..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 12 Desember 2024

DEWA ARAK EPISODE CINTA SANG PENDEKAR

DEWA ARAK EPISODE CINTA SANG PENDEKAR

 CINTA SANG PENDEKAR

Oleh Aji Saka

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting : Puji S.

Gambar sampul oleh Pro's

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Aji Saka

Serial Dewa Arak 

dalam episode: Cinta Sang Pendekar 

128 haL ; 12 x 18 cm


SATU


"Ha ha ha...!"

Terdengar suara tawa keras yang memecah 

kesunyian di pagi ini. Sesosok tubuh berkulit 

hitam yang tengah bersemadi, membuka sepasang 

matanya dan memandang ke arah asal suara itu. 

Suara tawa yang menggelegar, membuat isi 

dadanya terasa bergetar. Suatu bukti nyata 

ketinggian tenaga dalam pemillk suara itu.

Sekitar tiga tombak di hadapan laki-laki 

berkulit hitam itu, berdiri seorang pemuda 

berwajah tampan. Bibirnya tampak tersenyum 

sinis, dan sepasang matanya berkilat tajam.

Pemuda itu berusia sekitar dua puluh dua 

tahun. Kulitnya berwarna kecoklatan, seperti juga 

warna pakaiannya. Di kanan-kiri pinggangnya 

terselip sebatang kapak berwarna perak mengkilat.

"Kaget, Ular Hitam?" tanya pemuda itu 

mengejek. Sikapnya terlihat memandang rendah 

kepada orang di depannya.

Orang tua berjuluk Ular Hitam itu, bangkit 

dari semadinya dengan sikap waspada. Pameran 

tenaga dalam yang disalurkan lewat suara tadi 

membuatnya berhati-hati.

"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Ular Hitam 

tanpa mempedulikan pertanyaan pemuda itu.

Seketika sepasang mata pemuda 

berpakaian serba coklat itu berkilat, karena 

pertanyaannya sama sekali tidak dipedulikan


kakek di hadapannya. Raut wajahnya terpancar 

kemarahan.

"Kau kenal Ki Jatayu?" tanya pemuda itu. 

Dingin dan datar suaranya.

"Hah...?! Apa hubunganmu dengannya...?" 

tanya Datuk Barat ini dengan jantung berdebar 

keras. Wajah Ular Hitam langsung berubah 

mendengar nama yang disebut pemuda itu. Dia 

kenal betul siapa Ki Jatayu. Salah seorang pelayan 

kakaknya yang kabur membawa kitab pusaka.

"Aku muridnya...," pelan dan tenang suara 

pemuda itu.

"Apa?!" sepasang mata Ular Hitam 

terbelalak bagaikan melihat hantu.

"Kau terkejut, Ular Hitam? Aku yakin 

sekarang kau tentu sudah tahu maksud 

kedatanganku ke sini, bukan?"

Belum juga gema ucapannya habis, murid 

Ki Jatayu itu telah melesat menerjang Ular Hitam. 

Jari-jari kedua tangannya terbuka lurus. Tangan 

kanannya bergerak menusuk ke arah leher, 

sementara tangan kiri terpalang di depan dada.

Angin berdecit tajam, berdesing dan 

mengaung, seolah-olah sebatang pedang yang 

amat tajam mengibas-ngibas mencari sasaran.

Sebagai datuk yang telah puluhan tahun 

malang-melintang di dunia persilatan, Ular Hitam 

mengenal betul serangan berbahaya. Maka, buru-

buru digeser kakinya ke samping. Sehingga 

serangan itu lewat beberapa rambut di depan


tubuhnya. Tetapi sesuatu yang mengejutkan 

kakek itu terjadi. 

Brettt...!

Baju di bagian dadanya robek memanjang, 

seperti tersayat pisau atau pedang tajam. Tentu 

saja hal ini membuat Datuk Barat ini kaget bukan 

main! Padahal kakek ini tahu pasti kalau serangan 

itu telah dielakkan sebelum sempat mengenainya. 

Jadi, angin serangan itulah yang telah 

menyerempet bajunya. Seketika Ular Hitam 

tersentak ketika teringat akan ilmu yang 

mempunyai akibat begitu dahysat itu.

'"Tangan Pedang'...!" teriak Datuk Barat itu 

keras.

'Tangan Pedang' adalah salah satu ilmu 

milik Ki Gering Langit yang mempunyai 

keistimewaan membuat tangan setajam pedang! 

Bahkan bagi yang telah memiliki tenaga dalam 

tinggi, angin serangannya pun tak kalah 

dahsyatnya dibanding babaran pedang tajam!

"Rupanya matamu belum lamur, Ular 

Hitam!" ejek pemuda berpakaian coklat itu.

Ular Hitam menggeram. Terdengar suara 

bergemeletuk keras dari sekujur tulang-tulang 

tubuhnya. Ketika amarahnya meluap-luap, kakek 

ini mengeluarkan ilmu andalannya. ilmu 'Ular 

Terbang'. Kedua tangannya yang membentuk 

kepala ular, berkelebatan cepat melakukan 

sodokan-sodokan tak terduga ke bagian ulu hati 

dan tenggorokan.


Angin berdecit keras mengiringi tibanya 

serangan serangan Ular Hitam itu. Suatu tanda 

kalau serangannya ditunjang tenaga dalam tinggi. 

Tetapi pemuda berbaju coklat itu hanya tersenyum 

mengejek. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, 

dijegalnya serangan-serangan yang mengancam 

lewat tebasan-tebasan dengan sisi tapak tangan 

miring. 

Takkk! Takkk!

Benturan antara dua tangan yang sama-

sama memiliki tenaga dalam tinggi pun tak 

terhindari lagi. Tubuh Ular Hitam terhuyung dua 

langkah ke belakang, sementara tubuh pemuda 

murid Ki Jatayu hanya bergetar saja.

Ular Hitam terperanjat melihat kenyataan 

ini. Memang sudah diduga kalau tenaga dalam 

yang dimiliki pemuda sombong di hadapannya 

cukup tinggi. Namun sungguh di luar dugaan 

kalau sampai begitu tinggi, sehingga tidak kalah 

dahsyat dengan yang dimiliki anak asuhnya, si 

Dewa Arak.

Rasa perih yang melanda, membuat kakek 

itu melirik kedua tangannya yang tadi 

berbenturan dengan sisi tangan pemuda itu. Pucat 

wajah Ular Hitam ketika melihat lengan bajunya 

robek seperti tersayat pedang. Bahkan sepasang 

tangannya pun nampak bergaris tipis memanjang, 

yang pelahan namun pasti muncul bintik-bintik 

merah. Darah!

Tapi kakek ini tidak mempedulikan. 

Kembali diterjangnya murid Ki Jatayu itu dengan


segenap kemampuan yang dimiliki. Tentu saja 

pemuda berbaju coklat itu tidak tinggal diam. 

Langsung dibalasnya serangan dahsyat itu dengan 

tak kalah dahsyat.

Baik Ular Hitam maupun murid Ki Jatayu, 

sama-sama memiliki gerakan yang amat cepat. 

Sehingga tidak aneh, kalau yang nampak 

hanyalah dua buah bayangan berwarna hitam dan 

coklat yang saling sambar, dan terkadang saling 

terpental.

Dalam waktu sebentar saja pertarungan itu 

telah berlangsung lebih dari sepuluh jurus. Dan 

selama itu, beberapa kali sosok bayangan hitam 

terpental keluar dari arena pertarungan. Tapi, hal 

itu berlangsung hanya sekejap saja karena sosok 

bayangan coklat kemudian memburunya. Maka 

kembali kedua bayangan itu saling sambar.

Suara mendesing dan mengaung 

menyemaraki pertarungan antara kedua orang 

sakti itu. Pepohonan bertumbangan, batu-batu 

besar maupun kecil beterbangan. Dan debu pun 

ikut mengepul tinggi ke udara.

Pada jurus kelima puluh tujuh, untuk yang 

kesekian kalinya, sosok bayangan hitam kembali 

terpental ke belakang. Tapi kali ini lebih parah 

dari sebelumnya. Sosok bayangan memang adalah 

Ular Hitam, terjengkang dan terguling-guling di 

tanah. Namun dengan sigap laki-laki tua itu 

mematahkan daya guling, kemudian melompat 

bangkit dan kembali bersiap siaga.


Keadaan kakek ini sungguh mengenaskan! 

Seluruh pakaiannya koyak bagai tersayat-sayat 

pedang. Bahkan pada beberapa bagian tubuhnya 

terdapat garis memanjang samar-samar!

Ular Hitam sekarang menyadari kalau 

pemuda di hadapannya ini tidak mungkin dapat 

dikalahkan. Maka kakek itu memutuskan untuk 

bertindak nekad. Pemuda ini akan diajaknya 

mengadu nyawa!

"Ha ha ha...!"

Untuk yang kesekian kalinya, pemuda 

berpakaian coklat itu tertawa terbahak-bahak. 

Sebuah tawa kemenangan. Sementara Datuk 

Barat itu hanya menatap tanpa berkedip, penuh 

kewaspadaan. Seluruh panca inderanya terpusat 

penuh.

Tiba-tiba telinganya menangkap suara 

langkah-langkah kaki mendekat dari belakangnya. 

Sambil tetap tak melepaskan pengawasan 

terhadap pemuda di hadapannya, kakek ini 

menengok ke belakang.

Beberapa tombak di belakangnya tertihat 

seorang wanita setengah baya. Pakaiannya serba 

kuning, dan di bagian dada sebelah kiri terdapat 

sulaman bunga mawar berwarna merah. Dia 

berjalan menghampirinya. Wanita itu adalah Nyi 

Sani, ibu Arya Buana atau Dewa Arak

"Sani! Cepat pergi dari sini! Cepat...!" teriak 

Ular Hitam kalap.

Setelah berkata demikian, kakek itu segera 

menerjang pemuda berbaju coklat di hadapannya


dengan serangan-serangan yang mematikan. 

Tujuannya jelas untuk mengalihkan perhatian 

pemuda itu dari Nyi Sani.

Nyi Sani adalah seorang wanita cerdik. Ia 

tahu, Ular Hitam tak akan menyuruhnya pergi 

dengan nada begitu keras, kalau tidak ada 

sesuatu yang berbahaya. Itulah sebabnya bergegas 

dibalikkan tubuhnya dan berlari ke arah 

kedatangannya tadi.

Tapi baru beberapa langkah, wanita itu 

teringat sesuatu.

"Bagaimana dengan Aki sendiri?!" tanya Nyi 

Sani sambil mengerahkan tenaga dalam. Sehingga, 

suaranya terdengar keras mengatasi bisingnya 

suara pertempuran.

"Jangan pikirkan aku! Aku akan menyusul 

belakangan!"

Untuk sesaat Nyi Sani terdiam. Bekas 

Ketua Perguruan Mawar Merah ini bimbang. Berat 

rasanya meninggalkan kakek itu sendirian yang 

menghadapi lawan tangguh. Digigit bibirnya untuk 

menguatkan hati, baru setelah itu dilangkahkan 

kakinya meninggalkan tempat itu.

"Jangan harap dapat lolos dari tanganku!"

Setelah berkata demikian, sambil tetap 

melakukan desakan-desakan, tangan pemuda 

berbaju coklat yang bernama Darba ini sudah 

menyelusup ke balik pinggang. Sementara Ular 

Hitam hanya dapat mundur dan bertahan.


Dengan kecepatan gerak yang sukar diikuti 

mata, tangan itu telah keluar lagi, lalu menyambar 

cepat ke arah Ular Hitam.

Wuttt...!

Datuk Barat ini kaget bukan kepalang. 

Sekelebatan terlihat seleret sinar berwarna 

keperakan menyambar ke arahnya. Karena untuk 

mengelak sudah tidak memungkinkan lagi, maka 

untung-untungan sinar itu ditangkis dengan 

tangannya.

"Akh...!"

Seketika Ular Hitam menjerit kesakitan. 

Darah langsung muncrat dari tangan kanannya 

yang buntung sebatas pergelangan. Rupanya 

seleret sinar keperakan itu adalah kapak 

mengkilat yang tergantung di pinggang pemuda 

itu.

Belum lagi kakek ini sempat berbuat 

sesuatu, kaki kiri Darba telah kembali melayang. 

Rasanya kibasan kaki itu memang sulit dihindari.

Buk!

"Hugh...!"

Dengan telak dan keras, kaki itu 

menghantam perut Datuk Barat Kakek itu 

mengeluh pendek, dan tubuhnya terbungkuk. Ada 

cairan merah menitik di sudut bibirnya. Jelas 

kalau Ular Hitam terluka dalam.

Dan belum lagi kakek itu mampu berbuat 

sesuatu, kembali tangan murid Ki Jatayu yang 

memegang kapak keperakan itu berkelebat cepat 

bagai kilat


Crakkk...!

"Akh...!"

Ular Hitam memekik sesaat, sebelum 

akhirnya ambruk ke tanah dengan kepala terpisah 

dari leher! Datuk ini tewas seketika.

Dan rupanya kapak di tangan Darba tidak 

bertugas sampai di situ saja. Kembali tangan 

pemuda ini bergerak, mengayunkan kapak perak 

itu.

Singgg...!

Seleret sinar keperakan melesat ke arah 

Nyi Sani yang tengah berlari. Ibu Dewa Arak ini 

mencoba berkelit, tapi sayang terlambat!

Crakkk...! 

"Akh...!"

Nyi Sani memekik tertahan. Tanpa ampun 

lagi, kapak itu menembus punggungnya. Langkah 

kakinya pun langsung terhenti seiring dengan 

lenyapnya nyawa dari badan. Seketika tubuh yang 

bersimbah darah itu ambruk ke tanah.

"Ha ha ha...!"

Suara tawa kemenangan dan kepuasan 

yang berkepanjangan menggema di sekitar tempat 

itu. Dengan cepat, pemuda itu melesat cepat 

meninggalkan tempat pembantaian. Suara itu 

pelahan lenyap seiring lenyapnya tubuh Darba di 

kejauhan.

"Tidaaak...!"

Jeritan keras melengking terdengar 

memecah ke sunyian malam. Seorang pemuda 

berwajah jantan dan berambut putih keperakan,


tiba-tiba bangkit dari tidurnya. Napasnya 

terengah-engah seperti habis berlari jauh.

Wajah pemuda berpakaian ungu itu basah 

oleh keringat. Di dalam mimpi tadi, pemuda itu 

melihat ada banjir besar yang tiba-tiba melanda 

tempat tinggal pembimbingnya, Ular Hitam. Kakek 

itu dan ibunya pun tak luput dari amukan air bah. 

Betapapun kedua orang yang disayanginya itu 

mencoba bertahan, tapi air itu terlalu kuat buat 

mereka. Maka keduanya hanyut dilanda air bah 

itu!

"Ah...!" pelahan pemuda itu mengeluh. 

Kedua tangannya ditekapkan ke wajah. Beberapa 

saat lamanya, dibiarkan kedua tapak tangannya 

hinggap di sana. Kemudian pelahan-lahan diusap 

keringat yang membasahi wajah.

"Mimpi itu lagi...," keluh pemuda itu lagi 

pelan. "Mimpi yang sama. Aneh! Ataukah ini 

merupakan suatu petunjuk dari Gusti Allah?" 

duga pemuda itu tiba-tiba.

Teringat hal itu, pemuda yang tak lain 

adalah Arya Buana atau berjuluk Dewa Arak 

bergegas bangkit dari pembaringan. Pemuda ini 

berbaring di sebuah dipan beralaskan tikar butut. 

Ia memang tidak berada di dalam kamar sebuah 

rumah penginapan, melainkan di sebuah gubuk 

kecil. Rupanya gubuk kecil itu memang tidak 

terpakai lagi, dan terletak di tengah sawah.

Diraihnya guci yang diletakkan di 

sampingnya, lalu didekatkan ke mulutnya. 

Dituangkan arak itu ke dalam mulutnya. Seketika


tubuh Dewa Arak terasa hangat. Baru kemudian 

guci itu diikat di punggungnya. Kini pemuda itu 

bergegas bangkit melangkahkan kakinya 

menghampiri pintu.

Begitu pintu terbuka, tampak hamparan 

tanaman padi yang telah mengering, 

menyambutnya di tengah keredupan malam yang 

hanya diterangi bulan sepotong.

Arya melangkahkan kakinya melalui 

pematang-pematang sawah. Fikirannya terus 

menerawang memikirkan mimpi-mimpi yang sama 

dan senantiasa mengganggu tidurnya setiap 

malam.

Malam hari itu juga, Arya Buana 

melanjutkan perjalanannya. Mimpi-mimpi yang 

sama dan berturut-turut dialami, membuat 

perasaannya tidak enak. Dia merasakan ada hal-

hal yang tidak beres terjadi pada diri Ular Hitam 

dan ibunya.

Dewa Arak segera menuju ke arah Barat. 

Karena pemuda itu mendengar dari para perantau, 

kalau di sana terjadi tindak kekacauan dan 

kejahatan. Karena mungkin saja Ular Hitam dan 

ibunya memerlukan pertolongan saat ini, maka 

pemuda ini memutuskan untuk menunda dulu 

urusannya mencari Melati.

Arya yang tengah gelisah memikirkan nasib 

ibunya dan Ular Hitam, melakukan perjalanan 

dengan cepat, tanpa menghentikan langkahnya 

sekali pun. Berkat ilmu meringankan tubuhnya 

yang memang sudah mencapai tingkat tinggi,


menjelang siang hari, Arya sudah tiba di sebuah 

tanah lapang yang luas. Tanah di daerah ini 

kering, bahkan pecah-pecah. Tak ada satu pun 

tanaman yang tumbuh di sana. 

"Hhh...!"

Arya menghela napas panjang. Panas 

matahari mulai terasa menyengat kulitnya. 

Matanya beredar ke sekelilingnya. Tak nampak 

apa apa kecuali hamparan tanah lapang yang 

luas. Tidak nampak satu pohon pun untuk 

berteduh dari sengatan panas yang amat terik ini.

Tengah pemuda berpakaian ungu ini 

termenung bimbang, pendengarannya yang tajam 

menangkap suara derap kaki kuda di 

belakangnya.

Dengan perasaan harap-harap cemas, 

Dewa Arak menolehkan kepalanya ke belakang. 

Dia khawatir kalau suara itu tercipta karena 

khayalannya semata-mata.

Tapi ternyata tidak. Ternyata agak jauh di 

depan sana, tampak seekor kuda coklat yang 

menarik sebuah gerobak. Setelah yakin dengan 

penglihatannya, Dewa Arak ini segera 

membalikkan tubuhnya. Dihadapkan wajah dan 

tubuhnya ke arah kereta kuda itu berasal.

Semakin lama kereta kuda itu semakin 

dekat jaraknya dari tempat Arya berada. Dan 

begitu berjarak sekitar lima tombak, pemuda 

berambut putih keperakan ini melambaikan 

tangannya.

"Hooop...!"


Seketika si kusir menarik tali kekang 

kudanya, maka kuda berwarna coklat kehitaman 

yang sejak tadi memang berjalan lambat-lambat 

kontan berhenti. Arya menghampiri kusir kereta 

kuda itu. Dalam jarak sekitar tiga tombak tadi, 

Dewa Arak segera dapat mengetahui kalau kusir 

itu masih amat muda. Dan setelah melangkah 

mendekati, jelas terlihat kalau wajah kusir itu 

sungguh tampan.

Kusir yang ternyata seorang pria berusia 

sekitar sembilan belas tahun itu berkulit putih, 

halus, dan mulus. Rasanya terlalu tampan untuk 

seorang lelaki. Hidungnya mancung, dan bibirnya 

merah.

Kalau saja Arya tidak melihat sebaris 

kumis tipis yang bertengger di atas bibirnya, pasti 

pemuda ini menduga kalau kusir itu seorang 

wanita. Dandanan rambutnya digelung ke atas. 

Pakaiannya serba hitam, sehingga terlihat kontras 

sekali dengan kulitnya yang putih.

"Mengapa kau memandangiku seperti itu, 

Kisanak?" tegur kusir itu, yang merasa jengah 

dipandangi Arya Buana terus-menerus.

"Ah...! Eh..., maaf. Maksudku, aku hanya 

terpana saja. Maaf," ucap Arya gugup. Kini 

pemuda berpakaian ungu ini menyadari betapa 

tidak sopan sikapnya barusan.

"Ha ha ha...!" pemuda tampan itu tertawa. 

"Boleh aku mengenal namamu? Namaku Gumala."

Arya tersenyum simpul. Entah kenapa ia 

merasa suka sekali kepada pemuda tampan ini.


Mungkin karena sikapnya yang lucu, atau karena 

hal-hal lain yang kurang diketahuinya secara 

pasti. Yang jelas, ia merasa tertarik pada pemuda 

tampan di hadapannya ini.

"Boleh saja...," sahut Dewa Arak.

"Benar?" tanya Gumala meminta 

ketegasan.

"Tentu saja!" tegas Arya. ''Tapi ada 

syaratnya.... ''

Wajah Gumala yang tadinya berseri-seru 

kontan berubah.

"Untuk mengenal namamu saja, ada 

syaratnya?"

''Tentu!" jawab Arya dengan wajah dibuat 

sungguh-sungguh. Dia memang mencoba untuk 

memancing pemuda itu.

"Apa syaratnya?" tanya pemuda yang 

mengaku bernama Gumala lagi. Wajahnya yang 

tadi ceria kini terlihat muram.

"Kau memberikan tumpangan di keretamu! 

Bagaimana?"

"Ha ha ha...!" Gumala tertawa. Wajahnya 

kembali berseri. "Kukira apa?! Tidak tahunya itu 

syaratnya! Kalau hanya itu, dengan senang hati 

kuterima syaratmu! Nah, sekarang perkenalkan 

siapa dirimu?"

"Namaku Arya Buana. Orang-orang yang 

dekat denganku biasa memanggil Arya."

"Arya Buana? Cukup gagah namamu!" puji 

Gumala.


"Tentu saja!" potong Arya cepat "Nama 

harus disesuaikan dengan orangnya!"

"Ah! Bisa saja kau ini!" cibir Gumala. Tapi 

tiba-tiba dahinya berkerut seperti tengah 

mengingat-ingat. "Eh, tunggu dulu. Arya Buana.... 

Sering kudengar, kalau orang membicarakan 

namamu. Apakah kau orangnya yang selalu 

diperbincangkan itu? Kaukah yang dijuluki Dewa 

Arak itu? Kalau melihat ciri-ciri yang ada, aku 

yakin kaulah orang yang berjuluk Dewa Arak."

"Begitulah orang menjulukiku. Tapi, aku 

lebih suka kau memanggilku Arya saja," tegas 

Arya Buana, disertai helaan napas.

Gumala manggut-manggut. "Oh ya, berapa 

sih..., umurmu?"

"Heh?! Mau apa tanya-tanya umur segala? 

Atau... barangkali kau ingin menjodohkan aku 

dengan adik atau kakakmu? Sayang sekali, aku 

sudah punya kekasih!" tegas Arya menggoda 

sambil tertawa.

Tapi tawa Arya secara mendadak berhenti, 

karena melihat wajah Gumala berubah hebat! 

Sekilas tadi rasanya sepasang mata pemuda itu 

mencorong tajam. Ataukah ia salah lihat?

"Ha ha ha...!"

Sekarang ganti Gumala yang tertawa 

melihat tawa pemuda berambut putih keperakan 

itu yang lenyap secara mendadak.

Sementara Arya yang tadi sudah merasa 

cemas melihat perubahan wajah pemuda itu jadi 

ikut tertawa juga.


"Kau ini kelihatannya terlalu genit. Kau 

tahu, maksudku bertanya demikian adalah untuk 

mengetahui, siapa di antara kita yang lebih tua. 

Umurku sembilan belas tahun...."

"Aku dua puluh...," jawab Arya setengah 

hati.

"Nah! Kalau begitu, bagaimana kalau aku 

memanggilmu Kakang Arya?" usul pemuda 

tampan mirip wanita itu.

"Boleh saja," sahut Arya. "Dan aku 

memanggilmu Adi Gumala."

"Ya! Bagus, bukan?"

Arya hanya tersenyum saja. Sungguhpun 

sebenarnya perasaan bingung berkecamuk di 

benaknya. Rasanya dia seperti pernah melihat 

wajah, mata maupun bibir pemuda itu. Tapi Arya 

lupa, kapan dan di mana?

"Ayo, Kang Arya. Naiklah cepat! Atau, kau 

memang senang tertawa-tawa di situ terus sampai 

kulit dan rambutmu hitam terbakar sinar 

matahari?" ledek Gumala memenggal lamunan 

pemuda berambut putih keperakan itu.

Tanpa banyak cakap lagi, Arya segera naik 

ke atas kereta. Pemuda itu duduk di samping 

Gumala, seketika Gumala menyentak tali kekang 

kudanya. Mulutnya mendecak pelan, dan kudanya 

pun berjalan pelahan meninggalkan tanah lapang 

yang luas itu.

"Kau mau ke Barat juga, Adi Gumala?" 

tanya Dewa Arak.


"Ya. Tak ada salahnya kalau kita 

melakukan perjalanan bersama, bukan?" 

"Tentu saja tidak!"

***

DUA



Sebuah kereta kuda yang ditumpangi dua 

orang pemuda yang sama-sama tampan melaju 

pelahan-lahan memasuki pintu gerbang Desa 

Jipang. Mereka adalah Arya Buana dan kawan 

barunya, Gumala. Selama beberapa hari 

menempuh perjalanan bersama Gumala. Pemuda 

berambut putih keperakan ini banyak melihat 

keanehan terhadap pemuda itu.

Pernah suatu ketika mereka singgah di 

penginapan, Gumala tidak menyewa satu kamar.


Dia selalu memaksa untuk menyewa dua buah 

kamar. Alasannya, karena tidak biasa tidur 

berdua. Sejak kecil sampai dewasa pemuda itu 

terbiasa tidur sendiri. Apabila dipaksa tidur 

berdua, matanya tak akan bisa terpejam sampai

pagi hari. Begitu alasannya jika didesak Arya.

Mendengar alasan pemuda itu, Arya tentu 

saja tidak ingin memaksa. Dan yang lebih 

mengherankan, Arya Buana sering memergoki 

Gumala tengah menatapnya dengan sinar mata 

aneh. Sampai saat ini kelakuan Gumala memang 

menjadi beban pikiran Dewa Arak itu.

Dan sekarang ini Dewa Arak 

memperhatikan ke adaan sekelilingnya. Sepi. 

Dalam hati pemuda ini mulai timbul rasa curiga. 

Timbullah satu pertanyaan, mengapa Desa Jipang 

begini sepi?

Belum juga pemuda ini mendapat jawaban 

dari pertanyaan yang bergayut di benaknya, 

penglihatannya yang tajam menangkap banyak 

kelebatan gerakan tubuh, di balik pepohonan yang 

berjajar di kanan kiri jalan utama desa ini. Kontan 

seluruh urat syaraf di sekujur tubuh Arya 

menegang waspada. Dugaannya sebentar lagi pasti 

akan terjadi pertempuran.

Dan memang, dugaan Dewa Arak tidak 

meleset. Belum berapa jauh kereta kuda yang 

ditumpangi memasuki desa, terdengar suara 

berdesing nyaring.

Cappp!


Sebatang tombak menancap tepat di depan 

kereta kuda itu. Kontan kuda itu menjadi terkejut, 

meringkik keras sambil mengangkat kedua 

kakinya ke atas.

"Keparat...!" Gumala berteriak memaki.

Pemuda itu bergegas menenangkan 

kudanya. Dan begitu kuda coklat kehitaman itu 

sudah tenang, tubuhnya pun melesat keluar dari 

kereta. Gerakannya gesit dan indah. Arya sendiri 

jadi terkejut dibuatnya.

Baru saja kedua kaki pemuda tampan itu 

mendarat di tanah, di depannya telah 

bermunculan banyak sekali laki-laki berwajah 

kasar dengan senjata terhunus di tangan. 

"Siapa kalian?! Mengapa menghadang 

perjalanan kami?! Menyingkirlah sebelum 

kesabaranku hilang!" ucap pemuda berbaju hitam 

ini keras.

Ternyata pertanyaan Gumala dijawab 

dengan serbuan belasan sosok tubuh itu. Mereka 

menerjang pemuda tampan itu dengan senjata 

terhunus. Seketika terdengar suara desing pedang 

dan golok yang berkelebatan menyambar Gumala 

bagai hujan.

Tapi pemuda yang wajahnya bagai wanita 

itu hanya tersenyum mengejek. Dengan enaknya 

dielakkan setiap serangan yang menyambar ke 

arahnya. Tubuh Gumala menyelinap cepat di balik 

kelebatan babatan sinar pedang dan golok.

Arya yang semula sudah bersiap-siap 

membantu bila kawan barunya ini terancam


bahaya, segera mengurungkan niatnya begitu 

melihat gerakan kawannya. Sekali lihat saja, 

pemuda berambut putih keperakan ini segera tahu 

bahwa Gumala sulit untuk dapat dicelakakan 

lawan-lawannya.

Apa yang diperkirakan Dewa Arak ini 

memang tidak salah. Ketika Gumala balas 

menyerang, satu demi satu lawannya berjatuhan. 

Ke mana saja tangan atau kaki pemuda itu 

bergerak, di situ pasti ada saja yang rubuh.

"Akh...!" 

"Ugh...!"

Terdengar jerit kesakitan saling sambut. 

Maka tidak sampai delapan jurus, sembilan 

penghadang itu sudah bergeletakan di tanah. Ada 

yang patah kakinya, ada yang patah tangannya, 

dan ada yang bocor kepalanya. Yang jelas, tidak 

ada satu pun di antara mereka yang terluka 

parah.

Plok! Plok! Plok!

Suara tepuk tangan terdengar seiring 

rubuhnya penghadang terakhir. Gumala 

memandang ke arah kereta. Ditatapnya Arya yang 

tengah duduk sambil bertepuk tangan. Dikebut-

kebutkannya tangan dan pakaiannya sebelum 

berjalan menghampiri kereta.

''Tidak kusangka kau selihai itu, Adi 

Gumala!" puji Arya tulus.

"Kau ini memuji atau meledek, Kang Arya! 

Apa sih artinya kepandaian yang kumiliki bila 

dibandingkan dengan kepandaianmu?! Siapa yang


tidak kenal Dewa Arak yang telah menewaskan 

banyak lawan tangguh?" sergah Gumala sedikit 

merah wajahnya.

Kontan wajah Arya memerah. "Ah! 

Sudahlah, Adi Gumala! Lebih baik kita lanjutkan 

perjalanan ini. Kurasa ada sesuatu yang tengah 

terjadi di desa ini. Rasanya aku harus berbuat 

sesuatu."

"Sekarang akan ke mana, Kang Arya?" 

tanya Gumala setelah duduk di samping pemuda 

berambut putih keperakan itu, seraya 

menggenggam tali kekang kuda.

"Jalan saja terus, nanti kutunjukkan 

jalannya!"

Gumala menghela tali kekang kudanya. 

Mulutnya berdecak pelan. Dan kuda coklat 

kehitaman itu pun melangkah pelahan 

meninggalkan tempat itu. Meninggalkan sosok-

sosok tubuh yang bergelimpangan di tanah 

merintih-rintih.

***

"Hooop...!"

Gumala menarik tali kekang kudanya, 

ketika Arya memberitahukan untuk berhenti. Dan 

tepat di depan sebuah kedai, kereta kuda itu 

berhenti. Arya lalu melompat turun diikuti 

Gumala. Ringan sekali gerakan tubuh mereka. 

Secara beriringan keduanya berjalan memasuki 

kedai itu. Suasana kedai tampak sepi-sepi saja.


Arya berjalan menghampiri sebuah meja yang 

kosong, kemudian duduk di situ. Gumala pun 

mengi-kuti.

Pemilik kedai itu terkejut bukan main 

melihat k-datangan Arya Buana. Tergopoh-gopoh 

ia berlari menyambut.

"Arya...!" teriak laki-laki tua pemilik kedai 

itu gembira. "Syukur pada Gusti Allah kau datang 

kemari."

"Memangnya ada apa, Ki?" tanya Arya. 

Tenang saja terdengar suaranya.

Kakek pemilik kedai itu merenung 

sebentar. Dia memang telah kenal betul dengan 

Arya. Karena pemuda ini pernah singgah di 

kedainya dan menginap di situ.

"Nanti saja Aki ceritakan, Den. Sekarang 

mungkin Den Arya dan Den...."

"Gumala," sahut Gumala singkat, begitu 

dilihatnya kakek pemilik kedai itu memandang ke 

arahnya.

"Oh ya..., Den Arya dan Den Gumala 

mungkin sudah lapar. Akan kusediakan dulu 

pesanan Aden berdua."

Arya yang memang sudah lapar, segera 

saja memesan makanan untuk mereka berdua.

Kakek pemilik kedai itu segera melangkah 

masuk ke dalam untuk menyiapkan pesanan 

makanan. Sambil menunggu pesanan siap, 

Gumala mengedarkan pandangan ke luar. Dari 

meja mereka, memang dapat melihat bebas ke luar 

melalui pintu.


"Hei...!" tiba-tiba Gumala berteriak keras. 

Pandangannya yang tajam melihat seorang lelaki 

mengendap-endap mendekati kudanya sambil 

menghunus golok. Kuda itu memang ditambatkan 

Gumala di seberang jalan depan rumah makan.

Sadar akan bahaya yang mengancam 

kudanya, Gumala cepat menggerakkan tangannya.

Krakkk!

Pinggiran meja kontan gompal ketika 

tangan halus Gumala menekan pelan. Dan secepat 

kilat pemuda berpakaian serba hitam itu 

melemparkan potongan kayu yang hanya selebar 

dua jari.

Singgg...!

Laksana lesatan sebatang anak panah 

lepas dari busur, potongan daun meja itu melesat 

ke arah orang yang menghampiri kuda. 

Bersamaan dengan melesatnya potongan daun 

meja itu, tubuh Gumala melesat keluar pintu. 

Gerakannya cepat bukan main. Bahkan Arya yang 

melihatnya jadi terlongong.

Takkk!

"Akh...!"

Potongan daun meja itu tepat menghantam 

siku orang yang mengendap-endap mendekati 

kuda. Keras bukan main, sehingga orang itu 

terpekik tertahan. Golok di tangannya pun 

terlepas dan jatuh di tanah.

Baru saja orang itu memungut goloknya 

kembali, di hadapannya telah berdiri Gumala.

"Pengecut...!" maki Gumala geram.


Seketika tangan kanan pemuda itu 

bergerak menampar. Cepat bukan main 

gerakannya. Walaupun orang yang hendak 

mencelakakan kuda itu bergerak mengelak, tetap 

saja tapak tangan Gumala mendarat keras di pipi 

kanannya. Tubuh orang yang sial itu langsung 

terputar sebelum akhirnya rubuh ke tanah dalam 

keadaan pingsan.

Pemuda berpakaian serba hitam ini 

memandang ke sekeliling, karena barangkali saja 

orang yang sial ini tidak sendirian. Tapi tak 

ditemukannya tanda-tanda adanya teman-teman 

orang sial itu.

Maka setelah melempar pandang sekali lagi 

pada sosok tubuh yang tergolek di tanah, Gumala 

beranjak meninggalkan tempat itu menuju kedai.

"Luar biasa kau, Adi Gumala," puji Arya 

begitu melihat pemuda tampan itu telah duduk 

kembali di mejanya, menghadapi makanan yang 

telah terhidang. "Sekarang marilah kita makan 

dulu!"

Setelah berkata demikian, pemuda

berpakaian ungu ini mulai menyantap 

pesanannya. Tanpa banyak cakap Gumala pun 

mengikutinya. Beberapa saat kemudian kedua 

pemuda ini sudah sibuk dengan santapannya 

masing-masing.

Dewa Arak diam-diam semakin sering 

memperhatikan Gumala terutama tentang 

kepandaiannya. Dan tentu saja tanpa 

sepengetahuan pemuda itu. Kepandaian Gumala


memang belum dapat diketahui secara pasti. 

Semula sewaktu melihat perkelahian pemuda itu 

dalam menghadapi kawanan penghadang, sedikit 

sudah bisa diperkirakannya tingkat kepandaian

pemuda ini. Tapi apa yang disaksikannya waktu 

itu, berbeda dengan yang baru saja disaksikan 

tadi. Kecepatan gerakan pemuda itu benar-benar 

mengejutkannya.

Namun Arya bersikap biasa-biasa saja. 

Dari gelagatnya, pemuda ini tahu kalau Gumala 

memang berusaha menyembunyikan 

kepandaiannya, Entah apa alasannya. Itulah 

sebabnya pemuda berambut putih keperakan ini 

tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang hal 

itu.

Setelah selesai menyantap pesanannya, 

baru Arya Buana memanggil kakek pemilik kedai. 

Bergegas laki-laki tua itu datang menghampiri.

"Sekarang kuharap Aki bersedia 

menceritakan apa yang terjadi di desa ini," pinta 

Arya Buana ketika kakek itu telah duduk.

Kakek pemilik kedai itu menghela napas. 

Sebentar dipandanginya wajah Arya dalam-dalam.

"Kejadiannya belum lama terjadi, Den. 

Beberapa pekan yang lalu muncul seorang 

pemuda tampan dan berpakaian serba coklat ke 

desa ini. Ilmu kepandaiannya luar biasa. Hanya 

seorang diri saja dia mampu membasmi Perguruan 

Garuda Emas, yang menjadi pelindung desa ini 

dari kejahatan para penjahat yang hendak 

menjarah. Dan benar saja. Setelah Perguruan


Garuda Emas runtuh, penjahat-penjahat mulai 

menjarah desa ini. Siapa yang menentang pasti 

akan merasakan akibatnya! Hanya Adenlah yang 

kami harapkan akan dapat membebaskan desa ini 

dari belenggu kekejaman mereka."

Dewa Arak tercenung, Perguruan Garuda 

Emas runtuh! Hampir tidak dipercayai 

pendengarannya sendiri. Perguruan itu ternyata 

runtuh oleh seorang pemuda tidak dikenal.

"Bagaimana keadaan si Paruh Garuda?" 

tanya Arya menyebut nama pemimpin Perguruan 

Garuda Emas.

"Beliau tewas di tangan pemuda itu. Yang 

selamat dari maut hanya si Cakar Garuda. Itu pun 

karena kebetulan ia tidak berada di tempat."

"Lalu, apakah pemuda itu masih berada di 

sini, Ki?"

"Tidak! Sehabis menghancurkan bangunan 

Perguruan Garuda Emas, ia pergi dari desa ini. 

Yang tinggal di sini hanya para penjahat yang 

menjadi anak buahnya," jelas kakek pemilik kedai 

itu lagi.

"Bisa Aki tunjukkan di mana markas 

penjahat itu?" pinta Arya.

"Den Arya tahu rumah kepala desa?" kakek 

itu malah balik bertanya.

Pemuda berambut putih keperakan itu 

menganggukkan kepalanya. "Jadi, penjahat-

penjahat itu bermarkas di sana?"

"Ya!" jawab kakek pemilik kedai itu singkat.


"Kalau begitu, kami akan ke sana 

sekarang, Ki!" ujar Dewa Arak cepat. "Mari, Adi 

Gumala!"

Setelah berkata demikian, Arya membayar 

makanannya, lalu segera melesat keluar kedai, 

diikuti Gumala yang tak kalah gesitnya. Mereka 

melompat menaiki kereta kuda hampir 

bersamaan.

"Hiya...!"

Gumala segera menggebah kudanya. 

Sesaat kemudian kereta kuda itu sudah bergerak 

cepat meninggalkan kedai itu, diikuti pandangan 

mata kakek pemilik kedai hingga lenyap di 

kejauhan.

Kereta kuda itu bergerak cepat menyusuri 

jalan utama Desa Jipang. Rumah kepala desa itu 

memang jauh dari kedai yang tadi disinggahi Arya.

"Adi Gumala," sapa Dewa Arak ketika 

kereta kuda ini mulai melewati jalan yang agak 

sempit. Di sebelah kanannya, nampak sungai 

mengalir. Melihat sungai itu timbullah keinginan 

pemuda ini untuk mandi.

"Ada apa, Kang?" tanya Gumala sambil 

menolehkan kepalanya sebentar.

Sesaat lamanya Arya terkesima. Sementara 

itu tercium bau harum aneh yang menyergap 

hidungnya. Bau harum seperti yang biasa keluar 

dari tubuh seorang wanita!

"Heh! Ditanya malah melamun!"

"Oh..., eh..., apa Adi Gumala?" tanya Arya 

gugup.


"Lho?! Yang mau bertanya itu sebenarnya 

siapa? Aku atau Kakang Arya?" 

Plak!

Arya menepak keningnya. Betapa 

pelupanya dia! Diam-diam pemuda itu 

menertawakan kebodohannya sendiri.

"Kenapa, Kang? Digigit nyamuk?" goda 

Gumala lagi.

"Ya... eh, tidak!"

"Lalu, kenapa kepalanya sendiri dipukul?"

"Tidak apa-apa! Aku hanya ingin mandi 

saja. Bagaimana kalau kita mandi sama-sama, Adi 

Gumala?"

Sekelebat Arya melihat wajah pemuda itu 

memerah. Tapi di lain saat kembali normal seperti 

sediakala.

"Kakang sajalah," tolak Gumala halus. 

"Aku masih belum ingin mandi. Biar aku 

menunggu saja di sini."

Arya temnenung sejenak. "Baiklah kalau 

begitu!"

Setelah berkata demikian, pemuda 

berambut putih keperakan ini segera melompat 

turun. Arya Buana kemudian bergegas menuruni 

jalan itu, menuju sungai yang terletak di bawah 

jalan. Sebentar kemudian, dia sudah sampai di 

pinggir sungai yang berair cukup jernih. Pemuda 

ini segera meletakkan guci araknya di tanah, lalu 

membuka bajunya. Hanya celananya saja yang 

tidak ditanggalkan. Sesaat kemudian....

Byurrr...!


Air muncrat tinggi ke atas ketika Arya 

Buana terjun ke dalam air. Tubuh pemuda itu pun 

langsung tenggelam ke dalam air. Beberapa saat 

lamanya menyelam di air, baru setelah itu 

kepalanya muncul dari dalam air. Kemudian 

menyelam kembali beberapa saat, lalu timbul lagi. 

Tapi tiba-tiba....

"Tolooong...!"

Terdengar jerit seorang wanita mengusik 

keasyikan Arya dari mandinya. Pemuda berambut 

putih keperakan ini kontan menolehkan kepalanya 

ke arah asal jeritan itu.

Beberapa tombak dari tempatnya berada, 

tampak seorang wanita yang tengah timbul 

tenggelam terbawa arus sungai. Melihat adanya 

cucian dan pakaian yang tercerai berai terbawa 

arus, Arya cepat mengetahui kalau wanita itu 

tengah mencuci di situ. Kemudian tubuhnya 

terpeleset tercebur ke sungai, dan terbawa arus. 

Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak segera 

mengejar tubuh wanita yang tengah terbawa arus 

itu.

Tapi betapapun Arya telah mengerahkan 

segenap kemampuan yang dimiliki, tetap harus 

diakui kalau kemampuannya tak mampu 

menandingi arus sungai. Jarak antara Arya 

dengan wanita itu nyaris tidak berubah. Arus air 

memang deras, apalagi di tempat hanyutnya 

wanita itu.

Sesaat lamanya terjadi kejar-kejaran 

antara Dewa. Arak yang sekuat tenaga berenang


dibantu arus air dengan wanita yang terbawa arus 

sungai.

Dan kini lambat laun jarak di antara 

mereka kian mendekat. Dan hanya tinggal satu 

tombak lagi, maka wanita itu pun akan terjangkau 

tangan Dewa Arak. Tapi tiba-tiba Arya Buana 

merasakan adanya kelainan pada suasana di 

sekitarnya. Arus air sungai ini tiba-tiba menjadi 

deras bukan main. Tubuhnya pun tanpa ampun 

terseret deras. Tentu saja pemuda ini kaget bukan 

main.

Memang, pemuda berambut putih 

keperakan ini masih muda dan kurang 

pengalaman. Maka tidak aneh, kalau belum 

menyadari mengapa tiba-tiba arus sungai 

mendadak begitu deras.

Ketika terdengar gemuruh air, baru 

pemuda ini sadar akan apa yang terjadi. Ternyata 

tubuhnya telah terseret arus sungai menuju air 

terjun! Dan Arya tahu apa yang akan menantinya 

di bawah sana. Apalagi kalau bukan batu-batu 

yang akan meremukkan sekujur tubuh dan 

tulang-tulangnya.

Kini Arya berbalik arah. Sekuat tenaga ia 

berenang melawan arus yang akan membawanya 

ke air terjun. Dibatalkan niatnya untuk menolong 

wanita yang hanyut itu.

Tetapi di sini pemuda berambut keperakan 

ini baru menyadari betapa sedikit ilmu yang 

dimilikinya bila dibandingkan kekuasaan Allah. 

Tenaga dalam yang selama ini boleh dibilang


belum tertandingi, tidak berarti apa-apa 

menghadapi arus air yang akan membawa 

tubuhnya untuk dirajam di bawah sana.

Sedikit demi sedikit tubuhnya mulai 

terseret mendekati air terjun. Dan kekuatan arus 

air yang menariknya pun semakin kuat.

Sementara itu, Gumala rupanya tidak 

sabar menunggu Arya terlalu lama. Setelah lama 

mempertimbangkan, akhirnya diputuskan untuk 

menyusul Dewa Arak. Dapat dibayangkan betapa 

kaget hati Gumala, melihat pemuda berambut 

putih keperakan itu tengah berjuang keras 

menghadapi arus air yang akan meluluh-

lantakkan tubuhnya di bawah sana.

Pemuda tampan ini segera memutar 

otaknya, mencari jalan untuk menyelamatkan 

Arya. Sepasang matanya berputar berkeliling. 

Akhirnya, pandang matanya segera tertumbuk 

pada sebatang pohon yang mempunyai cabang 

yang melintang tepat di mulut air terjun.

Buru-buru Gumala berkelebat ke sana. 

Rencananya, dengan bergelayut pada cabang 

pohon itu, tubuh Dewa Arak hendak 

ditangkapnya.

Sementara itu Dewa Arak yang sama sekali 

tidak melihat kedatangan temannya itu, seperti 

merasa pasrah atas keadaan dirinya. Namun 

demikian dia tetap mencoba melawan tarikan arus 

air ini dengan tenaganya. Yang jelas, harus dicari 

cara lain kalau ingin selamat. Dalam waktu yang 

hanya beberapa detik itu otaknya bekerja keras.


Untunglah di saat terakhir, Arya 

menemukan suatu jalan. Dan seperti merestui 

pilihannya, tiba-tiba sebuah ranting pohon sebesar 

pergelangan tangan dan sepanjang hampir 

setengah tombak, melayang deras ke arahnya.

Buru-buru Arya mengulurkan tangan 

menangkapnya. Baru saja tangan pemuda itu 

berhasil mencekal cabang pohon itu, tubuhnya 

telah sampai di bibir air terjun.

Saat Dewa Arak berhasil menangkap 

ranting pohon, tubuh Gumala melesat ke arah 

cabang pohon.

"Hiyaaa...!" 

"Hup!"

Cabang pohon itu bergoyang keras ketika 

kedua kaki pemuda tampan itu hinggap. Landasan 

tempat untuk melompat memang tidak 

memungkinkan. Apalagi perasaan hati pemuda itu 

dilanda rasa cemas memikirkan keselamatan Arya.


Ketika kakinya telah berhasil mengait 

cabang pohon itu, Gumala segera menjulurkan 

kedua tangannya berusaha menangkap tubuh 

Arya. Tapi....

"Aaa...!" Arus yang membawa tubuh Arya 

ternyata lebih cepat dari pada tangkapan Gumala. 

Maka tubuh Dewa Arak pun meluncur deras ke 

bawah....






Secepat kedua kakinya menginjak cabang 

pohon itu, secepat itu pula Gumala merubah 

posisinya. Kini tubuhnya bergantung di cabang 

pohon itu dengan kedua kakinya. Kepalanya 

mengarah ke bawah. Kedua tangannya berusaha 

menangkap tubuh Arya yang terbawa arus. Tapi....

"Aaa...!"

Terdengar jerit kengerian dari mulut Dewa 

Arak yang tubuhnya melayang deras ke bawah 

sambil menggenggam ranting pohon.

Pucat wajah Gumala! Beberapa saat 

lamanya, dia terdiam dalam keadaan seperti itu. 

Gumala memandang ke bawah sana, dengan sinar 

mata tidak percaya apa yang dilihatnya.

"Kakang...!"

Tiba-tiba saja Gumala menjerit keras. 

Tanpa mempedulikan keselamatannya lagi, 

pemuda tampan itu melompat turun ke pinggir 

sungai dan mengikuti arah turunnya air terjun itu. 

