si nenek tampak datang 

bergelombang dan pantul-memantul ke delapan 

penjuru mata angin. Inilah tanda kalau si nenek telah 

kerahkan jurus ‘Pantulan Tabir’.

Untuk beberapa saat Kiai Laras tampak kebingun-

gan. Bukan hanya pandang matanya saja yang seolah 

tertutup gelombang yang datang pantul-memantul, 

namun telinganya juga seperti disentak-sentak! Hingga 

untuk sesaat sang Kiai harus alirkan tenaga menutupi 

jalan pendengarannya. Dan saat lain dia harus berke-

lebat hilir mudik hindari gelombang yang datang dari


delapan penjuru mata angin!

“Keparat sialan! Nenek jahanam ini benar-benar 

merepotkan!” umpat Kiai Laras lalu angkat tinggi-tinggi 

Kembang Darah Setan. Namun baru saja tangannya 

hendak bergerak, satu gelombang lagi datang lurus ke 

arahnya. Rupanya Nyai Suri Agung benar-benar tak 

mau memberi kesempatan pada Kiai Laras untuk 

leluasa gerakkan tangan kanannya yang menggenggam 

Kembang Darah Setan. Hingga begitu lepaskan puku-

lan yang disertai jurus ‘Pantulan Tabir’, dia terus 

perhatikan setiap gerakan sang Kiai. Dan begitu Kiai 

Laras dapat berkelit dari pantulan gelombang puku-

lannya dan hendak gerakkan tangan kanan, Nyai Suri 

Agung telah lepaskan pukulan!

Kiai Laras mendengus keras. Dia cepat sentakkan 

tangan kiri untuk menghadang pukulan lurus si 

nenek. Namun begitu pukulan si nenek dapat diha-

dang, pukulan susulan telah datang lagi.

“Jahanam!” teriak Kiai Laras saking marahnya. Dia 

tidak lagi pedulikan gelombang yang terus memantul 

dan gelombang yang kini mengarah tepat padanya. Dia 

cepat sentakkan tangan kanan lurus ke depan dua kali 

berturut-turut.

Wuutt! Wuutt!

Tiga sinar mencuat saling susul menyusul. Gelom-

bang yang datang dari arah depan langsung buyar. 

Sementara gelombang yang terus memantul sesaat 

tertahan di udara, namun saat lain ambyar dengan 

perdengarkan gelegar dahsyat.

Sosok Nyai Suri Agung terhempas menghantam 

dinding di belakangnya dan jatuh terduduk dengan 

mulut keluarkan darah. Di lain pihak, sosok Kiai Laras 

terpelanting sebelum akhirnya jatuh telungkup. Sudut 

mulutnya pun tampak kucurkan darah!


Nyai Suri Agung cepat takupkan kedua tangan di 

depan dada dengan mata dipejamkan. Kedua kakinya 

ditarik lalu membuat sikap duduk bersila. Saat lain si 

nenek buka takupan kedua tangannya, lalu didorong 

ke depan dengan mata tetap memejam.

Gema gelegar di dalam ruangan belum benar-benar 

sirna, kini telah dibuncah lagi dengan terdengarnya 

deruan keras. Dan kembali ruangan itu dirancah 

deruan gelombang yang memantul terus menerus!

Mendapati Nyai Suri Agung sudah lepaskan puku-

lan dengan kerahkan jurus ‘Pantulan Tabir’, Kiai Laras 

tidak tinggal diam. Begitu deruan pertama mengge-

brak, dia cepat bangkit lalu kelebatkan tangan kanan-

nya yang menggenggam Kembang Darah Setan!

***

TIGA



SINAR merah, hitam, dan putih berkiblat dengan 

perdengarkan gemuruh keras. Ruangan berbentuk 

kerucut kembali bergetar hebat dengan buncahan 

suara deru gelombang yang terus memantul serta 

gemuruh dan kiblatan sinar tiga warna. Saat lain 

ledakan keras terdengar laksana gunung meletus.

Sosok Nyai Suri Agung mencelat mental menghan-

tam dinding ruangan, lalu mental lagi ke depan sebe-

lum akhirnya jatuh terkapar. Pakaian putih yang 

dikenakannya tampak hangus menghitam. Kucuran 

darah dari mulutnya makin banyak. Untuk beberapa 

saat lamanya dia diam tak bergerak-gerak.

Di seberang depan, sosok Kiai Laras tersapu deras. 

Tubuhnya juga menghantam dinding ruangan sebelum 

akhirnya melorot jatuh. Kedua tangannya bergetar


keras dan Kembang Darah Setan di tangan kanannya 

tampak jatuh dari genggamannya. Darah makin 

banyak juga keluar dari mulutnya.

Meski tenaga dalam yang dimiliki Kiai Laras masih 

setingkat di bawah Nyai Suri Agung, namun karena 

sang Kiai menghadang pukulan si nenek dengan 

Kembang Darah Setan, maka kekurangan sang Kiai 

bisa tertutupi. Malah cedera dalam yang dialami sang 

Kiai lebih ringan daripada yang dialami Nyai Suri 

Agung. Usia lanjut si nenek juga sangat berpengaruh 

tatkala sosoknya harus menghantam dinding. Hingga 

ketika Kiai Laras sudah mulai bergerak-gerak bangkit, 

Nyai Suri Agung masih tampak berusaha keras pulih-

kan tenaga tanpa membuat gerakan apa-apa!

Dan begitu Kiai Laras mendapati si nenek belum 

juga membuat gerakan tatkala dirinya sudah bergerak 

duduk, dia cepat ambil Kembang Darah Setan yang 

tergeletak di sampingnya. Lalu bangkit dengan san-

darkan lurus punggungnya pada dinding untuk 

menghindari huyungan tubuhnya. Karena Kiai Laras 

maklum jika kedua lututnya masih goyah.

Kiai Laras angkat tangan kanannya yang sudah 

menggenggam Kembang Darah Setan. Bibirnya sung-

gingkan seringai maut. Sepasang matanya menatap 

angker pada Nyai Suri Agung. Saat lain tangannya 

sudah bergerak.

Nyai Suri Agung buka kelopak matanya. Tahu apa 

yang hendak dilakukan Kiai Laras, si nenek cepat 

buka mulut seraya bergerak duduk.

“Sekali kau berani gerakkan tangan, kita akan mati 

bersama!” Nyai Suri Agung telah buka kedua telapak 

tangannya dan siap didorong ke depan.

Mendengar ucapan Nyai Suri Agung, Kiai Laras ter-

lihat bimbang. Matanya lurus memandang ke arah


kedua tangan si nenek yang saat itu perlahan-lahan 

disemburati sinar tiga warna.

Nyai Suri Agung menatap dingin. Lalu berujar den-

gan suara berat dan dingin.

“Boleh saja kau membunuhku dengan Kembang 

Darah Setan! Tapi apa kau pikir bisa selamat dari 

pukulan Telapak Sinar Setan’ di kedua tanganku ini?!”

Kening Kiai Laras mengernyit. Kedua telapak tangan 

Nyai Suri Agung makin pancarkan sinar tiga warna. 

Merah, hitam, dan putih. Sang Kiai memang belum 

pernah saksikan kehebatan pukulan yang disebut si 

nenek dengan Telapak Sinar Setan’. Tapi melihat 

pukulan itu baru akan dikeluarkan saat terjepit, sang 

Kiai rupanya sudah bisa memaklumi. Kalau jurus 

‘Pantulan Tabir’ saja sulit baginya untuk menghadang 

seandainya tanpa Kembang Darah Setan, tentu akan 

lebih sulit lagi baginya jika si nenek benar-benar 

hendak lepaskan pukulan ‘Telapak Sinar Setan’. Hal 

ini tak urung membuat dada Kiai Laras didera keragu-

raguan. Malah rasa kecut mulai hinggap kala teringat 

ucapan si nenek yang rupanya sudah nekat untuk 

mati bersama-sama.

Kiai Laras melirik pada jubah yang dikenakan ke-

rangka manusia di depan sana. Keyakinannya makin 

kuat jika jubah hitam itu adalah bukan jubah semba-

rangan. Karena meski ruangan itu baru saja dibuncah 

bentroknya pukulan bertenaga dalam sangat tinggi dan 

bergetar hebat, kerangka manusia yang mengenakan 

jubah hitam tidak bergeming sama sekali! Malah 

muncratan pukulan dan sinar tiga warna yang berben-

turan tidak mampu menjangkau kerangka manusia 

berjubah hitam.

“Apa yang harus kulakukan sekarang?!” Kiai Laras 

terus berpikir. “Ah, peduli setan dengan ucapannya!


Mungkin saja dia menggertak ku!”

Berpikir begitu, Kiai Laras maju dua tindak. Lalu 

berucap.

“Aku tahu.... Pukulan sakti macam apa pun yang 

kau miliki, tak mungkin mampu menghadang Kem-

bang Darah Setan di tanganku! Apalagi kau telah 

terluka berat! Jadi jangan harap aku urungkan niat! 

Lebih-lebih harus kau tahu, jangan kira aku takut 

mati!”

Nyai Suri Agung tertawa. “Jika begitu, aku menung-

gu!” Tantang si nenek seraya tarik sedikit telapak 

tangannya. Pancaran sinar tiga warna makin terang

mencuat dari kedua telapak tangannya.

Ucapan si nenek kembali membuat Kiai Laras bim-

bang. Setelah berpikir lagi dia berkata. “Baik! Sekarang 

apa maumu?!”

“Kalau kau tak ingin mati bersama-sama, tinggal-

kan tempat ini! Kembang Darah Setan boleh kau 

bawa!”

Kiai Laras mendengus. Lalu kepalanya menggeleng. 

“Aku tak akan tinggalkan tempat ini dengan tanpa 

memperoleh apa-apa!”

“Maksudmu?!” tanya Nyai Suri Agung.

“Aku inginkan jubah hitam itu! Setidaknya selembar 

nyawamu kalau kau berani menghadang!”

“Anak manusia ini benar-benar keparat! Aku he-

ran.... Bagaimana dia bisa tahu cara mengeluarkan 

Maladewa dari makam batu?! Dan bagaimana pula dia 

tahu tempat ini?!” Nyai Suri Agung membatin. Lalu 

menghela napas. “Apakah akan sampai di sini riwayat 

Kampung Setan?! Ini karena tindakan Maladewa yang 

sembrono! Tapi semuanya sudah terjadi.... Dan kenya-

taannya memang sudah begini! Apa hendak dikata! 

Tapi aku akan tetap menghadang keinginannya!”


“Anak muda!” ujar Nyai Suri Agung dengan suara 

agak direndahkan. “Dengan Kembang Darah Setan di 

tanganmu, kurasa kau akan jadi manusia yang sulit 

dicari tandingannya! Kau tentu tahu, sebenarnya 

Kembang Darah Setan bukan hakmu untuk memili-

kinya! Sekarang apa kau masih juga inginkan milik 

orang lain?!”

“Bagiku, kalau aku mampu mengambilnya, maka 

benda itu adalah hakku! Tak ada bedanya sekalipun 

benda itu milik setan! Jadi, cepatlah angkat kaki dari 

hadapanku! Jangan berani ikut campur!”

“Aneh! Kau yang campuri urusanku!”

“Hem.... Begitu?! Jadi kau tentu ada hubungannya 

dengan keparat Setan Liang Makam itu! Hubungan 

apa?! Gundik?! Istri?! Atau pelayan?!”

Tampang keriput Nyai Suri Agung berubah menge-

tam. “Mulutmu terlalu lancang berkata!”

Kiai Laras tertawa panjang. “Perempuan sialan bi-

asanya pasang sikap sok suci di hadapan orang! Tapi 

jangan kira aku tak tahu....” Kiai Laras perkeras 

gelakan tawanya.

Walau darahnya menggelegak, Nyai Suri Agung be-

lum berani lepaskan pukulan, la menyadari dalam 

keadaan terluka begitu rupa adalah tindakan bodoh 

jika terlalu banyak umbar tenaga. Apalagi untuk 

melepas pukulan Telapak Sinar Setan’ dibutuhkan 

tenaga yang tidak sedikit. Hingga meski ucapan sang 

Kiai sudah sangat keterlaluan, si nenek masih coba 

menekan perasaan.

Di pihak lain, Kiai Laras makin yakin akan kekua-

tannya dan makin kuat pula dugaannya jika jubah 

hitam itu jubah sakti. Hanya dia mulai terusik dengan 

hubungan antara Setan Liang Makam dengan si 

nenek.


“Siapa sebenarnya tua bangka ini?! Dari pancaran 

sinar pada telapak tangannya tentu dia masih ada 

kerabat dengan penghuni Kampung Setan! Dan kalau 

benar, mengapa dia tidak mengambil jubah hitam itu?! 

Apa karena tidak bisa menembus dinding keparat tak 

terlihat mata itu?! Kalau dia tidak mampu, apakah aku 

bisa?!” Kiai Laras kembali melirik pada kerangka 

manusia yang mengenakan jubah hitam.

Entah apa yang terpikir dalam benak sang Kiai, 

tiba-tiba orang tua yang mengenakan samaran sebagai 

pemuda murid Pendeta Sinting ini putar tubuh seten-

gah lingkaran menghadap kerangka manusia berjubah 

hitam di depan sana. Saat lain dia mulai gerakkan kaki 

melangkah maju tiga tindak.

Kiai Laras angkat kedua tangannya. Di seberang 

samping, Nyai Suri Agung tampak kernyitkan dahi lalu 

berkata sebelum sang Kiai teruskan gerakan kedua 

tangannya.

“Kalau kau inginkan jubah itu, kau harus langkahi 

dulu mayatku!”

Kiai Laras tak pedulikan ucapan orang. Dia gerak-

kan kedua tangannya menyentak. Namun bersamaan 

dengan itu tubuhnya memutar. Hingga gelombang dan 

cuatan sinar tiga warna yang melesat dari Kembang 

Darah Setan bukannya menggebrak ke arah depan, 

melainkan lurus ke arah Nyai Suri Agung!

Karena sejak tadi sudah waspada, begitu kedua 

tangan Kiai Laras bergerak, si nenek cepat dorong 

kedua telapak tangannya.

Wuuss! Wusss!

Dari kedua telapak tangan Nyai Suri Agung berkib-

lat gelombang api berwarna tiga. Merah, hitam, dan 

putih! Gelombang api itu menebar berkeliling sejauh 

dua tombak dan menyongsong gelombang serta


hamparan sinar merah, hitam, dan putih yang melesat 

keluar dari kedua tangan Kiai Laras.

Ruangan berbentuk kerucut bagian atas dari Istana 

Sekar Jagat itu laksana dilalap si jago merah. Gelom-

bang api tiga warna serta sinar tiga warna sama-sama 

tertahan beberapa saat menggantung di udara. Lalu 

laksana disentak kekuatan luar biasa dahsyat, gelom-

bang api dan sinar tiga warna sama-sama membubung 

tinggi ke udara.

Blaarr!

Begitu bumbungan gelombang api dan sinar tiga 

warna mencapai bagian atas bangunan, terdengar 

gelegar dahsyat. Bagian ujung kerucut bangunan 

langsung ambrol! Keping-kepingan batu luruh menu-

tupi ruangan.

Nyai Suri Agung berseru tertahan. Sosoknya lang-

sung terbanting tengkurap di atas lantai ruangan. 

Pakaian yang dikenakan si nenek telah hangus ber-

campur warna merah kucuran darah dari mulut dan 

hidungnya.

Sosok Kiai Laras sendiri tampak terkapar. Kain pu-

tih pengikat rambutnya lepas dan terbakar. Sebagian 

rambutnya terpangkas. Untuk kedua kalinya Kembang 

Darah Setan terlepas dari genggaman tangan kanan-

nya dan mencelat jatuh berjarak lima langkah dari 

tempatnya terkapar.

Beberapa saat berlalu. Baik Nyai Suri Agung mau-

pun Kiai Laras masih sama-sama belum membuat 

gerakan meski mata masing-masing orang telah 

terbuka dan saling pandang.

Namun, begitu mata Nyai Suri Agung menangkap 

Kembang Darah Setan tergeletak agak jauh dari Kiai 

Laras, nenek ini coba menghimpun sisa tenaga dalam-

nya. Saat lain ia melirik ke belakang. Dia mengukur


jarak antara dirinya dengan dinding ruangan.

Tanpa diduga sama sekali oleh Kiai Laras, menda-

dak Nyai Suri Agung putar tubuhnya yang masih 

telungkup. Kedua tangannya menekan ke lantai. Sosok 

si nenek memutar dengan bergerak mundur. Begitu 

kakinya menjangkau dinding ruangan, tiba-tiba si 

nenek sentakkan kedua kakinya ke dinding di bela-

kangnya.

Dukk! Dukk!

Sosok Nyai Suri Agung kini melesat telungkup ke 

depan dengan kedua tangan terangkat. Sepasang 

matanya silih berganti memandang ke arah Kiai Laras 

dan Kembang Darah Setan.

“Jahanam! Dia hendak mengambil Kembang Darah 

Setan!” desis Kiai Laras. Dia cepat gulingkan tubuh 

mendekati Kembang Darah Setan.

Nyai Suri Agung sesaat ragu-ragu. Langsung me-

nyambar Kembang Darah Setan atau menghadang 

dahulu gerakan Kiai Laras. Setelah berpikir cepat, 

akhirnya si nenek putuskan untuk langsung menyam-

bar Kembang Darah Setan karena dalam keadaan luka 

dalam cukup parah, akan berbahaya bila terjadi 

benturan keras. Hingga akhirnya Nyai Suri Agung 

luruhkan kembali kedua tangannya dan kini kedua 

tangan itu menyusur di atas lantai.

Di pihak lain, meski juga telah terluka, namun sang 

Kiai tidak begitu saja mendiamkan gerakan kedua 

tangan si nenek yang hendak menjangkau Kembang 

Darah Setan. Namun karena lesatan sosok Nyai Suri 

Agung lebih cepat, mau tak mau Kiai Laras harus 

membuat gerakan berputar di atas lantai lalu kedua 

kakinya bergerak membuat gerakan menendang.

Tak ada pilihan lain bagi Nyai Suri Agung selain 

harus menyongsong tendangan orang dengan kedua


tangannya. Karena jika tidak, bukan saja kedua 

tangannya akan mental namun tidak tertutup ke-

mungkinan kepalanya akan terkena tendangan!

Bukk! Bukk!

Terdengar benturan tatkala tendangan kedua kaki 

Kiai Laras terhadang kedua tangan Nyai Suri Agung. 

Walau benturan itu tidak terlalu keras, tapi karena 

keduanya sudah sama terluka, membuat sosok mas-

ing-masing sama terguling ke samping.

Kiai Laras tidak pedulikan diri. Begitu gulingan tu-

buhnya terhenti, dia segera gulingkan kembali tubuh-

nya mendekati Kembang Darah Setan yang tampak 

bergeser karena bias angin benturan.

Di lain pihak, karena lukanya lebih parah, sudah 

terlambat bagi Nyai Suri Agung untuk menghentikan 

gerakan Kiai Laras. Namun nenek ini tidak begitu saja 

menyerah. Begitu dilihatnya kedua tangan Kiai Laras 

bergerak hendak menyambar Kembang Darah Setan, 

dia cepat dorong telapak tangannya.

Kiai Laras yang sudah bertekad mempertahankan 

Kembang Darah Setan tidak hiraukan suara deruan 

yang kini menggebrak ke arahnya. Dia teruskan 

gerakan kedua tangannya menyambar Kembang Darah 

Setan.

Saat tangan kanan Kiai Laras berhasil meraih Kem-

bang Darah Setan, deruan yang membawa gelombang 

menyongsong. Tidak ada kesempatan lagi bagi Kiai 

Laras untuk bergerak menghindar. Hingga tanpa 

ampun lagi sosok Kiai Laras tersapu dan membentur 

dinding. Bersamaan itu tampak rambut di kepalanya 

lepas dan jatuh. Kini kepalanya berubah menjadi 

berambut putih.

Nyai Suri Agung terkesiap kaget. “Firasat ku selama 

ini benar! Dia bukan Pendekar 131! Tapi apa bedanya?! Pendekar 131 atau bukan yang jelas dia harus 

dihadang! Jubah Tanpa Jasad harus diselamatkan dari 

tangan orang selain generasi Kampung Setan!”

Nyai Suri Agung melirik pada Kembang Darah Setan 

yang ternyata dipegang erat-erat oleh tangan kanan 

Kiai Laras meski orang ini belum membuat gerakan.

Beberapa saat si nenek menunggu. Tapi Kiai Laras 

tetap diam tak bergerak-gerak.

“Apakah dia tewas?!” gumam si nenek seraya ter-

huyung bangkit. Mungkin untuk memastikan, Nyai 

Suri Agung bersabar menunggu seraya pulihkan 

tenaga.

Setelah ditunggu agak lama Kiai Laras tidak juga 

membuat gerakan, dengan waspada Nyai Suri Agung 

melangkah mendekati. Dan begitu jarak antara kedua-

nya tinggal empat langkah sementara sang Kiai tidak

juga bergerak, si nenek agaknya mulai yakin kalau Kiai 

Laras sudah mampus.

Seolah tidak sabar, Nyai Suri Agung cepat melom-

pat. Tubuhnya sedikit dibungkukkan. Tangan kanan 

bergerak menyambar.

***

EMPAT



BERSAMAAN dengan berkelebatnya tangan Nyai 

Suri Agung, Kembang Darah Setan di tangan kanan 

Kiai Laras laksana dihantam gelombang setan bergerak 

cepat bergeser ke samping. Pertanda kalau tangan 

yang memegang masih bernyawa. Namun Nyai Suri 

Agung tak hendak urungkan niat. Dia cepat pula 

kelebatkan tangan mengejar tangan Kiai Laras. Namun 

kali ini gerakan tangan sang Kiai lebih cepat. Hingga


begitu tangan si nenek bergerak, Kembang Darah 

Setan telah terangkat dan serta-merta bergerak ke 

depan.

Terlambat bagi Nyai Suri Agung untuk membuat 

hadangan atau hindarkan diri tatkala pada saat yang 

sama mencuat sinar tiga warna. Merah, hitam, dan 

putih.

Nenek kandung Setan Liang Makam perdengarkan 

jeritan menyayat. Sosoknya tersapu deras hingga 

menghantam dinding di belakang sana. Tatkala sosok-

nya jatuh di atas lantai ruangan, suara erangan dari 

mulutnya terputus. Pakaian yang dikenakannya robek 

menganga di sana-sini dan hangus terbakar. Malah 

darah yang mengucur dari mulut dan lobang hidung-

nya langsung mengering!

Di seberang sana, perlahan-lahan Kiai Laras jereng-

kan sepasang matanya. Memperhatikan sesaat pada 

sosok si nenek yang sudah tak bernyawa lalu bergerak 

bangkit dengan mulut sunggingkan seringai dingin.

“Melihat keadaannya, aku yakin kalau dia sudah

mampus! Tapi aku perlu membuktikannya! Siapa tahu 

dia balik akan menipuku seperti yang baru saja 

kulakukan!”

Kiai Laras melangkah dengan kedua tangan terang-

kat. Tangan kiri siap lepaskan pukulan, tangan kanan 

siap hantamkan Kembang Darah Setan.

Kiai Laras hentikan langkah tiga tindak dari sosok 

Nyai Suri Agung. Memperhatikan sesaat lalu kaki 

kanannya bergerak ke arah tangan si nenek yang 

terkulai di atas lantai. Dengan sekali tempelkan kaki 

sudah cukup bagi sang Kiai untuk mengetahui jika 

nyawa Nyai Suri Agung benar-benar telah melayang.

Kiai Laras usap darah pada mulutnya. Lalu putar 

tubuh setengah lingkaran menghadap ke arah sosok


kerangka yang mengenakan jubah hitam di depan 

sana.

“Tenagaku benar-benar telah habis.... Tapi akan ku 

coba menjebol dinding keparat itu dengan Kembang 

Darah Setan!”

Kiai Laras angkat tangan kanannya yang meng-

genggam Kembang Darah Setan. Saat lain tangannya 

telah bergerak. Sinar tiga warna melesat angker ke 

depan. Saat yang sama Kiai Laras cepat melompat ke 

samping, khawatir kalau sinar tiga warna membalik.

Blarr! Blarr! Blarr!

Ruangan itu perdengarkan ledakan keras tiga kali 

berturut-turut. Walau Kiai Laras tidak melihat adanya 

tembok yang jebol, namun saat itu telinganya bisa 

menangkap laksana ada tembok yang ambrol dan 

perdengarkan suara bergemuruh dahsyat. Saat yang 

sama sepasang matanya juga bisa melihat bagaimana 

kerangka berjubah hitam di sana bergoyang-goyang 

keras. Hebatnya, meski hanya tinggal kerangka, didera 

getaran begitu keras tidak rontok atau tanggal!

“Aku berhasil! Aku berhasil!” teriak Kiai Laras gi-

rang. Dia seakan melupakan pada luka bagian dalam 

yang dialaminya. Dia segera melompat ke depan. 

Hatinya makin girang tatkala dia tahu tubuhnya tidak 

lagi terhalang sesuatu yang tidak terlihat mata biasa.

Kiai Laras tegak dengan mata mementang tepat di 

depan kerangka berjubah hitam. Untuk beberapa lama 

dia meneliti dari atas sampai bawah. Setelah seli-

napkan Kembang Darah Setan ke balik pakaiannya, 

dia melangkah dua tindak ke depan. Tangan kanan 

dan kirinya menjulur ke arah jubah hitam yang 

dikenakan kerangka manusia.

Namun cepat-cepat sang Kiai tarik pulang kedua 

tangannya ketika merasakan hawa luar biasa dingin


menyungkup di ruangan itu. Laksana disentak setan 

dia cepat putar kepala dengan tangan satunya masuk 

ke balik pakaiannya siap menarik Kembang Darah 

Setan.

Tapi meski dia telah putar kepala dengan mata me-

nyelidik, dia tidak melihat siapa-siapa.

“Aneh.... Udara di ruangan ini tiba-tiba berubah! 

Jangan-jangan ada manusia usil....” Untuk yakinkan 

diri, Kiai Laras melompat. Lalu menuju anak tangga. 

Namun sampai dia menuruni anak tangga dan tiba di 

ruangan bawah, dia tetap tidak melihat adanya orang 

lain.

Kiai Laras kembali melangkah menaiki tangga dan 

langsung melompat ke arah kerangka berjubah hitam. 

Dia coba tabahkan hati meski kuduknya mulai mere-

mang tatkala kedua tangannya mulai bergerak ke arah 

jubah hitam. Malah kedua tangannya tampak bergetar 

keras ketika tangan itu menyentuh jubah hitam.

“Astaga! Apa yang terjadi?!” Tiba-tiba Kiai Laras

terlengak. Kedua tangannya yang menyentuh jubah 

hitam terasa panas laksana dipanggang. Padahal 

udara di ruangan itu makin dingin!

“Apa pun yang terjadi, aku harus mengambilnya!” 

putus Kiai Laras. Dia tidak pedulikan rasa panas yang 

memanggang kedua tangannya. Dia cepat lepaskan 

jubah hitam dari kerangka.

Mungkin tak sabar dan tak kuasa menahan rasa 

panas, Kiai Laras sentakkan jubah hitam yang telah 

terpegang tangannya. Namun dia tersentak sendiri. 

Jangankan terpuruk jatuh, kerangka manusia itu 

bergeming pun tidak!

“Jahanam!” Kiai Laras mulai geram. Dia tarik pu-

lang kedua tangannya karena tidak kuasa lagi mena-

han panas. Dia cepat memeriksa. Kembali dia terbela


lak. Ternyata kedua tangannya tidak apa-apa! Padahal 

dia sudah menduga jika kedua tangannya sudah 

melepuh dengan kulit mengelupas!

Kiai Laras arahkan pandang matanya pada kerang-

ka berjubah hitam. “Apa boleh buat! Aku harus berta-

han.... Lagi pula rasa panas itu tidak mencederai!”

Berpikir begitu, kembali Kiai Laras julurkan kedua 

tangannya. Perlahan-lahan dia mulai tanggalkan jubah 

hitam pada kerangka meski dengan bertahan dari rasa 

panas luar biasa yang memanggang sekujur tubuhnya.

Begitu jubah hitam tinggal di bagian yang diduduki 

kerangka, seolah sudah tidak ssbaran, Kiai Laras cepat 

sentakkan jubah yang sebagian besar telah berada di 

tangannya. Namun kembali sang Kiai terkesima. 

Kerangka itu tidak juga bergeming!

“Sialan keparat!” umpat Kiai Laras lalu letakkan 

jubah yang terpegang tangannya. Dia melangkah 

mundur seraya kerahkan tenaga dalam pada kedua 

tangannya.

“Aku membutuhkan jubah hitamnya, bukan ke-

rangka sialan jahanam itu!” Kiai Laras angkat kedua 

tangannya. Sekonyong-konyong kedua tangannya 

disentakkan ke arah kerangka.

Wuutt! Wuutt!

Karena kondisinya terluka dalam, gelombang yang 

melesat keluar dari kedua tangan Kiai Laras tidak 

begitu deras. Namun demikian, karena sentakan 

kedua tangan itu telah dialiri tenaga dalam, gelombang 

itu masih mampu menghancurkan batu besar.

Buss! Buss!

Kiai Laras tersentak. Gelombang angin yang men-

cuat dari kedua tangannya laksana menerabas tempat 

kosong dan lewat begitu saja pada kerangka! Hebat-

nya, begitu gelombang melewati kerangka, gelombang


itu lenyap tak berbekas!

“Aku akan membuang waktu sia-sia jika turuti kea-

nehan ini!” ujar Kiai Laras lalu tarik keluar Kembang 

Darah Setan dari balik pakaiannya.

Tanpa pikir panjang lagi, Kembang Darah Setan 

segera dihantamkan ke arah kerangka di depannya.

Daar! Darr! Daarr!

Tiap sinar yang melesat dari Kembang Darah Setan 

perdengarkan ledakan ketika menghantam kerangka. 

Bersamaan dengan itu kerangka yang tadi mengena-

kan jubah hitam langsung pecah berkeping-keping. 

Jubah hitam yang sebagian tadi masih diduduki 

tampak tersambar lalu melayang ke belakang.

Seolah takut kehilangan, Kiai Laras cepat sentak-

kan kaki ke lantai. Sosoknya melesat mengejar jubah

hitam yang masih melayang di udara. Begitu kakinya 

kembali menginjak lantai ruangan, jubah hitam telah 

berada di tangan sang Kiai.

“Aneh.... Sekarang hawa panas itu sirna!” desis Kiai 

Laras sambil memperhatikan jubah hitam di tangan-

nya. Dia cepat mengenakan jubah hitam. Setelah 

melihat sejenak pada kepingan kerangka yang telah 

terhantam Kembang Darah Setan, sang Kiai gerakkan 

kaki tinggalkan tempat itu.

Namun baru bergerak dua tindak, Kiai Laras henti-

kan gerakannya. “Aku rasakan gerakanku amat 

ringan. Dan rasanya kakiku tidak menyentuh lantai.... 

Pasti jubah ini penyebabnya! Tapi aku perlu membuk-

tikan kesaktiannya!”

Kiai Laras teruskan langkah. Kiai Laras tidak tahu, 

jika begitu jubah hitam dikenakan ke tubuhnya, 

sosoknya tidak kelihatan! Hingga yang tampak saat itu 

adalah jubah hitam yang bergerak melayang tanpa 

terlihat adanya sosok manusianya! Inilah mengapa


jubah hitam itu dinamakan Jubah Tanpa Jasad.

Hanya beberapa saat saja, Kiai Laras sudah melesat 

keluar dari lobang di mana tadi dia mulai masuk. Dia 

arahkan pandangannya berkeliling pada julangan 

beberapa batu karang yang seolah memagari tempat 

terbuka di mana saat ini dia tegak di tengah-

tengahnya.

“Rahasia di balik Kembang Darah Setan sudah ku-

temukan! Kini saatnya aku melakukan pembalasan 

itu! Pendeta Sinting.... Kau adalah manusia pertama 

yang akan kucari!”

Kiai Laras tengadahkan kepala. Dari mulutnya ter-

dengar gelakan tawa panjang. Lalu sambil terus umbar 

gelakan tawa, sang Kiai mulai melangkah tinggalkan

Kampung Setan. Kiai Laras tetap belum sadar jika saat 

itu sosoknya tidak bisa dilihat dengan pandangan 

mata biasa! Yang terlihat adalah bergeraknya jubah 

hitam tanpa adanya sosok yang menggerakkan!

***

Sosok bercaping lebar itu melewati hutan belantara 

sepi dengan berlari kencang. Ketika keluar dari kawa-

san hutan dan dari tempatnya terlihat jajaran bebera-

pa batu karang yang membentuk lingkaran, si sosok 

bercaping lebar hentikan larinya. Kini dia melangkah 

perlahan-lahan dengan memperhatikan sekeliling.

“Sebenarnya hal ini tak ada gunanya kulakukan! 

Dengan telah diserahkannya kembali Kembang Darah 

Setan pada Setan Liang Makam, kurasa urusannya 

akan selesai.... Tapi aku merasa ada yang tidak beres! 

Mengapa enak saja salah seorang yang menyamar 

sebagai diriku itu menyerahkan begitu saja Kembang 

Darah Setan! Anehnya, setelah itu dia mengikuti Setan 

Liang Makam! Aku ingin tahu ada apa ini...!” gumam


laki-laki bercaping lebar yang bukan lain adalah Kiai 

Tung-Tung alias Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko 

Sableng yang sedang lakukan penyamaran.

“Hem.... Seandainya tidak ada tangan usil yang 

ikut-ikutan menghadang pukulanku, pasti aku sudah

bisa membuka kedok siapa adanya orang yang me-

nyamar sebagai diriku itu! Tapi setidaknya aku curiga 

pada Kiai Laras.... Tapi mengapa dia mengenakan 

penyamaran?! Padahal tidak ada silang sengketa 

antara aku dengannya.... Ah. Itu urusan nanti. Seka-

rang aku ingin tahu apa yang dilakukan Setan Liang 

Makam....”

Kiai Tung-Tung percepat langkahnya. Begitu tegak 

di dekat lobang bekas altar batu yang dibuat porak-

poranda oleh Setan Liang Makam, dengan sikap hati-

hati Kiai Tung-Tung longokkan kepala. Setelah men-

gukur jarak, dia segera melesat masuk.

Dengan mata terpentang besar, Kiai Tung-Tung 

mulai menapaki tangga menurun yang ada di dalam 

lobang. Seperti halnya Setan Liang Makam dan Kiai 

Laras yang pernah memasuki lobang, Kiai Tung-Tung 

sempat terkesima begitu melihat sebuah bangunan 

yang membentuk sekuntum bunga berdaun tiga buah 

berwarna merah, hitam, dan putih.

Dengan terus waspada, Kiai Tung-Tung mulai ge-

rakkan langkah memasuki bangunan yang disebut 

sebagai Istana Sekar Jagat. Dan begitu yakin pada 

ruangan bagian bawah tidak menemukan sosok Setan 

Liang Makam, Kiai Tung-Tung melangkah dan mena-

paki tangga yang ada di bagian pojok ruangan.

Kiai Tung-Tung mulai merasa ada keanehan tatkala 

sampai pada bangunan berbentuk kerucut yang 

merupakan bagian atas dari Istana Sekar Jagat. 

Tampak beberapa kepingan batu berserakan di lantai.


Kiai Tung-Tung cepat kerahkan tenaga dalam. Se-

pasang matanya nanar mengelilingi ruangan. “Melihat 

keadaannya, pasti baru saja terjadi bentrokan.... 

Siapa?! Setan Liang Makam...?! Tapi dengan siapa?!”

Baru saja Kiai Tung-Tung menduga-duga, matanya 

menangkap sosok yang tergeletak dengan pakaian 

robek tak karuan dan hangus menghitam. Kiai Tung-

Tung edarkan pandang matanya sekali lagi. Namun 

sejauh ini dia tidak melihat seorang pun.

Kiai Tung-Tung perlahan-lahan mendekati sosok 

yang tergeletak. Sepasang matanya dibeliakkan mem-

perhatikan.

“Astaga! Bukankah ini Nyai Suri Agung...?! Siapa 

yang melakukannya?!” Kembali Kiai Tung-Tung putar 

kepala. Namun tetap tak menemukan siapa-siapa. Dia 

coba melangkah berkeliling ruangan.

“Hem.... Ada kepingan batu bercampur kepingan 

kerangka manusia.... Apakah ini sosoknya Setan Liang 

Makam?!” Kiai Tung-Tung terus menduga-duga kala 

matanya melihat hamburan batu serta kepingan 

kerangka yang ada di lantai bangunan.

Setelah mondar-mandir agak lama dan tidak juga 

menemukan orang, akhirnya Kiai Tung-Tung memu-

tuskan untuk keluar dari ruangan berbentuk kerucut.

“Aku tak bisa menduga apa sebenarnya yang telah 

terjadi! Yang jelas bagiku, baru saja terjadi bentrokan 

dahsyat di ruangan itu...,” gumam Kiai Tung-Tung 

begitu kakinya menginjak kembali ke bagian bawah 

lobang di mana tadi dia mulai masuk.

Setelah melongok lagi ke bawah tangga dan tetap 

tidak menangkap adanya orang, Kiai Tung-Tung 

melesat keluar dari dalam lobang.

Belum sampai Kiai Tung-Tung injakkan kakinya di 

luar lobang, satu kejutan bukan saja membuat Kiai


Tung-Tung tersentak kaget namun harus belokkan 

lesatan tubuhnya karena tiba-tiba ada orang perden-

garkan suara.

“Apa yang kau lakukan di sini, Anak Muda?!”

Begitu injakkan kaki, Kiai Tung-Tung langsung pa-

lingkan kepala ke samping kanan dari jurusan mana 

tadi suara terdengar.

“Bruss! Bruss!”

Terdengar bersinan dua kali. Disusul dengan ter-

dengarnya suara.

“Ada hal yang mengherankan pada diriku, Anak 

Muda?! Pandang matamu lain...! Atau barangkali 

mataku yang heran melihatmu?!”

Dari tempatnya tegak, Kiai Tung-Tung melihat seo-

rang kakek duduk bersimpuh dengan tangan kanan 

memegang tongkat kayu butut. Sementara tangan 

kirinya diletakkan di atas pahanya. Kakek ini menge-

nakan pakaian lusuh. Kepalanya selalu bergerak 

pulang balik ke depan ke belakang dengan raut muka 

meringis seperti orang hendak perdengarkan bersinan.

***

LIMA



DATUK Wahing...!” seru Kiai Tung-Tung mengenali 

siapa adanya si kakek. “Dari panggilannya tadi jelas 

dia telah tahu kalau aku tengah menyamar! Dan 

dengan kemunculannya di sini, berarti dia memang 

masih ada hubungan dengan Setan Liang Makam dan 

Nyai Suri Agung....”

Kiai Tung-Tung alias Pendekar 131 Joko Sableng 

melangkah mendekat ke arah si kakek yang memang 

Datuk Wahing adanya. Namun baru saja kakinya


bergerak dua tindak, mendadak terdengar suara 

cekikikan lalu disusul suara orang berucap.

“Cucuku.... Raut wajahmu terlihat muram! Apa se-

benarnya yang kau temukan di sana?! Pasti bukan 

seorang gadis cantik!”

“Dari suaranya, rasa-rasanya aku bisa menduga 

siapa adanya orang yang baru saja berkata! Tapi 

mengapa dia ada bersama Datuk Wahing?!” seraya 

membatin Kiai Tung-Tung palingkan kepalanya ke kiri. 

Sepasang matanya membentur pada satu sosok tubuh 

seorang perempuan berusia lanjut. Namun agaknya 

perempuan ini tidak mau dikatakan sebagai perem-

puan tua. Karena paras wajahnya dibedaki tebal. 

Bibirnya dipoles merah menyala. Pada pipi kiri kanan-

nya tampak pemerah. Rambutnya yang putih panjang 

dikelabang dua. Pada ujung kelabangan rambutnya 

diberi pita kain berwarna merah. Nenek ini mengena-

kan pakaian berupa baju tanpa lengan berwarna 

merah yang dibuat cingkrang. Hingga bukan saja 

ketiaknya yang terlihat jelas, namun orang juga bisa 

melihat pada pusarnya. Sementara pakaian bawahnya 

berupa celana pendek di atas lutut juga berwarna 

merah. Karena warna kulit si nenek ini berwarna 

hitam, maka dandanannya yang seronok bukannya 

membuat tampangnya sedap dipandang, melainkan 

juga menakutkan!

“Dayang Sepuh!” desis Kiai Tung-Tung. “Rupanya 

dia telah tahu juga siapa aku sebenarnya!”

“Bruss! Bruss! Kau jangan membuatku heran den-

gan tidak segera jawab pertanyaanku, Anak Muda!” 

Berkata Datuk Wahing.

“Kek! Kau tadi bertanya apa?!” tanya Kiai Tung-

Tung.

“Ah.... Kau sama saja dengan kakekmu! Tidak perhatikan ucapan orang kalau tidak ada kaitannya 

dengan perempuan! Hik.... Hik.... Hik...!” Menyahut 

perempuan berpakaian merah-merah yang tidak lain 

adalah Dayang Sepuh.

Kiai Tung-Tung sesaat pandang silih berganti pada 

Datuk Wahing dan Dayang Sepuh. Lalu buka suara.

“Sebenarnya aku tengah mengikuti Setan Liang Ma-

kam. Namun kedatanganku rupanya terlambat!”

“Bruss! Bruss! Jangan membuatku makin heran 

tanpa teruskan keterangan, Anak Muda!” Datuk 

Wahing kembali perdengarkan suara dengan kepala 

terus bergerak-gerak ke depan ke belakang ketika Kiai 

Tung- Tung hentikan ucapannya.

“Aku menemukan nenek yang pernah perkenalkan 

diri padaku dengan sebutan Nyai Suri Agung telah 

tidak bernyawa lagi! Sementara tidak jauh dari mayat 

si nenek kutemukan kerangka manusia yang telah 

hancur berkeping-keping. Kuduga kerangka itu adalah 

sosok Setan Liang Makam!”

Mendadak sontak, gerakan kepala Datuk Wahing 

terhenti. Kepalanya lurus menghadap Kiai Tung-Tung 

dengan mata membelalak dan dahi berkerut. Untuk 

beberapa lama kakek ini kancingkan mulut.

Sementara bersamaan dengan selesainya ucapan 

Kiai Tung-Tung, Dayang Sepuh tiba-tiba melompat dan 

tegak dua langkah di samping Kiai Tung-Tung. Namun, 

si nenek bukannya langsung buka mulut, melainkan 

hanya memandang dari atas ke bawah pada Kiai Tung-

Tung. Saat lain dia ambil kepangan rambutnya. Seraya 

memilin-milin pita pada ujung kelabangan rambutnya 

dia mulai buka mulut.

“Cucuku.... Kau jangan membuat hatiku deg-degan 

tak karuan! Apa benar keteranganmu tadi?!”

“Untuk apa aku berdusta pada kalian?! Kalian bisa


melihatnya sendiri di bawah sana!”

Ucapan Kiai Tung-Tung belum selesai, masih den-

gan duduk bersimpuh, Datuk Wahing membuat 

gerakan. Serta-merta sosoknya melesat ke depan dan 

kejap lain tubuhnya lenyap masuk ke lobang di mana 

Kiai Tung-Tung baru saja keluar. Hampir bersamaan 

dengan lenyapnya sosok Datuk Wahing, Dayang Sepuh 

melompat dua kali. Sosoknya pun laksana ditelan

bumi. Lenyap masuk ke dalam lobang.

Di luar lobang, Kiai Tung-Tung tampak kebingun-

gan. Saat itulah terdengar suara. “Kenapa kau masih 

bengong di situ, Cucuku?!”

Kiai Tung-Tung melangkah ke arah lobang. Saat 

melongok, sosok Dayang Sepuh sudah tidak kelihatan 

lagi. Kiai Tung-Tung sejenak berpikir. Lalu melompat 

masuk lagi ke dalam lobang.

Baru saja Kiai Tung-Tung melewati pintu bangunan

paling bawah, matanya melihat Datuk Wahing dan 

Dayang Sepuh melangkah menuruni tangga di pojok 

ruangan. Pada pundak kanan Datuk Wahing tampak 

satu sosok tubuh mengenakan pakaian yang hangus 

terbakar. Kedua orang ini sama kancingkan mulut 

tidak ada yang bersuara. Malah wajah Datuk Wahing 

terlihat murung.

“Dari sikapnya, aku sekarang yakin siapa adanya 

Datuk Wahing.... Dia adalah orang bernama Galaga, 

murid Nyai Suri Agung yang berarti juga adalah 

saudara seperguruan Setan Liang Makam.... Yang 

masih jadi tanda tanya adalah siapa adanya Dayang 

Sepuh!” Diam-diam Kiai Tung-Tung membatin kala 

teringat akan cerita Datuk Wahing pada beberapa 

waktu yang lalu.

Datuk Wahing dan Dayang Sepuh berhenti sejenak 

di hadapan Kiai Tung-Tung. Keduanya hanya memandang, belum ada yang buka suara. Lalu masih tanpa 

berkata apa-apa, kedua kakek nenek itu teruskan 

langkah melewati Kiai Tung-Tung.

Kiai Tung-Tung maklum akan sikap Datuk Wahing. 

Tanpa buka suara pula dia mengikuti di belakang 

Datuk Wahing dan Dayang Sepuh yang terus melang-

kah hingga akhirnya keluar dari lobang bekas bongka-

ran altar batu di atas sana.

Pada satu tempat di belakang salah satu julangan 

batu karang, perlahan-lahan Datuk Wahing turunkan 

sosok di pundak kanannya yang bukan lain adalah 

sosok mayat Nyai Suri Agung.

Dengan gerak cepat, Datuk Wahing menggali tanah 

memakai tongkat kayunya. Dalam beberapa saat, telah 

terlihat sebuah lobang sedalam satu tombak memben-

tuk persegi panjang satu setengah tombak berkeliling.

Dengan tanpa banyak mulut, Datuk Wahing angkat 

mayat Nyai Suri Agung lalu dimasukkan ke dalam 

lobang dan menimbunnya kembali.

Untuk beberapa saat Datuk Wahing duduk bersim-

puh di samping makam Nyai Suri Agung. Sementara 

Dayang Sepuh dan Kiai Tung-Tung memperhatikan 

dari jarak delapan langkah tanpa ada yang perdengar-

kan suara.

“Anak muda...,” tiba-tiba Datuk Wahing bersuara 

setelah beberapa lama terdiam. “Aku harap kau tidak 

merasa heran jika aku bertanya padamu. Lebih-lebih 

aku mengharap jawaban yang tidak mengherankan 

diriku!” Datuk Wahing memberi isyarat dengan lam-

baian tangannya agar Kiai Tung-Tung alias murid 

Pendeta Sinting mendekat.

“Siapa saja yang kau lihat masuk ke tempat ini?!” 

Datuk Wahing bertanya begitu Kiai Tung-Tung telah 

tegak di sampingnya.


“Aku hanya melihat Setan Liang Makam...!”

“Lainnya?!”

Kiai Tung-Tung gelengkan kepala. “Aku tidak meli-

hat orang lain! Kedua pemuda yang sempat mengikuti 

Setan Liang Makam tidak memasuki tempat ini. 

Karena aku mengikuti mereka!”

“Bruss! Keterangan terakhirmu membuatku heran. 

Ceritakan siapa yang kau maksud dengan kedua 

pemuda itu!”

Kiai Tung-Tung lalu menceritakan dengan singkat 

pengintaiannya di pesisir utara dekat teluk sampai dia 

kembali lagi ke Kampung Setan.

Datuk Wahing mendengarkan keterangan Kiai 

Tung-Tung dengan kepala bergerak pulang balik ke 

depan ke belakang. Namun dia tidak perdengarkan

bersinan meski raut mukanya jelas kalau dia ingin 

bersin!

“Kau duga ada orang lain masuk ke tempat ini, 

Kek?!” tanya Kiai Tung-Tung seolah mengakhiri 

ceritanya dan dilihatnya Datuk Wahing masih juga 

belum memberi sambutan.

“Bruss! Bruss! Kau jangan heran kalau aku bukan 

saja menduga, namun bisa memastikan jika ada orang 

lain masuk ke tempat itu!”

“Bagaimana kau bisa memastikan?!” Kali ini yang 

buka suara adalah Dayang Sepuh yang ternyata sudah 

tegak di belakang Kiai Tung-Tung seraya memilin 

kelabangan rambutnya.

Datuk Wahing merogoh ke balik pakaiannya. Ketika 

tangannya ditarik, terlihat serpihan daun yang telah 

hangus.

Seraya angkat serpihan daun dan ditaburkan, Da-

tuk Wahing berucap.

“Dari sini aku dapat memastikan! Dan kalian tidak


usah heran bila aku dapat juga memastikan kalau 

Kembang Darah Setan yang diberikan pada Setan 

Liang Makam di teluk adalah Kembang Darah Setan 

palsu! Kembang Darah Setan asli tak mungkin bisa 

hangus!”

“Aku belum mengerti bagaimana kau dapat memas-

tikan ada orang lain!” ujar Dayang Sepuh.

“Terbunuhnya Nyai Suri Agung dan berserakannya 

kerangka!”

“Mungkin saja Setan Liang Makam yang melaku-

kannya! Bukankah kalau dihubungkan dengan cerita-

mu dahulu masuk akal?!” kata Kiai Tung-Tung.

Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya yang 

bergerak ke depan ke belakang. Kini kepala itu berge-

rak ke samping kiri kanan menggeleng. “Dengan 

Kembang Darah Setan palsu, aku akan jadi heran jika 

Setan Liang Makam mampu melakukannya! Sekalipun 

seandainya Setan Liang Makam memiliki ilmu tinggi! 

Pastinya, ada orang lain yang melakukannya, dan 

orang itu membekal Kembang Darah Setan asli!”

“Hem.... Jangan-jangan salah satu pemuda yang 

menyamar itu...!” gumam Kiai Tung-Tung. “Dia sengaja 

memberikan Kembang Darah Setan palsu lalu diam-

diam mengikuti Setan Liang Makam. Dan.... Tapi 

apakah mungkin?! Aku tahu mereka berkelebat jauh 

dari Kampung Setan....”

“Dugaanmu itu yang masuk akal, Anak Muda!” ujar 

Datuk Wahing. “Nyai Suri Agung hanya bisa dihadapi 

dengan Kembang Darah Setan! Itu pun yang meng-

genggam Kembang Darah Setan harus cerdik. Jika 

tidak, dia tetap tidak akan mampu menghadapi Nyai 

Suri Agung! Dan dengan terbunuhnya Nyai Suri 

Agung, berarti si pembawa Kembang Darah Setan 

adalah orang cerdik!”


“Lalu apakah kerangka yang berserakan itu sosok 

Setan Liang Makam yang juga terbunuh?!” tanya Kiai 

Tung-Tung.

Datuk Wahing perdengarkan bersinan dahulu sebe-

lum buka suara.

“Kurasa Setan Liang Makam masih bernyawa....”

“Kerangka itu...?!” ujar Kiai Tung-Tung.

“Itu adalah kerangka pendiri Istana Sekar Jagat. 

Nenek moyang para generasi Kampung Setan,” jawab 

Datuk Wahing. Kakek ini menghela napas panjang. 

Lalu perdengarkan suara lagi. “Dunia persilatan akan 

menghadapi bencana besar.... Dan aku sangsi, apakah 

ada seseorang yang kelak dapat menghentikannya!”

“Maksudmu?!” Kali ini yang bertanya adalah 

Dayang Sepuh.

“Pendiri Istana Sekar Jagat itu mengenakan sebuah 

jubah hitam yang dinamakan Jubah Tanpa Jasad. 

Sebuah jubah sakti yang luar biasa! Dan orang yang 

telah membunuh Nyai Suri Agung telah mendapatkan-

nya!”

“Setan Liang Makam sendiri ke mana?!” Kembali 

Dayang Sepuh ajukan tanya.

“Mungkin dia telah pergi begitu tahu kembang di 

tangannya adalah Kembang Darah Setan palsu....”

“Kek.... Kau tahu banyak tentang tempat itu. Aku 

sekarang jadi yakin, kaulah orang yang dalam cerita-

mu dahulu kau sebut sebagai Galaga. Saudara seper-

guruan Maladewa dan murid Nyai Suri Agung! Betul?!” 

kata Kiai Tung-Tung.

“Bruss! Itu bukan hal yang mengherankan dan 

penting untuk dibicarakan saat ini, Anak Muda! Yang 

mengherankan adalah jika kita tidak segera tahu siapa 

adanya pemegang Kembang Darah Setan dan sekarang 

telah juga mendapatkan Jubah Tanpa Jasad! Kalau


kita terlambat, kiamat besar akan terjadi dalam rimba 

persilatan! Dan mungkin saja hal itu sekarang telah 

mulai!”

“Aku curiga pada seseorang...,” ucap Kiai Tung-

Tung.

“Siapa?!” tanya Dayang Sepuh.

“Kiai Laras!”

“Bruss! Curiga boleh. Tapi jangan membuat orang 

heran dengan curiga tanpa membuktikan!”

“Aku hampir saja bisa membuktikan. Sayang men-

dadak ada orang yang usil menghadang...,” kata Kiai 

Tung-Tung dalam hati ingat akan pengejarannya pada

Kiai Lidah Wetan. Lalu bergumam.

“Aku hanya merasa aneh. Kalau memang Kiai Laras 

yang melakukannya, mengapa dia menyamar?!”

“Bruss! Bruss! Seharusnya kau tidak boleh merasa 

aneh apalagi heran, Anak Muda! Justru hal itulah 

yang harus kau selidiki! Mengapa dia mengenakan 

penyamaran dan melakonkan diri sebagai sosok 

dirimu!”

“Mungkin ada kaitannya dengan hilangnya kakek-

mu!” Yang menyahut Dayang Sepuh.

“Nek.... Aku....”

Belum sampai Kiai Tung-Tung lanjutkan ucapan-

nya, Dayang Sepuh telah angkat tangan kirinya. Kiai 

Tung-Tung putuskan ucapan dengan dahi mengernyit. 

Namun kejap lain dia tersenyum dan buka mulut.

“Bibi.... Aku sekarang akan berterus terang pada-

mu! Yang kucari itu sebenarnya bukan kakekku. 

Melainkan eyang guruku, Pendeta Sinting....”

Dayang Sepuh turunkan tangan kirinya lalu mem-

buat seulas senyum dingin. Belum sampai dia buka 

suara, Datuk Wahing telah bergerak bangkit. Bersin 

dua kali lalu berkata.


“Kurasa sudah tidak ada sesuatu yang mengheran-

kan di tempat ini!”

Habis berkata begitu, sang Datuk mulai melangkah 

tinggalkan gundukan tanah di mana baru saja Nyai 

Suri Agung dikebumikan.

Dayang Sepuh memandang sesaat, lalu berpaling 

pada Kiai Tung-Tung. Dia hanya lambaikan tangan 

lalu melangkah mengikuti Datuk Wahing.

Kiai Tung-Tung angkat bahu, lalu bergerak mengi-

kuti di belakang. Namun baru saja melangkah, di 

depan sana Datuk Wahing bersin-bersin lalu berkata.

“Jangan lakukan sesuatu yang mengherankan den-

gan ikuti langkah kami, Anak Muda.... Tujuan kita 

memang tidak beda. Tapi akan mengherankan jika kita 

berbondong-bondong!”

Kiai Tung-Tung menghentikan langkahnya. Lalu 

menunggu sampai Datuk Wahing dan Dayang Sepuh 

lenyap di depan sana.

***

ENAM



DI SATU tempat agak jauh dari Kampung Setan, 

Kiai Tung-Tung hentikan langkahnya ketika matanya 

dapat menangkap satu bayangan berlari menuju ke 

arahnya. Begitu cepatnya sosok bayangan itu hingga 

belum sampai Kiai Tung-Tung melompat menyelinap si 

bayangan tadi tahu-tahu sudah tegak berjarak sepuluh 

langkah di hadapannya.

Untuk beberapa saat sepasang mata orang di depan 

sana pandangi Kiai Tung-Tung dari atas hingga bawah. 

Namun karena Kiai Tung-Tung masih mengenakan 

caping lebar yang dimasukkan dalam-dalam pada


kepalanya, si orang rupanya merasa kesulitan untuk 

mengenali raut wajahnya. Hingga dia segera buka 

mulut.

“Boleh aku tahu siapa kau adanya, Orang Tua?!”

Kiai Tung-Tung kerutkan dahi. “Aku sepertinya per-

nah dengar suara orang ini! Tapi mengapa wajahnya 

lain?! Apa memang suara mirip tapi lain orangnya?!” 

Kiai Tung-Tung angkat sedikit kepalanya lalu memper-

hatikan orang di seberang depan.

Dia adalah seorang laki-laki yang seperti halnya Kiai 

Tung-Tung, mengenakan caping lebar dan dimasukkan 

dalam-dalam pada kepalanya hingga raut wajahnya 

tidak mudah dikenali. Mengenakan pakaian gombrong 

warna hitam sebatas betis berlengan panjang. Hingga 

dari anggota tubuhnya yang kelihatan hanyalah 

telapak kedua tangannya, bagian betis ke bawah lalu 

sebagian dari paras wajahnya. Tangan kanannya 

memegang buntalan kain yang disampirkan pada 

pundaknya.

“Aku Kiai Tung-Tung...,” Kiai Tung-Tung alias murid 

Pendeta Sinting yang tengah menyamar menjawab 

pertanyaan orang. Lalu balik bertanya. “Kau sendiri 

siapa, Orang Tua?!”

Orang yang ditanya tidak segera menjawab. Seba-

liknya angkat kepalanya sedikit. Lalu pandangi Kiai 

Tung-Tung dengan seksama. Diam-diam dalam hati 

dia membatin. “Suaranya tidak mungkin ku lupa! Apa 

benar-benar dia?! Kurang ajar betul, Sontoloyo ini! 

Kudengar dia telah melakukan beberapa hal yang tak 

terpuji setelah peristiwa di Kedung Ombo! Sontoloyo 

seperti ini harus diberi pelajaran dan kalau perlu 

dibunuh jika benar melakukan hal yang mengotori 

dunia persilatan! Aku memang belum yakin benar 

akan berita yang saat ini tersebar, namun melihat arah


datangnya, mungkin dia baru dari Kampung Setan. 

Sementara berita yang terdengar, mengaitkan dirinya 

dengan perihal Kampung Setan.... Benar-benar celaka 

kalau apa yang tersiar sekarang benar-benar kenya-

taan....”

“Orang tua! Kau keberatan mengatakan siapa diri-

mu?!” Kiai Tung-Tung kembali perdengarkan suara 

ketika agak lama si orang yang ditanya tidak segera 

menjawab.

Tiba-tiba orang di seberang depan perdengarkan 

tawa ngakak. Namun laksana dirobek setan, orang ini 

putuskan tawanya dan mendadak buka mulut mem-

bentak.

“Aku Malaikat Jagal Manusia! Kau tidak beruntung, 

Manusia! Karena harus bertemu denganku!”

“Maksudmu...?!” tanya Kiai Tung-Tung dengan pa-

lingkan kepala melirik.

“Telingamu telah dengar gelarku. Malaikat Jagal 

Manusia! Jadi tak ada makhluk bernama anak manu-

sia yang lewat begitu saja bila jumpa denganku! 

Termasuk kau sendiri!”

“Tapi.... Bukankah di antara kita tidak ada perkara 

apa-apa?! Lagi pula rasanya tidak...”

“Anak manusia!” Orang yang sebutkan diri sebagai 

Malaikat Jagal Manusia telah menukas sebelum Kiai 

Tung-Tung selesaikan ucapan. “Bagi Malaikat Jagal 

Manusia, tidak butuh perkara jika hendak menjagal 

manusia! Yang jelas, siapa pun anak manusia yang 

bertemu denganku, maka saat itulah nasibnya diten-

tukan!”

“Hem.... Berarti hanya suaranya saja yang mirip.... 

Orangnya lain!” gumam Kiai Tung-Tung dalam hati. 

Lalu berkata.

“Kalau setiap kali kau selalu menjagal manusia,


jangan-jangan kau melakukan hal ini atas suruhan 

orang lain! Benar?!”

Mendengar ucapan Kiai Tung-Tung, Malaikat Jagal 

Manusia tertawa bergelak panjang. “Malaikat Jagal 

Manusia pantang mendapat perintah orang! Penjagalan 

ini adalah tugas sejak aku dilahirkan! Ha.... Ha.... 

Ha...! Masih ada yang hendak kau tanyakan sebelum 

nyawamu terjagal tanganku, Anak Manusia?!”

Kiai Tung-Tung anggukkan kepala. “Boleh aku ta-

hu, apa kau dapat menduga siapa gerangan kira-kira 

yang dapat menjagal dirimu sekaligus menentukan 

akhir nasibmu?!”

Malaikat Jagal Manusia putuskan tawanya. Sepa-

sang matanya mendelik angker. Setelah mendengus

keras dia berkata.

“Aku sendiri yang menentukan nasibku!”

Kali ini ganti Kiai Tung-Tung yang balik tertawa 

panjang. Lalu kepalanya kembali menggeleng. “Kau 

salah, Malaikat Jagal Manusia! Bukan kau yang 

tentukan akhir nasibmu. Tapi tanganku! Ha.... Ha.... 

Ha...!”

Malaikat Jagal Manusia gerakkan tangan kiri te-

kankan pada caping lebarnya. Saat lain tiba-tiba laki-

laki ini melompat ke depan. Tangan kirinya yang telah 

terangkat ke atas berkelebat lepaskan satu pukulan ke 

arah kepala Kiai Tung-Tung.

Kiai Tung-Tung tidak mau menunggu. Dia me-

nyongsong pukulan tangan orang dengan angkat 

tangan kanannya. Namun bukan untuk lepaskan 

pukulan, melainkan dipalangkan pada kepalanya.

Bukkk!

Tangan kiri Malaikat Jagal Manusia membentur 

tangan Kiai Tung-Tung. Saat bersamaan mendadak 

tangan kanan Malaikat Jagal Manusia telah pula


berkelebat. Kiai Tung-Tung tidak tinggal diam. Tangan 

kirinya cepat menyambut.

Bukkk!

Kembali terjadi benturan. Masing-masing orang 

sama tersurut satu langkah ke belakang dengan dahi 

sama mengernyit. Namun itu cuma sesaat. Kejap lain, 

Malaikat Jagal Manusia telah menyergap ke depan. 

Kini kedua tangannya bergerak bersamaan lepaskan 

pukulan.

“Ah.... Manusia ini nyatanya tidak main-main.... 

Apa sebenarnya kemauan orang ini?! Apa ucapannya 

benar kalau dia akan menjagal setiap anak manusia 

yang ditemuinya?!”

Sambil membatin begitu, Kiai Tung-Tung angkat 

kedua tangannya menghadang kedua tangan Malaikat

Jagal Manusia.

Bukk! Bukkk!

Baik Kiai Tung-Tung maupun Malaikat Jagal Manu-

sia sama surutkan langkah dua tindak ke belakang. 

Dari benturan tangan kali ini, rupanya masing-masing 

orang sudah mulai dapat mengukur kekuatan tenaga 

dalam lainnya.

“Tenaga dalamnya sangat kuat. Jangan-jangan bu-

kan Sontoloyo itu!” Malaikat Jagal Manusia mulai ragu 

dengan dugaannya melihat bagaimana tingkat tenaga 

dalam orang. “Atau ini karena dia telah memperoleh 

kitab kedua itu...?”

“Ada sesuatu yang ingin kau utarakan?!” tanya Kiai 

Tung-Tung melihat perubahan sikap orang.

Namun Kiai Tung-Tung tidak menunggu jawaban. 

Begitu selesai berkata dia sudah melompat seraya 

kelebatkan tangan kiri kanan ke caping Malaikat Jagal 

Manusia.

“Sialan! Dia ingin tahu siapa diriku! Ini tidak boleh


terjadi sebelum aku dapat yakin siapa dia adanya!” 

desis Malaikat Jagal Manusia. Dia cepat mundur dan 

serta-merta menyongsong sosok tubuh Kiai Tung-Tung 

dengan lepaskan pukulan jarak jauh.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang dahsyat menderu ganas. Kiai Tung-

Tung terkesiap. Dia buru-buru tarik pulang kedua 

tangannya yang hendak menyambar caping Malaikat 

Jagal Manusia. Kedua tangannya serta-merta disen-

takkan ke depan.

Blamm!

Gelegar keras terdengar saat gelombang dari ke dua 

tangan Malaikat Jagal Manusia bentrok dengan 

gelombang yang keluar dari kedua tangan Kiai Tung-

Tung.

Sosok Malaikat Jagal Manusia tersurut satu tindak. 

Demikian juga sosok Kiai Tung-Tung. Paras masing-

masing orang berubah.

“Ternyata kau memiliki ilmu juga, Anak Manusia!

Tapi jangan harap apa yang kau miliki bisa merubah 

nasib yang ku tentukan!” sentak Malaikat Jagal 

Manusia.

Habis berkata begitu, Malaikat Jagal Manusia ber-

kelebat ke depan. Setengah jalan, dia sudah dorong 

kedua tangannya.

Wuutt! Wuutt!

Tempat itu seketika disemburati cahaya kuning. 

Lalu satu gelombang berhawa panas luar biasa meng-

gebrak ganas.

“Pukulan ‘Lembur Kuning’! Jadi memang....” Kiai 

Tung-Tung tidak lanjutkan gumamannya. Sebaliknya 

dia buka mulut berteriak.

“Tahan, Eyang....”

Tapi teriakan Kiai Tung-Tung terlambat. Karena


gelombang yang disemburati cahaya kuning dan 

membawa hawa panas menyengat itu telah mencuat.

Kiai Tung-Tung sesaat bimbang. Kalau dia tidak 

menyambut pukulan yang kini datang, dia bisa 

bayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Seba-

liknya kalau dia sambuti pukulan itu, paling tidak 

akan membawa akibat pada kedua belah pihak. 

Padahal pukulan itu sudah menderu makin dekat dan 

tidak ada kesempatan lagi baginya untuk berpikir.

Pada puncak kebimbangannya, akhirnya Kiai Tung-

Tung berkelebat ke belakang. Lalu dorong kedua 

tangannya ke depan lepaskan pukulan sakti ‘Lembur 

Kuning’.

Dari kedua tangan Kiai Tung-Tung yang tiba-tiba 

berubah menjadi kuning melesat cahaya kekuningan 

disertai gelombang dan hawa panas.

Blaammm!

Tempat itu laksana dilanda gempa luar biasa dah-

syat. Tanahnya muncrat ke udara setinggi lima tombak 

lalu menebar berhamburan mendatar di atas udara 

sepanjang delapan tombak berkeliling. Hingga untuk 

beberapa saat udara di tempat itu laksana ditelan 

gelap malam.

Begitu hamburan tanah sirap kembali, di sebelah 

kanan tampak sosok Kiai Tung-Tung jatuh terduduk 

dengan tubuh bergetar keras. Caping lebarnya mence-

lat. Parasnya berubah pucat pasi. Mulutnya menganga 

lalu menutup dengan dada bergerak keras turun naik.

Sementara di seberang depan sana, sosok Malaikat 

Jagal Manusia duduk bersimpuh. Sepasang matanya 

mendelik menyipit. Caping yang dikenakannya juga 

mencelat amblas. Hingga raut wajahnya terlihat jelas.

“Benar-benar si Sontoloyo itu!” desis Malaikat Jagal 

Manusia begitu bisa melihat paras wajah Kiai Tung


Tung. Dia bergerak bangkit. Mendadak sepasang 

matanya melotot besar. Tanpa berkata apa-apa lagi dia 

berkelebat ke depan. Tangan kiri kanannya terangkat.

“Eyang.... Tunggu! Aku Joko!” teriak Kiai Tung-

Tung menduga kalau Malaikat Jagal Manusia belum 

mengetahui siapa dirinya.

Malaikat Jagal Manusia yang ternyata adalah Pen-

deta Sinting tegak lima langkah di hadapan Kiai Tung-

Tung alias Pendekar 131 Joko Sableng dengan tangan 

tetap terangkat dan mata mendelik angker. Mulutnya 

tiba-tiba perdengarkan suara keras.

“Sejak tadi aku tahu siapa kau, Sontoloyo!”

Joko Sableng berdiri lalu membungkuk memberi 

hormat sambil berkata.

“Kalau Eyang sudah tahu, mengapa memukul ku?!”

“Hem.... Rupanya kau belum sadar akan tindak-

tandukmu selama ini! Dan kau kira aku tidak tahu, 

hah?!”

“Eyang.... Tunggu.... Sebenarnya ada apa ini?!”

Pendeta Sinting perdengarkan dengusan keras. 

“Kau masih juga berpura-pura!”

“Busyet! Jangan-jangan Eyang termakan kabar fit-

nah ini! Bisa celaka...,” gumam Joko lalu buka mulut.

“Eyang.... Harap jelaskan semuanya! Aku....”

“Apa lagi yang perlu ku jelaskan?!” potong Pendeta 

Sinting dengan membentak. Tangan kanan kirinya 

sudah bergerak.

“Eyang.... Tahan dulu! Biar aku yang menjelaskan!” 

ujar Joko dengan mata memperhatikan pada gerakan 

kedua tangan eyang gurunya. “Tentu Eyang menden-

gar sesuatu yang kurang baik tentang diriku....”

“Bukan kurang baik! Tapi perbuatanmu sudah me-

lampaui batas! Mampus sudah layak menjadi bagian-

mu! Dan karena aku yang memberimu ilmu, adalah


lebih layak jika tanganku sendiri yang harus menghen-

tikan ulah mu!”

Joko Sableng menghela napas panjang. “Eyang.... 

Sebagai murid aku rela tanganmu yang mencabut 

nyawaku. Namun sebelumnya harap Eyang dengar 

dahulu penjelasanku.”

Pendeta Sinting turunkan kedua tangannya. “Cepat 

katakan penjelasan apa yang akan kau berikan!”

“Sesuai dengan permintaanmu di Kedung Ombo, 

tiga hari setelah peristiwa itu, aku ke Jurang Tlatah 

Perak. Namun kau tidak ada. Aku menunggu hampir 

setengah purnama. Namun kau tidak muncul juga. 

Kupikir telah terjadi sesuatu padamu. Aku berniat 

mencarimu....” Lalu Joko mulai menceritakan tentang 

pertemuannya dengan Dayang Sepuh di kedai, kemu-

dian pertemuannya dengan Datuk Wahing, Setan Liang 

Makam, Kiai Laras, Kiai Lidah Wetan, Dewi Seribu 

Bunga, Saraswati, dan Putri Kayangan. Dia juga 

menceritakan bagaimana fitnah itu tiba-tiba menebar. 

Terakhir Joko menceritakan soal penyamaran dirinya 

sebagai Kiai Tung-Tung hingga pemakaman Nyai Suri 

Agung.

“Kau tidak mengarang cerita itu?!” tanya Pendeta 

Sinting begitu Joko hentikan ceritanya.

“Kelak jika kau bertemu dengan salah seorang yang 

kuceritakan, kau bisa membuktikannya, Eyang....”

“Kiai Laras.... Hem....” Pendeta Sinting bergumam.

“Eyang.... Kalau boleh ku tahu. Eyang mengenal 

dia?!”

“Dia siapa?!”

“Kiai Laras.... Karena gerak-geriknya mencuriga-

kan!”

Pendeta Sinting berpaling. “Kau berpikir dalang di 

balik semua ini adalah dia?!”


“Aku hanya mengaitkan apa yang pernah terjadi. 

Tapi semua itu masih perlu dibuktikan....”

“Tapi apa mungkin?! Dari apa yang ku tahu, ra-

sanya mustahil dia bisa menerobos Kampung Setan 

dan tahu banyak tentang rahasia tempat itu!” kata 

Pendeta Sinting perlahan.

“Eyang.... Masalahnya sekarang bukan bagaimana 

dia bisa menerobos Kampung Setan meski hal itu 

patut ditanyakan. Yang lebih penting adalah, kalau 

memang benar-benar Kiai Laras, mengapa dia menge-

nakan penyamaran sebagai diriku?! Padahal aku tidak 

pernah punya urusan dengannya! Kalau seseorang 

melakonkan orang lain dengan maksud jahat, tentu 

orang itu punya sesuatu yang terpendam. Sementara 

kalau aku dan dia tidak punya urusan apa-apa, pasti 

urusannya ada di antara dia dengan orang yang dekat 

denganku. Sedang orang satu-satunya yang paling 

dekat denganku adalah kau.... Apa Eyang pernah 

punya urusan dengan Kiai Laras?!”

“Hem.... Aku memang pernah punya urusan dengan 

dia. Tapi kukira urusannya terlalu sepele jika harus 

diselesaikan dengan cara begini! Lagi pula urusan itu 

sudah tuntas dan kulupakan!”

“Eyang.... Seseorang akan berbeda dalam mengha-

dapi satu urusan. Bisa saja kau menganggapnya 

sudah tuntas malah sudah melupakannya dan bahkan 

menghitungnya sebagai persoalan sepele! Namun 

mungkin saja orang lain beranggapan urusan belum

tuntas malah menghitungnya sebagai urusan besar 

dan tidak bisa dilupakan sepanjang hidupnya!”

“Hem Sontoloyo ini sudah pandai pula bica-

ra...,” kata Pendeta Sinting dalam hati. “Tapi ucapan-

nya ada juga benarnya.... Hanya saja, mungkinkah 

Kiai Laras?!”


Selagi Pendeta Sinting masih membatin, Joko sudah 

buka mulut lagi.

“Eyang.... Mau katakan apa urusan antara Eyang

dengan Kiai Laras?”

Untuk beberapa lama Pendeta Sinting terdiam. Se-

pasang matanya memandang jauh. Joko menunggu. 

Dan pada akhirnya Pendeta Sinting angkat bicara.

***

TUJUH



PADA beberapa puluh tahun yang lalu, terjadi pem-

bunuhan besar-besaran terhadap beberapa tokoh 

rimba persilatan. Selain dilakukan oleh orang-orang 

yang menamakan diri dari Kampung Setan, ada pihak 

lain yang ikut menyusup lakukan pembantaian. Orang 

ini memanfaatkan keadaan yang keruh. Hingga sulit 

dicari siapa dia adanya. Setelah aku mencari dan 

menyelidik, akhirnya aku dapat memastikan jika 

dalang di belakang pembunuhan itu adalah Kiai Laras. 

Beberapa tokoh yang ada saat itu tidak percaya pada 

ucapanku. Karena selama ini Kiai Laras memang 

diketahui tidak memiliki ilmu tinggi. Namun orang-

orang rupanya lupa. Kiai Laras memang tidak memiliki 

ilmu tinggi. Tapi dia mempunyai akal cerdik!”

Sejenak Pendeta Sinting hentikan ucapannya. Sete-

lah menghela napas panjang, dia melanjutkan. “Begitu 

cerdiknya, sampai dia lolos. Bukan saja dari maut, 

juga dari dugaan orang! Namun di mataku, dia tetap-

lah duri! Itulah sebabnya suatu saat aku menemuinya. 

Ku coba menyadarkannya. Tapi usahaku gagal. Sejak 

itulah dia beberapa kali mencoba membunuhku 

dengan tangan orang lain....”


Kembali Pendeta Sinting hentikan keterangan. Lalu 

kepalanya berpaling pada Joko. “Urusan itu telah 

berlalu beberapa puluh tahun. Keadaan pun telah 

berubah. Aku telah melupakan semuanya. Bahkan 

tentang Kiai Laras. Sekarang aku jadi heran kalau Kiai 

Laras tidak bisa melupakan urusan itu....”

“Eyang.... Mungkin ada hal lain selain yang Eyang

katakan yang ada hubungannya dengan Kiai Laras....”

Pendeta Sinting gelengkan kepala. “Kurasa aku ti-

dak punya urusan lain selain apa yang baru kucerita-

kan!”

“Eyang pernah dengar Kiai Laras punya seorang 

saudara?!” tanya Joko begitu ingat akan kemiripan 

paras wajah Kiai Laras dengan Kiai Lidah Wetan.

“Aku tidak terlalu peduli dengan semua itu! Yang 

jelas bagiku, dia punya akal cerdik! Dan aku telah 

buktikan hal itu!”

“Eyang.... Boleh aku tahu ke mana Eyang setelah 

peristiwa Kedung Ombo?!”

“Aku ke tempat seorang sahabat....”

“Sendirian?!”

Pendeta Sinting mendelik. “Apa maksudmu, hah?!”

“Bukankah saat berpisah di Kedung Ombo Eyang 

bersama....” Joko tidak lanjutkan ucapan. Sebaliknya 

melirik pada eyang gurunya.

Tiba-tiba Pendeta Sinting perdengarkan tawa berge-

lak. “Yang kau maksud tentu Ni Luh Padmi! Kau tahu, 

Sontoloyo.... Justru karena nenek itu aku terpaksa 

pergi ke tempat seorang sahabat.... Jika tidak, tentu 

kau sudah tidak akan jumpa denganku lagi. Tapi aku 

tidak menyalahkan nenek itu! Apa yang dilakukannya 

mungkin sudah harus jadi bagianku! Kau pernah 

jumpa dengannya setelah peristiwa di Kedung Ombo?!”

Joko gelengkan kepala. Pendeta Sinting balikkan


tubuh. “Saat ini kau menghadapi urusan berat! Aku 

tak bisa banyak membantu! Yang jelas, kau harus 

segera selesaikan urusan ini! Jika tidak, bukan na-

mamu saja yang bakal tertulis hitam, namun namaku 

juga ikut! Dan satu hal lagi, jika benar di belakang 

semua ini adalah Kiai Laras, maka kau harus lebih 

berhati-hati!”

Habis berkata begitu, Pendeta Sinting melangkah. 

Namun Joko cepat melompat dan tegak menghadang.

Belum sampai Joko buka mulut berucap, Pendeta 

Sinting sudah sambung ucapannya. “Dan kuperin-

gatkan, untuk sementara ini hindari hubungan dengan 

seorang gadis! Kau dengar?!”

Joko anggukkan kepala. Namun lagi-lagi belum 

sampai Joko buka mulut, Pendeta Sinting sudah buka 

suara lagi. “Aku telah mengalami. Perempuan hanya 

akan menambah masalah! Anehnya jarang sekali laki-

laki yang bisa lepas daripadanya walau dia tahu apa 

risikonya!”

Pendeta Sinting teruskan langkah tanpa pedulikan 

muridnya yang hendak angkat bicara. Membuat Joko 

menghela napas dan buru-buru berucap.

“Eyang.... Kau mengenali siapa sebenarnya nenek 

yang sebutkan diri Dayang Sepuh?!”

Tanpa hentikan langkah, Pendeta Sinting menja-

wab. “Nenek itu memang bergaya aneh! Tapi dua hal 

yang harus kau ketahui. Pertama, kau harus berhati-

hati padanya! Kedua, jangan sampai kau tertarik 

apalagi jatuh cinta padanya!”

Joko menahan tawanya. Namun begitu sosok Pen-

deta Sinting sudah berada jauh di depan sana, ta-

wanya meledak keras. Hingga bahunya berguncang 

keras dan sepasang matanya terpejam-pejam.

Namun tiba-tiba laksana ditelan setan, murid Pen


deta Sinting putuskan tawanya ketika sadar dia tidak 

sendirian di tempat itu. Dan dia yakin orang lain itu 

bukan Pendeta Sinting.

“Puas?!” Satu suara tiba-tiba terdengar.

Pendekar 131 cepat berpaling. Dia melihat seorang 

gadis berwajah cantik berambut panjang sebahu. 

Sepasang matanya bulat. Hidungnya mancung diting-

kah kulit putih bersih. Gadis ini mengenakan pakaian 

warna kuning.

Beberapa lama murid Pendeta Sinting pandangi si 

gadis. Yang dipandang balas memandang dengan 

tatapan dingin lalu sentakkan wajahnya menoleh ke 

jurusan lain.

“Saraswati...!” gumam Joko ketika sadar dari rasa 

kesimanya mengenali siapa yang saat itu tegak.

Si gadis yang bukan lain memang Saraswati sung-

gingkan senyum galak. Gadis cantik yang biasanya 

mengenakan samaran sebagai seorang pemuda ber-

kumis tipis dan memakai pakaian hitam-hitam ini 

rupanya telah tanggalkan samarannya.

“Aku tak menyangka jika kau pandai juga mengela-

bui pandang mata orang! Apakah kau kira hal ini akan 

membuatmu selamat?!” ujar Saraswati dengan suara 

bergetar tanda dadanya sudah sesak dilanda kemara-

han.

“Saraswati.... Kuharap kau mengerti kalau aku 

sampai melakukan ini! Hal ini satu-satunya jalan 

untuk mengetahui siapa adanya orang yang memfit-

nahku!”

Saraswati tertawa pendek bernada mengejek. “Kau 

salah besar, Pendekar! Justru tindakanmu ini lebih 

meyakinkan ku kalau kau tidak sedang mencari siapa 

adanya orang yang memfitnah mu! Karena sebenarnya 

kau sendirilah yang memfitnah diri sendiri!” Saraswati


hentikan ucapannya. Kepalanya bergerak menghadap 

murid Pendeta Sinting. “Kau ingin menutupi semua 

kelakuanmu, bukan?! Aku menyesal bicara panjang 

lebar dengan seorang laki-laki tua mengenakan caping 

lebar membawa tongkat butut jika ku tahu orang itu 

adalah kau adanya!”

Seperti diketahui, Saraswati yang saat itu masih 

menyamar sebagai seorang pemuda berkumis tipis 

sempat jumpa dengan murid Pendeta Sinting yang juga 

tengah menyamar sebagai laki-laki mengenakan caping 

lebar. Saraswati sempat bercerita tentang apa yang 

baru saja dialaminya. (Lebih jelasnya silakan baca 

serial Joko Sableng dalam episode: “Liang Maut di 

Bukit Kalingga”).

“Celaka! Bagaimana aku harus menjelaskan pa-

danya?! Ah, daripada jadi masalah besar, lebih baik dia 

ku hindari. Bicara panjang lebar pun belum tentu dia 

percaya!”

Membatin begitu, murid Pendeta Sinting balikkan 

tubuh lalu berkata.

“Saraswati.... Untuk saat ini kurasa aku belum bisa 

memberi keterangan karena kau tak mungkin percaya! 

Kuharap....”

Saraswati sudah menyahut. “Aku memang tidak 

butuh keterangan apa-apa! Semua sudah cukup jelas 

bagiku! Yang kuminta sekarang kau ikut denganku 

kembali ke Bukit Kalingga. Dan selanjutnya kau tahu 

apa yang harus kau lakukan!”

“Saraswati! Percuma saja kita ke sana! Di sana ti-

dak ada apa-apa!”

Saraswati mendelik. Tubuhnya bergetar keras. 

“Pendekar 131! Apa ucapanmu memberi arti jika....” 

Saraswati tidak lanjutkan ucapannya. Sebaliknya dia 

segera melompat dan tegak di hadapan Joko. “Apa


yang kau lakukan pada ibuku?!” Suara gadis berwajah 

cantik ini bergetar parau. Kedua tangannya yang 

gemetar telah terangkat.

Diam-diam murid Pendeta Sinting mengeluh dalam 

hati. “Bagaimana urusannya bisa sampai begini jauh?!”

“Jawab, Pendekar 131! Apa yang kau perbuat pada 

ibuku?!” teriak Saraswati setengah menjerit.

“Dengar, Saraswati.... Aku belum pernah berjumpa 

dengan ibumu semenjak pertemuan terakhir di depan 

Istana Hantu! Aku pun tahu Bukit Kalingga dari 

keteranganmu!”

“Manusia busuk! Kau masih juga bicara tak ka-

ruan!”

Bersamaan dengan berucap, kedua tangan Saras-

wati yang telah terangkat bergerak.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang melesat menghantam ke arah murid 

Pendeta Sinting. Pendekar 131 cepat melompat ke 

samping hingga gelombang dari kedua tangan Saras-

wati menggebrak tempat kosong.

“Saraswati.... Beri aku kesempatan untuk menje-

laskan semua ini!”

“Terlambat, Pendekar 131! Penjelasan apa pun tak 

mungkin dapat merubah! Yang kuinginkan sekarang 

kau ikut denganku ke Bukit Kalingga!”

“Aku memang tak akan menjelaskan urusan ini 

dengan kata-kata!”

“Hem.... Lalu?!” sentak Saraswati. Kedua tangannya 

kembali telah terangkat. Matanya membelalak.

“Aku perlu waktu! Dan kuharap kau bersabar me-

nunggu!”

Saraswati tersenyum dingin. “Waktuku hanya 

memberimu kesempatan untuk menambah korban!”

“Saraswati.... Kita tak perlu bicara! Itu hanya akan


menambah urusan jadi tak karuan!”

Habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting mena-

tap sejenak pada Saraswati, tanpa berkata apa-apa lagi 

dia gerakkan kaki tinggalkan tempat itu.

“Kau kira hanya cukup begitu?!” ujar Saraswati. 

Lalu tegak menghadang.

Joko Sableng perhatikan gadis di hadapannya. Be-

lum sampai dia buka mulut, Saraswati telah angkat 

bicara.

“Pendekar 131! Untuk menuju Bukit Kalingga tidak 

perlu penjelasan kata-kata!”

“Bener! Tapi jika kita ke sana sekarang, urusan ini 

bukannya jadi selesai, tapi akan malah makin pan-

jang!”

“Bagaimana bisa begitu?!” kata Saraswati dengan 

tertawa perlahan. “Aku hanya akan menjemput ibuku! 

Dan kau tak usah khawatir. Aku nanti mungkin bisa 

mencegah tindakan Ibu terhadapmu!”

“Itulah masalahnya, Saraswati.... Aku takut kita 

tidak akan menemukan orang yang kau cari!”

“Jahanam!” maki Saraswati saking geramnya. “Be-

rarti kau telah membunuh ibuku!”

‘Tahan!” seru murid Pendeta Sinting kala melihat 

kedua tangan Saraswati akan bergerak lepaskan 

pukulan. “Ibumu memang punya ganjalan padaku. 

Namun bagiku semuanya sudah berakhir. Jadi tidak 

ada untungnya membuat urusan baru dengan ibumu 

apalagi sampai membunuhnya!”

“Lalu apa maksud ucapanmu kita tak akan mene-

mukan orang yang kucari?!”

“Aku tak bisa memberi jawaban. Karena aku sendiri 

belum tahu apa sebenarnya yang telah terjadi pada

ibumu!”

“Kau benar-benar manusia brengsek! Di depan ma


taku kau perlakukan ibuku dengan seenakmu! Seka-

rang kau masih bisa mengatakan tak tahu apa yang 

terjadi padanya!”

“Itulah mengapa tadi kukatakan beri aku waktu! 

Dan kita tak perlu bicara karena akan menambah 

urusan jadi makin tak karuan!”

“Kau hanya cari alasan! Aku tanya sekali lagi. Kau 

ikut ke Bukit Kalingga atau....”

“Dia memang perlu waktu dan kesempatan!” Tiba-

tiba satu suara menyeruak menyambuti suara Saras-

wati.

Saraswati kancingkan mulut. Kepalanya tersentak 

ke samping kanan menghadap ke arah dari mana 

datangnya suara terdengar. Sementara Pendekar 131 

meski terkejut, namun belum juga gerakkan kepala 

berpaling. Dari suara orang, dia jelas bisa menebak 

jika orang yang baru muncul adalah seorang perem-

puan.

Sesaat Saraswati sipitkan mata. Memandang ke 

depan, dia melihat seorang gadis muda berparas luar 

biasa cantik mengenakan pakaian warna merah.

“Putri Kayangan...,” kata Saraswati dalam hati men-

genali siapa adanya si gadis. Dia hanya memandang 

sejenak, lalu matanya memutar berkeliling. “Aneh.... 

Biasanya dia bersama empat laki-laki yang disebut 

sebagai Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Tapi kali ini dia 

muncul sendirian! Hem.... Bagaimana dia bisa berada 

di sini?! Dari ucapannya saat bertemu beberapa waktu 

yang lalu, serta kata-katanya yang baru saja terdengar, 

pasti dia berpihak pada Pendekar 131! Pasti ada apa-

apa di antara kedua manusia itu!”

Dada Saraswati perlahan-lahan dirasuki perasaan 

cemburu. Hingga tanpa memandang pada orang yang 

baru muncul dan bukan lain memang Putri Kayangan


adanya, dia angkat bicara dengan nada dingin.

“Siapa pun adanya kau, harap tidak ikut turut 

campur! Lebih dari itu harap segera angkat kaki dari 

sini!”

Putri Kayangan sunggingkan senyum. Lalu tanpa 

sambuti ucapan Saraswati, gadis cantik ini melangkah 

mendekat. Namun belum sampai melangkah terlalu 

jauh, kembali Saraswati telah buka mulut dengan 

nada ketus.

“Harap tidak beranjak dari tempatmu sebelum uru-

sanku selesai!” seraya berkata, Saraswati berpaling 

memandang pada Putri Kayangan dengan tatapan 

tidak senang.

Sementara murid Pendeta Sinting segera gerakkan 

kepala ke samping. Sesaat dia pandangi Putri Kayan-

gan lalu beralih pada Saraswati. Lalu matanya kembali 

tertuju lama pada Putri Kayangan. Diam-diam dalam 

hati dia berkata.

“Dia muncul sendirian! Jangan-jangan dia Pitaloka!” 

Tiba-tiba sepasang mata murid Pendeta Sinting men-

delik. Saat lain dia melompat dan tegak hanya berjarak 

lima langkah dari gadis berpakaian merah.

“Kembalikan pedangku!” bentak Pendekar 131 den-

gan suara keras membahana. Tangan kanannya sudah 

terulur ke depan membuat gerakan meminta.

Saraswati perhatikan sikap murid Pendeta Sinting 

dengan dahi berkerut. Dia coba menduga-duga. 

Namun belum sampai mendapat jawaban dari du-

gaannya, Putri Kayangan telah buka mulut.

“Pendekar 131.... Aku bukan Pitaloka! Berarti aku

tidak membawa pedangmu....”

Murid Pendeta Sinting sekali lagi perhatikan gadis 

di hadapannya dengan seksama. “Edan! Aku tak bisa 

membedakan! Tapi apa betul memang ada dua Putri


Kayangan?!”

Selagi Joko membatin begitu, Putri Kayangan telah 

angkat tangannya dengan telapak dibuka. “Kau tentu 

masih ingat dengan keteranganku tempo hari, Pende-

kar 131.”

“Tahi lalat pada ibu jarinya...,” gumam murid Pen-

deta Sinting begitu melihat tahi lalat pada ibu jari 

tangan kiri Putri Kayangan dan ingat akan keterangan 

si gadis saat berjumpa beberapa waktu yang lalu.

Putri Kayangan turunkan tangannya sambil tetap 

tersenyum. Gadis ini rupanya dapat menangkap apa 

yang ada dalam benak Saraswati dan Pendekar 131. 

Hingga tak lama kemudian dia telah angkat bicara lagi.

“Beberapa sahabatku kali ini memang tidak Ikut 

bersama. Ada sesuatu yang harus mereka selesai-

kan....” Putri Kayangan menoleh pada Saraswati. 

Belum sampai Putri Kayangan berkata lagi, Saraswati 

telah mendahului.

***

DELAPAN



AKU tak peduli kau Pitaloka atau Putri Kayangan. 

Aku juga tak mau tahu ke mana perginya dan apa 

yang diselesaikan para sahabatmu! Aku pun tak akan 

ulangi ucapanku. Kau tadi telah mendengarnya! Harap 

segera lakukan apa yang kuminta!”

Putri Kayangan melirik pada Pendekar 131. Namun 

cuma sekejap. Begitu dilihatnya sang Pendekar me-

mandang ke arahnya, gadis berparas luar biasa cantik 

ini segera alihkan pandangannya. Entah apa yang 

dirasakan, yang jelas sikapnya berubah. Raut wajah-

nya sedikit bersemu merah. Dia merasakan dadanya


berdebar. Hingga untuk beberapa saat dia tidak 

sambuti kata-kata Saraswati meski sebenarnya dia 

telah berniat untuk angkat bicara.

Mendapati sikap Putri Kayangan, dada Saraswati 

mulai terbakar. Dugaan kalau di antara Putri Kayan-

gan dan murid Pendeta Sinting ada hubungan makin 

kuat. Hingga rasa cemburu lebih kuat menguasai 

dirinya daripada urusan yang ada kaitannya dengan 

ibunya.

Seperti diketahui, Saraswati sempat menyaksikan 

bagaimana ibunya diseret masuk ke dalam goa oleh 

Pendekar 131 di Bukit Kalingga. Dan dia sendiri 

sempat pula ditotok oleh Pendekar 131 yang sebenar-

nya adalah Kiai Laras yang saat itu sedang menyamar 

sebagai murid Pendeta Sinting.

Saraswati arahkan pandangan matanya pada Putri 

Kayangan. Lalu berkata.

“Aku tanya. Kau punya urusan dengan pemuda 

itu?!”

Putri Kayangan terdiam sesaat. Dia bimbang apa 

yang harus diutarakan. Karena sebenarnya dia tidak 

ada urusan apa-apa dengan murid Pendeta Sinting.

“Baik! Aku tak memaksamu untuk bicara! Tapi aku 

menawarkan dua pilihan padamu!” Saraswati hentikan 

ucapannya. Matanya memandang tak senang. Semen-

tara Putri Kayangan belum juga buka suara.

Saraswati alihkan pandang matanya lalu teruskan 

bicara. “Kau segera angkat kaki dari sini atau me-

nunggu aku selesaikan urusan! Tapi ingat, jangan 

berani buka mulut bicara apalagi ikut turun tangan! 

Kalau itu kau lakukan, kau membuka urusan dengan-

ku!”

“Hem.... Aku sekarang yakin kalau gadis ini adalah 

pemuda berkumis yang tempo hari jumpa denganku....


Dari bicaranya dia memang punya silang sengketa 

dengan murid Pendeta Sinting. Namun nada suaranya 

lebih menunjukkan kalau dia cemburu....” Putri 

Kayangan membatin dalam hati. Saat muncul tadi, dia 

masih menduga-duga siapa adanya Saraswati. Namun 

setelah menyimak ucapan Saraswati dan memperhati-

kan paras wajahnya lebih seksama, pada akhirnya 

Putri Kayangan bisa menebak siapa adanya Saraswati 

yang beberapa waktu lalu pernah jumpa dengannya. 

Hanya saja saat itu Saraswati tengah menyamar 

sebagai pemuda berkumis tipis.

Setelah membatin begitu, Putri Kayangan yang tetap 

saja sunggingkan senyum walau nada ucapan Saras-

wati terdengar ketus, melangkah dua tindak ke bela-

kang seraya berujar.

“Kau tak usah khawatir aku akan ikut campur uru-

sanmu.... Namun kalau boleh, aku hanya ingin bicara! 

Bukan apa-apa, aku hanya tak ingin melihat urusan

berkembang jadi besar dengan salahnya turun tan-

gan!”

“Hem.... Kau sepertinya tahu banyak semua urusan 

orang! Padahal apa kau tahu dengan mata kepalamu 

sendiri apa yang dilakukan pemuda itu, hah?!”

Putri Kayangan gelengkan kepala. Matanya sesekali 

melirik pada Pendekar 131 yang masih tegak tanpa 

buka mulut.

“Bagus! Kau tidak melihat apa yang dilakukannya. 

Sementara aku melihat di depan mataku sendiri apa 

yang dilakukannya! Jadi aku tidak butuh ucapanmu! 

Dan jangan berdalih dengan mengatakan tidak mau 

melihat urusan jadi berkembang besar dengan salah 

turun tangan!” Saraswati tertawa sesaat. Lalu lan-

jutkan ucapan dengan suara makin keras.

“Aku tidak gila hingga sampai salah turun tangan!


Pemuda macam dia bukan saja pantas dihajar dengan 

tangan, namun adalah salah besar jika membiarkan-

nya hidup!”

“Apa yang kau lihat dengan mata belum tentu be-

nar...,” ujar Putri Kayangan dengan suara kalem.

“Kalau yang melihat dengan mata belum tentu be-

nar, lalu bagaimana yang tidak melihat sendiri, hah?!” 

sahut Saraswati.

“Maksudku bukan begitu....”

“Lalu?!” bentak Saraswati.

“Yang kau lihat saat itu mungkin saja dia. Namun 

itu hanyalah wajahnya saja! Orangnya lain.... Bukan-

kah kau sendiri ketika bertemu denganku mengenakan 

wajah orang lain?!”

Saraswati terdiam. Namun dadanya makin mengge-

legak panas. Sambil alihkan pandang matanya dia 

berkata.

“Sekarang kutanya. Apa maumu sebenarnya?!”

“Aku hanya ingin bicara....”

“Bicara sama siapa?! Aku atau pemuda itu?!”

“Sama kau dan dia....”

“Dengar! Aku tak butuh bicara denganmu! Kalau 

kau mau bicara dengan dia, silakan! Tapi tunggu 

sampai urusanku dengannya selesai! Kau mengerti?!”

“Urusanmu tak akan selesai kalau kau bersikap 

bermusuhan begitu rupa....”

Saraswati tertawa mendengar kata-kata Putri 

Kayangan. “Aku tidak merasa bermusuhan! Aku hanya 

tak ingin kau ikut campur! Tapi kalau kau ikut cam-

pur, aku bersedia melayani apa maumu!”

Ucapan tantangan Saraswati bukannya membuat 

Putri Kayangan marah, sebaliknya gadis ini gelengkan 

kepala perlahan. Lalu berujar.

“Kau jangan salah paham. Aku tahu kau memiliki


ilmu tinggi. Sementara aku hanya orang biasa tak 

punya kepandaian apa-apa! Aku hanya bisa bicara.... 

Dan mungkin hanya itulah yang bisa kuperbuat!”

“Kau sok merendah agar orang menjadi tertarik pa-

damu! Hem.... Kau jangan khawatir kalau dia tertarik 

padaku! Mustahil itu terjadi, karena dia adalah salah 

satu manusia yang harus kulenyapkan!”

Putri Kayangan tergagap dan salah tingkah dengan 

ucapan Saraswati. Wajahnya berubah dan tidak berani 

memandang pada murid Pendeta Sinting. Dia merasa 

seolah-olah Saraswati sudah tahu apa yang ada dalam 

benaknya.

Di lain pihak, Pendekar 131 sendiri tampak terkejut 

dengan ucapan Saraswati. Dia hendak berucap, 

namun Saraswati sudah mendahului berkata.

“Sekarang mungkin kau sudah lega! Namun jangan 

salahkan aku kalau saat ini juga kau sudah menjadi 

hitungan musuhku!”

“Saraswati...,” sahut murid Pendeta Sinting yang 

sudah tidak sabar mendengar ucapan-ucapan keras 

Saraswati. “Yang kau temui di bukit itu bukan aku! 

Namun seseorang yang menyamar sebagai diriku!”

“Silakan bicara panjang lebar, Pendekar! Tapi jan-

gan harap ucapanmu bisa merubah apa yang akan 

kulakukan padamu! Dan jangan kira aku mundur 

meski kalian maju bersama!”

“Saraswati...,” kata Putri Kayangan. “Kau terlalu 

jauh menduga padaku.... Aku tahu, ucapanmu tadi 

semata-mata hanya karena kau cemburu padaku!” 

Putri Kayangan kembali gelengkan kepala. “Tahu 

begini akhirnya, aku sangat menyesal berada di sini. 

Seandainya tidak ada aku, mungkin urusan ini bisa 

kalian selesaikan dengan cara baik-baik....”

Saraswati kembali perdengarkan tawa panjang.


“Perlu kau tahu. Urusan ini tidak akan pernah selesai 

hanya dengan bicara baik-baik! Dia atau aku yang 

nanti mampus, itulah yang menentukan selesai 

tidaknya urusan ini! Jadi kau salah besar jika menga-

takan ucapanku karena cemburu! Adalah manusia 

biadab yang masih menaruh perasaan cemburu pada 

orang yang telah melakukan tindakan semena-mena 

pada ibunya!”

“Hem.... Benar juga pesan Eyang Guru. Perempuan 

hanya mendatangkan masalah....” Diam-diam murid 

Pendeta Sinting teringat akan ucapan Pendeta Sinting. 

“Urusan satu belum selesai, kini timbul lagi masalah 

baru....”

“Saraswati...,” kata Pendekar 131 setelah agak lama 

tidak ada yang buka mulut. “Kalau kau masih men-

ganggap aku yang melakukannya, baiklah! Tapi 

kuharap kau memberi ku kesempatan beberapa lama. 

Kelak aku akan datang mencarimu dan kau bisa 

lakukan apa yang kau mau padaku!”

“Enak saja kau bicara! Apa kau lupa? Bagaimana 

saat itu aku merengek-rengek agar kau melepaskan 

ibuku. Tapi apa yang kau lakukan?! Kau pura-pura 

tuli! Bahkan semakin kau buat-buat!” Saraswati 

berpaling pada murid Pendeta Sinting. “Tidak! Kesem-

patanmu sudah terlalu lama! Dan waktu itu kini sudah 

habis! Kecuali jika kau bersedia ikut ke Bukit Kalingga 

dan ibuku dalam keadaan baik!”

Pendekar 131 menghela napas seraya memandang 

pada Putri Kayangan. Putri Kayangan sendiri saat itu 

tengah memandang ke arahnya. Hingga untuk bebera-

pa saat kedua orang ini saling berpandangan. Namun 

Putri Kayangan buru-buru alihkan pandangannya kala 

Saraswati menoleh.

“Saraswati! Permintaanmu tidak bisa kulakukan!”


kata murid Pendeta Sinting. “Karena aku telah tahu 

jika ibumu tidak ada di Bukit Kalingga!”

“Itu berarti di antara kita tidak akan ada yang ang-

kat kaki dari sini sebelum mampus salah satunya!”

Selesai berucap begitu, Saraswati telah melompat 

dan langsung menyergap ke arah Joko dengan le-

paskan pukulan ke arah kepala.

Putri Kayangan berkelebat mundur. Sementara ka-

rena tidak ada kesempatan lagi bagi Joko untuk 

menghindar, terpaksa dia angkat kedua tangannya 

menghadang pukulan Saraswati.

Bukkk! Bukkk!

Saraswati berseru tertahan. Sosoknya tersurut tiga

langkah dengan paras berubah. Kedua tangannya yang 

baru saja berbenturan dengan kedua tangan murid 

Pendeta Sinting tampak bergetar keras. Di hadapan-

nya, Joko meringis namun sosoknya hanya bergoyang-

goyang.

Saraswati lipat gandakan tenaga dalam. Sosoknya 

makin bergetar. Tanda tenaga dalam yang dikerahkan 

sudah sangat kuat.

“Saraswati, tunggu!” seru Putri Kayangan. “Kita 

semua nanti akan menyesal karena termakan fitnah!”

Saraswati memandang angker pada Putri Kayangan. 

“Siapa yang kau maksud kita?! Dengar, hanya manu-

sia dungu yang merasa menyesal dengan kematiannya! 

Dan aku bukan manusia dungu! Aku bukan termakan 

fitnah! Tapi kau yang termakan perasaan!”

“Dari tadi ucapanmu tidak enak....”

“Hem.... Lalu kau mau apa?! Kau kuberi kesempa-

tan untuk maju bersama-sama!”

Putri Kayangan coba menekan perasaannya yang 

mau tak mau mulai jengkel. Di lain pihak, Saraswati 

makin dibuncah rasa cemburu. Sementara Pendekar


131 belum juga menemukan jalan untuk menyadarkan 

Saraswati.

Ketika ditunggu sesaat Putri Kayangan tidak me-

nyahut ucapannya juga tidak membuat gerakan, 

Saraswati arahkan pandang matanya pada Joko. 

Kedua tangannya diangkat. Dia melirik pada Putri 

Kayangan. Saat lain kedua tangannya bergerak.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang angin dahsyat melesat ganas ke 

arah murid Pendeta Sinting. Kali ini Joko tidak tinggal 

diam. “Gadis keras kepala begini sesekali perlu diberi

peringatan.... Meski sebenarnya sayang ini harus 

terjadi!”

Pendekar 131 angkat kedua tangannya. Lalu disen-

takkan ke depan menyongsong gelombang angin yang 

datang.

Wuutt! Wuutt!

Dari kedua tangan murid Pendeta Sinting mencuat 

dua gelombang yang perdengarkan deruan keras. Saat 

lain terdengar ledakan kala gelombang angin dari 

kedua tangan Saraswati bentrok dengan dua gelom-

bang dari tangan Joko.

Sesaat Saraswati rasakan pijakannya goyah. Kejap 

lain sosoknya mencelat mental hingga satu setengah 

tombak ke belakang. Gadis ini coba imbangi diri, 

namun gagal. Hingga tanpa ampun lagi tubuhnya 

melaju deras. Tapi dua jengkal lagi sosoknya terbant-

ing di atas tanah, satu bayangan berkelebat dan 

menyambar pundak Saraswati. Meski sambaran ini 

tidak bisa menahan gerakan Saraswati hingga jatuh 

terduduk, namun setidaknya mampu menahan Saras-

wati dari terbanting di atas tanah.

Saraswati cepat berpaling. Namun saat itu juga 

kembali kepalanya disentakkan ke lain jurusan dengan


mulut perdengarkan suara ketus dan dingin.

“Aku tak butuh bantuanmu! Dan jangan mimpi 

tindakanmu ini bisa menghalangi apa yang akan 

kulakukan padanya!”

“Kau masih juga berprasangka buruk padaku.... 

Padahal aku hanya tak ingin melihatmu terluka....” 

Yang menyahut dan baru saja menyelamatkan Saras-

wati ternyata adalah Putri Kayangan.

“Cukup!” sentak Saraswati seraya bergerak bangkit. 

“Kalau kau tak ingin melihatku terluka, aku juga tak 

ingin mendengar kau bicara manis di depanku! Aku 

muak melihat dan mendengarnya! Kau dengar, aku 

muak!”

Putri Kayangan menghela napas lalu melangkah 

menjauh sambil berkata perlahan. “Baiklah.... Tidak 

susah menuruti apa yang kau inginkan! Silakan kau 

lakukan apa yang kau mau....”

Tanpa menyambuti ucapan Putri Kayangan, Saras-

wati kembali kerahkan tenaga dalam pada kedua 

tangannya. Sementara di seberang sana, murid Pende-

ta Sinting terlihat ragu-ragu. Di satu sisi, kalau dia 

tidak menghadang pukulan Saraswati tentu dia akan 

terluka. Sementara kalau dia terpaksa menyambuti 

pukulan Saraswati, dia maklum apa yang akan terjadi 

pada gadis itu. Padahal dia tidak mau Saraswati 

terluka. Karena bukan saja akan menambah urusan, 

namun akan semakin menorehkan dendam di dada 

Saraswati.

Selagi murid Pendeta Sinting dilanda kebimbangan, 

tiba-tiba di depan sana Saraswati telah membuat 

gerakan melompat. Kedua tangannya berkelebat 

lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam kuat.

“Biarkan dia hidup untuk buktikan ucapannya!” 

Tiba-tiba satu teriakan terdengar. Satu bayangan


berkelebat. Saat yang sama satu gelombang yang 

disertai pijakan bunga-bunga api melesat menghadang 

pukulan Saraswati.

Blamm!

Terdengar ledakan keras membuat tempat itu berge-

tar. Di atas udara terlihat hamburan gelombang 

bercampur tanah dan percikan bunga-bunga api.

Saraswati terkesiap. Belum sempat dia melihat sia-

pa adanya orang yang baru saja berteriak dan meng-

hadang pukulannya, sosoknya telah terdorong deras ke 

belakang tapi tidak sampai terjatuh.

Begitu dapat kuasai diri, Saraswati cepat berpaling 

sambil mendengus. Putri Kayangan dan Pendekar 131 

ikut pula gerakkan kepala masing-masing ke kanan.

“Siapa dia?!” desis Saraswati sambil memandang 

tajam ke depan.

Putri Kayangan tampak pula kernyitkan dahi den-

gan dada bertanya-tanya. Sementara murid Pendeta 

Sinting terlihat angkat bahu dengan paras muka 

tegang. Diam-diam dia mengeluh dalam hati. “Cela-

ka.... Aku bisa kaku sendiri kalau tidak segera angkat 

kaki!”

“Orang tak dikenal! Siapa kau?!” Saraswati sudah 

membentak dengan mata terus perhatikan pada sosok 

yang tegak di seberang depan.

***

SEMBILAN



DIA adalah seorang gadis yang juga mengenakan 

pakaian warna merah. Wajahnya cantik. Rambutnya 

hitam lebat dikuncir tinggi hingga lehernya yang putih 

jenjang terlihat jelas.


Gadis berpakaian merah yang rambutnya dikuncir 

ini gerakkan kepala memandang pada Pendekar 

Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. Tapi cuma sesaat. 

Lalu alihkan pandang matanya pada Putri Kayangan. 

Agak lama dia memperhatikan. Sukar ditebak arti 

pandangannya. Namun Putri Kayangan sempat tidak 

enak tatkala gadis yang baru muncul alihkan pandan-

gannya pada Saraswati yang seraya tersenyum agak 

sinis.

Begitu pandang matanya beradu dengan mata Sa-

raswati, gadis yang baru datang langsung buka suara.

“Siapa diriku tidaklah begitu penting untuk kita 

bicarakan saat ini! Yang jelas kita punya urusan 

dengan orang yang sama!”

“Dewi Seribu Bunga.... Rupanya dia belum juga 

percaya!” kata murid Pendeta Sinting dalam hati 

mengenali siapa adanya gadis berpakaian merah yang 

baru saja muncul. Gadis ini bukan lain memang Dewi 

Seribu Bunga. Seorang gadis bekas murid tunggal 

seorang tokoh beraliran hitam bergelar Maut Mata 

Satu yang kemudian diambil murid oleh Dewi Es 

setelah terjadinya peristiwa di Pulau Biru.

Seperti diketahui pula, Dewi Seribu Bunga punya 

ganjalan urusan dengan murid Pendeta Sinting karena 

dia pernah hampir saja diperkosa oleh Kiai Laras yang 

saat itu juga tengah menyamar sebagai Pendekar 131.

Meski Dewi Seribu Bunga pernah diberi penjelasan 

oleh Dayang Sepuh dan Datuk Wahing jika bukan 

murid Pendeta Sinting yang melakukannya, namun 

gadis ini tampaknya belum percaya betul.

“Apa urusanmu?!” Kembali Saraswati ajukan tanya.

Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala sambil beru-

cap. “Urusannya terlalu tidak pantas diucapkan di 

tempat ini!”


Jawaban Dewi Seribu Bunga membuat Saraswati 

mulai geram. “Kau tidak mau sebutkan diri. Kau juga 

tak mau katakan urusannya! Jangan-jangan kau 

hanya manusia yang cari-cari alasan untuk bisa 

campuri urusanku! Terbukti kau sengaja menghalangi 

tanganku yang hendak membunuhnya!”

“Kalau tindakanku kau anggap menghalangi niat-

mu, aku minta maaf! Tapi untuk sementara ini aku 

akan menghalangi siapa saja yang hendak membu-

nuhnya!”

“Hem.... Berarti kau tidak punya urusan dengan-

nya! Justru kau membuat urusan denganku!”

“Kalau aku akan menghalangi siapa saja yang hen-

dak membunuhnya, bukan berarti aku tidak punya 

urusan dengannya! Aku hanya ingin dia hidup untuk 

sementara waktu dan membuktikan semua ucapan-

nya! Setelah itu baru tanganku sendiri yang akan 

bertindak! Dan kalau kau masih punya urusan den-

gannya, kita bisa berbagi satu nyawanya!”

“Hem.... Rasanya percuma aku bicara kalau kea-

daannya sudah begini!” gumam murid Pendeta Sinting 

pada dirinya sendiri. “Lebih baik aku segera menying-

kir!” Joko melirik ke samping kanan kiri lalu meman-

dang dengan ekor matanya pada ketiga gadis di 

seberang sana.

“Kita perlu bicara sebentar, Pendekar 1311” Tiba-

tiba Dewi Seribu Bunga sudah menegur tatkala dia 

menangkap gelagat.

Pendekar 131 Joko Sableng urungkan niat yang 

hendak berkelebat. Namun dia tidak berusaha buka 

mulut.

“Kau punya waktu untuk buktikan bahwa bukan 

kau yang melakukannya! Tapi jangan main-main 

dengan kesempatan ini! Hampir semua orang rimba


persilatan sekarang telah tahu tentang dirimu! Kalau-

pun kau lolos dari tanganku dan tangan gadis berbaju 

kuning itu, kau tak akan lolos dari tangan orang yang 

kini mengincar nyawamu!”

“Hem.... Hanya itu yang perlu kau bicarakan?! Atau 

masih ada peringatan lagi?” tanya Joko tanpa meman-

dang pada Dewi Seribu Bunga atau Saraswati. Seba-

liknya dia arahkan pandang matanya pada Putri 

Kayangan. Membuat Putri Kayangan tidak enak pada 

Saraswati maupun Dewi Seribu Bunga. Namun diam-

diam gadis ini juga merasa gembira diperhatikan 

begitu rupa.

Karena Dewi Seribu Bunga tidak menjawab, perla-

han-lahan murid Pendeta Sinting balikkan tubuh dan 

melesat pergi. Bersamaan itu Saraswati melompat ke 

arah Dewi Seribu Bunga seraya berkata.

“Terlalu enak jika dia dibiarkan pergi begitu saja! 

Dan aku tak akan tinggal diam!”

Dewi Seribu Bunga mencekal lengan Saraswati yang 

hendak berkelebat mengejar. “Untuk saat ini biarkan 

dia pergi! Ini tak akan lama! Mula-mula aku memang 

punya perasaan sama sepertimu. Tapi sekarang aku 

mulai percaya pada ucapannya meski masih perlu 

bukti nyata!”

Entah apa yang terpikir dalam benak Saraswati. 

Yang jelas dia tidak lagi berniat mengejar murid 

Pendeta Sinting yang sudah melangkah jauh.

“Kurasa sekarang saatnya kau mengatakan siapa 

dirimu!” Tiba-tiba Saraswati buka mulut dengan mata 

memandang jauh ke arah lenyapnya sosok Pendekar 

131.

“Aku harus segera pergi. Kelak kalau ada kesempa-

tan yang baik, kita akan lanjutkan pembicaraan ini!” 

sahut Dewi Seribu Bunga seraya melangkah tinggalkan


tempat itu.

Namun gadis ini mendadak hentikan langkah. Ke-

palanya memutar. Saat yang sama Saraswati membuat 

gerakan seperti Dewi Seribu Bunga. Karena ternyata 

Putri Kayangan juga sudah pergi tinggalkan tempat itu.

“Siapa gadis itu?!” Yang ajukan tanya Dewi Seribu 

Bunga.

“Kelak kau akan mengetahui sendiri!” jawab Saras-

wati.

Dewi Seribu Bunga berpaling memandang pada Sa-

raswati. Saraswati balas memandang. Namun kedua-

nya sama kancingkan mulut. Tanpa buka suara, 

akhirnya Dewi Seribu Bunga teruskan langkah ting-

galkan tempat itu. Saraswati pandangi bagian bela-

kang sosok Dewi Seribu Bunga. Seraya tersenyum 

dingin dia berlalu dengan mengambil jurusan berlawa-

nan.

***

Kita tinggalkan dahulu murid Pendeta Sinting dan

ketiga gadis cantik yang dalam hati masing-masing 

sebenarnya punya perasaan hampir sama, yakni 

tertarik pada Pendekar 131 Joko Sableng. Sekarang 

kita ikuti perjalanan Setan Liang Makam yang dadanya 

dilanda gemuruh luar biasa saat mengetahui Kembang 

Darah Setan yang diberikan padanya oleh Kiai Laras 

yang saat itu menyamar sebagai Pendekar 131 adalah 

Kembang Darah Setan palsu.

Pada satu tempat, Setan Liang Makam hentikan 

larinya dengan mulut megap-megap karena dia baru 

saja berlari laksana orang kesetanan. Sambil berlari, 

dia terus berpikir, ke mana harus mencari Pendekar 

131 yang menurutnya sudah membuat dua kesalahan 

besar dan tak mungkin diampuni.

“Hem.... Sialan keparat betul! Rahasia Kampung


Setan sudah kuketahui! Tapi nyatanya aku belum bisa 

menggenggam semuanya! Ini gara-gara ulah Pendekar 

131 keparat itu! Bisa-bisanya dia memalsu Kembang 

Darah Setan! Ke mana sekarang aku harus mencari 

bangsat sialan itu?!”

Selagi Setan Liang Makam berpikir, agak jauh di 

belakang sana, satu sosok tubuh tampak berkelebat 

lalu menyelinap ke balik sebuah pohon besar. Dia 

adalah seorang gadis berparas cantik jelita mengena-

kan pakaian warna merah.

Begitu berada di balik batangan pohon, si gadis 

segera pentangkan mata dan memandang tak berkesip 

ke arah Setan Liang Makam. Karena saat itu Setan 

Liang Makam tegak membelakangi, si gadis belum bisa 

menebak dan melihat bagaimana raut wajah orang. 

Dia hanya bisa memastikan jika orang itu adalah 

seorang laki-laki.

“Sikap orang itu sepertinya sedang kalut.... Siapa 

dia sebenarnya?! Hem.... Apa aku harus bertanya 

padanya ke mana arah yang harus kuambil jika ingin 

ke Kampung Setan?! Kampung Setan.... Aku tetap 

harus segera ke sana! Kembang Darah Setan yang 

dikabarkan orang berada di tangan Pendekar 131 Joko 

Sableng ternyata omong kosong! Pemuda itu tidak 

membawa Kembang Darah Setan. Dan pasti Kembang

Darah Setan masih berada di Kampung Setan seperti 

keterangan yang selama ini kudengar.... Dengan 

membekal pedang sakti, tentu aku lebih mudah 

memasuki Kampung Setan...!” Tangan gadis berpa-

kaian merah bergerak ke balik pakaiannya. Dia mera-

sakan tangannya menyentuh sebuah pedang. Bibirnya 

tersenyum.

“Pedang Tumpul 131 tentu bukan senjata semba-

rangan. Benda ini kudengar pernah menjadi rebutan


orang dunia persilatan! Dan pedang ini kini berada di 

tanganku.... Hem.... Sebaiknya aku bertanya pada 

orang itu! Siapa tahu dia bisa memberi petunjuk arah 

Kampung Setan....”

Memikir sampai di situ gadis berpakaian merah 

segera beranjak dari balik batangan pohon. Namun 

tiba- tiba Setan Liang Makam yang berada di depan 

sana tengadahkan kepala dan memutar tubuh. Hingga 

si gadis urungkan niat dan buru-buru rapatkan tubuh 

ke batangan pohon.

“Aku harus berhati-hati dalam urusan ini.... Aku 

harus yakinkan dahulu siapa adanya orang!” kata si 

gadis dalam hati lalu arahkan pandang matanya 

kembali ke arah Setan Liang Makam.

Mendadak paras muka gadis berpakaian merah 

berubah. Matanya mementang besar.

“Setan Liang Makam!” desis gadis berpakaian merah 

mengenali siapa adanya orang yang tegak di depan 

sana. “Apakah aku harus bertanya padanya?!”

Setelah memikir agak lama, akhirnya dengan ta-

bahkan hati si gadis memutuskan untuk keluar dari 

balik batangan pohon. Saat yang sama, di depan sana 

Setan Liang Makam kembali telah putar tubuh hingga 

sosoknya membelakangi si gadis.

Gadis berpakaian merah melangkah dari balik po-

hon ke arah Setan Liang Makam dengan mata tak 

berkesip. Namun hingga jarak antara dia dengan orang 

yang didekati tinggal tujuh langkah, si gadis tidak 

melihat Setan Liang Makam membuat gerakan atau 

perdengarkan suara.

“Dari cara berkelebatnya tadi, adalah aneh kalau 

dia tidak merasakan kehadiranku di belakangnya! 

Atau ini karena pikirannya sedang dalam keadaan 

kalut?!” seraya menduga-duga, gadis berpakaian


merah hentikan langkah. Dia menunggu beberapa saat 

dengan dada makin berdebar teringat akan keangkeran 

paras wajah orang.

Namun setelah ditunggu lama orang di depannya 

tidak juga perdengarkan teguran, gadis berpakaian 

merah habis kesabaran. Apalagi dia mengira orang itu 

pasti tahu kehadirannya.

Gadis berpakaian merah buka mulut. Namun belum 

sampai perdengarkan suara, tiba-tiba Setan Liang 

Makam telah balikkan tubuh seraya membentak 

garang.

“Siapa kau?! Mengapa dari tadi mengintip ku?!”

Gadis berpakaian merah tersentak kaget. Mulutnya 

yang menganga, mengatup, dan terkancing rapat. 

Hanya sepasang matanya yang pandangi orang.

Sementara itu begitu melihat gadis di hadapannya, 

Setan Liang Makam mendengus keras. Matanya yang 

melotot memperhatikan sesaat lalu mengedar berkelil-

ing.

“Ke mana empat anjing-anjing gundulnya?! Apa 

mereka telah mampus?!” kata Setan Liang Makam 

dalam hati. Lalu angkat suara.

“Kau tentu masih ingat ucapanku, Gadis Sialan! 

Hamparan bumi akan kubuat sempit untuk tempatmu 

bersembunyi!” Tiba-tiba Setan Liang Makam tertawa 

ngakak. Lalu lanjutkan ucapan. “Kau sekarang bisa 

buktikan sendiri ucapanku! Kau harus jumpa dengan-

ku lagi!”

Gadis berpakaian merah kernyitkan kening. “Aku 

memang pernah bertemu dengan manusia ini, tapi dari 

nada ucapannya jelas dikiranya aku adalah Beda Ku-

mala.... Hem.... Pasti ada ganjalan antara dia dengan 

Beda Kumala. Bagaimana sekarang? Apakah aku akan 

bertanya padanya tentang di mana Kampung Setan?!


Ah.... Sudah telanjur. Aku akan bertanya. Siapa tahu 

dia bisa memberi keterangan! Dan aku akan berpura-

pura sebagai Putri Kayangan!”

Setelah membatin begitu, gadis berpakaian merah 

yang sebenarnya bukan lain adalah Pitaloka, gadis 

yang telah berhasil membawa Pedang Tumpul 131 

milik murid Pendeta Sinting, buka suara.

“Senang bisa bertemu denganmu lagi. Tidak kebera-

tan kalau kau memberi satu keterangan padaku?!”

Pertanyaan Pitaloka membuat Setan Liang Makam 

kembali perdengarkan suara gelakan tawa panjang 

seraya berucap.

“Keterangan telah membuat hidupku sengsara!”

“Itu karena kau salah memberi keterangan pada 

orang!” sahut Pitaloka. “Aku minta keterangan bukan 

demi kepentingan sendiri. Mungkin kau nanti bisa juga 

mengambil keuntungan!”

“Aku tak butuh tawar menawar keuntungan!”

“Kau yakin tidak akan menyesal?!”

“Jahanam! Kau yang minta keterangan, mengapa 

aku harus menyesal?!”

“Ah, sudahlah.... Kalau kau keberatan memberi 

keterangan, aku tidak memaksa. Hanya saja aku perlu 

memberi penjelasan padamu!”

“Penjelasan apa?!”

“Kita memang pernah bertemu di Bukit Kalingga! 

Tapi kau jangan kaget bila bertemu orang sepertiku, 

tapi bukan aku!” ujar Pitaloka seraya tersenyum.

Kening Setan Liang Makam bergerak-gerak, tanda 

dia tengah berpikir.

“Sikapnya memang lain.... Aneh.... Beberapa saat ini 

aku menemukan orang yang wajahnya hampir sama...! 

Satunya lagi si keparat jahanam pemuda itu! Kini 

gadis ini...! Tapi apa peduliku?! Dia gadis yang kutemui beberapa waktu lalu atau bukan yang jelas gadis 

itu....”

Belum sampai Setan Liang Makam teruskan mem-

batin, Pitaloka telah angkat suara lagi. “Kulihat kau 

tadi tengah memikirkan sesuatu. Mau katakan apa 

yang membuatmu kalut?!”

Setan Liang Makam sudah hendak membentak. 

Namun diurungkan saat terlintas pikiran jika saat ini 

dia tengah mencari Pendekar 131.

“Kau tengah mencari seseorang?!” Entah karena 

apa, tiba-tiba Pitaloka ajukan tanya begitu. Gadis ini 

hanya berpikir, jika seorang berilmu tengah dilanda 

kekalutan, maka urusannya adalah dia punya ganjalan 

dengan seseorang yang belum bisa diselesaikan.

“Bukan hanya seorang yang kucari!” Setan Liang 

Makam menyahut.

“Hem.... Jawabannya membuktikan kalau dia punya 

beberapa orang yang dianggapnya musuh.” Pitaloka 

simpulkan ucapan Setan Liang Makam lalu bertanya.

“Mau sebutkan siapa mereka?!”

“Apa urusanmu hendak ikut campur?!”

“Aku hanya bertanya.... Siapa tahu aku mengetahui 

orang yang tengah kau cari!”

“Sayang.... Aku sudah tidak percaya lagi pada mulut 

orang!”

“Itu hanya akan membuatmu makin kalut dan me-

nemui jalan buntu! Dan perlu kau tahu, aku bukanlah 

manusia yang suka bicara dusta!”

“Aku sudah sering mendengar sumpah busuk!”

Pitaloka tersenyum. “Baiklah.... Kau tidak mau 

mengatakannya. Berarti tak ada gunanya kita te-

ruskan pembicaraan ini!” Pitaloka putar diri. Namun 

bersamaan dengan itu mendadak Setan Liang Makam 

tertawa pendek sambil berkata.


“Kau kira bisa pergi begitu saja?!”

Pitaloka urung langkahkan kaki. Lalu perdengarkan 

suara agak keras. “Di antara kita tidak ada silang 

sengketa! Kuharap kau tidak memulai silang sengketa 

itu!”

“Silang sengketa telah kau mulai beberapa waktu 

yang lalu!”

“Hem.... Lalu apa maumu sekarang?!”

“Nyawamu!”

Seakan maklum dengan siapa kini berhadapan, 

Pitaloka tidak mau bertindak ayal. Dia cepat seli-

napkan tangan ke balik pakaiannya. Saat tangan itu 

ditarik keluar, tampak sebuah pedang bersarung 

warna kuning yang pancarkan cahaya. Pitaloka cepat 

balikkan tubuh menghadap Setan Liang Makam.

“Kau kira pedang butut itu mampu menyelamatkan 

nyawamu?! Ha.... Ha.... Ha...! Daripada kau rasakan 

bagaimana sakitnya sedang sekarat, lebih baik kau 

cabut pedang itu dan bunuh diri! Itu akan menyela-

matkanmu dari merasakan nikmatnya sekarat!”

Pitaloka tersenyum dingin. Perlahan-lahan tangan 

kirinya bergerak mencekal sarung pedang. Pada saat 

yang sama tangan kanannya bergerak menarik gagang 

pedang keluar dari sarungnya.

Melihat apa yang dilakukan Pitaloka, Setan Liang 

Makam makin keraskan tawanya. Sambil gerakkan 

kepala tengadah, dia berkata.

“Bagus! Gadis cantik dan muda sepertimu memang 

terlalu sayang jika harus rasakan nikmatnya meregang 

nyawa! Bunuh diri adalah satu-satunya jalan terbaik!”

“Adalah tindakan bodoh jika turuti ucapanmu! Aku 

mengeluarkan pedang ini bukan untuk bunuh diri! 

Tapi dengan pedang ini aku akan tentukan nasibmu!”

Setan Liang Makam terus tertawa dan berkata. “Kau


tidak mau tahu tingginya langit dalamnya lautan! Kau 

tidak melihat siapa yang tengah tegak di hadapanmu!”

“Justru matamu yang buta tidak mau melihat pe-

dang apa yang ada di tanganku! Kau boleh punya ilmu 

setinggi langit selebar lautan! Tapi pedang di tanganku 

jangan kira tak mampu menghadangnya!”

Sepasang mata Setan Liang Makam yang meman-

dang ke hamparan langit tiba-tiba melihat cahaya 

berkilau kekuningan semburat di udara. Laksana 

disentak setan, kepala Setan Liang Makam berpaling 

ke arah Pitaloka.

Pitaloka tegak dengan tangan kiri memegang sarung 

pedang sementara tangan kanan menghunus tinggi-

tinggi sebuah pedang berwarna kekuningan yang 

pancarkan cahaya berkilau hingga untuk beberapa 

saat cucu Nyai Suri Agung itu harus sipitkan mata.

“Buka matamu lebar-lebar! Lihat pedang di tangan-

ku!”

Entah karena apa, Setan Liang Makam turuti uca-

pan Pitaloka. Dia perhatikan dengan seksama pedang 

yang pancarkan cahaya kekuningan di tangan Pitalo-

ka. Sebuah pedang bergagang hijau dari batu giok 

yang tidak begitu panjang dan bagian ujungnya 

tampak tumpul.

Tiba-tiba Setan Liang Makam pentang mata makin 

besar ketika melihat angka 131 yang terdapat pada 

kerangka pedang.

***


SEPULUH



PEDANGNYA tumpul. Pada kerangkanya terdapat 

angka 131. Pasti pedang itu masih ada hubungannya 

dengan pemuda jahanam itu!”

Berpikir begitu, Setan Liang Makam segera perden-

garkan bentakan keras.

“Apa hubunganmu dengan Pendekar 131 keparat 

itu, hah?!”

“Bagus! Berarti kau telah mengenalinya!” ujar Pita-

loka. “Sebenarnya aku ingin memberi keterangan 

padamu. Namun kupikir tidak ada gunanya memberi 

keterangan pada manusia yang nasibnya hampir 

sampai!”

Setan Liang Makam mendengus. Tulang rahangnya 

terangkat. Saat lain cucu Nyai Suri Agung ini melesat 

ke udara. Di atas udara kedua tangannya bergerak.

Wuutt! Wuutt!

Pitaloka merasakan dorongan gelombang angin 

dahsyat hingga sosoknya sesaat bergoyang-goyang. 

Pitaloka rupanya sadar, kalau gelombang sebenarnya 

belum sampai tapi biasnya telah membuat sosoknya 

bergoyang, tentu orang yang dihadapi memiliki tenaga 

dalam luar biasa tinggi.

Sadar begitu, Pitaloka cepat kerahkan tenaga da-

lam. Lalu didahului bentakan garang, sosoknya 

melesat ke depan menyongsong tubuh Setan Liang 

Makam dengan tangan kanan babatkan Pedang 

Tumpul 131.

Namun gerakan Pitaloka tertahan karena saat itu 

gelombang yang melesat keluar dari kedua tangan 

Setan Liang Makam telah memburu ke arahnya. 

Pitaloka tak hendak urungkan niat. Dia tetap kelebatkan tangan kanan yang menggenggam pedang.

Wuutt!

Terdengar gemuruh hebat. Cahaya kuning berkiblat 

angker. Gelombang angin yang datang dari arah depan 

Pitaloka laksana ditebas kekuatan dahsyat. Hingga 

gelombang itu langsung buyar semburat.

Setan Liang Makam terbelalak dan merasakan so-

soknya terdorong. Dia cepat kuasai diri lalu melayang 

turun dengan menyeringai. Namun sejauh ini dia 

masih kancingkan mulut. Hanya matanya yang me-

mandang tak berkesip pada pedang di tangan Pitaloka.

Pitaloka tersenyum mengejek. “Kau sekarang tahu 

siapa yang kau hadapi! Membunuhmu saat ini semu-

dah membalik telapak tangan! Tapi kau tak akan 

rasakan kematian kalau kau mengatakan silang 

sengketa apa antara kau dan Pendekar 131!”

“Bicaramu terlalu tinggi, Keparat! Aku jadi ingin 

bukti apa benar pedang butut ini mampu melukai ku!” 

Setan Liang Makam angkat kedua tangannya.

“Tahan!” Pitaloka berseru namun tangan kanannya 

yang memegang pedang tetap diacungkan ke atas. 

“Perlu kau tahu. Pemuda pemilik pedang ini punya 

urusan besar denganku! Dari makianmu tadi, kurasa 

dia salah seorang yang kau cari! Benar?!”

“Kau tak akan mendapat jawaban!” hardik Setan 

Liang Makam.

Pitaloka sunggingkan senyum. “Kalau aku dengan 

mudah bisa mengambil pedangnya, bagiku mudah 

pula mengambil selembar nyawanya! Kalau kau 

memang mencarinya, aku bisa tunjukkan!”

Sesaat Setan Liang Makam terdiam. Sementara Pi-

taloka terus membatin. “Kalau benar manusia ini 

mencari Pendekar 131 pasti masih ada kaitannya 

dengan Kembang Darah Setan. Hem.... Siapa tahu dari


mulutnya aku mendapat keterangan berharga....”

Memikir begitu, akhirnya Pitaloka buka mulut sete-

lah ditunggu Setan Liang Makam tidak juga perden-

garkan suara.

“Saat ini, siapa pun juga pasti tengah mencari pe-

muda itu! Dan aku tahu pasti apa alasan mereka 

mencarinya! Apa kau mencari dengan alasan yang 

sama seperti mereka?!”

Walau dengan mimik marah dan seolah enggan bu-

ka mulut, namun akhirnya Setan Liang Makam jawab 

juga pertanyaan Pitaloka.

“Mereka hanya orang-orang dungu yang hendak 

memiliki benda orang lain!”

“Ucapanmu aneh.... Apa maksudmu?!” tanya Pitalo-

ka tak mengerti maksud ucapan Setan Liang Makam.

“Mereka yang mencari pemuda itu bermaksud me-

miliki benda yang kini di tangannya! Tapi aku tidak! 

Aku mencarinya justru ingin mengambil benda milikku 

yang sekarang ada di tangannya!”

Pitaloka kerutkan dahi. Namun tak lama kemudian 

tertawa panjang. “Kau tidak salah ucap?!” 

Setan Liang Makam arahkan telunjuk jari tangan 

kirinya tepat ke arah Pitaloka seraya berdesis tajam. 

“Sekali lagi kau tertawakan diriku, lidahmu akan ku 

cabut!”

Namun percaya pedang di tangannya mampu men-

gatasi orang, Pitaloka tidak pedulikan ancaman Setan 

Liang Makam. Malah dia makin keraskan tawanya. 

Lalu berujar.

“Mau katakan benda apa yang sekarang kau kata-

kan berada di tangan Pendekar 131?”

“Kembang Darah Setan!”

Pitaloka sesaat putuskan tawanya. Namun cuma 

sekejap. Lain saat kembali tawanya meledak. Malah


kini ganti tangannya yang menunjuk pada Setan Liang 

Makam seraya berkata.

“Canda mu terlalu berlebihan.... Siapa percaya dan 

mana mungkin Kembang Darah Setan itu milikmu?!”

“Diam!” teriak Setan Liang Makam.

Namun lagi-lagi Pitaloka tak hiraukan teriakan Se-

tan Liang Makam. Dengan terus menunjuk dia kembali 

berkata. “Namamu memang ada setannya, namun 

jangan kau hubungkan itu dengan Kembang Darah 

Setan! Wajahmu memang pantas dikatakan keturunan 

setan, namun terlalu lucu jika kau mengaku Kembang 

Darah Setan adalah milikmu!”

Setan Liang Makam tak bisa menahan sabar. Tan-

gan kirinya yang tadi menjulur ke depan ditarik 

pulang. Serta-merta kedua tangannya disentakkan ke 

depan melepas satu pukulan.

“Tunggu!” seru Pitaloka tetap siap babatkan pedang. 

“Kalau kau memang benar-benar pemilik Kembang 

Darah Setan, tentu kau tahu mana arah Kampung 

Setan!”

Setan Liang Makam urungkan lepas pukulan. Na-

mun dia melangkah mendekat seraya berkata. “Aku 

bukan saja tahu mana arah Kampung Setan! Tapi aku 

tahu seluk beluk Kampung Setan! Karena aku lahir di 

sana!”

Pitaloka ragu-ragu. Lalu coba mengorek. “Semua 

orang bisa mengatakan tahu Kampung Setan malah 

tahu seluk beluknya. Namun tidak satu pun dari 

mereka yang bisa buktikan ucapannya! Jangan-jangan 

kau salah seorang dari mereka...!”

Setan Liang Makam tertawa pendek bernada menge-

jek. “Aku tahu apa maksud ucapanmu! Kau meman-

cingku untuk mengatakan tentang Kampung Setan! 

Aku bukan orang bodoh.... Aku akan mengatakannya


padamu tapi kau harus penuhi dua permintaanku!”

Pitaloka tersenyum. Sarung pedang di tangan ki-

rinya dimasukkan ke balik pakaiannya. Lalu perlahan-

lahan tangan itu bergerak ke dadanya. Sepasang 

matanya melirik ke arah Setan Liang Makam.

Setan Liang Makam besarkan matanya demi melihat 

bagaimana perlahan-lahan tangan kiri Pitaloka berge-

rak membuka kancing pakaiannya, hingga tak berapa 

lama kemudian, sembulan kedua payudaranya yang 

mencuat kencang terlihat jelas.

Dada Setan Liang Makam berdegup kencang. Da-

rahnya mulai menggelegak. Apalagi saat Pitaloka 

teruskan gerakan tangan kirinya singkapkan pakaian 

bagian kiri dadanya yang telah terbuka. Hingga untuk 

sesaat Setan Liang Makam bisa melihat dada si gadis 

yang putih mulus dan kencang.

Namun Pitaloka rupanya bisa membuat penasaran 

orang. Karena begitu pakaian bagian dadanya tersing-

kap dan dadanya sebelah kiri tidak tertutup lagi, 

telapak tangan kirinya segera bergerak menakup. Lalu 

tangan kanannya yang masih menggenggam pedang 

ikut pula bergerak menutup. Hingga meski dadanya 

telah tersingkap, Setan Liang Makam tidak bisa 

melihat dada kencang milik si gadis. Tapi hal itu makin 

membuat darahnya bergemuruh.

Saking tidak bisa menahan gelegak, Setan Liang 

Makam melangkah mendekat. Pitaloka diam dan 

hanya memandang dengan kepala sedikit di tengadah-

kan dan mulut setengah terbuka.

Begitu Setan Liang Makam berjarak lima langkah, 

Pitaloka pejamkan mata seraya berujar pelan.

“Kau bisa menikmati yang lebih dari apa yang kau 

lihat.... Tapi ceritakan dahulu tentang Kembang Darah 

Setan serta tunjukkan padaku arahnya Kampung


Setan...!”

Setan Liang Makam hentikan gerakan kakinya. Mu-

lutnya membuka. Pitaloka pasang telinga baik-baik. 

Bibirnya sunggingkan senyum.

“Dua permintaanku bukan apa yang kau perli-

hatkan!”

Senyum Pitaloka pupus. Sepasang matanya seren-

tak terbuka. Dia sama sekali tidak menduga ucapan 

Setan Liang Makam. Dia tadi menyangka jika permin-

taan Setan Liang Makam pasti tak akan jauh dari apa 

yang kini diperlihatkan pada cucu Nyai Suri Agung itu.

Namun Pitaloka masih juga belum percaya. Dengan 

sedikit membuka takupan telapak tangannya yang 

menutupi dadanya, dia berucap.

“Kau mungkin masih malu-malu.... Percayalah, di 

sini tidak ada orang lain!”

“Keterangan yang kau minta terlalu tinggi jika imba-

lannya hanya dada dan tubuhmu!”

Pitaloka tersentak kaget. Belum sampai dia buka 

mulut bertanya, Setan Liang Makam telah mendahului.

“Karena kau telah membuatku menginginkan mu, 

permintaanku bertambah satu lagi kalau kau ingin 

keteranganku!” Setan Liang Makam arahkan pandang 

matanya pada telapak tangan Pitaloka yang menutup 

dadanya. Lalu lanjutkan ucapan. “Pertama, kau harus

katakan di mana Pendekar 131. Kedua, kau harus 

serahkan pedang di tanganmu. Dan ketiga, kau harus 

melayaniku sekarang juga!”

“Gila!” desis Pitaloka. Paras wajah gadis yang sebe-

narnya adalah saudara kembar Beda Kumala yang 

dalam kancah rimba persilatan dikenal sebagai Putri 

Kayangan ini berubah merah padam. Tapi Pitaloka 

cepat berpikir dan berkata.

“Ketiga permintaanmu tidak sulit dipenuhi.... Tapi


kau yang harus terlebih dahulu penuhi permintaan-

ku.... Kau tak usah khawatir aku akan ingkar janji. 

Sebagai buktinya, aku akan letakkan pedang ini....”

Pitaloka tutupkan kembali dadanya yang terbuka. 

Lalu memandang pada Setan Liang Makam. “Kuharap 

kau tidak berlaku licik!”

Habis berkata begitu, Pitaloka ayunkan Pedang 

Tumpul 131 ke atas tanah. Pedang itu perdengarkan 

deruan angker. Tanah semburat ke udara dan berge-

tar. Tatkala semburatan tanah telah luruh, pedang itu 

tampak tegak menancap di atas tanah yang di kanan 

kirinya terbongkar.

“Sekarang saatnya kau menjelaskan apa yang kuin-

ginkan!” kata Pitaloka seraya melirik pada Setan Liang 

Makam.

Setan Liang Makam memandang silih berganti pada 

si gadis dan Pedang Tumpul 131 yang menancap di 

atas tanah. Setelah tepis perasaan ragu-ragu, dia 

akhirnya berkata juga.

“Kalau kau ingin ke Kampung Setan, pergilah lurus 

ke jurusan timur. Di sana akan kau temukan hutan 

belantara. Kau harus melewati hutan itu hingga 

perbatasan. Di sana kau akan melihat beberapa batu 

karang tinggi yang melingkari sebuah tanah terbuka. 

Itulah Kampung Setan!”

Setan Liang Makam sesaat hentikan keterangan. 

Matanya kembali memandang pada pedang yang 

menancap di atas tanah. Seolah tak sabar, dia maju 

mendekat. Namun sebelum kakinya bergerak melang-

kah, Pitaloka sudah buka mulut.

“Kau belum menerangkan semua yang kuinginkan! 

Harap tidak bergerak dahulu!”

“Tapi jangan coba-coba berlaku licik padaku!” ucap 

Setan Liang Makam seraya urungkan niat melangkah.


Pitaloka hanya tersenyum tanpa sambuti ucapan 

Setan Liang Makam. Setan Liang Makam melirik lalu 

mulai perdengarkan suara.

“Aku adalah generasi terakhir penghuni Kampung 

Setan. Jadi jelas kalau Kembang Darah Setan adalah 

milikku! Hanya saja saat itu aku bertindak ceroboh. 

Dua orang kepercayaan ku berkhianat. Hingga pada 

akhirnya aku masuk ke dalam lobang makam selama 

hampir tiga puluh enam tahun! Namun hari kematian-

ku rupanya belum datang. Karena pada saat yang 

ditentukan, muncul seorang penolong yang mengelua-

rkan aku dari tempat celaka itu! Sayangnya si peno-

long meminta imbalan terlalu tinggi! Dia meminta 

Kembang Darah Setan.”

Setan Liang Makam hentikan penuturannya seje-

nak. Kepalanya tengadah lalu sambung keterangan. 

“Karena aku tak mau mati sia-sia, terpaksa aku 

menyetujui imbalan yang diminta orang! Aku bisa 

keluar dari makam terkutuk namun Kembang Darah 

Setan lepas dari tanganku!”

“Siapa penolongmu itu?!”

“Siapa lagi kalau bukan pemuda bergelar Pendekar 

131 Joko Sableng!”

Pitaloka tertawa lirih, membuat Setan Liang Makam 

tak enak. “Kau tidak mengarang cerita?!”

“Kau lihat tubuhku! Ini gara-gara terkubur di ma-

kam celaka itu!”

“Bukan itu maksudku.... Benar si penolong yang 

meminta Kembang Darah Setan itu adalah Pendekar 

131?!”

“Rimba persilatan sekarang sudah tahu siapa yang 

memegang Kembang Darah Setan! Dan memang 

pemuda jahanam itu yang mengambilnya!”

“Bagaimana ini?! Aku telah meneliti sekujur tubuh


nya. Tapi aku tidak menemukan Kembang Darah 

Setan! Apa dia sengaja meletakkan benda itu di satu 

tempat?! Tapi itu tak mungkin! Lalu bagaimana dia 

bisa mengatakan kalau Pendekar 131 yang mengam-

bilnya?!” Diam-diam Pitaloka membatin.

Seperti diketahui, dengan caranya sendiri, Pitaloka 

berhasil membuat pendekar murid Pendeta Sinting itu 

lemas tak bisa bergerak. Lalu gadis cantik ini mencari 

Kembang Darah Setan pada tubuh Pendekar 131. Tapi 

dia tidak menemukan Kembang Darah Setan. Hingga 

pada akhirnya dia hanya mengambil Pedang Tumpul 

131.

“Aku ragu pada keteranganmu!” ujar Pitaloka begitu 

terlihat Setan Liang Makam kembali hendak melang-

kah ke arah pedang.

Setan Liang Makam menatap angker dengan rahang 

terangkat. “Persetan kau percaya atau tidak! Yang jelas 

aku telah menerangkan apa adanya! Dan jangan 

berani cari alasan setelah kau dengar apa yang kau

inginkan!”

Pitaloka gelengkan kepala. “Aku orang yang pegang 

janji. Namun perlu kau ketahui. Aku telah menda-

patkan Pedang Tumpul 131! Kalau seandainya Kem-

bang Darah Setan berada di tangannya tentu aku tahu 

Tapi aku tidak melihatnya!”

“Itu urusanmu! Yang jelas dialah manusianya yang

mengambil Kembang Darah Setan dari tanganku! Da 

kau jangan lupa! Pemuda itu bukan saja berilmu tinggi

tapi berakal cerdik!”

“Hem.... Kau menduga Kembang Darah Setan di 

simpannya di satu tempat?!”

“Bukan itu saja. Tapi dia juga membuat Kembang 

Darah Setan palsu! Dan aku telah berhasil dikecoh-

nya!” Mata Setan Liang Makam melotot merah. Tulang


pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. Amarahnya 

kembali menggelegak teringat bagaimana dia dikecoh 

oleh Kembang Darah Setan palsu. Hingga begitu 

matanya kembali menumbuk pada pedang yang 

menancap di tanah, dia segera melompat.

Namun Pitaloka tidak tinggal diam. Hampir bersa-

maan, dia juga melompat. Setan Liang Makam berseru 

marah namun teruskan lompatannya dan serta-merta 

tangan kanannya bergerak menyambar ke arah Pedang 

Tumpul 131. Pitaloka tak mau ketinggalan. Begitu 

sosoknya bergerak, tangan kanan kirinya segera pula 

berkelebat menyambar ke arah pedang.

Kini tampak tiga buah tangan sama bergerak cepat 

ke arah pedang. Karena kelebatan tangan itu bukan

kelebatan biasa, biasnya sempat membuat bagian atas 

Pedang Tumpul 131 bergoyang-goyang pulang balik 

dengan pancarkan cahaya angker kekuningan serta 

suara deru dahsyat.

Karena merasa kedua tangan Pitaloka akan menda-

hului, Setan Liang Makam berubah pikiran. Dia 

urungkan niat mengambil pedang, sebaliknya dihan-

tamkan pukulan ke arah kedua tangan Pitaloka. Di 

lain pihak, Pitaloka sendiri khawatir kalau tangan 

Setan Liang Makam mendahului. Hingga dia cepat 

alihkan arah kelebatan kedua tangannya. Apalagi saat 

mengetahui Setan Liang Makam hendak menghadang 

kedua tangannya.

Bukkk! Bukkk!

Dua benturan keras terdengar. Pitaloka perdengar-

kan seruan tertahan. Sosoknya tersurut lima langkah 

ke belakang dengan kedua tangan bergetar dan tam-

pak merah. Di seberang sana, Setan Liang Makam 

terjajar tiga langkah. Paras wajahnya yang angker 

makin tampak menakutkan.


Ternyata mulutmu tidak beda bahkan lebih busuk 

dari yang lainnya!” teriak Setan Liang Makam. Kedua 

tangannya kini telah siap melepas pukulan.

“Aku masih meragukan keteranganmu! Karena aku 

tidak melihat Kembang Darah Setan di tangan Pende-

kar 131! Dan tidak mungkin benda seperti Kembang 

Darah Setan disimpan di satu tempat! Kau masih tidak 

jujur dalam hal ini! Mungkin kau sengaja menebar 

berita bohong ini dengan tujuan agar orang yang 

sebenarnya kau cari tidak banyak yang memburunya! 

Karena semua orang sudah keburu percaya jika 

Kembang Darah Setan berada di tangan Pendekar 

131!”

“Keparat jahanam!” teriak Setan Liang Makam ma-

kin marah. Namun cucu Nyai Suri Agung ini tidak mau 

lengah. Dia kini telah tahu bagaimana kedahsyatan

Pedang Tumpul 131. Maka dia lebih tertarik untuk 

segera menyambar pedang itu daripada melayani 

Pitaloka. Karena dia maklum, dengan pedang di tangan 

Pitaloka, setidaknya akan makin sulit menghadapi si 

gadis. Meski dia percaya, ilmu yang dimilikinya masih 

mampu menghadang lawan yang bersenjatakan 

Pedang Tumpul 131.

Setan Liang Makam melirik pada Pedang Tumpul 

131. Rupanya Pitaloka dapat menangkap gelagat 

orang. Hingga dia tidak pedulikan pada kedua tangan 

Setan Liang Makam yang masih membuat gerakan 

seperti hendak lepaskan pukulan. Sebaliknya dia 

kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya untuk bisa 

berkelebat mendahului Setan Liang Makam.

Selagi pikiran kedua orang ini tengah tertuju ba-

gaimana bisa berkelebat mendahului lainnya, tiba-tiba 

terdengar orang tertawa. Pitaloka terkesiap. Setan 

Liang Makam tersentak. Kepala masing-masing berge


rak bersamaan menoleh.

***

SEBELAS



PITALOKA langsung tercekat. Bulu kuduknya seke-

tika meremang dan dingin. Kedua lututnya tanpa 

sadar bergerak mundur. Betapa tidak. Dia melihat 

sebuah jubah hitam tegak menggantung di atas udara. 

Hebatnya, di dalam jubah itu tidak kelihatan sosok 

yang mengenakannya! Anehnya, justru dari jubah 

hitam itu terdengar gelakan tawa!

“Hampir mustahil! Bagaimana mungkin sebuah 

jubah bisa perdengarkan tawa! Atau jangan-jangan 

mata dan telingaku yang menipu!”

Berpikir begitu, Pitaloka melirik pada Setan Liang 

Makam. Dia ingin yakinkan diri melihat bagaimana 

sikap Setan Liang Makam.

Sementara itu, begitu berpaling Setan Liang Makam 

bukan main kagetnya! Dia segera pentang mata besar-

besar seolah ingin membuktikan jika pandang ma-

tanya benar-benar melihat kenyataan.

Setelah agak lama dan bisa kuasai rasa kaget, Se-

tan Liang Makam mundur satu tindak. “Jubah Tanpa 

Jasad...,” desisnya mengenali jubah yang tegak meng-

gantung di depan sana. “Siapa gerangan yang mema-

kainya?! Nenek Nyai Suri Agung...?!”

“Hem.... Dia juga tampak berubah tegang.... Berarti 

pandang mata dan telingaku tidak menipu!” kata 

Pitaloka begitu melihat sikap Setan Liang Makam. 

Namun gadis ini tidak bisa menduga malah menemui 

jalan buntu ketika memikirkan bagaimana sebuah 

jubah bisa menggantung sendiri di udara tanpa

adanya sosok yang mengenakan, malah perdengarkan 

tawa!

Selagi Pitaloka dilanda rasa heran, Setan Liang Ma-

kam yang menduga jika sosok tidak kelihatan yang 

mengenakan jubah hitam yang bukan lain memang 

Jubah Tanpa Jasad, adalah neneknya sendiri Nyai Suri 

Agung, Setan Liang Makam bergerak maju dua lang-

kah seraya berkata.

“Nek...!”

Jubah Tanpa Jasad di depan sana bergerak menyi-

bak perdengarkan deruan keras. Namun tak ada suara 

orang yang terdengar.

Sebenarnya, si pemakai Jubah Tanpa Jasad yang 

tidak lain adalah Kiai Laras merasa heran dengan 

dirinya sendiri. Keheranan itu dimulai dengan rasa 

kaget yang terlihat dari Pitaloka dan Setan Liang 

Makam. Lalu ucapan Setan Liang Makam yang menye-

butnya Nek....

“Aneh.... Ada apa ini?!” batin Kiai Laras. “Aku saat 

ini masih menyamar sebagai Pendekar 131. Hanya saja 

kini aku mengenakan jubah hitam ini. Tapi pandangan 

mereka sepertinya tidak mengenalku.... Apakah 

wajahku telah berubah?!” Kiai Laras coba perhatikan 

dirinya sendiri. Lalu tangan kanannya bergerak ke 

arah wajahnya mengusap. “Kulit tipis penyamaran ini 

masih melekat.... Jadi rupa ku masih mirip dengan 

Pendekar 131.... Tapi mengapa setan ini memanggilku 

Nenek...?! Ada yang tidak beres.... Atau jangan-jangan 

setan satu itu sengaja mengejek ku?! Jahanam betul!” 

Kiai Laras mulai geram. Laki-laki yang selama ini 

menyamar sebagai Pendekar 131 murid Pendeta 

Sinting ini belum menyadari jika dengan mengenakan 

Jubah Tanpa Jasad yang ditemukannya di Istana 

Sekar Jagat, maka sosok tubuhnya tidak kelihatan!


Kiai Laras memandang silih berganti pada Setan

Liang Makam dan Pitaloka. “Sekarang sudah tiba 

saatnya bagiku menunjukkan siapa aku sebenarnya! 

Kembang Darah Setan di tanganku. Sementara jubah 

ini pasti bukan jubah sembarangan!”

Tanpa berkata apa-apa, Kiai Laras kembali gerak-

kan tangan kiri kanannya ke arah bagian atas leher-

nya. Lalu perlahan-lahan kedua tangannya bergerak 

menarik kulit tipis yang melekat di bagian atas leher 

sampai wajahnya. Kini terlihat jelas wajah di balik raut 

muka yang tadi mirip dengan Pendekar 131 Joko 

Sableng. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. 

Lalu kedua tangan Kiai Laras terus bergerak ke atas. 

Tangan kanannya ditekankan pada rambutnya lalu 

ditarik perlahan- lahan. Rambut yang semula hitam 

panjang sebahu itu tertarik. Dan di bawahnya terlihat 

geraian rambut panjang berwarna putih.

Kiai Laras tersenyum lalu campakkan kulit tipis dan 

rambut palsunya ke atas tanah. Dia melirik pada 

Pitaloka dan Setan Liang Makam. Kiai Laras mendelik 

dengan menyeringai membayangkan perasaan marah. 

Namun sebenarnya justru rasa kaget lebih terbayang 

di parasnya! Karena ternyata Pitaloka dan Setan Liang 

Makam tidak menunjukkan rasa terkejut melihat 

bagaimana dia bersalin rupa!

“Bangsat sialan! Apa mereka telah tahu sebelumnya 

jika aku menyamar?! Hem.... Jangan-jangan Lidah 

Wetan yang membocorkan rahasia ini! Tapi peduli 

setan dengan semua itu.... Aku telah mendapat apa 

yang kuinginkan! Mereka berdua harus mampus saat 

ini juga! Mereka pasti tengah mencari-cari Kembang 

Darah Setan.... Dan siapa pun yang punya niat begitu, 

harus segera kusingkirkan!”

Kiai Laras sudah akan angkat bicara. Namun tiba


tiba mulutnya mengatup lagi kala sepasang matanya 

melihat sebuah pedang menancap di atas tanah. 

Waktu pertama kali muncul tadi, laki-laki ini memang 

tidak begitu memperhatikan. Dia puri hanya menden-

gar sepintas percakapan antara Pitaloka dan Setan 

Liang Makam. Yang menarik perhatiannya adalah 

Setan Liang Makam. Sebagai pemilik Kembang Darah 

Setan, Setan Liang Makam pasti selamanya tidak akan 

tinggal diam. Untuk itulah Kiai Laras sudah memu-

tuskan hendak menyingkirkan Setan Liang Makam.

“Melihat angkanya, pasti pedang itu milik Pendekar 

131! Hem.... Ternyata nasibku baik! Aku bisa mempe-

roleh barang sakti....”

Sementara itu di seberang sana, Pitaloka dan Setan 

Liang Makam tampak masih diam mematung. Pitaloka 

tak tahu harus berbuat apa. Hingga untuk beberapa 

lama dia hanya pandangi jubah hitam yang tampak 

bergerak-gerak. Namun sedikit banyak dia mulai 

merasa gelagat tidak baik. Apalagi ketika mendengar 

Setan Liang Makam perdengarkan sapaan pada jubah 

hitam dengan sebutan Nenek. Di lain pihak, Setan 

Liang Makam juga menunggu. Karena sapaannya 

belum juga mendapat sambutan.

“Kalian berdua ingin selamat?!” Tiba-tiba terdengar 

suara dari jubah hitam.

Pitaloka terdiam dengan dada berdebar. Di lain pi-

hak, Setan Liang Makam tercengang. Telinganya 

laksana disambar petir begitu mengenali jika suara 

yang baru saja terdengar adalah suara seorang laki-

laki!

Tanpa sadar, Setan Liang Makam segera berteriak. 

“Siapa kau?!”

Kiai Laras tersenyum. “Matamu telah melihat siapa 

aku! Aku perlu jawaban dari kau dan kau!” Kiai Laras


arahkan telunjuk jari tangannya pada Setan Liang 

Makam dan Pitaloka. Kiai Laras tidak sadar kalau baik 

Setan Liang Makam maupun Pitaloka tidak bisa 

melihat gerakan tangannya.

“Jawab! Kalian berdua ingin selamat?!” Kembali Kiai 

Laras ulangi pertanyaan.

Setan Liang Makam tidak segera menjawab. Da-

danya masih dibuncah dengan berbagai tanya dan 

duga. Namun satu hai yang pasti, jubah hitam di 

depan sana diyakininya adalah Jubah Tanpa Jasad 

milik nenek moyangnya.

Sementara Pitaloka bisa menangkap ke mana ge-

rangan arah pertanyaan orang. Hingga tanpa berusaha 

buka mulut menjawab pertanyaan orang, mata melirik 

pada pedang yang menancap di atas tanah.

“Aku harus segera mengambilnya! Siapa pun 

adanya manusia di balik jubah aneh itu, pasti dia 

menginginkan pedang itu!”

“Baik! Mulut kalian tidak ada yang berani bersuara! 

Kalian dengar baik-baik! Kalau kalian berdua ingin 

selamat, jangan ada yang berani lakukan gerakan! 

Tetap di tempat kalian masing-masing! Jika kulihat 

kalian ada yang berani lakukan gerakan, itu pertanda 

nasib buruk!”

“Siapa manusia di baliknya?! Jangan-jangan pende-

kar jahanam itu! Bukankah dia masih memegang 

Kembang Darah Setan asli?! Tapi bagaimana mungkin 

dia bisa tahu tempat Jubah Tanpa Jasad?! Dan 

seandainya dia tahu, apakah Nyai Suri Agung tidak 

berusaha menghalanginya?!” Setan Liang Makam pura-

pura turuti ucapan orang tidak terlihat di balik sosok 

jubah hitam dengan terus menduga-duga. Namun 

diam-diam dia kerahkan segenap tenaga dalamnya.

Di seberang samping, Pitaloka juga pura-pura turuti


perintah orang. Namun dia telah mengukur jarak dan 

tahu kapan harus bergerak jika dugaannya tidak 

meleset.

Sementara di seberang sana, begitu selesai berucap, 

Kiai Laras melangkah maju perlahan-lahan dengan 

mata melirik pada Setan Liang Makam, Pitaloka, serta 

Pedang Tumpul 131. Baik Pitaloka maupun Setan 

Liang Makam hanya melihat gerakan jubah yang 

melayang terapung di udara.

Kiai Laras hentikan langkah delapan tindak dari 

Setan Liang Makam. “Kau!” kata Kiai Laras pada Setan 

Liang Makam seraya tunjukkan jari tangan. “Mundur-

lah ke belakang!”

Meski tidak melihat gerakan jari serta wajah orang, 

tapi Setan Liang Makam tahu jika dirinya yang diperin-

tah orang.

“Kau dengar ucapanku! Atau kau ingin cari mam-

pus?!” ujar Kiai Laras.

Perlahan-lahan Setan Liang Makam gerakkan kaki 

menyurut. Tapi sekonyong-konyong dia menghentak. 

Sosoknya melesat ke depan. Kedua tangannya berge-

rak lepas pukulan.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang dahsyat menderu ganas. Gelombang 

itu membawa serta semburatan warna hitam serta 

hawa luar biasa panas.

Meski Kiai Laras sudah waspada, namun karena 

kali ini Setan Liang Makam kerahkan hampir segenap 

tenaga dalam yang dimiliki, maka lesatan gelombang

itu laksana sambaran kilat. Hingga baru saja Kiai 

Laras sentakkan kedua tangannya. Gelombang dari 

Setan Liang Makam sudah menggebrak!

Kiai Laras perdengarkan lolongan tinggi. Sosoknya 

langsung mental mencelat dua tombak dan jatuh


terjengkang di atas tanah. Namun ada keanehan. 

Meski Kiai Laras rasakan sosoknya terhantam gelom-

bang, namun dia merasakan ada tabir yang mengha-

langinya. Hingga walau tubuhnya mencelat namun dia 

tidak mengalami luka berarti!

Di depan sana, Setan Liang Makam tercekat. Ge-

lombang pukulan yang baru saja melabrak Kiai Laras 

laksana menghantam tembok. Lalu memantul dan kini 

berbalik melabrak ganas ke arahnya!

Setan Liang Makam sadar apa yang akan terjadi 

padanya jika pukulan yang tadi dilepas melabrak ke 

tubuhnya. Maka begitu tahu pukulannya mental balik, 

dia cepat-cepat hantamkan kembali kedua tangannya.

Bummm!

Serta-merta tempat itu dirancah gelegar luar biasa 

keras. Pedang Tumpul 131 kembali bergoyang-goyang 

pulang balik pantulkan cahaya angker dan deruan 

ganas. Sosok Setan Liang Makam langsung tersapu 

dan jatuh terduduk dengan mulut berseru tertahan. 

Tangan kanannya yang bergetar bergerak ke atas 

mengusap darah yang ternyata mengucur dari mulut-

nya.

“Luar biasa.... Ini pasti akibat jubah yang kupakai!” 

gumam Kiai Laras mendapati apa yang terjadi. Hatinya 

bersorak. Dan dengan cepat dia bergerak bangkit. Lalu 

melompat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak di mana 

dia tadi berdiri.

Di depan sana, Setan Liang Makam menatap tegang 

pada Jubah Tanpa Jasad. Dia kini maklum kalau 

terlalu berat jika berhadapan dengan orang yang 

menggunakan Jubah Tanpa Jasad. Dia tahu, dengan 

mentalnya sosok si pemakai Jubah Tanpa Jasad, 

menunjukkan jika si pemakai ilmunya tidak berada di 

atasnya. Kalaupun si pemakai tidak mengalami cedera


yang berarti malah pukulannya mental, semata-mata 

karena orang itu mengenakan Jubah Tanpa Jasad.

“Kau telah kuberi peringatan, Setan Alas! Tapi kau 

ingin nasib itu ditentukan sekarang! Aku akan turuti 

kemauanmu!” Kiai Laras angkat kedua tangannya.

Walau tidak melihat gerakan orang, tapi Setan Liang 

Makam seakan tahu apa yang tengah dilakukan Kiai 

Laras. Dia cepat lipat gandakan tenaga dalamnya. 

Dalam keadaan seperti itu, Setan Liang Makam tidak 

pikirkan lagi kehebatan Jubah Tanpa Jasad. Yang 

terpikir adalah bagaimana bisa menghadang pukulan 

orang!

Kesempatan ini tampaknya tidak disia-siakan Pita-

loka. Begitu sadar dari kesimanya melihat apa yang 

baru saja terjadi, dia segera melompat ke arah Pedang 

Tumpul 131!

Namun belum sampai kedua tangan Kiai Laras ber-

gerak, dan belum sempat Pitaloka berkelebat, seko-

nyong-konyong terdengar orang bersin beberapa kali 

lalu disambut suara tawa cekikikan seorang perem-

puan!

***

DUA BELAS



PITALOKA, Setan Liang Makam, dan Kiai Laras sa-

ma tersentak. Namun Pitaloka adalah orang pertama 

yang palingkan kepala. Dia melihat seorang kakek 

berpakaian agak lusuh duduk bersimpuh dengan satu 

tangan memegang tongkat kayu. Sedang tangan 

satunya diletakkan di atas pahanya. Kepalanya selalu 

bergerak pulang balik ke depan ke belakang dengan 

raut muka seperti orang hendak bersin.


Di sebelah si kakek tegak berdiri seorang perem-

puan berusia lanjut. Sesaat Pitaloka sempat menahan 

tawa melihat bagaimana dandanan si nenek. Karena 

meski telah nenek-nenek, dandanan perempuan ini 

laksana gadis muda saja. Dia membedaki mukanya 

tebal sekali. Bibirnya dipoles merah menyala. Pipi 

kanan kirinya pun tampak diberi polesan pewarna 

merah muda. Rambutnya yang telah putih dikelabang 

dua dan pada ujung kelabangan rambutnya diberi pita. 

Bagian depan rambutnya diponi dan digeraikan di 

depan kening. Nenek ini mengenakan pakaian atas 

berupa baju tanpa lengan dan sangat cingkrang. 

Hingga ketiak dan pusarnya kelihatan. Sementara 

pakaian bawahnya berupa celana pendek di atas lutut. 

Nenek ini berkulit hitam, hingga dandanannya yang 

seronok tidak menambah kecantikan wajahnya, 

namun justru membuat sosok tampangnya jadi angker 

menakutkan!

“Aku belum pernah bertemu dan tidak kenal dengan 

mereka! Dengan kemunculan mereka pasti membuat 

urusan di tempat ini makin tidak karuan! Aku harus 

segera mendapatkan pedang itu kembali....” Pitaloka

segera palingkan kepalanya ke arah Pedang Tumpul 

131.

Setan Liang Makam adalah orang kedua yang ber-

paling. Matanya langsung mendelik tak berkesip tatapi 

dua sosok yang baru muncul. “Aku pernah bertemu 

dengan laki-laki yang duduk bersimpuh di dekat 

Jurang Tlatah Perak. Dia memiliki ilmu ‘Pantulan 

Tabir’. Pasti dia bukan lain adalah Galaga.... Hem.... 

Sayangnya Kembang Darah Setan tidak berada di 

tanganku.... Tapi bukan berarti aku tidak bisa mem-

bunuhnya. Bukan tak mungkin kebocoran rahasia 

Kampung Setan dialah biang keroknya!”


Setan Liang Makam arahkan pandang matanya ke 

perempuan yang tegak di samping si kakek yang 

duduk bersimpuh yang bukan lain memang Galaga 

alias Datuk Wahing. Orang luar dari generasi Kam-

pung Setan yang sempat diambil murid oleh Nyai Suri 

Agung, nenek dari Maladewa alias Setan Liang Makam 

sendiri yang juga saudara seperguruan Setan Liang 

Makam.

“Waktu yang habis terkubur di tempat makam cela-

ka itu membuatku tidak banyak mengenal orang. Aku 

tidak mengenali siapa adanya nenek berdandan slebor 

itu! Namun dari gelagatnya, dia bukan manusia 

sembarangan....”

Orang ketiga yang palingkan kepala adalah Kiai 

Laras. Namun karena sosok laki-laki ini tidak keliha-

tan, semua orang tidak tahu bagaimana sikap Kiai 

Laras. Ternyata laki-laki ini adalah orang yang tidak 

begitu terkejut meski kemunculan kedua orang tadi 

sempat membuatnya tersentak.

Kiai Laras pandangi kedua orang di seberang sana 

dengan bibir tersenyum. “Datuk Wahing dan Dayang

Sepuh.... Kemunculannya yang bersamaan tentu 

bukan satu kebetulan! Dan itu menunjukkan kalau 

mereka punya satu maksud tertentu! Mereka berdua 

boleh memiliki ilmu tinggi. Tapi saat sekarang ini 

akulah yang paling berhak dianggap sebagai manusia 

yang paling tinggi! Dan mereka berdua akan membuk-

tikannya! Mereka berdua termasuk orang yang harus 

kusingkirkan! Orang seperti mereka dapat menjadi 

batu sandungan!”

Setelah membatin begitu, Kiai Laras yang kini me-

rasa yakin pada dirinya, segera buka mulut merobek 

kesunyian yang agak lama menggantung di tempat itu.

“Datuk Wahing, Dayang Sepuh! Kalian datang tepat


pada waktunya! Dan kuharap kalian telah menikmati 

kebersamaan kalian selama ini. Dengan begitu mati 

pun kalian sudah tidak merasa menyesal lagi!”

Mendengar ucapan orang, Dayang Sepuh berpaling 

ke arah Datuk Wahing. Saat muncul tadi, Dayang 

Sepuh sempat terkesima melihat jubah hitam yang 

menggantung di udara tanpa melihat sosok orang yang 

mengenakannya. Namun rasa kesimanya lenyap ketika 

Datuk Wahing segera berbisik pelan. “Nek.... Itulah 

Jubah Tanpa Jasad yang lenyap dari Istana Sekar 

Jagat di Kampung Setan....”

“Kau dapat menduga siapa di balik jubah hitam 

itu?!” tanya Dayang Sepuh begitu kepalanya berpaling 

dengan suara direndahkan.

Dengan tanpa hentikan gerakan kepalanya yang 

pulang balik ke depan ke belakang, Datuk Wahing 

menggumam. “Sulit mengetahui siapa yang berada di 

balik jubah hitam itu. Tapi melihat Jubah Tanpa Jasad 

hanya bisa ditembus dengan Kembang Darah Setan, 

pasti orang di balik jubah itu sekarang membekal pula

Kembang Darah Setan. Sekarang kita tinggal memasti-

kan siapa adanya orang yang memegang Kembang 

Darah Setan. Karena pasti orang itulah di balik Jubah 

Tanpa Jasad itu....”

“Waktu di dekat sendang beberapa waktu yang lalu, 

aku memang bisa mencium aroma kembang. Sayang-

nya orang itu mengenakan samaran sebagai pemuda 

geblek itu! Seandainya tidak, tentu aku dapat memas-

tikan orang itu...,” ujar Dayang Sepuh teringat akan 

pertemuannya dengan seorang pemuda yang mengaku 

sebagai Joko Sableng namun Dayang Sepuh bisa 

melihat jika orang itu bukan Joko Sableng.

“Sebenarnya sedikit banyak aku bisa menduga. 

Namun keadaan bisa saja berubah!” kata Datuk


Wahing menyambut ujaran Dayang Sepuh.

“Siapa dugaanmu?! Dia sepertinya mengenali kita. 

Pasti aku juga mengenalnya!” kata Dayang Sepuh.

“Tidak jauh dari sendang itu, sebenarnya aku juga 

berjumpa dengan Kiai Laras. Saat itu aku yakin jika 

Kiai Laras membekal Kembang Darah Setan. Namun 

mungkin saja Kiai Laras memberikan Kembang Darah 

Setan pada orang lain. Dan orang lain itulah yang

mungkin mengenakan jubah hitam itu....”

“Tapi mana mungkin benda sakti begitu rupa dis-

erahkan pada orang lain?!”

“Kemungkinannya memang sangat kecil bahkan 

hampir tak mungkin. Tapi apa pun di dunia ini adalah 

serba mungkin! Yang jelas kita harus berhati-hati.... 

Dia tidak suka dengan kehadiran kita.... Kalau terjadi 

apa-apa, kau perhatikan pedang yang menancap di 

tanah itu!”

“Dari angkanya, pasti pedang itu milik pemuda geb-

lek Pendekar 131 Joko Sableng!”

“Benar.... Dan perhatikan gadis berbaju merah itu. 

Gelagatnya dia seperti sedang menunggu kesempatan 

untuk mengambilnya!”

“Bagaimana pedang itu bisa jatuh ke tangan orang 

lain?!” tanya Dayang Sepuh. “Pasti pemuda itu telah 

bertindak tolol!”

“Itulah.... Segala sesuatu serba mungkin.... Bahkan 

terhadap hal yang bagi kita sepertinya mustahil....”

Selagi Datuk Wahing sedang berbisik-bisik dengan 

Dayang Sepuh, tiba-tiba Kiai Laras telah angkat bicara 

lagi.

“Datuk Wahing, Dayang Sepuh! Tunggulah sampai 

giliran kalian datang! Aku akan selesaikan urusan 

dengan manusia setan itu!” Kiai Laras tunjukkan 

jarinya ke arah Setan Liang Makam.


“Bruss! Brusss! Jangan membuatku tambah heran, 

Sobat! Kedatanganku bersama sahabatku ini bukan 

cari perkara! Lagi pula di antara kita tidak ada sesuatu 

yang mengherankan yang disebut silang sengketa....”

“Hem.... Apa kau kira membunuh seseorang diha-

ruskan ada silang sengketa?!” tanya Kiai Laras lalu 

tertawa panjang.

“Bruss! Memang tidak.... Tapi hal itu akan membuat 

siapa pun terheran-heran!”

“Simpan dahulu keheranan mu, Datuk Wahing! Dan 

kau harus hadapi keheranan mu sebagai kenyataan! 

Karena bagiku, tidak aneh lagi membunuh tanpa 

adanya silang sengketa!”

“Brusss! Brusss! Permintaanmu yang mengheran-

kan akan kuterima dengan baik! Cuma kalau kau 

tidak keberatan apalagi merasa heran, harap kau sudi 

katakan siapa dirimu!”

Kiai Laras tampak kernyitkan dahi. Untuk kedua 

kalinya dia merasa ada yang tidak beres dengan 

dirinya. “Aneh.... Tadi Setan Liang Makam memanggil-

ku Nenek. Sekarang dia ingin tahu siapa diriku! 

Bagaimana ini...?! Padahal aku telah lama mengenal-

nya! Demikian pula sebaliknya.... Atau dia sedang 

bercanda?!”

“Datuk Wahing! Aku tak akan jawab pertanyaan 

tololmu itu! Kau telah melihat sendiri siapa aku!” kata 

Kiai Laras.

“Bruss! Itu benar! Yang masih membuatku heran, 

siapa kau sebenarnya?!”

Kiai Laras tertawa panjang mendengar ucapan Da-

tuk Wahing. Sambil berkacak pinggang dan kepala 

mendongak, dia berucap.

“Setiap manusia tidak selalu ingin diketahui siapa 

dia sebenarnya! Apalagi jika manusia itu hidup dalam


kancah rimba persilatan! Jadi kau tidak akan bisa 

mendapat keterangan yang kau minta! Kau bisa 

mengenaliku sebatas apa yang kau lihat dan kau 

dengar!”

Saat itulah mendadak di seberang sana Pitaloka 

telah membuat gerakan. Dia melesat ke arah Pedang 

Tumpul 131 dan dengan cepat kedua tangannya 

berkelebat menyambar.

Dayang Sepuh yang sedari tadi memperhatikan ge-

rak-gerik Pitaloka cepat sentakkan tangan kanannya. 

Sementara Setan Liang Makam dan Kiai Laras cepat 

berpaling. Kedua orang ini juga tidak tinggal diam. 

Tangan masing-masing orang sama bergerak, karena 

sudah tidak mungkin lagi menghadang laju sosok 

Pitaloka dengan berkelebat.

Wuutt! Wuutt! Wuutt!

Wuss! Wuss! Wuuss!

Hampir bersamaan, tiga gelombang dahsyat meng-

gebrak ganas ke arah sosok Pitaloka.

Pitaloka terkesiap. Namun karena lebih dekat pada 

gagang pedang, dia tidak hiraukan lagi gelombang 

yang datang menggebrak. Dia teruskan gerakan kedua 

tangannya menyambar Pedang Tumpul 131.

Gagang pedang telah tersentuh tangan kanan Pita-

loka. Namun belum sempat gadis ini membuat gerakan 

menarik, gelombang yang melesat dari tangan kanan 

Dayang Sepuh sudah datang menghempasi

Pitaloka menjerit. Tangan kanannya yang sudah 

menyentuh gagang pedang terpental ke belakang. 

Sosoknya tersapu hingga satu tombak dan jatuh 

terjengkang di atas tanah! Namun terjengkangnya 

gadis ini menyelamatkannya dari gelombang susulan 

yang dilepas oleh Setan Liang Makam dan Kiai Laras. 

Gelombang dahsyat itu lewat dua jengkal di atas


kepala Pitaloka! Lalu menghantam tanah agak tinggi 

jauh di belakang sana.

Terdengar dentuman keras. Tanah agak tinggi di 

belakang sana langsung muncrat ke udara porak-

poranda. Tanah bergetar keras dan sesaat pemandan-

gan tertutup oleh hamburan tanah.

“Gadis binal! Kau telah kuberi peringatan! Jangan 

berani membuat gerakan! Tapi nyatanya kau sama 

tololnya dengan manusia setan ini! Kau akan meneri-

ma nasib sama dengannya!” teriak Kiai Laras.

Pitaloka tidak pedulikan ancaman Kiai Laras. Da-

danya bergemuruh marah melihat Dayang Sepuh 

menghalangi gerakannya. Hingga begitu dia bergerak 

bangkit, dia segera arahkan pandang matanya pada

Dayang Sepuh.

“Nenek slebor! Aku tak peduli siapa kau adanya! 

Yang jelas kau telah berani membuat urusan dengan-

ku! Aku siap melayani apa keinginanmu!”

“Hem.... Begitu?!” ujar Dayang Sepuh. Bersamaan 

dengan itu si nenek melesat ke depan dan tahu-tahu 

sosoknya telah tegak lima langkah di hadapan Pitalo-

ka. “Aku tidak punya keinginan apa-apa, Anak Ga-

dis.... Kalaupun aku masih punya keinginan dan 

sampai saat ini belum juga terpenuhi, itu adalah 

keinginanku kawin lagi dengan seorang pemuda gagah 

putra seorang pangeran.... Apa kau kira-kira bisa 

melayani keinginanku...?!”

Pitaloka menyeringai. “Keinginan gila! Aku bertanya. 

Kau sudah sering berkaca dan melihat keadaan 

sendiri?!”

Tangan kiri Dayang Sepuh bergerak terangkat men-

gambil satu kelabangan rambutnya dan dipilin-pilin. 

Sedangkan tangan kanannya terangkat ke atas menata 

poni di depan keningnya.


“Dalam sehari, aku berkaca dua puluh lima kali. 

Dan kurasa, keinginanku adalah wajar-wajar saja! 

Tidak sampai pada tingkat gila.... Yang gila adalah 

keinginan untuk mengambil milik orang lain.... Bu-

kankah begitu, Gadis Cantik nan Jelita?!”

Sesaat Pitaloka tergagu diam. Tapi saat lain dia te-

lah membentak garang.

“Kau mengira pedang itu milik orang lain, begitu?!”

Masih dengan memilin kelabangan rambutnya dan 

melirik, Dayang Sepuh anggukkan kepala seraya 

berucap kalem.

“Apa kau mengira pedang itu milikmu...?!”

“Aku memang bukan pemiliknya! Namun aku yang 

membawanya! Dan aku harus menjaganya dari tan-

gan-tangan jahil yang hendak mengambilnya termasuk 

tanganmu! Bukankah kau juga menginginkannya?!”

“Pedang itu bukan milikmu.... Tapi kau bisa mem-

bawanya! Jadi tidak salah bukan kalau aku punya niat 

yang sama denganmu?! Aku tidak menginginkannya, 

aku cuma ingin membawanya! Dan kurasa aku bisa 

menjaganya....”

“Jangan kira aku tidak tahu apa yang ada dalam 

benakmu, Nenek Slebor!”

“Hem.... Rupanya kau pandai juga melihat hati 

orang! Mau katakan padaku apa sebenarnya yang ada 

dalam benakku?!” tanya Dayang Sepuh seraya melirik 

pada Setan Liang Makam dan Jubah Tanpa Jasad.

“Kau ingin memiliki pedang itu!” sahut Pitaloka 

dengan suara lantang.

Dayang Sepuh tertawa pendek. “Kau harus belajar 

lagi soal tebak menebak isi hati orang, Anak Gadis....”

“Setiap orang berkeinginan busuk, mana mungkin 

mau mengaku!”

“Hem.... Begitu?! Aku sekarang tanya padamu.


Seandainya kau punya benda keramat, apa mungkin 

kau memberikannya pada orang lain?!”

“Lihat dulu siapa yang diberi! Dan itu mungkin sa-

ja!”

“Bagus.... Sekarang jawab lagi satu pertanyaanku. 

Apa hubunganmu dengan pemuda bergelar Pendekar 

131 Joko Sableng?!”

Paras wajah Pitaloka berubah. Dia terdiam beberapa 

lama tak tahu harus menjawab bagaimana. Namun 

pada akhirnya dia berujar.

“Dia adalah sahabatku....”

“Betul?!” tanya Dayang Sepuh sambil tersenyum.

“Persetan kau percaya atau tidak!” sahut Pitaloka.

“Anak gadis.... Sekarang ini sahabatmu itu sedang 

menghadapi urusan besar. Apakah mungkin dalam 

keadaan begini dia memberikan pedangnya padamu?! 

Meski seandainya kau adalah kekasihnya!”

“Itu tak mungkin terjadi! Ha.... Ha.... Ha...!” Tiba-

tiba satu suara jawaban terdengar. Namun bukan dari 

mulut Pitaloka. Juga bukan diperdengarkan oleh Setan 

Liang Makam atau Kiai Laras. Datuk Wahing pun 

tampak kancingkan mulut.

Semua orang di situ tampaknya maklum jika ada 

orang yang hadir lagi di tempat itu. Hingga hampir 

bersamaan, semua kepala berpaling.



                         SELESAI


Segera ikuti lanjutannya!!!

Serial Pendekar Pedang Tumpul 131

Joko Sableng

dalam episode :


KUTUK SANG ANGKARA


Share:

0 comments:

Posting Komentar