..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 02 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE KEMBANG DARAH SETAN

 

JOKO SABLENG EPISODE KEMBANG DARAH SETAN

Hak cipta dan copy right pada penerbit

di bawah lindungan undang-undang

Joko Sableng telah Terdaftar pada

Dept. Kehakiman R.I.

Direktorat Jenderal Hak Cipta,

Paten Merek di bawah nomor 012875



SATU


LINTASAN bumi telah lama dibungkus sang 

malam. Rembulan merah dadu mengambang di per-

mukaan langit yang hitam angker, membuat hamparan 

bumi samar-samar membentuk warna merah saga.

Laksana dikejar setan, satu bayangan hitam 

tampak berkelebat cepat melintasi rimba belantara le-

bat dan gelap. Sosok bayangan itu tiba-tiba lenyap. 

Bayangan kelebatannya baru terlihat lagi tatkala dia 

muncul di ujung belantara yang berbatasan dengan 

pesisir.

Pada satu tempat tidak jauh dari pesisir, si 

bayangan hitam hentikan larinya. Dia tegak tak berge-

rak dengan kepala mendongak. Saat lain kepala orang 

ini berpaling ke kanan. Lalu perlahan-lahan kakinya 

bergerak melangkah. Orang ini baru hentikan lang-

kahnya lagi tatkala sejarak lima tombak di hadapan-

nya tampak julangan beberapa batu karang.

Untuk beberapa saat, orang ini edarkan pan-

dangannya berkeliling menembusi kegelapan. Kedua 

tangannya bergerak terangkat lalu merangkap di de-

pan dada. Dia pasang telinga baik-baik. Pandangan 

matanya jelas tidak melihat apa-apa di depan sana. 

Tapi pendengarannya dengan jelas dapat menangkap 

suara-suara aneh dari balik julangan batu karang. Su-

ara itu mirip desahan-desahan panjang orang yang se-

dang menunggu saat ajal. Namun saat lain suara itu 

berubah menjadi dengusan keras.

Orang yang tegak dengan kedua tangan me-

rangkap di dada edarkan mata sekali lagi. Kejap lain 

sosoknya telah melesat ke depan. Tahu-tahu orang ini 

telah berada di puncak salah satu julangan batu ka


rang.

Ternyata julangan di mana orang berada adalah 

salah satu julangan batu karang yang berjajar meling-

kari sebuah tempat terbuka. Alam telah membentuk 

tempat terbuka itu sedemikian rupa hingga tempat itu 

laksana bekas puing-puing reruntuhan kerajaan. Me-

lingkari tempat terbuka tampak beberapa julangan ba-

tu karang dengan permukaan tebing naik turun yang 

di ranggasi semak belukar dan ilalang tinggi. Tepat di 

tengah tempat terbuka, tampak sebuah gugusan batu 

agak panjang yang di bagian ujung-ujungnya tertancap 

batu pipih. Pada bagian atas salah satu ujung gugusan 

batu terlihat sebuah altar dari batu cadas putih.

"Kampung Setan! Ternyata keadaannya lebih 

menggidikkan daripada namanya!" gumam orang yang 

berdiri di atas salah satu julangan batu karang yang 

melingkari tempat terbuka.

"Tidak terlihat adanya siapa-siapa, namun jelas 

terdengar desahan-desahan orang sekarat!" Orang ini 

gerakkan kepala tengadah memandangi rembulan. 

"Hari ketiga belas purnama ketiga.... Tiga belas ribu ti-

ga puluh tiga hari.... Hem.,.. Mudah-mudahan perhi-

tungan itu tidak salah! Suara-suara desahan mungkin 

satu petunjuk kalau perhitungan itu...."

Gumaman orang belum selesai, tiba-tiba tem-

pat itu di buncah suara lolongan panjang bersahut-

sahutan. Namun cuma sekejap. Di lain saat suara lo-

longan lenyap. Keadaan berubah senyap!

Orang di atas julangan batu karang arahkan 

pandangannya pada gugusan batu berujung dua batu 

pipih yang mirip makam. Kalau bukan orang yang 

punya maksud tertentu dan tidak punya kepandaian 

sangat tinggi, sudah pasti orang di atas julangan batu 

karang akan pulang balik, karena bersamaan dengan


lenyap nya suara lolongan, kabut putih tampak turun 

dari jajaran lamping batu-batu karang di sekitar tem-

pat itu. Hingga pandang mata orang terhalang.

Setelah perhatikan sekali lagi, orang di atas ju-

langan batu karang berkelebat turun dan melangkah 

perlahan-lahan menembusi kabut. Namun langkahan 

orang ini tertahan tatkala mendadak dari tengah kabut 

terdengar lagi desahan-desahan panjang disusul lolon-

gan tinggi!

"Jahanam! Apa yang perlu ditakutkan! Dia bu-

tuh pertolongan!" desis orang seraya buka rangkapan 

kedua tangannya. Meski orang ini berusaha tepiskan 

perasaan takut, namun tak urung dadanya berdebar 

keras. Malah sosoknya tampak sedikit bergetar. Pa-

kaian yang dikenakan mulai basah.

Setelah dapat tenangkan gejolak dadanya, 

orang ini dorongkan kedua tangannya ke depan. Ter-

dengar deruan angker. Kabut putih tersibak dan benda 

di belakangnya terdengar berderak hancur. Gugusan 

batu membentuk makam bernisan batu pipih terlihat 

lagi. Bersamaan itu, suara desahan dan lolongan le-

nyap!

Orang itu tidak menunggu lama. Dia segera je-

jakkan kaki. Sosoknya melesat dan serta-merta sudah 

tegak lima langkah di samping gugusan batu makam. 

Namun kali ini dia tidak membuat gerakan apa-apa. 

Dia hanya memandang tak berkesip pada gugusan ba-

tu makam di hadapannya.

"Aku harus yakinkan dahulu jika suara desa-

han manusia sekarat tadi benar-benar berasal dari da-

lam makam itu! Aku tak boleh terkecoh! Orang mena-

makan tempat ini Kampung Setan. Siapa pun adanya 

manusia penghuninya, jelas akan lebih licik daripada 

setan!" Orang ini tegak dengan kepala sedikit digerak


kan mendongak. Telinganya dipasang baik-baik. Pan-

dang matanya tak beranjak dari batu makam.

Beberapa saat berlalu. Tak ada suara desahan 

dan lolongan. Keadaan sunyi mencekam. Orang di de-

kat makam luruskan kepalanya. Lalu melangkah maju 

empat tindak. Sepasang matanya melirik berkeliling. 

Perlahan-lahan dia jongkok. Lalu pandangi batu pipih 

di bagian ujung makam. Orang ini sorongkan kepala, 

sementara tangan kanannya bergerak ke batu pipih 

yang dibuat sebagai batu nisan. Tangan orang ini 

mengusap permukaan batu pipih.

"Kosong! Tak tertera nama!" gumamnya. Lalu 

orang ini bergerak sorongkan kepala ke kiri, ke batu 

pipih di ujung satunya. Tangan kirinya mengusap 

permukaan batu pipih.

"Sama!" desisnya sambil bergerak bangkit. Un-

tuk sekian kalinya, orang ini kembali tatapi gugusan 

batu yang membentuk makam. Dia menunggu. Namun 

hingga agak lama, suasana tetap sunyi.

"Hem.... Apa aku salah hitung?! Berarti aku ha-

rus menunggu sampai hari tiga belas purnama depan! 

Atau jangan-jangan...." Gumaman orang terputus. Te-

linganya jelas menangkap desahan suara meski hanya 

lamat-lamat. Suara itu seperti menggaung pada satu 

tempat dalam.

Orang di dekat makam buru-buru lipat tubuh-

nya dengan telinga diletakkan di gugusan batu ma-

kam. Namun orang ini terlengak. Baru saja telinganya 

menyentuh bagian atas batu makam, suara lolongan 

panjang terdengar. Bukan suara lolongan panjang itu 

yang membuat orang melengak kaget, tapi bersamaan 

dengan terdengarnya suara lolongan, pijakan kedua 

kakinya bergetar keras! Saat lain laksana disapu ge-

lombang luar biasa dahsyat, sosok orang ini terjengkang lima langkah dari batu makam!

"Keparat! Kekuatan apa yang baru saja meng-

hantam ku?!" Orang itu cepat bergerak bangkit. Den-

gan tabahkan hati, dia perlahan-lahan melangkah 

kembali ke dekat makam. Tapi belum sampai kakinya 

bergerak, satu suara terdengar.

"Siapa pun kau adanya yang saat ini ada di 

luar! Kau beruntung sekaligus celaka!"

Suara itu terdengar membahana sekalipun seo-

lah datang dari tempat yang sangat jauh dan dalam.

Orang di luar makam menahan napas. Sikap-

nya tegang. Hingga untuk beberapa saat orang ini kan-

cingkan mulut tidak menyambut suara yang baru saja 

terdengar. Dia kini yakin suara itu diperdengarkan 

orang dari dalam makam.

"Hem.... Apa yang belum kupercaya akhirnya 

jadi kenyataan! Makam itu berpenghuni! Tapi apa 

maksud ucapannya?! Beruntung sekaligus celaka...." 

Orang di luar makam membatin. "Lebih baik ku yakin-

kan dahulu, apakah penghuni ini benar-benar manu-

sia terakhir dari generasi Kampung Setan ini!"

Orang di luar makam kembali gerakkan kaki 

melangkah. Setelah kerahkan tenaga dalam dia per-

dengarkan suara.

"Apakah kau yang di dalam makam yang baru 

saja bersuara?!"

Terdengar desahan panjang. Disusul dengan 

suara. "Matamu tidak buta! Apakah kau melihat ada 

orang lain di situ, hah?!"

"Hem.... Bagus! Kau juga tidak tuli! Sekarang 

katakan siapa kau adanya!"

"Jahanam! Percuma kau datang pada saat yang 

tepat kalau kau masih bertanya!" terdengar suara dari 

dalam makam batu bernisan batu pipih.


"Kau belum tunjukkan tampang! Bagaimana 

aku tidak boleh bertanya?!"

"Kalau kau ingin tahu tampangku, mengapa 

kau masih diam, hah?!"

"Lalu apa yang harus kulakukan?!" tanya orang 

di luar makam.

"Jahanam! Jangan-jangan kau manusia yang 

tersesat jalan!"

Terdengar suara tawa pendek di luar makan. 

"Malam ini adalah hari ketiga belas purnama ketiga! 

Malam ini adalah hari yang ketiga belas ribu tiga puluh 

tiga hari kau berada di dalam makam! Apakah kete-

ranganku ini masih membuatmu mengatakan aku 

orang tersesat jalan?!"

"Kalau kau sudah tahu, mengapa kau masih 

bertanya siapa aku dan apa yang harus kau lakukan?!" 

suara dari dalam makam terdengar makin keras.

"Kau bisa berbuat licik, tapi aku bukan manu-

sia tolol!"

"Keparat! Apa maksudmu?!" tanya suara dari 

dalam makam.

"Aku tahu malam ini kau butuh pertolongan 

orang lain! Jadi hidup matimu berada di tanganku. Ki-

ta belum pernah bertemu. Sudah layak kau katakan 

siapa dirimu!"

Mendadak terdengar suara gelakan tawa pan-

jang dari dalam makam. Karena suara gelakan tawa itu 

membahana dan laksana datang dari tempat yang jauh 

dan dalam, suara tawa itu begitu menggidikkan. Begitu 

suara gelakan tawa lenyap terdengar suara.

"Ucapanmu tidak salah, Manusia! Tapi jangan 

lupa, kedatanganmu malam ini juga punya maksud 

tertentu! Dan apa yang kau inginkan nanti ada di tan-

ganku!"


Orang di luar makam balik perdengarkan suara 

tawa panjang. "Apa yang kuinginkan tidak sebanding 

jika ditukar dengan kebutuhan mu malam ini! Perlu 

kau tahu, tidak lama lagi pagi akan menjelang, semen-

tara tidak ada orang lain selain aku! Nyawamu hanya 

tinggal menunggu saat saja! Kalau aku tinggalkan 

tempat ini...." Orang di luar makam tertawa dahulu la-

lu lanjutkan ucapan. "Bukan saja dendammu tidak 

terbalas, lebih celaka lagi kau akan terkubur untuk se-

lamanya!"

Untuk beberapa lama tidak terdengar suara sa-

hutan dari dalam makam. Sementara orang di luar 

makam tampak gerakkan kepala berkeliling.

"Hai, Manusia!" kembali terdengar suara dari 

dalam makam. "Kau benar-benar manusia keparat! 

Apa kau kira begitu aku terkubur selamanya, kau 

akan dapatkan apa yang kau maksud, hah?!"

"Masih banyak sesuatu lain yang melebihi apa 

yang kini di tanganmu! Sekarang jangan banyak mu-

lut. Jawab saja semua pertanyaanku tadi!"

Tidak ada sahutan dari dalam makam. Orang di 

luar makam dongakkan kepala lalu berujar. "Rupanya 

kau lebih suka terkubur selamanya! Bagus! Tunggulah 

saat-saat kematianmu! Selamat tinggal!"

Meski orang di luar makam telah mengucapkan 

begitu, namun orang ini tidak beranjak dari tempat-

nya.

"Tunggu!" tiba-tiba terdengar suara dari dalam 

makam. "Aku akan jawab pertanyaanmu...." Suara dari 

dalam makam terputus sejenak. Orang di dalam ma-

kam sepertinya menunggu sahutan dari luar makam. 

Namun hingga ditunggu agak lama orang di luar tidak 

perdengarkan sahutan, terdengar lagi suara dari dalam 

makam.


"Hai! Kau masih berada di luar?!"

Orang di luar tidak menyahut. Malah dia tidak 

berani membuka suara, membuat suara dari dalam 

makam terdengar kembali. "Hai! Kau masih di luar, 

bukan?!"

"Sudah kukatakan jangan banyak mulut!" 

Orang di luar makam membentak garang.

Terdengar desahan panjang. "Aku Setan Liang 

Makam!! Sekarang akan kukatakan apa yang harus 

kau...."

"Katakan sekali lagi siapa kau adanya!" potong 

orang di luar makam.

"Setan Liang Makam!"

"Hem.... Berarti bukan kau orang yang butuh 

bantuan!" Orang di luar makam cepat angkat bicara 

menyahut.

"Tunggu! Setan Liang Makam adalah gelar yang 

ku pakai begitu aku dimakamkan di tempat terkutuk 

ini! Aku sebenarnya adalah Maladewa, generasi terak-

hir dari Penguasa Kampung Setan!"

"Bagus! Aku sekarang tanya, kau masih ingin 

keluar dan hidup?!" tanya orang di luar makam.

"Jahanam!" kata orang yang sebutkan diri se-

bagai Maladewa yang kini telah bergelar Setan Liang 

Makam. "Aku tak akan katakan siapa diriku kalau in-

gin mampus!"

"Apa yang dapat kau berikan padaku kalau aku 

mengeluarkan mu?!"

Tidak ada suara sahutan. Orang di luar makam 

arahkan pandangannya pada gugusan batu makam. 

"Kau tahu tentang sebuah senjata sakti Kembang Da-

rah Setan?!"

Hanya suara desahan panjang yang terdengar, 

tanpa adanya suara. Orang di luar makam tertawa


pendek, lalu berucap. "Kau bukan Maladewa generasi 

terakhir Penguasa Kampung Setan!"

Habis berkata begitu, orang di luar makam me-

langkah. Tapi gerakan langkahnya tertahan tatkala ti-

ba-tiba dari dalam makam terdengar lagi ucapan. 

"Tunggu! Aku tahu tentang Kembang Darah Setan! Itu 

adalah barang pusaka peninggalan Penguasa Kampung 

Setan ini!"

"Hem.... Apa Kembang Darah Setan ada pada-

mu?!" "Aku tak mau jawab sebelum kau lakukan sesu-

atu untukku!"

"Malam ini aku yang punya kuasa atas nyawa-

mu! Jangan minta sesuatu sebelum kau jawab semua 

tanya ku. Kau dengar?!"

Terdengar makian panjang pendek. "Tak kudu-

ga sama sekali kalau benda pusaka itu yang diingin-

kan manusia jahanam ini!" bisik Maladewa alias Setan 

Liang Makam. Lalu bertanya. "Kau inginkan Kembang 

Darah Setan?!"

Orang di luar makam tertawa panjang. "Kurasa 

benda itu tidak ada apa-apanya dibanding bantuan 

yang akan kau minta dariku!"

"Persetan! Lebih baik aku terkubur di sini dari-

pada memberikan benda itu padamu!"

"Hem.... Begitu?! Apa kau kira aku tak bisa 

mengambil Kembang Darah Setan setelah nyawamu 

putus?! Apa kau kira aku tak tahu bagaimana mem-

buka makam ini, hah?!"

"Kau sangka aku percaya dengan gertakan 

mu?!" Setan Liang Makam balik bertanya.

Orang di luar makam putar kepala perhatikan 

julangan batu karang yang laksana memagari tempat 

di mana gugusan makam batu berada. Lalu berucap.

"Julangan batu karang berjumlah tiga belas.

Aku tinggal menghancurkan julangan nomor satu yang 

lurus di sebelah kanan makam, lalu nomor tiga dan 

nomor tiga belas. Masih kurang keteranganku?!"

"Jahanam sialan! Manusia ini benar-benar tahu 

semuanya! Apa...."

"Jangan banyak menunda waktu!" kata orang 

di luar makam memutus gumaman Setan Liang Ma-

kam.

"Baik! Kembang Darah Setan akan kuberikan 

padamu! Tapi aku harus keluar dahulu dari tempat 

laknat ini!"

"Aku bukan manusia tolol! Aku ingin. buktikan 

dahulu kalau kau benar-benar Maladewa dan Kem-

bang Darah Setan berada di tanganmu!"

"Bangsat! Bagaimana kau bisa buktikan kalau 

aku belum keluar dari sini?!" "Itu urusanku! Kau tung-

gulah!"

*

* *

DUA



ORANG di luar makam arahkan pandangannya 

pada julangan batu karang tepat lurus di sebelah ka-

nan gugusan batu yang membentuk makam. Kejap 

lain orang ini telah membuat lompatan satu kali. Ge-

rakannya serta-merta membawa dirinya tahu-tahu te-

lah tegak hanya sejarak lima langkah dari hadapan ju-

langan batu karang yang tepat lurus di samping batu 

makam.


Sejenak orang ini memandangi julangan batu 

karang di hadapannya. Saat lain kedua tangannya te-

lah terangkat ke belakang. Lalu disentakkan ke depan.

Wuuutt! Wuuttt!

Satu gelombang angin berkelebat angker meng-

hantam julangan batu karang. Sejenak julangan batu 

karang tidak bergeming. Namun di lain saat tiba-tiba 

terdengar suara bergemuruh dahsyat!

Bummm!

Julangan batu karang laksana disapu kekuatan 

luar biasa. Tempat di mana batu karang tegak menju-

lang bergetar hebat. Lalu batu karang itu longsor den-

gan pecah berantakan! Anehnya, tidak satu pun peca-

han batu karang itu yang mencelat mental!

Bersamaan dengan ambruknya julangan batu 

karang, tiba-tiba gugusan batu makam bergetar. Se-

saat kemudian batu pipih sebelah kanan di ujung ma-

kam retak dan kejap lain batu pipih itu mencelat ke 

udara meninggalkan lobang memanjang sebesar satu 

jengkal!

"Jahanam! Apa yang kau lakukan?!" terdengar 

teriakan dari dalam makam. Karena ujung makam te-

lah berlobang, maka teriakan itu mencuat membaha-

na.

Orang di luar makam tidak menyahut. Dia pu-

tar tubuh lalu berkelebat dan sosoknya telah tegak 

kembali dua langkah di samping makam batu.

"Maladewa! Tempatmu kini telah sedikit terbu-

ka! Aku...."

"Hai, Manusia! Aku Setan Liang Makam! Bukan 

Maladewa!" tukas suara dari dalam makam.

"Keparat! Peduli setan siapa kau! Aku hanya in-

gin tahu bahwa Kembang Darah Setan berada di tan-

ganmu! Sekarang tunjukkan Kembang Darah Setan


itu!"

"Manusia licik! Jangan harap aku akan turuti 

ucapanmu!"

Orang di luar makam tertawa bergelak. "Ingat! 

Keselamatan nyawamu ada di tanganku! Dan waktu 

yang kau miliki cuma sedikit! Jangan buang-buang 

waktu atau kau akan menyesal!"

Terdengar makian dari dalam makam. "Kalau 

saja aku tidak punya tujuan, lebih baik aku terkubur 

di sini selamanya daripada turut ucapan manusia ja-

hanam ini!" desis suara dari dalam makam. Lalu beru-

cap. "Kau akan lihat barang yang kau inginkan! Tapi 

jangan harap kau bisa berbuat macam-macam!"

"Hem.... Dengan terbukanya lobang di ujung 

makam, sebenarnya secara tak langsung aku telah 

memperpanjang nyawanya! Tapi apa boleh buat. 

Hanya ini satu-satunya jalan yang bisa kulakukan!" 

membatin orang di luar makam. Lalu berujar.

"Cepat tunjukkan Kembang Darah Setan itu!"

Orang di luar makam arahkan pandang ma-

tanya ke ujung makam yang telah berlobang. Gerak-

geriknya jelas menunjukkan kalau dada orang ini di-

landa perasaan gelisah. Apalagi tatkala pandang ma-

tanya belum juga menangkap sesuatu dari dalam lo-

bang.

"Jangan-jangan dia menipuku! Celaka kalau dia 

sampai tidak tunjukkan benda itu, sementara makam 

batu telah berlobang!" kata orang di luar makam dalam 

hati lalu berteriak.

"Jangan kau berani tarik pulang apa yang telah 

kau ucapkan!"

Tidak ada suara sahutan dari dalam makam. 

Orang di luar makam sudah hendak perdengarkan su-

ara lagi, namun diurungkan tatkala tiba-tiba sepasang


matanya melihat cahaya mencuat dari lobang meman-

jang di ujung makam batu. Lalu tampaklah sebuah 

kuncup bunga berwarna merah menyala pancarkan 

sinar terang menyilaukan. Disusul kemudian dengan 

tiga lembar daun melingkar di bawah kuncup berwar-

na hitam, putih, dan merah! Tatkala angin malam ber-

hembus, kuntum bunga yang kini muncul dari dalam 

lobang makam bergoyang pelan. Namun bersamaan itu 

terdengar deruan angker!

"Kembang Darah Setan!" desis orang di luar 

makam dengan suara bergetar. Entah karena apa, saat 

itu juga kepalanya berputar dengan mata liar menga-

wasi berkeliling. Lalu kembali pada kuntum bunga di 

atas lobang makam. Tanpa buka mulut mendadak 

orang ini berkelebat. Tangan kanan kirinya bergerak 

menyambar!

Wuutt! Wuuutt!

Orang di luar makam tersentak lalu mundur 

dua langkah. Bersamaan itu terdengar suara tawa 

panjang menggetarkan seantero tempat itu dari dalam 

makam.

"Kau kira semudah itu kau akan ambil barang 

yang kau inginkan?!"

Orang di luar makam tidak menjawab. Dia te-

gak dengan kedua tangan bergetar dan mata mendelik 

besar. Dia heran bercampur geram. Dia tadi telah ke-

rahkan ilmu peringan tubuh serta tenaga dalam yang 

dimiliki. Namun gerakannya belum juga mampu me-

nyambar kuntum bunga di atas lobang ujung makam. 

Diam-diam hatinya merasa gundah. Kini dia maklum, 

siapa pun orang yang namakan dirinya Setan Liang 

Makam, dia adalah manusia berkepandaian tinggi.

"Manusia!" terdengar suara dari dalam makam. 

"Kau telah lihat Kembang Darah Setan! Kau juga telah


lihat, aku bukan yang seperti kau duga! Apa sekarang 

kau masih bimbang bahwa akulah Maladewa bergelar 

Setan Liang Makam, hah?!"

Orang di luar makam masih juga tidak perden-

garkan jawaban. Orang di dalam makam perdengarkan 

dengusan keras lalu bersuara lagi. "Lekas keluarkan 

aku dari tempat celaka ini!"

"Aku akan turuti permintaanmu, tapi serahkan 

dahulu Kembang Darah Setan!"

"Manusia sialan! Aku tadi telah katakan, Kem-

bang Darah Setan akan kuberikan padamu! Tapi kelu-

arkan aku dahulu!"

"Aku yang buat peraturan! Bukan kau! Serah-

kan Kembang Darah Setan dahulu!"

"Ha.... Ha.... Ha...! Baru saja kau hendak berla-

ku licik! Bagaimana mungkin aku percaya pada mulut

mu?!" Dari dalam makam terdengar suara tawa berge-

lak.

"Terserah padamu! Kalau kau tak berikan da-

hulu, berarti kau akan tetap di makam ini!"

Suara gelakan tawa terputus laksana di renggut 

setan. Berganti dengan makian panjang pendek. Na-

mun saat lain berganti lagi suara tawa panjang.

"Kau telah berlaku bodoh, Manusia! Dengan 

terbukanya lobang, apakah kau kira aku akan segera 

mampus?!"

"Nyawamu memang akan selamat. Tapi apa kau 

yakin bisa keluar, hah?! Kau tetap akan menunggu aj-

al di tempat ini!"

"Ha.... Ha.... Ha...! Nyawaku telah selamat! Aku 

tinggal menunggu orang yang datang untuk keluarkan 

aku! Kalaupun itu tidak terjadi, aku lebih memilih 

mampus di sini! Persetan dengan kau! Enyahlah dari 

sini!"


"Setan alas! Apa aku harus keluarkan bangsat 

itu? Bagaimana kalau dia berbalik lidah? Tapi kalau 

tidak ku keluarkan dan memang ada orang yang tiba-

tiba muncul?! Hem.... Lobang itu telah membuat nya-

wanya selamat meski dia tetap tidak akan bisa keluar 

kalau julangan batu karang nomor tiga dan nomor tiga 

belas tidak dihancurkan. Hem.... Apa yang harus kula-

kukan sekarang?!"

Orang di luar makam melangkah mondar-

mandir dengan mata sesekali memandang ke arah lo-

bang memanjang di ujung makam, lalu ke arah julan-

gan batu karang yang memagari tempat itu.

Sementara lamat-lamat di dalam makam juga 

terdengar gumaman. "Kalau manusia itu tidak kelua-

rkan aku dari tempat jahanam ini, aku tidak yakin 

apakah masih ada orang yang akan datang ke tempat 

ini! Dan itu berarti dendam kesumat ku tidak akan 

terbalas! Tapi.... Rasanya berat untuk berikan Kem-

bang Darah Setan ini! Membunuh orang bagiku semu-

dah membalik telapak tangan, tapi dengan Kembang 

Darah Setan di tanganku, selain pekerjaanku makin 

mudah, penampilan ku juga jadi keren! Hem.... Kalau 

memang tidak ada jalan lain, terpaksa Kembang Darah 

Setan akan kuberikan pada manusia jahanam itu! Tapi 

itu hanya sementara...."

Setelah bergumam begitu, orang di dalam ma-

kam perdengarkan suara.

"Hai, Manusia! Bagaimana?! Apa kau masih in-

ginkan Kembang Darah Setan?!"

Orang di luar makam tertawa pendek. "Bukan-

kah kau ingin mampus di situ?! Persetan dengan Kem-

bang Darah Setan!"

"Hai, tunggu! Aku memang setan, tapi aku ada-

lah orang yang pegang janji! Kembang Darah Setan


akan kuberikan padamu begitu aku keluar dari sini!"

"Itu berarti kau masih ingin mampus di situ!"

"Hem.... Baik! Kita ambil jalan tengah! Kembang 

Darah Setan akan ku letakkan! Begitu aku keluar kau 

boleh ambil! Bagaimana?!"

Orang di luar makam berpikir sejurus. Lalu 

berteriak. "Baik! Tapi kalau kau berani memperdayai-

ku, kau akan ku kubur untuk selamanya!"

"Ingat! Kau yang telah coba memuslihati ku! 

Jadi jangan bicara sembarangan! Juga jangan harap 

kau bisa berlaku licik lagi padaku meski Kembang Da-

rah Setan berada lepas dari genggamanku!"

Belum habis ucapan orang, dari lobang di 

ujung makam kembali mencuat cahaya merah berta-

bur cahaya hitam dan putih. Orang di luar makam ter-

sentak kaget. Karena bersamaan dengan munculnya 

cahaya dari dalam lobang terdengar suara menderu-

deru angker. Lalu muncullah setangkai bunga berkun-

cup merah dan berdaun tiga lembar berwarna merah, 

putih, dan hitam.

Orang di luar makam surutkan langkah satu 

tindak. Lalu kerahkan tenaga dalam untuk lindungi di-

ri agar tubuhnya tidak tersapu dan terjengkang roboh. 

Karena ternyata Kembang Darah Setan mencuat ke-

luar dengan berputar-putar! Hingga perdengarkan de-

ruan angker bersahut-sahutan! Anehnya meski Kem-

bang Darah Setan kini telah mengapung di atas ma-

kam tanpa ada tangan yang memegang, kembang itu 

terus berputar-putar!

"Manusia!" kata suara dari dalam makam. 

"Kembang Darah Setan telah lepas dari tanganku dan 

berada di depan matamu! Tapi sekali kau berani men-

dekat, nyawamu akan putus! Kau baru bisa mengam-

bilnya begitu aku keluar!"


Orang di luar makam perhatikan Kembang Da-

rah Setan yang berputar-putar di atas makam. Dia 

tampak bimbang. Setelah agak lama berpikir, akhirnya 

dia berucap keras.

"Baik! Janjimu adalah gantungan nyawamu! 

Sekali kau berbalik lidah, nyawamu juga akan me-

layang!"

Habis berkata begitu, orang di luar makam ber-

kelebat ke samping kanan dan tegak di hadapan julan-

gan batu karang nomor tiga dari julangan batu karang 

yang telah ambruk. Kedua tangannya ditarik lalu ser-

ta-merta disentakkan ke depan.

Seperti halnya tadi, julangan batu karang se-

saat tidak bergeming, namun di lain kejap bergetar ke-

ras sebelum akhirnya ambruk tanpa adanya satu pun 

pecahan batu karang yang mencelat mental!

Begitu julangan batu karang nomor tiga am-

bruk, orang ini melompat dan kini tegak di depan ju-

langan batu karang nomor tiga belas. Karena jajaran 

batu karang melingkar itu sebanyak tiga belas, semen-

tara nomor satu adalah julangan batu karang yang te-

pat di sebelah kanan batu makam, maka julangan ba-

tu karang nomor tiga belas adalah julangan batu ka-

rang persis di samping batu karang nomor satu yang 

telah ambruk.

Tanpa menunggu lama, orang ini juga sentak-

kan kedua tangannya. Julangan batu karang bergetar 

sebelum akhirnya ambruk.

Bersamaan dengan ambruknya julangan batu

karang nomor tiga dan nomor tiga belas, gugusan batu 

makam bergetar keras lalu terdengar ledakan dahsyat. 

Batu pipih di ujung makam sebelah kiri terbang ke 

udara, lalu gugusan batu makam laksana diterpa ge-

lombang dahsyat dan ambyar berkeping-keping!


Ketika hamburan batu makam luruh, tampak 

lobang menganga hitam dan dalam! Anehnya, di atas 

lobang menganga hitam dan dalam itu, Kembang Da-

rah Setan tetap mengapung berputar-putar dengan ke-

luarkan deruan-deruan angker!

Orang di luar makam tidak berani berlaku ayal. 

Bagaimanapun juga dia masih meragukan ucapan 

orang yang selama ini hanya dikenalnya dengan nama 

Maladewa tanpa pernah melihat tampangnya. Dia ber-

kelebat ke dekat makam yang kini telah terbuka men-

ganga. Secepat kilat kedua tangannya bergerak me-

nyahut. Karena dia sadar bahwa deruan angker yang 

mencuat keluar dari putaran Kembar Darah Setan bu-

kan deru sembarangan, dia kerahkan segenap tenaga 

dalam yang dimiliki.

Sosok orang di luar makam memang sempat 

terhuyung ke belakang, namun kedua tangannya ma-

sih kuasa untuk menyambar. Namun baru saja kedua 

tangan orang ini menyentuh tangkai kembang, satu ge-

lombang melesat deras dari dalam lobang.

Wuuttt!

Orang di luar makam tersentak kaget. Bukan 

saja kedua tangannya tertahan, namun saat lain ke-

dua tangannya terdorong balik ke belakang! Malah ka-

lau dia tidak segera kuasai diri, niscaya sosoknya akan 

terhumbalang roboh!

"Jahanam! Kau hendak berlaku curang! Kau 

ingkar janjimu! Nyawamu harus putus!" teriak orang di 

luar makam. Kedua tangannya diangkat tinggi.

"Kita perlu bicara dahulu!" terdengar sahutan 

dari lobang bekas gugusan batu makam yang terbong-

kar.

Suara orang dari lobang belum lenyap, tampak-

lah sesuatu merambat di bibir lobang. Entah karena


terkesima atau memang turuti ucapan orang, orang di 

luar makam hentikan gerakan kedua tangannya yang 

tadi hendak lepaskan pukulan. Dia tegak memandang 

dengan mata tak berkesip.

Dibantu cahaya sang rembulan serta cahaya 

yang menebar dari Kembang Darah Setan, orang den-

gan jelas dapat melihat apa yang bergerak merambat 

dari bibir lobang.

"Kerangka tangan!" desis orang di luar makam 

dengan mata makin terpentang besar. Kalau saja dia 

tidak terpaku dengan Kembang Darah Setan, mungkin 

orang ini akan segera berlalu. Karena yang muncul da-

ri bibir lobang memang kerangka kedua tangan yang 

bergerak pelan-pelan seolah cari tumpuan.

Begitu kerangka kedua tangan telah terlihat 

sampai pergelangan, tiba-tiba kerangka kedua tangan 

itu bergerak menekan. Saat lain tampaklah kerangka 

kaki yang merambat dari bagian ujung lobang. Tak la-

ma kemudian, muncul rambut awut-awutan di batok 

kepala yang bagian mukanya juga hanya merupakan 

kerangka tanpa daging! Sepasang rongga matanya 

amat dalam dan di dalamnya tampak berputar dua bo-

la mata yang melotot besar.

Begitu kerangka kaki kedua telah muncul di 

bibir lobang dan kerangka kepala telah terlihat, orang 

yang baru muncul dari dalam lobang ini gerakkan ke-

dua telapak tangannya menekan.

Orang yang sejak tadi berada di luar makam 

tak mau bertindak gegabah. Serta-merta tangannya 

disentakkan ke depan. Dia menduga, orang yang baru 

muncul akan berkelebat lakukan serangan dengan 

bertumpu pada gerakan kedua telapak tangannya.

Namun dugaan orang meleset. Dia buru-buru 

tarik pulang kedua tangannya yang hendak lepaskan


pukulan, karena ternyata orang yang baru saja mun-

cul dari lobang bukannya hendak berkelebat, melain-

kan tarik tubuhnya ke atas. Namun mungkin karena 

kedua telapak tangannya tidak sanggup menahan be-

ban anggota tubuhnya, sosok kerangka orang ini ter-

guling!

*

* *

TIGA



ORANG yang sejak tadi berada di luar makam 

terlengak. Bukan saja kini telah dapat melihat dengan 

jelas bagaimana bentuk dan tampang manusia yang 

baru saja muncul dari dalam lobang bekas gugusan 

batu yang membentuk makam, tapi juga karena ter-

nyata meski manusia yang tadi menggelari diri dengan 

Setan Liang Makam itu hanya merupakan kerangka 

tanpa daging, namun kerangka anggota tubuhnya ti-

dak patah walau jatuh berguling! Bahkan dia juga ti-

dak bergeming meski saat itu tidak jauh dari tempat 

menderu-derunya putaran Kembang Darah Setan yang 

perdengarkan suara angker dan cuatkan gelombang 

dahsyat!

"Hampir tak percaya kalau tidak melihat den-

gan mata kepala sendiri!" gumam orang yang sejak tadi 

berada di luar makam. "Kekuatannya luar biasa! Tapi 

melihat dia baru saja jatuh terguling, jelas menunjuk-

kan kalau saat ini kekuatannya habis! Aku harus sege-

ra bertindak!"

Memikir sampai di situ, orang yang sejak tadi 

berada di luar makam kerahkan segenap tenaga dalam


yang dimiliki. Lalu kedua tangannya serta-merta disen-

takkan ke depan.

"Jahanam! Apa yang kau lakukan?!" teriak Se-

tan Liang Makam dengan angkat kepalanya. Namun 

gerakan kepala orang yang hanya merupakan kerang-

ka ini tersentak berhenti. Saat lain sosok kerangkanya 

terlempar dan jatuh bergedebukan sejarak tiga tombak 

dari lobang mana dia tadi muncul.

Orang yang baru saja lepaskan pukulan tidak 

menunggu lama. Dia segera melompat ke depan. Setan 

Liang Makam angkat tubuhnya yang terbungkus pa-

kaian compang-camping bahkan nyaris telanjang. Tan-

gan kirinya diangkat lalu digerakkan perlahan saja.

Wuuttt!

Orang yang tadi sudah berada dekat lobang dan 

hendak menyambar kembali Kembang Darah Setan 

terkesiap. Sosoknya terdorong deras hingga mundur 

dua langkah!

"Manusia! Kembang Darah Setan tetap akan ja-

di milikmu! Tapi katakan dahulu siapa kau!" Setan 

Liang Makam perdengarkan suara sambil perlahan-

lahan bergerak duduk. Sepasang bola matanya mende-

lik memandang liar ke arah orang di seberang.

Orang yang di seberang balas memandang. Lalu 

mendongak sambil berkata.

"Aku Joko Sableng!"

"Hem.... Nama bisa saja dibuat! Sekarang aku 

ingin tahu bagaimana bentuk tampangmu!" kata Setan 

Liang Makam.

Orang yang baru katakan diri sebagai Joko 

Sableng mendengus keras. Orang ini ternyata menge-

nakan penutup pada kepalanya dan hanya menyisa-

kan lobang pada bagian sepasang matanya hingga 

tampangnya tidak bisa dikenali.


"Kau terlalu banyak permintaan!" kata Joko 

Sableng.

"Aku tak akan memberikan Kembang Darah Se-

tan pada orang yang hanya ku tahu namanya tanpa ku 

kenali tampangnya!" ujar Setan Liang Makam.

"Hem.... Jahanam itu pasti mengulur waktu 

sambil pulihkan tenaga dalamnya! Daripada urusan 

tambah tak karuan, lebih baik ku turuti permintaan-

nya!" batin Joko Sableng. Orang ini angkat tangannya. 

Breettt!

Penutup kepala dan wajah Joko Sableng tersen-

tak robek. Sepasang mata Setan Liang Makam terpen-

tang besar memperhatikan tampang orang. Ternyata 

dia adalah seorang pemuda berwajah tampan. Ram-

butnya panjang sedikit acak-acakan. Sepasang ma-

tanya tajam. Pada kepalanya melingkar ikat kepala 

berwarna putih.

"Dari mana kau tahu rahasia Kampung Se-

tan?!" bertanya Setan Liang Makam dengan mata terus 

perhatikan tampang dan sosok tubuh orang di sebe-

rang.

"Itu urusanku! Kau kini telah tahu siapa aku 

dan bagaimana tampangku! Sekarang saatnya kau te-

pati janjimu sebagai imbalan aku keluarkan mu dari 

tempat celaka itu!" kata Joko Sableng.

"Kau belum jawab pertanyaanku!"

"Itu tidak ada dalam perjanjian kita!"

Setan Liang Makam perdengarkan tawa pan-

jang hingga tulang sekujur wajahnya bergerak-gerak. 

"Janji tadi kuucapkan saat aku masih di dalam kubur 

celaka itu! Sekarang urusannya lain! Aku telah berada 

di luar, berarti perjanjian bisa saja berubah!"

"Keparat! Manusia setan sepertimu memang 

layak mampus!"


"Tunggu!" tahan Setan Liang Makam begitu me-

lihat Joko Sableng angkat kedua tangannya. "Baik! 

Aku tidak memaksamu mengatakan dari mana kau ta-

hu rahasia Kampung Setan ini. Tapi kau harus jawab 

dahulu satu pertanyaanku lagi!"

"Jangan harap kau bisa berlaku licik! Aku tahu, 

kau mengulur waktu untuk pulihkan tenagamu!"

Habis berteriak begitu, Joko Sableng melompati 

lobang bekas makam batu. Kejap lain, laksana terbang 

dia berkelebat dan sejarak satu tombak dia lepaskan 

pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi.

Dua gelombang berkelebat deras ke arah Setan 

Liang Makam. Orang ini angkat tangan kiri kanannya 

yang hanya merupakan kerangka tulang. Namun kare-

na gerakannya terlalu lambat, belum sampai dia sem-

pat sentakkan kedua tangannya, dua gelombang dah-

syat telah menghantam!

Setan Liang Makam berseru tertahan. Sosoknya 

terlempar sejauh dua tombak dan hampir saja mem-

bentur julangan batu karang yang telah ambruk. Se-

pasang matanya membelalak besar. Sosoknya bergetar 

keras.

Di lain pihak, begitu lepaskan pukulan, Joko 

Sableng putar tubuh lalu sekali bergerak sosoknya te-

lah melesat. Dengan kerahkan tenaga dalamnya, tan-

gan kiri kanannya berkelebat menyahut Kembang Da-

rah Setan.

Deruan angker terhenti begitu Kembang Darah 

Setan tersahut tangan Joko Sableng. Pemuda ini cepat 

masukkan Kembang Darah Setan ke balik pakaiannya. 

Namun belum sampai Kembang Darah Setan masuk 

ke balik pakaian, dari arah belakang menyambar ge-

lombang dahsyat.

"Hem.... Jahanam itu masih kuasa lepaskan


pukulan! Aku akan coba kehebatan Kembang Darah 

Setan ini!" Joko Sableng tarik pulang tangannya yang 

hendak simpan Kembang Darah Setan. Serta-merta 

benda yang pancarkan cahaya tiga warna itu disentak-

kan ke depan.

Wuuutt!

Terdengar gelombang yang dahsyat membawa 

cahaya merah, hitam, dan putih. Gelombang yang da-

tang menghajar dari belakang Joko Sableng serta-

merta ambyar berkeping dan bertaburan ke udara. He-

batnya, cahaya tiga warna terus merangsek ke depan.

"Sialan keparat!" maki Setan Liang Makam. 

Orang ini cepat pejamkan mata sementara kedua tan-

gannya dilintangkan di depan dada. Kejap lain sosok 

Setan Liang Makam tersapu ke belakang menghantam 

bekas julangan batu karang yang telah ambruk!

Setan Liang Makam cepat memeriksa. Orang ini 

rasa kan sekujur tubuhnya laksana patah-patah. Pa-

kaian compang-camping yang masih melekat pada tu-

buhnya hampir saja musnah. Lalu orang ini coba ke-

rahkan tenaga dalam. Tapi sikapnya jelas menunjuk-

kan kalau dia kecewa besar. Karena bukan saja dia 

mampu kerahkan tenaga dalamnya, tapi mengangkat 

kedua tangannya pun dia tidak kuasa!

Joko Sableng melirik ke seberang. "Luar biasa! 

Dia tidak mengalami cedera berarti meski baru saja 

terhantam telak Kembang Darah Setan! Tapi kurasa 

dia telah tak berdaya! Aku harus cepat tinggalkan 

tempat ini!"

Joko Sableng lirikkan mata ke samping kiri ka-

nan. Namun sebelum dia bergerak melesat, dari arah 

seberang terdengar Setan Liang Makam berteriak.

"Kau jangan mimpi bisa pergi, Manusia!"

Meski telah maklum kalau belum bisa kerah


kan tenaga dalam, namun Setan Liang Makam tidak 

mau berdiam diri tatkala menangkap gelagat jika Joko 

Sableng hendak loloskan diri berkelebat. Dia segera 

gulingkan tubuh.

Tahu kalau orang masih belum bisa kerahkan 

tenaga dalam, Joko Sableng urungkan niat untuk ber-

kelebat pergi. Dia acungkan tangan kanan yang meng-

genggam tangkai Kembang Darah Setan.

"Seharusnya kau berterima kasih nyawamu ti-

dak ku cabut saat ini! Tapi kalau kau ingin mampus, 

aku tak keberatan mengantar nyawamu ke neraka!"

Setan Liang Makam hentikan gulingan tubuh-

nya. Dia rupanya sadar, kalau sekali lagi Kembang Da-

rah Setan menghantam tubuhnya, dia tak yakin apa-

kah masih mampu bertahan!

Joko Sableng turunkan tangan kanannya yang 

menggenggam tangkai Kembang Darah Setan. "Bagus! 

Nyawamu saat ini masih kuampuni karena aku tahu 

kau masih ingin membuat perhitungan dengan seseo-

rang! Dan aku masih memberi kesempatan padamu 

untuk mengambil Kembang Darah Setan kelak kalau 

kau mampu!"

Habis berkata begitu, Joko Sableng melangkah. 

Mendapat tujuh langkah, pemuda ini berhenti. Berpal-

ing sejurus pada Setan Liang Makam. Kejap lain dia 

berkelebat tinggalkan tempat itu dengan senyum ter-

sungging.

Begitu sosok Joko Sableng lenyap, Setan Liang 

Makam mendongak. "Joko Sableng! Kau akan menyes-

al tidak membunuhku malam ini! Itu adalah satu ke-

bodohan yang kelak akan kau tangguk ganjarannya! 

Kau bisa berlari sampai membelah bumi! Kau bisa me-

nyelam sampai ke dasar laut! Tapi jangan harap kau 

temukan tempat sembunyi dari jangkauan tanganku!"


Perlahan-lahan Setan Liang Makam angkat ke-

dua tangannya. Lalu sepasang bola matanya dipejam-

kan. Saat lain orang ini tak bergerak-gerak. Hanya ge-

rakan tulang dadanya yang menunjukkan jika dia ma-

sih hidup.

*

* *

Pada satu tempat agak jauh dari tempat di ma-

na Setan Liang Makam berada, Joko Sableng hentikan 

kelebatannya. Kepalanya sejurus berputar. Yakin tak 

ada orang lain, dia keluarkan Kembang Darah Setan 

dari balik pakaiannya. Meski benda yang pancarkan 

cahaya tiga warna itu terlipat di balik pakaian orang, 

namun begitu dikeluarkan, benda itu tidak gugur atau 

menjadi rata!

Untuk beberapa lama Joko Sableng perhatikan 

Kembang Darah Setan di tangannya. Saat lain tangan 

kirinya terangkat ke bagian leher. Perlahan-lahan dia 

mengelupas kulit di bagian lehernya lalu ditarik ke 

atas.

Di bawah suasana yang sudah agak terang ka-

rena bentangan langit sebelah timur telah dibias ca-

haya sinar matahari, kini tampak jelas seraut wajah di 

balik kelupasan kulit yang tertarik.

Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia 

agak lanjut. Sepasang matanya besar tajam. Kumisnya 

panjang berwarna putih.

Orang yang tadi sebutkan diri sebagai Joko 

Sableng dan mengenakan topeng kulit tipis memben-

tuk raut wajah seorang pemuda ini campakkan kulit 

tipis di tangan kirinya. Lalu tangan kirinya kembali te-

rangkat ke arah kepala. Rambut yang hitam sedikit


acak-acakan dijambak lalu disentakkan ke atas.

Bretttt

Rambut itu terangkat. Di bawahnya kini terlihat 

kepala berambut putih panjang sebatas bahu!

Rambut palsu dicampakkan ke atas tanah. Lalu 

sambil sunggingkan senyum, orang ini berkelebat ting-

galkan tempat itu.

*

* *

EMPAT



SAMPAN tidak begitu besar terbuat dari papan 

kayu itu menepi saat matahari condong ke barat. Satu 

sosok tubuh laksana terbang melesat turun. Jelas dari 

gerakannya kalau orang ini memiliki kepandaian tidak 

rendah.

Tanpa pedulikan kanan kiri, orang yang baru 

saja melesat turun dari sampan melangkah. Kalau tadi 

dia melesat turun laksana terbang, kini orang ini me-

langkah perlahan-lahan. Kepalanya di dongakkan. Mu-

lutnya bersiul dendangkan nyanyian. Lalu tangan ki-

rinya diangkat. Jari kelingkingnya dimasukkan ke lo-

bang telinga! Hingga sambil bersiul, orang ini yang ter-

nyata seorang pemuda berparas tampan mengenakan 

pakaian warna putih-putih melangkah sambil berjing-

kat-jingkat keenakan.

Pada satu tempat yang sarat dengan jajaran 

pohon rindang, si pemuda hentikan langkah. Kepa-

lanya berputar memandangi jajaran pohon. Lalu me-

langkah kembali mendekati sebuah pohon agak besar 

yang bagian bawahnya tidak tersentuh jilatan matahari. Masih dengan bersiul, pemuda ini henyakkan pan-

tatnya dengan punggung bersandar.

"Anak manusia! Hentikan siulan keparatmu!" 

Mendadak satu suara menegur.

Si pemuda tersentak kaget. Siulannya terputus. 

Tangan kirinya tertahan di samping kepalanya. Tapi 

entah untuk menutupi rasa terkejutnya, si pemuda 

tersenyum lalu palingkan kepala ke samping dari ma-

na tadi suara teguran terdengar.

Senyum si pemuda pupus seketika. Malah kini 

mulutnya menganga dengan mata terpentang besar.

Tidak jauh dari batang pohon di mana dia ber-

sandar, tampak tegak satu sosok tubuh.

Orang itu tegak di atas kakinya dengan kepala 

lurus menghadap si pemuda. Yang membuat si pemu-

da tercengang bahkan kuduknya meremang, orang 

yang baru saja perdengarkan teguran dan kini tahu-

tahu tegak tidak jauh dari tempatnya itu mengenakan 

pakaian warna hitam kebesaran. Jelas kalau pakaian 

yang dikenakan seolah bukan miliknya sendiri, apalagi 

pada beberapa tempat tampak bekas ceceran darah 

yang telah mengering! Tapi bukan pakaian itu saja 

yang membuat si pemuda laksana hendak meloncat 

terbang.

Pada anggota tubuhnya yang terlihat, anggota 

tubuh itu hanya merupakan kerangka tanpa daging 

sama sekali! Sepasang matanya menjorok masuk da-

lam tulang rongga yang dalam. Tapi dua bola mata itu 

besar dan bersinar tajam! Rambutnya awut-awutan 

menutupi sebagian wajahnya yang hanya merupakan 

tengkorak!

Si pemuda yang duduk di bawah pohon meng-

hela napas seraya membatin. "Bagaimana manusia se-

perti ini masih bisa hid up malah bisa membentak?!


Aku yakin di balik pakaian kebesaran itu juga hanya 

merupakan kerangka-kerangka tanpa daging! Siapa 

makhluk ini sebenarnya?! Atau jangan-jangan ini ti-

puan pandang mataku saja...." Si pemuda usap-usap 

sepasang matanya. Lalu sambil disorongkan ke depan, 

sepasang matanya dipentangkan besar-besar.

"Betul! Pandang mataku tidak mengada-ada! Ini 

asli...," gumam si pemuda lalu ragu-ragu dia pandangi 

sekujur tubuh orang di hadapannya. "Di balik keang-

keran sosoknya, jelas orang atau setan ini menyimpan 

suatu kekuatan hebat! Kedatangannya yang tidak bisa 

ku siasati adalah salah satu bukti!"

Sementara itu begitu si pemuda berpaling dan 

sorongkan mukanya ke depan seolah ingin meyakin-

kan pandangan matanya, orang yang dipandang terta-

wa bergelak! Tapi laksana direnggut tangan setan, 

orang ini putuskan selakan tawanya. Tulang mulutnya 

bergerak membuka.

"Ternyata waktu yang memisahkan kita hanya 

lima hari!"

Si pemuda kernyitkan dahi lalu bergerak bang-

kit. "Heran.... Sepertinya dia mengenalku dan pernah 

bertemu! Padahal jangankan bertemu, dalam angan 

pun aku belum pernah membayangkan orang bertam-

pang begini!" membatin si pemuda lalu angkat bicara. 

Dia coba tersenyum meski tengkuknya terasa dingin.

"Kau tak salah bicara dengan orang?!"

Orang yang ditanya dan bukan lain adalah Se-

tan Liang Makam kembali tertawa. "Lima malam yang 

lalu aku berkata. Kau bisa berlari sampai membelah 

bumi. Kau bisa menyelam sampai ke dasar laut! Tapi 

jangan harap kau temukan tempat sembunyi dari 

jangkauan tanganku!" Setan Liang Makam kembali ge-

rakkan kepalanya mendongak. "Ternyata kau hanya


punya kesempatan lima hari! Dan itu sebenarnya su-

dah terlalu lama untukmu!"

Si pemuda di hadapan Setan Liang Makam ma-

kin heran. Dia buka mulut lagi.

"Kau tak salah bicara dengan orang?!"

Setan Liang Makam luruskan kepalanya. Sepa-

sang matanya menatap liar. Pelipis kiri kanannya ber-

gerak-gerak. "Manusia! Sebenarnya aku tidak akan 

memberikan ampunan bagi selembar nyawamu! Tapi 

mengingat pertolonganmu tempo hari, niatku ku ubah! 

Nyawamu ku perpanjang. Tapi kembalikan Kembang 

Darah Setan padaku!"

Si pemuda celingukan. "Jangan-jangan dia bi-

cara dengan orang di sekitar ku yang tidak bisa kuli-

hat.... Tapi kalau benar, mengapa bola matanya me-

mandang ke arah ku?! Orang ini benar-benar aneh. 

Dia bicara yang tak ku mengerti juntrungannya! Kem-

bang Darah Setan.... Hem.... Baru kali ini aku men-

dengar nama itu! Apa itu nama seorang gadis cantik?! 

Ah.... Itu akan ku tanyakan nanti. Sekarang aku ingin 

tahu, apakah orang ini bicara denganku...."

Setelah menatap agak lama, si pemuda buka 

mulut lagi. "Kau bicara denganku?!"

"Joko Sableng! Jangan membuat aku mengu-

bah niat!" teriak Setan Liang Makam.

Si pemuda kali ini benar-benar terkejut. Malah 

kalau tidak cepat sadar, kedua kakinya akan tersurut 

mundur.

"Aneh.... Dia tahu siapa namaku! Padahal da-

lam mimpi pun aku tak pernah berkenalan dengannya! 

Atau jangan-jangan dia salah lihat dengan orang yang 

sama wajahnya denganku! Tapi.... Namanya...?! Apa 

mungkin ada orang yang sama rupa dan namanya 

denganku?!"


Setelah menenangkan gejolak dalam dadanya si 

pemuda yang bukan lain adalah Pendekar Pedang 

Tumpul 131 Joko Sableng berucap.

"Sahabat! Harap kau tenangkan hati. Pandan-

glah aku baik-baik! Aku punya dugaan kau salah bica-

ra dengan orang...."

Habis berkata begitu, Joko busungkan sedikit 

dadanya. Lalu perlahan-lahan dia putar tubuhnya seo-

lah ingin tunjukkan pada orang siapa dia adanya dari 

muka serta belakang.

Begitu Joko tegak menghadap Setan Liang Ma-

kam kembali, murid Pendeta Sinting ini terperangah. 

Orang di hadapannya bukannya memandang ke arah-

nya, melainkan tengadah!

"Kau kira bisa mengelabui ku, hah?! Cepat se-

rahkan Kembang Darah Setan padaku! Dan kau boleh 

pergi! Tapi ingat, jangan sampai kau bertemu muka la-

gi denganku! Jika itu terjadi, maka saat itulah kema-

tianmu datang!"

Setan Liang Makam gerakkan tangannya ke de-

pan. Telapak tangannya yang hanya berupa kerangka 

tulang membuka dengan punggung di bawah. "Jangan 

kau berlagak membanyol di depanku! Cepat serahkan!"

Joko angkat kedua tangannya ke dekat telinga 

kanan kirinya. Telinganya digosok-gosok dengan kepa-

la digelengkan. "Sahabat! Boleh aku tanya?!"

"Kalau itu syarat kembalinya Kembang Darah 

Setan, aku akan menjawab meski tanpa itu, mudah 

bagiku mengambilnya bahkan dengan nyawamu seka-

lian!" ujar Setan Liang Makam.

Joko tak hiraukan ancaman orang. Dia cepat 

buka mulut bertanya.

"Siapa kau sebenarnya?!"

"Orang hendak mampus terkadang ucapannya


aneh-aneh!" kata Setan Liang Makam. "Tapi mengingat 

pertolonganmu, dengan senang hati aku akan menja-

wab! Aku Setan Liang Makam!"

"Hem.... Aku tadi masih ragu-ragu. Aku khawa-

tir memang penglihatanku yang lupa. Tapi kini aku ja-

di yakin. Karena telingaku pun baru pertama kali ini 

mendengar nama itu! Tapi apa gunanya keyakinan ini 

kalau dia benar-benar seolah telah mengenalku?! Ka-

lau hanya mengenal tak jadi apa. Yang membuatku 

deg-degan, dia meminta barang yang bukan saja baru 

ku dengar, tapi juga belum ku mengerti bagaimana 

bentuknya! Kembang Darah Setan...!"

"Cepat serahkan padaku!" sahut Setan Liang 

Makam begitu mendengar Joko menggumam secara 

tak sadar.

"Kembang Darah Setan!" kata Joko. "Apa itu be-

rupa gadis cantik?!"

Setan Liang Makam tidak perdengarkan sahu-

tan, Hanya sepasang matanya yang makin membelalak 

liar. Tulang sekujur raut wajahnya bergerak-gerak. 

Tangannya yang diulurkan ke depan ditarik pulang.

Melihat gelagat, Joko buru-buru sambung uca-

pannya. "Sahabat! Aku bukan bermaksud bercanda! 

Karena sebenarnya aku tak mengerti apa itu Kembang 

Darah Setan! Biasanya yang memakai kembang adalah 

seorang gadis berparas cantik...."

"Joko Sableng! Waktuku tidak banyak! Kau ta-

hu, aku masih punya urusan dengan seseorang!" ujar 

Setan Liang Makam. Orang ini diam-diam sebenarnya 

coba menindih perasaan geram dan gelisah. Sejak tadi 

dia terus membatin. "Kekuatanku memang telah pulih. 

Namun apakah aku mampu menghadapinya jika harus 

bentrok dengan Kembang Darah Setan di tangannya?! 

Tapi persetan. Aku telah membunuh beberapa orang


hanya karena mencari tahu di mana manusia itu bera-

da! Kini dia sudah di depan mataku!"

"Sahabat Setan Liang Makam! Harap kau keta-

hui, kau sebut namaku sudah benar! Yang tidak be-

nar, kau meminta Kembang Darah Setan padaku! Juga 

aku tidak pernah memberi pertolongan padamu! Seu-

mur-umur aku baru kali ini bertemu denganmu!"

Mendengar keterangan murid Pendeta Sinting, 

Setan Liang Makam tertawa terbahak-bahak. Lalu ber-

kata.

"Aku terima ucapan gilamu itu! Bahkan sekali-

pun kau tidak mengaku sebagai Joko Sableng! Asal sa-

ja kau serahkan benda milikku itu!"

"Gawat! Urusan ini tidak main-main! Dia ru-

panya tidak bergurau!" kata Joko dalam hati. "Heran-

nya bagaimana semua ini bisa terjadi?!"

"Sahabat Setan Liang Makam!" kata Joko pada 

akhirnya setelah menemui jalan buntu memikir apa 

yang kini dihadapi. "Bagaimana kau bisa mengenalku 

sebagai Joko Sableng?!"

"Pertanyaan gila apa yang kau ucapkan, Manu-

sia?!" bentak Setan Liang Makam. Kesabaran orang ini

rupanya tidak bisa ditahan lagi. "Kalau kau tidak mau 

serahkan baik-baik, berarti aku tak usah menunggu 

mencabut nyawamu sampai kita bertemu lagi!"

"Tahan!" ujar murid Pendeta Sinting melihat 

urusan semakin runyam. "Kau tidak sedang bercanda, 

bukan?!"

"Kau bernasib buruk berani bermain-main den-

ganku, Manusia!" hardik Setan Liang Makam. Kedua 

tangannya terangkat lalu serta-merta disentakkan ke 

depan.

Wuuutt! Wuuutt!

Dua gelombang dahsyat berkelebat angker. Joko sempat terkesiap. Dia buru-buru melompat ke 

samping selamatkan diri. Hingga dua gelombang angin 

menghantam beberapa jajaran pohon di seberang sa-

na. Lima pohon agak besar langsung berderak tum-

bang!

Setan Liang Makam beliakkan sepasang bola 

matanya. Saat lain sosoknya melesat dan tahu-tahu te-

lah tegak di hadapan Joko dengan tangan kiri kanan 

langsung lepaskan pukulan ke arah kepala dan dada.

Karena tak ada kesempatan lagi untuk berkele-

bat menghindar, sementara pukulan telah datang 

menghajar, murid Pendeta Sinting angkat kedua tan-

gannya menyongsong kedua tangan Setan Liang Ma-

kam. 

Takkk! Takkk!

Dua benturan keras terdengar. Masing-masing 

orang sama tersurut satu tindak. Joko sempat membe-

lalak hampir saja tidak percaya dengan pandangan 

matanya. Kerangka kedua tangan yang baru saja ber-

benturan dengan kedua tangannya bukannya berderak 

patah, sebaliknya membuat kedua tangannya bergetar 

keras!

Di lain pihak, diam-diam Setan Liang Makam 

juga sedikit terkesima. Beberapa hari yang lalu, dia 

memang sempat membunuh beberapa orang karena 

pertanyaannya tak di jawab orang. Namun saat itu 

orang yang dibunuh tak melakukan perlawanan berarti 

karena sudah ciut nyalinya melihat tampang angker-

nya. Hingga dia tak bisa mengukur sampai di mana 

kekuatan kedua tangannya. Dia memang merasa kalau 

pukulan jarak jauh yang dilepas tidak mengalami pe-

rubahan meski kedua tangannya telah berubah men-

jadi kerangka tanpa daging. Tapi dia masih merasa 

sangsi apakah kedua tangannya masih mampu bertahan jika berbenturan langsung.

Saat dia berkelebat dan lancarkan pukulan ja-

rak jauh ke arah kepala dan dada Joko, diam-diam se-

benarnya Setan Liang Makam masih dilanda bimbang. 

Namun begitu benturan benar-benar terjadi, dia mera-

sa girang. Karena apa yang ditakutkan tidak terjadi. 

Padahal dia tahu, jika si pemuda menangkis kedua 

tangannya dengan tenaga dalam kuat.

Mungkin untuk yakinkan kenyataan, untuk 

beberapa saat Setan Liang Makam memeriksa kedua 

tangannya yang baru saja bentrok. "Hem.... Hilangnya 

daging akibat terkubur di tempat terkutuk itu nya-

tanya tidak membawa pengaruh apa-apa pada kedua 

tangan ku! Hem...."

Setan Liang Makam arahkan pandangannya 

pada murid Pendeta Sinting yang saat itu tengah tegak 

dengan dada di buncah berbagai hal yang tak bisa di-

jawab. Melihat kedua tangannya tidak mengalami ce-

dera, Setan Liang Makam makin percaya diri. Hingga 

tanpa menunggu lebih lama lagi, dia melangkah maju.

"Sahabat!" ujar murid Pendeta Sinting. "Kita bi-

cara baik-baik agar urusan yang tak tentu juntrun-

gannya ini jelas bagi kita berdua! Kuharap kau jujur 

mengatakan sebenarnya yang terjadi!"

"Terlambat, Manusia! Kita baru bicara setelah 

kau berikan Kembang Darah Setan padaku! Lagi pula 

aku perlu beberapa keterangan dari mulutmu! Tiga pu-

luh enam tahun terkubur membuatku buta akan apa 

yang tengah terjadi!"

"Astaga!" gumam Joko dalam hati. "Dia bilang 

tiga puluh enam tahun terkubur.... Berarti aku angin 

pun belum jadi! Lalu bagaimana mungkin tahu-tahu 

dia mengenalku dan minta Kembang Darah Setan pa-

daku?! Aku jadi bingung!" Murid Pendeta Sinting menarik napas panjang. Seolah masih menduga kalau 

orang salah lihat, Joko berucap.

"Sahabat! Kau benar-benar yakin pernah jumpa 

denganku?!"

"Jahanam! Apa ada dua manusia yang nama 

dan tampangnya sama persis, hah?!"

"Kau tadi bilang bertemu aku lima hari yang la-

lu. Di mana?!"

"Hem.... Justru aku yang harus tanya padamu. 

Dari mana kau tahu rahasia Kampung Setan?! Dari 

mana kau tahu aku bisa selamat pada hari tiga belas 

purnama ketiga setelah aku masuk dalam tempat cela-

ka itu selama tiga belas ribu tiga puluh tiga hari?!" Se-

tan Liang Makam balik ajukan tanya, membuat murid 

Pendeta Sinting makin bingung.

"Sialan betul! Urusan apa sebenarnya yang ten-

gah kuhadapi ini?!" ujar Pendekar 131 dalam hati se-

raya perhatikan orang di hadapannya berlama-lama. 

"Aku masih yakin benar, selama hampir satu purnama 

ini aku berdiam diri di Jurang Tlatah Perak. Turut pe-

rintah Eyang Pendeta Sinting, aku harus menemuinya 

tiga hari setelah purnama peristiwa di Kedung Ombo. 

Tapi ternyata Eyang Guru tidak ada di tempatnya! Aku 

menunggu hingga hampir satu purnama dan ketika 

kusadari Eyang Guru tidak akan muncul dalam hari-

hari terakhir ini, terpaksa aku hendak mencarinya. Be-

lum sampai satu hari di luar, tahu-tahu ada orang 

yang mengatakan bertemu denganku lima hari yang la-

lu! Lalu meminta benda yang tak ku mengerti! Malah 

kini ditambah pertanyaan tentang sebuah Kampung 

Setan!" Joko gelengkan kepalanya berulang-ulang.

Gerakan kepala murid Pendeta Sinting tam-

paknya ditanggapi lain oleh Setan Liang Makam. Orang 

ini lantas buka suara.


"Bagus! Aku tahu bagaimana caranya agar mu-

lutmu bicara!"

Habis berkata begitu, Setan Liang Makam je-

jakkan kaki kirinya. Sosoknya doyong ke depan. Saat 

lain tiba-tiba sosoknya berputar di udara. Lalu kedua 

kakinya terangkat. Dengan satu sentakan, sekonyong-

konyong di depan hidung Joko telah berkelebat sepa-

sang kaki tanpa daging!

Karena masih tenggelam dengan urusan pelik 

yang kini dihadapi, Joko sudah sangat terlambat un-

tuk menghadang tendangan kedua kaki orang. Hingga 

dia hanya berkelit dengan tarik tubuhnya ke belakang.

Namun Setan Liang Makam tidak mau kehilan-

gan sasaran. Apalagi dia tahu kalau lawan sudah tidak 

sempat menghadang gerakannya. Hingga begitu lawan 

menarik tubuhnya ke belakang, Setan Liang Makam 

sentakkan sekali lagi tubuhnya.

Wuuttt!

Bukkk! Bukkk!

Sosok murid Pendeta Sinting terpental sampai 

beberapa langkah. Terhuyung-huyung dan hampir saja 

roboh kalau dia tidak cepat kerahkan tenaga dalam 

untuk kuasai diri.

Joko rasakan dadanya dilanggar hantaman 

dahsyat, hingga untuk sesaat mulutnya megap-megap. 

Jalan darahnya laksana tersentak-sentak. Saat dia me-

lirik, sepasang matanya mendelik. Pakaian bagian da-

danya berlobang-lobang!

Dada murid Pendeta Sinting mulai bergolak. 

Dia merasa tidak pernah berurusan dengan orang. Kini 

bukan saja orang itu mau diajak bicara baik-baik, tapi 

sudah jelas-jelas menginginkan selembar nyawanya!

"Setan Liang Makam!" teriak Joko. "Setan seka-

lipun punya batas kesabaran! Apalagi manusia sepertiku! Aku telah bicara baik-baik, tapi kau malah bicara 

tak karuan! Sekarang apa maumu?!"

Setan Liang Makam tertawa bergelak menden-

gar ucapan murid Pendeta Sinting. "Ternyata kau bu-

kan saja pandai menghitung hari menunggu kesempa-

tan hari bebas ku! Kau juga pintar bercanda dan ber-

pura-pura! Tapi saat ini kau mengajak bercanda pada 

orang yang salah!"

Setan Liang Makam dongakkan kepala. Tangan 

kirinya terangkat. Jari telunjuknya tepat menunjuk ke 

arah Pendekar 131.

"Aku mau Kembang Darah Setan sekaligus 

nyawamu!"

Ucapan Setan Liang Makam belum selesai, tan-

gan kanannya sudah bergerak berkelebat. Tangan ki-

rinya yang tadi menunjuk cepat pula disentakkan ke 

depan.

Murid Pendeta Sinting yang tidak mau lagi 

mengulangi kesalahan tidak tinggal diam. Kedua tan-

gannya serta-merta didorong ke depan.

Bummm!

Terdengar ledakan tatkala gelombang yang me-

lesat dari kedua tangan Setan Liang Makam bertemu 

dengan gelombang angin yang menyambar dari kedua 

tangan Joko. Baik Setan Liang Makam maupun Pen-

dekar 131 sama tidak bergeming dari tempat masing-

masing. Hanya sosok mereka yang tampak bergetar. 

Tanda kalau keduanya sudah siapkan diri.

Setan Liang Makam angkat kedua tangannya 

lurus ke atas kepala dengan mengepal. Terdengar sua-

ra berkeretekan. Sepasang bola matanya mendelik. Di 

seberang, Pendekar 131 tidak mau berlaku ayal. Dia 

segera pula kerahkan tenaga dalam pada kedua tan-

gannya siapkan pukulan 'Lembur Kuning', karena


menduga Setan Liang Makam akan lepaskan pukulan 

andalannya.

Tiba-tiba Setan Liang Makam perdengarkan su-

ara menggembor keras. Kedua tangannya disentakkan!

*

* *

LIMA



PENDEKAR 131 sempat kerutkan dahi dan bu-

ru-buru tarik pulang kedua tangannya yang hendak 

lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Di depan sana, Se-

tan Liang Makam sentakkan kedua tangannya. Bu-

kannya lepaskan pukulan dan menyentak ke depan, 

melainkan orang ini sentakkan kedua tangannya ke 

bawah hingga kedua tangannya menekuk!

"Aneh! Apa sebenarnya kemauan orang ini?! 

Jangan-jangan dia memang...," kata hati murid Pende-

ta Sinting terputus. Tanah tempat di mana kedua ka-

kinya berpijak tiba-tiba bergetar hebat. Belum tahu 

apa yang terjadi, kedua kakinya laksana disedot keku-

atan dahsyat dari dalam tanah, hingga di lain kejap 

tahu-tahu kedua kakinya telah masuk ke dalam tanah 

sebatas betis!

Maklum akan gelagat tidak baik, buru-buru 

Joko gerakkan kedua bahunya untuk melesat keluar. 

Namun saat bersamaan tiba-tiba terdengar deruan 

angker.

Memandang ke depan, Joko tersentak. Dari 

arah depan dua gelombang dahsyat telah menerjang 

ganas! Malah bersamaan itu sosok Setan Liang Makam 

telah berkelebat dengan kedua tangan siap menghantam!

"Jangkrik! Gerakannya tadi hanya tipuan bela-

ka!" gumam Joko. Lalu cepat dorong kedua tangannya 

lepas pukulan 'Lembur Kuning'.

Satu cahaya kuning membawa gemuruh dah-

syat serta hawa panas melesat menghadang gelombang 

yang dilepas Setan Liang Makam.

Terdengar dentuman menggelegar. Gelombang 

dan sinar kuning serta-merta bertabur menghantam 

dahan serta ranting jajaran pohon di sekitar tempat 

itu. Batang-batang pohon bergetar keras dan beberapa 

di antaranya berdebam tumbang setelah tanahnya 

rengkah dan akar-akarnya tercabut.

Kelebatan sosok Setan Liang Makam tertahan 

di udara. Namun orang ini segera lipat gandakan tena-

ga dalamnya meski dia merasakan sekujur anggota tu-

buhnya bergetar dan panas laksana dipanggang. Hing-

ga tak lama kemudian, sosoknya berkelebat lagi me-

nerjang ke arah murid Pendeta Sinting.

Di lain pihak, sosok Pendekar 131 tampak ber-

goyang-goyang dan bergetar hebat. Dia cepat berusaha 

sentakkan kedua kakinya agar keluar dari dalam ta-

nah. Namun belum sampai dia gerakkan kaki, sosok 

Setan Liang Makam telah satu langkah di hadapannya 

dengan kedua tangan lepaskan hantaman deras!

Joko tak mau ambil risiko. Laksana kilat kedua 

tangannya segera diangkat untuk menyongsong han-

taman kedua tangan lawan.

Bukkk! Bukkk!

Kedua tangan masing-masing orang sama ter-

pental balik. Sosok Setan Liang Makam tersurut empat 

langkah ke belakang dengan lutut hampir saja mene-

kuk. Tulang mulutnya terbuka perdengarkan suara 

tertahan. Meski dari mulutnya tidak terlihat aliran darah, namun dari sikapnya jelas kalau orang ini telah 

terluka bagian dalam meski tidak begitu parah!

Di seberang depan, sosok Joko tercabut dari 

dalam tanah dan tergontai-gontai mundur sampai be-

berapa langkah. Dadanya bergetar keras dan kedua 

tangannya lunglai ke bawah laksana tak bertenaga. 

Dari mulutnya tampak memercik darah. Meski hanya 

sedikit, tapi jelas menunjukkan kalau bentroknya pu-

kulan dan tangan telah mengakibatkan luka dalam.

"Daripada melayani orang yang urusannya 

membuatku pusing, lebih baik aku segera pergi dari 

sini!" kata Joko dalam hati.

Murid Pendeta Sinting perhatikan Setan Liang 

Makam sejurus. Saat lain sosoknya berputar lalu ber-

kelebat tinggalkan tempat itu.

Setan Liang Makam ternyata tidak berdiam diri. 

Sebelum Joko berkelebat lebih jauh, dia juga berkele-

bat memotong arah kelebatan Joko dan tahu-tahu so-

soknya telah tegak menghadang di depan murid Pende-

ta Sinting.

"Apa boleh buat! Hal ini terpaksa kulakukan 

dari pada cari penyakit!" desis Joko lalu serta-merta 

hantamkan kedua tangannya ke tanah dua langkah di 

hadapan Setan Liang Makam.

Bummm!

Tanah di depan Setan Liang Makam langsung 

rengkah dengan tanah berhamburan ke udara menu-

tupi pemandangan. Setan Liang Makam yang menduga 

diserang lawan tidak tinggal diam. Kedua tangannya 

pun menghantam ke depan.

Bummm!

Untuk kedua kalinya terdengar ledakan dah-

syat. Pemandangan makin pekat. Dan Setan Liang Ma-

kam rupanya tahu gelagat orang. Hingga begitu pemandangan tertutup hamburan tanah, orang ini tidak 

menunggu. Dia cepat melesat menembus kepekatan 

tanah. Namun tak berapa lama kemudian terdengar 

suara makian panjang pendek Setan Liang Makam.

"Jahanam bangsat! Kau saat ini bisa lolos! Tapi 

ucapanku tetap berlaku! Kau tak akan bisa sembunyi 

dari jangkauan tanganku!"

Setan Liang Makam tegak dengan tubuh berge-

tar keras dan kedua tangan mengepal. Dia tidak peduli 

tubuhnya terkena hamburan tanah yang luruh.

Satu kejutan membuat Setan Liang Makam 

pentangkan bola matanya besar-besar. Telinganya me-

nangkap suara orang berkata.

"Kulihat kau sedang mengalami keadaan tidak 

enak! Mau berbagi keterangan denganku?!"

"Suaranya beda. Tapi siapa tahu manusianya 

sama?!" desis Setan Liang Makam. Dia cepat putar diri 

karena terdengarnya suara datang dari arah belakang-

nya. Kedua tangan diangkat tinggi siap lepaskan puku-

lan.

Namun karena hamburan tanah belum benar-

benar sirna, Setan Liang Makam untuk beberapa saat 

menunggu. Begitu hamburan tanah sirna dan peman-

dangan terang, Setan Liang Makam mendelik tak ber-

kesip memandang ke depan. Saat yang sama mulutnya 

perdengarkan bentakan keras.

"Katakan siapa kau?!"

Kira-kira sejarak lima belas langkah dari tem-

pat tegaknya Setan Liang Makam, tampak berdiri seo-

rang laki-laki berusia agak lanjut mengenakan pakaian 

putih. Sepasang matanya besar tajam. Kumisnya lebat 

juga berwarna putih. Rambutnya panjang sebahu telah 

berwarna putih pula.

Sejenak laki-laki berambut dan berkumis putih


ini memandang tajam pada Setan Liang Makam. Baik 

paras maupun sikapnya orang ini tak menampakkan 

rasa terkejut sama sekali meski saat ini Setan Liang 

Makam pasang tampang angker, apalagi baru saja dia 

kehilangan orang yang dicari.

"Mau sedikit berbagi keterangan denganku?!" 

Bertanya laki-laki di seberang.

"Keparat! Aku tanya siapa kau?! Kalau kau ti-

dak segera jawab, aku tak ada beban mencabut nya-

wamu!" Sambil mengancam, Setan Liang Makam arah-

kan pandangannya ke kiri kanan.

Orang yang diancam angkat bahu seraya terse-

nyum. Namun pandang matanya menyengat tajam. Se-

saat kemudian dia buka mulut.

"Jangan terlalu keras bicara, Kawan! Aku 

hanya seorang yang kebetulan lewat. Tak ada maksud 

hati untuk ikut campur urusanmu! Aku hanya mena-

warkan berbagi keterangan denganmu! Itu pun kalau 

kau tidak keberatan...!"

"Bangsat! Kau terlalu banyak buka mulut! Aku 

tanya sekali lagi siapa kau?!" hardik Setan Liang Ma-

kam.

Orang di seberang alihkan pandangannya ke 

jurusan lain. "Aku Kiai Laras!"

Setan Liang Makam dongakkan kepala. Kedua 

tangannya yang tadi diangkat tinggi perlahan-lahan di-

turunkan. "Hem.... Rasa-rasanya aku pernah menden-

gar nama yang baru dikatakan manusia itu! Tapi aku 

lupa, siapa dan di mana! Gara-gara kuburan terkutuk 

itu, aku jadi lupa segalanya! Sampai-sampai aku lupa 

apa nama tempat tinggal orang yang harus kubunuh! 

Sialan benar!" Setan Liang Makam diam-diam berkata 

sendiri dalam hati. Lalu arahkan pandang matanya ke 

depan.


"Manusia!" bentak Setan Liang Makam. "Dari 

ucapanmu tadi, kurasa kau telah tahu apa yang baru 

saja terjadi! Kuperintahkan kau menyingkir dari sini!"

"Hem.... Jadi kau keberatan jika kuajak berbagi 

keterangan denganku?!"

"Jahanam! Keterangan apa yang bisa kau beri-

kan padaku, hah?! Kau tahu apa soal aku?! Jangan 

mencari mampus tak berguna!" Mungkin karena masih 

tenggelam dalam kecewa, Setan Liang Makam sampai 

lupa kalau saat ini dia sebenarnya membutuhkan ke-

terangan dari orang lain, karena tiga puluh enam ta-

hun bukanlah waktu yang pendek. Segalanya bisa be-

rubah bahkan mungkin tak bisa dikenali lagi.

"Aku tidak tahu apa urusanmu dengan pemuda 

yang tadi lolos dari kejaran mu.... Tapi aku tahu betul 

siapa pemuda itu sebenarnya!" kata orang yang se-

butkan diri sebagai Kiai Laras.

"Hem.... Begitu?! Dengar baik-baik, Manusia! 

Kau tak akan kubiarkan tinggalkan tempat ini sebelum 

member! keterangan tentang pemuda laknat tadi! Kau 

dengar?!"

"Hem.... Sebenarnya itu tidak adil!" ujar Kiai 

Laras. "Tapi untukmu aku dengan senang hati akan 

berikan keterangan! Hanya saja aku tidak akan beri-

kan keterangan pada orang yang tidak kukenal siapa 

namanya...."

"Aku Setan Liang Makam!"

"Tunggu!" Tiba-tiba Kiai Laras menyahut cepat. 

"Rasanya baru kali ini aku dengar gelarmu itu! Apakah 

kau seorang tokoh yang baru saja muncul dalam ka-

langan dunia persilatan?!"

Setan Liang Makam tertawa panjang. "Dunia 

persilatan bukan barang baru bagiku! Kalau selama ini 

orang belum kenal gelarku, karena aku baru menyandangnya lima hari yang lalu!"

"Hem.... Pasti kau baru saja melakukan sesua-

tu yang luar biasa! Keadaan tubuhmu lain dengan ke-

banyakan orang...," kata Kiai Laras dengan tersenyum.

"Jahanam! Ini bukan karena kehendakku! Ada 

tangan manusia yang membuatku jadi begini rupa! 

Dan kemunculanku saat ini salah satunya adalah 

mencari manusia yang membuat tubuhku jadi begini 

ini!"

"Ah.... Kau mau katakan siapa orang yang kau 

cari itu?!"

"Sialan! Kau bertanya atau sedang menyelidik, 

hah?!" hardik Setan Liang Makam.

"Jangan salah sangka! Aku hanya bertanya 

tanpa maksud menyelidik. Siapa tahu aku bisa mem-

berimu keterangan! Melihat kau tidak kenal betul den-

gan pemuda yang lolos dari tanganmu tadi, aku men-

duga kau telah sekian lama tidak muncul di kalangan 

dunia persilatan walau kau menyatakan dunia persila-

tan bukanlah barang baru bagimu!"

"Joko Sableng! Apa keparat itu begitu dikenal 

dalam dunia persilatan?!"

"Saat ini siapa pun pasti mengenalnya! Dialah 

Pendekar Pedang Tumpul 131!"

Setan Liang Makam tertawa pendek. "Semua 

orang boleh mengenalnya! Jahanam itu boleh bergelar 

siapa saja! Tapi jangan kira aku kesulitan menekuk 

tubuhnya!"

Kiai Laras anggukkan kepala. "Masih mau ka-

takan siapa orang yang kau cari selain Joko Sableng?!" 

tanya sang Kiai.

"Itu urusanku! Aku bisa mencari dan menemu-

kan sendiri! Dan siapa pun yang berani menjamahnya, 

itu pertanda nasib buruk baginya!" Setan Liang Makam


hentikan ucapannya sejenak sebelum akhirnya melan-

jutkan. "Sekarang aku ingin tahu siapa sebenarnya 

pemuda keparat Joko Sableng itu!"

"Kau pernah dengar tentang cerita kitab sakti 

bernama Kitab Serat Biru dan Kitab Sundrik Cakra?!"

"Dalam dunia persilatan, beredarnya cerita ten-

tang kitab sakti bukan hal baru lagi! Tapi selama ini 

aku belum bisa buktikan kebenaran cerita itu!"

"Kau pernah dengar seorang tokoh bergelar 

Pendeta Sinting dari Jurang Tlatah Perak?!"

"Namanya pernah singgah di telingaku. Tapi 

aku belum pernah lihat tampangnya!"

"Kau pernah dengar tentang kegegeran di Pulau 

Biru dan di Kedung Ombo?!"

"Sialan! Kau malah yang balik bertanya!" hardik 

Setan Liang Makam. "Aku tidak pernah dengar segala 

macam kegegeran!"

Kiai Laras tersenyum. "Dengar, Kawan! Joko 

Sableng adalah anak manusia yang berhasil menda-

patkan kitab sakti Kitab Serat Biru dan Kitab Sundrik 

Cakra! Sementara Pendeta Sinting adalah gurunya! 

Menurut kabar yang beredar, banyak tokoh kelas ting-

gi harus menemui ajal di tangannya saat terjadi kege-

geran di Pulau Biru serta Kedung Ombo!"

"Hem.... Rupanya banyak juga pengetahuanmu! 

Siapa kau sebenarnya?!" bertanya Setan Liang Makam.

Kiai Laras gelengkan kepala. "Aku hanyalah 

orang biasa. Kalaupun aku mengetahui perihal pemu-

da itu, karena saat ini siapa pun pasti mengetahuinya 

juga! Karena cerita tentang anak manusia itu sudah 

jadi buah bibir semua orang!"

"Hem.... Rupanya telah banyak perubahan se-

menjak aku terkubur dalam makam celaka itu!" kata 

Setan Liang Makam dalam hati lalu pandangi Kiai Laras dengan seksama. "Manusia ini tidak berkata dusta! 

Dia bukan orang biasa! Tampang dan sikapnya tidak 

membayangkan rasa takut sama sekali saat bertemu 

denganku! Kedatangannya juga tak dapat kuketahui! 

Hem.... Seandainya dia tidak memberi keterangan ten-

tang pemuda itu, ingin sekali aku menggebuknya!"

Setan Liang Makam dongakkan kepala. Tanpa 

buka suara, laki-laki yang anggota tubuhnya hanya 

berupa kerangka tanpa daging ini balikkan tubuh. La-

lu terdengarlah suaranya. "Lekas angkat kaki dari si-

ni!"

Kiai Laras belalakkan sepasang matanya. Sebe-

lum orang ini sempat buka suara, Setan Liang Makam 

telah sambung ucapannya. "Aku tidak akan mengata-

kan sekalipun pada setan orang yang kucari!"

Sosok Kiai Laras bergetar keras tanda orang ini 

menindih perasaan geram. "Kalau saja aku tidak mem-

butuhkan orang yang selama ini dia cari, sudah sejak 

tadi-tadi ku pecah tulang mulutnya!"

"Manusia!" bentak Setan Liang Makam dengan 

suara bergetar keras. "Kalau kau masih di situ, aku 

tak segan membuatmu angkat kaki tanpa nyawa!"

Kiai Laras menggumam tak jelas. Kejap lain 

orang ini membuat gerakan berputar lalu berkelebat 

tinggalkan tempat itu.

Tanpa balikkan tubuh, Setan Liang Makam te-

lah tahu kalau orang di belakangnya telah berkelebat 

pergi. "Hem.... Dugaanku makin kuat. Manusia yang 

katakan diri sebagai Kiai Laras bukan orang biasa. Dia 

ingin mengorek keterangan dariku tentang orang yang 

kucari dan harus kubunuh! Jangan-jangan...." Setan 

Liang Makam tidak teruskan kata hatinya. Sebaliknya 

dia cepat putar diri. Bola mata liar memandang berke-

liling. "Astaga! Jangan-jangan dia tahu rahasia Kampung Setan! Apa rahasia itu telah muncul menebar da-

lam rimba persilatan?! Terkutuk! Kalau hal itu be-

nar.... Dan Kembang Darah Setan masih belum bisa 

ku genggam, celakalah aku! Pemuda jahanam itu ha-

rus kutemukan dahulu! Tidak bertemu dengannya, gu-

runya pun jadilah! Sang murid pasti tidak akan tinggal 

diam kalau gurunya dalam kesulitan!"

Setan Liang Makam mendongak. "Pendeta Sint-

ing.... Jurang Tlatah Perak!"

Setan Liang Makam membuat gerakan satu 

kali. Sosoknya melesat tinggalkan tempat itu laksana 

dikejar setan!

*

* *

ENAM



MURID Pendeta Sinting berlari tanpa pedulikan 

kanan kiri. Yang terpikir dalam benaknya adalah 

menghindar sejauh mungkin dari orang yang baru per-

tama kali ditemuinya dan sebutkan diri dengan gelar 

Setan Liang Makam. Dia yakin benar, bahwa orang itu 

baru pertama kali dijumpai. Nama gelarnya juga baru 

didengarnya. Namun yang membuatnya tak habis pikir 

dan bingung, Setan Liang Makam telah mengenal di-

rinya! Meminta Kembang Darah Setan dan bertanya 

tentang Kampung Setan! Nama-nama yang juga baru 

didengarnya.

Ketika telah berlari sejarak dua ratus tombak, 

baru Joko memperlambat larinya. Selain berusaha 

mencari tempat berlindung, dia juga merasakan da-

danya agak sesak. Ini akibat bentrokan dengan Setan


Liang Makam. Walau tidak mengalami luka dalam yang 

cukup parah, namun tak urung mempengaruhi jalan 

pernafasannya.

Setelah merasa yakin langkahnya tidak diikuti 

orang, Pendekar 131 hentikan larinya. Lalu buru-buru 

menyelinap di balik bongkahan tunggul pohon kelapa 

besar yang banyak bertebaran di sekitar tempat mana 

dia kini berada.

Joko segera henyakkan pantat dengan pung-

gung bersandar. Sepasang matanya dipejamkan lalu 

menghela napas dalam-dalam.

"Anak muda! Kau kira tempat ini aman untuk 

berlindung?!" satu suara mendadak terdengar.

Paras wajah murid Pendeta Sinting seketika be-

rubah tegang. Helaan nafasnya terputus. Meski dia ya-

kin suara yang baru saja terdengar bukan suara Setan 

Liang Makam, namun tak urung membuatnya tersen-

tak kaget.

Laksana disentak setan, Joko cepat berpaling. 

Dari bongkahan tunggul pohon kelapa bertaut tiga 

buah, satu raut wajah milik seorang laki-laki berusia 

agak lanjut muncul menghadap ke arahnya. Karena 

orang ini juga duduk bersandar, murid Pendeta Sinting 

belum bisa melihat bagaimana sosoknya. Namun hal 

ini sudah membuat Joko merasa agak lega. Karena 

yang muncul bukanlah raut Setan Liang Makam.

"Apa dia memang telah berada di situ sebelum 

aku datang?! Tapi mengapa dia seolah tahu aku men-

cari tempat sembunyi?!" diam-diam Joko membatin 

sambil memperhatikan raut wajah orang di seberang.

Raut wajah orang tua di seberang bergerak ke 

jurusan lain lalu terdengar dia bersuara. "Anak muda! 

Kau benar-benar seorang yang sangat beruntung!"

Pendekar 131 kernyitkan kening. "Jangkrik!


Liang Makam. Walau tidak mengalami luka dalam yang 

cukup parah, namun tak urung mempengaruhi jalan 

pernafasannya.

Setelah merasa yakin langkahnya tidak diikuti 

orang, Pendekar 131 hentikan larinya. Lalu buru-buru 

menyelinap di balik bongkahan tunggul pohon kelapa 

besar yang banyak bertebaran di sekitar tempat mana 

dia kini berada.

Joko segera henyakkan pantat dengan pung-

gung bersandar. Sepasang matanya dipejamkan lalu 

menghela napas dalam-dalam.

"Anak muda! Kau kira tempat ini aman untuk 

berlindung?!" satu suara mendadak terdengar.

Paras wajah murid Pendeta Sinting seketika be-

rubah tegang. Helaan nafasnya terputus. Meski dia ya-

kin suara yang baru saja terdengar bukan suara Setan 

Liang Makam, namun tak urung membuatnya tersen-

tak kaget.

Laksana disentak setan, Joko cepat berpaling. 

Dari bongkahan tunggul pohon kelapa bertaut tiga 

buah, satu raut wajah milik seorang laki-laki berusia 

agak lanjut muncul menghadap ke arahnya. Karena 

orang ini juga duduk bersandar, murid Pendeta Sinting 

belum bisa melihat bagaimana sosoknya. Namun hal 

ini sudah membuat Joko merasa agak lega. Karena 

yang muncul bukanlah raut Setan Liang Makam.

"Apa dia memang telah berada di situ sebelum 

aku datang?! Tapi mengapa dia seolah tahu aku men-

cari tempat sembunyi?!" diam-diam Joko membatin 

sambil memperhatikan raut wajah orang di seberang.

Raut wajah orang tua di seberang bergerak ke 

jurusan lain lalu terdengar dia bersuara. "Anak muda! 

Kau benar-benar seorang yang sangat beruntung!"

Pendekar 131 kernyitkan kening. "Jangkrik!


Urusan gila apa lagi ini?! Dengan orang tua ini pun 

aku rasa baru jumpa pertama kali! Anehnya, dia seo-

lah sudah mengenalku dan mengatakan aku berun-

tung!"

Belum sampai Joko buka mulut bertanya, 

orang tua di seberang sana telah berkata tanpa berpal-

ing. "Kalau tak salah, bukankah kau Pendekar Pedang 

Tumpul 131 Joko Sableng murid seorang tokoh dari 

Jurang Tlatah Perak bergelar Pendeta Sinting?!"

Murid Pendeta Sinting tidak menyahut. Dia ru-

panya masih terkesima dengan ucapan orang. Dan di-

am-diam dadanya berdebar. Dia rupanya dapat me-

nangkap apa yang akan dibicarakan orang selanjut-

nya. "Dia mengatakan aku beruntung. Jangan-jangan 

maksud ucapannya ini masih ada kaitannya dengan 

pembicaraan Setan Liang Makam...."

"Anak muda! Kau tahu apa kegunaan barang 

pusaka yang ada di tanganmu?!" si orang tua di sebe-

rang ajukan tanya.

"Barang pusaka?! Barang pusaka apa?!" gu-

mam Joko dengan kepala menggeleng.

"Orang Tua! Aku tidak mengerti juntrungan bi-

caramu! Siapa kau?!"

Orang tua di seberang sana putar tubuh. Kini 

orang tua itu tepat menghadap ke arah Joko. Dan Joko 

dengan jelas dapat melihat siapa adanya orang. Dia 

adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya pu-

tih panjang. Raut wajahnya telah disamaki kerut-

kerutan. Sepasang matanya besar agak sayu. Kumis 

dan jenggotnya lebat juga telah berwarna putih. Orang 

ini mengenakan pakaian warna putih yang dilapis den-

gan jubah besar warna hitam. Pada cuping hidung se-

belah kiri tampak melingkar anting kecil dari akar hitam.


"Anak muda! Buanglah rasa curiga! Aku sama 

sekali tidak menginginkan barang pusaka itu meski 

siapa pun yang tahu ceritanya akan mati-matian 

memburu!"

"Gila! Dua kali aku harus berhadapan dengan 

orang-orang yang tak ku mengerti apa maksud bica-

ranya!" Joko berkutat sendiri dengan batinnya. Lalu 

sekali lagi buka suara bertanya.

"Orang tua! Kau telah mengenalku! Harap kau 

sudi sebutkan diri!"

"Hem.... Aku Kiai Lidah Wetan...!"

"Benar dugaanku. Berarti aku baru kali ini ber-

jumpa dengannya!" kata Joko dalam hati begitu men-

dengar orang sebutkan nama.

"Orang tua! Kau mau menerangkan apa mak-

sud ucapanmu tadi?!"

Orang tua yang sebutkan diri sebagai Kiai Li-

dah Wetan tertawa perlahan. "Aku tidak bisa mene-

rangkan

panjang lebar! Lagi pula kalau kau mencari 

benda itu pasti kau lebih tahu banyak dibandingkan 

diriku!"

"Orang tua! Kau dari tadi sebut-sebut barang 

benda pusaka! Aku benar-benar tidak mengerti!"

"Ah.... Kau masih juga berpura-pura! Itu me-

nunjukkan kalau kau curiga jika aku menginginkan 

Kembang Darah Setan itu...."

Murid Pendeta Sinting melengak. Tanpa sadar 

dia bergerak merangkak mendekati Kiai Lidah Wetan. 

Begitu tepat berada di hadapan si orang tua, Pendekar 

131 segera angkat bicara.

"Orang tua! Dua kali ini aku mendengar orang 

sebut-sebut Kembang Darah Setan! Perlu kau ketahui, 

aku tidak tahu menahu tentang Kembang Darah Setan!" Joko hentikan ucapannya seraya memperhatikan 

orang tua yang duduk di hadapannya. Lalu teruskan 

bicara. "Kau ada hubungan apa dengan Setan Liang 

Makam?!"

"Hem.... Ini satu bukti kalau kau berkata dusta, 

Anak Muda!" ujar Kiai Lidah Wetan. "Kau baru saja se-

but nama Setan Liang Makam, adalah satu hal aneh 

kalau kau tidak mengenal Kembang Darah Setan!"

"Aku baru saja bertemu dengan manusia setan 

itu!" kata Joko agak keras karena mulai jengkel dengan 

urusan pelik yang tidak juga bisa terjawab.

"Alasan mudah dicari, Anak Muda! Dan setiap 

orang yang telah berhasil mendapatkan barang pusaka 

pasti akan mencari alasan agar barangnya tidak pin-

dah ke tangan orang lain!"

"Edan! Ini benar-benar edan!" gumam murid 

Pendeta Sinting dengan gelengkan kepala. Lalu berujar 

dengan suara agak parau.

"Orang tua! Kau mengira aku membawa Kem-

bang Darah Setan?!"

Yang ditanya hanya menjawab dengan perden-

garkan suara tawa perlahan, membuat Joko makin 

merasa kebingungan. Dalam puncak kebingungannya 

akhirnya Joko buka mulut. "Orang tua! Apa yang kau 

maksud Kembang Darah Setan adalah seorang nenek 

cantik yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan orang 

itu?!"

Yang ditanya lagi-lagi hanya perdengarkan tawa 

perlahan tanpa buka mulut menjawab.

"Hem.... Mungkin ini satu isyarat kalau aku ha-

rus tinggalkan tempat ini jauh-jauh agar tidak lebih 

dalam terlibat tentang urusan gila ini!" kata Joko da-

lam hati. Tanpa buka mulut lagi, murid Pendeta Sint-

ing bergerak bangkit meski sebenarnya dia ingin mengorek keterangan lebih banyak dari orang tua di hada-

pannya.

Acuh tak acuh bahkan tanpa memandang Kiai 

Lidah Wetan berkata. "Kusarankan agar kau berlaku 

hati-hati, Anak Muda! Setan Liang Makam pasti tidak 

akan membiarkan mu enak berkeliaran! Bahkan se-

bentar lagi mungkin akan banyak orang yang menca-

rimu!"

Murid Pendeta Sinting berpaling. "Simpan da-

hulu ramalan mu, Orang Tua! Aku tidak tahu urusan 

Kembang Darah Setan gila itu! Dan persetan dengan 

orang-orang yang akan mencariku!"

Kiai Lidah Wetan hanya tersenyum mendengar 

ucapan keras murid Pendeta Sinting. Dia ikut bergerak 

bangkit. Memperhatikan Joko sekilas lalu berkata.

"Kau telah membuka sebagian rahasia Kam-

pung Setan! Mudah-mudahan semua urusan selanjut-

nya bisa berjalan dengan lancar!"

Habis berkata begitu, Kiai Lidah Wetan putar 

tubuh setengah lingkaran. Lantas melangkah tanpa 

memandang lagi pada Pendekar 131.

"Tunggu!" Joko melompat dan tegak mengha-

dang jalan Kiai Lidah Wetan. "Di mana Kampung Setan 

itu?!"

Kiai Lidah Wetan pandangi Joko dari rambut 

sampai ujung kaki. "Pertanyaan yang seharusnya tidak 

memerlukan jawaban, Anak Muda! Karena di mana 

kau mendapatkan Kembang Darah Setan, itulah Kam-

pung Setan!"

"Benar-benar hebat! Dalam waktu hampir satu 

purnama, telah terjadi hal-hal aneh yang kurasa tidak 

masuk akal tapi jadi kenyataan!"

"Kau tak usah heran, Anak Muda! Keajaiban bi-

sa saja terjadi sewaktu-waktu tanpa satu isyarat!" ujar


Kiai Lidah Wetan. Orang tua ini tersenyum lalu menyi-

si ke samping sebelum akhirnya lanjutkan langkah.

Joko baru putar diri ketika dirasa si orang tua 

sudah agak jauh. Sesaat murid Pendeta Sinting pan-

dangi langkah-langkah si orang tua di depan sana. 

"Aku tak tahu pasti apa sebenarnya yang terjadi! Dan 

mendengar ucapan-ucapannya, orang tua itu seper-

tinya tahu banyak urusan ini! Hem.... Aku jadi penasa-

ran!" Joko segera berkelebat ke jurusan mana Kiai Li-

dah Wetan melangkah jauh di depan sana dilihatnya si 

orang tua hampir saja lenyap dari pandangannya. Joko 

jadi lupa kalau dia sudah memutuskan untuk pergi 

jauh-jauh dari tempat itu dan tidak ingin terlibat lebih 

jauh dalam urusan yang tidak pernah dimengerti dan 

tidak bisa terjawab.

Pada satu tempat Joko tegak kebingungan, ke-

palanya celingukan ke samping kiri kanan. "Heran. 

Apa dia tahu kalau kuikuti lalu sembunyi?!"

Sekian lama pentang mata dengan kepala ber-

putar, namun matanya tidak melihat siapa-siapa di 

sekitar tempat itu. "Ah.... Lebih baik aku...."

"Anak muda! Mengapa kau mengikutiku?!" satu 

suara mengejutkan Joko. Satu sosok tubuh muncul 

keluar dari balik batangan pohon.

Belum sampai Joko buka mulut, orang yang 

baru saja muncul dan tidak lain adalah Kiai Lidah We-

tan telah mendahului. "Anak muda! Tentang Kembang 

Darah Setan dan rahasia Kampung Setan, pengetahu-

anku tidak lebih banyak darimu! Jadi percuma kau 

mengikuti langkahku! Kau tidak akan mendapatkan 

apa-apa!"

"Orang tua! Terus terang aku buta sama sekali 

dengan Kembang Darah Setan serta Kampung Setan!"

Kiai Lidah Wetan menggeleng. "Aku tidak tahu


harus berkata apa, Anak Muda! Tapi dengan Kembang 

Darah Setan yang ada di tanganmu, kau kelak tentu 

akan tahu sendiri...."

Seolah tidak memberi kesempatan pada murid 

Pendeta Sinting, Kiai Lidah Wetan sudah sambung 

ucapannya sebelum Joko angkat bicara. "Kuharap kau 

tidak mengikutiku!"

Joko kancingkan mulut dengan mata memper-

hatikan ke arah Kiai Lidah Wetan. Yang dipandang ti-

dak peduli. Dia putar tubuh !alu berkelebat.

"Urusan pelik dan gila!" desis murid Pendeta 

Sinting. Lalu melangkah perlahan-lahan dengan dada 

disarati berbagai hal yang membuatnya tertawa den-

gan dahi berkerut.

*

* *

Saat matahari sejengkal lagi masuk tenggelam 

ke kaki langit di sebelah barat, sosok yang berkelebat 

laksana angin itu hentikan larinya. Di depan sana ter-

lihat sebuah tanah menggunung tinggi yang pada sa-

lah satu lamping samping kanannya terdapat lobang 

goa. Di sekitar lobang goa, meranggas semak belukar 

lebat hingga kalau orang tidak perhatikan dengan sek-

sama, pasti tidak tahu kalau di balik ranggasan semak 

belukar lebat ada sebuah lobang goa.

Untuk beberapa saat, orang yang tegak di de-

pan lobang goa yang samar-samar terlihat gerakkan 

kepala ke samping kiri kanan. Sepasang matanya yang 

besar agak sayu memandang menyelidik. Saat lain dia

berkelebat menerabas semak belukar sebelum akhir-

nya lenyap masuk melewati lobang goa.

Lima langkah melewati lobang goa, orang yang


tadi masuk yang ternyata adalah seorang laki-laki be-

rusia lanjut mengenakan jubah hitam melapis pakaian 

warna putih berambut panjang warna putih dan pada 

sebelah kiri cuping hidungnya melingkar anting dari 

akar hitam dan bukan lain adalah Kiai Lidah Wetan, 

hentikan kelebatannya. Kepalanya cepat berputar den-

gan mata mengawasi bagian dalam goa yang ternyata 

tidak begitu besar. Pada bagian ujung, tampak tanah 

agak tinggi.

"Hem.... Kiai Laras belum datang...," gumam 

Kiai Lidah Wetan. Perlahan-lahan orang tua ini me-

langkah ke arah tanah yang agak tinggi di sebelah 

ujung dalam goa.

Baru saja Kiai Lidah Wetan injakkan kakinya di 

atas tanah yang-agak tinggi, semak belukar di luar 

mulut goa bergerak-gerak. Saat lain satu sosok tubuh 

telah tegak di mulut bagian dalam goa.

Kiai Lidah Wetan cepat berpaling. Kedua tan-

gannya terbuka mengembang. Jelas jika orang tua ini 

sewaktu-waktu siap lepaskan pukulan. Namun begitu 

mengenali siapa adanya sosok yang tegak di mulut 

goa, Kiai Lidah Wetan cepat buka suara.

"Adikku.... Bagaimana dengan pekerjaanmu?!"

Orang yang ditanya tidak segera menjawab. Dia 

melompat dan tahu-tahu telah tegak di hadapan Kiai 

Lidah Wetan. Dia adalah seorang pemuda berparas 

tampan mengenakan pakaian putih-putih. Rambutnya 

hitam sedikit acak-acakan. Siapa pun yang melihat 

pemuda ini dan pernah bertemu dengan Pendekar 131, 

pasti tidak akan melihat perbedaannya!

"Aku gagal mengorek keterangan dari manusia 

setan si Setan Liang Makam tentang siapa orang yang 

di carinya!" berkata pemuda yang wajahnya sama per-

sis dengan murid Pendeta Sinting.


Kiai Lidah Wetan anggukkan kepala. "Kita me-

mang perlu waktu!"

Pemuda di hadapan Kiai Lidah Wetan angkat 

tangannya. Tangan kiri ke arah leher, tangan kanan ke 

arah rambut. Perlahan-lahan tangan kiri mengelupas 

kulit tipis mulai dari lehernya. Sementara tangan ka-

nan menarik rambutnya.

Begitu kulit tipis terkelupas, tampaklah seraut 

wajah orang berusia agak lanjut berkumis lebat ber-

warna putih. Sepasang matanya besar. Dan di bawah 

rambut hitam sedikit acak-acakan yang tertarik tangan 

kanan tampak kepala berambut putih sepanjang bahu. 

Orang ini ternyata bukan lain adalah Kiai Laras!

"Kau sendiri bagaimana?!" tanya Kiai Laras 

yang tadi mengenakan kulit tipis yang membuat raut 

wajahnya sama persis dengan murid Pendeta Sinting.

"Apa yang kita rencanakan berjalan dengan 

baik! Pemuda itu sedang dalam kebingungan! Kita 

tinggal lanjutkan rencana! Dan sejak saat ini kau ha-

rus selalu mengenakan penyamaran!" "Tapi...."

"Kau harus hindari pertemuan dengan Setan 

Liang Makam!" tukas Kiai Lidah Wetan. "Kalaupun kau 

terpaksa ingin bertemu dengannya, kau harus lepas 

dahulu penyamaranmu!"

"Hem.... Meski aku gagal membuat Setan Liang 

Makam buka mulut, tapi satu hal yang pasti, manusia 

setan itu untuk sementara ini akan mencari Pendekar 

131 atau Pendeta Sinting!" ujar Kiai Laras. "Hanya 

apakah mungkin Setan Liang Makam bisa tundukkan 

guru dan murid itu?!"

"Tak usah gelisah! Setan Liang Makam bukan 

manusia sembarangan! Aku yakin, selama ini dia be-

lum tunjukkan semua kepandaiannya! Di lain pihak, 

kau harus segera buat kegegeran di mana-mana! Sementara perlahan-lahan aku akan mengikuti langkah 

Setan Liang Makam! Kalau saatnya tiba, Kembang Da-

rah Setan kita berikan pada Setan Liang Makam dan 

diam-diam kita memotongnya dari belakang!"

"Sayang.... Seandainya Setan Liang Makam 

mau buka mulut, kita tidak usah repot-repot harus 

mengikutinya! Karena Kembang Darah Setan sudah 

berada di tangan kita!" kata Kiai Laras seraya menghe-

la napas dalam.

"Ini urusan besar, Adikku! Wajar kalau Setan 

Liang Makam tidak akan gegabah buka suara! Tapi 

percayalah, saatnya akan tiba juga!" sahut Kiai Lidah 

Wetan sambil memandang adiknya berlama-lama. Saat 

lain dia sambung ucapannya. "Hem.... Adikku. Kau te-

lah mengatakan Kembang Darah Setan berhasil kau 

ambil dari tangan Setan Liang Makam! Tapi selama ini 

kau belum tunjukkan padaku...."

Kiai Laras balas memandang kakaknya dengan 

pandangan lain. 

"Kau tidak percaya?"

Kiai Lidah Wetan tertawa pendek. "Kalau aku 

tidak percaya, untuk apa kulakukan semua ini?! Aku 

hanya ingin melihatnya...."

"Kembang Darah Setan bukan barang semba-

rangan. Jadi aku menyimpannya di satu tempat!"

"Hem.... Aku tak yakin dengan ucapannya!

Kembang Darah Setan pasti berada di balik pakaian-

nya! Hem.... Tunggulah, kau nanti akan tahu siapa 

aku! Dan kau akan menyesal! Begitu Setan Liang Ma-

kam berhasil menemukan orang yang dicari, saat itu 

tidak ada urusan antara adik dan kakak!" membatin 

Kiai Lidah Wetan.

Kalau diam-diam Kiai Lidah Wetan membatin 

begitu, di pihak lain Kiai Laras juga berkata sendiri dalam hati. "Jangan harap kau bisa memuslihati aku! 

Kembang Darah Setan tetap akan berada di tanganku 

sampai saatnya tiba! Dan aku tidak segan mengantar 

nyawamu ke neraka kalau kau berani berbuat macam-

macam!"

Kiai Laras berpaling ke mulut goa. "Keadaan 

sudah gelap. Kalau tidak ada yang perlu kita bicara-

kan, kita berpisah dahulu dan lakukan seperti apa 

yang kita rencanakan!"

Kiai Lidah Wetan tersenyum dingin. "Dalam 

urusan ini, kita memang tidak boleh buang-buang 

waktu!"

Kiai Laras berkelebat ke arah mulut goa. Tan-

gan kiri kanannya bergerak. Tatkala sesaat kemudian 

sosoknya melesat keluar dari mulut goa, tampangnya 

sudah berubah menjadi seorang pemuda berparas 

tampan tak ada bedanya dengan Pendekar 131!

Kiai Lidah Wetan mengawasi kepergian adiknya 

dengan seringai. Lalu perlahan-lahan duduk di atas 

tanah agak tinggi. Saat lain orang tua ini telah pejam-

kan sepasang matanya dengan kedua tangan bersede-

kap di depan dada.

*

* *

TUJUH



PENDEKAR 131 Joko Sableng hentikan langkah 

di satu persimpangan. Saat itu matahari sudah be-

rangkat agak tinggi. Memandang ke sebelah kanan 

tampak hamparan ladang yang ditumbuhi ubi jalar 

dan jajaran pohon kelapa. Lurus ke depan terlihat sebuah kedai agak besar. Sejurus murid Pendeta Sinting 

arahkan pandang matanya ke hamparan ladang lalu 

beralih ke kedai yang tampak sepi.

Kali ini sikap murid Pendeta Sinting tampak 

bimbang. Malah sesekali kepalanya celingukan dan 

berpaling ke belakang.

"Busyet! Gara-gara urusan aneh itu aku jadi 

serba salah! Hem.... Apa sebaiknya yang kulakukan 

sekarang?! Kembali ke Jurang Tlatah Perak menemui 

Eyang Guru?! Ke mana sebenarnya Eyang Guru ber-

sama Nenek Ni Luh Padmi?! Kalau tidak ada apa-apa 

seharusnya Eyang Guru harus berada di Jurang Tla-

tah Perak. Apalagi dia sudah mengatakan padaku agar 

menemuinya tiga hari setelah peristiwa Kedung Ombo! 

Tapi nyatanya hingga hampir satu purnama kutunggu, 

Eyang Guru tidak ada kabar beritanya! Hem.... Apa se-

baiknya aku menemui Kakek Gendeng Panuntun? Tapi 

di mana orang tua itu harus kucari...?!" Mengingat 

Gendeng Panuntun, tiba-tiba Joko teringat Sitoresmi.

"Gadis cantik itu.... Belum begitu lama diambil 

oleh Kakek Gendeng Panuntun sudah maju demikian 

pesat! Seandainya aku tahu di mana tempat tinggal-

nya.... Beberapa kali dia selamatkan nyawaku! Malah 

dia mau berbalik pikiran dan menentang gurunya.... 

Saat-saat seperti ini aku ingin seorang teman bicara!" 

Joko menghela napas panjang.

Dengan wajah kusut, murid Pendeta Sinting 

melangkah ke arah kedai. Sejenak langkahnya dihenti-

kan di pintu kedai. Sepasang matanya mengedar ke 

dalam kedai. Lalu perlahan-lahan dia masuk.

Seorang berusia agak lanjut buru-buru mende-

kat lalu mempersilakan. Setelah memesan makanan 

Joko mengambil duduk di bangku yang pandangannya 

bisa leluasa ke halaman kedai.


Saat itulah baru Joko tahu kalau di bagian po-

jok kedai duduk seorang perempuan berusia lanjut. 

Karena perempuan ini duduk lurus sejajar, dengan je-

las Joko dapat melihat raut wajahnya.

Nenek itu mengenakan pakaian warna merah 

menyala. Tapi bukan warna merah itu yang membuat 

murid Pendeta Sinting sempat terbelalak. Baju bagian 

atas yang dikenakan si nenek adalah baju tanpa len-

gan. Hingga seluruh tangannya yang berkulit gelap ter-

lihat sampai pundak! Dan potongan baju itu amat 

cingkrang. Hingga sebagian kulit perutnya yang juga 

berwarna gelap kelihatan. Kalau Joko melihat si nenek 

dari arah depan, pasti akan jelas dapat melihat pusar 

si nenek!

Sementara pakaian bawah si nenek juga ber-

warna merah menyala. Pakaian bawahnya merupakan 

celana pendek sejengkal di atas lutut. Hingga pahanya 

yang berkulit gelap tampak jelas sekali. Pada lehernya 

melingkar tiga untai kalung dari kerang. Rambutnya 

yang telah berwarna putih dikepang dua dan pada 

ujungnya diberi pita kembang-kembang. Rambut de-

pannya di poni menutupi sebagian keningnya yang te-

lah mengeriput dan berwarna gelap. Sepasang ma-

tanya besar menjorok masuk ke dalam rongga yang ge-

lap dan dalam. Alis matanya tebal dan hitam saling 

bertautan. Dari raut wajahnya, yang tampak menco-

rong hanyalah bibirnya. Karena bibir si nenek dipoles 

warna merah tebal!

Saat Joko melirik, si nenek tampak kedipkan 

sebelah matanya, membuat murid Pendeta Sinting bu-

ru-buru alihkan bola matanya ke depan dengan mem-

batin.

"Mudah-mudahan hanya cara berhiasnya saja 

yang aneh! Tidak sampai ikut-ikutan dengan urusan


gila seperti kemarin yang membuat kepalaku seperti 

pecah memikirkannya...."

Entah karena apa, Joko tidak bisa berlama-

lama memandang ke depan. Dia seolah ingin meyakin-

kan bahwa si nenek bukan seperti dua orang yang di-

temuinya sebelum ini. Hingga dia perlahan-lahan ge-

rakkan kepalanya ke samping, arah mana si nenek be-

rada.

Tapi mendadak gerakan kepala Joko terhenti. 

Di samping sana, si nenek terlihat angkat tangan ka-

nannya dengan siku bertumpu pada meja. Jari-jari 

tangan kanannya digerak-gerakkan melambai! Kedua 

matanya di kedip-kedipkan berulang kali. Sementara 

bibirnya yang merah mencorong dibikin tersenyum le-

bar!

Karena sudah telanjur berpaling dan dilihatnya 

si nenek melambai dengan bibir tersenyum, akhirnya 

murid Pendeta Sinting angkat tangannya dengan siku 

ditumpukan pada meja. Jari-jari tangannya digerakkan 

melambai. Bibirnya pun dibuat tersenyum, malah se-

belah matanya sejenak dikedipkan berulang kali.

Mungkin merasa mendapat sambutan, nenek di 

seberang buka mulut.

"Hai...!"

"Hai...!" Joko menyambut. Lalu buru-buru alih-

kan pandangannya berharap semuanya akan berakhir 

sampai di situ. Dia mulai merasa ada yang tidak beres 

dengan si nenek.

Namun belum sampai Joko arahkan pandan-

gannya ke jurusan lain, nenek di seberang telah sam-

bung ucapannya. 

"Tidak keberatan ku temani makan?!"

Dada murid Pendeta Sinting mulai berdebar. 

Pertemuannya dengan Setan Liang Makam dan orang


tua yang sebutkan diri sebagai Kiai Lidah Wetan mem-

buat nya selalu merasa khawatir. Apalagi melihat dan-

danan aneh si nenek. Untung saat itu dari bagian da-

lam kedai muncul si orang tua yang mendekat ke arah 

mejanya dengan membawa makanan yang dipesan.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Joko. 

Begitu si orang tua yang rupanya sebagai pemilik kedai 

hidangkan makanan, Joko buka mulut.

"Kelihatannya sepi. Apa pada hari-hari lainnya 

juga begini?"

Si pemilik kedai memandang sejurus pada mu-

rid Pendeta Sinting. Lalu melirik pada si nenek. "Kedai 

ini biasanya ramai pengunjung. Hanya tiga hari ini te-

rasa sepi...," jawab si pemilik kedai dengan suara pelan 

setengah berbisik.

"Kalau biasanya ramai dan tiga hari ini sepi, 

tentu ada sebabnya...," ujar Joko.

"Aku tak tahu apa sebab sebenarnya! Hanya 

sedikit banyak mungkin karena kedatangan nenek itu! 

Tiga hari berturut-turut dia muncul di kedai ini.... He-

rannya, ia sampai setengah hari berada di kedai! Seo-

lah dia menunggu seseorang...."

"Bisa menduga siapa kira-kira yang ditunggu?!" 

Entah karena apa Joko tiba-tiba menanyakan hal itu.

"Aku tak berani bertanya.... Dia selalu berkata 

keras membentak-bentak.... Kalaupun dia tampak ter-

senyum, itu terlihat saat kau datang! Hem.... Jangan-

jangan kaulah orang yang ditunggu...."

Murid Pendeta Sinting makin berdebar. Hatinya 

gelisah. Dia tidak mau melihat pada si nenek di sebe-

rang.

"Pernah tanya siapa namanya?!" tanya Joko 

dengan suara makin dikecilkan.

Mungkin agar tidak terlalu dicurigai, si pemilik


kedai tampak membersihkan meja dengan sehelai kain 

yang sedari tadi dibawanya sambil berkata.

"Pernah seorang pembantuku iseng bertanya. 

Tapi jawabannya adalah sambaran tangannya! Tampa-

ran itu memang tidak keras. Anehnya orang yang ber-

tanya langsung terjengkang roboh! Sejak saat itu dia 

berhenti jadi pembantu.... Sejak saat itu pula orang-

orang yang hendak masuk kedai buru-buru berbalik 

begitu melihat si nenek...." Si pemilik kedai meman-

dang pada Joko. "Anak muda.... Makanan dan minu-

man yang terhidang di depanmu tidak usah kau bayar, 

bahkan aku akan memberi tambahan uang kalau kau 

bisa mengajak nenek seronok itu pergi jauh-jauh dari 

sini!"

"Busyet! Rupanya aku harus menemui hal yang 

tak kalah aneh dan lucunya!" ujar Joko dalam hati se-

raya menarik napas panjang. Namun sejauh ini dia be-

lum melirik lagi ke arah si nenek. Malah untuk mere-

dakan debaran dadanya dia mulai makan apa yang 

terhidang di hadapannya.

Di hadapannya, sambil terus membersihkan 

meja dan tidak memandang pada murid Pendeta Sint-

ing, si pemilik kedai berkata.

"Bagaimana, Anak Muda?! Kau bersedia bukan 

membawa nenek itu?! Kulihat dia tadi menyapa mu 

dengan ramah dan tersenyum lebar! Kau pun berwajah 

tampan. Dari penampilan mu, kurasa kau seorang 

yang suka menggandeng beberapa teman wanita. Un-

tuk kali ini tidak apa bukan menggandeng seorang ne-

nek-nenek?! Kau tinggal sebutkan berapa imbalan 

yang kau minta...."

Mendengar ucapan si pemilik kedai, mau tak 

mau Joko harus tahan tawanya hingga bahunya berge-

rak turun naik. Namun mendadak gerakan kedua bahu Joko terhenti. Sepasang matanya tak berkesip me-

mandang ke depan. Karena tahu-tahu si nenek ber-

dandan seronok telah tegak tidak jauh dari mejanya 

dengan tangan kanan melambai dan bibir tersenyum.

"Hai...!" kata si nenek. "Kau tadi belum jawab 

pertanyaanku!"

Joko tergagu. Di hadapannya si pemilik kedai 

buru-buru angkat kaki tapi sebelum berlalu, orang tua

ini masih sempat kerdipkan mata dan tersenyum.

"Hai...! Tidak keberatan bukan aku menemani-

mu duduk?!" Si nenek berkata lagi. Tapi tanpa me-

nunggu jawaban orang, nenek berdandan seronok 

yang pusarnya kelihatan ini sudah duduk berseberan-

gan di hadapan Joko dengan sebelah kaki diangkat 

dan diletakkan di paha kaki satunya.

"Sendirian?!" tanya si nenek sambil tangannya 

mainkan untaian kalung yang melingkari lehernya. 

Kali ini sambil bertanya, si nenek tidak menatap lang-

sung melainkan melirik malu-malu!

Karena belum dapat redakan gejolak, murid 

Pendeta Sinting menjawab dengan anggukan kepa-

lanya. Sementara matanya memandang ke jurusan 

lain.

"Boleh tahu siapa namamu?!" Si nenek kembali 

ajukan tanya.

"Joko.... Joko Sableng...."

"Nama bagus, sebagus tampang orangnya.... 

Punya gelar?!"

Joko gelengkan kepala. Tapi kali ini sudah mu-

lai berani memandang ke arah si nenek. Di hadapan-

nya, si nenek pun tidak malu-malu lagi arahkan pan-

dangannya pada murid Pendeta Sinting.

"Boleh tahu hendak ke mana?!" tanya si nenek. 

"Mencari kakekku yang sudah hampir satu purnama


ini tidak kunjung pulang...," sahut Joko sambil perha-

tikan lebih seksama pada nenek yang duduk di hada-

pannya.

"Dasar laki-laki! Pasti kakekmu telah tergoda 

seorang perempuan hingga lupa pulang dan tidak ingat 

cucu! Siapa nama kakekmu yang hilang itu?!"

" Jangkrik! Bagaimana aku harus menjawab?!" 

Joko bingung sendiri. Namun karena tak mau dicurigai 

berkata dusta, dan saat itu teringat akan peristiwa di 

Kedung Ombo beberapa waktu lalu, Joko segera men-

jawab.

"Namanya Raden Mas Antar Bumi...."

"Hem.... Jadi kau masih keturunan darah bi-

ru...."

"Kau sendiri siapa, Nek...?!" tanya Joko untuk 

alihkan pembicaraan. Namun begitu teringat akan ceri-

ta si pemilik kedai, tampang Joko seketika berubah.

Si nenek tertawa panjang dan bergelak-gelak 

hingga si pemilik kedai sempat nongolkan kepalanya di 

belakang sana.

"Kau pasti mendapat kabar dari orang tua pe-

milik kedai waktu kalian bisik-bisik tadi...!" ujar si ne-

nek di sela gelakan tawanya. "Kau tahu, aku terpaksa 

menampar orang itu karena sambil bertanya, matanya 

iseng memelototi pusar dan ketiak ku!"

Murid Pendeta Sinting tersedak mendengar ke-

terangan si nenek. Dan tanpa sengaja matanya tertuju 

pada ketiak kanan kiri si nenek.

"Hai!" Tiba-tiba si nenek berteriak keras. "Apa 

kau ingin mengalami nasib sama?!"

Cepat-cepat Joko berpaling dengan tawa dita-

han-tahan. "Bagaimana orang tidak akan iseng melihat 

ketiaknya, karena daerah itulah yang paling mudah di-

lihat daripada yang lainnya!" kata Joko dalam hati lalu


berucap.

"Nek.... Kau belum jawab tanya ku...." 

"Kau tahu, Anak Muda! Kaulah seorang yang 

beruntung!"

Joko tersentak kaget. Wajahnya kembali beru-

bah tegang. Dia teringat akan ucapan Kiai Lidah We-

tan. "Dia juga mengatakan aku orang yang beruntung! 

Jangan-jangan ini masih ada hubungannya dengan 

urusan gila itu...."

"Kau beruntung, karena kaulah satu-satunya 

orang yang mengetahui namaku dari mulutku sendi-

ri...."

Ketegangan Joko mereda. "Siapa, Nek...?!"

Si nenek angkat kedua tangannya dirang-

kapkan ke depan dada. Kepalanya bergerak mengang-

guk-angguk. Saat yang sama bibirnya yang merah ter-

buka.

"Alam memberi ku nama Dayang Sepuh...!" Si 

nenek lepaskan rangkapan kedua tangannya. "Menu-

rutmu, bagaimana nama yang diberikan alam pada-

ku?!"

"Hem.... Sesuai!" sahut murid Pendeta Sinting. 

"Lalu alam memberimu gelar apa, Nek?!"

Kembali si nenek yang baru saja sebutkan na-

manya Dayang Sepuh angkat kedua tangannya me-

rangkap di depan dada. Lalu buka suara.

"Alam memberi ku gelar Dayang Sepuh!" Seperti 

tadi, habis berkata, si nenek buka rangkapan kedua 

tangannya, lalu bertanya. "Bagaimana gelaran alam 

yang diberikan padaku?!"

"Hem.... Tepat!" ujar Joko meski dalam hati 

berkata. "Apa dia tidak tahu kalau nama dan gelar bi-

asanya berbeda?! Atau dikiranya nama itu gelar, dan 

gelar itu nama.... Hem.... Tapi aku harus waspada.


Dandannya aneh dan seronok. Jangan-jangan ini 

hanya penutup agar siapa dia sebenarnya tidak dike-

tahui! Dua kali aku bertemu dan harus berhadapan 

dengan orang aneh. Mungkin yang satu ini juga aneh 

hanya belum kuketahui...."

"Nek.... Dari sikapmu, sepertinya kau sedang 

menunggu seseorang! Kekasih atau teman biasa?!" Jo-

ko mulai berani bertanya.

Dayang Sepuh tertawa pendek. "Kau bukan 

menduga, Anak Muda! Kau mendengar dari bisikan 

pemilik kedai tadi! Hik.... Hik.... Hik...! Aku memang 

tengah menunggu kemunculan seseorang!"

"Kau yakin dia akan muncul di sini?! Atau kau 

memang sudah sepakat untuk bertemu di sini?!"

"Seumur hidup aku tak pernah bersepakat!"

"Hem.... Barangkali kau sering melihatnya da-

tang ke kedai ini?!"

"Jika aku melihatnya, aku tidak tunggu dua 

kali!"

"Ah.... Mungkin kau dengar dari seseorang ka-

lau orang itu akan muncul di sini!"

"Siapa saja yang bisa menunjukkan, aku berani 

memberi imbalan besar!"

"Hem.... Orang itu musuh besarmu...?"

"Aku tidak pernah membuat permusuhan!"

"Sulit menebak!" gumam Pendekar 131 setelah 

merenung sejenak. "Ditebak kekasih kurang pas. Dite-

bak teman biasa, nadanya mengancam. Ditebak lawan, 

katanya tidak punya musuh.... Jangan-jangan dia me-

nunggu kakekku...!" Joko tertawa sendiri dalam hati. 

Lalu bertanya.

"Kalau kau sudah tiga hari menunggu di sini, 

berarti kau merasa pasti orang itu akan muncul di si-

ni. Bukankah begitu?!"


"Alam memberi ku pelajaran agar aku tidak 

memastikan sesuatu!"

Tak sabar akhirnya Joko bertanya. "Siapa se-

benarnya orang yang kau tunggu?!"

"Seorang pemuda yang dikenal dengan julukan 

Pendekar Pedang Tumpul 131!"

*

* *

DELAPAN



LAKSANA disentak kekuatan dahsyat, kepala 

murid Pendeta Sinting berpaling sembunyikan peruba-

han wajahnya. Deburan dadanya laksana disentak-

sentak. Dia coba mengalihkan perhatian ke belakang 

di mana tadi si pemilik kedai lenyap masuk. Diam-

diam dia berkata dalam hati.

"Pasti ini masih ada kaitannya dengan urusan 

gila itu! Daripada kepala makin pusing, lebih baik aku 

tinggalkan tempat ini!"

"Aku melihat wajahmu berubah kaku tegang! 

Jangan-jangan kau mengenal orang yang baru kuka-

takan!" berkata Dayang Sepuh lalu tertawa cekikikan. 

"Atau kau tegang karena melihat ketiak ku tadi, he?!"

Joko arahkan pandangannya ke arah Dayang 

Sepuh. Bibirnya tersenyum. Lalu kepalanya digerak-

kan menggeleng. "Begitu kau katakan nama orang 

yang kau tunggu, aku baru teringat sesuatu...."

"Apa...!" tanya Dayang Sepuh dengan suara ke-

ras. "Kakekku pernah cerita, kalau orang yang kau se-

but tadi sudah meninggal dunia pada beberapa purna-

ma yang lalu!"


Dayang Sepuh pentangkan mata besar-besar. 

"Katakan di mana dia mati dan dikuburkan! Lalu siapa 

yang membunuhnya?!"

Joko gelengkan kepala. "Aku tidak sempat me-

nanyakannya pada Kakek. Karena aku tidak tertarik 

dengan hal-hal berbau kematian.... Tapi kalau kau in-

gin tahu, kelak aku akan menanyakan pada Kakek, 

dan jika kita bertemu lagi, akan kukatakan padamu!"

Habis berkata begitu, Joko beranjak bangkit. 

Dayang Sepuh memperhatikan dengan tangan main-

kan untaian kalung di lehernya.

"Hendak ke mana, Anak Muda?!"

"Cerita tentang Kakek membuatku teringat apa 

yang harus kulakukan!" Joko melangkah ke arah pintu 

kedai. Namun langkahnya tertahan tatkala dari arah 

belakang tiba-tiba Dayang Sepuh angkat bicara.

"Anak muda! Aku nenek yang sudah banyak 

makan pengalaman dari yang manis-manis sampai 

yang terpahit! Aku tahu pasti di mana tempat yang ki-

ra-kira di tongkrongi kakekmu!"

Saat Joko berpaling hendak menyahut, murid 

Pendeta Sinting terkesiap. Ternyata si nenek telah satu 

langkah di belakangnya dan berkata dengan bibir ter-

senyum lebar. "Aku ikut mencari kakekmu...."

Pendekar 131 putar tubuh. Lagi-lagi belum 

sempat Joko buka mulut, si nenek telah mendahului 

angkat bicara. "Apa aku kurang pantas mendampingi-

mu?!" Si nenek angkat kedua tangannya berkacak 

pinggang. Lalu putar tubuhnya dua kali.

"Tapi bukankah kau menunggu seseorang...?!"

"Kau telah mengatakan orang itu sudah me-

ninggal! Apa kau kira orang yang sudah mampus bisa 

muncul di sini?! Dan mendengar cerita tentang ka-

kekmu, aku jadi penasaran ingin tahu. Siapa nyana


aku ada jodoh dengan kakekmu?! Melihat cucunya 

berwajah tampan, sang kakek pasti tak jauh berbe-

da...."

Tidak menunggu sahutan orang, Dayang Sepuh 

telah melangkah maju. Tangan kanannya tiba-tiba 

menggandeng tangan Joko, lalu enak saja dia menyen-

tak hingga tubuh Joko berputar. Saat lain si nenek te-

lah keluar dari pintu dengan tangan menggandeng 

erat-erat lengan murid Pendeta Sinting!

Yang membuat murid Pendeta Sinting heran 

dan dadanya berdebar keras, bagaimanapun dia coba 

lepaskan diri namun sia-sia.

Ketika si nenek dan Joko telah berada di hala-

man kedai, dari arah kedai tiba-tiba terdengar suara 

teriakan.

"Hai, Anak Muda...."

Joko berpaling. Di pintu kedai, si orang tua 

pemilik kedai tegak dengan bibir tersenyum lalu berte-

riak. "Perjanjian kita tadi! Kau bisa ambil imbalannya 

kapan kau mau!"

Joko tidak menyahut. Hanya dalam hati dia 

mengomel. "Hari ini kau yang beruntung! Dan aku 

yang mendapat celaka!"

"Cucuku...! Apa kau pernah dengar selentingan 

kalau kakekmu sudah punya kekasih?!" Dayang Sepuh 

berkata seraya menarik lengan murid Pendeta Sinting 

teruskan langkah.

Joko terpaksa tersaruk-saruk mengikuti lang-

kah si nenek. Meski dia mendengar ucapan si nenek, 

namun Joko tidak menjawab. Dia seolah tenggelam 

dengan apa yang akan dihadapinya. Namun beg itu, 

dia sedikit merasa agak lega, karena Dayang Sepuh ti-

dak mengenal siapa dirinya.

"Cucuku...! Mengapa kau diam tak menjawab?!"


"Cucuku! Cucuku!" kata murid Pendeta Sinting 

dalam hati. Lalu berkata.

"Aku tidak pernah mencampuri urusan kakek-

ku! Hanya kudengar dia akan mengawini seorang ga-

dis...!"

"Ah.... Dengan begitu dugaanku tidak meleset! 

Pasti kakekmu berparas jantan! Berkumis lebat, ber-

jambang keren, dan dadanya berbulu...."

"Kau salah, Nek! Kakekku kepalanya plontos 

gundul! Dia memang berkumis. Tapi kumisnya bisa 

dihitung dengan jari! Soal dadanya, jangankan bulu, 

tempat tumbuhnya bulu hampir-hampir tidak ada! Ka-

lau jambang, dia memang berjambang. Tapi jangan ka-

get. Jika tertarik, jambangnya akan jatuh! Dia menge-

nakan jambang palsu!"

"Ah.... Kalau begitu, tampang kakekmu pasti 

sangat lucu! Kau tahu, Cucuku.... Tampang yang lucu-

lucu begitu yang kucari selama ini...!"

"Busyet! Gawat kalau sudah begini! Hem.... 

Mumpung dia tidak mengenalku, ada baiknya kuta-

nyakan mengapa dia menungguku! Siapa tahu, dari 

mulutnya aku bisa sedikit membuka urusan pelik yang 

kuhadapi...."

Berpikir begitu, kalau tadi Joko coba lepaskan 

diri dari gandengan tangan si nenek, kini justru tangan 

satunya memegang lengan Dayang Sepuh. Hingga ke-

dua orang ini melangkah sambil saling memegang len-

gan satu sama lain.

"Nek...! Kakekku biasanya tidak pernah bicara 

sungguhan. Hingga aku hampir tidak percaya apakah 

cerita tentang seorang pemuda yang dikatakannya su-

dah meninggal dan ternyata orang yang kau tunggu, 

adalah benar adanya! Kau sendiri mengapa menunggu 

pemuda itu?!"


"Cucuku...! Rupanya aku dan kakekmu benar-

benar ada jodoh! Sekarang aku tidak peduli, apakah 

kakekmu akan mengawini seorang gadis atau tidak! 

Aku akan merebut hati kakekmu!"

"Nek.... Apa maksudmu...?!"

"Kalau kakekmu tidak pernah bicara sunggu-

han, aku pun seharusnya demikian!" "Jadi...."

"Aku tidak menunggu seseorang! Kalaupun aku 

sampai tiga hari berturut-turut berada di kedai itu, 

hanya karena mengikuti suara alam!"

"Apa yang dikatakan alam padamu...?!" tanya 

Joko meski dengan dahi berkerut.

"Aku akan bertemu jodoh...."

"Tapi mengapa kau sebut-sebut Pendekar Pe-

dang Tumpul 131!" Dayang Sepuh hentikan langkah. 

Saat itu mereka berada di satu tempat yang sejauh 

mata memandang tampak hamparan ladang ubi jalar 

yang sangat rapat. Si nenek berpaling menghadap mu-

rid Pendeta Sinting.

"Kulihat kau begitu tertarik sekali dengan orang 

itu!"

"Hem.... Karena aku pernah dengar sedikit ten-

tang dia meski aku tidak kenal siapa dia sebenar-

nya...."

"Ah.... Sayang sekali, Cucuku! Aku tidak bisa 

menambah pengetahuanmu tentang orang itu! Tapi 

suara alam membisikkan, kakekmu tahu banyak ten-

tang orang itu! Untuk itulah mengapa aku berkata, 

aku ada jodoh dengan kakekmu!"

"Suara alam lagi, suara alam lagi!" desis murid 

Pendeta Sinting. "Bagaimana sekarang? Aku harus da-

pat lepaskan diri dari nenek ini! Tak mungkin aku 

membawanya ke hadapan Eyang Guru! Urusannya 

akan jadi makin panjang dan tak karuan! Apalagi jika


Nenek Ni Luh Padmi masih ada bersama Eyang 

Guru.... Bisa-bisa kedua nenek ini akan saling pentang 

tangan adu jiwa!"

"Nek...! Kau bersungguh-sungguh hendak ikut 

mencari kakekku?!" tanya Joko setelah agak lama ber-

pikir.

"Jodoh telah di depan mata! Lautan luas akan 

ku arungi. Gelombang badai akan ku langkahi. Koba-

ran api pun akan ku seberangi. Apakah itu belum 

membuatmu yakin?!"

Joko cengar-cengir meski dadanya makin dis-

arati pikiran-pikiran yang membuatnya makin gelisah. 

"Nek.... Kalau kau benar-benar ingin ikut mencari, ba-

gaimana kalau kita berpencar saja? Lima hari di muka 

kita jumpa lagi di dekat kedai tadi.... Kalau kita sama-

sama gagal menemukan, aku akan mengajak mu ke 

tempat kakekku!"

"Cucuku...! Kau memang telah katakan siapa 

nama kakekmu, kau juga telah katakan ciri-cirinya. 

Namun rasanya sulit bagiku mengenalinya! Mungkin 

ada orang yang serupa dengan kakekmu, tapi bukan 

dia! Kalau itu nanti yang kutemui, apa kau tidak akan 

menyesal?!"

"Kau bisa menanyakan padanya kalau aku juga 

sedang mencarinya. Kalau dia mengenalku, berarti di-

alah orangnya! Kau tak usah ragu-ragu lagi!"

"Cucuku...! Seorang laki-laki, kalau sudah ter-

tarik dengan perempuan, apa pun akan dilakukan! 

Maksud ku, seandainya aku jumpa dengan orang yang 

mirip kakekmu tapi sebenarnya bukan. Lantas dia ja-

tuh cinta padaku.... Dia mengatakan kenal denganmu 

dan sialnya aku juga tertarik padanya. Apa jadinya 

nanti?! Kau tahu, Cucuku.... Selama ini banyak kakek-

kakek yang menaruh hati padaku. Bahkan pemuda


pemuda pun banyak juga yang coba-coba mendekati-

ku.... Tapi, Cucuku.... Sejak suara alam membisikkan 

padaku, terus terang aku jatuh cinta pada kakek-

mu...!"

"Edan! Rupanya yang kuhadapi kali ini lebih gi-

la dari dua yang sebelumnya!"

"Jadi...." Si nenek lanjutkan ucapannya sambil 

melangkah lagi. Namun kali ini Joko tidak lagi meng-

gandeng lengan si nenek. "Daripada aku salah jatuh 

cinta, lebih baik kita terus mencari bersama-sama! 

Atau kau ingin berpencar karena melihat dandan ku 

kurang aduhai...?!" Si nenek lepaskan gandengan tan-

gannya pada lengan murid Pendeta Sinting. Kedua 

tangannya terangkat rapikan kepangan rambutnya lalu 

menatap poni di depan keningnya. Saat lain dia kebut-

kebutkan kedua tangannya pada bajunya yang 

cingkrang dan celana pendeknya ditarik-tarik sedikit 

ke bawah seakan malu pahanya yang gelap terlihat.

Kalau saja Joko tidak sedang menghadapi uru-

san aneh dan memusingkan kepalanya, tentu dia su-

dah akan meledak tawanya melihat tingkah nenek di 

sampingnya. Apalagi saat bersamaan, si nenek putar 

tubuh membelakangi. Dari saku bajunya nenek ini 

mengeluarkan bungkusan kecil yang ternyata berisi 

serbuk berwarna merah. Si nenek angkat wajah sedi-

kit, lalu jari telunjuknya diusap-usapkan pada serbuk 

merah dan tak lama kemudian diangkat ke wajahnya. 

Murid Pendeta Sinting tak tahu apa yang dilakukan si 

nenek. Yang dilihatnya, begitu si nenek balikkan tu-

buhnya lagi, bibirnya makin merah menyala. Sementa-

ra pada bagian kiri pipinya tampak rona warna merah! 

Namun karena kulit wajahnya gelap, rona warna me-

rah pada kedua pipinya membuat wajahnya makin jadi 

angker!


"Cucuku.... Kita lanjutkan perjalanan cinta 

ini...!"

"Untuk sementara aku akan mengikutinya 

sambil cari jalan untuk lolos.... Siapa tahu pula dia 

nanti mau katakan apa sebenarnya yang membuatnya 

menungguku! Aku pikir, dia menyimpan sesuatu...."

Berpikir begitu, akhirnya Joko melangkah men-

gikuti langkahan Dayang Sepuh yang sambil berjalan 

terus menerus menata poni rambutnya yang tersibak 

terkena hembusan angin.

*

* *

SEMBILAN



TIDAK lama setelah murid Pendeta Sinting ber-

lalu bersama Dayang Sepuh dari kedai, dari jurusan 

barat tampak satu sosok tubuh melangkah ke arah 

kedai. Orang ini hentikan langkah di halaman kedai. 

Memandang sejurus ke dalam ruangan kedai lalu per-

lahan-lahan melangkah mendekat.

Si pemilik kedai buru-buru melangkah mende-

kati. "Hem.... Untung pemuda itu tadi berhasil mem-

bawa si nenek berdandan seronok. Kalau tidak, pasti 

orang ini pun akan balik langkah...." Si pemilik kedai 

sejurus beliakkan mata memandang orang di depan 

pintu.

"Hem.... Gadis cantik.... Kalau saja tiap hari 

ada gadis begini yang datang, kedaiku pasti akan ma-

kin ramai pengunjung...."

"Silakan.... Silakan masuk...," kata si pemilik 

kedai dengan senyum lebar. Orang yang disapa tersenyum lalu luruskan langkah memasuki kedai. Dia ada-

lah seorang gadis berparas cantik jelita. Mengenakan 

pakaian warna merah. Rambutnya dikuncir ekor kuda 

hingga lehernya yang jenjang dan putih terlihat jelas.

Si gadis memesan makanan lalu melangkah 

mencari tempat duduk membelakangi halaman kedai. 

Si pemilik kedai tersenyum-senyum lalu cepat menghi-

lang di belakang. Dan tak lama kemudian muncul lagi 

dengan membawa pesanan si gadis.

"Hem.... Sebenarnya Anak Muda tadi sepantas-

nya berpasangan dengan gadis ini.... Bukan dengan 

nenek yang umbar pusar serta ketiaknya! Masih lu-

mayan kalau kulitnya putih mulus. Hem.... Sudah ku-

litnya gelap, bulu ketiaknya bergerombolan! Bau lagi!" 

Si pemilik kedai tanpa sadar bergidik sambil terse-

nyum. Tapi wajahnya jelas membayangkan perasaan 

ngeri dan geli.

"Ada sesuatu yang salah dengan ku...?!" ber-

tanya si gadis baju merah tatkala melihat gidikan pada 

raut wajah si pemilik kedai.

Yang ditanya buru-buru gelengkan kepala sam-

bil tersenyum. Entah karena tidak mau menyinggung 

perasaan pengunjung kedainya, si orang tua berkata.

"Baru saja ada kejadian yang lucu! Tapi men-

guntungkan bagi kedaiku...." Tanpa diminta, si pemilik 

kedai menceritakan kejadian yang baru saja berlang-

sung. Si gadis tampak tersenyum mendengar cerita si 

orang tua.

"Untungnya pemuda itu suka canda dan ko-

nyol.... Dan herannya si nenek seronok itu tiba-tiba be-

rubah sikap. Dia begitu ramah dan selalu senyum-

senyum begitu bertemu si pemuda! Malah keduanya 

saling bergandengan tangan saat keluar dari sini...."

"Bisa gambarkan ciri-ciri si pemuda yang


menggaet hati nenek itu?!" Iseng si gadis bertanya 

sambil mengunyah makanan di hadapannya.

"Parasnya tampan. Rambutnya segini!" Si pemi-

lik kedai lintangkan tangan di atas pundaknya. "Ram-

butnya sedikit acak-acakan. Mengenakan ikat kepala 

warna putih. Baju dan celananya juga berwarna putih. 

Matanya tajam meski dia sangat ramah dan banyak 

omong...."

Si gadis tiba-tiba hentikan gerakan mulutnya 

yang mengunyah. Dahinya berkerut. "Mendengar ciri-

ciri yang dikatakan orang tua itu, jangan-jangan dia.... 

Ah. Tapi mungkin saja orang lain yang sama...."

Menangkap sikap si gadis, si pemilik kedai ter-

mangu sejenak. "Jangan mudah tertarik.... Meski dia 

pemuda tampan dan sepintas serasi denganmu, na-

mun aku menduga dia bukan pemuda yang cocok un-

tuk di jadikan teman hidup! Aku laki-laki dan tahu se-

dikit tentang perangai laki-laki. Pemuda yang kucerita-

kan tadi tampaknya orang yang mudah jatuh cinta, 

meski hal itu bisa sedikit menolong kedaiku...."

"Mungkin dengar pemuda tadi sebutkan na-

ma...?" tanya si gadis.

"Telingaku sudah agak berkurang. Lagi pula 

aku berada di belakang saat keduanya berbincang-

bincang. Namun aku lamat-lamat masin dengar dia 

sebutkan nama Joko.... Entah Joko apa, aku sudah ti-

dak mendengarnya lagi...."

Kali ini si gadis tak dapat lagi sembunyikan pe-

rubahan raut wajahnya. Si pemilik kedai kernyitkan 

kening. "Kau pernah bertemu dengannya?! Kau harus 

berhati-hati...," ujar si orang tua.

"Ke mana mereka pergi?!" Si gadis ajukan 

tanya.

Si orang tua memandang sejurus pada si pe


nanya. Sambil menggeleng perlahan tangannya me-

nunjuk pada satu arah. Namun mendadak si orang tua 

tarik pulang tangannya laksana disentak setan. Sepa-

sang matanya mendelik menyipit. Mulutnya hendak 

berkata namun tidak ada suara yang terdengar.

"Ada apa...?!" Si gadis bertanya heran.

"Dia.... Dia muncul lagi...." Terbata-bata si pe-

milik kedai berucap. Namun di lain saat dia bisa te-

nangkan gejolak. Dia tersenyum sambil berkata.

"Mungkin dia mau ambil imbalan yang kujanji-

kan.... Aku tadi terkejut. Kukira dia muncul bersama si 

nenek. Tak tahunya dia sendirian...."

Belum sampai ucapan si orang tua selesai, si 

gadis telah beranjak bangkit lalu putar tubuh dengan 

mata memandang ke arah mana si orang tua tadi me-

nunjuk.

Seorang pemuda berwajah tampan berambut 

sedikit acak-acakan yang diikat dengan ikat kepala 

warna putih tampak melangkah perlahan-lahan menu-

ju arah kedai. Pemuda ini sempat hentikan langkah 

tatkala merasa dirinya diperhatikan dua orang dari da-

lam kedai. Sejenak paras si pemuda berubah. Tapi saat 

lain bibirnya telah tersenyum seraya lanjutkan lang-

kah.

"Joko...." Si gadis berbaju merah bergumam.

Si pemilik kedai berpaling. "Hem.... Rupanya 

kau telah mengenalnya.... Kuharap kau tidak menceri-

takan apa yang tadi kukatakan padamu! Aku tadi 

hanya menduga-duga tanpa punya prasangka apa-

apa...." Paras wajah si pemilik kedai tampak merah 

padam.

Si gadis tersenyum sambil gelengkan kepala. 

"Tidak usah gelisah.... Justru aku berterima kasih ka-

rena kau telah memberi nasihat padaku. Hanya mungkin dugaanmu tentang pemuda ini keliru.... Aku sedi-

kit banyak telah mengenalnya...."

"Hemm.... Pemuda temanmu itu telah meno-

longku. Untuk itu kau pun kali ini kubebaskan mem-

bayar...."

Si gadis berbaju merah menggeleng. "Urusanku 

denganmu lain dengan urusannya denganmu.... Aku 

tidak akan membiarkan sesuap nasi yang ku makan 

ku peroleh dengan cuma-cuma...."

Si pemilik kedai tidak menyahut. Dia segera 

berlalu ke belakang. Saat si pemilik kedai lenyap di 

ruangan belakang, si pemuda yang tadi berada di luar 

telah tegak di pintu kedai dan edarkan pandangannya 

ke bagian dalam.

Sepasang matanya tampak sedikit terbeliak 

tatkala membentur pada sosok gadis berbaju merah. 

Di lain pihak, si gadis memandangnya dengan bibir 

tersenyum. Namun senyum si gadis mendadak putus 

tatkala ditunggu agak lama si pemuda tidak juga buka 

suara menyapa. Dia hanya memandang dan tampak 

gugup.

"Heran.... Apa dia lupa padaku...?! Padahal per-

temuan itu belum lama sekali.... Atau ada perubahan 

pada diriku hingga dia tidak ingat?!" Si gadis membatin 

seraya tundukkan kepala perhatikan dirinya.

Si pemuda teruskan langkah lalu duduk di se-

buah bangku yang berseberangan dengan gadis berba-

ju merah. Sesekali matanya melirik dengan dahi berke-

rut.

"Aku yakin benar kalau dia adalah Joko Sab-

leng Pendekar 131!" Si gadis kembali berkata sendiri 

dalam hati. "Hem.... Aku sengaja meninggalkan Guru 

hanya untuk mencarinya.... Tapi rasanya percuma saja 

perjalananku ini kalau orang yang kucari sudah kutemukan namun tak mengenalku lagi.... Hem.... Ru-

panya nasihat orang tua tadi ada benarnya.... Tapi ku-

rasa adalah aneh kalau dia berubah demikian cepat. 

Atau sebaiknya aku menegur dahulu?!"

Si gadis berbaju merah arahkan pandangannya 

pada si pemuda. Mulutnya membuka hendak berkata. 

Namun saat lain tiba-tiba si gadis urungkan bicara. 

Dia tampak ragu-ragu. Sementara di seberang sana si 

pemuda tampak tersenyum sambil anggukkan kepala, 

membuat keraguan si gadis lenyap. Dia kembali buka 

mulut lalu berkata.

"Kau.... Kau Joko, bukan...?!"

Yang ditanya mengernyit lalu tersenyum lebar. 

"Tidak salah...," katanya seraya beranjak bangkit dan 

melangkah ke arah si gadis. Namun pandangannya ke 

jurusan lain jauh ke halaman kedai.

"Maaf...," kata Joko begitu dekat dengan tempat 

duduk gadis berbaju merah. "Akhir-akhir ini banyak 

urusan yang membuat kepalaku pusing. Hingga jan-

gankan kau, orang yang sudah kukenal betul kadang-

kadang aku jadi tidak ingat...."

"Hem.... Menurut yang kudengar, akhir-akhir 

ini memang dia sedang terlibat dalam urusan besar. 

Aku maklum kalau dia lupa padaku.....Padahal apa dia 

tahu kalau selama ini aku tidak bisa melupakannya.... 

Atau jangan-jangan ada gadis lain yang membuatnya 

lupa pada orang yang pernah dikenalnya.... Ah, dia 

seorang pendekar. Tugas menyelamatkan rimba persi-

latan akan dijadikan tujuan utama daripada yang 

lainnya!"

Berpikir begitu, akhirnya gadis berbaju merah 

buka mulut lagi.

"Aku Dewi Seribu Bunga...."

"Ah.... Aku ingat sekarang...," ujar Joko lalu


duduk di depan gadis berbaju merah yang baru saja 

sebutkan nama Dewi Seribu Bunga.

"Tidak disangka kalau kita jumpa di sini.... Aku 

tadi sebenarnya sudah menduga-duga. Aku yakin be-

nar telah mengenalmu! Aku hanya mencoba, apakah 

kau masih ingat padaku...."

Dewi Seribu Bunga tersenyum. "Sifatnya tidak 

berubah! Jadi dia tadi hanya pura-pura tidak mengen-

al ku.... Dasar sableng!"

"Pendekar 131...."

Joko lintangkan telunjuk jari tangan pada bi-

birnya membuat Dewi Seribu Bunga tidak lanjutkan 

ucapannya. "Dewi.... Harap panggil namaku saja...."

"Hem.... Aku dengar kau memang sedang 

menghadapi urusan besar. Aku baru saja keluar dari 

kediaman Guru sejak kita berpisah di Pulau Biru itu. 

Aku hanya dengar-dengar kau punya urusan dengan 

Malaikat Penggali Kubur dan beberapa tokoh lainnya! 

Mau kau bercerita padaku...?"

Joko pandangi gadis di hadapannya berlama-

lama membuat yang dipandang merasa jengah hingga 

dia alihkan pandangannya ke jurusan lain dengan da-

da berdebar.

"Urusan dengan Malaikat Penggali Kubur sudah 

selesai. Tapi justru urusan yang kini kuhadapi lebih 

sulit dibanding urusan dengan Malaikat Penggali Ku-

bur! Beberapa orang yang tidak kukenal tiba-tiba saja 

menuduhku mengambil benda pusakanya dan mati-

matian hendak membunuhku kalau aku tidak membe-

rikan benda itu! Dan rupanya kabar itu telah menebar. 

Terbukti aku sempat jumpa dengan seseorang. Dia ju-

ga mengatakan kalau aku mendapatkan benda pusaka 

orang! Padahal aku yakin dan percaya. Aku tidak per-

nah mengenal orang-orang itu apalagi mengambil barang pusakanya!"

"Bagaimana bisa begitu?!" gumam Dewi Seribu 

Bunga.

"Kau saja pasti bingung. Apalagi aku! Tapi nya-

tanya itulah yang terjadi! Padahal barang yang diminta 

dan katanya kuambil, baru kali ini aku mendengar 

namanya. Belum lagi yang meminta adalah seorang 

yang selain punya kepandaian sangat tinggi, juga men-

gerikan!"

"Hai...." Tiba-tiba terdengar suara dari arah ba-

gian dalam. Saat Joko berpaling, si pemilik kedai tam-

pak tersenyum lalu melangkah mendekat. Tangan ka-

nannya menggenggam kantong berwarna hitam.

"Anak muda...," kata orang tua pemilik kedai. 

"Aku tadi sempat membicarakan mu dengan gadis ini. 

Sama sekali tidak kusangka kalau kalian berdua ada-

lah dua sahabat...."

Si pemilik kedai memandang silih berganti pada 

Joko dan Dewi Seribu Bunga. Lalu meletakkan kan-

tong kain hitam di atas meja.

"Seperti perjanjian kita. Hanya inilah imbalan 

yang bisa kuberikan!"

Joko kerutkan dahi. Dewi Seribu Bunga terse-

nyum. Sementara melihat sikap Joko, si pemilik kedai 

tersenyum. Dalam hati orang tua ini diam-diam berka-

ta. "Dasar laki-laki! Akan selalu berpura-pura jika be-

langnya ketahuan!"

"Anak muda! Kau yakin si nenek tidak akan 

kembali ke sini lagi, bukan?!" kata si pemilik kedai. 

Matanya mengerling pada Dewi Seribu Bunga.

Untuk sesaat Joko terdiam. Namun kejap lain 

sudah tersenyum seraya berkata.

"Tak usah khawatir. Aku menjamin kalau dia 

tak akan kembali!"


Si pemilik kedai angkat bahu lalu melangkah ke 

belakang sambil menggumam. "Ditaruh di mana nenek 

tadi?! Ah.... itu urusannya! Yang penting dia tak akan 

muncul lagi di sini...."

Begitu si orang tua berlalu, Joko cepat berbisik 

pada Dewi Seribu Bunga. "Apa yang diceritakan orang 

tua itu tadi padamu?!"

Dewi Seribu Bunga hanya tersenyum sambil ge-

lengkan kepala. "Sudahlah. Kurasa dia sangat berteri-

ma kasih padamu.... Hem.... Kembali pada urusanmu 

tadi. Siapa orang yang katamu meminta barang pusa-

kanya dan menurutmu berkepandaian sangat tinggi 

dan mengerikan itu?!"

"Kita cari tempat untuk saling cerita.... Di sini 

kurasa kurang aman...."

Tanpa menunggu sahutan, Joko sudah bangkit. 

Di lain pihak, karena bertemu dengan orang yang dica-

ri dan selama ini dirindukan, Dewi Seribu Bunga buru-

buru ikut bangkit. Lalu melangkah mengikuti Joko 

yang sudah mendahului.

Begitu mereka berdua telah berada di halaman 

kedai, dari ruangan dalam kedai si orang tua tampak 

memperhatikan dengan kepala menggeleng. "Besar se-

kali rezeki anak muda itu.... Sekali jalan mendapat dua 

keuntungan! Tapi aku menduga dia bukan orang yang 

bisa dipercaya.... Ah, kenapa aku menduga orang yang 

tidak-tidak? Gadis itu sendiri sudah merasa yakin ka-

lau anak muda itu baik! Hem.... Gadis itu sendiri ru-

panya lupa, bahwa dengan munculnya si pemuda, dia 

tidak ingat kalau apa yang masuk dalam perutnya be-

lum dibayar.... Dasar orang muda! Pasti dia sedang ja-

tuh cinta...."

*


* *

Pada satu tempat yang sepi dan banyak ditum-

buhi jajaran pohon, Joko hentikan langkah. Dia memi-

lih batangan pohon paling besar dan berdaun rindang 

yang di kanan kirinya ditumbuhi rumput hijau tebal. 

Joko langsung sandarkan punggung ke batangan po-

hon lalu pandangi Dewi Seribu Bunga yang kini telah 

tegak di hadapannya.

"Dewi.... Aku sangat gembira bertemu dengan-

mu lagi. Karena pada saat-saat seperti ini, aku butuh 

seseorang yang bisa kuajak memecahkan urusan yang 

sedang kuhadapi...."

Dewi Seribu Bunga laksana terbang mendengar 

ucapan Joko. 

"Aku akan dengan senang hati menemani-

mu...," kata Dewi Seribu Bunga lirih. Dada gadis ini 

berbunga-bunga. Kalau saja dia tidak segera sadar dan 

perturutkan hati, gadis ini ingin sekali memeluk pe-

muda yang selama ini tidak bisa dilupakan dan selalu 

dirindukan.

"Kau tadi belum mengatakan orang...."

"Dia menggelari dirinya Setan Liang Makam!" 

tukas Joko memotong ucapan Dewi Seribu Bunga. 

"Barang pusaka miliknya dia sebut-sebut Kembang 

Darah Setan.... Kau pernah mendengar gelar dan nama 

barang itu?!" tanya Joko.

Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. Joko 

rangkapkan kedua tangannya bersedekap. "Apa kau 

juga pernah dengar tentang seseorang bernama Kiai 

Lidah Wetan...?!"

Kembali Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. 

Joko arahkan pandangannya jauh. Lalu bertanya lagi. 

"Kau pernah dengar sebuah kampung yang dinamai


Kampung Setan?"

Untuk kesekian kalinya Dewi Seribu Bunga 

menjawab dengan gelengan kepala. Joko menghela na-

pas panjang. 

"Itulah beberapa hal yang membuatku pusing! 

Seperti halnya dirimu, aku juga tak pernah tahu ten-

tang nama-nama orang, benda pusaka serta kampung 

yang baru saja kukatakan! Herannya.... Semua itu ti-

ba-tiba muncul dan melibatkan diriku...."

"Kita perlu segera menyelidik! Mungkin di bela-

kang semua ini ada orang yang sengaja memasang di-

rimu sebagai umpan...," ujar Dewi Seribu Bunga.

Joko tertawa pendek. "Lalu apa untungnya me-

reka melibatkan diriku bahkan menjadikan aku seba-

gai umpan?!"

"Kau seorang pendekar yang sudah dikenal. Ti-

dak mustahil akan banyak orang yang merasa kecewa 

dengan semua tindakanmu selama ini! Mereka tidak 

berani langsung menghadapimu, lalu mencari jalan 

lain.... Buktinya orang sudah mengenalmu padahal 

kau yakin belum pernah bertemu! Kalau tidak diberi 

tahu orang yang sudah mengenalmu, dari mana mere-

ka tahu?!"

"Aku sudah berpikir ke arah sana. Tapi aku su-

dah menelusuri satu persatu orang yang kuduga bera-

da di balik semua ini. Tapi sejauh ini tidak seorang 

pun yang kurasa pantas diduga sebagai biang kela-

dinya!"

"Kalau begitu dugaanmu, sekarang tinggal 

hanya ada satu kemungkinan...."

"Apa...?!" tanya Joko dengan bersungguh-

sungguh.

"Kau harus telusuri satu persatu orang yang 

berada dekat denganmu. Tidak mustahil orang yang selama ini baik terhadapmu tapi di belakangnya 

menghunus belati dan sewaktu-waktu menikam mu ji-

ka kau lengah! Orang seperti ini memang sulit ditelu-

suri, tapi bencana yang diakibatkan akan lebih berba-

haya daripada musuh yang terang-terangan!"

Joko tengadahkan kepala. "Tapi apa mung-

kin...?!"

Dewi Seribu Bunga tersenyum. "Kau tentunya 

masih ingat peristiwa di Pulau Biru, bukan?!"

Joko tidak menyahut. Dewi Seribu Bunga tidak 

menunggu. Dia lanjutkan ucapannya. "Kau pasti ma-

sih ingat bagaimana gadis cantik berjubah merah ber-

nama Sitoresmi mengkhianati gurunya Dewi Siluman. 

Dewi Siluman sendiri selama itu pasti tidak menduga 

kalau duri itu muncul dari orang terdekatnya!"

"Kau tidak bermaksud mengatakan bahwa di 

belakang semua ini adalah eyang guruku sendiri, bu-

kan?!" tanya Joko.

Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. "Aku ya-

kin, Pendeta Sinting tidak akan lakukan ini! Tapi kau 

harus mulai mencari orang yang berada dekat den-

ganmu!"

Joko pejamkan sepasang matanya seolah ber-

pikir. Setelah agak lama, tiba-tiba Joko buka matanya 

lebar-lebar. Lalu berkata.

"Aku bodoh! Untung kau memberi jalan! Aku 

ingat sekarang. Pasti dia!"

"Joko...! Kau kali ini berhadapan dengan orang 

dalam selimut. Kau jangan gegabah memastikan sebe-

lum jelas benar! Karena risikonya akan membuatmu 

putus hubungan. Jadi kau harus menyelidik dahu-

lu...."

"Betul! Tapi sedikit banyak aku kini sudah ta-

hu! Dan aku hampir yakin dialah orangnya!"


"Siapa...?!"

"Cucu Dewa!"

Dewi Seribu Bunga pandangi pemuda di hada-

pannya dengan mata sedikit menyipit. "Aku belum 

kenal dengan orang yang baru saja kau katakan. Tapi 

kau mau mengatakan apa alasanmu menduga dialah 

orangnya?!"

"Dia pernah bersekutu dengan Malaikat Peng-

gali Kubur! Hanya anehnya, tiba-tiba saja dia berpihak 

padaku waktu terjadi peristiwa di Kedung Ombo! (Baca 

serial Joko Sableng dalam episode : "Bara di Kedung 

Ombo").

"Aku tidak tahu kejadian di Kedung Ombo. Aku 

hanya mendengarnya saja. Tapi kalau demikian hal-

nya, kau harus berhati-hati padanya! Hanya saja kau 

masih harus menyelidik dahulu...."

Joko anggukkan kepala. "Kau mau bukan me-

nemaniku menyelidik?!"

*

* *

SEPULUH



GADIS berbaju merah di hadapan Joko terse-

nyum lalu berkata. "Seandainya kau tidak meminta, 

aku akan menawarkan diri untuk ikut menyelidik uru-

sanmu ini! Aku.... Aku sebenarnya memang mencari-

mu...." Dewi Seribu Bunga alihkan pandangannya be-

gitu sadar apa yang baru saja diucapkannya. Paras 

wajahnya berubah merah. Dalam hati gadis ini berkata 

sendiri. "Mengapa aku berkata terus terang padanya...?


Apa nanti dia tidak memandang rendah padaku...? 

Apa...."

Dewi Seribu Bunga tidak lanjutkan kata ha-

tinya. Karena saat itu kedua bahunya terasa dipegang. 

Dia makin tidak berani arahkan pandangannya pada 

Joko yang saat itu telah tegak tepat di hadapannya 

dengan kedua tangan memegang bahunya. Tapi diam-

diam gadis ini merasa damai meski dadanya mulai 

berdebar.

"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, Dewi... 

Ucapan terima kasih mungkin terlalu tidak ada artinya 

dibandingkan kerelaanmu untuk ikut menyelidik uru-

san ku...."

Dewi Seribu Bunga berpaling. Wajah keduanya 

kini hanya terpaut satu setengah jengkal. "Kau tak 

usah mengatakan apa-apa. Aku sudah merasa bahagia 

kau tidak menolak ku ikut terlibat dalam urusan ini. 

Mulanya aku ragu-ragu. Karena kau pernah menolak 

ku waktu geger peristiwa Kitab Serat Biru...."

Joko lepaskan pegangan bahu tangannya pada 

bahu Dewi Seribu Bunga. Kini kedua tangannya men-

gambil kedua tangan si gadis dan digenggamnya erat-

erat. Seraya memandang lekat-lekat wajah gadis di ha-

dapannya, Joko berkata pelan.

"Saat ini urusannya beda dengan urusan Kitab 

Serat Biru. Lagi pula terus terang saja, selama ini aku 

selalu teringat padamu...."

Mendengar ucapan Joko, seolah tak sadar, De-

wi Seribu Bunga rebahkan wajahnya di dada Joko. 

"Aku mencarimu karena sebenarnya aku tak kuasa 

memendam rasa rindu ingin jumpa denganmu...."

Joko lepaskan pegangan pada kedua tangan 

Dewi Seribu Bunga. Kedua tangannya terangkat ke 

atas. Lalu sibakkan kunciran rambut si gadis. Saat


yang sama wajahnya bergerak dan mencium kuduk 

Dewi Seribu Bunga.

Dewi Seribu Bunga lingkarkan kedua tangan-

nya pada pinggang si pemuda. Dadanya makin berge-

lora. Di pihak lain, Joko terus ciumi kuduk si gadis 

dan perlahan-lahan menjalar pada lehernya.

Dewi Seribu Bunga tarik wajahnya dari dada 

Joko. Saat itulah Joko langsung dekatkan wajahnya ke 

wajah si gadis. Bibirnya mengulum bibir merah berge-

tar milik Dewi Seribu Bunga. Mula-mula Dewi Seribu 

Bunga hanya diam, tapi tak lama kemudian mulai 

membalas ciuman Joko dengan mata setengah dipe-

jamkan.

Sosok Joko tampak bergetar. Aliran darahnya 

menyentak-nyentak. Entah berapa lama keduanya sal-

ing berciuman, yang pasti pada satu saat tiba-tiba De-

wi Seribu Bunga tepiskan kedua tangan Joko yang 

mulai buka kancing pakaiannya. Malah sebagian da-

danya telah terbuka hingga lembahan dua pasang 

payudaranya yang putih mencuat terlihat jelas.

Namun Joko tidak peduli. Dia angkat kembali 

kedua tangannya lalu kembali diletakkan di dada si 

gadis. Sementara wajahnya disorongkan untuk menca-

ri wajah Dewi Seribu Bunga.

Mungkin karena terlalu keras sorongan Joko, 

sementara Dewi Seribu Bunga coba menghindar, tak 

ampun lagi Joko menubruk sosok Dewi Seribu Bunga 

hingga kedua orang ini saling jatuh bertindihan di atas 

rumput tebal.

Dewi Seribu Bunga memekik tertahan. Dia coba 

meronta dari tindihan sosok Joko. Tapi Joko rupanya 

sudah tenggelam dalam amukan nafsu. Dia tidak 

memberi kesempatan pada Dewi Seribu Bunga. Dia 

langsung menciumi wajah si gadis. Sementara kedua


tangannya menggapai ke sana kemari. Malah mulai 

menarik pakaian bawah Dewi Seribu Bunga hingga 

paha gadis ini tersingkap lebar.

"Joko! Jangan teruskan...!" bisik Dewi Seribu 

Bunga sambil pegang tangan Joko yang terus hendak 

singkapkan pakaiannya.

Joko tidak menyahut. Malah semakin liar dan 

agak kasar. Dewi Seribu Bunga pejamkan sepasang 

matanya dengan dada berdebar keras. Gadis ini tam-

pak bimbang. Lalu buka kelopak matanya sambil ber-

kata. Kali ini suaranya sedikit keras.

"Joko! Kau dengar ucapanku, bukan? Ku mo-

hon jangan teruskan...!"

Joko seolah tidak mendengar ucapan orang. 

Dia terus menciumi wajah Dewi Seribu Bunga dengan 

tangan coba terus singkap pakaiannya.

Dewi Seribu Bunga pegang kedua pundak Joko 

lalu disentakkan ke belakang. Namun sebelum kedua 

tangannya menyentak. Kedua tangan Joko telah me-

nangkapnya dan ditindih dengan kedua tangannya.

"Joko! Jangan lupa diri! Aku tak segan memu-

kulmu kalau kau hendak berbuat yang tidak-tidak!" 

ancam Dewi Seribu Bunga.

Joko lagi-lagi tidak mau hentikan perbuatan-

nya. Malah dengan satu gerakan cepat, tangan kirinya 

bergerak!

Brettt!

Pakaian bagian dada Dewi Seribu Bunga robek, 

hingga sepasang payudaranya terbuka lebar. Saat yang 

sama, tangan Joko satunya bergerak ke bawah.

"Gila! Apa yang akan kau lakukan?!" teriak De-

wi Seribu Bunga. Kedua tangannya yang telah lepas 

dari tindihan kedua tangan Joko menggapai lalu te-

piskan wajah Joko. Kakinya disentakkan ke atas.


Joko rupanya tahu gelagat. Dia cepat tekankan 

kedua kakinya, hingga sentakan kedua kaki Dewi Se-

ribu Bunga tertahan. Malah karena tertekan dan baru 

saja bergerak ke atas, kini kedua kaki si gadis tampak 

terbuka agak melebar ke samping.

Dewi Seribu Bunga tahu bahaya yang akan 

mengancam. Dia cepat kerahkan tenaga dalamnya. 

Serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke arah 

punggung Joko yang masih menindih tubuhnya. Joko 

sejenak tersentak. Sepasang matanya berapi-api me-

mandang pada wajah di bawahnya.

"Joko! Sadarlah!" teriak Dewi Seribu Bunga.

Joko menyeringai. Senyumnya kali ini lain. Dan 

seraya tertawa pendek dia gerakkan wajahnya hendak 

mencium lagi. Saat bersamaan kedua tangannya ber-

gerak. Dewi Seribu Bunga tidak tinggal diam. Dia 

membiarkan wajahnya diciumi, tapi bersamaan itu 

tangannya bergerak lagi menghantam dari bawah ke 

arah lambung samping kanan Joko. Sementara tangan 

satunya menyentak bahu Joko.

Karena dalam keadaan sangat bernafsu, Joko 

tidak bisa kuasa diri. Sosoknya terguling ke samping. 

Sebelum tubuhnya benar-benar terguling, kaki sebelah 

Dewi Seribu Bunga yang telah bebas lakukan satu 

tendangan.

Bukkk!

Tubuh Joko terpental bergulingan di atas rum-

put. Dewi Seribu Bunga cepat bergerak bangkit. Saat 

Joko hendak angkat kepalanya, Dewi Seribu Bunga 

melompat lalu tangan kiri kanannya bergerak.

Plakkk! Plaaakkk!

Kepala Joko tersentak ke samping kanan kiri 

dengan keras. Lalu kepalanya kembali menyentuh 

rumput dengan mulut berdarah.


Dewi Seribu Bunga sesaat pandangi sosok Joko 

dengan dada disarati berbagai perasaan. Saat lain ga-

dis ini balikkan tubuh begitu sadar kalau pakaian ba-

gian dadanya terbuka. Setelah rapikan pakaian sea-

danya tanpa berkata lagi dia melangkah tinggalkan 

tempat itu.

"Tunggu!" teriak Joko sambil bergerak bangkit 

dan usap darah yang keluar dari mulutnya.

Sepuluh langkah di depan sana, Dewi Seribu 

Bunga hentikan langkah. Tanpa berpaling gadis ini 

berkata.

"Rupanya kita tidak bisa bersama-sama lagi.... 

Aku melihatmu lain dengan dulu! Kau telah mem-

buyarkan kerinduan yang selama ini kupendam! Kau 

telah membuatku kecewa! Tidak kusangka kalau kau 

hendak tega berbuat tidak senonoh padaku! Aku.... 

Aku menyesal bertemu denganmu! Kau rupanya tak 

beda dengan serigala berbulu domba! Aku selama ini 

salah duga.... Dan aku hampir yakin, bahwa semua 

urusan yang baru saja kau katakan hanyalah dusta 

belaka! Dusta! Kau kejam! Kau laki-laki keparat!"

Habis berteriak begitu, Dewi Seribu Bunga ten-

gadahkan kepala. Saat lain dia berkelebat tinggalkan 

tempat itu dengan sepasang mata berlinang air mata.

Joko bergerak bangkit. Dia tidak berusaha ber-

kelebat menyusul. Dia hanya pandangi sosok Dewi Se-

ribu Bunga hingga lenyap di depan sana. Bibirnya 

yang berdarah sunggingkan senyum. Lalu sambil rapi-

kan pakaian dan rambutnya dia tinggalkan tempat itu.

*

* *

Dewi Seribu Bunga tidak tahu jelas sudah be


rapa jauh dia berkelebat. Dia baru hentikan kelebatan 

tubuhnya saat dirasakan nafasnya tersengal dan da-

danya sedikit sesak. Dia memandang berkeliling. Ter-

nyata dia berada pada satu lembah menurun sarat 

dengan batu-batu karang dan jauh di depan sana ter-

lihat julangan puncak bukit.

Dewi Seribu Bunga menghela napas panjang. 

Kedua tangannya masih terlihat bergetar keras. Da-

danya turun naik. Selain baru saja berlari, dirinya juga 

masih dibungkus guncangan hebat. Lalu perlahan-

lahan melangkah dan duduk di salah satu lamping ba-

tu seraya berusaha menindih perasaan dan tenteram-

kan diri.

"Joko...," gumam Dewi Seribu Bunga dengan 

mata memandang jauh ke bawah. "Mengapa semua itu 

kau lakukan padaku...? Aku datang jauh-jauh menca-

rimu karena aku tak bisa melupakan dan menyimpan 

rasa rindu. Tapi setelah kau kutemukan, kau malah 

membuatku kecewa dan menyesal. Apa sifatmu sebe-

narnya memang begitu? Aku hampir saja tidak percaya 

pada diriku sendiri! Pada apa saja yang baru terjadi! 

Seandainya kau cepat sadar saat kuperingatkan, 

mungkin aku masih bisa maklum.... Tapi nyatanya 

kau tidak peduli dengan peringatanku! Malah seolah 

kau buat-buat dan sepertinya semua ini sudah kau 

rencanakan terlebih dahulu!"

Dewi Seribu Bunga angkat kedua tangannya 

mengusap matanya yang basah. "Apa yang harus ku-

perbuat sekarang? Perjalananku kini rasanya sudah 

tidak ada ujung pangkalnya! Apa aku harus kembali 

saja?!" Dewi Seribu Bunga menghela napas panjang. 

"Dalam keadaan begini, tempat yang sunyi hanya akan 

menambah beban pikiranku! Namun, melanjutkan per-

jalanan, aku sudah tak punya tujuan lagi.... Mengapa


nasibku demikian jelek? Mengapa aku merindukan 

orang yang ternyata selama ini memendam rencana ji-

jik padaku?! Mengapa?!"

Dewi Seribu Bunga tengadah. Bahunya masih 

tampak berguncang. "Joko.... Apakah kau berbuat be-

gitu karena tahu aku mencarimu dan merindukan mu? 

Kau lalu memandangku begitu rendah.... Ah, rasanya 

aku masih belum percaya semua ini benar-benar terja-

di! Aku juga hampir tidak percaya dengan segala uru-

san yang kau ceritakan padaku! Tentang Setan Liang 

Makam, tentang Kembang Darah Setan, tentang Kiai 

Lidah Wetan bahkan tentang Kampung Setan! Mung-

kin itu hanya karangan mu belaka agar aku tertarik 

dan hatiku luluh! Kau tak tahu, Joko! Tanpa adanya 

ceritamu itu, aku sudah tertarik padamu! Tapi kini 

aku jadi ragu.... Apakah masih tersisa setitik perasaan 

padamu! Aku jadi takut.... Perasaan cintaku akan be-

rubah jadi benci berkarat dan tak akan sirna sebelum 

tanganku berlumuran darahmu...."

Tanpa sadar Dewi Seribu Bunga angkat kedua 

tangannya kembali dan dikembangkan di depan wa-

jahnya. Gadis cantik bekas murid tokoh tingkat tinggi 

golongan hitam yang dikenal dengan julukan Maut Ma-

ta Satu dan akhirnya diambil murid oleh Dewi Es sete-

lah peristiwa Pulau Biru ini tersentak kaget. Sepasang 

matanya melihat paras wajah Joko di kedua telapak 

tangannya! Dan dari sela-sela jarinya terlihat darah 

merah mengalir deras hingga sirnakan bayangan wajah 

Joko.

Dewi Seribu Bunga menggigit bibirnya. Bayan-

gan tumpahan darah di telapak tangannya lenyap. 

Saat lain gadis ini telah tekapkan kedua telapak tan-

gan pada wajahnya. Lalu terdengar isakan tangisnya....


*

* *

SEBELAS



DEWI Seribu Bunga tidak tahu sampai sebera-

pa lama dia tenggelam dalam gejolak yang membuat 

dadanya laksana hendak pecan dan air matanya men-

galir. Yang pasti, pada satu saat tiba-tiba dia merasa 

tidak sendirian di tempat itu.

Gadis berparas cantik yang kini telah diangkat 

jadi murid oleh Dewi Es ini cepat seka air matanya. 

"Apakah dia mengikutiku?! Kalau benar, apa yang ha-

rus kulakukan?! Menemuinya dan memaklumi apa 

yang baru saja hendak diperbuatnya padaku? Atau 

langsung saja menggebuknya?! Hem.... Aku memang 

selalu merindukannya, tapi kalau dia punya niat keji 

padaku, apa artinya?! Dia baru saja akan bertindak 

kurang ajar padaku. Manusia macam dia perlu diberi 

pelajaran agar tidak mengambil korban lebih banyak 

lagi!"

Dewi Seribu Bunga tegarkan hati. Bagaimana-

pun juga orang yang akan dihadapinya adalah seorang 

yang selama ini dirindukan dan orang mana dia telah 

tetapkan pilihan sebagai labuhan hati. Dia tindih kuat-

kuat perasaan bimbang dan ragu. Seraya kerahkan te-

naga dalam pada kedua tangannya, dia cepat sentak-

kan kepala ke belakang.

Sesaat sepasang mata Dewi Seribu Bunga 

membesar. Hanya sejarak lima langkah di belakangnya 

duduk seorang nenek berambut putih. Sepasang ma-

tanya melotot besar. Pada rambutnya yang disanggul 

tinggi tampak tusuk konde besar berwarna hitam. Nenek ini mengenakan pakaian panjang warns coklat. 

Melihat dirinya diperhatikan, si nenek sunggingkan 

senyum. Namun karena wajahnya angker, senyumnya 

tidak membuat Dewi Seribu Bunga merasa lega.

"Gadis cantik.... Apakah keberadaanku di sini 

membuatmu terganggu?!" menegur si nenek. "Aku tadi 

sebenarnya hendak mengatakan keberadaanku di sini. 

Tapi karena kulihat kau sedang terlena, niatku kuba-

talkan...."

Mungkin karena masih merasa geram dengan 

peristiwa yang baru saja dialaminya, Dewi Seribu Bun-

ga segera menyahut dengan suara agak keras.

"Kita belum saling kenal! Kuharap katakan sia-

pa kau sebenarnya...!"

Si nenek tersenyum meski terlihat sekali dipak-

sakan. "Aku seorang perempuan yang telah banyak 

makan garam kehidupan! Melihat kau berada di tem-

pat sepi begini dan tenggelam dalam isak tangs sampai 

tidak merasa kehadiran orang lain, aku bisa menebak 

apa yang saat ini menimpamu! Siapa pun orang yang 

mengalami apa yang kini sedang menimpamu, pasti 

akan lebih senang berada sendirian di tempat sepi! Ta-

pi menurutku, itu bukanlah satu-satunya jalan yang 

dapat mengubah keadaan! Kau akan makin tengge-

lam...!"

"Harap tidak menduga-duga seenaknya! Aku 

pun tidak butuh nasihatmu! Kalau kau tak mau se-

butkan diri, adalah lebih baik segera tinggalkan tempat 

ini!"

Si nenek kerutkan dahi seraya memandang le-

kat-lekat pada gadis di hadapannya. Entah sadar atau 

tidak, si nenek bergumam. "Kalau saja aku tidak per-

nah mengalami hal yang sama sepertimu saat masih 

muda, sudah sejak tadi-tadi aku tinggalkan tempat


ini!" Lalu seraya bergerak bangkit, si nenek berkata 

agak keras.

"Aku Ni Luh Padmi! Selamat tinggal!"

Si nenek yang sebenarnya tidak lain memang Ni 

Luh Padmi adanya segera putar diri. (Mengenai Ni Luh 

Padmi baca serial Joko Sableng dalam episode: "Musli-

hat Sang Ratu").

"Nek, tunggu!" Dewi Seribu Bunga menahan ge-

rakan Ni Luh Padmi yang hendak melangkah.

Tanpa berpaling ke belakang, Ni Luh Padmi be-

rucap.

"Aku Ingin tahu, apakah kau telah dapat te-

nangkan diri?! Kalau tidak, percuma kita bicara!" Nada 

suara si nenek terdengar agak ketus.

"Ucapannya tadi membuktikan kalau dia me-

mang pernah mengalami seperti hal yang saat ini se-

dang ku alami. Tidak ada salahnya aku berbincang 

dengan nya! Aku perlu orang yang bisa kuajak berbagi 

rasa...."

Membatin begitu, akhirnya Dewi Seribu Bunga 

berkata seraya bergerak putar tubuh.

"Maafkan kalau aku tadi bicara keras padamu. 

Nek.... Aku...." Dewi Seribu Bunga tak kuasa lanjutkan 

ucapannya.

Ni Luh Padmi balikkan tubuh. Memandang se-

jurus pada si gadis yang duduk bersandar menghadap 

dirinya. Kepala si nenek menggeleng perlahan.

"Aku tahu mengapa kau berkata keras padaku. 

Aku maklum...." Ni Luh Padmi maju dua tindak lalu 

perlahan-lahan duduk di hadapan Dewi Seribu Bunga. 

"Siapa namamu, Gadis Cantik...."

Dewi Seribu Bunga usap sepasang matanya 

yang dirasa kabur karena masih tergenang air mata. 

"Nek.... Rasanya tidak ada artinya pujian mu itu. Karena wajah cantik hanya mendatangkan nafsu kotor!"

"Aku tahu.... Itu kita bicarakan nanti. Sekarang 

katakan dahulu namamu, atau barangkali kau punya 

gelar? Kulihat dari gerak-gerik mu, kau seorang gadis 

yang punya ilmu...."

"Aku hanya gadis biasa, Nek! Aku Dewi Seribu 

Bunga...."

"Nama bagus. Sesuai dengan yang menyan-

dang!" puji Ni Luh Padmi membuat paras wajah Dewi 

Seribu Bunga merebak merah merona. 

"Sayang.... Nasibmu mungkin tidak sebagus 

namamu! Mau katakan apa yang sedang kau alami, 

Dewi...?!"

Dewi Seribu Bunga tidak segera menjawab. Pa-

rasnya bimbang. Seolah dapat menangkap kebimban-

gan orang, Ni Luh Padmi segera sambung ucapannya.

"Kita memang baru saling kenal! Di antara kita 

tidak ada silang sengketa! Lebih dari itu, kita sama-

sama perempuan! Aku tidak berniat ikut campur uru-

sanmu.... Tapi bicara dari hati ke hati kurasa tidak ada 

ruginya bagi kita! Hem.... Namun kalau kau ragu-ragu, 

memang tidak usah kau katakan!"

"Nek.... Ucapanmu tadi membuatku bertanya-

tanya. Apa kau memang pernah mengalami seperti 

yang saat ini kuhadapi?!"

"Tiap manusia punya pengalaman sendiri-

sendiri! Tapi sikap seorang gadis sepertimu mudah se-

kali ditebak sedang dilanda kemelut apa!" Ni Luh Pad-

mi arahkan pandangannya ke jurusan lain. Tatapan-

nya terlihat kosong. "Asmara.... Dan kecewa! Bukan-

kah itu yang kini sedang menyelimuti hatimu?" tanya 

Ni Luh Padmi seraya masih memandang jauh.

Lag Magi Dewi Seribu Bunga tidak segera me-

nyahut. Ni Luh Padmi berpaling pada Dewi Seribu


Bunga. "Tiga hal yang harus kau lakukan, Dewi.... Per-

tama, lupakan laki-laki yang membuatmu kecewa! Ke-

dua, cari segera pengganti! Kalau kau tidak bisa laku-

kan keduanya, pilih paling akhir, bunuh laki-laki yang 

membuatmu kecewa!"

Dewi Seribu Bunga tersentak mendengar uca-

pan si nenek. "Dari nada bicaranya, jelas kalau nenek 

ini pernah disakiti!" Membatin si gadis lalu berkata.

"Tiga hal yang mudah diucapkan. Tapi rasanya 

tidak mudah melakukannya, Nek!"

Ni Luh Padmi mendadak tertawa panjang. "Itu-

lah kebodohan yang sering dilakukan perempuan! Dia 

lebih mendahulukan perasaan daripada kenyataan! 

Dia lebih suka menderita berkepanjangan daripada 

membuat perhitungan tuntas!"

"Apakah kau sekarang sedang melakukan per-

hitungan itu, Nek?" tanya Dewi Seribu Bunga.

"Hem.... Kau pintar juga melihat arah bicara 

orang! Tapi bukan berarti aku akan cerita padamu ten-

tang urusanku...."

Dewi Seribu Bunga tersenyum. "Nek.... Kau tadi 

mengatakan kita memang baru kenal. Di antara kita 

juga tidak ada silang sengketa! Kita pun sama-sama 

perempuan. Aku tidak bermaksud ikut campur uru-

sanmu. Tapi menurutmu tadi, tidak ada ruginya kita 

bicara dari hati ke hati.... Menurut dugaanku, kau juga 

sedang di landa asmara, dan kecewa! Dan saat ini kau 

tengah lakukan pilihan paling akhir...."

Paras muka si nenek berubah. Dia menahan 

napas dengan kepala mendongak. Namun sejauh ini 

dia belum buka mulut lagi. Dia seakan masih coba 

menekan perasaan. Di lain pihak, Dewi Seribu Bunga 

menunggu dengan dada berdebar keras. Dia kembali 

teringat akan kejadian yang baru saja dialaminya. Dan


diam-diam dia memikirkan ucapan si nenek.

"Apakah mungkin aku dapat begitu saja mela-

kukannya? Dan kurasa sulit untuk mencari penggan-

tinya! Tapi bisakah aku melakukan pilihan terakhir 

seperti ucapan nenek itu?! Membunuh Joko...?!" Kepa-

la gadis ini bergerak menggeleng perlahan. "Rasanya 

sulit bagiku melakukan ketiganya...."

"Dewi...," tiba-tiba Ni Luh Padmi sudah buka 

suara. "Karena kita sama perempuan, memang ada 

baiknya kita saling membagi cerita. Tapi kau harus ce-

rita dahulu padaku...."

Dewi Seribu Bunga sejurus memandang pada si 

nenek. Lagi-lagi si nenek dapat menangkap perasaan 

bimbang gadis di hadapannya. Tapi kali ini si nenek ti-

dak mau menunggu. Dia segera buka mulut mendahu-

lui Dewi Seribu Bunga.

"Siapa laki-laki yang membuatmu berada di sini 

tenggelam dalam tangis dan kecewa?!"

"Untuk menjaga agar kita tidak saling ikut 

campur urusan yang lain, bagaimana kalau aku tidak 

sebutkan namanya?!"

"Hem.... Begitu, terserah padamu!"

Dewi Seribu Bunga memandang sekali lagi pada 

Ni Luh Padmi, lalu beralih ke bawah sana ke lereng-

lereng lembah seraya berkata.

"Pada mulanya aku mendapat tugas dari guru-

ku untuk mencari sebuah benda pusaka. Namun ter-

nyata seseorang telah mendahuluiku! Guruku lantas 

memerintahkan padaku merebut benda itu dari orang 

yang telah berhasil mendapatkannya dan membunuh 

pemiliknya! Tapi aku gagal melaksanakan tugas Guru. 

Malah aku mulai tertarik pada orang yang seharusnya 

kubunuh karena orang itulah yang telah mendapatkan 

benda pusaka itu! Hingga pada satu saat, terjadi peristiwa besar yang membuat guruku tewas! Aku lantas 

diambil murid oleh seseorang!"

Sejenak Dewi Seribu Bunga hentikan keteran-

gannya, Masih dengan memandang jauh ke lereng 

lembah, gadis ini lanjutkan keterangan. "Selama berpi-

sah dengan pemuda yang telah mendapatkan benda 

pusaka, itu, siang malam aku tak bisa melupakannya. 

Aku selalu ingin jumpa. Namun karena guruku masih 

mencegah kepergianku, aku terpaksa memendam ke-

rinduan ini! Hingga pada satu kesempatan, guruku 

mengizinkan aku keluar dari tempatnya. Kesempatan 

ini tak ku sia-siakan. Aku berusaha mencarinya.... 

Dan usahaku tidak percuma. Aku jumpa dengannya. 

Aku sangat gembira. Lebih-lebih setelah dia mengata-

kan kalau sebenarnya dia juga tidak bisa melupakan 

ku! Tapi kegembiraan dan tumpahan rindu ku nya-

tanya tidak berlangsung lama, karena...."

"Dia telah punya kekasih lain! Dan kau melihat 

dengan mata kepalamu sendiri!" tukas Ni Luh Padmi.

Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala perlahan, 

membuat Ni Luh Padmi kerutkan dahi. "Kalau hanya 

punya kekasih lain, mungkin aku masih bisa memak-

luminya, karena dia adalah seorang pemuda tampan 

dan berilmu. Gadis-gadis pasti akan berusaha mende-

kati.... Malah kalaupun dia bersama gadis lain di de-

pan mataku, aku mungkin masih bisa menahan diri. 

Karena dialah orang yang selama ini memenuhi hari-

hari ku.... Kalau aku tidak menyukainya, aku bahkan 

akan mengatakan suka!"

"Gila! Itu hanya akan membawamu terperosok 

ke jurang kehancuran! Kau hanya turutkan perasaan! 

Tanpa menimbang baik buruknya! Bahkan mungkin 

kau akan mengatakan baik meski dia manusia keji! 

Bukankah begitu...?! Selanjutnya kau akan rela korbankan nyawa walau demi kehidupannya dengan pe-

rempuan lain!"

Dewi Seribu Bunga terdiam mendengar, ucapan 

keras Ni Luh Padmi. Di hadapannya, si nenek tampak 

komat-kamitkan mulut. Lalu berucap lagi meski na-

danya sudah direndahkan. "Dewi.... Aku dahulu ham-

pir punya perasaan yang sama dengan dirimu. Namun, 

pada akhirnya aku menyesali semua ketololan itu! Kau 

tahu apa akhirnya yang kudapat? Duka rana seumur 

hidup! Dan dendam berkarat!"

"Nek.... Jadi itukah yang membuatmu memilih 

jalan paling akhir?" Bertanya Dewi Seribu Bunga.

"Aku tahu. Saat ini juga pasti kau tidak bisa 

melupakannya dan mencari pengganti! Bahkan mung-

kin kau masih ragu-ragu untuk lakukan pilihan terak-

hir membunuhnya! Tapi perlu kau ketahui, Anak Can-

tik.... Itulah akhirnya yang membuatku sengsara! Aku 

tidak cepat ambil keputusan dan bimbang! Kalau ti-

dak, hari ini pasti aku tidak berada di sini!"

"Hem.... Berarti nenek ini sedang dalam perja-

lanan mencari kekasihnya dahulu! Dan yang pasti, dia 

akan membunuhnya!" kata Dewi Seribu Bunga dalam 

hati. Lalu gadis ini utarakan apa yang ada di dalam 

hatinya.

"Siapa orang yang saat ini tengah kau cari, 

Nek...?!"

"Agar antara kita tidak ada yang saling ikut 

campur urusan, lebih baik kau tak usah tahu siapa 

orangnya!"

"Dari namamu kuduga kau bukan dari daerah 

tanah Jawa.... Bukan aku bermaksud ikut campur. 

Tapi kalau kau berada di sini, pasti orang yang kau ca-

ri dari tanah Ni Luh Padmi tidak menyahut. Dewi Seri-

bu Bunga lanjutkan ucapannya. "Nek, aku dilahirkan


di daerah tanah Jawa. Sedikit banyak aku tahu siapa 

orang yang namanya sudah dikenal. Mungkin aku bisa 

membantumu...."

Ni Luh Padmi tertawa. "Terima kasih.... Tapi 

aku tidak mau merepotkan mu. Aku memang bukan 

dari tanah Jawa. Dan orang yang kucari memang di 

tanah Jawa ini. Lebih dari itu aku telah menemukan 

orang yang kucari!"

"Ah.... Berarti kau telah membunuhnya...!"

Ni Luh Padmi gelengkan kepala. "Jahanam itu 

berhasil lolos dari tanganku! Tapi bukan berarti nya-

wanya akan lama bersemayam di tubuhnya! Ini gara-

gara kebodohan ku sendiri!" Entah sadar atau tidak, Ni 

Luh Padmi akhirnya menceritakan perjalanannya.

"Belum lama berselang terjadi kegegeran di Ke-

dung Ombo. Dari beberapa orang yang kutemui, serta 

dari penyelidikanku sendiri, aku menduga orang yang 

kucari akan muncul di Kedung Ombo. Dugaanku tidak 

meleset. Namun aku sedikit lengah dan terkecoh. Ka-

rena jahanam itu muncul di Kedung Ombo dengan 

menyamar. Aku baru mengetahuinya setelah aku dito-

long olehnya." (Baca peristiwa ini pada episode : "Bara 

di Kedung Ombo").

Ni Luh Padmi menghentikan penuturannya se-

jenak. Lalu lanjutkan ucapannya. "Saat itu aku me-

nyesal! Membiarkan orang yang harus kubunuh mem-

beri pertolongan padaku! Aku memaki diri sendiri yang 

bodoh dan lengah. Tapi aku juga masih menimbang, 

kalau saat itu aku membunuhnya, hal itu tak mung-

kin. Aku turut terlibat dalam kegegeran itu dan terlu-

ka. Sementara jahanam itu meski juga terluka, namun 

saat itu bersama-sama beberapa orang sahabatnya 

yang ku maklumi berilmu tinggi-tinggi. Hingga aku 

menindih perasaan dan mencari saat yang baik...."


Kembali Ni Luh Padmi hentikan penuturannya 

seraya menghela napas panjang. Lalu sambung uca-

pannya. "Jahanam itu berusaha merayu ku. Tapi sejak 

pertama kali melangkah dari lereng Gunung Agung, 

aku telah bertekad untuk mencabut nyawanya, hingga 

jangankan dia merayu, menyembah tujuh hari tujuh 

malam mencium kakiku, aku tidak akan surutkan 

niat! Begitu kami telah terpisah dari beberapa saha-

batnya, dia mengatakan hendak mengajakku ke tem-

pat tinggalnya! Saat itulah kupikir waktu yang baik 

untuk lenyapkan nyawanya. Aku bukan saja menolak 

diajak ke tempat tinggalnya, tapi aku langsung menye-

rangnya habis-habisan!"

"Pada mulanya jahanam itu pura-pura tidak 

mau melawan. Aku tidak peduli! Baik melawan atau 

tidak, bagiku nyawanya harus putus! Aku menghuja-

ninya dengan beberapa pukulan. Hingga nyawanya 

hampir saja melayang seandainya tidak muncul seseo-

rang yang menyelamatkannya dan membawanya per-

gi!"

Ni Luh Padmi mendongak. Wajahnya menge-

lam. Jelas kalau si nenek coba menekan perasaan ge-

ram. Di hadapannya, Dewi Seribu Bunga mendengar-

kan dengan seksama. Gadis ini belum buka mulut me-

nyahut. Dia seolah menunggu sampai si nenek selesai 

dengan penuturannya, karena diam-diam dia merasa 

tidak enak begitu mengetahui kalau Ni Luh Padmi ikut 

terlibat dalam kegegeran di Kedung Ombo. Karena dia 

baru saja mendapat keterangan dari Joko apa saja 

yang terjadi di Kedung Ombo. Dia merasa yakin kalau 

si nenek telah tahu siapa Joko.

"Aku berusaha mengejar. Tapi keparat yang 

menyelamatkan jahanam itu berilmu tidak rendah. Dia 

berhasil hilang dari kejaranku! Bahkan aku juga tidak


berhasil mengetahui siapa dia orangnya! Yang pasti dia 

adalah seorang perempuan! Mungkin saja gendak ba-

runya!"

"Kau tidak mendatangi tempat tinggalnya?!" 

Dewi Seribu Bunga bertanya. Gadis ini coba bertanya 

dengan kaitkan tempat tinggal orang yang dicari si ne-

nek dengan harapan dia akhirnya akan mengetahui 

siapa orangnya.

"Percuma aku ke tempat tinggalnya. Dia pasti 

tidak mungkin bersembunyi di sana!"

"Kau tahu di mana tempat tinggalnya?!"

"Aku pernah mengobrak-abrik tempat tinggal-

nya! Tapi jangan tanya di mana tempat itu!"

Dewi Seribu Bunga simpan rasa kecewanya, Ni 

Luh Padmi tidak sebutkan di mana tempat tinggal 

orang yang dicari. Namun gadis ini tidak kehilangan 

akal, dia bertanya lagi. "Kalau dia seorang yang ter-

kenal dalam kalangan dunia persilatan, tentu dia 

punya seorang murid. Kau tidak coba mencari kete-

rangan dari muridnya?"

"Jahanam itu memang punya seorang murid! 

Tapi rasanya percuma juga mencari keterangan dari 

murid jahanam itu! Karena antara murid dan gurunya 

tidak ada bedanya!"

"Tidak ada bedanya bagaimana, Nek?!" Dewi Se-

ribu Bunga terus menyelidik.

"Keduanya sama gilanya! Bahkan si murid ku-

rasa akan lebih gila lagi di masa mendatang! Tapi aku 

tak akan membiarkan murid jahanam itu, karena dia 

telah berani mempermainkan aku! Dia kelak juga ha-

rus mendapat hajaran!"

"Apakah muridnya juga muncul di Kedung Om-

bo, Nek...?!"

Ni Luh Padmi kali ini tidak segera menjawab.


Sebaliknya memandang lekat-lekat pada Dewi Seribu 

Bunga. "Jangan-jangan kau hendak mengorek kete-

rangan dari mulutku!"

Dewi Seribu Bunga terkejut. Wajahnya merah 

padam. Namun gadis ini segera sunggingkan senyum 

seraya menggeleng. "Apa untungnya keterangan dari-

mu, Nek.... Kalaupun aku bertanya, semata-mata ka-

rena ingin tahu.... Kudengar seorang pemuda juga 

muncul di Kedung Ombo saat kegegeran itu terjadi...."

"Hem.... Kau tadi belum katakan apa sebabnya 

kau tenggelam menangis sendirian di sini!" Ni Luh 

Padmi alihkan pembicaraan, membuat Dewi Seribu 

Bunga harus menelan kecewa lagi. Dan pertanyaan si 

nenek membuat wajahnya berubah murung.

"Kalau bukan karena ada perempuan lain, pasti 

ada sesuatu yang hebat yang membuatmu kecewa 

dengan laki-laki pujaan mu itu! Aku ingin tahu...," ujar 

Ni Luh Padmi.

"Dia telah menuturkan ceritanya. Tidak baik 

kalau aku sembunyikan perihal ini. Lagi pula dia tidak 

akan kuberi tahu siapa adanya orang yang membua-

tku kecewa...."

Setelah membatin begitu, akhirnya Dewi Seribu 

Bunga berkata.

"Dia telah berani hendak berbuat tidak senonoh 

padaku...."

"Keparat!" Tiba-tiba Ni Luh Padmi memaki, 

membuat Dewi Seribu Bunga tersentak. Tapi sebelum 

lebih jauh Dewi Seribu Bunga memberi keterangan, si 

nenek telah buka mulut. "Pada laki-laki macam begitu 

kau masih menimbang-nimbang?! Pada laki-laki jaha-

nam begitu kau masih rela keluarkan air mata?!" Ni 

Luh Padmi tertawa, namun laksana direnggut setan, 

dia putuskan tawanya sendiri lalu berucap.


"Jika saja aku jadi kau, Dewi.... Aku tidak akan 

pikir panjang lagi! Bukan hanya membunuhnya tiga 

kali, tapi membetot senjatanya!"

Mendengar ucapan si nenek, paras muka Dewi 

Seribu Bunga merah padam. Namun gadis ini masih 

bisa memahami mengapa si nenek sampai berkata be-

gitu.

Dia adalah orang yang baru saja gagal lam-

piaskan dendam meski telah menemukan orangnya.

"Dewi...," kata Ni Luh Padmi. "Siapa laki-laki 

itu?!" Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. "Biarlah 

dia jadi urusanku sendiri, Nek.... Kau masih punya 

urusan lain!"

"Tapi setidaknya aku bisa memberi sedikit haja-

ran pada senjatanya biar tidak berlaku kurang ajar 

pada gadis-gadis lain! Orang macam dia pasti sudah 

banyak memakan korban!"

"Ah.... Dugaanmu mungkin tidak benar, Nek.... 

Mungkin saja saat itu...."

"Gila!" Si nenek telah memotong ucapan Dewi 

Seribu Bunga. "Pada orang yang telah benar-benar 

hendak menghancurkan masa depanmu kau masih ju-

ga membelanya!"

"Aku tidak membelanya, Nek! Karena menurut 

penglihatanku selama ini, juga menurut yang banyak 

kudengar, dia orang baik.... Hanya...."

"Hanya apa...?!" sahut Ni Luh Padmi.

Dewi Seribu Bunga tidak menjawab. Gadis ini 

sendiri sebenarnya masih bimbang. Dia masih bingung 

tak habis pikir mengapa Joko tega hendak melakukan 

itu padanya.

Melihat Dewi Seribu Bunga tidak menyahut, Ni 

Luh Padmi segera berkata.

"Kau tidak bisa teruskan ucapanmu. Berarti terusannya adalah, dia orang baik, tapi tingkahnya men-

jijikkan dan keji! Kau tahu, Dewi.... Seorang laki-laki 

yang tulus, tidak akan berbuat macam-macam! Apalagi 

sampai hendak memperkosa mu! Sebaliknya dia akan 

menjaga perasaan dan kehormatanmu! Kau jangan 

perturutkan cinta dan cinta! Cinta hanya berkaitan 

dengan nafsu! Begitu nafsunya terpenuhi, maka den-

gan sendirinya cinta itu akan pudar dan lenyap!"

"Apa kau mengalami begitu, Nek?!"

"Sialan! Kalau jahanam yang kucari itu sampai 

berani berbuat begitu, sudah dulu-dulu nyawanya ku

cabut dan senjatanya ku rencah!"

Meski ngeri mendengar ucapan Ni Luh Padmi, 

tapi mau tak mau membuat Dewi Seribu Bunga mena-

han tawa. Gadis ini hendak buka mulut, namun ber-

samaan dengan itu, Ni Luh Padmi telah berkata sambil 

hadapkan wajahnya ke arah barat.

"Sebentar lagi hari akan gelap! Aku harus pergi. 

Tapi sebelumnya kau mau katakan siapa laki-laki ku-

rang ajar itu?!"

Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. "Kita su-

dah sepakat tidak akan libatkan diri dengan urusan 

masing-masing! Jadi biarlah urusan ini kuselesaikan 

sendiri.... Kalau kita nanti berjumpa lagi, pasti akan 

kuceritakan padamu siapa dia, asalkan kau juga berte-

rus terang mengatakan siapa orang yang kau cari un-

tuk yang kedua kalinya ini...."

"Hem...." Ni Luh Padmi menggeleng perlahan. 

"Cinta kadangkala memang membelenggu tangan dan 

kaki, bahkan mulut! Tapi jika cinta itu pudar, bukan 

saja belenggunya yang akan lepas, tapi tidak tertutup 

kemungkinan belenggu itu sendiri yang akan jadi sen-

jata pembunuh!"

Ni Luh Padmi beranjak bangkit Dia memandang


sekilas pada Dewi Seribu Bunga. "Satu hal lagi yang 

harus kau perhatikan, Dewi.... Jangan percaya pada 

cinta! Karena sekali langkahmu masuk, itulah awal 

langkahmu menuju kehancuran! Dan sekali kau ma-

suk, tidak mungkin kau menapak langkah untuk kem-

bali!"

Habis berkata begitu, Ni Luh Padmi tersenyum 

lalu berkelebat ke arah timur. Dewi Seribu Bunga seje-

nak perhatikan sosok si nenek. "Ucapannya ada be-

narnya, tapi terlalu berlebihan.... Hem.... Mungkin ka-

rena dia masih dibungkus dengan dendamnya akibat 

cinta...."

Begitu sosok Ni Luh Padmi lenyap di depan sa-

na, Dewi Seribu Bunga berkelebat menuruni lembah. 

Namun pikirannya kini tambah bingung. Dan berbagai 

hal makin sarat memenuhi dadanya.

*

* *

DUA BELAS



BAIK Dewi Seribu Bunga maupun Ni Luh Padmi 

tidak sadar, bahwa sejak tadi satu sosok tubuh tam-

pak mengendap-endap pada salah satu lamping batu 

tanpa membuat gerakan atau suara. Meski orang ini 

sembunyi agak jauh, namun telinganya masih dapat 

mendengar apa yang diperbincangkan si gadis dan si 

nenek.

Begitu Dewi Seribu Bunga berkelebat menuruni

lembah, orang di lamping batu bergerak keluar. Me-

mandang sejenak ke arah kelebatannya sosok Dewi Se-

ribu Bunga. Bibir orang ini sunggingkan senyum. Dia 

bukan lain adalah Joko yang baru saja akan memper-

kosa Dewi Seribu Bunga. Lalu pemuda ini arahkan 

pandangannya ke timur, arah yang diambil Ni Luh 

Padmi. Saat lain pemuda ini berkelebat ke arah timur.

Meski malam telah jatuh, namun cahaya sang 

rembulan yang tinggal separo masih mampu membuat 

lintasan bumi agak terang. Apalagi saat itu hamparan 

langit tidak digantungi buntalan awan hitam. Hingga 

walau sejenak tadi tampak kebingungan tentukan 

arah, namun pada akhirnya si pemuda yang mengejar 

kelebatan sosok Ni Luh Padmi dapat mengetahui jejak 

si nenek.

Di lain pihak, mungkin karena baru mengenai 

daerah yang dilewati, Ni Luh Padmi tampak tidak 

mempercepat larinya. Kalaupun dia terlihat berkelebat 

cepat, itu hanya saat melewati jalan agak besar dan lu-

rus.

Pada satu tempat agak lapang yang jauh dari 

jajaran pohon dan semak belukar, mendadak Ni Luh 

Padmi hentikan larinya. Kepalanya mendongak semen-

tara sepasang matanya melirik ke samping kanan kiri. 

Telinganya dipasang baik-baik.

"Sejak dari lembah menurun tadi, kurasa ada 

orang yang mengikutiku! Apakah gadis tadi?! Hem.... 

Mengapa dia mengikutiku?! Tapi...." Si nenek tak te-

ruskan kata hatinya. Dia lebih pertajam pendengaran. 

"Hem.... Dia berada tidak jauh dari sini. Mungkin be-

rada di potion yang berbatasan dengan tanah lapang 

ini.... Aku harus memancingnya keluar! Di depan sana 

ada beberapa pohon dan semak belukar. Saat aku tiba 

di sana, pasti dia akan melewati tanah lapang ini....


Hem...." Si nenek sekali lagi tajamkan telinga. Lalu 

berkelebat teruskan lari.

Begitu sampai pada jajaran pohon di depan, Ni 

Luh Padmi makin percepat larinya, lalu tiba-tiba mem-

belok pada salah satu batangan pohon dan menyelinap 

sembunyi dengan mata memandang tak berkesip ke 

arah tanah lapang yang baru dilewatinya.

Ni Luh Padmi tidak menunggu lagi. Baru saja 

sepasang matanya mementang, dari satu batangan po-

hon di seberang, satu sosok bayangan putih berlari ce-

pat melintasi tanah lapang.

"Jahanam! Manusia lain!" desis si nenek, lalu 

cepat berkelebat keluar dan tahu-tahu sosoknya telah 

tegak menghadang lajunya orang yang berlari melintasi 

tanah lapang.

"Sebutkan nama dan apa tujuanmu mengikuti-

ku!" bentak si nenek.

Orang yang berlari sesaat tampak tersentak ka-

get. Dan buru-buru hentikan larinya seraya meman-

dang ke depan.

Belum sampai orang yang ditanya buka mulut, 

tiba-tiba si nenek telah melompat ke depan dan tegak 

hanya sejarak lima langkah dari hadapan orang. Sepa-

sang matanya langsung mendelik angker.

"Kau!" desis Ni Luh Padmi saat mengetahui sia-

pa orang di hadapannya.

Lagi-lagi orang di hadapan Ni Luh Padmi yang 

bukan lain adalah si pemuda yang mencuri dengar 

pembicaraan Ni Luh Padmi dan Dewi Seribu Bunga 

tersentak. Namun saat lain pemuda ini telah sung-

gingkan senyum.

"Bagus! Nyatanya aku tidak usah mencarimu! 

Kau yang datang sendiri mencari mati! Tapi nyawamu 

masih kuampuni asal kau mau jawab satu pertanyaanku!" Ni Luh Padmi sudah buka mulut. "Di mana 

kau simpan gurumu!"

Yang ditanya tidak segera menjawab. Namun 

diam-diam si pemuda membatin. "Aku belum mengen-

al betul nenek jahanam ini! Tapi dari kaitan pembica-

raannya tadi dengan apa yang ditanyakan, aku bisa 

segera menduga kalau yang dicari adalah Pendeta 

Sinting! Hem.... Satu kebetulan yang tidak terduga...."

"Anak sinting! Kau dengar ucapanku! Lekas ja-

wab!"

Yang dibentak lagi-lagi sunggingkan senyum 

sebelum akhirnya buka mulut. "Nek! Yang kau maksud 

guruku, guruku yang mana?!"

"Keparat! Siapa lagi kalau bukan manusia sint-

ing itu!"

"Bukankah kau pergi berdua saja setelah peris-

tiwa Kedung Ombo?! Bagaimana kau bisa tanya pada-

ku?! Justru seharusnya aku yang tanya padamu! Kau 

bawa ke mana guruku?!"

Ni Luh Padmi sejenak tampak terdiam. Tapi 

saat lain dan telah membentak lagi.

"Gurumu lolos dari tanganku bersama gendak-

nya! Kau pasti tahu di mana mendekamnya gendak 

gurumu! Katakan padaku!"

"Ah.... Nek! Aku sekarang tidak akan memper-

mainkan mu lagi! Apalagi setelah aku mendengar apa 

urusanmu dengan guruku! Terus terang aku tidak su-

ka punya seorang Guru yang menyia-nyiakan seorang 

perempuan...."

"Hem.... Bagus! Tapi jangan harap aku percaya 

ucapanmu! Kau pasti tak beda dengan gurumu!"

"Ah.... Kau masih juga salah sangka! Aku...."

"Jangan banyak mulut! Katakan di mana men-

dekamnya gendak gurumu!" potong Ni Luh Padmi.


"Nek... guruku mempunyai beberapa gendak 

dan perempuan simpanan! Kau bisa katakan bagaima-

na ciri-cirinya?!"

Meski saat itu pancaran sinar rembulan tidak 

begitu terang, namun si pemuda dapat dengan jelas 

melihat perubahan pada wajah si nenek di hadapan-

nya. Malah tubuh nenek itu bergetar keras dengan 

mulut komat-kamit. Tanda sedang menindih perasaan 

geram.

"Bajingan betul! Saat itu aku tidak jelas melihat 

bagaimana orangnya.... Hemm. Tapi kalau dia mau se-

butkan beberapa nama dan tempat tinggalnya, sudah 

cukup bagiku mencari jejaknya...." Ni Luh Padmi 

membatin dalam hati. Lalu berkata.

"Gendak gurumu tidak jelas kulihat tampang-

nya! Tapi kurasa kau dapat menduga-duga siapa 

orangnya dan di mana tempatnya! Tapi ingat, Anak 

Sinting. Kalau kau berkata dusta, kelak kulumat mu-

lutmu!"

Si pemuda mendongak seolah berpikir. Sesaat 

kemudian dia angkat bicara.

"Guruku punya beberapa gendak. Tapi yang 

paling disayang dan berilmu tinggi cuma satu.... Kura-

sa dia berada di sana...."

"Persetan disayang atau berilmu tinggi! Aku 

tanya siapa dan di mana!" hardik Ni Luh Padmi dengan 

mata mendelik besar.

"Namanya Nyai Tandak Kembang...."

"Hem.... Tinggalnya?!" Tak sabar si nenek me-

nyahut.

"Di sebuah goa di sebelah samping Bukit Ka-

lingga. Perjalanan setengah hari dari sini ke arah uta-

ra!"

"Hem.... Bagaimana ciri-cirinya tampang manusia itu?!"

"Kau kelak akan tahu sendiri jika sampai di sa-

na...."

"Hem.... Lalu siapa lagi kira-kira yang kau duga 

di tempati gurumu saat ini?!"

"Nek! Antara beberapa gendak guruku tidak 

saling akur! Malah saat ini mereka saling berlomba un-

tuk membunuh Guru meski dengan jalan belakang 

dan diam-diam! Jadi kalau kau tidak menemukan di 

Bukit Kalingga, kau bisa tanyakan pada Nyai Tandak 

Kembang! Pasti dia akan tunjukkan padamu! Asal kau 

bisa merayu..."

"Keparat! Siapa sudi merayu! Kalau dia tidak 

mau katakan, aku tak segan memutus sekalian nya-

wanya!" sentak Ni Luh Padmi.

"Ah, kalau begitu maumu, silakan! Aku pun se-

benarnya sangat tidak suka pada beberapa gendak gu-

ruku! Jika saja tidak memandang Guru, sudah ku ca-

but nyawanya satu persatu!"

Ni Luh Padmi tampak sunggingkan senyum 

dingin mendengar ucapan si pemuda.

"Siapa percaya pada ucapan murid manusia 

sinting sepertimu, Bocah! Bagaimanapun juga kau 

pasti masih mendapat didikan dari gurumu cara men-

dustai orang!

Tapi, kau jangan coba-coba berkata dusta pa-

daku!"

Si pemuda tertawa panjang mendengar kata-

kata Ni Luh Padmi. "Sejahat-jahatnya seorang Guru, 

tak mungkin dia mengajari cara mendustai orang, Nek! 

Dan kalaupun seorang murid berkata dusta, itu...."

"Sudah!" tukas si nenek. "Kau banyak mulut 

seperti jahanam gurumu!"

"Ah.... Dari tadi kau selalu memaki-maki guru


ku! Padahal kulihat kalian begitu mesra saat di Ke-

dung Ombo...."

"Sialan! Kalau saat itu jahanam gurumu tidak 

menyamar, sudah sejak kemunculannya kutamatkan 

riwayatnya! Dan kau jangan coba-coba berani men-

gungkit peristiwa Kedung Ombo! Saat itu aku tidak 

minta bantuanmu! Jadi jangan berkata tentang segala 

budi!"

Si pemuda lagi-lagi tertawa mendengar ucapan 

si nenek. "Aku tidak mengatakan segala budi! Aku 

hanya mengingatkan, bahwa kau harus berhati-hati!"

Seperti diketahui, saat terjadi peristiwa Kedung 

Ombo, Pendekar 131 sempat menyelamatkan nyawa Ni

Luh Padmi waktu bentrok dengan Dewi Siluman. (Le-

bih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam 

episode : "Bara di Kedung Ombo").

"Anak sinting! Dengar, sekali lagi kau berani 

memperingatkan diriku, aku tidak sulit mencopot li-

dahmu!"

Si pemuda tidak acuhkan ancaman si nenek. 

Malah saat lain dia berkata.

"Nek.... Boleh aku tanya sesuatu?!"

Ni Luh Padmi tatapi paras wajah pemuda di 

hadapannya untuk beberapa lama. Entah karena apa 

si nenek lantas menjawab. "Kau mau tanya apa?!"

"Guruku sama sekali tidak pernah cerita ten-

tang dirimu. Kalau kau tidak...."

Belum sampai ucapan orang selesai, Ni Luh 

Padmi sudah angkat bicara memotong.

"Mungkin kau lupa aku pernah mengatakan 

padamu mengenai diriku dan niatku mencari gurumu. 

Tapi, tak apalah ku ulangi sekali lagi. Aku bernama Ni 

Luh Padmi! Datang dari seberang pulau! Dan tujuanku 

semata-mata mencabut nyawa gurumu! Dari karena


kau adalah muridnya, sekaligus kau telah memberi ke-

terangan padaku, maka tujuanku jadi bertambah...."

"Bertambah bagaimana, Nek?!"

"Kalau keteranganmu dusta, tujuan tambahan 

itu adalah mencabut nyawamu!"

"Kalau keteranganku benar?!"

Ni Luh Padmi tidak menjawab. Dia balikkan tu-

buh lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat 

tinggalkan tanah lapang.

Si pemuda tidak menunggu lama. Begitu Ni Luh 

Padmi berkelebat pergi, si pemuda putar tubuh seten-

gah lingkaran menghadap ke arah utara. Saat lain so-

soknya telah melesat menembusi kegelapan yang se-

makin merangkak.

*

* *

Ujung langit sebelah timur sudah terang keku-

ningan tatkala Ni Luh Padmi mencapai kawasan se-

buah bukit. Pada satu tempat si nenek hentikan la-

rinya. Tubuh dan pakaian coklat panjang yang dikena-

kan basah kuyup. Jelas kalau si nenek baru saja ke-

rahkan segenap ilmu meringankan tubuhnya untuk 

segera sampai di tempat tujuan. Ini pula menunjukkan 

kalau si nenek sebenarnya sudah tidak sabaran dan 

tidak kuat menekan gejolak hawa kemarahan dan 

dendam.

Untuk beberapa lama Ni Luh Padmi putar kepa-

la dengan mata memandang berkeliling. "Menurut arah 

yang ditunjuk anak sinting itu, tanpa bertanya mung-

kin dugaanku benar bahwa inilah Bukit Kalingga! Ka-

rena di sekitar daerah ini kulihat tidak ada lagi julan-

gan bukit...." Si nenek mengambil kesimpulan. Lalu


mulai arahkan pandang matanya ke bagian lamping 

bukit.

"Hem.... Di sebelah sini rupanya tidak ada goa! 

Aku akan berputar...." Ni Luh Padmi segera melangkah 

mengitari bagian bawah bukit. Langkahnya baru ter-

henti tatkala lamat-lamat sepasang matanya melihat 

sebuah lobang di lamping bukit yang sebagian tertutup 

rindang dedaunan. Hingga kalau orang tidak teliti, 

maka lobang itu akan lewat dari pandangannya.

"Hem.... Mungkin inilah tempat yang dimaksud 

anak sinting itu! Aku harus tetap berhati-hati. Meski 

ucapannya seperti bersungguh-sungguh, tapi aku be-

lum percaya! Siapa tahu dia malah menjerumuskan! 

Tapi kalau. benar demikian, ke mana pun langkahnya, 

anak sinting itu akan kukejar!"

Seraya kerahkan tenaga dalam pada kedua 

tangannya, Ni Luh Padmi perlahan-lahan melangkah 

mendekati lobang yang sebagian tertutup rindang de-

daunan. Sepasang matanya tidak henti liar melirik ka-

nan kiri. Sementara telinganya dipasang baik-baik.

Lima langkah dari hadapan lobang, Ni Luh 

Padmi hentikan langkah. "Hem.... Lobang mulut goa 

tertutup daun. Aku tak bisa melihat bagian dalamnya! 

Apakah aku akan menunggu terbitnya matahari biar 

bisa melihat bagian dalam...?!" Si nenek arahkan kepa-

lanya ke timur. Lang it memang semakin terang. Na-

mun belum mampu menerabas kawasan bukit di mana 

si nenek berada.

"Ah.... Terlalu lama menunggu sinar matahari!" 

desis Ni Luh Padmi. Saat lain nenek ini telah melompat 

dan tegak di samping kanan mulut goa. Tangan kiri 

kanannya bergerak.

Wuusss! Wuusss!

Satu gelombang menghampar. Rindang dedaunan yang menutup lobang mulut goa tersapu amblas 

dengan dahan dan ranting langsung porak-poranda. 

Lobang mulut goa kini terbuka menganga tanpa peng-

halang.

Ni Luh Padmi sesaat tegak menunggu. "Hem.... 

Tak ada gerakan orang! Tak ada suara!" kata si nenek 

dalam hati. "Jangan-jangan goa ini tak berpenghuni! 

Tapi belum lega rasanya kalau belum menyelidik sen-

diri ke dalam!"

Ni Luh Padmi angkat kedua tangannya lalu me-

lompat dan langsung tegak di mulut goa. Sepasang 

matanya terpentang besar tak berkesip memandang ke 

dalam goa. Sesaat matanya hanya melihat kegelapan. 

Namun setelah agak lama, matanya mulai terbiasa dan 

perlahan-lahan dapat melihat ke dalam goa. Namun 

sejauh ini si nenek belum melihat siapa-siapa! Mem-

buat dadanya mulai dibungkus rasa geram dan marah. 

"Jangan-jangan anak sinting itu tunjukkan tempat 

yang salah! Atau barangkali aku keliru menuju sasa-

ran?!"

Baru saja Ni Luh Padmi membatin begitu, satu 

kejutan besar membuat si nenek melengak kaget. Ka-

rena tiba-tiba satu suara terdengar!

"Pagi-pagi begini rupanya ada tamu berkun-

jung...."

Ni Luh Padmi tegak dengan dada berdebar. Bu-

kan hanya heran karena dia tidak bisa menentukan 

suara itu milik seorang laki-laki atau perempuan, na-

mun dia juga tersentak, karena suara tadi bukan ter-

dengar dari dalam goa, melainkan dari luar goa dan je-

las tidak jauh dari tempatnya tegak berdiri!

Laksana disentak setan, kepala Ni Luh Padmi 

cepat berpaling ke arah mana suara tadi terdengar. 

Sepasang mata si nenek langsung mendelik.


Hanya sejarak tujuh langkah dari arah sam-

pingnya, di antara ranggasan semak belukar yang agak 

rimbun, si nenek melihat satu kepala berambut putih, 

menunjukkan kalau si pemilik kepala telah berusia 

lanjut.

Karena Ni Luh Padmi belum bisa melihat wajah 

orang, nenek ini cepat menghardik dengan kedua tan-

gan diangkat siap lepaskan pukulan.

"Siapa kau?!"

Kepala di antara semak belukar bergerak te-

rangkat. Ni Luh Padmi menggereng marah. Karena si 

pemilik kepala itu ternyata adalah seorang laki-laki! 

Padahal yang dicari si nenek adalah seorang perempuan!


                         SELESAI


Segera ikuti lanjutannya!!!

Serial Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng

dalam episode:


GEGER TOPENG SANG PENDEKAR












































Share:

0 comments:

Posting Komentar