..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 07 Februari 2025

PENDEKAR KELANA SAKTI EPISODE DEWI JALANG DARI GUNUNG TUNGGUL

Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul

 

SATU

Gunung Tunggul tetap menyeramkan. Hutan-
hutan yang gelap serta semak-semak belukar tumbuh 
di sana sini. Dataran tanahnya banyak berbatu. Na-
mun sangat subur. Di situ pula banyak ditumbuhi 
alang-alang yang tinggi sebatas pinggang. Alang-alang 
itu terus menghampar sampai ke atas puncak.
Meski keadaan Gunung Tunggul sangat menye-
ramkan, udara di sekitar puncak amatlah sejuk dan 
segar. Bila angin berhembus, suaranya menderu-deru 
bagai iringan musik alam yang membuat pohon-pohon 
cemara hutan bergoyang-goyang.
Sesekali pula burung-burung beterbangan ber-
kelompok-kelompok meninggalkan sarangnya. Mereka 
terbang meliuk-liuk kemudian hinggap pada satu ban-
gunan yang nampaknya bekas sebuah kuil. Bangunan 
batu itu tetap tegar meski sudah sangat usang. Selu-
ruh dindingnya banyak ditumbuhi akar-akar pohon 
merambat. Juga lumut-lumut jamur hampir menutupi 
seluruh genting yang nyaris ambruk. Di sekitar pelata-
ran bangunan terkumpul tumpukan-tumpukan jerami 
kering.
Di situlah tempat pemukiman dua pendekar 
wanita penguasa Gunung Tunggul. Dua perempuan 
sakti dari aliran sesat itu dapat tinggal tenang, tanpa 
ada yang mengetahui di mana adanya bekas sebuah 
kuil. Murid dan guru yang sama-sama malang melin-
tang mengacaukan dunia persilatan kerap kali selalu 
turun gunung. Kehadiran mereka selalu mencemaskan 
orang-orang dari aliran lurus. Nama busuknya sebagai 
Penguasa Gunung Tunggul betul-betul sangat mena-
kutkan.
Tapi pagi ini mereka, murid dan guru, yang ti


dak lain Nilasari Grewek dan Srikaton Munggel, hanya 
berdiam diri dalam pemukiman mereka. Sang guru, Ni-
lasari Grewek yang telah berusia hampir tiga perempat 
abad dengan rambut yang memutih sebatas pinggang 
serta selalu mengenakan pakaian serba merah tengah 
duduk menikmati teh hangat ramuannya sendiri. Ia 
duduk bersila di sudut ruangan. Matanya tidak lepas 
menatap Srikaton Munggel murid tunggalnya. Perem-
puan cantik molek ini duduk di atas tumpukan jerami 
menatap keluar dengan pandangan yang kosong! Meli-
hat itu, Nilasari Grewek menggelengkan kepalanya.
"Berhari-hari kerjamu hanya memikirkan Gen-
tara Karma. Latihan ilmu pun kau tidak bersemangat. 
Mau jadi apa? Mau jadi Telembuk?" gerutu Nilasari 
Grewek. Srikaton Munggel tersadar dari lamunannya.
"Tapi Kakang Gentara Karma telah tewas, 
Guru. Kematiannya sangat mengenaskan. Siapa yang 
tidak kasihan mendengar tokoh hebat macam Kakang 
Gentara Karma." sahut Srikaton Munggel. Nenek be-
rambut putih ini seperti hendak tertawa mengekeh.
"Kau ini ada-ada saja. Dulu semasa aku mem-
pertunangkan kau dengan Gentara Karma, kau tolak. 
Kau bilang jorok, memuakkan, dan masih banyak lagi 
sumpah serapahmu, dulu, semasa Gentara Karma ma-
sih hidup, hubungan kalian bagaikan anjing dan kuc-
ing. Sekarang pasanganmu sudah mampus, bagaikan 
pungguk merindukan bulan. Lupakan saja soal ka-
kakmu itu. Yang kau pikirkan bagaimana kita dapat 
membalas dendam?"
"Balas dendam? Balas dendam terhadap siapa, 
Guru?.... Siluman Muka Buruk juga telah tewas." ja-
wab Srikaton Munggel.
"Dasar murid tolol. Musuh-musuh kita masih 
banyak di depan mata. Bagaimana pun aku tidak bisa 
melupakan Pendekar Kelana Sakti. Tindakannya mem

buat kita terhina di mata orang-orang persilatan. Kalau 
saja pendekar sialan itu tidak ada, Ki Wirayuda bersa-
ma Pendekar dari Bukit Sinimbung sudah kucabut 
jantungnya." Nilasari Grewek kertakan rahangnya. 
Kemarahannya tiba-tiba saja muncul saat teringat 
akan Pendekar Kelana Sakti.
"Satu-satunya penghalang cuma bocah ingusan 
itu. Dia harus disingkirkan terlebih dulu." sambung 
Srikaton Munggel.
"Nah, itulah yang sekarang tengah ku pikirkan, 
muridku. Persoalan Gentara Karma sudah basi. Masih 
banyak laki-laki di luar sana. Kupikir kau sangat can-
tik. Tubuhmu sangat molek menggiurkan. Siapa yang 
tidak tertarik denganmu!?" Setelah berkata begitu Nila-
sari Grewek menghirup habis teh hangat dalam cang-
kir bambu.
"Apakah kita berdua cukup mampu menghada-
pi Pendekar sialan itu? Ilmunya yang setinggi langit 
membuat kita lari morat marit. Aku khawatir kita ber-
dua akan celaka."
"Pendekar asal jadi itu setingkat denganku." ja-
wab Nilasari Grewek.
"Kenapa saat kita menggempur Ki Wirayuda ha-
rus lari?"
"Sekali lagi kubilang kau murid tidak punya 
otak!" Maki nenek berambut putih. Srikaton Munggel 
bergidik ketakutan.
"Hal itu dikarenakan adanya Siluman Muka 
Buruk. Saat itu kita memang betul-betul buta. Tidak 
tahu kelemahan Ilmu Mati Pamungkas. Tapi sukurlah 
sekarang bangsat itu sudah mampus."
Srikaton Munggel diam. Matanya tidak berkedip 
menatap gurunya bangkit berdiri. Nilasari melangkah 
ke depan pintu batu. Ia berdiri di situ memandang 
jauh keluar. Hembusan angin gunung menerpa rambut

putihnya. Pikirannya melayang mundur pada beberapa 
hari sebelumnya. Ketika mereka berdua menyatroni 
pemukiman Ki Wirayuda. Hal itu memang tidak bisa 
dilupakan. Nama besar Pendekar Gunung Tunggul be-
nar-benar telah tercoreng.
Belum pernah ia merasa gentar atau lari mun-
dur dari musuh-musuhnya. Wajah Pendekar Kelana 
Sakti membekas berat di lubuk matanya. Tentunya 
pendekar muda itu tengah disanjung-sanjung saat ini. 
Srikaton Munggel mengernyitkan alis melihat gurunya 
berdiri seperti menahan amarah. Murid tinggal ini 
mendadak kaget saat Nilasari hentakkan kedua tan-
gannya ke depan.
"Bledaaaar...!" Kiranya Nilasari Grewek le-
paskan satu hantaman. Pukulan jarak jauh itu merun-
tuhkan satu pohon kering yang ada di muka bangu-
nan. Itulah luapan amarah Nilasari Grewek. Nenek ke-
riput ini memang selalu begitu bila dilanda kemara-
han.
"Lihat, Srikaton! Hantaman Tombak Gunung 
akan menghancurkan tubuh pendekar sialan itu." kata 
Nilasari Grewek dengan nafas yang kian memburu.
"Be-benar, Guru. Pendekar Kelana Sakti tidak 
akan mampu menghadapi hantaman itu." sambut Sri-
katon Munggel memberi semangat. Seraya ia melang-
kah bangun mendekati gurunya.
"Guru pun harus mengajarkan jurus itu pada-
ku. Belum pernah kulihat ilmu yang sedahsyat ini...." 
Srikaton Munggel merayu.
"Belum saatnya, Srikaton. Belum saatnya. Kau 
tidak akan sanggup mempelajarinya sekaligus. Ini ter-
diri rangkaian jurus Jari Tombak dan Jari Pedang. 
Apakah kau sudah menguasai jurus keduanya?" ujar 
Nilasari Grewek. Srikaton Munggel menunduk.
"Bagaimana aku bisa melumpuhkan Pendekar

Kelana Sakti, kalau guru tidak memberi pelajaran ju-
rus itu." celetuk Srikaton.
"Heh! Pendekar ingusan itu bagianku! Biar 
olehku pendekar sial itu berjalan merangkak seperti 
anjing." Sumpah nenek keriput Nilasari Grewek. "Ba-
gianmu Ki Wirayuda dan pendekar Witasoma. Aku ya-
kin mereka berdua tidak akan mampu menghadapi 
engkau. Bersiaplah... Sebentar lagi kita akan turun 
gunung."
"Hari ini? Apakah tidak terlalu lelah?"
"Bila menunggu-nunggu lagi. Pendekar Kelana 
Sakti keburu merat. Ke mana kita mencari pendekar 
itu. Langkah-langkahnya sukar untuk dicari." jawab 
Nilasari Grewek. Ia kembali masuk menutupi semua 
jendela ruangan. Ruangan bangunan bekas kuil itu 
menjadi gelap. Srikaton Munggel melangkah keluar. Di 
pelataran bangunan, ia mengikuti gerakan-gerakan ju-
rus gurunya. Seolah-olah ia arahkan hantaman Tom-
bak Gunung pada sebuah pohon kering yang ada di 
hadapannya. Berulang-ulang ia lancarkan hantaman 
jarak jauh itu. Tapi pohon kering tetap berdiri tegak 
tak bergeming.
Hampir kesal ia menghadapi pohon kering yang 
berdiri diam menantang. Manakala ia terus melancar-
kan jurus Tombak Gunung. Diam-diam Nilasari Gre-
wek yang telah menutup pintu batu memandangi sam-
bil mengekeh. Diam-diam pula nenek keriput ini lan-
carkan hantaman yang serupa. Srikaton Munggel ter-
kejut dengan tiba-tiba. Karena pohon kering di hada-
pannya hancur berderak, maka.....
"Guru.... Aku bisa! Aku bisa!" Srikaton melon-
cat kegirangan.
"Bisa apa? Matamu Pecak? Aku tadi yang 
menghancurkan pohon itu. Kau belum sanggup untuk 
melakukannya, Srikaton. Jangan mimpi. Untuk mem

pelajari jurus Tombak Gunung, harus disertai kesung-
guhan yang bulat. Juga tidak memakan waktu yang 
sedikit." ujar Nilasari Grewek masih mementang jurus. 
Srikaton Munggel jadi malu.
Daerah itu di tumbuhi pohon-pohon besar. 
Nyaris gelap dan menakutkan. Namun bagi kedua 
pendekar wanita ini sama sekali bukan halangan. Dari 
puncak Gunung Tunggul sampai lereng memang dae-
rah kekuasaannya. Binatang apapun lari sembunyi bi-
la melihat mereka.
Dengan bebas tanpa halangan mereka menem-
bus lereng gunung. Keduanya menatap lapang tanah 
perbukitan tandus berbatu. Keduanya tidak langsung 
melanjutkan perjalanan. Karena mereka dapat melihat 
sesuatu yang menjadi perhatian.
"Nampaknya seperti sebuah iring-iringan. 
Guru." ujar Srikaton Munggel. Sang Guru tidak men-
jawab. Ia mempertajam mata tuanya. Lalu tak lama ia 
mengangguk-anggukkan kepala.
Iring-iringan berkuda itu makin lama makin 
dekat. Beberapa penunggang kuda memegangi bebera-
pa bendera. Di tengah-tengah iring-iringan itu sebuah 
tandu gemerlapan didukung enam orang. Di belakang-
nya berderet para pengawal berkuda.
"Hm, calon pengantin perempuan rupanya." 
gumam Nilasari Grewek. Srikaton Munggel tidak men-
gerti. Dia hanya diam mengawasi rombongan itu. "Me-
reka akan mempertemukan calon pengantin perem-
puan dengan pengantin laki-laki." gumamnya lagi. Sri-
katon makin tidak mengerti.
"Dari mana guru tahu kalau iring-iringan itu 
membawa calon pengantin perempuan?" tanya Srika-
ton Munggel.
"Tiga puluh tahun malang melintang dalam du-
nia persilatan rupanya membuat otakmu tambah beb

al. Tidakkah kau lihat bendera-bendera yang mereka 
bawa?" kata Nilasari Grewek seraya ia menarik kepala 
Srikaton Munggel agar dapat terlihat dengan jelas ir-
ing-iringan itu.
"Oh, bendera yang bergambar sebuah pedang 
dengan ular melingkar?" jawab Srikaton Munggel.
"Bukan bendera yang bergambar. Bendera itu 
menyatakan mereka dari perguruan 'Pedang Ular.' 
Yang kumaksud bendera-bendera yang berwarna me-
rah tersulam benang mas." Srikaton Munggel men-
ganggukkan kepalanya.
"Pasti calon pengantin perempuan itu berada 
dalam usungan tandu. Entah mereka mengadakan 
pertemuan di mana. Biasanya orang-orang aliran lurus 
selalu merahasiakannya." kata Nilasari Grewek, sikap-
nya hati-hati sekali agar tak terlihat oleh rombongan 
berkuda itu.
"Lalu apakah kita membiarkan orang-orang ali-
ran lurus melintasi sekitar lereng Gunung Tunggul?"
"Tidak akan, Srikaton. Tanganku selalu gatal 
bila melihat orang-orang aliran lurus." Nilasari Grewek 
kertakan tinju. Serta merta ia mendorong tubuh Srika-
ton Munggel. Meski dorongan itu perlahan, namun 
akibatnya sangat fatal. Tubuh Srikaton Munggel ter-
guling dahsyat.
"Guru...! Apa yang kau lakukan?" Srikaton 
Munggel memekik. Nilasari Grewek tidak menjawab. 
Malah ia melepaskan lagi hantaman-hantaman ringan 
ke arah Srikaton, murid tunggalnya. Sudah tentu mu-
rid tunggalnya itu tidak berani membalas atas perbua-
tan nenek berambut putih.
"Kau ingin membunuhku?" Srikaton Munggel 
berusaha mengelak.
"Murid tolol. Diam dan jangan berteriak, kita 
bermain sandiwara di hadapan mereka. " Srikaton ba

ru mengerti. Dirasakan hantaman-hantaman gurunya 
seperti menghalau ke arah rombongan itu. Tahu begi-
tu, Srikaton sengaja bergulingan. Tindakan mereka se-
perti tengah melakukan perkelahian sungguhan.
Sementara itu rombongan kuda jadi mendadak 
berhenti. Seorang setengah tua mengangkat tangan-
nya. Ia memimpin rombongan berkuda itu. Matanya ti-
dak lepas mengawasi perkelahian dua orang wanita. 
Nampak jelas sosok nenek keriput menghajar habis-
habisan seorang wanita yang jauh lebih muda.
Di dalam tandu duduk seorang wanita berumur 
dua puluhan lebih. Ia juga turut terheran-heran meli-
hat perkelahian tersebut. Ia dapat melihat langsung 
peristiwa itu.
"Paman, nampaknya nenek keriput itu! bukan-
lah orang baik-baik. Aku curiga ia dari aliran sesat. 
Rupanya pun amat buruk. Lihat saja tindakannya 
yang kelewat telengas." ujar gadis yang berada dalam 
tandu. Laki-laki yang mengangkat tangan ini memba-
wa kudanya ke samping tandu.
"Sekitar lereng Gunung Tunggul ini memang 
rawan, Umbayani. Aku khawatir tua. bangka itu pen-
guasa Gunung Tunggul." jawab lelaki setengah tua ini.
"Kalau begitu lerai saja mereka. Cari tahu siapa 
mereka berdua." perintah gadis bernama Umbayani. 
Tanpa menyahut pemimpin rombongan memacu ku-
danya. Langkah kudanya cepat menuju ke arah perke-
lahian. Lelaki itu langsung melompat dan hinggap di 
antara mereka.
"Nenek yang maha sakti, mohon hentikan se-
bentar. Persoalan apa kiranya yang membuat turun 
tangan begini kelewatan?"
Nenek keriput yang tidak lain Nilasari Grewek 
tidak menjawab. Malah ia melancarkan serangan pada 
laki-laki yang baru turun dari kuda. Sudah tentu laki

laki setengah tua ini jadi kelabakan.
"Jangan campuri urusanku. Biar aku si tua 
majikan Gunung Tunggul menghajar sampai mampus 
perempuan ini!" bentak Nilasari Grewek, sebelah tan-
gannya menyambar melepaskan hantaman. Serta mer-
ta lelaki yang tidak tahu menahu itu menjadi sasaran. 
Meski ia menangkisnya, tak urung tubuhnya ter-
huyung akibat pukulan yang sangat keras itu.
"Kalau begitu engkau seorang tokoh aliran se-
sat yang selama ini meresahkan rimba persilatan." Le-
laki ini menarik tubuh Srikaton Munggel yang berpura-
pura mencari perlindungan.
"Siapa pun tidak ku ijinkan melintasi lereng 
Gunung Tunggul. Siapa pun bagusnya jadi mayat 
penghias di sini!" Nenek berambut putih mengembang-
kan jurus-jurusnya. Srikaton Munggel nampak keta-
kutan sekali, ia memegangi tubuh laki-laki yang ber-
maksud melindungi. Tapi malah berakibat memba-
hayakan. Hantaman Nilasari tidak bisa dielakkan. 
Hantaman itu masuk ke bagian dada, sampai jatuh 
terguling.,
"Nenek keriput! Kebetulan aku akan mering-
kusmu!" bentak lelaki itu bangkit balas menerjang. 
Menghadapi kemarahannya, Nilasari Grewek agak ked-
er. Pemimpin rombongan berkuda agaknya tidak dapat 
dianggap main-main. Terjangannya disertai pukulan 
yang beruntun. Sambil mundur nenek berambut putih 
itu memapaki serangan-serangan itu. Tapi sekali ia 
melepaskan hantaman Tombak Gunung, pemimpin 
rombongan ini memekik dengan tubuh yang terlempar 
jauh terasa tulang-tulangnya remuk. Dalam urutan 
perguruan Pedang Ular, laki-laki ini tergolong cukup 
berilmu tinggi. Ia bernama Rakadewa Geni. Makanya ia 
cukup mampu menahan hantaman Tombak Gunung 
yang sangat ampuh itu.

Dengan seloyongan Rakadewa Geni bangkit 
mencabut pedang dari pinggangnya. Melihat pemimpin 
rombongan ini tidak main-main menghadapi seorang 
tokoh aliran sesat. Semua anak buahnya turun tan-
gan. Mereka serempak maju mengepung. Melihat itu 
pun Srikaton Munggel berlari ke belakang dengan si-
kap ketakutan.
Sambaran pedang Rakadewa Geni berkelebat 
bagai kiciran angin. Serangan-serangan itu gencar 
mencecar nenek berambut putih yang bergerak-gerak 
berkelit menghindari sambaran pedang. Manakala be-
lasan orang mulai maju melepaskan serangan pula. Ni-
lasari Grewek makin kewalahan. Namun menghadapi 
itu semua nenek keriput itu hanya mengekeh men-
gumbar tawa, Gerakannya yang sangat ringan menepis 
tiap-tiap sambaran pedang. Bahkan sekali ia memba-
las serangan, tiga sampai lima orang jatuh menyembur 
darah.
*
**
DUA


Nenek berambut putih terus melepaskan seran-
gan balasan meskipun sambaran-sambaran pedang se-
lalu nyaris nyerempet di tubuhnya. Rombongan pen-
gantar calon pengantin perempuan makin gigih men-
desak. Apalagi setelah dilihatnya beberapa orang te-
mannya berjatuhan terluka parah.
Rakadewa Geni lepaskan jurus-jurus maut per-
guruan Pedang Ular. Tapi jurus-jurus itupun nampak-
nya tidak berarti. Untunglah ia dibantu dengan bela-
san orang para pengikutnya. Sehingga Nilasari Grewek

agak sukar lepaskan hantaman Tombak Gunung.
Dalam hal ini Nilasari Grewek tidak henti-
hentinya memaki. Serangan lawan-lawannya pating se-
rabut lancarkan babatan-babatan pedang. Hingga 
nampak nenek berambut putih itu di kelilingi dengan 
gulungan-gulungan sinar pedang yang mematikan.
Sebenarnya pula serangan-serangan itu amat-
lah mudah dielakkan. Karena Nilasari Grewek yang 
jauh memiliki kepandaian selalu bisa berkelit meng-
hindari, maka dalam satu kesempatan ia lepaskan juga 
hantaman Tombak Gunung.
"Bledaaaar...!" Jurus itu selain aneh, juga diser-
tai dengan tenaga yang sangat tinggi. Tak urung dari 
hantaman itu bergulingan lima orang sekaligus. Derak 
tulang iga mereka yang patah sampai terdengar mengi-
lukan. Dan kelima orang itu ambruk tak berkutik ba-
gai tumpukan-tumpukan sampah.
Melihat itu pun Rakadewa Geni tidak tanggung-
tanggung lancarkan serangan. Babatan pedangnya ce-
pat berputar menyilang. Lalu memutar lagi ke arah 
bawah, selalu begitu. Membuat Nilasari Grewek agak 
kewalahan. Menghadapi pemimpin rombongan ini me-
mang harus mementang mata. Kalau tidak entah jadi 
apa tubuh renta Nilasari Grewek.
Sambil terus berkelit, nenek keriput penguasa 
Gunung Tunggul mencari-cari kesempatan. Gerakan-
nya selalu dibayang-bayangi oleh beberapa orang la-
wannya yang masih tersisa. Kedua tangannya mengi-
bas-ngibas bergulung memapaki tiap-tiap serangan.
Ringan saja Nilasari Grewek memutar kedua 
lengannya, tapi malah berakibat sangat meyakinkan. 
Tiga orang lawan jatuh terguling. Hal itu menjadi satu 
kelonggaran nenek berambut putih lepaskan Tombak 
Gunung. Serta merta kedua tinju keriput Nilasari Gre-
wek menjurus ke depan mengarah pada Rakadewa Ge

ni.
"Blaaaaar...!" Rakadewa Geni tidak sempat 
menghindar, ia memekik keras dengan tubuh terbant-
ing. Dua kali ia terkena hantaman yang dahsyat itu. 
Sebagai orang berilmu tinggi, hantaman itu bagi Raka-
dewa Geni cukup hanya menyemburkan darah. Tidak 
fatal seperti para pengikutnya.
Lawan-lawan Nilasari Grewek tinggal beberapa 
orang termasuk Rakadewa Geni, gadis dalam tandu 
bukannya tidak melihat pertarungan itu, apalagi sepa-
ruh para pengawalnya jatuh luka parah, ada juga yang 
sampai tewas. Ia murka sekali.
Srikaton Munggel yang masih berada di situ 
pura-pura berlari ketakutan. Dengan tubuh yang ge-
metar penuh luka memar ia menuju ke arah tandu. 
Srikaton Munggel sudah dapat melihat seorang gadis 
duduk dalam tandu berlapis sutra.
"Nona.... Tolong, iblis itu bisa membantai kita 
semua! Cepat nona, bertindaklah...!" Srikaton Munggel 
memohon-mohon di samping tandu. Umbayani sendiri 
memang sudah tidak sabaran ingin turun tangan. Ma-
kin lama para pengawalnya habis bergelimpangan di 
bawah kaki nenek penguasa Gunung Tunggul, paman-
nya sendiri, Rakadewa Geni sudah keteter terus mene-
rus menyambut hantaman Tombak Gunung.
"Nona yang berilmu tinggi, mohon cepat mem-
bantu mereka. Iblis tua itu tidak pernah main-main." 
Srikaton Munggel merengek-rengek.
Maka saat itu pula tandu berlapis sutra berde-
rak hancur. Kain sutra yang tipis sebagai tirai peng-
hias hancur menjadi serpihan-serpihan kain, Begitu 
juga dengan tandu yang bagus berukir gemerlapan. 
Dari situ sosok ramping Umbayani melesat berjumpali-
tan di udara. Umbayani hinggap di tanah tanpa bersu-
ara.

Mata Srikaton Munggel tidak berkedip. Bukan 
melihat kehebatan ilmu peringan tubuh Umbayani, ta-
pi karena benda yang ada dalam genggaman gadis itu. 
Sebilah pedang berwarna keemasan.
Pedang itu meliuk-liuk bagai tubuh ular. Pan-
jangnya satu meter lebih. Setiap kali Umbayani berge-
rak Pedang itu membiaskan sinar keemasan. Itulah 
Pedang Ular Emas. Pusaka turun temurun perguruan 
'Pedang Ular'.
Kebetulan sekali Srikaton Munggel dapat meli-
hat sekarang. Maka sandiwara itu telah usai. Serta 
merta Srikaton Munggel melesat cepat bagai angin 
menjurus ke arah Umbayani. Gadis itu tidak me-
nyangka kalau pedang ular dalam genggamannya ter-
lepas, Srikaton Munggel cepat merebutnya dari geng-
gaman Umbayani. Gadis itu pun menghardik dengan 
suara keras.
"Bangsat! Kembalikan pedang itu, kalau ti-
dak...?" Srikaton Munggel tidak perduli. Ia terus berlari 
ke arah Nilasari Grewek. Nenek berambut putih itu se-
karang tengah menghadapi Rakadewa Geni seorang di-
ri. Para pengikutnya yang belasan telah bergelimpan-
gan di tanah.
"Murid goblok, kenapa harus lari meninggalkan 
mangsa. Cepat habiskan calon pengantin perempuan 
itu!" bentak Nilasari Grewek. Tangannya menampar 
muka Rakadewa Geni. Lelaki inipun terjatuh untuk 
yang kesekian kalinya.
"Terkutuk! Rupanya kalian sengaja memper-
mainkan aku! Kalian akan tahu rasa akibatnya!" Um-
bayani berdiri murka. Lalu ia keluarkan jurus-jurus 
tangan kosong. Rakadewa Geni sudah bangkit siap 
lancarkan serangan lagi. Ia sampai terheran-heran me-
lihat pedang Ular Emas berada di tangan Srikaton 
Munggel. Malah perempuan penuh luka memar itu se

karang berdiri berdampingan dengan nenek penguasa 
Gunung Tunggul.
"Dasar mata kalian pecak semua. Tidak kenal-
kah kalau kami berdua adalah para pendekar sesat 
Gunung Tunggul? Hik... hik... hik... hik...! Sungguh 
bodoh. Sudah mengantarkan nyawa, harus pula kehi-
langan pusaka." ujar Nilasari Grewek.
Sudah tentu ucapan itu membuat para pende-
kar Pedang Ular makin sengit. Maka serta merta Um-
bayani dan Rakadewa Geni menyerang serempak. Se-
belumnya Umbayani si calon pengantin meraih pedang 
anak buahnya yang tergeletak di tanah. Keduanya ma-
ju melancarkan babatan-babatan pedang.
Srikaton Munggel tenang menyambut. Ia mena-
rik keluar Pedang Ular Emas dari sarungnya. Maka ter-
lihatlah pedang yang lebih langsing. Bersinar keema-
san menyambut sambaran pedang kedua lawannya......
"Traaakk!.... Traaaaak!" Pedang Umbayani 
maupun Rakadewa Geni patah dua. Tapi mereka terus 
lancarkan serangan meski pedang dalam tangan mere-
ka kuntung.
"Guru, biar kedua pendekar-pendekar tolol ini 
menjadi bagianku. Sekalian ingin mencoba keampu-
han pusaka Pedang Ular Emas. Hreaaaaaa...!" ujar Sri-
katon tanpa mundur menyambut dua serangan dari 
arah berlawan.
"Bikin habis mereka, Muridku! Orang-orang ali-
ran lurus pantang berdiri di sekitar Gunung Tunggul!" 
jawab Nilasari Grewek mengekeh.
Murid tunggalnya makin bersemangat. Ia mera-
sakan ada suatu kejutan dalam membalas serangan. 
Pedang Ular Emas dapat mempengaruhi setiap gera-
kan Srikaton Munggel. Sambaran pedangnya cepat dua 
kali lipat. Saat berkelebat pedang itu hampir tidak ke-
lihatan. Hanya desingan angin yang terdengar.

Umbayani yang tergolong paling tinggi dalam 
perguruan Pedang Ular betul-betul merasa tidak ber-
kutik. Apalagi Rakadewa Geni. Keduanya jatuh ban-
gun.
Srikaton Munggel tidak menyadari kalau kehe-
batannya makin bertambah saat menggunakan pedang 
itu. Maka sekali ia babatkan memutar. Tubuh Raka-
dewa Geni berguling bersama penggalnya kepala lelaki 
itu. Darah menyembur dari tubuh kelojotan tanpa ke-
pala. Umbayani gusar tidak kepalang. Tapi ia pun ha-
rus mengalami nasib sial. Sabetan Pedang Ular Emas 
menghantam perutnya. Umbayani memekik. Tubuh 
rampingnya menggelosoh lemas ke tanah. Lalu diam 
tak berkutik.
Dua penguasa Gunung Tunggul masih berdiri 
memandangi tubuh-tubuh yang bergelimang darah. Ia 
seperti puas melihat belasan orang tumpang tindih di 
sekitar tempat itu.
"Hik-hik-hik-hik...! Tuntas sudah semua. Itu 
berarti riwayat perguruan Pedang Ular sudah tamat. 
Hik-hik-hik-hik...!"
*
**
TIGA


Tragis memang. Umbayani pewaris terakhir 
perguruan Pedang Ular. Sekarang pusaka milik mereka 
pun telah lenyap. Nasib Umbayani belum dapat dipas-
tikan. Luka di perutnya sangatlah parah. Tapi kalau 
nasib pamannya, Rakadewa Geni jelas sudah. Ia tewas 
dengan kepala terpisah. Yang lebih mengenaskan lagi 
dikarenakan oleh pusakanya sendiri.

Dulu semasa ayah Umbayani masih memegang 
tampik sebagai majikan perguruan Pedang Ular, paling 
pantang ia mendengar para murid atau kerabatnya di-
hina orang. Apalagi mengetahui putrinya yang cuma 
satu-satunya ini mengalami nasib seperti sekarang. 
Pastilah mati hidupnya dipertaruhkan untuk membela.
Nasib tak dapat dirobah. Orang sakti gagah be-
rani macam ayah Umbayani tidak berumur panjang. Ia 
tewas karena sakit setahun yang lalu. Kalau saja ia 
dapat hidup bertahan dua sampai tiga tahun lagi, su-
dah tentu majikan perguruan Pedang Ular dapat men-
gantar putrinya mempertemukan calon pengantin pria.
Umbayani memang sudah dijodohkan dengan 
seorang putra dari Resi Wesakih. Ayah Umbayani su-
dah mengikat tali pertunangan semasa Umbayani ka-
nak-kanak. Sebagai anak berbakti pada orang tua 
Umbayani tidak dapat menolak. Bagaimanapun Um-
bayani harus menikah dengan Arso Lumbing putra Re-
si Wesakih. Tapi selama ia hidup, belum pernah Um-
bayani melihat bagaimana rupa calon suaminya itu.
Ayah Umbayani cuma berpesan saat-saat akhir 
hidupnya. Bahwa calon suaminya itu memiliki Pedang 
Ular Emas juga. Dan hari pertemuannya sudah diten-
tukan tanpa bisa diundur-undur lagi. Adapun Pedang 
Ular Emas yang dimiliki calon pengantin pria itu, tidak 
lain buatan Resi Wesakih sendiri. Resi itu sengaja 
membuatnya atas persetujuan Ayah Umbayani sebagai 
tanda. Orang yang paling dekat dengan Umbayani sete-
lah ayahnya wafat adalah Rakadewa Geni, pamannya. 
Dia pula yang ,mewakili ayah Umbayani mengantarkan 
ke pertemuan sepasang pengantin.
Tapi apa mau dikata, malapetaka datang tanpa 
diundang. Orang-orang perguruan Pedang Ular menga-
lami musibah luar biasa. Dua pendekar wanita sesat 
penguasa Gunung tunggul telah merubah segalanya.

Umbayani tetap terbaring. Bergetar ia membu-
ka kedua kelopak matanya. Ia tidak tahu macam apa 
luka di perutnya itu. Yang ia rasakan hanyalah rasa 
sakit yang begitu hebat.
Samar-samar dilihatnya para pengawal berse-
rakan tanpa nyawa. Di sebelahnya terbaring tubuh 
tanpa kepala. Tapi setelah ia melihat kutungan kepala 
yang tidak jauh dari situ, Umbayani hampir memekik. 
Matanya berkunang-kunang lagi. Pandangannya jadi 
gelap. Lapat-lapat ia mendengar suara derap langkah 
kuda. Tapi ia hanya mampu mendengar sampai seba-
tas itu. Ia tidak kuat bertahan lama, tubuhnya kembali 
terkulai lemas. Ia pingsan.
Kiranya si penunggang kuda itu seorang pemu-
da yang kebetulan melintasi daerah itu. Langkah ku-
danya dipercepat saat mendekati sosok-sosok berge-
limpangan. Sebuah benda panjang berguncang-
guncang saat kudanya berlari cepat. Benda itu terse-
rong di punggung. Benda sepanjang satu meter lebih 
terbungkus kain sutra berwarna putih.
Pemuda itu langsung turun dari kuda dan me-
meriksa satu demi satu sosok-sosok bergelimpangan 
itu. Semuanya tidak ada harapan. Mereka telah tewas. 
Ia bergidik pula saat melihat sosok bersimbah darah 
tanpa kepala. Tapi justru melihat itu pandangannya 
membentur pada seorang gadis cantik terbaring den-
gan luka di sekitar perut.
Ia langkahkan kakinya ke situ. Gadis itu tidak 
luput dari pemeriksaannya. Dan pemuda ini benar-
benar membelalakkan matanya. Betapa tidak, saat ia 
memijit urat nadi pada leher gadis itu, masih berde-
nyut meskipun lemah.
"Astaga.... Dia masih hidup. Rupanya pertem-
puran baru saja terjadi." kata pemuda itu dalam hati.
"Darahnya pun masih segar, tapi syukurlah sudah tidak mengalir lagi." gumamnya, ia menarik ikat 
pinggangnya yang dari kain. Lalu ia balut melilit menu-
tupi luka Umbayani.
"Kasihan.... Sayang aku tidak membawa obat-
obatan. Tapi tak apalah kalau lukanya tertutup akan 
lebih aman. Mudah-mudahan saja gadis ini masih da-
pat bertahan. Karena aku akan membawanya ke Desa 
Sungkawarang. Kebetulan desa itu tidak jauh lagi. Aku 
bisa meminta pertolongan pada Ki Wirayuda di sana." 
Selesai membalut, pemuda ini mengangkat tubuh Um-
bayani. Hati-hati sekali ia meletakkan di atas pung-
gung kuda.
Tak lama pun kuda itu meninggalkan bekas 
arena pertempuran. Selama dalam perjalanan, pemuda 
ini menjaga agar tubuh si gadis tidak terguncang, 
meskipun demikian benda yang terselubung kain sutra 
terus bergoyang-goyang di punggungnya.
***
Kematian Nyi Andini membuat Ki Wirayuda pa-
tah semangat. Sudah lebih satu minggu ia tidak mela-
tih para muridnya. Menyadari akan kekalutan sang 
guru, murid-muridnya ini sengaja berlatih sendiri, Ki 
Wirayuda tidak melarang. Ia menghabiskan waktunya 
dengan menyendiri dalam ruangan khusus.
Wintara agak kerasan berada dalam pemuki-
man Ki Wirayuda. Sekalipun sikap Ki Wirayuda agak 
kurang enak. Pendekar Kelana Sakti ini menyadari ka-
lau Ki Wirayuda seorang yang 'Dingin' bergaul. Untun-
glah Wintara bisa menempatkan diri. Kalau sampai 
saat ini Wintara masih berada dalam pemukiman Ki 
Wirayuda, ia masih yakin kalau di tengah kekalutan 
ini akan muncul tokoh-tokoh sesat macam Nilasari 
Grewek dan Srikaton Munggel.

Pendekar Kelana Sakti ini hanya sendirian se-
bagai tamu di antara orang-orang Ki Wirayuda, karena 
Wita Soma, Pendekar yang sama-sama melumpuhkan 
Gentara Karma telah kembali membawa kepahitannya 
ke Bukit Sinimbung.
Diam-diam pula orang-orang Ki Wirayuda me-
rasa kagum akan kehebatan Pendekar Kelana Sakti 
ini, untuk itu mereka selalu melayani Wintara seba-
gaimana layaknya seorang tamu. Entah kapan Wintara 
akan meninggalkan pemukiman itu, mungkin nanti se-
telah situasi benar-benar tenang.
Namun di tengah-tengah kekalutan itu menda-
dak saja jadi bising. Pintu gerbang seperti digedor 
orang secara paksa. Beberapa murid yang tengah lati-
han ini menjadi terkejut. Wintara hanya berdiri men-
gawasi kegaduhan itu. Ki Wirayuda yang tengah men-
gasingkan diri dalam ruangan khusus, tersentak 
bangkit. Pintu gerbang semakin. kencang berderak 
berkali-kali.
Seorang murid bermaksud membukakan pintu, 
Tapi sebelum tangannya membuka palang pintu, se-
buah benda tajam keemasan dari balik pintu member-
sit keras. Pintu gerbang terbelah dua. Bahkan samba-
ran pedang itu menembus pada orang yang bermaksud 
membuka pintu gerbang. Tak ayal orang itu langsung 
memekik kelojotan. Dari atas muka sampai ke perut 
nyaris terbelah dua pula.
Semua orang yang berada di situ menatap nge-
ri, namun serempak pula mereka semua berlari meng-
hambur ke arah pintu. Nampaklah dua orang perem-
puan tertawa menyeringai. Siapa lagi kalau bukan Sri-
katon Munggel dan gurunya. Pedang di tangan Srika-
ton Munggel masih bersimbah darah.
Melihat itu pun Ki Wirayuda yang berada dalam 
ruangan khususnya langsung berjingkat lari. Cepat

cepat ia meraih pedangnya yang tergantung di dinding. 
Wintara sudah dapat menerka apa yang akan dilaku-
kan Ki Wirayuda. Maka sebelum Ki Wirayuda bertin-
dak, Wintara menghadapi dua perempuan sesat itu le-
bih dulu. Anak buah Ki Wirayuda segera menyingkir 
saat Wintara berhadapan dengan dua pendekar wanita 
itu.
"Hik-hik-hik...! Bagus kau masih tetap berada 
di sini, Pendekar sialan. Kedatangan kami kemari me-
mang sengaja untuk mengambil kepalamu!" ujar Nila-
sari Grewek.
"Aku khawatir ucapanmu itu akan terbalik, Ne-
nek sakti." jawab Wintara tenang.
"Terhadap orang-orang aliran lurus tidak perlu 
banyak basa-basi, Guru. Musuhmu sudah ada di de-
pan mata, langsung labrak saja!" kata Srikaton Mung-
gel. Wintara melirik ke arahnya. Pedang Ular Emas be-
rada di tangan perempuan itu, sebuah pedang yang 
meliuk-liuk bagai tubuh ular berwarna keemasan.
*
**
EMPAT


"Perempuan-perempuan setan! Kalian hanya 
mengantar nyawa datang ke sini!" Tiba-tiba saja Ki Wi-
rayuda menerjang dengan babatan pedangnya. Srika-
ton yang sedari tadi menunggu-nunggu kehadirannya 
melesat menyambut.
"Mari kita perhitungan, Ki Wirayuda...!" Tubuh 
Srikaton berjumpalitan di udara seraya ia memutar 
Pedang Ular Emas. Tapi mana mau Wintara membiar-
kan tindakan itu. Cepat pula ia bergerak mundur lancarkan pukulan ke atas.....
"Bug!" Tepat mengenai pinggang Srikaton 
Munggel. Perempuan itu memekik hinggap dengan 
sempoyongan. Bahkan ia hampir saja kena sambaran 
pedang Ki Wirayuda.
Ternyata nenek sakti penguasa Gunung Tung-
gul pun tidak tinggal diam. Serta merta ia maju menju-
rus ke arah Wintara. Pendekar Kelana Sakti ini tidak 
kalah siap. Hantamannya menyambut serangan Nila-
sari Grewek. Terhadap perempuan berusia lanjut ini 
Wintara tidak segan-segan lancarkan pukulan keras. 
Karena ia tahu siapa adanya Nilasari Grewek. Terasa 
sekali hantaman-hantaman nenek itu sangat memati-
kan. Jurus-jurus Jari Tombak mengais-ngais menga-
rah jantung, tidak henti-hentinya Wintara keluarkan 
jurus Menyibak Tirai Bayu, sehingga hantaman-
hantaman Jari Tombak selalu meleset.
Saat itu lima jurus pedang sudah membentang 
di hadapan Ki Wirayuda. Ia sendiri sudah kewalahan 
menghindari sambaran-sambaran Pedang Ular Emas. 
Tidak menyangka pula kalau Srikaton Munggel kini 
demikian hebat. Sukar sekali bagi Ki Wirayuda untuk 
membalas serangan.
Kepandaian Srikaton Munggel memang seting-
kat lebih tinggi dari Ki Wirayuda, Srikaton Munggel 
sudah berada di atas angin. Apalagi sekarang ia meng-
gunakan Pedang Ular Emas. Manakala pedang itu te-
rus menyabet berkali-kali. Dengan nekad ia menyam-
but lancarkan babatan pedangnya. Tapi yang ia lihat 
sungguh diluar dugaan. Sambaran pedang Srikaton 
Munggel yang berkali-kali menghantam memutuskan 
pedang Ki Wirayuda menjadi potongan-potongan besi 
mengkilat.
Pedang di tangan Ki Wirayuda benar-benar pu-
pus. Yang tersisa tinggal beberapa senti lagi dari gagang pedang. Mana mampu ia menggunakan pedang 
itu lagi. Terpaksa pula ia menghadapinya dengan tan-
gan kosong.
"Sudah kubilang, Ki Wirayuda. Kau harus tahu 
akibat perbuatan mu terhadap Kakang Gentara Karma! 
Kau harus menebusnya dengan nyawamu!" Kuat-kuat 
Srikaton Munggel lepaskan babatan pedang.....
"Swwwwiiiiiiiiit...!" Ki Wirayuda cepat bergulir. 
Meski cepatnya ia menghindar, tak urung punggung-
nya kena sambar juga.
"Ha-ha-ha-ha-ha...! Sebentar lagi kepalamu 
yang akan menggelinding!" Srikaton Munggel makin 
sengit lancarkan serangan.
"Perempuan sundal! Kita boleh mati bareng!" 
ujar Ki Wirayuda. Tubuhnya menjadi bulan-bulanan 
Srikaton Munggel yang terus menerus mencecar den-
gan babatan pedang. Terpaksa pula Ki Wirayuda ber-
gulingan untuk menghindarinya.
Melihat itu pun, Wintara sempat meninggalkan 
pertarungannya dengan Nilasari Grewek. Gerakannya 
yang cepat bagai angin memapak serangan Srikaton 
Munggel. Perempuan itu tidak menyangka kalau Win-
tara akan menyerang secara mendadak.
Tahu-tahu saja hantamannya bersarang di pe-
rut, sudah tentu ia gagal melepaskan babatan pedang-
nya terhadap Ki Wirayuda. Ia memaki habis-habisan. 
Saat itu pun telah datang Nilasari Grewek di samping 
Srikaton Munggel.
"Pengecut! Kau lawanku Pendekar ingusan!" 
bentak Nilasari Grewek, nampaknya ia tak mau keha-
bisan lawan.
"Kalian boleh berdua menghadapi aku perem-
puan-perempuan sesat!" jawab Pendekar Kelana Sakti. 
Ki Wirayuda sudah berdiri siap lancarkan serangan lagi.

"Mari kita hadapi bersama kedua wanita busuk 
ini, Wintara."
"Hem.... Bagaimana keadaanmu, Ki?" kata Win-
tara terus mengawasi gerak gerik dua perempuan pen-
guasa Gunung Tunggul.
"Tidak apa-apa. Selama berada di sampingmu 
aku tidak perlu takut." jawab Ki Wirayuda mantap.
"Jangan selalu berharap keselamatanmu bera-
da di tanganku. Dua wanita ini memiliki ilmu yang 
tinggi. Salah-salah kita berdua bakal tewas."
"Kenapa harus kasak kusuk macam anjing gu-
dik! Hadapi ini!" Nilasari Grewek menghardik seran-
gannya deras lepaskan dua hantaman sekaligus.
"Cwwiiiiiiiit...!" Pedang Ular Emas di tangan Sri-
katon Munggel berdesing menyambar kepala mereka. 
Tidak kepalang Wintara lepaskan hantaman Tinju 
Bayu Delapan Penjuru. Maka kedua perempuan ini 
mendadak mundur. Keduanya merasakan benturan 
hantaman itu demikian kerasnya.
Demi keadaan mereka yang mulai mundur-
mundur itu, Ki Wirayuda makin bersemangat lancar-
kan serangan, meskipun dengan tangan kosong. Puku-
lannya menderu-deru ke arah Nilasari Grewek.
Tentu saja hal itu merupakan tindakan yang 
salah. Dia lupa akan siapa adanya Nilasari Grewek. 
Serta merta nenek berambut putih ini lepaskan sebuah 
hantaman keras....
"Deeeer!" Ki Wirayuda memekik hebat, tubuh-
nya mencelat sangat jauh dan jatuh berdegum di ta-
nah menyemburkan darah. Kiranya hantaman Tombak 
Gunung telah mematahkan beberapa tulang iganya.
Meski dalam keadaan terluka itu Ki Wirayuda 
tetap bangkit bermaksud membalas serangan. Wintara 
yang sibuk menghadapi , babatan-babatan Pedang 
Ular Emas sempat melihat Ki Wirayuda jatuh bangun

terkena hantaman Tombak Gunung Nilasari Grewek. 
Maka demi melihat itu Wintara tidak tanggung-
tanggung lepaskan hantaman paling dahsyat....
"Buuuug!" Bayu Menghempas Gelombang 
membuat Srikaton Munggel terhuyung mundur. Pada 
kesempatan itu Wintara meninggalkan lawannya. Lesa-
tan tubuh pemuda kekar ini langsung hinggap meng-
hadapi Nilasari Grewek.
Nenek berambut putih ini sudah tahu akan ke-
datangan Pendekar Kelana Sakti. Maka Nilasari Gre-
wek langsung menyambut dengan Tombak Gunung-
nya. Demikian pula dengan Wintara. Sebagai seorang 
pendekar yang banyak makan pengalaman ia tidak 
hanya berdiri mematung menunggu serangan lawan. 
Hantaman Tinju Bayu Delapan Penjuru dihempaskan-
nya di hadapan Nilasari Grewek, maka:
"Bledaaaaar...!" Kedua hantaman mereka bera-
du nyaring. Nilasari Grewek memekik terhuyung ke be-
lakang. Hampir saja ia terjatuh terserimpat kakinya 
sendiri. Wintara hanya terdorong dua langkah. Namun 
sebenarnya hantaman nenek berambut putih ini men-
gena telak di tubuh Pendekar Kelana Sakti. Namun 
Wintara bisa menyembunyikan rasa sakitnya.
Srikaton Munggel berjingkat maju. Pedang Ular 
Emas terhunus ke depan. Ia belum berani maju. Sen-
gaja ditunggunya Nilasari. Dan mereka bisa melancar-
kan serangan berdua.
"Mari kita kepruk bersama-sama pendekar sial 
ini, Guru!" Srikaton Munggel mementang jurus. Nilasa-
ri berdiri di samping murid tunggalnya. Ia kerahkan 
tenaga dalamnya untuk melepaskan pukulan Tombak 
Gunung lagi.
Melihat keduanya murka, Wintara bersiap-siap 
pula dengan pukulan-pukulan ampuhnya.
Dua perempuan penguasa Gunung Tunggul ini

memang berniat menyerang serempak. Maka Nilasari 
Grewek memberi aba-aba dengan dengusan nafasnya. 
Keduanya maju menerjang. Srikaton Munggel lepaskan 
babatan-babatan pedang menyilang sekuat tenaga. Ni-
lasari Grewek lontarkan hantaman Tombak Gunung 
disertai tenaga
dalam penuh. Pedang bergulung-gulung bercui-
tan juga hantaman-hantaman nenek berambut putih 
menderu-deru menyambar keras.
Wintara mundur selangkah memapaki hanta-
man Nilasari Grewek, juga ia harus merunduk serta 
berkelit menghindari babatan Pedang Ular Emas. Tapi 
ia masih sanggup lepaskan pukulan Bayu Menghem-
pas Tebing.....
"Splaaaak!" keduanya seperti terhuyung. Se-
rangan Wintara tidak berhenti sampai disitu. Serta 
merta ia melanjutkan serangannya lagi dengan Puku-
lan Tinju Rayu Delapan Penjuru.... '
"Blaaaaaaar!"
Keduanya kontan bergulingan. Keduanya pula 
menyemburkan darah.
Mereka betul-betul kena batunya. Pendekar Ke-
lana Sakti bukan orang yang mudah disentuh. Hal itu 
pula membuat nyali kedua perempuan penguasa Gu-
nung Tunggul jadi ciut.
*
**
LIMA


Nenek berambut putih ini menggeliat mengu-
rangi rasa sakit. Tapi sebenarnya ia segan untuk 
menghadapi pendekar itu lagi. Ia sudah dapat mengukur akan kehebatan Pendekar Kelana Sakti yang se-
tinggi langit itu. Pukulan apalagi yang akan dikerah-
kan Nilasari Grewek? Sudah tidak ada. Tombak Gu-
nung satu-satunya jurus andalan nenek berambut pu-
tih itu.
Murid tunggalnya bangkit terhuyung-huyung. 
Karena pukulan Tinju Bayu Delapan Penjuru tadi 
mengena telak di tubuhnya. Pedang Ular Emas dalam 
tangannya bergetar. Ia tidak berani menyerang sendiri. 
Srikaton Munggel hanya menunggu perintah gurunya.
Tapi rupanya Nilasari Grewek tidak punya cara
lain. Cepat kilat ia menyambar lengan Srikaton Mung-
gel. Perempuan ini tidak menolak saat gurunya mem-
bawa dirinya menyingkir jauh-jauh. Wintara lepaskan 
lagi sebuah hantaman. Tapi kedua perempuan itu su-
dah terlanjur melarikan diri. Dalam beberapa kejap sa-
ja keduanya sudah melesat jauh.
"Wintara, jangan beri mereka kesempatan lolos! 
Kejar!" perintah Ki Wirayuda. Ia berdiri memegangi ru-
suk kirinya. Tapi Wintara tidak memenuhi perintah 
itu. Pendekar Kelana Sakti mulai melangkah mendeka-
ti Ki Wirayuda. Langkahnya agak tersendat-sendat. Se-
tiap orang yang berada di situ dapat melihat wajah 
Wintara begitu berobah pucat.
"Maaf, Ki.... Aku tidak dapat mengejar mereka. 
Karena.... Karena...." Wintara tidak meneruskan kata-
katanya. Tubuh Pendekar Kelana Sakti seperti menge-
jang. Sesaat kemudian....
"Hroooooek...!" Darah kental hitam menyembur 
dari mulut Wintara. Ki Wirayuda maupun seluruh 
anak buahnya mendadak terkejut. Kiranya Wintara 
terluka pula. Mungkin tadi ketika Nilasari melancar-
kan pukulan Tombak Gunung. Ki Wirayuda sendiri 
hampir tidak dapat berjalan. Bahkan tulang iganya 
mungkin ada yang patah. Karuan saja para murid Ki

Wirayuda terpecah menjadi dua. Sebagian mengeru-
bung Wintara, sebagian lagi menolong Ki Wirayuda.
"Terima kasih.... Aku tidak apa-apa, kalian to-
long saja Ki Wirayuda. Bawa beliau langsung ke da-
lam." ujar Wintara. Keadaannya memang segera pulih. 
Beruntunglah ia masih dapat bertahan saat kedua pe-
rempuan Penguasa Gunung Tunggul menyerang. Ka-
lau kedua perempuan itu masih dapat melancarkan 
serangan-serangan lagi pastilah Wintara sudah menja-
di bubur. Bersyukur pula Pendekar Kelana Sakti ini, 
karena kedua penguasa Gunung Tunggul telah kalah 
mental.
Anak buah Ki Wirayuda sibuk memapah. Mere-
ka berduyun-duyun membawa masuk ke dalam, tubuh 
Ki Wirayuda. Wintara sudah pulih melangkah mengi-
kuti mereka. Tapi semua orang-orang yang berjalan di 
belakang dikejutkan oleh sesuatu.
Jelas sekali suara derap langkah kuda mema-
suki pekarangan mereka. Wintara yang berjalan paling 
belakang melihat seorang pemuda memegangi tubuh 
seorang perempuan di atas kudanya. Langkah kuda
makin pelan saat memasuki ke dalam pelataran.
Anak buah Ki Wirayuda segera berbalik menge-
pung kuda itu. Pada saat-saat seperti ini mereka perlu 
kecurigaan terhadap orang-orang asing. Melihat sikap 
yang berhati-hati itupun pemuda di atas kuda ini ber-
sikap ramah.
"Saudara-saudara sekalian, maafkan kami yang 
kurang sopan ini. Aku, Arso Lumbing hendak meminta 
pertolongan terhadap Ki Wirayuda." ujar pemuda itu 
yang mengaku dirinya Arso Lumbing.
"Gadis yang bersamaku ini tengah terluka. Sa-
tu-satunya tempat pertolongan adalah tempat ini. Aku 
berharap kalian sudi mempertemukan aku dengan Ki 
Wirayuda." kata Arso Lumbing ramah. Wintara hanya

mengawasi pemuda itu. Arso Lumbing balas menatap 
dengan senyum bersahabat. Yang lain perlahan me-
nyingkir memberi kelonggaran jalan. Mata mereka se-
mua tidak lepas menatap sosok Arso Lumbing meme-
gangi tubuh seorang gadis bersimbah darah.
Mereka memang pernah dengar nama Arso 
Lumbing putra dari Resi Wesakih yang kosen dalam 
rimba persilatan. Tapi mengenai siapa adanya Arso 
Lumbing itu tidak satu pun yang mengenali.
Arso Lumbing menatap jauh ke dalam gedung. 
Matanya mendadak menyipit saat dilihatnya Ki Wi-
rayuda duduk bersandar pada dinding serambi. Bebe-
rapa anak buahnya tengah memijiti. Pemuda ini dapat 
mengetahui kalau Ki Wirayuda tengah terluka.
"Apa yang telah terjadi di sini?" tanya Arso 
Lumbing. Wintara cepat menjawab....
"Kami baru saja diserang oleh dua perempuan 
sesat penguasa Gunung Tunggul. Sukurlah Ki Wirayu-
da hanya terluka ringan."
"Astaga.... Kedatangan aku ke sini akan me-
nambah susah saja. Sungguh aku tidak tahu kalau 
terjadi sesuatu di sini. Lalu bagaimana dengan kedua 
perempuan sesat itu?" kata Arso Lumbing. Pemuda itu 
tetap di atas kudanya. Hal itu bukan berarti Arso 
Lumbing sangat angkuh. Karena ia harus terus meme-
gangi tubuh gadis berlumur darah.
"Ah, aku pikir orang-orang Ki Wirayuda tidak 
keberatan memberi pertolongan. Sudah menjadi kewa-
jiban berbuat tolong menolong. Apalagi kita berdiri pa-
da pihak aliran lurus. Silahkan." sambut Wintara ber-
maksud membantu menurunkan gadis itu.
Arso Lumbing tidak menolak.
Wintara memapah membawa masuk ke dalam 
gedung. Arso Lumbing turun dari kudanya mengikuti 
langkah-langkah di Wintara. Ia membetulkan letak

benda panjang terbungkus di punggungnya. Pemuda 
ini terus melangkah masuk mendekati sosok Ki Wi-
rayuda yang hampir pingsan. Dalam kesamaran pan-
dangannya itu, Ki Wirayuda masih dapat melihat keda-
tangan seorang pemuda yang sangat dikenalinya betul. 
Namun untuk menyebutkan namanya, Ki Wirayuda 
berusaha mengingat-ingat....
"Kau.... Kau...?" Ki Wirayuda hendak mengang-
kat tubuhnya. Tapi rasa sakit di sekitar rusuknya me-
nyengat hebat. Rintih Ki Wirayuda tertahan. Arso 
Lumbing berjalan ke sampingnya.
"Aku Arso Lumbing, Paman Ki Wirayuda. San-
gat disayangkan kalau pertemuan kita dalam keadaan 
seperti ini." ujar Arso Lumbing. Ki Wirayuda tertawa 
mengekeh.
"Justru aku berterima kasih dalam keadaan 
begini kau bisa menyambangi ke mari." kata Ki Wi-
rayuda, lalu Ki Wirayuda meneruskan kata-katanya la-
gi......
"Bagaimana keadaan Resi Wesakih? Sudah la-
ma aku tidak menengok beliau."
"Ayahku baik-baik saja, Paman. Aku hanya ke-
betulan lewat sini, dan juga bermaksud...." Arso Lumb-
ing ragu-ragu mengutarakan maksudnya.
"Sobat Arso Lumbing ini membawa seorang ga-
dis yang tengah terluka, Ki. Keadaannya sangat parah. 
Dan harus mendapat perawatan sekarang juga." ujar 
Wintara sambil meletakkan tubuh gadis itu di sebuah 
balai. Melihat itu Ki Wirayuda menghela nafas. Bagai-
mana ia mau menolong orang kalau ia sendiri tengah 
terluka juga. Wintara cukup mengerti akan hal itu.
"Terlambat sedikit saja menolong, gadis ini ti-
dak akan tahan lagi. Biarlah aku yang akan menanga-
ni." kata Pendekar Kelana Sakti. Mendengar ucapan 
Wintara, Arso Lumbing merasa lega.

"Siapa gadis ini sebenarnya, mengapa anak Ar-
so Lumbing ingin menolongnya mati-matian?" tanya Ki 
Wirayuda yang nampaknya mulai setuju dengan usul 
Wintara.
"Entahlah...." tukas Arso Lumbing. "Tapi meli-
hat dari pakaiannya pasti gadis ini seorang tokoh per-
silatan juga. Aku yakin lukanya itu bekas babatan pe-
dang. Untunglah hanya tergores sedikit."
"Kalau begitu bawa saja ia masuk ke dalam 
kamar. Luka-lukanya mesti dibersihkan." ujar Ki Wi-
rayuda. Wintara mengangguk ke arah Arso Lumbing. 
Ia mengerti maksud Wintara. Maka Arso Lumbing se-
gera membawa tubuh gadis itu ke dalam sebuah ka-
mar.
Ki Wirayuda memanggil beberapa pembantu pe-
rempuan, mereka ditugaskan untuk mengganti pa-
kaiannya yang koyak serta membersihkan luka-
lukanya. Arso Lumbing keluar lagi bersama Wintara.
"Sebelumnya aku yang merepotkan ini berteri-
ma kasih sekali atas keringanan tangan kalian. Sekali 
lagi aku ucapkan terima kasih. Karena secepat ini pula 
aku harus pamit mundur. Resi Wesakih telah menu-
gaskan aku untuk keperluan sesuatu." kata Arso 
Lumbing tertunduk. Ia merasa tidak enak sekali harus 
meninggalkan mereka secepat itu. Ki Wirayuda nam-
pak mengerutkan kening.
*
**
ENAM


Sepertinya Ki Wirayuda teringat akan sesuatu....

"Oh, ya... ya.... Aku baru ingat sekarang. Bu-
kankah Resi Wesakih telah menjodohkan engkau den-
gan seorang putri dari perguruan Pedang Ular?" tukas 
Ki Wirayuda.
"Sebenarnya memang demikian, Paman. Hari 
ini pula aku harus menjemput calon istriku." jawab 
Arso Lumbing.
"Sayang sekali keadaan kami seperti ini. Jadi 
tidak bisa ikut mengantar." ujar Ki Wirayuda.
"Ah, tidak mengapa, Paman. Akupun cukup 
mengerti."
"Kalau begitu pergilah. Kami di sini semua me-
restui atas pertunangan kalian. Juga jangan khawatir, 
gadis ini akan kami rawat baik-baik." Wintara ikut bi-
cara.
"Terima kasih, aku pasti ke mari lagi untuk 
menengok gadis itu. Permisi...." Arso Lumbing beri sa-
lam. Ki Wirayuda mengangguk. Wintara mengantar Ar-
so Lumbing sampai mendekati kudanya.
"Sampai jumpa lagi, Sobat. Nanti kita akan ber-
temu lagi." Tak ketinggalan ia memberi salam pada 
Wintara. Pendekar Kelana Sakti ini tersenyum men-
gangguk. Arso Lumbing tidak menunggu waktu lagi. Ia 
langsung memacu kudanya meninggalkan tempat pe-
mukiman Ki Wirayuda.
Sementara itu dua perempuan penguasa Gu-
nung Tunggul berjalan tersaruk-saruk. Mereka mene-
lusuri jalan berbatu. Langkah-langkah Nilasari Grewek 
agak lambat, karena memang ia tengah terluka. Srika-
ton Munggel tidak kurang suatu apa. Ia hanya merasa 
kehabisan tenaga. Melihat gurunya itu berjalan payah, 
Srikaton Munggel tidak perduli. Ia sengaja berjalan 
paling dulu.
"Murid dogol, tunggu aku! Tidak kasihankah 
melihat gurumu seperti ini." Nilasari Grewek berjalan


tertatih-tatih.
"Masih untung kita dapat cepat-cepat kabur. 
Mungkin kau sudah mati duluan. Mana jurus ampuh 
Tombak Gunung itu? Menghadapi anak ingusan itu sa-
ja sampai lari terbirit-birit." jawab Srikaton Munggel 
acuh. Tapi ia menghentikan langkahnya menunggu 
sang guru yang berjalan menyusul tersaruk-saruk.
"Dasar murid sialan. Menyesal aku mengu-
rusmu sejak kecil. Tidak mau mampus disambar kilat!" 
gerutu nenek berambut putih. Tak urung juga Srikaton 
Munggel membantu gurunya berjalan.
"Kalau Pendekar Kelana Sakti itu masih tetap 
berada di Sungkawarang, kita-kita sebagai pendekar 
sesat akan tidak mendapat muka. Dengan apa lagi kita 
menyingkirkan pendekar sial itu? Jurus Tombak Gu-
nung tidak berarti, Pedang Ular Emas sama sekali ti-
dak berpengaruh. Ilmu apa sebenarnya yang dimiliki 
pendekar sial itu." Srikaton bergumam.
"Sudah jangan ngoceh terus. Pusing aku men-
dengarkan celotehmu. Sebaiknya kau pergi saja ke ko-
ta. Carikan aku obat." Perintah Nilasari Grewek. Sam-
bil mendorong tubuh Srikaton Munggel.
"Bagaimana guru bisa sampai ke puncak sa-
na?" ujar Srikaton Munggel. Nenek berambut putih 
memandang melotot.
"Aku jangan dianggap remeh. Jelek-jelek aku 
ini gurumu. Aku masih bisa mencapai puncak Gunung 
Tunggul dibanding menghadapi pendekar sialan itu!" 
bentaknya. Srikaton Munggel merungkut. "Cepat be-
rangkat! Kembali secepatnya!" bentaknya lagi. Nilasari 
Grewek melangkah berpisah. Srikaton Munggel juga 
melangkah lesu.
Tapi dalam beberapa saat nenek penguasa Gu-
nung Tunggul ini berbalik lagi.
"Srikaton...! Tunggu dulu!" Nenek yang tadi berjalan tertatih-tatih mendadak berlari cepat ke arah 
Srikaton Munggel.
"Ada apa lagi sih? Aku pasti balik membawa 
obat untuk luka-lukamu." sambut Srikaton Munggel.
"Seharusnya kau tidak perlu membawa Pedang 
Ular Emas. Hal itu akan membahayakan dirimu. Aku 
khawatir orang-orang persilatan mengepung mu bera-
mai-ramai." kata Nilasari Grewek. Apa yang di-
ucapkannya memang benar. Srikaton Munggel tidak 
perlu berpikir panjang. Maka ia langsung berikan saja 
pedang itu.
"Ambillah untukmu. Aku tidak perlu barang 
rongsokan itu." kata Srikaton Munggel.
"Hus! Ngomong sembarangan. Gini-gini benda 
pusaka, tahu!"
Srikaton Munggel tidak perduli ia terus me-
langkah cepat meninggalkan gurunya. Buat apa Pe-
dang Ular Emas kalau tidak mampu mengalahkan seo-
rang bocah ingusan macam Pendekar Kelana Sakti, pi-
kir Srikaton Munggel. Dalam hatinya terselip pula ren-
cana lain. Ia tidak perlu lagi mengikuti jejak Nilasari 
Grewek. Untuk apa mengikuti nenek peyot yang sudah 
tidak mampu. Tiga puluh tahun lamanya mengekor 
bersama Nilasari Grewek tidak pernah merajai dunia 
persilatan. Malah sekarang harus lari kocar kacir di 
bawah kaki Pendekar Kelana Sakti.
Permintaan Nilasari Grewek untuk membawa-
kan obat-obatan tidak perlu lagi dituruti, sebab Srika-
ton Munggel sudah menentukan hidupnya sendiri. 
Perduli apa dengan Nilasari Grewek, guru yang selama 
tiga puluh tahun mengurusnya. Mau mati kek.... Mau 
keriput kek.... Mau mati berdiri kek, masa bodoh!
Bagi perempuan cantik seperti Srikaton Mung-
gel, mudah saja ia mencari jalan kehidupannya. Apala-
gi ia mantan tokoh sesat.

***
Apapun yang ia lakukan tidak pernah memper-
timbangkannya terlebih dahulu.
Sesiang itu ia sudah berada dalam sebuah desa 
yang sangat ramai. Ia berjalan menunjukkan lenggak 
lenggok tubuhnya yang aduhai. Pandangannya meno-
leh kanan kirim melihat keramaian desa itu. Pada sisi 
jalan banyak terdapat tempat-tempat penginapan dan 
kedai-kedai. Para pendatangnya pun banyak yang ber-
datangan.
Ada beberapa tempat penginapan yang selalu 
ramai. Siang malam selalu dikunjungi para tamu. Ten-
tu saja penginapan itu selalu ramai. Selain tempatnya 
besar dan bersih, tempat itu disediakan wanita-wanita 
penghibur.
Tak urung kemunculan Srikaton Munggel yang 
kebetulan melewati penginapan itu, menjadi perhatian 
para hidung belang. Sampai ada yang tidak tahan, co-
ba-coba menggoda. Diperlakukan seperti itu, Srikaton 
Munggel makin genit mempermainkan mereka. Sudah 
tentu para wanita penghibur yang kebetulan melihat-
nya jadi iri hati.
Kecantikan Srikaton Munggel jauh lebih tinggi 
dibanding para wanita penghibur. Penampilannya juga 
lebih seksi. Dia mengenakan pakaian yang sangat me-
nyolok mata.
Pahanya yang putih mulus nyaris telanjang 
tanpa penutup. Tidak ada para wanita penghibur yang 
seberani itu.
Beberapa pentolan dari lembah hitam tersebut 
datang menghadang. Srikaton Munggel menyambut 
mereka dengan senyuman genit. Tiga orang laki-laki 
penghadang ini langsung mengurungnya. Tindakan 
mereka menjadi perhatian orang banyak.

Siapapun sudah mengetahui watak tiga lelaki 
yang menguasai desa itu. Sudah banyak para wanita 
yang jatuh menjadi korban nafsu mereka. Mereka akan 
bertindak kasar bila seorang wanita coba-coba meno-
lak keinginannya.
"Nona.... Tidak sembarangan orang asing me-
masuki desa ini." tegur mereka. Mata mereka tidak le-
pas menatap tubuh yang menggiurkan itu.
"Maafkan aku, orang-orang gagah. Aku tidak 
tahu tata krama peraturan desa ini." ujar Srikaton 
Munggel. Gerakannya lemah gemulai membuat setiap 
orang yang melihatnya makin gemas.
"Bagus kalau kau menyadari akan kesalahan-
mu. Kau harus membayar upeti terlebih dahulu pada 
kami." kata mereka lagi.
"Upeti? Aku tidak punya apa-apa."
"Jangan pura-pura bodoh. Tubuhmu saja se-
rahkan pada kami." Seseorang dari mereka menarik 
lengan Srikaton Munggel. Perempuan cantik ini tidak
menolak. Dua orang temannya mengikuti. Mereka me-
nuju sebuah penginapan yang cukup ramai.
"Tunggu dulu...." Srikaton Munggel berhenti 
melangkah. Lalu:
"Tidak mungkin aku harus melayani kalian ber-
tiga." Mata Srikaton mengerling. Ketiga laki-laki ganas
ini saling pandang.
"Kami biasa melakukannya bergiliran, nona. 
Jangan coba-coba menolak keinginan kami." bentak 
mereka.
"Aku tidak mau. Aku tidak biasa seperti itu. Te-
rus terang saja aku perlu satu orang di antara kalian." 
jawab Srikaton Munggel. Sikapnya menantang namun 
memberi harapan pada ketiga orang laki-laki ini. Keti-
ganya jadi serba salah.

*
**
TUJUH

"Atau sama sekali kalian tidak akan menikmati
'upeti' ku?" gertak Srikaton Munggel. Seraya ia hendak 
pergi begitu saja. Tapi seseorang cepat meraih kembali 
lengannya.
"Tunggu, Nona." kata salah seorang dari mere-
ka. Orang itu paling seram. Brewoknya memanjang 
sampai sebatas dada.
"Aku pemimpin mereka. Karena aku paling he-
bat di antara mereka. Namaku Rengga Loka." kata laki-
laki penuh brewok menatap pada kedua temannya.
"Hm.... kalau begitu kaulah yang berhak atas 
diriku." Srikaton Munggel langsung menggandeng me-
nuntun laki-laki bernama Rengga Loka memasuki se-
buah penginapan. Semua orang yang tadi menyaksi-
kan penghadangan mereka jadi terheran-heran. Baru
kali ini mereka melihat seorang gadis cantik dapat me-
lemahkan ketiga orang pentolan lembah hitam terse-
but.
Hari makin siang dengan sinar matahari men-
corot menggarang bumi. Rengga Loka merasa bangga 
mendapatkan seorang wanita cantik bernama Srikaton 
Munggel. Perempuan itu duduk di sebelahnya mene-
mani laki-laki brewok itu minum arak.
Para tamu yang kebetulan singgah pada pengi-
napan itu bersikap hormat pada Rengga Loka. Wanita-
wanita penghibur lainnya mencibir melihat kegenitan 
Srikaton Munggel. Ia tidak mengelak pula saat Rengga 
Loka menciumi habis-habisan di ruangan itu. Rinti-
han-rintihan Srikaton Munggel membuat suasana ma

kin panas. Apalagi Rengga Loka semakin mabuk. Di 
dalam dekapan perempuan itu Rengga Loka semakin 
tidak berdaya.
Tamu-tamu semakin berdatangan. Yang hanya 
makan, yang minum, ada juga yang hendak menginap 
di penginapan itu. Para wanita penghibur berebut 
mencari mangsa. Tawa-tawa cekikikkan perempuan 
memenuhi suasana panas ruangan.
Saat itu seorang pemuda gagah memasuki 
ruangan itu. Ia memilih sebuah meja yang masih ko-
song. Benda panjang yang terserong di punggungnya 
diletakkannya di atas meja. Kemudian ia memesan 
makanan pada salah seorang pelayan yang hilir mudik 
menyambut para tamunya.
Pemuda itu pun tidak luput dari serbuan para 
wanita penghibur. Dikerubungi oleh wanita-wanita itu 
pemuda tampan jadi kikuk. Kehadiran pemuda tam-
pan ini juga jadi perhatian Srikaton Munggel yang du-
duk pada meja sebelahnya.
"Aih, tampannya...!" Tidak sadar ia memekik 
kagum. Rengga Loka yang hampir terlena dalam pelu-
kan Srikaton Munggel tersentak kaget. Ia mengira Sri-
katon memuji dirinya, maka ia semakin terlena menci-
umi jenjang leher Srikaton Munggel. Sedangkan Srika-
ton Munggel sendiri tidak henti-hentinya menatap pe-
muda itu.
Rayuan-rayuan para wanita penghibur tidak 
mengena. Pemuda tampan yang tidak lain Arso Lumb-
ing ini bersikap dingin. Maka satu persatu perempuan-
perempuan itu mulai menyingkir,
"Maaf.... Tiada maksud apa-apa aku singgah di 
sini. Aku hanya ingin mengisi perut, lain tidak. Se-
baiknya kalian menyingkirlah. Masih banyak tamu-
tamu lain yang perlu hiburan." ujar Arso Lumbing. 
Saat itu pelayan sudah datang membawakan pesanan.


"Sudah Sana cari yang lain..... Laki-laki kan 
banyak di sini." gurau pelayan itu. Karuan saja para 
perempuan penghibur jadi kabur. Ada juga yang 
menggerutu.
"Huuuuh.... Mentang-mentang cakep, sombong 
benar dia. Perempuan seperti apa sih yang dia mau." 
gerutu mereka meninggalkan meja Arso Lumbing. Pe-
muda ini hanya menggelengkan kepala mendengar 
sumpah serapah mereka yang bermacam. Tanpa sadar 
pula ia menatap seorang perempuan berusaha meno-
lak dari dekapan seorang lelaki brewok. Srikaton 
Munggel lemparkan senyum ke arah Arso Lumbing. 
Pemuda tampan ini membalas senyumnya pula, lalu ia 
tidak perduli mulai menikmati pesanannya.
Di lain pihak, Srikaton Munggel meronta-ronta 
melepaskan diri dari pelukan Rengga Loka. Dalam ha-
sratnya ingin sekali Srikaton menaklukkan pemuda 
tampan itu. Maka ia berusaha sebisanya agar terlepas 
dari dekapan Rengga Loka.
"Sebentar, sayang.... Aku tidak akan lama-
lama...." Rayu Srikaton Munggel. Rengga Loka akhir-
nya melepaskan pelukannya. Secepatnya Srikaton 
Munggel meninggalkan laki-laki itu. Langkahnya hati-
hati mendekati Arso Lumbing.
Arso Lumbing menyadari kalau ia didatangi 
seorang perempuan yang baru saja ditatapnya. Perem-
puan itu kini sudah duduk di hadapan meja. Menga-
wasi Arso Lumbing. Senyumnya terkulum.
"Kenapa kau tinggalkan tamu itu?" tegur Arso 
Lumbing.
"Aku bukan wanita penghibur macam mereka. 
Aku sama seperti dirimu dan kebetulan singgah di 
penginapan ini." jawab Srikaton.
"Oh, maaf atas kata-kataku tadi. Pandanganku 
terlalu cetek. Lalu siapa laki-laki brewok itu. Suami

mukah." Arso Lumbing jadi salah tingkah.
"Bu-bukan.... Dia penguasa desa ini. Sikapnya 
memang menjemukan, juga sering mengganggu wani-
ta. Seperti yang kau lihat tadi. Aku harus terpaksa 
menemaninya minum arak." tutur Srikaton Munggel. 
Arso Lumbing mendengus.
"Kau ingin makan?" tawar Arso Lumbing.
"Terima kasih. Aku baru saja selesai makan." 
jawab Srikaton cepat. Terhadap Srikaton Munggel si-
kap Arso Lumbing agak lain. Kecantikan Srikaton 
Munggel memang tidak pantas disebut wanita penghi-
bur. Ia lebih pantas disebut seorang pendamping laki-
laki bangsawan atau paling tidak seorang punggawa. 
Tapi kenapa perempuan ini harus berkeliaran di sini. 
Tidak tahukah kalau tempat ini tidak pantas untuk di-
rinya? Keakraban mereka membuat iri para wanita 
penghibur- lainnya. Kenapa perempuan asing ini bisa 
lebih cepat mengambil hati pemuda ganteng itu. Apa-
kah karena perempuan itu sangat cantik, juga seksi?
Tidak urung salah seorang dari mereka menga-
dukan hal itu pada Rengga Loka. Laki-laki brewok ini 
sudah terpekur mabuk arak. Kepalanya sudah terte-
lungkup di atas meja dengan pundi-pundi arak berse-
rakan. Tapi setelah ia mendengar berita yang mema-
naskan telinganya, ia cepat berjingkat. Langkahnya 
sempoyongan serudak seruduk macam banteng keta-
ton. Langkahnya cepat menyeruak menuju ke arah 
Srikaton Munggel.
Perempuan itu nampak tengah duduk mengha-
dapi seorang pemuda tampan. Hatinya makin terbakar. 
Apalagi Srikaton Munggel nampak tersenyum-senyum 
selama berbicara dengan pemuda itu.
Percakapan mereka mendadak terhenti saat 
Rengga Loka berdiri sangar. Srikaton Munggel berjing-
kat bangun. Ia lari ke samping Arso Lumbing.

"Perempuan bangsat! Kau hendak memper-
mainkan aku? He-he-he-he.... Anak muda. Pergilah da-
ri sini. Perempuan itu milikku." bentak Rengga Loka. 
Matanya garang menatap. Tapi Arso Lumbing seakan 
tidak mengacuhkan bentakan itu. Ia semakin asyik 
menikmati santapannya. Srikaton Munggel memeluki 
pemuda itu. Tiba-tiba saja....
"Braaaak...!" Rengga Loka menggebrak meja. 
Piring di hadapan Arso Lumbing sampai berderak 
goyang.
"Dia mengaku bukan wanita penghibur. Bagai-
mana bisa kau bilang perempuan ini milikmu?" ujar 
Arso Lumbing. Tenang ia memegang benda panjang 
terbungkus kain sutra. Lalu pemuda ini bangkit 
menghadapi Rengga Loka. Serta merta Rengga Loka le-
paskan sebuah tinju. Malah ketika Arso Lumbing 
membalas serangan, Rengga Loka terhuyung mundur.
Tempat itu jadi gaduh seketika. Para tamu yang
lain beringsut menyingkir. Perempuan-perempuan 
penghibur berlarian ketakutan. Mereka sudah tahu 
kemurkaan Rengga Loka. Pastilah pemuda tampan ini 
akan mati penasaran dibuatnya.
Tapi ternyata apa yang dilihat oleh mereka, sa-
ma sekali diluar dugaan. Rengga Loka berkali-kali ja-
tuh setiap kali ia lancarkan serangan. Arso Lumbing 
selalu dapat mengincar dan lancarkan serangan bala-
san.
Rupanya kedua teman Rengga Loka belum be-
ranjak dari tempat itu. Mereka sejak tadi mengawasi 
pemimpinnya. Melihat itupun kedua orang itu berla-
rian membantu Rengga Loka. Arso Lumbing tidak gen-
tar menghadapi lawannya bertambah dua orang. Serta 
merta ia melompat melindungi Srikaton Munggel. Tan-
gannya siap-siap memegang benda panjang terbung-
kus kain sutra. Tatkala dua orang itu menyerang serempak. Arso Lumbing lepaskan babatan dengan ben-
da itu.
*
**
DELAPAN


"Plaak...!" Kontan keduanya tersungkur ke lan-
tai. Namun mereka cepat bangkit kembali mendampin-
gi Rengga Loka. Pemuda tampan berdiri tenang melin-
dungi Srikaton Munggel.
"Mereka semua orang-orang jahat! Mereka ber-
maksud mengganggu diriku!" ujar Srikaton berlindung 
di belakang Arso Lumbing.
"Bangsat! Rupanya pemuda bertampang pe-
rempuan ini gundikmu! Menyesal kau akan mati mu-
da, sobat. Kau belum tabu siapa kami!" bentak mere-
ka. Serempak mereka berjaga-jaga dengan benda pan-
jang yang terbungkus. Matanya memandang berkelil-
ing mengawasi mereka.
Tanpa basa basi lagi ketiga pentolan desa itu 
babatkan senjata-senjatanya. Golok dan pedang pating 
serabut mencecar dari arah yang tak menentu. Gesit 
pula Arso Lumbing berkelit menghindari sambaran-
sambaran senjata mereka. Dia sengaja hanya menang-
kis serangan-serangan itu dengan benda panjang itu.
Meski hanya memapaki begitu, nampak ketiga 
lawannya harus kewalahan. Sambaran senjata mereka 
selalu meleset. Srikaton dapat melihat akan kehebatan 
pemuda idamannya. Ia makin tertarik melihat gerakan-
gerakan semacam ilmu pedang yang dikeluarkan oleh 
Arso Lumbing. Sudah terlihat jelas kalau ketiga lawan-
nya ini tidak akan sanggup mengalahkan Arso Lumbing.
"Hreaaaaa...!" Sekali lagi Arso Lumbing hentak-
kan benda terbungkus itu memutar ke depan....
"Plaaak...! Plaaak!.... Plaaaak!" Ketiga lawannya 
jatuh bergulingan. Masing-masing mendapat luka me-
mar di bagian mata. Dua teman Rengga Loka kelojotan 
berusaha bangkit. Rengga Loka semakin murka. Ter-
jangannya deras lancarkan babatan golok. Tapi Arso 
Lumbing hanya bergeser cepat ke samping, lalu ka-
kinya menendang....
"Beeeeg!" Tak urung tubuh Rengga Loka mence-
lat jauh ke luar ruangan. Tubuh laki-laki penuh bre-
wok itu bergulingan di jalan. Untuk kemudian jatuh 
ambruk, ia pingsan.
Dua orang lawannya ragu-ragu menyerang. 
Nyalinya jadi keder melihat Rengga Loka tidak bang-
kit-bangkit. Maka keduanya lepaskan jurus langkah 
seribu. Arso Lumbing hanya melihat bagaimana kedu-
anya lari kocar kacir.
"Huh. Baru punya kepandaian setahi kuku saja 
mau unjuk gigi. Jangan lari kalian!" ejek Srikaton se-
kaligus memuji Arso Lumbing. Ia memaki-maki terus, 
bahkan berlari keluar menendangi tubuh Rengga Loka 
yang tidak berdaya tergeletak di tanah.
"Sudahlah, Nona. Kau tidak akan di ganggu lagi 
oleh mereka." ujar Arso Lumbing mengulum senyum. 
Srikaton kembali lagi menemui pemuda itu.
"Mereka memang perlu diberi hajaran. Bagus-
nya mereka dibikin mampus saja tadi!" gerutu Srikaton 
Munggel. Arso Lumbing tidak menyahut. Ia mengikat 
kembali benda panjang terbungkus ke punggungnya. 
Demi melihat itu Srikaton tahu kalau pemuda ini hen-
dak meninggalkan penginapan. Apalagi ketika dilihat-
nya Arso Lumbing sudah membayar pesanannya tadi. 
Srikaton Munggel buru-buru menyusul.

"Sobat, kau hendak ke mana bukankah maka-
nanmu belum habis?"
"Selera makanku sudah hilang, Nona. Lagi per-
jalananku masih sangat jauh." jawab Arso Lumbing ia 
bersikap acuh meninggalkan Srikaton Munggel. Pe-
rempuan cantik ini hanya melongo menatap kepergian 
Arso Lumbing. Tapi saat pemuda ini mulai membawa 
kudanya, Srikaton Munggel berusaha mengejar.
"Kau mau ke mana? Kalau satu perjalanan kita 
bisa berangkat bersama-sama." kata Srikaton Munggel.
"Rasanya tidak mungkin, Nona." ujar Arso 
Lumbing.
"Kenapa tidak mungkin. Bukankah lebih baik 
ada seorang teman dalam perjalanan?"
"Kau tidak akan mengerti."
Srikaton Munggel diam. Maka Arso Lumbing te-
rus menunggangi kudanya berjalan perlahan. Perem-
puan ini seperti kesal. Tak urung juga ia ikut melang-
kah membuntuti jalannya kuda itu. Kelakuan Srikaton 
Munggel menjadi perhatian orang-orang sedesa itu. 
Dengan tidak perduli Srikaton Munggel mengikuti te-
rus sampai keluar desa. Ia nekad ingin mengikuti Arso 
Lumbing ke mana pergi.
Pemuda tampan menghela nafas di atas ku-
danya. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Tapi ia tetap 
tidak perduli membawa kudanya berjalan terus.
Matahari semakin tinggi. Arso Lumbing sengaja 
mengatur kudanya berjalan perlahan. Sesekali ia meli-
rik ke belakang, dan sosok molek menggiurkan Srika-
ton Munggel tetap mengikutinya. Apalagi sekarang me-
reka telah meninggalkan jauh desa. Sekarang mereka 
mengarungi dataran kering berbatu.
Selama itu pula panas menyengat membuat 
tenggorokan mereka semakin kering. Tapi Srikaton 
Munggel tetap berjalan di belakang tanpa mengenal le


lah. Padahal keringat sudah mengucur deras di seku-
jur tubuhnya. Langkahnya pun sudah mulai goyah.
Bisa saja Arso Lumbing meninggalkan Srikaton 
Munggel dengan memacu kudanya cepat, maka ia bisa 
bebas tanpa diikuti perempuan itu. Tapi Arso Lumbing 
tidak tega untuk berbuat itu. Manakala langkah-
langkah Srikaton Munggel sudah tidak karuan lagi.
Perjalanan Arso Lumbing demi menjemput ca-
lon pengantin perempuan untuknya agak terhambat. 
Juga kalau ia bersikap begini terus akan memakan, 
waktu yang sangat lama. Tindakannya jadi serba sa-
lah. Tidak mungkin Arso Lumbing meninggalkan begi-
tu saja. Kalau ia mengikut sertakan Srikaton menung-
gangi kuda bersama-sama, akan membawa kesan yang 
kurang baik. Bagaimana nanti kalau kebetulan mereka 
bertemu dengan calon pengantinnya di perjalanan?
Sebagai calon pengantin pria cuma itu yang bi-
sa menjadi beban pikirannya. Berkali-kali ia menghela 
nafas. Sepanjang dataran itu seakan tiada batas. Di 
kejauhan matanya menghampar bukit hijau meng-
hampar samar. Tidak terasa pula kalau matahari mu-
lai condong ke barat. Langit di atas membias kemera-
han.
Teringat akan sosok ramping yang mengikuti 
perjalanannya. Tapi setelah Arso Lumbing menoleh ke 
belakang, sosok Srikaton Munggel. Dataran kering be-
rubah dingin diiringi hembusan angin. Namun Arso 
Lumbing membelalakkan matanya. Srikaton Munggel 
bukan hilang atau pergi begitu saja.
Dalam jarak yang sangat jauh Arso Lumbing 
dapat melihat sosok ramping Srikaton Munggel terbar-
ing di atas permukaan tanah. Maka cepat-cepat pemu-
da tampan ini menghela kudanya mendekati. Ia lang-
sung turun di samping tubuh terbaring.
Wajah Srikaton Munggel nampak begitu pucat.

Keringat yang membanjir di sekujur tubuhnya telah 
bercampur dengan debu. Melihat itu perasaan iba 
muncul. Wajah cantik dalam keadaan begitu mengge-
tarkan jantung Arso Lumbing. Sesaat ia menatap wa-
jah yang sangat menggoda hatinya.
Lalu terpaksa pula ia harus memapah menaik-
kan ke atas kuda. Di atas kuda itu Arso Lumbing 
membasahi wajah Srikaton Munggel dengan perse-
diaan airnya. Perempuan itu tetap memejamkan mata 
disertai nafas yang pelan. Tubuhnya terasa dingin da-
lam pelukan Arso Lumbing.
Hari makin gelap. Sambil menjaga tubuh Srika-
ton, pemuda tampan mengendalikan kudanya melang-
kah cepat. Bulan di atas mengambang menerangi per-
jalanan mereka. Srikaton Munggel tetap belum si-
uman. Tidak mungkin kalau Arso Lumbing mene-
ruskan perjalanannya pada malam itu.
Sehingga harus terpaksa pula ia bermalam di 
tengah-tengah dataran gersang berbatu. Dengan letu-
pan api unggun Arso Lumbing menghangati tubuhnya. 
Srikaton Munggel terbaring berselimut kain tebal. Tapi 
rasanya, kehangatan api unggun tiada artinya diband-
ing udara malam yang semakin dingin menyengat. Ma-
nakala persediaan kayu bakar makin habis berkurang.
"So-sobat... Hh... hah...." Terdengar rintihan 
Srikaton Munggel. Tubuhnya menggigil hebat. Kedua 
rahangnya terkatup rapat bergetar. Arso Lumbing me-
natap perempuan itu melawan hawa dingin yang tidak 
mungkin dapat diatasi. Arso Lumbing mendekatinya. 
Ia sendiri pun mulai menggigil.
"Ki-kita akan mati kedinginan.... Brrr...," rintih 
Srikaton Munggel bergetar. Ia menarik baju Arso 
Lumbing. Arso Lumbing langsung jatuh dalam deka-
pan itu. Terasa sekali perempuan ini bergetar hebat. 
Dirasakan pula dekapan Srikaton Munggel semakin
erat. Namun akibat dari sentuhan itu, seperti mengalir 
kehangatan yang luar biasa.
*
**
SEMBILAN


Rasanya seperti mimpi menghadapi sergapan-
sergapan Srikaton Munggel yang menghanyutkan itu. 
Arso Lumbing tak dapat mengelak. Ia malah menyam-
but menggeluti tubuh Srikaton Munggel. Sebagai lelaki 
Arso Lumbing memang tidak bisa membohongi diri. Di 
malam yang gelap gulita berselimut dingin. Mereka 
berdua saling membagi kehangatan.
Tidak ada lagi rasa dingin di antara tubuh me-
reka. Kalau tadi waktu terasa begitu lama menyiksa, 
kini serasa teramat cepat. Tidak disadarinya bulan di 
atas sana sudah bergeser jauh. Manakala tubuh kedu-
anya menggelepar-gelepar.
Seekor kuda yang berdiri tidak jauh dari situ 
seakan merinding menyaksikan sesuatu yang amat as-
ing baginya. Saat itu api unggun telah menjadi bara 
api. Mengeluarkan asap putih kehitaman membum-
bung tinggi.
Dua sosok masih nampak duduk berpelukan. 
Keringat mereka deras mengucur. Srikaton Munggel ti-
dak lagi menggigil. Ia membiarkan tubuhnya luruh da-
lam pelukan Arso Lumbing. Pemuda ini diam bagai pa-
tung. Ia tidak ingat apa yang telah dilakukannya ter-
hadap perempuan cantik. Membiarkannya pula seka-
rang perempuan itu mengelus-elus dadanya.
Arso Lumbing terbuai untuk kedua kalinya. Ia 
betul-betul lupa dengan tujuan perjalanannya. Untuk

apa ia melakukan perjalanan sejauh ini, untuk apa pu-
la sebenarnya Resi Wesakih menugaskan dirinya? 
Apakah ia tidak teringat sama sekali kalau dirinya ha-
rus menjemput seorang wanita yang kelak menjadi is-
trinya?
Seratus persen memang tidak lupa. Tuntutan 
badaniah memang selalu dapat berontak dan tak ter-
kendali. Apalagi Arso Lumbing seorang laki-laki nor-
mal. Muda dan gagah. Srikaton Munggel kurang apa. 
Tubuhnya yang mulus, wajahnya yang cantik, serta 
bentuk tubuhnya yang jarang dimiliki wanita sempur-
na manapun. Pada malam yang dingin ini Arso Lumb-
ing telah menikmati apa yang dimiliki oleh Srikaton 
Munggel.
Ada sesuatu yang membuat Arso Lumbing mu-
lai tertarik pada Srikaton Munggel. Sekalipun ia me-
nyadari kalau perempuan dalam dekapannya itu jauh 
lebih tua darinya. Seperti yang kita ketahui Srikaton 
Munggel telah malang melintang hidup bersama nenek 
berambut putih penguasa Gunung Tunggul selama ku-
rang lebih tiga puluh tahun. Ternyata pula kalau Sri-
katon Munggel benar-benar masih perawan tulen.
***
Ki Wirayuda setengah tidak percaya ketika 
mendengar cerita dari seorang gadis bernama Um-
bayani. Keadaan Umbayani setelah dua hari ini agak 
membaik. Sekeliling pinggangnya masih terbalut den-
gan kain perak. Saat ini Umbayani tengah duduk 
menghadapi Ki Wirayuda dan Pendekar Kelana Sakti.
"Tidak kusangka kalau nona yang cantik ini 
seorang putri dari majikan perguruan Pedang Ular. Ti-
dak disangka-sangka pula bahwa kita mengalami na-
sib yang sama. Dua perempuan iblis Gunung Tunggul

itupun pernah membuat kami di sini kalang kabut." 
ujar Ki Wirayuda.
"Yang kusesalkan hanyalah soal Pedang Ular 
Emas, Paman. Biarlah kami gagal dalam pertemuan 
hari pertunangan. Asalkan pusaka milik perguruan 
kami kembali." Umbayani merenung.
"Kami melihat sendiri Pedang Ular Emas berada 
dalam tangan Srikaton Munggel. Pantaslah ia sedemi-
kian hebatnya hari itu. Kiranya ia menggunakan pusa-
ka Pedang Ular." jawab Ki Wirayuda.
"Terlalu... Persoalannya akan rusuh. Orang-
orang persilatan akan menganggap ini perbuatan 
orang-orang Pedang Ular, padahal...." kata Umbayani 
lagi.
"Kami cukup mengerti, Nona." tukas Wintara. 
"Malah yang membingungkan ini adalah persoalan per-
tunangan nona."
"Maksud Pendekar Wintara?" Umbayani ker-
nyitkan alls.
"Apakah kau tidak tahu sama sekali terhadap 
orang yang membawa dirimu ke pemukiman ini?" 
tanya Wintara agak menyelidik.
"Bagaimana bisa tahu. Setelah berada di sini 
saja, aku betul-betul merasa keheranan. Aku mengira 
diriku sudah berada di neraka. Ternyata?" Umbayani 
menahan tawanya.
"Mungkin kau tidak percaya kalau penyelamat 
itu bernama Arso Lumbing." tukas Ki Wirayuda.
"Arso Lumbing?" Mata Umbayani hampir keluar 
dari rongganya.
"Betul. Kenapa Arso Lumbing tidak mengenali-
mu?" tanya Ki Wirayuda. Suasana diam sesaat. Um-
bayani hampir tidak percaya.
"Kami sudah dijodohkan sejak kecil. Aku mau-
pun Arso Lumbing sama sekali tidak saling kenal.

Hanya ayah dan paman Rakadewa Geni yang mengenal 
jelas terhadap calon suamiku."
"Memang sulit untuk mengenali pendekar-
pendekar muda sekarang. Sampai-sampai aku sendiri 
sulit mengenali engkau sewaktu dibawa ke sini. Wah-
wah.... Runyam. Sebenarnya kalian sudah saling temu. 
Sayang aku yang tua pikun ini tidak tahu situasi." ujar 
Ki Wirayuda.
"Sekarang persoalannya sudah jelas. Alangkah 
baiknya kalau kita mencari Srikaton Munggel untuk 
mengambil kembali pusaka Pedang Ular. Sekaligus kita 
lumpuhkan mereka. Karena tindakannya sudah di luar 
batas." ujar Wintara.
"Jangan dulu. Aku hanya mengusulkan, kalau 
Umbayani harus menemui Resi Wekasih untuk menje-
laskan keterlambatan ini. Biarlah dalam hal ini aku 
tugaskan Pendekar Wintara menemanimu, setelah itu 
terserah pada Resi Wesakih nanti." Usul Ki Wirayuda. 
Sebagai orang yang cukup tua usul itu sangat disetujui 
oleh kedua pendekar muda ini. "Bagaimana dengan lu-
ka-lukamu, Umbayani?" tanya Ki Wirayuda. Laki-laki 
tua ini duduk setengah bersandar di atas balai. Tulang 
rusuknya yang patah belum sembuh betul. Belum ten-
tu satu bulan dapat pulih. Melihat itu pun Umbayani 
cepat menjawab....
"Luka babatan pedang di perut ini memang ma-
sih terasa sekali, Paman. Aku tidak khawatir selama 
Wintara bersedia membantu. Siapa yang tidak kenal 
dengan Pendekar Kelana Sakti?" ujar Umbayani.
"Kalau begitu pergilah ke kandang, kalian boleh 
pilih kuda yang kalian sukai." tukas Ki Wirayuda.
Di atas puncak Gunung Tunggul. Nenek be-
rambut putih berbaju serba merah mondar mandir da-
lam ruangan agak gelap. Rambutnya yang putih beru-
ban bergerak-gerak sebatas pinggang. Raut mukanya


menandakan ia sedang murka.
Berkali-kali ia menendangi tumpukan-
tumpukan jerami yang berserakan dalam ruangan ter-
sebut. Demi kekesalannya, tidak henti-henti ia mema-
ki....
"Murid sialan! Murid tidak tahu balas budi! Ke 
mana perginya ia mencari obat. Tiga harian Juntreng
belum juga nongol batang hidungnya. Dasar brengsek!" 
Tanpa lelah Nilasari Grewek terus berjalan mondar 
mandir. Kedua tinjunya mengepal erat.
"Bila kembali ke sini kau akan tahu rasa pe-
rempuan tengik!" Ia mengepal tinjunya sendiri. Lalu 
seperti biasa ia selalu duduk di sudut ruangan yang 
terlindung dari sinar matahari. Di sampingnya ada se-
buah meja kecil pendek. Tersedia pula teh hangat ra-
muannya sendiri.
Pada meja itu tergeletak pula sebilah pedang 
bersinar keemasan. Apalagi kalau bukan Pedang Ular 
Emas. Kemarahannya segera lenyap demi melihat pe-
dang tersebut. Tangan keriputnya lantas menimang-
nimang Pedang Ular Emas.
Dalam hatinya ia sangat kagum pada si pencip-
ta Pedang Ular Emas. Entah pengaruh apa yang ter-
kandung dalam pedang ini. Teringat akan Srikaton 
Munggel lagi, saat murid tunggalnya itu menghadapi 
Pendekar Kelana Sakti dan Ki Wirayuda. Ketika ia 
menggunakan pedang tersebut, kemampuan murid 
tunggalnya dua kali lipat lebih hebat.
Wajah Nilasari Grewek mendadak pucat. Pera-
saan cemas serta khawatir timbul dengan seketika.
"Dasar aku yang bodoh! Tahunya hanya ngo-
mel! Marah-marah! Menyalahkan Srikaton Munggel! 
Tidak pernah memikirkan akan keselamatan murid 
tunggalku.... Jangan-jangan ia telah bertemu dengan 
pendekar-pendekar sial itu. Celaka! Pastilah Srikaton
Munggel mendapat halangan. Tidak mungkin ia pergi 
sampai berlarut-larut!" Nilasari Grewek cemas bukan 
kepalang.
*
**
SEPULUH


Selama didampingi Srikaton Munggel, Arso 
Lumbing benar-benar lupa daratan. Dalam hati serta 
matanya hanya Srikaton Munggel yang selalu nampak. 
Tidak ada istilah di antara mereka beda usia. Hubun-
gan mereka makin rapat penuh kasih sayang.
Baik Arso Lumbing maupun Srikaton Munggel 
tidak perduli lagi akan tujuan mereka sebenarnya. Kini 
mereka memilih sebuah tempat untuk kediaman. Da-
lam perjalanannya ketika mereka menelusuri aliran 
sungai. Mereka menemukan sebuah gubuk yang sudah 
tidak ditempati. Mereka sepakat untuk menempati dan 
membetulkan gubuk reyot tersebut.
Seharian penuh mereka memberesi tempat 
tinggal yang baru. Gubuk mereka nampak bagai ru-
mah panggung yang mengambang di atas aliran sun-
gai. Pohon-pohon yang rindang tumbuh di tepi sungai. 
Cukup melindungi gubuk mereka dari sinar matahari. 
Manakala air sungai begitu bening. Ikan-ikan yang be-
renang kian kemari dapat terlihat berseliweran di ba-
wah gubuk mereka.
Arso Lumbing sengaja membuat tangga kayu 
yang menjurus ke bawah. Tangga itu gunanya untuk 
turun ke sungai bila ingin mandi atau mencari ikan. 
Hampir kebanyakan Arso Lumbing menggunakan ca-
bang-cabang pohon untuk membangun gubuknya.

Cukup tegar dan kokoh.
Seperti hari itu, saat Arso Lumbing selesai 
membuat tangga kayu, ia langsung mencari ikan. Se-
belumnya ia memang telah menyediakan tombak runc-
ing dari kayu pula.
"Ha-ha-ha-ha.... Hari ini kita makan besar, Sri-
katon.... Aku sudah mengumpulkan lima ekor ikan. 
Cepat kau sediakan api!" teriak Arso Lumbing. Di 
ujung tombak kayunya menggelepar-gelepar seekor 
ikan cukup besar. Di pinggangnya telah terkumpul 
empat ekor ikan.
"Dari tadi api sudah meletup-letup, Arso Lumb-
ing. Kau saja yang tidak mendengarnya." jawab Srika-
ton Munggel. Ia duduk di teras belakang gubuk. Sejak 
tadi ia memperhatikan pemuda idamannya.
"Cukupkah lima ekor ikan?" teriak Arso Lumb-
ing yang sudah mengincar seekor lagi di bawah ka-
kinya.
"Rasanya tidak. Aku tahu betul kau sangat le-
lah. Pasti makanmu banyak sekali." ujar Srikaton 
Munggel.
"Wah... Kalau menuruti kamu, ikan-ikan di 
sungai ini bisa habis." Tak urung Arso Lumbing lan-
carkan tusukan tombaknya ke bawah. Air sungai ber-
geming tertembus tombak kayu. Tapi gagal. Ikan inca-
rannya keburu pergi jauh.
"Kampret! Ikan-ikan di sini mulai gesit." Men-
dengar itu Srikaton Munggel hanya tersenyum. Ia be-
tul-betul mengakui akan ketampanan Arso Lumbing. 
Rasanya pula ia tidak ingin berpisah dengan pemuda 
ini. Ia makin jatuh cinta melihat Arso Lumbing telan-
jang dada, bergerak-gerak menunjukkan otot-ototnya 
yang kekar.
Malamnya mereka menyantap hasil tangkapan 
Arso Lumbing. Arso Lumbing sanggup menghabiskan

tiga ekor. Berkali-kali pula tenggorokannya terselak, 
sehingga ia harus cepat-cepat menenggak air dalam 
pundi. Srikaton Munggel sudah selesai makan. Ia 
membiarkan Arso Lumbing makan sendirian. Karena 
tempat tidur mereka masih berantakan. Ia membenahi 
tumpukan alang-alang yang memenuhi sebagian ruan-
gan gubuk, lalu dilapisi dengan selimut tebal. Dia su-
dah membayangkan, pasti Arso Lumbing akan tertidur 
dengan nyenyak.
Memang benar. Tak lama pun setelah usai ma-
kan, dengkur Arso Lumbing sudah terdengar. Srikaton 
Munggel duduk bersandar pada dinding gubuk tanpa 
bisa memejamkan matanya. Malam itu ia benar-benar 
tidak dapat tidur. Perasaannya seperti mengganjal se-
suatu. Dalam kesunyian itu pikirannya menggambar-
kan peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya.
Teringat pula akan seraut wajah keriput Nilasa-
ri Grewek. Nenek yang selalu memakinya tanpa jun-
trungan. Namun kepada nenek itu pula ia selalu ber-
lindung. Kesan-kesannya memang pahit selama tiga 
puluh tahun mengekor dalam aliran sesat. Terakhir ia 
meninggalkan gurunya, dalam keadaan luka parah. 
Bagaimana sekarang keadaannya. Sehat-sehatkah ia? 
Tapi karena terlalu banyaknya kepahitan hidup ber-
sama Nilasari Grewek, membuat Srikaton Munggel ti-
dak perduli. Sekarang ia coba-coba menggantungkan 
hidupnya terhadap orang yang begitu cepat ia cintai. 
Rela pula ia menyerahkan kesuciannya yang selama ti-
ga puluh tahun ia pertahankan. Selama ini pula ia be-
rusaha menyembunyikan diri yang sebenarnya.
Dia sudah bertekad akan mengabdi pada orang 
yang dicintainya itu. Andai saja Arso Lumbing menya-
kiti hatinya, Srikaton Munggel tidak akan segan-segan 
melumuri tangannya dengan darah Arso Lumbing.
Kedua mata Srikaton Munggel memandang

berkeliling menatap dinding gubuk yang begitu kokoh 
tanpa celah. Ruangan itu dapat diterangi dengan api 
unggun yang meletup-letup di tepi sungai, dalam ke-
remangan itu Srikaton dapat melihat benda panjang 
terbungkus kain sutra. Benda apa sebenarnya itu. 
Benda itu tergantung di dinding. Arso Lumbing ternya-
ta sudah lama tidak menyentuhnya. Hari-harinya di-
habiskan selalu bersama Srikaton Munggel.
Tergerak pula rasa ingin tahu Srikaton Mung-
gel. Tanpa bersuara ia melangkah mendekati benda 
yang diam dingin tak bergerak. Cekatan pula tangan-
nya yang mulus itu mulai membuka bungkusan kain 
sutra. Sesaat matanya membelalak lebar.
Ternyata benda itu hanya sebilah pedang yang 
bersinar keemasan. Bentuk pedang membuat Srikaton 
Munggel tidak percaya. Betapa tidak, pedang dalam 
tangannya itu tidak lain Pedang Ular Emas.
Dia masih ingat betul ketika ia pernah mere-
butnya dari tangan seorang gadis. Bahkan ia pernah 
menggunakannya menumpas rombongan itu. Tapi se-
pengetahuannya, Pedang Ular Emas telah ia berikan 
pada Nilasari Grewek, gurunya. Kenapa pedang ini se-
karang berada dalam tangan kekasihnya?
Timbul pikiran yang bermacam-macam. Bagai-
mana mungkin Pedang Ular Emas bisa berada dalam 
tangan Arso Lumbing? Apakah ia juga telah merebut-
nya dari tangan gurunya? Kalau begitu.... pastilah Ni-
lasari Grewek telah tewas! Perasaan itu yang tergam-
bar dalam benak Srikaton Munggel. Arso Lumbing te-
tap mendengkur pulas.
Ada juga sedikit dendam di jantung Srikaton 
Munggel. Pikirannya mulai bercabang, manakala Pe-
dang Ular Emas terhunus tajam dalam genggamannya. 
Tapi secepat itu pula ia jadi 'Dingin'.
Hidup bersama Arso Lumbing meskipun baru

beberapa hari merasakan dirinya selalu bahagia. Tidak 
tega ia membunuh Arso Lumbing dalam keadaan se-
perti ini. Lagi pula Pedang Ular Emas tidak berarti apa-
apa, pikirnya. Pendekar Kelana Sakti masih dapat 
mengalahkan dengan ilmu-ilmu yang dimiliki. Biar saja 
Pedang Ular Emas menjadi kebanggaan Arso Lumbing. 
Toh pemuda ini merupakan pujaannya.
Cinta memang hebat! Dapat merubah sega-
lanya. Yang baik bisa berubah jahat, begitu juga den-
gan yang jahat, akan berubah sebaliknya. Perlahan 
Srikaton Munggel membungkus kembali Pedang Ular 
Emas itu. Hati-hati pula ia menggantungkan kembali 
ke dinding. Lalu ia kembali ke samping Arso Lumbing. 
Mengelus-elus sosok pemuda yang tertidur pulas.
***
Keresahan yang disebabkan oleh pendekar-
pendekar muda, bukan hanya menggayuti pikiran Ni-
lasari Grewek. Ternyata pula perasaan itu mence-
maskan seorang tua bungkuk bernama Resi Wesakih. 
Kakek bungkuk ini tinggal dalam sebuah goa dekat je-
ram.
Hari pertunangan putranya telah lewat satu 
minggu lebih. Keterlambatan itu sangat keterlaluan. 
Resi Wesakih selalu menatap keluar menunggu keda-
tangan orang-orang Pedang Ular. Namun sampai saat 
ini, baik orang-orang Pedang Ular maupun putranya 
Arso Lumbing belum juga muncul.
Ia hidup seorang diri dalam goa itu. Ternyata 
pula goa itu bukan sembarang goa. Di dalamnya lebih 
nampak seperti layaknya sebuah bangunan batu yang 
ditata sedemikian rapi. Lampu-lampu damar tergan-
tung pada tiap-tiap sudut menerangi ruangan itu. Da-
lam keresahannya, mendadak jantungnya bergetar ke

tika didengarnya derap langkah-langkah kuda.
*
**
SEBELAS


Serta merta ia langsung berlari keluar. Dari de-
pan pintu ia dapat melihat dua orang berkuda mende-
kati goanya. Jelas terlihat oleh mata tuanya kalau sa-
lah seorang dari penunggang kuda itu seorang perem-
puan. Seorang lagi laki-laki muda berpakaian bulu bi-
natang.
Resi Wesakih tetap menunggu mereka dengan 
hati yang berdebar. Langkah-langkah kuda berderak 
nyaring semakin dekat. Mata tuanya memang tidak 
pernah salah. Mereka memang dua muda mudi yang 
tengah menuju ke arahnya. Dan ternyata pula dua 
muda mudi ini tidak lain Wintara dan Umbayani.
Ketika mereka tiba di mulut goa, Resi Wesakih 
berdiri terbungkuk keheranan. Umbayani dan Wintara 
segera turun dari kudanya.
"Maaf, apakah kakek yang bernama Resi Wesa-
kih?" sapa Umbayani berjalan ke hadapan kakek 
bungkuk berambut putih. Kakek ini tidak langsung 
menjawab. Kedua matanya yang hampir tertutup alis 
hanya menatap gadis muda itu. Lalu ia mengangguk 
perlahan.
"Oh, Paman Resi Wesakih!" Melihat itu Um-
bayani langsung berlutut memberi hormat.
"Mata tuaku ini tidak bisa dikelabui, pastilah 
kau cah ayu Umbayani." Resi Wesakih mengangkat 
bangkit Umbayani. Wintara hanya berdiri mengawasi 
pertemuan itu.

"Mana Pedang Ular Emas dan Arso Lumbing? 
Mengapa ia tidak bersama kalian?" tanya Resi Wesa-
kih. Hampir menangis pula Umbayani mendapat per-
tanyaan itu. Dengan bergetar ia menjawab.
"Mengenai Kakang Arso Lumbing, aku sama se-
kali tidak bertemu dengannya. Karena-karena.... Kami 
telah dihadang.... Tidak disangka pula Pedang Ular 
Emas di rebut orang." tutur Umbayani.
"Astaga...?! Sebaiknya kita bicara di dalam, Cah 
ayu. Ceritakan dengan jelas bagaimana sampai terjadi 
hal seperti ini. Arso
Lumbing pun belum kembali ke sini." ujar Resi 
Wesakih. Kakek bungkuk itu menuntun Umbayani 
memasuki goa. Wintara mengikutinya tanpa bicara. 
Dalam ruangan itu menyebar bau wangi pendupaan, 
Terheran-heran- pula Wintara saat berada di dalam 
ruangan goa tersebut. Dirinya tidak mirip di dalam se-
buah goa, Mereka bagaikan dalam sebuah ruangan 
megah yang indah.
Di dalam ruangan itu Umbayani menceritakan 
panjang lebar mengenai nasibnya. Dimulai dari perja-
lanannya yang telah terjebak oleh dua penguasa Gu-
nung Tunggul. Sampai ia berada di pemukiman Ki Wi-
rayuda, lalu bagaimana ia sampai di situ bersama seo-
rang berilmu tinggi yaitu Pendekar Kelana Sakti.
Resi Wesakih kerutkan kening, sepertinya ada 
kesan tersendiri dari penuturan cerita Umbayani.
"Mungkin pula Kakang Arso. Lumbing telah di-
jegal oleh kedua perempuan iblis itu." ucap Umbayani 
sebagai penutup dari penuturannya.
"Maksudmu, Arso Lumbing telah tewas di perja-
lanannya? Tidak mungkin, Umbayani. Arso Lumbing 
cukup dikenal dalam kalangan persilatan, kalaupun ia 
sudah tewas, pasti kabar beritanya sudah sampai oleh
ku." tukas Resi Wesakih.

"Kalau begitu, bagaimana mengenai pusaka 
perguruan Pedang Ular, Paman?" ujar Wintara yang 
duduk bersebelahan dengan Umbayani. Kakek bung-
kuk ini seperti hendak mengekeh.....
"Jangan khawatir. Pedang Ular Emas yang be-
rada di tangan dua penguasa Gunung Tunggul itu ha-
nyalah pedang tiruan buatanku." jawab Resi Wesakih. 
Umbayani dan Wintara menatap tidak mengerti. Tapi 
Resi Wesakih cepat menjelaskannya.
"Pedang Ular Emas yang asli justru berada di 
tangan Arso Lumbing, putra ku. Memang cukup rumit. 
Dan kalian juga tidak bakal mengerti."
"Jadi selama ini perguruan Pedang Ular hanya 
memegang pusaka buatan Paman?" Umbayani hampir 
tidak percaya.
"Betul, kisahnya berawal pada dua puluh tahun 
yang lalu. Saat Perguruan Pedang Ular menjadi inca-
ran tokoh-tokoh aliran sesat. Dengan gigih ayahmu 
mempertahankan nama besar perguruannya. Tentunya 
dibantu pula dengan pendekar-pendekar lain. Bahkan 
di antara pendekar-pendekar itu ada yang menjadi 
korban. Begitu pula dengan tokoh-tokoh sesat, mereka 
lebih banyak dapat ditumpas. Semuanya bermaksud 
ingin merampas Pedang Ular Emas. Saat itu aku be-
rumur enam puluh tahun. Dengan ilmu yang kumiliki 
turut pula membantu ayahmu. Aku memang tinggal di 
sana. Arso Lumbing masih berumur tujuh tahun. 
Mungkin saat itu kau baru berumur empat tahun, 
Umbayani, tentunya kau masih ingat. Waktu itu kau 
hidup tidak sendirian. Kau hidup dua bersaudara den-
gan kakak perempuan bernama Umbamayu. Masih in-
gat?"
"Ingatanku tidak setajam itu, Paman." tukas 
Umbayani.
"Saat itu kau masih bau kencur yang lugu. Kakakmu Umbamayu selalu mengajak kau bermain. Tapi 
ketenangan itu nampaknya tidak langgeng selamanya. 
Seorang tokoh sesat berjuluk Penguasa Gunung Tung-
gul datang menyatroni perguruan Pedang Ular. Dengan 
tujuan yang sama. Ingin merebut pedang Ular Emas. 
Dalam pertempurannya, ayahmu terkena pukulan 
Tombak Gunung yang sangat dahsyat. Aku yang men-
gabdi terhadap ayahmu selama puluhan tahun mana 
sempat berdiam diri. Nekad pula aku menghadapi pen-
guasa Gunung Tunggul itu. Rupanya keberuntungan 
ada di pihak kami, Penguasa Gunung Tunggul dapat 
kami usir dengan luka parah yang sama. Hal itu tidak 
membuat kami tenang. Karena ia sempat pula mem-
bawa Umbamayu kakakmu. Saat itu kami tidak berku-
tik. Karena ia menyandera Umbamayu dan mengan-
cam, Sampai sekian lama akhirnya penguasa Gunung 
Tunggul tidak pernah kembali. Umbamayu pun lenyap 
bersama tokoh perempuan sesat itu, Setelah itu pun 
aku merawat ayahmu sebagaimana layaknya seorang 
saudara. Rupanya ayahmu menaruh simpati padaku. 
Dalam keadaan sakit ia menjodohkan kau dengan Arso 
Lumbing. Mula-mula aku menolak. Aku merasa ku-
rang pantas menerima tawaran yang bagai mimpi. Ka-
rena aku mengingat hanyalah seorang abdi yang ber-
tugas selama bertahun-tahun membuat pedang. 
Ayahmu sangat memaksa, dan tawaran tak dapat ku-
tolak. Dia menyuruh membuat tiruan Pedang Ular 
Emas. Lebih gila lagi aku ditugaskan memelihara pe-
dang aslinya. Pedang itu kelak akan dipertemukan le-
wat pertunangan kau dan Arso Lumbing, Dan sekali-
gus kau menjadi pewaris ayah, karena kakakmu Um-
bamayu hilang tanpa ada beritanya lagi." Resi Wesakih 
mengakhiri ceritanya.
"Aku yakin Srikaton Munggel adalah kakakmu, 
Umbayani. Cerita Paman Resi Wesakih menjelaskan

semuanya." ujar Wintara. Umbayani menatap diam Re-
si Wesakih.
"Ada kemungkinan juga. Kalau memang benar 
Srikaton Munggel adalah Umbamayu, kita bisa mena-
riknya dari tangan Nilasari Grewek." kata Resi Wesa-
kih.
"Satu-satunya jalan kita harus mencari Nilasari 
Grewek. Dia harus menerima pembalasan dariku." 
Sumpah Umbayani di hadapan Resi Wesakih.
"Kita juga tidak harus berdiam diri di sini. Na-
sib Arso Lumbing perlu kita pikirkan. Kalau memang 
tujuannya ke perguruan Pedang Ular tidak mungkin 
akan berlarut-larut seperti ini." Wintara kemukakan 
pendapat. Resi Wesakih menghela nafas....
"Siapa yang tidak merasa khawatir terhadap 
anaknya. Sekali pun aku yakin Arso Lumbing masih 
hidup, Kita memang harus mencarinya. Pertunangan 
Umbayani dengan anakku harus terjalin. Itu sudah 
menjadi amanat majikan Perguruan Pedang Ular." Ka-
kek bungkuk itu seraya bangkit dari tempat duduknya.
Hutang darah yang terpendam selama dua pu-
luh tahun itu akhirnya terjangkit pula di kalangan 
orang tua. Selama dalam goanya Resi Wesakih tidak 
menyangka kalau nenek keriput Nilasari Grewek mun-
cul kembali mengaduk-aduk tanah Sungkawarang. Hal 
itu tidak bisa dibiarkan. Nilasari Grewek memang to-
koh paling sesat dan mesti ditumpas.
Hari itu juga Resi Wesakih mempersiapkan sen-
jatanya. Senjatanya itu merupakan dua buah palu se-
besar kepalan tangan. Dengan senjata itu Resi Wesa-
kih pernah menghantam mundur musuh-musuhnya 
pada dua puluh tahun yang lalu. Termasuk pula Nila-
sari Grewek. Kalau saat itu Nilasari Grewek tidak me-
nyandera Umbamayu, tentunya Nilasari Grewek si 
penguasa Gunung Tunggul sudah tamat riwayatnya.

Terhadap Umbayani ini Resi Wesakih memper-
lakukan sebagaimana ia pernah mengabdi pada ayah-
nya. Sekalipun ia calon mertua. Tapi bagaimana si-
kapnya nanti seandainya Srikaton Munggel benar-
benar Umbamayu.
*
**
DUA BELAS



"Aduh Srikaton yang malang, nasib apa geran-
gan yang melandamu, kalau kau tewas di tanah orang 
bagaimana dengan nasib ku.... Aduh Srikaton.,.." ke-
luh Nilasari Grewek. Nenek keriput berbaju serba me-
rah itu mengarungi pinggiran sungai. Ia baru saja tu-
run dari Puncak Gunung Tunggul. Tangannya erat 
menggenggam pedang berkilau keemasan.
"Menyesal aku selalu mencaci maki dan men-
ganggapmu murid tolol. Kiranya tanpa dirimu hidupku 
begitu kesepian. Aduuuh..... mudah-mudahan saja 
aku bisa menemukan engkau dalam keadaan sehat-
sehat saja. Biar cacad juga tidak apa-apa." keluhnya 
terus. Meski sosok itu sudah nampak peyot keriput 
serta rambut beruban sebatas pinggang, langkah-
langkah kakinya masih nampak tegar. Tubuhnya begi-
tu ringan. Sehingga dalam beberapa langkah saja keli-
hatan Nilasari Grewek seperti berlari. Menyapu tepian 
sungai. Manakala air sungai sangat bening menam-
pakkan ikan-ikannya. Penguasa Gunung Tunggul itu 
tanpa berhenti melangkah.
Dia sengaja mengambil jalan pintas. Jalan yang 
jarang dilalui orang-orang. Dengan begitu ia bebas 
membawa pusaka Pedang Ular Emas tanpa diketahui

orang-orang persilatan. Nilasari Grewek sebenarnya 
enggan membawa pusaka tersebut. Tapi enggan pula 
ia meninggalkan pusaka itu dalam gubuknya. Dalam 
hatinya dia yakin sekali kalau nanti akan berhadapan 
dengan orang-orang Pedang Ular. Dengan begitu peris-
tiwa dua puluh tahun bakal terjadi lagi.
Sementara itu pada jalur sungai mengalir, ter-
dapat sebuah gubuk kayu. Tempat tinggal itu tidak 
lain sebuah gubuk panggung yang mengambang di 
atas aliran sungai milik Arso Lumbing bersama Srika-
ton Munggel. Saat itu Arso Lumbing tidak ada di situ. 
Arso Lumbing tengah mencari kayu bakar di pinggiran 
kali.
Sudah sejak tadi Srikaton Munggel menunggu 
kedatangannya, ia duduk di depan teras gubuk. Mena-
tap ke bawah pada aliran air yang begitu beningnya. 
Namun dari semalam pikirannya agak kacau. Ada se-
suatu yang ingin ditanyakan pada Arso Lumbing, tapi 
ia sendiri sengaja menahan-nahan. Takut kalau perta-
nyaannya itu akan meretakkan hubungan mereka 
yang selama ini terjalin baik. Pikirannya masih mem-
bayang pada pusaka Pedang Ular Emas. Benarkah Ar-
so Lumbing telah merebutnya dari tangan Nilasari 
Grewek? Begitu mudahnya Arso Lumbing dapat meraih 
pusaka tersebut. Setahunya, tidak mungkin Nilasari 
Grewek mau menyerah begitu saja. Paling tidak mere-
ka harus menghadapi pertarungan dulu. Tentunya pu-
la kalau Pedang Ular Emas berada di tangan Arso 
Lumbing, pastilah Nilasari Grewek gurunya telah te-
was.
Lamunannya buyar saat datangnya Arso Lumb-
ing memanggul seikat kayu-kayu ranting di punggung-
nya. Pemuda tampan ini tersenyum dari kejauhan. 
Srikaton tetap diam tanpa menyahut.
"Aduh dewiku.... Setengah harian penuh aku lelah mencari kayu bakar, malah disambut dengan cem-
berut." goda Arso Lumbing.
Dia terus berjalan ke samping gubuk. Srikaton 
Munggel tetap acuh. Diliriknya Arso Lumbing tengah 
menyusun kayu-kayu ranting kering. Selesai menyu-
sun kayu-kayu itu Arso Lumbing berjalan ke arah Sri-
katon, lalu duduk di sampingnya.
"Ada apa seharian ini kau jarang bicara." tegur 
Arso Lumbing. Tubuhnya yang telanjang dada basah 
dengan keringat.
"Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan pada-
mu Arso Lumbing."
"Soal apa? Kau masih belum percaya kalau aku 
mencintaimu sepenuh hatiku?"
"Bukan. Bukan soal itu...." Srikaton Munggel 
ragu-ragu.
"Lalu apa?" Arso Lumbing penasaran.
"Harap kau jangan marah. Kau harus berjanji 
dulu."
"Hm.... Katakanlah."
"Benda apa sebenarnya yang tergantung di da-
lam?" Srikaton Munggel pura-pura tidak tahu apa yang 
terbungkus dengan kain sutra yang tergantung di 
dinding. Arso Lumbing kernyitkan alis. Ia teringat akan 
benda yang jarang disentuhnya selama berdampingan 
dengan Srikaton.
"Cuma itu yang ingin kau ketahui? Benda itu 
cuma sebilah pedang. Kenapa?" Arso Lumbing balik 
bertanya. Ia tidak menyangka kalau siang itu sikap 
Srikaton Munggel agak berubah. Perempuan ini tidak 
bicara. Ia langsung bangkit berjalan ke dalam gubuk. 
Tak lama keluar lagi dengan membawa benda terbung-
kus kain sutra. Di hadapan Arso Lumbing, Srikaton 
Munggel membukanya.
"Katakan dari mana kau dapatkan pedang ini.

Arso Lumbing?" Srikaton Munggel menghunuskan pe-
dang Ular Emas. Arso Lumbing tenang-tenang saja 
menjawab...
"Ayahku sendiri yang membuat pedang itu."
"Jangan bohong, Arso Lumbing. Aku tahu be-
nar pusaka ini milik siapa."
"Heh, kau ini kenapa Srikaton. Kau anggap apa 
aku ini. Kau pikir aku tukang rebut dan main rampas 
milik orang lain?" Arso Lumbing bangkit berdiri meng-
hadapi Srikaton Munggel. Perempuan ini tidak sang-
gup menatap Arso Lumbing. Keduanya berdiri diam. 
Srikaton Munggel seperti hendak menangis.
"Srikaton.... Ada apa dengan kau? Kau boleh 
memiliki pedang itu. Aku tidak perlu lagi. Semenjak 
hidup bersamamu, aku menarik diri dari dunia persila-
tan. Bahkan aku telah melupakan tugas dari ayahku 
sendiri...." Arso Lumbing membujuk.
"Arso Lumbing kuharap kau tidak berdusta...." 
Suara Srikaton Munggel terisak. Kedua bola matanya 
tergenang air bening. Menatap itu Arso Lumbing makin 
trenyuh. Maka tak sanggup lagi Arso Lumbing mena-
han diri. Ia memeluk tubuh Srikaton Munggel yang te-
risak menahan tangis. Namun dengan tiba-tiba saja....
"Srikaton...!" Kedua muda mudi ini mendadak 
tersentak kaget. Bentakan itu sangat nyaring. Kedua-
nya serempak menoleh ke arah suara. Tidak jauh, Sri-
katon Munggel membelalakkan matanya lebar-lebar.
Sosok Nilasari Grewek berdiri tegak menyaksi-
kan mereka. Tidak percaya pula Srikaton melihat Pe-
dang Ular Emas di tangan gurunya. Lalu pedang apa-
lagi yang ada di tangan Srikaton Munggel? Bentuknya 
sama tiada beda. Srikaton Munggel jadi serba salah.
"Susah payah aku mencari-cari kau. Penuh ra-
sa cemas, khawatir, tahu-tahunya lagi enak-enakan di 
sini bersama seorang anak Resi Wesakih. Brengsek!"

bentak Nilasari Grewek.
Arso Lumbing melepaskan pelukannya. Ia juga 
hampir tidak percaya melihat sosok
Nilasari Grewek berdiri di hadapannya. Terle-
bih-lebih nenek itu menggenggam Pedang Ular Emas. 
Dari mana ia dapat? Pikir Arso Lumbing.
"Murid bejad! Kenapa kau biarkan putra Resi 
Wesakih itu! Ayo bunuh!" perintah Nilasari Grewek 
dengan kedua mata melotot.
"Guru.... Aku...." Srikaton keluar dari teras ber-
jalan menghampiri nenek berbaju serba merah. Men-
dadak Nilasari Grewek terkejut setengah mati. Srikaton 
Munggel juga memegang Pedang Ular Emas.
"Pantas kau tidak kembali ke Gunung Tunggul. 
Kiranya kaupun memiliki Pedang Ular Emas juga. Ce-
pat Srikaton, sebelum habis kesabaranku, bunuh dia!" 
perintah Nilasari Grewek.
"Tidak bisa, Guru. Arso Lumbing adalah sua-
miku!" tukas Srikaton Munggel.
"Chis, tidak sudi aku bermantukan orang aliran 
lurus. Baiklah kalau kau tak sanggup membunuhnya. 
Biar aku yang tua keriput membinasakan putra Resi 
Wesakih!" Serta merta nenek berambut putih ini mere-
but pedang dalam genggaman Srikaton Munggel. Pe-
rempuan ini tidak menyangka kalau gurunya akan 
bertindak seperti itu.
Arso Lumbing masih ingat betul akan sosok Ni-
lasari Grewek. Dulu dua puluh tahun yang silam ia 
pernah mengenalinya. Saat Arso Lumbing bersama 
ayahnya, Resi Wesakih mengabdi pada majikan Pergu-
ruan Pedang Ular. Masih ingat pula bagaimana ayah 
Arso Lumbing menghantam mundur nenek berambut 
putih itu.
Tapi hari ini rupanya, Arso Lumbing menerima 
karma dari perbuatan orang tuanya. Kini ia harus
menghadapi serangan Nilasari Grewek. Dengan dua 
buah Pedang Ular Emas di tangannya, Nilasari Grewek 
mencecar habis-habisan pemuda Arso Lumbing. Nya-
tanya pula Arso Lumbing bukan sembarangan orang. 
Tidak percuma ia sebagai putra Resi Wesakih.
*
**
TIGA BELAS


Meski tanpa menggunakan senjata sekalipun, 
Arso Lumbing dapat menghadapi serangan-serangan 
nenek keriput berambut putih.
"Aku memang pikun! Mudah melupakan keja-
dian pada dua puluh tahun yang telah lalu. Dan aku 
telah mengira pula kalau Resi Wesakih telah mampus, 
sekarang kehadiranmu ini membuat kedua mata tuaku 
terbuka!" gerutu Nilasari Grewek. Ia memutar kedua 
Pedang Ular Emas. Maka bergulung-gulung sinar kee-
masan. Suara anginnya menderu-deru. Bahkan sam-
pai mengoyak ketenangan arus air sungai. Sekali ia 
hentakkan kedua pedang tersebut, Arso Lumbing 
menghindar mundur. Sepertinya pula angin mendo-
rong begitu keras membuat dirinya terlempar jauh ke 
belakang sampai tercebur ke dalam sungai.
"Hak-hak-hak-hak...! Biar tak kesampaian me-
lepas dendam terhadap Resi Wesakih. Jantungku akan 
puas dengan mampusnya anak jelek ini, 
"Hreaaaaaa...!" Nilasari Grewek menerjang lagi. Ia ne-
kad ikut masuk ke dalam kali. Saat itu Arso Lumbing 
sudah berdiri meski harus terendam dalam sungai. Ia 
baru tahu akan kehebatan Pedang Ular Emas. Tapi 
mengapa sekarang harus ada dua? Apakah Perguruan

Pedang Ular telah kecolongan pusaka itu? Arso Lumb-
ing tidak sempat memikirkan persoalan itu. Serangan 
Nilasari Grewek datang begitu cepat.
Melihat Arso Lumbing tercecar demikian rupa, 
mana mau Srikaton Munggel berdiam diri. Dengan ka-
lap pula ia melompat ke dalam sungai.
"Guru, kau tidak boleh membunuhnya. Karena 
Arso Lumbing harus menjadi bapak si jabang bayi ini!" 
ujar Srikaton Munggel menghalangi serangan-serangan 
Nilasari. Nenek berambut putih hentikan serangan 
menatap geram dua muda mudi yang telah basah 
kuyub....
"Dasar jalang! Murid tidak tahu diuntung! Se-
baiknya kalian mati bersama dengan pemuda anjing 
ini! Pergilah ke akherat. Hiaaaaaaa...!" Nilasari Grewek 
babatkan dua Pedang Ular Emas sekaligus ke arah 
mereka, tapi Arso Lumbing yang selalu waspada itu 
dapat menarik tubuh Srikaton Munggel. Ia segera me-
lesat ke atas hindari babatan-babatan maut tersebut. 
Lalu keduanya hinggap persis di tepian sungai.
Dengan sigap Nilasari Grewek menyusul mere-
ka, lentingan tubuh keriputnya sangat cepat tahu-tahu 
saja ia sudah hinggap tanpa bersuara di hadapan me-
reka..... Arso Lumbing siap siaga.... Kedua matanya 
menatap jalang. Tak urung juga ia keluarkan jurus-
jurus andalannya.
"Baiklah, Nilasari Grewek. Aku tidak pandang 
lagi siapa kau. Jelasnya aku pernah tahu kau pernah 
malang melintang merecoki Perguruan Pedang Ular. 
Seperti apa yang pernah dilakukan Resi Wesakih. Aku 
pun akan bersikap sama. Menghentikan perbuatan se-
satmu." ujar Arso Lumbing mantap.
Nilasari Grewek tidak perduli, ia terus maju 
lancarkan babatan-babatan Pedang Ular Emas. Seran-
gan itu begitu dahsyat. Tapi Arso Lumbing yang telan

jang dada sigap berkelit mati-matian. Setiap kali gera-
kannya dapat menghindari sinar keemasan yang ber-
kelebat cepat. Arso Lumbing yakin dua dari pedang itu, 
salah satunya 'Asli'. Karena ia tahu ayahnya pernah 
membuat pedang tersebut guna pertemuan pertunan-
gannya dengan Umbayani.
Sudah tentu Arso Lumbing tidak akan sanggup 
menghadapi amukan Pedang Ular Emas yang asli. Ni-
lasari Grewek sendiri sudah merasakan akan keheba-
tan pedang yang berada dalam genggaman tangan ki-
rinya. Ia bisa bergerak ringan setiap kali ia lancarkan 
babatan. Dirasakannya pula pedang itu dapat bergerak 
sendiri dalam tangannya mencecar ke arah lawan.
Setengah mati Arso Lumbing dibuat jatuh ban-
gun. Pada kesempatan itu Srikaton Munggel datang 
membantu. Ia ikut memapaki serangan-serangan gu-
runya. Mati hidup ia sudah nekad akan membantu Ar-
so Lumbing. Ternyata di mata Arso Lumbing, Srikaton 
Munggel ini seorang perempuan yang memiliki ilmu se-
tinggi gunung.
Maka makin bersemangat Arso Lumbing mem-
balas serangan ke arah Nilasari Grewek. Menghadapi 
serangan balasan itu Nilasari Grewek tidak tanggung-
tanggung lepaskan babatan Pedang Ular Emas di tan-
gan kirinya. Akibatnya sangat dahsyat, meski hanya 
terkena sambaran anginnya saja, tubuh Arso Lumbing 
terpelanting bergulingan.
Namun terhadap murid tunggalnya, Nilasari 
Grewek masih memberi hati. Serangan-serangan Srika-
ton Munggel disambut dengan lesatan-lesatan tubuh. 
Tapi justru bertindak seperti itu malah membahayakan 
dirinya. Karena Srikaton Munggel menyerang tanpa 
memandang kalau Nilasari Grewek adalah gurunya.
"Baiklah, Srikaton...! Kau boleh pilih hidup ber-
sama pemuda itu. Kau boleh hidup tenang, tapi di sa

na.... Di akherat!" bentak Nilasari Grewek seraya ia 
melepaskan Pedang Ular Emas buatan Resi Wesakih, 
Sebenarnya pula ia tidak becus menggunakan senjata 
pedang, Hanya saja ia sekarang memiliki Pedang Ular 
sungguhan yang pernah menjadi impiannya pada dua 
puluh tahun yang lalu.
Srikaton tidak perduli dengan sikap gurunya. Ia 
makin gencar lepaskan serangan. Sudah pasti tinda-
kan murid tunggalnya membuat Nilasari Grewek mur-
ka. Maka dengan sebelah tangan kosongnya ia lancar-
kan pukulan Tombak Gunung....
"Deeeer!" Srikaton Munggel tidak sempat men-
gelak. Hantaman itu telak mendera di tubuhnya. Tak 
urung tubuh rampingnya terjungkal ke belakang sam-
bil menyemburkan darah. Melihat itu pun Arso Lumb-
ing cepat melindungi Srikaton. Cepat pula ia meraih 
Pedang Ular Emas 'Tiruan' yang tergeletak di tanah. 
Srikaton Munggel bangkit terhuyung di belakangnya. 
Tapi belum sempat Arso Lumbing lancarkan serangan, 
Nilasari Grewek lepaskan lagi hantaman Tombak Gu-
nungnya.
"Bledaaaaaar...!" Kerasnya tidak kepalang. Pa-
sangan muda mudi ini kembali ambruk. Srikaton 
Munggel lebih parah. Ia menyemburkan darah berkali-
kali. Arso Lumbing merasakan sekujur tubuhnya re-
muk. Manakala Nilasari Grewek tidak tinggal diam me-
lihat keadaan mereka. Dengan gerakan yang sangat 
cepat ia menerjang lepaskan babatan Pedang Ular 
Emas. Tapi Arso Lumbing yang masih dapat bertahan, 
menangkis dengan babatan pedang pula.
"Traaaang...!" Benturannya nyaring sekali. Tapi 
kedahsyatannya jauh dibanding dengan pedang di tan-
gan Nilasari Grewek. Tentu saja. Karena Arso Lumbing 
menggunakan 'Tiruannya'. Arso Lumbing hampir tidak 
mampu menahan kekuatan yang maha dahsyat itu.

Kedua tangannya erat menggenggam pedang. Me-
nyambut setiap serangan Nilasari Grewek.
Pandangan Srikaton Munggel mulai nanar. Se-
luruh tubuhnya serasa lemas. Tenaganya benar-benar 
ludes terkuras. Manakala rasa sakit di sekujur tubuh-
nya itu membuat ia hampir pingsan. Pandangannya ti-
dak lepas menyaksikan bagaimana Arso Lumbing 
mempertahankan nyawanya dari maut.
Setiap babatan pedang Nilasari Grewek disertai 
dengan teriakan lantang merencah di tubuh Arso 
Lumbing. Namun lelaki muda ini tetap berupaya me-
nyingkir, meskipun ia yakin bakal tewas di tangan ne-
nek berambut putih itu.
"Sekarang mampuslah kau, pemuda keparat! 
Hreaaaaaa...!" Nilasari Grewek arahkan Pedang Ular 
Emas kuat-kuat ke batok kepala Arso Lumbing, tapi....
"Traaaaang...!" Pedang di tangan Nilasari Gre-
wek mendadak bergetar. Suatu benda melayang-layang 
di udara. Kiranya benda itu pula yang menggagalkan 
niatnya. Sebuah palu sebesar kepalan. Palu itu terus 
melayang menjauh dan kembali pada pemiliknya.
Resi Wesakih sigap menangkap sebelah pa-
lunya. Ia berdiri bringas didampingi dengan Wintara 
dan Umbayani. Ketiga orang yang baru datang itu ce-
pat menuju ke pinggiran kali. Nilasari Grewek ker-
nyitkan alls menatap Resi Wesakih.
"Heh, kiranya kau telah menjadi tua bangka be-
jad! Tak kusangka pertemuan ini sangat mengharu-
kan. Kau lihat putramu ini bakal mampus di tangan-
ku!" bentak Nilasari Grewek.
Ketiga orang ini menatap Arso Lumbing bangkit 
dengan sebilah pedang bersinar keemasan. Namun da-
ri kejauhan itu Resi Wesakih dapat melihat kalau pe-
dang dalam tangan Arso Lumbing adalah pedang bua-
tannya sendiri. Mendadak kaget pula saat ia melihat


Pedang Ular Emas dalam tangan Nilasari Grewek.
"Nenek usil! Rupanya kau belum bisa mampus 
dengan tenang sebelum melihat pusaka Ular Emas. 
Ternyata pula hari ini kau mesti mampus." ujar Resi 
Wesakih.
***
Umbayani yang berdiri di samping kiri Resi We-
sakih dapat melihat sosok Srikaton Munggel berlumu-
ran darah. Melihat perempuan itu Umbayani jadi ge-
ram. Serta merta ia berjingkat maju.
"Paman, perempuan busuk itulah yang ikut 
membantu merampas Pedang Ular Emas dari tangan-
ku. Sekarang ia harus menerima ganjarannya!" Um-
bayani mementang jurus, tapi Srikaton Munggel tetap 
diam dengan pandangan samar.
"Tahan amarahmu, Umbayani." ujar Resi Wesa-
kih. Sesaat pula orang tua bungkuk itu menatap jelas 
perempuan berlumuran darah.
"Tidak salah dugaan kita. Srikaton Munggel 
yang selama ini mengekor bersama Nilasari Grewek 
adalah Umbamayu, kakak mu Umbayani." kata Resi 
Wesakih pasti. Saat itu Arso Lumbing membawa tubuh 
Srikaton Munggel dari tempat itu. Ia membawa masuk 
ke dalam gubuk. Umbayani berdiri mematung. Piki-
rannya bimbang.
"Sekarang kita sudah berkumpul semua di sini. 
Selanjutnya bisa kita atasi setelah melumatkan Iblis 
Keriput ini!" Resi Wesakih bersiap-siap dengan kedua 
senjata palunya.
"Hik-hik-hik-hik...! Boleh.... Boleh...! Majulah 
kalian semua...! Selama Pedang Ular Emas di tangan-
ku, aku tidak bakal mundur. Juga kepada Pendekar 
Kelana Sakti, kau boleh pergi ke akherat lebih dulu!"

kata Nilasari Grewek lantang. Ia langsung menyerang. 
Serangannya itu diarahkan pada Wintara. Pendekar 
Kelana Sakti tidak perlu menyambut, karena Resi We-
sakih dan Umbayani menghalanginya terlebih dahulu.
Palu godam berturut-turut seakan menghantam 
kepala Nilasari Grewek, Umbayani tidak kenal takut 
lepaskan hantaman meskipun lawannya menggunakan 
pusaka Pedang Ular. Saat itu Arso Lumbing sudah ke 
luar dari gubuknya. Dia pun melihat pertarungan ter-
sebut. Gerakan Umbayani diawasi oleh Arso Lumbing. 
Ia masih ingat akan wajah gadis yang pernah ditolong-
nya itu. Tidak menyangka pula kalau gadis itu calon 
pengantin perempuan untuknya. Bagaimana dengan 
Srikaton Munggel? Bagaimana pula dengan sikap 
ayahnya nanti? Hal itu akan sangat panjang bila dipi-
kirkan. Sekarang ia melompat ikut mengeroyok Nilasa-
ri Grewek.
Wintara belum bereaksi. Diam-diam ia merasa 
kagum akan kehebatan Nilasari Grewek. Meskipun la-
wannya berjumlah tiga orang ia tidak merasa keteter. 
Malahan babatan pedangnya membuyarkan serangan 
ketiga orang itu. Yang ia khawatirkan adalah gadis 
Umbayani, karena ia masih terluka di perutnya. Terli-
hat jelas kalau bagian perutnya itu mengembar darah. 
Bahkan terdesak dari serangan-serangan nenek be-
rambut putih.
Demi melihat itu Wintara melesat ke arah per-
tempuran. Ia cepat menarik tubuh Umbayani dari 
sambaran pedang.
"Nona, sebaiknya kau tidak perlu campur tan-
gan. Nenek itu terlalu berbahaya. Menyingkirlah." ujar 
Wintara.
"Aku sanggup menghadapi keparat itu!" tukas 
Umbayani.
"Jangan, Nona. Luka di perutmu belum sem

buh betul. Lihatlah." Umbayani menatap ke bawah. 
Benar saja. Perutnya telah banyak mengeluarkan da-
rah lagi. Maka tanpa bicara Umbayani segera melang-
kah mundur. Wintara berbalik menghadapi pertempu-
ran.
Resi Wesakih bersama putranya kompak me-
lancarkan serangan. Palu godam menderu-deru berke-
lebat di sekitar tubuh Nilasari Grewek. Sambaran palu 
itu menggetarkan rambut putih nenek berbaju merah.
Dari arah lain Arso Lumbing lancarkan puku-
lan tangan kosong yang bertubi-tubi mencecar ke ba-
gian dada.
Wintara melompat lancarkan pukulan Bayu 
Menghantam Tebing. Nilasari Grewek tidak gentar. Ia 
menyambut dengan sambaran Pedang Ular Emas se-
kuatnya. Maka hantaman Wintara berbalik mengenai 
tuannya sendiri. Tak urung Wintara mundur ter-
huyung. Begitu juga dengan Resi Wesakih dan Arso 
Lumbing. Saat nenek berbaju merah itu kibaskan pe-
dangnya, anak beranak ini jatuh bangun dibuatnya.
"Hik-hik-hik-hik.... Apa kubilang! Kalian semua 
bakal mengambang di sepanjang sungai ini!" ejek Nila-
sari Grewek. Ia terus memutar-mutar pedangnya se-
hingga timbul suara yang berdesing panjang.
Tak terduga kalau desingan panjang itu meme-
kakkan telinga. Membuat semua orang yang berada di 
situ blingsatan. Umbayani erat menutup telinga den-
gan kedua tangannya. Resi Wesakih mempengaruhi 
desingan suara itu dengan benturan dua palu godam. 
Wintara tidak henti-hentinya keluarkan jurus Bayu 
Menghempas Gelombang. Kedua tangannya bergerak 
bergulung-gulung menimbulkan suara yang amat ber-
gemuruh. Tapi Nilasari Grewek semakin tertawa men-
gikik memutar pedang tersebut tanpa berhenti.
Arso Lumbing bertahan sekuat tenaga. Telin

ganya serasa pecah. Pada detik itu ia nekad melompat 
deras ke arah Nilasari Grewek.
"Arso Lumbing.... Jangan...!" Terlambat. Teria-
kan Resi Wesakih tidak diperdulikan. Arso Lumbing 
lepaskan babatan pedang pada Pedang Ular Emas yang 
tengah berputar sangat cepatnya.
"Traaaaaaaang...!" Benturan kedua pedang itu 
memercikan api. Dari benturan itu Aso Lumbing ter-
lempar berdegum di tanah. Tubuhnya kelojotan me-
nyembur darah. Tapi hasil dari terjangan Arso Lumb-
ing melenyapkan suara desingan Pedang Ular Emas. 
Resi Wesakih menggeram hebat. Ia nekad pula memba-
las dengan kedua palu godam. Hantaman-hantaman 
palu godam disambut dengan babatan-babatan pe-
dang. Suaranya berdentang nyaring.
Tak terkira kalau diam-diam Nilasari Grewek 
lepaskan hantaman Tombak Gunung. Resi Wesakih 
memekik sambil terhuyung. Nilasari Grewek tidak ber-
henti. Jurus-jurus Jari Tombak pun beraksi. Jari-jari 
Nilasari Grewek yang laksana mata jarum mengais-
ngais ke bagian perut. Disertai pula dengan tusukan 
pedang. Akibat dari cakaran-cakaran itu lengan Resi 
Wesakih tergores dan tersayat mengeluarkan darah.
Setengah mati Wintara menghalangi serangan-
serangan Nilasari Grewek, malah sambaran pedang la-
wannya nyaris memisahkan kepalanya. Tujuan dari 
Pendekar Kelana Sakti ini adalah menghindari Resi 
Wesakih dari serangan-serangan Nilasari Grewek, ka-
rena hanya Wintara yang tahu kehebatan nenek pen-
guasa Gunung Tunggul. Tapi siapa yang menyangka 
kalau sekarang nenek itu mendadak hebat. Apalagi ia 
menggunakan pusaka Pedang Ular. Wintara yang sela-
lu dapat membuat nenek penguasa Gunung Tunggul 
lari kocar kacir, malah sekarang jadi bulan-bulanan.
Reflek tubuh Pendekar Kelana Sakti menghindari serangan Nilasari Grewek. Setiap gerakannya ia 
mencari kesempatan untuk membalas. Maka pada de-
tik berikutnya Wintara tidak tanggung-tanggung le-
paskan hantaman Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Deeeeer...!" Tubuh Nilasari Grewek mencelat ke 
belakang. Lalu membentur batang pohon besar. Den-
gan murka ia menggeram. Dia babatkan Pedang Ular 
Emas sekehendak hatinya. Tapi babatan pedang itu 
hanya menumbangkan pohon besar yang ada di bela-
kang. Wintara sudah mundur terlebih dulu. Bahkan 
telah bersiap-siap lepaskan hantaman Menyibak Tirai 
Bayu.
Benar saja ketika Nilasari Grewek maju dengan 
putaran Pedang Ular Emas. Serangan itu bergulung-
gulung menyerupai putaran sinar kemilau. Hantaman 
itu pun dilepaskan sekuatnya oleh Wintara. Kembali 
Nenek penguasa Gunung Tunggul memekik. Rambut 
putihnya seakan bergetar saat tubuh keriput Nilasari 
Grewek ambruk di tanah.
"Nenek yang maha sakti, sudi kiranya menye-
rahkan pedang itu pada kami." ujar Wintara. Nilasari 
Grewek beringsut bangkit. Ia menyeka aliran darah di 
sudut bibirnya....
"Chis! Pendekar sialan! Siapa yang tidak tahu 
akal busukmu! Bukankah kau pun ingin memiliki pe-
dang ini? Ambillah olehmu sendiri...." jawab Nilasari 
Grewek, ia malah maju lancarkan tusukan Pedang 
Ular Emas ke arah jantung. Wintara yang berdiri di 
hadapannya cepat menghindar lalu lancarkan lagi Tin-
ju Bayu Delapan Penjuru.
"Bledaaaar...!" Tak pelak Nilasari Grewek me-
nyemburkan darah. Tubuhnya mencelat terlempar ke 
tengah sungai. Tak lama ia bangkit dengan tubuh ba-
sah kuyub. Ia hentakkan kedua kakinya.
"Splaaaaaash...!" Maka terlihatlah satu peman

dangan yang sangat mengagumkan. Nilasari Grewek 
dapat berdiri di atas aliran sungai bening. Lalu tanpa 
perduli ia melarikan diri ke sebrang. Larinya sangat 
cepat, sampai-sampai Wintara dan yang lain tidak 
sempat mengetahui ke mana perginya. Tapi suara pa-
rau Nilasari Grewek bergema di sekitar tempat itu....
"Pendekar-pendekar sialan! Kalian akan tahu 
rasa nanti! Tunggu saja sampai aku kembali lagi untuk 
menghancurkan batok kepala kalian!" Suara itu terus 
menggema lalu hilang tertelan dengan arus air yang 
mengalir.
Wintara menghela nafas panjang. Berkali-kali 
Nilasari Grewek selalu dapat melarikan diri darinya. 
Menyesal sekali Pendekar Kelana Sakti tidak dapat me-
rebut pusaka Perguruan Pedang Ular. Ia berdiri mena-
tap Resi Wesakih didampingi Arso Lumbing dan Um-
bayani.
"Tidak perlu disesali, Wintara. Kita bisa mene-
mukan Nilasari Grewek lagi. Selama Pedang Ular Emas 
di tangannya ia akan selalu muncul membuat keona-
ran." ujar Resi Wesakih. Lelaki tua bungkuk ini nam-
pak mengurut-ngurut dadanya.
"Sebenarnya orang macam Nilasari Grewek itu 
tidak bisa dibiarkan. Meskipun tua renta, tindakannya 
melebihi daripada iblis. Menyesal aku tidak dapat me-
lumpuhkannya." desah Wintara.
"Tak jadi soal. Lagi pula ke mana kita harus 
mengejarnya? Biarkan saja, nanti setan tua itu pasti 
muncul lagi." jawab Resi Wesakih yang mulai pulih. 
Lalu ia menoleh pada Arso Lumbing.
"Anakku, bawa keluar Umbamayu kemari." Ar-
so Lumbing tidak mengerti akan maksud ayahnya.
"Siapa? Umbamayu?" ulang Arso Lumbing.
"Ya, perempuan yang bersamamu tadi." kata 
Resi Wesakih.

"Dia Srikaton Munggel, bukan Umbamayu, 
Ayah...."
"Tidak, kau tahu apa, bawa Umbamayu ke 
luar." perintah Resi Wesakih dituruti juga. Maka tak 
lama Arso Lumbing ke luar dari gubuk memapah tu-
buh pingsan Srikaton Munggel.
"Nah, kau perhatikan baik-baik. Apakah kau 
masih belum mengenali Umbamayu? Kau lihat Um-
bayani, kau lihat dengan gelas. Srikaton adalah kaka-
mu, Srikaton bukan lain dari Umbamayu. Kakakmu 
yang selama dua puluh tahun menghilang."
Baik Arso Lumbing maupun Umbayani teringat 
akan masa silam mereka. Dua puluh tahun memang 
cukup lama. Membuat mereka melupakan sosok Um-
bamayu yang lenyap itu. Dan ternyata masih ada pula 
cacad luka di kening Srikaton Munggel. Cacad lama. 
Cacad sewaktu menyelamatkan Umbayani dan Arso 
Lumbing terjatuh dari sebuah pohon. Yakinlah seka-
rang kalau Srikaton Munggel adalah Umbamayu. Lalu 
bagaimana dengan pertunangan Arso Lumbing dengan 
Umbayani?..... Tiba-tiba Arso Lumbing merasakan ke-
palanya berputar tujuh keliling. Kenapa Srikaton ha-
rus kakak Umbayani? Kenapa pula Umbamayu harus 
kakak Umbayani, kenapa... Arso Lumbing bisu.
"Tindakannya selama ini di aliran sesat hanya 
karena pengaruh tokoh sesat penguasa Gunung Tung-
gul. Kau harus memaafkan segala perbuatannya, Um-
bayani. Selama ini Umbamayu hanya diperbudak. Kau 
harus menerima kehadirannya...." ujar Resi Wesakih. 
Umbayani tertunduk menitikkan air mata. Di perutnya 
darah mengembar terus akibat gerakan-gerakan tadi. 
Tapi rasa sakit itu seakan tak terasa saat ia menatap 
wajah pucat Umbamayu. Bayangan-bayangan masa si-
lam tergambar menguras habis air matanya.
Arso Lumbing sudah melihat bagaimana sika
Umbayani, calon pengantin perempuannya. Ia jadi ser-
ba salah. Kekikukan itu dapat dirasakan oleh Resi We-
sakih. Lelaki bungkuk ini sempat melihat bagaimana 
Arso Lumbing ketika melindungi Umbamayu. Dia ke-
rahkan tenaga mati-matian, bagai membela seorang 
kekasih dari maut. Resi Wesakih dapat membaca lewat 
pikiran tuanya. Apalagi hampir sebulan ia tidak me-
nampakkan diri ke hadapan Resi Wesakih. Dan seka-
rang Arso Lumbing ditemukan dalam keadaan akrab 
dengan Umbamayu. Bagaimana pertunangan putranya 
itu dengan gadis Umbayani? Kita tidak dapat mengiku-
tinya sekarang. Masih ada satu kisah lagi yang akan 
membuat anda semakin haru dan mengerti. 
Ikutilah.... Pedang Ular Emas.

                          TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar