Pengantar
Cerita "Kobaran Api Asmara" ini didahului
dengan cerita Si Tangan Iblis. Agar para pembaca
tidak terganggu, ringkasan cerita dalam buku Si
Tangan Iblis dapat disimak seperti di bawah ini:
Seorang tokoh sakti bernama Taruno alias
Si Tangan Iblis bertempat tinggal di Tosari,
pegunungan Tengger. Ia bekas prajurit Majapahit
yang dipecat karena melakukan kesalahan.
Akibatnya Si Tangan Iblis menjadi dendam baik
kepada Mahapati Gajah Mada maupun Mpu Nala.
Si Tangan Iblis mempunyai tiga orang
cucu, bernama Sarindah, Sarwiyah dan Sentiko.
Disamping itu mempunyai belasan orang murid.
Baik cucu dan murid ini dididik secara sesat
untuk memusuhi Gajah Mada, Mpu Nala dan
sekaligus Raja Majapahit. Dan khusus kepada tiga
cucunya, ia menanamkan kebencian dan dendam
kepada Mpu Nala dan Gajah Mada dengan fitnah,
bahwa dua tokoh inilah yang sudah memperkosa
ibunya dan menghancurkan keluarga. Maka
dendam ini harus terbalas.
Sentiko menjadi terbakar kemarahannya
lalu melarikan diri. Keluarga geger mencari, dan
terjadilah beberapa macam peristiwa yang menarik
dan mendebarkan. Sebab ternyata antara murid
bernama Tanu Pada dan Kebo Pradah dengan
Kaligis dan Sangkan, diam-diam memperebutkan
cinta Sarindah dan Sarwiyah. Untuk itu Sangkan
dan Kaligis tak segan membunuh orang yang
menghalangi.
Sedang Sentiko dalam perjalanan
menderita luka akibat terlalu bandel tak
mengukur kekuatan diri melawan orang yang
bukan tandingannya. Untung ia ditolong oleh Giri
Samodra dan kemudian menjadi muridnya.
Benarkah Sentiko berhasil? Baca saja Si Tangan
Iblis man pun Kobaran Api Asmara. Anda akan
mendapatkan jawabannya.
1
Setelah berhasil membunuh Ananto
secara curang, maka Kaligis dan Sang-
kan saling setuju untuk membunuh Kebo
Pradah dan Tanu Pada, yang menjadi
saingannya dalam memperebutkan gadis
cantik cucu gurunya sendiri, Sarindah
dan Sarwiyah. Pendeknya apapun yang
akan terjadi, mereka takkan mundur.
Ya, memang api asmara sudah
berkobar di dalam dada Sangkan maupun
Kaligis. Kobaran api ini kemudian
mendorong kepada dua pemuda itu
sanggup melakukan perbuatan tidak ter-
puji. Di dunia ini banyak sekali ter-
jadi peristiwa yang tidak diharapkan,
sebagai akibat tidak kuasa lagi
menahan hati yang sedang digoda oleh
asmara ini. Manusia yang berbudaya
bisa tergelincir melakukan perbuatan
yang buas dan kejam melebihi binatang
buas.
Dan bagi Sangkan maupun Kaligis
ini tidak sulit untuk mengejar dua
orang saudara seperguruannya itu,
karena mereka tahu kemana tujuan Tanu
Pada dan Kebo Pradah dalam usaha men
cari jejak Sentiko yang melarikan diri
dari rumah. Dan Tanu Pada maupun Kebo
Pradah melakukan tugas bertiga dengan
Mahisa Singkir, menuju ke arah
selatan.
Dua pemuda ini sudah memperhi-
tungkan, apabila nanti sudah dapat
bertemu, dan terjadi perselisihan,
saksi satu-satunya hanyalah Mahisa
Singkir seorang. Padahal Mahisa Sing-
kir masih mempunyai hubungan keluarga
dengan Sangkan. Mengingat masih
mempunyai hubungan keluarga ini, maka
Mahisa Singkir akan menimbang-nimbang
lebih dahulu apabila akan berpihak
kepada Tanu Pada maupun Kebo Pradah.
Demikianlah akhirnya Sangkan dan
Kaligis bergerak cepat dan mengambil
jalan pintas. Maksudnya agar dapat
menghadang dua orang lawannya itu di
tempat yang menguntungkan. Dan agar
bisa menang mereka sudah merencanakan
akan menyerang dulu dan urusan
belakang. Menurut perhitungan mereka,
asalkan sudah dapat membunuh salah
seorang, pekerjaan akan menjadi lebih
mudah.
Hari sudah sore ketika Sangkan
dan Kaligis tiba di Desa Sukorejo,
sebelah selatan Desa Nongkojajar.
Namun yang terjadi kemudian mereka
menjadi terbelalak kaget dan ngeri
ketika melihat pemandangan yang sama
sekali belum pernah mereka saksikan.
Di atas sebuah batu yang tidak
begitu besar, seorang pemuda nongkrong
sambil meniup seruling bambu. Rambut
pemuda itu tidak digelung, tetapi
dibiarkan terurai di atas pundak dan
belakang punggung.
Sesungguhnya saja keadaan pemuda
itu sendiri tidak luar biasa bagi
mereka. Adapun yang menyebabkan
Sangkan dan Kaligis terbelalak dan
ngeri, adalah mahkluk yang memenuhi
tempat di depan pemuda itu, dan mereka
hampir tidak percaya kepada pandang
mata sendiri.
Di tangan pemuda itu berkumpul
banyak sekali binatang melata dan
berbisa. Binatang berbisa itu ber-
kelompok sesuai dengan jenisnya.
Karena itu ada kelompok kelabang, ba-
bak salu, kalajengking, ketonggeng,
serangga dan sebagainya. Dan anehnya
binatang itu seperti mengenal irama
seruling yang ditiup pemuda tersebut.
Dalam kelompok masing-masing binatang
itu menari-nari. Kelabang dan babak
salu yang kakinya amat banyak itu
menari dengan berdiri dengan kepala
berlenggok-lenggok dibarengi oleh
gerakan kaki yang mengerikan.
Ada pula binatang itu yang
berdiri saling berpegangan, seakan
menirukan manusia yang sedang ber-
joget. Dan yang lebih mengerikan lagi
adalah kalajengking dan ketonggeng.
Caranya menari dengan kepala di bawah
dan ekor di atas. Ekor yang mempunyai
sengat berbisa itu meliuk-liuk dengan
gaya luar biasa.
Memang mengherankan sekali.
Mungkinkah suara sending pemuda itu,
yang kuasa mengundang binatang-bina-
tang ini? Dan dari mana pula binatang
ini datang sehingga dapat berkumpul
dalam jumlah ribuan banyaknya?
Kaligis dan Sangkan terpaku di
tempatnya berdiri saking merasa takut
dan ngeri. Tetapi celakanya binatang
berbisa itu menari-nari memenuhi jalan
sehingga tidak mungkin bisa lewat.
Untung Sangkan cerdik, bisiknya,
Marilah kita mencari jalan lewat
pematang sawah saja.
Baiklah. Kiranya lewat pematang
sawah lebih aman, Kaligis setuju.
Akan tetapi ah.... belum juga dua
orang ini sempat menggerakkan kaki,
irama seruling itu tiba-tiba saja be-
rubah dan melengking tinggi. Binatang
itu bergerak berkelompok lalu ber-
baris. Dan tak lama kemudian lenyaplah
ke lubang masing-masing. Namun keper-
gian binatang-binatang itu kemudian
diganti dengan binatang melata yang
lebih berbahaya, terdengar suara
berisik dan berdesis.
Kaligis dan Sangkan hampir ping-
san ketika melihat munculnya beraneka
ragam jenis ular yang semua menuju ke
tempat si pemuda. Jumlahnya ratusan
ekor, dari yang kecil sebesar
kelingking sampai sebesar lengan orang
dewasa, lalu berkumpul di depan si
pemuda.
Setelah tidak ada ular yang
muncul lagi, tiba-tiba irama sending
meninggi dan memekakkan telinga. Dua
pemuda ini terkejut dan hampir tak
dapat bernapas, ketika melihat ratusan
ekor ular itu secara serentak meng-
angkat kepala lalu berlenggok-lenggok
menari secara lincah. Seakan-akan
ular-ular itu berubah menjadi ahli
tari yang sedang asyik berjoget.
Dan di saat Kaligis dan Sangkan
merasa ngeri tak dapat bergerak itu,
tiba-tiba si pemuda memalingkan muka.
Pemuda itu mengerutkan kening pertanda
tidak senang. Ia menghentikan tiupan
serulingnya sambil memandang dengan
mata mendelik.
Hai... siapa kalian! bentaknya.
Apakah sebabnya kalian berani meng-
intip permainanku? Huh, menyebalkan
sekali, dan kalian mengganggu aku
bermain-main.
Kaligis dan Sangkan seperti
terkunci mulutnya tak bisa membuka
mulut. Apa pula setelah pemuda itu
menghentikan tiupan serulingnya, semua
ular itu berhenti menari, lalu aneka
macam ular tersebut menyebar kesana
kemari, menuju tempat sembunyi masing
masing.
Dan yang lebih mengerikan lagi
adalah cara bergerak ular berwarna
hitam yang panjangnya lebih kurang
hanya satu kaki. Ular hitam yang
pendek ini disebut orang dengan nama
ular Bandhotan. Ular ini bukannya
melata, tetapi menekuk tubuhnya,
kemudian melenting sekitar dua atau
tiga depa jauhnya. Tiap orang yang
tersambar oleh ular Bandhotan ini,
besar kemungkinannya melayang nyawanya
apabila tergigit oleh gigi yang
mengandung bisa keras. Disamping ular
bandhotan tersebut, ada pula ular yang
berkaki empat, hingga berjalan seperti
kadal (bengkarung).
Untung sekali agaknya pemuda itu
tidak ingin kehilangan semua ular yang
dapat memberi keasyikan bagi dirinya
itu. Dan tiba-tiba saja si pemuda ini
meniup serulingnya dengan irama
melengking tinggi, hingga ular yang
semula bergerak pergi itu seperti
tertarik oleh pengaruh ajaib, cepat-
cepat kembali ke arah si pemuda sambil
menari-nari.
Di saat Sangkan dan Kaligis
ketakutan setengah mati melihat per-
tunjukkan yang menyeramkan ini,
terdengar suara orang memanggil.
Hai, Adi Kaligis dan Sangkan.
Apakah sebabnya kalian berada di situ?
Dua orang ini kenal benar akan
suara orang yang memanggil, ialah Tanu
Pada. Namun celakanya kaki seperti
berakar di tanah dan tak bisa
digerakkan. Sedang mulutnya juga ter-
kunci tak bisa menjawab. Mereka hanya
mampu memalingkan muka saja dengan
wajah sedih, tetapi tidak dapat
menjawab.
Tanu Pada, Kebo Pradah dan Mahisa
Singkir menjadi heran melihat keadaan
dua orang saudaranya itu yang seperti
tidak wajar. Mereka cepat menghampiri,
tetapi setelah tiba, mereka inipun
berdiri terpaku dan ngeri, melihat
ratusan ekor ular sedang asyik menari
mengikuti irama seruling.
Tetapi dengan bertambahnya orang
yang menonton permainannya ini menye-
babkan pemuda ini makin tidak senang.
Matanya berkilat memandang lima pemuda
itu, namun mulutnya tidak mengucapkan
sesuatu.
Mendadak tiupan sending pemuda
itu berubah. Iramanya meninggi dan
nadanya cepat. Apa yang terjadi
kemudian? Ternyata lima pemuda ini
seperti mati berdiri. Sebab secara
tiba-tiba ratusan ekor ular tersebut
bergerak saling mendahului ke arah
mereka berdiri. Ratusan ekor ular itu
berdesis, sedang ular bandhotan yang
amat berbisa itu dengan gerakan aneh,
menekuk tubuh dan melenting tinggi
ingin mendahului yang lain.
Barisan ular itu sudah dalam
jarak dekat. Tiba-tiba di dalam
ketakutan dan ngeri ini, timbullah
keberanian Tanu Pada. Teriaknya, Hayo
kita lawan ular-ular jahanam ini!
Sring....! Ia mendahului mencabut
pedang, kemudian diikuti oleh Kebo
Pradah dan Mahisa Singkir. Setelah
tiga orang ini mulai menyerang dengan
senjata, barulah Kaligis dan Sangkan
timbul keberaniannya. Mereka mengikuti
perbuatan saudaranya melawan.
Beberapa ekor ular yang datang
lebih dahulu segera terbabat mati.
Namun barisan ular yang di belakangnya
masih terus membanjir datang dan
mendesis-desis.
Senjata mereka menyambar cepat
dan ular yang menyerbu menjadi
bangkai. Namun ular yang beraneka
macam jenisnya itu tidak gentar dan
terus menyerbu sambil berdesis. Mereka
seperti tambah buas dan gerakan lebih
gesit. Guna menanggulangi mengamuknya
ular itu lima orang murid Si Tangan
Iblis ini hams mengerahkan kepandaian
dan kegesitannya, melompat ke sana dan
kemari sambil menyabetkan senjatanya.
Dan lima pemuda ini sadar, apabila
lengah nyawa sebagai taruhannya.
Setelah bangkai ular besar dan
kecil berserakan di sana sini, tumpang
tindih dan darah yang amis menusuk
hidung, tiba-tiba pemuda aneh itu
menghentikan tiupan serulingnya. Sete-
lah tiupan sending berhenti, ular yang
masih tersisa kaget lalu bubar dan
melarikan diri.
Si pemuda aneh meloncat turun
dari batu dan membentak lantang, Bang-
sat keparat! Kamu berani mengganggu
kesenanganku dan membunuh ular-ularku?
Huh, jangan salahkan aku jika kamu
haras mengganti nyawa ular itu dengan
nyawamu!
Diam-diam lima pemuda ini kaget,
ketika melihat gerakan si pemuda aneh
yang amat ringan. Jarak yang lebih dua
puluh depa itu cukup dengan tiga kali
lompatan. Kemudian si pemuda berdiri
di depan mereka dengan sikap angkuh
dan mendelik.
Kaligis yang berangasan cepat
tersinggung dan marah. Ia sudah akan
menerjang maju untuk menghajar pemuda
sombong ini, karena dirinya tidak
merasa bersalah. Dan sebaliknya ia
malah merasa terganggu karena jalan
penuh dengan binatang menjijikkan dan
berbisa hingga tidak dapat lewat.
Untung Tanu Pada yang sabar cepat
dapat mencegah, sebab ia sudah menduga
pemuda ini bukan sembarangan. Meng-
ingat kemungkinan itu maka harus
berhati-hati dalam menghadapi.
Kisanak, kami hanya membela diri
oleh serangan ular-ular itu, sahutnya
sabar. Lalu apakah sebabnya Kisanak
menjadi marah? Sebenarnya saja malah
Kisanak yang telah mengganggu kami,
karena Kisanak bermain ular di jalan
umum.
Huh! Aku mengganggu kamu? Apanya
yang aku ganggu? pemuda itu mendelik.
Sudah aku katakan, jalan ini
jalan umum. Tetapi ternyata Kisanak
menggunakan jalan ini untuk bermain-
main dengan ular sehingga kami tidak
bisa lewat.
Tidak peduli, heh heh heh heh.
Tidak peduli! Kamu sudah menyebabkan
ularku banyak yang mati. Huh, kamu
harus mengganti dengan nyawa pula.
Hayo heh heh heh heh, lekaslah
berlutut supaya kamu tidak mati oleh
siksaanku!
Bangsat jahanam! Kaligis tak
kuasa lagi menahan kemarahannya. Nih,
rasakan pedangku.
Kaligis sudah melompat ke depan
menerjang dengan pedang. Ia meng-
gunakan serangan berantai mengarah
mata, tenggorokan, ulu hati dan pusar
sekaligus. Dan gerakan Kaligis ini
cepat dan berbahaya.
Akan tetapi pemuda ini tidak
bergerak dari tempatnya berdiri dan
malah terkekeh, Heh heh heh heh,
dengan bekal kepandaianmu serendah ini
berani menghina Warigagung murid Bapa
Julung Pujud yang sakti mandraguna?
Sambil mengejek, tangan kanan
pemuda itu diangkat, lalu terdengar
suara tring tring tring....
Semua serangan Kaligis dapat
dipunahkan hanya dengan sentilan jari
tangan. Malah menyusul kemudian pedang
Kaligis terpental terbang, diikuti
pekik nyaring dan robohnya pemuda itu.
Empat orang murid Si Tangan Iblis
yang lain menjadi pucat dan
terbelalak. Bukan saja karena sekali
gebrak Kaligis sudah roboh, tetapi
juga karena mendengar nama Julung
Pujud. Mereka sudah pernah mendengar
dari cerita guru tentang tokoh sakti
yang bertempat tinggal di Blambangan.
Tokoh sakti yang bernama Julung Pujud
itu wataknya aneh disamping kejam.
Maka oleh Si Tangan Iblis dianjurkan
agar mereka menjauhkan diri dari tokoh
sakti tersebut, demikian pula ternadap
mereka yang mempunyai hubungan dengan
Julung Pujud.
Sekarang tanpa diduga mereka
bertemu dan berhadapan dengan seorang
pemuda yang menyebut dirinya sebagai
murid Julung Pujud. Kalau mengindahkan
pesan guru, mereka harus mengalah dan
secepatnya menghindarkan diri.
Akan tetapi sekarang ini mereka
sudah marah dan disamping itu juga
sangsi, benarkah pemuda ini murid
tokoh sakti Julung Pujud? Pemuda ini
masih lebih muda daripada mereka,
kira-kira baru sembilan belas tahun.
Apakah harus mengalah begitu saja,
padahal mereka tidak merasa bersalah?
Disamping itu hanya menghadapi seorang
saja, mungkinkah mereka kalah kalau
maju berbareng dan mengeroyok?
Tanpa berunding lebih dulu semua
murid Tangan Iblis ini sudah sepakat,
kalau mereka mengeroyok tak mungkin
kalah.
Jahanam kau! teriak Tanu Pada.
Sangkamu dengan menyebut nama Julung
Pujud kami menjadi takut? Hayo,
keroyok!
Murid-murid Tangan Iblis ini
sudah menerjang maju dengan senjata
masing-masing. Malah Kaligis sendiri
yang tadi roboh terpukul oleh Wari-
gagung, sudah meloncat dan menyambar
senjatanya lalu ikut menerjang lagi.
Bagus! Kamu mengandalkan jumlah
banyak mengeroyok aku, heh heh heh
heh! sambut pemuda yang mengaku
bernama Warigagung ini dengan ke-
tawanya mengejek. Dengan gerakan
ringan serangan dari lima orang itu
dapat dihindari dengan gampang.
Akan tetapi serangan yang pertama
luput segera disusuli dengan serangan
yang lebih dahsyat menggunakan jurus
ilmu pedang yang paling berbahaya.
Wut wut wut..... Tetapi semua
serangan itu luput lagi. Warigagung
yang baru berusia sembilan belas tahun
ini dengan gerakan lincah seperti
bayangan, berhasil menyelamatkan diri
sambil ketawa terkekeh mengejek.
Heh heh heh heh, monyet tidak
tanu diri berani melawan aku. Kuberi
kesempatan tiga kali untuk menyerang.
Dan sesudah itu, kamu semua harus
roboh mampus. Heh heh heh heh, kamu
sendiri yang mencari penyakit, berani
mengganggu kesenanganku!
Wut wut wut.... Tanpa mempe-
dulikan ejekan Warigagung, lima
saudara seperguruan ini sudah kembali
menyerang dengan dahsyat. Serangan
mereka yang ketiga kalinya ini luput
lagi. Namun demikian Warigagung dalam
usaha menyelamatkan diri terpaksa
harus bergulingan di tanah. Karena
bagian kosong tidak ada lain kecuali
bagian bawah dan terpaksa harus ber-
gulingan, akibatnya pakaian Warigagung
yang indah dari kain sutera mahal itu,
sekarang menjadi kotor dan berbau
anyir pula, sebab tanah di sekitar
mereka berkelahi itu dipenuhi bangkai
ular.
Karena pakaiannya menjadi kotor
ini Warigagung menjadi marah sekali.
Matanya bagaikan menyinarkan api.
Apabila tadi sikapnya merendahkan dan
mengejek, sekarang tidak. Sebab diam-
diam ia memang kaget oleh serangan me-
reka tadi.
Si Tangan Iblis memang sudah
membekali ilmu kepada murid-muridnya
secara baik sekali. Walaupun tadi
sekali gebrak Kaligis bisa dipukul
roboh, namun setelah mengeroyok
keadaan menjadi lain. Mereka memang
sudah dibekali ilmu khusus untuk
mengeroyok, bernama ilmu Bala Srewu.
Ilmu ini yang paling tepat apabila
dilakukan oleh sepuluh atau lima belas
orang. Namun lima orangpun sudah cukup
berbahaya. Dengan kerjasama yang baik,
lawan tidak diberi kesempatan mencari
tempat kosong. Maka dalam usahanya
menyelamatkan diri tadi, Warigagung
terpaksa bergulingan.
Melihat hasil serangan kerjasama
ini, lima orang pemuda ini menjadi
mantap. Tanu Pada segera berteriak
memberi aba-aba untuk meng gunakan
jurus ilmu Bala Srewu yang paling
ampuh. Udan Awu! Udan Awu! (hujan abu,
hujan abu).
Maksud serangan ini, mereka harus
membuntu jalan lawan supaya tidak
dapat menyelamatkan diri. Dan mereka
menduga pasti sekali ini lawannya akan
roboh.
Tingkat kepandaian Warigagung se-
benarnya memang lebih tinggi dibanding
dengan lima saudara seperguruan itu.
Tetapi kalau harus menghadapi ke-
royokan, tidak gampang mendapat
kemenangan. Sadar keadaan ini, cepat
luar biasa Warigagung sudah mencabut
pedang dan berbareng itu tangan kiri
mempersiapkan jarum hitam yang beracun
jahat,
Trang... trang... tring...
tring... wut... Aduh...!
Tangkisan pedangnya dibarengi
lepasnya jarum beracun dari tangan
kiri. Kaligis dan Sangkan terhuyung ke
belakang, pedang mereka lepas dari
tangan dan dua orang ini meringis
kesakitan karena lengan kanan mendadak
lumpuh.
Racun jarum hitam Warigagung
memang bekerja amat cepat. Dalam waktu
seperempat hari saja jiwa orang akan
melayang jika tidak mendapatkan obat
pemunahnya.
Tanu Pada, Kebo Pradah dan Mahisa
Singkir lebih hati-hati dibanding
Kaligis dan Sangkan.
Mereka masih selamat, karena
mengubah gerak serangan dengan
menangkis sambaran jarum, dan kemudian
secepat kilat pula meneruskan gerak
tangkisan itu untuk menyerang lagi.
Akan tetapi dengan hanya tiga
orang ini, pertahanan menjadi lemah
dan sebaliknya Warigagung sudah meng-
gunakan pedang dan tangan kiri siap
menyebarkan jarum beracun, maka tiga
orang ini tidak lagi dapat menekan
lawan. Dengan gerakan yang lincah dan
ringan Warigagung gampang menghindar-
kan diri, lalu wut wut... beberapa
batang jarum hitam lepas dan menyambar
ke arah lawan, dibarengi sambaran
pedangnya.
Cring cring..... Aduhhh.....!
Beberapa batang jarum itu memang
dapat mereka tangkis, tetapi tidak
seluruhnya. Mahisa Singkir yang
menangkis sambaran pedang lawan itu
mengaduh karena pahanya mendadak
lumpuh. Sedangkan Tanu Pada dan Kebo
Pradah yang lebih memperhatikan
serangan jarum, terluka pundaknya oleh
tikaman lawan. Pundak amat sakit dan
darah mengucur. Namun dua orang
saudara ini masih meneruskan
perlawanan mereka untuk melindungi
keselamatan yang lain.
Akan tetapi perlawanan Tanu Pada
dan Kebo Pradah ini sudah kurang
berarti. Maka dalam dua gebrakan saja
dua orang ini terguling roboh dengan
luka panjang pada paha, ditambah pula
oleh menancapnya sebatang jarum pada
lengan. Setelah semua lawan roboh,
Warigagung terkekeh sambil menyarung-
kan pedangnya.
Heh heh heh heh heh. Warigagung
terkekeh lalu katanya sombong. Rasakan
jarumku. Sebelum mampus kamu akan
menderita siksaan hebat!
Tanpa mempedulikan lima orang
saudara seperguruan yang menderita
itu, Warigagung melangkahkan kaki
masih sambil terkekeh. Tak lama
kemudian sayup-sayup terdengar suara
sending yang ditiup Warigagung.
Lima orang saudara seperguruan
ini memang amat menderita. Mereka
terluka jarum beracun pada lengan.
Pertama kali yang mereka rasakan
lengan menjadi lumpuh tidak dapat
digerakkan. Sesaat kemudian mereka
merasa seperti digelitik, sehingga
mereka tertawa-tawa di tengah derita.
Mereka ingin menahan keinginan
tertawa itu, tetapi pengaruh dari
racun memang aneh. Orang yang sudah
terkena racun jarum hitam Warigagung
tak mungkin dapat menahan ketawanya.
Kemudian orang yang menderita itu
perutnya kaku karena ketawa terus. Tak
lama kemudian akan terjadi, korban ini
menderita siksaan hebat sekali karena
korban merasa seperti dikeroyok oleh
ribuan semut dan seterusnya akan mati.
Demikian pula lima orang saudara
seperguruan ini. Setelah perut mereka
kaku karena ketawa terus, beberapa
saat kemudian mereka merintih-rintih
dan berguling-guling sehingga pakaian
mereka kotor.
Ketika itu cuaca sudah menjadi
gelap. Sebagai biasa para penduduk
pedesaan setelah matahari terbenam
lebih suka berdiam dalam rumah. Kalau
toh mereka gelisah di dalam rumah,
mereka lebih suka bertandang ke rumah
tetangga dekat. Oleh karena itu jalan
desa di tempat ini sepi sekali dan
tidak seorangpun lewat.
Lima orang murid Tangan Iblis ini
terus bergulingan tak kuasa menahan
derita. Malah Kaligis yang kasar dan
tak tahan derita itu, mengerang tidak
karuan. Tubuhnya yang tinggi besar
bergulingan terus dan akhirnya masuk
ke dalam selokan. Untung sekali
selokan itu kering. Kalau saja berisi
air, Kaligis tentu sudah mati tak
dapat bernapas.
Di saat lima orang sauadara
seperguruan ini tersiksa dan hampir
direnggut maut, tiba-tiba berkele-
batlah bayangan yang gesit. Tahu-tahu
seorang kakek yang tubuhnya gendut
pendek, telah berdiri di tempat itu.
Kakek gendut ini memakai jubah putih
yang kedodoran, terlalu panjang dan
terlalu longgar, hingga tubuhnya yang
sudah gendut itu tampak lebih gendut
lagi.
Ayaaa..... bocah-bocah ini,
mengapa bergulingan dan merintih?
kakek gendut itu menggumam sambil
memperhatikan sekeliling.
Akan tetapi kemudian ia menekap
hidungnya sendiri karena tidak tahan
menghirup bau darah ular yang anyir
dan amis, sambil berjingkrak seperti
tapak kakinya tertusuk duri. Ah....
racun.... bisa..... ahhh, nyawa bocah-
bocah ini diancam maut. Hemmm.....
kasihan......
Mendadak kakinya bergerak dan
menendang mereka yang sedang tersiksa
dan merintih-rintih itu. Ahhh, mengapa
kakek ini sampai hati menambah derita
para korban racun Warigagung? Uah,
tidak menolong malah menendangi.
Namun apabila saat itu ada orang
yang melihat, akan menjadi terbelalak.
Tendangan itu tampaknya keras dan yang
ditendang segera melesat lebih lima
depa jauhnya. Tetapi tubuh yang diten-
dang tidak terbanting keras, tetapi
melayang perlahan dan kemudian
menggeletak di tanah tanpa suara.
Empat kali kakek itu menendang,
berturut-turut tubuh Kebo Pradah, Tanu
Pada, Sangkan dan Mahisa Singkir
melayang dan jatuhnya dapat berjajar
seperti diatur.
Kakek gendut ini kemudian
melangkah perlahan menghampiri. Namun
tiba-tiba telinganya yang peka
mendengar gerakan dalam selokan. Kakek
gendut ini mengamati sejenak, lalu,
Ahh, masih ada satu lagi.
Kemudian terulang seperti tadi,
ia menendang. Tubuh Kaligis segera
melesat dan sesaat kemudian melayang
turun di samping yang lain.
Setelah mengadakan pemeriksaan
sebentar, kakek ini menghela napas
panjang. Gumamnya, Ahhh.... tak
kusangka, orang sesat itu masih juga
belum kapok. Begitu muncul kembali
sudah menimbulkan korban lagi.
Hemm.... semoga Dewata Agung bersedia
menunjukkan jalan benar kepada orang
itu. Hemm, Julung Pujud....
Agaknya kakek ini sudah dapat
menduga siapa yang menyebabkan lima
orang muda ini menderita keracunan
hebat.
Akan tetapi dugaan kakek ini
kurang tepat, karenanya yang mela-
kukannya bukan Julung Pujud, melainkan
muridnya. Tetapi walaupun demikian,
setelah melihat korban sudah menyebut
orang sesat itu belum kapok adalah
jelas kakek ini sudah kenal dengan
Julung Pujud.
Kenyataan memang demikian.
Dahulu, lebih duapuluh tahun yang
lalu, Julung Pujud melakukan perbuatan
tercela, tangannya ganas dan jahat,
maka dimusuhi banyak orang. Kemudian
dalam perkelahian secara ksatrya,
seorang lawan seorang, akhirnya Julung
Pujud dikalahkan oleh Mpu Anusa Dwipa.
Dan orang inilah yang di sebut bernama
Mpu Anusa Dwipa itu.
Waktu itu memang banyak orang
yang menuntut agar Julung Pujud
dibunuh saja. Tetapi Mpu Anusa Dwipa
berpendapat lain. Ia ingin memberi
kesempatan kepada Julung Pujud untuk
memperbaiki diri dengan berbuat baik.
Sebaliknya Julung Pujud sendiri juga
bersumpah tidak lagi melakukan
perbuatan jahat.
Sejak itu tidak terdengar lagi
Julung Pujud mengganas sampai lebih
dua puluh tahun. Maka semua orang
menduga tentunya Julung Pujud sudah
benar-benar kapok, dan semua orang
sudah melupakan nama kakek itu.
Akan tetapi hari ini tanpa
terduga Mpu Anusa Dwipa sendiri
menyaksikan keganasan serupa dan
korbannya lima orang muda. Tentu saja
diam-diam kakek gendut ini tidak
senang. Dalam hati kakek ini khawatir
juga, dunia akan digemparkan lagi oleh
perbuatan ganas yang dilakukan oleh
Julung Pujud terhadap orang tidak
berdosa.
Setelah mengadakan pemeriksaan
dan tahu benar, semua korban luka oleh
sebatang jarum, maka kakek ini segera
mencabut jarum beracun itu. Dan
sesudah itu kakek ini mengambil lima
butir obat kering warna merah. Satu
persatu obat itu dihancurkan dengan
air lalu diminumkan kepada korban.
Yang terjadi kemudian sungguh
mengherankan. Semua korban tak lama
kemudian bergerak seperti orang habis
tidur lelap. Dan setelah merasa pasti
lima pemuda ini tertolong, ia
tersenyum lega, lalu melangkah pergi
entah kemana.
Watak Mpu Anusa Dwipa memang
demikian. Ia selalu ringan tangan
menolong orang tanpa pamrih. Ia selalu
mengulurkan tangan, tetapi tidak
mengharapkan balasan dari orang. Bagi
dirinya sudah gembira sekali apabila
orang yang ditolong dapat hidup
senang.
Hanya yang agak aneh, Mpu Anusa
Dwipa tidak pernah pilih bulu. Baik
korban itu orang jahat maupun orang
baik semuanya di tolong dengan senang
hati.
Apakah sebabnya Mpu Anusa Dwipa
berbuat seperti ini? Padahal menurut
pendapat umum orang yang jahat tidak
perlu ditolong. Namun kakek ini
mempunyai pendirian sendiri. Ia
memberi pertolongan dan mengulurkan
tangannya, kepada setiap pihak yang
perlu ditolong dan tanpa diminta, baik
kepada manusia maupun kepada binatang.
Namun justru pendiriannya yang
aneh ini malah menyebabkan nama kakek
ini amat terkenal. Ia disegani dan
dihormati oleh semua pihak, baik dari
golongan jahat maupun sebaliknya. Akan
tetapi justru oleh keanehan wataknya
ini pula, sulitlah orang mau mencari
dia. Dan sebaliknya tanpa dicari malah
datang sendiri, seperti yang terjadi
sekarang ini.
Demikianlah, kira-kira tengah
malam lima orang muda ini sudah sadar
hampir berbarengan. Mereka kaget dan
cepat meloncat bangun ketika menda
patkan diri menggeletak di atas rumput
di bawah langit. Dari mereka itu hanya
Kebo Pradah yang begitu meloncat
segera meringis kesakitan. Namun
ketika meraba paha yang terluka, ia
terbelalak. Sebab paha yang terluka
itu sekarang sudah diobati dan dibalut
dengan kain.
Untuk beberapa saat lamanya lima
orang muda ini saling pandang. Tetapi
sejenak kemudian mereka ingat, tadi
mengeroyok seorang pemuda. Namun
mereka dikalahkan, Lalu ke manakah
pemuda tadi, dan mengapa mereka
ditinggalkan begitu saja tidak
dibunuh?
Tanu Pada menjadi khawatir kalau
pemuda itu kembali lagi dan meng-
ganggu. Karena itu ia cepat mengajak
saudara-saudaranya untuk pergi. Kat-
anya, Tempat ini amat berbahaya dan
Marilah kita selekasnya meneruskan
perjalanan.
Mereka berpendapat sama, tempat
ini amat berbahaya. Kalau pemuda ganas
itu datang kembali, mereka akan
celaka.
Malam itu tiada bulan di angkasa
dan hanya diterangi oleh bintang.
Namun demikian sinar bintang itu besar
bantuannya bagi mereka, dan agak ngeri
juga melihat bangkai ratusan ular yang
tadi mereka bantai. Untuk tidak
bersentuhan dengan bangkai ular itu
maka mereka terpaksa berlompatan.
Ketika itu Tanu Pada dan Kebo
Pradah berjalan di depan, bersama
Mahisa Singkir, sedang Sangkan dan
Kaligis sengaja berjalan di belakang.
Diam-diam meraka saling sentuh dan
berbisik.
Sementara itu diam-diam Tanu
Pada, Kebo Pradah dan Mahisa Singkir
heran oleh hadirnya Sangkan dan
Kaligis di tempat ini. Bukankah tugas
yang ditetapkan menuju ke timur
bersama Ananto? Tetapi mengapa Ananto
tidak ikut serta?
Sekalipun heran mengapa Sangkan
dan Kaligis muncul di tempat ini, Tanu
Pada masih menyabarkan diri. Ia baru
akan minta keterangan dua orang itu
setelah masuk ke dalam desa Sukorejo
dan mendapat penginapan. Tanu Pada
percaya para penduduk desa itu akan
mau menerima mereka menginap. Orang
yang datang dengan maksud baik para
penduduk tentu menyambut dengan baik
pula.
Tetapi kalau Tanu Pada dapat
menyabarkan diri, sebaliknya Kebo
Pradah tidak. Ia terlalu curiga kepada
dua orang ini. Maka sambil melangkah
dan tanpa berpaling, ia bertanya,
Kakang Kaligis dan Kakang Sangkan.
Mengapa kalian tiba-tiba berada di
tempat ini?
Sangkan yang lebih cerdik dan
lincah cepat mendahului menjawab,
Memang kami bergegas kemari guna
bertemu dengan Kakang Tanu Pada. Ada
sesuatu yang perlu kita bicarakan,
namun nanti sajalah, tak enak kita
bicara di tempat ini. Karena siapa
tahu pemuda jahat itu datang lagi dan
mengganggu kita? Kami akan memberi
laporan selengkapnya setelah tiba di
desa depan itu.
Namun Kebo Pradah seorang pemuda
yang teliti dan gampang curiga. Ia
tidak puas dengan jawaban itu. Ia
berhenti membalikkan tubuh sambil
bertanya, Soal apakah yang perlu
dipikirkan itu? Dan mengapa pula
kalian tidak langsung saja lapor
kepada Guru?
Sangkan yang licik tertawa.
Jawabnya, Kita semua ini mendapat
tugas dari Guru. Dan Kakang Tanu Pada
adalah murid tertua. Padahal kau tahu
juga bahwa pada saat kita mau
berangkat Kakang Tanu Pada yang
dipercaya Guru untuk mengatur. Maka
tidak enak kiranya apabila aku
langsung lapor kepada Guru, tanpa
lewat Kakang Tanu Pada.
Mendengar jawaban ini Tanu Pada
yang jujur mengangguk tanda bisa
menerima. Dan ia malah berterima kasih
dan merupakan tanda adik sepergu-
ruannya ini menghormati dirinya
sebagai murid tertua.
Terima kasih Adi Sangkan,
katanya. Engkau percaya padaku sebagai
murid tertua. Baiklah, memang lebih
tepat menunggu sampai di desa Sukorejo
itu kita bicarakan.
Kebo Pradah kurang senang men-
dengar jawaban Tanu Pada ini. Namun
dirinya seorang adik perguruan yang
baik. Ia tak mau membantah kakak
seperguruannya, dan kemudian ia diam
saja dan melangkah mendampingi Tanu
Pada.
Sebaliknya Mahisa Singkir yang
melangkah di depan paling kanan
hatinya agak gelisah. Ia tidak membuka
mulut tetapi diam-diam selalu kha-
watir. Sebagai seorang yang masih
mempunyai hubungan keluarga dengan
Sangkan, ia cukup kenal akan wataknya,
disamping tahu pula diam-diam Sangkan
tidak senang kepada Kebo Pradah dan
tahu pula persaingan diam-diam
memperebutkan Sarwiyah.
Disamping itu iapun tahu pula
antara Kaligis dengan Tanu Pada diam-
diam juga bersaing dalam memperebutkan
Sarindah. Ia pernah mendengar langsung
dari mulut Sangkan yang mencintai
Sarwiyah dan Kaligis mencintai
Sarindah. Akan tetapi sayang, dua
orang ini tidak mendapat tanggapan
dari dua gadis itu, karena sudah
menjatuhkan pilihan kepada pemuda
lain.
Di saat Mahisa Singkir sedang
berpikir ini, tiba-tiba ia menjadi
kaget mendengar pekik kesakitan dari
samping. Kemudian ia terbelalak kaget
melihat robohnya Tanu Pada dan Kebo
Pradah. Darah membanjir keluar dari
punggung, sedang Kaligis dan Sangkan
masih memegang pedang bernoda darah,
menyeringai seperti iblis.
Mampus kau! geram Kaligis.
Kakang.... apa yang kaulakukan?
Mahisa Singkir gugup.
Akan tetapi Kaligis dengan
mendelik sudah membentak, Singkir!
Engkau jangan mencampuri urusan ini
kalau masih ingin hidup.
Sangkan cepat menyambung dengan
nada membujuk, Singkir, memang tidak
seharusnya kau mencampuri urusan
pribadi ini, supaya kau selamat. Eng-
kau masih mempunyai hubungan keluarga
dengan diriku. Asal engkau tidak
berkhianat, aku dan Kakang Kaligis
takkan mencelakakan engkau.
Tetapi.....tetapi.....Mahisa
Singkir terbata-bata saking tegang dan
khawatir. Engkau tahu, kepergianku
bersama Kakang Tanu Pada dan Kakang
Kebo Pradah. Bagaimana.... aku harus
menjawab....jika kelak Guru bertanya?
Kaligis membentak, Huh, mengapa
kau setolol itu? Katakan saja di jalan
dihadang penjahat. Tanu Pada dan Kebo
Pradah mampus di tangan penjahat dan
kau berhasil menyelamatkan diri.
Mana mungkin Guru percaya... ?
Mahisa Singkir gelisah, menundukkan
kepala lalu mengamati dua saudara yang
menjadi korban itu bergantian.
Ternyata kegelisahannya sejak
tadi terbukti. Kaligis dan Sangkan
sudah menyerang Tanu Pada dan Kebo
Pradah secara curang. Agaknya tikaman
dari belakang itu tepat menembus
jantung.
Sangkan mendelik tidak senang.
Kesabarannya hilang, lalu mengancam,
Pendeknya peristiwa ini hanya kau
seorang yang tahu. Kalau rahasia kami
ini sampai bocor, engkaulah orangnya
yang membocorkan. Dan apabila terjadi
demikian kau harus menebus dengan
nyawamu. Tahu?
Mahisa Singkir pucat. Ia sadar
kalau membantah, jiwanya tentu
melayang di tangan dua orang ini. Ia
tidak dapat berbuat lain kecuali harus
tunduk. Jawabnya kemudian, Baiklah!
Urusan ini adalah urusan kalian
sendiri dan aku tidak akan ikut
campur. Dan akupun berjanji takkan
membuka rahasia ini kepada siapapun.
Akan tetapi sebaliknya akupun tidak
mungkin kembali ke Tosari.
Mengapa begitu? bentak Kaligis.
Kalau begitu, kau lain di bibir lain
di hati!
Kakang, kau jangan cepat curiga,
Mahisa Singkir menjawab sambil
menghela napas dalam. Engkau tahu aku
tidak mungkin dapat berdusta kepada
Guru. Mengingat hal itu maka tiada
jalan lain yang lebih baik, kecuali
sejak sekarang aku menyingkir dari
Guru.
Mahisa Singkir berhenti sejenak
mengambil napas. Lalu, Lenyapnya
Kakang Tanu Pada dan Kebo Pradah tentu
akan merupakan peristiwa besar bagi
Mbakyu Sarindah maupun Mbakyu Sar-
wiyah. Manakah mungkin gampang percaya
jika aku memberi laporan, bahwa dua
orang itu tewas di tangan penjahat
sedangkan diriku selamat tak kurang
suatu apa? Hemm, salah-salah diriku
sendiri yang dicurigai dan kemudian
disiksa. Nah, kalau sudah terjadi
seperti itu, manakah mungkin aku kuat
lagi menyimpan rahasia ini? Itulah
sebabnya aku memutuskan paling selamat
kalau aku ikut menghilang juga.
Sangkan puas. Katanya, Bagus!
Keputusan yang tepat, dan jalan ini
memang yang terbaik.
Tetapi sekarang bagaimana dengan
mayat dua orang ini ?
Hemm, mengapa sebabnya kau repot?
Letakkan dua mayat ini di tepi desa.
Esok pagi tentu akan dirawat orang.
Hayo cepat, dan kita pergi dari sini!
Kaligis sudah mendahului menyam-
bar mayat Tanu Pada. Mau tak mau
Sangkan mengikuti dan menyambar mayat
Kebo Pradah. Lalu dua orang ini
berlarian menuju desa.
Mahisa Singkir tak kuasa menahan
mengalirnya air mata. Ia kemudian lari
cepat ke jurusan lain. Lalu ia duduk
di atas batu, sambil terisak. Hati
pemuda ini amat sedih dan masygul.
Mengapa antara saudara seperguruan
sendiri terjadi persaingan dan
mengakibatkan saling bunuh? Apakah
kalau begitu cinta itu jahat? Cinta,
apakah mendorong manusia melakukan
perbuatan terkutuk? Ahh, ia menjadi
ngeri sendiri.
Lama sekali pemuda ini menangis
sedih dan menyesali peristiwa yang
baru terjadi. Tidak pernah terbayang
sama sekali dalam benaknya, Tanu Pada
dan Kebo Pradah akan mati seperti itu.
Disamping ia menyesalkan peristiwa
yang baru terjadi, iapun menjadi
bingung sendiri. Kepergiannya tanpa
minta diri kepada orangtua. Namun se-
karang karena takut bertemu dengan
gurunya, tidak mungkin ia kembali ke
Tosari dan menemui orang tuanya.
Saking bingung dan sedih, tiba-
tiba saja timbul keputusannya yang
nekad. Hemm, aku tidak sanggup menjadi
murid murtad dan menjadi anak tidak
berbakti kepada orang tua. Daripada
hidup terus tetapi menderita, lebih
baik mati saja....
Sringg....! Pedang dicabut.
Kemudian secara nekad mata pedang itu
disabetkan ke leher sendiri.
Akan tetapi ahh.... Mahisa
Singkir kaget sendiri karena tiba-tiba
pedangnya runtuh ke tanah terpukul
oleh benda. Dengan sigap pemuda ini
meloncat karena menduga ada orang yang
menyerang dirinya. Dalam keadaan
seperti ini ia tak takut mati.
Siapapun akan dihadapi dengan mata
terbuka dan hati tabah.
Heh heh heh heh. Engkau mau apa
orang muda? mendadak seorang kakek
gendut memakai jubah putih kedodoran
sudah muncul di depan Mahisa Singkir.
Munculnya kakek itu tiba-tiba dan
menyebabkan Mahisa Singkir berjingkrak
kaget.
Siapa kau! bentaknya menggeletar.
Engkau manusia atau hantu?
Kakek gendut yang bukan lain Mpu
Anusa Dwipa ini terkekeh, hingga
perutnya yang gendut itu bergerak-
gerak.
Heh heh heh heh, adakah hantu
dapat bicara seperti manusia? Hai
orang muda, apakah sebabnya engkau
ingin memenggal lehermu sendiri?
Kau.....kau yang sudah
menyebabkan pedangku runtuh?
Heh heh heh heh, kalau benar,
mengapa?
Aku mau bunuh diri. Mengapa
sebabnya kau mengganggu?
Heh heh heh heh, apakah sebabnya
kau mau bunuh diri? Agaknya engkau
menghadapi urusan pribadi yang ruwet,
sehingga engkau ingin mengakhiri
hidupmu dengan jalan itu? Hemm, orang
muda. Engkau keliru jika menganggap
urusan dapat selesai begitu saja jika
engkau sudah bunuh diri?
Mengapa tidak? Bukankah sesudah
aku mati segala urusan menjadi
rampung?
Ha ha ha ha, kau picik
pengetahuan tentang hidup dan mati
anak muda. Sudah tentukah engkau mati
jika memenggal lehermu sendiri? Apakah
kau lupa semua kehidupan di dunia ini
hanya Dewata Agung saja yang
menentukan? Jika tidak dikehendaki
engkau takkan bisa mati. Hemm, orang
muda, apakah engkau lupa bahwa sesuai
dengan kepercayaan dalam agama, bakal
terjadinya kehidupan lagi setelah
manusia ini meninggal dunia? Keta-
huilah hai anak muda, orang yang mati
membunuh diri, dalam kehidupan kemu-
dian hari, bisa tersesat. Senangkah
kau apabila harus menjelma sebagai
cacing atau babi?
Mendengar ini Mahisa Singkir
terbelalak. Serta merta pemuda ini
menjatuhkan diri dan berlutut, lalu
terdengar katanya yang setengah
meratap.
Kakek, ohh.... terima kasih atas
nasihat kakek. Tetapi .... aku bingung
dan tak tahu apa yang harus aku
lakukan, karena saudara seperguruanku
saling bunuh dan aku takut bertemu
kembali dengan guruku. Itulah sebabnya
aku menjadi nekad mau membunuh diri.
Kalau sekarang Kakek melarang aku
membunuh diri, tolonglah.... aku yang
malang ini....
Mpu Anusa Dwipa terkekeh, Heh heh
heh heh, apakah maksudmu orang muda?
Aku sendiri manusia yang tanpa tempat
tinggal, Aku sendiri beratap langit
dan berselimut embun.
Ambillah diriku sebagai murid.
"Hait...." kakek gendut ini
berjingkrak. Walaupun tubuhnya gendut,
namun tubuhnya bisa ringan sekali dan
melenting cukup tinggi.
Mahisa Singkir melongo saking
kagum. Tahulah pemuda ini, kakek
gendut ini seorang sakti mandraguna.
Mungkin tidak kalah sakti dengan
gurunya. Ia harus bisa diterima
sebagai muridnya.
Kau ingin menjadi muridku? Murid
apa, heh heh heh heh. Aku tidak
mempunyai ilmu kepandaian apa-apa.
Heh heh heh heh. Engkau mau apa
orang muda? mendadak seorang kakek
gendut memakai jubah putih kedodoran
sudah muncul di depan Mahisa Singkir.
Aku tidak perduli Kakek pandai
apa. Pendeknya, Kakek harus menjadi
guruku. Jika kakek menolak, aku akan
membunuh diri saja.....Mahisa Singkir
mendesak dan tidak memberi kesempatan
kepada Mpu Anusa Dwipa menolak.
Hemm, sesungguhnya engkau ini
murid siapakah, anak muda?
Si Tangan Iblis.
Hait.....lagi-lagi Mpu Anusa
Dwipa berjingkrak lagi. Baru tangannya
sudah iblis, apalagi kakinya. Tentu
gurumu sakti mandraguna. Tetapi me-
ngapa sebabnya engkau tinggalkan
pergi?
Mahisa Singkir tidak mau bicara
kepanjangan. Pendeknya ia harus
mendapat kepastian, sedia ataukah
tidak kakek ini menerima sebagai
murid.
Karena itu kemudian katanya
berubah menjadi ketus, Sudahlah, Kek,
mau atau tidak menerima diriku sebagai
murid? Kalau tak mau tidak apa.
Pergilah dan aku mau membunuh diri.
Mpu Anusa Dwipa terkekeh. Dan
tentu sesuai dengan wataknya yang suka
menolong, ia tak sanggup membiarkan
orang muda ini bunuh diri. Namun
sebaliknya untuk menerima sebagai
murid, iapun keberatan. Dirinya tidak
pernah punya murid. Namun sudah tidak
terhitung jumlahnya manusia yang
diberi bagian ilmu kesaktiannya.
Kakek ini mengusap jenggotnya
yang putih panjang menjuntai. Lalu
katanya, Engkau seorang anak muda yang
keras hati, tetapi jujur. Hemm,
baiklah aku akan mendidik kau sambil
lalu selama dua tahun. Dan engkau
tidak berhak pula menyebut aku sebagai
guru.
Betapa gembira hati pemuda ini
sulit dilukiskan. Ia menjatuhkan diri
dan berlutut sampai dahinya membentur
tanah.
Mari kita pergi dari sini. Tapi
ingat, aku bukan gurumu, ujar kakek
itu.
Tanpa membantah Mahisa Singkir
mengikuti di belakang. Akan tetapi
pemuda ini menjadi terbelalak kaget
dan kelabakan, karena gerakan kakek
gendut itu amat gesit. Ia sudah
melangkah cepat, kemudian lari. Akan
tetapi ternyata dirinya tidak dapat
mendekati kakek itu. Namun ia
mengeraskan hati dan terus berlarian,
sekalipun napasnya sudah keluar dan
masuk telinganya. Ia takkan berhenti
berlari mengejar Mpu Anusa Dwipa
sebelum napasnya putus. Karena ia
sadar tentu kakek gendut itu menguji
kesetiaannya.
2
Tiga bulan telah berlalu tanpa
terasa. Tibalah batas waktu para murid
Si Tangan Iblis harus kembali ke
Tosari memberi laporan hasil tugasnya.
Rombongan yang datang pertama kali
adalah Wastu, Warigalit dan Bala Rebo.
Hari itu juga menyusul datang
rombongan murid yang menuju ke utara,
Kuda Sobrah, Senggring dan Pahang.
Semua murid yang sudah tiba ini
menyebabkan Si Tangan Iblis, Sarindah
dan Sarwiyah menghela napas sedih dan
menyesal. Karena semua pulang tanpa
membawa hasil.
Harapan Si Tangan Iblis tinggal
kepada rombongan Tanu Pada dan
rombongan Kaligis. Orang tua ini
berharap, mudah-mudahan murid yang be-
lum datang melapor itu berhasil.
Akan tetapi esok paginya Si
Tangan Iblis, Sarindah dan Sarwiyah
kaget ketika Kaligis dan Sangkan
datang tanpa Ananto. Maka timbul
pertanyaan dalam hati kakek dan cucu
ini, ke mana Ananto?
Untunglah Kaligis maupun Sangkan
cukup cerdik dan mengenal pula watak
gurunya. Sebelum gurunya bertanya, dua
orang murid ini sudah berlutut di
depan Si Tangan Iblis sambil mem-
benturkan dahi di tanah. Dan guna
menutupi rahasia kebusukannya, dua
murid ini malah sudah menangis sambil
meratap-ratap mohon supaya dibunuh
mati saja.
Guru.... hu hu huuuuukkk.....
bunuh sajalah murid yang tidak berguna
seperti aku ini! ratap Sangkan di
tengah tangisnya.
Benar.... Guru.... bunuh sajalah
kami.... Kaligis menirukan.
Sarindah dan Sarwiyah yang diam-
diam benci kepada Kaligis maupun
Sangkan, tidak senang dan merasa
sebal. Mengapa dua orang ini begitu
datang sudah menangis dan minta
dibunuh?
Huh huh, pemuda cengeng tiada
guna! bentak Sarindah. Apa sih
sulitnya membunuh kamu berdua, kalau
memang berdosa? Lekas katakanlah apa
sebabnya kamu datang dan meratap-ratap
? Sebal aku melihat murid Kakek yang
gampang menitikkan air mata.
Sarwiyah tak kalah angkuh dan
ketusnya. Bentaknya, Huh huh melihat
kamu datang tanpa Sentiko, jelas kamu
tak becus mencari. Tapi huh, di mana
Ananto? Mengapa tidak datang bersama
kamu?
Si Tangan Iblis mengerutkan alis.
Kakek ini kurang senang mendengar
ucapan dan sikap cucunya. Tegurnya,
Indah! Wiyah! Sikapmu jangan sekasar
itu kepada saudara seperguruan
sendiri. Ibaratnya kita semua ini
adalah telor dalam satu sarang, dan
ibarat pula setandan pisang. Yang satu
busuk yang lainpun menjadi busuk.
Tahu? Kamu semua harus rukun dan
bersatu padu dan kelak kemudian hari
kamu semua menunaikan tugas suci!
Si Tangan Iblis memang mendidik
murid-muridnya penuh disiplin,
menanamkan kerukunan adalah dengan
harapan kemudian hari semua murid ini
dapat mewakili dirinya membalaskan
sakit hati kepada musuh-musuhnya.
Mengingat cita-cita ini maka ia
terang-terangan menegur sikap cucunya.
Kaligis dan Sangkan, apa yang
sudah terjadi? Ceritakanlah sejujur-
nya, apakah sebabnya Ananto tidak
datang bersama kamu? Lalu di manakah
dia sekarang? tanya Si Tangan Iblis
dengan nada sabar, sesuai kedudukannya
sebagai guru.
Sangkan yang lebih pandai bicara,
segera memberikan laporannya. Ia
mengarang cerita, bahwa di saat lewat
pada tebing gunung yang licin, Ananto
terpeleset jatuh dan masuk ke dalam
jurang. Dikatakan pula bahwa ia
bersama Kaligis sudah berusaha
menolong. Tetapi justru usaha mereka
itu malah hampir saja Kaligis
tergelincir masuk ke jurang.
Bohong! bentak Sarindah tiba-tiba
dan sring... gadis cantik ini sudah
menghunus pedang dan me-ompat ke
depan. Pedangnya menyambar untuk
memancung leher Kaligis dan juga
Sangkan sekaligus.
Tring.....! Sarindah terhuyung
mundur dan hampir saja pedangnya
lepas. Telapak tangannya panas sedang
lengannya seperti lumpuh, sebab
pedangnya yang menyambar sudah
disentil dengan jari tangan kakeknya
sendiri.
Indah! Apa maksudmu? tegur Si
Tangan Iblis sambil mendelik marah.
Aku tidak percaya keterangannya.
Keterangan itu bohong belaka, Kek, dan
Kakek harus mengadakan penyelidikan di
tempat, baru aku bisa mempertim-
bangkan. Apabila keterangan mereka
tidak masuk akal, sepatutnyalah murid
jahat ini dihukum mati.
Sadar keselamatan nyawanya dalam
bahaya, Sangkan yang licin cepat
menyahut setengah menantang, Adi
Sarindah! Apakah alasanmu menuduh
keteranganku bohong? Mau menyelidiki
di tempat peristiwa silakan. Tetapi
sebaliknya, bagaimanakah kalau kete-
ranganku ini benar? Kalau Guru memang
mempersalahkan aku tak becus menjaga
keselamatan Adi Ananto, itu urusan
lain. Dan sebagai murid, akupun sudah
mengaku bersalah, karena itu aku sudah
menyerahkan jiwaku dan kalau perlu
dihukum mati oleh Guru, sebagai
penebus kesalahanku, akupun tidak
menyesal. Karena bagaimanapun, murid
yang setia dan baik harus tunduk
kepada Guru. Tetapi karena masalah ini
di luar kemampuan kami dan merupakan
kecelakaan, hanya Dewata saja yang
sudah tahu.
Sudah, sudahlah! cegah Si Tangan
Iblis. Kalian jangan ribut sendiri.
Sarindah, sekalipun engkau cucuku,
tetapi dalam urusan perguruan, kau pun
kedudukanmu sebagai murid. Dalam
perguruan sikap seorang guru harus
adil dan bijaksana dan tidak boleh
pilih kasih. Tahu?
Sarindah terbungkam mendengar
ucapan kakeknya yang keras ini. Namun
diam-diam gadis ini tetap pada
pendiriannya, tidak percaya keterangan
Sangkan itu. Disamping timbul rasa
tidak percaya, gadis inipun menjadi
marah juga. Ia merasa malu dibentak
dan ditegur kakeknya di depan orang
lain. Maka sambil membantingkan kaki
gadis ini kemudian menyeret adiknya
diajak pergi meninggalkan rumah.
Si Tangan Iblis menghela napas
panjang. Ia menyesal juga mengapa
terpaksa menegur cucunya sendiri
secara keras. Namun apa harus dikata?
Ia dalam kedudukannya sebagai guru
tidak boleh pilih kasih dalam
menghadapi semua muridnya. Maka
Sarindah yang mau menang sendiri tidak
boleh terjadi, apa pula secara lancang
sudah berusaha membunuh orang, sebelum
ada pembuktian salah dan benarnya
keterangan Sangkan. Disamping itu ia
merasa pula sedang menghadapi
persoalan yang lebih penting, tentang
Sentiko. Karena itu dengan sikap yang
sabar, ia menanyakan tentang hasil
usaha para murid dalam usaha mencari
Sentiko.
Dengan kepandaiannya mengarang
cerita, Sangkan menerangkan secara
lancar tentang peristiwa Ananto,
diberi bumbu yang menarik. Hingga Si
Tangan Iblis mendengarkan penuh
perhatian.
Padahal kenyataan yang terjadi
jelas berbeda. Kaligis maupun Sangkan
tidak menunaikan tugas semestinya.
Kenyataannya sesudah berhasil membunuh
Tanu Pada dan Kebo Pradah, mereka
menghabiskan waktu untuk pergi ke mana
mereka sukai. Dalam hal ini Sangkan
malah menceritakan pula dalam
perjalanan menunaikan tugas hampir
saja mati di tangan seorang pemuda
yang berkawan dengan binatang berbisa.
Si Tangan Iblis terbeliak kaget
mendengar cerita ini. Orang yang
terkenal berkawan dengan binatang
berbisa, hanya Julung Pujud. Apakah
orang itu masih hidup dan pemuda itu
muridnya? Kalau benar, sungguh
kebetulan, Julung Pujud bisa dijadikan
sekutunya.
Di mana kau bertemu dengan pemuda
itu? tanya Si Tangan Iblis. Apakah
pemuda itu berdua dengan seorang tua
kerdil yang rambutnya dibiarkan
terurai tanpa digelung?
Melihat gurunya tertarik, Sangkan
gembira. Kalau gurunya sudah tertarik
persoalan lain bukankah ini merupakan
permulaan yang menguntungkan? Berarti
dirinya takkan didesak tentang
persoalan Ananto. Jawabnya cepat,
Tidak, Guru. Apakah guru sudah kenal
dengan guru bocah itu? Kalau tak salah
dia mengaku bernama Warigagung, sedang
gurunya, dia menyebut nama Julung
Pujud.
Ha ha ha ha, memang benar dia!
Sayang, bocah itu sendirian saja.
Kalau gurunya hadir, hemm.....betapa
menggembirakan. Karena tahukah kau
guru bocah itu merupakan sahabat
baikku? Telah puluhan tahun lamanya
nama Julung Pujud lenyap dan semula
aku mengira dia sudah mati. Namun
ternyata sekarang, nyawa orang kerdil
itu masih ulet juga.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
suara lengkingan nyaring. Seperti anak
panah lepas dari busur, tubuh Si
Tangan Iblis melesat keluar rumah.
Lalu kakek itu berlarian seperti
terbang menuju ke timur.
Kaligis dan Sangkan saling
pandang dengan bibir tersenyum, hati
merasa lega dan merasa bebas dari
bahaya. Kemudian seperti murid yang
lain, dua orang inipun berlarian
mengikuti jejak gurunya.
Si Tangan Iblis berlarian cepat
sekali dengan hati gelisah. Karena
lengkingan nyaring tadi merupakan
tanda bahaya dalam perguruannya.
Lengking yang sudah amat ia kenal itu,
tentu lengking cucunya sendiri,
Sarwiyah. Hanya yang menyebabkan kakek
ini heran, bahaya apakah yang
mengancam cucunya itu dan mengapa pula
sebabnya Sarwiyah pergi diam-diam?
Memang sesungguhnya, dengan hati
amat mendongkol, Sarindah dan Sarwiyah
meninggalkan rumah diam-diam. Karena
semua murid kakeknya sudah pulang
sedang yang belum tinggal Tanu Pada,
Kebo Pradah dan Mahisa Singkir, maka
Sarindah segera mengajak adiknya pergi
untuk menjemput rombongan murid yang
belum pulang itu. Dengan kata lain
Sarindah sudah merindukan Tanu Pada
sedang Sarwiyah sendiri sudah rindu
kepada Kebo Pradah.
Dan sebenarnya kakak beradik ini
gelisah juga, mengapa pemuda yang
mereka rindukan itu terlambat datang?
Maka daripada di rumah hati tidak
tenang, lebih baik pergi dari rumah
sambil mencari hawa baru.
Dalam perjalanan ini Sarindah
yang berangasan itu bersungut-sungut
mencela sikap kakeknya. Katanya, Huh,
mengapa sebabnya Kakek jadi begitu?
Mengapa Kakek malah membela Kaligis
dan Sangkan? Huh, aku benci sekali.
Hemm, sudahlah, engkau jangan
marah-marah sendiri seperti itu! sahut
Sarwiyah yang nadanya seperti memberi
nasihat.
Watak kakak beradik ini memang
berlainan. Sarindah berangasan,
sebaliknya Sarwiyah sabar dan agak
pendiam.
Kita memang tidak bisa begitu
saja menyalahkan Kakek. Sebab kita
belum memperoleh bukti, benar dan
tidaknya keterangan dua orang itu.
Guna mencari keterangan, tentu saja
kita harus mendapat bantuan Kakang
Kebo Pradah dan Kakang Tanu Pada.
Hemm, tetapi sayang sekali mengapa
mereka terlalu lambat? Mudah-mudahan
kita tidak terlalu jauh harus
menjemput.
Tetapi huh, sikap Kakek itu,
mengapa malah berpihak kepada dua
bedebah itu? Huh, kalau saja tidak
dihalangi Kakek, lehernya tentu sudah
putus kubabat pedang. Huh, benci aku
melihat dia! Sarindah mengucapkan
kata-katanya dengan geram. Coba siapa
yang tidak benci? Matanya itu seperti
iblis kalau memandang aku. Huh,
sangkanya dia pemuda tampan dan aku
tertarik? Huh, kalau melihat orang,
mulutnya cengar-cengir seperti monyet!
Tiba-tiba terdengar suara orang
ketawa terkekeh. Belum juga lenyap
suaranya sudah muncul seorang pemuda
yang rambutnya tidak digelung,
mendelik dan menghardik, Hai, apa
katamu tadi? Siapa yang cengar-cengir
seperti monyet?
Munculnya pemuda itu yang bukan
lain Warigagung menyebabkan dua gadis
ini kaget. Dalam keadaan sedang uring
uringan ini, menyebabkan Sarindah amat
tersinggung. Gadis ini mendelik dan
marah. Dan pemuda ini malah bisa
dijadikan sasaran kemarahannya.
Engkau itulah yang cengar-cengir
seperti iblis. Huh, apakah sangkamu
dengan pakaianmu macam itu, menjadi
tambah keren dan tampan? Huh, muak aku
melihat kau!
Warigagung ketawa terkekeh. Akan
tetapi matanya mendelik marah. Ia juga
pemuda berangasan, gampang marah dan
suka gila-gilaan. Jangan lagi kepada
orang yang menyinggung perasaannya,
walaupun kepada orang yang tak
bersalah sekalipun, ia bisa bertindak
semau sendiri. Suka mengganggu orang
untuk memancing kemarahan dan
tangannya ganas dan tidak segan
membunuh manusia.
Sesuai dengan wataknya itu maka
balasnya tak kurang lantang. Kau
bilang apa? Aku seperti iblis, heh heh
heh heh. Sangkamu kau ini seperti apa?
Huh, engkau perempuan bawel. Perempuan
lancang mulut, apakah sangkamu kau
cantik? Huh huh, engkaupun seperti
wewe gombel penjaga kuburan!
Mbakyu, tegur adiknya. Sudahlah,
jangan kau layani dia. Mari kita
mengambil jalan lain.
Apa? bentak Sarindah. Kita harus
mengalah kepada pemuda gila ini? Kita
mau saja dihina orang? Huh huh, tidak!
Aku tidak takut! Aku masih sanggup
menghajar pemuda liar dan lancang
mulut ini!
Bagus, heh heh heh heh! Dengan
apa engkau mau menghajar aku? ejek
Warigagung. Marilah kita coba, dan
tanganku sudah gatal untuk menampar
mulutmu yang bawel itu. Heh heh heh
heh, aku ingin melihat. Apakah pipimu
yang halus dan bibirmu yang merah
itu.....
Sring.. Sarindah mencabut pedang.
Mampuslah! teriaknya sambil
menerjang ke arah Warigagung. Gadis
yang wataknya memang berangasan ini
sudah tidak kuasa lagi menahan
kemarahannya. Begitu menyerang dengan
pedang sekaligus sudah menyerang mata,
leher dan ulu hati.
Sarwiyah yang memang lebih sabar
berdiri menonton ia tak akan memberi
bantuan kepada mbakyunya, kalau
keadaan tidak memerlukan benar. Karena
bantuan itu hanya akan merendahkan
martabat kakak-perempuannya yang belum
tentu kalah.
Ahhh....! Warigagung berteriak
kaget, ketika tiba-tiba sinar putih
yang panjang menyerang dirinya dengan
ganas dan cepat. Ia melompat ke sam-
ping sambil menyentil dengan jari
tangan.
Akan tetapi pedang Sarindah
seperti ular hidup. Sentilan jari
tangan Warigagung tidak kena, malah
hampir saja lengannya tertabas pedang.
Dalam hal ilmu pedang, Sarindah
memang merupakan murid terpandai dan
tingkatya lebih tinggi dibanding
Sarwiyah.
Memang tidak percuma Si Tangan
Iblis menggembleng cucunya semenjak
masih kecil. Maka tidak mengherankan
kalau pedangnya bergerak seperti hidup
dan menyambar ke depan dengan ganas.
Akan tetapi sekalipun usianya
masih lebih muda, Warigagung dididik
penuh disiplin dan penuh ketekunan
oleh Julung Pujud, tokoh sakti
mandraguna yang wataknya aneh. Maka
serangan ganas yang dilakukan Sarindah
itu disamping menimbulkan kegembira-
annya juga menyebabkan pemuda ini
marah. Ketika pedang sarindah
berkelebat dari atas membabat leher
yang diteruskan ke bawah untuk menikam
dada, dengan gesit Warigagung menekuk
tubuh lalu berjungkir balik ke
belakang beberapa jauhnya. Begitu
berdiri, tahu-tahu pedang dengan hulu
dihias ukiran kepala ular sudah di
tangan.
Pemuda ini meringis dan mulai
beringas. Bentaknya geram, Huh, tanpa
sebab kau sudah menyerang aku dengan
ganas dan berusaha membunuhku. Karena
itu engkau jangan menyalahkan aku jika
pedangku ini sampai melubangi tubuhmu!
Enak saja kau bicara! ejek
Sarindah. Engkau sendiri yang akan
mampus dalam tanganku. Berbareng
dengan ucapannya yang terakhir,
Sarindah sudah menerjang ke depan.
Sinar putih yang panjang berkelebat,
kemudian bergulung membungkus tubuh
lawan.
Tetapi serangan yang hebat itu
hanya disambut dengan ketawa Wari-
gagung yang terkekeh dan sesaat
kemudian, trang.... benturan pedang
terdengar nyaring.
Sarindah memekik tertahan dan
tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke
belakang. Gadis ini meringis menahan
sakit disamping tambah marah.
Sebaliknya Warigagung hanya
mundur dua langkah ke belakang, lalu
pemuda ini terkekeh merendahkan.
Peristiwa yang terjadi ini di
luar dugaan. Sarindah menahan rasa
sakit karena lengannya seperti lumpuh.
Kemudian dengan sinar mata yang
beringas, gadis ini memaki.
Bangsat hina! Engkau berani
kurangajar di tempat ini? Huh Sar-
wiyah! Mari kita keroyok dan kita
bunuh pemuda busuk ini.
Sring! Sarwiyah menghunus pedang-
nya setelah mendapat izin kakaknya.
Lalu kakak-beradik ini membagi
serangan dahsyat. Sarindah menyerang
bagian tubuh atas sedang Sarwiyah me
nyerang bagian tengah dan bawah.
Serangan ini merupakan serangan
ganas dan amat berbahaya, karena
serangan kakak beradik ini menutup
ruang gerak Warigagung.
Trang trang..... Auww....!
Warigagung berhasil menghalau
sambaran dua batang pedang kakak
beradik ini dengan tangkisan pedang-
nya. Namun pemuda ini tidak urung
harus berteriak kaget sambil melompat
ke belakang. Sebab ternyata walaupun
ia berhasil menangkis pedang tersebut,
pedang lawan meluncur kembali
menyerang. Pedang Sarindah hampir saja
melukai lehernya, sedang pedang
Sarwiyah hampir saja melubangi pe-
rutnya.
Apa yang terjadi memang di luar
dugaan Warigagung. Pedang yang bisa
ditangkis itu sekalipun mental
menyeleweng masih merupakan ancaman
berbahaya.
Memang inilah termasuk keis-
timewaan ilmu pedang yang dicampur
dengan gaya permainan tombak hasil
ciptaan Si Tangan Iblis. Kehebatan
ilmu pedang itu baru tampak nyata dan
lebih ganas apabila sudah mengeroyok.
Gabungan tenaga dan kerjasama dalam
mengeroyok ini akibatnya akan
menyulitkan pihak yang dikeroyok.
Karena kekuatannya akan menjadi
berlipat ganda. Demikian pula yang
terjadi sekarang ini, walaupun
Warigagung seorang pemuda yang sudah
mendapat gemblengan Julung Pujud,
tidak urung agak kesulitan juga
menghadapi keroyokan ini. Kecepatan
dan perubahan gerak pedang lawan ini
sulit diduga, dan hanya karena menge-
rahkan kepandaiannya saja Warigagung
sanggup menghadapi keroyokan ini.
Kalau pada tiga bulan lalu
Warigagung menghadapi lima orang murid
Si Tangan Iblis tanpa kesulitan,
adalah tidak mengherankan. Karena
tingkat para murid Si Tangan Iblis itu
jauh di bawah Sarwiyah maupun
Sarindah. Jangan lagi terhadap dua
orang gadis ini, baru dengan Ananto
dan Sentiko saja, tingkat Tanu Pada
dan adik-adik seperguruannya masih
kalah tinggi. Itulah sebabnya Wari-
gagung menghadapi keroyokan dua orang
ini harus mengerahkan kepandaiannya.
Sekalipun demikian Warigagung hanya
kuasa mengimbangi saja tanpa bisa
mendesak.
Keadaan ini menyebabkan Wari-
gagung yang mempunyai watak liar dan
ganas itu menjadi penasaran. Hanya
untungnya sekalipun pemuda ini ganas,
Warigagung merupakan seorang pemuda
yang tak sampai hati mengganas kepada
perempuan. Ia masih mempunyai sifat-
sifat baik terhadap wanita. Ia
demikian menghormati. Oleh sebab itu
walaupun ia seorang pemuda yang
mempunyai sifat liar, ia benci kepada
laki-laki yang berani menghina dan
mempermainkan perempuan. Tak segan-
segan membunuh orang dalam usahanya
membela wanita.
Mengapa Warigagung mempunyai
watak dan sikap seperti ini terhadap
perempuan? Semua ini mempunyai sangkut
paut dengan sejarah hidupnya sendiri.
Ia tidak akan lupa kepada peristiwa
yang telah menimpa ibunya.
Peristiwa itu terjadi ketika
Warigagung baru berumur enam tahun.
Pada suatu hari terjadilah percekcokan
antara ayah dan ibunya. Sikap ayahnya
memang sewenang-wenang dan kasar
terhadap ibunya. Maka dalam per-
cekcokan ini ayahnya telah memukuli
ibunya. Bukan saja dengan tangan dan
kaki, tetapi juga menggunakan alat
pemukul. Karena dipukuli dan disiksa
sedemikian rupa oleh ayahnya, sebagai
akibatnya ibu itu meninggal karena
luka-lukanya yang berat dan tidak kuat
menahan sakit. Dan ketika itu entah
mengapa sebabnya, walaupun ia baru
berumur enam tahun, tidak tahan
melihat ibunya menggeletak dan mandi
darah. Ia kemudian marah dan membela
ibunya, dengan mengambil alat pemukul
dari kayu yang semula dipergunakan
ayahnya memukuli ibunya. Kemudian
menggunakan seluruh kekuatannya, ia
memukul ayahnya dari belakang.
Pukulan itu walaupun tidak
menimbulkan sakit tetapi ayah yang
sedang mata gelap ini bukannya
menginsyafi kesalahannya telah membu-
nuh isterinya sendiri, malah segera
menyambar alat pemukul tersebut dan
direbut. Warigagung berusaha memper-
tahankan alat pemukul itu tetapi kalah
kuat dan roboh terguling. Dalam
kalapnya ayah ini segera memukuli
Warigagung sekuat tenaga sambil
berteriak, Mampuslah kau anak durhaka!
Bukk.....! sekali pukul Wari-
gagung yang kecil itu hanya menjerit
satu kali lalu pingsan.
Untung ketika alat pemukul itu
melayang untuk kedua kalinya, si ayah
yang kalap terhuyung ke belakang
roboh, terdorong oleh angin yang kuat
sekali. Ternyata saat itu muncullah
Julung Pujud yang menyelamatkan
Warigagung, dan seterusnya menjadi
gurunya.
Peristiwa meninggalnya si ibu
yang amat dicintai itu dan di tangan
ayahnya sendiri, mengesan sekali dalam
sanubari bocah itu. Peristiwa itu se-
lalu menjadi kenangan pahit dan tidak
bisa dilupakan sekejap pun, kecuali di
kala tidur.
Apa yang terjadi ini kemudian
mempengaruhi watak dan tabiatnya. Ia
menjadi seorang pemuda yang amat
menghormati kepada wanita. Ia takkan
rela melihat setiap wanita yang
direndahkan laki-laki. Tanpa peduli
lagi, siapa yang dibelanya dan laki-
laki yang berani merendahkan tentu di-
siksa dan mungkin malah dibunuh mati.
Tetapi apakah sebabnya sekarang
ini ia menjadi marah dan melawan
kepada Sarindah dan Sarwiyah soalnya
bukan lain karena sikap Sarindah ini
amat menyinggung perasaan dan
menyebabkan ia menjadi marah.
Warigagung masih ingat bahwa yang
dihadapi ini perempuan, sekaum dengan
ibunya. Maka walaupun penasaran tidak
segera dapat mengalahkan lawan, ia
masih dapat membatasi diri. Ia tidak
mau menggunakan jarum beracun yang
berbahaya itu.
Akan tetapi ternyata usahanya
mengalahkan dua orang gadis ini tidak
juga berhasil. Walaupun ia sudah
mengerahkan kepandaiannya dan seratus
jurus sudah lewat, keadaan masih tetap
imbang. Diam-diam ia menjadi gelisah,
karena untuk melukai dengan jarum
beracun tidak sampai hati. Lalu apa
yang harus dilakukan menghadapi dua
gadis ini!
Untung ia segera ingat perempuan
jijik kepada binatang melata. Lebih-
lebih sebangsa ular. Teringat itu
timbullah akalnya. Ia akan mengundang
ular, dan ia percaya di tempat ini
banyak binatang itu.
Mendadak ia melengking nyaring
sambil melompat jauh ke belakang. Pada
kesempatan ini ia segera mencabut
serulingnya, dan segera pula meniup
serulingnya itu dengan langan kiri.
Pada mulanya kakak-beradik ini
heran dan curiga melihat lawannya
mencabut seruling lalu meniup. Namun
sesaat kemudian dengan melengking
nyaring dan marah, Sarindah dan
Sarwiyah sudah menerjang maju
berbareng. Sarindah menyerang dari
arah kiri, sedang Sarwiyah menyerang
dari arah kanan. Angin yang dingin
dari pedang segera menyambar ke arah
Warigagung.
Warigagung yang sedang meniup
seruling menggunakan tangan kiri tentu
saja tak mau melayani serangan
tersebut dan menggunakan kelincahannya
menghindar sambil menangkis.
Trang trang trang
Tulit.... tulit…..tulit....!
Benturan senjata pedang terdengar
berkali-kali dan diselingi suara
seruling yang nyaring.
Melihat lawannya hanya selalu
menangkis sambil meniup serulingnya
ini, tiba-tiba mereka menjadi curiga.
Khawatir kalau lawan menggunakan ilmu
sihir. Maka Sarindah segera mem-
perhebat serangannya, sambil mengan-
jurkan kepada adiknya untuk berbuat
sama.
Wiyah! Hayo lekas kita bunuh
pemuda liar ini!
Mari kita berlomba Mbakyu, dia
sudah tidak dapat membalas serangan
kita. Tetapi di saat dua orang kakak-
beradik ini memperhebat serangannya,
tiba-tiba terdengarlah suara berisik
dari segala jurusan dan terdengar pula
suara desis panjang yang saling sahut.
Pada mulanya dua orang gadis ini
heran. Tetapi setelah suara berisik
itu menjadi semakin dekat sedang suara
mendesis semakin nyata terdengar, baik
Sarindah maupun Sarwiyah menjadi kaget
dan pucat. Ular yang tidak terhitung
banyak nya bergerak cepat dari segala
penjuru. Suara desis tidak pernah
putus, dan bau anyir bercampur amis
segera menusuk hidung mereka,
menyebabkan dua gadis ini mual.
Dua orang gadis ini memang cukup
tangguh apabila berhadapan dengan
manusia. Tetapi begitu berhadapan
dengan puluhan ekor ular besar dan
kecil yang saling mendesis, menjulur-
kan lidah merah, mereka menjadi ngeri
dan ketakutan. Tidak tercegah lagi
niereka mengangkat tangan kiri untuk
menutup mata dan wajah. Mereka tak
tahan melihat ular sebanyak itu dan
sekarang sudah mengurung dari segala
jurusan. Antara mereka dengan
Warigagung sekarang telah dipisahkan
oleh pagar ular hidup. Warigagung
sudah menyarungkan pedangnya, dan
sekarang pemuda ini duduk di atas batu
sambil asyik meniup serulingnya.
Senang juga hati Warigagung
melihat lawannya sekarang tidak
berdaya itu. Kalau saja yang dikurung
ular itu bukan perempuan, Warigagung
sudah tentu menurunkan tangan maut. Ia
bisa menyerang dengan jarum yang
beracun, atau menggerakkan ular-ular
itu dengan irama serulingnya untuk
menyerang. Namun karena perempuan,
maka dalam hatinya sudah merasa puas
apabila perempuan ini menjerit-jerit
minta ampun.
Tiba-tiba pemuda ini menghentikan
tiupan serulingnya, gehingga ular-ular
itu berhenti bergerak. Sejenak
kemudian terdengar suara Warigagung
yang tertawa dan berkata, Ha ha ha ha,
kamu takut ular? Hayo, lekaslah kamu
minta ampun dan mengaku kalah. Ular-
ular itu akan segera kuusir pergi dan
engkau takkan diganggu lagi.
