SATU
"Auuunggg…!"
Lolongan anjing hutan terdengar menggaung
panjang, membuat suasana malam yang sudah
menyeramkan, menjadi semakin seram.
Dalam suasana malam yang agak gelap itu,
nampak sesosok bayangan kuning berkelebat. Dan
menilik dari gerakannya, bisa diketahui kalau
bayangan kuning ini memiliki ilmu meringankan tubuh
yang tinggi.
Sosok bayangan kuning itu berlari terus dengan
kecepatan tinggi. Ketika kebetulan cahaya sinar obor
menjilat wajahnya, tampak kalau sosok bayangan
kuning itu adalah seorang kakek berusia sekitar
enam puluh tahun. Tubuhnya kecil kurus, dan
wajahnya kecil mirip wajah seekor tikus. Kumisnya
hitam dan jarang-jarang.
Si wajah tirus itu baru memperlambat langkahnya
ketika mendekati sebuah bangunan besar yang
berhalaman luas. Pagar yang terbuat dari kayu bulat
yang kokoh kuat mengelilingi bangunan itu. Di atas
pintu gerbang, terpampang sebuah papan tebal yang
berukir indah. Di situ tertulis huruf-huruf yang ber-
bunyi "Perguruan Naga Api".
Kakek berwajah tirus itu menghentikan langkah-
nya di depan pintu gerbang perguruan yang tertutup
rapat itu. Perlahan-lahan diketuknya pintu gerbang
itu.
Tok…! Tok...!
Kelihatannya pelan saja kakek itu mengetuk, tapi
Akibatnya cukup dahsyat. Seolah-olah pintu gerbang
dari jati tebal itu digedor oleh balok kayu yang besar.
Dan karuan saja suara berisik itu membuat para
murid Perguruan Naga Api yang tengah bertugas jaga,
berlarian mendekati pintu gerbang.
"Buka pintu gerbang...!" perintah salah seorang
dari mereka yang bercambang bauk lebat.
"Tapi, Kang Somali," bantah seorang yang bertahi
lalat besar di pipinya. "Bagaimana kalau orang yang
mengetuk itu tidak bermaksud baik?"
Si cambang bauk lebat yang bernama Somali
menatap tajam pada orang yang menyatakan dugaan
itu.
"Tidak mungkin, Adi Prawira! Kalau orang itu
bermaksud tidak baik, tak mungkin datang terang-
terangan begitu."
Orang yang dipanggil Prawira mengangguk-
anggukkan kepalanya, tanda menerima alasan
Somali.
Segera Prawira melangkah maju. Diangkatnya
palang kayu yang mengunci pintu gerbang itu,
kemudian baru ditariknya daun pintu gerbang itu.
Kriiittt...!
Suara bergerit tajam terdengar mengiringi ter-
bukanya pintu gerbang itu.
"Ah...! Kiranya Ki Temula…!" kata Prawira kaget.
"Silakan masuk, Ki!"
Kakek berwajah tirus yang dipanggil Ki Temula
hanya tersenyum. Kemudian dilangkahkan kakinya
masuk ke dalam. Begitu kakek itu masuk, Prawira
segera menutup pintu kembali.
"Apakah Adi Gayadi ada?" tanya Ki Temula, seraya
memalingkan wajah ke arah Somali.
"Ada, Ki. Guru ada di dalam," jawab Somali.
"Apakah Aki ada keperluan dengan Guru?"
"Benar!" sahut kakek berwajah tirus itu singkat.
"Kalau begitu, mari kuantar untuk menemui
beliau!"
Setelah berkata demikian, Somali segera bergerak
melangkah mendahului. Ki Temula pun mengikutinya
Sementara para murid yang tengah mendapat giliran
jaga, kembali pada tugasnya masing-masing. Ki
Temula memang sahabat kental Ketua Perguruan
Naga Api. Sering mereka mengadakan pertemuan.
Kadang-kadang di Perguruan Naga Api, dan sesekali
di perguruan yang dipimpin Ki Temula ini. Tidak
jarang pula, di hutan-hutan sunyi, atau di puncak-
puncak gunung. Sehingga bukan merupakan hal yang
mengejutkan kalau malam ini kakek berwajah tirus
itu datang berkunjung.
Somali mengantarkan Ki Temula sampai di depan
sebuah bangunan, tempat Ki Gayadi biasa ber-
semadi. Biar ada peristiwa penting apa pun, biasanya
Somali tidak akan berani memberitahukan pada
gurunya, bila tengah bersemadi. Tapi, kedatangan Ki
Temula merupakan suatu pengecualian.
Tok...! Tok...!
Somali menunggu sejenak sehabis mengetuk daun
pintu pondok kecil itu.
"Siapa?!"
Terdengar sahutan dari dalam pondok itu. Nada-
nya terdengar agak kasar, seperti orang yang merasa
terganggu.
"Aku, Guru..!" sambut Somali cepat.
"Siapa?!" Kian keras suara dari dalam pondok itu.
"Somali, Guru."
"Hm.... Ada keperluan apa sehingga kau berani
membangunkan aku, Somali?!"
Somali menelan ludahnya untuk membasahi
tenggorokannya yang terasa kering. Hatinya memang
merasa tidak enak juga, karena telah mengganggu
ketenangan semadi gurunya.
"Aku mengantarkan Ki Temula yang ingin bertemu
guru...."
Hening sejenak, setelah si cambang bauk itu
menyelesaikan perkataannya. Tidak ada suara
sahutan yang terdengar dari dalam pondok.
Somali dan Ki Temula menanti.
Kriiittt..!
Terdengar suara bergerit agak nyaring, disusul
terbukanya pintu pondok kecil itu. Nampak di balik
pintu itu berdiri sesosok tubuh pendek gemuk
berwajah cerah, penuh senyum. Usianya paling
banyak enam puluh tahun. Kakek inilah yang ber-
nama Ki Gayadi, Ketua Perguruan Naga Api.
"Ha ha ha...! Kakang Temula, mari.... Silakan
masuk, Kakang," ucap Ki Gayadi mempersilakan.
Senyum lebar tersungging di wajahnya yang penuh
keceriaan.
"Terima kasih, Adi Gayadi," sambut kakek berwajah
tirus itu sambil melangkah masuk ke dalam.
Begitu Ki Temula telah melangkah masuk, Ki
Gayadi kembali menutup pintu pondoknya. Somali
yang tahu diri sudah lebih dahulu pergi, setelah
memberi penghormatan pada kedua orang tua itu.
"Urusan apa yang membawa Kakang ke sini?
Ataukah ada perubahan rencana pada pertemuan
Kita tiga purnama mendatang?" tanya Ki Gayadi
begitu menjatuhkan tubuh, duduk bersila di depan
tamunya. Memang, kakek pendek gemuk ini merasa
heran melihat kedatangan Ki Temula yang tidak
diduga-duga itu.
Kakek berwajah tirus itu menundukkan kepalanya
sebentar.
"Memang, aku mempunyai keperluan padamu, Adi
Gayadi Makanya, malam-malam begini kupaksakan
datang menemuimu."
"Kalau boleh kutahu, apa keperluan itu, Kang?"
"Membunuhmu!"
Setelah berkata demikian, dengan cepat Ki Temula
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan.
Wusss...!
Ki Gayadi terkejut bukan main. Serangan itu
datangnya terlalu tiba-tiba dan tidak tersangka-
sangka. Apalagi, Ketua Perguruan Naga Api ini tengah
duduk bersila dan tidak bersikap waspada. Bahkan
jarak antara mereka terlalu dekat. Maka, walaupun
kakek bertubuh pendek gemuk ini berusaha
mengelak, tetap saja terlambat!
Bresss...!
"Aaakh...!"
Ki Gayadi berteriak keras memilukan. Pukulan
jarak jauh itu telak dan kerasnya menghantam
perutnya. Seketika itu juga tubuh kakek pendek
gendut itu lerlempar jauh ke belakang menabrak
dinding pondok yang terbuat dari papan.
Brak...!
Seketika itu juga dinding papan itu jebol, terlanda
tubuh laki-laki tua Ketua Perguruan Naga Api.
Brukkk..!
Terdengar suara berdebuk keras ketika tubuh
Ketua Perguruan Naga Api itu jatuh ke tanah.
"Huakkk. .!"
Segumpal cairan kental berwarna merah keluar
dari mulut kakek pendek gemuk yang berusaha
bangkit dari terbaringnya.
"Hup...!"
Ki Temula melompat keluar, menyusul tubuh
Ketua Perguruan Naga Api yang tergolek di sana.
Ringan tanpa suara, kedua kakinya mendarat di
tanah, di depan Ki Gayadi.
Laki-laki tua pendek gemuk itu berusaha bangkit,
tapi luka dalam yang dideritanya terlalu parah,
sehingga tak mampu berdiri. Pukulan yang dilepaskan
Ki Temula memang hebat sekali, karena disertai
pengerahan tenaga dalam penuh. Seluruh tulang-
belulangnya seolah-olah hancur berantakan semua-
nya.
"Pergilah ke neraka, Gayadi...!" dengus Ki Temula.
Dingin dan datar suaranya. Dan tiba tiba saja kakinya
bergerak menyepak.
Prak...!
"Aaakh...!"
Ki Gayadi memekik tertahan. Kepala kakek pendek
gemuk ini pecah ketika kaki Ki Temula telak meng-
hantamnya. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar,
sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi untuk
selamanya.
***
"Ha ha ha...!"
Ki Temula tertawa terbahak-bahak melihat Ketua
Perguruan Naga Api itu tewas. Sama sekali tidak
dipedulikan derap langkah kaki yang menuju ke
tempatnya berdiri. Memang suara jebolnya dinding
papan itu telah didengar murid-murid Perguruan Naga
Api. Mereka segera memburu ke arah asal suara itu.
"Guru...!" teriak Somali keras. Laki-laki bercambang
bauk ini memang merupakan satu-satunya orang
yang paling dekat jaraknya dari tempat gurunya
terbantai. Memang, ruang semadi Ki Gayadi letaknya
agak terpisah dari bangunan lainnya, tapi Somali saat
itu tidak jauh dari situ.
Sepasang mata Somali menatap penuh rasa tidak
percaya, pada sosok tubuh yang tergolek di tanah.
Kemudian tatapannya berpindah pada Ki Temula
yang tengah tertawa terbahak-bahak.
Ki Temula menghentikan tawanya ketika melihat
kehadiran Somali. Sepasang matanya nampak
beringas, memandang pemuda bercambang bauk
lebat itu. Tapi Somali sama sekali tidak gentar.
Kematian gurunya di tangan kakek kecil kurus yang
berdiri di hadapannya ini, benar-benar membuatnya
terpukul. Jelas, ini terjadi Akibat keteledorannya.
"Keparat..! Kau harus mengganti nyawa guruku
dengan nyawamu!"
Srat..!
Somali mencabut pedangnya, lalu....
"Heyaaat..!"
Didahului sebuah pekik melengking nyaring,
pemuda bercambang bauk lebat ini melompat
menerjang Ki Temula. Pedangnya diputar-putar-
kannya di atas kepala sebelum dibabatkannya ke
leher kakek pembunuh gurunya itu.
Singgg...!
Suara mendesing nyaring mengawali tibanya
serangan pedang itu. Namun Ki Temula hanya
mendengus.
"Susullah arwah gurumu ke neraka, manusia
dungu...!" desis laki-!Aki berwajah tirus itu tajam.
Kemudian tanpa ragu-ragu lagi, diulurkan tangan
kanannya.
Tappp...!
Dengan sigap, pedang Somali ditangkap laki-laki
tua berwajah tirus itu. Dan sebelum pemuda itu
berbuat sesuatu, Ki Temula cepat menariknya. Tentu
saja Somali yang tidak ingin pedangnya terebut,
berusaha menahan sekuat tenaga. Tapi tenyata
tenaganya kalah kuat. Apalagi tubuhnya sendiri saat
itu tengah berada di udara. Maka tak pelak lagi,
tubuhnya ikut tertarik oleh tenaga lawan.
Pada saat tubuh Somali mendekat, dengan cepat,
Ki Temula menyodokkan ujung pedang ke perut
Somali
Ceppp…!
"Aaakh...!"
Somali menjerit ngeri. Gagang pedang itu tembus
hingga ke punggungnya. Memang hebat tenaga
dalam kakek itu. Dalam posisi terbalik, pedang itu
mampu menembus perut pemuda bercambang bauk
lebat itu.
Tapi, daya tahan tubuh Somali patut dipuji.
Meskipun luka-luka yang diderita parah, dia masih
mampu bertahan. Padahal, kedua kakinya tampak
menggigil keras. Tentu saja hal ini membuat Ki
Temula jadi kehilangan kesabarannya. Maka
tangannya pun terayun menampar ke arah pipi.
Prak...!
Terdengar suara berderak keras ketika kepala
pemuda bercambang bauk itu pecan terhantam
tangan laki-laki tua itu. Tanpa sempat mengeluh lagi
tubuh Somali terjerembab jatuh.
Tepat saat tubuh Somali ambruk, murid-murid
Perguruan Naga Api yang lain pun tiba. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati mereka melihat
dua sosok tubuh yang tergeletak di tanah. Berkat
sinar obor yang terpancang di sudut rumah, mereka
dapat melihat jelas dua sosok tubuh yang tergeletak
diam tidak bergerak itu.
"Guru...!" teriak mereka berbareng. Beberapa saat
lamanya berpasang-pasang mata terpaku menatap
tak percaya sosok tubuh yang tergolek di tanah.
Melihat kesempatan yang baik itu, Ki Temula tidak
menyia-nyiakannya.
"Hup...!"
Kakek kecil kurus berwajah tirus ini segera
melesat dari situ. Cepat bukan main gerakannya,
sehingga dalam sekejap mata saja tubuhnya sudah
berjarak sepuluh tombak dari tempat semula.
Melihat Ki Temula melarikan diri, para murid
perguruan itu pun tersadar.
"Pembunuh keparat itu kabur...!" teriak Prawira.
"Kejar...!" sambut yang lain.
Tak pelak lagi, sebagian besar dari mereka berlari
mengejar Ki Temula. Sementara sisanya menghampiri
mayat Ki Gayadi dan Somali.
Mereka segera mengangkat tubuh-tubuh yang
telah kaku itu ke ruang utama perguruan.
Sementara itu, sepertinya Prawira dan beberapa
murid perguruan tak mampu mengejar Ki Temula.
Ilmu meringankan tubuh kakek berwajah tirus itu
berada jauh di atas mereka. Maka, tanpa mengalami
kesulitan kakek itu berhasil melompati pagar dari
kayu bulat dan kuat yang mengelilingi bangunan
besar berhalaman luas itu.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki Ki Temula
mendarat ringan di tanah. Dan sekali tubuh kakek ini
melesat, tubuhnya pun lenyap ditelan kegetapan
malam.
"Keparat..!" maki Prawira yang kalang kabut
melihat buronannya berhasil kabur dari situ.
***
Beberapa saat lamanya, Prawira dan murid-murid
lainnya menatap ke arah kepergian Ki Temula. Wajah
mereka menyiratkan perasaan dendam dan
kemarahan yang amat sangat. Beberapa saat
kemudian, dengan langkah bergegas mereka semua
melesat ke ruang utama perguruan tempat Ki Gayadi
dan Somali dibaringkan.
"Bagaimana, Kakang Branta?" tanya Prawira pada
seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun. Napas
pemuda bertahi lalat besar ini agak memburu.
Orang yang dipanggil Branta tersenyum getir.
"Beliau telah tewas...," sahui Branta lirih.
"Keparat..!" Prawira berteriak keras. "Keparat kau.
Ki Temula! Tunggulah pembalasanku...!"
"Tutup mulutmu, Prawira...!" bentak Branta keras
Seketika sepasang mata Branta tampak berKilat
penuh kemarahan ketika menatap wajah adik seper-
guruannya itu. Memang, di Perguruan Naga Api hanya
tinggal satu orang murid kepala, yaitu Branta.
Sementara murid tingkat dua ada dua orang, yaitu
Somali dan Prawira.
Sebenarnya, masih ada tokoh yang terhitung
sesepuh di Perguruan Naga Api. Dia adalah kakak
seperguruan Ki Gayadi yang bernama Ki Santa. Hanya
sayangnya beliau jarang ikut campur dalam urusan
perguruan. Kakek itu lebih suka bersemadi dan
menyepi.
Mendengar bentakan Branta, Prawira langsung
melengak kaget
"Mengapa, Kang?! Tidak bolehkah aku membalas
dendam pada orang yang membunuh Guru secara
licik itu?!" sergah pemuda Itu. Ada nada penasaran
dalam suaranya.
Branta menatap Prawira tajam, tapi yang ditatap
malah membalas tidak kalah tajamnya pula.
Beberapa saat lamanya kedua pasang mata itu
saling tatap.
"Hhh...!"
Setelah Branta menghela napas panjang, dialihkan
pandangannya dari Prawira. Dia tahu kalau diterus-
kan mungkin tidak akan bisa menahan diri. Dan
ucapan Prawira yang berani menentangnya secara
jelas di depan murid-murid lainnya membuat amarah-
nya bangkit. Hanya saja, Branta tidak ingin
menambah suasana yang sudah rusuh ini menjadi
semakin rusuh oleh keributan dengan Prawira.
Maka, walaupun dadanya terasa sesak oleh hawa
amarah yang membakar. Branta tetap menyabarkan
hatinya. Dialihkan pandangannya pada wajah adik-
adik seperguruan yang lain. Sudah bisa diduga kalau
di wajah mereka tersirat adanya ketidakpuasan pada
sikapnya yang membentak Prawira.
"Kuharap kalian semua bisa menahan diri, dan
jangan mudah terpancing oleh peristiwa ini. Yang
paling penting bagi kalian adalah berpikir secara
jernih. Buangiah jauh-jauh perasaan amarah yang
melanda hati kalian," ujar Branta menenangkan adik-
adik seperguruannya.
"Kakang. Guru telah dibunuh orang! Dan sekarang
kau menyuruh kami bersabar?! Bahkan melarang
kami untuk membalas dendam. Murid macam apa
kau ini?!" sergah Prawira keras.
"Jaga mulutmu, Prawira! Redakan amarahmu!
Bukan hanya kau saja yang terpukul dan dendam
atas kematian Guru!" tegas Branta.
Prawira pun terdiam. Disadari kebenaran ucapan
kakak seperguruannya ini. Tapi amarah yang ber-
kobar di dalam dada, membuatnya menuduh kehati-
hatian kakak seperguruannya itu, sebagai sikap
pengecut! Hanya saja, perasaan segan pada kakak
seperguruannya, memaksanya untuk diam, dan tidak
membantah lagi. Dia bertekad akan membalaskan
dendam ini secara diam-diam.
"Sudahlah...! Kita pikirkan hal itu nanti. Sekarang
yang penting, uruslah mayat-mayat ini," ucap Branta
lagi mengalihkan persoalan. Pemuda bermata sayu
ini sudah merasa lega melihat usahanya meredakan
amarah Prawira telah berhasil. Dia tidak tahu bahwa
sebenarnya Prawira masih sangat penasaran, dan
bertekad akan mencari pembunuh gurunya itu.
Setelah berkata demikian, Branta lalu mengangkat
mayat gurunya dan membawanya masuk ke dalam.
Prawira pun mengikutinya sambil memanggul tubuh
Somali.
DUA
Seorang pemuda berambut putih keperakan dan
dibiarkan meriap, melangkah pelahan memasuki
mulut sebuah hutan. Di punggungnya tersampir
sebuah guci arak yang terbuat dari perak.
Baru saja beberapa langkah, kening pemuda ini
mendadak berkerut. Pendengarannya yang tajam
menangkap adanya banyak langkah kaki yang
menuju ke arahnya. Tapi pemuda yang tak lain Arya
Buana atau lebih terkenal dengan julukan Dewa Arak,
tidak mempedulikannya. Dewa Arak pura-pura tidak
tahu dan terus saja melangkahkan kakinya.
Benar saja. Beberapa langkah kemudian, Dewa
Arak sudah melihat serombongan orang yang rata-
rata berusia muda. Jumlah mereka tak kurang dari
dua puluh orang, dan semuanya berpakaian warna
putih-putih. Di bagian dada sebelah kiri, ada sulaman
gambar kepala naga yang tengah menyemburkan api.
Sekali lihat saja Dewa Arak tahu kalau rombongan
itu berasal dari sebuah perguruan beraliran putih. Hal
ini bisa diketahui dari sikap mereka yang rata-rata
tidak menampakkan keliaran dan kecongkakan.
Hanya saja yang membuat Dewa Arak tidak habis
pikir, adalah wajah mereka yang rata-rata mem-
bayangkan kemarahan hebat. Dewa Arak pun mem-
pertajam pendengarannya untuk mencuri dengar
pembicaraan mereka, walaupun jaraknya cukup jauh
dengan mereka.
"Kita harus membalas dendam..! Semalam aku
ragu mendengar kata-kata yang diucapkan Kakang
Branta. Tapi, tak lama kemudian aku teringat.
Ternyata pembunuh itu menggunakan ilmu 'Cakar
Garuda' ketika membunuh Kakang Somali."
"Benar, Kakang Prawira! Kau harus membalas
dendam pada kakek itu!" sambut yang lainnya.
Dewa Arak mengerutkan alisnya. Dia seketika
menduga kalau rombongan ini pasti hendak ber-
tarung.
Semakin lama jaraknya dengan rombongan itu
semakin dekat. Dan dengan sendirinya percakapan
mereka pun semakin jelas terdengar telinganya. Tak
lama kemudian Dewa Arak berpapasan dengan
mereka pada sebuah jalan kecil yang di kanan kirinya
ditumbuhi semak-semak dan pohon-pohon rimbun.
Kekaguman Dewa Arak semakin bertambah,
ketika melihat rombongan itu menghentikan langkah-
nya. Bahkan menggeser tubuh mereka ke pinggir,
memberi jalan padanya untuk lewat. Baru setelah
Arya lewat, mereka kembali melanjutkan langkahnya.
Arya ragu-ragu untuk meneruskan langkahnya.
Simpatinya seketika timbul melihat sikap mereka.
Ingin diketahui, masalah apa yang membuat pemuda-
pemuda gagah itu hendak bertarung. Memang dari
ucapan yang tadi sempat didengar, diketahui kalau
rombongan itu ingin membalas dendam. Tapi pada
siapa?
Beberapa saat lamanya batin pemuda ini ber-
perang, antara melanjutkan perjalanannya ataukah
mengikuti rombongan pemuda gagah itu tadi.
Akhirnya, Dewa Arak memutuskan untuk mengikuti
rombongan berseragam putih-putih itu. Langkahnya
segera dihentikan dan berbalik ke arah yang tadi
ditinggalkan. Sesaat matanya menatap ke arah pohon
di depannya, dan....
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kakinya hinggap di
cabang sebatang pohon, kemudian melompat ke
cabang lainnya. Begitu seterusnya. Sehingga tak lama
kemudian, rombongan orang berseragam putih-putih
itu terlihat kembali.
Kening Dewa Arak berkernyit ketika melihat
rombongan pemuda itu mulai mendaki lereng
gunung. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu
kalau yang mereka daki itu adalah Gunung Munjul,
yang pada salah satu lerengnya terdapat sebuah
perguruan yang bernama Perguruan Garuda Sakti.
Apakah rombongan orang itu hendak menuju ke
sana? Maka perasaan tidak enak pun menjalari hati
Dewa Arak. Karena yang diketahuinya, Perguruan
Garuda Sakti adalah sebuah perguruan beraliran
putih.
Dugaan Dewa Arak tidak meleset. Rombongan itu
ternyata benar menuju Perguruan Garuda Sakti, dan
rata-rata gerakan mereka cukup gesit ketika mendaki
lereng gunung itu.
Tak lama kemudian, rombongan itu pun sudah
mendekati pintu gerbang Perguruan Garuda Sakti.
Dan rupanya dua orang murid Perguruan Garuda
Sakti yang tengah menjaga pintu gerbang itu melihat
kehadiran rombongan itu. Nampak jelas kalau dua
orang penjaga itu agak bingung melihatnya.
Tapi sebelum mereka sempat bertindak, tiba-tiba
saja rombongan murid Perguruan Naga Api yang
dipimpin Prawira itu meluruk menyerbu.
"Serbuuu...!"
Maka serentak dua puluh orang murid Perguruan
Naga Api itu meluruk ke arah pintu gerbang.
Singgg...! Singgg...!
Suara desing golok dan pedang yang melesat
keluar dari sarungnya, menyemaraki suasana yang
hening dan sepi itu. Melihat hal ini, karuan saja dua
orang murid Perguruan Garuda Sakti yang menjaga
pintu gerbang itu terkejut. Serentak keduanya
mencabut senjatanya masing-masing, mencoba
meng-halau serbuan dua puluh orang itu.
Sementara Dewa Arak yang melihat hal itu tidak
berani gegabah ikut campur, karena belum tahu
masalahnya. Ikut campur tangan sebelum tahu
masalahnya merupakan perbuatan tidak bijaksana.
Lagi pula, dua puluh orang itu kelihatannya ber-
sikap ksatria. Jelas mereka kelihatan tidak bermain
curang. Buktinya dua orang penjaga itu tidak di-
keroyok melainkan diserang oleh dua di antara
mereka. Sedangkan sisanya menyerbu masuk. Dewa
Arak memutuskan untuk menonton saja sambil ber-
tengger di atas sebuah cabang pohon.
Trang..! Trang...!
Denting suara senjata beradu terdengar ketika dua
orang penjaga pintu gerbang itu menangkis dua buah
serangan yang mengancam nyawa mereka. Sesaat
kemudian keempat orang itu sudah terlibat per-
tarungan mati-matian.
Sementara itu, Prawira dan rekan-rekan lain
menerobos masuk. Mereka segera berhadapan
dengan murid-murid Perguruan Garuda Sakti. Tak
pelak lagi. pertarungan massal pun terjadi
Mulanya pertarungan itu berjalan seimbang. Tapi
lama-kelamaan, mulal nampak kalau Prawira dan
rekan-rekannya lebih unggul katimbang mereka.
Memang rombongan yang menyerbu adalah murid-
murid pilihan, walau bukan murid-murid kepala.
Sementara di Perguruan Garuda Sakti, hanya terdapat murid-murid rendahan.
"Aaa...!"
Jerit kematian pertama terdengar dari mulut
penjaga pintu gerbang ketika golok murid Perguruan
Naga Api menembus perutnya hingga ke punggung.
"Aaakh...!"
Kembali salah seorang murid Perguruan Garuda
Sakti memekik tertahan ketika pedang di tangan
lawan memenggal lehernya hingga buntung.
Beberapa saat lamanya tubuhnya menggelepar-
gelepar sebelum akhirnya, diam tidak bergerak lagi.
Belum lama tubuh orang kedua itu roboh ke tanah,
terdengar lagi jerit kematian dari mulut murid
Perguruan Garuda Sakti Satu persatu tubuh mereka
berguguran ambmk ke tanah.
Dewa Arak mengerutkan alisnya. Pandangan
matanya yang tajam, dapat melihat adanya sosok
tubuh yang bersembunyi di balik wuwungan rumah.
Dan hal ini membuat Dewa Arak heran. Menilik dari
pakaiannya yang berwarna kuning, dapat diper-
kirakan kalau yang bersembunyi itu adalah orang
Perguruan Garuda Sakti. Tapi mengapa tidak mem-
bantu murid-murid perguruan yang dalam keadaan
kritis itu?
Belum lagi Dewa Arak menemukan jawabannya,
dari dalam salah satu bangunan berkelebat sesosok
tubuh. Dan tahu-tahu, di arena pertarungan telah
berdiri seorang kakek bertubuh tinggi kurus dan
berwajah mirip kuda.
"Mundur semua...!" teriak kakek muka kuda itu.
Seketika itu juga, murid-murid Perguruan Garuda
Sakti yang tengah bertarung berlompatan mundur.
Sedangkan murid-murid Perguruan Naga Api tidak
mengejar, dan hanya berlompatan mundur untuk
berkumpul.
Kakek muka kuda itu memandang berkeliling.
Wajahnya nampak beringas melihat murid-murid
Perguruan Garuda Sakti yang bergeletakan tanpa
nyawa di sana-sini.
"Kalian semua harus mati...!" dengus kakek itu
dingin.
"Hiyaaa...!"
Tubuh kakek muka kuda melesat ke arah
kumpulan murid-murid Perguruan Naga Api. Sasaran
pertama adalah seorang murid bernama Kelana yang
berada paling depan.
Wut..!
Tangan kakek muka kuda itu melayang deras ke
arah kepala pemuda berkuping caplang itu. Tentu
saja Kelana tidak membiarkan kepalanya hancur
ditampar tangan mengandung tenaga dalam tinggi
itu. Buru-buru disabetkan pedangnya pada tangan
yang menampar itu.
Trak...!
Pedang itu langsung patah begitu tertangkis
tangan si kakek muka kuda. Karuan saja hal ini
membuat Kelana kaget bukan main. Belum lagi
pemuda ini sadar, kaki kanan kakek itu sudah
melayang ke arah dadanya.
Buk...!
"Aaakh...!"
Dengan deras dan keras, kaki itu menghantam
dadanya. Seketika itu juga tubuh Kelana terlempar
jauh ke belakang dan jatuh di tanah menimbulkan
suara berdebuk nyaring. Darah segar langsung
berhamburan dari mulut, hidung dan telinganya. Saat
itu juga nyawa pemuda itu melayang meninggalkan
raganya. Tulang dadanya remuk seketika.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan si
kakek muka kuda. Patahan pedang Kelana yang
berada di tangannya langsung dilesatkan ke arah
lawannya.
Singgg...!
Cappp..!
"Aaa...!"
Seorang yang bertubuh pendek menjerit panjang
ketika patahan pedang itu menancap di perutnya
hingga tembus ke punggung. Beberapa saat lamanya
tubuh laki-laki itu menggelepar-gelepar di tanah
sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
"Serbuuu...!" perintah Prawira keras. Pemuda ini
sadar kalau lawan di hadapannya memiliki
kepandaian tinggi. Jadi kalau dihadapi seorang demi
seorang hanya akan mengantarkan nyawa sia-sia.
Kini delapan belas orang murid Perguruan Naga
Api itu, menyerbu kakek muka kuda secara ber-
bareng. Belasan senjata tajam berkelebat meng-
ancam sekujur tubuhnya.
Tapi si kakek muka kuda itu hanya mendengus.
Bahkan enak saja menyelinap di antara hujan senjata
yang menyambar tubuhnya. Sehingga, tak satu pun
serangan pengeroyoknya yang mengenai sasaran.
Selama beberapa gebrakan, kakek muka kuda ini
hanya mengelak. Dan pada saat mempunyai
kesempatan, mulai balas menyerang. Tangan dan
kakinya segera berkelebat, mencari sasaran yang
mematikan.
Plak! Buk!
"Aaakh... !"
"Aaa...!"
Dua orang pengeroyoknya menjerit tertahan dan
langsung roboh ke tanah, tidak bergerak lagi untuk
selamanya. Tamparan dan tendangan yang ditunjang
tenaga dalam tinggi itu memang tidak mungkin bisa
ditahan, sehingga dada dan perut mereka hancur!
Tentu saja hal ini membuat Prawira dan rekan-
rekannya semakin marah. Akibatnya, serangan yang
dilancarkan pun semakin dahsyat Tapi, karena tingkat
kepandaian mereka memang terpaut jauh, maka
tidak sulit bagi kakek muka kuda untuk mengelakkan
setiap serangan.
Dewa Arak kaget bukan main melihat hal ini.
Sungguh tidak disangka kalau kakek muka kuda itu
bersikap begitu telengas. Seperti tidak berperasaan,
begitu enaknya dia membunuhi murid-murid
Perguruan Naga Api yang telah bersikap begitu
ksatria.
Jiwa kependekaran Dewa Arak pun bangkit, karena
tidak suka melihat kekejaman kakek Itu. Masalahnya,
dia sendiri hampir tidak pernah membunuh
sembarangan orang, sekalipun lawannya itu seorang
penjahat! Tapi, kakek muka kuda itu begitu
gampangnya membunuhi murid Perguruan Naga Api.
Padahal dari sikap yang ditunjukkan, jelas kalau
mereka adalah golongan penentang ketidakadilan.
Segera saja Dewa Arak melompat turun dari
cabang pohon yang sejak tadi didudukinya, dan
langsung meluruk ke arena pertempuran. Sempat
dilihatnya orang yang bersembunyi di balik wuwungan
itu melesat kabur.
Saat itu, Prawira tengah menyerang kakek muka
kuda dengan sebuah tusukan ke arah perut. Seketika
kakek muka kuda melangkahkan kakinya ke
belakang. Sehingga tusukan pedang itu tidak
menemui sasaran. Sebelum Prawira menarik pulang
serangan, tangan kakek itu telah lebih dulu
menangkap pedangnya.
Prawira yang mengetahui adanya bahaya besar
yang mengancam, tidak berani bersikap malu-malu.
Buru-buru dilepaskan pedangnya, dan secepat itu
pula dilempar tubuhnya ke belakang.
Tapi kakek muka kuda itu ternyata tidak mem-
biarkannya lolos. Begitu Prawira melempar tubuh ke
belakang segera dihentakkan kedua tangannya ke
depan.
Wut!
Angin berhembus keras ke arah tubuh pemuda
bertahi lalat besar itu. Tentu saja wajah Prawira
memucat, karena menyadari adanya bahaya maut
mengancam. Jelas, dia tidak mampu mengelak-
kannya.
Tapi di saat kritis itu, dari arah yang berlawanan
tiba-tiba berhembus angin keras yang memapak
angin pukulan kakek muka kuda. Tak dapat dicegah
lagi, dua angin pukulan itu kini bertemu di udara.
Blarrrr...!
Ledakan keras seketika terdengar begitu dua
angin pukulan itu bertemu. Sekitar tempat itu sampai
bergetar Akibat ledakan itu.
Bukan hanya itu saja. Bahkan para murid
Perguruan Naga Api yang berada dekat situ kontan
berpentalan ke belakang, Akibat pengaruh getaran
tadi.
"Keparat..!" maki kakek muka kuda.
Sebagai orang yang telah mempunyai pengalaman
luas, kakek ini tahu kalau ada orang berkepandaian
tinggi yang telah menyelamatkan korbannya. Dan
tentu saja hal ini membuatnya geram bukan main.
Dengan pandang mata marah, diarahkan
sepasang matanya ke arah asal angin pukulan tadi.
Di sebelah kanan Prawira yang kini telah selamat
hinggap di tanah, tampak seorang pemuda berambut
putih keperakan yang tengah berdiri tenang. Di
tangan kanannya telah tergenggam sebuah guci arak
yang terbuat dari perak.
"Siapa kau?!" tanya kakek muka kuda. Kasar dan
keras suaranya. "Mengapa mencampuri urusanku!"
Pemuda yang tak lain dari Dewa Arak itu ter-
senyum getir.
"Aku Arya. Sudah menjadi watakku untuk tidak
membiarkan melihat kekejaman berlangsung di
depan mataku!" sahut Dewa Arak, keras dan tegas
suaranya.
"Ketidakadilan?! Apa maksudmu, Anak Muda?!
Apakah yang kau maksud dengan ketidakadilan itu?
Apakah tindakanku yang telah menghukum orang-
orang yang telah mengacau dan membunuhi murid-
muridku salah?!"
"Kau terlalu kejam, Ki!" tandas Arya tajam.
"Kuperingatkan padamu, Anak Muda. Ini adalah
urusan dalam perguruan. Perguruanku dikacau, dan
murid-muridku dibantai! Adalah hakku untuk meng-
hukum si pengacau. Dan ini tidak ada sangkut
pautnya denganmu!" tegas kakek muka kuda,
langsung merah mukanya.
Dewa Arak menggelengkan kepalanya.
"Sayang sekali, Ki. Sejak mulai mempelajari ilmu
silat, aku sudah bertekad untuk tidak membiarkan
adanya kekejaman berlangsung di depan mataku!"
tegas Arya.
"Kau keras kepala, Anak Muda! Tapi..., tunggu
dulu! Katamu tadi namamu Arya?" tanya kakek muka
kuda. Sepasang matanya menatap Dewa Arak penuh
selidik. Kemarahannya pun seketika mereda, ketika
mengingat nama Arya Buana.
"Begitulah nama yang diberikan orang tuaku, Ki."
"Arya?!" ulang kakek itu. Sepasang alisnya berkerut
"Rasanya aku pernah mendengar orang yang
mempunyai nama seperti itu?! Kalau tidak salah...,
Arya Buana. Apa betul itu namamu?!"
"Benar, Ki. Namaku adalah Arya Buana. Aki sendiri
siapa?" tanya Dewa Arak yang kemarahannya juga
telah mereda.
"Aku? Namaku tidak sekondang dirimu, Anak
Muda! Bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak? Aku
tahu, orang sering membicarakanmu!" ujar orang tua
itu, yang mulai merendah. Dia memang merasa tidak
mungkin mampu berhadapan dengan tokoh yang
telah terkenal kedigdayaannya.
"Ah...! Berita itu terlalu berlebih-lebihan, Ki," ucap
Arya merendah. "Apakah Aki bernama Ki Temula,
Ketua Perguruan Garuda Sakti itu?!"
Kakek muka kuda itu menggelengkan kepalanya.
"Bukan. Namaku Ki Matija. Sedangkan Ki Temula
adalah kakak seperguruanku. Sayang sekali dia
sudah enam hari masuk ruang semadi, sehingga
tidak bisa keluar sekarang. Dan kalau tidak salah,
besok baru bisa keluar."
"Bohong! Kau bohong, Ki Matija!" teriak Prawira.
Keras sekali suaranya.
Wajah kakek muka kuda yang bernama Ki Matija
itu memerah. Sepasang matanya memancarkan
kemarahan ketika menatap pemuda bertahi lalat
besar itu.
"Tutup mulutmu, pengacau! Kalau tidak me-
mandang Dewa Arak, sudah kubunuh kau!"
"Demi membela kehormatan, bagiku mati tidak
berarti apa-apa, Ki Matija! Tidak seperti kau,
pengecut!" teriak Prawira sambil menuding ke arah
laki-laki tua muka kuda itu.
"Keparat...! Akan kuadukan sikapmu yang tidak
pantas ini pada gurumu!" bentak Ki Matija.
"Tidak perlu berpura-pura bodoh, Ki Matija!"
Ki Matija yang memang mempunyai sifat
pemberang, seketika wajahnya merah padam. Sikap
Prawira dirasakan sudah keterlaluan. Bahkan Dewa
Arak pun terkejut melihatnya. Tapi belum sempat Ki
Matija dan Dewa Arak berbuat sesuatu, Prawira telah
melanjutkan ucapannya.
"Kau pikir untuk apa kami semua ke sini mem-
pertaruhkan nyawa, Ki Matija?! Dengarlah baik-baik!
Kami datang untuk membalaskan kematian guru
kami! Kau tahu, Ki Gayadi telah dibunuh Ki Temula
secara licik! Maka, demi budi baik dan kehormatan Ki
Gayadi, kami semua rela mati di sini!"
"Apa?!" sepasang mata Ki Matija membelalak
lebar. "Ki Gayadi tewas?! Benarkah apa yang kau
ucapkan ttu, Anak Muda? Kapan dia tewas?"
Nampak jelas kalau kakek muka kuda itu kaget
bukan main. Bahkan Dewa Arak sendiri terkejut
mendengarnya. Pemuda ini sadar kalau persoalan
yang dihadapi bukan persoalan kecil. Bahkan bisa
terjadi pertumpahan darah antara dua perguruan ini!
"Semalam!" sahut Prawira keras.
Sesaat lamanya keheningan melanda tempat itu.
Berita yang dikatakan Prawira memang membuat
terkejut semua orang yang ada di situ.
"Benarkah apa yang kudengar ini? Benarkah Adi
Gayadi telah mendahuluiku?" tiba-tiba keheningan itu
dipecahkan oleh sebuah suara.
Dan belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok
bayangan berkelebat dan telah berdiri di tengah
tengah mereka. Tampak di situ seorang kakek kecil
kurus berwajah tirus mirip tikus.
"Kakang...!" seru Ki Matija kaget melihat kehadiran
kakak seperguruannya.
Prawira mendesis melihat kehadiran kakek itu.
Perasaan geram yang hebat tersirat di wajahnya. Tapi
baru saja dia hendak bergerak. Dewa Arak telah lebih
dulu memegang pergelangan tangannya.
"Tenangiah, Kisanak. Dalam persoalan sebesar ini,
tidak baik bersikap ceroboh. Lebih baik, dengar dulu
apa yang dikatakan Ki Temula," ucap Arya
menasehati.
Prawira menoleh, dan menatap Dewa Arak lekat-
lekat. Pemuda berambut putih keperakan itu ter-
senyum lalu menganggukkan kepalanya.
"Hhh...!"
Prawira menghela napas panjang. Kedua tangan-
nya yang semula sudah menegang penuh kemarahan,
pelahan mengendur. Dilangkahkan kakinya ke
belakang. Dia memang telah percaya penuh pada
Dewa Arak. Sebab tanpa pertolongan pendekar
kondang itu, mungkin dia dan seluruh rekannya telah
tewas di tangan Ki Matija.
"Ah…! Tidak salahkah pengilhatanku ini? Benarkah
Dewa Arak yang telah menggemparkan dunia
persilatan itu, yang berkunjung ke sini?" ucap kakek
kecil kurus itu. Pandangan matanya memancarkan
ketidakpercayaan melihat kehadiran Dewa Arak di
sini.
Wajah Arya memerah karena merasa malu.
"Ah! Berita itu terlalu dilebih-lebihkan, Ki." elak
Dewa Arak malu. "Mana bisa dibandingkan dirimu, Ki.
Hampir semua orang tahu siapa dirimu, Ki. Bahkan
para prajurit dan Panglima pilihan Kerajaan Bojong
Gading berasal dari perguruan ini!"
"Aku dan rekan-rekanku datang kemari untuk
membalaskan kematian guruku. Ki Temula!" selak
Prawira. Pemuda bertahi lalat besar ini menjadi tidak
sabar melihat orang yang dicari malah terlibat
pembicaraan dengan Dewa Arak.
Ki Temula segera megnalihkan perhatiannya.
"Semua pembicaraanmu telah kudengar, Anak
Muda," sahut kakek kecil kurus yang bernama Ki
Temula ini. Suaranya terdengar pelan. "Mungkin perlu
kuberitahukan padamu, bahwa telah enam hari
lamanya aku tidak keluar dan ruang semadi. Kalau
tidak percaya pada ucapanku, kau boleh bertanya
pada semua muridku yang ada di sini. Mungkin perlu
kau ketahui, Anak Muda.... Ki Gayadi adalah segala-
nya bagiku. Dia tidak hanya sekedar seorang sahabat.
Bahkan boleh dikatakan kami seperti kakak adik. Jadi
kesedihanmu atas kematian gurumu itu mungkin
tidak sebesar kesedihanku. Hanya ini yang bisa
kukatakan padamu. Sekarang terserah bagaimana
penilaianmu. Tapi yang jelas, aku tidak akan tinggal
diam. Aku juga akan mencari orang yang telah
memakai namaku, dan membunuh sahabat terbaik-
ku."
Prawira dan rekan-rekannya terdiam. Mereka
melihat adanya nada kesungguhan pada suara dan
wajah kakek kecil kurus itu. Keragu-raguan kembali
melanda hati mereka. Tentu saja hal ini membuat
bingung. Kalau bukan kakek ini lalu siapa orang yang
telah datang kemarin malam itu?
Dalam kebingungannya. Prawira menatap satu
persatu rekan-rekannya. Tapi semua rekannya malah
menundukkan kepala. Makin bingungiah hati pemuda
ini. Dipandangnya Dewa Arak. Dari sinar matanya,
jelas kalau dia meminta pendapat pemuda berambut
putih keperakan itu.
Dewa Arak mulanya tidak ingin ikut campur,
karena ini adalah urusan dalam kedua perguruan itu.
Tapi ketika Prawira memandangnya dengan sorot
mata penuh permohonan, terpaksa Dewa Arak ikut
campur.
"Kalau menurut pendapatku, jelas ada orang yang
sengaja mengadu domba dengan jalan membunuh Ki
Gayadi," ucap Arya mengemukakan pendapat.
Ki Temula mengerutkan alisnya. Memang dugaan
Dewa Arak masuk akal. Tapi yang masih menjadi
pertanyaan, untuk apa si pengadu domba itu melaku-
kan semua ini?
"Kau yakin kalau yang membunuh gurumu adalah
aku, Anak Muda?" tanya Ki Temula pada Prawira.
Prawira yang kini sudah mereda amarahnya
menganggukkan kepala.
"Jelas sekali aku melihatmu, Ki. Bahkan bukan
hanya aku saja. Masih ada tiga orang lagi yang
melihatnya. Sayang, dua di antara mereka sudah
tewas. Yang tersisa hanya aku dan Sentanu," jawab
pemuda itu sambil menunjuk pemuda berhidung
besar di sebelahnya.
Lagi-lagi kakek kecil kurus itu menghela napas
panjang.
"Matija," panggil Ki Temula pada kakek muka kuda
itu.
"Ya, Kang"
"Kau kutugaskan untuk menyelidiki peristiwa ini.
Cari, siapa pembunuh Ki Gayadi! Siapa pun dia, kalau
bisa kau tangkap hidup-hidup, bawa dia ke
hadapanku! Tapi, kalau dia mati di tanganmu, bawa
mayatnya pun tidak apa-apa. Yang perlu kutegaskan
adalah, kau harus bertindak tegas. Sekalipun orang
itu aku sendiri. Ingat, kebenaran tidak mengenal tali
persaudaraan! Mengerti, Matija!"
"Mengerti, Kang," sahut kakek muka kuda itu
seraya menganggukkan kepalanya.
"Bagus!"
"Kapan aku harus berangkat, Kang?"
"Sekarang juga! Aku tidak ingin persoalan ini
menjadi berlarut-larut!" tegas Ki Temula.
"Baik, Kang!"
Setelah berpamitan pada kakak seperguruannya
dan pada Dewa Arak, Ki Matija berkelebat dari situ.
Cepat bukan main gerakannya. Sehingga dalam
sekejap saja tubuhnya sudah lenyap di balik pagar.
Memang ilmu meringankan tubuh kakek muka kuda
itu hampir mencapai tingkat kesempurnaan.
"Sekarang masalah ini sudah kita selesaikan. Aku
harap, kalian kembali ke perguruan. Aku yakin,
kedatangan kalian kemari tanpa seijin Ki Santa!"
tebak Ki Temula pelan.
Prawira dan rekan-rekannya memasukkan kembali
senjata-senjata yang digenggam ke dalam sarung
masing-masing
"Kami pergi dulu, Ki," pamit Prawira.
"Silakan. O, ya. Kalau murid-murid utamaku telah
kembali, aku akan datang menjenguk ke sana.
Sampaikan salamku pada Ki Santa!"
"Akan kusampaikan, Ki!"
Ki Temula dan Dewa Arak memandangi kepergian
murid-murid Perguruan Naga Api itu hingga lenyap di
balik pagar.
"Terima kasih, Dewa Arak. Tanpa campur tangan-
mu, mungkin persoalan ini kian membesar. Dan
Akibatnya bukan hanya bagi dua perguruan saja, tapi
kemungkinan besar akan merembet ke Kerajaan
Bojong Gading. Karena, banyak murid Perguruan
Naga Api dan Perguruan Garuda Sakti yang menjadi
prajurit dan panglima di sana! Syukurlah, kau telah
bertindak tepat'"
"Ah! Kau terlalu berlebihan memuji, Ki!" sambut
Dewa Arak merendah.
"Ha ha ha...! Semua berita yang kudengar cocok
sekali dengan apa yang kulihat. Kau memang
mengagumkan, Dewa Arak! Mari, mari masuk...!"
Ki Temula melangkah mendahului masuk ke
dalam salah satu bangunan, diikuti Dewa Arak.
TIGA
Murid-murid Perguruan Naga Api berlari cepat
menggunakan ilmu meringankan tubuh. Lincah
laksana kera, mereka melompat ke sana kemari,
menuruni lereng. Dan tak lama kemudian, mereka
pun telah memasuki hutan. Karena medan ini lebih
mudah ditempuh, maka perjalanan pun jadi lebih
cepat.
Tapi, ketika mereka sampai di tempat saat ber-
papasan dengan Dewa Arak, langkah mereka
serentak terhenti. Pandangan mata mereka ter-
tumbuk pada sosok tubuh yang berdiri menghadang
jalan.
Prawira dan kawan-kawannya kaget seketika. Jelas
sekali mereka mengenali sosok tubuh yang meng-
hadang jalan itu. Seorang kakek kecil kurus ber-
pakaian kuning. Wajahnya tirus mirip wajah seekor
tikus. Siapa lagi kalau bukan wajah Ki Temula.
Melihat sikap yang dttunjukkan Ki Temula, Prawira
merasakan adanya bahaya mengancam.
Srat..!
Tanpa ragu-ragu lagi, pemuda bertahi lalat besar di
wajah itu menghunus pedangnya.
Srat..! Srat..!
Adik-adik seperguruan Prawira pun segera meng-
ikuti tindakannya. Prawira melangkah waspada.
Selangkah demi selangkah pemuda bertahi lalat
besar ini berjalan. Dan dengan demikian, jarak di
antara mereka pun semakin bertambah dekat.
"Maai, Ki. Mengapa kau menghadang perjalanan
kami? Apakah ada sesuatu yang hendak dibicara-
kan?" tanya Prawira. Dicobanya mengusir dugaan
jelek yang muncul.
"Ha ha ha...!" kakek kecil kurus itu tertawa. Dan
secara mendadak pula dihentikan tawanya. "Enak
saja! Sehabis mengacau, dan membunuh ingin pergi
begitu saja, heh! Orang seperti kalian harus mati!"
Wajah murid-murid Perguruan Naga Api kontan
berubah hebat!
"Apa maksudmu, Ki? Bukankah baru saja kau
telah mengutus Ki Matija untuk membuat masalah ini
jadi jelas? Tapi, mengapa sekarang bersikap lain?
Kami jadi tidak mengerti!" tanya Prawira keras.
"Kalian tidak perlu mengerti!" sergah kakek kecil
kurus itu. "Yang jelas, kalian harus mampus! Habis
perkara! Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian, Ki Temula melesat
menerjang. Kedua jari tangannya mengembang
membentuk cakar burung. Ibu jari dan kelingkingnya
dilipat ke dalam. Seketika angin tajam bersiutan
nyaring mengi-ringi tibanya serangan itu.
Prawira kaget bukan main! Dia tahu betapa
dahsyatnya serangan itu. Pengalaman ketika hampir
tewas di tangan Ki Matija, telah membuatnya lebih
berhati-hati. Telah dibuktikan sendiri, betapa dahsyat-
nya kepandaian kakek muka kuda itu. Apalagi
kepandaian kakek di hadapannya, yang merupakan
kakak seperguruan Ki Matija.
Dengan demikian, pemuda ini tidak boleh berlaku
sembrono. Serangan-serangan yang datang itu tidak
ditangkisnya, melainkan dihindari. Cepat-cepat
dibanting tubuhnya ke tanah, dan terus bergulingan
menjauh.
Tapi Ki Temula ternyata tidak membiarkannya
lolos. Dikejarnya tubuh yang bergulingan itu dengan
serangan cakar garudanya.
Untunglah di saat kritis bagi Prawira, datang
bantuan dari adik-adik seperguruannya. Secara
berbareng, tiga orang murid Perguruan Naga Api
menyerang kakek kecil kurus itu dengan tusukan
pedang.
Singgg...! Singgg...! Singgg...!
"Keparat...!"
Ki Temula dongkol bukan main. Terpaksa diurung-
kan serangannya ke arah Prawira. Tubuhnya segera
digeliatkan sedikit, agar serangan itu tidak mengenai
bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Kemudian
secara berbareng kedua tangannya mengibas.
Takkk...! Takkk...! Takkk...!
Pedang-pedang itu meleset ketika telak mengenai
dada dan perut Ki Temula. Sepertinya yang ditusuk itu
bukanlah tubuh manusia, melainkan sebuah benda
licin.
Ketiga murid Perguruan Naga Api itu terkejut
ketika tangan mereka bergetar hebat dan terasa
sakit-sakit. Dan belum lagi sempat berbuat sesuatu,
kibasan cakar kakek kecil kurus itu telah menyambar
ke arah mereka.
Wut..!
"Akh...!"
"Aaa...!"
Jerit lengking kematian terdengar saling susul.
Kibasan cakar Ki Temula telak merobek leher
mereka. Darah seketika menyembur dari leher
mereka yang terluka. Beberapa saat lamanya mereka
menggelepar-gelepar meregang nyawa di tanah,
sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Prawira bangkit berdiri. Wajahnya pucat melihat
kematian tiga orang adik seperguruannya yang hanya
sekali gebrak saja. Pemuda itu tahu kalau mereka
tewas karena hendak menyelamatkannya. Hal ini
membuatnya geram bukan main. Tanpa mempeduli-
kan keselamatannya lagi, Prawira segera melompat
menerjang Ki Temula.
Tapi Prawira kalah cepat. Ternyata adik-adik
seperguruannya yang lain telah mendahuluinya.
Secara serentak mereka menyerang kakek kecil
kurus itu dengan senjata terhunus.
Suara desing senjata mereka mengiringi tibanya
hujan serangan ke arah Ki Temula. Tapi laki-laki tua
berwajah tirus itu tenang-tenang saja, dan malah
membiarkan saja serangan itu. Baru setelah
serangan itu hampir menyambar, cepat laksana kilat
dia mengelak. Tubuhnya menyelinap di antara
sambaran senjata lawannya.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai tingkatan tinggi, tak sulit bagi kakek kecil
kurus ini untuk mengelakkan serangan-serangan itu.
Sebaliknya setiap serangan balasannya, selalu
mengenai sasaran. Dan sudah dapat dipastikan,
setiap serangannya selalu membuat nyawa lawan
melayang ke akhirat.
"Aaakh...!"
Suara Jerit kematian terdengar saling susul
mengiringi robohnya tubuh-tubuh tanpa nyawa. Dalam
waktu sebentar saja, sudah tujuh orang murid
Perguruan Naga Api yang roboh bergelimpangan tak
bernyawa.
Memang sudah dapat diduga kalau akhirnya
hampir semua murid Perguruan Naga Api akan tewas
di tangan kakek kecil kurus yang sakti ini. Dan untung
saja tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat cepat
memasuki kancah pertarungan yang langsung
menghujani Ki Temula dengan serangan bertubi-tubi.
Plak...! Plak...!
Berturut turut Ki Temula menangkis serangan
orang yang baru datang itu. Akibatnya, tubuh
bayangan itu terjengkang ke belakang, sementara
tubuh Ki Temula terhuyung-huyung dua langkah ke
belakang.
"Ah...!"
Ki Temula berseru kaget. Disadari kalau
penyerangnya itu memiliki tenaga dalam yang tidak
kalah dahsyat darinya.
"Mundur semua !" teriak orang yang menyerang Ki
Temula kepada sisa murid-murid Perguruan Naga Api.
Maka serentak Prawira dan sembilan rekannya
berlompatan mundur. Mereka mengenali betul
pemilik suara itu.
Sekitar tiga tombak di hadapan Ki Temula, telah
berdiri seorang kakek bungkuk berusia sekitar tujuh
puluh tahun. Kumis, Jenggot. dan cambangnya
berwarna hitam. Hanya alisnya saja yang kelihatan
berwarna putih.
"Apa kabar, Santa?" tanya Ki Temula. Bibirnya yang
tipis menyunggingkan senyuman mengejek. Keter-
kejutan hatinya pun sirna tatkala mengetahui orang
yang telah menangkis serangannya. Tidak aneh kalau
orang yang menyerangnya itu memiliki tenaga dalam
tinggi, karena dia adalah kakak seperguruan Ki
Gayadi!
Ki Santa mengedarkan pandangannya ke sekitar-
nya. Tampak sosok-sosok tubuh murid Perguruan
Naga Api yang telah berserakan tanpa nyawa. Karuan
saja hal ini membuatnya marah bukan kepalang.
"Tidak usah banyak basa-basi. Temula! Aku
menyesal sekali, tidak mempercayai ucapan murid-
muridku. Akibatnya, kembali mereka berguguran
Akibat kekejianmu! Kau harus membalas semua
kekejianmu ini dengan nyawamu, Temula!"
"Ha ha ha..! Mampukah kau melakukannya.
Santa?!" ejek kakek kecil kurus itu tajam.
"Kita lihat saja buktinya!" sergah kakek beralis
putih, yang ternyata tidak pandai berdebat.
Setelah berkata demikian. tubuh Ki Santa
berkelebat menerjang. Sepasang kakinya melayang-
kan tendangan bertubi-tubi ke arah dada dan perut Ki
Temula.
Ki Santa mengawalinya dengan tendangan lurus
kaki kanannya ke arah perut. Namun Ki Temula
kelihatannya bersikap tenang. Tanpa ragu-ragu lagi
ditangkisnya tendangan itu dengan sabetan tangan
kanan. Tapi di luar dugaan, Ki Santa menarik kembali
kakinya di tengah jalan. Dan secepat itu pula dirubah
menjadi sebuah tendangan miring ke arah dada.
"Heh?!" dengus Ki Temula.
Cepat-cepat laki-laki berwajah tirus itu men-
doyongkan tubuhnya ke belakang, sehingga
tendangan lawan hanya mengenai tempat kosong.
Dan saat itulah tangan kanannya bergerak cepat
melakukan totokan ke arah mata kaki Ki Santa. Keras
bukan main totokan itu sehingga menimbulkan suara
angin bersiutan nyaring.
Ki Santa tentu saja tidak ingin mata kakinya
hancur oleh totokan lawan. Buru-buru ditarik kakinya
kembali, dan secepatnya mengirimkan serangan
balasan yang tak kalah dahsyatnya. Tampaknya
kedua tokoh sakti itu semakin bertarung sengit.
Masing-masing berusaha menjatuhkan lawan
secepatnya.
Suara angin mencicit dan menderu, menyemaraki
pertarungan dua tokoh sakti lain perguruan itu. Batu-
batu besar dan kecil beterbangan tak tentu arah.
Ranting-ranting berpatahan di sana-sini. Dan debu
mengepul tinggi ke udara. Prawira dan kawan-
kawannya buru-buru menjauh, karena tidak berani
menonton pertarungan itu dalam jarak dekat.
Jangankan terkena pukulan mereka, bahkan angin
pukulannya saja sudah cukup membuat nyawa
terancam!
Ki Santa mengerahkan segenap kemampuan yang
dimiliki, seperti ingin buru-buru mengakhiri per-
kelahian ini. Kakek ini sadar kalau lawannya
mempunyai banyak keunggulan dibanding dirinya.
Memang kelihatannya Ki Temula masih giat
berlatih diri. Sedangkan Ki Santa sendiri, hampir tidak
pernah lagi melatih ilmu-ilmu yang dimiliki, kecuali
hanya bersemadi. Itu pun hanya sekedarnya saja.
Memang kakek ini sudah tidak berniat lagi untuk
mengotori tangannya dengan darah. Tapi melihat
keselamatan murid-muridnya terancam, guru mana
yang sampai hati?
Memang tidak aneh jika menginjak jurus ke
seratus, napas Ki Santa mulai memburu. Otot-otot
tubuhnya yang sudah tua dan tidak pernah terlatih
lagi itu, tidak kuat lagi untuk dipakai bertanding
demikian lama.
"Ha ha ha...!"
Ki Temula tertawa terbahak-bahak melihat
keadaan lawannya yang mulai kepayahan. Kakek
kecil kurus ini yakin, tak lama lagi akan dapat
merobohkan lawannya.
Saking merosotnya kondisi tubuh, maka per-
lawanan Ki Santa pun semakin mengendur. Perlahan
namun pasti, kakek beralis putih ini mulai terdesak.
Prawira dan adik-adik seperguruannya tentu saja
melihat kenyataan ini. Beberapa kali terlihat tubuh Ki
Santa terhuyung ke belakang, setiap kali menangkis
serangan Ki Temula. Sampai akhirnya....
Plak...!
"Akh...!" Ki Santa mengeluh tertahan.
Tubuh laki-laki tua beralis putih itu terjajar ke
belakang ketika sebuah tamparan Ki Temula meng-
hantam bahunya. Seketika dirasakan sekujur tulang-
tulang tangannya terasa remuk-redam.
"Hiyaaa...!"
Ki Temula melompat menerjang. Tangan kanannya
yang berbentuk cakar Garuda dijulurkan ke depan, ke
arah ulu hati Ki Santa. Terdengar angin bersiutan
nyaring mengiringi tibanya serangan cakar itu.
Sepasang mata Ki Santa terbelalak lebar.
Kelihatannya kondisi tubuhnya yang sudah lelah.
Tidak memungkinkan untuk menangkis atau
mengelakkan serangan itu. Yang dapat dilakukan
hanyalah menanti datangnya maut dengan mata
terbuka lebar.
"Hiyaaa...!"
"Haaat...!"
"Hih..."
Sambil berteriak nyaring, tiga sosok tubuh
berkelebat memotong laju serangan Ki Temula.
Mereka tidak lain adalah murid-murid Perguruan
Naga Api yang secara nekad menyerang kakek
berwajah tirus. Tampak tiga batang pedang pun
berkelebat cepat mencari sasaran, menuju ke bagian-
bagian tubuh yang mematikan.
"Jangan…!" teriak Ki Santa mencegah. Kakek
beralis putih ini tahu akibat yang akan dihadapi tiga
orang muridnya bila mencoba memotong serangan
Ketua Perguruan Garuda Sakti.
Sementara itu, Ki Temula kelihatan geram dan
marah bukan main melihat tindakan tiga orang itu.
Terpaksa diurungkan niatnya menyerang Ki Santa.
Segera kedua tangannya berputaran cepat. Maka...
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
"Aaa…!"
Terdengar jerit kematian yang saling susul.
Sedangkan Ki Santa memandang dengan mata
membelalak. Hampir saja air matanya menetes
melihat robohnya tiga sosok tubuh murid yang telah
menyelamatkan nyawanya. Kepala mereka semua
remuk terkena cakar maut Ki Temula.
"Ha ha ha...! Kini giliranmu, Santa! Ingin kulihat,
siapa yang akan menyelamatkanmu kali ini! Hiya...!"
Ki Temula meluruk menerjang Ki Santa. Kedua
tangannya yang berbentuk cakar menyerang ke arah
ubun-ubun dan dada kakek beralis putih itu.
Tapi sebelum Ki Santa berbuat sesuatu, sesosok
bayangan ungu telah lebih dulu melesat memapak
serangan itu.
Prarrt…!
Tubuh kedua orang itu sama-sama terjengkang ke
belakang. Sedangkan Ki Temula kaget bukan main.
Sekujur tangannya terasa nyeri bukan main. Bahkan
dadanya pun terasa sesak. Sadarlah kakek kecil
kurus berwajah tikus itu kalau orang yang baru
datang ini memiliki tenaga dalam sangat tinggi.
"Dewa Arak...!" dengus Ki Temula tajam ketika
melihat sosok pemuda berambut putih keperakan di
hadapannya.
Ki Temula sadar, keberadaan Dewa Arak di situ
jelas akan membuat kedudukannya tidak
menguntungkan. Rasanya bodoh kalau dia masih
memaksakan diri untuk melawan pemuda berbaju
ungu itu. Mungkin kalau menghadapi Dewa Arak saja,
dia tidak gentar. Tapi di sana masih ada Ki Santa!
Maka, sebelum Dewa Arak sempat berbuat
sesuatu, tangannya segera bergerak ke balik jubah-
nya. Dan secepat tangan itu keluar, secepat itu pula
berhamburan puluhan batang jarum halus ke arah
Arya. Bersamaan dengan itu, tubuh kakek berwajah
tirus itu melesat pergi dari situ.
Dewa Arak kaget bukan main. Serangan itu sama
sekali di luar dugaannya. Memang, bagi Dewa Arak
tidak sulit untuk mengelakkan serangan itu dan terus
mengejar Ki Temula. Tapi, Dewa Arak tidak ingin
mengambil resiko. Kalau serangan itu dielakkan,
bukan tidak mungkin akan membawa korban murid-
murid Perguruan Naga Api, atau Ki Santa. Dan Arya
tidak ingin hal itu terjadi. Segera dikeluarkan jurus
yang jarang digunakannya, jurus 'Pukulan Belalang'!
Wusss..!
Angin berhawa panas menyambar deras dan
langsung memukul runtuh jarum-jarum yang
dilepaskan Ki Temula. Tapi begitu jarum-jarum itu
jatuh ke tanah, kakek kecil kurus itu telah lenyap dari
situ.
Dewa Arak memang tidak berniat mengejarnya,
karena disadari kalau hal itu tidak ada gunanya.
Hutan ini cukup lebat, lagi pula lawannya telah
lenyap. Merupakan suatu pekerjaan amat sulit dan
berbahaya jika melakukan pengejaran, karena lawan
dapat saja membokongnya dari belakang!
***
Ki Santa memandang takjub terhadap Dewa Arak
Dari adu tenaga tadi, dan pukulan berhawa panas
yang dilepaskan, dapat diketahui kalau pemuda
berambut putih keperakan ini memiliki kepandaian
tinggi.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak,"
ucap Ki Santa.
Walaupun kakek ini belum pernah melihat Arya,
tapi dia segera dapat mengenalinya. Memang, nama
besar Dewa Arak telah sampai ke Kerajaan Bojong
Gading. Kini rasa lelahnya telah menghilang. "Kalau
tidak ada dirimu, mungkin hari ini aku hanya tinggal
nama saja," sambung Ki Santa merendah.
"Ah! Jangan berterima kasih kepadaku, Ki.
Berterima kasihlah pada Gusti Allah. Aku hanya
perantara-Nya. Gusti Allah-lah yang telah menuntun
langkahku kemari."
Ki Santa tersenyum. Kekagumannya pada Dewa
Arak pun semakin bertambah tebal. Jelas, pemuda ini
tidak mempunyai sifat sombong! Ini nampak dari
tindak-tanduknya.
"Kau benar, Dewa Arak," dukung Ki Santa. "Hhh...!
Sungguh tidak kusangka kalau Ki Temula bisa sekeji
ini..."
"Maaf, Ki Aku tidak sependapat denganmu,"
sergah Arya pelan, seraya mengerutkan keningnya.
"Aku yakin bukan Ki Temula pelaku semua pem-
bunuhan keji ini. Masalahnya belum lama ini aku juga
habis dari Perguruan Garuda Sakti dan berbincang-
bincang dengan Ki Temula."
Mendengar pernyataan ini, Ki Santa tersentak.
Rasanya memang ada yang tak beres dalam
persoalan ini. Ingatan laki-laki beralis putih itu tiba
tiba terarah pada seorang tokoh hitam yang menjadi
musuh Ki Gayadi, adik seperguruannya itu. Namun di
lain hal, dia malah jadi sangsi. Ya! Mengapa orang itu
begitu sempurnanya memainkan ilmu 'Cakar
Garuda'? Sungguh suatu persoalan yang rumit!
"Hhh.. !" Ki Santa menghela napas. "Bisa kuterima
ketidakpercayaanmu, Dewa Arak. Semula aku juga
tidak percaya ketika mendengar berita itu dari Branta.
Bahkan Branta juga telah melarang mereka untuk
bertindak brutal seperti ini. Tapi sungguh tidak
kusangka kalau mereka pergi juga secara sembunyi-
sembunyi. Khawatir masalah itu akan bertambah
runyam, maka aku segara menyusul kemari. Untung
saja kedatanganku tepat pada waktunya. Kalau
tidak..., hhh...! Sukar dpercaya ..."
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Tadi, Aki mengatakan kalau mulanya tidak
percaya bahwa pembunuh Ki Gayadi itu adalah Ki
Temula?"
"Benar," jawab kakek berahs putih itu singkat "Apa
alasannya untuk tidak mempercayai?" kejar Dewa
Arak lagi.
"Karena aku tahu kalau Ki Temula adalah sahabat
akrab adik seperguruanku "
"Hanya itu saja, Ki?"
"Masih ada satu alasan lagi, Dewa Arak," sahut Ki
Santa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya
"Apa itu, Ki," desak Dewa Arak penuh gairah.
"Kami. Maksudku, Ki Gayadi dan Ki Temula dulu
mempunyai musuh yang mempunyai keahlian
menyamar. Sudah lama dia mendendam pada kedua
orang itu, tapi tidak pernah berhasil terlampiaskan"
"Siapa dia, Ki?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Peri Muka Seratus."
"Peri?" kening Dewa Arak berkernyit.
"Benar!" tegas kakek beralis putih itu. "Kabarnya
dulu dia adalah seorang wanita berwajah cantik,
sehingga orang memberi julukan peri."
"Hm...," gumam Dewa Arak. Kepalanya terangguk-
angguk. "Lalu mengapa sekarang pendirianmu
berubah, Ki? Maaf, bukannya aku sok tahu. Tapi dari
nada bicaramu, sepertinya kini kau percaya kalau
pembunuh Ki Gayadi justru adalah Ki Temula."
Ki Santa menatap wajah Dewa Arak tajam-tajam.
Sepasang bola matanya merayapi sekujur wajah
pemuda tampan berambut putih keperakan yang
berdiri di hadapannya ini.
"Peri Muka Seratus memang memiliki kepandaian
tinggi. Tapi rasanya tidak mungkin kalau sampai
menguasai ilmu milik Perguruan Garuda Sakti.
Apalagi memainkan ilmu 'Cakar Garuda' begitu
sempurna. Menyamar wajah orang dia memang bisa.
Tapi memainkan ilmu orang yang disamarinya dengan
begitu sempurna, jelas tidak mungkin dapat
dilakukannya!" tandas Ki Santa.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Perlu kau ketahui, Dewa Arak," sambung kakek alis
putih itu lagi. "Hanya ada dua orang yang menguasai
Ilmu 'Cakar Garuda'. Yang pertama Ki Matija, dan
kedua Ki Temula! Sementara, orang yang tadi
bertempur denganku mempergunakan Ilmu 'Cakar
Garuda'. Dan memainkannya demikian sempurna.
Nah! Dari pertempuran tadi, aku yakin kalau Ki
Temula pembunuh adik seperguruanku!"
Dewa Arak menghela napas panjang. Memang dia
sendiri pun tadi melihat jelas kalau orang yang
menyerang Ki Santa adalah Ki Temula. Tapi,
bukankah belum lama ini dia habis berbincang
bincang dengan Ki Temula? Dan kelihatannya, kakek
muka tirus itu menolak mentah-mentah jika dituduh
membunuh Ki Gayadi.
"Prawira...'" panggil Ki Santa keras.
"Ya, Paman Guru," sahut pemuda bertahi lalat itu
cepat, seraya melangkah mendekati kakek beralis
putih itu.
"Kau dan Sentanu kembali ke perguruan. Katakan
pada Branta agar segera kemari bersama seluruh
murid. Kita akan menyerbu Perguruan Garuda Sakti
untuk membalas dendam!"
"Ki..!" teriak Arya kaget. Ditatapnya tajam-tajam
wajah kakek berahs putih itu. Tapi Ki Santa sama
sekali tidak mempedulikannya.
"Cepat, Prawira...!" perintah Ki Santa lagi.
Pemuda bertahi lalat ini tidak bisa membantah.
Bersama Sentanu, dia segera melesat meninggalkan
tempat itu. Tapi belum begitu jauh mereka pergi, tiba-
tiba sesosok bayangan ungu melesat menghadang.
Sesaat kemudian, di hadapan kedua orang muda itu
telah berdiri Dewa Arak.
"Tunggu sebentar...!" seru Dewa Arak mencegah.
Kedua tangannya diulurkan ke depan.
Seketika Prawira dan Sentanu menahan langkah-
nya. Dengan pandangan meminta pertimbangan,
mereka menoleh ke arah Ki Santa. Kakek beralis
putih ini melangkah maju.
"Kuakui, aku dan seluruh murid Perguruan Naga
Api yang ada di sini, berhutang nyawa padamu, Dewa
Arak. Tapi, hal itu tidak berarti kau seenaknya ikut
campur urusan ini! Ini urusan dalam perguruan, Dewa
Arak. Urusan kehormatan! Kehormatan bagi kami
lebih daripada nyawa. Aku berjanji, atas nama
Perguruan Naga Api, akan membalas budimu!"
Keras dan tajam sekali kata-kata yang keluar dari
mulut kakek beralis putih itu. Bahkan wajah Dewa
Arak pun jadi merah padam. Arya memang paling
tidak suka kalau ada orang yang mengungkit-ungkit
pertolongan yang diberikan tanpa pamrih itu. Apalagi
dengan nada kasar begitu!
"Aku kecewa sekali melihat sikapmu, Ki. Jadi
memang pantas kalau adik seperguruanmu yang
menjadi Ketua Perguruan Naga Api, dan bukan
dirimu! Sebab, wawasan pikiranmu terlalu sempit!
Hanya amarah dan dendam saja yang kau ikuti! Kau
tentu tahu, Akibat apa yang terjadi karena
keputusanmu ini. Perang saudara! Apakah kau ingin
hal itu terjadi? Kalau ingin, silakan! Silakan turuti
amarahmu itu! Dan si pembunuh sebenarnya, pasti
akan bersorak-sorak di belakang tengkukmu!"
Napas Dewa Arak terengah-engah. Ucapan yang
didorong karena harga dirinya tersinggung, dan
kecemasan akan terjadinya sesuatu yang mengeri-
kan, membuat ucapannya begitu berapl-api. Bahkan
terdengar kasar dan keras.
Kepala Ki Santa bagai tersiram seember air es.
Ucapan Dewa Arak menyadarkan dan meredakan
amarahnya yang menggelegak. Amarahnya memang
telah sampai ke ubun-ubun. Ditariknya napas
panjang-panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat
untuk mendinginkan kepalanya yang dirasakan panas
terbakar amarah.
"Jadi menurutmu..., kudiamkan saja semua peng-
hinaan yang dilakukan Ki Temula itu padaku?!"
Dewa Arak tersenyum pahit.
"Jangan salah mengerti, Ki. Terus terang ku-
katakan padamu, aku tidak membela pihak mana
pun dalam hal ini Aku hanya ingin meluruskan
keadaan yang sebenarnya. Kalau ternyata terbukti Ki
Temula yang bersalah, terserah tindakanmu. Kau
berhak melakukan pembalasan, dan aku akan berada
di belakangmu! Tapi dalam persoalan ini. aku melihat
adanya banyak kejanggalan. Terutama pertarungan-
mu dengan orang yang kau anggap sebagai Ki
Temula!"
"Kejanggalan?!" tanya Ki Santa. Kening kakek ini
berkernyit dalam. "Boleh kutahu, di mana kejang-
galannya, Dewa Arak?"
"Tentu saja, Ki, Malah kau harus tahu. Karena
kaulah orang yang paling berkepentingan dalam hal
ini!"
Kakek beralis putih itu hanya tersenyum hambar.
"Boleh kutahu, sudah berapa jurus kau dan Ki
Temula bertempur?"
Ki Santa mengerutkan alisnya yang putih. Nampak
jelas kakek ini tengah mengingat-ingat.
"Kira-Kira... seratus jurus."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Waktu yang cukup lama. Apalagi, sebelum ber-
tempur denganmu pembunuh itu juga telah ber-
tempur dengan murid-muridmu. Berarti sudah lama
sekali dia berada di sini. Padahal.... aku baru saja
pamit pada Ki Temula untuk mencoba menyingkap
rahasia ini."
Wajah Ki Santa seketika berubah hebat.
"Jadi..., kau baru saja dari sana, Dewa Arak?!"
"Benar!"
"Lalu..., kalau bukan Ki Temula, siapa orang yang
membunuh adik seperguruanku dan murid-murid-
nya?" tanya kakek beralis putih ini. Kedengarannya,
memang bodoh sekali pertanyaan itu.
"itulah yang harus kita selidiki, Ki!" sahut Dewa
Arak tegas. "Sekarang kau bisa memaklumi tindakan-
ku yang mencegah keputusanmu tadi, Ki?"
"Hhh...!" Ki Santa menghela napas panjang.
"Maafkan atas kekasaran ucapanku tadi, Dewa Arak."
Dewa Arak tersenyum lebar.
"Tidak ada yang perlu di maafkan, Ki. Seharusnya
akulah yang meminta maaf padamu. Ucapanku ter-
lalu kasar tadi."
"Tapi, kadang-kadang sikap kasar pun diperlukan
juga, Dewa Arak."
"Ya, Kira-Kira begitu...," desah Arya. "O, ya.
Sekarang, apa yang hendak kau lakukan, Ki?"
Ki Santa termenung beberapa saat lamanya.
"Menyuruh semua muridku kembali ke perguruan
dan tidak melakukan perbuatan apa pun sampai
keadaan menjadi tenang. Hhh...! Terpaksa aku harus
turun tangan untuk menyingkap rahasia ini."
"Apakah tidak sebaiknya diwakilkan padaku, Ki?"
tanya Dewa Arak menawarkan bantuan.
"Bersantai-santai saja di perguruan, sementara
kau bersusah payah menyelidikinya? Tidak, Dewa
Arak! Sudah terlalu banyak kau menanam budi pada
kami! Dan, aku tidak ingin menumpuk budimu,
sehingga kami tidak mampu membayarnya."
Dewa Arak menghembuskan napas panjang. "Aku
mohon, jangan sebut-sebut lagi tentang budi, Ki! Aku
menolong secara sukarela, tanpa pamrih!" tandas
Arya tegas.
Ki Santa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ditepuk-tepuknya bahu Dewa Arak.
"Sikapmu inilah yang lebih menimbulkan ke-
kaguman di hatiku daripada kepandaian yang kau
miliki, Dewa Arak. Jarang orang seusiamu yang
memiliki kepandaian tinggi dan sekaligus mempunyai
sifat arif sepertimu!" puji kakek beralis putih itu.
"Ah! Kau memang pandai sekali memuji orang, Ki,"
elak Arya malu-malu. "O, ya. Aku pergi dulu, Ki!"
Setelah berkata demikian, Dewa Arak meng-
gerakkan tubuhnya. Kelihatannya seperti melangkah
saja. Tapi hebatnya, dalam sekejap mata saja
tubuhnya sudah berada lebih sepuluh tombak dari
tempat semula. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah
lenyap ditelan kerimbunan semak-semak dan
pepohonan yang lebat.
"Bukan main...!" desah Ki Santa dengan mata
memancarkan kekaguman. Sepasang matanya masih
saja menatap lurus ke depan, sekalipun tubuh Dewa
Arak telah tidak terlihat lagi.
"Pemuda luar biasa...," desah kakek itu lagi sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sebentar kemudian, Ki Santa telah memerintah-
kan murid-murid Perguruan Naga Api yang masih
tersisa untuk menguburkan eman teman mereka
yang tewas. Dan setelah pekerjaan itu selesai. Ki
Santa dan murid-muridnya pun berkelebat meninggal-
kan tempat itu.
EMPAT
Siang baru saja merambat menuju senja, ketika
sosok bayangan ungu berkelebat cepat menyusuri
Lereng Gunung Munjul. Berkat ilmu meringankan
tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan,
tidak berapa lama kemudian bayangan ungu yang
ternyata Dewa Arak sudah berada di depan pintu
gerbang Perguruan Garuda Sakti. Dan tentu saja
kedatangannya segera diketahui oleh dua orang
murid perguruan yang tengah berjaga-jaga.
"Ah...! Kiranya Dewa Arak. .," desah salah seorang
penjaga. Nada suaranya menyiratkan perasaan lega.
Memang, semula begitu melihat sesosok tubuh yang
melesat cepat ke arah perguruan, hati dua orang
murid ini sudah merasa tegang. Tidak aneh, karena
baru saja perguruan mereka telah diserbu.
"Ki Temula ada?" tanya Arya cepat.
"Ada Silakan masuk, Dewa Arak." sahut salah
seorang penjaga, kemudian mengantarkan Arya ke
dalam. Mereka lalu bersama-sama menuju ruang
utama perguruan.
Tentu saja kedatangan Dewa Arak mengejutkan Ki
Temula, yang saat itu tengah duduk menyendiri di
ruang utama. Sebuah ruangan yang tertata apik,
walaupun berdinding papan. Pada tiap sisi dinding,
dihiasi senjata-senjata kebanggaan perguruan.
Sementara itu, Ki Temula bergegas menghampiri
Dewa Arak dengan benak dipenuhi tanda tanya.
Masalahnya, pemuda berambut keperakan itu belum
lama pamit dari sini. Dan sekarang, dia kembali lagi.
Apakah ada sesuatu yang tertinggal?
"Ada apa, Arya? Bukankah..."
"Aku ingin bicara, Ki. Ada persoalan yang amat
penting," potong Dewa Arak, melihat keheranan yang
membayang di wajah kakek kecil kurus itu tatkala
melihat kedatangannya.
"Mari. Kita bicara di dalam," ajak Ketua Perguruan
Garuda Sakti ini seraya melangkah masuk lebih dulu.
Tanpa banyak bicara, Arya segera mengikutinya.
"Sekarang katakan apa yang ingin kau bicarakan,
Arya?" tanya Ki Temula setelah mereka duduk berdua
di sebuah ruangan dalam yang sepi. Dewa Arak
memang telah meminta agar kakek kecil kurus itu
memanggil nama saja, bukan julukannya.
Dewa Arak mendehem sebentar, kemudian
menceritakan peristiwa yang terjadi di hutan di kaki
Gunung Munjul ini. Dari mulai pertarungan antara Ki
Santa dengan kakek kecil kurus yang wajahnya mirip
Ki Temula, sampai pada keputusan Ki Santa yang
hendak menyerang markas Perguruan Garuda Sakti
secara besar-besaran. Untunglah niatan itu berhasil
dicegahnya.
"Ahhh...!" desah Ki Temula.
Perasaan kaget yang amat sangat nampak jelas di
wajah laki-laki berwajah tikus itu. Tapi meskipun
demikian, sorot matanya memancarkan kegembiraan.
Bukankah kini dia telah bebas dari tuduhan?
"Sungguh tidak kusangka, persoalan telah menjadi
segawat ini.... Untung ada kau, Arya. Sehingga,
kesalahpahaman ini dapat diatasi. Bukankah dari
kejadian ini mereka tahu kalau aku bukan pelaku
pembunuhan itu?" lanjut Ki Temula.
"Memang, kecurigaan mereka padamu sudah agak
pupus, Ki. Tapi, tetap saja masih ada satu ganjalan
lagi yang membuatku dan Ki Santa merasa heran...,"
ujar Arya seraya mengerutkan keningnya.
"Apa itu, Arya? Katakanlah...! Barangkali saja dapat
kubantu," pinta Ki Temula. Kembali perasaan tidak
enak melanda hatinya. Sikap Dewa Arak itulah yang
membuatnya demikian.
Dewa Arak menatap kakek kecil kurus di depannya
tajam-tajam. Sepasang matanya merayapi sekujur
wajah kakek itu, seolah-olah dengan cara begitu
masalah yang membingungkan hatinya bisa ter-
singkap.
"Pembunuh itu menguasai seluruh ilmu per-
guruanmu, Ki. Bahkan ilmu 'Cakar Garuda' pun
dikuasainya. Padahal Ki Santa mengatakan bahwa
hanya kau dan adik seperguruanmu yang menguasai
ilmu itu. Ini yang masih menjadi teka-teki buatku, Ki."
"Benar kata-katamu ini, Arya?" tanya kakek kecil
kurus ini meminta kepastian.
Dewa Arak mengernyitkan keningnya. Tidak enak
hatinya mendapat pertanyaan seperti itu. Terasa
seperti adanya nada ketidakpercayaan dalam suara
kakek itu.
"Perlukah bersumpah, Ki?" sindir Dewa Arak
Wajah Ki Temula memerah. Bisa dimaklumi
ketidaksenangan hati pemuda di hadapannya ini.
"Maaf, Arya. Tentu saja tidak perlu sampai seberat
itu. Ahhh...! Tapi.... maksudku. kuharap kau bisa
memakluminya. Berita yang kudengar ini terlalu
mengejutkan hatiku "
"Jadi, benar yang dikatakan Ki Santa itu, Ki?"
desak Dewa Arak.
Perlahan-lahan kepala Ki Temula mengangguk.
"Jadi..., Kini tinggal Ki Matijalah sebagai tertuduh
itu, Ki," ujar Dewa Arak.
"Bisa kumaklumi kecurigaanmu itu, Arya," ucap
kakek itu pelan.
"Ada satu hal lagi yang membuatku curiga pada
nya, Ki!" sambung Arya.
"Apa itu, Arya. Katakan saja, jangan ragu-ragu...,"
desak Ki Temula.
"Sikap Ki Matija yang terlalu telengas! Aku melihat
sendiri, Ki. Betapa mudahnya dia menurunkan tangan
maut pada murid-murid Perguruan Naga Api!"
"Memang sudah menjadi sifatnya, Arya," jelas Ki
Temula. "Adik seperguruanku itu memang mempunyai
sifat aneh. Apabila orang berbuat baik padanya, dia
akan membalas dengan kebaikan melebihi yang
diterimanya. Demikian pula jika orang menyakitinya,
pembalasan yang dilakukannya lebih pula. Dia
mempunyai sifat angin-anginan. Mudah marah, tapi
mudah pula memaafkan orang."
"Jadi..., dengan kata lain... Aki tidak sependapat
denganku?" tanya Dewa Arak meminta ketegasan.
Ki Temula termenung sejenak.
"Yahhh.... Kira-kira begitu, Arya. Tidak mungkin
kalau Matija adalah pelaku semua pembunuhan keji
itu," Jawab Ki Temula tegas.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas panjang dan berat,
dan keningnya berkernyit. Ketegasan kata-kata kakek
kecil kurus itu membuatnya agak bingung.
"Kalau bukan Aki atau Ki Matija..., lalu siapa lagi?
Masih adakah orang lain yang menguasai ilmu 'Cakar
Garuda' selain dirimu dan Ki Matija, Ki?"
Ki Temula menggelengkan kepalanya.
"Tidak ada. Hanya aku dan Matija yang menguasai
ilmu 'Cakar Garuda'. Eh, tapi..!"
"Ada apa, Ki?" tanya Dewa Arak. Kaget juga
pemuda ini, melihat kakek kecil kurus ini meng-
hentikan ucapannya begitu tiba-tiba. Wajah Ki Temula
berubah dan keningnya berkernyit dalam. Rupanya
memang ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.
Ki Temula menatap tajam Dewa Arak. Sedangkan
yang ditatap bersikap tenang-tenang saja.
"Kau mau berjanji untuk tidak memberitahukan
pada orang lain, Arya?" tanya kakek kecil kurus itu.
Pelan sekali suaranya.
Dewa Arak tercenung sebentar. Dibalasnya
pandang mata Ketua Perguruan Garuda Sakti ini tak
kalah tajam. Ada perasaan curiga di hatinya, melihat
sikap Ki Temula yang seperti menyembunyikan
sesuatu. Sementara itu Ki Temula juga menyadari
adanya kecurigaan pemuda berambut putih
keperakan di depannya.
"Jangan salah paham, Arya. Bukan maksudku ingin
menyembunyikan sesuatu. Tapi..., ini lain... Rahasia
perguruan. Tanpa adanya janjimu, aku terpaksa tidak
berani mengatakannya."
"Meskipun karena sikapmu itu akan semakin
banyak korban berjatuhan, Ki?" sindir Dewa Arak.
Ki Temula tersentak sehingga mengerutkan alis-
nya.
"Korban?! Apa maksudmu, Arya?" tanya Ki Temula.
Sepasang matanya merayapi wajah Dewa Arak penuh
selidik.
"Maaf, Ki. Tanpa Aki teruskan pun sudah dapat
kuduga bahwa ada orang ketiga yang menguasai
ilmu-ilmu Perguruan Garuda Sakti, termasuk 'Cakar
Garuda'! Dan orang itu adalah, apa yang dijadikan
sebagai rahasia perguruan," tebak Arya. "Bukan tidak
mungkin kalau orang ketiga itulah yang memfitnah
Aki selama ini!"
"Tidak mungkin!" bantah Ki Temula keras seraya
bangkit dari duduknya.
"Mengapa tidak mungkin? Aki terlalu menutup-
nutupi persoalan. Padahal masalah ini sudah terlalu
berlarut-larut. Bahkan pertumpahan darah hanya
tinggal menunggu waktu saja. Pembunuh itu jelas,
orang dalam Perguruan Garuda Sakti!" tegas Dewa
Arak bernada menuduh.
"Jaga mulutmu, Dewa Arak!" teriak Ki Temula
keras. Sepasang mata kakek ini berkilat-kilat
memancarkan sinar kemarahan. Dalam kemarahan-
nya, Ki Temula tidak memanggil pemuda di
hadapannya dengan namanya.
"Lalu kalau bukan orang dalam Perguruan Garuda
Sakti, siapa lagi yang mampu memainkan semua ilmu
perguruan ini? Terutama sekali ilmu 'Cakar Garuda'!
Pikirlah, Ki!" balas Dewa Arak tak kalah keras.
Ki Temula terdiam. Perlahan-lahan kakek kecil
kurus ini kembali duduk di tempatnya.
"Bukan hanya kau yang bingung, Arya. Aku pun
dilanda perasaan yang sama," keluh Ki Temula, mulai
reda amarahnya.
"Hanya dengan keterusterangan Aki, persoalan ini
mungkin bisa terungkapkan. Mengapa Aki yakin kalau
orang ketiga ini tidak mungkin melakukannya?" tanya
Dewa Arak. Juga lunak dan pelan suaranya.
Ki Temula menghela napas panjang. Nampak jelas
kakek ini merasa berat untuk menjawab pertanyaan
itu.
"Baiklah, Ki. Aku berjanji tidak akan memberitahu-
kan cerita ini kepada siapa pun," desah Dewa Arak
mengalah.
Ki Temula tersenyum mendengar janji Dewa Arak.
"Puluhan tahun yang lalu," tutur kakek itu memulai
ceritanya. "Guruku mempunyai tiga orang murid.
Kerpala sebagai murid tertua, lalu aku, dan Matija.
Kami bertiga memang memiliki bakat menonjol. Tak
aneh, kalau semua ilmu guru bisa dikuasai dengan
cepat. Tapi sayang, Kakang Kerpala tergelincir ke
jalan sesat, sehingga Guru terpaksa mengutusku dan
Matija untuk membawanya pulang. Hanya sayang
Kakang Kerpala waktu itu menolak, sehingga ter-
paksa aku dan Matija membawanya pulang dengan
kekerasan. Maka Guru pun menghukumnya dengan
hukuman seumur hidup."
"Jadi...," gumam Dewa Arak yang mulai paham
keadaan sebenarnya.
"Ya. Sampai sekarang dia masih berada dalam
ruang hukuman," keluh Ki Temula.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Itulah sebabnya, mengapa aku tidak percaya
ketika kau menyatakan kecurigaanmu padanya,"
sambung kakek itu lagi
"Bisa kulihat ruang hukuman itu, Ki?" tanya Arya
meminta.
Ki Temula tersentak kaget dan beberapa saat
lamanya termenung. Tampak jelas kalau kakek ini
tengah menimbang-nimbang. Ditatapnya lagi wajah
Dewa Arak tajam-tajam, kemudian pelahan tapi pasti
kepalanya terangguk pelan.
"Mari kuantar ke sana, Arya," ajak Ki Temula pada
pemuda berambut putih keperakan itu sambil bangkit
dari duduknya. Maka Dewa Arak pun bangkit dan
berjalan mengikuti Ki Temula.
***
"Inilah ruang tahanan itu, Arya," jelas Ki Temula
menunjukkan sebuah ruangan berukuran dua tombak
kali dua tombak yang terpisah jauh dari bangunan-
bangunan lainnya. Dinding-dindingnya terbuat dari
batu cadas yang amat tebal. Sementara pintunya
terbuat dari batangan baja bulat sebesar paha.
Dewa Arak memperhatikan ruang tahanan ini.
Ruang tahanan ini ternyata tidak dibuat manusia,
melainkan secara alami. Hanya pintu ruang tahanan
itu saja yang dibuat tangan manusia.
Setelah memeriksa beberapa saat, tahulah Dewa
Arak kalau tidak mungkin membobol ruang tahanan
ini dengan kekerasan. Dinding ruang itu terlalu tebal,
dan tak akan mungkin dapat dihancurkan tangan
manusia.
Begitu pula pintunya yang terbuat dari baja yang
amat kuat. Mungkin orang yang memiliki tenaga
dalam tinggi bisa mendobraknya. Hanya saja,
sebelum pintu ini didobrak, terlebih dahulu atap
ruangan itu yang runtuh. Dan, orang yang hendak
menjebol pintu itu lebih dulu akan mati terkubur.
Perhatian Dewa Arak ini. Kini beralih pada jeruji-
jeruji baja itu. Dengan seksama, diamat-amatinya
jeruji-jeruji itu karena barangkali ada tanda-tanda
pernah dibengkokkan secara paksa. Tapi kembali
Arya kecewa. Ternyata batang-batang jeruji itu mulus
semua, tidak ada tanda-tanda pernah dibengkokkan
secara paksa.
Di dalam ruang tahanan yang lebih patut disebut
gua tahanan itu, tampak meringkuk seorang kakek
kecil kurus. Wajahnya berwarna hitam. Dan tangan
dan kakinya terlilit gelang-gelang baja yang
disambung dengan rantai baja yang besar dan kuat.
Sepertinya, yang diikat itu bukan manusia melainkan
binatang tak berdaya.
"Bagaimana, Arya?" tanya Ki Temula yang sejak
tadi memperhatikan Dewa Arak meneliti tempat itu.
Ada nada kemenangan dalam suaranya.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas panjang.
"Rasanya memang tidak mungkin Ki Kerpala bisa
keluar dari sini...."
"Itulah sebabnya mengapa aku tidak sependapat
denganmu, Arya!"
"O ya, Ki. Apakah kau sering menjenguknya?" tanya
Dewa Arak tiba-tiba.
Ki Temula mengerutkan alisnya.
"Tidak. Aku datang menjenguknya tiga hari sekali.
Itu pun hanya untuk membawakan makanan."
"Kapan, Ki?" kejar Dewa Arak lagi.
"Malam atau siang?"
"Pagi," jawab kakek itu singkat.
Sekali lagi Dewa Arak menatap ke dalam ruang
tahanan. Tampak kakek kecil kurus berwajah hitam
itu masih saja memejamkan mata. Mungkin sedang
tidur.
"Aku rasa sudah cukup, Ki," ucap Dewa Arak "Dan
terima kasih atas kesediaan Aki memenuhi per-
mintaanku."
"Tidak perlu berterima kasih, Arya. Seharusnya aku
yang berterima kasih padamu. Kau yang sama sekali
tidak mempunyai sangkut-paut dalam hal ini, tapi
secara suka rela campur tangan...," sergah Ki Temula
sambil menggoyang-goyangkan tangannya.
"Memang itu sudah menjadi tekadku sejak
mempelajari ilmu silat, Ki," jelas Dewa Arak
"Ha ha ha...!" Ki Temula tertawa terbahak-bahak.
"Kau luar biasa, Arya. Sebenarnya bukan hanya kau
saja yang mempunyai tekad seperti itu. Tapi
sayangnya begitu telah merasa cukup, mereka pun
lupa akan tekadnya!"
Dewa Arak hanya tersenyum saja.
"Aku pergi dulu, Ki," pamit Dewa Arak. Lama-lama
rasanya memang risih juga dipuji terus-menerus.
Seketika tubuhnya pun melesat. Cepat bukan main
gerakannya, sehingga dalam sekejap saja yang
terlihat hanya sebuah titik yang semakin lama
semakin mengecil dan akhirnya lenyap di kejauhan.
***
Malam mulai jatuh menyelimuti bumi ketika dari
lereng Gunung Munjul, melesat sesosok bayangan
kuning. Cepat sekali gerakannya, sehingga yang
terlihat hanya kelebatan bayangan kuning yang ber-
gerak cepat ke kaki gunung.
Suasana malam yang gelap membuat wajah sosok
bayangan kuning itu sukar dikenali. Yang terlihat
hanyalah tubuhnya yang kecil kurus.
Cukup lama juga tubuh kecil kurus ini berlari,
sehingga hutan di kaki Gunung Munjul pun telah jauh
di belakangnya. Dan tiba-tiba larinya dihentikan di
depan sebuah rumah berdinding bilik. Kemudian
dilangkahkan kakinya mendekati pintu rumah itu.
Tapi baru saja kakinya melangkah masuk sebuah
suara telah menyambutnya.
"Mengapa lama sekali, Kakang?"
Sosok tubuh kecil kurus itu menatap ke arah
pemilik suara. Tampak seorang wanita setengah baya
berpakaian biru tengah duduk di sebuah bangku.
Rambutnya digelung ke atas, dan di punggungnya
tersampir sebatang pedang. Orang itu dikenal
betjuluk Peri Muka Seratus. Di samping wanita itu
juga duduk seorang laki-laki.
"Keadaan menghendaki demikian, Komala," jawab
laki-laki kurus itu sambil memandang Peri Muka
Seratus. Wanita itu memang mempunyai nama asli
Komala. Kemudian sepasang matanya beralih, pada
seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun dan
berpakaian indah. Dia juga tengah duduk di sebelah
Peri Muka Seratus.
"Bagaimana usahamu, Kang? Berhasil...?" tanya
laki-laki berpakaian indah itu, sambil menatap sosok
tubuh kecil kurus yang kemudian duduk di
hadapannya.
Laki-laki kecil kurus hanya menghela napas
panjang.
"Sayang sekali, Adi Pradipta," desah laki-laki kurus
yang ternyata seorang kakek, pelan bernada keluhan.
Wajah laki-laki setengah baya yang dipanggil
Pradipta seketika berubah. Dia adalah seorang
adipati di Kadipaten Tasik.
"Jadi..., usahamu gagal, Kang?" terdengar ada
nada kekecewaan dari ucapan Pradipta.
"Gagal sih, tidak. "
"Lalu...?" desak Pradipta.
"Tidak berjalan sesuai rencana kita," jelas kakek
kecil kurus.
"Hm...," gumam Adipati Pradipta sambil meng-
angguk-anggukkan kepalanya.
"Seseorang telah ikut campur tangan dalam
urusan ini! Kalau tidak, mungkin semua berjalan
sesuai rencana!" tambah si kakek kecil kurus.
"Keparat!" maki Peri Muka Seratus. "Siapa orang
yang usilan itu, Kang? Sudah kau singkirkan dia?"
"Belum, Komala," jawab kakek kecil kurus itu
seraya menggelengkan kepalanya.
"Mengapa, Kang?! Bereskan saja orang itu,
sebelum mengacaukan rencana Kita selanjutnya!"
selak Pradipta.
"Orang itu memiliki kepandaian tinggi, Adi. Aku
sendiri ragu, apakah sanggup menghadapinya."
"Kau kenal orang itu, Kang?" tanya Pradipta. Mulai
melunak suaranya.
"Kenal sih, tidak. Tapi berita mengenai
kepandaiannya yang tinggi, sudah sering kudengar,"
jelas kakek itu,
"Jadi, kau belum pernah bertempur dengannya,
Kang?!"
"Sudah! Satu kali. Dan kabar itu tidak berlebihan.
Tenaga dalam yang dimilikinya cukup tinggi!"
"Ah...!" keluh Pradipta kaget. "Kalau begitu orang
itu hebat sekali! Siapa dia, Kang?!"
Kakek kecil kurus itu bangkit berdiri, lalu
melangkah pelahan ke arah jendela. Pandangannya
menatap kosong ke luar beberapa saat lamanya.
Baru setelah itu dibalikkan tubuhnya.
"Dewa Arak...!" jawab kakek kurus itu lambat-
lambat tapi penuh tekanan.
"Dewa Arak...?!" ulang Pradipta dan Peri Muka
Seratus terkejut. Memang nama besar Dewa Arak
sudah sering terdengar, sebuah julukan yang telah
menggoncangkan dunia persilatan, dengan banyak
tewasnya tokoh sakti di tangannya.
"Ya! Dewa Arak...!" tegas kakek itu lagi. Kemudian
diceritakan pertarungannya waktu menghadapi Dewa
Arak, selagi dia hampir berhasil membasmi murid-
murid Perguruan Naga Api.
Tampak jelas Pradipta kebingungan mendengar
berita itu. Adipati ini melangkah mondar-mandir di
ruangan itu. Keningnya berkernyit dalam dan rupanya
tengah berpikir keras.
"Aku ada usul, Kang...!" ucap adipati itu keras.
Sepasang matanya nampak berseri-seri.
Melihat sikap adipati itu, kakek kecil kurus
menatap tajam ke arah laki-laki berusia tiga puluh
lima tahun itu. Ada rasa keingintahuan yang
mendalam pada sorot matanya.
"Coba kemukakan usulmu, Adi Pradipta," pinta
kakek itu penuh gairah.
Adipati Pradipta berdehem sebentar.
"Tidak ada jalan lain lagi, Kakang. Rasanya aku
sudah tidak sabar lagi untuk segera merebut Istana
Bojong Gading. Kita langsung saja pada puncak
rencana," tegas Adipati Pradipta.
"Maksudmu bagaimana, Pradipta?" tanya Peri
Muka Seratus. Wanita licik ini memang masih belum
mengerti.
"Ya, Adi. Aku dan gurumu belum paham
maksudmu," tambah kakek kecil kurus itu. Memang,
Peri Muka Seratus adalah guru Adipati Pradipta.
"Begini, Kang. Kakang dan seluruh murid kakang
malam ini juga menyerbu Perguruan Naga Api. Bantai
semua yang ada di sana, tapi sisakan seorang saja.
Sudah bisa kuperkirakan kalau orang yang tak
terbunuh itu pasti ingin mengadakan pembalasan.
Dugaanku, kalau tidak ke Panglima Jumali, dia tentu
mengadu ke Panglima Gotawa. Dan paling tidak, pasti
panglima itu membalas dendam dengan membawa
pasukannya. Bila ini benar, aku akan mengutus anak
buahku untuk memberitahu Panglima Jatalu. Maka
dapat dipastikan akan terjadi bentrok antar pasukan.
Bagaimana, Kang? Bisa kau terima usulku ini?" jelas
adipati itu. Ada senyum terkembang di bibirnya.
Kakek kecil kurus ini mengacungkan ibu jarinya.
Bahkan Peri Muka Seratus pun tersenyum lebar.
"Dan selagi mereka semua saling bentrok, Kita
akan menyerbu Istana Bojong Gading. Begitu bukan
maksudmu, Pradipta?" tebak Peri Muka Seratus.
"Benar, Guru."
"Otakmu memang selalu cemerlang, Adi," puji
kakek berpakaian kuning itu. "Memang mulanya
sudah terpikir olehku untuk segera memajukan
rencana Kita, lebih cepat dari semula. Hanya saja,
aku tidak tahu dari mana harus memulai. Kau
memang cerdik, Adi Pradipta!"
"Ha ha ha...!" Adipati Pradipta tertawa terbahak-
bahak. "Tak lama lagi Kerajaan Bojong Gading akan
jatuh ke tanganku! Ha ha ha...!"
Kakek kecil kurus berpakaian kuning itu
mengerutkan alisnya ketika teringat sesuatu.
"Tunggu, Adi. Bagaimana dengan seragam
Perguruan Garuda Sakti untuk murid-muridku?"
Adipati Pradipta tersenyum lebar.
"Tidak perlu kau pusingkan masalah itu, Kang.
Semuanya sejak jauh-jauh hari sudah kupersiapkan.
Kakang tinggal menyuruh mereka untuk mengena-
kannya. Dan..., menghancurkan Perguruan Naga Api!"
"Ha ha ha...!"
Suara gelak tawa langsung pecah dari rumah kecil
berdinding bilik. Mereka memang tidak pertu merasa
khawatir terdengar orang, karena tempat itu letaknya
amat jauh dari tempat lainnya.
LIMA
Glaar...!
Kembali untuk yang kesekian kalinya halilintar
menggelegar di angkasa. Beberapa saat lamanya,
suasana malam yang tersetimut awan hitam dan
tebal sehingga menutupi bulan, menjadi terang
benderang. Titik-titik hujan pun pelahan-lahan turun
membasahi bumi, diiringi hembusan angin dingin
membekukan tulang.
Dalam suasana malam seperti itu, rasanya orang
lebih suka tinggal di dalam rumah. Tapi, tidak
demikian halnya dengan sosok bayangan serba
kuning yang tengah berkelebatan. Tubuhnya kecil
kurus, namun gerakannya cepat bukan main.
Glarr…!
Halilintar menggelegar lagi. Untuk beberapa saat
lamanya keadaan kembali menjadi terang benderang.
Cahaya terang yang sekilas itu cukup untuk
menerangi wajah sosok bayangan kuning yang
ternyata seorang kakek berusia sekitar enam puluh
tahun dan berwajah mirip tikus.
Dan ternyata tidak hanya kakek kecil kurus
berpakaian kuning itu saja yang berkeliaran di malam
gelap dan dingin itu. Di belakangnya juga berkelebat
puluhan sosok tubuh berpakaian kuning yang
bergerak gesit bukan main. Rupanya kakek kecil
kurus berpakaian kuning itu adalah pemimpin orang
berseragam kuning yang mengikuri di belakangnya.
Tak lama kemudian kakek kecil kurus itu meng-
hentikan gerakannya, dan cepat menyelinap ke batik
sebatang pohon. Kepalanya ditolehkan ke belakang,
melihat rombongan orang berseragam kuning yang
masih berlarian agak jauh di belakang.
Sebentar kemudian, sepasang matanya dialihkan
ke depan, menatap sebuah bangunan besar dan
megah yang dikelilingi pagar kayu bulat yang
kelihatan kokoh kuat Pada bagian atas pintu gerbang,
terpampang sebuah papan tebal berukir yang
bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi, Perguruan
Naga Api.
Tak lama kemudian, rombongan orang berseragam
kuning itu pun tiba. Mereka pun bergerombol
bersembunyi. Sementara kakek kecil kurus ber-
pakaian kuning itu segera membalikkan tubuhnya,
menghadap mereka yang jumlahnya tak kurang dari
tiga puluh orang.
"Ingat! Jangan kalian bunuh semua! Sisakan satu
orang, agar mengabarkan penyerbuan Kita! Kalian
mengerti?!" desis kakek pakaian kuning seraya
menatap tajam.
"Mengerti...!" desah mereka serempak.
"Bagus! Mari Kita mulai!"
Tanpa diperintah dua kali, puluhan sosok tubuh itu
berkelebat cepat menuju markas Perguruan Naga Api.
Sementara itu, kakek berpakaian kuning telah
terlebih dulu melesat pergi. Keadaan alam saat itu
memang menguntungkan orang-orang berseragam
kuning. Laksana iblis bergentayangan, mereka
berkelebatan cepat mendekati sasaran.
Kakek berpakaian kuning merupakan orang
pertama yang telah mendekati pintu gerbang. Cepat
laksana kilat, sebelum kedua penjaga itu menyadari,
tubuhnya telah melesat cepat ke arah mereka.
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Jerit kematian panjang seketika terdengar susul-
menyusul mengikuti robohnya dua sosok penjaga itu
ke tanah. Karuan saja jeritan itu menyentakkan
suasana yang semula hening itu. Dan suara jeritan
yang memang sudah keras, jadi bertambah keras.
Seketika suasana di perguruan itu menjadi gempar.
Sesaat kemudian, dari dalam bangunan-bangunan
yang terdapat dalam markas Perguruan Naga Api,
berkelebatan beberapa orang yang bergerak cepat ke
arah asal jeritan tadi. Tapi, belum juga mereka
mencapai tempat itu, sosok-sosok bayangan kuning
berkelebatan cepat menghadang.
Di antara mereka yang berkelebat keluar, tampak
Prawira dan Sentanu. Mereka nampak geram
dihadang orang-orang berseragam kuning itu. Sinar
lampu obor yang terpancang hampir di setiap tempat,
cukup untuk menerangi halaman luas itu, sehingga
mereka dapat melihat jelas orang-orang yang
menghadang.
"Keparat..! Kalian murid-murid Perguruan Garuda
Sakti...!" sentak Prawira kaget melihat orang-orang itu
berseragam kuning.
Dan seketika itu juga, orang-orang berseragam
kuning serentak menyerang. Maka, denting senjata
beradu pun mulai menyemaraki suasana malam yang
semula hening dan sunyi mencekam itu. Sesekali
diselingi jerit tertahan orang yang terkena serangan
lawan.
Tampak kakek berpakaian kuning dan bertubuh
kecil kurus tengah mengamuk hebat. Ke mana saja
tangan atau kakinya bergerak, sudah dapat dipasti-
kan di situ ada tubuh yang roboh tanpa nyawa.
Sehingga dalam sebentar saja, sudah lima orang
tewas di tangannya.
Murid-murid Perguruan Naga Api yang kepandaian-
nya jauh di bawah kakek itu, terdesak hebat. Apalagi
ditambah para pengikutnya memang dalam hal
jumlah tidak kalah. Tapi banyak hal yang merugikan
mereka. Salah satu di antaranya adalah ketidak-
siapan dalam menghadapi lawan yang tidak disangka-
sangka itu. Apalagi ketika beberapa saat kemudian,
terbukti bahwa rata-rata kepandaian orang-orang
Perguruan Garuda Sakti di atas mereka.
Tampak satu persatu murid Perguruan Naga Api
berguguran. Apalagi yang dihadapi kini juga kakek
kecil kurus berpakaian kuning. Keadaan mereka tak
ubahnya semut-semut menerjang api yang langsung
roboh tanpa daya.
"Keparat..! Temula, akulah lawanmu!"
Berbareng selesainya ucapan itu, sesosok tubuh
berjubah putih masuk ke tengah arena dan langsung
menerjang kakek berpakaian kuning yang ternyata Ki
Temula. Dia mengenal serangan yang berbahaya itu.
Cepat-cepat Ki Temula melompat mundur ke
belakang, sehingga serangan itu mengenai tempat
kosong.
"Mengapa tidak sejak tadi kau keluar, Santa?!"
ejek kakek berwajah tirus tajam.
Tapi si penyerang yang ternyata Ki Santa tidak
mempedulikan ejekan Ki Temula, dan cepat
menyerang lawannya. Amarahnya memang sudah
sejak tadi berkobar-kobar, melihat banyak murid
Perguruan Naga Api yang tergeletak tanpa nyawa.
Jari-jari tangannya terkembang membentuk cakar
naga. Tangan kanannya meluruk deras ke arah ulu
hati, sementara cakar tangan kiri menempel di
pergelangan tangan kanan. Posisi tangan itu ter
palang di depan dada.
Ki Temula yang sudah tahu kelihaian kakek beralis
putih itu, tanpa sungkan-sungkan lagi mengeluarkan
ilmu andalannya. 'Cakar Garuda'. Ibu jari dan
kelingkingnya dilipat ke dalam, membentuk cakar
garuda. Tanpa sungkan-sungkan lagi, dipapaknya
serangan cakar itu.
Prattt !
Tubuh Ki Santa terdorong dua langkah, sementara
Ki Temula hanya terhuyung satu langkah ke belakang.
Tapi, begitu daya dorong yang membuat tubuh
mereka terhuyung habis, mereka pun saling gebrak
kembali.
Ki Santa bertarung bagai macan luka. Kemarahan
yang amat sangat berkobar-kobar dalam hatinya.
melihat satu persatu murid Perguruan Naga Api
berguguran.
"Aaakh...!"
Kembali terdengar jeritan menyayat. Kali ini
terdengar dari mulut Prawira! Pemuda bertahi lalat
besar ini berdiri tertatih-tatih sambil memegangi
perutnya yang robek memanjang. Darah mengalir
deras dari luka lewat sela-sela jarinya. Kemudian,
tubuhnya roboh untuk selama-lamanya. Mati.
Gigi Ki Santa bergemeletuk menahan geram. Pilu
hatinya melihat murid-muridnya terbantai di depan
mata tanpa dia mampu berbuat apa-apa. Maka
kemarahannya pun ditumpahkan pada Ki Temula.
Namun walau kakek beralis putih ini telah mengerah-
kan segenap kemampuan yang dimiliki, tetap saja
tidak mampu mendesak lawannya.
Memasuki jurus ketujuh puluh, Ki Santa mulai
terdesak. Sampai akhirnya pada jurus ke tujuh puluh
tiga, sebuah pukulan Ki Temula telak bersarang di
perutnya.
"Hukh...!" keluh Ki Santa tertahan dan tubuhnya
kontan terbungkuk. Di saat itulah, kembali kaki kakek
kecil kurus itu bergerak menendang.
Prak...!
Terdengar suara berderak keras ketika tendangan
itu menghantam kepala Ki Santa.
"Aaakh...!"
Kakek beralis putih itu memekik tertahan.
Beberapa saat lamanya tubuh Ki Santa terhuyung-
huyung, sebelum akhirnya roboh ke tanah dengan
kepala pecah. Ki Santa tewas seketika itu juga.
"Ha ha ha...!" tawa bergelak penuh kemenangan
terdengar dari mulut Ki Temula. "Bakar habis semua
bangunan ini...!" Tanpa diperintah dua kali, orang-
orang berseragam kuning itu melemparkan beberapa
obor ke arah bangunan. Tak lama kemudian, api pun
mulai berkobar melahap bangunan Perguruan Naga
Api.
"Ada yang berhasil meloloskan diri?" tanya kakek
berpakaian kuning itu pada salah seorang anak
buahnya.
"Ada, Guru," jawab orang itu.
"Bagus...! Dan kita hanya tinggal menunggu api
pertempuran meletus. Sebentar lagi, Kerajaan Bojong
Gading akan Kita kuasai. Bojong Gading akan
dibanjiri darah!" desis kakek kecil kurus itu tajam.
"Benar, Guru...," sahut si murid membenarkan.
"Kumpulkan mereka semua cepat, dan segera
pergi dari sini! Api itu akan menarik perhatian orang
untuk menuju kemari! Cepat laksanakan!"
"Baik, Guru...!" sahut murid itu. Segera kawan-
kawannya diperintahkan untuk meninggalkan tempat
itu. Sementara si kakek kecil kurus telah lebih dulu
melesat dari situ.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kakinya hinggap di luar
pagar yang mengelilingi bangunan Perguruan Naga
Api. Tapi baru saja kakinya akan melangkah, sebuah
teguran telah menyapanya.
"Mau ke mana, Kang?"
Kakek berwajah tirus mirip tikus itu seketika
mengangkat kepalanya. Di depannya dalam jarak
sekitar tiga tombak, berdiri seorang kakek berpakaian
kuning dan wajahnya mirip kuda. Siapa lagi kalau
bukan Ki Matija.
"Matija...," desis kakek bertubuh kurus itu.
"Ya. Aku, Kang," desah Ki Matija pelan.
"Mau apa kau kemari, Matija?!" tanya Ki Temula.
Keras dan tajam nada suaranya.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Kang.
Apa yang kau lakukan di Perguruan Naga Api?!
Sungguh tidak kusangka kalau memang kaulah
pelakunya!" tandas kakek beimuka kuda itu seraya
tersenyum mengejek.
Ki Temula menghela napas panjang.
"Kau salah paham, Matija. Perlu kau ketahui, aku...
eh...! Matija! Awas di belakangmu...!" teriak Ki Temula
kalap.
Ki Matija terkejut bukan main mendengar
peringatan itu. Secepat kilat dibalikkan tubuhnya ke
belakang, bersiap untuk menghadapi segala kemung-
kinan. Tapi ternyata di belakangnya tidak ada apa-
apa. Sadarlah Ki Matija, kalau dirinya tertipu.
Buru-buru Ki Matija berbalik, tapi terlambat! Ki
Temula yang telah menemukan kesempatan, tidak
menyia-nyiakannya begitu kakek muka kuda itu
membalikkan tubuh. Cepat laksana Kilat, dia
melompat menerjang. Dikerahkan seluruh
kemampuan yang dimilikinya dalam penyerangan ini.
Prattt..!
"Aaakh...!"
Ki Matija memekik tertahan. Serangan Ki Temula
dalam jurus 'Cakar Garuda', telah menghantam
pelipisnya. Tanpa ampun lagi tubuhnya terjengkang
ke belakang dengan tulang pelipis retak. Ki Matija
tewas, setelah meregang nyawa sebentar. Darah
segar langsung membasahi bumi.
"Ha ha ha...!"
Kembali tawa kemenangan terdengar dari mulut Ki
Temula. Kemudian diangkatnya tubuh kakek muka
kuda itu, lalu dilemparkan ke dalam api yang tengah
berkobar. Tanpa ampun lagi, tubuh wakil ketua
Perguruan Garuda Sakti segera dilalap api.
Sementara Ki Temula segera melesat kabur dari situ.
"Sayang waktuku tidak banyak, Matija! Kalau saja
waktuku banyak, tak akan kubiarkan kau mati secara
demikian enak," desah kakek berwajah tirus itu
pelahan.
Setelah berkata demikian, tubuh Ki Temula
melesat dari situ. Dalam sekejap mata saja bayangan
tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
***
Sesosok bayangan ungu melesat cepat mendaki
Lereng Gunung Munjul. Gerakannya gesit bukan
main. Suasana malam begitu gelap, sehingga
wajahnya tersembunyikan. Dan yang terlihat hanyalah
sekelebat sinar ungu dan putih keperakan.
Rupanya bayangan itu menuju ruang tahanan
tempat Ki Kerpala berada. Ya, dia memang menuju
ruang tahanan yang lebih mirip gua itu. Langkahnya
terhenti di sebuah ruang yang depannya berjeruji besi
baja bulat, dan berdinding baru cadas yang amat
tebal. Jelas, itu adalah ruang tahanan untuk Ki
Kerpala.
Glarrrr...!
Halilintar menggelegar kembali. Sesaat sinarnya
yang terang menyinari bumi. Tapi waktu yang hanya
sesaat itu, sudah cukup untuk menerangi wajah
bayangan ungu itu dan ruang tahanan Ki Kerpala.
"Kosong...," desis si bayangan ungu yang ternyata
adalah Arya Buana alias Dewa Arak. Ruangan
tahanan itu memang kosong, tak ada seorang pun di
dalamnya. Yang ada hanya rantai-rantai baja yang
berserakan di lantai.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak
melesat dari situ. Dikerahkan seluruh kemampuan
yang dimiliki, sehingga yang terlihat hanya bayangan
ungu saja yang berkelebatan cepat. Dan tak lama
kemudian, Dewa Arak telah berada di depan pintu
gerbang Perguruan Garuda Sakti.
"Ki Temula ada?" tanya Arya pada murid Perguruan
Garuda Sakti yang menjaga pintu gerbang.
"Ada. Silakan masuk, Dewa Arak!" ucap salah
seorang di antara mereka.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya
melangkah masuk dengan diantar salah seorang dari
dua penjaga pintu gerbang itu. Dan kini mereka tiba
di ruang semadi Ki Temula. Penjaga itu lalu
meninggalkan Dewa Arak. Setelah mengetuk pintu
sebentar, Arya segera masuk ketika mendapat
sahutan dari dalam.
"Arya! Silakan masuk," kata Ki Temula, seraya
berdiri menyambut Arya.
"Aku membawa berita buruk untukmu, Ki," jelas
Arya.
"Penting sekalikah berita itu, Arya? Sehingga di
malam selarut ini kau datang mengunjungiku?" tanya
Ki Temula begitu mereka berdua telah berada di
dalam ruang semadinya.
"Sangat penting, Ki," sahut Arya cepat.
Ki Temula mengerutkan alisnya.
"Hm..., urusan orang yang menyamar sebagai aku
kan?" tebak kakek berwajah tirus itu.
"Benar, Ki. Dan aku telah tahu sekarang, siapa
orang yang telah memfitnahmu itu!" tandas Dewa
Arak.
Wajah Ki Temula berubah. Sepasang matanya
menyipit merayapi wajah Dewa Arak.
"Benarkah apa yang kau katakan, Arya. Yakinkah
kau kalau kali ini dugaanmu tidak meleset?" tanya Ki
Temula kurang yakin.
"Yakin, Ki," sahut Arya seraya menganggukkan
kepalanya.
"Siapa orang itu, Arya?" tanya kakek kecil kurus itu.
Agak bergetar suaranya karena perasaan tegang yang
melanda hatinya.
"Hhh...!" desah Dewa Arak sebelum memulai
ucapannya. "Orang itu adalah..., Ki Kerpala, Ki."
"Tidak mungkin!" sentak Ki Temula. Sepasang
matanya memancarkan sinar kemarahan. "Tarik
kembali ucapanmu, Arya! Atau..., terpaksa Kita
berhadapan sebagai musuh!"
Dewa Arak menatap tajam Ki Temula.
"Apakah memang sudah menjadi sifatmu untuk
tidak mempercayai ucapan setiap orang, Ki?" sindir
Arya tajam. "Apakah kau tidak berkeinginan untuk
membuktikan kebenaran berita yang kubawa ini. Mari
Kita cepat melihat ruang tahanan itu, Ki. Aku berani
mempertaruhkan kepalaku seandainya ucapanku
tidak benar!"
"Baik! Mari Kita melihatnya! Dan ingat, Dewa Arak.
Kalau ternyata terbukti kata-katamu itu tidak benar.
Enyahlah kau dari sini, dan jangan injak tempatku
lagi!"
"Baik! Mari Kita buktikan! Cepat, sebelum dia
kembali lagi ke sana!"
Setelah berkata demikian, tubuh Dewa Arak
melesat Cepat bukan main gerakannya. Ki Temula
tentu tak mau kalah. Tubuhnya berkelebat cepat
menyusul Dewa Arak yang telah melesat lebih dulu.
***
"Mustahil...!" teriak Ki Temula ketika melihat ruang
tahanan sudah kosong, dan rantai-rantai baja yang
berserakan di lantai dalam keadaan utuh. Bergegas
diambilnya kunci pintu jeruji baja itu, kemudian
dibukanya.
Dewa Arak tidak berkata apa-apa dan hanya
mengikuti tubuh Ketua Perguruan Garuda Sakti yang
telah masuk ke dalam ruangan itu. Ki Temula
membungkukkan tubuh, memungut gelang-gelang
baja yang melilit pergelangan tangan dan kaki Ki
Kerpala. Diperhatikannya sejenak, kemudian diper-
lihatkan pada Arya.
"Tidak ada tanda-tanda dibuka dengan kekerasan,"
desah Dewa Arak. Alisnya berkerut pertanda tengah
berpikir keras. Memang Arya telah mendengar,
bahkan telah menjumpai tokoh-tokoh yang memiliki
berbagal ilmu yang aneh. Tapi, penemuannya kali ini
membuat Dewa Arak bingung.
Ki Temula tampak tercenung. Wajahnya
menyorotkan penyesalan yang mendalam. Ditatapnya
lagi seruruh ruangan tahanan itu.
"Hhh...!" kakek kecil kurus ini menghela napas
panjang. "Maafkan atas kekasaran sikapku, Dewa
Arak. Ahhh..., betapa tololnya aku! Padahal dulu telah
kuketahui kalau Kakang Kerpala gemar mempelajari
ilmu-ilmu hitam. Tak salah lagi, ilmu yang digunakan-
nya untuk membuat tangan dan kakinya lolos dari
gelang-gelang baja itu pastilah aji 'Welut Putih'. Tapi,
ilmu apa yang membuatnya mampu menerobos sela-
sela jeruji baja ini? Hhh...! Kecerobohanku telah
menyebabkan peristiwa ini terjadi."
"Sudahlah, Ki. Tidak ada gunanya lagi menyesal
dan mengeluh sekarang. Yang harus Kita lakukan
adalah mencegah terjadinya peristiwa selanjutnya,"
usul Dewa Arak.
Ki Temula menatap tajam Dewa Arak.
"Apa yang kau ucapkan sama sekali tidak salah,
Arya. Tapi, pelaksanaan ucapan itu yang sulit. Apalagi
kau sama sekali belum mengetahui kelihaian Kakang
Kerpala. Dulu sewaktu aku dan Adi Matija
menangkapnya, dia tengah mempelajari ilmu 'Sirna
Raga'. Hhh...! Aku khawatir kalau sekarang ilmu itu
telah sempurna dikuasainya. Entah bagaimana
menghadapinya...," ujar Ketua Perguruan Garuda
Sakti itu bernada mengeluh.
'"Sirna Raga'?!" tanya Dewa Arak Wajahnya
menunjukkan keterkejutan yang amat sangat. Telah
didengarnya kehebatan ilmu 'Sirna Raga' itu. Dengan
ilmu itu, seseorang akan mampu menghilang. Jadi
bagaimana caranya menghadapi ilmu seperti itu?
"Yang masih kubingungkan. Dengan ilmu apa dia
sanggup meloloskan diri dari celah-celah jeruji baja
yang sempit ini? Mungkinkah dengan aji 'Welut Putih'
juga?" tanya Ki Temula seperti untuk dirinya sendiri.
Dewa Arak tercenung. Keistimewaan aji 'Welut
Putih' memang sudah pernah didengarnya. Ilmu itu
mampu membuat tubuh si pemilik aji itu selicin belut,
dan mampu membuat tubuh seolah tak bertulang.
Memang sukar bagi lawan untuk menyarangkan
serangan karena kelicinan kulitnya itu.
"Sudahlah, Ki. Lagi pula bukan maksudku mem-
buat pusing Aki dengan menunjukkan hal ini. Aku
hanya ingin memberitahu ada orang yang telah
mencemarkan nama Aki."
Ki Temula sama sekali tidak menyahut. Kakek ini
masih dibingungkan dengan lolosnya Ki Kerpala dari
dalam kurungan itu.
"Lebih baik Kita tunggu saja, Ki. Bukan tidak
mungkin, setelah selesai dengan aksinya Ki Kerpala
akan kembali kemari. Dengan demikian Kita berdua
bisa mencoba untuk menangkapnya," usul Dewa
Arak.
"Hhh...!" Lagi-lagi Ki Temula menghela napas
panjang. "Jadi merepotkanmu saja, Arya."
"Sama sekali tidak, Ki," sergah Dewa Arak cepat
"Memang sudah menjadi sifatku yang suka
menyelesaikan urusan yang tidak wajar."
"Terima kasih, Arya," ucap kakek itu pelahan.
"Lupakanlah, Ki," sahut Dewa Arak risih.
Setelah itu suasana pun hening. Tidak terdengar
lagi ada yang berbicara. Keduanya tenggelam dalam
lamunan masing-masing. Tapi meskipun demikian,
sepasang mata dan pendengaran mereka dipasang
tajam-tajam, menunggu kembalinya Ki Kerpala ke
dalam kurungan.
ENAM
Seorang pria berseragam putih-putih melangkah
tersuruk-suruk menembus kepekatan malam yang
gelap gulita.
Glaar...!
Ketika kilat menyambar dan menerangi bumi,
tampaklah kalau sosok tubuh itu adalah seorang
pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. Di baju
bagian dada kirinya yang putih, tersulam gambar
kepala seekor naga yang tengah menyemburkan api.
Dari sini sudah bisa ditebak kalau pemuda ini
adalah salah seorang murid Perguruan Naga Api.
Memang, pemuda itu adalah Sentanu yang sengaja
dibiarkan lolos oleh kawanan penyerang berseragam
kuning, tanpa setahu pemuda itu sendiri.
"Hhh... hhh... hhh...!"
Napas Sentanu nampak terengah-engah, tapi
sama sekali tidak dipedulikannya. Terus saja kakinya
berlari menuju Kotaraja Kerajaan Bojong Gading.
Setelah cukup jauh dari bangunan perguruannya,
Sentanu menolehkan kepala. Dan terkejutlah hati
pemuda ini ketika melihat api membumbung tinggi
dari arah yang ditinggalkannya. Tanpa ke sana pun
pemuda ini sudah tahu kalau tempat yang tengah
dilalap oleh api itu adalah bangunan perguruannya.
Dada Sentanu seketika sesak oleh rasa amarah
dan haru yang mendalam. Kalau menuruti perasaan
hatinya, ingin rasanya dia kembali ke sana dan
mengadu nyawa dengan orang-orang yang telah
membumi-hanguskan perguruannya. Tapi kalau diri
nya juga tewas, siapa yang akan membalas kekejian
ini?
Entah berapa lama Sentanu berlari, dan pemuda
ini tidak mempedulikannya. Langkahnya semakin
dipercepat ketika tak jauh di depannya sudah
nampak sebuah bangunan besar dan megah.
Halamannya luas, dan dikurung pagar tembok yang
tinggi dan kokoh.
"Berhenti...! Siapa kau?!" cegat salah seorang
penjaga pintu gerbang, begitu melihat Sentanu
bergerak menuju pintu gerbang yang dijaganya.
Tombak di tangannya ditodongkan ke perut Sentanu.
Sentanu mengatur napasnya sejenak
"Tolong… tolong antarkan aku menghadap
Panglima Jumali," pinta Sentanu terengah-engah.
"Ada urusan apa hendak menemui beliau?" tanya
penjaga itu. Todongan tombaknya tidak juga dijauh-
kan dari tubuh Sentanu. Sementara, sepasang
matanya merayapi wajah pemuda di hadapannya,
dalam keremangan cahaya obor yang terpancang
dekat situ.
"Aku adalah adik seperguruannya. Katakan saja
pada Panglima Jumali bahwa ada murid Perguruan
Naga Api yang ingin bertemu."
"Ahhh...!" seru penjaga itu terkejut. Dijauhkannya
todongan tombaknya dari perut Sentanu. Penjaga itu
rupanya tahu kalau Panglima Jumali adalah murid
Perguruan Naga Api. "Maaf... aku tidak tahu."
"Tidak mengapa...," desah Sentanu. Dimakluminya
perlakuan penjaga itu padanya.
"Kalau begitu, harap Kisanak menunggu sebentar."
Setelah berkata demikian, penjaga itu berlari
masuk ke dalam. Sedangkan Sentanu berdiri di
depan pintu gerbang ditemani seorang penjaga lain.
Tak lama kemudian, penjaga yang melapor itu
telah kembali bersama seorang pria tinggi besar
bercambang bauk lebat dan berpakaian seragam
Panglima.
"Benarkah kau dari Perguruan Naga Api?" tanya
Panglima yang bernama Jumali itu ketika sampai di
depan pintu gerbang. Sepasang matanya menatap
tajam sosok tubuh yang berdiri di hadapannya.
"Benar, Panglima. Hamba bernama Sentanu," jelas
pemuda itu. Tak berani Sentanu memanggil orang
yang berdiri di hadapannya dengan panggilan
keakraban. Bagaimana pun juga, dia adalah seorang
Panglima kerajaan, dan kali ini berada di depan
prajurirnya. Harus dijaga martabat orang itu,
meskipun juga berasal dari Perguruan Naga Api.
"Sentanu? Kau adik seperguruan Adi Branta?"
tanya Panglima Jumali mulai teringat. Memang dia
pernah kenal orang yang bernama Sentanu, tapi itu
lima tahun yang lalu. Wajar kalau sekarang telah agak
lupa.
"Benar, Panglima," sahut Sentanu.
"Ahhh...! Silakan masuk, Adi Sentanu. Dan tidak
usah terlalu banyak peradatan. Panggil saja aku
seperti layaknya seseorang memanggil kakak seper-
guruannya. Mari!...! Mari, silakan masuk...!"
Tanpa sungkan-sungkan lagi Panglima Jumali
menarik tangan Sentanu dan membawanya masuk.
Panglima itu tahu kalau pemuda di hadapannya ini
pasti membawa berita yang sangat penting. Kalau
tidak, mana mungkin datang menemuinya tengah
malam begini.
Sentanu melangkah mengikuti Panglima itu yang
sudah berjalan cepat menuju bangunan tempat untuk
menerima tamu penting.
"Sekarang katakan, apa maksudmu datang
menemuiku malam-malam begini, Adi Sentanu," tagih
Panglima itu tidak sabar begitu mereka telah duduk di
dalam.
Wajah Sentanu berubah muram.
"Bencana menimpa perguruan Kita, Kang" tutur
Sentanu, yang kini tidak ragu-ragu lagi memanggil
Panglima itu dengan panggilan kekerabatan.
"Bencana? Apa maksudmu. Adi Sentanu. Aku
masih tidak mengerti!" tegas Panglima itu, langsung
berkernyit dahinya.
"Perguruan Naga Api sekarang telah musnah,
Kang," sahut Sentanu. Perlahan sekali suaranya
seperti mendesah, tapi akibatnya bagi Panglima
Jumali tidaklah demikian.
"Apa?!" pekik Panglima itu. Tubuhnya sampai
terlonjak dari duduknya. "Apa katamu, Adi Sentanu?!"
Sentanu menundukkan kepalanya, tidak sanggup
melihat wajah kakak seperguruannya yang begitu
tegang. Bahkan suaranya terdengar gemetar.
"Guru dan semua murid perguruan telah tewas,
Kang. Hanya aku yang selamat. Dan itu pun karena
melarikan diri. Namun demikian, berat rasanya hatiku
berbuat ini. Tapi terpaksa, Kang. Aku harus mem-
beritahukan berita ini padamu."
"Ya Tuhan...!" keluh Panglima Jumali. Kedua
tangannya ditekapkan ke wajah, dan sesaat
kemudian diturunkan kembali. Terdengar suara ber-
gemeretak keras ketika Panglima ini mengepalkan
kedua tangannya.
"Betapa berdosanya aku. Di sini aku enak-enakan
saja, dan tak pernah menengok perguruan.
Sementara Guru dan yang lainnya dibunuh orang.
Hhh...! Murid macam apa aku ini!"
Sentanu membiarkan saja. Dia tahu kalau
Panglima Jumali tengah terpukul.
"Katakan, Adi Sentanu! Siapa yang melakukan
perbuatan keji itu?!" desak Panglima itu. Ada
ancaman hebat yang tersembunyi dalam kata-
katanya.
"Perguruan Garuda Sakti, Kang...."
"Apa?! Sentanu! Sadarkah kau akan apa yang
telah kau ucapkan itu?!"
"Aku sadar, Kang. Dan semula pun aku ragu. Tapi
kejadian kemarin malam telah menghapus semua
keragu-raguanku."
Kemudian Sentanu menceritakan semua yang
terjadi.
Panglima Jumali mendengarkan penuh seksama.
Wajahnya sebentar pucat, sebentar kemudian
memerah mendengar hal-hal yang menggiriskan. Baru
setelah Sentanu menyelesaikan ceritanya, Panglima
ini menarik napas panjang.
"Kita harus membalas dendam, Adi Sentanu!"
desis Panglima itu tajam. "Jaladi!" teriaknya keras.
Sesaat kemudian terdengar derap langkah
mendekat, lalu muncul seorang pengawal yang
segera memberi hormat padanya.
"Panglima memanggilku?" tanya pengawal yang
bernama Jaladi itu.
"Ya! Berikan surat ini pada Panglima Gotawa dan
Panglima Mantaya! Cepat..!" perintah Panglima Jumali
sambil memberikan surat yang saat itu juga
dibuatnya.
"Baik, Panglima," sahut prajurit itu sambil
menerima surat yang disodorkan Panglima Jumali.
"Sekarang mari Kita berangkat, Adi Sentanu. Kita
basmi Perguruan Garuda Sakti. Aku rela, sekalipun
akibat perbuatanku ini harus dihukum oleh raja!"
***
"Biadab! Terkutuk! Harus kubalaskan perbuatan
keji ini!" teriak Panglima Jumali. Begitu melihat
keadaan markas Perguruan Naga Api yang kini telah
menjadi puing-puing.
"Benar, Kang," sahut Panglima Gotawa yang juga
bekas murid Perguruan Naga Api.
"Kita harus hancurkan Perguruan Garuda Sakti!"
sambut Panglima Mantaya, juga bekas murid
Perguruan Naga Api.
"Mari berangkat! Kita hancurkan markas mereka
seperti mereka menghancurkan perguruan Kita!"
Setelah berkata demikian, rombongan yang
dipimpin tiga orang Panglima itu segera bergerak.
Jumlah mereka ratusan orang, dan kini bergerak
menuju markas Perguruan Garuda Sakti.
Menjelang pagi, rombongan itu telah tiba di tujuan.
Dan tanpa bicara apa-apa, pasukan itu langsung
menyerbu.
Tentu saja murid-murid Perguruan Garuda Sakti
menjadi terkejut bukan kepalang melihat serbuan
pasukan Kerajaan Bojong Gading. Tapi terpaksa
mereka melawan, karena tidak ingin mati konyol.
Sebentar saja, terjadilah pertempuran massal.
Tapi karena jumlah mereka yang hanya sekitar tiga
puluh lima orang, sementara jumlah pasukan
penyerbu itu tidak kurang dari dua ratus orang, maka
dalam waktu sebentar saja mereka sudah terdesak
hebat. Apalagi di antara para penyerbu terdapat
bekas murid Perguruan Naga Api.
Bagi yang berhadapan dengan prajurit masih
untung. Tapi siallah bagi mereka yang bertemu
Panglima Jumali, Panglima Gotawa, maupun
Panglima Mantaya. Ketiga Panglima itu adalah bekas
murid kepala Perguruan Naga Api. Dan walaupun
telah lama keluar, mereka tetap rajin melatih diri.
Sehingga, tidak aneh kalau kepandaian mereka
semakin lihai karenanya. Ke mana saja ketiga
Panglima ini bergerak, pasti ada satu tubuh yang
roboh ke tanah.
Dan mendadak saja sepak terjang Panglima-
Panglima ini tertahan, ketika bertemu dua orang
murid kepala Perguruan Garuda Sakti.
"Apa maksudmu menyerang perguruan kami,
Panglima Jumali?!" tanya salah seorang dari dua
orang murid kepala yang berkulit wajah kuning. Keras
nada suaranya.
"Tidak usah berpura-pura bodoh...!" sentak
Panglima Jumali. "Aku datang untuk membalaskan
dendam Guru dan adik-adik seperguruanku yang
kalian bantai!"
"Apa?! Gilakah kau, Jumali?" sergah salah seorang
lagi yang berkulit muka merah.
"Tidak usah banyak bacot! Awas serangan...!" selak
Panglima Gotawa seraya menusukkan tombak
pendeknya ke perut si wajah kuning.
Wut..!
Si muka kuning tidak bisa berkata apa-apa lagi
Cepat-cepat dielakkan serangan tombak itu dengan
menggeser kaki. Kemudian dibalasnya serangan itu
dengan menyabetkan pedang secara mendatar ke
leher Panglima itu.
Melihat kawannya sudah menyerang, Panglima
Jumali pun tidak tinggal diam. Cepat diputar
pedangnya laksana baling-baling. Kemudian secara
tidak terduga-duga, ditusukkan ke arah kerongkongan
si muka merah.
Si muka merah cepat menarik kepalanya ke
belakang. Golok yang sejak tadi sudah terhunus di
tangannya, segera disabetkan ke tangan Panglima
Jumali yang menghunus pedang.
"Eh...!"
Panglima Jumali berseru kaget. Cepat-cepat ditarik
pulang serangannya. Tak lupa, dilontarkannya
tendangan lurus ke arah perut lawan.
Si muka merah melompat ke belakang seraya
mengirimkan serangan yang tak kalah dahsyatnya.
Sesaat kemudian keduanya sudah terlibat per-
tempuran sengit, dan berjalan seimbang. Sedangkan
pertempuran antara murid-murid Perguruan Garuda
Sakti melawan pasukan kerajaan berlangsung berat
sebelah. Dan tampak, satu demi satu mereka roboh.
Sudah dapat dipastikan kalau tak lama lagi mereka
semua akan tewas di tangan pasukan kerajaan itu.
Mendadak saja terdengar suara sorak sorai,
disusul munculnya pasukan kerajaan di bawah
pimpinan Panglima Jatalu. Tanpa bicara apa-apa,
pasukan itu segera menyerbu pasukan yang tengah
membantai murid-murid Perguruan Garuda Sakti.
Panglima Mantaya kaget. Dia tahu, siapa Panglima
Jatalu itu. Seorang Panglima bekas murid kepala
Perguruan Garuda Sakti. Rupanya berita penyerbuan
ke perguruan ini sampai juga ke telinganya. Maka dia
langsung buru-buru membawa pasukan untuk
membela perguruannya.
Tak dapat dihindarkan lagi, terjadilah pertempuran
antara kedua pasukan dari kerajaan yang sama,
Kerajaan Bojong Gading. Panglima Mantaya tanpa
ragu-ragu lagi segera menyongsong datangnya
Panglima Jatalu. Dan sesaat kemudian keduanya
sudah terlibat dalam pertempuran sengit. Dan kini,
kembali korban berjatuhan.
Tapi sebelum pertempuran semakin berlarut-larut
Terdengar bentakan nyaring. "Hentikan per-
tempuran...!"
Belum lagi gema suara bentakan itu lenyap,
melesat dua sosok tubuh ke arena pertempuran.
Sosok tubuh berwarna ungu dan kuning. Rupanya
bentakan yang dikeluarkan disertai pengerahan
tenaga dalam itu, membuat semua orang yang ada di
situ terpaku. Dada mereka semua terasa tergetar.
Bahkan lutut pun terasa lemas
Seketika itu juga pertarungan terhenti. Begitu juga
pertarungan antara dua Panglima melawan dua murid
kepala Perguruan Garuda Sakti. Dari suara bentakan,
keempat orang itu sudah bisa memperkirakan
kesaktian pemiliknya. Segera semua mata tertuju
pada asal suara itu.
Di tengah-tengah arena pertempuran, telah berdiri
dua sosok tubuh. Yang pertama adalah seorang
pemuda berusia dua puluh tahun dan berambut putih
keperakan, yang tak lain adalah Dewa Arak.
Sedangkan yang seorang lagi adalah kakek ber-
pakaian kuning berwajah tirus mirip tikus. Siapa lagi
kalau bukan Ki Temula.
Memang, semula kedua orang sakti ini menunggu
kembalinya Ki Kerpala. Tapi setelah lelah menunggu,
sampai hari menjelang pagi, tidak juga nampak ada
tanda-tanda kemunculannya. Dan pada saat itulah
mereka malah mendengar suara denting senjata dan
lengking kematian di kejauhan.
Ki Temula dan Dewa Arak menjadi curiga. Suara
ribut-ribut itu sepertinya berasal dari sekitar
Perguruan Garuda Sakti. Maka, cepat mereka
melesat meninggalkan tempat itu menuju ke sana.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati kedua
orang sakti ini, melihat pertempuran massal yang
terjadi di situ. Maka tanpa membuang-buang waktu
lagi, Dewa Arak segera berteriak mencegah per-
tempuran itu berlanjut.
"Keparat..!" teriak Panglima Jumali ketika
mengenali salah satu dari dua orang yang baru
datang itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil bertenak melengking nyaring, panglima itu
menyerang kakek kecil kurus itu. Pedang di
tangannya melesat cepat menusuk lurus ke arah ulu
hati.
"Sabar dulu, Panglima. Tahan dulu amarahmu,"
desah kakek itu lirih seraya menggerakkan tangannya
mendorong ke depan.
Wuuussa...!
Serangkum angin keras berhembus ke arah tubuh
Panglima Jumali. Dan tusukan pedang itu pun
melenceng arahnya, seperti tertahan oleh dinding
yang tidak nampak.
Tubuh Panglima Jumali terhuyung. Meskipun
demikian, Panglima ini tidak putus asa. Disadari
kalau kakek di hadapannya ini bukan tandingannya.
Tapi hal itu tidak membuatnya menjadi gentar.
Namun sebelum Panglima itu kembali menyerang,
Dewa Arak telah melangkah maju dan berdiri di
tengah-tengah, di antara panglima itu dan Ki Temula.
"Sabar, Panglima," bujuk Arya pelan.
"Siapa kau?! Mengapa mencampuri urusanku!?
Menyingkirlah sebelum kesabaranku hilang!"
"Namaku Arya, Panglima. Kehadiranku di sini
hanya untuk menghilangkan kesalahpahaman yang
terjadi," jelas Dewa Arak, masih tetap tenang
suaranya.
"Arya?!" kata Panglima itu mengulang perkataan
Dewa Arak. Keningnya berkernyit. Nama itu seperti
pernah didengarnya. Tapi kapan dan di mana? Dia
terus mengingat-ingatnya Dan sekarang dia ingat,
karena pernah mendengarnya dari mulut Sentanu.
Arya inilah yang telah dua kali menyelamatkan murid-
murid Perguruan Naga Api.
"Benar, Panglima. Mengapa?"
Panglima Jumali menggeleng-gelengkan kepala-
nya.
"Tidak! Tidak apa-apa. Hm.... bukankah kau yang
telah menolong murid-murid Perguruan Naga Api dari
ancaman maut orang-orang jahat ini? Tapi kenapa
sekarang kau malah bersama dengan gembong
penjahat ini?" tanya Panglima Jumali sambil
menunjuk Ki Temula. Dia benar-benar tidak mengerti.
Dewa Arak menganggukkan kepalanya. "Menolong
murid-murid Perguruan Naga Api memang benar. Tapi
Ki Temula dan murid-murid Perguruan Garuda Sakti
bukanlah orang jahat Panglima."
Wajah Panglima Jumali berubah. "Ucapan apa ini?!
Ki Temula dan murid-murid Perguruan Garuda Sakti
telah membumihanguskan Perguruan Naga Api. dan
membunuh Ki Santa! Itu bukan perbuatan jahat
katamu, Arya?! Lalu, perbuatan manakah yang kau
anggap jahat?"
"Apa?! Benarkah apa yang kau ucapkan itu,
Panglima? Benarkah Perguruan Naga Api telah
dibumihanguskan?!" tanya Dewa Arak. Wajah pemuda
ini memancarkan keterkejutan yang amat sangat.
Sementara Ki Temula hanya berdiri terpaku, tak tahu
harus berbuat apa.
Panglima Jumali hanya tersenyum sinis. Tak
dijawabnya pertanyaan Dewa Arak. Sebaliknya
perhatiannya malah dialihkan pada rombongan
prajurit di belakangnya.
"Sentanu...! Kemari kau!" teriak Panglima Jumali
sambil melambaikan tangannya.
Pemuda berhidung besar itu melangkah maju.
"Nah, Dewa Arak. Inilah satu-satunya murid
Perguruan Naga Api yang berhasil lolos dari
pembantaian Ki Temula dan orang-orang Perguruan
Garuda Sakti! Sentanu! Ceritakanlah apa yang kau
alami! Agar Dewa Arak tidak tertipu oleh penjahat
culas itu!" teriak Panglima Jumali sambil menuding Ki
Temula.
"Tutup mulutmu, Panglima Jumali!" teriak Panglima
Jatalu keras. Tidak senang hatinya melihat gurunya
berkali-kali dihina Panglima Jumali. Kalau tidak segan
pada gurunya, sudah diterjangnya Panglima itu.
"Tenanglah, Jatalu," bujuk Ki Temula, pelan sekali.
Memang, berita yang didengarnya dari mulut
Panglima Jumali terlalu mengejutkan hatinya,
sehingga membuatnya agak terpukul.
Panglima Jatalu pun terdiam. Bisa dimaklumi kata-
kata gurunya. Kalau perasaan harinya dituruti, bisa
jadi persoalan ini akan menjadi kian kusut. Padahal,
gurunya telah bersusah-payah berusaha meluruskan
persoalan.
"Maafkan aku, Guru," ucap Panglima Jatalu pelan.
TUJUH
Dewa Arak menatap tajam. langsung ke bola mata
Sentanu. Pemuda berambut putih keperakan ini
mengenali pemuda berhidung besar ini sebagai salah
seorang yang pernah menyerbu Perguruan Garuda
Sakti.
"Benar yang dikatakan Panglima Jumali, Sentanu?"
tanya Dewa Arak. Sepasang matanya yang tajam
mencorong dan bersinar kehijauan merayapi sekujur
wajah pemuda di hadapannya.
Sentanu bergidik melihat sorot mata Dewa Arak.
Sepasang mata di hadapannya seolah-olah bukan
mata manusia saja, tapi lebih cocok mata harimau!
"Semua yang dikatakan Panglima Jumali benar.
Semalam, Ki Temula bersama tiga puluh murid
Perguruan Garuda Sakti menyerbu. Ki Santa tewas di
tangannya. Sementara, semua murid Perguruan Naga
Api, tewas pula di tangan murid-murid Perguruan
Garuda Sakti. Tidak itu saja yang dilakukan, mereka
juga membakar habis bangunan perguruan kami!"
Dewa Arak tepekur. Terasa ada kesedihan yang
mendalam pada suara pemuda di hadapannya. Dia
tahu Sentanu berkata benar. Tapi, Ki Temula juga
tidak salah. Yang masih menjadi tanda tanya baginya,
siapa puluhan orang yang diyakini Sentanu sebagai
murid-murid Perguruan Garuda Sakti?
Dengan pandang mata penuh pertanyaan,
ditatapnya wajah Ki Temula. Sementara yang ditatap
tengah tercenung bingung. Keningnya berkernyit
dalam Kakek ini memang tengah berpikir keras
"Kau yakin kalau orang-orang itu adalah murid-
murid Perguruan Garuda Sakti, Sentanu?" tanya Dewa
Arak lagi meminta ketegasan.
Sentanu menatap tajam wajah Dewa Arak. "Jangan
salah paham, Sentanu. Yakinkah kau kalau mereka
bukan orang-orang persilatan golongan hitam?"
"Hhh...!" Sentanu menghela napas panjang. "Kau
tidak mempercayaiku, Dewa Arak?" tanya Sentanu.
Nada suaranya terdengar kesal.
Dewa Arak menggelengkan kepalanya. Mulutnya
menyunggingkan senyum.
"Aku mempercayaimu. Sentanu. Hanya saja, aku
butuh keterangan yang sejelas-jelasnya. Maka, aku
mohon agar kau bersedia memberikan keterangan
yang jelas," tegas Arya.
Mendengar ucapan Dewa Arak, wajah Sentanu
kembali berseri.
"Aku tidak akan begitu sembarangan menuduh,
Arya. Orang orang yang menyerbu Perguruan Naga Api
semalam berseragam kuning, dan di dada kiri ada
sulaman gambar kepala seekor burung garuda.
"Hanya itu saja, Sentanu?" tanya Dewa Arak seraya
mengernyitkan keningnya. Dan memang, kalau hanya
atas dasar itu saja, betapa kerdilnya wawasan
pemuda ini
Sentanu menggelengkan kepalanya.
"Tidak hanya itu saja, Arya. Mereka juga
memainkan semua ilmu Perguruan Garuda Sakti,
kecuali ilmu 'Cakar Garuda' Kepandaian mereka rata
rata tinggi, sehingga tidak aneh kalau semua murid
perguruan kami semuanya terbantai. Tingkat
kepandaian mereka rata-rata setingkat dengan
Kakang Prawira."
"Ahhh...!" desah Arya terkejut bukan main.
Ditatapnya wajah Ki Temula tajam. Sudah dapat
diduga kalau orang-orang itu adalah didikan Ki
Kerpala. Dan mendengar kelihaian mereka, sudah
bisa diperkirakan kalau Ki Kerpala telah lama men-
didiknya. Luar biasa! Sekian tahun Ki Kerpala telah
mampu keluar tanpa diketahui Ki Temula. Diam-diam
Dewa Arak menyalahkan keteledoran Ketua
Perguruan Garuda Sakti itu.
"Bagaimana, Dewa Arak. Masih tidak percaya akan
semua ucapannya? Cepat Menyingkirlah dari situ,
Dewa Arak. Sebelum kakek licik itu membokongmu!"
tegas Panglima Jumali.
Dewa Arak tersenyum.
"Terima kasih atas nasihatmu, Panglima. Aku
percaya akan keterangan Sentanu, Tapi, ketahuilah
Aku telah lama menyelidiki peristiwa ini."
"Lalu bagaimana akhirnya, Dewa Arak?" tanya
Panglima Jumali penuh gairah dan berusaha
melunakkan hatinya.
"Aku berhasil menemukan pelaku semua
kejahatan ini."
"Siapa dia, Dewa Arak? Ki Temula kan?" tebak
Panglima itu langsung.
Dewa Arak menggelengkan kepalanya
"Bukan, Panglima. Bukan Ki Temula pelakunya."
"Ahhh...!" terdengar seruan-seruan terkejut dari
mulut Panglima Jumali, Panglima Gotawa, Panglima
Mantaya dan Sentanu.
"Bukan dia pelakunya? Lalu, siapa?" desak
Panglima Jumali keras.
Tapi sebelum Dewa Arak sempat menjawab,
seorang prajurit berseru keras.
"Panglima, istana kerajaan diserbu!"
"Apa?!" teriak Panglima Jumali, Panglima Gotawa,
Panglima Mantaya dan Panglima Jatalu berbareng.
Bagai berlomba mereka berlari ke arah prajurit
yang berteriak itu. Dan apa yang dikatakan prajurit itu
memang benar. Dari ketinggian lereng gunung,
nampak terlihat serombongan orang bergerak cepat
menuju Istana Kerajaan Bojong Gading.
"Cepat kembali ke istana!"
Serentak seluruh rombongan bergerak menuruni
lereng menuju Kotaraja Kerajaan Bojong Gading.
***
Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang Kerajaan
Bojong Gading mengernyitkan kening, melihat di
kejauhan debu tebal mengepul tinggi di udara.
"Apa itu, Badrun?" tanya salah seorang dari
mereka.
Orang yang dipanggil Badrun menyipitkan
matanya. "Astaga...! Itu serombongan pasukan
berkuda!"
"Apa?!" sahut temannya kaget "Mengapa prajurit
penjaga perbatasan tidak memberi kabar?"
Setelah berkata demikian, kawan Badrun itu
berlari masuk memberitahukan hal itu.
Sesaat kemudian, gegerlah suasana dalam istana.
Apalagi tatkala diketahui, pasukan prajurit di bawah
pimpinan empat orang Panglima tidak berada di
tempat. Yang tinggal hanya sepasukan prajurit di
bawah pimpinan Panglima Dampu.
Memang, pasukan berkuda itu tak lain dari
pasukan prajurit Kadipaten Tasik, dibantu murid-
murid Ki Kerpala dan tak ketinggalan pula Peri Muka
Seratus. Mereka memang bermaksud mengadakan
pemberontakan di bawah pimpinan Adipati Tasik,
Pradipta.
Di bawah pimpinan Panglima Dampu dan Patih
Rantaka, prajurit Kerajaan Bojong Gading berusaha
keras mempertahankan istana. Satu keuntungan bagi
pasukan Kerajaan Bojong Gading adalah, mereka
mempunyai tempat berlindung yang amat kuat. Dan
kelebihan itu dimanfaatkan oleh mereka. Segera saja
dipersiapkan pasukan panah untuk mencegah
pasukan penyerang mendekati istana.
Dan siasat itu berhasil baik. Pasukan pemberontak
yang mencoba maju segera berguguran dibantai
pasukan panah, sebelum sempat mendekat. Berkali-
kali mereka maju, tapi berkali-kali terpaksa mundur
kembali dengan membawa banyak korban.
"Keparat!" Peri Muka Seratus menggeram melihat
banyaknya korban di pasukan mereka. "Kakang
Kerpala, lebih baik kita yang lebih dulu masuk ke
sana. Kita hancurkan dulu pasukan panah itu. Karena
kalau tidak, sampai kapan pun pasukan Kita tidak
akan mampu masuk!"
"Usulmu baik sekali, Komala. Mari Kita habisi
mereka!" sahut Ki Kerpala gembira.
Maka kedua tokoh sakti ini segera melesat ke arah
benteng Istana Bojong Gading.
Pasukan panah prajurit Bojong Gading yang
memang sejak tadi sudah siap siaga, segera
menjepretkan gendewanya begitu melihat dua sosok
tubuh melesat cepat mendekati benteng.
Twang...! Twang...!
Puluhan batang anak panah melesat menyambar
ke arah Ki Kerpala dan Peri Muka Seratus. Tapi kali
ini yang menjadi sasaran anak panah itu bukanlah
tokoh yang gampang tewas begitu saja, melainkan
dua tokoh tingkat tinggi. Maka begitu melihat
sambaran puluhan anak panah yang melesat ke arah
mereka, keduanya tidak menjadi gugup.
Peri Muka Seratus segera mencabut pedangnya,
kemudian memutar-mutarnya laksana baling baling.
Trang...! Trang...! Trang...!
Akibatnya, puluhan anak panah yang menyambar
ke arahnya, kandas di tengah jalan. Tak satu pun
yang mampu mengenai sasarannya. Memang hebat
tindakan Peri Muka Seratus! Tapi, masih lebih hebat
lagi apa yang dilakukan Ki Kerpala! Kakek ini sama
sekali tidak menggunakan senjata. Dibiarkan saja
hujan anak panah yang menyambar tubuhnya.
Tasss...! Tasss !
Puluhan anak panah yang menyambar sekujur
tubuhnya meleset begitu mengenai sasaran. Seolah-
olah yang dipanah itu bukanlah tubuh manusia,
melainkan batang logam yang licin! Inilah
keistimewaan aji 'Welut Putih' milik kakek kecil kurus
ini.
Sementara anak panah yang menyambar ke arah
matanya, ditepis dengan tangan kosong. Maka,
kontan anak-anak panah itu berpentalan dalam
keadaan patah. Dari peragaan ini saja, sudah bisa
diperkirakan kedahsyatan tenaga dalam yang dimiliki
kakek ini.
"Hup...!"
Tanpa mengalami halangan yang berarti, Ki
Kerpala mendaratkan kedua kakinya di atas tembok
benteng itu.
"Hup...!"
Peri Muka Seratus pun menyusul tiba. Tak ada
sedikit pun bagian tubuhnya yang terluka. Jangankan
terluka. Lecet pun tidak.
Dan begitu berhasil mendarat, kedua tokoh tingkat
tinggi itu segera mengamuk dahsyat. Setiap kali
tangan atau kaki mereka bergerak, sudah dapat
dipastikan akan ada tubuh yang rubuh dalam
keadaan tidak bernyawa lagi. Jerit lengking kematian
terdengar saling susul. Dalam sekejap mata saja,
lebih dari separuh pasukan panah itu yang tewas.
Dan di saat itulah pasukan pemberontak itu maju
menyerbu. Kali ini, tanpa ada penghalang mereka
dapat mencapai pintu gerbang. Adipati Pradipta
adalah orang yang pertama kali mencapai pintu
gerbang istana. Laki-laki setengah baya itu terdiam
sejenak di depan pintu gerbang istana yang tertutup
rapat. Seluruh tenaga dalamnya kini dikumpulkan.
Sambil mengeluarkan pekik nyaring, Adipati Pradipta
memukulkan kedua tangannya ke depan.
"Hiyaaa...!"
Brakkk...!
Terdengar suara keras ketika pintu gerbang itu
hancur berantakan. Dan begitu pintu gerbang itu
hancur, pasukan pemberontak itu pun maju
menyerbu sambil mengeluarkan teriakan-teriakan liar.
Maka tak dapat dicegah lagi, pertempuran massal
pun terjadi. Pasukan Kerajaan Bojong Gading di
bawah pimpinan Panglima Dampu dan Patih Rantaka,
mati-matian melawan.
Tapi karena di pihak lawan banyak terdapat tokoh
cukup tinggi ilmunya yang merupakan murid Ki
Kerpala, maka sebentar saja pasukan kerajaan sudah
terdesak hebat. Satu persatu mereka berguguran.
Adipati Pradipta tertawa tergelak. Dengan
perasaan tak sabar dia terus bergerak mendahului
pasukannya menuju istana. Hatinya benar-benar tak
sabar lagi untuk segera masuk ke dalam istana itu,
dan membunuh Raja Bojong Gading, Prabu Nalanda.
Tapi di saat-saat gawat bagi keutuhan Kerajaan
Bojong Gading, terdengar derap langkah kuda. Itu pun
masih disusul dengan munculnya, pasukan kerajaan
yang dipimpin empat orang Panglima.
Munculnya bantuan tak terduga-duga ini, tentu
saja mengejutkan pihak Adipati Pradipta. Tapi
sebaliknya, menggembirakan pasukan Kerajaan
Bojong Gading.
Dewa Arak dan Ki Temula tanpa membuang-buang
waktu lagi segera menerjang Ki Kerpala dan Peri
Muka Seratus yang tengah menyebar maut.
Ki Temula segera menghadang Ki Kerpala,
sementara Dewa Arak menghadang Peri Muka
Seratus.
"Cukup, Kakang! Hentikan semua kekejaman ini
Tanganmu sudah terlalu banyak berlumur darah!"
geram kakek kecil kurus bermuka tikus ini pelan tapi
penuh wibawa.
Ki Kerpala menghentikan gerakannya. Ditatapnya
wajah adik seperguruannya tajam-tajam.
"Menyingkirlah, Temula. Aku tidak ingin mem-
bunuhmu. Jangan sampai pikiranku berubah!"
"Aku bersedia menyingkir. Tapi dengan satu syarat!
Kau harus ikut aku. Kita kembali ke Perguruan
Garuda Sakti!" tandas Ki Temula tegas.
"Keparat..! Rupanya kau memilih mati, Temula!
Kalau begitu, mampuslah!"
Setelah berkata demikian, Ki Kerpala melompat
menerjang. Jari-jari tangannya terkembang mem-
bentuk cakar garuda. Serangannya lurus ke arah
kepala dengan tangan kiri, sementara tangan kanan
menyilang di depan dada.
Wut…!
Ki Temula mendoyongkan tubuhnya ke belakang.
Tangan kanannya digerakkan dari dalam ke luar
untuk menangkis serangan itu. Sadar kalau lawan di
hadapannya ini memiliki ilmu kepandaian tinggi,
tanpa sungkan-sungkan lagi dikeluarkannya ilmu
'Cakar Garuda'
Takkk...!
"Akh...!"
Ki Temula terpekik kaget. Sekujur tangannya
terasa sakit-sakit. Bahkan seluruh tubuhnya pun
tergetar hebat. Belum lagi kekagetannya hilang, kaki
kanan kakak seperguruannya lelah menyusul tiba-tiba
dengan sebuah tendangan miring ke arah kepala.
Cepat-cepat Ki Temula merendahkan tubuhnya
membentuk kuda-kuda rendah, sehingga serangan itu
lewat di atas kepalanya. Beberapa saat kemudian,
kedua kakak beradik seperguruan ini sudah terlibat
pertempuran sengit. Pertempuran yang hampir
seimbang karena satu sama lain telah mengetahui
ilmu masing-masing.
DELAPAN
Sementara di tempat terpisah. Peri Muka Seratus
menatap Arya lekat-lekat. Tokoh hitam yang ahli
dalam penyamaran ini teringat akan cerita Ki Kerpala.
"Hm..., kaukah yang berjuluk Dewa Arak itu?" tanya
perempuan itu sambil tersenyum sinis.
Tapi Dewa Arak sama sekali tidak mempedulikan
ucapan lawannya. Dengan sikap tenang, diambilnya
guci yang tersampir di punggung. Kemudian diangkat-
nya ke atas kepala, dan dituangkan ke dalam
mulutnya.
Gluk… gluk… gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu memasuki
kerongkongannya. Sesaat kemudian, hawa yang
hangat pun mulai naik dari perut dan terus ke atas
kepalanya.
Peri Muka Seratus geram bukan kepalang melihat
sikap Dewa Arak yang seperti tidak mempedulikannya
Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring,
diterjangnya pemuda berambut putih keperakan di
depannya. Pedang di tangannya menusuk cepat ke
arah leher.
Tapi dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang',
mudah saja bagi Dewa Arak untuk mengelakkan
serangan itu. Bahkan sekaligus berbalik mengancam
lawannya. Sesaat kemudian keduanya sudah terlibat
pertarungan cukup sengit.
Tapi lama kelamaan, nampaklah keunggulan Dewa
Arak. Dan pertarungan pun berlangsung berat
sebelah. Kepandaian yang dimiliki Peri Muka Seratus
itu sebenarnya tinggi. Tapi lawan yang dihadapinya
adalah Dewa Arak, seorang pendekar muda yang
memiliki ilmu lebih tinggi. Dengan keistimewaan ilmu
'Delapan Langkah Belalang', setiap serangan
perempuan yang bernama asli Komala itu kandas
percuma. Sebaliknya setiap serangan Dewa Arak
membuatnya terpontang-panting menyelamatkan diri.
Tak heran belum sampai tiga puluh jurus, Peri
Muka Seratus sudah terdesak hebat. Dan sudah
dapat dipastikan kalau tak lama lagi tokoh hitam yang
ahli dalam penyamaran ini akan roboh di tangan Arya.
Berbeda dengan keadaan Dewa Arak yang berada
di atas angin, keadaan Ki Temula malah sebaliknya.
Kakek ini malah terdesak hebat. Ki Kerpala dengan
keistimewaan aji 'Welut Putih', membuat Ketua
Perguruan Garuda Sakti itu terdesak hebat.
"Haaat..!"
Ki Temula berteriak nyaring. Dengan kuda-kuda
rendah dan saling bersilang, tangan kanannya
menyambar deras ke arah ulu hati lawannya. Dan
sungguh di luar dugaan, Ki Kerpala sama sekali tidak
mempedulikan serangan itu. Dibiarkan saja serangan
itu, dan sebaliknya kaki kanannya menendang ke
arah lutut adik seperguruannya.
Prattt..! Rrrttt..! Tukkk...!
"Akh...!"
Kejadian yang berlangsung terlalu cepat. Serangan
cakar Ki Temula yang tepat mengenai ulu hati
langsung meleset seperti menghantam sebuah benda
licin. Tak sedikit pun jari-jari tangan yang biasanya
mampu menembus baru karang keras itu mampu
melukai kulit Ki Kerpala. Tangan itu langsung
terpeleset membawa serta baju kakak
seperguruannya yang koyak terkena cakaran tangan.
Sebaliknya tendangan Ki Kerpala tak mampu
dielakkan Ki Temula. Telak dan keras sekali
tendangan itu mengenai lutut. Seketika itu juga
sambungan tulang lutut Ki Temula terlepas dan
tubuhnya kontan terhuyung.
"Hiyaaa...!"
Ki Kerpala melompat memburu. Tangan kanannya
menyampok deras ke arah pelipis.
Wajah Ki Temula pucat. Disadari kalau dirinya
tidak akan mungkin mampu mengelak atau
menangkis serangan itu. Yang dapat dilakukannya
hanya membelalakkan sepasang matanya sambil
menanti datangnya maut.
Sementara itu, Dewa Arak yang bertanding dengan
Peri Muka Seratus, sesekali perhatiannya terarah
pada pertarungan Ki Temula melawan kakak
seperguruannya. Maka begitu melihat ancaman maut
yang mengancam laki-laki berwajah tirus itu, Arya
langsung menghentikan desakan pada lawannya.
"Hih...!"
Dewa Arak memekik keras sambil menghentakkan
kedua tangannya ke depan, mengerahkan jurus
'Pukulan Belalang' yang jarang digunakannya.
Wuttt…!
Serangkum angin berhawa panas menyembur
keras mencegat tubuh Ki Kerpala yang tengah mem-
buru Ki Temula. Maka laki-laki berwajah hitam itu
kaget bukan main. Dia sadar betul kalau pukulan
jarak jauh itu begitu dahsyat. Segera diurungkan
serangannya, kemudian langsung dibanting tubuhnya
ke tanah dan bergulingan menjauh.
Peri Muka Seratus tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Begitu melihat lawan perhatiannya
terpecah, segera wanita licik ini melompat menerjang.
Pedang di tangannya diayunkan membacok kepala
Dewa Arak dari atas ke bawah.
Tapi Peri Muka Seratus kecelik. Sungguh tidak
dikira kalau Dewa Arak telah memperhitungkan hal
itu. Arya segera membalikkan tubuh dan meng-
hentakkan kedua tangannya menyambut serangan
Peri Muka Seratus.
Wusss...! Bressss...!
"Aaa...!"
Peri Muka Seratus melengking panjang. Serangan
jurus 'Pukulan Belalang' yang dilontarkan Dewa Arak
telak menghantam dadanya. Seketika itu juga. Tubuh-
nya yang tengah berada di udara terpental jauh ke
belakang. Sekujur tubuh wanita sesat ini hangus.
Tampak cairan merah berhamburan keluar dari
mulut, hidung, dan telinganya. Tamatlah riwayat Peri
Muka Seratus.
"Jahanam...!" Ki Kerpala menggeram hebat melihat
kematian bekas kekasihnya. Memang puluhan tahun
yang lalu. Peri Muka Seratus adalah kekasih Ki
Kerpala.
Tanpa mempedulikan adik seperguruannya lagi,
tubuh Ki Kerpala melesat ke arah Arya. Kakek ini
melambung tinggi ke udara. Kemudian dari atas
tubuhnya menukik turun, menyerang ubun-ubun
Dewa Arak dengan jari-jari tangan terpentang lebar.
Karena tak ada kesempatan mengelak, Dewa Arak
terpaksa menangkisnya. Sadar akan kesaktian lawan,
tanpa sungkan-sungkan lagi dikerahkan seluruh
tenaga dalamnya yang telah mencapai taraf
kesempurnaan.
Plak...!
Maka benturan dua buah tangan yang sama-sama
memiliki tenaga dalam tinggi terjadi. Tubuh Ki Kerpala
terpental balik ke udara. Sedangkan Dewa Arak tidak
bergeming sedikit pun, tapi kedua kakinya me-
nimbulkan jejak cukup dalam di tanah. Rupanya
tekanan dari atas yang terlalu berat, tak dapat
ditahan tanah.
"Hiyaaa...!"
Dewa Arak segera bergerak mendahului. Guci yang
tadi digenggamnya, kini telah kembali tersampir di
punggung. Kedua tangannya yang berisi ilmu
'Belalang Sakti', bergerak-gerak aneh, dan secara
tidak terduga-duga menyerang lawannya yang kini
telah melayang turun.
"Hup...!"
Secepat kedua kakinya menapak tanah, secepat
itu pula Ki Kerpala menggerakkan tangan menangkis
serangan itu. Kakek ini masih merasa penasaran
bukan main. Benturan tenaga dalam sebelumnya
masih belum membuatnya puas. Mungkinkah Dewa
Arak mampu menandingi tenaga dalam yang
dimilikinya?
Dan kini, tak pelak lagi benturan antara sepasang
tangan yang sama-sama memiliki tenaga dalam
tinggi, tidak tercegah lagi.
Plakkk...!
Baik tubuh Dewa Arak maupun tubuh Ki Kerpala
sama-sama terhuyung mundur dua langkah ke
belakang. Keduanya merasakan sekujur tangan
mereka sakit dan nyeri.
Dewa Arak kaget bukan main. Sungguh tidak
disangka kalau tenaga dalam yang dimiliki kakek
berwajah hitam ini setingkat dengannya. Padahal,
selama ini Dewa Arak tidak pernah lalai berlatih. Baik
berlatih dengan cara bersemadi maupun pernapasan
untuk menambah kekuatan tenaga dalamnya. Dan
pemuda ini juga tahu pasti kalau tenaga dalam yang
dimilikinya kini telah maju pesat. Jauh lebih kuat
daripada saat pertama kali terjun ke dunia persilatan.
Tapi sekarang kenyataannya? Kakek ini mampu
membendungnya!
Tapi kekagetan yang dialami Dewa Arak, tidak
separah yang dialami Ki Kerpala. Kakek ini kaget
sekaligus terpukul bukan main, melihat kenyataan
kalau lawannya yang masih sangat muda itu mampu
mengimbangi tenaga dalamnya. Padahal sejak
dikurung gurunya, dia selalu berlatih.
Tanpa diketahui kedua orang adik seper-
guruannya, Ki Kerpala terus berlatih keras. Baik
semadi, pernapasan, bahkan ilmu-ilmu hitam.
Dugaannya, kini tidak akan ada seorang pun yang
mampu menandingi kekuatan tenaga dalamnya. Tapi
kenyataannya? Lawan yang masih muda itu mampu
mengimbangi!
Tapi perasaan amarah Ki Kerpala ketika teringat
kematian kekasihnya, telah mengusir perasaan
terkejut itu. Dengan amarah meluap-luap, kembali
diterjang lawannya. Sedangkan Arya tanpa sungkan
sungkan lagi cepat menyambut tenangan itu. Sesaat
kemudian keduanya sudah lertibat dalam per-
tarungan sengit.
Melihat kakak seperguruannya telah bertarung
melawan Dewa Arak, Ki Temula segera melangkah
menghampiri Prabu Nalanda. Raja Bojong Gading ini
kini sudah tidak khawatir lagi.
Sementara itu pertempuran antara pasukan
pemberontak dengan pasukan Kerajaan Bojong
Gading telah berakhir. Dengan datangnya bantuan
pasukan dari empat orang Panglima itu, pasukan
pemberontak pimpinan Adipati Pradipta berhasil
dilumpuhkan. Bahkan sang adipati sendiri tewas.
Panglima Jumali, Panglima Gotawa, Panglima
Mantaya, dan Panglima Jatalu, segera menjatuhkan
diri di hadapan Prabu Nalanda.
"Kami siap menerima hukuman atas kesalahan
kami, Gusti Prabu." ucap mereka serentak.
Prabu Nalanda tersenyum.
"Semula aku marah sekali atas tindakan kalian ini.
Tapi, Ki Temula telah menceritakan semuanya pada
ku. Dan aku memakluminya. Kalian semua ku-
maafkan. Bangkitlah…" tutur Prabu Nalanda bijak-
sana.
"Ahhh...! Terima kasih, Gusti Prabu," sahut
keempat Panglima itu sambil bangkit berdiri.
"Jadi, pemuda itukah orang yang kau ceritakan itu,
Ki?" tanya Prabu Nalanda sambil menatap Dewa Arak
yang tengah bertarung melawan Ki Kerpala. Dan kini
semua pasang mata tertuju pada pertarungan antara
Dewa Arak melawan kakek bermuka hitam itu.
"Benar, Gusti Prabu." sahut Ki Temula. Memang,
laki-laki berwajah tirus itu sudah menceritakan pada
Prabu Nalanda, mengenai semua kesalahpahaman
yang terjadi. Demikian pula tentang kerja keras Dewa
Arak untuk menyelesaikan pertikaian itu.
"Rasanya tidak pantas kalau Kita tidak membalas
semua jasa-jasanya yang besar ini, Ki. Dialah yang
telah menyelamatkan Kerajaan Bojong Gading dari
kehancuran," tegas Prabu Nalanda lagi. Pelan suara-
nya.
Ki Temula mengernyitkan alisnya.
"Maaf, Gusti Prabu. Bukannya hamba tidak setuju.
Tapi sepengetahuan hamba, pemuda itu benar-benar
tidak suka jika pertolongannya itu dianggap jasa-jasa
yang perlu dibalas," bantah Ki Temula dengan nada
halus.
"Kita kan punya akal untuk mengatasinya, Ki,"
tegas Prabu Nalanda kalem, seraya tersenyum.
"Maksud, Gusti Prabu?" tanya Ki Temula, masih
belum dapat menangkap maksud ucapan Prabu
Nalanda.
"Sudahlah, Ki. Serahkan saja semuanya padaku,"
potong Raja Bojong Gading itu cepat sambil
mengulapkan tangan.
Ki Temula tidak bisa membantah lagi, dan hanya
mengalihkan pandangannya ke arah pertempuran.
Tampak gigi Dewa Arak bergemeletuk. Seluruh
kemampuannya telah dikeluarkan, tapi tak juga
mampu mendesak kakek di hadapannya ini. Seratus
jurus telah berlalu, tapi belum nampak ada tanda-
tanda yang akan terdesak. Pertarungan masih ber-
langsung seimbang.
Sebetulnya dengan keistimewaan Jurus 'Delapan
Langkah Belalang', Dewa Arak beberapa kali hampir
berhasil menyarangkan pukulan atau tendangan ke
sekujur tubuh lawan. Dan memang, setiap pukulan itu
selalu meleset dan tergelincir setiap mengenai
sasaran. Itulah keistimewaan aji ‘Welut Putih’ yang
mampu membuat kulit tubuh menjadi licin sekali.
Prabu Nalanda mengerutkan alisnya. Kecepatan
gerak kedua tokoh sakti itu, membuatnya tidak dapat
melihat jelas jalannya pertarungan. Yang terlihat
hanyalah kelebatan bayangan keunguan dan
kekuningan yang kadang saling belit, tapi kadang
terpisah.
Ki Temula sejak tadi tengah menunggu-nunggu Ki
Kerpala menggunakan ilmu 'Sirna Raga'. Tapi, sampai
sekian lamanya menanti, ternyata tak juga nampak
ada tanda-tanda akan dikeluarkan. Jadi, rupanya
kakak seperguruannya ini tidak berhasil mendapat-
kan ilmu dahsyat itu.
"Bagaimana, Ki? Siapa kira-kira yang akan
menang?" tanya Prabu Nalanda sambil menolehkan
kepalanya menatap Ki Temula.
"Dewa Arak memang luar biasa," desah kakek kecil
kurus itu sambil menggeleng-gelengkan kepala,
penuh kekaguman.
"Jadi, kakak seperguruanmu itu akan dapat
dikalahkannya?" tanya Prabu Nalanda berseri-seri.
Ada nada kekaguman dalam nada suaranya. Prabu
Nalanda sukar membayangkan, sampai di mana
ketinggian ilmu pemuda yang berjuluk Dewa Arak itu.
Padahal Ki Temula saja tidak mampu menghadapi Ki
Kerpala.
"Sebenarnya Dewa Arak memang mampu
mengalahkannya. Gusti Prabu. Tapi kakak seper-
guruan hamba memiliki aji 'Welut Putih'. Sehingga,
setiap pukulan atau tendangan Dewa Arak tidak
berarti apa-apa," jelas Ki Temula.
"Jadi... bagaimana, Ki?"
Ki Temula menghela napas panjang.
"Rasanya sulit bagi pemuda itu untuk mengalah-
kannya. Sayang, dia masih kurang berpengalaman
dalam menghadapi ilmu-ilmu aneh, Gusti. Padahal,
dia memiliki ilmu yang dapat melumpuhkan aji 'Welut
Putih' itu."
"Ahhh..., jadi ..." suara Prabu Nalanda terputus di
tengah jalan.
"Yahhh.... Kita hanya tinggal menunggu waktu saja,
Gusti. Mudah-mudahan Dewa Arak berhasil menemu-
kan caranya. Kalau tidak, mungkin dia akan tewas di
tangan kakak seperguruan hamba. Lambat laun
Dewa Arak akan kelelahan karena setiap
serangannya hanya sia-sia. Sementara kakak seper-
guruan hamba nampaknya menyimpan tenaga,
karena jarang melakukan serangan. Hamba dapat
menduga siasatnya. Dia menunggu Dewa Arak
kelelahan, lalu baru turun tangan Dan saat itu, tidak
begitu sulit untuk menjatuhkan Dewa Arak"
"Kau tahu, bagaimana seharusnya Dewa Arak
menghadapi lawannya, Ki?" tanya Prabu Nalanda
yang gelisah mendengar uraian panjang lebar kakek
kecil kurus itu.
Ki Temula menganggukkan kepalanya, "Cepat
beritahukan padanya, Ki," pinta Prabu Nalanda penuh
gairah.
"Maaf, Gusti Prabu. Bukannya hamba membantah
perintah Gusti. Tapi hamba tidak bisa bersikap seperti
itu. Biar mereka bertarung secara jantan."
"Ahhh...!" Prabu Nalanda menghela napas. Alasan
Ketua Perguruan Garuda Sakti itu memang bisa
diterima dan masuk akal. Maka, raja ini tidak
mendesak lagi. Dialihkan pandangannya ke depan, ke
arah pertarungan.
Sementara itu pertarungan sudah berlangsung
hampir seratus tujuh puluh lima jurus. Dan selama
itu, entah berapa kali pukulan, tendangan, dan
gebukan guci Dewa Arak bersarang di sekujur tubuh
Ki Kerpala, namun tanpa hasil apa-apa. Sementara
setiap serangan Ki Kerpala, belum ada satu pun yang
mengenai sasarannya. Memang dengan jurus
'Delapan Langkah Belalang'-nya, tidak sulit bagi Dewa
Arak untuk mengelakkan setiap serangan itu.
Pada jurus keseratus delapan puluh, Dewa Arak
melentingkan tubuhnya ke belakang dan bersalto
beberapa kali di udara. Sementara Ki Kerpala yang
sejak menginjak jurus keseratus tujuh puluh lima,
telah merasakan kalau serangan-serangan Dewa Arak
telah mengendur, segera melompat memburu. Tidak
dibiarkan lawannya memulihkan tenaga.
"Hiyaaa...!"
Tapi Dewa Arak sudah memperhitungkan hal itu.
Sengaja sekarang ini serangannya agak dikendurkan,
supaya lawan mengira dirinya lelah. Padahal, berkat
keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', Arya hampir tidak
pernah lelah. Setiap kali tenaganya mengendur, dia
segera meminum araknya, dan seketika itu juga pulih
kembali. Dia berlaku seperti itu untuk menghilangkan
kewaspadaan lawan.
Ternyata usahanya berhasil, karena Ki Kerpala
sudah mulai terpancing dan memburunya penuh
emosi. Di saat itulah, kedua tangan Dewa Arak
dihentakkan ke depan, menggunakan jurus 'Pukulan
Belalang'!
Wuuusss...!
Angin berhawa panas berhembus keras ke arah
tubuh Ki Kerpala yang tengah berada di udara. Kakek
berwajah hitam ini berteriak ngeri. Dan....
Bresss...!
"Aaa...!"
Pukulan jarak jauh itu telak bersarang di dada Ki
Kerpala. Seketika itu juga tubuhnya terhempas jauh
ke belakang, dan jatuh berdebuk di tanah dalam
keadaan tanpa nyawa. Sekujur tubuhnya hangus.
Tampak darah bercucuran dari mulut, hidung, dan
telinganya.
"Hhh...!" Arya menghela napas lega. Diangkatnya
guci arak yang sejak tadi digenggam ke atas kepala,
lalu dituangkan arak itu ke dalam mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu memasuki
tenggorokannya.
Prabu Nalanda dan Ki Temula bergegas meng-
hampiri Dewa Arak.
"Terima kasih atas semua pertolonganmu, Arya,"
ucap Prabu Nalanda tanpa ragu-ragu.
"Ah! Jangan berterima kasih padaku, Gusti Prabu.
Berterima kasihlah pada Gusti Allah," elak Dewa Arak.
Memang pemuda ini sudah bisa menduga kalau
orang yang berdiri di hadapannya ini adalah seorang
raja.
"Apa yang kau katakan tidak salah, Arya. Tapi,
sebagai seorang yang telah menerima pertolongan
begitu besar, wajar kalau aku memberi sesuatu,
sebagai tanda syukurku atas pertolongan Gusti Allah,"
ujar Prabu Nalanda, sambil tersenyum lebar.
"Tapi, Gusti.. ," Arya mencoba membantah.
"Kau harus menerimanya, Arya. Atau kau ingin
mempermalukanku di hadapan seluruh prajuritku?"
Dewa Arak tidak bisa membantah lagi.
"Nah! Sebagai tanda terima kasihku pada Gusti
Allah, kau akan kunikahkan dengan putriku, Arya,"
tegas Prabu Nalanda penuh wibawa, namun
terdengar buru-buru.
"Hah...?!" Dewa Arak melengak kaget. Ucapan
Prabu Nalanda itu tak ubahnya petir di tengah hari.
"Tapi, Gusti Prabu..."
"Ingat, Arya. Jangan membantah perintah seorang
raja...!" potong Prabu Nalanda cepat.
Dewa Arak tertegun kebingungan. Dengan
pandangan mata seperti orang bodoh, ditatapnya Ki
Temula. Tapi kakek itu malah mengangkat bahu, lalu
menghindari pandangan mata Dewa Arak.
Di saat gawat itu, tiba-tiba berkelebat sesosok
tubuh, dan tahu-tahu di dekat mereka telah berdiri
seorang gadis berpakaian putih. Wajahnya tampak
cantik laksana dewi. Rambutnya panjang terurai.
"Ayahanda..." sapa gadis itu lirih sambil memberi
hormat pada Raja Bojong Gading itu.
Prabu Nalanda menoleh ke arah Ki Temula.
"lnilah wanita yang kuceritakan itu, Ki. Wanita
perkasa yang telah menyelamatkanku beberapa
minggu lalu, dari tangan maut Peri Muka Seratus
ketika aku tengah berburu." jelas Raja Bojong Gading
itu. "Sebagai tanda terima kasihku, kujadikan dia
anakku."
"Melati...," desah Dewa Arak terkejut. Sepasang
matanya terbelalak melihat gadis yang dicintainya itu
telah menjadi putri seorang raja.
"Inilah putriku yang akan kujodohkan denganmu,
Arya. Bagaimana, kau suka?" tanya Prabu Nalanda
sambil tersenyum dikulum. Dia telah tahu ada
pertalian cinta antara Melati, anak angkatnya dengan
si Dewa Arak. Maka dia memang tidak ragu-ragu lagi
untuk memutuskan demikian.
Wajah Dewa Arak seketika memerah. Sungguh
terbuka sekali Prabu Nalanda mengajukan
pertanyaan seperti itu. Bahkan Melati sendiri sampai
menundukkan wajahnya yang mendadak menyem-
burat merah.
"Itu..., eh! Anu... terserah Gusti Prabu saja...," jawab
Dewa Arak terbata-bata.
"Jawablah sebagaimana seorang lelaki memberi
jawaban, Arya," tegur Prabu Nalanda dengan suara
penuh wibawa.
Kian merah wajah Dewa Arak
"Hamba setuju, Gusti Prabu." tegas Arya Buana
"Bagus! itu baru jawaban seorang lelaki sejati!" puji
Raja Bojong Gading ini dengan wajah berseri-seri.
"Tapi hamba punya satu permintaan, Gusti,"
sambung Dewa Arak cepat.
"Apa itu, Arya? Katakan saja, jangan malu-rnalu."
"Hamba ingin usul agar pernikahan dilaksanakan
nanti saja. Masih banyak tugas yang harus
kukerjakan, Gusti Prabu."
Prabu Nalanda mengernyitkan keningnya, tapi
sesaat kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
Disadari banyak orang yang membutuhkan per-
tolongan Dewa Arak.
"Aku tidak keberatan, Arya."
"Ayahanda...," ucap Melati yang sejak tadi
menundukkan kepalanya. Suaranya pelan sekali.
"Ada apa, Anakku," sahut Prabu Nalanda.
"Maafkan Ananda, Ayahanda. Ananda datang
terlambat sehingga tidak bisa membantu Ayahanda
menghadapi para pengacau itu "
"Tidak mengapa, Anakku. Ayah pun memaklumi-
nya," jawab Prabu Nalanda sambil tersenyum.
Memang, Raja Bojong Gading ini tahu kalau selama
ini Melati sibuk mencari Dewa Arak, setelah
didengarnya Arya ada di Kotaraja Kerajaan Bojong
Gading ini.
"Terima kasih, Ayahanda," ucap Melati seraya
memberi hormat. "Ayahanda...."
"Ada apa lagi, Anakku? Katakanlah...," tegas Prabu
Nalanda, masih dengan senyum di bibir.
"Hamba mohon pamit, Ayahanda. Hamba khawatir
akan keselamatan guru hamba."
Prabu Nalanda tersenyum maklum. Diusap-
usapnya rambut Melati yang hitam tebal itu.
"Pergilah, Anakku. Tapi ingat, jangan lupakan
Ayahmu ini. Sekali-sekali mampirlah kemari."
"Akan kuusahakan, Ayahanda," sambut Melati
gembira mendapat persetujuan itu.
"Hamba juga mohon diri, Gusti Prabu," pamit Dewa
Arak pula.
"Silakan, Arya. O, ya. Kalau sempat, sering-
seringlah datang kemari!"
Dewa Arak hanya menganggukkan kepalanya, lalu
segera melesat dari situ bersama Melati. Dalam
sekejap saja tubuh keduanya sudah lenyap
meninggalkan para prajurit dan perwira Kerajaan
Bojong Gading.
"Bagaimana kau bisa sampai kemari, Melati?"
tanya Dewa Arak yang agak bingung melihat
kemunculan Melati di sini.
Melati menghela napas. Wajahnya yang semula
cerah, mendadak muram. Tentu saja hal ini membuat
Arya merasa tidak enak.
"Sejak kita datang waktu itu, sebenarnya Kakek
sudah terluka dalam. Tapi, Kakek tidak ingin aku
mengetahuinya. Sampai akhirnya aku mengetahuinya
sendiri. Maka cepat-cepat aku pergi mencarimu,
karena kaulah yang telah membawa obat pulung itu."
Arya terdiam. Ingatannya melayang pada Ki Julaga
yang selalu dipanggil kakek oleh gadis itu (Untuk
jelasnya, baca serial Dewa Arak, dalam episode "Cinta
Sang Pendekar") Perlahan diambilnya sebuah
gulungan kain dari jepitan sabuk di pinggangnya,
kemudian diberikan pada Melati.
"O ya, Kang. Kita kan sekarang sudah
dijodohkan!?" ujar Melati, tak tahan menyimpan
perasaannya sejak tadi. Ditatapnya lekat-lekat wajah
Dewa Arak.
"Benar! Seharusnya aku berterima kasih pada
Prabu Nalanda. Kalau saja tidak ada beliau, mungkin
aku belum resmi dijodohkan denganmu," goda Arya.
"Apa?!" pekik Melati. Sepasang matanya melotot
"Enaknya!"
Setelah berkata demikian, dicubitnya pinggang
Arya, namun tidak keras. Arya malah membiarkannya
dan menangkap tangan gadis itu. Pelahan dibawanya
tangan itu ke mulutnya, dan dikecup lembut. Lama
sekali baru dilepaskan kecupan itu.
"Pergilah, Melati. Kakek menantikanmu," ucap Arya
pelan, namun cukup jelas terdengar.
"Tapi aku masih kangen, Kang," rajuk Melati
sambil merangkul pinggang Arya.
"Ya. Tapi di lain saat Kita kan masih bisa bertemu
lagi," bujuk Arya dengan perasaan haru melihat Melati
sangat membutuhkannya.
Setelah puas melepas kerinduan, akhirnya Melati
meninggalkan tempat itu.
"Nanti kau mampir ya, Kang...," teriak Melati di
kejauhan.
"Pasti..., pasti Melati," teriak Arya pula sambil
memperhatikan kepergian gadis yang disayanginya
itu.
Setelah bayangan Melati lenyap di kejauhan, Arya
baru melangkahkan kakinya untuk menyongsong
tugas-tugas lain yang telah menunggunya. Tugas
selaku seorang pendekar pembela keadilan.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar