..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 12 Desember 2024

DEWA ARAK EPISODE BANJIR DARAH DI BOJONG GADING

DEWA ARAK EPISODE BANJIR DARAH DI BOJONG GADING

 SATU


"Auuunggg…!" 

Lolongan anjing hutan terdengar menggaung 

panjang, membuat suasana malam yang sudah 

menyeramkan, menjadi semakin seram. 

Dalam suasana malam yang agak gelap itu, 

nampak sesosok bayangan kuning berkelebat. Dan 

menilik dari gerakannya, bisa diketahui kalau 

bayangan kuning ini memiliki ilmu meringankan tubuh 

yang tinggi. 

Sosok bayangan kuning itu berlari terus dengan 

kecepatan tinggi. Ketika kebetulan cahaya sinar obor 

menjilat wajahnya, tampak kalau sosok bayangan 

kuning itu adalah seorang kakek berusia sekitar 

enam puluh tahun. Tubuhnya kecil kurus, dan 

wajahnya kecil mirip wajah seekor tikus. Kumisnya 

hitam dan jarang-jarang. 

Si wajah tirus itu baru memperlambat langkahnya 

ketika mendekati sebuah bangunan besar yang 

berhalaman luas. Pagar yang terbuat dari kayu bulat 

yang kokoh kuat mengelilingi bangunan itu. Di atas 

pintu gerbang, terpampang sebuah papan tebal yang 

berukir indah. Di situ tertulis huruf-huruf yang ber-

bunyi "Perguruan Naga Api". 

Kakek berwajah tirus itu menghentikan langkah-

nya di depan pintu gerbang perguruan yang tertutup 

rapat itu. Perlahan-lahan diketuknya pintu gerbang 

itu. 

Tok…! Tok...! 

Kelihatannya pelan saja kakek itu mengetuk, tapi


Akibatnya cukup dahsyat. Seolah-olah pintu gerbang 

dari jati tebal itu digedor oleh balok kayu yang besar. 

Dan karuan saja suara berisik itu membuat para 

murid Perguruan Naga Api yang tengah bertugas jaga, 

berlarian mendekati pintu gerbang. 

"Buka pintu gerbang...!" perintah salah seorang 

dari mereka yang bercambang bauk lebat. 

"Tapi, Kang Somali," bantah seorang yang bertahi 

lalat besar di pipinya. "Bagaimana kalau orang yang 

mengetuk itu tidak bermaksud baik?" 

Si cambang bauk lebat yang bernama Somali 

menatap tajam pada orang yang menyatakan dugaan 

itu. 

"Tidak mungkin, Adi Prawira! Kalau orang itu 

bermaksud tidak baik, tak mungkin datang terang-

terangan begitu." 

Orang yang dipanggil Prawira mengangguk-

anggukkan kepalanya, tanda menerima alasan 

Somali. 

Segera Prawira melangkah maju. Diangkatnya 

palang kayu yang mengunci pintu gerbang itu, 

kemudian baru ditariknya daun pintu gerbang itu. 

Kriiittt...! 

Suara bergerit tajam terdengar mengiringi ter-

bukanya pintu gerbang itu. 

"Ah...! Kiranya Ki Temula…!" kata Prawira kaget. 

"Silakan masuk, Ki!" 

Kakek berwajah tirus yang dipanggil Ki Temula 

hanya tersenyum. Kemudian dilangkahkan kakinya 

masuk ke dalam. Begitu kakek itu masuk, Prawira 

segera menutup pintu kembali. 

"Apakah Adi Gayadi ada?" tanya Ki Temula, seraya 

memalingkan wajah ke arah Somali. 

"Ada, Ki. Guru ada di dalam," jawab Somali.


"Apakah Aki ada keperluan dengan Guru?" 

"Benar!" sahut kakek berwajah tirus itu singkat. 

"Kalau begitu, mari kuantar untuk menemui 

beliau!" 

Setelah berkata demikian, Somali segera bergerak 

melangkah mendahului. Ki Temula pun mengikutinya 

Sementara para murid yang tengah mendapat giliran 

jaga, kembali pada tugasnya masing-masing. Ki 

Temula memang sahabat kental Ketua Perguruan 

Naga Api. Sering mereka mengadakan pertemuan. 

Kadang-kadang di Perguruan Naga Api, dan sesekali 

di perguruan yang dipimpin Ki Temula ini. Tidak 

jarang pula, di hutan-hutan sunyi, atau di puncak-

puncak gunung. Sehingga bukan merupakan hal yang 

mengejutkan kalau malam ini kakek berwajah tirus 

itu datang berkunjung. 

Somali mengantarkan Ki Temula sampai di depan 

sebuah bangunan, tempat Ki Gayadi biasa ber-

semadi. Biar ada peristiwa penting apa pun, biasanya 

Somali tidak akan berani memberitahukan pada 

gurunya, bila tengah bersemadi. Tapi, kedatangan Ki 

Temula merupakan suatu pengecualian. 

Tok...! Tok...! 

Somali menunggu sejenak sehabis mengetuk daun 

pintu pondok kecil itu. 

"Siapa?!" 

Terdengar sahutan dari dalam pondok itu. Nada-

nya terdengar agak kasar, seperti orang yang merasa 

terganggu. 

"Aku, Guru..!" sambut Somali cepat. 

"Siapa?!" Kian keras suara dari dalam pondok itu. 

"Somali, Guru." 

"Hm.... Ada keperluan apa sehingga kau berani 

membangunkan aku, Somali?!"

Somali menelan ludahnya untuk membasahi 

tenggorokannya yang terasa kering. Hatinya memang 

merasa tidak enak juga, karena telah mengganggu 

ketenangan semadi gurunya. 

"Aku mengantarkan Ki Temula yang ingin bertemu 

guru...." 

Hening sejenak, setelah si cambang bauk itu 

menyelesaikan perkataannya. Tidak ada suara 

sahutan yang terdengar dari dalam pondok. 

Somali dan Ki Temula menanti. 

Kriiittt..! 

Terdengar suara bergerit agak nyaring, disusul 

terbukanya pintu pondok kecil itu. Nampak di balik 

pintu itu berdiri sesosok tubuh pendek gemuk 

berwajah cerah, penuh senyum. Usianya paling 

banyak enam puluh tahun. Kakek inilah yang ber-

nama Ki Gayadi, Ketua Perguruan Naga Api. 

"Ha ha ha...! Kakang Temula, mari.... Silakan 

masuk, Kakang," ucap Ki Gayadi mempersilakan. 

Senyum lebar tersungging di wajahnya yang penuh 

keceriaan. 

"Terima kasih, Adi Gayadi," sambut kakek berwajah 

tirus itu sambil melangkah masuk ke dalam. 

Begitu Ki Temula telah melangkah masuk, Ki 

Gayadi kembali menutup pintu pondoknya. Somali 

yang tahu diri sudah lebih dahulu pergi, setelah 

memberi penghormatan pada kedua orang tua itu. 

"Urusan apa yang membawa Kakang ke sini? 

Ataukah ada perubahan rencana pada pertemuan 

Kita tiga purnama mendatang?" tanya Ki Gayadi 

begitu menjatuhkan tubuh, duduk bersila di depan 

tamunya. Memang, kakek pendek gemuk ini merasa 

heran melihat kedatangan Ki Temula yang tidak 

diduga-duga itu.

Kakek berwajah tirus itu menundukkan kepalanya 

sebentar. 

"Memang, aku mempunyai keperluan padamu, Adi 

Gayadi Makanya, malam-malam begini kupaksakan 

datang menemuimu." 

"Kalau boleh kutahu, apa keperluan itu, Kang?" 

"Membunuhmu!" 

Setelah berkata demikian, dengan cepat Ki Temula 

menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan. 

Wusss...! 

Ki Gayadi terkejut bukan main. Serangan itu 

datangnya terlalu tiba-tiba dan tidak tersangka-

sangka. Apalagi, Ketua Perguruan Naga Api ini tengah 

duduk bersila dan tidak bersikap waspada. Bahkan 

jarak antara mereka terlalu dekat. Maka, walaupun 

kakek bertubuh pendek gemuk ini berusaha 

mengelak, tetap saja terlambat! 

Bresss...! 

"Aaakh...!" 

Ki Gayadi berteriak keras memilukan. Pukulan 

jarak jauh itu telak dan kerasnya menghantam 

perutnya. Seketika itu juga tubuh kakek pendek 

gendut itu lerlempar jauh ke belakang menabrak 

dinding pondok yang terbuat dari papan. 

Brak...! 

Seketika itu juga dinding papan itu jebol, terlanda 

tubuh laki-laki tua Ketua Perguruan Naga Api. 

Brukkk..! 

Terdengar suara berdebuk keras ketika tubuh 

Ketua Perguruan Naga Api itu jatuh ke tanah. 

"Huakkk. .!" 

Segumpal cairan kental berwarna merah keluar 

dari mulut kakek pendek gemuk yang berusaha 

bangkit dari terbaringnya.


"Hup...!" 

Ki Temula melompat keluar, menyusul tubuh 

Ketua Perguruan Naga Api yang tergolek di sana. 

Ringan tanpa suara, kedua kakinya mendarat di 

tanah, di depan Ki Gayadi. 

Laki-laki tua pendek gemuk itu berusaha bangkit, 

tapi luka dalam yang dideritanya terlalu parah, 

sehingga tak mampu berdiri. Pukulan yang dilepaskan 

Ki Temula memang hebat sekali, karena disertai 

pengerahan tenaga dalam penuh. Seluruh tulang-

belulangnya seolah-olah hancur berantakan semua-

nya. 

"Pergilah ke neraka, Gayadi...!" dengus Ki Temula. 

Dingin dan datar suaranya. Dan tiba tiba saja kakinya 

bergerak menyepak. 

Prak...! 

"Aaakh...!" 

Ki Gayadi memekik tertahan. Kepala kakek pendek 

gemuk ini pecah ketika kaki Ki Temula telak meng-

hantamnya. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar, 

sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi untuk 

selamanya. 

*** 

"Ha ha ha...!" 

Ki Temula tertawa terbahak-bahak melihat Ketua 

Perguruan Naga Api itu tewas. Sama sekali tidak 

dipedulikan derap langkah kaki yang menuju ke 

tempatnya berdiri. Memang suara jebolnya dinding 

papan itu telah didengar murid-murid Perguruan Naga 

Api. Mereka segera memburu ke arah asal suara itu. 

"Guru...!" teriak Somali keras. Laki-laki bercambang 

bauk ini memang merupakan satu-satunya orang


yang paling dekat jaraknya dari tempat gurunya 

terbantai. Memang, ruang semadi Ki Gayadi letaknya 

agak terpisah dari bangunan lainnya, tapi Somali saat 

itu tidak jauh dari situ. 

Sepasang mata Somali menatap penuh rasa tidak 

percaya, pada sosok tubuh yang tergolek di tanah. 

Kemudian tatapannya berpindah pada Ki Temula 

yang tengah tertawa terbahak-bahak. 

Ki Temula menghentikan tawanya ketika melihat 

kehadiran Somali. Sepasang matanya nampak 

beringas, memandang pemuda bercambang bauk 

lebat itu. Tapi Somali sama sekali tidak gentar. 

Kematian gurunya di tangan kakek kecil kurus yang 

berdiri di hadapannya ini, benar-benar membuatnya 

terpukul. Jelas, ini terjadi Akibat keteledorannya. 

"Keparat..! Kau harus mengganti nyawa guruku 

dengan nyawamu!" 

Srat..! 

Somali mencabut pedangnya, lalu.... 

"Heyaaat..!" 

Didahului sebuah pekik melengking nyaring, 

pemuda bercambang bauk lebat ini melompat 

menerjang Ki Temula. Pedangnya diputar-putar-

kannya di atas kepala sebelum dibabatkannya ke 

leher kakek pembunuh gurunya itu. 

Singgg...! 

Suara mendesing nyaring mengawali tibanya 

serangan pedang itu. Namun Ki Temula hanya 

mendengus. 

"Susullah arwah gurumu ke neraka, manusia 

dungu...!" desis laki-!Aki berwajah tirus itu tajam. 

Kemudian tanpa ragu-ragu lagi, diulurkan tangan 

kanannya. 

Tappp...!


Dengan sigap, pedang Somali ditangkap laki-laki 

tua berwajah tirus itu. Dan sebelum pemuda itu 

berbuat sesuatu, Ki Temula cepat menariknya. Tentu 

saja Somali yang tidak ingin pedangnya terebut, 

berusaha menahan sekuat tenaga. Tapi tenyata 

tenaganya kalah kuat. Apalagi tubuhnya sendiri saat 

itu tengah berada di udara. Maka tak pelak lagi, 

tubuhnya ikut tertarik oleh tenaga lawan. 

Pada saat tubuh Somali mendekat, dengan cepat, 

Ki Temula menyodokkan ujung pedang ke perut 

Somali 

Ceppp…! 

"Aaakh...!" 

Somali menjerit ngeri. Gagang pedang itu tembus 

hingga ke punggungnya. Memang hebat tenaga 

dalam kakek itu. Dalam posisi terbalik, pedang itu 

mampu menembus perut pemuda bercambang bauk 

lebat itu. 

Tapi, daya tahan tubuh Somali patut dipuji. 

Meskipun luka-luka yang diderita parah, dia masih 

mampu bertahan. Padahal, kedua kakinya tampak 

menggigil keras. Tentu saja hal ini membuat Ki 

Temula jadi kehilangan kesabarannya. Maka 

tangannya pun terayun menampar ke arah pipi. 

Prak...! 

Terdengar suara berderak keras ketika kepala 

pemuda bercambang bauk itu pecan terhantam 

tangan laki-laki tua itu. Tanpa sempat mengeluh lagi 

tubuh Somali terjerembab jatuh. 

Tepat saat tubuh Somali ambruk, murid-murid 

Perguruan Naga Api yang lain pun tiba. Dapat 

dibayangkan betapa kagetnya hati mereka melihat 

dua sosok tubuh yang tergeletak di tanah. Berkat 

sinar obor yang terpancang di sudut rumah, mereka


dapat melihat jelas dua sosok tubuh yang tergeletak 

diam tidak bergerak itu. 

"Guru...!" teriak mereka berbareng. Beberapa saat 

lamanya berpasang-pasang mata terpaku menatap 

tak percaya sosok tubuh yang tergolek di tanah. 

Melihat kesempatan yang baik itu, Ki Temula tidak 

menyia-nyiakannya. 

"Hup...!" 

Kakek kecil kurus berwajah tirus ini segera 

melesat dari situ. Cepat bukan main gerakannya, 

sehingga dalam sekejap mata saja tubuhnya sudah 

berjarak sepuluh tombak dari tempat semula. 

Melihat Ki Temula melarikan diri, para murid 

perguruan itu pun tersadar. 

"Pembunuh keparat itu kabur...!" teriak Prawira. 

"Kejar...!" sambut yang lain. 

Tak pelak lagi, sebagian besar dari mereka berlari 

mengejar Ki Temula. Sementara sisanya menghampiri 

mayat Ki Gayadi dan Somali. 

Mereka segera mengangkat tubuh-tubuh yang 

telah kaku itu ke ruang utama perguruan. 

Sementara itu, sepertinya Prawira dan beberapa 

murid perguruan tak mampu mengejar Ki Temula. 

Ilmu meringankan tubuh kakek berwajah tirus itu 

berada jauh di atas mereka. Maka, tanpa mengalami 

kesulitan kakek itu berhasil melompati pagar dari 

kayu bulat dan kuat yang mengelilingi bangunan 

besar berhalaman luas itu. 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara kedua kaki Ki Temula 

mendarat ringan di tanah. Dan sekali tubuh kakek ini 

melesat, tubuhnya pun lenyap ditelan kegetapan 

malam. 

"Keparat..!" maki Prawira yang kalang kabut


melihat buronannya berhasil kabur dari situ. 

*** 

Beberapa saat lamanya, Prawira dan murid-murid 

lainnya menatap ke arah kepergian Ki Temula. Wajah 

mereka menyiratkan perasaan dendam dan 

kemarahan yang amat sangat. Beberapa saat 

kemudian, dengan langkah bergegas mereka semua 

melesat ke ruang utama perguruan tempat Ki Gayadi 

dan Somali dibaringkan. 

"Bagaimana, Kakang Branta?" tanya Prawira pada 

seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun. Napas 

pemuda bertahi lalat besar ini agak memburu. 

Orang yang dipanggil Branta tersenyum getir. 

"Beliau telah tewas...," sahui Branta lirih. 

"Keparat..!" Prawira berteriak keras. "Keparat kau. 

Ki Temula! Tunggulah pembalasanku...!" 

"Tutup mulutmu, Prawira...!" bentak Branta keras 

Seketika sepasang mata Branta tampak berKilat 

penuh kemarahan ketika menatap wajah adik seper-

guruannya itu. Memang, di Perguruan Naga Api hanya 

tinggal satu orang murid kepala, yaitu Branta. 

Sementara murid tingkat dua ada dua orang, yaitu 

Somali dan Prawira. 

Sebenarnya, masih ada tokoh yang terhitung 

sesepuh di Perguruan Naga Api. Dia adalah kakak 

seperguruan Ki Gayadi yang bernama Ki Santa. Hanya 

sayangnya beliau jarang ikut campur dalam urusan 

perguruan. Kakek itu lebih suka bersemadi dan 

menyepi. 

Mendengar bentakan Branta, Prawira langsung 

melengak kaget 

"Mengapa, Kang?! Tidak bolehkah aku membalas


dendam pada orang yang membunuh Guru secara 

licik itu?!" sergah pemuda Itu. Ada nada penasaran 

dalam suaranya. 

Branta menatap Prawira tajam, tapi yang ditatap 

malah membalas tidak kalah tajamnya pula. 

Beberapa saat lamanya kedua pasang mata itu 

saling tatap. 

"Hhh...!" 

Setelah Branta menghela napas panjang, dialihkan 

pandangannya dari Prawira. Dia tahu kalau diterus-

kan mungkin tidak akan bisa menahan diri. Dan 

ucapan Prawira yang berani menentangnya secara 

jelas di depan murid-murid lainnya membuat amarah-

nya bangkit. Hanya saja, Branta tidak ingin 

menambah suasana yang sudah rusuh ini menjadi 

semakin rusuh oleh keributan dengan Prawira. 

Maka, walaupun dadanya terasa sesak oleh hawa 

amarah yang membakar. Branta tetap menyabarkan 

hatinya. Dialihkan pandangannya pada wajah adik-

adik seperguruan yang lain. Sudah bisa diduga kalau 

di wajah mereka tersirat adanya ketidakpuasan pada 

sikapnya yang membentak Prawira. 

"Kuharap kalian semua bisa menahan diri, dan 

jangan mudah terpancing oleh peristiwa ini. Yang 

paling penting bagi kalian adalah berpikir secara 

jernih. Buangiah jauh-jauh perasaan amarah yang 

melanda hati kalian," ujar Branta menenangkan adik-

adik seperguruannya. 

"Kakang. Guru telah dibunuh orang! Dan sekarang 

kau menyuruh kami bersabar?! Bahkan melarang 

kami untuk membalas dendam. Murid macam apa 

kau ini?!" sergah Prawira keras. 

"Jaga mulutmu, Prawira! Redakan amarahmu! 

Bukan hanya kau saja yang terpukul dan dendam


atas kematian Guru!" tegas Branta. 

Prawira pun terdiam. Disadari kebenaran ucapan 

kakak seperguruannya ini. Tapi amarah yang ber-

kobar di dalam dada, membuatnya menuduh kehati-

hatian kakak seperguruannya itu, sebagai sikap 

pengecut! Hanya saja, perasaan segan pada kakak 

seperguruannya, memaksanya untuk diam, dan tidak 

membantah lagi. Dia bertekad akan membalaskan 

dendam ini secara diam-diam. 

"Sudahlah...! Kita pikirkan hal itu nanti. Sekarang 

yang penting, uruslah mayat-mayat ini," ucap Branta 

lagi mengalihkan persoalan. Pemuda bermata sayu 

ini sudah merasa lega melihat usahanya meredakan 

amarah Prawira telah berhasil. Dia tidak tahu bahwa 

sebenarnya Prawira masih sangat penasaran, dan 

bertekad akan mencari pembunuh gurunya itu. 

Setelah berkata demikian, Branta lalu mengangkat 

mayat gurunya dan membawanya masuk ke dalam. 

Prawira pun mengikutinya sambil memanggul tubuh 

Somali.



DUA


Seorang pemuda berambut putih keperakan dan 

dibiarkan meriap, melangkah pelahan memasuki 

mulut sebuah hutan. Di punggungnya tersampir 

sebuah guci arak yang terbuat dari perak. 

Baru saja beberapa langkah, kening pemuda ini 

mendadak berkerut. Pendengarannya yang tajam 

menangkap adanya banyak langkah kaki yang 

menuju ke arahnya. Tapi pemuda yang tak lain Arya 

Buana atau lebih terkenal dengan julukan Dewa Arak, 

tidak mempedulikannya. Dewa Arak pura-pura tidak 

tahu dan terus saja melangkahkan kakinya. 

Benar saja. Beberapa langkah kemudian, Dewa 

Arak sudah melihat serombongan orang yang rata-

rata berusia muda. Jumlah mereka tak kurang dari 

dua puluh orang, dan semuanya berpakaian warna 

putih-putih. Di bagian dada sebelah kiri, ada sulaman 

gambar kepala naga yang tengah menyemburkan api. 

Sekali lihat saja Dewa Arak tahu kalau rombongan 

itu berasal dari sebuah perguruan beraliran putih. Hal 

ini bisa diketahui dari sikap mereka yang rata-rata 

tidak menampakkan keliaran dan kecongkakan. 

Hanya saja yang membuat Dewa Arak tidak habis 

pikir, adalah wajah mereka yang rata-rata mem-

bayangkan kemarahan hebat. Dewa Arak pun mem-

pertajam pendengarannya untuk mencuri dengar 

pembicaraan mereka, walaupun jaraknya cukup jauh 

dengan mereka. 

"Kita harus membalas dendam..! Semalam aku 

ragu mendengar kata-kata yang diucapkan Kakang


Branta. Tapi, tak lama kemudian aku teringat. 

Ternyata pembunuh itu menggunakan ilmu 'Cakar 

Garuda' ketika membunuh Kakang Somali." 

"Benar, Kakang Prawira! Kau harus membalas 

dendam pada kakek itu!" sambut yang lainnya. 

Dewa Arak mengerutkan alisnya. Dia seketika 

menduga kalau rombongan ini pasti hendak ber-

tarung. 

Semakin lama jaraknya dengan rombongan itu 

semakin dekat. Dan dengan sendirinya percakapan 

mereka pun semakin jelas terdengar telinganya. Tak 

lama kemudian Dewa Arak berpapasan dengan 

mereka pada sebuah jalan kecil yang di kanan kirinya 

ditumbuhi semak-semak dan pohon-pohon rimbun. 

Kekaguman Dewa Arak semakin bertambah, 

ketika melihat rombongan itu menghentikan langkah-

nya. Bahkan menggeser tubuh mereka ke pinggir, 

memberi jalan padanya untuk lewat. Baru setelah 

Arya lewat, mereka kembali melanjutkan langkahnya. 

Arya ragu-ragu untuk meneruskan langkahnya. 

Simpatinya seketika timbul melihat sikap mereka. 

Ingin diketahui, masalah apa yang membuat pemuda-

pemuda gagah itu hendak bertarung. Memang dari 

ucapan yang tadi sempat didengar, diketahui kalau 

rombongan itu ingin membalas dendam. Tapi pada 

siapa? 

Beberapa saat lamanya batin pemuda ini ber-

perang, antara melanjutkan perjalanannya ataukah 

mengikuti rombongan pemuda gagah itu tadi. 

Akhirnya, Dewa Arak memutuskan untuk mengikuti 

rombongan berseragam putih-putih itu. Langkahnya 

segera dihentikan dan berbalik ke arah yang tadi 

ditinggalkan. Sesaat matanya menatap ke arah pohon 

di depannya, dan....


"Hup...!" 

Ringan tanpa suara, kedua kakinya hinggap di 

cabang sebatang pohon, kemudian melompat ke 

cabang lainnya. Begitu seterusnya. Sehingga tak lama 

kemudian, rombongan orang berseragam putih-putih 

itu terlihat kembali. 

Kening Dewa Arak berkernyit ketika melihat 

rombongan pemuda itu mulai mendaki lereng 

gunung. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu 

kalau yang mereka daki itu adalah Gunung Munjul, 

yang pada salah satu lerengnya terdapat sebuah 

perguruan yang bernama Perguruan Garuda Sakti. 

Apakah rombongan orang itu hendak menuju ke 

sana? Maka perasaan tidak enak pun menjalari hati 

Dewa Arak. Karena yang diketahuinya, Perguruan 

Garuda Sakti adalah sebuah perguruan beraliran 

putih. 

Dugaan Dewa Arak tidak meleset. Rombongan itu 

ternyata benar menuju Perguruan Garuda Sakti, dan 

rata-rata gerakan mereka cukup gesit ketika mendaki 

lereng gunung itu. 

Tak lama kemudian, rombongan itu pun sudah 

mendekati pintu gerbang Perguruan Garuda Sakti. 

Dan rupanya dua orang murid Perguruan Garuda 

Sakti yang tengah menjaga pintu gerbang itu melihat 

kehadiran rombongan itu. Nampak jelas kalau dua 

orang penjaga itu agak bingung melihatnya. 

Tapi sebelum mereka sempat bertindak, tiba-tiba 

saja rombongan murid Perguruan Naga Api yang 

dipimpin Prawira itu meluruk menyerbu. 

"Serbuuu...!" 

Maka serentak dua puluh orang murid Perguruan 

Naga Api itu meluruk ke arah pintu gerbang. 

Singgg...! Singgg...!


Suara desing golok dan pedang yang melesat 

keluar dari sarungnya, menyemaraki suasana yang 

hening dan sepi itu. Melihat hal ini, karuan saja dua 

orang murid Perguruan Garuda Sakti yang menjaga 

pintu gerbang itu terkejut. Serentak keduanya 

mencabut senjatanya masing-masing, mencoba 

meng-halau serbuan dua puluh orang itu. 

Sementara Dewa Arak yang melihat hal itu tidak 

berani gegabah ikut campur, karena belum tahu 

masalahnya. Ikut campur tangan sebelum tahu 

masalahnya merupakan perbuatan tidak bijaksana. 

Lagi pula, dua puluh orang itu kelihatannya ber-

sikap ksatria. Jelas mereka kelihatan tidak bermain 

curang. Buktinya dua orang penjaga itu tidak di-

keroyok melainkan diserang oleh dua di antara 

mereka. Sedangkan sisanya menyerbu masuk. Dewa 

Arak memutuskan untuk menonton saja sambil ber-

tengger di atas sebuah cabang pohon. 

Trang..! Trang...! 

Denting suara senjata beradu terdengar ketika dua 

orang penjaga pintu gerbang itu menangkis dua buah 

serangan yang mengancam nyawa mereka. Sesaat 

kemudian keempat orang itu sudah terlibat per-

tarungan mati-matian. 

Sementara itu, Prawira dan rekan-rekan lain 

menerobos masuk. Mereka segera berhadapan 

dengan murid-murid Perguruan Garuda Sakti. Tak 

pelak lagi. pertarungan massal pun terjadi 

Mulanya pertarungan itu berjalan seimbang. Tapi 

lama-kelamaan, mulal nampak kalau Prawira dan 

rekan-rekannya lebih unggul katimbang mereka. 

Memang rombongan yang menyerbu adalah murid-

murid pilihan, walau bukan murid-murid kepala. 

Sementara di Perguruan Garuda Sakti, hanya terdapat murid-murid rendahan. 

"Aaa...!" 

Jerit kematian pertama terdengar dari mulut 

penjaga pintu gerbang ketika golok murid Perguruan 

Naga Api menembus perutnya hingga ke punggung. 

"Aaakh...!" 

Kembali salah seorang murid Perguruan Garuda 

Sakti memekik tertahan ketika pedang di tangan 

lawan memenggal lehernya hingga buntung. 

Beberapa saat lamanya tubuhnya menggelepar-

gelepar sebelum akhirnya, diam tidak bergerak lagi. 

Belum lama tubuh orang kedua itu roboh ke tanah, 

terdengar lagi jerit kematian dari mulut murid 

Perguruan Garuda Sakti Satu persatu tubuh mereka 

berguguran ambmk ke tanah. 

Dewa Arak mengerutkan alisnya. Pandangan 

matanya yang tajam, dapat melihat adanya sosok 

tubuh yang bersembunyi di balik wuwungan rumah. 

Dan hal ini membuat Dewa Arak heran. Menilik dari 

pakaiannya yang berwarna kuning, dapat diper-

kirakan kalau yang bersembunyi itu adalah orang 

Perguruan Garuda Sakti. Tapi mengapa tidak mem-

bantu murid-murid perguruan yang dalam keadaan 

kritis itu? 

Belum lagi Dewa Arak menemukan jawabannya, 

dari dalam salah satu bangunan berkelebat sesosok 

tubuh. Dan tahu-tahu, di arena pertarungan telah 

berdiri seorang kakek bertubuh tinggi kurus dan 

berwajah mirip kuda. 

"Mundur semua...!" teriak kakek muka kuda itu. 

Seketika itu juga, murid-murid Perguruan Garuda 

Sakti yang tengah bertarung berlompatan mundur. 

Sedangkan murid-murid Perguruan Naga Api tidak 

mengejar, dan hanya berlompatan mundur untuk


berkumpul. 

Kakek muka kuda itu memandang berkeliling. 

Wajahnya nampak beringas melihat murid-murid 

Perguruan Garuda Sakti yang bergeletakan tanpa 

nyawa di sana-sini. 

"Kalian semua harus mati...!" dengus kakek itu 

dingin. 

"Hiyaaa...!" 

Tubuh kakek muka kuda melesat ke arah 

kumpulan murid-murid Perguruan Naga Api. Sasaran 

pertama adalah seorang murid bernama Kelana yang 

berada paling depan. 

Wut..! 

Tangan kakek muka kuda itu melayang deras ke 

arah kepala pemuda berkuping caplang itu. Tentu 

saja Kelana tidak membiarkan kepalanya hancur 

ditampar tangan mengandung tenaga dalam tinggi 

itu. Buru-buru disabetkan pedangnya pada tangan 

yang menampar itu. 

Trak...! 

Pedang itu langsung patah begitu tertangkis 

tangan si kakek muka kuda. Karuan saja hal ini 

membuat Kelana kaget bukan main. Belum lagi 

pemuda ini sadar, kaki kanan kakek itu sudah 

melayang ke arah dadanya. 

Buk...! 

"Aaakh...!" 

Dengan deras dan keras, kaki itu menghantam 

dadanya. Seketika itu juga tubuh Kelana terlempar 

jauh ke belakang dan jatuh di tanah menimbulkan 

suara berdebuk nyaring. Darah segar langsung 

berhamburan dari mulut, hidung dan telinganya. Saat 

itu juga nyawa pemuda itu melayang meninggalkan 

raganya. Tulang dadanya remuk seketika.


Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan si 

kakek muka kuda. Patahan pedang Kelana yang 

berada di tangannya langsung dilesatkan ke arah 

lawannya. 

Singgg...! 

Cappp..! 

"Aaa...!" 

Seorang yang bertubuh pendek menjerit panjang 

ketika patahan pedang itu menancap di perutnya 

hingga tembus ke punggung. Beberapa saat lamanya 

tubuh laki-laki itu menggelepar-gelepar di tanah 

sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. 

"Serbuuu...!" perintah Prawira keras. Pemuda ini 

sadar kalau lawan di hadapannya memiliki 

kepandaian tinggi. Jadi kalau dihadapi seorang demi 

seorang hanya akan mengantarkan nyawa sia-sia. 

Kini delapan belas orang murid Perguruan Naga 

Api itu, menyerbu kakek muka kuda secara ber-

bareng. Belasan senjata tajam berkelebat meng-

ancam sekujur tubuhnya. 

Tapi si kakek muka kuda itu hanya mendengus. 

Bahkan enak saja menyelinap di antara hujan senjata 

yang menyambar tubuhnya. Sehingga, tak satu pun 

serangan pengeroyoknya yang mengenai sasaran. 

Selama beberapa gebrakan, kakek muka kuda ini 

hanya mengelak. Dan pada saat mempunyai 

kesempatan, mulai balas menyerang. Tangan dan 

kakinya segera berkelebat, mencari sasaran yang 

mematikan. 

Plak! Buk! 

"Aaakh... !" 

"Aaa...!" 

Dua orang pengeroyoknya menjerit tertahan dan 

langsung roboh ke tanah, tidak bergerak lagi untuk


selamanya. Tamparan dan tendangan yang ditunjang 

tenaga dalam tinggi itu memang tidak mungkin bisa 

ditahan, sehingga dada dan perut mereka hancur! 

Tentu saja hal ini membuat Prawira dan rekan-

rekannya semakin marah. Akibatnya, serangan yang 

dilancarkan pun semakin dahsyat Tapi, karena tingkat 

kepandaian mereka memang terpaut jauh, maka 

tidak sulit bagi kakek muka kuda untuk mengelakkan 

setiap serangan. 

Dewa Arak kaget bukan main melihat hal ini. 

Sungguh tidak disangka kalau kakek muka kuda itu 

bersikap begitu telengas. Seperti tidak berperasaan, 

begitu enaknya dia membunuhi murid-murid 

Perguruan Naga Api yang telah bersikap begitu 

ksatria. 

Jiwa kependekaran Dewa Arak pun bangkit, karena 

tidak suka melihat kekejaman kakek Itu. Masalahnya, 

dia sendiri hampir tidak pernah membunuh 

sembarangan orang, sekalipun lawannya itu seorang 

penjahat! Tapi, kakek muka kuda itu begitu 

gampangnya membunuhi murid Perguruan Naga Api. 

Padahal dari sikap yang ditunjukkan, jelas kalau 

mereka adalah golongan penentang ketidakadilan. 

Segera saja Dewa Arak melompat turun dari 

cabang pohon yang sejak tadi didudukinya, dan 

langsung meluruk ke arena pertempuran. Sempat 

dilihatnya orang yang bersembunyi di balik wuwungan 

itu melesat kabur. 

Saat itu, Prawira tengah menyerang kakek muka 

kuda dengan sebuah tusukan ke arah perut. Seketika 

kakek muka kuda melangkahkan kakinya ke 

belakang. Sehingga tusukan pedang itu tidak 

menemui sasaran. Sebelum Prawira menarik pulang 

serangan, tangan kakek itu telah lebih dulu


menangkap pedangnya. 

Prawira yang mengetahui adanya bahaya besar 

yang mengancam, tidak berani bersikap malu-malu. 

Buru-buru dilepaskan pedangnya, dan secepat itu 

pula dilempar tubuhnya ke belakang. 

Tapi kakek muka kuda itu ternyata tidak mem-

biarkannya lolos. Begitu Prawira melempar tubuh ke 

belakang segera dihentakkan kedua tangannya ke 

depan. 

Wut! 

Angin berhembus keras ke arah tubuh pemuda 

bertahi lalat besar itu. Tentu saja wajah Prawira 

memucat, karena menyadari adanya bahaya maut 

mengancam. Jelas, dia tidak mampu mengelak-

kannya. 

Tapi di saat kritis itu, dari arah yang berlawanan 

tiba-tiba berhembus angin keras yang memapak 

angin pukulan kakek muka kuda. Tak dapat dicegah 

lagi, dua angin pukulan itu kini bertemu di udara. 

Blarrrr...! 

Ledakan keras seketika terdengar begitu dua 

angin pukulan itu bertemu. Sekitar tempat itu sampai 

bergetar Akibat ledakan itu. 

Bukan hanya itu saja. Bahkan para murid 

Perguruan Naga Api yang berada dekat situ kontan 

berpentalan ke belakang, Akibat pengaruh getaran 

tadi. 

"Keparat..!" maki kakek muka kuda. 

Sebagai orang yang telah mempunyai pengalaman 

luas, kakek ini tahu kalau ada orang berkepandaian 

tinggi yang telah menyelamatkan korbannya. Dan 

tentu saja hal ini membuatnya geram bukan main. 

Dengan pandang mata marah, diarahkan 

sepasang matanya ke arah asal angin pukulan tadi.


Di sebelah kanan Prawira yang kini telah selamat 

hinggap di tanah, tampak seorang pemuda berambut 

putih keperakan yang tengah berdiri tenang. Di 

tangan kanannya telah tergenggam sebuah guci arak 

yang terbuat dari perak. 

"Siapa kau?!" tanya kakek muka kuda. Kasar dan 

keras suaranya. "Mengapa mencampuri urusanku!" 

Pemuda yang tak lain dari Dewa Arak itu ter-

senyum getir. 

"Aku Arya. Sudah menjadi watakku untuk tidak 

membiarkan melihat kekejaman berlangsung di 

depan mataku!" sahut Dewa Arak, keras dan tegas 

suaranya. 

"Ketidakadilan?! Apa maksudmu, Anak Muda?! 

Apakah yang kau maksud dengan ketidakadilan itu? 

Apakah tindakanku yang telah menghukum orang-

orang yang telah mengacau dan membunuhi murid-

muridku salah?!" 

"Kau terlalu kejam, Ki!" tandas Arya tajam. 

"Kuperingatkan padamu, Anak Muda. Ini adalah 

urusan dalam perguruan. Perguruanku dikacau, dan 

murid-muridku dibantai! Adalah hakku untuk meng-

hukum si pengacau. Dan ini tidak ada sangkut 

pautnya denganmu!" tegas kakek muka kuda, 

langsung merah mukanya. 

Dewa Arak menggelengkan kepalanya. 

"Sayang sekali, Ki. Sejak mulai mempelajari ilmu 

silat, aku sudah bertekad untuk tidak membiarkan 

adanya kekejaman berlangsung di depan mataku!" 

tegas Arya. 

"Kau keras kepala, Anak Muda! Tapi..., tunggu 

dulu! Katamu tadi namamu Arya?" tanya kakek muka 

kuda. Sepasang matanya menatap Dewa Arak penuh 

selidik. Kemarahannya pun seketika mereda, ketika


mengingat nama Arya Buana. 

"Begitulah nama yang diberikan orang tuaku, Ki." 

"Arya?!" ulang kakek itu. Sepasang alisnya berkerut 

"Rasanya aku pernah mendengar orang yang 

mempunyai nama seperti itu?! Kalau tidak salah..., 

Arya Buana. Apa betul itu namamu?!" 

"Benar, Ki. Namaku adalah Arya Buana. Aki sendiri 

siapa?" tanya Dewa Arak yang kemarahannya juga 

telah mereda. 

"Aku? Namaku tidak sekondang dirimu, Anak 

Muda! Bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak? Aku 

tahu, orang sering membicarakanmu!" ujar orang tua 

itu, yang mulai merendah. Dia memang merasa tidak 

mungkin mampu berhadapan dengan tokoh yang 

telah terkenal kedigdayaannya. 

"Ah...! Berita itu terlalu berlebih-lebihan, Ki," ucap 

Arya merendah. "Apakah Aki bernama Ki Temula, 

Ketua Perguruan Garuda Sakti itu?!" 

Kakek muka kuda itu menggelengkan kepalanya. 

"Bukan. Namaku Ki Matija. Sedangkan Ki Temula 

adalah kakak seperguruanku. Sayang sekali dia 

sudah enam hari masuk ruang semadi, sehingga 

tidak bisa keluar sekarang. Dan kalau tidak salah, 

besok baru bisa keluar." 

"Bohong! Kau bohong, Ki Matija!" teriak Prawira. 

Keras sekali suaranya. 

Wajah kakek muka kuda yang bernama Ki Matija 

itu memerah. Sepasang matanya memancarkan 

kemarahan ketika menatap pemuda bertahi lalat 

besar itu. 

"Tutup mulutmu, pengacau! Kalau tidak me-

mandang Dewa Arak, sudah kubunuh kau!" 

"Demi membela kehormatan, bagiku mati tidak 

berarti apa-apa, Ki Matija! Tidak seperti kau,


pengecut!" teriak Prawira sambil menuding ke arah 

laki-laki tua muka kuda itu. 

"Keparat...! Akan kuadukan sikapmu yang tidak 

pantas ini pada gurumu!" bentak Ki Matija. 

"Tidak perlu berpura-pura bodoh, Ki Matija!" 

Ki Matija yang memang mempunyai sifat 

pemberang, seketika wajahnya merah padam. Sikap 

Prawira dirasakan sudah keterlaluan. Bahkan Dewa 

Arak pun terkejut melihatnya. Tapi belum sempat Ki 

Matija dan Dewa Arak berbuat sesuatu, Prawira telah 

melanjutkan ucapannya. 

"Kau pikir untuk apa kami semua ke sini mem-

pertaruhkan nyawa, Ki Matija?! Dengarlah baik-baik! 

Kami datang untuk membalaskan kematian guru 

kami! Kau tahu, Ki Gayadi telah dibunuh Ki Temula 

secara licik! Maka, demi budi baik dan kehormatan Ki 

Gayadi, kami semua rela mati di sini!" 

"Apa?!" sepasang mata Ki Matija membelalak 

lebar. "Ki Gayadi tewas?! Benarkah apa yang kau 

ucapkan ttu, Anak Muda? Kapan dia tewas?" 

Nampak jelas kalau kakek muka kuda itu kaget 

bukan main. Bahkan Dewa Arak sendiri terkejut 

mendengarnya. Pemuda ini sadar kalau persoalan 

yang dihadapi bukan persoalan kecil. Bahkan bisa 

terjadi pertumpahan darah antara dua perguruan ini! 

"Semalam!" sahut Prawira keras. 

Sesaat lamanya keheningan melanda tempat itu. 

Berita yang dikatakan Prawira memang membuat 

terkejut semua orang yang ada di situ. 

"Benarkah apa yang kudengar ini? Benarkah Adi 

Gayadi telah mendahuluiku?" tiba-tiba keheningan itu 

dipecahkan oleh sebuah suara. 

Dan belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok 

bayangan berkelebat dan telah berdiri di tengah


tengah mereka. Tampak di situ seorang kakek kecil 

kurus berwajah tirus mirip tikus. 

"Kakang...!" seru Ki Matija kaget melihat kehadiran 

kakak seperguruannya. 

Prawira mendesis melihat kehadiran kakek itu. 

Perasaan geram yang hebat tersirat di wajahnya. Tapi 

baru saja dia hendak bergerak. Dewa Arak telah lebih 

dulu memegang pergelangan tangannya. 

"Tenangiah, Kisanak. Dalam persoalan sebesar ini, 

tidak baik bersikap ceroboh. Lebih baik, dengar dulu 

apa yang dikatakan Ki Temula," ucap Arya 

menasehati. 

Prawira menoleh, dan menatap Dewa Arak lekat-

lekat. Pemuda berambut putih keperakan itu ter-

senyum lalu menganggukkan kepalanya. 

"Hhh...!" 

Prawira menghela napas panjang. Kedua tangan-

nya yang semula sudah menegang penuh kemarahan, 

pelahan mengendur. Dilangkahkan kakinya ke 

belakang. Dia memang telah percaya penuh pada 

Dewa Arak. Sebab tanpa pertolongan pendekar 

kondang itu, mungkin dia dan seluruh rekannya telah 

tewas di tangan Ki Matija. 

"Ah…! Tidak salahkah pengilhatanku ini? Benarkah 

Dewa Arak yang telah menggemparkan dunia 

persilatan itu, yang berkunjung ke sini?" ucap kakek 

kecil kurus itu. Pandangan matanya memancarkan 

ketidakpercayaan melihat kehadiran Dewa Arak di 

sini. 

Wajah Arya memerah karena merasa malu. 

"Ah! Berita itu terlalu dilebih-lebihkan, Ki." elak 

Dewa Arak malu. "Mana bisa dibandingkan dirimu, Ki. 

Hampir semua orang tahu siapa dirimu, Ki. Bahkan 

para prajurit dan Panglima pilihan Kerajaan Bojong


Gading berasal dari perguruan ini!" 

"Aku dan rekan-rekanku datang kemari untuk 

membalaskan kematian guruku. Ki Temula!" selak 

Prawira. Pemuda bertahi lalat besar ini menjadi tidak 

sabar melihat orang yang dicari malah terlibat 

pembicaraan dengan Dewa Arak. 

Ki Temula segera megnalihkan perhatiannya. 

"Semua pembicaraanmu telah kudengar, Anak 

Muda," sahut kakek kecil kurus yang bernama Ki 

Temula ini. Suaranya terdengar pelan. "Mungkin perlu 

kuberitahukan padamu, bahwa telah enam hari 

lamanya aku tidak keluar dan ruang semadi. Kalau 

tidak percaya pada ucapanku, kau boleh bertanya 

pada semua muridku yang ada di sini. Mungkin perlu 

kau ketahui, Anak Muda.... Ki Gayadi adalah segala-

nya bagiku. Dia tidak hanya sekedar seorang sahabat. 

Bahkan boleh dikatakan kami seperti kakak adik. Jadi 

kesedihanmu atas kematian gurumu itu mungkin 

tidak sebesar kesedihanku. Hanya ini yang bisa 

kukatakan padamu. Sekarang terserah bagaimana 

penilaianmu. Tapi yang jelas, aku tidak akan tinggal 

diam. Aku juga akan mencari orang yang telah 

memakai namaku, dan membunuh sahabat terbaik-

ku." 

Prawira dan rekan-rekannya terdiam. Mereka 

melihat adanya nada kesungguhan pada suara dan 

wajah kakek kecil kurus itu. Keragu-raguan kembali 

melanda hati mereka. Tentu saja hal ini membuat 

bingung. Kalau bukan kakek ini lalu siapa orang yang 

telah datang kemarin malam itu? 

Dalam kebingungannya. Prawira menatap satu 

persatu rekan-rekannya. Tapi semua rekannya malah 

menundukkan kepala. Makin bingungiah hati pemuda 

ini. Dipandangnya Dewa Arak. Dari sinar matanya,


jelas kalau dia meminta pendapat pemuda berambut 

putih keperakan itu. 

Dewa Arak mulanya tidak ingin ikut campur, 

karena ini adalah urusan dalam kedua perguruan itu. 

Tapi ketika Prawira memandangnya dengan sorot 

mata penuh permohonan, terpaksa Dewa Arak ikut 

campur. 

"Kalau menurut pendapatku, jelas ada orang yang 

sengaja mengadu domba dengan jalan membunuh Ki 

Gayadi," ucap Arya mengemukakan pendapat. 

Ki Temula mengerutkan alisnya. Memang dugaan 

Dewa Arak masuk akal. Tapi yang masih menjadi 

pertanyaan, untuk apa si pengadu domba itu melaku-

kan semua ini? 

"Kau yakin kalau yang membunuh gurumu adalah 

aku, Anak Muda?" tanya Ki Temula pada Prawira. 

Prawira yang kini sudah mereda amarahnya 

menganggukkan kepala. 

"Jelas sekali aku melihatmu, Ki. Bahkan bukan 

hanya aku saja. Masih ada tiga orang lagi yang 

melihatnya. Sayang, dua di antara mereka sudah 

tewas. Yang tersisa hanya aku dan Sentanu," jawab 

pemuda itu sambil menunjuk pemuda berhidung 

besar di sebelahnya. 

Lagi-lagi kakek kecil kurus itu menghela napas 

panjang. 

"Matija," panggil Ki Temula pada kakek muka kuda 

itu. 

"Ya, Kang" 

"Kau kutugaskan untuk menyelidiki peristiwa ini. 

Cari, siapa pembunuh Ki Gayadi! Siapa pun dia, kalau 

bisa kau tangkap hidup-hidup, bawa dia ke 

hadapanku! Tapi, kalau dia mati di tanganmu, bawa 

mayatnya pun tidak apa-apa. Yang perlu kutegaskan


adalah, kau harus bertindak tegas. Sekalipun orang 

itu aku sendiri. Ingat, kebenaran tidak mengenal tali 

persaudaraan! Mengerti, Matija!" 

"Mengerti, Kang," sahut kakek muka kuda itu 

seraya menganggukkan kepalanya. 

"Bagus!" 

"Kapan aku harus berangkat, Kang?" 

"Sekarang juga! Aku tidak ingin persoalan ini 

menjadi berlarut-larut!" tegas Ki Temula. 

"Baik, Kang!" 

Setelah berpamitan pada kakak seperguruannya 

dan pada Dewa Arak, Ki Matija berkelebat dari situ. 

Cepat bukan main gerakannya. Sehingga dalam 

sekejap saja tubuhnya sudah lenyap di balik pagar. 

Memang ilmu meringankan tubuh kakek muka kuda 

itu hampir mencapai tingkat kesempurnaan. 

"Sekarang masalah ini sudah kita selesaikan. Aku 

harap, kalian kembali ke perguruan. Aku yakin, 

kedatangan kalian kemari tanpa seijin Ki Santa!" 

tebak Ki Temula pelan. 

Prawira dan rekan-rekannya memasukkan kembali 

senjata-senjata yang digenggam ke dalam sarung 

masing-masing 

"Kami pergi dulu, Ki," pamit Prawira. 

"Silakan. O, ya. Kalau murid-murid utamaku telah 

kembali, aku akan datang menjenguk ke sana. 

Sampaikan salamku pada Ki Santa!" 

"Akan kusampaikan, Ki!" 

Ki Temula dan Dewa Arak memandangi kepergian 

murid-murid Perguruan Naga Api itu hingga lenyap di 

balik pagar. 

"Terima kasih, Dewa Arak. Tanpa campur tangan-

mu, mungkin persoalan ini kian membesar. Dan 

Akibatnya bukan hanya bagi dua perguruan saja, tapi

kemungkinan besar akan merembet ke Kerajaan 

Bojong Gading. Karena, banyak murid Perguruan 

Naga Api dan Perguruan Garuda Sakti yang menjadi 

prajurit dan panglima di sana! Syukurlah, kau telah 

bertindak tepat'" 

"Ah! Kau terlalu berlebihan memuji, Ki!" sambut 

Dewa Arak merendah. 

"Ha ha ha...! Semua berita yang kudengar cocok 

sekali dengan apa yang kulihat. Kau memang 

mengagumkan, Dewa Arak! Mari, mari masuk...!" 

Ki Temula melangkah mendahului masuk ke 

dalam salah satu bangunan, diikuti Dewa Arak.


TIGA


Murid-murid Perguruan Naga Api berlari cepat 

menggunakan ilmu meringankan tubuh. Lincah 

laksana kera, mereka melompat ke sana kemari, 

menuruni lereng. Dan tak lama kemudian, mereka 

pun telah memasuki hutan. Karena medan ini lebih 

mudah ditempuh, maka perjalanan pun jadi lebih 

cepat. 

Tapi, ketika mereka sampai di tempat saat ber-

papasan dengan Dewa Arak, langkah mereka 

serentak terhenti. Pandangan mata mereka ter-

tumbuk pada sosok tubuh yang berdiri menghadang 

jalan. 

Prawira dan kawan-kawannya kaget seketika. Jelas 

sekali mereka mengenali sosok tubuh yang meng-

hadang jalan itu. Seorang kakek kecil kurus ber-

pakaian kuning. Wajahnya tirus mirip wajah seekor 

tikus. Siapa lagi kalau bukan wajah Ki Temula. 

Melihat sikap yang dttunjukkan Ki Temula, Prawira 

merasakan adanya bahaya mengancam. 

Srat..! 

Tanpa ragu-ragu lagi, pemuda bertahi lalat besar di 

wajah itu menghunus pedangnya. 

Srat..! Srat..! 

Adik-adik seperguruan Prawira pun segera meng-

ikuti tindakannya. Prawira melangkah waspada. 

Selangkah demi selangkah pemuda bertahi lalat 

besar ini berjalan. Dan dengan demikian, jarak di 

antara mereka pun semakin bertambah dekat. 

"Maai, Ki. Mengapa kau menghadang perjalanan


kami? Apakah ada sesuatu yang hendak dibicara-

kan?" tanya Prawira. Dicobanya mengusir dugaan 

jelek yang muncul. 

"Ha ha ha...!" kakek kecil kurus itu tertawa. Dan 

secara mendadak pula dihentikan tawanya. "Enak 

saja! Sehabis mengacau, dan membunuh ingin pergi 

begitu saja, heh! Orang seperti kalian harus mati!" 

Wajah murid-murid Perguruan Naga Api kontan 

berubah hebat! 

"Apa maksudmu, Ki? Bukankah baru saja kau 

telah mengutus Ki Matija untuk membuat masalah ini 

jadi jelas? Tapi, mengapa sekarang bersikap lain? 

Kami jadi tidak mengerti!" tanya Prawira keras. 

"Kalian tidak perlu mengerti!" sergah kakek kecil 

kurus itu. "Yang jelas, kalian harus mampus! Habis 

perkara! Hiyaaa...!" 

Setelah berkata demikian, Ki Temula melesat 

menerjang. Kedua jari tangannya mengembang 

membentuk cakar burung. Ibu jari dan kelingkingnya 

dilipat ke dalam. Seketika angin tajam bersiutan 

nyaring mengi-ringi tibanya serangan itu. 

Prawira kaget bukan main! Dia tahu betapa 

dahsyatnya serangan itu. Pengalaman ketika hampir 

tewas di tangan Ki Matija, telah membuatnya lebih 

berhati-hati. Telah dibuktikan sendiri, betapa dahsyat-

nya kepandaian kakek muka kuda itu. Apalagi 

kepandaian kakek di hadapannya, yang merupakan 

kakak seperguruan Ki Matija. 

Dengan demikian, pemuda ini tidak boleh berlaku 

sembrono. Serangan-serangan yang datang itu tidak 

ditangkisnya, melainkan dihindari. Cepat-cepat 

dibanting tubuhnya ke tanah, dan terus bergulingan 

menjauh. 

Tapi Ki Temula ternyata tidak membiarkannya


lolos. Dikejarnya tubuh yang bergulingan itu dengan 

serangan cakar garudanya. 

Untunglah di saat kritis bagi Prawira, datang 

bantuan dari adik-adik seperguruannya. Secara 

berbareng, tiga orang murid Perguruan Naga Api 

menyerang kakek kecil kurus itu dengan tusukan 

pedang. 

Singgg...! Singgg...! Singgg...! 

"Keparat...!" 

Ki Temula dongkol bukan main. Terpaksa diurung-

kan serangannya ke arah Prawira. Tubuhnya segera 

digeliatkan sedikit, agar serangan itu tidak mengenai 

bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Kemudian 

secara berbareng kedua tangannya mengibas. 

Takkk...! Takkk...! Takkk...! 

Pedang-pedang itu meleset ketika telak mengenai 

dada dan perut Ki Temula. Sepertinya yang ditusuk itu 

bukanlah tubuh manusia, melainkan sebuah benda 

licin. 

Ketiga murid Perguruan Naga Api itu terkejut 

ketika tangan mereka bergetar hebat dan terasa 

sakit-sakit. Dan belum lagi sempat berbuat sesuatu, 

kibasan cakar kakek kecil kurus itu telah menyambar 

ke arah mereka. 

Wut..! 

"Akh...!" 

"Aaa...!" 

Jerit lengking kematian terdengar saling susul. 

Kibasan cakar Ki Temula telak merobek leher 

mereka. Darah seketika menyembur dari leher 

mereka yang terluka. Beberapa saat lamanya mereka 

menggelepar-gelepar meregang nyawa di tanah, 

sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. 

Prawira bangkit berdiri. Wajahnya pucat melihat


kematian tiga orang adik seperguruannya yang hanya 

sekali gebrak saja. Pemuda itu tahu kalau mereka 

tewas karena hendak menyelamatkannya. Hal ini 

membuatnya geram bukan main. Tanpa mempeduli-

kan keselamatannya lagi, Prawira segera melompat 

menerjang Ki Temula. 

Tapi Prawira kalah cepat. Ternyata adik-adik 

seperguruannya yang lain telah mendahuluinya. 

Secara serentak mereka menyerang kakek kecil 

kurus itu dengan senjata terhunus. 

Suara desing senjata mereka mengiringi tibanya 

hujan serangan ke arah Ki Temula. Tapi laki-laki tua 

berwajah tirus itu tenang-tenang saja, dan malah 

membiarkan saja serangan itu. Baru setelah 

serangan itu hampir menyambar, cepat laksana kilat 

dia mengelak. Tubuhnya menyelinap di antara 

sambaran senjata lawannya. 

Berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah 

mencapai tingkatan tinggi, tak sulit bagi kakek kecil 

kurus ini untuk mengelakkan serangan-serangan itu. 

Sebaliknya setiap serangan balasannya, selalu 

mengenai sasaran. Dan sudah dapat dipastikan, 

setiap serangannya selalu membuat nyawa lawan 

melayang ke akhirat. 

"Aaakh...!" 

Suara Jerit kematian terdengar saling susul 

mengiringi robohnya tubuh-tubuh tanpa nyawa. Dalam 

waktu sebentar saja, sudah tujuh orang murid 

Perguruan Naga Api yang roboh bergelimpangan tak 

bernyawa. 

Memang sudah dapat diduga kalau akhirnya 

hampir semua murid Perguruan Naga Api akan tewas 

di tangan kakek kecil kurus yang sakti ini. Dan untung 

saja tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat cepat


memasuki kancah pertarungan yang langsung 

menghujani Ki Temula dengan serangan bertubi-tubi. 

Plak...! Plak...! 

Berturut turut Ki Temula menangkis serangan 

orang yang baru datang itu. Akibatnya, tubuh 

bayangan itu terjengkang ke belakang, sementara 

tubuh Ki Temula terhuyung-huyung dua langkah ke 

belakang. 

"Ah...!" 

Ki Temula berseru kaget. Disadari kalau 

penyerangnya itu memiliki tenaga dalam yang tidak 

kalah dahsyat darinya. 

"Mundur semua !" teriak orang yang menyerang Ki 

Temula kepada sisa murid-murid Perguruan Naga Api. 

Maka serentak Prawira dan sembilan rekannya 

berlompatan mundur. Mereka mengenali betul 

pemilik suara itu. 

Sekitar tiga tombak di hadapan Ki Temula, telah 

berdiri seorang kakek bungkuk berusia sekitar tujuh 

puluh tahun. Kumis, Jenggot. dan cambangnya 

berwarna hitam. Hanya alisnya saja yang kelihatan 

berwarna putih. 

"Apa kabar, Santa?" tanya Ki Temula. Bibirnya yang 

tipis menyunggingkan senyuman mengejek. Keter-

kejutan hatinya pun sirna tatkala mengetahui orang 

yang telah menangkis serangannya. Tidak aneh kalau 

orang yang menyerangnya itu memiliki tenaga dalam 

tinggi, karena dia adalah kakak seperguruan Ki 

Gayadi! 

Ki Santa mengedarkan pandangannya ke sekitar-

nya. Tampak sosok-sosok tubuh murid Perguruan 

Naga Api yang telah berserakan tanpa nyawa. Karuan 

saja hal ini membuatnya marah bukan kepalang. 

"Tidak usah banyak basa-basi. Temula! Aku


menyesal sekali, tidak mempercayai ucapan murid-

muridku. Akibatnya, kembali mereka berguguran 

Akibat kekejianmu! Kau harus membalas semua 

kekejianmu ini dengan nyawamu, Temula!" 

"Ha ha ha..! Mampukah kau melakukannya. 

Santa?!" ejek kakek kecil kurus itu tajam. 

"Kita lihat saja buktinya!" sergah kakek beralis 

putih, yang ternyata tidak pandai berdebat. 

Setelah berkata demikian. tubuh Ki Santa 

berkelebat menerjang. Sepasang kakinya melayang-

kan tendangan bertubi-tubi ke arah dada dan perut Ki 

Temula. 

Ki Santa mengawalinya dengan tendangan lurus 

kaki kanannya ke arah perut. Namun Ki Temula 

kelihatannya bersikap tenang. Tanpa ragu-ragu lagi 

ditangkisnya tendangan itu dengan sabetan tangan 

kanan. Tapi di luar dugaan, Ki Santa menarik kembali 

kakinya di tengah jalan. Dan secepat itu pula dirubah 

menjadi sebuah tendangan miring ke arah dada. 

"Heh?!" dengus Ki Temula. 

Cepat-cepat laki-laki berwajah tirus itu men-

doyongkan tubuhnya ke belakang, sehingga 

tendangan lawan hanya mengenai tempat kosong. 

Dan saat itulah tangan kanannya bergerak cepat 

melakukan totokan ke arah mata kaki Ki Santa. Keras 

bukan main totokan itu sehingga menimbulkan suara 

angin bersiutan nyaring. 

Ki Santa tentu saja tidak ingin mata kakinya 

hancur oleh totokan lawan. Buru-buru ditarik kakinya 

kembali, dan secepatnya mengirimkan serangan 

balasan yang tak kalah dahsyatnya. Tampaknya 

kedua tokoh sakti itu semakin bertarung sengit. 

Masing-masing berusaha menjatuhkan lawan 

secepatnya.


Suara angin mencicit dan menderu, menyemaraki 

pertarungan dua tokoh sakti lain perguruan itu. Batu-

batu besar dan kecil beterbangan tak tentu arah. 

Ranting-ranting berpatahan di sana-sini. Dan debu 

mengepul tinggi ke udara. Prawira dan kawan-

kawannya buru-buru menjauh, karena tidak berani 

menonton pertarungan itu dalam jarak dekat. 

Jangankan terkena pukulan mereka, bahkan angin 

pukulannya saja sudah cukup membuat nyawa 

terancam! 

Ki Santa mengerahkan segenap kemampuan yang 

dimiliki, seperti ingin buru-buru mengakhiri per-

kelahian ini. Kakek ini sadar kalau lawannya 

mempunyai banyak keunggulan dibanding dirinya. 

Memang kelihatannya Ki Temula masih giat 

berlatih diri. Sedangkan Ki Santa sendiri, hampir tidak 

pernah lagi melatih ilmu-ilmu yang dimiliki, kecuali 

hanya bersemadi. Itu pun hanya sekedarnya saja. 

Memang kakek ini sudah tidak berniat lagi untuk 

mengotori tangannya dengan darah. Tapi melihat 

keselamatan murid-muridnya terancam, guru mana 

yang sampai hati? 

Memang tidak aneh jika menginjak jurus ke 

seratus, napas Ki Santa mulai memburu. Otot-otot 

tubuhnya yang sudah tua dan tidak pernah terlatih 

lagi itu, tidak kuat lagi untuk dipakai bertanding 

demikian lama. 

"Ha ha ha...!" 

Ki Temula tertawa terbahak-bahak melihat 

keadaan lawannya yang mulai kepayahan. Kakek 

kecil kurus ini yakin, tak lama lagi akan dapat 

merobohkan lawannya. 

Saking merosotnya kondisi tubuh, maka per-

lawanan Ki Santa pun semakin mengendur. Perlahan


namun pasti, kakek beralis putih ini mulai terdesak. 

Prawira dan adik-adik seperguruannya tentu saja 

melihat kenyataan ini. Beberapa kali terlihat tubuh Ki 

Santa terhuyung ke belakang, setiap kali menangkis 

serangan Ki Temula. Sampai akhirnya.... 

Plak...! 

"Akh...!" Ki Santa mengeluh tertahan. 

Tubuh laki-laki tua beralis putih itu terjajar ke 

belakang ketika sebuah tamparan Ki Temula meng-

hantam bahunya. Seketika dirasakan sekujur tulang-

tulang tangannya terasa remuk-redam. 

"Hiyaaa...!" 

Ki Temula melompat menerjang. Tangan kanannya 

yang berbentuk cakar Garuda dijulurkan ke depan, ke 

arah ulu hati Ki Santa. Terdengar angin bersiutan 

nyaring mengiringi tibanya serangan cakar itu. 

Sepasang mata Ki Santa terbelalak lebar. 

Kelihatannya kondisi tubuhnya yang sudah lelah. 

Tidak memungkinkan untuk menangkis atau 

mengelakkan serangan itu. Yang dapat dilakukan 

hanyalah menanti datangnya maut dengan mata 

terbuka lebar. 

"Hiyaaa...!" 

"Haaat...!" 

"Hih..." 

Sambil berteriak nyaring, tiga sosok tubuh 

berkelebat memotong laju serangan Ki Temula. 

Mereka tidak lain adalah murid-murid Perguruan 

Naga Api yang secara nekad menyerang kakek 

berwajah tirus. Tampak tiga batang pedang pun 

berkelebat cepat mencari sasaran, menuju ke bagian-

bagian tubuh yang mematikan. 

"Jangan…!" teriak Ki Santa mencegah. Kakek 

beralis putih ini tahu akibat yang akan dihadapi tiga


orang muridnya bila mencoba memotong serangan 

Ketua Perguruan Garuda Sakti. 

Sementara itu, Ki Temula kelihatan geram dan 

marah bukan main melihat tindakan tiga orang itu. 

Terpaksa diurungkan niatnya menyerang Ki Santa. 

Segera kedua tangannya berputaran cepat. Maka... 

"Aaakh...!" 

"Aaa...!" 

"Aaa…!" 

Terdengar jerit kematian yang saling susul. 

Sedangkan Ki Santa memandang dengan mata 

membelalak. Hampir saja air matanya menetes 

melihat robohnya tiga sosok tubuh murid yang telah 

menyelamatkan nyawanya. Kepala mereka semua 

remuk terkena cakar maut Ki Temula. 

"Ha ha ha...! Kini giliranmu, Santa! Ingin kulihat, 

siapa yang akan menyelamatkanmu kali ini! Hiya...!" 

Ki Temula meluruk menerjang Ki Santa. Kedua 

tangannya yang berbentuk cakar menyerang ke arah 

ubun-ubun dan dada kakek beralis putih itu. 

Tapi sebelum Ki Santa berbuat sesuatu, sesosok 

bayangan ungu telah lebih dulu melesat memapak 

serangan itu. 

Prarrt…! 

Tubuh kedua orang itu sama-sama terjengkang ke 

belakang. Sedangkan Ki Temula kaget bukan main. 

Sekujur tangannya terasa nyeri bukan main. Bahkan 

dadanya pun terasa sesak. Sadarlah kakek kecil 

kurus berwajah tikus itu kalau orang yang baru 

datang ini memiliki tenaga dalam sangat tinggi. 

"Dewa Arak...!" dengus Ki Temula tajam ketika 

melihat sosok pemuda berambut putih keperakan di 

hadapannya. 

Ki Temula sadar, keberadaan Dewa Arak di situ


jelas akan membuat kedudukannya tidak 

menguntungkan. Rasanya bodoh kalau dia masih 

memaksakan diri untuk melawan pemuda berbaju 

ungu itu. Mungkin kalau menghadapi Dewa Arak saja, 

dia tidak gentar. Tapi di sana masih ada Ki Santa! 

Maka, sebelum Dewa Arak sempat berbuat 

sesuatu, tangannya segera bergerak ke balik jubah-

nya. Dan secepat tangan itu keluar, secepat itu pula 

berhamburan puluhan batang jarum halus ke arah 

Arya. Bersamaan dengan itu, tubuh kakek berwajah 

tirus itu melesat pergi dari situ. 

Dewa Arak kaget bukan main. Serangan itu sama 

sekali di luar dugaannya. Memang, bagi Dewa Arak 

tidak sulit untuk mengelakkan serangan itu dan terus 

mengejar Ki Temula. Tapi, Dewa Arak tidak ingin 

mengambil resiko. Kalau serangan itu dielakkan, 

bukan tidak mungkin akan membawa korban murid-

murid Perguruan Naga Api, atau Ki Santa. Dan Arya 

tidak ingin hal itu terjadi. Segera dikeluarkan jurus 

yang jarang digunakannya, jurus 'Pukulan Belalang'! 

Wusss..! 

Angin berhawa panas menyambar deras dan 

langsung memukul runtuh jarum-jarum yang 

dilepaskan Ki Temula. Tapi begitu jarum-jarum itu 

jatuh ke tanah, kakek kecil kurus itu telah lenyap dari 

situ. 

Dewa Arak memang tidak berniat mengejarnya, 

karena disadari kalau hal itu tidak ada gunanya. 

Hutan ini cukup lebat, lagi pula lawannya telah 

lenyap. Merupakan suatu pekerjaan amat sulit dan 

berbahaya jika melakukan pengejaran, karena lawan 

dapat saja membokongnya dari belakang! 

***


Ki Santa memandang takjub terhadap Dewa Arak 

Dari adu tenaga tadi, dan pukulan berhawa panas 

yang dilepaskan, dapat diketahui kalau pemuda 

berambut putih keperakan ini memiliki kepandaian 

tinggi. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," 

ucap Ki Santa. 

Walaupun kakek ini belum pernah melihat Arya, 

tapi dia segera dapat mengenalinya. Memang, nama 

besar Dewa Arak telah sampai ke Kerajaan Bojong 

Gading. Kini rasa lelahnya telah menghilang. "Kalau 

tidak ada dirimu, mungkin hari ini aku hanya tinggal 

nama saja," sambung Ki Santa merendah. 

"Ah! Jangan berterima kasih kepadaku, Ki. 

Berterima kasihlah pada Gusti Allah. Aku hanya 

perantara-Nya. Gusti Allah-lah yang telah menuntun 

langkahku kemari." 

Ki Santa tersenyum. Kekagumannya pada Dewa 

Arak pun semakin bertambah tebal. Jelas, pemuda ini 

tidak mempunyai sifat sombong! Ini nampak dari 

tindak-tanduknya. 

"Kau benar, Dewa Arak," dukung Ki Santa. "Hhh...! 

Sungguh tidak kusangka kalau Ki Temula bisa sekeji 

ini..." 

"Maaf, Ki Aku tidak sependapat denganmu," 

sergah Arya pelan, seraya mengerutkan keningnya. 

"Aku yakin bukan Ki Temula pelaku semua pem-

bunuhan keji ini. Masalahnya belum lama ini aku juga 

habis dari Perguruan Garuda Sakti dan berbincang-

bincang dengan Ki Temula." 

Mendengar pernyataan ini, Ki Santa tersentak. 

Rasanya memang ada yang tak beres dalam 

persoalan ini. Ingatan laki-laki beralis putih itu tiba


tiba terarah pada seorang tokoh hitam yang menjadi 

musuh Ki Gayadi, adik seperguruannya itu. Namun di 

lain hal, dia malah jadi sangsi. Ya! Mengapa orang itu 

begitu sempurnanya memainkan ilmu 'Cakar 

Garuda'? Sungguh suatu persoalan yang rumit! 

"Hhh.. !" Ki Santa menghela napas. "Bisa kuterima 

ketidakpercayaanmu, Dewa Arak. Semula aku juga 

tidak percaya ketika mendengar berita itu dari Branta. 

Bahkan Branta juga telah melarang mereka untuk 

bertindak brutal seperti ini. Tapi sungguh tidak 

kusangka kalau mereka pergi juga secara sembunyi-

sembunyi. Khawatir masalah itu akan bertambah 

runyam, maka aku segara menyusul kemari. Untung 

saja kedatanganku tepat pada waktunya. Kalau 

tidak..., hhh...! Sukar dpercaya ..." 

Dewa Arak mengerutkan alisnya. 

"Tadi, Aki mengatakan kalau mulanya tidak 

percaya bahwa pembunuh Ki Gayadi itu adalah Ki 

Temula?" 

"Benar," jawab kakek berahs putih itu singkat "Apa 

alasannya untuk tidak mempercayai?" kejar Dewa 

Arak lagi. 

"Karena aku tahu kalau Ki Temula adalah sahabat 

akrab adik seperguruanku " 

"Hanya itu saja, Ki?" 

"Masih ada satu alasan lagi, Dewa Arak," sahut Ki 

Santa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya 

"Apa itu, Ki," desak Dewa Arak penuh gairah. 

"Kami. Maksudku, Ki Gayadi dan Ki Temula dulu 

mempunyai musuh yang mempunyai keahlian 

menyamar. Sudah lama dia mendendam pada kedua 

orang itu, tapi tidak pernah berhasil terlampiaskan" 

"Siapa dia, Ki?" tanya Dewa Arak ingin tahu. 

"Peri Muka Seratus."


"Peri?" kening Dewa Arak berkernyit. 

"Benar!" tegas kakek beralis putih itu. "Kabarnya 

dulu dia adalah seorang wanita berwajah cantik, 

sehingga orang memberi julukan peri." 

"Hm...," gumam Dewa Arak. Kepalanya terangguk-

angguk. "Lalu mengapa sekarang pendirianmu 

berubah, Ki? Maaf, bukannya aku sok tahu. Tapi dari 

nada bicaramu, sepertinya kini kau percaya kalau 

pembunuh Ki Gayadi justru adalah Ki Temula." 

Ki Santa menatap wajah Dewa Arak tajam-tajam. 

Sepasang bola matanya merayapi sekujur wajah 

pemuda tampan berambut putih keperakan yang 

berdiri di hadapannya ini. 

"Peri Muka Seratus memang memiliki kepandaian 

tinggi. Tapi rasanya tidak mungkin kalau sampai 

menguasai ilmu milik Perguruan Garuda Sakti. 

Apalagi memainkan ilmu 'Cakar Garuda' begitu 

sempurna. Menyamar wajah orang dia memang bisa. 

Tapi memainkan ilmu orang yang disamarinya dengan 

begitu sempurna, jelas tidak mungkin dapat 

dilakukannya!" tandas Ki Santa. 

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Perlu kau ketahui, Dewa Arak," sambung kakek alis 

putih itu lagi. "Hanya ada dua orang yang menguasai 

Ilmu 'Cakar Garuda'. Yang pertama Ki Matija, dan 

kedua Ki Temula! Sementara, orang yang tadi 

bertempur denganku mempergunakan Ilmu 'Cakar 

Garuda'. Dan memainkannya demikian sempurna. 

Nah! Dari pertempuran tadi, aku yakin kalau Ki 

Temula pembunuh adik seperguruanku!" 

Dewa Arak menghela napas panjang. Memang dia 

sendiri pun tadi melihat jelas kalau orang yang 

menyerang Ki Santa adalah Ki Temula. Tapi, 

bukankah belum lama ini dia habis berbincang


bincang dengan Ki Temula? Dan kelihatannya, kakek 

muka tirus itu menolak mentah-mentah jika dituduh 

membunuh Ki Gayadi. 

"Prawira...'" panggil Ki Santa keras. 

"Ya, Paman Guru," sahut pemuda bertahi lalat itu 

cepat, seraya melangkah mendekati kakek beralis 

putih itu. 

"Kau dan Sentanu kembali ke perguruan. Katakan 

pada Branta agar segera kemari bersama seluruh 

murid. Kita akan menyerbu Perguruan Garuda Sakti 

untuk membalas dendam!" 

"Ki..!" teriak Arya kaget. Ditatapnya tajam-tajam 

wajah kakek berahs putih itu. Tapi Ki Santa sama 

sekali tidak mempedulikannya. 

"Cepat, Prawira...!" perintah Ki Santa lagi. 

Pemuda bertahi lalat ini tidak bisa membantah. 

Bersama Sentanu, dia segera melesat meninggalkan 

tempat itu. Tapi belum begitu jauh mereka pergi, tiba-

tiba sesosok bayangan ungu melesat menghadang. 

Sesaat kemudian, di hadapan kedua orang muda itu 

telah berdiri Dewa Arak. 

"Tunggu sebentar...!" seru Dewa Arak mencegah. 

Kedua tangannya diulurkan ke depan. 

Seketika Prawira dan Sentanu menahan langkah-

nya. Dengan pandangan meminta pertimbangan, 

mereka menoleh ke arah Ki Santa. Kakek beralis 

putih ini melangkah maju. 

"Kuakui, aku dan seluruh murid Perguruan Naga 

Api yang ada di sini, berhutang nyawa padamu, Dewa 

Arak. Tapi, hal itu tidak berarti kau seenaknya ikut 

campur urusan ini! Ini urusan dalam perguruan, Dewa 

Arak. Urusan kehormatan! Kehormatan bagi kami 

lebih daripada nyawa. Aku berjanji, atas nama 

Perguruan Naga Api, akan membalas budimu!"


Keras dan tajam sekali kata-kata yang keluar dari 

mulut kakek beralis putih itu. Bahkan wajah Dewa 

Arak pun jadi merah padam. Arya memang paling 

tidak suka kalau ada orang yang mengungkit-ungkit 

pertolongan yang diberikan tanpa pamrih itu. Apalagi 

dengan nada kasar begitu! 

"Aku kecewa sekali melihat sikapmu, Ki. Jadi 

memang pantas kalau adik seperguruanmu yang 

menjadi Ketua Perguruan Naga Api, dan bukan 

dirimu! Sebab, wawasan pikiranmu terlalu sempit! 

Hanya amarah dan dendam saja yang kau ikuti! Kau 

tentu tahu, Akibat apa yang terjadi karena 

keputusanmu ini. Perang saudara! Apakah kau ingin 

hal itu terjadi? Kalau ingin, silakan! Silakan turuti 

amarahmu itu! Dan si pembunuh sebenarnya, pasti 

akan bersorak-sorak di belakang tengkukmu!" 

Napas Dewa Arak terengah-engah. Ucapan yang 

didorong karena harga dirinya tersinggung, dan 

kecemasan akan terjadinya sesuatu yang mengeri-

kan, membuat ucapannya begitu berapl-api. Bahkan 

terdengar kasar dan keras. 

Kepala Ki Santa bagai tersiram seember air es. 

Ucapan Dewa Arak menyadarkan dan meredakan 

amarahnya yang menggelegak. Amarahnya memang 

telah sampai ke ubun-ubun. Ditariknya napas 

panjang-panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat 

untuk mendinginkan kepalanya yang dirasakan panas 

terbakar amarah. 

"Jadi menurutmu..., kudiamkan saja semua peng-

hinaan yang dilakukan Ki Temula itu padaku?!" 

Dewa Arak tersenyum pahit. 

"Jangan salah mengerti, Ki. Terus terang ku-

katakan padamu, aku tidak membela pihak mana 

pun dalam hal ini Aku hanya ingin meluruskan


keadaan yang sebenarnya. Kalau ternyata terbukti Ki 

Temula yang bersalah, terserah tindakanmu. Kau 

berhak melakukan pembalasan, dan aku akan berada 

di belakangmu! Tapi dalam persoalan ini. aku melihat 

adanya banyak kejanggalan. Terutama pertarungan-

mu dengan orang yang kau anggap sebagai Ki 

Temula!" 

"Kejanggalan?!" tanya Ki Santa. Kening kakek ini 

berkernyit dalam. "Boleh kutahu, di mana kejang-

galannya, Dewa Arak?" 

"Tentu saja, Ki, Malah kau harus tahu. Karena 

kaulah orang yang paling berkepentingan dalam hal 

ini!" 

Kakek beralis putih itu hanya tersenyum hambar. 

"Boleh kutahu, sudah berapa jurus kau dan Ki 

Temula bertempur?" 

Ki Santa mengerutkan alisnya yang putih. Nampak 

jelas kakek ini tengah mengingat-ingat. 

"Kira-Kira... seratus jurus." 

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Waktu yang cukup lama. Apalagi, sebelum ber-

tempur denganmu pembunuh itu juga telah ber-

tempur dengan murid-muridmu. Berarti sudah lama 

sekali dia berada di sini. Padahal.... aku baru saja 

pamit pada Ki Temula untuk mencoba menyingkap 

rahasia ini." 

Wajah Ki Santa seketika berubah hebat. 

"Jadi..., kau baru saja dari sana, Dewa Arak?!" 

"Benar!" 

"Lalu..., kalau bukan Ki Temula, siapa orang yang 

membunuh adik seperguruanku dan murid-murid-

nya?" tanya kakek beralis putih ini. Kedengarannya, 

memang bodoh sekali pertanyaan itu. 

"itulah yang harus kita selidiki, Ki!" sahut Dewa


Arak tegas. "Sekarang kau bisa memaklumi tindakan-

ku yang mencegah keputusanmu tadi, Ki?" 

"Hhh...!" Ki Santa menghela napas panjang. 

"Maafkan atas kekasaran ucapanku tadi, Dewa Arak." 

Dewa Arak tersenyum lebar. 

"Tidak ada yang perlu di maafkan, Ki. Seharusnya 

akulah yang meminta maaf padamu. Ucapanku ter-

lalu kasar tadi." 

"Tapi, kadang-kadang sikap kasar pun diperlukan 

juga, Dewa Arak." 

"Ya, Kira-Kira begitu...," desah Arya. "O, ya. 

Sekarang, apa yang hendak kau lakukan, Ki?" 

Ki Santa termenung beberapa saat lamanya. 

"Menyuruh semua muridku kembali ke perguruan 

dan tidak melakukan perbuatan apa pun sampai 

keadaan menjadi tenang. Hhh...! Terpaksa aku harus 

turun tangan untuk menyingkap rahasia ini." 

"Apakah tidak sebaiknya diwakilkan padaku, Ki?" 

tanya Dewa Arak menawarkan bantuan. 

"Bersantai-santai saja di perguruan, sementara 

kau bersusah payah menyelidikinya? Tidak, Dewa 

Arak! Sudah terlalu banyak kau menanam budi pada 

kami! Dan, aku tidak ingin menumpuk budimu, 

sehingga kami tidak mampu membayarnya." 

Dewa Arak menghembuskan napas panjang. "Aku 

mohon, jangan sebut-sebut lagi tentang budi, Ki! Aku 

menolong secara sukarela, tanpa pamrih!" tandas 

Arya tegas. 

Ki Santa menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Ditepuk-tepuknya bahu Dewa Arak. 

"Sikapmu inilah yang lebih menimbulkan ke-

kaguman di hatiku daripada kepandaian yang kau 

miliki, Dewa Arak. Jarang orang seusiamu yang 

memiliki kepandaian tinggi dan sekaligus mempunyai



sifat arif sepertimu!" puji kakek beralis putih itu. 

"Ah! Kau memang pandai sekali memuji orang, Ki," 

elak Arya malu-malu. "O, ya. Aku pergi dulu, Ki!" 

Setelah berkata demikian, Dewa Arak meng-

gerakkan tubuhnya. Kelihatannya seperti melangkah 

saja. Tapi hebatnya, dalam sekejap mata saja 

tubuhnya sudah berada lebih sepuluh tombak dari 

tempat semula. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah 

lenyap ditelan kerimbunan semak-semak dan 

pepohonan yang lebat. 

"Bukan main...!" desah Ki Santa dengan mata 

memancarkan kekaguman. Sepasang matanya masih 

saja menatap lurus ke depan, sekalipun tubuh Dewa 

Arak telah tidak terlihat lagi. 

"Pemuda luar biasa...," desah kakek itu lagi sambil 

menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Sebentar kemudian, Ki Santa telah memerintah-

kan murid-murid Perguruan Naga Api yang masih 

tersisa untuk menguburkan eman teman mereka 

yang tewas. Dan setelah pekerjaan itu selesai. Ki 

Santa dan murid-muridnya pun berkelebat meninggal-

kan tempat itu.




EMPAT


Siang baru saja merambat menuju senja, ketika 

sosok bayangan ungu berkelebat cepat menyusuri 

Lereng Gunung Munjul. Berkat ilmu meringankan 

tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, 

tidak berapa lama kemudian bayangan ungu yang 

ternyata Dewa Arak sudah berada di depan pintu 

gerbang Perguruan Garuda Sakti. Dan tentu saja 

kedatangannya segera diketahui oleh dua orang 

murid perguruan yang tengah berjaga-jaga. 

"Ah...! Kiranya Dewa Arak. .," desah salah seorang 

penjaga. Nada suaranya menyiratkan perasaan lega. 

Memang, semula begitu melihat sesosok tubuh yang 

melesat cepat ke arah perguruan, hati dua orang 

murid ini sudah merasa tegang. Tidak aneh, karena 

baru saja perguruan mereka telah diserbu. 

"Ki Temula ada?" tanya Arya cepat. 

"Ada Silakan masuk, Dewa Arak." sahut salah 

seorang penjaga, kemudian mengantarkan Arya ke 

dalam. Mereka lalu bersama-sama menuju ruang 

utama perguruan. 

Tentu saja kedatangan Dewa Arak mengejutkan Ki 

Temula, yang saat itu tengah duduk menyendiri di 

ruang utama. Sebuah ruangan yang tertata apik, 

walaupun berdinding papan. Pada tiap sisi dinding, 

dihiasi senjata-senjata kebanggaan perguruan. 

Sementara itu, Ki Temula bergegas menghampiri 

Dewa Arak dengan benak dipenuhi tanda tanya. 

Masalahnya, pemuda berambut keperakan itu belum 

lama pamit dari sini. Dan sekarang, dia kembali lagi.


Apakah ada sesuatu yang tertinggal? 

"Ada apa, Arya? Bukankah..." 

"Aku ingin bicara, Ki. Ada persoalan yang amat 

penting," potong Dewa Arak, melihat keheranan yang 

membayang di wajah kakek kecil kurus itu tatkala 

melihat kedatangannya. 

"Mari. Kita bicara di dalam," ajak Ketua Perguruan 

Garuda Sakti ini seraya melangkah masuk lebih dulu. 

Tanpa banyak bicara, Arya segera mengikutinya. 

"Sekarang katakan apa yang ingin kau bicarakan, 

Arya?" tanya Ki Temula setelah mereka duduk berdua 

di sebuah ruangan dalam yang sepi. Dewa Arak 

memang telah meminta agar kakek kecil kurus itu 

memanggil nama saja, bukan julukannya. 

Dewa Arak mendehem sebentar, kemudian 

menceritakan peristiwa yang terjadi di hutan di kaki 

Gunung Munjul ini. Dari mulai pertarungan antara Ki 

Santa dengan kakek kecil kurus yang wajahnya mirip 

Ki Temula, sampai pada keputusan Ki Santa yang 

hendak menyerang markas Perguruan Garuda Sakti 

secara besar-besaran. Untunglah niatan itu berhasil 

dicegahnya. 

"Ahhh...!" desah Ki Temula. 

Perasaan kaget yang amat sangat nampak jelas di 

wajah laki-laki berwajah tikus itu. Tapi meskipun 

demikian, sorot matanya memancarkan kegembiraan. 

Bukankah kini dia telah bebas dari tuduhan? 

"Sungguh tidak kusangka, persoalan telah menjadi 

segawat ini.... Untung ada kau, Arya. Sehingga, 

kesalahpahaman ini dapat diatasi. Bukankah dari 

kejadian ini mereka tahu kalau aku bukan pelaku 

pembunuhan itu?" lanjut Ki Temula. 

"Memang, kecurigaan mereka padamu sudah agak 

pupus, Ki. Tapi, tetap saja masih ada satu ganjalan


lagi yang membuatku dan Ki Santa merasa heran...," 

ujar Arya seraya mengerutkan keningnya. 

"Apa itu, Arya? Katakanlah...! Barangkali saja dapat 

kubantu," pinta Ki Temula. Kembali perasaan tidak 

enak melanda hatinya. Sikap Dewa Arak itulah yang 

membuatnya demikian. 

Dewa Arak menatap kakek kecil kurus di depannya 

tajam-tajam. Sepasang matanya merayapi sekujur 

wajah kakek itu, seolah-olah dengan cara begitu 

masalah yang membingungkan hatinya bisa ter-

singkap. 

"Pembunuh itu menguasai seluruh ilmu per-

guruanmu, Ki. Bahkan ilmu 'Cakar Garuda' pun 

dikuasainya. Padahal Ki Santa mengatakan bahwa 

hanya kau dan adik seperguruanmu yang menguasai 

ilmu itu. Ini yang masih menjadi teka-teki buatku, Ki." 

"Benar kata-katamu ini, Arya?" tanya kakek kecil 

kurus ini meminta kepastian. 

Dewa Arak mengernyitkan keningnya. Tidak enak 

hatinya mendapat pertanyaan seperti itu. Terasa 

seperti adanya nada ketidakpercayaan dalam suara 

kakek itu. 

"Perlukah bersumpah, Ki?" sindir Dewa Arak 

Wajah Ki Temula memerah. Bisa dimaklumi 

ketidaksenangan hati pemuda di hadapannya ini. 

"Maaf, Arya. Tentu saja tidak perlu sampai seberat 

itu. Ahhh...! Tapi.... maksudku. kuharap kau bisa 

memakluminya. Berita yang kudengar ini terlalu 

mengejutkan hatiku " 

"Jadi, benar yang dikatakan Ki Santa itu, Ki?" 

desak Dewa Arak. 

Perlahan-lahan kepala Ki Temula mengangguk. 

"Jadi..., Kini tinggal Ki Matijalah sebagai tertuduh 

itu, Ki," ujar Dewa Arak.


"Bisa kumaklumi kecurigaanmu itu, Arya," ucap 

kakek itu pelan. 

"Ada satu hal lagi yang membuatku curiga pada 

nya, Ki!" sambung Arya. 

"Apa itu, Arya. Katakan saja, jangan ragu-ragu...," 

desak Ki Temula. 

"Sikap Ki Matija yang terlalu telengas! Aku melihat 

sendiri, Ki. Betapa mudahnya dia menurunkan tangan 

maut pada murid-murid Perguruan Naga Api!" 

"Memang sudah menjadi sifatnya, Arya," jelas Ki 

Temula. "Adik seperguruanku itu memang mempunyai 

sifat aneh. Apabila orang berbuat baik padanya, dia 

akan membalas dengan kebaikan melebihi yang 

diterimanya. Demikian pula jika orang menyakitinya, 

pembalasan yang dilakukannya lebih pula. Dia 

mempunyai sifat angin-anginan. Mudah marah, tapi 

mudah pula memaafkan orang." 

"Jadi..., dengan kata lain... Aki tidak sependapat 

denganku?" tanya Dewa Arak meminta ketegasan. 

Ki Temula termenung sejenak. 

"Yahhh.... Kira-kira begitu, Arya. Tidak mungkin 

kalau Matija adalah pelaku semua pembunuhan keji 

itu," Jawab Ki Temula tegas. 

"Hhh...!" 

Dewa Arak menghela napas panjang dan berat, 

dan keningnya berkernyit. Ketegasan kata-kata kakek 

kecil kurus itu membuatnya agak bingung. 

"Kalau bukan Aki atau Ki Matija..., lalu siapa lagi? 

Masih adakah orang lain yang menguasai ilmu 'Cakar 

Garuda' selain dirimu dan Ki Matija, Ki?" 

Ki Temula menggelengkan kepalanya. 

"Tidak ada. Hanya aku dan Matija yang menguasai 

ilmu 'Cakar Garuda'. Eh, tapi..!" 

"Ada apa, Ki?" tanya Dewa Arak. Kaget juga


pemuda ini, melihat kakek kecil kurus ini meng-

hentikan ucapannya begitu tiba-tiba. Wajah Ki Temula 

berubah dan keningnya berkernyit dalam. Rupanya 

memang ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. 

Ki Temula menatap tajam Dewa Arak. Sedangkan 

yang ditatap bersikap tenang-tenang saja. 

"Kau mau berjanji untuk tidak memberitahukan 

pada orang lain, Arya?" tanya kakek kecil kurus itu. 

Pelan sekali suaranya. 

Dewa Arak tercenung sebentar. Dibalasnya 

pandang mata Ketua Perguruan Garuda Sakti ini tak 

kalah tajam. Ada perasaan curiga di hatinya, melihat 

sikap Ki Temula yang seperti menyembunyikan 

sesuatu. Sementara itu Ki Temula juga menyadari 

adanya kecurigaan pemuda berambut putih 

keperakan di depannya. 

"Jangan salah paham, Arya. Bukan maksudku ingin 

menyembunyikan sesuatu. Tapi..., ini lain... Rahasia 

perguruan. Tanpa adanya janjimu, aku terpaksa tidak 

berani mengatakannya." 

"Meskipun karena sikapmu itu akan semakin 

banyak korban berjatuhan, Ki?" sindir Dewa Arak. 

Ki Temula tersentak sehingga mengerutkan alis-

nya. 

"Korban?! Apa maksudmu, Arya?" tanya Ki Temula. 

Sepasang matanya merayapi wajah Dewa Arak penuh 

selidik. 

"Maaf, Ki. Tanpa Aki teruskan pun sudah dapat 

kuduga bahwa ada orang ketiga yang menguasai 

ilmu-ilmu Perguruan Garuda Sakti, termasuk 'Cakar 

Garuda'! Dan orang itu adalah, apa yang dijadikan 

sebagai rahasia perguruan," tebak Arya. "Bukan tidak 

mungkin kalau orang ketiga itulah yang memfitnah 

Aki selama ini!"


"Tidak mungkin!" bantah Ki Temula keras seraya 

bangkit dari duduknya. 

"Mengapa tidak mungkin? Aki terlalu menutup-

nutupi persoalan. Padahal masalah ini sudah terlalu 

berlarut-larut. Bahkan pertumpahan darah hanya 

tinggal menunggu waktu saja. Pembunuh itu jelas, 

orang dalam Perguruan Garuda Sakti!" tegas Dewa 

Arak bernada menuduh. 

"Jaga mulutmu, Dewa Arak!" teriak Ki Temula 

keras. Sepasang mata kakek ini berkilat-kilat 

memancarkan sinar kemarahan. Dalam kemarahan-

nya, Ki Temula tidak memanggil pemuda di 

hadapannya dengan namanya. 

"Lalu kalau bukan orang dalam Perguruan Garuda 

Sakti, siapa lagi yang mampu memainkan semua ilmu 

perguruan ini? Terutama sekali ilmu 'Cakar Garuda'! 

Pikirlah, Ki!" balas Dewa Arak tak kalah keras. 

Ki Temula terdiam. Perlahan-lahan kakek kecil 

kurus ini kembali duduk di tempatnya. 

"Bukan hanya kau yang bingung, Arya. Aku pun 

dilanda perasaan yang sama," keluh Ki Temula, mulai 

reda amarahnya. 

"Hanya dengan keterusterangan Aki, persoalan ini 

mungkin bisa terungkapkan. Mengapa Aki yakin kalau 

orang ketiga ini tidak mungkin melakukannya?" tanya 

Dewa Arak. Juga lunak dan pelan suaranya. 

Ki Temula menghela napas panjang. Nampak jelas 

kakek ini merasa berat untuk menjawab pertanyaan 

itu. 

"Baiklah, Ki. Aku berjanji tidak akan memberitahu-

kan cerita ini kepada siapa pun," desah Dewa Arak 

mengalah. 

Ki Temula tersenyum mendengar janji Dewa Arak. 

"Puluhan tahun yang lalu," tutur kakek itu memulai


ceritanya. "Guruku mempunyai tiga orang murid. 

Kerpala sebagai murid tertua, lalu aku, dan Matija. 

Kami bertiga memang memiliki bakat menonjol. Tak 

aneh, kalau semua ilmu guru bisa dikuasai dengan 

cepat. Tapi sayang, Kakang Kerpala tergelincir ke 

jalan sesat, sehingga Guru terpaksa mengutusku dan 

Matija untuk membawanya pulang. Hanya sayang 

Kakang Kerpala waktu itu menolak, sehingga ter-

paksa aku dan Matija membawanya pulang dengan 

kekerasan. Maka Guru pun menghukumnya dengan 

hukuman seumur hidup." 

"Jadi...," gumam Dewa Arak yang mulai paham 

keadaan sebenarnya. 

"Ya. Sampai sekarang dia masih berada dalam 

ruang hukuman," keluh Ki Temula. 

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Itulah sebabnya, mengapa aku tidak percaya 

ketika kau menyatakan kecurigaanmu padanya," 

sambung kakek itu lagi 

"Bisa kulihat ruang hukuman itu, Ki?" tanya Arya 

meminta. 

Ki Temula tersentak kaget dan beberapa saat 

lamanya termenung. Tampak jelas kalau kakek ini 

tengah menimbang-nimbang. Ditatapnya lagi wajah 

Dewa Arak tajam-tajam, kemudian pelahan tapi pasti 

kepalanya terangguk pelan. 

"Mari kuantar ke sana, Arya," ajak Ki Temula pada 

pemuda berambut putih keperakan itu sambil bangkit 

dari duduknya. Maka Dewa Arak pun bangkit dan 

berjalan mengikuti Ki Temula. 

***


"Inilah ruang tahanan itu, Arya," jelas Ki Temula 

menunjukkan sebuah ruangan berukuran dua tombak 

kali dua tombak yang terpisah jauh dari bangunan-

bangunan lainnya. Dinding-dindingnya terbuat dari 

batu cadas yang amat tebal. Sementara pintunya 

terbuat dari batangan baja bulat sebesar paha. 

Dewa Arak memperhatikan ruang tahanan ini. 

Ruang tahanan ini ternyata tidak dibuat manusia, 

melainkan secara alami. Hanya pintu ruang tahanan 

itu saja yang dibuat tangan manusia. 

Setelah memeriksa beberapa saat, tahulah Dewa 

Arak kalau tidak mungkin membobol ruang tahanan 

ini dengan kekerasan. Dinding ruang itu terlalu tebal, 

dan tak akan mungkin dapat dihancurkan tangan 

manusia. 

Begitu pula pintunya yang terbuat dari baja yang 

amat kuat. Mungkin orang yang memiliki tenaga 

dalam tinggi bisa mendobraknya. Hanya saja, 

sebelum pintu ini didobrak, terlebih dahulu atap 

ruangan itu yang runtuh. Dan, orang yang hendak 

menjebol pintu itu lebih dulu akan mati terkubur. 

Perhatian Dewa Arak ini. Kini beralih pada jeruji-

jeruji baja itu. Dengan seksama, diamat-amatinya 

jeruji-jeruji itu karena barangkali ada tanda-tanda 

pernah dibengkokkan secara paksa. Tapi kembali 

Arya kecewa. Ternyata batang-batang jeruji itu mulus 

semua, tidak ada tanda-tanda pernah dibengkokkan 

secara paksa. 

Di dalam ruang tahanan yang lebih patut disebut 

gua tahanan itu, tampak meringkuk seorang kakek 

kecil kurus. Wajahnya berwarna hitam. Dan tangan 

dan kakinya terlilit gelang-gelang baja yang 

disambung dengan rantai baja yang besar dan kuat. 

Sepertinya, yang diikat itu bukan manusia melainkan


binatang tak berdaya. 

"Bagaimana, Arya?" tanya Ki Temula yang sejak 

tadi memperhatikan Dewa Arak meneliti tempat itu. 

Ada nada kemenangan dalam suaranya. 

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas panjang. 

"Rasanya memang tidak mungkin Ki Kerpala bisa 

keluar dari sini...." 

"Itulah sebabnya mengapa aku tidak sependapat 

denganmu, Arya!" 

"O ya, Ki. Apakah kau sering menjenguknya?" tanya 

Dewa Arak tiba-tiba. 

Ki Temula mengerutkan alisnya. 

"Tidak. Aku datang menjenguknya tiga hari sekali. 

Itu pun hanya untuk membawakan makanan." 

"Kapan, Ki?" kejar Dewa Arak lagi. 

"Malam atau siang?" 

"Pagi," jawab kakek itu singkat. 

Sekali lagi Dewa Arak menatap ke dalam ruang 

tahanan. Tampak kakek kecil kurus berwajah hitam 

itu masih saja memejamkan mata. Mungkin sedang 

tidur. 

"Aku rasa sudah cukup, Ki," ucap Dewa Arak "Dan 

terima kasih atas kesediaan Aki memenuhi per-

mintaanku." 

"Tidak perlu berterima kasih, Arya. Seharusnya aku 

yang berterima kasih padamu. Kau yang sama sekali 

tidak mempunyai sangkut-paut dalam hal ini, tapi 

secara suka rela campur tangan...," sergah Ki Temula 

sambil menggoyang-goyangkan tangannya. 

"Memang itu sudah menjadi tekadku sejak 

mempelajari ilmu silat, Ki," jelas Dewa Arak 

"Ha ha ha...!" Ki Temula tertawa terbahak-bahak. 

"Kau luar biasa, Arya. Sebenarnya bukan hanya kau 

saja yang mempunyai tekad seperti itu. Tapi


sayangnya begitu telah merasa cukup, mereka pun 

lupa akan tekadnya!" 

Dewa Arak hanya tersenyum saja. 

"Aku pergi dulu, Ki," pamit Dewa Arak. Lama-lama 

rasanya memang risih juga dipuji terus-menerus. 

Seketika tubuhnya pun melesat. Cepat bukan main 

gerakannya, sehingga dalam sekejap saja yang 

terlihat hanya sebuah titik yang semakin lama 

semakin mengecil dan akhirnya lenyap di kejauhan. 

*** 

Malam mulai jatuh menyelimuti bumi ketika dari 

lereng Gunung Munjul, melesat sesosok bayangan 

kuning. Cepat sekali gerakannya, sehingga yang 

terlihat hanya kelebatan bayangan kuning yang ber-

gerak cepat ke kaki gunung. 

Suasana malam yang gelap membuat wajah sosok 

bayangan kuning itu sukar dikenali. Yang terlihat 

hanyalah tubuhnya yang kecil kurus. 

Cukup lama juga tubuh kecil kurus ini berlari, 

sehingga hutan di kaki Gunung Munjul pun telah jauh 

di belakangnya. Dan tiba-tiba larinya dihentikan di 

depan sebuah rumah berdinding bilik. Kemudian 

dilangkahkan kakinya mendekati pintu rumah itu. 

Tapi baru saja kakinya melangkah masuk sebuah 

suara telah menyambutnya. 

"Mengapa lama sekali, Kakang?" 

Sosok tubuh kecil kurus itu menatap ke arah 

pemilik suara. Tampak seorang wanita setengah baya 

berpakaian biru tengah duduk di sebuah bangku. 

Rambutnya digelung ke atas, dan di punggungnya 

tersampir sebatang pedang. Orang itu dikenal 

betjuluk Peri Muka Seratus. Di samping wanita itu


juga duduk seorang laki-laki. 

"Keadaan menghendaki demikian, Komala," jawab 

laki-laki kurus itu sambil memandang Peri Muka 

Seratus. Wanita itu memang mempunyai nama asli 

Komala. Kemudian sepasang matanya beralih, pada 

seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun dan 

berpakaian indah. Dia juga tengah duduk di sebelah 

Peri Muka Seratus. 

"Bagaimana usahamu, Kang? Berhasil...?" tanya 

laki-laki berpakaian indah itu, sambil menatap sosok 

tubuh kecil kurus yang kemudian duduk di 

hadapannya. 

Laki-laki kecil kurus hanya menghela napas 

panjang. 

"Sayang sekali, Adi Pradipta," desah laki-laki kurus 

yang ternyata seorang kakek, pelan bernada keluhan. 

Wajah laki-laki setengah baya yang dipanggil 

Pradipta seketika berubah. Dia adalah seorang 

adipati di Kadipaten Tasik. 

"Jadi..., usahamu gagal, Kang?" terdengar ada 

nada kekecewaan dari ucapan Pradipta. 

"Gagal sih, tidak. " 

"Lalu...?" desak Pradipta. 

"Tidak berjalan sesuai rencana kita," jelas kakek 

kecil kurus. 

"Hm...," gumam Adipati Pradipta sambil meng-

angguk-anggukkan kepalanya. 

"Seseorang telah ikut campur tangan dalam 

urusan ini! Kalau tidak, mungkin semua berjalan 

sesuai rencana!" tambah si kakek kecil kurus. 

"Keparat!" maki Peri Muka Seratus. "Siapa orang 

yang usilan itu, Kang? Sudah kau singkirkan dia?" 

"Belum, Komala," jawab kakek kecil kurus itu 

seraya menggelengkan kepalanya.


"Mengapa, Kang?! Bereskan saja orang itu, 

sebelum mengacaukan rencana Kita selanjutnya!" 

selak Pradipta. 

"Orang itu memiliki kepandaian tinggi, Adi. Aku 

sendiri ragu, apakah sanggup menghadapinya." 

"Kau kenal orang itu, Kang?" tanya Pradipta. Mulai 

melunak suaranya. 

"Kenal sih, tidak. Tapi berita mengenai 

kepandaiannya yang tinggi, sudah sering kudengar," 

jelas kakek itu, 

"Jadi, kau belum pernah bertempur dengannya, 

Kang?!" 

"Sudah! Satu kali. Dan kabar itu tidak berlebihan. 

Tenaga dalam yang dimilikinya cukup tinggi!" 

"Ah...!" keluh Pradipta kaget. "Kalau begitu orang 

itu hebat sekali! Siapa dia, Kang?!" 

Kakek kecil kurus itu bangkit berdiri, lalu 

melangkah pelahan ke arah jendela. Pandangannya 

menatap kosong ke luar beberapa saat lamanya. 

Baru setelah itu dibalikkan tubuhnya. 

"Dewa Arak...!" jawab kakek kurus itu lambat-

lambat tapi penuh tekanan. 

"Dewa Arak...?!" ulang Pradipta dan Peri Muka 

Seratus terkejut. Memang nama besar Dewa Arak 

sudah sering terdengar, sebuah julukan yang telah 

menggoncangkan dunia persilatan, dengan banyak 

tewasnya tokoh sakti di tangannya. 

"Ya! Dewa Arak...!" tegas kakek itu lagi. Kemudian 

diceritakan pertarungannya waktu menghadapi Dewa 

Arak, selagi dia hampir berhasil membasmi murid-

murid Perguruan Naga Api. 

Tampak jelas Pradipta kebingungan mendengar 

berita itu. Adipati ini melangkah mondar-mandir di 

ruangan itu. Keningnya berkernyit dalam dan rupanya


tengah berpikir keras. 

"Aku ada usul, Kang...!" ucap adipati itu keras. 

Sepasang matanya nampak berseri-seri. 

Melihat sikap adipati itu, kakek kecil kurus 

menatap tajam ke arah laki-laki berusia tiga puluh 

lima tahun itu. Ada rasa keingintahuan yang 

mendalam pada sorot matanya. 

"Coba kemukakan usulmu, Adi Pradipta," pinta 

kakek itu penuh gairah. 

Adipati Pradipta berdehem sebentar. 

"Tidak ada jalan lain lagi, Kakang. Rasanya aku 

sudah tidak sabar lagi untuk segera merebut Istana 

Bojong Gading. Kita langsung saja pada puncak 

rencana," tegas Adipati Pradipta. 

"Maksudmu bagaimana, Pradipta?" tanya Peri 

Muka Seratus. Wanita licik ini memang masih belum 

mengerti. 

"Ya, Adi. Aku dan gurumu belum paham 

maksudmu," tambah kakek kecil kurus itu. Memang, 

Peri Muka Seratus adalah guru Adipati Pradipta. 

"Begini, Kang. Kakang dan seluruh murid kakang 

malam ini juga menyerbu Perguruan Naga Api. Bantai 

semua yang ada di sana, tapi sisakan seorang saja. 

Sudah bisa kuperkirakan kalau orang yang tak 

terbunuh itu pasti ingin mengadakan pembalasan. 

Dugaanku, kalau tidak ke Panglima Jumali, dia tentu 

mengadu ke Panglima Gotawa. Dan paling tidak, pasti 

panglima itu membalas dendam dengan membawa 

pasukannya. Bila ini benar, aku akan mengutus anak 

buahku untuk memberitahu Panglima Jatalu. Maka 

dapat dipastikan akan terjadi bentrok antar pasukan. 

Bagaimana, Kang? Bisa kau terima usulku ini?" jelas 

adipati itu. Ada senyum terkembang di bibirnya. 

Kakek kecil kurus ini mengacungkan ibu jarinya.


Bahkan Peri Muka Seratus pun tersenyum lebar. 

"Dan selagi mereka semua saling bentrok, Kita 

akan menyerbu Istana Bojong Gading. Begitu bukan 

maksudmu, Pradipta?" tebak Peri Muka Seratus. 

"Benar, Guru." 

"Otakmu memang selalu cemerlang, Adi," puji 

kakek berpakaian kuning itu. "Memang mulanya 

sudah terpikir olehku untuk segera memajukan 

rencana Kita, lebih cepat dari semula. Hanya saja, 

aku tidak tahu dari mana harus memulai. Kau 

memang cerdik, Adi Pradipta!" 

"Ha ha ha...!" Adipati Pradipta tertawa terbahak-

bahak. "Tak lama lagi Kerajaan Bojong Gading akan 

jatuh ke tanganku! Ha ha ha...!" 

Kakek kecil kurus berpakaian kuning itu 

mengerutkan alisnya ketika teringat sesuatu. 

"Tunggu, Adi. Bagaimana dengan seragam 

Perguruan Garuda Sakti untuk murid-muridku?" 

Adipati Pradipta tersenyum lebar. 

"Tidak perlu kau pusingkan masalah itu, Kang. 

Semuanya sejak jauh-jauh hari sudah kupersiapkan. 

Kakang tinggal menyuruh mereka untuk mengena-

kannya. Dan..., menghancurkan Perguruan Naga Api!" 

"Ha ha ha...!" 

Suara gelak tawa langsung pecah dari rumah kecil 

berdinding bilik. Mereka memang tidak pertu merasa 

khawatir terdengar orang, karena tempat itu letaknya 

amat jauh dari tempat lainnya.




LIMA



Glaar...! 

Kembali untuk yang kesekian kalinya halilintar 

menggelegar di angkasa. Beberapa saat lamanya, 

suasana malam yang tersetimut awan hitam dan 

tebal sehingga menutupi bulan, menjadi terang 

benderang. Titik-titik hujan pun pelahan-lahan turun 

membasahi bumi, diiringi hembusan angin dingin 

membekukan tulang. 

Dalam suasana malam seperti itu, rasanya orang 

lebih suka tinggal di dalam rumah. Tapi, tidak 

demikian halnya dengan sosok bayangan serba 

kuning yang tengah berkelebatan. Tubuhnya kecil 

kurus, namun gerakannya cepat bukan main. 

Glarr…! 

Halilintar menggelegar lagi. Untuk beberapa saat 

lamanya keadaan kembali menjadi terang benderang. 

Cahaya terang yang sekilas itu cukup untuk 

menerangi wajah sosok bayangan kuning yang 

ternyata seorang kakek berusia sekitar enam puluh 

tahun dan berwajah mirip tikus. 

Dan ternyata tidak hanya kakek kecil kurus 

berpakaian kuning itu saja yang berkeliaran di malam 

gelap dan dingin itu. Di belakangnya juga berkelebat 

puluhan sosok tubuh berpakaian kuning yang 

bergerak gesit bukan main. Rupanya kakek kecil 

kurus berpakaian kuning itu adalah pemimpin orang 

berseragam kuning yang mengikuri di belakangnya. 

Tak lama kemudian kakek kecil kurus itu meng-

hentikan gerakannya, dan cepat menyelinap ke batik


sebatang pohon. Kepalanya ditolehkan ke belakang, 

melihat rombongan orang berseragam kuning yang 

masih berlarian agak jauh di belakang. 

Sebentar kemudian, sepasang matanya dialihkan 

ke depan, menatap sebuah bangunan besar dan 

megah yang dikelilingi pagar kayu bulat yang 

kelihatan kokoh kuat Pada bagian atas pintu gerbang, 

terpampang sebuah papan tebal berukir yang 

bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi, Perguruan 

Naga Api. 

Tak lama kemudian, rombongan orang berseragam 

kuning itu pun tiba. Mereka pun bergerombol 

bersembunyi. Sementara kakek kecil kurus ber-

pakaian kuning itu segera membalikkan tubuhnya, 

menghadap mereka yang jumlahnya tak kurang dari 

tiga puluh orang. 

"Ingat! Jangan kalian bunuh semua! Sisakan satu 

orang, agar mengabarkan penyerbuan Kita! Kalian 

mengerti?!" desis kakek pakaian kuning seraya 

menatap tajam. 

"Mengerti...!" desah mereka serempak. 

"Bagus! Mari Kita mulai!" 

Tanpa diperintah dua kali, puluhan sosok tubuh itu 

berkelebat cepat menuju markas Perguruan Naga Api. 

Sementara itu, kakek berpakaian kuning telah 

terlebih dulu melesat pergi. Keadaan alam saat itu 

memang menguntungkan orang-orang berseragam 

kuning. Laksana iblis bergentayangan, mereka 

berkelebatan cepat mendekati sasaran. 

Kakek berpakaian kuning merupakan orang 

pertama yang telah mendekati pintu gerbang. Cepat 

laksana kilat, sebelum kedua penjaga itu menyadari, 

tubuhnya telah melesat cepat ke arah mereka. 

"Aaakh...!"


"Aaa...!" 

Jerit kematian panjang seketika terdengar susul-

menyusul mengikuti robohnya dua sosok penjaga itu 

ke tanah. Karuan saja jeritan itu menyentakkan 

suasana yang semula hening itu. Dan suara jeritan 

yang memang sudah keras, jadi bertambah keras. 

Seketika suasana di perguruan itu menjadi gempar. 

Sesaat kemudian, dari dalam bangunan-bangunan 

yang terdapat dalam markas Perguruan Naga Api, 

berkelebatan beberapa orang yang bergerak cepat ke 

arah asal jeritan tadi. Tapi, belum juga mereka 

mencapai tempat itu, sosok-sosok bayangan kuning 

berkelebatan cepat menghadang. 

Di antara mereka yang berkelebat keluar, tampak 

Prawira dan Sentanu. Mereka nampak geram 

dihadang orang-orang berseragam kuning itu. Sinar 

lampu obor yang terpancang hampir di setiap tempat, 

cukup untuk menerangi halaman luas itu, sehingga 

mereka dapat melihat jelas orang-orang yang 

menghadang. 

"Keparat..! Kalian murid-murid Perguruan Garuda 

Sakti...!" sentak Prawira kaget melihat orang-orang itu 

berseragam kuning. 

Dan seketika itu juga, orang-orang berseragam 

kuning serentak menyerang. Maka, denting senjata 

beradu pun mulai menyemaraki suasana malam yang 

semula hening dan sunyi mencekam itu. Sesekali 

diselingi jerit tertahan orang yang terkena serangan 

lawan. 

Tampak kakek berpakaian kuning dan bertubuh 

kecil kurus tengah mengamuk hebat. Ke mana saja 

tangan atau kakinya bergerak, sudah dapat dipasti-

kan di situ ada tubuh yang roboh tanpa nyawa. 

Sehingga dalam sebentar saja, sudah lima orang


tewas di tangannya. 

Murid-murid Perguruan Naga Api yang kepandaian-

nya jauh di bawah kakek itu, terdesak hebat. Apalagi 

ditambah para pengikutnya memang dalam hal 

jumlah tidak kalah. Tapi banyak hal yang merugikan 

mereka. Salah satu di antaranya adalah ketidak-

siapan dalam menghadapi lawan yang tidak disangka-

sangka itu. Apalagi ketika beberapa saat kemudian, 

terbukti bahwa rata-rata kepandaian orang-orang 

Perguruan Garuda Sakti di atas mereka. 

Tampak satu persatu murid Perguruan Naga Api 

berguguran. Apalagi yang dihadapi kini juga kakek 

kecil kurus berpakaian kuning. Keadaan mereka tak 

ubahnya semut-semut menerjang api yang langsung 

roboh tanpa daya. 

"Keparat..! Temula, akulah lawanmu!" 

Berbareng selesainya ucapan itu, sesosok tubuh 

berjubah putih masuk ke tengah arena dan langsung 

menerjang kakek berpakaian kuning yang ternyata Ki 

Temula. Dia mengenal serangan yang berbahaya itu. 

Cepat-cepat Ki Temula melompat mundur ke 

belakang, sehingga serangan itu mengenai tempat 

kosong. 

"Mengapa tidak sejak tadi kau keluar, Santa?!" 

ejek kakek berwajah tirus tajam. 

Tapi si penyerang yang ternyata Ki Santa tidak 

mempedulikan ejekan Ki Temula, dan cepat 

menyerang lawannya. Amarahnya memang sudah 

sejak tadi berkobar-kobar, melihat banyak murid 

Perguruan Naga Api yang tergeletak tanpa nyawa. 

Jari-jari tangannya terkembang membentuk cakar 

naga. Tangan kanannya meluruk deras ke arah ulu 

hati, sementara cakar tangan kiri menempel di 

pergelangan tangan kanan. Posisi tangan itu ter


palang di depan dada. 

Ki Temula yang sudah tahu kelihaian kakek beralis 

putih itu, tanpa sungkan-sungkan lagi mengeluarkan 

ilmu andalannya. 'Cakar Garuda'. Ibu jari dan 

kelingkingnya dilipat ke dalam, membentuk cakar 

garuda. Tanpa sungkan-sungkan lagi, dipapaknya 

serangan cakar itu. 

Prattt ! 

Tubuh Ki Santa terdorong dua langkah, sementara 

Ki Temula hanya terhuyung satu langkah ke belakang. 

Tapi, begitu daya dorong yang membuat tubuh 

mereka terhuyung habis, mereka pun saling gebrak 

kembali. 

Ki Santa bertarung bagai macan luka. Kemarahan 

yang amat sangat berkobar-kobar dalam hatinya. 

melihat satu persatu murid Perguruan Naga Api 

berguguran. 

"Aaakh...!" 

Kembali terdengar jeritan menyayat. Kali ini 

terdengar dari mulut Prawira! Pemuda bertahi lalat 

besar ini berdiri tertatih-tatih sambil memegangi 

perutnya yang robek memanjang. Darah mengalir 

deras dari luka lewat sela-sela jarinya. Kemudian, 

tubuhnya roboh untuk selama-lamanya. Mati. 

Gigi Ki Santa bergemeletuk menahan geram. Pilu 

hatinya melihat murid-muridnya terbantai di depan 

mata tanpa dia mampu berbuat apa-apa. Maka 

kemarahannya pun ditumpahkan pada Ki Temula. 

Namun walau kakek beralis putih ini telah mengerah-

kan segenap kemampuan yang dimiliki, tetap saja 

tidak mampu mendesak lawannya. 

Memasuki jurus ketujuh puluh, Ki Santa mulai 

terdesak. Sampai akhirnya pada jurus ke tujuh puluh 

tiga, sebuah pukulan Ki Temula telak bersarang di


perutnya. 

"Hukh...!" keluh Ki Santa tertahan dan tubuhnya 

kontan terbungkuk. Di saat itulah, kembali kaki kakek 

kecil kurus itu bergerak menendang. 

Prak...! 

Terdengar suara berderak keras ketika tendangan 

itu menghantam kepala Ki Santa. 

"Aaakh...!" 

Kakek beralis putih itu memekik tertahan. 

Beberapa saat lamanya tubuh Ki Santa terhuyung-

huyung, sebelum akhirnya roboh ke tanah dengan 

kepala pecah. Ki Santa tewas seketika itu juga. 

"Ha ha ha...!" tawa bergelak penuh kemenangan 

terdengar dari mulut Ki Temula. "Bakar habis semua 

bangunan ini...!" Tanpa diperintah dua kali, orang-

orang berseragam kuning itu melemparkan beberapa 

obor ke arah bangunan. Tak lama kemudian, api pun 

mulai berkobar melahap bangunan Perguruan Naga 

Api. 

"Ada yang berhasil meloloskan diri?" tanya kakek 

berpakaian kuning itu pada salah seorang anak 

buahnya. 

"Ada, Guru," jawab orang itu. 

"Bagus...! Dan kita hanya tinggal menunggu api 

pertempuran meletus. Sebentar lagi, Kerajaan Bojong 

Gading akan Kita kuasai. Bojong Gading akan 

dibanjiri darah!" desis kakek kecil kurus itu tajam. 

"Benar, Guru...," sahut si murid membenarkan. 

"Kumpulkan mereka semua cepat, dan segera 

pergi dari sini! Api itu akan menarik perhatian orang 

untuk menuju kemari! Cepat laksanakan!" 

"Baik, Guru...!" sahut murid itu. Segera kawan-

kawannya diperintahkan untuk meninggalkan tempat 

itu. Sementara si kakek kecil kurus telah lebih dulu


melesat dari situ. 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara, kedua kakinya hinggap di luar 

pagar yang mengelilingi bangunan Perguruan Naga 

Api. Tapi baru saja kakinya akan melangkah, sebuah 

teguran telah menyapanya. 

"Mau ke mana, Kang?" 

Kakek berwajah tirus mirip tikus itu seketika 

mengangkat kepalanya. Di depannya dalam jarak 

sekitar tiga tombak, berdiri seorang kakek berpakaian 

kuning dan wajahnya mirip kuda. Siapa lagi kalau 

bukan Ki Matija. 

"Matija...," desis kakek bertubuh kurus itu. 

"Ya. Aku, Kang," desah Ki Matija pelan. 

"Mau apa kau kemari, Matija?!" tanya Ki Temula. 

Keras dan tajam nada suaranya. 

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Kang. 

Apa yang kau lakukan di Perguruan Naga Api?! 

Sungguh tidak kusangka kalau memang kaulah 

pelakunya!" tandas kakek beimuka kuda itu seraya 

tersenyum mengejek. 

Ki Temula menghela napas panjang. 

"Kau salah paham, Matija. Perlu kau ketahui, aku... 

eh...! Matija! Awas di belakangmu...!" teriak Ki Temula 

kalap. 

Ki Matija terkejut bukan main mendengar 

peringatan itu. Secepat kilat dibalikkan tubuhnya ke 

belakang, bersiap untuk menghadapi segala kemung-

kinan. Tapi ternyata di belakangnya tidak ada apa-

apa. Sadarlah Ki Matija, kalau dirinya tertipu. 

Buru-buru Ki Matija berbalik, tapi terlambat! Ki 

Temula yang telah menemukan kesempatan, tidak 

menyia-nyiakannya begitu kakek muka kuda itu 

membalikkan tubuh. Cepat laksana Kilat, dia




melompat menerjang. Dikerahkan seluruh 

kemampuan yang dimilikinya dalam penyerangan ini. 

Prattt..! 

"Aaakh...!" 

Ki Matija memekik tertahan. Serangan Ki Temula 

dalam jurus 'Cakar Garuda', telah menghantam 

pelipisnya. Tanpa ampun lagi tubuhnya terjengkang 

ke belakang dengan tulang pelipis retak. Ki Matija 

tewas, setelah meregang nyawa sebentar. Darah 

segar langsung membasahi bumi. 

"Ha ha ha...!" 

Kembali tawa kemenangan terdengar dari mulut Ki 

Temula. Kemudian diangkatnya tubuh kakek muka 

kuda itu, lalu dilemparkan ke dalam api yang tengah 

berkobar. Tanpa ampun lagi, tubuh wakil ketua 

Perguruan Garuda Sakti segera dilalap api. 

Sementara Ki Temula segera melesat kabur dari situ. 

"Sayang waktuku tidak banyak, Matija! Kalau saja 

waktuku banyak, tak akan kubiarkan kau mati secara 

demikian enak," desah kakek berwajah tirus itu 

pelahan. 

Setelah berkata demikian, tubuh Ki Temula 

melesat dari situ. Dalam sekejap mata saja bayangan 

tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam. 

*** 

Sesosok bayangan ungu melesat cepat mendaki 

Lereng Gunung Munjul. Gerakannya gesit bukan 

main. Suasana malam begitu gelap, sehingga 

wajahnya tersembunyikan. Dan yang terlihat hanyalah 

sekelebat sinar ungu dan putih keperakan. 

Rupanya bayangan itu menuju ruang tahanan 

tempat Ki Kerpala berada. Ya, dia memang menuju


ruang tahanan yang lebih mirip gua itu. Langkahnya 

terhenti di sebuah ruang yang depannya berjeruji besi 

baja bulat, dan berdinding baru cadas yang amat 

tebal. Jelas, itu adalah ruang tahanan untuk Ki 

Kerpala. 

Glarrrr...! 

Halilintar menggelegar kembali. Sesaat sinarnya 

yang terang menyinari bumi. Tapi waktu yang hanya 

sesaat itu, sudah cukup untuk menerangi wajah 

bayangan ungu itu dan ruang tahanan Ki Kerpala. 

"Kosong...," desis si bayangan ungu yang ternyata 

adalah Arya Buana alias Dewa Arak. Ruangan 

tahanan itu memang kosong, tak ada seorang pun di 

dalamnya. Yang ada hanya rantai-rantai baja yang 

berserakan di lantai. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak 

melesat dari situ. Dikerahkan seluruh kemampuan 

yang dimiliki, sehingga yang terlihat hanya bayangan 

ungu saja yang berkelebatan cepat. Dan tak lama 

kemudian, Dewa Arak telah berada di depan pintu 

gerbang Perguruan Garuda Sakti. 

"Ki Temula ada?" tanya Arya pada murid Perguruan 

Garuda Sakti yang menjaga pintu gerbang. 

"Ada. Silakan masuk, Dewa Arak!" ucap salah 

seorang di antara mereka. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya 

melangkah masuk dengan diantar salah seorang dari 

dua penjaga pintu gerbang itu. Dan kini mereka tiba 

di ruang semadi Ki Temula. Penjaga itu lalu 

meninggalkan Dewa Arak. Setelah mengetuk pintu 

sebentar, Arya segera masuk ketika mendapat 

sahutan dari dalam. 

"Arya! Silakan masuk," kata Ki Temula, seraya 

berdiri menyambut Arya.


"Aku membawa berita buruk untukmu, Ki," jelas 

Arya. 

"Penting sekalikah berita itu, Arya? Sehingga di 

malam selarut ini kau datang mengunjungiku?" tanya 

Ki Temula begitu mereka berdua telah berada di 

dalam ruang semadinya. 

"Sangat penting, Ki," sahut Arya cepat. 

Ki Temula mengerutkan alisnya. 

"Hm..., urusan orang yang menyamar sebagai aku 

kan?" tebak kakek berwajah tirus itu. 

"Benar, Ki. Dan aku telah tahu sekarang, siapa 

orang yang telah memfitnahmu itu!" tandas Dewa 

Arak. 

Wajah Ki Temula berubah. Sepasang matanya 

menyipit merayapi wajah Dewa Arak. 

"Benarkah apa yang kau katakan, Arya. Yakinkah 

kau kalau kali ini dugaanmu tidak meleset?" tanya Ki 

Temula kurang yakin. 

"Yakin, Ki," sahut Arya seraya menganggukkan 

kepalanya. 

"Siapa orang itu, Arya?" tanya kakek kecil kurus itu. 

Agak bergetar suaranya karena perasaan tegang yang 

melanda hatinya. 

"Hhh...!" desah Dewa Arak sebelum memulai 

ucapannya. "Orang itu adalah..., Ki Kerpala, Ki." 

"Tidak mungkin!" sentak Ki Temula. Sepasang 

matanya memancarkan sinar kemarahan. "Tarik 

kembali ucapanmu, Arya! Atau..., terpaksa Kita 

berhadapan sebagai musuh!" 

Dewa Arak menatap tajam Ki Temula. 

"Apakah memang sudah menjadi sifatmu untuk 

tidak mempercayai ucapan setiap orang, Ki?" sindir 

Arya tajam. "Apakah kau tidak berkeinginan untuk 

membuktikan kebenaran berita yang kubawa ini. Mari


Kita cepat melihat ruang tahanan itu, Ki. Aku berani 

mempertaruhkan kepalaku seandainya ucapanku 

tidak benar!" 

"Baik! Mari Kita melihatnya! Dan ingat, Dewa Arak. 

Kalau ternyata terbukti kata-katamu itu tidak benar. 

Enyahlah kau dari sini, dan jangan injak tempatku 

lagi!" 

"Baik! Mari Kita buktikan! Cepat, sebelum dia 

kembali lagi ke sana!" 

Setelah berkata demikian, tubuh Dewa Arak 

melesat Cepat bukan main gerakannya. Ki Temula 

tentu tak mau kalah. Tubuhnya berkelebat cepat 

menyusul Dewa Arak yang telah melesat lebih dulu. 

*** 

"Mustahil...!" teriak Ki Temula ketika melihat ruang 

tahanan sudah kosong, dan rantai-rantai baja yang 

berserakan di lantai dalam keadaan utuh. Bergegas 

diambilnya kunci pintu jeruji baja itu, kemudian 

dibukanya. 

Dewa Arak tidak berkata apa-apa dan hanya 

mengikuti tubuh Ketua Perguruan Garuda Sakti yang 

telah masuk ke dalam ruangan itu. Ki Temula 

membungkukkan tubuh, memungut gelang-gelang 

baja yang melilit pergelangan tangan dan kaki Ki 

Kerpala. Diperhatikannya sejenak, kemudian diper-

lihatkan pada Arya. 

"Tidak ada tanda-tanda dibuka dengan kekerasan," 

desah Dewa Arak. Alisnya berkerut pertanda tengah 

berpikir keras. Memang Arya telah mendengar, 

bahkan telah menjumpai tokoh-tokoh yang memiliki 

berbagal ilmu yang aneh. Tapi, penemuannya kali ini 

membuat Dewa Arak bingung.


Ki Temula tampak tercenung. Wajahnya 

menyorotkan penyesalan yang mendalam. Ditatapnya 

lagi seruruh ruangan tahanan itu. 

"Hhh...!" kakek kecil kurus ini menghela napas 

panjang. "Maafkan atas kekasaran sikapku, Dewa 

Arak. Ahhh..., betapa tololnya aku! Padahal dulu telah 

kuketahui kalau Kakang Kerpala gemar mempelajari 

ilmu-ilmu hitam. Tak salah lagi, ilmu yang digunakan-

nya untuk membuat tangan dan kakinya lolos dari 

gelang-gelang baja itu pastilah aji 'Welut Putih'. Tapi, 

ilmu apa yang membuatnya mampu menerobos sela-

sela jeruji baja ini? Hhh...! Kecerobohanku telah 

menyebabkan peristiwa ini terjadi." 

"Sudahlah, Ki. Tidak ada gunanya lagi menyesal 

dan mengeluh sekarang. Yang harus Kita lakukan 

adalah mencegah terjadinya peristiwa selanjutnya," 

usul Dewa Arak. 

Ki Temula menatap tajam Dewa Arak. 

"Apa yang kau ucapkan sama sekali tidak salah, 

Arya. Tapi, pelaksanaan ucapan itu yang sulit. Apalagi 

kau sama sekali belum mengetahui kelihaian Kakang 

Kerpala. Dulu sewaktu aku dan Adi Matija 

menangkapnya, dia tengah mempelajari ilmu 'Sirna 

Raga'. Hhh...! Aku khawatir kalau sekarang ilmu itu 

telah sempurna dikuasainya. Entah bagaimana 

menghadapinya...," ujar Ketua Perguruan Garuda 

Sakti itu bernada mengeluh. 

'"Sirna Raga'?!" tanya Dewa Arak Wajahnya 

menunjukkan keterkejutan yang amat sangat. Telah 

didengarnya kehebatan ilmu 'Sirna Raga' itu. Dengan 

ilmu itu, seseorang akan mampu menghilang. Jadi 

bagaimana caranya menghadapi ilmu seperti itu? 

"Yang masih kubingungkan. Dengan ilmu apa dia 

sanggup meloloskan diri dari celah-celah jeruji baja


yang sempit ini? Mungkinkah dengan aji 'Welut Putih' 

juga?" tanya Ki Temula seperti untuk dirinya sendiri. 

Dewa Arak tercenung. Keistimewaan aji 'Welut 

Putih' memang sudah pernah didengarnya. Ilmu itu 

mampu membuat tubuh si pemilik aji itu selicin belut, 

dan mampu membuat tubuh seolah tak bertulang. 

Memang sukar bagi lawan untuk menyarangkan 

serangan karena kelicinan kulitnya itu. 

"Sudahlah, Ki. Lagi pula bukan maksudku mem-

buat pusing Aki dengan menunjukkan hal ini. Aku 

hanya ingin memberitahu ada orang yang telah 

mencemarkan nama Aki." 

Ki Temula sama sekali tidak menyahut. Kakek ini 

masih dibingungkan dengan lolosnya Ki Kerpala dari 

dalam kurungan itu. 

"Lebih baik Kita tunggu saja, Ki. Bukan tidak 

mungkin, setelah selesai dengan aksinya Ki Kerpala 

akan kembali kemari. Dengan demikian Kita berdua 

bisa mencoba untuk menangkapnya," usul Dewa 

Arak. 

"Hhh...!" Lagi-lagi Ki Temula menghela napas 

panjang. "Jadi merepotkanmu saja, Arya." 

"Sama sekali tidak, Ki," sergah Dewa Arak cepat 

"Memang sudah menjadi sifatku yang suka 

menyelesaikan urusan yang tidak wajar." 

"Terima kasih, Arya," ucap kakek itu pelahan. 

"Lupakanlah, Ki," sahut Dewa Arak risih. 

Setelah itu suasana pun hening. Tidak terdengar 

lagi ada yang berbicara. Keduanya tenggelam dalam 

lamunan masing-masing. Tapi meskipun demikian, 

sepasang mata dan pendengaran mereka dipasang 

tajam-tajam, menunggu kembalinya Ki Kerpala ke 

dalam kurungan.


ENAM



Seorang pria berseragam putih-putih melangkah 

tersuruk-suruk menembus kepekatan malam yang 

gelap gulita. 

Glaar...! 

Ketika kilat menyambar dan menerangi bumi, 

tampaklah kalau sosok tubuh itu adalah seorang 

pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. Di baju 

bagian dada kirinya yang putih, tersulam gambar 

kepala seekor naga yang tengah menyemburkan api. 

Dari sini sudah bisa ditebak kalau pemuda ini 

adalah salah seorang murid Perguruan Naga Api. 

Memang, pemuda itu adalah Sentanu yang sengaja 

dibiarkan lolos oleh kawanan penyerang berseragam 

kuning, tanpa setahu pemuda itu sendiri. 

"Hhh... hhh... hhh...!" 

Napas Sentanu nampak terengah-engah, tapi 

sama sekali tidak dipedulikannya. Terus saja kakinya 

berlari menuju Kotaraja Kerajaan Bojong Gading. 

Setelah cukup jauh dari bangunan perguruannya, 

Sentanu menolehkan kepala. Dan terkejutlah hati 

pemuda ini ketika melihat api membumbung tinggi 

dari arah yang ditinggalkannya. Tanpa ke sana pun 

pemuda ini sudah tahu kalau tempat yang tengah 

dilalap oleh api itu adalah bangunan perguruannya. 

Dada Sentanu seketika sesak oleh rasa amarah 

dan haru yang mendalam. Kalau menuruti perasaan 

hatinya, ingin rasanya dia kembali ke sana dan 

mengadu nyawa dengan orang-orang yang telah 

membumi-hanguskan perguruannya. Tapi kalau diri


nya juga tewas, siapa yang akan membalas kekejian 

ini? 

Entah berapa lama Sentanu berlari, dan pemuda 

ini tidak mempedulikannya. Langkahnya semakin 

dipercepat ketika tak jauh di depannya sudah 

nampak sebuah bangunan besar dan megah. 

Halamannya luas, dan dikurung pagar tembok yang 

tinggi dan kokoh. 

"Berhenti...! Siapa kau?!" cegat salah seorang 

penjaga pintu gerbang, begitu melihat Sentanu 

bergerak menuju pintu gerbang yang dijaganya. 

Tombak di tangannya ditodongkan ke perut Sentanu. 

Sentanu mengatur napasnya sejenak 

"Tolong… tolong antarkan aku menghadap 

Panglima Jumali," pinta Sentanu terengah-engah. 

"Ada urusan apa hendak menemui beliau?" tanya 

penjaga itu. Todongan tombaknya tidak juga dijauh-

kan dari tubuh Sentanu. Sementara, sepasang 

matanya merayapi wajah pemuda di hadapannya, 

dalam keremangan cahaya obor yang terpancang 

dekat situ. 

"Aku adalah adik seperguruannya. Katakan saja 

pada Panglima Jumali bahwa ada murid Perguruan 

Naga Api yang ingin bertemu." 

"Ahhh...!" seru penjaga itu terkejut. Dijauhkannya 

todongan tombaknya dari perut Sentanu. Penjaga itu 

rupanya tahu kalau Panglima Jumali adalah murid 

Perguruan Naga Api. "Maaf... aku tidak tahu." 

"Tidak mengapa...," desah Sentanu. Dimakluminya 

perlakuan penjaga itu padanya. 

"Kalau begitu, harap Kisanak menunggu sebentar." 

Setelah berkata demikian, penjaga itu berlari 

masuk ke dalam. Sedangkan Sentanu berdiri di 

depan pintu gerbang ditemani seorang penjaga lain.


Tak lama kemudian, penjaga yang melapor itu 

telah kembali bersama seorang pria tinggi besar 

bercambang bauk lebat dan berpakaian seragam 

Panglima. 

"Benarkah kau dari Perguruan Naga Api?" tanya 

Panglima yang bernama Jumali itu ketika sampai di 

depan pintu gerbang. Sepasang matanya menatap 

tajam sosok tubuh yang berdiri di hadapannya. 

"Benar, Panglima. Hamba bernama Sentanu," jelas 

pemuda itu. Tak berani Sentanu memanggil orang 

yang berdiri di hadapannya dengan panggilan 

keakraban. Bagaimana pun juga, dia adalah seorang 

Panglima kerajaan, dan kali ini berada di depan 

prajurirnya. Harus dijaga martabat orang itu, 

meskipun juga berasal dari Perguruan Naga Api. 

"Sentanu? Kau adik seperguruan Adi Branta?" 

tanya Panglima Jumali mulai teringat. Memang dia 

pernah kenal orang yang bernama Sentanu, tapi itu 

lima tahun yang lalu. Wajar kalau sekarang telah agak 

lupa. 

"Benar, Panglima," sahut Sentanu. 

"Ahhh...! Silakan masuk, Adi Sentanu. Dan tidak 

usah terlalu banyak peradatan. Panggil saja aku 

seperti layaknya seseorang memanggil kakak seper-

guruannya. Mari!...! Mari, silakan masuk...!" 

Tanpa sungkan-sungkan lagi Panglima Jumali 

menarik tangan Sentanu dan membawanya masuk. 

Panglima itu tahu kalau pemuda di hadapannya ini 

pasti membawa berita yang sangat penting. Kalau 

tidak, mana mungkin datang menemuinya tengah 

malam begini. 

Sentanu melangkah mengikuti Panglima itu yang 

sudah berjalan cepat menuju bangunan tempat untuk 

menerima tamu penting.


"Sekarang katakan, apa maksudmu datang 

menemuiku malam-malam begini, Adi Sentanu," tagih 

Panglima itu tidak sabar begitu mereka telah duduk di 

dalam. 

Wajah Sentanu berubah muram. 

"Bencana menimpa perguruan Kita, Kang" tutur 

Sentanu, yang kini tidak ragu-ragu lagi memanggil 

Panglima itu dengan panggilan kekerabatan. 

"Bencana? Apa maksudmu. Adi Sentanu. Aku 

masih tidak mengerti!" tegas Panglima itu, langsung 

berkernyit dahinya. 

"Perguruan Naga Api sekarang telah musnah, 

Kang," sahut Sentanu. Perlahan sekali suaranya 

seperti mendesah, tapi akibatnya bagi Panglima 

Jumali tidaklah demikian. 

"Apa?!" pekik Panglima itu. Tubuhnya sampai 

terlonjak dari duduknya. "Apa katamu, Adi Sentanu?!" 

Sentanu menundukkan kepalanya, tidak sanggup 

melihat wajah kakak seperguruannya yang begitu 

tegang. Bahkan suaranya terdengar gemetar. 

"Guru dan semua murid perguruan telah tewas, 

Kang. Hanya aku yang selamat. Dan itu pun karena 

melarikan diri. Namun demikian, berat rasanya hatiku 

berbuat ini. Tapi terpaksa, Kang. Aku harus mem-

beritahukan berita ini padamu." 

"Ya Tuhan...!" keluh Panglima Jumali. Kedua 

tangannya ditekapkan ke wajah, dan sesaat 

kemudian diturunkan kembali. Terdengar suara ber-

gemeretak keras ketika Panglima ini mengepalkan 

kedua tangannya. 

"Betapa berdosanya aku. Di sini aku enak-enakan 

saja, dan tak pernah menengok perguruan. 

Sementara Guru dan yang lainnya dibunuh orang. 

Hhh...! Murid macam apa aku ini!"


Sentanu membiarkan saja. Dia tahu kalau 

Panglima Jumali tengah terpukul. 

"Katakan, Adi Sentanu! Siapa yang melakukan 

perbuatan keji itu?!" desak Panglima itu. Ada 

ancaman hebat yang tersembunyi dalam kata-

katanya. 

"Perguruan Garuda Sakti, Kang...." 

"Apa?! Sentanu! Sadarkah kau akan apa yang 

telah kau ucapkan itu?!" 

"Aku sadar, Kang. Dan semula pun aku ragu. Tapi 

kejadian kemarin malam telah menghapus semua 

keragu-raguanku." 

Kemudian Sentanu menceritakan semua yang 

terjadi. 

Panglima Jumali mendengarkan penuh seksama. 

Wajahnya sebentar pucat, sebentar kemudian 

memerah mendengar hal-hal yang menggiriskan. Baru 

setelah Sentanu menyelesaikan ceritanya, Panglima 

ini menarik napas panjang. 

"Kita harus membalas dendam, Adi Sentanu!" 

desis Panglima itu tajam. "Jaladi!" teriaknya keras. 

Sesaat kemudian terdengar derap langkah 

mendekat, lalu muncul seorang pengawal yang 

segera memberi hormat padanya. 

"Panglima memanggilku?" tanya pengawal yang 

bernama Jaladi itu. 

"Ya! Berikan surat ini pada Panglima Gotawa dan 

Panglima Mantaya! Cepat..!" perintah Panglima Jumali 

sambil memberikan surat yang saat itu juga 

dibuatnya. 

"Baik, Panglima," sahut prajurit itu sambil 

menerima surat yang disodorkan Panglima Jumali. 

"Sekarang mari Kita berangkat, Adi Sentanu. Kita 

basmi Perguruan Garuda Sakti. Aku rela, sekalipun


akibat perbuatanku ini harus dihukum oleh raja!" 

*** 

"Biadab! Terkutuk! Harus kubalaskan perbuatan 

keji ini!" teriak Panglima Jumali. Begitu melihat 

keadaan markas Perguruan Naga Api yang kini telah 

menjadi puing-puing. 

"Benar, Kang," sahut Panglima Gotawa yang juga 

bekas murid Perguruan Naga Api. 

"Kita harus hancurkan Perguruan Garuda Sakti!" 

sambut Panglima Mantaya, juga bekas murid 

Perguruan Naga Api. 

"Mari berangkat! Kita hancurkan markas mereka 

seperti mereka menghancurkan perguruan Kita!" 

Setelah berkata demikian, rombongan yang 

dipimpin tiga orang Panglima itu segera bergerak. 

Jumlah mereka ratusan orang, dan kini bergerak 

menuju markas Perguruan Garuda Sakti. 

Menjelang pagi, rombongan itu telah tiba di tujuan. 

Dan tanpa bicara apa-apa, pasukan itu langsung 

menyerbu. 

Tentu saja murid-murid Perguruan Garuda Sakti 

menjadi terkejut bukan kepalang melihat serbuan 

pasukan Kerajaan Bojong Gading. Tapi terpaksa 

mereka melawan, karena tidak ingin mati konyol. 

Sebentar saja, terjadilah pertempuran massal. 

Tapi karena jumlah mereka yang hanya sekitar tiga 

puluh lima orang, sementara jumlah pasukan 

penyerbu itu tidak kurang dari dua ratus orang, maka 

dalam waktu sebentar saja mereka sudah terdesak 

hebat. Apalagi di antara para penyerbu terdapat 

bekas murid Perguruan Naga Api. 

Bagi yang berhadapan dengan prajurit masih


untung. Tapi siallah bagi mereka yang bertemu 

Panglima Jumali, Panglima Gotawa, maupun 

Panglima Mantaya. Ketiga Panglima itu adalah bekas 

murid kepala Perguruan Naga Api. Dan walaupun 

telah lama keluar, mereka tetap rajin melatih diri. 

Sehingga, tidak aneh kalau kepandaian mereka 

semakin lihai karenanya. Ke mana saja ketiga 

Panglima ini bergerak, pasti ada satu tubuh yang 

roboh ke tanah. 

Dan mendadak saja sepak terjang Panglima-

Panglima ini tertahan, ketika bertemu dua orang 

murid kepala Perguruan Garuda Sakti. 

"Apa maksudmu menyerang perguruan kami, 

Panglima Jumali?!" tanya salah seorang dari dua 

orang murid kepala yang berkulit wajah kuning. Keras 

nada suaranya. 

"Tidak usah berpura-pura bodoh...!" sentak 

Panglima Jumali. "Aku datang untuk membalaskan 

dendam Guru dan adik-adik seperguruanku yang 

kalian bantai!" 

"Apa?! Gilakah kau, Jumali?" sergah salah seorang 

lagi yang berkulit muka merah. 

"Tidak usah banyak bacot! Awas serangan...!" selak 

Panglima Gotawa seraya menusukkan tombak 

pendeknya ke perut si wajah kuning. 

Wut..! 

Si muka kuning tidak bisa berkata apa-apa lagi 

Cepat-cepat dielakkan serangan tombak itu dengan 

menggeser kaki. Kemudian dibalasnya serangan itu 

dengan menyabetkan pedang secara mendatar ke 

leher Panglima itu. 

Melihat kawannya sudah menyerang, Panglima 

Jumali pun tidak tinggal diam. Cepat diputar 

pedangnya laksana baling-baling. Kemudian secara


tidak terduga-duga, ditusukkan ke arah kerongkongan 

si muka merah. 

Si muka merah cepat menarik kepalanya ke 

belakang. Golok yang sejak tadi sudah terhunus di 

tangannya, segera disabetkan ke tangan Panglima 

Jumali yang menghunus pedang. 

"Eh...!" 

Panglima Jumali berseru kaget. Cepat-cepat ditarik 

pulang serangannya. Tak lupa, dilontarkannya 

tendangan lurus ke arah perut lawan. 

Si muka merah melompat ke belakang seraya 

mengirimkan serangan yang tak kalah dahsyatnya. 

Sesaat kemudian keduanya sudah terlibat per-

tempuran sengit, dan berjalan seimbang. Sedangkan 

pertempuran antara murid-murid Perguruan Garuda 

Sakti melawan pasukan kerajaan berlangsung berat 

sebelah. Dan tampak, satu demi satu mereka roboh. 

Sudah dapat dipastikan kalau tak lama lagi mereka 

semua akan tewas di tangan pasukan kerajaan itu. 

Mendadak saja terdengar suara sorak sorai, 

disusul munculnya pasukan kerajaan di bawah 

pimpinan Panglima Jatalu. Tanpa bicara apa-apa, 

pasukan itu segera menyerbu pasukan yang tengah 

membantai murid-murid Perguruan Garuda Sakti. 

Panglima Mantaya kaget. Dia tahu, siapa Panglima 

Jatalu itu. Seorang Panglima bekas murid kepala 

Perguruan Garuda Sakti. Rupanya berita penyerbuan 

ke perguruan ini sampai juga ke telinganya. Maka dia 

langsung buru-buru membawa pasukan untuk 

membela perguruannya. 

Tak dapat dihindarkan lagi, terjadilah pertempuran 

antara kedua pasukan dari kerajaan yang sama, 

Kerajaan Bojong Gading. Panglima Mantaya tanpa 

ragu-ragu lagi segera menyongsong datangnya


Panglima Jatalu. Dan sesaat kemudian keduanya 

sudah terlibat dalam pertempuran sengit. Dan kini, 

kembali korban berjatuhan. 

Tapi sebelum pertempuran semakin berlarut-larut 

Terdengar bentakan nyaring. "Hentikan per-

tempuran...!" 

Belum lagi gema suara bentakan itu lenyap, 

melesat dua sosok tubuh ke arena pertempuran. 

Sosok tubuh berwarna ungu dan kuning. Rupanya 

bentakan yang dikeluarkan disertai pengerahan 

tenaga dalam itu, membuat semua orang yang ada di 

situ terpaku. Dada mereka semua terasa tergetar. 

Bahkan lutut pun terasa lemas 

Seketika itu juga pertarungan terhenti. Begitu juga 

pertarungan antara dua Panglima melawan dua murid 

kepala Perguruan Garuda Sakti. Dari suara bentakan, 

keempat orang itu sudah bisa memperkirakan 

kesaktian pemiliknya. Segera semua mata tertuju 

pada asal suara itu. 

Di tengah-tengah arena pertempuran, telah berdiri 

dua sosok tubuh. Yang pertama adalah seorang 

pemuda berusia dua puluh tahun dan berambut putih 

keperakan, yang tak lain adalah Dewa Arak. 

Sedangkan yang seorang lagi adalah kakek ber-

pakaian kuning berwajah tirus mirip tikus. Siapa lagi 

kalau bukan Ki Temula. 

Memang, semula kedua orang sakti ini menunggu 

kembalinya Ki Kerpala. Tapi setelah lelah menunggu, 

sampai hari menjelang pagi, tidak juga nampak ada 

tanda-tanda kemunculannya. Dan pada saat itulah 

mereka malah mendengar suara denting senjata dan 

lengking kematian di kejauhan. 

Ki Temula dan Dewa Arak menjadi curiga. Suara 

ribut-ribut itu sepertinya berasal dari sekitar


Perguruan Garuda Sakti. Maka, cepat mereka 

melesat meninggalkan tempat itu menuju ke sana. 

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati kedua 

orang sakti ini, melihat pertempuran massal yang 

terjadi di situ. Maka tanpa membuang-buang waktu 

lagi, Dewa Arak segera berteriak mencegah per-

tempuran itu berlanjut. 

"Keparat..!" teriak Panglima Jumali ketika 

mengenali salah satu dari dua orang yang baru 

datang itu. 

"Hiyaaa...!" 

Sambil bertenak melengking nyaring, panglima itu 

menyerang kakek kecil kurus itu. Pedang di 

tangannya melesat cepat menusuk lurus ke arah ulu 

hati. 

"Sabar dulu, Panglima. Tahan dulu amarahmu," 

desah kakek itu lirih seraya menggerakkan tangannya 

mendorong ke depan. 

Wuuussa...! 

Serangkum angin keras berhembus ke arah tubuh 

Panglima Jumali. Dan tusukan pedang itu pun 

melenceng arahnya, seperti tertahan oleh dinding 

yang tidak nampak. 

Tubuh Panglima Jumali terhuyung. Meskipun 

demikian, Panglima ini tidak putus asa. Disadari 

kalau kakek di hadapannya ini bukan tandingannya. 

Tapi hal itu tidak membuatnya menjadi gentar. 

Namun sebelum Panglima itu kembali menyerang, 

Dewa Arak telah melangkah maju dan berdiri di 

tengah-tengah, di antara panglima itu dan Ki Temula. 

"Sabar, Panglima," bujuk Arya pelan. 

"Siapa kau?! Mengapa mencampuri urusanku!? 

Menyingkirlah sebelum kesabaranku hilang!" 

"Namaku Arya, Panglima. Kehadiranku di sini


hanya untuk menghilangkan kesalahpahaman yang 

terjadi," jelas Dewa Arak, masih tetap tenang 

suaranya. 

"Arya?!" kata Panglima itu mengulang perkataan 

Dewa Arak. Keningnya berkernyit. Nama itu seperti 

pernah didengarnya. Tapi kapan dan di mana? Dia 

terus mengingat-ingatnya Dan sekarang dia ingat, 

karena pernah mendengarnya dari mulut Sentanu. 

Arya inilah yang telah dua kali menyelamatkan murid-

murid Perguruan Naga Api. 

"Benar, Panglima. Mengapa?" 

Panglima Jumali menggeleng-gelengkan kepala-

nya. 

"Tidak! Tidak apa-apa. Hm.... bukankah kau yang 

telah menolong murid-murid Perguruan Naga Api dari 

ancaman maut orang-orang jahat ini? Tapi kenapa 

sekarang kau malah bersama dengan gembong 

penjahat ini?" tanya Panglima Jumali sambil 

menunjuk Ki Temula. Dia benar-benar tidak mengerti. 

Dewa Arak menganggukkan kepalanya. "Menolong 

murid-murid Perguruan Naga Api memang benar. Tapi 

Ki Temula dan murid-murid Perguruan Garuda Sakti 

bukanlah orang jahat Panglima." 

Wajah Panglima Jumali berubah. "Ucapan apa ini?! 

Ki Temula dan murid-murid Perguruan Garuda Sakti 

telah membumihanguskan Perguruan Naga Api. dan 

membunuh Ki Santa! Itu bukan perbuatan jahat 

katamu, Arya?! Lalu, perbuatan manakah yang kau 

anggap jahat?" 

"Apa?! Benarkah apa yang kau ucapkan itu, 

Panglima? Benarkah Perguruan Naga Api telah 

dibumihanguskan?!" tanya Dewa Arak. Wajah pemuda 

ini memancarkan keterkejutan yang amat sangat. 

Sementara Ki Temula hanya berdiri terpaku, tak tahu


harus berbuat apa. 

Panglima Jumali hanya tersenyum sinis. Tak 

dijawabnya pertanyaan Dewa Arak. Sebaliknya 

perhatiannya malah dialihkan pada rombongan 

prajurit di belakangnya. 

"Sentanu...! Kemari kau!" teriak Panglima Jumali 

sambil melambaikan tangannya. 

Pemuda berhidung besar itu melangkah maju. 

"Nah, Dewa Arak. Inilah satu-satunya murid 

Perguruan Naga Api yang berhasil lolos dari 

pembantaian Ki Temula dan orang-orang Perguruan 

Garuda Sakti! Sentanu! Ceritakanlah apa yang kau 

alami! Agar Dewa Arak tidak tertipu oleh penjahat 

culas itu!" teriak Panglima Jumali sambil menuding Ki 

Temula. 

"Tutup mulutmu, Panglima Jumali!" teriak Panglima 

Jatalu keras. Tidak senang hatinya melihat gurunya 

berkali-kali dihina Panglima Jumali. Kalau tidak segan 

pada gurunya, sudah diterjangnya Panglima itu. 

"Tenanglah, Jatalu," bujuk Ki Temula, pelan sekali. 

Memang, berita yang didengarnya dari mulut 

Panglima Jumali terlalu mengejutkan hatinya, 

sehingga membuatnya agak terpukul. 

Panglima Jatalu pun terdiam. Bisa dimaklumi kata-

kata gurunya. Kalau perasaan harinya dituruti, bisa 

jadi persoalan ini akan menjadi kian kusut. Padahal, 

gurunya telah bersusah-payah berusaha meluruskan 

persoalan. 

"Maafkan aku, Guru," ucap Panglima Jatalu pelan.



TUJUH



Dewa Arak menatap tajam. langsung ke bola mata 

Sentanu. Pemuda berambut putih keperakan ini 

mengenali pemuda berhidung besar ini sebagai salah 

seorang yang pernah menyerbu Perguruan Garuda 

Sakti. 

"Benar yang dikatakan Panglima Jumali, Sentanu?" 

tanya Dewa Arak. Sepasang matanya yang tajam 

mencorong dan bersinar kehijauan merayapi sekujur 

wajah pemuda di hadapannya. 

Sentanu bergidik melihat sorot mata Dewa Arak. 

Sepasang mata di hadapannya seolah-olah bukan 

mata manusia saja, tapi lebih cocok mata harimau! 

"Semua yang dikatakan Panglima Jumali benar. 

Semalam, Ki Temula bersama tiga puluh murid 

Perguruan Garuda Sakti menyerbu. Ki Santa tewas di 

tangannya. Sementara, semua murid Perguruan Naga 

Api, tewas pula di tangan murid-murid Perguruan 

Garuda Sakti. Tidak itu saja yang dilakukan, mereka 

juga membakar habis bangunan perguruan kami!" 

Dewa Arak tepekur. Terasa ada kesedihan yang 

mendalam pada suara pemuda di hadapannya. Dia 

tahu Sentanu berkata benar. Tapi, Ki Temula juga 

tidak salah. Yang masih menjadi tanda tanya baginya, 

siapa puluhan orang yang diyakini Sentanu sebagai 

murid-murid Perguruan Garuda Sakti? 

Dengan pandang mata penuh pertanyaan, 

ditatapnya wajah Ki Temula. Sementara yang ditatap 

tengah tercenung bingung. Keningnya berkernyit 

dalam Kakek ini memang tengah berpikir keras


"Kau yakin kalau orang-orang itu adalah murid-

murid Perguruan Garuda Sakti, Sentanu?" tanya Dewa 

Arak lagi meminta ketegasan. 

Sentanu menatap tajam wajah Dewa Arak. "Jangan 

salah paham, Sentanu. Yakinkah kau kalau mereka 

bukan orang-orang persilatan golongan hitam?" 

"Hhh...!" Sentanu menghela napas panjang. "Kau 

tidak mempercayaiku, Dewa Arak?" tanya Sentanu. 

Nada suaranya terdengar kesal. 

Dewa Arak menggelengkan kepalanya. Mulutnya 

menyunggingkan senyum. 

"Aku mempercayaimu. Sentanu. Hanya saja, aku 

butuh keterangan yang sejelas-jelasnya. Maka, aku 

mohon agar kau bersedia memberikan keterangan 

yang jelas," tegas Arya. 

Mendengar ucapan Dewa Arak, wajah Sentanu 

kembali berseri. 

"Aku tidak akan begitu sembarangan menuduh, 

Arya. Orang orang yang menyerbu Perguruan Naga Api 

semalam berseragam kuning, dan di dada kiri ada 

sulaman gambar kepala seekor burung garuda. 

"Hanya itu saja, Sentanu?" tanya Dewa Arak seraya 

mengernyitkan keningnya. Dan memang, kalau hanya 

atas dasar itu saja, betapa kerdilnya wawasan 

pemuda ini 

Sentanu menggelengkan kepalanya. 

"Tidak hanya itu saja, Arya. Mereka juga 

memainkan semua ilmu Perguruan Garuda Sakti, 

kecuali ilmu 'Cakar Garuda' Kepandaian mereka rata 

rata tinggi, sehingga tidak aneh kalau semua murid 

perguruan kami semuanya terbantai. Tingkat 

kepandaian mereka rata-rata setingkat dengan 

Kakang Prawira." 

"Ahhh...!" desah Arya terkejut bukan main.



Ditatapnya wajah Ki Temula tajam. Sudah dapat 

diduga kalau orang-orang itu adalah didikan Ki 

Kerpala. Dan mendengar kelihaian mereka, sudah 

bisa diperkirakan kalau Ki Kerpala telah lama men-

didiknya. Luar biasa! Sekian tahun Ki Kerpala telah 

mampu keluar tanpa diketahui Ki Temula. Diam-diam 

Dewa Arak menyalahkan keteledoran Ketua 

Perguruan Garuda Sakti itu. 

"Bagaimana, Dewa Arak. Masih tidak percaya akan 

semua ucapannya? Cepat Menyingkirlah dari situ, 

Dewa Arak. Sebelum kakek licik itu membokongmu!" 

tegas Panglima Jumali. 

Dewa Arak tersenyum. 

"Terima kasih atas nasihatmu, Panglima. Aku 

percaya akan keterangan Sentanu, Tapi, ketahuilah 

Aku telah lama menyelidiki peristiwa ini." 

"Lalu bagaimana akhirnya, Dewa Arak?" tanya 

Panglima Jumali penuh gairah dan berusaha 

melunakkan hatinya. 

"Aku berhasil menemukan pelaku semua 

kejahatan ini." 

"Siapa dia, Dewa Arak? Ki Temula kan?" tebak 

Panglima itu langsung. 

Dewa Arak menggelengkan kepalanya 

"Bukan, Panglima. Bukan Ki Temula pelakunya." 

"Ahhh...!" terdengar seruan-seruan terkejut dari 

mulut Panglima Jumali, Panglima Gotawa, Panglima 

Mantaya dan Sentanu. 

"Bukan dia pelakunya? Lalu, siapa?" desak 

Panglima Jumali keras. 

Tapi sebelum Dewa Arak sempat menjawab, 

seorang prajurit berseru keras. 

"Panglima, istana kerajaan diserbu!" 

"Apa?!" teriak Panglima Jumali, Panglima Gotawa,


Panglima Mantaya dan Panglima Jatalu berbareng. 

Bagai berlomba mereka berlari ke arah prajurit 

yang berteriak itu. Dan apa yang dikatakan prajurit itu 

memang benar. Dari ketinggian lereng gunung, 

nampak terlihat serombongan orang bergerak cepat 

menuju Istana Kerajaan Bojong Gading. 

"Cepat kembali ke istana!" 

Serentak seluruh rombongan bergerak menuruni 

lereng menuju Kotaraja Kerajaan Bojong Gading. 

*** 

Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang Kerajaan 

Bojong Gading mengernyitkan kening, melihat di 

kejauhan debu tebal mengepul tinggi di udara. 

"Apa itu, Badrun?" tanya salah seorang dari 

mereka. 

Orang yang dipanggil Badrun menyipitkan 

matanya. "Astaga...! Itu serombongan pasukan 

berkuda!" 

"Apa?!" sahut temannya kaget "Mengapa prajurit 

penjaga perbatasan tidak memberi kabar?" 

Setelah berkata demikian, kawan Badrun itu 

berlari masuk memberitahukan hal itu. 

Sesaat kemudian, gegerlah suasana dalam istana. 

Apalagi tatkala diketahui, pasukan prajurit di bawah 

pimpinan empat orang Panglima tidak berada di 

tempat. Yang tinggal hanya sepasukan prajurit di 

bawah pimpinan Panglima Dampu. 

Memang, pasukan berkuda itu tak lain dari 

pasukan prajurit Kadipaten Tasik, dibantu murid-

murid Ki Kerpala dan tak ketinggalan pula Peri Muka 

Seratus. Mereka memang bermaksud mengadakan 

pemberontakan di bawah pimpinan Adipati Tasik,


Pradipta. 

Di bawah pimpinan Panglima Dampu dan Patih 

Rantaka, prajurit Kerajaan Bojong Gading berusaha 

keras mempertahankan istana. Satu keuntungan bagi 

pasukan Kerajaan Bojong Gading adalah, mereka 

mempunyai tempat berlindung yang amat kuat. Dan 

kelebihan itu dimanfaatkan oleh mereka. Segera saja 

dipersiapkan pasukan panah untuk mencegah 

pasukan penyerang mendekati istana. 

Dan siasat itu berhasil baik. Pasukan pemberontak 

yang mencoba maju segera berguguran dibantai 

pasukan panah, sebelum sempat mendekat. Berkali-

kali mereka maju, tapi berkali-kali terpaksa mundur 

kembali dengan membawa banyak korban. 

"Keparat!" Peri Muka Seratus menggeram melihat 

banyaknya korban di pasukan mereka. "Kakang 

Kerpala, lebih baik kita yang lebih dulu masuk ke 

sana. Kita hancurkan dulu pasukan panah itu. Karena 

kalau tidak, sampai kapan pun pasukan Kita tidak 

akan mampu masuk!" 

"Usulmu baik sekali, Komala. Mari Kita habisi 

mereka!" sahut Ki Kerpala gembira. 

Maka kedua tokoh sakti ini segera melesat ke arah 

benteng Istana Bojong Gading. 

Pasukan panah prajurit Bojong Gading yang 

memang sejak tadi sudah siap siaga, segera 

menjepretkan gendewanya begitu melihat dua sosok 

tubuh melesat cepat mendekati benteng. 

Twang...! Twang...! 

Puluhan batang anak panah melesat menyambar 

ke arah Ki Kerpala dan Peri Muka Seratus. Tapi kali 

ini yang menjadi sasaran anak panah itu bukanlah 

tokoh yang gampang tewas begitu saja, melainkan 

dua tokoh tingkat tinggi. Maka begitu melihat


sambaran puluhan anak panah yang melesat ke arah 

mereka, keduanya tidak menjadi gugup. 

Peri Muka Seratus segera mencabut pedangnya, 

kemudian memutar-mutarnya laksana baling baling. 

Trang...! Trang...! Trang...! 

Akibatnya, puluhan anak panah yang menyambar 

ke arahnya, kandas di tengah jalan. Tak satu pun 

yang mampu mengenai sasarannya. Memang hebat 

tindakan Peri Muka Seratus! Tapi, masih lebih hebat 

lagi apa yang dilakukan Ki Kerpala! Kakek ini sama 

sekali tidak menggunakan senjata. Dibiarkan saja 

hujan anak panah yang menyambar tubuhnya. 

Tasss...! Tasss ! 

Puluhan anak panah yang menyambar sekujur 

tubuhnya meleset begitu mengenai sasaran. Seolah-

olah yang dipanah itu bukanlah tubuh manusia, 

melainkan batang logam yang licin! Inilah 

keistimewaan aji 'Welut Putih' milik kakek kecil kurus 

ini. 

Sementara anak panah yang menyambar ke arah 

matanya, ditepis dengan tangan kosong. Maka, 

kontan anak-anak panah itu berpentalan dalam 

keadaan patah. Dari peragaan ini saja, sudah bisa 

diperkirakan kedahsyatan tenaga dalam yang dimiliki 

kakek ini. 

"Hup...!" 

Tanpa mengalami halangan yang berarti, Ki 

Kerpala mendaratkan kedua kakinya di atas tembok 

benteng itu. 

"Hup...!" 

Peri Muka Seratus pun menyusul tiba. Tak ada 

sedikit pun bagian tubuhnya yang terluka. Jangankan 

terluka. Lecet pun tidak. 

Dan begitu berhasil mendarat, kedua tokoh tingkat


tinggi itu segera mengamuk dahsyat. Setiap kali 

tangan atau kaki mereka bergerak, sudah dapat 

dipastikan akan ada tubuh yang rubuh dalam 

keadaan tidak bernyawa lagi. Jerit lengking kematian 

terdengar saling susul. Dalam sekejap mata saja, 

lebih dari separuh pasukan panah itu yang tewas. 

Dan di saat itulah pasukan pemberontak itu maju 

menyerbu. Kali ini, tanpa ada penghalang mereka 

dapat mencapai pintu gerbang. Adipati Pradipta 

adalah orang yang pertama kali mencapai pintu 

gerbang istana. Laki-laki setengah baya itu terdiam 

sejenak di depan pintu gerbang istana yang tertutup 

rapat. Seluruh tenaga dalamnya kini dikumpulkan. 

Sambil mengeluarkan pekik nyaring, Adipati Pradipta 

memukulkan kedua tangannya ke depan. 

"Hiyaaa...!" 

Brakkk...! 

Terdengar suara keras ketika pintu gerbang itu 

hancur berantakan. Dan begitu pintu gerbang itu 

hancur, pasukan pemberontak itu pun maju 

menyerbu sambil mengeluarkan teriakan-teriakan liar. 

Maka tak dapat dicegah lagi, pertempuran massal 

pun terjadi. Pasukan Kerajaan Bojong Gading di 

bawah pimpinan Panglima Dampu dan Patih Rantaka, 

mati-matian melawan. 

Tapi karena di pihak lawan banyak terdapat tokoh 

cukup tinggi ilmunya yang merupakan murid Ki 

Kerpala, maka sebentar saja pasukan kerajaan sudah 

terdesak hebat. Satu persatu mereka berguguran. 

Adipati Pradipta tertawa tergelak. Dengan 

perasaan tak sabar dia terus bergerak mendahului 

pasukannya menuju istana. Hatinya benar-benar tak 

sabar lagi untuk segera masuk ke dalam istana itu, 

dan membunuh Raja Bojong Gading, Prabu Nalanda.


Tapi di saat-saat gawat bagi keutuhan Kerajaan 

Bojong Gading, terdengar derap langkah kuda. Itu pun 

masih disusul dengan munculnya, pasukan kerajaan 

yang dipimpin empat orang Panglima. 

Munculnya bantuan tak terduga-duga ini, tentu 

saja mengejutkan pihak Adipati Pradipta. Tapi 

sebaliknya, menggembirakan pasukan Kerajaan 

Bojong Gading. 

Dewa Arak dan Ki Temula tanpa membuang-buang 

waktu lagi segera menerjang Ki Kerpala dan Peri 

Muka Seratus yang tengah menyebar maut. 

Ki Temula segera menghadang Ki Kerpala, 

sementara Dewa Arak menghadang Peri Muka 

Seratus. 

"Cukup, Kakang! Hentikan semua kekejaman ini 

Tanganmu sudah terlalu banyak berlumur darah!" 

geram kakek kecil kurus bermuka tikus ini pelan tapi 

penuh wibawa. 

Ki Kerpala menghentikan gerakannya. Ditatapnya 

wajah adik seperguruannya tajam-tajam. 

"Menyingkirlah, Temula. Aku tidak ingin mem-

bunuhmu. Jangan sampai pikiranku berubah!" 

"Aku bersedia menyingkir. Tapi dengan satu syarat! 

Kau harus ikut aku. Kita kembali ke Perguruan 

Garuda Sakti!" tandas Ki Temula tegas. 

"Keparat..! Rupanya kau memilih mati, Temula! 

Kalau begitu, mampuslah!" 

Setelah berkata demikian, Ki Kerpala melompat 

menerjang. Jari-jari tangannya terkembang mem-

bentuk cakar garuda. Serangannya lurus ke arah 

kepala dengan tangan kiri, sementara tangan kanan 

menyilang di depan dada. 

Wut…! 

Ki Temula mendoyongkan tubuhnya ke belakang.


Tangan kanannya digerakkan dari dalam ke luar 

untuk menangkis serangan itu. Sadar kalau lawan di 

hadapannya ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, 

tanpa sungkan-sungkan lagi dikeluarkannya ilmu 

'Cakar Garuda' 

Takkk...! 

"Akh...!" 

Ki Temula terpekik kaget. Sekujur tangannya 

terasa sakit-sakit. Bahkan seluruh tubuhnya pun 

tergetar hebat. Belum lagi kekagetannya hilang, kaki 

kanan kakak seperguruannya lelah menyusul tiba-tiba 

dengan sebuah tendangan miring ke arah kepala. 

Cepat-cepat Ki Temula merendahkan tubuhnya 

membentuk kuda-kuda rendah, sehingga serangan itu 

lewat di atas kepalanya. Beberapa saat kemudian, 

kedua kakak beradik seperguruan ini sudah terlibat 

pertempuran sengit. Pertempuran yang hampir 

seimbang karena satu sama lain telah mengetahui 

ilmu masing-masing.


DELAPAN


Sementara di tempat terpisah. Peri Muka Seratus 

menatap Arya lekat-lekat. Tokoh hitam yang ahli 

dalam penyamaran ini teringat akan cerita Ki Kerpala. 

"Hm..., kaukah yang berjuluk Dewa Arak itu?" tanya 

perempuan itu sambil tersenyum sinis. 

Tapi Dewa Arak sama sekali tidak mempedulikan 

ucapan lawannya. Dengan sikap tenang, diambilnya 

guci yang tersampir di punggung. Kemudian diangkat-

nya ke atas kepala, dan dituangkan ke dalam 

mulutnya. 

Gluk… gluk… gluk...! 

Suara tegukan terdengar ketika arak itu memasuki 

kerongkongannya. Sesaat kemudian, hawa yang 

hangat pun mulai naik dari perut dan terus ke atas 

kepalanya. 

Peri Muka Seratus geram bukan kepalang melihat 

sikap Dewa Arak yang seperti tidak mempedulikannya 

Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring, 

diterjangnya pemuda berambut putih keperakan di 

depannya. Pedang di tangannya menusuk cepat ke 

arah leher. 

Tapi dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', 

mudah saja bagi Dewa Arak untuk mengelakkan 

serangan itu. Bahkan sekaligus berbalik mengancam 

lawannya. Sesaat kemudian keduanya sudah terlibat 

pertarungan cukup sengit. 

Tapi lama kelamaan, nampaklah keunggulan Dewa 

Arak. Dan pertarungan pun berlangsung berat 

sebelah. Kepandaian yang dimiliki Peri Muka Seratus


itu sebenarnya tinggi. Tapi lawan yang dihadapinya 

adalah Dewa Arak, seorang pendekar muda yang 

memiliki ilmu lebih tinggi. Dengan keistimewaan ilmu 

'Delapan Langkah Belalang', setiap serangan 

perempuan yang bernama asli Komala itu kandas 

percuma. Sebaliknya setiap serangan Dewa Arak 

membuatnya terpontang-panting menyelamatkan diri. 

Tak heran belum sampai tiga puluh jurus, Peri 

Muka Seratus sudah terdesak hebat. Dan sudah 

dapat dipastikan kalau tak lama lagi tokoh hitam yang 

ahli dalam penyamaran ini akan roboh di tangan Arya. 

Berbeda dengan keadaan Dewa Arak yang berada 

di atas angin, keadaan Ki Temula malah sebaliknya. 

Kakek ini malah terdesak hebat. Ki Kerpala dengan 

keistimewaan aji 'Welut Putih', membuat Ketua 

Perguruan Garuda Sakti itu terdesak hebat. 

"Haaat..!" 

Ki Temula berteriak nyaring. Dengan kuda-kuda 

rendah dan saling bersilang, tangan kanannya 

menyambar deras ke arah ulu hati lawannya. Dan 

sungguh di luar dugaan, Ki Kerpala sama sekali tidak 

mempedulikan serangan itu. Dibiarkan saja serangan 

itu, dan sebaliknya kaki kanannya menendang ke 

arah lutut adik seperguruannya. 

Prattt..! Rrrttt..! Tukkk...! 

"Akh...!" 

Kejadian yang berlangsung terlalu cepat. Serangan 

cakar Ki Temula yang tepat mengenai ulu hati 

langsung meleset seperti menghantam sebuah benda 

licin. Tak sedikit pun jari-jari tangan yang biasanya 

mampu menembus baru karang keras itu mampu 

melukai kulit Ki Kerpala. Tangan itu langsung 

terpeleset membawa serta baju kakak 

seperguruannya yang koyak terkena cakaran tangan.


Sebaliknya tendangan Ki Kerpala tak mampu 

dielakkan Ki Temula. Telak dan keras sekali 

tendangan itu mengenai lutut. Seketika itu juga 

sambungan tulang lutut Ki Temula terlepas dan 

tubuhnya kontan terhuyung. 

"Hiyaaa...!" 

Ki Kerpala melompat memburu. Tangan kanannya 

menyampok deras ke arah pelipis. 

Wajah Ki Temula pucat. Disadari kalau dirinya 

tidak akan mungkin mampu mengelak atau 

menangkis serangan itu. Yang dapat dilakukannya 

hanya membelalakkan sepasang matanya sambil 

menanti datangnya maut. 

Sementara itu, Dewa Arak yang bertanding dengan 

Peri Muka Seratus, sesekali perhatiannya terarah 

pada pertarungan Ki Temula melawan kakak 

seperguruannya. Maka begitu melihat ancaman maut 

yang mengancam laki-laki berwajah tirus itu, Arya 

langsung menghentikan desakan pada lawannya. 

"Hih...!" 

Dewa Arak memekik keras sambil menghentakkan 

kedua tangannya ke depan, mengerahkan jurus 

'Pukulan Belalang' yang jarang digunakannya. 

Wuttt…! 

Serangkum angin berhawa panas menyembur 

keras mencegat tubuh Ki Kerpala yang tengah mem-

buru Ki Temula. Maka laki-laki berwajah hitam itu 

kaget bukan main. Dia sadar betul kalau pukulan 

jarak jauh itu begitu dahsyat. Segera diurungkan 

serangannya, kemudian langsung dibanting tubuhnya 

ke tanah dan bergulingan menjauh. 

Peri Muka Seratus tidak menyia-nyiakan 

kesempatan itu. Begitu melihat lawan perhatiannya 

terpecah, segera wanita licik ini melompat menerjang.


Pedang di tangannya diayunkan membacok kepala 

Dewa Arak dari atas ke bawah. 

Tapi Peri Muka Seratus kecelik. Sungguh tidak 

dikira kalau Dewa Arak telah memperhitungkan hal 

itu. Arya segera membalikkan tubuh dan meng-

hentakkan kedua tangannya menyambut serangan 

Peri Muka Seratus. 

Wusss...! Bressss...! 

"Aaa...!" 

Peri Muka Seratus melengking panjang. Serangan 

jurus 'Pukulan Belalang' yang dilontarkan Dewa Arak 

telak menghantam dadanya. Seketika itu juga. Tubuh-

nya yang tengah berada di udara terpental jauh ke 

belakang. Sekujur tubuh wanita sesat ini hangus. 

Tampak cairan merah berhamburan keluar dari 

mulut, hidung, dan telinganya. Tamatlah riwayat Peri 

Muka Seratus. 

"Jahanam...!" Ki Kerpala menggeram hebat melihat 

kematian bekas kekasihnya. Memang puluhan tahun 

yang lalu. Peri Muka Seratus adalah kekasih Ki 

Kerpala. 

Tanpa mempedulikan adik seperguruannya lagi, 

tubuh Ki Kerpala melesat ke arah Arya. Kakek ini 

melambung tinggi ke udara. Kemudian dari atas 

tubuhnya menukik turun, menyerang ubun-ubun 

Dewa Arak dengan jari-jari tangan terpentang lebar. 

Karena tak ada kesempatan mengelak, Dewa Arak 

terpaksa menangkisnya. Sadar akan kesaktian lawan, 

tanpa sungkan-sungkan lagi dikerahkan seluruh 

tenaga dalamnya yang telah mencapai taraf 

kesempurnaan. 

Plak...! 

Maka benturan dua buah tangan yang sama-sama 

memiliki tenaga dalam tinggi terjadi. Tubuh Ki Kerpala


terpental balik ke udara. Sedangkan Dewa Arak tidak 

bergeming sedikit pun, tapi kedua kakinya me-

nimbulkan jejak cukup dalam di tanah. Rupanya 

tekanan dari atas yang terlalu berat, tak dapat 

ditahan tanah. 

"Hiyaaa...!" 

Dewa Arak segera bergerak mendahului. Guci yang 

tadi digenggamnya, kini telah kembali tersampir di 

punggung. Kedua tangannya yang berisi ilmu 

'Belalang Sakti', bergerak-gerak aneh, dan secara 

tidak terduga-duga menyerang lawannya yang kini 

telah melayang turun. 

"Hup...!" 

Secepat kedua kakinya menapak tanah, secepat 

itu pula Ki Kerpala menggerakkan tangan menangkis 

serangan itu. Kakek ini masih merasa penasaran 

bukan main. Benturan tenaga dalam sebelumnya 

masih belum membuatnya puas. Mungkinkah Dewa 

Arak mampu menandingi tenaga dalam yang 

dimilikinya? 

Dan kini, tak pelak lagi benturan antara sepasang 

tangan yang sama-sama memiliki tenaga dalam 

tinggi, tidak tercegah lagi. 

Plakkk...! 

Baik tubuh Dewa Arak maupun tubuh Ki Kerpala 

sama-sama terhuyung mundur dua langkah ke 

belakang. Keduanya merasakan sekujur tangan 

mereka sakit dan nyeri. 

Dewa Arak kaget bukan main. Sungguh tidak 

disangka kalau tenaga dalam yang dimiliki kakek 

berwajah hitam ini setingkat dengannya. Padahal, 

selama ini Dewa Arak tidak pernah lalai berlatih. Baik 

berlatih dengan cara bersemadi maupun pernapasan 

untuk menambah kekuatan tenaga dalamnya. Dan


pemuda ini juga tahu pasti kalau tenaga dalam yang 

dimilikinya kini telah maju pesat. Jauh lebih kuat 

daripada saat pertama kali terjun ke dunia persilatan. 

Tapi sekarang kenyataannya? Kakek ini mampu 

membendungnya! 

Tapi kekagetan yang dialami Dewa Arak, tidak 

separah yang dialami Ki Kerpala. Kakek ini kaget 

sekaligus terpukul bukan main, melihat kenyataan 

kalau lawannya yang masih sangat muda itu mampu 

mengimbangi tenaga dalamnya. Padahal sejak 

dikurung gurunya, dia selalu berlatih. 

Tanpa diketahui kedua orang adik seper-

guruannya, Ki Kerpala terus berlatih keras. Baik 

semadi, pernapasan, bahkan ilmu-ilmu hitam. 

Dugaannya, kini tidak akan ada seorang pun yang 

mampu menandingi kekuatan tenaga dalamnya. Tapi 

kenyataannya? Lawan yang masih muda itu mampu 

mengimbangi! 

Tapi perasaan amarah Ki Kerpala ketika teringat 

kematian kekasihnya, telah mengusir perasaan 

terkejut itu. Dengan amarah meluap-luap, kembali 

diterjang lawannya. Sedangkan Arya tanpa sungkan 

sungkan lagi cepat menyambut tenangan itu. Sesaat 

kemudian keduanya sudah lertibat dalam per-

tarungan sengit. 

Melihat kakak seperguruannya telah bertarung 

melawan Dewa Arak, Ki Temula segera melangkah 

menghampiri Prabu Nalanda. Raja Bojong Gading ini 

kini sudah tidak khawatir lagi. 

Sementara itu pertempuran antara pasukan 

pemberontak dengan pasukan Kerajaan Bojong 

Gading telah berakhir. Dengan datangnya bantuan 

pasukan dari empat orang Panglima itu, pasukan 

pemberontak pimpinan Adipati Pradipta berhasil


dilumpuhkan. Bahkan sang adipati sendiri tewas. 

Panglima Jumali, Panglima Gotawa, Panglima 

Mantaya, dan Panglima Jatalu, segera menjatuhkan 

diri di hadapan Prabu Nalanda. 

"Kami siap menerima hukuman atas kesalahan 

kami, Gusti Prabu." ucap mereka serentak. 

Prabu Nalanda tersenyum. 

"Semula aku marah sekali atas tindakan kalian ini. 

Tapi, Ki Temula telah menceritakan semuanya pada 

ku. Dan aku memakluminya. Kalian semua ku-

maafkan. Bangkitlah…" tutur Prabu Nalanda bijak-

sana. 

"Ahhh...! Terima kasih, Gusti Prabu," sahut 

keempat Panglima itu sambil bangkit berdiri. 

"Jadi, pemuda itukah orang yang kau ceritakan itu, 

Ki?" tanya Prabu Nalanda sambil menatap Dewa Arak 

yang tengah bertarung melawan Ki Kerpala. Dan kini 

semua pasang mata tertuju pada pertarungan antara 

Dewa Arak melawan kakek bermuka hitam itu. 

"Benar, Gusti Prabu." sahut Ki Temula. Memang, 

laki-laki berwajah tirus itu sudah menceritakan pada 

Prabu Nalanda, mengenai semua kesalahpahaman 

yang terjadi. Demikian pula tentang kerja keras Dewa 

Arak untuk menyelesaikan pertikaian itu. 

"Rasanya tidak pantas kalau Kita tidak membalas 

semua jasa-jasanya yang besar ini, Ki. Dialah yang 

telah menyelamatkan Kerajaan Bojong Gading dari 

kehancuran," tegas Prabu Nalanda lagi. Pelan suara-

nya. 

Ki Temula mengernyitkan alisnya. 

"Maaf, Gusti Prabu. Bukannya hamba tidak setuju. 

Tapi sepengetahuan hamba, pemuda itu benar-benar 

tidak suka jika pertolongannya itu dianggap jasa-jasa 

yang perlu dibalas," bantah Ki Temula dengan nada


halus. 

"Kita kan punya akal untuk mengatasinya, Ki," 

tegas Prabu Nalanda kalem, seraya tersenyum. 

"Maksud, Gusti Prabu?" tanya Ki Temula, masih 

belum dapat menangkap maksud ucapan Prabu 

Nalanda. 

"Sudahlah, Ki. Serahkan saja semuanya padaku," 

potong Raja Bojong Gading itu cepat sambil 

mengulapkan tangan. 

Ki Temula tidak bisa membantah lagi, dan hanya 

mengalihkan pandangannya ke arah pertempuran. 

Tampak gigi Dewa Arak bergemeletuk. Seluruh 

kemampuannya telah dikeluarkan, tapi tak juga 

mampu mendesak kakek di hadapannya ini. Seratus 

jurus telah berlalu, tapi belum nampak ada tanda-

tanda yang akan terdesak. Pertarungan masih ber-

langsung seimbang. 

Sebetulnya dengan keistimewaan Jurus 'Delapan 

Langkah Belalang', Dewa Arak beberapa kali hampir 

berhasil menyarangkan pukulan atau tendangan ke 

sekujur tubuh lawan. Dan memang, setiap pukulan itu 

selalu meleset dan tergelincir setiap mengenai 

sasaran. Itulah keistimewaan aji ‘Welut Putih’ yang 

mampu membuat kulit tubuh menjadi licin sekali. 

Prabu Nalanda mengerutkan alisnya. Kecepatan 

gerak kedua tokoh sakti itu, membuatnya tidak dapat 

melihat jelas jalannya pertarungan. Yang terlihat 

hanyalah kelebatan bayangan keunguan dan 

kekuningan yang kadang saling belit, tapi kadang 

terpisah. 

Ki Temula sejak tadi tengah menunggu-nunggu Ki 

Kerpala menggunakan ilmu 'Sirna Raga'. Tapi, sampai 

sekian lamanya menanti, ternyata tak juga nampak 

ada tanda-tanda akan dikeluarkan. Jadi, rupanya


kakak seperguruannya ini tidak berhasil mendapat-

kan ilmu dahsyat itu. 

"Bagaimana, Ki? Siapa kira-kira yang akan 

menang?" tanya Prabu Nalanda sambil menolehkan 

kepalanya menatap Ki Temula. 

"Dewa Arak memang luar biasa," desah kakek kecil 

kurus itu sambil menggeleng-gelengkan kepala, 

penuh kekaguman. 

"Jadi, kakak seperguruanmu itu akan dapat 

dikalahkannya?" tanya Prabu Nalanda berseri-seri. 

Ada nada kekaguman dalam nada suaranya. Prabu 

Nalanda sukar membayangkan, sampai di mana 

ketinggian ilmu pemuda yang berjuluk Dewa Arak itu. 

Padahal Ki Temula saja tidak mampu menghadapi Ki 

Kerpala. 

"Sebenarnya Dewa Arak memang mampu 

mengalahkannya. Gusti Prabu. Tapi kakak seper-

guruan hamba memiliki aji 'Welut Putih'. Sehingga, 

setiap pukulan atau tendangan Dewa Arak tidak 

berarti apa-apa," jelas Ki Temula. 

"Jadi... bagaimana, Ki?" 

Ki Temula menghela napas panjang. 

"Rasanya sulit bagi pemuda itu untuk mengalah-

kannya. Sayang, dia masih kurang berpengalaman 

dalam menghadapi ilmu-ilmu aneh, Gusti. Padahal, 

dia memiliki ilmu yang dapat melumpuhkan aji 'Welut 

Putih' itu." 

"Ahhh..., jadi ..." suara Prabu Nalanda terputus di 

tengah jalan. 

"Yahhh.... Kita hanya tinggal menunggu waktu saja, 

Gusti. Mudah-mudahan Dewa Arak berhasil menemu-

kan caranya. Kalau tidak, mungkin dia akan tewas di 

tangan kakak seperguruan hamba. Lambat laun 

Dewa Arak akan kelelahan karena setiap


serangannya hanya sia-sia. Sementara kakak seper-

guruan hamba nampaknya menyimpan tenaga, 

karena jarang melakukan serangan. Hamba dapat 

menduga siasatnya. Dia menunggu Dewa Arak 

kelelahan, lalu baru turun tangan Dan saat itu, tidak 

begitu sulit untuk menjatuhkan Dewa Arak" 

"Kau tahu, bagaimana seharusnya Dewa Arak 

menghadapi lawannya, Ki?" tanya Prabu Nalanda 

yang gelisah mendengar uraian panjang lebar kakek 

kecil kurus itu. 

Ki Temula menganggukkan kepalanya, "Cepat 

beritahukan padanya, Ki," pinta Prabu Nalanda penuh 

gairah. 

"Maaf, Gusti Prabu. Bukannya hamba membantah 

perintah Gusti. Tapi hamba tidak bisa bersikap seperti 

itu. Biar mereka bertarung secara jantan." 

"Ahhh...!" Prabu Nalanda menghela napas. Alasan 

Ketua Perguruan Garuda Sakti itu memang bisa 

diterima dan masuk akal. Maka, raja ini tidak 

mendesak lagi. Dialihkan pandangannya ke depan, ke 

arah pertarungan. 

Sementara itu pertarungan sudah berlangsung 

hampir seratus tujuh puluh lima jurus. Dan selama 

itu, entah berapa kali pukulan, tendangan, dan 

gebukan guci Dewa Arak bersarang di sekujur tubuh 

Ki Kerpala, namun tanpa hasil apa-apa. Sementara 

setiap serangan Ki Kerpala, belum ada satu pun yang 

mengenai sasarannya. Memang dengan jurus 

'Delapan Langkah Belalang'-nya, tidak sulit bagi Dewa 

Arak untuk mengelakkan setiap serangan itu. 

Pada jurus keseratus delapan puluh, Dewa Arak 

melentingkan tubuhnya ke belakang dan bersalto 

beberapa kali di udara. Sementara Ki Kerpala yang 

sejak menginjak jurus keseratus tujuh puluh lima,


telah merasakan kalau serangan-serangan Dewa Arak 

telah mengendur, segera melompat memburu. Tidak 

dibiarkan lawannya memulihkan tenaga. 

"Hiyaaa...!" 

Tapi Dewa Arak sudah memperhitungkan hal itu. 

Sengaja sekarang ini serangannya agak dikendurkan, 

supaya lawan mengira dirinya lelah. Padahal, berkat 

keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', Arya hampir tidak 

pernah lelah. Setiap kali tenaganya mengendur, dia 

segera meminum araknya, dan seketika itu juga pulih 

kembali. Dia berlaku seperti itu untuk menghilangkan 

kewaspadaan lawan. 

Ternyata usahanya berhasil, karena Ki Kerpala 

sudah mulai terpancing dan memburunya penuh 

emosi. Di saat itulah, kedua tangan Dewa Arak 

dihentakkan ke depan, menggunakan jurus 'Pukulan 

Belalang'! 

Wuuusss...! 

Angin berhawa panas berhembus keras ke arah 

tubuh Ki Kerpala yang tengah berada di udara. Kakek 

berwajah hitam ini berteriak ngeri. Dan.... 

Bresss...! 

"Aaa...!" 

Pukulan jarak jauh itu telak bersarang di dada Ki 

Kerpala. Seketika itu juga tubuhnya terhempas jauh 

ke belakang, dan jatuh berdebuk di tanah dalam 

keadaan tanpa nyawa. Sekujur tubuhnya hangus. 

Tampak darah bercucuran dari mulut, hidung, dan 

telinganya. 

"Hhh...!" Arya menghela napas lega. Diangkatnya 

guci arak yang sejak tadi digenggam ke atas kepala, 

lalu dituangkan arak itu ke dalam mulutnya. 

Gluk... gluk... gluk...! 

Suara tegukan terdengar begitu arak itu memasuki


tenggorokannya. 

Prabu Nalanda dan Ki Temula bergegas meng-

hampiri Dewa Arak. 

"Terima kasih atas semua pertolonganmu, Arya," 

ucap Prabu Nalanda tanpa ragu-ragu. 

"Ah! Jangan berterima kasih padaku, Gusti Prabu. 

Berterima kasihlah pada Gusti Allah," elak Dewa Arak. 

Memang pemuda ini sudah bisa menduga kalau 

orang yang berdiri di hadapannya ini adalah seorang 

raja. 

"Apa yang kau katakan tidak salah, Arya. Tapi, 

sebagai seorang yang telah menerima pertolongan 

begitu besar, wajar kalau aku memberi sesuatu, 

sebagai tanda syukurku atas pertolongan Gusti Allah," 

ujar Prabu Nalanda, sambil tersenyum lebar. 

"Tapi, Gusti.. ," Arya mencoba membantah. 

"Kau harus menerimanya, Arya. Atau kau ingin 

mempermalukanku di hadapan seluruh prajuritku?" 

Dewa Arak tidak bisa membantah lagi. 

"Nah! Sebagai tanda terima kasihku pada Gusti 

Allah, kau akan kunikahkan dengan putriku, Arya," 

tegas Prabu Nalanda penuh wibawa, namun 

terdengar buru-buru. 

"Hah...?!" Dewa Arak melengak kaget. Ucapan 

Prabu Nalanda itu tak ubahnya petir di tengah hari. 

"Tapi, Gusti Prabu..." 

"Ingat, Arya. Jangan membantah perintah seorang 

raja...!" potong Prabu Nalanda cepat. 

Dewa Arak tertegun kebingungan. Dengan 

pandangan mata seperti orang bodoh, ditatapnya Ki 

Temula. Tapi kakek itu malah mengangkat bahu, lalu 

menghindari pandangan mata Dewa Arak. 

Di saat gawat itu, tiba-tiba berkelebat sesosok 

tubuh, dan tahu-tahu di dekat mereka telah berdiri


seorang gadis berpakaian putih. Wajahnya tampak 

cantik laksana dewi. Rambutnya panjang terurai. 

"Ayahanda..." sapa gadis itu lirih sambil memberi 

hormat pada Raja Bojong Gading itu. 

Prabu Nalanda menoleh ke arah Ki Temula. 

"lnilah wanita yang kuceritakan itu, Ki. Wanita 

perkasa yang telah menyelamatkanku beberapa 

minggu lalu, dari tangan maut Peri Muka Seratus 

ketika aku tengah berburu." jelas Raja Bojong Gading 

itu. "Sebagai tanda terima kasihku, kujadikan dia 

anakku." 

"Melati...," desah Dewa Arak terkejut. Sepasang 

matanya terbelalak melihat gadis yang dicintainya itu 

telah menjadi putri seorang raja. 

"Inilah putriku yang akan kujodohkan denganmu, 

Arya. Bagaimana, kau suka?" tanya Prabu Nalanda 

sambil tersenyum dikulum. Dia telah tahu ada 

pertalian cinta antara Melati, anak angkatnya dengan 

si Dewa Arak. Maka dia memang tidak ragu-ragu lagi 

untuk memutuskan demikian. 

Wajah Dewa Arak seketika memerah. Sungguh 

terbuka sekali Prabu Nalanda mengajukan 

pertanyaan seperti itu. Bahkan Melati sendiri sampai 

menundukkan wajahnya yang mendadak menyem-

burat merah. 

"Itu..., eh! Anu... terserah Gusti Prabu saja...," jawab 

Dewa Arak terbata-bata. 

"Jawablah sebagaimana seorang lelaki memberi 

jawaban, Arya," tegur Prabu Nalanda dengan suara 

penuh wibawa. 

Kian merah wajah Dewa Arak 

"Hamba setuju, Gusti Prabu." tegas Arya Buana 

"Bagus! itu baru jawaban seorang lelaki sejati!" puji 

Raja Bojong Gading ini dengan wajah berseri-seri.


"Tapi hamba punya satu permintaan, Gusti," 

sambung Dewa Arak cepat. 

"Apa itu, Arya? Katakan saja, jangan malu-rnalu." 

"Hamba ingin usul agar pernikahan dilaksanakan 

nanti saja. Masih banyak tugas yang harus 

kukerjakan, Gusti Prabu." 

Prabu Nalanda mengernyitkan keningnya, tapi 

sesaat kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Disadari banyak orang yang membutuhkan per-

tolongan Dewa Arak. 

"Aku tidak keberatan, Arya." 

"Ayahanda...," ucap Melati yang sejak tadi 

menundukkan kepalanya. Suaranya pelan sekali. 

"Ada apa, Anakku," sahut Prabu Nalanda. 

"Maafkan Ananda, Ayahanda. Ananda datang 

terlambat sehingga tidak bisa membantu Ayahanda 

menghadapi para pengacau itu " 

"Tidak mengapa, Anakku. Ayah pun memaklumi-

nya," jawab Prabu Nalanda sambil tersenyum. 

Memang, Raja Bojong Gading ini tahu kalau selama 

ini Melati sibuk mencari Dewa Arak, setelah 

didengarnya Arya ada di Kotaraja Kerajaan Bojong 

Gading ini. 

"Terima kasih, Ayahanda," ucap Melati seraya 

memberi hormat. "Ayahanda...." 

"Ada apa lagi, Anakku? Katakanlah...," tegas Prabu 

Nalanda, masih dengan senyum di bibir. 

"Hamba mohon pamit, Ayahanda. Hamba khawatir 

akan keselamatan guru hamba." 

Prabu Nalanda tersenyum maklum. Diusap-

usapnya rambut Melati yang hitam tebal itu. 

"Pergilah, Anakku. Tapi ingat, jangan lupakan 

Ayahmu ini. Sekali-sekali mampirlah kemari." 

"Akan kuusahakan, Ayahanda," sambut Melati


gembira mendapat persetujuan itu. 

"Hamba juga mohon diri, Gusti Prabu," pamit Dewa 

Arak pula. 

"Silakan, Arya. O, ya. Kalau sempat, sering-

seringlah datang kemari!" 

Dewa Arak hanya menganggukkan kepalanya, lalu 

segera melesat dari situ bersama Melati. Dalam 

sekejap saja tubuh keduanya sudah lenyap 

meninggalkan para prajurit dan perwira Kerajaan 

Bojong Gading. 

"Bagaimana kau bisa sampai kemari, Melati?" 

tanya Dewa Arak yang agak bingung melihat 

kemunculan Melati di sini. 

Melati menghela napas. Wajahnya yang semula 

cerah, mendadak muram. Tentu saja hal ini membuat 

Arya merasa tidak enak. 

"Sejak kita datang waktu itu, sebenarnya Kakek 

sudah terluka dalam. Tapi, Kakek tidak ingin aku 

mengetahuinya. Sampai akhirnya aku mengetahuinya 

sendiri. Maka cepat-cepat aku pergi mencarimu, 

karena kaulah yang telah membawa obat pulung itu." 

Arya terdiam. Ingatannya melayang pada Ki Julaga 

yang selalu dipanggil kakek oleh gadis itu (Untuk 

jelasnya, baca serial Dewa Arak, dalam episode "Cinta 

Sang Pendekar") Perlahan diambilnya sebuah 

gulungan kain dari jepitan sabuk di pinggangnya, 

kemudian diberikan pada Melati. 

"O ya, Kang. Kita kan sekarang sudah 

dijodohkan!?" ujar Melati, tak tahan menyimpan 

perasaannya sejak tadi. Ditatapnya lekat-lekat wajah 

Dewa Arak. 

"Benar! Seharusnya aku berterima kasih pada 

Prabu Nalanda. Kalau saja tidak ada beliau, mungkin 

aku belum resmi dijodohkan denganmu," goda Arya.


"Apa?!" pekik Melati. Sepasang matanya melotot 

"Enaknya!" 

Setelah berkata demikian, dicubitnya pinggang 

Arya, namun tidak keras. Arya malah membiarkannya 

dan menangkap tangan gadis itu. Pelahan dibawanya 

tangan itu ke mulutnya, dan dikecup lembut. Lama 

sekali baru dilepaskan kecupan itu. 

"Pergilah, Melati. Kakek menantikanmu," ucap Arya 

pelan, namun cukup jelas terdengar. 

"Tapi aku masih kangen, Kang," rajuk Melati 

sambil merangkul pinggang Arya. 

"Ya. Tapi di lain saat Kita kan masih bisa bertemu 

lagi," bujuk Arya dengan perasaan haru melihat Melati 

sangat membutuhkannya. 

Setelah puas melepas kerinduan, akhirnya Melati 

meninggalkan tempat itu. 

"Nanti kau mampir ya, Kang...," teriak Melati di 

kejauhan. 

"Pasti..., pasti Melati," teriak Arya pula sambil 

memperhatikan kepergian gadis yang disayanginya 

itu. 

Setelah bayangan Melati lenyap di kejauhan, Arya 

baru melangkahkan kakinya untuk menyongsong 

tugas-tugas lain yang telah menunggunya. Tugas 

selaku seorang pendekar pembela keadilan. 



                            SELESAI 


Share:

0 comments:

Posting Komentar