Walaupun ngeri, setelah ular-ular
itu tidak bergerak, mereka berani
membuka mata. Namun ketika mendengar
tuntutan Warigagung supaya menyerah,
Sarindah yang berangasan menjadi
marah.
Huh! bentaknya. Dengan mengandal-
kan ular yang liar itu, kau sudah
sombong dan lancang mulut? Hayo jika
engkau memang jantan, singkirkanlah
ular-ular itu dan kita berkelahi lagi.
Heh heh heh heh, aku tidak suka
berkelahi dengan perempuan. Maka biar
ular-ular itu saja yang mewakili aku
mengeroyok kamu! sahut Warigagung.
Walaupun semula mereka takut
melihat puluhan ular yang datang dan
menjadi ketakutan, tetapi sekarang
perasaan itu sudah berkurang. Maka
mendengar ucapan Warigagung ini mereka
menjadi salah paham. Mereka mengira
pemuda itu merendahkan dan menghina.
Mereka juga mengira diri mereka
bukanlah lawan yang sepadan. Padahal
ucapan Warigagung ini sejujurnya, dan
ia benar-benar merasa tak enak hati
berkelahi melawan perempuan. Sebab
setiap berhadapan dengan lawan
perempuan segera terbayang di depan
matanya ibunya yang menggeletak mati
dan mandi darah oleh siksaan ayahnya.
Karena salah paham Sarindah dan
Sarwiyah menjadi marah. Lalu
terdengarah kata Sarindah yang
lantang, Wiyah! Mari kita bunuh semua
ular ini.
Mari! sambut Sarwiyah penuh
semangat. Kuatkan hatimu dan jangan
terpengaruh.
Kakak beradik ini segera bergerak
dan meloncat menggunakan pedang
masing-masing untuk mulai membabat
ular yang mengurung itu.
Akan tetapi sebaliknya Warigagung
segera ketawa terkekeh, lalu meniup
serulingnya dengan nada tinggi. Hingga
puluhan ular itu bergerak lagi, ada
yang tiba-tiba berdiri dengan mengang-
kat kepala, sedang ular bandhotan yang
pendek itu melenting menyambar kakak
beradik itu.
Sekalipun hati dua gadis ini
masih diliputi rasa ngeri dan takut,
pedangnya segera bergerak juga.
Beberapa ekor ular segera tertabas
oleh pedang hingga kelojotan dan mati.
Dalam waktu singkat dua gadis yang
setengah ngeri ini sudah membunuh
banyak ular. Pedangnya sudah dicat
oleh merahnya darah ular dan di
sekitar gadis itu sudah digenangi
darah ular yang berbau amis. Dan
walaupun mereka berusaha menahan namun
tidak urung kepala mereka menjadi
pening, perut mual dan ingin muntah.
Warigagung tetap saja duduk di
atas batu dan terus meniup serulingnya
dengan nada tinggi. Namun demikian ia
tidak mau mencelakakan kakak beradik
itu, dan tiupan serulingnya hanya
menyuruh ular itu menari, dan bukan
menyerang. Dan celakanya walaupun
sudah tidak terhitung lagi jumlahnya
ular yang mati, jumlah itu seperti
tidak pernah berkurang. Karena tiupan
seruling itu kuasa mengundang ular
yang semula masih berdiam diri di
dalam liang. Malah kalau semula yang
datang mengurung paling besar hanya
sebesar ibu jari kaki, sekarang ular
yang berdatangan lagi ini lebih besar.
Ada yang sebesar lengan orang dewasa
dan ada pula yang sebesar betis
manusia dewasa.
Darah ular yang anyir membelabar
di sana sini. Dan bangkai ular telah
banyak menggeletak memenuhi sekitar
mereka. Mau tidak mau dua gadis ini
menjadi ngeri, disamping sudah hampir
muntah. Saking tak kuasa lagi
menghadapi keadaan seperti ini, tidak
tercegah lagi mulut Sarindah sudah
melengking nyaring. Kemudian disusul
pula oleh lengkingan Sarwiyah yang
nyaring tajam untuk memberitahu kepada
kakeknya, diri mereka berhadapan
dengan bahaya.
Tetapi justru kebetulan lengking
nyaring dua gadis ini mengatasi suara
seruling. Maka untuk beberapa saat
ular yang berkerumun itu gerakannya
kacau tak karuan. Ada yang membalikkan
diri untuk pergi dan ada pula yang
berhenti bergerak.
Dalam keadaan hampir tidak
tertahankan lagi ini mendadak
terdengar bentakan nyaring. Hai, siapa
berani kurangajar di tempat ini dan
mengganggu cucuku?
Bentakan itu disusul dengan
berkelebatnya bayangan yang cepat.
Kemudian muncullah Si Tangan Iblis.
Ketika melihat cucunya dengan wajah
pucat dan payah dikurung puluhan ular,
kakek ini menjadi marah. Dua belah
tangannya bergerak cepat sekali,
saling susul menyambar ke depan. Angin
yang amat kuat segera menyambar ke
arah ular tersebut seperti lesus. Dan
ular yang terserang ketakutan lalu
tidak memperdulikan irama seruling
Warigagung sudah kacau dan pergi.
Sarindah dan Sarwiyah menjadi
gembira melihat munculnya sang kakek.
Dengan berloncatan di sela bangkai
ular, dua gadis ini segera menghampiri
Si Tangan Iblis.
Sebaliknya Warigagung menjadi
beringas dan marah sekali, melihat
barisan ularnya bubar berantakan.
Pemuda ini meloncat berdiri dan dengan
mata merah serta mendelik sudah
membentak, Siapa kau, berani mengusir
ularku?
Si Tangan Iblis terkekeh,
jawabnya, Anak, mengapa engkau menjadi
penasaran? Dan mengapa pula sebabnya
engkau memusuhi cucuku? Di antara kita
ini adalah orang sendiri. Apakah
engkau tidak tahu?
Mendengar ucapan kakeknya itu
Sarindah heran, lalu mencela, Kakek,
pemuda busuk dan liar seperti itu,
mengapa kau katakan orang sendiri? Dia
telah memusuhi aku dan akupun belum
kalah melawan dia!
Si Tangan Iblis memalingkan
mukanya, lalu menghardik, Sarindah,
kau jangan lancang mulut. Dia ini
bukan orang lain, dia bernama Wari-
gagung murid sahabatku Julung Pujud.
Kemudian sambil memandang
Warigagung, kakek ini meneruskan,
Anak, mana gurumu?
Mendengar ucapan kakek ini yang
tepat, Warigagung mengerutkan alis
tetapi ragu. Benarkah kakek ini
sahabat gurunya? Tetapi tentu saja pe-
muda ini tak gampang percaya, dan
malah timbul dugaannya, tentu kakek
ini berusaha membujuk karena takut
kepada gurunya. Menduga demikian
pemuda ini menyahut dingin.
Hemm, siapa mau percaya kepada
omonganmu? Hayo katakanlah siapa
namamu, orang tua?
Tetapi sikap Warigagung yang agak
kurang menghormat ini tidak menye-
babkan Si Tangan Iblis marah. Memang
ada sebabnya. Pertama, berhadapan
dengan guru pemuda ini kalau sampai
terjadi perselisihan adalah amat
berbahaya. Yang kedua, Si Tangan Iblis
memang mempunyai maksud tertentu. Ia
ingin mengikat persahabatan dengan
Julung Pujud kerena tenaga kakek itu
apabila dapat dibujuk amat penting
artinya bagi cita-citanya.
Hemm, orang muda, apakah gurumu
tidak pernah menyebut nama Si Tangan
Iblis yang berdiam di Tosari?
pancingnya. Dalam hati ia menduga
pasti, bahwa bocah ini sudah pernah
mendengar namanya.
Namun ternyata dugaan Si Tangan
Iblis ini salah. Warigagung mengge-
lengkan kepalanya dan menjawab, Aku
belum pernah mendengar dan Guru tidak
pernah menyebut pula.
Si Tangan Iblis mengerutkan
alisnya tidak senang. Benarkah Julung
Pujud tidak pernah menyebut namanya?
Dan benar pulakah Julung Pujud
menganggap dirinya rendah, sehingga
tidak pernah mau menyebut namanya?
Diam-diam kakek ini penasaran. Ia
merasa dirinya pilih tanding tetapi
mengapa diremehkan Julung Pujud?
Kakek ini lupa akan watak dan
tabiat Julung Pujud yang aneh, yang
lain dari yang lain. Sejak mudanya
Julung Pujud adalah seorang angkuh,
mau menang sendiri dan merasa tanpa
tanding. Itulah sebabnya dahulu dia
dimusuhi banyak tokoh sakti. Karena
watak dan tabiatnya ini maka barang
tentu Julung Pujud tak pernah
memandang sebelah mata kepada orang
lain. Dan tak aneh pula kalau ia tidak
pernah menceritakan perihal orang
sakti kepada muridnya. Dan inilah
sebabnya Warigagung tidak mengenal Si
Tangan Iblis.
Akan tetapi kakek ini belum
percaya. Mungkin Julung Pujud tidak
menyebut namanya aseli. Karena itu ia
bertanya lagi, Dan nama Taruno?
Warigagung menggelengkan kepala-
nya lagi dan menjawab, Tidak pernah.
Si Tangan Iblis menjadi amat
penasaran mendengar jawaban seperti
ini. Ia termasuk pula seorang yang
selalu membanggakan diri sebagai ma-
nusia sakti pilih tanding. Baik
keganasan, kekejaman maupun keane-
hannya tidak terpaut banyak dengan
Julung Pujud. Maka dengan nada tidak
senang Si Tangan Iblis berkata.
Huh, baiklah jika demikian.
Sekarang katakanlah apa maksudmu
datang dan mengacau di sini?
Warigagung menjadi tidak senang
dituduh mengacau itu. Kenyataan ia
tidak mengacau, dan dua orang gadis
itu sendiri yang menyerang dirinya.
Tetapi dasar Warigagung tidak kalah
anehnya dengan Julung Pujud. Maka
pemuda ini mendelik dan membentak
lantang. Aku mengacau? Aku datang
kemari tidak mengganggu siapapun. Dan
kalau tidak ingat dia perempuan,
apakah mungkin masih bernyawa lagi?
Jangan mengumbar mulut tanpa
aturan! balas Sarindah tidak kurang
galak dan lantangnya. Hayo, jika
engkau memang jantan, cabut pedangmu
dan mari kembali berkelahi sampai
siapa yang mandi darah.
Warigagung terkekeh. Jawabnya,
Jika engkau laki-laki, tantanganmu
akan segera kusambut dengan keras.
Tetapi karena kau perempuan, aku tak
melayani. Terserah penilaianmu, kau
anggap pengccut atau takut terserah!
Tetapi justru jawaban Warigagung
yang terus terang ini malah menye-
babkan Sarindah tamhah penasaran
merasa direndahkan. Maka sambil
mendelik dan meraba hulu pedangnya
gadis ini membentak lagi, Bangsat
busuk! Engkau berani merendahkan aku?
Sangkamu tiap perempuan lemah dan
tidak ada harganya melawan kau? Nih,
makanlah!
Sarindah sudah melompat maju
dengan pedang terhunus. Maksudnya akan
segera menyerang Warigagung yang
dianggapnya terlalu merendahkan dan
menghina itu. Namun Si Tangan Iblis
waspada. Kakek ini bermata tajam dan
ia tahu cucunya ini bukanlah lawan
pemuda itu yang seimbang. Bukti sudah
ada, dengan mengeroyok saja tak dapat
mengalahkan, apalagi hanya seorang
diri. Manakah mungkin? Dan hal itu
malah akan menimbulkan rasa malu saja.
Indah, jangan lancang! cegah
kakeknya. Serahkan kepada kakekmu
untuk mengurus bocah ini.
Sekalipun Sarindah marah terpaksa
mundur teratur. Kalau sekarang
kakeknya sanggup "mengurus" berarti
akan menyelesaikan bocah kurangajar
itu. Maka diam-diam ia berharap agar
kakeknya menangkap pemuda liar itu
kemudian ia bisa menghina dan
menyiksanya. Sebab pemuda ini sombong
dan merendahkan dirinya.
Si Tangan Iblis memandang Wari-
gagung penuh perhatian. Kemudian
dengan nada yang masih sabar ia
bertanya, Katakanlah. Mana gurumu?
Sebab tidak pada tempatnya apabila aku
harus berurusan dengan engkau, orang
muda.
Dasar Warigagung seorang pemuda
aneh. Ia ketawa terkekeh, lalu
jawabnya, Heh heh heh heh, apakah
setiap aku pergi harus disertai oleh
Guru? Huh, huh apakah aku ini bocah
cilik, sehingga harus diawasi terus
oleh Guru? Hemm, engkau tadi bilang
akan menyelesaikan urusanku. Urusan
apa? Aku tidak mempunyai urusan apa-
apa. Kalau tadi sampai terjadi
perselisihan, bukan aku yang memulai,
tetapi malah cucumu itu sendiri. Aku
tadi tertawa sendiri, mengapa cucumu
menjadi marah dan menyerang aku?
Akan tetapi sekalipun cucunya
yang bersalah, manakah mungkin Si
Tangan Iblis mau mengerti dan
menyalahkan cucunya sendiri? Oleh
sebab itu bentaknya lantang, Hai orang
muda. Apakah maksudmu keluyuran di
tempat ini?
Apakah sebabnya aku harus
memberitahu kepada engkau? sahut
Warigagung dengan ketus. Gunung ini
siapakah pemiliknya? Setiap orang
mempunyai hak untuk menginjak dan
menikmati keindahannya. Aku senang
melihat pemandangan disini, maka tim-
bullah keinginanku untuk menjelajah.
Tentu saja menjelajah suatu daerah,
bermaksud bisa mengetahui keadaan
sebaik-baiknya.
Kurangajar! bentak Sarindah yang
masih panas. Kalau demikian engkau
datang ke tempat ini mempunyai maksud
tidak baik. Engkau tentu menyelidik.
Apa? Menyelidik? Menyelidik apa?
Warigagung mendelik. Apakah sangkamu
gunung ini merupakan gunung emas,
sehingga setiap orang yang kesini akan
mencuri emas? Heh heh heh heh, lueu!!
Apakah engkau yang menjadi pemilik,
sehingga bisa melarang orang datang?
3
Di saat mereka saling bantah dan
merasa diri masing-masing benar ini,
mendadak terdengarlah suara orang
menembang, tembang Durma, yang isinya
menantang kepada Tangan Iblis.
Heh Taruno, Si Tangan Iblis
keparat!
Kowe aja mung ndhelik.
Yen nyata prawira. Pethukna
krodhaningwang.
Iki Mahisa Jaladri.
Mungsuhmu lawas.
Sapa Lena ngemasi.
Suara orang yang menembang itu
terdengar jelas, sayup-sayup terbawa
angin.
Si Tangan Iblis mengerutkan
alisnya dan tampak sedang mengingat-
ingat nama Mahisa Jaladri. Tiba-tiba
saja kakek ini terkekeh nyaring dan
tajam di udara.
Hai, manusia busuk Mahisa
Jaladri, teriaknya. Aku disini dan kau
jangan asal dapat membuka mulut!
Suara teriakan Si Tangan Iblis
itu nyaring sekali dan bisa terdengar
dari tempat jauh. Dan sesaat kemudian
terdengar pula suara jawaban dari
tempat jauh dan jelas.
Bagus, heh heh heh. Engkau jangan
menjadi pengecut dan menyembunyikan
diri sebelum aku datang.
Jangan sombong. Aku menanti di
sini!
Sarindah, Sarwiyah dan Warigagung
yang mendengar tantang-menantang dari
tempat jauh itu menjadi tegang dan
berdebar. Mereka menunggu perkembangan
lebih lanjut, sehingga melupakan
urusan sendiri.
Tak lama kemudian dari tempat
yang agak jauh dan di bagian bawah,
tampak seseorang yang gerakannya cepat
sekali. Walaupun orang itu sedang
mendaki, namun gerakannya seperti
terbang saja. Diam-diam tiga orang
muda ini berdebar. Menilik gerakannya
yang ringan dan amat cepat itu, dapat
diduga orang yang menantang itu bukan
orang sembarangan. Dengan demikian
akan segera terjadilah perkelahian
hebat.
Tiga orang muda ini kemudian
terbelalak memandang perhatian kepada
seorang kakek yang baru saja tiba.
Kakek ini membiarkan rambutnya acak-
acakan tidak disanggul dan tidak
ditutup dengan ikat kepala. Pakaiannya
menarik dan aneh sekali, karena
pakaiannya itu warna-warni seperti
pakaian bocah kecil. Kumis dan
jenggotnya seperti buntut tikus.
Melihat itu sekalipun Warigagung
sendiri membiarkan rambutnya keriapan,
menjadi geli dan lalu ketawa ter-
pingkal-pingkal seperti melihat badut
yang beraksi di atas panggung.
Mahisa Jaladri tidak senang dan
tersinggung. Ia mendelik ke arah
Warigagung dan bentaknya, Kurangajar!
Engkau berani menertawakan aku?
Aku tertawa sendiri, siapakah
yang melarang? Heh heh heh heh, sahut
pemuda itu tanpa gentar sedikitpun
Mahisa Jaladri mengalihkan
pandang matanya ke arah Si Tangan
Iblis. Kemudian tanyanya, Hai Taruno.
Muridmukah bocah liar ini?
Hemm..... siapakah yang sudi
mempunyai murid seperti itu? sahut Si
Tangan Iblis dingin. Sudahlah, apa
maksudmu sesudah engkau berhadapan
dengan aku? Engkau mengumbar mulut
tanpa aturan. Apakah kau ingin kugebug
seperti dulu?
Mahisa Jaladri ketawa dingin.
Sahutnya, Heh heh heh heh, sudah lama
sekali aku mencari kau, tetapi engkau
menyembunyikan diri seperti bekicot.
Huh, itulah sebabnya aku menantang
engkau di sepanjang jalan.
Kakek ini berhenti sejenak dan
mengamati Si Tangan Iblis. Setelah
puas, terusnya, Huh huh, dahulu memang
benar engkau bisa memukul aku. Tetapi
sekarang, mari kita tentukan siapakah
yang lebih unggul. Kalau aku kalah
biarlah aku mampus. Tetapi sebaliknya
apabila kau kalah, kaupun harus
mampus, heh heh heh.
Sepasang mata Si Tangan Iblis
memancarkan api saking marahnya. Lalu
katanya geram, Mahisa Jaladri! Kalau
saja engkau tidak mengumbar mulut
disepanjang jalan, mungkin aku masih
bisa mengampunimu. Tetapi karena kau
sudah lancang mulut, jangan sesalkan
aku jika tanganku menjadi kejam dan
membunuh kau!
Akan tetapi Mahisa Jaladri
menyambut ancaman itu dengan ketawanya
yang terkekeh. Sahutnya tak kalah
garang, Dan sebaliknya, engkaupun
harus membayar hutangmu dengan bunga.
Katakanlah, siapakah dua orang gadis
itu? Muridmu?
Hai tua bangka! teriak Sarindah
marah. Kalau aku cucunya, kau bisa
apa? Engkau sudah hampir mampus masih
juga banyak tingkah.
Mahisa Jaladri terkekeh gembira
mendengar dua gadis itu cucu Tangan
Iblis. Saking dalam dendamnya kepada
Tangan Iblis, lalu timbullah niat
kakek ini yang mengerikan. Kalau
dahulu Si Tangan Iblis yang menghan-
curkan rumah tangganya dengan
memperkosa isterinya, maka apabila
berhasil mengalahkan Tangan Iblis, ia
akan menuntut bunganya. Perempuan muda
ini akan dibalas untuk dihina dan
diperkosa.
Memperoleh pikiran seperti ini,
Mahisa Jaladri terkekeh seperti iblis.
Katanya, Heh heh heh heh, bagus
sekali! Tangan Iblis harus membayar
bunga yang mahal. Huh, jika kau
mampus, dua orang cucumu yang cantik
akan segera aku permainkan seperti
perlakuanmu waktu itu kepada isteriku.
Bangsat tua! tiba-tiba Warigagung
melesat ke depan sambil mencaci.
Pemuda ini sekarang sudah berdiri di
depan Mahisa Jaladri dengan mendelik.
Dampratnya, Apa katamu tadi? Engkau
akan menghina perempuan? Huh, di
depanku mana bisa kau berbuat
sekehendak hatimu sendiri?
Mahisa Jaladri terbelalak kaget.
Namun sesaat kemudian ia terkekeh, Heh
heh heh heh, engkau mau apa? Dan
apamukah dua gadis itu?
Dia bukan apa-apa denganku. Malah
kenalpun aku belum! Tetapi sekalipun
belum kenal, dia adalah perempuan
seperti ibuku yang sudah meninggal.
Siapapun yang berani menghina perem-
puan, lebih dahulu harus berhadapan
dengan aku.
Si Tangan Iblis maupun dua orang
cucunya heran mendengar jawaban
Warigagung itu. Tetapi Sarindah justru
gadis angkuh. Ia mendelik curiga dan
cepat salah duga mengapa sebabnya
pemuda itu tiba-tiba menjadi pembela.
Ia mengira Warigagung akan menjual
jasa karena tertarik oleh kecan-
tikannya. Siapakah yang sudi ber-
sahabat dengan pemuda liar seperti
itu?
Karena salah duga Sarindah sudah
membentak, Kurangajar kau! Siapakah
yang sudi minta bantuanmu? Aku dan
adikku tidak membutuhkan bantuan
pemuda macam kau.
Warigagung memalingkan kepalanya
ke arah Sarindah dengan alis berkerut.
Kemudian terdengar jawabannya, Apakah
sangkamu, aku mengharapkan balas jasa?
Pendeknya engkau butuh bantuan maupun
tidak, aku akan membunuh setiap laki-
laki yang berani menghina wanita.
Tangan Iblis tambah heran
mendengar ucapan pemuda ini. Sebab
dari nada ucapan dan sikapnya, jelas
pemuda ini bicara jujur. Apakah
sebabnya murid Julung Pujud ini
mempunyai pendirian seaneh ini?
Akan tetapi Si Tangan Iblis
sekarang ini merasa ditantang Mahisa
Jaladri hingga tidak telaten lagi
orang berbantahan. Ia melangkah maju,
lalu dengan sikap halus ia berkata,
Anak, terima kasih atas perhatianmu
kepada cucuku. Namun engkau harap
mundur dulu. Sebab yang ditantang
bukan kau tetapi aku. Anak, kalau
terjadi apa-apa, bukankah gurumu akan
marah kepadaku?
Kalau saja Si Tangan Iblis ini
ucapannya kasar dan mengusir manakah
mungkin pemuda aneh ini mau tunduk? Ia
tentu menjadi tersinggung dan marah.
Namun karena sikap Si Tangan Iblis
halus dan membujuk, maka tanpa diminta
untuk dua kalinya, Warigagung sudah
mengundurkan diri. Lalu pemuda ini
berdiri agak menjauh, namun seru-
lingnya tetap masih terpegang oleh
tangan. Ia akan segera mengundang
barisan ular, apabila dua orang gadis
itu dalam bahaya dan agar dapat
melindungi keselamatan gadis itu.
Mahisa Jaladri yang tidak senang
akan sikap dan kelancangan Warigagung,
bertanya kepada Si Tangan Iblis,
Siapakah bocah kurangajar itu? Huh,
terangkanlah sebelum kau mampus.
Si Tangan Iblis terkekeh me-
ngejek, Heh heh heh heh, kalau engkau
mendengar nama guru bocah itu, kau
tentu ketakutan setengah mati. De-ngar
baik-baik, dia bernama Warigagung dan
murid Julung Pujud.
Benar juga dugaan Si Tangan
Iblis. Mendengar disebutnya nama
Julung Pujud, maka Mahisa Jaladri
kaget. Namun demikian ia cepat ber-
hasil menekan perasaannya, sehingga
perubahan wajahnya tidak tampak.
Bentaknya kemudian, Huh, Taruno!
Katakanlah sekarang, kau ingin mati
dengan cara apa?
Heh heh heh heh, kau takabur!
sahut Si Tangan Iblis mengejek. Kau
yang segera akan mampus, masih juga
banyak mulut. Kita tua sama tua, maka
kau kupersilakan memilih dengan cara
apa kita selesaikan urusan lama ini ?
Huhh huhh, dengan cara apa? Kita
berkelahi sampai salah seorang mampus.
Hayo, kita mulai sekarang juga!
bentaknya.
Lalu tanpa memberi kesempatan
kepada lawan, ia sudah menyerang.
Agaknya Mahisa Jaladri sudah tidak
sabar lagi dan ingin cepat-cepat dapat
membalas sakit hatinya.
Ketika tangan Mahisa Jaladri
dengan telapak tangan terbuka menampar
ke depan, angin yang dahsyat segera
menyambar ke depan. Dan walaupun tidak
tampak, angin ini tidak boleh
diremehkan, karena tamparan ini
mengandung hawa panas seperti lahar
gunung berapi. Apabila yang terserang
angin tamparan ini sebatang pohon,
maka pohon itu akan segera hangus dan
tumbang. Dan apabila tamparan itu
diarahkan kepada batu, maka batu itu
akan hancur lebur.
Akan tetapi yang dihadapi
sekarang ini seorang tokoh sakti yang
terkenal dengan julukannya Si Tangan
Iblis. Seorang tokoh sakti pula dan
terkenal dengan tangannya yang ganas.
Ia sudah dapat menduga apabila orang
ini dahulu pernah ia kalahkan,
sekarang datang dan menantang. Maka
walaupun Si Tangan Iblis seorang
angkuh, ia tidak berani sembrono.
Cepat-cepat ia menggeser diri ke
samping sambil mengebut dengan telapak
tangan untuk memunahkan serangan
lawan.
Perkelahian dua orang kakek yang
dipengaruhi oleh dendam kesumat ini
dalam waktu singkat terjadi sengit
sekali. Mereka bergerak cepat, makin
lama tubuh dua orang itu seakan
lenyap, tinggal merupakan bayangan
berkelebat dan segulung warna
pakaiannya. Angin yang dahsyat dan
panas menyambar ke sekitarnya, dan mau
tidak mau tiga orang muda itu terpaksa
mundur menjauhi.
Daun-daun dan ranting pohon di
sekitar gelanggang perkelahian itu
rontok dan bosah-basih. Rumput yang
semula menghijau segera layu seperti
disiram air panas, hingga tiga orang
muda yang melihat perkelahian itu
hatinya tegang sekali. Mereka sadar,
salah seorang tentu tak bernyawa dalam
perkelahian ini.
Hawa di sekitar gelanggang
perkelahian semakin menjadi panas,
bertentangan dengan keadaan sehari-
hari, pegunungan ini berhawa dingin.
Memang tidak aneh apabila sampai
terjadi keadaan seperti ini. Selama
puluhan tahun di Tidar, Mahisa Jaladri
menggembleng diri. Hati yang mendendam
karena sakit hati mendorong kakek ini
melatih diri secara tekun dan tidak
mengenal lelah. Sebagai hasil ke-
tekunan dan keuletannya berlatih ini
ia mendapat kemajuan pesat sekali. Di
sekitar desa tempat tinggalnya, ia
terkenal sebagai kakek sakti yang
dihormati dan dipuja-puja karena
terkenal anti kejahatan.
Sekarang ia telah bertemu dan
berkelahi dengan orang yang
menyebabkan hidupnya merana. Sekarang
hanya satu di antara dua yang harus
dihadapi. Kalah berkelahi dan mati
atau menang dan bisa membalas dendam.
Orang yang dipengaruhi dendam yang
mendalam tentu saja sepak terjangnya
setengah nekad. Ia mengerahkan seluruh
kemampuannya, dan makin lama
serangannya semakin menjadi hebat dan
berbahaya.
Melihat sepak terjang Mahisa
Jaladri ini dalam hati Si Tangan Iblis
tertawa mengejek. Ia justru orang yang
cerdik dan licin. Ia seorang ganas
tetapi juga banyak tipu muslihatnya.
Padahal pantangan bagi seorang yang
sedang berkelahi, kalau sudah tidak
kuasa mengendalikan perasaannya. Sebab
orang itu akan menjadi seperti kalap,
sehingga kurang memperhatikan
penjagaan diri. Maka Si Tangan Iblis
yang sudah mengetahui kelemahan lawan
ini, segera menggunakan keadaan ini
sebaik-baiknya.
Demikianlah, perkelahian ini
berlangsung sengit sekali dan duaratus
jurus sudah dilalui. Namun belum juga
bisa diketahui mana yang lebih unggul.
Tidak seorangpun yang kendor serangan
dan perlawanannya. Sedang hawa panas
semakin melanda sekitarnya hingga
rumput kering dan mati.
Warigagung menjadi tidak telaten
menonton perkelahian itu. Pemuda ini
memasang serulingnya di depan mulut,
lalu berlagu untuk menghibur diri
sambil melangkah pergi. Melihat itu
Sarindah yang masih penasaran kepada
pemuda itu menjadi marah.
Hai! Mau ke mana kau! bentaknya
sambil memburu.
Sarwiyah berusaha mencegah,
Mbakyu, biarkan dia pergi!
Tetapi Sarindah tidak peduli dan
malah menjadi marah. Hardiknya, Wiyah!
Kau mau menentang aku? Huh, tidak kau
bantupun aku berani menghadapi dia!
Sarwiyah terpaksa menutup mulut,
kemudian mengikuti mbakyunya yang
mengejar Warigagung.
Oleh bentakan Sarindah itu
Warigagung membalikkan tubuh, ia
berhenti meniup seruling dan memandang
Sarindah yang sudah memegang pedang
terhunus. Mata pemuda ini berkedip-
kedip, kemudian bertanya, Aku mau
pergi, apakah sebabnya kau meng-
halangi?
Urusan kita belum selesai.
Mengapa kau mau ngacir pergi ?
Warigagung menjawab dengan nada
dingin, Hemm, antara aku dan engkau
tiada urusan apa-apa. Karena itu
engkau jangan mengganggu aku lagi.
Huh, enak saja kau membuka mulut.
Pendeknya aku belum puas sebelum
engkau mampus di tanganku!
Warigagung memandang Sarindah
dengan pandang mata heran. Sepasang
matanya tiba-tiba menyala kembali,
sesudah ia ingat yang dihadapi
sekarang ini perempuan. Ia tidak
mungkin mau bertengkar dengan
perempuan. Tetapi sebaliknya iapun
tidak mau celaka di tangan perempuan.
Hemm, kalau saja kau laki-laki,
ucapanmu yang lancang ini sudah
kujadikan alasan untuk membunuh kau.
Tetapi karena engkau perempuan, aku
tidak mau berkelahi.
Akan tetapi justru ucapan
Warigagung ini malah menyebabkan Sa-
rindah tambah marah. Ia merasa diren-
dahkan. Bentaknya lantang, Bangsat
busuk. Engkau jangan menggunakan
alasan yang dicari-cari. Dengar, belum
tentu perempuan kalah dengan laki-
laki. Huh huh, dan jika kau
beranggapan perempuan itu lemah, baik!
Sekarang anggaplah aku bukan peremp-
uan. Aku seorang laki-laki yang
sanggup membunuh kau!
Sepasang mata Warigagung menyala
liar. Tantangan ini kuasa membang-
kitkan kemarahannya. Namun sesaat
kemudian ia ingat kembali bagaimanapun
yang dihadapi sekarang ini perempuan,
sekaum dengan ibunya. Karena itu
segera terbayang kembali peristiwa
belasan tahun lalu, ibunya mati di
tangan ayahnya sendiri.
Ia menghela napas, lalu jawabnya,
Tidak! Aku tidak boleh melawan
perempuan. Ibuku di alam sana akan
menyumpah menjadi seekor cacing. Ti-
dak! Aku tidak mau berkelahi dengan
kau!
Sarwiyah merasa heran. Dan
sebagai seorang gadis yang perasaannya
halus, sabar dan teliti, ia segera
bisa menduga apa yang sudah terjadi
atas pemuda ini. Agaknya pemuda ini
ingat pesan ibunya sebelum meninggal,
tidak boleh bermusuhan dengan
perempuan. Diam-diam ia menjadi
terharu kepada Warigagung. Dirinya
sendiri sudah tidak berayah bunda, dan
kiranya pemuda inipun demikian pula,
dan berarti pemuda ini senasib dengan
dirinya. Dalam pada itu, kalau pemuda
ini tidak mau bermusuhan, mengapa
kakaknya ingin memaksa? Ia harus bisa
mencegah.
Mbakyu, jika dia memang tidak mau
melawan mengapakah sebabnya kau
memaksa? Biarkanlah dia pergi dan mari
kita lihat siapa yang menang antara
kakek dengan orang itu.
Tetapi ia malah dibentak oleh
Sarindah, Kurangajar kau! Apakah
engkau menerima demikian saja dihina
dan direndahkan bocah busuk itu? Dia
begitu sombong, hayo tak usah banyak
mulut, kita bunuh habis perkara!
Sarwiyah tidak senang atas sikap
kakaknya ini. Namun kalau harus
menentang saudara tuanya juga tidak
sanggup. Gadis ini memandang Wari-
gagung dengan ragu. Pandang matanya
demikian sayu dan seakan minta kepada
pemuda itu agar mau mengalah.
Warigagung dapat pula menangkap
sinar mata gadis itu yang lembut,
berbeda dengan kakaknya, dan seakan
penuh harap agar mau mengalah kepada
kakaknya. Walaupun pemuda liar dan
ganas, tetapi Warigagung mempunyai
kelembutan jika berhadapan dengan
perempuan. Hatinya tergetar dan merasa
iba pula kepada gadis ini.
Sudahlah, kata Warigagung. Aku
mengaku kalah, dan sekarang izinkahlah
aku pergi meninggalkan tempat ini
untuk melanjutkan perjalanan.
Sarwiyah gembira sekali mendengar
ucapan pemuda itu yang sesuai dengan
harapannya. Ia berharap agar urusan
ini selesai sampai di sini.
Akan tetapi di luar dugaannya,
Sarindah bukannya menjadi reda oleh
sikap mengalah pemuda ini, malah
bentaknya, Huh, enak saja kau mengaku
kalah. Orang yang merasa kalah harus
tunduk kepada yang menang. Huh, aku
baru mau percaya jika kau benar-benar
merasa kalah, jika engkau mau duduk
bersila di depanku, kemudian menyembah
aku tujuh kali.
Sepasang mata Warigagung kembali
menyala. Ia amat tersinggung karena
perintah itu amat merendahkan. Padahal
apa yang diucapkan tadi bukan dirinya
benar-benar kalah, dan ia hanya me-
ngalah saja, karena tak mau berurusan
dengan perempuan. Bagaimana rasa
segannya bermusuhan dengan perempuan,
diam-diam pemuda ini menjadi tidak
senang. Biarlah untuk hadiah bagi
perempuan galak dan cerewet dan mau
menang sendiri ini, perlu dihajar
sedikit. Namun sebaliknya terhadap
Sarwiyah yang halus itu bagaimanakah
mungkin dirinya tega? Gadis itu takkan
diganggu.
Hemm, engkau terlalu memaksa aku!
katanya. Jika demikian hayo kita coba
lagi, siapa yang menang dan siapa pula
yang kalah.
Tanpa banyak mulut lagi,
mendengar ucapan Warigagung ini,
Sarindah sudah menerjang ke depan
dengan pedangnya. Sarwiyah menyesal
bukan main karena ia tadi sudah
berusaha mencegah, namun ternyata
kakaknya sudah memulai. Apa boleh
buat. Ia tidak tega kepada kakaknya,
maka iapun segera menghunus pedang dan
membantu.
Warigagung jungkir balik ke
belakang menghindarkan serangan men-
dadak itu. Tiba-tiba pada tangan kanan
sudah terpegang pedang hitam berhulu
tiruan kepala ular.
Trang trang.... pedangnya ber-
hasil menangkis pedang dua gadis itu
hingga terpental menyeleweng. Secepat
kilat Warigagung melesat ke samping.
Sebab ia tahu, pedang gadis yang
terpental itu masih dapat menyerang
lagi.
Sarindah yang amat penasaran ini
menyerang dengan sengit. Sebaliknya
Sarwiyah yang agak ragu, serangannya
hanya sekedar membantu dan tidak
sungguh-sungguh. Warigagung mengerut-
kan alis atas sikap gadis ini, dan
diam-diam timbul rasa terima kasih
kepada Sarwiyah.
Akan tetapi Sarindah merasakan
pula keraguan adiknya. Ia menjadi
marah, bentaknya, Wiyah! Mengapa se-
babnya kau tidak sungguh-sungguh? Kau
jangan main sandiwara.
Sarwiyah terkejut sekali. Ia
menjadi serba salah. Untuk menyerang
benar-benar ia tidak sampai hati
justru pemuda itu tidak bersalah.
Tetapi sebaliknya kalau tidak sungguh-
sungguh, kakaknya marah.
Trang trang.......pedangnya
berhasil menangkis pedang dua gadis
itu hingga terpental menyeleweng.
Sementara itu Si Tangan Iblis
kaget ketika melihat cucunya berkelahi
lagi dengan murid Julung Pujud.
Mengapa cucunya itu tidak mau men-
dengar nasihatnya? Kakek ini menjadi
gelisah dan khawatir, karena ia tahu
dua orang cucunya itu takkan menang
melawan Warigagung. Dan bukan saja
Warigagung bukan lawan yang seimbang.
tetapi apabila guru bocah itu tiba-
tiba muncul bisa menimbulkan salah
paham dan merugikan rencananya. Namun
demikian untuk mencoba mencegah dengan
teriakan, juga tidak mungkin.
Jalan satu-satunya ia harus
selekasnya dapat mengalahkan Mahisa
Jaladri. Tiba-tiba kakek ini membentak
nyaring, disusul dari telapak
tangannya mengepul uap hitam yang
segera menyerang Mahisa Jaladri.
Inilah Aji Mega Langking. Apabila
digunakan dari telapak tangan segera
keluar asap hitam. Dan asap hitam ini
amat berbahaya karena mengandung
racun. Orang yang terserang segera
keracunan.
Mahisa Jaladri juga insyaf akan
bahayanya asap hitam itu. Ia segera
mengebut untuk menghalau dan
membuyarkan asap hitam itu. Tetapi
celakanya karena harus repot mengebut
dan mengusir asap hitam ini Mahisa
Jaladri menderita rugi. Makin lama ia
semakin terdesak, sedang asap hitam
yang keluar dari telapak tangan Si
Tangan Iblis makin lama menjadi tambah
tebal.
Tak lama kemudian terdengar jerit
ngeri dan panjang dari mulut Mahisa
Jaladri, disusul robohnya tubuh kakek
itu. Ternyata oleh serangan Aji Mega
Langking itu, Mahisa Jaladri tidak
kuasa bertahan. Ia kemudian roboh dan
nyawa melayang, dalam keadaan
menyedihkan sekali. Dari lubang
hidung, mata, telinga dan lubang tubuh
lain keluar darah hitam.
Si Tangan Iblis ketawa panjang
setelah berhasil merobohkan lawannya.
Sejenak kemudian tubuhnya meluncur
seperti anak panah, ke arah Warigagung
yang sedang berkelahi melawan Sarindah
dan Sarwiyah. Ketika tangan kakek ini
mengebut, tiga orang muda itu
terhuyung mundur beberapa langkah ke
belakang. Si Tangan Iblis berdiri di
antara mereka dengan sepasang mata
menyinarkan api saking marah.
Bocah kurangajar! bentaknya
kepada Warigagung. Apakah engkau
menyombongkan kepandaianmu di tempat
ini ?
Sebelum Warigagung sempat me-
nyahut, Sarwiyah mendahului, Kakek,
bukan dia yang salah....
Wiyah! Tutup mulutmu. Apakah
engkau akan membela lawan? bentak
Sarindah sambil mendelik.
Akan tetapi kali ini Sarwiyah
yang merasa pada pihak yang benar,
tidak mau mengalah begitu saja. Apa
yang terjadi justru mbakyunya yang
terlalu mendesak, dan ia tidak tega
pemuda yang tidak bersalah itu
dibentak kakeknya.
Aku tidak membela siapapun!
bantahnya. Aku hanya mengatakan
sebenarnya, toh dia tadi mau pergi
tetapi kau cegah. Malah dia sudah
mengaku kalah, tetapi engkau memaksa
dan malah mengajak berkelahi.
Huh huh, Sarindah geram, engkau
anak kecil tahu apa? Kedatangannya ke
tempat ini amat mencurigakan. Sudah
tentu dia mengandung maksud yang tidak
baik.
Sarindah bukan saja galak tetapi
juga licin. Ia segera dapat menga-
lihkan persoalan yang dapat
menyudutkan Sarwiyah, kepada soal lain
yang cukup beralasan. Dengan demikian
kakeknya tentu dapat membenarkan
sikapnya, bahwa apa yang sudah
dilakukan sudah sesuai dengan
wewenangnya.
Ternyata jawaban Sarindah ini
berpengaruh terhadap kakeknya. Si
Tangan Iblis menatap Warigagung penuh
selidik. Kemudian katanya angkuh, Huh
huh, kalau saja aku tidak memandang
muka gurumu, hemm, mana bisa aku
mengampuni kelancanganmu ini? Seka-
rang, lekaslah kau minggat dari tempat
ini dan lebih dahulu kau harus mohon
maaf kepadaku!
Manakah mungkin Warigagung mau
menerima begitu saja, oleh sikap kasar
dan bentakan orang? Sepasang mata
pemuda itu menyala seperti
mengeluarkan api saking marahnya.
Tetapi ketika pandang matanya ter-
tumbuk sinar mata Sarwiyah yang redup,
yang penuh iba dan permohonan, tiba-
tiba saja hati pemuda ini menjadi
ragu. Hanya saja pengaruh pandang mata
Sarwiyah itu cuma sekejap.
Lalu pemuda ini menatap tajam
kepada Si Tangan Iblis, sahutnya
ketus, Aku tidak bersalah apa-apa,
mengapa sebabnya aku harus minta maaf?
Sudah aku katakan gunung ini tiada
pemiliknya, dan apabila ada orang yang
mengaku sebagai pemilik adalah bohong.
Huh, apabila orang menginjakkan kaki
di gunung ini lalu dituduh melakukan
sesuatu, mana mungkin aku bisa
menerima begitu saja? Pendeknya aku
bukan anjing. Aku berada di tempat ini
tidak lain untuk menghibur diri, dan
kalau aku sudah bosan di sini tanpa
ada yang menyuruh, aku tentu pergi.
Tetapi sebaliknya apabila orang
sewenang-wenang, menggebah aku seperti
aNJing, aku tidak sudi!
Sepasang mata Si Tangan IblIs
menyala mendengar jawaban ini. Ia
mendengus kemudian berkata dingin,
Hemm, aku sudah berlaku murah
mengingat gurumu. Tetapi jika kau
membandel, tidak bisa menempatkan
dirimu sebagai orang muda, huh, jangan
salahkan aku jika aku terpaksa
mengusir kau seperti anjing!
Kalau Warigagung sudah tersing-
gung, sudah marah, tidak takut kepada
siapapun. Karena sikap kakek itu
kasar, ia lalu berdiri tegak dan
membusungkan dada. Sikapnya angkuh,
sahutnya menantang, Hem, jika engkau
orang tua mau memaksakan kehendakmu
sendiri dan sewenang-wenang, siapa
takut?
Warigagung menangkap kilatan mata
Sarwiyah yang seperti mau menangis.
Namun pemuda yang sudah marah ini
tidak peduli lagi. Ia tidak takut
mati, sebaliknya ia takkan bisa
menerima orang sengaja menghina
dirinya.
Kurangajar! bentak kakek ini.
Engkau bocah kemarin sore berani
menantang aku?
Aku tidak menantang. Tetapi aku
tidak takut kepada siapapun yang
sengaja menghina aku! jawab pemuda ini
lebih ketus lagi.
Si Tangan Iblis amat penasaran
berhadapan dengan pemuda bandel ini.
Ia menjadi lupa kepada keadaan dirinya
yang sudah kakek-kakek yang tidak
sepantasnya melawan orang muda.
Katanya, Hayo, mulailah!
Tanpa membuka mulut lagi, pemuda
itu sudah melompat ke depan meng-
gerakkan pedangnya. SaDar akan dirinya
sekarang ini berhadapan dengan seorang
kakek yang tingkatnya jauh lebih
tinggi, maka serangannya mengarah
empat bagian tubuh berbahaya. Ialah
pusar, uluhati, leher dan mata.
Gerakannya cepat dan bertenaga, gaya
serangannya juga mantap, dan
membuktikan pemuda ini sudah menguasai
ilmu pedangnya secara baik sekali.
Tring tring tring tring.....
Heh heh heh heh....!
Semua serangan dapat dipatahkan
Si Tangan Iblis. Kakek ini terkekeh
tetapi diam-diam kaget juga. Mengapa
sebabnya pedang itu tidak lepas dari
tangan, padahal sentilan jarinya
mengandung tenaga yang amat dahsyat?
Semua muridnya termasuk Sarindah dan
Sarwiyah takkan kuasa mempertahankan
pedangnya apabila sudah ia sentil.
Kenapa pemuda ini tidak?
Keadaan ini justru menyebabkan Si
Tangan Iblis penasaran dan iri kepada
Julung Pujud. Mengapa Julung Pujud
dapat menggembleng muridnya seperti
ini, sedang dirinya tidak? Padahal ia
merasa pasti dalam dalam cara mendidik
dan menggembleng murid, ia tidak perlu
kalah. Dan saking penasaran dan iri
hati ini, kakek ini menjadi lupa.
Kalau tadi hanya bermaksud mengusir
saja, sekarang timbul niatnya untuk
menghajar, agar berkurang kebandelan
dan kesombongan bocah ini.
Terpengaruh oleh rasa penasaran
dan irihati ini maka ketika pedang
Warigagung tidak lepas dari tangan, ia
segera menyusuli serangan dengan
mengebut. Kebutan telapak tangan ini
perlahan saja, namun sesungguhnya amat
berbahaya, karena kebutan ini
mengandung tenaga kuat dan mengandung
hawa panas pula.
Warigagung kaget sekali dan cepat
melesat menghindarkan diri. Sebenarnya
sebagai akibat tangkisan Si Tangan
Iblis tadi, lengannya panas sekali
seperti dibakar oleh api. Meskipun
demikian ia seorang pemuda yang keras
hati. Ia menahan rasa sakit untuk
mempertahankan pedangnya.
Akan tetapi mendadak ia merasakan
dadanya diserang oleh hawa panas dan
seperti ditindih, hingga sesak!
Sayang sekali Warigagung seorang
pemuda bandel dan nekad. Tindihan
tenaga panas yang menyebabkan dadanya
sesak itu malah menyebabkan Warigagung
penasaran. Ia memaksa diri, pedangnya
bergerak dengan jurus rahasia menye-
rang lawan. Pendeknya sebelum dirinya
roboh, sedikitnya ia harus dapat
melukai kakek ini. Jurus simpanan ini
merupakan jurus aneh, namun apabila
berhadapan dengan orang sakti tidak
bisa menolong.
Tiba-tiba pedangnya bergerak se-
perti mau memancung lehernya sendiri.
Si Tangan Iblis kaget sekali,
lengannya dengan jari terbuka dan
terulur untuk meneengkeram dan merebut
pedang itu. Tetapi mendadak kakek ini
kaget sekali dan cepat-cepat menarik
tangan kanan disusul dengan tangan
kiri mengebut.
Hampir saja lengan kanannya
buntung tertabas pedang Warigagung.
Tetapi justru gerak tipu yang hampir
mencelakakan ini menyebabkan Si Tangan
Iblis menggeram marah. Ketika pedang
Warigagung kembali berkelebat menye-
rang, ia tidak bergerak menghindari.
Namun ketika ujung pedang hampir
menyentuh bajunya, jari tengah dan
jari telunjuk kakek ini hampir
menyentuh bajunya, jari tengah dan
jari telunjuk kakek ini sudah menjepit
batang pedang berbareng membentak,
sehingga pedang pemuda ini lepas dan
tubuhnya terhuyung ke belakang.
Melihat itu Sarwiyah pucat.
Pemuda itu tidak bersalah aa-apa,
mengapa kakek dan mbakyunya memusuhi?
Ia menjadi tidak senang dan marah.
Akan tetapi sebaliknya untuk mencela
juga tidak berani. Maka yang bisa
dilakukan kemudian hanyalah memandang
penuh rasa khawatir, apabila pemuda
itu sampai celaka di tangan kakeknya.
Bagaimanapun ia sudah kenal watak
kakeknya. Apabila sudah marah
tangannya menjadi ganas dan bisa
menurunkan tangan maut.
Namun sebaliknya Warigagung bu-
kannya tunduk dan menyerah setelah
pedangnya dirampas orang. Pemuda ini
malah tambah marah dan kalap. Ia
pernah mendapat nasihat dari gurunya,
bahwa senjata ibarat nyawanya sendiri.
Untuk membela senjatanya itu, maka
Warigagung tak takut mengorbankan
nyawa. Karena itu sambil melengking
nyaring, Warigagung melompat ke depan.
Tangan kiri membentuk cakar sedang
tangan kanan meninju dada.
Hai! Kau belum juga mau menyerah?
Si Tangan Iblis kaget melihat
kenekatan pemuda itu.
Ia berdiri tegak. Pukulan ke arah
dada diterima dengan dada. Sedang
tangan kiri yang be-maksud menceng-
keram pusar ia tangkap. Kemudian
tangan itu dipuntir ke belakang.
Ketika kakek ini mendorong,
Warigagung hampir terjerembab mencium
tanah. Untung pemuda ini cukup
tangkas. Ia berjungkir balik beberapa
kali untuk mematahkan tenaga dorongan
dan kemudian meloncat berdiri. Pemuda
ini sekarang matanya beringas.
Huh! Bagiku tidak ada kata
menyerah. Nyawaku hanya selembar,
matipun tidak akan penasaran di tangan
seorang kakek yang bukan tandinganku!
Si Tangan Iblis merasa disindir.
Wajahnya menjadi merah padam, lalu
dengusnya dingin, Hemm, engkau sendiri
yang mencari penyakit. Kalau saja aku
tidak memandang muka gurumu, apakah
aku masih dapat bersikap seperti ini?
Karena berkali-kali nama gurunya
disebut, Warigagung tambah penasaran.
Bantahnya, Huh! Berkali-kali kau
menyebut Guruku. Jika saat ini Guruku
ada, apakah engkau berani menghina aku
seperti ini?
Wajah kakek ini tambah merah
padam saking merah berbareng malu.
Sebenarnya memang demikian, apabila
Julung Pujud sekarang ini hadir, kakek
ini takkan berani gegabah. Bagai-
manapun kakek ini masih akan hitung-
hitung kekuatannya lebih dahulu, jika
Julung Pujud sampai marah.
Akan tetapi karena sejak tadi
guru pemuda ini tidak juga muncul,
maka keangkuhan kakek ini tidak
berkurang. Jawabnya dingin, Huh huh,
sangkamu jika gurumu hadir aku takut?
Engkau sendiri yang bandel dan tidak
pandai menghormati orang tua. Tentu
saja gurumupun tidak senang dengan
sikapmu yang kurangajar ini.
Kakek ini mengucapkan kata-kata
seperti itu bukan lain karena malu, di
depan murid dan cucunya dianggap takut
kepada orang lain. Namun demikian
karena sesungguhnya ia gentar apabila
berhadapan dengan Julung Pujud, maka
ucapannya miring. Ia menekankan bahwa
dalam persoalan ini Warigagung yang
bersalah. Hingga ia ingin menyalahkan
orang dan menempatkan dirinya pada
pihak yang benar.
Warigagung ketawa terkekeh saking
penasaran. Katanya, Heh heh heh heh,
engkau orang tua menjadi sombong dapat
merebut pedangku. Tetapi sekarang,
rasakan jarumku!
Hampir berbareng dengan ucapannya
dari tangan Warigagung sudah menyambar
puluhan bintik hitam. Saking marah dan
penasaran, Warigagung menyerang dengan
jarum beracun dalam jumlah banyak.
Pemuda ini justru amat terlatih
dalam hal menyambitkan senjata rahasia
jarum. Maka ketika tangan bergerak,
jarum-jarum itu segera menyambar ke
arah bagian tubuh yang berbahaya.
Walaupun sejak tadi kakek ini
sudah menduga, tidak urung terkejut
juga melihat menyambitnya jarum
beracun yang kecil itu, sebab
menyambarnya jarum itu amat cepat dan
di luar dugaannya.
Akan tetapi Si Tangan Iblis
seorang tokoh sakti. Sekalipun jarum
itu kecil, ia dapat melihat
menyambarnya jarum itu.
Kakek ini tidak menjadi gugup. Ia
melepas ikat kepalanya dipergunakan
mengebut. Angin yang amat kuat segera
menyambar dan jarum-jarum beracun itu
segera menyeleweng atau runtuh ke
tanah. Tidak sebatangpun jarum yang
dapat menyentuh tubuh kakek itu.
Tetapi gerakan tangan yang
memutarkan ikat kepala itu tidak ber-
henti untuk mengebut jarum. Gerakannya
diteruskan untuk membalas menyerang
Warigagung. Tampaknya memang hanya
selembar kain ikat kepala dan hanya
benda yang lemas dan tipis. Akan
tetapi di tangan seorang sakti, benda
lemas ini dapat berubah menjadi
senjata berbahaya.
Gerakan kakek ini cepat tidak
terduga. Warigagung yang sudah menyia-
pkan jarum beracun untuk menyerang
lagi, tidak sempat melepaskan. Dan
tiba-tiba saja lengan pemuda ini
menjadi lumpuh, hingga jarum yang
digenggam runtuh ke tanah. Sebelum
pemuda ini dapat membela diri sudah
jatuh terduduk oleh sabetan ikat
kepala yang menyambar kaki.
Si Tangan Iblis yang amat
penasaran atas kekurangajaran Wari-
gagung sudah menggerakkan tangan untuk
mencengkeram pundak bocah itu dengan
maksud agar sambungan tulang pundaknya
lepas.
4
Akan tetapi mendadak gerakan
kakek ini berhenti dan kaget sekali
ketika mendengar jerit Sarindah yang
nyaring. Jerit itu kemudian disusul
oleh bentakan Sarwiyah.
Si Tangan Iblis berpaling dan
mendadak wajahnya pucat. Ternyata
cucunya, Sarindah, sekarang sudah
tidak bisa berkutik lagi, dikepit oleh
Kakek Kerdil. Sedang Sarwiyah menggu-
nakan pedang masih terus menghujani
serangan kepada kakek itu, tetapi
serangannya tidak pernah berhasil
seperti menyerang bayangan.
Kakek ini terbelalak disamping
amat kagum. Ia tidak mendengar gerakan
orang itu, tetapi tahu-tahu Julung
Pujud sudah berhasil menawan Sarindah.
Karena khawatir, Si Tangan Iblis
sudah membentak, Hai Julung Pujud.
Engkau curang! Apakah sebabnya kau
menawan cucuku yang tak bersalah?
Heh heh heh heh, siapakah yang
curang? sahut kakek kerdil ini yang
tidak lain memang Julung Pujud. Huh,
engkau tak tahu malu dan akan
mencelakakan muridku. Apakah sebabnya
aku tidak boleh membalas dengan cara
menawan cucumu? Hayo, lekas
lakukanlah! Jika engkau berani men-
celakakan muridku, maka cucumu inipun
mati dalam tanganku!
Wajah Si Tangan Iblis merah
padam. Ia sadar, keadaan amat
berbahaya. Julung Pujud terkenal
sebagai orang liar dan ganas. Anca-
mannya akah dibuktikan apabila dirinya
bersikeras. Namun demikian tentu saja
ia tidak mau mengalah begitu saja. Ia
harus mengejek dulu.
Ha ha ha ha, Julung Pujud,
engkaulah yang tidak tahu malu. Sejak
tadi kau menyembunyikan diri, tahu-
tahu kau menggunakan kesempatan secara
curang.
Julung Pujud terkekeh, Heh heh
heh heh, yang curang dan tak tahu malu
itu sesungguhnya siapa? Hayo, katakan
siapa? Engkau jangan hanya mencari
menang sendiri dan merasa benar. Aku
bertanya, apakah kesalahan muridku?
Dia tidak mengganggu siapapun, dan
malah bersikap mengalah pula kepada
dua orang cucumu ini. Kalau muridku
mau berkelahi, huh huh, aku berani
bertaruh dengan potong jari, dua orang
cucumu ini sekalipun mengeroyok tak
mungkin menang melawan muridku. Huh,
aku tahu dengan mata kepala sendiri.
Ketika engkau sedang sibuk mengadu
tulang dengan Mahisa Jaladri, muridku
meniup seruling dengan maksud pergi.
Tetapi cucumu perempuan yang galak ini
malah menghina dan merendahkan
muridku. Huh, terimalah!
Julung Pujud melemparkan Sarindah
ke arah Si Tangan Iblis. Sebagai
seorang yang sudah banyak makan garam
tentu saja Julung Pujud tidak sekadar
melemparkannya. Maka diam-diam Si
Tangan Iblis mengerahkan tenaga sakti
ke arah kaki agar berat badannya
bertambah. Dengan kuda-kuda yang kuat
ini kemudian ia menyambut tubuh
Sarindah yang melayang ke arahnya.
Akan tetapi ahhh.... Si Tangan
Iblis menjadi kaget. Sekalipun ia
sudah mengerahkan tenaga dalam
menyambut, tidak urung kuda-kudanya
masih tergempur. Nyatalah bahwa
sekalipun tubuhnya kerdil, Julung
Pujud tidak dapat diremehkan tentang
kekuatan tenaganya.
Julung Pujud sudah melompat dan
menolong muridnya. Kemudian sambil
menatap tajam kepada Si Tangan Iblis,
hardiknya, Cucumu yang galak itulah
yang menjadi gara-gara. Jika tidak
percaya engkau bisa bertanya kepada
cucumu yang muda. Muridku tidak mau
melayani dan malah mengalah, tetapi
cucumu yang galak itu masih memaksa.
Tentu saja muridku terpaksa melayani
sekalipun tidak bersungguh-sungguh.
Digerutu oleh hardikan ini untuk
sejenak Si Tangan Iblis bungkam. Sebab
apa yang sudah terjadi memang benar,
Sarindah yang menimbulkan gara-gara.
Akan tetapi manakah mungkin Si Tangan
Iblis mau saja pihaknya dipersalahkan.
Ia terkekeh lalu jawabnya.
Heh heh heh heh, engkau mencari
enak sendiri tanpa mau mawas diri.
Kalau saja muridmu tidak keluyuran
sampai di daerah ini, mana mungkin
sampai terjadi peristiwa ini? Dengan
begitu jelaslah muridmu yang bersalah.
Ha ha ha ha, ho ho ho ho, engkau
mencari-cari alasan dalam usahamu
membela diri. Siapakah yang bisa
melarang muridku mendaki gunung ini?
ejek Julung Pujud. Sudahlah, tiada
gunanya saling bantah dan memper-
salahkan mana yang salah dan mana yang
benar. Yang jelas kau orang tua yang
tidak tahu malu. Engkau sudah memaksa
dan menghina muridku, dan sekarang
engkau harus bertanggung jawab.
Apakah maksudmu? Apa yang harus
aku pertanggungjawabkan ?
Engkau harus melawan aku
sekarang, tua sama tua, barulah ramai
dan menyenangkan. Jika perlu malah
bisa ditambah pula yang muda dengan
muda. Suruhlah cucumu mengeroyok mu-
ridku.
Kalau saja menurutkan watak dan
keangkuhannya, seharusnya Si Tangan
Iblis harus menerima tantangan ini.
Tetapi kakek ini bukan seorang tolol.
Bukan seorang yang hanya menurutkan
perasaannya. Ia dapat memperhitungkan
tentang untung ruginya bermusuhan
dengan Julung Pujud. Ia justru
mempunyai rencana dan cita-cita yang
sangat tinggi. Makin banyak sekutu dan
sahabat, justru akan sangat
menguntungkan. Maka ia harus dapat
menarik Julung Pujud sebagai kawan
seperjuangan, untuk membunuh Mahapatih
Gajah Mada dan Mpu Nala.
Akan tetapi sebaliknya ia juga
tahu tentang watak Julung Pujud yang
aneh. Tanpa siasat tidaklah mungkin
Julung Pujud dapat menerima ajakannya.
Oleh karena itu Si Tangan Iblis
tertawa terkekeh.
Heh heh heh heh, tidak lucu!
Tidak lucu!
Hai, apanya yang lucu? Aku
bukanlah badut dan tentu saja tidak
lucu! bentak Julung Pujud.
Heh heh heh heh, yang aku maksud
tidak lucu itu, adalah apabila antara
aku dan engkau saling jotos dan
mengadu tulang keropos ini, sahut Si
Tangan Iblis. Engkau disebut orang,
dari golongan sesat sebaliknya akupun
disebut orang sesat pula. Kalau
menggunakan nama agak mentereng, aku
dan engkau disebut orang dengan nama
golongan hitam. Nah, manakah bisa
terjadi antara golongan sendiri saling
hantam dan saling pukul? Tidak urung
dunia ini akan menertawakan kita. Kau
harus sadar bahwa musuh golongan hitam
adalah orang yang menyebut dirinya
dari aliran putih atau lurus bersih.
Nah, itu baru tepat! Coba sekarang
pikirkanlah, apa yang aku katakan ini
salah?
Julung Pujud mendengus dingin,
Hemm, engkau berputar lidah tidak
karuan. Katakan saja engkau tidak
berani melawan aku, habis perkara!
Huh, apakah sebabnya engkau harus
berputar-putar haluan menggunakan
alasan golongan hitam dan dan lurus
bersih!??
Julung Pujud berhenti dan
menebarkan pandang mata ke sekeliling.
Kemudian ia tersenyum dan meneruskan,
Heh heh heh heh, tetapi jika aku
rasakan, benar juga alasanmu. Antara
golongan sendiri tidak merugikan kita
sendiri dan sebaliknya golongan sana
yang bakal bersorak kegirangan.
Julung Pujud berhenti lagi,
kemudian, Hemm, tetapi tidak gampang
engkau mau bersahabat dengan aku.
Kecuali apabila engkau sendiri
memenuhi persyaratan yang aku ajukan.
Diam-diam Si Tangan Iblis gembira
sekali mendengar ucapan Julung Pujud
ini. Sekalipun demikian kakek ini
pura-pura mendelik dan marah,
Kurangajar kau! Syarat macam apa saja
yang engkau maksudkan itu?
Ha ha ha ha, syaratnya tidak
berat. Namun demikian pasti, dan
engkau tidak boleh menolak. Sebab
apabila engkau menolak berarti terang-
terangan engkau menghina Julung Pujud,
dan sudah tentu hinaan itu baru bisa
impas dengan mengalirnya darah. Hai
Tangan Iblis! Antara kita sekarang
harus dijalin hubungan batin. Hubungan
keluarga! Dengan begitu, antara kita
ini tidak bisa digoyahkan lagi.
Si Tangan Iblis melongo heran.
Tanyanya dalam hati, hubungan
keluarga? Lalu hubungan yang bagai-
mana? Karena tidak mengerti maksud
Julung Pujud, lalu ia bertanya, Apakah
maksudmu dengan hubungan keluarga ini?
Heh heh heh heh, apakah sebabnya
kau men jadi tolol? Muridku masih
jejaka tulen, ting ting! Sebaliknya
cucumu juga masih perawan suci! Maka
sekarang juga aku malamar cucumu yang
muda itu, untuk menjadi isteri
muridku. Ha ha ha ha, setuju atau
tidak setuju?
Guru......! Warigagung yang tidak
pernah mimpi gurunya meminang gadis
dan dijodohkan dengan dirinya, menjadi
kaget. Maksudnya akan membantah tetapi
Julung Pujud sudah memberi isyarat
dengan gerakan tangan, hingga bocah
ini tidak berani membuka mulut lagi.
Sekalipun demikian sepasang
matanya segera memandang ke arah
sarwiyah. Sebagai seorang pemuda ia
memang tertarik juga oleh sikap gadis
yang halus itu, justru disamping juga
cantik. Tetapi sekalipun demikian ia
tidak tahu apakah dirinya suka kepada
gadis itu, karena yang dirasakan
sekarang ini hanyalah, gadis bernama
Sarwiyah itu menimbulkan kesan sejuk
dalam hatinya. Tetapi benarkah
perasaan ini merupakan tanda dirinya
jatuh cinta?
Sarwiyah tidak berbeda, juga
menjadi kaget dan hatinya tidak
karuan. Soalnya walaupun belum terang-
terangan, hatinya sudah terlanjur
terisi oleh Kebo Pradah. Ia tidak
membenci pemuda itu dan malah tertarik
oleh sikapnya yang amat menghargai dan
menghormati wanita. Akan tetapi cinta?
Ahh, dirinya tidak tahu, karena sudah
tertambat oleh Kebo Pradah. Namun
sebaliknya kalau harus menolak, ia
tidak berani. Karena disamping Si
Tangan Iblis sebagai kakeknya juga
sebagai gurunya. Tentu saja sebagai
kakek dan pengganti orang tuanya,
mempunyai wewenang dalam soal
perjodoan ini.
Disamping semua itu, Sarwiyah
juga dapat berpikir jauh. Ia tahu
tentang cita-cita kakeknya yang akan
membalas dendam. Padahal musuh
kakeknya adalah Mahapatih Gajah Mada
dan Mpu Nala. Mereka merupakan dua
tokoh sakti mandraguna jaman ini,
disamping amat tinggi kedudukannya.
Tentu saja kakeknya membutuhkan kawan
seperjuangan yang juga sakti man-
draguna.
Padahal kakek kerdil ini sedia
bekerjasama asalkan saja dirinya mau
diperistri oleh Warigagung. Dirinya
amat kecil dan tidak berarti apabila
dibandingkan dengan cita-cita kakeknya
yang amat tinggi itu. Dan lebih dari
itu justru cita-cita kakeknya adalah
untuk membalas dendam kematian ayah
bundanya. Maka dirinya dituntut darma
baktinya sebagai anak kepada orang
tuanya. Betapa marah ayah bundanya di
alam sana, apabila dirinya tidak dapat
membantu kakeknya membalas dendam.
Mengingat semua itu gadis ini diam-
diam memutuskan takkan menentang
keputusan kakeknya.
Si Tangan Iblis memandang
Sarwiyah dan Warigagung bergantian.
Lalu katanya, Hemm.... Julung Pujud,
engkau jangan menghina diriku.
Siapa yang menghina ? Julung
Pujud mendelik. Aku berkata sebenarnya
dan aku mewakili muridku untuk
meminang cucumu yang muda itu. Ehh...
siapa namanya?
Namanya Sarwiyah, sahut Si Tangan
Iblis. Tetapi apakah sopan jika engkau
mengajukan pinangan di jalan seperti
ini?
Ho,ho heh heh heh, engkau ini
seorang dungu ataukah memang tolol?
Aku dan kau bertemu di sini dan bukan
di rumahmu. Julung Pujud mengejek.
Karena kita ketemu di sini tentu saja
di sini pula aku meminang.
Jika engkau memang berbicara
sungguh-sungguh, engkau tentu bersedia
datang ke rumahku.
Mengapa tidak? Tetapi eh, lebih
dahulu engkau harus memberi kepastian.
Engkau terima atau kau tolak
pinanganku ini? Jika engkau berani me-
nolak, huh huh! Engkau dan aku harus
berkelahi dan salah seorang harus
mampus.
Heh heh heh heh, manakah ada
orang tua yang tidak menjadi gembira,
mempunyai besan seperti engkau ini?
Pendeknya, pinanganmu aku terima.
Tentang kapan pernikahan dilangsung-
kan, kemudian hari kita rundingkan.
Hayolah, sekarang kita pulang.
Nanti dulu! Julung Pujud
mencegah. Engkau sudah membunuh Mahisa
Jaladri. Karena itu tidak baik jika
engkau biarkan menggeletak di sini dan
bakal menjadi busuk menjijikkan. Maka
lebih baik kalau kita buang saja ke
jurang.
Selesai berkata, kaki Julung
Pujud bergerak menendang. Kakinya
hanya kecil dan pendek, sesuai dengan
tubuhnya yang kerdil. Namun akibat
dari tendangannya membuat orang
terbelalak kagum. Sebab begitu di-
tendang, tubuh Mahisa Jaladri sudah
terbang tinggi. Julung Pujud segera
memburu. Ketika tubuh Mahisa Jaladri
hampir jatuh ke tanah, kaki Julung
Pujud bergerak lagi menendang. Hanya
empat kali Julung Pujud menendang,
tubuh Mahisa Jaladri sudah terlempar
ke dalam jurang amat dalam.
Mereka memang orang-orang aneh
dan sudah memaklumkan diri dari
golongan hitam. Tentu saja cara
berpikirnyapun lain. Bagi mereka,
perbuatan yang kejam dan ganas
merupakan lambang kejan-tanan dan
kebanggaan. Itulah sebabnya mereka
tidak perlu menyempurnakan jenazah
Mahisa Jaladri dengan dikubur atau
dibakar, melainkan hanya dibuang saja
ke jurang. Dengan demikian mereka
membiarkan jenazah manusia itu menjadi
mangsa binatang buas.
Dalam perjalanan pulang ini hati
Sarwiyah sama dengan perasaan
Warigagung. Rasanya tidak karuan,
campur aduk antara gelisah, berdebar
gembira dan bimbang. Mereka tidak tahu
apa yang harus dilakukan. Antara
mereka tidak memulai dengan cinta,
tetapi terpaksa harus tunduk dan tidak
berani membantah.
Memang sesungguhnya bagi Sar-
wiyah, rasa cintanya pertama kali
jatuh kepada Kebo Pradah. Namun
demikian ia sudah mengenal watak
kakeknya. Kalau dirinya menentang dan
mengemukakan alasan sudah terlanjur
memilih Kebo Pradah, kakeknya akan
marah dan bahayanya, Kebo Pradah bisa
dianggap sebagai penghalang dan dibu-
nuh, Ia takkan rela kalau pemuda itu
harus menjadi korban karena cinta. Dan
ia akan memberi nasihat kepada pemuda
itu agar melupakan dirinya. Semua itu
demi keselamatan masing-masing.
Sebaliknya diam-diam Sarindah
marah dan penasaran kepada adiknya.
Dalam hati ia mencaci maki, mengapa
Sarwiyah tidak setia dan khianat
kepada Kebo Pradah. Buktinya bertemu
dengan pemuda lain sudah berpaling dan
melupakan saudara seperguruan sendiri.
Kurangajar! Pantas dia tadi
membela bocah itu! cacinya dalam hati
yang ditujukan kepada Sarwiyah. Pantas
perempuan tidak setia dan mata
keranjang itu membela, tetapi apa sih
pemuda itu yang pantas dibanggakan?
Sudah wajahnya tidak tampan, rambutnya
riap-riapan seperti gendruwo dan liar
pula. Apanya yang harus dipilih?
Apakah pemuda itu berilmu tinggi ?
Ia menatap Sarwiyah dengan mata
bersinar marah. Untung ketika itu
Sarwiyah melangkah sambil menundukkan
muka, sehingga tidak melihat kakeknya,
perempuan ini tentu sudah mengerocok
adiknya dengan kata-kata tajam dan
kalau perlu dengan pukulan sebagai
hajaran dengan pukulan sebagai
hajaran.
Akan tetapi karena takut, yang
bisa dilakukan hanya mengumpat saja
dalam hati, Perempuan tidak tahu malu.
Huh, kapan Kebo Pradah pulang, aku
akan membeberkan semuanya. Sundal
busuk! Engkau perlu kuhajar babar
belur!
Saat sekarang ini orang yang
paling gembira dan bahagia adalah Si
Tangan Iblis. Ia seperti mimpi
kejatuhan bulan. Bukan saja ia
berhasil menarik Julung Pujud sebagai
kawan dan sekutu, tetapi malah
merupakan besan. Tentu saja sebagai
besan dalam membela kepentingannya,
Julung Pujud tidak akan tanggung-
tanggung. Dalam pada itu Warigagung
juga sudah tampak bakat dan k-
pandaiannya. Sebagai calon menantu,
Warigagung dituntut oleh tugas dan
kewajiban membalaskan sakit hati
mertuanya.
Demikianlah, setelah tiba di
rumah, para murid Si Tangan Iblis
heran dan bertanya-tanya ketika
gurunya pulang bersama kakek kerdil
dan seorang pemuda riap-riapan. Hanya
Kaligis dan Sangkan saja yang menjadi
kaget setengah mati. Pemuda itulah
yang hampir membunuh mereka beberapa
bulan lalu. Diam-diam dua orang muda
ini menjadi penasaran dan ingin
membalas dendam. Tetapi manakah
mungkin bisa? Ketika itu sudah
mengeroyok tetapi hasilnya malah
hampir mati.
Benci, dendam dan penasaran dalam
hati Sangkan semakin bertambah memun-
cak, ketika mendengar Sarwiyah atas
kehendak gurunya telah dipertunangkan
dengan pemuda liar yang berkawan
dengan ular itu. Dengan demikian
tertutuplah kemungkinan untuk bisa
mendapat perhatian dari Sarwiyah.
Kaligis juga marah dan penasaran.
Ia mengajak Sangkan menyingkir di
tempat yang jauh, lalu bisiknya, Adi
Sangkan, ah, mengapa bisa terjadi se-
perti ini ? Huh, Guru tidak adil.
Mengapa justru mempunyai banyak murid
laki-laki, tetapi malah menjodohkan
Sarwiyah dengan orang lain? Disamping
itu mengapa malah adiknya lebih dahulu
yang dipertunangkan?
Sangkan tidak lekas menyahut. Ia
menghela napas sedih, kemudian Kaligis
berkata lagi, Adi Sangkan, kita harus
berusaha menggagalkan semua ini. Ahh,
sungguh kebetulan sekali. Bukankah hai
ini malah memberi jalan kepada kita
untuk melemparkan fitnah, bahwa Kakang
Tanu Pada dan Kakang Kebo Pradah sudah
mati terbunuh oleh pemuda liar itu?
Dengan demikian Guru kita akan menjadi
marah, lalu pertunangan dibatalkan.
Hemm, engkau ini bagaimana?
Sangkan mencela. Apakah engkau sengaja
menjebak dirimu sendiri ke dalam
perangkap?
Apa? Apa maksudmu?
Bukankah arah tugas kita ber-
lainan? Mengapa kita bisa tahu Tanu
Pada dan Kebo Pradah mati, terbunuh
oleh bocah liar itu? Hemm, tak urung
rahasia kita malah terbongkar dan kita
celaka. Tahu? Belum lagi kecurigaan
Sarindah kepada kita tentang Ananto.
Huh, kita tentu dihukum mati oleh
Guru.
Kaligis menghela napas pendek.
Sebenarnya bagi dirinya memang tidak
mempunyai kepentingan langsung tentang
pertunangan Sarwiyah. Akan tetapi ia
tidak tega kepada Sangkan, yang
tertutup harapannya mencintai Sar-
wiyah. Kegagalan pemuda ini akan
berpengaruh juga terhadap dirinya.
Karena Sangkan mengetahui rahasia
dirinya. Karena bingung akhirnya
Kaligis hanya dapat bertanya, Lalu,
bagaimanakah menurut pendapatmu?
Sangkan menghela napas juga. Ia
masih belum tahu apa yang harus
dilakukan. Otaknya menjadi bebal dan
tak bisa berpikir. Tetapi sesaat kemu-
dian pemuda licin dan cerdik ini
tersenyum. Katanya, Hemm, mengapa
susah? Aku sudah menemukan cara yang
tepat.
Apa yang akan kaulakukan?
Sangkan berbisik di dekat telinga
Kaligis. Atas bisikan ini Kaligis
mengangguk-angguk tanda setuju. Bagus!
Itu cara yang bagus.
Kalau dua orang pemuda ini pena-
saran, Sarindah lebih mendongkol dan
penasaran lagi. Bukan hanya penasaran
memikirkan Sarwiyah saja, tetapi juga
gelisah memikirkan Tanu Pada yang
belum juga pulang kembali.
Tiba-tiba saja timbullah niatnya
untuk pergi diam-diam dan mencari Tanu
Pada. Dalam hatinya timbul rasa
khawatir, jangan-jangan rombongan Tanu
Pada dalam perjalanan mendapat bahaya.
Hemm, benar! gumamnya. Kakang
Tanu Pada seorang murid setia dan
selalu patuh kepada Kakek. Tak mungkin
dia berani mengabaikan perintah Kakek
tanpa alasan yang dapat dipertanggung-
jawabkan. Ah, jangan-jangan memang
berhadapan dengan bahaya di
perjalanan, hingga terhalang pulang.
Khawatir keselamatan Tanu Pada
ini hatinya tambah gelisah dan
tekadnya untuk menyusul menjadi
semakin kuat secepatnya ia mengambil
beberapa lembar pakaiannya lalu
dibungkus. Kemudian dengan hati-hati
ia meninggalkan rumah tanpa diketahui
seorangpun.
***
Sampai di sini cerita ini
selesai, namun demikian cerita belum
tamat dan para pembaca yang budiman
silakan mengikuti cerita yang lebih
menarik dengan judul "PERSEKUTUAN DUA
IBLIS". Menarik, karena "Persekutuan
Dua Iblis" ini terdiri dari dua orang
tokoh sakti Julung Pujud dan Si Tangan
Iblis. Persekutuan dengan maksud
melawan Gajah Mada dan Mpu Nala.
Berhasilkah usaha dua iblis ini? Ikuti
saja kutipan serba ringkas antara
lain:
.....Heh heh heh heh, Rudra
Sangkala terkekeh. Engkau jangan
bandel dan keras kepala Adik manis.
Percayalah aku benar-benar jatuh cinta
kepadamu!
Tetapi Sarindah terus menghujani
serangan berbahaya tanpa membuka
mulut. Sebab ia sudah menduga pemuda
ini tentu seorang bejat moral. Pemuda
yang suka mempermainkan perempuan dan
seorang pemuda yang hanya mengumbar
nafsu.
Tetapi mendadak Sarindah merasa
kepalanya berdenyutan pening sekali.
Pandang matanya kabur. Sekalipun
demikian Sarindah masih terus
menyerang.
Trang......! Aihhh.......! pedang
Sarindah terpental terbang, terpukul
oleh Rudra Sangkala. Pemuda ini
terkekeh gembira, kemudian melompat ke
depan dan menyambar tubuh gadis yang
sudah limbung hampir roboh.
Heh heh heh heh kau takkan dapat
lepas lagi dari tanganku, katanya
sambil memondong Sarindah dan hujan
ciuman bertubi mendarat di pipi halus,
maupun serbuan pada bibir......
.......Julung Pujud mengancam,
Karena sudah meracun diriku, cucumu
Sarindah harus kau serahkan kepadaku
untuk menerima hukumannya. Tak perlu
khawatir, aku akan menghukum dia
dengan racun pula!
Terpikir kemudian oleh Tangan
Iblis untuk mencari dan memberi
hukuman sendiri. Lalu bersama Sarwiyah
mencari jejak Sarindah untuk memberi
hukuman....
...... Saputangan kecil warna
hijau itu memang amat berbahaya. Di
sapu tangan inilah tersimpan "racun
wangi" yang dapat menyebabkan orang
pusing, mabuk dan tidak sadarkan diri.
Dan berkat keampuhan racun inilah yang
membantu nama Murtisari terkenal
sebagai wanita sakti, hingga ditakuti
banyak orang.
Adityawarman cepat menutup
pernapasan, sehingga tidak menghirup
racun wangi itu berkat pengalamannya
ketika ia berhadapan dengan Rudra
Sangkala. Hingga Adityawarman tidak
terpengaruh oleh racun itu.
.....Dewi Sritanjung (tokoh
kita), adalah gadis lugu, jujur dan
tidak mengenal tipu muslihat maupun
berbohong, karena sejak kecil hidup
terasing di hutan.
Sebagai gadis yang belum mengenal
corak manusia hidup di dalam
masyarakat luas ini, maka Dewi
Sritanjung tidak menyadari, di dunia
ini tidak sedikit orang yang tidak
segan melakukan penipuan menggunakan
akal untuk memperoleh keuntungan
pribadi.
Nah, karena Dewi Sritanjung lugu,
jujur dan tidak kenal arti bohong ini,
dalam perjalanan ke kota Majapahit
mencari ayah kandungnya, tertipu oleh
dua orang laki-laki yang terpesona
oleh kejelitaan wajahnya. Ia tidak
menyadari, dirinya di bawa ke dalam
hutan..... dan gadis ini.....ahh....
T a m a t
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar