RAKSASA RIMBA NERAKA
Oleh Aji Saka
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka
Serial Dewa Arak
dalam episode: Raksasa Rimba Neraka
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
"Hiyaaat...! Haaat...!"
Teriakan keras seperti tengah terjadi
pertempuran terdengar merobek kesunyian pagi, di
sebuah tanah lapang yang luas di Lereng Gunung
Jarak. Teriakan itu terdengar berasal dari seorang
pemuda bertelanjang dada yang tengah berlatih.
"Haaat...!"
Kembali pemuda itu berteriak nyaring
melengking. Dibarengi teriakan, kaki kanannya
dikibaskan ke sebatang pohon.
Brakkk...!
Seketika itu juga pohon sebesar dua pelukan
orang dewasa, tumbang. Suara bergemuruh mengiringi
rubuhnya pohon itu ke tanah.
"Bagus sekali, Sapta!" puji seorang kakek yang
sejak tadi memperhatikan. Di sebelah kakek itu
nampak seorang gadis berusia sekitar dua puluh
tahun. Wajahnya cantik manis. Rambutnya digelung ke
atas. Pakaiannya berwarna jingga, sehingga cocok
sekali dengan warna kulitnya.
Pemuda bertelanjang dada yang dipanggil Sapta
itu menghentikan latihannya. Dibalikkan tubuhnya
menghadap kakek yang kira-kira berusia enam puluh
tahun. Pakaiannya rompi dan celana sebatas bawah
lutut tampak penuh tambalan, membungkus tubuhnya
yang kurus kering. Kakek itu ternyata memang seorang
pengemis! Di tangan kanannya, tergenggam sebatang
tongkat kayu berwarna merah. Dalam rimba persilatan,
dia berjuluk Pengemis Tongkat Merah.
"Aku mohon petunjuk, Guru," pinta Sapta yang
berusia sekitar dua puluh satu tahun itu.
Pengemis Tongkat Merah yang ternyata guru pe-
muda yang bernama Sapta itu tertawa terkekeh.
Dipandanginya sosok tubuh tinggi besar, dan
berhidung melengkung di hadapannya sebentar.
"Tidak ada lagi yang dapat kuajarkan, Sapta.
Semua ilmu yang kumiliki telah beralih kepadamu dan
Kami," tegas kakek kurus kering itu sambil menoleh
kepada gadis yang berdiri di sebelahnya. "Kau telah
menguasainya dengan baik. Aku bangga padamu,
Sapta!"
Wajah pemuda tinggi besar dan berhidung me-
lengkung itu memerah, menerima pujian itu.
"Ah, semua ini adalah berkat bimbingan Guru,
dan Kami juga," ucapnya merendah.
"Kau memang terlalu rendah diri, Sapta. Aku
hanya membantu, sedangkan hasilnya semua
tergantung padamu. Kau rajin dan sungguh-sungguh,
sehingga tidak aneh kalau hampir setingkat Kami yang
telah lebih dulu belajar," ujar kakek itu sambil
tersenyum.
Ucapan Pengemis Tongkat Merah membuat
Sapta termenung. Ingatannya terlempar ke masa
sepuluh tahun silam.
Waktu itu ia, ayah dan ibunya pergi berburu ke
sebuah hutan. Karena ayah Sapta adalah seorang
kepala desa, tidak aneh jika dalam perburuan itu,
mereka dikawal beberapa anak buah ayahnya.
Tapi sesungguhnya di dalam hutan, terjadilah
hal yang tidak disangka-sangka. Toga yang bertindak
sebagai kepala pengawal, tiba-tiba melompat turun dari
kudanya.
"Ha ha ha....! Sekarang adalah akhir dari
kejayaanmu, Ki Panjar!" ucap laki-laki bertubuh tinggi
kekar, berkulit hitam, dan berkumis melintang itu.
Suaranya begitu keras dan kasar. Ketika dijentikkan
jarinya, seketika para pengawal yang berjumlah
delapan orang itu bergerak mengurung Ki Panjar,
istrinya dan Sapta, yang waktu itu baru berusia sebelas
tahun.
Wajah Ki Panjar dan istrinya langsung berubah.
Mereka menyadari adanya ancaman dari ucapan Toga.
"Apa maksudmu, Toga?" tanya Ki Panjar. Suara-
nya terdengar tenang.
"Maksudku sudah jelas, Panjar! Kau dan
keluargamu ini, akan kukirim ke neraka. Sementara
aku akan menggantikan kedudukanmu menjadi kepala
desa! Ha ha ha...!"
Wajah Nyi Panjar semakin bertambah pucat.
Sebaliknya Ki Panjar tetap tenang-tenang saja.
"Apa yang kau andalkan, Toga? Apakah hanya
keroco-keroco tak berguna ini?!" tanya Ki Panjar sambil
mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Tawa
Toga berhenti. Sepasang alis matanya berkerut. Sikap
tenang Ki Panjar membuat si kumis melintang ini
merasa curiga. Apalagi kata-kata kepala desa itu, yang
mengatakan bahwa delapan orang pengawal itu
hanyalah keroco-keroco tak berguna.
Toga memang tahu kalau Ki Panjar memiliki
kepandaian. Tapi apakah kepandaian yang dimilikinya
cukup tinggi? Paling-paling kepandaiannya hanya
dapat menghadapi empat orang pengawal itu!
"Kau terkejut, Toga? Aku pun tahu kalau kau
secara sembunyi-sembunyi sering mengintai latihanku.
Untunglah aku mencurigai kelakuanmu itu. Maka di
depanmu aku melatih ilmu-ilmu tingkat rendahan saja.
Sementara ilmu-ilmu lain kulatih saat kau lengah."
Wajah Toga berubah. Benarkah semua yang
dikatakan kepala desa ini? Atau hanya bualan belaka?
Selagi dia berpikir, tubuh Ki Panjar berkelebat.
Gerakannya cukup gesit, jauh di luar dugaan Toga.
Dalam sekejap saja, tubuh Ki Panjar, Nyi
Panjar, dan Sapta telah lenyap dari punggung kuda.
Segera Toga mengalihkan perhatiannya ke arah Ki
Panjar tadi melesat.
Ternyata Ki Panjar tidak pergi jauh-jauh.
Sekitar tiga tombak dari situ, tampak kepala desa itu
berdiri tegak membelakangi anak dan istrinya. Di
tangannya tergenggam sebuah keris berkeluk tujuh.
"Seraaang...!" teriak Toga keras.
Belum juga gema suaranya habis, tubuhnya
sudah melesat menerjang Ki Panjar. Golok di
tangannya yang sudah terhunus, cepat ditusukkan ke
perut laki-laki yang sebenarnya adalah atasannya.
Ki Panjar tetap bersikap tenang. Keris di
tangannya digerakkan cepat.
Trak!
"Akh...!"
Toga menjerit kesakitan. Ternyata bahu kirinya
sobek terserempet keris. Sungguh si kumis melintang
ini tidak habis pikir. Padahal, jelas teriihat kalau
kepala desa itu menangkis serangan goloknya. Tapi
mengapa begitu mengenai goloknya, keris itu melesat
ke arah leher? Untung dia cepat mengelak. Terlambat
sedikit saja, mautlah baginya.
Toga sama sekali tidak tahu kalau itu adalah
keistimewaan ilmu keris Ki Panjar. Begitu menangkis,
keris di tangan kepala desa ini dapat terus melesat.
Laksana bola, keris itu membal, begitu membentur
golok. Hanya saja 'membalnya' keris itu diatur Ki
Panjar.
"Kaget, Toga?!" tanya Ki Panjar. Senyum
mengejek tersungging di bibirnya. "Sekarang terimalah
kematianmu!"
Untung saja sebelum Ki Panjar mengirimkan se-
rangan susulan, pengawal yang berjumlah delapan
orang, cepat-cepat mengirimkan serangan. Mau tidak
mau kepala desa itu memusatkan perhatiannya ke
arah mereka.
Ternyata ucapan yang keluar dari mulut Ki
Panjar, bukanlah sekadar omong kosong. Delapan
orang bekas pengawalnya memang sama sekali tidak
berarti menghadapinya. Dengan ilmu meringankan
tubuh yang berada jauh di atas para pengeroyoknya,
mudah saja baginya untuk mengelakkan setiap
serangan.
Sebaliknya setiap kali tangannya bergerak, pasti
ada sosok tubuh yang rubuh tanpa nyawa. Jerit
lengking kematian terdengar saling susul. Dalam
sekejap mata saja, sudah tiga orang pengawal yang
tewas.
Sementara Toga yang telah selesai menotok
jalan darah di sekitar luka agar darah berhenti
mengalir, menjadi geram melihat kematian tiga orang
anak buahnya. Kembali si kumis melintang menerjang.
Golok di tangannya berkelebat cepat mencari sasaran.
Kini gerakan Ki Panjar mulai agak tertahan.
Kepandaian yang dimiliki kepala pengawalnya tidak
bisa dibandingkan dengan delapan orang pengawal itu.
Kalau tadi Toga terluka, ini karena belum mengetahui
keistimewaan permainan keris lawan. Setelah tahu,
Toga bersikap hati-hati. Akibatnya beberapa saat
lamanya, pertarungan itu berlangsung seru dan
seimbbang.
Tapi lewat dua puluh jurus, tampaklah
keunggulan Ki Panjar. Pelahan namun pasti, kepala
desa ini mulai berada di atas angin. Keris di tangannya
kembali mengambil korban. Satu demi satu para
pengawal berguguran.
Melihat hal ini, Toga menjadi gelisah. Sudah
dapat dipastikan kalau usahanya akan gagal. Ia
bersama sisa tiga orang anak buahnya semakin
terdesak hebat
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar tawa bergelak. Belum
lagi suara tawa yang membuat istri dan anak Ki Panjar
jatuh terduduk itu lenyap, sesosok tubuh tegap
berwajah mirip seekor kera telah muncul di tempat itu.
Pertarungan langsung terhenti. Ki Panjar, Toga,
dan para pengawal sama-sama menoleh ke arah asal
suara.
"Kakang Gajula...!" teriak Toga. Wajahnya lang-
sung berseri-seri. Bergegas dihampirinya si wajah kera,
yang usianya tak lebih dari empat puluh tahun.
Orang berwajah kera yang bernama Gajula
hanya tertawa saja. "Sungguh memalukan kau, Adi
Toga! Menghadapi orang seperti itu saja sampai
mengandalkan banyak orang!"
Merah wajah si kumis melintang.
"Dia lihai sekali, Kang!" sergah Toga keras.
Gajula mendengus. "Ingin kulihat sampai di
mana kelihaiannya!"
Setelah berkata demikian, dihampirinya Ki
Panjar yang hanya mendengarkan percakapan itu.
Orang yang bernama Gajula itu ternyata adalah kakak
kepala pengawal yang bernama Toga.
Gajula menatap Ki Panjar dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Tampak senyum mengejek
tersungging di bibirnya.
Melihat hal ini, seketika panas hati Ki Panjar.
Sambil mengeluarkan suara melengking nyaring,
diterjangnya lawan di hadapannya.
Singgg...!
Keris di tangan kepala desa itu ditusukkan ke
arah leher Gajula. Cepat bukan main gerakannya. Tapi,
masih lebih cepat gerakan Gajula! Begitu serangan
keris lawan mendekat, dengan sebuah gerakan
sederhana, ditarik kepalanya ke belakang. Tepat ketika
tangan kanannya menangkap pergelangan tangan Ki
Panjar yang menggenggam keris, Gajula langsung
membetotnya.
Tak pelak lagi, tubuh kepala desa itu tertarik ke
depan. Belum lagi Ki Panjar sempat berbuat sesuaru,
kembali tangan Gajula bergerak.
Krak!
"Akh...!"
Terdengar suara berderak keras ketika tangan
itu menghantam telak dan keras bahu Ki Panjar.
Kepala desa itu langsung mengeluh tertahan, karena
tulang bahunya remuk seketika. Rasa sakit yang amat
sangat mendera tubuhnya.
"Ha ha ha...!"
Kembali terdengar tawa Gajula yang bergelak
"Hanya sampai di sini sajakah orang yang kau bilang
lihai itu, Toga?! Atau, kau sendiri yang kurang becus!?
Nih! Kuberikan padamu...!"
Setelah berkata demikian, Gajula melemparkan
tubuh Ki Panjar yang sudah setengah sadar pada Toga.
Si kumis melintang tertawa terkekeh.
Tangannya bergerak cepat
Blesss...!"
"Aaakh...!"
Ki Panjar memekik tertahan ketika golok Toga
menghunjam perutnya hingga tembus ke punggung!
Dan begitu si kumis melintang ini mencabut kembali
goloknya, darah langsung muncrat keluar. Beberapa
saat lamanya kepala desa itu ambruk, lalu menggele-
par-gelepar di tanah. Dan kini diam tidak bergerak lagi.
"Kakang...!" terdengar jerit penuh kepiluan
memecah tawa kemenangan Gajula. Seiring
terdengarnya jeritan tadi, seorang wanita setengah
baya berlari mendekati tubuh Ki Panjar. Wanita itu
adalah istri kepala desa yang kini membujur kaku.
Sementara Sapta hanya memandang mayat
ayahnya dengan mata merembang berkaca-kaca.
Bibirnya terlihat menggigil gemetar, tapi tidak sedikit
pun terdengar isak dari mulutnya.
Nyi Panjar terus menghambur. Tapi sebelum
kaki perempuan setengah tua mencapai tubuh
suaminya, tangan Toga bergerak.
Singgg...!
Cappp...!
"Akh...!"
Nyi Panjar memekik tertahan. Ternyata golok
yang dilempar kepala pengawal itu menghunjam tubuh
wanita itu hingga tembus ke punggung! Tanpa ampun
lagi Nyi Panjar ambruk ke tanah. pan saat itu pula,
nya-wanya telah melayang meninggalkan raganya.
"Ibu...!"
Kali ini Sapta tidak bisa lagi menahan
perasaannya. Anak yang baru berusia sebelas tahun ini
menjerit keras, sambil berlari menubruk ibunya.
"Anak ini akan menjadi bibit penyakit di
kemudian hari!" desis Gajula. Seketika didorongkan
kedua tangannya ke depan.
Wuuuttt...!
Angin keras berhembus keluar dari kedua
telapak tangan laki-laki berwajah kera itu. Angin itu
mehincur deras ke arah Sapta, yang tengah beriari
menghampiri tubuh ibunya yang tergeletak di tanah.
Tapi sebelum angin pukulan Gajula itu
mengenai Sapta, sesosok bayangan telah lebih dulu
berkelebat menyambar bocah kecil itu.
Brakkk...!
Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa
tumbang seketika, terkena angin pukulan yang salah
sasaran itu.
"Keparat...!" Gajula berteriak memaki.
Digenjotkan kakinya mengejar ke arah berkelebatnya
sosok bayangan itu. Tapi, sosok bayangan itu telah
lebih dulu lenyap, ditelan kerimbunan semak-semak
dan pepohonan.
Sosok bayangan yang ternyata berjuluk
Pengemis Tongkat Merah ini, membawa Sapta ke
tempat tinggalnya di Lereng Gunung Jarak. Di situ
kakek kurus kering ini memilikt sebuah perguruan,
yang diberi nama Perguruan Tongkat Merah.
Sejak saat itu, Sapta menjadi muridnya. Apalagi
setelah terbukti kalau pemuda ini memiliki bakat yang
baik untuk mempelajari ilmu silat.
***
"Apa yang kau pikirkan, Sapta?" tanya Pengemis
Tongkat Merah memenggal lamunan pemuda
berhidung melengkung itu.
"Ah...!" Sapta berdesah kaget "Tidak, Guru.
Tidak ada yang kupikirkan."
Pengemis Tongkat Merah tersenyum maklum.
"Kau jangan berdusta, Sapta. Berkali-kali kupanggil,
kau tidak menyahut. Aku yakin, ada sesuatu yang te-
ngah kau pikirkan."
Sapta tertunduk diam.
"Kau tengah memikirkan peristiwa sepuluh
tahun yang lalu, bukan?" duga kakek itu.
Beberapa saat lamanya pemuda berhidung me-
lengkung itu hanya terdiam. Pengemis Tongkat Merah
dengan sabar menunggu. Dan memang, penantian ka-
kek ini tidak sia-sia. Pelahan namun pasti kepala mu-
ridnya terangguk pelan.
"Sudah kuduga...," ucap kakek berpakaian
rompi tambalan itu. "Memang sudah saatnya kau
mengamalkan ilmu yang telah kau pelajari, untuk
orang yang membutuhkan. Aku tidak akan
menghalangi jika kau ingin membalas dendam atas
kematian orang tuamu, Sapta. Hanya satu pesanku.
Jangan gunakan ilmu yang kuwariskan ini untuk
kejahatan. Sumbangkan ilmu itu untuk membela
kebenaran dan keadilan semampumu!"
"Akan kuperhatikan semua nasihat Guru...."
Pengemis Tongkat Merah mengangguk-anggukkan
kepalanya, dan tampak gembira.
"Kapan kau akan berangkat?" tanya kakek itu.
"Besok, Guru!"
Kakek kurus kering ini terdiam sejenak. "Kau
setuju, kalau Kami ikut turun gunung bersamamu?"
Sapta menundukkan kepalanya. Dengan ekor
mata, diliriknya gadis cantik berpakaian jingga yang
berdiri di samping gurunya.
Selama ini Kami-lah yang selalu menemani
berlatih. Bahkan kepandaian gadis itu masih berada di
atas kepandaiannya. Karena di samping Kami memiliki
bakat yang hebat, gadis itu telah dididik lebih dulu oleh
Pengemis Tongkat Merah.
"Bagaimana, Sapta?" desak kakek itu ketika
melihat pemuda berhidung melengkung itu diam saja.
"Terserah pada Kami, Guru," sahut Sapta
mengelak.
"Jawablah sebagaimana seharusnya seorang
laki-laki menjawab, Sapta!" tegur kakek pengemis itu.
Tajam nada suaranya.
"Kalau aku, setuju saja, Guru. Bahkan merasa
senang sekali, bila Dik Kami bersedia ikut!" tegas
pemuda itu. Ekor matanya melirik wajah gadis di
sebelah gurunya. Dilihatnya wajah gadis itu berseri-
seri. Kami memang gadis pendiam. Dan secara diam-
diam pula Sapta mencintai putri angkat gurunya ini.
"Ha ha ha...! Itu baru jawaban seorang laki-laki,
Sapta! Baik, besok kalian berangkat!"
Keesokan harinya, tampak dua sosok tubuh
bergerak menuruni Lereng Bukit Jarak. Mereka adalah
Kami dan Sapta. Berkat ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki, tidak sulit bagi keduanya untuk menurum
lereng gunung itu.
DUA
Brakkk...!
Pintu sebuah rumah kecil yang berdinding bilik,
hancur berantakan ketika sebuah kaki kokoh
menghantamnya. Diiringi suara hiruk pikuk, kepingan-
kepingan pintu itu jatuh berderai di tantai. Seorang
laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun, yang
tengah terbaring di dipan bambu langsung terlonjak.
Wajahnya kian memucat ketika melihat dua sosok
tubuh yang amat dikenalnya berdiri di ambang pintu.
Belum juga rasa kagetnya hilang, sosok tubuh
tinggi besar dan berkepala botak yang tadi menendang
pintu, berjalan masuk ke dalam. Langkahnya sengaja
dibuat lebar-lebar, menampilkan kepongahannya.
"Tua bangka tidak tahu diuntung!" geram si ke-
pala botak sambil melayangkan kakinya kembali me-
nendang.
Krak!
Brakkk...!
"Aaakh...!"
Si kakek memekik kesakitan. Kaki salah satu
dipan bambu itu langsung patah terkena tendangan.
Seketika itu juga, dipan bambu itu pun rubuh bersama
kakek itu.
Si kepala botak membungkukkan badan. Dan di
saat tegak kembali, tangannya telah mencengkeram
leher baju kakek itu dan mengangkatnya ke atas.
"Hekh...!"
Si kakek mengeluh tertahan, dan jalan
napasnya terasa sesak. Karena tubuh si kakek jauh
lebih kecil daripada tubuh si kepala botak, maka
tubuhnya jadi seperti menggantung.
"Ampun.... Maafkan aku, Den Sagar. Aku tidak
bisa bekerja.... Aku sedang sakit..., ampunkan aku...,"
ucap kakek itu tersendat-sendat.
"Hugh...!"
Ucapan si kakek terhenti ketika lutut si kepala
botak yang bernama Sagar menyodok perutnya. Wajah
kakek itu seketika memerah, dan kedua bola matanya
membeliak lebar. Sodokan pada perutnya membuat
napasnya sesak seketika.
"Enak saja kau bicara! Ingat, Ki Marta! Kau
sudah terima upahnya! Mau sakit, kek.... Mau mati,
kek.... aku tidak peduli! Yang penting, kau harus
bekerja seperti biasanya! Mengerti?!"
Ki Marta menelan ludah, lalu menganggukkan
kepala berulang-ulang.
"Bagus!"
Setelah berkata demikian, tubuh kakek itu
diturunkan. Tapi kerena keadaan kakek itu yang
memang sedang sakit, apalagi baru saja mendapat
sodokan lutut yang amat keras, begitu diturunkan Ki
Marta langsung sempoyongan dan jatuh berdebuk di
lantai.
Melihat hal itu, Sagar menggeram.
"Bangun, Ki Marta! Cepat...! Kita pergi
sekarang, sebelum kesabaranku hilang...!" ancam
Sagar tak sabar.
Tubuh Ki Marta menggigil. Kedua tangannya
bergetar keras, ketika mencoba bertumpu pada kedua
tangannya untuk bangkit. Tapi betapapun berusaha,
kondisinya yang tidak memungkinkan menggagalkan
usahanya.
Melihat hal ini Sagar menjadi tidak sabar.
Untuk yang kesekian kalinya, kakinya kembali
bergerak
Buk!
Dengan telak tendangan Sagar menghantam
perut Ki Marta. Untung saja si kepala botak ini tidak
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kalau tidak,
tentu kakek yang sial itu tewas! Tapi meskipun
demikian, tak urung tubuh Ki Marta terlempar dan
terguling-guling.
"Rupanya kau memang sudah bosan hidup, tua
bangka! Dasar tidak tahu diuntung! Tapi jangan harap
akan mati dengan enak! Kau akan kusiksa dulu sebe-
lum kubunuh!"
Setelah berkata demikian, Sagar bergerak
menyusul tubuh kakek itu.
"Hup...!"
Dengan kaki, dicungkilnya tubuh terkapar yang
berusaha bangkit. Tubuh tua itu melayang ke atas. Di
saat itu, sapuan kaki laki-laki berkepala botak
menyambutnya.
Buk...!
Kini pinggul Ki Marta yang mendapat giliran.
Cukup keras, sehingga membuat tubuh yang sedang
berada di udara itu meluruk ke luar.
Brukkk...!
Tubuh kakek itu jatuh deras mencium tanah.
Keras bukan main. Tapi Ki Marta rupanya termasuk
orang yang keras hati. Buktinya ia kembali berusaha
bangkit. Darah segar menetes keluar dari sela-sela
bibirnya ketika dirinya memaksakan untuk bangkit.
"Hekh...!"
Ki Marta memekik tersendat. Dirasakan adanya
sebuah kaki yang menekan punggungnya. Dengan
susah payah laki-laki tua itu menolehkan kepalanya
untuk mengetahui siapa pemilik kaki itu.
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa tergelak dari mulut orang yang
menjejak punggung Ki Marta ketika wajahnya
bertatapan dengan wajah tua renta itu. Seraut wajah
kasar, bertotol-totol hitam. Gurat, namanya.
"Uhk... uh...."
Suara napas Ki Marta tersendat-sendat ketika
kaki itu kian keras menekan.
"Ha ha ha...!" Sagar juga tertawa terbahak-
bahak. "Rupanya kau pun tidak ingin ketinggalan, Adi
Gurat!"
"Begitulah, Kang Sagar!" jawab si wajah totol-
totol hitam yang bernama Gurat seraya kian
menambahkan tenaga pada kakinya. Karuan saja hal
ini membuat napas Ki Marta kian tersendat-sendat
Tuk!
"Akh...!"
Tiba-tiba Gurat memekik. Ternyata sebuah
kerikil kecil sebesar kuku jari tangan, telah
menghantam tulang kering kakinya yang tengah
menekan punggung Ki Marta. Keras bukan main,
sehingga membuatnya terlonjak keras dan melepaskan
tekanannya.
Laki-laki berwajah kasar itu kontan meloncat-
loncat dengan satu kaki. Kedua tangannya memegangi
kaki yang terkena sambitan kerikil itu. Sakit sekali
rasanya.
"Keparat!" Sagar yang juga melihat sambaran
batu kerikil itu berteriak memaki. Diarahkan
pandangannya ke tempat batu kerikil itu berasal.
Pandangannya langsung tertumbuk pada
seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun, yang
berdiri dalam jarak sekitar tiga tombak darinya. Yang
aneh pada diri pemuda itu adalah rambutnya yang
meriap dan berwarna putih keperakan.
"Siapa kau?! Mengapa mencampuri urusan
kami?!" bentak Sagar penuh ancaman.
"Aku tidak berniat mencampuri urusan kalian,
tapi hanya menentang kesewenang-wenangan yang
terjadi di depan mataku!" jawab pemuda itu.
"Hm..., rupanya kau seorang pendekar?!" tanya
si kepala botak itu. Nada suaranya penuh ejekan. Ia
memang tidak tahu berhadapan dengan siapa.
Merah wajah pemuda yang ternyata Arya Buana
atau yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak itu.
"Sebutan itu terlalu tinggi, Kisanak."
"Pergilah kau cepat, Anak Muda! Aku kasihan
padamu! Sudah terlalu banyak pahlawan kesiangan
yang membuang nyawa percuma di sini! Apakah kau
ingin menambah jumlah mereka dengan membela ka-
kek pemalas ini?!"
"Apa boleh buat!?" ujar Arya sambil mengangkat
bahu. "Aku tidak bisa tinggal diam melihat kekejaman
berlangsung di depan mataku!"
Baru saja Arya menyelesaikan ucapannya,
Gurat yang kini kakinya telah sembuh seperti
sediakala, telah menerjangnya dengan pukulan keras
dan bertubi-tubi.
Sekali lihat saja Dewa Arak telah mengetahui
kalau kepandaian yang dimiliki laki-laki berwajah totol-
totol hitam ini masih amat rendah.
Buk! Buk! Buk...!
Berkali-kali pukulan itu mendarat telak di
sekujur tubuh Dewa Arak yang berdiri diam tidak
mengelak. Dibiarkan saja pukulan Gurat menghujani
tubuhnya. Dengan tenaga dalam amat kuat dan
disalurkan ke bagian tubuh yang dijadikan sasaran
pukulan, semua pukulan Gurat tidak berarti apa-apa
bagi Arya.
"Ah...!"
Gurat memekik kaget. Kedua tangannya terasa
bukan tengah memukuli tubuh manusia, melainkan
gumpalan baja yang keras bukan main. Bahkan kini
kedua kepalan tangannya menjadi bengkak-bengkak!
Melihat kekejaman Gurat yang menyiksa orang
tua tidak berdaya, membuat Dewa Arak bermaksud
memberi pelajaran cukup keras padanya. Setelah
membiarkan lawan puas memukuli, tangan Arya ber-
gerak cepat.
"Hugh...!"
Gurat memekik tertahan ketika pukulan Dewa
Arak telak menghantam perutnya. Seketika tubuhnya
terbungkuk, dan perutnya terasa mulas.
Untung saja Dewa Arak hanya mengerahkan
sebagian kecil tenaga dalamnya. Kalau saja dikerahkan
seluruhnya, tentu laki-laki berwajah totol-totol hitam
itu tewas dengan dada remuk!
Dan kini Dewa Arak tidak berhenti sampai di
situ saja. Tangannya cepat kembali bergerak,
menampar.
Plak...!
Telak sekali tamparan itu mendarat di pipi.
Seketika itu juga tubuh Gurat melintir, kemudian jatuh
berdebuk di tanah. Rasa pusing yang amat sangat
menyergap kepala laki-laki itu. Beberapa saat lamanya
dia terduduk diam, tidak mampu bangkit kembali.
Sagar terperanjat sekali melihat kejadian yang
tidak disangka-sangka itu. Dia tahu betul kalau tingkat
kepandaian Gurat, hanya sedikit di bawahnya. Maka
dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat
kawannya begitu mudah dirubuhkan.
Sebaliknya Gurat merasa penasaran bukan
main. Dia tidak bisa menerima kekalahan yang begitu
mudah, oleh seorang pemuda berambut putih
keperakan di hadapannya. Itulah sebabnya dia
menggeleng-geleng untuk mengusir rasa pening yang
menggayuti kepalanya.
Setelah dirasakan peningnya lenyap, segera
laki-laki berwajah totol-totol hitam ini bangkit berdiri.
Dan....
Srat...!
Gurat menghunus senjatanya, sebuah golok
panjang yang matanya bergerigi mirip gergaji. Kemu-
dian....
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan teriakan keras,
dibabatkan goloknya ke arah leher Dewa Arak.
Sementara, Dewa Arak hanya mengerutkan
keningnya melihat sikap keras kepala Gurat. Perasaan
tidak senangnya semakin bertambah. Kelihatannya si
wajah totol-totol hitam ini benar-benar tidak peduli
kalau dia telah bersikap lunak. Maka Arya
memutuskan untuk memberi pelajaran yang lebih
keras lagi.
Dewa Arak benar-benar membiarkan saja
babatan golok itu. Dan ketika serangan itu dekat,
tangan kirinya bergerak ke arah sambaran golok itu.
Tap...!
Gurat terperanjat melihat goloknya tahu-tahu
telah terjepit dua buah jari tangan kiri Dewa Arak.
Segera dikerahkan tenaga dalamnya untuk menarik
goloknya, sekaligus hendak membabat putus jari-jari
lawan.
Tapi walaupun si wajah totol-totol hitam ini me-
ngerahkan seluruh tenaga yang dimiliki, tetap saja
golok itu sama sekali tidak bergeming dari jepitan jari
Dewa Arak.
Tiba-tiba tanpa diduga-duga, Dewa Arak
menggerakkan jari-jarinya. Terdengar suara berdetak
nyaring, ketika golok bermata gergaji itu patah dua.
Dan tiba-tiba saja tubuh Gurat terjengkang, akibat
tarikan goloknya.
Brukkk...!
Tak pelak lagi, tubuh laki-laki kasar itu terjatuh
di tanah cukup keras. Terbukti begitu bangkit kembali,
ia meringis-ringis. Dipegangi pinggulnya yang tadi
menghantam tanah.
"Keparat...!" Gurat berteriak memaki.
Ditolehkan kepalanya ke arah Sagar yang masih berdiri
terkesima. Kejadian demi kejadian yang disaksikan
membuat laki-laki berkepala gundul itu terkesima.
"Apa yang kau tunggu, Kakang Sagar! Ayo
bantu aku menghajar orang sok ini!"
Teriakan Gurat menyadarkan Sagar dari
terkesimanya. Segera dicabut trisulanya yang sejak tadi
ditancapkan di tanah.
Wuk! Wuk! Wuk...!
Senjata pendek bermata tiga itu diputar-
diputar. Angin menderu keras begitu senjata andalan
itu digerakkannya.
"Hiyaaa...!"
Sagar berteriak keras sambil menusukkan
trisula itu ke dada Dewa Arak. Berbarengan dengan itu,
serangan golok bermata gergaji milik Gurat yang kini
telah tinggal setengah, juga menyambar tiba.
Dan kini, kesabaran Dewa Arak pupus! Kedua
orang lawannya ini benar-benar tidak tahu diri,
sehingga harus diberikan pelajaran yang lebih keras
agar kapok. Tapi tentu saja, menghadapi lawan yang
memiliki kepandaian seperti Gurat dan Sagar, Dewa
Arak tidak mengeluarkan ilmu andalan. Dia hanya
mengeluarkan ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara
Menaklukkan Harimau'. Kedua tangannya bergerak
cepat, mencari sasaran.
Tap...! Tap...!
Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, kedua
senjata itu telah berhasil ditangkap Dewa Arak. Belum
lagi kedua orang lawannya itu berbuat sesuatu, Arya
segera menggerakkan tangannya.
Buk...! Tuk…!
"Uhk...!"
"Hugh...!"
Sagar dan Gurat mengeluh tertahan ketika
gagang senjata masing-masing begitu keras
menghantam dada mereka sendiri. Arya memang
menyodokkan senjata-senjata yang ditangkap ke arah
perut lawan.
Beberapa saat lamanya kedua orang laki-laki itu
terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya. Cairan
merah kental nampak di sudut bibir mereka. Sodokan
itu keras bukan main! Memang kali ini Dewa Arak se-
dikit menambah tenaganya dalam serangan itu.
Kini, Sagar dan Gurat baru menyadari kalau
pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali bu-
kan tandingan mereka. Apalagi ketika melihat lawan
yang menggerakkan sedikit jari-jarinya, telah membuat
senjata mereka patah-patah. Seolah-olah yang
dipatahkan pemuda itu hanya sebatang lidi saja! Jadi,
meneruskan pertarungan sama saja mencari mati.
Maka, Sagar dan Gurat tidak mau bertindak
bodoh! Apalagi ketika melihat lawan tidak melanjutkan
serangannya, dan hanya berdiri menanti. Jelas kalau
pemuda itu memang tidak berniat mencari-cari urusan.
Dan tanpa malu-malu lagi, dengan langkah kaki
tertarih-tatih mereka meninggalkan tempat itu. Namun
demikian tetap saja ada perasaan cemas kalau-kalau
pemuda sakti itu tidak membiarkan mereka pergi.
Legalah hari Sagar dan Gurat ketika melihat
Dewa Arak sama sekali tidak menahan kepergian
mereka. Sebaliknya pemuda itu malah menghampiri
tubuh Ki Marta yang tergolek di tanah dengan napas
satu-satu.
Sekali lihat saja Dewa Arak tahu kalau nyawa
kakek ini tidak mungkin diselamatkan lagi. Luka-luka
akibat siksaan tadi terlalu parah. Apalagi itu terjadi
sewaktu ia sedang sakit cukup parah.
"Terima.,., kasih atas..., pertolonganmu, Anak
Muda. Hhh...," ucap kakek itu terengah-engah. "Tapi...,
kusarankan kau..., cepatlahhh pergi... dari si... nii..."
"Sudahlah, Kek. Kakek tidak boleh banyak
bicara. Kakek harus beristirahat. Luka-luka Kakek
sangat parah," Dewa Arak yang merasa tidak tega,
berusaha mencegah.
Ki Marta menggelengkan kepalanya. Terpaksa
Dewa Arak menempelkan kedua tapak tangannya ke
punggung kakek itu, agar kondisinya jadi lebih baik.
Cukup lama juga Arya menyalurkan hawa
murni ke tubuh kakek itu. Setelah dirasakan cukup,
baru dilepaskan tangannya.
"Katakanlah, Kek. Apa yang hendak Kakek sam-
aikan padaku?" pinta Dewa Arak terburu-buru. Pe-
muda berbaju ungu ini tidak ingin kakek itu mati
sebelum apa yang hendak diutarakannya
tersampaikan.
Ki Marta tersenyum. Dirasakan keadaannya
sudah lebih baik sekarang.
"Pesanku hanya singkat, Anak Muda. Pergilah
cepat dari sini!"
"Mengapa, Kek?"
"Desa ini penuh orang jahat! Kepala desa yang
sekarang juga bekas penjahat. Dulu sewaktu yang
menjadi Kepala Desa Gebang ini Ki Panjar, desa ini
aman tenteram. Tapi sejak Toga yang menjadi kepala
desa, keadaan berubah banyak! Dengan kekerasan,
diambilnya semua yang jadi milik kami. Sawah, ladang,
ternak, bahkan anak gadis dan istri-istri kami.
Penduduk desa hanya menjadi orang upahan. Bekerja
di ladang dan di sawah dengan upah yang mencekik
leher. Setiap hari kami harus bekerja. Kalau sawah
kebetulan tidak panen, maka kami diperintahkan
bekerja di ladang, atau beternak. Sakit tidak bisa
menjadi halangan. Pokoknya harus bekerja! Tadi
kebetulan aku terserang sakit, dan kedua orang itu
datang dan memaksaku harus bekerja. Dan seterusnya
seperti yang kau lihat sendiri, Anak Muda."
Kepala Dewa Arak terangguk-angguk. "Siapa
Toga itu, Kek?"
"Kepala keamanan desa ini, Anak Muda," jelas
Ki Marta.
"Lalu, kepala desa yang dulu ke mana, Kek?" ta-
nya Arya tidak mengerti
"Ki Panjar, maksudmu?"
"Ya."
Kakek itu menghela napas sebelum
melanjutkan ucapannya. "Beliau telah tewas."
"Tewas?!" Arya Buana mengerutkan keningnya.
"Mengapa?"
Ki Marta mengangguk. "Menurut cerita Toga, se-
waktu mereka sedang berburu, segerombolan
perampok menyerang. Tentu saja Toga dan para
pengawal yang lain tidak tinggal diam. Tapi karena
jumlah perampok yang terlalu banyak, mereka jadi
tidak bisa melindungi Ki Panjar dan anak istrinya.
Setelah melalui sebuah pertarungan sengit, akhirnya
mereka berhasil mengusir gerombolan perampok itu.
Tapi, Ki Panjar dan istrinya tewas. Sementara anaknya
dibawa kawanan perampok itu."
Dewa Arak mengerutkan keningnya.
"Apakah para penduduk desa percaya?"
"Mulanya percaya. Maka kami percayakan
kedudukan kepala desa kepadanya. Karena memang
menurut kami, dialah yang paling pantas menjabat
kedudukan itu. Tapi siapa sangka kalau jadi begini
akibat-nya. Belakangan kami semua jadi curiga,
jangan-jangan tewasnya Ki Panjar pun sudah
direncanakan."
Dewa Arak tercenung diam.
"Yang lebih gila lagi, Toga membangun rumah-
rumah judi dan pelacuran di desa ini. Akibatnya sudah
jelas. Banyak orang yang berdatangan ke desa ini.
Sebagian besar adalah orang yang terbiasa bertindak
kasar. Maka tak heran jika sering terjadi bentrokan di
antara mereka. Desa ini sudah tak ubahnya neraka!
Uhk... uhk...!"
Tiba-tiba saja Ki Marta terbatuk-batuk.
Beberapa titik cairan merah kental memercik keluar
dari mulutnya. Melihat hal ini, Dewa Arak sadar kalau
waktu kematian untuk kakek itu sudah hampir tiba.
Dan tidak ada lagi yang dapat dilakukannya.
Dugaannya memang tidak meleset. Beberapa
saat setelati terbatuk-batuk untuk yang kesekian
kalinya, tubuh Ki Marta terkulai lemas. Kakek ini pun
pergi untuk selama-lamanya.
***
Arya termenung memandangi gundukan tanah
merah yang terpampang di hadapannya. Di situlah
mayat Ki Marta dikuburkan. Beberapa saat lamanya
kepalanya tertunduk.
"Maafkan aku, Ki," bisik Dewa Arak pelahan.
"Aku tidak dapat melaksanakan pesanmu untuk pergi
dari sini. Tidak bisa kutinggalkan desa ini begitu saja.
Aku akan berusaha menumpas kejahatan yang berse-
mayam di sini, apa pun akibatnya."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak
melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu
Pikirannya bekerja keras. Memang sejak pertama kali
memasuki pintu gerbang desa, sudah timbul rasa
curiga di hatinya.
Desa yang kini diketahui bernama Desa Gebang
ini, berbeda dengan desa-desa yang biasa
disinggahinya. Desa ini terlalu banyak dimasuki orang
luar. Dan jika ditilik dari gelagatnya, mereka adalah
orang-orang yang terbiasa bertindak kasar. Kini
kecurigaannya ternyata beralasan.
Oleh karena itu, Dewa Arak memutuskan untuk
tinggal di desa ini beberapa waktu lamanya. Barangkali
saja tenaganya bisa diperlukan di sini.
TIGA
Brakkk...!
Sebuah meja bundar besar dari batu marmer,
kontan retak ketika tangan seorang lelaki tinggi besar
berkumis melintang, menghantamnya.
"Bodoh! Dungu kalian...!" teriaknya keras.
Sepasang matanya menatap penuh kemarahan pada
dua sosok tubuh yang terduduk dengan kepala
tunduk.
"Sagar! Gurat! Ceritakan sejelas-jelasnya semua
yang terjadi! Memalukan! Kalian pulang seperti seekor
anjing dipukul ekornya!"
Dua sosok tubuh yang tengah mendapat
pelampiasan kemarahan itu ternyata Sagar dan Gurat.
Dan kini mereka baru berani mengangkat kepalanya.
Kemudian dengan jelas, Sagar menceritakan kejadian
yang menimpa mereka.
"Seorang pemuda? Kira-kira berapa usianya?"
tanya si kumis melintang yang ternyata Toga. Suaranya
terdengar mulai melunak. Terbayang kembali di
benaknya, seorang anak berusia sekitar sebelas tahun
yang lolos dari tangan mautnya beberapa tahun yang
lalu. Bukan tidak mungkin kalau pemuda yang
mengalahkan Gurat adalah anak itu, anak Ki Panjar.
Gurat mengerutkan alisnya. Sejenak ia
mengingat-ingat "Sekitar..., dua puluh tahun, Tuan."
Toga menolehkan kepalanya ke belakang,
menatap sosok tubuh tegap berwajah mirip kera, yang
tengah duduk di sebuah kursi. Keningnya berkernyit.
"Apakah bukan anak Ki Panjar, Kang Gajula?"
tanya Toga mengemukakan dugaan yang sejak tadi
berkecamuk di benaknya. Agak heran juga hatinya
melihat sikap kakaknya kali ini.
Laki-laki yang wajahnya mirip kera itu
membalas tatapan Toga. Beberapa saat lamanya
sepasang matanya terpaku pada wajah si kumis
melintang itu, lalu pelahan kepalanya menggeleng.
"Aku yakin bukan...," sahut Gajula dengan
suara mengambang.
"Lalu siapa?" tanya Toga putus asa.
"Lebih jelasnya akan kita ketahui nanti. Tapi
ciri-ciri pemuda yang dikemukakan Sagar,
mengingatkan aku pada seorang tokoh muda yang
namanya belum lama ini menggemparkan dunia
persilatan."
Toga mengerutkan alisnya. "Siapa yang kau
maksud, Kang?"
Gajula sama sekali tidak mempedulikan
pertanyaan itu, tapi sebaliknya malah dialihkan
pandangannya pada Sagar.
"Ada satu ciri yang mungkin belum kau
ceritakan, Sagar," tegas laki-laki berwajah kera itu.
Sagar mengerutkan alisnya, mencoba
mengingat-ingat. Tapi sampai lelah mengingat, tetap
saja tidak menemukan lagi ciri yang lainnya.
"Bagaimana dengan kau, Gurat?" tanya Gajula
pada si wajah totol-totol hitam. Tapi setelah sekian
lama menunggu, tidak ada jawaban yang keluar dari
mulutnya. Gurat berusaha keras mengerahkan segenap
ingatannya, tapi akhirnya menggelengkan kepalanya
juga.
"Hhh...!" Gajula menghela napas. "Mungkin aku
salah. Tapi coba kalian ingat-ingat, apakah pemuda itu
membawa guci arak?!"
"Guci?!" serentak Sagar dan Gurat berseru
kaget. Berbareng keduanya saling pandang, dan kontan
teringat sesuatu. Memang, di punggung pemuda
berambut putih keperakan itu tergantung sebuah guci
arak.
"Ya! Guci arak!" tegas Gajula. "Bagaimana? Ada
atau tidak?"
Sagar menganggukkan kepalanya.
"Katakan yang jelas! Atau kau ingin menjadi
orang bisu selamanya?!" sentak Gajula. Dingin dan
datar suaranya.
Wajah Sagar kontan memucat. Tenggorokannya
terasa kering. Dia tahu betul siapa Gajula itu. Tokoh
ini adalah kakak kandung Toga. Dulu, seperti yang
didengar dari cerita Toga, Gajula tidak selihai sekarang.
Tapi, kini tahu-tahu muncul dan memiliki kepandaian
luar biasa.
Tapi bukan karena kepandaiannya yang
membuat Sagar gentar, melainkan kekejamannya! Si
wajah kera ini memiliki sifat yang luar biasa kejam!
"Benar, Kang," jawab Gurat dengan suara
gemetar.
"Betul dugaanku!" teriak Gajula keras.
"Siapa orang itu, Kang?" tanya Toga penasaran.
"Pernah dengar julukan Dewa Arak?!" kata
Gajula balik bertanya.
Toga mengerutkan alisnya.
"Sedikit" Gajula menghela napas dalam-dalam.
"Kau ketinggalan berita, Toga. Julukan Dewa
Arak terkenal sekali. Banyak tokoh tangguh yang telah
roboh di tangannya. Aku ragu, apakah mampu
menandinginya."
Dahi Toga mengernyit. Agak heran hatinya meli-
hat sikap Gajula yang tidak seperti biasanya. Sampai di
manakah kelihaian tokoh yang berjuluk Dewa Arak itu?
Batin Toga terus menduga-duga.
"Mengapa belum apa-apa sudah khawatir,
Kang?" tegur Toga dengan nada halus. "Apakah Kakang
sudah pernah bertarung dengannya?"
Gajula menggelengkan kepalanya.
"Melihat dia bertarung?"
Lagi-lagi si wajah kera menggeleng.
"Lalu, mengapa khawatir, Kang? Berita yang
tersebar itu belum tentu benar. Andaikata benar, Dewa
Arak mampu mengungguli Kakang, tapi mustahil akan
mampu menghadapi kita berdua. Aku tidak percaya
kalau ilmu yang diberikan gurumu, dan telah
kupelajari dengan tekun darimu, dapat
dikalahkannya."
Si wajah kera termenung beberapa saat
lamanya. Dipikir-pikir ada benarnya juga semua yang
dikatakan Toga. Tapi baru saja Gajula menarik napas
lega, seorang anak buah Toga menghambur masuk.
Napasnya tampak terengah-engah.
"Ada orang mengamuk di luar, Tuan," lapor
orang itu terputus-putus.
"Keparat!" Toga berteriak memaki. "Kalian tidak
mampu meringkusnya?! Apa saja yang kalian mampu,
heh?!"
"Ampun, Tuan. Mereka memiliki kepandaian
tinggi."
"Mereka?" berkerut alis Toga. "Berapa
jumlahnya?"
"Dua orang, Tuan."
Belum juga habis ucapan orang itu, tubuh Toga
dan Gajula telah berkelebat lenyap dari situ. Kema-
rahan yang hebat telah membakar hari mereka. Belum
juga urusan mengenai Dewa Arak selesai, kini muncul
kembali urusan lain.
Sagar dan Gurat saling pandang sebelum
akhirnya melesat ke luar, tak ketinggalan juga orang
yang tadi melapor.
Toga dan Gajula berdiri di ambang pintu. Di
depan mereka, di halaman luas yang dikelilingi pagar
tembok tinggi, terlihat dua sosok tubuh yang tengah
mengamuk. yang seorang adalah pemuda berusia
sekitar dua puluh satu tahun. Tubuhnya tinggi besar
dan kekar. Wajahnya cukup tampan walaupun
hidungnya melengkung. Pemuda ini tak lain adalah
Sapta.
Sedangkan yang seorang lag! adalah gadis
berusia sekitar dua puluh tahun. Tubuhnya kecil
ramping, dan rambutnya digelung ke atas. Wajahnya
cantik. Apalagi dengan pakaian warna jingga yang
dikenakannya. Gadis ini adalah Kami, putri angkat
Pengemis Tongkat Merah.
Toga dan Gajula memperhatikan dua orang itu
dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sementara itu
muda-mudi asuhan Pengemis Tongkat Merah terus
mengamuk dahsyat dengan senjata di tangan masing-
masing. Ke mana senjata itu berkelebat, pastilah di
tempat itu ada sesosok tubuh yang rubuh diiringi
suara pekik lengking kesakitan.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Jerit lengking kematian terdengar saling susul
Toga dan Gajula memandang mayat-mayat yang
bergelimpangan di atas tanah dengan sinar mata
kemerahan. Di wajah mereka terpancar kemarahan
yang amat sangat. Dan gigi-gigi mereka pun
bergemeletuk menahan geram.
"Keparat!" teriak Toga geram. "Mundur...!"
Belasan sosok tubuh yang sedang mengeroyok
itu pun bergegas mundur. Kedua murid Pengemis
Tongkat Merah itu membiarkan saja. Terlebih Sapta.
Keroco-keroco itu memang bukanlah tujuannya. Toga
dan Gajulalah yang dicari-cari! Sepasang mata pemuda
itu berkilat-kilat tajam melihat dua orang musuh
berada di depannya.
"Kau masih ingat padaku, pengkhianat?!"
bentak pemuda tinggi besar dan kekar ini. Jari
telunjuknya menuding ke arah Toga. Keras dan kasar
suaranya.
Seketika merah wajah Toga, mendengar
pertanyaan yang bemada kasar itu. Apalagi melihat jari
yang menuding ke arahnya.
"Untuk apa aku mengingat anjing buduk
sepertimu?!" balas Toga tak kalah kasar.
Sapta menggertakkan giginya. "Aku putra Ki
Panjar yang kalian bunuh secara licik itu, akan
menagih hutang!"
"Ha ha ha...!" Toga tertawa bergelak. "Pucuk
dicinta ulam tiba. Tanpa perlu bersusah payah
mencari, kau datang sendiri kemari. Sekarang juga
akan kutuntaskan pekerjaanku sepuluh tahun yang
lalu."
"Tutup mulutmu, pengkhianat! Sekarang kau
harus membayar hutang nyawa atas kematian ayah
ibu-ku!"
Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar
dan kekar ini melompat menerjang. Jari-jari kedua
tangannya terbuka dan saling bersilang menyerang ke
arah dada.
Wut...!
Angin keras berhembus mengiringi tibanya
serangan itu. Pertanda kalau serangannya ditunjang
tenaga dalam tinggi.
Toga hanya mendengus. Kepandaian yang
dimiliki laki-laki itu sekarang tidak bisa disamakan
dengan sepuluh tahun yang lalu. Selama itu Gajula
telah membimbingnya. Sehingga kini kepandaian yang
dimilikinya meningkat pesat. Jadi memang, Toga
bukanlah tokoh kosong.
"Haaat...!"
Kepala Desa Gebang ini berteriak keras. Kedua
tangannya dalam posisi jari yang sama digerakkannya.
Prattt..!
Dua pasang tangan yang sama-sama
mengandung tenaga dalam tinggi beradu. Akibatnya
tubuh Sapta tergetar hebat, sementara tubuh Toga
terhuyung dua langkah ke belakang. Sekujur
tangannya terasa sakit bukan main.
Wajah Toga langsung berubah. Sungguh tidak
disangka kalau tenaga dalam yang dimiliki putra Ki
Panjar ini sedemikian hebatnya. Padahal selama se-
puluh tahun, ia sudah berlatih keras di bawah
bimbingan kakaknya.
Sapta yang memang menyimpan dendam hebat,
tidak membiarkan lawannya menarik napas. Pemuda
itu cepat melompat, dan laksana seekor burung garuda
ia menerkam lawannya.
Kepala Desa Gebang ini kaget. Tapi untunglah
kekagetan itu tidak membuatnya gugup. Buru-buru
dilempar tubuhnya ke depan, dan kemudian
bergulingan menjauh. Sehingga serangan Sapta
mengenai tempat kosong.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki Sapta
mendarat di tanah. Secepat kakinya hinggap, secepat
itu pula kembali menerjang Toga. Tapi Toga yang
sekarang sudah mengetahui kelihaian lawannya, tidak
berani bertindak gegabah. Dan kini keduanya sudah
terlibat dalam sebuah pertarungan seru.
Begitu melihat Sapta telah menyerang
lawannya, Kami pun tidak tinggal diam. Seketika
diserangnya pula orang berwajah kera yang berada di
sebelah si kumis melintang. Seperti halnya Sapta, Kami
juga membuka serangannya dengan serangan kedua
tangannya. Posisi jari-jarinya terbuka dan saling
bersilang.
Persis seperti yang dilakukan Toga, Gajula pun
melakukan tindakan serupa untuk menangkis
serangan Kami.
Prattt...!
Tubuh Kami terhuyung dua langkah ke
belakang. Sementara Gajula hanya terhuyung satu
langkah ke belakang. Dari hasil benturan kedua
pasang tangan itu dapat diketahui kalau tenaga dalam
yang dimiliki Gajula masih lebih unggul sedikit.
Gajula sadar kalau wanita di hadapannya
adalah lawan yang tangguh. Maka laki-laki kasar itu
tidak mau bersikap sungkan-sungkan. Begitu tubuh
gadis itu terhuyung mundur, segera dia bergerak
mengejar. Kedua kakinya melakukan tendangan
bertubi-tubi ke depan.
Plak! Plak! Wusss...!
Tendangan pertama yang berupa tendangan
lurus ke depan, disusul tendangan miring ke arah leher
dapat ditangkis Kami. Dan tendangan ketiga, berupa
kibasan kaki yang dilakukan sambil membalikkan
tubuh juga bisa dielakkan gadis itu dengan
membungkukkan tubuh.
Tak lama kemudian, Kami dan Gajula pun
sudah terlibat dalam suatu pertarungan yang seru.
***
Sementara itu di arena lain, Toga tampak mulai
terdesak ketika melewati dua puluh lima jurus. Me-
mang bila dibanding Sapta, ia masih kalah segala-
galanya. Baik dalam hal tenaga dalam maupun dalam
hal ilmu meringankan tubuh.
Bahkan menjelang jurus ketiga puluh, Toga
hanya mampu bertahan dan mengelak. Dia hanya
sesekali balas menyerang. Itu pun hanya untuk
mengurangi desakan yang menderu-deru dari pemuda
berhidung melengkung ini.
Toga menggeram. Disadari kalau lama-
kelamaan dtrinya akan roboh di tangan pemuda ini.
Semakin lama keadaannya kian terjepit. Kini Kepala
Desa Gebang itu benar-benar hanya mampu bermain
mundur.
Berbeda dengan Sapta, keadaan yang dialami
Kami malah sebaliknya. Putri angkat Pengemis Tongkat
Merah ini kewalahan menghadapi hujan serangan
Gajula. Hanya saja keadaannya tidak separah Toga.
Gadis itu masih mampu membalas serangan si wajah
kera dengan serangannya yang tak kalah dahsyat.
Keringat dingin sebesar-besar biji jagung
bermunculan di sekujur wajah Toga. Semakin lama
keadaannya semakin terjepit. Bahkan sudah beberapa
kali tubuhnya terpontang-panting.
Pada jurus ketiga puluh, sebuah sapuan kaki
Sapta membuat kepala desa ini terpelanting, dan jatuh
telentang.
"Haaat..!"
Sambil berteriak melengking nyaring, putra Ki
Panjar ini menerkam tubuh Toga.
Mata si kumis melintang terbelalak lebar. Tak
ada kesempatan lagi baginya untuk mengelakkan
serangan itu atau menangkisnya, karena begitu tiba-
tiba datangnya.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak, dan
belum lagi habis gemanya, di tempat itu telah berdiri
sesosok tubuh tinggi besar. Sekitar satu setengah kali
manusia sewajarnya. Rambutnya panjang, lebat, dan
terurai. Wajahnya penuh cambang lebat. Sekujur
badan bagian depannya nampak dipenuhi bulu, karena
si raksasa memang bertelanjang dada. Dia hanya
mengenakan celana berwarna hitam sebatas lutut. Di
bagian lehernya terdapat sebuah kalung yang rantainya
tersusun dari rangkaian tulang jari tangan manusia.
Sedangkan mata kalung itu dibuat dari kepala manusia
dewasa.
Secepat berada di situ, secepat itu pula si
raksasa menggerak-gerakkan pelahan tangannya. Tapi
akibatnya hebat sekali! Tubuh Sapta terlempar jauh ke
belakang bagai dilanda angin ribut.
Ketika berada di situ, raksasa tersebut
menggerakkan tangannya pelahan saja kea rah Sapta.
Tapi akibatnya hebat sekali! Tubuh Sapta seperti
dipukul oleh godam yang sangat kuat dan terlempar
jauh ke belakang bagai dilanda angin ribut!.
Brakkk...!
Lontaran pada tubuh pemuda itu terhenti
ketika menabrak sebatang pohon hingga tumbang.
Murid Pengemis Tongkat Merah ini berusaha bangkit.
Kedua tangannya yang dijadikan tempat bertumpu itu
terlihat menggigil keras. Ada cairan merah kental yang
mengalir dari sudut bibirnya. Kelihatannya Sapta
terluka dalam.
"Ha ha ha...!"
Kembali si raksasa tertawa tergelak. Sapta
menatapnya dengan hati ngeri. Disadari kalau dirinya
bukanlah tandingan manusia setengah raksasa ini.
Hatinya mendadak berdebar tegang ketika teringat
penuturan gurunya tentang seorang tokoh yang
memiliki ciri-ciri seperti itu.
Diperhatikannya si raksasa yang masih saja ter-
tawa berkakakan sekali lagi. Pada kedua pergelangan
tangan dan kakinya tampak melingkar gelang yang
terbuat dari tulang-tulang jari tangan manusia.
"Raksasa Rimba Neraka...," desis Sapta. Penge-
mis Tongkat Merah memang pernah menceritakan ten-
tang tokoh sesat yang kejam, dan gemar makan daging
manusia. Tapi menurut cerita gurunya, raksasa itu
tinggal di sebuah hutan yang amat jauh letaknya dari
Desa Gebang ini. Sebuah hutan yang penuh bahaya
maut. Penuh binatang besar, tanaman beracun,
lumpur hidup, dan segala macam bahaya maut
lainnya. Sehingga, hutan itu dinamai orang Rimba
Neraka.
"Grrrh...!" si, raksasa menggeram. Tampak dua
buah taring pada bagian sudut-sudut mulutnya. "Da-
gingmu past! empuk sekali, Anak Muda!"
Sambil berkata demikian, si raksasa yang
berjuluk Raksasa Rimba Neraka ini melangkah lambat-
lambat menghampiri Sapta. Setiap langkahnya
menimbulkan getaran keras di tanah.
Tubuh pemuda tinggi besar ini menggigil keras.
Memang diakui kalau tidak takut mati. Tapi tak urung
menghadapi kematian yang begitu mengerikan,
dimakan hidup-hidup, rasa takutnya pun muncul.
"Kakang...!"
"Hiyaaa...!"
Kami menjerit melihat bahaya maut yang
mengancam Sapta. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya
menghadang Raksasa Rimba Neraka. Sadar akan
kelihaian lawan, sambil melompat gadis itu segera
mencabut pedangnya.
Singgg...!
Dengan mengerahkan sepenuh tenaganya,
pedang yang sudah terhunus itu ditusukkan ke leher si
raksasa.
Dengan mengerahkan sepenuh tenaganya,
pedang yang sudah terhunus itu ditusukkan ke leher si
raksasa.
"Jangan, Kami! Cepat kau pergi selamatkan
diri!" Sapta yang tahu pasti kalau gadis itu bukan
tandingan Raksasa Rimba Neraka yang sakti, berteriak
memperingatkan.
Tapi Kami adalah gadis yang keras hari.
Baginya mati bukan suatu hal yang perlu ditakuti.
Maka peringatan Sapta tidak digubrisnya.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka kembali tertawa
bergelak. Diulurkan tangannya ketika serangan pedang
Kami tiba.
Kreppp...!
Tanpa mengalami kesulitan apa-apa, pedang itu
sudah dicengkeramnya.
"Akh...!"
Kami menjerit kaget. Sekuat tenaga gadis itu
membetot pedang yang tercengkeram tangan raksasa
itu. Tapi betapapun segenap tenaganya telah dikerah-
kan, tetap saja pedangnya tak mampu dilepaskan dari
cengkeraman tangan itu.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka hanya tertawa-tawa
saja. Tak nampak ada tanda-tanda kalau dia
mengerahkan tenaganya. Sementara di hadapannya,
Kami terus berusaha sampai napasnya terengah-engah.
'Tidak kusangka, kalau malam ini aku
mendapat santapan yang istimewa. Seorang perawan
cantik. Ha ha ha...!"
Wajah Gajula berseri-seri ketika tadi melihat
kedatangan si Raksasa Rimba Neraka. Karena memang
kakek yang memiliki penampilan mengerikan itu
adalah gurunya! Namun demikian, di samping rasa
gembiranya, timbul pula rasa kecewanya. Kedatangan
gurunya berarti membuat laki-laki kasar itu kehilangan
kesempatan untuk menikmati tubuh montok Kami.
Gajula tahu persis manusia macam apa
gurunya. Di samping gemar makan daging manusia,
kakek ini pun gemar terhadap wanita!
"Akh...!"
Kami memekik tertahan ketika tahu-tahu
tubuhnya terlempar ke depan. Memang Raksasa Rimba
Neraka telah balas membetot. Dan karena tenaga yang
dimilikinya kalah jauh, gadis itu tidak kuasa menaha.
"Hiyaaa...!"
Putri Pengemis Tongkat Merah terpaksa
melepaskan pedangnya. Dan dengan meminjam tenaga
betotan, gadis Itu bersalto di udara.
Raksasa Rimba Neraka mendengus. Secepat
kilat dijulurkan tangan kanannya ke atas.
Tappp...!
"Akh...!"
Kami memekik tertahan ketika pergelangan
kakinya tertangkap. Dan sekali si raksasa itu menarik
tangannya kembali, tubuh gadis itu pun terbawa
turun.
"Hup...!"
Tubuh molek Kami kini jatuh tepat di pelukan
Raksasa Rimba Neraka. Dan sebelum gadis itu sempat
berbuat sesuatu, tangan si raksasa telah lebih dulu
bergerak menotok
Tukkk...!
"Oh...!"
Sekujur tubuh Kami lumpuh seketika. Dan
sambil tertawa terkekeh-kekeh si raksasa mulai
menjarah sekujur tubuh Kami Dengan rakusnya,
mulut besar dan bergigi kuning itu melumat bibir
Kami, begitu kasar dan buas.
"Oh...! Jangan.... Bunuh saja aku...," rintih
Kami. Gadis ini mulai menyadari adanya ancaman yang
mengerikan. Dan kesadaran akan terjadinya hal ini
membuat ia takut bukan main. Ciuman kasar raksasa
itu membuatnya kehabisan napas. Bau amis yang
memuakkan keluar dari mulut dan hidung raksasa di
hadapannya ini, membuat gadis itu jadi ingin muntah.
Tapi orang seperti Raksasa Rimba Neraka, mana
sudi mendengar rintihan Kami! Bagi orang sepertinya,
rintihan para korbannya tak ubahnya sebuah rintihan
kenikmatan, yang membuatnya kian bergairah.
Ciuman-ciumannya pun semakin kasar, seiring
nafsu birahinya yang semakin berkobar. Ciuman-
ciumannya yang liar, kini tidak hanya menjarah bibir,
tapi terus turun, ke dagu, ke leher.
Kami yang sekujur tubuhnya lumpuh, hanya
dapat merintih-rintih tanpa mampu berbuat apa-apa.
"Kami...!"
Sapta menjerit keras. Pemuda ini menyadari
betul ancaman mengerikan yang akan menimpa gadis
itu. Maka dengan penuh daya upaya, dicobanya menge-
rahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Sekujur tu-
buhnya nampak menggigil keras dalam usaha berjuang
untuk bangkit
"Grrrh...!"
Raksasa Rimba Neraka menggeram hebat
karena merasa terganggu. Dihentikan ciuman-ciuman
liarnya pada gadis yang masih dipeluknya.
"Rupanya kau minta mati, heh?!"
Brukkk...!
Tubuh Kami jatuh berdebuk di tanah ketika si
raksasa yang tengah murka ini melemparkannya. De-
ngan tangkah lambat-lambat, dihampirinya Sapta yang
masih berusaha bangkit.
Melihat hal ini Gajula buru-buru berlari
menghampiri.
"Ampun, Guru...."
Raksasa Rimba Neraka menghentikan
langkahnya.
"Ada apa, Gajula! Apa kau pun ingjn
kubunuh?!"
Pucat wajah Gajula. Si wajah kera ini tahu pasti
watak aneh gurunya. Bila kemarahannya timbul, siapa
pun tanpa kecuali akan dibunuhnya.
"Tentu saja tidak, Guru...," ucap Gajula
terputus-putus.
"Lalu?! Kenapa kau menghalangiku membunuh
bocah sial ini?" desak raksasa itu, masih keras dan ka-
sar nada suaranya.
"Maafkan aku, Guru. Bocah ini adalah orang
yang mencoba memberontak terhadap Adi Toga yang
merupakan murid Guru juga, karena aku telah
mengajarkannya...."
"Aku sudah tahu dari jurus-jurus yang
dimainkannya! Maka karena itulah aku menolongnya!"
selak Raksasa Rimba Neraka.
Gajula membasahi tenggorokannya yang dirasa-
kan kering.
"Dan untuk mencegah terjadinya
pemberontakan serupa, serta juga untuk memancing
kedatangan kawan-kawannya, kami akan mengikatnya
di alun-alun desa! Bahkan kami juga akan
menyiksanya...! Harap Guru maklum!"
Dahi si raksasa berkerut dalam, dan rupanya
tengah berpikir. Tak lama kemudian baru keluar
ucapannya.
''Terserah padamu! Toh, aku sudah punya
santapan yang luar biasa lezat untuk nanti malam!"
Setelah berkata demikian, Raksasa Rimba
Neraka melangkahkan kakinya kembali. Dijumputnya
kembali tubuh Kami yang tergolek di tanah tanpa ada
yang berani menyentuhnya.
"Hhh...!"
Gajula menghela napas lega. Untunglah kali ini
gurunya bersedia mengerti. Padahal hatinya tadi sudah
khawatir kalau-kalau Raksasa Rimba Neraka itu akan
marah.
"Mari istirahat di dalam, Guru," ajak Toga
sambil mendahului masuk ke dalam. Kini yakinlah
kepala desa ini bahwa raksasa ini adalah guru Gajula.
Walau sebelumnya sudah diduga, ketika melihat ciri-
cirinya, tapi Toga masih ragu.
"Seret si keparat itu, dan ikat di alun-alun!"
perintah Toga pada anak buahnya.
"Baik, Tuan!" sahut mereka mengiyakan.
***
Dewa Arak mengerutkan keningnya. Agak heran
hatinya melihat di depannya banyak orang berkumpul,
merubung sesuatu. Sepertinya ada sesuatu yang te-
ngah mereka saksikan. Rasa penasaran membuat Arya
mempercepat langkah kakinya. Pendengarannya yang
tajam, menangkap adanya ledakan lidah cambuk Ada
apa gerangan di sana? Batin Dewa Arak terus
bertanya-tanya.
Semakin mendekati tempat kerumunan orang-
orang itu, suara yang didengarnya pun semakin jelas.
Ctarrr...! Ctarrr...!
Kembali terdengar ledakan cambuk itu. Dan kali
ini karena jaraknya sudah dekat, di samping suara
ledakan cambuk juga terdengar keluhan tertahan.
Keluhan kesakitan.
Jiwa kependekaran dalam diri Arya Buana pun
bangkit. Tanpa melihat pun sudah dapat menduga ke-
jadian yang teriadi dalam kerumunan orang banyak
itu. Apalagi kalau bukan tindak kesewenang-
wenangan..
Tanpa mempedulikan suara-suara bernada
menggerutu, Dewa Arak menyeruakkan tubuhnya.
Disibakkan kerumunan orang-orang, lalu dia masuk
terus ke dalam. Sesampainya di bagian terdepan, wajah
Dewa Arak memerah. Kemarahan menjalari hatinya.
Tampak seorang pemuda berwajah tampan dan
berhidung melengkung tengah dihukum cambuk!
Tubuh pemuda itu terikat erat di sebuah
tonggak tegak lurus. Sinar matahari yang cukup terik
memanggang kulit dadanya yang tidak tertutup
pakaian. Sementara di sebelahnya berdiri seseorang
bertubuh tinggi besar dan berkepala botak, tengah
menggenggam cambuk
Dewa Arak yang pantang melihat kekejaman
berlangsung di depan matanya, menjadi geram. Sekali
lihat saja pemuda berambut putih keperakan ini tahu
kalau pemuda berhidung melengkung itu telah
menderita luka yang cukup parah. Apalagi ditambah
lecutan-lecutan cambuk yang terus-menerus
menyengatnya. Sekujur tubuhnya nampak dipenuhi
garis hitam memanjang.
"Sungguh tega hati kalian, menontoni orang
disiksa," desis Dewa Arak tajam pada salah seorang di
sebelahnya.
Orang yang mendapat teguran itu menoleh.
Ditatapnya Arya lekat-lekat
"Rupanya kau bukan penduduk sini, Kisanak!
Perlu kau ketahui, kami pun sebenarnya tidak suka
melihat penyiksaan ini. Batin kami menjerit. Tapi apa
daya? Kami hanya orang lemah. Mereka memaksa un-
tuk menonton penyiksaan ini. Kalau ada yang
membangkang, pasti akan bernasib serupa...," jelas
orang itu dengan suara berbisik.
"Ah...," Dewa Arak mendesah pelan. Seketika
timbul perasaan malunya karena telah melempar
tuduhan jelek pada orang-orang yang selama ini hidup
dalam keadaan jiwa tertekan. "Maafkan saya, Ki...."
"Tidak usah meminta maaf. Aku memaklumi
perasaan yang bergayut di hatimu. Pesanku, janganlah
ikut campur, Kisanak. Mereka berjumlah banyak, dan
rata-rata memiliki kepandaian tinggi!"
Dewa Arak terlongong. Trenyuh hatinya
mendengar penuturan orang itu. Dalam penderitaan,
dia tidak ingin membuat orang lain ikut menderita.
Nasihat yang keluar dari mulut orang itu sama persis
dengan nasihat Ki Marta.
Tapi tentu saja Dewa Arak tidak mau menuruti
nasihat itu. Sejak belajar ilmu silat, dia telah bertekad
mengamalkan ilmu yang dimiliki untuk
menghancurkan keangkaramurkaan di mana pun.
Sekalipun untuk itu harus dibayar dengan nyawanya.
Ctarrr...!
Kembali untuk yang kesekian kalinya ujung
cambuk itu menyengat kulit Sapta. Pemuda itu
meringis. Tapi tidak terdengar suara keluhan yang
keluar dari mulutnya.
Dan kini Dewa Arak tidak bisa bersabar lagi.
Tapi baru saja dia hendak bergerak menolong, sesosok
bayangan merah berkelebat mendahului. Seketika Arya
menahan gerakannya.
Sosok bayangan merah itu ternyata adalah se-
orang kakek berusia sekitar enam puluh tahun.
Tubuhnya kurus kering, pakaiannya rompi penuh
tambalan berwarna hitam. Begitu pula celananya. Di
tangannya tergenggam sebatang tongkat berwarna
merah.
"Guru...," desah Sapta lemah.
Ternyata laki-laki tua itu adalah Pengemis
Tongkat Merah. Ditatapnya orang yang memegang
cambuk, yang tak lain adalah Sagar! Dan tiba-tiba....
"Hiyaaat...!"
Sambil mengeluarkan pekik melengking
nyaring, kakek kurus kering ini menerjang maju.
Tongkat merah yang terbuat dari kayu biasa dan
memiliki bentuk yang tak beraturan itu ditusukkan ke
perut Sagar.
Angin keras menderu, mengiringi serangan
tong-katnya. Sagar kaget bukan main, lalu mencoba
menge-lak Tapi serangan Pengemis Tongkat Merah itu
terlalu cepat baginya.
Buk!
"Akh...!"
Suara jerit menyayat hari keluar dari mulut
Sagar. Seketika tubuhnya terlempar ke belakang. Dari
mulut, hidung, dan telinganya mengalir mengalir darah
segar.
Brukkk...!
Diiringi suara berdebum keras, tubuh si kepala
botak itu jatuh di tanah. Sebentar dia menggelepar-
gelepar, lalu diam tidak bergerak lagi untuk selamanya.
Tulang dadanya hancur berantakan terkena hantaman
tongkat yang mengandung tenaga dalam tinggi itu.
Usai merubuhkan Sagar, Pengemis Tongkat Me-
rah bergegas menghampiri Sapta yang terikat di
tonggak kayu. Tapi....
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa bergelak yang menggema di sekitar
tempat itu membuat langkah kaki kakek itu terhenti
seketika. Pengemis Tongkat Merah menoleh dengan
slkap waspada.
Di belakangnya, dalam jarak sekitar tiga tombak
berdiri sesosok tubuh tinggi besar dan kekar. Dadanya
dibiarkan telanjang sehingga memperlihatkan bulu-
bulu yang lebat. Rambutnya panjang meriap. Sekujur
tubuhnya dipenuhi hiasan tulang-belulang tengkorak
manusia.
"Raksasa Rimba Neraka...," desah Pengemis
Tongkat Merah dengan raut wajah menampakkan rasa
kaget dan tidak percaya. Memang, kakek itu kaget bu-
kan main. Dia tahu betul tempat tinggal raksasa ini. Di
Rimba Neraka! Tempat itu letaknya sangat jauh dari
desa ini. Tapi mengapa tokoh yang mengerikan ini bisa
sampai kemari?
"Kau Pengemis Tongkat Merah, bukan?! Apa
hubunganmu dengan pemuda itu?" tanya raksasa itu
sambil menunjuk tubuh Sapta yang terikat di tonggak.
"Dia muridku. Raksasa Rimba Neraka. Kalau
dia memang bersalah, biarlah aku selaku gurunya
minta maaf padamu!"
"Ha ha ha...! Enak saja! Kau tahu, pengemis
busuk! Pemuda keparat ini hampir saja membunuh
adik kandung muridku! Kalau saja aku tidak cepat-
cepat datang, mungkin muridmu ini sudah
membunuhnya! Sekarang, begitu enaknya kau datang
memintakan ampun untuknya! Jangan harap!"
Wajah Pengemis Tongkat Merah langsung
berubah. Sikap raksasa itu amat merendahkannya.
Betapapun disadari kalau dirinya bukanlah tandingan
tokoh yang menggiriskan itu, tapi pantang baginya
menerima penghinaan. Ditegakkan kepalanya, dan
dibusungkan dadanya yang krempeng.
"Kalau begitu..., biarlah kupertaruhkan
selembar nyawa tuaku untuk keselamatan muridku!"
sambut Pengemis Tongkat Merah, tegas dan mantap
suaranya.
"Ha ha ha...! Kenapa tidak sejak tadi saja
berkata begitu?!"
Tiba-tiba Pengemis Tongkat Merah
menggerakkan tangannya. Dan seketika tongkat butut
berwarna merah melesak masuk ke dalam tanah,
hingga hampir setengahnya ketika kakek kurus ini
menekannya. Dia sadar kalau lawan di hadapannya ini
memiliki kepandaian luar biasa. Maka Pengemis
Tongkat Merah memang tidak mau bersikap sungkan-
sungkan lagi.
"Hiyaaat..!"
Diiringi teriakan melengking nyaring
memekakkan telinga, Pengemis Tongkat Merah
melompat Dan dari atas, dilancarkan serangan bertubi-
tubi ke arah ubun-ubun dan pelipis lawannya.
Raksasa Rimba Neraka hanya mendengus. De-
ngan keyakinan penuh akan kekuatan tenaga dalam
yang dimiliki, dipapaknya serangan kakek kurus kering
itu.
Plak! Plak! Plak...!
Benturan antara dua pasang tangan yang sama-
sama memiliki tenaga dalam tinggi pun terjadi berkali-
kali. Tubuh Pengemis Tongkat Merah yang tengah
berada di udara, terlempar kembali ke belakang.
Sementara kedua tangan Raksasa Rimba Neraka hanya
bergetar saja.
Pengemis Tongkat Merah bersalto beberapa kali
dengan meminjam tenaga benturan tadi. Dirasakan se-
kujur tangannya terasa seperti lumpuh. Tenaga dalam
yang dimiliki Raksasa Rimba Neraka itu memang luar
biasa!
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki kakek itu
hinggap di tanah. Dan secepat kedua kakinya
mendarat, secepat itu pula kakek kurus kering ini
kembali menyerang. Maka kini keduanya sudah terlibat
dalam sebuah pertarungan sengit.
Di tempat itu kini hanya tiga pasang mata saja
yang menjadi penonton pertarungan antara dua orang
yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka adalah Dewa
Arak, Sapta, dan Gajula. Sementara para penduduk
yang semula menyaksikan, telah bubar ketika Sagar
tiba-tiba tewas terbunuh. Mereka memang tidak ingin
nantinya terbawa-bawa.
Pengemis Tongkat Merah yang telah mendengar
betapa lihainya Raksasa Rimba Neraka, mengerahkan
segenap kemampuannya. Tangan dan kakinya
berkelebat cepat mengancam bagian-bagian lemah di
tubuh raksasa itu.
Tapi betapapun kakek kurus kering ini bekerja
keras, tetap saja tidak mampu mendesak lawannya.
Setiap serangannya selalu kandas. Kalau tidak
dielakkan, pasti ditangkis. Dan setiap kali Raksasa
Rimba Neraka menangkis serangannya, tubuhnya
selalu terhuyung. Dadanya juga terasa sesak. Bahkan
sekujur tangannya terasa sakit bukan main.
Tidak sampai dua puluh jurus sudah terlihat
keunggulan Raksasa Rimba Neraka. Memang
sebenarnya kakek kurus kering ini kalah segala-
galanya. Baik dalam, hal tenaga dalam, maupun dalam
ilmu meringankan tubuh.
Memasuki jurus ketiga puluh lima, Pengemis
Tongkat Merah mulai terdesak. Kakek kurus kering ini
hanya mampu main mundur, dan hanya sesekali saja
balas menyerang.
Sementara itu, Dewa Arak yang sejak tadi
mengawasi pertarungan, segera dapat mengetahui
kalau Pengemis Tongkat Merah tak akan lama lagi
dapat bertahan. Dan dugaan pemuda berambut putih
keperakan ini memang tidak meleset. Pada jurus
keempat puluh, kaki kanan Raksasa Rimba Neraka
meluncur deras ke arah perut Pengemis Tongkat
Merah. Karena untuk mengelak sudah tidak
memungkinkan lagi, kakek kurus kering Ini
memutuskan untuk menangkisnya.
Plak..!
Dengan kedua tangan terkepal saling bersilang
di depan dada, tendangan itu berhasil ditangkisnya.
Tapi akibatnya tubuh Pengemis Tongkat Merah
terhuyung-huyung ke belakang. Dan belum lagi kakek
kurus kering ini memperbaiki posisi, kaki raksasa yang
tertangkis itu secara mengejutkan kembali
mengancamnya dengan sebuah tendangan miring ke
arah leher.
"Hup...!"
Pengemis Tongkat Merah begitu susah payah
mengelakkan serangan itu dengan menggeser kaki ke
samping.
"Hiya...!"
Raksasa Rimba Neraka berteriak keras.
Berbareng dengan itu, kaki kirinya dikibaskan sambil
membalikkan tubuh.
Wuuusss...!
Angin menderu keras seperti terjadi topan di
sekitar tempat itu. Dan memang sebenarnya, dari
rentetan serangan kaki yang bertubi-tubi dengan cara
mengibas inilah seluruh kekuatan ditumpukan. Tentu
saja kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam
serangan ini pun sangat dahsyat.
Buk...!
"Akh...!"
Tubuh Pengemis Tongkat Merah terlempar
deras. Kibasan kaki Raksasa Rimba Neraka telak
mendaiat di pangkal lengannya. Mulanya serangan
kibasan itu diarahkan ke pelipis. Untungnya, kakek
kurus kering ini sempat mengelak, sehingga kibasan
yang semula mengarah ke pelipis itu hanya mengenai
pangkal lengan.
Meskipun demikian akibat yang diterima kakek
kurus kering ini tidak ringan. Bagian yang terkena
kibasan kaki terasa sakit bukan main. Seolah-olah
tulang-belulangnya remuk. Padahal tadi sudah
dikerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk
melindungi bagian yang terserang.
Belum sempat Pengemis Tongkat Merah
memperbaiki posisinya, kini serangan susulan Raksasa
Rimba Neraka menyambar tiba. Seketika wajah kakek
kurus kering ini pucat.
Di saat kritis itu mendadak sesosok bayangan
berkelebat memapak serangan itu.
Plak! Plak...!
Benturan keras terdengar berkali-kali, disusul
terpentalnya kedua sosok tubuh itu ke belakang.
"Grrrh...!" Raksasa Rimba Neraka menggeram.
Diam-diam kakek tinggi besar ini kaget bukan main.
Dari benturan yang baru saja terjadi, diketahui kalau
sosok bayangan yang menangkis serangannya pasti
memiliki tenaga dalam yang tidak rendah. Malah kedua
tangannya sampai tergetar hebat dan sakit-sakit
karenanya.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati si rak-
sasa ini ketika melihat orang yang menangkis serang-
annya itu. Tampak di hadapannya dalam jarak sekitar
tiga tombak, berdiri seorang pemuda berambut panjang
meriap berwarna putih keperakan. Betulkah pemuda
ini yang baru saja menangkis serangannya tadi?
Padahal serangan itu dilakukan dengan pengerahan
tenaga seluruhnya! Hampir-hampir kakek raksasa ini
tidak percaya kalau tidak menyaksikan sendiri!
Seumur hidupnya belum pernah ditemukan
tokoh yang mampu membuatnya terjengkang ke
belakang dalam adu tenaga, kecuali pemuda di
hadapannya ini. Apalagi yang berada di hadapannya ini
adalah tokoh muda.
"Siapa kau, bocah! Apa hubunganmu dengan
kakek itu?!" tanyanya keras. Sepasang mata Raksasa
Rimba Neraka yang besar ini pelahan menyipit.
Dewa Arak yang juga merasakan betapa
kuatnya tenaga dalam yang dimiliki kakek raksasa di
hadapannya ini, bersikap hati-hati.
"Aku Arya, seorang pengelana. Dan aku tidak
mempunyai hubungan apa-apa dengan kakek yang
hendak kau bunuh itu. Hanya saja, aku tidak bisa
membiarkan adanya kekejaman berlangsung di depan
mataku!" tegas dan jelas kata-kata pemuda berambut
putih keperakan itu.
"Ha ha ha...! Jadi kaulah rupanya orang yang
berjuluk Dewa Arak!? Ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam
tiba. Memang sudah lama aku ingin menjajal kelihaian
tokoh yang katanya menggemparkan dunia persilatan
itu. Sungguh tidak kusangka, julukan yang cukup
menyeramkan itu hanya dimiliki seorang pemuda
ingusan. Bersiaplah kau, pemuda sombong!"
Setelah berkata demikian, Raksasa Rimba
Neraka menjulurkan kedua tangannya ke depan,
kemudian pelahan-lahan mengepalkannya. Terdengar
suara bergemeletuk keras seolah-olah sekujur tulang-
tulangnya berpatahan.
Dewa Arak yang sudah bisa mengukur
kepandaian lawan, tidak berani bersikap main-main.
Segera diambil guci yang terikat di punggung, lalu
diangkat ke atas kepala. Sebentar saja beberapa teguk
arak telah berpindah ke tenggorokannya.
Gluk... gluk... gluk....!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu
melewati tenggorokannya. Sesaat kemudian tubuh
pemuda itu pun mulai hangat dan limbung.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan menggeledek dari
mulut Raksasa Rimba Neraka. Dan belum lagi gema
suara teriakan itu hilang, tubuhnya sudah melesat ke
arah Dewa Arak. Kedua tangannya yang mengepal,
dihantamkan ke arah Arya dalam sebuah pukulan
lurus ke dada.
Suara meledak-ledak seperti suara perir
menggelegar terdengar mengiringi serangan itu. Itu pun
masih diiringi hawa panas yang menyambar tiba
sebelum pukulan itu sendiri mendekat. Dewa Arak
seketika terkejut. Tak disangka kalau lawannya yang
mengerikan ini memiliki ilmu begitu ampuh.
Jangankan terkena langsung serangan itu, terkena
anginnya saja sudah cukup membuat sebuah pohon
hancur lebur hangus.
Dewa Arak yang selalu bersikap hati-hati dan
tidak pernah memandang rendah lawan, segera
mengeluarkan jurus 'Delapan Langkah Belalang' untuk
menghadapinya.
Brakkk...!
Sebatang pohon sebesar pelukan dua orang de-
wasa langsung hancur terkena angin pukulan yang ti-
dak mengenai sasaran karena tubuh Dewa Arak sudah
lenyap dari situ.
"Grrrh...!" Raksasa Rimba Neraka meraung
keras melihat lawannya tiba-tiba lenyap dari
hadapannya. Untuk sesaat ia kebingungan. Tapi begitu
terasa ada angin mendesir di belakangnya, segera saja
diketahui kalau lawan ada di belakangnya. Dan
seketika itu pula raksasa itu melempar tubuhnya ke
depan, kemudian menggulingkan tubuhnya.
Dewa Arak tidak memberi kesempatan pada ka-
kek raksasa ini untuk memperbaiki posisinya. Segera
diburu tubuh yang sedang bergulingan itu.
Wut!
Diayunkan gucinya ke arah kepala lawannya.
"Ah,..!" seru Dewa Arak kaget
Entah bagaimana caranya, kini posisi kepala itu
telah berada di tempat aman, tenaga sepasang kaki
yang mempunyai kembangan gerakan tidak terduga-
duga.
Walaupun Dewa Arak berusaha keras
menjatuhkan serangan pada bagian kepala dan tubuh,
tapi niatnya selalu kandas. Setiap serangannya selalu
dihadang sepasang kaki yang mempunyai pertahanan
luar biasa kokohnya. Raksasa itu menghadapi Dewa
Arak dengan posisi tubuh terlentang di tanah! Bahkan
beberapa kali Dewa Arak terpaksa menghindar ketika
Raksasa Rimba Neraka melancarkan serangan balasan.
"Hm.... 'Jurus Trenggiling'...," desah Pengemis
Tongkat Merah yang sejak tadi memperhatikan
jalannya pertempuran itu. Sejak mendengar pemuda
berambut putih keperakan itu memperkenalkan
namanya, kakek kurus kering ini sudah menduga
kalau pemuda itu adalah Dewa Arak.
Maka begitu dugaannya benar, diputuskan
untuk menonton pertarungan yang sudah dibayangkan
berlangsung dahsyat. Ingin diketahui, siapa di antara
kedua tokoh yang sama-sama memiliki kesaktian tinggi
dan menggegerkan rimba persilatan itu.
Tapi melihat tokoh yang digelari Dewa Arak,
Pengemis Tongkat Merah merasa kurang yakin kalau
tokoh muda itu akan mampu menaklukkan Raksasa
Rimba Neraka. Dewa Arak ternyata masih begitu muda,
dan sudah pasti belum banyak pengalaman meng-
hadapi berbagai macam ilmu yang aneh-aneh. Berbeda
dengan Raksasa Rimba Neraka yang telah puluhan
tahun malang-melintang di dunia persilatan.
Setelah belasan jurus Dewa Arak berusaha
mendesak lawan tanpa hasil, dia menjadi tidak sabar.
Disadari kalau ilmu 'Belalang Sakti' di samping
mempunyai banyak keistimewaan, tetap saja memiliki
kekurangan dan kelemahan. Dan itu memang wajar,
karena tidak ada ilmu yang sempurna.
Ilmu 'Belalang Sakti' ternyata menjadi lumpuh
dan tidak cocok untuk menghadapi Raksasa Rimba
Neraka. Ilmu yang dimiliki Dewa Arak memang tidak
dirancang untuk menghadapi ilmu permainan bawah,
seperti 'Jurus Trenggiling', atau 'Jurus Kelabang'.
"Okh...!"
Suara keluhan Sapta menyadarkan Pengemis
Tongkat Merah kalau dirinya masih mempunyai sebu-
ah urusan yang lebih penting, yaitu menyelamatkan
nyawa muridnya.
Dengan perasaan berat, ditinggalkan
pertempuran yang tengah berlangsung seru itu.
Bergegas kakek itu menghampiri muridnya yang terikat
erat di tonggak, setelah terlebih dulu mengambil
tongkat bututnya yang tadi ditancapkan di tanah.
Tentu saja Gajula tidak membiarkan Sapta
lolos. Begitu melihat Pengemis Tongkat Merah bergerak
mendekati tempat pemuda itu terikat, Gajula cepat-
cepat bertindak.
Singgg...! Singgg...!
Suara berdesing nyaring terdengar ketika si
wajah kera itu melemparkan beberapa buah pisau
sekaligus ke arah tubuh Sapta yang tergolek tidak
berdaya.
"Hih...!"
Pengemis Tongkat Merah yang melihat bahaya
maut mengancam muridnya segera menghentakkan
kedua tangannya ke depan.
Wut...!
Trak!
Serentetan angin keras menghambur keluar
dari tangannya yang dihentakkan itu, dan menerpa
pisau-pisau yang meluncur cepat mengarah tubuh
Sapta. Pisau-pisau itu pun langsung runtuh ke tanah
dengan keras.
Pengemis Tongkat Merah yang masih
merasakan lumpuh pada tangan kirinya, menatap
beringas ke arah Gajula. Seketika itu juga, si wajah
kera yang mengetahui bahwa dirinya bukan tandingan
kakek kurus kering itu segera melompat menjauh.
Pengemis Tongkat Merah tidak
mempedulikannya. Segera saja tubuhnya melompat
mendekati tubuh muridnya. Sebentar kemudian,
tangan kanannya pun bergerak.
Pralll...!
Kontan rantai baja yang melilit tangan dan kaki
Sapta hancur berantakan.
"Hup...!"
Kakek kurus kering ini menjejakkan kakinya,
dan sesaat kemudian tubuhnya sudah melesat
meninggalkan tempat itu bersama tubuh Sapta berada
dalam pondongannya.
"Grrrh...!" Raksasa Rimba Neraka menggeram
keras.
Memang, walaupun tengah bertarung, kakek
tinggi besar ini masih sempat melihat Pengemis
Tongkat Merah yang telah menyelamatkan muridnya.
Dan ini membuatnya murka bukan main. Dengan
'Jurus Trenggiling', didesaknya Dewa Arak.
Tendangannya bertubi-tubi dan susul-menyusul
mengancam bagian tubuh yang berbahaya di sekujur
tubuh pemuda itu.
Tapi berkat keistimewaan jurus 'Delapan
Langkah Belalang', Arya berhasil mengelakkan setiap
serangan itu. Hanya saja tidak seperti biasanya, kali ini
jurus 'Delapan Langkah Belalang' tidak bisa digunakan
untuk mengelak dan langsung mengancam lawan.
Selagi Dewa Arak sibuk mengelakkan serangan-
serangan, Raksasa Rimba Neraka melentingkan tubuh-
nya menjauh. Dia langsung mengejar Pengemis Tong-
kat Merah yang melarikan diri.
Melihat kepergian gurunya, Gajula pun segera
melesat kabur dari situ. Dewa Arak yang memang sama
sekali tidak mempunyai urusan dengan mereka, tidak
mengejar. Yang dipentingkan kali ini adalah menye-
lamatkan desa ini dari tangan jahat Toga, si kepala
desa.
Dewa Arak pun melesat meninggalkan tempat
itu. Cepat sekali gerakannya, sehingga dalam sekejap
saja yang nampak hanyalah sebuah titik yang semakin
lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap di
kejauhan.
EMPAT
Tubuh Raksasa Rimba Neraka melesat cepat,
disertai pengerahan seluruh ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki untuk mengejar Pengemis Tongkat Merah
yang berada jauh di depannya.
Sedikit demi sedikit jarak antara mereka mulai
dekat. Bayangan tubuh kakek kurus kering yang
semula hanya berupa titik kecil hitam di kejauhan, kini
semakin lama semakin membesar. Sudah bisa
dipastikan kalau akhirnya Raksasa Rimba Neraka
berhasil mengejar buruannya.
Tapi senyum yang tadi telah menghias wajah
Raksasa Rimba Neraka pelahan mulai melenyap ketika
tampak di kejauhan sana membentang sebuah hutan.
Sebagai tokoh yang penuh pengalaman, kakek tinggi
besar ini tahu kalau Pengemis Tongkat Merah berhasil
masuk ke dalam hutan itu, sudah bisa dipastikan akan
berhasil lolos.
Raksasa Rimba Neraka mengerahkan segenap
kemampuan yang dimiliki. Tujuannya, menyusul kakek
kurus kering itu sebelum sempat memasuki hutan.
Tapi betapapun mengerahkan segenap kemampuan
yang dimiliki, tetap saja usaha yang dilakukannya
tidak mendapatkan hasil. Jarak antara mereka masih
terlalu jauh. Sementara jarak antara Pengemis Tongkat
Merah dengan hutan itu sudah demikian dekat.
Apa yang dikhawatirkan Raksasa Rimba Neraka
pun terjadi. Pengemis Tongkat Merah telah lebih duiu
memasuki mulut hutan sebelum berhasil disusul.
Jarak antara mereka masih terpisah puluhan tombak.
Beberapa saat setelah kakek pengemis itu
memasuki hutan itu, baru laki-laki bertubuh raksasa
ini tiba di mulut hutan. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, Raksasa Rimba Neraka itu melesat masuk.
Tapi sesampainya di dalam hutan, kakek
bertubuh raksasa itu menjadi kebingungan. Hutan ini
terlalu lebat, ditumbuhi pohon-pohon besar kecil, dan
semak-semak. Apalagi akar-akar pohon yang menjalar
juga menghalangi pandangan. Sesaat lamanya Raksasa
Rimba Neraka ini mengedarkan pandangannya
berkeliling, mencari-cari barangkali ada pohon atau
semak yang masih bergoyang. Kalau ada, itu tandanya
baru dilewati orang. Tapi, tetap saja itu tidak
dijumpainya.
Lalu dia memilih satu arah saja yang
diyakininya. Tapi sampai lama mengejar, tak juga
nampak tanda-tanda bayangan tubuh kakek pengemis
di depannya. Setelah lama mencari ke sana kemari
tanpa hasil, meledaklah kemarahan Raksasa Rimba
Neraka ini.
"Grrrrh...!" kakek raksasa ini menggeram hebat.
Kemudian tangan kanannya yang mengepal
dipukulkan ke depan.
Wut...!
Brakkk...!
Sebatang pohon sebesar pelukan dua orang
dewasa tumbang seketika, tatkala angin pukulan
Raksasa Rimba Neraka ini melandanya. Dengan
mengeluarkan suara bergemuruh, pohon besar itu pun
tumbang dalam keadaan hancur luluh dan hangus.
Tidak hanya sampai di situ saja, tangan dan kakinya
terus saja dipu-kulkan ke sana kemari, melampiaskan
kemarahannya.
Kontan suara hiruk-pikuk menyemaraki
suasana hutan itu. Pohon-pohon yang tumbang dalam
keadaan hancur dan hangus, semak-semak yang cerai-
berai dalam keadaan mengering layu, mengiringi setiap
gerakan tangan atau kaki Raksasa Rimba Neraka.
Cukup lama juga Raksasa Rimba Neraka ini me-
lampiaskan amarahnya. Dan kini ditatapnya keadaan
dalam hutan yang porak-poranda. Kemudian
dilangkahkan kakinya, melesat dari tempat itu.
***
"Hhh...!" Pengemis Tongkat Merah mendesah
lega di tempat persembunyiannya, setelah melihat
kepergian Raksasa Rimba Neraka. Memang, kakek ini
masih berada di hutan itu, bersembunyi di kerimbunan
semak-semak dan pepohonan. Dia memang telah me-
lihat semua sepak terjang si raksasa yang mengamuk
membabi buta.
Suara lenguh kesakitan Sapta menyadarkan
kakek ini dari lamunannya. Kini perhatiannya tercurah
pada pemuda berhidung melengkung yang tergolek
lemah di tanah.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kakek
kurus kering ini segera memeriksa luka-luka muridnya.
Yang menjadi perhatiannya pertama kali adalah, luka-
luka bekas cambukan yang menggurat hampir sekujur
tubuh pemuda itu.
Sekali lihat saja, Pengemis Tongkat Merah yang
penuh pengalaman segera mengetahui kalau luka-luka
cambuk itu tidak membahayakan jiwa Sapta, karena
hanya luka luar belaka. Yang lebih berbahaya adalah
luka-luka dalamnya.
"Guru....," sapa Sapta lirih, begitu tersadar dari
pingsannya. Memang sejak kakek kurus kering ini
membawanya lari, pemuda ini sudah tidak sadarkan
diri lagi.
''Tenanglah, Sapta," sambut kakek itu.
Namun Sapta seolah-olah tidak mendengar
peringatan itu. Pemuda itu malah berusaha bangkit.
Kedua tangannya yang ditekankan ke tanah, tampak
gemetar.
"Berbaringlah dulu, Sapta."
Pemuda berhidung melengkung itu mendengar
ada nada ketegasan dalam ucapan gurunya. Perintah
yang tidak menghendaki adanya bantahan. Maka se-
gera dibaringkan tubuhnya kembali.
"Kami, Guru...."
"Kami?! Ada apa dengan Kami?!" tanya
Pengemis Tongkat Merah kaget. Sikap pemuda di
hadapannya ini yang begitu mengkhawatirkan Kami,
membuatnya cemas bukan main. Walaupun kakek ini
sudah dapat mengira-ngira, tapi mendengar penegasan
pemuda itu dia merasa khawatir bukan main.
"Kami tertangkap, Guru...," desah Sapta lirih.
"Aku tidak bisa memenuhi janjiku pada Guru untuk
menjaga Kami."
Pengemis Tongkat Merah berusaha bersikap
tenang. Ia tidak ingin menambah kekalutan hati murid-
nya dengan menunjukkan kegelisahannya. Sebenarnya
banyak pertanyaan yang menggayuti benak kakek ini.
Terutama ketika melihat Sapta hanya sendiri saja saat
ditolong. Juga, apa urusannya sehingga pemuda itu
bisa bentrok dengan Raksasa Rimba Neraka.
Memang dari raksasa itu sudah diketahuinya
kalau Sapta hampir membunuh adik kandung dari
muridnya. Itulah yang menjadi teka-teki lagi baginya.
Siapakah adik kandung murid Raksasa Rimba Neraka
itu sehingga Sapta hendak membunuhnya?
"Ceritakan semuanya secara jelas, Sapta!"
Sapta pun segera menceritakan semuanya.
Mulai dari pertempurannya dengan Toga, sampai
akhirnya muncul Raksasa Rimba Neraka yang telah
merobohkannya secara mudah.
Wajah Pengemis Tongkat Merah langsung
pucat. Sungguh tidak disangka kalau Toga, musuh
besar muridnya ini, mempunyai kakak kandung yang
menjadi murid dari Raksasa Rimba Neraka! Dan kini
gadis itu menjadi tawanan raksasa yang mengerikan
itu.
Kakek kurus kering ini menyadari bahwa
dirinya bukanlah tandingan Raksasa Rimba Neraka.
Kekalahan yang baru saja diterimanya, telah
memperjelas dugaannya selama ini. Kalau saja tidak
muncul Dewa Arak menolongnya, mungkin ia sudah
tewas di tangan kakek tinggl besar itu.
"Hhh...!" Pengemis Tongkat Merah menghela
napas panjang. "Sungguh tidak kusangka kalau
urusannya menjadi begjni pelik, Sapta. Apalagi
Raksasa Rimba Neraka juga terlibat dalam urusan ini.
Kini jangankan untuk membalas dendam untuk
menolong Kami pun kita belum tentu mampu!"
"Tapi biar bagaimanapun aku akan tetap meno-
long Kami, Guru. Akan kudatangi lagi tempat si
keparat itu. Dan..., kalau bisa membalaskan dendam
orang tuaku!" tegas dan mantap kata-kata pemuda itu.
Kakek kurus kering itu tersenyum. Terlihat
begitu kering dan dipaksakan senyumnya.
"Tentu saja, Sapta. Untuk kedua hal itu, aku
bersedia mengorbankan selembar nyawa tuaku ini.
Hhh...! Semula aku tidak ingin campur tangan dalam
urusan balas dendammu. Tapi kini setelah Raksasa
Rimba Neraka berdiri di belakang musuh-musuhmu,
aku tidak bisa berpangku tangan lagi."
Dada Sapta terasa sesak oleh rasa haru yang
amat sangat melihat pembelaan gurunya yang begitu
besar.
"Sekarang yang penting, pulihkan dulu
tubuhmu. Jangan bangkit dulu. Aku akan mencari
daun-daunan dan akar-akaran untuk mengobati luka-
lukamu." Sapta menganggukkan kepalanya. Pengemis
Tongkat Merah pun segera melesat dari situ. Beberapa
saat kemudian, kakek itu pun kembali dan telah
menggenggam daun-daunan dan akar-akaran yang
berkhasiat untuk mengobati luka-luka yang diderita
Sapta dan dirinya sendiri.
***
"Auuung...!"
Lolongan anjing hutan menggaung panjang,
merobek kesunyian malam yang mencekam. Padahal
malam itu langit bersih tidak berawan. Bulan bersinar
penuh, memancarkan sinarnya yang kekuningan di la-
ngit. Tapi anehnya dalam suasana secerah itu, di Desa
Gebang nampak sepi seperti mati.
Tapi rupanya masih ada juga orang yang berada
di luar rumah. Terbukti, tampak sesosok bayangan
ungu melesat dari satu atap ke atap rumah lainnya.
Gerakannya gesit sekali. Kalau saja ada penduduk
yang melihat, tentu akan disangka hantu. Apalagi ba-
yangan itu memiliki rambut berwarna putih keperakan.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di
tanah. Dan secepat kedua kakinya hinggap, secepat itu
pula tubuhnya melesat ke arah tembok pagar sebuah
rumah besar yang megah dan berhalaman luas.
Beberapa saat lamanya si rambut putih keperakan itu
berdiri menempel tembok, baru kemudian
menengadahkan kepalanya, mengira-ngira tinggi pagar
tembok yang tengah disandarinya.
"Hih...!"
Tubuhnya direndahkan sedikit, dan sebentar
kemudian tubuh si rambut putih keperakan itu
melayang ke atas. Suasana malam yang cerah, dan
sinar bulan pumama yang cukup terang itu menyoroti
wajah itu selagi tubuhnya berada di atas. Ternyata
memang si rambut putih keperakan itu adalah Arya
Buana atau yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak!
"Hup...!"
Kedua kaki Dewa Arak hinggap di atas tanah di
dalam pekarangan yang luas itu tanpa suara. Sepi-sepi
saja suasana di dalam pekarangan ini.
"Hih...!"
Tubuh Dewa Arak kini melesat dan hinggap di
atas atap tanpa suara. Pendengarannya yang tajam
menangkap adanya langkah kaki mendekat.
Dugaannya tidak keliru. Tak lama kemudian di tempat
dia berdiri tadi, lewat dua orang yang membawa obor
dan kentongan.
"Ronda...," bisik hati Arya.
Pelan laksana seekor harimau yang berjalan
mengendap-endap menghampiri mangsa, Dewa Arak
berjalan di atas atap. Dia memang mencoba mencari-
cari kamar kepala desa.
Tapi baru beberapa langkah berjalan, langkah
kaki pemuda ini tertahan di udara. Pendengarannya
yang tajam, menangkap adanya rintihan lirih di bawah
sana. Dan perasaan penasaran mendorong pemuda ini
mendekatkan telinganya ke genteng. Suara rintihan itu
pun semakin jelas terdengar.
"Jangan.... Jangan lakukan itu..., bunuh saja
aku...."
Wajah Arya langsung berubah. Suara rintihan
lirih itu berasal dari mulut wanita! Berarti ada seorang
wanita yang tengah membutuhkan pertolongan di ba-
wah sana.
Dewa Arak memutuskan menjebol atap ini
untuk menolong wanita yang diduga dalam bahaya
besar itu. Tapi baru saja akan bertindak, sebuah suara
lain yang menyambut rintihan itu membuat dia harus
menahan gerakannya.
"Ha ha ha...! Enak saja! Jarang kutemukan
wanita istimewa sepertimu, tahu!? Kau memiliki
banyak kelebihan dibanding santapan-santapanku
sebelumnya. Kau cantik, masih gadis, dan memiliki
kepandaian. Ha ha ha…! Betapa bodohnya kalau aku
membunuhmu!"
Wajah Arya Buana langsung berubah! Memang,
suara dan tawa itu sangat dikenalnya. Dan seketika itu
juga jantung Dewa Arak berdebar tegang. Bukankah
pemilik suara dan tawa itu adalah musuh tangguh
yang berjuluk Raksasa Rimba Neraka dan baru saja
dihadapinya? Lalu, kenapa tokoh sakti yang
menggiriskan itu berada di sini? Apa hubungannya
dengan Toga, yang menjadi Kepala Desa Gebang? Batin
Dewa Arak terus dibebani bermacam-macam
pertanyaan.
Tapi Dewa Arak tidak bisa berpikir lebih lama
lagi. Suara kain robek yang terdengar dari bawah,
disusul jerit ketakutan seorang wanita memaksanya
bertindak cepat
Brakkk...!
Atap rumah itu hancur berantakan ketika Dewa
Arak menghajarnya. Karuan saja hal itu mengejutkan
Raksasa Rimba Neraka. Padahal laki-laki tinggi besar
itu baru saja menindih tubuh wanita yang tak lain dari
Kami. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya.
Wuuuttt...!
Serentetan angin pukulan yang mengandung
hawa panas telah menyambar ke arah Raksasa Rimba
Neraka, ketika kedua kakinya hinggap di tanah.
Sebentar kemudian, meluncur sesosok bayangan ungu
dari atap yang telah ambrol.
"Hih...!"
Tidak ada jalan lain bagi Raksasa Rimba
Neraka, kecuali melompat menghindar. Laki-laki tinggi
besar itu menyadari betul kalau angin pukulan yang
menyambarnya itu mengandung tenaga dalam yang
amat kuat. Dan ia tidak berani berlaku ceroboh.
Brakkk...!
Tembok yang terbuat dari tembok batu itu
ambrol terhantam tubuh si raksasa yang menabraknya
dalam upaya keluar ruangan.
Blarrr...!
Lantai tempat kakek tinggi besar tadi berdiri
langsung ambrol, ketika angin pukulan Dewa Arak
yang tidak mengenai sasaran menghantamnya. Tampak
sebuah lubang besar tercipta akibat pukulan itu.
"Hup...!"
Secepat kedua kakinya mendarat di tanah,
secepat itu pula Dewa Arak memalingkan wajahnya. Di
sebuah pembaringan nampak tergolek seorang gadis
dalam keadaan tanpa busana! Kulitnya yang putih
mulus, dan lekuk-lekuk tubuhnya yang menggairahkan
membuat Dewa Arak menelan ludah.
Melihat keadaan gadis ini yang diam tidak
bergerak, Dewa Arak segera saja tahu kalau gadis ini
tertotok lumpuh. Arya segera bergerak mendekati.
Tentu saja, mau atau tidak mau tubuh yang mulus
indah dan menantang itu terlihat olehnya. Jantung
pemuda berambut putih keperakan ini berdebar
tegang. Kedua tangannya terasa dingin. Darah kelaki-
lakiannya seketika bergolak.
Sambil menarik napas untuk menenangkan
hatinya yang terguncang, Arya menggerakkan
tangannya membuka totokan yang membuat gadis itu
lumpuh.
"Cepat kenakan pakaianmu, dan pergilah...!"
perintah Arya sambil melesat keluar, melalui lubang di
tembok yang dibuat Raksasa Rimba Neraka tadi.
Kami buru-buru mencari pakalan, dan dengan
tergesa-gesa mengenakannya. Dalam hati ia bersyukur,
di saat terakhir muncul seorang yang menolongnya.
Sementara itu begitu keluar dari ruangan, Dewa
Arak terkejut. Ternyata di luar telah menanti banyak
sekali sosok tubuh. Tapi yang menjadi perhatian Arya
hanya satu, yaitu sosok yang tingginya satu setengah
kali manusia biasa. Siapa lagi kalau bukan Raksasa
Rimba Neraka yang amat tangguh.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak
segera meraih guci dari punggungnya. Kemudian
diangkatnya ke atas kepala, dn dituangkan ke
mulutnya
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu
memasuki mulutnya. Sesaat kemudian langkahnya
pun mulai sempoyongan.
"Ha ha ha...! Kiranya kau orangnya!? Pantas
begitu usilan!" teriak Raksasa Rimba Neraka keras,
begitu melihat Dewa Arak keluar dari ruangan itu.
Memang dia sudah merasakan kehebatan pemuda
berambut putih keperakan itu tadi siang, terutama
tenaga dalamnya.
"Hiyaaa...!"
Kali ini di luar kebiasaannya, Dewa Arak
mendahului menyerang. Pemuda ini bermaksud
membuat repot Raksasa Rimba Neraka agar Kami
dapat meloloskan diri.
Wuuuttt..!
Guci di tangan kanannya diayunkan deras ke
arah kepala si raksasa itu. Angin keras mengiringi
tibanya serangan itu.
Raksasa Rimba Neraka yang sudah mengetahui
kelihaian pemuda di hadapannya, memang sejak tadi
sudah bersiap siaga. Pertarungan tadi siang memang
membuatnya penasaran bukan main. Selama puluhan
bahkan mungkin ratusan kali bertanding, belum
pernah 'Ilmu Pukulan Tinju Geledek' miliknya ditahan
lawannya. Tapi ternyata Dewa Arak ternyata mampu
membuat ilmu andalannya itu tidak berdaya. Ingin
dibuktikannya sekali lagi, apakah memang pemuda
pemabukan ini mampu membuat ilmu andalannya itu
tidak berdaya? Maka tanpa ragu-ragu lagi, diangkat
tangan kirinya melindungi kepala.
Klanggg...!
Benturan keras yang terjadi antara guci Dewa
Arak dengan tangan kiri Raksasa Rimba Neraka,
menimbulkan suara berdentang nyaring. Tampak
tubuh kakek tinggi besar itu terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Begitu pula Dewa Arak.
Seperti kejadian sebelumnya, tenaga dalam mereka
memang berimbang.
Berkat keisrimewaan ilmu 'Belalang Sakti',
Dewa Arak lebih dulu berhasil mematahkan daya
dorong yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung.
Dan kini, kembali tubuhnya melesat menyambar,
sementara gucinya sudah terikat kembali di punggung.
Entah kapan dan bagaimana caranya, guci itu telah
berada di punggung kembali. Bahkan Raksasa Rimba
Neraka sendiri tidak tahu.
Yang diketahui laki-laki bertubuh raksasa itu,
kedua tangan Dewa Arak dengan kecepatan tinggi me-
nyambar bertubi-tubi. Gerakan tangannya begitu aneh,
mengancam pelipis dan ubun-ubunnya. Raksasa Rim-
ba Neraka kaget bukan main. Posisinya tidak
memungkinkan untuk menangkis serangan yang
nantinya hanya akan memperburuk keadaan. Maka
buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah kemudian
bergulingan menjauh.
Dan tepat pada saat itu, Kami melesat keluar
dari kamar.
Namun sayang, ternyata di luar bukan hanya
ada Raksasa Rimba Neraka saja. Di situ juga ada
Gajula, Toga, dan puluhan anak buahnya. Maka begitu
gadis itu keluar, segera mereka mengurungnya.
Dewa Arak sadar kalau keadaan itu amat
berbahaya. Kalau tidak bertindak keras, sulit baginya
untuk membawa keluar gadis itu. Raksasa Rimba
Neraka kelihatannya terlalu tangguh untuk
ditaklukkan.
"Hiyaaa...!"
Tiba-fiba Dewa Arak berteriak keras. Kedua ta-
ngannya dihentakkan ke depan. Inilah jurus 'Pukulan
Belalang' yang jarang sekali digunakan, kalau tidak
terpaksa sekali.
Wuuusss...!
Angin berhawa panas menyambar deras ke arah
kerumunan orang yang menghadang langkah Kami.
Bresss...!
Beberapa sosok tubuh terlempar jauh,
kemudian ambruk ke tanah dan terguling-gullng jauh.
Sekujur tubuh mereka hangus. Dari mulut, hidung,
dan telinga mengalir darah segar. Mereka memang
tewas seketika! Sementara itu Toga, Gajula, dan
belasan orang lain yang berhasil menyelamatkan diri,
bergidik ngeri melihat akibat angin pukulan itu.
"Cepat pergi...!" teriak Arya ketika melihat gadis
yang diusahakan setengah mati untuk lotos dari situ,
malah terbengong-bengong.
Bentakan Dewa Arak berhasil menyadarkan
Kami dari ketertegunannya. Segera gadis ini bergerak
kabur dari situ. Tapi Toga dan Gajula tidak
membiarkannya lolos! Dan cepat-cepat mereka
bergerak mengejar.
Dewa Arak tidak bisa membantu Kami lagi,
karena tampak Raksasa Rimba Neraka itu sudah
berhasil memperbaiki posisinya. Terpaksa dipusatkan
perhatiannya lagi pada kakek raksasa ini kalau masih
ingin hidup.
"Hih...!"
Arya menggertakkan gigi. Kembali kedua
tangannya dihentakkan ke depan.
Wusss...!
Raksasa Rimba Neraka tidak mau kalah.
Dikepalkan kedua tangannya, lalu dipukulkan ke
depan.
"Hiyaaa...!"
Wuuusss...!
Blarrr...!
Dua tiupan angin pukulan yang sama-sama me-
ngandung hawa panas itu bertemu di udara. Ledakan
keras luar biasa terjadi bagaikan gunung runtuh. Ke-
adaan di sekitar tempat itu bergetar hebat bagai
dilanda gempa. Bahkan bangunan-bangunan yang
berada di sekitar tempat itu pun bergetar hebat!
Tapi yang lebih hebat lagi, adalah yang dialami
kedua tokoh sakti yang tengah bertarung itu. Baik
tubuh Dewa Arak maupun tubuh Raksasa Rimba
Neraka, sama-sama terjengkang ke belakang. Dan
serentetan hawa panas merayap di sekujur tubuh
masing masing.
"Akh...!"
Terdengar pekikan tertahan, disusul
terhuyungnya tubuh Kami. Rupanya Toga dan Gajula
berhasil mengejarnya. Dan dalam keadaan kondisi
tubuh yang kurang sehat, Kami tidak mungkin mampu
menghadapi kedua orang lihai itu. Segera saja gadis itu
terdesak hebat. Sampai akhirnya, sebuah pukulan
telak Toga berhasil mendarat di dadanya.
Walaupun sekujur tubuh Dewa Arak dilanda
rasa panas, tapi tidak separah yang diderita Raksasa
Rimba Neraka! Dan ketika melihat keadaan Kami, Arya
menggertakkan gigi menahan kemarahan yang meluap.
Kemudian tubuhnya melesat ke tempat Gajula dan
Toga yang tengah mengeroyok Kami.
Karuan saja Gajula dan Toga menjadi gentar
bukan main, karena sudah melihat kedahsyatan
pemuda berambut putih keperakan itu. Maka begitu
melihat tubuh pemuda itu melayang mendekati,
keduanya pun berlari menghindar.
Tappp...!
Tanpa menghhaukan Toga dan Gajula, Dewa
Arak segera menyambar tubuh Kami yang sudah
limbung itu. Dipondong dan dibawanya gadis itu kabur
dari situ.
Tak ada seorang pun yang berani menghalangi
kepergian Dewa Arak. Sedangkan Raksasa Rimba
Neraka, orang satu-satunya yang dapat menahan Arya,
tengah sibuk mengusir serangan hawa panas yang
merayap di sekujur tubuhnya. Maka, tanpa mengalami
kesulitan sama sekali Kami dapat lolos dibawa Dewa
Arak.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki Arya hinggap di
tanah, di luar pagar tembok yang mengelilingi rumah
gedung milik Toga. Tubuhnya tampak terhuyung begitu
kedua kakinya mendarat di tanah, tapi tidak
dipedulikan. Dan terus berlari. Walaupun disadari
kalau dirinya telah terkena serangan hawa panas,
pemuda itu juga tidak mempedulikan. Padahal kalau
tidak segera diusir akan mengakibatkan luka dalam.
Arya terus berlari cepat, walaupun tempat
tinggal kepala desa itu telah jauh dilewatinya. Dan kini
perasaan pening mulai menjalari kepala Dewa Arak.
Seketika pemuda berambut putih keperakan ini
memperlambat larinya. Dan di saat itu terdengar
sebuah bentakan nyaring.
"Manusia cabul! Lepaskan wanita itu!" Belum
habis gema suara bentakan itu, sesosok bayangan yang
belum terlihat jelas telah menyerangnya. Dan Arya
mencoba mengelak, tapi keadaan tubuhnya yang tidak
memungkinkan begitu menyulitkannya.
Bukkk...!
Pukulan dari sosok bayangan itu telak
mengenai pangkal lengannya.
"Akh...!"
Dewa Arak mengeluh tertahan, dan tubuhnya
langsung terjengkang. Dan dengan demikian, tubuh
Kami yang tengah dipondongnya terlepas dan
terlempar. Tapi sebelum tubuh gadis itu terjatuh di
tanah, si penyerang telah terleblh dulu bergerak.
Tappp...!
Tubuh Kami berhasil ditangkap orang itu.
Arya menggeleng-gelengkan kepalanya. Hawa
panas yang menyerang membuat pandangannya
berkunang-kunang. Sehingga, Dewa Arak kini tidak
bisa melihat jelas sosok tubuh di hadapannya. Tapi
bentuk tubuh pemuda itu masih bisa dikenali. Jelas,
dia adalah murid Pengemis Tongkat Merah. Dan kini
samar-samar terdengar ucapan si penyerang.
"Kau tidak apa-apa, Kami?"
Tampaklah si penyerang tengah meletakkan
gadis itu di bawah sebatang pohon. Pikiran Arya yang
cerdas segera saja dapat menduga kalau pemuda itu
adalah teman wanita yang ditolongnya. Itu terbukti dari
ucapannya tadi. Memang tadi gadis itu sempat
mengenalkan nama padanya. Dan nama Kami adalah
nama yang disebutkan gadis itu. Jadi kemungkinan
pemuda itu salah paham padanya. Dan kini, tampak
pemuda teman Kami itu hendak menyerang Dewa
Arak.
"Tahan...," ucap Dewa Arak lemah. Digoyang-
goyangkan tangannya di depan dada.
Tapi Sapta kelihatannya sudah marah bukan
main ketika melihat pemuda berambut putih
keperakan itu membawa lari orang yang dicintainya.
Dia tidak mempedulikan cegahan itu. Keadaannya yang
waktu itu setengah sadar, membuatnya lupa kalau
pemuda yang berada di hadapannya inilah yang telah
menolong dirinya dan gurunya. Apalagi saat itu
kemarahan tengah melanda hatinya. Kembali
tangannya bergerak melancarkan serangan.
Dewa Arak kaget sekali. Walaupun tidak melihat
jelas serangan itu, tapi dari suara desir angin saja
dapat diketahui kalau pemuda di hadapannya tengah
menyerangnya secara ganas! Padahal, bukankah
pemuda itu tahu kalau dialah yang telah
menyelamatkan dirinya dan gurunya dari keganasan
Raksasa Rimba Neraka? Kenapa kini pemuda itu
hendak membunuhnya?
Perasaan penasaran dan keinginan untuk
menyelamatkan nyawanya yang hanya satu-satunya,
membuat Dewa Arak jadi mata gelap.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras Dewa Arak
menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Wuuusss...!
Angin berhawa panas menyambar deras
memapak serangan Sapta. Pemuda tinggi besar ini
menjadi kaget bukan main. Cepat dilempar tubuhnya
ke samping, dan bergulingan di tanah.
Brakkk...!
Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa
hancur berantakan ketika angin pukulan Dewa Arak
yang tidak mengenai sasaran menghantam.
"Huakkk...!"
Tiba-tiba Dewa Arak memuntahkan darah segar
dari mulutnya. Memang karena pengerahan tenaga
yang dipaksakan, akibatnya hawa panas yang
menyebar di seluruh tubuh telah melukainya.
Tapi Arya tidak memperdulikannya. Segera dia
melesat kabur dari situ, meninggalkan Sapta yang
masih terpaku menatap akibat angin pukulan yang
dilepaskan Dewa Arak.
ENAM
"Okh...," Kami mengeluh lirih. Sepasang
matanya yang berbulu lenrik mengerjap-ngerjap. Gadis
ini memang jatuh pingsan sewaktu Dewa Arak
terjengkang diserang Sapta.
Sementara Sapta yang sejak tadi menunggui
Kami yang tergolek pingsan, seketika menjadi berseri-
seri wajahnya begitu melihat gadis itu sadar.
"Eh! Di mana dia...?" tanya putri angkat
Pengemis Tongkat Merah ini. Sepasang matanya
berkeliaran ke sana kemari, seolah-olah mencari
sesuatu.
"Mencari siapa, Kami?" Sapta balas bertanya.
Kecewa juga hatinya, melihat betapa gadis itu
sepertinya tidak memperhatikan dirinya.
"Pemuda yang menolongku...." Ada suatu
perasaan aneh yang menyelinap di hati gadis ini ketika
teringat Dewa Arak. Wajahnya jantan, keperkasaan,
dan tindak-tanduknya yang begitu tenang, begitu
mengagumkan hatinya.
Seketika wajah pemuda berhidung melengkung
ini berubah.
"Siapa?"
"Pemuda berambut putih keperakan," jelas
Kami.
"Pemuda yang memondongmu?" tanya Sapta.
Ada nada tidak senang dalam suara itu.
Kami tentu saja merasakan adanya nada
ketidak-senangan dalam suara itu. Sepasang alis yang
bagus bentuknya itu pun berkerut. Ditatapnya wajah
pemuda di hadapannya itu lekat-lekat. Mendadak
terbayang kembali, sesosok bayangan yang memukul
pemuda yang memondongnya sehingga tubuhnya
terlempar, dan jatuh pingsan.
"Jadi..., jadi kau rupanya yang menyerang pe-
muda itu sampai terjengkang?!"
Pucat wajah Sapta seketika. Tapi pantang
baginya menyembunyikan perbuatannya.
"Ya!" jawabnya tegas. "Akulah yang
menyerangnya!"
"Lalu, ke mana dia?!" desak Kami. Tajam dan
keras nada suaranya.
"Kabur! Sehabis melepaskan pukulan yang
menimbulkan akibat mengerikan pada pohon itu!"
sahut Sapta sambil menunjuk pohon yang terkena
angin pukulan Dewa Arak.
Kami menolehkan kepalanya, memandang ke
arah telunjuk tangan Sapta. Meremang bulu kuduk
gadis itu melihat pohon yang begitu besar, hancur
berantakan. Beberapa saat lamanya putri angkat Pe-
ngemis Tongkat Merah ini terpaku.
"Aku tahu pasti, tidak akan mungkin dia
melepaskan pukulan sedahsyat itu kalau nyawanya
tidak terancam. Aku tahu dia terluka dalam. Karena
berkali-kali sewaktu membawaku lari, langkahnya
sempoyongan dan hampir jatuh."
Sapta menghela napas. "Memang kuakui, Kami.
Pemuda itu berusaha mencegah seranganku."
"Dan yang pasti, kau menyerangnya dengan se-
buah pukulan mematikan, bukan?" selak Kami berapi-
api. ''Tidak mungkin dia bertindak demikian hingga
mengeluarkan pukulan yang sangat menguras tenaga.
Kau tahu, saat itu dia telah terluka dalam karena
bertarung melawan Raksasa Rimba Neraka dan antek-
antek musuh besarmu! Kalau tidak, jangan harap kau
dapat merubuhkannya!"
Sapta mengangkat kepalanya. Kesal juga
pemuda ini disalahkan terus-menerus.
"Kuakui, aku memang salah. Tapi itu tidak
berarti kau terus membela pemuda itu! Aku terpaksa
menyerangnya, karena khawatir pemuda itu akan
berbuat tidak baik kepadamu!"
Kami tersadar seketika. Memang disadari kalau
sikapnya tidak adil. Sapta sebenarnya sama sekali
tidak bersalah. Pemuda itu terpaksa berbuat demikian
karena khawatir akan keselamatan dirinya.
"Maafkan aku, Kang," ucap gadis itu pelan.
Sapta tersenyum pelahan. Kecerahan pada wajahnya
pun nampak kembali.
''Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kau sama
sekali tidak bersalah. Tapi yang jelas, aku bersalah
pada pemuda penolongmu itu. Kelak bila berjumpa
kembali dengannya, aku akan meminta maaf," jelas
Sapta.
Pemuda ini memang mengakui kalau hatinya
terbakar api cemburu terhadap Dewa Arak. Akibatnya,
dia menyerang lebih dulu.
Kami hanya dapat mengangguk.
"Nah, sekarang mari kita menemui Guru," ajak
Sapta.
"Heh?! Kita kembali ke perguruan?!" Langkah
kaki Kami seketika terhenti.
"Tentu saja tidak!"
"Lalu?!"
"Guru memang telah berada di desa ini," jelas
Sapta.
"Ayah ada di desa ini?!" tanya Kami setengah ti-
dak percaya.
"Ya!" jawab Sapta membenarkan. Kemudian
diceritakan semuanya. Sejak dirinya tertangkap sampai
dibawa kabur gurunya.
"Dan ketika kami berdua merasa lapar, aku
pamit pada Guru untuk berburu binatang. Siapa
sangka aku melihat sesosok bayangan tengah
memanggul tubuh wanita. Karena curiga, dia kuikuti.
Kutinggalkan kelinci yang telah kudapatkan. Sinar
bulan membantuku untuk mengetahui kalau kaulah
orang yang dibawa lari orang itu. Dan seterusnya kau
sendiri pun tahu."
Kami mengangguk-anggukkan kepala. Sesaat
kemudian, keduanya terperangkap dalam keheningan.
"Sekarang, mari kita berangkat," ajak Sapta.
Setelah berkata demikian, tubuh Sapta pun
melesat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh
ringkat tinggi, agar cepat sampai ke tujuannya. Kami
pun segera melesat mengikuti. Tak lama kemudian
suasana di sekitar tempat itu pun kembali sepi.
***
Pengemis Tongkat Merah bangkit berdiri. Pende-
ngarannya yang tajam menangkap suara langkah kaki.
Semula kakek ini menyangka kalau Sapta-lah pemilik
langkah kaki itu. Pemuda itu memang sejak tadi
ditunggunya. Tapi, ketika telinganya menangkap dua
langkah kaki mendekati tempatnya, kecurigaannya pun
timbul.
Dalam sekejap pikiran kakek pengemis ini
berpu-tar. Tiba-tiba....
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kakinya hinggap di
cabang sebuah pohon. Dari sini mudah baginya untuk
mengetahui, apakah yang datang itu kawan ataukah
lawan.
Berkat sinar bulan yang cukup terang, kakek ini
dapat melihat cukup jelas, dua orang yang melangkah
mendekati tempatnya. Dan begitu jelas teriihat orang
yang bergerak mendekatinya, kegembiraan kakek ini
pun meledak!
Tampak di bawah sana Sapta dan seorang gadis
yang membuatnya gembira bukan main! Betapa tidak?
Karena gadis itu adalah Kami! Anak angkatnya yang
menurut cerita Sapta tertawan Raksasa Rimba Neraka.
Semula begitu mendengar anak angkatnya
tertangkap, Pengemis Tongkat Merah sudah tidak
mempunyai harapan lagi akan keselamatan Kami. Dia
telah mendengar kebiasaan terkutuk tokoh Rimba
Neraka yang menggiriskan itu. Selain kebiasaannya
memakan daging manusia, dia juga suka
mempermainkan wanita!
Sebenarnya kakek itu bersama Sapta sudah
menyusun rencana untuk membebaskan Kami, sehabis
mengisi perut. Berhasil atau tidak bukan masalah.
Demikian keputusan mereka berdua.
Tapi kenyataannya, kini gadis itu berjalan
bersama muridnya dalam keadaan selamat. Apakah
Sapta telah pergi ke sana seorang diri dan
menyelamatkannya? Ataukah gadis itu sendiri yang
berhasil menyelamatkan diri?
"Hup...!"
Ringan tanpa suara Pengemis Tongkat Merah
mendaratkan kedua kakinya di tanah, tepat di depan
Sapta dan Kami. Tentu saja Sapta dan Kami kaget
bukan main. Seketika seluruh urat syaraf di tubuh me-
reka menegang, bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Tapi begitu mengenali orang yang secara
mendadak berada di hadapan mereka, seketika itu juga
urat-urat syaraf di tubuh keduanya kembali
mengendur.
"Guru...!" seru Sapta.
"Ayah...!" ujar Kami tak mau kalah. Kedua ta-
ngannya langsung dikembangkan. Ditubruknya ayah
angkatnya.
Pengemis Tongkat Merah memeluk tubuh anak
angkatnya erat-erat. Diusap-usapnya rambut tebal dan
hitam milik gadis itu. Suaranya terdengar tersendat.
"Ayah hampir tidak percaya melihatmu, Kami.
Menurut penuturan Sapta, kau ditangkap Raksasa
Rimba Neraka. Bagaimana kau bisa lolos dari tangan
raksasa itu?"
Kami melepaskan pelukannya. Ditatapnya
wajah kakek kurus kering di hadapannya dalam-
dalam. Sepasang mata gadis ini nampak memerah.
Memang, kini rasa takut belum sepenuhnya hilang dari
hati Kami. Rasa takut akan terjadinya sesuatu yang
mengerikan, dan hampir menghaneurkan masa
depannya.
"Seseorang telah menolongku, Ayah."
"Ah...!" Pengemis Tongkat Merah berseru kaget.
Siapa orang yang berani mati membebaskan tawanan
Raksasa Rimba Neraka itu? Perasaan bingung
menggayuti hatinya.
"Apakah orang itu Sapta?" tanya kakek itu
dalam hati.
Seketika wajah pemuda tinggi besar itu
memerah. Jawaban gurunya itu mengingatkan, betapa
dia telah melakukan perbuatan tercela. Dia telah
melukai penolong Kami, walaupun hal itu tidak
disengaja.
"Dewa Arak, Ayah," tegas Kami.
"Dewa Arak...?!" teriak kakek pengemis ini
kaget.
Kami menganggukkan kepala membenarkan.
Lalu gadis berpakaian jingga itu pun menceritakan
semuanya. Dari mulai kedatangan Dewa Arak di saat
ancaman mengerikan hampir menimpanya, sampai De-
wa Arak terluka oleh Sapta karena kesalahpahaman.
"Ah...! Memang, berita tentang keluhuran budi
Dewa Arak tidak berlebihan. Walaupun kita sama
sekali bukan kerabat atau sahabatnya, ia rela
mempertaruhkan nyawa untuk menolongmu. Sungguh
besar budi yang kita terima darinya! Entah kapan
dapat membalasnya...," keluh kakek itu. "Dan kau,
Sapta. Ingat, kau harus meminta maaf padanya atas
perbuatanmu itu. Mengerti?!"
"Mengerti, Guru," pemuda berhidung
melengkung itu menganggukkan kepalanya.
"Nah, sekarang pangganglah dulu kelinci hasil
tangkapanmu itu, Sapta!" ujar Pengemis Tongkat Me-
rah mengalihkan pembicaraan.
Sapta segera mengerjakan perintah gurunya,
membakar kelinci yang sejak tadi dijinjingnya. Tak la
ma kemudian mereka pun sudah sibuk
mempersiapkan semuanya.
***
Seorang kakek bertubuh tinggi besar, satu sete-
ngah kali manusia biasa, bergerak cepat mendaki Le-
reng Gunung Jarak. Kakek tinggi besar ini adalah
Raksasa Rimba Neraka. Tujuannya mendaki gunung
itu jelas mencari Pengemis Tongkat Hitam. Dan dari
penduduk yang tinggal di sekitar lereng gunung itu,
Raksasa Rimba Neraka telah tahu markas Perguruan
Tongkat Merah.
Raksasa Rimba Neraka memang mempunyai
aturan aneh. Setiap lawan yang telah kalah olehnya
harus mati. Pengemis Tongkat Merah memang telah
dikalahkan. Tapi karena keburu ada yang menolong,
kakek kurus kering ini tidak tewas di tangannya.
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai tingkatan tinggi, tak lama kemudian Raksasa
Rimba Neraka telah menemukan tempat itu. Kakek
raksasa itu memandangi bangunan yang terbuat dari
bilik bambu, dan mempunyai halaman luas yang
dikelilingi pagar bambu tinggi. Di atas pintu gerbang,
terpampang papan lebar yang bertuliskan huruf-huruf
yang berbunyi 'Perguruan Tongkat Merah'.
Hanya beberapa kali lompatan saja, kakek
raksasa ini sudah berada di depan pintu gerbang. Dan
tiba-tiba dua orang murid perguruan yang berjaga di
depan pintu gerbang, langsung menghadang langkah
kakek ini Mereka saling memiringkan tongkat berwarna
merah yang digenggam, sehingga membentuk tanda
silang.
"Siapa Kisanak ini? Mengapa memasuki daerah
kekuasaan Perguruan Tongkat Merah?" tanya salah
seorang yang berjaga-jaga. Wajahnya nampak
memancarkan kekagetan melihat tubuh kakek yang
berdiri di hadapannya. Sikap keduanya nampak
waspada. Melihat dandanan kakek di hadapan mereka
ini saja, mereka sudah bisa memperkirakan kalau
kakek ini bukanlah tokoh baik-baik.
"Ha ha ha...!" Raksasa Rimba Neraka tertawa
bergelak. "Aku datang untuk membunuh Pengemis
Tongkat Merah! Sekaligus ingin menghancurkan
perguruan ini!"
"Keparat..!" teriak salah seorang dari penjaga
itu. Tongkat merah di tangannya pun disabetkannya.
Tujuannya mungkin kepala. Tapi karena si penjaga ini
ukuran tubuhnya biasa saja, sementara Raksasa
Rimba Neraka memiliki tubuh di atas sewajarnya,
maka serangannya pun hanya mengancam bawah
pundak kakek raksasa itu.
Raksasa Rimba Neraka tersenyum mengejek.
Dibiarkan saja sabetan tongkat ke arah pangkal
lengannya itu
Bukkk...! Krakkk...?
Telak dan keras sekali tongkat itu menghantam
sasarannya. Tapi akibatnya, tongkat yang menghajar
pangkal lengan Raksasa Rimba Neraka justru yang
patah!
"Ha ha ha...!" kembali kakek tinggi besar itu ter-
tawa terbahak-bahak. Berbarengen dengan itu, kedua
tangannya diulurkan ke depan.
Tappp...! Tappp...!
Tanpa kedua penjaga itu sempat berbuat apa-
apa, kuduk keduanya sudah dicengkeram tangan si
raksasa itu.
"Akh...!"
"Ah...!"
Kedua penjaga itu memekik tertahan. Dirasakan
tulang leher belakang mereka patah-patah. Belum lagi
mereka sempat berbuat sesuatu, tangan Raksasa
Rimba Neraka bergerak.
Prakkk...!
Terdengar suara berderak keras ketika kedua
kepala penjaga yang sial itu diadu satu sama lain.
Cairan kental berwarna kemerahan, berikut cairan
kental berwarna keputihan langsung muncrat dari
kepala yang pecah itu. Tidak ada lagi suara yang ter-
dengar. Dan ketika kakek tinggi besar itu melepaskan
cengkeramannya, tubuh kedua penjaga yang sial itu
pun ambruk ke tanah. Mati.
Tentu saja keributan yang terjadi di depan pintu
gerbang itu, segera mengundang murid-murid lainnya.
Dalam waktu sekejap saja, seluruh murid Perguruan
Tongkat Merah yang berjumlah sekitar dua belas orang
berkumpul di depan Raksasa Rimba Neraka dengan
sikap mengancam.
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati
mereka, melihat kematian rekan mereka yang begitu
mengerikan. Tanpa banyak tanya lagi mereka pun
bergerak menyerbu.
"Hiyaaa...!"
"Haaattt..!"
Dengan didahului jerit melengking nyaring,
tongkat-tongkat mereka pun berkelebat cepat
menyambar ke arah berbagai bagian tubuh Raksasa
Rimba Neraka.
Bukkk...! Bukkk...! Takkk...!
Suara berdebukan terdengar susul-menyusul
ketika hujan serangan tongkat itu, mendarat pada
sasaran masing-masing. Raksasa Rimba Neraka
memang tidak menghindari semua serangan itu.
Dengan tenaga dalamnya yang jauh di atas lawan-
lawannya, pukulan tongkat-tongkat itu tidak
berpengaruh apa-apa. Bahkan sebagian besar tongkat
yang menghantam sasarannya patah-patah.
"Sekarang giliranku...!" ucap raksasa itu keras
ketika tidak ada lagi hujan serangan tongkat
menyambarnya. Belum lagi gema suara ucapannya
lenyap, tangan kakek raksasa itu bergerak ke sana
kemari. Sederhana saja gerakannya, tapi akibatnya
hebat bukan main. Ke manapun tangannya bergerak,
sudah dapat dipastikan ada satu jiwa yang melayang.
Jerit kematian terdengar saling susul dibarengi
berjatuhannya tubuh-tubuh yang sudah ditinggalkan
nyawanya.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Dua jeritan melengking panjang, mengiringi
robohnya dua orang terakhir yang masih hidup.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka kembali
mengumandangkan tawanya ketika melihat tidak ada
lagi sosok tubuh yang masih berdiri. Semuanya telah
tewas dalam keadaan mengerikan.
Tapi rupanya kakek tinggi besar ini belum puas
terhadap semua perbuatan yang dilakukan.
Didekatinya sebatang pohon sebesar pelukan orang
dewasa yang berdaun lebat.
Setelah jarak antara dirinya dengan pohon itu
hanya sekitar tiga tombak, raksasa ini menjulurkan
kedua tangannya ke depan. Kemudian pelahan-lahan
tangannya dikepalkan. Suara berkerotokan keras
terdengar ketika kakek tinggi besar ini mengepalkan
tangannya.
Lambat tapi penuh tenaga, kedua tangan yang
telah terkepal keras itu ditariknya ke pinggang. Suara
berkerotokan semakin terdengar keras ketika kedua
tangan itu ditarik.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras melengking yang
membuat sekitar tempat itu bergetar hebat, Raksasa
Rimba Neraka memukulkan kedua tangannya yang
terkepal itu ke depan.
Wuttt...!
Bresss...! Pralll...!
Angin berhawa panas menderu keras, lalu
menyambar ke arah rerimbunan dedaunan. Dan
secepat angin pukulan itu mengenai rerimbunan
dedaunan itu, secepat itu pula dedaunan itu terbakar!
Dalam waktu sekejap saja, api telah berkobar besar.
"Haaat...!"
Sekali lagi Raksasa Rimba Neraka memukulkan
kedua tangannya ke depan. Kali ini ke arah batang
pohon besar itu.
Wuuusss...!
Braaakkk...!
Pohon itu langsung rubuh ketika angin pukulan
kakek tinggi besar itu menghantamnya. Tampak bagian
dalam batang pohon itu hangus bagai terbakar!
"Hih...!''
Kembali kakek raksasa ini menggerakkan
tangannya, tapi dengan gerakan berbeda dengan
sebelumnya. Kali ini Raksasa Rimba Neraka melakukan
gerak mendorong!
Wusss...! Wuk...! Brakkk...!
Hebat luar biasa tenaga dalam yang dimiliki
Raksasa Rimba Neraka ini. Dengan angin pukulannya,
pohon itu didorong sehingga jatuh tepat di depan salah
satu bangunan Perguruan Tongkat Merah.
Seketika itu juga api yang tengah membakar po-
hon itu, menjalar ke arah bangunan berdinding bilik
bambu. Mendapat sasaran yang memang mudah
terbakar ini, api pun lebih cepat berkobar.
"Ha ha ha...!" Raksasa Rimba Neraka tertawa
terbahak-bahak, memandangi api yang berkobar
melahap bangunan itu. Sekujur tubuhnya nampak
penuh keringat. Napasnya pun memburu hebat.
Memang apa yang baru saja dilakukannya, banyak
menguras tenaga.
Sebenarnya kalau kakek raksasa ini hanya
ingin membakar bangunan itu, tidak perlu bersusah
payah seperti itu. Dia bisa langsung mengerahkan
'Tinju Geledek' pada dinding bangunan dari bilik itu.
Dan itu akibatnya sama saja. Dan memang, Raksasa
Rimba Neraka sebenarnya hanya ingin mengetahui
kemampuan dirinya. Dan ternyata memang mampu!
"Ha ha ha...!" Diiringi tawa terbahak-bahak, di-
tinggalkannya tempat yang pelahan namun pasti mulai
habis dimakan api! Namun tanpa diketahui, ada
sesosok tubuh yang berlari meninggalkan tempat itu.
***
"Keparat...!" Pengemis Tongkat Merah memaki.
Wajah kakek kurus kering ini nampak merah padam.
Kedua tangannya terkepal erat. Terdengar suara
bergemeletak dari tulang-rulang tangan yang mengepal
itu.
Dipandangi dalam-dalam sosok tubuh di
hadapannya. Sosok tubuh muridnya yang berhasil
melarikan diri sewaktu Raksasa Rimba Neraka
mengamuk di sana. Sapta dan Kami pun nampak
pucat wajahnya.
"Benarkah ciri-ciri orang yang kau sebutkan itu,
Kantara?" tanya kakek pengemis ini lagi, untuk
memastikan.
"Benar, Guru."
Pengemis Tongkat Merah mengangkat
wajahnya.
"Kalau begitu, aku harus membalas
perlakuannya! Mati pun tidak mengapa, asal berhasil
membunuh kawanan mereka sebanyak-banyaknya!"
"Aku ikut, Ayah!" tegas Kami buru-buru.
"Aku juga, Guru!" Sapta tak mau kalah.
"Begitu pula aku, Guru," pinta Kantara.
Kakek kurus kering ini, memandangi wajah
anak dan murid-muridnya satu persatu. Ada nada
kebanggaan terpancar di mata kakek ini.
"Sudah dipertimbangkan masak-masak
keputusan kalian itu?"
"Sudah, Guru!" sahut mereka serentak.
"Sekalipun taruhannya adalah nyawa kalian
sendiri?"
"Kami tidak takut!"
"Bagus! Kalau begitu, mari kita berangkat!" ajak
kakek itu seraya beranjak dari situ.
Sapta, Kami dan Kantara, berjalan mengikuti.
Telah bulat tekad mereka untuk menumpas
gerombolan Toga dan kawan-kawannya sekalipun
harus berkorban nyawa!
TUJUH
Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, Dewa
Arak berlari meninggalkan Sapta. Arya tahu kalau
murid Pengemis Tongkat Merah salah paham. Mungkin
dia disangka hendak berbuat sesuatu yang tidak
senonoh terhadap gadis itu. Maka dengan itu, terpaksa
ditinggalnya pemuda itu.
Tapi belum berapa jauh berlari, tubuh Dewa
Arak mulai limbung dan akhirnya tak mampu
bertahan. Tanpa ampun lagi, dia terjatuh di tanah.
Untuk beberapa saat lamanya, pemuda berbaju ungu
itu sama sekali tidak bergerak. Dibiarkan saja
tubuhnya tergolek di tanah. Arya memang bermaksud
meredakan dulu napasnya yang memburu.
Setelah alur napasnya kembali normal, Dewa
Arak beringsut mendekati rerimbunan semak yang
agak tersembunyi. Di sudut bibir pemuda itu nampak
bercak-bercak cairan darah merah. Dikeluarkan
sebuah obat pulung yang terjepit di sebuah gulungan
kain yang terselip di pinggangnya. Dewa Arak
mengambil sebutir, kemudian menelannya. Obat itu
memang manjur untuk menyembuhkan luka dalam.
Beberapa saat kemudian, Arya mulai diserang
rasa kantuk. Dan pelahan namun pasti, sepasang mata
itu mulai mengatup. Tak lama kemudian Dewa Arak
pun tertidur.
Cukup lama juga pemuda itu tertidur. Dan
ketika terbangun, yang terasa adalah lemas yang amat
sangat. Tapi, rasa nyeri yang melanda dadanya sudah
tidak ada lagi.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda
berambut putih keperakan ini segera duduk bersila.
Punggungnya diluruskan, sementara kedua tangannya
dirangkapkan di depan dada. Tak lama kemudian, Arya
sudah tenggelam dalam keheningan semadi untuk
memulihkan tenaganya kembali.
Waktu berlalu tak terasa. Malam pun berganti
pagi. Tapi, Arya masih belum juga menghentikan
semadinya. Sampai matahari naik tinggi, baru pemuda
itu menghentikan semadinya.
"Hhh...!"
Dewa Arak mendesah lega. Kini seluruh
tubuhnya terasa segar kembali dan tenaganya pun
telah pulih.
Pelahan Arya bangkit dari bersilanya. Kemudian
berdiri menyandar pada sebatang pohon. Sepasang
matanya menerawang ke depan, sementara benaknya
berpikir keras mengingat hal aneh yang dijumpainya
semalam.
Memang Dewa Arak tengah dilanda
kebingungan. Mengapa Raksasa Rimba Neraka ada di
rumah Kepala Desa Gebang? Padahal menurut cerita Ki
Marta, kepala desa itu adalah Toga. Dan dia itu bekas
kepala pengawal Ki Panjar. Juga sebenarnya Toga
bukan tokoh golongan hitam. Lalu, bagaimana bisa
bersama Raksasa Rimba Neraka?
Tapi sampai otaknya lelah berpikir, Dewa Arak
belum juga mendapatkan jawabannya. Pemuda berbaju
ungu ini sadar kalau jawaban bagi semua
pertanyaannya ada di rumah Kepala Desa Gebang.
Maka seketika tubuh Dewa Arak ini pun kembali
melesat ke sana.
Cepat bukan main gerakannya. Sehingga dalam
sekejap saja, yang nampak hanya sebuah titik hitam
kecil. Dan akhirnya titik kecil itu lenyap di kejauhan.
***
Empat sosok tubuh berkelebat cepat ke arah ru-
mah Kepala Desa Gebang. Mereka adalah Pengemis
Tongkat Merah, Sapta, Kami, dan Kantara.
"Ingat, Sapta. Kau tidak perlu menghiraukan
diriku. Aku akan mencoba menahan Raksasa Rimba
Neraka, dan kau cari musuh besar yang telah
membunuh keluargamu. Kami akan membantumu.
Mengeiti?!" jelas Pengemis Tongkat Merah sambil terus
berlari.
Sapta menganggukkan kepalanya pertanda
mengerti.
Tak lama kemudian, keempat sosok tubuh itu
pun sudah berada di depan pintu gerbang rumah besar
dan megah yang berhalaman luas itu. Rumah Kepala
Desa Gebang.
Tentu saja dua orang yang menjaga pintu
gerbang itu mengenali Sapta dan Kami, yang telah
menewaskan banyak teman mereka. Dan keduanya
pun sadar, kalau bukan tandingan muda-mudi yang
berkepandaian tinggi itu. Maka, seketika diputuskan
untuk memberitahu teman-teman mereka.
Sebelum kedua orang itu sempat berbuat
sesuatu, Kami dan Sapta bergerak cepat. Tanpa
sungkan-sungkan lagi mereka telah menghunus
senjata masing-masing. Sapta dengan tombak pendek,
dan Kami dengan pedang.
Wut...! Wuk...!
Dua buah senjata itu melesat cepat mengiringi
melesatnya tubuh mereka.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Dua jerit kematian terdengar saling susul,
mengiringi rubuhnya dua penjaga itu ke tanah. Mereka
tewas dengan leher hampir putus.
Tentu saja suara jerit kematian itu
menimbulkan kegemparan. Maka berbondong-bondong
anak buah Toga, melesat ke arah suara itu berasal.
Pengemis Tongkat Merah, Sapta, Kami, dan
Kan-ara tidak bertindak setengah-setengah lagi.
Mereka segera menyambut serbuan anak buah Toga
dengan penuh semangat. Setiap serangan yang
dilancarkan, pasti membuat lawan mereka roboh dalam
keadaan tidak bernyawa lagi.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Jerit lengking kematian kembali terdengar
saling susul. Para penjaga itu bagaikan segerombolan
sernut menerjang api, dan satu persatu berguguran.
"Mundur semua...!"
Tiba-tiba terdengar seruan menggelegar, yang
membuat sekitar tempat itu sepertinya bergetar hebat.
Begitu hebatnya pengaruh bentakan itu, sehingga tan-
pa sadar Pengemis Tongkat Merah, dan murid-murid-
nya melompat mundur. Mereka semua memandang ke
satu arah, ke tempat suara itu berasal.
Sekitar tiga tombak dari arena pertarungan,
nampak berdiri seorang kakek tinggi besar yang tak
lain Raksasa Rimba Neraka. Dia memang telah
kembali, setelah membumihanguskan Perguruan
Tongkat Merah. Di belakang kakek itu nampak berdiri
Gajula dan Toga.
"Kau urusi saja musuh besarmu, Sapta. Biar
kucoba menahan raksasa itu," bisik Pengemis Tongkat
Merah.
"Tapi, Guru...," Pemuda berhidung melengkung
yang tahu kalau gurunya bukan tandingan Raksasa
Rimba Neraka, mencoba membantah.
"Tidak ada bantahan lagi, Sapta! Ini perintah...!"
desis kakek pengemis itu tegas.
"Ha ha ha...!" Raksasa Rimba Neraka tertawa
ter-bahak-bahak. "Tidak kusangka kalau berani datang
kemari, pengemis busuk! Apakah kali ini kau tidak
akan lari terbirit-birit lagi seperti dulu?!"
Merah wajah Pengemis Tongkat Merah.
"Raksasa Rimba Neraka! Tidak kusangka kalau
kau ternyata begitu pengecut! Kau membantai semua
muridku selagi aku tidak berada di sana! Sekarang aku
datang untuk menuntut balas atas kekejianmu
terhadap semua muridku!"
Setelah berkata demikian, Pengemis Tongkat
Merah segera memutar tongkatnya di depan dada.
Angin menderu keras, mengiringi putaran tongkat itu.
"Hiyaaat...!"
Sambil berseru keras, kakek pengemis ini
melompat menerjang. Tongkat merah di tangannya
disabetkan ke arah leher lawannya. Sedangkan
Raksasa Rimba Neraka cepat-cepat mengangkat
tangannya, menangkis.
Plak!
Hebat akibatnya. Tubuh Pengemis Tongkat
Merah terjengkang ke belakang. Tangannya yang
menggenggam tongkat terasa sakit bukan main.
Sementara itu tubuh Raksasa Rimba Neraka hanya
bergetar saja.
"Grrrh...!"
Raksasa Rimba Neraka menggeram keras. Telah
bulat tekadnya untuk melenyapkan Pengemis Tongkat
Merah, setelah kakek pengemis itu tidak ditemukan di
perguruannya. Tidak akan dibiarkan kakek pengemis
ini berhasil menyelamatkan diri lagi!
Kini kakek itu menjulurkan kedua tangannya ke
depan, kemudian mengepalkannya pelahan-lahan.
Terdengar bunyi bergemeletuk seolah-olah tulang-
belulang kakek raksasa ini berpatahan. Suara itu
semakin jelas terdengar ketika Raksasa Rimba Neraka
menarik kedua tangannya yang terkepal itu ke sisi
pinggang.
"Hiyaaa...!"
Tangan kanan kakek raksasa yang terkepal itu
dipukulkan ke depan. Terdengar suara meledak-ledak,
seolah-olah ada halilintar menyambar ke arah Penge-
mis Tongkat Merah.
"Hup...!"
Kakek kurus kering membanting tubuhnya ke
tanah, lalu berguling-gulingan.
Blarrr...!
Seketika itu juga, tanah berlubang besar
terhantam pukulan Raksasa Rimba Neraka yang tidak
mengenai sasaran.
Melihat serangannya gagal, si raksasa ini marah
bukan main. Maka dihujaninya tubuh lawannya yang
tengah bergulingan itu, dengan pukulan jarak jauh
yang mengeluarkan suara meledak-ledak laksana hali-
lintar.
Maka repotlah Pengemis Tongkat Merah dibuat-
nya. Tiada jalan lain baginya kecuali terns bergulingan
kalau ingin selamat. Berhenti berguling berarti berhenti
pula nyawanya. Sementara itu, Sapta dan Kami yang
semula ingin menerjang Toga dan Gajula, jadi
mengurungkan niat setelah melihat guru mereka dalam
keadaan demikian. Namun tiba-tiba....
Sraat...!
Kami segera menghunus pedangnya.
Wuk...! Wuk...!
Sapta pun memutar-mutarkan tombak
pendeknya.
"Hiyaaa.,.!"
Sambil memekik melengking, Kami melompat.
Dan seketika itu pula, ujung pedangnya ditusukkan ke
arah leher Raksasa Rimba Neraka yang tengah
menghujani Pengemis Tongkat Merah dengan pukulan
mautnya.
"Haaat...!"
Sapta pun tak ketinggalan. Pemuda berhidung
melengkung ini juga melompat. Tombak pendek di ta-
ngannya diputar-putarkan di udara, sebelum ditusuk-
kan ke perut Raksasa Rimba Neraka.
Menghadapi dua serangan maut ini, Raksasa
Rimba Neraka tidak bertindak ceroboh. Terpaksa
dialihkan perhatiannya dari Pengemis Tongkat Merah.
"Grrrh...!"
Sambil mengeluarkan gerengan kemarahan,
kakek raksasa ini menggerakkan tangannya
menangkis.
Trak...! Trak..!
"Ihhh...!"
"Ahhh...!"
Sapta dan Kami berbarengan menjerit kaget.
Tangan kedua anak muda itu yang menggenggam sen-
jata, terasa lumpuh seketika saat tangan telanjang si
raksasa menangkis serangan mereka.
Belum lagi hilang rasa terkejut yang melanda
hati mereka, tangan Raksasa Rimba Neraka kembali
bergerak. Dan....
Tappp...! Kreppp...!
Pedang dan tombak pendek milik kedua muda-
mudi itu tahu-tahu telah dicengkeram si raksasa. Dan
Sapta dan Kami tentu saja tidak membiarkan senjata
andalan mereka terampas. Buru-buru mereka me-
ngerahkan seluruh tenaga yang dimiliki untuk
membetot. Tapi, cekalan pada senjata mereka sama
sekali tidak bergeming. Sebaliknya, begitu Raksasa
Rimba Neraka menggerakkan tangan membetot, tubuh
Kami dan Sapta pun tertarik maju
Pengemis Tongkat Merah tentu saja melihat ke-
adaan gawat yang dialami murid-muridnya itu. Maka
cepat-cepat dia melompat sambil menyabetkan
tongkatnya ke kepala si raksasa. Namun Raksasa
Rimba Neraka tentu saja tidak membiarkan kepalanya
hancur tersabet tongkat kakek kurus kering. Mau tidak
mau dibatalkan betotannya pada Sapta dan Kami.
Wusss...!
Tongkat merah itu lewat beberapa rambut di
depan muka kakek tinggi besar itu ketika raksasa itu
menarik kepalanya mundur ke belakang.
Beberapa saat kemudian, keempat orang itu
pun sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.
Kini setelah Sapta dan Kami ikut terlibat, pertarungan
berlangsung seimbang.
Sementara itu Toga, Gajula dan anak buahnya,
terpukau melihat pertandingan yang menegangkan itu.
Demikian pula dengan Kantara yang hanya berdiri
mematung tanpa memberi bantuan pada Kami dan
Sapta.
Suara mendecit, menderu dan meledak-ledak
mengiringi pertempuran mereka. Batu-batu besar dan
kecil beterbangan tidak tentu arah. Debu pun
mengepul tinggi ke udara.
Tapi setelah pertarungan berlangsung tiga
puluh jurus, mulai nampak keunggulan Raksasa
Rimba Neraka yang pelahan namun pasti mulai
menguasai keadaan.
"Hiyaaa...!"
Kami berteriak nyaring. Pedang di tangannya
berkelebat ke arah tenggorokan. Suara mendesing
nyaring mengiringi tibanya serangan pedang itu.
Melihat hal ini, Raksasa Rimba Neraka
menggeram. Tangan kanannya berkelebat cepat.
Takkk...! Tappp...!
"Ikh...!"
Kami berteriak tertahan. Tubuhnya melayang
deras ketika tangan si raksasa itu menangkis,
sekaligus menangkap dan membetot. Kejadian itu
berlangsung begitu cepat dan tiba-tiba. Akibatnya gadis
itu tidak mampu berbuat apa-apa, dan membiarkan
pedangnya dirampas lawan.
"Hup...!"
Gadis berpakaian jingga itu mendaratkan kedua
kakinya di tanah, walaupun tubuhnya agak limbung.
Singgg...!
Secepat pedang Kami dirampas, secepat itu pula
dilemparkan ke arah Sapta yang tengah menyerang.
Terpaksa pemuda berhidung melengkung itu memba-
talkan serangannya, dan menangkis sambitan pedang
yang melesat ke arahnya.
Tranggg...!
Begitu kuatnya tenaga yang terkandung dalam
lemparan pedang itu, sehingga begitu Sapta me-
nangkis, tombak di tangannya terlepas dari pegangan.
Kini leluasalah Raksasa Rimba Neraka
menghujani Pengemis Tongkat Merah dengan pukulan
geledeknya.
Kembali untuk yang kesekian kalinya, kakek
kurus kering itu berlompatan ke sana kemari
menghindari setiap serangan lawan. Tak ada
kesempatan baginya untuk balas menyerang. Sudah
dapat dipastikan kalau tak lama lagi, kakek kurus
kering ini tak akan bertahan lama.
Sadar jika keadaan seperti ini berlangsung
terus, jelas amat berbahaya baginya. Maka Pengemis
Tongkat Merah bertekad menerobos hujan pukulan
jarak jauh yang bertubi-tubi menyerangnya.
"Hiyaaa...!"
Tubuh kakek pengemis itu melayang ke arah
Raksasa Rimba Neraka. Tongkat di tangannya
disodokkan ke arah ulu hati. Tapi sebelum serangan
itu tiba, si raksasa telah melepaskan pukulan 'Tinju
Geledek'-nya.
"Hih...!"
Wuuuttt...! Prattt...!
"Akh...!"
Pengemis Tongkat merah memekik tertahan.
Luncuran tubuhnya langsung terhenti di tengah jalan,
ketika pukulan 'Tinju Geledek' lawan menyerempet
pahanya.
Dengan tubuh sempoyongan, kakek pengemis
ini hinggap di tanah. Dan selagi kakek ini belum
sempat berbuat apa-apa, serangan susulan lawan
menyambar tiba.
Wuuusss...!
Angin berhawa panas menderu keras ketika
ilmu 'Tinju Geledek' itu menyambar ke arah Pengemis
Tongkat Merah, yang hanya mampu menatap dengan
mata membeliak lebar.
Di saat yang amat gawat bagi Pengemis Tongkat
Merah, dari arah yang berlawanan, menyambar
serentetan angin berhawa panas, yang menderu
memapak serangan Raksasa Rimba Neraka.
Blarrr...!
Tanpa dapat dicegah lagi, dua buah pukulan
jarak jauh yang sama-sama mengandung hawa panas
bertemu di udara. Bunyi ledakan yang amat keras
terdengar, membuat suasana di tempat itu bergetar
seolah terjadi gempa.
Pengemis Tongkat Merah segera membanting
tubuhnya dan bergulingan menjauh. Sementara tubuh
Raksasa Rimba Neraka tampak terhuyung. Tanpa me-
lihat pun dia sudah dapat menduga orang yang telah
mampu membuat dirinya seperti itu.
DELAPAN
Di hadapan Raksasa Rimba Neraka, tampak
berdiri tenang seorang pemuda berambut putih kepe-
rakan. Sebuah guci arak yang terbuat dari perak,
nampak tengah dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu
memasuki tenggorokannya.
"Grrrh...!"
Raksasa Rimba Neraka menggeram. Kakek
pemakan manusia ini memang murka bukan kepalang.
Sebab, lagi-lagi Dewa Arak menggagalkan usahanya
yang hampir berhasil membunuh Pengemis Tongkat
Merah.
"Hih...!"
Dan kini tanpa sungkan-sungkan lagi Raksasa
Rimba Neraka segera mengeluarkan ilmu andalannya,
'Tinju Geledek'. Kedua tangannya melakukan pukulan
bertubi-tubi ke arah dada. Setiap gerakan tangannya
menimbulkan suara meledak-ledak bagai geledek.
Tapi berkat jurus 'Delapan Langkah Belalang',
Dewa Arak tidak mengalami kesulitan menghindari
serangan itu. Dengan gerakan terhuyung-huyung se-
perti akan jatuh, Arya berkelit. Maka, setiap serangan
Raksasa Rimba Neraka kandas dan mengenai tempat
kosong.
Yang lebih hebat lagi, begitu mengelak, Dewa
Arak langsung berbalik mengancam lawan. Satu
keistimewaan jurus 'Delapan Langkah Belalang'!
Sementara itu, begitu melihat Raksasa Rimba
Neraka telah mendapat lawan, Sapta dan Kami tidak
mau membuang-buang waktu lagi. Mereka cepat-cepat
menerjang musuh besar masing-masing. Sapta mener-
jang Toga, sedangkan Kami menerjang Gajula. Se
mentara Pengemis Tongkat Merah dan Kantara
menghadapi pengeroyokan anak buah Toga.
Sapta kini telah menggenggam kembali tombak
pendeknya yang tadi terlepas dari pegangan. Dengan
senjata itu diterjangnya Toga penuh kemarahan. Tom-
bak pendek di tangannya berputaran, menimbulkan
suara angin menderu-deru.
Toga yang telah mengetahui kelihaian pemuda
putra Ki Panjar ini, tidak mau bertindak gegabah.
Maka, segera dicabut goloknya. Dalam hati, Kepala
Desa Gebang ini memaki-maki Dewa Arak yang untuk
kesekian kalinya mengacau urusannya.
Tranggg...! Tranggg...!
Dua kali berturut-turut Toga menangkis
serangan Sapta. Dan akibatnya, sekujur tangannya
terasa bergetar hebat. Sadarlah si kumis melintang ini
kalau tenaga dalam yang dimilikinya masih di bawah
Sapta. Walaupun waktu itu, Toga sudah merasakan
sendiri kehebatan tenaga dalam pemuda di
hadapannya ini, tapi rasa penasaran membuatnya
mencoba mengadu tenaga kembali.
Wut...!
Kembali serangan susulan tombak pendek
Sapta menyambar deras. Tombak itu berputaran
sejenak, sebelum membabat leher.
Melihat serangan ini, Toga kebingungan. Karena
tidak bisa menduga arah serangan itu sebenarnya.
Apalagi serangan itu dilakukan secara berputar, se-
hingga membuatnya pusing. Dan baru setelah serang-
an itu menyambar dekat, diketahuinya arah sasaran
serangan itu.
Toga buru-buru mendoyongkan tubuhnya ke
belakang, sehingga serangan tombak itu lewat
beberapa senti di depan lehernya. Dan begitu serangan
itu lewat, tanpa membuang-buang waktu lagi golok di
tangannya ditusukkan ke bagian perut Sapta yang
terbuka lebar.
Tapi murid andalan Pengemis Tongkat Merah
ini, tentu saja tidak ingin perutnya ditembus golok.
Buru-buru tusukan itu dielakkan sambil tak lupa
mengirim serangan balasan yang tak kalah
berbahayanya. Kini keduanya sudah terlibat
pertarungan mati-matian.
Di bagian lain, Kami tampak tengah berjuang
keras menghadapi Gajula. Murid Raksasa Rimba
Neraka ini memang cukup lihai. Dan tentu saja Kami
harus menguras kemampuan untuk melawannya.
Pedang di tangannya berkelebat cepat mencari sasaran
di sekujur tubuh lawan.
Di antara para penyerbu itu, Pengemis Tongkat
Merahlah yang paling beruntung. Kakek ini hanya
menghadapi puluhan keroco. Dengan gerakan
seenaknya, dirangsek lawan-lawannya. Ke mana
tongkat di tangannya bergerak, sudah pasti di situ ada
sesosok tubuh yang roboh.
Jerit pekik kematian terdengar saling susul.
Dalam waktu sebentar saja, sudah delapan orang yang
roboh di tangan kakek kurus kering ini.
Pengemis Tongkat Merah bertarung tidak
sepenuh hati. Sepasang matanya berkeliaran
memperhatikan pertempuran lainnya. Terutama
pertempuran Dewa Arak melawan Raksasa Rimba
Neraka.
"Akh...!"
Jerit tertahan membuat Pengemis Tongkat
Merah yang tengah enak-enaknya membunuhi
lawannya jadi terperanjat. Suara itu cukup dikenalnya.
Suara Kantara!
Segera saja kepala kakek kurus kering itu
ditolehkan ke arah asal suara. Dapat dibayangkan
betapa kaget hatinya, melihat Kantara terhuyung-
huyung. Di dada pemuda itu tertancap sebatang golok
bergerigi mirip gergaji yang tembus sampai ke
punggung. Kalau melihat bentuknya, jelas golok itu
milik Gurat! Dan memang sejak tadi Kantara
bertempur melawan Gurat.
Seketika pucat wajah Pengemis Tongkat Merah.
Apalagi ketika melihat tubuh Kantara kemudian roboh.
Kakek ini melompat meninggalkan arena pertempuran,
dan langsung menerjang Gurat. Dan memang, dia pun
telah menghabisi lawan-lawannya.
Gurat kaget bukan main. Maka sebisanya dia
berusaha mengelak. Tapi gerakannya terlalu lambat
bagi guru Kantara.
Prak!
"Aaakh...!"
Tubuh Gurat rubuh di tanah ketika tongkat
merah di tangan kakek kurus kering itu, menghantam
kepalanya hingga remuk.
Tepat saat Gurat tewas, Sapta berteriak nyaring.
Tombak pendek di tangannya melesat cepat ke arah
perut Toga yang sudah terdesak. Cepat-cepat kepala
desa itu menangkis.
Tranggg...!
Tangan Toga tergetar hebat. Dart di saat itu
kaki kanan Sapta menyambar ke arah siku.
Tukkk...!
Toga merasakan tangannya mendadak lumpuh,
dan golok di tangannya pun terlempar. Di saat itulah,
dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, tombak di
tangan Sapta meluruk deras ke arah lambung Toga.
Blesss...!
"Aaakh...!"
Toga menjerit memilukan. Beberapa saat
lamanya tubuhnya bergetar melawan maut, kemudian
roboh untuk selamanya.
"Adi Toga...!"
Gajula menjerit ketika melihat adik kandungnya
berkelojotan sesaat, untuk kemudian diam tidak ber-
gerak lagi.
"Keparat...! Kubunuh kau...!"
Tanpa mempedulikan Kami, Gajula melompat
menerkam Sapta laksana seekor macan menerkam
mangsa. Kami yang melihat bahaya besar mengancam
Sapta, segera melesat memburu. Pedangnya
ditusukkan ke depan.
Sementara itu, Sapta hanya terkesiap.
Terkaman itu begitu tiba-tiba datangnya, sehingga
tidak ada waktu lagi untuk mengelak. Terpaksa
dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk
memapak serangan dengan kedua tangan.
Plak!
Tubuh Sapta terjengkang ke belakang. Memang
tenaga dalam yang dimiliki Gajula lebih kuat. Tapi
sebelum Gajula sempat memberikan serangan susulan,
serangan pedang Kami telah lebih dulu tiba.
Cappp...!
"Akh...!"
Gajula memekik tertahan. Pedang Kami telah
menghunjam punggungnya hingga tembus ke perut.
Darah segar kontan muncrat ketika Kami mencabut
pedangnya.
Tubuh Gajula sempoyongan. Tampak jelas
kalau si wajah kera ini mencoba bertahan. Tapi karena
luka-luka yang diderita terlalu parah, dia pun roboh ke
tanah. Tubuhnya menggelepar-gelepar sejenak, sebe-
lum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
"Kau tidak apa-apa, Kang?" tanya Kami. Wajah-
nya menampakkan kecemasan yang hebat.
Sapta menggelengkan kepalanya. Rasa gembira
yang amat sangat melanda hatinya melihat
kekhawatiran gadis itu terhadap keselamatannya.
"Hanya dadaku saja yang agak sesak sedikit Si
wajah kera itu memang lihai bukan main. Kalau saja
tidak ada dirimu...."
"Sudahlah, Kang...," selak Kami cepat.
"Grrrh...!" terdengar gerengan murka Raksasa
Rimba Neraka.
Seratus dua puluh lima jurus telah berlalu, tapi
kakek raksasa itu tidak juga mampu mendesak Dewa
Arak. Padahal 'Tinju Geledek' yang jadi ilmu
andalannya telah digunakan. Bahkan sebaliknya,
malah dia yang terdesak.
Kini terpaksa Raksasa Rimba Neraka
menggunakan 'Jurus Trenggiling'. Dan memang
menghadapi jurus ini, Dewa Arak kebingungan. Ilmu
'Belalang Sakti' jadi lumpuh menghadapi ilmu ini.
Posisi lawan yang selalu di bawah, membuat Arya repot
bukan main. Sulit baginya untuk menjatuhkan
serangan.
Setiap serangan Dewa Arak selalu berhadapan
dengan sepasang kaki yang memiliki pertahanan kokoh
dan kuat. Sebaliknya setiap serangan kaki raksasa itu,
membuatnya repot bukan main. Pelahan namun pasti
Dewa Arak terdesak.
Tapi walaupun terdesak, pikiran Dewa Arak
bekerja keras. Dari pengalaman menghadapi lawan-
lawan tangguh, pemuda berambut putih keperakan ini
sadar kalau tidak ada ilmu yang sempurna. Semua
ilmu memiliki kelemahan. Oleh karena itu, Dewa Arak
sibuk berpikir untuk melumpuhkan ilmu lawan yang
aneh ini.
Selama dua puluh jurus kemudian, Dewa Arak
hanya bisa mengelak. Tanpa mampu balas menyerang.
Karena memang tidak bisa menyarangkan serangan
satu pun.
"Hait...!"
Sambil berteriak nyaring, Raksasa Rimba
Neraka kembali menyerang Dewa Arak. Kedua kakinya
bergerak menggunting kaki Arya.
"Hup...!"
Dewa Arak melompat ke belakang. Sehingga
guntingan kedua kaki raksasa itu mengenai tempat
kosong. Dan begitu tubuhnya berada di udara, Arya
menghentakkan kedua tangannya. Dengan jurus
'Pukulan Belalang' dari 'Tenaga Dalam Inti Matahari'
yang jarang dipergunakan, Arya mengirimkan
serangan.
Wuuusss...!
Blarrrr...!
Pukulan itu menghantam tanah tempat
Raksasa Rimba Neraka tadi berada. Namun demikian,
Dewa Arak terus mencecar raksasa itu dengan jurus
'Pukulan Belalang'-nya, sehingga lawannya hanya bisa
berguling-gulingan menghindari serangan yang dahsyat
itu!
Serentetan angin pukulan berhawa panas,
menyambar deras ke arah Raksasa Rimba Neraka.
Kakek raksasa ini kaget bukan main. Cepat-cepat
dilentingkan tubuhnya, kemudian berguling-guling
menjauh.
Blarrrr...!
Tak pelak lagi pukulan itu menghantam tanah
tempat Raksasa Rimba Neraka berada, hingga
berlubang besar. Namun demikian, Dewa Arak tidak
membiarkan lawannya lolos. Segera dicecarnya si
raksasa itu dengan jurus 'Pukulan Belalang'-nya.
Suara menggelegar terdengar bertubi-tubi,
setiap kali Raksasa Rimba Neraka berhasil
mengelakkan serangan Dewa Arak. Kini keadaan jadi
berbalik, karena Raksasa Rimba Neraka tidak
memperoleh kesempatan membalas.
Kakek bertubuh raksasa itu menggeram.
Disadari kalau keadaan seperti ini berlangsung terus-
menerus, dia akan tewas di tangan lawannya. Maka
pada suatu kesempatan, raksasa ini melentingkan
tubuhnya ke atas sambil mengirimkan serangan
pukulan jarak jauh.
Suara meledak-ledak terdengar mengiringi
tibanya serangan itu. Tapi Dewa Arak yang memang
sudah memperhitungkan hal itu, segera membanting
tubuh ke tanah. Tepat pada saat itu, Arya melepaskan
'Pukulan Belalang'-nya.
Wuusss...!
Bresss...!
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan ngeri dari mulut Raksasa
Rimba Neraka. Pukulan yang dilepaskan Dewa Arak
telak menghantam dadanya. Seketika itu juga
tubuhnya terlempar ke belakang sejauh beberapa
tombak.
Brukkk...!
Disertai suara berdebuk keras, tubuh itu jatuh
ke tanah. Tapi kakek raksasa ini memang hebat bukan
main. Jurus 'Pukulan Belalang' yang biasanya
langsung mematikan lawan, ternyata tidak mampu
menewaskannya. Walaupun dengan tertatih-tatih,
kakek bertubuh raksasa itu berusaha bangkit. Sekujur
tubuhnya nampak hitam hangus.
Dewa Arak terperangah juga melihat kekuatan
Raksasa Rimba Neraka ini. Terpaksa dilepaskannya
lagi jurus 'Pukulan Belalang'-nya!
Bresss...!
"Aaakh...!"
Diiringi jeritan menyayat hati, tubuh Raksasa
Rimba Neraka terpental jauh ke belakang. Beberapa
saat lamanya tubuh itu melayang-layang di udara,
sebelum akhirnya jatuh ke tanah menimbulkan suara
berdebuk keras. Dan seiring jatuhnya tubuh kakek
raksasa itu di tanah, nyawanya pun melayang
meninggalkan raganya.
Pengemis Tongkat Merah, Sapta, dan Kami
bergegas memburu ke arah tubuh Raksasa Rimba
Neraka. Bergidik hati mereka melihat sekujur tubuh si
raksasa itu yang tewas dalam keadaan mengerikan,
hangus seperti terbakar.
"Hei...! Ke mana dia...?"
Sapta yang lebih dulu tersadar karena ingin
meminta maaf, merupakan orang pertama yang
menyadari kalau Dewa Arak telah tidak ada lagi di situ.
Karuan saja ucapan Sapta membuat kaget Pe-
ngemis Tongkat Merah dan juga Kami. Mereka pun
menolehkan kepalanya ke sana kemari, mencari-cari
Dewa Arak.
"Dewa Arak...! Aku, Sapta meminta maaf
padamu! Aku telah berlaku tidak pantas padamu
kemarin malam...!"
Suara yang dikeluarkan lewat pengerahan
tenaga dalam itu menggema ke sekitarnya. Sapta
berdiri diam menunggu. Sayup-sayup di telinga
pemuda berhidung melengkung itu terdengar bisikan
lirih, yang dikirimkan dari jarak jauh.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sapta. Aku
tahu kau tidak bersalah. Semua itu hanya salah
paham saja. Lupakanlah...!"
Seketika wajah Sapta berseri-seri.
"Ada apa, Kang? Mengapa kelihatan gembira
sekali?" tanya Kami yang tidak dapat menahan
keingintahuannya.
"Dewa Arak memang seorang pendekar sejati...,"
puji Sapta.
"Maksudmu...?" tanya Pengemis Tongkat Merah.
Agak tertahan suaranya.
"Dia sama sekali tidak menyalahkan aku, atas
peristiwa yang terjadi kemarin malam...."
"Sudah kuduga...," desah kakek kurus kering.
Sementara itu nun jauh di sana, orang yang me-
reka percakapkan, tengah melangkah pelahan
menyusuri jalan. Sesekali, arak dalam guci yang
digenggamnya itu dituangkan ke mulut. Terdengar
suara tegukan ketika arak itu memasuki
kerongkongannya. Dewa Arak terus melangkahkan
kakinya. Masih banyak tugas yang harus dikerjakan
selaku seorang pendekar. Nah, para pembaca yang
budiman, sampai jumpa pada kisah Dewa Arak
selanjutnya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar