..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 12 Desember 2024

DEWA ARAK EPISODE RAKSASA RIMBA NERAKA

DEWA ARAK EPISODE RAKSASA RIMBA NERAKA


RAKSASA RIMBA NERAKA

Oleh Aji Saka

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting : Puji S.

Gambar sampul oleh Pro's

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Aji Saka

Serial Dewa Arak

dalam episode: Raksasa Rimba Neraka

128 hal. ; 12 x 18 cm


SATU


"Hiyaaat...! Haaat...!"

Teriakan keras seperti tengah terjadi

pertempuran terdengar merobek kesunyian pagi, di

sebuah tanah lapang yang luas di Lereng Gunung

Jarak. Teriakan itu terdengar berasal dari seorang

pemuda bertelanjang dada yang tengah berlatih.

"Haaat...!"

Kembali pemuda itu berteriak nyaring

melengking. Dibarengi teriakan, kaki kanannya

dikibaskan ke sebatang pohon.

Brakkk...!

Seketika itu juga pohon sebesar dua pelukan

orang dewasa, tumbang. Suara bergemuruh mengiringi

rubuhnya pohon itu ke tanah.

"Bagus sekali, Sapta!" puji seorang kakek yang

sejak tadi memperhatikan. Di sebelah kakek itu

nampak seorang gadis berusia sekitar dua puluh

tahun. Wajahnya cantik manis. Rambutnya digelung ke

atas. Pakaiannya berwarna jingga, sehingga cocok

sekali dengan warna kulitnya.

Pemuda bertelanjang dada yang dipanggil Sapta

itu menghentikan latihannya. Dibalikkan tubuhnya

menghadap kakek yang kira-kira berusia enam puluh

tahun. Pakaiannya rompi dan celana sebatas bawah

lutut tampak penuh tambalan, membungkus tubuhnya

yang kurus kering. Kakek itu ternyata memang seorang

pengemis! Di tangan kanannya, tergenggam sebatang

tongkat kayu berwarna merah. Dalam rimba persilatan,

dia berjuluk Pengemis Tongkat Merah.

"Aku mohon petunjuk, Guru," pinta Sapta yang

berusia sekitar dua puluh satu tahun itu.

Pengemis Tongkat Merah yang ternyata guru pe-

muda yang bernama Sapta itu tertawa terkekeh.


Dipandanginya sosok tubuh tinggi besar, dan

berhidung melengkung di hadapannya sebentar.

"Tidak ada lagi yang dapat kuajarkan, Sapta.

Semua ilmu yang kumiliki telah beralih kepadamu dan

Kami," tegas kakek kurus kering itu sambil menoleh

kepada gadis yang berdiri di sebelahnya. "Kau telah

menguasainya dengan baik. Aku bangga padamu,

Sapta!"

Wajah pemuda tinggi besar dan berhidung me-

lengkung itu memerah, menerima pujian itu.

"Ah, semua ini adalah berkat bimbingan Guru,

dan Kami juga," ucapnya merendah.

"Kau memang terlalu rendah diri, Sapta. Aku

hanya membantu, sedangkan hasilnya semua

tergantung padamu. Kau rajin dan sungguh-sungguh,

sehingga tidak aneh kalau hampir setingkat Kami yang

telah lebih dulu belajar," ujar kakek itu sambil

tersenyum.

Ucapan Pengemis Tongkat Merah membuat

Sapta termenung. Ingatannya terlempar ke masa

sepuluh tahun silam.

Waktu itu ia, ayah dan ibunya pergi berburu ke

sebuah hutan. Karena ayah Sapta adalah seorang

kepala desa, tidak aneh jika dalam perburuan itu,

mereka dikawal beberapa anak buah ayahnya.

Tapi sesungguhnya di dalam hutan, terjadilah

hal yang tidak disangka-sangka. Toga yang bertindak

sebagai kepala pengawal, tiba-tiba melompat turun dari

kudanya.

"Ha ha ha....! Sekarang adalah akhir dari

kejayaanmu, Ki Panjar!" ucap laki-laki bertubuh tinggi

kekar, berkulit hitam, dan berkumis melintang itu.

Suaranya begitu keras dan kasar. Ketika dijentikkan

jarinya, seketika para pengawal yang berjumlah

delapan orang itu bergerak mengurung Ki Panjar,

istrinya dan Sapta, yang waktu itu baru berusia sebelas

tahun.


Wajah Ki Panjar dan istrinya langsung berubah.

Mereka menyadari adanya ancaman dari ucapan Toga.

"Apa maksudmu, Toga?" tanya Ki Panjar. Suara-

nya terdengar tenang.

"Maksudku sudah jelas, Panjar! Kau dan

keluargamu ini, akan kukirim ke neraka. Sementara

aku akan menggantikan kedudukanmu menjadi kepala

desa! Ha ha ha...!"

Wajah Nyi Panjar semakin bertambah pucat.

Sebaliknya Ki Panjar tetap tenang-tenang saja.

"Apa yang kau andalkan, Toga? Apakah hanya

keroco-keroco tak berguna ini?!" tanya Ki Panjar sambil

mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Tawa

Toga berhenti. Sepasang alis matanya berkerut. Sikap

tenang Ki Panjar membuat si kumis melintang ini

merasa curiga. Apalagi kata-kata kepala desa itu, yang

mengatakan bahwa delapan orang pengawal itu

hanyalah keroco-keroco tak berguna.

Toga memang tahu kalau Ki Panjar memiliki

kepandaian. Tapi apakah kepandaian yang dimilikinya

cukup tinggi? Paling-paling kepandaiannya hanya

dapat menghadapi empat orang pengawal itu!

"Kau terkejut, Toga? Aku pun tahu kalau kau

secara sembunyi-sembunyi sering mengintai latihanku.

Untunglah aku mencurigai kelakuanmu itu. Maka di

depanmu aku melatih ilmu-ilmu tingkat rendahan saja.

Sementara ilmu-ilmu lain kulatih saat kau lengah."

Wajah Toga berubah. Benarkah semua yang

dikatakan kepala desa ini? Atau hanya bualan belaka?

Selagi dia berpikir, tubuh Ki Panjar berkelebat.

Gerakannya cukup gesit, jauh di luar dugaan Toga.

Dalam sekejap saja, tubuh Ki Panjar, Nyi

Panjar, dan Sapta telah lenyap dari punggung kuda.

Segera Toga mengalihkan perhatiannya ke arah Ki

Panjar tadi melesat.

Ternyata Ki Panjar tidak pergi jauh-jauh.

Sekitar tiga tombak dari situ, tampak kepala desa itu


berdiri tegak membelakangi anak dan istrinya. Di

tangannya tergenggam sebuah keris berkeluk tujuh.

"Seraaang...!" teriak Toga keras.

Belum juga gema suaranya habis, tubuhnya

sudah melesat menerjang Ki Panjar. Golok di

tangannya yang sudah terhunus, cepat ditusukkan ke

perut laki-laki yang sebenarnya adalah atasannya.

Ki Panjar tetap bersikap tenang. Keris di

tangannya digerakkan cepat.

Trak!

"Akh...!"

Toga menjerit kesakitan. Ternyata bahu kirinya

sobek terserempet keris. Sungguh si kumis melintang

ini tidak habis pikir. Padahal, jelas teriihat kalau

kepala desa itu menangkis serangan goloknya. Tapi

mengapa begitu mengenai goloknya, keris itu melesat

ke arah leher? Untung dia cepat mengelak. Terlambat

sedikit saja, mautlah baginya.

Toga sama sekali tidak tahu kalau itu adalah

keistimewaan ilmu keris Ki Panjar. Begitu menangkis,

keris di tangan kepala desa ini dapat terus melesat.

Laksana bola, keris itu membal, begitu membentur

golok. Hanya saja 'membalnya' keris itu diatur Ki

Panjar.

"Kaget, Toga?!" tanya Ki Panjar. Senyum

mengejek tersungging di bibirnya. "Sekarang terimalah

kematianmu!"

Untung saja sebelum Ki Panjar mengirimkan se-

rangan susulan, pengawal yang berjumlah delapan

orang, cepat-cepat mengirimkan serangan. Mau tidak

mau kepala desa itu memusatkan perhatiannya ke

arah mereka.

Ternyata ucapan yang keluar dari mulut Ki

Panjar, bukanlah sekadar omong kosong. Delapan

orang bekas pengawalnya memang sama sekali tidak

berarti menghadapinya. Dengan ilmu meringankan

tubuh yang berada jauh di atas para pengeroyoknya,


mudah saja baginya untuk mengelakkan setiap

serangan.

Sebaliknya setiap kali tangannya bergerak, pasti

ada sosok tubuh yang rubuh tanpa nyawa. Jerit

lengking kematian terdengar saling susul. Dalam

sekejap mata saja, sudah tiga orang pengawal yang

tewas.

Sementara Toga yang telah selesai menotok

jalan darah di sekitar luka agar darah berhenti

mengalir, menjadi geram melihat kematian tiga orang

anak buahnya. Kembali si kumis melintang menerjang.

Golok di tangannya berkelebat cepat mencari sasaran.

Kini gerakan Ki Panjar mulai agak tertahan.

Kepandaian yang dimiliki kepala pengawalnya tidak

bisa dibandingkan dengan delapan orang pengawal itu.

Kalau tadi Toga terluka, ini karena belum mengetahui

keistimewaan permainan keris lawan. Setelah tahu,

Toga bersikap hati-hati. Akibatnya beberapa saat

lamanya, pertarungan itu berlangsung seru dan

seimbbang.

Tapi lewat dua puluh jurus, tampaklah

keunggulan Ki Panjar. Pelahan namun pasti, kepala

desa ini mulai berada di atas angin. Keris di tangannya

kembali mengambil korban. Satu demi satu para

pengawal berguguran.

Melihat hal ini, Toga menjadi gelisah. Sudah

dapat dipastikan kalau usahanya akan gagal. Ia

bersama sisa tiga orang anak buahnya semakin

terdesak hebat

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba saja terdengar tawa bergelak. Belum

lagi suara tawa yang membuat istri dan anak Ki Panjar

jatuh terduduk itu lenyap, sesosok tubuh tegap

berwajah mirip seekor kera telah muncul di tempat itu.

Pertarungan langsung terhenti. Ki Panjar, Toga,

dan para pengawal sama-sama menoleh ke arah asal

suara.


"Kakang Gajula...!" teriak Toga. Wajahnya lang-

sung berseri-seri. Bergegas dihampirinya si wajah kera,

yang usianya tak lebih dari empat puluh tahun.

Orang berwajah kera yang bernama Gajula

hanya tertawa saja. "Sungguh memalukan kau, Adi

Toga! Menghadapi orang seperti itu saja sampai

mengandalkan banyak orang!"

Merah wajah si kumis melintang.

"Dia lihai sekali, Kang!" sergah Toga keras.

Gajula mendengus. "Ingin kulihat sampai di

mana kelihaiannya!"

Setelah berkata demikian, dihampirinya Ki

Panjar yang hanya mendengarkan percakapan itu.

Orang yang bernama Gajula itu ternyata adalah kakak

kepala pengawal yang bernama Toga.

Gajula menatap Ki Panjar dari ujung rambut

sampai ujung kaki. Tampak senyum mengejek

tersungging di bibirnya.

Melihat hal ini, seketika panas hati Ki Panjar.

Sambil mengeluarkan suara melengking nyaring,

diterjangnya lawan di hadapannya.

Singgg...!

Keris di tangan kepala desa itu ditusukkan ke

arah leher Gajula. Cepat bukan main gerakannya. Tapi,

masih lebih cepat gerakan Gajula! Begitu serangan

keris lawan mendekat, dengan sebuah gerakan

sederhana, ditarik kepalanya ke belakang. Tepat ketika

tangan kanannya menangkap pergelangan tangan Ki

Panjar yang menggenggam keris, Gajula langsung

membetotnya.

Tak pelak lagi, tubuh kepala desa itu tertarik ke

depan. Belum lagi Ki Panjar sempat berbuat sesuaru,

kembali tangan Gajula bergerak.

Krak!

"Akh...!"

Terdengar suara berderak keras ketika tangan

itu menghantam telak dan keras bahu Ki Panjar.

Kepala desa itu langsung mengeluh tertahan, karena


tulang bahunya remuk seketika. Rasa sakit yang amat

sangat mendera tubuhnya.

"Ha ha ha...!"

Kembali terdengar tawa Gajula yang bergelak

"Hanya sampai di sini sajakah orang yang kau bilang

lihai itu, Toga?! Atau, kau sendiri yang kurang becus!?

Nih! Kuberikan padamu...!"

Setelah berkata demikian, Gajula melemparkan

tubuh Ki Panjar yang sudah setengah sadar pada Toga.

Si kumis melintang tertawa terkekeh.

Tangannya bergerak cepat

Blesss...!"

"Aaakh...!"

Ki Panjar memekik tertahan ketika golok Toga

menghunjam perutnya hingga tembus ke punggung!

Dan begitu si kumis melintang ini mencabut kembali

goloknya, darah langsung muncrat keluar. Beberapa

saat lamanya kepala desa itu ambruk, lalu menggele-

par-gelepar di tanah. Dan kini diam tidak bergerak lagi.

"Kakang...!" terdengar jerit penuh kepiluan

memecah tawa kemenangan Gajula. Seiring

terdengarnya jeritan tadi, seorang wanita setengah

baya berlari mendekati tubuh Ki Panjar. Wanita itu

adalah istri kepala desa yang kini membujur kaku.

Sementara Sapta hanya memandang mayat

ayahnya dengan mata merembang berkaca-kaca.

Bibirnya terlihat menggigil gemetar, tapi tidak sedikit

pun terdengar isak dari mulutnya.

Nyi Panjar terus menghambur. Tapi sebelum

kaki perempuan setengah tua mencapai tubuh

suaminya, tangan Toga bergerak.

Singgg...!

Cappp...!

"Akh...!"

Nyi Panjar memekik tertahan. Ternyata golok

yang dilempar kepala pengawal itu menghunjam tubuh

wanita itu hingga tembus ke punggung! Tanpa ampun


lagi Nyi Panjar ambruk ke tanah. pan saat itu pula,

nya-wanya telah melayang meninggalkan raganya.

"Ibu...!"

Kali ini Sapta tidak bisa lagi menahan

perasaannya. Anak yang baru berusia sebelas tahun ini

menjerit keras, sambil berlari menubruk ibunya.

"Anak ini akan menjadi bibit penyakit di

kemudian hari!" desis Gajula. Seketika didorongkan

kedua tangannya ke depan.

Wuuuttt...!

Angin keras berhembus keluar dari kedua

telapak tangan laki-laki berwajah kera itu. Angin itu

mehincur deras ke arah Sapta, yang tengah beriari

menghampiri tubuh ibunya yang tergeletak di tanah.

Tapi sebelum angin pukulan Gajula itu

mengenai Sapta, sesosok bayangan telah lebih dulu

berkelebat menyambar bocah kecil itu.

Brakkk...!

Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa

tumbang seketika, terkena angin pukulan yang salah

sasaran itu.

"Keparat...!" Gajula berteriak memaki.

Digenjotkan kakinya mengejar ke arah berkelebatnya

sosok bayangan itu. Tapi, sosok bayangan itu telah

lebih dulu lenyap, ditelan kerimbunan semak-semak

dan pepohonan.

Sosok bayangan yang ternyata berjuluk

Pengemis Tongkat Merah ini, membawa Sapta ke

tempat tinggalnya di Lereng Gunung Jarak. Di situ

kakek kurus kering ini memilikt sebuah perguruan,

yang diberi nama Perguruan Tongkat Merah.

Sejak saat itu, Sapta menjadi muridnya. Apalagi

setelah terbukti kalau pemuda ini memiliki bakat yang

baik untuk mempelajari ilmu silat.

***


"Apa yang kau pikirkan, Sapta?" tanya Pengemis

Tongkat Merah memenggal lamunan pemuda

berhidung melengkung itu.

"Ah...!" Sapta berdesah kaget "Tidak, Guru.

Tidak ada yang kupikirkan."

Pengemis Tongkat Merah tersenyum maklum.

"Kau jangan berdusta, Sapta. Berkali-kali kupanggil,

kau tidak menyahut. Aku yakin, ada sesuatu yang te-

ngah kau pikirkan."

Sapta tertunduk diam.

"Kau tengah memikirkan peristiwa sepuluh

tahun yang lalu, bukan?" duga kakek itu.

Beberapa saat lamanya pemuda berhidung me-

lengkung itu hanya terdiam. Pengemis Tongkat Merah

dengan sabar menunggu. Dan memang, penantian ka-

kek ini tidak sia-sia. Pelahan namun pasti kepala mu-

ridnya terangguk pelan.

"Sudah kuduga...," ucap kakek berpakaian

rompi tambalan itu. "Memang sudah saatnya kau

mengamalkan ilmu yang telah kau pelajari, untuk

orang yang membutuhkan. Aku tidak akan

menghalangi jika kau ingin membalas dendam atas

kematian orang tuamu, Sapta. Hanya satu pesanku.

Jangan gunakan ilmu yang kuwariskan ini untuk

kejahatan. Sumbangkan ilmu itu untuk membela

kebenaran dan keadilan semampumu!"

"Akan kuperhatikan semua nasihat Guru...."

Pengemis Tongkat Merah mengangguk-anggukkan

kepalanya, dan tampak gembira.

"Kapan kau akan berangkat?" tanya kakek itu.

"Besok, Guru!"

Kakek kurus kering ini terdiam sejenak. "Kau

setuju, kalau Kami ikut turun gunung bersamamu?"

Sapta menundukkan kepalanya. Dengan ekor

mata, diliriknya gadis cantik berpakaian jingga yang

berdiri di samping gurunya.

Selama ini Kami-lah yang selalu menemani

berlatih. Bahkan kepandaian gadis itu masih berada di


atas kepandaiannya. Karena di samping Kami memiliki

bakat yang hebat, gadis itu telah dididik lebih dulu oleh

Pengemis Tongkat Merah.

"Bagaimana, Sapta?" desak kakek itu ketika

melihat pemuda berhidung melengkung itu diam saja.

"Terserah pada Kami, Guru," sahut Sapta

mengelak.

"Jawablah sebagaimana seharusnya seorang

laki-laki menjawab, Sapta!" tegur kakek pengemis itu.

Tajam nada suaranya.

"Kalau aku, setuju saja, Guru. Bahkan merasa

senang sekali, bila Dik Kami bersedia ikut!" tegas

pemuda itu. Ekor matanya melirik wajah gadis di

sebelah gurunya. Dilihatnya wajah gadis itu berseri-

seri. Kami memang gadis pendiam. Dan secara diam-

diam pula Sapta mencintai putri angkat gurunya ini.

"Ha ha ha...! Itu baru jawaban seorang laki-laki,

Sapta! Baik, besok kalian berangkat!"

Keesokan harinya, tampak dua sosok tubuh

bergerak menuruni Lereng Bukit Jarak. Mereka adalah

Kami dan Sapta. Berkat ilmu meringankan tubuh yang

dimiliki, tidak sulit bagi keduanya untuk menurum

lereng gunung itu.



DUA



Brakkk...!

Pintu sebuah rumah kecil yang berdinding bilik,

hancur berantakan ketika sebuah kaki kokoh

menghantamnya. Diiringi suara hiruk pikuk, kepingan-

kepingan pintu itu jatuh berderai di tantai. Seorang

laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun, yang

tengah terbaring di dipan bambu langsung terlonjak.

Wajahnya kian memucat ketika melihat dua sosok

tubuh yang amat dikenalnya berdiri di ambang pintu.

Belum juga rasa kagetnya hilang, sosok tubuh

tinggi besar dan berkepala botak yang tadi menendang

pintu, berjalan masuk ke dalam. Langkahnya sengaja

dibuat lebar-lebar, menampilkan kepongahannya.

"Tua bangka tidak tahu diuntung!" geram si ke-

pala botak sambil melayangkan kakinya kembali me-

nendang.

Krak!

Brakkk...!

"Aaakh...!"

Si kakek memekik kesakitan. Kaki salah satu

dipan bambu itu langsung patah terkena tendangan.

Seketika itu juga, dipan bambu itu pun rubuh bersama

kakek itu.

Si kepala botak membungkukkan badan. Dan di

saat tegak kembali, tangannya telah mencengkeram

leher baju kakek itu dan mengangkatnya ke atas.

"Hekh...!"

Si kakek mengeluh tertahan, dan jalan

napasnya terasa sesak. Karena tubuh si kakek jauh

lebih kecil daripada tubuh si kepala botak, maka

tubuhnya jadi seperti menggantung.

"Ampun.... Maafkan aku, Den Sagar. Aku tidak

bisa bekerja.... Aku sedang sakit..., ampunkan aku...,"

ucap kakek itu tersendat-sendat.


"Hugh...!"

Ucapan si kakek terhenti ketika lutut si kepala

botak yang bernama Sagar menyodok perutnya. Wajah

kakek itu seketika memerah, dan kedua bola matanya

membeliak lebar. Sodokan pada perutnya membuat

napasnya sesak seketika.

"Enak saja kau bicara! Ingat, Ki Marta! Kau

sudah terima upahnya! Mau sakit, kek.... Mau mati,

kek.... aku tidak peduli! Yang penting, kau harus

bekerja seperti biasanya! Mengerti?!"

Ki Marta menelan ludah, lalu menganggukkan

kepala berulang-ulang.

"Bagus!"

Setelah berkata demikian, tubuh kakek itu

diturunkan. Tapi kerena keadaan kakek itu yang

memang sedang sakit, apalagi baru saja mendapat

sodokan lutut yang amat keras, begitu diturunkan Ki

Marta langsung sempoyongan dan jatuh berdebuk di

lantai.

Melihat hal itu, Sagar menggeram.

"Bangun, Ki Marta! Cepat...! Kita pergi

sekarang, sebelum kesabaranku hilang...!" ancam

Sagar tak sabar.

Tubuh Ki Marta menggigil. Kedua tangannya

bergetar keras, ketika mencoba bertumpu pada kedua

tangannya untuk bangkit. Tapi betapapun berusaha,

kondisinya yang tidak memungkinkan menggagalkan

usahanya.

Melihat hal ini Sagar menjadi tidak sabar.

Untuk yang kesekian kalinya, kakinya kembali

bergerak

Buk!

Dengan telak tendangan Sagar menghantam

perut Ki Marta. Untung saja si kepala botak ini tidak

mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kalau tidak,

tentu kakek yang sial itu tewas! Tapi meskipun

demikian, tak urung tubuh Ki Marta terlempar dan

terguling-guling.

"Rupanya kau memang sudah bosan hidup, tua

bangka! Dasar tidak tahu diuntung! Tapi jangan harap

akan mati dengan enak! Kau akan kusiksa dulu sebe-

lum kubunuh!"

Setelah berkata demikian, Sagar bergerak

menyusul tubuh kakek itu.

"Hup...!"

Dengan kaki, dicungkilnya tubuh terkapar yang

berusaha bangkit. Tubuh tua itu melayang ke atas. Di

saat itu, sapuan kaki laki-laki berkepala botak

menyambutnya.

Buk...!

Kini pinggul Ki Marta yang mendapat giliran.

Cukup keras, sehingga membuat tubuh yang sedang

berada di udara itu meluruk ke luar.

Brukkk...!

Tubuh kakek itu jatuh deras mencium tanah.

Keras bukan main. Tapi Ki Marta rupanya termasuk

orang yang keras hati. Buktinya ia kembali berusaha

bangkit. Darah segar menetes keluar dari sela-sela

bibirnya ketika dirinya memaksakan untuk bangkit.

"Hekh...!"

Ki Marta memekik tersendat. Dirasakan adanya

sebuah kaki yang menekan punggungnya. Dengan

susah payah laki-laki tua itu menolehkan kepalanya

untuk mengetahui siapa pemilik kaki itu.

"Ha ha ha...!"

Sebuah tawa tergelak dari mulut orang yang

menjejak punggung Ki Marta ketika wajahnya

bertatapan dengan wajah tua renta itu. Seraut wajah

kasar, bertotol-totol hitam. Gurat, namanya.

"Uhk... uh...."

Suara napas Ki Marta tersendat-sendat ketika

kaki itu kian keras menekan.

"Ha ha ha...!" Sagar juga tertawa terbahak-

bahak. "Rupanya kau pun tidak ingin ketinggalan, Adi

Gurat!"


"Begitulah, Kang Sagar!" jawab si wajah totol-

totol hitam yang bernama Gurat seraya kian

menambahkan tenaga pada kakinya. Karuan saja hal

ini membuat napas Ki Marta kian tersendat-sendat

Tuk!

"Akh...!"

Tiba-tiba Gurat memekik. Ternyata sebuah

kerikil kecil sebesar kuku jari tangan, telah

menghantam tulang kering kakinya yang tengah

menekan punggung Ki Marta. Keras bukan main,

sehingga membuatnya terlonjak keras dan melepaskan

tekanannya.

Laki-laki berwajah kasar itu kontan meloncat-

loncat dengan satu kaki. Kedua tangannya memegangi

kaki yang terkena sambitan kerikil itu. Sakit sekali

rasanya.

"Keparat!" Sagar yang juga melihat sambaran

batu kerikil itu berteriak memaki. Diarahkan

pandangannya ke tempat batu kerikil itu berasal.

Pandangannya langsung tertumbuk pada

seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun, yang

berdiri dalam jarak sekitar tiga tombak darinya. Yang

aneh pada diri pemuda itu adalah rambutnya yang

meriap dan berwarna putih keperakan.

"Siapa kau?! Mengapa mencampuri urusan

kami?!" bentak Sagar penuh ancaman.

"Aku tidak berniat mencampuri urusan kalian,

tapi hanya menentang kesewenang-wenangan yang

terjadi di depan mataku!" jawab pemuda itu.

"Hm..., rupanya kau seorang pendekar?!" tanya

si kepala botak itu. Nada suaranya penuh ejekan. Ia

memang tidak tahu berhadapan dengan siapa.

Merah wajah pemuda yang ternyata Arya Buana

atau yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak itu.

"Sebutan itu terlalu tinggi, Kisanak."

"Pergilah kau cepat, Anak Muda! Aku kasihan

padamu! Sudah terlalu banyak pahlawan kesiangan

yang membuang nyawa percuma di sini! Apakah kau


ingin menambah jumlah mereka dengan membela ka-

kek pemalas ini?!"

"Apa boleh buat!?" ujar Arya sambil mengangkat

bahu. "Aku tidak bisa tinggal diam melihat kekejaman

berlangsung di depan mataku!"

Baru saja Arya menyelesaikan ucapannya,

Gurat yang kini kakinya telah sembuh seperti

sediakala, telah menerjangnya dengan pukulan keras

dan bertubi-tubi.

Sekali lihat saja Dewa Arak telah mengetahui

kalau kepandaian yang dimiliki laki-laki berwajah totol-

totol hitam ini masih amat rendah.

Buk! Buk! Buk...!

Berkali-kali pukulan itu mendarat telak di

sekujur tubuh Dewa Arak yang berdiri diam tidak

mengelak. Dibiarkan saja pukulan Gurat menghujani

tubuhnya. Dengan tenaga dalam amat kuat dan

disalurkan ke bagian tubuh yang dijadikan sasaran

pukulan, semua pukulan Gurat tidak berarti apa-apa

bagi Arya.

"Ah...!"

Gurat memekik kaget. Kedua tangannya terasa

bukan tengah memukuli tubuh manusia, melainkan

gumpalan baja yang keras bukan main. Bahkan kini

kedua kepalan tangannya menjadi bengkak-bengkak!

Melihat kekejaman Gurat yang menyiksa orang

tua tidak berdaya, membuat Dewa Arak bermaksud

memberi pelajaran cukup keras padanya. Setelah

membiarkan lawan puas memukuli, tangan Arya ber-

gerak cepat.

"Hugh...!"

Gurat memekik tertahan ketika pukulan Dewa

Arak telak menghantam perutnya. Seketika tubuhnya

terbungkuk, dan perutnya terasa mulas.

Untung saja Dewa Arak hanya mengerahkan

sebagian kecil tenaga dalamnya. Kalau saja dikerahkan

seluruhnya, tentu laki-laki berwajah totol-totol hitam

itu tewas dengan dada remuk!


Dan kini Dewa Arak tidak berhenti sampai di

situ saja. Tangannya cepat kembali bergerak,

menampar.

Plak...!

Telak sekali tamparan itu mendarat di pipi.

Seketika itu juga tubuh Gurat melintir, kemudian jatuh

berdebuk di tanah. Rasa pusing yang amat sangat

menyergap kepala laki-laki itu. Beberapa saat lamanya

dia terduduk diam, tidak mampu bangkit kembali.

Sagar terperanjat sekali melihat kejadian yang

tidak disangka-sangka itu. Dia tahu betul kalau tingkat

kepandaian Gurat, hanya sedikit di bawahnya. Maka

dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat

kawannya begitu mudah dirubuhkan.

Sebaliknya Gurat merasa penasaran bukan

main. Dia tidak bisa menerima kekalahan yang begitu

mudah, oleh seorang pemuda berambut putih

keperakan di hadapannya. Itulah sebabnya dia

menggeleng-geleng untuk mengusir rasa pening yang

menggayuti kepalanya.

Setelah dirasakan peningnya lenyap, segera

laki-laki berwajah totol-totol hitam ini bangkit berdiri.

Dan....

Srat...!

Gurat menghunus senjatanya, sebuah golok

panjang yang matanya bergerigi mirip gergaji. Kemu-

dian....

"Hiyaaa...!"

Sambil mengeluarkan teriakan keras,

dibabatkan goloknya ke arah leher Dewa Arak.

Sementara, Dewa Arak hanya mengerutkan

keningnya melihat sikap keras kepala Gurat. Perasaan

tidak senangnya semakin bertambah. Kelihatannya si

wajah totol-totol hitam ini benar-benar tidak peduli

kalau dia telah bersikap lunak. Maka Arya

memutuskan untuk memberi pelajaran yang lebih

keras lagi.


Dewa Arak benar-benar membiarkan saja

babatan golok itu. Dan ketika serangan itu dekat,

tangan kirinya bergerak ke arah sambaran golok itu.

Tap...!

Gurat terperanjat melihat goloknya tahu-tahu

telah terjepit dua buah jari tangan kiri Dewa Arak.

Segera dikerahkan tenaga dalamnya untuk menarik

goloknya, sekaligus hendak membabat putus jari-jari

lawan.

Tapi walaupun si wajah totol-totol hitam ini me-

ngerahkan seluruh tenaga yang dimiliki, tetap saja

golok itu sama sekali tidak bergeming dari jepitan jari

Dewa Arak.

Tiba-tiba tanpa diduga-duga, Dewa Arak

menggerakkan jari-jarinya. Terdengar suara berdetak

nyaring, ketika golok bermata gergaji itu patah dua.

Dan tiba-tiba saja tubuh Gurat terjengkang, akibat

tarikan goloknya.

Brukkk...!

Tak pelak lagi, tubuh laki-laki kasar itu terjatuh

di tanah cukup keras. Terbukti begitu bangkit kembali,

ia meringis-ringis. Dipegangi pinggulnya yang tadi

menghantam tanah.

"Keparat...!" Gurat berteriak memaki.

Ditolehkan kepalanya ke arah Sagar yang masih berdiri

terkesima. Kejadian demi kejadian yang disaksikan

membuat laki-laki berkepala gundul itu terkesima.

"Apa yang kau tunggu, Kakang Sagar! Ayo

bantu aku menghajar orang sok ini!"

Teriakan Gurat menyadarkan Sagar dari

terkesimanya. Segera dicabut trisulanya yang sejak tadi

ditancapkan di tanah.

Wuk! Wuk! Wuk...!

Senjata pendek bermata tiga itu diputar-

diputar. Angin menderu keras begitu senjata andalan

itu digerakkannya.

"Hiyaaa...!"

Sagar berteriak keras sambil menusukkan

trisula itu ke dada Dewa Arak. Berbarengan dengan itu,

serangan golok bermata gergaji milik Gurat yang kini

telah tinggal setengah, juga menyambar tiba.

Dan kini, kesabaran Dewa Arak pupus! Kedua

orang lawannya ini benar-benar tidak tahu diri,

sehingga harus diberikan pelajaran yang lebih keras

agar kapok. Tapi tentu saja, menghadapi lawan yang

memiliki kepandaian seperti Gurat dan Sagar, Dewa

Arak tidak mengeluarkan ilmu andalan. Dia hanya

mengeluarkan ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara

Menaklukkan Harimau'. Kedua tangannya bergerak

cepat, mencari sasaran.

Tap...! Tap...!

Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, kedua

senjata itu telah berhasil ditangkap Dewa Arak. Belum

lagi kedua orang lawannya itu berbuat sesuatu, Arya

segera menggerakkan tangannya.

Buk...! Tuk…!

"Uhk...!"

"Hugh...!"

Sagar dan Gurat mengeluh tertahan ketika

gagang senjata masing-masing begitu keras

menghantam dada mereka sendiri. Arya memang

menyodokkan senjata-senjata yang ditangkap ke arah

perut lawan.

Beberapa saat lamanya kedua orang laki-laki itu

terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya. Cairan

merah kental nampak di sudut bibir mereka. Sodokan

itu keras bukan main! Memang kali ini Dewa Arak se-

dikit menambah tenaganya dalam serangan itu.

Kini, Sagar dan Gurat baru menyadari kalau

pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali bu-

kan tandingan mereka. Apalagi ketika melihat lawan

yang menggerakkan sedikit jari-jarinya, telah membuat

senjata mereka patah-patah. Seolah-olah yang

dipatahkan pemuda itu hanya sebatang lidi saja! Jadi,

meneruskan pertarungan sama saja mencari mati.


Maka, Sagar dan Gurat tidak mau bertindak

bodoh! Apalagi ketika melihat lawan tidak melanjutkan

serangannya, dan hanya berdiri menanti. Jelas kalau

pemuda itu memang tidak berniat mencari-cari urusan.

Dan tanpa malu-malu lagi, dengan langkah kaki

tertarih-tatih mereka meninggalkan tempat itu. Namun

demikian tetap saja ada perasaan cemas kalau-kalau

pemuda sakti itu tidak membiarkan mereka pergi.

Legalah hari Sagar dan Gurat ketika melihat

Dewa Arak sama sekali tidak menahan kepergian

mereka. Sebaliknya pemuda itu malah menghampiri

tubuh Ki Marta yang tergolek di tanah dengan napas

satu-satu.

Sekali lihat saja Dewa Arak tahu kalau nyawa

kakek ini tidak mungkin diselamatkan lagi. Luka-luka

akibat siksaan tadi terlalu parah. Apalagi itu terjadi

sewaktu ia sedang sakit cukup parah.

"Terima.,., kasih atas..., pertolonganmu, Anak

Muda. Hhh...," ucap kakek itu terengah-engah. "Tapi...,

kusarankan kau..., cepatlahhh pergi... dari si... nii..."

"Sudahlah, Kek. Kakek tidak boleh banyak

bicara. Kakek harus beristirahat. Luka-luka Kakek

sangat parah," Dewa Arak yang merasa tidak tega,

berusaha mencegah.

Ki Marta menggelengkan kepalanya. Terpaksa

Dewa Arak menempelkan kedua tapak tangannya ke

punggung kakek itu, agar kondisinya jadi lebih baik.

Cukup lama juga Arya menyalurkan hawa

murni ke tubuh kakek itu. Setelah dirasakan cukup,

baru dilepaskan tangannya.

"Katakanlah, Kek. Apa yang hendak Kakek sam-

aikan padaku?" pinta Dewa Arak terburu-buru. Pe-

muda berbaju ungu ini tidak ingin kakek itu mati

sebelum apa yang hendak diutarakannya

tersampaikan.

Ki Marta tersenyum. Dirasakan keadaannya

sudah lebih baik sekarang.


"Pesanku hanya singkat, Anak Muda. Pergilah

cepat dari sini!"

"Mengapa, Kek?"

"Desa ini penuh orang jahat! Kepala desa yang

sekarang juga bekas penjahat. Dulu sewaktu yang

menjadi Kepala Desa Gebang ini Ki Panjar, desa ini

aman tenteram. Tapi sejak Toga yang menjadi kepala

desa, keadaan berubah banyak! Dengan kekerasan,

diambilnya semua yang jadi milik kami. Sawah, ladang,

ternak, bahkan anak gadis dan istri-istri kami.

Penduduk desa hanya menjadi orang upahan. Bekerja

di ladang dan di sawah dengan upah yang mencekik

leher. Setiap hari kami harus bekerja. Kalau sawah

kebetulan tidak panen, maka kami diperintahkan

bekerja di ladang, atau beternak. Sakit tidak bisa

menjadi halangan. Pokoknya harus bekerja! Tadi

kebetulan aku terserang sakit, dan kedua orang itu

datang dan memaksaku harus bekerja. Dan seterusnya

seperti yang kau lihat sendiri, Anak Muda."

Kepala Dewa Arak terangguk-angguk. "Siapa

Toga itu, Kek?"

"Kepala keamanan desa ini, Anak Muda," jelas

Ki Marta.

"Lalu, kepala desa yang dulu ke mana, Kek?" ta-

nya Arya tidak mengerti

"Ki Panjar, maksudmu?"

"Ya."

Kakek itu menghela napas sebelum

melanjutkan ucapannya. "Beliau telah tewas."

"Tewas?!" Arya Buana mengerutkan keningnya.

"Mengapa?"

Ki Marta mengangguk. "Menurut cerita Toga, se-

waktu mereka sedang berburu, segerombolan

perampok menyerang. Tentu saja Toga dan para

pengawal yang lain tidak tinggal diam. Tapi karena

jumlah perampok yang terlalu banyak, mereka jadi

tidak bisa melindungi Ki Panjar dan anak istrinya.

Setelah melalui sebuah pertarungan sengit, akhirnya


mereka berhasil mengusir gerombolan perampok itu.

Tapi, Ki Panjar dan istrinya tewas. Sementara anaknya

dibawa kawanan perampok itu."

Dewa Arak mengerutkan keningnya.

"Apakah para penduduk desa percaya?"

"Mulanya percaya. Maka kami percayakan

kedudukan kepala desa kepadanya. Karena memang

menurut kami, dialah yang paling pantas menjabat

kedudukan itu. Tapi siapa sangka kalau jadi begini

akibat-nya. Belakangan kami semua jadi curiga,

jangan-jangan tewasnya Ki Panjar pun sudah

direncanakan."

Dewa Arak tercenung diam.

"Yang lebih gila lagi, Toga membangun rumah-

rumah judi dan pelacuran di desa ini. Akibatnya sudah

jelas. Banyak orang yang berdatangan ke desa ini.

Sebagian besar adalah orang yang terbiasa bertindak

kasar. Maka tak heran jika sering terjadi bentrokan di

antara mereka. Desa ini sudah tak ubahnya neraka!

Uhk... uhk...!"

Tiba-tiba saja Ki Marta terbatuk-batuk.

Beberapa titik cairan merah kental memercik keluar

dari mulutnya. Melihat hal ini, Dewa Arak sadar kalau

waktu kematian untuk kakek itu sudah hampir tiba.

Dan tidak ada lagi yang dapat dilakukannya.

Dugaannya memang tidak meleset. Beberapa

saat setelati terbatuk-batuk untuk yang kesekian

kalinya, tubuh Ki Marta terkulai lemas. Kakek ini pun

pergi untuk selama-lamanya.

***

Arya termenung memandangi gundukan tanah

merah yang terpampang di hadapannya. Di situlah

mayat Ki Marta dikuburkan. Beberapa saat lamanya

kepalanya tertunduk.

"Maafkan aku, Ki," bisik Dewa Arak pelahan.

"Aku tidak dapat melaksanakan pesanmu untuk pergi


dari sini. Tidak bisa kutinggalkan desa ini begitu saja.

Aku akan berusaha menumpas kejahatan yang berse-

mayam di sini, apa pun akibatnya."

Setelah berkata demikian, Dewa Arak

melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu

Pikirannya bekerja keras. Memang sejak pertama kali

memasuki pintu gerbang desa, sudah timbul rasa

curiga di hatinya.

Desa yang kini diketahui bernama Desa Gebang

ini, berbeda dengan desa-desa yang biasa

disinggahinya. Desa ini terlalu banyak dimasuki orang

luar. Dan jika ditilik dari gelagatnya, mereka adalah

orang-orang yang terbiasa bertindak kasar. Kini

kecurigaannya ternyata beralasan.

Oleh karena itu, Dewa Arak memutuskan untuk

tinggal di desa ini beberapa waktu lamanya. Barangkali

saja tenaganya bisa diperlukan di sini.



TIGA



Brakkk...!

Sebuah meja bundar besar dari batu marmer,

kontan retak ketika tangan seorang lelaki tinggi besar

berkumis melintang, menghantamnya.

"Bodoh! Dungu kalian...!" teriaknya keras.

Sepasang matanya menatap penuh kemarahan pada

dua sosok tubuh yang terduduk dengan kepala

tunduk.

"Sagar! Gurat! Ceritakan sejelas-jelasnya semua

yang terjadi! Memalukan! Kalian pulang seperti seekor

anjing dipukul ekornya!"

Dua sosok tubuh yang tengah mendapat

pelampiasan kemarahan itu ternyata Sagar dan Gurat.

Dan kini mereka baru berani mengangkat kepalanya.

Kemudian dengan jelas, Sagar menceritakan kejadian

yang menimpa mereka.

"Seorang pemuda? Kira-kira berapa usianya?"

tanya si kumis melintang yang ternyata Toga. Suaranya

terdengar mulai melunak. Terbayang kembali di

benaknya, seorang anak berusia sekitar sebelas tahun

yang lolos dari tangan mautnya beberapa tahun yang

lalu. Bukan tidak mungkin kalau pemuda yang

mengalahkan Gurat adalah anak itu, anak Ki Panjar.

Gurat mengerutkan alisnya. Sejenak ia

mengingat-ingat "Sekitar..., dua puluh tahun, Tuan."

Toga menolehkan kepalanya ke belakang,

menatap sosok tubuh tegap berwajah mirip kera, yang

tengah duduk di sebuah kursi. Keningnya berkernyit.

"Apakah bukan anak Ki Panjar, Kang Gajula?"

tanya Toga mengemukakan dugaan yang sejak tadi

berkecamuk di benaknya. Agak heran juga hatinya

melihat sikap kakaknya kali ini.

Laki-laki yang wajahnya mirip kera itu

membalas tatapan Toga. Beberapa saat lamanya


sepasang matanya terpaku pada wajah si kumis

melintang itu, lalu pelahan kepalanya menggeleng.

"Aku yakin bukan...," sahut Gajula dengan

suara mengambang.

"Lalu siapa?" tanya Toga putus asa.

"Lebih jelasnya akan kita ketahui nanti. Tapi

ciri-ciri pemuda yang dikemukakan Sagar,

mengingatkan aku pada seorang tokoh muda yang

namanya belum lama ini menggemparkan dunia

persilatan."

Toga mengerutkan alisnya. "Siapa yang kau

maksud, Kang?"

Gajula sama sekali tidak mempedulikan

pertanyaan itu, tapi sebaliknya malah dialihkan

pandangannya pada Sagar.

"Ada satu ciri yang mungkin belum kau

ceritakan, Sagar," tegas laki-laki berwajah kera itu.

Sagar mengerutkan alisnya, mencoba

mengingat-ingat. Tapi sampai lelah mengingat, tetap

saja tidak menemukan lagi ciri yang lainnya.

"Bagaimana dengan kau, Gurat?" tanya Gajula

pada si wajah totol-totol hitam. Tapi setelah sekian

lama menunggu, tidak ada jawaban yang keluar dari

mulutnya. Gurat berusaha keras mengerahkan segenap

ingatannya, tapi akhirnya menggelengkan kepalanya

juga.

"Hhh...!" Gajula menghela napas. "Mungkin aku

salah. Tapi coba kalian ingat-ingat, apakah pemuda itu

membawa guci arak?!"

"Guci?!" serentak Sagar dan Gurat berseru

kaget. Berbareng keduanya saling pandang, dan kontan

teringat sesuatu. Memang, di punggung pemuda

berambut putih keperakan itu tergantung sebuah guci

arak.

"Ya! Guci arak!" tegas Gajula. "Bagaimana? Ada

atau tidak?"

Sagar menganggukkan kepalanya.


"Katakan yang jelas! Atau kau ingin menjadi

orang bisu selamanya?!" sentak Gajula. Dingin dan

datar suaranya.

Wajah Sagar kontan memucat. Tenggorokannya

terasa kering. Dia tahu betul siapa Gajula itu. Tokoh

ini adalah kakak kandung Toga. Dulu, seperti yang

didengar dari cerita Toga, Gajula tidak selihai sekarang.

Tapi, kini tahu-tahu muncul dan memiliki kepandaian

luar biasa.

Tapi bukan karena kepandaiannya yang

membuat Sagar gentar, melainkan kekejamannya! Si

wajah kera ini memiliki sifat yang luar biasa kejam!

"Benar, Kang," jawab Gurat dengan suara

gemetar.

"Betul dugaanku!" teriak Gajula keras.

"Siapa orang itu, Kang?" tanya Toga penasaran.

"Pernah dengar julukan Dewa Arak?!" kata

Gajula balik bertanya.

Toga mengerutkan alisnya.

"Sedikit" Gajula menghela napas dalam-dalam.

"Kau ketinggalan berita, Toga. Julukan Dewa

Arak terkenal sekali. Banyak tokoh tangguh yang telah

roboh di tangannya. Aku ragu, apakah mampu

menandinginya."

Dahi Toga mengernyit. Agak heran hatinya meli-

hat sikap Gajula yang tidak seperti biasanya. Sampai di

manakah kelihaian tokoh yang berjuluk Dewa Arak itu?

Batin Toga terus menduga-duga.

"Mengapa belum apa-apa sudah khawatir,

Kang?" tegur Toga dengan nada halus. "Apakah Kakang

sudah pernah bertarung dengannya?"

Gajula menggelengkan kepalanya.

"Melihat dia bertarung?"

Lagi-lagi si wajah kera menggeleng.

"Lalu, mengapa khawatir, Kang? Berita yang

tersebar itu belum tentu benar. Andaikata benar, Dewa

Arak mampu mengungguli Kakang, tapi mustahil akan

mampu menghadapi kita berdua. Aku tidak percaya


kalau ilmu yang diberikan gurumu, dan telah

kupelajari dengan tekun darimu, dapat

dikalahkannya."

Si wajah kera termenung beberapa saat

lamanya. Dipikir-pikir ada benarnya juga semua yang

dikatakan Toga. Tapi baru saja Gajula menarik napas

lega, seorang anak buah Toga menghambur masuk.

Napasnya tampak terengah-engah.

"Ada orang mengamuk di luar, Tuan," lapor

orang itu terputus-putus.

"Keparat!" Toga berteriak memaki. "Kalian tidak

mampu meringkusnya?! Apa saja yang kalian mampu,

heh?!"

"Ampun, Tuan. Mereka memiliki kepandaian

tinggi."

"Mereka?" berkerut alis Toga. "Berapa

jumlahnya?"

"Dua orang, Tuan."

Belum juga habis ucapan orang itu, tubuh Toga

dan Gajula telah berkelebat lenyap dari situ. Kema-

rahan yang hebat telah membakar hari mereka. Belum

juga urusan mengenai Dewa Arak selesai, kini muncul

kembali urusan lain.

Sagar dan Gurat saling pandang sebelum

akhirnya melesat ke luar, tak ketinggalan juga orang

yang tadi melapor.

Toga dan Gajula berdiri di ambang pintu. Di

depan mereka, di halaman luas yang dikelilingi pagar

tembok tinggi, terlihat dua sosok tubuh yang tengah

mengamuk. yang seorang adalah pemuda berusia

sekitar dua puluh satu tahun. Tubuhnya tinggi besar

dan kekar. Wajahnya cukup tampan walaupun

hidungnya melengkung. Pemuda ini tak lain adalah

Sapta.

Sedangkan yang seorang lag! adalah gadis

berusia sekitar dua puluh tahun. Tubuhnya kecil

ramping, dan rambutnya digelung ke atas. Wajahnya

cantik. Apalagi dengan pakaian warna jingga yang


dikenakannya. Gadis ini adalah Kami, putri angkat

Pengemis Tongkat Merah.

Toga dan Gajula memperhatikan dua orang itu

dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sementara itu

muda-mudi asuhan Pengemis Tongkat Merah terus

mengamuk dahsyat dengan senjata di tangan masing-

masing. Ke mana senjata itu berkelebat, pastilah di

tempat itu ada sesosok tubuh yang rubuh diiringi

suara pekik lengking kesakitan.

"Akh...!"

"Aaa...!"

Jerit lengking kematian terdengar saling susul

Toga dan Gajula memandang mayat-mayat yang

bergelimpangan di atas tanah dengan sinar mata

kemerahan. Di wajah mereka terpancar kemarahan

yang amat sangat. Dan gigi-gigi mereka pun

bergemeletuk menahan geram.

"Keparat!" teriak Toga geram. "Mundur...!"

Belasan sosok tubuh yang sedang mengeroyok

itu pun bergegas mundur. Kedua murid Pengemis

Tongkat Merah itu membiarkan saja. Terlebih Sapta.

Keroco-keroco itu memang bukanlah tujuannya. Toga

dan Gajulalah yang dicari-cari! Sepasang mata pemuda

itu berkilat-kilat tajam melihat dua orang musuh

berada di depannya.

"Kau masih ingat padaku, pengkhianat?!"

bentak pemuda tinggi besar dan kekar ini. Jari

telunjuknya menuding ke arah Toga. Keras dan kasar

suaranya.

Seketika merah wajah Toga, mendengar

pertanyaan yang bemada kasar itu. Apalagi melihat jari

yang menuding ke arahnya.

"Untuk apa aku mengingat anjing buduk

sepertimu?!" balas Toga tak kalah kasar.

Sapta menggertakkan giginya. "Aku putra Ki

Panjar yang kalian bunuh secara licik itu, akan

menagih hutang!"


"Ha ha ha...!" Toga tertawa bergelak. "Pucuk

dicinta ulam tiba. Tanpa perlu bersusah payah

mencari, kau datang sendiri kemari. Sekarang juga

akan kutuntaskan pekerjaanku sepuluh tahun yang

lalu."

"Tutup mulutmu, pengkhianat! Sekarang kau

harus membayar hutang nyawa atas kematian ayah

ibu-ku!"

Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar

dan kekar ini melompat menerjang. Jari-jari kedua

tangannya terbuka dan saling bersilang menyerang ke

arah dada.

Wut...!

Angin keras berhembus mengiringi tibanya

serangan itu. Pertanda kalau serangannya ditunjang

tenaga dalam tinggi.

Toga hanya mendengus. Kepandaian yang

dimiliki laki-laki itu sekarang tidak bisa disamakan

dengan sepuluh tahun yang lalu. Selama itu Gajula

telah membimbingnya. Sehingga kini kepandaian yang

dimilikinya meningkat pesat. Jadi memang, Toga

bukanlah tokoh kosong.

"Haaat...!"

Kepala Desa Gebang ini berteriak keras. Kedua

tangannya dalam posisi jari yang sama digerakkannya.

Prattt..!

Dua pasang tangan yang sama-sama

mengandung tenaga dalam tinggi beradu. Akibatnya

tubuh Sapta tergetar hebat, sementara tubuh Toga

terhuyung dua langkah ke belakang. Sekujur

tangannya terasa sakit bukan main.

Wajah Toga langsung berubah. Sungguh tidak

disangka kalau tenaga dalam yang dimiliki putra Ki

Panjar ini sedemikian hebatnya. Padahal selama se-

puluh tahun, ia sudah berlatih keras di bawah

bimbingan kakaknya.

Sapta yang memang menyimpan dendam hebat,

tidak membiarkan lawannya menarik napas. Pemuda


itu cepat melompat, dan laksana seekor burung garuda

ia menerkam lawannya.

Kepala Desa Gebang ini kaget. Tapi untunglah

kekagetan itu tidak membuatnya gugup. Buru-buru

dilempar tubuhnya ke depan, dan kemudian

bergulingan menjauh. Sehingga serangan Sapta

mengenai tempat kosong.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara, kedua kaki Sapta

mendarat di tanah. Secepat kakinya hinggap, secepat

itu pula kembali menerjang Toga. Tapi Toga yang

sekarang sudah mengetahui kelihaian lawannya, tidak

berani bertindak gegabah. Dan kini keduanya sudah

terlibat dalam sebuah pertarungan seru.

Begitu melihat Sapta telah menyerang

lawannya, Kami pun tidak tinggal diam. Seketika

diserangnya pula orang berwajah kera yang berada di

sebelah si kumis melintang. Seperti halnya Sapta, Kami

juga membuka serangannya dengan serangan kedua

tangannya. Posisi jari-jarinya terbuka dan saling

bersilang.

Persis seperti yang dilakukan Toga, Gajula pun

melakukan tindakan serupa untuk menangkis

serangan Kami.

Prattt...!

Tubuh Kami terhuyung dua langkah ke

belakang. Sementara Gajula hanya terhuyung satu

langkah ke belakang. Dari hasil benturan kedua

pasang tangan itu dapat diketahui kalau tenaga dalam

yang dimiliki Gajula masih lebih unggul sedikit.

Gajula sadar kalau wanita di hadapannya

adalah lawan yang tangguh. Maka laki-laki kasar itu

tidak mau bersikap sungkan-sungkan. Begitu tubuh

gadis itu terhuyung mundur, segera dia bergerak

mengejar. Kedua kakinya melakukan tendangan

bertubi-tubi ke depan.

Plak! Plak! Wusss...!


Tendangan pertama yang berupa tendangan

lurus ke depan, disusul tendangan miring ke arah leher

dapat ditangkis Kami. Dan tendangan ketiga, berupa

kibasan kaki yang dilakukan sambil membalikkan

tubuh juga bisa dielakkan gadis itu dengan

membungkukkan tubuh.

Tak lama kemudian, Kami dan Gajula pun

sudah terlibat dalam suatu pertarungan yang seru.

***

Sementara itu di arena lain, Toga tampak mulai

terdesak ketika melewati dua puluh lima jurus. Me-

mang bila dibanding Sapta, ia masih kalah segala-

galanya. Baik dalam hal tenaga dalam maupun dalam

hal ilmu meringankan tubuh.

Bahkan menjelang jurus ketiga puluh, Toga

hanya mampu bertahan dan mengelak. Dia hanya

sesekali balas menyerang. Itu pun hanya untuk

mengurangi desakan yang menderu-deru dari pemuda

berhidung melengkung ini.

Toga menggeram. Disadari kalau lama-

kelamaan dtrinya akan roboh di tangan pemuda ini.

Semakin lama keadaannya kian terjepit. Kini Kepala

Desa Gebang itu benar-benar hanya mampu bermain

mundur.

Berbeda dengan Sapta, keadaan yang dialami

Kami malah sebaliknya. Putri angkat Pengemis Tongkat

Merah ini kewalahan menghadapi hujan serangan

Gajula. Hanya saja keadaannya tidak separah Toga.

Gadis itu masih mampu membalas serangan si wajah

kera dengan serangannya yang tak kalah dahsyat.

Keringat dingin sebesar-besar biji jagung

bermunculan di sekujur wajah Toga. Semakin lama

keadaannya semakin terjepit. Bahkan sudah beberapa

kali tubuhnya terpontang-panting.


Pada jurus ketiga puluh, sebuah sapuan kaki

Sapta membuat kepala desa ini terpelanting, dan jatuh

telentang.

"Haaat..!"

Sambil berteriak melengking nyaring, putra Ki

Panjar ini menerkam tubuh Toga.

Mata si kumis melintang terbelalak lebar. Tak

ada kesempatan lagi baginya untuk mengelakkan

serangan itu atau menangkisnya, karena begitu tiba-

tiba datangnya.

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak, dan

belum lagi habis gemanya, di tempat itu telah berdiri

sesosok tubuh tinggi besar. Sekitar satu setengah kali

manusia sewajarnya. Rambutnya panjang, lebat, dan

terurai. Wajahnya penuh cambang lebat. Sekujur

badan bagian depannya nampak dipenuhi bulu, karena

si raksasa memang bertelanjang dada. Dia hanya

mengenakan celana berwarna hitam sebatas lutut. Di

bagian lehernya terdapat sebuah kalung yang rantainya

tersusun dari rangkaian tulang jari tangan manusia.

Sedangkan mata kalung itu dibuat dari kepala manusia

dewasa.

Secepat berada di situ, secepat itu pula si

raksasa menggerak-gerakkan pelahan tangannya. Tapi

akibatnya hebat sekali! Tubuh Sapta terlempar jauh ke

belakang bagai dilanda angin ribut.


Ketika berada di situ, raksasa tersebut

menggerakkan tangannya pelahan saja kea rah Sapta.

Tapi akibatnya hebat sekali! Tubuh Sapta seperti


dipukul oleh godam yang sangat kuat dan terlempar

jauh ke belakang bagai dilanda angin ribut!.

Brakkk...!

Lontaran pada tubuh pemuda itu terhenti

ketika menabrak sebatang pohon hingga tumbang.

Murid Pengemis Tongkat Merah ini berusaha bangkit.

Kedua tangannya yang dijadikan tempat bertumpu itu

terlihat menggigil keras. Ada cairan merah kental yang

mengalir dari sudut bibirnya. Kelihatannya Sapta

terluka dalam.

"Ha ha ha...!"

Kembali si raksasa tertawa tergelak. Sapta

menatapnya dengan hati ngeri. Disadari kalau dirinya

bukanlah tandingan manusia setengah raksasa ini.

Hatinya mendadak berdebar tegang ketika teringat

penuturan gurunya tentang seorang tokoh yang

memiliki ciri-ciri seperti itu.

Diperhatikannya si raksasa yang masih saja ter-

tawa berkakakan sekali lagi. Pada kedua pergelangan

tangan dan kakinya tampak melingkar gelang yang

terbuat dari tulang-tulang jari tangan manusia.

"Raksasa Rimba Neraka...," desis Sapta. Penge-

mis Tongkat Merah memang pernah menceritakan ten-

tang tokoh sesat yang kejam, dan gemar makan daging

manusia. Tapi menurut cerita gurunya, raksasa itu

tinggal di sebuah hutan yang amat jauh letaknya dari

Desa Gebang ini. Sebuah hutan yang penuh bahaya

maut. Penuh binatang besar, tanaman beracun,

lumpur hidup, dan segala macam bahaya maut

lainnya. Sehingga, hutan itu dinamai orang Rimba

Neraka.

"Grrrh...!" si, raksasa menggeram. Tampak dua

buah taring pada bagian sudut-sudut mulutnya. "Da-

gingmu past! empuk sekali, Anak Muda!"


Sambil berkata demikian, si raksasa yang

berjuluk Raksasa Rimba Neraka ini melangkah lambat-

lambat menghampiri Sapta. Setiap langkahnya

menimbulkan getaran keras di tanah.

Tubuh pemuda tinggi besar ini menggigil keras.

Memang diakui kalau tidak takut mati. Tapi tak urung

menghadapi kematian yang begitu mengerikan,

dimakan hidup-hidup, rasa takutnya pun muncul.

"Kakang...!"

"Hiyaaa...!"

Kami menjerit melihat bahaya maut yang

mengancam Sapta. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya

menghadang Raksasa Rimba Neraka. Sadar akan

kelihaian lawan, sambil melompat gadis itu segera

mencabut pedangnya.

Singgg...!

Dengan mengerahkan sepenuh tenaganya,

pedang yang sudah terhunus itu ditusukkan ke leher si

raksasa.

Dengan mengerahkan sepenuh tenaganya,

pedang yang sudah terhunus itu ditusukkan ke leher si

raksasa.

"Jangan, Kami! Cepat kau pergi selamatkan

diri!" Sapta yang tahu pasti kalau gadis itu bukan

tandingan Raksasa Rimba Neraka yang sakti, berteriak

memperingatkan.

Tapi Kami adalah gadis yang keras hari.

Baginya mati bukan suatu hal yang perlu ditakuti.

Maka peringatan Sapta tidak digubrisnya.

"Ha ha ha...!"

Raksasa Rimba Neraka kembali tertawa

bergelak. Diulurkan tangannya ketika serangan pedang

Kami tiba.

Kreppp...!

Tanpa mengalami kesulitan apa-apa, pedang itu

sudah dicengkeramnya.

"Akh...!"


Kami menjerit kaget. Sekuat tenaga gadis itu

membetot pedang yang tercengkeram tangan raksasa

itu. Tapi betapapun segenap tenaganya telah dikerah-

kan, tetap saja pedangnya tak mampu dilepaskan dari

cengkeraman tangan itu.

"Ha ha ha...!"

Raksasa Rimba Neraka hanya tertawa-tawa

saja. Tak nampak ada tanda-tanda kalau dia

mengerahkan tenaganya. Sementara di hadapannya,

Kami terus berusaha sampai napasnya terengah-engah.

'Tidak kusangka, kalau malam ini aku

mendapat santapan yang istimewa. Seorang perawan

cantik. Ha ha ha...!"

Wajah Gajula berseri-seri ketika tadi melihat

kedatangan si Raksasa Rimba Neraka. Karena memang

kakek yang memiliki penampilan mengerikan itu

adalah gurunya! Namun demikian, di samping rasa

gembiranya, timbul pula rasa kecewanya. Kedatangan

gurunya berarti membuat laki-laki kasar itu kehilangan

kesempatan untuk menikmati tubuh montok Kami.

Gajula tahu persis manusia macam apa

gurunya. Di samping gemar makan daging manusia,

kakek ini pun gemar terhadap wanita!

"Akh...!"

Kami memekik tertahan ketika tahu-tahu

tubuhnya terlempar ke depan. Memang Raksasa Rimba

Neraka telah balas membetot. Dan karena tenaga yang

dimilikinya kalah jauh, gadis itu tidak kuasa menaha.

"Hiyaaa...!"

Putri Pengemis Tongkat Merah terpaksa

melepaskan pedangnya. Dan dengan meminjam tenaga

betotan, gadis Itu bersalto di udara.

Raksasa Rimba Neraka mendengus. Secepat

kilat dijulurkan tangan kanannya ke atas.

Tappp...!

"Akh...!"

Kami memekik tertahan ketika pergelangan

kakinya tertangkap. Dan sekali si raksasa itu menarik


tangannya kembali, tubuh gadis itu pun terbawa

turun.

"Hup...!"

Tubuh molek Kami kini jatuh tepat di pelukan

Raksasa Rimba Neraka. Dan sebelum gadis itu sempat

berbuat sesuatu, tangan si raksasa telah lebih dulu

bergerak menotok

Tukkk...!

"Oh...!"

Sekujur tubuh Kami lumpuh seketika. Dan

sambil tertawa terkekeh-kekeh si raksasa mulai

menjarah sekujur tubuh Kami Dengan rakusnya,

mulut besar dan bergigi kuning itu melumat bibir

Kami, begitu kasar dan buas.

"Oh...! Jangan.... Bunuh saja aku...," rintih

Kami. Gadis ini mulai menyadari adanya ancaman yang

mengerikan. Dan kesadaran akan terjadinya hal ini

membuat ia takut bukan main. Ciuman kasar raksasa

itu membuatnya kehabisan napas. Bau amis yang

memuakkan keluar dari mulut dan hidung raksasa di

hadapannya ini, membuat gadis itu jadi ingin muntah.

Tapi orang seperti Raksasa Rimba Neraka, mana

sudi mendengar rintihan Kami! Bagi orang sepertinya,

rintihan para korbannya tak ubahnya sebuah rintihan

kenikmatan, yang membuatnya kian bergairah.

Ciuman-ciumannya pun semakin kasar, seiring

nafsu birahinya yang semakin berkobar. Ciuman-

ciumannya yang liar, kini tidak hanya menjarah bibir,

tapi terus turun, ke dagu, ke leher.

Kami yang sekujur tubuhnya lumpuh, hanya

dapat merintih-rintih tanpa mampu berbuat apa-apa.

"Kami...!"

Sapta menjerit keras. Pemuda ini menyadari

betul ancaman mengerikan yang akan menimpa gadis

itu. Maka dengan penuh daya upaya, dicobanya menge-

rahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Sekujur tu-

buhnya nampak menggigil keras dalam usaha berjuang

untuk bangkit


"Grrrh...!"

Raksasa Rimba Neraka menggeram hebat

karena merasa terganggu. Dihentikan ciuman-ciuman

liarnya pada gadis yang masih dipeluknya.

"Rupanya kau minta mati, heh?!"

Brukkk...!

Tubuh Kami jatuh berdebuk di tanah ketika si

raksasa yang tengah murka ini melemparkannya. De-

ngan tangkah lambat-lambat, dihampirinya Sapta yang

masih berusaha bangkit.

Melihat hal ini Gajula buru-buru berlari

menghampiri.

"Ampun, Guru...."

Raksasa Rimba Neraka menghentikan

langkahnya.

"Ada apa, Gajula! Apa kau pun ingjn

kubunuh?!"

Pucat wajah Gajula. Si wajah kera ini tahu pasti

watak aneh gurunya. Bila kemarahannya timbul, siapa

pun tanpa kecuali akan dibunuhnya.

"Tentu saja tidak, Guru...," ucap Gajula

terputus-putus.

"Lalu?! Kenapa kau menghalangiku membunuh

bocah sial ini?" desak raksasa itu, masih keras dan ka-

sar nada suaranya.

"Maafkan aku, Guru. Bocah ini adalah orang

yang mencoba memberontak terhadap Adi Toga yang

merupakan murid Guru juga, karena aku telah

mengajarkannya...."

"Aku sudah tahu dari jurus-jurus yang

dimainkannya! Maka karena itulah aku menolongnya!"

selak Raksasa Rimba Neraka.

Gajula membasahi tenggorokannya yang dirasa-

kan kering.

"Dan untuk mencegah terjadinya

pemberontakan serupa, serta juga untuk memancing

kedatangan kawan-kawannya, kami akan mengikatnya


di alun-alun desa! Bahkan kami juga akan

menyiksanya...! Harap Guru maklum!"

Dahi si raksasa berkerut dalam, dan rupanya

tengah berpikir. Tak lama kemudian baru keluar

ucapannya.

''Terserah padamu! Toh, aku sudah punya

santapan yang luar biasa lezat untuk nanti malam!"

Setelah berkata demikian, Raksasa Rimba

Neraka melangkahkan kakinya kembali. Dijumputnya

kembali tubuh Kami yang tergolek di tanah tanpa ada

yang berani menyentuhnya.

"Hhh...!"

Gajula menghela napas lega. Untunglah kali ini

gurunya bersedia mengerti. Padahal hatinya tadi sudah

khawatir kalau-kalau Raksasa Rimba Neraka itu akan

marah.

"Mari istirahat di dalam, Guru," ajak Toga

sambil mendahului masuk ke dalam. Kini yakinlah

kepala desa ini bahwa raksasa ini adalah guru Gajula.

Walau sebelumnya sudah diduga, ketika melihat ciri-

cirinya, tapi Toga masih ragu.

"Seret si keparat itu, dan ikat di alun-alun!"

perintah Toga pada anak buahnya.

"Baik, Tuan!" sahut mereka mengiyakan.

***

Dewa Arak mengerutkan keningnya. Agak heran

hatinya melihat di depannya banyak orang berkumpul,

merubung sesuatu. Sepertinya ada sesuatu yang te-

ngah mereka saksikan. Rasa penasaran membuat Arya

mempercepat langkah kakinya. Pendengarannya yang

tajam, menangkap adanya ledakan lidah cambuk Ada

apa gerangan di sana? Batin Dewa Arak terus

bertanya-tanya.

Semakin mendekati tempat kerumunan orang-

orang itu, suara yang didengarnya pun semakin jelas.

Ctarrr...! Ctarrr...!



Kembali terdengar ledakan cambuk itu. Dan kali

ini karena jaraknya sudah dekat, di samping suara

ledakan cambuk juga terdengar keluhan tertahan.

Keluhan kesakitan.

Jiwa kependekaran dalam diri Arya Buana pun

bangkit. Tanpa melihat pun sudah dapat menduga ke-

jadian yang teriadi dalam kerumunan orang banyak

itu. Apalagi kalau bukan tindak kesewenang-

wenangan..

Tanpa mempedulikan suara-suara bernada

menggerutu, Dewa Arak menyeruakkan tubuhnya.

Disibakkan kerumunan orang-orang, lalu dia masuk

terus ke dalam. Sesampainya di bagian terdepan, wajah

Dewa Arak memerah. Kemarahan menjalari hatinya.

Tampak seorang pemuda berwajah tampan dan

berhidung melengkung tengah dihukum cambuk!

Tubuh pemuda itu terikat erat di sebuah

tonggak tegak lurus. Sinar matahari yang cukup terik

memanggang kulit dadanya yang tidak tertutup

pakaian. Sementara di sebelahnya berdiri seseorang

bertubuh tinggi besar dan berkepala botak, tengah

menggenggam cambuk

Dewa Arak yang pantang melihat kekejaman

berlangsung di depan matanya, menjadi geram. Sekali

lihat saja pemuda berambut putih keperakan ini tahu

kalau pemuda berhidung melengkung itu telah

menderita luka yang cukup parah. Apalagi ditambah

lecutan-lecutan cambuk yang terus-menerus

menyengatnya. Sekujur tubuhnya nampak dipenuhi

garis hitam memanjang.

"Sungguh tega hati kalian, menontoni orang

disiksa," desis Dewa Arak tajam pada salah seorang di

sebelahnya.

Orang yang mendapat teguran itu menoleh.

Ditatapnya Arya lekat-lekat

"Rupanya kau bukan penduduk sini, Kisanak!

Perlu kau ketahui, kami pun sebenarnya tidak suka

melihat penyiksaan ini. Batin kami menjerit. Tapi apa


daya? Kami hanya orang lemah. Mereka memaksa un-

tuk menonton penyiksaan ini. Kalau ada yang

membangkang, pasti akan bernasib serupa...," jelas

orang itu dengan suara berbisik.

"Ah...," Dewa Arak mendesah pelan. Seketika

timbul perasaan malunya karena telah melempar

tuduhan jelek pada orang-orang yang selama ini hidup

dalam keadaan jiwa tertekan. "Maafkan saya, Ki...."

"Tidak usah meminta maaf. Aku memaklumi

perasaan yang bergayut di hatimu. Pesanku, janganlah

ikut campur, Kisanak. Mereka berjumlah banyak, dan

rata-rata memiliki kepandaian tinggi!"

Dewa Arak terlongong. Trenyuh hatinya

mendengar penuturan orang itu. Dalam penderitaan,

dia tidak ingin membuat orang lain ikut menderita.

Nasihat yang keluar dari mulut orang itu sama persis

dengan nasihat Ki Marta.

Tapi tentu saja Dewa Arak tidak mau menuruti

nasihat itu. Sejak belajar ilmu silat, dia telah bertekad

mengamalkan ilmu yang dimiliki untuk

menghancurkan keangkaramurkaan di mana pun.

Sekalipun untuk itu harus dibayar dengan nyawanya.

Ctarrr...!

Kembali untuk yang kesekian kalinya ujung

cambuk itu menyengat kulit Sapta. Pemuda itu

meringis. Tapi tidak terdengar suara keluhan yang

keluar dari mulutnya.

Dan kini Dewa Arak tidak bisa bersabar lagi.

Tapi baru saja dia hendak bergerak menolong, sesosok

bayangan merah berkelebat mendahului. Seketika Arya

menahan gerakannya.

Sosok bayangan merah itu ternyata adalah se-

orang kakek berusia sekitar enam puluh tahun.

Tubuhnya kurus kering, pakaiannya rompi penuh

tambalan berwarna hitam. Begitu pula celananya. Di

tangannya tergenggam sebatang tongkat berwarna

merah.

"Guru...," desah Sapta lemah.


Ternyata laki-laki tua itu adalah Pengemis

Tongkat Merah. Ditatapnya orang yang memegang

cambuk, yang tak lain adalah Sagar! Dan tiba-tiba....

"Hiyaaat...!"

Sambil mengeluarkan pekik melengking

nyaring, kakek kurus kering ini menerjang maju.

Tongkat merah yang terbuat dari kayu biasa dan

memiliki bentuk yang tak beraturan itu ditusukkan ke

perut Sagar.

Angin keras menderu, mengiringi serangan

tong-katnya. Sagar kaget bukan main, lalu mencoba

menge-lak Tapi serangan Pengemis Tongkat Merah itu

terlalu cepat baginya.

Buk!

"Akh...!"

Suara jerit menyayat hari keluar dari mulut

Sagar. Seketika tubuhnya terlempar ke belakang. Dari

mulut, hidung, dan telinganya mengalir mengalir darah

segar.

Brukkk...!

Diiringi suara berdebum keras, tubuh si kepala

botak itu jatuh di tanah. Sebentar dia menggelepar-

gelepar, lalu diam tidak bergerak lagi untuk selamanya.

Tulang dadanya hancur berantakan terkena hantaman

tongkat yang mengandung tenaga dalam tinggi itu.

Usai merubuhkan Sagar, Pengemis Tongkat Me-

rah bergegas menghampiri Sapta yang terikat di

tonggak kayu. Tapi....

"Ha ha ha...!"

Sebuah tawa bergelak yang menggema di sekitar

tempat itu membuat langkah kaki kakek itu terhenti

seketika. Pengemis Tongkat Merah menoleh dengan

slkap waspada.

Di belakangnya, dalam jarak sekitar tiga tombak

berdiri sesosok tubuh tinggi besar dan kekar. Dadanya

dibiarkan telanjang sehingga memperlihatkan bulu-

bulu yang lebat. Rambutnya panjang meriap. Sekujur


tubuhnya dipenuhi hiasan tulang-belulang tengkorak

manusia.

"Raksasa Rimba Neraka...," desah Pengemis

Tongkat Merah dengan raut wajah menampakkan rasa

kaget dan tidak percaya. Memang, kakek itu kaget bu-

kan main. Dia tahu betul tempat tinggal raksasa ini. Di

Rimba Neraka! Tempat itu letaknya sangat jauh dari

desa ini. Tapi mengapa tokoh yang mengerikan ini bisa

sampai kemari?

"Kau Pengemis Tongkat Merah, bukan?! Apa

hubunganmu dengan pemuda itu?" tanya raksasa itu

sambil menunjuk tubuh Sapta yang terikat di tonggak.

"Dia muridku. Raksasa Rimba Neraka. Kalau

dia memang bersalah, biarlah aku selaku gurunya

minta maaf padamu!"

"Ha ha ha...! Enak saja! Kau tahu, pengemis

busuk! Pemuda keparat ini hampir saja membunuh

adik kandung muridku! Kalau saja aku tidak cepat-

cepat datang, mungkin muridmu ini sudah

membunuhnya! Sekarang, begitu enaknya kau datang

memintakan ampun untuknya! Jangan harap!"

Wajah Pengemis Tongkat Merah langsung

berubah. Sikap raksasa itu amat merendahkannya.

Betapapun disadari kalau dirinya bukanlah tandingan

tokoh yang menggiriskan itu, tapi pantang baginya

menerima penghinaan. Ditegakkan kepalanya, dan

dibusungkan dadanya yang krempeng.

"Kalau begitu..., biarlah kupertaruhkan

selembar nyawa tuaku untuk keselamatan muridku!"

sambut Pengemis Tongkat Merah, tegas dan mantap

suaranya.

"Ha ha ha...! Kenapa tidak sejak tadi saja

berkata begitu?!"

Tiba-tiba Pengemis Tongkat Merah

menggerakkan tangannya. Dan seketika tongkat butut

berwarna merah melesak masuk ke dalam tanah,

hingga hampir setengahnya ketika kakek kurus ini

menekannya. Dia sadar kalau lawan di hadapannya ini


memiliki kepandaian luar biasa. Maka Pengemis

Tongkat Merah memang tidak mau bersikap sungkan-

sungkan lagi.

"Hiyaaat..!"

Diiringi teriakan melengking nyaring

memekakkan telinga, Pengemis Tongkat Merah

melompat Dan dari atas, dilancarkan serangan bertubi-

tubi ke arah ubun-ubun dan pelipis lawannya.

Raksasa Rimba Neraka hanya mendengus. De-

ngan keyakinan penuh akan kekuatan tenaga dalam

yang dimiliki, dipapaknya serangan kakek kurus kering

itu.

Plak! Plak! Plak...!

Benturan antara dua pasang tangan yang sama-

sama memiliki tenaga dalam tinggi pun terjadi berkali-

kali. Tubuh Pengemis Tongkat Merah yang tengah

berada di udara, terlempar kembali ke belakang.

Sementara kedua tangan Raksasa Rimba Neraka hanya

bergetar saja.

Pengemis Tongkat Merah bersalto beberapa kali

dengan meminjam tenaga benturan tadi. Dirasakan se-

kujur tangannya terasa seperti lumpuh. Tenaga dalam

yang dimiliki Raksasa Rimba Neraka itu memang luar

biasa!

"Hup...!"

Ringan tanpa suara, kedua kaki kakek itu

hinggap di tanah. Dan secepat kedua kakinya

mendarat, secepat itu pula kakek kurus kering ini

kembali menyerang. Maka kini keduanya sudah terlibat

dalam sebuah pertarungan sengit.

Di tempat itu kini hanya tiga pasang mata saja

yang menjadi penonton pertarungan antara dua orang

yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka adalah Dewa

Arak, Sapta, dan Gajula. Sementara para penduduk

yang semula menyaksikan, telah bubar ketika Sagar

tiba-tiba tewas terbunuh. Mereka memang tidak ingin

nantinya terbawa-bawa.


Pengemis Tongkat Merah yang telah mendengar

betapa lihainya Raksasa Rimba Neraka, mengerahkan

segenap kemampuannya. Tangan dan kakinya

berkelebat cepat mengancam bagian-bagian lemah di

tubuh raksasa itu.

Tapi betapapun kakek kurus kering ini bekerja

keras, tetap saja tidak mampu mendesak lawannya.

Setiap serangannya selalu kandas. Kalau tidak

dielakkan, pasti ditangkis. Dan setiap kali Raksasa

Rimba Neraka menangkis serangannya, tubuhnya

selalu terhuyung. Dadanya juga terasa sesak. Bahkan

sekujur tangannya terasa sakit bukan main.

Tidak sampai dua puluh jurus sudah terlihat

keunggulan Raksasa Rimba Neraka. Memang

sebenarnya kakek kurus kering ini kalah segala-

galanya. Baik dalam, hal tenaga dalam, maupun dalam

ilmu meringankan tubuh.

Memasuki jurus ketiga puluh lima, Pengemis

Tongkat Merah mulai terdesak. Kakek kurus kering ini

hanya mampu main mundur, dan hanya sesekali saja

balas menyerang.

Sementara itu, Dewa Arak yang sejak tadi

mengawasi pertarungan, segera dapat mengetahui

kalau Pengemis Tongkat Merah tak akan lama lagi

dapat bertahan. Dan dugaan pemuda berambut putih

keperakan ini memang tidak meleset. Pada jurus

keempat puluh, kaki kanan Raksasa Rimba Neraka

meluncur deras ke arah perut Pengemis Tongkat

Merah. Karena untuk mengelak sudah tidak

memungkinkan lagi, kakek kurus kering Ini

memutuskan untuk menangkisnya.

Plak..!

Dengan kedua tangan terkepal saling bersilang

di depan dada, tendangan itu berhasil ditangkisnya.

Tapi akibatnya tubuh Pengemis Tongkat Merah

terhuyung-huyung ke belakang. Dan belum lagi kakek

kurus kering ini memperbaiki posisi, kaki raksasa yang

tertangkis itu secara mengejutkan kembali


mengancamnya dengan sebuah tendangan miring ke

arah leher.

"Hup...!"

Pengemis Tongkat Merah begitu susah payah

mengelakkan serangan itu dengan menggeser kaki ke

samping.

"Hiya...!"

Raksasa Rimba Neraka berteriak keras.

Berbareng dengan itu, kaki kirinya dikibaskan sambil

membalikkan tubuh.

Wuuusss...!

Angin menderu keras seperti terjadi topan di

sekitar tempat itu. Dan memang sebenarnya, dari

rentetan serangan kaki yang bertubi-tubi dengan cara

mengibas inilah seluruh kekuatan ditumpukan. Tentu

saja kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam

serangan ini pun sangat dahsyat.

Buk...!

"Akh...!"

Tubuh Pengemis Tongkat Merah terlempar

deras. Kibasan kaki Raksasa Rimba Neraka telak

mendaiat di pangkal lengannya. Mulanya serangan

kibasan itu diarahkan ke pelipis. Untungnya, kakek

kurus kering ini sempat mengelak, sehingga kibasan

yang semula mengarah ke pelipis itu hanya mengenai

pangkal lengan.

Meskipun demikian akibat yang diterima kakek

kurus kering ini tidak ringan. Bagian yang terkena

kibasan kaki terasa sakit bukan main. Seolah-olah

tulang-belulangnya remuk. Padahal tadi sudah

dikerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk

melindungi bagian yang terserang.

Belum sempat Pengemis Tongkat Merah

memperbaiki posisinya, kini serangan susulan Raksasa

Rimba Neraka menyambar tiba. Seketika wajah kakek

kurus kering ini pucat.

Di saat kritis itu mendadak sesosok bayangan

berkelebat memapak serangan itu.


Plak! Plak...!

Benturan keras terdengar berkali-kali, disusul

terpentalnya kedua sosok tubuh itu ke belakang.

"Grrrh...!" Raksasa Rimba Neraka menggeram.

Diam-diam kakek tinggi besar ini kaget bukan main.

Dari benturan yang baru saja terjadi, diketahui kalau

sosok bayangan yang menangkis serangannya pasti

memiliki tenaga dalam yang tidak rendah. Malah kedua

tangannya sampai tergetar hebat dan sakit-sakit

karenanya.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati si rak-

sasa ini ketika melihat orang yang menangkis serang-

annya itu. Tampak di hadapannya dalam jarak sekitar

tiga tombak, berdiri seorang pemuda berambut panjang

meriap berwarna putih keperakan. Betulkah pemuda

ini yang baru saja menangkis serangannya tadi?

Padahal serangan itu dilakukan dengan pengerahan

tenaga seluruhnya! Hampir-hampir kakek raksasa ini

tidak percaya kalau tidak menyaksikan sendiri!

Seumur hidupnya belum pernah ditemukan

tokoh yang mampu membuatnya terjengkang ke

belakang dalam adu tenaga, kecuali pemuda di

hadapannya ini. Apalagi yang berada di hadapannya ini

adalah tokoh muda.

"Siapa kau, bocah! Apa hubunganmu dengan

kakek itu?!" tanyanya keras. Sepasang mata Raksasa

Rimba Neraka yang besar ini pelahan menyipit.

Dewa Arak yang juga merasakan betapa

kuatnya tenaga dalam yang dimiliki kakek raksasa di

hadapannya ini, bersikap hati-hati.

"Aku Arya, seorang pengelana. Dan aku tidak

mempunyai hubungan apa-apa dengan kakek yang

hendak kau bunuh itu. Hanya saja, aku tidak bisa

membiarkan adanya kekejaman berlangsung di depan

mataku!" tegas dan jelas kata-kata pemuda berambut

putih keperakan itu.

"Ha ha ha...! Jadi kaulah rupanya orang yang

berjuluk Dewa Arak!? Ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam


tiba. Memang sudah lama aku ingin menjajal kelihaian

tokoh yang katanya menggemparkan dunia persilatan

itu. Sungguh tidak kusangka, julukan yang cukup

menyeramkan itu hanya dimiliki seorang pemuda

ingusan. Bersiaplah kau, pemuda sombong!"

Setelah berkata demikian, Raksasa Rimba

Neraka menjulurkan kedua tangannya ke depan,

kemudian pelahan-lahan mengepalkannya. Terdengar

suara bergemeletuk keras seolah-olah sekujur tulang-

tulangnya berpatahan.

Dewa Arak yang sudah bisa mengukur

kepandaian lawan, tidak berani bersikap main-main.

Segera diambil guci yang terikat di punggung, lalu

diangkat ke atas kepala. Sebentar saja beberapa teguk

arak telah berpindah ke tenggorokannya.

Gluk... gluk... gluk....!

Terdengar suara tegukan ketika arak itu

melewati tenggorokannya. Sesaat kemudian tubuh

pemuda itu pun mulai hangat dan limbung.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba terdengar teriakan menggeledek dari

mulut Raksasa Rimba Neraka. Dan belum lagi gema

suara teriakan itu hilang, tubuhnya sudah melesat ke

arah Dewa Arak. Kedua tangannya yang mengepal,

dihantamkan ke arah Arya dalam sebuah pukulan

lurus ke dada.

Suara meledak-ledak seperti suara perir

menggelegar terdengar mengiringi serangan itu. Itu pun

masih diiringi hawa panas yang menyambar tiba

sebelum pukulan itu sendiri mendekat. Dewa Arak

seketika terkejut. Tak disangka kalau lawannya yang

mengerikan ini memiliki ilmu begitu ampuh.

Jangankan terkena langsung serangan itu, terkena

anginnya saja sudah cukup membuat sebuah pohon

hancur lebur hangus.

Dewa Arak yang selalu bersikap hati-hati dan

tidak pernah memandang rendah lawan, segera


mengeluarkan jurus 'Delapan Langkah Belalang' untuk

menghadapinya.

Brakkk...!

Sebatang pohon sebesar pelukan dua orang de-

wasa langsung hancur terkena angin pukulan yang ti-

dak mengenai sasaran karena tubuh Dewa Arak sudah

lenyap dari situ.

"Grrrh...!" Raksasa Rimba Neraka meraung

keras melihat lawannya tiba-tiba lenyap dari

hadapannya. Untuk sesaat ia kebingungan. Tapi begitu

terasa ada angin mendesir di belakangnya, segera saja

diketahui kalau lawan ada di belakangnya. Dan

seketika itu pula raksasa itu melempar tubuhnya ke

depan, kemudian menggulingkan tubuhnya.

Dewa Arak tidak memberi kesempatan pada ka-

kek raksasa ini untuk memperbaiki posisinya. Segera

diburu tubuh yang sedang bergulingan itu.

Wut!

Diayunkan gucinya ke arah kepala lawannya.

"Ah,..!" seru Dewa Arak kaget

Entah bagaimana caranya, kini posisi kepala itu

telah berada di tempat aman, tenaga sepasang kaki

yang mempunyai kembangan gerakan tidak terduga-

duga.

Walaupun Dewa Arak berusaha keras

menjatuhkan serangan pada bagian kepala dan tubuh,

tapi niatnya selalu kandas. Setiap serangannya selalu

dihadang sepasang kaki yang mempunyai pertahanan

luar biasa kokohnya. Raksasa itu menghadapi Dewa

Arak dengan posisi tubuh terlentang di tanah! Bahkan

beberapa kali Dewa Arak terpaksa menghindar ketika

Raksasa Rimba Neraka melancarkan serangan balasan.

"Hm.... 'Jurus Trenggiling'...," desah Pengemis

Tongkat Merah yang sejak tadi memperhatikan

jalannya pertempuran itu. Sejak mendengar pemuda

berambut putih keperakan itu memperkenalkan

namanya, kakek kurus kering ini sudah menduga

kalau pemuda itu adalah Dewa Arak.


Maka begitu dugaannya benar, diputuskan

untuk menonton pertarungan yang sudah dibayangkan

berlangsung dahsyat. Ingin diketahui, siapa di antara

kedua tokoh yang sama-sama memiliki kesaktian tinggi

dan menggegerkan rimba persilatan itu.

Tapi melihat tokoh yang digelari Dewa Arak,

Pengemis Tongkat Merah merasa kurang yakin kalau

tokoh muda itu akan mampu menaklukkan Raksasa

Rimba Neraka. Dewa Arak ternyata masih begitu muda,

dan sudah pasti belum banyak pengalaman meng-

hadapi berbagai macam ilmu yang aneh-aneh. Berbeda

dengan Raksasa Rimba Neraka yang telah puluhan

tahun malang-melintang di dunia persilatan.

Setelah belasan jurus Dewa Arak berusaha

mendesak lawan tanpa hasil, dia menjadi tidak sabar.

Disadari kalau ilmu 'Belalang Sakti' di samping

mempunyai banyak keistimewaan, tetap saja memiliki

kekurangan dan kelemahan. Dan itu memang wajar,

karena tidak ada ilmu yang sempurna.

Ilmu 'Belalang Sakti' ternyata menjadi lumpuh

dan tidak cocok untuk menghadapi Raksasa Rimba

Neraka. Ilmu yang dimiliki Dewa Arak memang tidak

dirancang untuk menghadapi ilmu permainan bawah,

seperti 'Jurus Trenggiling', atau 'Jurus Kelabang'.

"Okh...!"

Suara keluhan Sapta menyadarkan Pengemis

Tongkat Merah kalau dirinya masih mempunyai sebu-

ah urusan yang lebih penting, yaitu menyelamatkan

nyawa muridnya.

Dengan perasaan berat, ditinggalkan

pertempuran yang tengah berlangsung seru itu.

Bergegas kakek itu menghampiri muridnya yang terikat

erat di tonggak, setelah terlebih dulu mengambil

tongkat bututnya yang tadi ditancapkan di tanah.

Tentu saja Gajula tidak membiarkan Sapta

lolos. Begitu melihat Pengemis Tongkat Merah bergerak

mendekati tempat pemuda itu terikat, Gajula cepat-

cepat bertindak.


Singgg...! Singgg...!

Suara berdesing nyaring terdengar ketika si

wajah kera itu melemparkan beberapa buah pisau

sekaligus ke arah tubuh Sapta yang tergolek tidak

berdaya.

"Hih...!"

Pengemis Tongkat Merah yang melihat bahaya

maut mengancam muridnya segera menghentakkan

kedua tangannya ke depan.

Wut...!

Trak!

Serentetan angin keras menghambur keluar

dari tangannya yang dihentakkan itu, dan menerpa

pisau-pisau yang meluncur cepat mengarah tubuh

Sapta. Pisau-pisau itu pun langsung runtuh ke tanah

dengan keras.

Pengemis Tongkat Merah yang masih

merasakan lumpuh pada tangan kirinya, menatap

beringas ke arah Gajula. Seketika itu juga, si wajah

kera yang mengetahui bahwa dirinya bukan tandingan

kakek kurus kering itu segera melompat menjauh.

Pengemis Tongkat Merah tidak

mempedulikannya. Segera saja tubuhnya melompat

mendekati tubuh muridnya. Sebentar kemudian,

tangan kanannya pun bergerak.

Pralll...!

Kontan rantai baja yang melilit tangan dan kaki

Sapta hancur berantakan.

"Hup...!"

Kakek kurus kering ini menjejakkan kakinya,

dan sesaat kemudian tubuhnya sudah melesat

meninggalkan tempat itu bersama tubuh Sapta berada

dalam pondongannya.

"Grrrh...!" Raksasa Rimba Neraka menggeram

keras.

Memang, walaupun tengah bertarung, kakek

tinggi besar ini masih sempat melihat Pengemis

Tongkat Merah yang telah menyelamatkan muridnya.


Dan ini membuatnya murka bukan main. Dengan

'Jurus Trenggiling', didesaknya Dewa Arak.

Tendangannya bertubi-tubi dan susul-menyusul

mengancam bagian tubuh yang berbahaya di sekujur

tubuh pemuda itu.

Tapi berkat keistimewaan jurus 'Delapan

Langkah Belalang', Arya berhasil mengelakkan setiap

serangan itu. Hanya saja tidak seperti biasanya, kali ini

jurus 'Delapan Langkah Belalang' tidak bisa digunakan

untuk mengelak dan langsung mengancam lawan.

Selagi Dewa Arak sibuk mengelakkan serangan-

serangan, Raksasa Rimba Neraka melentingkan tubuh-

nya menjauh. Dia langsung mengejar Pengemis Tong-

kat Merah yang melarikan diri.

Melihat kepergian gurunya, Gajula pun segera

melesat kabur dari situ. Dewa Arak yang memang sama

sekali tidak mempunyai urusan dengan mereka, tidak

mengejar. Yang dipentingkan kali ini adalah menye-

lamatkan desa ini dari tangan jahat Toga, si kepala

desa.

Dewa Arak pun melesat meninggalkan tempat

itu. Cepat sekali gerakannya, sehingga dalam sekejap

saja yang nampak hanyalah sebuah titik yang semakin

lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap di

kejauhan.



EMPAT



Tubuh Raksasa Rimba Neraka melesat cepat,

disertai pengerahan seluruh ilmu meringankan tubuh

yang dimiliki untuk mengejar Pengemis Tongkat Merah

yang berada jauh di depannya.

Sedikit demi sedikit jarak antara mereka mulai

dekat. Bayangan tubuh kakek kurus kering yang

semula hanya berupa titik kecil hitam di kejauhan, kini

semakin lama semakin membesar. Sudah bisa

dipastikan kalau akhirnya Raksasa Rimba Neraka

berhasil mengejar buruannya.

Tapi senyum yang tadi telah menghias wajah

Raksasa Rimba Neraka pelahan mulai melenyap ketika

tampak di kejauhan sana membentang sebuah hutan.

Sebagai tokoh yang penuh pengalaman, kakek tinggi

besar ini tahu kalau Pengemis Tongkat Merah berhasil

masuk ke dalam hutan itu, sudah bisa dipastikan akan

berhasil lolos.

Raksasa Rimba Neraka mengerahkan segenap

kemampuan yang dimiliki. Tujuannya, menyusul kakek

kurus kering itu sebelum sempat memasuki hutan.

Tapi betapapun mengerahkan segenap kemampuan

yang dimiliki, tetap saja usaha yang dilakukannya

tidak mendapatkan hasil. Jarak antara mereka masih

terlalu jauh. Sementara jarak antara Pengemis Tongkat

Merah dengan hutan itu sudah demikian dekat.

Apa yang dikhawatirkan Raksasa Rimba Neraka

pun terjadi. Pengemis Tongkat Merah telah lebih duiu

memasuki mulut hutan sebelum berhasil disusul.

Jarak antara mereka masih terpisah puluhan tombak.

Beberapa saat setelah kakek pengemis itu

memasuki hutan itu, baru laki-laki bertubuh raksasa

ini tiba di mulut hutan. Tanpa membuang-buang

waktu lagi, Raksasa Rimba Neraka itu melesat masuk.


Tapi sesampainya di dalam hutan, kakek

bertubuh raksasa itu menjadi kebingungan. Hutan ini

terlalu lebat, ditumbuhi pohon-pohon besar kecil, dan

semak-semak. Apalagi akar-akar pohon yang menjalar

juga menghalangi pandangan. Sesaat lamanya Raksasa

Rimba Neraka ini mengedarkan pandangannya

berkeliling, mencari-cari barangkali ada pohon atau

semak yang masih bergoyang. Kalau ada, itu tandanya

baru dilewati orang. Tapi, tetap saja itu tidak

dijumpainya.

Lalu dia memilih satu arah saja yang

diyakininya. Tapi sampai lama mengejar, tak juga

nampak tanda-tanda bayangan tubuh kakek pengemis

di depannya. Setelah lama mencari ke sana kemari

tanpa hasil, meledaklah kemarahan Raksasa Rimba

Neraka ini.

"Grrrrh...!" kakek raksasa ini menggeram hebat.

Kemudian tangan kanannya yang mengepal

dipukulkan ke depan.

Wut...!

Brakkk...!

Sebatang pohon sebesar pelukan dua orang

dewasa tumbang seketika, tatkala angin pukulan

Raksasa Rimba Neraka ini melandanya. Dengan

mengeluarkan suara bergemuruh, pohon besar itu pun

tumbang dalam keadaan hancur luluh dan hangus.

Tidak hanya sampai di situ saja, tangan dan kakinya

terus saja dipu-kulkan ke sana kemari, melampiaskan

kemarahannya.

Kontan suara hiruk-pikuk menyemaraki

suasana hutan itu. Pohon-pohon yang tumbang dalam

keadaan hancur dan hangus, semak-semak yang cerai-

berai dalam keadaan mengering layu, mengiringi setiap

gerakan tangan atau kaki Raksasa Rimba Neraka.

Cukup lama juga Raksasa Rimba Neraka ini me-

lampiaskan amarahnya. Dan kini ditatapnya keadaan

dalam hutan yang porak-poranda. Kemudian

dilangkahkan kakinya, melesat dari tempat itu.


***

"Hhh...!" Pengemis Tongkat Merah mendesah

lega di tempat persembunyiannya, setelah melihat

kepergian Raksasa Rimba Neraka. Memang, kakek ini

masih berada di hutan itu, bersembunyi di kerimbunan

semak-semak dan pepohonan. Dia memang telah me-

lihat semua sepak terjang si raksasa yang mengamuk

membabi buta.

Suara lenguh kesakitan Sapta menyadarkan

kakek ini dari lamunannya. Kini perhatiannya tercurah

pada pemuda berhidung melengkung yang tergolek

lemah di tanah.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, kakek

kurus kering ini segera memeriksa luka-luka muridnya.

Yang menjadi perhatiannya pertama kali adalah, luka-

luka bekas cambukan yang menggurat hampir sekujur

tubuh pemuda itu.

Sekali lihat saja, Pengemis Tongkat Merah yang

penuh pengalaman segera mengetahui kalau luka-luka

cambuk itu tidak membahayakan jiwa Sapta, karena

hanya luka luar belaka. Yang lebih berbahaya adalah

luka-luka dalamnya.

"Guru....," sapa Sapta lirih, begitu tersadar dari

pingsannya. Memang sejak kakek kurus kering ini

membawanya lari, pemuda ini sudah tidak sadarkan

diri lagi.

''Tenanglah, Sapta," sambut kakek itu.

Namun Sapta seolah-olah tidak mendengar

peringatan itu. Pemuda itu malah berusaha bangkit.

Kedua tangannya yang ditekankan ke tanah, tampak

gemetar.

"Berbaringlah dulu, Sapta."

Pemuda berhidung melengkung itu mendengar

ada nada ketegasan dalam ucapan gurunya. Perintah

yang tidak menghendaki adanya bantahan. Maka se-

gera dibaringkan tubuhnya kembali.


"Kami, Guru...."

"Kami?! Ada apa dengan Kami?!" tanya

Pengemis Tongkat Merah kaget. Sikap pemuda di

hadapannya ini yang begitu mengkhawatirkan Kami,

membuatnya cemas bukan main. Walaupun kakek ini

sudah dapat mengira-ngira, tapi mendengar penegasan

pemuda itu dia merasa khawatir bukan main.

"Kami tertangkap, Guru...," desah Sapta lirih.

"Aku tidak bisa memenuhi janjiku pada Guru untuk

menjaga Kami."

Pengemis Tongkat Merah berusaha bersikap

tenang. Ia tidak ingin menambah kekalutan hati murid-

nya dengan menunjukkan kegelisahannya. Sebenarnya

banyak pertanyaan yang menggayuti benak kakek ini.

Terutama ketika melihat Sapta hanya sendiri saja saat

ditolong. Juga, apa urusannya sehingga pemuda itu

bisa bentrok dengan Raksasa Rimba Neraka.

Memang dari raksasa itu sudah diketahuinya

kalau Sapta hampir membunuh adik kandung dari

muridnya. Itulah yang menjadi teka-teki lagi baginya.

Siapakah adik kandung murid Raksasa Rimba Neraka

itu sehingga Sapta hendak membunuhnya?

"Ceritakan semuanya secara jelas, Sapta!"

Sapta pun segera menceritakan semuanya.

Mulai dari pertempurannya dengan Toga, sampai

akhirnya muncul Raksasa Rimba Neraka yang telah

merobohkannya secara mudah.

Wajah Pengemis Tongkat Merah langsung

pucat. Sungguh tidak disangka kalau Toga, musuh

besar muridnya ini, mempunyai kakak kandung yang

menjadi murid dari Raksasa Rimba Neraka! Dan kini

gadis itu menjadi tawanan raksasa yang mengerikan

itu.

Kakek kurus kering ini menyadari bahwa

dirinya bukanlah tandingan Raksasa Rimba Neraka.

Kekalahan yang baru saja diterimanya, telah

memperjelas dugaannya selama ini. Kalau saja tidak


muncul Dewa Arak menolongnya, mungkin ia sudah

tewas di tangan kakek tinggl besar itu.

"Hhh...!" Pengemis Tongkat Merah menghela

napas panjang. "Sungguh tidak kusangka kalau

urusannya menjadi begjni pelik, Sapta. Apalagi

Raksasa Rimba Neraka juga terlibat dalam urusan ini.

Kini jangankan untuk membalas dendam untuk

menolong Kami pun kita belum tentu mampu!"

"Tapi biar bagaimanapun aku akan tetap meno-

long Kami, Guru. Akan kudatangi lagi tempat si

keparat itu. Dan..., kalau bisa membalaskan dendam

orang tuaku!" tegas dan mantap kata-kata pemuda itu.

Kakek kurus kering itu tersenyum. Terlihat

begitu kering dan dipaksakan senyumnya.

"Tentu saja, Sapta. Untuk kedua hal itu, aku

bersedia mengorbankan selembar nyawa tuaku ini.

Hhh...! Semula aku tidak ingin campur tangan dalam

urusan balas dendammu. Tapi kini setelah Raksasa

Rimba Neraka berdiri di belakang musuh-musuhmu,

aku tidak bisa berpangku tangan lagi."

Dada Sapta terasa sesak oleh rasa haru yang

amat sangat melihat pembelaan gurunya yang begitu

besar.

"Sekarang yang penting, pulihkan dulu

tubuhmu. Jangan bangkit dulu. Aku akan mencari

daun-daunan dan akar-akaran untuk mengobati luka-

lukamu." Sapta menganggukkan kepalanya. Pengemis

Tongkat Merah pun segera melesat dari situ. Beberapa

saat kemudian, kakek itu pun kembali dan telah

menggenggam daun-daunan dan akar-akaran yang

berkhasiat untuk mengobati luka-luka yang diderita

Sapta dan dirinya sendiri.

***

"Auuung...!"

Lolongan anjing hutan menggaung panjang,

merobek kesunyian malam yang mencekam. Padahal


malam itu langit bersih tidak berawan. Bulan bersinar

penuh, memancarkan sinarnya yang kekuningan di la-

ngit. Tapi anehnya dalam suasana secerah itu, di Desa

Gebang nampak sepi seperti mati.

Tapi rupanya masih ada juga orang yang berada

di luar rumah. Terbukti, tampak sesosok bayangan

ungu melesat dari satu atap ke atap rumah lainnya.

Gerakannya gesit sekali. Kalau saja ada penduduk

yang melihat, tentu akan disangka hantu. Apalagi ba-

yangan itu memiliki rambut berwarna putih keperakan.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di

tanah. Dan secepat kedua kakinya hinggap, secepat itu

pula tubuhnya melesat ke arah tembok pagar sebuah

rumah besar yang megah dan berhalaman luas.

Beberapa saat lamanya si rambut putih keperakan itu

berdiri menempel tembok, baru kemudian

menengadahkan kepalanya, mengira-ngira tinggi pagar

tembok yang tengah disandarinya.

"Hih...!"

Tubuhnya direndahkan sedikit, dan sebentar

kemudian tubuh si rambut putih keperakan itu

melayang ke atas. Suasana malam yang cerah, dan

sinar bulan pumama yang cukup terang itu menyoroti

wajah itu selagi tubuhnya berada di atas. Ternyata

memang si rambut putih keperakan itu adalah Arya

Buana atau yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak!

"Hup...!"

Kedua kaki Dewa Arak hinggap di atas tanah di

dalam pekarangan yang luas itu tanpa suara. Sepi-sepi

saja suasana di dalam pekarangan ini.

"Hih...!"

Tubuh Dewa Arak kini melesat dan hinggap di

atas atap tanpa suara. Pendengarannya yang tajam

menangkap adanya langkah kaki mendekat.

Dugaannya tidak keliru. Tak lama kemudian di tempat

dia berdiri tadi, lewat dua orang yang membawa obor

dan kentongan.


"Ronda...," bisik hati Arya.

Pelan laksana seekor harimau yang berjalan

mengendap-endap menghampiri mangsa, Dewa Arak

berjalan di atas atap. Dia memang mencoba mencari-

cari kamar kepala desa.

Tapi baru beberapa langkah berjalan, langkah

kaki pemuda ini tertahan di udara. Pendengarannya

yang tajam, menangkap adanya rintihan lirih di bawah

sana. Dan perasaan penasaran mendorong pemuda ini

mendekatkan telinganya ke genteng. Suara rintihan itu

pun semakin jelas terdengar.

"Jangan.... Jangan lakukan itu..., bunuh saja

aku...."

Wajah Arya langsung berubah. Suara rintihan

lirih itu berasal dari mulut wanita! Berarti ada seorang

wanita yang tengah membutuhkan pertolongan di ba-

wah sana.

Dewa Arak memutuskan menjebol atap ini

untuk menolong wanita yang diduga dalam bahaya

besar itu. Tapi baru saja akan bertindak, sebuah suara

lain yang menyambut rintihan itu membuat dia harus

menahan gerakannya.

"Ha ha ha...! Enak saja! Jarang kutemukan

wanita istimewa sepertimu, tahu!? Kau memiliki

banyak kelebihan dibanding santapan-santapanku

sebelumnya. Kau cantik, masih gadis, dan memiliki

kepandaian. Ha ha ha…! Betapa bodohnya kalau aku

membunuhmu!"

Wajah Arya Buana langsung berubah! Memang,

suara dan tawa itu sangat dikenalnya. Dan seketika itu

juga jantung Dewa Arak berdebar tegang. Bukankah

pemilik suara dan tawa itu adalah musuh tangguh

yang berjuluk Raksasa Rimba Neraka dan baru saja

dihadapinya? Lalu, kenapa tokoh sakti yang

menggiriskan itu berada di sini? Apa hubungannya

dengan Toga, yang menjadi Kepala Desa Gebang? Batin

Dewa Arak terus dibebani bermacam-macam

pertanyaan.


Tapi Dewa Arak tidak bisa berpikir lebih lama

lagi. Suara kain robek yang terdengar dari bawah,

disusul jerit ketakutan seorang wanita memaksanya

bertindak cepat

Brakkk...!

Atap rumah itu hancur berantakan ketika Dewa

Arak menghajarnya. Karuan saja hal itu mengejutkan

Raksasa Rimba Neraka. Padahal laki-laki tinggi besar

itu baru saja menindih tubuh wanita yang tak lain dari

Kami. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya.

Wuuuttt...!

Serentetan angin pukulan yang mengandung

hawa panas telah menyambar ke arah Raksasa Rimba

Neraka, ketika kedua kakinya hinggap di tanah.

Sebentar kemudian, meluncur sesosok bayangan ungu

dari atap yang telah ambrol.

"Hih...!"

Tidak ada jalan lain bagi Raksasa Rimba

Neraka, kecuali melompat menghindar. Laki-laki tinggi

besar itu menyadari betul kalau angin pukulan yang

menyambarnya itu mengandung tenaga dalam yang

amat kuat. Dan ia tidak berani berlaku ceroboh.

Brakkk...!

Tembok yang terbuat dari tembok batu itu

ambrol terhantam tubuh si raksasa yang menabraknya

dalam upaya keluar ruangan.

Blarrr...!

Lantai tempat kakek tinggi besar tadi berdiri

langsung ambrol, ketika angin pukulan Dewa Arak

yang tidak mengenai sasaran menghantamnya. Tampak

sebuah lubang besar tercipta akibat pukulan itu.

"Hup...!"

Secepat kedua kakinya mendarat di tanah,

secepat itu pula Dewa Arak memalingkan wajahnya. Di

sebuah pembaringan nampak tergolek seorang gadis

dalam keadaan tanpa busana! Kulitnya yang putih

mulus, dan lekuk-lekuk tubuhnya yang menggairahkan

membuat Dewa Arak menelan ludah.


Melihat keadaan gadis ini yang diam tidak

bergerak, Dewa Arak segera saja tahu kalau gadis ini

tertotok lumpuh. Arya segera bergerak mendekati.

Tentu saja, mau atau tidak mau tubuh yang mulus

indah dan menantang itu terlihat olehnya. Jantung

pemuda berambut putih keperakan ini berdebar

tegang. Kedua tangannya terasa dingin. Darah kelaki-

lakiannya seketika bergolak.

Sambil menarik napas untuk menenangkan

hatinya yang terguncang, Arya menggerakkan

tangannya membuka totokan yang membuat gadis itu

lumpuh.

"Cepat kenakan pakaianmu, dan pergilah...!"

perintah Arya sambil melesat keluar, melalui lubang di

tembok yang dibuat Raksasa Rimba Neraka tadi.

Kami buru-buru mencari pakalan, dan dengan

tergesa-gesa mengenakannya. Dalam hati ia bersyukur,

di saat terakhir muncul seorang yang menolongnya.

Sementara itu begitu keluar dari ruangan, Dewa

Arak terkejut. Ternyata di luar telah menanti banyak

sekali sosok tubuh. Tapi yang menjadi perhatian Arya

hanya satu, yaitu sosok yang tingginya satu setengah

kali manusia biasa. Siapa lagi kalau bukan Raksasa

Rimba Neraka yang amat tangguh.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak

segera meraih guci dari punggungnya. Kemudian

diangkatnya ke atas kepala, dn dituangkan ke

mulutnya

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar begitu arak itu

memasuki mulutnya. Sesaat kemudian langkahnya

pun mulai sempoyongan.

"Ha ha ha...! Kiranya kau orangnya!? Pantas

begitu usilan!" teriak Raksasa Rimba Neraka keras,

begitu melihat Dewa Arak keluar dari ruangan itu.

Memang dia sudah merasakan kehebatan pemuda

berambut putih keperakan itu tadi siang, terutama

tenaga dalamnya.


"Hiyaaa...!"

Kali ini di luar kebiasaannya, Dewa Arak

mendahului menyerang. Pemuda ini bermaksud

membuat repot Raksasa Rimba Neraka agar Kami

dapat meloloskan diri.

Wuuuttt..!

Guci di tangan kanannya diayunkan deras ke

arah kepala si raksasa itu. Angin keras mengiringi

tibanya serangan itu.

Raksasa Rimba Neraka yang sudah mengetahui

kelihaian pemuda di hadapannya, memang sejak tadi

sudah bersiap siaga. Pertarungan tadi siang memang

membuatnya penasaran bukan main. Selama puluhan

bahkan mungkin ratusan kali bertanding, belum

pernah 'Ilmu Pukulan Tinju Geledek' miliknya ditahan

lawannya. Tapi ternyata Dewa Arak ternyata mampu

membuat ilmu andalannya itu tidak berdaya. Ingin

dibuktikannya sekali lagi, apakah memang pemuda

pemabukan ini mampu membuat ilmu andalannya itu

tidak berdaya? Maka tanpa ragu-ragu lagi, diangkat

tangan kirinya melindungi kepala.

Klanggg...!

Benturan keras yang terjadi antara guci Dewa

Arak dengan tangan kiri Raksasa Rimba Neraka,

menimbulkan suara berdentang nyaring. Tampak

tubuh kakek tinggi besar itu terhuyung-huyung

beberapa langkah ke belakang. Begitu pula Dewa Arak.

Seperti kejadian sebelumnya, tenaga dalam mereka

memang berimbang.

Berkat keisrimewaan ilmu 'Belalang Sakti',

Dewa Arak lebih dulu berhasil mematahkan daya

dorong yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung.

Dan kini, kembali tubuhnya melesat menyambar,

sementara gucinya sudah terikat kembali di punggung.

Entah kapan dan bagaimana caranya, guci itu telah

berada di punggung kembali. Bahkan Raksasa Rimba

Neraka sendiri tidak tahu.


Yang diketahui laki-laki bertubuh raksasa itu,

kedua tangan Dewa Arak dengan kecepatan tinggi me-

nyambar bertubi-tubi. Gerakan tangannya begitu aneh,

mengancam pelipis dan ubun-ubunnya. Raksasa Rim-

ba Neraka kaget bukan main. Posisinya tidak

memungkinkan untuk menangkis serangan yang

nantinya hanya akan memperburuk keadaan. Maka

buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah kemudian

bergulingan menjauh.

Dan tepat pada saat itu, Kami melesat keluar

dari kamar.

Namun sayang, ternyata di luar bukan hanya

ada Raksasa Rimba Neraka saja. Di situ juga ada

Gajula, Toga, dan puluhan anak buahnya. Maka begitu

gadis itu keluar, segera mereka mengurungnya.

Dewa Arak sadar kalau keadaan itu amat

berbahaya. Kalau tidak bertindak keras, sulit baginya

untuk membawa keluar gadis itu. Raksasa Rimba

Neraka kelihatannya terlalu tangguh untuk

ditaklukkan.

"Hiyaaa...!"

Tiba-fiba Dewa Arak berteriak keras. Kedua ta-

ngannya dihentakkan ke depan. Inilah jurus 'Pukulan

Belalang' yang jarang sekali digunakan, kalau tidak

terpaksa sekali.

Wuuusss...!

Angin berhawa panas menyambar deras ke arah

kerumunan orang yang menghadang langkah Kami.

Bresss...!

Beberapa sosok tubuh terlempar jauh,

kemudian ambruk ke tanah dan terguling-gullng jauh.

Sekujur tubuh mereka hangus. Dari mulut, hidung,

dan telinga mengalir darah segar. Mereka memang

tewas seketika! Sementara itu Toga, Gajula, dan

belasan orang lain yang berhasil menyelamatkan diri,

bergidik ngeri melihat akibat angin pukulan itu.


"Cepat pergi...!" teriak Arya ketika melihat gadis

yang diusahakan setengah mati untuk lotos dari situ,

malah terbengong-bengong.

Bentakan Dewa Arak berhasil menyadarkan

Kami dari ketertegunannya. Segera gadis ini bergerak

kabur dari situ. Tapi Toga dan Gajula tidak

membiarkannya lolos! Dan cepat-cepat mereka

bergerak mengejar.

Dewa Arak tidak bisa membantu Kami lagi,

karena tampak Raksasa Rimba Neraka itu sudah

berhasil memperbaiki posisinya. Terpaksa dipusatkan

perhatiannya lagi pada kakek raksasa ini kalau masih

ingin hidup.

"Hih...!"

Arya menggertakkan gigi. Kembali kedua

tangannya dihentakkan ke depan.

Wusss...!

Raksasa Rimba Neraka tidak mau kalah.

Dikepalkan kedua tangannya, lalu dipukulkan ke

depan.

"Hiyaaa...!"

Wuuusss...!

Blarrr...!

Dua tiupan angin pukulan yang sama-sama me-

ngandung hawa panas itu bertemu di udara. Ledakan

keras luar biasa terjadi bagaikan gunung runtuh. Ke-

adaan di sekitar tempat itu bergetar hebat bagai

dilanda gempa. Bahkan bangunan-bangunan yang

berada di sekitar tempat itu pun bergetar hebat!

Tapi yang lebih hebat lagi, adalah yang dialami

kedua tokoh sakti yang tengah bertarung itu. Baik

tubuh Dewa Arak maupun tubuh Raksasa Rimba

Neraka, sama-sama terjengkang ke belakang. Dan

serentetan hawa panas merayap di sekujur tubuh

masing masing.

"Akh...!"

Terdengar pekikan tertahan, disusul

terhuyungnya tubuh Kami. Rupanya Toga dan Gajula


berhasil mengejarnya. Dan dalam keadaan kondisi

tubuh yang kurang sehat, Kami tidak mungkin mampu

menghadapi kedua orang lihai itu. Segera saja gadis itu

terdesak hebat. Sampai akhirnya, sebuah pukulan

telak Toga berhasil mendarat di dadanya.

Walaupun sekujur tubuh Dewa Arak dilanda

rasa panas, tapi tidak separah yang diderita Raksasa

Rimba Neraka! Dan ketika melihat keadaan Kami, Arya

menggertakkan gigi menahan kemarahan yang meluap.

Kemudian tubuhnya melesat ke tempat Gajula dan

Toga yang tengah mengeroyok Kami.

Karuan saja Gajula dan Toga menjadi gentar

bukan main, karena sudah melihat kedahsyatan

pemuda berambut putih keperakan itu. Maka begitu

melihat tubuh pemuda itu melayang mendekati,

keduanya pun berlari menghindar.

Tappp...!

Tanpa menghhaukan Toga dan Gajula, Dewa

Arak segera menyambar tubuh Kami yang sudah

limbung itu. Dipondong dan dibawanya gadis itu kabur

dari situ.

Tak ada seorang pun yang berani menghalangi

kepergian Dewa Arak. Sedangkan Raksasa Rimba

Neraka, orang satu-satunya yang dapat menahan Arya,

tengah sibuk mengusir serangan hawa panas yang

merayap di sekujur tubuhnya. Maka, tanpa mengalami

kesulitan sama sekali Kami dapat lolos dibawa Dewa

Arak.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara kedua kaki Arya hinggap di

tanah, di luar pagar tembok yang mengelilingi rumah

gedung milik Toga. Tubuhnya tampak terhuyung begitu

kedua kakinya mendarat di tanah, tapi tidak

dipedulikan. Dan terus berlari. Walaupun disadari

kalau dirinya telah terkena serangan hawa panas,

pemuda itu juga tidak mempedulikan. Padahal kalau

tidak segera diusir akan mengakibatkan luka dalam.


Arya terus berlari cepat, walaupun tempat

tinggal kepala desa itu telah jauh dilewatinya. Dan kini

perasaan pening mulai menjalari kepala Dewa Arak.

Seketika pemuda berambut putih keperakan ini

memperlambat larinya. Dan di saat itu terdengar

sebuah bentakan nyaring.

"Manusia cabul! Lepaskan wanita itu!" Belum

habis gema suara bentakan itu, sesosok bayangan yang

belum terlihat jelas telah menyerangnya. Dan Arya

mencoba mengelak, tapi keadaan tubuhnya yang tidak

memungkinkan begitu menyulitkannya.

Bukkk...!

Pukulan dari sosok bayangan itu telak

mengenai pangkal lengannya.

"Akh...!"

Dewa Arak mengeluh tertahan, dan tubuhnya

langsung terjengkang. Dan dengan demikian, tubuh

Kami yang tengah dipondongnya terlepas dan

terlempar. Tapi sebelum tubuh gadis itu terjatuh di

tanah, si penyerang telah terleblh dulu bergerak.

Tappp...!

Tubuh Kami berhasil ditangkap orang itu.

Arya menggeleng-gelengkan kepalanya. Hawa

panas yang menyerang membuat pandangannya

berkunang-kunang. Sehingga, Dewa Arak kini tidak

bisa melihat jelas sosok tubuh di hadapannya. Tapi

bentuk tubuh pemuda itu masih bisa dikenali. Jelas,

dia adalah murid Pengemis Tongkat Merah. Dan kini

samar-samar terdengar ucapan si penyerang.

"Kau tidak apa-apa, Kami?"

Tampaklah si penyerang tengah meletakkan

gadis itu di bawah sebatang pohon. Pikiran Arya yang

cerdas segera saja dapat menduga kalau pemuda itu

adalah teman wanita yang ditolongnya. Itu terbukti dari

ucapannya tadi. Memang tadi gadis itu sempat

mengenalkan nama padanya. Dan nama Kami adalah

nama yang disebutkan gadis itu. Jadi kemungkinan

pemuda itu salah paham padanya. Dan kini, tampak


pemuda teman Kami itu hendak menyerang Dewa

Arak.

"Tahan...," ucap Dewa Arak lemah. Digoyang-

goyangkan tangannya di depan dada.

Tapi Sapta kelihatannya sudah marah bukan

main ketika melihat pemuda berambut putih

keperakan itu membawa lari orang yang dicintainya.

Dia tidak mempedulikan cegahan itu. Keadaannya yang

waktu itu setengah sadar, membuatnya lupa kalau

pemuda yang berada di hadapannya inilah yang telah

menolong dirinya dan gurunya. Apalagi saat itu

kemarahan tengah melanda hatinya. Kembali

tangannya bergerak melancarkan serangan.

Dewa Arak kaget sekali. Walaupun tidak melihat

jelas serangan itu, tapi dari suara desir angin saja

dapat diketahui kalau pemuda di hadapannya tengah

menyerangnya secara ganas! Padahal, bukankah

pemuda itu tahu kalau dialah yang telah

menyelamatkan dirinya dan gurunya dari keganasan

Raksasa Rimba Neraka? Kenapa kini pemuda itu

hendak membunuhnya?

Perasaan penasaran dan keinginan untuk

menyelamatkan nyawanya yang hanya satu-satunya,

membuat Dewa Arak jadi mata gelap.

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras Dewa Arak

menghentakkan kedua tangannya ke depan.

Wuuusss...!

Angin berhawa panas menyambar deras

memapak serangan Sapta. Pemuda tinggi besar ini

menjadi kaget bukan main. Cepat dilempar tubuhnya

ke samping, dan bergulingan di tanah.

Brakkk...!

Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa

hancur berantakan ketika angin pukulan Dewa Arak

yang tidak mengenai sasaran menghantam.

"Huakkk...!"


Tiba-tiba Dewa Arak memuntahkan darah segar

dari mulutnya. Memang karena pengerahan tenaga

yang dipaksakan, akibatnya hawa panas yang

menyebar di seluruh tubuh telah melukainya.

Tapi Arya tidak memperdulikannya. Segera dia

melesat kabur dari situ, meninggalkan Sapta yang

masih terpaku menatap akibat angin pukulan yang

dilepaskan Dewa Arak.



ENAM


"Okh...," Kami mengeluh lirih. Sepasang

matanya yang berbulu lenrik mengerjap-ngerjap. Gadis

ini memang jatuh pingsan sewaktu Dewa Arak

terjengkang diserang Sapta.

Sementara Sapta yang sejak tadi menunggui

Kami yang tergolek pingsan, seketika menjadi berseri-

seri wajahnya begitu melihat gadis itu sadar.

"Eh! Di mana dia...?" tanya putri angkat

Pengemis Tongkat Merah ini. Sepasang matanya

berkeliaran ke sana kemari, seolah-olah mencari

sesuatu.

"Mencari siapa, Kami?" Sapta balas bertanya.

Kecewa juga hatinya, melihat betapa gadis itu

sepertinya tidak memperhatikan dirinya.

"Pemuda yang menolongku...." Ada suatu

perasaan aneh yang menyelinap di hati gadis ini ketika

teringat Dewa Arak. Wajahnya jantan, keperkasaan,

dan tindak-tanduknya yang begitu tenang, begitu

mengagumkan hatinya.

Seketika wajah pemuda berhidung melengkung

ini berubah.

"Siapa?"

"Pemuda berambut putih keperakan," jelas

Kami.

"Pemuda yang memondongmu?" tanya Sapta.

Ada nada tidak senang dalam suara itu.

Kami tentu saja merasakan adanya nada

ketidak-senangan dalam suara itu. Sepasang alis yang

bagus bentuknya itu pun berkerut. Ditatapnya wajah

pemuda di hadapannya itu lekat-lekat. Mendadak

terbayang kembali, sesosok bayangan yang memukul

pemuda yang memondongnya sehingga tubuhnya

terlempar, dan jatuh pingsan.


"Jadi..., jadi kau rupanya yang menyerang pe-

muda itu sampai terjengkang?!"

Pucat wajah Sapta seketika. Tapi pantang

baginya menyembunyikan perbuatannya.

"Ya!" jawabnya tegas. "Akulah yang

menyerangnya!"

"Lalu, ke mana dia?!" desak Kami. Tajam dan

keras nada suaranya.

"Kabur! Sehabis melepaskan pukulan yang

menimbulkan akibat mengerikan pada pohon itu!"

sahut Sapta sambil menunjuk pohon yang terkena

angin pukulan Dewa Arak.

Kami menolehkan kepalanya, memandang ke

arah telunjuk tangan Sapta. Meremang bulu kuduk

gadis itu melihat pohon yang begitu besar, hancur

berantakan. Beberapa saat lamanya putri angkat Pe-

ngemis Tongkat Merah ini terpaku.

"Aku tahu pasti, tidak akan mungkin dia

melepaskan pukulan sedahsyat itu kalau nyawanya

tidak terancam. Aku tahu dia terluka dalam. Karena

berkali-kali sewaktu membawaku lari, langkahnya

sempoyongan dan hampir jatuh."

Sapta menghela napas. "Memang kuakui, Kami.

Pemuda itu berusaha mencegah seranganku."

"Dan yang pasti, kau menyerangnya dengan se-

buah pukulan mematikan, bukan?" selak Kami berapi-

api. ''Tidak mungkin dia bertindak demikian hingga

mengeluarkan pukulan yang sangat menguras tenaga.

Kau tahu, saat itu dia telah terluka dalam karena

bertarung melawan Raksasa Rimba Neraka dan antek-

antek musuh besarmu! Kalau tidak, jangan harap kau

dapat merubuhkannya!"

Sapta mengangkat kepalanya. Kesal juga

pemuda ini disalahkan terus-menerus.

"Kuakui, aku memang salah. Tapi itu tidak

berarti kau terus membela pemuda itu! Aku terpaksa

menyerangnya, karena khawatir pemuda itu akan

berbuat tidak baik kepadamu!"


Kami tersadar seketika. Memang disadari kalau

sikapnya tidak adil. Sapta sebenarnya sama sekali

tidak bersalah. Pemuda itu terpaksa berbuat demikian

karena khawatir akan keselamatan dirinya.

"Maafkan aku, Kang," ucap gadis itu pelan.

Sapta tersenyum pelahan. Kecerahan pada wajahnya

pun nampak kembali.

''Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kau sama

sekali tidak bersalah. Tapi yang jelas, aku bersalah

pada pemuda penolongmu itu. Kelak bila berjumpa

kembali dengannya, aku akan meminta maaf," jelas

Sapta.

Pemuda ini memang mengakui kalau hatinya

terbakar api cemburu terhadap Dewa Arak. Akibatnya,

dia menyerang lebih dulu.

Kami hanya dapat mengangguk.

"Nah, sekarang mari kita menemui Guru," ajak

Sapta.

"Heh?! Kita kembali ke perguruan?!" Langkah

kaki Kami seketika terhenti.

"Tentu saja tidak!"

"Lalu?!"

"Guru memang telah berada di desa ini," jelas

Sapta.

"Ayah ada di desa ini?!" tanya Kami setengah ti-

dak percaya.

"Ya!" jawab Sapta membenarkan. Kemudian

diceritakan semuanya. Sejak dirinya tertangkap sampai

dibawa kabur gurunya.

"Dan ketika kami berdua merasa lapar, aku

pamit pada Guru untuk berburu binatang. Siapa

sangka aku melihat sesosok bayangan tengah

memanggul tubuh wanita. Karena curiga, dia kuikuti.

Kutinggalkan kelinci yang telah kudapatkan. Sinar

bulan membantuku untuk mengetahui kalau kaulah

orang yang dibawa lari orang itu. Dan seterusnya kau

sendiri pun tahu."


Kami mengangguk-anggukkan kepala. Sesaat

kemudian, keduanya terperangkap dalam keheningan.

"Sekarang, mari kita berangkat," ajak Sapta.

Setelah berkata demikian, tubuh Sapta pun

melesat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh

ringkat tinggi, agar cepat sampai ke tujuannya. Kami

pun segera melesat mengikuti. Tak lama kemudian

suasana di sekitar tempat itu pun kembali sepi.

***

Pengemis Tongkat Merah bangkit berdiri. Pende-

ngarannya yang tajam menangkap suara langkah kaki.

Semula kakek ini menyangka kalau Sapta-lah pemilik

langkah kaki itu. Pemuda itu memang sejak tadi

ditunggunya. Tapi, ketika telinganya menangkap dua

langkah kaki mendekati tempatnya, kecurigaannya pun

timbul.

Dalam sekejap pikiran kakek pengemis ini

berpu-tar. Tiba-tiba....

"Hup...!"

Ringan tanpa suara, kedua kakinya hinggap di

cabang sebuah pohon. Dari sini mudah baginya untuk

mengetahui, apakah yang datang itu kawan ataukah

lawan.

Berkat sinar bulan yang cukup terang, kakek ini

dapat melihat cukup jelas, dua orang yang melangkah

mendekati tempatnya. Dan begitu jelas teriihat orang

yang bergerak mendekatinya, kegembiraan kakek ini

pun meledak!

Tampak di bawah sana Sapta dan seorang gadis

yang membuatnya gembira bukan main! Betapa tidak?

Karena gadis itu adalah Kami! Anak angkatnya yang

menurut cerita Sapta tertawan Raksasa Rimba Neraka.

Semula begitu mendengar anak angkatnya

tertangkap, Pengemis Tongkat Merah sudah tidak

mempunyai harapan lagi akan keselamatan Kami. Dia

telah mendengar kebiasaan terkutuk tokoh Rimba


Neraka yang menggiriskan itu. Selain kebiasaannya

memakan daging manusia, dia juga suka

mempermainkan wanita!

Sebenarnya kakek itu bersama Sapta sudah

menyusun rencana untuk membebaskan Kami, sehabis

mengisi perut. Berhasil atau tidak bukan masalah.

Demikian keputusan mereka berdua.

Tapi kenyataannya, kini gadis itu berjalan

bersama muridnya dalam keadaan selamat. Apakah

Sapta telah pergi ke sana seorang diri dan

menyelamatkannya? Ataukah gadis itu sendiri yang

berhasil menyelamatkan diri?

"Hup...!"

Ringan tanpa suara Pengemis Tongkat Merah

mendaratkan kedua kakinya di tanah, tepat di depan

Sapta dan Kami. Tentu saja Sapta dan Kami kaget

bukan main. Seketika seluruh urat syaraf di tubuh me-

reka menegang, bersiap menghadapi segala

kemungkinan. Tapi begitu mengenali orang yang secara

mendadak berada di hadapan mereka, seketika itu juga

urat-urat syaraf di tubuh keduanya kembali

mengendur.

"Guru...!" seru Sapta.

"Ayah...!" ujar Kami tak mau kalah. Kedua ta-

ngannya langsung dikembangkan. Ditubruknya ayah

angkatnya.

Pengemis Tongkat Merah memeluk tubuh anak

angkatnya erat-erat. Diusap-usapnya rambut tebal dan

hitam milik gadis itu. Suaranya terdengar tersendat.

"Ayah hampir tidak percaya melihatmu, Kami.

Menurut penuturan Sapta, kau ditangkap Raksasa

Rimba Neraka. Bagaimana kau bisa lolos dari tangan

raksasa itu?"

Kami melepaskan pelukannya. Ditatapnya

wajah kakek kurus kering di hadapannya dalam-

dalam. Sepasang mata gadis ini nampak memerah.

Memang, kini rasa takut belum sepenuhnya hilang dari

hati Kami. Rasa takut akan terjadinya sesuatu yang


mengerikan, dan hampir menghaneurkan masa

depannya.

"Seseorang telah menolongku, Ayah."

"Ah...!" Pengemis Tongkat Merah berseru kaget.

Siapa orang yang berani mati membebaskan tawanan

Raksasa Rimba Neraka itu? Perasaan bingung

menggayuti hatinya.

"Apakah orang itu Sapta?" tanya kakek itu

dalam hati.

Seketika wajah pemuda tinggi besar itu

memerah. Jawaban gurunya itu mengingatkan, betapa

dia telah melakukan perbuatan tercela. Dia telah

melukai penolong Kami, walaupun hal itu tidak

disengaja.

"Dewa Arak, Ayah," tegas Kami.

"Dewa Arak...?!" teriak kakek pengemis ini

kaget.

Kami menganggukkan kepala membenarkan.

Lalu gadis berpakaian jingga itu pun menceritakan

semuanya. Dari mulai kedatangan Dewa Arak di saat

ancaman mengerikan hampir menimpanya, sampai De-

wa Arak terluka oleh Sapta karena kesalahpahaman.

"Ah...! Memang, berita tentang keluhuran budi

Dewa Arak tidak berlebihan. Walaupun kita sama

sekali bukan kerabat atau sahabatnya, ia rela

mempertaruhkan nyawa untuk menolongmu. Sungguh

besar budi yang kita terima darinya! Entah kapan

dapat membalasnya...," keluh kakek itu. "Dan kau,

Sapta. Ingat, kau harus meminta maaf padanya atas

perbuatanmu itu. Mengerti?!"

"Mengerti, Guru," pemuda berhidung

melengkung itu menganggukkan kepalanya.

"Nah, sekarang pangganglah dulu kelinci hasil

tangkapanmu itu, Sapta!" ujar Pengemis Tongkat Me-

rah mengalihkan pembicaraan.

Sapta segera mengerjakan perintah gurunya,

membakar kelinci yang sejak tadi dijinjingnya. Tak la


ma kemudian mereka pun sudah sibuk

mempersiapkan semuanya.

***

Seorang kakek bertubuh tinggi besar, satu sete-

ngah kali manusia biasa, bergerak cepat mendaki Le-

reng Gunung Jarak. Kakek tinggi besar ini adalah

Raksasa Rimba Neraka. Tujuannya mendaki gunung

itu jelas mencari Pengemis Tongkat Hitam. Dan dari

penduduk yang tinggal di sekitar lereng gunung itu,

Raksasa Rimba Neraka telah tahu markas Perguruan

Tongkat Merah.

Raksasa Rimba Neraka memang mempunyai

aturan aneh. Setiap lawan yang telah kalah olehnya

harus mati. Pengemis Tongkat Merah memang telah

dikalahkan. Tapi karena keburu ada yang menolong,

kakek kurus kering ini tidak tewas di tangannya.

Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah

mencapai tingkatan tinggi, tak lama kemudian Raksasa

Rimba Neraka telah menemukan tempat itu. Kakek

raksasa itu memandangi bangunan yang terbuat dari

bilik bambu, dan mempunyai halaman luas yang

dikelilingi pagar bambu tinggi. Di atas pintu gerbang,

terpampang papan lebar yang bertuliskan huruf-huruf

yang berbunyi 'Perguruan Tongkat Merah'.

Hanya beberapa kali lompatan saja, kakek

raksasa ini sudah berada di depan pintu gerbang. Dan

tiba-tiba dua orang murid perguruan yang berjaga di

depan pintu gerbang, langsung menghadang langkah

kakek ini Mereka saling memiringkan tongkat berwarna

merah yang digenggam, sehingga membentuk tanda

silang.

"Siapa Kisanak ini? Mengapa memasuki daerah

kekuasaan Perguruan Tongkat Merah?" tanya salah

seorang yang berjaga-jaga. Wajahnya nampak

memancarkan kekagetan melihat tubuh kakek yang

berdiri di hadapannya. Sikap keduanya nampak


waspada. Melihat dandanan kakek di hadapan mereka

ini saja, mereka sudah bisa memperkirakan kalau

kakek ini bukanlah tokoh baik-baik.

"Ha ha ha...!" Raksasa Rimba Neraka tertawa

bergelak. "Aku datang untuk membunuh Pengemis

Tongkat Merah! Sekaligus ingin menghancurkan

perguruan ini!"

"Keparat..!" teriak salah seorang dari penjaga

itu. Tongkat merah di tangannya pun disabetkannya.

Tujuannya mungkin kepala. Tapi karena si penjaga ini

ukuran tubuhnya biasa saja, sementara Raksasa

Rimba Neraka memiliki tubuh di atas sewajarnya,

maka serangannya pun hanya mengancam bawah

pundak kakek raksasa itu.

Raksasa Rimba Neraka tersenyum mengejek.

Dibiarkan saja sabetan tongkat ke arah pangkal

lengannya itu

Bukkk...! Krakkk...?

Telak dan keras sekali tongkat itu menghantam

sasarannya. Tapi akibatnya, tongkat yang menghajar

pangkal lengan Raksasa Rimba Neraka justru yang

patah!

"Ha ha ha...!" kembali kakek tinggi besar itu ter-

tawa terbahak-bahak. Berbarengen dengan itu, kedua

tangannya diulurkan ke depan.

Tappp...! Tappp...!

Tanpa kedua penjaga itu sempat berbuat apa-

apa, kuduk keduanya sudah dicengkeram tangan si

raksasa itu.

"Akh...!"

"Ah...!"

Kedua penjaga itu memekik tertahan. Dirasakan

tulang leher belakang mereka patah-patah. Belum lagi

mereka sempat berbuat sesuatu, tangan Raksasa

Rimba Neraka bergerak.

Prakkk...!

Terdengar suara berderak keras ketika kedua

kepala penjaga yang sial itu diadu satu sama lain.


Cairan kental berwarna kemerahan, berikut cairan

kental berwarna keputihan langsung muncrat dari

kepala yang pecah itu. Tidak ada lagi suara yang ter-

dengar. Dan ketika kakek tinggi besar itu melepaskan

cengkeramannya, tubuh kedua penjaga yang sial itu

pun ambruk ke tanah. Mati.

Tentu saja keributan yang terjadi di depan pintu

gerbang itu, segera mengundang murid-murid lainnya.

Dalam waktu sekejap saja, seluruh murid Perguruan

Tongkat Merah yang berjumlah sekitar dua belas orang

berkumpul di depan Raksasa Rimba Neraka dengan

sikap mengancam.

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati

mereka, melihat kematian rekan mereka yang begitu

mengerikan. Tanpa banyak tanya lagi mereka pun

bergerak menyerbu.

"Hiyaaa...!"

"Haaattt..!"

Dengan didahului jerit melengking nyaring,

tongkat-tongkat mereka pun berkelebat cepat

menyambar ke arah berbagai bagian tubuh Raksasa

Rimba Neraka.

Bukkk...! Bukkk...! Takkk...!

Suara berdebukan terdengar susul-menyusul

ketika hujan serangan tongkat itu, mendarat pada

sasaran masing-masing. Raksasa Rimba Neraka

memang tidak menghindari semua serangan itu.

Dengan tenaga dalamnya yang jauh di atas lawan-

lawannya, pukulan tongkat-tongkat itu tidak

berpengaruh apa-apa. Bahkan sebagian besar tongkat

yang menghantam sasarannya patah-patah.

"Sekarang giliranku...!" ucap raksasa itu keras

ketika tidak ada lagi hujan serangan tongkat

menyambarnya. Belum lagi gema suara ucapannya

lenyap, tangan kakek raksasa itu bergerak ke sana

kemari. Sederhana saja gerakannya, tapi akibatnya

hebat bukan main. Ke manapun tangannya bergerak,

sudah dapat dipastikan ada satu jiwa yang melayang.


Jerit kematian terdengar saling susul dibarengi

berjatuhannya tubuh-tubuh yang sudah ditinggalkan

nyawanya.

"Akh...!"

"Aaa...!"

Dua jeritan melengking panjang, mengiringi

robohnya dua orang terakhir yang masih hidup.

"Ha ha ha...!"

Raksasa Rimba Neraka kembali

mengumandangkan tawanya ketika melihat tidak ada

lagi sosok tubuh yang masih berdiri. Semuanya telah

tewas dalam keadaan mengerikan.

Tapi rupanya kakek tinggi besar ini belum puas

terhadap semua perbuatan yang dilakukan.

Didekatinya sebatang pohon sebesar pelukan orang

dewasa yang berdaun lebat.

Setelah jarak antara dirinya dengan pohon itu

hanya sekitar tiga tombak, raksasa ini menjulurkan

kedua tangannya ke depan. Kemudian pelahan-lahan

tangannya dikepalkan. Suara berkerotokan keras

terdengar ketika kakek tinggi besar ini mengepalkan

tangannya.

Lambat tapi penuh tenaga, kedua tangan yang

telah terkepal keras itu ditariknya ke pinggang. Suara

berkerotokan semakin terdengar keras ketika kedua

tangan itu ditarik.

"Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras melengking yang

membuat sekitar tempat itu bergetar hebat, Raksasa

Rimba Neraka memukulkan kedua tangannya yang

terkepal itu ke depan.

Wuttt...!

Bresss...! Pralll...!

Angin berhawa panas menderu keras, lalu

menyambar ke arah rerimbunan dedaunan. Dan

secepat angin pukulan itu mengenai rerimbunan

dedaunan itu, secepat itu pula dedaunan itu terbakar!

Dalam waktu sekejap saja, api telah berkobar besar.


"Haaat...!"

Sekali lagi Raksasa Rimba Neraka memukulkan

kedua tangannya ke depan. Kali ini ke arah batang

pohon besar itu.

Wuuusss...!

Braaakkk...!

Pohon itu langsung rubuh ketika angin pukulan

kakek tinggi besar itu menghantamnya. Tampak bagian

dalam batang pohon itu hangus bagai terbakar!

"Hih...!''

Kembali kakek raksasa ini menggerakkan

tangannya, tapi dengan gerakan berbeda dengan

sebelumnya. Kali ini Raksasa Rimba Neraka melakukan

gerak mendorong!

Wusss...! Wuk...! Brakkk...!

Hebat luar biasa tenaga dalam yang dimiliki

Raksasa Rimba Neraka ini. Dengan angin pukulannya,

pohon itu didorong sehingga jatuh tepat di depan salah

satu bangunan Perguruan Tongkat Merah.

Seketika itu juga api yang tengah membakar po-

hon itu, menjalar ke arah bangunan berdinding bilik

bambu. Mendapat sasaran yang memang mudah

terbakar ini, api pun lebih cepat berkobar.

"Ha ha ha...!" Raksasa Rimba Neraka tertawa

terbahak-bahak, memandangi api yang berkobar

melahap bangunan itu. Sekujur tubuhnya nampak

penuh keringat. Napasnya pun memburu hebat.

Memang apa yang baru saja dilakukannya, banyak

menguras tenaga.

Sebenarnya kalau kakek raksasa ini hanya

ingin membakar bangunan itu, tidak perlu bersusah

payah seperti itu. Dia bisa langsung mengerahkan

'Tinju Geledek' pada dinding bangunan dari bilik itu.

Dan itu akibatnya sama saja. Dan memang, Raksasa

Rimba Neraka sebenarnya hanya ingin mengetahui

kemampuan dirinya. Dan ternyata memang mampu!

"Ha ha ha...!" Diiringi tawa terbahak-bahak, di-

tinggalkannya tempat yang pelahan namun pasti mulai


habis dimakan api! Namun tanpa diketahui, ada

sesosok tubuh yang berlari meninggalkan tempat itu.

***

"Keparat...!" Pengemis Tongkat Merah memaki.

Wajah kakek kurus kering ini nampak merah padam.

Kedua tangannya terkepal erat. Terdengar suara

bergemeletak dari tulang-rulang tangan yang mengepal

itu.

Dipandangi dalam-dalam sosok tubuh di

hadapannya. Sosok tubuh muridnya yang berhasil

melarikan diri sewaktu Raksasa Rimba Neraka

mengamuk di sana. Sapta dan Kami pun nampak

pucat wajahnya.

"Benarkah ciri-ciri orang yang kau sebutkan itu,

Kantara?" tanya kakek pengemis ini lagi, untuk

memastikan.

"Benar, Guru."

Pengemis Tongkat Merah mengangkat

wajahnya.

"Kalau begitu, aku harus membalas

perlakuannya! Mati pun tidak mengapa, asal berhasil

membunuh kawanan mereka sebanyak-banyaknya!"

"Aku ikut, Ayah!" tegas Kami buru-buru.

"Aku juga, Guru!" Sapta tak mau kalah.

"Begitu pula aku, Guru," pinta Kantara.

Kakek kurus kering ini, memandangi wajah

anak dan murid-muridnya satu persatu. Ada nada

kebanggaan terpancar di mata kakek ini.

"Sudah dipertimbangkan masak-masak

keputusan kalian itu?"

"Sudah, Guru!" sahut mereka serentak.

"Sekalipun taruhannya adalah nyawa kalian

sendiri?"

"Kami tidak takut!"

"Bagus! Kalau begitu, mari kita berangkat!" ajak

kakek itu seraya beranjak dari situ.


Sapta, Kami dan Kantara, berjalan mengikuti.

Telah bulat tekad mereka untuk menumpas

gerombolan Toga dan kawan-kawannya sekalipun

harus berkorban nyawa!



TUJUH



Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, Dewa

Arak berlari meninggalkan Sapta. Arya tahu kalau

murid Pengemis Tongkat Merah salah paham. Mungkin

dia disangka hendak berbuat sesuatu yang tidak

senonoh terhadap gadis itu. Maka dengan itu, terpaksa

ditinggalnya pemuda itu.

Tapi belum berapa jauh berlari, tubuh Dewa

Arak mulai limbung dan akhirnya tak mampu

bertahan. Tanpa ampun lagi, dia terjatuh di tanah.

Untuk beberapa saat lamanya, pemuda berbaju ungu

itu sama sekali tidak bergerak. Dibiarkan saja

tubuhnya tergolek di tanah. Arya memang bermaksud

meredakan dulu napasnya yang memburu.

Setelah alur napasnya kembali normal, Dewa

Arak beringsut mendekati rerimbunan semak yang

agak tersembunyi. Di sudut bibir pemuda itu nampak

bercak-bercak cairan darah merah. Dikeluarkan

sebuah obat pulung yang terjepit di sebuah gulungan

kain yang terselip di pinggangnya. Dewa Arak

mengambil sebutir, kemudian menelannya. Obat itu

memang manjur untuk menyembuhkan luka dalam.

Beberapa saat kemudian, Arya mulai diserang

rasa kantuk. Dan pelahan namun pasti, sepasang mata

itu mulai mengatup. Tak lama kemudian Dewa Arak

pun tertidur.

Cukup lama juga pemuda itu tertidur. Dan

ketika terbangun, yang terasa adalah lemas yang amat

sangat. Tapi, rasa nyeri yang melanda dadanya sudah

tidak ada lagi.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda

berambut putih keperakan ini segera duduk bersila.

Punggungnya diluruskan, sementara kedua tangannya

dirangkapkan di depan dada. Tak lama kemudian, Arya


sudah tenggelam dalam keheningan semadi untuk

memulihkan tenaganya kembali.

Waktu berlalu tak terasa. Malam pun berganti

pagi. Tapi, Arya masih belum juga menghentikan

semadinya. Sampai matahari naik tinggi, baru pemuda

itu menghentikan semadinya.

"Hhh...!"

Dewa Arak mendesah lega. Kini seluruh

tubuhnya terasa segar kembali dan tenaganya pun

telah pulih.

Pelahan Arya bangkit dari bersilanya. Kemudian

berdiri menyandar pada sebatang pohon. Sepasang

matanya menerawang ke depan, sementara benaknya

berpikir keras mengingat hal aneh yang dijumpainya

semalam.

Memang Dewa Arak tengah dilanda

kebingungan. Mengapa Raksasa Rimba Neraka ada di

rumah Kepala Desa Gebang? Padahal menurut cerita Ki

Marta, kepala desa itu adalah Toga. Dan dia itu bekas

kepala pengawal Ki Panjar. Juga sebenarnya Toga

bukan tokoh golongan hitam. Lalu, bagaimana bisa

bersama Raksasa Rimba Neraka?

Tapi sampai otaknya lelah berpikir, Dewa Arak

belum juga mendapatkan jawabannya. Pemuda berbaju

ungu ini sadar kalau jawaban bagi semua

pertanyaannya ada di rumah Kepala Desa Gebang.

Maka seketika tubuh Dewa Arak ini pun kembali

melesat ke sana.

Cepat bukan main gerakannya. Sehingga dalam

sekejap saja, yang nampak hanya sebuah titik hitam

kecil. Dan akhirnya titik kecil itu lenyap di kejauhan.

***

Empat sosok tubuh berkelebat cepat ke arah ru-

mah Kepala Desa Gebang. Mereka adalah Pengemis

Tongkat Merah, Sapta, Kami, dan Kantara.


"Ingat, Sapta. Kau tidak perlu menghiraukan

diriku. Aku akan mencoba menahan Raksasa Rimba

Neraka, dan kau cari musuh besar yang telah

membunuh keluargamu. Kami akan membantumu.

Mengeiti?!" jelas Pengemis Tongkat Merah sambil terus

berlari.

Sapta menganggukkan kepalanya pertanda

mengerti.

Tak lama kemudian, keempat sosok tubuh itu

pun sudah berada di depan pintu gerbang rumah besar

dan megah yang berhalaman luas itu. Rumah Kepala

Desa Gebang.

Tentu saja dua orang yang menjaga pintu

gerbang itu mengenali Sapta dan Kami, yang telah

menewaskan banyak teman mereka. Dan keduanya

pun sadar, kalau bukan tandingan muda-mudi yang

berkepandaian tinggi itu. Maka, seketika diputuskan

untuk memberitahu teman-teman mereka.

Sebelum kedua orang itu sempat berbuat

sesuatu, Kami dan Sapta bergerak cepat. Tanpa

sungkan-sungkan lagi mereka telah menghunus

senjata masing-masing. Sapta dengan tombak pendek,

dan Kami dengan pedang.

Wut...! Wuk...!

Dua buah senjata itu melesat cepat mengiringi

melesatnya tubuh mereka.

"Akh...!"

"Aaa...!"

Dua jerit kematian terdengar saling susul,

mengiringi rubuhnya dua penjaga itu ke tanah. Mereka

tewas dengan leher hampir putus.

Tentu saja suara jerit kematian itu

menimbulkan kegemparan. Maka berbondong-bondong

anak buah Toga, melesat ke arah suara itu berasal.

Pengemis Tongkat Merah, Sapta, Kami, dan

Kan-ara tidak bertindak setengah-setengah lagi.

Mereka segera menyambut serbuan anak buah Toga

dengan penuh semangat. Setiap serangan yang



dilancarkan, pasti membuat lawan mereka roboh dalam

keadaan tidak bernyawa lagi.

"Akh...!"

"Aaa...!"

Jerit lengking kematian kembali terdengar

saling susul. Para penjaga itu bagaikan segerombolan

sernut menerjang api, dan satu persatu berguguran.

"Mundur semua...!"

Tiba-tiba terdengar seruan menggelegar, yang

membuat sekitar tempat itu sepertinya bergetar hebat.

Begitu hebatnya pengaruh bentakan itu, sehingga tan-

pa sadar Pengemis Tongkat Merah, dan murid-murid-

nya melompat mundur. Mereka semua memandang ke

satu arah, ke tempat suara itu berasal.

Sekitar tiga tombak dari arena pertarungan,

nampak berdiri seorang kakek tinggi besar yang tak

lain Raksasa Rimba Neraka. Dia memang telah

kembali, setelah membumihanguskan Perguruan

Tongkat Merah. Di belakang kakek itu nampak berdiri

Gajula dan Toga.

"Kau urusi saja musuh besarmu, Sapta. Biar

kucoba menahan raksasa itu," bisik Pengemis Tongkat

Merah.

"Tapi, Guru...," Pemuda berhidung melengkung

yang tahu kalau gurunya bukan tandingan Raksasa

Rimba Neraka, mencoba membantah.

"Tidak ada bantahan lagi, Sapta! Ini perintah...!"

desis kakek pengemis itu tegas.

"Ha ha ha...!" Raksasa Rimba Neraka tertawa

ter-bahak-bahak. "Tidak kusangka kalau berani datang

kemari, pengemis busuk! Apakah kali ini kau tidak

akan lari terbirit-birit lagi seperti dulu?!"

Merah wajah Pengemis Tongkat Merah.

"Raksasa Rimba Neraka! Tidak kusangka kalau

kau ternyata begitu pengecut! Kau membantai semua

muridku selagi aku tidak berada di sana! Sekarang aku

datang untuk menuntut balas atas kekejianmu

terhadap semua muridku!"


Setelah berkata demikian, Pengemis Tongkat

Merah segera memutar tongkatnya di depan dada.

Angin menderu keras, mengiringi putaran tongkat itu.

"Hiyaaat...!"

Sambil berseru keras, kakek pengemis ini

melompat menerjang. Tongkat merah di tangannya

disabetkan ke arah leher lawannya. Sedangkan

Raksasa Rimba Neraka cepat-cepat mengangkat

tangannya, menangkis.

Plak!

Hebat akibatnya. Tubuh Pengemis Tongkat

Merah terjengkang ke belakang. Tangannya yang

menggenggam tongkat terasa sakit bukan main.

Sementara itu tubuh Raksasa Rimba Neraka hanya

bergetar saja.

"Grrrh...!"

Raksasa Rimba Neraka menggeram keras. Telah

bulat tekadnya untuk melenyapkan Pengemis Tongkat

Merah, setelah kakek pengemis itu tidak ditemukan di

perguruannya. Tidak akan dibiarkan kakek pengemis

ini berhasil menyelamatkan diri lagi!

Kini kakek itu menjulurkan kedua tangannya ke

depan, kemudian mengepalkannya pelahan-lahan.

Terdengar bunyi bergemeletuk seolah-olah tulang-

belulang kakek raksasa ini berpatahan. Suara itu

semakin jelas terdengar ketika Raksasa Rimba Neraka

menarik kedua tangannya yang terkepal itu ke sisi

pinggang.

"Hiyaaa...!"

Tangan kanan kakek raksasa yang terkepal itu

dipukulkan ke depan. Terdengar suara meledak-ledak,

seolah-olah ada halilintar menyambar ke arah Penge-

mis Tongkat Merah.

"Hup...!"

Kakek kurus kering membanting tubuhnya ke

tanah, lalu berguling-gulingan.

Blarrr...!


Seketika itu juga, tanah berlubang besar

terhantam pukulan Raksasa Rimba Neraka yang tidak

mengenai sasaran.

Melihat serangannya gagal, si raksasa ini marah

bukan main. Maka dihujaninya tubuh lawannya yang

tengah bergulingan itu, dengan pukulan jarak jauh

yang mengeluarkan suara meledak-ledak laksana hali-

lintar.

Maka repotlah Pengemis Tongkat Merah dibuat-

nya. Tiada jalan lain baginya kecuali terns bergulingan

kalau ingin selamat. Berhenti berguling berarti berhenti

pula nyawanya. Sementara itu, Sapta dan Kami yang

semula ingin menerjang Toga dan Gajula, jadi

mengurungkan niat setelah melihat guru mereka dalam

keadaan demikian. Namun tiba-tiba....

Sraat...!

Kami segera menghunus pedangnya.

Wuk...! Wuk...!

Sapta pun memutar-mutarkan tombak

pendeknya.

"Hiyaaa.,.!"

Sambil memekik melengking, Kami melompat.

Dan seketika itu pula, ujung pedangnya ditusukkan ke

arah leher Raksasa Rimba Neraka yang tengah

menghujani Pengemis Tongkat Merah dengan pukulan

mautnya.

"Haaat...!"

Sapta pun tak ketinggalan. Pemuda berhidung

melengkung ini juga melompat. Tombak pendek di ta-

ngannya diputar-putarkan di udara, sebelum ditusuk-

kan ke perut Raksasa Rimba Neraka.

Menghadapi dua serangan maut ini, Raksasa

Rimba Neraka tidak bertindak ceroboh. Terpaksa

dialihkan perhatiannya dari Pengemis Tongkat Merah.

"Grrrh...!"

Sambil mengeluarkan gerengan kemarahan,

kakek raksasa ini menggerakkan tangannya

menangkis.

Trak...! Trak..!

"Ihhh...!"

"Ahhh...!"

Sapta dan Kami berbarengan menjerit kaget.

Tangan kedua anak muda itu yang menggenggam sen-

jata, terasa lumpuh seketika saat tangan telanjang si

raksasa menangkis serangan mereka.

Belum lagi hilang rasa terkejut yang melanda

hati mereka, tangan Raksasa Rimba Neraka kembali

bergerak. Dan....

Tappp...! Kreppp...!

Pedang dan tombak pendek milik kedua muda-

mudi itu tahu-tahu telah dicengkeram si raksasa. Dan

Sapta dan Kami tentu saja tidak membiarkan senjata

andalan mereka terampas. Buru-buru mereka me-

ngerahkan seluruh tenaga yang dimiliki untuk

membetot. Tapi, cekalan pada senjata mereka sama

sekali tidak bergeming. Sebaliknya, begitu Raksasa

Rimba Neraka menggerakkan tangan membetot, tubuh

Kami dan Sapta pun tertarik maju

Pengemis Tongkat Merah tentu saja melihat ke-

adaan gawat yang dialami murid-muridnya itu. Maka

cepat-cepat dia melompat sambil menyabetkan

tongkatnya ke kepala si raksasa. Namun Raksasa

Rimba Neraka tentu saja tidak membiarkan kepalanya

hancur tersabet tongkat kakek kurus kering. Mau tidak

mau dibatalkan betotannya pada Sapta dan Kami.

Wusss...!

Tongkat merah itu lewat beberapa rambut di

depan muka kakek tinggi besar itu ketika raksasa itu

menarik kepalanya mundur ke belakang.

Beberapa saat kemudian, keempat orang itu

pun sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.

Kini setelah Sapta dan Kami ikut terlibat, pertarungan

berlangsung seimbang.

Sementara itu Toga, Gajula dan anak buahnya,

terpukau melihat pertandingan yang menegangkan itu.

Demikian pula dengan Kantara yang hanya berdiri


mematung tanpa memberi bantuan pada Kami dan

Sapta.

Suara mendecit, menderu dan meledak-ledak

mengiringi pertempuran mereka. Batu-batu besar dan

kecil beterbangan tidak tentu arah. Debu pun

mengepul tinggi ke udara.

Tapi setelah pertarungan berlangsung tiga

puluh jurus, mulai nampak keunggulan Raksasa

Rimba Neraka yang pelahan namun pasti mulai

menguasai keadaan.

"Hiyaaa...!"

Kami berteriak nyaring. Pedang di tangannya

berkelebat ke arah tenggorokan. Suara mendesing

nyaring mengiringi tibanya serangan pedang itu.

Melihat hal ini, Raksasa Rimba Neraka

menggeram. Tangan kanannya berkelebat cepat.

Takkk...! Tappp...!

"Ikh...!"

Kami berteriak tertahan. Tubuhnya melayang

deras ketika tangan si raksasa itu menangkis,

sekaligus menangkap dan membetot. Kejadian itu

berlangsung begitu cepat dan tiba-tiba. Akibatnya gadis

itu tidak mampu berbuat apa-apa, dan membiarkan

pedangnya dirampas lawan.

"Hup...!"

Gadis berpakaian jingga itu mendaratkan kedua

kakinya di tanah, walaupun tubuhnya agak limbung.

Singgg...!

Secepat pedang Kami dirampas, secepat itu pula

dilemparkan ke arah Sapta yang tengah menyerang.

Terpaksa pemuda berhidung melengkung itu memba-

talkan serangannya, dan menangkis sambitan pedang

yang melesat ke arahnya.

Tranggg...!

Begitu kuatnya tenaga yang terkandung dalam

lemparan pedang itu, sehingga begitu Sapta me-

nangkis, tombak di tangannya terlepas dari pegangan.


Kini leluasalah Raksasa Rimba Neraka

menghujani Pengemis Tongkat Merah dengan pukulan

geledeknya.

Kembali untuk yang kesekian kalinya, kakek

kurus kering itu berlompatan ke sana kemari

menghindari setiap serangan lawan. Tak ada

kesempatan baginya untuk balas menyerang. Sudah

dapat dipastikan kalau tak lama lagi, kakek kurus

kering ini tak akan bertahan lama.

Sadar jika keadaan seperti ini berlangsung

terus, jelas amat berbahaya baginya. Maka Pengemis

Tongkat Merah bertekad menerobos hujan pukulan

jarak jauh yang bertubi-tubi menyerangnya.

"Hiyaaa...!"

Tubuh kakek pengemis itu melayang ke arah

Raksasa Rimba Neraka. Tongkat di tangannya

disodokkan ke arah ulu hati. Tapi sebelum serangan

itu tiba, si raksasa telah melepaskan pukulan 'Tinju

Geledek'-nya.

"Hih...!"

Wuuuttt...! Prattt...!

"Akh...!"

Pengemis Tongkat merah memekik tertahan.

Luncuran tubuhnya langsung terhenti di tengah jalan,

ketika pukulan 'Tinju Geledek' lawan menyerempet

pahanya.

Dengan tubuh sempoyongan, kakek pengemis

ini hinggap di tanah. Dan selagi kakek ini belum

sempat berbuat apa-apa, serangan susulan lawan

menyambar tiba.

Wuuusss...!

Angin berhawa panas menderu keras ketika

ilmu 'Tinju Geledek' itu menyambar ke arah Pengemis

Tongkat Merah, yang hanya mampu menatap dengan

mata membeliak lebar.

Di saat yang amat gawat bagi Pengemis Tongkat

Merah, dari arah yang berlawanan, menyambar


serentetan angin berhawa panas, yang menderu

memapak serangan Raksasa Rimba Neraka.

Blarrr...!

Tanpa dapat dicegah lagi, dua buah pukulan

jarak jauh yang sama-sama mengandung hawa panas

bertemu di udara. Bunyi ledakan yang amat keras

terdengar, membuat suasana di tempat itu bergetar

seolah terjadi gempa.

Pengemis Tongkat Merah segera membanting

tubuhnya dan bergulingan menjauh. Sementara tubuh

Raksasa Rimba Neraka tampak terhuyung. Tanpa me-

lihat pun dia sudah dapat menduga orang yang telah

mampu membuat dirinya seperti itu.



DELAPAN



Di hadapan Raksasa Rimba Neraka, tampak

berdiri tenang seorang pemuda berambut putih kepe-

rakan. Sebuah guci arak yang terbuat dari perak,

nampak tengah dituangkan ke mulutnya.

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar ketika arak itu

memasuki tenggorokannya.

"Grrrh...!"

Raksasa Rimba Neraka menggeram. Kakek

pemakan manusia ini memang murka bukan kepalang.

Sebab, lagi-lagi Dewa Arak menggagalkan usahanya

yang hampir berhasil membunuh Pengemis Tongkat

Merah.

"Hih...!"

Dan kini tanpa sungkan-sungkan lagi Raksasa

Rimba Neraka segera mengeluarkan ilmu andalannya,

'Tinju Geledek'. Kedua tangannya melakukan pukulan

bertubi-tubi ke arah dada. Setiap gerakan tangannya

menimbulkan suara meledak-ledak bagai geledek.

Tapi berkat jurus 'Delapan Langkah Belalang',

Dewa Arak tidak mengalami kesulitan menghindari

serangan itu. Dengan gerakan terhuyung-huyung se-

perti akan jatuh, Arya berkelit. Maka, setiap serangan

Raksasa Rimba Neraka kandas dan mengenai tempat

kosong.

Yang lebih hebat lagi, begitu mengelak, Dewa

Arak langsung berbalik mengancam lawan. Satu

keistimewaan jurus 'Delapan Langkah Belalang'!

Sementara itu, begitu melihat Raksasa Rimba

Neraka telah mendapat lawan, Sapta dan Kami tidak

mau membuang-buang waktu lagi. Mereka cepat-cepat

menerjang musuh besar masing-masing. Sapta mener-

jang Toga, sedangkan Kami menerjang Gajula. Se


mentara Pengemis Tongkat Merah dan Kantara

menghadapi pengeroyokan anak buah Toga.

Sapta kini telah menggenggam kembali tombak

pendeknya yang tadi terlepas dari pegangan. Dengan

senjata itu diterjangnya Toga penuh kemarahan. Tom-

bak pendek di tangannya berputaran, menimbulkan

suara angin menderu-deru.

Toga yang telah mengetahui kelihaian pemuda

putra Ki Panjar ini, tidak mau bertindak gegabah.

Maka, segera dicabut goloknya. Dalam hati, Kepala

Desa Gebang ini memaki-maki Dewa Arak yang untuk

kesekian kalinya mengacau urusannya.

Tranggg...! Tranggg...!

Dua kali berturut-turut Toga menangkis

serangan Sapta. Dan akibatnya, sekujur tangannya

terasa bergetar hebat. Sadarlah si kumis melintang ini

kalau tenaga dalam yang dimilikinya masih di bawah

Sapta. Walaupun waktu itu, Toga sudah merasakan

sendiri kehebatan tenaga dalam pemuda di

hadapannya ini, tapi rasa penasaran membuatnya

mencoba mengadu tenaga kembali.

Wut...!

Kembali serangan susulan tombak pendek

Sapta menyambar deras. Tombak itu berputaran

sejenak, sebelum membabat leher.

Melihat serangan ini, Toga kebingungan. Karena

tidak bisa menduga arah serangan itu sebenarnya.

Apalagi serangan itu dilakukan secara berputar, se-

hingga membuatnya pusing. Dan baru setelah serang-

an itu menyambar dekat, diketahuinya arah sasaran

serangan itu.

Toga buru-buru mendoyongkan tubuhnya ke

belakang, sehingga serangan tombak itu lewat

beberapa senti di depan lehernya. Dan begitu serangan

itu lewat, tanpa membuang-buang waktu lagi golok di

tangannya ditusukkan ke bagian perut Sapta yang

terbuka lebar.


Tapi murid andalan Pengemis Tongkat Merah

ini, tentu saja tidak ingin perutnya ditembus golok.

Buru-buru tusukan itu dielakkan sambil tak lupa

mengirim serangan balasan yang tak kalah

berbahayanya. Kini keduanya sudah terlibat

pertarungan mati-matian.

Di bagian lain, Kami tampak tengah berjuang

keras menghadapi Gajula. Murid Raksasa Rimba

Neraka ini memang cukup lihai. Dan tentu saja Kami

harus menguras kemampuan untuk melawannya.

Pedang di tangannya berkelebat cepat mencari sasaran

di sekujur tubuh lawan.

Di antara para penyerbu itu, Pengemis Tongkat

Merahlah yang paling beruntung. Kakek ini hanya

menghadapi puluhan keroco. Dengan gerakan

seenaknya, dirangsek lawan-lawannya. Ke mana

tongkat di tangannya bergerak, sudah pasti di situ ada

sesosok tubuh yang roboh.

Jerit pekik kematian terdengar saling susul.

Dalam waktu sebentar saja, sudah delapan orang yang

roboh di tangan kakek kurus kering ini.

Pengemis Tongkat Merah bertarung tidak

sepenuh hati. Sepasang matanya berkeliaran

memperhatikan pertempuran lainnya. Terutama

pertempuran Dewa Arak melawan Raksasa Rimba

Neraka.

"Akh...!"

Jerit tertahan membuat Pengemis Tongkat

Merah yang tengah enak-enaknya membunuhi

lawannya jadi terperanjat. Suara itu cukup dikenalnya.

Suara Kantara!

Segera saja kepala kakek kurus kering itu

ditolehkan ke arah asal suara. Dapat dibayangkan

betapa kaget hatinya, melihat Kantara terhuyung-

huyung. Di dada pemuda itu tertancap sebatang golok

bergerigi mirip gergaji yang tembus sampai ke

punggung. Kalau melihat bentuknya, jelas golok itu


milik Gurat! Dan memang sejak tadi Kantara

bertempur melawan Gurat.

Seketika pucat wajah Pengemis Tongkat Merah.

Apalagi ketika melihat tubuh Kantara kemudian roboh.

Kakek ini melompat meninggalkan arena pertempuran,

dan langsung menerjang Gurat. Dan memang, dia pun

telah menghabisi lawan-lawannya.

Gurat kaget bukan main. Maka sebisanya dia

berusaha mengelak. Tapi gerakannya terlalu lambat

bagi guru Kantara.

Prak!

"Aaakh...!"

Tubuh Gurat rubuh di tanah ketika tongkat

merah di tangan kakek kurus kering itu, menghantam

kepalanya hingga remuk.

Tepat saat Gurat tewas, Sapta berteriak nyaring.

Tombak pendek di tangannya melesat cepat ke arah

perut Toga yang sudah terdesak. Cepat-cepat kepala

desa itu menangkis.

Tranggg...!

Tangan Toga tergetar hebat. Dart di saat itu

kaki kanan Sapta menyambar ke arah siku.

Tukkk...!

Toga merasakan tangannya mendadak lumpuh,

dan golok di tangannya pun terlempar. Di saat itulah,

dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, tombak di

tangan Sapta meluruk deras ke arah lambung Toga.

Blesss...!

"Aaakh...!"

Toga menjerit memilukan. Beberapa saat

lamanya tubuhnya bergetar melawan maut, kemudian

roboh untuk selamanya.

"Adi Toga...!"

Gajula menjerit ketika melihat adik kandungnya

berkelojotan sesaat, untuk kemudian diam tidak ber-

gerak lagi.

"Keparat...! Kubunuh kau...!"


Tanpa mempedulikan Kami, Gajula melompat

menerkam Sapta laksana seekor macan menerkam

mangsa. Kami yang melihat bahaya besar mengancam

Sapta, segera melesat memburu. Pedangnya

ditusukkan ke depan.

Sementara itu, Sapta hanya terkesiap.

Terkaman itu begitu tiba-tiba datangnya, sehingga

tidak ada waktu lagi untuk mengelak. Terpaksa

dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk

memapak serangan dengan kedua tangan.

Plak!

Tubuh Sapta terjengkang ke belakang. Memang

tenaga dalam yang dimiliki Gajula lebih kuat. Tapi

sebelum Gajula sempat memberikan serangan susulan,

serangan pedang Kami telah lebih dulu tiba.

Cappp...!

"Akh...!"

Gajula memekik tertahan. Pedang Kami telah

menghunjam punggungnya hingga tembus ke perut.

Darah segar kontan muncrat ketika Kami mencabut

pedangnya.

Tubuh Gajula sempoyongan. Tampak jelas

kalau si wajah kera ini mencoba bertahan. Tapi karena

luka-luka yang diderita terlalu parah, dia pun roboh ke

tanah. Tubuhnya menggelepar-gelepar sejenak, sebe-

lum akhirnya diam tidak bergerak lagi.

"Kau tidak apa-apa, Kang?" tanya Kami. Wajah-

nya menampakkan kecemasan yang hebat.

Sapta menggelengkan kepalanya. Rasa gembira

yang amat sangat melanda hatinya melihat

kekhawatiran gadis itu terhadap keselamatannya.

"Hanya dadaku saja yang agak sesak sedikit Si

wajah kera itu memang lihai bukan main. Kalau saja

tidak ada dirimu...."

"Sudahlah, Kang...," selak Kami cepat.

"Grrrh...!" terdengar gerengan murka Raksasa

Rimba Neraka.


Seratus dua puluh lima jurus telah berlalu, tapi

kakek raksasa itu tidak juga mampu mendesak Dewa

Arak. Padahal 'Tinju Geledek' yang jadi ilmu

andalannya telah digunakan. Bahkan sebaliknya,

malah dia yang terdesak.

Kini terpaksa Raksasa Rimba Neraka

menggunakan 'Jurus Trenggiling'. Dan memang

menghadapi jurus ini, Dewa Arak kebingungan. Ilmu

'Belalang Sakti' jadi lumpuh menghadapi ilmu ini.

Posisi lawan yang selalu di bawah, membuat Arya repot

bukan main. Sulit baginya untuk menjatuhkan

serangan.

Setiap serangan Dewa Arak selalu berhadapan

dengan sepasang kaki yang memiliki pertahanan kokoh

dan kuat. Sebaliknya setiap serangan kaki raksasa itu,

membuatnya repot bukan main. Pelahan namun pasti

Dewa Arak terdesak.

Tapi walaupun terdesak, pikiran Dewa Arak

bekerja keras. Dari pengalaman menghadapi lawan-

lawan tangguh, pemuda berambut putih keperakan ini

sadar kalau tidak ada ilmu yang sempurna. Semua

ilmu memiliki kelemahan. Oleh karena itu, Dewa Arak

sibuk berpikir untuk melumpuhkan ilmu lawan yang

aneh ini.

Selama dua puluh jurus kemudian, Dewa Arak

hanya bisa mengelak. Tanpa mampu balas menyerang.

Karena memang tidak bisa menyarangkan serangan

satu pun.

"Hait...!"

Sambil berteriak nyaring, Raksasa Rimba

Neraka kembali menyerang Dewa Arak. Kedua kakinya

bergerak menggunting kaki Arya.

"Hup...!"

Dewa Arak melompat ke belakang. Sehingga

guntingan kedua kaki raksasa itu mengenai tempat

kosong. Dan begitu tubuhnya berada di udara, Arya

menghentakkan kedua tangannya. Dengan jurus

'Pukulan Belalang' dari 'Tenaga Dalam Inti Matahari'


yang jarang dipergunakan, Arya mengirimkan

serangan.

Wuuusss...!

Blarrrr...!

Pukulan itu menghantam tanah tempat

Raksasa Rimba Neraka tadi berada. Namun demikian,

Dewa Arak terus mencecar raksasa itu dengan jurus

'Pukulan Belalang'-nya, sehingga lawannya hanya bisa

berguling-gulingan menghindari serangan yang dahsyat

itu!


Serentetan angin pukulan berhawa panas,

menyambar deras ke arah Raksasa Rimba Neraka.

Kakek raksasa ini kaget bukan main. Cepat-cepat

dilentingkan tubuhnya, kemudian berguling-guling

menjauh.

Blarrrr...!

Tak pelak lagi pukulan itu menghantam tanah

tempat Raksasa Rimba Neraka berada, hingga

berlubang besar. Namun demikian, Dewa Arak tidak

membiarkan lawannya lolos. Segera dicecarnya si

raksasa itu dengan jurus 'Pukulan Belalang'-nya.

Suara menggelegar terdengar bertubi-tubi,

setiap kali Raksasa Rimba Neraka berhasil

mengelakkan serangan Dewa Arak. Kini keadaan jadi

berbalik, karena Raksasa Rimba Neraka tidak

memperoleh kesempatan membalas.

Kakek bertubuh raksasa itu menggeram.

Disadari kalau keadaan seperti ini berlangsung terus-

menerus, dia akan tewas di tangan lawannya. Maka

pada suatu kesempatan, raksasa ini melentingkan

tubuhnya ke atas sambil mengirimkan serangan

pukulan jarak jauh.

Suara meledak-ledak terdengar mengiringi

tibanya serangan itu. Tapi Dewa Arak yang memang

sudah memperhitungkan hal itu, segera membanting

tubuh ke tanah. Tepat pada saat itu, Arya melepaskan

'Pukulan Belalang'-nya.

Wuusss...!

Bresss...!

"Aaakh...!"

Terdengar jeritan ngeri dari mulut Raksasa

Rimba Neraka. Pukulan yang dilepaskan Dewa Arak

telak menghantam dadanya. Seketika itu juga

tubuhnya terlempar ke belakang sejauh beberapa

tombak.

Brukkk...!


Disertai suara berdebuk keras, tubuh itu jatuh

ke tanah. Tapi kakek raksasa ini memang hebat bukan

main. Jurus 'Pukulan Belalang' yang biasanya

langsung mematikan lawan, ternyata tidak mampu

menewaskannya. Walaupun dengan tertatih-tatih,

kakek bertubuh raksasa itu berusaha bangkit. Sekujur

tubuhnya nampak hitam hangus.

Dewa Arak terperangah juga melihat kekuatan

Raksasa Rimba Neraka ini. Terpaksa dilepaskannya

lagi jurus 'Pukulan Belalang'-nya!

Bresss...!

"Aaakh...!"

Diiringi jeritan menyayat hati, tubuh Raksasa

Rimba Neraka terpental jauh ke belakang. Beberapa

saat lamanya tubuh itu melayang-layang di udara,

sebelum akhirnya jatuh ke tanah menimbulkan suara

berdebuk keras. Dan seiring jatuhnya tubuh kakek

raksasa itu di tanah, nyawanya pun melayang

meninggalkan raganya.

Pengemis Tongkat Merah, Sapta, dan Kami

bergegas memburu ke arah tubuh Raksasa Rimba

Neraka. Bergidik hati mereka melihat sekujur tubuh si

raksasa itu yang tewas dalam keadaan mengerikan,

hangus seperti terbakar.

"Hei...! Ke mana dia...?"

Sapta yang lebih dulu tersadar karena ingin

meminta maaf, merupakan orang pertama yang

menyadari kalau Dewa Arak telah tidak ada lagi di situ.

Karuan saja ucapan Sapta membuat kaget Pe-

ngemis Tongkat Merah dan juga Kami. Mereka pun

menolehkan kepalanya ke sana kemari, mencari-cari

Dewa Arak.

"Dewa Arak...! Aku, Sapta meminta maaf

padamu! Aku telah berlaku tidak pantas padamu

kemarin malam...!"

Suara yang dikeluarkan lewat pengerahan

tenaga dalam itu menggema ke sekitarnya. Sapta

berdiri diam menunggu. Sayup-sayup di telinga


pemuda berhidung melengkung itu terdengar bisikan

lirih, yang dikirimkan dari jarak jauh.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sapta. Aku

tahu kau tidak bersalah. Semua itu hanya salah

paham saja. Lupakanlah...!"

Seketika wajah Sapta berseri-seri.

"Ada apa, Kang? Mengapa kelihatan gembira

sekali?" tanya Kami yang tidak dapat menahan

keingintahuannya.

"Dewa Arak memang seorang pendekar sejati...,"

puji Sapta.

"Maksudmu...?" tanya Pengemis Tongkat Merah.

Agak tertahan suaranya.

"Dia sama sekali tidak menyalahkan aku, atas

peristiwa yang terjadi kemarin malam...."

"Sudah kuduga...," desah kakek kurus kering.

Sementara itu nun jauh di sana, orang yang me-

reka percakapkan, tengah melangkah pelahan

menyusuri jalan. Sesekali, arak dalam guci yang

digenggamnya itu dituangkan ke mulut. Terdengar

suara tegukan ketika arak itu memasuki

kerongkongannya. Dewa Arak terus melangkahkan

kakinya. Masih banyak tugas yang harus dikerjakan

selaku seorang pendekar. Nah, para pembaca yang

budiman, sampai jumpa pada kisah Dewa Arak

selanjutnya.



                      SELESAI





Share:

0 comments:

Posting Komentar