Hak cipta dan copy right pada penerbit di
bawah lindungan undang-undang
Joko Sableng telah
Terdaftar pada Dept. Kehakiman R.I
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan
Merk di bawah nomor 012875
SATU
PEMUDA berparas tampan mengenakan pakaian
putih, berambut panjang sedikit acak-acakan yang
rautnya mirip sekali dengan Pendekar Pedang Tumpul
131 Joko Sableng itu berlari laksana kesetanan.
Hingga sosok tubuhnya hanya mirip dengan bayang-
bayang dan hampir tidak bisa dilihat dengan pandang
mata biasa.
Begitu memasuki kawasan hutan belantara sepi, si
pemuda baru memperlambat larinya sebelum akhirnya
berkelebat menyelinap ke balik sebatang pohon besar.
Untuk beberapa saat si pemuda tidak membuat
gerakan apa-apa atau perdengarkan suara. Dia hanya
arahkan pandang matanya ke arah dari mana tadi
berlari.
“Hem.... Dia tidak mengejarku...!” Untuk pertama
kalinya si pemuda perdengarkan desisan. Namun
sejauh ini dia belum juga alihkan pandang matanya.
Sikapnya pun masih waspada.
Tiba-tiba si pemuda tengadahkan kepala. Rahang-
nya terangkat membesi. Pelipis kanan kirinya berge-
rak-gerak. Mulutnya yang menyeringai kembali per-
dengarkan desisan marah, “Kiai Tung-Tung keparat!
Ternyata kau manusianya yang berani mengikuti
langkahku! Kalau saja tidak khawatir Kiai Lidah Wetan
tahu kalau Kembang Darah Setan yang kuberikan
pada Setan Liang Makam itu palsu, kau sudah kubuat
berkalang tanah!”
Si pemuda mendengus seraya menghela napas. Pe-
muda ini bukan lain adalah Kiai Laras yang menyamar
sebagai Pendekar 131 Joko Sableng. Seperti diketahui,
Kiai Laras dan kakak kandungnya Kiai Lidah Wetan
datang menyelidik ke pesisir utara sebelah barat dekat
dengan sebuah teluk menuruti keterangan Kiai Tung-
Tung yang sempat bertemu dengan Kiai Laras. Tanpa
diduga sama sekali, ternyata Kiai Laras dan Kiai Lidah
Wetan yang saat datang ke teluk mengenakan samaran
sebagai Pendekar 131 berjumpa dengan Setan Liang
Makam yang muncul ke teluk juga atas keterangan
Kiai Tung-Tung.
Setan Liang Makam langsung meminta Kembang
Darah Setan, karena dia tahu jelas kalau orang yang
mengambil Kembang Darah Setan adalah Pendekar
131. Meski saat itu Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan
mengenakan samaran, namun Setan Liang Makam
yakin salah satu di antara keduanya adalah orang
yang mengambil Kembang Darah Setan.
Pada akhirnya, Kiai Laras memberikan Kembang
Darah Setan pada Setan Liang Makam. Lalu Setan
Liang Makam lanjutkan perjalanan ke Kampung Setan
menuruti petunjuk neneknya Nyai Suri Agung. Semen-
tara Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan terus mengikuti
Setan Liang Makam. Setelah mengetahui Setan Liang
Makam masuk ke dalam lobang menganga di bawah
hancuran altar batu, Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan
meninggalkan Kampung Setan. Namun keduanya tidak
tahu kalau sejak dari teluk, Kiai Tung-Tung terus
mengikuti. Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan baru sadar
jika langkahnya diikuti orang tatkala sudah agak jauh
meninggalkan Kampung Setan. Namun baik Kiai Laras
maupun Kiai Lidah Wetan tidak tertarik untuk menge-
tahui siapa gerangan adanya orang yang mengikuti,
karena secara diam-diam kedua orang ini punya
rencana tersendiri. Keduanya lantas berkelebat ber-
pencar.
Kiai Tung-Tung memutuskan untuk berkelebat
mengejar salah satunya. Ternyata yang dikejar adalah
Kiai Lidah Wetan. Kedua orang ini sempat terjadi
bentrok. Kiai Lidah Wetan merasa orang yang dihadapi
berilmu tinggi, hingga dia segera berkelebat loloskan
diri. Kiai Tung-Tung berusaha mengejar. Saat itulah
Kiai Tung-Tung dihadang oleh pukulan sinar tiga
warna yang bukan saja membuat Kiai Tung-Tung
terkejut namun juga kehilangan jejak Kiai Lidah
Wetan.
Di lain pihak, saat berkelebat berpencar untuk hin-
darkan diri dari penguntitan orang, Kiai Laras berniat
teruskan perjalanan ke Kampung Setan. Namun
setelah berlari dua puluh lima tombak dan yakin
dirinya tidak diikuti orang, tiba-tiba ia didera perasaan
ragu-ragu. Dia sudah bisa menebak, kalau orang yang
tadi menguntitnya mengikuti Kiai Lidah Wetan. Walau
Kiai Laras belum tahu siapa adanya orang yang
mengikuti langkahnya, namun dia dapat menangkap
gelagat kalau orang itu memiliki kepandaian tinggi.
Karena khawatir Kiai Lidah Wetan tidak mampu
menghadapi orang, dan lebih-lebih takut kalau sampai
Kiai Lidah Wetan buka kedok mereka berdua, akhirnya
Kiai Laras berlari balik ke arah mana tadi Kiai Lidah
Wetan berkelebat pisahkan diri.
Ketika Kiai Tung-Tung hendak lepaskan satu puku-
lan menyusur tanah untuk hentikan gerakan Kiai
Lidah Wetan yang berlari kencang di depan sana, Kiai
Laras segera hantamkan tangan kanannya yang
menggenggam Kembang Darah Setan. Hingga gerakan
Kiai Tung-Tung terhenti dan kehilangan jejak Kiai
Lidah Wetan yang terus berlari.
Kiai Laras langsung marah besar begitu tahu siapa
gerangan orang yang mengejar Kiai Lidah Wetan.
Namun dia masih berpikir cepat. Dia tidak mau Kiai
Lidah Wetan tahu kalau Kembang Darah Setan yang
diberikan pada Setan Liang Makam adalah palsu.
Maka dia tindih perasaan marah dan segera berkelebat
pergi.
“Kiai Tung-Tung.... Siapa jahanam itu sebenarnya?!
Sekarang aku yakin kalau semua ucapannya dusta!
Dia berusaha menjebak! Tapi dia tidak tahu, justru
jebakannya membawa rezeki besar bagiku! Aku seka-
rang tahu harus ke mana pergi tanpa butuhkan
keterangan orang! Ha.... Ha.... Ha...!”
Kiai Laras yang saat itu masih menyamar sebagai
Pendekar 131 tertawa dalam hati. “Sebaiknya aku
lepaskan penyamaran ini atau terus mengenakan-
nya?!” Kiai Laras sesaat bimbang. Setelah agak lama
berpikir akhirnya dia memutuskan tetap mengenakan
samaran. Lalu melangkah dari balik batangan pohon
dan kejap lain sudah berkelebat.
Waktu keluar dari kawasan hutan dan jauh di de-
pan sana terlihat julangan beberapa batu karang yang
berjajar membentuk pagar berkeliling, Kiai Laras
hentikan larinya. Dia berusaha sembunyikan diri di
semak belukar pinggiran hutan. Sepasang matanya
menatap lurus ke sela julangan batu karang di mana
terdapat tanah terbuka yang di tengahnya terbongkar.
“Apa aku harus ke sana sekarang?! Atau menunggu
jahanam Setan Liang Makam keluar dan melihat apa
yang terjadi?” Kiai Laras bertanya pada diri sendiri.
Perlahan-lahan tangan kanannya bergerak ke balik
pakaiannya. Dia tersenyum. “Kembang Darah Setan
masih di tanganku! Tak ada yang perlu ku takutkan
meski berhadapan dengan setan sekalipun! Aku harus
ke sana!”
Baru saja Kiai Laras memutuskan begitu, tiba-tiba
sepasang matanya menangkap satu sosok tubuh
melesat dari lobang menganga di tengah tanah terbu-
ka. Kiai Laras rundukkan tubuh sejajar tanah. Mulut-
nya terkancing rapat dan matanya dipentang besar-
besar.
Sementara di depan sana, sosok yang baru saja
melesat keluar dari lobang dan tidak lain adalah Setan
Liang Makam, sentakkan kepala berputar dengan
mulut perdengarkan makian panjang pendek. Sepa-
sang matanya mendelik beringas. Saat lain Setan Liang
Makam membuat gerakan tubuh satu kali. Sosoknya
melesat berlari tinggalkan tanah terbuka.
Kiai Laras makin rundukkan tubuh. Namun diam-
diam juga gerakkan tangan ke balik pakaiannya di
mana tersimpan Kembang Darah Setan. Dadanya
sedikit berdebar. Namun begitu Setan Liang Makam
berlalu dan tidak mengetahui kalau dirinya diperhati-
kan orang, Kiai Laras tarik pulang tangannya seraya
sunggingkan senyum.
Walau tidak jelas benar makian Setan Liang Ma-
kam, dari sikap dan gelagatnya, Kiai Laras rupanya
sudah maklum kalau Setan Liang Makam telah tahu
jika Kembang Darah Setan di tangannya adalah palsu.
Kiai Laras bergerak bangkit. Memandang ke arah
Setan Liang Makam berlari lalu melangkah menuju
tanah terbuka di tengah julangan beberapa batu
karang.
“Dia tidak mengalami apa-apa saat masuk ke lo-
bang ini.... Mengapa aku tidak?!” Kiai Laras tenangkan
diri tatkala dadanya mulai dilanda kekhawatiran
begitu hendak masuk lobang di mana tadi Setan Liang
Makam melesat keluar.
Kiai Laras kerahkan tenaga dalam pada kedua tan-
gannya. Lalu melompat masuk ke lobang bekas bong-
karan altar. Di bawah sana, dia menemukan sebuah
tangga menurun. Kiai Laras mulai menapaki tangga
menurun dengan mata tak berkesip dan kedua tangan
sewaktu-waktu siap lepas pukulan.
“Luar biasa...,” desis Kiai Laras begitu kakinya sam-
pai ujung tangga dan kini di depan sana terlihat
sebuah bangunan dari batu yang membentuk setang-
kai bunga berdaun tiga dengan kuncup membuat
bentuk kerucut. Sayap bangunan yang seperti daun
itu pancarkan warna merah, hitam, dan putih. Semen-
tara kerucut bangunan biaskan sinar merah.
“Bentuknya mirip sekali dengan Kembang Darah
Setan di tanganku! Jadi inilah rahasianya mengapa
Setan Liang Makam mati-matian merebut kembali....”
Kiai Laras teruskan langkah. Namun dia lebih bersikap
waspada. Malah dia lipat gandakan tenaga dalamnya.
Sementara sepasang matanya terpentang tak berkesip.
“Kosong...,” gumam Kiai Laras begitu langkahnya
tepat berada di depan pintu bangunan yang terbuka
dan setelah menyiasati keadaan di ruangan dengan
longokkan kepala.
Dengan masih waspada penuh, Kiai Laras gerakkan
kaki memasuki bangunan. Setelah memandang
berkeliling ruangan dan melihat ada satu tangga batu
di sebelah pojok ruangan, Kiai Laras teruskan langkah
menuju tangga batu. Lalu perlahan-lahan bergerak
naik.
Tangga batu ke atas itu berakhir di sebuah ruangan
kerucut yang pancarkan sinar merah. Kiai Laras untuk
beberapa lama siasati keadaan dengan tadangkan
tangan di depan kening untuk menghadang silau.
Sepasang matanya disipitkan.
Saat itulah matanya melihat rancahan kembang di
dekat kakinya. Bibirnya tersenyum. Namun senyum-
nya lenyap tatkala dia melihat sebuah jubah hitam
dikenakan oleh satu kerangka yang duduk berjarak
lima tombak di hadapannya.
“Dia kerangka tanpa nyawa atau kerangka bernya-
wa seperti Setan Liang Makam...? Dan siapa dia?!
Melihat sosoknya yang hampir mirip dengan Setan
Liang Makam, tentu dia masih ada hubungan! Dan
jangan-jangan inilah akhir dari rahasia Kembang
Darah Setan! Hem.... Akhirnya semua rencanaku
berjalan tanpa halangan.... Dan jubah hitam itu tentu
bukan jubah sembarangan!” Kiai Laras mulai melang-
kah maju. Namun mendadak dia hentikan langkah.
“Tapi mengapa Setan Liang Makam tidak mengambil
jubah itu?!”
Karena tak menemukan jawaban pasti, Kiai Laras
kembali gerakkan kakinya teruskan langkah.
Bukkk!
Kiai Laras tersentak. Sosoknya laksana menghan-
tam tembok besar. Karena tidak menduga, Kiai Laras
sempat tersurut balik tiga tindak dengan sosok lim-
bung. Dia hampir saja lepaskan pukulan kalau saja
tidak segera sadar bahwa apa yang baru menghadang
langkahnya bukan pukulan orang!
Kiai Laras jerengkan mata. Dia tidak melihat sesua-
tu yang baru saja menghalangi langkahnya. Dada
orang tua yang menyamar sebagai pemuda murid
Pendeta Sinting ini mulai berdebar keras. Tengkuknya
merinding dingin.
“Aneh.... Jangan-jangan aku tengah berhadapan
dengan lawan yang tidak kelihatan! Tapi aku belum
percaya!”
Kiai Laras kembali hendak melangkah. Namun dia
sengaja melangkah ke samping dahulu. Lalu gerakkan
kaki.
Bukkk!
Untuk kedua kalinya Kiai Laras terkesiap. Namun
karena sudah waspada, sosoknya tidak sampai lim-
bung.
“Benar-benar aneh....” Kiai Laras coba arahkan
pandang matanya dari samping kanan lurus ke samp-
ing kiri. Namun tetap tidak melihat apa-apa!
“Akan ku coba memukulnya!” Kiai Laras ambil ke-
putusan. Kedua tangannya diangkat dan serta-merta
didorong ke depan. Dua gelombang angin menderu.
Blaumm!
Ruangan berbentuk kerucut itu perdengarkan gema
gelegar. Untuk kesekian kalinya Kiai Laras terlengak.
Bukan saja oleh gema akibat gelombang pukulannya
tapi juga karena pantulan gelombang pukulannya yang
membalik dan menghantam dirinya yang tidak me-
nyangka sama sekali. Hingga sosoknya tersapu ke
belakang menghajar dinding.
“Keparat! Setan apa yang menghadang ini?!” maki
Kiai Laras. Dia kembali maju. Tenaga dalamnya
dilipatgandakan. Lalu kembali tangannya disentakkan
ke depan. Namun bersamaan dengan itu dia berkelebat
ke samping. Dia tidak mau membuat kesalahan yang
sama.
Untuk kedua kalinya ruangan kerucut bersinar me-
rah bergetar dan keluarkan gema menggelegar dah-
syat. Gelombang pukulan Kiai Laras membalik lalu
menghantam dinding di belakang sana. Kembali gema
gelegar terdengar di ruangan itu saat pantulan gelom-
bang menghajar dinding.
“Mungkin ini alasannya mengapa Setan Liang Ma-
kam tidak mengambil jubah di kerangka manusia itu!
Anehnya lagi, kerangka itu tidak bergerak-gerak! Kalau
sebuah benda dipagari dengan hal aneh, pasti benda
itu benda sakti!”
Sekali lagi Kiai Laras memandang berlama-lama
pada jubah hitam yang dikenakan kerangka manusia
di depan sana. “Pukulanku tidak mampu menerobos
halangan keparat tak kelihatan itu! Tapi aku masih
punya Kembang Darah Setan! Mungkin inilah senjata
pembukanya!”
Berpikir begitu, Kiai Laras gerakkan tangan kanan
ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik keluar,
tampak Kembang Darah Setan telah tergenggam dan
diangkat di atas kepala.
Sesaat Kiai Laras atur napas. Kejap lain tangan ka-
nan yang menggenggam Kembang Darah Setan disen-
takkan ke depan.
“Tidak ada yang berhak menggunakan Kembang
Darah Setan selain generasi keluarga Kampung Setan!”
Darah Kiai Laras laksana sirap. Bukan saja oleh
suara yang tiba-tiba terdengar, namun dia tidak bisa
menentukan sumber terdengarnya suara. Karena
suara itu laksana diperdengarkan dari segenap ruan-
gan! Kiai Laras hanya bisa menebak jika suara yang
sangat berat itu keluar dari mulut seorang perempuan.
Kiai Laras urungkan niat sentakannya. Malah tena-
ga dalam segera dikerahkan pada tangan kirinya, dan
dengan mata membelalak dia putar tubuh sambil
tangan kanan siap sentakkan Kembang Darah Setan
sementara tangan kiri siaga lepaskan pukulan jarak
jauh bertenaga dalam kuat.
Namun walau Kiai Laras sudah putar tubuh dua
kali dengan mata tak berkesip, dia tetap tidak me-
nangkap siapa-siapa! Kuduknya laksana diguyur es.
Dia mulai sadar jika saat ini tengah berhadapan
dengan lawan aneh.
Tiba-tiba Kiai Laras mengernyit. “Aku sepertinya
pernah mengenali orang yang bisa perdengarkan suara
seperti suara yang baru saja kudengar! Suara yang
laksana datang dari delapan penjuru mata angin....
Datuk Wahing! Benar.... Datuk Wahing memiliki ilmu
seperti itu! Aneh.... Bagaimana bisa begini?! Apa
hubungan antara Datuk Wahing dengan orang yang
baru saja perdengarkan suara?! Atau jangan-jangan
justru Datuk Wahing yang baru saja perdengarkan
suara dengan cara menyarukan suaranya mirip suara
seorang perempuan! Tapi di mana dia...?!”
Baru saja Kiai Laras membatin begitu, tiba-tiba
kembali terdengar suara.
“Kau telah masuk Istana Sekar Jagat! Dan kau bu-
kan dari keluarga Kampung Setan! Kau harus bayar
mahal semua ini!”
Gema suara orang yang laksana diperdengarkan
dari segenap ruangan itu belum sirna, satu bayangan
melayang dari bagian atas ruangan dan tahu-tahu di
hadapan Kiai Laras telah berdiri tegak satu sosok
tubuh!
***
DUA
KIAI Laras tegak dengan tubuh sedikit gemetar,
Matanya yang membeliak besar memperhatikan
seorang perempuan berusia amat lanjut hingga kepa-
lanya hampir-hampir saja tidak ditumbuhi rambut
sama sekali. Raut mukanya pucat mengeriput. Dia
mengenakan pakaian warna putih.
“Siapa kau?!” Kiai Laras buka mulut menghilangkan
rasa kejutnya. Namun suaranya yang bergetar parau
menunjukkan kalau dia belum bisa kuasai diri.
Si nenek yang bukan lain adalah Nyai Suri Agung,
nenek kandung Maladewa alias Setan Liang Makam
gerakkan kedua tangannya merangkap di depan dada.
Dia hanya memperhatikan sesaat pada Kiai Laras. Lalu
alihkan pandang matanya seraya membatin.
“Apa mungkin dia lupa jika pernah berjumpa den-
ganku?! Hem.... Tapi itu tak penting! Yang jelas dia
harus serahkan Kembang Darah Setan padaku!”
Berpikir begitu si nenek segera buka mulut. “Kau
tak perlu tahu siapa aku. Aku hanya perlu bilang,
letakkan Kembang Darah Setan!” Kali ini suara Nyai
Suri Agung seperti diperdengarkan dari delapan
penjuru mata angin. Bahkan suara itu menggema
memantul beberapa kali!
“Hem.... Mirip sekali dengan ilmu yang dimiliki Da-
tuk Wahing! Pasti ada hubungan antara nenek ini
dengan Datuk Wahing.... Tapi hubungan apa?! Selama
ini aku tidak pernah dengar Datuk Wahing punya
seorang guru atau saudara seperguruan! Tapi itu tidak
penting! Yang kuperlukan sekarang adalah jubah
hitam itu! Siapa pun dia adanya akan kubunuh jika
berani menghalangi! Apalagi Kembang Darah Setan
ada di tanganku!” Kiai Laras membatin. Kepercayaan
dirinya berangsur- angsur kembali. Dia kini tatapi
orang di hadapannya dengan seringai. Lalu buka
suara.
“Aku juga tak akan banyak bicara! Aku hanya perlu
bilang, tinggalkan tempat ini kalau kau tak ingin
kematian sia-sia!”
“Sikapnya berubah.... Saat pertama kali jumpa tem-
po hari, dia laksana orang bodoh! Malah sepertinya
suka bercanda! Kali ini lain.... Tempo hari juga aku
bisa menebak kalau dia tidak membawa Kembang
Darah Setan! Apakah saat itu Kembang Darah Setan
sedang tidak dibawa?! Tapi mana mungkin sebuah
senjata sakti diletakkan di satu tempat? Padahal
kalangan rimba persilatan telah tahu kalau Kembang
Darah Setan berada di tangannya yang berarti dia juga
harus sadar kalau sewaktu-waktu jiwanya terancam!
Hem.... Kalau benar saat itu dia bisa mengelabui aku,
berarti manusia ini pula yang memalsukan Kembang
Darah Setan dan diberikan pada Maladewa! Ini petun-
juk jelas kalau dia manusia cerdik! Aku harus tetap
berhati-hati....” Nyai Suri Agung mengaitkan apa yang
pernah dialami. Lalu perdengarkan suara.
“Dengar anak manusia! Dalam usia sepertiku, ke-
matian cara apa pun tak ada bedanya! Lain halnya
dengan usia sepertimu! Jadi seharusnya kau yang
berpikir agar tidak menemui kematian percuma! Dan
itu bisa kau alami jika kau letakkan Kembang Darah
Setan! Jika sebaliknya....” Nyai Suri Agung sesaat
hentikan ucapannya. “Kau bukan hanya akan mene-
mui kematian sia-sia, tapi kau akan menyesal sampai
kau berkalang tanah!”
Tiba-tiba Kiai Laras tertawa bergelak panjang. “Kau
boleh memandangku seperti yang kau katakan, namun
perlu diingat, usia bukan menjamin seseorang belum
merasakan nikmat dunia! Dan kalaupun aku harus
mampus sekarang, aku malah bisa tertawa di dalam
tanah!”
Habis berkata begitu, Kiai Laras makin keraskan
gelakan tawanya. Dan perlahan-lahan kerahkan tenaga
dalamnya kembali ke tangan kiri, sementara tangan
kanan yang menggenggam Kembang Darah Setan siap
disentakkan.
Rupanya Nyai Suri Agung bisa membaca gelagat.
Sebelum Kiai Laras sempat gerakkan tangan kanan
kirinya, dia berucap.
“Kau sudah berpikir, Anak Muda?!!
“Rupanya dia pandai juga melihat keadaan!” Kiai
Laras membatin. Lalu sambuti ucapan Nyai Suri
Agung. “Aku sudah berpikir seribu kali hingga sampai
datang ke tempat ini! Kalaupun aku tidak perlu
berpikir meski satu kali, itu bila hanya perlu mengan-
tarmu pada kematian sia-sia!”
“Hem.... Kau pikir dengan Kembang Darah Setan di
tanganmu, kau bisa mengantarku dengan enak?!” Nyai
Suri Agung tertawa pendek sambil geleng-geleng
kepala. “Buang jauh-jauh mimpimu itu, Anak Muda!
Kau boleh membawa seratus Kembang Darah Setan!
Tapi bukan berarti kau bisa mengantarku pada kema-
tian!”
Meski belum percaya pada ucapan Nyai Suri Agung,
namun ucapan itu mau tak mau membuat Kiai Laras
berpikir. “Kembang Darah Setan adalah senjata sakti.
Namun dia sepertinya memandang sebelah mata....
Hem.... Apakah ucapannya hanya sekadar mengger-
tak?! Akan kubuktikan ucapannya!”
“Dengar, Tua Bangka! Untuk membunuhmu aku
tidak perlu membawa seratus Kembang Darah Setan!
Bahkan Kembang Darah Setan di tanganku ini tidak
akan kugunakan! Aku cukup menggunakan sebelah
tanganku!”
Bersamaan dengan selesainya ucapan, Kiai Laras
sudah gerakkan tangan kirinya.
Wuuttt!
Satu gelombang angin menderu dahsyat ke arah
Nyai Suri Agung.
Kiai Laras tampak sunggingkan senyum karena di
depannya, si nenek tidak membuat gerakan apa-apa.
Padahal gelombang dahsyat itu telah membuat pa-
kaiannya berkibar-kibar.
Namun laksana direnggut setan, senyum Kiai Laras
putus. Malah sepasang matanya membelalak besar
tatkala melihat bagaimana saat sejengkal lagi gelom-
bang angin dahsyat menghantam, si nenek hanya
goyangkan bahu kanan kirinya. Hebatnya, goyangan
bahu kanan kiri itu bukan saja mampu menghadang
datangnya gelombang, namun dapat membalikkan
gelombang! Hingga gelombang dahsyat itu kini mende-
ru ganas ke arah Kiai Laras!
Walau sempat terkesima, namun Kiai Laras tidak
sampai lengah. Dia cepat sentakkan tangan kirinya
kembali karena sudah sangat terlambat baginya untuk
bergerak menghindar.
Blaarr!
Terdengar gema ledakan saat pukulan Kiai Laras
yang membalik bentrok dengan gelombang pukulan
yang dilepas Kiai Laras untuk menghadang. Sosok Kiai
Laras terlihat miring meski kakinya tidak sampai
bergerak mundur.
“Anak muda! Aku membaca kematian pada tubuh-
mu! Dan tanda-tandanya baru saja kau alami! Apa kau
masih juga ingin kenyataan?!”
Dada Kiai Laras laksana dipanggang mendengar
ucapan Nyai Suri Agung. Tanpa sambuti ucapan
orang, Kiai Laras cepat masukkan Kembang Darah
Setan ke balik pakaiannya. Saat lain sekonyong-
konyong kedua tangannya sudah bergerak lepaskan
satu pukulan.
Wuutt! Wuutt!
Kali ini gelombang yang datang tiga kali lipat dari
pukulan yang pertama. Malah bersamaan dengan itu
Nyai Suri Agung rasakan pijakannya bergetar, tanda
pukulan itu dilepas dengan tenaga dalam sangat tinggi.
Mendapati pukulan ganas, tampaknya Nyai Suri
Agung tidak mau bertindak ayal. Begitu kedua tangan
Kiai Laras bergerak lepas pukulan, si nenek telah buka
rangkapan kedua tangannya. Lalu didorong ke depan
dengan telapak terbuka.
Bummm!
Ruangan berbentuk kerucut itu laksana dihantam
gempa hebat. Lalu terdengar ledakan dahsyat. Sosok
Kiai Laras terdorong keras dan tersandar di dinding
belakangnya. Paras wajahnya berubah dengan tangan
gemetar keras. Mulutnya membuka menutup dengan
dada bergerak tak teratur.
Sementara di sebelah depan, sosok Nyai Suri Agung
hanya tersurut satu tindak. Meski tubuhnya bergetar
namun bibir nenek ini sunggingkan senyum! Jelas
menunjukkan kalau bias bentroknya pukulan tidak
begitu mempengaruhi. Dan ini jelas menandakan jika
tingkat tenaga dalam Kiai Laras masih setingkat di
bawah Nyai Suri Agung.
Dan belum sempat Kiai Laras lakukan gerakan,
Nyai Suri Agung telah mendahului membuat gerakan.
Tahu-tahu sosok si nenek sudah melesat ke arah Kiai
Laras. Tangan kiri kanannya bergerak. Bukan le-
paskan pukulan, namun menyambar ke arah perut
sang Kiai dari sebelah samping kiri kanan.
Kiai Laras maklum apa yang hendak dilakukan
orang. Namun karena sudah sangat terlambat baginya
untuk menghadang tangan orang dengan pukulan,
akhirnya sang Kiai cepat lorotkan tubuh hingga
pantatnya menghantam lantai ruangan. Saat bersa-
maan kedua kakinya digerakkan membuka ke samping
kanan kiri.
Nyai Suri Agung hendak hindarkan diri dari bentro-
kan kaki. Namun karena kedua tangannya sudah
telanjur bergerak ke depan, membuatnya tidak bisa
menghindar. Hingga mau tak mau dia harus sapukan
kaki untuk menghadang kedua kaki Kiai Laras.
Dess!
Karena sosok Kiai Laras bersandar pada dinding
dengan posisi duduk, meski terjadi benturan kaki,
sosoknya tidak bergeming sama sekali. Sementara di
hadapannya, karena harus imbangi diri menahan
tubuh sebab kedua tangannya tidak mengenai sasa-
ran, begitu terjadi benturan kaki, sosok Nyai Suri
Agung tampak terhuyung-huyung ke samping.
Melihat hal itu, Kiai Laras ganti tak mau lepaskan
kesempatan. Dia cepat bergerak bangkit. Dan sebelum
si nenek kuasai diri, sang Kiai telah melesat ke depan
dengan kedua tangan berkelebat angker mengarah
pada kepala si nenek.
Nyai Suri Agung cepat angkat kedua tangannya.
Lalu menyongsong hantaman tangan orang.
Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras. Sosok Kiai Laras mental
balik tiga langkah ke belakang. Di lain pihak, sosok
Nyai Suri Agung tersurut satu langkah. Namun ber-
goyang- goyang keras.
“Kalau terus-menerus begini, waktuku akan ter-
buang percuma!” kata Kiai Laras dalam hati. “Tua
bangka ini harus cepat kusingkirkan!”
Kiai Laras kembali gerakkan tangan kanan menye-
linap ke balik pakaiannya menarik keluar Kembang
Darah Setan. Rupanya Nyai Suri Agung tidak ingin Kiai
Laras dapat menggunakan benda itu hingga sebelum
sang Kiai sempat menarik tangan kanannya, si nenek
telah lepaskan satu pukulan jarak jauh.
Wuutt! Wuutt!
Terdengar gemuruh luar biasa dahsyat. Gelombang
angin laksana gulungan ombak bergulung-gulung
menerjang ke arah Kiai Laras.
Kiai Laras tidak pedulikan gelombang yang datang.
Dia cepat melesat mundur, tangan kanan cepat ditarik.
Dan begitu setengah tombak lagi gelombang ganas
menyapu, sang Kiai hantamkan tangan kirinya,
sedangkan tangan kanan sentakkan Kembang Darah
Setan.
Wuutt! Wuutt!
Dari tangan kiri Kiai Laras melesat satu gelombang
angin kencang. Sementara dari tangan kanannya
mencuat sinar tiga warna. Merah, hitam, dan putih.
Blaarr! Blaarr!
Dua ledakan keras terdengar berturut-turut. Ge-
lombang pukulan Nyai Suri Agung langsung ambyar
berkeping-keping. Hebatnya, sinar tiga warna yang
baru saja memporak-porandakan gelombang pukulan
Nyai Suri Agung masih mampu melesat lurus walau
sinar tiga warna itu telah pecah semburat!
Nyai Suri Agung yang telah tahu bagaimana kedah-
syatan Kembang Darah Setan tidak mau bertindak
ceroboh. Dia sadar, meski yang melesat ke arahnya
kini hanya semburatan sinar tiga warna, namun
semburatan sinar itu masih mampu membuat tubuh
orang hangus menghitam! Hingga begitu sosoknya
terhempas ke belakang, dia cepat pula putar-putar
kedua tangannya di depan.
Untuk beberapa saat tubuh Nyai Suri Agung seperti
lenyap ditelan gelombang bergulung-gulung yang
keluar dari gerakan putaran kedua tangannya. Saat
bersamaan, semburatan sinar tiga warna bermentalan
ke udara.
“Ha.... Ha.... Ha...! Menghadapi satu Kembang Da-
rah Setan kau telah kelabakan! Tapi mulut besarmu
berkoar terlalu tinggi! Tanda-tanda kematian telah di
depan matamu, Nenek Jahanam!” teriak Kiai Laras lalu
melangkah tiga tindak ke depan.
Nyai Suri Agung hentikan putaran kedua tangan-
nya. Sosoknya telah basah kuyup oleh keringat.
Mulutnya megap-megap dengan mata menyipit kemu-
dian membesar.
“Dengan Kembang Darah Setan di tangannya, sulit
memang memutus nyawanya. Tapi setidaknya aku
mampu menghadang tindakannya! Jelas dia mengin-
ginkan Jubah Tanpa Jasad itu! Dan itu tidak boleh
terjadi! Dengan membekal Kembang Darah Setan saja
kelakuannya tidak mudah dibendung, apalagi jika
sampai mendapatkan Jubah Tanpa Jasad! Bukan
hanya Istana Sekar Jagat yang akan hancur, tapi
dunia persilatan akan geger!” Nyai Suri Agung berkata
dalam hati. Lalu kerahkan tenaga dalam pada kedua
tangannya.
Nyai Suri Agung tidak mau didahului. Hingga tanpa
buka suara sambuti ucapan orang, dia serta-merta
hantamkan kedua tangannya.
Saat itu juga ruangan berbentuk kerucut bagian
atas dari Istana Sekar Jagat laksana didera badai luar
biasa. Suara deruan dahsyat terdengar pantul-
memantul ke seluruh ruangan. Dan gelombang yang
melesat dari kedua tangan si nenek tampak datang
bergelombang dan pantul-memantul ke delapan
penjuru mata angin. Inilah tanda kalau si nenek telah
kerahkan jurus ‘Pantulan Tabir’.
Untuk beberapa saat Kiai Laras tampak kebingun-
gan. Bukan hanya pandang matanya saja yang seolah
tertutup gelombang yang datang pantul-memantul,
namun telinganya juga seperti disentak-sentak! Hingga
untuk sesaat sang Kiai harus alirkan tenaga menutupi
jalan pendengarannya. Dan saat lain dia harus berke-
lebat hilir mudik hindari gelombang yang datang dari
delapan penjuru mata angin!
“Keparat sialan! Nenek jahanam ini benar-benar
merepotkan!” umpat Kiai Laras lalu angkat tinggi-tinggi
Kembang Darah Setan. Namun baru saja tangannya
hendak bergerak, satu gelombang lagi datang lurus ke
arahnya. Rupanya Nyai Suri Agung benar-benar tak
mau memberi kesempatan pada Kiai Laras untuk
leluasa gerakkan tangan kanannya yang menggenggam
Kembang Darah Setan. Hingga begitu lepaskan puku-
lan yang disertai jurus ‘Pantulan Tabir’, dia terus
perhatikan setiap gerakan sang Kiai. Dan begitu Kiai
Laras dapat berkelit dari pantulan gelombang puku-
lannya dan hendak gerakkan tangan kanan, Nyai Suri
Agung telah lepaskan pukulan!
Kiai Laras mendengus keras. Dia cepat sentakkan
tangan kiri untuk menghadang pukulan lurus si
nenek. Namun begitu pukulan si nenek dapat diha-
dang, pukulan susulan telah datang lagi.
“Jahanam!” teriak Kiai Laras saking marahnya. Dia
tidak lagi pedulikan gelombang yang terus memantul
dan gelombang yang kini mengarah tepat padanya. Dia
cepat sentakkan tangan kanan lurus ke depan dua kali
berturut-turut.
Wuutt! Wuutt!
Tiga sinar mencuat saling susul menyusul. Gelom-
bang yang datang dari arah depan langsung buyar.
Sementara gelombang yang terus memantul sesaat
tertahan di udara, namun saat lain ambyar dengan
perdengarkan gelegar dahsyat.
Sosok Nyai Suri Agung terhempas menghantam
dinding di belakangnya dan jatuh terduduk dengan
mulut keluarkan darah. Di lain pihak, sosok Kiai Laras
terpelanting sebelum akhirnya jatuh telungkup. Sudut
mulutnya pun tampak kucurkan darah!
Nyai Suri Agung cepat takupkan kedua tangan di
depan dada dengan mata dipejamkan. Kedua kakinya
ditarik lalu membuat sikap duduk bersila. Saat lain si
nenek buka takupan kedua tangannya, lalu didorong
ke depan dengan mata tetap memejam.
Gema gelegar di dalam ruangan belum benar-benar
sirna, kini telah dibuncah lagi dengan terdengarnya
deruan keras. Dan kembali ruangan itu dirancah
deruan gelombang yang memantul terus menerus!
Mendapati Nyai Suri Agung sudah lepaskan puku-
lan dengan kerahkan jurus ‘Pantulan Tabir’, Kiai Laras
tidak tinggal diam. Begitu deruan pertama mengge-
brak, dia cepat bangkit lalu kelebatkan tangan kanan-
nya yang menggenggam Kembang Darah Setan!
***
TIGA
SINAR merah, hitam, dan putih berkiblat dengan
perdengarkan gemuruh keras. Ruangan berbentuk
kerucut kembali bergetar hebat dengan buncahan
suara deru gelombang yang terus memantul serta
gemuruh dan kiblatan sinar tiga warna. Saat lain
ledakan keras terdengar laksana gunung meletus.
Sosok Nyai Suri Agung mencelat mental menghan-
tam dinding ruangan, lalu mental lagi ke depan sebe-
lum akhirnya jatuh terkapar. Pakaian putih yang
dikenakannya tampak hangus menghitam. Kucuran
darah dari mulutnya makin banyak. Untuk beberapa
saat lamanya dia diam tak bergerak-gerak.
Di seberang depan, sosok Kiai Laras tersapu deras.
Tubuhnya juga menghantam dinding ruangan sebelum
akhirnya melorot jatuh. Kedua tangannya bergetar
keras dan Kembang Darah Setan di tangan kanannya
tampak jatuh dari genggamannya. Darah makin
banyak juga keluar dari mulutnya.
Meski tenaga dalam yang dimiliki Kiai Laras masih
setingkat di bawah Nyai Suri Agung, namun karena
sang Kiai menghadang pukulan si nenek dengan
Kembang Darah Setan, maka kekurangan sang Kiai
bisa tertutupi. Malah cedera dalam yang dialami sang
Kiai lebih ringan daripada yang dialami Nyai Suri
Agung. Usia lanjut si nenek juga sangat berpengaruh
tatkala sosoknya harus menghantam dinding. Hingga
ketika Kiai Laras sudah mulai bergerak-gerak bangkit,
Nyai Suri Agung masih tampak berusaha keras pulih-
kan tenaga tanpa membuat gerakan apa-apa!
Dan begitu Kiai Laras mendapati si nenek belum
juga membuat gerakan tatkala dirinya sudah bergerak
duduk, dia cepat ambil Kembang Darah Setan yang
tergeletak di sampingnya. Lalu bangkit dengan san-
darkan lurus punggungnya pada dinding untuk
menghindari huyungan tubuhnya. Karena Kiai Laras
maklum jika kedua lututnya masih goyah.
Kiai Laras angkat tangan kanannya yang sudah
menggenggam Kembang Darah Setan. Bibirnya sung-
gingkan seringai maut. Sepasang matanya menatap
angker pada Nyai Suri Agung. Saat lain tangannya
sudah bergerak.
Nyai Suri Agung buka kelopak matanya. Tahu apa
yang hendak dilakukan Kiai Laras, si nenek cepat
buka mulut seraya bergerak duduk.
“Sekali kau berani gerakkan tangan, kita akan mati
bersama!” Nyai Suri Agung telah buka kedua telapak
tangannya dan siap didorong ke depan.
Mendengar ucapan Nyai Suri Agung, Kiai Laras ter-
lihat bimbang. Matanya lurus memandang ke arah
kedua tangan si nenek yang saat itu perlahan-lahan
disemburati sinar tiga warna.
Nyai Suri Agung menatap dingin. Lalu berujar den-
gan suara berat dan dingin.
“Boleh saja kau membunuhku dengan Kembang
Darah Setan! Tapi apa kau pikir bisa selamat dari
pukulan Telapak Sinar Setan’ di kedua tanganku ini?!”
Kening Kiai Laras mengernyit. Kedua telapak tangan
Nyai Suri Agung makin pancarkan sinar tiga warna.
Merah, hitam, dan putih. Sang Kiai memang belum
pernah saksikan kehebatan pukulan yang disebut si
nenek dengan Telapak Sinar Setan’. Tapi melihat
pukulan itu baru akan dikeluarkan saat terjepit, sang
Kiai rupanya sudah bisa memaklumi. Kalau jurus
‘Pantulan Tabir’ saja sulit baginya untuk menghadang
seandainya tanpa Kembang Darah Setan, tentu akan
lebih sulit lagi baginya jika si nenek benar-benar
hendak lepaskan pukulan ‘Telapak Sinar Setan’. Hal
ini tak urung membuat dada Kiai Laras didera keragu-
raguan. Malah rasa kecut mulai hinggap kala teringat
ucapan si nenek yang rupanya sudah nekat untuk
mati bersama-sama.
Kiai Laras melirik pada jubah yang dikenakan ke-
rangka manusia di depan sana. Keyakinannya makin
kuat jika jubah hitam itu adalah bukan jubah semba-
rangan. Karena meski ruangan itu baru saja dibuncah
bentroknya pukulan bertenaga dalam sangat tinggi dan
bergetar hebat, kerangka manusia yang mengenakan
jubah hitam tidak bergeming sama sekali! Malah
muncratan pukulan dan sinar tiga warna yang berben-
turan tidak mampu menjangkau kerangka manusia
berjubah hitam.
“Apa yang harus kulakukan sekarang?!” Kiai Laras
terus berpikir. “Ah, peduli setan dengan ucapannya!
Mungkin saja dia menggertak ku!”
Berpikir begitu, Kiai Laras maju dua tindak. Lalu
berucap.
“Aku tahu.... Pukulan sakti macam apa pun yang
kau miliki, tak mungkin mampu menghadang Kem-
bang Darah Setan di tanganku! Apalagi kau telah
terluka berat! Jadi jangan harap aku urungkan niat!
Lebih-lebih harus kau tahu, jangan kira aku takut
mati!”
Nyai Suri Agung tertawa. “Jika begitu, aku menung-
gu!” Tantang si nenek seraya tarik sedikit telapak
tangannya. Pancaran sinar tiga warna makin terang
mencuat dari kedua telapak tangannya.
Ucapan si nenek kembali membuat Kiai Laras bim-
bang. Setelah berpikir lagi dia berkata. “Baik! Sekarang
apa maumu?!”
“Kalau kau tak ingin mati bersama-sama, tinggal-
kan tempat ini! Kembang Darah Setan boleh kau
bawa!”
Kiai Laras mendengus. Lalu kepalanya menggeleng.
“Aku tak akan tinggalkan tempat ini dengan tanpa
memperoleh apa-apa!”
“Maksudmu?!” tanya Nyai Suri Agung.
“Aku inginkan jubah hitam itu! Setidaknya selembar
nyawamu kalau kau berani menghadang!”
“Anak manusia ini benar-benar keparat! Aku he-
ran.... Bagaimana dia bisa tahu cara mengeluarkan
Maladewa dari makam batu?! Dan bagaimana pula dia
tahu tempat ini?!” Nyai Suri Agung membatin. Lalu
menghela napas. “Apakah akan sampai di sini riwayat
Kampung Setan?! Ini karena tindakan Maladewa yang
sembrono! Tapi semuanya sudah terjadi.... Dan kenya-
taannya memang sudah begini! Apa hendak dikata!
Tapi aku akan tetap menghadang keinginannya!”
“Anak muda!” ujar Nyai Suri Agung dengan suara
agak direndahkan. “Dengan Kembang Darah Setan di
tanganmu, kurasa kau akan jadi manusia yang sulit
dicari tandingannya! Kau tentu tahu, sebenarnya
Kembang Darah Setan bukan hakmu untuk memili-
kinya! Sekarang apa kau masih juga inginkan milik
orang lain?!”
“Bagiku, kalau aku mampu mengambilnya, maka
benda itu adalah hakku! Tak ada bedanya sekalipun
benda itu milik setan! Jadi, cepatlah angkat kaki dari
hadapanku! Jangan berani ikut campur!”
“Aneh! Kau yang campuri urusanku!”
“Hem.... Begitu?! Jadi kau tentu ada hubungannya
dengan keparat Setan Liang Makam itu! Hubungan
apa?! Gundik?! Istri?! Atau pelayan?!”
Tampang keriput Nyai Suri Agung berubah menge-
tam. “Mulutmu terlalu lancang berkata!”
Kiai Laras tertawa panjang. “Perempuan sialan bi-
asanya pasang sikap sok suci di hadapan orang! Tapi
jangan kira aku tak tahu....” Kiai Laras perkeras
gelakan tawanya.
Walau darahnya menggelegak, Nyai Suri Agung be-
lum berani lepaskan pukulan, la menyadari dalam
keadaan terluka begitu rupa adalah tindakan bodoh
jika terlalu banyak umbar tenaga. Apalagi untuk
melepas pukulan Telapak Sinar Setan’ dibutuhkan
tenaga yang tidak sedikit. Hingga meski ucapan sang
Kiai sudah sangat keterlaluan, si nenek masih coba
menekan perasaan.
Di pihak lain, Kiai Laras makin yakin akan kekua-
tannya dan makin kuat pula dugaannya jika jubah
hitam itu jubah sakti. Hanya dia mulai terusik dengan
hubungan antara Setan Liang Makam dengan si
nenek.
“Siapa sebenarnya tua bangka ini?! Dari pancaran
sinar pada telapak tangannya tentu dia masih ada
kerabat dengan penghuni Kampung Setan! Dan kalau
benar, mengapa dia tidak mengambil jubah hitam itu?!
Apa karena tidak bisa menembus dinding keparat tak
terlihat mata itu?! Kalau dia tidak mampu, apakah aku
bisa?!” Kiai Laras kembali melirik pada kerangka
manusia yang mengenakan jubah hitam.
Entah apa yang terpikir dalam benak sang Kiai,
tiba-tiba orang tua yang mengenakan samaran sebagai
pemuda murid Pendeta Sinting ini putar tubuh seten-
gah lingkaran menghadap kerangka manusia berjubah
hitam di depan sana. Saat lain dia mulai gerakkan kaki
melangkah maju tiga tindak.
Kiai Laras angkat kedua tangannya. Di seberang
samping, Nyai Suri Agung tampak kernyitkan dahi lalu
berkata sebelum sang Kiai teruskan gerakan kedua
tangannya.
“Kalau kau inginkan jubah itu, kau harus langkahi
dulu mayatku!”
Kiai Laras tak pedulikan ucapan orang. Dia gerak-
kan kedua tangannya menyentak. Namun bersamaan
dengan itu tubuhnya memutar. Hingga gelombang dan
cuatan sinar tiga warna yang melesat dari Kembang
Darah Setan bukannya menggebrak ke arah depan,
melainkan lurus ke arah Nyai Suri Agung!
Karena sejak tadi sudah waspada, begitu kedua
tangan Kiai Laras bergerak, si nenek cepat dorong
kedua telapak tangannya.
Wuuss! Wusss!
Dari kedua telapak tangan Nyai Suri Agung berkib-
lat gelombang api berwarna tiga. Merah, hitam, dan
putih! Gelombang api itu menebar berkeliling sejauh
dua tombak dan menyongsong gelombang serta
hamparan sinar merah, hitam, dan putih yang melesat
keluar dari kedua tangan Kiai Laras.
Ruangan berbentuk kerucut bagian atas dari Istana
Sekar Jagat itu laksana dilalap si jago merah. Gelom-
bang api tiga warna serta sinar tiga warna sama-sama
tertahan beberapa saat menggantung di udara. Lalu
laksana disentak kekuatan luar biasa dahsyat, gelom-
bang api dan sinar tiga warna sama-sama membubung
tinggi ke udara.
Blaarr!
Begitu bumbungan gelombang api dan sinar tiga
warna mencapai bagian atas bangunan, terdengar
gelegar dahsyat. Bagian ujung kerucut bangunan
langsung ambrol! Keping-kepingan batu luruh menu-
tupi ruangan.
Nyai Suri Agung berseru tertahan. Sosoknya lang-
sung terbanting tengkurap di atas lantai ruangan.
Pakaian yang dikenakan si nenek telah hangus ber-
campur warna merah kucuran darah dari mulut dan
hidungnya.
Sosok Kiai Laras sendiri tampak terkapar. Kain pu-
tih pengikat rambutnya lepas dan terbakar. Sebagian
rambutnya terpangkas. Untuk kedua kalinya Kembang
Darah Setan terlepas dari genggaman tangan kanan-
nya dan mencelat jatuh berjarak lima langkah dari
tempatnya terkapar.
Beberapa saat berlalu. Baik Nyai Suri Agung mau-
pun Kiai Laras masih sama-sama belum membuat
gerakan meski mata masing-masing orang telah
terbuka dan saling pandang.
Namun, begitu mata Nyai Suri Agung menangkap
Kembang Darah Setan tergeletak agak jauh dari Kiai
Laras, nenek ini coba menghimpun sisa tenaga dalam-
nya. Saat lain ia melirik ke belakang. Dia mengukur
jarak antara dirinya dengan dinding ruangan.
Tanpa diduga sama sekali oleh Kiai Laras, menda-
dak Nyai Suri Agung putar tubuhnya yang masih
telungkup. Kedua tangannya menekan ke lantai. Sosok
si nenek memutar dengan bergerak mundur. Begitu
kakinya menjangkau dinding ruangan, tiba-tiba si
nenek sentakkan kedua kakinya ke dinding di bela-
kangnya.
Dukk! Dukk!
Sosok Nyai Suri Agung kini melesat telungkup ke
depan dengan kedua tangan terangkat. Sepasang
matanya silih berganti memandang ke arah Kiai Laras
dan Kembang Darah Setan.
“Jahanam! Dia hendak mengambil Kembang Darah
Setan!” desis Kiai Laras. Dia cepat gulingkan tubuh
mendekati Kembang Darah Setan.
Nyai Suri Agung sesaat ragu-ragu. Langsung me-
nyambar Kembang Darah Setan atau menghadang
dahulu gerakan Kiai Laras. Setelah berpikir cepat,
akhirnya si nenek putuskan untuk langsung menyam-
bar Kembang Darah Setan karena dalam keadaan luka
dalam cukup parah, akan berbahaya bila terjadi
benturan keras. Hingga akhirnya Nyai Suri Agung
luruhkan kembali kedua tangannya dan kini kedua
tangan itu menyusur di atas lantai.
Di pihak lain, meski juga telah terluka, namun sang
Kiai tidak begitu saja mendiamkan gerakan kedua
tangan si nenek yang hendak menjangkau Kembang
Darah Setan. Namun karena lesatan sosok Nyai Suri
Agung lebih cepat, mau tak mau Kiai Laras harus
membuat gerakan berputar di atas lantai lalu kedua
kakinya bergerak membuat gerakan menendang.
Tak ada pilihan lain bagi Nyai Suri Agung selain
harus menyongsong tendangan orang dengan kedua
tangannya. Karena jika tidak, bukan saja kedua
tangannya akan mental namun tidak tertutup ke-
mungkinan kepalanya akan terkena tendangan!
Bukk! Bukk!
Terdengar benturan tatkala tendangan kedua kaki
Kiai Laras terhadang kedua tangan Nyai Suri Agung.
Walau benturan itu tidak terlalu keras, tapi karena
keduanya sudah sama terluka, membuat sosok mas-
ing-masing sama terguling ke samping.
Kiai Laras tidak pedulikan diri. Begitu gulingan tu-
buhnya terhenti, dia segera gulingkan kembali tubuh-
nya mendekati Kembang Darah Setan yang tampak
bergeser karena bias angin benturan.
Di lain pihak, karena lukanya lebih parah, sudah
terlambat bagi Nyai Suri Agung untuk menghentikan
gerakan Kiai Laras. Namun nenek ini tidak begitu saja
menyerah. Begitu dilihatnya kedua tangan Kiai Laras
bergerak hendak menyambar Kembang Darah Setan,
dia cepat dorong telapak tangannya.
Kiai Laras yang sudah bertekad mempertahankan
Kembang Darah Setan tidak hiraukan suara deruan
yang kini menggebrak ke arahnya. Dia teruskan
gerakan kedua tangannya menyambar Kembang Darah
Setan.
Saat tangan kanan Kiai Laras berhasil meraih Kem-
bang Darah Setan, deruan yang membawa gelombang
menyongsong. Tidak ada kesempatan lagi bagi Kiai
Laras untuk bergerak menghindar. Hingga tanpa
ampun lagi sosok Kiai Laras tersapu dan membentur
dinding. Bersamaan itu tampak rambut di kepalanya
lepas dan jatuh. Kini kepalanya berubah menjadi
berambut putih.
Nyai Suri Agung terkesiap kaget. “Firasat ku selama
ini benar! Dia bukan Pendekar 131! Tapi apa bedanya?! Pendekar 131 atau bukan yang jelas dia harus
dihadang! Jubah Tanpa Jasad harus diselamatkan dari
tangan orang selain generasi Kampung Setan!”
Nyai Suri Agung melirik pada Kembang Darah Setan
yang ternyata dipegang erat-erat oleh tangan kanan
Kiai Laras meski orang ini belum membuat gerakan.
Beberapa saat si nenek menunggu. Tapi Kiai Laras
tetap diam tak bergerak-gerak.
“Apakah dia tewas?!” gumam si nenek seraya ter-
huyung bangkit. Mungkin untuk memastikan, Nyai
Suri Agung bersabar menunggu seraya pulihkan
tenaga.
Setelah ditunggu agak lama Kiai Laras tidak juga
membuat gerakan, dengan waspada Nyai Suri Agung
melangkah mendekati. Dan begitu jarak antara kedua-
nya tinggal empat langkah sementara sang Kiai tidak
juga bergerak, si nenek agaknya mulai yakin kalau Kiai
Laras sudah mampus.
Seolah tidak sabar, Nyai Suri Agung cepat melom-
pat. Tubuhnya sedikit dibungkukkan. Tangan kanan
bergerak menyambar.
***
EMPAT
BERSAMAAN dengan berkelebatnya tangan Nyai
Suri Agung, Kembang Darah Setan di tangan kanan
Kiai Laras laksana dihantam gelombang setan bergerak
cepat bergeser ke samping. Pertanda kalau tangan
yang memegang masih bernyawa. Namun Nyai Suri
Agung tak hendak urungkan niat. Dia cepat pula
kelebatkan tangan mengejar tangan Kiai Laras. Namun
kali ini gerakan tangan sang Kiai lebih cepat. Hingga
begitu tangan si nenek bergerak, Kembang Darah
Setan telah terangkat dan serta-merta bergerak ke
depan.
Terlambat bagi Nyai Suri Agung untuk membuat
hadangan atau hindarkan diri tatkala pada saat yang
sama mencuat sinar tiga warna. Merah, hitam, dan
putih.
Nenek kandung Setan Liang Makam perdengarkan
jeritan menyayat. Sosoknya tersapu deras hingga
menghantam dinding di belakang sana. Tatkala sosok-
nya jatuh di atas lantai ruangan, suara erangan dari
mulutnya terputus. Pakaian yang dikenakannya robek
menganga di sana-sini dan hangus terbakar. Malah
darah yang mengucur dari mulut dan lobang hidung-
nya langsung mengering!
Di seberang sana, perlahan-lahan Kiai Laras jereng-
kan sepasang matanya. Memperhatikan sesaat pada
sosok si nenek yang sudah tak bernyawa lalu bergerak
bangkit dengan mulut sunggingkan seringai dingin.
“Melihat keadaannya, aku yakin kalau dia sudah
mampus! Tapi aku perlu membuktikannya! Siapa tahu
dia balik akan menipuku seperti yang baru saja
kulakukan!”
Kiai Laras melangkah dengan kedua tangan terang-
kat. Tangan kiri siap lepaskan pukulan, tangan kanan
siap hantamkan Kembang Darah Setan.
Kiai Laras hentikan langkah tiga tindak dari sosok
Nyai Suri Agung. Memperhatikan sesaat lalu kaki
kanannya bergerak ke arah tangan si nenek yang
terkulai di atas lantai. Dengan sekali tempelkan kaki
sudah cukup bagi sang Kiai untuk mengetahui jika
nyawa Nyai Suri Agung benar-benar telah melayang.
Kiai Laras usap darah pada mulutnya. Lalu putar
tubuh setengah lingkaran menghadap ke arah sosok
kerangka yang mengenakan jubah hitam di depan
sana.
“Tenagaku benar-benar telah habis.... Tapi akan ku
coba menjebol dinding keparat itu dengan Kembang
Darah Setan!”
Kiai Laras angkat tangan kanannya yang meng-
genggam Kembang Darah Setan. Saat lain tangannya
telah bergerak. Sinar tiga warna melesat angker ke
depan. Saat yang sama Kiai Laras cepat melompat ke
samping, khawatir kalau sinar tiga warna membalik.
Blarr! Blarr! Blarr!
Ruangan itu perdengarkan ledakan keras tiga kali
berturut-turut. Walau Kiai Laras tidak melihat adanya
tembok yang jebol, namun saat itu telinganya bisa
menangkap laksana ada tembok yang ambrol dan
perdengarkan suara bergemuruh dahsyat. Saat yang
sama sepasang matanya juga bisa melihat bagaimana
kerangka berjubah hitam di sana bergoyang-goyang
keras. Hebatnya, meski hanya tinggal kerangka, didera
getaran begitu keras tidak rontok atau tanggal!
“Aku berhasil! Aku berhasil!” teriak Kiai Laras gi-
rang. Dia seakan melupakan pada luka bagian dalam
yang dialaminya. Dia segera melompat ke depan.
Hatinya makin girang tatkala dia tahu tubuhnya tidak
lagi terhalang sesuatu yang tidak terlihat mata biasa.
Kiai Laras tegak dengan mata mementang tepat di
depan kerangka berjubah hitam. Untuk beberapa lama
dia meneliti dari atas sampai bawah. Setelah seli-
napkan Kembang Darah Setan ke balik pakaiannya,
dia melangkah dua tindak ke depan. Tangan kanan
dan kirinya menjulur ke arah jubah hitam yang
dikenakan kerangka manusia.
Namun cepat-cepat sang Kiai tarik pulang kedua
tangannya ketika merasakan hawa luar biasa dingin
menyungkup di ruangan itu. Laksana disentak setan
dia cepat putar kepala dengan tangan satunya masuk
ke balik pakaiannya siap menarik Kembang Darah
Setan.
Tapi meski dia telah putar kepala dengan mata me-
nyelidik, dia tidak melihat siapa-siapa.
“Aneh.... Udara di ruangan ini tiba-tiba berubah!
Jangan-jangan ada manusia usil....” Untuk yakinkan
diri, Kiai Laras melompat. Lalu menuju anak tangga.
Namun sampai dia menuruni anak tangga dan tiba di
ruangan bawah, dia tetap tidak melihat adanya orang
lain.
Kiai Laras kembali melangkah menaiki tangga dan
langsung melompat ke arah kerangka berjubah hitam.
Dia coba tabahkan hati meski kuduknya mulai mere-
mang tatkala kedua tangannya mulai bergerak ke arah
jubah hitam. Malah kedua tangannya tampak bergetar
keras ketika tangan itu menyentuh jubah hitam.
“Astaga! Apa yang terjadi?!” Tiba-tiba Kiai Laras
terlengak. Kedua tangannya yang menyentuh jubah
hitam terasa panas laksana dipanggang. Padahal
udara di ruangan itu makin dingin!
“Apa pun yang terjadi, aku harus mengambilnya!”
putus Kiai Laras. Dia tidak pedulikan rasa panas yang
memanggang kedua tangannya. Dia cepat lepaskan
jubah hitam dari kerangka.
Mungkin tak sabar dan tak kuasa menahan rasa
panas, Kiai Laras sentakkan jubah hitam yang telah
terpegang tangannya. Namun dia tersentak sendiri.
Jangankan terpuruk jatuh, kerangka manusia itu
bergeming pun tidak!
“Jahanam!” Kiai Laras mulai geram. Dia tarik pu-
lang kedua tangannya karena tidak kuasa lagi mena-
han panas. Dia cepat memeriksa. Kembali dia terbela
lak. Ternyata kedua tangannya tidak apa-apa! Padahal
dia sudah menduga jika kedua tangannya sudah
melepuh dengan kulit mengelupas!
Kiai Laras arahkan pandang matanya pada kerang-
ka berjubah hitam. “Apa boleh buat! Aku harus berta-
han.... Lagi pula rasa panas itu tidak mencederai!”
Berpikir begitu, kembali Kiai Laras julurkan kedua
tangannya. Perlahan-lahan dia mulai tanggalkan jubah
hitam pada kerangka meski dengan bertahan dari rasa
panas luar biasa yang memanggang sekujur tubuhnya.
Begitu jubah hitam tinggal di bagian yang diduduki
kerangka, seolah sudah tidak ssbaran, Kiai Laras cepat
sentakkan jubah yang sebagian besar telah berada di
tangannya. Namun kembali sang Kiai terkesima.
Kerangka itu tidak juga bergeming!
“Sialan keparat!” umpat Kiai Laras lalu letakkan
jubah yang terpegang tangannya. Dia melangkah
mundur seraya kerahkan tenaga dalam pada kedua
tangannya.
“Aku membutuhkan jubah hitamnya, bukan ke-
rangka sialan jahanam itu!” Kiai Laras angkat kedua
tangannya. Sekonyong-konyong kedua tangannya
disentakkan ke arah kerangka.
Wuutt! Wuutt!
Karena kondisinya terluka dalam, gelombang yang
melesat keluar dari kedua tangan Kiai Laras tidak
begitu deras. Namun demikian, karena sentakan
kedua tangan itu telah dialiri tenaga dalam, gelombang
itu masih mampu menghancurkan batu besar.
Buss! Buss!
Kiai Laras tersentak. Gelombang angin yang men-
cuat dari kedua tangannya laksana menerabas tempat
kosong dan lewat begitu saja pada kerangka! Hebat-
nya, begitu gelombang melewati kerangka, gelombang
itu lenyap tak berbekas!
“Aku akan membuang waktu sia-sia jika turuti kea-
nehan ini!” ujar Kiai Laras lalu tarik keluar Kembang
Darah Setan dari balik pakaiannya.
Tanpa pikir panjang lagi, Kembang Darah Setan
segera dihantamkan ke arah kerangka di depannya.
Daar! Darr! Daarr!
Tiap sinar yang melesat dari Kembang Darah Setan
perdengarkan ledakan ketika menghantam kerangka.
Bersamaan dengan itu kerangka yang tadi mengena-
kan jubah hitam langsung pecah berkeping-keping.
Jubah hitam yang sebagian tadi masih diduduki
tampak tersambar lalu melayang ke belakang.
Seolah takut kehilangan, Kiai Laras cepat sentak-
kan kaki ke lantai. Sosoknya melesat mengejar jubah
hitam yang masih melayang di udara. Begitu kakinya
kembali menginjak lantai ruangan, jubah hitam telah
berada di tangan sang Kiai.
“Aneh.... Sekarang hawa panas itu sirna!” desis Kiai
Laras sambil memperhatikan jubah hitam di tangan-
nya. Dia cepat mengenakan jubah hitam. Setelah
melihat sejenak pada kepingan kerangka yang telah
terhantam Kembang Darah Setan, sang Kiai gerakkan
kaki tinggalkan tempat itu.
Namun baru bergerak dua tindak, Kiai Laras henti-
kan gerakannya. “Aku rasakan gerakanku amat
ringan. Dan rasanya kakiku tidak menyentuh lantai....
Pasti jubah ini penyebabnya! Tapi aku perlu membuk-
tikan kesaktiannya!”
Kiai Laras teruskan langkah. Kiai Laras tidak tahu,
jika begitu jubah hitam dikenakan ke tubuhnya,
sosoknya tidak kelihatan! Hingga yang tampak saat itu
adalah jubah hitam yang bergerak melayang tanpa
terlihat adanya sosok manusianya! Inilah mengapa
jubah hitam itu dinamakan Jubah Tanpa Jasad.
Hanya beberapa saat saja, Kiai Laras sudah melesat
keluar dari lobang di mana tadi dia mulai masuk. Dia
arahkan pandangannya berkeliling pada julangan
beberapa batu karang yang seolah memagari tempat
terbuka di mana saat ini dia tegak di tengah-
tengahnya.
“Rahasia di balik Kembang Darah Setan sudah ku-
temukan! Kini saatnya aku melakukan pembalasan
itu! Pendeta Sinting.... Kau adalah manusia pertama
yang akan kucari!”
Kiai Laras tengadahkan kepala. Dari mulutnya ter-
dengar gelakan tawa panjang. Lalu sambil terus umbar
gelakan tawa, sang Kiai mulai melangkah tinggalkan
Kampung Setan. Kiai Laras tetap belum sadar jika saat
itu sosoknya tidak bisa dilihat dengan pandangan
mata biasa! Yang terlihat adalah bergeraknya jubah
hitam tanpa adanya sosok yang menggerakkan!
***
Sosok bercaping lebar itu melewati hutan belantara
sepi dengan berlari kencang. Ketika keluar dari kawa-
san hutan dan dari tempatnya terlihat jajaran bebera-
pa batu karang yang membentuk lingkaran, si sosok
bercaping lebar hentikan larinya. Kini dia melangkah
perlahan-lahan dengan memperhatikan sekeliling.
“Sebenarnya hal ini tak ada gunanya kulakukan!
Dengan telah diserahkannya kembali Kembang Darah
Setan pada Setan Liang Makam, kurasa urusannya
akan selesai.... Tapi aku merasa ada yang tidak beres!
Mengapa enak saja salah seorang yang menyamar
sebagai diriku itu menyerahkan begitu saja Kembang
Darah Setan! Anehnya, setelah itu dia mengikuti Setan
Liang Makam! Aku ingin tahu ada apa ini...!” gumam
laki-laki bercaping lebar yang bukan lain adalah Kiai
Tung-Tung alias Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko
Sableng yang sedang lakukan penyamaran.
“Hem.... Seandainya tidak ada tangan usil yang
ikut-ikutan menghadang pukulanku, pasti aku sudah
bisa membuka kedok siapa adanya orang yang me-
nyamar sebagai diriku itu! Tapi setidaknya aku curiga
pada Kiai Laras.... Tapi mengapa dia mengenakan
penyamaran?! Padahal tidak ada silang sengketa
antara aku dengannya.... Ah. Itu urusan nanti. Seka-
rang aku ingin tahu apa yang dilakukan Setan Liang
Makam....”
Kiai Tung-Tung percepat langkahnya. Begitu tegak
di dekat lobang bekas altar batu yang dibuat porak-
poranda oleh Setan Liang Makam, dengan sikap hati-
hati Kiai Tung-Tung longokkan kepala. Setelah men-
gukur jarak, dia segera melesat masuk.
Dengan mata terpentang besar, Kiai Tung-Tung
mulai menapaki tangga menurun yang ada di dalam
lobang. Seperti halnya Setan Liang Makam dan Kiai
Laras yang pernah memasuki lobang, Kiai Tung-Tung
sempat terkesima begitu melihat sebuah bangunan
yang membentuk sekuntum bunga berdaun tiga buah
berwarna merah, hitam, dan putih.
Dengan terus waspada, Kiai Tung-Tung mulai ge-
rakkan langkah memasuki bangunan yang disebut
sebagai Istana Sekar Jagat. Dan begitu yakin pada
ruangan bagian bawah tidak menemukan sosok Setan
Liang Makam, Kiai Tung-Tung melangkah dan mena-
paki tangga yang ada di bagian pojok ruangan.
Kiai Tung-Tung mulai merasa ada keanehan tatkala
sampai pada bangunan berbentuk kerucut yang
merupakan bagian atas dari Istana Sekar Jagat.
Tampak beberapa kepingan batu berserakan di lantai.
Kiai Tung-Tung cepat kerahkan tenaga dalam. Se-
pasang matanya nanar mengelilingi ruangan. “Melihat
keadaannya, pasti baru saja terjadi bentrokan....
Siapa?! Setan Liang Makam...?! Tapi dengan siapa?!”
Baru saja Kiai Tung-Tung menduga-duga, matanya
menangkap sosok yang tergeletak dengan pakaian
robek tak karuan dan hangus menghitam. Kiai Tung-
Tung edarkan pandang matanya sekali lagi. Namun
sejauh ini dia tidak melihat seorang pun.
Kiai Tung-Tung perlahan-lahan mendekati sosok
yang tergeletak. Sepasang matanya dibeliakkan mem-
perhatikan.
“Astaga! Bukankah ini Nyai Suri Agung...?! Siapa
yang melakukannya?!” Kembali Kiai Tung-Tung putar
kepala. Namun tetap tak menemukan siapa-siapa. Dia
coba melangkah berkeliling ruangan.
“Hem.... Ada kepingan batu bercampur kepingan
kerangka manusia.... Apakah ini sosoknya Setan Liang
Makam?!” Kiai Tung-Tung terus menduga-duga kala
matanya melihat hamburan batu serta kepingan
kerangka yang ada di lantai bangunan.
Setelah mondar-mandir agak lama dan tidak juga
menemukan orang, akhirnya Kiai Tung-Tung memu-
tuskan untuk keluar dari ruangan berbentuk kerucut.
“Aku tak bisa menduga apa sebenarnya yang telah
terjadi! Yang jelas bagiku, baru saja terjadi bentrokan
dahsyat di ruangan itu...,” gumam Kiai Tung-Tung
begitu kakinya menginjak kembali ke bagian bawah
lobang di mana tadi dia mulai masuk.
Setelah melongok lagi ke bawah tangga dan tetap
tidak menangkap adanya orang, Kiai Tung-Tung
melesat keluar dari dalam lobang.
Belum sampai Kiai Tung-Tung injakkan kakinya di
luar lobang, satu kejutan bukan saja membuat Kiai
Tung-Tung tersentak kaget namun harus belokkan
lesatan tubuhnya karena tiba-tiba ada orang perden-
garkan suara.
“Apa yang kau lakukan di sini, Anak Muda?!”
Begitu injakkan kaki, Kiai Tung-Tung langsung pa-
lingkan kepala ke samping kanan dari jurusan mana
tadi suara terdengar.
“Bruss! Bruss!”
Terdengar bersinan dua kali. Disusul dengan ter-
dengarnya suara.
“Ada hal yang mengherankan pada diriku, Anak
Muda?! Pandang matamu lain...! Atau barangkali
mataku yang heran melihatmu?!”
Dari tempatnya tegak, Kiai Tung-Tung melihat seo-
rang kakek duduk bersimpuh dengan tangan kanan
memegang tongkat kayu butut. Sementara tangan
kirinya diletakkan di atas pahanya. Kakek ini menge-
nakan pakaian lusuh. Kepalanya selalu bergerak
pulang balik ke depan ke belakang dengan raut muka
meringis seperti orang hendak perdengarkan bersinan.
***
LIMA
DATUK Wahing...!” seru Kiai Tung-Tung mengenali
siapa adanya si kakek. “Dari panggilannya tadi jelas
dia telah tahu kalau aku tengah menyamar! Dan
dengan kemunculannya di sini, berarti dia memang
masih ada hubungan dengan Setan Liang Makam dan
Nyai Suri Agung....”
Kiai Tung-Tung alias Pendekar 131 Joko Sableng
melangkah mendekat ke arah si kakek yang memang
Datuk Wahing adanya. Namun baru saja kakinya
bergerak dua tindak, mendadak terdengar suara
cekikikan lalu disusul suara orang berucap.
“Cucuku.... Raut wajahmu terlihat muram! Apa se-
benarnya yang kau temukan di sana?! Pasti bukan
seorang gadis cantik!”
“Dari suaranya, rasa-rasanya aku bisa menduga
siapa adanya orang yang baru saja berkata! Tapi
mengapa dia ada bersama Datuk Wahing?!” seraya
membatin Kiai Tung-Tung palingkan kepalanya ke kiri.
Sepasang matanya membentur pada satu sosok tubuh
seorang perempuan berusia lanjut. Namun agaknya
perempuan ini tidak mau dikatakan sebagai perem-
puan tua. Karena paras wajahnya dibedaki tebal.
Bibirnya dipoles merah menyala. Pada pipi kiri kanan-
nya tampak pemerah. Rambutnya yang putih panjang
dikelabang dua. Pada ujung kelabangan rambutnya
diberi pita kain berwarna merah. Nenek ini mengena-
kan pakaian berupa baju tanpa lengan berwarna
merah yang dibuat cingkrang. Hingga bukan saja
ketiaknya yang terlihat jelas, namun orang juga bisa
melihat pada pusarnya. Sementara pakaian bawahnya
berupa celana pendek di atas lutut juga berwarna
merah. Karena warna kulit si nenek ini berwarna
hitam, maka dandanannya yang seronok bukannya
membuat tampangnya sedap dipandang, melainkan
juga menakutkan!
“Dayang Sepuh!” desis Kiai Tung-Tung. “Rupanya
dia telah tahu juga siapa aku sebenarnya!”
“Bruss! Bruss! Kau jangan membuatku heran den-
gan tidak segera jawab pertanyaanku, Anak Muda!”
Berkata Datuk Wahing.
“Kek! Kau tadi bertanya apa?!” tanya Kiai Tung-
Tung.
“Ah.... Kau sama saja dengan kakekmu! Tidak perhatikan ucapan orang kalau tidak ada kaitannya
dengan perempuan! Hik.... Hik.... Hik...!” Menyahut
perempuan berpakaian merah-merah yang tidak lain
adalah Dayang Sepuh.
Kiai Tung-Tung sesaat pandang silih berganti pada
Datuk Wahing dan Dayang Sepuh. Lalu buka suara.
“Sebenarnya aku tengah mengikuti Setan Liang Ma-
kam. Namun kedatanganku rupanya terlambat!”
“Bruss! Bruss! Jangan membuatku makin heran
tanpa teruskan keterangan, Anak Muda!” Datuk
Wahing kembali perdengarkan suara dengan kepala
terus bergerak-gerak ke depan ke belakang ketika Kiai
Tung- Tung hentikan ucapannya.
“Aku menemukan nenek yang pernah perkenalkan
diri padaku dengan sebutan Nyai Suri Agung telah
tidak bernyawa lagi! Sementara tidak jauh dari mayat
si nenek kutemukan kerangka manusia yang telah
hancur berkeping-keping. Kuduga kerangka itu adalah
sosok Setan Liang Makam!”
Mendadak sontak, gerakan kepala Datuk Wahing
terhenti. Kepalanya lurus menghadap Kiai Tung-Tung
dengan mata membelalak dan dahi berkerut. Untuk
beberapa lama kakek ini kancingkan mulut.
Sementara bersamaan dengan selesainya ucapan
Kiai Tung-Tung, Dayang Sepuh tiba-tiba melompat dan
tegak dua langkah di samping Kiai Tung-Tung. Namun,
si nenek bukannya langsung buka mulut, melainkan
hanya memandang dari atas ke bawah pada Kiai Tung-
Tung. Saat lain dia ambil kepangan rambutnya. Seraya
memilin-milin pita pada ujung kelabangan rambutnya
dia mulai buka mulut.
“Cucuku.... Kau jangan membuat hatiku deg-degan
tak karuan! Apa benar keteranganmu tadi?!”
“Untuk apa aku berdusta pada kalian?! Kalian bisa
melihatnya sendiri di bawah sana!”
Ucapan Kiai Tung-Tung belum selesai, masih den-
gan duduk bersimpuh, Datuk Wahing membuat
gerakan. Serta-merta sosoknya melesat ke depan dan
kejap lain tubuhnya lenyap masuk ke lobang di mana
Kiai Tung-Tung baru saja keluar. Hampir bersamaan
dengan lenyapnya sosok Datuk Wahing, Dayang Sepuh
melompat dua kali. Sosoknya pun laksana ditelan
bumi. Lenyap masuk ke dalam lobang.
Di luar lobang, Kiai Tung-Tung tampak kebingun-
gan. Saat itulah terdengar suara. “Kenapa kau masih
bengong di situ, Cucuku?!”
Kiai Tung-Tung melangkah ke arah lobang. Saat
melongok, sosok Dayang Sepuh sudah tidak kelihatan
lagi. Kiai Tung-Tung sejenak berpikir. Lalu melompat
masuk lagi ke dalam lobang.
Baru saja Kiai Tung-Tung melewati pintu bangunan
paling bawah, matanya melihat Datuk Wahing dan
Dayang Sepuh melangkah menuruni tangga di pojok
ruangan. Pada pundak kanan Datuk Wahing tampak
satu sosok tubuh mengenakan pakaian yang hangus
terbakar. Kedua orang ini sama kancingkan mulut
tidak ada yang bersuara. Malah wajah Datuk Wahing
terlihat murung.
“Dari sikapnya, aku sekarang yakin siapa adanya
Datuk Wahing.... Dia adalah orang bernama Galaga,
murid Nyai Suri Agung yang berarti juga adalah
saudara seperguruan Setan Liang Makam.... Yang
masih jadi tanda tanya adalah siapa adanya Dayang
Sepuh!” Diam-diam Kiai Tung-Tung membatin kala
teringat akan cerita Datuk Wahing pada beberapa
waktu yang lalu.
Datuk Wahing dan Dayang Sepuh berhenti sejenak
di hadapan Kiai Tung-Tung. Keduanya hanya memandang, belum ada yang buka suara. Lalu masih tanpa
berkata apa-apa, kedua kakek nenek itu teruskan
langkah melewati Kiai Tung-Tung.
Kiai Tung-Tung maklum akan sikap Datuk Wahing.
Tanpa buka suara pula dia mengikuti di belakang
Datuk Wahing dan Dayang Sepuh yang terus melang-
kah hingga akhirnya keluar dari lobang bekas bongka-
ran altar batu di atas sana.
Pada satu tempat di belakang salah satu julangan
batu karang, perlahan-lahan Datuk Wahing turunkan
sosok di pundak kanannya yang bukan lain adalah
sosok mayat Nyai Suri Agung.
Dengan gerak cepat, Datuk Wahing menggali tanah
memakai tongkat kayunya. Dalam beberapa saat, telah
terlihat sebuah lobang sedalam satu tombak memben-
tuk persegi panjang satu setengah tombak berkeliling.
Dengan tanpa banyak mulut, Datuk Wahing angkat
mayat Nyai Suri Agung lalu dimasukkan ke dalam
lobang dan menimbunnya kembali.
Untuk beberapa saat Datuk Wahing duduk bersim-
puh di samping makam Nyai Suri Agung. Sementara
Dayang Sepuh dan Kiai Tung-Tung memperhatikan
dari jarak delapan langkah tanpa ada yang perdengar-
kan suara.
“Anak muda...,” tiba-tiba Datuk Wahing bersuara
setelah beberapa lama terdiam. “Aku harap kau tidak
merasa heran jika aku bertanya padamu. Lebih-lebih
aku mengharap jawaban yang tidak mengherankan
diriku!” Datuk Wahing memberi isyarat dengan lam-
baian tangannya agar Kiai Tung-Tung alias murid
Pendeta Sinting mendekat.
“Siapa saja yang kau lihat masuk ke tempat ini?!”
Datuk Wahing bertanya begitu Kiai Tung-Tung telah
tegak di sampingnya.
“Aku hanya melihat Setan Liang Makam...!”
“Lainnya?!”
Kiai Tung-Tung gelengkan kepala. “Aku tidak meli-
hat orang lain! Kedua pemuda yang sempat mengikuti
Setan Liang Makam tidak memasuki tempat ini.
Karena aku mengikuti mereka!”
“Bruss! Keterangan terakhirmu membuatku heran.
Ceritakan siapa yang kau maksud dengan kedua
pemuda itu!”
Kiai Tung-Tung lalu menceritakan dengan singkat
pengintaiannya di pesisir utara dekat teluk sampai dia
kembali lagi ke Kampung Setan.
Datuk Wahing mendengarkan keterangan Kiai
Tung-Tung dengan kepala bergerak pulang balik ke
depan ke belakang. Namun dia tidak perdengarkan
bersinan meski raut mukanya jelas kalau dia ingin
bersin!
“Kau duga ada orang lain masuk ke tempat ini,
Kek?!” tanya Kiai Tung-Tung seolah mengakhiri
ceritanya dan dilihatnya Datuk Wahing masih juga
belum memberi sambutan.
“Bruss! Bruss! Kau jangan heran kalau aku bukan
saja menduga, namun bisa memastikan jika ada orang
lain masuk ke tempat itu!”
“Bagaimana kau bisa memastikan?!” Kali ini yang
buka suara adalah Dayang Sepuh yang ternyata sudah
tegak di belakang Kiai Tung-Tung seraya memilin
kelabangan rambutnya.
Datuk Wahing merogoh ke balik pakaiannya. Ketika
tangannya ditarik, terlihat serpihan daun yang telah
hangus.
Seraya angkat serpihan daun dan ditaburkan, Da-
tuk Wahing berucap.
“Dari sini aku dapat memastikan! Dan kalian tidak
usah heran bila aku dapat juga memastikan kalau
Kembang Darah Setan yang diberikan pada Setan
Liang Makam di teluk adalah Kembang Darah Setan
palsu! Kembang Darah Setan asli tak mungkin bisa
hangus!”
“Aku belum mengerti bagaimana kau dapat memas-
tikan ada orang lain!” ujar Dayang Sepuh.
“Terbunuhnya Nyai Suri Agung dan berserakannya
kerangka!”
“Mungkin saja Setan Liang Makam yang melaku-
kannya! Bukankah kalau dihubungkan dengan cerita-
mu dahulu masuk akal?!” kata Kiai Tung-Tung.
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya yang
bergerak ke depan ke belakang. Kini kepala itu berge-
rak ke samping kiri kanan menggeleng. “Dengan
Kembang Darah Setan palsu, aku akan jadi heran jika
Setan Liang Makam mampu melakukannya! Sekalipun
seandainya Setan Liang Makam memiliki ilmu tinggi!
Pastinya, ada orang lain yang melakukannya, dan
orang itu membekal Kembang Darah Setan asli!”
“Hem.... Jangan-jangan salah satu pemuda yang
menyamar itu...!” gumam Kiai Tung-Tung. “Dia sengaja
memberikan Kembang Darah Setan palsu lalu diam-
diam mengikuti Setan Liang Makam. Dan.... Tapi
apakah mungkin?! Aku tahu mereka berkelebat jauh
dari Kampung Setan....”
“Dugaanmu itu yang masuk akal, Anak Muda!” ujar
Datuk Wahing. “Nyai Suri Agung hanya bisa dihadapi
dengan Kembang Darah Setan! Itu pun yang meng-
genggam Kembang Darah Setan harus cerdik. Jika
tidak, dia tetap tidak akan mampu menghadapi Nyai
Suri Agung! Dan dengan terbunuhnya Nyai Suri
Agung, berarti si pembawa Kembang Darah Setan
adalah orang cerdik!”
“Lalu apakah kerangka yang berserakan itu sosok
Setan Liang Makam yang juga terbunuh?!” tanya Kiai
Tung-Tung.
Datuk Wahing perdengarkan bersinan dahulu sebe-
lum buka suara.
“Kurasa Setan Liang Makam masih bernyawa....”
“Kerangka itu...?!” ujar Kiai Tung-Tung.
“Itu adalah kerangka pendiri Istana Sekar Jagat.
Nenek moyang para generasi Kampung Setan,” jawab
Datuk Wahing. Kakek ini menghela napas panjang.
Lalu perdengarkan suara lagi. “Dunia persilatan akan
menghadapi bencana besar.... Dan aku sangsi, apakah
ada seseorang yang kelak dapat menghentikannya!”
“Maksudmu?!” Kali ini yang bertanya adalah
Dayang Sepuh.
“Pendiri Istana Sekar Jagat itu mengenakan sebuah
jubah hitam yang dinamakan Jubah Tanpa Jasad.
Sebuah jubah sakti yang luar biasa! Dan orang yang
telah membunuh Nyai Suri Agung telah mendapatkan-
nya!”
“Setan Liang Makam sendiri ke mana?!” Kembali
Dayang Sepuh ajukan tanya.
“Mungkin dia telah pergi begitu tahu kembang di
tangannya adalah Kembang Darah Setan palsu....”
“Kek.... Kau tahu banyak tentang tempat itu. Aku
sekarang jadi yakin, kaulah orang yang dalam cerita-
mu dahulu kau sebut sebagai Galaga. Saudara seper-
guruan Maladewa dan murid Nyai Suri Agung! Betul?!”
kata Kiai Tung-Tung.
“Bruss! Itu bukan hal yang mengherankan dan
penting untuk dibicarakan saat ini, Anak Muda! Yang
mengherankan adalah jika kita tidak segera tahu siapa
adanya pemegang Kembang Darah Setan dan sekarang
telah juga mendapatkan Jubah Tanpa Jasad! Kalau
kita terlambat, kiamat besar akan terjadi dalam rimba
persilatan! Dan mungkin saja hal itu sekarang telah
mulai!”
“Aku curiga pada seseorang...,” ucap Kiai Tung-
Tung.
“Siapa?!” tanya Dayang Sepuh.
“Kiai Laras!”
“Bruss! Curiga boleh. Tapi jangan membuat orang
heran dengan curiga tanpa membuktikan!”
“Aku hampir saja bisa membuktikan. Sayang men-
dadak ada orang yang usil menghadang...,” kata Kiai
Tung-Tung dalam hati ingat akan pengejarannya pada
Kiai Lidah Wetan. Lalu bergumam.
“Aku hanya merasa aneh. Kalau memang Kiai Laras
yang melakukannya, mengapa dia menyamar?!”
“Bruss! Bruss! Seharusnya kau tidak boleh merasa
aneh apalagi heran, Anak Muda! Justru hal itulah
yang harus kau selidiki! Mengapa dia mengenakan
penyamaran dan melakonkan diri sebagai sosok
dirimu!”
“Mungkin ada kaitannya dengan hilangnya kakek-
mu!” Yang menyahut Dayang Sepuh.
“Nek.... Aku....”
Belum sampai Kiai Tung-Tung lanjutkan ucapan-
nya, Dayang Sepuh telah angkat tangan kirinya. Kiai
Tung-Tung putuskan ucapan dengan dahi mengernyit.
Namun kejap lain dia tersenyum dan buka mulut.
“Bibi.... Aku sekarang akan berterus terang pada-
mu! Yang kucari itu sebenarnya bukan kakekku.
Melainkan eyang guruku, Pendeta Sinting....”
Dayang Sepuh turunkan tangan kirinya lalu mem-
buat seulas senyum dingin. Belum sampai dia buka
suara, Datuk Wahing telah bergerak bangkit. Bersin
dua kali lalu berkata.
“Kurasa sudah tidak ada sesuatu yang mengheran-
kan di tempat ini!”
Habis berkata begitu, sang Datuk mulai melangkah
tinggalkan gundukan tanah di mana baru saja Nyai
Suri Agung dikebumikan.
Dayang Sepuh memandang sesaat, lalu berpaling
pada Kiai Tung-Tung. Dia hanya lambaikan tangan
lalu melangkah mengikuti Datuk Wahing.
Kiai Tung-Tung angkat bahu, lalu bergerak mengi-
kuti di belakang. Namun baru saja melangkah, di
depan sana Datuk Wahing bersin-bersin lalu berkata.
“Jangan lakukan sesuatu yang mengherankan den-
gan ikuti langkah kami, Anak Muda.... Tujuan kita
memang tidak beda. Tapi akan mengherankan jika kita
berbondong-bondong!”
Kiai Tung-Tung menghentikan langkahnya. Lalu
menunggu sampai Datuk Wahing dan Dayang Sepuh
lenyap di depan sana.
***
ENAM
DI SATU tempat agak jauh dari Kampung Setan,
Kiai Tung-Tung hentikan langkahnya ketika matanya
dapat menangkap satu bayangan berlari menuju ke
arahnya. Begitu cepatnya sosok bayangan itu hingga
belum sampai Kiai Tung-Tung melompat menyelinap si
bayangan tadi tahu-tahu sudah tegak berjarak sepuluh
langkah di hadapannya.
Untuk beberapa saat sepasang mata orang di depan
sana pandangi Kiai Tung-Tung dari atas hingga bawah.
Namun karena Kiai Tung-Tung masih mengenakan
caping lebar yang dimasukkan dalam-dalam pada
kepalanya, si orang rupanya merasa kesulitan untuk
mengenali raut wajahnya. Hingga dia segera buka
mulut.
“Boleh aku tahu siapa kau adanya, Orang Tua?!”
Kiai Tung-Tung kerutkan dahi. “Aku sepertinya per-
nah dengar suara orang ini! Tapi mengapa wajahnya
lain?! Apa memang suara mirip tapi lain orangnya?!”
Kiai Tung-Tung angkat sedikit kepalanya lalu memper-
hatikan orang di seberang depan.
Dia adalah seorang laki-laki yang seperti halnya Kiai
Tung-Tung, mengenakan caping lebar dan dimasukkan
dalam-dalam pada kepalanya hingga raut wajahnya
tidak mudah dikenali. Mengenakan pakaian gombrong
warna hitam sebatas betis berlengan panjang. Hingga
dari anggota tubuhnya yang kelihatan hanyalah
telapak kedua tangannya, bagian betis ke bawah lalu
sebagian dari paras wajahnya. Tangan kanannya
memegang buntalan kain yang disampirkan pada
pundaknya.
“Aku Kiai Tung-Tung...,” Kiai Tung-Tung alias murid
Pendeta Sinting yang tengah menyamar menjawab
pertanyaan orang. Lalu balik bertanya. “Kau sendiri
siapa, Orang Tua?!”
Orang yang ditanya tidak segera menjawab. Seba-
liknya angkat kepalanya sedikit. Lalu pandangi Kiai
Tung-Tung dengan seksama. Diam-diam dalam hati
dia membatin. “Suaranya tidak mungkin ku lupa! Apa
benar-benar dia?! Kurang ajar betul, Sontoloyo ini!
Kudengar dia telah melakukan beberapa hal yang tak
terpuji setelah peristiwa di Kedung Ombo! Sontoloyo
seperti ini harus diberi pelajaran dan kalau perlu
dibunuh jika benar melakukan hal yang mengotori
dunia persilatan! Aku memang belum yakin benar
akan berita yang saat ini tersebar, namun melihat arah
datangnya, mungkin dia baru dari Kampung Setan.
Sementara berita yang terdengar, mengaitkan dirinya
dengan perihal Kampung Setan.... Benar-benar celaka
kalau apa yang tersiar sekarang benar-benar kenya-
taan....”
“Orang tua! Kau keberatan mengatakan siapa diri-
mu?!” Kiai Tung-Tung kembali perdengarkan suara
ketika agak lama si orang yang ditanya tidak segera
menjawab.
Tiba-tiba orang di seberang depan perdengarkan
tawa ngakak. Namun laksana dirobek setan, orang ini
putuskan tawanya dan mendadak buka mulut mem-
bentak.
“Aku Malaikat Jagal Manusia! Kau tidak beruntung,
Manusia! Karena harus bertemu denganku!”
“Maksudmu...?!” tanya Kiai Tung-Tung dengan pa-
lingkan kepala melirik.
“Telingamu telah dengar gelarku. Malaikat Jagal
Manusia! Jadi tak ada makhluk bernama anak manu-
sia yang lewat begitu saja bila jumpa denganku!
Termasuk kau sendiri!”
“Tapi.... Bukankah di antara kita tidak ada perkara
apa-apa?! Lagi pula rasanya tidak...”
“Anak manusia!” Orang yang sebutkan diri sebagai
Malaikat Jagal Manusia telah menukas sebelum Kiai
Tung-Tung selesaikan ucapan. “Bagi Malaikat Jagal
Manusia, tidak butuh perkara jika hendak menjagal
manusia! Yang jelas, siapa pun anak manusia yang
bertemu denganku, maka saat itulah nasibnya diten-
tukan!”
“Hem.... Berarti hanya suaranya saja yang mirip....
Orangnya lain!” gumam Kiai Tung-Tung dalam hati.
Lalu berkata.
“Kalau setiap kali kau selalu menjagal manusia,
jangan-jangan kau melakukan hal ini atas suruhan
orang lain! Benar?!”
Mendengar ucapan Kiai Tung-Tung, Malaikat Jagal
Manusia tertawa bergelak panjang. “Malaikat Jagal
Manusia pantang mendapat perintah orang! Penjagalan
ini adalah tugas sejak aku dilahirkan! Ha.... Ha....
Ha...! Masih ada yang hendak kau tanyakan sebelum
nyawamu terjagal tanganku, Anak Manusia?!”
Kiai Tung-Tung anggukkan kepala. “Boleh aku ta-
hu, apa kau dapat menduga siapa gerangan kira-kira
yang dapat menjagal dirimu sekaligus menentukan
akhir nasibmu?!”
Malaikat Jagal Manusia putuskan tawanya. Sepa-
sang matanya mendelik angker. Setelah mendengus
keras dia berkata.
“Aku sendiri yang menentukan nasibku!”
Kali ini ganti Kiai Tung-Tung yang balik tertawa
panjang. Lalu kepalanya kembali menggeleng. “Kau
salah, Malaikat Jagal Manusia! Bukan kau yang
tentukan akhir nasibmu. Tapi tanganku! Ha.... Ha....
Ha...!”
Malaikat Jagal Manusia gerakkan tangan kiri te-
kankan pada caping lebarnya. Saat lain tiba-tiba laki-
laki ini melompat ke depan. Tangan kirinya yang telah
terangkat ke atas berkelebat lepaskan satu pukulan ke
arah kepala Kiai Tung-Tung.
Kiai Tung-Tung tidak mau menunggu. Dia me-
nyongsong pukulan tangan orang dengan angkat
tangan kanannya. Namun bukan untuk lepaskan
pukulan, melainkan dipalangkan pada kepalanya.
Bukkk!
Tangan kiri Malaikat Jagal Manusia membentur
tangan Kiai Tung-Tung. Saat bersamaan mendadak
tangan kanan Malaikat Jagal Manusia telah pula
berkelebat. Kiai Tung-Tung tidak tinggal diam. Tangan
kirinya cepat menyambut.
Bukkk!
Kembali terjadi benturan. Masing-masing orang
sama tersurut satu langkah ke belakang dengan dahi
sama mengernyit. Namun itu cuma sesaat. Kejap lain,
Malaikat Jagal Manusia telah menyergap ke depan.
Kini kedua tangannya bergerak bersamaan lepaskan
pukulan.
“Ah.... Manusia ini nyatanya tidak main-main....
Apa sebenarnya kemauan orang ini?! Apa ucapannya
benar kalau dia akan menjagal setiap anak manusia
yang ditemuinya?!”
Sambil membatin begitu, Kiai Tung-Tung angkat
kedua tangannya menghadang kedua tangan Malaikat
Jagal Manusia.
Bukk! Bukkk!
Baik Kiai Tung-Tung maupun Malaikat Jagal Manu-
sia sama surutkan langkah dua tindak ke belakang.
Dari benturan tangan kali ini, rupanya masing-masing
orang sudah mulai dapat mengukur kekuatan tenaga
dalam lainnya.
“Tenaga dalamnya sangat kuat. Jangan-jangan bu-
kan Sontoloyo itu!” Malaikat Jagal Manusia mulai ragu
dengan dugaannya melihat bagaimana tingkat tenaga
dalam orang. “Atau ini karena dia telah memperoleh
kitab kedua itu...?”
“Ada sesuatu yang ingin kau utarakan?!” tanya Kiai
Tung-Tung melihat perubahan sikap orang.
Namun Kiai Tung-Tung tidak menunggu jawaban.
Begitu selesai berkata dia sudah melompat seraya
kelebatkan tangan kiri kanan ke caping Malaikat Jagal
Manusia.
“Sialan! Dia ingin tahu siapa diriku! Ini tidak boleh
terjadi sebelum aku dapat yakin siapa dia adanya!”
desis Malaikat Jagal Manusia. Dia cepat mundur dan
serta-merta menyongsong sosok tubuh Kiai Tung-Tung
dengan lepaskan pukulan jarak jauh.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang dahsyat menderu ganas. Kiai Tung-
Tung terkesiap. Dia buru-buru tarik pulang kedua
tangannya yang hendak menyambar caping Malaikat
Jagal Manusia. Kedua tangannya serta-merta disen-
takkan ke depan.
Blamm!
Gelegar keras terdengar saat gelombang dari ke dua
tangan Malaikat Jagal Manusia bentrok dengan
gelombang yang keluar dari kedua tangan Kiai Tung-
Tung.
Sosok Malaikat Jagal Manusia tersurut satu tindak.
Demikian juga sosok Kiai Tung-Tung. Paras masing-
masing orang berubah.
“Ternyata kau memiliki ilmu juga, Anak Manusia!
Tapi jangan harap apa yang kau miliki bisa merubah
nasib yang ku tentukan!” sentak Malaikat Jagal
Manusia.
Habis berkata begitu, Malaikat Jagal Manusia ber-
kelebat ke depan. Setengah jalan, dia sudah dorong
kedua tangannya.
Wuutt! Wuutt!
Tempat itu seketika disemburati cahaya kuning.
Lalu satu gelombang berhawa panas luar biasa meng-
gebrak ganas.
“Pukulan ‘Lembur Kuning’! Jadi memang....” Kiai
Tung-Tung tidak lanjutkan gumamannya. Sebaliknya
dia buka mulut berteriak.
“Tahan, Eyang....”
Tapi teriakan Kiai Tung-Tung terlambat. Karena
gelombang yang disemburati cahaya kuning dan
membawa hawa panas menyengat itu telah mencuat.
Kiai Tung-Tung sesaat bimbang. Kalau dia tidak
menyambut pukulan yang kini datang, dia bisa
bayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Seba-
liknya kalau dia sambuti pukulan itu, paling tidak
akan membawa akibat pada kedua belah pihak.
Padahal pukulan itu sudah menderu makin dekat dan
tidak ada kesempatan lagi baginya untuk berpikir.
Pada puncak kebimbangannya, akhirnya Kiai Tung-
Tung berkelebat ke belakang. Lalu dorong kedua
tangannya ke depan lepaskan pukulan sakti ‘Lembur
Kuning’.
Dari kedua tangan Kiai Tung-Tung yang tiba-tiba
berubah menjadi kuning melesat cahaya kekuningan
disertai gelombang dan hawa panas.
Blaammm!
Tempat itu laksana dilanda gempa luar biasa dah-
syat. Tanahnya muncrat ke udara setinggi lima tombak
lalu menebar berhamburan mendatar di atas udara
sepanjang delapan tombak berkeliling. Hingga untuk
beberapa saat udara di tempat itu laksana ditelan
gelap malam.
Begitu hamburan tanah sirap kembali, di sebelah
kanan tampak sosok Kiai Tung-Tung jatuh terduduk
dengan tubuh bergetar keras. Caping lebarnya mence-
lat. Parasnya berubah pucat pasi. Mulutnya menganga
lalu menutup dengan dada bergerak keras turun naik.
Sementara di seberang depan sana, sosok Malaikat
Jagal Manusia duduk bersimpuh. Sepasang matanya
mendelik menyipit. Caping yang dikenakannya juga
mencelat amblas. Hingga raut wajahnya terlihat jelas.
“Benar-benar si Sontoloyo itu!” desis Malaikat Jagal
Manusia begitu bisa melihat paras wajah Kiai Tung
Tung. Dia bergerak bangkit. Mendadak sepasang
matanya melotot besar. Tanpa berkata apa-apa lagi dia
berkelebat ke depan. Tangan kiri kanannya terangkat.
“Eyang.... Tunggu! Aku Joko!” teriak Kiai Tung-
Tung menduga kalau Malaikat Jagal Manusia belum
mengetahui siapa dirinya.
Malaikat Jagal Manusia yang ternyata adalah Pen-
deta Sinting tegak lima langkah di hadapan Kiai Tung-
Tung alias Pendekar 131 Joko Sableng dengan tangan
tetap terangkat dan mata mendelik angker. Mulutnya
tiba-tiba perdengarkan suara keras.
“Sejak tadi aku tahu siapa kau, Sontoloyo!”
Joko Sableng berdiri lalu membungkuk memberi
hormat sambil berkata.
“Kalau Eyang sudah tahu, mengapa memukul ku?!”
“Hem.... Rupanya kau belum sadar akan tindak-
tandukmu selama ini! Dan kau kira aku tidak tahu,
hah?!”
“Eyang.... Tunggu.... Sebenarnya ada apa ini?!”
Pendeta Sinting perdengarkan dengusan keras.
“Kau masih juga berpura-pura!”
“Busyet! Jangan-jangan Eyang termakan kabar fit-
nah ini! Bisa celaka...,” gumam Joko lalu buka mulut.
“Eyang.... Harap jelaskan semuanya! Aku....”
“Apa lagi yang perlu ku jelaskan?!” potong Pendeta
Sinting dengan membentak. Tangan kanan kirinya
sudah bergerak.
“Eyang.... Tahan dulu! Biar aku yang menjelaskan!”
ujar Joko dengan mata memperhatikan pada gerakan
kedua tangan eyang gurunya. “Tentu Eyang menden-
gar sesuatu yang kurang baik tentang diriku....”
“Bukan kurang baik! Tapi perbuatanmu sudah me-
lampaui batas! Mampus sudah layak menjadi bagian-
mu! Dan karena aku yang memberimu ilmu, adalah
lebih layak jika tanganku sendiri yang harus menghen-
tikan ulah mu!”
Joko Sableng menghela napas panjang. “Eyang....
Sebagai murid aku rela tanganmu yang mencabut
nyawaku. Namun sebelumnya harap Eyang dengar
dahulu penjelasanku.”
Pendeta Sinting turunkan kedua tangannya. “Cepat
katakan penjelasan apa yang akan kau berikan!”
“Sesuai dengan permintaanmu di Kedung Ombo,
tiga hari setelah peristiwa itu, aku ke Jurang Tlatah
Perak. Namun kau tidak ada. Aku menunggu hampir
setengah purnama. Namun kau tidak muncul juga.
Kupikir telah terjadi sesuatu padamu. Aku berniat
mencarimu....” Lalu Joko mulai menceritakan tentang
pertemuannya dengan Dayang Sepuh di kedai, kemu-
dian pertemuannya dengan Datuk Wahing, Setan Liang
Makam, Kiai Laras, Kiai Lidah Wetan, Dewi Seribu
Bunga, Saraswati, dan Putri Kayangan. Dia juga
menceritakan bagaimana fitnah itu tiba-tiba menebar.
Terakhir Joko menceritakan soal penyamaran dirinya
sebagai Kiai Tung-Tung hingga pemakaman Nyai Suri
Agung.
“Kau tidak mengarang cerita itu?!” tanya Pendeta
Sinting begitu Joko hentikan ceritanya.
“Kelak jika kau bertemu dengan salah seorang yang
kuceritakan, kau bisa membuktikannya, Eyang....”
“Kiai Laras.... Hem....” Pendeta Sinting bergumam.
“Eyang.... Kalau boleh ku tahu. Eyang mengenal
dia?!”
“Dia siapa?!”
“Kiai Laras.... Karena gerak-geriknya mencuriga-
kan!”
Pendeta Sinting berpaling. “Kau berpikir dalang di
balik semua ini adalah dia?!”
“Aku hanya mengaitkan apa yang pernah terjadi.
Tapi semua itu masih perlu dibuktikan....”
“Tapi apa mungkin?! Dari apa yang ku tahu, ra-
sanya mustahil dia bisa menerobos Kampung Setan
dan tahu banyak tentang rahasia tempat itu!” kata
Pendeta Sinting perlahan.
“Eyang.... Masalahnya sekarang bukan bagaimana
dia bisa menerobos Kampung Setan meski hal itu
patut ditanyakan. Yang lebih penting adalah, kalau
memang benar-benar Kiai Laras, mengapa dia menge-
nakan penyamaran sebagai diriku?! Padahal aku tidak
pernah punya urusan dengannya! Kalau seseorang
melakonkan orang lain dengan maksud jahat, tentu
orang itu punya sesuatu yang terpendam. Sementara
kalau aku dan dia tidak punya urusan apa-apa, pasti
urusannya ada di antara dia dengan orang yang dekat
denganku. Sedang orang satu-satunya yang paling
dekat denganku adalah kau.... Apa Eyang pernah
punya urusan dengan Kiai Laras?!”
“Hem.... Aku memang pernah punya urusan dengan
dia. Tapi kukira urusannya terlalu sepele jika harus
diselesaikan dengan cara begini! Lagi pula urusan itu
sudah tuntas dan kulupakan!”
“Eyang.... Seseorang akan berbeda dalam mengha-
dapi satu urusan. Bisa saja kau menganggapnya
sudah tuntas malah sudah melupakannya dan bahkan
menghitungnya sebagai persoalan sepele! Namun
mungkin saja orang lain beranggapan urusan belum
tuntas malah menghitungnya sebagai urusan besar
dan tidak bisa dilupakan sepanjang hidupnya!”
“Hem Sontoloyo ini sudah pandai pula bica-
ra...,” kata Pendeta Sinting dalam hati. “Tapi ucapan-
nya ada juga benarnya.... Hanya saja, mungkinkah
Kiai Laras?!”
Selagi Pendeta Sinting masih membatin, Joko sudah
buka mulut lagi.
“Eyang.... Mau katakan apa urusan antara Eyang
dengan Kiai Laras?”
Untuk beberapa lama Pendeta Sinting terdiam. Se-
pasang matanya memandang jauh. Joko menunggu.
Dan pada akhirnya Pendeta Sinting angkat bicara.
***
TUJUH
PADA beberapa puluh tahun yang lalu, terjadi pem-
bunuhan besar-besaran terhadap beberapa tokoh
rimba persilatan. Selain dilakukan oleh orang-orang
yang menamakan diri dari Kampung Setan, ada pihak
lain yang ikut menyusup lakukan pembantaian. Orang
ini memanfaatkan keadaan yang keruh. Hingga sulit
dicari siapa dia adanya. Setelah aku mencari dan
menyelidik, akhirnya aku dapat memastikan jika
dalang di belakang pembunuhan itu adalah Kiai Laras.
Beberapa tokoh yang ada saat itu tidak percaya pada
ucapanku. Karena selama ini Kiai Laras memang
diketahui tidak memiliki ilmu tinggi. Namun orang-
orang rupanya lupa. Kiai Laras memang tidak memiliki
ilmu tinggi. Tapi dia mempunyai akal cerdik!”
Sejenak Pendeta Sinting hentikan ucapannya. Sete-
lah menghela napas panjang, dia melanjutkan. “Begitu
cerdiknya, sampai dia lolos. Bukan saja dari maut,
juga dari dugaan orang! Namun di mataku, dia tetap-
lah duri! Itulah sebabnya suatu saat aku menemuinya.
Ku coba menyadarkannya. Tapi usahaku gagal. Sejak
itulah dia beberapa kali mencoba membunuhku
dengan tangan orang lain....”
Kembali Pendeta Sinting hentikan keterangan. Lalu
kepalanya berpaling pada Joko. “Urusan itu telah
berlalu beberapa puluh tahun. Keadaan pun telah
berubah. Aku telah melupakan semuanya. Bahkan
tentang Kiai Laras. Sekarang aku jadi heran kalau Kiai
Laras tidak bisa melupakan urusan itu....”
“Eyang.... Mungkin ada hal lain selain yang Eyang
katakan yang ada hubungannya dengan Kiai Laras....”
Pendeta Sinting gelengkan kepala. “Kurasa aku ti-
dak punya urusan lain selain apa yang baru kucerita-
kan!”
“Eyang pernah dengar Kiai Laras punya seorang
saudara?!” tanya Joko begitu ingat akan kemiripan
paras wajah Kiai Laras dengan Kiai Lidah Wetan.
“Aku tidak terlalu peduli dengan semua itu! Yang
jelas bagiku, dia punya akal cerdik! Dan aku telah
buktikan hal itu!”
“Eyang.... Boleh aku tahu ke mana Eyang setelah
peristiwa Kedung Ombo?!”
“Aku ke tempat seorang sahabat....”
“Sendirian?!”
Pendeta Sinting mendelik. “Apa maksudmu, hah?!”
“Bukankah saat berpisah di Kedung Ombo Eyang
bersama....” Joko tidak lanjutkan ucapan. Sebaliknya
melirik pada eyang gurunya.
Tiba-tiba Pendeta Sinting perdengarkan tawa berge-
lak. “Yang kau maksud tentu Ni Luh Padmi! Kau tahu,
Sontoloyo.... Justru karena nenek itu aku terpaksa
pergi ke tempat seorang sahabat.... Jika tidak, tentu
kau sudah tidak akan jumpa denganku lagi. Tapi aku
tidak menyalahkan nenek itu! Apa yang dilakukannya
mungkin sudah harus jadi bagianku! Kau pernah
jumpa dengannya setelah peristiwa di Kedung Ombo?!”
Joko gelengkan kepala. Pendeta Sinting balikkan
tubuh. “Saat ini kau menghadapi urusan berat! Aku
tak bisa banyak membantu! Yang jelas, kau harus
segera selesaikan urusan ini! Jika tidak, bukan na-
mamu saja yang bakal tertulis hitam, namun namaku
juga ikut! Dan satu hal lagi, jika benar di belakang
semua ini adalah Kiai Laras, maka kau harus lebih
berhati-hati!”
Habis berkata begitu, Pendeta Sinting melangkah.
Namun Joko cepat melompat dan tegak menghadang.
Belum sampai Joko buka mulut berucap, Pendeta
Sinting sudah sambung ucapannya. “Dan kuperin-
gatkan, untuk sementara ini hindari hubungan dengan
seorang gadis! Kau dengar?!”
Joko anggukkan kepala. Namun lagi-lagi belum
sampai Joko buka mulut, Pendeta Sinting sudah buka
suara lagi. “Aku telah mengalami. Perempuan hanya
akan menambah masalah! Anehnya jarang sekali laki-
laki yang bisa lepas daripadanya walau dia tahu apa
risikonya!”
Pendeta Sinting teruskan langkah tanpa pedulikan
muridnya yang hendak angkat bicara. Membuat Joko
menghela napas dan buru-buru berucap.
“Eyang.... Kau mengenali siapa sebenarnya nenek
yang sebutkan diri Dayang Sepuh?!”
Tanpa hentikan langkah, Pendeta Sinting menja-
wab. “Nenek itu memang bergaya aneh! Tapi dua hal
yang harus kau ketahui. Pertama, kau harus berhati-
hati padanya! Kedua, jangan sampai kau tertarik
apalagi jatuh cinta padanya!”
Joko menahan tawanya. Namun begitu sosok Pen-
deta Sinting sudah berada jauh di depan sana, ta-
wanya meledak keras. Hingga bahunya berguncang
keras dan sepasang matanya terpejam-pejam.
Namun tiba-tiba laksana ditelan setan, murid Pen
deta Sinting putuskan tawanya ketika sadar dia tidak
sendirian di tempat itu. Dan dia yakin orang lain itu
bukan Pendeta Sinting.
“Puas?!” Satu suara tiba-tiba terdengar.
Pendekar 131 cepat berpaling. Dia melihat seorang
gadis berwajah cantik berambut panjang sebahu.
Sepasang matanya bulat. Hidungnya mancung diting-
kah kulit putih bersih. Gadis ini mengenakan pakaian
warna kuning.
Beberapa lama murid Pendeta Sinting pandangi si
gadis. Yang dipandang balas memandang dengan
tatapan dingin lalu sentakkan wajahnya menoleh ke
jurusan lain.
“Saraswati...!” gumam Joko ketika sadar dari rasa
kesimanya mengenali siapa yang saat itu tegak.
Si gadis yang bukan lain memang Saraswati sung-
gingkan senyum galak. Gadis cantik yang biasanya
mengenakan samaran sebagai seorang pemuda ber-
kumis tipis dan memakai pakaian hitam-hitam ini
rupanya telah tanggalkan samarannya.
“Aku tak menyangka jika kau pandai juga mengela-
bui pandang mata orang! Apakah kau kira hal ini akan
membuatmu selamat?!” ujar Saraswati dengan suara
bergetar tanda dadanya sudah sesak dilanda kemara-
han.
“Saraswati.... Kuharap kau mengerti kalau aku
sampai melakukan ini! Hal ini satu-satunya jalan
untuk mengetahui siapa adanya orang yang memfit-
nahku!”
Saraswati tertawa pendek bernada mengejek. “Kau
salah besar, Pendekar! Justru tindakanmu ini lebih
meyakinkan ku kalau kau tidak sedang mencari siapa
adanya orang yang memfitnah mu! Karena sebenarnya
kau sendirilah yang memfitnah diri sendiri!” Saraswati
hentikan ucapannya. Kepalanya bergerak menghadap
murid Pendeta Sinting. “Kau ingin menutupi semua
kelakuanmu, bukan?! Aku menyesal bicara panjang
lebar dengan seorang laki-laki tua mengenakan caping
lebar membawa tongkat butut jika ku tahu orang itu
adalah kau adanya!”
Seperti diketahui, Saraswati yang saat itu masih
menyamar sebagai seorang pemuda berkumis tipis
sempat jumpa dengan murid Pendeta Sinting yang juga
tengah menyamar sebagai laki-laki mengenakan caping
lebar. Saraswati sempat bercerita tentang apa yang
baru saja dialaminya. (Lebih jelasnya silakan baca
serial Joko Sableng dalam episode: “Liang Maut di
Bukit Kalingga”).
“Celaka! Bagaimana aku harus menjelaskan pa-
danya?! Ah, daripada jadi masalah besar, lebih baik dia
ku hindari. Bicara panjang lebar pun belum tentu dia
percaya!”
Membatin begitu, murid Pendeta Sinting balikkan
tubuh lalu berkata.
“Saraswati.... Untuk saat ini kurasa aku belum bisa
memberi keterangan karena kau tak mungkin percaya!
Kuharap....”
Saraswati sudah menyahut. “Aku memang tidak
butuh keterangan apa-apa! Semua sudah cukup jelas
bagiku! Yang kuminta sekarang kau ikut denganku
kembali ke Bukit Kalingga. Dan selanjutnya kau tahu
apa yang harus kau lakukan!”
“Saraswati! Percuma saja kita ke sana! Di sana ti-
dak ada apa-apa!”
Saraswati mendelik. Tubuhnya bergetar keras.
“Pendekar 131! Apa ucapanmu memberi arti jika....”
Saraswati tidak lanjutkan ucapannya. Sebaliknya dia
segera melompat dan tegak di hadapan Joko. “Apa
yang kau lakukan pada ibuku?!” Suara gadis berwajah
cantik ini bergetar parau. Kedua tangannya yang
gemetar telah terangkat.
Diam-diam murid Pendeta Sinting mengeluh dalam
hati. “Bagaimana urusannya bisa sampai begini jauh?!”
“Jawab, Pendekar 131! Apa yang kau perbuat pada
ibuku?!” teriak Saraswati setengah menjerit.
“Dengar, Saraswati.... Aku belum pernah berjumpa
dengan ibumu semenjak pertemuan terakhir di depan
Istana Hantu! Aku pun tahu Bukit Kalingga dari
keteranganmu!”
“Manusia busuk! Kau masih juga bicara tak ka-
ruan!”
Bersamaan dengan berucap, kedua tangan Saras-
wati yang telah terangkat bergerak.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang melesat menghantam ke arah murid
Pendeta Sinting. Pendekar 131 cepat melompat ke
samping hingga gelombang dari kedua tangan Saras-
wati menggebrak tempat kosong.
“Saraswati.... Beri aku kesempatan untuk menje-
laskan semua ini!”
“Terlambat, Pendekar 131! Penjelasan apa pun tak
mungkin dapat merubah! Yang kuinginkan sekarang
kau ikut denganku ke Bukit Kalingga!”
“Aku memang tak akan menjelaskan urusan ini
dengan kata-kata!”
“Hem.... Lalu?!” sentak Saraswati. Kedua tangannya
kembali telah terangkat. Matanya membelalak.
“Aku perlu waktu! Dan kuharap kau bersabar me-
nunggu!”
Saraswati tersenyum dingin. “Waktuku hanya
memberimu kesempatan untuk menambah korban!”
“Saraswati.... Kita tak perlu bicara! Itu hanya akan
menambah urusan jadi tak karuan!”
Habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting mena-
tap sejenak pada Saraswati, tanpa berkata apa-apa lagi
dia gerakkan kaki tinggalkan tempat itu.
“Kau kira hanya cukup begitu?!” ujar Saraswati.
Lalu tegak menghadang.
Joko Sableng perhatikan gadis di hadapannya. Be-
lum sampai dia buka mulut, Saraswati telah angkat
bicara.
“Pendekar 131! Untuk menuju Bukit Kalingga tidak
perlu penjelasan kata-kata!”
“Bener! Tapi jika kita ke sana sekarang, urusan ini
bukannya jadi selesai, tapi akan malah makin pan-
jang!”
“Bagaimana bisa begitu?!” kata Saraswati dengan
tertawa perlahan. “Aku hanya akan menjemput ibuku!
Dan kau tak usah khawatir. Aku nanti mungkin bisa
mencegah tindakan Ibu terhadapmu!”
“Itulah masalahnya, Saraswati.... Aku takut kita
tidak akan menemukan orang yang kau cari!”
“Jahanam!” maki Saraswati saking geramnya. “Be-
rarti kau telah membunuh ibuku!”
‘Tahan!” seru murid Pendeta Sinting kala melihat
kedua tangan Saraswati akan bergerak lepaskan
pukulan. “Ibumu memang punya ganjalan padaku.
Namun bagiku semuanya sudah berakhir. Jadi tidak
ada untungnya membuat urusan baru dengan ibumu
apalagi sampai membunuhnya!”
“Lalu apa maksud ucapanmu kita tak akan mene-
mukan orang yang kucari?!”
“Aku tak bisa memberi jawaban. Karena aku sendiri
belum tahu apa sebenarnya yang telah terjadi pada
ibumu!”
“Kau benar-benar manusia brengsek! Di depan ma
taku kau perlakukan ibuku dengan seenakmu! Seka-
rang kau masih bisa mengatakan tak tahu apa yang
terjadi padanya!”
“Itulah mengapa tadi kukatakan beri aku waktu!
Dan kita tak perlu bicara karena akan menambah
urusan jadi makin tak karuan!”
“Kau hanya cari alasan! Aku tanya sekali lagi. Kau
ikut ke Bukit Kalingga atau....”
“Dia memang perlu waktu dan kesempatan!” Tiba-
tiba satu suara menyeruak menyambuti suara Saras-
wati.
Saraswati kancingkan mulut. Kepalanya tersentak
ke samping kanan menghadap ke arah dari mana
datangnya suara terdengar. Sementara Pendekar 131
meski terkejut, namun belum juga gerakkan kepala
berpaling. Dari suara orang, dia jelas bisa menebak
jika orang yang baru muncul adalah seorang perem-
puan.
Sesaat Saraswati sipitkan mata. Memandang ke
depan, dia melihat seorang gadis muda berparas luar
biasa cantik mengenakan pakaian warna merah.
“Putri Kayangan...,” kata Saraswati dalam hati men-
genali siapa adanya si gadis. Dia hanya memandang
sejenak, lalu matanya memutar berkeliling. “Aneh....
Biasanya dia bersama empat laki-laki yang disebut
sebagai Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Tapi kali ini dia
muncul sendirian! Hem.... Bagaimana dia bisa berada
di sini?! Dari ucapannya saat bertemu beberapa waktu
yang lalu, serta kata-katanya yang baru saja terdengar,
pasti dia berpihak pada Pendekar 131! Pasti ada apa-
apa di antara kedua manusia itu!”
Dada Saraswati perlahan-lahan dirasuki perasaan
cemburu. Hingga tanpa memandang pada orang yang
baru muncul dan bukan lain memang Putri Kayangan
adanya, dia angkat bicara dengan nada dingin.
“Siapa pun adanya kau, harap tidak ikut turut
campur! Lebih dari itu harap segera angkat kaki dari
sini!”
Putri Kayangan sunggingkan senyum. Lalu tanpa
sambuti ucapan Saraswati, gadis cantik ini melangkah
mendekat. Namun belum sampai melangkah terlalu
jauh, kembali Saraswati telah buka mulut dengan
nada ketus.
“Harap tidak beranjak dari tempatmu sebelum uru-
sanku selesai!” seraya berkata, Saraswati berpaling
memandang pada Putri Kayangan dengan tatapan
tidak senang.
Sementara murid Pendeta Sinting segera gerakkan
kepala ke samping. Sesaat dia pandangi Putri Kayan-
gan lalu beralih pada Saraswati. Lalu matanya kembali
tertuju lama pada Putri Kayangan. Diam-diam dalam
hati dia berkata.
“Dia muncul sendirian! Jangan-jangan dia Pitaloka!”
Tiba-tiba sepasang mata murid Pendeta Sinting men-
delik. Saat lain dia melompat dan tegak hanya berjarak
lima langkah dari gadis berpakaian merah.
“Kembalikan pedangku!” bentak Pendekar 131 den-
gan suara keras membahana. Tangan kanannya sudah
terulur ke depan membuat gerakan meminta.
Saraswati perhatikan sikap murid Pendeta Sinting
dengan dahi berkerut. Dia coba menduga-duga.
Namun belum sampai mendapat jawaban dari du-
gaannya, Putri Kayangan telah buka mulut.
“Pendekar 131.... Aku bukan Pitaloka! Berarti aku
tidak membawa pedangmu....”
Murid Pendeta Sinting sekali lagi perhatikan gadis
di hadapannya dengan seksama. “Edan! Aku tak bisa
membedakan! Tapi apa betul memang ada dua Putri
Kayangan?!”
Selagi Joko membatin begitu, Putri Kayangan telah
angkat tangannya dengan telapak dibuka. “Kau tentu
masih ingat dengan keteranganku tempo hari, Pende-
kar 131.”
“Tahi lalat pada ibu jarinya...,” gumam murid Pen-
deta Sinting begitu melihat tahi lalat pada ibu jari
tangan kiri Putri Kayangan dan ingat akan keterangan
si gadis saat berjumpa beberapa waktu yang lalu.
Putri Kayangan turunkan tangannya sambil tetap
tersenyum. Gadis ini rupanya dapat menangkap apa
yang ada dalam benak Saraswati dan Pendekar 131.
Hingga tak lama kemudian dia telah angkat bicara lagi.
“Beberapa sahabatku kali ini memang tidak Ikut
bersama. Ada sesuatu yang harus mereka selesai-
kan....” Putri Kayangan menoleh pada Saraswati.
Belum sampai Putri Kayangan berkata lagi, Saraswati
telah mendahului.
***
DELAPAN
AKU tak peduli kau Pitaloka atau Putri Kayangan.
Aku juga tak mau tahu ke mana perginya dan apa
yang diselesaikan para sahabatmu! Aku pun tak akan
ulangi ucapanku. Kau tadi telah mendengarnya! Harap
segera lakukan apa yang kuminta!”
Putri Kayangan melirik pada Pendekar 131. Namun
cuma sekejap. Begitu dilihatnya sang Pendekar me-
mandang ke arahnya, gadis berparas luar biasa cantik
ini segera alihkan pandangannya. Entah apa yang
dirasakan, yang jelas sikapnya berubah. Raut wajah-
nya sedikit bersemu merah. Dia merasakan dadanya
berdebar. Hingga untuk beberapa saat dia tidak
sambuti kata-kata Saraswati meski sebenarnya dia
telah berniat untuk angkat bicara.
Mendapati sikap Putri Kayangan, dada Saraswati
mulai terbakar. Dugaan kalau di antara Putri Kayan-
gan dan murid Pendeta Sinting ada hubungan makin
kuat. Hingga rasa cemburu lebih kuat menguasai
dirinya daripada urusan yang ada kaitannya dengan
ibunya.
Seperti diketahui, Saraswati sempat menyaksikan
bagaimana ibunya diseret masuk ke dalam goa oleh
Pendekar 131 di Bukit Kalingga. Dan dia sendiri
sempat pula ditotok oleh Pendekar 131 yang sebenar-
nya adalah Kiai Laras yang saat itu sedang menyamar
sebagai murid Pendeta Sinting.
Saraswati arahkan pandangan matanya pada Putri
Kayangan. Lalu berkata.
“Aku tanya. Kau punya urusan dengan pemuda
itu?!”
Putri Kayangan terdiam sesaat. Dia bimbang apa
yang harus diutarakan. Karena sebenarnya dia tidak
ada urusan apa-apa dengan murid Pendeta Sinting.
“Baik! Aku tak memaksamu untuk bicara! Tapi aku
menawarkan dua pilihan padamu!” Saraswati hentikan
ucapannya. Matanya memandang tak senang. Semen-
tara Putri Kayangan belum juga buka suara.
Saraswati alihkan pandang matanya lalu teruskan
bicara. “Kau segera angkat kaki dari sini atau me-
nunggu aku selesaikan urusan! Tapi ingat, jangan
berani buka mulut bicara apalagi ikut turun tangan!
Kalau itu kau lakukan, kau membuka urusan dengan-
ku!”
“Hem.... Aku sekarang yakin kalau gadis ini adalah
pemuda berkumis yang tempo hari jumpa denganku....
Dari bicaranya dia memang punya silang sengketa
dengan murid Pendeta Sinting. Namun nada suaranya
lebih menunjukkan kalau dia cemburu....” Putri
Kayangan membatin dalam hati. Saat muncul tadi, dia
masih menduga-duga siapa adanya Saraswati. Namun
setelah menyimak ucapan Saraswati dan memperhati-
kan paras wajahnya lebih seksama, pada akhirnya
Putri Kayangan bisa menebak siapa adanya Saraswati
yang beberapa waktu lalu pernah jumpa dengannya.
Hanya saja saat itu Saraswati tengah menyamar
sebagai pemuda berkumis tipis.
Setelah membatin begitu, Putri Kayangan yang tetap
saja sunggingkan senyum walau nada ucapan Saras-
wati terdengar ketus, melangkah dua tindak ke bela-
kang seraya berujar.
“Kau tak usah khawatir aku akan ikut campur uru-
sanmu.... Namun kalau boleh, aku hanya ingin bicara!
Bukan apa-apa, aku hanya tak ingin melihat urusan
berkembang jadi besar dengan salahnya turun tan-
gan!”
“Hem.... Kau sepertinya tahu banyak semua urusan
orang! Padahal apa kau tahu dengan mata kepalamu
sendiri apa yang dilakukan pemuda itu, hah?!”
Putri Kayangan gelengkan kepala. Matanya sesekali
melirik pada Pendekar 131 yang masih tegak tanpa
buka mulut.
“Bagus! Kau tidak melihat apa yang dilakukannya.
Sementara aku melihat di depan mataku sendiri apa
yang dilakukannya! Jadi aku tidak butuh ucapanmu!
Dan jangan berdalih dengan mengatakan tidak mau
melihat urusan jadi berkembang besar dengan salah
turun tangan!” Saraswati tertawa sesaat. Lalu lan-
jutkan ucapan dengan suara makin keras.
“Aku tidak gila hingga sampai salah turun tangan!
Pemuda macam dia bukan saja pantas dihajar dengan
tangan, namun adalah salah besar jika membiarkan-
nya hidup!”
“Apa yang kau lihat dengan mata belum tentu be-
nar...,” ujar Putri Kayangan dengan suara kalem.
“Kalau yang melihat dengan mata belum tentu be-
nar, lalu bagaimana yang tidak melihat sendiri, hah?!”
sahut Saraswati.
“Maksudku bukan begitu....”
“Lalu?!” bentak Saraswati.
“Yang kau lihat saat itu mungkin saja dia. Namun
itu hanyalah wajahnya saja! Orangnya lain.... Bukan-
kah kau sendiri ketika bertemu denganku mengenakan
wajah orang lain?!”
Saraswati terdiam. Namun dadanya makin mengge-
legak panas. Sambil alihkan pandang matanya dia
berkata.
“Sekarang kutanya. Apa maumu sebenarnya?!”
“Aku hanya ingin bicara....”
“Bicara sama siapa?! Aku atau pemuda itu?!”
“Sama kau dan dia....”
“Dengar! Aku tak butuh bicara denganmu! Kalau
kau mau bicara dengan dia, silakan! Tapi tunggu
sampai urusanku dengannya selesai! Kau mengerti?!”
“Urusanmu tak akan selesai kalau kau bersikap
bermusuhan begitu rupa....”
Saraswati tertawa mendengar kata-kata Putri
Kayangan. “Aku tidak merasa bermusuhan! Aku hanya
tak ingin kau ikut campur! Tapi kalau kau ikut cam-
pur, aku bersedia melayani apa maumu!”
Ucapan tantangan Saraswati bukannya membuat
Putri Kayangan marah, sebaliknya gadis ini gelengkan
kepala perlahan. Lalu berujar.
“Kau jangan salah paham. Aku tahu kau memiliki
ilmu tinggi. Sementara aku hanya orang biasa tak
punya kepandaian apa-apa! Aku hanya bisa bicara....
Dan mungkin hanya itulah yang bisa kuperbuat!”
“Kau sok merendah agar orang menjadi tertarik pa-
damu! Hem.... Kau jangan khawatir kalau dia tertarik
padaku! Mustahil itu terjadi, karena dia adalah salah
satu manusia yang harus kulenyapkan!”
Putri Kayangan tergagap dan salah tingkah dengan
ucapan Saraswati. Wajahnya berubah dan tidak berani
memandang pada murid Pendeta Sinting. Dia merasa
seolah-olah Saraswati sudah tahu apa yang ada dalam
benaknya.
Di lain pihak, Pendekar 131 sendiri tampak terkejut
dengan ucapan Saraswati. Dia hendak berucap,
namun Saraswati sudah mendahului berkata.
“Sekarang mungkin kau sudah lega! Namun jangan
salahkan aku kalau saat ini juga kau sudah menjadi
hitungan musuhku!”
“Saraswati...,” sahut murid Pendeta Sinting yang
sudah tidak sabar mendengar ucapan-ucapan keras
Saraswati. “Yang kau temui di bukit itu bukan aku!
Namun seseorang yang menyamar sebagai diriku!”
“Silakan bicara panjang lebar, Pendekar! Tapi jan-
gan harap ucapanmu bisa merubah apa yang akan
kulakukan padamu! Dan jangan kira aku mundur
meski kalian maju bersama!”
“Saraswati...,” kata Putri Kayangan. “Kau terlalu
jauh menduga padaku.... Aku tahu, ucapanmu tadi
semata-mata hanya karena kau cemburu padaku!”
Putri Kayangan kembali gelengkan kepala. “Tahu
begini akhirnya, aku sangat menyesal berada di sini.
Seandainya tidak ada aku, mungkin urusan ini bisa
kalian selesaikan dengan cara baik-baik....”
Saraswati kembali perdengarkan tawa panjang.
“Perlu kau tahu. Urusan ini tidak akan pernah selesai
hanya dengan bicara baik-baik! Dia atau aku yang
nanti mampus, itulah yang menentukan selesai
tidaknya urusan ini! Jadi kau salah besar jika menga-
takan ucapanku karena cemburu! Adalah manusia
biadab yang masih menaruh perasaan cemburu pada
orang yang telah melakukan tindakan semena-mena
pada ibunya!”
“Hem.... Benar juga pesan Eyang Guru. Perempuan
hanya mendatangkan masalah....” Diam-diam murid
Pendeta Sinting teringat akan ucapan Pendeta Sinting.
“Urusan satu belum selesai, kini timbul lagi masalah
baru....”
“Saraswati...,” kata Pendekar 131 setelah agak lama
tidak ada yang buka mulut. “Kalau kau masih men-
ganggap aku yang melakukannya, baiklah! Tapi
kuharap kau memberi ku kesempatan beberapa lama.
Kelak aku akan datang mencarimu dan kau bisa
lakukan apa yang kau mau padaku!”
“Enak saja kau bicara! Apa kau lupa? Bagaimana
saat itu aku merengek-rengek agar kau melepaskan
ibuku. Tapi apa yang kau lakukan?! Kau pura-pura
tuli! Bahkan semakin kau buat-buat!” Saraswati
berpaling pada murid Pendeta Sinting. “Tidak! Kesem-
patanmu sudah terlalu lama! Dan waktu itu kini sudah
habis! Kecuali jika kau bersedia ikut ke Bukit Kalingga
dan ibuku dalam keadaan baik!”
Pendekar 131 menghela napas seraya memandang
pada Putri Kayangan. Putri Kayangan sendiri saat itu
tengah memandang ke arahnya. Hingga untuk bebera-
pa saat kedua orang ini saling berpandangan. Namun
Putri Kayangan buru-buru alihkan pandangannya kala
Saraswati menoleh.
“Saraswati! Permintaanmu tidak bisa kulakukan!”
kata murid Pendeta Sinting. “Karena aku telah tahu
jika ibumu tidak ada di Bukit Kalingga!”
“Itu berarti di antara kita tidak akan ada yang ang-
kat kaki dari sini sebelum mampus salah satunya!”
Selesai berucap begitu, Saraswati telah melompat
dan langsung menyergap ke arah Joko dengan le-
paskan pukulan ke arah kepala.
Putri Kayangan berkelebat mundur. Sementara ka-
rena tidak ada kesempatan lagi bagi Joko untuk
menghindar, terpaksa dia angkat kedua tangannya
menghadang pukulan Saraswati.
Bukkk! Bukkk!
Saraswati berseru tertahan. Sosoknya tersurut tiga
langkah dengan paras berubah. Kedua tangannya yang
baru saja berbenturan dengan kedua tangan murid
Pendeta Sinting tampak bergetar keras. Di hadapan-
nya, Joko meringis namun sosoknya hanya bergoyang-
goyang.
Saraswati lipat gandakan tenaga dalam. Sosoknya
makin bergetar. Tanda tenaga dalam yang dikerahkan
sudah sangat kuat.
“Saraswati, tunggu!” seru Putri Kayangan. “Kita
semua nanti akan menyesal karena termakan fitnah!”
Saraswati memandang angker pada Putri Kayangan.
“Siapa yang kau maksud kita?! Dengar, hanya manu-
sia dungu yang merasa menyesal dengan kematiannya!
Dan aku bukan manusia dungu! Aku bukan termakan
fitnah! Tapi kau yang termakan perasaan!”
“Dari tadi ucapanmu tidak enak....”
“Hem.... Lalu kau mau apa?! Kau kuberi kesempa-
tan untuk maju bersama-sama!”
Putri Kayangan coba menekan perasaannya yang
mau tak mau mulai jengkel. Di lain pihak, Saraswati
makin dibuncah rasa cemburu. Sementara Pendekar
131 belum juga menemukan jalan untuk menyadarkan
Saraswati.
Ketika ditunggu sesaat Putri Kayangan tidak me-
nyahut ucapannya juga tidak membuat gerakan,
Saraswati arahkan pandang matanya pada Joko.
Kedua tangannya diangkat. Dia melirik pada Putri
Kayangan. Saat lain kedua tangannya bergerak.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang angin dahsyat melesat ganas ke
arah murid Pendeta Sinting. Kali ini Joko tidak tinggal
diam. “Gadis keras kepala begini sesekali perlu diberi
peringatan.... Meski sebenarnya sayang ini harus
terjadi!”
Pendekar 131 angkat kedua tangannya. Lalu disen-
takkan ke depan menyongsong gelombang angin yang
datang.
Wuutt! Wuutt!
Dari kedua tangan murid Pendeta Sinting mencuat
dua gelombang yang perdengarkan deruan keras. Saat
lain terdengar ledakan kala gelombang angin dari
kedua tangan Saraswati bentrok dengan dua gelom-
bang dari tangan Joko.
Sesaat Saraswati rasakan pijakannya goyah. Kejap
lain sosoknya mencelat mental hingga satu setengah
tombak ke belakang. Gadis ini coba imbangi diri,
namun gagal. Hingga tanpa ampun lagi tubuhnya
melaju deras. Tapi dua jengkal lagi sosoknya terbant-
ing di atas tanah, satu bayangan berkelebat dan
menyambar pundak Saraswati. Meski sambaran ini
tidak bisa menahan gerakan Saraswati hingga jatuh
terduduk, namun setidaknya mampu menahan Saras-
wati dari terbanting di atas tanah.
Saraswati cepat berpaling. Namun saat itu juga
kembali kepalanya disentakkan ke lain jurusan dengan
mulut perdengarkan suara ketus dan dingin.
“Aku tak butuh bantuanmu! Dan jangan mimpi
tindakanmu ini bisa menghalangi apa yang akan
kulakukan padanya!”
“Kau masih juga berprasangka buruk padaku....
Padahal aku hanya tak ingin melihatmu terluka....”
Yang menyahut dan baru saja menyelamatkan Saras-
wati ternyata adalah Putri Kayangan.
“Cukup!” sentak Saraswati seraya bergerak bangkit.
“Kalau kau tak ingin melihatku terluka, aku juga tak
ingin mendengar kau bicara manis di depanku! Aku
muak melihat dan mendengarnya! Kau dengar, aku
muak!”
Putri Kayangan menghela napas lalu melangkah
menjauh sambil berkata perlahan. “Baiklah.... Tidak
susah menuruti apa yang kau inginkan! Silakan kau
lakukan apa yang kau mau....”
Tanpa menyambuti ucapan Putri Kayangan, Saras-
wati kembali kerahkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. Sementara di seberang sana, murid Pende-
ta Sinting terlihat ragu-ragu. Di satu sisi, kalau dia
tidak menghadang pukulan Saraswati tentu dia akan
terluka. Sementara kalau dia terpaksa menyambuti
pukulan Saraswati, dia maklum apa yang akan terjadi
pada gadis itu. Padahal dia tidak mau Saraswati
terluka. Karena bukan saja akan menambah urusan,
namun akan semakin menorehkan dendam di dada
Saraswati.
Selagi murid Pendeta Sinting dilanda kebimbangan,
tiba-tiba di depan sana Saraswati telah membuat
gerakan melompat. Kedua tangannya berkelebat
lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam kuat.
“Biarkan dia hidup untuk buktikan ucapannya!”
Tiba-tiba satu teriakan terdengar. Satu bayangan
berkelebat. Saat yang sama satu gelombang yang
disertai pijakan bunga-bunga api melesat menghadang
pukulan Saraswati.
Blamm!
Terdengar ledakan keras membuat tempat itu berge-
tar. Di atas udara terlihat hamburan gelombang
bercampur tanah dan percikan bunga-bunga api.
Saraswati terkesiap. Belum sempat dia melihat sia-
pa adanya orang yang baru saja berteriak dan meng-
hadang pukulannya, sosoknya telah terdorong deras ke
belakang tapi tidak sampai terjatuh.
Begitu dapat kuasai diri, Saraswati cepat berpaling
sambil mendengus. Putri Kayangan dan Pendekar 131
ikut pula gerakkan kepala masing-masing ke kanan.
“Siapa dia?!” desis Saraswati sambil memandang
tajam ke depan.
Putri Kayangan tampak pula kernyitkan dahi den-
gan dada bertanya-tanya. Sementara murid Pendeta
Sinting terlihat angkat bahu dengan paras muka
tegang. Diam-diam dia mengeluh dalam hati. “Cela-
ka.... Aku bisa kaku sendiri kalau tidak segera angkat
kaki!”
“Orang tak dikenal! Siapa kau?!” Saraswati sudah
membentak dengan mata terus perhatikan pada sosok
yang tegak di seberang depan.
***
SEMBILAN
DIA adalah seorang gadis yang juga mengenakan
pakaian warna merah. Wajahnya cantik. Rambutnya
hitam lebat dikuncir tinggi hingga lehernya yang putih
jenjang terlihat jelas.
Gadis berpakaian merah yang rambutnya dikuncir
ini gerakkan kepala memandang pada Pendekar
Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. Tapi cuma sesaat.
Lalu alihkan pandang matanya pada Putri Kayangan.
Agak lama dia memperhatikan. Sukar ditebak arti
pandangannya. Namun Putri Kayangan sempat tidak
enak tatkala gadis yang baru muncul alihkan pandan-
gannya pada Saraswati yang seraya tersenyum agak
sinis.
Begitu pandang matanya beradu dengan mata Sa-
raswati, gadis yang baru datang langsung buka suara.
“Siapa diriku tidaklah begitu penting untuk kita
bicarakan saat ini! Yang jelas kita punya urusan
dengan orang yang sama!”
“Dewi Seribu Bunga.... Rupanya dia belum juga
percaya!” kata murid Pendeta Sinting dalam hati
mengenali siapa adanya gadis berpakaian merah yang
baru saja muncul. Gadis ini bukan lain memang Dewi
Seribu Bunga. Seorang gadis bekas murid tunggal
seorang tokoh beraliran hitam bergelar Maut Mata
Satu yang kemudian diambil murid oleh Dewi Es
setelah terjadinya peristiwa di Pulau Biru.
Seperti diketahui pula, Dewi Seribu Bunga punya
ganjalan urusan dengan murid Pendeta Sinting karena
dia pernah hampir saja diperkosa oleh Kiai Laras yang
saat itu juga tengah menyamar sebagai Pendekar 131.
Meski Dewi Seribu Bunga pernah diberi penjelasan
oleh Dayang Sepuh dan Datuk Wahing jika bukan
murid Pendeta Sinting yang melakukannya, namun
gadis ini tampaknya belum percaya betul.
“Apa urusanmu?!” Kembali Saraswati ajukan tanya.
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala sambil beru-
cap. “Urusannya terlalu tidak pantas diucapkan di
tempat ini!”
Jawaban Dewi Seribu Bunga membuat Saraswati
mulai geram. “Kau tidak mau sebutkan diri. Kau juga
tak mau katakan urusannya! Jangan-jangan kau
hanya manusia yang cari-cari alasan untuk bisa
campuri urusanku! Terbukti kau sengaja menghalangi
tanganku yang hendak membunuhnya!”
“Kalau tindakanku kau anggap menghalangi niat-
mu, aku minta maaf! Tapi untuk sementara ini aku
akan menghalangi siapa saja yang hendak membu-
nuhnya!”
“Hem.... Berarti kau tidak punya urusan dengan-
nya! Justru kau membuat urusan denganku!”
“Kalau aku akan menghalangi siapa saja yang hen-
dak membunuhnya, bukan berarti aku tidak punya
urusan dengannya! Aku hanya ingin dia hidup untuk
sementara waktu dan membuktikan semua ucapan-
nya! Setelah itu baru tanganku sendiri yang akan
bertindak! Dan kalau kau masih punya urusan den-
gannya, kita bisa berbagi satu nyawanya!”
“Hem.... Rasanya percuma aku bicara kalau kea-
daannya sudah begini!” gumam murid Pendeta Sinting
pada dirinya sendiri. “Lebih baik aku segera menying-
kir!” Joko melirik ke samping kanan kiri lalu meman-
dang dengan ekor matanya pada ketiga gadis di
seberang sana.
“Kita perlu bicara sebentar, Pendekar 1311” Tiba-
tiba Dewi Seribu Bunga sudah menegur tatkala dia
menangkap gelagat.
Pendekar 131 Joko Sableng urungkan niat yang
hendak berkelebat. Namun dia tidak berusaha buka
mulut.
“Kau punya waktu untuk buktikan bahwa bukan
kau yang melakukannya! Tapi jangan main-main
dengan kesempatan ini! Hampir semua orang rimba
persilatan sekarang telah tahu tentang dirimu! Kalau-
pun kau lolos dari tanganku dan tangan gadis berbaju
kuning itu, kau tak akan lolos dari tangan orang yang
kini mengincar nyawamu!”
“Hem.... Hanya itu yang perlu kau bicarakan?! Atau
masih ada peringatan lagi?” tanya Joko tanpa meman-
dang pada Dewi Seribu Bunga atau Saraswati. Seba-
liknya dia arahkan pandang matanya pada Putri
Kayangan. Membuat Putri Kayangan tidak enak pada
Saraswati maupun Dewi Seribu Bunga. Namun diam-
diam gadis ini juga merasa gembira diperhatikan
begitu rupa.
Karena Dewi Seribu Bunga tidak menjawab, perla-
han-lahan murid Pendeta Sinting balikkan tubuh dan
melesat pergi. Bersamaan itu Saraswati melompat ke
arah Dewi Seribu Bunga seraya berkata.
“Terlalu enak jika dia dibiarkan pergi begitu saja!
Dan aku tak akan tinggal diam!”
Dewi Seribu Bunga mencekal lengan Saraswati yang
hendak berkelebat mengejar. “Untuk saat ini biarkan
dia pergi! Ini tak akan lama! Mula-mula aku memang
punya perasaan sama sepertimu. Tapi sekarang aku
mulai percaya pada ucapannya meski masih perlu
bukti nyata!”
Entah apa yang terpikir dalam benak Saraswati.
Yang jelas dia tidak lagi berniat mengejar murid
Pendeta Sinting yang sudah melangkah jauh.
“Kurasa sekarang saatnya kau mengatakan siapa
dirimu!” Tiba-tiba Saraswati buka mulut dengan mata
memandang jauh ke arah lenyapnya sosok Pendekar
131.
“Aku harus segera pergi. Kelak kalau ada kesempa-
tan yang baik, kita akan lanjutkan pembicaraan ini!”
sahut Dewi Seribu Bunga seraya melangkah tinggalkan
tempat itu.
Namun gadis ini mendadak hentikan langkah. Ke-
palanya memutar. Saat yang sama Saraswati membuat
gerakan seperti Dewi Seribu Bunga. Karena ternyata
Putri Kayangan juga sudah pergi tinggalkan tempat itu.
“Siapa gadis itu?!” Yang ajukan tanya Dewi Seribu
Bunga.
“Kelak kau akan mengetahui sendiri!” jawab Saras-
wati.
Dewi Seribu Bunga berpaling memandang pada Sa-
raswati. Saraswati balas memandang. Namun kedua-
nya sama kancingkan mulut. Tanpa buka suara,
akhirnya Dewi Seribu Bunga teruskan langkah ting-
galkan tempat itu. Saraswati pandangi bagian bela-
kang sosok Dewi Seribu Bunga. Seraya tersenyum
dingin dia berlalu dengan mengambil jurusan berlawa-
nan.
***
Kita tinggalkan dahulu murid Pendeta Sinting dan
ketiga gadis cantik yang dalam hati masing-masing
sebenarnya punya perasaan hampir sama, yakni
tertarik pada Pendekar 131 Joko Sableng. Sekarang
kita ikuti perjalanan Setan Liang Makam yang dadanya
dilanda gemuruh luar biasa saat mengetahui Kembang
Darah Setan yang diberikan padanya oleh Kiai Laras
yang saat itu menyamar sebagai Pendekar 131 adalah
Kembang Darah Setan palsu.
Pada satu tempat, Setan Liang Makam hentikan
larinya dengan mulut megap-megap karena dia baru
saja berlari laksana orang kesetanan. Sambil berlari,
dia terus berpikir, ke mana harus mencari Pendekar
131 yang menurutnya sudah membuat dua kesalahan
besar dan tak mungkin diampuni.
“Hem.... Sialan keparat betul! Rahasia Kampung
Setan sudah kuketahui! Tapi nyatanya aku belum bisa
menggenggam semuanya! Ini gara-gara ulah Pendekar
131 keparat itu! Bisa-bisanya dia memalsu Kembang
Darah Setan! Ke mana sekarang aku harus mencari
bangsat sialan itu?!”
Selagi Setan Liang Makam berpikir, agak jauh di
belakang sana, satu sosok tubuh tampak berkelebat
lalu menyelinap ke balik sebuah pohon besar. Dia
adalah seorang gadis berparas cantik jelita mengena-
kan pakaian warna merah.
Begitu berada di balik batangan pohon, si gadis
segera pentangkan mata dan memandang tak berkesip
ke arah Setan Liang Makam. Karena saat itu Setan
Liang Makam tegak membelakangi, si gadis belum bisa
menebak dan melihat bagaimana raut wajah orang.
Dia hanya bisa memastikan jika orang itu adalah
seorang laki-laki.
“Sikap orang itu sepertinya sedang kalut.... Siapa
dia sebenarnya?! Hem.... Apa aku harus bertanya
padanya ke mana arah yang harus kuambil jika ingin
ke Kampung Setan?! Kampung Setan.... Aku tetap
harus segera ke sana! Kembang Darah Setan yang
dikabarkan orang berada di tangan Pendekar 131 Joko
Sableng ternyata omong kosong! Pemuda itu tidak
membawa Kembang Darah Setan. Dan pasti Kembang
Darah Setan masih berada di Kampung Setan seperti
keterangan yang selama ini kudengar.... Dengan
membekal pedang sakti, tentu aku lebih mudah
memasuki Kampung Setan...!” Tangan gadis berpa-
kaian merah bergerak ke balik pakaiannya. Dia mera-
sakan tangannya menyentuh sebuah pedang. Bibirnya
tersenyum.
“Pedang Tumpul 131 tentu bukan senjata semba-
rangan. Benda ini kudengar pernah menjadi rebutan
orang dunia persilatan! Dan pedang ini kini berada di
tanganku.... Hem.... Sebaiknya aku bertanya pada
orang itu! Siapa tahu dia bisa memberi petunjuk arah
Kampung Setan....”
Memikir sampai di situ gadis berpakaian merah
segera beranjak dari balik batangan pohon. Namun
tiba- tiba Setan Liang Makam yang berada di depan
sana tengadahkan kepala dan memutar tubuh. Hingga
si gadis urungkan niat dan buru-buru rapatkan tubuh
ke batangan pohon.
“Aku harus berhati-hati dalam urusan ini.... Aku
harus yakinkan dahulu siapa adanya orang!” kata si
gadis dalam hati lalu arahkan pandang matanya
kembali ke arah Setan Liang Makam.
Mendadak paras muka gadis berpakaian merah
berubah. Matanya mementang besar.
“Setan Liang Makam!” desis gadis berpakaian merah
mengenali siapa adanya orang yang tegak di depan
sana. “Apakah aku harus bertanya padanya?!”
Setelah memikir agak lama, akhirnya dengan ta-
bahkan hati si gadis memutuskan untuk keluar dari
balik batangan pohon. Saat yang sama, di depan sana
Setan Liang Makam kembali telah putar tubuh hingga
sosoknya membelakangi si gadis.
Gadis berpakaian merah melangkah dari balik po-
hon ke arah Setan Liang Makam dengan mata tak
berkesip. Namun hingga jarak antara dia dengan orang
yang didekati tinggal tujuh langkah, si gadis tidak
melihat Setan Liang Makam membuat gerakan atau
perdengarkan suara.
“Dari cara berkelebatnya tadi, adalah aneh kalau
dia tidak merasakan kehadiranku di belakangnya!
Atau ini karena pikirannya sedang dalam keadaan
kalut?!” seraya menduga-duga, gadis berpakaian
merah hentikan langkah. Dia menunggu beberapa saat
dengan dada makin berdebar teringat akan keangkeran
paras wajah orang.
Namun setelah ditunggu lama orang di depannya
tidak juga perdengarkan teguran, gadis berpakaian
merah habis kesabaran. Apalagi dia mengira orang itu
pasti tahu kehadirannya.
Gadis berpakaian merah buka mulut. Namun belum
sampai perdengarkan suara, tiba-tiba Setan Liang
Makam telah balikkan tubuh seraya membentak
garang.
“Siapa kau?! Mengapa dari tadi mengintip ku?!”
Gadis berpakaian merah tersentak kaget. Mulutnya
yang menganga, mengatup, dan terkancing rapat.
Hanya sepasang matanya yang pandangi orang.
Sementara itu begitu melihat gadis di hadapannya,
Setan Liang Makam mendengus keras. Matanya yang
melotot memperhatikan sesaat lalu mengedar berkelil-
ing.
“Ke mana empat anjing-anjing gundulnya?! Apa
mereka telah mampus?!” kata Setan Liang Makam
dalam hati. Lalu angkat suara.
“Kau tentu masih ingat ucapanku, Gadis Sialan!
Hamparan bumi akan kubuat sempit untuk tempatmu
bersembunyi!” Tiba-tiba Setan Liang Makam tertawa
ngakak. Lalu lanjutkan ucapan. “Kau sekarang bisa
buktikan sendiri ucapanku! Kau harus jumpa dengan-
ku lagi!”
Gadis berpakaian merah kernyitkan kening. “Aku
memang pernah bertemu dengan manusia ini, tapi dari
nada ucapannya jelas dikiranya aku adalah Beda Ku-
mala.... Hem.... Pasti ada ganjalan antara dia dengan
Beda Kumala. Bagaimana sekarang? Apakah aku akan
bertanya padanya tentang di mana Kampung Setan?!
Ah.... Sudah telanjur. Aku akan bertanya. Siapa tahu
dia bisa memberi keterangan! Dan aku akan berpura-
pura sebagai Putri Kayangan!”
Setelah membatin begitu, gadis berpakaian merah
yang sebenarnya bukan lain adalah Pitaloka, gadis
yang telah berhasil membawa Pedang Tumpul 131
milik murid Pendeta Sinting, buka suara.
“Senang bisa bertemu denganmu lagi. Tidak kebera-
tan kalau kau memberi satu keterangan padaku?!”
Pertanyaan Pitaloka membuat Setan Liang Makam
kembali perdengarkan suara gelakan tawa panjang
seraya berucap.
“Keterangan telah membuat hidupku sengsara!”
“Itu karena kau salah memberi keterangan pada
orang!” sahut Pitaloka. “Aku minta keterangan bukan
demi kepentingan sendiri. Mungkin kau nanti bisa juga
mengambil keuntungan!”
“Aku tak butuh tawar menawar keuntungan!”
“Kau yakin tidak akan menyesal?!”
“Jahanam! Kau yang minta keterangan, mengapa
aku harus menyesal?!”
“Ah, sudahlah.... Kalau kau keberatan memberi
keterangan, aku tidak memaksa. Hanya saja aku perlu
memberi penjelasan padamu!”
“Penjelasan apa?!”
“Kita memang pernah bertemu di Bukit Kalingga!
Tapi kau jangan kaget bila bertemu orang sepertiku,
tapi bukan aku!” ujar Pitaloka seraya tersenyum.
Kening Setan Liang Makam bergerak-gerak, tanda
dia tengah berpikir.
“Sikapnya memang lain.... Aneh.... Beberapa saat ini
aku menemukan orang yang wajahnya hampir sama...!
Satunya lagi si keparat jahanam pemuda itu! Kini
gadis ini...! Tapi apa peduliku?! Dia gadis yang kutemui beberapa waktu lalu atau bukan yang jelas gadis
itu....”
Belum sampai Setan Liang Makam teruskan mem-
batin, Pitaloka telah angkat suara lagi. “Kulihat kau
tadi tengah memikirkan sesuatu. Mau katakan apa
yang membuatmu kalut?!”
Setan Liang Makam sudah hendak membentak.
Namun diurungkan saat terlintas pikiran jika saat ini
dia tengah mencari Pendekar 131.
“Kau tengah mencari seseorang?!” Entah karena
apa, tiba-tiba Pitaloka ajukan tanya begitu. Gadis ini
hanya berpikir, jika seorang berilmu tengah dilanda
kekalutan, maka urusannya adalah dia punya ganjalan
dengan seseorang yang belum bisa diselesaikan.
“Bukan hanya seorang yang kucari!” Setan Liang
Makam menyahut.
“Hem.... Jawabannya membuktikan kalau dia punya
beberapa orang yang dianggapnya musuh.” Pitaloka
simpulkan ucapan Setan Liang Makam lalu bertanya.
“Mau sebutkan siapa mereka?!”
“Apa urusanmu hendak ikut campur?!”
“Aku hanya bertanya.... Siapa tahu aku mengetahui
orang yang tengah kau cari!”
“Sayang.... Aku sudah tidak percaya lagi pada mulut
orang!”
“Itu hanya akan membuatmu makin kalut dan me-
nemui jalan buntu! Dan perlu kau tahu, aku bukanlah
manusia yang suka bicara dusta!”
“Aku sudah sering mendengar sumpah busuk!”
Pitaloka tersenyum. “Baiklah.... Kau tidak mau
mengatakannya. Berarti tak ada gunanya kita te-
ruskan pembicaraan ini!” Pitaloka putar diri. Namun
bersamaan dengan itu mendadak Setan Liang Makam
tertawa pendek sambil berkata.
“Kau kira bisa pergi begitu saja?!”
Pitaloka urung langkahkan kaki. Lalu perdengarkan
suara agak keras. “Di antara kita tidak ada silang
sengketa! Kuharap kau tidak memulai silang sengketa
itu!”
“Silang sengketa telah kau mulai beberapa waktu
yang lalu!”
“Hem.... Lalu apa maumu sekarang?!”
“Nyawamu!”
Seakan maklum dengan siapa kini berhadapan,
Pitaloka tidak mau bertindak ayal. Dia cepat seli-
napkan tangan ke balik pakaiannya. Saat tangan itu
ditarik keluar, tampak sebuah pedang bersarung
warna kuning yang pancarkan cahaya. Pitaloka cepat
balikkan tubuh menghadap Setan Liang Makam.
“Kau kira pedang butut itu mampu menyelamatkan
nyawamu?! Ha.... Ha.... Ha...! Daripada kau rasakan
bagaimana sakitnya sedang sekarat, lebih baik kau
cabut pedang itu dan bunuh diri! Itu akan menyela-
matkanmu dari merasakan nikmatnya sekarat!”
Pitaloka tersenyum dingin. Perlahan-lahan tangan
kirinya bergerak mencekal sarung pedang. Pada saat
yang sama tangan kanannya bergerak menarik gagang
pedang keluar dari sarungnya.
Melihat apa yang dilakukan Pitaloka, Setan Liang
Makam makin keraskan tawanya. Sambil gerakkan
kepala tengadah, dia berkata.
“Bagus! Gadis cantik dan muda sepertimu memang
terlalu sayang jika harus rasakan nikmatnya meregang
nyawa! Bunuh diri adalah satu-satunya jalan terbaik!”
“Adalah tindakan bodoh jika turuti ucapanmu! Aku
mengeluarkan pedang ini bukan untuk bunuh diri!
Tapi dengan pedang ini aku akan tentukan nasibmu!”
Setan Liang Makam terus tertawa dan berkata. “Kau
tidak mau tahu tingginya langit dalamnya lautan! Kau
tidak melihat siapa yang tengah tegak di hadapanmu!”
“Justru matamu yang buta tidak mau melihat pe-
dang apa yang ada di tanganku! Kau boleh punya ilmu
setinggi langit selebar lautan! Tapi pedang di tanganku
jangan kira tak mampu menghadangnya!”
Sepasang mata Setan Liang Makam yang meman-
dang ke hamparan langit tiba-tiba melihat cahaya
berkilau kekuningan semburat di udara. Laksana
disentak setan, kepala Setan Liang Makam berpaling
ke arah Pitaloka.
Pitaloka tegak dengan tangan kiri memegang sarung
pedang sementara tangan kanan menghunus tinggi-
tinggi sebuah pedang berwarna kekuningan yang
pancarkan cahaya berkilau hingga untuk beberapa
saat cucu Nyai Suri Agung itu harus sipitkan mata.
“Buka matamu lebar-lebar! Lihat pedang di tangan-
ku!”
Entah karena apa, Setan Liang Makam turuti uca-
pan Pitaloka. Dia perhatikan dengan seksama pedang
yang pancarkan cahaya kekuningan di tangan Pitalo-
ka. Sebuah pedang bergagang hijau dari batu giok
yang tidak begitu panjang dan bagian ujungnya
tampak tumpul.
Tiba-tiba Setan Liang Makam pentang mata makin
besar ketika melihat angka 131 yang terdapat pada
kerangka pedang.
***
SEPULUH
PEDANGNYA tumpul. Pada kerangkanya terdapat
angka 131. Pasti pedang itu masih ada hubungannya
dengan pemuda jahanam itu!”
Berpikir begitu, Setan Liang Makam segera perden-
garkan bentakan keras.
“Apa hubunganmu dengan Pendekar 131 keparat
itu, hah?!”
“Bagus! Berarti kau telah mengenalinya!” ujar Pita-
loka. “Sebenarnya aku ingin memberi keterangan
padamu. Namun kupikir tidak ada gunanya memberi
keterangan pada manusia yang nasibnya hampir
sampai!”
Setan Liang Makam mendengus. Tulang rahangnya
terangkat. Saat lain cucu Nyai Suri Agung ini melesat
ke udara. Di atas udara kedua tangannya bergerak.
Wuutt! Wuutt!
Pitaloka merasakan dorongan gelombang angin
dahsyat hingga sosoknya sesaat bergoyang-goyang.
Pitaloka rupanya sadar, kalau gelombang sebenarnya
belum sampai tapi biasnya telah membuat sosoknya
bergoyang, tentu orang yang dihadapi memiliki tenaga
dalam luar biasa tinggi.
Sadar begitu, Pitaloka cepat kerahkan tenaga da-
lam. Lalu didahului bentakan garang, sosoknya
melesat ke depan menyongsong tubuh Setan Liang
Makam dengan tangan kanan babatkan Pedang
Tumpul 131.
Namun gerakan Pitaloka tertahan karena saat itu
gelombang yang melesat keluar dari kedua tangan
Setan Liang Makam telah memburu ke arahnya.
Pitaloka tak hendak urungkan niat. Dia tetap kelebatkan tangan kanan yang menggenggam pedang.
Wuutt!
Terdengar gemuruh hebat. Cahaya kuning berkiblat
angker. Gelombang angin yang datang dari arah depan
Pitaloka laksana ditebas kekuatan dahsyat. Hingga
gelombang itu langsung buyar semburat.
Setan Liang Makam terbelalak dan merasakan so-
soknya terdorong. Dia cepat kuasai diri lalu melayang
turun dengan menyeringai. Namun sejauh ini dia
masih kancingkan mulut. Hanya matanya yang me-
mandang tak berkesip pada pedang di tangan Pitaloka.
Pitaloka tersenyum mengejek. “Kau sekarang tahu
siapa yang kau hadapi! Membunuhmu saat ini semu-
dah membalik telapak tangan! Tapi kau tak akan
rasakan kematian kalau kau mengatakan silang
sengketa apa antara kau dan Pendekar 131!”
“Bicaramu terlalu tinggi, Keparat! Aku jadi ingin
bukti apa benar pedang butut ini mampu melukai ku!”
Setan Liang Makam angkat kedua tangannya.
“Tahan!” Pitaloka berseru namun tangan kanannya
yang memegang pedang tetap diacungkan ke atas.
“Perlu kau tahu. Pemuda pemilik pedang ini punya
urusan besar denganku! Dari makianmu tadi, kurasa
dia salah seorang yang kau cari! Benar?!”
“Kau tak akan mendapat jawaban!” hardik Setan
Liang Makam.
Pitaloka sunggingkan senyum. “Kalau aku dengan
mudah bisa mengambil pedangnya, bagiku mudah
pula mengambil selembar nyawanya! Kalau kau
memang mencarinya, aku bisa tunjukkan!”
Sesaat Setan Liang Makam terdiam. Sementara Pi-
taloka terus membatin. “Kalau benar manusia ini
mencari Pendekar 131 pasti masih ada kaitannya
dengan Kembang Darah Setan. Hem.... Siapa tahu dari
mulutnya aku mendapat keterangan berharga....”
Memikir begitu, akhirnya Pitaloka buka mulut sete-
lah ditunggu Setan Liang Makam tidak juga perden-
garkan suara.
“Saat ini, siapa pun juga pasti tengah mencari pe-
muda itu! Dan aku tahu pasti apa alasan mereka
mencarinya! Apa kau mencari dengan alasan yang
sama seperti mereka?!”
Walau dengan mimik marah dan seolah enggan bu-
ka mulut, namun akhirnya Setan Liang Makam jawab
juga pertanyaan Pitaloka.
“Mereka hanya orang-orang dungu yang hendak
memiliki benda orang lain!”
“Ucapanmu aneh.... Apa maksudmu?!” tanya Pitalo-
ka tak mengerti maksud ucapan Setan Liang Makam.
“Mereka yang mencari pemuda itu bermaksud me-
miliki benda yang kini di tangannya! Tapi aku tidak!
Aku mencarinya justru ingin mengambil benda milikku
yang sekarang ada di tangannya!”
Pitaloka kerutkan dahi. Namun tak lama kemudian
tertawa panjang. “Kau tidak salah ucap?!”
Setan Liang Makam arahkan telunjuk jari tangan
kirinya tepat ke arah Pitaloka seraya berdesis tajam.
“Sekali lagi kau tertawakan diriku, lidahmu akan ku
cabut!”
Namun percaya pedang di tangannya mampu men-
gatasi orang, Pitaloka tidak pedulikan ancaman Setan
Liang Makam. Malah dia makin keraskan tawanya.
Lalu berujar.
“Mau katakan benda apa yang sekarang kau kata-
kan berada di tangan Pendekar 131?”
“Kembang Darah Setan!”
Pitaloka sesaat putuskan tawanya. Namun cuma
sekejap. Lain saat kembali tawanya meledak. Malah
kini ganti tangannya yang menunjuk pada Setan Liang
Makam seraya berkata.
“Canda mu terlalu berlebihan.... Siapa percaya dan
mana mungkin Kembang Darah Setan itu milikmu?!”
“Diam!” teriak Setan Liang Makam.
Namun lagi-lagi Pitaloka tak hiraukan teriakan Se-
tan Liang Makam. Dengan terus menunjuk dia kembali
berkata. “Namamu memang ada setannya, namun
jangan kau hubungkan itu dengan Kembang Darah
Setan! Wajahmu memang pantas dikatakan keturunan
setan, namun terlalu lucu jika kau mengaku Kembang
Darah Setan adalah milikmu!”
Setan Liang Makam tak bisa menahan sabar. Tan-
gan kirinya yang tadi menjulur ke depan ditarik
pulang. Serta-merta kedua tangannya disentakkan ke
depan melepas satu pukulan.
“Tunggu!” seru Pitaloka tetap siap babatkan pedang.
“Kalau kau memang benar-benar pemilik Kembang
Darah Setan, tentu kau tahu mana arah Kampung
Setan!”
Setan Liang Makam urungkan lepas pukulan. Na-
mun dia melangkah mendekat seraya berkata. “Aku
bukan saja tahu mana arah Kampung Setan! Tapi aku
tahu seluk beluk Kampung Setan! Karena aku lahir di
sana!”
Pitaloka ragu-ragu. Lalu coba mengorek. “Semua
orang bisa mengatakan tahu Kampung Setan malah
tahu seluk beluknya. Namun tidak satu pun dari
mereka yang bisa buktikan ucapannya! Jangan-jangan
kau salah seorang dari mereka...!”
Setan Liang Makam tertawa pendek bernada menge-
jek. “Aku tahu apa maksud ucapanmu! Kau meman-
cingku untuk mengatakan tentang Kampung Setan!
Aku bukan orang bodoh.... Aku akan mengatakannya
padamu tapi kau harus penuhi dua permintaanku!”
Pitaloka tersenyum. Sarung pedang di tangan ki-
rinya dimasukkan ke balik pakaiannya. Lalu perlahan-
lahan tangan itu bergerak ke dadanya. Sepasang
matanya melirik ke arah Setan Liang Makam.
Setan Liang Makam besarkan matanya demi melihat
bagaimana perlahan-lahan tangan kiri Pitaloka berge-
rak membuka kancing pakaiannya, hingga tak berapa
lama kemudian, sembulan kedua payudaranya yang
mencuat kencang terlihat jelas.
Dada Setan Liang Makam berdegup kencang. Da-
rahnya mulai menggelegak. Apalagi saat Pitaloka
teruskan gerakan tangan kirinya singkapkan pakaian
bagian kiri dadanya yang telah terbuka. Hingga untuk
sesaat Setan Liang Makam bisa melihat dada si gadis
yang putih mulus dan kencang.
Namun Pitaloka rupanya bisa membuat penasaran
orang. Karena begitu pakaian bagian dadanya tersing-
kap dan dadanya sebelah kiri tidak tertutup lagi,
telapak tangan kirinya segera bergerak menakup. Lalu
tangan kanannya yang masih menggenggam pedang
ikut pula bergerak menutup. Hingga meski dadanya
telah tersingkap, Setan Liang Makam tidak bisa
melihat dada kencang milik si gadis. Tapi hal itu makin
membuat darahnya bergemuruh.
Saking tidak bisa menahan gelegak, Setan Liang
Makam melangkah mendekat. Pitaloka diam dan
hanya memandang dengan kepala sedikit di tengadah-
kan dan mulut setengah terbuka.
Begitu Setan Liang Makam berjarak lima langkah,
Pitaloka pejamkan mata seraya berujar pelan.
“Kau bisa menikmati yang lebih dari apa yang kau
lihat.... Tapi ceritakan dahulu tentang Kembang Darah
Setan serta tunjukkan padaku arahnya Kampung
Setan...!”
Setan Liang Makam hentikan gerakan kakinya. Mu-
lutnya membuka. Pitaloka pasang telinga baik-baik.
Bibirnya sunggingkan senyum.
“Dua permintaanku bukan apa yang kau perli-
hatkan!”
Senyum Pitaloka pupus. Sepasang matanya seren-
tak terbuka. Dia sama sekali tidak menduga ucapan
Setan Liang Makam. Dia tadi menyangka jika permin-
taan Setan Liang Makam pasti tak akan jauh dari apa
yang kini diperlihatkan pada cucu Nyai Suri Agung itu.
Namun Pitaloka masih juga belum percaya. Dengan
sedikit membuka takupan telapak tangannya yang
menutupi dadanya, dia berucap.
“Kau mungkin masih malu-malu.... Percayalah, di
sini tidak ada orang lain!”
“Keterangan yang kau minta terlalu tinggi jika imba-
lannya hanya dada dan tubuhmu!”
Pitaloka tersentak kaget. Belum sampai dia buka
mulut bertanya, Setan Liang Makam telah mendahului.
“Karena kau telah membuatku menginginkan mu,
permintaanku bertambah satu lagi kalau kau ingin
keteranganku!” Setan Liang Makam arahkan pandang
matanya pada telapak tangan Pitaloka yang menutup
dadanya. Lalu lanjutkan ucapan. “Pertama, kau harus
katakan di mana Pendekar 131. Kedua, kau harus
serahkan pedang di tanganmu. Dan ketiga, kau harus
melayaniku sekarang juga!”
“Gila!” desis Pitaloka. Paras wajah gadis yang sebe-
narnya adalah saudara kembar Beda Kumala yang
dalam kancah rimba persilatan dikenal sebagai Putri
Kayangan ini berubah merah padam. Tapi Pitaloka
cepat berpikir dan berkata.
“Ketiga permintaanmu tidak sulit dipenuhi.... Tapi
kau yang harus terlebih dahulu penuhi permintaan-
ku.... Kau tak usah khawatir aku akan ingkar janji.
Sebagai buktinya, aku akan letakkan pedang ini....”
Pitaloka tutupkan kembali dadanya yang terbuka.
Lalu memandang pada Setan Liang Makam. “Kuharap
kau tidak berlaku licik!”
Habis berkata begitu, Pitaloka ayunkan Pedang
Tumpul 131 ke atas tanah. Pedang itu perdengarkan
deruan angker. Tanah semburat ke udara dan berge-
tar. Tatkala semburatan tanah telah luruh, pedang itu
tampak tegak menancap di atas tanah yang di kanan
kirinya terbongkar.
“Sekarang saatnya kau menjelaskan apa yang kuin-
ginkan!” kata Pitaloka seraya melirik pada Setan Liang
Makam.
Setan Liang Makam memandang silih berganti pada
si gadis dan Pedang Tumpul 131 yang menancap di
atas tanah. Setelah tepis perasaan ragu-ragu, dia
akhirnya berkata juga.
“Kalau kau ingin ke Kampung Setan, pergilah lurus
ke jurusan timur. Di sana akan kau temukan hutan
belantara. Kau harus melewati hutan itu hingga
perbatasan. Di sana kau akan melihat beberapa batu
karang tinggi yang melingkari sebuah tanah terbuka.
Itulah Kampung Setan!”
Setan Liang Makam sesaat hentikan keterangan.
Matanya kembali memandang pada pedang yang
menancap di atas tanah. Seolah tak sabar, dia maju
mendekat. Namun sebelum kakinya bergerak melang-
kah, Pitaloka sudah buka mulut.
“Kau belum menerangkan semua yang kuinginkan!
Harap tidak bergerak dahulu!”
“Tapi jangan coba-coba berlaku licik padaku!” ucap
Setan Liang Makam seraya urungkan niat melangkah.
Pitaloka hanya tersenyum tanpa sambuti ucapan
Setan Liang Makam. Setan Liang Makam melirik lalu
mulai perdengarkan suara.
“Aku adalah generasi terakhir penghuni Kampung
Setan. Jadi jelas kalau Kembang Darah Setan adalah
milikku! Hanya saja saat itu aku bertindak ceroboh.
Dua orang kepercayaan ku berkhianat. Hingga pada
akhirnya aku masuk ke dalam lobang makam selama
hampir tiga puluh enam tahun! Namun hari kematian-
ku rupanya belum datang. Karena pada saat yang
ditentukan, muncul seorang penolong yang mengelua-
rkan aku dari tempat celaka itu! Sayangnya si peno-
long meminta imbalan terlalu tinggi! Dia meminta
Kembang Darah Setan.”
Setan Liang Makam hentikan penuturannya seje-
nak. Kepalanya tengadah lalu sambung keterangan.
“Karena aku tak mau mati sia-sia, terpaksa aku
menyetujui imbalan yang diminta orang! Aku bisa
keluar dari makam terkutuk namun Kembang Darah
Setan lepas dari tanganku!”
“Siapa penolongmu itu?!”
“Siapa lagi kalau bukan pemuda bergelar Pendekar
131 Joko Sableng!”
Pitaloka tertawa lirih, membuat Setan Liang Makam
tak enak. “Kau tidak mengarang cerita?!”
“Kau lihat tubuhku! Ini gara-gara terkubur di ma-
kam celaka itu!”
“Bukan itu maksudku.... Benar si penolong yang
meminta Kembang Darah Setan itu adalah Pendekar
131?!”
“Rimba persilatan sekarang sudah tahu siapa yang
memegang Kembang Darah Setan! Dan memang
pemuda jahanam itu yang mengambilnya!”
“Bagaimana ini?! Aku telah meneliti sekujur tubuh
nya. Tapi aku tidak menemukan Kembang Darah
Setan! Apa dia sengaja meletakkan benda itu di satu
tempat?! Tapi itu tak mungkin! Lalu bagaimana dia
bisa mengatakan kalau Pendekar 131 yang mengam-
bilnya?!” Diam-diam Pitaloka membatin.
Seperti diketahui, dengan caranya sendiri, Pitaloka
berhasil membuat pendekar murid Pendeta Sinting itu
lemas tak bisa bergerak. Lalu gadis cantik ini mencari
Kembang Darah Setan pada tubuh Pendekar 131. Tapi
dia tidak menemukan Kembang Darah Setan. Hingga
pada akhirnya dia hanya mengambil Pedang Tumpul
131.
“Aku ragu pada keteranganmu!” ujar Pitaloka begitu
terlihat Setan Liang Makam kembali hendak melang-
kah ke arah pedang.
Setan Liang Makam menatap angker dengan rahang
terangkat. “Persetan kau percaya atau tidak! Yang jelas
aku telah menerangkan apa adanya! Dan jangan
berani cari alasan setelah kau dengar apa yang kau
inginkan!”
Pitaloka gelengkan kepala. “Aku orang yang pegang
janji. Namun perlu kau ketahui. Aku telah menda-
patkan Pedang Tumpul 131! Kalau seandainya Kem-
bang Darah Setan berada di tangannya tentu aku tahu
Tapi aku tidak melihatnya!”
“Itu urusanmu! Yang jelas dialah manusianya yang
mengambil Kembang Darah Setan dari tanganku! Da
kau jangan lupa! Pemuda itu bukan saja berilmu tinggi
tapi berakal cerdik!”
“Hem.... Kau menduga Kembang Darah Setan di
simpannya di satu tempat?!”
“Bukan itu saja. Tapi dia juga membuat Kembang
Darah Setan palsu! Dan aku telah berhasil dikecoh-
nya!” Mata Setan Liang Makam melotot merah. Tulang
pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. Amarahnya
kembali menggelegak teringat bagaimana dia dikecoh
oleh Kembang Darah Setan palsu. Hingga begitu
matanya kembali menumbuk pada pedang yang
menancap di tanah, dia segera melompat.
Namun Pitaloka tidak tinggal diam. Hampir bersa-
maan, dia juga melompat. Setan Liang Makam berseru
marah namun teruskan lompatannya dan serta-merta
tangan kanannya bergerak menyambar ke arah Pedang
Tumpul 131. Pitaloka tak mau ketinggalan. Begitu
sosoknya bergerak, tangan kanan kirinya segera pula
berkelebat menyambar ke arah pedang.
Kini tampak tiga buah tangan sama bergerak cepat
ke arah pedang. Karena kelebatan tangan itu bukan
kelebatan biasa, biasnya sempat membuat bagian atas
Pedang Tumpul 131 bergoyang-goyang pulang balik
dengan pancarkan cahaya angker kekuningan serta
suara deru dahsyat.
Karena merasa kedua tangan Pitaloka akan menda-
hului, Setan Liang Makam berubah pikiran. Dia
urungkan niat mengambil pedang, sebaliknya dihan-
tamkan pukulan ke arah kedua tangan Pitaloka. Di
lain pihak, Pitaloka sendiri khawatir kalau tangan
Setan Liang Makam mendahului. Hingga dia cepat
alihkan arah kelebatan kedua tangannya. Apalagi saat
mengetahui Setan Liang Makam hendak menghadang
kedua tangannya.
Bukkk! Bukkk!
Dua benturan keras terdengar. Pitaloka perdengar-
kan seruan tertahan. Sosoknya tersurut lima langkah
ke belakang dengan kedua tangan bergetar dan tam-
pak merah. Di seberang sana, Setan Liang Makam
terjajar tiga langkah. Paras wajahnya yang angker
makin tampak menakutkan.
Ternyata mulutmu tidak beda bahkan lebih busuk
dari yang lainnya!” teriak Setan Liang Makam. Kedua
tangannya kini telah siap melepas pukulan.
“Aku masih meragukan keteranganmu! Karena aku
tidak melihat Kembang Darah Setan di tangan Pende-
kar 131! Dan tidak mungkin benda seperti Kembang
Darah Setan disimpan di satu tempat! Kau masih tidak
jujur dalam hal ini! Mungkin kau sengaja menebar
berita bohong ini dengan tujuan agar orang yang
sebenarnya kau cari tidak banyak yang memburunya!
Karena semua orang sudah keburu percaya jika
Kembang Darah Setan berada di tangan Pendekar
131!”
“Keparat jahanam!” teriak Setan Liang Makam ma-
kin marah. Namun cucu Nyai Suri Agung ini tidak mau
lengah. Dia kini telah tahu bagaimana kedahsyatan
Pedang Tumpul 131. Maka dia lebih tertarik untuk
segera menyambar pedang itu daripada melayani
Pitaloka. Karena dia maklum, dengan pedang di tangan
Pitaloka, setidaknya akan makin sulit menghadapi si
gadis. Meski dia percaya, ilmu yang dimilikinya masih
mampu menghadang lawan yang bersenjatakan
Pedang Tumpul 131.
Setan Liang Makam melirik pada Pedang Tumpul
131. Rupanya Pitaloka dapat menangkap gelagat
orang. Hingga dia tidak pedulikan pada kedua tangan
Setan Liang Makam yang masih membuat gerakan
seperti hendak lepaskan pukulan. Sebaliknya dia
kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya untuk bisa
berkelebat mendahului Setan Liang Makam.
Selagi pikiran kedua orang ini tengah tertuju ba-
gaimana bisa berkelebat mendahului lainnya, tiba-tiba
terdengar orang tertawa. Pitaloka terkesiap. Setan
Liang Makam tersentak. Kepala masing-masing berge
rak bersamaan menoleh.
***
SEBELAS
PITALOKA langsung tercekat. Bulu kuduknya seke-
tika meremang dan dingin. Kedua lututnya tanpa
sadar bergerak mundur. Betapa tidak. Dia melihat
sebuah jubah hitam tegak menggantung di atas udara.
Hebatnya, di dalam jubah itu tidak kelihatan sosok
yang mengenakannya! Anehnya, justru dari jubah
hitam itu terdengar gelakan tawa!
“Hampir mustahil! Bagaimana mungkin sebuah
jubah bisa perdengarkan tawa! Atau jangan-jangan
mata dan telingaku yang menipu!”
Berpikir begitu, Pitaloka melirik pada Setan Liang
Makam. Dia ingin yakinkan diri melihat bagaimana
sikap Setan Liang Makam.
Sementara itu, begitu berpaling Setan Liang Makam
bukan main kagetnya! Dia segera pentang mata besar-
besar seolah ingin membuktikan jika pandang ma-
tanya benar-benar melihat kenyataan.
Setelah agak lama dan bisa kuasai rasa kaget, Se-
tan Liang Makam mundur satu tindak. “Jubah Tanpa
Jasad...,” desisnya mengenali jubah yang tegak meng-
gantung di depan sana. “Siapa gerangan yang mema-
kainya?! Nenek Nyai Suri Agung...?!”
“Hem.... Dia juga tampak berubah tegang.... Berarti
pandang mata dan telingaku tidak menipu!” kata
Pitaloka begitu melihat sikap Setan Liang Makam.
Namun gadis ini tidak bisa menduga malah menemui
jalan buntu ketika memikirkan bagaimana sebuah
jubah bisa menggantung sendiri di udara tanpa
adanya sosok yang mengenakan, malah perdengarkan
tawa!
Selagi Pitaloka dilanda rasa heran, Setan Liang Ma-
kam yang menduga jika sosok tidak kelihatan yang
mengenakan jubah hitam yang bukan lain memang
Jubah Tanpa Jasad, adalah neneknya sendiri Nyai Suri
Agung, Setan Liang Makam bergerak maju dua lang-
kah seraya berkata.
“Nek...!”
Jubah Tanpa Jasad di depan sana bergerak menyi-
bak perdengarkan deruan keras. Namun tak ada suara
orang yang terdengar.
Sebenarnya, si pemakai Jubah Tanpa Jasad yang
tidak lain adalah Kiai Laras merasa heran dengan
dirinya sendiri. Keheranan itu dimulai dengan rasa
kaget yang terlihat dari Pitaloka dan Setan Liang
Makam. Lalu ucapan Setan Liang Makam yang menye-
butnya Nek....
“Aneh.... Ada apa ini?!” batin Kiai Laras. “Aku saat
ini masih menyamar sebagai Pendekar 131. Hanya saja
kini aku mengenakan jubah hitam ini. Tapi pandangan
mereka sepertinya tidak mengenalku.... Apakah
wajahku telah berubah?!” Kiai Laras coba perhatikan
dirinya sendiri. Lalu tangan kanannya bergerak ke
arah wajahnya mengusap. “Kulit tipis penyamaran ini
masih melekat.... Jadi rupa ku masih mirip dengan
Pendekar 131.... Tapi mengapa setan ini memanggilku
Nenek...?! Ada yang tidak beres.... Atau jangan-jangan
setan satu itu sengaja mengejek ku?! Jahanam betul!”
Kiai Laras mulai geram. Laki-laki yang selama ini
menyamar sebagai Pendekar 131 murid Pendeta
Sinting ini belum menyadari jika dengan mengenakan
Jubah Tanpa Jasad yang ditemukannya di Istana
Sekar Jagat, maka sosok tubuhnya tidak kelihatan!
Kiai Laras memandang silih berganti pada Setan
Liang Makam dan Pitaloka. “Sekarang sudah tiba
saatnya bagiku menunjukkan siapa aku sebenarnya!
Kembang Darah Setan di tanganku. Sementara jubah
ini pasti bukan jubah sembarangan!”
Tanpa berkata apa-apa, Kiai Laras kembali gerak-
kan tangan kiri kanannya ke arah bagian atas leher-
nya. Lalu perlahan-lahan kedua tangannya bergerak
menarik kulit tipis yang melekat di bagian atas leher
sampai wajahnya. Kini terlihat jelas wajah di balik raut
muka yang tadi mirip dengan Pendekar 131 Joko
Sableng. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut.
Lalu kedua tangan Kiai Laras terus bergerak ke atas.
Tangan kanannya ditekankan pada rambutnya lalu
ditarik perlahan- lahan. Rambut yang semula hitam
panjang sebahu itu tertarik. Dan di bawahnya terlihat
geraian rambut panjang berwarna putih.
Kiai Laras tersenyum lalu campakkan kulit tipis dan
rambut palsunya ke atas tanah. Dia melirik pada
Pitaloka dan Setan Liang Makam. Kiai Laras mendelik
dengan menyeringai membayangkan perasaan marah.
Namun sebenarnya justru rasa kaget lebih terbayang
di parasnya! Karena ternyata Pitaloka dan Setan Liang
Makam tidak menunjukkan rasa terkejut melihat
bagaimana dia bersalin rupa!
“Bangsat sialan! Apa mereka telah tahu sebelumnya
jika aku menyamar?! Hem.... Jangan-jangan Lidah
Wetan yang membocorkan rahasia ini! Tapi peduli
setan dengan semua itu.... Aku telah mendapat apa
yang kuinginkan! Mereka berdua harus mampus saat
ini juga! Mereka pasti tengah mencari-cari Kembang
Darah Setan.... Dan siapa pun yang punya niat begitu,
harus segera kusingkirkan!”
Kiai Laras sudah akan angkat bicara. Namun tiba
tiba mulutnya mengatup lagi kala sepasang matanya
melihat sebuah pedang menancap di atas tanah.
Waktu pertama kali muncul tadi, laki-laki ini memang
tidak begitu memperhatikan. Dia puri hanya menden-
gar sepintas percakapan antara Pitaloka dan Setan
Liang Makam. Yang menarik perhatiannya adalah
Setan Liang Makam. Sebagai pemilik Kembang Darah
Setan, Setan Liang Makam pasti selamanya tidak akan
tinggal diam. Untuk itulah Kiai Laras sudah memu-
tuskan hendak menyingkirkan Setan Liang Makam.
“Melihat angkanya, pasti pedang itu milik Pendekar
131! Hem.... Ternyata nasibku baik! Aku bisa mempe-
roleh barang sakti....”
Sementara itu di seberang sana, Pitaloka dan Setan
Liang Makam tampak masih diam mematung. Pitaloka
tak tahu harus berbuat apa. Hingga untuk beberapa
lama dia hanya pandangi jubah hitam yang tampak
bergerak-gerak. Namun sedikit banyak dia mulai
merasa gelagat tidak baik. Apalagi ketika mendengar
Setan Liang Makam perdengarkan sapaan pada jubah
hitam dengan sebutan Nenek. Di lain pihak, Setan
Liang Makam juga menunggu. Karena sapaannya
belum juga mendapat sambutan.
“Kalian berdua ingin selamat?!” Tiba-tiba terdengar
suara dari jubah hitam.
Pitaloka terdiam dengan dada berdebar. Di lain pi-
hak, Setan Liang Makam tercengang. Telinganya
laksana disambar petir begitu mengenali jika suara
yang baru saja terdengar adalah suara seorang laki-
laki!
Tanpa sadar, Setan Liang Makam segera berteriak.
“Siapa kau?!”
Kiai Laras tersenyum. “Matamu telah melihat siapa
aku! Aku perlu jawaban dari kau dan kau!” Kiai Laras
arahkan telunjuk jari tangannya pada Setan Liang
Makam dan Pitaloka. Kiai Laras tidak sadar kalau baik
Setan Liang Makam maupun Pitaloka tidak bisa
melihat gerakan tangannya.
“Jawab! Kalian berdua ingin selamat?!” Kembali Kiai
Laras ulangi pertanyaan.
Setan Liang Makam tidak segera menjawab. Da-
danya masih dibuncah dengan berbagai tanya dan
duga. Namun satu hai yang pasti, jubah hitam di
depan sana diyakininya adalah Jubah Tanpa Jasad
milik nenek moyangnya.
Sementara Pitaloka bisa menangkap ke mana ge-
rangan arah pertanyaan orang. Hingga tanpa berusaha
buka mulut menjawab pertanyaan orang, mata melirik
pada pedang yang menancap di atas tanah.
“Aku harus segera mengambilnya! Siapa pun
adanya manusia di balik jubah aneh itu, pasti dia
menginginkan pedang itu!”
“Baik! Mulut kalian tidak ada yang berani bersuara!
Kalian dengar baik-baik! Kalau kalian berdua ingin
selamat, jangan ada yang berani lakukan gerakan!
Tetap di tempat kalian masing-masing! Jika kulihat
kalian ada yang berani lakukan gerakan, itu pertanda
nasib buruk!”
“Siapa manusia di baliknya?! Jangan-jangan pende-
kar jahanam itu! Bukankah dia masih memegang
Kembang Darah Setan asli?! Tapi bagaimana mungkin
dia bisa tahu tempat Jubah Tanpa Jasad?! Dan
seandainya dia tahu, apakah Nyai Suri Agung tidak
berusaha menghalanginya?!” Setan Liang Makam pura-
pura turuti ucapan orang tidak terlihat di balik sosok
jubah hitam dengan terus menduga-duga. Namun
diam-diam dia kerahkan segenap tenaga dalamnya.
Di seberang samping, Pitaloka juga pura-pura turuti
perintah orang. Namun dia telah mengukur jarak dan
tahu kapan harus bergerak jika dugaannya tidak
meleset.
Sementara di seberang sana, begitu selesai berucap,
Kiai Laras melangkah maju perlahan-lahan dengan
mata melirik pada Setan Liang Makam, Pitaloka, serta
Pedang Tumpul 131. Baik Pitaloka maupun Setan
Liang Makam hanya melihat gerakan jubah yang
melayang terapung di udara.
Kiai Laras hentikan langkah delapan tindak dari
Setan Liang Makam. “Kau!” kata Kiai Laras pada Setan
Liang Makam seraya tunjukkan jari tangan. “Mundur-
lah ke belakang!”
Meski tidak melihat gerakan jari serta wajah orang,
tapi Setan Liang Makam tahu jika dirinya yang diperin-
tah orang.
“Kau dengar ucapanku! Atau kau ingin cari mam-
pus?!” ujar Kiai Laras.
Perlahan-lahan Setan Liang Makam gerakkan kaki
menyurut. Tapi sekonyong-konyong dia menghentak.
Sosoknya melesat ke depan. Kedua tangannya berge-
rak lepas pukulan.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang dahsyat menderu ganas. Gelombang
itu membawa serta semburatan warna hitam serta
hawa luar biasa panas.
Meski Kiai Laras sudah waspada, namun karena
kali ini Setan Liang Makam kerahkan hampir segenap
tenaga dalam yang dimiliki, maka lesatan gelombang
itu laksana sambaran kilat. Hingga baru saja Kiai
Laras sentakkan kedua tangannya. Gelombang dari
Setan Liang Makam sudah menggebrak!
Kiai Laras perdengarkan lolongan tinggi. Sosoknya
langsung mental mencelat dua tombak dan jatuh
terjengkang di atas tanah. Namun ada keanehan.
Meski Kiai Laras rasakan sosoknya terhantam gelom-
bang, namun dia merasakan ada tabir yang mengha-
langinya. Hingga walau tubuhnya mencelat namun dia
tidak mengalami luka berarti!
Di depan sana, Setan Liang Makam tercekat. Ge-
lombang pukulan yang baru saja melabrak Kiai Laras
laksana menghantam tembok. Lalu memantul dan kini
berbalik melabrak ganas ke arahnya!
Setan Liang Makam sadar apa yang akan terjadi
padanya jika pukulan yang tadi dilepas melabrak ke
tubuhnya. Maka begitu tahu pukulannya mental balik,
dia cepat-cepat hantamkan kembali kedua tangannya.
Bummm!
Serta-merta tempat itu dirancah gelegar luar biasa
keras. Pedang Tumpul 131 kembali bergoyang-goyang
pulang balik pantulkan cahaya angker dan deruan
ganas. Sosok Setan Liang Makam langsung tersapu
dan jatuh terduduk dengan mulut berseru tertahan.
Tangan kanannya yang bergetar bergerak ke atas
mengusap darah yang ternyata mengucur dari mulut-
nya.
“Luar biasa.... Ini pasti akibat jubah yang kupakai!”
gumam Kiai Laras mendapati apa yang terjadi. Hatinya
bersorak. Dan dengan cepat dia bergerak bangkit. Lalu
melompat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak di mana
dia tadi berdiri.
Di depan sana, Setan Liang Makam menatap tegang
pada Jubah Tanpa Jasad. Dia kini maklum kalau
terlalu berat jika berhadapan dengan orang yang
menggunakan Jubah Tanpa Jasad. Dia tahu, dengan
mentalnya sosok si pemakai Jubah Tanpa Jasad,
menunjukkan jika si pemakai ilmunya tidak berada di
atasnya. Kalaupun si pemakai tidak mengalami cedera
yang berarti malah pukulannya mental, semata-mata
karena orang itu mengenakan Jubah Tanpa Jasad.
“Kau telah kuberi peringatan, Setan Alas! Tapi kau
ingin nasib itu ditentukan sekarang! Aku akan turuti
kemauanmu!” Kiai Laras angkat kedua tangannya.
Walau tidak melihat gerakan orang, tapi Setan Liang
Makam seakan tahu apa yang tengah dilakukan Kiai
Laras. Dia cepat lipat gandakan tenaga dalamnya.
Dalam keadaan seperti itu, Setan Liang Makam tidak
pikirkan lagi kehebatan Jubah Tanpa Jasad. Yang
terpikir adalah bagaimana bisa menghadang pukulan
orang!
Kesempatan ini tampaknya tidak disia-siakan Pita-
loka. Begitu sadar dari kesimanya melihat apa yang
baru saja terjadi, dia segera melompat ke arah Pedang
Tumpul 131!
Namun belum sampai kedua tangan Kiai Laras ber-
gerak, dan belum sempat Pitaloka berkelebat, seko-
nyong-konyong terdengar orang bersin beberapa kali
lalu disambut suara tawa cekikikan seorang perem-
puan!
***
DUA BELAS
PITALOKA, Setan Liang Makam, dan Kiai Laras sa-
ma tersentak. Namun Pitaloka adalah orang pertama
yang palingkan kepala. Dia melihat seorang kakek
berpakaian agak lusuh duduk bersimpuh dengan satu
tangan memegang tongkat kayu. Sedang tangan
satunya diletakkan di atas pahanya. Kepalanya selalu
bergerak pulang balik ke depan ke belakang dengan
raut muka seperti orang hendak bersin.
Di sebelah si kakek tegak berdiri seorang perem-
puan berusia lanjut. Sesaat Pitaloka sempat menahan
tawa melihat bagaimana dandanan si nenek. Karena
meski telah nenek-nenek, dandanan perempuan ini
laksana gadis muda saja. Dia membedaki mukanya
tebal sekali. Bibirnya dipoles merah menyala. Pipi
kanan kirinya pun tampak diberi polesan pewarna
merah muda. Rambutnya yang telah putih dikelabang
dua dan pada ujung kelabangan rambutnya diberi pita.
Bagian depan rambutnya diponi dan digeraikan di
depan kening. Nenek ini mengenakan pakaian atas
berupa baju tanpa lengan dan sangat cingkrang.
Hingga ketiak dan pusarnya kelihatan. Sementara
pakaian bawahnya berupa celana pendek di atas lutut.
Nenek ini berkulit hitam, hingga dandanannya yang
seronok tidak menambah kecantikan wajahnya,
namun justru membuat sosok tampangnya jadi angker
menakutkan!
“Aku belum pernah bertemu dan tidak kenal dengan
mereka! Dengan kemunculan mereka pasti membuat
urusan di tempat ini makin tidak karuan! Aku harus
segera mendapatkan pedang itu kembali....” Pitaloka
segera palingkan kepalanya ke arah Pedang Tumpul
131.
Setan Liang Makam adalah orang kedua yang ber-
paling. Matanya langsung mendelik tak berkesip tatapi
dua sosok yang baru muncul. “Aku pernah bertemu
dengan laki-laki yang duduk bersimpuh di dekat
Jurang Tlatah Perak. Dia memiliki ilmu ‘Pantulan
Tabir’. Pasti dia bukan lain adalah Galaga.... Hem....
Sayangnya Kembang Darah Setan tidak berada di
tanganku.... Tapi bukan berarti aku tidak bisa mem-
bunuhnya. Bukan tak mungkin kebocoran rahasia
Kampung Setan dialah biang keroknya!”
Setan Liang Makam arahkan pandang matanya ke
perempuan yang tegak di samping si kakek yang
duduk bersimpuh yang bukan lain memang Galaga
alias Datuk Wahing. Orang luar dari generasi Kam-
pung Setan yang sempat diambil murid oleh Nyai Suri
Agung, nenek dari Maladewa alias Setan Liang Makam
sendiri yang juga saudara seperguruan Setan Liang
Makam.
“Waktu yang habis terkubur di tempat makam cela-
ka itu membuatku tidak banyak mengenal orang. Aku
tidak mengenali siapa adanya nenek berdandan slebor
itu! Namun dari gelagatnya, dia bukan manusia
sembarangan....”
Orang ketiga yang palingkan kepala adalah Kiai
Laras. Namun karena sosok laki-laki ini tidak keliha-
tan, semua orang tidak tahu bagaimana sikap Kiai
Laras. Ternyata laki-laki ini adalah orang yang tidak
begitu terkejut meski kemunculan kedua orang tadi
sempat membuatnya tersentak.
Kiai Laras pandangi kedua orang di seberang sana
dengan bibir tersenyum. “Datuk Wahing dan Dayang
Sepuh.... Kemunculannya yang bersamaan tentu
bukan satu kebetulan! Dan itu menunjukkan kalau
mereka punya satu maksud tertentu! Mereka berdua
boleh memiliki ilmu tinggi. Tapi saat sekarang ini
akulah yang paling berhak dianggap sebagai manusia
yang paling tinggi! Dan mereka berdua akan membuk-
tikannya! Mereka berdua termasuk orang yang harus
kusingkirkan! Orang seperti mereka dapat menjadi
batu sandungan!”
Setelah membatin begitu, Kiai Laras yang kini me-
rasa yakin pada dirinya, segera buka mulut merobek
kesunyian yang agak lama menggantung di tempat itu.
“Datuk Wahing, Dayang Sepuh! Kalian datang tepat
pada waktunya! Dan kuharap kalian telah menikmati
kebersamaan kalian selama ini. Dengan begitu mati
pun kalian sudah tidak merasa menyesal lagi!”
Mendengar ucapan orang, Dayang Sepuh berpaling
ke arah Datuk Wahing. Saat muncul tadi, Dayang
Sepuh sempat terkesima melihat jubah hitam yang
menggantung di udara tanpa melihat sosok orang yang
mengenakannya. Namun rasa kesimanya lenyap ketika
Datuk Wahing segera berbisik pelan. “Nek.... Itulah
Jubah Tanpa Jasad yang lenyap dari Istana Sekar
Jagat di Kampung Setan....”
“Kau dapat menduga siapa di balik jubah hitam
itu?!” tanya Dayang Sepuh begitu kepalanya berpaling
dengan suara direndahkan.
Dengan tanpa hentikan gerakan kepalanya yang
pulang balik ke depan ke belakang, Datuk Wahing
menggumam. “Sulit mengetahui siapa yang berada di
balik jubah hitam itu. Tapi melihat Jubah Tanpa Jasad
hanya bisa ditembus dengan Kembang Darah Setan,
pasti orang di balik jubah itu sekarang membekal pula
Kembang Darah Setan. Sekarang kita tinggal memasti-
kan siapa adanya orang yang memegang Kembang
Darah Setan. Karena pasti orang itulah di balik Jubah
Tanpa Jasad itu....”
“Waktu di dekat sendang beberapa waktu yang lalu,
aku memang bisa mencium aroma kembang. Sayang-
nya orang itu mengenakan samaran sebagai pemuda
geblek itu! Seandainya tidak, tentu aku dapat memas-
tikan orang itu...,” ujar Dayang Sepuh teringat akan
pertemuannya dengan seorang pemuda yang mengaku
sebagai Joko Sableng namun Dayang Sepuh bisa
melihat jika orang itu bukan Joko Sableng.
“Sebenarnya sedikit banyak aku bisa menduga.
Namun keadaan bisa saja berubah!” kata Datuk
Wahing menyambut ujaran Dayang Sepuh.
“Siapa dugaanmu?! Dia sepertinya mengenali kita.
Pasti aku juga mengenalnya!” kata Dayang Sepuh.
“Tidak jauh dari sendang itu, sebenarnya aku juga
berjumpa dengan Kiai Laras. Saat itu aku yakin jika
Kiai Laras membekal Kembang Darah Setan. Namun
mungkin saja Kiai Laras memberikan Kembang Darah
Setan pada orang lain. Dan orang lain itulah yang
mungkin mengenakan jubah hitam itu....”
“Tapi mana mungkin benda sakti begitu rupa dis-
erahkan pada orang lain?!”
“Kemungkinannya memang sangat kecil bahkan
hampir tak mungkin. Tapi apa pun di dunia ini adalah
serba mungkin! Yang jelas kita harus berhati-hati....
Dia tidak suka dengan kehadiran kita.... Kalau terjadi
apa-apa, kau perhatikan pedang yang menancap di
tanah itu!”
“Dari angkanya, pasti pedang itu milik pemuda geb-
lek Pendekar 131 Joko Sableng!”
“Benar.... Dan perhatikan gadis berbaju merah itu.
Gelagatnya dia seperti sedang menunggu kesempatan
untuk mengambilnya!”
“Bagaimana pedang itu bisa jatuh ke tangan orang
lain?!” tanya Dayang Sepuh. “Pasti pemuda itu telah
bertindak tolol!”
“Itulah.... Segala sesuatu serba mungkin.... Bahkan
terhadap hal yang bagi kita sepertinya mustahil....”
Selagi Datuk Wahing sedang berbisik-bisik dengan
Dayang Sepuh, tiba-tiba Kiai Laras telah angkat bicara
lagi.
“Datuk Wahing, Dayang Sepuh! Tunggulah sampai
giliran kalian datang! Aku akan selesaikan urusan
dengan manusia setan itu!” Kiai Laras tunjukkan
jarinya ke arah Setan Liang Makam.
“Bruss! Brusss! Jangan membuatku tambah heran,
Sobat! Kedatanganku bersama sahabatku ini bukan
cari perkara! Lagi pula di antara kita tidak ada sesuatu
yang mengherankan yang disebut silang sengketa....”
“Hem.... Apa kau kira membunuh seseorang diha-
ruskan ada silang sengketa?!” tanya Kiai Laras lalu
tertawa panjang.
“Bruss! Memang tidak.... Tapi hal itu akan membuat
siapa pun terheran-heran!”
“Simpan dahulu keheranan mu, Datuk Wahing! Dan
kau harus hadapi keheranan mu sebagai kenyataan!
Karena bagiku, tidak aneh lagi membunuh tanpa
adanya silang sengketa!”
“Brusss! Brusss! Permintaanmu yang mengheran-
kan akan kuterima dengan baik! Cuma kalau kau
tidak keberatan apalagi merasa heran, harap kau sudi
katakan siapa dirimu!”
Kiai Laras tampak kernyitkan dahi. Untuk kedua
kalinya dia merasa ada yang tidak beres dengan
dirinya. “Aneh.... Tadi Setan Liang Makam memanggil-
ku Nenek. Sekarang dia ingin tahu siapa diriku!
Bagaimana ini...?! Padahal aku telah lama mengenal-
nya! Demikian pula sebaliknya.... Atau dia sedang
bercanda?!”
“Datuk Wahing! Aku tak akan jawab pertanyaan
tololmu itu! Kau telah melihat sendiri siapa aku!” kata
Kiai Laras.
“Bruss! Itu benar! Yang masih membuatku heran,
siapa kau sebenarnya?!”
Kiai Laras tertawa panjang mendengar ucapan Da-
tuk Wahing. Sambil berkacak pinggang dan kepala
mendongak, dia berucap.
“Setiap manusia tidak selalu ingin diketahui siapa
dia sebenarnya! Apalagi jika manusia itu hidup dalam
kancah rimba persilatan! Jadi kau tidak akan bisa
mendapat keterangan yang kau minta! Kau bisa
mengenaliku sebatas apa yang kau lihat dan kau
dengar!”
Saat itulah mendadak di seberang sana Pitaloka
telah membuat gerakan. Dia melesat ke arah Pedang
Tumpul 131 dan dengan cepat kedua tangannya
berkelebat menyambar.
Dayang Sepuh yang sedari tadi memperhatikan ge-
rak-gerik Pitaloka cepat sentakkan tangan kanannya.
Sementara Setan Liang Makam dan Kiai Laras cepat
berpaling. Kedua orang ini juga tidak tinggal diam.
Tangan masing-masing orang sama bergerak, karena
sudah tidak mungkin lagi menghadang laju sosok
Pitaloka dengan berkelebat.
Wuutt! Wuutt! Wuutt!
Wuss! Wuss! Wuuss!
Hampir bersamaan, tiga gelombang dahsyat meng-
gebrak ganas ke arah sosok Pitaloka.
Pitaloka terkesiap. Namun karena lebih dekat pada
gagang pedang, dia tidak hiraukan lagi gelombang
yang datang menggebrak. Dia teruskan gerakan kedua
tangannya menyambar Pedang Tumpul 131.
Gagang pedang telah tersentuh tangan kanan Pita-
loka. Namun belum sempat gadis ini membuat gerakan
menarik, gelombang yang melesat dari tangan kanan
Dayang Sepuh sudah datang menghempasi
Pitaloka menjerit. Tangan kanannya yang sudah
menyentuh gagang pedang terpental ke belakang.
Sosoknya tersapu hingga satu tombak dan jatuh
terjengkang di atas tanah! Namun terjengkangnya
gadis ini menyelamatkannya dari gelombang susulan
yang dilepas oleh Setan Liang Makam dan Kiai Laras.
Gelombang dahsyat itu lewat dua jengkal di atas
kepala Pitaloka! Lalu menghantam tanah agak tinggi
jauh di belakang sana.
Terdengar dentuman keras. Tanah agak tinggi di
belakang sana langsung muncrat ke udara porak-
poranda. Tanah bergetar keras dan sesaat pemandan-
gan tertutup oleh hamburan tanah.
“Gadis binal! Kau telah kuberi peringatan! Jangan
berani membuat gerakan! Tapi nyatanya kau sama
tololnya dengan manusia setan ini! Kau akan meneri-
ma nasib sama dengannya!” teriak Kiai Laras.
Pitaloka tidak pedulikan ancaman Kiai Laras. Da-
danya bergemuruh marah melihat Dayang Sepuh
menghalangi gerakannya. Hingga begitu dia bergerak
bangkit, dia segera arahkan pandang matanya pada
Dayang Sepuh.
“Nenek slebor! Aku tak peduli siapa kau adanya!
Yang jelas kau telah berani membuat urusan dengan-
ku! Aku siap melayani apa keinginanmu!”
“Hem.... Begitu?!” ujar Dayang Sepuh. Bersamaan
dengan itu si nenek melesat ke depan dan tahu-tahu
sosoknya telah tegak lima langkah di hadapan Pitalo-
ka. “Aku tidak punya keinginan apa-apa, Anak Ga-
dis.... Kalaupun aku masih punya keinginan dan
sampai saat ini belum juga terpenuhi, itu adalah
keinginanku kawin lagi dengan seorang pemuda gagah
putra seorang pangeran.... Apa kau kira-kira bisa
melayani keinginanku...?!”
Pitaloka menyeringai. “Keinginan gila! Aku bertanya.
Kau sudah sering berkaca dan melihat keadaan
sendiri?!”
Tangan kiri Dayang Sepuh bergerak terangkat men-
gambil satu kelabangan rambutnya dan dipilin-pilin.
Sedangkan tangan kanannya terangkat ke atas menata
poni di depan keningnya.
“Dalam sehari, aku berkaca dua puluh lima kali.
Dan kurasa, keinginanku adalah wajar-wajar saja!
Tidak sampai pada tingkat gila.... Yang gila adalah
keinginan untuk mengambil milik orang lain.... Bu-
kankah begitu, Gadis Cantik nan Jelita?!”
Sesaat Pitaloka tergagu diam. Tapi saat lain dia te-
lah membentak garang.
“Kau mengira pedang itu milik orang lain, begitu?!”
Masih dengan memilin kelabangan rambutnya dan
melirik, Dayang Sepuh anggukkan kepala seraya
berucap kalem.
“Apa kau mengira pedang itu milikmu...?!”
“Aku memang bukan pemiliknya! Namun aku yang
membawanya! Dan aku harus menjaganya dari tan-
gan-tangan jahil yang hendak mengambilnya termasuk
tanganmu! Bukankah kau juga menginginkannya?!”
“Pedang itu bukan milikmu.... Tapi kau bisa mem-
bawanya! Jadi tidak salah bukan kalau aku punya niat
yang sama denganmu?! Aku tidak menginginkannya,
aku cuma ingin membawanya! Dan kurasa aku bisa
menjaganya....”
“Jangan kira aku tidak tahu apa yang ada dalam
benakmu, Nenek Slebor!”
“Hem.... Rupanya kau pandai juga melihat hati
orang! Mau katakan padaku apa sebenarnya yang ada
dalam benakku?!” tanya Dayang Sepuh seraya melirik
pada Setan Liang Makam dan Jubah Tanpa Jasad.
“Kau ingin memiliki pedang itu!” sahut Pitaloka
dengan suara lantang.
Dayang Sepuh tertawa pendek. “Kau harus belajar
lagi soal tebak menebak isi hati orang, Anak Gadis....”
“Setiap orang berkeinginan busuk, mana mungkin
mau mengaku!”
“Hem.... Begitu?! Aku sekarang tanya padamu.
Seandainya kau punya benda keramat, apa mungkin
kau memberikannya pada orang lain?!”
“Lihat dulu siapa yang diberi! Dan itu mungkin sa-
ja!”
“Bagus.... Sekarang jawab lagi satu pertanyaanku.
Apa hubunganmu dengan pemuda bergelar Pendekar
131 Joko Sableng?!”
Paras wajah Pitaloka berubah. Dia terdiam beberapa
lama tak tahu harus menjawab bagaimana. Namun
pada akhirnya dia berujar.
“Dia adalah sahabatku....”
“Betul?!” tanya Dayang Sepuh sambil tersenyum.
“Persetan kau percaya atau tidak!” sahut Pitaloka.
“Anak gadis.... Sekarang ini sahabatmu itu sedang
menghadapi urusan besar. Apakah mungkin dalam
keadaan begini dia memberikan pedangnya padamu?!
Meski seandainya kau adalah kekasihnya!”
“Itu tak mungkin terjadi! Ha.... Ha.... Ha...!” Tiba-
tiba satu suara jawaban terdengar. Namun bukan dari
mulut Pitaloka. Juga bukan diperdengarkan oleh Setan
Liang Makam atau Kiai Laras. Datuk Wahing pun
tampak kancingkan mulut.
Semua orang di situ tampaknya maklum jika ada
orang yang hadir lagi di tempat itu. Hingga hampir
bersamaan, semua kepala berpaling.
SELESAI
Segera ikuti lanjutannya!!!
Serial Pendekar Pedang Tumpul 131
Joko Sableng
dalam episode :
KUTUK SANG ANGKARA
0 comments:
Posting Komentar