Ingin diketahui apakah Arya tewas atau tidak! Dan 

seandainya tewas, mayat pemuda itu harus 

ditemukan!

***

TIGA


Sungguhpun keadaannya bagai telur di 

ujung tanduk, Arya berusaha agar pikirannya 

tetap jernih. Segera saja disabetkannya ranting 

pohon yang digenggamnya ke air yang ikut 

tercurah bersamanya.

Pyarrr...!

Seketika kelompok air itu terpecah 

muncrat ke sana kemari. Begitu kerasnya 

benturan itu, ranting pohon yang digenggamnya 

pun terlepas dari pegangan. Dengan meminjam 

tenaga benturan tadi, Dewa Arak bersalto ke 

depan. Dan sekarang Arya telah terpisah dari 

curahan air terjun. Tetapi tentu saja begitu tenaga 

dorongnya habis, tubuhnya langsung melayang 

deras ke bawah!

Beberapa saat lamanya tubuh Arya 

melayang-layang di udara. Angin yang menderu 

keras di atas, membuat rambutnya yang putih 

keperakan berkibaran. Dewa Arak bertahan sekuat 

tenaga agar tidak jatuh pingsan saat melayang-

layang. Betapapun rasa kengerian yang amat 

sangat mencekam hatinya, tetap dikuatkan hati 

agar tetap sadar.

Dan berkat kemauannya yang kuat, rasa 

takut yang melanda dapat ditekannya. Ia masih 

tetap sadar ketika tubuhnya melayang deras ke 

bawah, ke air!

Byurrr...!


Beberapa saat lamanya Arya gelagapan. 

Tubuhnya seketika tenggelam dalam air. Arus air 

sungai yang deras itu segera melahap tubuhnya 

yang memang sudah setengah sadar. Pemuda 

berambut putih keperakan yang memang sudah 

lelah ini tidak kuasa lagi melawan arus sungai 

yang deras itu. Tubuhnya segera saja terombang-

ambing dipermainkan air.

***

"Ohhh...!"

Arya mengeluh. Sepasang matanya pelahan 

mulai terbuka. Beberapa saat lamanya dikerjap-

kerjapkan matanya untuk lebih memperjelas 

pandangan.

Pemuda yang kini bertelanjang dada ini 

membelalakkan matanya. Diperhatikan keadaan 

sekelilingnya. Kini baru disadari kalau tubuhnya 

tergeletak di tanah yang basah dan lembab. 

Kembali riak air menghantam kakinya.

Arya bergegas bangkit dan memperhatikan 

sekelilingnya. Ternyata ia berada di pinggir sungai. 

Sekarang Arya baru teringat kembali akan 

kejadian yang dialaminya. Jadi, rupanya arus air 

itu telah menghempaskannya kemari!

Tiba-tiba hidung pemuda berambut putih 

keperakan ini mencium bau harum daging 

panggang. Seketika leher Arya menoleh ke sana 

kemari mencari asal bau harum itu. Dan dalam


sekejap saja, telah diketahui arahnya. Asap yang 

membumbung tinggi segera saja terlihat olehnya.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa 

Arak segera menghampiri asal asap itu. Perutnya 

yang terasa lapar sekali, membuatnya jadi 

bergegas menghampiri bau yang merangsang 

hidungnya itu. Rupanya 'perjuangannya' 

menghadapi arus air sungai telah membuat 

perutnya lapar.

Tak berapa lama kemudian, Arya melihat 

seseorang yang tengah memanggang seekor ayam. 

Ternyata itulah yang menjadi sumber bau harum 

itu. Pemuda ini bergegas mendekatinya. Dan 

rupanya orang yang tengah memanggang ayam itu 

mengetahui kedatangannya. Kepalanya yang sejak 

tadi tertunduk, kini terangkat memandang ke 

depan. Dalam jarak yang hanya tinggal sekitar tiga 

tombak, baik Arya maupun orang yang tengah 

memanggang ayam sama-sama dapat melihat jelas 

diri masing-masing. 

"Ahhh...!"

Dewa Arak dan orang itu sama-sama kaget. 

Langkah Arya langsung terhenti. Begitu pula orang 

itu. Tangannya yang sejak tadi sibuk membolak-

balik ayam panggang di tangannya agar tidak 

hangus, berhenti bergerak.

Sementara itu, seketika Dewa Arak 

mengernyitkan keningnya. Orang yang tengah 

memanggang ayam itu ciri-cirinya cocok betul 

dengan yang diceritakan kakek pemilik kedai. 

Pemuda berwajah tampan, dengan raut wajah


menyiratkan kekejaman. Pakaiannya serba coklat. 

Dialah yang telah membasmi Perguruan Garuda 

Emas seorang diri.

Pemuda yang tak lain adalah Darba itu 

juga terperanjat kaget ketika melihat Arya. Inikah 

orang yang berjuluk Dewa Arak itu? Kalau 

memang benar demikian, kenapa tidak tampak 

guci yang menjadi senjata andalannya?

"Kaukah Dewa Arak itu?" tanya Darba 

bernada kasar.

"Begitulah julukan yang diberikan padaku!" 

datar saja nada suara Arya

"Kau murid Ki Gering Langit, bukan?"

Arya menganggukkan kepalanya. 

"Benar."

Darba menggeram.

"Kalau begitu, kau harus mampus!"

Setelah berkata demikian, Darba 

membanting ayam panggangnya. Secepat ayam itu 

jatuh ke tanah, secepat itu pula tubuhnya melesat 

ke arah Arya. Jari-jari kedua tangannya terbuka 

lurus melakukan tusukan-tusukan dan bacokan-

bacokan bertubi-tubi. Inilah ilmu 'Tangan Pedang'!

Arya terperanjat kaget bukan main. 

Dirasakan beberapa helai rambutnya berguguran. 

Padahal serangan itu belum mengenainya. 

Tahulah pemuda berambut putih keperakan itu 

kalau lawannya ini memiliki sebuah ilmu dahsyat.

Dan Arya mengenal ilmu yang digunakan 

pemuda baju coklat itu. Ilmu 'Tangan Pedang'. 

Salah satu ilmu milik gurunya yang dicuri dua


orang pelayan gurunya sendiri. Seketika itu juga 

semangat pemuda ini timbul.

Pemuda itu pasti mempunyai hubungan 

dengan salah satu dari dua orang pelayan 

gurunya. Mungkin pula muridnya! Dan jika itu 

benar, dia tidak perlu bersusah-payah mencari 

Melati. Dari pemuda ini pun bisa dikorek 

keterangan mengenai kedua pelayan itu. Dari sini 

tugasnya dapat dimulai, untuk mengambil kembali 

kitab-kitab milik gurunya.

Tanpa sungkan-sungkan lagi Dewa Arak 

segera mengelak dengan menggunakan jurus 

'Delapan Langkah Belalang'. Tanpa meminum arak 

seperti biasanya, pemuda ini kontan mengerutkan 

alisnya. Dirasakan adanya perbedaan yang 

menyolok!

Di jurus-jurus awal, pemuda berambut 

putih keperakan ini tidak merasakan kelainan. 

Tapi menjelang jurus kedua puluh, baru dirasakan 

akibatnya. Napasnya mulai terasa memburu. 

Bahkan kepalanya pun terasa pusing.

Kini Arya baru menyadari bahwa arak yang 

biasa diminum itu sebenarnya adalah sumber 

tenaga untuk ilmu 'Belalang Sakti'. Jika meminum 

arak, tidak ada kesulitan baginya untuk merubah 

kuda-kuda, dari posisi sempoyongan seperti lemah 

tak berdaya ke posisi mantap dan penuh tenaga

Tapi sekarang, berkali-kali pemuda ini 

mengalami kesulitan. Pelahan namun pasti 

kekuatannya mulai mengendur. Jurus 'Belalang


Mabuk', dan jurus 'Delapan Langkah Belalang' 

ternyata banyak menguras tenaga.

Seiring mulai lelahnya Arya, desakan-

desakan Darba dirasakannya semakin berat. 

Lambat namun pasti Dewa Arak terdesak.

"Ha ha ha...!" pemuda berpakaian coklat itu 

tertawa bergelak. Suatu tawa kemenangan. 

"Hanya sampai di sini sajakah kepandaianmu 

yang tersohor itu, Dewa Arak?! Sungguh lucu 

sekali!"

Sambil berkata demikian, Darba terus 

memperhebat serangan-serangannya. Akibatnya, 

Arya semakin kewalahan! Pontang-panting Dewa 

Arak berjuang menyelamatkan selembar 

nyawanya.

Lewat empat puluh jurus, keadaan Arya 

kian mengkhawatirkan. Pemuda berambut putih 

keperakan ini tidak lagi mempergunakan jurus 

'Belalang Mabuk'-nya. Melainkan hanya 

menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. 

Jurus ini memang tidak terlalu membutuhkan 

tenaga seperti halnya jurus 'Belalang Mabuk'.

'Delapan Langkah Belalang', memang 

sebagian besar merupakan ilmu mengelak. Hanya 

sebagian kecil saja yang mengandung bagian 

penyerangan. Dengan jurus ini, Arya memang 

dapat menyelamatkan diri dari setiap serangan 

maut Darba. Tetapi sampai kapan dapat 

bertahan?

Tiba-tiba Darba meraung. Murid Ki Jatayu 

ini menjadi geram karena setelah sekian lamanya,


Dewa Arak yang sudah terdesak ini masih mampu 

bertahan. Dan ini membuatnya marah bukan 

kepalang!

"Hiyaaa...!"

Pemuda berbaju coklat ini berteriak 

nyaring. Serangan-serangannya mendadak 

berubah secara tiba-tiba. Itulah jurus 'Selaksa 

Pedang Menembus Benteng'.

Arya terperanjat kaget. Kondisinya yang 

sudah lelah, tidak memungkinkan lagi untuk 

menghindari serangan itu. Tak ada jalan lain 

kecuali menangkis serangan itu. Buru-buru 

pemuda berambut putih keperakan ini 

mengempos seluruh tenaga yang dimiliki, 

kemudian menangkis keras serangan lawan. 

Plak...! Plak...!

Terdengar suara benturan keras berkali-

kali, ketika dua pasang tangan yang sama-sama 

mengandung tenaga dalam tinggi bertemu!

Arya yang memang sudah lelah, tak 

mampu menahan gempuran Darba yang memang 

memiliki tenaga dalam tinggi! Kontan tubuhnya 

terjengkang ke belakang. Sementara pemuda 

berpakaian coklat itu hanya terhuyung dua 

langkah ke belakang.

Belum juga Dewa Arak sempat berbuat 

sesuatu, serangan susulan telah menyusul lagi. 

Tak ada pilihan lain bagi Arya kecuali mernbanting 

tubuh ke tanah dan bergulingan. Tentu saja Darba 

tidak membiarkan lawannya lolos. Dikejarnya


terus tubuh yang bergulingan itu dengan 

serangan-serangan maut.

Dewa Arak sadar kalau keadaannya amat 

berbahaya. Tidak mungkin dia harus terus 

berguling-gulingan untuk menyelamatkan diri. 

Paling tidak harus dicari jalan untuk lolos dari 

keadaan yang sulit ini! 

"Haaat...!"

Sambil berteriak keras, tubuh Arya 

melenting ke udara. Berbareng dengan itu kaki 

kanannya menyapu pelipis lawannya.

Darba terperanjat, kaget bukan main. 

Sungguh di luar dugaan kalau Dewa Arak masih 

mampu berbuat seperti itu. Pemuda baju coklat ini 

tidak tahu kalau itu adalah salah satu 

keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti*. Dengan ilmu 

itu Dewa Arak dapat melakukan gerakan 

melompat seperti apa pun dan dalam keadaan 

bagaimanapun.

Tepat saat kaki Arya melakukan sapuan, 

Darba pun tengah melancarkan serangan bertubi-

tubi pada bagian dada, ulu hati, dan tenggorokan! 

Tentu kedua orang itu sama-sama terkejut bukan 

kepalang! Sedapat mungkin masing-masing 

berusaha mengelakkan serangan. Tapi terlambat!

Plak! Buk..!

"Akh...!"

"Hugh...!"

Baik Arya maupun Darba sama-sama 

terkena serangan masing-masing. Hanya saja 

berkat usaha terakhir mereka, jatuhnya serangan


itu tidak tepat pada sasaran semula! Sapuan kaki 

Dewa Arak mengenai pangkal lengan Darba. 

Sementara tusukan dan bacokan tangan murid Ki 

Jatayu ini, mengenai bawah ketiak dan perut Arya.

Tubuh kedua pemuda yang sama-sama 

berilmu tinggi itu, terhuyung-huyung. Darba 

meringis. Dirasakan tulang pangkal lengannya 

seakan-akan patah. Untuk sesaat lamanya, 

tangannya terasa lumpuh.

Sementara keadaan yang dialami Arya 

lebih parah lagi! Pemuda berambut putih 

keperakan ini terjengkang ke belakang. Seketika 

dari sela-sela bibirnya mengalir darah segar. Dan 

belum sempat Dewa Arak menyadari apa yang 

terjadi, tiba-tiba....

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak nyaring, Darba kembali 

menerjang Arya! Tangan kanannya menusuk ke 

arah leher Dewa Arak. Sebuah serangan maut 

yang siap menghunjam tubuh lawan!

Arya terperangah. Disadari kalau serangan 

itu tidak mungkin dihindari. Dua serangan 

beruntun pemuda baju coklat itu tadi telah 

membuatnya terluka parah. Kini Dewa Arak hanya 

dapat membelalakkan sepasang matanya, menanti 

maut tanpa mampu berbuat sesuatu.

Tepat ketika serangan itu hampir menebas 

leher Arya, sebuah bayangan hitam berkelebat 

memotong serangan itu.

Plak...!


Tubuh Darba terhuyung dua langkah ke 

belakang. Seketika tangannya bergetar hebat. 

Pemuda murid Ki Jatayu ini segera mengetahui 

kalau sosok bayangan hitam yang muncul dan 

menangkis serangannya, ternyata memiliki tenaga 

dalam dahsyat.

Pemuda baju coklat ini meraung keras. 

Ditatapnya tajam-tajam sosok tubuh hitam yang 

telah menangkis serangannya itu. Matanya 

bersinar merah, memancarkan kemarahan yang 

amat sangat.

Dan tahu-tahu sosok baju hitam yang tak 

lain dari Gumala telah berdiri di depan Arya. 

Sikapnya nampak jelas melindungi pemuda 

berambut putih keperakan itu.

"Kau terluka, Kakang?" tanya Gumala. 

Kecemasan tampak membayang di wajahnya.

Arya hanya menganggukkan kepalanya. 

"Pergilah kau, Adi Gumala. Lekas! Pemuda itu 

hebat sekali. Biar, aku yang menahannya...."

Setelah berkata demikian, Dewa Arak 

terbatuk-batuk. Cairan merah kental seketika 

keluar dari mulutnya.

"Tidak, Kang. Kau terluka cukup parah. 

Biar aku yang menghadapinya. Kau beristirahat 

saja...," ucap pemuda tampan ini menenangkan.

''Tapi, Adi...," Arya masih mencoba 

membantah. Gumala tidak menghiraukannya lagi 

karena dilihatnya pemuda baju coklat itu telah 

siap menyerangnya.


Pemuda tampan ini tahu kalau orang yang 

hampir menewaskan Arya ini memiliki kepandaian 

tinggi. Kalau tidak, mana mungkin Dewa Arak 

terluka cukup parah? Juga, sudah dirasakan 

kekuatan tenaga dalam yang dimiliki lawannya ini 

ketika tadi menangkis serangan yang mengarah ke 

tubuh Dewa Arak. Bahkan tubuhnya sampai 

terhuyung dua langkah ke belakang.

"Siapa kau, keparat! Mengapa mencampuri 

urusanku!?" sentak Darba.

Darba yang cerdik ini tidak mau langsung 

menyerang. Ia tahu kalau pemuda di hadapannya 

ini juga seorang yang berilmu tinggi. Barangkali 

saja tanpa kekerasan dapat diusirnya calon lawan 

ini.

"Siapa pun diriku, tidak perlu kau tahu! 

Terpaksa aku ikut campur dalam urusan ini 

karena orang yang hendak kau bunuh itu adalah 

temanku! Paham?!" sahut Gumala tak kalah tegas.

"Keparat! Kalau begitu, kau boleh ikut 

bersamanya ke neraka!"

Seiring selesainya ucapan itu, tangan 

kanan Darba bergerak ke arah pinggangnya. Dan 

ketika tangan itu keluar lagi, telah tergenggam 

sebuah kapak berwarna perak.

"Ah, kiranya kaulah orangnya...!" teriak 

Gumala.

Pemuda ini seketika teringat akan 

penuturan kakek pemilik kedai tentang ciri-ciri 

Darba. Jadi inilah orang yang telah membasmi 

Perguruan Garuda Emas seorang diri! Tapi


Gumala tidak bisa berbicara lagi, karena kapak di 

tangan Darba telah melesat ke arahnya.

Wuk..! 

Angin mengaung keras mengawali tibanya 

serangan kapak itu. Gumala yang tahu betapa 

lihainya lawan di hadapannya, tidak berani 

bertindak ceroboh.

Singgg...!

Cepat-cepat Gumala menghunus 

pedangnya. Dan begitu pedang itu digerak-

gerakkan, terdengar suara mendesing dahsyat.

Cring...!

Dua buah senjata yang berbeda bertemu di 

tengah jalan, dalam sebuah benturan yang keras 

dan nyaring. 

"Haaat...!"

Darba menggertakkan gigi, menandakan 

kemarahannya yang memuncak. Kapak di 

tangannya segera berkelebatan kian dahsyat 

seiring kemarahannya yang semakin berkobar.

Tapi Gumala mampu membendung setiap 

serangan lawan. Pedang di tangannya 

mengeluarkan bunyi menggerung dahsyat setiap 

kali digerakkannya. Sepertinya di dalam pedang 

itu mengandung kekuatan seekor naga.

Pertarungan antara kedua orang muda itu 

berlangsung sengit dan cepat. Sehingga sebentar 

saja belasan jurus telah berlalu. Tapi sampai saat 

ini, belum nampak tanda-tanda yang akan 

terdesak. Pertarungan masih berlangsung 

seimbang.


"Tahan!" teriak Darba keras sambil 

melempar tubuh ke belakang, dan hinggap sekitar 

dua tombak dari tempatnya semula.

Mendengar teriakan itu, Gumala langsung 

menghentikan gerakannya. Tangan kanannya yang 

menggenggam pedang, bersilangan dengan tangan 

kiri di depan dada. Pemuda itu bersiap 

menghadapi kemungkinan adanya serangan gelap 

Darba.

Tapi pemuda baju coklat itu memang tidak 

berniat licik.

"Katakan apa hubunganmu dengan Ki 

Gering Langit?!" tanya Darba keras. "Aku yakin 

ilmu pedang yang kau gunakan adalah 'Ilmu 

Pedang Seribu Naga'!"

Wajah Gumala memucat. Sorot matanya 

mengandung kecemasan ketika sudut matanya 

melirik Arya. Tapi, ketika nampaknya Dewa Arak 

sama sekali tidak mendengar percakapan itu 

karena tengah tergeletak di tanah, sinar 

kecemasan pada wajahnya pun lenyap.

Tiba-tiba saja di luar dugaan, tubuh 

Gumala melesat ke arah Darba dan langsung 

menghujaninya dengan serangan-serangan 

dahsyat. Karuan saja hal itu membuat murid Ki 

Jatayu ini kaget bukan main. Buru-buru dibanting 

tubuhnya ke tanah kemudian bergulingan 

menjauh.

Gumala yang memang sebenarnya tidak 

berniat mendesak lawannya, tanpa membuang-

buang waktu lagi segera menyambar tubuh Arya


dan melesat kabur dari situ. Dikerahkan ilmu 

meringankan tubuh yang dimiliki setinggi 

mungkin.

"Keparat!" maki Darba begitu dilihat 

lawannya telah lenyap. Sesaat lamanya pemuda 

itu kebingungan hendak mengejar ke mana. 

Beberapa saat lamanya ia termenung, berpikir 

sambil memandang berkeliling, sebelum akhirnya 

memutuskan untuk mengejar dari arah 

kedatangan Arya tadi.

***

EMPAT



Dengan mengerahkan ilmu meringankan 

tubuh, Gumala berlari cepat sambil memanggul 

tubuh Arya. Sesekali kepalanya menoleh ke 

belakang, melihat barangkali Darba mengejarnya. 

Lega hatinya ketika tak juga melihat bayangan 

pemuda itu di belakangnya. Pelahan dikurangi 

kecepatan lari yang memhuat napasnya terengah-

engah. Sambil terus berlari, ditatapnya wajah Arya 

yang terkulai lemah di kedua tangannya. Pemuda 

berambut putih keperakan itu rupanya telah 

pingsan.


Gumala baru menghentikan larinya ketika 

telah tiba di dekat kereta kuda yang ditinggalkan 

tadi. Segera dicarinya tempat yang tersembunyi di 

balik semak-semak, kemudian direbahkannya 

tubuh pemuda itu di situ.

Sekali lihat saja Gumala dapat mengetahui 

kalau luka-luka yang diderita Dewa Arak cukup 

parah. Bagian-bagian yang terkena serangan itu 

memang terlihat jelas. Bagian dada sebelah kiri 

yang terkena tusukan, tampak kulitnya sobek. 

Gumpalan darah yang telah mengering, 

mengelilingi sekitar luka itu.

Sementara bagian perut yang terkena 

sabetan sisi tangan miring Darba, tampak sebuah 

goresan halus tipis memanjang. Bentuknya seperti 

terkena bacokan pedang. Tapi tentu bacokan sisi 

tangan miring Darba jauh lebih berbahaya.

Bacokan pedang bila mengenai kulit, paling 

tidak hanya melukai kulit dan daging. Tapi tidak 

demikian dengan bacokan sisi tangan pemuda 

baju coklat itu. Bukan hanya kulit dan daging 

yang dilukai, tapi juga bagian dalam dada.

Hal seperti itulah yang dialami Arya. 

Pemuda ini mengalami luka dalam yang cukup 

parah. Dan kini Gumala mencoba mengobatinya. 

Tanpa ragu-ragu lagi, seperti orang yang sudah 

terbiasa, Gumala membersihkan luka di bagian 

dada kiri Arya. Baru setelah itu, dibalurinya 

dengan obat bubuk yang diambil dari buntalan di 

dalam kereta kudanya.


"Ohhh...!" Arya mengeluh. Mulutnya 

menyeringai kesakitan. Dikerjap-kerjapkan 

matanya untuk mengusir rasa pening yang 

menggayuti kepalanya, dan untuk memperjelas 

pandangannya. Karena yang terlihat di depannya 

hanyalah bayang-bayang wajah yang tidak jelas.

"Syukurlah kau sudah sadar, Kakang," 

tegur sebuah suara.

"Siapa kau...? Di manakah aku...?" tanya 

pemuda itu lirih.

''Tenanglah, Kakang. Aku Gumala, dan kau 

berada di tempat aman."

"Gu... ma... la...," desah pemuda berambut 

putih keperakan itu.

Samar-samar Arya kembali teringat semua 

kejadian yang dialaminya. Mulai dari mandi di 

sungai sampai bertemu dan hampir celaka di 

tangan pemuda baju coklat. Kalau saja Gumala 

tidak datang menolongnya, mungkin nasibnya lain 

lagi. 

"Uhk... uhk..!"

Tiba-tiba Arya terbatuk-batuk. Melihat hal 

ini, buru-buru Gumala mengeluarkan sebuah obat 

pulung berwarna kecoklat-coklatan.

"Telanlah ini...," perintah Gumala seraya 

menyorongkan air dalam sebuah kendi ke mulut 

Arya.

Tanpa ragu-ragu Dewa Arak menerima obat 

pulung itu dan menelannya. Juga segera 

diminumnya air yang disodorkan Gumala, untuk


lebih mempercepat hancurnya obat pulung itu di 

dalam perutnya.

"Berbaringlah, Kang. Tak lama lagi kau 

akan segera sembuh. Obat pulung ini sangat 

manjur untuk mengobati segala macam luka 

dalam."

Arya hanya bergumam tidak jelas. Ia sudah 

tidak sanggup lagi berkata-kata. Rasa kantuk yang 

amat sangat telah menyerangnya. Tanpa disuruh 

pun pemuda ini sudah merebahkan tubuhnya. 

Rasa kantuk itu begitu kuat menyerangnya. 

Sekilas masih dapat ditangkapnya ucapan 

Gumala. 

"Aku pergi dulu, Kang." 

Setelah itu semuanya menjadi gelap.

Arya Buana tidak tahu berapa lama telah 

terlelap. Yang diketahui hanyalah ketika tersadar, 

Gumala telah berada di sisinya kembali. Di 

samping pemuda itu telah tergeletak guci arak dan 

pakaiannya. Dewa Arak beranjak bangkit. Kini 

rasa sakit dan nyeri tidak lagi menyerang dadanya. 

Benar seperti kata Gumala, obat pulung itu benar-

benar manjur.

"Bagaimana, Kang? Masih ada yang terasa 

sakit?" sambut Gumala begitu pemuda berambut 

putih keperakan itu bangun dari berbaringnya.

Arya tersenyum. "Obatmu benar-benar 

manjur, Adi Gumala," pujinya tulus. "Sekarang 

aku merasa sudah sehat lagi."


"Memangnya kalau kau sudah sehat lagi 

kenapa, Kang?"

"Kenapa?!" Arya membelalakkan matanya. 

''Ya, tentu saja meneruskan tugas kita yang 

tertunda, Adi Gumala!"

"Oh, iya!" pemuda tampan mirip wanita ini 

menepak kepalanya pelan. "Kalau begitu, tunggu 

apa lagi, Kang? Bukankah kau ingin menengok ibu 

dan kakekmu?"

Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Dikenakan pakaian dan diikatkan kembali gucinya 

di punggung. Sementara Gumala melangkah 

mendahului Arya meninggalkan tempat itu 

menuju kereta kuda. Kemudian dia naik ke 

atasnya, diikuti Arya.

"Hiyaaa...!"

Gumala menghela tali kekang kudanya 

menuju rumah Kepala Desa Jipang.

Selagi kereta kuda itu berjalan, tiba-tiba 

pandang mata Arya menangkap berkelebatnya 

sesosok bayangan putih yang bergerak cepat ke 

arah Barat.

Dewa Arak tersentak. Ingatannya langsung 

melayang pada Melati yang selalu memakai 

pakaian serba putih. Tanpa pikir panjang lagi, 

pemuda ini pun melompat dari kereta. Tubuhnya 

melesat cepat ke arah bayangan putih tadi.

"Kau teruskan saja perjalananmu, Gumala. 

Sampai di simpang tiga, belok ke kiri. Sekitar 

sepuluh tombak dari situ, ada sebuah rumah yang


paling besar dan bagus. Itulah rumah kepala desa. 

Aku datang belakangan," jelas Arya dari kejauhan.

Memang dengan tingkat ilmu 

kepandaiannya yang tinggi, tak sukar bagi Dewa 

Arak untuk mengirimkan pesan jarak jauh ke 

orang yang dituju. Sedangkan Gumala hanya 

dapat mengangguk. Entah kepada siapa anggukan 

kepalanya itu ditujukan. Karena tubuh Arya 

sudah lenyap dari situ.

Dewa Arak segera mengerahkan ilmu 

meringankan tubuh. Disadari kalau bayangan 

putih yang sekilas dilihatnya tadi adalah Melati. 

Maka jelas dia tidak akan bisa mengejarnya 

kecuali mengerahkan segenap kemampuannya.

Tapi betapapun pemuda berambut putih 

keperakan ini telah mengerahkan segenap 

kemampuan yang dimiliki, tetap saja jaraknya 

dengan sosok bayangan putih itu tidak berubah.

Keruan saja hal ini membuat Arya menjadi 

penasaran. Sepanjang pengetahuannya, tingkat 

kepandaian gadis berpakaian putih itu, masih di 

bawahnya. Tapi mengapa, sampai sekian lamanya 

mengejar tidak juga dapat menyusul? Jangankan 

menyusul, memperpendek jarak pun tak mampu.

Setibanya di suatu tempat yang di kanan 

kirinya banyak ditumbuhi semak lebat, Dewa Arak 

kehilangan jejak. Pemuda berbaju ungu ini 

menghentikan larinya. Sepasang matanya 

menatap semak-semak di sekitarnya penuh 

kewaspadaan.


Mendadak pendengaran Dewa Arak yang 

tajam menangkap adanya suara berkerisik pelan 

di belakangnya. Cepat-cepat dibalikkan tubuhnya. 

Sementara seluruh urat syaraf di tubuhnya 

menegang waspada. 

"Mengapa kau mengikutiku, Anak Bagus?" 

Sebuah suara serak menyambut begitu Arya 

membalikkan tubuhnya.

Dewa Arak menatap sosok tubuh di 

hadapannya penuh perhatian. Tampak seorang 

nenek berusia sekitar enam puluh tahun, berkulit 

putih pucat, dan berpakaian serba putih. Pada 

dahinya terdapat benda kecil berbentuk bulan 

sabit yang diikat oleh tali melingkari kepalanya. Di 

tangannya tergenggam sebatang tongkat yang 

berujung logam tipis berbentuk bulan sabit.

Arya mengeluh dalam hati. Tidak disangka 

kalau bayangan yang tadi dikejarnya bukan 

Melati, melainkan nenek ini.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Anak 

Bagus!" kembali nenek ini berujar. Tapi kali ini 

suaranya mengandung ancaman maut. ''Tak ada 

seorang pun yang dapat hidup setelah 

mempermainkan Dewi Bulan!"

Begitu selesai dengan ucapannya, nenek 

yang berjuluk Dewi Bulan itu menggerakkan 

tangan yang menggenggam tongkat bulan 

sabitnya.

Cappp!

Tongkat itu menancap dalam di tanah.

"Bersiaplah kau, Anak Bagus! Hiyaaa...!"


Didahului oleh sebuah teriakan nyaring 

yang menggetarkan jantung, Dewi Bulan 

melompat menerjang Arya. Kedua tangannya yang 

membentuk cakar aneh menyambar-nyambar 

dahsyat ke arah Arya, sehingga menimbulkan 

suara angin berciutan.

Dewa Arak terperanjat kaget. Pemuda ini 

tahu, tidak ada gunanya berusaha mencegah. 

Nenek aneh ini pasti tidak akan mendengarkan 

ucapannya. Maka cepat-cepat digeser kakinya 

mengelakkan serangan itu.

Tapi tiba-tiba tubuh nenek itu berbalik. 

Dan bersamaan dengan itu kakinya mengibas, 

mengancam pelipis. Sebuah serangan yang sama 

sekali tidak terduga!

Kali ini Arya tidak punya pilihan lain lagi 

kecuali menangkis. Buru-buru diangkat tangan 

kirinya melindungi pelipis 

Plak!

Tubuh Arya terhuyung selangkah ke 

belakang, sementara Dewi Bulan terhuyung dua 

langkah. Dari benturan tadi, nenek itu sudah 

dapat mengetahui kalau tenaga dalam lawannya 

lebih unggul.

"Keparat!" maki si nenek. Wajahnya terlihat 

merah bukan main. "Besar sekali nyalimu, bocah! 

Kau telah berani membuatku terhuyung. Maka 

kali ini jangan harap kuampuni nyawamu!"

Sambil meraung keras laksana binatang 

terluka, Dewi Bulan kembali menerjang Arya. 

Kedua tangannya yang membentuk cakar aneh


berkelebatan cepat dan tiba-tiba, ke bagian-bagian 

tubuh Arya yang mematikan.

Arya mengenal betul setiap serangan-

serangan berbahaya. Tapi dia tidak ingin terkecoh 

seperti tadi. Pemuda berambut putih keperakan 

ini kini telah tahu, sungguhpun serangan tangan 

nenek itu amat berbahaya, tapi jelas kaki nenek 

itu jauh lebih berbahaya. Mirip binatang 

kalajengking! Sabetan ekornya yang justru lebih 

berbahaya daripada serangan jepitnya.

Maka, walaupun Arya seperti terpaku 

terhadap serangan-serangan tangan nenek itu, 

tapi sepasang matanya tak pemah lepas 

mengawasi kedua kaki lawan.

Selama beberapa gebrakan Arya 

menggunakan ilmu warisan yang diperoleh dari 

ayahnya, yakni 'Delapan Cara Menaklukkan 

Harimau'. Tentu saja bila dibanding ayahnya, 

almarhum Tribuana, ilmu 'Delapan Cara 

Menaklukkan Harimau' yang dimainkan Dewa 

Arak jauh lebih dahsyat. Hal ini memang tidak 

aneh. Karena, baik dalam hal tenaga dalam 

maupun ilmu meringankan tubuh, pemuda 

berambut putih keperakan ini telah mampu 

menyempurnakannya.

Tapi setelah bertarung selama beberapa 

jurus, yakinlah Dewa Arak kalau ilmu 'Delapan 

Cara Menaklukkan Harimau', tidak dapat dipakai 

untuk menandingi lawannya. Pelahan-lahan 

pemuda itu mulai terdesak.


"Sekarang kau baru tahu rasa, bocah 

keparat!" Dewi Bulan berseru gembira melihat 

lawannya hanya dapat menangkis dan main 

mundur, dan hanya sesekali balas menyerang.

Pada jurus kesebelas, Arya tidak punya 

pilihan lain lagi. Dia harus segera menggunakan 

ilmu andalannya, 'Belalang Sakti'. Itulah sebabnya 

pada suatu kesempatan, dilentingkan tubuhnya ke 

belakang, kemudian bersalto beberapa kali di 

udara. Dan begitu kedua kakinya mendarat ringan 

di tanah, tangan kanannya telah menggenggam 

guci araknya.

Dewi Bulan yang sudah dicekam amarah, 

tentu saja tidak akan membiarkan lawannya lolos. 

Cepat dia melompat mengejar, sambil 

mengirimkan serangkaian serangan maut. 

Sementara pemuda berpakaian ungu itu 

mengangkat guci araknya ke atas kepalanya. 

Dan....

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar begitu arak itu 

memasuki tenggorokannya. Tubuh pemuda itu 

sebentar kemudian sempoyongan. Bersamaan 

dengan itu, serangan yang dilancarkan Dewi 

Bulan pun meluncur tiba.

Si nenek sudah bersorak dalam hati. Ia 

yakin betul kalau serangannya kali ini akan 

menemui sasaran. Sudah terbayang di benaknya 

bahwa pemuda yang berdiri di hadapannya ini, 

akan jatuh terkapar.


Dapat dibayangkan betapa terkejut hari 

Dewi Bulan, ketika serangan yang sudah 

dipastikan akan mengenai sasaran itu tahu-tahu 

hanya menyambar tempat kosong. Tubuh pemuda 

itu tiba-tiba saja lenyap dari hadapannya. Yang 

diketahui, sebelum serangan itu tiba pemuda 

berambut putih keperakan itu telah bergerak 

dengan langkah kaki terhuyung seperti orang yang 

akan jatuh.

Selagi nenek itu kebingungan mencari 

lawannya, dirasakan angin dingin berhembus di 

belakangnya. Cepat dilempar tubuhnya ke depan 

dan bergulingan menjauh, mendekati tongkatnya 

yang tertancap di tanah.

Tappp!

Disambarnya tongkat bulan sabitnya, dan 

langsung diputar-putar seperti sebuah tameng 

yang akan melindungi tubuhnya.

Wuk... wuk... wuk...!

Angin menderu-deru keras ketika nenek itu 

memutar-mutarkan tongkatnya. Tapi baru saja 

Dewi Bulan akan menerjang Arya, terdengar 

lengkingan tinggi di kejauhan. Sepertinya suara 

itu dikeluarkan dari mulut yang memiliki tenaga 

dalam tinggi. Seketika wajah perempuan tua itu 

berubah. Tongkat bulan sabitnya yang sudah 

diputar-putar, dan siap diarahkan ke tubuh Arya, 

dihentikan. Matanya tajam menatap wajah 

pemuda berambut putih keperakan di depannya.

"Kali ini kau mujur ini, bocah! Tapi lain kali 

jangan harap akan semujur ini!"


Belum juga gema suaranya hilang, nenek 

itu sudah melesat cepat dari situ. Cepat sekali 

gerakannya, sehingga dalam sekejap saja 

tubuhnya sudah lenyap ditelan lebatnya 

pepohonan dan semak-semak yang terdapat di 

kanan kiri jalan.

Sementara itu Dewa Arak menggeleng-

gelengkan kepala. Diam-diam hatinya menyesal 

karena telah membuat bibit permusuhan dengan 

tokoh selihai nenek tadi. Seorang lawan yang 

cukup tangguh.

Tiba-tiba Arya teringat Gumala yang tadi 

dltinggalkannya. Kawan barunya yang masih 

menjadi teka-teki itu ternyata memiliki 

kepandaian yang jauh di atas dugaannya semula. 

Kepandaian Gumala ternyata sangat tinggi. Kalau 

tidak, mana mungkin mampu menyelamatkan 

dirinya dari pemuda berbaju coklat yang memiliki 

kepandaian luar biasa itu? Dengan benak masih 

dipenuhi tanda tanya, Arya melesat dari situ. Dia 

menyusul Gumala, menuju rumah Kepala Desa 

Jipang.

***

Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang 

sudah mencapai tingkatan tinggi, dalam waktu 

sebentar saja Dewa Arak telah tiba di simpang 

tiga. Dari situ, tam-aklah Gumala tengah 

bertarung melawan belasan orang kasar yang 

mengeroyoknya. Beberapa sosok tubuh nampak


bergeletakan di tanah. Rupanya, sudah cukup 

lama juga pemuda tampan itu bertarung.

Mulanya Dewa Arak ingin membantu 

Gumala. Tapi ketika melihat ada bayangan tubuh 

pemuda berbaju coklat di atas atap, diurungkan 

niatnya. Secepat kilat Arya Buana melesat ke atas, 

bersembunyi di sebuah cabang pohon. Dia 

mengintai gerak-gerik pemuda itu, sambil 

memperhatikan keadaan Gumala.

"Tahan...!"

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. 

Serentak belasan orang yang tengah mengeroyok 

Gumala berlompatan mundur. Sehingga yang 

tinggal hanya pemuda tampan itu sendiri.

Berbareng habisnya gema teriakan itu, dari 

dalam pintu gerbang muncul tiga sosok tubuh 

kasar, berpakaian dan berdandan serupa. Mereka 

berpakaian rompi dari kulit buaya. Gumala 

memperhatikan mereka sejenak. Ia tahu kalau 

ketiga orang itu adalah pemimpin penjahat yang 

telah menguasai desa ini. Wajah maupun 

dandanan mereka mirip satu sama lain. Yang 

membedakannya hanyalah warna ikat kepalanya 

yang mempunyai warna berbeda. Hitam, totol-

totol, dan putih.

"Inikah orang yang telah melukai teman-

teman kalian?" tanya seseorang berikat kepala 

putih kepada anak buahnya yang telah 

mengurung Gumala. Laki-laki itu berjuluk Buaya 

Putih.

"Benar, Kang," sahut mereka.


"Hm...," si ikat kepala putih mengangguk-

angguk. Ditatap pemuda di hadapannya tajam-

tajam. Sepasang matanya yang besar mengamati 

Gumala dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. 

Senyum mengejek tersungging di bibirnya.

Sementara orang yang berikat kepala totol-

totol dan hitam yang sebenarnya masing-masing 

berjuluk Buaya Belang dan Buaya Hitam, hanya 

tertawa-tawa saja melihat tingkah kakaknya.

Baru saja Buaya Putih melangkah 

mendekat, Gumala telah melompat menerjang. 

Melihat sikap lawan yang terlalu memandang 

rendah dirinya, membuat kemarahan pemuda 

tampan itu bangkit. Dalam kobaran hawa amarah 

yang meluap, Gumala menyerang tanpa sungkan-

sungkan lagi. 

"Ahhh...!"

Buaya Putih memekik kaget. Kecepatan 

gerak pemuda yang mirip wanita ini, benar-benar 

mengejutkannya. Sepasang matanya hanya dapat 

menangkap sekelebatan bayangan hitam yang 

menyambar deras ke arah kepalanya. Angin 

bercicitan nyaring mengiringi tibanya serangan itu.

Untung-untungan laki-laki berjuluk Buaya 

Putih itu membanting tubuhnya ke tanah dan 

langsung bergulingan menjauh dari arena.

Tapi Gumala yang tengah dilanda luapan 

amarah itu tidak akan melepaskan lawannya. 

Tekadnya sudah bulat untuk melenyapkan Buaya 

Putih yang terlalu memandang rendah dirinya.


Sementara itu keringat dingin mengucur 

deras dari sekujur tubuh Buaya Putih ketika 

merasa serangan bayangan hitam yang terus 

mengikuti ke mana tubuhnya menghindar. 

Perasaan panik langsung menghinggapinya. 

Tubuhnya terus bergulingan, berusaha 

menyelamatkan diri.

Buaya Belang dan Buaya Hitam tentu saja 

menyadari bahaya maut yang mengancam 

kakaknya. Sebagai tokoh-tokoh yang telah 

mempunyai pengalaman luas dalam dunia 

persilatan, segera saja kedua orang ini sadar kalau 

lawan yang dikira empuk itu ternyata memiliki 

kepandaian tinggi. Bahkan berada jauh di atas 

kepandaian Buaya Putih.

Maka, tanpa sungkan-sungkan lagi Buaya 

Hitam dan Buaya Belang mencabut senjata 

masing-masing, yang terbuat dari kulit buaya. 

Ujung-ujung sabuk itu berduri-duri. Dan tentu 

saja sebagai orang yang berwatak kejam, pada 

duri-duri itu juga dilumuri racun-racun yang 

mematikan. 

Ctar! Ctar!

Suara nyaring memekakkan telinga 

terdengar ketika kedua orang itu melecutkan 

sabuk yang panjangnya lebih dari setengah 

tombak. Dan seperti juga ikat kepala, warna sabuk 

kedua orang ini pun sesuai julukannya.

Wut..! Wut...!


Kedua buah sabuk itu menyambar-

nyambar ke arah pelipis dan ubun-ubun Gumala 

yang tengah memburu tubuh Buaya Putih.

Pemuda tampan mirip wanita ini terpaksa 

membatalkan desakannya terhadap Buaya Putih. 

Ditarik kepalanya ke belakang, sehingga kedua 

serangan sabuk itu menyambar tempat kosong. 

Seketika dikirimkan serangan balasan berupa 

sapuan kaki, untuk menahan laju desakan lawan.

Harapan Gumala terpenuhi, karena 

memang kedua orang itu melompat ke belakang. 

Maka kesempatan yang sebentar ini, dipergunakan 

Gumala untuk memperbaiki posisinya.

 ***

LIMA



Begitu terbebas dari desakan Gumala, 

Buaya Putih segera melentingkan tubuhnya seraya 

bersalto sekali di udara. Manis sekali kakinya 

hinggap di tanah. Namun demikian wajahnya 

pucat seperti kapas. Hampir saja nyawanya 

melayang!

Melihat kenyataan ini, Buaya Putih tidak 

akan main-main lagi. Maka segera diloloskan

sabuk kulit buaya berwarna putih yang melilit 

pinggangnya.

Ctar!

Dilecutkannya sabuk itu sekali ke udara. 

Kemudian dilangkahkan kakinya menghampiri 

kedua adiknya untuk bergabung.

Gumala kini tidak bersikap ceroboh. 

Pemuda ini tahu kalau ujung sabuk lawan 

mengandung racun jahat. Sempat tercium olehnya 

bau amis memuakkan ketika cambuk itu 

menyambar-nyambar tadi.

"Haaat...!"

Buaya Putih mendahului menyerang. 

Sabuk di tangannya melecut di udara sebelum 

menyambar deras ke arah ubun-ubun Gumala.

"Hiyaaa...!"

Buaya Hitam pun tak ketinggalan. 

Sabuknya mematuk-matuk ganas ke arah dada.

"Hiaaat...!" teriak Buaya Belang tak mau 

kalah. Sabuk buriknya menyapu ke arah kedua 

lutut.

Tiga buah serangan secara bersamaan 

datang, mengancam tubuh Gumala. Suatu kerja 

sama yang teratur baik. Memang cukup berbahaya 

serangan ini. Apalagi senjata mereka lemas seperti 

sabuk kulit. Arah sasaran yang dituju tentu dapat 

berubah-ubah dalam seketika. Hal ini jelas akan 

menyulitkan lawan yang diserang.

Tapi yang diserang kali ini adalah Gumala, 

yang memiliki kepandaian luar biasa. Terbukti, 

pemuda tampan ini sanggup menghadapi Darba!


Gerakannya lincah laksana seekor belut, 

tubuhnya menyelihap di antara hujan serangan 

sabuk.

Namun demikian, Gumala tampak 

kerepotan juga. Kali ini serangan-serangan sabuk 

itu benar-benar berbahaya. Rupanya dengan maju 

bertiga, mereka memiliki tambahan tenaga secara 

aneh, dan terus mendesak Gumala.

Setiap serangan Gumala kini selalu dapat 

ditahan. Sebaliknya pemuda ini agak repot juga 

menghadapi setiap serangan balasan lawannya. 

Untunglah berkat ilmu meringankan tubuhnya 

yang memang berada amat jauh di atas lawan-

lawannya, sampai saat ini dia masih mampu 

menyelamatkan diri dari setiap serangan lawan.

Belasan jurus telah berlalu. Dan Gumala 

belum juga mampu mendesak lawannya. Hal ini 

membuat pemuda ini penasaran bukan main. Dia 

tahu betul kalau tingkat kepandaian ketiga orang 

lawannya ini berada jauh di bawahnya. Baik 

dalam hal tenaga dalam, maupun ilmu 

meringankan tubuh. Tapi, kenapa setelah maju 

bertiga mereka mampu membuatnya kerepotan?

Otak cerdas pemuda berbaju hitam ini 

segera saja dapat menebak apa penyebabnya. 

Pasti karena mereka menyerang secara teratur. 

Saling kerja sama, saling bantu, dan saling 

dukung. Jadi, seolah-olah mereka terdiri dari satu 

pikiran saja.

Gumala yakin kalau saja mereka 

mengeroyok secara tak teratur, jangankan hanya


tiga orang, biar ditambah dua kali lipat pun 

mampu mengalahkan tanpa mengalami kerepotan 

seperti ini.

Jadi rupanya karena keteraturan dalam 

penyerangan inilah yang menyebabkan mereka 

begitu tangguh. Kalau saja Gumala bisa membuat 

mereka kurang menjadi satu saja, pasti kehebatan 

itu akan hancur.

Mendapat pikiran demikian, Gumala mulai 

menelaah setiap serangannya tadi. Ditemukan 

kalau tadi penyerangannya berpindah-pindah. 

Pertama menyerang Buaya Putih, lalu mengancam 

Buaya Hitam. Di lain saat, mencecar Buaya 

Belang. Tekadnya sekarang adalah mengarahkan 

serangan pada satu orang saja. 

"Haaat..!"

Kini Gumala mengarahkan serangannya 

pada Buaya Putih yang memang sejak tadi 

diincarnya. Seperti yang sudah diperkirakan 

sebelumnya, Buaya Hitam dan Buaya Belang 

bergegas datang menolongnya, menyampoki 

serangan itu bersama-sama.

Tapi kali ini tidak seperti yang sudah-

sudah. Gumala kini tidak mempedulikan adanya 

bantuan itu.

Terus saja dicecarnya Buaya Putih. Melihat 

hal ini, Buaya Hitam dan Buaya Belang pontang-

panting mengikuti setiap serangan Gumala. 

Mereka berusaha untuk terus berada di sisi Buaya 

Putih.


Dalam beberapa gebrakan selanjutnya, 

kekompakan kelompok itu pun membuyar. Namun 

demikian ketiga orang itu berupaya untuk 

menyatukan posisi lagi. Hanya saja mereka tetap 

tidak mampu karena Buaya Putih memang tak 

mampu melakukannya. Cecaran demi cecaran 

Gumala benar-benar merepotkannya. Sampai 

pada suatu saat...

Crokkk!

"Akh...!"

Buaya Putih memekik tertahan. Tangan 

Gumala yang berbentuk cakar telah menghantam 

telak pelipisnya. Pimpinan tiga buaya ini 

terhuyung sesaat. Setelah itu tubuhnya pun 

ambruk di tanah, diam selama-lamanya. Mati.

"Kakang...!" jerit Buaya Hitam.

"Grrrh...! Kubunuh kau!" geram Buaya 

Belang.

Kemarahan dua orang itu kini semakin 

memuncak melihat kematian Buaya Putih. 

Seketika keduanya menerjang Gumala. Cambuk di 

tangan kedua orang ini melecut nyaring di udara.

Gumala hanya tersenyum mengejek. Tanpa 

kerja sama yang teratur seperti halnya tadi, tidak 

sulit baginya untuk merubuhkan mereka. 

Dibiarkan saja tubuh lawannya mendekat. Dan 

ketika jarak keduanya telah dekat, tiba-tiba 

dihentakkan kedua tangannya ke depan.

Wuuuttt...!

Angin yang amat kuat berhembus keras ke 

depan akibat hentakan tangan Gumala.


Bressss...!

Tubuh Buaya Belang dan Buaya Hitam 

yang tengah berada di udara, terlempar deras ke 

belakang bagai dilanda angin ribut sejauh 

beberapa tombak ke belakang. Luncuran kedua 

tubuh itu baru terhenti ketika menghantam pagar 

tembok hingga rubuh. Dan memang, Buaya 

Belang dan Buaya Hitam tidak bangun-bangun 

lagi.

Karuan saja kematian ketiga orang 

pemimpinnya membuat orang-orang kasar yang 

tadi mengurung Gumala menjadi gentar.

"Kini giliran kalian," tegas Gumala seraya 

menatap mereka satu persatu. Tentu saja hal itu 

membuat orang-orang kasar itu tanpa sadar 

melangkah mundur setindak.

Tapi tiba-tiba Gumala menoleh ke samping 

kiri disertai sikap waspada. Pendengarannya yang 

tajam menangkap adanya suara berkerisik pelan. 

Ternyata di samping kirinya dalam jarak sekitar 

tiga tombak, telah berdiri seorang pemuda tampan 

berbaju coklat. Pada kedua pinggangnya terdapat 

sebuah kapak.

"Kaget?" ucap pemuda yang ternyata 

adalah Darba. Bibirnya menyunggingkan senyum 

mengejek. "Pantang bagiku untuk membokong 

lawan. Maka sengaja kuremas-remas daun kering 

agar kau mengetahui kehadhanku!"

"Aku tidak punya urusan denganmu! 

Menyingkirlah!"


"Tidak punya urusan denganku?! Lucu 

sekali! Belum lama ini kau telah menyelamatkan 

musuh besarku. Bahkan baru saja telah 

membunuh tiga orang anak buahku. Dan 

sekarang kau bilang tidak punya urusan 

denganku?! Lucu sekali!"

"Jadi, apa maumu sekarang?" tanya 

Gumala, bernada menantang.

"Sederhana saja...."

"Apa?"

"Membunuhmu!" tegas kata-kata Darba.

"Kau kira mudah membunuhku?" ejek 

Gumala sambil tersenyum sinis.

"Ha ha ha...!" Darba tertawa. "Dulu, guruku 

memang tidak menang melawan Ki Julaga, 

gurumu itu. Tapi sekarang? Kita buktikan siapa di 

antara mereka yang lebih hebat!"

"Dari mana kau tahu guruku?" tanya 

Gumala kaget.

"Ha ha ha..., mudah saja! Hanya ada tiga 

orang yang menguasai ilmu-ilmu Ki Gering Langit, 

selain si tua bangka itu. Dua orang lainnya adalah 

guruku yang bernama Ki Jatayu, dan Ki Julaga! 

Dan tak mungkin kalau kau murid si tua bangka 

itu. Jadi jelas kau adalah murid Ki Julaga! Hanya 

yang membuatku tidak habis mengerti, mengapa 

kau malah akrab dengan murid si tua bangka itu? 

Padahal orang tua itulah yang telah membuat 

gurumu sengsara!" jelas Darba. Pemuda itu 

memang sejak tadi memperhatikan perkelahian


Gumala, sehingga berhasil mengetahui dari siapa 

Gumala memperoleh ilmu itu.

"Bukan urusanmu!" bentak Gumala garang 

seraya melompat menerjang Darba.

Tahu kelihaian pemuda berbaju coklat itu, 

Gumala segera mengerahkan segenap 

kemampuannya. Tangan kanannya yang 

berbentuk cakar menyambar ke arah pelipis, 

sementara tangan kirinya dipalangkan di depan 

dada.

Melihat serangan itu, Darba hanya tertawa 

mengejek. Dengan sebuah gerakan sederhana, 

didoyongkan tubuhnya ke belakang seraya 

mengangkat tangan kirinya untuk menangkis 

serangan itu. Bersamaan dengan itu, kaki 

kanannya menendang ke arah perut

Plak! Dughk...!

Suara benturan keras antara tangan 

dengan tangan, dan tangan dengan kaki yang 

mengandung tenaga dalam dahsyat, terdengar 

beberapa kali. Tendangan Darba berhasil 

dipatahkan Gumala dengan tangan kiri yang 

terpalang dari atas ke bawah. Akibat benturan itu, 

baik Gumala maupun Darba sama-sama terhu-

yung. Gumala terhuyung dua langkah ke 

belakang. Sementara Darba terhuyung satu 

langkah.

Gumala menggertakkan gigi. Begitu daya 

dorong yang membuatnya terhuyung habis, 

kembali diterjangnya Darba.


Kedua tangan Gumala menyambar-

nyambar ke berbagai bagian tubuh yang 

mematikan. Tapi, Darba bukanlah orang yang 

ilmunya setaraf Buaya Putih dan adik-adiknya. 

Tingkat kepandaian pemuda baju coklat ini amat 

tinggi.

Itulah sebabnya, walaupun serangan 

Gumala datang bertubi-tubi bagaikan hujan, 

Darba tidak mengalami kesulitan dalam 

menanggulanginya. Apalagi ketika dia 

mengeluarkan ilmu 'Tangan Pedang' yang menjadi 

andalannya. Gumala tampak berkali-kali berteriak 

kaget

Pertarungan antara kedua orang muda ini 

berlangsung cepat. Dalam waktu sebentar saja, 

belasan jurus tebh berialu. Meskipun demikian, 

belum nampak tanda-tanda yang akan terdesak. 

Kelihatannya pertarungan masih berlangsung 

seimbang.

Memang dalam hal tenaga dalam, Darba 

lebih kuat daripada Gumala. Tapi keunggulan 

pemuda baju coklat itu bisa diredam oleh 

tingginya ilmu meringankan tubuh milik Gumala. 

Itulah sebabnya, selama belasan jurus 

pertarungan masih berjalan seimbang.

Dalam hati Gumala mengakui kalau 

menghadapi pemuda berbaju coklat ini cukup 

berat baginya. Ilmu tangan kosong murid Ki 

Jatayu ini benar-benar membuatnya repot bukan 

main. Angin dari setiap gerakan tangan pemuda 

itu bisa membuat pakaiannya koyak-koyak


Darba mengerutkan alisnya. Ada perasaan 

heran menjalari hatinya. Mengapa murid Ki Julaga 

itu kelihatan begitu takut terkena angin serangan 

tangannya? Memang, angin itu dapat merobek 

kulit dan daging. Tapi tentu saja tidak berarti buat 

pemuda di hadapannya ini. Gumala mempunyai 

tenaga dalam yang tinggi, sehingga angin serangan 

itu tak akan mampu melukai kulitnya. Paling tidak 

hanya akan mengoyak pakaian.

Tapi, kenapa pemuda itu terlihat begitu 

khawatir?

Setelah tanpa hasil menerka-nerka, 

akhirnya Darba memutuskan untuk tidak 

memikirkannya. Biarlah pemuda itu sendiri yang 

kerepotan menghadapi angin serangan tangannya. 

Maka segera Darba meningkatkan serangannya.

Lewat jurus kedua puluh, Gumala mulai 

terdesak. Sebenarnya kalau saja Gumala tidak 

mempedulikan angin serangan yang mengenai 

pakaiannya, dia tak akan terdesak begitu. Pemuda 

ini banyak melakukan gerakan untuk 

mengelakkan serangan yang sebenarnya tidak 

berbahaya. Jadi, dia tidak mempunyai kesempatan 

untuk balas menyerang.

Memang berkat 'kerajinannya' 

mengelakkan angin serangan itu, pakaiannya 

sampai saat ini masih tetap utuh. Hanya ada satu 

bagian yang robek memanjang pada bahu kanan 

atas.

"Haaat...!"


Tiba-tiba Gumala berteriak nyaring. 

Kemudian tubuhnya melenting ke belakang sambil 

berputaran beberapa kali di udara. Dan begitu 

kedua kakinya hinggap di tanah, tangannya telah 

menggenggam sebatang pedang.

Singgg...! Singgg...!

Baru saja kaki Gumala hinggap di tanah, 

terdengar desingan nyaring disusul berkelebatnya 

dua berkas sinar keperakan ke arahnya. Di 

belakang dua leret sinar itu tubuh Darba 

menerjang ke arahnya dengan kecepatan tinggi.

Rupanya begitu melihat lawannya 

melentingkan tubuh ke belakang, Darba yang 

cerdik segera saja tahu kabu Gumala hendak 

menggunakan jurus baru. Maka, tanpa ragu-ragu 

segera dicabut kedua buah kapaknya dan 

dilemparkan ke arah Gumala. Tak cukup hanya 

sampai di situ, ia pun melompat menerjang di 

belakang kedua kapaknya.

Gumala kaget sekali. Tiga buah serangan 

mendadak telah mengancamnya begitu kedua 

kakinya menjejak tanah. Dan ini di luar 

dugaannya sama sekali.

Trang...! Trang...!

Dua kali terdengar suara berdencing 

nyaring. Dua buah kapak itu pun terpental balik 

dan jatuh ke tanah. Sementara tangan Gumala 

yang menggenggam pedang pun bergetar hebat. 

Memang betapa kuatnya tenaga dalam yang 

terkandung dalam lemparan kapak itu.


Namun sebelum Gumala dapat 

memperbaiki posisinya, serangan susulan dari 

Darba telah menyambar tiba.

Bukkk! 

"Hekh..!"

Tubuh Gumala melintir. Pukulan sisi 

tangan Darba telak menghantamnya. Untunglah di 

saat terakhir masih sempat dielakkan bacokan sisi 

tangan itu, sehingga tidak mengenai dada, 

melainkan bahunya.

Putaran tubuh Gumala terhenti ketika 

menabrak pagar tembok. Tanpa ampun bgi, tubuh 

yang sedang sempoyongan itu jatuh terguling di 

tanah.

Belum juga pemuda berbaju hitam ini 

menyadari apa yang terjadi, sosok tubuh yang 

disangkanya sudah tewas tadi tiba-tiba bergerak. 

Tangannya yang menggenggam sabuk kulit buaya 

berwarna hitam itu melayang. Siapa lagi kalau 

bukan Buaya Hitam!

Wut...! Prattt...!

"Akh...!"

Gumala mengeluh ketika ujung cambuk 

berduri itu melecut pada bagian bawah dadanya. 

Kontan rasa panas menjalar di sekitar tempat 

yang terkena sabetan. Kepalanya pun terasa 

pusing. Sementara Buaya Hitam sehabis

melecutkan sabuknya, mengeluh tertahan dan 

rubuh dengan napas putus. Baru sekarang ini dia 

benar-benar mati.


"Ha ha ha...! Sekarang tamatlah 

riwayatmu!"

Masih tertangkap oleh pendengaran 

Gumala, suara tawa penuh kemenangan dari 

Darba. Dicobanya untuk bangkit. Tapi rasa pusing 

yang menggayuti kepala menghambatnya. Gumala 

memejamkan matanya ketika dirasakan ada 

sambaran angin yang berkesiur ke arahnya. Dia 

hanya menunggu kematian!

Dapat dibayangkan, betapa kaget hati 

pemuda berbaju hitam itu ketika pukulan yang 

ditunggu-tunggunya tak juga sampai. Malah 

justru dirasakan tubuhnya diangkat sepasang 

tangan kokoh. Aneh sekali. Tapi, pikirannya yang 

masih bekerja, dapat merangkai kejadiannya. 

Bahkan samar-samar didengarnya teriakan-

teriakan penuh kemarahan dari Darba.

"Mau ke mana kau, keparat!"

Memang, Gumala telah ditolong seseorang! 

Kemudian dirasakan hembusan angin keras 

meniup dari arah depan. Pertanda kalau orang 

yang menolongnya tengah membawanya kabur. 

Dibuka matanya lebar-lebar mencoba melihat 

penolongnya. Samar-samar terlihat seraut wajah 

yang tak jelas. Tapi dari rambutnya yang berwarna 

putih keperakan dan panjang meriap, dapat 

dikenali siapa penolongnya ini.

"Kakang Arya...," bisik Gumala lemah 

sebelum akhirnya rubuh tak sadarkan diri.

Sang penolong yang memang tak lain 

adalah Arya Buana, membawa lari Gumala dengan


kecepatan tinggi. Pandangan matanya yang tajam 

dapat melihat kalau kawannya itu terkena racun 

ganas. Kalau tidak lekas ditolong, bukan mustahil 

kalau pemuda teman seperjalanannya ini akan

tewas.

Dewa Arak memang agak terlambat 

menolongnya. Karena tadi begitu dilihatnya 

Gumala mampu mendesak lawannya, pemuda ini 

masuk ke dalam gedung, mencari tahu barangkali 

guru pemuda berbaju coklat itu ada di dalam. 

Begitu keluar, dilihatnya Gumala dalam keadaan 

gawat. Buru-buru dia bergerak menolong dan 

membawanya kabur.

***

Arya menghentikan larinya ketika merasa 

yakin kalau Darba tidak mengejarnya lagi. 

Diturunkannya tubuh Gumala hati-hati di atas 

rumput, lalu diperhatikannya luka yang terdapat 

pada tubuh pemuda itu.

Sekali pandang saja Dewa Arak ini segera 

tahu, kalau luka pada bagian bawah dada itulah 

yang lebih berbahaya, karena mengandung racun 

ganas. Untungnya racun itu daya kerjanya lambat, 

sehingga belum menjalar ke mana-mana.

Arya tidak mau membuang-buang waktu 

lagi. Cepat tangannya bergerak.

Breeettt..!

"Akh...!"


Arya Buana terpekik kaget! Sepasang 

matanya terbelalak lebar seolah tak percaya akan 

apa yang dilihatnya. Dibalik baju yang telah 

terobek lebar itu, pada bagian dada nampak 

terpampang dua buah bukit kembar yang mulus 

menantang.

Darah kelaki-lakian Arya Buana seketika 

bergolak. Jantungnya jadi semakin keras 

berdegup. Pemuda itu menelan ludah dengan 

perasaan tegang. Ternyata kawannya yang 

disangka seorang pemuda ternyata wanita! 

Ditatapnya sekali lagi dua buah bukit kembar di 

hadapannya, untuk lebih meyakinkan 

penglihatannya. Benar tidak salah lagi! Itu adalah 

payudara wanita!

Perasaan penasaran membuat Arya 

memperhatikan wajah Gumala palsu. Dan 

sekarang jantungnya semakin berdebar tegang, 

ketika kini dapat melihat wajah itu lebih jelas lagi. 

Wajah itu.... Mulut itu.... Bibir itu..., dan sepasang 

mata itu..., mengingatkannya pada seseorang. 

Seorang gadis berpakaian serba putih yang amat 

dekat di hatinya. Melati!

Melati! Jerit hati pemuda berambut putih 

keperakan ini ketika kini dikenalinya wajah itu. 

Benar! Wajah itu adalah milik Melati. Wajah yang 

selalu dirindukannya. Dan kini wajah itu berada 

dalam ancaman bahaya maut

Arya Buana kini dilanda kebimbangan. Apa 

yang harus dilakukannya sekarang? Tentu saja 

sudah pasti mengobati Melati. Tapi, caranya....


Tidakkah gadis itu nanti akan bertambah marah 

padanya?

Beberapa saat lamanya terjadi perang batin 

dalam diri Arya. Antara mengobati gadis itu, 

dengan kemarahan yang sudah pasti bakal 

diterimanya. Karena jalan satu-satunya untuk 

mengeluarkan racun hanyalah dengan menyedot 

darah itu keluar. Menyedotnya dengan mulut!

Setelah lama dilanda kebimbangan, 

akhirnya Dewa Arak memutuskan untuk 

melakukannya. Biarlah! Marah pun tak mengapa. 

Yang penting gadis itu dapat selamat. Kini 

walaupun dengan setengah hati, Arya 

mendekatkan mulutnya ke bagian bawah dua 

bukit kembar itu. Ditempelkan bibirnya dan 

disedotnya darah yang telah mengandung racun 

itu, kemudian diludahkan.

Demikian dilakukannya berkali-kali sampai 

akhirnya darah yang diludahkannya mulai 

memerah, tidak hitam seperti sebelumnya.

"Ohhh...!"

Terdengar keluhan dari mulut Melati, 

ketika Arya masih sibuk menyedot sisa racun yang 

masih bersemayam sampai diyakininya racun itu 

bersih sama sekali. Dan sudah diduga oleh Arya 

kalau Melati akan terkejut setengah mati. Gadis 

itu seketika memekik, lalu bergegas bangkit 

dengan wajah memerah bagai kepiting rebus.

"Manusia kurang ajar!" teriak Melati keras. 

Tangannya pun melayang. 

Plak...!


Dengan deras dan keras telapak tangan 

gadis itu menampar pipi Arya. Begitu kerasnya 

sehingga nampak pada pipi pemuda itu tergambar 

telapak tangan berwarna merah.

"Tunggu sebentar, Melati! Akan 

kujelaskan...," ucap Arya gugup.

Tapi Gumala yang sebenarnya Melati itu 

sama sekali tidak mempedulikannya. Segera dia 

bangkit, lalu merapikan pakaiannya. Dan kembali 

diterjangnya pemuda itu.

Bukkk!

Dengan telak, tendangan itu menghantam 

Arya yang sama sekali tidak berusaha mengelak 

atau melawan. Untungnya Melati hanya 

mengerahkan sebagian kecil tenaga dalamnya 

ketika melihat pemuda berambut putih keperakan 

ini sama sekali tidak mengelak atau menangkis. 

Meskipun begitu, tetap saja sekujur tubuh Arya 

yang terkena sasaran pukulan dan tendangan itu 

jadi matang biru.

Tiba-tiba terdengar seruan tertahan keluar 

dari mulut Melati. Tubuhnya kemudian melesat 

dari situ, meninggalkan Arya.

"Melati! Tunggu...!" teriak pemuda berbaju 

ungu itu keras tanpa berusaha mengejar.

Tapi gadis itu sama sekali tidak 

mengacuhkan teriakan Arya. Jangankan berhenti, 

menoleh pun tidak, la terus saja berlari, sehingga 

sesaat kemudian tubuhnya lenyap diteian jalan.

"Melati..., ahhh Melati...," keluh Dewa Arak. 

Sepasang matanya memandang kosong ke depan.


Sudah diduga kalau peristiwa seperti ini akan 

terjadi. Dia sama sekali tidak menyalahkan Melati. 

Memang wajar kalau gadis itu bersikap demikian, 

karena tentu merasa malu.

Hanya satu hal yang disesali Arya, 

mengapa perjumpaannya dengan gadis yang telah 

mencuri sekeping hatinya itu selalu menimbulkan 

hal yang berakhir tidak menyenangkan.

"Hhh...!"

Dewa Arak menghela napas dalam-dalam. 

Diambilnya guci yang terikat di punggung, lalu 

diangkatnya ke atas mulutnya. Dan....

Gluk... gluk... gluk..!

Terdengar suara tegukan ketika arak itu 

memasuki tenggorokan Arya. Sesaat kemudian 

kedua kaki pemuda ini pun goyah. Tapi ia tidak 

peduli. Dilangkahkan kakinya meninggalkan 

tempat itu untuk melanjutkan tugas yang 

tertunda, mengunjungi tempat kediaman 

pembimbingnya. Ingin dibuktikan, apakah ada 

kejadian tidak enak yang menimpa guru dan 

ibunya, seperti yang selalu muncul dalam mimpi-

mimpinya.

***

ENAM


Gumala yang kini ternyata adalah Melati, 

melesat kabur dengan mengerahkan seluruh ilmu 

meringankan tubuh yang dimiliki. Sebenarnya dia 

tidak menyalahkan tindakan Arya. Disadari kalau 

Dewa Arak melakukan hal itu hanyalah untuk 

menyelamatkan nyawanya. Sama sekali tidak 

untuk melakukan hal yang bersifat kurang ajar.

Memang sebenarnya Dewa Arak itu tidak 

mengetahui kalau ia adalah seorang wanita. 

Bahkan wanita yang dirindukan dan dicari-carinya 

selama ini. Memang selama melakukan perjalanan 

bersama Dewa Arak, pemuda itu telah bercerita 

banyak tentang Melati. Tentu saja juga 

diungkapkan perasaan cintanya terhadap Melati 

yang diutarakan pada Gumala, kawan 

seperjalanan yang dikira adalah seorang pemuda.

Diceritakan pula oleh Dewa Arak kalau 

Melati telah membencinya. Hampir saja Melati 

yang waktu itu menyamar sebagai Gumala 

membuka rahasianya sendiri. Sebenarnya Melati 

sama sekali tidak membenci pemuda itu. Bahkan 

sebaliknya mencintainya. Tapi, rasa malu dan 

beberapa sebab-sebab lain membuatnya merasa 

rendah diri bersama-sama Arya.

Salah satu hal yang paling berat adalah 

janjinya terhadap 'ayahnya' Gadis itu memang 

telah bersumpah untuk memberi hukuman pada 

pemuda itu. Tapi janji itu sulit dilakukannya, 

karena cintanya pada Arya Buana. Maka Melati 

memutuskan untuk menjauhi Arya saja.


Tapi ternyata rasa rindu untuk melihat 

Dewa Arak itu tidak tertahankan lagi. Setelah 

lama otaknya bekerja keras, akhirnya didapatkan 

satu jalan untuk dekat dengan pemuda itu tanpa 

diketahui. Apalagi kalau tidak dengan jalan 

menyamar.

Tapi siapa sangka kalau semuanya akan 

berakhir seperti ini. Tanpa sengaja, pemuda itu 

telah berhasil membongkar rahasianya. Bahkan 

dengan cara yang membuatnya malu besar. Dewa 

Arak telah melihat bagian tubuhnya yang paling 

dirahasiakan! Payudaranya!

Dan sekarang, bagaimana Melati dapat 

bertemu dengan pemuda itu lagi? Rasanya setiap 

kali melihat Arya, kembali teringat peristiwa 

memalukan itu.

Sambil terus berlari cepat, pikiran Melati 

terus bekerja. Disadari kalau ia tidak mampu 

berpisah dengan pemuda berambut putih 

keperakan itu terlalu lama. Rasa rindu senantiasa 

menggigit hatinya, setiap kali berpisah dengan 

pemuda itu.

Begitu juga kali ini. Secara diam-diam 

dibayanginya perjalanan Dewa Arak, tanpa 

sepengetahuan pemuda itu sendiri.

***

Arya melakukan perjalanan dengan berlari 

cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. 

Mimpi buruk yang berturut-turut dan perasaan


tidak enak yang selalu mengganggu hati, 

membuatnya bertindak begitu.

Beberapa hari kemudian, sampailah 

pemuda berambut putih keperakan ini di pintu 

gerbang sebelah Barat Desa Jati Alas. Desa yang 

terdekat dengan tempat tinggal pembimbingnya, 

Ular Hitam.

Arya Buana memperlambat langkahnya. 

Matanya memandang berkeliling, memperhatikan 

keadaan desa ini. Dan kening pemuda ini seketika 

berkerut. Suasana desa ini sepi sekali. Pintu-pintu 

dan jendela-jendela semua tertutup rapat

Kening Dewa Arak berkerut. Dugaannya, 

pasti ada sesuatu kejadian yang telah menimpa 

desa yang baru beberapa pekan ditinggalkan ini. 

Dan perasaannya pun jadi kian tidak enak. 

Mungkinkah Ular Hitam tidak melihat keadaan 

ini? Bukankah Desa Jati Alas in! adalah 

tempatnya memenuhi keperluan sehari-hari? 

Mustahil kalau tidak melihat keadaan yang 

mencurigakan ini!

"Tuan Dewa Arak...!"

Sebuah panggilan menyadarkan lamunan 

pemuda ini. Ditolehkan kepalanya ke arah asal 

suara. Tampaklah seorang pemuda bertubuh 

tegap yang dikenalnya bernama Surya tengah 

berlari-lari menghampiri (Baca Serial Dewa Arak 

dalam episode "Pedang Bintang").

"Ada apa?" tanya Arya begitu tubuh Surya 

telah dekat.


"Gawat, Tuan Dewa Arak..!" ujar Surya 

masih terengah-engah.

"Panggil saja aku Arya...," pinta pemuda 

berambut keperakan itu. Risih rasanya mendapat 

panggilan yang begitu tinggi. "Ada apa?"

Sementara itu, Surya mengatur napasnya 

sebelum kembali berbicara. "Beberapa pekan yang 

lalu, seorang pemuda datang ke desa ini 

menanyakan tempat tinggal Kakek Ular Hitam...."

"Pemuda? Bagaimana ciri-cirinya?" tanya 

Arya. Dadanya tiba-tiba terasa berdebar tegang.

"Nggg..., tampan.... Pakaiannya coklat. Dan 

di kanan kiri pinggangnya terselip sebuah kapak 

berwarna perak..."

Berubah wajah Dewa Arak mendengarnya. 

Jelas kalau pemuda yang disebutkan ciri-cirinya 

itu adalah Darba. Arya pun sudah mengetahui 

pula maksud pemuda itu mencari pembimbingnya. 

Hal ini membuat perasaan tidak enaknya semakin 

menjadi-jadi.

"Lalu...?" tanya Arya pelan. Ketegangan 

membuat suaranya seperti tercekat di 

tenggorokan.

"Melihat sikapnya yang mencurigakan, Ki 

Pandu tidak memberitahukannya. Tapi, akibatnya 

gawat! Pemuda itu membunuh Ki Pandu! Tidak 

hanya itu saja. Semua penduduk yang tidak mau 

menunjukkan tempat tinggal Kakek Ular Hitam 

dibunuh tanpa kenal ampun."

"Ahhh...!" desah Arya kaget. "Akhirnya 

salah seorang penduduk memberitahukannya...,"


jelas Surya pelahan. Sepertinya pemuda ini 

merasa menyesal mengapa hal itu terjadi.

Arya hanya diam terpaku. Dimaklumi 

kalau akhirnya ada penduduk yang 

memberitahukannya. Memang sebagai seorang 

pendekar, Dewa Arak lebih mementingkan 

penduduk biasa daripada orang yang pandai ilmu 

silat.

"Setelah mendapat keterangan tentang 

tempat tinggal Kakek Ular Hitam, pemuda itu pun 

pergi. Aku bergegas pergi ke sana, dengan 

meminjam seekor kuda yang memiliki kemampuan 

beriari paling cepat. Maksudku, ingin 

memberitahukan Kakek Ular Hitam, ada orang 

jahat mencarinya."

"Lalu...?" tanya Arya. Dadanya berdebar 

tegang.

Surya tampak ragu. "Sayang kedatanganku 

terlambat, Den Arya."

"Lalu..., apa yang terjadi dengan kakek dan 

ibuku...?!" desak Arya setengah berteriak. 

Ketegangan membuat pikiran jernihnya menguap. 

Dicekalnya leher baju Surya dan dihentak-

hentakkannya. "Katakan! Katakan, apa yang 

terjadi pada kakek dan ibuku...!"

Tubuh Surya gemetar. Apalagi ketika 

menatap sepasang mata yang mencorong dari 

pemuda berambut putih keperakan itu. Nyalinya 

kontan menciut

"Den Arya..., sadar, Den. Sadar...," ucap 

Arya gemetar.


Ucapan Surya itu rupanya berhasil 

menyadarkan Dewa Arak. Pelahan cekalan Arya 

pada leher baju pemuda itu mengendur. Kemudian 

tubuh Surya pun diturunkan.

"Hhh...!" Arya menghembuskan napas 

berat. Sepasang matanya pun kembali meredup. 

Ditekap wajahnya dengan kedua tangan. "Maafkan 

aku, Kang," ucap Arya lirih. "Aku khilaf. Tapi, 

kuharap Kakang bersedia mengatakan apa terjadi 

pada kakek dan ibu. Katakan, Kang. Sekalipun 

berita itu buruk, aku sudah siap untuk 

mendengarnya."

Surya menelan Iudahnya sebentar. 

Ditatapnya dalam-dalam wajah Arya Buana.

"Aku melihat..., Kakek Ular Hitam, dan ibu 

Den Arya tergeletak di tanah...."

Arya memejamkan matanya. Sudah dapat 

diduga bagaimana nasib kedua orang yang sangat 

dicintainya itu. Benaiiah apa yang dilihatnya 

dalam mimpi-mimpinya itu.

"Bagaimana keadaan mereka?" 

"Mereka tewas dengan cara yang 

menyedihkan, Den...."

"Jahanam!" jerit Dewa Arak keras.

"Kalau Aden ingin menengoknya, silakan, 

Den. Mereka kukuburkan di halaman samping, 

dekat pohon jambu."

Tapi Arya sudah tidak mendengar ucapan 

Surya lagi. Tepat saat jeritan kemarahannya 

keluar dari mulut, tubuhnya pun melesat dari 

situ. Sedangkan Surya hanya dapat menggeleng


gelengkan kepalanya sambil menatap tubuh 

pemuda berambut putih keperakan yang kian 

mengecil dan akhirnya lenyap ditelan jalan.

***

Arya duduk bersimpuh di depan dua buah 

gundukan tanah yang masih baru. Pada dua buah 

gundukan itu terpancang papan nisan yang 

bertuliskan nama orang-orang yang terkubur di 

dalamnya. Dalam hati pemuda berambut putih 

keperakan ini bersyukur, melihat adanya papan 

nisan pada dua buah kuburan ini.

Sekuat tenaganya Arya berusaha menahan 

jatuhnya air mata. Pantang baginya untuk 

menangis, betapapun beratnya kesedihan yang 

ditanggung.

"Kakek..., Ibu...," ucap Arya pelan di depan 

dua kuburan itu. "Mengapa kalian pergi begitu 

cepat. Aku belum lagi sempat membalas budi 

kalian yang begitu besar terhadapku. Aku berjanji, 

Kek, Ibu.... Akan kubalas perbuatan keji ini!"

Dewa Arak menghentikan ucapannya. 

Pendengarannya yang tajam menangkap adanya 

suara langkah kaki pelahan di belakangnya. 

Khawatir kalau pemuda baju coklat itu lagi yang 

datang, Arya buru-buru menoleh namun bersikap 

waspada.

Sekitar lima tombak di depannya tampak 

berdiri dua sosok tubuh. Salah seorang di antara


mereka telah dikenalnya. Dialah nenek yang selalu 

berpakaian serba putih, berjuluk Dewi Bulan.

Sementara orang yang berdiri di 

sebelahnya, seorang laki-laki tua bertubuh agak 

pendek, bulat, dan berkepala botak Sebuah rompi 

berwarna hijau, dan celana sebatas bawah lutut 

yang juga berwarna hijau, menutupi kulit 

tubuhnya yang berwarna kehijauan. Kelabang 

Hijau, begitu julukan yang dimilikinya.

Si nenek mulanya terperanjat ketika 

melihat Arya. Jelas, pemuda itulah yang telah 

membuatnya terhuyung belum lama ini. Tapi di 

lain saat rasa terperanjatnya berganti rasa marah 

yang meluap-luap.

"Dia bocah yang kuceritakan itu, Kelabang 

Hijau!" tegas Dewi Bulan memberitahu kakek 

gundul di sebelahnya. "Sekarang tidak akan 

kubiarkan dia lolos lagi!"

"Sabar dulu, Dewi Bulan!" cegah Kelabang 

Hijau sambil menarik tangan nenek yang sudah 

bergerak maju itu.

"Apa hakmu menghalangiku?!" tantang 

Dewi Bulan. Disentakkan tangannya yang dicekal 

kakek gundul berkulit kehijauan itu.

"Aku memang tidak berhak menghalangi 

tindakanmu! Tapi, tidak untuk kali ini!" tegas 

Kelabang Hijau.

"Heh?! Kenapa begitu?" suara Dewi Bulan 

mulai melunak. Disadari adanya tekanan 

kesungguhan pada nada suara kakek berompi 

hijau ini.


"Karena dia pasti mempunyai hubungan 

dengan Ular Hitam! Kalau tidak, tak mungkin 

akan duduk termenung di situ. Apakah kau tidak 

mendengar berita yang menghebohkan dunia 

persilatan belakangan ini?"

"Berita apa itu?" tanya Dewi Bulan tertarik.

"Ular Hitam memiliki seorang murid yang 

telah menggemparkan dunia persilatan. Kudengar 

banyak tokoh tangguh yang rubuh di tangannya!"

Nenek berpakaian putih itu 

menganggukkan kepalanya. "Aku juga tahu. Kalau 

tidak salah, pemuda itu berjuluk Dewa Arak!"

''Tepat''

Dewi Bulan termenung.

"Dan ciri-ciri Dewa Arak mirip pemuda ini!" 

sambung Kelabang Hijau lagi.

"Ahhh...! Kau benar!" nenek tinggi kurus ini 

mulai teringat.

Sementara itu, Arya juga terkejut melihat 

nenek berpakaian serba putih itu. Kelihaian nenek 

ini sudah dirasakannya. Sekarang dia datang 

berdua dengan kawannya yang sekali lihat saja 

diketahui kalau kepandaiannya tidak rendah.

Dewa Arak sekarang tengah dilanda 

kemarahan yang meluap-luap. Tapi, tentu saja 

sebagai seorang pendekar yang menjunjung tinggi 

kebenaran dan keadilan, pemuda ini tidak 

meluapkan amarahnya secara sembarangan. Maka 

Arya yang memang tidak ingin mencari 

permusuhan, mencoba bersikap tenang. Ditunggu 

bagaimana tindakan Dewi Bulan terhadapnya.


Jelas terlihat kalau nenek itu akan menyerangnya. 

Tapi, untungnya ditahan oleh kakek berkulit 

kehijauan di sebelahnya.

Untuk beberapa saat lamanya tampak 

kalau kedua orang itu saling bertengkar. Tentu 

saja berkat pendengarannya yang tajam, Arya 

dapat mendengar apa yang dipertengkarkan. Dan 

hal ini membuatnya agak terkejut. Karena dari 

percakapan itu dapat diketahui kalau kakek dan 

nenek ini seperti mengenal almarhum 

pembimbingnya, Ular Hitam. Siapakah kedua 

orang ini sebenarnya?

Kini Kelabang Hijau dan Dewi Bulan 

melangkah menghampiri. Dewa Arak. Sedangkan 

pemuda itu berdiri diam menanti. Sikapnya 

terlihat tenang saja, walaupun sebenarnya jantung 

berdebar tegang.

"Anak Muda," tegur kakek berkulit 

kehijauan itu. "Katakan secara jujur, apa 

hubunganmu dengan almarhum Ular Hitam?"

Arya tidak mendengar adanya nada 

permusuhan dalam pertanyaan kakek itu. Baik 

terhadapnya maupun terhadap gurunya.

"Saya muridnya, Kek," jawab Arya jujur. 

Memang, walaupun pemuda ini tidak belajar 

secara langsung, tapi Ular Hitamlah yang 

membimbingnya untuk mempelajari ilmu-ilmu 

peninggalan Ki Gering Langit, Biarpun kakek itu 

sendiri tidak mau dianggap guru, Arya tetap 

menganggapnya guru.


"Bisa kupercaya kata-katamu, Anak 

Muda?" tegas Kelabang Hijau kurang percaya.

"Dia bohong!" selak Dewi Bulan sebelum 

Arya sempat menjawab. "Tidak sedikit pun kulihat 

ilmu-ilmu yang dimiliki Ular Hitam ketika aku 

melawannya!"

"Apa yang nenek katakan memang benar!" 

sahut Dewa Arak. "Tapi, beliaulah yang selama ini 

membimbingku sehingga memiliki kepandaian 

seperti sekarang ini. Salahkah kalau aku 

menganggapnya sebagai guru?"

"Apa yang dikatakannya memang benar, 

Dewi Bulan," tegas Kelabang Hijau mendukung 

alasan Arya. ''Tapi perlu kau ketahui, Anak Muda. 

Kami mempunyai urusan dengan Ular Hitam. Nah, 

sekarang bersediakah kau mewakilinya untuk 

menyelesaikan urusan itu?"

"Sepanjang urusan itu tidak bertentangan 

dengan kebenaran, aku bersedia mewakili 

almarhum guruku!" jawab Arya tegas.

"Ha ha ha...! Bagus! Kami percaya, kau 

tidak akan mengecewakan kami! Dewi Bulan telah 

banyak bercerita tentang dirimu! Julukanmu pun 

telah membuat banyak tokoh berpikir beberapa 

kali untuk berurusan denganmu! Kami yakin kau 

dan Ular Hitam tidak ada bedanya!"

Seketika berubah wajah Arya.

"Maksud, Kakek?" tanya Dewa Arak.

Wajah Kelabang Hijau berubah serius.

"Sejak puluhan tahun yang lalu, kami 

adalah sepasang tokoh yang tidak terkalahkan.


Kami pun gemar bertanding, sehingga tak 

terhitung lawan yang rubuh di tangan kami. 

Sampai akhirnya, kami bertemu dengan Ular 

Hitam. Melalui suatu pertarungan yang sengit, 

kami berhasil dikalahkannya. Tentu saja hal ini 

membuat penasaran, di samping malu yang besar. 

Maka kami katakan padanya, bahwa sepuluh 

tahun lagi kami akan datang menantang untuk 

menentukan siapa yang lebih unggul. Tapi 

rupanya kami sedang sial, karena lagi-lagi berhasil 

dikalahkan gurumu. Semenjak itu kami pun 

kembali giat berlatih, memperdalam ilmu-ilmu 

kesaktian. Tapi siapa sangka, di waktu kami telah 

merasa yakin akan dapat mengalahkannya, Ular 

Hitam telah lebih dulu pergi ke alam baka. Siapa 

yang tidak kesal? Untunglah ada dirimu yang 

menjadi muridnya. Tapi tentu saja kau akan kami 

beri kelonggaran. Kau kuberikan kesempatan 

mencari kawan untuk menantang kami berdua. 

Kau kami tunggu bulan purnama mendatang di 

Puncak Bukit Gading. Dekat pohon flamboyan 

kembar."

Setelah berkata demikian, Kelabang Hijau 

segera melesat dari situ, diikuti Dewi Bulan. 

Begitu cepatnya mereka bergerak, sehingga dalam 

sekejap saja yang terlihat hanya dua buah titik 

yang semakin lama semakin kecil yang akhirnya 

lenyap di kejauhan.

"Hhh...!" Arya menghela napas panjang. 

Dipandanginya bayangan tubuh kedua orang itu, 

sampai akhirnya tak terlihat lagi.


***

Arya yang tengah diamuk amarah meluap-

luap, mengerahkan segenap kemampuan ilmu 

meringankan tubuh yang dimiliki. Dewa Arak 

memang ingin buru-buru sampai di rumah 

kediaman Kepala Desa Jipang, yang kini ditempati 

Darba dan anak buahnya.

Beberapa hari. kemudian, pemuda 

berambut putih keperakan ini pun telah sampai di 

mulut desa. Tapi, Dewa Arak agak terperanjat 

ketika tiba di simpang tiga. Tampak di depan pintu 

gerbang rumah kepala desa itu tengah terjadi 

keributan. Di situ juga terlihat beberapa orang 

yang dikenali sebagai anak buah Darba. Mereka 

kini tengah mengeroyok seseorang yang tidak jelas 

terlihat karena jarak yang agak jauh.

Bergegas Arya berlari menghampiri. Sesaat 

kemudian Dewa Arak telah berada dalam jarak 

tiga tombak dari arena pertempuran. Dari sini 

dapat terlihat jelas, siapa orang yang tengah 

dikeroyok itu. Dan ini membuat pemuda berbaju 

ungu ini menjadi agak terkejut.

Orang yang tengah dikeroyok itu berusia 

sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya tegap dan 

kekar. Pada baju hitam bagian dada sebelah kiri 

terdapat sulaman cakar burung garuda dari 

benang emas. Di tangannya tergenggam sebuah 

baja hitam berbentuk cakar yang dikibas-kibaskan 

dengan ganas. Ke mana saja cakar baja hitam


bergerak, di situ pasti ada sesosok tubuh yang 

rubuh.

"Cakar Garuda...," desah Arya.

Tapi pemuda ini tidak bisa berlama-lama 

mengamati pertarungan. Ternyata Darba yang 

memang ada di situ dan tengah dicarinya, 

bergerak menghampiri.

"Heh?! Kau lagi, Dewa Arak? Rupanya kau 

tidak kapok juga. Atau, kali ini bersama-sama 

temanmu akan mengeroyokku?" ejek Darba 

memanas-manasi. Sepasang matanya berkeliaran 

ke sekeliling mencari-cari Gumala. Diam-diam 

pemuda ini memang merasa cemas, kalau pemuda 

murid Ki Julaga itu datang. Hatinya merasa lega 

ketika tidak melihat bayangan pemuda berbaju 

hitam itu.

"Pembunuh biadab! Kau harus menebus 

perbuatan kejimu itu pada guru dan ibuku!"

"Ha ha ha...!" tawa murid Ki Jatayu itu 

meledak. "Syukurlah kalau kau telah 

mengetahuinya. Sayang, waktu itu kau tidak 

berada di sana, Dewa Arak. Kalau saja ada, tentu 

aku tidak perlu repot-repot lagi mencarimu!"

Arya menekan kemarahan yang membakar 

dada. Walau perasaan marah yang melanda telah 

begitu besarnya, tapi pemuda ini berusaha untuk 

tidak mengumbarnya. Diangkatnya guci araknya 

ke atas kepala. 

Gluk... gluk... gluk...!

Terdengar suara tegukan ketika arak itu 

mulai memasuki tenggorokannya. Tubuhnya pun


mulai terasa hangat. Dewa Arak sadar kalau lawan 

di hadapannya ini memiliki kepandaian tinggi. 

Maka kini dia tidak ragu-ragu lagi untuk 

mengeluarkan ilmu andalannya.

Sret! Sret!

Darba pun mencabut kapak yang terselip 

di pinggangnya. Secepat itu pula, pemuda berbaju 

coklat ini melayangkannya ke arah Arya Buana.

Suara angin menderu keras menyambar 

sebelum serangan kapak itu sendiri tiba. Arya 

tidak berani bertindak gegabah. Segera saja 

kakinya bergerak melangkah terhuyung dan 

sempoyongan, sehingga serangan kapak Darba 

mengenai tempat kosong.

Tapi pemuda baju coklat itu tidak bingung. 

Rupanya Darba telah cukup mengenal Ilmu 

'Delapan Langkah Belalang'. Terbukti walaupun 

serangan kedua kapaknya mengenai tempat 

kosong, tapi dengan kecepatan gerak tangan yang 

mengagumkan, diputarnya kedua kapak itu. 

Seketika dua senjata itu dihantamkan ke belakang 

melalui bawah ketiak.

Dugaan Darba sama sekali tidak salah. 

Selagi pergelangan tangannya memutar kapak dari 

belakang, Dewa Arak memapak menggunakan guci 

ke belakang punggung Darba.

Klanggg...! Klanggg...!

Terdengar benturan nyaring ketika kapak 

itu bertemu badan guci. Akibatnya kedua belah 

pihak sama-sama terhuyung dua langkah.


Bedanya, kalau Arya terhuyung mundur, 

sedangkan Darba melangkah maju.

Meskipun tubuhnya masih terhuyung, 

Dewa Arak menyempatkan diri memeriksa 

gucinya. Benturan yang keras itu membuatnya 

merasa khawatir kalau-kalau gucinya itu rusak. 

Legalah hatinya ketika dilihatnya tidak ada 

kerusakan sedikit pun pada gucinya. Jangankan 

rengat, gompal saja tidak!

Ketika tenaga yang mendorongnya habis, 

cepat-cepat Arya memburu dengan totokan-

totokan ke arah kepala Darba. Cepat bukan main 

gerakan pemuda berambut putih keperakan itu. 

Tapi, gerakan yang dilakukan murid Ki Jatayu 

juga tak kalah cepat.

Wut! Wut...!

Sambil membalikkan tubuh, Darba 

mengayunkan kedua kapaknya memapak tangan 

kiri Dewa Arak yang melakukan totokan-totokan 

berbahaya ke kepalanya. Dan tentu saja pemuda 

berpakaian ungu ini tidak bersedia tangannya 

terpapas putus oleh sepasang kapak di tangan 

lawan. Dengan liukan aneh, kembali ditarik 

pulang serangannya. Berbareng dengan itu, kaki 

kanan Dewa Arak mencuat ke depan menyambar 

ulu hati.

Seketika Darba terperanjat, namun tidak 

menjadi gugup. Segera digenjotkan kakinya. Di 

lain saat, tubuhnya melenting, lewat di atas kaki 

yang mengarah ulu hatinya itu. 

Wut...!


Bersamaan dengan itu, kapak di tangan 

kanannya disabetkan ke arah leher Arya. 

Sedangkan Dewa Arak yang tahu akan 

keistimewaan gucinya, tidak ragu-ragu lagi untuk 

menangkisnya.

Klanggg...!

Lincah laksana seekor kera, Darba 

menggulingkan tubuhnya di tanah. Cepat-cepat 

dia bangkit kembali, lalu dengan kecepatan 

mengagumkan langsung menyerang Arya. Kedua 

kapak di tangannya pun kembali berkelebat cepat 

mencari sasaran.

Arya yang memang tengah sakit hati 

terhadap pemuda itu, tidak sungkan-sungkan lagi 

mengerahkan seluruh kemampuan yang 

dimilikinya. Tubuh pemuda itu meliuk-liuk aneh, 

dan langkah-langkahnya sempoyongan. Tapi 

justru dengan beriingkah seperti itulah letak 

kedahsyatannya.

Darba kini harus menelan kenyataan pahit. 

Lawannya ternyata kini tidak selemah dulu. 

Dengan guci di tangan, kepandaian Dewa Arak 

kini luar biasa sekali. Sekarang pemuda berbaju 

coklat itu merasakan kehebatan Arya Buana. Dan 

Darba juga baru sadar kalau kehebatan pemuda di 

hadapannya ini bertumpu pada gucinya.

Puluhan jurus telah berlalu, tapi belum 

nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. 

Kepandaian keduanya kelihatan masih seimbang.


******


TUJUH



Sementara itu pertarungan antara Cakar 

Garuda menghadapi pengeroyokan anak buah 

Darba, berlangsung tidak seimbang. Kepandaian 

Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas itu, memang 

terlalu tangguh untuk para pengeroyoknya. Setiap 

kali besi berbentuk cakar di tangannya bergerak, 

setiap kali pula ada satu nyawa melayang. Jerit 

kematian terdengar saling susul.

"Aaa...!"

Pekik nyaring melengking panjang, 

mengiringi rubuhnya orang terakhir para 

pengeroyok itu.

Cakar Garuda memandangi tubuh-tubuh 

yang terkapar itu sejenak, baru kemudian beralih 

pada pertarungan antara Dewa Arak menghadapi 

Darba.

Terdengar suara bergemeletuk dari gigi-gigi 

Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas ini. 

Amarahnya langsung bangkit ketika melihat orang 

yang dicari-carinya, karena telah membasmi 

perguruannya.

"Hiyaaa...!"


Diiringi pekik kemarahan laksana binatang 

terluka, Cakar Garuda melompat menerjang 

Darba, ketika pemuda itu tengah melentingkan 

tubuhnya ke belakang untuk menghindari 

serangan Dewa Arak.

Arya kaget bukan main, ia tahu kalau 

Cakar Garuda bukanlah tandingan Darba. 

Kepandaian Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas 

itu masih terlalu rendah. Jadi, kalau dia 

menyerang pemuda baju coklat itu sama saja 

dengan mencari mati.

"Tahan...!" cegah Arya berteriak.

Tapi terlambat. Tubuh Cakar Garuda telah 

melompat menerjang. Seketika Dewa Arak jadi 

menunda serangannya. Tubuh Cakar Garuda yang 

melayang itu jelas menghalangi gerakannya.

Darba hanya mendengus. Tiba-tiba saja 

jari-jari kedua tangannya yang terbuka, 

dihentakkan ke depan.

Wusss....

Bresss...!

"Hugh…!"

Angin yang amat kuat keluar dari telapak 

tangan Darba yang terbuka itu, dan meluruk 

deras ke arah Cakar Garuda. Wakil Ketua 

Perguruan Garuda Emas ini kaget sekali. 

Dicobanya untuk mengelak. Tapi tubuhnya yang 

berada di udara itu menyulitkannya untuk 

menghindari. Apalagi memang tingkat ilmu 

meringankan tubuhnya belum mencapai taraf 

kesempurnaan.


Kontan serangan pukulan jarak jauh itu 

menghantam telak tubuh Cakar Garuda, sehingga 

mengeluh tertahan. Tubuhnya terpental kembali 

ke belakang bagai diterjang angin ribut. Dari 

mulut, hidung, dan tehnganya mengalir darah 

segar. Pukulan jarak jauh Darba memang 

mengandung tenaga dalam yang amat tinggi.

Brukkk..!

Diiringi suara berdebuk keras, tubuh Wakil 

Ketua Perguruan Garuda Emas ini jatuh di tanah. 

Beberapa saat lamanya dia menggelepar-gelepar di 

tanah, kemudian akhirnya diam tidak bergerak 

lagi.

Arya Buana terpaku sesaat. Tapi tak lama 

kemudian amarahnya melonjak.

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak melengking nyaring 

memekakkan telinga, Dewa Arak menerjang 

Darba. 

Wut...!

Ketika guci Dewa Arak terayun deras ke 

arah kepala Darba, pemuda berbaju coklat itu 

menarik kepalanya ke belakang tanpa menarik 

kakinya.

Wusss...!

Guci itu meluncur deras beberapa rambut 

di depan wajah Darba. Begitu kerasnya tenaga 

yang terkandung dalam serangan itu, sehingga 

rambut berikut seluruh pakaian Darba berkibar 

keras. Dan cepat-cepat pemuda berbaju coklat itu


memberi serangan balasan yang tidak kalah 

berbahayanya.

Wut...!

Cepat bagai kilat kakinya melesat ke arah 

dada Dewa Arak. Sadar akan bahaya besar yang 

mengancam, Arya segera menangkis serangan itu 

dengan tangan kirinya disertai tetakan ke bawah.

Takkk...!

Tubuh Darba melintir. Memang bila 

dibanding Dewa Arak, posisi pemuda berbaju 

coklat itu lebih tidak menguntungkan. Namun 

demikian, berkat kelihaiannya, Darba dapat segera 

memperbaiki posisinya. Bahkan kembali 

menerjang lawan dengan serangan-serangan 

dahsyat.

Pertarungan sengit pun kembali 

berlangsung. Dalam hal ilmu meringankan tubuh 

dan tenaga dalam, memang tingkat keduanya 

berimbang. Itulah sebabnya sampai sekian 

lamanya pertarungan itu berlangsung kembali, 

tetap belum nampak tanda-tanda siapa yang akan 

terdesak.

Memasuki jurus keseratus lima puluh, 

mulai tampak kalau Dewa Arak berhasil mendesak 

lawan. Ki Gering Langit memang menciptakan 

ilmu 'Belalang Sakti', khusus untuk menangkal 

ilmu-ilmu yang telah dibawa lari pelayan-

pelayannya!

Maka tidaklah aneh jika memasuki jurus 

keseratus lima puluh, Darba mulai terdesak. 

Sepasang kapak perak mengkilat di tangannya


kini gerakannya sudah mulai terlambat, tidak lagi 

malang-melintang seperti sebelumnya. Dua 

senjata itu lebih banyak dipakai untuk melindungi 

setiap serangan yang datang. Hanya sekali-sekali 

saja sepasang kapak perak itu meluruk ke arah 

Arya. Itu pun tidak sedahsyat seperti sebelumnya.

Sebaliknya serangan Dewa Arak semakin 

dahsyat, bertubi-tubi bagaikan hujan. Dengan 

jurus 'Delapan Langkah Belalang' dan jurus 

'Belalang Mabuk'-nya, Arya terus melakukan 

desakan. Sampai pada suatu saat...

"Hiyaaat..!"

Wut...!

Darba kembali berteriak seraya 

melancarkan serangan dahsyat pada suatu 

kesempatan baik. Kedua kapak perak 

dibabatkannya ke arah leher dan kepala lawan. 

Tapi untuk yang kesekian kalinya, dengan 

mempergunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang' 

Arya berusaha menghindarinya. Langkahnya 

terhuyung-huyung seperti biasa untuk mengelak 

dari ancaman kedua kapak perak itu. Dan tahu-

tahu tubuh Arya telah berada di belakang Darba.

Sebelum pemuda berbaju coklat itu sadar, 

Arya sudah mengayunkan guci araknya.

Wut..!

Dengan deras guci itu melayang ke arah 

kepala Darba. Murid Ki Jatayu ini terperanjat 

kaget Maka sedapat dapatnya dirundukkan 

kepalanya untuk menghindari sambaran guci 

lawan.


Wusss...!

Usaha untung-untungannya berhasil juga. 

Guci itu lewat di atas kepalanya. Tapi, Arya tidak 

tinggal diam. Segera dilancarkan serangan 

susulan.

Bukkk...!

"Huakkk...!"

Telak sekali pukulan tangan kiri Dewa Arak 

mendarat di punggung Darba. Keras bukan main, 

sehingga tubuh pemuda itu terjerembab ke depan. 

Cairan merah kental terlontar keluar dari 

mulutnya. Jelas pemuda berbaju coklat itu terluka 

dalam!

Namun kekuatan tubuh murid Ki Jatayu 

ini memang patut dipuji. Sekalipun sudah terluka 

parah, dan posisinya tidak memungkinkan, dia 

masih berusaha menghambat serangan susulan 

lawan. Seketika disabetkan kedua kapaknya ke 

belakang.

Wut..!





Begitu serangan Darba lewat, kaki kanan 

Dewa Arak mencuat ke depan.

Bukkk…!

''Hugh…!'' Darba mengeluh pendek. 

Tendangan itu telak mendarat di perutnya, dan 

kapak peraknya pun terlepas dari genggaman!


Babatan kedua kapak itu hanya mengenai 

tempat kosong, karena Dewa Arak memang belum 

mengirimkan serangan susulan. Baru begitu 

serangan kedua kapak itu lewat, kaki kanan Dewa 

Arak mencuat ke depan.

Bukkk...!

"Hugh...!" Darba mengehah pendek.

Untuk yang kedua kalinya serangan Arya 

mengenai sasarannya. Tendangan itu telak 

mendarat di perut lawan. Tubuh pemuda itu 

terbungkuk, dan kapak peraknya terlepas dari 

genggaman. Mulutnya meringis menahan rasa 

sakit dan mual pada perutnya. Darah segar pun 

menetes dari sela-sela bibirnya. Dan belum lagi 

pemuda berbaju coklat itu memperbaiki posisinya, 

kembali tangan Arya berkelebat.

Wut..!

Prak!

"Aaakh...!" terdengar suara berderak keras, 

ketika guci pusaka di tangan Arya membentur 

kepala pemuda baju coklat itu Darba mengeluh 

tertahan, kemudian ambruk ke tanah. Pemuda itu 

tidak akan pernah bangkit lagi selama-lamanya.

Arya Buana memandangi tubuh yang 

terbujur di tanah itu sebentar, kemudian beralih 

ke tubuh Cakar Garuda, dan belasan sosok tubuh 

anak buah Darba yang terbujur di tanah. Dan kini 

kembali tatapannya beralih pada tubuh Darba. 

Sebentar kemudian pemuda berambut putih 

keperakan ini menengadahkan kepalanya, 

menatap langit.


"Kakek..., Ibu..., tenanglah kalian di dalam 

kubur...!"

Setelah berkata demikian, tubuh Dewa 

Arak melesat meninggalkan tempat itu. Tidak ada 

lagi kebisingan dan hiruk pikuk pertarungan. Di 

tempat itu kini hanya ada keheningan dan 

kesenyapan, setelah tubuh Arya Buana alias si 

Dewa Arak lenyap ditelan jalan.

***

Seorang pemuda berwajah jantan, dan 

berambut putih keperakan tampak terduduk di 

atas sebuah batu besar yang lebar dan datar di 

Puncak Bukit Gading. Kepalanya tertunduk 

sepertinya ada beban berat yang tengah menekan 

batinnya.

Pemuda yang memang adalah Arya Buana, 

tengah merenung seperti ada yang menggayuti 

pikirannya. Dan itu bisa ditebak 

permasalahannya. Pertama dengan Melati. Dan 

kedua dengan dua orarig saingan gurunya yang 

mengajaknya bertarung. Sepanjang perjalanan 

menuju tempat ini, Arya tak lupa menanyakan 

kepada setiap orang tentang seorang gadis cantik 

berpakaian putih atau seorang pemuda tampan 

berpakaian hitam. Tapi sampai sekian jauh, 

keterangan ini tidak didapatkan. Sampai akhirnya 

dia tiba di tempat ini.

"Hhh...!"


Pemuda berpakaian ungu itu mendesah. 

Kepala Arya mendongak, menatap bulan bulat 

berwarna kuning keemasan yang nampak di 

langit. Malam ini memang bulan purnama, malam 

yang dijanjikan Kelabang Hijau. Memang, di 

tempat inilah kakek gundul berkulit kehijauan itu 

menjanjikan pertarungan dengan Dewa Arak.

"Hi hi hi...!" tiba-tiba terdengar suara tawa 

mengikik.

Arya Buana yang tengah menikmati 

indahnya purnama bergegas memalingkan 

kepalanya. Tanpa melihat pun sebenarnya sudah 

dapat diduga kalau orang yang mengeluarkan 

tawa seperti itu pasti Dewi Bulan!

Dugaan pemuda ini memang tidak salah. 

Sekitar tiga tombak di samping kanannya, tampak 

dua sosok tubuh yang memang sudah ditunggu-

tunggunya.

"Luar biasa!" teriak Kelabang Hijau. "Dewa 

Arak! Rupanya kau ini memang terlalu sombong! 

Bukankah sudah kukatakan, kalau kami telah 

terbiasa bertanding berdua? Bukankah kau telah 

diberikan kebebasan membawa kawan untuk 

menghadapi kami. Berapa pun jumlah kawanmu 

tak masalah. Tapi rupanya kau ini terlalu berani. 

Atau kau terlalu sombong, sehingga saran kami 

sama sekali tidak digubris?!"

"Ada banyak alasan yang membuatku tidak 

dapat memenuhi saranmu itu, Kek," ucap Arya 

tenang seraya bangkit dari batu yang didudukinya.


"Hm.... Apa itu, Dewa Arak!?" tanya Dewi 

Bulan. Kasar dan ketus suaranya.

"Pertama, kusadari kalau urusan ini adalah 

urusan pribadi guruku, Kakek Ular Hitam. Jadi, 

tidak sepantasnya kalau membawa-bawa orang 

luar dalam urusan pribadi ini. Dan kedua, sangat 

sulit mencari orang yang memiliki tingkat 

kepandaian seperti kakek berdua. Kalau 

kupaksakan, bukankah hanya akan 

mencelakakan orang itu?"

Kelabang Hijau manggut-manggut.

"Bisa kuterima alasanmu, Dewa Arak"

"Terima kasih, Kek!"

"Jangan'terburu-buru berterima kasih, 

Dewa Arak!" sergah Dewi Bulan cepat. "Urusan 

kami denganmu kini tidak hanya satu macam!" 

Arya mengerutkan keningnya. 

"Apa maksudmu, Nek?" 

"Tidak usah berpura-pura, Dewa Arak! 

Bukankah kau yang telah membunuh majikan 

kami?!"

"Membunuh majikan kalian?! Aneh?! Kalau 

boleh kutahu, siapa majikan kalian?" tanya Arya. 

Kerut pada dahinya pun semakin dalam.

"Seorang pemuda bersenjata sepasang 

kapak warna perak mengkilat!" 

"Dia majikan kalian?" tanya Dewa Arak 

Nada suaranya mengandung keheranan yang

besar.

"Ya! Karena begitulah bunyi perjanjian 

antara kami dengannya!" selak Kelabang Hijau.


"Kami bertemu dan bertempur. Dengan licik dia 

memancing kami ke dalam suatu perjanjian. Yaitu, 

apabila dalam tiga puluh jurus kami tidak berhasil 

merobohkannya, dia akan menjadi majikan kami! 

Jadi, terpaksa kami harus membalaskan 

dendamnya padamu,Dewa Arak!"

"Bagaimana? Bisa dimulai sekarang? Atau 

kau sengaja ingin mengulur waktu, Dewa Arak?!" 

selak Dewi Bulan keras. Nenek ini memang sudah 

merasa kurang suka terhadap Arya Buana, karena 

telah membuatnya terhuyung dalam adu tenaga 

beberapa waktu yang lalu.

"Lebih cepat lebih baik, Nek!" sambut Dewa 

Arak. Sadar akan kelihaian kedua orang yang 

berada di hadapannya itu, pemuda ini segera 

memindahkan guci ke tangannya. Sebentar 

kemudian diangkat gucinya ke atas kepala, dan 

dituangkan ke mulutnya.

Gluk... gluk... gluk...!

Terdengar suara tegukan ketika arak itu 

memasuki tenggorokannya. Di lain saat tubuh 

Arya pun mulai terasa hangat dan agak limbung. 

Dewa Arak menurunkan gucinya kembali. Dan 

saat itulah nenek berpakaian putih itu melesat ke 

arahnya. Gerakannya cepat bukan main.

"Hiyaaa...!"

Dewi Bulan telah merasakan sendiri 

kelihaian pemuda di hadapannya ini. Maka tanpa 

sungkan-sungkan lagi digunakan tongkat bulan 

sabitnya untuk mendesak Dewa Arak.

Wut..!


Tongkat berujung bulan sabit itu meluncur 

cepat ke arah perut Arya. Angin bersiut nyaring 

mengiringi tibanya serangan itu. Hebat dan cepat 

bukan main serangan itu.

Tapi yang diserangnya kali ini bukanlah 

tokoh kosong. Seorang tokoh muda yang telah 

berkali-kali menghadapi lawan yang teramat 

tangguh. Dan bahkan telah berkali-kali pula 

terancam serangan berbahaya. Maka menghadapi 

serangan tongkat berujung bulan sabit itu, 

pemuda berambut putih keperakan ini tidak 

menjadi gugup karenanya.

Seperti biasa, dengan gerakan tak lumrah 

dari jurus 'Delapan Langkah Belalang', dielakkan 

serangan itu. Walaupun keadaan mengancam, 

berkat gerak aneh jurus itu, Dewa Arak malah 

berbalik mengancam.

Sekali mengelak, Dewa Arak telah berada 

di belakang Dewi Bulan. Tapi sebelum pemuda itu 

sempat melepaskan serangan, Kelabang Hijau 

telah terlebih dulu menyerangnya.

Terpaksa Arya mengurungkan niat untuk 

menyerang Dewi Bulan. Dan dengan cepat pula 

dielakkannya serangan kakek itu. Dan belum juga 

sempat membalas, kembali serangan Dewi Bulan 

telah mengancam. Tentu saja hal ini membuat 

Dewa Arak kewalahan menghadapi hujan 

serangan dahsyat yang sating susul.

Beberapa gebrak kemudian, keriga orang 

ini pun sudah terlibat sebuah pertarungan berat


sebelah. Dewa Arak terus-menerus didesak 

lawannya, tanpa mampu balas menyerang.

Untunglah pemuda berambut putih 

keperakan ini memiliki jurus 'Delapan Langkah 

Belalang' yang sangat aneh sehingga dapat 

mengelakkan serangan yang bagaimanapun 

sulitnya. Dan berkat jurus inilah Dewa Arak 

mampu mengelak, sekalipun hujan serangan 

datang silih berganti bagaikan hujan.

Untuk pertama kalinya, Arya harus 

mengakui betapa beratnya tekanan kedua 

lawannya ini. Lebih berat ketimbang Darba. Kerja 

sama kedua orang ini begitu rapi, saling bantu 

dan saling melindungi.

Belasan jurus telah berlalu. Dan selama 

itu, belum ada satu pun serangan balasan yang 

dilancarkan Arya. Serangan silih berganti 

lawannya membuatnya tidak mempunyai 

kesempatan balas menyerang. Sampai sekian 

lamanya, Dewa Arak hanya mampu mengelak dan 

bertahan.

Tempat pertarungan puri tanpa terasa 

telah bergeser jauh. Hal ini karena Arya terus-

menerus bermain mundur. Pernah sesekali, 

pemuda ini mencoba balas menyerang 

menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang', 

tapi akibatnya ia sendiri yang hampir celaka. 

Karena begitu serangannya hampir dilancarkan, 

serangan balasan dari lawan-lawannya telah 

meluncur tiba. Terpaksa Arya pontang-panting 

menyelamatkan diri.


Sementara itu, tanpa sepengetahuan ketiga 

orang yang tengah bertarung, sepasang mata 

indah milik seorang wanita cantik berpakaian 

serba putih, mengamati jalannya pertarungan dari 

balik semak-semak. Wajahnya yang cantik 

menyiratkan perasaan cemas yang dalam. 

Beberapa kali terlihat kedua tangannya mengepal, 

pertanda hatinya tengah dilanda perasaan tegang.

Empat puluh lima jurus telah berlalu. Dan 

kedudukan Arya pun semakin terjepit. Hingga 

akhirnya pada jurus kelima puluh satu, serangan 

tombak bulan sabit milik Dewi Bulan meluncur 

deras mengancam dadariya. Maka Dewa Arak 

memutuskan untuk menangkisnya.

Klanggg...!

"Hugh...!?"

Tubuh Dewa Arak terjengkang ke belakang 

beberapa tombak jauhnya. Selintas tadi terlihat 

Kelabang Hijau menempelkan kedua tapak 

tangannya di punggung Dewi Bulan, begitu Arya 

memapak serangan tusukan tombak berujung 

bulan sabit.

Melihat hal ini Dewa Arak terperanjat. Dia 

tahu kalau kakek berkepala gundul itu tengah 

menyalurkan tenaga dalam. Tenaganya disatukan 

dengan tenaga nenek itu, lalu bersama-sama 

menghadapi tenaga Arya.

Tak pelak lagi, perpaduan dua tenaga 

dalam dahsyat itu tidak dapat ditahan Dewa Arak. 

Untung saja beradunya tenaga dalam tadi terjadi 

secara tidak langsung melainkan melalui

perantara. Sehingga akibatnya tidak terlalu berarti 

bagi Dewa Arak. Pemuda berpakaian ungu ini 

hanya merasa sedikit sesak pada dadanya.

Ilmu 'Belalang Sakti' memang memiliki 

keistimewaan dalam hal meringankan tubuh. 

Gerakan sesulit apa pun akan sama seperti 

gerakan biasa. Sehingga walaupun Arya berada 

dalam keadaan kritis, dan serangan Dewi Bulan 

kembali menyambar cepat, dia masih mampu 

mengelakkannya.

"Keparat!" Nenek itu berteriak memaki. 

Perasaan geramnya kian bergejolak, ketika Arya 

kembali berhasil lolos.

Tapi tepat saat serangan Dewi Bulan tiba, 

serangan Kelabang Hijau juga menyambar tiba. 

Arya terperanjat. Padahal dia baru saja 

mengelakkan serangan nenek berpakaian putih. 

Tidak ada lagi kesempatan baginya untuk 

mengelak ataupun menangkls, karena serangan 

itu datangnya terlalu cepat

Di saat yang kritis itu, tiba-tiba melesat 

satu bayangan putih yang dengan kecepatan luar 

biasa menangkis serangan itu.

Plak...!

Tubuh sosok bayangan putih itu terpental 

balik ke belakang. Sedangkan tubuh kakek gundul 

berkulit kehijauan terhuyung ke belakang. Tapi 

manis sekali sosok bayangan putih itu 

mematahkan daya lontar pada tubuhnya. Kedua 

kakinya pun hinggap di tanah hampir tanpa 

suara.


Kelabang Hijau langsung menggeram. 

Kakek berkulit kehijauan ini murka bukan 

kepalang karena menyadari ada orang yang 

sanggup membuat tubuhnya terhuyung dalam adu 

tenaga. Apa lagi ketika melihat bahwa yang 

menangkisnya adalah seorang gadis yang masih 

sangat muda.

"Siapa kau, Cah Ayu! Menyingkirlah cepat 

sebelum aku terpaksa bertindak keras 

terhadapmu!" ancam Kelabang Hijau. 

Bagaimanapun juga dia merasa malu untuk 

bertindak kasar terhadap seorang gadis yang 

masih begitu muda.

"Melati...!" teriak Arya keras. Ditatapnya 

gadis yang telah menyelamatkannya penuh rasa 

rindu. Tapi Melati hanya tersenyum sekilas. 

Namun hal itu sudah cukup bagi Arya. Kontan 

semangatnya pun bangkit kembali.

"Kau hadapi nenek itu, Melati!" teriak Arya 

seraya melompat mendekati Kelabang Hijau

Tapi tiba-tiba kakek berkepala gundul itu 

menggoyang-goyangkan tangannya di depan dada.

"Tunggu, Dewa Arak!" cegah Kelabang 

Hijau.

"Mengapa, Kek?" tanya Arya. Tidak ada 

nada permusuhan dalam suaranya. Dewa Arak 

tahu, kalau kakek dan nenek ini menyerangnya 

bukan karena dendam.

"Urusan ini telah selesai sampai di sini."

"Heh?!" Arya tersentak kaget "Mengapa 

begitu?"


Kelabang Hijau menghela napas. "Kami 

telah bersepakat untuk mengaku kalah padamu 

jika kau sanggup menghadapi kami selama lima 

puluh jurus. Sekaligus menganggap habis semua 

urusan."

Melati tersenyum mengejek. "Lalu, 

mengapa tadi kalian masih menyerang terus? 

Padahal jelas-jelas pertarungan sudah 

berlangsung lebih dari lima puluh jurus!"

"Maaf, kami khilaf!"

"Lalu maksudmu bagaimana, Kek?" selak 

Dewa Arak yang tidak ingin urusan jadi berlarut-

larut.

"Ya. Ternyata kaulah pemenangnya. Kami 

berdua mengaku kalah! Selamat tinggal, Dewa 

Arak!"

Setelah berkata demikian, tubuh kakek 

berpakaian rompi hijau ini melesat diikuti sesosok 

bayangan putih. Cepat sekali gerakan kedua 

bayangan itu. Dalam sekejap saja hanya tinggal 

dua buah titik kecil hitam di kejauhan yang 

kemudian lenyap.

Kali ini Arya tidak ingin kecolongan lagi! 

Begitu, Kelabang Hijau dan Dewi Bulan melesat 

dari situ, buru-buru dialihkan perhatiannya ke 

arah Melati. Dan begitu dilihatnya gadis itu 

hendak melesat kabur kembali, segera Dewa Arak 

melompat menghadang. Kini mereka berhadapan 

dalam jarak dua tombak.

"Melati...," tegur Dewa Arak Suaranya 

terdengar gemetar.


Gadis yang dulu terkenal berjuluk Dewi 

Penyebar Maut ini tidak menjawab, dan hanya 

berdiri diam. Kepalanya pun ditundukkam dalam-

dalam. Memang sejak mengenal pemuda di 

hadapannya ini, sifatnya telah benar-benar 

berubah. Hampir tidak pernah lagi gadis itu 

menurunkan tangan maut pada lawannya, kalau 

tidak terpaksa sekali!

"Melati...," sapa Arya lagi. Dilangkahkan 

kakinya mendekati gadis yang masih tetap diam 

tidak bergeming. 

"Aku ingin minta maaf atas semua 

kesalahanku padamu. Maukah kau memaafkan?"

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut 

gadis itu. Dewa Arak diam menunggu sabar. 

Akhirnya setelah beberapa saat lamanya, kepala 

gadis itu terangguk pelan. 

"Ah...! Terima kasih, Melati! Sudah kuduga, 

kau pasti gadis yang baik..... Nggg… Maukah kau 

melakukan perjalanan bersamaku lagi..., seperti 

beberapa waktu yang lalu?" 

Beberapa saat lamanya suasana menjadi 

hening, begitu Arya menghentikan ucapannya

"Untuk apa..,?" akhirnya keluar juga suara 

dari mulut gadis itu. 

"Aku ingin menemui gurumu...?" 

Melati tersentak. "Menemui guruku?!" 

"Ya. Guruku, Ki Gering Langit telah 

menugaskan agar aku mengambil kembali kitab-

kitab yang dulu.., maaf... telah dicuri gurumu. Oh,


ya.... Siapakah gurumu? Ki Julaga..., atau Ki 

Jatayu?" 

"Ki Julaga."

"Bagaimana, Melati?" desak Dewa Arak. 

Perasaan tegang melanda hatinya. Hanya tinggal 

gadis di hadapannya inilah yang dapat 

menunjukkan tempat tinggal orang-orang yang 

telah membawa lari kitab-kitab pusaka gurunya. 

Kalau Melati menolak, sia-sialah usaha yang 

selama ini dilakukannya.

"Aku bersedia," ucap Melati. "Guruku 

memang sudah lama ingin mengembalikan kitab-

kitab itu. Beliau merasa bersalah telah 

mencurinya, dan sudah lama berniat ingin 

mengembalikannya. Syukur kalau kau berniat 

mengambilnya..., Kang."

Arya tersenyum simpul. Geli juga hatinya 

melihat gadis itu ragu-ragu memanggilnya.

"Panggillah aku seperti Gumala 

memanggilku." 

Melati tersenyum. Arya pun tersenyum. 

Hati Dewa Arak diam-diam agak heran. Mengapa 

kini alam jadi terasa lebih indah dan berseri-seri. 

Pohon-pohon, batu-batu, rembulan di langit, 

sepertinya semua ikut tersenyum bersamanya.

***

DELAPAN



"Di sanalah selama ini guruku tinggal, 

Kang Arya," jelas Melati. Tangannya menunjuk 

pada sebuah gua yang cukup besar dan kelihatan 

gelap menghitam di kejauhan.

Dewa Arak menatap suasana di sekitarnya. 

Harus diakui kalau tanpa bantuan Melati, tidak 

mungkin baginya dapat menemukan tempat 

tinggal Ki Julaga. Tempat kakek itu begitu 

tersembunyi, terletak di sebuah gua yang terdapat 

di lereng bukit yang sukar didaki.

Berkat ilmu meringankan tubuh yang 

sudah mencapai tingkat tinggi, tidak sulit bagi 

mereka untuk mencapai gua. Dalam beberapa kali 

lompatan saja, Melati dan Dewa Arak telah berada 

di mulut gua.

Tapi tiba-tiba Melati tersentak kaget, 

karena mendengar suara orang bertengkar dari 

dalam gua. Bergegas gadis itu berkelebat 

memasuki gua itu, diikuti Arya yang sama sekali 

tidak tahu-menahu. Diam-diam Dewa Arak kaget 

juga ketika mengetahui bagian dalam gua ini 

ternyata luas sekali.

Sekejap kemudian Arya melihat Melati 

tengah menatap cemas pada dua orang kakek 

yang tengah berhadapan. Yang seorang bertubuh 

kecil kurus dan kelihatan sudah tua sekali. 

Rambut, kumis, alis, dan jenggotnya telah putih 

semua. Bahkan jenggot itu panjang sampai ke 

dada. Entah berapa usia kakek ini.


Sedangkan yang seorang lagi juga kurus. 

Hanya saja tubuhnya tidak kecil, melainkan agak 

tinggi. Kumisnya hanya beberapa lembar dan 

panjang menjuntai melewati mulut Matanya sipit 

memancarkan kelicikan.

"Yang mana gurumu?" tanya Dewa Arak 

lirih.

Melati menoleh. "Yang kecil!"

"Kau harus serahkan padaku, Kakang 

Julaga?!" kembali terdengar suara si tinggi kurus. 

Nada suaranya penuh ancaman.

"Tidak! Sekali kukatakan tidak, selamanya 

tidak, Adi Jatayu! Kitab itu dan kitab lainnya akan 

kukembalikan kepada yang berhak!" bantah si 

kecil kurus.

"Kau bodoh, Kakang!"

"Tidak! Justru aku bodoh kalau sampai 

terkena bujukanmu lagi seperti dulu!"

"Kalau begitu terpaksa akan kugunakan 

kekerasan!" teriak Ki Jatayu.

"Silakan. Aku tidak akan melawan, dan 

kau boleh membunuhku. Tapi, jangan harap akan 

dapat mendapatkan kitab-kitab yang bukan 

hakmu itu!" tegas dan jelas kata-kata Ki Julaga.

Ki Jatayu menggeram. Sepasang matanya 

yang sipit seperti memancarkan api ketika 

menatap wajah guru Melati itu.

"Kalau begitu, kau harus kukirim ke 

neraka!"

Setelah berkata demikian, Ki Jatayu 

melompat menerjang. Cepat bukan main


gerakannya. Baik Dewa Arak maupun Melati 

sama-sama terkesima melihat kecepatan gerak 

yang belum pernah mereka saksikan selama ini.

Ki Jatayu menyerang Ki Julaga dengan 

tusukan-tusukan jari tangan terbuka lurus. Decit 

angin tajam membuat Dewa Arak dan Melati 

mengernyitkan alisnya. Suara itu membuat telinga 

mereka sakit.

"'Tangan Pedang'...," desis Dewa Arak dan 

Melati bersamaan. Dan dapat dibayangkan betapa 

kagetnya hati mereka ketika melihat kakek kecil 

kurus itu sama sekali tidak bergerak menangkis 

atau melawan serangan Ki Jatayu.

"Kakek...!" Melati menjerit pilu. Sementara 

itu Dewa Arak sendiri sudah melompat cepat, 

mencoba menghambat serangan Ki Jatayu dengan 

sebuah serangan ke arah pelipis. Sadar kalau ka-

kek ini memiliki kepandaian yang sukar 

dibayangkan, Dewa Arak mengerahkan seluruh 

tenaganya.

Ki Julaga yang semula sudah pasrah tidak 

berusaha menahan atau menangkis serangan itu, 

tersentak ketika mendengar jeritan. Dikenali betul, 

siapa pemilik suara itu. Suara Melati, murid yang 

amat disayanginya. Sekelebat benaknya bekerja 

keras. Kalau dirinya mati, siapa yang akan 

melindungi gadis itu dari Ki Julaga yang 

diketahuinya pasti berwatak telengas. Selintasan 

pikiran itulah yang membuatnya merubah 

keputusan. Segera diulurkan tangannya untuk 

menangkis serangan Ki Jatayu

Tapi secara tiba-tiba Ki Jatayu menarik 

pulang serangannya. Dan dengan kecepatan yang 

sukar dilihat mata biasa, kakek bermata sipit ini 

menggerakkan tangannya, ke belakang, 

menangkis serangan Dewa Arak. 

Plak!

Tubuh Dewa Arak terpental ke belakang. 

Dirasakan sekujur tangannya sakit-sakit. Dadanya 

pun terasa sesak bukan main.

Brukkk...!

Dengan deras dan keras punggung pemuda 

itu menghantam dinding gua sampai tergetar 

karena kerasnya benturan.

"Kakang...!" Melati berteriak kaget. Secepat 

kilat tubuhnya melesat ke arah Dewa Arak. 

Dengan perasaan cemas yang tergambar di wajah, 

didekatinya tubuh pemuda berambut putih 

keperakan itu.

Lega hatinya ketika pemuda itu bangkit, 

tak nampak ada tanda-tanda terluka.

"Siapa kau, Anak Muda! Menyingkirlah 

cepat sebelum kesabaranku hilang!" bentak Ki 

Jatayu. Diam-diam kakek ini kaget bukan main. 

Menurut perkiraannya, paling tidak tangan

pemuda itu patah-patah ketika membentur 

tangannya tadi.

"Ki Jatayu...," ujar Dewa Arak. "Guruku, Ki 

Gering Langit telah menugaskanku untuk mencari 

dan memlnta kembali kitab-kitab yang telah kau 

larikan itu!"


Wajah Ki Jatayu dan Ki Julaga berubah 

pucat. Hati kedua kakek ini dilanda rasa kaget 

yang amat sangat. Tapi, hanya sesaat saja 

kekagetan itu melanda hati kakek tinggi kurus ini. 

Di lain saat, wajah itu memerah. Sepasang 

matanya berkilat penuh kemarahan.

"Jadi..., kau njpanya orang yang telah 

membunuh muridku, heh?!" tanya Ki Jatayu. 

Keras dan kasar suaranya. Memang telah didengar 

berita tentang tewasnya murid kesayangannya di 

tangan Arya Buana alias Dewa Arak.

"Benar! Karena dia telah membunuh guru 

dan ibuku! Lagipula, muridmu memang sudah 

sepantasnya dilenyapkan dari muka bumi!" tegas 

Dewa Arak.

"Keparat...!" maki Ki Jatayu. "Kau harus 

mati di tanganku, Dewa Arak!"

Dewa Arak sadar kalau lawan yang kini 

dihadapinya adalah seorang yang sangat sakti. 

Dugaan Arya Buana tepat sekali! Tenaga dalam 

yang dimiliki kakek ini telah mencapai tingkatan 

yang sukar untuk dibayangkannya. Maka, tanpa 

ragu-ragu lagi diraihnya guci arak yang terikat di 

punggungnya. Sebentar saja guci itu sudah berada 

di atas kepalanya. Dan....

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar ketika arak itu 

memasuki tenggorokannya. Sesaat kemudian 

tubuh pemuda itu pun limbung.


Ki Jatayu, dan juga Ki Julaga mengerutkan 

alisnya. Ilmu apakah yang akan dikeluarkan 

pemuda ini? 

"Haaat..!"

Sambil berteriak melengking nyaring Dewa 

Arak mengayunkan guci di tangannya.

Wut...!

Guci itu menyambar dahsyat ke arah 

kepala Ki Jatayu. Angin menderu begitu keras 

menandakan tingginya tenaga yang terkandung 

dalam ayunan guci itu. Tapi kakek tinggi kurus itu 

hanya mendengus. Tanpa bergeming sedikit pun, 

diangkat tangan kirinya untuk melindungi kepala. 

Dukkk...!

Tak pelak lagi guci perak itu membentur 

tangan kiri Ki Jatayu. Akibatnya tangan kakek itu 

tergetar hebat. Tapi tidak demikian halnya Dewa 

Arak. Tubuhnya terpelanting bagai diseruduk 

kerbau. Sekujur tangannya terasa sakit bukan 

main. Dadanya pun kontan sesak. Tapi berkat 

keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', tidak sulit bagi 

Arya untuk segera memperbaiki posisinya.

Benturan yang kedua kali ini menyadarkan 

Dewa Arak, bahwa tidak selayaknya melawan 

kekerasan kakek itu dengan kekerasan pula. 

Sudah dibuktikan sendiri kekuatan tenaga dalam 

kakek itu yang luar biasa. Mengadu tenaga dengan 

kakek itu sama saja mencari penyakit. Kalau saja 

kakek itu mendesak dan memojokkan mengadu 

tenaga dalam secara langsung, ia mungkin sudah 

tewas!


"Ahhh...!" Melati terperanjat. Segera saja 

dia bergerak hendak membantu pemuda yang 

dicintainya. Tapi, baru saja kakinya melangkah, 

sebuah tangan telah menyentuh pergelangan 

tangannya.

Gadis berpakaian serba putih ini menoleh. 

Ternyata Ki Julaga yang menyentuh pergelangan 

tangannya.

"Biarkan pemuda itu melaksanakan pesan 

gurunya. Kurasa Ki Gering Langit tidak akan 

sembarangan memberi tugas, kalau tidak 

diyakininya muridnya itu akan mampu. Lihat saja 

dulu!"

''Tapi, Kek...," Melati mencoba membantah.

"Tenanglah, Melati," bujuk kakek kecil 

kurus itu.

Terpaksa Melati tidak membantah lagi. 

Pandangan matanya dialihkan kembali ke arah 

pertarungan. Walaupun gurunya telah 

menyuruhnya bersikap tenang, tetap saja gadis itu 

tidak mampu. Perasaan cemas akan keselamatan 

Dewa Arak tetap saja melanda. Apalagi pemuda itu 

sangat dicintainya.

Sementara Arya kini merubah siasatnya. 

Dia sadar kalau dalam hal tenaga dalam, 

bukanlah tandingan kakek itu. Dan kalau 

memaksa bertarung seperti itu, adalah suatu 

perbuatan bodoh. Orang setua seperti Ki Jatayu, 

apalagi jika lama tidak berlatih, tentu otot-ototnya 

agak kaku. Apalagi, kelihatannya kondisi tubuh Ki


Jatayu sudah tidak memungkinkan lagi untuk 

bertarung lama.

Maka Dewa Arak kini memaksa diri untuk 

tidak menyerang. Dibiarkan saja Ki Jatayu yang 

telah dikuasai amarahnya terus menyerangnya 

kalang kabut. Sementara Dewa Arak terus 

mengelakkan setiap serangan itu dengan jurus 

'Delapan Langkah Belalang'.

"Hiyaaa...!"

Ki Jatayu berteriak nyaring. Jari-jari kedua 

tangannya terbuka lurus melakukan tusukan-

tusukan bertubi-tubi ke arah leher, ulu hati, dan 

pusar. Cepat luar biasa gerakannya. Angin 

berdecit nyaring, seperti ada puluhan ekor tikus 

yang mencicit berbarengan.

Tapi lagi-lagi dengan jurus 'Delapan 

Langkah Belalang', Dewa Arak dapat mengelakkan 

serangan itu. Meskipun serangan itu berhasil 

dielakkan, tapi tak urung sekujur pakaian Arya 

telah compang camping tersayat-sayat di sana 

sini, akibat terkena angin serangan tangan Ki 

Jatayu. Memang kakek tinggi kurus ini 

menggunakan ilmu 'Tangan Pedang' dalam 

menghadapi Dewa Arak.

Ki Jatayu menggeram keras, murka bukan 

kepalang. Masalahnya, semua serangannya tidak 

ada yang mengenai sasaran. Padahal pertarungan 

telah berlangsung lebih dari seratus jurus. Dan 

selama itu Arya hanya mengelak dan menghindar. 

Sesekali menyerang, tapi lekas ditarik kembali 

begitu melihat kakek itu hendak menangkisnya.


Kemarahan membuat Ki Jatayu kian 

memperhebat serangannya. Ruangan dalam gua 

itu sampai bergetar hebat akibat angin pukulan 

yang salah sasaran dari kakek ini.

Tak terasa lima puluh jurus kembali telah 

berlalu. Dan selama itu, tetap saja belum ada satu 

pun serangan kakek tinggi kurus ini yang 

mengenai sasaran. Hal ini membuat kemarahan Ki 

Jatayu kian berkobar. Amarah, membuat 

napasnya kian cepat memburu. Kakek ini memang 

sudah merasa lelah bukan main!

Sebetulnya kalau saja Ki Jatayu tidak 

terlalu bernafsu, tidak akan selelah itu. Tapi, 

karena bertarung diiringi amarah yang meluap-

luap, kelelahan lebih cepat datang.

"Grrrrhhh...!"

Tiba-tiba saja kakek itu menggeram, 

disertai pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Ki 

Jatayu memang bermaksud merubuhkan Dewa 

Arak melalui serangan suara, seperti seekor 

harimau yang mengaum untuk melumpuhkan 

mangsanya.

Akibatnya memang hebat sekali. Tubuh 

Melati sendiri sampai terhuyung akan jatuh. 

Padahal bukan dirinya yang diserang! Apalagi 

Dewa Arak yang menerima serangan itu secara 

langsung!

Wajah Dewa Arak memucat. Kedua kakinya 

mendadak lemas secara tiba-tiba. Tanpa dapat 

ditahan lagi, tubuhnya pun ambruk ke tanah. Dan 

saat itulah Ki Jatayu melompat menerkam. Kedua


tangannya mengembang, dengan jari-jari 

membentuk cakar. Serangan itu mengingatkan 

orang akan serangan seekor harimau pada 

mangsa yang telah tidak berdaya lagi.

Wuttt...!

Angin menderu dahsyat, seolah-olah di 

tempat itu terjadi badai.

"Ah...!" Melati menjerit melihat bahaya 

maut mengancam Dewa Arak.

"Ehm...," Ki Julaga berdehem untuk 

menutupi keterkejutan hatinya. Disadari kalau dia 

tidak mungkin dapat menolong murid Ki Gering 

Langit ini. Serangan itu datang tiba-tiba sekali, 

sementara jaraknya dari pemuda berambut putih 

keperakan itu cukup jauh.

Arya memang terperanjat bukan main 

melihat serangan itu. Tapi, sebenarnya pemuda ini 

tidak gugup. Ilmu 'Belalang Sakti" memang 

memiliki banyak keistimewaan. Dalam posisi 

sesulit apa pun dia dapat bergerak dan melompat. 

Di samping itu, dari keadaan lemah tak bertenaga, 

mendadak akan menjadi kokoh kuat, dan mantap 

penuh tenaga. 

Maka walaupun menurut perkiraan 

serangan itu tidak akan dapat dielakkan, tapi Arya 

masih mampu mengelak. Tubuhnya melenting ke 

atas.

Brakkk...!

Lantai gua hancur berantakan ketika 

kedua tangan Ki Jatayu menghantamnya. Di saat 

itulah, Dewa Arak yang tadi melenting tepat di


atas tubuh Ki Jatayu, mengayunkan gucinya. 

Dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki 

dalam serangan ini

Wusss...!

Prak...!

"Aaakh...!" Ki Jatayu menjerit keras.

Memang, tanpa ampun lagi, guci itu telak 

sekali menghantam kepala Ki Jatayu. Kakek ini 

memang sudah terlalu lelah sehingga tak mampu 

mengelak. Apalagi kedua tangannya masih 

terhunjam dalam di tanah. Terdengar suara keras 

berderak. Disusul ambruknya tubuh itu di tanah.

Beberapa saat lamanya tubuh itu 

menggelepar-gelepar sebelum akhirnya diam tak 

bergerak lagi.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara, kedua kaki Arya 

hinggap di tanah. Belum juga pemuda berambut 

putih keperakan ini berbuat sesuatu, terdengar 

seruan gembira disusul melesatnya sesosok 

bayangan putih menghampirinya.

"Kakang...!"

Dewa Arak mengembangkan lengannya. 

Langsung didekapnya tubuh Melati erat-erat, 

begitu tubuh gadis berpakaian putih itu telah 

berada di dalam pelukannya

Sesaat lamanya mereka saling berpelukan 

erat seperti melupakan ada orang lain di situ. 

Pelukan keduanya baru mengendur ketika 

terdengar suara mendehem. Rupanya saking 

gembira, keduanya lupa pada Ki Julaga!


"Ah...! Hampir aku putus asa melihat 

keadaanmu itu, Kang Arya. Kau... kau..., hebat 

sekali...," puji Melati dengan wajah memerah. 

Pelahan namun pasti dilepaskan pelukannya. 

Rasa gembiranya melihat pemuda itu selamat dari 

bahaya maut, sungguh membuatnya lupa. Dan 

kini begitu teringat, timbullah rasa malunya. 

Apalagi di situ ada Ki Julaga, gurunya. Dewa Arak 

pun melepaskan pelukannya. 

"Kau hebat, Anak Muda," puji Ki Julaga 

sambil melangkah mendekat

Seketika wajah Dewa Arak memerah. "Ah! 

Kakek membuat aku malu saja. Apalah artinya 

kepandaian yang kumiliki bila dibandingkan de-

ngan kepandaian Kakek."

Kakek kecil kurus ini hanya tersenyum. 

Perasaan kagum timbul dalam hatinya, melihat 

sikap rendah hati yang ditunjukkan pemuda itu.

"Siapa namamu, Anak Muda?" 

"Arya, Kek," jawab Dewa Arak sopan. 

Dari Melati Dewa Arak telah tahu kalau 

kakek di hadapannya ini, sudah lama ingin 

mengembalikan kitab-kitab Ki Gering Langit. Maka 

Arya memutuskan untuk tidak memerangi kakek 

ini. Apalagi dari pembicaraan yang tadi 

didengarnya, diketahui kalau kakek ini telah sadar 

dari kekeliruannya.

"Julukannya Dewa Arak, Kek," selak Melati 

penuh rasa bangga.


Ki Julaga hanya manggut-manggut. Tentu 

saja dia tidak pernah mendengar julukan itu, 

karena selama ini bersembunyi di guanya.

"Oh ya, Arya. Semua kitab-kitab yang kau 

cari, kebetulan ada di sini. Ki Jatayu telah 

membawa kitab-kitab yang telah dicurinya kemari. 

Maksudnya, ingin ditukarkan dengan kitab-kitab 

yang ada di sini."

Setelah berkata demikian kakek ini lalu 

memberi semua kitab-kitab Ki Gering Langit yang 

telah dicuri, dan diserahkan pada Dewa Arak

"Inilah semua kitab-kitab itu, Arya," ucap 

Ki Julaga.

Dewa Arak menerima kitab-kitab itu. 

Diperhatikan sejenak satu persatu. Lalu 

diambilnya satu dari sekian banyak kitab. Sebuah 

kitab yang sangat tipis dan pada sampulnya 

bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi, 'Jurus 

Membakar Matahari'! Jurus sakti yang 

dipersiapkan khusus untuk 'Tenaga Dalam Inti 

Matahari' yang telah dimiliki Arya. Kemudian 

kitab-kitab yang lainnya dikembalikan kepada 

kakek itu kembali.

"Heh?! Mengapa, Arya?" tanya kakek itu 

heran. Melati pun kaget.

"Semula memang aku berniat 

mengambilnya untuk dikembalikan ke tempat 

semula. Tapi karena kini Kakek telah menyadari 

kesalahan Kakek, kuputuskan untuk 

meninggalkan semua itu pada Kakek. Di tangan 

Kakek kitab-kitab itu akan aman. Tak mungkin


kalau harus kubawa sekian banyak kitab dalam 

pengembaraanku," jelas Arya.

Ki Julaga manggut-manggut mengerti.

"Kalau begitu, aku mohon diri, Kek," pamit 

Arya. "Banyak orang yang masih membutuhkan 

pertolonganku."

"Aku ikut!" teriak Melati. "Boleh, Kek?" 

tanya gadis itu sambil memandang penuh harap 

pada Ki Julaga.

Ki Julaga termenung sejenak. Kemudian 

pelahan-lahan kepalanya menggeleng.

"Kenapa, Kek?" tanya Melati. Rasa kecewa 

yang amat sangat membayang pada wajahnya.

"Kau baru saja datang. Dan, rasa rinduku 

padamu belum juga hilang. Masa' sudah akan 

pergi lagi. Tinggallah di sini sekitar sepekan, agar 

kerinduanku padamu terobati."

"Tapi, Kek...."

"Benar kata Kakek, Melati," Dewa Arak 

memberi dukungan. "Setelah kerinduan Kakek 

padamu terobati, kau bisa menyusulku. Tidak 

sulit kan mencari jejakku?"

Melati pun terdiam. Ucapan Arya 

menyadarkan dirinya, untuk tidak terlalu 

mementingkan diri sendiri. Waktu untuknya dan 

untuk Dewa Arak masih sangat panjang. Tapi, 

bagi Ki Julaga? Kapan lagi dapat membalas budi 

kakek kecil kurus ini selama ini kalau tidak 

sekarang?


"Pergilah, Melati.... Kakek tadi hanya 

bergurau saja," ucap kakek kecil kurus itu ketika 

muridnya termenung.

Sesak dada gadis berpakaian serba putih 

ini karena rasa haru yang mendalam. Melati tahu 

kalau ucapan gurunya ini tidak sesuai dengan isi 

hati kakek itu sendiri. Kakek itu terlalu 

menyayanginya dan tidak ingin membuatnya 

bersedih.

"Kakek...!"

Melati beriari ke arah Ki Julaga. Kakek itu 

pun mengembangkan lengan dan memeluk tubuh 

gadis itu. Dibelai belainya rambut gadis itu penuh 

kasih sayang. Tanpa dapat ditahan sebutir air 

bening menggulir dari sepasang matanya. Namun 

gadis itu bergegas menghapusnya.

"Melati ingin tinggal..., dan menemani 

Kakek...," ucap Melati terputus-putus. Air mata 

gadis ini pun tumpah tanpa dapat ditahannya lagi.

''Tidak usah memaksakan diri, Melati. 

Pergilah! Sungguh, Kakek tidak apa-apa."

'Tidak, Kek! Melati ingin tinggal bersama 

Kakek!" tegas kata-kata gadis itu.

Dewa Arak tersenyum. Ada rasa keharuan 

yang mendalam di hatinya melihat adegan yang 

mengharukan itu. Tapi Dewa Arak tidak ingin 

mengusik mereka. Diguratkan jarinya pada 

dinding gua.

Melati.. aku pergi dulu.


Jika kau sudah merasa cukup menemani 

Kakek, carilah aku. Ingat, aku selalu 

menyayangimu.

Arya

Dewa Arak melangkah pelahan 

meninggalkan gua itu. Ada keharuan yang amat 

sangat menyelubungi hati melihat adegan 

pertemuan yang baru saja disaksikannya. Dia 

sadar, Melati bukan miliknya sendiri.

Lambat tapi pasti, sosok tubuh Arya kian 

mengecil dan mengecil. Hingga akhirnya lenyap di 

kejauhan. Masih banyak tugas yang harus 

dikerjakan Dewa Arak. Tugasnya selaku seorang 

pendekar.



                             SELESAI



Share:

0 comments:

Posting Komentar