SATU
Gunung Tunggul tetap menyeramkan. Hutan-
hutan yang gelap serta semak-semak belukar tumbuh
di sana sini. Dataran tanahnya banyak berbatu. Na-
mun sangat subur. Di situ pula banyak ditumbuhi
alang-alang yang tinggi sebatas pinggang. Alang-alang
itu terus menghampar sampai ke atas puncak.
Meski keadaan Gunung Tunggul sangat menye-
ramkan, udara di sekitar puncak amatlah sejuk dan
segar. Bila angin berhembus, suaranya menderu-deru
bagai iringan musik alam yang membuat pohon-pohon
cemara hutan bergoyang-goyang.
Sesekali pula burung-burung beterbangan ber-
kelompok-kelompok meninggalkan sarangnya. Mereka
terbang meliuk-liuk kemudian hinggap pada satu ban-
gunan yang nampaknya bekas sebuah kuil. Bangunan
batu itu tetap tegar meski sudah sangat usang. Selu-
ruh dindingnya banyak ditumbuhi akar-akar pohon
merambat. Juga lumut-lumut jamur hampir menutupi
seluruh genting yang nyaris ambruk. Di sekitar pelata-
ran bangunan terkumpul tumpukan-tumpukan jerami
kering.
Di situlah tempat pemukiman dua pendekar
wanita penguasa Gunung Tunggul. Dua perempuan
sakti dari aliran sesat itu dapat tinggal tenang, tanpa
ada yang mengetahui di mana adanya bekas sebuah
kuil. Murid dan guru yang sama-sama malang melin-
tang mengacaukan dunia persilatan kerap kali selalu
turun gunung. Kehadiran mereka selalu mencemaskan
orang-orang dari aliran lurus. Nama busuknya sebagai
Penguasa Gunung Tunggul betul-betul sangat mena-
kutkan.
Tapi pagi ini mereka, murid dan guru, yang ti
dak lain Nilasari Grewek dan Srikaton Munggel, hanya
berdiam diri dalam pemukiman mereka. Sang guru, Ni-
lasari Grewek yang telah berusia hampir tiga perempat
abad dengan rambut yang memutih sebatas pinggang
serta selalu mengenakan pakaian serba merah tengah
duduk menikmati teh hangat ramuannya sendiri. Ia
duduk bersila di sudut ruangan. Matanya tidak lepas
menatap Srikaton Munggel murid tunggalnya. Perem-
puan cantik molek ini duduk di atas tumpukan jerami
menatap keluar dengan pandangan yang kosong! Meli-
hat itu, Nilasari Grewek menggelengkan kepalanya.
"Berhari-hari kerjamu hanya memikirkan Gen-
tara Karma. Latihan ilmu pun kau tidak bersemangat.
Mau jadi apa? Mau jadi Telembuk?" gerutu Nilasari
Grewek. Srikaton Munggel tersadar dari lamunannya.
"Tapi Kakang Gentara Karma telah tewas,
Guru. Kematiannya sangat mengenaskan. Siapa yang
tidak kasihan mendengar tokoh hebat macam Kakang
Gentara Karma." sahut Srikaton Munggel. Nenek be-
rambut putih ini seperti hendak tertawa mengekeh.
"Kau ini ada-ada saja. Dulu semasa aku mem-
pertunangkan kau dengan Gentara Karma, kau tolak.
Kau bilang jorok, memuakkan, dan masih banyak lagi
sumpah serapahmu, dulu, semasa Gentara Karma ma-
sih hidup, hubungan kalian bagaikan anjing dan kuc-
ing. Sekarang pasanganmu sudah mampus, bagaikan
pungguk merindukan bulan. Lupakan saja soal ka-
kakmu itu. Yang kau pikirkan bagaimana kita dapat
membalas dendam?"
"Balas dendam? Balas dendam terhadap siapa,
Guru?.... Siluman Muka Buruk juga telah tewas." ja-
wab Srikaton Munggel.
"Dasar murid tolol. Musuh-musuh kita masih
banyak di depan mata. Bagaimana pun aku tidak bisa
melupakan Pendekar Kelana Sakti. Tindakannya mem
buat kita terhina di mata orang-orang persilatan. Kalau
saja pendekar sialan itu tidak ada, Ki Wirayuda bersa-
ma Pendekar dari Bukit Sinimbung sudah kucabut
jantungnya." Nilasari Grewek kertakan rahangnya.
Kemarahannya tiba-tiba saja muncul saat teringat
akan Pendekar Kelana Sakti.
"Satu-satunya penghalang cuma bocah ingusan
itu. Dia harus disingkirkan terlebih dulu." sambung
Srikaton Munggel.
"Nah, itulah yang sekarang tengah ku pikirkan,
muridku. Persoalan Gentara Karma sudah basi. Masih
banyak laki-laki di luar sana. Kupikir kau sangat can-
tik. Tubuhmu sangat molek menggiurkan. Siapa yang
tidak tertarik denganmu!?" Setelah berkata begitu Nila-
sari Grewek menghirup habis teh hangat dalam cang-
kir bambu.
"Apakah kita berdua cukup mampu menghada-
pi Pendekar sialan itu? Ilmunya yang setinggi langit
membuat kita lari morat marit. Aku khawatir kita ber-
dua akan celaka."
"Pendekar asal jadi itu setingkat denganku." ja-
wab Nilasari Grewek.
"Kenapa saat kita menggempur Ki Wirayuda ha-
rus lari?"
"Sekali lagi kubilang kau murid tidak punya
otak!" Maki nenek berambut putih. Srikaton Munggel
bergidik ketakutan.
"Hal itu dikarenakan adanya Siluman Muka
Buruk. Saat itu kita memang betul-betul buta. Tidak
tahu kelemahan Ilmu Mati Pamungkas. Tapi sukurlah
sekarang bangsat itu sudah mampus."
Srikaton Munggel diam. Matanya tidak berkedip
menatap gurunya bangkit berdiri. Nilasari melangkah
ke depan pintu batu. Ia berdiri di situ memandang
jauh keluar. Hembusan angin gunung menerpa rambut
putihnya. Pikirannya melayang mundur pada beberapa
hari sebelumnya. Ketika mereka berdua menyatroni
pemukiman Ki Wirayuda. Hal itu memang tidak bisa
dilupakan. Nama besar Pendekar Gunung Tunggul be-
nar-benar telah tercoreng.
Belum pernah ia merasa gentar atau lari mun-
dur dari musuh-musuhnya. Wajah Pendekar Kelana
Sakti membekas berat di lubuk matanya. Tentunya
pendekar muda itu tengah disanjung-sanjung saat ini.
Srikaton Munggel mengernyitkan alis melihat gurunya
berdiri seperti menahan amarah. Murid tinggal ini
mendadak kaget saat Nilasari hentakkan kedua tan-
gannya ke depan.
"Bledaaaar...!" Kiranya Nilasari Grewek le-
paskan satu hantaman. Pukulan jarak jauh itu merun-
tuhkan satu pohon kering yang ada di muka bangu-
nan. Itulah luapan amarah Nilasari Grewek. Nenek ke-
riput ini memang selalu begitu bila dilanda kemara-
han.
"Lihat, Srikaton! Hantaman Tombak Gunung
akan menghancurkan tubuh pendekar sialan itu." kata
Nilasari Grewek dengan nafas yang kian memburu.
"Be-benar, Guru. Pendekar Kelana Sakti tidak
akan mampu menghadapi hantaman itu." sambut Sri-
katon Munggel memberi semangat. Seraya ia melang-
kah bangun mendekati gurunya.
"Guru pun harus mengajarkan jurus itu pada-
ku. Belum pernah kulihat ilmu yang sedahsyat ini...."
Srikaton Munggel merayu.
"Belum saatnya, Srikaton. Belum saatnya. Kau
tidak akan sanggup mempelajarinya sekaligus. Ini ter-
diri rangkaian jurus Jari Tombak dan Jari Pedang.
Apakah kau sudah menguasai jurus keduanya?" ujar
Nilasari Grewek. Srikaton Munggel menunduk.
"Bagaimana aku bisa melumpuhkan Pendekar
Kelana Sakti, kalau guru tidak memberi pelajaran ju-
rus itu." celetuk Srikaton.
"Heh! Pendekar ingusan itu bagianku! Biar
olehku pendekar sial itu berjalan merangkak seperti
anjing." Sumpah nenek keriput Nilasari Grewek. "Ba-
gianmu Ki Wirayuda dan pendekar Witasoma. Aku ya-
kin mereka berdua tidak akan mampu menghadapi
engkau. Bersiaplah... Sebentar lagi kita akan turun
gunung."
"Hari ini? Apakah tidak terlalu lelah?"
"Bila menunggu-nunggu lagi. Pendekar Kelana
Sakti keburu merat. Ke mana kita mencari pendekar
itu. Langkah-langkahnya sukar untuk dicari." jawab
Nilasari Grewek. Ia kembali masuk menutupi semua
jendela ruangan. Ruangan bangunan bekas kuil itu
menjadi gelap. Srikaton Munggel melangkah keluar. Di
pelataran bangunan, ia mengikuti gerakan-gerakan ju-
rus gurunya. Seolah-olah ia arahkan hantaman Tom-
bak Gunung pada sebuah pohon kering yang ada di
hadapannya. Berulang-ulang ia lancarkan hantaman
jarak jauh itu. Tapi pohon kering tetap berdiri tegak
tak bergeming.
Hampir kesal ia menghadapi pohon kering yang
berdiri diam menantang. Manakala ia terus melancar-
kan jurus Tombak Gunung. Diam-diam Nilasari Gre-
wek yang telah menutup pintu batu memandangi sam-
bil mengekeh. Diam-diam pula nenek keriput ini lan-
carkan hantaman yang serupa. Srikaton Munggel ter-
kejut dengan tiba-tiba. Karena pohon kering di hada-
pannya hancur berderak, maka.....
"Guru.... Aku bisa! Aku bisa!" Srikaton melon-
cat kegirangan.
"Bisa apa? Matamu Pecak? Aku tadi yang
menghancurkan pohon itu. Kau belum sanggup untuk
melakukannya, Srikaton. Jangan mimpi. Untuk mem
pelajari jurus Tombak Gunung, harus disertai kesung-
guhan yang bulat. Juga tidak memakan waktu yang
sedikit." ujar Nilasari Grewek masih mementang jurus.
Srikaton Munggel jadi malu.
Daerah itu di tumbuhi pohon-pohon besar.
Nyaris gelap dan menakutkan. Namun bagi kedua
pendekar wanita ini sama sekali bukan halangan. Dari
puncak Gunung Tunggul sampai lereng memang dae-
rah kekuasaannya. Binatang apapun lari sembunyi bi-
la melihat mereka.
Dengan bebas tanpa halangan mereka menem-
bus lereng gunung. Keduanya menatap lapang tanah
perbukitan tandus berbatu. Keduanya tidak langsung
melanjutkan perjalanan. Karena mereka dapat melihat
sesuatu yang menjadi perhatian.
"Nampaknya seperti sebuah iring-iringan.
Guru." ujar Srikaton Munggel. Sang Guru tidak men-
jawab. Ia mempertajam mata tuanya. Lalu tak lama ia
mengangguk-anggukkan kepala.
Iring-iringan berkuda itu makin lama makin
dekat. Beberapa penunggang kuda memegangi bebera-
pa bendera. Di tengah-tengah iring-iringan itu sebuah
tandu gemerlapan didukung enam orang. Di belakang-
nya berderet para pengawal berkuda.
"Hm, calon pengantin perempuan rupanya."
gumam Nilasari Grewek. Srikaton Munggel tidak men-
gerti. Dia hanya diam mengawasi rombongan itu. "Me-
reka akan mempertemukan calon pengantin perem-
puan dengan pengantin laki-laki." gumamnya lagi. Sri-
katon makin tidak mengerti.
"Dari mana guru tahu kalau iring-iringan itu
membawa calon pengantin perempuan?" tanya Srika-
ton Munggel.
"Tiga puluh tahun malang melintang dalam du-
nia persilatan rupanya membuat otakmu tambah beb
al. Tidakkah kau lihat bendera-bendera yang mereka
bawa?" kata Nilasari Grewek seraya ia menarik kepala
Srikaton Munggel agar dapat terlihat dengan jelas ir-
ing-iringan itu.
"Oh, bendera yang bergambar sebuah pedang
dengan ular melingkar?" jawab Srikaton Munggel.
"Bukan bendera yang bergambar. Bendera itu
menyatakan mereka dari perguruan 'Pedang Ular.'
Yang kumaksud bendera-bendera yang berwarna me-
rah tersulam benang mas." Srikaton Munggel men-
ganggukkan kepalanya.
"Pasti calon pengantin perempuan itu berada
dalam usungan tandu. Entah mereka mengadakan
pertemuan di mana. Biasanya orang-orang aliran lurus
selalu merahasiakannya." kata Nilasari Grewek, sikap-
nya hati-hati sekali agar tak terlihat oleh rombongan
berkuda itu.
"Lalu apakah kita membiarkan orang-orang ali-
ran lurus melintasi sekitar lereng Gunung Tunggul?"
"Tidak akan, Srikaton. Tanganku selalu gatal
bila melihat orang-orang aliran lurus." Nilasari Grewek
kertakan tinju. Serta merta ia mendorong tubuh Srika-
ton Munggel. Meski dorongan itu perlahan, namun
akibatnya sangat fatal. Tubuh Srikaton Munggel ter-
guling dahsyat.
"Guru...! Apa yang kau lakukan?" Srikaton
Munggel memekik. Nilasari Grewek tidak menjawab.
Malah ia melepaskan lagi hantaman-hantaman ringan
ke arah Srikaton, murid tunggalnya. Sudah tentu mu-
rid tunggalnya itu tidak berani membalas atas perbua-
tan nenek berambut putih.
"Kau ingin membunuhku?" Srikaton Munggel
berusaha mengelak.
"Murid tolol. Diam dan jangan berteriak, kita
bermain sandiwara di hadapan mereka. " Srikaton ba
ru mengerti. Dirasakan hantaman-hantaman gurunya
seperti menghalau ke arah rombongan itu. Tahu begi-
tu, Srikaton sengaja bergulingan. Tindakan mereka se-
perti tengah melakukan perkelahian sungguhan.
Sementara itu rombongan kuda jadi mendadak
berhenti. Seorang setengah tua mengangkat tangan-
nya. Ia memimpin rombongan berkuda itu. Matanya ti-
dak lepas mengawasi perkelahian dua orang wanita.
Nampak jelas sosok nenek keriput menghajar habis-
habisan seorang wanita yang jauh lebih muda.
Di dalam tandu duduk seorang wanita berumur
dua puluhan lebih. Ia juga turut terheran-heran meli-
hat perkelahian tersebut. Ia dapat melihat langsung
peristiwa itu.
"Paman, nampaknya nenek keriput itu! bukan-
lah orang baik-baik. Aku curiga ia dari aliran sesat.
Rupanya pun amat buruk. Lihat saja tindakannya
yang kelewat telengas." ujar gadis yang berada dalam
tandu. Laki-laki yang mengangkat tangan ini memba-
wa kudanya ke samping tandu.
"Sekitar lereng Gunung Tunggul ini memang
rawan, Umbayani. Aku khawatir tua. bangka itu pen-
guasa Gunung Tunggul." jawab lelaki setengah tua ini.
"Kalau begitu lerai saja mereka. Cari tahu siapa
mereka berdua." perintah gadis bernama Umbayani.
Tanpa menyahut pemimpin rombongan memacu ku-
danya. Langkah kudanya cepat menuju ke arah perke-
lahian. Lelaki itu langsung melompat dan hinggap di
antara mereka.
"Nenek yang maha sakti, mohon hentikan se-
bentar. Persoalan apa kiranya yang membuat turun
tangan begini kelewatan?"
Nenek keriput yang tidak lain Nilasari Grewek
tidak menjawab. Malah ia melancarkan serangan pada
laki-laki yang baru turun dari kuda. Sudah tentu laki
laki setengah tua ini jadi kelabakan.
"Jangan campuri urusanku. Biar aku si tua
majikan Gunung Tunggul menghajar sampai mampus
perempuan ini!" bentak Nilasari Grewek, sebelah tan-
gannya menyambar melepaskan hantaman. Serta mer-
ta lelaki yang tidak tahu menahu itu menjadi sasaran.
Meski ia menangkisnya, tak urung tubuhnya ter-
huyung akibat pukulan yang sangat keras itu.
"Kalau begitu engkau seorang tokoh aliran se-
sat yang selama ini meresahkan rimba persilatan." Le-
laki ini menarik tubuh Srikaton Munggel yang berpura-
pura mencari perlindungan.
"Siapa pun tidak ku ijinkan melintasi lereng
Gunung Tunggul. Siapa pun bagusnya jadi mayat
penghias di sini!" Nenek berambut putih mengembang-
kan jurus-jurusnya. Srikaton Munggel nampak keta-
kutan sekali, ia memegangi tubuh laki-laki yang ber-
maksud melindungi. Tapi malah berakibat memba-
hayakan. Hantaman Nilasari tidak bisa dielakkan.
Hantaman itu masuk ke bagian dada, sampai jatuh
terguling.,
"Nenek keriput! Kebetulan aku akan mering-
kusmu!" bentak lelaki itu bangkit balas menerjang.
Menghadapi kemarahannya, Nilasari Grewek agak ked-
er. Pemimpin rombongan berkuda agaknya tidak dapat
dianggap main-main. Terjangannya disertai pukulan
yang beruntun. Sambil mundur nenek berambut putih
itu memapaki serangan-serangan itu. Tapi sekali ia
melepaskan hantaman Tombak Gunung, pemimpin
rombongan ini memekik dengan tubuh yang terlempar
jauh terasa tulang-tulangnya remuk. Dalam urutan
perguruan Pedang Ular, laki-laki ini tergolong cukup
berilmu tinggi. Ia bernama Rakadewa Geni. Makanya ia
cukup mampu menahan hantaman Tombak Gunung
yang sangat ampuh itu.
Dengan seloyongan Rakadewa Geni bangkit
mencabut pedang dari pinggangnya. Melihat pemimpin
rombongan ini tidak main-main menghadapi seorang
tokoh aliran sesat. Semua anak buahnya turun tan-
gan. Mereka serempak maju mengepung. Melihat itu
pun Srikaton Munggel berlari ke belakang dengan si-
kap ketakutan.
Sambaran pedang Rakadewa Geni berkelebat
bagai kiciran angin. Serangan-serangan itu gencar
mencecar nenek berambut putih yang bergerak-gerak
berkelit menghindari sambaran pedang. Manakala be-
lasan orang mulai maju melepaskan serangan pula. Ni-
lasari Grewek makin kewalahan. Namun menghadapi
itu semua nenek keriput itu hanya mengekeh men-
gumbar tawa, Gerakannya yang sangat ringan menepis
tiap-tiap sambaran pedang. Bahkan sekali ia memba-
las serangan, tiga sampai lima orang jatuh menyembur
darah.
*
**
DUA
Nenek berambut putih terus melepaskan seran-
gan balasan meskipun sambaran-sambaran pedang se-
lalu nyaris nyerempet di tubuhnya. Rombongan pen-
gantar calon pengantin perempuan makin gigih men-
desak. Apalagi setelah dilihatnya beberapa orang te-
mannya berjatuhan terluka parah.
Rakadewa Geni lepaskan jurus-jurus maut per-
guruan Pedang Ular. Tapi jurus-jurus itupun nampak-
nya tidak berarti. Untunglah ia dibantu dengan bela-
san orang para pengikutnya. Sehingga Nilasari Grewek
agak sukar lepaskan hantaman Tombak Gunung.
Dalam hal ini Nilasari Grewek tidak henti-
hentinya memaki. Serangan lawan-lawannya pating se-
rabut lancarkan babatan-babatan pedang. Hingga
nampak nenek berambut putih itu di kelilingi dengan
gulungan-gulungan sinar pedang yang mematikan.
Sebenarnya pula serangan-serangan itu amat-
lah mudah dielakkan. Karena Nilasari Grewek yang
jauh memiliki kepandaian selalu bisa berkelit meng-
hindari, maka dalam satu kesempatan ia lepaskan juga
hantaman Tombak Gunung.
"Bledaaaar...!" Jurus itu selain aneh, juga diser-
tai dengan tenaga yang sangat tinggi. Tak urung dari
hantaman itu bergulingan lima orang sekaligus. Derak
tulang iga mereka yang patah sampai terdengar mengi-
lukan. Dan kelima orang itu ambruk tak berkutik ba-
gai tumpukan-tumpukan sampah.
Melihat itu pun Rakadewa Geni tidak tanggung-
tanggung lancarkan serangan. Babatan pedangnya ce-
pat berputar menyilang. Lalu memutar lagi ke arah
bawah, selalu begitu. Membuat Nilasari Grewek agak
kewalahan. Menghadapi pemimpin rombongan ini me-
mang harus mementang mata. Kalau tidak entah jadi
apa tubuh renta Nilasari Grewek.
Sambil terus berkelit, nenek keriput penguasa
Gunung Tunggul mencari-cari kesempatan. Gerakan-
nya selalu dibayang-bayangi oleh beberapa orang la-
wannya yang masih tersisa. Kedua tangannya mengi-
bas-ngibas bergulung memapaki tiap-tiap serangan.
Ringan saja Nilasari Grewek memutar kedua
lengannya, tapi malah berakibat sangat meyakinkan.
Tiga orang lawan jatuh terguling. Hal itu menjadi satu
kelonggaran nenek berambut putih lepaskan Tombak
Gunung. Serta merta kedua tinju keriput Nilasari Gre-
wek menjurus ke depan mengarah pada Rakadewa Ge
ni.
"Blaaaaar...!" Rakadewa Geni tidak sempat
menghindar, ia memekik keras dengan tubuh terbant-
ing. Dua kali ia terkena hantaman yang dahsyat itu.
Sebagai orang berilmu tinggi, hantaman itu bagi Raka-
dewa Geni cukup hanya menyemburkan darah. Tidak
fatal seperti para pengikutnya.
Lawan-lawan Nilasari Grewek tinggal beberapa
orang termasuk Rakadewa Geni, gadis dalam tandu
bukannya tidak melihat pertarungan itu, apalagi sepa-
ruh para pengawalnya jatuh luka parah, ada juga yang
sampai tewas. Ia murka sekali.
Srikaton Munggel yang masih berada di situ
pura-pura berlari ketakutan. Dengan tubuh yang ge-
metar penuh luka memar ia menuju ke arah tandu.
Srikaton Munggel sudah dapat melihat seorang gadis
duduk dalam tandu berlapis sutra.
"Nona.... Tolong, iblis itu bisa membantai kita
semua! Cepat nona, bertindaklah...!" Srikaton Munggel
memohon-mohon di samping tandu. Umbayani sendiri
memang sudah tidak sabaran ingin turun tangan. Ma-
kin lama para pengawalnya habis bergelimpangan di
bawah kaki nenek penguasa Gunung Tunggul, paman-
nya sendiri, Rakadewa Geni sudah keteter terus mene-
rus menyambut hantaman Tombak Gunung.
"Nona yang berilmu tinggi, mohon cepat mem-
bantu mereka. Iblis tua itu tidak pernah main-main."
Srikaton Munggel merengek-rengek.
Maka saat itu pula tandu berlapis sutra berde-
rak hancur. Kain sutra yang tipis sebagai tirai peng-
hias hancur menjadi serpihan-serpihan kain, Begitu
juga dengan tandu yang bagus berukir gemerlapan.
Dari situ sosok ramping Umbayani melesat berjumpali-
tan di udara. Umbayani hinggap di tanah tanpa bersu-
ara.
Mata Srikaton Munggel tidak berkedip. Bukan
melihat kehebatan ilmu peringan tubuh Umbayani, ta-
pi karena benda yang ada dalam genggaman gadis itu.
Sebilah pedang berwarna keemasan.
Pedang itu meliuk-liuk bagai tubuh ular. Pan-
jangnya satu meter lebih. Setiap kali Umbayani berge-
rak Pedang itu membiaskan sinar keemasan. Itulah
Pedang Ular Emas. Pusaka turun temurun perguruan
'Pedang Ular'.
Kebetulan sekali Srikaton Munggel dapat meli-
hat sekarang. Maka sandiwara itu telah usai. Serta
merta Srikaton Munggel melesat cepat bagai angin
menjurus ke arah Umbayani. Gadis itu tidak me-
nyangka kalau pedang ular dalam genggamannya ter-
lepas, Srikaton Munggel cepat merebutnya dari geng-
gaman Umbayani. Gadis itu pun menghardik dengan
suara keras.
"Bangsat! Kembalikan pedang itu, kalau ti-
dak...?" Srikaton Munggel tidak perduli. Ia terus berlari
ke arah Nilasari Grewek. Nenek berambut putih itu se-
karang tengah menghadapi Rakadewa Geni seorang di-
ri. Para pengikutnya yang belasan telah bergelimpan-
gan di tanah.
"Murid goblok, kenapa harus lari meninggalkan
mangsa. Cepat habiskan calon pengantin perempuan
itu!" bentak Nilasari Grewek. Tangannya menampar
muka Rakadewa Geni. Lelaki inipun terjatuh untuk
yang kesekian kalinya.
"Terkutuk! Rupanya kalian sengaja memper-
mainkan aku! Kalian akan tahu rasa akibatnya!" Um-
bayani berdiri murka. Lalu ia keluarkan jurus-jurus
tangan kosong. Rakadewa Geni sudah bangkit siap
lancarkan serangan lagi. Ia sampai terheran-heran me-
lihat pedang Ular Emas berada di tangan Srikaton
Munggel. Malah perempuan penuh luka memar itu se
karang berdiri berdampingan dengan nenek penguasa
Gunung Tunggul.
"Dasar mata kalian pecak semua. Tidak kenal-
kah kalau kami berdua adalah para pendekar sesat
Gunung Tunggul? Hik... hik... hik... hik...! Sungguh
bodoh. Sudah mengantarkan nyawa, harus pula kehi-
langan pusaka." ujar Nilasari Grewek.
Sudah tentu ucapan itu membuat para pende-
kar Pedang Ular makin sengit. Maka serta merta Um-
bayani dan Rakadewa Geni menyerang serempak. Se-
belumnya Umbayani si calon pengantin meraih pedang
anak buahnya yang tergeletak di tanah. Keduanya ma-
ju melancarkan babatan-babatan pedang.
Srikaton Munggel tenang menyambut. Ia mena-
rik keluar Pedang Ular Emas dari sarungnya. Maka ter-
lihatlah pedang yang lebih langsing. Bersinar keema-
san menyambut sambaran pedang kedua lawannya......
"Traaakk!.... Traaaaak!" Pedang Umbayani
maupun Rakadewa Geni patah dua. Tapi mereka terus
lancarkan serangan meski pedang dalam tangan mere-
ka kuntung.
"Guru, biar kedua pendekar-pendekar tolol ini
menjadi bagianku. Sekalian ingin mencoba keampu-
han pusaka Pedang Ular Emas. Hreaaaaaa...!" ujar Sri-
katon tanpa mundur menyambut dua serangan dari
arah berlawan.
"Bikin habis mereka, Muridku! Orang-orang ali-
ran lurus pantang berdiri di sekitar Gunung Tunggul!"
jawab Nilasari Grewek mengekeh.
Murid tunggalnya makin bersemangat. Ia mera-
sakan ada suatu kejutan dalam membalas serangan.
Pedang Ular Emas dapat mempengaruhi setiap gera-
kan Srikaton Munggel. Sambaran pedangnya cepat dua
kali lipat. Saat berkelebat pedang itu hampir tidak ke-
lihatan. Hanya desingan angin yang terdengar.
Umbayani yang tergolong paling tinggi dalam
perguruan Pedang Ular betul-betul merasa tidak ber-
kutik. Apalagi Rakadewa Geni. Keduanya jatuh ban-
gun.
Srikaton Munggel tidak menyadari kalau kehe-
batannya makin bertambah saat menggunakan pedang
itu. Maka sekali ia babatkan memutar. Tubuh Raka-
dewa Geni berguling bersama penggalnya kepala lelaki
itu. Darah menyembur dari tubuh kelojotan tanpa ke-
pala. Umbayani gusar tidak kepalang. Tapi ia pun ha-
rus mengalami nasib sial. Sabetan Pedang Ular Emas
menghantam perutnya. Umbayani memekik. Tubuh
rampingnya menggelosoh lemas ke tanah. Lalu diam
tak berkutik.
Dua penguasa Gunung Tunggul masih berdiri
memandangi tubuh-tubuh yang bergelimang darah. Ia
seperti puas melihat belasan orang tumpang tindih di
sekitar tempat itu.
"Hik-hik-hik-hik...! Tuntas sudah semua. Itu
berarti riwayat perguruan Pedang Ular sudah tamat.
Hik-hik-hik-hik...!"
*
**
TIGA
Tragis memang. Umbayani pewaris terakhir
perguruan Pedang Ular. Sekarang pusaka milik mereka
pun telah lenyap. Nasib Umbayani belum dapat dipas-
tikan. Luka di perutnya sangatlah parah. Tapi kalau
nasib pamannya, Rakadewa Geni jelas sudah. Ia tewas
dengan kepala terpisah. Yang lebih mengenaskan lagi
dikarenakan oleh pusakanya sendiri.
Dulu semasa ayah Umbayani masih memegang
tampik sebagai majikan perguruan Pedang Ular, paling
pantang ia mendengar para murid atau kerabatnya di-
hina orang. Apalagi mengetahui putrinya yang cuma
satu-satunya ini mengalami nasib seperti sekarang.
Pastilah mati hidupnya dipertaruhkan untuk membela.
Nasib tak dapat dirobah. Orang sakti gagah be-
rani macam ayah Umbayani tidak berumur panjang. Ia
tewas karena sakit setahun yang lalu. Kalau saja ia
dapat hidup bertahan dua sampai tiga tahun lagi, su-
dah tentu majikan perguruan Pedang Ular dapat men-
gantar putrinya mempertemukan calon pengantin pria.
Umbayani memang sudah dijodohkan dengan
seorang putra dari Resi Wesakih. Ayah Umbayani su-
dah mengikat tali pertunangan semasa Umbayani ka-
nak-kanak. Sebagai anak berbakti pada orang tua
Umbayani tidak dapat menolak. Bagaimanapun Um-
bayani harus menikah dengan Arso Lumbing putra Re-
si Wesakih. Tapi selama ia hidup, belum pernah Um-
bayani melihat bagaimana rupa calon suaminya itu.
Ayah Umbayani cuma berpesan saat-saat akhir
hidupnya. Bahwa calon suaminya itu memiliki Pedang
Ular Emas juga. Dan hari pertemuannya sudah diten-
tukan tanpa bisa diundur-undur lagi. Adapun Pedang
Ular Emas yang dimiliki calon pengantin pria itu, tidak
lain buatan Resi Wesakih sendiri. Resi itu sengaja
membuatnya atas persetujuan Ayah Umbayani sebagai
tanda. Orang yang paling dekat dengan Umbayani sete-
lah ayahnya wafat adalah Rakadewa Geni, pamannya.
Dia pula yang ,mewakili ayah Umbayani mengantarkan
ke pertemuan sepasang pengantin.
Tapi apa mau dikata, malapetaka datang tanpa
diundang. Orang-orang perguruan Pedang Ular menga-
lami musibah luar biasa. Dua pendekar wanita sesat
penguasa Gunung tunggul telah merubah segalanya.
Umbayani tetap terbaring. Bergetar ia membu-
ka kedua kelopak matanya. Ia tidak tahu macam apa
luka di perutnya itu. Yang ia rasakan hanyalah rasa
sakit yang begitu hebat.
Samar-samar dilihatnya para pengawal berse-
rakan tanpa nyawa. Di sebelahnya terbaring tubuh
tanpa kepala. Tapi setelah ia melihat kutungan kepala
yang tidak jauh dari situ, Umbayani hampir memekik.
Matanya berkunang-kunang lagi. Pandangannya jadi
gelap. Lapat-lapat ia mendengar suara derap langkah
kuda. Tapi ia hanya mampu mendengar sampai seba-
tas itu. Ia tidak kuat bertahan lama, tubuhnya kembali
terkulai lemas. Ia pingsan.
Kiranya si penunggang kuda itu seorang pemu-
da yang kebetulan melintasi daerah itu. Langkah ku-
danya dipercepat saat mendekati sosok-sosok berge-
limpangan. Sebuah benda panjang berguncang-
guncang saat kudanya berlari cepat. Benda itu terse-
rong di punggung. Benda sepanjang satu meter lebih
terbungkus kain sutra berwarna putih.
Pemuda itu langsung turun dari kuda dan me-
meriksa satu demi satu sosok-sosok bergelimpangan
itu. Semuanya tidak ada harapan. Mereka telah tewas.
Ia bergidik pula saat melihat sosok bersimbah darah
tanpa kepala. Tapi justru melihat itu pandangannya
membentur pada seorang gadis cantik terbaring den-
gan luka di sekitar perut.
Ia langkahkan kakinya ke situ. Gadis itu tidak
luput dari pemeriksaannya. Dan pemuda ini benar-
benar membelalakkan matanya. Betapa tidak, saat ia
memijit urat nadi pada leher gadis itu, masih berde-
nyut meskipun lemah.
"Astaga.... Dia masih hidup. Rupanya pertem-
puran baru saja terjadi." kata pemuda itu dalam hati.
"Darahnya pun masih segar, tapi syukurlah sudah tidak mengalir lagi." gumamnya, ia menarik ikat
pinggangnya yang dari kain. Lalu ia balut melilit menu-
tupi luka Umbayani.
"Kasihan.... Sayang aku tidak membawa obat-
obatan. Tapi tak apalah kalau lukanya tertutup akan
lebih aman. Mudah-mudahan saja gadis ini masih da-
pat bertahan. Karena aku akan membawanya ke Desa
Sungkawarang. Kebetulan desa itu tidak jauh lagi. Aku
bisa meminta pertolongan pada Ki Wirayuda di sana."
Selesai membalut, pemuda ini mengangkat tubuh Um-
bayani. Hati-hati sekali ia meletakkan di atas pung-
gung kuda.
Tak lama pun kuda itu meninggalkan bekas
arena pertempuran. Selama dalam perjalanan, pemuda
ini menjaga agar tubuh si gadis tidak terguncang,
meskipun demikian benda yang terselubung kain sutra
terus bergoyang-goyang di punggungnya.
***
Kematian Nyi Andini membuat Ki Wirayuda pa-
tah semangat. Sudah lebih satu minggu ia tidak mela-
tih para muridnya. Menyadari akan kekalutan sang
guru, murid-muridnya ini sengaja berlatih sendiri, Ki
Wirayuda tidak melarang. Ia menghabiskan waktunya
dengan menyendiri dalam ruangan khusus.
Wintara agak kerasan berada dalam pemuki-
man Ki Wirayuda. Sekalipun sikap Ki Wirayuda agak
kurang enak. Pendekar Kelana Sakti ini menyadari ka-
lau Ki Wirayuda seorang yang 'Dingin' bergaul. Untun-
glah Wintara bisa menempatkan diri. Kalau sampai
saat ini Wintara masih berada dalam pemukiman Ki
Wirayuda, ia masih yakin kalau di tengah kekalutan
ini akan muncul tokoh-tokoh sesat macam Nilasari
Grewek dan Srikaton Munggel.
Pendekar Kelana Sakti ini hanya sendirian se-
bagai tamu di antara orang-orang Ki Wirayuda, karena
Wita Soma, Pendekar yang sama-sama melumpuhkan
Gentara Karma telah kembali membawa kepahitannya
ke Bukit Sinimbung.
Diam-diam pula orang-orang Ki Wirayuda me-
rasa kagum akan kehebatan Pendekar Kelana Sakti
ini, untuk itu mereka selalu melayani Wintara seba-
gaimana layaknya seorang tamu. Entah kapan Wintara
akan meninggalkan pemukiman itu, mungkin nanti se-
telah situasi benar-benar tenang.
Namun di tengah-tengah kekalutan itu menda-
dak saja jadi bising. Pintu gerbang seperti digedor
orang secara paksa. Beberapa murid yang tengah lati-
han ini menjadi terkejut. Wintara hanya berdiri men-
gawasi kegaduhan itu. Ki Wirayuda yang tengah men-
gasingkan diri dalam ruangan khusus, tersentak
bangkit. Pintu gerbang semakin. kencang berderak
berkali-kali.
Seorang murid bermaksud membukakan pintu,
Tapi sebelum tangannya membuka palang pintu, se-
buah benda tajam keemasan dari balik pintu member-
sit keras. Pintu gerbang terbelah dua. Bahkan samba-
ran pedang itu menembus pada orang yang bermaksud
membuka pintu gerbang. Tak ayal orang itu langsung
memekik kelojotan. Dari atas muka sampai ke perut
nyaris terbelah dua pula.
Semua orang yang berada di situ menatap nge-
ri, namun serempak pula mereka semua berlari meng-
hambur ke arah pintu. Nampaklah dua orang perem-
puan tertawa menyeringai. Siapa lagi kalau bukan Sri-
katon Munggel dan gurunya. Pedang di tangan Srika-
ton Munggel masih bersimbah darah.
Melihat itu pun Ki Wirayuda yang berada dalam
ruangan khususnya langsung berjingkat lari. Cepat
cepat ia meraih pedangnya yang tergantung di dinding.
Wintara sudah dapat menerka apa yang akan dilaku-
kan Ki Wirayuda. Maka sebelum Ki Wirayuda bertin-
dak, Wintara menghadapi dua perempuan sesat itu le-
bih dulu. Anak buah Ki Wirayuda segera menyingkir
saat Wintara berhadapan dengan dua pendekar wanita
itu.
"Hik-hik-hik...! Bagus kau masih tetap berada
di sini, Pendekar sialan. Kedatangan kami kemari me-
mang sengaja untuk mengambil kepalamu!" ujar Nila-
sari Grewek.
"Aku khawatir ucapanmu itu akan terbalik, Ne-
nek sakti." jawab Wintara tenang.
"Terhadap orang-orang aliran lurus tidak perlu
banyak basa-basi, Guru. Musuhmu sudah ada di de-
pan mata, langsung labrak saja!" kata Srikaton Mung-
gel. Wintara melirik ke arahnya. Pedang Ular Emas be-
rada di tangan perempuan itu, sebuah pedang yang
meliuk-liuk bagai tubuh ular berwarna keemasan.
*
**
EMPAT
"Perempuan-perempuan setan! Kalian hanya
mengantar nyawa datang ke sini!" Tiba-tiba saja Ki Wi-
rayuda menerjang dengan babatan pedangnya. Srika-
ton yang sedari tadi menunggu-nunggu kehadirannya
melesat menyambut.
"Mari kita perhitungan, Ki Wirayuda...!" Tubuh
Srikaton berjumpalitan di udara seraya ia memutar
Pedang Ular Emas. Tapi mana mau Wintara membiar-
kan tindakan itu. Cepat pula ia bergerak mundur lancarkan pukulan ke atas.....
"Bug!" Tepat mengenai pinggang Srikaton
Munggel. Perempuan itu memekik hinggap dengan
sempoyongan. Bahkan ia hampir saja kena sambaran
pedang Ki Wirayuda.
Ternyata nenek sakti penguasa Gunung Tung-
gul pun tidak tinggal diam. Serta merta ia maju menju-
rus ke arah Wintara. Pendekar Kelana Sakti ini tidak
kalah siap. Hantamannya menyambut serangan Nila-
sari Grewek. Terhadap perempuan berusia lanjut ini
Wintara tidak segan-segan lancarkan pukulan keras.
Karena ia tahu siapa adanya Nilasari Grewek. Terasa
sekali hantaman-hantaman nenek itu sangat memati-
kan. Jurus-jurus Jari Tombak mengais-ngais menga-
rah jantung, tidak henti-hentinya Wintara keluarkan
jurus Menyibak Tirai Bayu, sehingga hantaman-
hantaman Jari Tombak selalu meleset.
Saat itu lima jurus pedang sudah membentang
di hadapan Ki Wirayuda. Ia sendiri sudah kewalahan
menghindari sambaran-sambaran Pedang Ular Emas.
Tidak menyangka pula kalau Srikaton Munggel kini
demikian hebat. Sukar sekali bagi Ki Wirayuda untuk
membalas serangan.
Kepandaian Srikaton Munggel memang seting-
kat lebih tinggi dari Ki Wirayuda, Srikaton Munggel
sudah berada di atas angin. Apalagi sekarang ia meng-
gunakan Pedang Ular Emas. Manakala pedang itu te-
rus menyabet berkali-kali. Dengan nekad ia menyam-
but lancarkan babatan pedangnya. Tapi yang ia lihat
sungguh diluar dugaan. Sambaran pedang Srikaton
Munggel yang berkali-kali menghantam memutuskan
pedang Ki Wirayuda menjadi potongan-potongan besi
mengkilat.
Pedang di tangan Ki Wirayuda benar-benar pu-
pus. Yang tersisa tinggal beberapa senti lagi dari gagang pedang. Mana mampu ia menggunakan pedang
itu lagi. Terpaksa pula ia menghadapinya dengan tan-
gan kosong.
"Sudah kubilang, Ki Wirayuda. Kau harus tahu
akibat perbuatan mu terhadap Kakang Gentara Karma!
Kau harus menebusnya dengan nyawamu!" Kuat-kuat
Srikaton Munggel lepaskan babatan pedang.....
"Swwwwiiiiiiiiit...!" Ki Wirayuda cepat bergulir.
Meski cepatnya ia menghindar, tak urung punggung-
nya kena sambar juga.
"Ha-ha-ha-ha-ha...! Sebentar lagi kepalamu
yang akan menggelinding!" Srikaton Munggel makin
sengit lancarkan serangan.
"Perempuan sundal! Kita boleh mati bareng!"
ujar Ki Wirayuda. Tubuhnya menjadi bulan-bulanan
Srikaton Munggel yang terus menerus mencecar den-
gan babatan pedang. Terpaksa pula Ki Wirayuda ber-
gulingan untuk menghindarinya.
Melihat itu pun, Wintara sempat meninggalkan
pertarungannya dengan Nilasari Grewek. Gerakannya
yang cepat bagai angin memapak serangan Srikaton
Munggel. Perempuan itu tidak menyangka kalau Win-
tara akan menyerang secara mendadak.
Tahu-tahu saja hantamannya bersarang di pe-
rut, sudah tentu ia gagal melepaskan babatan pedang-
nya terhadap Ki Wirayuda. Ia memaki habis-habisan.
Saat itu pun telah datang Nilasari Grewek di samping
Srikaton Munggel.
"Pengecut! Kau lawanku Pendekar ingusan!"
bentak Nilasari Grewek, nampaknya ia tak mau keha-
bisan lawan.
"Kalian boleh berdua menghadapi aku perem-
puan-perempuan sesat!" jawab Pendekar Kelana Sakti.
Ki Wirayuda sudah berdiri siap lancarkan serangan lagi.
"Mari kita hadapi bersama kedua wanita busuk
ini, Wintara."
"Hem.... Bagaimana keadaanmu, Ki?" kata Win-
tara terus mengawasi gerak gerik dua perempuan pen-
guasa Gunung Tunggul.
"Tidak apa-apa. Selama berada di sampingmu
aku tidak perlu takut." jawab Ki Wirayuda mantap.
"Jangan selalu berharap keselamatanmu bera-
da di tanganku. Dua wanita ini memiliki ilmu yang
tinggi. Salah-salah kita berdua bakal tewas."
"Kenapa harus kasak kusuk macam anjing gu-
dik! Hadapi ini!" Nilasari Grewek menghardik seran-
gannya deras lepaskan dua hantaman sekaligus.
"Cwwiiiiiiiit...!" Pedang Ular Emas di tangan Sri-
katon Munggel berdesing menyambar kepala mereka.
Tidak kepalang Wintara lepaskan hantaman Tinju
Bayu Delapan Penjuru. Maka kedua perempuan ini
mendadak mundur. Keduanya merasakan benturan
hantaman itu demikian kerasnya.
Demi keadaan mereka yang mulai mundur-
mundur itu, Ki Wirayuda makin bersemangat lancar-
kan serangan, meskipun dengan tangan kosong. Puku-
lannya menderu-deru ke arah Nilasari Grewek.
Tentu saja hal itu merupakan tindakan yang
salah. Dia lupa akan siapa adanya Nilasari Grewek.
Serta merta nenek berambut putih ini lepaskan sebuah
hantaman keras....
"Deeeer!" Ki Wirayuda memekik hebat, tubuh-
nya mencelat sangat jauh dan jatuh berdegum di ta-
nah menyemburkan darah. Kiranya hantaman Tombak
Gunung telah mematahkan beberapa tulang iganya.
Meski dalam keadaan terluka itu Ki Wirayuda
tetap bangkit bermaksud membalas serangan. Wintara
yang sibuk menghadapi , babatan-babatan Pedang
Ular Emas sempat melihat Ki Wirayuda jatuh bangun
terkena hantaman Tombak Gunung Nilasari Grewek.
Maka demi melihat itu Wintara tidak tanggung-
tanggung lepaskan hantaman paling dahsyat....
"Buuuug!" Bayu Menghempas Gelombang
membuat Srikaton Munggel terhuyung mundur. Pada
kesempatan itu Wintara meninggalkan lawannya. Lesa-
tan tubuh pemuda kekar ini langsung hinggap meng-
hadapi Nilasari Grewek.
Nenek berambut putih ini sudah tahu akan ke-
datangan Pendekar Kelana Sakti. Maka Nilasari Gre-
wek langsung menyambut dengan Tombak Gunung-
nya. Demikian pula dengan Wintara. Sebagai seorang
pendekar yang banyak makan pengalaman ia tidak
hanya berdiri mematung menunggu serangan lawan.
Hantaman Tinju Bayu Delapan Penjuru dihempaskan-
nya di hadapan Nilasari Grewek, maka:
"Bledaaaaar...!" Kedua hantaman mereka bera-
du nyaring. Nilasari Grewek memekik terhuyung ke be-
lakang. Hampir saja ia terjatuh terserimpat kakinya
sendiri. Wintara hanya terdorong dua langkah. Namun
sebenarnya hantaman nenek berambut putih ini men-
gena telak di tubuh Pendekar Kelana Sakti. Namun
Wintara bisa menyembunyikan rasa sakitnya.
Srikaton Munggel berjingkat maju. Pedang Ular
Emas terhunus ke depan. Ia belum berani maju. Sen-
gaja ditunggunya Nilasari. Dan mereka bisa melancar-
kan serangan berdua.
"Mari kita kepruk bersama-sama pendekar sial
ini, Guru!" Srikaton Munggel mementang jurus. Nilasa-
ri berdiri di samping murid tunggalnya. Ia kerahkan
tenaga dalamnya untuk melepaskan pukulan Tombak
Gunung lagi.
Melihat keduanya murka, Wintara bersiap-siap
pula dengan pukulan-pukulan ampuhnya.
Dua perempuan penguasa Gunung Tunggul ini
memang berniat menyerang serempak. Maka Nilasari
Grewek memberi aba-aba dengan dengusan nafasnya.
Keduanya maju menerjang. Srikaton Munggel lepaskan
babatan-babatan pedang menyilang sekuat tenaga. Ni-
lasari Grewek lontarkan hantaman Tombak Gunung
disertai tenaga
dalam penuh. Pedang bergulung-gulung bercui-
tan juga hantaman-hantaman nenek berambut putih
menderu-deru menyambar keras.
Wintara mundur selangkah memapaki hanta-
man Nilasari Grewek, juga ia harus merunduk serta
berkelit menghindari babatan Pedang Ular Emas. Tapi
ia masih sanggup lepaskan pukulan Bayu Menghem-
pas Tebing.....
"Splaaaak!" keduanya seperti terhuyung. Se-
rangan Wintara tidak berhenti sampai disitu. Serta
merta ia melanjutkan serangannya lagi dengan Puku-
lan Tinju Rayu Delapan Penjuru.... '
"Blaaaaaaar!"
Keduanya kontan bergulingan. Keduanya pula
menyemburkan darah.
Mereka betul-betul kena batunya. Pendekar Ke-
lana Sakti bukan orang yang mudah disentuh. Hal itu
pula membuat nyali kedua perempuan penguasa Gu-
nung Tunggul jadi ciut.
*
**
LIMA
Nenek berambut putih ini menggeliat mengu-
rangi rasa sakit. Tapi sebenarnya ia segan untuk
menghadapi pendekar itu lagi. Ia sudah dapat mengukur akan kehebatan Pendekar Kelana Sakti yang se-
tinggi langit itu. Pukulan apalagi yang akan dikerah-
kan Nilasari Grewek? Sudah tidak ada. Tombak Gu-
nung satu-satunya jurus andalan nenek berambut pu-
tih itu.
Murid tunggalnya bangkit terhuyung-huyung.
Karena pukulan Tinju Bayu Delapan Penjuru tadi
mengena telak di tubuhnya. Pedang Ular Emas dalam
tangannya bergetar. Ia tidak berani menyerang sendiri.
Srikaton Munggel hanya menunggu perintah gurunya.
Tapi rupanya Nilasari Grewek tidak punya cara
lain. Cepat kilat ia menyambar lengan Srikaton Mung-
gel. Perempuan ini tidak menolak saat gurunya mem-
bawa dirinya menyingkir jauh-jauh. Wintara lepaskan
lagi sebuah hantaman. Tapi kedua perempuan itu su-
dah terlanjur melarikan diri. Dalam beberapa kejap sa-
ja keduanya sudah melesat jauh.
"Wintara, jangan beri mereka kesempatan lolos!
Kejar!" perintah Ki Wirayuda. Ia berdiri memegangi ru-
suk kirinya. Tapi Wintara tidak memenuhi perintah
itu. Pendekar Kelana Sakti mulai melangkah mendeka-
ti Ki Wirayuda. Langkahnya agak tersendat-sendat. Se-
tiap orang yang berada di situ dapat melihat wajah
Wintara begitu berobah pucat.
"Maaf, Ki.... Aku tidak dapat mengejar mereka.
Karena.... Karena...." Wintara tidak meneruskan kata-
katanya. Tubuh Pendekar Kelana Sakti seperti menge-
jang. Sesaat kemudian....
"Hroooooek...!" Darah kental hitam menyembur
dari mulut Wintara. Ki Wirayuda maupun seluruh
anak buahnya mendadak terkejut. Kiranya Wintara
terluka pula. Mungkin tadi ketika Nilasari melancar-
kan pukulan Tombak Gunung. Ki Wirayuda sendiri
hampir tidak dapat berjalan. Bahkan tulang iganya
mungkin ada yang patah. Karuan saja para murid Ki
Wirayuda terpecah menjadi dua. Sebagian mengeru-
bung Wintara, sebagian lagi menolong Ki Wirayuda.
"Terima kasih.... Aku tidak apa-apa, kalian to-
long saja Ki Wirayuda. Bawa beliau langsung ke da-
lam." ujar Wintara. Keadaannya memang segera pulih.
Beruntunglah ia masih dapat bertahan saat kedua pe-
rempuan Penguasa Gunung Tunggul menyerang. Ka-
lau kedua perempuan itu masih dapat melancarkan
serangan-serangan lagi pastilah Wintara sudah menja-
di bubur. Bersyukur pula Pendekar Kelana Sakti ini,
karena kedua penguasa Gunung Tunggul telah kalah
mental.
Anak buah Ki Wirayuda sibuk memapah. Mere-
ka berduyun-duyun membawa masuk ke dalam, tubuh
Ki Wirayuda. Wintara sudah pulih melangkah mengi-
kuti mereka. Tapi semua orang-orang yang berjalan di
belakang dikejutkan oleh sesuatu.
Jelas sekali suara derap langkah kuda mema-
suki pekarangan mereka. Wintara yang berjalan paling
belakang melihat seorang pemuda memegangi tubuh
seorang perempuan di atas kudanya. Langkah kuda
makin pelan saat memasuki ke dalam pelataran.
Anak buah Ki Wirayuda segera berbalik menge-
pung kuda itu. Pada saat-saat seperti ini mereka perlu
kecurigaan terhadap orang-orang asing. Melihat sikap
yang berhati-hati itupun pemuda di atas kuda ini ber-
sikap ramah.
"Saudara-saudara sekalian, maafkan kami yang
kurang sopan ini. Aku, Arso Lumbing hendak meminta
pertolongan terhadap Ki Wirayuda." ujar pemuda itu
yang mengaku dirinya Arso Lumbing.
"Gadis yang bersamaku ini tengah terluka. Sa-
tu-satunya tempat pertolongan adalah tempat ini. Aku
berharap kalian sudi mempertemukan aku dengan Ki
Wirayuda." kata Arso Lumbing ramah. Wintara hanya
mengawasi pemuda itu. Arso Lumbing balas menatap
dengan senyum bersahabat. Yang lain perlahan me-
nyingkir memberi kelonggaran jalan. Mata mereka se-
mua tidak lepas menatap sosok Arso Lumbing meme-
gangi tubuh seorang gadis bersimbah darah.
Mereka memang pernah dengar nama Arso
Lumbing putra dari Resi Wesakih yang kosen dalam
rimba persilatan. Tapi mengenai siapa adanya Arso
Lumbing itu tidak satu pun yang mengenali.
Arso Lumbing menatap jauh ke dalam gedung.
Matanya mendadak menyipit saat dilihatnya Ki Wi-
rayuda duduk bersandar pada dinding serambi. Bebe-
rapa anak buahnya tengah memijiti. Pemuda ini dapat
mengetahui kalau Ki Wirayuda tengah terluka.
"Apa yang telah terjadi di sini?" tanya Arso
Lumbing. Wintara cepat menjawab....
"Kami baru saja diserang oleh dua perempuan
sesat penguasa Gunung Tunggul. Sukurlah Ki Wirayu-
da hanya terluka ringan."
"Astaga.... Kedatangan aku ke sini akan me-
nambah susah saja. Sungguh aku tidak tahu kalau
terjadi sesuatu di sini. Lalu bagaimana dengan kedua
perempuan sesat itu?" kata Arso Lumbing. Pemuda itu
tetap di atas kudanya. Hal itu bukan berarti Arso
Lumbing sangat angkuh. Karena ia harus terus meme-
gangi tubuh gadis berlumur darah.
"Ah, aku pikir orang-orang Ki Wirayuda tidak
keberatan memberi pertolongan. Sudah menjadi kewa-
jiban berbuat tolong menolong. Apalagi kita berdiri pa-
da pihak aliran lurus. Silahkan." sambut Wintara ber-
maksud membantu menurunkan gadis itu.
Arso Lumbing tidak menolak.
Wintara memapah membawa masuk ke dalam
gedung. Arso Lumbing turun dari kudanya mengikuti
langkah-langkah di Wintara. Ia membetulkan letak
benda panjang terbungkus di punggungnya. Pemuda
ini terus melangkah masuk mendekati sosok Ki Wi-
rayuda yang hampir pingsan. Dalam kesamaran pan-
dangannya itu, Ki Wirayuda masih dapat melihat keda-
tangan seorang pemuda yang sangat dikenalinya betul.
Namun untuk menyebutkan namanya, Ki Wirayuda
berusaha mengingat-ingat....
"Kau.... Kau...?" Ki Wirayuda hendak mengang-
kat tubuhnya. Tapi rasa sakit di sekitar rusuknya me-
nyengat hebat. Rintih Ki Wirayuda tertahan. Arso
Lumbing berjalan ke sampingnya.
"Aku Arso Lumbing, Paman Ki Wirayuda. San-
gat disayangkan kalau pertemuan kita dalam keadaan
seperti ini." ujar Arso Lumbing. Ki Wirayuda tertawa
mengekeh.
"Justru aku berterima kasih dalam keadaan
begini kau bisa menyambangi ke mari." kata Ki Wi-
rayuda, lalu Ki Wirayuda meneruskan kata-katanya la-
gi......
"Bagaimana keadaan Resi Wesakih? Sudah la-
ma aku tidak menengok beliau."
"Ayahku baik-baik saja, Paman. Aku hanya ke-
betulan lewat sini, dan juga bermaksud...." Arso Lumb-
ing ragu-ragu mengutarakan maksudnya.
"Sobat Arso Lumbing ini membawa seorang ga-
dis yang tengah terluka, Ki. Keadaannya sangat parah.
Dan harus mendapat perawatan sekarang juga." ujar
Wintara sambil meletakkan tubuh gadis itu di sebuah
balai. Melihat itu Ki Wirayuda menghela nafas. Bagai-
mana ia mau menolong orang kalau ia sendiri tengah
terluka juga. Wintara cukup mengerti akan hal itu.
"Terlambat sedikit saja menolong, gadis ini ti-
dak akan tahan lagi. Biarlah aku yang akan menanga-
ni." kata Pendekar Kelana Sakti. Mendengar ucapan
Wintara, Arso Lumbing merasa lega.
"Siapa gadis ini sebenarnya, mengapa anak Ar-
so Lumbing ingin menolongnya mati-matian?" tanya Ki
Wirayuda yang nampaknya mulai setuju dengan usul
Wintara.
"Entahlah...." tukas Arso Lumbing. "Tapi meli-
hat dari pakaiannya pasti gadis ini seorang tokoh per-
silatan juga. Aku yakin lukanya itu bekas babatan pe-
dang. Untunglah hanya tergores sedikit."
"Kalau begitu bawa saja ia masuk ke dalam
kamar. Luka-lukanya mesti dibersihkan." ujar Ki Wi-
rayuda. Wintara mengangguk ke arah Arso Lumbing.
Ia mengerti maksud Wintara. Maka Arso Lumbing se-
gera membawa tubuh gadis itu ke dalam sebuah ka-
mar.
Ki Wirayuda memanggil beberapa pembantu pe-
rempuan, mereka ditugaskan untuk mengganti pa-
kaiannya yang koyak serta membersihkan luka-
lukanya. Arso Lumbing keluar lagi bersama Wintara.
"Sebelumnya aku yang merepotkan ini berteri-
ma kasih sekali atas keringanan tangan kalian. Sekali
lagi aku ucapkan terima kasih. Karena secepat ini pula
aku harus pamit mundur. Resi Wesakih telah menu-
gaskan aku untuk keperluan sesuatu." kata Arso
Lumbing tertunduk. Ia merasa tidak enak sekali harus
meninggalkan mereka secepat itu. Ki Wirayuda nam-
pak mengerutkan kening.
*
**
ENAM
Sepertinya Ki Wirayuda teringat akan sesuatu....
"Oh, ya... ya.... Aku baru ingat sekarang. Bu-
kankah Resi Wesakih telah menjodohkan engkau den-
gan seorang putri dari perguruan Pedang Ular?" tukas
Ki Wirayuda.
"Sebenarnya memang demikian, Paman. Hari
ini pula aku harus menjemput calon istriku." jawab
Arso Lumbing.
"Sayang sekali keadaan kami seperti ini. Jadi
tidak bisa ikut mengantar." ujar Ki Wirayuda.
"Ah, tidak mengapa, Paman. Akupun cukup
mengerti."
"Kalau begitu pergilah. Kami di sini semua me-
restui atas pertunangan kalian. Juga jangan khawatir,
gadis ini akan kami rawat baik-baik." Wintara ikut bi-
cara.
"Terima kasih, aku pasti ke mari lagi untuk
menengok gadis itu. Permisi...." Arso Lumbing beri sa-
lam. Ki Wirayuda mengangguk. Wintara mengantar Ar-
so Lumbing sampai mendekati kudanya.
"Sampai jumpa lagi, Sobat. Nanti kita akan ber-
temu lagi." Tak ketinggalan ia memberi salam pada
Wintara. Pendekar Kelana Sakti ini tersenyum men-
gangguk. Arso Lumbing tidak menunggu waktu lagi. Ia
langsung memacu kudanya meninggalkan tempat pe-
mukiman Ki Wirayuda.
Sementara itu dua perempuan penguasa Gu-
nung Tunggul berjalan tersaruk-saruk. Mereka mene-
lusuri jalan berbatu. Langkah-langkah Nilasari Grewek
agak lambat, karena memang ia tengah terluka. Srika-
ton Munggel tidak kurang suatu apa. Ia hanya merasa
kehabisan tenaga. Melihat gurunya itu berjalan payah,
Srikaton Munggel tidak perduli. Ia sengaja berjalan
paling dulu.
"Murid dogol, tunggu aku! Tidak kasihankah
melihat gurumu seperti ini." Nilasari Grewek berjalan
tertatih-tatih.
"Masih untung kita dapat cepat-cepat kabur.
Mungkin kau sudah mati duluan. Mana jurus ampuh
Tombak Gunung itu? Menghadapi anak ingusan itu sa-
ja sampai lari terbirit-birit." jawab Srikaton Munggel
acuh. Tapi ia menghentikan langkahnya menunggu
sang guru yang berjalan menyusul tersaruk-saruk.
"Dasar murid sialan. Menyesal aku mengu-
rusmu sejak kecil. Tidak mau mampus disambar kilat!"
gerutu nenek berambut putih. Tak urung juga Srikaton
Munggel membantu gurunya berjalan.
"Kalau Pendekar Kelana Sakti itu masih tetap
berada di Sungkawarang, kita-kita sebagai pendekar
sesat akan tidak mendapat muka. Dengan apa lagi kita
menyingkirkan pendekar sial itu? Jurus Tombak Gu-
nung tidak berarti, Pedang Ular Emas sama sekali ti-
dak berpengaruh. Ilmu apa sebenarnya yang dimiliki
pendekar sial itu." Srikaton bergumam.
"Sudah jangan ngoceh terus. Pusing aku men-
dengarkan celotehmu. Sebaiknya kau pergi saja ke ko-
ta. Carikan aku obat." Perintah Nilasari Grewek. Sam-
bil mendorong tubuh Srikaton Munggel.
"Bagaimana guru bisa sampai ke puncak sa-
na?" ujar Srikaton Munggel. Nenek berambut putih
memandang melotot.
"Aku jangan dianggap remeh. Jelek-jelek aku
ini gurumu. Aku masih bisa mencapai puncak Gunung
Tunggul dibanding menghadapi pendekar sialan itu!"
bentaknya. Srikaton Munggel merungkut. "Cepat be-
rangkat! Kembali secepatnya!" bentaknya lagi. Nilasari
Grewek melangkah berpisah. Srikaton Munggel juga
melangkah lesu.
Tapi dalam beberapa saat nenek penguasa Gu-
nung Tunggul ini berbalik lagi.
"Srikaton...! Tunggu dulu!" Nenek yang tadi berjalan tertatih-tatih mendadak berlari cepat ke arah
Srikaton Munggel.
"Ada apa lagi sih? Aku pasti balik membawa
obat untuk luka-lukamu." sambut Srikaton Munggel.
"Seharusnya kau tidak perlu membawa Pedang
Ular Emas. Hal itu akan membahayakan dirimu. Aku
khawatir orang-orang persilatan mengepung mu bera-
mai-ramai." kata Nilasari Grewek. Apa yang di-
ucapkannya memang benar. Srikaton Munggel tidak
perlu berpikir panjang. Maka ia langsung berikan saja
pedang itu.
"Ambillah untukmu. Aku tidak perlu barang
rongsokan itu." kata Srikaton Munggel.
"Hus! Ngomong sembarangan. Gini-gini benda
pusaka, tahu!"
Srikaton Munggel tidak perduli ia terus me-
langkah cepat meninggalkan gurunya. Buat apa Pe-
dang Ular Emas kalau tidak mampu mengalahkan seo-
rang bocah ingusan macam Pendekar Kelana Sakti, pi-
kir Srikaton Munggel. Dalam hatinya terselip pula ren-
cana lain. Ia tidak perlu lagi mengikuti jejak Nilasari
Grewek. Untuk apa mengikuti nenek peyot yang sudah
tidak mampu. Tiga puluh tahun lamanya mengekor
bersama Nilasari Grewek tidak pernah merajai dunia
persilatan. Malah sekarang harus lari kocar kacir di
bawah kaki Pendekar Kelana Sakti.
Permintaan Nilasari Grewek untuk membawa-
kan obat-obatan tidak perlu lagi dituruti, sebab Srika-
ton Munggel sudah menentukan hidupnya sendiri.
Perduli apa dengan Nilasari Grewek, guru yang selama
tiga puluh tahun mengurusnya. Mau mati kek.... Mau
keriput kek.... Mau mati berdiri kek, masa bodoh!
Bagi perempuan cantik seperti Srikaton Mung-
gel, mudah saja ia mencari jalan kehidupannya. Apala-
gi ia mantan tokoh sesat.
***
Apapun yang ia lakukan tidak pernah memper-
timbangkannya terlebih dahulu.
Sesiang itu ia sudah berada dalam sebuah desa
yang sangat ramai. Ia berjalan menunjukkan lenggak
lenggok tubuhnya yang aduhai. Pandangannya meno-
leh kanan kirim melihat keramaian desa itu. Pada sisi
jalan banyak terdapat tempat-tempat penginapan dan
kedai-kedai. Para pendatangnya pun banyak yang ber-
datangan.
Ada beberapa tempat penginapan yang selalu
ramai. Siang malam selalu dikunjungi para tamu. Ten-
tu saja penginapan itu selalu ramai. Selain tempatnya
besar dan bersih, tempat itu disediakan wanita-wanita
penghibur.
Tak urung kemunculan Srikaton Munggel yang
kebetulan melewati penginapan itu, menjadi perhatian
para hidung belang. Sampai ada yang tidak tahan, co-
ba-coba menggoda. Diperlakukan seperti itu, Srikaton
Munggel makin genit mempermainkan mereka. Sudah
tentu para wanita penghibur yang kebetulan melihat-
nya jadi iri hati.
Kecantikan Srikaton Munggel jauh lebih tinggi
dibanding para wanita penghibur. Penampilannya juga
lebih seksi. Dia mengenakan pakaian yang sangat me-
nyolok mata.
Pahanya yang putih mulus nyaris telanjang
tanpa penutup. Tidak ada para wanita penghibur yang
seberani itu.
Beberapa pentolan dari lembah hitam tersebut
datang menghadang. Srikaton Munggel menyambut
mereka dengan senyuman genit. Tiga orang laki-laki
penghadang ini langsung mengurungnya. Tindakan
mereka menjadi perhatian orang banyak.
Siapapun sudah mengetahui watak tiga lelaki
yang menguasai desa itu. Sudah banyak para wanita
yang jatuh menjadi korban nafsu mereka. Mereka akan
bertindak kasar bila seorang wanita coba-coba meno-
lak keinginannya.
"Nona.... Tidak sembarangan orang asing me-
masuki desa ini." tegur mereka. Mata mereka tidak le-
pas menatap tubuh yang menggiurkan itu.
"Maafkan aku, orang-orang gagah. Aku tidak
tahu tata krama peraturan desa ini." ujar Srikaton
Munggel. Gerakannya lemah gemulai membuat setiap
orang yang melihatnya makin gemas.
"Bagus kalau kau menyadari akan kesalahan-
mu. Kau harus membayar upeti terlebih dahulu pada
kami." kata mereka lagi.
"Upeti? Aku tidak punya apa-apa."
"Jangan pura-pura bodoh. Tubuhmu saja se-
rahkan pada kami." Seseorang dari mereka menarik
lengan Srikaton Munggel. Perempuan cantik ini tidak
menolak. Dua orang temannya mengikuti. Mereka me-
nuju sebuah penginapan yang cukup ramai.
"Tunggu dulu...." Srikaton Munggel berhenti
melangkah. Lalu:
"Tidak mungkin aku harus melayani kalian ber-
tiga." Mata Srikaton mengerling. Ketiga laki-laki ganas
ini saling pandang.
"Kami biasa melakukannya bergiliran, nona.
Jangan coba-coba menolak keinginan kami." bentak
mereka.
"Aku tidak mau. Aku tidak biasa seperti itu. Te-
rus terang saja aku perlu satu orang di antara kalian."
jawab Srikaton Munggel. Sikapnya menantang namun
memberi harapan pada ketiga orang laki-laki ini. Keti-
ganya jadi serba salah.
*
**
TUJUH
"Atau sama sekali kalian tidak akan menikmati
'upeti' ku?" gertak Srikaton Munggel. Seraya ia hendak
pergi begitu saja. Tapi seseorang cepat meraih kembali
lengannya.
"Tunggu, Nona." kata salah seorang dari mere-
ka. Orang itu paling seram. Brewoknya memanjang
sampai sebatas dada.
"Aku pemimpin mereka. Karena aku paling he-
bat di antara mereka. Namaku Rengga Loka." kata laki-
laki penuh brewok menatap pada kedua temannya.
"Hm.... kalau begitu kaulah yang berhak atas
diriku." Srikaton Munggel langsung menggandeng me-
nuntun laki-laki bernama Rengga Loka memasuki se-
buah penginapan. Semua orang yang tadi menyaksi-
kan penghadangan mereka jadi terheran-heran. Baru
kali ini mereka melihat seorang gadis cantik dapat me-
lemahkan ketiga orang pentolan lembah hitam terse-
but.
Hari makin siang dengan sinar matahari men-
corot menggarang bumi. Rengga Loka merasa bangga
mendapatkan seorang wanita cantik bernama Srikaton
Munggel. Perempuan itu duduk di sebelahnya mene-
mani laki-laki brewok itu minum arak.
Para tamu yang kebetulan singgah pada pengi-
napan itu bersikap hormat pada Rengga Loka. Wanita-
wanita penghibur lainnya mencibir melihat kegenitan
Srikaton Munggel. Ia tidak mengelak pula saat Rengga
Loka menciumi habis-habisan di ruangan itu. Rinti-
han-rintihan Srikaton Munggel membuat suasana ma
kin panas. Apalagi Rengga Loka semakin mabuk. Di
dalam dekapan perempuan itu Rengga Loka semakin
tidak berdaya.
Tamu-tamu semakin berdatangan. Yang hanya
makan, yang minum, ada juga yang hendak menginap
di penginapan itu. Para wanita penghibur berebut
mencari mangsa. Tawa-tawa cekikikkan perempuan
memenuhi suasana panas ruangan.
Saat itu seorang pemuda gagah memasuki
ruangan itu. Ia memilih sebuah meja yang masih ko-
song. Benda panjang yang terserong di punggungnya
diletakkannya di atas meja. Kemudian ia memesan
makanan pada salah seorang pelayan yang hilir mudik
menyambut para tamunya.
Pemuda itu pun tidak luput dari serbuan para
wanita penghibur. Dikerubungi oleh wanita-wanita itu
pemuda tampan jadi kikuk. Kehadiran pemuda tam-
pan ini juga jadi perhatian Srikaton Munggel yang du-
duk pada meja sebelahnya.
"Aih, tampannya...!" Tidak sadar ia memekik
kagum. Rengga Loka yang hampir terlena dalam pelu-
kan Srikaton Munggel tersentak kaget. Ia mengira Sri-
katon memuji dirinya, maka ia semakin terlena menci-
umi jenjang leher Srikaton Munggel. Sedangkan Srika-
ton Munggel sendiri tidak henti-hentinya menatap pe-
muda itu.
Rayuan-rayuan para wanita penghibur tidak
mengena. Pemuda tampan yang tidak lain Arso Lumb-
ing ini bersikap dingin. Maka satu persatu perempuan-
perempuan itu mulai menyingkir,
"Maaf.... Tiada maksud apa-apa aku singgah di
sini. Aku hanya ingin mengisi perut, lain tidak. Se-
baiknya kalian menyingkirlah. Masih banyak tamu-
tamu lain yang perlu hiburan." ujar Arso Lumbing.
Saat itu pelayan sudah datang membawakan pesanan.
"Sudah Sana cari yang lain..... Laki-laki kan
banyak di sini." gurau pelayan itu. Karuan saja para
perempuan penghibur jadi kabur. Ada juga yang
menggerutu.
"Huuuuh.... Mentang-mentang cakep, sombong
benar dia. Perempuan seperti apa sih yang dia mau."
gerutu mereka meninggalkan meja Arso Lumbing. Pe-
muda ini hanya menggelengkan kepala mendengar
sumpah serapah mereka yang bermacam. Tanpa sadar
pula ia menatap seorang perempuan berusaha meno-
lak dari dekapan seorang lelaki brewok. Srikaton
Munggel lemparkan senyum ke arah Arso Lumbing.
Pemuda tampan ini membalas senyumnya pula, lalu ia
tidak perduli mulai menikmati pesanannya.
Di lain pihak, Srikaton Munggel meronta-ronta
melepaskan diri dari pelukan Rengga Loka. Dalam ha-
sratnya ingin sekali Srikaton menaklukkan pemuda
tampan itu. Maka ia berusaha sebisanya agar terlepas
dari dekapan Rengga Loka.
"Sebentar, sayang.... Aku tidak akan lama-
lama...." Rayu Srikaton Munggel. Rengga Loka akhir-
nya melepaskan pelukannya. Secepatnya Srikaton
Munggel meninggalkan laki-laki itu. Langkahnya hati-
hati mendekati Arso Lumbing.
Arso Lumbing menyadari kalau ia didatangi
seorang perempuan yang baru saja ditatapnya. Perem-
puan itu kini sudah duduk di hadapan meja. Menga-
wasi Arso Lumbing. Senyumnya terkulum.
"Kenapa kau tinggalkan tamu itu?" tegur Arso
Lumbing.
"Aku bukan wanita penghibur macam mereka.
Aku sama seperti dirimu dan kebetulan singgah di
penginapan ini." jawab Srikaton.
"Oh, maaf atas kata-kataku tadi. Pandanganku
terlalu cetek. Lalu siapa laki-laki brewok itu. Suami
mukah." Arso Lumbing jadi salah tingkah.
"Bu-bukan.... Dia penguasa desa ini. Sikapnya
memang menjemukan, juga sering mengganggu wani-
ta. Seperti yang kau lihat tadi. Aku harus terpaksa
menemaninya minum arak." tutur Srikaton Munggel.
Arso Lumbing mendengus.
"Kau ingin makan?" tawar Arso Lumbing.
"Terima kasih. Aku baru saja selesai makan."
jawab Srikaton cepat. Terhadap Srikaton Munggel si-
kap Arso Lumbing agak lain. Kecantikan Srikaton
Munggel memang tidak pantas disebut wanita penghi-
bur. Ia lebih pantas disebut seorang pendamping laki-
laki bangsawan atau paling tidak seorang punggawa.
Tapi kenapa perempuan ini harus berkeliaran di sini.
Tidak tahukah kalau tempat ini tidak pantas untuk di-
rinya? Keakraban mereka membuat iri para wanita
penghibur- lainnya. Kenapa perempuan asing ini bisa
lebih cepat mengambil hati pemuda ganteng itu. Apa-
kah karena perempuan itu sangat cantik, juga seksi?
Tidak urung salah seorang dari mereka menga-
dukan hal itu pada Rengga Loka. Laki-laki brewok ini
sudah terpekur mabuk arak. Kepalanya sudah terte-
lungkup di atas meja dengan pundi-pundi arak berse-
rakan. Tapi setelah ia mendengar berita yang mema-
naskan telinganya, ia cepat berjingkat. Langkahnya
sempoyongan serudak seruduk macam banteng keta-
ton. Langkahnya cepat menyeruak menuju ke arah
Srikaton Munggel.
Perempuan itu nampak tengah duduk mengha-
dapi seorang pemuda tampan. Hatinya makin terbakar.
Apalagi Srikaton Munggel nampak tersenyum-senyum
selama berbicara dengan pemuda itu.
Percakapan mereka mendadak terhenti saat
Rengga Loka berdiri sangar. Srikaton Munggel berjing-
kat bangun. Ia lari ke samping Arso Lumbing.
"Perempuan bangsat! Kau hendak memper-
mainkan aku? He-he-he-he.... Anak muda. Pergilah da-
ri sini. Perempuan itu milikku." bentak Rengga Loka.
Matanya garang menatap. Tapi Arso Lumbing seakan
tidak mengacuhkan bentakan itu. Ia semakin asyik
menikmati santapannya. Srikaton Munggel memeluki
pemuda itu. Tiba-tiba saja....
"Braaaak...!" Rengga Loka menggebrak meja.
Piring di hadapan Arso Lumbing sampai berderak
goyang.
"Dia mengaku bukan wanita penghibur. Bagai-
mana bisa kau bilang perempuan ini milikmu?" ujar
Arso Lumbing. Tenang ia memegang benda panjang
terbungkus kain sutra. Lalu pemuda ini bangkit
menghadapi Rengga Loka. Serta merta Rengga Loka le-
paskan sebuah tinju. Malah ketika Arso Lumbing
membalas serangan, Rengga Loka terhuyung mundur.
Tempat itu jadi gaduh seketika. Para tamu yang
lain beringsut menyingkir. Perempuan-perempuan
penghibur berlarian ketakutan. Mereka sudah tahu
kemurkaan Rengga Loka. Pastilah pemuda tampan ini
akan mati penasaran dibuatnya.
Tapi ternyata apa yang dilihat oleh mereka, sa-
ma sekali diluar dugaan. Rengga Loka berkali-kali ja-
tuh setiap kali ia lancarkan serangan. Arso Lumbing
selalu dapat mengincar dan lancarkan serangan bala-
san.
Rupanya kedua teman Rengga Loka belum be-
ranjak dari tempat itu. Mereka sejak tadi mengawasi
pemimpinnya. Melihat itupun kedua orang itu berla-
rian membantu Rengga Loka. Arso Lumbing tidak gen-
tar menghadapi lawannya bertambah dua orang. Serta
merta ia melompat melindungi Srikaton Munggel. Tan-
gannya siap-siap memegang benda panjang terbung-
kus kain sutra. Tatkala dua orang itu menyerang serempak. Arso Lumbing lepaskan babatan dengan ben-
da itu.
*
**
DELAPAN
"Plaak...!" Kontan keduanya tersungkur ke lan-
tai. Namun mereka cepat bangkit kembali mendampin-
gi Rengga Loka. Pemuda tampan berdiri tenang melin-
dungi Srikaton Munggel.
"Mereka semua orang-orang jahat! Mereka ber-
maksud mengganggu diriku!" ujar Srikaton berlindung
di belakang Arso Lumbing.
"Bangsat! Rupanya pemuda bertampang pe-
rempuan ini gundikmu! Menyesal kau akan mati mu-
da, sobat. Kau belum tabu siapa kami!" bentak mere-
ka. Serempak mereka berjaga-jaga dengan benda pan-
jang yang terbungkus. Matanya memandang berkelil-
ing mengawasi mereka.
Tanpa basa basi lagi ketiga pentolan desa itu
babatkan senjata-senjatanya. Golok dan pedang pating
serabut mencecar dari arah yang tak menentu. Gesit
pula Arso Lumbing berkelit menghindari sambaran-
sambaran senjata mereka. Dia sengaja hanya menang-
kis serangan-serangan itu dengan benda panjang itu.
Meski hanya memapaki begitu, nampak ketiga
lawannya harus kewalahan. Sambaran senjata mereka
selalu meleset. Srikaton dapat melihat akan kehebatan
pemuda idamannya. Ia makin tertarik melihat gerakan-
gerakan semacam ilmu pedang yang dikeluarkan oleh
Arso Lumbing. Sudah terlihat jelas kalau ketiga lawan-
nya ini tidak akan sanggup mengalahkan Arso Lumbing.
"Hreaaaaa...!" Sekali lagi Arso Lumbing hentak-
kan benda terbungkus itu memutar ke depan....
"Plaaak...! Plaaak!.... Plaaaak!" Ketiga lawannya
jatuh bergulingan. Masing-masing mendapat luka me-
mar di bagian mata. Dua teman Rengga Loka kelojotan
berusaha bangkit. Rengga Loka semakin murka. Ter-
jangannya deras lancarkan babatan golok. Tapi Arso
Lumbing hanya bergeser cepat ke samping, lalu ka-
kinya menendang....
"Beeeeg!" Tak urung tubuh Rengga Loka mence-
lat jauh ke luar ruangan. Tubuh laki-laki penuh bre-
wok itu bergulingan di jalan. Untuk kemudian jatuh
ambruk, ia pingsan.
Dua orang lawannya ragu-ragu menyerang.
Nyalinya jadi keder melihat Rengga Loka tidak bang-
kit-bangkit. Maka keduanya lepaskan jurus langkah
seribu. Arso Lumbing hanya melihat bagaimana kedu-
anya lari kocar kacir.
"Huh. Baru punya kepandaian setahi kuku saja
mau unjuk gigi. Jangan lari kalian!" ejek Srikaton se-
kaligus memuji Arso Lumbing. Ia memaki-maki terus,
bahkan berlari keluar menendangi tubuh Rengga Loka
yang tidak berdaya tergeletak di tanah.
"Sudahlah, Nona. Kau tidak akan di ganggu lagi
oleh mereka." ujar Arso Lumbing mengulum senyum.
Srikaton kembali lagi menemui pemuda itu.
"Mereka memang perlu diberi hajaran. Bagus-
nya mereka dibikin mampus saja tadi!" gerutu Srikaton
Munggel. Arso Lumbing tidak menyahut. Ia mengikat
kembali benda panjang terbungkus ke punggungnya.
Demi melihat itu Srikaton tahu kalau pemuda ini hen-
dak meninggalkan penginapan. Apalagi ketika dilihat-
nya Arso Lumbing sudah membayar pesanannya tadi.
Srikaton Munggel buru-buru menyusul.
"Sobat, kau hendak ke mana bukankah maka-
nanmu belum habis?"
"Selera makanku sudah hilang, Nona. Lagi per-
jalananku masih sangat jauh." jawab Arso Lumbing ia
bersikap acuh meninggalkan Srikaton Munggel. Pe-
rempuan cantik ini hanya melongo menatap kepergian
Arso Lumbing. Tapi saat pemuda ini mulai membawa
kudanya, Srikaton Munggel berusaha mengejar.
"Kau mau ke mana? Kalau satu perjalanan kita
bisa berangkat bersama-sama." kata Srikaton Munggel.
"Rasanya tidak mungkin, Nona." ujar Arso
Lumbing.
"Kenapa tidak mungkin. Bukankah lebih baik
ada seorang teman dalam perjalanan?"
"Kau tidak akan mengerti."
Srikaton Munggel diam. Maka Arso Lumbing te-
rus menunggangi kudanya berjalan perlahan. Perem-
puan ini seperti kesal. Tak urung juga ia ikut melang-
kah membuntuti jalannya kuda itu. Kelakuan Srikaton
Munggel menjadi perhatian orang-orang sedesa itu.
Dengan tidak perduli Srikaton Munggel mengikuti te-
rus sampai keluar desa. Ia nekad ingin mengikuti Arso
Lumbing ke mana pergi.
Pemuda tampan menghela nafas di atas ku-
danya. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Tapi ia tetap
tidak perduli membawa kudanya berjalan terus.
Matahari semakin tinggi. Arso Lumbing sengaja
mengatur kudanya berjalan perlahan. Sesekali ia meli-
rik ke belakang, dan sosok molek menggiurkan Srika-
ton Munggel tetap mengikutinya. Apalagi sekarang me-
reka telah meninggalkan jauh desa. Sekarang mereka
mengarungi dataran kering berbatu.
Selama itu pula panas menyengat membuat
tenggorokan mereka semakin kering. Tapi Srikaton
Munggel tetap berjalan di belakang tanpa mengenal le
lah. Padahal keringat sudah mengucur deras di seku-
jur tubuhnya. Langkahnya pun sudah mulai goyah.
Bisa saja Arso Lumbing meninggalkan Srikaton
Munggel dengan memacu kudanya cepat, maka ia bisa
bebas tanpa diikuti perempuan itu. Tapi Arso Lumbing
tidak tega untuk berbuat itu. Manakala langkah-
langkah Srikaton Munggel sudah tidak karuan lagi.
Perjalanan Arso Lumbing demi menjemput ca-
lon pengantin perempuan untuknya agak terhambat.
Juga kalau ia bersikap begini terus akan memakan,
waktu yang sangat lama. Tindakannya jadi serba sa-
lah. Tidak mungkin Arso Lumbing meninggalkan begi-
tu saja. Kalau ia mengikut sertakan Srikaton menung-
gangi kuda bersama-sama, akan membawa kesan yang
kurang baik. Bagaimana nanti kalau kebetulan mereka
bertemu dengan calon pengantinnya di perjalanan?
Sebagai calon pengantin pria cuma itu yang bi-
sa menjadi beban pikirannya. Berkali-kali ia menghela
nafas. Sepanjang dataran itu seakan tiada batas. Di
kejauhan matanya menghampar bukit hijau meng-
hampar samar. Tidak terasa pula kalau matahari mu-
lai condong ke barat. Langit di atas membias kemera-
han.
Teringat akan sosok ramping yang mengikuti
perjalanannya. Tapi setelah Arso Lumbing menoleh ke
belakang, sosok Srikaton Munggel. Dataran kering be-
rubah dingin diiringi hembusan angin. Namun Arso
Lumbing membelalakkan matanya. Srikaton Munggel
bukan hilang atau pergi begitu saja.
Dalam jarak yang sangat jauh Arso Lumbing
dapat melihat sosok ramping Srikaton Munggel terbar-
ing di atas permukaan tanah. Maka cepat-cepat pemu-
da tampan ini menghela kudanya mendekati. Ia lang-
sung turun di samping tubuh terbaring.
Wajah Srikaton Munggel nampak begitu pucat.
Keringat yang membanjir di sekujur tubuhnya telah
bercampur dengan debu. Melihat itu perasaan iba
muncul. Wajah cantik dalam keadaan begitu mengge-
tarkan jantung Arso Lumbing. Sesaat ia menatap wa-
jah yang sangat menggoda hatinya.
Lalu terpaksa pula ia harus memapah menaik-
kan ke atas kuda. Di atas kuda itu Arso Lumbing
membasahi wajah Srikaton Munggel dengan perse-
diaan airnya. Perempuan itu tetap memejamkan mata
disertai nafas yang pelan. Tubuhnya terasa dingin da-
lam pelukan Arso Lumbing.
Hari makin gelap. Sambil menjaga tubuh Srika-
ton, pemuda tampan mengendalikan kudanya melang-
kah cepat. Bulan di atas mengambang menerangi per-
jalanan mereka. Srikaton Munggel tetap belum si-
uman. Tidak mungkin kalau Arso Lumbing mene-
ruskan perjalanannya pada malam itu.
Sehingga harus terpaksa pula ia bermalam di
tengah-tengah dataran gersang berbatu. Dengan letu-
pan api unggun Arso Lumbing menghangati tubuhnya.
Srikaton Munggel terbaring berselimut kain tebal. Tapi
rasanya, kehangatan api unggun tiada artinya diband-
ing udara malam yang semakin dingin menyengat. Ma-
nakala persediaan kayu bakar makin habis berkurang.
"So-sobat... Hh... hah...." Terdengar rintihan
Srikaton Munggel. Tubuhnya menggigil hebat. Kedua
rahangnya terkatup rapat bergetar. Arso Lumbing me-
natap perempuan itu melawan hawa dingin yang tidak
mungkin dapat diatasi. Arso Lumbing mendekatinya.
Ia sendiri pun mulai menggigil.
"Ki-kita akan mati kedinginan.... Brrr...," rintih
Srikaton Munggel bergetar. Ia menarik baju Arso
Lumbing. Arso Lumbing langsung jatuh dalam deka-
pan itu. Terasa sekali perempuan ini bergetar hebat.
Dirasakan pula dekapan Srikaton Munggel semakin
erat. Namun akibat dari sentuhan itu, seperti mengalir
kehangatan yang luar biasa.
*
**
SEMBILAN
Rasanya seperti mimpi menghadapi sergapan-
sergapan Srikaton Munggel yang menghanyutkan itu.
Arso Lumbing tak dapat mengelak. Ia malah menyam-
but menggeluti tubuh Srikaton Munggel. Sebagai lelaki
Arso Lumbing memang tidak bisa membohongi diri. Di
malam yang gelap gulita berselimut dingin. Mereka
berdua saling membagi kehangatan.
Tidak ada lagi rasa dingin di antara tubuh me-
reka. Kalau tadi waktu terasa begitu lama menyiksa,
kini serasa teramat cepat. Tidak disadarinya bulan di
atas sana sudah bergeser jauh. Manakala tubuh kedu-
anya menggelepar-gelepar.
Seekor kuda yang berdiri tidak jauh dari situ
seakan merinding menyaksikan sesuatu yang amat as-
ing baginya. Saat itu api unggun telah menjadi bara
api. Mengeluarkan asap putih kehitaman membum-
bung tinggi.
Dua sosok masih nampak duduk berpelukan.
Keringat mereka deras mengucur. Srikaton Munggel ti-
dak lagi menggigil. Ia membiarkan tubuhnya luruh da-
lam pelukan Arso Lumbing. Pemuda ini diam bagai pa-
tung. Ia tidak ingat apa yang telah dilakukannya ter-
hadap perempuan cantik. Membiarkannya pula seka-
rang perempuan itu mengelus-elus dadanya.
Arso Lumbing terbuai untuk kedua kalinya. Ia
betul-betul lupa dengan tujuan perjalanannya. Untuk
apa ia melakukan perjalanan sejauh ini, untuk apa pu-
la sebenarnya Resi Wesakih menugaskan dirinya?
Apakah ia tidak teringat sama sekali kalau dirinya ha-
rus menjemput seorang wanita yang kelak menjadi is-
trinya?
Seratus persen memang tidak lupa. Tuntutan
badaniah memang selalu dapat berontak dan tak ter-
kendali. Apalagi Arso Lumbing seorang laki-laki nor-
mal. Muda dan gagah. Srikaton Munggel kurang apa.
Tubuhnya yang mulus, wajahnya yang cantik, serta
bentuk tubuhnya yang jarang dimiliki wanita sempur-
na manapun. Pada malam yang dingin ini Arso Lumb-
ing telah menikmati apa yang dimiliki oleh Srikaton
Munggel.
Ada sesuatu yang membuat Arso Lumbing mu-
lai tertarik pada Srikaton Munggel. Sekalipun ia me-
nyadari kalau perempuan dalam dekapannya itu jauh
lebih tua darinya. Seperti yang kita ketahui Srikaton
Munggel telah malang melintang hidup bersama nenek
berambut putih penguasa Gunung Tunggul selama ku-
rang lebih tiga puluh tahun. Ternyata pula kalau Sri-
katon Munggel benar-benar masih perawan tulen.
***
Ki Wirayuda setengah tidak percaya ketika
mendengar cerita dari seorang gadis bernama Um-
bayani. Keadaan Umbayani setelah dua hari ini agak
membaik. Sekeliling pinggangnya masih terbalut den-
gan kain perak. Saat ini Umbayani tengah duduk
menghadapi Ki Wirayuda dan Pendekar Kelana Sakti.
"Tidak kusangka kalau nona yang cantik ini
seorang putri dari majikan perguruan Pedang Ular. Ti-
dak disangka-sangka pula bahwa kita mengalami na-
sib yang sama. Dua perempuan iblis Gunung Tunggul
itupun pernah membuat kami di sini kalang kabut."
ujar Ki Wirayuda.
"Yang kusesalkan hanyalah soal Pedang Ular
Emas, Paman. Biarlah kami gagal dalam pertemuan
hari pertunangan. Asalkan pusaka milik perguruan
kami kembali." Umbayani merenung.
"Kami melihat sendiri Pedang Ular Emas berada
dalam tangan Srikaton Munggel. Pantaslah ia sedemi-
kian hebatnya hari itu. Kiranya ia menggunakan pusa-
ka Pedang Ular." jawab Ki Wirayuda.
"Terlalu... Persoalannya akan rusuh. Orang-
orang persilatan akan menganggap ini perbuatan
orang-orang Pedang Ular, padahal...." kata Umbayani
lagi.
"Kami cukup mengerti, Nona." tukas Wintara.
"Malah yang membingungkan ini adalah persoalan per-
tunangan nona."
"Maksud Pendekar Wintara?" Umbayani ker-
nyitkan alls.
"Apakah kau tidak tahu sama sekali terhadap
orang yang membawa dirimu ke pemukiman ini?"
tanya Wintara agak menyelidik.
"Bagaimana bisa tahu. Setelah berada di sini
saja, aku betul-betul merasa keheranan. Aku mengira
diriku sudah berada di neraka. Ternyata?" Umbayani
menahan tawanya.
"Mungkin kau tidak percaya kalau penyelamat
itu bernama Arso Lumbing." tukas Ki Wirayuda.
"Arso Lumbing?" Mata Umbayani hampir keluar
dari rongganya.
"Betul. Kenapa Arso Lumbing tidak mengenali-
mu?" tanya Ki Wirayuda. Suasana diam sesaat. Um-
bayani hampir tidak percaya.
"Kami sudah dijodohkan sejak kecil. Aku mau-
pun Arso Lumbing sama sekali tidak saling kenal.
Hanya ayah dan paman Rakadewa Geni yang mengenal
jelas terhadap calon suamiku."
"Memang sulit untuk mengenali pendekar-
pendekar muda sekarang. Sampai-sampai aku sendiri
sulit mengenali engkau sewaktu dibawa ke sini. Wah-
wah.... Runyam. Sebenarnya kalian sudah saling temu.
Sayang aku yang tua pikun ini tidak tahu situasi." ujar
Ki Wirayuda.
"Sekarang persoalannya sudah jelas. Alangkah
baiknya kalau kita mencari Srikaton Munggel untuk
mengambil kembali pusaka Pedang Ular. Sekaligus kita
lumpuhkan mereka. Karena tindakannya sudah di luar
batas." ujar Wintara.
"Jangan dulu. Aku hanya mengusulkan, kalau
Umbayani harus menemui Resi Wekasih untuk menje-
laskan keterlambatan ini. Biarlah dalam hal ini aku
tugaskan Pendekar Wintara menemanimu, setelah itu
terserah pada Resi Wesakih nanti." Usul Ki Wirayuda.
Sebagai orang yang cukup tua usul itu sangat disetujui
oleh kedua pendekar muda ini. "Bagaimana dengan lu-
ka-lukamu, Umbayani?" tanya Ki Wirayuda. Laki-laki
tua ini duduk setengah bersandar di atas balai. Tulang
rusuknya yang patah belum sembuh betul. Belum ten-
tu satu bulan dapat pulih. Melihat itu pun Umbayani
cepat menjawab....
"Luka babatan pedang di perut ini memang ma-
sih terasa sekali, Paman. Aku tidak khawatir selama
Wintara bersedia membantu. Siapa yang tidak kenal
dengan Pendekar Kelana Sakti?" ujar Umbayani.
"Kalau begitu pergilah ke kandang, kalian boleh
pilih kuda yang kalian sukai." tukas Ki Wirayuda.
Di atas puncak Gunung Tunggul. Nenek be-
rambut putih berbaju serba merah mondar mandir da-
lam ruangan agak gelap. Rambutnya yang putih beru-
ban bergerak-gerak sebatas pinggang. Raut mukanya
menandakan ia sedang murka.
Berkali-kali ia menendangi tumpukan-
tumpukan jerami yang berserakan dalam ruangan ter-
sebut. Demi kekesalannya, tidak henti-henti ia mema-
ki....
"Murid sialan! Murid tidak tahu balas budi! Ke
mana perginya ia mencari obat. Tiga harian Juntreng
belum juga nongol batang hidungnya. Dasar brengsek!"
Tanpa lelah Nilasari Grewek terus berjalan mondar
mandir. Kedua tinjunya mengepal erat.
"Bila kembali ke sini kau akan tahu rasa pe-
rempuan tengik!" Ia mengepal tinjunya sendiri. Lalu
seperti biasa ia selalu duduk di sudut ruangan yang
terlindung dari sinar matahari. Di sampingnya ada se-
buah meja kecil pendek. Tersedia pula teh hangat ra-
muannya sendiri.
Pada meja itu tergeletak pula sebilah pedang
bersinar keemasan. Apalagi kalau bukan Pedang Ular
Emas. Kemarahannya segera lenyap demi melihat pe-
dang tersebut. Tangan keriputnya lantas menimang-
nimang Pedang Ular Emas.
Dalam hatinya ia sangat kagum pada si pencip-
ta Pedang Ular Emas. Entah pengaruh apa yang ter-
kandung dalam pedang ini. Teringat akan Srikaton
Munggel lagi, saat murid tunggalnya itu menghadapi
Pendekar Kelana Sakti dan Ki Wirayuda. Ketika ia
menggunakan pedang tersebut, kemampuan murid
tunggalnya dua kali lipat lebih hebat.
Wajah Nilasari Grewek mendadak pucat. Pera-
saan cemas serta khawatir timbul dengan seketika.
"Dasar aku yang bodoh! Tahunya hanya ngo-
mel! Marah-marah! Menyalahkan Srikaton Munggel!
Tidak pernah memikirkan akan keselamatan murid
tunggalku.... Jangan-jangan ia telah bertemu dengan
pendekar-pendekar sial itu. Celaka! Pastilah Srikaton
Munggel mendapat halangan. Tidak mungkin ia pergi
sampai berlarut-larut!" Nilasari Grewek cemas bukan
kepalang.
*
**
SEPULUH
Selama didampingi Srikaton Munggel, Arso
Lumbing benar-benar lupa daratan. Dalam hati serta
matanya hanya Srikaton Munggel yang selalu nampak.
Tidak ada istilah di antara mereka beda usia. Hubun-
gan mereka makin rapat penuh kasih sayang.
Baik Arso Lumbing maupun Srikaton Munggel
tidak perduli lagi akan tujuan mereka sebenarnya. Kini
mereka memilih sebuah tempat untuk kediaman. Da-
lam perjalanannya ketika mereka menelusuri aliran
sungai. Mereka menemukan sebuah gubuk yang sudah
tidak ditempati. Mereka sepakat untuk menempati dan
membetulkan gubuk reyot tersebut.
Seharian penuh mereka memberesi tempat
tinggal yang baru. Gubuk mereka nampak bagai ru-
mah panggung yang mengambang di atas aliran sun-
gai. Pohon-pohon yang rindang tumbuh di tepi sungai.
Cukup melindungi gubuk mereka dari sinar matahari.
Manakala air sungai begitu bening. Ikan-ikan yang be-
renang kian kemari dapat terlihat berseliweran di ba-
wah gubuk mereka.
Arso Lumbing sengaja membuat tangga kayu
yang menjurus ke bawah. Tangga itu gunanya untuk
turun ke sungai bila ingin mandi atau mencari ikan.
Hampir kebanyakan Arso Lumbing menggunakan ca-
bang-cabang pohon untuk membangun gubuknya.
Cukup tegar dan kokoh.
Seperti hari itu, saat Arso Lumbing selesai
membuat tangga kayu, ia langsung mencari ikan. Se-
belumnya ia memang telah menyediakan tombak runc-
ing dari kayu pula.
"Ha-ha-ha-ha.... Hari ini kita makan besar, Sri-
katon.... Aku sudah mengumpulkan lima ekor ikan.
Cepat kau sediakan api!" teriak Arso Lumbing. Di
ujung tombak kayunya menggelepar-gelepar seekor
ikan cukup besar. Di pinggangnya telah terkumpul
empat ekor ikan.
"Dari tadi api sudah meletup-letup, Arso Lumb-
ing. Kau saja yang tidak mendengarnya." jawab Srika-
ton Munggel. Ia duduk di teras belakang gubuk. Sejak
tadi ia memperhatikan pemuda idamannya.
"Cukupkah lima ekor ikan?" teriak Arso Lumb-
ing yang sudah mengincar seekor lagi di bawah ka-
kinya.
"Rasanya tidak. Aku tahu betul kau sangat le-
lah. Pasti makanmu banyak sekali." ujar Srikaton
Munggel.
"Wah... Kalau menuruti kamu, ikan-ikan di
sungai ini bisa habis." Tak urung Arso Lumbing lan-
carkan tusukan tombaknya ke bawah. Air sungai ber-
geming tertembus tombak kayu. Tapi gagal. Ikan inca-
rannya keburu pergi jauh.
"Kampret! Ikan-ikan di sini mulai gesit." Men-
dengar itu Srikaton Munggel hanya tersenyum. Ia be-
tul-betul mengakui akan ketampanan Arso Lumbing.
Rasanya pula ia tidak ingin berpisah dengan pemuda
ini. Ia makin jatuh cinta melihat Arso Lumbing telan-
jang dada, bergerak-gerak menunjukkan otot-ototnya
yang kekar.
Malamnya mereka menyantap hasil tangkapan
Arso Lumbing. Arso Lumbing sanggup menghabiskan
tiga ekor. Berkali-kali pula tenggorokannya terselak,
sehingga ia harus cepat-cepat menenggak air dalam
pundi. Srikaton Munggel sudah selesai makan. Ia
membiarkan Arso Lumbing makan sendirian. Karena
tempat tidur mereka masih berantakan. Ia membenahi
tumpukan alang-alang yang memenuhi sebagian ruan-
gan gubuk, lalu dilapisi dengan selimut tebal. Dia su-
dah membayangkan, pasti Arso Lumbing akan tertidur
dengan nyenyak.
Memang benar. Tak lama pun setelah usai ma-
kan, dengkur Arso Lumbing sudah terdengar. Srikaton
Munggel duduk bersandar pada dinding gubuk tanpa
bisa memejamkan matanya. Malam itu ia benar-benar
tidak dapat tidur. Perasaannya seperti mengganjal se-
suatu. Dalam kesunyian itu pikirannya menggambar-
kan peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya.
Teringat pula akan seraut wajah keriput Nilasa-
ri Grewek. Nenek yang selalu memakinya tanpa jun-
trungan. Namun kepada nenek itu pula ia selalu ber-
lindung. Kesan-kesannya memang pahit selama tiga
puluh tahun mengekor dalam aliran sesat. Terakhir ia
meninggalkan gurunya, dalam keadaan luka parah.
Bagaimana sekarang keadaannya. Sehat-sehatkah ia?
Tapi karena terlalu banyaknya kepahitan hidup ber-
sama Nilasari Grewek, membuat Srikaton Munggel ti-
dak perduli. Sekarang ia coba-coba menggantungkan
hidupnya terhadap orang yang begitu cepat ia cintai.
Rela pula ia menyerahkan kesuciannya yang selama ti-
ga puluh tahun ia pertahankan. Selama ini pula ia be-
rusaha menyembunyikan diri yang sebenarnya.
Dia sudah bertekad akan mengabdi pada orang
yang dicintainya itu. Andai saja Arso Lumbing menya-
kiti hatinya, Srikaton Munggel tidak akan segan-segan
melumuri tangannya dengan darah Arso Lumbing.
Kedua mata Srikaton Munggel memandang
berkeliling menatap dinding gubuk yang begitu kokoh
tanpa celah. Ruangan itu dapat diterangi dengan api
unggun yang meletup-letup di tepi sungai, dalam ke-
remangan itu Srikaton dapat melihat benda panjang
terbungkus kain sutra. Benda apa sebenarnya itu.
Benda itu tergantung di dinding. Arso Lumbing ternya-
ta sudah lama tidak menyentuhnya. Hari-harinya di-
habiskan selalu bersama Srikaton Munggel.
Tergerak pula rasa ingin tahu Srikaton Mung-
gel. Tanpa bersuara ia melangkah mendekati benda
yang diam dingin tak bergerak. Cekatan pula tangan-
nya yang mulus itu mulai membuka bungkusan kain
sutra. Sesaat matanya membelalak lebar.
Ternyata benda itu hanya sebilah pedang yang
bersinar keemasan. Bentuk pedang membuat Srikaton
Munggel tidak percaya. Betapa tidak, pedang dalam
tangannya itu tidak lain Pedang Ular Emas.
Dia masih ingat betul ketika ia pernah mere-
butnya dari tangan seorang gadis. Bahkan ia pernah
menggunakannya menumpas rombongan itu. Tapi se-
pengetahuannya, Pedang Ular Emas telah ia berikan
pada Nilasari Grewek, gurunya. Kenapa pedang ini se-
karang berada dalam tangan kekasihnya?
Timbul pikiran yang bermacam-macam. Bagai-
mana mungkin Pedang Ular Emas bisa berada dalam
tangan Arso Lumbing? Apakah ia juga telah merebut-
nya dari tangan gurunya? Kalau begitu.... pastilah Ni-
lasari Grewek telah tewas! Perasaan itu yang tergam-
bar dalam benak Srikaton Munggel. Arso Lumbing te-
tap mendengkur pulas.
Ada juga sedikit dendam di jantung Srikaton
Munggel. Pikirannya mulai bercabang, manakala Pe-
dang Ular Emas terhunus tajam dalam genggamannya.
Tapi secepat itu pula ia jadi 'Dingin'.
Hidup bersama Arso Lumbing meskipun baru
beberapa hari merasakan dirinya selalu bahagia. Tidak
tega ia membunuh Arso Lumbing dalam keadaan se-
perti ini. Lagi pula Pedang Ular Emas tidak berarti apa-
apa, pikirnya. Pendekar Kelana Sakti masih dapat
mengalahkan dengan ilmu-ilmu yang dimiliki. Biar saja
Pedang Ular Emas menjadi kebanggaan Arso Lumbing.
Toh pemuda ini merupakan pujaannya.
Cinta memang hebat! Dapat merubah sega-
lanya. Yang baik bisa berubah jahat, begitu juga den-
gan yang jahat, akan berubah sebaliknya. Perlahan
Srikaton Munggel membungkus kembali Pedang Ular
Emas itu. Hati-hati pula ia menggantungkan kembali
ke dinding. Lalu ia kembali ke samping Arso Lumbing.
Mengelus-elus sosok pemuda yang tertidur pulas.
***
Keresahan yang disebabkan oleh pendekar-
pendekar muda, bukan hanya menggayuti pikiran Ni-
lasari Grewek. Ternyata pula perasaan itu mence-
maskan seorang tua bungkuk bernama Resi Wesakih.
Kakek bungkuk ini tinggal dalam sebuah goa dekat je-
ram.
Hari pertunangan putranya telah lewat satu
minggu lebih. Keterlambatan itu sangat keterlaluan.
Resi Wesakih selalu menatap keluar menunggu keda-
tangan orang-orang Pedang Ular. Namun sampai saat
ini, baik orang-orang Pedang Ular maupun putranya
Arso Lumbing belum juga muncul.
Ia hidup seorang diri dalam goa itu. Ternyata
pula goa itu bukan sembarang goa. Di dalamnya lebih
nampak seperti layaknya sebuah bangunan batu yang
ditata sedemikian rapi. Lampu-lampu damar tergan-
tung pada tiap-tiap sudut menerangi ruangan itu. Da-
lam keresahannya, mendadak jantungnya bergetar ke
tika didengarnya derap langkah-langkah kuda.
*
**
SEBELAS
Serta merta ia langsung berlari keluar. Dari de-
pan pintu ia dapat melihat dua orang berkuda mende-
kati goanya. Jelas terlihat oleh mata tuanya kalau sa-
lah seorang dari penunggang kuda itu seorang perem-
puan. Seorang lagi laki-laki muda berpakaian bulu bi-
natang.
Resi Wesakih tetap menunggu mereka dengan
hati yang berdebar. Langkah-langkah kuda berderak
nyaring semakin dekat. Mata tuanya memang tidak
pernah salah. Mereka memang dua muda mudi yang
tengah menuju ke arahnya. Dan ternyata pula dua
muda mudi ini tidak lain Wintara dan Umbayani.
Ketika mereka tiba di mulut goa, Resi Wesakih
berdiri terbungkuk keheranan. Umbayani dan Wintara
segera turun dari kudanya.
"Maaf, apakah kakek yang bernama Resi Wesa-
kih?" sapa Umbayani berjalan ke hadapan kakek
bungkuk berambut putih. Kakek ini tidak langsung
menjawab. Kedua matanya yang hampir tertutup alis
hanya menatap gadis muda itu. Lalu ia mengangguk
perlahan.
"Oh, Paman Resi Wesakih!" Melihat itu Um-
bayani langsung berlutut memberi hormat.
"Mata tuaku ini tidak bisa dikelabui, pastilah
kau cah ayu Umbayani." Resi Wesakih mengangkat
bangkit Umbayani. Wintara hanya berdiri mengawasi
pertemuan itu.
"Mana Pedang Ular Emas dan Arso Lumbing?
Mengapa ia tidak bersama kalian?" tanya Resi Wesa-
kih. Hampir menangis pula Umbayani mendapat per-
tanyaan itu. Dengan bergetar ia menjawab.
"Mengenai Kakang Arso Lumbing, aku sama se-
kali tidak bertemu dengannya. Karena-karena.... Kami
telah dihadang.... Tidak disangka pula Pedang Ular
Emas di rebut orang." tutur Umbayani.
"Astaga...?! Sebaiknya kita bicara di dalam, Cah
ayu. Ceritakan dengan jelas bagaimana sampai terjadi
hal seperti ini. Arso
Lumbing pun belum kembali ke sini." ujar Resi
Wesakih. Kakek bungkuk itu menuntun Umbayani
memasuki goa. Wintara mengikutinya tanpa bicara.
Dalam ruangan itu menyebar bau wangi pendupaan,
Terheran-heran- pula Wintara saat berada di dalam
ruangan goa tersebut. Dirinya tidak mirip di dalam se-
buah goa, Mereka bagaikan dalam sebuah ruangan
megah yang indah.
Di dalam ruangan itu Umbayani menceritakan
panjang lebar mengenai nasibnya. Dimulai dari perja-
lanannya yang telah terjebak oleh dua penguasa Gu-
nung Tunggul. Sampai ia berada di pemukiman Ki Wi-
rayuda, lalu bagaimana ia sampai di situ bersama seo-
rang berilmu tinggi yaitu Pendekar Kelana Sakti.
Resi Wesakih kerutkan kening, sepertinya ada
kesan tersendiri dari penuturan cerita Umbayani.
"Mungkin pula Kakang Arso. Lumbing telah di-
jegal oleh kedua perempuan iblis itu." ucap Umbayani
sebagai penutup dari penuturannya.
"Maksudmu, Arso Lumbing telah tewas di perja-
lanannya? Tidak mungkin, Umbayani. Arso Lumbing
cukup dikenal dalam kalangan persilatan, kalaupun ia
sudah tewas, pasti kabar beritanya sudah sampai oleh
ku." tukas Resi Wesakih.
"Kalau begitu, bagaimana mengenai pusaka
perguruan Pedang Ular, Paman?" ujar Wintara yang
duduk bersebelahan dengan Umbayani. Kakek bung-
kuk ini seperti hendak mengekeh.....
"Jangan khawatir. Pedang Ular Emas yang be-
rada di tangan dua penguasa Gunung Tunggul itu ha-
nyalah pedang tiruan buatanku." jawab Resi Wesakih.
Umbayani dan Wintara menatap tidak mengerti. Tapi
Resi Wesakih cepat menjelaskannya.
"Pedang Ular Emas yang asli justru berada di
tangan Arso Lumbing, putra ku. Memang cukup rumit.
Dan kalian juga tidak bakal mengerti."
"Jadi selama ini perguruan Pedang Ular hanya
memegang pusaka buatan Paman?" Umbayani hampir
tidak percaya.
"Betul, kisahnya berawal pada dua puluh tahun
yang lalu. Saat Perguruan Pedang Ular menjadi inca-
ran tokoh-tokoh aliran sesat. Dengan gigih ayahmu
mempertahankan nama besar perguruannya. Tentunya
dibantu pula dengan pendekar-pendekar lain. Bahkan
di antara pendekar-pendekar itu ada yang menjadi
korban. Begitu pula dengan tokoh-tokoh sesat, mereka
lebih banyak dapat ditumpas. Semuanya bermaksud
ingin merampas Pedang Ular Emas. Saat itu aku be-
rumur enam puluh tahun. Dengan ilmu yang kumiliki
turut pula membantu ayahmu. Aku memang tinggal di
sana. Arso Lumbing masih berumur tujuh tahun.
Mungkin saat itu kau baru berumur empat tahun,
Umbayani, tentunya kau masih ingat. Waktu itu kau
hidup tidak sendirian. Kau hidup dua bersaudara den-
gan kakak perempuan bernama Umbamayu. Masih in-
gat?"
"Ingatanku tidak setajam itu, Paman." tukas
Umbayani.
"Saat itu kau masih bau kencur yang lugu. Kakakmu Umbamayu selalu mengajak kau bermain. Tapi
ketenangan itu nampaknya tidak langgeng selamanya.
Seorang tokoh sesat berjuluk Penguasa Gunung Tung-
gul datang menyatroni perguruan Pedang Ular. Dengan
tujuan yang sama. Ingin merebut pedang Ular Emas.
Dalam pertempurannya, ayahmu terkena pukulan
Tombak Gunung yang sangat dahsyat. Aku yang men-
gabdi terhadap ayahmu selama puluhan tahun mana
sempat berdiam diri. Nekad pula aku menghadapi pen-
guasa Gunung Tunggul itu. Rupanya keberuntungan
ada di pihak kami, Penguasa Gunung Tunggul dapat
kami usir dengan luka parah yang sama. Hal itu tidak
membuat kami tenang. Karena ia sempat pula mem-
bawa Umbamayu kakakmu. Saat itu kami tidak berku-
tik. Karena ia menyandera Umbamayu dan mengan-
cam, Sampai sekian lama akhirnya penguasa Gunung
Tunggul tidak pernah kembali. Umbamayu pun lenyap
bersama tokoh perempuan sesat itu, Setelah itu pun
aku merawat ayahmu sebagaimana layaknya seorang
saudara. Rupanya ayahmu menaruh simpati padaku.
Dalam keadaan sakit ia menjodohkan kau dengan Arso
Lumbing. Mula-mula aku menolak. Aku merasa ku-
rang pantas menerima tawaran yang bagai mimpi. Ka-
rena aku mengingat hanyalah seorang abdi yang ber-
tugas selama bertahun-tahun membuat pedang.
Ayahmu sangat memaksa, dan tawaran tak dapat ku-
tolak. Dia menyuruh membuat tiruan Pedang Ular
Emas. Lebih gila lagi aku ditugaskan memelihara pe-
dang aslinya. Pedang itu kelak akan dipertemukan le-
wat pertunangan kau dan Arso Lumbing, Dan sekali-
gus kau menjadi pewaris ayah, karena kakakmu Um-
bamayu hilang tanpa ada beritanya lagi." Resi Wesakih
mengakhiri ceritanya.
"Aku yakin Srikaton Munggel adalah kakakmu,
Umbayani. Cerita Paman Resi Wesakih menjelaskan
semuanya." ujar Wintara. Umbayani menatap diam Re-
si Wesakih.
"Ada kemungkinan juga. Kalau memang benar
Srikaton Munggel adalah Umbamayu, kita bisa mena-
riknya dari tangan Nilasari Grewek." kata Resi Wesa-
kih.
"Satu-satunya jalan kita harus mencari Nilasari
Grewek. Dia harus menerima pembalasan dariku."
Sumpah Umbayani di hadapan Resi Wesakih.
"Kita juga tidak harus berdiam diri di sini. Na-
sib Arso Lumbing perlu kita pikirkan. Kalau memang
tujuannya ke perguruan Pedang Ular tidak mungkin
akan berlarut-larut seperti ini." Wintara kemukakan
pendapat. Resi Wesakih menghela nafas....
"Siapa yang tidak merasa khawatir terhadap
anaknya. Sekali pun aku yakin Arso Lumbing masih
hidup, Kita memang harus mencarinya. Pertunangan
Umbayani dengan anakku harus terjalin. Itu sudah
menjadi amanat majikan Perguruan Pedang Ular." Ka-
kek bungkuk itu seraya bangkit dari tempat duduknya.
Hutang darah yang terpendam selama dua pu-
luh tahun itu akhirnya terjangkit pula di kalangan
orang tua. Selama dalam goanya Resi Wesakih tidak
menyangka kalau nenek keriput Nilasari Grewek mun-
cul kembali mengaduk-aduk tanah Sungkawarang. Hal
itu tidak bisa dibiarkan. Nilasari Grewek memang to-
koh paling sesat dan mesti ditumpas.
Hari itu juga Resi Wesakih mempersiapkan sen-
jatanya. Senjatanya itu merupakan dua buah palu se-
besar kepalan tangan. Dengan senjata itu Resi Wesa-
kih pernah menghantam mundur musuh-musuhnya
pada dua puluh tahun yang lalu. Termasuk pula Nila-
sari Grewek. Kalau saat itu Nilasari Grewek tidak me-
nyandera Umbamayu, tentunya Nilasari Grewek si
penguasa Gunung Tunggul sudah tamat riwayatnya.
Terhadap Umbayani ini Resi Wesakih memper-
lakukan sebagaimana ia pernah mengabdi pada ayah-
nya. Sekalipun ia calon mertua. Tapi bagaimana si-
kapnya nanti seandainya Srikaton Munggel benar-
benar Umbamayu.
*
**
DUA BELAS
"Aduh Srikaton yang malang, nasib apa geran-
gan yang melandamu, kalau kau tewas di tanah orang
bagaimana dengan nasib ku.... Aduh Srikaton.,.." ke-
luh Nilasari Grewek. Nenek keriput berbaju serba me-
rah itu mengarungi pinggiran sungai. Ia baru saja tu-
run dari Puncak Gunung Tunggul. Tangannya erat
menggenggam pedang berkilau keemasan.
"Menyesal aku selalu mencaci maki dan men-
ganggapmu murid tolol. Kiranya tanpa dirimu hidupku
begitu kesepian. Aduuuh..... mudah-mudahan saja
aku bisa menemukan engkau dalam keadaan sehat-
sehat saja. Biar cacad juga tidak apa-apa." keluhnya
terus. Meski sosok itu sudah nampak peyot keriput
serta rambut beruban sebatas pinggang, langkah-
langkah kakinya masih nampak tegar. Tubuhnya begi-
tu ringan. Sehingga dalam beberapa langkah saja keli-
hatan Nilasari Grewek seperti berlari. Menyapu tepian
sungai. Manakala air sungai sangat bening menam-
pakkan ikan-ikannya. Penguasa Gunung Tunggul itu
tanpa berhenti melangkah.
Dia sengaja mengambil jalan pintas. Jalan yang
jarang dilalui orang-orang. Dengan begitu ia bebas
membawa pusaka Pedang Ular Emas tanpa diketahui
orang-orang persilatan. Nilasari Grewek sebenarnya
enggan membawa pusaka tersebut. Tapi enggan pula
ia meninggalkan pusaka itu dalam gubuknya. Dalam
hatinya dia yakin sekali kalau nanti akan berhadapan
dengan orang-orang Pedang Ular. Dengan begitu peris-
tiwa dua puluh tahun bakal terjadi lagi.
Sementara itu pada jalur sungai mengalir, ter-
dapat sebuah gubuk kayu. Tempat tinggal itu tidak
lain sebuah gubuk panggung yang mengambang di
atas aliran sungai milik Arso Lumbing bersama Srika-
ton Munggel. Saat itu Arso Lumbing tidak ada di situ.
Arso Lumbing tengah mencari kayu bakar di pinggiran
kali.
Sudah sejak tadi Srikaton Munggel menunggu
kedatangannya, ia duduk di depan teras gubuk. Mena-
tap ke bawah pada aliran air yang begitu beningnya.
Namun dari semalam pikirannya agak kacau. Ada se-
suatu yang ingin ditanyakan pada Arso Lumbing, tapi
ia sendiri sengaja menahan-nahan. Takut kalau perta-
nyaannya itu akan meretakkan hubungan mereka
yang selama ini terjalin baik. Pikirannya masih mem-
bayang pada pusaka Pedang Ular Emas. Benarkah Ar-
so Lumbing telah merebutnya dari tangan Nilasari
Grewek? Begitu mudahnya Arso Lumbing dapat meraih
pusaka tersebut. Setahunya, tidak mungkin Nilasari
Grewek mau menyerah begitu saja. Paling tidak mere-
ka harus menghadapi pertarungan dulu. Tentunya pu-
la kalau Pedang Ular Emas berada di tangan Arso
Lumbing, pastilah Nilasari Grewek gurunya telah te-
was.
Lamunannya buyar saat datangnya Arso Lumb-
ing memanggul seikat kayu-kayu ranting di punggung-
nya. Pemuda tampan ini tersenyum dari kejauhan.
Srikaton tetap diam tanpa menyahut.
"Aduh dewiku.... Setengah harian penuh aku lelah mencari kayu bakar, malah disambut dengan cem-
berut." goda Arso Lumbing.
Dia terus berjalan ke samping gubuk. Srikaton
Munggel tetap acuh. Diliriknya Arso Lumbing tengah
menyusun kayu-kayu ranting kering. Selesai menyu-
sun kayu-kayu itu Arso Lumbing berjalan ke arah Sri-
katon, lalu duduk di sampingnya.
"Ada apa seharian ini kau jarang bicara." tegur
Arso Lumbing. Tubuhnya yang telanjang dada basah
dengan keringat.
"Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan pada-
mu Arso Lumbing."
"Soal apa? Kau masih belum percaya kalau aku
mencintaimu sepenuh hatiku?"
"Bukan. Bukan soal itu...." Srikaton Munggel
ragu-ragu.
"Lalu apa?" Arso Lumbing penasaran.
"Harap kau jangan marah. Kau harus berjanji
dulu."
"Hm.... Katakanlah."
"Benda apa sebenarnya yang tergantung di da-
lam?" Srikaton Munggel pura-pura tidak tahu apa yang
terbungkus dengan kain sutra yang tergantung di
dinding. Arso Lumbing kernyitkan alis. Ia teringat akan
benda yang jarang disentuhnya selama berdampingan
dengan Srikaton.
"Cuma itu yang ingin kau ketahui? Benda itu
cuma sebilah pedang. Kenapa?" Arso Lumbing balik
bertanya. Ia tidak menyangka kalau siang itu sikap
Srikaton Munggel agak berubah. Perempuan ini tidak
bicara. Ia langsung bangkit berjalan ke dalam gubuk.
Tak lama keluar lagi dengan membawa benda terbung-
kus kain sutra. Di hadapan Arso Lumbing, Srikaton
Munggel membukanya.
"Katakan dari mana kau dapatkan pedang ini.
Arso Lumbing?" Srikaton Munggel menghunuskan pe-
dang Ular Emas. Arso Lumbing tenang-tenang saja
menjawab...
"Ayahku sendiri yang membuat pedang itu."
"Jangan bohong, Arso Lumbing. Aku tahu be-
nar pusaka ini milik siapa."
"Heh, kau ini kenapa Srikaton. Kau anggap apa
aku ini. Kau pikir aku tukang rebut dan main rampas
milik orang lain?" Arso Lumbing bangkit berdiri meng-
hadapi Srikaton Munggel. Perempuan ini tidak sang-
gup menatap Arso Lumbing. Keduanya berdiri diam.
Srikaton Munggel seperti hendak menangis.
"Srikaton.... Ada apa dengan kau? Kau boleh
memiliki pedang itu. Aku tidak perlu lagi. Semenjak
hidup bersamamu, aku menarik diri dari dunia persila-
tan. Bahkan aku telah melupakan tugas dari ayahku
sendiri...." Arso Lumbing membujuk.
"Arso Lumbing kuharap kau tidak berdusta...."
Suara Srikaton Munggel terisak. Kedua bola matanya
tergenang air bening. Menatap itu Arso Lumbing makin
trenyuh. Maka tak sanggup lagi Arso Lumbing mena-
han diri. Ia memeluk tubuh Srikaton Munggel yang te-
risak menahan tangis. Namun dengan tiba-tiba saja....
"Srikaton...!" Kedua muda mudi ini mendadak
tersentak kaget. Bentakan itu sangat nyaring. Kedua-
nya serempak menoleh ke arah suara. Tidak jauh, Sri-
katon Munggel membelalakkan matanya lebar-lebar.
Sosok Nilasari Grewek berdiri tegak menyaksi-
kan mereka. Tidak percaya pula Srikaton melihat Pe-
dang Ular Emas di tangan gurunya. Lalu pedang apa-
lagi yang ada di tangan Srikaton Munggel? Bentuknya
sama tiada beda. Srikaton Munggel jadi serba salah.
"Susah payah aku mencari-cari kau. Penuh ra-
sa cemas, khawatir, tahu-tahunya lagi enak-enakan di
sini bersama seorang anak Resi Wesakih. Brengsek!"
bentak Nilasari Grewek.
Arso Lumbing melepaskan pelukannya. Ia juga
hampir tidak percaya melihat sosok
Nilasari Grewek berdiri di hadapannya. Terle-
bih-lebih nenek itu menggenggam Pedang Ular Emas.
Dari mana ia dapat? Pikir Arso Lumbing.
"Murid bejad! Kenapa kau biarkan putra Resi
Wesakih itu! Ayo bunuh!" perintah Nilasari Grewek
dengan kedua mata melotot.
"Guru.... Aku...." Srikaton keluar dari teras ber-
jalan menghampiri nenek berbaju serba merah. Men-
dadak Nilasari Grewek terkejut setengah mati. Srikaton
Munggel juga memegang Pedang Ular Emas.
"Pantas kau tidak kembali ke Gunung Tunggul.
Kiranya kaupun memiliki Pedang Ular Emas juga. Ce-
pat Srikaton, sebelum habis kesabaranku, bunuh dia!"
perintah Nilasari Grewek.
"Tidak bisa, Guru. Arso Lumbing adalah sua-
miku!" tukas Srikaton Munggel.
"Chis, tidak sudi aku bermantukan orang aliran
lurus. Baiklah kalau kau tak sanggup membunuhnya.
Biar aku yang tua keriput membinasakan putra Resi
Wesakih!" Serta merta nenek berambut putih ini mere-
but pedang dalam genggaman Srikaton Munggel. Pe-
rempuan ini tidak menyangka kalau gurunya akan
bertindak seperti itu.
Arso Lumbing masih ingat betul akan sosok Ni-
lasari Grewek. Dulu dua puluh tahun yang silam ia
pernah mengenalinya. Saat Arso Lumbing bersama
ayahnya, Resi Wesakih mengabdi pada majikan Pergu-
ruan Pedang Ular. Masih ingat pula bagaimana ayah
Arso Lumbing menghantam mundur nenek berambut
putih itu.
Tapi hari ini rupanya, Arso Lumbing menerima
karma dari perbuatan orang tuanya. Kini ia harus
menghadapi serangan Nilasari Grewek. Dengan dua
buah Pedang Ular Emas di tangannya, Nilasari Grewek
mencecar habis-habisan pemuda Arso Lumbing. Nya-
tanya pula Arso Lumbing bukan sembarangan orang.
Tidak percuma ia sebagai putra Resi Wesakih.
*
**
TIGA BELAS
Meski tanpa menggunakan senjata sekalipun,
Arso Lumbing dapat menghadapi serangan-serangan
nenek keriput berambut putih.
"Aku memang pikun! Mudah melupakan keja-
dian pada dua puluh tahun yang telah lalu. Dan aku
telah mengira pula kalau Resi Wesakih telah mampus,
sekarang kehadiranmu ini membuat kedua mata tuaku
terbuka!" gerutu Nilasari Grewek. Ia memutar kedua
Pedang Ular Emas. Maka bergulung-gulung sinar kee-
masan. Suara anginnya menderu-deru. Bahkan sam-
pai mengoyak ketenangan arus air sungai. Sekali ia
hentakkan kedua pedang tersebut, Arso Lumbing
menghindar mundur. Sepertinya pula angin mendo-
rong begitu keras membuat dirinya terlempar jauh ke
belakang sampai tercebur ke dalam sungai.
"Hak-hak-hak-hak...! Biar tak kesampaian me-
lepas dendam terhadap Resi Wesakih. Jantungku akan
puas dengan mampusnya anak jelek ini,
"Hreaaaaaa...!" Nilasari Grewek menerjang lagi. Ia ne-
kad ikut masuk ke dalam kali. Saat itu Arso Lumbing
sudah berdiri meski harus terendam dalam sungai. Ia
baru tahu akan kehebatan Pedang Ular Emas. Tapi
mengapa sekarang harus ada dua? Apakah Perguruan
Pedang Ular telah kecolongan pusaka itu? Arso Lumb-
ing tidak sempat memikirkan persoalan itu. Serangan
Nilasari Grewek datang begitu cepat.
Melihat Arso Lumbing tercecar demikian rupa,
mana mau Srikaton Munggel berdiam diri. Dengan ka-
lap pula ia melompat ke dalam sungai.
"Guru, kau tidak boleh membunuhnya. Karena
Arso Lumbing harus menjadi bapak si jabang bayi ini!"
ujar Srikaton Munggel menghalangi serangan-serangan
Nilasari. Nenek berambut putih hentikan serangan
menatap geram dua muda mudi yang telah basah
kuyub....
"Dasar jalang! Murid tidak tahu diuntung! Se-
baiknya kalian mati bersama dengan pemuda anjing
ini! Pergilah ke akherat. Hiaaaaaaa...!" Nilasari Grewek
babatkan dua Pedang Ular Emas sekaligus ke arah
mereka, tapi Arso Lumbing yang selalu waspada itu
dapat menarik tubuh Srikaton Munggel. Ia segera me-
lesat ke atas hindari babatan-babatan maut tersebut.
Lalu keduanya hinggap persis di tepian sungai.
Dengan sigap Nilasari Grewek menyusul mere-
ka, lentingan tubuh keriputnya sangat cepat tahu-tahu
saja ia sudah hinggap tanpa bersuara di hadapan me-
reka..... Arso Lumbing siap siaga.... Kedua matanya
menatap jalang. Tak urung juga ia keluarkan jurus-
jurus andalannya.
"Baiklah, Nilasari Grewek. Aku tidak pandang
lagi siapa kau. Jelasnya aku pernah tahu kau pernah
malang melintang merecoki Perguruan Pedang Ular.
Seperti apa yang pernah dilakukan Resi Wesakih. Aku
pun akan bersikap sama. Menghentikan perbuatan se-
satmu." ujar Arso Lumbing mantap.
Nilasari Grewek tidak perduli, ia terus maju
lancarkan babatan-babatan Pedang Ular Emas. Seran-
gan itu begitu dahsyat. Tapi Arso Lumbing yang telan
jang dada sigap berkelit mati-matian. Setiap kali gera-
kannya dapat menghindari sinar keemasan yang ber-
kelebat cepat. Arso Lumbing yakin dua dari pedang itu,
salah satunya 'Asli'. Karena ia tahu ayahnya pernah
membuat pedang tersebut guna pertemuan pertunan-
gannya dengan Umbayani.
Sudah tentu Arso Lumbing tidak akan sanggup
menghadapi amukan Pedang Ular Emas yang asli. Ni-
lasari Grewek sendiri sudah merasakan akan keheba-
tan pedang yang berada dalam genggaman tangan ki-
rinya. Ia bisa bergerak ringan setiap kali ia lancarkan
babatan. Dirasakannya pula pedang itu dapat bergerak
sendiri dalam tangannya mencecar ke arah lawan.
Setengah mati Arso Lumbing dibuat jatuh ban-
gun. Pada kesempatan itu Srikaton Munggel datang
membantu. Ia ikut memapaki serangan-serangan gu-
runya. Mati hidup ia sudah nekad akan membantu Ar-
so Lumbing. Ternyata di mata Arso Lumbing, Srikaton
Munggel ini seorang perempuan yang memiliki ilmu se-
tinggi gunung.
Maka makin bersemangat Arso Lumbing mem-
balas serangan ke arah Nilasari Grewek. Menghadapi
serangan balasan itu Nilasari Grewek tidak tanggung-
tanggung lepaskan babatan Pedang Ular Emas di tan-
gan kirinya. Akibatnya sangat dahsyat, meski hanya
terkena sambaran anginnya saja, tubuh Arso Lumbing
terpelanting bergulingan.
Namun terhadap murid tunggalnya, Nilasari
Grewek masih memberi hati. Serangan-serangan Srika-
ton Munggel disambut dengan lesatan-lesatan tubuh.
Tapi justru bertindak seperti itu malah membahayakan
dirinya. Karena Srikaton Munggel menyerang tanpa
memandang kalau Nilasari Grewek adalah gurunya.
"Baiklah, Srikaton...! Kau boleh pilih hidup ber-
sama pemuda itu. Kau boleh hidup tenang, tapi di sa
na.... Di akherat!" bentak Nilasari Grewek seraya ia
melepaskan Pedang Ular Emas buatan Resi Wesakih,
Sebenarnya pula ia tidak becus menggunakan senjata
pedang, Hanya saja ia sekarang memiliki Pedang Ular
sungguhan yang pernah menjadi impiannya pada dua
puluh tahun yang lalu.
Srikaton tidak perduli dengan sikap gurunya. Ia
makin gencar lepaskan serangan. Sudah pasti tinda-
kan murid tunggalnya membuat Nilasari Grewek mur-
ka. Maka dengan sebelah tangan kosongnya ia lancar-
kan pukulan Tombak Gunung....
"Deeeer!" Srikaton Munggel tidak sempat men-
gelak. Hantaman itu telak mendera di tubuhnya. Tak
urung tubuh rampingnya terjungkal ke belakang sam-
bil menyemburkan darah. Melihat itu pun Arso Lumb-
ing cepat melindungi Srikaton. Cepat pula ia meraih
Pedang Ular Emas 'Tiruan' yang tergeletak di tanah.
Srikaton Munggel bangkit terhuyung di belakangnya.
Tapi belum sempat Arso Lumbing lancarkan serangan,
Nilasari Grewek lepaskan lagi hantaman Tombak Gu-
nungnya.
"Bledaaaaaar...!" Kerasnya tidak kepalang. Pa-
sangan muda mudi ini kembali ambruk. Srikaton
Munggel lebih parah. Ia menyemburkan darah berkali-
kali. Arso Lumbing merasakan sekujur tubuhnya re-
muk. Manakala Nilasari Grewek tidak tinggal diam me-
lihat keadaan mereka. Dengan gerakan yang sangat
cepat ia menerjang lepaskan babatan Pedang Ular
Emas. Tapi Arso Lumbing yang masih dapat bertahan,
menangkis dengan babatan pedang pula.
"Traaaang...!" Benturannya nyaring sekali. Tapi
kedahsyatannya jauh dibanding dengan pedang di tan-
gan Nilasari Grewek. Tentu saja. Karena Arso Lumbing
menggunakan 'Tiruannya'. Arso Lumbing hampir tidak
mampu menahan kekuatan yang maha dahsyat itu.
Kedua tangannya erat menggenggam pedang. Me-
nyambut setiap serangan Nilasari Grewek.
Pandangan Srikaton Munggel mulai nanar. Se-
luruh tubuhnya serasa lemas. Tenaganya benar-benar
ludes terkuras. Manakala rasa sakit di sekujur tubuh-
nya itu membuat ia hampir pingsan. Pandangannya ti-
dak lepas menyaksikan bagaimana Arso Lumbing
mempertahankan nyawanya dari maut.
Setiap babatan pedang Nilasari Grewek disertai
dengan teriakan lantang merencah di tubuh Arso
Lumbing. Namun lelaki muda ini tetap berupaya me-
nyingkir, meskipun ia yakin bakal tewas di tangan ne-
nek berambut putih itu.
"Sekarang mampuslah kau, pemuda keparat!
Hreaaaaaa...!" Nilasari Grewek arahkan Pedang Ular
Emas kuat-kuat ke batok kepala Arso Lumbing, tapi....
"Traaaaang...!" Pedang di tangan Nilasari Gre-
wek mendadak bergetar. Suatu benda melayang-layang
di udara. Kiranya benda itu pula yang menggagalkan
niatnya. Sebuah palu sebesar kepalan. Palu itu terus
melayang menjauh dan kembali pada pemiliknya.
Resi Wesakih sigap menangkap sebelah pa-
lunya. Ia berdiri bringas didampingi dengan Wintara
dan Umbayani. Ketiga orang yang baru datang itu ce-
pat menuju ke pinggiran kali. Nilasari Grewek ker-
nyitkan alls menatap Resi Wesakih.
"Heh, kiranya kau telah menjadi tua bangka be-
jad! Tak kusangka pertemuan ini sangat mengharu-
kan. Kau lihat putramu ini bakal mampus di tangan-
ku!" bentak Nilasari Grewek.
Ketiga orang ini menatap Arso Lumbing bangkit
dengan sebilah pedang bersinar keemasan. Namun da-
ri kejauhan itu Resi Wesakih dapat melihat kalau pe-
dang dalam tangan Arso Lumbing adalah pedang bua-
tannya sendiri. Mendadak kaget pula saat ia melihat
Pedang Ular Emas dalam tangan Nilasari Grewek.
"Nenek usil! Rupanya kau belum bisa mampus
dengan tenang sebelum melihat pusaka Ular Emas.
Ternyata pula hari ini kau mesti mampus." ujar Resi
Wesakih.
***
Umbayani yang berdiri di samping kiri Resi We-
sakih dapat melihat sosok Srikaton Munggel berlumu-
ran darah. Melihat perempuan itu Umbayani jadi ge-
ram. Serta merta ia berjingkat maju.
"Paman, perempuan busuk itulah yang ikut
membantu merampas Pedang Ular Emas dari tangan-
ku. Sekarang ia harus menerima ganjarannya!" Um-
bayani mementang jurus, tapi Srikaton Munggel tetap
diam dengan pandangan samar.
"Tahan amarahmu, Umbayani." ujar Resi Wesa-
kih. Sesaat pula orang tua bungkuk itu menatap jelas
perempuan berlumuran darah.
"Tidak salah dugaan kita. Srikaton Munggel
yang selama ini mengekor bersama Nilasari Grewek
adalah Umbamayu, kakak mu Umbayani." kata Resi
Wesakih pasti. Saat itu Arso Lumbing membawa tubuh
Srikaton Munggel dari tempat itu. Ia membawa masuk
ke dalam gubuk. Umbayani berdiri mematung. Piki-
rannya bimbang.
"Sekarang kita sudah berkumpul semua di sini.
Selanjutnya bisa kita atasi setelah melumatkan Iblis
Keriput ini!" Resi Wesakih bersiap-siap dengan kedua
senjata palunya.
"Hik-hik-hik-hik...! Boleh.... Boleh...! Majulah
kalian semua...! Selama Pedang Ular Emas di tangan-
ku, aku tidak bakal mundur. Juga kepada Pendekar
Kelana Sakti, kau boleh pergi ke akherat lebih dulu!"
kata Nilasari Grewek lantang. Ia langsung menyerang.
Serangannya itu diarahkan pada Wintara. Pendekar
Kelana Sakti tidak perlu menyambut, karena Resi We-
sakih dan Umbayani menghalanginya terlebih dahulu.
Palu godam berturut-turut seakan menghantam
kepala Nilasari Grewek, Umbayani tidak kenal takut
lepaskan hantaman meskipun lawannya menggunakan
pusaka Pedang Ular. Saat itu Arso Lumbing sudah ke
luar dari gubuknya. Dia pun melihat pertarungan ter-
sebut. Gerakan Umbayani diawasi oleh Arso Lumbing.
Ia masih ingat akan wajah gadis yang pernah ditolong-
nya itu. Tidak menyangka pula kalau gadis itu calon
pengantin perempuan untuknya. Bagaimana dengan
Srikaton Munggel? Bagaimana pula dengan sikap
ayahnya nanti? Hal itu akan sangat panjang bila dipi-
kirkan. Sekarang ia melompat ikut mengeroyok Nilasa-
ri Grewek.
Wintara belum bereaksi. Diam-diam ia merasa
kagum akan kehebatan Nilasari Grewek. Meskipun la-
wannya berjumlah tiga orang ia tidak merasa keteter.
Malahan babatan pedangnya membuyarkan serangan
ketiga orang itu. Yang ia khawatirkan adalah gadis
Umbayani, karena ia masih terluka di perutnya. Terli-
hat jelas kalau bagian perutnya itu mengembar darah.
Bahkan terdesak dari serangan-serangan nenek be-
rambut putih.
Demi melihat itu Wintara melesat ke arah per-
tempuran. Ia cepat menarik tubuh Umbayani dari
sambaran pedang.
"Nona, sebaiknya kau tidak perlu campur tan-
gan. Nenek itu terlalu berbahaya. Menyingkirlah." ujar
Wintara.
"Aku sanggup menghadapi keparat itu!" tukas
Umbayani.
"Jangan, Nona. Luka di perutmu belum sem
buh betul. Lihatlah." Umbayani menatap ke bawah.
Benar saja. Perutnya telah banyak mengeluarkan da-
rah lagi. Maka tanpa bicara Umbayani segera melang-
kah mundur. Wintara berbalik menghadapi pertempu-
ran.
Resi Wesakih bersama putranya kompak me-
lancarkan serangan. Palu godam menderu-deru berke-
lebat di sekitar tubuh Nilasari Grewek. Sambaran palu
itu menggetarkan rambut putih nenek berbaju merah.
Dari arah lain Arso Lumbing lancarkan puku-
lan tangan kosong yang bertubi-tubi mencecar ke ba-
gian dada.
Wintara melompat lancarkan pukulan Bayu
Menghantam Tebing. Nilasari Grewek tidak gentar. Ia
menyambut dengan sambaran Pedang Ular Emas se-
kuatnya. Maka hantaman Wintara berbalik mengenai
tuannya sendiri. Tak urung Wintara mundur ter-
huyung. Begitu juga dengan Resi Wesakih dan Arso
Lumbing. Saat nenek berbaju merah itu kibaskan pe-
dangnya, anak beranak ini jatuh bangun dibuatnya.
"Hik-hik-hik-hik.... Apa kubilang! Kalian semua
bakal mengambang di sepanjang sungai ini!" ejek Nila-
sari Grewek. Ia terus memutar-mutar pedangnya se-
hingga timbul suara yang berdesing panjang.
Tak terduga kalau desingan panjang itu meme-
kakkan telinga. Membuat semua orang yang berada di
situ blingsatan. Umbayani erat menutup telinga den-
gan kedua tangannya. Resi Wesakih mempengaruhi
desingan suara itu dengan benturan dua palu godam.
Wintara tidak henti-hentinya keluarkan jurus Bayu
Menghempas Gelombang. Kedua tangannya bergerak
bergulung-gulung menimbulkan suara yang amat ber-
gemuruh. Tapi Nilasari Grewek semakin tertawa men-
gikik memutar pedang tersebut tanpa berhenti.
Arso Lumbing bertahan sekuat tenaga. Telin
ganya serasa pecah. Pada detik itu ia nekad melompat
deras ke arah Nilasari Grewek.
"Arso Lumbing.... Jangan...!" Terlambat. Teria-
kan Resi Wesakih tidak diperdulikan. Arso Lumbing
lepaskan babatan pedang pada Pedang Ular Emas yang
tengah berputar sangat cepatnya.
"Traaaaaaaang...!" Benturan kedua pedang itu
memercikan api. Dari benturan itu Aso Lumbing ter-
lempar berdegum di tanah. Tubuhnya kelojotan me-
nyembur darah. Tapi hasil dari terjangan Arso Lumb-
ing melenyapkan suara desingan Pedang Ular Emas.
Resi Wesakih menggeram hebat. Ia nekad pula memba-
las dengan kedua palu godam. Hantaman-hantaman
palu godam disambut dengan babatan-babatan pe-
dang. Suaranya berdentang nyaring.
Tak terkira kalau diam-diam Nilasari Grewek
lepaskan hantaman Tombak Gunung. Resi Wesakih
memekik sambil terhuyung. Nilasari Grewek tidak ber-
henti. Jurus-jurus Jari Tombak pun beraksi. Jari-jari
Nilasari Grewek yang laksana mata jarum mengais-
ngais ke bagian perut. Disertai pula dengan tusukan
pedang. Akibat dari cakaran-cakaran itu lengan Resi
Wesakih tergores dan tersayat mengeluarkan darah.
Setengah mati Wintara menghalangi serangan-
serangan Nilasari Grewek, malah sambaran pedang la-
wannya nyaris memisahkan kepalanya. Tujuan dari
Pendekar Kelana Sakti ini adalah menghindari Resi
Wesakih dari serangan-serangan Nilasari Grewek, ka-
rena hanya Wintara yang tahu kehebatan nenek pen-
guasa Gunung Tunggul. Tapi siapa yang menyangka
kalau sekarang nenek itu mendadak hebat. Apalagi ia
menggunakan pusaka Pedang Ular. Wintara yang sela-
lu dapat membuat nenek penguasa Gunung Tunggul
lari kocar kacir, malah sekarang jadi bulan-bulanan.
Reflek tubuh Pendekar Kelana Sakti menghindari serangan Nilasari Grewek. Setiap gerakannya ia
mencari kesempatan untuk membalas. Maka pada de-
tik berikutnya Wintara tidak tanggung-tanggung le-
paskan hantaman Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Deeeeer...!" Tubuh Nilasari Grewek mencelat ke
belakang. Lalu membentur batang pohon besar. Den-
gan murka ia menggeram. Dia babatkan Pedang Ular
Emas sekehendak hatinya. Tapi babatan pedang itu
hanya menumbangkan pohon besar yang ada di bela-
kang. Wintara sudah mundur terlebih dulu. Bahkan
telah bersiap-siap lepaskan hantaman Menyibak Tirai
Bayu.
Benar saja ketika Nilasari Grewek maju dengan
putaran Pedang Ular Emas. Serangan itu bergulung-
gulung menyerupai putaran sinar kemilau. Hantaman
itu pun dilepaskan sekuatnya oleh Wintara. Kembali
Nenek penguasa Gunung Tunggul memekik. Rambut
putihnya seakan bergetar saat tubuh keriput Nilasari
Grewek ambruk di tanah.
"Nenek yang maha sakti, sudi kiranya menye-
rahkan pedang itu pada kami." ujar Wintara. Nilasari
Grewek beringsut bangkit. Ia menyeka aliran darah di
sudut bibirnya....
"Chis! Pendekar sialan! Siapa yang tidak tahu
akal busukmu! Bukankah kau pun ingin memiliki pe-
dang ini? Ambillah olehmu sendiri...." jawab Nilasari
Grewek, ia malah maju lancarkan tusukan Pedang
Ular Emas ke arah jantung. Wintara yang berdiri di
hadapannya cepat menghindar lalu lancarkan lagi Tin-
ju Bayu Delapan Penjuru.
"Bledaaaar...!" Tak pelak Nilasari Grewek me-
nyemburkan darah. Tubuhnya mencelat terlempar ke
tengah sungai. Tak lama ia bangkit dengan tubuh ba-
sah kuyub. Ia hentakkan kedua kakinya.
"Splaaaaaash...!" Maka terlihatlah satu peman
dangan yang sangat mengagumkan. Nilasari Grewek
dapat berdiri di atas aliran sungai bening. Lalu tanpa
perduli ia melarikan diri ke sebrang. Larinya sangat
cepat, sampai-sampai Wintara dan yang lain tidak
sempat mengetahui ke mana perginya. Tapi suara pa-
rau Nilasari Grewek bergema di sekitar tempat itu....
"Pendekar-pendekar sialan! Kalian akan tahu
rasa nanti! Tunggu saja sampai aku kembali lagi untuk
menghancurkan batok kepala kalian!" Suara itu terus
menggema lalu hilang tertelan dengan arus air yang
mengalir.
Wintara menghela nafas panjang. Berkali-kali
Nilasari Grewek selalu dapat melarikan diri darinya.
Menyesal sekali Pendekar Kelana Sakti tidak dapat me-
rebut pusaka Perguruan Pedang Ular. Ia berdiri mena-
tap Resi Wesakih didampingi Arso Lumbing dan Um-
bayani.
"Tidak perlu disesali, Wintara. Kita bisa mene-
mukan Nilasari Grewek lagi. Selama Pedang Ular Emas
di tangannya ia akan selalu muncul membuat keona-
ran." ujar Resi Wesakih. Lelaki tua bungkuk ini nam-
pak mengurut-ngurut dadanya.
"Sebenarnya orang macam Nilasari Grewek itu
tidak bisa dibiarkan. Meskipun tua renta, tindakannya
melebihi daripada iblis. Menyesal aku tidak dapat me-
lumpuhkannya." desah Wintara.
"Tak jadi soal. Lagi pula ke mana kita harus
mengejarnya? Biarkan saja, nanti setan tua itu pasti
muncul lagi." jawab Resi Wesakih yang mulai pulih.
Lalu ia menoleh pada Arso Lumbing.
"Anakku, bawa keluar Umbamayu kemari." Ar-
so Lumbing tidak mengerti akan maksud ayahnya.
"Siapa? Umbamayu?" ulang Arso Lumbing.
"Ya, perempuan yang bersamamu tadi." kata
Resi Wesakih.
"Dia Srikaton Munggel, bukan Umbamayu,
Ayah...."
"Tidak, kau tahu apa, bawa Umbamayu ke
luar." perintah Resi Wesakih dituruti juga. Maka tak
lama Arso Lumbing ke luar dari gubuk memapah tu-
buh pingsan Srikaton Munggel.
"Nah, kau perhatikan baik-baik. Apakah kau
masih belum mengenali Umbamayu? Kau lihat Um-
bayani, kau lihat dengan gelas. Srikaton adalah kaka-
mu, Srikaton bukan lain dari Umbamayu. Kakakmu
yang selama dua puluh tahun menghilang."
Baik Arso Lumbing maupun Umbayani teringat
akan masa silam mereka. Dua puluh tahun memang
cukup lama. Membuat mereka melupakan sosok Um-
bamayu yang lenyap itu. Dan ternyata masih ada pula
cacad luka di kening Srikaton Munggel. Cacad lama.
Cacad sewaktu menyelamatkan Umbayani dan Arso
Lumbing terjatuh dari sebuah pohon. Yakinlah seka-
rang kalau Srikaton Munggel adalah Umbamayu. Lalu
bagaimana dengan pertunangan Arso Lumbing dengan
Umbayani?..... Tiba-tiba Arso Lumbing merasakan ke-
palanya berputar tujuh keliling. Kenapa Srikaton ha-
rus kakak Umbayani? Kenapa pula Umbamayu harus
kakak Umbayani, kenapa... Arso Lumbing bisu.
"Tindakannya selama ini di aliran sesat hanya
karena pengaruh tokoh sesat penguasa Gunung Tung-
gul. Kau harus memaafkan segala perbuatannya, Um-
bayani. Selama ini Umbamayu hanya diperbudak. Kau
harus menerima kehadirannya...." ujar Resi Wesakih.
Umbayani tertunduk menitikkan air mata. Di perutnya
darah mengembar terus akibat gerakan-gerakan tadi.
Tapi rasa sakit itu seakan tak terasa saat ia menatap
wajah pucat Umbamayu. Bayangan-bayangan masa si-
lam tergambar menguras habis air matanya.
Arso Lumbing sudah melihat bagaimana sika
Umbayani, calon pengantin perempuannya. Ia jadi ser-
ba salah. Kekikukan itu dapat dirasakan oleh Resi We-
sakih. Lelaki bungkuk ini sempat melihat bagaimana
Arso Lumbing ketika melindungi Umbamayu. Dia ke-
rahkan tenaga mati-matian, bagai membela seorang
kekasih dari maut. Resi Wesakih dapat membaca lewat
pikiran tuanya. Apalagi hampir sebulan ia tidak me-
nampakkan diri ke hadapan Resi Wesakih. Dan seka-
rang Arso Lumbing ditemukan dalam keadaan akrab
dengan Umbamayu. Bagaimana pertunangan putranya
itu dengan gadis Umbayani? Kita tidak dapat mengiku-
tinya sekarang. Masih ada satu kisah lagi yang akan
membuat anda semakin haru dan mengerti.
Ikutilah.... Pedang Ular Emas.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar